BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fraktur Femur 2.1.1 Definisi Fraktur Femur Fraktur femur adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang femur (Mansjoer, 2000). Sedangkan menurut Sjamsuhidajat (2004) fraktur femur adalah fraktur pada tulang femur yang disebabkan oleh benturan atau trauma langsung maupun tidak langsung. Fraktur femur juga didefinisikan sebagai hilangnya kontinuitas tulang paha, kondisi fraktur femur secara klinis bisa berupa fraktur femur terbuka yang disertai adanya kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf dan pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup yang dapat disebabkan oleh trauma langsung pada paha (Helmi, 2012) Dari beberapa penjelasan tentang fraktur femur di atas, dapat disimpulkan bahwa fraktur femur merupakan suatu keadaan dimana terjadi kehilangan kontinuitas tulang femur yang dapat disebabkan oleh trauma langsung maupun trauma tidak langsung dengan adanya kerusakan jaringan lunak. 2.1.2 Klasifikasi Fraktur Femur Menurut Helmi (2012) faktur femur dapat dibagi lima jenis berdasarkan letak garis fraktur seperti dibawah ini: 9 10 a. Fraktur Intertrokhanter Femur Merupakan patah tulang yang bersifat ekstra kapsuler dari femur, sering terjadi pada lansia dengan kondisi osteoporosis. Fraktur ini memiliki risiko nekrotik avaskuler yang rendah sehingga prognosanya baik. Penatalaksanaannya sebaiknya dengan reduksi terbuka dan pemasangan fiksasi internal. Intervensi konservatif hanya dilakukan pada penderita yang sangat tua dan tidak dapat dilakukan dengan anestesi general. b. Fraktur Subtrokhanter Femur Garis fraktur berada 5 cm distal dari trokhanter minor, diklasifikasikan menurut Fielding & Magliato sebagai berikut: 1) Tipe 1 adalah garis fraktur satu level dengan trokhanter minor; 2) Tipe 2 adalah garis patah berada 1-2 inci di bawah dari batas atas trokhanter minor; 3) Tipe 3 adalah 2-3 inci dari batas atas trokhanter minor. Penatalaksanaannya dengan cara reduksi terbuka dengan fiksasi internal dan tertutup dengan pemasangan traksi tulang selama 6-7 minggu kemudian dilanjutkan dengan hip gips selam tujuh minggu yang merupakan alternatif pada pasien dengan usia muda. c. Fraktur Batang Femur Fraktur batang femur biasanya disebabkan oleh trauma langsung, secara klinis dibagi menjadi: 1) fraktur terbuka yang disertai dengan kerusakan jaringan lunak, risiko infeksi dan perdarahan dengan penatalaksanaan berupa debridement, terapi antibiotika serta fiksasi internal maupun ekternal; 2) Fraktur tertutup dengan penatalaksanaan konservatif berupa pemasangan skin traksi serta operatif dengan pemasangan plate-screw. 11 d. Fraktur Suprakondiler Femur Fraktur ini disebabkan oleh trauma langsung karena kecepatan tinggi sehingga terjadi gaya aksial dan stress valgus atau varus dan disertai gaya rotasi. Penatalaksanaan berupa pemasanga traksi berimbang dengan menggunakan bidai Thomas dan penahan lutut Pearson, cast-bracing dan spika pinggul serta operatif pada kasus yang gagal konservatif dan fraktur terbuka dengan pemasangan nail-phroc dare screw. e. Fraktur Kondiler Femur Mekanisme trauma fraktur ini biasanya merupakan kombinasi dari gaya hiperabduksi dan adduksi disertai denga tekanan pada sumbu femur ke atas. Penatalaksanaannya berupa pemasangan traksi tulang selama 4-6 minggu dan kemudian dilanjutkan dengan penggunaan gips minispika sampai union sedangkan reduksi terbuka sebagai alternatif apabila konservatif gagal. 2.1.3 Proses Penyembuhan Fraktur Fraktur akan menyatu baik di bebat atau tidak, tanpa suatu mekanisme alami untuk menyatu. Namun tidak benar bila dianggap bahwa penyatuan akan terjadi jika suatu fraktur dibiarkan tetap bergerak bebas. Sebagian besar fraktur dibebat, tidak untuk memastikan penyatuan, tetapi untuk meringankan nyeri, memastikan bahwa penyatuan terjadi pada posisi yang baik dan untuk melakukan gerakan lebih awal dan mengembalikan fungsi (Smeltzer & Bare, 2002). Proses penyembuhan fraktur beragam sesuai dengan jenis tulang yang terkena dan jumlah gerakan di tempat fraktur. Penyembuhan dimulai dengan lima tahap, yaitu sebagai berikut: 12 a) Tahap kerusakan jaringan dan pembentukan hematom (1-3 hari) Pada tahap ini dimulai dengan robeknya pembuluh darah dan terbentuk hematoma di sekitar dan di dalam fraktur. Tulang pada permukaan fraktur, yang tidak mendapat persediaan darah, akan mati sepanjang satu atau dua milimeter. Hematom ini kemudian akan menjadi medium pertumbuhan sel jaringan fibrosis dan vaskuler sehingga hematom berubah menjadi jaringan fibrosis dengan kapiler di dalamnya (Black & Hawks, 2001). b) Tahap radang dan proliferasi seluler (3 hari–2 minggu) Setelah pembentukan hematoma terdapat reaksi radang akut disertai proliferasi sel di bawah periosteum dan di dalam saluran medula yang tertembus. Ujung fragmen dikelilingi oleh jaringan sel yang menghubungkan tempat fraktur. Hematoma yang membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan kapiler baru yang halus berkembang ke dalam daerah tersebut (Black & Hawks, 2001; Sjamsuhidajat dkk, 2011). c) Tahap pembentukan kalus (2-6 minggu) Sel yang berkembangbiak memiliki potensi kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan dalam beberapa keadaan, juga kartilago. Populasi sel juga mencakup osteoklas yang mulai membersihkan tulang yang mati. Massa sel yang tebal, dengan pulau-pulau tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kalus atau bebat pada permukaan periosteal dan endosteal. Sementara tulang fibrosa yang imatur menjadi lebih padat, gerakan pada tempat fraktur semakin 13 berkurang pada empat minggu setelah fraktur menyatu (Black & Hawks, 2001; Sjamsuhidajat dkk, 2011). d) Osifikasi (3 minggu-6 bulan) Kalus (woven bone) akan membentuk kalus primer dan secara perlahan–lahan diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas yang menjadi struktur lamellar dan kelebihan kalus akan di resorpsi secara bertahap. Pembentukan kalus dimulai dalam 2-3 minggu setelah patah tulang melalaui proses penulangan endokondrial. Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang benar-benar bersatu (Black & Hawks, 2001; Smeltzer & Bare, 2002). e) Konsolidasi (6-8 bulan) Bila aktivitas osteoklastik dan osteoblastik berlanjut, fibrosa yang imatur berubah menjadi tulang lamellar. Sistem itu sekarang cukup kaku untuk memungkinkan osteoklas menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan dekat di belakangnya osteoblas mengisi celah-celah yang tersisa antara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu sebelum tulang cukup kuat untuk membawa beban yang normal (Black & Hawks, 2001; Sjamsuhidajat dkk, 2011). f) Remodeling (6-12 bulan) Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan, atau bahkan beberapa tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorpsi dan pembentukan tulang akan memperoleh bentuk 14 yang mirip bentuk normalnya (Black & Hawks, 2001; Sjamsuhidajat dkk, 2011; Smeltzer & Bare, 2002). 2.1.4 Komplikasi Fraktur Femur Komplikasi setelah fraktur adalah syok yang berakibat fatal dalam beberapa jam setelah cedera, emboli lemak, yang dapat terjadi dalam 48 jam atau lebih, dan sindrom kompartemen, yang berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanent jika tidak ditangani segera. Adapun beberapa komplikasi dari fraktur femur yaitu: a) Syok Syok hipovolemik atau traumatik akibat pendarahan (baik kehilangan darah eksterna maupun interna) dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak dapat terjadi pada fraktur ekstremitas, toraks, pelvis, dan vertebra karena tulang merupakan organ yang sangat vaskuler, maka dapat terjadi kehilangan darah dalam jumlah yang besar sebagai akibat trauma, khususnya pada fraktur femur pelvis (Suratum, dkk, 2008). b) Emboli lemak Setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis, fraktur multiple atau cidera remuk dapat terjadi emboli lemak, khususnya pada pria dewasa muda 20-30 tahun. Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat termasuk ke dalam darah karna tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karna katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stres pasien akan memobilitasi asam lemak dan memudahkan terjadiya globula lemak dalam aliran darah. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit membentuk 15 emboli, yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok otak, paru, ginjal dan organ lain. Awitan dan gejalanya yang sangat cepat, dapat terjadi dari beberapa jam sampai satu minggu setelah cidera gambaran khasnya berupa hipoksia, takipnea, takikardia, dan pireksia (Suratun, dkk, 2008). c) Sindrom kompartemen (Volkmann’s Ischemia) Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan interstisial di dalam ruangan yang terbatas, yaitu di dalam kompartemen osteofasial yang tertutup. Peningkatan tekanan intra kompartemen akan mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan, sehingga terjadi gangguan sirkulasi dan fungsi jaringan di dalam ruangan tersebut. Ruangan tersebut terisi oleh otot, saraf dan pembuluh darah yang dibungkus oleh tulang dan fascia serta otot-otot individual yang dibungkus oleh epimisium. Sindrom kompartemen ditandai dengan nyeri yang hebat, parestesi, paresis, pucat, disertai denyut nadi yang hilang. Secara anatomi sebagian besar kompartemen terletak di anggota gerak dan paling sering disebabkan oleh trauma, terutama mengenai daerah tungkai bawah dan tungkai atas (Handoyo, 2010). d) Nekrosis avaskular tulang Cedera, baik fraktur maupun dislokasi, seringkali mengakibatkan iskemia tulang yang berujung pada nekrosis avaskular. Nekrosis avaskuler ini sering dijumpai pada kaput femoris, bagian proksimal dari os. Scapphoid, os. Lunatum, dan os. Talus (Suratum, 2008). 16 e) Atrofi otot Atrofi adalah pengecilan dari jaringan tubuh yang telah mencapai ukuran normal. Mengecilnya otot tersebut terjadi karena sel-sel spesifik yaitu selsel parenkim yang menjalankan fungsi otot tersebut mengecil. Pada pasien fraktur, atrofi terjadi akibat otot yang tidak digerakkan (disuse) sehingga metabolisme sel otot, aliran darah tidak adekuat ke jaringan otot (Suratum, dkk, 2008). 