| Nomor 03 | Tahun 2004 | Rp6.750,- | DaftarIsi 1 2 2 3 6 20 24 26 28 28 29 30 32 Dari DariRedaksi Info Eksekutif Komentar Etalase Fokus HC HCTren Kolega Konsultasi Kolom Kiat Life LifeStyle Bursa Kerja BursaKerja Rehal RAHASIA MEMBANGUN BUDAYA KORPORAT RAHASIA MEMBANGUN BUDAYA KORPORAT l ha am an 26 F O K U S RAHASIA MEMBANGUN BUDAYA KORPORAT Dunia bisnis diramaikan oleh perusahaan yang muncul silih berganti. Puluhan ribu perusahaan baru bermunculan di dunia setiap hari, tak sedikit pula perusahaan yang justru jatuh bangkrut. Namun, perusahaan-perusahaan terbaik tetap menjulang dan menguasai pasar meski telah berusia tua. Apa kuncinya? PLUS MINUS 22 PROGRAM OPSI SAHAM halaman Beberapa perusahaan publik Indonesia sudah menerapkan ESOP (Employee Stock Ownership Program/Plan) sebagai satu cara untuk mengapresiasi manajer dan eksekutif. Program ini ternyata cukup efektif menahan larinya para eksekutif handal. Sayangnya, ESOP jadi tidak menarik karena harga saham perusahaan yang turun terus dan cenderung kurang bernilai. Judhi Kristantini: “Rasanya memang kita harus mencari pekerjaan yang kita sukai agar tidak menjadi beban,” Rudjito: “Sekarang, investor asing sangat bullish dengan saham Bank BRI,” Robby Djohan: “Kalau di seluruh dunia orang-orang Citibank ada di mana-mana,” Stephen Z. Satyahadi: “Jangan hanya mau jadi yang terbaik saja, tanpa mau tahu dasarnya,” halaman 24 halaman 20 halaman 6 halaman 6 2 | HumanCapital | Nomor 03 | Tahun 2004 | D a r i R e d a k s i S Kaizen alah satu konsep manajemen yang membuat perusahaan-perusahaan Jepang unggul di pasar global adalah kaizen, yang bermakna upaya perbaikan/penyempurnaan terus menerus (continous improvement). Dalam skala yang lebih kecil, kami pun menerapkan manajemen kaizen. Setiap saat pengelola tabloid Human Capital terus menyempurnakan seluruh aspek usaha, seperti redaksi, pemasaran, distribusi, dan layanan pelanggan. Seluruh upaya ini bertujuan untuk memuaskan Anda, para pembaca. Dari sisi redaksi, kami memiliki komitmen untuk selalu menyajikan yang terbaik kepada pembaca. Kami akan selalu mengupas tuntas tema-tema yang dibutuhkan dengan menggali informasi langsung dari para pelaku bisnis, para pengamat dan konsultan, serta bahan-bahan referensi mutakhir. Dari dua edisi HC yang telah meluncur ke pasar, para pembaca bisa melihat betapa seriusnya kami menggarap sajian kami. Kami tidak asal tulis atau asal menulis enak, namun berusaha untuk tampil komprehensif sehingga pembaca benar-benar meraih manfaat dari sajian kami. Referensi terkini dari luar negeri akan selalu menghiasi tulisan-tulisan kami. Dalam edisi ini, kami memilih tema “Rahasia Membangun Budaya Korporat” di rubrik Fokus dan “Implementasi Opsi Saham” di rubrik HC Tren. Ternyata, perusahaan-perusahaan hebat atau sering disebut juga perusahaan visioner sukses berkat keberhasilan mereka membangun budaya korporat yang kuat. Budaya itu dijelaskan dalam bentuk nilai-nilai (value) dan keyakinan (belief) yang kemudian membentuk sikap dan perilaku seluruh orang dalam perusahaan itu. Sikap dan perilaku itu tampak dalam cara mereka bekerja, berinteraksi satu sama lain, memandang persoalan, mengambil keputusan, dan berinteraksi dengan pihak eksternal. Kami sajikan beberapa contoh perusahaan lokal dan global yang dikenal memiliki budaya korporat kuat, macam Unilever, Citibank, Astra, Bank Niaga, IBM, HP, GE, dan sebagainya. Juga pendapat konsultan terkemuka di bidangnya. Harapan kami, dengan membaca rangkaian tulisan ini, pembaca bisa memperoleh rahasia kunci membangun budaya korporat. Persoalan opsi saham kami kupas tak kalah dalam dengan Fokus karena program ini mulai banyak diterapkan di perusahaan Indonesia, khususnya perusahaan publik (Tbk). Badan Pengawasan Pasar Modal (Bapepam) mewajibkan emiten untuk memberikan 5% sahamnya kepada para karyawan dan manajemen perusahaan. Hanya saja, perusahaan Indonesia juga harus belajar dari pengalaman Amerika, negara “mbahnya”program opsi saham, karena kini pun mereka sedang mengoreksi program tersebut. Alasannya, program itu tak sepenuhnya efektif mencapai sasaran. Mulai edisi ini, sajian HC diperkaya dengan menghadirkan rubrik baru, seperti Info Eksekutif dan Tips Praktis. Info Eksekutif berisi informasi singkat tentang berbagai aspek manajemen, khususnya manajemen SDM, yang perlu diketahui para eksekutif. Sedangkan Tips Praktis menyajikan opini karyawan terhadap tema-tema ringan seputar pekerjaan. Edisi kali ini mengambil tema “Menghadapi Bos Galak”. Namun demikian, tak lupa kami mohon maaf atas terlambatnya edisi kali ini menemui pembaca. Mungkin kami terlalu bersemangat menerapkan kaizen di redaksi sehingga lupa waktu. Kami akan berusaha keras agar keterlambatan semacam ini tidak pernah terjadi lagi di masa mendatang. Sekali lagi mohon maaf, dan selamat membaca. Selamat & Sukses atas akan terselenggaranya Seminar & Musyawarah cabang IWAPI Surakarta 25 s/d 26 Mei 2004 P emim pin U mum: Farid Aidid P emim pin P erusahaan: If tida Yasar W akil P emim pin P erusahaan: Harry Sidharta P emim pin emimpin Umum: emimpin Perusahaan: Pemim emimpin Perusahaan: emimpin R edaksi: P. Muhammad R edaktur P elaksana: Malla Latif R edaktur: Ratri Suyani K ontribut or: Indraria Djokomono Ar tistik: Pelaksana: ontributor: Artistik: er: Dimas Mamik Iklan: T. Muhtadi Sekre taris R edaksi: Rizma Maulina A dministrasi: Afiantomi Joel Totok Apriyanto Fo t ograf ografer: Sekretaris Redaksi: edaksi/T ata Usaha, Iklan&Pr omosi: Setiabudi Building 2, 3rd Floor. Suite 305 Penerbit: PT Bina Semesta Giartha Lestari Alamat R Redaksi/T edaksi/Tata Iklan&Promosi: Jl. H. R. Rasuna Said Kav. 62 Jakarta 12920 Telp. 021-5220575 Fax. 021-52901024 E-mail: [email protected] Bank: a/n PT. Perdana tak: PT Temprint. encetak: Perkasa Elastindo, Bank Permata Cab. Atrium Setiabudi No. Rek. 0.216322.002 Pence 3 | HumanCapital | Nomor 03 | Tahun 2004 | I n f o E k s e k u t i f ASIA BUSINESS LEADER AWARDS 2004 C NBC Asia Pasifik, TNT Asia, dan China Business Network telah mengumumkan peluncuran Asia Business Leader Awards (ABLA) 2004, yang diselenggarakan di Shanghai, Cina, tanggal 25-26 Mei 2004. ABLA, yang diluncurkan tahun 2001, merupakan satu-satunya penghargaan bergengsi di tingkat regional. Penghargaan ini diberikan kepada CEO-CEO Asia yang telah secara luar biasa menunjukkan kemampuan memimpin untuk meraih sukses di negara mereka maupun di kawasan regional. ABLA 2001 digelar di Hotel Shangri-la, Singapura. ABLA 2002 digelar di Hong Kong bertempat di Hotel Hyatt. ABLA 2003 sedianya diadakan di Shanghai. Tapi karena wabah SARS, panitia penyelenggara menunda acara ini menjadi tahun 2004. ABLA 2004 akan diadakan di Four Seasons Hotel yang bertindak sebagai hotel resmi. Pemilihan Cina sebagai lokasi acara juga pengakuan terhadap Cina sebagai kekuatan ekonomi yang berkembang di kawasan ini. Bahkan, dalam ABLA 2004, secara khusus akan diberikan penghargaan untuk kategori baru China CEO of the Year, selain kategorikategori yang sudah ada: The Asia Business Leader of the Year, Innovator of the Year, Corporate Citizen of the Year, dan CEO’s Choice of the Year. Adapun tema penghargaan tahun ini adalah Defining success through leadership. Proses penjurian adakan dilakukan oleh tim akademis dari University of Chicago Graduate School of Business, yang menjadi Knowledge Partner. Sementara Development Dimensions International (DDI), salah satu konsultan sumberdaya manusia dan pengembangan kepemimpinan terdepan di dunia, merupakan ABLA 2004 Research Partner. Mereka bekerjasama dengan Chicago GSB dalam putaran pertama proses penjurian. Proses penjurian ini telah dibagi menjadi tiga fase. Pada tahap pertama, tim akademis telah mengumpulkan data kuantitatif perusahaan terbaik di Asia dan menyeleksi lebih dari 50 kandidat ke tahap selanjutnya. Tahap kedua, wawancara para kandidat berdasarkan kriteria tertentu. Setelah itu, 20 kandidat akan diseleksi untuk maju pada Persepsi Para Eksekutif Terhadap Fungsi Human Resources Dan Pelatihan S Keahlian Dasar Yang Wajib Dimiliki Oleh Profesi Human Resources K aat ini diperkirakan para “CEO” (Indonesia?) dan pimpinan tinggi perusahaan lainnya, menetapkan aktifitas rekrutmen dan memelihara karyawan yang kompeten, sebagai prioritas strategik utama yang mereka lakukan. Meski demikian jajak pendapat yang dilakukan Accenture mengidentifikasikan bahwa para eksekutif tidak terlalu ‘bahagia’ terhadap hasil yang diperoleh dari aktifitas divisi human resources tersebut. Sebagai contoh, hanya 13% dari 200 eksektutif di enam negara yang merasa puas terhadap HR inisiatif perusahaan mereka, dan 17% dari responden yang menyatakan puas terhadap hasil pelatihan dan pengembangan perusahaan. Hanya satu CEO yang dilaporkan sangat puas dengan performa HR, sementara 20% lainnya sangat tidak puas. Meski demikian, hasil ini masih membuka banyak pertanyaan, sebab didapat bahwa paling tidak 40% dari perusahaan yang dijadikan responden, tidak secara berkala mengukur dampak HR serta pelatihan dan pengembangan, melalui indikator seperti rasio perbandingan karyawan keluar dan tinggal, kepuasan karyawan, produktifitas dan kualitas (Disadur dari “Industry week”, tahun 2003) ontribusi Strategik (Strategic Contribu tion) dan Kredibilitas Individu (Personal Credibility), merupakan dua dari lima keahlian utama yang harus dimiliki HR profesional, agar dapat memberikan implikasi positif terhadap performa keuangan perusahaan. Hal ini diungkap berdasarkan penelitian Society of Human Resources Management dan University of Michigan. Hasil ini didapat dengan melakukan analisa perbandingan terhadap perusahan yang memiliki performa kerja tinggi dan rendah. Selain Kontribusi Strategik dan Kredibilitas Individu, keahlian lain yang diperlukan adalah Pengetahuan Bisnis (Business Knowledge), Kemampuan Memberikan Pelayanan HR (Ability to Deliver HR Services) misalnya strategi kepegawaian (Staffing Strategies), pengembangan dan kepatuhan legal, dan terakhir Penggunakan Tehnologi dalam Memberikan Pelayanan HR (the use of technology in delivery HR services). Temuan ini mengungkapkan bahwa perusahaan dengan HR profesional yang memiliki kelima kompetensi utama ini, mampu meningkatkan performa keuangan hingga 10% dalam jangka waktu tiga tahun (Disadur dari “Nation’s Restaurant News”, 2003) tahap penjurian berikutnya. Tahap ketiga (terakhir), dewan juri independen – terdiri dari orang-orang kompeten – akan memilih 10 finalis, dan 4 dari mereka terpilih mendapatkan penghargaan. ASIA BUSINESS LEADER OF THE YEAR Penghargaan ini diberikan sebagai pengakuan bagi eksekutif yang berhasil membangun loyalitas pelanggan, memberi inspirasi dan motivasi kepada karyawan, meningkatkan keuntungan, dan mewujudkan pandangannya bagi perusahaan. Perhatian khusus akan diberikan terhadap keberhasilan di tingkat regional, daya inovasi, pelayanan masyarakat, dan perilaku sang pemimpin terhadap berbagai isu-isu global – termasuk Good Corporate Governance. INNOVATOR OF THE YEAR Diberikan kepada individu yang memiliki pemikiran baru dalam dunia bisnis. Kriteria ini berdasarkan keberhasilan pengembangan produk baru, inovasi proses bisnis, model, dan strategi bisnis. Dia adalah pemimpin bisnis yang bisa membuat reinvention menjadi sukses. CORPORATE CITIZEN OF THE YEAR Diberikan atas kontribusi di bidang seni, pendidikan, lingkungan hidup, dan pengembangan masyarakat. Penerima penghargaan ini akan dinilai berdasarkan kemampuan untuk merubah sukses perusahaan menjadi keuntungan bagi masyarakat. CHINA CEO OF THE YEAR Penghargaan ini diberikan kepada pemimpin bisnis Cina yang dengan pandangan dan kemampuan manajemennya membantu perusahaan menjadi tersukses di Cina. CEOS’ CHOICE OF THE YEAR Penghargaan ini ditentukan melalui polling eksekutif top yang diadakan di seluruh kawasan regional. Para eksekutif itu diundang memberikan suara melalui email ataupun dengan mengakses situs resmi ABLA 2004 yang memuat 20 semifinalis terdaftar Penelitian Menunjukkan Strategi HR Yang Tertulis Lebih Bermanfaat P erusahaan yang telah memiliki Strategi HR secara tertulis ternyata cenderung lebih beruntung dibandingkan yang tidak. Demikian menurut para eksekutif yang berpartipasi dalam penelitian global yang diselenggarakan oleh Pricewaterhouse-Coopers (PwC), New York. Partner PwC, James Hatch, mengungkapkan bahwa menuangkan Strategi HR kedalam tulisan akan memaksa mereka yang bertanggung jawab untuk lebih fokus dan merasa terlibat, dibandingkan tanpa dokumentasi strategi. Menurut laporan tersebut, untuk membuatnya menjadi efektif, suatu Strategi HR membutuhkan “sesuatu untuk menterjemahkan tujuan menjadi aktifitas”, misalnya sistem penilaian kerja (performance management system) yang efektif, sistem kompensasi yang mampu mengaitkan motivasi individu dengan tujuan bisnis, serta cara untuk mengukur return on investment (ROI) dari karyawan, seperti evaluasi yang akurat terhadap program pelatihan. Berdasarkan survey PwC tersebut juga didapat beberapa keuntungan yang didapat dari Strategi HR yang tertulis: z Keuntungan setiap karyawan 35% lebih tinggi dibanding di perusahaan yang tidak memiliki strategi tertulis. z Karyawan yang mangkir kerja 12% lebih rendah z Pemecatan karyawan rendah Meskipun banyak perusahaan mengaku memiliki Strategi HR, tapi banyak yang tidak mampu menuangkannya dalam bentuk dokumen. James Hatch menambahkan, “tindakan sederhana dengan menuliskan dan mendapatkan persetujuan atas dokumen tersebut, ternyata membantu perusahaan” Sebagai tambahan, laporan tersebut juga mengungkapkan bahwa perusahaan yang melibatkan pimpinan HR dalam pengambilan keputusan ternyata tidak lebih baik secara profit, dibandingkan perusahaan yang tidak melakukan hal ini. Lebih dari setengah pejabat HR di banyak perusahaan, merupakan anggota tim pengambil keputusan tertinggi, namun tetap ini bukan merupakan garansi adanya perbaikan di sisi keuangan. “Hal ini hanya dapat terjadi bila pimpinan HR dapat berpatisipasi aktif”, lanjut James Hatch. “Anda dapat saja berada di meja yang sama, namun tidak bersuara. Masalah ini lebih penting dibandingkan dokumentasi, sebab pejabat HR dapat berkontribusi positif terhadap pendapat perusahaan (Disadur dari “HR Magazine”, 2003) 4 | HumanCapital | Nomor 03 | Tahun 2004 | E t a l a s e PHK Karyawan HI Setelah menolak untuk di-PHK, 279 karyawan Hotel Indonesia dan Hotel Inna Wisata akhirnya bersedia menerima kebijakan PHK sebagai konsekuensi atas kerjasama dengan PT Cipta Karya Bumi Indah. Perusahaan dari Grup Djarum ini akan merenovasi total kawasan HI dengan sistem BOT selama 30 tahun. Rencananya di kawasan ini akan hotel berbintang 5 dan pusat perbelanjaan modern. Kesepakatan ditandatangani Dirut Hotel Indonesia Natour (HIN) AM Suseto dan Direktur SDM HIN Arief Budiman dengan SP Syahrul Sidik, Odih Setiadi, dan Asep Hermawan. Sebelumnya sebanyak 836 karyawan bersedia menerima pesangon yang ditawarkan Hotel Indonesia Natour, yang besarnya berkisar antara Rp 30 juta hingga Rp 55 juta, tergantung masa kerja Pengurangan TKA Di Malaysia Pemerintah Malaysia secara bertahap akan mengurangi jumlah tenaga kerja asing di negara itu dengan alasan industri manufaktur mereka mulai menggunakan teknologi tinggi. Kendati demikian, menurut Menteri SDM Malaysia Datuk Wira Fong Chan Oan, untuk sektor perkebunan, Malaysia tetap mengandalkan tenaga kerja Indonesia. Hal itu ditegaskan Fong usai menandatangani MOU dengan Mennakertrans Jacob Nuwa Wea tentang sistem rekrutmen TKI di Malaysia. Fong berjanji menindak tegas perusahaan yang mempekerjakan TKA, termasuk TKI, secara illegal. Hanya saja, Jacob berharap pemulangan TKI illegal dilakukan secara bertahap, yang diperkirakan berjumlah 500.000 orang Fren SMART BUY Berkerjasama dengan Nokia dan 8 institusi keuangan terkemuka di Indonesia (BCA, Bank Danamon, bii, Bank Mandiri, BNI, Bank Niaga, Bank Permata, dan GE Money), PT Mobile-8 Telecom meluncurkan Program Fren Smart Buy. Program ini adalah layanan terbaru berupa auto-debet melalui kartu kredit yang akan mempermudah konsumen dalam mendapatkan ponsel dan kartu Fren. Dalam program ini, konsumen mendapatkan diskon 60% untuk pembelian ponsel Nokia 6585 dan Nokia 6225, bahkan ada juga paket gratis ponsel. Untuk paket-paket tersebut, pelanggan hanya perlu menggunakan layanan Fren sebesar minimum total pemakaian sebulan (termasuk abonemen) sesuai jangka waktu paket yang dipilih. Jadi, bukan program cicilan Kerjasama Bank Mandiri-Perumnas Bank Mandiri menandatangani kesepahaman bersama dengan Perum Perumnas dalam mendukung pemasaran Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Graha Mandiri bagi masyarakat yang ingin membeli rumah yang dikembangkan Perum Perumnas. Kerjasama ditandatangani oleh Direktur Consumer Banking Bank Mandiri Omar S. Anwar dan Direktur Pemasaran Perumnas Jimmy Triestanto, CES. Sebelumnya, Bank Mandiri telah bekerjasama dengan perusahaan pengembang lainnya, seperti Duta Pertiwi Group, Ciputra Group, Duta Putera Group, dan PT Pembangunan Perumahan Bhineka Tunggal Ika di Ulang Tahun Ke-120 HSBC HSBC yang telah mencatat sejarah yang cukup panjang di Indonesia, pada tanggal 23 April 2004 lalu, merayakan ulang tahunnya yang ke 120 tahun. Pesta meriah yang Galeri GIP Jewelry digelar HSBC bertema Bhineka Tunggal Ika (Unity In Diversity). Hal itu GIP Jewelry, karena Indonesia justru merudiwujudkan dengan partisipasi para staff pakan pangsa pasar terbesar dibanding yang hadir dengan mengenakan pakaian negara-negara lainnya di Asia Tenggara. “Di tradisional, baik dari Indonesia maupun dari Jakarta saja, minat masyarakat membeli mancanegara. batu permata bisa mencapai 60%,” kata “Kami merayakan acara ini untuk Nasim yang mengaku GIP Jewelry akan menunjukkan komitmen kami sebagai bank membuka galeri di Solo, Jawa Tengah, sekitar internasional yang mengerti tradisi dan bulan Juli mendatang. budaya setempat yang dimiliki staff kami Menurut Nasim, selama ini orang yang mempunyai latar belakang yang merasa takut berinvestasi ke batu permata beragam”, ujar Richard McHowat, CEO HSBC karena adanya kekhawatiran membeli batu Indonesia, yang hari itu mengenakan palsu. Namun dengan membeli di GIP Jewpakaian tradisional kilt, pakaian asli elry, masyarakat sudah tidak khawatir lagi Skotlandia mengingat batu permata yang dijual berstandar internasional disertai sertifikat GIA. GIP Jewelry sendiri memberlakukan Investment Guarantee System (IGS), yaitu jaminan dimana GIP Jewelry akan membeli kembali batu-batu mulia tersebut bukan dengan harga diskon, tapi berdasarkan persentasi harga pembelian semula, sekitar IBM meluncurkan 60 solusi piranti lunak 1,5% per tahun. “Pembelian di GIP Jewelry untuk 12 industri vertikal, guna memenuhi merupakan jaminan dimana aset rekanan kebutuhan pelanggan yang berubah-ubah investasi akan selalu meningkat,” ucap saat mereka memasuki era on demand. KeNasim 12 industri tersebut mencakup perbankan, asuransi, pasar valuta, otomotif, ritel/ pedagang besar, produk konsumer, energi dan utilitas, telekomunikasi, peralatan elektronik, telekomunikasi, kesehatan dan ilmu hayati. Disela-sela Hari Ulang Tahun Pegadaian Solusi industri middleware IBM meyang ke-103 Dirut Pegadaian, Deddy mungkinkan pengaplikasian langsung Kusdedy memaparkan bahwa tantangan kemampuan-kemampuan Operating EnviPegadaian kedepan akan semakin komronment yang besifat on demand pada pleks. Untuk itu sejak didirikan pada 1 April bisnis utama yang dijalankan pelanggan. 1901 hingga saat ulang tahun, visi “Solusi ini juga mencerminkan karakteristik perusahaan pun mengalami pengembangan, IBM piranti lunak yang aman, terbuka dan sebagai “lembaga keuangan modern dan fleksibel, yang memenuhi kebutuhan bisnis dinamis”. pelanggan yang semakin meningkat, kata Dengan mengambil tema “mengutamaAchirul Djamal, Country Manager Software kan pelanggan kita bangun kinerja peruGroup IBM Indonesia IBM Luncurkan 60 Solusi Piranti Lunak untuk Tingkatkan Efisiensi Industri Pegadaian Targetkan Laba Usaha 140 miliar untuk 2004 GIP Jewelry Buka Gerai Batu Permata Pertama di Asia Tenggara Investasi kini tidak hanya sekedar deposito, tabungan atau saham. Kini, masyarakat sudah beralih ke cara lain yang tidak kalah menarik. Batu permata, misalnya. Tingginya minat masyarakat Asia Tenggara, membuat PT. Guna Inti Permata (GIP) membuka gerai batu permata pertama di Asia Tenggara, yang tepatnya berlokasi di Mal Taman Anggrek, Jakarta, bulan April lalu. Alasan dibuka gerai ini di Indonesia diakui M. Nasim Khan, Manager Marketing Deddy Kusdedy. Dirut Pegadaian sahaan sehat”, seluruh jajaran Pegadaian diharapkan untuk lebih mempersiapkan kompetensi dan profesionalisme sehingga mampu dalam mencapai target perusahaan serta meningkatkan kinerja perusahaan. Deddy pun menambahkan upaya kerja keras ini telah menghasilkan berbagai penghargaan yang telah diraih oleh Pegadaian, diantaranya adalah masuk dalam predikat 20 BUMN terbaik, penghargaan dari Badan Pengawas Keuangan dengan predikat Wajar Tanpa Pengecualian, tepat waktu kinerja keuangan perusahaan “Sehat Sekali”. “Hal lainnya juga Deddy dengan berseri mengatakan bahwa laba usaha 2003 Pegadian yang mencapai Rp122,737 miliar naik 13,28% dari tahun lalu”, katanya “Warisan Sejatera”, kerjasama Bank CIC, PT Asuransi Jiwa Eka Life dan Asuransi Sinar Mas Di tengah maraknya produk asuransi sejenis, “Warisan Sejahtera” produk baru yang diluncurkan oleh Bank CIC, PT Asuransi Jiwa Eka Life dan Asuransi Sinar Mas merupakan produk baru gabungan dari perbankan dan asuransi. Produk ini merupakan produk perlindungan pendapatan yang dirancang untuk mereka yang berusia antara 17 tahun sampai 55 tahun dengan premi tunggal (single premium). Perlindungan yang disediakan produk ini adalah selama 30 tahun atau sampai dengan usia nasabah berumur 79 tahun. Mengingat pertumbuhan Bank CIC selama ini, kerjasama produk ini diharapkan akan tercapainya suatu sinergi yang saling menguntungkan bagi kedua belah fihak serta bagi masyarakat dan nasabah”, kata Hamidy, direktur Bank CIC Dirut Jiwasraya Luncurkan Buku Nilai-nilai Profesionalisme Satu lagi terobosan baru dilakukan Jiwasraya melalui Dirutnya, Herris B. Simandjuntak, dengan meluncurkan buku “The Power of Values in The Uncertain Business World Refleksi Seorang CEO”. Acara peluncuran ini diisi juga dengan diskusi buku bersama Herris dengan pembahas Rheinald Kasali. Dalam buku ini disampaikan berbagai pandangan serta pemikiran Herris atas berbagai permasalahan asuransi yang ada, maupun kiprah dalam mengelola perusahaan yang selama ini cukup banyak ditulis di berbagai media. Proses transparansi yang sedang dilakukan di Jiwasraya juga diuraikan dalam buku ini | HumanCapital | Nomor 03 | Tahun 2004 | E t a l a s e 5 6 | HumanCapital | Nomor 03 | Tahun 2004 | F O K U S RAHASIA MEMBANGUN BUDAYA KORPORAT Dunia bisnis diramaikan oleh perusahaan yang muncul silih berganti. Puluhan ribu perusahaan baru bermunculan di dunia setiap hari, tak sedikit pula perusahaan yang justru jatuh bangkrut. Namun, perusahaan-perusahaan terbaik tetap menjulang dan menguasai pasar meski telah berusia tua. Apa kuncinya? T anyalah para lulusan perguruan tinggi terbaik di Indonesia tentang perusahaan favorit mereka untuk bekerja? Jawabannya tidak jauh-jauh dari Citibank, Astra, Unilever, IBM, Telkom, dan sejumlah nama lainnya. Perusahaan-perusahaan itu, selain market leader juga memiliki track record yang pantas dibanggakan. Mereka adalah perusahaan-perusahaan yang menempatkan manusia sebagai modal atau asset utama. Di situ, orang-orang yang diterima ditempa keahlian, kompetensi, dan kepemimpinannya. Sikap dan perilaku mereka dibentuk sesuai dengan kultur perusahaan. Hasilnya, orang-orang Citibank memiliki motivasi bersaing yang sangat tinggi karena budaya korporat Citibank, antara lain, memang menumbuhkan persaingan. Mereka dilatih untuk mencari pemecahan masalah dan berorientasi kepada hasil. Orang-orang Astra dikenal lebih low profile dan mengutamakan kerjasama tim serta etika dalam bekerja. Sedangkan orang-orang Unilever dikenal sangat dinamis dan inovatif. Sikap dan perilaku merupakan cerminan nyata dari budaya korporat sebuah perusahaan. Budaya korporat, menurut mantan Chairman/CEO IBM yang sangat sukses Louis V. Gerstner, Jr., adalah sukses (atau kegagalan) itu sendiri. Lebih dari sekedar elemen penentu sukses (atau gagal) – bersama-sama dengan elemen lain – seperti yang diyakini banyak orang. Dengan perkataan lain, budaya korporat sangat penting dan strategik bagi keberhasilan perusahaan. Menurut Nugroho Supangat, Managing Partner Dunamis Organization Services, budaya adalah pola perilaku yang dilihat dalam suatu lingkungan. Misalnya, budaya orang Jawa sangat beda dengan orang Batak. Kalau orang Batak, anak ngomong keras, bapak ngomong keras, orang Jawa menyangka mereka lagi berantam. Padahal belum tentu. Budaya korporat adalah budaya yang berkembang di dalam lingkungan sebuah perusahaan. Ada perusahaan yang sangat boss oriented; begitu bos ada mereka bekerja, tapi kalau bos pergi mereka main game semua. Kemudian ada budaya customer oriented, mengutamakan konsumen. Apapun dikalahkan demi kepentingan konsumen. Lain lagi di lingkungan BUMN. Budaya tenggang rasanya – budaya Jawa – terasa sekali. Sementara di perusahaan asing, orang bebas saja menyampaikan pendapat, ide-ide, dan sebagainya. “Sesungguhnya budaya korporat itu barang abstrak. Susah dilihat tapi bisa dirasakan,” tukas Marina R. Tusin, Managing Partner TASS Consulting. Manifestasinya, menurut Marina, bisa dilihat dari bagaimana orang berinteraksi dalam perusahaan, cara pandang, sistem, iklim atau atmosfir kerja, pola pengambilan keputusan, hubungan atasan-bawahan. Hal ini sering juga disebut dengan istilah core value dari sebuah perusahaan. Sebuah tatanan nilai atau prinsip yang diyakini benar atau baik oleh satu organisasi dalam mencapai tujuan tertentu. Dalam istilah pakar manajemen perubahan Dr. A.B. Susanto, budaya korporat adalah alat manajemen mencapai tujuan. “Saya sering melihat, perusahaan hebat karena eksekutifnya muda-muda, sekolahnya tinggi, punya penampilan yang baik, cerdas, dan kemampuan komunikasi yang bagus. Namun sayang, ujung tombak yang runcing ini menghadapnya tidak sama semua. Ada yang ke atas, ke bawah, dan ke samping. Akibatnya, perkembangan perusahaan tidak terarah,” kata Managing Director The Jakarta Consulting Group itu. Sebagai perusahaan konsultan yang mengkhusus pada manajemen perubahan, The Jakarta Consulting Group banyak terlibat dalam pembentukan budaya korporat di Indonesia. AB Susanto memperkirakan, 70% program budaya korporat di Indonesia dibantu oleh perusahaannya. Proses yang dilakukan dimulai dari pembentukan visi dan misi perusahaan. Disusul dengan menyusun strategi utama perusahaan agar visi dan misi itu bisa diwujudkan. Kemudian dibentuk struktur organisasi. Kalau struktur organisasi sudah terbentuk, lanjut AB BUDAYA, APA ITU? Dalam buku The Corporate Culture Audit, budaya didefinisikan sebagai satu kumpulan nilai dan keyakinan bersama yang bisa mendukung dan tidak mendukung dalam lingkungan tertentu. Dengan berjalannya waktu, keyakinan ini mempengaruhi praktik-praktik organisasi dan asumsi-asumsi yang mengarahkan pekerjaan. Sebagai contoh, keyakinan bersama dari sebuah perusahaan menentukan perilaku mana yang dianggap sesuai dan mana yang tidak. Keyakinan juga mengoreksi cara pandang orang yang serba cuek terhadap dunia mereka dan respons terhadap hal itu. Umpamanya, keyakinan pengembangan orang berdasarkan pengalaman dalam perusahaan akan mempengaruhi pandangan mereka tentang bagaimana cara menjadi terdepan dalam organisasi. Satu budaya bisa saja memiliki keyakinan bahwa kerjasama tim adalah kunci sukses, sementara perusahaan lain memiliki keyakinan hanya orang-orang yang fokus terhadap kontribusi independen yang bisa mencapai posisi puncak. Orang yang ambisius dalam kedua budaya itu akan menunjukkan sejumlah perilaku yang sangat beda berdasarkan keyakinan tersebut. Budaya, oleh sebab itu, meliputi nilai-nilai, keyakinan, dan norma-norma yang bermanifestasi dalam bentuk kebiasaan anggota organisasi dalam menyelesaikan