8 Pemanfaatan Periode Bero Setelah Pergiliran Tanaman Kedua

advertisement
Pemanfaatan Periode Bero Setelah Pergiliran Tanaman Kedua ada Lahan Kering dengan
Pemulsaan Jerami terhadap Hasil Tanaman Kacang Hijau (Vigna radiata L.)
R. Fitriyah
Alumni Fakultas Pertanian UTM
Email : [email protected]
ABSTRACT
Madura is an island of mostly dry climates. Dry land occurs due to very low rainfall, so water
availability is very limited, high air temperature and low humidity. Crop rotation that is
commonly applied in Madura especially Sumenep in the rainy season (November-May) ie cornpeanuts, while in June to October not planted / bero. One effort that can be done in the bero
period is by planting crops that may be resistant to remaining moisture or tolerant dry soil
conditions such as green bean plants by manipulating the environment through the use of hay
mulch. The objective of the study was to study the effect of the utilization of the bero period after
the second crop rotation on dry land with the straw mulching on green bean crops. The design
used a non factorial randomized block design with 4 treatments of straw mulch which was
poured 6 times: T1: dosage 5 ton / ha, T2: dosage 7 ton / ha, T3: dose 10 ton / ha, and T4: 12,5
ton /Ha. The results showed that: (1) The treatment of straw mulch has significant effect on time
variable of flower formation. The best treatment was obtained from the use of 10 tons / ha of
straw mulch. (2) The treatment of mulch mulch has no significant effect on the number of pod /
plant varieties, the number of pods cipo / plant and seed / plant weight, but the tendency of
treatment with the highest value on the variables of pod / plant and seed / plant weight Giving of
straw mush with a dose of 10 ton / ha.
Key words: bero period, dry land, straw mulch, green beans.
PENDAHULUAN
Sumber daya lahan merupakan salah
satu faktor yang sangat menentukan
keberhasilan suatu sistem usaha pertanian.
Lahan dibedakan menjadi dua macam, yaitu
lahan basah dan lahan kering. Lahan kering
di Indonesia yang potensial untuk
pengembangan pertanian mencapai sekitar
76,20 juta ha di antaranya 70,7 juta ha
terletak di dataran rendah dan 5,50 juta ha
terletak di dataran tinggi. Sebagian besar
dari lahan tersebut telah dimanfaatkan untuk
pertanian, dan yang berpotensi untuk
perluasan adalah 35,50 juta ha di dataran
rendah dan 0,70 juta ha di dataran tinggi
(Kurnia dan Hidayat, 2001).
Lahan kering terjadi akibat dari
curah hujan yang sangat rendah, sehingga
ketersediaan air sangat terbatas, suhu udara
tinggi dan kelembabannya rendah. Kondisi
lahan kering tersebut mengakibatkan
sulitnya membudidayakan berbagai produk
pertanian. Faktor primer yang diperlukan
tanaman untuk tumbuh adalah media tanam,
air, cahaya, angin, dan nutrisi tanaman.
Semua faktor yang diperlukan tanaman
untuk dapat tumbuh dengan baik tersebut
terhambat oleh kondisi daerah lahan kering
yang memiliki iklim dan cuaca ekstrim
(Bamualim, 2004).
Madura merupakan sebuah pulau
yang sebagian besar luasnya beriklim kering
dengan hamparan lahan yang luas dan tidak
semua
tanaman
pertanian
dapat
dibudidayakan akibat waktu hujan yang
tidak menentu dan ketersediaan air tidak
terpenuhi dimana diketahui curah hujan
dominan berkisar antara 1200 -1400
mm/tahun yaitu 31,15% dari luas wilayah
Madura (Zaed et al., 2010). Air merupakan
komponen utama tubuh tanaman, bahkan
hampir 90% sel sel tanaman dan mikrobia
terdiri dari air. Air yang diserap tanaman di
samping berfungsi sebagai komponen selselnya, juga berfungsi sebagai media reaksi
pada hampir seluruh proses metabolismenya
yang apabila telah terpakai diuapkan melalui
8
mekanisme transpirasi, yang bersama-sama
dengan penguapan dari tanah sekitarnya
(evaporasi)
disebut
evapotranspirasi
(Hanafiah, 2012).
