BAB II

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Self-efficacy
2.1.1
Pengertian Self-efficacy
Konsep self efficacy sebagai landasan teori yang utama dalam penelitian
ini telah banyak diteliti oleh para ahli. Adapun pengertian yang akan digunakan
adalah definisi yang digunakan Bandura.
Beberapa definisi yang diberikan
Bandura tentang self-efficacy adalah :
“ .. a person’s evaluation of his or her ability or competency to perform a task,
reach a goal, or overcome an obstacle.” (Bandura, 1986).
“ .. the belief that a person has in their capability of performing particular task.”
(Bandura, 1986).
Kesimpulan yang didapat dari dua definisi tersebut yaitu, self-efficacy
adalah suatu belief atau keyakinan
yang dimiliki seseorang terhadap
kemampuannya untuk mengerjakan suatu tugas atau tindakan tertentu dalam
mencapai tujuan yang diinginkan. Pembentukan self-efficacy merupakan proses
kognitif, dimana seseorang membentuk suatu penilaian subjektif terhadap
kemampuannya untuk menghadapi tuntutan atau tugas tertentu.
Self-efficacy
disebut sebagai persepsi subjektif karena merefleksikan apa yang diyakini
seseorang, belum tentu merefleksikan apa yang sebenarnya terjadi (Bandura,
1986).
Self-efficacy tidak selalu berhubungan dengan kemampuan seseorang yang
sebenarnya. Morris dan Summers (1995) dalam Hendrawan (2004) menjelaskan
bahwa ada saat dimana self-efficacy dan kapabilitas seseorang yang sebenarnya
7
tidak jauh berbeda, yaitu ketika tugas serupa atau mirip dengan tugas yang
dilakukan sebelumnya. Performa yang sebelumnya merupakan sumber informasi
yang utama dalam proses kognitif yang membentuk self-efficacy.
Self-efficacy bergantung secara spesifik pada seting waktu dan keadaan
yang berubah-ubah, meskipun demikian, self-efficacy dapat diciptakan dalam
situasi yang diramalkan dapat dikontrol (Rushail, 1988 dalam Morris & Summers,
1995 dalam Hendrawan 2004). Bandura (1986) juga mengatakan bahwa selfefficacy bersifat spesifik pada tugas tertentu, misalnya seorang pelajar bisa saja
memiliki self efficacy yang tinggi untuk segala tugas yang berhubungan dengan
angka / eksakta, dan self-efficacy yang rendah untuk tugas yang berhubungan
dengan ilmu-ilmu sosial.
Penjelasan-penjelasan di atas menunjukan bahwa persepsi seseorang
tentang self-efficay-nya terhadap tugas tertentu dan pada waktu tertentu dihasilkan
proses kognitif yang melibatkan pengalaman sebelumnya dan situasi saat ini.
Bandura juga menjelaskan bahwa self-efficacy mempunyai aspek-aspek tertentu
didalamnya.
2.1.2
Aspek Self-efficacy
Bandura (1995) juga menjelaskan bahwa terdapat beberapa aspek didalam
self-efficacy. Aspek-aspek tersebut adalah level, strength dan generality of self
efficacy.
Aspek yang pertama yaitu level of self-efficacy, merujuk pada
banyaknya tugas/keterampilan yang diharapkan dapat dilakukan individu.
Bandura juga menjelaskan bahwa level of self-efficacy akan mempengaruhi
aktivitas yang akan dijalani individu, dimana tugas yang membutuhkan self-
8
efficacy tinggi akan lebih disukai daripada yang rendah, selain itu, level of selfefficacy juga mempengaruhi jumlah usaha yang dilakukan dalam usaha
menyelesaikan tugas, dimana self-efficacy yang lebih baik mengarah pada usaha
yang lebih baik, serta mempengaruhi tingkat ketahanan seseorang ketika
menghadapi tugas yang lebih sulit, dimana individu dengan self-efficacy yang
lebih tinggi akan memiliki ketahanan yang lebih baik. Level of self-efficacy yang
tinggi akan membuat individu menghadapi situasi kompetitif dengan antusias dan
percaya diri.
Aspek yang kedua, strength of self-efficacy menunjukan seberapa besar
keyakinan yang dimiliki individu bahwa mereka akan berhasil menyelesaikan
tugas dengan baik. Seorang mahasiswa bisa saja memiliki keyakinan bahwa
dirinya memiliki kemampuan yang cukup baik dalam mengerjakan tugas-tugas
mata kuliah eksakta, seperti statistik ataupun pikometri, dengan demikian ia
memiliki self-efficacy yang tinggi untuk mengerjakan tugas-tugas eksakta, tetapi
untuk mengerjakan tugas-tugas ilmu sosial individu merasa kurang mampu untuk
mengerjakannya, sehingga self-efficacy yang dimiliki individu rendah untuk
mengerjakan tugas-tugas mata kuliah sosial.
