NASKAH PUBLIKASI PERBEDAAN MAKNA HIDUP PADA LANSIA YANG TINGGAL DI PANTI WERDHA DENGAN YANG TINGGAL BERSAMA KELUARGA Telah Disetujui Pada Tanggal Dosen Pembimbing Utama ( Sukarti, DR) PERBEDAAN MAKNA HIDUP PADA LANSIA YANG TINGGAL DI PANTI WERDHA DENGAN YANG TINGGAL BERSAMA KELUARGA Ratna Cahyawati Sukarti. Dr Rr. Indahria S, S.psi., psi INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah ada perbedaan makna hidup antara lansia yang tinggal di panti werdha dengan yang tinggal bersama keluarga. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan makna hidup antara lansia yang tinggal di panti werdha dengan yang tinggal bersama keluarga, dimana makna hidup pada lansia yang tinggal bersama keluarga lebih tinggi daripada yang tinggal di panti werdha. Subjek penelitian ini adalah lansia yang berusia 60 sampai 70 tahun, baik yang tinggal di Panti Werdha Abiyoso Pakem Sleman Yogyakarta dan yang tinggal bersama keluarga, baik laki-laki dan perempuan yang berjumlah 60 orang. Alat ukur yang digunakan adalah Skala Pengukuran Makna hidup dengan menggunakan Skala Pengukuran Makna Hidup dari Widiana (1996) yang dimodifikasi oleh peneliti. Skala ini pertama kali disusun oleh Crumbaugh (Koeswara, 1987) berdasarkan pandangan Frankl tentang pengalaman dalam menemukan makna hidup. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan T-test dengan menggunakan SPSS for windows versi 10.0 untuk menguji apakah ada perbedaan rata-rata skor makna hidup antara lansia yang tinggal di panti werdha dengan lansia yang tinggal bersama keluarga. Hasil pengujian menunjukkan bahwa sebaran data pada Skala Pengukuran Makna Hidup adalah normal dengan nilai z = 2,453 ; p = 0,000 (p<0,05). Dan dengan metode Levene’s Test for equality of variance diperoleh hasil bahwa data homogen F = 0,151 ; p = 0,699 (p>0,05). Berdasarkan analisis, ditunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara rata-rata makna hidup lansia yang tinggal di panti werdha dengan yang tinggal bersama keluarga (t = 6,552; p= 0,000; p<0,01). Rata-rata skor makna hidup lansia yang tinggal di panti werdha adalah 84,73 dan rata-rata skor makna hidup lansia yang tinggal bersama keluarga adalah 108, yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan makna hidup antara lansia yang tinggal di panti werdha dengan yang tinggal bersama keluarga, dimana makna hidup lansia yang tinggal bersama keluarga lebih tinggi dari lansia yang tinggal di panti werdha. Kata kunci : Makna Hidup, Tempat Tinggal PERBEDAAN MAKNA HIDUP PADA LANSIA YANG TINGGAL DI PANTI WERDHA DENGAN YANG TINGGAL BERSAMA KELUARGA Pengantar Latar Belakang Masalah Sejak dicanangkannya tahun 1999 sebagai International Year of Older Persons (IYOP) atau Tahun Lanjut Usia Internasional oleh PBB, masalah Lanjut Usia (Lansia) telah menjadi topik pembicaraan baik di lingkup internasional, regional, dan nasional. Di Indonesia, pemerintah juga menetapkan bahwa tanggal 29 Mei 1999 ditetapkan sebagai Hari Lanjut Usia Nasional. Dengan demikian, seperti yang disampaikan oleh Herlambang, Ketua Lembaga Kesehatan Lanjut Usia Pusat, hal tersebut akan membawa pengaruh positif dalam meningkatkan kesadaran masyarakat untuk ikut memikirkan kebijakan yang terbaik, sehingga para Lanjut Usia di Indonesia dapat memperoleh tempat yang lebih layak dan terhormat sesuai dengan keinginan pemerintah, yang tertuang dalam buku : Pelembagaan Lanjut Usia Dalam Kehidupan Bangsa (Hardywinoto dan Setiabudhi, 1999). Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, yang dimaksud Lanjut Usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas (Santi, 2002). Hawari (2004) menjelaskan bahwa belakangan ini di tengah masyarakat mengalami pergeseran nilai. Mereka menganggap keberadaan lansia menjadi beban keluarga dan masyarakat., sehingga struktur keluarga (nuclear family) tidak memberikan tempat bagi para lansia. Munculnya anggapan tersebut mendorong sebagian masyarakat memandang bahwa panti-panti werdha adalah alternatif yang terbaik untuk dipilih. Banyak lansia itu hidup di panti wreda dan sebagian lagi hidup seorang diri hanya ditemani binatang-binatang piaraan, seperti anjing, kucing atau burung. Mereka hidup dalam keterasingan, kesepian, isolasi sosial serta tidak tahu harus berbuat apa untuk mengisi masa tuanya itu. Kondisi yang demikian rupa seringkali menimbulkan berbagai macam gangguan mental, salah satunya adalah depresi. Pakar Psikologi Parwati Soepangat (2004) menjelaskan bahwa para Lansia yang dititipkan di panti pada dasarnya memiliki dua sisi negatif dan positif. Diamati dari sisi positif, lingkungan panti dapat memberikan kesenangan bagi si orang tua. Sosialisasi di lingkungan yang memiliki tingkat usia sebaya akan menjadi hiburan tersendiri, sehingga kebersamaan ini dapat mengubur kesepian yang biasanya dialami mereka. Tetapi jauh di lubuk hati, mereka merasa jauh lebih nyaman berada di dekat keluarganya. Soepangat (2004) menyatakan, “Di negara kita yang masih menjunjung tinggi kekeluargaan, tinggal di panti menjadi suatu hal yang tidak natural lagi, bagaimanapun alasannya. Tinggal di rumah masih jauh lebih baik ketimbang di panti. Lansia yang hidup di suasana panti, dari sisi psikologi sangat rentan terkena etena syndrom. Pada saat orang tua terpisah dari anak serta cucunya, maka timbullah perasaan useless dan kesepian. Padahal, mereka yang sudah masih mampu mengaktualisaikan potensinya secara optimal. Bila dijadikan kendala, kondisi fisik serta daya ingat merupakan gangguan kecil pada masa tua. Namun jika lansia dapat mempertahankan pola hidup serta cara dia memandang suatu makna kehidupan, maka sampai ajal menjemput, mereka masih dapat berbuat banyak bagi kepentingan semua orang.” (www. Waspada co.id, 28 Juni 2004) Persoalan makna hidup, menurut Madjid (Bastaman, 1996) begitu besar dan penting artinya, karena kosongnya makna hidup akan membuat orang tidak tahan terhadap penderitaan dan tidak memiliki rasa harga diri yang kokoh. Mengembangkan kehidupan bermakna bukanlah tugas yang ringan, karena pada hakikatnya sama dengan memenangkan perjuangan hidup, yakni mengubah nasib buruk menjadi baik, dan mengubah penghayatan diri dari tidak bermakna menjadi bermakna. Oleh karena itu, usaha ini memerlukan niat yang kuat, seperti pemahaman mendalam tentang makna hidup, kesediaan dan kesadaran pentingnya mengubah sikap terhadap penderitaan, serta dukungan kekeluargaan dan persahabatan dari lingkungan terdekat atau bantuan profesional. Sudah tentu, bimbingan dan petunjuk-Nya menentukan keberhasilan dalam menemukan makna hidup. Lansia yang berhasil menemukan makna hidup, maka mereka dapat menjalani kehidupan dengan penuh semangat dan optimisme, mempunyai tujuan yang jelas baik jangka pendek maupun jangka panjang, dan bertanggung jawab baik terhadap diri sendiri, lingkungan atau masyarakat. Dengan demikian, kegiatan-kegiatan mereka menjadi lebih terarah, dan menyadari bahwa hikmah selalu ada dibalik penderitaannya, sehingga Nietzsche (Frankl, 2003) mengatakan bahwa siapa yang memiliki alasan (why) untuk hidup akan mampu mengatasi persoalan hidup dengan cara (how) apapun. Lansia yang tinggal di panti werdha umumnya mereka kurang merasa hidup bahagia. Hal ini seperti yang dituturkan Ukasih (70) yang kini tinggal di sebuah Panti Sosial Tresna Werdha Budi