perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user BAB II

advertisement
5
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
PENYAKIT CAMPAK
1. Definisi.
Campak adalah suatu penyakit akut disebabkan oleh virus morbilli yang
ditularkan melalui sekret pernafasan atau melalui udara dengan kontak langsung
melalui droplet infeksi dengan daya penularan tinggi dan sangat infeksius selama
masa prodromal, ditandai
dengan demam, malaise, konjungtivitis, pilek, dan
trakeobronkitis dengan manifestasi batuk (Field, Knipe, 1990) disertai enanthem
spesifik (Koplik’s spot) 1-2
hari kemudian diikuti ruam makulopapular
menyeluruh (Maldonado, 2011; Yokota, 2007).
Virus dalam jumlah sedikit saja dapat menyebabkan infeksi pada individu
yang rentan. Penyakit ini menular pada saat 3-5 hari sebelum ruam timbul sampai
4 hari sesudah ruam timbul (WHO, 2008).
2.
Gejala klinis.
Campak atau morbili adalah suatu infeksi virus akut yang memiliki 4 stadium
yaitu :
(1) Stadium inkubasi
Pada stadium ini masa inkubasi campak berkisar 10 sampai 12 hari setelah
pajanan pertama terhadap virus dan dapat disertai gejala minimal maupun tanpa
gejala. Walaupun pada masa ini sudah terjadi viremia dan reaksi imunologis yang
ekstensif, penderita belum menampakan gejala sakit (Maldonado,2011).
commit to user
6
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(2) Stadium prodromal
Manifestasi klinis campak biasanya baru mulai tampak pada stadium prodromal
yang berlangsung selama 2 sampai 4 hari. Biasanya terdiri dari gejala klinis khas
berupa batuk, pilek dan konjungtivitis disertai dengan
2002). Inflamasi
konjungtiva berupa fotofobia
demam (Tumbelaka,
menjadi petunjuk sebelum
munculnya enantem berupa lesi putih kecil pada mukosa buccal dalam rongga
mulut (Koplik’s spot). Garis melintang kemerahan yang terdapat pada konjungtiva
dapat menjadi penunjang diagnosis pada stadium prodromal. Garis tersebut akan
menghilang bila seluruh bagian konjungtiva telah terkena radang (Maldonado,
2011) Koplik’s spot merupakan tanda patognomonis campak yang timbul pada
hari ke 10 infeksi.
Koplik’s spot adalah suatu bintik putih keabuan sebesar
butiran pasir, berdiameter 1-3 mm, dengan area tipis berwarna kemerahan dan
biasanya bersifat hemoragis (Maldonado, 2011). Gejala prodromal berlangsung
beberapa hari sebelum onset timbulnya ruam. Pada akhir masa prodromal, dinding
posterior faring biasanya menjadi hiperemis dan penderita akan mengeluh nyeri
tenggorokan (Maldonado, 2011).
(3) Stadium erupsi
Pada campak tipikal, stadium erupsi
ditandai dengan keluarnya ruam
makulopapular sekitar hari ke 14 infeksi. Ruam muncul pada saat puncak gejala
gangguan pernapasan yang didahului dengan meningkatnya suhu badan berkisar
39,5oC (Maldonado, 2011) .
Karakteristik ruam eritematus muncul pertama kali sebagai makula yang
tidak terlalu tampak jelas di lateral atas leher, belakang telinga dan garis batas
commit to user
7
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
rambut (Maldonado, 2011).
Kemudian ruam menjadi makulopapular dan
menyebar ke seluruh wajah, leher, lengan atas dan dada bagian atas pada 24 jam
pertama. Menyebar ke punggung, abdomen, seluruh tangan, paha dan terakhir
kaki, yang terjadi pada hari ke 2 atau ke 3 setelah munculnya ruam pertama kali.
Ruam bertahan selama 3-4 hari dan menghilang dimulai dari saat munculnya
ruam di kaki dilanjutkan hilangnya ruam pada wajah dan diikuti oleh bagian tubuh
lainnya (Tumbelaka, 2002; Maldonado, 2011). Ruam merupakan manifestasi
reaksi hipersensitivitas yang tidak akan terlihat pada orang yang mengalami
penekanan sistem imunitas seluler (Yokota, 2007).
(4) Stadium Konvalesen
Stadium penyembuhan yang ditandai dengan menurunnya suhu tubuh dan ruam
menjadi hiperpigmentasi
kemudian akan mengalami deskuamasi yang akan
menghilang dalam waktu 7-10 hari (Maldonado, 2011).
Manifestasi klinis campak yang lain adalah campak atipikal dan campak
modifikasi. Campak atipikal adalah campak yang
terjadi
pada seseorang
yang mendapat vaksinasi virus campak mati. Sesudah masa prodromal, muncul
ruam
dari ekstremitas berupa urtikaria, makulopapular, hemoragis, vesikular
ataupun kombinasi dari beberapa bentuk (Tumbelaka, 2002). Hasil serologi
campak didapat titer antibodi HI yang tinggi. Penyakit ini cenderung lebih berat
dari campak biasa (Maldonado, 2011). Patogenesis campak atipikal ini berawal
dari penggunaan vaksin virus campak mati yang tidak
antibodi terhadap protein F yang
dapat
menginduksi
berperan dalam proses menyebarnya virus
dari sel satu ke sel yang lain. Vaksin virus campak mati ini digunakan pada tahun
commit to user
8
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1963 sampai 1967, maka penyakit ini kini hanya dapat dijumpai pada orang
dewasa (Maldonado, 2011).
