aspek hukum pemanfaatan zona ekonomi eksklusif dalam

advertisement
LAPORAN AKHIR
PENELITIAN TENTANG
ASPEK HUKUM PEMANFAATAN ZONA EKONOMI
EKSKLUSIF DALAM RANGKA PENINGKATAN
PENDAPATAN NELAYAN INDONESIA
Disusun oleh Tim Kerja
Di bawah Pimpinan
CHAIRIJAH, S.H., M.H., Ph.D.
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM NASIONAL
BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL
DEPARTEMEN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI
TAHUN 2005
KATA PENGANTAR
Penelitian masalah pemanfaatan perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif
mengandung banyak fenomena yang sangat kompleks, termasuk masalah hukum. Hal ini
disebabkan permasalahan pemanfaatan perikanan memiliki ciri-ciri tertentu, terutama
yang menyangkut masalah karateristik biologis ikan yang senantiasa terpengaruh oleh
kondisi alam sekitarnya. Sedangkan keadaan alam Indonesia terdapat pada garis ekuator
yang sangat mempengaruhi musim penangkapan ikan, dan juga terhadap pertumbuhan
biota laut dan habitat ikan diperairan Indonesia. Oleh karena itu sektor perikanan ini
memberikan konstribusi penting pada perekonomian nasional berupa devisa, penyediaan
protein bagi masyarakat, dan penyerapan lapangan kerja. Namun demikian sebagian
pelaku perikanan khususnya Nelayan masih dalam kondisi memprihatinkan.
Salah satu penelitian yang telah dilaksanakan adalah penelitian tentang “Aspek
Hukum Pemanfaatan Zona Ekonomi Eksklusif dalam rangka Peningkatan Pendapatan
Nelayan Indonesia”.
Dari hasil penelitian tersebut dapat diungkapkan tentang sejauhmana pengaturan
Internasional dan Nasional dalam memanfaatkan Zona Ekonomi Eksklusif dan
sejauhmana Nelayan Indonesia telah memanfaatkan Zona Ekonomi Eksklusifnya dalam
peningkatan pendapatan serta kendala-kendala apa yang dihadapi Nelayan Indonesia
dalam memanfaatkan Zona Ekonomi Eksklusif. Namun Tim berpendapat bahwa
penelitian ini merupakan penelitian penjajakan terhadap aspek hukum yang terkandung
dalam pemanfaatan perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif, mengingat masalah ini masih
memerlukan penelaahan inter dan multi disipliner lebih lanjut.
Maka sudah tentu masih dirasakan banyak kekurangan data yang memerlukan
penelaahan yang lebih mendalam lagi, terutama yang menyangkut peningkatan
pendapatan Nelayan dalam memanfaatan Zona Ekonomi Eksklusifnya.
Dalam kesempatan ini, Tim mengucapkan terima kasih kepada Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia khususnya Kepala Badan Pembinaan Hukum
Nasional atas kepercayaan yang diberikan dan kepada Prof. Dr. Etty R. Agus, S.H., serta
kepada seluruh Anggota Tim atas kerjasama yang baik. Semoga Penelitian ini dapat
bermanfaat sebagai salah satu materi dalam pengembangan hukum nasional pada
umumnya.
Jakarta, Desember 2005
Ketua,
Chairijah, S.H., M.H., Ph.D.
DAFTAR ISI
Hal.
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
B.
C.
D.
E.
F.
BAB II
Latar Belakang Penelitian.........................................................
Perumusan Masalah Penelitian.................................................
Maksud, Tujuan dan Kegunaan Penelitian...............................
Metode/ Teknik Penelitian........................................................
Kerangka Konsepsional.............................................................
Keanggotaan Tim.......................................................................
BAB IV
1
4
5
6
8
10
ASPEK HUKUM PEMANFAATAN ZONA EKONOMI
EKSKLUSIF
A. Aspek Hukum (Yurisdiksi) Negara Pantai di Bidang
Perikanan Menurut Konvensi Hukum Laut PBB1982..............
B. International Plan Action to Prevent, Deter and Eliminate
Ellegal, Unreported and Unregulated Fishing (IPOA IUU) di
ZEE Indonesia.............................................................................
C. Ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 tentang Sumber Daya
Hayati dan Partisipasi Pihak Asing dalam Pemanfaatan
Sumber Perikanan Zona Ekonomi Eksklusif serta Pengaturan
Nasional Indonesia......................................................................
BAB III
i
ii
11
26
39
ASPEK HUKUM PEMANFAATAN ZEE DALAM RANGKA
PENINGKATAN PENDAPATAN NELAYAN INDONESIA
A. Potensi dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Laut
Indonesia..................................................................................
B. Jumlah Tangkapan Yang Diperbolehkan di ZEEI......................
C. Kebijakan untuk Nelayan...........................................................
D. Kebijakan di ZEEI Selama ini....................................................
E. Kebijakan Pengendalian Pengeloaan Perikanan Indonesia........
49
54
56
60
82
PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................
B. Saran...........................................................................................
88
90
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Penelitian
Penelitian ini diawali dengan mempertanyakan, Siapa itu Nelayan? Karena
Nelayan sering didefinisikan sebagai orang yang melakukan kegiatan
penangkapan ikan di laut. Sedangkan dalam bahasa Sosiologi, fenomena ini
merupakan konsekuensi dari adanya diferensiasi sosial yang salah satunya berupa
pembagian kerja atau labor devison.1 Dengan dapatnya memahami pengertian
tersebut maka dapat dikatakan bahwa Nelayan dalam kehidupannya selalu
memanfaatkan laut dalam arti perairan Indonesia.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 kata “manfaat” ini dapat terlihat
bahwa tanah air beserta seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat, dalam hal ini Nelayan. Selama ini terkesan bahwa
kekayaan alam yang besar itu belum termanfaatkan secara optimal untuk
kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat. Hal ini terlihat bahwa laut beserta
seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya merupakan sumber daya yang
tidak ternilai harganya yang perlu dimanfaatkan dan sekaligus dilestarikan. Tidak
1
Arief Satria, 2002.”Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Cidesindo. Jakarta.
1
kurang dari 240 juta ton ikan, yang separuh atau 120 juta ton diantaranya dapat
diambil setiap tahun tanpa harus mengancam kelestariannya.2
Luas wilayah perairan Indonesia merupakan potensi alam yang besar untuk
dimanfaatkan bagi pembangunan nasional. Pembangunan nasional diarahkan
pada pendayagunaan sumber daya laut dan dasar laut nasional serta pemanfaatan
fungsi wilayah laut nasional termasuk Zona Ekonomi Eksklusifnya secara serasi
dan seimbang dengan memperhatikan daya dukung sumber daya kelautan dan
kelestariannya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat serta memperluas
kesempatan usaha dan lapangan kerja.
Dengan telah disahkannya rezim hukum Zona Ekonomi Ekslusif dalam
lingkup Hukum Laut Internasional maka sumber daya perikanan yang dimiliki
bangsa Indonesia menjadi bertambah besar jumlahnya dan berperan sangat
potensial untuk menunjang peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh
rakyat, khususnya nelayan Indonesia.
Indonesia sebagai salah satu dari 10 negara penghasil ikan terbesar dunia
sebenarnya masih memiliki peluang lebih besar untuk mengembangkan usaha
perikanannya karena potensi lestari yang dimiliki Indonesia mencapai 6,6 juta
ton sedangkan yang dieksploitasi baru pencapai 2,6 juta ton sehingga terdapat
tidak kurang dari 4 juta ton lagi yang belum dimanfaatkan. Pada hal di sisi lain
Indonesia sangat membutuhkan ikan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri
2
Editor Dr. Ir. Feliarta, DEA, “Strategi Pembangunan Perikanan dan Kelautan Nasional dalam
2
serta ekspor guna mendapatkan devisa negara.3 Sebagai contoh adalah sumber
daya perikanan laut di Kepulauan Natuta. Wilayah ini memiliki hasil mencapai 1
juta ton/tahun. Total pemanfaatan hanya 36% dan hanya 4,3% dari 36% tersebut
yang dimanfaatkan oleh Kabupaten Natuna.
Diketahui juga bahwa Indonesia merupakan negara maritime yang
memiliki wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia seluas kurang lebih
2.692.762 km2. Dengan luasnya Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tersebut,
Indonesia
sebagai
negara
pantai
seharusnya
mampu
mengelola
dan
memanfaatkannya sekaligus dapat mencegah berbagai persoalan yang timbul di
Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia. Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
pemerintah Indonesia memiliki hak berdaulat (eksklusif) untuk memperoleh
manfaat ekonomi melalui kegiatan-kegiatan pengelolaan, pengawasan dan
pelestarian seluruh sumber daya baik hayati maupun non hayati, sedangkan
negara-negara lain yang ingin memanfaatkan sumber daya ekonomi di Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia haruslah mendapat ijin dari pemerintah Indonesia.
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) sebagai bagian dari wilayah
kedaulatan yurisdiksi nasional yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1983 tentang ZEEI dalam rangka Implementasi UNCLOS 1982, memiliki
sumber daya alam baik hayati dan non hayati yang sangat besar untuk
3
Meningkatkan Devisa Negara, UNRI Press, hal 25-26.
Sinar Harapan. “Kawasan Pulau Natuna “Quo Vadis”, Dr-Ing. Imam Prayogo, MBA, Jakarta 14
April 2005.
3
pembangunan nasional dan kesejahteraan bangsa, namun disisi lain potensi ZEEI
yang sedemikian besar dapat menimbulkan akibat yang negatif berupa eksplorasi
dan eksploitasi secara illegal yang berdampak terhadap kerusakan lingkungan
laut di Zona Ekonomi Eksklusif dan juga dapat merugikan potensi ekonomi
negara.
Luasnya bentangan ZEEI serta terbatasnya sarana dan prasarana yang
dimiliki baik oleh TNI AL maupun aparat penegak hukum lainnya menyebabkan
Implementasi penegakan hukum di laut belum dapat dilakasanakan secara
optimal yang mampu melindungi seluruh wilayah Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia. Hal ini disebabkan sistem penegakan hukum di laut masih lemah,
terutama dilihat dari aspek legalnya maupun kemampuannya yang tidak
seimbang antara luas laut dan kekuatan yang ada, sehingga para pelanggar
leluasa dalam melakukan kegiatannya. Indikasi keterbatasan tersebut dapat
dilihat dari maraknya penangkapan ikan secara illegal oleh kapal-kapal ikan
asing (KIA) maupun kapal-kapal ikan Indonesia (KII).
B.
Perumusan Masalah Penelitian
Dari latar belakang dimuka perlu dirumuskan aspek-aspek hukum apa yang
berkaitan dengan pemanfaatan Zona Ekonomi Eksklusif dalam rangka
peningkatan pendapatan nelayan Indonesia, antara lain:
4
1.
Sejauhmanakah yurisdiksi negara pantai memanfaatkan Zona Ekonomi
Eksklusifnya
2.
Sejauhmanakah Nelayan Indonesia telah memanfaatkan Zona Ekonomi
Eksklusif dalam menambah pendapatannya.
3.
Kendala-kendala apa yang dihadapi Nelayan Indonesia dalam
memanfaatkan Zona Ekonomi Eksklusif dan apa kebijakan yang diambil
Pemerintah terhadap masalah ini..
C.
Maksud, Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.
Maksud Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui atau mengkaji
hak dan kewajiban negara pantai terhadap pemanfaatan Zona Ekonomi
Eksklusif. Terutama penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui manfaat
apa yang dapat dinikmati oleh Nelayan.
2.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini diadakan dengan tujuan untuk mendapatkan data-data yang
akurat mengena pemanfaatan Zona Ekonomi Eksklusif khususnya perairan
Indonesia dalam rangka peningkatan pendapatan Nelayan.
5
3.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini mempunyai dua macam kegunaan yakni kegunaan sosial dan
kegunaan ilmiah. Dengan kegunaan sosial diharapkan bahwa penelitian ini
dapat memberikan bahan masukan yang dapat digunakan untuk menunjang
pembangunan hukum nasional khususnya hukum laut internasional yang
merupakan tugas BPHN. Dengan kegunaan ilmiah diharapkan bahwa
penelitian ini dapat memberikan sumbangan kepada dunia ilmu
pengetahuan tentang aspek hukum dalam pemanfaatan Zona Ekonomi
Eksklusif dalam rangka peningkatan pendapatan nelayan Indonesa.
D.
Metode/Teknik Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskripsi analitis
melalui pengumpulan dan analisa data, baik terhadap data kualitatif maupun
kuantitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan dua cara, yakni melalui
penelusuran dokumentasi dan melalui wawancara dengan pihak-pihak yang
terkait. Wawancara dilakukan dengan maksud untuk melihat persepsi dari para
pelaksana di bidang kegiatan perikanan tentang sejauhmana manfaat yang
diperoleh nelayan dalam kegiatan mereka.
Adapun tahap-tahap kerjanya adalah sebagai berikut:
6
1.
Data yang terkumpul dilakukan editing4 kemudian disederhanakan dan
diperoleh suatu permasalahan. Tahap berikutnya adalah analisis data yang
dipergunakan di dalam penelitian ini adalah dengan cara data yang
terkumpul direduksi dengan membuat abstaksi untuk memperoleh suatu
penyederhanaan yang kemudian dilanjutkan dengan penyusunan satuansatuan permasalahan. Satuan permasalahan yang sudah disederhanakan ini
kemudian dianalisis secara yuridis-normatif, dan selanjutnya dilakukan
deskripsi secara normatif. Dengan demikian data empirik dinormatifkan
sesuai dengan norma-norma yang telah ada perumusannya.
2.
Langkah selanjutnya merumuskan Laporan Akhir Tim tentang Aspek
Hukum Pemanfaatan Zona Ekonomi Eksklusif dalam Peningkatan
Pendapatan Nelayan Indonesia, yakni :
a. merumusakan hasil kegiatan langkah pertama sebagai Laporan Akhir
Penelitian tentang Aspek Hukum Pemanfaatan Zona Ekonomi
Eksklusif dalam Peningkatan Pendapatan Nelayan Indonesia.
b. menyerahkan hasil Laporan Akhir tentang Aspek Hukum Pemanfaatan
Zona Ekonomi Eksklusif dalam Peningkatan Pendapatan Nelayan
Indonesia kepada Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasonal
Departemen Hukum dan Hak Asas Manusia RI.
4
Rony Hanitijo, S.H: “Metodologi Penelitian Hukum”, Penerbit Ghalia Indonesia, Cetakan Kedua,
1985, hal. 80. Menyatakan, bahwa editing adalah memeriksa atau meneliti data yang telah
diperoleh untuk menjamin apakah sudah dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan kenyataan.
7
E.
Kerangka Konsepsional
Dalam penelitian ini perlu adanya kesamaan persepsi dan konsepsi
tentang berbagai hal yang erat kaitannya dengan materi penelitian, seperti:
1.
Aspek-aspek Hukum
Yang dimaksud dengan aspek-aspek hukum adalah hukum yang terdapat
dalam kegiatan pemanfaatan perikanan, baik mengenai aspek hukum yang
terdapat dalam praktek negara-negara sebagai bahan pembanding, maupun,
dan yang terutama mengenai aplikasi hukum internasional ke dalam hukum
nasional.
2.
Pemanfaatan ZEE
Menurut Pasal 62 ayat (1) KHL 1982 bahwa negara-negara diwajibkan
untuk melakukan pemanfaatan secara optimal dari sumber perikanan ZEE.
Sedangkan menurut PP No. 15 Tahun 1984 Pasal 2: sumber daya alam
hayati di ZEEI dimanfaatkan untuk mengembangkan usaha perikanan
Indonesia, dalam rangka meningkatkan kemampuan untuk memanfaatkan
sumber daya alam hayatinya di ZEEI, orang/badan hukum Indonesia yang
bergerak di bidang usaha perikanan Indonesia dapat mengadakan
kerjasama dengan orang atau badan hukum asing dalam bentuk usaha
patungan atau bentuk kerja sama lainnya menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.
8
3.
Nelayan
Nelayan tradisional yang biasanya lebih berorientasi pada pemenuhan
kebutuhan sendiri (subsistence).
Nelayan yang penggunaan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju,
seperti motor tempel atau kapal motor. Umumnya, nelayan jenis ini masih
beroperasi di wilayah pesisir. Pada jenis ini, nelayan sudah mulai
berorientasi pasar. Sementara tenaga kerja atau ABK-nya sudah meluas dan
tidak tergantung pada anggota keluarga saja.
Nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan keuntungan. Skala
usahanya sudah besar yang dicirikan dengan banyaknya jumlah tenaga
kerja dengan status yang berbeda dari buruh hingga manajer. Begitu juga
dengan teknologi, kelompok ini sudah menggunakan teknologi modern dan
membutuhkan keahlian tersendiri dalam pengoperasian kapal maupun alat
tangkapnya.
Nelayan skala besar dicirikan dengan majunya kapasitas teknologi
penangkapan ikan maupun jumlah armadanya. Mereka lebih berorientasi
pada keuntungan (profit oriented) dan melibatkan buruh nelayan sebagai
ABK dengan organisasi kerja yang lebih kompleks
3.
Zona Ekonomi Eksklusif
Yang dimaksud dengan Zona Ekonomi Eksklusif dalam penelitian ini
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983, LN
9
1983-44, yaitu jalur luar di luar dan berbatasan dengan laut wilayah
Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang
berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di
bawahnya, dan air di atasnya dengan luas 200 (dua ratus) mil laut diukur
dari garis pangkal laut wilayah Indonesia.
F.
Keanggotaan Tim
Konsultan
:
Prof. Dr. Etty R. Agus, SH., MH
Ketua
:
Chairijah, SH.,MH.,Ph.D
Sekretaris/Anggota
:
Muhar Junef, SH.,MH
Anggota
: 1.
Akhmad Solihin, SPi.
2.
Raida L. Tobing, SH
3.
Lukina, SH
4.
Eni Dwi Astuti, SH
Assiten
:
Ruslan Anwar
Pengetik
: 1.
Wiwik
2.
M. Taruli Simorangkir.
10
BAB II
ASPEK HUKUM PEMANFAATAN ZONA
EKONOMI EKSKLUSIF
Pengaturan mengenai Zona Ekonomi Eksklusif sudah diatur baik secara
intenasional maupun secara nasional. Oleh karena itu penelitian ini perlu menjelaskan
kembali karena perkembangan hukum, khususnya di bidang kelautan.
A.
