BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I never notice much difference in views. Because they are all alike. Because all that matters in them is distance and air. There is only one perfect view - the view of the sky straight over our heads, and that all these views on earth are but bungled copies of it. Aku tidak pernah memperhatikan perbedaan yang nampak. Karena mereka semua terlihat mirip. Karena yang menjadi persoalan diantara mereka adalah jarak dan udara. Hanya ada satu pemandangan yang sempurna – pemandangan atas langit diatas kepala kita, dan semua pemandangan di muka bumi ini hanyalah salinannya. (Forster, 1955:168-169) Kutipan di atas memuat gambaran tentang bagaimana seharusnya seorang individu memandang dunianya yaitu dengan tidak memperhatikan perbedaan yang nampak. Perbedaan yang ada di dalam kehidupan bukan merupakan penghalang bagi suatu individu untuk membatasi pergaulannya dan menjalin hubungan dengan individu lainnya. Perbedaan yang ada didalamnya hanya merupakan variasi yang menunjukkan kemoderenan suatu masyarakat tertentu. Hal ini juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang berarti diantara sesama manusia, karena sesungguhnya perbedaan itu diciptakan untuk menyeimbangkan kehidupan manusia. Ketidaksetujuan akan perbedaan diantara manusia ini disebabkan karena adanya prinsip dasar bahwa pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial. Manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Demi menjaga keseimbangan kehidupannya, manusia harus menjalin relasi dengan orang lain. 1 2 Relasi yang dijalin pun seharusnya tanpa melihat perbedaan ras, kelas, maupun latar belakang kehidupan sosial seseorang. Berbicara mengenai perbedaan, salah satu contoh yang paling jelas adalah perbedaan kelas sosial dalam masyarakat Inggris. Masyarakat di Inggris memberlakukan sistem kelas sosial dalam setiap aspek kehidupannya hingga sekarang. Hiroko Tomida, adalah pria berkebangsaan Jepang yang sudah tinggal selama 20 tahun di Inggris, melakukan penelitian mengenai sistem kelas di Inggris dan menulisnya kedalam artikel yang berjudul “The History and Development of the English Class System”(2012). Dalam penelitiannya, beberapa sosiolog menyatakan bahwa sistem kelas di Inggris sudah tidak berlaku. Namun hampir sebagian besar orang-orang yang diwawancarai dan responden penelitiannya mengatakan bahwa sistem kelas tersebut masih ada. Para responden tersebut juga dapat dengan jelas menyatakan termasuk dalam kelas sosial apa mereka berada. Namun, di masa sekarang, mereka merasakan penghalang antara kelas, khususnya jarak yang tercipta antara kelas menengah dan kelas bawah atau kelas pekerja semakin kecil, dan pengaruh kelas tersebut semakin lama semakin berkurang. Jika dilihat dari sejarah mengenai sistem kelas dalam tataran hidup masyarakat Inggris, isu ini sudah merupakan topik umum dalam kehidupan sehari-hari orang-orang Inggris. Bahkan kelas sosial seperti sudah menjadi cara hidup dalam masyarakat Inggris. Permasalahan mengenai kelas sosial di Inggris ini menjadi isu besar pada abad ke 19 hingga berlanjut ke abad 20. Sejarawan berpendapat bahwa sistem kelas di Inggris tumbuh dan berkembang dari sistem feodal yang terjadi pada zaman pertengahan (medieval period). Pada awalnya, 3 istilah yang digunakan adalah higher class (kelas tinggi) dan lower class (kelas rendah). Seiring perkembangan zaman, istilah yang digunakan berganti menjadi upper (kelas atas), middle (kelas menengah) and lower class (kelas bawah). Pembagian kelas ini didasarkan atas status dan kekuatan ekonomi yang dimiliki. Kaum kelas atas terdiri dari orang-orang yang memiliki kekayaan atau turunan keluarga kerajaan yang biasa disebut dengan kaum aristokrat. Seseorang digolongkan kedalam kaum kelas atas apabila dia memiliki gelar, pendidikan yang tinggi, keahlian yang dimiliki dan juga olahraga yang digelutinya seperti olahraga memanah, memancing, dan berkuda. Kaum kelas menengah meliputi para pekerja profesional, pengusaha dan pemilik usaha atau dengan kata lain para pemilik modal. Kaum kelas bawah meliputi kaum pekerja seperti petani, penambang, dan buruh. Pengelompokkan sistem kelas di Inggris tidak hanya berdasarkan hal-hal diatas, akan tetapi juga berdasarkan cara berbicara (aksen), cara berpakaian, hobi, cara mendidik anak, atau bahkan dari jenis makanan yang dikonsumsi (Barrow, 2013). Edward Royle berpendapat bahwa istilah ‘kelas’ pertama kali digunakan dalam struktur sosial di Inggris pada pertengahan hingga akhir abad ke-18 (dalam Tomida, 2012:272). Istilah middle class sendiri diperkenalkan sejak tahun 1766 dan kemudian muncul istilah “working class” yang digunakan sejak 1789. Di masa kejayaan ratu Victoria, kaum middle class menjadi bagian yang penting dalam masyarakat dimana merekalah yang memegang kendali dalam perindustrian di Inggris. Oleh karena itu, mereka kemudian menciptakan jarak dengan kehidupan para kaum buruh atau working class. Mereka pun mulai 4 menginginkan untuk menjadi pemilik lahan (landowners) dan menunjukkannya melalui cara berpakaian, bahkan merubah tata cara makan dan minum mereka. Selain itu, dalam mencari pasangan hidup, para kaum kelas menengah terutama para perempuan harus menikah dengan sesama mereka, akan tetapi pernikahan tersebut hanya bertujuan untuk mendapatkan gelar. Seiring perkembangan zaman dan perubahan ekonomi, politik serta kesadaan sosial sedikit demi sedikit menggerus sistem kelas di Inggris, walaupun tidak sama sekali hilang dari kebiasaan masyarakat tersebut. Menurut Smart, gambaran kehidupan sosial masyarakat Inggris sebelum Perang Dunia Pertama (1914-1918) disebut dengan “Long Edwardian Summer” yang tidak pernah berakhir (2001: 8). Para wanita-wanita memakai gaun cantik dan topi yang elegan berbincang-bincang di halaman rumput yang luas dengan latar belakang rumahrumah pedesaan. Hal ini menggambarkan bahwa Inggris adalah milik kaum-kaum kelas menengah ke atas yang hidup damai dan terjamin kehidupannya serta memiliki hak-hak istimewa. Dampak positif Revolusi Industri juga telah menempatkan Inggris satu langkah didepan negara-negara Eropa lainnya sehingga menjadi negara dengan pusat perekonomian terbesar di dunia di awal abad ke dua puluh. Akhir abad ke-19 dan permulaan awal abad ke-20 merupakan masa puncak kejayaan Inggris yang daerah-daerahnya tersebar di seluruh dunia (Samekto, 1975:97). Awal abad ke dua puluh di Inggris ditandai dengan naiknya Raja Edward VII yang dikenal dengan Era Edwardian (The Edwardian Age). Masa pemerintahan Raja Edward VII (1901-1910) dimulai setelah wafatnya Ratu 5 Victoria pada tahun 1901 dimana pemerintahannya