Campak modifikasi adalah campak ringan karena penderita masih
memiliki kekebalan terhadap virus, dapat terjadi pada bayi yang masih
mempunyai antibodi campak dari ibunya atau seseorang yang mendapatkan
gamma globulin setelah kontak dengan penderita campak. Gejala klinis bervariasi
dan beberapa gejala klinis tertentu seperti periode prodromal, konjungtivitis,
bercak Koplik dan ruam mungkin tidak didapatkan (Gershoon, 2000;Tumbelaka,
2002). Komplikasi campak cukup serius seperti diare, pneumonia, otitis media,
ensefalitis yang dapat sebabkan kematian (Salimo, 2006; Sugerman, 2010).
Kematian akibat campak sering terjadi pada anak dengan malnutrisi terutama di
negara berkembang (Redd, Markowitz, Katz, 1999).
3. Patogenesis campak
Perjalanan infeksi campak dalam tubuh secara alamiah mengikuti reseptor binding
virus sebagai berikut :
(A) Virus campak masuk
dalam tubuh manusia melalui jalur respirasi dan
mengawali siklus infeksinya di dalam organ limfoid
traktus respiratori
bagian atas melalui reseptor SLAM (Takeda, 2008). Viremia primer terjadi
2-3 hari setelah individu terpapar virus campak, diikuti dengan viremia
sekunder 3-4 hari (Maldonado, 2011).
(B) Limfosit terinfeksi virus campak memasuki aliran darah dan virus
berkembang biak dalam organ limfoid dan menyebar ke seluruh tubuh
commit to user
9
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(Takeda, 2008). Viremia sekunder menyebabkan infeksi dan replikasi virus di
kulit, konjungtiva, saluran pernafasan
dan organ lainnya. Replikasi virus
memerlukan waktu 24 jam. Jumlah virus mencapai puncaknya pada hari ke
11-14 setelah terpapar dan menurun cepat 2-3 hari kemudian (Maldonado,
2011).
(C) Sel imun terinfeksi virus campak merupakan jembatan transmisi virus ke
dalam sel epitel di berbagai organ (seperti jalan napas, usus, kandung kencing)
melalui reseptor nectin-4 sebagai reseptor sel epitel yang berperan penting
dalam proses infeksi virus campak pada sel epitel dan penyebarannya ke
berbagai organ (Takeda, 2008).
(D) virus campak bereplikasi dalam sel epitel dan secara aktif melepaskan virusvirus baru ke dalam jalan napas. Sehingga udara pernapasan penderita berisi
banyak partikel virus campak (Takeda, 2008).
Gambar 2.1. Perjalanan infeksi campak mengikuti reseptor binding virus.
Takeda, 2008
commit to user
10
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Infeksi campak pertama kali mengenai epitelium saluran pernafasan
nasofaring, konjungtiva, dengan penyebaran ke daerah limfa. (Field, Knipe; 1990,
Cutts, 1993). Ruam pada campak muncul bersamaan dengan timbulnya antibodi
serum dan kemudian penyakit menjadi tidak infeksius. Oleh sebab itu dikatakan
bahwa timbulnya ruam akibat reaksi hipersensitivitas tubuh terhadap virus
campak, artinya ruam ini merupakan proses imunitas seluler (Maldonado, 2011;
Moss, Griffin, 2006).
Gambar 2.2 Patogenesis infeksi campak, Moss, Griffin, 2006
commit to user
11
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Antibodi Ig-M akan terbentuk dan mencapai puncaknya 7-10 hari setelah
muncul ruam, kemudian akan menurun dengan cepat, dan menghilang 4 minggu
kemudian. Imunoglobulin G anti campak terdeteksi dalam serum segera setelah
muncul ruam, mencapai puncak dalam waktu sekitar 4 minggu dan kemudian
menurun, tetapi tetap ada selamanya (Moss, Griffin,
terhadap protein H
2006). Antibodi Ig-G
paling penting dalam menentukan kekebalan. Kekebalan
setelah infeksi alamiah biasanya akan bertahan seumur hidup. Pada saat terjadi
viremia, virus campak dapat menginfeksi limfosit T dan B, makrofag dan lekosit
polimorfonuklear.
Hal
ini
menyebabkan
terjadinya
gangguan
sintesis
imunoglobulin (Griffin, 1994).
Pada fase awal infeksi, natural killer cells
dan sel T sitotoksik
mempunyai peran penting dalam menghambat replikasi virus. Setelah timbul
ruam, antibodi spesifik dapat dideteksi dan limfosit efektor dapat ditemukan
dimana virus bereplikasi pada lesi kulit dan mukosa. Terjadilah pembersihan virus
dan perbaikan klinis (Stites, 1997; Osterhaus, 1994).
Imunoglobulin G akan terbentuk segera setelah timbulnya ruam, dan
mencapai puncaknya setelah 4 minggu. Selanjutnya Ig-G menurun, tetapi akan
tetap ada seumur hidup. Imunoglobulin G terhadap protein H sangat penting,
karena menunjukkan adanya imunitas (Griffin, 1994). Adanya Ig-G terhadap
protein F dan H akan memberikan perlindungan terhadap infeksi secara in
vivo, meskipun Ig-G terhadap protein H saja dapat menetralkan invasi virus.