Pertiwi Bandung, ia merasa kesepian di tengah puluhan penghuni panti. Hal senada juga dikemukakan Mak Cicih (66). Keinginan sekali-sekali ditengok dan diperhatikan oleh orang yang masih berhubungan tali darah itu jugalah yang dirasakan Mak Cicih. Selama tujuh tahun menjadi warga panti, ia mengaku tak pernah ditengok keluarganya (www.Pikiranrakyat.co.id, 30 Mei 2004). Siti Rahayu (Prawitasari, 1993) menambahkan bahwa manusia usia lanjut merasa kesepian sehingga mereka mendekatkan diri pada Tuhan. Mereka yang mandiri di rumah sendiri merasa adanya kehangatan dan tidak terlalu merisaukan keterbatasan ekonomi. Sebaliknya mereka yang tinggal di panti werdha merasa sedih karena keterbatasan ekonomi, meskipun kebutuhan mereka sehari-hari terpenuhi. Lebih lanjut tidak adanya keinginan mandiri bagi mereka yang berada di panti werdha. Panti werdha biasanya dihuni oleh golongan sosial ekonomi bawah terutama yang tidak mampu. Mungkin bagi mereka yang sakit-sakitan dan anak cucunya jauh akan pula masuk ke panti. Keluarga yang tidak mau repot dengan manusia usia lanjut pikun mungkin akan mengirimnya ke sana. Tinjauan pustaka Makna Hidup Pengertian Makna Hidup Orang yang pertama kali mengemukakan gagasan tentang makna hidup (meaning of life) adalah Frankl (2003) dengan teorinya yang diberi nama Logotheraphy. Gagasan ini muncul berdasarkan pengalaman hidup dan pengamatannya yang sangat menakutkan saat berada dalam sebuah kamp pembantaian milik Hitler. Frankl menyimpulkan bahwa kehidupan yang sehat adalah kehidupan yang penuh makna. Hanya dengan makna yang baik orang akan menjadi insan yang berguna tidak hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk orang lain. Yalom (Bastaman, 1996) menjelaskan bahwa pengertian makna hidup di dalamnya terkandung juga tujuan hidup, yakni hal-hal yang perlu dicapai dan dipenuhi. Pendapat senada disampaikan Bastaman (1996) yang mengartikan bahwa makna hidup adalah hal-hal yang dipandang penting, benar , dan didambakan, memberikan nilai khusus serta dapat dijadikan tujuan hidup seseorang. Apabila berhasil ditemukan dan dipenuhi, maka kehidupannya menjadi berarti dan menimbulkan perasaan bahagia. Frankl (2003) berpendapat bahwa makna hidup satu orang berbeda dengan yang lainnya, dari hari ke hari dan jam ke jam. Masalahnya, karena yang dimaksud bukan makna hidup dalam arti umum melainkan makna hidup dalam arti khusus dari hidup seseorang pada suatu waktu. Menurut Crumbaugh (Koeswara, 1987), kekurangan makna hidup bisa menjadi sebab maupun akibat kondisi depresi, baik kekurangan makna maupun kondisi depresi bisa ditimbulkan oleh penyebab-penyebab lain. Depresi yang dialami individu sebagai contoh menunjuk kepada situasi bila individu menghadapi makna yang melimpah, tetapi individu tersebut tidak mampu mengarahkan dirinya kepada makna-makna tertentu yang pasti, serta ketidakmampuan individu untuk menyesuaikan diri dan mengatasi masalahmasalah personalnya secara efisien. Sementara itu, individu yang kekurangan makna bisa tidak mengalami depresi karena dia hanyut didalam arus pengalaman yang tidak terorganisasi. Crumbaugh juga merancang kuantifikasi konsep makna hidup berdasarkan pandangan Frankl tentang pengalaman dalam menemukan makna hidup, terdiri dari tujuan hidup, kepuasan hidup, kebebasan berkehendak, sikap terhadap kematian, pikiran tentang bunuh diri, dan kepantasan hidup. Sifat-sifat Makna Hidup Menurut Frankl (2003) karakteristik makna hidup meliputi tiga sifat, yaitu: a. Makna hidup sifatnya unik dan personal. Artinya apa yang dianggap berarti bagi seseorang belum tentu berarti bagi orang lain. Bahkan mungkin apa yang dianggap penting