BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gastroenteritis

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Gastroenteritis didefinisikan sebagai inflamasi dari membran mukosa
saluran pencernaan yaitu di lambung, usus halus dan usus besar. Gastroenteritis
ditandai dengan gejala utamanya yaitu diare, muntah, mual dan kadang disertai
demam dan nyeri abdomen (Beers H. et. al, 2004). Hal ini dapat disebabkan oleh
berbagai agen infeksi seperti bakteri dan virus (Heartling et al, 2010). Diare
adalah buang air besar dengan tinja berbentuk cair atau setengah padat. Pada
keadaan diare terjadi suatu perubahan dalam buang air besar, baik frekuensi yang
menjadi lebih sering maupun konsistensinya yang berubah menjadi cair. Diare
dapat disebabkan oleh virus, bakteri, dan parasit (Sofwan, 2010). Bakteri adalah
penyebab utama terjadinya diare. Bakteri penyebab terjadinya diare seperti
Shigella, Salmonella, Campylobacter, Staphylococcus, dan Escherichia (Dipiro et
al., 2008).
Diare akut terjadi dengan atau tanpa mual, muntah, nyeri perut, dan
demam. Tatalaksana terapi diare adalah rehidrasi, dengan rehidrasi oral maupun
parenteral. Masyarakat cukup mengetahui tentang rehidrasi oral ini dengan
menggunakan oralit sebagai pertolongan pertama pada diare. Umumnya antibiotik
diberikan pada pasien dengan gejala dan tanda diare infeksi seperti demam, tinja
berdarah, dan leukosit pada tinja (Zein et al., 2004).
Antibiotik banyak digunakan untuk infeksi yang disebabkan oleh bakteri.
Ditemukan 40-62% antibiotik digunakan secara tidak tepat kepada pasien yang
sebenarnya tidak membutuhkan antibiotik. Penggunaan antibiotik yang cukup
sering menyebabkan resistensi bakteri (Kemenkes RI, 2011). Resistensi bakteri
dapat disebabkan karena penggunaan antibiotik yang tidak sesuai, dosis yang
tidak tepat, atau penyalahgunaan antibiotik (Kemenkes RI, 2011).
Pada tahun 2000, diperkirakan 2.500.000 jiwa mengalami kematian
disebabkan diare yang sebagian besar dialami oleh anak-anak di negara
berkembang. Resiko terbesar kematian pada penyakit diare dialami pada anak1
2 anak usia 1 tahun. Di Amerika Serikat, sekitar seperempat dari 375 juta orang per
tahun mengalami diare, 900.000 orang dirawat di rumah sakit dan 6000 orang
meninggal (WGO, 2008).
Hasil penelitian sebelumnya di RSUD Ambarawa tahun 2009 diketahui dari
100 pasien didapatkan antibiotik paling banyak digunakan sebagai terapi
antibiotik adalah cefotaxime sebesar 54%. Pasien dengan terapi tepat indikasi
64%, tepat obat 57%, tepat pasien 64%, tepat dosis 56%, tepat frekuensi
pemberian obat 54%, dan tepat durasi pemberian obat 38% (Prasetyaningsih,
2010).
Pengobatan menggunakan antibiotik sering diberikan pada pasien
ganstroenteritis di rumah sakit. Hal ini yang membuat penulis melakukan
penelitian lebih lanjut tentang evaluasi penggunaan antibiotik untuk penyakit
gastroenteritis di RSUD Dr. Soedomo Trenggalek. Penelitian dilakukan di RSUD
Dr. Soedomo Trenggalek karena belum pernah dilakukan penelitian tentang
evaluasi penggunaan antibiotik pada penyakit gastroenteritis.
B. Perumusan Masalah
Dengan adanya latar belakang di atas, permasalahan yang ditemukan adalah
apakah antibiotik yang diberikan pada pasien gastroenteritis pasien rawat inap
RSUD Dr. Soedomo Trenggalek tahun 2013 sudah rasional?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penggunaan antibiotik pada
penyakit gastroenteritis pasien rawat inap RSUD Dr. Soedomo Trenggalek tahun
2013 dengan mengevaluasi tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat, dan tepat dosis.