Imunoglobulin A juga terbentuk tetapi biasanya hanya sebentar. Imunitas yang
commit to user
12
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
timbul setelah terpapar virus campak secara alami biasanya dapat bertahan
seumur hidup (Griffin, 1994; Osterhaus, 1994; Stites, 1997).
Hasil pemeriksaan sitokin yang terdapat dalam plasma selama infeksi
campak sebelum timbulnya ruam pada kulit, menunjukan peningkatan kadar IFNg (Van Binnedijk, 1989). Ketika ruam muncul terjadi peningkatan IL-2 yang
diproduksi oleh sel T CD 4+ dan sel T CD 4 tipe 1. Dan ketika ruam kulit mulai
menghilang terjadi peningkatan kadar IL-4 yang diproduksi oleh sel T CD 4+ tipe
2 dan akan masih tetap tinggi selama berminggu-minggu. Gambaran produksi
sitokin ini memberi kesan terjadi aktivasi sel TCD 8+ dan sel T CD 4+ selama dan
sesudah terjadinya ruam pada kulit yang diikuti dengan aktivasi sel T CD 4 tipe 2
yang lebih panjang sampai menghilangnya ruam pada kulit (Griffin, Bellini,
1996).
Berdasarkan hal tersebut maka infeksi virus campak alami dapat
menimbulkan aktivasi sel TCD 8+ yang sangat berguna untuk eliminasi virus dan
mengaktivasi sel T CD4+ yang bermanfaat untuk merangsang pembentukaan anti
bodi secara optimal (Griffin, Bellini, 1996). Imunitas seluler dikatakan
mempunyai peran yang penting dalam fase penyembuhan, dalam pencegahan
campak dan apabila terdapat stimulasi yang cukup pada imunitas seluler inilah
yang menyebabkan timbulnya proteksi seumur hidup setelah infeksi campak
(Cutts, 1993; Gershon 2000).
Beberapa pengamatan menunjukkan bahwa sel limfosit T berperan besar
dalam melawan infeksi virus campak.
Sel limfosit T membantu sel limfosit B
commit to user
13
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menghasilkan respons antibodi (Ig-M, Ig-G dan Ig-A) dan dapat bertindak secara
bebas melawan virus (Griffin, 1994; Osterhaus, 1994).
4. Virus campak
Infeksi campak disebabkan oleh virus campak atau morbilli yang merupakan
turunan dari genus Morbilivirus dari famili Paramyxoviridae (Kingsbury, Bratt ,
Coppin, 1988). Virion campak berbentuk speris, pleomorfik, virion RNA untai
tunggal tidak bersegmen, mempunyai selubung dua lapis, berukuran diameter
100-200 nm (Moss, Griffin, 2006). Virion campak terdiri atas nukleokapsid
berbentuk heliks dari protein RNA dikelilingi oleh selubung virus yang
mempunyai tonjolan pendek pada permukaannya. Terdapat enam struktur protein
yang sudah dikenali, yaitu tiga protein komplek pada RNA virus dan tiga protein
dalam selubung virus (Stites, Terr, Parslow, 1997). Secara morfologi tidak dapat
dibedakan dengan virus lain dari anggota famili
paramyxoviridae seperti
rinderpest virus dan canine distemper virus yang tidak bersifat patogen bagi
manusia. Virus campak dapat dimatikan dengan sinar ultra violet dan pemanasan
(Stites, Terr, Parslow, 1997; Redd, Markowitz, Katz, 1999).
Genom virus campak RNA berisi kurang lebih 16.000 nukleotida dan
tertutup dalam selubung berisi lipid bilayer dengan dua tonjolan pendek yang
disebut pepfomer. Pepfomer Hemaaglutinin (H) berbentuk bulat dan pepfomer
Fusion (F)
berbentuk seperti bel. Genom mengkode delapan protein, dua
merupakan protein non struktural (protein V dan C), ditranslasi dari RNA atau
diedit dari RNA untuk mengkoding pospoprotein (P). Dan enam struktural
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
14
digilib.uns.ac.id
protein , yaitu protein polymerase besar (L) dan fosfoprotein (P) dihubungkan
dengan ribonukleukapsid berguna untuk sintesis RNA setelah mengawali infeksi
(Griffin, 2007).
Protein nukleokapsid (N) berbentuk heliks nukleokapsid berada disekitar
genom virus RNA untuk membentuk ribonukleukapsid dan dua buah glikoprotein
transmembran yaitu protein fusion (F) dan hemaglutinin(H) bersama dengan lipid
membran membentuk selubung sel, satu buah protein bagian dalam membran,
protein berbasis membran atau matriks protein (M) dihubungkan dengan
pembentuk interior permukaan selubung lipid virus dan menghubungkan
kompleks protein ribonukleukapsid dengan selubung glikoprotein selama
pembentukan virion (Griffin, 2007).
Protein F dan H mengalami glikosilasi sedangkan protein M tidak.
Protein F bertanggung jawab terhadap fusi virus dengan membran sel hospes,
yang kemudian diikuti dengan penetrasi dan hemolsis (Redd, Markowitz, 1999).
Fungsi utama protein H adalah berikatan dengan sel reseptor virus campak, selain
itu juga berfungsi pada hemaglutinasi, perlekatan virus, adsorpsi dan interaksi
dengan reseptor di permukaan sel hospes (Redd, Markowitz, 1999; WHO, 2009).