pekerjaan, berhubungan dengan orang lain, memecahkan masalah yang dihadapi, dan menerjemahkan lingkungan sosial mereka 7 | HumanCapital | Nomor 03 | Tahun 2004 | F O K U S AYO, AUDIT BUDAYA KORPORAT ANDA Tidak dapat dipungkiri, budaya sangat mempengaruhi berbagai aspek korporasi, seperti strategi, produktifitas, efisiensi, inovasi, pelatihan, motivasi, dan kemampuan beradaptasi. Bila seorang pemimpin memahami budaya sebuah perusahaan, ia bisa menyusun strategi untuk memanfaatkan kekuatan unik dari organisasi. Dengan perkataan lain, dengan memahami budaya, manajemen bisa memanfaatkannya sebagai sebuah sumber keunggulan kompetitif. Ia bisa pula melaksanakan perubahan tanpa harus menciptakan resistensi yang tidak perlu. Bahkan, kekuatan budaya bisa dipergunakan untuk merubah budaya bila diperlukan. Di era yang menempatkan perubahan dan kecepatan adalah faktor kunci untuk mempertahankan keunggulan kompetitif, memahami budaya korporat akan menyediakan dasar akselerasi perubahan di seluruh bagian organisasi. Sebagai perangkat manajemen bisnis yang hebat, budaya yang ada di setiap perusahaan perlu diaudit. Menurut penulis buku The Corporate Culture Audit, ada tiga cara mendasar dalam memahami pentingnya budaya bagi manajemen untuk meningkatkan kemampuan menerapkan perubahan. Ketiga hal ini menegaskan perlunya audit budaya dilakukan. HINDARI MENIMBULKAN RESISTENSI TAK PERLU TERHADAP PERUBAHAN Kendati kebanyakan gaya dan keahlian manajemen bisa diterapkan di berbagai organisasi berbeda, tidak seluruh keahlian itu bisa diterapkan dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya, atau bahkan dari satu divisi perusahaan ke divisi lainnya. Gaya dan keahlian manajemen harus disesuaikan dengan kondisi-kondisi unik dari budaya masingmasing. Jika tidak, pimpinan akan mendapatkan resistensi bila ingin melakukan perubahan atau menggunakan pendekatan yang tidak sesuai dengan budaya korporat. Itu sebabnya, audit budaya korporat sangat diperlukan. HINDARI MERUSAK SUMBER KEBERHASILAN ANDA Hindari untuk merusak nilai-nilai budaya terpenting yang selama ini membuat perusahaan berhasil. Misalnya, seorang CEO baru ingin mendorong inovasi dengan memberikan penghargaan kepada individu di depan publik. Padahal, selama ini inovasi dibuat sebagai upaya bersama, di mana setiap individu bangga berkontribusi dalam setiap pengembangan ide dan produk baru oleh tim. Sistem penghargaan yang lebih individualistik ini merusak kekuatan perusahaan selama ini. Susanto, baru berbicara soal budaya korporat. Misalnya, perlu tidak budaya itu diformalkan atau tidak. Menyarikan budaya perusahaan dilakukan setelah mengeksplorasi nilai-nilai yang ada. Konsultan sangat membantu memilah-milah nilai-nilai yang baik dan relevan bagi pencapaian tujuan perusahaan. Nilai-nilai ini kalau diformalkan sangat mendukung kemajuan perusahaan. Ini merupakan tahapan pertama, yang oleh Nugroho disebut dengan formulasi nilainilai. Yang patut disadari, lanjut Nugroho, Marina, dan AB Susanto, pembicaraan tentang budaya korporat tidak mengenal budaya baik dan buruk. Yang ada hanya budaya yang mendukung dan tidak mendukung pencapaian tujuan perusahaan. Tahap kedua, setelah budaya perusahaan dibentuk, perlu sosialisasi atau internalisasi budaya tersebut ke seluruh jajaran perusahaan secara terus menerus. Tujuannya bukan hanya karyawan paham akan slogan atau kredo perusahaan, tetapi juga tercermin dari sikap dan perilaku mereka dalam bekerja. Tahapan ini adalah tahapan tersulit karena banyak perusahaan yang memiliki budaya korporat baru sebatas slogan. Nilainilainya indah, tapi sikap dan perilaku karyawan tidak berubah. Ada yang mengklaim budayanya mengutamakan pelanggan, kenyataannya yang didahulukan adalah faktor uang, bukan pelanggan. Jelas, hal ini sangat mendasar. “Biasanya perusahaan hancur karena tidak mengahulukan pelanggannya,” tutur Nugroho. Kenyataan lain, sikap dan perilaku pimpinan yang tidak sesuai dengan budaya korporat yang didengung-dengungkan. Padahal, menurut AB Susanto dan Marina, pemimpin berperan terbesar dalam mem- bentuk budaya korporat. Sebagian besar proses pembentukan budaya diperoleh dari CEO atau pemilik perusahaan. Ada perusahaan yang inisiatifnya berasal dari level menengah, tetapi tidak akan jalan selama pejabat di atasnya tidak memberi komitmen, seperti yang dominan terjadi di BUMN. Pimpinan merupakan figur panutan sehingga sikap dan perilakunya akan menjadi contoh bagi seluruh jajaran perusahaan. Ia harus konsisten dalam menerapkan budaya perusahaan yang telah disepakati. Kalau perusahaan mengutamakan kejujuran – salah satu nilai dasar yang dipegang oleh raksasa Procter & Gamble (honesty and fairness) ataupun Merck (honesty and integrity) – maka pimpinan harus menjadi tauladan pertama dalam menerapkan perilaku jujur itu. Selain dedikasi terhadap nilai-nilai, sang pimpinan juga harus mengoreksi perilaku yang salah atau tidak sesuai dengan nilai-nilai perusahaan. Sosialisasi, internalisasi, dan komunikasi merupakan tugas sentral seorang pimpinan. Berikutnya, dan ini tidak kalah penting, memberikan penghargaan terhadap orangorang yang menunjukkan perilaku sesuai dengan budaya korporat. Caranya dengan mengukur kinerja karyawan sesuai dengan budaya korporat. Marina mengatakan, ada perusahaan yang kinerja karyawannya diukur dari penjualan atau laba saja, ini tidak salah. Hanya saja organisasi semacam ini cenderung berorientasi pada jangka pendek semata. Seharusnya, perusahaan menitikberatkan pada pengembangan sumberdaya manusia (SDM) seperti yang telah ditunjukkan oleh perusahaan-perusahaan paling dikagumi di dunia. Sehingga indikator pengukuran kinerja karyawan lebih diper- GUNAKAN BUDAYA UNTUK MENDORONG DAN MENGINFORMASIKAN PERUBAHAN Pemahaman utuh terhadap budaya perusahaan bisa menjadi alat yang efektif dalam mendorong dan menginformasikan perubahan. Perubahan signifikan pasti menimbulkan resistensi karena resistensi merupakan reaksi alamiah setiap manusia. Hanya saja, jangan sampai yang muncul resistensi yang tidak perlu. Pemahaman terhadap budaya memungkinkan pemimpin melakukan perubahan dengan lebih mudah, termasuk jika harus merubah budaya yang ada luas, dan manajemen kinerja juga diselaraskan dengan budaya yang hendak dibangun – sistem SDM, kebijakan di bidang SDM dan terapannya seperti reward dan punishment, pendidikan dan pelatihan. Tahap ketiga, mengukur apakah budaya korporat itu sudah diterapkan secara benar oleh jajaran perusahaan dengan menggunakan indikator-indikator perilaku yang diperlukan. Bila masih ada yang belum melakukannya, salah satu opsi adalah dengan memformalkan terlebih dulu budaya korporat itu. “Banyak cara untuk mengevaluasi penerapan budaya korporat. Kuncinya, harus dilakukan secara konsisten,” tegas Nugroho, mantan pimpinan Amex Indonesia itu. Persoalan utama pembentukan budaya korporat di Indonesia adalah inkonsistensi pembentukan budaya karena yang lebih berpengaruh adalah budaya sang pemimpin. Begitu sang pemimpin berganti, budaya kerja pun berubah. Pemimpin baru merasa bodoh atau kalah bila tidak mengganti budaya kerja sesuai keinginannya. Akibatnya, para karyawan pusing. Di perusahaan-perusahaan seperti ini, upaya membangun institusi masih menjadi masalah. Institusi yang kuat tidak akan terpengaruh oleh pergantian pimpinan. Mungkin hanya diperlukan sedikit penyesuaian saja terhadap budaya korporat bila pemimpin baru datang. Repotnya, pembentukan (baca: pemantapan) budaya korporat membutuhkan waktu yang lama. Dibutuhkan beberapa periode kepemimpinan atau waktu tahunan atau bahkan puluhan tahun secara konsisten. Setiap pemimpin baru harus menyempurnakan budaya yang sudah terbentuk sebelumnya disesuaikan dengan perubahan lingkungan maupun kebutuhan organisasi mengantisipasi perubahan di masa depan. Perhatikan bagaimana Astra meletakkan dasar-dasar budaya korporat yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai pendirinya William Soeryadjaya sejak didirikan tahun 1960an. Budaya korporat itu makin dimantapkan di era kepemimpinan Teddy P. Rachmat, disusul Rini MS Soewandi, dan Budi Setiadharma saat ini. Contoh yang sangat baik adalah konsistensi manajemen Citicorp (Citibank) dalam membangun budaya korporatnya sejak pertama didirikan tahun 1890-an. Sejak awal, pemimpin City Bank (kemudian berubah nama menjadi Citicorp) selalu membuat tujuan bisnis yang berani dan jelas. Presiden/pendiri City Bank James Stillman telah membuat tujuan yang berani (dalam banyak hal juga memberi stimulasi) untuk menjadi sebuah nasional yang besar. Padahal, waktu itu, City Bank hanya sebuah bank kecil berskala regional di Amerika dengan seorang Presiden, seorang kasir, dan sejumlah karyawan. Sikap dan ambisi Stillman itu memberi inspirasi bagi pengembangan perusahaan di era kepemimpian berikutnya. Frank 8 | HumanCapital | Nomor 03 | Tahun 2004 | F O K U S Vanderlip, pengganti Stillman, menulis tahun 1915 (seperempat abad setelah mimpi Stillman dan 6 tahun setelah Stillman pindah ke Paris untuk pensiun): Saya sangat yakin bahwa terbuka peluang buat kami untuk menjadi institusi keuangan yang paling kuat, paling handal dalam layanan, dan tersebar luas pertama di dunia. Sungguh sebuah ambisi bisnis yang besar mengingat waktu itu hanya memiliki 8 Vice President, 10 staf yunior, dan kurang dari 500 karyawan serta hanya ada di satu lokasi Wall Street. Berikutnya, Charles Mitchell menggaungkan kembali ambisi itu dalam pidatonya di depan karyawan tahun 1922. “Masa depan City Bank lebih cerah dari yang pernah ada…Kita siap untuk melangkah dengan kecepatan penuh ke depan.” City Bank memang bertumbuh secara luar biasa: dari total asset US$352 juta tahun 1914 menjadi US$2,6 miliar tahun 1929, dengan pertumbuhan rata-rata 35% per tahun. Seperti juga banyak bank lainnya, City Bank juga kena dampak buruk akibat Perang Dunia taun 1930-an, tapi setelah Perang Dunia II – dengan 5 generasi kepemimpinan berikutnya – City Bank tetap memiliki energi yang tinggi untuk mewujudkan ambisi Stillman dan Vanderlip. George Moore, CEO 1959-1967, kembali mempertegas ambisinya seperti para pendahulunya dengan mengatakan: “Sekitar tahun 1960… (kami memutuskan bahwa) kami akan berupaya meraih sukses dalam setiap layanan keuangan yang bermanfaat, di mana pun di dunia ini.” Perhatikan betapa konsistennya manajemen City Bank dalam setiap generasi kepemimpinan. Mimpi Citicorp tidak bisa dilepaskan dari mimpi sang pendiri. Namun, tujuan bisnis itu telah melampaui batas usia sang arsitek. Ia telah melekat dalam sikap, nilai, dan ambisi dari keseluruhan institusi. Sekali lagi, perusahaan-perusahaan yang tangguh dan berumur panjang tergolong visioner (visionary company), seperti ditulis James C. Collins dan Jerry I. Porras dalam buku Built To Last. Visi itu menjadi sumber penting dalam meletakkan budaya korporat. Dengan budaya korporat, setiap perusahaan bisa menyaring orang-orang yang cocok untuk bergabung dengan organisasi. Otomatis, tukas mantan Presiden Direktur Bank Universal Stephen Z. Satyahadi, orang-orang yang tidak cocok dengan budaya korporat itu akan memilih untuk tidak bergabung atau ke luar perusahaan. Makanya, seriuslah membangun budaya di perusahaan Anda SELARASKAN BUDAYA DENGAN STRATEGI PERUSAHAAN Konsep budaya perusahaan mulai popular dalam literatur manajemen pada akhir 70-an dan awal 80-an. Adalah Dean dan Kennedy yang secara khusus mempopulerkan tahun 1982 istilah budaya perusahaan sebagai “cara kita mengerjakan segala sesuatu… sebuah sistem aturan informal yang menjelaskan bagaimana orang berperilaku sepanjang waktu.” Menurut kajian konsultan manajemen terkemuka Hewitt, budaya korporat menjadi kontributor terpenting kinerja usaha. Mengabaikannya berarti risiko kehilangan daya saing. Belakangan ini, siklus strategi perusahaan makin memendek. Pada satu saat, perusahaan bisa fokus pada upaya tiada henti untuk meningkatkan pangsa pasar, dan beberapa bulan berikutnya, bisa saja pertumbuhan dilupakan sejalan dengan fokus perusahaan pada laba usaha. Begitu banyak hal yang mempengaruhi organisasi dan membuatnya harus terus berubah – kompetisi, konsumen, globalisasi, inovasi teknologi, perebutan tenaga handal, tenaga kerja yang kian menua, dan perbedaan aspirasi karena beda generasi. Semuanya ini bermuara pada perlunya eksekusi strategi secara excellence. Itulah yang membedakan satu organisasi dengan yang lain. Bila bicara eksekusi yang excellence, Hewitt menyimpulkan bahwa faktor budaya korporat menjadi sangat sentral. Oleh sebab itu, disarankan kepada para eksekutif dan manajer untuk sejenak berpikir tentang budaya perusahaan yang ada saat ini. Untuk menjelaskan organisasi Anda, maka jawablah pertanyaanpertanyaan berikut: Bagaimana Anda menjelaskan orang-orang yang mendapat promosi di sini? Apa yang terjadi dengan orang-orang yang karirnya sudah mentok di satu tempat? Apa tipe orang yang sesuai dengan organisasi dan apa tipe orang yang meninggalkan perusahaan dengan frustrasi? Apa kata sifat yang bisa Anda gunakan untuk menjelaskan cara mengerjakan segala sesuatu di perusahaan? Apa yang mempengaruhi cara orang berperilaku? Siapa yang membuat keputusan? ·Mudah atau sulitkah perubahan terjadi? ·Mana yang lebih mengikuti aturan atau mendapatkan hasil? ·Apakah Anda menjawab secara konsisten tentang nilai-nilai utama organisasi ataukah cukup berbeda-beda? ·Apakah karyawan mendiskusikan hal ini secara serius di lingkungan kerja? MENGUPAS FONDASI VISI DAN BUDAYA KORPORAT Visi terdiri dari dua komponen utama – core ideology (ideology inti) dan envisioned future (memandang masa depan). Ia berperan penting dalam membentuk budaya korporat. K ata-kata visi kini menjadi makanan sehari-hari di setiap organisasi. Namun, makin sering disebut, katakata visi itu juga kian membuat pusing. Banyak orang yang menyusun visi organisasi berdasarkan cita-cita atau mimpi ideal di masa depan, tapi tidak berdasarkan berbagai kondisi atau lingkungan yang mendukung perwujudan visi itu. Menurut James C. Collins dan Jerry I. Porras, penulis buku terkenal Built to Last, sebuah visi usaha yang baik dibangun atas dasar ideology inti (yang tidak pernah berubah) dan kemampuan memandang masa depan (yang masih bisa diubah-ubah). Untuk mewujudkan visi tersebut, harus diciptakan organisasi dan penyelerasan strategik agar bisa mempertahankan core ideology dan mendorong kemajuan untuk menuju envisoned future. Penyelerasan itu membuat visi itu membumi, mengubahnya dari sekedar niat baik menjadi realitas kongkrit. IDEOLOGI INTI Ideologi inti adalah karakter yang membuat hidup sebuah organisasi dalam jangka panjang – semacam identitas diri yang konsisten sepanjang waktu dan melebihi siklus hidup produk/pasar, terobosan teknologi, model manajemen, dan pemimpin individual. Ideologi inti menjadi perekat bagi organisasi untuk bertumbuh, terdesentralisasi, terdiversifikasi, berekspansi ke pasar global, dan menjaga keberagaman dalam organisasi. Sumbangan terbesar para pendiri perusahaan visioner agaknya dalam membentuk ideologi dasar ini. Ideologi tidak bisa diciptakan atau disusun dengan melihat lingkungan eksternal. Ia dihasilkan dari pencarian terhadap aspek internal perusahaan sehingga harus otentik. Ideologi inti dibutuhkan agar bermakna dan inspirasional bagi orang-orang dalam perusahaan. Dengan perkataan lain, ia tidak harus menarik bagi pihak luar. Adalah orang dalam perusahaan yang butuh pemahaman terhadap nilai dan tujuan inti untuk mendapatkan komitmen jangka panjang bagi keberhasilan perusahaan. Oleh sebab itu, ideologi inti memainkan peran penting dalam menentukan siapa yang berada dalam perusahaan dan siapa yang berada di luar. Menurut Collins dan Porras, harus dibedakan ideologi inti dengan “pernyataan” tentang ideologi inti. Sebuah perusahaan bisa saja memiliki ideologi inti yang kuat tanpa sebuah pernyataan formal. Misalnya, Nike. Perusahaan ini memiliki tujuan inti yang sangat kuat, meski tanpa membeberkannya secara resmi. Hanya saja, kedua pakar mengharapkan jangan sampai dalam menyusun nilai dan tujuan inti hanya sebatas permainan katakata. Tidak diperlukan pernyataan sempurna untuk menjelaskan ideologi dasar. Karena yang diperlukan adalah pemahaman penuh terhadap nilai dan tujuan inti perusahaan. Ekspresi nilai dan tujuan inti bisa dilakukan dalam banyak cara. Disarankan, sekali hal inti itu teridentifikasi, minta seluruh manajer menyampaikan pernyataan tentang nilai dan tujuan inti perusahaan menurut versi masing-masing. Bedakan pula ideologi inti dengan konsep kompetensi inti. Kompetensi inti adalah konsep strategik yang menampung kapabilitas organisasi, sedangkan ideologi inti berisi untuk apa perusahaan ada dan kenapa perusahaan eksis. Kompetensi inti harus diselaraskan dengan ideologi inti 9 | HumanCapital | Nomor 03 | Tahun 2004 | F O K U S yang diperolehnya dari sang ayah: “Nilai-nilai itu adalah aturan hidup – yang harus dijaga dengan seluruh tenaga, ditanamkan kepada seluruh orang, dan diikuti dengan kesadaran penuh dalam setiap kehidupan karyawan.” David Packard dan Bill Hewlett, pendiri HP, tidak merencanakan HP Way secara khusus. Mereka merasa sangat berkepentingan tentang bagaimana bisnis seyogyanya dibangun dan langkah-langkah penyebarluasan nilai-nilai itu. TUJUAN INTI Tujuan adalah sejumlah alasan fundamental kenapa perusahaan harus ada selain hanya mendapatkan uang. Banyak orang yang salah mengambil asumsi bahwa perusahaan ada karena hanya untuk mencari uang. Jika perusahaan ingin eksis harus dicari alasan riil yang lebih dalam. Tujuan inti tidak mesti unik. Bisa saja dua perusahaan memiliki tujuan yang hampir mirip seperti juga sangat mungkin dua perusahaan mempunyai sistem nilai yang sama, misalnya integritas. Peran utama dari tujuan inti adalah untuk memandu dan memberi inspirasi, tidak harus membuatnya berbeda. Sebagai contoh, banyak perusahaan bisa berbagi tujuan inti yang dimiliki Hewlett-Packard, yakni ingin berkontribusi “CORE IDEOLOGY” PERUSAHAAN VISIONER 3M z z z z z z Innovation; “Thou shalt not kill e new product idea” Absolutely integrity Respect for individual initiative and personal growth Tolerance for honest mistakes Product quality and reliability “Our real business is solving problem” American Express z Heroic customer service z Worldwide reliability of services z Encouragement of individual initiative Citicorp perusahaan – dan sering berakar pada ideologi inti – tetapi tidak sama dengan ideology inti. Ideologi inti terdiri dari dua subkomponen berbeda, yaitu nilai inti (core value) dan tujuan inti (core purpose). NILAI INTI Nilai inti adalah ajaran esensial dan membuat hidup organisasi – berisi sejumlah prinsip panduan yang berlaku sepanjang masa yang tidak membutuhkan justifikasi eksternal. Ia memiliki nilai intrinsik dan penting bagi internal organisasi. Nilai inti tidak bisa dikompromikan dengan hasil finansial dan sasaran jangka pendek. Ia juga tidak sama dengan budaya spesifik atau praktik operasional tertentu. Dalam banyak kasus, nilai inti bisa diperas menjadi lebih sederhana untuk menjadi panduan substansial. Perhatikan bagaimana Sam Walton menerjemahkan esensi nilai utama Wal-Mart: “Kami menempatkan pelanggan di atas segalagalanya .... Jika Anda tidak melayani pelanggan, atau mendukung siapa saja yang melakukannya, maka kami tidak butuh Anda.” Juga bagaimana James Gamble secara sederhana dan elegan menjelaskan nilai inti P&G terhadap mutu produk dan bisnis yang jujur: “Ketika Anda tidak bisa membuat produk yang murni dengan timbangan yang benar, pergilah ke orang lain yang lebih jujur, kendatipun untuk itu harus memecahkan batu besar.” Menarik pula bagaimana John Young, mantan CEO HP, menerjemahkan HP Way secara sederhana namun mengena: “HP Way pada dasarnya berarti menghargai dan peduli terhadap individu. Anda harus melakukannya jika orang lain juga ingin melakukannya untuk Anda.” Begitulah. Nilai inti bisa dijelaskan dalam sejumlah cara berbeda, namun ia tetap ringkas, jelas, mengena, dan bertenaga. Perusahaan visioner, menurut Collins dan Porras, cenderung hanya memiliki sedikit nilai inti, biasanya antara 3 hingga 6. Sangat jarang perusahaan visioner yang memiliki nilai inti lebih dari 6, dan kebanyakan kurang dari jumlah itu. Itupun hanya beberapa saja yang benar-benar bisa dianggap nilai inti – nilai-nilai yang sangat fundamental dan sangat melekat. Implikasi penting dari upaya artikulasi nilai inti tentunya ada. Nilai inti yang terlalu banyak menyebabkan nilai inti yang sebenarnya menjadi kabur. Salah satu cara yang bisa ditempuh dalam menyusun nilai perusahaan adalah dengan menanyakan pada diri sendiri tentang “Mana saja di antara nilai-nilai itu yang memungkinkan untuk tetap hidup beratus-ratus tahun terlepas dari perubahan eksternal apa pun yang terjadi – kendati lingkungan bisnis tidak mendukung nilai-nilai itu, atau bahkan ‘menghukum’.” Sebaliknya, tentukan nilainilai yang bisa diubah atau dihilangkan bila lingkungan tidak bersahabat dengan organisasi? Satu hal yang perlu diingat adalah, jangan terperangkap dengan mengambil nilai inti perusahaan visioner untuk dijadikan nilai inti perusahaan Anda. Nilai inti atau budaya korporat tidak bisa datang dari luar atau mengambil nilai inti perusahaan lain yang dianggap bagus. Juga dengan mencontoh buku manajemen. Nilai inti harus digali dari ideologi inti perusahaan yang autentik, bukan dari mana-mana. Harus dipahami, ideologi inti ada sebagai elemen internal, sangat independen terhadap lingkungan eksternal. Lihat bagaimana George Merck II (Merck) sangat yakin bahwa obat-obatan untuk pasien, dan ia ingin seluruh karyawan Merck juga memahami keyakinan itu. Thomas J. Watson Jr. menguraikan nilai inti IBM z z z z z Expansionism – of size, of services offered, of geographic presence Being out front – such as biggest, best, most innovative, most profitable Autonomy and entrepreneurship (via decentralization) Meritocracy Aggresiveness and self-confidence General Electric z Improving the quality of life through technology and innovation z Interdependent balance between responsibility to customers, employees, society, and shareholders (no clear hierarchy) z Individual responsibility and opportunity z Honesty and integrity Hewlett-Packard z z z z z Technical contribution to fields in which we participate (“We exist as corporation to make a contribution”) Respect and opportunity for HP people, including the opportunity to share in the success of the enterprise Contribution and responsibility to the communities in which we operate Affordable quality for HP customers Profit and growth as a means to make all of the other values and objectives possible IBM z Give full consideration to the individual employee z Spend al lot of time making customers happy z Go the last mile to do things right, seek superiority in all we undertake Johnson & Johnson z The company exists “to alleviate pain and deseas” z “We have a hierarchy of responsibilities: customers first, employees second, society at large third, and shareholders fourth” z Individual opportunity and reward based on merit z Decentralization = Creativity = Productivity Marriott z Friendly service & excellent value (customers are guest); make people away from home feel that z z z z they’re among friends and really wanted” People are numer 1 – treat them well, expect a lot, and the rest will follow Work hard, yet keep it fun Continual self-improvement Overcoming adversity to build character Merck z “We are in the business of preserving and improving human life. All of our actions must be measured z z z z z by our success in achieving this goal” Honesty and integrity Corporate social responsibility Science-based innovation, not imitation Unequivocal excellence in all aspects of the company Profit, but profit from work that benefits humanity Procter & Gamble z z z z Product excellence Continuous self-improvement Honesty and fairness Respect and concern for the individual Wal-Mart z “We exist to provide value to our customers” – to make their lives better via lower prices and greater z z z z z selection; all else secondary Swim upstream, but conventional wisdom Be in partnership with employees Work with passion, commitment, and enthusiasm Run lean Pursue ever-higher goals Sony z To experience the sheer joy that comes the advancement, application, and innovation of technology that benefits the general public z To elevate the Japanese culture and national status z Being a pioneer – not following others, but doing the impossible z Respecting and encouraging each individual’s ability and creativity Sumber: Built to Last, karya James C. Collins dan Jeffry I. Porras 10 | HumanCapital | Nomor 03 | Tahun 2004 | F O K U S terhadap masyarakat melalui peralatan elektronik untuk kemajuan ilmu dan kesejahteraan umat manusia. Pertanyaannya, apakah perusahaan itu bisa melaksanakannya sekonsisten HP. Seperti juga nilai inti, kuncinya adalah otentisitas, bukan keunikan. Sebuah tujuan yang efektif mencerminkan pentingnya orang bekerja bagi perusahaan – ia membangkitkan motivasi – ketimbang hanya menjelaskan output organisasi atau target konsumen misalnya. Tujuan jangan dicampur-adukkan dengan tujuan spesifik atau strategi bisnis yang bisa berubah berkali-kali. Dalam mengidentifikasi tujuan, beberapa perusahaan membuat kesalahan dengan menjelaskan lini produk atau segmen konsumen yang dituju. Hindari pernyataan yang bersifat deskriptif. Ambil contoh 3M. Perusahaan ini tidak menyusun tujuan berdasarkan bisnis adhesive dan abrasive, tetapi tujuan intinya adalah memecahkan masalah yang belum terpecahkan secara inovatif. Tujuan itu memungkinkan 3M memasuki berbagai bidang bisnis baru. Tujuan McKinsey bukan untuk melaksanakan konsultansi manajemen, tetapi membantu perusahaan dan pemerintah untuk lebih sukses, sehingga bisa saja dalam 100 tahun ke depan metode layanannya tidak lagi berbentuk konsultansi. Saat diterima secara benar, tujuan lebih bersifat luas, fundamental, dan memberi daya hidup. Sebuah tujuan yang bagus seyogyanya memandu dan memberi inspirasi terhadap organisasi untuk bertahuntahun. Memang, perusahaan visioner secara kontinu mewujudkan tujuan tetapi tidak pernah sepenuhnya mencapai atau menuntaskan tujuan itu. Walt Disney menerjemahkan upaya tiada henti dalam mewujudkan tujuan itu dengan pernyataan: Disneyland will never be compeleted, as long as there is imagination left in the world. GE tidak akan pernah menuntaskan tugas untuk meningkatkan kualitas kehidupan melalui teknologi dan inovasi. JW Marriott akan terus ber-evolusi – dari bisnis A&W Root Beer, ke jaringan bisnis makanan, ke katering pesawat, ke hotel, dan ke bidang lain yang tidak seorang pun tahu di masa depan – namun tidak pernah bertumbuh di luar tugas fundamental “membuat orang yang jauh dari rumah merasa tetap dekat teman dan begitu dibutuhkan.” Sama halnya Motorola yang terus berevolusi – dari pengganti baterai untuk radio rumah, ke radio mobil, ke televisi rumah, ke semikonduktor, ke integrated circuit, ke komunikasi selular, ke sistem satelit, dan ke bidang bisnis lainnya di abad mendatang – namun tetap dalam koridor “dengan bangga melayani komunitas dengan menyediakan produk dan jasa bermutu superior dan harga yang fair.” Disney akan terus ber-evolusi – dari kartun, ke film animasi berdurasi panjang, ke klub Mickey Mouse, ke Disneyland, ke karya box office, ke EuroDisney, dan ke bidang lain yang kelak belum jelas lagi – namun tetap pada tujuan inti “memberikan kegembiraan kepada jutaan orang”. MEMANDANG MASA DEPAN Komponen kedua dari visi adalah memandang masa depan (envisioned future), yang oleh Collins dan Porras dibagi atas dua bagian: tujuan yang berani selama 10-30 tahun ke depan dan deskripsi jelas tentang wajah perusahaan bila berhasil mencapai tujuan yang berani itu. Tujuan yang berani itu bisa bersifat kuantitatif atau kualitatif, misalnya menjadi perusahaan dengan pendapatan US$125 miliar sebelum 2000 (Wal-Mart 1990), mendemokratisasi bisnis otomotif (Ford, awal 1900-an), menjadi perusahaan yang paling mengubah citra produk Jepang yang bermutu rendah secara global (Sony, awal 1950-an). Pemilihan ungkapan “memandang