Pergiliran tanaman yang lazim di
terapkan di Madura khususnya Sumenep
pada musim penghujan (Nopember-Mei)
yaitu jagung-kacang tanah, sedangkan pada
bulan
Juni
hingga
Oktober
tidak
ditanami/bero. Periode bero terjadi akibat
curah hujan rata-rata selama 5 (lima) tahun
pada bulan Juni sebesar 87,86 mm, Juli
sebesar 36,8 mm, Agustus sebesar 1,02 mm,
September sebesar 5 mm dan Oktober
sebesar 46,82 mm sehingga petani tidak
berani menanam. Salah satu upaya yang
dapat dilakukan adalah dengan menanam
tanaman yang dimungkinkan tahan terhadap
kelembaban sisa atau toleran kondisi tanah
yang kering seperti tanaman kacang hijau.
Kacang hijau adalah tanaman kacang
Budidaya tanaman secara berkelanjutan
perlu adanya sedikit manipulasi. Salah satu
cara untuk mewujudkan hal tersebut yaitu
dengan penggunaan mulsa. Hal ini berguna
untuk memperbaiki tata udara tanah dan
juga ketersediaan air bagi tanaman (Karyati,
2004). Mulsa adalah material penutup
tanaman budidaya yang dimaksudkan untuk
menjaga kelembaban tanah serta menekan
pertumbuhan gulma dan penyakit, sehingga
membuat tanaman tersebut tumbuh dengan
baik. Tujuan penelitian untuk mempelajari
pengaruh pemanfaatan periode bero setelah
pergiliran tanaman kedua pada lahan kering
dengan pemulsaan jerami terhadap hasil
tanaman kacang hijau.
METODE
Penelitian dilakukan di desa Lenteng
Timur Kabupaten Sumenep yang berada
pada ketinggian ± 500 m dpl dengan jenis
tanah Litosol, suhu udara rata-rata 26-29°C.
Pergiliran tanaman yang lazim diterapkan di
tempat percobaan adalah jagung – kacangkacangan – bero. Penelitian ini dilakukan
setelah tanaman kacang tanah dipanen pada
pergiliran tanaman kedua. Alat yang
digunakan meliputi: Alat yang digunakan
dalam penelitian ini meliputi cangkul, tugal,
timbangan, penggaris, kertas, alat tulis,
plastik dan label, kalkulator, bambu, jaring
dan ember. Bahan yang digunakan dalam
penelitian meliputi benih kacang hijau
varietas lokal dari Sumenep, mulsa jerami,
pupuk kotoran sapi dan air.
Tahapan
penelitian
meliputi:
persiapan
benih,
persiapan
lahan,
penanaman, pemberian mulsa, penyiangan,
pemeliharaan
tanaman,
penyulaman,
pembumbunan dan pemanenan. Rancangan
menggunakan rancangan Acak Kelompok
non faktorial dengan 4 perlakuan yang
diuang 6 kali yaitu: T1: takaran 5 ton/ha, T2:
takaran 7 ton/ha, T3: takaran 10 ton/ha, dan
T4: 12,5 ton/ha. Variabel yang diamati
meliputi waktu terbentuknya bunga, jumlah
polong/tanaman,
jumlah
polong
cipo/tanaman dan bobot biji pertanaman.
Data yang diperoleh diolah menggunakan
Analisis of Varians (ANOVA), apabila
terdapat pengaruh perlakuan yang nyata
dilanjutkan dengan uji BJND 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
Waktu Terbentuknya Bunga
Hasil ANOVA menunjukkan bahwa
perlakuan
pemberian
mulsa
jerami
berpengaruh
nyata
terhadap
waktu
terbentuknya bunga pertama sehingga
dilakukan uji lanjut BJND 5%. Rerata waktu
terbentuknya
bunga
pertama
setiap
perlakuan pemberian mulsa jerami disajikan
dalam Tabel 1.
Tabel 1. Rerata Waktu Terbentuk Bunga
Kacang
Hijau
dengan
Konsentrasi Pemulsaan Jerami
(HST)
Perlakuan Waktu Terbentuknya Bunga
T1
35,50 bc
T2
34,78 b
T3
33,50 a
T4
36.00 c
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang
sama
menunjukkan
tidak
berbeda nyata pada BJND 5%.