D. Tinjauan Pustaka
1. Gastroenteritis
a. Pengertian
Gastroenteritis adalah inflamasi yang disebabkan oleh bermacam-macam
bakteri, virus, dan parasit yang patogen pada daerah lambung dan intestinal
(Devrajani et al., 2009). Gastroenteritis akut adalah penyakit yang terjadi akibat
3 peradangan pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh infeksi dengan gejala
utama diare, muntah, dan dehidrasi. Diare adalah kondisi dimana seseorang buang
air besar dengan konsistensi lembek atau cair, bahkan berupa air saja dengan
frekuensi yang lebih sering (tiga kali atau lebih) dalam satu hari (Depkes RI,
2011).
b. Jenis
Diare dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu :
1) Diare akut
Diare akut adalah terjadinya buang air besar dengan konsistensi encer
sebanyak tiga kali atau lebih selama 24 jam.
2) Disentri
Disentri ditunjukkan dengan terjadinya tinja berdarah, berlendir, dan
berwarna.
3) Diare persisten
Diare persisten merupakan diare yang terjadi lebih dari 14 hari.
(WGO, 2008)
c. Penyebab
Diare dapat disebabkan oleh hal-hal berikut :
1) Bakteri
Escherichia coli dan Shigella adalah contoh bakteri yang sering menjadi
penyebab diare pada anak-anak. Sedangkan Campylobacter adalah bakteri
penyebab diare pada orang dewasa. Infeksi biasanya disebabkan karena tempat
tinggal yang berdekatan dengan kandang hewan (sapi), terjadi penularan penyakit
diare akut berdarah, dan banyaknya unggas di sekitar. Selain dari ketiga bakteri di
atas ada juga bakteri penyebab diare yaitu Vibrio cholerae dan Salmonella. Gejala
yang terjadi biasanya seperti tinja berair dan berlendir, muntah, dan dehidrasi
(Hauora, 2012).
2) Racun
Racun penyebab diare adalah racun yang dihasilkan oleh Bacillus cereus,
Staphylococci, dan Clostridium botulinum (Hauora, 2012).
3) Bahan kimia (aluminium, zink, besi) (Hauora, 2012).
4 4) Parasit
Parasit
yang
menyebabkan
diare
seperti
Giardia
intestinali,
Cryptosporidium parvum, Entamoeba histolytica, dan Cyclospora cayetanensis.
Parasit-parasit ini biasanya menyerang pada anak-anak (WGO, 2012).
5) Virus
Virus merupakan penyebab utama terjadinya diare akut yang biasanya
terjadi pada musim-musim tertentu. Rotavirus merupakan virus penyebab diare
dengan dehidrasi (WGO, 2012).
d. Pengobatan Rasional
Pengobatan rasional adalah penggunaan obat yang sesuai dengan kebutuhan
klinis pasien dalam jumlah dan massa yang memenuhi dan dengan biaya yang
terendah (Sadikin, 2011).
Kriteria pengobatan rasional adalah sebagai berikut :
1) Tepat indikasi
Obat yang diberikan harus tepat untuk suatu penyakit misalnya, antibiotik
diindikasikan untuk infeksi bakteri. Pemberian obat antibiotik tersebut harus
diberikan kepada pasien yang memiliki gejala adanya infeksi bakteri (Depkes RI,
2008).
2) Tepat pasien
Penyesuaian dosis secara individual yang mencakup pertimbangan ada atau
tidaknya kontraindikasi pada kondisi-kondisi tertentu. Ada dan tidaknya faktor
yang menyebabkan terjadinya efek samping obat terhadap pasien. Pemilihan obat
disesuaikan dengan kondisi patologis dan fisiologis pasien (Depkes RI, 2008).
3) Tepat obat
Keputusan untuk menentukan terapi yang diambil setelah ditetapkan hasil
diagnosis. Pemilihan obat berdasarkan drug of choice-nya. Obat yang dipilih
merupakan obat yang sudah terbukti memiliki efek terapi sesuai dengan penyakit
yang diderita (Depkes RI, 2008).
4) Tepat dosis
Dosis, jumlah, cara, waktu, dan lama pemberian obat harus tepat. Apabila
salah satu dari keempat terapi tersebut tidak terpenuhi menyebabkan efek terapi
5 tidak tercapai. Pemberian dosis yang berlebihan sangat beresiko timbulnya efek
samping. Sebaliknya, pemberian dosis yang kecil menyebabkan tidak tercapainya
efek terapi (Depkes RI, 2008).
a) Tepat cara pemberian
Contoh cara pemberian obat yang tepat seperti obat antasida diminum
dengan cara di kunyah baru ditelan. Antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu
karena akan membentuk ikatan sehingga tidak dapat diabsorbsi dan menurunkan
efektifitasnya (Depkes RI, 2008).
b) Tepat interval waktu pemberian
Cara pemberian obat harus dibuat sederhana dan praktis agar mudah ditaati
oleh pasien.
