BAB II PENDIDIKAN KARAKTER BAGI WARGA BINAAN

advertisement
23
BAB II
PENDIDIKAN KARAKTER BAGI WARGA BINAAN
PEMASYARAKATAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN
A. Pendidikan Karakter
1. Pengertian pendidikan Karakter
Watak atau karakter berasal dari bahasa Yunani “charassein”,
yang berarti barang atau alat untuk menggores, yang di kemudian hari
dipahami sebagai stempel atau cap. Jadi, watak itu sebuah stempel atau
cap, sifat-sifat yang melekat pada seseorang.1
Karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah tabiat; sifat-sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan
yang lain; watak.2 Pendidikan karakter adalah upaya-upaya yang dirancang
dan dilaksanakan secara sistematis untuk menanamkan nilai-nilai perilaku
peserta didik yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri
sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud
dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan
norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. 3
1
Sutarjo Adisusilo, J.R., Pembelajaran Nilai Karakter, Kontsruktivisme dan VCT
sebagai Inovasi Pendekatan pembelajaran Afektif, cet ke 2(Jakarta: PT Rajagrafindo persada,
2013), h. 76
2
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta:
2008), h. 639
3
Kemendiknas, Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama,
(Jakarta: 2010), h. 15
24
Karakter dapat dimaknai sebagai nilai dasar yang membangun
pribadi seseorang, terbentuk baik karena pengaruh hereditas maupun
pengaruh lingkungan, yang membedakannya dengan orang lain, serta
diwujudkan dalam sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.4
Daniel Goleman yang terkenal dengan bukunya Multiple
Intelligences dan Emotional Intelligence, menyebutkan bahwa pendidikan
karakter merupakan pendidikan nilai, yang mencakup Sembilan nilai dasar
yang saling terkait, yaitu:
1.
responsibility (tanggung jawab);
2.
respect (rasa hormat);
3.
fairness (keadilan);
4.
courage (keberanian);
5.
honesty (kejujuran);
6.
citizenship (rasa kebangsaan);
7.
self-discipline (disiplin diri);
8.
caring (peduli), dan
9.
perseverance (ketekunan)
4
Muchlas Samani dan Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2011), h. 43
25
Jika pendidikan nilai berhasil menginternalisasikan kesembilan
nilai dasar tersebut, maka akan terbentuk seorang pribadi yang berkaraker,
pribadi yang berwatak.5
Pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar
dan mana yang salah, lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan
kebiasaan (habituation) tentang hal mana yang baik sehingga peserta
didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan salah,
mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya
(psikomotor). Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus
melibatkan bukan saja aspek pengetahuan yang baik (moral knowing),
akan tetapi juga merasakan dengan baik
atau loving good
feeling), perilaku yang baik (moral action).
(moral
Pendidikan karakter
menekankan pada habit atau kebiasaan yang terus-menerus dipraktikkan
dan dilakukan.6
2. Tujuan pendidikan Karakter
Secara umum, Pendidikan Nilai dimaksudkan untuk membantu
peserta didik agar memahami, menyadari, dan mengalami nilai-nilai serta
mampu menempatkannya secara integral dalam kehidupan. Pendidikan
karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh,
kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong,
5
6
Sutarjo Adisusilo, J.R., Op. Cit., h. 79-80.
Balitbang Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Kemendiknas, Pedoman Pelaksanaan
Pendidikan Karakter, (Jakarta: 2011), h. 1
26
berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan
teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang
Maha Esa berdasarkan Pancasila.7
Sedangkan
tujuan
pendidikan
karakter
yang
diharapkan
Kementerian Pendidikan Nasional8 adalah:
a. mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai
manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan
karakter bangsa;
b. mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji
dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa
yang religius;
c. menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik
sebagai generasi penerus bangsa;
d. mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang
mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan;
e. mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan
belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta
dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity).
Ahli filsafat etika Emmanuel Kant merumuskan tujuan pendidikan
moral baik yang disampaikan secara formal atau nonformal sebagai
7
Balitbang Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Kemendiknas, Pedoman Pelaksanaan
Pendidikan Karakter, (Jakarta: 2011), h. 2
8
Ibid., h.9.
27
berikut: 1) memaksimalkan rasa hormat kepada manusia sebagai individu.