HST : hari setelah tanam
Tabel 1 menunjukkan bahwa waktu
terbentuknya bunga tercepat tanaman
kacang hijau akibat pemberian mulsa jerami
9
terjadi pada perlakuan T3 yaitu takaran 10
ton/ha selama 33,50 hst, sedangkan waktu
terbentuknya bunga paling lama terjadi pada
perlakuan T4 yaaitu selama 36.00 hst.
Jumlah Polong/Tanaman
Hasil ANOVA menunjukkan bahwa
perlakuan pemberian mulsa jerami padi
tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah
polong/tanaman.
Rerata
jumlah
polong/tanaman akibat pemberian mulsa
jerami padi disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Rerata Jumlah Polong/Tanaman
Kacang
Hijau
Akibat
Konsentrasi Pemulsaan Jerami.
Perlakuan
Jumlah Polong/tanaman
T1
65,67
T2
61,00
T3
70,00
T4
59,72
Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah
polong/tanaman akibat pemberian mulsa
jerami tidak memberikan pengaruh nyata.
Kecenderungan jumlah polong terbanyak
terjadi pada perlakuan T3 yaitu 70.00
polong, sedangkan kecenderungan jumlah
polong paling sedikit yaitu pada perlakuan
T4 yaitu 59,72 polong.
Jumlah Polong Cipo/Tanaman
Hasil ANOVA menunjukkan bahwa
perlakuan pemberian mulsa jerami tidak
berpengaruh nyata terhadap jumlah polong
cipo/tanaman. Rerata jumlah polong
cipo/tanaman akibat pemberian mulsa jerami
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Rerata Jumlah Polong
Cipo/Tanaman Kacang Hijau
dengan Konsentrasi Pemulsaan
Jerami.
Perlakuan Jumlah Polong Cipo/Tanaman
T1
9,61
T2
10,95
T3
10,55
T4
8,50
Tabel 3 menunjukkan bahwa perlakuan
pemberian mulsa jerami tidak memberikan
pengaruh nyata terhadap nilai rata-rata
jumlah polong cipo/tanaman. perlakuan T2
(perlakuan pemberian mulsa jerami dengan
dosis 7,5 ton/ha) memiliki kecenderungan
rerata tertinggi yaitu 10,95 sedangkan pada
perlakuan T4 (perlakuan pemberian mulsa
jerami dengan dosis 12,5 ton/ha) memiliki
kecenderungan rerata terendah yaitu 8,50.
Bobot Biji/Tanaman
Hasil ANOVA menunjukkan bahwa
perlakuan
pemberian
mulsa
jerami
berpengaruh tidak nyata terhadap bobot
biji/tanaman. Rerata bobot biji/tanaman
akibat pemberian mulsa jerami disajikan
pada Tabel 4.
Tabel 4. Rerata Bobot Biji/Tanaman Kacang
Hijau
Akibat
Konsentrasi
Pemulsaan Jerami.
Perlakuan
Bobot Biji/tanaman
T1
4,35
T2
4,23
T3
4,95
T4
4,11
Tabel 4 menunjukkan bahwa bobot
biji/tanaman akibat pemberian musa jerami
kecenderungan bobot biji/tanaman terberat
terjadi pada perlakuan T3 yaitu 4,95 g,
sedangkan
kecenderungan
bobot
biji/tanaman teringan terjadi pada perlakuan
T2 yaitu 4,23 g.
PEMBAHASAN
Pemberian mulsa jerami padi
sebanyak 5 ton/ha sampai 12,5 ton/ha
memberikan pengaruh nyata pada waktu
terbentuknya bunga. Hal ini disebabkan
karena
waktu
terbentuknya
bunga
dipengaruhi oleh penyinaran, keadaan
lingkungan meliputi kelembaban tanah dan
faktor genetik. Selain itu tanaman kacang
hijau mempunyai sifat pertumbuhan bunga
yang tidak terbatas. Bunga pertama muncul
pada hari ke 33 sampai 38 setelah tanam
(Trustinah, 1993). Fase pembungaan
tanaman merupakan bagian dari proses
pertumbuhan tanaman untuk memperbanyak
diri atau berkembang biak. Pembungaan
dapat digunakan untuk menaksirkan masa
generatif sehingga polong pada tanaman
dapat dipanen sesuai waktu yang diharapkan
(Sitompul dan Guritno, 1995). Menurut
Fahrudin (2000), umur berbunga kacang
hijau dipengaruhi oleh beberapa faktor lain
seperti suhu, nutrisi, intensitas cahaya dan
kelembaban yang mempengaruhi respon
kacang hijau yang sesuai untuk pembungaan
namun dapangan lama penyinaran biasanya
10
merupakan pengaruh utama dalam induksi
pembungaan.