c) Tepat lama pemberian
Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing-masing.
d) Efektif, aman, mutu terjamin, tersedia setiap saat, dan harga terjangkau.
e) Tepat tindak lanjut
Apabila pengobatan sendiri sudah dilakukan dan belum sembuh, untuk
tindak lanjut hubungi dokter.
f) Tepat penyerahan obat
Resep yang diserahkan ke apotek harus dipersiapkan obatnya dan diberikan
kepada pasien dengan informasi yang tepat.
g) Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang diberikan
Ketidakpatuhan minum obat terjadi pada keadaan berikut:
(1) Jenis sediaan obat yang beragam.
(2) Jumlah obat terlalu banyak.
(3) Frekuensi pemberian obat terlalu sering.
(4) Pemberian obat jangka panjang tanpa informasi.
(5) Pasien tidak mendapatkan informasi yang jelas.
(6) Timbulnya efek samping.
h) Waspada efek samping.
(Depkes RI, 2008)
6 Pemberian obat berpotensi menyebabkan efek samping, yaitu efek yang
tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi (Depkes
RI, 2008).
2. Antibiotik
Antibiotik berasal dari anti artinya lawan dan bios artinya hidup yang berarti
zat-zat kimia yang mempunyai khasiat mematikan dan menghambat pertumbuhan
kuman yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri (Tjay dan Rahardja, 2007). Obat
yang digunakan untuk membasmi mikroba penyebab infeksi pada manusia
ditentukan harus mempunyai sifat toksisitas yang selektif semaksimal mungkin.
Obat harus bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatif tidak toksis untuk
manusia (Setiabudi, 2007).
Dilihat dari luas aktivitasnya, antibiotik dikategorikan menjadi dua
kelompok:
a. Antibiotik narrow-spectrum (aktivitas sempit)
Obat-obat ini hanya aktif terhadap beberapa bakteri saja, seperti Penisilin-G
dan Penisilin-V, eritromisin, klindamisin, kanamisin, dan asam fusidat. Antibiotik
tersebut hanya bekerja terhadap bakteri gram positif. Sedangkan streptomisin,
gentamisin, polimiksin-B, dan asam nalidiksat khusus aktif terhadap bakteri gram
negatif (Tjay dan Rahardja, 2007).
b. Antibiotik broad-spectrum (aktivitas luas)
Antibiotik ini bekerja lebih banyak terhadap bakteri gram positif dan bakteri
gram negatif, seperti sulfonamida, ampisilin, sefalosporin, kloramfenikol,
tetrasiklin, dan rifampisin (Tjay dan Rahardja, 2007).
Secara garis besar antimikroba dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu :
1) Bakterisid
Bakterisid bersifat membunuh kuman penyakit. Antibiotik yang termasuk
dalam golongan ini antara lain penisilin, sefalosporin, aminoglikosida,
kotrimoksazol, rifampisin, dan isoniazid (Utami, 2012).
7 2) Bakteriostatik
Bakteriostatik
bersifat
menghambat
pertumbuhan
kuman
penyakit.
Antibiotik golongan ini penggunaannya tergantung dengan kondisi imunologi
pasien
antara
lain
sulfonamida,
tetrasiklin,
kloramfenikol,
eritromisin,
trimetoprim, linkomisin, klindamisin, dan asam para-aminosalisilat (Utami, 2012).
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotik dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
a. Menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri, seperti beta-laktam
(penisilin, sefalosporin, monobaktam, karbapenem, inhibitor beta-laktamase),
basitrasin, dan vankomisin.
b. Memodifikasi atau menghambat sintesis protein, seperti aminoglikosida,
kloramfenikol, tetrasiklin, makrolida (eritromisin, azitromisin, klaritomisin),
klindamisin, mupirosin, dan spektinomisin.
c. Menghambat enzim-enzim esensial dalam metabolisme folat, misalnya
trimetoprim dan sulfonamid.
d. Mempengaruhi sintesis atau metabolisme asam nukleat, misalnya kuinolon dan
nutrofurantoin.
(Kemenkes RI, 2011)
Prinsip terapi penggunaan antibiotik dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Terapi empiris
Terapi empiris digunakan pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis
bakteri penyebabnya. Tujuannya adalah untuk menghambat pertumbuhan bakteri
yang diduga menjadi penyebab infeksi sebelum diketahui hasil pemeriksaan
laboratorium (Kemenkes RI, 2011).
b. Terapi definitif
Terapi definitif digunakan untuk kasus infeksi yang sudah diketahui jenis
bakteri penyebabnya. Bertujuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri
penyebab infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri berdasarkan pemeriksaan
laboratorium (Kemenkes RI, 2011).