dan bermakna pada saat ini oleh seseorang, belum tentu sama bermaknanya bagi orang itu pada saat yang lain. Dalam hal ini makna hidup seseorang dan apa yang bermakna baginya biasanya bersifat khusus, berbeda dengan orang orang lain, dan mungkin dari waktu ke waktu berubah pula. b. Makna hidup sifatnya spesifik dan konkrit. Artinya dapat ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan nyata sehari-hari dan tidak selalu harus dikaitkan dengan tujuan-tujuan idealis, prestasi-prestasi akademis yang tinggi, atau hasil-hasil filosofis yang kreatif. c. Makna hidup sifatnya memberi pedoman dan arah terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan Artinya makna hidup seakan-akan menantang (challenging) dan mengundang (inviting) seseorang untuk memenuhinya. Begitu makna hidup ditemukan dan tujuan hidup ditentukan, maka seseorang akan terpanggil untuk melaksanakan dan memenuhinya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukannya pun menjadi lebih terarah. Aspek-aspek dari Makna Hidup Crumbaugh (Koeswara, 1987) menciptakan PIL Test (The Purpose in Life Test) berdasar pandangan Frankl tentang pengalaman dalam menemukan makna hidup, yang dapat dipakai untuk mengukur seberapa tinggi makna hidup seseorang. Aspek-aspek yang digunakan untuk mengukur tinggi-rendahnya makna hidup tersebut, antara lain: a. Tujuan hidup, yaitu sesuatu yang menjadi pilihan, memberi nilai khusus serta dijadikan tujuan dalam hidupnya. b. Kepuasan hidup, yaitu penilaian seseorang terhadap hidupnya, sejauhmana ia bisa menikmati dan merasakan kepuasan dalam hidup dan aktivitas-aktivitas yang dijalaninya. c. Kebebasan, yaitu perasaan mampu mengendalikan kebebasan hidupnya secara bertanggung jawab. d. Sikap terhadap kematian, yaitu bagaimana seseorang berpandangan dan kesiapannya menghadapi kematian. Orang yang memiliki makna hidup akan membekali diri dengan berbuat kebaikan, sehingga dalam memandang kematian akan merasa siap untuk menghadapinya. e. Pikiran tentang bunuh diri, yaitu bagaimana pemikiran seseorang tentang masalah bunuh diri. Bagi orang yang mempunyai makna hidup akan berusaha menghindari keinginan untuk melakukan bunuh diri atau bahkan tidak pernah memikirkannya f. Kepantasan hidup, pandangan seseorang tentang hidupnya, apakah ia merasa bahwa sesuatu yang dialaminya pantas atau tidak. Tempat Tinggal Pengertian Tempat Tinggal Tempat tinggal merupakan keberadaan seseorang di dalam suatu tempat dan lingkungan di mana mereka hidup dan bertempat tinggal dalam jangka waktu lama. Menurut Thomae (Monks, Knoers, & Haditono, 2002) citra orang lanjut usia merupakan hasil interaksi antara individu dan lingkungannya. Pola-pola orang menjadi tua merupakan proses biologis, sosial, dan persepsualmotivasional. Proses tersebut sebagai interaksi antara perubahan-perubahan dalam sepuluh subsystem yang menyebabkan orang lanjut usia begitu berbeda antara yang satu dengan yang lain. sikap terhadap kematian dan keterbatasan. Monks, dkk. (2002) menjelaskan bahwa kehidupan orang lanjut usia sedikit banyak tergantung pada lingkungan, baik pada tingkat mikro, maupun pada tingkatan makro. Lingkungan dapat atau tidak dapat memberikan tantangan pada orang lanjut usia untuk menggunakan kemampuan-kemampuannya yang ada pada dirinya. Baik lingkungan fisik (perhatikan panti-panti werdha) maupun lingkungan sosial serta kesan umum mengenai orang lanjut usia biasanya masih agak bersifat negatif. Dengan demikian maka aktivitas dan sikap mandiri orang lanjut usia terhambat. Sehingga lingkungan –dalam arti yang luas- sering tidak terlalu ramah terhadap lansia, padahal sangat menentukan bagi kepuasan hidup