Penjelasan di atas menggambarkan bahwa aspek level of self-efficacy dan
strength of self-efficacy lebih merujuk pada tingkah laku spesifik yang dapat
dilakukan individu, maka, aspek yang ketiga lebih merujuk pada tugas yang harus
dilakukan. Aspek yang terakhir adalah generality of self-efficacy, menunjukan
self efficacy pada domain tertentu karena berhasilnya tugas-tugas yang dilakukan,
apabila setiap level dalam tugas-tugas dapat dilakukan individu maka dapat
9
dikatakan ia memiliki self-efficacy yang baik secara keseluruhan, seperti contoh
diatas, bila seorang mahasiswa mampu mengerjakan tugas-tugas mata kuliah
eksakta dan tugas-tugas mata kuliah ilmu sosial dengan baik, maka ia memiliki
self-efficacy yang baik secara keseluruhan sebagai mahasiswa
2.1.3
Hal-hal yang Mempengaruhi Self-efficacy
Morris & Summers, (1995) dalam Hendrawan (2004) menjelaskan bahwa
Self-efficacy adalah variable kunci dalam suksesnya performa seseorang, baik
dalam bidang olahraga, kesehatan, maupun bidang umum lainnya, oleh karena itu
self-efficacy sendiri telah menjadi isu yang cukup penting dalam pengembangan
program intervensi untuk meningkatkan rasa percaya diri dan performa seseorang.
Bandura (1986) mengajukan empat faktor utama yang menurutnya berpengaruh
terhadap self efficacy :
Keempat faktor tersebut adalah :
a.
Performance Accomplishments
Hal ini dapat diperoleh dari pengalaman
penguasaan personal.
Pengalaman keberhasilan dan kegagalan seseorang dalam melakukan suatu tugas
tertentu sangat berpengaruh terhadap self efficacy yang dimilikinya. Bandura juga
menyatakan bahwa reinforcement positif yang diperoleh dari keberhasilan adalah
penting untuk meningkatkan penilaian diri seseorang tentang kompetensinya.
Bandura menyatakan bahwa keberhasilan dalam menyelesaikan tugas yang lebih
sulit
akan
meningkatkan
self-efficacy dibandingkan
keberhasilan
dalam
menyelesaikan tugas yang lebih mudah, dan juga sebaliknya pengalaman
kegagalan mempunyai dampak yang sama terhadap keberhasilan dalam
10
mempengaruhi self-efficacy, bahkan dalam beberapa kasus, kegagalan mempunyai
dampak yang lebih besar terhadap turunnya self-efficacy.
b.
Vicarious Experience
Self-efficacy juga bisa dipengaruhi karena pengalaman orang lain.
Individu yang mengamati orang lain yang mencapai keberhasilan dapat
menimbulkan persepsi self-efficacy-nya.
Melihat keberhasilan orang lain,
individu dapat meyakinkan dirinya bahwa ia juga bisa mencapai hal yang sama
dengan orang yang dia amati. Individu juga meyakikan dirinya, jika orang lain
bisa, dirinya pun pasti bisa, jika dia melihat bahwa orang lain yg memiliki
kemampuan yang sama ternyata gagal meskipun telah berusaha keras, maka dapat
menurunkan penilaian terhadap diri sendiri dan juga akan mengurangi usaha yang
akan dilakukan (Bandura, 1986).
Self-efficacy memiliki kondisi-kondisi tertentu khususnya sensitif pada
informasi dari orang lain. Pertama yaitu, ketidakpastian mengenai kemampuan
yang dimiliki individu. Kedua yaitu, karena pengetahuan yang dimiliki tentang
kemampuan diri sendiri sangat terbatas.
Ketiga yaitu, penilaian self-efficacy
selalu berdasarkan kriteria dimana kemampuan dievaluasi (Bandura, 1986).
c.
Verbal Persuasion
Verbal persuasion digunakan untuk memberikan keyakinan pada
seseorang bahwa ia memiliki kemampuan yang memadai utntk mencapai apa
yang diinginkan.
Seseorang yang berhasil diyakinkan secara verbal akan
menunjukan suatu usaha yang lebih keras jika dibandingkan dengan individu lain
yang memiliki keraguan dan hanya memikirkan kekurangan diri ketika
11
menghadapi suatu kesulitan. peningkatan keyakinan individu yang tidak realistis
mengenai kemampuan dirinya akan menemui kegagalan.