Aspek Hukum
(Yurisdiksi) Negara Pantai di Bidang Perikanan Menurut
Konvensi Hukum Laut PBB 1982
Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi
PBB tentang Hukum Laut tahun 1982 dengan Undang-undang Nomor 17 tahun
1985. Konvensi tersebut telah berlaku pada tanggal 16 November 1994 yakni
setahun setelah sipenuhinya jumlah ratifikasi sebanyak 60 negara oleh Guyana
pada tanggal 16 November 1993, sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 308 yang
menyatakan bahwa Konvensi akan berlaku 12 bulan setelah tanggal pendepositan
piagam ratifikasi yang ke-60. Oleh karena itu bagi negara kepulauan dan negara
pantai seperti Indonesia, peristiwa tersebut merupakan langkah yang patut
dibanggakan. Dengan berlakuknya yurisdiksi Konvensi Hukum Laut 1982 berarti
status kepulauan Indonesia dengan yurisdiksi terhadap eksploitasi kekayaan alam
hayati dan non hayati, sudah tidak diragukan lagi secara internasional.
11
Adapun Hak dan Kewajiban Indonesia sebagai Negara Pantai adalah
sebagai berikut:
(a)
Hak Negara Pantai untuk membuat pengaturan.
Untuk melihat sejauh mana hak Indonesia, terutama dalam memanfaatkan
sumber daya ikan yang terkandung dalam laut kepulauan dan Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia, pertama-tama dapat dilihat dari Pasal 3 KHL 1982 yang
menyatakan bahwa kedaulatan suatu negara pantai selain meliputi wilayah
daratan dan perairan pedalamannya, dan dalam hal suatu negara kepulauan,
perairan kepulauannya, meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya
yang dinamakan laut teritorial. Maka pada prinsipnya adalah wewenang penuh
negara pantai untuk mengatur pemanfaatan perikanan di wilayah perairan
nasional Indonesia yaitu di laut pedalaman, laut kepulauan, dan laut teritorial.
Walaupun kapal asing diberi hak untuk melakukan lintas damai tetapi pada saat
ia melakukan lintas itu, tidak diperkenankan untuk menangkap ikan. Hal ini
ditegaskan oleh KHL 1982 Pasal 19 ayat (2) (i) yang menyatakan bahwa lintas
suatu kapal asing harus dianggap membahayakan kedamaian, ketertiban, atau
keamanan negara pantai, apabila kapal tersebut di laut teritorial melakukan setiap
kegiatan perikanan.
Selanjutnya negara pantai diberi kewenangan untuk membuat peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan lintas damai melalui laut teritorial
yang meliputi :
12
a. keselamatan navigasi dan pengaturan lalu lintas maritim;
b. perlindungan alat-alat pembantu dan fasilitas navigasi serta fasilitas atau
instalasi lainnya;
c. perlindungan kabel dan pipa laut;
d. konservasi kekayaan hayati laut;
e. pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan negara
pantai;
f. pelestarian lingkungan negara pantai dan pencegahan, pengurangan dan
pengendalian pencemarannya;
g. penelitian ilmiah kelautan dan survey hidrografi;
h. pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan fiskal, imigrasi, atau
saniter negara pantai.
Pengaturan-peraturan yang dibuat oleh negara pantai tersebut tidak berlaku bagi
desain, konstruksi, pengawakan, atau peralatan kapal asing, kecuali apabila
peraturan perundang-undangan tersebut melaksanakan peraturan atau standar
internasional yang diterima secara umum (Pasal 21 ayat 2). Dan peraturanperaturan tersebut harus bersifat transparan dan mudah diketahui oleh negara
yang melakukan pelayaran lintas damai tersebut. Kapal asing yang melaksanakan
hak lintas damai, harus mematuhi semua peraturan perundang-undangan dan
semua peraturan internasional yang bertalaian dengan pencegahan tubrukan di
laut yang diterima secara umum.
13
(b)
Hak perikanan tradisional bagi negara tetangga.
Tanpa mengurangi status perikanan kepulauan, negara pantai (Indonesia)
harus tetap menghormati pernjajian yang ada dengan negara lain, dan harus
mengakui hak perikanan tradisional serta kegiatan lain yang sah dari negara
tetangga yang langsung berdampingan dalam daerah tertentu yang berada dalam
perairan kepulauan. Syarat dan ketentuan bagi pelaksanaan hak dan kegiatan
demikian, termasuk sifatnya, ruang lingkup dan daerah dimana hak dan kegiatan
demikian berlaku, atas permintaan salah satu negara yang bersangkutan harus
diatur dengan perjanjian bilateral antar mereka. Hak demikian tidak boleh
dialihkan atau dibagi dengan negara ketiga atau warga negeranya.
(c)
Hak berdaulat di Zona Ekonomi Eksklusif.
Menurut Pasal 56 KHL 1982 negara pantai (Indonesia) dalam Zona
Ekonomi Eksklusifnya mempunyai hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi
dan eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati
maupun non hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah
di bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan
eksploitasi zona tersebut, seperti produksi energi dan air, arus dan angin.
Yurisdiksi di ZEE terbatas pada hak untuk melakukan eksploitasi sumber
kekayaan alam yang dikandungnya, dengan tetap mengakui adanya status lain
dari perairan tersebut sebagai laut bebas, untuk kegiatan-kegiatan yang bukan
14
termasuk ke dalam pemafaatan kekayaan alam. Dengan perkataan lain, yurisdiksi
yang diberikan oleh Konvensi terbatas terhadap hak-hak ekonomi dan negara
pantai atas kekayaan alamnya. Sedangkan di bidang pelayaran dan pemasangan
kabel dan pipa di bawah laut, tetap merupakan laut bebas. Selain yurisdiksi
terhadap kekayaan alam yang terkandung di ZEE, kegiatan-kegiatan yang
sesungguhnya memiliki keterkaitan dengan eksistensi dari kekayaan tersebut,
Konvensi mengakui adanya yurisdiksi yang berkaitan. Sebagaimana dikatakan
dalam Pasal 56 ayat (1) butir (b) bahwa yurisdiksi sebagaimana ditentukan dalam
ketentuan yang relevan dengan Konvensi ini berkenaan dengan : (i) pembuatan
dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan; (ii) riset ilmiah kelautan;
dan (iii) perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Ditambah dengan hak dan
kewajiban lain sebagaimana ditentukan dalam Konvensi. Namun dalam
melaksanakan hak-hak dan memenuhi kewajibannya berdasarkan Konvensi ini
dalam ZEE, negara pantai harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak
dan kewajiban konvensi. Mengenai hak-hak negara lain di ZEE ditegaskan dalam
Pasal 58 yang menyatakan bahwa semua negara, baik negara yang pantai atau
negara tak berpantai dengan tunduk pada ketentuan yang relevan dengan
konvensi, menikmati kebebasan pelayaran dan penerbangan, serta kebebasan
meletakan kabel dan pipa bawah laut, dan penggunaan laut lain yang sah
menurut hukum internasional yang bertalian dengan kebebasan-kebebasan kapal,
pesawat udara, dan kabel serta pipa bawah laut.
15
(d)
Kewajiban negara pantai untuk melakukan konservasi sumber kekayaan
alam hayati.
Sebagaimana dikatakan di atas, bawah sesungguhnya yurisdiksi negara
pantai yang berlaku di ZEE sifatnya terbatas, dan kebebasan-kebebasan yang
berlaku di laut bebas masih melekat dalam hal-hal tertentu. Hal ini dimaksudkan
agar pemanfaatan kekayaan alam di ZEE jangan sampai merusak kelangsungan
hidup sumber daya hayati di perairan tersebut. Mengingat bahwa sumber daya
hayati seperti ikan sebenarnya tidak dapat dibatasi oleh suatu batas tertentu, dan
mempunyai sifat berpindah-pindah, sehingga kepentingan eksploitasi sumber itu
oleh suatu negara tidak terlepas juga kepentingan negara lain, terutama negaranegara yang berdekatan baik berhadapan maupun yang berdampingan.
Oleh karena itu, konvensi mewajibkan hal-hal sebagai berikut (pasal 61
KHL 1982):
(1) negara pantai harus menentukan jumlah tangkapan sumber kekayaan
hayati yang dapat diperbolehkan dalam ZEE.
(2) Negara pantai, dengan memperhatikan bukti ilmiah terbaik dan
tersedia baginya harus menjamin dengan mengadakan tindakan
konservasi dan pengelolaan yang tepat sehingga pemeliharaan
sumber kekayaan hayati
di
zona ekonomi
eksklusif tidak
dibahayakan oleh eksploitasi yang berlebihan. Dimana perlu, negara
16
pantai dan organisasi internasional, regional maupun global, harus
bekerja sama untuk tujuan ini.
(3) Tindakan
demikian
juga
bertujuan
untuk
memelihara
atau
memulihkan populasi jenis yang dapat dimanfaatkan pada tingkat
yang dapat menjamin hasil maksimum yang lestari, sebagaimana
ditentukan oleh faktor ekonomi dan lingkungan yang relevan,
termasuk kebutuhan ekonomi masyarakat nelayan daerah pantai dan
kebutuhan khusus negara berkembang, dan dengan memperhatikan
pola penangkapan ikan, saling ketergantungan persediaan jenis ikan
dan standar minimum internasional yang dianjurkan secara umum,
baik di tingkat sub-regional, regional, maupun global.
(4) dalam
mengambil
tindakan
demikian,
negara
pantai
harus
memperhatikan akibat-akibat terhadap jenis-jenis yang berhubungan
atau tergantung pada jenis yang dimanfaatkan dengan tujuan untuk
memelihara atau memulihkan populasi jenis yang berhubungan atau
tergantung demikian di atas tingkat reproduksinya dapat sangat
terancam.
(5) keterangan ilmiah yang tersedia, statistik penangkapan dan usaha
perikanan, serta data lainnya yang relevan dengan konservasi
persediaan jenis ikan harus disumbangkan dan diperuntukan secara
teratur melalui organisasi internasional yang berwenang baik sub17
regional, regional, maupun global dimana perlu dan dengan peran
serta semua negara yang berkepentingan, termasuk negara yang
warga negaranya diperbolehkan menangkap ikan di ZEE.
(e)
Kewajiban negara pantai untuk memanfaatkan secara optimal wilayah
Zona Ekonomi Eksklusifnya.
Negara pantai diharuskan untuk memanfaatkan secara optimal wilayah
ZEE-nya, dan harus menetapkan kemampuannya. Apabila ternyata negara pantai
tersebut tidak memiliki kemampuan untuk memanfaatkan seluruh jumlah
tangkapan sumber kekayaan hayati yang dapat diperbolehkan, maka ia harus,
melalui perjanjian atau peraturan lainnya, memberikan kesempatan pada negara
lain untuk memanfaatkan jumlah tangkapan sesuai dengan jumlah tangkapan
yang diperbolehkan yang masih tersisa dengan memperhatikan secara khusus
ketentuan Pasal 69 dan Pasal 70, khususnya yang bertalian dengan negara
berkembang yang disebut di dalamnya. Dalam memberikan kesempatan
memanfaatkan kepada negara lain itu, negara pantai harus memperhitungkan
semua faktor yang relevan, termasuk antara lain mengenai pentinya sumber
kekayaan hayati yang penting bagi perekonomian negara pantai yang
bersangkutan dan kepentingan nasional yang lain (Pasal 62 ayat 3). Warga
negara lain yang melakukan penangkapan ikan di ZEEI harus mematuhi tindakan
18
konservasi dan ketentuan serta persyaratan lainnya yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan negara pantai.
Peraturan perundang-undangan itu meliputi:
(1) pemberian izin kepada nelayan, kapal penangkapan ikan dan peralatannya,
termasuk pembayaran bea dan pungutan bentuk lain, yang dalam hal negara
pantai yang berkembang, dapat berupa kompensasi yang layak di bidang
pembiayaan, peralatan, dan teknologi yang bertalian dengan industri perikanan;
(2) pentepan jenis ikan yang ditangkap, dan menentukan kuota-kuota penangkapan,
baik yang bertalian dengan persediaaan jenis ikan atau kelompok persediaan
jenis iakan suatu jangka waktu tertentu atau jumlah yang dapat ditangkap oleh
warga negara suatu negara selama jangka waktu tertentu;
(3) pengaturan musim dan daerah penangkapan, macam ukuran dan jumlah alat
penagkapan ikan, serta macam, ukuran dan jumlah kapal penangkap ikan yang
boleh digunakan;
(4) penentuan umum dan ukuran ikan dan jenis yang boleh ditangkap;
(5) rincian keterangan yang diperlukan dari kapal penangkap ikan, termasuk statistik
penangkapan dan usaha penangkapan serta laporan tentang posisi kapal;
(6) persyaratan, di bawah penguasaan dan pengawasan negara pantai, dilakukan
program riset perikanan yang tertentu dan pengaturan pelaksanaan riset
demikian, termasuk pengambilan contoh tangkapan, disposisi contoh tersebut
dan pelaporan data ilmiah yang berhubungan;
19
(7) penempatan peninjauan atau trainee di atas kapal tersebut oleh negara pantai;
(8) penurunan seluruh atau sebagian hasil tangkapan oleh kapal tersebut di
pelabuhan negara pantai;
(9) ketentuan dan persyaratan bertalian dengan usaha patungan atau pengaturan
kerja sama lainnya;
(10)persyaratan untuk latihan personil dan pengalihan teknologi perikanan, termasuk
peningkatan kemampuan negara pantai untuk melakukan riset perikanan;
(11)prosedur penegakan.
Apabila di ZEE atau di luar tetapi berdekatan dari dua negara atau lebih,
terdapat persediaan ikan jenis yang sama atau termasuk dalam jenis yang sama,
maka negara-negara ini harus secara langsung melalui organisasi sub-regional
atau regional, berusaha mencapai kesepakatan mengenai tindakan yang
diperlukan
untuk
mengkoordinasikan
dan
menjamin
konservasi
dan
pengembangan persediaan jenis ikan yang demikian (Pasal 63 KHL 1982).
(f)
Hak-hak negara tak berpantai dan negara yang secara geografis tak
beruntung.
Dalam KHL 1982 diakui adanya hak dari negara-negara yang tidak
berpantai dan negara yang sekalipun mempunyai pantai tetapi secara geografis
tidak beruntung untuk memanfaatkan sumber kekayaan alam hayati di ZEEI.
Negara tak berpantai (Pasal 69) dan negara yang secara geografis tak beruntung
20
(Pasal 70) mempunyai hak untuk berperan serta atas dasar keadilan, dalam
eksplotasi bagian yang pantas dari kelebihan sumber kekayaan hayati ZEE
negara-negara pantai dalam sub-regional atau regional yang sama, dengan
memperhatikan keadaan ekonomi dan geografis yang relevan dengan negara
yang berkepentingan.
KHL 1982 memberikan pengertian negara yang secara geografis tak
beruntung sebagai negara pantai, termasuk negara yang berbatasan dengan laut
tertutup atau setengah tertutup, yang letak geografisnya membuat tergantung
pada eksploitasi sumber kekayaan hayati ZEE negara lain di sub-regional atau
regional untuk persediaan ikan yang memadai bagi keperluan gizi penduduknya
atau bagian dari penduduk itu, dan negara-negara yang tidak dapat menuntut
ZEE bagi dirinya sendiri (Pasal 70 ayat 2 KHL 1982).
Persyaratan dan cara peran serta demikian akan ditetapkan oleh negaranegara yang berkepentingan melalui perjanjian bilateral, sub regional, atau
regional dengan memperhatikan antara lain hal-hal sebagai berikut:
(1)
kebutuhan untuk menghindari akibat yang merugikan bagi
masyarakat nelayan atau industri penangkapan ikan;
(2)
sejauh mana negara tak berpantai lainnya dan negara yang secara
geografis tak beruntung berperan serta dalam eksploitasi sumber
kekayaan hayati ZEE negara pantai tersebut dan kebutuhan yang
21
timbul karenanya untuk menghindari suatu beban khusus bagi
suatu negara pantai tertentu atau suatu bagian dari padanya;
(3)
kebutuhan gizi penduduk masing-masing negara.
Apabila kapasitas tangkap suatu negara pantai mendekati suatu
titik yang memungkinkan negara itu untuk menangkap seluruh jumlah
tangkapan yang diperbolehkan dari ZEE-nya, maka negara pantai dan
negara lain yang berkepentingan harus bekerja sama dalam menetapkan
pengaturan yang adil atas dasar bilateral, sub-regional, atau regional
untuk memperbolehkan peran serta negara-negara berkembang tak
berpantai di sub-regional atau regional yang sama dalam eksploitasi
sumber kekayaan hayati di ZEE negara-negera pantai di dalam subregional atau regional sebagaimana layaknya dengan memperhatikan
kepada dan atas dasar persyaratan yang memuaskan bagi semua pihak.
Bahkan negara maju tak berpantai pun berhak untuk berperan serta dalam
eksploitasi sumber kekayaan hayati dalam ZEE.
Hak yang diberikan berdasarkan Pasal 69 dan 70 untuk
mengeksploitasi sumber kekayaan alam hayati tidak boleh dialihkan, baik
secara langsung atau tidak langsung kepada negara ketiga atau warga
negaranya, dengan cara sewa atau perizinan, dengan mengadakan usaha
patungan atau dengan cara lain apapun yang mempunyai akibat
pengalihan demikian, kecuali disetujui secara lain oleh negara yang
22
bersangkutan. Ketentuan tersebut tidak memperoleh bantuan teknis atau
keuangan dari negara ketiga atau organisasi internasional untuk
memudahkan pelaksanaan hak-hak itu sesuai dengan ketentuan Pasal 69
dan 70, dengan ketentuan bahwa hal itu tidak mempunyai akibat
pengalihan hak (Pasal 72 ayat 3).
(g)
Penegakan hukum di Zona Ekonomi Eksklusif.
Mengenai penegakan hukum di Zona Ekonomi Eksklusif diatur
dalam Pasal 73 KHL 1982 yang menentukan hal-hal sebagai berikut:
(1) negara pantai dalam melaksanakan hak berdaulatnya untuk
melakukan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pemanfaatan
sumber kekayaan hayati ZEE, dapat mengambil tindakan termasuk
menaiki kapal, memeriksa, menangkap, dan melakukan proses
peradilan, sebagaiman diperlukan untuk menjamin ditaatinya
peraturan perundang-undangan yang ditetapkannya sesuai dengan
konvensi;
(2) kapal-kapal yang ditangkap dan awak kapalnya harus segera
dibebaskan setelah diberikan suatu uang jaminan yang layak atau
bentuk jaminan lainnya;
(3) hukuman dari negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran
peraturan perundang-undangan perikanan di ZEE tidak boleh
23
mencakup pengurangan, jika tidak ada perjanjian sebaliknya antara
negara-negara yang bersangkutan, atau setiap bentuk hukuman badan
lainnya;
(4) dalam hal penangkapan atau penahanan kapal asing, negara pantai
harus segera memberitahukan kepada negara bendera, melalui saluran
yang tepat, mengenai tindakan yang diambil dan mengenai setiap
hukuman yang kemudian dijatuhkan.