menuai banyak kesuksesan di berbagai bidang kehidupan masyarakat Inggris. Raja Edward memimpin kerajaan Inggris dengan membuat perubahan baru yang sekaligus menandai berakhirnya era Victoria. Meskipun masa pemerintahan Raja Edward sangat singkat sekitar 10 tahun, tetapi ia sukses membuat suatu perubahan besar di masa tersebut. Pencapaian dari Raja Edward antara lain: Inggris menguasai hampir seperempat dari populasi dunia, angkatan udara Inggris menguasai samudera dan Inggris juga menjadi negara dengan pusat perdagangan terbesar di dunia. Selain itu, masyarakat terutama golongan menengah, menikmati tingkat kemakmuran yang tinggi berkat kemajuan ekonomi yang dibantu oleh kemajuan teknologi (Samekto, 1975: 97). Revolusi Industri yang terjadi di Inggris juga merupakan salah satu penyebab berkembangnya negara Inggris dengan adanya penemuan-penemuan baru dalam teknologi dan industri seperti mesin uap, kapal selam, lokomotif dan sebagainya. Dengan adanya tenaga-tenaga mesin sebagai alat produksi menggantikan tenaga manusia dan hewan, juga sekaligus menandai perubahan besar yang terjadi pada perekonomian masyarakat Inggris. Revolusi industri juga mendorong terjadinya revolusi sosial dalam kehidupan masyarakat di Inggris yaitu suatu gerakan masyarakat yang berkeinginan untuk memiliki kehidupan yang lebih baik. Samekto menambahkan bahwa yang dimaksud dengan Revolusi Industri pada pokoknya adalah segala perubahan radikal yang diakibatkan oleh penerapan penemuan-penemuan baru dalam teknologi industri dan transportasi (1975:77). Jika dampak positif jangka panjang dari Revolusi Industri adalah 6 meningkatnya kemakmuran masyarakat, maka pada tahap awal revolusi ini sisi negatiflah yang lebih kelihatan. Salah satu sisi negatif yang paling serius adalah semakin mencolok perbedaan antara yang kaya dan miskin, antara majikan dan buruh. Dengan demikian muncul banyak gagasan yang diajukan untuk memecahkan masalah ini, termasuk penggambaran keadaan sosial dalam karya sastra. Permasalahan sosial yang muncul dalam masyarakat menjadi ‘umpan’ yang menarik bagi para penulis untuk disampaikan kepada masyarakat melalui karya yang dihasilkan. Kehidupan sosial masyarakat di Inggris banyak tercermin dalam karyakarya sastra yang dihasilkan baik oleh penulis laki-laki ataupun perempuan. Misalnya Jane Austen, Charles Dickens, Bronte bersaudara, dan lain-lain. Edward Morgan Forster atau lebih dikenal dengan E.M. Forster (1879-1970) adalah salah satunya. Forster cukup sukses dengan mempublikasikan empat novel pertamanya berturut-turut yaitu Where Angels Fear to Tread (1905), The Longest Journey (1907), A Room with a View (1908), dan Howards End (1910) dan juga satu cerita pendek “The Story of a Panic” (1904). Novel-novel ini menurut A.S. Collins, tidak satupun yang memenangkan penghargaan ataupun dikenal oleh publik selama beberapa tahun setelah penerbitan (1956: 193). Pada tahun 1914, Forster menerbitkan novel Maurice yang kemudian menjadi kontroversi karena bercerita tentang homosexual. Salah satu novel yang membuat Forster dikenal dan dianggap sebagai karya yang fenomenal yaitu novel A Passage to India (1924) dengan sebelumnya diikuti oleh terbitnya kumpulan cerita pendek The Celestial Omnibus (1923) (Grebanier, 1949: 980). 7 Dalam karya fenomenalnya tersebut Forster, tidak seperti Rudyard Kipling yang juga tinggal dan menetap di India selama beberapa tahun, memiliki pandangan yang sangat berbeda mengenai negara India. Kipling lebih banyak menulis tentang kisah roman orang Inggris dengan latar belakang India, sedangkan dalam A Passage to India, Forster mencoba menunjukkan bahwa kebanyakan orang Inggris yang memerintah di India pada waktu itu sibuk dengan cara tradisional bagaimana harus berperilaku dan mementingkan penampilan. Dengan demikian kebanyakan dari mereka tidak melihat kebenaran yang sesungguhnya dari suatu peristiwa. Seperti pendapat Thornley yang mengatakan bahwa “Although Forster was presenting new ideas about people and society, the form of the novel that he used followed the traditional pattern [walaupun Forster menghadirkan ide-ide baru tentang individu dan masyarakat, bentuk novel yang digunakan mengikuti pola tradisional]” (Thornley and Robert, 1984:144). Sejalan dengan Thornley, Samekto juga menambahkan bahwa walaupun novel-novel Forster tampak realistis pada permukaan, tetapi yang lebih ditekankan sesungguhnya adalah inner life tokoh-tokoh ceritanya (1975:114). Selanjutnya, Gardner dalam bukunya E.M. Forster : The Critical Heritage mengatakan bahwa setelah tahun 1924, Forster beralih ke tulisan-tulisan non fiksi, artikel, esai dan penyiaran serta tulisan-tulisan yang mengingatkan akan masa lalu seperti biografi dan publikasi surat-surat dari India (1973: xvii). Martin (dalam Wyatt-Brown, 1983) menambahkan bahwa, Forster selama hidupnya telah menghasilkan banyak sekali tulisan-tulisan yang bersifat kritis. Berdasarkan perhitungan, Forster telah menyelesaikan dua buku biografi, 348 artikel, resensi-resensi, surat-surat untuk 8 percetakan, drama pertunjukan, sebuah buku tentang India, dan bermacam-macam tulisan lainnya. Buku berjudul Aspects of the Novel1 (1927) yang merupakan rangkaian materi kuliah di Cambridge yang ditulisnya pun kini dijadikan sebagai salah satu karya klasik untuk kritik sastra modern (Grebanier, 1949: 980). Edward Morgan Forster disebut sebagai salah satu penulis modern. Menurut Collins, “ the moderness of Forster consists in the discomfort of soul which made him critics of contemporary civilization” [kemoderenan Forster terkandung dalam kegelisahan jiwa yang membuatnya mengkritik peradaban kontemporer] (1956: 194). Menurutnya, contemporary civilization ini sangat mementingkan materi diatas segala-galanya sebagai akibat dari adanya Revolusi Industri. Forster kemudian mengangkat isu-isu mengenai contemporary civilization tersebut dan menunjukan kegelisahan jiwanya kepada masyarakat kontemporer melalui novelnovel yang ditulisnya. Hal itu tercermin kuat dalam karakter-karakter yang dibangun di dalam novel-novelnya. Tidak hanya mengkritik mengenai contemporary civilization, akan tetapi Forster juga mengangkat isu mengenai “right personal relationship” (Collins, 1956:195). Untuk mewujudkan hal itu, Forster bersandar pada kecerdasan, budaya dan kesadaran hati. Forster percaya pada kebutuhan individu akan kebebasan dalam dirinya, bahkan dalam hubungan personal tidak seharusnya seorang laki-laki maupun perempuan berkorban untuk memiliki sesuatu. David Daiches dalam bukunya A 1 Buku Aspects of the Novel (1927) berisi kumpulan bahan ajar (Clark Lectures) yang di sampaikan E.M. Forster di Trinity College, Cambridge. menurut Forster, isi buku ini adalah “informal, indeed talkative, in their tone, and it seemed safer when presenting in book form”. Dalam Aspect of The Novel karya E.M. Forster (London; Edward Arnold Publisher, 1927) hal. 5. 