mereka. Hal ini mengingat lingkungan dapat merupakan sumber ketegangan dan stres yang makin lama makin berat dirasakan. Pengertian Panti werdha Panti werdha adalah organisasi sosial atau lembaga sosial masyarakat yang membantu pemerintah dalam menampung dan merawat lansia. Sesuai ketentuan dari pemerintah, dalam hal ini Departemen Sosial, untuk menjadi anggota atau penghuni panti werdha, maka hanya lanjut usia yang lemah dan tak mampu mengurus dirinya sendiri serta mempunyai ketergantungan dan dapat diterima atau dirawat (Hardywinoto dan Setiabudhi, 1999). Lansia yang tinggal di panti werdha tercukupi kebutuhan fisik (pangan, sandang dan papan) namun mereka tetap merindukan dapat menikmati sisa hidupnya dengan tinggal bersama keluarga. Menurut Bapak J.A. Wiwoho Hadiwidjojo, SKM, Kepala Panti Werdha Abiyoso Yogyakarta, mengatakan bahwa sisi positif mereka di sini. Mereka bisa menemukan teman sebaya. Saling bertukar pengalaman dan berbagi suka dan duka. Tapi jika masih ada pilihan, misalnya masih ada anak, tetap tempat ternyaman bagi kaum lansia adalah di tengah keluarganya sendiri. Pengertian Rumah Rumah merupakan tempat tinggal bagi keluarga yang saling berinteraksi dalam jangka waktu yang lama. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, beserta kakek dan/atau nenek. Kasih sayang, perhatian yang cukup, dan dukungan sosial dari anggota keluarga, merupakan semangat dalam lansia menjalani hidup dan ia akan merasa hidup tenang dan bahagia. Keadaan ini akan mendorong para lansia dapat menemukan makna hidup yang lebih baik dibanding lansia yang tinggal di panti werdha. Lingkungan keluarga akan lebih kondusif bagi lansia dalam menemukan kebermaknaan hidunya dibanding dengan lingkungan panti werdha. Lansia yang hidup di tengah keluarga dengan anak dan cucu cenderung dapat memaknai hidup, mereka dapat menjalani kehidupan dengan penuh semangat, optimisme, dan jauh dari perasan hampa, mempunyai tujuan yang jelas baik jangka pendek maupun jangka panjang, dan bertanggung jawab baik terhadap diri sendiri, lingkungan atau masyarakat. Lansia yang tinggal di panti werdha, pada umumnya adalah lansia terlantar yang jauh dari anak dan cucu, akan cenderung kurang dapat memaknai hidup, mereka menjalani hidup kurang semangat, kurang optimis, dan merasa kesepian atau hampa, kurang memiliki tujuan yang jelas baik jangka pendek maupun jangka panjang, kurang bertanggung jawab terhadap diri sendiri, lingkungan dan masyarakat. Selanjutnya Haditono (1993) menambahkan bahwa tatkala tidak ada lagi keharmonisan antara individu dengan lingkungannya, perasaan hangat dan damai dalam lingkungan keluarga tidak lagi ditemukan sehingga keluarga tidak dapat memberikan kebahagiaan dan ketentraman dalam hati anggota keluarga tersebut, maka bisa jadi yang mucul adalah depresi. Sebaliknya, jika lingkungan tetap memberikan kenyamanan, kehangatan dan penerimaan sosial yang baik terhadap lansia, maka hal ini akan menimbulkan kebahagiaan bagi para lansia. Metode Penelitian Subjek Penelitian Subjek penelitian ini adalah lansia atau seseorang yang telah berusia 60 sampai 70 tahun, baik yang tinggal di Panti Wredha Abiyoso Pakem Sleman Yogyakarta dan yang tinggal bersama keluarga, berjumlah 60 orang. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan menggunakan Skala Pengukuran makna Hidup dari Widiana (1996) yang dimodifikasi oleh peneliti. Aspek yang digunakan untuk mengukur mengacu pada skala dari Crumbaugh (Koeswara, 1987) yang pertama kali menyusun skala berdasarkan pandangan Frankl tentang pengalaman dalam menemukan makna hidup. Cara penyajian skala ini dalam bentuk angket, sehingga memudahkan subjek untuk menentukan pilihan jawaban. Sebaran aitem dikelompokkan sedemikian rupa sehingga terdiri dari kelompok butir yang bersifat favorable dan unfavorable. Metode Analisis Data Untuk menganalisis data hasil penelitian ini digunakan metode analisis Uji-T atau T-test. Hasil Penelitian Group Statistics TEMPAT MAKNA keluarga panti T-Test N Minimum Maximum 30 76 127 30 59 115 Mean Std. Deviation Std. Error Mean 108.00 13.367 2.441 84.73 14.130 2.580 A. Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances F MAKNA Equal variances assumed Equal variances not assumed t-test for Equality of Means Sig. t .151 .699 6.552 dfSig. Mean (2Difference tailed) 58 .000 23.27 6.552 57.823 .000 23.27 Std. Error 95% Difference Confidence Interval of the Difference Lower Upper 3.551 16.158 30.375 3.551 16.158 30.376 Pembahasan Dari hasil pengujian hipotesis, dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan makna hidup yang sangat signifikan antara lansia yang tinggal di panti werdha dengan lansia yang tinggal bersama keluarga, dimana makna hidup lansia yang tinggal bersama keluarga lebih tinggi daripada lansia yang tinggal di panti werdha. Hal ini ditunjukkan dengan nilai t = 6,552 (p= 0,000), p<0,01. Adanya perbedaan makna hidup antara seseorang dengan orang lain, termasuk lansia yang tinggal bersama keluarga dengan yang tinggal di panti werdha ini, juga dibenarkan oleh Frankl. Menurut Frankl (2003) bahwa makna hidup satu orang berbeda dengan yang lainnya, dari hari ke hari dan jam ke jam. Masalahnya, karena yang dimaksud bukan makna hidup dalam arti umum melainkan makna hidup dalam arti khusus dari hidup seseorang pada suatu waktu. Pencarian manusia mengenai makna merupakan kekuatan utama dalam hidupnya dan bukan suatu “rasionalisasi sekunder” dari bentuk-bentuk insting. Makna tersebut adalah unik dan spesifik yang harus dan dapat diisikan oleh dirinya sendiri., hanya dengan itu seseorang akan memperoleh sesuatu yang penting yang akan memuaskan keinginannya untuk memaknai. Menurut Haditono (1988) berbagai kedaan yang dapat membuat para lanjut usia bahagia yaitu anak berhasil semua, keluarga harmonis, melakukan aktivitas sosial, dapat mandiri, ekonomi cukup, sehat dan usia panjang, masih aktif, anak masih menghormati orang tua, dan ketentraman batin. Pada lansia yang tinggal di panti werdha cenderung sebaliknya. Yaitu kurang bebas menentukan pilihan dalam hidupnya, mereka lebih senang tinggal di panti werdha karena ada yang mengurusnya walaupun mereka merasa terkekang, dan mereka merasa tidak dapat bertindak sesuai nilai-nilai yang diyakininya Lansia yang tinggal bersama keluarga cenderung merasa diperlakukan dengan baik oleh lingkungan keluarga, merasa dihargai, mereka merasa bahwa hidup di masa lalu dan saat ini lebih baik dari orang lain, merasa pantas untuk hidup dan disayangi, tidak menyesali kehidupannya, dan merasa tidak diabaikan oleh keluarganya. Pada lansia yang tinggal di panti wredha cenderung bersikap sebaliknya. Dengan demikian, lansia yang hidup di tengah keluarga dengan anak dan cucu cenderung dapat memaknai hidup, mereka dapat menjalani kehidupan dengan penuh semangat, optimisme, dan jauh dari perasaan hampa, mempunyai tujuan yang jelas baik jangka pendek maupun jangka panjang, dan bertanggung jawab baik terhadap diri sendiri, lingkungan atau masyarakat. Mereka cenderung dapat memaknai hidupnya disebabkan oleh sikap yang bersangkutan yang memandang bahwa hidupnya penting dan berharga (makna hidup), memiliki kepuasan hidup, memiliki kebebasan berkehendak, menyiapkan kematian dengan mendekatkan diri kepada Tuhan, mampu menghadapi masalah hidupnya dan