Protein F dan protein H bersama-sama bertanggungjawab pada fusi virus dengan
membran sel dan membantu masuknya virus (Moss, Griffin, 2006).
Protein virus P berfungsi dalam regulasi transkripsi, replikasi dan
pembentukan nukleokapsid. Protein P banyak ditemukan pada sel yang terinfeksi,
tetapi dalam virus, protein ini merupakan komponen yang sangat kecil, dan sangat
sensitif terhadap enzim proteolitik. Replikasi virus campak terjadi dalam
commit to user
15
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sitoplasma sel yang diinfeksi dan tidak tergantung pada fase nukleus (Redd,
Markowitz, Katz, 1999; Moss, Griffin, 2006)
Gambar 2.3 Virus campak. Moss, Griffin, 2006
Terdapat dua reseptor virus campak pada hospes yaitu reseptor CD 46 dan
CD 150 yang disebut SLAM. CD 46 yaitu molekul komplemen yang secara
teratur diekspresikan pada semua sel nukleotid manusia. SLAM adalah ekspresi
dari limfosit T dan B teraktivasi kemudian diekspresikan pada APC (Yanagi,
Takeda, Ohno, 2007). Tempat ikatan pada protein H untuk reseptor ini tumpang
tindih dan setiap strain virus campak berbeda dalam menggunakan tempat ikatan
reseptornya. Virus campak liar berikatan dengan sel terutama melalui reseptor sel
SLAM, sementara hampir semua strain vaksin berikatan pada CD 46. Dan
reseptor lain yang belum dikenal mungkin berada pada sel endotelial dan epitel
manusia (Griffin, 2007).
commit to user
16
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Respons imun terhadap virus campak
Respons imun tubuh terhadap virus campak sangat diperlukan untuk netralisasi
virus, perbaikan klinis dan berkembangnya imunitas jangka panjang (Cutts,
1993). Respons imun innate terjadi pada fase prodromal termasuk aktivasi sel NK
dan peningkatan produksi interferon α dan β. Dan respons imun adaptif termasuk
respons humoral dan respons seluler spesifik untuk virus campak. Antibodi yang
diproduksi secara berlebihan dan dengan cepat adalah antibodi terhadap
nukleoprotein (N). Antibodi untuk protein hemaglutinin (H) dan protein fusi (F)
berperan dalam netralisasi virus dan cukup untuk memberikan proteksi (Moss,
Griffin, 2006)
Antibodi terhadap protein H dikatakan paling penting untuk menentukan
imunitas. Masih tetap tidak diketahui mengapa antibodi terhadap campak setelah
infeksi alamiah bertahan seumur hidup. Diperkirakan adanya paparan ulang virus
campak
menyebabkan terjadinya booster dan terjadi pembentukan kembali
antibodi secara terus menerus (Cutts, 1993).
Peran antibodi dalam menetralisasi virus akan efektif, terutama untuk
virus bebas atau virus dalam sirkulasi. Proses netralisasi virus dilakukan dengan
beberapa cara, di antaranya
menghambat perlekatan virus
pada reseptor
permukaan sel, sehingga virus tidak dapat menembus membran sel dan replikasi
virus dapat dicegah. Antibodi akan membatasi penyebaran virus ke sel atau
jaringan tetangganya. Antibodi dapat menghancurkan virus dengan cara aktivasi
komplemen melalui jalur klasik atau menyebabkan agregasi virus sehingga
mudah difagositosis dan dihancurkan (Griffin, 1994). Antibodi dapat mencegah
commit to user
17
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penyebaran virus yang keluar dari sel yang telah hancur, namun seringkali tidak
cukup mampu
menetralisir virus yang telah
mengubah struktur antigennya
(mutasi) dan yang telah melepaskan diri melalui membran sel sebagai partikel
yang infeksius, sehingga virus dapat menyebar ke dalam sel yang berdekatan
secara langsung (Osterhaus, 1994; Stites, 1997).
1. Respons imun humoral
Antibodi dapat dideteksi pertama kali saat munculnya ruam pada kulit. Respons
antibodi yang terjadi diinduksi
sebagian besar oleh protein virus. Respons
antibodi spesifik terhadap virus campak dimulai dengan munculnya Ig-M, baru
diikuti dengan munculnya Ig-G1 dan Ig-G4 (Griffin, Ward, Esolen, 1994).
Gambar 2.4. Respons antibodi pada infeksi campak akut, WHO, 1993
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
18
digilib.uns.ac.id
Antibodi yang paling banyak dan paling cepat diproduksi adalah antibodi
terhadap protein Nukleokapsid (N) dan sebagian besar antibodi dideteksi dengan
tes fiksasi komplemen. Oleh karena antibodi terhadap protein N banyak
diproduksi, maka antibodi ini dipakai sebagai indikator untuk menentukan adanya
reaksi serologis yang negatif atau positif oleh karena terkena infeksi atau
mendapat imunisasi campak. Protein M hanya dapat merangsang antibodi dalam
jumlah yang sangat kecil, kecuali pada virus campak yang tidak khas (Moss,
Griffin, 2006).
Antibodi terhadap protein fusion (F) berperan dalam menetralisir virus
dengan mencegah fusi antara membran virus dengan membran pejamu. Antibodi
terhadap protein ini tidak dapat diinduksi oleh vaksin virus yang mati. Netralisasi
antibodi berperan penting dalam proses pencegahan penyakit, sehingga sering
digunakan untuk mengetahui kerentanan terhadap penyakit campak (Moss,
Griffin, 2006).