2) Memaksimalkan nilai-nilai moral universal, maksudnya
tujuan
pendidikan bukan hanya demi terlaksananya aturan-aturan yang didukung
oleh otoritas masyarakat tertentu, tapi demi terlaksananya prinsip-prinsip
moral universal yang diterima dan diakui secara universal, seperti
keadilan, kebebasan dan persamaan tiap individu manusia.9
Kohlberg mengatakan bahwa tujuan pendidikan moral adalah
mendorong perkembangan tingkat pertimbangan moral peserta didik.
Kematangan pertimbangan moral harus sampai pada menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan yang universal, berdasarkan prinsip keadilan dan
persamaan serta saling menerima.10
Pendidikan karakter berfungsi (1) mengembangkan potensi dasar
agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2) memperkuat
dan membangun perilaku bangsa yang multikultur;
(3) meningkatkan
peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia. Pendidikan
karakter dilakukan melalui berbagai media yang mencakup keluarga,
satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia
usaha, dan media massa.11
9
Sutarjo Adisusilo, J.R., Pembelajaran Nilai Karakter, Kontsruktivisme dan VCT
sebagai Inovasi Pendekatan pembelajaran Afektif, cet ke 2(Jakarta: PT Rajagrafindo persada,
2013), h. 127
10
Ibid., h. 128.
11
Balitbang Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Kemendiknas, Op. Cit., h. 2
28
Presiden pertama Republik Indonesia, Bung Karno, bahkan
menegaskan: “Bangsa ini harus dibangun dengan
mendahulukan
pembangunan karakter (character building) karena character building
inilah yang akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju dan
jaya, serta bermartabat. Kalau character building ini tidak dilakukan, maka
bangsa Indonesia akan menjadi bangsa kuli.”12
3. Nilai-nilai Pembentuk Karakter
Nilai-nilai pendidikan karakter yang dikembangkan Kementerian
Pendidikan diidentifikasi dari sumber-sumber berikut13:
1. Agama: masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh
karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari
pada ajaran agama dan kepercayaannya. Secara politis, kehidupan
kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas
dasar pertimbangan itu, maka nilai-nilai pendidikan budaya dan
karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang
berasal dari agama.
2. Pancasila: negara kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsipprinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila.
12
Muchlas Samani dan Hariyanto, Konsep Dan Model Pendidikan Karakter,
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), h.12
13
Pusat Kurikulum Balitbang Kemendiknas, Pengembangan dan Pendidikan Budaya
dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah, (Jakarta: 2009), h.8.
29
Pancasila terdapat pada Pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan lebih
lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945. Artinya, nilainilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang
mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya,
dan seni.
Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan
mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik,
yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan
menerapkan nilainilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga
negara.
3. Budaya: sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup
bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui
masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian
makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antaranggota
masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan
masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam
pendidikan budaya dan karakter bangsa.
4. Tujuan Pendidikan Nasional: sebagai rumusan kualitas yang harus
dimiliki setiap warga negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai
satuan pendidikan di berbagai jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan
nasional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga
negara Indonesia. Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional adalah
sumber yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan
budaya dan karakter bangsa.
30
Berdasarkan keempat sumber nilai itu, teridentifikasi sejumlah nilai
untuk pendidikan budaya dan karakter bangsa sebagai berikut ini14:
Tabel 1.
Nilai dan Deskripsi Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
NILAI
1. Religius
DESKRIPSI
Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan
ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap
pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun
dengan pemeluk agama lain.
2. Jujur
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan
dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya
dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3. Toleransi
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan
agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan
orang lain yang berbeda dari dirinya.
4. Disiplin
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan
patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
5. Kerja keras
Perilaku yang menunjukkan upaya sungguhsungguh dalam mengatasi berbagai hambatan
belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan
sebaik-baiknya.
6. Kreatif
Berpikir
dan
melakukan
sesuatu
untuk
menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu
yang telah dimiliki.
7. Mandiri
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung
pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
8. Demokratis
Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai
sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
9. Rasa ingin
tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk
mengetahui lebih mendalam dan meluas dari
sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
14
Ibid., h.9-10
31
10. Semangat
Kebangsaan
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang
menempatkan kepentingan bangsa dan negara di
atas kepentingan diri dan kelompoknya.
11. Cinta Tanah
Air
Cara
berfikir,
bersikap,
menunjukkan
kesetiaan,
penghargaan
yang
dan
berbuat
yang
kepedulian,
dan
tinggi
terhadap
bahasa,
lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan
politik bangsa.