9 Critical History of English Literature, menjelaskan bahwa Forster mempunyai satu tema dalam penulisan fiksinya yaitu human relationships atau hubungan manusia. Daiches menambahkan bahwa “Forster is the great spokesman for an idea of human behavior and a concern with human relationships which were characteristic of certain circles at Cambridge in the early years of the twentieth century, he is also the inheritor of a nineteenth-century tradition of high-minded religious benevolence – and he is a literary artist with a strong sense of aesthetic form.” Forster adalah seorang jurubicara yang hebat bagi ide tentang perilaku manusia dan peduli terhadap hubungan-hubungan manusia khususnya karakteristik kalangan-kalangan tertentu di Cambridge di tahun-tahun awal abad ke dua puluh; ia juga pewaris tradisi berjiwa agamis dan murah hati dari abad ke sembilan belas- dan ia adalah seorang seniman sastra dengan rasa estetik yang kuat. (Daiches, 1969: 1158) Novel-novelnya mencerminkan ketiga aspek kehidupan serta karakternya seperti yang sudah disebutkan dalam kutipan diatas. Lebih lanjut, isu ini terlihat jelas dalam novel A Room With A View yang dijadikan sebagai objek penelitian penulis. Novel A Room With A View (1908) yang dijadikan sebagai objek material dalam penelitian ini merupakan salah satu karya dari Forster yang ditulis pada masa sebelum Perang Dunia pertama. Walau pada awal kemunculannya di awal abad ke dua puluh tidak menuai kesuksesan, namun novel ini termasuk dalam salah satu novel dari E.M. Forster yang paling banyak dibaca dan diakses. Novel A Room With a View ini tetap populer dan di cetak ulang beberapa kali setelah terbit pertama kali. E.M. Forster sudah menulis konsep untuk novel ini sejak tahun 1903, akan tetapi baru diterbitkan tahun 1908 sekaligus sebagai novel ketiganya. Novel ini kemudian dipublikasikan lagi oleh Penguin Books pada 10 tahun 1955, dan kemudian dicetak ulang pada tahun 1958. Mengenai novel ini digambarkan oleh Trilling, dalam bukunya E.M. Forster: A Study by Lionel Trilling sebagai berikut: In the Italian setting of its early scenes and in the manner of its comedy,... in scale and tone it is even smaller and lighter than Where Angels Fear to Tread, its manner is airier, it takes more colour from the outdoors and more charm from human absurdity, and the quality of its comedy is more romantic. Dengan latar belakang Italia pada permulaan cerita dan dalam bentuk komedi,... dalam skala dan bunyi itu bahkan lebih kecil dan ringan daripada Where Angels Fear to Tread, caranya lebih segar, mengambil lebih banyak warna dari luar dan lebih mempesona dari absurditas manusia, dan kualitas komedinya lebih romantis. (Trilling, 1951: 85) Cerita novel A Room With a View diawali dengan tokoh utama, Lucy Honeychurch, yang berlibur ke Florence-Italia bersama sepupunya, Charlotte Bartlet. Mereka ingin sekali mendapatkan “a room with a view” di hotel tempat mereka menginap. Pemandangan (view) yang dimaksud adalah pemandangan sungai Arno yang terlihat dari kamar yang menghadap ke arah selatan. Akan tetapi kamar tersebut sudah di tempati oleh orang lain, Mr. Emerson dan anaknya, George Emerson. Sebaliknya, Kamar yang mereka dapatkan adalah kamar yang menghadap ke utara dengan pemandangan halaman gedung-gedung yang dikelilingi oleh tembok. Lucy tidak menyukai hal itu dan kemudian protes terhadap sepupunya. Berawal dari ketidaksukaan Lucy akan kamar hotel tersebut, Mr. Emerson menawarkan kamar mereka yang menghadap ke selatan itu untuk ditempati oleh Lucy dan sepupunya. Mr. Emerson juga sedang berlibur di Florence bersama anak laki-lakinya, George. 11 Pada mulanya, Lucy dan sepupunya Charlotte tidak suka dengan sikap Mr.Emerson dan anaknya yang terkesan tidak sopan. Tidak hanya kedua saudari ini, akan tetapi Mr. Eager, seorang pendeta, yang juga sedang berlibur di Florence, tidak menyukai Mr.Emerson dan anaknya. Alasan ketidaksukaan para turis ini adalah karena mereka menganggap Mr. Emerson dan anaknya tidak tahu cara bersikap yang baik sesuai dengan etika orang Inggris yang sewajarnya. Seperti kutipan dibawah ini: ‘But aren’t they always waylaying you to go out with them, dear?’ Said the little lady inquisitively. ‘Only once. Charlotte didn’t like it. And said something- quite politely, of course.’ ‘Most right of her. They don’t understand our ways. They must find their level’ ‘Tapi bukankah mereka selalu mencegatmu untuk pergi bersama mereka?’ Kata wanita itu ingin tahu. ‘Hanya sekali. Charlotte tidak menyukai itu dan berkata sesuatu yang cukup sopan tentunya.’ ‘Tentu itu haknya. Mereka tidak memahami cara-cara kita. Mereka harus tahu derajat mereka”. (Forster, 1955: 43) Dalam kutipan di atas, terlihat bahwa mereka menganggap Mr. Emerson dan anaknya sudah melewati batas berperilaku menurut para turis lainnya. Seharusnya mereka bersikap sesuai level mereka dan tidak bergaul dengan orang yang bukan golongannya. Hubungan laki-laki dan perempuan sudah sewajarnya terjadi, akan tetapi dalam masyarakat Inggris tidak bisa terjadi begitu saja. Apabila seorang perempuan kalangan atas ingin menjalin sebuah hubungan, maka ia seharusnya memilih seorang laki-laki yang juga berasal dari kalangan yang sama dengannya. 12 Demikan halnya dengan hidup bermasyarakat, dimana masyarakat kelas menengah ke bawah tidak bisa begitu saja menjalin relasi dengan masyarakat kelas atas di Inggris. Menurut Grebanier (1949: 980) dalam novel-novelnya, Forster menunjukkan dirinya sebagai seorang brilian yang ironis, yang sadar akan sulitnya menjalin hubungan antar individu dan juga pengaruh yang kuat dari lingkungan sekitar. Hal itu tercermin dalam empat novel pertamanya yang terbit di awal abad ke duapuluh yang menggambarkan kehidupan ironis dari masyarakat Inggris kelas menengah. Meskipun demikian, dalam A Room With A View Forster menempatkan hubungan antara Lucy dan George yang kemudian akhirnya menikah walaupun mereka berasal dari kelas yang berbeda. Mengenai istilah “room” juga disebutkan oleh Forster didalam ceritanya, seperti yang terlihat dalam kutipan dibawah ini: ‘ I had got an idea- I dare say wrongly – that you feel more at home with me in a room.’ ‘A Room?’ She echoed, hopelessly bewildered. ‘Yes. Or, at the most, in a garden, or on a road. Never in the real country like this.’ ‘aku punya pemikiran – mungkin aku salah- bahwa kamu merasa lebih nyaman denganku apabila berada didalam ruangan. Dalam ruang? Dia menggumam, tak berdaya dan bingung. Ya. Atau paling tidak, ditaman, atau di jalan. Tidak pernah dalam dunia nyata seperti ini.’ (Forster: 1955:113) Dalam percakapan tersebut, dapat dilihat bahwa A Room seperti menyimbolkan hal tertentu bagi para tokoh-tokohnya. Di akhir cerita, Lucy dan George juga sedang berlibur ke Florence dan menikmati “room with a view” di Penginapan Bertolini. 13 Melalui cerita A Room with a View ini, Forster mencoba menceritakan tentang pemberontakan masa muda dengan unsur komedi didalamnya (Beauman dalam Bemrose, 1994:1). Menurut Beauman, Forster menulis cerita ini ketika dia melakukan perjalanan ke Italia bersama ibunya. Di Italia, Forster tidak hanya mempelajari sisi yang menarik tentang kebudayaan klasik dari negara tersebut, tetapi juga mengkritik tentang betapa antusias turis Inggris terutama perempuanperempuan kelas menengah menikmati perjalanan mereka. Sejalan dengan Beauman, Ardis juga mengungkapkan bahwa “when Forster sends his characters to Italy, he invokes a complex tradition of representing English Travel to Southern Europe. Rather than offering a chance to commune with the ‘Classical Mind’, English travel to Italy in the post-Romantic period could actually exacerbate a sense of cultural and historical belatedness. It could expose rather than resolve a sense of emotional and sensual alienation. Forster is both familiar with nineteenth-century re-visionings of that tradition and acutely sensitive to the crass banalities and cross cultural faux pas of early twentieth-century English middle-class tourist. He appreciates the opportunities that travel provides for new kinds and dimensions of contact among English travellers of different classes.” “ketika Forster mengirimkan karakter-karakternya ke Italia, ia membangkitkan sebuah tradisi yang kompleks yang mewakili perjalanan orang-orang Inggris ke Eropa Selatan. Alih-alih menawarkan kesempatan untuk berbaur dengan “Pemikiran Klasik”, turis Inggris yang bepergian ke Italia di era post-Roman sebenarnya dapat memperburuk citra budaya dan sejarah. Karena lebih kepada menyingkap daripada menyelesaikan citra pengasingan dari emosi dan hawa nafsu. Forster sangat familiar baik dengan re-visionings abad kesembilan belas dari tradisi itu dan juga sangat sensitif terhadap basa-basi bodoh serta kesalahan dalam tindakan lintas budaya dari turis Inggris kelas menengah di awal abad kedua puluh. Dia (Forster) menghargai kesempatan dimana perjalanan tersebut menyediakan jenis dan dimensi baru dari koneksi di antara para pelancong Inggris dari kelas-kelas yang berbeda”. 14 (Ardis dalam Bradshaw, 2007: 62) Walaupun perjalanan ke Italia itu dianggap dapat mempersatukan berbagai kelas sosial dari masyarakat Inggris, akan tetapi permasalahan yang muncul juga tidak dapat terelakkan. Dalam novel A Room With a View ini, Forster mencoba menggambarkan bagaimana tata cara berperilaku, kepemilikan properti dan perbedaan kelas sosial dapat mempersulit relasi antara individu yang satu dengan yang lain. Pandangan Forster mengenai para turis Inggris terutama wanita-wanita Inggris itulah yang kemudian dituliskan kedalam novel A Room With a View ini. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh bagaimana Forster menyatukan individu-individu yang berbeda tersebut. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa “a room with a view” menjadi hal yang penting dalam liburan ke Florence-Italia? Apakah hal tersebut menjadi simbol pandangan dunia pengarang yang digambarkan melalui karakterkarakter di dalam cerita?. Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan diatas maka penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu pandangan dunia pengarang yang direfleksikan dalam novel A Room with a View. Selain itu juga, untuk mencari tahu homolog atau tidaknya pandangan dunia pengarang yang tercermin dalam struktur teks dengan pandangan dunia kelompok sosial tempat pengarang berada. Penelitian ini menggunakan analisis teori Strukturalisme genetik yang dikembangkan oleh Lucien Goldmann. Goldmann mendefinisikan novel sebagai cerita tentang suatu pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik yang dilakukan oleh seorang hero yang problematik dalam sebuah dunia yang juga terdegradasi (1975: 1). Nilai-nilai 15 otentik yang dimaksud bukanlah nilai-nilai yang dianggap otentik oleh para kritikus tetapi nilai-nilai yang tidak secara konkret dihadirkan didalam novel. Nilai yang dimaksud adalah nilai-nilai yang mengorganisasikan dunia novel secara keseluruhan meskipun hanya secara implisit (1975: 1). Strukturalisme genetik menurut Goldmann, adalah memahami segala sesuatu didunia ini termasuk karya sastra sebagai sebuah struktur. Dengan demikian, usaha strukturalisme genetik untuk memahami karya sastra secara niscaya terarah pada usaha untuk menemukan struktur karya itu (Faruk, 2012: 159). Struktur menurut strukturalisme genetik mencakup dua hal pokok, yaitu relasi antar tokoh hero dengan tokoh lain dan relasi antara tokoh hero dengan dunia (world) disekitarnya. Struktur karya sastra itu terbangun dari citra tokohtokoh berserta lingkungan alamiah, kultural, sosial dan ideologis beserta hubungannya satu sama lain. Goldmann percaya adanya homologi antara struktur karya sastra dengan struktur masyarakat, sebab keduanya merupakan produk dari aktivitas strukturasi yang sama. Akan tetapi homologi struktural ini tidak bersifat langsung, karena struktur karya sastra tidak homolog dengan struktur masyarakat melainkan homolog dengan pandangan dunia yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat itu. Pandangan dunia menurut Goldmann (1977:17) adalah kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan, yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu dan yang mempertentangkannya dengan kelompok sosial lainnya. Pandangan dunia hadir sebagai suatu kesadaran kolektif yang berkembang sebagai 16 hasil dari situasi sosial dan ekonomik tertentu yang dihadapi oleh subjek kolektif yang memilikinya (Goldmann, 1977: 18, 1981:112). Respon-respon yang diberikan oleh subjek kolektif dan individu ini kemudian menghadirkan suatu fakta kemanusiaan. Fakta kemanusiaan diartikan sebagai hasil usaha manusia untuk mencari keseimbangan yang lebih baik dalam hubungannya dengan dunia sekitarnya (Goldmann, 1981:40). Akan tetapi tidak semua fakta kemanusiaan bersumber pada subjek individual. Revolusi sosial, politik, ekonomi dan karyakarya kultural yang besar merupakan fakta sosial (historis) yang tidak mampu diciptakan oleh subjek individu (Faruk, 2010: 63). Yang dapat menciptakannya