2.
Respons imun seluler
Sel T sangat penting dalam proses pematangan sel B agar memproduksi
antibodi Ig-G dan Ig-A dan merupakan sel efektor untuk membunuh virus dalam
sel jaringan. Sel T CD4+ dan sel TCD8+ keduanya berperan dalam respons imun
(Griffin,1992).
Sel limfosit T CD8+ spesifik terhadap virus campak dan sel limfosit T CD
8+ yang berproliferasi ditemukan dalam darah pada saat munculnya ruam pada
kulit. Sel T CD 8+ mengenali antigen virus dari sintesis protein virus bersama
commit to user
19
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dengan molekul MHC kelas I yang bergerak menuju ke permukaan sel (Ward,
1990). Diduga bahwa sel T CD 8+ merupakan komponen penting dari limfosit
yang ditemukan pada lokasi replikasi virus dan eliminasi sel yang terinfeksi oleh
mekanisme sitotoksik yang diretriksi oleh MHC kelas I (Griffin, 1992).
Gambar 2.5. Perubahan sitokin dan petanda permukaan sel dalam darah
selama infeksi virus campak. Griffin, Bellini, 1996
Sel T CD 4+
diaktivasi sebagai respon imun terhadap infeksi virus
campak dan akan berproliferasi selama terjadinya ruam pada kulit kemudian
jumlahnya meningkat dan tetap tinggi sampai beberapa minggu (Van Binnedijk,
1989). Sel T CD 4+ akan melisiskan sel dari ekspresi antigen virus yang
berhubungan dengan molekul MHC kelas II dan paling besar pengaruhnya dalam
memproduksi antibodi melalui sekresi sitokin
dan juga
proliferasi dan
diferensiasi sel T sendiri ( Griffin, Bellini, 1996)
Setelah stimulasi pertama oleh antigen, sel T CD 4+ terutama akan
memproduksi interleukin 2 (IL-2). Setelah distimulasi kembali, baru muncul dua
tipe sel memori CD 4, sel tipe 1 terutama memproduksi IFN-g, IL-2 dan TNF-b
dan sel tipe 2 memproduksi IL-4, IL-5 dan IL-10. Sel tipe 1 memproduksi sitokin
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
20
digilib.uns.ac.id
yang penting untuk aktivasi makrofag dalam respon DTH, proliferasi limfosit IL2 dan sitotoksisitas diretriksi MHC kelas II TNF-b, sementara sel tipe 2
memproduksi sitokin yang penting untuk deaktivasi makrofag IL-4 dan IL-10 dan
membantu sel B (Griffin, Bellini, 1996).
3. Respons imun terhadap imunisasi campak
Virus campak lebih mengaktivasi sel T CD4+ tipe 2 sehingga akan memproduksi
antibodi terhadap antigen protein F, H dan N yang cukup tinggi. Tetapi respons
DTH dan respons proliferasi kurang terhadap antigen virus campak, akibatnya
terjadi penekanan sistem imun sementara dan juga terjadi disregulasi respons
imun (van Binnedijk, 1989; Griffin, Ward, Esolen, 1994).
Respons imun terhadap vaksin campak hidup mempunyai gambaran yang
hampir sama dengan infeksi virus secara alami. Tetapi respons imun yang
ditimbulkannya terhadap vaksin akan terjadi lebih singkat dibandingkan infeksi
alamiah (Griffin, Ward, Esolen, 1994).
Gambar 2.6. Diagram skematik perbedaan interaksi virus campak hidup dan
virus campak maticommit
pada APC.
Griffin, Ward, Esolen, 1994
to user
21
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Vaksin campak mati menimbulkan respons antibodi protein H dan M
yang cukup baik, tetapi respons imun protein N kurang baik dan sangat sedikit
pada protein F dan P. Respons imun juga timbul baik pada DTH dan
limfoproliferasi. Hal ini menunjukan sel T CD 4+ tipe 1 memberikan respons
yang lebih terhadap virus vaksin. Hal ini menandakan vaksin hidup dan vaksin
mati menstimulasi sel T dengan cara berbeda
dalam hal mempresentasikan
antigen yaitu pertama dengan proses antigen yang mengalami replikasi sedangkan
yang lain tanpa replikasi antigen (Griffin, Ward, Esolen, 1994).
Antibodi yang dihasilkan oleh vaksin yang semakin dilemahkan akan lebih
cepat hilang dibandingkan strain vaksin yang dilemahkan pertama kali. Antibodi
bertahan lebih lama jika terjadi booster dengan virus carnpak. Pada saat kadar
antibodi berada pada level yang rendah, paparan ulang virus campak liar ataupun
vaksin akan menstimulasi sel memori. Terjadi respons sekunder yang ditandai
dengan naiknya kadar antibodi secara cepat dan mencapai puncak kurang lebih 12
hari sesudah reinfeksi. Jika pada saat paparan ulang kadar antibodi masih tinggi,
maka infeksi ulang dan booster tidak akan terjadi (Griffin, 1994; Stites, 1997;
Osterhaus, 1994).