12. Menghargai
Prestasi
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk
menghasilkan
sesuatu
yang
berguna
bagi
masyarakat, dan mengakui, serta menghormati
keberhasilan orang lain.
13. Bersahabat/Ko
munikatif
Tindakan
yang
memperlihatkan
rasa
senang
berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang
lain.
14. Cinta Damai
Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan
orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran
dirinya.
15. Gemar
membaca
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca
berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi
dirinya.
16. Peduli
Lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah
kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan
mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki
kerusakan alam yang sudah terjadi.
17. Peduli Sosial
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi
bantuan pada orang lain dan masyarakat yang
32
membutuhkan.
18. Tanggung
jawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan
tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia
lakukan,
terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam,
sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha
Esa. 15
4. Metode Pendidikan Karakter
Dalam berbagai hal, strategi sering disamakan dengan metode,
padahal antara keduanya mempunyai perbedaan. Srategi menunjuk pada
sebuah perencanaan untuk mencapai sesuatu, sedangkan metode adalah
cara yang dapat digunakan untuk melaksanakan strategi. Dengan kata lain,
strategi adalah suatu rencana operasional untuk mencapai sesuatu;
sedangkan metode adalah jalan atau cara dalam mencapai sesuatu.16
Permen Diknas Nomor 19 tahun 2005 mengatakan bahwa proses
pembelajaran pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berprtisipasi
aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreatifitas, dan
15
Pusat Kurikulum Balitbang Kemendiknas, Pengembangan dan Pendidikan Budaya
dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah, (Jakarta: 2009), h.9-10.
16
Sutarjo Adisusilo, J.R., Op. Cit., h. 86.
33
kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik, serta
psikologis peserta didik.17 Dari peraturan pemerintah tersebut, tampak ada
sejumlah prinsip dalam proses pembelajaran, yaitu sebagai berikut18:
1.
Interaktif
Prinsip interaktif mengandung makna bahwa mengajar bukan
hanya sekedar menyampaikan pengetahuan dari pendidik ke peserta didik;
akan tetapi mengajar dianggap sebagai proses mengatur lingkungan yang
dapat merangsang peserta didik untuk belajar. Dengan demikian, proses
belajar adalah proses interaksi baik antara pendidik dan peserta didik,
antara sesame peserta didik, maupun peserta didik dengan lingkungannya.
2.
Inspiratif
Proses pembelajaran dikatakan inspiratif jika proses pembelajarn
memungkinkan peserta didik untuk mencoba dan melakukan sesuatu.
Dalam proses pembelajarn pendidik harus membuka berbagai peluang agar
peserta didik dapat
melakukan sesuatu yang terkait dengan materi
pembelajaran.
3.
Menyenangkan
Proses pembelajaran harus memungkinkan seluruh potensi peserta
didik dapat dikembangkan. Hal ini hanya mungkin terjadi jika proses
17
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan, Pasal 19
18
Sutarjo Adisusilo, J.R., Op. Cit., h.87
34
pembelajaran
tidak
menegangkan,
tidak
menakutkan,
tetapi
menyenangkan bagi peserta didik.
4.
Menantang
Proses pembelajaran haruslah membuat peserta didik tertantang
untuk mengembangkan kemampuan berpikir, kemampuan ketrampilan
aplikatif
dan
ketrampilan
bersosial.
Kemampuan
tersebut
dapat
ditumbuhkan dengan cara mengembangkan rasa ingin tahu dengan
kegiatan mencoba-coba, berpikir secara intuitif dan analitis.
5.
Motivasi
Motivasi adalah daya dorong yang memungkinkan peserta didik
untuk bertindak atau melakukan sesuatu. Motivasi ini hanya muncul
manakala peserta didik merasa membutuhkan. Terkait dengan proses
pembelajaran, pendidik amat berperan dlm menumbuhkan motivasi belajar
peserta didik, dengan menunjukkan pentingnya pengalaman dan materi
pembelajaran bagi kehidupan peserta didik di kemudian hari.19
Para pakar pendidikan nilai seperti Superka, menunjuk lima
pendekatan dan metode dalam pendidikan nilai, yaitu20 :
1. Pendekatan dan metode penanaman nilai (inculcation approach);
19
Sutarjo Adisusilo, J.R., Op. Cit., h. 87-89.