2.1.5 Penatalaksanaan Fraktur Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan patah tulang (imobilisasi) (Sjamsuhidajat dkk, 2011). a) Reposisi Tindakan reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi dilakukan pada fraktur dengan dislokasi fragmen yang berarti seperti pada fraktur radius distal. Reposisi dengan traksi dilakukan terus-menerus selama masa tertentu, misalnya beberapa minggu, kemudian diikuti dengan imobilisasi. Tindakan ini dilakukan pada fraktur yang bila direposisi secara manipulasi akan terdislokasi kembali dalam gips. Cara ini dilakukan pada fraktur dengan otot yang kuat, misalnya fraktur femur (Nayagam, 2010). Reposisi dilakukan secara non-operatif diikuti dengan pemasangan fiksator tulang secara operatif, misalnya reposisi patah tulang pada fraktur kolum femur. Fragmen direposisi secara non-operatif dengan meja traksi, setelah 17 tereposisi, dilakukan pemasangan prosthesis secara operatif pada kolum femur (Nayagam, 2010). Reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar (OREF) dilakukan untuk fiksasi fragmen patahan tulang, dimana digunakan pin baja yang ditusukkan pada fragmen tulang, kemudian pin baja disatukan secara kokoh dengan batangan logam di kulit luar. Beberapa indikasi pemasangan fiksasi luar antara lain fraktur dengan rusaknya jaringan lunak yang berat (termasuk fraktur terbuka), dimana pemasangan internal fiksasi terlalu berisiko untuk terjadi infeksi, atau diperlukannya akses berulang terhadap luka fraktur di sekitar sendi yang cocok untuk internal fiksasi namun jaringan lunak terlalu bengkak untuk operasi yang aman, pasien dengan cedera multiple yang berat, fraktur tulang panggul dengan perdarahan hebat, atau yang terkait dengan cedera kepala, fraktur dengan infeksi (Nayagam, 2010). Reposisi secara operatif dikuti dengan fiksasi patahan tulang dengan pemasangan fiksasi interna (ORIF), misalnya pada fraktur femur, tibia, humerus, atau lengan bawah. Fiksasi interna yang dipakai bisa berupa pen di dalam sumsum tulang panjang, bisa juga plat dengan skrup di permukaan tulang. Keuntungan reposisi secara operatif adalah dapat dicapai reposisi sempurna, dan bila dipasang fiksasi interna yang kokoh, sesudah operasi tidak diperlukan pemasangan gips lagi dan segera bisa dilakukan imobilisasi. Indikasi pemasangan fiksasi interna adalah fraktur tidak bisa di reduksi kecuali dengan operasi, fraktur yang tidak stabil dan cenderung terjadi displacement kembali setelah reduksi fraktur dengan penyatuan yang buruk 18 dan perlahan (fraktur femoral neck), fraktur patologis, fraktur multiple dimana dengan reduksi dini bisa meminimkan komplikasi, fraktur pada pasien dengan perawatan yang sulit (paraplegia, pasien geriatri) (Nayagam, 2010; Sjamsuhidajat dkk, 2011; Bucholz; Heckman; Court-Brown, 2006). b) Imobilisasi Pada imobilisasi dengan fiksasi dilakukan imobilisasi luar tanpa reposisi, tetapi tetap memerlukan imobilisasi agar tidak terjadi dislokasi fragmen. Contoh cara ini adalah pengelolaan fraktur tungkai bawah tanpa dislokasi yang penting. Imobilisasi yang lama akan menyebabkan mengecilnya otot dan kakunya sendi. Oleh karena itu diperlukan upaya mobilisasi secepat mungkin (Nayagam, 2010). c) Rehabilitasi Rehabilitasi berarti upaya mengembalikan kemampuan anggota yang cedera atau alat gerak yang sakit agar dapat berfungsi kembali seperti sebelum mengalami gangguan atau cedera (Widharso, 2010). 2.2 Traksi 2.2.1 Pengertian Traksi Traksi adalah tahanan yang dipakai dengan berat atau alat lain untuk menangani kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot. Tujuan traksi adalah untuk menangani fraktur, dislokasi atau spasme otot dalam usaha untuk memperbaiki deformitas dan mempercepat penyembuhan. Traksi menggunakan beban untuk menahan anggota gerak pada tempatnya. Traksi longitudinal yang 19 memadai diperlukan selama 24 jam untuk mengatasi spasme otot dan mencegah pemendekan, dan fragmen harus ditopang di posterior untuk mencegah pelengkungan. Traksi pada anak-anak dengan fraktur femur harus kurang dari 12 kg, jika penderita yang gemuk memerlukan beban yang lebih besar (Smeltzer & Bare, 2002). 2.2.2 Jenis Traksi Terdapat beberapa jenis traksi yang dapat digunakan pada pasien dengan fraktur, yaitu: a) Skin Traksi Skin traksi digunakan untuk penanganan patah tulang pada pasien anak dan dewasa yang membutuhkan kekuatan tarikan sedang, dengan beban tidak lebih dari lima kilogram serta lama pemasangan tidak lebih dari 3-4 minggu karena dapat menyebabkan iritasi kulit (Anderson, et al, 2009). Adapun beberapa jenis skin traksi menurut Smeltzer & Bare (2002).antara lain: 1. Traksi buck Ektensi buck (unilateral/bilateral) adalah bentuk traksi kulit dimana tarikan diberikan pada satu bidang bila hanya imobilisasi parsial atau temporer yang diinginkan. Traksi buck digunakan untuk memberikan rasa nyaman setelah cidera pinggul sebelum dilakukan fiksasi dengan intervensi bedah. 2. Traksi Russell Traksi Russel dapat digunakan pada fraktur plato tibia, menyokong lutut yang fleksi pada penggantung dan memberikan gaya tarik horizontal melalui pita traksi balutan elastis ketungkai bawah. 20 3. Traksi Dunlop Traksi Dunlop adalah traksi pada ektermitas atas. Traksi horizontal diberikan pada lengan bawah dalam posisi fleksi. 4. Traksi kulit Bryant Traksi ini sering digunakan untuk merawat anak kecil yang mengalami patah tulang paha. Traksi Bryant sebaiknya tidak dilakukan pada anakanak yang berat badannya lebih dari 30 kg apabila batas ini dilampaui maka kulit dapat mengalami kerusakan berat. b) Skletal Traksi Traksi langsung pada tulang dengan menggunakan pins, wires, screw untuk menciptakan kekutan tarikan besar (9-14 kilogram) serta waktu yang lebih dari empat minggu, serta memiliki tujuan tarikan ke arah longitudinal serta mengontrol rotasi dari fragmen tulang. Pada patah tulang panjang digunakan steinmann pins (2-4,8mm) atau kirschner wires (7-15mm) yang penggunaannya ditentukan oleh densitas tulang serta kekuatan tarikan yang dibutuhkan (Anderson et al, 2009). Beberapa tempat pemasangan pin seperti proksimal tibia, kondilus femur, olekranon, kalkaneus, trokanter mayor atau bagian distal metakarpal lalu diberi pemberat (Sjamsuhidajat dkk, 2011). 