Titer antibodi setelah imunisasi dengan vaksin campak yang dilemahkan
sangat bervariasi, tetapi masih lebih rendah dibandingkan dengan virus campak
liar. Demikian juga respons imun terhadap vaksin yang diinaktivasi berbeda
dengan vaksin virus campak hidup. Komponen F yang hancur selama proses
inaktivasi menyebabkan
orang yang diimunisasi vaksin inaktivasi hanya
commit to user
22
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mempunyai respons terhadap protein H dan tidak mempunyai respons imunitas
terhadap protein F. Infeksi virus, fusi sel dan penyebaran dari sel ke sel dapat
terjadi karena protein F tidak dinetralisir oleh antibodi (Cutts,1993; Gershon,
2000).
C. PENGARUH STATUS GIZI TERHADAP KADAR IG-G ANTI
CAMPAK PADA ANAK
Sistem imun bekerja melindungi tubuh terhadap bahan-bahan infeksius yang
berada di lingkungan hidup manusia seperti bakteria, virus, jamur, parasit dan dari
paparan berbahaya lainnya. Untuk melakukan tugasnya ini, sistem imun
mengandalkan pada dua fungsi utama yaitu sistim imun bawaan dan didapat,
keduanya mempengaruhi berbagai faktor dan komponen yang berada di dalam
darah
seperti
komplemen,
antibodi,
sitokin
dan
sel
makrofag,
sel
polimorphonuklear, dan limfosit. Fungsi sistem pertahanan tubuh yang adekuat
sangat ditentukan oleh nutrisi dan konsekuensinya demikian pula untuk risiko
terjadinya penyakit (Marcos A, Nova E, Montero A, 2003).
Kekurangan nutrisi karena ketidak cukupan asupan energi dan
makronutrien dan atau karena defisiensi mikronutien tertentu akan mengganggu
sistem imun, menekan fungsi imun yang sangat penting untuk pertahanan tubuh.
Abnormalitas yang selalu ditemui adalah imunitas dimediasi sel, system
komplemen, fungsi phagosit, produksi sitokin, respon antibodi sekretorik mukosa
dan affinitas antibodi (Marcos A, Nova E, Montero A, 2003).
Perubahan-
commit
to user
perubahan ini dihubungkan dengan
meningkatnya
risiko terhadap infeksi yang
23
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kemudian menimbulkan perubahan fisiologis tubuh dan memperburuk status
nutrisinya. Tanpa nutrisi yang cukup, sistem imun jelas akan sangat kekurangan
komponen yang dibutuhkan untuk menimbulkan respons imun yang efektif
(Chandra, 2002).
Risiko kejadian infeksi lebih tinggi pada anak
malnutrisi dengan
konsekuensi infeksi akan lebih serius pada anak dengan gizi buruk, dimana
presentasi penyakit infeksi selalu akan lebih buruk bila disertai dengan gizi buruk.
Hal ini menandakan terdapat interaksi sinergis antara infeksi dengan nutrisi yang
menimbulkan lingkaran setan dan
sering berakhir fatal. Sehingga interaksi
sinergis antara infeksi dan gizi buruk tidak hanya berkontribusi pada morbiditas
tetapi juga mortalitas. Jelas bahwa gizi buruk memiliki dampak mengganggu
mekanisme pertahanan tubuh melawan agen penyakit dan terutama pada fungsi
imun (Shetty, Scrimshaw, 2006).
Fungsi imun yang terganggu karena pengaruh nutrisi dan melemahnya
pertahanan tubuh
sebagaimana
yang
mendokumentasikan
terhadap infeksi telah berdampak secara epidemiologi
ditunjukkan
Ashworth
pada
bahwa angka mortalitas anak
tahun
1982,
yang
malnutrisi lebih besar
daripada anak dengan penyakit infeksi. Sebanyak 53% kematian anak dibawah 5
tahun dengan penyakit infeksi dihubungkan dengan gangguan dasarnya adalah
malnutrisi (Suliman OSM, Salih MAM, Karrar ZA, Mohammed AO, Helsing C,
2011).
Penelitian klinis menunjukan bahwa pada keadaan malnutrisi terjadi
perubahan morfologi yang signifikan dalam ukuran, berat, selularitas dan
commit to user
24
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
arsitektural organ limfoid. Bahkan pada gizi buruk dapat terjadi atropi organ
limfoid seperti timus, limpa, kelenjar limfa dan tonsil (Moore, Goldblatt, 2003;
Shetty, Scrimshaw, 2006). Imunitas yang dimediasi sel terutama bergantung pada
timus tempat asal limfosit T. Atropi limfoid dan kegagalan pematangan berakibat
turunnya jumlah sel T dalam darah perifer anak dengan malnutrisi dan sekitar
15% anak dengan gizi buruk sedang sampai berat terjadi limfopenia. Hal ini
mungkin disebabkan oleh berkurangnya jumlah prekursor ataupun diferensiasi sel
yang terganggu sebagai akibat dari penurunan hormon timus (Shetty, Scrimshaw,
2006).
Efikasi vaksin jelas sangat memerlukan respons imunologis tubuh yang
sempurna, dimulai dari pengenalan antigen, presentasi antigen melalui sel memori
dan produksi antibodi ataupun melalui respons seluler primer (Van Loveren, Van
Amsterdam, 200).
Dalam hal ini status nutrisi berperan penting untuk
menimbulkan respons imun terhadap imunisasi. Status nutrisi mempengaruhi
respons imunitas terhadap penyakit yang mekanismenya sangat bervariasi dan
kompleks dan sepenuhnya masih belum dimengerti (Moore, Goldblatt, 2003).