20
Sutarjo Adisusilo, J.R., Op. Cit., h.133-141
35
2. Pendekatan dan metode perkembangan moral kognitif (cognitive
moral development approach);
3. Pendekatan dan metode penalaran moral (moral reasoning
approach);
4. Pendekatan dan metode pembelajaran berbuat (action learning
approach);
5. Pendekatan dan metode klarifikasi nilai (values clarification
approach).
Sementara itu, Simon, dkk. menggolongkan pendekatan pendidikan
nilai sebagai berikut :
1. Memoralisasi (memoralizing)
2. Bersikap membiarkan (laissez-fair attitude);
3. Menjadi model (modeling);
4. Teknik pendekatan klarifikasi nilai (value clarification technique
approach) yang dikenal dengan istilah VCT.
Sementara
itu,
Ratna
Megawangi
(dalam
Masnur
Muslich),menguraikan bahwa perlunya menerapkan metode 4 M dalam
pendidikan Karakter, yaitu mengetahui, mencintai, menginginkan, dan
mengerjakan (knowing the good, loving the good, desiring the good, and
acting the good) kebaikan secara simultan dan berkesinambungan.Lebih
lanjut Masnur mengungkapkan bahwa metode ini menunjukkan bahwa
karakter adalah sesuatu yang dikerjakan berdasarkan kesadaran yang utuh.
36
Sedangkan kesadaran utuh itu adalah sesuatu yang diketahui secara sadar,
dicintai, dan diinginkan. Dari kesadaran utuh ini barulah tindakan dapat
dihasilkan secara utuh.21
1. Pendekatan dan Metode Penanaman Nilai
Pendekatan penanaman nilai adalah suatu pendekatan yang
memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai dalam diri peserta didik.
Menurut Superka, tujuan pendidikan nilai adalah :
a. Diterimanya nilai masyarakat tertentu oleh peserta didik;
b. Berubahnya nilai-nilai peserta didik yang tidak sesuai dengan nilainilai masyarakat yang diinginkan.
Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran menurut
pendekatan ini antara lain: keteladanan (modeling), simulasi, permainan
peran, dan lain-lain.
2. Pendekatan dan Metode Perkembangan Kognitif
Pendekatan ini disebut pendekatan perkembangan kognitif karena
karakteristiknya memberikan penekanan pada aspek kognitif dan pada
aspek perkembangannya. Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir
aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusankeputusan moral. Pendekatan ini mengandaikan bahwa perkembangan
moral seseorang berkembang dari tingkat yang lebih rendah ke tingkat
21
Masnur Muslich, Pendidikan Karakter, Menjawab Tantangan Krisis
Multidimensional ( Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 107
37
yang lebih tinggi.Pendekatan ini pertama kali dikembangkan oleh John
Dewey , lalu dikembangkan oleh Kohlberg.22
Kohlberg mengembangkan teori Dewey lebih rinci lagi melalui
berbagai percobaan yang berulang-ulang dan akhirnya dia menyimpulkan
perkembangan pengambilan keputusan moral seseorang sebagai berikut23 :
a. Tingkat orientasi hukuman dan kepatuhan (punishment and
obedience orientation).
Pada tahap ini (sekitar usia 1-6 tahun)
seseorang / anak melakukan tindakan tertentu atas pertimbangan
untuk menghindari hukuman fisik dari pihak lain dan bersedia taat
pada penguasa karena rasa takut.
b. Tingkat kedua, orientasi relatif instrumental (instrumental relativist
orientation) (sekitar usia 6-9 tahun). Pada tahap ini seseorang / anak
melakukan
perbuatan
tertentu
atas
pertimbangan,
apakah
tindakannya dapat memuaskan dirinya dan bila mungkin juga
memuaskan orang lain. Hubungan antra sesama atas dasar “jualbeli”, jika “saya membuat kamu senang, kamu juga harus
membuatku gembira”.
c. Tingkat ketiga, (sekitar usia 9-12 tahun) orientasi masuk kelompok
anak baik – anak manis (interpersonal concordance or “good boy –
nice girl”). Pada tahap ini seseorang / anak melakukan perbuatan
22
Sutarjo Adisusilo.J.R. Op.Cit. h. 135
23
Ibid.,h. 136
38
tertentu berdasarkan pertimbangan baik-buruk menurut masyarakat.