Hal ini dapt
menghilangkan kepercayaan orang lain yang mempersuasi dan juga akan
mengurangi self efficacy orang yang dipersuasi.
d.
Physiological Arousal
Bandura menjelaskan psysiological arousal dengan mengambil contoh
ketegangan
atlet
dalam
berkompetisi
memang
sangat
penting
dalam
mempengaruhi tingkat usaha yang akan dilakukan dalam mengerjakan tugas untuk
mencapai tujuan. Tingkat ketegangan ini harus diidentifikasi oleh atlet sebagai
sesuatu yang mengntungkan, karena adanya ketegangan ini atlet akan berusaha
lebih siap dan yakin bahwa dirinya dapat menjalankan tugas dengan baik. Kontrol
yang baik terhadap tingkat ketegangan yang dialami akan meningkatkan selfefficacy (Morris & Summers, 1995).
2.2
Kecemasan
2.2.1
Definisi Kecemasan
Kecemasan pertama kali diperkenalkan oleh Freud. Menurut Freud dalam
Alwisol (2005) mengatakan bahwa kecemasan adalah fungsi ego untuk
memperingatkan individu tentang kemungkinan datangnya suatu bahaya sehingga
dapat disiapkan reaksi adaptif yang sesuai.
Menurut Freud, kecemasan
merupakan suatu kondisi yang tidak menyenangkan. Kagan dan Haveman (1972)
dalam Kutash, I. L & Schlesinger, L. B (1980) mendefinisikan kecemasan sebagai
suatu perasaan yang tidak jelas, tidak menyenangkan bahwa akan terjadi peristiwa
12
yang tidak diinginkan pada masa yang akan datang. Haber dan Runyon (1984)
menambahkan bahwa kecemasan sering kali digambarkan sebagai suatu ketakutan
yang tidak jelas yang dirasakan sehingga mengancam dan biasanya yang menjadi
ancaman tersebut tidak jelas.
Atwater (1983) mengemukakan bahwa rasa khawatir adalah salah satu
bentuk kecemasan. Orang-orang cenderung merasa khawatir akan kejadian yang
akan datang, tetrutama jika kejadian itu berkaitan dengan emosional dengan
dirinya dan kejadian yang belum diketahui hasilnya.
Rogers (1996)
menambahkan terdapat dua elemen kecemasan, yaitu adanya ketakutan akan
ditekankannya persyaratan eksternal yang dipandang sebagai suatu ancaman dan
adanya kekhawatiran mengenai kemampuan dalam mengatasinya. Pengertianpengertian di atas menghasilkan kesimpulan, kecemasan merupakan suatu
perasaan tidak menyenangkan dimana sesuatu yang dirasakan mengancam akan
terjadi pada masa yang akan datang dan apa yang menjadi ancaman tersebut
sebenarnya tidak jelas.
Banyak orang sering menggunakan istlah kecemasan atau ketakutan
sebagai satu hal yang sama. Kecemasan dan ketakutan merupakan dua hal yang
berbeda.
Spielberger (1996) menjelaskan bahwa ketakutan merupakan suatu
respon terhadap adanya bahaya eksternal yang nyata, sedangkan kecemasan
adalah reaksi terhadap ancaman yang tidak diketahui. Haber and Runyon (1984)
menyatakan bahwa ketakutan terjadi sebagai reaksi terhadap adanya bahaya yang
nyata secara spesifik, sedangkan kecemasan biasanya tidak memiliki sumber
13
penyebab yang jelas. Penjelasan tersebut menghasilkan bahwa perbedaan yang
mendasari antara keduanya adalah apa yang menjadi sumber ancaman.
Setiap individu tentunya pernah mengalami kecemasan dalam hidupnya,
namun kecemasan yang dirasakan itu berbeda tingkatannya. Individu yang satu
dengan yang lain dapat memberikan reaksi yang berbeda terhadap sesuatu yang
dianggap sebagai sumber ancaman yang sama. Perbedaan reaksi memunculkan
kecemasan yang dikategorikan oleh May (2002) kedalam dua bentuk yaitu :
normal anxiety dan neurotic anxiety
a.