hanya subjek trans-individual (Goldmann, 1981:97). Subjek trans-individual tidak merupakan individu yang berdiri sendiri, tetapi merupakan sebuah kolektivitas. Subjek trans-individual menampilkan pikiran individu tetapi dengan struktur mental kelompok. Karya-karya kultural yang besar termasuk didalamnya karya sastra yang besar merupakan hasil tindakan subjek kolektif yang mengekspresikan kebutuhan kelompok sosialnya yaitu kebutuhan untuk membangun keseimbangan dengan lingkungan sekitar. Cara pemahaman dan pengalaman yang sama yang dimiliki oleh kelompok sosial untuk membangun keseimbangan dengan lingkungannya itu yang disebut dengan pandangan dunia. Dengan kata lain, pandangan dunialah yang menentukan struktur atau menstrukturasikan bangunan dunia imajiner karya sastra. Struktur karya sastra dalam hal ini dianggap sebagai fungsi dari struktur sosial (Faruk, 2012:166). Dalam hal ini novel A Room With a View dianggap 17 memiliki sifat-sifat seperti itu. Novel A Room With a View dianggap mengekspresikan pandangan dunia pengarangnya melalui subjek trans-individual yang mewakilinya. Karya ini tidak bisa terlepas dari tradisi sastra dalam lingkungan sosialnya, serta bukan menjadi refleksi atau cerminan masyarakat yang identik dengan bangunan dunia yang terdapat dalam kenyataan dan reproduksi semata-mata dari realitas, melainkan keduanya memiliki kesamaan struktural (Faruk, 2010 :64-65). Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa novel A Room With a View ini juga bermakna secara struktural sehingga pendekatan melalui teori strukturalisme genetik dapat digunakan untuk menganalisis teks novel A Room With a View ini. 1.2 Masalah Penelitian 1. Bagaimana struktur tematik novel A Room with A view? 2. Bagaimana pandangan dunia pengarang yang diekspresikan dalam novel A Room with a View karya E.M. Forster? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai dari penelitian ini secara umum adalah untuk menemukan homologi antara pandangan dunia pengarang yang terefleksikan didalam novel A Room With a View dengan pandangan dunia kelompok sosial dari E.M. Forster. Secara khusus, tujuannya antara lain untuk : 1. Menentukan struktur tematik novel A Room With a View. 18 2. Memformulasikan pandangan dunia pengarang yang diekspresikan dalam novel A Room With a View. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian dengan judul “Strukturalisme Genetik A Room With a View” terdiri dari manfaat teoretis dan manfaat praktis. Manfaat teoretis dari penelitian ini diharapkan menjadi pembendaharaan penelitian dengan menggunakan pendekatan strukturalisme genetik. Selain itu diharapkan dapat menjadi pijakan bagi peneliti lain dalam meneliti struktur karya sastra Inggris atau penelitian lain menggunakan pendekatan strukturalisme genetik. Selanjutnya manfaat praktis penelitian ini adalah mengetahui bagaimana pandangan dunia yang merupakan ekspresi masyarakat dalam hal ini kelompok sosial tempat pengarang bernaung dengan melihat struktur karya sastra serta pandangan dunia pengarangnya. 1.5 Tinjauan Pustaka Dalam penelitian ini, penulis membahas tentang strukturalisme genetik pada novel A Room with A View karya E.M. Forster. Dalam penelusuran dan tinjauan pustaka secara langsung ataupun melalui internet, penulis tidak menemukan novel ini dikaji dalam bentuk skripsi, tesis, ataupun disertasi pada kajian ilmu sastra khususnya di perpustakaan-perpustakaan yang ada di Indonesia. Namun demikian, terdapat beberapa jurnal yang ditemukan membahas mengenai novel A Room With a View ini yang dikaji dari berbagai perspektif. Meskipun begitu, penulis tidak 19 menemukan penelitian yang membahas mengenai novel A Room With a View dari sudut pandang strukturalisme genetik. Selain melakukan observasi di perpustakaan, penulis juga mencari artikel dan jurnal-jurnal baik nasional maupun internasional yang membahas mengenai objek material yang sama. Berikut adalah penelitian-penelitian yang menggunakan objek material sama yaitu novel A Room With a View karya E.M. Forster : Jeffrey Heath (1994) menulis tentang Kissing and Telling: Turning Round in A Room with a View. Artikel ini membahas mengenai tata krama Edwardian yang digambarkan dalam novel A Room with a View. Menurut Heath, novel ini juga bercerita tentang cinta, seni, dan realisasi diri. Penelitian ini sedikit banyak juga mengulas mengenai kehidupan sosial tokoh-tokoh didalam novel yang dihubungkan dengan budaya, akan tetapi tidak berdasar kepada satu teori saja. Sedangkan penulis sendiri tidak hanya membahas mengenai itu, tetapi lebih mendetail kepada struktur novel, pandangan dunia dan juga hubungan keduanya menggunakan kajian strukturalisme genetik dari Lucien Goldmann. Michelle Fillion (2001) menulis sebuah jurnal tentang Edwardian Perspectives on Nineteenth-Century Music in E.M. Forster’s A Room with a View. Jurnal ini membahas mengenal novel A Room With a View sebagai novel paling musikal yang ditulis oleh Forster. Fillion berpendapat bahwa novel ini sebagai dokumen yang langka mengenai selera musik di zaman akhir era Romantik dan era Edwardian dari penulisnya kepada siapa saja yang menganggap bahwa musik adalah kreativitas yang abadi. Penelitian ini sangat jauh berbeda dan tidak ada hubungannya dengan yang akan dilakukan oleh penulis karena, penulis akan 20 menggunakan kajian strukturalisme genetik sebagai pisau analisis dalam membahas novel A Room With a View tersebut. Lynne Walhout Hinojosa (2010) dari Baylor University menulis tentang Religion and Puritan Typology in E.M. Forster’s A Room with A View. Penelitian ini menganalisis tentang pengerjaan kembali dan pembalikan praktek hermeneutik Puritan dari tipologi kitab Injil dalam novel A Room With a View karya E.M. Forster. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menunjukan bagaimana novel secara mendasar berfokus kepada agama, sebuah topik yang kadang dilupakan dari teks. Jika penelitian ini lebih menekankan kepada kehidupan Puritan yang nampak dalam novel, maka berbeda jauh dengan yang akan dilakukan oleh penulis karena penulis akan membahas mengenai struktur karya sastra dan juga pandangan dunia pengarang dari sisi sosialnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penelitian-penelitian terdahulu belum ada yang membahas mengenai novel A Room With a View dengan menggunakan pisau analisis strukturalisme genetik. Sementara itu, yang berhubungan dengan pendekatan strukturalisme genetik, dijumpai beberapa penelitian dalam bentuk tesis yang menggunakan pendekatan ini, diantaranya: Abzari Jafar (2012) dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dalam tesisnya Struktur dan Pandangan Dunia Novel Ra’aitu Rāmallāh Murīd Barghūtsī Analisis Strukturalisme Genetik. Penelitian ini menjelaskan tentang struktur intrinsik novel RR, pandangan dunia yang diekspresikan RR dan hubungan antara struktur karya dan pandangan dunia. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa RR 21 mengekspresikan pandangan dunia nasionalisme yang merupakan produk dari berbagai tingkatan hubungan sosial. Ronidin (2012) dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dalam tesisnya Aspek-Aspek Humanisme Religius Novel Ketika Cinta Bertasbih: Kajian Strukturalisme Genetik. Penelitian ini menjelaskan bahwa pandangan dunia yang diformulasikan pengarang dalam novel KCB adalah humanisme religius yang diekspresikan dalam setiap elemen novel KCB baik struktur teksnya maupun struktur sosialnya. M. Rohiq (2013) dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dalam tesisnya yang berjudul Pandangan Dunia dalam Novel Al-Rajul Al-Adzi Amana karya Najib Kailany: Analisis Strukturalisme Genetik Lucien Goldmann. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur novel serta pandangan dunianya dari kelompok sosial pengarangnya. Penelitian ini menjelaskan bahwa dari oposisioposisi yang tercipta, pada akhirnya bermuara pada satu oposisi utama yaitu budaya. Budaya yang dimaksud adalah budaya yang dibuat oleh kehendak manusia dengan menafikan Tuhan dan budaya yang dibuat dengan mengikuti aturan dan ajaran Tuhan. Eri Rahmawati (2014) dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dalam tesisnya New Puritanisme di Era 1980-an: Kajian Strukturalisme Genetik Terhadap Novel S. Karya John Updike. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan genesis sosial munculnya novel S. Karya John Updike, Struktur teks novel S serta pandangan dunia pengarang. Hasil penelitian ini menemukan bahwa novel S muncul sebagai kritikan terhadap masyarakat Amerika, khususnya 22 New England yang identik dengan Puritanismenya pada tahun 1980an. Pandangan dunia yang diekspresikan dalam novel S adalah pandangan dunia New Puritanisme. Berdasarkan pemaparan mengenai penelitian-penelitian terdahulu, sepengetahuan peneliti belum ada yang membahas novel A Room With a View karya E.M. Forster menggunakan konsep strukturalisme genetik Lucien Goldmann. Melalui pembacaan yang telah dilakukan, terlihat bahwa novel A Room With a View memuat suatu pandangan dunia sebagai cerminan dari suatu kelompok sosial masyarakat tertentu. Sehingga penelitian ini akan secara rinci memaparkan tentang pandangan dunia pengarang yang diekspresikan melalui struktur karya sastra tersebut. Hal tersebut menjadi salah satu perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang lain. 1.6 Landasan Teori Teori Strukturalisme genetik yang dikemukakan oleh Lucien Goldmann mencakup enam konsep dasar yang membangun teori yang dimaksud, yaitu antara lain fakta kemanusiaan, subjek kolektif, strukturasi, pandangan dunia, pemahaman dan penjelasan. Akan tetapi untuk menjawab permasalahan yang penulis temukan seperti yang telah disebutkan pada rumusan masalah, maka penulis hanya memfokuskan pada konsep-konsep Goldmann yang berkaitan dengan struktur tematik karya sastra serta hubungannya dengan pandangan dunia. Dengan kata lain, penulis tidak membahas mengenai struktur masyarakat yang juga merupakan bagian dari konsep teori strukturalisme genetik dari Lucien Goldmann. 23 Goldmann percaya karya sastra merupakan sebuah struktur. Akan tetapi, struktur dalam perspektif strukturalisme genetik tidak sama dengan struktur pada umumnya. Pengertian struktur dalam strukturalisme genetik bersifat tematik, yaitu berpusat pada relasi antara tokoh dengan tokoh lain dan relasi antara tokoh hero dengan dunia disekitarnya (Goldmann, 1975:2). Struktur karya sastra itu terbangun dari citra tokoh-tokoh berserta lingkungan alamiah, kultural, sosial dan ideologis beserta hubungannya satu sama lain. Dengan kata lain, struktur tersebut tidak lahir dengan sendirinya, melainkan merupakan hasil strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat karya sastra yang bersangkutan (Faruk, 2010: 56). Goldmann percaya adanya homologi antara struktur karya sastra dengan struktur masyarakat, sebab keduanya merupakan produk dari aktivitas strukturasi yang sama. Akan tetapi homologi struktural ini tidak bersifat langsung, karena struktur karya sastra tidak homolog dengan struktur masyarakat melainkan homolog dengan pandangan dunia yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat itu. Pandangan dunia menurut Goldmann (1977:17) adalah kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan, yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu dan yang mempertentangkannya dengan kelompok sosial lainnya. Dengan demikian pandangan dunia bukan hanya merupakan seperangkat gagasan abstrak dari suatu kelas mengenai kehidupan manusia dan dunia tempat manusia itu berasal, melainkan juga merupakan semacam cara atau gaya hidup yang dapat mempersatukan anggota satu kelas dengan anggota yang lain dalam kelas yang 24 sama dan membedakannya dari anggota-anggota dari kelas sosial yang lain (Faruk, 2010: 66) Pandangan dunia hadir sebagai suatu kesadaran kolektif (collective consciousness) yang berkembang sebagai hasil dari situasi sosial dan ekonomi tertentu yang dihadapi oleh subjek kolektif yang memilikinya (Goldmann, 1977: 18, 1981:112). Pandangan pengarang dalam karyanya lahir dari pandangan dunia yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Pandangan dunia pengarang sebagai salah seorang dari kelompok sosial, memberi pandangan tertentu tentang keadaan dunia yang dilihatnya, dari lingkungan, masyarakat, dan budaya. Maka dari itu, karya tertentu tidak hanya berasal dari pengarangnya, melainkan juga dari kelompok sosial secara keseluruhan. Pandangan dunia tidak lahir tiba-tiba melainkan sebagai hasil dari interaksi antara subjek kolektif dengan situasi sekitarnya. Ada transformasi mentalitas yang lama secara perlahan-lahan dan bertahap yang diperlukan demi terbangunnya mentalitas yang baru dan teratasinya mentalitas yang lama itu (Goldmann, 1981: 112). Proses yang panjang ini, menurut Goldmann (Faruk, 2010: 68) disebabkan oleh kenyataan bahwa pandangan dunia itu merupakan kesadaran yang mungkin yang tidak setiap orang dapat memahaminya. kesadaran yang-mungkin ini adalah kesadaran yang menyatakan suatu kecenderungan kelompok ke arah suatu koherensi menyeluruh, perspektif yang koheren dan terpadu mengenai hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan alam semesta (Goldmann, 1981: 111). Kesadaran yang demikian jarang disadari pemiliknya kecuali dalam momen- 25 momen krisis