masa depan” sejatinya bermakna ganda dan paradoks. Di satu sisi, ia memunculkan perasaan kongkrit – sesuatu yang jelas, nyata, bisa dilihat, disentuh, dirasakan. Di sisi lain, hal itu mencerminkan satu waktu yang belum terealisasi – sebuah mimpi, harapan, atau aspirasi BAGAI MENGGULUNG BENANG Aktivitas merger dan akuisisi (M&A) akan terus terjadi dalam dunia bisnis, lokal maupun global. Hati-hati, masalah budaya bisa menjadi kendala mulusnya proses M&A ataupun pencapaian tujuan dari M&A itu sendiri. S aat pertama kali dipercaya memimpin Bank Universal oleh Grup Astra tahun 1990, Stephen Z. Satyahadi mempunyai setumpuk tugas. Setelah merger dengan Bank Maranu milik pengusaha Andi Sose, Stephen harus membangun fondasi yang kokoh bagi keberhasilan Bank Universal jangka panjang. Sebagai orang yang lama di Citibank, tak pelak ia banyak terinspirasi oleh Citibank. Fokus usaha Bank Universal yang tadinya lebih pada corporate banking diubah menjadi retail banking, khususnya konsumen dan perusahaan menengah. Hasil riset bersama dengan Boston Consulting Group menunjukkan bahwa kedua segmen pasar itu paling menarik bagi bank dalam 5-10 tahun ke depan berdasarkan ukuran, pertumbuhan, dan profitabilitas. Hubungan istimewa dengan konsumen dan mitra bisnis Astra menjadikan fokus itu lebih menguntungkan bagi Bank Universal. Perubahan ini jelas sesuatu yang besar bagi Bank Universal. Budaya korporat yang diperlukan tentu berbeda. Kepemimpinan senior perlu diramu ulang. Stephen mengundang beberapa eksekutif eks Citibank untuk bergabung, termasuk Jerry Ng (kini Direktur bank Danamon), Mahdi Syahbudin (kini Direktur Bank Permata), dan Audi Wiranata (kini Direktur Astra Buana/Garda Oto). Selain jago ritel, mereka juga memiliki budaya yang relatif sama karena sama-sama jebolan Citibank. Bersama-sama dengan Terry David, seorang Filipina yang jago dalam bidang manajemen SDM, tim pimpinan Bank Universal ini menggali, menyusun, dan mensosialisasikan budaya korporat Bank Universal yang baru. “Membangun budaya korporat merupakan tugas yang kami rasakan paling berat,” ujar Stephen kepada Human Capital. Penyusunan budaya korporat dilakukan dengan mengembangkan pelatihan Seven Habits karya Franklin Covey. “Seven Habits dipilih karena sangat cocok untuk membangun keahlian fundamental sumberdaya manusia,” jawabnya tentang alasan pemilih konsep Franklin Covey itu. Dimulai dari kelompok kecil pimpinan, program pelatihan terus meluas ke seluruh jajaran perusahaan. Sebanyak 213 bankir Universal menjadi instruktur, panelis dialog, mentor, dan pengembangan kurikulum pelatihan tahun 1996. Sebanyak 8.818 karyawan Bank Universal telah mengikuti training di dalam kelas. Beberapa eksekutif Bank Universal, yang umumnya masih berusia muda dan cemerlang, dikirim ke universitas terkemuka di dunia macam Stanford dan Harvard Business School untuk mempermantap perubahan di Bank Universal. Dalam mewujudkan visi sebagai bank ritel terbaik di Indonesia, seluruh bankir Universal dipandu oleh sistem nilai empathy, entrepreneurship, empowerment, teamwork, dan trustworthiness. Nilai investasi sebesar Rp 100 miliar ditanamkan sejak 1994 untuk membangun infrastruktur bagi pencapaian visi itu, termasuk menyelaraskan karyawan, proses, dan teknologi dengan strategi bisnis. Stephen menyebut, periode 1991 hingga 1997 adalah periode membangun dasar-dasar budaya korporat Bank Universal. Sayangnya, krisis ekonomi keburu melanda Indonesia, yang juga menghantam Bank Universal. Bank ini beruntung tidak harus dilikuidiasi seperti banyak bank lainnya, karena tertolong oleh berkembangnya bisnis ritel yang cukup baik sesuai fokus strategi mereka. Saat krisis ekonomi melanda, porsi bisnis ritel dan korporat sudah berimbang. “Bayangkan kalau kami tidak mengembangkan bisnis ritel, Bank Universal sudah pasti dilikuidasi karena timbunan kredit bermasalah,” ujar pria yang kini mengembangkan bisnis pembiayaan konsumen, BPR, dan menjadi komisaris di anak perusahaan Astra itu. Stephen menyesal tidak bisa menyelamatkan Bank Universal karena harus dimerger dengan 3 bank lainnya membentuk Bank Permata. Tapi, satu hal yang harus disyukuri, buah kerja mereka di Bank Universal selama ini tidak sepenuhnya sia-sia. Banyak alumni Universal Bankers (begitu mereka menyebut bankir Bank Universal) yang tetap mencuat karena kompetensi dan budaya kerja yang unggul. Darah Citibank dan Bank Universal yang mengalir di tubuh para bankir itu membuat mereka sulit untuk diabaikan. Sebutlah Mahdi Syahbudin dan Ongky W. Dana (Direktur Bank Permata), N. Krisbiyanto dan Ekoputro Adijayanto (GM Bank Permata), Jerry Ng (Direktur Bank Danamon), dan masih banyak lagi namanama lainnya. Keunggulan manusianya, itulah yang membuat nama besar sebuah organisasi akan selalu dikenang – meski nama perusahaan bisa saja hilang karena merger, akuisisi, atau sebab-sebab lainnya. Keunggulan manusia pula yang menjadikan perusahaan-perusahaan besar selalu tumbuh. Manusia-manusia itu dibentuk dalam sebuah budaya korporat yang kuat, dengan sistem nilai dan keyakinan yang seragam. Budaya itu kemudian tercemin pada sikap dan perilaku setiap anggota organisasi itu. Seperti dikatakan Stephen dan banyak pakar, budaya korporat juga menjadi alat yang efektif untuk menyaring orang-orang yang cocok dan tidak cocok dengan sebuah perusahaan. Persoalan budaya korporat ini menjadi isu menarik di Indonesia karena derasnya gelombang merger dan akuisisi, terutama pasca krisis ekonomi 1997. Gelombang merger paling dominan terjadi di industri perbankan, industri yang dianggap sebagai jantung perekonomian. Kesulitan bisnis dan kebijakan untuk memperkuat fondasi perbankan oleh BI mendorong terjadinya kegiatan merger di perbankan. Bank Danamon, misalnya, menjadi surviving bank setelah merger dengan 7 bank lainnya. Bank Mandiri merupakan bank bentukan baru hasil merger 4 bank pemerintah (Bank Exim, BDN, BBD, dan Bapindo). Bank Permata terbentuk setelah merger Bank Universal dengan Bank Bali dan 2 bank lainnya. Praktik merger diproyeksikan akan terus berlangsung dalam periode konsolidasi perbankan nasional sesuai dengan Arsitektur Perbankan Indonesia yang disusun oleh McKinsey untuk BI. Kini Bank Pikko dan 2 bank lainnya sedang bersiap pula untuk merger. Pembentukan budaya korporat pada sebuah entitas usaha hasil merger jelas bukan pekerjaan mudah. Bagaimanapun, perusahaan-perusahaan yang merger telah memiliki budaya korporat masing-masing. Dan, permasalahan yang dihadapi perusahaan hasil merger juga tidak sedikit. Jangankan bicara pembentukan budaya 11 | HumanCapital | Nomor 03 | Tahun 2004 | F O K U S korporat, konsolidasi operasional pada Bank Mandiri hingga kini masih terus berlangsung. Padahal, merger Bank Mandiri sudah berlangsung sejak 2000. Tantangan persaingan dan globalisasi bisnis mengharuskan Bank Mandiri untuk meninggalkan budaya korporat lama yang menjadi khas bank pemerintah, seperti terlalu birokratis, lamban, dan kurang berorientasi pada pasar serta nasabah. Menarik memperhatikan pengembangan budaya korporat di Bank Permata. Kesibukan manajemen dalam konsolidasi operasional dan internal sedikit banyak mengurangi perhatian terhadap pembentukan budaya korporat Bank Permata. Belum lagi, begitu banyak masalah yang harus dihadapi manajemen, seperti soal cessie yang belum beres dan kini ditambah lagi oleh rencana divestasi Bank Permata dan wacana merger yang dilansir oleh manajemen Bank BNI. Kendati demikian, beruntung sejumlah direksi bank ini muncul dari bank dengan budaya korporat yang kuat, seperti Agus Martowadoyo (Citibank), Mahdi Syahbudin dan Ongki W. Dana (Citibank dan Bank Universal). Sehingga visi, nilai-nilai, dan strategi usaha tetap bisa dibentuk meskipun secara pelan-pelan. Para pakar manajemen dan budaya korporat menegaskan bahwa pembentukan budaya korporat membutuhkan waktu dan konsistensi dalam eksekusinya. Pembentukan budaya korporat juga harus menggali nilai-nilai dan keyakinan yang ada dalam organisasi perusahaan, bukan dengan mengambil dari pihak luar. “Jangan pernah Anda mengambil ideologi dan nilai-nilai dari perusahaan hebat sekalipun untuk menjadi dasar penyusunan budaya korporat perusahaan Anda. Itu sebuah kesalahan besar,” ungkap pakar manajemen perubahan James C. Collins dan Jegry I. Porras mengingatkan. Sebaiknya upaya menggali nilai-nilai itu dilakukan sendiri oleh manajemen perusahaan, meskipun dalam praktiknya juga bisa dibantu oleh konsultan. Biasanya di perusahaan hasil merger, menurut Nugroho Supangat, dibutuhkan tim khusus untuk pembentukan budaya korporat, di mana CEO-nya terlibat penuh. Kalaupun melibatkan orang luar (semacam konsultan, red), ia harus berpengalaman, netral, dan mengutamakan kepentingan perusahaan. Budaya korporat mana yang mau dipakai oleh perusahaan hasil merger macam Bank Permata tergantung kesepakatan manaje- Stephen Z. Satyahadi Mantan Dirut Bank Universal Culture adalah satu value atau nilai dan believe dari norma-norma yang sebenarnya timbul dengan sendirinya dalam suatu organisasi karena adanya interaksi yang lama kelamaan akan membesar tergantung dari core perusahaan itu sendiri. Nilai dan believe akan berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Biasanya culture akan membesar, memformulasikan dan perusahaan akan memsosialisasikannya. Jadi hal ini tidak bisa diintervensi dari luar, sedangkan konsultan sifatnya hanya memberi input saja. Visi adalah suatu hal yang very soft, tapi sangat powerful. “Kalau mau menekan visi, harus tahu core valuenya. Baru dia bisa berjalan berdasarkan itu”, ujar Stephen. “Jangan hanya mau jadi yang terbaik saja, tanpa mau tahu dasarnya”, tambahnya lagi. Core ideology terdiri dari dua bagian yaitu core value dan core purpose. Setelah ada core value dan core pur- pose, baru bisa keluar visinya Sebagai mantan direktur utama bank Universal, pengalaman membangun di bank Universal mulai tahun 1990, Stephen memberi contoh core value yang digali di bank Universal. Core value itu yaitu emphaty dan concern mendengar nasabah, teamwork dan trustworthiness. “Sebenarnya kita harusnya tidak terlalu mendorong atau memaksa seseorang untuk bekerja. People harusnya pulang kerja tidak dengan wajah marah, kecewa dan sebagainya”, tegas Stephen. “Kita yang bertanya, mereka bisa digaji berapa, jadi kerjanya akan lebih baik. Kalau digaji tinggi, mereka juga akan kerja dengan lebih baik. Banyak tindakan-tindakan yang didasari pada apa yang kita beri”’ jelasnya lagi. Menggali pengalaman di bank Universal yang merupakan bank hasil merger, perlu proses dalam membentuk culture. Waktu pertama bergabung, tujuan bank Universal adalah bank retail. “Kalau masih corporate banking, kita mungkin sudah dilikuidasi. Jadi setengah corporate dan setengah retail. Itu sudah jadi culture”, jelas Stephen lagi. Bagi Stephen merupakan tantangan yang besar dalam membangun corporate culture di bank Universal. “Saya, Jerry Ng, Audi, Mahdi dan Terry David yang menjalankan bank Universal. Intinya untuk menggali culture yang baru”, tutur Stephen. Dan seperti yang telah diketahu banyak pihak bahwa Citibank adalah contoh bank yang memiliki corporate culture yang paling mapan. “Tantangan terbesar membangun corporate culture di bank Universal, saya kira harus konsisten. Kita harus komit, valuenya harus sudah ada”, kata Stephen. “Value yang kita kembangkan tidak terlepas dari nenek moyang kita,Citibank. Mereka cukup demokratis”, jelasnya mengakhiri men baru. Apakah budaya korporat bank peserta merger terbesar atau budaya korporat bank yang dianggap paling kuat atau kombinasi yang terbaik dari bank-bank yang ada, pilihan-pilihan itu bisa saja diambil. “Konsultan bisa membantu mengeksplorasi nilai-nilai dan keyakinan itu selaras dengan strategi perusahaan,” ujar AB Susanto, Nugroho Supangat, dan Marina Tusin di tempat terpisah. Konsultan juga bisa berperan dalam mengatasi benturan-benturan antar pimpinan baru dalam membentuk budaya korporat baru. Benturan mungkin saja terjadi karena masing-masing pimpinan memiliki ego dan kebanggaan masing-masing. Kalaupun disepakati mengambil yang terbaik dari perusahaan-perusahaan sebelumnya, lanjut Marina, harus ada kesepakatan tentang keunggulan dari masing-masing nilai dan keyakinan itu. Tahapan berikutnya, setelah budaya korporat berhasil diformulasikan, adalah sosialisasi atau internalisasi budaya itu kepada seluruh jajaran perusahaan. Inilah tahapan paling menyita waktu, tenaga, pikiran, dan komitmen dalam pembentukan budaya korporat. Prosesnya memakan waktu lama, bisa 10-20 tahun, mencakup beberapa generasi kepemimpinan. Kelemahan perusahaan di Indonesia adalah tidak adanya konsistensi dalam membangun budaya korporat oleh setiap CEO dari waktu ke waktu. Kita pun wajib ragu bagaimana nasib budaya korporat Bank Mandiri bila kelak E.C.W Neloe diganti atau budaya korporat Bank Permata jika Agus Martowardoyo diganti. Keraguan semacam ini tidak akan pernah muncul pada perusahaan asing dan perusahaan-perusahaan Indonesia yang diakuisisi oleh pemilik asing, seperti yang terjadi pada bii, Bank Danamon, Telkomsel, Indosat, dan sebagainya. “Mereka hanya membeli perusahaan kita, sehingga tidak banyak mengutak-atik budaya korporat yang sudah ada,” tukas Nugroho Supangat. Tentu dengan catatan bila budaya korporat yang ada sudah sesuai dengan kebutuhan strategi perusahaan. Seandainya belum, pemilik asing akan mengintroduksikan nilai-nilai baru untuk menyempurnakan budaya yang sudah ada. Sebagai contoh, Temasek – yang menjadi pemilik baru pada bii dan Bank Danamon - atau Singtel – pemilik baru Telkomsel – sangat concerned dengan upaya menggenjot pemasaran sehingga nilai-nilai yang berkembang adalah fokus pada pendapatan dan profitabilitas. Mudah-mudahan fokus ini tidak mengorbankan pelanggan atau mengorbankan kepentingan jangka panjang perusahaan. Yang pasti, masuknya pemilik asing ini bisa menjadi momentum untuk meningkatkan daya saing SDM dan perusahaan-perusahaan kita, termasuk dalam hal budaya korporat. Seperti dikatakan Marina Tusin, pembentukan budaya korporat ibarat menggulung benang. “Kalau benangnya belum selesai digulung dan lepas, harus digulung lagi. Begitulah seterusnya.” Karena prosesnya membutuhkan waktu lama, maka budaya korporat akan mempengaruhi investasi dan eksistensi perusahaan di masa depan. Maka, saatnya “menggulung benang” secara benar 12 | HumanCapital | Nomor 03 | Tahun 2004 | F O K U S BUDAYA KORPORAT LOKAL SWA KISAH ROBBY MEMBANGUN BANK NIAGA R obby Djohan adalah figur yang tak terlepaskan dari serangkaian keberhasilan Bank Niaga, termasuk sebagai bank dengan kualitas manajemen dan budaya korporat yang cukup tangguh. Setelah 8 tahun malang-melintang di Citibank dan berkontribusi besar dalam meletakkan fondasi bisnis Citibank di Indonesia, menjelang usia 40 tahun ia memutuskan untuk meninggalkan Citibank. Ada dua pilihan yang tersedia baginya saat meninggalkan Citibank, yaitu bekerja sebagai agen (semacam manajer) di BDN dan direktur Bank Niaga. Waktu itu, BDN sebagai bank pemerintah sudah menjadi organisasi yang besar sementara Bank Niaga hanya sebuah bank kecil yang berdiri 26 September 1955. “Kalau saya pilih BDN dengan sendirinya terbuka peluang bagi saya menjadi orang besar karena saya bekerja pada suatu organisasi besar. Tapi, saya mengkhawatirkan birokrasi di BDN. Akhirnya saya memilih Bank Niaga, sebuah bank pribumi yang kecil dan apabila menjadi besar andil saya akan sangat menonjol,” tulisnya dalam buku Robby Djohan, the Art of Turnaround. Masuk sebagai GM cabang Jakarta – selevel direktur – Bank Niaga tahun 1976, Robby dipercaya menjadi Presiden Direktur 1 Januari 1984 menggantikan Idham. Sejak awal, Bank Niaga memang ingin menjadi bank profesional seperti Citibank. Tatkala masuk Bank Niaga, bank ini sudah menjalin kerjasama dengan Citibank di bidang retail banking. Hanya saja, Citibank bermaksud menghentikan kerjasama itu sejalan dengan strategi global Citibank yang waktu itu lebih fokus di bidang perbankan korporasi. Robby berhasil meyakinkan Citibank Indonesia untuk tidak menghentikan kerjasama itu serta merta. Kebetulan, beberapa orang Citibank yang ditempatkan di Bank Niaga masih mau berkarir di Bank Niaga. Sebagai eks Citibanker dan latar belakang kerjasama Bank Niaga dengan Citibank, maka wajar bila Bank Niaga dianggap sebagai Citibank mini atau Citibanknya Indonesia. Toh tidak semua hal yang diterapkan di Bank Niaga adalah konsep Citibank. “Kami hanya mengambil mana yang baik saja,” ujarnya. Salah satunya, bagaimana Citibank mempersiapkan orang-orangnya. Seperti rekrutmen, pendidikan, pengembangan karir, deskripsi pekerjaan, tujuan, program dan evaluasi kinerja. Juga kebiasaan rapat yang tidak berlama-lama dan selalu disiplin dengan waktu. Ketika berdiri hingga awal 70-an, belum terpikir oleh manajemen pembentukan budaya korporat Bank Niaga. Saat itu, ujar Robby, orang belum mengenal apalagi memahami budaya korporat. Kalau pun ada, perilaku pemilik Bank Niaga bisa dianggap sebagai budaya korporat. Sehingga yang terjadi saat itu, para bawahan meniru apa yang dilakukan atasan. Oleh sebab itu, budaya korporat Bank Niaga banyak sekali dipengaruhi oleh contoh yang kuat dari para komisaris dan CEO Bank Niaga, khususnya oleh Soedarpo Sastrosatomo, Julius Tahija, M. Idham, dan Robby. Kebetulan, menurut Robby, keempatnya memiliki cara yang sama. Sifat yang menonjol adalah, pertama sikap konservatif dan mengutamakan kualitas. Kedua, manusia adalah asset utama. Robby Djohan. Figur di balik budaya Bank Niaga Ketiga, citra dan integritas. Sifatsifat ini ada pada keempat orang itu karena sehingga sulit bagi yang tidak bisa menyelatar belakang pendidikan Belanda, keluarga suaikan diri dengan budaya korporat itu yang intelektual, lingkungan pergaulan, dan untuk berkembang. “Oleh sebab itu, rekrutpekerjaan. men kader dari luar sangat dibatasi,” Keseragaman sifat itu memang tidak katanya. melahirkan dinamika, tetapi menjamin Robby mengakui, visi dan strategi usaha munculnya satu fondasi yang kokoh untuk yang terpikir waktu itu sangat sederhana. Ia mengembangkan Bank Niaga. Karakter ingin Bank Niaga menjadi bank yang berkuSoedarpo, Tahija, dan Idham yang sangat alitas, menguntungkan, dan masuk lima bekonservatif dan Robby sebagai CEO yang sar di antara bank swasta. Keinginan itu cukup agresif menghasilkan sinergi yang jelas sangat ambisius karena Bank Niaga sangat baik. saat itu merupakan bank terkecil di antara Dengan sinergi ini, lanjut Robby, esensi sekitar 65 bank swasta. Yang berkembang budaya yang berkembang di Bank Niaga justru bank milik WNI keturunan karena adalah mengutamakan stakeholders. Selalu praktis sudah menguasai seluruh perdaberorientasi pada pasar, manusia menjadi gangan. Sedangkan Bank Niaga adalah bank asset utama, dan senantiasa mementingmilik pengusaha pribumi yang sangat konkan kualitas dalam semua hal yang dikerservatif. jakan. Setiap penyimpangan tidak bisa Untuk mewujudkan keinginan itu, tahun ditoleransi dan secara otomatis dikoreksi 1976 Bank Niaga menyusun lima tahapan oleh budaya perusahaan yang berkembang. sebagai strategi untuk mencapai visi itu. Robby juga tergolong sangat keras – namun Pertama, memiliki manajemen yang profestanpan dendam – terhadap anak buahnya sional, terdiri dari sedikitnya 10 orang yang yang melakukan penyimpangan. kompeten dan siap ditempatkan di pusat Pernah seorang staf Bank Niaga cabang dan di cabang. Kedua, mengembangkan Medan melakukan manipulasi. Waktu program rekrutmen dan pendidikan yang berkunjung ke Medan, meski marah Robby akan menghasilkan kader-kader Bank Niaga. mengatakan kepada orang itu untuk Ketiga, memiliki prasarana, baik berupa mencari pekerjaan di luar bank. Ia menilai, kantor yang modern dan jasa perbankan orang itu tidak cocok bekerja di bank karena serta sistem operasi seperti Citibank. tidak tahan godaan uang. Akhirnya, orang Keempat, fokus pada retail banking dan itu mundur dari Bank Niaga dan sesuai sacommercial banking dalam pemasaran. ran Robby mencari pekerjaan di bidang lain. Kelima, menjadi bank yang menguntungkan Mereka yang ingin maju di Bank Niaga sehingga lebih mudah mendapatkan modal harus patuh kepada budaya korporat agar dari investor maupun dari laba ditahan. dia tidak menjadi orang asing di Bank Niaga. Impelementasi dari strategi itu diakui Penentuan dan pengangkatan eksekutif Robby sangat sederhana. “Namun, karena sangat ditentukan oleh rank and file, kami konsisten dan penuh komitmen menjalankannya, ia berjalan mirip bola salju. Hasilnya bisa dilihat dalam waktu yang cukup singkat.” Tahun 1988, Bank Niaga sudah menjadi bank swasta kedua terbesar di bawah BCA, yang dimiliki Liem Sioe Liong kerabat Presiden Soeharto dan dipimpin oleh Mochtar Riyadi. Bank lain yang menjadi saingan adalah Bank Duta, yang banyak dibantu Bulog; Bank Umum Nasional milik Bob Hasan yang disebut Robby sebagai “Anak Raja Republik”; BDNI dan BII – milik dua konglomerat. Robby menilai, cepatnya perkembangan Bank Niaga karena faktor citra yang secara cepat dapat diciptakan karena bank ini memiliki orang-orang yang selalu ingin melakukan hal-hal terbaik untuk nasabah dan Bank Niaga, di samping memiliki integritas. Semua orang di Bank Niaga ingin menjadikan bank ini sebagai bank modern dan mempunyai sistem perbankan yang lebih baik dibandingkan bank lain. Kalau datang ke cabang, maka laporan pemimpin cabang bukanlah apa yang sudah dikerjakan tetapi apa yang menjadi masalah dan berapa besar kontribusi profit yang mereka capai. Budaya Citibank terasa sekali di sini. Tidaklah populer di Bank Niaga apabila pemimpin cabang melaporkan apa yang sudah ia lakukan ataupun keberhasilannya. Karena Robby dengan ketus akan menjawab: “Anda sudah dibayar untuk itu. Laporkan kepada saya apa yang menjadi masalah ataupun tantangan, dan bagaimana Anda akan menghadapinya.” Sikap Robby ini merupakan cerminan budaya yang berkembang di kalangan eksekutif Bank Niaga, yang selalu tertantang untuk memecahkan masalah. Mereka sadar bahwa Bank Niaga berdiri sendiri dan tidak dibantu oleh fasilitas maupun kemudahan dari pasar karena bank ini bank pribumi. Kunci keberhasilan Bank Niaga di mata Robby karena menciptakan dan memiliki professional yang baik. Mereka memiliki keahlian, jiwa kepemimpinan, dan motivasi bekerja yang tinggi. “Kalau di seluruh dunia orang-orang Citibank ada di mana-mana, di Indonesia juga dapat dikatakan orang-orang Bank Niaga ada di mana-mana,” gumamnya bangga. Sebagian besar direksi Bank Niaga saat ini adalah lulusan Program Pengembangan Eksekutif yang dulu dikembangkan oleh Robby Djohan. Program ini meniru program serupa di Citibank. Kendati ikut dirundung masalah karena krisis ekonomi, Bank Niaga tetap memiliki nilai berharga untuk dipertahankan dari kemungkinan ditutup dan diminati oleh investor. Sebuah bukti bahwa Robby memang hebat 13 | HumanCapital | Nomor 03 | Tahun 2004 | F O K U S SETELAH TEMASEKKOOKMIN MASUK BII G elombang divestasi yang dilakukan pemerintah Indonesia, baik perusahaan-perusahaan di bawah BPPN maupun BUMN, menyebabkan masuknya pemegang saham asing ke dalam kepemilikan perusahaan-perusahaan Indonesia. Sebagian besar pemegang saham baru itu berasal dari Singapura, terutama melalui Temasek, BUMN negara itu. Temasek telah masuk sebagai pemegang saham utama Bank Danamon dan bersama bank terbesar Korea Kookmin Bank (dalam konsorsium Sorak) menjadi pemegang saham mayoritas Bank Internasional Indonesia (bii). Terlepas dari kontroversi di balik masuknya Temasek itu, perubahan besar kini sedang terjadi dalam landscape perbankan Indonesia. Selain dari sisi kepemilikan, perubahan besar itu diyakini juga akan berpengaruh terhadap budaya korporat dan cara mengelola bank-bank tersebut. Banyak yang berharap, perubahan ini akan membuat manajemen perbankan nasional lebih tangguh dan profesional. Praktik-praktik moral hazard – penyalahgunaan kesempatan dan jabatan – diharapkan semakin terkikis sejalan dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya faktor kepercayaan dan kepuasan nasabah bagi keberlanjutan usaha perbankan. Lantas, apakah masuknya konsorsium Sorak melahirkan budaya korporat baru di bii? Henry Ho, Presiden Direktur bii, tak secara tegas mengatakannya. Namun, Managing Partner Dunamis Organization Services Nugroho Supangat menilai budaya korporat perusahaan lokal yang dibeli asing belum tentu akan berubah. “Mereka hanya melihat sistem manajemennya saja. Kalau masih selaras dengan kepentingan mereka, tinggal disempurnakan saja.” Budaya korporat bii diperkirakan sudah semakin baik setelah bank itu tidak lagi dimiliki oleh keluarga Eka Tjipta Widjaja. Di bawah manajemen lama, dipimpin oleh Sigit Pramono (kini menjadi Direktur Utama Bank BNI), transformasi budaya dan sistem kerja bii sudah berlangsung. “Kami tinggal memantapkan saja apa-apa yang sudah baik, dan menyempurnakan yang masih kurang,” tutur Henry Ho, yang menghabiskan 22 tahun karirnya di Citibank itu (terakhir di Arab Saudi). Sebagai contoh, pemegang saham baru sangat fokus pada upaya pelayanan nasabah secara efisien. Kantor-kantor cabang benarbenar difungsikan sebagai ujung tombak pelayanan sekaligus point of sales. Dalam upaya meningkatkan layanan dan efisiensi biaya, dalam 3 tahun ke depan bii akan menanamkan investasi bernilai puluhan juta dolar di bidang teknologi informasi. Selain itu, seluruh jajaran bii diajarkan untuk benar-benar berorientasi kepada efisiensi dan hasil. Bii secara konsisten mulai menerapkan meritocracy, yang menghubungkan kinerja dengan reward dan punishment. Para karyawan juga harus PT. UNILEVER TBK. PROSES TIADA HENTI Salah satu perusahaan yang dianggap telah memiliki corporate culture yang mapan adalah PT. Unilever Indonesia Tbk. Corporate culture yang mapan, membuat perusahaan yang telah beroperasi di Indonesia sejak tahun 1933 ini tumbuh menjadi perusahaan penyedia consumer products yang mempunyai peran penting di Indonesia. K Henry Ho, Presiden Direktur bii mampu beradaptasi dengan segala bentuk perubahan, baik internal maupun eksternal. Layaknya pemegang saham yang selalu concerned dengan kinerja usaha, maka bii akan melakukan penyelarasan dan realokasi sumberdaya manusia ke bidang-bidang penghasil pendapatan. “Kami akan berdayakan seluruh karyawan yang ada untuk berkontribusi bagi kemajuan bii,” tukas Henry Ho. Caranya, melalui upaya training secara berkesinambungan, baik diselenggarakan sendiri maupun melalui outsourcing. Ia tak menampik, bii akan memberi perhatian lebih terhadap pemasaran dan layanan nasabah. Dengan strategi ini, jumlah karyawan bii yang kini mendekati 8.000 orang dianggap memadai. Yang akan dilakukan bii, kata ayah 3 putera itu, bukan downsizing melakukan resizing. Dalam upaya penataan sumberdaya manusia sesuai kebutuhan organisasi itu, seluruh orang bii – dari karyawan terendah hingga CEO – harus menjalani competence audit dan performance appraisal. Penilaian ini bertujuan untuk mengetahui potensi karyawan dan kecocokannya pada bidangbidang pekerjaan yang ada. Dewasa ini, menurut Direktur/Corporate Secretary bii Sukatmo Padmosukarso, proses penilaian terhadap 50 manajemen level atas – termasuk Henry Ho - sudah dilakukan oleh perusahaan konsultan asal Hong Kong. Pelaksanaan penilaian terhadap karyawan lainnya akan diselenggarakan konsultan lokal, yang saat ini sedang diseleksi. Para karyawan, lanjut Henry Ho, cukup exciting dengan segala upaya dan rencana perubahan yang akan diterapkan manajemen bii. “Kami ingin menjadikan kembali bii sebagai salah satu paling menguntungkan di Indonesia, seperti yang pernah diraih bank ini,” ujar Henry serius. Masuknya Temasek dan Kookmin diakui Sukatmo sangat positif menyempurnakan budaya korporat bii. Setidaknya, bii kini semakin transparan dan lebih disiplin. “Dulu, kalau mau rapat, masih sering molor. Sekarang sudah tidak lagi. Semuanya harus ontime dan siap,” tuturnya emapanan corporate culture di PT. Unilever, tidak begitu saja terbentuk. Hal ini membutuhkan waktu dan proses yang terencana dengan matang. Keluar dari krisis tahun 1998, PT. Unilever layaknya perusahaan lain, juga mengalami penurunan penjualan. Namun memasuki tahun 1999, PT. Unilever