Normal Anxiety
Normal anxiety adalah suatu reaksi yang sebanding dengan ancaman yang
dirasakan, tidak melibatkan epresi, dan dapat dihilangkan jika situasi objektif
tersebut dirubah. Individu yang masih berada dalam normal anxiety, reaksi dari
kecemasannya masih dalam batas kewajaran yang tidak berlebihan. Kecemasan
yang normal memiliki beberapa fungsi yaitu :
(a)
Kecemasan dapat meningkatkan kesiapan seseorang untuk melakukan
tindakan yang bertenaga.
(b)
Membantu kesiapan seseorang untuk bertahan jika dalam kondisi sedang
menghadapi kemungkinan bahaya penyerangan.
(c)
Membuat
keadaan
pada
saat
menantika
sesuatu
menjadi
menyenangkan.
(d)
Terkadang dapat menjadi sumber keveriaan dan kesenangan.
(e)
Berfungsi sebagai penyegaran , seperti menonton film-film misteri.
14
lebih
b.
Neurotic Anxiety
Reaksi yang ditimbulkan tidak sesuai dengan ancaman yang dirasakan,
selalu melibatkan represi dan sebagai bentuk lain dari konfli-konflik intra psikis,
serta dapat dikendalikan melalui berbagai macam blocking-off dari aktivitas dan
kesadaran.
2.2.2
Penyebab Kecemasan
Menurut Beck, Emery, Greenberg (1987) dalam Wolman (1994), terdapat
beberapa faktor yang dapat menyebabkan seseorang rentan dan cenderung
mengalami kecemasan serta gangguan kecemasan, faktor-faktor itu adalah :
a.
Genetik
Faktor hereditas dapat menimbulkan pengaruh terhadap kecemasan dalam
hal mudah atau tidaknya sistem saraf otonom seseoran untuk menerima
rangsangan (Wolman & Sricker 1994).
Seseorang yang riwayat keluarganya
memiliki gangguan kecemasan, jika dalam kondisi atau situasi yang
mencemaskan akan lebih cenderung menunjukan gejala-gejala kecemasannya
dibanding orang lain dalam kondisi tersebut.
b.
Trauma mental
Trauma mental dapat mengakibatkan individu menjadi lebih mudah cemas
jika dihadapkan pada situasi yang sama dengan pengalaman yang menimbulkan
trauma.
Trauma yang terjadi yang melibatkan bangkitnya suatu emosi yang
sangat tinggi dapat menghasilkan atau membentuk skema yang berkaitan dengan
ancaman. Skema ini akan muncul berulang-ulang bila individu menemukan suatu
kondisi yang sama dengan kondisi saat ia mengalami trauma.
15
c.
Tidak berjalannya coping strategy,
Seseorang yang mengalami kecemasan cenderung memperlihatkan
kekurangan dalam menyesuaikan strategi-strategi coping terhadap.kecemasan
yang timbul atau sesuatu yang dirasakan mengancam.
Mereka menganggap
bahwa situasi yang ada merupakan hasil dari persepsi terhadap adanya ancaman.
Individu juga menilai bahwa mereka memiliki kekurangan dalam upaya untuk
mengatasi ancaman yang dirasakan dan apda akhirnya individu membiarkan diri
mereka mudah untuk mengalami kecemasan dalam kehidupan sehari-hari.
d.
Pikiran irasional, asumsi dan kesalahan proses kognitif
Individu yang mengalami kelainan kecemasan sering menganggap bahwa
keyakinan yang tidak realistis tentang suatu ancaman atau bahaya yang
ditimbulkan oleh situasi maupun kondisi yang serupa dengan situasi tersebut
dipelajari. Skema ini akan mendorong pikiran, tingkah laku, dan emosi individu
untuk masuk kedalam keadaan cemas saat diaktifkan.
2.2.3
Simptom Kecemasan
Hurlock (1997) menyatakan individu yang merasa cemas baik secara
psikis atau pun psikologis dalam dirinya akan terjadi gangguan antisipasi atau
harapan pada masa yang akan datang. Keadaan ini ditandai dengan adanya rasa
khawatir, gelisah dan perasaan akan terjadi suatu hal yang tidak menyenangkan
dan individu tidak mampu menjadi tidak mampu menemukan penyelesaian
terhadap masalahnya. Endler, Hunt dan Rosentein dalam Kutas dan Schlesinger,
(1980) menyatakan bahwa gejala yang muncul pada individu yang mengalami
16
kecemasan adalah berkeringat, memiliki perasaan yang tidak nyaman, gembira
yang berlebihan, sakit perut, tegang, menikmati situasi yang ada, detak jantung
yang meningkat dan memiliki perasaan khawatir. Individu yang merasa cemas
baik secara psikis atau pun psikologis dalam dirinya akan terjadi gangguan
antisipasi atau harapan pada masa yang akan datang.