Masalah penegakan hukum di laut sama artinya dengan
menegakan kedaulatan di laut. Hal ini disebabkan karena kedaulatan di
laut tidak lahir
bersamaan dengan berdaulatnya negara yang
bersangkutan, melainkan berdasarkan kesepakatan negara – negara yang
berdaulat baik sebagai negara pantai (coastal state) maupun negara
kepulauan (archipelagic state) dalam rangka melindungi kepentingan
pertahanan, keamanan, mencegah penyelundupan, eksploitasi, eksplorasi,
pengelolaan sumber kekayaan alam hayati dan lain-lain. Berkaitan
dengan hal tersebut, dapat dikemukakan bahwa penegakan hukum di laut
sebagai salah satu kegiatan untuk melaksanakan atau memberlakukan
suatu ketentuan hukum.
Pengertian umum penegakan hukum di laut dapat diartikan
sebagai suatu kegiatan negara atau aparat penegak hukumnya
berdasarkan kedaulatan negara dan atau berdasarkan ketentuan-ketentuan
24
internasional agar supaya peraturan hukum yang berlaku di laut baik
aturan hukum nasional maupun internasional dapat diindahkan atau
ditaati oleh setiap orang atau badan hukum termasuk negara sebagai
subjek hukum sehingga dapat tercipta tertib hukum di laut.
Dalam pengertian yustisial, penegakan hukum diartikan sebagai
suatu proses peradilan yang terdiri dari kegiatan penyelidikan,
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan serta
pelaksanaan putusan hakim. Hal-hal tersebut bertujuan untuk menjamin
ketertiban dan kepastian hukum. Berdasarkan pengertian di atas, maka
yang dimaksud dengan penegakan hukum di laut adalah kegiatan yang
meliputi pengawasan, penghentian kapal termasuk menaiki kapal yang
akan diperiksa, penyelidikan dan pemeriksaan kapal, penyidikan serta
penyelesaian lanjut di darat. Penanganan penegakan hukum tersebut
dilaksanakan oleh kapal perang, kapal negara dan aparat penegak hukum
yang berwenang yang ditetapkan dalam undang-undang nasional maupun
ketentuan hukum internasional.
25
B.
International Plan Action to Prevent, Deter and Eliminate Ellegal, Unreported
and Unregulated Fishing (IPOA IUU) di ZEE Indonesia
Sejalan dengan perkembangan perikanan global, pencaturan dunia
tentang kewenangan negara akan laut termasuk pemanfaatan sumber daya
alamnya dibahas bersama-sama oleh masyarakat di dunia secara intensif dalam
forum yang dikenal sebagai UNCLOS (United Nations Convention on the Law
of the Sea) sejak tahun 1958. Proses negosiasi di UNCLOS cukup lama dan
konvensi tersebut baru diadopsi pada tahun 1982. UNCLOS merumuskan
beberapa paradigma baru tentang kelautan termasuk persetujuan perjuangan
indonesia yang mendapat dukungan penuh dari beberapa negara kepulauan
lainnya (Filipina dan Fiji) akan konsep wawasan nusantara (arcippelagic
principle), sehingga laut antar pulau menjadi bagian dari perairan teritorial.
Demikan halnya konsep ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) 200 mil yang diprakarsai
oleh beberapa negara di Amerika Latin juga akhirnya disepakati dalam
UNCLOS. Akhirnya UNCLOS secara resmi menjadi peraturan internasional
yang mengikat setelah tercapai jumlah ratifikasi sebesar 60 negara pada tahun
1994.
Dengan diproklamirkannya konsep ZEE, semakin bertambah luas daerah
penangkapan negara-negara pantai, namun tanggung jawab pemanfaatan
perikananya terletak pada negara yang bersangkutan. Dengan demikian daerah
26
laut yang tidak bertuan (high seas atau daerah di luar ZEE) relatif menjadi
semakin sedikit. Diharapkan pemanfaatan perikanan di ZEE akan menjadi lebih
baik dengan adanya tanggung jawab negara yang mendelekrasikannya. Sejalan
dengan itu banyak negara-negara berkembang yang daerah penangkapannya
bertambah luas dan kegiatan perikanannya-pun menjadi bertambah sehingga
terjadi peningkatan penangkapan dan akhirnya peningkatan produksi. Namun
untuk beberapa daerah tertentu, peningkatan hasil tangkapan ini mendorong
eksplotasi yang berlebihan sehingga selanjutnya peningkatan produksi tidak
terjadi tetap sebaliknya justru terjadi penurunan. Hal ini tercermin dari
menurunnya produksi perikanan dunia dalam beberapa tahun terakhir ini.
Kemajuan pembangunan ekonomi di dunia telah disikapi dengan
keprihatinan akan dampak pembangunan itu sendiri. Pada akhir tahun 1980-an
badan internasional PBB menugaskan World Commisson on Environmental and
Development untuk merumuskan arah pembangunan yang berwawasan
lingkungan dimana perumusan tertuang dalam buku “Our Common Future”5.
Perkembangan selanjutnya dalam percaturan global dengan semakin banyaknya
tuntutan akan implementasi pembangunan yang berkelanjutan telah mendorong
terselenggraannya Konferensi Bumi 1992 di Rio (Brasil) yang menghasilkan
agenda kegiatan dalam abad ke-21. Agenda tersebut terkenal dengan sebutan
5
WCED (1987): Our Common Future. Wold Environment and Development. Oxford University
Press, 400p.
27
Agenda 21 dan khusus untuk pembangunan yang menyangkut daerah pantai dan
kelautan disajikan dalam Chapter 17.
Hampir bertepatan waktunya, Konferensi Perikanan internasional yang
diselengarakan di Cancoon (Mexico) sebulan sebelum penangkapan yang
berlebihan. Sebagian besar rekomendasi dari Konferensi tersebut menjadi bahan
masukan dalam penyusunan Chapter 17. Kedua Konferensi ini yang kemudian
telah mendorong FAO lebih jauh untuk memfasilitasi dialog dan sekaligus
menyusun
petunjuk
tentang
bagaimana
membangun
perikanan
yang
berkelanjutan agar generasi akan datang juga ikut memanfaatkannya. Akhirnya
pada tahun 1995 buku Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF)
disepakati oleh masyarakat perikanan dunia dan sekarang menjadi buku petunjuk
yang sangat berguna bagi negara dalam menyusun kebijakan ke arah perikanan
yang berkelanjutan.6
Rencana Aksi Internasional (International Plan of Action)
Meningkatnya perdagangan global produk perikanan pada dasawarsa
terakhir ini ditengarai sebagai paling cepat di antara produk-produk pertanian.7
Tidak ayal lagi pembahasan perikanan di forum global semakin meningkat.
Tidak hanya pembahasan dalam bidang perdagangan yang biasa difasilitas dalam
6
7
FAO (1995): Code of Conduct for Responsible Fisheries. Roma, FAO, 1995 : 41p.
Delgado, C.L., N. Wada, M.W. Rosegrant, S. Meijer and M. Ahmed (2003): Fish to 2020. Supply
and Demand in Changing Global Markets. IFPRI Washington D.C. and World Fish Center Penang
Malaysia: 226p.
28
forum WTO (World Trade Organization) dan forum CITES(Convention on
International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna), tetapi
juga pembahasan teknis perikanan yang dilakukan dalam forum FAO. Dalam
beberapa
dasawarsa
terakhir
dengan
masalah
pengelolaan
perikanan.
Pembahasan yang intensif di forum internasional tentang perikanan cucut telah
mendorong dirumuskannya IPOA (International Plan of Action) perikanan cucut
yang merupakan bahan dasar tersusunnya National Plan of Action (NPOA) bagi
negara-negara anggota yang terlibat dalam penangkapan ikan cucut. Pembahasan
lain menyangkut hasil tangkap samping (bycatch) dalam perikanan “longline”
yang berupa burung-burung laut yang kebetulan ikut tertangkap karena ikut
memakan umpan dalam pancing telah mendorong terbentuknya IPOA tentang
perikanan longline. IPOA lainnya yang dirumuskan dalam sidang-sidang FAO
akhir-akhir ini adalah IPOA tentang “fishing capacity” dan IPOA tentang “IUU
fising” (illegal, unreporrted and unregulated fishing). IPOA fishing capacity
dimaksudkan
agar
negara-negara
anggota
FAO
peduli
akan
dampak
pembangunan yang tidak terkontrol dan berakibat meningkatnya kapasitas
penangkapan ikan dan kemudian menindaklanjuti dengan perumusan NPOA.
Mengingat sulitnya upaya pengawasan di laut di beberapa kawasan dunia,
semakin meningkat pula upaya nakal yang termasuk dalam IUU yang dilakukan
oleh para nelayan baik nelayan nasional maupun nelayan asing. Kegiatan IUU ini
akan merupakan tantangan besar bagi upaya pengelolaan perikanan, oleh
29
karenanya IUU merupakan kegiatan yang sangat ditentang oleh masyarakat
perikanan. Indonesia pada saat ini sedang dalam proses menyusun NPOA untuk
menjabarkan kegiatan yang dirumuskan dalam keempat IPOA.
Upaya pengelolaan perikanan di negara-negara maju khususnya negaranegara dimana industri perikanan merupakan partner yang baik dengan
pemerintah, mereka berhasil bekerja bersama-sama untuk menjamin pengelolaan
yang bertanggung jawab. Tentu saja keberhasilan negara-negara maju dalam hal
ini bukan merupakan upaya yang singkat namun melalui proses yang panjang.
Dua negara yang patut menjadi contoh dalam pengelolaan perikanan pada saat
ini adalah Australia dan Norwegia. Faktor yang sangat membantu keberhasilan
pengelolaan adalah kesadaran para nelayan yang dibareng dengan kerjasama
yang baik, jumlah nelayan yang relatif sedikit dan birokrasi pemerintah yang
relatif tidak terlalu berbelit-belit. Bahkan di Australia, pengelolaan perikanan
udang di Teluk Carpentara menjadi contoh yang sangat baik dimana biaya riset
dan pengelolaannya dibebankan kepada perikanan itu sendiri. Di beberapa
negara maju indikator pengelolaan bahkan sudah mulai dipraktekan dalam
bentuk sertifikasi yang disponsori oleh organisasi non-pemerintah yang akhirnya
merupakan upaya pemberian ecolabel. Trend sertifikasi ini sudah mulai
meningkat di beberapa negara bahkan karena desakan para konsumen pencinta
lingkungan, upaya ecolabel juga dikenakan terhadap produk-produk impor untuk
30
menjamin bahwa produk tersebut berasal dari daerah penangkapan yang dikelola
dengan baik.
Kegiatan IPOA IUU
IPOA ini memuat secara komprehensif upaya-upaya pencegahan
reflagging adalah International Plan of Action to Prevent, Deter and Elminate
Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IPOA IUU).
IPOA ini seperti halnya induknya, CCRF, bersifat sukarela, namun
demikan negara-negara anggota Food and Agriculture Organization (FAO)
dihimbau untuk mengikuti IPOA ini dan melaksanakan ketentuannya yang
dituangkan dalam National Plan of Action (NPOA).
Dalam POA ini diatur mengenai penangkapan ikan ilegal, tidak
dilaporkan dan tidak diatur dengan definisi sebagai berikut:
a.
Penangkapan Ikan Ilegal
Pada butir 3.1.IPOA IUU memberikan definisi “penangkapan ikan ilegal
(illegal fishing)” sebagai aktifitas-aktifitas yang:
(1) Dilakukan oleh setiap kapal, baik asing maupun kapal nasional dari
negara mana saja (jadi berlaku juga untuk kapal-kapal dari negaranegara yang bukan angggota FAO) yang :
31
a. Melakukan kegiatan dalam wilayah perairan yurisdiksi suatu
negara.
b. Kegiatan tersebut dilakukan tanpa ijin negara yang bersangkutan.
c. Bertentangan dengan hukum dan peraturan setempat.
(2) Dilakukan oleh kapal-kapal yang berlayar mempergunakan bendera
negara anggota dari organisasi regional konservasi dan pengelolaan
penangkapan ikan yang terkait, yang:
a. Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan mengenai konservasi dan
pengelolaan yang ditetapkan organisasi dimana negara tersebut
terikat, atau
b. Bertentangan dengan hukum internasional.
Tidak ada batasan wilayah dalam hal ini jadi dengan demikan
diasumsikan dimanapun kapal yang berbendera anggota organisasi
regional konservasi dan pengelolaan penangkapan ikan yang terikat
melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum internasional
(contohnya ketentuan konservasi UNCLOS 1982) maka dapat diambil
tindakan.
32
(3) Bertentangan dengan hukum nasional dan kewajiban internasional
termasuk juga kewajiban negara-negara anggota organisasi pengelola
perikanan regional terhadap organisasi tersebut.8
b. Penangkapan Ikan yang Tidak Dilaporkan
Definisi IPOA IUU dalam butir 3.2. tentang penangkapan ikan yang tidak
dilaporkan9 adalah penangkapan ikan yang:
(1) Tidak dilaporkan atau salah dilaporkan kepada otoritas nasional yang
terkait. Acuan yang dipakai adalah hukum dan peraturan nasional, jadi
pengertian tidak dilaporkan atau salah dilaporkan tergantung dari
penafsiran hukum masing-masing hukum nasional dari tiap negara.
(2) Tidak dilaporkan atau salah dilaporkan pada organisasi regional
konservasi dan pengelolaan penangkapan ikan yang terkait. Acuan yang
8
9
Dalam hukum nasional Indonesia mengenai perikanan tidak diberikan definisi secara khusus
mengenai apa yang dimaksud dengan penangkapan ikan ilegal. Akan tetapi jelas dalam
ketentuannya baik di Undang-Undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan telah diganti oleh
Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 maupun dalam Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1990
yang telah digantikan oleh Undang-undang No. 54 Tahun 2002 mengatur adanya kewajiban untuk
meminta ijin penangkapan ikan (IUP, SPI dan SIPI) dengan katagori tertentu (d atas 5 GT),
sementara untuk penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan kecil yang untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari dan menggunakan kapal tidak bermotor, motor luar atau berukuran
kecil dengan ukuran kapal kurang dari 5 GT, tidak perlu ada perijinan. Ketentuan terbaru dari
perijinan ini adalah Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP.10/MEN Tahun 2003
tentang Perijinan Usaha Penangkapan Ikan. Dengan demikian penangkapan ikan tanpa ijin bagi
yang diharuskan untuk memilikinya berarti penangkapan ikan ilegal.
Hukum nasional Indonesia telah mengatur mengenai kewajiban pelaporan berkala (6 bulan/3 bulan
sekali), dan bahkan tindakan tidak menyampaikan laporan atau memberikan laporan yang tidak
benar dapat menjadi dasar untuk pencabutan ijin usaha penangkapan ikannya. Akan tetapi perlu
dilihat lebih lanjut mengenai tingkat kepatuhan para pengusaha perikanan atas kewajiban tersebut.
33
dipakai adalah ketentuan organisasi tersebut. Batasannya adalah dalam
area dimana organisas tersebut mempunyai kompentensi.
c. Penangkapan Ikan yang Tidak Diatur
Butir 3.3. dari IPOA IUU mendefinisikan penangkapan ikan yang tidak
diatur adalah kegiatan-kegiatan penangkapan ikan yang :
(1)
Dilakukan di area organisasi pengelola perikanan regional oleh :
a.
Kapal tanpa nasionalitas.
b.
Kapal yang berbendera negara bukan anggota dari organisasi atau
c.
Entitas-entitas penangkapan ikan yang lain (seperti Taiwan,
Hongkong)
yang
bertentang
dengan
ketentuan
mengenai
konservasi dan pengelolaan dari organisasi tersebut dimana
ketentuan tersebut dapat diterapkan.
Ketentuan ini meletakkan kewajiban pada negara yang bukan
anggata dari perjanjian ini untuk tuntuk pada ketentuan yang
dibuat oleh organisasi pengelolaan perikanan regional yang
terkait.
(2)
Dilakukan bertentangan dengan tanggung jawab negara mengenai
konservasi sumber daya laut berdasarkan hukum internasional,
jika ternyata tidak ada ketentuan konservasi atau pengelolaan yang
dapat diterapkan.
34
Jadi definisi mengenai penangkapan ikan yang tidak diatur didasarkan pada
pengertian pelanggaran ketentuan dalam organisasi pengelolaan perikanan
regional yang terkait terlebih dahulu, setelah itu, jika tidak terdapat
ketentuannya, baru mengacu pada hukum internasional yang mengatur
tanggung jawab negara dalam konservasi sumber daya ikan.10
Ketentuan Hukum Internasonal yang harus dipatuhi dalam rangka
implementasi IPOA IUU
a.
Penerapan Hukum Internasional
(1) Menerapkan secara penuh norma-norma hukum internasional, termasuk
dan khusunya UNCLOS 1982, dalam pencapaian tujuan instrumen ini.
(2) Negara-negara
diharapkan
memprioritaskan
untuk
meratifikasi,
menerima atau mengaksesi UNCLOS 1982, UNIA 1995, dan 1993
FAO Compliance Agreement. Bagi negara yang tidak meratifikasi,
menerima, dan mengaksesi perjanjan internasional di atas tidak boleh
melakukan kegiatan yang bertentangan dengan ketentuan hukum
internasional tersebut.
10
Ketentuan ini meminta hukum suatu negara untuk mengatur penangkapan ikan yang dilakukan oleh
kapal ikan wilayah yursdiksinya (di area di bawah kewenangan organisasi pengelolaan perikanan
regional, misalnya di Samudera Hindia, dan di wilayah yang tidak tunduk pada ketentuan
pengelolaan dan konservasi – yang berarti bukan di wilayah nasional, karena di wilayah nasional
ada ketentuan pengelolaan dan konservasi yang berlaku yaitu ketentuan nasional), agar tidak
bertentangan dengan tanggung jawab negara dalam ketentuan hukum internasional untuk
melakukan konservasi sumber daya hayati laut – misalnya ketentuan yang ada di UNCLOS.
35
(3) Kewajiban negara-negara yang telah meratifikasi, menerima, dan
mengaksesi instrumen perikanan internasional adalah menjalankan
instrumen tersebut secara penuh dan efektif.
(4) IPOA tidak mempengaruh hak dan kewajiban negara-negara anggota
(parties) dalam hukum internasional, UNIA 1995 dan 1993 FAO
Compliance Agreement.