2.2.3 Komplikasi Penggunaan Traksi Penggunaan traksi mengakibatkan pasien mengalami imobilisasi sehingga beberapa komplikasi penggunaan traksi berhubungan dengan kondisi imobilisasi yang terjadi, diantaranya: 21 a. Iritasi Kulit Skin traksi digunakan untuk penanganan patah tulang pada pasien anak dan dewasa yang membutuhkan kekuatan tarikan sedang, dengan beban tidak lebih dari lima kilogram serta lama pemasangan tidak lebih dari 3-4 minggu karena dapat menyebabkan iritasi kulit (Anderson, et al, 2009). b. Disuse Atrofi Otot Bila otot tidak digunakan/hanya melakukan aktivitas ringan (seperti: tidur dan duduk) maka terjadi penurunan kekuatan otot sekitar 5% dalam tiap harinya, atau setelah dua minggu dapat menurun sekitar 50%. Disamping terjadi kelemahan otot, juga terjadi atrofi otot (disuse athrophy). Hal ini disebabkan karena serabut-serabut otot tidak berkontraksi dalam waktu yang cukup lama, sehingga perlahan-lahan akan mengecil (atrofi), dimana terjadi perubahan perbandingan antara serabut otot dan jaringan fibrosa. Atrofi otot sering terjadi pada anggota gerak yang diletakkan dalam pembungkus gips, sehingga dapat mencegah terjadinya kontraksi otot (Guyton & Hall, 2008) c. Demineralisasi tulang Demineralisasi tulang terjadi selama immobilisasi, menyebabkan disuse osteoporosis. Demineralisasi tulang ini dapat disebabkan oleh 2 faktor, yaitu: menurunnya aktivitas otot dan menurunnya aktivitas tubuh. Pasien yang immobilisasi aktivitasnya menjadi terbatas dan tidak ada penopang berat badan pada tulang panjang di ekstremitas bawah (Kusnanto, 2006). 22 d. Infeksi dan Parase saraf Infeksi yang umumnya didapat melalui invasi bakteri melalui pin atau kawat yang digunakan pasien. Parase saraf akibat penggunaan traksi yang berlebihan (overload) atau apabila pin mengenai saraf. Kedua komplikasi ini umumnya terjadi pada penggunaan skeletal traksi (Smeltzer & Bare, 2002). 2.3 Disuse Atrofi Otot Plantar Flexor 2.3.1 Pengertian Disuse Atrofi Otot Plantar Flexor Disuse atrofi otot merupakan suatu keadaan dimana terjadi pengurangan ukuran normal otot secara patologi setelah inaktivitas yang lama akibat tirah baring, trauma, pemakaian gips, traksi, atau kerusakan saraf lokal (Potter & Perry, 2006). Hal ini disebabkan karena serabut-serabut otot tidak berkontraksi dalam waktu yang cukup lama, sehingga perlahan-lahan akan mengecil (atrofi), dimana terjadi perubahan perbandingan antara serabut otot dan jaringan fibrosa. Atrofi otot sering terjadi pada anggota gerak yang diletakkan dalam pembungkus gips, sehingga dapat mencegah terjadinya kontraksi otot (Guyton & Hall, 2008). Otot plantar flexor merupakan otot yang berfungsi untuk pergerakan kaki. Betis (calves) terdiri dari otot-otot gastrocnemius dan soleus, dimana gastrocnemius adalah otot betis yang menonjol dan mudah dilihat. Otot ini menempel pada tulang paha dan sebagian kecil menempel pada tendon achilles. Sedangkan otot soleus adalah otot betis yang lebih kecil dan terletak di bawah otot gastrocnemius. Otot betis hampir terlibat dalam semua pergerakan kaki, mulai 23 dari berjalan, berlari, menjaga keseimbangan dan kordinasi tubuh bagian atas dan bawah (Anderson, et al, 2009). Gambar 1. Anatomi otot betis (calves) (sumber: Anatomica’s Body Atlas, 2002) Lingkar ekstremitas harus diukur untuk memantau pertambahan atau pengurangan ukuran akibat atrofi. Pengukuran dilakukan pada bagian terbesar ekstremitas. Pengukuran harus dilakukan pada tempat yang sama, posisi yang sama dan pada keadaan istirahat (Smeltzer & Bare, 2002). Lingkar betis dapat diukur baik dalam keadaan berdiri maupun duduk. Jika subjek berdiri, berat badan harus tertumpu pada kedua kaki secara merata, dan jarak kedua kaki sekitar 25 cm. Jika subjeknya duduk, kedua kaki harus dijuntaikan. Pita pengukur kemudian dilingkarkan ke betis (tegak lurus dengan aksis memanjang betis), dan diturunnaikkan untuk mencari diameter terbesar. Hasil pengukuran ulang tidak boleh berbeda lebih dari 2 mm. Pengukuran juga dapat dilakukan dari pangkal betis (lutut bagian belakang) 10 sentimeter ke bawah untuk mendapatkan titik tengah. Kemudian baru diukur diameter lingkar betisnya. Pengukuran dilakukan tiga kali dan diambil ukuran rata-ratanya dari tiga kali pengukuran yang dilakukan. Pengukuran lingkar betis dapat dilakukan dengan menggunakan waist ruler atau meteran metal, 24 meteran dan juga pita ukur non elastis (Arisman, 2007). Semakin besar massa otot betis seseorang maka semakin besar pula ukuran betisnya dan dapat menambah massa jaringan tubuh. Penelitian dari Fahda (2010) mendapatkan nilai rata-rata ukuran lingkar betis pada 96 anak usia 12-15 tahun yaitu laki-laki 32,21 cm dan perempuan 32,42 cm. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan disuse atrofi otot plantar flexor merupakan pengurangan ukuran otot dari kondisi normal pada otot plantar flexor akibat inaktivitas yang lama meskipun kondisi persarafannya utuh dimana pengukuran lingkar betis dilakukan untuk memantau pengurangan ukuran akibat atrofi. 