Status nutrisi individu telah diketahui dapat mempengaruhi proses
penyembuhan infeksi yang disebabkan oleh virus. Dan hubungan antara status
nutrisi dengan infeksi virus karena adanya perubahan pada fungsi imun telah
dipostulasikan. Faktor defisiensi nutrisi akan mengganggu efektifitas respons
imun anak terhadap infeksi, sehingga apabila terpapar oleh virus akan berakibat
meningkatnya kerentanan terhadap infeksi. Hubungan ini dapat digambarkan
sebagai berikut (Beck, 2000) :
commit to user
25
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 2.7. Hubungan status nutrisi dan infeksi virus, (Beck, 2000)
Hubungan tersebut menunjukkan bahwa status
nutrisi berpengaruh
terhadap imunitas host maupun agen patogen itu sendiri. Sebagaimana
diilustrasikan pada gambar diatas nutrisi host yang tidak adekuat menyebabkan
disfungsi imun host dan akan sebabkan individu tersebut rentan terhadap infeksi
ketika terpapar oleh patogen (Beck, 2000).
Suplai nutrisi yang baik dan optimum sangat penting dalam mendukung
fungsi kritis sel untuk menghasilkan respons imun yang efektif dan merangsang
timbulnya mediator-mediator sistem imun. Hal ini termasuk sintesis interferon,
sintesis protein, produksi antibodi dan fungsi optimal imunitas yang dimediasi sel
seperti sel phagosit (Rath M, Niedzwiecki, 2005).
Banyak bukti menyatakan bahwa ternyata supresi imun pada PEM karena
kerja dari imunitas seluler. Pada keadaan malnutrisi jumlah sel T berkurang
dibanding sel B. Malnutrisi mempengaruhi sistem imun humoral dalam berbagai
bentuknya, tetapi jumlah sel B limfosit, kadar Ig-G, kadar Ig-A dan sintesis
immunoglobulin dan metabolismenya pada umumnya normal atau bahkan
meningkat (Suliman OSM, Salih MAM, Karrar ZA, Mohammed AO, Helsing C,
2011).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
26
digilib.uns.ac.id
Respons imun humoral hanya dipengaruhi pada fase akut infeksi dan juga
pada PEM berat. Respons imun humoral akan segera kembali normal ketika
perkembangan anak mulai menunjukan perbaikan. Sehingga bahkan pada anak
dengan malnutrisi sedang tetap dapat berespons terhadap pemberian imunisasi
(Ifekwunigwe A E, Grasset N, 1996). Anak dengan PEM ternyata mempunyai
kadar immunoglobulin tinggi dan kadar immunoglobulin dewasa dapat dicapai
pada umur dua tahun (Suliman OSM , Salih MAM, Karrar ZA, Mohammed AO,
Helsing C, 2011).
Jumlah limfosit B yang beredar tidak berubah pada anak dengan
malnutrisi. Dan kadar serum imunoglobulin masih dalam kisaran normal pada
anak malnutrisi atau bahkan sedikit meningkat, terutama selama infeksi. Respon
antibodi terhadap agen penyebab infeksi umumnya normal pada malnutrisi
(Shetty, Scrimshaw, 2006). Jika antigen
berupa partikulat maka diperlukan
kerjasama dari sel T helper dan respon antibodi terhadap infeksi berulang akan
kurang memuaskan. Hal ini sebagian besar karena hasil dari perubahan fungsi Tlimfosit karena fungsi memori adalah sel T. Respons antibodi akan terganggu
pada anak dengan kekurangan gizi dan menunjukkan peningkatan respon setelah
rehabilitasi gizi (Shetty, Scrimshaw, 2006).
Penelitian I Made Suardiyasa di kabupaten Tolitoli Sulawesi Tengah
menyebutkan bahwa risiko anak yang memiliki status gizi kurang untuk terkena
campak adalah 5,4 kali dibanding anak dengan status gizi baik (Rostanti, 2007).
Sedangkan penelitian Sulung di Puskesmas Kori Kecamatan Kodi Utara
Kabupaten Sumba Barat dengan desain cross sectional terhadap anak berumur 6
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
27
digilib.uns.ac.id
bulan-15 tahun mendapatkan hasil bahwa kejadian campak ada hubungannya
dengan status gizi dimana anak dengan status gizi kurang mempunyai
kemungkinan risiko 2,9 kali lebih besar untuk terkena campak (Depkes, 2000).
Penelitian yang dilakukan di Surakarta pada anak-anak dengan obesitas
menunjukan rerata antibodi Ig-G campak yang lebih tinggi dibandingkan dengan
anak tanpa obesitas (Moelyo, 2006). Penelitian-penelitian tersebut kembali
menekankan adanya pengaruh status gizi anak terhadap infeksi campak atau kadar
Ig-G campak sebagai pertanda ada tidaknya proteksi terhadap campak.
Antibodi akan bertahan lebih lama jika mendapat booster dari paparan
virus campak liar yang beredar. Adanya infeksi ulang oleh virus campak liar
atau oleh vaksin pada saat titer antibodi rendah, akan merangsang sel memori
menghasilkan antibodi secara cepat dan mencapai puncaknya 12 hari setelah
infeksi ulang. Dan 6 sampai 8 tahun setelah mendapatkan imunisasi campak,
ternyata 85% sampel masih mempunyai antibodi (Cutts,1993; Gershoon,2000).