bertekad untuk kembali mencapai pertumbuhan seperti sebelum krisis. “Kami menyimpulkan, jika mau kembali tumbuh dengan level pertumbuhan seperti sebelum krisis, Unilever harus mengubah behavior orang-orangnya. “Kami harus mengubah the way we are”, ujar Joseph Bataona, Direktur HR PT. Unilever Tbk. “Jadi kami harus re-direct semua yang sudah dipunyai. Karena jika tidak akan membutuhkan waktu yang lama sekali untuk mewujudkan tekad itu”, tambahnya lagi. Banyak proses yang telah dilalui oleh perusahaan ini untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam masa persiapan, dilakukan diskusi secara internal. Mulai pada level puncak dipimpin oleh chairman dan direksi, mencoba mengidentifikasi apa saja elemen yang dimiliki perusahaan untuk tetap tumbuh atau tumbuh lebih cepat lagi dan apa saja yang menghambatnya. “Itu adalah unsur awal kami mencoba bicara tentang vision. Kami sebetulnya mau kemana dalam 5-10 tahun mendatang dari titik ini. Dan itu kami lakukan sendiri”, jelas Joseph. Kemudian disadari bahwa PT. Unilever terfokus pada consumer, costumer dan community. Hingga kemudian muncul visi dari PT. Unilever yaitu ‘To become the first choice of consumer, costumer and community’. Hal ini terwujud pada komitmen PT. Unilever terhadap konsumennya yaitu menyediakan produk bermerek dan pelayanan yang secara konsisten menawarkan nilai dari segi harga dan kualitas, dan yang aman bagi tujuan pemakaiannya. Banyak juga exercising yang dilakukan secara internal. Ada team kecil yang berjumlah 5 orang, dipimpin oleh Joseph, diminta untuk menerjemahkan visi itu ke dalam real values yang harus dimiliki karyawan. “Waktu itu saya minta beberapa direksi untuk menuliskan momen dalam karier mereka dimana mereka merasa satisfied, rewarded dan juga saat mereka merasa marah besar, disappointed, dan very frustrated. Lalu mereka diminta untuk mencari value apa yang membuat mereka merasa satisfied dan value yang membuat mereka merasa frustrated. Dan mereka menulis apa saja values yang harus ada untuk memacu perkembangan di perusahaan.” Hasilnya, muncul sekitar 20 values, yang kemudian di bagikan pada level puncak untuk dibahas yang akhirnya dihasilkan the top six. Yang termasuk dalam the top six adalah Customer, consumer and commu- Joseph Bataona, Direktur HR Unilever Indonesia 14 | HumanCapital | Nomor 03 | Tahun 2004 | F O K U S nity focus, Teamwork, Integrity, Making things happen, Sharing of joy, dan Excellence. Namun tim tidak berhenti di situ saja, tim harus mengidentifikasi behavior seperti apa yang mendukung atau tidak mendukung dari ke-6 nilai-nilai itu. Ini membutuhkan waktu kurang lebih 5 bulan. Joseph menilai, behavior tersebut bukanlah sesuatu yang statis sifatnya. Behavior yang dianggap mendukung dan tidak mendukung itu bukanlah sesuatu yang statis sifatnya. Ia membutuhkan proses dalam pelaksanaannya. Meskipun sudah berjalan 4-5 tahun, ini belum juga selesai, masih harus terus di review from time to time. Awal tahun 1999, akhirnya terbentuk organization effectiveness committee. Komite ini bertugas untuk melihat the whole company dan memberikan advis pada perusahaan untuk mewujudkan visi fokus pada consumer, costumer and community. Yang pertama dilakukan komite ini adalah business process improvement plan. Untuk membuat semua mengerti bahwa seluruh proses itu dilakukan agar costumer, consumer dan community dapat merasa puas. “Dalam hal ini pertanyaan yang selalu muncul adalah apakah proses ini add value kepada costumer, consumer dan community, jika tidak kami cut”, tegas Joseph. Kemudian ditunjuk satu group yang disebut sebagai facilitator perubahan, karena hal ini tidak bisa dikerjakan oleh board atau unit secara sendiri-sendiri. Ia harus dilakukan secara paralel di semua bagian dalam perusahaan. “Kami identifikasi dari seluruh divisi untuk menjadi facilitator, karena yang sedang kami rencanakan adalah transformasi, dan ini butuh support dari seluruh bagian. Kalau tidak akan pincang jadinya,” jelasnya. Keberagaman yang ada di perusahaan, bagi PT. Unilever Tbk. juga tidak menjadi masalah, bahkan dianggap sebagai nilai tambah bagi perusahaan. “Kami yakin bahwa diversity dalam hal apa saja di perusahaan ini perlu dipupuk. Kami tidak perlu menjadikan seseorang sama semuanya. Kami yakin meski berbeda mereka memiliki kemampuan untuk mengerjakan pekerjaan dan bahkan membawa nilai tambah”, tutur Joseph. Contohnya, Unilever pernah punya accountant itu seorang flight engineer” atau pejabat HR yang pendidikannya teknik arsitektur. Setiap proses pasti memiliki tantangan, begitupun yang terjadi pada PT. Unilever. Tantangannya yang ada yaitu apakah semua pihak memiliki kesiapan yang sama dan apakah plan untuk program energizing sudah benar. “Jika kami benar mau berubah, elemen transparansi atau keterbukaan juga harus ada. Kami coba train karyawan di sini sebagai the whole being, yang punya brain juga heart”, tutur Joseph. Banyak hal telah dilakukan PT. Unilever untuk menyentuh hati para karyawannya. Joseph mencontohkan banyak perusahaan yang menyediakan fasilitas kesehatan dengan menyediakan rumah sakit gratis, tapi Unilever mau manusia yang sehat. Yaitu dengan menyediakan ruang gym di lantai atas untuk semua level. Contoh lain, di lantai bawah disediakan nursery room, untuk ibu yang menyusui. PT. MLC LIFE INDONESIA Nuansa Pantai di Kantor Pacu Kinerja Karyawan M emasuki kantor yang berlokasi di Gedung Nugra Santana, jelas menimbulkan keunikan tersendiri. Kantor bernuansa pantai ini memang sengaja diset untuk menciptakan etos kerja yang tinggi bagi karyawannya. Menurut Ivan Taufiza, People & Culture Director PT MLC Life Indonesia, infrastruktur seperti itu memang sengaja dikonsepkan bernuansa pantai. “Ini bertujuan menciptakan kenyamanan karyawan dalam bekerja,” paparnya. Misalnya, di ruang rapat terdapat akuarium dan pemandangan pasir dan kerang-kerang di meja. Belum lagi ada kursi pantai untuk duduk-duduk santai karyawan, lantai yang didesain dengan warna biru seperti warna laut, meja makan desain pantai, ruangan perpustakaan yang cozy dan game playstation di ruang makan untuk mengatasi kejenuhan karyawan. Jangan kaget jika untuk office boy dan driver, MLC memberikan ruangan khusus untuk menjelajah di dunia maya alias internet. “Kami juga mendesain kursi dan meja kerja dengan ala cubicle, maksudnya agar tidak ada gap antara satu dengan yang lain, bahkan dengan jajaran manajer sekalipun,” jelas Ivan. Sehingga, jika salah satu karyawan ingin berdiskusi, mereka bisa langsung ngobrol tanpa harus repot-repot. Kecuali untuk hal-hal yang krusial, MLC menyediakan beberapa ruangan kecil yang sifatnya tertutup. Meski hanya sebatas kendaraan, infrastruktur tersebut sangat ‘manjur’ buat karyawan agar mereka memberikan hasil kerja yang baik kepada perusahaan. Diakui Ivan, MLC menganut prinsip-prinsip seperti transparansi, keterbukaan, dan insiatif tidak hanya di jajaran direksi saja, tapi juga sampai ke level bawah. Semua karyawan, kata Ivan, harus bertanggung jawab baik kepada perusahaan maupun kepada dirinya sendiri. Selama ini, perusahaan-perusahaan yang ada menurut Ivan menginginkan kontribusi yang sifatnya tangible atau terukur dari segi finansial. “Tapi sebenarnya ada hal-hal yang tidak terukur, tapi tetap kontribusi ke bisnis. Contoh, kepuasan karyawan,” Ivan memaparkan hal itu. Cara mengukurnya, adalah lewat insiatif, ide, semangat, spirit. Ini yang mendasari rule People & Culture MLC untuk mengembangkan tersebut dan membuat nilai-nilai yang intangible itu bisa makin membesar, sehingga kontribusi ke bisnis juga makin besar. Untuk mengukur kinerja karyawan, MLC menggunakan 6 cara, yaitu performance, people, identifikasi, open eyes, control, dan flexibility. “Prinsipnya, apa yang kita punya sekarang dan apa yang kita inginkan, gapnya ada dimana. Gap itu yang coba kita tutup,” kata Ivan. Ivan Taufiza. People and Culture Director MLC Diakui Ivan, sebelum MLC berdiri, MLC sempat bermitra dengan perusahaan properti yaitu BII Landlease dan Simas Landlease. Baru pada tahun 2000, anak perusahaan National Australia Bank(NAB) ini resmi didirikan. Sayangnya, sejak didirikan, banyak perbedaan yang terjadi, antara budaya sebelum MLC resmi didirikan dengan budaya yang baru. “Banyak karyawan yang bingung karena nature dari pemilik yang sangat berbeda yaitu dari property company berubah menjadi bankir yang sangat konsevatif, maka terkesan ada perubahan yang sangat mencolok dari program-program karyawan,” Ivan membeberkan. Perbedaan dan perubahan yang mendasar ini yang banyak disesalkan banyak karyawan MLC karena tidak dikomunikasikan kepada mereka. Untuk mengatasi perbedaan tersebut, MLC menerapkan budaya yang lebih dinamis. “Di sisi demografi, dari sisi usia, masa kerja dan latar belakang pendidikan mayoritas berusia dibawah 35 tahun, sangat dinamis & informal,” imbuhnya kembali. Ini jelas menguntungkan MLC karena perbedaan-perbedaan antara karyawan lama dan karyawan baru sudah lebih tertutup sedikit demi sedikit. “Saya yakin, kombinasi karyawan baru yang 42% dapat saling bisa mempengaruhi karyawan lama yang 52% sehingga budaya MLC lebih terbentuk seperti yang diharapkan.” Selain infrastruktur yang berperan bagi kepuasan karyawan, MLC juga banyak mengadakan kegiatan sosial seperti membuat bangunan sekolah bersama-sama, membuat gerobak bakso, atau kegiatan komunikasi bersama seperti nonton bareng, main bowling bersama dan masih banyak lagi. “Berdasarkan hasil survei, hasil kepuasan karyawan ada 2 poin yang sangat terasa, yaitu lingkungan kerja dan kegiatan sosial yang dilakukan perusahaan,” akunya dengan antusias. Untuk ke depan, MLC mulai menerapkan budaya baru yang bertajuk “36 Derajat Feedback”. Tujuannya, untuk memberikan masukan kepada sesama karyawan, baik jajaran atas maupun hingga ke level bawah secara formal. “Secara umum, orang Indonesia punya budaya, sulit memberikan masukan baik ke atasan atau ke teman. Takutnya, dia akan dianggap lebih pintar dari saya, atau sebaliknya takut menjelek-jelekan saya.” Ini menyebabkan MLC membuat dalam format yang seimbang yaitu stop doing, artinya tidak perlu dilakukan lagi, start doing yaitu sesuatu yang belum dilakukan tapi akan dilakukan dan continuous doing, yaitu sesuatu yang sudah dilakukan dan bagus, maka akan terus dilakukan. Ketiga platform ini diharapkan mengurangi subyektifitas 15 | HumanCapital | Nomor 03 | Tahun 2004 | F O K U S DEDDY KUSDEDI (DIRUT PEGADAIAN) EKSEKUTIF INTAN SEBAGAI BUDAYA PERUSAHAAN B udaya perusahaan sangat signifikan dengan keberhasilan Pegadaian, terutama setelah pegadaian berganti status dari perusahaan jawatan (Perjan) menjadi persero. “Waktu status kami Perjan, status kami PNS, bajunya birokrat, motto kerja, kami dibutuhkan masyarakat. Jadi manajemennya manajemen warung, artinya yang gadai syukur, tidak ada yang gadai tutup saja. Toh tanggal 1 gajian juga. Terserah perusahaan mau untung atau rugi”, jelas Dedi. Dengan diganti menjadi perusahaan persero maka berubah sistemnyapun berubah menjadi pegadaianlah yang membutuhkan nasabah. “Makanya kami bangun budaya professional. Artinya, kualitas pelayanan harus betul-betul menjadi target utama. Kedua, nasabah harus betul-betul dilayani sebaik-baiknya. Ketiga, mereka pun harus bertanggung jawab terhadap maju mundurnya perusahaan”, tutur Dedi lagi. Kini pegadaian telah memiliki budaya perusahaan, yang disebut namanya Si Intan. “Ini singkatan, I-nya inovatif, N-nya, memiliki nilai moral yang tinggi. T-nya trampil, A-nya Adi layanan, dan N-nya nuansa citra”, jelasnya. Sebelumnya pegadaian bisa dikatakan tidak mengenal yang namanya target laba. Dengan diberlakukan budaya Intan, memberikan kesejahteraan bagi semua pihak di pegadaian adalah nasabah. “Yang menggaji kita adalah masyarakat”, tegasnya. Intan sendiri telah mulai diberlakukan sejak tahun 1990. Bagi Dedi, Intan harus menjadi kunci utama corporate culture di pegadaian. Tahap pertamanya adalah sosialisasi. “Kita banyak kendala, karena yang namanya budaya perusahaan tidak semudah membalikkan tangan. Pertama butuh kesabaran. Kedua, butuh pembinaan yang berkelanjutan”, tuturnya. Sekarang pegadaian terbuka untuk semua lapisan masyarakat. “Sekarang kami seluruh pejabat. Karena kalau bicara pelanggan, yang dituju adalah seluruhnya, bukan melulu nasabah saja. Konsep budaya pelanggan di pegadaian ini, ada empat, hubungan atasan dengan bawahan, bawahan dengan atasan, hubungan karyawan dengan sesama karyawan atau teman sejawat, hubungan karyawan dengan nasabah. “Paling tidak, bagaimana saya harus memperhatiDeddy Kusdedi. Direktur Utama Pegadaian kan kepentingan karyapunya dua program baru, ada program pegawan”, jelasnya pasti. daian peduli, intinya adalah meningkatkan Dalam hal membentuk corporate culkualitas pelayanan masyarakat yang betulture, pegadaian membutuhkan konsultan. betul professional. Betul-betul peduli kepada Yang relatif sulit adalah pembinaan yang masyarakat”, jelas Dedi. “Internalnya, berkelanjutan. “Saya intinya menekankan menyangkut masalah keakuratan data. Satu pendekatan kekeluargaan dan kemanulagi, nasabah mendapat jaminan asuransi siaan untuk memantapkan budaya perusakecelakaan. Mungkin nanti juga akan haan. Pilar-pilar budaya perusahaan dari semacam hadiah yang diundi setiap tahun. birokrasi ke professional saya ubah. TentuMau gadai piring, gadai mercy, haknya sama. nya untuk merubah budaya yang ada, ada Tapi hadiahnya tidak seperti bank, hadiahnya konsekuensinya. Butuh biaya besar mepaling motor Honda, motor. Mulai bulan Juni mang. Tapi itu investasi. Dananya bisa akan diadakan. Dananya sekitar minimal dipergunakan untuk kepentingan karyawan, setahun 15-20 motor”, tambahnya lagi. misalnya gaji yang memadai, benefit-benDi pegadaian peranan HRD untuk corefit supaya perilaku aneh seperti pungli, porate culture ini merupakan kewajiban KKN, bisa dikikis habis”, tutur Dedi lagi Formulir Berlangganan Pembaca yang terhormat, z Tabloid Human Capital ( HC ) merupakan media pertama di Indonesia yang berfokus pada berita dan informasi seputar Sumber Daya Manusia dan penyajian informasi sangat informatif serta disain tabloidnya sangat menarik. z HC ditujukan bagi berbagai kalangan dan terbuka bagi siapa saja yang tertarik pada sumber daya manusia. Dengan ragam rubrikasi yang sangat menarik untuk pengembangan karir, kiat sukses, isu permasalahan dan alternatif solusi di bidang sumber daya serta rubrik lainnya. z HC merupakan media komunikasi potensial bagi para pengguna iklan untuk memasarkan produk maupun corporate image mengingat pembaca tabloid HC adalah kalangan menengah, menengah atas z Untuk itu, kami memberikan penawaran yang menarik & mudah kepada Anda guna mendapatkan Tabloid Human Capital (HC) setiap terbit / edisi dengan cara berlanggan. z Cukup dengan menghubungi nomor telepon telepon (62-21) 5220575 - 52901022 atau mengirimkan form langganan ke faksimili (62-21) 52901024. Kami pastikan Tabloid Human Capital (HC) akan hadir tepat waktu di alamat yang Anda kehendaki. Terima kasih. Mohon dikirim tabloid HC Nama Perusahaan / instansi Alamat Telp Alamat Rumah Telp Pesanan tiap edisi z HumanCapital, untuk dan atas nama kami : : …………………………………….. : …………………………………….. Jabatan : ……………………………….……. Kota : ……………………………….……. Kode pos : …………………………………….. Faks : ……………………………….……. : ……………………………….……. Kota Kode pos : ……………………………….…….. Faks : …………………… Eksemplar Mulai edisi : ……………….… s/d ……… : ……………………………… : ……………………………… : ……………………………… : ……………………………… : ……………………………… : ……………………………… : ……………………………… Daftar Harga Langganan (per-eksemplar) Harga : Rp. 6.750,- / Eksemplar Periode 2 tahun (24 edisi) 1 tahun (12 edisi) Harga Normal Rp. 162.000,Rp. 81.000,- Diskont 20% (Rp.32.400,-) 10% (Rp.8.100,-) Harga Pelanggan Rp. 129.600,Rp. 72.900,- * Untuk Pelanggan di luar Jakarta tambah ongkos kirim Pembayaran : ………, ………………………………. 2004 Hormat kami, Transfer a/n PT. Perdana Perkasa Elastindo, Bank Permata Cab. Atrium Setiabudi No. Rek. 0.216322.002 (bukti transfer dikirim melalui faksimili) ( ………………………………) PENAWARAN KHUSUS Lengkapi referensi Anda dengan Tabloid HC 1 dan HC 2 dengan HARGA SPESIAL: masing-masing hanya Rp5000,- (di luar ongkos kirim). Hubungi TOMY untuk pemesanan di telp. 021-5220575; fax. 021-52901024 16 | HumanCapital | Nomor 03 | Tahun 2004 | F O K U S BELAJAR DARI MNC AKTUALISASI BUDAYA KORPORAT IBM A LA GERSTNER K etika Louis V. Gerstner, Jr memutuskan menerima tawaran untuk menjadi Chairman dan CEO IBM Corp. 1 April 1993, kondisi keuangan dan kinerja bisnis si raksasa biru sangat berat. Total pendapatan IBM dan anak perusahaannya hanya US$64,5 miliar dengan pendapatan bersih minus US$5,0 miliar. Hampir semua bisnis IBM mencatat kerugian. Satusatunya yang masih positif adalah bisnis mainframe, yang selama ini memang menjadi andalan IBM. Tetapi, itu pun hanya menunggu waktu. Paul Rizzo, eksekutif IBM, mengatakan kepada Gerstner bahwa pendapatan bisnis mainframe terus turun dari US$13 miliar tahun 1990 dan diperkirakan menjadi US$7 miliar saja tahun 1993. Pendapatan per saham minus US$2,17 dan imbal hasil ekuitas (Return on Stockholders’ Equity) minus 15,4%. Harga saham per 31 Maret 1993 hanya US$12,72. Semua fakta ini, tak pelak lagi, menunjukkan betapa buruknya kondisi bisnis IBM. Sampai-sampai Thomas J. Watson Jr., mantan Chairman dan CEO IBM yang juga putera pendiri IBM Thomas J. Watson Sr., harus ikut turun tangan meyakinkan Gerstner untuk menerima tawaran memimpin IBM itu. Tanpa pemulihan total (total turnaround), IBM yang menjadi salah satu kebanggaan Amerika bakal tinggal kenangan. Banyak sekali langkah strategis dan taktis yang dilakukan Gerstner untuk memulihkan bisnis IBM. Salah satu yang paling menarik adalah menyangkut budaya korporat IBM. Di awal 90-an, jika mendengar nama IBM, kata dan citra yang muncul di pikiran seseorang adalah “komputer besar”, “PC”, “ThinkPad”, dan lainnya. Pada saat yang sama, orang akan berpikir tentang “perusahaan besar”, “konservatif”, “handal”, dan “seragam celana gelap dan baju putih”. Deskripsi yang terakhir ini jelas tidak berkaitan dengan produk dan layanan IBM, melainkan terkait dengan orang-orang IBM dan budaya bisnisnya. Sebelum sampai di IBM (ia telah malang-melintang sebagai CEO perusahaan raksasa), Gerstner berpikiran bahwa budaya korporat hanyalah satu dari beberapa elemen penting dalam membuat organisasi sukses – bersama-sama dengan visi, strategi, pemasaran, keuangan, dan seterusnya. Begitu masuk ke IBM, ia menyadari kekeliruan tersebut. “Budaya korporat bukan hanya salah satu aspek dari kesuksesan perusahaan. Ia adalah kesuksesan itu sendiri.” Sebuah organisasi, pada akhirnya, tidak lebih dari kapasitas kolektif dari orang-orangnya untuk menciptakan nilai (value). Visi, strategi, dan seterusnya itu tidak akan bisa membuat sukses bila tidak menjadi elemen dari DNA perusahaan itu sendiri. Dalam membangun budaya dan jiwa IBM, peran Thomas Watson Sr. sangat luar biasa. Pengalaman Watson sebagai seorang pengusaha yang berangkat dari nol menumbuhkan budaya menghargai, kerja keras, dan perilaku etis di IBM. Watson menyadari bahwa budaya dan nilai-nilai itu harus diinstitusikan supaya menjadi acuan bagi seluruh pemimpin dan karyawan IBM. Ia menyimpulkannya dengan membuat istilah “Keyakinan Dasar” (Basic Beliefs), yang terdiri dari 3 hal: (a) Excellence in everything we do, (b) Superior customer service, (c) Respect for the individual. Institusionalisasi “Keyakinan Dasar” itu tidak hanya dengan menempelkannya berupa slogan di dinding-dinding kantor. Ia direfleksikan dalam sistem remunerasi, sekolah manajemen, program pendidikan dan pelatihan karyawan, dalam pemasaran, maupun layanan pelanggan. Ia menjadi doktrin perusahaan. Selama bertahun-tahun, hal itu berjalan dengan sukses. Hanya saja, lingkungan terus berubah dan kerapkali hal itu tidak diikuti dengan penyesuaian terhadap implementasi budaya itu. Salah satu contoh bagus adalah seragam karyawan IBM. Sudah jadi rahasia umum bahwa tenaga penjual IBM selalu berpakaian bisnis formal. Tom Watson membuat aturan ini bagi para eksekutif perusahaan. Tetapi, sebetulnya, esensi di balik aturan itu adalah hargailah pelanggan, dan berpakaianlah dengan rapih.Atas dasar itu, Gerstner menghapus ketentuan pakaian formal seperti itu tahun 1995 yang sempat menimbulkan banyak berita negatif di koran. Berpakaian disesuaikan dengan keadaan dan dengan siapa Anda bertemu. Ambil contoh “Keyakinan Dasar” itu. Kondisi saat ia dideklarasikan tahun 1962 dengan kondisi 1993 sangat berbeda. Misalnya soal superior customer service. Selama masa hegemoni IBM, layanan pelanggan berarti “menservis mesin IBM sesuai permintaan pelanggan” ketimbang memberi perhatian terhadap perubahan lingkungan bisnis klien dan memberikan solusi yang sesuai. Layanan pelanggan lebih menjadi pekerjaan administratif. Hal yang sama terjadi pada excellence in everything we do. Semua orang ingin bekerja excellence tapi konsekuensinya pengambilan keputusan jadi lambat. Saat bergabung dengan IBM, Gerstner mengatakan, produk mainframe baru diumumkan setiap 4-5 tahun. Karenanya, ada lelucon di IBM awal 90-an: “Products aren’t launched at IBM. They escape.” Saat ini rata-rata peluncuran produk baru menjadi 18 bulan saja. Agaknya, “Keyakinan Dasar” yang paling dahsyat pengaruhnya – dan paling banyak disalahgunakan – adalah respect for the individual. Di satu sisi, hal ini menyebabkan karyawan merasa aman dan tenang bekerja dengan imbalan yang baik. Namun, di sisi lain, perasaan itu menyebabkan karyawan tidak termotivasi untuk bekerja dengan kinerja tinggi. Orang-orang terbaik IBM mendapatkan remunerasi yang lebih kecil dari rata-rata industri. “Keyakinan Dasar” ini juga berarti karyawan IBM bisa melakukan apa saja sesuai aturan perusahaan dengan pertanggungjawaban yang minim. Bila karyawan berkinerja pas-pasan dan diberhentikan, perusahaan tidak menghargai individualitas Anda karena perusahaan tidak melatih Anda dengan apa saja yang Anda ingin kerjakan. Jika bos memerintahkan melakukan sesuatu dan karyawan tidak setuju, karyawan bisa mengabaikan perintah itu. “Ini masalah yang sangat serius,” gumam Gerstner. Karyawan sangat tergantung pada faktor pengalaman. Lebih dari itu, mereka tidak bisa melepaskan diri dari keyakinan bahwa IBM dan karyawannya tergolong bagus, cerdas, dan kreatif. Hal ini jelas sangat membahayakan kelangsungan usaha IBM. Di luar itu, Gerstner mengidentifikasi berkembangnya “budaya tidak” di IBM, yaitu kebiasaan setiap individu, tim, atau divisi untuk menolak persetujuan atau pekerjaan. Kendati setiap jajaran perusahaan telah bersepakat, beberapa eksekutif bisa saja memblok persetujuan bila persetujuan itu mengurangi peran mereka terhadap perusahaan. Budaya ini telah menyebabkan lamanya pengambilan keputusan, banyaknya kerja yang duplikatif, dan terganggunya kinerja organisasi secara keseluruhan. Gerstner sadar, mengubah sikap dan perilaku ratusan ribu orang sangat sulit. Sekolah bisnis tidak mengajarinya. Ia tidak bisa melakukan revolusi dari menara gading yaitu dari kantor pusat semata. Gerstner juga tidak bisa hanya memberikan pidato atau menulis kredo baru untuk IBM dan menegaskan budaya baru telah muncul. Apa yang bisa dilakukan adalah menciptakan kondisi tranformasi. Itulah yang ditempuh Gerstner. Manajemen, menurut Gerstner, tidak mengubah budaya korporat. Caranya, manajemen mengundang karyawan untuk mengubah budaya korporat IBM. Hal ini pun 17 | HumanCapital | Nomor 03 | Tahun 2004 | F O K U S tidak mudah dengan alasan birokrasi dan karena banyak yang enggan mengambil tanggung jawab terhadap hasilnya. Mereka lebih menunggu perintah bos. Tujuan perubahan budaya terbesar yang dilakukan Gerstner adalah agar IBMer yakin kembali kepada diri mereka sendiri – yakin bahwa mereka menentukan nasib diri mereka maupun perusahaan, dan mereka tahu apa yang seharusnya mereka ketahui. Gerstner mengambil peran sentral dengan memberikan contoh langsung perubahan budaya tersebut. Ia memulai dengan menjelaskan prinsip-prinsip perusahaan sebagai penentu kinerja usaha. Prinsipprinsip itu merupakan upaya membuat “Keyakinan Dasar” IBM kembali berfungsi efektif. Bulan September 1993, ia mengumumkan 8 prinsip dasar yang menjadi pilar budaya baru IBM ke seluruh karyawan IBM di seluruh dunia. Prinsip-prinsip kepemimpinan tersebut sebagai berikut: 1. Pasar menjadi tenaga pendorong di balik apapun yang kita kerjakan 2. Inti bisnis IBM adalah perusahaan teknologi yang memiliki komitmen tinggi terhadap mutu 3. Ukuran utama dari sukses adalah kepuasan pelanggan dan nilai bagi pemegang saham 4. Kita beroperasi sebagai organisasi entrepreneurial dengan birokrasi minimum dan senantiasa fokus pada produktivitas 5. Kita tidak pernah kehilangan fokus terhadap visi strategik 6. Kita berpikir dan bertindak berdasarkan urgensi 7. Karyawan yang hebat dan berdedikasi membuat semuanya terjadi, terutama bila mereka bekerja secara tim 8. Kita sensitif terhadap kebutuhan karyawan dan komunitas di mana kita beroperasi Hasil dari serangkaian strategi perubahan yang dilakukan Lou Gerstner di IBM sungguh luar biasa. Ia sukses membangun budaya berkinerja tinggi di IBM, sesuatu yang menurutnya sulit didefinisikan tapi mudah dikenali. Para eksekutif perusahaan adalah pemimpin yang sesungguhnya dan penuh inisiatif. Karyawan memiliki komitmen terhadap sukses organisasi. Produk IBM muncul dengan cepat di pasar. Setiap orang peduli terhadap mutu. Kehilangan klien kepada pesaing membuat karyawan marah dan kecewa. IBM berhasil melakukan salah satu turnaround terbesar dalam sejarah korporasi dunia. Saat pensiun dari IBM secara total 1 September 2002, kinerja IBM sangat mengkilap kendati tahun 2000-2001 bisnis teknologi informasi sempat terpukul akibat hancurnya bisnis dotcom. Pendapatan IBM 2001 tercatat US$85,9 miliar, pendapatan bersih US$7,7 miliar, harga per saham US$4,35, dan arus kas dari operasi sebesar US$14,3 miliar. Hebatnya, harga saham IBM mencapai titik tertinggi US$120,96 per lembar dan imbal hasil investasi berdasarkan ekuitas (ROE) tercatat 35,1% (bandingkan dengan minus 35,2% saat ia pertama kali memimpin IBM). Wajar, bila Gerstner dengan bangga mengatakan: “Who says elephants can’t dance? T GE DAN “WELCH WAY” ahun 1981, Jack Welch, 45, menjadi CEO ke-8 sekaligus termuda dalam sejarah General Electric (GE). Saat pertama menjadi Chairman dan CEO, tujuan Welch adalah menjadikan GE sebagai perusahaan yang paling kompetitif di dunia. Untuk mewujudkan tujuan itu, ia yakin, dibutuhkan revolusi untuk mentrasformasikan mimpi itu menjadi kenyataan. Sejarah menunjukkan bahwa Welch adalah pemimpin yang tepat pada waktu yang sangat tepat. Saat ia mengambil-alih posisi puncak, dunia korporasi Amerika dalam masalah. Kompetisi global yang baru dan kondisi ekonomi yang tidak bagus telah mengubah ladang permainan, tapi hanya sedikit CEO yang mengenalinya. Model bisnis korporasi Amerika tahun 1980 tidak pernah berubah selama beberapa dekade. Tahun pertama Welch di posisi puncak adalah perjuangan tiada habis. Ia sendiri mencanangkan revolusi, yang berarti perang terhadap cara lama GE dalam melaksanakan segala sesuatu sekaligus reinventing dari atas hingga ke bawah. Dalam dekade pertama kepemimpinannya, Welch merombak banyak hal, menutup atau menjual ratusan unit usaha, menghapuskan lapisan manajemen, dan mentransformasikan cara birokrasi perusahaan. Hanya sedikit orang yang paham kenapa CEO hebat ini harus melakukan perubahan dramatis itu. GE sudah dianggap sebagai produsen yang hebat di dunia, lantas kenapa harus menata ulang sesuatu yang tidak bermasalah? Tetapi, Welch melihat perusahaan kelebihan beban akibat strukturnya. Ia melihat bisnis tidak bertumbuh cukup cepat dan budaya yang kurang mendorong munculnya ide dan inovasi baru. Bagaimana Welch memimpin GE dibeberkan dalam buku berjudul The Welch Way, yang tidak fokus pada strategi pertumbuhan spesifik dalam revolusi Welch. The Welch Way lebih menekankan kekuatan perilaku dan kultural di balik strategi bisnis GE. Berikut adalah beberapa kekuatan Welch yang bisa jadi inspirasi bagi siapa saja dalam mengelola bisnis: 1. Bukan mengelola (manage), tapi memimpin (lead) Jack Welch adalah tentang kepemimpinan, bukan manajemen. Dia tidak suka dengan kata-kata manage. Ia lebih suka dengan kata-kata lead. Ia senang menciptakan visi dan membuat orang tekun dalam melaksanakan rencananya. Welch berpikir, eksekutif dan CEO memonopoli kepemimpinan – atau ide-ide bagus. 