(5) Negara-negara
harus
melaksanakan
Code
Of
Conduct
dalam
hubungannya dengan IPOA secara penuh dan efektif.
(6) Negara-negara yang warga negaranya melakukan penangkapan ikan di
laut bebas yang tidak diatur oleh aturan dari organisasi konservasi dan
pengelolaan penangkapan ikan regional yang terkait, harus menerapkan
ketentuan konservasi pada Bagian VI UNCLOS 1982.
b. Kontrol Negara atas Warga Negaranya
(1) Kewajiban negara-negara untuk mengatur ketentuan atau bekerjasama
untuk menjamin bahwa warga negara dalam wilayah yurisdiksinya
tidak terlibat atau mendukung IUU Fishing
(2) Melakukan kerjasama untuk mengidentifikasi siapa yang menjadi
operator atau pemilik dari kapal yang terlibat IUU Fishing
(3) Kewajiban
negara
untuk
mencegah
warganegaranya
untuk
mendaftarkan kapalnya di negara yang tidak memenuhi tanggung jawab
sebagai negara bendera.
36
c. Pendaftaran Kapal Ikan
(1) Kewajiban negara-negara untuk memastikan bahwa kapal yang berlayar
dengan benderanya tidak terlibat atau mendukung IUU Fishing.
(2) Kewajiban
negara
bendera
kapal
sebelum
meregistrasi
kapal
penangkapan ikan menjamin bahwa ia dapat melaksanakan tanggung
jawabnya untuk memastikan kapal yang akan diregistrasi tidak terlibat
IUU Fishing.
(3) Negara bendera kapal harus menghindari memberikan ijin bagi kapal
dengan riwayat yang tidak jelas, kecuali :
a. kepemilikan kapal telah berpindah, dan pemilik baru dapat
menunjukkan bukti yang cukup bahwa pemilik atau operator
sebelumnya tidak mempunya hak, kepentingan finansial dan
manfaat, atau kontrol terhadap kapal; atau
b. negara bendera kapal telah memutuskan bahwa kapal tidak akan
terlibat IUU Fishing, setelah mempertimbangkan fakta-fakta yang
relevan.
(4) Kewajiban setiap negara, negara bendera kapal, dan negara lain yang
menerima perjanjian sewa menyewa kapal untuk mengambil langkahlangkah untuk memastikan kapal yang disewa tidak terlibat IUU
37
Fishing. Langkah-langkah yang diambil tersebut dibatasi oleh yurisdiksi
masing-masing negara. Indonesa merupakan negara kepulauan terbesar di
dunia, dimana dua pertiga dari total wilayahnya merupakan wlayah laut,
dengan jumlah pulau sebanyak 17.508 pulau dan panjang garis pantai
81.000 km. Di dalam laut yang luas itu terkandung potensi lestari sumber
daya ikan (MSY) jutaan ton, belum lagi potensi sumber daya alam yang
lain, khususnya yang bersifat non hayati seperti sumber daya mineral, yang
terkandung di dasar laut nusantara.
Sewaktu kapal-kapal ikan masih
menggunakan layar dan alat-alat perikanan yang sederhana, nelayan pada
umumnya berpendapat bahwa ikan tidak akan habis karena merupakan
sumber
daya
yang
mampu
berkembang
biak
sehingga
mampu
mengimbangi tekanan penangkapan. Namun dengan kemajuan zaman
dimana kapal-kapal ikan semakin modern dan dilengkapi alat-alat
penangkapan yang canggih yang dapat mendeteksi keberadaan dari
pergerakan ikan, kemampuan penangkapan ikan menjadi sangat efisien.
Terlebih lagi kalau jumlah kapal ikan makin meningkat, sumber daya ikan
semakin meningkat pula. Hal ini yang mendorong perlunya upaya
pengelolaan perikanan yang benar sebagaimana digariskan dalam CCRF.
Pada saat ini negara-negara di dunia dalam pembangunan perikanannya
berusaha mengikuti petunjuk-petunjuk yang telah digariskan oleh CCRF.
38
Namun demikian, pengelolaan perikanan memerlukan perencanaan yang
matang serta kerjasama yang erat antara pemerintah sebagai pembuat
kebijakan, para nelayan atau industri perikanan yang merupakan pelaku
atau pengguna. Tanpa terjalinya kerjasama yang baik, pengelolaan
perikanan akan sulit dilakukan. Terlebih lagi penangkapan ikan di laut,
dimana medan kegiatan di darat, sehingga biaya pengawasan relatif lebih
mahal. Tanpa kerjasama yang baik dari para pengguna atau “stakeholder”,
biasanya akan berakhir dengan peningkatan kegiatan penangkapan yang
berakibat overexploitations terhadap sumber daya ikan (overfishing) dan
dengan sendirinya tidak menjamin kepentingan generasi yang akan datang.
C.
Ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 tentang Sumber Daya Alam Hayati
dan Partisipasi Pihak Asing dalam Pemanfaatan Sumber Perikanan Zona
Ekonomi Ekslusif serta Pengaturan Nasional Indonesia.
Part V dari KHL 1982 mengatur tentang Zona Ekonomi Eksklusif
yang terdiri dari 21 pasal. Sebanyak 15 pasal dari Part V mengatur masalah
perikanan di ZEE.
Berdasarkan hak berdaulat negara pantai, ditentukan oleh Part V KHL
1982 bahwa negara pantai:
39
a. Menetukan JTB dan menjamin bahwa kelangsungan hidup dari sumber
daya alam hayati terpelihara dan tidak dibahayakan oleh eksploitasi yang
berlebihan (overfishing).
b. Menentukan kapasitas tangkapan domestiknya pada ZEE.
c. Mengusahakan pemanfaatan secara optimum dari sumber daya alam
hayati dari ZEE.
d. Dalam kaitan dengan hal yang disebutkan dalam butir a, b, dan c diatas,
apabila negara pantai tidak memiliki kemampuan tangkap untuk seluruh
JTB, negara pantai tersebut akan mengizinkan negara-negara lain untuk
melakukan penangkapan ikan.
Pasal 62 KHL 1982 menentukan, apabila negara pantai tidak
mempunyai kemampuan untuk melakukan seluruh tangkapan dari JTB pada
ZEE, negara pantai akan mengizinkan pihak asing untuk melakukan
penangkapan atas surplus ikan tersebut. Hal ini diatur melalui perjanjian atau
suatu pengaturan (arrangement) menurut metode yang ditetapkan oleh
perundang-undangan negara pantai. Dengan demikian negara pantailah yang
menentukan mungkin atau tidaknya partisipasi pihak asing dalam
penangkapan ikan pada ZEE.
Akses atas surplus perikanan bagi pihak asing pegaturannya sangat
ditentukan oleh kebijaksanaan negara pantai yang dapat mempertimbangkan
40
pentingnya sumber daya alam hayati bersangkutan bagi kepentingan ekonomi
nasional negara pantai.
Mengenai akses atas surplus yang diatur oleh Pasal 62 KHL 1982, hal
ini harus dikaitkan dengan Pasal 69 dan Pasal 70 KHL 1982 tentang hak
negara daratan dan NGL di dalam kawasan regional yang sama untuk dapat
berpartisipasi memanfaatkan surplus dari sumber perikanan tersebut.
Pasal 62 KHL 1982 juga menentukan agar negara pantai
memperhatikan kebutuhan untuk memperkecil dislokasi ekonomi pada
negara-negara yang mempunyai kebiasaan menangkap ikan pada ZEE secara
tradisional atau telah melakukan upaya-upaya riset dan pengenalan dari stok
perikanan dari zona tersebut.
Dalam mengizinkan pihak asing melakukan penangkapan ikan pada
ZEE, pihak asing harus menaati upaya-upaya pemeliharaan lingkungan
kelautan dari perundang-undangan negara pantai. Perundang-undang tersebut
meliputi cara-cara pemberian lisensi, pembayaran fees, renumerasi dalam
bentuk lain serta pengaturan dapat dilakukan dalam kompensasi yang layak
serta kemungkinan pemberian peralatan dan alih teknologi bagi industri
perikanan negara pantai.
Termasuk pula pengaturan tentang penetapan spesies ikan yang dapat
ditangkap serta kuota tangkap dan musim penangkapan yang diizinkan.
Disamping itu penentuan umur dan ukuran ikan yang boleh ditangkap serta
41
informasi yang harus disediakan oleh kapal perikanan, ketentuan dari negara
pantai pada kapal-kapal perikanan untuk keperluan trainng.
Negara pantai dapat pula mengatur perihal pembongkaran ke darat
dari seluruh atau sebagian tangkapan ikan pada pelabuhan negara pantai serta
persyaratan tentang usaha patungan atau pengaturan bentuk kerja sama
lainnya, training dan alih teknologi perikanan dan prosedur penegakan
hukum.
Suatu tinjauan lebih jauh atas pengaturan sistem perikanan di ZEE ini
menunjukkan bahwa terdapat kaitan antara kemandirian dari negara pantai
dalam sumber perikanan dengan karateristik yuridis dari ZEE..
Adapun pengaturan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia
dalam memanfaatkan Zona Ekonomi Eksklusifnya adalah sebagai berkut:
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 Tentang ZEEI
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan
dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undangundang yang berlaku tentang perairan Indonesa yang meliputi dasar laut, tanah di
bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur
dari garis pangkal laut wilayah Indonesia.(Pasal 2)
Apabila Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tumpang tindih dengan zona
ekonomi eksklusif negara-negara yang pantainya saling berhadapan atau
42
berdampingan dengan Indonesia, maka batas zona ekonomi eksklusif antara
Indonesia dan negara tersebut ditetapkan dengan persetujuan antara Republik
Indonesia dan negara yang bersangkutan.(Pasal 3 (1))
Selama persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum ada dan
tidak terdapat keadaan-keadaan khusus yang perlu dipertimbangkan, maka batas
zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut adalah garis tengah
atau garis sama jarak antara garis-garis pangkal laut wilayah Indonesia atau titiktitik terluar Indonesia dan garis-garis pangkal laut wilayah atau titik-titik terluar
negara tersebut, kecuali jika dengan negara tersebut telah dicapai persetujuan
tentang pengaturan sementara yang berkaitan dengan batas Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia tersebut.(Pasal 3(2))
Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Republik Indonesia mempunyai
dan melaksanakan:
a. Hak
berdaulat
untuk
melakukan
eksplorasi
dan
eksploitasi,
pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati dan non hayati
dari dasar laut dan tanah di bawahnya serta air di atasnya dan
kegiatan-kegatan lainnya untuk eksplorasi dan eksploitasi ekonomis
zona tersebut, seperti pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin;
b. Yurisdiksi yang berhubungan dengan:
1. pembuatan dan penggunaan pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi
dan bangunan-bangunan lainnya;
43
2. penelitian ilmiah mengenai kelautan;
3. perlindungan dan pelestarian lingkungan laut;
c. Hak-hak lain dan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan Konvensi
Hukum Laut yang berlaku (Hot Persuit).
Sepanjang yang bertalian dengan dasar laut dan tanah di bawahnya, hak
berdaulat,
hak-hal
lain,
yurisdiksi
dan
kewajiban-kewajiban
Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan menurut peraturan
perundang-undangan Landas Kontinen Indonesia, persetujuan-persetujuan antara
Republik Indonesia dengan negara-negara tetangga dan ketentuan-ketentuan
hukum internasional yang berlaku.
Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, kebebasan pelayaran dan
penerbangan internasional serta kebebasan pemasangan kabel dan pipa bawah
laut diakui sesuai dengan prinsip-prinsip hukum laut internasional yang
berlaku.(Pasal 4 ayat (1,2,3))
Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 4 ayat (2), barangsiapa
melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam atau kegiatan-kegiatan
lainnya untuk eksplorasi dan eksploitasi ekonomis seperti pembangkit tenaga
dari air, arus dan angin di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, harus berdasarkan
izin dari Pemerintah Republik Indonesia atau berdasarkan persetujuan
internasional dengan Pemerintah Republik Indonesia dan dilaksanakan menurut
syarat-syarat perizinan atau persetujuan internasional tersebut.
44
Dengan tidak mengurangi ketentuan ayat (1), eksplorasi dan eksploitasi
suatu sumber daya alam hayati harus mentaati ketentuan tentang pengelolaan dan
konservasi yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 4 ayat (2), eksplorasi dan
eksploitasi suatu sumber daya alam hayati di daerah tertentu di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia oleh orang atau badan hukum atau Pemerintah Negara Asing
dapat diizinkan jika jumlah tangkapan yang diperbolehkan oleh Pemerintah
Republik Indonesia untuk jenis tersebut melebihi kemampuan Indonesia untuk
memanfaatkannya.(Pasal 5(1,2,3))
Barangsiapa membuat dan atau menggunakan pulau-pulau buatan atau
instalasi-instalasi atau bangunan-bangunan lainnya di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia harus berdasarkan izin dari Pemerintah Republik Indonesia dan
dilaksanakan menurut syarat-syarat perizinan tersebut.(Pasal 6)
Barangsiapa melakukan kegiatan penelitian ilmiah di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari dan
dilaksanakan berdasarkan syarat-syarat yang dtetapkan oleh Pemerintah
Republik Indonesia.(Pasal 7)
Barangsiapa melakukan kegiatan-kegiatan d Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia mengendalikan dan menanggulangi pencemaran lingkungan laut,
wajib melakukan langkah-langkah untuk mencegah, membatasi. Pembuangan di
45
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia hanya dapat dilakukan setelah memperoleh
keizinan dari Pemerintah Republik Indonesia.(Pasal 8)
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1984 Tentang Pengelolaan Sumber
Daya Alam Hayati Di ZEEI
Peraturan Pemerintah ini menyatakan bahwa sumber daya alam hayati di
ZEEI dimanfaatkan untuk mengembangkan usaha perikanan ndonesia. Untuk itu,
Pemerintah akan mengupayakan tersedianya berbagai kemudahan untuk
meningkatkan kemampuan Indonesa (Pasal 2 ayat 1)
Pemberian izin pemanfaatan surflus kepada orang atau badan hukum
asing di ZEEI dapat diberikan setelah diadakan persetujuan antar Pemerintah
Indonesia dengan pemerintah negara asng tersebut, dan hanya diberikan apabila
kebangsaan kapal perikanan yang digunakan sama dengan kebangsaan orang
atau badan hukum asing tersebut.(Pasal 9)
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Perikanan
Dalam konsideran menimbang huruf a dikatakan bahwa perairan yang
berada di bawah kedaulatan dan yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia serta laut lepas berdasarkan ketentuan
internasional, mengandung sumber daya ikan dan lahan pembudidayaan ikan
yang potensial, merupakan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa yang
46
diamanahkan pada Bangsa Indonesia yang memiliki Falsafah Hidup Pancasila
dan UUD 1945, untuk dimanfaatkan sebesar-besaranya bagi kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat Indonesia.
Pada huruf b-nya dikatakan bahwa dalam rangka pelaksanaan
pembangunan nasional berdasarkan Wawasan Nusantara, pengelolaan sumber
daya ikan perlu dilakukan sebaik-baiknya berdasarkan keadilan dan pemeraataan
dalam pemanfaatannya dengan mengutamakan perluasan kesempatan kerja dan
peningkatan taraf hidup bagi nelayan, pembudi daya ikan, dan/atau pihak-phak
yang terkait dengan kegiatan perikanan, serta terbinanya kelestarian sumber daya
ikan dan lingkungannya.
Pasal 3 berbunyi :Pengelolaan perikanan dilaksanakan dengan tujuan:
a.
meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidayaan ikan kecil;
b.
Meningkatkan penerimaan dan devisa negara;
c.
Mendorong perluasan dan kesempatan kerja;
d.
Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan;
e.
Mengoptimalkan pengelolaan sumber daya ikan;
f.
Meningkatkan produktifitas, mutu, nilai tambah, dan daya saing;
g.
Meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan;
h.
Mencapai pemanfaatan sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan
lingkungan sumber daya ikan, secara optimal; dan
47
i.
Menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan
tata ruang.
Wilayah pengelolaan perikanan RI untuk penangkapan ikan dan/atau
pembudidayaan ikan meliputi :
a.
perairan Indonesia;
b.
ZEEI; dan
c.
Sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang dapat
diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di
wilayah RI
Pengelolaan perikanan RI, sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan, persyaratan,
dan/atau standar internasional yang diterma secara umum.(Pasal 5 ayat (1)(2)).
Usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan RI hanya boleh
dilakukan oleh warga negara republik Indonesia atau badan hukum Indonesia.
Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan usaha
penangkapan ikan di ZEEI, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban
Negara Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional; atau ketentuan
hukum internasional yang berlaku.(Pasal 29 ayat (1)(2)).
Pemberian surat izin usaha perikanan kepada orang dan/atau badan
hukum asing yang beroperasi di ZEEI harus didahulu dengan perjanjian
48
perikanan, pengaturan akses, atau pengaturan lainnya antara Pemerintah
Republik Indonesia dan pemerintah negara bendera kapal.
Perjanjian perikanan yang dibuat antara Pemerintah Indonesia dan
pemerintah negara bendera kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus
mencantumkan kewajiban pemerintah negera bendera kapal untuk bertanggung
jawab atas kepatuhan orang atau badan hukum negara bendera kapal untuk
mematuhi perjanjian perikanan tersebut.
Pemerintah menetapkan pengaturan mengenai pemberian izin usaha
perikanan kepada orang dan/atau badan hukum asing yang beroperasi di ZEEI,
perjanjian perikanan, pengaturan akses, atau pengaturan lainnya antara
Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara bendera kapal.(Pasal 30
ayat (1)(2)(3)).
Setiap kapal perikanan yang dipergunakan untuk menangkap ikan di
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib dilengkapi SIPI
Setiap kapal perikanan yang dipergunakan untuk mengangkut ikan di
wilayah
pengelolaan
perikanan
Republik
Indonesia
wajib
dilengkapi
SIKPI.(pasal 31 ayat (1)(2)).
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan syarat-syarat pemberian
SIUP, SIPI dan SIKPI diatur degan Peraturan Menteri.(Pasal 32)
49
Setiap kapal penangkap ikan berbedera asing yang tidak memiliki izin
penangkapan ikan selama berada di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia wajib menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka.
Setiap kapal penangkapan ikan berbendera asing yang telah memilik izin
penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkap ikan tertentu pada bagian
tertentu di ZEE dilarang membawa alat penangkap ikan lainnya.
Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin
penangkapan ikan wajib menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka
selama berada di luar daerah penangkapan ikan yang dizinkan di wlayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia.(Pasal 38 (1)(2)(3)).
Setiap orang yang memperoleh manfaat langsung dari sumber daya ikan
dan lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
dikenakan pungutan perikanan.