dan sebagai ekspresi individual pada karya-karya kultural yang besar (Goldmann, 1981: 87). Goldmann berpandangan bahwa kegiatan kultural tidak bisa dipahami di luar totalitas kehidupan dalam masyarakat yang telah melahirkan kegiatan itu. Masyarakat yang berada dalam posisi tertentu dalam suatu struktur sosial turut memberikan respon guna membangun keseimbangan dengan lingkungan sekitarnya. Respon-respon yang diberikan oleh subjek kolektif dan individu ini kemudian menghadirkan suatu fakta kemanusiaan. Fakta kemanusiaan merupakan landasan ontologis dari strukturalisme genetik. Fakta kemanusiaan menurut Goldmann, diartikan sebagai hasil usaha manusia untuk mencari keseimbangan yang lebih baik dalam hubungannya dengan dunia sekitarnya (1981:40). Dengan demikian hasil aktivitas manusia tersebut juga dapat hadir di dalam karya sastra. Fakta kemanusiaan bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja, melainkan merupakan hasil aktivitas manusia sebagai subjeknya. Fakta kemanusiaan selalu hadir dalam struktur yang berarti, dan struktur ini hanya dapat dipahami dengan menjelaskan bagaimana struktur ini terbentuk (Goldmann, 1977:89). Dalam hal ini, perlu diperhatikan perbedaan antara subjek individual dan subjek kolektif. Tidak semua fakta kemanusiaan bersumber pada subjek individual. Individu dengan dorongan libidonya tidak akan mampu menciptakan revolusi sosial, politik ekonomi dan karya-karya kultural yang besar yang merupakan fakta sosial (historis). Yang dapat menciptakannya hanya subjek trans-individual (Goldmann, 1981:97). Subjek trans-individual 26 bukan merupakan individu yang berdiri sendiri, tetapi merupakan sebuah kolektivitas. Subjek kolektif atau trans-individual merupakan konsep yang masih sangat kabur. Subjek kolektif itu dapat berupa kelompok kekerabatan, kelompok sekerja, kelompok territorial, dan sebagainya (Faruk, 2010:63). Menurut Goldmann (1977: 99), kelompok sosial yang dianggap sebagai subjek kolektif dari pandangan dunia itu hanyalah kelompok sosial yang gagasan-gagasan dan aktivitas-aktivitasnya cenderung ke arah suatu penciptaan suatu pandangan yang lengkap dan menyeluruh mengenai kehidupan sosial manusia. Goldmann menambahkan bahwa subjek kolektif inilah yang juga menjadi subjek dari karya sastra besar sebab karya sastra semacam itu merupakan hasil aktivitas dimana objeknya merupakan alam semesta dan sekaligus kelompok manusia (1981:97). Menurutnya, karya sastra yang besar berbicara tentang alam semesta dan hukumhukumnya serta persoalan-persoalan yang tumbuh darinya (Goldmann, 1970: 597). Apabila di hubungkan dengan pengertian diatas, maka novel A Room With A View sebagai sebuah karya sastra juga termasuk kedalam kelompok karya sastra yang besar yang memuat persoalan tentang alam semesta dan hukum-hukumnya serta persoalan yang ada didalamnya. Sebagaimana pengertian novel menurut Goldmann, yaitu the story of a degraded search, a search for authentic values in a world itself degraded, but at an otherwise advanced level according to a different mode [ cerita tentang pencarian yang terdegradasi, yaitu pencarian nilai-nilai otentik di dunia yang juga terdegradasi, tetapi pada tingkat maju sebaliknya sesuai 27 dengan mode yang berbeda] (1975:1). Pencarian yang dimaksud dilakukan oleh seorang problematic hero (tokoh utama yang problematik). Novel A Room with A View karya E.M. Forster juga menampilkan masalah mengenai tokoh utama (hero) yang problematik yaitu Lucy Honeychurch, dimana hero ini seperti sedang mencari jati dirinya lewat perjalanan-perjalanan yang dilakukannya. Dari ketiga jenis novel yang dikelompokkan oleh Lukács 2, maka novel A Room With a View termasuk kedalam jenis novel Bildungsroman. Novel bildungsroman menurut Lukács adalah novel yang diakhiri dengan self-imposed limitation (pembatasan penyiksaan diri) dimana walaupun tokoh utamanya menyerah pada pencarian problematik, tetapi ia tidak begitu saja menerima kesepakatan dunia ataupun meninggalkan skala implisit nilai (Goldmann, 1975:3). Begitu pula dengan pencarian Lucy Honeychurch yang mencoba menemukan ‘identitas’ dan apa yang diinginkan baik secara internal maupun dengan keterlibatan lingkungan hingga akhirnya Lucy menyerah pada pencariannya. Tokoh utama berusaha untuk menyatu dengan dunia, tetapi karena dunianya 2 Lukács mengembangkan jenis-jenis novel yang didasarkan pada relasi antara hero dan dunianya. Ia membagi jenis novel Western di abad ke 19 ini menjadi 3 tipe skematik yaitu: novel idealisme abstrak, novel psikologi, dan novel Bildungsroman. Novel Idealisme Abstrak diartikan sebagai novel yang dikarakterisasikan melalui aktivitas dari tokoh hero dan kesadaran yang sempit dalam hubungannya dengan kerumitan dunia. Novel psikologi memfokuskan pada analisis dari inner life. karakteristik dari novel ini adalah hero yang pasif sedangkan kesadarannnya terlampau luas daripada yang ditawarkan oleh dunia. Novel Bildungsroman ini diakhiri dengan Self-imposed limitation. Sang hero dalam novel ini menyerah pada pencarian problematiknya, akan tetapi ia tidak begitu saja menerima konvensi yang ada ataupun menghiraukan skala nilai implisit yang ada pada dunia. Dalam Goldmann, Towards a Sociology of the Novel (London; Tavistock Publication, 1975) hal.2-3 28 merupakan dunia yang terdegradasi, maka keinginannya gagal dan menyerah. Akan tetapi hal itu tidak membuat tokoh hero menerima begitu saja kegagalan, dan mencoba menemukan jalan untuk bersatu dengan dunia tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa Forster sebagai pengarang berusaha mengekspresikan pandangan dunia melalui tokoh serta objek dan relasi yang diciptakannya dalam novel tersebut. Goldman mengatakan bahwa pandangan dunia merupakan kesadaran kolektif yang dapat digunakan sebagai hipotesis kerja yang konseptual, suatu model bagi pemahaman mengenai koherensi struktur teks sastra (Faruk, 2010: 79). Konsep yang paling berhubungan langsung dengan karya sastra menurut Faruk adalah konsep struktur yang mempunyai arti. Karena mempunyai struktur karya sastra harus koheren. Karena mempunyai arti, karya sastra berkaitan dengan usaha manusia memecahkan persoalan-persoalannya dalam kehidupan sosial yang nyata (Faruk, 2010:76). Oleh karena itu Goldmann mengembangkan metode dialektik. Metode ini mengembangkan dua pasangan konsep, yaitu, “keseluruhanbagian” dan “pemahaman-penjelasan” (Faruk, 2010: 77). Konsep keseluruhan-bagian merupakan cara melihat unit analisis secara keseluruhan bagian. Dalam sudut pandang tersebut pikiran tidak pernah bergerak seperti garis lurus. Setiap fakta individual sebagai bagian mempunyai arti jika ditempatkan dalam keseluruhan. Sebaliknya keseluruhan hanya bisa dipahami dengan pengetahuan yang bertambah mengenai fakta-fakta parsial atau bagian yang membangun keseluruhan itu. Konsep pemahaman menurut Goldmann adalah usaha pendeskripsian struktur objek material yang dipelajari, sedangkan 29 penjelasan adalah usaha untuk mengerti makna bagian itu dengan menempatkannya dalam keseluruhan yang lebih besar (Faruk, 2010: 78-79). 