2. Menjadi kurang formal Welch tidak menyukai suasana yang serba formal, karena menurutnya keunggulan GE terletak pada suasana kurang formal. Tidak ada yang memanggil namanya dengan Mr. Welch, tapi selalu dengan Jack saja. Ia meninggalkan dasi di rumah lebih sering ketimbang membawanya, melaksanakan rapat informak, dan mendorong pencerahan pada setiap orang. Welch membuat organisasi GE tanpa dinding pembatas. Karyawan tidak takut menyam- The Welch Way lebih menekankan kekuatan perilaku dan kultural di balik strategi bisnis GE. paikan ide-ide mereka meskipun hal itu bertentangan dengan nilai-nilai perusahaan konvensional. 3. Hapuskan birokrasi Welch sangat membenci birokrasi. Baginya, birokrasi adalah musuh, sampah, pengambilan keputusan yang lambat, persetujuan yang tidak perlu, dan hal-hal lain yang bertentangan dengan spirit perusahaan. Ia menempatkan upaya menghapus birokrasi sebagai tugas utama setiap orang. 4. Selalu melihat kenyataan Welch selalu lebih suka melihat kenyataan dan mengambil keputusan yang tepat berdasarkan kenyataan itu. 5. Sederhanakan persoalan Welch tidak pernah berpikir bisnis itu harus rumit. Baginya, menjaga segala sesuatu tetap sederhana adalah satu kunci bisnis. Ia mengatakan, tujuannya adalah untuk menghapuskan kerumitan apa saja di GE. Menurutnya, sepanjang orang mem- peroleh akses terhadap informasi yang sama, mereka akan memberikan jawaban yang sama terhadap berbagai masalah yang dihadapinya. Ia merasa sederhana membutuhkan percaya diri yang sangat tinggi. 6. Melihat perubahan sebagai peluang Baginya, perubahan adalah bagian dari hidup maupun bisnis. Ia mencintai perubahan dan mengatakan kepada karyawan, perubahan ada dalam darah karyawan. 7. Memimpin dengan memberi energi Saat Welch menjadi CEO, sistem manajemen yang berlaku lebih bersifat command and control. Ia menemukan cara yang lebih baik. Manajer terbaik tidak memimpin dengan intimidasi, melainkan dengan memberi inspirasi kepada orang untuk mencapai hasil. 8. Abaikan tradisi GE adalah perusahaan yang kaya historis, tapi saat menjadi CEO Welch tak seorangpun yang menyangka ia akan mengabaikan tradisi itu. Ia menilai, apa yang berhasil pada masa lampau tidak mesti efektif lagi di masa depan. Sebelum era Welch, GE tidak menjual bagian besar dari perusahaan, memecat puluhan ribu pekerja, atau memaksa bos mendengarkan pekerja. 9. Buat aturan intelek Di banyak perusahaan besar, pimpinanlah yang membuat aturan, dan karyawan mendengarkan apa kata manajer. Bagi Welch, bisnis menyangkut upaya menggali potensi intelektual. Makin banyak orang, makin banyak ide. Supaya orang mau menyampaikan ide, organisasi harus mendorongnya 10. Bergerak cepat setiap hari Selama karirnya, kecepatan sangat penting bagi Welch. Dalam dunia yang kini serba terhubung dengan komunikasi, waktu yang tersedia sangat singkat. Ia selalu berpikir dan mengambil keputusan dengan cepat. Misalnya, pertengahan 90-an, Welch dan tim dari TV NBC bergerak cepat untuk memastikan hak penyiaran Olimpiade ke depan. Sebelum jaringan TV lain menyadari apa yang terjadi, NBC telah membuat kesepakatan senilai US$3,5 miliar untuk penyiaran 5-6 Olimpiade ke depan. Jika Welch enggan, NBC akan kehilangan semuanya. 11. Tempatkan nilai pertama kali Kebanyakan manajer menghabiskan waktu bicara angka-angka. Welch peduli dengan angka-angka, tetapi jangan sampai mengalahkan nilai-nilai perusahaan. Ia bergeming dengan manajer berkinerja tinggi namun dengan mengintimidasi karyawan 18 | HumanCapital | Nomor 03 | Tahun 2004 | F O K U S Apa Kata Konsultan AB SUSANTO [Managing Partner The Jakarta Consulting Group] Alat Manajemen Mencapai Tujuan M emandang perkembangan corpo rate culture di perusahaan yang ada di Indonesia, semakin lama bertambah baik. Ada budaya perusahaan tidak formal dan budaya yang formal. Yang dimaksud budaya tidak formal adalah budaya yang berkembang termasuk budaya baik dan budaya buruk. Tapi kalau diformalkan, sudah dipilih yang baik, dan lebih penting mendukung policy perusahaan. Strategi yang mendukung perusahaan ada caranya. “Kami di kantor ini membuat banyak program untuk perusahaan, untuk mendayagunakan budayanya. Macammacam strateginya, masalah visi misinya, mempelajari grand strategy itu sendiri, mempelajari budaya yang ada, baik yang buruk ataupun yang baik”, jelas AB Susanto Managing Partner The Jakarta Consulting Group. “Kita mencoba mencari nilai-nilai atau values, necessary corresponding and supporting (NCS), artinya yang nyambung dan mendukung akan policy suatu organisasi”, jelasnya lagi. Behavior, itu sangat penting untuk program kerja organisasi. Terutama adalah masalah sosialisasi. Internalisasi mengubah yang namanya body of knowledge, atau pengetahuan menjadi perilaku. Itu menjadi tantangan terbesar bagi organisasi dalam merubah budaya informasi dan perilaku yang tertanam. Corporate culture sudah berkembang besar sekali. Pertama mencari bentuk yang cocok, kemudian cara mensosialisasikan harus dalam waktu yang singkat, tetapi merubahnya sendiri baru akan selesai pada waktu yang telah ditentukan yang datang dari perusahaan atau organisasi itu sendiri. “Kalau organisasi anak buahnya 4000 or- ang, itu makan waktu lebih banyak. Kecuali kalau organisasinya hanya beranggotakan 400 orang. Itu kan beda”, jelas AB Susanto. Banyak perusahaan di Asia yang punya corporate culture yang bagus, seperti di Singapura, termasuk di Indonesia seperti Gudang Garam. Untuk perusahaan khususnya bank-bank di Indonesia yang sejak krisis melanda, dimerger, memang tidak mudah, karena corporate culture setiap perusahaan beda-beda. Diperlukan strategi khusus bagaimana menggabungkan corporate culture yang ada. “Seperti di Bank Mandiri, Bank Permata, itu kan tidak mudah”, tutur AB Susanto. “Kami biasanya melakukan strategy exploratory meeting yaitu untuk mengorganisir permasalahannya. Ini adalah mendesain sesuatu, caranya mengambil mana yang paling bagus”, tambahnya lagi. Sedangkan bagi perusahaan yang diakuisisi, menurut AB Susanto, pembentukkan corporate culture jauh lebih mudah. Kendalanya dalam pembentukkan corporate culture cukup banyak, yang utama adalah penekanan pada nilai-nilainya yang NUGROHO SUPANGAT berbeda. Sebagai contoh bank yang kecil menekankan pada senioritas, sedangkan bank yang bergabung menekankan pada performance. “Jika bicara mengenai kerja secara umum, pendekatannya tidak bisa serampangan. Intinya kita menerapkan strategi exploratoring seperti tadi. Kita lihat strateginya mana dari 4 bank yang paling baik, atau bahkan bisa saja strateginya baru”, tutur AB Susanto. Setelah itu pihak-pihak bersangkutan mulai menilai, nilai-nilai yang ada. Ini disebut sebagai pemahaman nilainilai. “Selama ini kan pemahaman tentang itu masih sangat dangkal. Nilai-nilai itu ada macam-macam. Kita mesti pilah-pilah, nilai mana yang relevan. Harus dipertahankan. Yang kurang relevan, disingkirkan”, tegasnya lagi. Jika bicara tentang relevan dan tidak relevan, menurut AB Susanto, yang baikpun ada kalanya kurang relevan. Dalam menilai mana yang baik dan relevan, juga termasuk dalam tugas konsultan. Budaya perusahaan atau corporate culture adalah alat manajemen untuk mencapai tujuan. “Saya sering lihat, perusahaan hebat karena banyak eksekutifnya. muda-muda, sekolahnya tinggi, punya penampilan yang baik, kemampuan berkomunikasi baik, tapi saying, ujung tombak yang runcing ini menghadapnya tidak sama. Ada yang ke atas, ke bawah, ke samping”, paparnya. Cara menyatukan visinya harus ditata dengan baik. Peran CEO dalam pembentukkan cor- porate culture sangat penting, karena proses budaya itu hanya dapat dari CEO atau pemilik, tidak dari bagian lagi. “Menengah dan direksi, itu tidak. Selalu dari CEO. Ada memang beberapa perusahaan yang prosesnya diinisiasi dilakukan oleh menengah, itu bisa jalan. Tapi kalau yang di atasnya tidak memberi komitmen, tidak ada gunanya”, tegasnya lagi. Untuk proses penerapan, biasanya dilakukan proses meeting. Dirapatkan terlebih dulu baru kemudian disosialisasikan ke karyawan. Untuk itu butuh tim khusus, tapi tetap membutuhkan orang dalamnya. “Tidak bisa orang luar karena mereka tidak tahu kondisinya. Visi itu penting tapi harus di atas. Kalau pakai yang bawah itu salah. Demokrasi sangat penting”, paparnya. Namun demikian kalau ingin membangun budaya, butuh semua pihak, ahli-ahli teknik, pemasaran, psikologi, antropologi sendiri. “Kami yakin, kalau budaya perusahaannya bagus, strategis, maka budaya perusahaannya akan maju”, tegasnya. Jika semua sudah ada, corporate culturenya kemudian diformalkan, dijabarkan. Ada keterangan jelas, ada sosialisasi juga program internalisasinya secara tertulis. Untuk perusahaan akuisisi pembentukkan corporate culture justru lebih mudah, karena pihak yang mengakuisisi tinggal menerapkan saja budaya yang sudah ada kepada perusahaan yang diakuisisi. “Dia kan beli, dia justru ingin nilai-nilai dia masuk. Ada efeknya, tapi harus dicari yang baik. Kalau dibeli itu ada tujuannya. Kalau ingin diperbaiki, itu diterapkan”, jelasnya. Budaya itu tidak tergantung baik atau buruk. Yang terpenting budaya harus sesuai dengan perusahaan. “Kalau CEO yang baru merasa strateginya harus diubah, ya diubah. Kalau masih mendukung, buat apa diubah. Belum tentu budayanya yang salah, tapi belum diterima oleh karyawan. Salahnya di dalam program internalisasi”, tuturnya lugas [Managing Partner Dunamis Organization Services] Indonesia Masih Menganut Budaya Untung B erbicara budaya perusahaan, erat kaitannya dengan perilaku seseorang dalam suatu lingkungan. Menurut Nugroho Supangat, Managing Partner Dunamis, jika melihat budaya keluarga Jawa yang selalu berbahasa lemah lembut misalnya, jelas sangat beda dengan keluarga Batak. “Kalau keluarga Batak, anaknya ngomong keras, bapaknya ngomong keras, kita nyangkanya lagi berantem,” tutur Nug, sapaan akrab Nugroho. Padahal belum tentu. Ini merupakan perilaku yang terjadi dalam suatu habitat. Ini sama halnya dengan budaya peru- sahaan. Dikatakan Nug, jika bicara budaya perusahaan, tergantung dari masingmasing perusahaan. Jika datang ke sebuah perusahaan, saat atasan pergi, para karyawan malah asyik main game. “Itu kan budaya. Budayanya yang sangat bos oriented,” tegas Nug memberi contoh. Atau di perusahaan lain yang ketika atasan tidak ada, tapi semua karyawan pada kerja. “Budaya kerjanya adalah customer oriented,” akunya. Atau budaya BUMN yaitu tenggang rasa yang kental dan budaya perusahaan asing, orang bebas saja. “Kita sebenarya bukan bicara budaya bagus atau tidak. Tapi budaya yang dinilai pas bagi perusahaan secara umum,” tandasnya. Yang paling berperan dalam budaya perusahaan menurut Nug ada beberapa hal. Diantaranya adalah pemimpinnya. Kemudian, yaitu ada tidaknya proses kerja, yang mengingatkan apa yang diinginkan. Artinya, kalau pemimpin pernah bilang, pelanggan adalah utama, jangan hanya sebatas ucapan semata. “Pemimpin kan panutan. Dia harusnya menaruh proses kerja ke bawahannya supaya semua proses berjalan dengan lancar,” tegas Nug. Contoh lain, jika ada telepon dari pelanggan, tapi disisi lain ada atasan memanggil karyawan supaya ke ruang kerjanya. Kalau harus memilih mana yang diutamakan, seharusnya pelanggan yang didahulukan. “Ini proses kerja. Jadi orang akan terdorong untuk budaya itu.” Berbeda dengan budaya perusahaan yang merger, ujung-ujungnya pola kerja mereka yang berbeda-beda harus disatukan. Perusahaan menyaring orang-orang yang cocok atau tidak dengan budaya yang akan dipakai. Perusahaan juga harus menjelaskan budaya apa yang akan dipakai. Untuk mengatasi masalah senioritas, perusahaan juga harus memantapkan stake holder 19 | HumanCapital | Nomor 03 | Tahun 2004 | F O K U S mereka. “Namanya juga manusia, ego dan insting survivalnya pasti ada,” Nug menambahkan. Jika stake holder sudah disetujui, karyawan tidak perlu lagi meributkan senioritas. “Itu masa lalu. Kalau bank, setuju tidak kita lebih fokus ke pelanggan. Kalau sudah tahu itu, kita sudah mulai bahasan baru, misinya bersama, sedang visinya melayani stake holder,” tukas Nug panjang lebar. Meski konsultan sangat dibutuhkan, tetap peran CEO sangat berpengaruh. “Kalau ada orang luar, sifatnya harus netral dan mementingkan perusahaan,” tutur Nug, seraya menambahkan bahwa perusahaan merger memang membutuhkan tim khusus, beda dengan perusahaan akuisisi. Leader, dianggap Nug, tidak hanya sekedar memipin organisasi atau perusahaan. Ia juga harus terlibat dalam proses kerja, tidak hanya sekedar bicara hasilnya saja. “Pemimpin di Indonesia banyak yang tidak mau memikirkan organisasinya. Rata-rata kita pemain alamiah saja sesuai dengan strukturnya, yaitu ada direksi ada anak buah. Tapi seringkali kita bertanya bagaimana cara menjalani organisasinya,” paparnya kembali. Membuat budaya perusahaan, lanjut Nug, bukan dalam seumur satu atau dua pemimpin saja. Ini harus tetap dikembangkan selama perusahaan itu berdiri. Budaya perusahaan itu berkaitan dengan nilai-nilai MARINA R. TUSIN C dasar. “Kalau di perusahaan asing, budayanya pasti masih sama dengan yang dulu. Citibank contohnya. Budayanya sekarang sama dengan budaya 100 tahun lalu. Beda dengan perusahaan di Indonesia, pemimpin ganti, semua budaya harus dirubah,” Nug menyayangkan hal tersebut. Untuk membangun sebuah budaya perusahaan, ada beberapa tahapan, yaitu formulasi, menetapkan valuenya. Tahapan berikutnya, internalisasi semua orang yang didalam, baik jajaran atas maupun sampai ke bawah. Selanjutnya adalah bagaimana ini bisa terus menerus. Termasuk mengukur, budaya ini dijalani atau tidak. Supaya bisa dijalani dengan benar. Indikator-indikator perilakunya juga harus diuku dan disosialisasikan. “Ada banyak cara kok, yang penting harus konsisten,” tegasnya. Yang disayangkan, di Indonesia masih ada budaya untung baru sekian, belum lebih dari itu. Contohnya, kasus Bank BNI yang jebol Rp30 miliar. “Ada saja yang bilang untung jebol segitu, coba kalau lebih dari itu. Itulah budaya orang Indonesia, masih ada untungnya,” katanya. Padahal, beda dengan orang asing yang tidak menganut hal demikian. “Mungkin karena orang Indonesia kalau sudah terdesak suka pasrah, makanya suka terlontar kalimat itu,” ujar Nug yang mengakui adanya perbedaan budaya di setiap negara di dunia [Managing Partner TASS (Tusin Adjas Suhardi & Stamboel) Consulting] Bagai Menggulung Benang orporate culture merupakan sesuatu yang fundamental dan menentukan kinerja dan keberadaan dari perusahaan itu untuk ke depan. Kalau kita melihat perusahaan global, salah satu faktor yang bisa dipertahankan keberadaannya adalah corporate culture. Ini adalah barang abstrak, susah dilihat tapi bisa dirasakan. Manifestasi dari corporate culture bisa tampak dari bagaimana orang berinteraksi di dalam perusahaan, bagaimana cara pandang, sistem, iklim atau atmosfir kerja, pola pengambilan keputusan, hubungan atasan bawahan. Juga bagaimana komunikasi apakah terbuka atau tertutup. Ini yang biasanya tampak dalam sebuah perusahaan. Ini merupakan gambaran manifestasi dari suatu budaya kerja dari perusahaan. Sebetulnya bagaimana orang berperilaku, berinteraksi, iklim formal dan informal itu terjadi, yang sifatnya sangat melekat dan mendrive seseorang. Itu merupakan core valuenya, yaitu tatanan nilai atau prinsip yang diyakini benar dan baik oleh suatu organisasi di dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Tatanan nilai inilah yang sebetulnya akan mendrive, mendorong, mengarahkan, bagaimana tindakan-tindakan atau perilakuperilaku di dalam organisasi dalam mencapai tujuan. Misalnya, ada organisasi yang salah satu valuenya yang diyakini adalah integritas. Ini banyak terjadi di industri finansial. Seperti jasa perbankan, mengelola uang dari nasabah, bagaimana nasabah bisa menaruh kepercayaan. Ini harus dibangun. Dia akan berperilaku sesuai dengan prinsip tadi. Perilaku yang bagaimana, adalah harus jujur, tidak boleh menipu. Keberadaan suatu organisasi, bisa dilihat dari keterkaitan dengan visi, misi, dan nilai-nilai yang diyakini benar. Sehingga kalau budayanya solid, manifestasinya bisa terlihat dari perilaku, dan kalau perilakunya sesuai dengan nilai perusahaan, secara tidak langsung kinerjanya juga akan meningkat. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membangun budaya korporat. Pertama, elemen atau faktor apa saja yang berpengaruh dalam pembentukan budaya korporat. Salah satu faktor yang sangat berperan, leadership action. Figur panutan sangat penting, perilakunya dilihat. Ini sangat mempengaruhi integritas. Jika tidak bisa memberikan contoh yang baik, bisa menjadikan kehancuran sebuah perusahaan. Jika pimpinan sudah dijadikan contoh, maka bawahan bisa mengikutinya. Bila hal ini sudah menjadi suatu prinsip, maka prinsip ini akan melekat di suatu sistem. Jadi sistem yang menilai, tidak tergantung orang. Karena itu, di dalam menetapkan prinsip atau nilai-nilai, itu bukan suatu yang mudah. Kecuali kalau semuanya berubah, core valuenya diganti. Tapi bisa saja seorang pimpinan baru yang menjalani core value baru membawa budaya kerja baru yang ingin dibangun. Ada satu organisasi yang sudah terbangun budayanya. Bisa saja organisasi itu mempunyai visi yang berbeda. Dia melihat prinsip-prinsip itu sudah tidak menunjang lagi ke depan. Bisa saja dengan value yang baru bisa membangun budaya kerja yang baru yang lebih dinamis. Itu bagus saja. Pimpinan harus bisa menilai, bisa membangun, meyakinkan ke segenap jajaran manajemen. Prinsip atau nilai kita yang baru yang akan kita bangun perilaku yang baru ke depan. Lain hal jika pimpinan tidak bisa membawa kemana bawahan, mengarahkan kemana yang akan dituju. Tidak akan terbentuk culture yang baru, culture yang lama akan tetap ada. Faktor yang lain, performance measurements, diukur dari kinerja. Kalau setiap orang di organisasi, ia bekerja untuk mencapai keinginan perusahaan, kinerjanya diukur berdasarkan apa. Kalau ada perusahaan yang diukur berdasarkan performance, tapi performance targetnya tidak sesuai, atau performance targetnya hanya diukur berdasarkan salesnya saja, profitnya saja. Maka, di dalam mengelola perusahaan, hanya sebatas itu saja. Padahal, seharusnya dilihat misalnya dari perkembangan SDMnya itu sendiri. Sehingga perilaku yang mendukung budaya bisa menjadi coach yang baik, bisa membim- bing bawahannya. Kalau orang hanya mengukur dari duit saja, orang tidak bisa lagi melihat dari segi harmonisasinya mengenai pentingnya kita berkembang, mengenai koordinasi kita bekerja. Jadi hanya sales driven organization. Itu tidak salah, karena maunya begitu. Tergantung pula dari ukuran kinerja yang akan dipakai, pimpinan harus bisa mengarahkan, memberi contoh, mengoreksi bawahan yang tidak sesuai dengan nilainilai. Pertama, pimpinan harus bisa menunjukan dedikasi, kedua harus bisa mengoreksi perilaku yang salah atau tidak sesuai dengan nilai, ketiga harus bisa mendorong orang yang sudah melakukan perilaku yang sesuai. Ini perilaku kepimpinan. Dia harus bisa mensosialisasikan, mengkomunikasikan dari waktu ke waktu tentang apa yang dituju, dengan bahasa yang sama sehingga orang memahami. Ada faktor lain yaitu ukuran kinerja kerja, itu kalau tidak jelas tidak akan memfokuskan upaya-upaya yang dilakukan individu-individu dalam suatu instansi. Faktor yang tidak kalah pentingnya yaitu people custom, bagaimana sistem SDM-nya, bagaimana kebijakan-kebijakan SDM-nya, juga terapannya (reward and punishment, performance management, training and development) itu selaras tidak dengan culture yang ingin dibangun. Misalnya performance management yang di manage adalah bagaimana mengelola performance seseorang tetapi kriteria yang diukur adalah loyalitas. Lalu juga bagaimana dengan sistem rewardnya, itu membantu membentuk perilaku-perilaku yang memiliki etika. Kejelasan visi, strategi, struktur business process dari organisasi tersebut juga penting. Misalnya organisasi tersebut customer oriented, tetapi memiliki jalur birokrasi yang panjang. Ini justru akan menghambat. Setiap organisasi tergantung sejauh mana culture itu dibangun untuk mencapai tujuan organisasi tertentu. Sebetulnya culture itu akan terbentuk dengan sendirinya. Masalahnya culture yang bagaimana yang ingin dibangun. Sulit untuk menentukan culture ini baik atau buruk. Itu akan terlihat dalam rentang waktu. Untuk kasus perusahaan merger, harus dibangun dulu visi dan misi bersama, baru kemudian membentuk budayanya. Tatanan nilai, kejelasan visi, sekarang yang harus dibangun. Dalam perusahaan merger, masingmasing dari pemimpin menganggap dirinya yang terbaik. Empat perusahaan menjadi satu, mereka punya pemimpin sendirisendiri. Waktu bersatu, salah satu ada yang ditunjuk menjadi pimpinan baru. Bisa saja datangnya dari perusahaan lama. Tapi harus ada kesepakatan bersama. Jadi tidak bisa lagi melihat dari yang lama. Bagaimana dengan benturan-benturan, dan cara mengatasinya? Ini harus ada komitmen karena tantangan awalnya sangat besar. Biasanya konsultan masuk untuk memfasilitasinya. Misalnya, nilainilai diambail dari yang terbaik di perusahaan sebelumnya. Tapi tetap harus ada kesepakatan, ini baiknya dimana, itu baiknya dimana. Kita bangun perusahaan yang baru, dengan prinsip yang seperti ini, visi dan misi seperti ini. Kalau mereka tidak sesuai, secara alami mereka akan ke luar. Pembentukan budaya korporat , seperti menggulung benang. Kalau benangnya belum selesai digulung dan lepas, kita harus gulung lagi. Artinya, ini membutuhkan waktu yang cukup panjang, karena akan berpengaruh pada investasi perusahaan dan keberadaan perusahaan 10 tahun - 20 tahun mendatang. Biasanya yang jadi ukuran adalah sejauh mana kesenjangan atau gap antara budaya yang ingin dibangun dengan budaya yang berlangsung sekarang. Kalau gapnya sangat besar, maka pembentukan budaya memakan waktu yang lebih panjang. Upaya-upaya yang dilakukan juga lebih kencang. Soal biaya, bisa diatur. Tidak harus dalam konteks uang semata-mata, tapi memang biayanya sangat besar, dalam arti komitmen, asset, modal. Proses komunikasi juga bisa membantu secara efektif. Apakah mediamedia komunikasi juga berperan, baik media elektronik, poster-poster dan sebagainya. Bisa pula dalam bentuk training, workshop 20 | HumanCapital | Nomor 03 | Tahun 2004 | H C T r e n d E S O P MENGGIURKAN TETAPI TIDAK SELALU MENARIK Beberapa perusahaan publik Indonesia sudah menerapkan ESOP (Employee Stock Ownership Program/Plan) sebagai satu cara untuk mengapresiasi manajer dan eksekutif. Program ini ternyata cukup efektif menahan larinya para eksekutif handal. Sayangnya, ESOP jadi tidak menarik karena harga saham perusahaan yang turun terus dan cenderung kurang bernilai. J ack Welch, pemimpin bisnis legendaries dari GE, sebentar lagi akan betul-betul menikmati buah dari kehebatan dia sebagai seorang eksekutif terkemuka di dunia. Bapak program Six Sigma itu kini telah mundur dari jabatan CEO & Chairman GE. Itu berarti, dia akan bisa menjual jutaan lembar saham GE yang berhasil didapatnya dari program ESOP GE karena memasuki pensiun. Saham-saham itu menurut ketentuan, memang baru bisa dijual (exercise) setelah seorang pimpinan memasuki usia pensiun. Setiap tahun, Welch memperoleh gaji dan bonus tunai jutaan dolar. Di luar itu, ia mendapatkan pula bonus saham dari GE. Jumlah saham bonus itu sekitar 150.000200.000 lembar per tahun. Bila dikalikan dengan harga saham GE, nilai saham bonus itu mencapai ratusan ribu dolar setahun. Menilik kinerja bisnis GE yang begitu cemerlang selama ia menjabat Chairman dan CEO GE, hampir setiap tahun ia mendapatkan saham bonus. Kalau ditotal, Welch dan banyak mantan CEO perusahaan transnasional lainnya memperoleh saham bonus bernilai jutaan dolar. Mereka mendapatkannya karena murni berkerja sebagai professional dan berhasil memimpin perusahaan meraih banyak kemajuan. Di luar saham bonus tersebut, mereka juga mendapatkan kompensasi dan benefit bernilai besar lainnya. Bagi kebanyakan karyawan, apa yang diraih oleh para eksekutif puncak itu seperti tidak adil. Sudahlah berpendapatan besar, bonus yang diperoleh eksekutif perusahaan terkemuka juga sangat besar. Bandingkan, misalnya, dengan apa yang mereka peroleh, baik gaji maupun bonus kinerja. Tetapi, beban tanggung jawab para eksekutif itu juga tak kalah besar. Di tangan mereka ditumpukan kemampuan perusahaan meraih kinerja tinggi untuk kepentingan seluruh stakeholders. Mereka mempertaruhkan track record dan nama besar dalam menjalankan tugasnya sebagai CEO. Dipelopori Amerika, penerapan ESOP meluas ke daratan Eropa dan Asia, termasuk di Indonesia. Bedanya, di banyak negara maju, ESOP diterapkan untuk menghargai sekaligus memotivasi figur pimpinan perusahaan untuk bekerja secara optimal dan loyal terhadap perusahaan. Saham bonus hanya bisa dijual ketika si eksekutif pensiun. Di sini yang ditonjolkan adalah mendorong eksekutif menjadi pemilik sehingga benar-benar menjalankan perannya secara optimal. “While there are many reasons American companies have flourished over the last two decades, it’s no coincidence that the boom has come in the wake of the shift in executive pay from cash to equity,” tulis Brian Hall dalam salah satu edisi Harvard Business Review. Pernyataan Brian Hall ini makin menegaskan kesahihan studi intensif Watson Wyatt selama 10 tahun yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan sangat kuat antara kepemilikan saham oleh CEO dan perubahan remunerasi CEO terhadap kinerja perusahaan. Fakta-fakta berikut menunjukkan korelasi yang kuat antara kepemilikan saham untuk level senior dan kinerja perusahaan, hasil riset Watson Wyatt: z Total imbal investasi terhadap pemegang saham yang setahunkan dalam periode 5 tahun (1994-1999) pada perusahaan di mana CEO-nya memiliki saham yang signifikan 3 kali besar. Kenyataannya, CEO perusahaan dengan kinerja tinggi memiliki saham 40% lebih banyak daripada perusahaan dengan kinerja rendah. Temuan ini mudah-mudahan masih tetap berlaku pasca skandal pembukuan akuntansi yang dilaku- 21 | HumanCapital | Nomor 03 | Tahun 2004 | H C T r e n PELUANG BISNIS DI BALIK ESOP Berdasarkan potensi dan keahlian yang dimiliki, Trimegah justru melihat peluang bisnis yang menarik dari ESOP. Kekuatan Trimegah di back office (semuanya scriptless) jelas sebuah keunggulan yang bisa ditawarkan kepada perusahaan lain. Jadi, bukan hanya melayani eksekusi jual-beli saham ESOP, yang memang menjadi aktivitas seharihari perusahaan efek. Administrasi ESOP, kata Project Manager ESOP Trimegah Deti kepada KAPITAL, tidaklah sederhana. Ia membutuhkan infrastruktur, sistem, dan SDM yang ahli. “Kami punya semuanya,” lanjutnya. Sukses menggandeng Grup Astra, Trimegah kini mampu menangani program ESOP mulai dari kegiatan advisori, menyusun programnya, hingga program komunikasi/ sosialisasi ESOP kepada karyawan dan menangani transaksi bagi yang mau menjual. “Komunikasi/sosialisasi ESOP kepada karyawan sangat penting,” ujarnya. Alasannya, tidak semua karyawan mengerti seluk-beluk pasar modal. Tidak tertutup kemungkinan ada karyawan yang beranggapan investasi saham itu judi. Maka, kepada karyawan perlu dijelaskan aturan pasar modal dan hak/kewajiban karyawan sebagai pemilik. Juga cara meraih harga terbaik bila mereka ingin menjual sahamnya. Keseriusan Trimegah terlihat dari dibentuknya bagian khusus untuk mengelola ESOP. “Jumlah administratornya ada 4 orang,” kata Jusanto, Administrator ESOP Trimegah. Pengelolaannya dipisahkan dengan nasabah regular Trimegah. Lengkap dengan prosedur pengelolaan standar yang khusus. “Kami ingin memberikan kenyamanan dan keamanan bertransaksi,” tambah Deti. Misalnya jangan sampai yang tidak berhak bisa memanfaatkan opsi saham. Di luar administrator, Trimegah memiliki beberapa account officer (AO) yang khusus menangani transaksi ESOP di bagian ekuiti. Mereka tidak boleh menangani transaksi regular atau non-ESOP. Kini, Trimegah mengelola belasan klien