Keadaan ini ditandai
dengan adanya rasa khawatir, gelisah dan perasaan akan terjadi suatu hal yang
tidak menyenangkan dan individu tidak mampu menjadi tidak mampu
menemukan penyelesaian terhadap masalahnya (Hurlock, 1997).
Beck,
Emery
dan
Greenberg
(1987)
dalam
Wolman
(1994)
menggabungkan tanda fisik dengan psikis yaitu : mati rasa atau munculnya rasa
geli, perasaan panas, kaki yang tidak bertenaga, tidak mampu merasa santai, takut
bila terjadi sesuatu yang buruk, pusing, jantungnya berdeba-debar.tidak stabil,
takut, nervous, merasa tersedak, tangan dan tubuh gemetar, takut kehilangan
control, sulit bernafas, takut akan kematian, sakit perut, muka yang memerah, dan
berkeringat.
Penelitian yang dilakukan Haber dan Runyon (1984) menemukan cara
untuk mengetahui kecemasan, melalui :
a.
Kognitif (pikiran seseorang)
Individu yang mengalami kecemasan akan terlalu terpaku terhadap bahaya
yang tidak dikenal atau tidak jelas, mengalami kesulitan berkonsentrasi, sulit
membuat keputusan, dan akan mengalami kesulitan tidur.
17
b.
Tingkah laku motorik
Kecemasan dapat dilihat dari apa yang telah ditampilkan dalam tingkah
laku seseorang seperti menggigit bibir, gelisah, dan lainnya.
c.
Somatik
Terwujud dalam reaksi fisik dan biologis seseorang, misalnya mulut
kering, tangan dan kaki berkeringat, jantung berdebar, sesak nafas, sakit perut
tekanan darah meningkat dan lainnya.
d.
Afektif
Terwujud melalui kondisi emosi seseorang seperti perasaan tegang,
perasaan diteror, perasaaan tidak nyaman, rasa khawatir yang berlebihan.
2.4
Penelitian Terdahulu
Primusanto (2000) melakukan penelitian pada mahasiswa yang sedang
mengerjakan skripsi dan mendapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan yang
sangat signifikan antara tingkat kecemasan saat mengerjakan skripsi dan tingkat
kecemasannya sehari-hari atau normal.
Kecemasan ini bisa muncul karena
mahasiswa tersebut sedang terbebani dengan tugas-tugas pembuatan skripsi yang
nantinya akan menjadi bahan evaluasi kelulusan. Anton (2007) juga melakukan
penelitian untuk mengetahui pengaruh self-efficacy dengan kecemasan pada
mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi, dan memang hasilnya ada pengaruh
yang signifikan antara self-efficacy dengan kecemasan pada mahasiswa yang
sedang mengerjakan skripsi.
18
2.5
Kerangka Pemikiran
Self-efficacy adalah suatu belief atau keyakinan yang dimiliki seseorang
terhadap kemampuannya untuk mengerjakan suatu tugas atau tindakan tertentu
dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Aspek dari self-efficacy adalah level of
self-efficacy, strength of self-efficacy, dan generality of self efficacy.
Kecemasan
merupakan
suatu
perasaan
yang
tidak
jelas,
tidak
menyenangkan bahwa akan terjadi peristiwa yang tidak diinginkan pada masa
yang akan datang.
Simptom-simptom kecemasan adalah kognitif, tingkah laku
motorik, somatik dan afektif.
Self efficacy memiliki hubungan yang erat dengan kecemasan, dimana
tingkat self-efficacy seseorang akan mempengaruhi performance, yang dimana
performance yang baik akan membuat kecemasan menurun, karena individu
merasa memiliki kemampuan yang cukup untuk melakukan tugas-tugas yang
harus diselesaikan, dan juga sebaliknya performance yang rendah akan
mengakibatkan individu merasa cemas karena merasa tidak memiliki kemampuan
yang cukup untuk mengerjakan tugas yang harus diselesaikan. Aspek-aspek selfefficacy berhubungan secara tidak langsung dengan simptom-simptom kecemasan,
karena aspek self-effiacy akan muncul dalam kondisi yang bisa terlihat atau
dirasakan melalui simptom-simptom kecemasan yang ada.
19
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
Aspek self-efficacy :
- Level of selfefficacy
- Strength of selfefficacy
- Generality of
self-efficacy
Self-efficacy
Hubungan
.
Simptom kecemasan :
- Kognitif
- Tingkah laku
motorik
- Somatik
- Afektif
Kecemasan
20
Download