Pada
variabel
jumlah
polong/tanaman, pemberian dosis mulsa
jerami padi 5 sampai 12,5 ton/ha
berpengaruh tidak nyata pada jumlah
polong/tanaman kacang hijau. Hal ini diduga
karena dalam kondisi normal tanaman
belum mampu memanfaatkan input energi
secara maksimal dan tanggapan tanaman
terhadap pengaruh linkungan. Pengaruh
perlakuan mulsa pada penelitian ini lebih
tertuju pada menghambat proses evaporasi
dari permukaan tanah sekitar perakaran.
Fauzan (2002) menyatakan bahwa fungsi
mulsa sebagai bahan organik untuk
meningkatkan unsur hara tanaman dapat
dilihat pada musim berikutnya.
Penggunaan mulsa jerami padi
mampu memodifikasi faktor lingkungan,
kelembaban, dan kadar air menjadi lebih
tinggi sehingga mendorong penyerapan
unsur hara oleh tanaman. Sejalan dengan
yang dilaporkan Umboh (2002) bahwa
penggunaan
mulsa
jerami
padi
mengakibatkan penurunan suhu tanah pada
siang hari yang mampu menekan
evapotranspirasi, menurunkan suhu udara
dan tanah sehingga menekan kehilangan air
dari permukaan tanah. Selain itu, tanah yang
tidak diberi mulsa cenderung menurunkan
kadar bahan organik tanah, sebaliknya pada
tanah yang diberi mulsa kandungan bahan
organiknya cenderung meningkat.
Macam perlakuan pemberian mulsa
jerami padi dari dosis 5 ton/ha (T1), 7,5
ton/ha (T2), 10 ton/ha (T3), dan 12,5 ton/ha
(T4) memberikan pengaruh tidak nyata
terhadap
parameter
jumlah
polong
cipo/tanaman kacang hijau. Hal ini diduga
karena tanaman kacang hijau gagal saat
membentuk biji akibat terserang oleh hama
penggerek polong yang tidak bisa
dikendalikan dengan pemberian mulsa
jerami padi.
Tabel 4 menunjukkan bahwa hasil
bobot biji per tanaman akibat pemberian
mulsa jerami padi 5 ton/ha berbeda tidak
nyata dengan 7,5 ton/ha, 10 ton/ha dan 12,5
ton/ha, meskipun demikian perlakuan mulsa
jerami dengan dosis 10 ton/ha (T3)
kecenderungan bobot biji tertinggi yaitu
4,95 gram. Hal ini diduga karena mulsa
jerami padi belum mampu memperbaiki
sifat fisik, kimia dan biologi tanah yang
akan mempermudah penyediaan unsur-unsur
hara tanaman untuk pembentukan dan
perkembangan biji. Bobot kering biji
merupakan menifestasi hasil fotosintesis
tanaman yang diakumulasikan dalam bentuk
bahan kering, sehingga bobot biji kering
tanaman dijadikan landasan seberapa besar
tanaman melakukan fotosintesis dalam
menyerap unsur hara dan mineral-mineral
yang dibutuhkan tanaman.