Pungutan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan
bagi nelayan kecil dan pembudiddayaan ikan kecil.(Pasal 48)
Setiap orang asing yang mendapat izin penangkapan ikan di ZEEI
dikenakan pungutan perikanan.(Pasal 49)
Pemerintah memberdayakan nelayan kecil dan pembudidayaan ikan kecil
melalui:
a. penyediaan skim kredit bagi nelayan kecil dan pembudidayaan ikan
kecil, baik untuk modal usaha maupun biaya operasional degan cara
50
yang mudah, bunga pinjaman yang rendah dan sesuai dengan
keampuan nelayan kecil dan pembudidayaan ikan kecil;
b. penyelenggaraan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan bagi nelayan
kecil
serta
pengetahuan
pembudidayaan
dan
ikan
ketrampilan
kecil
di
untuk
bidang
meningkatkan
penangkapan,
pembudidayaan, pengolahan dan pemasaran ikan; dan
c. penumbuhkembangkan
kelompok
nelayan
kecil,
kelompok
pembudidayaan ikan kecil, dan koperasi perikanan.
Pemberdayaan nelayan kecil dan pembudidayaan ikan kecil sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat juga dilakukan oleh masyarakat.(Pasal 60)
Nelayan kecil bebas menangkap ikan di seluruh wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia.
Pembudidayaan ikan kecil dapat membudidayakan komoditas ikan
pilihan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.
Nelayan kecil dan pembudidayaan ikan kecil sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan (2) wajib menaati ketentuan konservasi dan ketentuan lain
yang ditetapkan Menteri.
Nelayan kecil atau pembudi daya ikan kecil harus ikut serta menjaga
kelestarian lingkungan perikanan dan keamanan pangan hasil perikanan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
51
Nelayan kecil dan pembudi daya ikan kecil harus mendaftarkan diri,
usaha, dan kegiatannya kepada instansi perikanan setempat, tanpa dikenakan
biaya, yang dilakukan untuk keperluan statistik serta pemberdayaan nelayan
kecil dan pembudidayaan ikan kecil.(Pasal 61)
Pemerintah menyediakan dan mengusahakan dana untuk memberdayakan
nelayan kecil dan pembudi daya akan kecil, baik dari sumber dalam negeri
maupun sumber luar negeri, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.(Pasal 62).
Pengusaha
perikanan
mendorong
kemitraan
usaha
yang
saling
menguntungkan dengan kelompok nelayan kecil atau pembudi dayaan ikan kecil
dalam kegiatan usaha perikanan.(Pasal 63).
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberdayaan nelayan kecil dan
pembudidaya ikan kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal
62, dan Pasal 63 diatur dengan Peraturan Pemerintah.(Pasal 64).
52
53
BAB III
ASPEK HUKUM PEMANFAATAN
ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DALAM RANGKA
PENINGKATAN PENDAPATAN NELAYAN INDONESIA
A.
Potensi dan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Laut Indonesia
Secara runutan perkembangannya, pendugaan potensi sumberdaya
ikan untuk sebagian wilayah perairan Indonesia telah dirintis sejak tahun
1970-an, sedangkan dugaan potensi sumberdaya ikan di perairan Indonesia
secara keseluruhan diterbitkan pertama kali oleh Direktorat Bina Sumber
Hayati, Direktorat Jenderal Perikanan dan Balai Penelitian Perikanan Laut,
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian pada tahun 1983, sebesar 6,6
juta ton/tahun. Pada Forum Perikanan I di Sukabumi yang berlangsung pada
tanggal 19-20 Juli 1990, Naamin dan Hardjamulia melaporkan dugaan
potensi sumberdaya ikan laut Indonesia sebesar 7,7 juta ton/tahun. Secara
resmi, Direktorat Jenderal Perikanan pada tahun 1991 menerbitkan “Buku
Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan di Perairan Indonesia” yang
mencantumkan dugaan potensi sumberdaya ikan laut Indonesia sebesar 5,7
juta ton/tahun7.
Selanjutnya, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, FAO dan
DANIDA menyelenggarakan lokakarya pada tahun 1995 dengan agenda
utamanya melakukan penghitungan kembali potensi sumberdaya ikan
7
Kusumastanto, Tridoyo. 2004. “Studi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut Indonesia”,
Jakarta.
53
berdasarkan data mutakhir yang tersedia. Lokakarya ini menghasilkan dugaan
potensi sumberdaya ikan laut Indonesia sebesar 3,67 juta ton/tahun (Venema,
1996 dikutip dalam Kusumastanto, et.al 2004). Pada tahun 1996, Direktorat
Jenderal Perikanan bekerjasama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perikanan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI dan Fakultas
Perikanan IPB melakukan evaluasi “Buku Potensi dan Penyebaran
Sumberdaya Ikan di Perairan Indonesia” yang diterbitkan pada tahun 1996.
Evaluasi ini menghasilkan dugaan potensi sumberdaya ikan laut Indonesia
sebesar 6,35 juta ton/tahun.
Perkembangan berikutnya, tahun 1998 Komisi Nasional Pengkajian
Sumberdaya Perikanan Laut menerbitkan “Buku Potensi dan Penyebaran
Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia” yang memuat hasil kajian dari
masing-masing peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan,
Pusat Pengembangan dan Penelitian Oseanologi LIPI, Direktorat Jenderal
Perikanan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi dan Lembaga
Penerbangan Antariksa Nasional. Beberapa perbaikan dan perhitungan telah
dilakukan dan hasil kajiannya ditulis ulang dalam bentuk satu kesatuan
informasi. Pada tahun yang sama Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya
Perikanan Laut menerbitkan pula buku yang berjudul “Potensi, Pemanfaatan
dan Peluang Pengembangan Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia”.
Pada buku itu dilaporkan besarnya dugaan potensi sumberdaya ikan laut di
perairan Indonesia adalah 6,26 juta ton per tahun.8
8
Ibid.
54
Secara lebih rinci, potensi, pemanfaatan dan peluang pengembangan dari
masing-masing kelompok sumberdaya menurut Wilayah Pengelolaan Perikanan
(WPP) disajikan pada Tabel A. Menurut kesepakatan Forum Koordinasi
Pengelolaan Penangkapan Sumberdaya Ikan (FKPPS), Direktorat Jenderal
Perikanan, Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Perikanan Laut Indonesia,
sejak tahun 1997 menggunakan pembagian wilayah pengelolaan perikanan
menjadi 9 (sembilan), dan kesepakatan tersebut dikuatkan dengan Keputusan
Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 10/Men/2003 tentang Perizinan
Usaha Penangkapan Ikan. Adapun sembilan WPP tersebut, yaitu: (1) Selat
Malaka, (2) Laut Natuna dan Laut Cina Selatan, (3) Laut Jawa dan Selat Sunda,
(4) Laut Flores dan Selat Makasar, (5) Laut Banda, (6) Laut Maluku, Teluk
Tomini dan Laut Seram, (7) Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik, (8) Laut
Arafura dan (9) Samudera Hindia. Mengenai batas dari masing-masing wilayah
pengelolaan perikanan tersebut dapat dilihat pada Tabel B dan Gambar A.
Berdasarkan Tabel A tersebut, Wilayah Pengelolaan Perikanan 1
(Perairan Selat Malaka) tergolong wilayah yang tidak berpeluang untuk
dikembangkan lagi. WPP 3 (Perairan Laut Jawa dan Selat Sunda), WPP 4
(Perairan Laut Flores dan Selat Makasar) dan WPP 5 (Perairan Laut Banda)
tergolong ke dalam wilayah yang memiliki peluang pengembangan antara 1 %20% (rendah). WPP 9 (Perairan Samudera Hindia) tergolong wilayah yang
memiliki wilayah pengembangan 21%-40% (sedang), WPP 2 (Perairan Laut
Natuna dan Laut Cina Selatan) dan WPP 6 (Perairan Laut Maluku, Teluk
Tomini, dan Laut Seram), WPP 7 (Perairan Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik)
55
dan WPP 8 (Perairan Laut Arafura) tergolong wilayah yang peluang
pengembangannya lebih dari 40% (tinggi).
Tabel A.
No
1
Peluang Pengembangan Masing-Masing Kelompok Sumber Daya Ikan
Laut Pada Setiap Wilayah Pengelolaan Perikanan.
Kelompok Sumberdaya
Ikan Pelagis Besar
Potensi (103 ton/tahun)
Pemanfaatan (%)
Peluang Pengembangan (%)
Pelagis Kecil
Potensi (103 ton/tahun)
Pemanfaatan (%)
Peluang Pengembangan (%)
3
Demersal
Potensi (103 ton/tahun)
Pemanfaatan (%)
Peluang Pengembangan (%)
4
Ikan Karang Konsumsi
Potensi (103 ton/tahun)
Pemanfaatan (%)
Peluang Pengembangan (%)
5
Udang Peneid
Potensi (103 ton/tahun)
Pemanfaatan (%)
Peluang Pengembangan (%)
6
Lobster
Potensi (103 ton/tahun)
Pemanfaatan (%)
Peluang Pengembangan (%)
7
Cumi-Cumi
Potensi (103 ton/tahun)
Pemanfaatan (%)
Peluang Pengembangan (%)
Seluruh SDIL Indonesia
Potensi (103 ton/tahun)
Pemanfaatan (%)
Peluang Pengembangan (%)
Wilayah Pengelolaan Perikanan
4
5
6
7
8
9
Perairan
Indonesia
106.51
63.15
26.85
236.21
28.64
61.36
50.86
42.60
47.60
297.75
51.20
38.80
1027.64
70.52
19.48
132.00
55.24
34.76
379.44
14.90
75.10
392.50
9.03
80.97
468.66
3.41
86.59
429.03
54.45
35.55
3109.70
40.93
49.07
87.20
116.80
-
9.32
237.35
-
83.84
14.61
75.39
54.86
39.50
50.50
246.75
8.33
81.67
135.13
65.99
24.01
1786.35
34.74
55.26
9.50
111.60
-
15.38
308.80
2.48
557.72
9.55
121.79
3.50
106.56
0.77
297.86
12.88
213.22
75.93
193.33
11.20
116.17
10.80
225.48
4.80
437.39
-
0.90
6.72
83.28
2.50
214.57
-
21.70
24.71
65.29
10.70
62.21
27.79
74.00
165.69
0.40
114.88
0.40
0.56
89.44
0.50
14.70
75.30
0.70
87.79
0.21
0.40
4.25
85.75
0.30
12.33
77.67
0.40
163.19
-
0.10
616.75
-
1.60
45.02
44.98
4.80
66.82
23.18
1.86
157.90
-
2.70
179.05
-
5.04
203.54
-
3.88
161.69
-
0.05
9268.00
-
7.13
14.99
75.01
0.45
110.50
-
3.39
6.95
83.05
3.75
143.99
28.25
127.
93
239.16
134.69
1252.34
19.77
70.23
726.24
97.62
1.38
679.40
83.69
6.31
248.37
85.93
4.07
587.67
25.33
64.67
690.42
19.56
70.44
792.23
8.42
81.58
890.84
57.86
32.14
6106.67
47.93
42.07
1
2
3
2320
214.55
-
54.82
64.44
25.56
55.00
195.80
-
99.17
131.28
-
104.12
88.96
1.04
119.60
97.75
-
506.00
19.26
70.74
214.20
178.67
-
468.27
55.77
34.23
82.40
118.06
655.65
12.58
77.42
431.20
40.18
49.82
0.30
5080.5
8
21.57
67.25
22.75
11.40
346.64
2
Catatan - = Peluang Pengembangan tidak dihitung karena lebih besar atau sama dengan 90%.
Keterangan:
1. Perairan Selat Malaka
2. Perairan Laut Natuna dan Laut Cina Selatan
3. Perairan Laut Jawa dan Selat Sunda
4. Perairan Laut Flores dan Selat Makasar
5. Perairan Laut Banda
6. Perairan Laut Maluku, Teluk Tomini dan Laut Seram
7. Perairan Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik
8. Perairan Laut Arafura
9. Perairan Samudera Hindia
56
Tabel B.
Batas-batas Wilayah Pengelolaan Perikanan Laut Indonesia Berdasarkan
Pembagian Menurut Forum Koordinasi Pengelolaan Penangkapan Sumberdaya
(FKPPS), Direktorat Jenderal Perikanan.
No.
Wilayah
Pengelolaan
Batas Wilayah
Perikanan
1. Perairan Selat Malaka Utara: Garis batas ZEEI;
Timur: Garis batas ZEEI;
Selatan: Garis lintang 1o LU;
Barat: Pantai timur Sumatera.
2. Perairan Laut Natuna Utara: Garis batas ZEEI;
Timur: Garis batas ZEEI dan pantai barat Kalimantan;
dan Cina
Selatan: Garis yang menghubungkan posisi 04 o LS dan 106o BT dengan 03o LS dan 111o BT;
Selatan
Barat: Garis batas ZEEI dan pantai timur Sumatera.
Utara: Berbatasan dengan Laut Cina Selatan dan posisi garis batas
selatan Wilayah
3. Perairan Laut Jawa
Pengelolaan Perikanan 2 (Laut Cina Selatan), yaitu: Garis yang menghubungkan posisi
dan Selat Sunda
04o LS dan 106o BT dengan 03o LS dan 111o BT;
Timur: Garis bujur 125o 30„ BT, Garis lintang 1o 15„ LU dan pantai timur Kalimantan sampai
Sulawesi; garis lintang 3o 30„ LS dari Sulawesi sampai dengan garis bujur 116o 55„ BT;
Selatan: Pantai utara Jawa;
Barat: Pantai timur Sumatera.
Utara: Garis yang menghubungkan batas paling utara Kalimantan
Timur dengan
4. Perairan Laut
batas Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah;
Flores dan Selat
Timur: Pantai barat dan selatan Sulawesi serta garis bujur 125 o 30‟ BT dari lintang 03o 10‟ LS
Makasar
sampai lintang 08o 30‟ LS;
Selatan: Garis dari titik posisi 08o 10‟ LS-115o 20‟ BT ke titik posisi 08o 15‟ LS -116o 15‟ BT;
Garis dari titik posisi 08o 15‟ LS -116o 40‟ BT ke titik posisi 08o 17‟ LS-117o 10‟ BT;
Barat: Pantai timur Kalimantan dan batas timur Wilayah Pengelolaan Perikanan 3 (Laut Jawa),
yaitu: Garis bujur 125o 30„ BT, Garis lintang 1o 15„ LU dan pantai timur Kalimantan
sampai Sulawesi; garis lintang 3o 30„ LS dari Sulawesi sampai dengan garis bujur 116 o
55„ BT.
5. Perairan Laut Banda Utara: Garis lintang 03o 10„ LS;
Timur: Garis bujur 132o 30„ BT;
Selatan: Garis lintang 08o 30„ LS dari garis bujur 125o 30„ BT sampai dengan Pulau Selaru;
Garis yang menghubungkan posisi 08 o 30 „ LS # 130 o 50„ BT dengan posisi 07o 50„
LS # 132o 30„ BT;
Barat: Garis bujur 125o 30„ BT.
Utara: Perbatasan Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik;
6. Perairan Laut
Timur: Pantai barat Irian Jaya;
Maluku, Teluk
Selatan: Garis lintang 3o 10„ LS dari Sulawesi Tenggara sampai dengan Irian Jaya;
Tomini dan Laut
Barat: Pantai timur Sulawesi.
Seram
Utara: Garis batas ZEEI;
7. Perairan Laut
Timur: Garis batas ZEEI;
Sulawesi dan
Selatan: Garis lintang 1o 15„ LU, pantai utara Sulawesi Utara, garis yang menghubungkan
Samudera Pasifik
Bitung, Morotai dan Pulau Gag, pantai utara Irian Jaya;
Barat: Batas utara Wilayah Pengelolaan Perikanan 4 (Selat Makasar dan Laut Flores), yaitu:
Garis yang menghubungkan batas paling utara Kalimantan Timur dengan batas
Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah
Utara: Pantai barat Irian Jaya;
8. Perairan Laut
Timur: Garis batas ZEEI;
Arafura
Selatan: Garis batas ZEEI;
Barat: Batas timur Wilayah Pengelolaan Perikanan 5 (Laut Banda) dan batas timur Wilayah
Pengelolaan Perikanan 9 (Samudera Hindia) atau garis bujur 132 o 30‟ BT
57
No.
Wilayah
Pengelolaan
Perikanan
9. Perairan Samudera
Hindia
Batas Wilayah
Utara: Pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan batas selatan
Wilayah Pengelolaan Perikanan 5 (Laut Banda), yaitu: Garis lintang 08o 30„ LS dari
garis bujur 125o 30„ BT sampai
dengan Pulau Selaru; Garis yang menghubungkan
posisi 08o 30„ LS # 130o 50„ BT dengan posisi 07o 50„ LS # 132o 30„ BT
Timur: Batas barat Wilayah Pengelolaan Perikanan 8 (Laut Arafura) atau Garis bujur 132o 30‟
BT
Selatan: Garis batas ZEEI
Barat: Garis batas ZEEI
Gambar A. Batas-Batas Wilayah Pengelolaan Perikanan Laut Indonesia Berdasarkan
Pembagian Menurut Forum Koordinasi Pengelolaan Penangkapan Sumber
Daya (FKPPS), Direktorat Jenderal Perikanan
B.
Jumlah Tangkapan Yang Diperbolehkan di ZEEI
Mengenai
pengaturan
penetapan
jumlah
tangkapan
yang
diperbolehkan (total allowable catch) atau yang juga dikenal dengan
singkatan JTB, diamanatkan oleh Konvensi PBB tentang Hukum Laut
(United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) 1982.
Disebutkan pada Pasal 61 ayat (1) UNCLOS 1982, “Negara pantai harus
menentukan jumlah tangkapan sumber kekayaan hayati yang dapat
58
diperbolehkan dalam zona ekonomi eksklusifnya”. Sudah dapat dipastikan,
bahwa keluarnya pasal ini untuk menghindari gejala tangkap lebih
(overfsihing).