Dengan pendek kata, perbuatan dilakukan seseorang untuk mencari
pujian dari pihak lain.
d. Tingkat keempat (sekitar usia 12-15 tahun) orientasi pada hukum
dan ketertiban (law and order orientation). Pada tahap ini seseorang
melakukan suatu tindakan atas dasar hukum atau ketertiban
masyarakat. Pendek kata, tingkah laku / perbuatan didasarkan pada
hukum yang berlaku, dalam hal ini ada bahaya seseorang bertingkah
laku legalistik.
e. Tingkat kelima (sekitar usia 15-18 tahun) orientasi kontrak social
(social contract legalistic orientation). Pada tahap ini seseorang
berbuat sesuatu dinilai benar atau salah didasarkan pada nilainilaiyan disepakati oleh masyarakat.
Hokum dapat saja berubah
sesuai dengan tuntutan masyarakat, tetapi nilai-nilai yang diyakini
masyarakat lebih penting.
f. Tingkat keenam (sekitar usia 18 tahun ke atas), disebut orientasi
asas etik universal (the universal ethical principle orientation).
Pada tahap ini perbuatan seseorang dinilai benar atau salah diukur
dari cocok tidaknya dengan hati nuraninya yang didasarkan atas
nilai-nilai dasar yang sifatnya universal.
39
Dalam penjelasannya Kohlberg mengatakan bahwa24 :
a. Perkembangan moral itu harus bertahap, dari tahap yang lebih
rendah ke tahap yang lebih tinggi, jadi tidak dapat meloncat dari
tahap pertama terus ketahap ketiga, dan lain-lain;
b. Secara kognitif seseorang akan tertarik pada tahap yang lebih tinggi
secara bertahap / tidak dapat melompat-lompat, maka moral dapat
dikembangkan;
c. Perkembangan moral hanya dapat terjadi bila kemantapan moral
mulai digoyang;
d. Perkembangan moral seseorang tidak dengan sendirinya dapat
berkembang, maka perlu pendidikan dan pendampingan.
3. Pendekatan dan Metode Argumentasi Moral
Pendekatan argumentasi moral memberikan penekanan pada
perkembangan kemampuan siswa untuk berpikir logis, dengan cara
menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai dalam
masyarakat dan mencari alasan pembenaran secara moral.
Tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini adalah25 :
24
Ibid. h. 138
25
Ibid.
40
a. Membantu siswa untuk menggunakan kemampuan berpikir logis dan
penemuan ilmiah dalam menganalisis masalah-masalah moral;
b. Membantu siswa untuk menggunakan proses berpikir rasional dan
analitik, dalam menghubungkan dan merumuskan konsep tentang
nilai.
4. Pendekatan dan Metode Pembelajaran Berbuat
Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach)
memberi penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada siswa
untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara perorangan
maupun secara bersama-sama dalam kelompok.
Tujuan pendidikan moral dengan pendekatan ini adalah26 :
a. Memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan
moral berdasarkan nilai-nilai mereka sendiri;
b. Mendorong siswa untuk melihat diri mereka sendiri sebagai makhluk
individu dan makhluk sosial.
Metode pembelajaran dengan pendekatan analisis nilai dan
klarifikasi nilai dapat digabung dengan pendekatan ini. Pendekatan ini
memungkinkan peserta didik sebagai warga negara dapat berbuat secara
aktif dan konstektual berdasarkan nilai-nilai yang diyakininya. Misalnya :
26
Ibid.,h. 140
41
dalam proses pemilu seseorang ikut secara aktif dalam kampanye partai
politik atau calon tertentu.
5. Memoralisasi (Memoralizing)
Memoralisasi adalah model pendidikan nilai-moral secara langsung,
yaitu mengajarkan sejumlah nilai yang harus menjadi pegangan hidup
peserta didik.
Pendidik mengajarkan apa saja yang dianggapnya baik
untuk dituruti dan dipraktikkan oleh peserta didik.
merupakan indoktrinasi.
Pendekatan ini
Di sini peserta didik “diharuskan” untuk
menerima warisan nilai-nilai hidup dari para pendidik. Cara-cara yang
lazim digunakan misalnya pemberian nasihat / wejangan dan larangan,
khotbah, pidato, dan ceramah.