Menurut
Kumalasari et al, (2005), terjadinya
dekomposisi dari bahan mulsa organik
sehingga mensuplai unsur hara bagi tanaman
dan kondisi lingkungan serta mempermudah
mineral dari bahan organik untuk digunakan
tanaman. Agung dan Rahayu (2004)
menambahkan bahwa ketersediaan air yang
cukup pada saat pertumbuhan generatif
dapat meningkatkan bobot biji, sebab bobot
biji sangat dipengaruhi oleh jumlah air yang
diberikan dalam musim tanam. Pemberian
mulsa jerami padi secara signifikan
meningkatkan tersedianya fosfor dan kalium
dalam tanah (Sosteby et al, 2004). Hasil
dekomposisi
bahan
organik
dapat
meningkatkan unsur N, P, dan K dimana
unsur hara tersebut dapat meningkatkan
karbohidrat pada proses fotosintesis, karena
unsur N berfungsi untuk membentuk klorofil
dan untuk menyerap cahaya matahari
sebagai tempat berlangsungnya proses
fotosintesis, sedangkan unsur K mampu
meningkatkan absorbsi CO2 kaitannya
dengan membuka dan menutupnya stomata
daun yang selanjutnya karbohidrat tersebut
ditranslokasi tanaman saat memasuki fase
reproduktif dan disimpan dalam biji (Harjadi
dan Setyati, 2002). Sehingga meningkatnya
serapan hara dapat meningkatkan jumlah
bobot biji. Namun pada penelitian ini
pemberian mulsa jerami padi belum mampu
meningkatkan serapan unsur hara, sehingga
jumlah polong juga tidak meningkat yang
akibatnya bobot biji betambah.
SIMPULAN DAN SARAN
SIMPULAN
11
1. Perlakuan pemberian mulsa jerami
berpengaruh nyata terhadap variabel
waktu terbentuknya bunga. Perlakuan
terbaik diperoleh dari penggunaan mulsa
jerami sebanyak 10 ton/ha.
2. Perlakuan pemberian mulsa jermai tidak
berpengaruh nyata pada variabel jumlah
polong/tanaman,
jumlah
polong
cipo/tanaman dan bobot biji/tanaman,
namun kecenderungan perlakuan dengan
nilai tertinggi pada variabel jumlah
polong/tanaman dan bobot biji/tanaman
terdapat pada perlakuan T3 yaitu
pemberian musa jerami dengan takaran
10 ton/ha.
Jurnal Penelitian Bidang Ilmu
Pertanian Vol.2 (1): 13-16.
Trustinah, A. Kasno, N. Nugrahaeni. 2007.
Peningkatan
Produksi
Kacangkacangan
sdan
Umbi-umbian
Mendukung Kemandirian Pangan.
Balai Penelitian Kacang-kacangan
dan Umbi umbian. Malang.
SARAN
Untuk meningkatkan hasil tanaman kacang
hijau disarankan menggunakan mulsa jerami
padi yang dikombinasikan dengan perlakuan
penyiraman, sehingga pertumbuhan dan
hasil tanaman yang dihasilkan lebih optimal.
Sitompul, SN dan Guritno, B. 1995. Analisis
Pertumbuhan Tanaman. Gadjah
Mada Universty Press. Yogyakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Agung, T dan A.Y. Rahayu. 2004. Analisis
Efisiensi Serapan N, Pertumbuhan
dan Hasil Beberapa Kultivar Kedelai
Unggul Baru dengan Cekaman
Kekeringan dan Pemberian Pupuk
Hayati. Agrosains. Semarang. Hal
70-74.
Hanafiah, K.A. 2012. Dasar-dasar Ilmu
Tanah. Grafindo Prasada. Jakarta.
Karyati, T. 2004. Pengaruh Penggunaan
Mulsa dan Pemupukan Urea
Terhadap Pertumbuhan dan Produksi
Cabai Merah (Capsicum annum L.)
Fachrudin, L. 2000. Budidaya Kacangkacangan. Kanisius.Yogyakarta.
Fauzan, A. 2002. Pemanfaatan Mulsa dalam
Pertanian Berkelanjutan. Pertanian
Organik. Malang. H. 182-187.
Sonsteby, A., A. Nes and F. Mage. 2004.
Effect of bark mulch and NPK
fertilizer on yield, leaf nutrien status
and soil mineral nitrogen during
three years of strawberry production.
Acta. Agric. Scand. Sect. B, Soil and
Plant 54:128 - 134.
Umboh, A.H. 2002. Petunjuk Penggunaan
Mulsa. Penebar Swadaya. Jakarta.
Zaed, Sidqi., Suhartono, dan Khoiruddin.
2010. Pengaruh Interval Pemberian
Air terhadap Pertumbuhan dan Hasil
Tanaman Kedelai (Glicine Max (L)
Merill) pada Berbagai Jenis Tanah.
Jurnal Penelitian Kedelai. Program
Studi Agroekoteknologi. Fakultas
Pertanian. Universitas Trunojoyo
Madura. Bangkalan. Embriyo Vol.5
(1).
12
Download