2.3.2 Fisiologi Disuse Atrofi Otot Plantar Flexor Otot plantar flexor begitu juga otot lain yang mempuyai kemampuan mengubah energi kimia menjadi energi mekanik atau gerak sehingga dapat berkontraksi untuk menggerakkan rangka (Guyton & Hall, 2008). Secara mikroskopik sel otot rangka terdiri atas sarkolema (membran sel serabut otot), yang terdiri atas membran sel yang disebut membran plasma dan sebuah lapisan luar yang terdiri atas satu lapis mengandung kolagen (Guyton & Hall, 2008). Tiap sel otot (serabut otot) mengandung miofibril yang tersusun atas sekelompok sarkomer, yang merupakan unit kontraktil otot rangka. Komponen sarkomer terdiri dari filamin aktin dan filamen miosin. Terdapat sekitar 1500 filamen miosin dan 3000 filamen aktin yang merupakan molekul protein polimer besar yang bertanggung jawab untuk kontraksi otot. Filamen miosin dan aktin sebagian saling bertautan sehingga menyebabkan miofibril memiliki pita terang 25 dan pita gelap yang berselang-seling. Pita-pita terang mengandng filamen aktin dan disebut pita I karena bersifat isotropik terhadap cahaya yang dipolarisasikan, sedangkan pita-pita gelap mengandung filamen miosin yang disebut pita A karena bersifat anisotropik terhadap cahaya yang didepolarisasikan (Guyton & Hall, 2008). Filamen aktin terdiri dari tiga komponen protein yaitu aktin, tropomiosin dan troponin yang mengatur aktivitas filamen aktin. Protein tropomiosin terbungkus secara spiral, dimana pada stadium istirahat terletak pada ujung atas tempat yang aktif dari untaian aktin. Protein troponin terdiri dari tiga subunit protein yaitu troponin I yang berikatan kuat dengan filamen aktin, troponin c yang berikatan kuat dengan ion kalsium dan troponin t yang berikatan kuat dengan tropomiosin. Apabila troponin c berikatan dengan ion kalsium yang dikeluarkan oleh retikulum sarkoplasma, akan terjadi perubahan bentuk dari ujung filamen aktin dimana tropomiosin akan tertarik lebih kedalam di lekukan diantara filamen aktin sehingga bagian aktif dari komplek aktin akan tersingkap dan memungkinkannya menarik kepala jembatan silang miosin dan menyebabkan terjadinya kontraksi (Guyton & Hall, 2008). Otot rangka memiliki pigmen protein yang serupa dengan hemoglobin yang disebut Mioglobin. Mioglobin bermanfaat sebagai transpor oksigen untuk memenuhi kebutuhan metabolik sel dari kapiler ke motokondria sel otot. Otot mengandung sejumlah besar mioglobulin (otot merah) yang berkontraksi lebih lambat dan lebih kuat dan otot yang tidak mengandung mioglobulin (otot putih) berkontraksi cepat dalam waktu yang lama. Miofibril-miofibril yang terpendam 26 dalam serat otot di dalam suatu matriks yang disebut sarkoplasma, yang terdiri dari unsur-unsur intraseluler terdapat mitokondria dalam jumlah yang banyak terletak di antara dan sejajar dengan miofibril. Hal ini menunjukkan bahwa miofibril-miofibril yang berkontraksi membutuhkan sejumlah besar Adenosin Triphosfat (ATP) yang dibentuk oleh mitokondria yang akan berdampak terhadap besar serat otot dan volume mitokondria itu sendiri. Sehingga apabila sirkulasi darah ke otot terganggu akan menrunkan jumlah nutrisi dan oksigen ke jaringan otot untk melakukan metabolisme aerob yang akan menurunkan jumlah dan volume mitokondria akibat tidak terjadinya metabolisme oksidatif yang berlangsung terus-menerus (Smeltzer & Bare, 2002; Campellone, 2007; Wiarto, 2013). Kontraksi otot terjadi akibat kontraksi sarkomer yang disebabkan oleh interaksi filamen miosin dan filamen aktin yang saling mendekat dengan adanya peningkatan lokal kadar kalsium. Serabut otot akan berkontraksi sebagai respon terhadap rangsangan listrik sehingga terjadi suatu potensial aksi yang menjalar ke sepanjang membran sel dan mengakibatkan pelepasan ion kalsium yang sebelumnya tersimpan dalam retikulum sarkoplasmikum. Energi dibutuhkan dalam kontraksi dan relaksasi otot dalam jumlah yang meningkat selama latihan. Sumber energi otot adalah ATP yang dibangkitkan melalui metabolisme oksidatif seluler. Pada aktivitas tinggi bila oksigen tidak memadai glukosa terutama dimetabolisme menjadi asam laktat namun tidak efektif sehingga diperlukan lebih banyak glukosa yang disediakan oleh glikogen otot. Glikogen merupakan suatu 27 tepung yang terbuat dari glukosa disimpan selama periode istirahat (Smeltzer & Bare, 2002) Mekanisme kontraksi diawali dengan adanya stimulus saraf dari kornu anterior medulla spinalis yang dihantarkan oleh saraf motorik ke neuromuscular junction yang diikuti oleh pengeluaran neurotransmitter asetikolin yang diterima oleh reseptor spesifik. Teraktivasinya reseptor spesifik ini menyebabkan terbukanya kanal-kanal berbasis asetikolin sehingga ion natrium dapat masuk kedalam sel otot dan ion kalium keluar dari dalam sel otot sehingga membentuk potensial aksi. Menjalarnya potensial aksi ini menyebabkan terbukanya tubulus tranversal sehingga ion kalsium yag berada di dalam retikulum sarkoplasma masuk ke dalam sel otot dan berikatan serta mengaktifkan filamen aktin (Guyton & Hall, 2008). Sebelum terjadi kontraksi, aktivitas ATPase dari kepala miosin segera memecah ATP menjadi Adenosin Diphosfat (ADP) dan ion fospat. Kompleks troponin-tropomiosin berikatan dengan ion-ion kalsium, bagian aktif pada filamen aktin menjadi tidak tertutup dan kemudian kepala jembatan penyeberangan miosin berikatan dengan filamen aktin yang menyebabkan perubahan kedudukan kepala, yaitu miring ke arah lengan jembatan penyeberangan dan memberikan kedudukan power stroke untuk menarik filamen. Adanya pelepasan ATP yang sebelumnya melekat pada filamen aktin, sebuah molekul ATP yang baru dipecah untuk memulai siklus baru yang menimbulkan power stroke (Guyton & Hall, 2008). Helmi (2012) menyatakan dengan adanya kontraksi tersebut manusia dapat melakukan aktivitas berdiri, berjalan dan 28 sebagainya serta massa otot akan disesuaikan dengan tingkat stimulasi kontraksi yang diterima. Pada otot rangka meskipun inti tidak mampu bermiosis, jaringannya mengalami regenerasi yang terbatas. Sumber