ESOP. Sayang Trimegah menolak mengungkapkan nama-namanya. Menurut sumber lain, BCA juga menjadi salah satu nasabah Trimegah. Mahalkah fee yang harus dibayar kepada Trimegah? “Tidak juga,” sergah Deti dan Jusanto. Biaya tersebut sangat tergantung kepada seberapa jauh Trimegah dilibatkan untuk menyusun dan mengelola ESOP. Juga berapa banyak karyawan yang menerima ESOP. Biayanya berkisar dari puluhan juta hingga beberapa ratus juta rupiah. Dengan biaya tersebut, emiten tinggal menjelaskan ESOP yang dimaui, Selanjutnya Trimegah akan menyiapkan semuanya. Sedangkan biaya transaksi saham, besarnya standar sesuai praktik jual-beli saham biasa. Uang hasil penjualan saham akan diterima penjual 4 hari setelah transaksi (T plus 4). Kecuali Trimegah, Nikko Securities dan Danareksa Securities juga menggarap pasar ESOP ini kan banyak perusahaan raksasa Amerika dalam beberapa tahun terakhir. z Kepemilikan saham oleh CEO yang besar terhubung dengan kinerja keuangan perusahaan yang superior pada tahun 1999, seperti ditunjukkan oleh Return on Equity (ROE), Return on Investment (ROI), dan sebagainya. Hal itu juga mendorong tumbuhnya budaya kepemilikan di seluruh jajaran perusahaan. Selain pemberian opsi saham kepada eksekutif atau manajemen senior, perusahaan-perusahaan Amerika memperluas pula program ini kepada jajaran di bawahnya. Secara keseluruhan, Amerika mengenal beberapa bentuk opsi saham sebagai berikut: z ESOP (Employee Stock Ownership Plan), yaitu program pemberian opsi saham terkena pajak di Amerika – dalam banyak hal nyaris gratis – kepada karyawan sebagai bagian dari paket pensiun. z ESPP (Employee Stock Purchase Plans), sebuah program bebas pajak di Amerika di mana karyawan bisa membeli saham dengan diskon – biasanya sekitar 15% - dengan memotong gaji. z 401 (k) (sebagai alat penyesuaian saham atau pilihan investasi). Ini adalah sebuah program di mana perusahaan menyediakan sebuah penyesuaian (match) dalam saham perusahaan (biasanya 50% dari gaji 6 bulan pertama) yang diberikan kepada karyawan. Perusahaan bisa juga menawarkan saham perusahaan sebagai salah satu alternatif investasi. z BSOG (Broad-based Stock Option Grants), sebuah perluasan program opsi saham terhadap level manajemen yang lebih rendah. Riset Strategic Rewards dari Watson Wyatt menjelaskan manfaat pemberian opsi saham, hasil survei terhadap perusahaanperusahaan di Amerika: z Sebanyak 51% karyawan berprestasi tinggi mengatakan opsi saham merupakan alat rekrutmen yang paling efektif. z Sebanyak 51% karyawan berprestasi tinggi menegaskan opsi saham merupakan alat retensi yang sangat efektif. z Dari keseluruhan sistem remunerasi tunai yang diberikan perusahaan, komponen yang pertumbuhan penggunaan tertinggi dari 1999 ke 2000 adalah pemberian saham: dari 40% menjadi 48%. Di negara kita, menurut Julius Aslan, Chief HRD dan David Iskandar, Head of SOP, Accounting & Tax Division PT Astra International Tbk., konsep ESOP yang diterapkan lebih kepada opsi saham (Stock Option Program), termasuk yang dilaksanakan oleh Grup Astra. “Kami telah diminta untuk mengevaluasi program opsi saham yang telah dijalankan dan memberikan usulan pe- Yulius Aslan, Chief HR Astra MENGUPAS ESOP BANK NIAGA Sebagai salah satu bank terkuat dalam kualitas manajemen, Bank Niaga serius menerapkan ESOP. Program ini tadinya sudah diusulkan sejak 2001, namun pelaksanaannya ditunda karena situasi fluktuasi harga saham yang kurang mendukung di Pasar Modal. Saat RUPSLB Desember 2003, manajemen mengusulkan kembali implementasi ESOP dan disetujui oleh pemegang saham. Karena sudah mempersiapkan diri sejak lama, persiapan implementasi ESOP tidak membutuhkan waktu yang lama. Periode ESOP Bank Niaga, menurut Direktur Bank Niaga C. Heru Budiargo, berlangsung selama 4 tahun, yang dimulai pada tanggal 1 April 2004 dan berakhir pada 31 Maret 2008. Pelaksanaan opsi dimulai pada 1 Juli 2004, setelah melewati periode tunggu (vesting period) selama 3 bulan (1 April-30 Juni 2004). Berikut adalah rincian pelaksanaan ESOP yang dilakukan dalam 4 periode pelaksanaan: PERIODE 1. Periode Pelaksanaan I (maksimal 30% dari total opsi) 2. Periode Pelaksanaan II (maksimal 30% dari total opsi + sisa opsi dari Pelaksanaan I) 3. Periode Pelaksanaan III (maksimal 40% dari total opsi + sisa opsi dari Pelaksanaan I dan II) 4. Periode Pelaksanaan IV (pelaksanaan seluruh sisa opsi yang belum dilaksanakan) WAKTU 1 Juli 2004-30 Juni 2005 1 Juli 2005-30 Juni 2006 1 Juli 2006-30 Juni 2007 1 Juli 2007-31 Maret 2008 Saham yang dibagikan melalui ESOP merupakan saham baru yang diterbitkan Perseroan, seluruhnya berjumlah 3.912.303.359 lembar (hampir 4 miliar lembar saham) atau merupakan 5% dari jumlah seluruh saham yang telah ditempatkan dan disetor penuh Perseroan. Dari seluruh saham baru yang diterbitkan itu, sejumlah 85% akan dibagikan pada saat option grant 1 April 2004 kepada karyawan, sesuai dengan penetapan distribusi masing-masing karyawan. Sedangkan 15% di antaranya dicadangkan untuk kegunaan sebagai berikut: (1) Pembagian kepada karyawan yang akan berhak atas opsi pada saat periode pelaksanaan telah berjalan; (2) Tambahan opsi bagi karyawan yang dipromosikan; (3) Tambahan opsi bagi karyawan berprestasi. “Distribusi opsi ditetapkan berdasarkan jenjang kepangkatan dan prestasi kerja karyawan,” ungkap C. Heru Budiargo. Karyawan yang ditetapkan sebagai partisipan ESOP adalah karyawan tetap (seluruh level) dengan masa kerja minimum 3 tahun dan karyawan special hire dengan level middle officer ke atas (tanpa memperhatikan masa kerja yang bersangkutan). Saham tersebut ditebus dengan harga penebusan (exercise price) atau disebut juga harga pelaksanaan (strike price) sebesar Rp 32,40 per lembar saham. Harga tersebut berdasarkan rata-rata harga penutupan Saham Perseroan yang dicatat dan dilaporkan secara formal oleh BEJ, selama kurun waktu 25 hari kerja Bursa berturut-turut di pasar reguler sebelum dilakukannya pengumuman mengenai akan diadakannya pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Perseroan yang mengagendakan Penambahan Modal Tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dulu. Atau dengan perkataan lain mulai tanggal 14 Oktober 2003 hingga 17 November 2003. Karyawan yang ingin menebus opsinya menjadi saham harus menyetorkan dana sesuai dengan jumlah opsi yang ingin ditebusnya dikalikan dengan harga penebusan ke rekening penampung yang telah disediakan Bank Niaga. Selain dengan mekanisme itu, lanjut C. Heru Budiargo, Bank Niaga juga mempersiapkan metode khusus di mana karyawan tidak perlu mengeluarkan uang pribadi untuk menebus opsi sahamnya, yaitu melalui kerjasama dengan perusahaan sekuritas. Yang pasti, ESOP bukanlah gratis. Seperti dikatakan C. Heru Budiargo, ESOP merupakan bentuk penghargaan dengan pengeluaran biaya minimal oleh perusahaan 22 | HumanCapital | Nomor 03 | Tahun 2004 | nyempurnaannya. Ada beberapa alternatif konsep yang sudah diajukan, namun sampai sekarang Astra belum memutuskan mana yang akan dipilih,” kata Julius. David mengakui, salah satu pilihan yang mereka usulkan adalah penerapan ESOP yang sesungguhnya seperti di Amerika. Pola, tujuan, dan dampak program ini tentu berbeda dengan program opsi saham. “Program seperti ini lebih berjangka panjang sifatnya,” tambahnya. S AAT INI, PT Astra International Tbk. (AI) dan 4 anak perusahaannya (seluruhnya perusahaan publik: PT Astra Agro Lestari, PT United Tractors, dan PT Astra Otoparts) masih menerapkan ESOP pola opsi saham. Mereka merupakan perusahaan publik pertama yang menerapkan program opsi saham di Indonesia yaitu tanggal 19 Mei 1999. Tanggal tersebut merupakan pemberlakuan program opsi saham di sejumlah perusahaan Astra (sering juga disebut dengan Grant Date). Menurut Robby Sani, Senior General Manager/Chief Corporate Legal AI, opsi saham diterapkan setelah ada masukan dari Presiden Direktur AI waktu itu Rini MS Soewandi untuk mencari pola agar karyawan terbaik mau bertahan di Astra sekaligus memberikan apresiasi bagi mereka yang mau bertahan. Sebab, kondisi AI ketika itu tidak begitu jelas karena terpukul krisis ekonomi dan AI tidak memiliki kemampuan dana, insentif dan bonus untuk mencegah karyawan terbaik ke luar. Kegundahan karyawan AI cukup beralasan. Jangankan kenaikan gaji, gaji karyawan malah dipotong. Pada bulan Oktober 1998, AI melakukan PHK terhadap 5.000 karyawan tetap dan 20.000 karyawan kontrak dari sekitar 100.000 karyawan Grup Astra. Perasaan tidak enak dan khawatir menghinggapi pula karyawan yang tidak diPHK. Banyak karyawan terbaik ke luar meninggalkan Astra. “Kalau ini dibiarkan, nasib Astra bisa tidak jelas,” tutur Julius. Sebagai jalan ke luar, AI menerapkan program opsi saham yang diberikan kepada golongan VI dan VII, yaitu level GM ke atas. Program opsi saham pertama ini (disebut juga Grant I) diberikan kepada 266 orang level GM ke atas. Tidak semua GM ke atas berhak menerima opsi saham dengan berbagai alasan. Jumlah keseluruhan GM ke atas di Grup Astra sekitar 350-an orang. “Keputusan hanya GM ke atas yang berhak menerima opsi saham pertama karena perhitungannya cukup rumit,” tegas Aminudin, Senior VP/Corporate Secretary AI. Selain itu, manajemen SDM untuk level GM ke atas di Grup Astra dikelola secara terpusat di AI. Sedangkan Golongan V (manajerial) dan IV (staf) dikelola di level grup usaha. Manajemen SDM untuk level I-III diserahkan kepada masing-masing perusahaan. Untuk menyusun program opsi saham, AI meminta bantuan konsultan SDM Watson Wyatt. Disusunlah rumusan lengkap penentuan jatah saham bonus setelah dibagi dengan harga penebusan program opsi saham (harga exercise) – harga ratarata saham selama 20 hari kerja sebelum Grant Date (rumusan ini dirubah oleh ketentuan Bapepam tahun 2000 menjadi 25 hari kerja sebelum Grant Date). Harga exercise itu adalah Rp 1.880. Sayang pihak Astra menolak menyebutkan jumlah lembar saham yang diperoleh individu pada saat Grant I ini. Penjualan saham bonus ini belum diatur, sehingga si penerima berhak menjual kapanpun. Saham-saham yang diberikan itu tidak bisa diperjual-belikan dalam tempo setahun setelah Grand Date (disebut juga vesting period). Pada tahun 2000, AI kembali meluncurkan program opsi saham (Grant) II, yaitu untuk golongan V ke atas (VI-VII yang belum kebagian Grant I). Rumus penghitungan jatah saham dibuat berbeda. Program Grant II ini diberikan untuk 2.000-an karyawan dengan harga exercise Rp 3.300. Sebenarnya harga itu sangat mahal waktu itu, karena kemudian saham Astra ditutup pada level Rp 2.400-an tahun 2000. Siapa sangka kemudian, harga saham naik ke level Rp 4.000-an saat ini. Artinya, marjin keuntungan harga (gain) yang diperoleh penerima opsi saham II mencapai Rp 700 lebih per saham. Gain yang diperoleh jauh lebih besar bagi penerima opsi saham I, sekitar Rp 2.200 per lembar. Tinggal dikalikan saja dengan jumlah lembar saham bonus yang mereka terima. Sebagai misal, golongan VA minimal mendapatkan 27.000 lembar saham dan golongan VD mencapai 45.000 lembar pada Grant II. Berbeda dengan Grant I, pada Grant II waktu penjualan saham diatur dengan vesting period: 50% saham boleh dijual tahun I, sisanya pada tahun kedua. AI mengalokasikan 3% dari total saham perseroan (70 juta lembar) untuk program opsi saham I dan II, yang masing-masing terbagi 32 juta lembar dan 37 juta lembar lebih. Jumlah saham ini memang belum seperti ketentuan Bapepam yang mengharuskan perusahaan publik memberikan opsi saham sebesar 5% dalam jangka waktu paling lambat 3 tahun. Pembagian sisa 2% saham bonus masih dikaji oleh pihak AI. “Kami belum memutuskan apakah memperluas program ini ke golongan I hingga III atau juga membagikannya kepada mereka yang sudah pernah menerima. Sebab, karyawan yang sudah merasakan manfaat program ini meminta untuk mengadakan lagi program serupa,” ucap Robby. Administrasi opsi saham Astra dikelola oleh Administrator ESOP AI Shinta Permanasari yang merupakan bagian dari Divisi SDM AI. Ia dibantu oleh 2 orang staf. Meski ESOP, TAK LAGI SEMANIS NAMANYA? Manfaat program opsi saham jelas sangat banyak. Meski sangat merekomendasikan penerapan program opsi saham, pakar manajemen SDM Bruce N. Pfau dan Ira T. Kay – penulis buku terkenal The Human Capital Edge – juga mengakui adanya kontroversi dan tantangan terhadap program opsi saham. Sebagai sumberdaya yang langka, baik human capital maupun financial capital, pemanfaatan optimum dan alokasi opsi saham oleh dewan direksi perusahaan menjadi kebutuhan absolut. Sedikitnya terdapat 2 efek negatif yang perlu dipahami tentang opsi saham, yaitu (1) Efek insentif (Insentive Effect), dan (2) Efek dilusi/gonjang-ganjing (Dilution/Volatility Effect). Efek insentif terjadi karena opsi saham memotivasi karyawan untuk menghasilkan kinerja finansial superior sehingga menimbulkan tekanan ke atas terhadap harga saham. Efek dilusi timbul karena opsi saham mengindikasikan potensi penerbitan saham di masa depan sehingga menciptakan dilusi dan memberikan tekanan ke bawah terhadap harga saham. Menurut kedua pakar itu, seberapa besar dampak pemberian opsi saham itu terhadap nilai perusahaan tergantung banyak faktor, termasuk seberapa besar jumlah saham yang dibagikan, kondisi Bursa Saham, kinerja perusahaan, kultur perusahaan, dan level kepemilikan saham perusahaan. Lantas, bagaimana sebetulnya pandangan terbaru karyawan perusahaan di Amerika terhadap program opsi saham? Sebuah studi oleh Sibson Consulting, sebuah divisi dari Segal Co. yang berbasis di New York, menyimpulkan bahwa opsi dan pemberian saham berdampak positif terhadap kultur perusahaan, namun hanya berdampak kecil terhadap motivasi dan kinerja karyawan. Temuan ini tentu saja sangat mengejutkan karena selama ini program seperti ini diyakini berdampak besar terhadap motivasi dan kinerja karyawan. Studi itu menyebutkan, pandangan karyawan terhadap manfaat program opsi saham sedikit bervariasi dibandingkan beberapa tahun yang lalu – terlepas dari turun-naiknya Bursa Saham utama. Barangkali, lanjut studi tersebut, manfaat terbesar opsi saham adalah meningkatkan daya tarik seseorang untuk bekerja pada sebuah organisasi. Hasil studi Sibson Consulting, agaknya, tak jauh berbeda dengan pendapat Bill Leonard dalam HR News. Bursa Saham yang melemah dan serangkaian skandal akuntansi korporasi telah mengubah secara dramatis cara perusahaan dalam memberikan opsi saham kepada para karyawannya. Dua survei yang diluncurkan Desember lalu juga mendapatkan kesimpulan serupa, yaitu menurunnya jumlah karyawan yang menerima atau berhak memperoleh opsi saham. Penurunan porsi opsi saham ini dalam paket kompensasi terutama didorong oleh perhatian eksternal terhadap perubahan yang diusulkan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan (the Financial Accounting Standards Board). Persepsi pemegang saham juga menjadi faktor lain yang menyebabkan penurunan porsi tersebut. Beberapa perkembangan terbaru menyebabkan perusahaan meninggalkan opsi saham berbasis luas dan hanya membatasi pemberian opsi kepada eksekutif-eksekutif puncak. Para pakar berharap, penerapan program saham terbatas dan metode kompensasi berdasarkan kinerja lainnya akan mendapatkan popularitas dalam beberapa tahun ke depan. Studi opsi saham oleh Sibson dan WorldatWork menemukan pemberian opsi saham berkurang dalam nilai 30% lebih untuk karyawan level lebih rendah dibandingkan dengan karyawan level yang lebih tinggi. Selain lebih sedikit jumlahnya, pemberian opsi terhadap karyawan lebih rendah juga kurang bernilai. Pada saat survei dilakukan, 90% perusahaan yang disurvei melaporkan sebagian besar opsi saham yang dimiliki karyawan memiliki nilai yang kecil atau bahkan tidak bernilai sama sekali karena besarnya gap antara harga penebusan dengan harga saham di pasar. Konsekuensinya, desain insentif jangka panjang akan berubah dan cenderung makin konservatif. Perusahaan diperkirakan akan segera mengubah program insentif jangka panjang. Dalam CFO Outlook, sebuah survei terhadap hampir 240 Chief Financial Officer yang diluncurkan 17 Desember 2003 oleh Financial Executives International dan Fuqua School of Business (Duke University), 13% responden melaporkan bahwa organisasi mereka akan menghapuskan program opsi saham tahun 2004. Sebanyak 60% responden berencana mengurangi kompensasi opsi saham dalam 12 bulan ke depan. “Penggunaan opsi saham sebagai bagian dari remunerasi dan perlakuan akuntansi terhadapnya telah menjadi perdebatan luas dalam berita media, oleh regulator dan legislator, serta dalam ruang eksekutif perusahaan,” ucap John Graham, professor bidang keuangan dari Fuqua School of Business. “Survei kami mendapatkan kenyataan bahwa perdebatan kini bergerak menuju aksi, dan perubahan tahun 2004 di antara perusahaan publik bisa sangat dramatis,” tambahnya. Rupanya, kinerja Bursa Saham yang sangat payah dan merebaknya skandal korporasi telah menghancurkan “reputasi” hebat program opsi saham yang selama ini sering didengung-dengungkan. Akankah program opsi saham yang mulai digalakkan di Indonesia harus dihentikan dengan adanya tren di Amerika itu? Jawabannya, tentu saja tidak. Situasi di Indonesia saat ini tidaklah sama dengan Amerika. Kinerja saham perusahaan publik tidak semuanya jeblok dan skandal keuangan tidak terlalu menggejala. Perusahaan-perusahaan dengan kinerja saham yang bagus selayaknya mempercepat pelaksanaan program opsi saham. Tentu dengan menyempurnakan implementasinya, antara lain, dengan bercermin dari kejadian di Amerika itu 23 | HumanCapital | Nomor 03 | Tahun 2004 | Rudjito. Direktur Utama Bank BRI anak perusahaan Astra memiliki program opsi saham sendiri-sendiri, untuk efisiensi, mereka menyerahkan pengelolaan administrasi opsi saham kepada AI. Tentu dengan sedikit biaya untuk teknologi informasi (server dan software), sistem dan SDM yang terlibat. “Kami memakai software Lotus Notes,” urai Julius. AI menggunakan jasa PT Trimegah Securities Tbk. untuk membantu administrasi konversi opsi saham menjadi saham, di samping eksekusi penjualan saham bonus tersebut. Setiap karyawan yang berhak harus memiliki rekening di Trimegah lengkap dengan data saham mereka. Sebelum seorang karyawan menjual sahamnya, ia terlebih dulu melapor ke administrator ESOP Astra. Tujuannya untuk mengetahui apakah saham tersebut sudah boleh dijual dan berapa jatah saham bonusnya. Kemudian, administrator ESOP menerbitkan instruksi kepada Trimegah. “Soal harga jual, karyawan tinggal berhubungan langsung dengan Trimegah,” tukas David. S EBAGAI perusahaan publik, Trimegah menerapkan opsi saham sejak perusahaan go public tahun 2000. “Kami alokasikan 5% saham selama 3 tahun untuk ESOP,” ujar Avi Dwipayana, Presiden Direktur PT Trimegah Securities Tbk. Hal ini sesuai dengan ketentuan Bapepam. ESOP, menurut Avi, menyangkut hubungan antara emiten dengan karyawannya. Tujuan ESOP pada dasarnya ada dua hal: memberi akses kepada karyawan menjadi pemilik dan memberikan kompensasi yang bentuknya bukan tunai. Penerapan program opsi saham di perusahaan publik Indonesia mendapatkan momentum ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi sejak Juli 1997. Krisis ekonomi telah membuat banyak perusahaan publik menghadapi berbagai masalah. AI, contohnya, menghadapi masalah keuangan karena ada kewajiban sekitar Rp 4,8 triliun yang harus diselesaikan. Ada perampingan karyawan dan pemotongan gaji bagi yang tinggal sehingga banyak yang berpikiran lebih baik ke luar saja. “Namun sekarang mereka kembali lagi ke Astra,” kata David. PT Bimantara Citra Tbk. menghadapi masalah yang lebih kompleks akibat kede- katan hubungan pemilik utamanya dengan Orde Baru, yang di awal proses reformasi menjadi bulan-bulanan kritik publik. Karyawan mereka merasa tidak aman, khawatir, dan inferior. Agar tidak terjadi eksodus, Bimantara membuat program ESOP. Selain itu, banyak perusahaan publik yang kemudian menerapkan program opsi saham ini karena memenuhi ketentuan Bapepam maupun karena menyadari betapa pentingnya program ini untuk kepentingan perusahaan. Bank Rakyat Indonesia (BRI) Tbk., misalnya, menjadi salah satu contoh BUMN yang sukses menerapkan program opsi saham ini saat melakukan IPO (Initial Public Offering) tahun lalu. Program opsi saham itu, menurut Direktur Utama Bank BRI Rudjito, terbagi dua, yaitu program opsi saham untuk seluruh karyawan (ESOP) dan program khusus untuk manajemen (MSOP). Program opsi saham untuk karyawan tersedia dalam 2 bentuk pilihan. Pertama, pembelian saham sebagai bentuk bonus tahunan karyawan. Saham kategori ini tidak boleh dijual (lock up) selama 6 bulan. Jumlah saham yang didapatkan oleh setiap karyawan ditentukan oleh kinerja masing-masing karyawan. Kedua, pembelian tunai oleh karyawan dengan diskon 3% (disubsidi perusahaan sebesar 3%). Saham ini boleh langsung diperjual-belikan begitu saham Bank BRI dicatatkan di Bursa Efek. Sementara, pola MSOP mirip kategori pertama C. Heru Budiargo. Direktur Bank Niaga namun dikhususkan untuk jajaran manajemen. Total saham yang dibagikan kepada karyawan (kategori pertama) dan MSOP sebanyak 5%. Meski jumlah saham yang bisa diperoleh karyawan relatif kecil dibandingkan total saham perusahaan, tetapi hasil investasinya sangat menarik. Bayangkan, harga saham saat pembelian hanya sekitar Rp 800 per lembar, dan kini harga saham Bank BRI sudah di atas Rp 1.400 per lembar. Rudjito bahkan optimistis harga saham itu bisa lebih naik lagi karena saat ini komposisi kepemilikan saham publik Bank BRI dikuasai 70% oleh investor asing. “Saat IPO, komposisi investor domestik sedikit lebih besar daripada investor asing. Sekarang, investor asing sangat bullish dengan saham Bank BRI,’ ujarnya. Bank BRI, dan juga Bank Mandiri, adalah contoh dari BUMN yang didivestasi dengan menerapkan pula program opsi saham. Beberapa BUMN lainnya, seperti Telkom dan Indosat, diperkirakan segera menyusul. Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi telah mengisyaratkan penerapan program opsi saham ini dalam setiap IPO BUMN. Saat mendengar adanya penolakan karyawan Bank BNI untuk didivestasi, Laks berkomentar: “Jika karyawan Bank BNI ingin merasakan manfaat dari pemberian opsi saham pada Bank Mandiri dan Bank BRI, tak ada alasan mereka untuk menolak (divestasi, red),” ujarnya. Oleh karena itu, rencana pemberian opsi saham diyakini juga untuk meredam suara karyawan BUMN. Bank Niaga termasuk salah satu perusahaan publik yang kini mulai melaksanakan program ESOP. Periode program, menurut Direktur Bank Niaga C. Heru Budiargo, adalah selama 4 tahun, yang akan dimulai pada 1 April 2004 dan berakhir pada 31 Maret 2008. Pelaksanaan opsi, lanjutnya, dimulai 1 Juli 2004 setelah melewati periode tunggu (vesting period) selama 3 bulan (1 April-30 Juni 2004). Sedikitnya ada 3 tujuan implementasi ESOP di Bank Niaga. Pertama, memberikan kesempatan kepada karyawan untuk memiliki saham Perseroan, guna lebih meningkatkan rasa memiliki karyawan, sehingga diharapkan produktivitas dan kinerja Perseroan lebih optimal. Kedua, meningkatkan motivasi dan penghargaan kepada karyawan Perseroan dalam rangka meningkatkan kinerja dan pencapaian tujuan usaha Perseroan. Ketiga, merupakan salah satu bentuk insentif dalam rangka memperoleh dan mempertahankan SDM yang berdedikasi, terampil, dan profesional. (Lihat: “Mengupas ESOP Bank Niaga”). Berbeda dengan beberapa perusahaan publik yang berupaya menerapkan program opsi saham, PT Medco Energi Tbk. justru menunda rencana implementasi program opsi saham. “Kami menunda pelaksanaan program opsi saham hingga waktu yang tepat,” ungkap CEO Medco Hilmi Panigoro. Kabarnya, penundaan tersebut terkait dengan belum siapnya Medco mengantisipasi kompleksitas yang ditimbulkannya. A PA PUN, ESOP jelas sangat positif bagi upaya mendapatkan dan mempertahankan karyawan terbaik. Hanya saja, efektivitas program sangat tergantung kepada kinerja saham - sekaligus kinerja usaha - perusahaan. ESOP akan tidak menarik bagi karyawan kalau harga saham perusahaan cenderung tidak berarti dan turun terus di bawah harga exercise. Menarik jika memperhatikan harga exercise Grant I AI yang hanya Rp 1.800-an (kini sudah Rp 4.000 per lembar), BCA dengan harga exercise Rp 800-an (kini Rp 2.000-an), atau Bank BRI seperti di atas. Keuntungan yang diperoleh penerima program jelas sangat lumayan. Perusahaan-perusahaan perlu pula memikirkan agar program opsi saham ini benar-benar efektif sebagai alat retensi dan apresiasi karyawan terbaik dalam jangka panjang (kalau perlu sebagai bagian dari paket pensiun seperti yang terjadi di Amerika). Jangan sampai, program ini hanya menjadi insentif jangka pendek seperti yang kini terjadi. Begitu periode lock up berakhir, karyawan penerima saham langsung menjualnya begitu harga saham perusahaan di pasar melonjak. Hingga kini dari 300 lebih emiten di Bursa Efek Jakarta, yang sudah menerapkan ESOP diperkirakan masih kurang dari 20% saja. Bila dikelola secara benar, program ESOP memiliki dampak yang besar bagi peningkatkan kinerja perusahaan. Bukan tidak mungkin, kelak, ada direktur yang mewakili pemegang saham ESOP seperti yang terjadi di airline terbesar Amerika United Airline (UAL) – dan tahun lalu melaporkan kerugian terbesar dalam industri airline US$2,2 miliar termasuk karena kehilangan 2 pesawat akibat peristiwa September 2001. Berdasarkan paket ESOP UAL yang disusun 1994, grup mekanik dan grup pilot masing-masing memiliki 1 kursi di dewan direksi. Secara total, karyawan memiliki 55% saham UAL. Anehnya, hubungan perburuhan di UAL sejak lama dikenal sebagai yang paling buruk. Hubungan itu kini berusaha diperbaiki John W. Creighton, Direktur perusahaan induk UAL yang berasal dari karyawan UAL. Sebagai mantan karyawan, Creighton dianggap lebih bisa memahami aspirasi karyawan. Inilah nilai lebih lainnya dari ESOP 24 | HumanCapital | Nomor 03 | Tahun 2004 | K o l e g a Judhi Kristantini Mengalir Seperti Air ... I bu dari dua anak, Gita dan Vito, ini mengelak ketika ia disebut multi talent. Padahal ketika berbincang dengan HC terungkap banyak kemahiran yang ia miliki bahkan tanpa belajar formal. Direktur Daya Dimensi Indonesia, salah satu perusahaan konsultan Human Resource terkemuka di Indonesia, ini lebih percaya bahwa hidupnya mengalir begitu saja. “Tentu saja saya punya keinginan-keinginan yang sering saya ucapkan pada diri sendiri. Selebihnya saya berusaha menikmati apapun yang saya kerjakan, melakukannya sesuai kemampuan dan mengikuti saja perkembangannya…,” demikian Judhi yang lahir bertepatan dengan hari peringatan kemerdekaan Amerika Serikat 37 tahun silam ini mengungkapkan. Sebagai direktur, Judhi kini bertanggungjawab mengepalai Unit Bisnis bidang Teknologi Pengembangan Pelatihan (Learning Development Technology) di perusahaan authorized representative dari DDI World itu.Di samping itu ia juga menjabat Head of Sales. “Awalnya Daya Dimensi Indonesia lebih dikenal dengan jasa selection / assessment yang membantu banyak perusahaan menyeleksi karyawan untuk perekrutan atau kenaikan pangkat melalui berbagai metode test. Namun DDI kemudian mengembangkan bisnis strategic consultancy-nya hingga “saat ini LDT kami adalah salah satu jasa yang sering dimanfaatkan oleh klien. Kami bersyukur didukung oleh DDI World yang sangat kuat riset pengembangan sumber daya manusianya,“ Judhi megatakan. Judhi menuturkan bahwa teknologi yang dimaksud dalam LDT bukanlah hal-hal yang melulu berhubungan dengan IT melainkan pengembangan sumber daya manusia melalui program pelatihan yang menekankan pembentukan perilaku (shaping behaviour).” Enam puluh persen programnya adalah skill practice dan feedback,” ungkap Judhi. “Secara konsep training leadership, misalnya, bukanlah sesuatu yang baru. Namun kami menekankan langkah-langkah konkrit dalam pengembangannya agar menjadi yang terbaik melalui praktek / implementasi yang kemudian juga diukur dan diberi masukan (feedback).” Judhi merasa senang belakangan ini banyak perusahaan Indonesia, baik swasta maupun BUMN, telah menyadari pentingnya merealisasikan pengembangan sumber daya manusia. “Kalau bicara tentang pengembangan sumber daya, sejak dulu juga semua orang sadar pentingnya. Tapi kenyataan bahwa belakangan ini banyak