Masih dalam konteks internasional, ketentuan mengenai penetapan
JTB agar menciptakan tingkat pengelolaan lestari tertuang dalam Pasal 7 ayat
(7.1.8) Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) 1995, “Negaranegara harus mengambil langkah untuk mencegah atau menghapus
penangkapan ikan yang melebihi kapasitas dan harus menjamin bahwa
tingkat upaya penangkapan adalah sepadan dengan pemanfaatan sumberdaya
ikan yang lestari sebagai suatu cara menjamin keefektifan langkah konservasi
dan pengelolaan”. Selain itu, bila terjadi penangkapan ikan yang melebihi
kapasitas harus ditetapkan mekanisme untuk mengurangi kapasitas ke tingkat
yang sepadan dengan pemanfaatan lestari sumberdaya perikanan sedemikian
rupa, sehingga menjamin bahwa para nelayan beroperasi dalam kondisi
ekonomi yang mendorong perikanan bertanggung jawab. Mekanisme seperti
itu harus termasuk pemantauan kapasitas armada penangkapan (Pasal 7 ayat
7.6.3 CCRF 1995).
Sementara
itu,
dalam
konteks
perundang-undangan
nasional,
ketentuan internasional mengenai kewajiban setiap negara untuk menentukan
JTB diadopsi pada awalnya dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1983 tentang
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, yaitu pada Pasal 5 ayat (3). Disebutkan
bahwa, “Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 4 ayat (2), eksplorasi dan
eksploitasi suatu sumberdaya alam hayati di daerah tertentu di Zona Ekonomi
59
Eksklusif Indonesia oleh orang atau badan hukum atau pemerintah negara
asing dapat diizinkan jika jumlah tangkapan yang diperbolehkan oleh
Pemerintah Republik Indonesia untuk jenis tersebut melebihi kemampuan
Indonesia untuk memanfaatkannya”.
Selanjutnya, ketentuan JTB pada UU No. 5 Tahun 1983 tersebut
diatur juga dalam aturan turunannya, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 15
Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Kekayaan Hayati di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia. Pada Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa “Menteri
Pertanian menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan menurut jenis
atau kelompok jenis sumber daya alam hayati di sebagian atau seluruh Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia”. Dan, pada Pasal 4 ayat (2) disebutkan bahwa
“Penetapan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) didasarkan kepada data hasil penelitian, survai, evaluasi
dan/atau hasil kegiatan penangkapan ikan”.
Keseriusan Pemerintah Indonesia mengenai kewajiban menentukan
JTB dituangkan juga dalam Pasal 4 butir (3) Undang-undang No. 9 Tahun
1985 tentang Perikanan. Dan, tertuang juga dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c
Undang-undang Perikanan No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang
merevisi UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan. Sementara itu, dalam
Pasal 7 ayat (3) disebutkan bahwa “Menteri menetapkan potensi dan jumlah
tangkapan yang diperbolehkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dan huruf c setelah mempertimbangkan rekomendasi dari Komisi Nasional
yang mengkaji sumberdaya ikan‟. Adapun Komisi Nasional sebagaimana
60
dimaksud pada Pasal 7 ayat (3) dibentuk oleh Menteri dan beranggotakan
para ahli dibidangnya yang berasal dari lembaga terkait (Pasal 7 ayat (4)).
Mengenai besaran potensi dan JTB di ZEEI berdasarkan kelompok
spesies diatur oleh Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian Nomor
473a/Kpts/IK.250/6/1985 tentang Penetapan Jumlah Tangkapan yang
Diperbolehkan di ZEEI. Kelompok spesies tersebut yaitu jenis ikan pelagis,
ikan tuna, ikan cakalang, dan ikan demersal. Secara lebih jelasnya mengenai
kelompok spesies, potensi dan JTB dapat dilihat pada Tabel C.
Tabel C. Potensi dan Jumlah Tangkapan Yang Diperbolehkan di ZEEI
No.
1.
2.
3.
4.
Kelompok Spesies
Jenis Ikan Pelagis
Jenis Ikan Tuna
Jenis Ikan Cakalang
Jenis Ikan Demersal
Potensi
(ton/tahun)
1.285.900
83.435
93.760
647.500
JTB
(ton/tahun)
1.115.731
75.915
88.884
582.731
Untuk memanfaatkan JTB pada masing-masing kelompok spesies
ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tersebut, maka jumlah unit
penangkapan ikan yang diizinkan harus berdasarkan produktivitas masingmasing unit penangkapan ikan dengan mempertimbangkan JTB masingmasing kelompok spesies. Hal ini tentu saja bertujuan menghindari terjadinya
overfishing untuk semua spesies ikan umumnya, dan spesies tertentu
khususnya. Selain itu, ketentuan ini mengamanatkan bahwa untuk JTB
sewaktu-waktu disesuaikan dengan data hasil, penelitian, survey, evaluasi dan
atau hasil kegiatan penangkapan ikan. Dengan demikian, kehadiran Komisi
61
Nasional diharapkan dapat mengkaji kembali besaran JTB yang ditentukan
pada tahun 1985.
C.
Kebijakan untuk Nelayan
Nelayan sering didefinisikan sebagai orang yang melakukan kegiatan
penangkapan ikan di laut. Hal ini sesuai dengan pengertian tentang nelayan
pada UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan, bahwa nelayan adalah orang
yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan (Pasal 1 butir 10).
Definisi ini dibuat untuk konteks masyarakat tradisional. Dengan kata lain,
ketika perikanan sudah mengalami berbagai perkembangan, pelaku-pelaku
dalam penangkapan ikan pun semakin beragam statusnya. Dalam bahasa
sosiologi, fenomena ini merupakan konsekuensi dari adanya diferensiasi
sosial yang salah satunya berupa pembagian kerja atau labour division9.
Selanjutnya,
Ditjen
Perikanan10
mengklasifikasikan
nelayan
berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi
penangkapan atau pemeliharaan, yaitu:
1.
Nelayan penuh adalah orang yang seluruh waktu kerjanya digunakan
untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan/binatang air
lainnya/tanaman air.
9
10
Satria, Arief. 2002. “Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir”, Cidesindo. Jakarta.
Direktorat Jenderal Perikanan, 2000, “Buku Statistik Perikanan Indonesia.” Jakarta.
62
2.
Nelayan sambilan utama adalah orang yang sebagian besar waktu
kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan
ikan/binatang air lainnya/tanaman air.
3.
Nelayan sambilan tambahan adalah orang yang sebagian kecil waktu
kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan
ikan/binatang air lainnya/tanaman air.
Klasifikasi nelayan di atas semakin kurang memadai seiring dengan
perkembangan karakteristik usaha perikanan. Ada pemilik kapal yang saat ini
tidak melaut, bahkan belum pernah melaut sama sekali. Dalam bahasa
nelayan, mereka sering disebut juragan darat. Klasifikasi nelayan sekarang ini
semakin rumit, karena posisi anak buah kapal (ABK) semakin hierarkis,
seperti juru mudi, juru lampu, juru arus, juru selam, juru mesin, juru
campoan, awak kapal biasa11. Jadi, keragaman status nelayan di atas terjadi
seiring berkembangnya usaha perikanan.
Sementara itu, berdasarkan tingkatan usaha perikanan, Pollnac12
membedakan nelayan ke dalam dua kelompok, yaitu nelayan besar (largescale fishermen) dan nelayan kecil (small-scale fishermen). Pembedaan ini
berdasarkan respon untuk mengantisipasi tingginya resiko dan ketidakpastian.
Namun, Satria13 mengganggap bahwa pengelompokan Pollnac ini kurang
11
12
13
Masyhuri. 1999. “Pemberdayaan Nelayan Tertinggal dalam Mengatasi Krisis Ekonomi”:
Telaahan Sebuah Pendekatan. Puslitbang Ekonomi dan Pembangunan - LIPI.
Pollnac, Richard B. 1998. “Karakteristik Sosial dan Budaya dalam Pembangunan Perikanan
Berskala Kecil”, dalam Cernea Michael, “Mengutamakan Manusia dalam Pembangunan:
Variabel-variabel Sosiologi dalam Pembangunan Pedesaan”. UI-Press. Jakarta.
Satria, Ibid.
63
memadai untuk Indonesia sebagai negara berkembang, sehingga dalam
bukunya yang berjudul “Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir”, Satria
(2002) menggolongkan nelayan menjadi 4 (empat) tingkatan yang dilihat dari
kapasitas teknologi, (alat tangkap dan armada), orientasi pasar dan
karakteristik hubungan produksi.
Pertama, peasant-fisher atau nelayan tradisional yang biasanya lebih
berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri (subsistence). Istilah
subsisten ini dikarenakan alokasi hasil tangkapan yang dijual lebih banyak
untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari (khususnya pangan) dan bukan
diinvestasikan kembali untuk pengembangan skala usaha. Umumnya, mereka
masih menggunakan alat tangkap tradisional dayung atau kapal tidak
bermotor dan masih melibatkan anggota keluarga sebagai tenaga kerja utama.
Kedua, dengan berkembangnya motorisasi perikanan, nelayan pun
berubah dari peasant-fisher menjadi post- peasant fisher yang dicirikan
dengan penggunaan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju, seperti
motor tempel atau kapal motor. Umumnya, nelayan jenis ini masih beroperasi
di wilayah pesisir. Pada jenis ini, nelayan sudah mulai berorientasi pasar.
Sementara tenaga kerja atau ABK-nya sudah meluas dan tidak tergantung
pada anggota keluarga saja.
Ketiga, commercial fisher, adalah nelayan yang telah berorientasi
pada peningkatan keuntungan. Skala usahanya sudah besar yang dicirikan
dengan banyaknya jumlah tenaga kerja dengan status yang berbeda dari
buruh hingga manajer. Begitu juga dengan teknologi, kelompok ini sudah
64
menggunakan teknologi modern dan membutuhkan keahlian tersendiri dalam
pengoperasian kapal maupun alat tangkapnya.
Keempat, industrial fisher, yang pengertiannya dapat mengacu pada
Pollnac (1998). Nelayan skala besar dicirikan dengan majunya kapasitas
teknologi penangkapan ikan maupun jumlah armadanya. Mereka lebih
berorientasi pada keuntungan (profit oriented) dan melibatkan buruh nelayan
sebagai ABK dengan organisasi kerja yang lebih kompleks. Adapun ciri
nelayan industri menurut Pollnac14 , yaitu:
a. Diorganisasikan dengan cara-cara yang mirip dengan perusahaan
perikanan agroindustri di negara-negara maju.
b. Secara relatif lebih padat modal.
c. Memberikan pendapatan yang lebih tinggi daripada perikanan sederhana,
baik untuk pemilik maupun awak perahu.
d. Menghasilkan untuk ikan kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor.
Tabel D. Penggolongan Nelayan Berdasarkan Karakteristik Usaha
Jenis
Usaha Tradisional
Usaha PostTraditional
Usaha Komersial
14
Orientasi
Ekonomi dan
Pasar
Subsisten; rumah
tangga
Tingkat
Teknologi
Rendah
Subsisten; surplus; Rendah
rumah tangga;
pasar domestik
Surplus; pasar
Menengah
domestik; ekspor
Hubungan Produksi
Tidak hierarkis, status
terdiri dari pemilik dan
ABK yang homogen
Tidak hierarkis, status
terdiri dari pemilik dan
ABK yang homogen
Hierarkis, status terdiri
dari pemilik, manajer,
dan ABK yang
heterogen
Pollnac, Ibid.
65
Usaha Industri
Surplus; ekspor
Tinggi
Hierarkis, status terdiri
dari pemilik, manajer,
dan ABK yang
heterogen
Dengan berdasar pada pengklasifikasian nelayan menurut Satria
(2002) di atas, khususnya pada teknologi, maka nelayan Indonesia sebagian
besar tersebar berada pada usaha tradisional (peasant-fisher) dan usaha posttraditional, dan sedikit di usaha komersial (Lihat Tabel E). Artinya, nelayan
Indonesia hanya mampu melakukan kegiatan penangkapan ikan di sekitar
pesisir yang banyak menimbulkan konflik dan overfishing. Sedangkan
kekayaan sumberdaya ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia banyak
dinikmati kapal asing, baik yang resmi (legal) maupun illegal yang umumnya
menggunakan alat tangkap modern dan armada yang sangat besar.
Ketidakmampuan melakukan penangkapan di ZEEI diperparah dengan
berbagai
permasalahan
yang
menyebabkan
kemiskinan
nelayan.
permasalahan tersebut baik timbul dari sisi sumberdaya perikanan sendiri
yang bersifat fugitive dan cenderung ke arah open access, maupun kendala
yang ditimbulkan oleh pengembangan skala ekonomi yang ditandai dengan
lemahnya kapital dibidang perikanan dan sedikitnya investasi dibidang
tersebut. Kombinasi kedua kendala tersebut menyebabkan pelaku perikanan,
khususnya mereka yang berskala kecil (perikanan pantai) masih tergolong
masyarakat miskin. Misalnya, hasil perhitungan COREMAP di 10 propinsi
menunjukan bahwa pendapatan nelayan pada tahun 1996/1997 masih berkisar
antara Rp 82.000 sampai Rp 200.000 per bulan. Tentu saja, jumlah tersebut
66
masih jauh di bawah upah minimum regional (UMR) yang ditetapkan
pemerintah sebesar Rp 380.000 pada tahun yang sama15 .
Tabel E. Jenis Kapal dan Jumlah
No.
1
Jenis Kapal
Perahu Tanpa Motor
2
3
Perahu Motor Tempel
Kapal Motor (KM)
KM < 5 GT
KM 5-10 GT
KM 10-20 GT
KM 20-30 GT
KM 30-50 GT
KM 50-100 GT
KM 100-200 GT
KM > 200 GT
Jumlah
Jumlah (Unit)
230.360
125.580
118.600
72.060
23.610
6.880
3.780
2.300
5.510
3.590
870
593.140
Sumber: www.dkp.go.id
Faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan nelayan sangat kompleks
dan saling terkait satu sama lain. Kusnadi16 membagi faktor yang menyebabkan
kemiskinan nelayan ke dalam dua
kelompok, faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor yang berkaitan kondisi internal
sumberdaya manusia nelayan dan aktivitas kerja mereka. Faktor-faktor internal
mencakup masalah antara lain: (1) keterbatasan kualitas sumberdaya manusia
nelayan; (2) keterbatasan kemampuan modal usaha dan teknologi penangkapan;
(3) hubungan kerja (pemilik perahu-nelayan buruh) dalam organisasi
penangkapan ikan yang dianggap kurang menguntungkan nelayan buruh; (4)
15
Fauzi, Akhmad. 2002. “Kredit Perikanan di Indonesia: Suatu Tinjauan Krisis”. Bahan Press
Release Media Indonesia.
67
kesulitan melakukan diversifikasi usaha penangkapan; (5) ketergantungan yang
tinggi terhadap okupasi melaut; dan (6) gaya hidup yang dipandang ”boros”
sehingga kurang berorientasi ke masa depan.
Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi
di luar diri dan aktivitas kerja nelayan. Faktor-faktor eksternal mencakup
masalah antara lain: (1) kebijakan pembangunan perikanan yang lebih
berorientasi pada produktivitas untuk menunjang pertumbuhan ekonomi
nasional, parsial dan tidak memihak nelayan tradisional; (2) sistem pemasaran
hasil perikanan yang lebih menguntungkan pedagang perantara; (3) kerusakan
ekosistem pesisir dan laut karena pencemaran dari wilayah darat, praktek
penangkapan ikan dengan bahan kimia, perusakan terumbu karang, dan
konversi hutan bakau di kawasan pesisir; (4) penggunaan peralatan tangkap
yang tidak ramah lingkungan; (5) penegakkan hukum yang lemah terhadap
perusakan lingkungan; (6) terbatasnya teknologi pengolahan hasil tangkapan
pasca-tangkap; (7) terbatasnya peluang-peluang kerja di sektor non-perikanan
yang tersedia di desa-desa nelayan; (8) kondisi alam dan fluktuasi musim yang
tidak memungkinkan nelayan melaut sepanjang tahun; dan (9) isolasi geografis
desa nelayan yang mengganggu mobilitas barang, jasa, modal dan manusia.
Kemiskinan yang melilit masyarakat nelayan Indonesia merupakan
sebuah ironis. Betapa tidak, mereka miskin di tengah kekayaan potensi
sumberdaya perikanan yang melimpah disekitarnya. Namun demikian,
kemiskinan yang melilit masyarakat nelayan bukan hanya terjadi di
16
Kusnadi. 2004. “Polemik Kemiskinan Nelayan. Pondok Edukasi dan Pokja Pembaharuan”.
68
Indonesia, melainkan terjadi juga di negara-negara maju. Fauzi (2003)
mengungkapkan bahwa permasalahan nelayan dan kemiskinan memang
bukan merupakan monopoli permasalahan negara-negara berkembang
semata. Disebutkan, di negara maju sekalipun permasalahan kemiskinan
nelayan akan timbul manakala terjadi mismanagement terhadap pengelolaan
sumberdaya perikanan. Dengan demikian, memang kuncinya di sini adalah
pada aspek pengelolaan sumberdaya dan pemahaman terhadap permasalahan
kemiskinan nelayan itu sendiri.
Lebih lanjut Akhmad Fauzi17 mengungkapkan, bahwa berbeda dengan
sektor primer lainnya, sumberdaya ikan memiliki karakteristik unik yang
harus dipahami benar sehingga tidak menghasilkan pemahaman mengenai
kemiskinan yang keliru (misleading) yang pada akhirnya melahirkan strategi
pengentasan kemiskinan yang keliru pula. Adapun beberapa karakteristik
untuk sumberdaya ikan tersebut diantaranya, yaitu :
Pertama, kondisi kepemilikan yang bersifat common property
dibarengi dengan rejim
yang akses terbuka dalam eksploitasinya,
menyebabkan timbulnya masalah eksternalitas. Eksternalitas adalah akibat
yang harus ditanggung oleh aktifitas yang ditimbulkan pihak lain. Bentuk
eksternalitas misalnya perebutan daerah tangkap atau sering dikenal dengan
istilah space interception externality dimana masing-masing nelayan ingin
mendahului yang lainnya untuk mencapai fishing ground. Eksternalitas juga
bisa terjadi karena gear externality atau eksternaitas alat dimana penggunaan
Bantul.
69
satu alat bisa menimbulkan kerugian atau kerusakan pada alat lain. Contoh
eksternalitas dalam bentuk ini adalah penggunaan alat tangkap yang
destruktif seperti trawl dan pengunaan dinamit. Kombinasi dari berbagai
eksternalitas ini menimbulkan biaya yang cukup tinggi dalam bentuk
menurunnya kapasitas sumberdaya perikanan yang pada gilirannya akan
menurunkan rente ekonomi yang dihasilkan.
Kedua, masyarakat nelayan, terutama nelayan marjinal menghadapi
apa yang disebut sebagai highliner illusion (ilusi untuk menjadi nelayan
sukses). Highliner adalah nelayan atau kelompok nelayan yang memiliki
kelebihan skill dan modal yang cenderung memperoleh pendapatan yang
lebih tinggi dari nelayan umumnya. Dengan melihat kelompok mereka ini,
sering timbul ilusi pada nelayan kebanyakan bahwa suatu saat merekapun
akan menjadi kaya seperti highliner tadi. Ilusi ini pulalah yang menyebabkan
terjadinya sticky labor force dimana ekses tenaga kerja di sektor perikanan
sulit dikurangi. Pada akhirnya sulit bagi mereka untuk keluar dari perangkap
kemiskinan (poverty trap).