6. Bersikap Membiarkan (A laissez-fair attitude)
Bersikap membiarkan adalah model pendidik nilai-moral dengan
cara
membiarkan
peserta
didik
menentukan
sendiri
apa
yang
diinginkannya; anak dibiarkan tumbuh dan berkembang secara alamiah,
dengan “jatuh dan bangun” dari pengalamannya sendiri.
7. Menjadi Model (Modeling)
Menjadi model adalah pendidik nilai-moral yang berusaha
menampilkan dirinya sebagai model atau contoh yang hidup menurut nilainilai tertentu.
Pendidik sendiri menjadi contoh atau teladan dalam
penghayatan dan pengalaman nilai hidup yang ingin ditambahkannya pada
42
pesrta didiknya.
Peserta didik diharapkan terkesan oleh cara hidup
pendidik dan berusaha menirukannya.
8. Pendekatan Teknik Klarifikasi Nilai (Value Clarification Technique,
VCT)
VCT adalah pendekatan pendidikan nilai di mana peserta didik
dilatih
untuk
menemukan,
memilih,
menganalisis,
memutuskan,
mengambil sikap sendiri nilai-nilai hidup yang ingin diperjuangkannya.
Peserta didik dibantu menjernihkan, memperjelas atau mengklarifikasi
nilai-nilai hidupnya, lewat values problem solving, diskusi, dialog, dan
presentasi. Misalnya peserta didik dibantu menyadari nilai hidup mana
yang sebaiknya diutamakan dan dilaksanakan, lewat pembahasan kasuskasus hidup yang saarat dengan konflik nilai atau moral.27
Tujuan pendekatan ini adalah :
a. Membantu peserta didik untuk menyadari dan mengidentifikasi nilainilai mereka sendiri serta nilai-nilai orang lain;
b. Membantu peserta didik agar mampu berkomunikasi secara terbuka
dan jujur denga orang lain, berkaitan dengan nilai-nilai yang
diyakininya;
c. Membantu peserta didik agar mampu menggunakan akal budi dan
kesadaran emosionalnya untuk memahami perasaan, nilai-nilai dan
pola tingkah lakunya sendiri.
27
Ibid.,h. 141
43
B. Lembaga Pemasyarakatan (Lapas)
1.
Pengertian Lembaga pemasyarakatan
Menurut Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
pemasyarakatan pengertian lembaga pemasyarakatan diatur pada pasal 1
angka 3 yaitu : “Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut lapas
adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik
Pemasyarakatan".
Sebelumnya Permasyarakatan dikenal dengan sistem kepenjaraan
atau pidana pencabutan kemerdekaan. Pencabutan kemerdekaan merupakan
jenis pidana yang memegang peran penting selama beberapa abad terakhir
ini yang lazim disebut pidana penjara. Di Indonesia sistem pemenjaraan
baru dikenal pada zaman penjajahan. Pada zaman VOC pun belum dikenal
penjara seperti sekarang, yang ada ialah rumah tahanan yang diperuntukan
bagi wanita tunasusila, pengangguran, gelandangan, pemabuk dan
sebagainya. Diberikan pula pekerjaan dan pendidikan agama. Tetapi hanya
ada di Batavia, terkenal dengan Spinhuis dan Rasphuis. 28
Pembinaan Narapidana di Indonesia secara konstitusional dikenal
sejak berlakunya Reglemen Penjara (Gesichten Reglement 1917 Nomor
708) yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai realisasi
ketentuan pidana penjara yang terkandung dalam Pasal 10 KUHP. Sistem
pemenjaraan ini sangat menekankan unsur pembalasan semata terhadap
pelaku tindak pidana agar pelaku tindak pidana jera. Kesan pembalasan
28
Andi Hamzah. Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), h.109.
44
yang menjiwai peraturan kepenjaraan telihat dari ketidak jelasan arah dan
tujuan yang hendak dicapai dari penjatuhan pidana. Selain itu juga terlihat
dari adanya kewajiban narapidana untuk mengikuti pekerjaan baik didalam
maupun diluar penjara. Institusi yang digunakan pada sistem pemenjaraan
adalah rumah penjara bagi narapidana dan rumah pendidikan negara bagi
anak yang bersalah.