perusahaan sudah tergerak untuk berinvestasi untuk pengembangan sumber daya manusia, merupakan kabar yang sangat menggembirakan,” ungkap Judhi. Sederet nama perusahaan swasta dan BUMN termasuk lembaga pendidikan ada pada daftar kliennya. Belakangan DDI bahkan terlibat sebagai konsultan dalam proses pemilihan Komisi Pemberantasaan Korupsi (KPK), mulai dari membangun blue print organisasinya, hingga ke pemilihan dan pelatihan Jaksa Tindak Pidana Korupsi. “Kami sangat bersyukur berkesempatan bekerjasama dengan berbagai macam organisasi. Dalam project KPK, kami bahkan bekerjasama dengan LSM dan mahasiswa,” ujar Judhi dengan bersemangat. Untuk konsultasi pembntukan KPK, DDI melakukannya dengan sepenuh hati. “Bagaimanapun misi pemberantasan korupsi ini adalah bagian dari social responsibility kami di DDI, baik sebagai organisasi maupun sebagai masing-masing individu, warga negara Indonesia yang menginginkan perekrutan atau promosi jabatan di sebuah BUMN besar di Bandung hingga ia dapat membiayai sendiri kuliah dan hidupnya di sana. Selesai kuliah tahun 1991, Judhi bergabung dengan Bank Universal, menangani rekutmen dan kemudian pengembangan di divisi Human Resource bank yang kemudian merger menjadi Bank Permata ini selama 4 tahun full time dan 1 tahun kontrak. “Saya memilih berhenti dari pekerjaan full time karena ingin mengerjakan hal-hal lain yang tak sempat saya kerjakan ketika terikat pada pekerjaan formal,” ujarnya. Judhi memang banyak menemukan kemajuan dan perbaikan,” Sarjana Psikologi jurusan klinis dari Universitas Padjadjaran ini menambahkan. Ketika ditanyakan mengenai kiatnya berkarier, Judhi tertawa kecil. “Saya paling susah menjawab pertanyaan ini,” katanya, ia lalu terdiam sejenak. “Tapi rasanya memang kita harus mencari pekerjaan yang kita sukai agar tidak menjadi beban,” lanjutnya. Lalu apa lagi Judhi? “Kerjakan saja yang terbaik. Bukan untuk dinilai oleh atasan atau orang lain tetapi yang terbaik menurut kita. Lalu… biarkan dan nikmati saja hidup yang berjalan…” ungkap Judhi. Hidupnya memang lebih banyak mengalir begitu saja. Belum lulus dari pendidikan sarjananya Judhi sudah bekerja paruh waktu sebagai tester untuk psikotest kegiatan yang menyenangkan selepas kerja formal. “Saya bekerja paruh waktu di perusahan yang memberikan pelatihan outbound sebagai program designer dan facilitator. Saya juga mengajar di sebuah institusi pelatihan bank,” tuturnya. Sisanya Judhi di rumah bersama anak-anak. “Pada saat saya ikut-ikutan anak-anak melukis untuk tugas sekolah, saya menemukan saya bisa melukis,” Judhi terbahak. “Saya juga punya waktu membaca dan kemudian mencoba menulis,” ungkap Judhi yang sampai kini sudah mengkontribusikan banyak tulisan untuk DDI. Tahun 1998 Judhi diminta DDI untuk membantu beberapa project dengan menjadi Associate Assesser hingga tahun 2000. Lalu mengapa kembali ke pekerjaan full time Judhi? Ia tersenyum, simple saja, jawabnya. “Ketika sadar pekerjaan paruh waktu juga banyak menyita waktu, kenapa tidak saya kembali sekalian ke dunia kerja penuh. Anak-anak saya sangat mandiri, tak banyak bergantung pada saya. Suami pun tak berkeberatan saya kembali ke dunia kerja. Saya juga mendapat dukungan luar biasa dari pembantu yang sudah lama bekerja dengan saya sehingga bisa meninggalkan rumah dengan lebih tenang. Mungkin terdengar klise, tapi bagi saya ini sesuatu yang sangat saya syukuri, di saat saya ingin berprestasi yang rasanya juga bisa membuat anak-anak saya bangga dan sekaligus mengumpulkan modal buat masa depan mereka, saya dapat melakukannya,” tuturnya. “Ketimbang saya di rumah? Saya gak bisa masak, gak suka beres-beres, kayaknya saya lebih berguna kalau bekerja…,” Judhi tergelak kembali. Satu hal yang juga penting menurut Judhi adalah tempat kerjanya yang sangat mendukung ia mengaktualisasikan diri.”Kami dapat berkembang dan mengeluarkan yang terbaik dari kami dengan dihargai oleh perusahaan,” ujarnya. DDI juga dikenal memiliki hubungan yang sangat dekat dengan klien-kliennya. “Anytime, anywhere we are reachable for clients, bahkan seringkali kami bertemu klien hanya untuk ngobrol dan bercanda…” ungkap Judhi. Tahun 2000 ketika DDI serius membangung strategic consultantnya, Judhi bergabung menjadi senior consultant dengan 3 bulan masa percobaan atas permintaannya sendiri “hanya supaya terbiasa kembali ke dunia kerja penuh.” Tahun 2003 Judhi menjadi direktur LDT, jabatannya hingga kini. Lucunya, walau sejak awal sudah ‘mengancam’ teamnya di DDI agar tidak memintanya berjualan karena merasa tidak berbakat jadi sales, Judhi nyatanya justru tercatat banyak melakukan penjualan. “Saya hanya sharing dan bercerita saja pada klien atau calon klien. Tapi rupanya itu membuat mereka tertarik,” katanya tertawa. Alhasil mulai 2004 Head of Sales jadi jabatannya juga. “Jadi saya punya target untuk Business Unit LDT dan target sales perorangan yang dikenakan untuk semua konsultan. Di atas itu, saya juga punya target penjualan seorganisasi yang berpengaruh pada keuntungan dan bonus akhir tahun,” Judhi terbahak. Jadi tambah beban dong? Judhi tersenyum dan mengatakan ”Ya… seperti biasa, ikuti dan jalani saja dengan lapang dada….” Begitu juga Judhi menyikapi kesedihan yang mendalam saat Ibundanya tercinta menghadap Yang Kuasa. Begitu juga ia menikmati kebahagiaannya saat mendapatkan dua buah hati yang kini lebih sering diperlakukan sebagai sahabat. Judhi pun terus mengalir bagai air sungai ke muara. Entah berapa banyak lagi tepian yang dia lewati dan akan membiaskan warna pada hidupnya. Tapi yang jelas Judhi Kristantini akan terus memberikan yang terbaik di mana pun ia berada 25 | HumanCapital | Nomor 03 | Tahun 2004 | K o l e g a Joris de Fretes Menikmati Kesuksesan Anak Didiknya M elihat anak didiknya sukses, merupakan kebanggaan tersendiri untuk sosok Joris de Fretes. Bapak dua anak ini mengaku tidak mengharapkan lebih dari kesuksesan anak didiknya, meski hanya sekedar ucapan terima kasih. Lulus pendidikan Psikologi Universitas Indonesia tahun 1978, pria pengoleksi perangko dan DVD film ini memulai karir di PT Pupuk Kaltim, Bontang, Kalimantan Timur, sejak tahun 1979 sebagai Recruitment Officer. “Selesai kuliah, ada tawaran yang menarik, makanya saya terima meski harus jauh dari Jakarta,” lontar Joris. Setelah lima tahun bergelut di Bontang, akhirnya ia kembali ke Jakarta dan menerima tawaran di PT Indofood Sukses Makmur mulai tahun 1985 sampai 1991. Kemudian pria kelahiran 22 Agustus 1953 ini melanglang ke beberapa perusahaan seperti PT Gobel Intinusa Corporation dan PT Metrodata Electronics, hingga akhirnya kini terdampar di PT Excelcomindo Pratama, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang komunikasi seluler. “Setiap perusahaan mempunyai tantangan dan pengalaman yang menarik dan berbedabeda mengingat kendala setiap perusahaan pun berbeda-beda,” paparnya. Ini yang membuat Director Human capital Development PT Excelcomindo Pratama ini merasa selalu tertantang dengan berpindah-pindah tempat. Dulu, lanjutnya, ia dan rekan-rekannya menangani para buruh yang jumlahnya ribuan saat bekerja di Indofood. Yang mengesankan Joris, ia tidak melihat adanya keinginan para karyawan Indofood untuk melakukan mogok kerja seperti yang biasa terjadi di beberapa perusahaan lain. “Yang penting, perusahaan harus selalu menjamin karyawannya seperti gaji yang memadai, jaminan-jaminan seperti asuransi kesehatan dan sistem insentif juga harus kita perhatikan,” tutur Joris yang berusaha memperhatikan para karyawan. Menurutnya, personil Human Resource Department (HRD) akan lebih baik jika turun langsung meninjau kondisi dan lokasi pekerjaan karyawan. Sampai ke urusan makanan di kantin, diakui Joris juga harus diperhatikan. “Karyawan juga melihat kalau perusahaan memperhatikan mereka, misalnya kebersihan kantin, makanan yang akan disantap para karyawan dan semacamnya. Dengan begitu, akan tercipta etos kerja yang baik bagi setiap karyawan,” kata Joris menegaskan hal ini. Sementara di Excelcomindo, ia harus menangani sekitar 1500 karyawan dengan latar belakang pendidikan yang berbeda dengan pengalaman sebelumnya. “Meski dunia telekomunikasi berkembang pesat dan selalu berbeda, hal ini jelas tidak mudah,” imbuhnya. Ia mengakui, menangani karyawan dengan latar pendidikan yang tinggi cukup menantang, karena biasanya orang-orang dengan pendidikan tinggi sangat kritis dan membutuhkan informasi yang lengkap tentang kebijakan perusahaan. Tak heran jika Joris lebih suka menerapkan kiat Empowerment, memberikan kebebasan anak buahnya untuk berkreasi. Ia hanya memberikan poin-poin apa saja yang harus dikembangkan. “Mereka cukup senang karena merasa tidak diberi instruksi, perintah dan sebagainya. Kalau ada ide datang saja. Saya yakin mereka punya kreatifitas yang bagus, Jadi biarkan saja, jangan dimatikan,” papar pria yang memiliki 45 anak buah yang sebagian besar adalah sarjana, panjang lebar. Sementara untuk menangani ribuan karyawan Excelcomindo, Joris memaparkan bahwa Excelcomindo menggunakan nama Hu- man Capital Development, untuk unit yang dipimpinnya. Dengan menggunakan nama ini, maka unit ini memusatkan kegiatannya untuk mengiventarisasi dan mengembangkan pengetahuan dan keahlian-keahlian yang ada dalam perusahaan. “Kita tidak lagi bicara besarnya sumber daya manusia yang kita miliki, tetapi kita bicara tentang luasnya keahlian-keahlian yang kita miliki sebagai modal perusahaan.” Dengan cara itu, akan diketahui tingkat keahlian yang ada sehingga bisa melakukan pendekatan pengembangan yang cocok. “Semua karyawan dinilai untuk melihat kompetensinya ada di level mana. Kalau masih lemah, kita latih mereka,” sambungnya lagi. Ada kompetensi yang tidak bisa dilakukan dengan training. Misalnya seperti bagian keuangan. Kompetensi yang diminta adalah integritas, melatih sebuah kejujuran. “Itu tidak bisa melalui training,” tukasnya. Pola training yang selama ini datang ke kelas juga perlahan-lahan diubah dengan cara lain, bisa melalui internet dan baca buku. Juga bisa melalui forum diskusi, dimana seorang karyawan yang punya keahlian, berbicara dalam seminar di depan karyawan lain. “Jadi ada sharing knowledge,” Joris menambahkan. Cuma sayangnya, lanjut Joris, adakala karyawan yang pendidikannya cukup bagus, tapi etos kerjanya kurang. “Ini yang perlu kita bangun,” ujarnya yang mengaku ini menjadi sebuah tantangan menarik. Duapuluh lima tahun sudah ia malang melintang di dunia HRD. Kini, pria yang mengaku sebentar lagi akan pensiun di dunia ini ingin menikmati hasil apa yang sudah ia bangun selama itu. “Mereka bisa jadi manager, itu kebanggaan kita. Bahwa mereka nanti tidak bilang terima kasih, tidak apa-apa,” tuturnya merendah. Sampai kini, sudah puluhan karyawan yang direkrutnya sukses berkarir. Diantaranya, dua orang yang ia rekrut di PT Kaltim Bontang dulu, salah satunya kini menjabat sebagai jadi Presdir di sebuah perusahaan di Surabaya, sedang satunya menjabat Direktur di sebuah pabrik milik pemerintah di Jawa Barat. Joris mempunyai kepercayaan, kalau seseorang bekerja, maka orang itu harus lebih kreatif. “Sekarang banyak anak baru lulus sudah ingin jadi manager. Bagi saya, jangan berpikir jadi manager dulu. Kerja saja dulu,” kata Joris menyayangkan pemikiran tersebut. Buatnya, untuk menjadi seorang yang ahli, seseorang harus kreatif dan selalu kreatif dalam bekerja. Dengan begitu, atasan akan menilai kemampuannya. “Banyak lulusan luar negeri yang berpikiran demikian. Ilmu memang bagus, tapi kematangan yang penting. Itu butuh waktu, kalau tidak jadi, malah frustasi,” tegas pria yang berangan-angan membuka gerai perangko yang akan diisi oleh koleksi perangkonya yang berjumlah ribuan buah, jika ia pensiun kelak intuisi terhadap nilai berita, fokus dan konsisten dalam mengejar berita. Di sisi lain kesabaran diperlukan dalam mencari nara sumber, namun kecepatan dan ketepatan juga dituntut dalam penyajiannya.” katanya. Sejak 1994 Endy mulai difokuskan ke liputan perdagangan.”Tahun 1994 pertama kali saya dikirim ke Osaka Jepang, meliput APEC. Itu kali pertama saya ke luar negeri. Airport di Osaka terletak di pulau terpisah dan akses ke kota hanya bis atau kereta. Setengah hari saya berputar-putar di airport hingga akhirnya saya memilih naik bis saja ke hotel,” Endy yang setelah itu menjadi wartawan liputan Sekretariat Negara dan melanglang buana ke manca Negara ini terbahak. Suka dukanya jadi wartawan? “Pekerjaannya sangat dinamis tidak membosankan, banyak bertemu hal baru. Wartawan juga terbentuk menjadi egaliter karena memang relatif lebih mudah bertemu orang dari berbagai kalangan, dari bawah hingga atas. Kami juga punya kesempatan belajar sesuatu langsung dari sumbernya misalnya pada saat mewawancara nara sumber. Itu sukanya,” tutur Endy. Dukanya? Endy terdiam sejenak. “Waktu kerjanya tidak seperti waktu kerja kantoran. Mungkin ini agak membatasi ruang kami bersosialisasi, khususnya waktu buat keluarga,” katanya. Endy juga memahami bahwa profesi wartawan sulit dilakoni hingga tua mengingat pekerjaannya sangat dinamis, tak kenal waktu dan memerlukan stamina yang tinggi. “Menjadi pengamat, analis, penulis atau barangkali konsultan bisa jadi pilihan profesi lanjutan kami,” ujarnya. Mengenai pandangannya tentang dunia pers saat ini Endy mengatakan pers Indonesia sudah maju dan sudah banyak memiliki kebebasan,”hanya saja pers kita tampaknya perlu code of conduct agar memiliki panduan dalam menjalankan kebebasannya,” ungkapnya. Bagaimana kisah suksesnya sebagai kepala koperasi karyawan hingga terpilih dua kali? “Awalnya saya memang sering lantang berbicara mewakili kepentingan teman-teman. Akhirnya malah sekalian dijadikan kepala koperasi. Karena 30% saham Bisnis Indonesia dimiliki oleh koperasi karyawan, otomatis saya jadi komisaris.” Di bawah komandonya, aset koperasi karyawan Bisnis Indonesia berkembang dari Rp.2milyar ke Rp.5 milyar. Penjualan meningkat dari Rp. 100 ribu/hari menjadi Rp. 6 juta/hari. SDM pun dibina lebih professional dan sistem simpan pinjam karyawan dibangun ihingga portfolio pinjaman mencapai Rp. 4 milyar saat ini. “Masih kecil lah. Banyak yang lebih hebat,” Endy masih merendah. Lalu bagaimana kiatnya memperjuangkan nasib rekan-rekannya di tangah komisaris yang notabene tokoh bisnis ternama seperti Ciputra dan Sudwikatmono? Endy tergelak lagi, namun ia menyebutkan sekali lagi fokus dan konsisten, meski ia menambahkan pendekatan personal juga jadi resepnya. “Tak mudah menjembatani kepentingan bisnis dengan kepentingan karyawan. Tapi Alhamdullillah selama ini saya dapat melakukannya,” ujarnya. Begitu lah Endy…, si rendah hati yang fokus dan konsisten Endy Subiantoro Fokus dan Konsisten E ndy Subiantoro tergelak saat HC meminta kesediaannya diwawancara untuk profil. “Apa hebatnya saya?” tanyanya merendah. Lho, bukankah Endy seorang wartawan senior dan Redaktur berita keuangan di harian nasional Bisnis Indonesia? “Wah, masih banyak yang lebih senior dan lebih hebat daripada saya,” ujarnya masih berusaha mengelak. Tapi bukankah jarang redaktur yang juga berprestasi mengelola koperasi karyawan hingga sempat termasuk 5 besar koperasi terbaik seJakarta barat tahun 2003? Bukankah tidak banyak juga redaktur yang duduk di jajaran komisaris perusahaan untuk memperjuangkan kepentingan rekan-rekannya? Endy tertawa lagi, kali ini ia sulit mengelak. Ayah dua putri yang juga kerap menjadi moderator di berbagai seminar serta rubrik bisnis di TV dan radio ini telah bergabung dengan Bisnis Indonesia sejak tahun 1993. “Saya lulus dari Fakultas Teknik Geologi Universitas Gajah Mada pada tahun 1992. Sejak sebelum lulus saya sudah bekerja freelance pada sebuah perusahaan minyak asing dan setelah lulus sempat bekerja 3 bulan di perusahaan tambang batu bara,” tuturnya. Endy menyadari dirinya tak mampu berkarier di bidang pertambanganyang umumnya dimulai dengan bekerja di lokasi terpencil. “Di waktu luang hanya berleha-leha. Paling-paling kalau di hutan bengong ditemani monyet,” Endy terbahak. Padahal pria yang menginjak usia 36 tahun pada 26 Desember lalu ini lahir dan menghabiskan masa kecil yang diakuinya sangat menyenangkan di Pontianak, “bermain di sungai, kebun dan hutan yang masih asli saat itu,” katanya. Ketika ia menjadi karyawan kontrak Bisnis Indonesia, ia sempat ditawari posisi di sebuah perusahaan produsen alat berat terkemuka di tanah air. Tapi ketika tahu akan di tempatkan di pedalaman Kalimantan, “saya pilih jadi wartawan saja,” ujarnya. Lho? Padahal itu kan tidak sesuai dengan bidang ilmu sekolahnya. “Pengalaman menunjukkan bahwa menjadi wartawan tak wajib lulus dari ilmu komunikasi atau publisistik karena di awal tetap saja kita harus belajar mewawancara, menulis dan menganalisa. Yang penting dapat kita dapat mengikuit irama kerjanya yang cepat, punya 26 | HumanCapital | Nomor 03 | Tahun 2004 | Konsultasi Hukum Ketenagaker jaan Diasuh oleh: A. Kemalsjah Siregar PEKERJA DAN HAK UANG PESANGON PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU Mas Kemal Yth, Saat ini status saya masih kontrak sebagai staff personalia di sebuah perusahaan swasta, dan PKWT saya akan berakhir pada 7 Juni 2004 nanti. Apakah untuk posisi saya ini dapat diberlakukan PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) atau tidak? Soalnya jenis pekerjaan yang saya lakukan adalah bersifat terus menerus dan bersifat tetap. Hormat kami, Baskoro GM HR PT E&B Jakarta Jawab Pasal 59 (1) dan (2) UU No. 13/2003 tegas mengatur jenis pekerjaan yang boleh dibuat dalam bentuk PKWT. Karena jenis pekerjaan Saudara merupakan pekerjaan yang bersifat tetap maka tidak boleh dibuat dalam bentuk PKWT. Apabila pada saat berakhirnya jangka waktu PKWT perusahaan tidak melanjutkan hubungan kerja maka perusahaan berkewajiban untuk membayarkan uang pesangon sebesar 2 x Pasal 156 (2), uang penghargaan masa kerja sesuai Pasal 156 (3) UU No. 13/ 2003 dan penggantian hak sesuai Pasal 156 (3) UU No. 13/2003 sebagaimana berlaku terhadap pekerja tetap/permanen. Tetapi patut diingat bahwa perusahaan tidak mempunyai kewajiban untuk mengangkat Saudara sebagai pekerja tetap. HAK UANG PESANGON Bang Kemalsyah Yth. 1. Di dalam UU No. 13 tahun 2003 banyak ketentuan yang menyebutkan “akan diatur dengan ketentuan tersendiri”. Apakah yang dimaksud dalam hal ini merupakan Peraturan Pemerintah, Kepmen, dll? Kami tidak tahu apakah aturan tersebut sudah dikeluarkan atau belum, kemana kita harus bertanya? Hal ini sangat diperlukan perlu agar kita para HRD tidak ketinggalan informasi. 2. Seorang pekerja yang di PHK dengan kualifikasi mengundurkan diri tidak mendapatkan hak uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja. Akan tetapi mendapatkan uang pisah dan uang penggantian hak. Apakah ybs mendapatkan uang penggantian perumahan & pengobatan sebesar 15% dari uang pesangon dan atau dari uang penghargaan masa kerja? Salam hormat, Sorry Siregar HR Manager PT GVG Jakarta Jawab 1. Sumber yang patut diminta keterangan dan tempat untuk mendapatkan salinan peraturan pelaksanaan tersebut adalah Depnakertrans atau Disnakertrans atau Sudinakertrans. Sebagai bentuk pelayanan kepada masyarakat maka mereka wajib memberikan salinan peraturan pelaksanaan tersebut dan sepatutnya tidak dipungut bayaran apapun. 2. Karena dia tidak mendapatkan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja maka ia tidak akan mendapatkan uang penggantian perumahan & pengobatan sebesar 15% karena 15% tersebut adalah dikali Nol yang artinya sama saja tidak mendapatkan apapun. ISTIRAHAT TAHUNAN PEKERJA Pak Kemalsyah Yth. 1. Apakah pekerja wanita yang pernah mengambil istirahat melahirkan masih berhak untuk mengambil istirahat tahunan? Apakah istirahat bersama yang ditetapkan oleh pemerintah secara otomatis memotong hak istirahat tahunan pekerja? 2. UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan sudah di-undangkan per 25 Maret 2003. Bila seseorang diberhentikan pada tanggal 25 April 2003, pesangonnya menganut Kep-150/MEN/2000 atau UU 13/2003 yang baru tersebut? 3. Bagaimana hak karyawati secara umum? Khususnya tentang pemberian tunjangan kesehatan & asuransi kesehatan? Menurut Depnakertrans seharusnya tidak ada diskriminasi antara pekerja pria dan wanita karena semua hak dan kewajibannya adalah sama. Namun kenyataannya banyak perusahaan yang menerapkan aturan yang berbeda-beda. Ada yang menganggap karyawati sebagai single, ada juga yang menanggung anakanaknya sampai anak ketiga, ada yang menanggung suami dan anak2nya (kalau suami tidak bekerja dan atau tempat suami bekerja tidak memberikan medical yang memadai). 3. Bagaimana hak karyawati secara umum? Khususnya tentang pemberian tunjangan kesehatan & asuransi kesehatan? Menurut Depnakertrans seharusnya tidak ada diskriminasi antara pekerja pria dan wanita karena semua hak dan kewajibannya adalah sama. Namun kenyataannya banyak perusahaan yang menerapkan aturan yang berbeda-beda. Ada yang menganggap karyawati sebagai single, ada juga yang menanggung anakanaknya sampai anak ketiga, ada yang menanggung suami dan anak2nya (kalau suami tidak bekerja dan atau tempat suami bekerja tidak memberikan medical yang memadai). Salam hormat, Johny Dirgo HR Manager PT JERMA Jakarta Jawab 1. UU No. 13/2003 sama sekali tidak mengatur tentang hal ini. Namun patut diperhatikan bahwa pengaturan tentang hak atas istirahat melahirkan dan istirahat tahunan dalam UU No. 13/2003 diatur dalam pasal yang berbeda. Karenanya keduanya merupakan hak yang berbeda yang diberikan oleh UU. Istirahat tahunan tidak dapat dianggap sebagai bagian dari istirahat melahirkan. Apabila pekerja telah mengambil istirahat melahirkan maka haknya atas istirahat tahunan tidak hilang. 2. Ini adalah pertanyaan yang sangat legalistik. Pasal 191 UU No. 13/2003 mengatur bahwa semua peraturan pelaksanaan yang mengatur ketenagakerjaan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan UU No. 13/ 2003. Karena ketentuan tentang uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan penggantian hak telah diatur dalam Pasal 156 UU No. 13/2003 maka yang berlaku adalah Pasal 156 UU No. 13/2003. Bila seorang pekerja diputuskan hubungan kerjanya pada 25 April 2003, maka perhitungan atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan penggantian hak merujuk pada 156 UU No. 13/2003. 3. Pada dasarnya tidak ada perbedaan perlakuan antara pekerja laki-laki dan perempuan. Istilah yang digunakan pun adalah pekerja tanpa melihat jenis kelamin. Tidak ada ketentuan ketenagakerjaan yang mewajibkan perusahaan untuk memberikan fasilitas pengobatan kepada pekerjanya kecuali keikutsertaan dalam Program Pemeliharaan Kesehatan dalam Jamsostek. Kalau ada perusahaan yang memberikan fasilitas pengobatan kepada pekerjanya maka itu adalah hak prerogatif perusahaan. Memang paling baik dan akan sangat membantu pekerja apabila penerapan pemberian fasilitas pengobatan diberlakukan sama kepada pekerja tanpa melihat jenis kelamin ataupun status menikah atau tidak. Namun, kalau pun perusahaan mengatur lain sebagaimana contoh Saudara di atas menurut pendapat kami itu pun tidak salah dan tidak dapat dikatakan sebagai tindakan diskriminatif Kirimkan pertanyaan Anda ke Redaksi Human Capital A. Kemalsjah Siregar Partner Kemalsjah Cembyn & Affriline Attorneys At Law THE BEST DEAL OF ALL!!! At Alessandro Nannini Pondok Indah Mal 30% OFF 7 Valid Monday to Friday (except: Public Holiday) 7 From 15 May - 15 June 2004 7 Exclude: Alcoholic Drink, Cigarette & not valid for special event or other promotion 7 Selected items (dine in only) 7 Additional 10% off for ANZ cardholders Bring this advertisement to get the discount! For further information, please call: 021-750 6729 / 750 6769 Alessandro Nannini, Pondok Indah Mal; 2nd floor 27 | HumanCapital | Nomor 03 | Tahun 2004 | L i f e S t y l e Ermest Gaya Spa Oase Bagi Eksekutif Yang Ingin Berelaksasi Penat dalam rutinitas kantor ? Atau ingin melepas stress dan menikmati semangat hidup baru ? Dengan Spa, semua bisa diatasi. Manicure, bodycure, mandi susu atau pijat, bisa dilakukan di spa. Bisa jad,i penampilan akan berbeda saat kita keluar dari Spa. Muka berseri-seri, badan segar bugar, siap menantang rutinitas yang akan dijalani. S oluse Per Aqua, atau lebih dikenal dengan spa, kini hampir dijumpai di beberapa tempat bergengsi di daerah Jakarta. Trend masyarakat kelas A+ yang ingin menikmati hal-hal baru bahkan, dalam relaksasi pun, kini sudah beralih ke spa. Hal ini yang dibidik Perry H Josohadisoerjo, Ermest Thamrin dan Farid Aidid. “Kami melihat bahwa pangsa pasar spa pada saat itu belum banyak dan cukup menantang untuk dijalankan,” ujar Perry yang juga memiliki fitness center Ermest di Butik Ponsel – Galeria SCBD, di Kawasan Niaga Terpadu Sudirman Jakarta. Sepakat membawa Gaya Spa, sebuah spa yang sudah punya nama, ke dalam konsep spa yang dibangun di kawasan yang sama dengan fitness center. Diakui Perry, kesepakatan menjadikan Gaya Spa sebagai partner karena Gaya Spa memiliki tenaga pendidik bersertifikat. “Selama ini, ada beberapa tempat yang mengaku tempatnya adalah spa, padahal fasilitas yang ada tidak memenuhi standarisasi spa di Indonesia,” keluh Perry terhadap kondisi ini. Disamping itu, ada kesan kemewahan yang ingin dirasakan kalangan mapan yang penghasilannya lebih dari Rp5 juta dalam perawatan kulit. Menurut Perry, salon dan pijat tradisional menjadi milik sebagian besar masyarakat kalangan menengah ke atas untuk penampilan mereka. Ini diakui Perry berbeda dengan spa yang milik sebagian kecil masyarakat, khususnya kalangan atas. “Spiritnya akan beda jika kita keluar dari spa dibandingkan keluar dari salon atau pijat tradisional,” sambungnya. Orang yang pergi ke spa, baik laki-laki maupun perempuan, tidak hanya ingin dirawat rambut atau muka semata, tapi juga ingin perawatan menyeluruh. “Keluar dari spa, kita akan mendapatkan relaksasi dan penampilan yang lebih dari sebelum masuk spa.” Sejak dibuka dua tahun lalu, perry mengaku pengunjungnya sudah mencapai ratusan orang, dengan rata-rata pengunjung pada hari biasa antara 15-20 pengunjung, dan 20-30 orang pada akhir pekan. “Yang menarik dari Ermest Gaya Spa, tamu ekspatriat lebih dari 50%, terutama warga negara Jepang, Korea, Asia pada umumnya dan Eropa,” jelas Perry yang enggan memaparkan nilai investasi spa milik ia dan rekan-rekannya. Padahal, awalnya ia hanya ingin membidik lingkungan sekitar Sudirman. “Tapi, ada pula pengunjung yang mengetahui dari temannya dan ingin mencoba yang baru,” tambahnya kembali. Memberikan image yang baik dan pelayanan yang membuat pelanggan merasa puas adalah tujuan Ermest Gaya Spa. “Kita akan buat pelanggan merasa perlu kembali ke tempat ini tidak lagi sekedar relaksasi, melainkan sudah menjadi perawatan berkelanjutan,” tukas Perry kembali. Selain itu, Ermest Gaya Spa juga hanya membatasi 4 tamu untuk satu therapist, untuk memberikan hasil maksimum setiap therapist kepada pengunjung. “Kita buka dari pukul 8 pagi sampai 8 malam. Kalau kita tambah jam kerja therapist, takut kerjanya tidak optimal,” Perry menjelaskan. Bagi pelanggan yang hadir dan ingin menikmati relaksasi di spa, terlebih dulu dilakukan cek kesehatan. “Kalau memiliki keluhan dalam medis, kita akan melarang relaksasi yang akan memicu keluhan tersebut,” jelas Nisma, salah seorang therapist dari 12 therapist yang ada di Ermest Gaya Spa. Setelah dicek kesehatan, pengunjung bisa memilih paket atau treatment yang dia inginkan. Bagi pengunjung yang datang hanya ingin mengunting rambut, creambath atau facial, bisa melakukan treatment dengan biaya minimal Rp95 ribu. Namun, jika ingin melakukan treatment per paket, ada beberapa paket yang ditawarkan Ermest Gaya Spa. Paket Relax Gaya, pengunjung akan dimanja dengan perawatan body massage, advance facial, treatment dan shampoo dan blow. Atau jika ingin melakukan body massage, luxury bath dan body scrub, bisa mencoba paket Spa Gaya yang biayanya sebesar Rp265 ribu selama 2 jam lebih. “Paket Spa Gaya lebih banyak diminati kaum laki dan perempuan,” tutur Nisma yang mengaku tempat ini seringpula dikunjungi pasangan suami istri dan anakanak usia 12 tahun ke atas untuk berbagai paket 28 | HumanCapital | Nomor 03 | Tahun 2004 | K i a t DELEGASI M endelegasikan atau pelimpahan pekerjaan pada babawahan, seringkali dipandang sebagai suatu keuntungan atau fasilitas yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Namun cukup mengejutkan mengetahui ternyata tidak semua menyukai dan mempergunakannya, saat menjadi pemimpin. Ada beberapa alasan yang mendasari atasan sehingga tidak melakukan pendelegasikan pekerjaan: z Tidak mengerti pekerjaan apa yang harus di delegasikan z Tidak yakin bawahannya dapat mengerjakan sesuai standart kerjanya z Menganggap bila dikerjakan sendiri akan lebih cepat selesai z Tidak percaya terhadap kemampuan, pengetahuan dan keahlian kerja bawahan z Bawahannya semua telah cukup sibuk dengan pekerjaannya masing-masing z Tidak mengerti cara mendelegasikan pekerjaan dengan efektif z Khawatir bila mendelegasikan pekerjaan, dirinya sendiri tidak melakukan apa-apa. Sebenarnya hal ini tidak perlu terjadi. Pada beberapa perusahaan, atasan justru mempergunakan pendelegasian pekerjaan sebagai alat “penyundul” posisi. Dengan menunjukkan bahwa bawahannya dapat mengerjakan sebagian pekerjaannya dengan baik, maka atasan memiliki alasan untuk meminta tanggung jawab yang lebih. Otomatis, dengan berkembangnya lingkup pekerjaan yang dikerjakan, atasan tersebut pun dapat berharap mendapatkan penilaian kinerja yang baik dan promosi. Pendelegasian tidak hanya melulu mencangkup pelimpahan pekerjaan pada bawahan, tapi juga harus merupakan pembangunan iklim kerja berdasarkan kepercayaan serta merupakan proses peningkatan motivasi kerja pegawai. Terasa sulit memang, namun bukan berarti tidak dapat dipelajari. Agar tercapai, berikut beberapa langkah strategis sederhana yang dapat dilakukan para atasan. 