Ketiga, usaha perikanan mengalami apa yang disebut sebagai cycle
asymmetry atau siklus yang non simetrik. Copes18 seorang perintis teori
ekonomi perikanan mengemukakan karakteristik sifat ini dari sifat kapital
perikanan yang irreversible (sulit ditarik kembali). Usaha perikanan
mengalamai fluktuasi yang diakibatkan oleh faktor alam.
17
Fauzi, Akhmad. 2003. “ Paradok Kemiskinan Nelayan”. Working Paper Jurusan SEI, FPIKIPB. Bogor.
70
Keempat, Copes juga mengemukakan bahwa kemiskinan yang
persisten
disebabkan pula sulitnya penyesuain terhadap produktivitas
(adjustment to productivity gains) dimana pergerakan surplus tenaga kerja di
sektor perikanan sangat bersifat dapat balik (reversible). Dengan sifat rejim
open acces, nelayan bisa kembali ke komunitasnya dimana ia memperoleh
free access atas sumberdaya perikanan.
Kelima, sektor perikanan seperti halnya sektor primer lainnya sering
mengalami masalah finansial. Seperti kurangnya modal serta sulitnya akses
ke lembaga keuangan. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah di negara
berkembang sering memberikan bantuan berupa kredit ringan atau subsidi
untuk meningkatkan investasi berupa kapal dan alat. Namun ternyata,
kebijakan ini sering menjadi tidak menguntungkan dalam jangka panjang.
Fenomena yang disebut sebagai perverse assistance telah terbukti terjadi di
beberapa negara maju sekalipun. Sebagai contoh, pada tahun 1981
pemerintah Selandia Baru menyadari bahwa susbsidi yang mereka berikan ke
sektor perikanan justru menyebabkan industri perikanan yang overcapitalized
dan telah menyebabkan economic overfishing dimana armada yang makin
banyak justru menghasilkkan produksi perikanan yang makin sedikit.
Permasalahan ini terjadi juga di Indonesia, dimana program motorisasi atau
yang dikenal dengan istilah revolusi biru (blue revolution) misalnya, justru
menimbulkan dampak overcorwded bagi nelayan khususnya di pantai utara
Jawa dan nasib mereka tidak lebih baik dari sebelumnya.
18
Copes. P. 1986. “Prawn Fisheries Management in South Australia with Specific Reference to
71
Dengan
melihat
kompleks
permasalahan
yang
menyebabkan
kemiskinan nelayan, nampaknya pemerintah akan sulit mendapatkan obat
mujarab untuk menuntaskan kemiskinan nelayan tersebut. Namun paling
tidak ada beberapa strategi kunci yang dapat dijadikan bahan pertimbangan
dalam upaya mengurangi kemiskinan nelayan baik secara kualitas maupun
kuantitas, diantara yaitu 19:
Pertama, spek ekonomi pengelolaan sumberdaya perikanan menjadi
sangat krusial, karena disinilah bermuara persoalan kemiskinan. Assessment
terhadap sumberdaya perikanan nampaknya perlu dipikirkan kembali.
Dengan berdasar pada maximum sustainable yield (MSY), klaim potensi
perikanan sebesar 6.2 juta ton per tahun menimbulkan dua konsekensi. Satu,
dengan potensi sebesar itu dan produksi yang kurang lebih masih 4 juta ton
saat ini, bisa menimbulkan interpretasi peningkatan produksi. Kenyataannya
jika dihitung dengan kegiatan illegal fishing dan unreported fishing
(penangkapan yang tidak dilaporkan), maka angka 6.2 juta tersebut sudah
pasti akan terlewati. Dua, sebagaimana dikemukakan oleh bioekonom
terkemuka Collin Clark, MSY sama sekali mengabaikan aspek ekonomi.
Dengan demikian, look at the resource first and its economic consequences
haruslah menjadi kata kunci pertama dalam program pengentasan kemiskinan
nelayan.
Kedua, economic overfishing (tangkap lebih secara ekonomi)
merupakan penyakit utama rendahnya kinerja perikanan kita dan timbulnya
Problems in Gulf St. Vincent and Investigator Strait”. Technical Report. Departemen of
Fisheries. Adelide.
72
kemiskinan di wilayah pesisir, di samping biological overfishing (tangkap
lebih secara biologi). Dengan demikian, strategi yang menyangkut ke arah
tersebut dipikirkan secara matang. Salah satunya adalah dilakukannya
Adaptive Rationalization yang merupakan hybrid dari instrument ekonomi
yang berdasar pasar (market mechanisme) dengan penguatan kelembagaan
lokal. Karena dalam perikanan yang terkendali sekalipun, rent dissipation
(hilangnya rente ekonomi) dapat terjadi jika rasionalisai perikanan hanya
dilakukan berdasarkan mekanisme pasar belaka seperti kuota dan limited
entry.
Ketiga, sebagaimana diuraikan pada sintesis kemiskinan, kalau ditarik
resultan dari persoalan siklus non simetris dan sulitnya penyesuaian terhadap
productivity gain maka strategi investasi yang tepat akan dapat membantu
mengurangi kemiskinan di sektor perikanan. Namun harus dipahami benar,
strategi investasi di perikanan, khususnya perikanan pesisir sangat unik
karena terkait dengan karakteristik sumberdaya perikanan yang unik pula.
Keempat, karena anatomi kemiskinan nelayan terkait dengan perverse
assistance seperti halnya subsidi, maka strategi subsidi yang tepat akan
mengurangi tekanan kemiskinan. Fauzi (2002) secara detail telah mengupas
masalah strategi subsidi ini. Secara umum dapat dikatakan bahwa kemiskinan
dapat dikurangi jika strategi subsidi dilakukan dengan pengelolaan input yang
terkendali (perfectly constrained effort management) dan good subsidy dapat
dilakukan pada perikanan yang sudah overcapacity sehingga rente ekonomi
19
Fauzi, Ahkmad. 2003, Ibid
73
bisa dibangkitkan kembali yang pada gilirannya akan meningkatkan
pendapatan nelayan dalam jangka panjang. Pemberian kredit adalah salah
kebijakan publik berupa subsidi yang dalam definisi WTO merupakan
kontribusi finansial pemerintah dalam bentuk fund transfer (loan, grant, dsb)
maupun pelayanan umum (pembangunan infrastuktur). Dalam kaitannya
dengan sektor perikanan, subsidi dalam bentuk kredit memang telah lama
menjadi bahan perdebatan mengingat implikasinya terhadap sumberdaya
perikanan itu sendiri.
Dokumen Bank Dunia yang ditulis secara komrehensif oleh Milazzo
(1998) dalam Fauzi (2002) menunjukkan bahwa secara global subsidi yang
diberikan kepada perikanan baik dalam bentuk skim kredit mapun grant
mencapai antara US$ 14 hingga 20 milyar yang setara dengan 17% sampai
25% dari total penerimaan dari perikanan. Secara keseluruhan subsidi sebesar
itu telah menyebab terjadinya overcapacity dibidang perikanan. Arnason
(1999) dalam Fauzi (2002) lebih jauh mengatakan bahwa subsidi yang
diberikan pada perikanan yang nota bene merupakan sumberdaya yang
bersifat common property justru akan hanya menimbulkan economic waste.
Dengan demikian, kebijakan subsidi baik dalam bentuk grant maupun
kredit harus disikapi secara cermat dan hati-hati. Fauzi (2002) mengingatkan,
keberpihakan pemerintah dalam kredit perikanan hendaknya tidak dilihat dari
besarnya kredit yang diberikan maupun program kredit yang diluncurkan,
namun harus dilihat secara menyeluruh, misalnya dalam pola subsidi yang
lain seperti subsidi harga yang dampak distortifnya secara ekonomi relatif
74
lebih kecil. Mengingat, dalam jangka pendek, kebijakan kredit di bidang
perikanan dapat meningkatkan produktivitas. Namun demikian, dalam jangka
panjang, meningkatnya angka produksi tersebut dihadapkan (vis a vis) pada
penurunan hasil tangkapan yang berujung pada overfishing. Hal ini
dikarenakan, sifat sumberdaya perikanan yang sangat khas. Fenomena ini
dapat kita lihat di pantai utara Jawa, dimana produktifitas nelayan mengalami
penurunan dengan berkurangnya sumberdaya ikan serta daerah fishing
ground yang semakin jauh.
D.
Kebijakan di ZEEI Selama Ini
Hingga saat ini, sekitar 6.000 kapal asing masih melakukan aktivitas
penangkapan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Tentu saja,
keberadaan kapal asing tersebut mendapat pengakuan dari Undang-undang
No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan. Pada Pasal 9 ayat (1) UU No. 9 Tahun
1985 disebutkan bahwa: “Usaha perikanan di wilayah perikanan Republik
Indonesia hanya boleh dilakukan oleh warga negara Republik Indonesia atau
badan hukum Indonesia”. Selanjutnya, dalam Pasal 9 ayat (2) disebutkan,
bahwa “Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) hanya dapat diberikan di bidang penangkapan ikan, sepanjang hal tersebut
menyangkut kewajiban Negara Republik Indonesia berdasarkan ketentuan
persetujuan internasional atau hukum internasional yang berlaku”. Dengan
demikian, secara terang-terangan dalam Pasal 9 ayat (2) UU No. 9 Tahun
75
1985, Pemerintah Indonesia membuka kran kapal asing untuk terlibat dalam
mengeksploitasi sumberadaya ikan Indonesia yang ada di ZEEI.
Pengakuan terhadap keberadaan kapal asing di ZEEI oleh UU No. 9
Tahun 1985 dilanjutkan oleh UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang
merupakan revisi UU No. 9 Tahun 1985. Pada Pasal 29 ayat (1) disebutkan
“Usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
hanya boleh dilakukan oleh warga negara Republik Indonesia atau badan
hukum Indonesia”. Selanjutnya, dalam Pasal 29 ayat (2), disebutkan bahwa
“Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan usaha
penangkapan ikan di ZEEI, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban
Negara Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau
ketentuan hukum internasional yang berlaku”.
Selain itu, pengakuan terhadap keberadaan kapal asing dalam
melakukan penangkapan ikan di ZEEI juga diakui oleh UU No. 5 Tahun 1983
tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Pada Pasal 5 ayat (3) disebutkan
bahwa “Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 4 ayat (2), eksplorasi dan
eksploitasi suatu sumberdaya alam hayati di daerah tertentu di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia oleh orang atau badan hukum atau Pemerintah Negara
Asing dapat diizinkan jika jumlah tangkapan yang diperbolehkan oleh
Pemerintah Republik Indonesia untuk jenis tersebut melebihi kemampuan
Indonesia untuk memanfaatkannya”.
76
Sebagai turunan atau peraturan pelaksana dari UU No. 5 Tahun 1983,
maka keterlibatan kapal asing di ZEEI diatur lebih rinci dalam Peraturan
Pemerintah (PP) No. 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam
Hayati di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia. Pada Pasal 2 ayat (3) PP No. 15
Tahun
1984
disebutkan
bahwa,
“Dalam
rangka
meningkatkan
kemampuannya untuk memanfaatkan sumber daya alam hayati di Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia, orang atau badan hukum Indonesia yang
bergerak dibidang usaha perikanan Indonesia dapat mengadakan kerja sama
dengan orang atau badan hukum asing dalam bentuk usaha patungan atau
bentuk kerja sama lainnya menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.
Dengan berdasar pada ketentuan-ketentuan di atas yang mengakui
keberadaan kapal asing di ZEEI, maka kebijakan yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Indonesia, yang waktu itu dikeluarkan oleh Menteri Pertanian,
diantaranya yaitu: (1) pemberian lisensi kepada pengusaha perikanan
nasional; (2) skema sewa (charter); (3) sewa-beli (leasing); dan (4) skema
kemitraan (joint venture). Keempat skim tersebut disederhanakan menjadi
tiga, yaitu sewa-beli, joint venture dan lisensi. Kebijakan yang dikeluarkan
oleh Pemerintah ini mendapatkan berbagai kritikan dari beberapa pakar
ekonomi dan pakar perikanan.
Menurut mereka, kebijakan pemerintah yang dulu diberikan oleh
Menteri Pertanian yang kemudian dilanjutkan oleh Menteri Kelautan dan
Perikanan dalam membolehkan kapal asing menangkap ikan di ZEEI harus
77
dikaji
kembali
secara
komprehensif
karena
mengandung
beberapa
kelemahan, khususnya kelemahan data statistik perikanan yang digunakan
sebagai dasar dan terbatasnya sistem pengawasan (Kusumastanto, 2003).
Kusumastanto lebih jauh menjelaskan, bahwa bila ditinjau dari perspektif
rente ekonomi, kebijakan ini hanya memberikan keuntungan pada pengusaha
asing dan nasional yang akan memanfaatkan apabila rente yang dibayarkan
kepada negara tidak sepadan. Di dalam ekonomi sumberdaya perikanan, rente
sumberdaya perikanan (fishery resource rent) diartikan sebagai nilai manfaat
bersih dari pemanfaatan sumberdaya perikanan setelah seluruh komponen
biaya diperhitungkan. Lebih dari itu, tanpa diimbangi oleh pengawasan yang
ketat, kebijakan ini dikhawatirkan menimbulkan gejala tangkap lebih
(overfishing) dan terjadi konflik antara nelayan Indonesia dengan nelayan
asing.
Sementara itu, apabila menggunakan kebijakan publik dalam
membahas kebijakan mengenai pengelolaan di ZEEI selama ini, maka
masalah yang akan timbul diantaranya menurut Kusumastanto20 yaitu:
1.
Kebijakan Lisensi
Pemberian lisensi kepada pengusaha perikanan nasional yang
hanya menjadi agen bagi pengusaha asing untuk menangkap ikan di
ZEEI merupakan sesuatu yang beresiko terhadap keberlanjutan
sumberdaya ikan di ZEEI. Dalam mekanisme kebijakan seperti ini,
20
Kusumastanto, Tridoyo. 2003. “Ocean Policy dalam Membangun Negeri Bahari di Era
Otonomi Daerah”. Garamedia, Jakarta.
78
tidak ada instrumen, pendukung yang mengefektifkan kebijakan pada
tataran implementatif, baik berupa insentif maupun disinsentif. Oleh
karena itu, mekanisme kebijakan pemberian lisensi akan sangat
dengan mudah disalahgunakan atau diselewengkan oleh para pemburu
rente, sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan overfishing
sebagaimana kebijakan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang
menghancurkan sumberdaya hutan.
2.
Kebijakan Charter dan Leasing
Kebijakan skema sewa (charter) dan sewa-beli (leasing) yang
memberikan kesempatan kepada perusahaan perikanan nasional untuk
menyewa kapal asing. Perbedaan skema charter dan leasing adalah
bahwa kapal yang disewa-belikan pada akhirnya akan dimiliki oleh
perusahaan perikanan nasional. Masalahnya adalah, jangan sampai
kebijakan ini dengan skema ini hanya menduplikasi model masa lalu
yang implikasinya menghancurkan sumberdaya perikanan nasional
dan merugiakan nelayan lokal. Secara faktual, pengusaha perikanan
domestic yangmenggunakan fasilitas semacam ini di masa lalu hanya
menjadi “mafia” yang dibecking oleh institusi kekuasaan. Selain itu,
persoalan kedua skema ini adalah lemahnya mekanisme perlindungan
dan pengawasan serta sanksi yang dikenakan kepada pengguna kapal
asing di ZEEI, sehingga lagi-lagi tidak ada jaminan bagi terciptanya
kelestarian sumberdaya ikan di ZEEI.
79
3.
Kebijakan Joint Ventura
Skema kemitraan (Joint Ventura) yang dilakukan oleh
pengusaha perikanan nasional dan pengusaha pemilik kapal ikan
asing. Dalam skema kebijakan ini, pengusaha domestic yang bermitra
dengan pemilik kapal penangkap ikan asing harus memenuhi syarat
bahwa ia mempunyai kapal penangkap ikan. Jika persyaratan ini
terpenuhi, maka pengusaha perikanan domestic akan mendapatkan
izin untuk bermitra dengan pemilik kapal penangkap ikan asing.
Resiko selama ini adalah orang atau badan hukum domsetik yang
akan bermitara dengan pihak asing bisa saja tidak memiliki kapal,
tetapi menggunakan kapal ikan pengusaha perikanan lain, sehingga
mendapatkan izin penggunaan kapal ikan berbendera asing. Dengan
demikian, pengusaha perikanan nasional hanya menjadi broker
pengusaha kapal ikan asing.
Dengan meminjam istilah neo-marxis, apabila ketiga kebijakan di atas
tidak disertai dengan dukungan instrumen kelembagaan kuat, model
kebijakan ini hanya melegitimasi “gejala kompradorisasi”21 . Oleh karena itu,
agar pemanfaatan sumberdaya perikanan di ZEEI menciptakan kelestarian,
maka diperlukan kebijakan yang tepat. Ada beberapa langkah yang bisa
21
Kusumastanto. 2003 Ibid.
80
dilakukan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan untuk menertibkan kapal
asing tersebut, menurut Akhmad Fauzi22 : Pertama adalah melakukan
decommissioning yaitu mencoba memisahkan dengan jelas mana kapal
bendera Indonesia dan mana kapal berbendera asing dengan cara phasing out.
Dalam langkah ini, hanya ada dua jenis armada yang beroperasi yakni asing
atau domestik. Saat ini kapal-kapal yang berada diantara keduanya (status
yang tidak jelas) seperti kapal asing tapi berbendera Indonesia atau kapal
Indonesia tapi awak asing harus mulai dipertegas statusnya melalui
decommissioning.
Kedua menentukan besaran Total Allowable Level of Foreign Fishing
(TALFF), yakni surplus sumberdaya di wilayah ZEEI yang dihitung
berdasarkan selisih kelebihan Optimum Sustainable Yield (OSY) dengan
kapasitas penangkapan dalam negeri (domestik).
Ketiga menentukan estimasi permulaan (initial estimate) untuk access
fee berdasarkan alat tangkap, jenis ikan, tonase kapal, dan daerah
penangkapan. Estimasi ini akan terus disesuaikan secara berkala dengan
masuknya data yang lebih akurat mengenai dinamika SDA perikanan dan
pemanfaatannya.
Keempat membangun sistem monitoring, control, dan enforcement
yang dapat menggambarkan dinamika keberadaan dan pemanfaaatan
sumberdaya perikanan baik secara nasional maupun regional.