regenerasi sel diyakini adalah sel satelit. Sel satelit adalah populasi kecil sel mononukleus berbentuk gelendong yang terletak dalam lamina basalis yang mengelilingi setiap serat otot matang. Karena hubungannya yang erat dengan permukaan serat otot, maka sel satelit hanya dapat dikenali dengan mikroskop elektron. Sel satelit dianggap sebagai mioblast tidak aktif yang menetap sehabis deferensiasi otot. Setalah cedera atau rangsangan tertentu lainnya, maka sel satelit yang biasanya diam, menjadi aktif, berproliferasi, dan bergabung membentuk serat otot rangaka baru (Eroschenko, 2003). Apabila otot berulang-ulang mnegalami tegangan maksimal selama waktu yang lama maka irisan melintang otot akan mengalami pembesaran. Hal ini diakibatkan oleh penambahan ukuran masing-masing serat otot tanpa penambahan jumlah serat otot. Namun apabila suatu otot tidak digunakan dalam waktu yang lama, maka kandungan aktin dan miosinnya akan berkurang, serat-seratnya menjadi lebih kecil. Keadaan yang seperti ini disebut dengan atrofi otot. Otot rangka (otot lurik) berperan dalam gerakan tubuh, postur dan fungsi produksi panas. Otot dihubungkan oleh tendon (tali jaringan ikat fibrus) ke tulang, jaringan ikat, atau kulit. Kontraksi otot menyebabkan perlekatan satu sama lain. Otot memiliki variasi ukuran dan bentuk yang berbeda-beda sesuai dengan aktivitas yang dibutuhkan. Otot akan berkembang dan terpelihara apabila digunakan secara 29 aktif. Proses penuaan dan disuse menyebabkan kehilangan fungsi otot sehingga jaringan otot kontraktil diganti oleh jaringan fibrolitik (Smeltzer & Bare, 2002). 2.3.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Disuse Atrofi Otot a. Imobilisasi Setelah tindakan reduksi pada fraktur femur, fragmen tulang harus diimobilisasi atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Gangguan mobilisasi fisik (imobilisasi) didefinisikan oleh North American Nursing Diagnosis Association (NANDA) (2011) sebagai suatu keadaan ketika individu mengalai atau berisiko mengalami keterbatasan gerak fisik. Perubahan tingkat mobilisasi fisik dapat disebabkan instruksi pembatasan dalam bentuk tirah baring, pembatasan gerak fisik selama penggunaan alat bantu ekternal (gips atau traksi rangka), pembatasan gerakan volunter atau kehilangan fungsi motorik. Menurut Delisa (2002), dengan kondisi total bed rest, otot akan kehilangan kekuatan 10-15% perminggu, atau sekitar 1-3% perhari, dengan bed rest dan imobilisasi selama 3-5 minggu pasien akan kehilangan setengah dari kekuatan ototnya. Menurut Salmond & Pellino (2002), individu yang membatasi pergerakannya (imobilisasi) akan menyebabkan tidak stabilnya pergerakan sendi dan terjadinya atrofi otot dalam 4–6 hari. Atrofi otot dihasilkan dari immobilisasi yang teramati dan terukur. Contoh: otot betis pada seseorang yang telah dirawat selama enam minggu, nampak menjadi lebih kecil daripada sebelum immobilisasi. Selain menjadi atrofi, 30 otot-otot tersebut juga menjadi lemah. Apabila pasien tersebut tidak mau melakukan latihan mobilisasi, maka akan terjadi beberapa gangguan dan mengalami penurunan stabilitas fisik (Hamid, 1992). b. Status Kesehatan Miopati, amyotrophic lateral sclerosis, sindrom guillain-barre, cedera otot, neuropati, distropi otot, penyakit serebrovaskuler, osteoarthritis, polio, trauma spinal dapat mempengaruhi metabolisme protein kontraktil otot serta mengurangi stimulasi otot untuk mempertahankan massa otot. Multiple trauma, luka bakar dan terapi kortikosteroid jangka panjang dapat menimbulkan respon stres yang berlebihan sehingga terjadi hipermetabolik yang dapat menyebabkan peningkatan katabolisme karbohidrat, lemak dan protein termasuk protein pembentuk otot (Price & Wilson, 2005). Gangguan metabolisme dan endokrin seperti gangguan hormon tiroid, growth hormone, diabetes mellitus, hormon seksual yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan sel-sel dalam tubuh manusia (Guyton & Hall, 2008). c. Umur Tubuh anak-anak sedang mengalami masa pertumbuhan dan penyempurnaan fungsi, dengan bertambahnya umur, massa otot akan semakin besar. Pembesaran massa otot berkaitan erat dengan kekuatan otot yang juga meningkat, hal ini dapat juga dipengaruhi oleh aktivitas ototnya. Usia 20-30 tahun baik laki-laki dan wanita akan mencapai puncak kekuatan otot, diatas umur ini kekuatan otot akan menurun, kecuali diberikan pelatihan. Walaupun demikian di atas umur 65 tahun kekuatan ototnya sudah berkurang sebanyak 31 20% dibandingkan waktu muda (Nala, 2011). Chen, et al (2008) dalam artikelnya menyatakan ektremitas yang tidak digunakan memicu adaptasi sistem antioksidan, pada otot plantar flexor tikus dewasa tidak terdapat perbedaan kadar glutathione setelah disuse 14 hari, namun pada tikus tua terdapat penurunan sebesar 60%, hal ini disebabkan karena terjadi penurunan kapasitas stress antioksidan pada penuaan yang menyebabkan kerusakan protein otot. d. Jenis Kelamin Menurut Martinez (2000) dalam penelitiannya menyatakan perbedaan jenis kelamin berpengaruh terhadap perbedaan diameter dari serat otot, namun tidak berpengaruh berbeda terhadap kecepatan atrofi otot. Menurut Nala (2011), pada umur 10-12 tahun kekuatan otot anak laki-laki lebih kuat sedikit dari wanita, dengan meningkatnya usia kekuatan otot laki-laki semakin jauh meningkat hal ini disebabkan perbedaan pertumbuhan dan aktivitas fisik serta pengaruh hormon testosteron. Pada usia 18 tahun ke atas, kekuatan otot bagian atas tubuh (dada, bahu, lengan) pada