Pola pembinaan narapidana mengalami pembaharuan sejak dikenal
gagasan pemasyarakatan yang dikemukakan oleh Sahardjo, pada pidato
penerimaan gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang ilmu hukum dari
Universitas Indonesia tanggal 5 Juli 1963. Dalam pidatonya beliau
memberikan rumusan dari tujuan pidana penjara sebagai berikut :
a. Tujuan dari pidana penjara disamping menimbulkan rasa derita
pada
terpidana
karena
hilangnya
kemerdekaan
bergerak,membimbing terpidana bertobat, mendidik supaya ia
menjadiseorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang
berguna.
b. Tujuan dari pidana penjara adalah pemasyarakatan.29
Gagasan pemasyarakatan pada hakekatnya bersumber pada falsafah
pembinaan
narapidana
yang
dikemukakan
oleh
Sahardjo,
bahwa
”…narapidana bukanlah orang hukuman melainkan orang tersesat yang
29
Muladi. Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni, 1992), h.73.
45
mempunyai waktu dan kesempatan untuk bertobat. Tobat tidak dapat
dicapai dengan penyiksaan melainkan melalui bimbingan.”30
Dari
gagasan
pemasyarakatan
tersebut,
sejak
tahun
1964
pembinaan terhadap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan
mengalami perubahan secara mendasar, yaitu dari sistem pemenjaraan
menjadi sistem pemasyarakatan. Pengertian Sistem Pemasyarakatan
menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 adalah
tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan
berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina,
yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan
Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak
mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan
masyarakat dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik
dan bertanggung jawab.
Selain perubahan sistem, perubahan yang terjadi juga mencakup
perubahan institusi yang digunakan dalam pembinaan Narapidana dan Anak
Didik Pemasyarakatan. Berdasarkan surat Instruksi Kepala Direktorat
Pemasyarakatan Nomor J.H.G 8/506/ tanggal 17 Juni 1964, Rumah Penjara
dan Rumah Pendidikan Negara berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan.
Dengan adanya sistem pemasyarakatan, tujuan pidana penjara tidak hanya
lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan usaha rehabilitasi dan
30
Petrus Irawan Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir. Lembaga Pemasyarakatan
dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1995), h.38.
46
resosialisasi Warga Binaan Pemasyarakatan. Warga Binaan Pemasyarakatan
diayomi melalui pembinaan, bimbingan dan diberi keterampilan sebagai
bekal hidup agar dapat menjadi warga yang berguna dalam masyarakat.
Jadi,
dapat
disimpulkan
bahwa
lembaga
pemasyarakatan
merupakan tempat bagi orang yang dihukum untuk dibina selama menjalani
masa hukumannya.
2.
Fungsi Lembaga Pemasyarakatan
Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan bahwa : Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam
rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia
seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi
tindak pidana sehingga dapat diterima oleh lingkungan masyarakat, dapat
aktif berperan dalam pembangunan, dapat hidup secara wajar sebagai warga
negara yang baik dan bertanggung jawab.
Selanjutnya
dalam
pasal
3
disebutkan
bahwa
Sistem
pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga Binaan Pemasyrakatan agar
dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan
kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.
C. Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP)
Sesuai UU No.12 Tahun 1995, pasal 1 angka ke 7 bahwa
narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di
Lembaga Pemasyarakatan. Walaupun terpidana kehilangan kemerdekaannya,
47
tapi ada hak-hak narapidana yang tetap dilindungi dalam sistem
pemasyarakatan Indonesia.
Dr.Sahardjo dalam pidato penganugerahan gelar doctor honoris
causa dalam ilmu hukum, pada tahun 1963 oleh universitas Indonesia, telah
menggunakan istilah nara-pidana bagi mereka yang telah dijatuhi pidana
”kehilangan kemerdekaan”.
Menurut Drs. Ac Sanoesi HAS istilah nara-pidana adalah sebagai
pengganti istilah orang hukuman atau orang yang terkena hukuman.31 dengan
kata lain istilah narapidana adalah untuk mereka yang telah divonis hakim
dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Warga Binaan Pemasyarakatan adalah Narapidana, Anak Didik
Pemasyarakatan, dan Klien Pemasyarakatan. (Pasal 1 ayat 5 UU No. 12
Tahun 1985 tentang pemasyarakatan). Para warga binaan harus dididik,
diasuh dibimbing dan diarahkan pada tujuan yang bermanfaat baik untuk diri
sendiri dan keluarganya maupun bagi masyarakat setelah pada waktunya
dapat kembali kemasyarakat. Adapun warga binaan pemasyarakatan yaitu
terdiri atas :
1. Narapidana
2. Orang-orang yang ditahan untuk sementara
3. Orang-orang yang disandera
31
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, 1986, hal 27.