Masa perlindungan antibodi Ig-G campak tidak bertahan sepanjang tahun
tetapi akan terjadi penurunan kadar antibodi secara alamiah. Prosentase
seronegatif dari half-life antibodi Ig-G campak
saat umur 4 tahun setelah
vaksinasi adalah 40% sedangkan saat umur 6 tahun seronegatif antibodi akan
semakin meningkat menjadi sekitar 70% (Min-Shi Lee, James Nokes, 2001).
Menurut laporan WHO tahun 1993 tentang kadar Ig-G campak dan
hubungannya dengan berbagai strain vaksin campak dan infeksi campak alamiah
ternyata didapatkan bahwa kadar Ig-G campak yang didapat dari infeksi alamiah
pada umur 4 – 6 tahun lebih tinggi dari pada yang didapat dari imunisasi campak
commit to user
28
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan kadar Ig-G campak paling rendah didapat dari imunisasi strain vaksin
Schwarz )WHO,1993).
Gambar 2.8. Respons antibodi dan keberadaannya setelah infeksi alamiah
dan imunisasi. WHO, 1993
Hasil tersebut serupa dengan sebuah penelitian
di
India yang
mendapatkan kadar antibodi Ig-G campak pada anak umur 4–6 tahun setelah
imunisasi campak dosis pertama diumur 7-9 bulan dan MMR I umur 15-18 bulan
hanya mendapatkan serokonversi positif 20,4% yang berarti seronegatif sekitar
80%. Menandakan bahwa 4 dari 5 anak yang mendapat imunisasi penuh menurut
jadwal imunisasi di Delhi masih sangat rentan untuk terkena campak (Arora,
2010)
Penelitian di Sudan menemukan bahwa ternyata kadar Ig-G dan Ig-A anak
marasmik lebih tinggi dan hasil ini berbeda dengan penelitian McMurry dan
kawan-kawan . Juga didapatkan kadar IgM lebih tinggi pada tiga sub tipe PEM
commit to user
berbeda dengan penelitian Mc Murry yang mendapatkan kadar Ig M lebih tinggi
29
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pada
marasmik
dan
marasmik
kwashiorkor
dibandingkan
kwashiorkor
(Ifekwunigwe A E, Grasset N, 1996 ).
Kadar immunoglobulin yang tinggi dapat disebabkan oleh karena infeksi
berulang dan meningkatnya permeabilitas gastrointestinal pada anak malnutrisi
terhadap antigen makanan. Alvarado dan kawan-kawan
mendapatkan bahwa
selama infeksi tertentu, kadar immunoglobulin akan lebih meningkat. Terkecuali
pada bayi malnutrisi umur kurang dari 1 tahun ternyata tidak terjadi peningkatan
immunoglobulin. Pada bayi ini seringkali didapatkan kadar immunoglobulin yang
tetap rendah sekalipun telah mendapatkan terapi nutrisi (Suliman OSM , Salih
MAM, Karrar ZA, Mohammed AO, Helsing C, 2011).
commit to user
30
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
D. KERANGKA KONSEP
Imunitas campak
pada anak
Imunisasi campak
Faktor host
Sakit campak
Faktor agen
RESPON IMUN
kadar Ig-G anti
campak maternal
seluler
penyakit penyerta
Ig-G
umur
Titer Ig-G anti
campak
potensi vaksin
humoral
Ig-M
Ig-A
status nutrisi
strain yang
digunakan
dosis, cara
penyimpan
an dan rute
pemberian
vaksin
Ruang lingkup penelitian
Gambar 2.8. Kerangka konsep
Penjelasan kerangka konsep
Virus campak memasuki tubuh manusia melalui dua jalur yang pertama adalah
dari imunisasi dan yang kedua melalui sakit campak yang didapat secara alami.
Sementara imunitas seseorang terhadap virus campak diperoleh secara pasif
commit to user
31
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
melalui transmisi antibodi campak maternal, dan melalui induksi imun secara
aktif dengan imunisasi dan melalui infeksi campak yang didapat secara alami.
Respons imun yang penting untuk melawan virus campak adalah respons
humoral dimana Ig-G anti campak akan bertahan lama dalam tubuh dan akan
memberi proteksi terhadap virus campak. Jangka waktu proteksi antibodi campak
tidak tetap namun dengan berjalannya waktu terjadi penurunan kadar antibodi
secara alamiah dengan proporsi seronegatif dari half-life antibodi 4 tahun setelah
vaksinasi adalah 40% dan saat umur 6 tahun sekitar 70% (Min-Shi Lee, James
Nokes, 2001).
Faktor nutrisi dan abnormalitas yang selalu ditemui pada malnutrisi adalah
imunitas dimediasi sel, sistem komplemen, fungsi phagosit, produksi sitokin,
respon antibodi sekretorik mukosa dan affinitas antibodi (Marcos A, Nova E,
Montero A, 2003). Perubahan-perubahan ini dihubungkan dengan meningkatnya
risiko terhadap infeksi yang kemudian menimbulkan perubahan fisiologis tubuh
dan memperburuk status nutrisinya. Tanpa nutrisi yang cukup, sistem imun jelas
akan sangat kekurangan komponen yang dibutuhkan untuk menimbulkan respons
imun yang efektif. Karenanya faktor umur dan status gizi merupakan salah satu
dari faktor yang akan mempengaruhi kadar Ig-G campak.
E. HIPOTESIS
Ada pengaruh status gizi dan umur anak terhadap kadar Imunoglobulin G anti
campak.
commit to user
Download