laki-laki dua kali lebih kuat daripada wanita, sedangkan otot bagian bawah (pinggul dan tungkai) hanya berbeda sepertiganya. e. Status Hidrasi Hidrasi diartikan sebagai keseimbangan cairan dalam tubuh dan merupakan syarat penting untuk menjamin fungsi metabolisme sel tubuh. Sementara dehidrasi berarti kurangnya cairan di dalam tubuh karena jumlah yang keluar lebih besar dari jumlah yang masuk. Dalam penelitiannya, Balavy, et al 32 (2009) menyampaikan juga adanya perpindahan cairan tubuh pada pasien dengan posisi supine (terlentang) yang dapat mempengaruhi ukuran otot dimana hal ini secara umum komplit terjadi pada dua jam pertama bedrest. f. Status Nutrisi dan Status Gizi Pemberian vitamin D dosis rendah setiap hari dapat mempertahankan kekuatan otot serta mencegah terjadinya atrofi pada serat otot tipe 2. Hal ini dapat dijelaskan oleh karena jaringan otot memiliki reseptor seluler spesifik terhadap 1,25-dihydroxyvitamin yang akan memediasi sintesis protein sehingga berefek terhadap pertumbuhan sel otot (Sato, et al, 2005). Kekurangan energi protein sangat berpengaruh terhadap terjadinya atrofi karena kecukupan sumber energi sangat dibutuhkan untuk sumber energi kontraksi untuk mencegah katabolisme kompensata, serta kecukupan asupan protein khususnya protein esensial yang sangat penting untuk sintesis DNA dan pertumbuhan sel otot. Pasien yang mengalami kekurangan gizi akan mengalami penurunan jumlah protein yang mengakibatkan penggantian protein kontraktil (filamen aktin dan miosin) otot mengalami penurunan akibat sediaan protein yang berkurang. Salah satu indikator status gizi baik adalah dengan pengukuran lingkar lengan yang tidak dominan bagian atas sebesar 23,5-25 centimeter (Potter & Perry, 2006). g. Gangguan Neuromuskuler Suatu otot, apabila kehilangan suplai sarafnya akibat penyakit yang merusak neuromuskuler seperti poliomielitis, lesi nerves post trauma tidak akan 33 menerima sinyal kontraksi yang dibutuhkan untuk mempertahankan ukuran otot normal, oleh karena itu atrofi otot hampir segera terjadi. Pada tahap akhir dari atrofi akibat denervasi, sebagian besar serabut otot akan rusak, dan digantikan oleh jaringan fibrosa dan jaringan lemak. Serabut-serabut yang tersisa hanya terdiri dari membran sel panjang dengan barisan inti sel otot tetapi dengan beberapa atau tanpa sifat kontraksi dan sedikit atau tanpa kemampuan untuk membentuk kembali myofibril jika saraf tumbuh kembali. Jaringan fibrosa yang menggantikan serabut otot memiliki kecendrungan untuk terus memendek yang disebut kontraktur (Potter & Perry, 2006). 2.4 Ankle Pumping Exercise 2.4.1 Definisi Ankle Pumping Exercise Latihan Ankle Pumping merupakan suatu latihan isometrik untuk otot betis dan pergelangan kaki. Ankle pump dapat dilakukan dengan menginstruksikan pasien untuk melakukan fleksi (dorsofleksi) dan ekstensi (plantarflexi) pergelangan kaki dan kontraksi otot–otot betis (latihan pemompaan betis), kemudian instruksikan pasien mempertahankan posisi ini selama 5–10 detik dan biarkan pasien rileks. Ulangi latihan ini, 10 kali dalam satu jam ketika pasien terjaga (Smeltzer & Bare, 2002). Sementara menurut Scott (2011), Ankle pumping dilakukan dengan mengelevasikan kaki dan mendorong sendi pada pergelangan kaki fleksi–ekstensi secara berulang–ulang atau menggambarkan huruf A–Z dengan menggunakan pergelangan kaki diulang 3–4 menit selama 3–5 kali perhari. Pollak (2013) 34 menambahkan ankle pumping exercise dilakukan dengan menggerakkan pergelangan kaki secara maksimal ke atas dan ke bawah dan mengelevasikan kaki apabila ada pembengkakan distal untuk melancarkan aliran darah balik. Gerakan mendorong kaki ke atas atau ekstensi akan mengkontraksikan otot tibial dan mendorong kaki ke bawah atau fleksi akan mengkontraksikan otot betis yang mana akan berpengaruh terhadap massa otot plantar flexor itu sendiri (Pollak, 2013) Gambar 2. Latihan ankle Pump (sumber:cpmc.org) Dari beberapa pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa ankle pumping exercise merupakan suatu bentuk ambulasi dini yang dilakukan dengan mengintervensi pergelangan kaki fleksi dan ekstensi yang bertujuan untuk menggerakkan otot yang diimobilisasikan dan melancarkan peredaran darah distal untuk mencegah atrofi otot akibat imobilisasi. 2.4.2 Manfaat Latihan Ankle Pumping a) Latihan pergelangan kaki bermanfaat dalam melancarkan sirkulasi darah balik dari distal. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan pembengkakakn distal akibat sirkulasi darah yang lancar. Selain itu, sirkulasi darah balik yang baik dapat mencegah kejadian atrofi otot dimana atrofi otot dapat disebabkan oleh aliran darah yang buruk (Kwon, et al, 2003). 35 b) Latihan pergelangan kaki dapat mencegah penyakit-penyakit vena, seperti DVT (Deep Vein Thrombosis), hipertensi vena dan lainnya. Ankle pumping dilakukan untuk meminimalkan statis vena dan mencegah thrombosis vena dalam (Eldawati, 2011; Dixy; Brooke; McCollum, 2003). c) Latihan ankle pumps sebagai salah satu jenis latihan yang dapat mengembalikan fungsi aktivitas normal otot post operasi penggantian tulang lutut (Scott, 2011). 2.4.3 Indikasi dan Kontra Indikasi Latihan Ankle Pumping A. Indikasi Ankle Pumping Exercise 1) Terapi Rehabilitasi Post Operasi Ankle pumping merupakan salah satu jenis terapi yang dapat mengembalikan fungsi aktivitas normal kaki post operasi penggantian tulang lutut (Scott, 2011). 