1. Menganalisa pekerjaan Kenali pekerjaan tersebut, termasuk seberapa penting dan kapan pekerjaan tersebut harus selesai. z Tentukan pembagian porsi yang akan diberikan pada bawahan dan yang akan dikerjakan sendiri. z Tentukan pula sejauh apa karyawan tersebut memiliki otoritas dan tanggung jawab terhadap penyelesaian pekerjaan yang diberikan z Pekerjaan yang diberikan harus cukup menantang dan sebaiknya dapat merupakan bagian dari proses pengembangan karyawan tersebut z 2. Menganalisa bawahan Cek pekerjaan yang sedang dilakukan bawahan Anda saat ini. Berusaha realistis untuk mengukur kemampuan bawahan dan menyesuaikan jumlah pekerjaannya agar semua dapat selesai tepat waktu. z Kenali kompetensi yang dimiliki bawahan, termasuk pengetahuan dan keahliannya, juga kemampuan dalam mengelola berbagai sumber daya dalam menyelesaikan tugas. z Usahakan agar pekerjaan yang akan dilimpahkan selaras dengan yang saat ini sedang dilakukan z Komunikasikan apa yang akan didapat oleh karyawan dari pengerjaan ini. Kaitkan dengan program pengembangan karir. z Ingat bahwa mencoba menguji kemampuan dengan memberikan banyak tambahan pekerjaan bagi karyawan adalah hal positif. Tapi bila tidak dilakukan dengan baik dapat menurunkan motivasi mereka dan menimbulkan stres. z 3. Menyepakati suatu sistim monitoring Libatkan karyawan dalam pembuatan sistim monitoring Sepakati target serta waktu pencapaian z Bila diperlukan bagilah pekerjaan menjadi beberapa tahap z Definisikan bersama dengan jelas kriteria sukses dan standar kerja yang diharapkan z Sepakati waktu untuk meninjau kemajuan projek. z z 4. Tentukan iklim kerja yang ingin terbentuk z Dengarkan ide yang dikemukakan oleh karyawan, berkaitan dengan pekerjaan baru tersebut. Seringkali karyawan melihat dari perspektif positif yang berbeda. z Tetap membuka komunikasi dan diskusi z Berikan semangat, masukan dan nyatakan pujian secukupnya selama proses, sehingga karyawan merasa dihargai z Jangan terlalu mencampuri pekerjaan sebelum masa peninjauan projek, kecuali bila sangat mendesak. Usahkan terbangun rasa saling percaya z Pergunakan kesempatan ini untuk melakukan pembimbingan serta peningkatan keahlian dan pengetahuan karyawan 5. Tinjau kemajuannya z Lakukan proses peninjauan hasil kerja secara disiplin dan berkala, sesuai jadwal yang telah disepakati z Usahakan membantu melalui pemberian pertanyaan agar karyawan berproses dan berpikir, daripada langsung memberikan jawaban ataupun jalan keluar z Jadian kriteria sukses yang telah disepakati sebelumnya sebagai acuan meninjau pekerjaan yang telah selesai dilakukan z Bahas pelajaran dan kompetensi yang telah didapat oleh karyawan melalui penyelesaian pekerjaan ini Mintalah pendapat karyawan mengenai bagaimana Anda menjalani peran Anda selama ini. Pertimbangkan masukan tersebut untuk meningkatkan kemampuan Anda dalam pelimpahan pekerjaan di masa mendatang T i p s P r a k t i s Bos Galak Tak Karuan? Bagaimana Jika Jadi Bawahannya? A WAS, JANGAN BERDIRI DI DEPAN PINTU. BOSS GALAK! Dengan kreatif karyawan divisi suatu perusahaan membuat papan peringatan yang dicetak rapi di karton, lengkap dengan karikatur wajah si boss yang diberi kalung dobberman. Peringatan itu ditempel di pintu ruangan sang boss yang sedang bercuti 2 minggu ke luar negeri. Awalnya kegiatan itu jadi hiburan menarik bagi para karyawan di situ. Namun suatu pagi, belum genap 2 minggu, sekretaris sang boss hampir mati berdiri mendapati bossnya sudah berada di ruangannya. Sementara papan peringatan masih tertempel manis di pintunya. Apa yang mesti ia sampaikan pada karyawan lain yang belum datang??? Meski kisah di atas bukan cuma cerita, artikel ini tidak membahas bagaimana nasib para karyawan iseng tersebut. Tapi bagaimana jika Anda memiliki boss yang galak luar biasa? Mau sering-sering ketemu, pasti enggan. Tidak bertemu, susah juga mengkoordinasikan pekerjaan. Nah, berikut ini adalah pandangan beberapa orang yang mungkin bisa jadi referensi Anda: Batara, Assistant Manager Corporate Communication Wah, belum pernah tuh punya boss galak. Tapi kalaupun iya, ya… bagaimanapun saya harus tetap berkomunikasi dengan dia. Jika galaknya relevan dengan pekerjaan, katakanlah jika dia marah memang karena saya dan gak ada isinya, forget it! Sudah pasti saya gak akan menganggap dia penting. Saya bisa saja kerja sendiri dan berkoordinasi dengan team kerja tanpa dia. Saya juga bisa report langsung ke atasannya dia lagi! melakukan kesalahan, saya bisa terima. Tapi kalau galaknya asal galak dan tidak mempedulikan penjelasan saya atau pekerjaan yang sudah saya kerjakan dengan benar, ya saya tinggal saja. Bukan resign lho…, tapi lagi dia marah-marah, saya ngeloyor pergi. Biar aja dia marah-marah sendirian! Nuniek, Manager Product Communication Amit-amit deh kalau saya punya boss galak. Buat saya sih yang penting apa dia kompeten di bidangnya. Apa dia memang perform? Kalau iya dan dia galak atau marah sebagai kritik membangun untuk saya, saya gak keberatan. Tapi kalau dia galak doang Rudy, Kepala Divisi Operasi Saya pernah punya boss galak. Bukan cuma itu, malah otoriter, kalau sedang berdiskusi dan berargumentasi selalu ditutup dengan kata-kata: pokoknya saya maunya gitu…. Saya menyikapi sikap boss begitu dengan diam saja. Buat apa dilawan? Yang saya lakukan adalah mencari orang lain selevel dia yang bisa membantu saya memberikan penjelasan pada boss galak itu. Biar saja dia tahu dari temannya kalau apa yang saya kerjakan itu semua ada penjelasannya, cuma dia saja yang tidak mau dengar. Anto, Sales Departement Head Capek banget kalau punya boss galak. Yang jelas saya berupaya meminimalisasi komunikasi langsung dengan dia. Mending pakai memo atau email saja. Kalau dia perlu, toch dia akan panggil saya. Paling tidak kalau dia memanggil kan saya bisa mempersiapkan diri kira-kira apa yang bakal dia nyanyiin buat saya. Mulyati, Promotion Department Head Saya pernah punya boss galak. Orangnya pinter memang, tapi suka sok pinter juga untuk hal-hal yang dia tak seberapa tahu. Apa yang saya lakukan? Kalau saya membuat kesalahan ya saya terima saja dimarahi dia. Tapi kalau tidak, biasanya saya punya batas toleransi 3 kali. Sekali sampai 3 kali dia marah yang tak beralasan, saya masih coba bicara baik-baik.Tapi lewat dari 3 kali dia begitu, saya lawan. Saya pernah protes lebih keras daripada cara boss saya marah. Cuma supaya dia sadar kalau dia gak bisa terus-terusan semena-mena sama orang lain, biarpun itu bawahannya. Agus, Asisten Direksi Punya boss galak? Kayaknya itu nasib saya. Dari dulu saya selalu bekerja dengan boss yang galak. Mungkin karena itu saya jadi biasa. By nature saya adalah orang yang outspoken. Bicara apa adanya. Jadi kalau saya salah dimarahi ya biasa. Kalau tak salah dimarahi ya saya jelaskan duduk persoalannya. Kalau dia tidak mau mendengar saat marah, biasanya dia resapi sesudahnya. Segalak apa sih yang namanya boss? Pastinya dia gak makan orang kayak macan ... 29 | HumanCapital | Nomor 03 | Tahun 2004 | R e s t & R i l e k s Rudy Hadisuwarno S epintas, mellihat tutur katanya yang santun dan lembut, orang melihat Rudy Hadisuwarno tidak mempunyai energi yang cukup untuk mengembangkan bisnisnya yang terus menggurita. Namun, pada kenyataannya bisnis salon, penjualan produk yang berkaitan dengan tata rambut dan Training Center terus berkembang pesat. Ini tidak lepas dari kepiawian Rudy menempatkan diri sebagai entrepreunership sekaligus entertainer. Namun kisah sukses Rudy bukan terjadi dalam semalam, atau sim salabim. Memulai usahanya dengan menyulap garasi orangtuanya menjadi salon, jebolan semester VI Fakultas Arsitektur Universitas Trisakti ini, terus bertekun menggeluti dunia tata rambut. Sedikit demi sedikit hasil ekspansinya membuahkan hasil. “Alasan saya menggeluti dunia tata rambut dan meninggalkan bangku sekolah karena alasan yang benar-benar simple, mencari duit,” ujar Rudy. Mengelola usaha yang bersentuhan langsung dengan manusia, tentu bukan pekerjaan gampang. Ini pula yang dihadapi dan disadari Rudy sejak awal mengembangkan usahanya. Sebagai pemilik usaha salon, yang merupakan usaha sektor jasa, kecakapan dan keterampilan para pekerja jelas menjadi prioritas. Namun itu saja, menurut Rudy belumlah cukup. Karena itu, selain membekali keterampilan teknis para pekerjanya melalui divisi Training Center, Rudy juga menekankan agar setiap karyawan memiliki sikap dan perilaku yang sopan dan baik di depan para pelanggan. “Hal ini memang tidak secara khusus diajarkan, tapi sudah menjadi prioritas kami bahwa kepuasan pelanggan dalam segala hal menjadi tujuan utama perusahaan yang harus dipahami dan dilaksanakan oleh setiap karyawan,” kata Rudy yang membawahi sedikitnya 400 or- ang staf. Dalam wawancara khusus dengan Human Capital, beberapa waktu lalu, Rudy mengisahkan bahwa pada awalnya, Training Center yang ia kembangkan hanya dikhususkan untuk melatih keterampilan para karyawannya. Namun dalam perkembangannya kemudian, sekolah pengembangan keterampilan di bidang salon tersebut juga diminati oleh masyarakat umum. Melihat antusiasme masyarakat yang begitu besar, akhirnya Rudy memutuskan bahwa sekolah pendidikan tersebut dijadikan divisi usaha tersendiri di luar bisnis salon yang ia geluti. Namun, tujuan semula untuk mencetak tenaga-tenaga terampil di bidang salon dan tata rias tetap menjadi prioritas. Para peserta didik yang mempunyai prestasi bagus kemudian diseleksi untuk bisa direkrut menjadi karyawan Rudy Salon, baik milik Rudy sendiri maupun salon-salon yang dikembangkan dengan cara franchise yang per Desember 2003 mencapai 130 salon . Sebelum diterjunkan ke lapangan kerja mereka ditraining lebih lanjut. Materi yang disampaikan, selain pendalaman bidangbidang teknis bidang salon, juga mengenai visi dan misi perusahaan karena mereka akan menjadi bagian dari perusahaan tempat mereka bekerja 30 | HumanCapital | Nomor 03 | Tahun 2004 | B u r s a K e r j a OUR CLIENT AN INDONESIAN‘S DISTRIBUTORS AND AFTER SALES SERVICE OF POWER SUPPLY & AIR CONDITIONING PRODUCT. DUE TO ITS RAPID EXPANSION OF THEIR ORGANIZATION, THEY ARE SEEKING HIGHLY MOTIVATED AND ENTHUSIASTIC PEOPLE WHO WILL THRIVE IN THEIR PROFESSIONAL CAREER AS: SALES ENGINEER z z z Flexible & outstanding personality Strong management & communication skill Have Telecommunication, Building & Construction, and Industrial network. To apply for this role, you must be: z Hold a University degree from Mechanical/Industrial Engineering from Polytechnic ITB or another reputable university. z Dynamic male, around 27– 35 years of age, with at least 2 years of experience in sales and marketing of Air Conditioning/Chiller, Power Supply and Heavy Equip ment are preferable. z Customer satisfaction oriented, willing to serve and be adaptable & flexible in a dynamic environment. z Able to work under pressure, to have self-motivation and to work as a team player in dynamic environment. z Have an extensive know how of the market, particularly in Telecommunication, Building & Construction and Industrial. z Computer literacy & Fluency in English both oral & written is a must. z Have strong personality with good analytical, communication and interpersonal skills. Outstanding career opportunities and competitive remuneration package will be given to those who meet the requirement above. Contact us if you believe you meet these requirements and are seeking a demanding position to find challenging and exciting opportunities. All replies will be treated in strictest confidence. Written applications, including a detailed resume and recent photographs, should be addressed to: IQ Recruitment & Training Specialists Senior Executive Search Jl. Kemang Timur Raya 998, Jakarta 12730, Fax.: 021 - 7197307 e-mail: [email protected] Website: http// www.internationalquatropersisi.com | S TA R T | YOUR CAREER WITH US We are global leader in outsourcing company. Our client is one of Indonesia’s premier banking industry, the company is seeking ‘Innovative and Driven Individuals’ to fill this challenging positions: ACCOUNTING (ACC) You should hold min. S1 degree from reputable university preferably accountancy with min. GPA 2.75 (scale 4.0). An open-minded professional with strong leadership & computer literate are highly considered. ADMINISTRATION (ADM) / DATA ENTRY (DE) You will be responsible to creates or set up file management system, input data, and manage all relevant data and records. You should hold min. D1 degree from reputable university, with min GPA of 2.75. You should have high attention to detail and hands on with standard computer packages. ATM MONITORING (ATM) As ATM Monitor you should hold min. S1 degree from reputable university with min. GPA 2.75 (scale 4.0) majoring computer. You should have min. 2 years experience in the same position and able operate IBM AS/400 program is a must. CALL CENTER (CC) You will be responsible to handle incoming call and complain from customer. You should hold min. D3 degree from reputable university with min. GPA 2.75. Ideally, you have min. 2 years experience as call center, preferably in banking industry. You must have excellent communication skill with pleasant voice, high tolerance for stress, and willing to work on shift schedule. COLLECTION (COLL) You will be responsible to collect credit card invoice from customer. Ideally, you hold min. S1 degree from reputable university with 2 years experience in the same position in banking preferably in card center. You should have a good communication & interpersonal skill, knowledge in banking industry, stress tolerance, and handle difficult client. CREDIT OFFICER (C0) As Credit Officer, you will responsible for processing loan transaction (e.g appraisal, document verification, loan agreement and disbursement, provide reporting internal & BI). You should hold min. D3 degree from reputable university with min. GPA 2.75. Ideally, you have min. 1 years experience demonstrated top performance in mass market credit management role in fields such as BPR, BRI unit Desa, mass market consumer goods (low end electronic). You should be a team player, concern for excellent, following procedure and able to building relationship. CUSTOMER SERVICE (CS) You will responsible to serve and handle complain from customer. You should hold min. D3 degree from reputable university with min. GPA 2.75. You should have excellent communication and interpersonal skill, good administration skill and high attention to detail. You should also have excellent customer orientation. INFORMATION TECHNOLOGY (IT) / MIS As an IT you should hold min. S1 degree from reputable university with min. GPA 2.75 (scale 4.0) majoring computer. You should be able create new or existing program, maintain data base system, and able to analyze data. MARKETING / SALES (MKT/SLS) Your main responsibility will be to offer and sell our client’s product. You should hold min. D3 degree from reputable university with min. GPA 2.75. Ideally, you have min. 2 years experience in the same position, preferably for banking industry. You should also have excellent communication and negotiation skill. An open-minded professional with high initiative and creativity are highly preferred. PHONE OPERATOR (OPR) / RECEPTIONIST (RCP) You will be responsible to handle incoming call or guest. You should have min. 2 years experience in the same position. Ideally, you hold min. D3 degree with min. GPA of 2.75. You should be a nice person with customer orientation, having good communication skill and ability to learn. SUPPORT OFFICER (SO) You will responsible to seek and open new channel for new outlet. You should hold min. D3 degree from reputable university with min. GPA 2.75 located in Karawang, Bandung, Tasikmalaya, and Surabaya. You should have excellent communication and interpersonal skill, good analyzing skill and high attention to detail, and experienced in banking industry preferably in BPR or BRI unit Desa min. 1 year. TELLER (TLR) / GREETER (GRT) As Teller / Greeter, you will be responsible to serve cash and non cash transaction, including to handle incoming customer. You should have min. 2 years experience in the same position, preferably in banking industry. Ideally, you hold min. D3 degree from Economy, Accountancy or Finance with min. GPA of 2.75. You must have high attention to detail and integrity, and able to learn new things. UNIT MANAGER (UM) As Unit Manager, you will responsible for P & L of our unit focused on micro businesses, small businesses and lower income consumers. Manages sales, books and operations. Can approve loans up to IDR50M. You should hold min. S1 degree from reputable university with min. GPA 2.75 and with 3 years experience in management role of Sub Branch, BPR or BRI unit Desa. You must have high integrity, able to demonstrate core values of DSP, good leadership skill and target oriented. Your location must be in Rengasdengklok. VERIFICATION (VER) As Verification Staff, You will be responsible to verify data, based on incoming application. You should hold min. D3 degree from reputable university with min. GPA 2,75. Ideally, you have min. 2 years experience as verificator, preferably in banking industry. You must have excellent communication skill and good analytical thinking. The successful candidate will be offered competitive remuneration package and opportunity to work for wellknown company. To apply, please submit your complete application with brief description about your achievement & job description, within 2 weeks to: PO BOX 8231 JKS SB Please indicate the position applied on upper left of your envelope. Tarif Iklan BursaKerja Rp10.000 per milikolom Segera hubungi bagian iklan HumanCapital Telp. 021-5220575 Fax. 021-52901024 | HumanCapital | Nomor 03 | Tahun 2004 | B u r s a K e r j a ASSISTANT MANAGER - DTH SALES (ASM) z University Degree in any major z Experience in managing sales people for about three (3) years z Able to operate computer, good command in English ACCOUNT EXECUTIVE - HOTEL Sales (AE Htl) for Jakarta & for Bali Based z At least a D3 certificate-holder (of all departments) z Has at least two (2) years experience as sales executive z Deal-oriented with good business contacts, hotel industry in Bali – Lombok (for Bali based) z Deal-oriented with good business contacts, hotel industry & hospital (for Jakarta based) z Able to operate computer, good command in English z In possession of A-driving license ACCOUNT EXECUTIVE – Direct To Home Sales (AE DTH) (for : Makasar, Bali, Bandung, Medan, Semarang based) z At least a D3 certificate-holder (of all departments) z Has initiative and can work independently, tough z In possession of A-driving license z Has at least one (1) year experience in the field of sales and service z Able to operate computer, good command in English ADMINISTRATION STAFF (ADM) (for : Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Bali, Medan, Palembang, Pekan Baru, Samarinda, Banjarmasin, Makasar, Menado, Bandung, Cirebon, Malang, Batam, Balikpapan, Lampung, Pontianak, Padang) z Female, 22 – 24 years old z At least D3 certificate holder in Administration z Able to operate computer (at least Word & Excel) z Understand in English z Has at least one (1) year experience in the same field PROMO SUPPORT COORDINATOR (PSC) z University Degree in Communication, Business Administration or Marketing z Has at least two (2) years experience on advertising & promotion / media planner z Understand in English z Able to operate computer CUSTOMER SERVICE RESPRESENTATIVE (CSR) z At least a D3 certificate-holder (of all departments) z Friendly, personable, and has the desire the delight customer z Energetic, a team-player and able to work under increasing pressure z Fluent in English z Able to operate computer (at least word & excel) IT CONTROLLER (ITC) z D3 – S1 of Computer Science z Experience in Network, UNIX Specialist, Hardware PRESENTATION STAFF (PRS) z Minimum D3 certificate holder on Technical Electronic/ Telecommunication z Able to speak English, communicative, able to operate computer (at least word & excel), z Experience is not considered as most important TRACKING & TELEMETRI & CONTROL OPERATION (TT & C) z D3/ S1 certificate holder on IT/ Telecommunication/ Instrumentation z Having a depth knowledge in UNIX/ Solaris operating System z Well proven experience in C and Scripting language programming z Good understanding of object-oriented concept. TRAFFIC & MEDIA MANAGEMENT STAFF (TMM) z D3 - S1 of Management informative/ Business Administration z Fluent in oral & written English - Indonesia z Has at least one (1) years experience z Excellent English & Indonesia z Enjoy entertainment — movie z Creative, Team Work BROADCAST ENGINEERING STAF (BES) z D3 – S1 of Telecommunication Science z Has at least one (1) year experience z Knowing about MPEG-2, Audio-Video, and Signal RF BROADCAST NETWORK CONTROLLER (BNC) z Minimum D3 certificate holder of Computer Science or Information Technology z Experience in UNIX OS, Oracle, Informix, SQL, Net, Object Store, C++, DIBUTUHKAN SEGERA SALES TOLL FREE (FREELANCE) z Pria/ Wanita z Pendidikan minimal SMU / sederajat z Mampu berkomunikasi dengan aktif dan lancar z Mampu berbahasa Inggris aktif / pasif TROUBLE SHOOTER (TS) z Minimal pendidikan STM jurusan Elektronika atau D3 jurusan Tehnik Elektronika z Mempunyai pengetahuan serta pengalaman minimal 1 tahun dibidang pemasangan Parabola atau Sistem Komunikasi TVRO z Lebih diutamakan yang memiliki SIM C dan memiliki kendaraan roda dua (motor) z Bersedia bekerja di lapangan dan melakukan instalasi di rumah pelanggan Please sent your application with CV, copies of supporting document, and mark on the left side of the envelope the code of position you are applying, to: HUMAN RESOURCE DIVISION PT. MATAHARI LINTAS CAKRAWALA Wisma INDOVISION 11 floor Green Garden Block. Z/ III Jakarta 11520 [email protected] ONLY SHORT LIST CANDIDATES WILL BE NOTIFIED 31 32 | HumanCapital | Nomor 03 | Tahun 2004 | R e h a l Cara Perusahaan Terbaik Asia Memberlakukan Karyawan Judul Leadership & Talent in Asia How the Best Employers Deliver Extraordinary Performance Penulis Mick Bennett dan Andrew Bell Penerbit John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd Halaman 223 halaman, termasuk index A sia? Banyak orang yang yakin benua ini berbeda dibandingkan benuabenua lainnya, termasuk di bidang manajemen. Benarkah? Rasanya tidak. Kultur masyarakat Asia memang beda dengan kultur masyarakat Barat, namun kultur lebih mempengaruhi cara menerapkan filosofi manajemen ketimbang menentukan filosofi manajemen itu sendiri. Terbukti, studi konsultan manajemen Hewitt Associates terhadap seluruh CEO perusahaan di kawasan Asia mendapatkan isu bisnis kunci yang sama dengan kawasan lainnya, yaitu: (a) Mewujudkan kepemimpinan organisasi bermutu tinggi (b) Kelanggengan dalam sebuah lingkungan yang terus berubah (c) Menciptakan sebuah kultur organisasi yang memungkinkan terwujudnya kinerja yang tinggi (d) Kemampuan untuk mempertahankan dan mengembangkan talenta bermutu tinggi Lantas, kalau buku ini berjudul Leadership & Talent in Asia, tidak berarti Asia itu benar-benar beda. Judul Asia dalam buku yang ditulis Mick Bennett dan Andrew Bell, kedua-duanya adalah eksekutif Hewitt Asia, lebih karena buku ini dihasilkan dari sebuah riset ekstensif sejak tahun 2000 terhadap lebih dari 250.000 karyawan ratusan perusahaan Asia. Perusahaan-perusahaan yang disurvei juga tak tanggung-tanggung: perusahaan-perusahaan terbaik di kawasan Asia, baik perusahaan multinasional Nomor 04 Th. 2004 MENGUPAS HABIS MASALAH REKRUTMEN Rekrutmen merupakan langkah awal yang sangat menentukan keberhasilan perusahaan. Lantas, bagaimana strategi perusahaan melakukan rekrutmen? Apa saja yang harus diperhatikan? Sejauh mana peran tes psikologi dan alat bantu lainnya dalam mendapatkan kandidat yang dibutuhkan? Apa saja persyaratan yang diminta perusahaan dari kandidat yang mereka rekrut? Bagaimana pula perusahaan merekrut manajer dan eksekutif? Dapatkan jawabannya di rubrik FOKUS edisi Nomor 04, Tahun 2004. Dan, banyak tema menarik dan penting lainnya. MEDIA SATU-SATUNYA MENGUPAS TUNTAS MASALAH SDM maupun perusahaan lokal. Kesimpulannya, dalam semua indikator kinerja bisnis – termasuk pendapatan perusahaan per karyawan – perusahaan-perusahaan terbaik jauh mengungguli perusahaan-perusahaan rata-rata. Atas dasar temuan tersebut, kedua penulis mengkaji berbagai rahasia manajemen perusahaanperusahaan terbaik itu dan membeberkannya dalam buku terbaru ini. Secara ringkas, berikut adalah 6 karakteristik kunci yang hanya didapatkan pada perusahaan-perusahaan terbaik, yang dikupas penulis. Pertama, perusahaan terbaik memiliki fokus yang tajam dan jelas, berbagi secara sederhana namun efektif dengan para karyawan. Kedua, perusahaan terbaik tak kenal lelah mengembangkan talenta terbaik dan berinvestasi untuk membuat mereka terus berada di depan. Ketiga, perusahaan terbaik memberi inspirasi dan mempertahankan gairah untuk prestasi yang hebat. Keempat, perusahaan terbaik mempertajam kekuatan dari kultur dan menciptakan lingkungan kinerja yang manusiawi. Kelima, perusahaan terbaik menghindarkan kerumitan dengan fokus pada hal-hal yang terpenting saja. Keenam, perusahaan terbaik memperlihatkan hormat terhadap karyawan dengan memberlakukan mereka akuntabel untuk hasil dan menghargai prestasi mereka dengan antusias. Buku ini terdiri dari 3 bagian besar, masing-masing dengan bab tulisan terkait. Bagian pertama mengupas tema Leadership & Talent. Tema ini dibagi dalam 4 bab, yaitu It begins with leadership, Clarity of purpose, Creating a compelling work experience, dan Aggressive talent management. Bagian kedua, mengambil tema Engagement and Execution, terdiri dari 3 bab tulisan, masingmasing berjudul Developing and engaged workforce, Shaping a high-performance culture, dan Managing performance: the key to execution. Bagian ketiga, berjudul A Framefwork for sustainability, yang berisi 3 bab – Where to go from here, Methodology and judging, dan Conclusion. Esensi utama dari keberhasilan perusahaan terbaik mengelola para karyawan terletak pada kualitas kepemimpinan perusahaan. Buku ini menegaskan ulang betapa strategisnya faktor kepemimpinan tersebut. Sebuah buku yang sangat layak dibaca para CEO, eksekutif, manajer, calon pemimpin, dan karyawan sekalipun