1.7 Hipotesis Hipotesis sementara yang dapat disimpulkan adalah Novel A Room With a View mempunyai struktur yang mengekspresikan pandangan dunia E.M.Forster sebagai pengarang yaitu pandangan dunia humanisme. Pandangan ini lahir dari kelompok sosial intelektual The Apostles dimana Forster sendiri terlibat menjadi anggota dan keanggotaannya berlaku seumur hidup. Kelompok sosial The Apostles ini diketahui menentang pembatasan-pembatasan yang ada di era Victoria seperti pembatasan artistik, sosial dan juga hubungan sesama jenis. Dengan demikian diasumsikan pandangan dunia kelompok sosial pengarang adalah humanisme liberal, sehingga pandangan dunia pengarang homolog dengan pandangan dunia kelompok sosialnya. 1.8 Metode Penelitian Metode penelitian merupakan cara kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran penelitian. Metode dalam penelitian sastra memiliki ukuran keilmiahan tersendiri yang ditentukan oleh karakteristiknya sebagai suatu sistem. Hal ini karena karya sastra merupakan fakta estetik yang memiliki karakter tersendiri pula (Chamamah, 1994: 19). Dengan demikian, metode penelitian harus memiliki relevansi dengan teori yang digunakan agar tercipta keseimbangan yang saling mendukung. 30 1.8.1 Data dan Sumber Data Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan yaitu menelaah data yang berupa novel A Room With a View karya E.M. Forster terbitan tahun 1955. Data penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah teks-teks yang terdapat di dalam novel A Room With a View. Teks yang dijadikan data penelitian ini merupakan teks yang relevan dengan analisis penelitian. Sedangkan data sekundernya adalah artikel, jurnal, dan karya tulis lainnya dari buku ataupun sumber lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Data sekunder ini berfungsi untuk memperkaya dan mempertajam analisis struktur dan pandangan dunia pengarang. 1.8.2 Metode Pengumpulan Data Berdasarkan sumber data penelitian yang berupa teks yakni novel A Room With a View karya E.M. Forster, maka pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak. Metode simak adalah metode yang digunakan dalam penelitian bahasa dengan cara menyimak penggunaan bahasa pada objek yang diteliti (Sudaryanto, 1993:132). Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengumpulan data penelitian adalah sebagai berikut: 1) menyimak data secara intensif dan berulang-ulang; 2) melakukan penyeleksian data; 3) mencatat datadata yang dinilai relevan; 4) melakukan analisis data sesuai dengan teori; 5) menyusun laporan penelitian. 31 1.8.3 Metode Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode dialektik yang dikemukakan oleh Lucien Goldmann (1977:8). Metode ini bermula dan berakhir pada teks sastra. Metode dialektik juga mempertimbangkan persoalan koherensi struktural. Metode dialektik mengukuhkan pandangan bahwa tidak ada titik awal yang mutlak, tidak ada persoalan yang secara mutlak dan pasti terpecahkan karena dalam sudut pandang tersebut pikiran tidak pernah bergerak seperti garis lurus. Dengan demikian, untuk mengidentifikasi struktur dan pandangan dunia pengarang menggunakan metode dialektik, proses analisis yang dilakukan menjadi semacam gerak yang melingkar terus menerus, tanpa diketahui tempat atau titik yang menjadi pangkal atau ujungnya (Faruk, 2010: 77-78). Metode dialektik mengembangkan dua pasangan konsep, yaitu “bagian- keseluruhan” dan “pemahaman-penjelasan” (Faruk, 2010:77). Pada tahap analisis data, penulis menggunakan kedua pasangan metode dialektik. Langkah-langkah analisis data dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Menentukan struktur tematik dari novel A Room With a View yang berupa relasi antar tokoh hero dengan tokoh lain serta tokoh hero dengan dunianya sebagai bagian dari struktur karya sastra. Pendeskripsian struktur novel merupakan tahap pemahaman yaitu merupakan salah satu dari pasangan metode dialektik pemahamanpenjelasan. b. Bertolak dari relasi-relasi tersebut, kemudian dicari ekspresi pandangan dunia (world view) pengarang dalam novel A Room With a 32 View. Dalam hal ini, pandangan dunia pengarang juga diasumsikan sebagai bagian dari level keseluruhan pandangan dunia kelompok sosialnya. Pandangan dunia pengarang dianggap sebagai kesadaran individual yang juga kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif yang dimaksud Goldmann adalah pandangan dunia yang lahir dari pengarang yaitu kesadaran kelompok kolektif yang menyatukan individu-individu menjadi suatu kelompok yang memiliki identitas kolektif. c. Menentukan kelompok sosial pengarang, darimana pengarang itu lahir. Kelompok sosial ini dianggap sebagai subjek kolektif (subjek trans-individual) yang gagasan dan aktivitas-aktivitasnya cenderung ke arah suatu penciptaan yang lengkap dan menyeluruh mengenai kehidupan sosial manusia. Dari situlah lahir pandangan dunia kelompok sosial atau pandangan dunia kolektif. Dengan asumsi pada poin (b), maka pandangan dunia kelompok sosial pengarang ditentukan sebagai level keseluruhan dari bagian struktur karya sastra dan pandangan dunia pengarang. d. Setelah diketahui level keseluruhan yang akan dianalisis yaitu pandangan dunia kelompok sosial pengarang, maka tahap analisis terakhir yang digunakan adalah tahap penjelasan. Tahap penjelasan ini berfungsi untuk memahami bagian struktur karya sastra dan pandangan dunia pengarang dan kemudian menempatkannya dalam keseluruhan yang lebih besar yaitu pandangan dunia kelompok sosial 33 pengarang. Pada tahap penjelasan ini, penulis membuktikan asumsi bahwa pandangan dunia pengarang homolog dengan pandangan dunia kelompok sosialnya. e. Penarikan kesimpulan. 1.9 Sistematika Penulisan Penelitian ini akan disajikan dalam lima bab. Bab I berupa pengantar yang memuat latar belakang, masalah penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, hipotesis, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II membahas struktur tematik novel berupa analisis relasi tokoh hero dengan tokoh lain dan relasi tokoh dengan dunia disekitar. Selanjutnya Bab III membahas pandangan dunia kelompok sosial yang terdiri atas pengarang dan kelompok sosialnya serta pandangan dunia yang dianut. Bab IV berisi tentang kesimpulan analisis.