2) Pasien dengan pembengkakan. Ankle pumping membantu melancarkan aliran vena balik sehingga dapat mengurangi statis pada aliran darah dan mengurangi pembengkakan pada ekstremitas distal (Kwon, 2003). 3) Pasien dengan bedrest/imobilisasi yang lama. Pasien dengan bedrest/imobilisasi beresiko tinggi mengalami penurunan masa otot sehingga perlu dilakukan latihan pergerakan untuk mengurangi penurunan massa otot (Smeltzer & Bare, 2002). 36 4) Pasien dengan DVT. Trombosis/DVT beresiko menimbulkan gangguan pada sirkulasi darah sehingga akan menimbulkan penurunan konsentrasi oksigen dan penurunan kadar hemoglobin. Perawat membantu pasien pascaoperatif fraktur femur melakukan Latihan isometrik (ROM, Ankle Pumping, Gluteal Set) dan mengatur posisi kaki lebih tinggi, sehingga akan meningkatkan aliran darah ke ekstermitas dan stasis berkurang. Kontraksi otot kaki bagian bawah akan meningkatkan aliran balik vena sehingga mempersulit terbentuknya bekuan darah atau DVT (Eldawati, 2011; Smeltzer & Bare, 2002). B. Kontra Indikasi Ankle Pumping Exercise Ankle pumping merupakan latihan yang cukup aman dan mudah untuk dilakukan pada sebagian besar kondisi. Namun menurut Potter and Perry (2006) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan latihan ini antara lain: 1) Nyeri Pasien yang mengalami nyeri sedang sampai dengan berat akan mengalami penurunan toleransi terhadap pergerakan. 2) Kondisi kesehatan pasien Kondisi emosi pasien dapat meningkatkan perubahan perilaku yang dapat menurunkan kemampuan untuk melakukan mobilisasi dengan baik. Orang yang depresi, khawatir, dan cemas sering tidak tahan melakukan aktivitas 37 sehingga cepat mengalami kelelahan akibat pengeluaran energi yang besar dari ketakutan dan kecemasannya. 3) Perdarahan Prinsip penanganan pada kasus perdarahan adalah Rest, Imobilization, Compress, Elevation (RICE) dimana salah satu tindakan penangan perdarahan adalah imobilisasi. Latihan ataupun mobilisasi dengan menggerakkan sebagian anggota tubuh akan meningkatkan perfusi ke daerah yang digerakkan sehingga dapat meningkatkan tingkat perdarahan itu sendiri. 2.4.4 Pengaruh Latihan Ankle Pumping terhadap Atrofi Otot Atrofi otot plantar flexor pada pasien fraktur dengan traksi disebabkan akibat penggunaan traksi yang menyebabkan pasien mengimobilisasikan bagian tubuh yang fraktur sehingga mengakibatkan seluruh otot ekstremitas bawah tidak dapat berkontraksi. Latihan akan meningkatkan koordinasi intermuskular dengan meningkatkan kerjasama antara kelompok otot yang berbeda agar terjadi peningkatan hipertrofi otot yang merupakan restrukturisasi pada jaringan otot sebagai peningkatan fungsional pada massa otot. Hipertrofi otot secara langsung berhubungan dengan sintesis material seluler, tertama pada protein elemen kontraktil yang berhubungan dengan peningkatan jumlah volume mitokondria dalam sel otot (Hardjono, 2008). Terdapat dua macam adaptasi dari hasil latihan yaitu pengaruh terhadap mitokondra, adanya peningkatan aktivitas atau konsentrasi enzim yang terlibat dalam siklus kreb’s dan sistem transpor elektron (Fox & Bowers, 1993). 38 Pemberian latihan diharapkan mampu beradaptasi terhadap beban yang diberikan yaitu adanya peningkatan jumlah, ukuran dan daerah permukaan membran dengan proses adaptasi tersebut, latihan kekuatan otot menyebabkan perubahan jumlah dan atau ukuran mitokondria pada otot yang dilatih. Latihan kekuatan juga dikatakan dapat meningkatkan regulasi Central Nervous System, kapasitas sistem transpor oksigen, proses oksidasi dan jumlah Na K pump (Perdesen, 1997). Latihan Ankle Pumping berfungsi untuk menggantikan aktivitas otot plantar flexor sehari-hari yang berfungsi untuk berdiri dan berjalan. Kontraksi otot yang dilakukan melibatkan sebanyak mungkin motor unit dalam kelompok otot tersebut, terjadi aktivitas pemendekan jembatan silang komponen aktinmiosin yang diaktifasi oleh refluk kalsium dalam kepala aktin, serta terjadi tranformasi ATP menjadi ADP dan Fosfat sebagai sumber energi serta peningkatan aliran darah sebagai mekanisme kompensasi peningkatan kebutuhan oksigen. Aktivitas ini memberi menyeimbangkan proses remodeling stimulasi kepada sel satelit untuk otot sehingga terjadi eleminasi dan dekomposisi protein kontraktil dengan jumlah yang sama. Secara klinis otot akan dapat mempertahankan kekuatan, massa dan ketahanannya (Barton & Morris, 2003; Guyton & Hall, 2008; Braddom, 2011). Latihan yang dilakukan teratur, terarah dan terprogram mempengaruhi bentuk dan fungsi fisiologis otot. Beberapa perubahan fisiologis yang terjadi antara lain peningkatan kepadataan kapiler darah, jumlah serabut syaraf, konsentrasi mioglobin, ukuran dan jumlah mitokondria (Fox & Bower, 1993). Selain terjadi perubahan jumlah dan atau ukuran mitokondria juga terdapat adanya 39 perubahan yang menyertai besarnya kapasitas mitokondria yang terlatih utnuk memproduksi ATP sebagai hasil dari tingginya aktivitas enzim pada siklus Kreb’s, sistem transpor elektron, dan sisitim metabolisme yang lain yang berhubungan dengan produksi ATP. Apabila imobilisasi akibat penggunaan modalitas penanganan (gips, traksi) efek imobilisasi dapat dikurangi dengan latihan isometrik pada otot yang diimobilisasi sehingga dapat mencapai kemampuan fungsional dan kekuatan sebelum cedera. Bila dilakukan latihan, ukuran serabut-serabut otot akan kembali bertambah. Semakin cepat kontraksi otot maka otot tersebut memiliki retikulum sarkoplasmik yang lebih banyak sehingga dapat mempengaruhi volume serat otot (Guyton & Hall, 2007; Smeltzer & Bare, 2002).