tidak memiliki pikiran untuk bunuh diri, dan merasa memiliki kepantasan hidup. Pada lansia yang tinggal di panti werdha, pada umumnya adalah lansia terlantar yang jauh dari anak dan cucu, akan cenderung kurang dapat memaknai hidup, mereka menjalani hidup kurang semangat, kurang optimis, dan merasa kesepian atau hampa, kurang memiliki tujuan yang jelas baik jangka pendek maupun jangka panjang, kurang bertanggung jawab terhadap diri sendiri, lingkungan dan masyarakat. Kesimpulan Terdapat perbedaan makna hidup yang sanagt signifikan antara lansia yang tinggal di panti werdha dengan lansia yang tinggal bersama keluarga. Lansia yang tinggal bersama keluarga lebih tinggi makna hidupnya daripada lansia yang tinggal di panti werdha. Saran Saran kepada panti werdha Pihak pengelola panti dalam membantu lansia yang tinggal di panti werdha sebaiknya tidak hanya memfokuskan pada bantuan fisiologis seperi sandang, pangan, dan papan, tetapi juga harus selalu mengupayakan suatu aktivitas dan mengkondisikan hubungan yang lebih manusiawi yang dapat mendorong lansia tersebut dapat menemukan makna hidup, baik melalui bimbingan agama, pendekatan pribadi, dan pemenuhan kebutuhan sosial yang dapat membangkitkan semangat hidup mereka. Saran kepada keluarga Mengingat lansia yang tinggal di panti werdha cenderung kurang dapat menemukan makna hidupnya, maka bagi keluarga yang masih memiliki orang tua diharapkan dapat merawatnya dengan sebaik-baiknya jika mampu dan tidak “menyia-nyiakan” dengan menitipkan yang bersangkutan pada panti werdha. Apabila terpaksa dititipkan di panti, sering-sering menjenguk. Saran kepada peneliti lain a. Memperhatikan kondisi maupun psikis subjek sebelum melakukan tes sehingga kesalahan dan menjawab tes dapat diminimalisir sehingga dapat menghasilkan hasil yang maksimal. b. Dan bagi para peneliti selanjutnya yang tertarik dengan penelitian ini, maka dapat lebih menyempurnakan hasil penelitian ini dengan cara mengkaji bahasan ini dari pendekatan seperti penelitian kualitatif, lingkungan antara kota dan desa, kualitas lingkungan, sehingga dapat melengkapi hasil penelitian ini. Dengan demikian kajian tentang makna hidup lansia tersebut semakin lengkap dan mendetail. Daftar Pustaka Bastaman, H.D. 1996. Meraih Hidup Bermakna, Jakarta: Paramadina Frankl, V. E.. 2003. Logoterapi: Terapi Psikologi Melalui Pemaknaan Eksistensi. Terjemahan M. Murtadlo. Yogyakarta: Penerbit Kreasi Wacana Haditono, S. R 1988. Kebutuhan dan Citra Diri Orang Lanjut Usia. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Lembaga Penelitian UGM . 1993. Psikogerontologi. Diktat Kuliah Psikologi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Hardywinoto dan Tony Setiabudhi, 1999. Panduan Gerontologi: Tinjauan Dari Berbagai Aspek. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama Hawari, D., 2004. Al Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Yogyakarta: PT. Dana Bakti Prima Koeswara, E., 1987. Psikologi Eksistensial. Bandung: Penerbit PT. Eresco Monks, S. J, Knoers A.M.P, & Haditono, S. R. 2002. Psikologi Perkembangan, Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Prawitasari, Johana E., 1993. Aspek Sosio-Psikologis Usia Lanjut di Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 21 No. 4-1993 Santi, B. 2002. Dana Pensiun: Investasi untuk Hari tua. Jurnal Perempuan (Perempuan Lansia), No.25-2002 Widiana, I. W. 1996. Kebermaknaan Hidup = Mediator dan Non Mediator. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM WWW. Waspada. Co.id/28/06/2004 Identitas Penulis: Nama : Ratna Cahyawati Alamat : Komp. SBS blok A3 no. 10, Harapan Jaya, Bekasi Utara No.telp : 08122723027