22
Fauzi. Akhmad. 2005. “Kebijakan Perikanan dan Kelautan Isu, Sentesisi dan Gagasan”.
Gramedia. Jakarta.
81
Kelima mengadakan kerjasama bilateral dan multilateral dengan
negara-negara yang berminat dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan
Indonesia. Kerjasama ini bertujuan saling menguntungkan dan bersama-sama
melakukan pengawasan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang optimal.
Sementara itu, mengenai keberadaan kapal asing di ZEEI, Menteri
Fredi Numberi mengeluarkan kebijakan yang membebaskan kapal asing dari
ZEEI pada akhir tahun 2007, yaitu untuk kapal Filipina, pemerintah bahkan
sudah menghentikan izinnya mulai 5 Desember 2005 yang lalu. Sementara
untuk kapal Thailand akan dihentikan izinnya tahun 2006, dan Cina pada
2007. Namun demikian, terbebasnya perairan ZEEI pada tahun 2007 bukan
berarti pemerintah mengusir semua kapal asing, karena pemerintah masih
memberi kesempatan kepada mereka untuk berlayar dan mencari ikan di
perairan Indonesia. Syaratnya, pemilik kapal-kapal asing itu harus
membangun industri perikanan di Indonesia, bekerja sama dengan pengusaha
Indonesia. Selain itu, awak kapalnya harus berasal dari Indonesia. Mengenai
kebijakan ini, kembali harus kita cermati secara komprehensif, apakah
armada tangkap nasional sudah siap mengisi kekosongan armada tangkap
asing? Lantas apa yang harus disiapkan saat ini guna menghadapi
kekosongan armada tangkap asing tersebut?
E.
Kebijakan Pengendalian Pengelolaan Perikanan Indonesia
82
Seperti telah dipahami bersama, satu-satunya mekanisme yang tersedia
untuk mempertahankan kelestarian sumberdaya ikan pada suatu tingkat yang
diinginkan, setidaknya dalam perikanan tangkap di alam bebas, adalah
mengendalikan mortalitas penangkapan dengan cara mengatur banyaknya ikan
yang ditangkap, kapan ikan ditangkap serta ukuran dan umur saat ikan
ditangkap. Dalam mengatur mortalitas penangkapan ada sejumlah pendekatan
yang dapat digunakan, dan masing-masing mempunyai implikasi dan efisiensi
yang berbeda untuk pengaturan mortalitas penangkapan, dampak terhadap para
nelayan, kelayakan dari pemantauan, pengendalian dan pengawasan, dan segi
lainnya dari pengelolaan perikanan.
Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk mengatur
tangkapan total, yang artinya mengatur mortalitas penangkapan yang dibebankan
terhadap suatu stok, yaitu23 :
Pertama, langkah teknis, berupa pembatas atau kendali untuk mengatur
keluaran yang dapat dicapai dari sejumlah upaya tertentu, umpamanya
pembatasan alat tangkap, penutupan penangkapan pada musim dan kawasan
tertentu. Dalam bentuk peraturan tersebut di atas, langkah ini umumnya
berupaya mempengaruhi efisiensi dari alat penangkapan ikan.
Tujuan pembatasan alat tangkap tersebut, diantara yaitu:
1.
Menghindarkan
peningkatan
kapasitas
penangkapan
akibat
peningkatan efisiensi alat tangkap yang bersangkutan;
23
Kusumastanto, Tridoyo. 2004. “Studi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut Indonesia”.
Jakarta.
83
2.
Menghindari suatu dampak yang tak dikehendaki yang berkaitan
dengan ukuran ikan, spesies bukan komersial atau habitat kritis;
3.
Menghindari pemasukan suatu teknologi baru yang kiranya dapat
memodifikasi secara bermakna distribusi hak pengusahaan yang ada,
teristimewa jika hal ini melibatkan para peserta baru.
Pembatasan alat tangkap mempunyai peran yang penting dalam
mengupayakan pemanfaatan optimal suatu stok atau suatu sumberdaya. Akan
tetapi, pengalaman menunjukkan bahwa pembatasan alat tangkap saja tidak
dapat digunakan untuk menjamin konservasi. Sebagai tambahan, peningkatan
efisiensi suatu armada sering menaikkan biaya penangkapan relatif pada
armada lain dan karena itu mungkin menjurus kepada tekanan untuk
memperoleh hasil tangkapan yang lebih tinggi untuk mempertahankan tingkat
pendapatan.
Sementara itu, pembatasan kawasan dan waktu dapat digunakan untuk
melindungi suatu komponen dari suatu stok atau komunitas. Pembatasan
kawasan dapat memainkan peran yang diperlukan dalam penangkapan yang
lestari, khususnya bagi spesies teritorial atau spesies yang hidupnya relatif
menetap. Kawasan laut yang dilindungi dapat pula berperan penting dalam
mencadangkan habitat kritis atau tahap-tahap hidup yang peka dari suatu
spesies. Namun demikian, otoritas pengelolaan perikanan harus memantau
upaya yang tersedia, dan pemindahan upaya tangkap dari kawasan tertutup
84
atau musim tertutup ke daerah dan musim terbuka yang tidak melampaui
tingkat lestari sumberdaya di daerah terbuka tersebut.
Sebagai tambahan dari perannya dalam melestarikan sumberdaya,
pembatasan kawasan dan waktu dapat digunakan untuk mengurangi atau
menghapus sengketa antara komponen yang berbeda dari sistem perikanan
(armada artisanal, industri, dan asing) atau antara mereka dan para pengguna
lainnya. Dengan memilah-milah para nelayan atau kelompok lain yang
berkepentingan ke dalam penempatan waktu dan ruang yang tepat sesuai
dengan sifat penggunaan atau praktek penangkapan mereka, pertemuan antara
mereka dapat dikurangi, dengan demikian juga mengurangi besarnya
kemungkinan sengketa. Akan tetapi, pemilahan semacam itu menjurus pada
alokasi yang harus dipatuhi, dan sengketa bisa timbul jika alokasi semacam
itu tidak mempertimbangkan pemerataan dan keadilan.
Kedua, pengendalian masukan (input control), yang secara langsung
mengatur jumlah upaya yang dapat dimasukkan ke dalam suatu perikanan.
Pada umumnya, pengendalian masukan lebih mudah dipantau dibandingkan
pengendalian keluaran. Pengendalian masukan (upaya), meliputi pembatasan
jumlah unit penangkapan melalui izin yang diterbitkan, pembatasan jumlah
unit waktu melakukan penangkapan (kuota upaya individu), dan pembatasan
ukuran kapal dan/atau alat tangkap.
Permasalahan terbesar dalam penggunaaan pengendalian masukan
saja untuk mengatur perikanan terkait dengan permasalahan untuk
menetapkan berapa besar upaya sesungguhnya yang diwakili oleh masing-
85
masing unit penangkapan. Bahkan armada yang berciri tersendiri di dalam
suatu perikanan dicirikan oleh variasi yang besar dalam ukuran kapal (jika
kapal-kapal dilibatkan), sifat dari alat tangkap dan bantuan teknis dan
teknologi yang digunakan, mutu perawatan kapal dan alat tangkap,
keterampilan dan strategi nahkoda dan faktor lainnya. Perbedaan ini
menyebabkan sangat sukar melakukan pengkajian upaya efektif dalam suatu
perikanan.
Secara teoritis, jika data cukup tersedia, maka memungkinkan
menetapkan efisiensi relatif dari tiap kapal dan armada dengan cara
membandingkan hasil tangkapan historis per satuan upaya dalam suatu basis
data armada.
Dalam prakteknya, peningkatan efisiensi, menyebabkan
kalibrasi tersebut sukar dilakukan.
Hal ini menekankan pentingnya bagi
otoritas pengelolaan menyangkut pengumpulan data yang tepat guna tentang
hasil tangkapan dan upaya.
Jika permasalahan penetapan jumlah upaya yang tepat pada suatu
sumberdaya dan perubahan upaya efektif dapat diatasi, maka terdapat
beberapa keuntungan dari pendekatan pengendalian upaya dibandingkan
dengan cara pengendalian keluaran (tangkapan). Pengendalian upaya
mungkin pula diperlukan untuk menghindari permasalahan kapasitas yang
berlebih, walaupun telah terdapat pengendalian keluaran.
Ketiga, pengendalian keluaran (output control), secara langsung
mengatur tangkapan yang dapat diambil dari suatu perikanan dan dapat
dipandang sebagai suatu cara untuk menghindari permasalahan yang
86
berkaitan dengan penetapan dan pemberdayaan langkah teknis dan
pengaturan upaya tangkap, dengan membatasi langsung faktor yang
merupakan perhatian utama, yaitu tangkapan total. Bagaimanapun juga,
pengendalian tangkapan juga mempunyai masalah, sebagian besar berkaitan
dengan pemantauan dan pengawasan.
Pengendalian keluaran (tangkapan) adalah suatu langkah pengelolaan
populer bagi perikanan, khususnya untuk perikanan skala besar. Pengendalian
keluaran, secara teoritis, memungkinkan perkiraan dan pelaksanaan
tangkapan optimal yang akan diambil dari suatu stok dengan suatu strategi
permanen yang ditentukan. Adanya informasi yang baik mengenai hasil
tangkapan yang sebenarnya dapat mendukung pencapaian tujuan yang
diinginkan. Pengendalian tangkapan biasanya meliputi penetapan suatu
jumlah tangkapan yang diperbolehkan, yang kemudian dilakukan pembagian
ke dalam kuota individu menurut armada, perusahaan penangkapan, atau
nelayan.
Dalam banyak kejadian, perikanan diatur oleh suatu kombinasi yang
terdiri atas lebih dari satu langkah pengendalian di atas. Suatu patokan
pertimbangan, apapun kombinasi langkah pengelolaan yang digunakan,
merupakan keputusan yang membuka atau membatasi akses ke sumberdaya
tersebut. Upaya dan kapasitas armada yang berlebihan harus dihindarkan
dalam suatu perikanan, karena fakta menunjukkan bahwa kapasitas
penangkapan yang berlebihan dibandingkan dengan yang diperlukan dalam
suatu WPP, mengakibatkan terjadinya tangkap lebih di WPP tersebut.
87
Dengan demikian pembatasan terhadap upaya total yang mempunyai akses ke
suatu WPP harus dilakukan.
BAB IV
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Tim dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Tim menganggap bahwa penelitian ini merupakan studi penjajakan awal
terhadap beberapa aspek hukum pemanfaatan zona ekonomi eksklusif
dalam rangka peningkatan pendapatan nelayan Indonesia. Ternyata
masalah hukum di bidang perikanan ini sangat komplek.
88
Selama ini pengertian nelayan dianggap sebagian adalah orang yang
melakukan pekerjaan sehari-hari di laut yakni di pesisir pantai untuk
penghidupannya. Dari hasil penelitian terlihat bahwa pengertian nelayan
mempunyai makna yang bermacam-macam seperti telah diuraikan pada
halaman 62, misalnya nelayan penuh, nelayan sambilan, nelayan besar,
nelayan kecil, nelayan tradisional, dan nelayan yang berorientasi pada
keuntungan (commecial fisher) serta
nelayan skala besar dicirikan
dengan majunya kapasitas teknologi penangkapan ikan maupun jumlah
armadanya (industrial fisher).
Dalam hal pemanfaatan perikanan khususnya di zona ekonomi eksklusif,
hasil penelitian menunjukkan bahwa zona ekonomi eksklusif indonesia
belum begitu dimanfaatkan oleh nelayan Indonesia. Karena ada banyak
faktor yang menyebabkan nelayan belum memanfaatkan zona ekonomi
eksklusif . Misalnya Faktor internal adalah faktor-faktor yang berkaitan
kondisi internal sumberdaya manusia nelayan dan aktivitas kerja mereka.
Faktor-faktor internal mencakup masalah antara lain: (1) keterbatasan
kualitas sumberdaya manusia nelayan; (2) keterbatasan kemampuan modal
usaha dan teknologi penangkapan; (3) hubungan kerja (pemilik perahunelayan buruh) dalam organisasi penangkapan ikan yang dianggap kurang
menguntungkan nelayan buruh; (4) kesulitan melakukan diversifikasi usaha
penangkapan; (5) ketergantungan yang tinggi terhadap okupasi melaut; dan
(6) gaya hidup yang dipandang ”boros” sehingga kurang berorientasi ke
masa depan. Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berhubungan
89
dengan kondisi di luar diri dan aktivitas kerja nelayan. Faktor-faktor
eksternal mencakup masalah antara lain: (1) kebijakan pembangunan
perikanan yang lebih berorientasi pada produktivitas untuk menunjang
pertumbuhan ekonomi nasional, parsial dan tidak memihak nelayan
tradisional;
(2)
sistem
pemasaran
hasil
perikanan
yang
lebih
menguntungkan pedagang perantara; (3) kerusakan ekosistem pesisir dan
laut karena pencemaran dari wilayah darat, praktek penangkapan ikan
dengan bahan kimia, perusakan terumbu karang, dan konversi hutan bakau
di kawasan pesisir; (4) penggunaan peralatan tangkap yang tidak ramah
lingkungan; (5) penegakkan hukum yang lemah terhadap perusakan
lingkungan; (6) terbatasnya teknologi pengolahan hasil tangkapan pascatangkap; (7) terbatasnya peluang-peluang kerja di sektor non-perikanan
yang tersedia di desa-desa nelayan; (8) kondisi alam dan fluktuasi musim
yang tidak memungkinkan nelayan melaut sepanjang tahun; dan (9) isolasi
geografis desa nelayan yang mengganggu mobilitas barang, jasa, modal dan
manusia.
2. Dalam rangka mengantisipasi pelaksanaan Konvensi Hukum Laut PBB
1982, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan beberapa peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai pemanfaatan zona
ekonomi eksklusif diantaranya UU No. 5 Tahun 1983 tentang ZEEI; PP
No. 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di
ZEEI; UU No. 41 Tahun 2004 tentang Perikanan.
90
3. Setiap negara pantai memiliki hak dan kewajiban di dalam kapasitas legal
untuk memanfaatkan potensi perikananya di dalam wilayah hukum
nasionalnya. Bagaimanapun juga besar wilayahnya, bisa begitu luas dan
jauh, sehingga banyak kapal-kapal asing yang leluasa melakukan kegiatan
IUU Fishing (penangkapan ikan tidak legal) tanpa bisa terdektesi oleh
pihak yang berwenang dari negara pemilik wilayah itu. Untuk mengatasi
hal-hal seperti itu, pemerintah negara memperbaiki dengan melengkapi
alat-alat penunjang yang memadai seperti kapal, helikopter, pesawat
terbang, satelit dan lain-lain.
B.
SARAN
1. Dalam hal pemanfaatan ZEEI yaitu menentukan jumlah tangkap yang
diperbolehkan (JTB) berdasarkan pertimbangan dan rekomendasi dari
Komisi Nasional perlu pengkajian kembali besar JTB yang
ditetapkan.
2. Kebijakan pemerintah yang dulu diberikan oleh Menteri Pertanian
yang kemudian dilanjutkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan
dalam membolehkan kapal asing menangkap ikan di ZEEI perlu dikaji
kembali, karena beberapa kelemahan terutama dari data statistik yang
digunakan dan terbatasnya sistem pengawasan.
3. Dalam mengantisipasi perkembangan penangkapa ikan di zona
ekonomi eksklusif indonesia, Pemerintah perlu mengantisipasi
pelaksanaan IUU Fishing.
91
DAFTAR PUSTAKA
Copes, P. 1986. Prawn Fisheries Management in South Australia with Specific
Reference to Problems in Gulf St. Vincent and Investigator Strait. Technical
Report. Departement of Fisheries. Adelide.
Delgado, C.L., N. Wada, M.W. Rosegrant, S. Meijer and M. Ahmed (2003): Fish
to 2020. Suppley and Demand in Changing Global Markets. IFPRI
Washington D.C. and World fish Center Penang Malaysia.
Direktorat Jenderal Perikanan. 2000. Buku Statistik Perikanan Indonesia. Jakarta.
Feliarta, (Editor) 1998. Strategi Pembangunan Perikanan da Kelautan Nasional
dalam Meningkatkan Devisa Negara, UNSRI Press.
Hanitijo, Rony. Metodologi Penelitian Hukum, Penerbit Ghalia Indonesia,
Cetakan Kedua, 1985.
FAO. 1995. Code of Conduct for responsible Fisheries. Roma FAO.
Fauzi, Akhmad. 2002. Kredit Perikanan di Indonesia: Suatu Tinjauan Kritis.
Bahan Press Release Media Indonesia.
Fauzi, Akhmad. 2003. Paradok Kemiskinan Nelayan. Working Paper Jurusan SEI,
FPIK-IPB. Bogor.
Fauzi, Akhmad. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan: Isu, Sintesisi dan
Gagasan. Gramedia, Jakarta.
Kusnadi (ed). 2004. Polemik Kemiskinan Nelayan. Pondok Edukasi dan Pokja
Pembaruan. Bantul.
Kusumastanto, Tridoyo. 2003. Ocean Policy dalam Membangun Negeri Bahari di
Era Otonomi Daerah. Gramedia, Jakarta.
Kusumastanto, Tridoyo et al. 2004. Studi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Laut Indonesia. Jakarta.
Masyhuri (ed). 1999. Pemberdayaan Nelayan Tertinggal dalam Mengatasi Krisis
Ekonomi: Telaahan Sebuah Pendekatan. Puslitbang Ekonomi dan
Pembangunan-LIPI.
Pollnac, Richard B. 1998. Karakteristik Sosial dan Budaya dalam Pembangunan
Perikanan Berskala Kecil, dalam Cernea Michael, Mengutamakan Manusia
dalam Pembangunan: Variabel-variabel Sosiologi dalam Pembangunan
Pedesaan. UI Press. Jakarta.
Satria, Arif. 2004. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Cidesindo. Jakarta.
Suara Pembaruan. 2005. “Izin Kapal Ikan Asing Akan Dihentikan”. 13 Desember
2005
Sinar Harapan. Kawasan Pulau Natuna “Qua Vadis” Dr-Ing. Imam Prayogo,
MBA, Jakarta 14 April 2005.
WCED. 1987. Our Common Future. World Environment and Developmen.
Oxford University Press.
www.dkp.go.id
Peraturan Perundang-undangan
Code of Conduct for Responsible Fisheries 1995.
Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 473a/Kpts/IK.250/6/1985 tentang
Penetapan Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan di ZEEI
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 10/Men/2003 tentang
Perizinan Usaha Penangkapan Ikan.
Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of
the Sea 1982)
Peraturan Pemerintah No. 15 tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Kekayaan
Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Undang-undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Undang-undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan.
Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Download