Menurut Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach 6th tahun 2005
pemberian antibiotik pada diare.
(Dipiro et al., 2005)
8 Tabel 1. Antibiotik pada Terapi Diare
Patogen
Vibrio cholera O1
atau O139
Enteroxigenic
Coli
C. difficile
Shigella
Salmonella
1. Nontyphoidal
2. Enteric fever
3. Campylobacter
4. Yersinia
Prophylaxis
Treatment
E.
Obat Pilihan Pertama
Obat Alternatif
Enteroxigenic (seperti: Cholera) Diare
Doxycline 300 mg p.o 1x sehari, tetracycline 500 Cloramphenicol 50 mg/kg i.v setiap 6
mg p.o 4 jam sekali selama 3 hari, atau jam sekali, erythromycin 250-500 mg
trimethoprim-sulfamethoxazole
DS
(double p.o setiap 6-8 jam dan furazolidone
strenght)
tablet 2x sehari selama 3 hari,
norfloxacin 400 mg p.o 2x sehari selama 3 hari,
atau ciprofloxacin 500 mg p.0 2x sehari selama 3
hari atau 1 g p.o 1x sehari
Norfloxacin 400 mg atau ciprofloxacin 500 mg 3x Trimethoprim-sulfametoxazole
DS
sehari selama 10 hari
(double strenght) methoxazole tablet
setiap 12 jam
Metronidazole 250 mg 4x sehari dan 500 mg 3x Voncomycin 125 mg p.o 4x sehari
sehari selama 10 hari
selama 10 hari, bacitracin 20.00025.000 unit untuk 4x sehari selama 710 hari
Invasive (seperti: Disentri) Diare
Trimethoprim-sulfametoxazole
DS
(double Ofloxacin 300 mg, norfloxacin 400 mg
strenght) 2x sehari selama 3-5 hari
atau ciprofloxacin 500 mg 2x sehari
selama 3 hari, atau nalidixic acid 1
g/hari selama 5 hari, azithromycin 500
mg p.o 1x sehari, kemudian 250 mg 1x
sehari selama 4 hari p.o
Trimethoprim-sulfametoxazole
DS
(double
strenght) 2x, ofloxacin 300mg, norfloxacin 400 mg,
or ciprofloxacin 500 mg 2x sehari selama 5 hari,
atau ceftriaxone 2 g i.v sehari atau cefotazime 2 g
3x sehari selama 5 hari i.v ofloxacin 300mg,
norfloxacin 400 mg, or ciprofloxacin 500 mg 2x
sehari selama 5 hari, atau ceftriaxone 2 g i.v sehari
atau ofloxacin 300mg
Ciprofloxacin 500 mg
Erythromycin 500 mg oral 2x sehari selama 5 hari,
azithromycin 1000 mg p.o 1x sehari dilanjutkan
dengan 500 mg/hari atau clarithromycin 500 mg p.o
2x sehari
Terapi
kombinasi
dengan
doxycycline,
aminoglycosides, trimethoprim-sulfomethoxazole
DS (double strenght) atau floroquinolone
Treveller Diare
Norfloxacin 400 mg atau ciprofloxacin 500 mg
p.o/hari (di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan)
trimethoprim-sulfamethoxazole
DS
(double
strenght) tablet p.o 1x sehari (Mexico)
Norfloxacin 400 mg atau ciprofloxacin 500 mg p.o
2x sehari selama 3 hari atau trimethoprimsulfamethoxazole DS (double strenght) tablet oral
2x sehari selama 3 hari (Mexico) atau azithromicin
500 mg oral 1x sehari selama 3 hari (hanya untuk
area yang memiliki pravalensi tinggi terhadap
resisten quinolone-campylobacter, seperti di
Thailand
Azithromycin 1000 mg p.o 1x sehari,
dilanjutkan dengan 500 mg oral 1x
sehari selama 6 hari
Azithromycin 1000 mg p.o 1x sehari,
dilanjutkan dengan 500 mg 1x sehari
selama 5 hari, atau cefixime,
cefotaxime, dan Cefuroxime, atau
chloramphenicol 500 mg 4x sehari
p.o atau i.v selama 14 hari
Ciprofloxacin
500
mg
atau
norfloxacin 400 mg/hari 2x sehari
selama 5 hari
(Dipiro et al, 2005)
Download