48
4. Orang-orang lain yang dimasukkan dengan perintah
walaupun tidak menjalani pidana
Dari kriteria warga binaan pemasyarakatan tersebut maka terhadap
warga binaan khususnya dilakukan penggolongan dalam beberapa kelas
yang menurut pasal 50 Reglement penjara, bahwa orang hukuman tersebut
dapat dibagi dengan 4 kelas yaitu:
a. Kelas I ialah narapidana yang telah dijatuhi pidana penjara seumur
hidup, mereka yang telah dijatuhi pidana sementara, akan tetapi sulit
untuk dapat dikuasai atas sifat-sifatnya yang bukan hanya bagi
pegawai penjara.
b. Kelas II ialah narapidana yang dihukum penjara sementara yang
lebih dari tiga bulan penjara yakni apalagi narapidana yang
dipandang tidak perlu untuk dimasukkan ke dalam golongan kelas I
c. Kelas III ialah narapidana yang semula termasuk golongan kelas II
yang karena selama 6 (enam) bulan berturut-turut telah menunjukkan
kelakuan yang baik, hingga perlu dipidanakan kegolongan kelas III.
d.
Kelas IV ialah narapidana yang telah dijatuhi pidana penjara kurang
dari tiga bulan, mereka ini tidak boleh ditempatkan dalam satu
bangunan yang sama dimana lain-lain warga binaan telah
ditempatkan seperti tersebut diatas.
Selain itu macam-macam warga binaan pemasyarakatan menurut
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 diatur pada pasal 1 point ke 5, yaitu
:“Warga
Binaan
Pemasyarakatan
adalah
Narapidana,
Anak
Didik
49
Pemasyarakatan, dan Klien Pemasyarakatan”. Penggolongan warga binaan
yang diatur di dalam pasal 1 angka 5 tersebut dibagi lagi dalam beberpa
golongan warga binaan pemasyarakatan, yaitu :
1. Narapidana
a. Narapidana Laki-laki
b. Narapidana Wanita
2. Anak didik pemasyarakatan
a. Anak Pidana anak yang berdasarkan putusan pengadilan
menjalani pidana di Lapas Anak paling lama sampai berumur
18 (delapan belas) tahun
b. Anak negara anak yang berdasarkan putusan pengadilan
diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di
Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas)
tahun
c. Anak sipil anak yang atas permintaan orang tua atau walinya
memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di lapas
Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
3. Klien pemasyarakatan
a. Terpidana bersyarat
b. Narapidana,
Anak
Pidana,
dan
Anak
Negara
yang
mendapatkanpembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas
c. Anak Negara yang berdasarkan putusan pengadilan, pembinaannya
diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial
50
d. Anak Negara yang berdasarkan Keputusan Menteri atau pejabat di
lingkungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang ditunjuk,
bimbingannya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial
e. Anak
yang
berdasarkan
penetapan
pengadilan,
bimbingannyadikembalikan kepada orang tua atau walinya.
Narapidana berhak32 :
a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;
b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
e. menyampaikan keluhan;
f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa
lainnya yang tidak dilarang;
g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
h. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang
tertentu lainnya;
i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);
j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi
keluarga;
k. mendapatkan pembebasan bersyarat;
l. mendapatkan cuti menjelang bebas; dan
32
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 12 tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan
51
m. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Sebagaimana
yang dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan
Pembimbingan
Warga
Binaan
Pemasyarakatan,
pemasyarakatan
berhak
mendapatkan
pembinaan
warga
binaan
kepribadian
dan
kemandirian. Pembinaan dan pembimbingan kepribadian dan kemandirian
sebagaimana dimaksud diatas meliputi hal-hal yang berkaitan dengan33:
a. ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. kesadaran berbangsa dan bernegara;
c. intelektual;
d. sikap dan perilaku;
e. kesehatan jasmani dan rohani;
f. kesadaran hukum;
g. reintegrasi sehat dengan masyarakat;
h. keterampilan kerja; dan
i. latihan kerja dan produksi.
33
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan
52
Sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas34 :
a) Pengayoman;
b) persamaan perlakuan dan pelayanan;
c) pendidikan;
d) pembimbingan;
e) penghormatan harkat dan martabat manusia;
f) kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan; dan
g) terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan
orang-orang tertentu.
34
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, pasal.5
Download