BAB II KAJAIN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Bank

advertisement
BAB II
KAJAIN PUSTAKA
2.1
Landasan Teori
2.1.1
Pengertian Bank
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan,
dan menyalurkan kepada
masyarakat
dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak (Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan). Istilah bank itu sebenarnya bukan istilah yang asing bagi
masyarakat akan tetapi dalam kenyataanya masih banyak masyarakat yang belum
mengetahui jelas bagaimana bank itu.
Setiap Bank atau perusahaan mempunyai
yang berguna untuk menguji dan mengetahui
posisi keuangan perusahaan tersebut
catatan
serta
laporan
menilai
keuangan
kondisi
dan
Analisis laporan keuangan sangat
bergantung pada informasi yang diambil dari laporan keuangan, Audri (2009).
Menurut Baridwan (2000: 17) “Laporan keuangan merupakan ringkasan dari
suatu proses pencatatan. Merupakan ringkasan dari transaksi- transaksi keuangan
yang etrjadi selama tahun buku yang bersangkutan.”
2.1.2 Jenis-jenis Bank
1. Dilihat Dari Segi Fungsi dan jenis - jenis Bank :
1) Bank Umum
1
Adalah bank yang dapat memberikan jasa dalam bentuk lalu lintas
pembayaran. Sifat jasa yang diberikan adalah umum, dalam arti dapat
memberikan seluruh jasa perbankan yang ada. Begitu pula dengan wilayah
operasinya dapat dilakukan diseluruh wilayah.
2) Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Adalah
bank
yang
melaksanakan
kegiatan
usaha
secara
konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya
tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Sifat kegiatan BPR jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan
kegiatan
bank
umum.
Kegiatan
BPR
hanya
rneliputi
kegiatan
penghimpunan dan penyaluran dana saja, Begitu pula dalam hal jangkauan
wilayah operasi, BPR hanya dibatasi dalam wilayah tertentu saja.
2. Dilihat Dari Segi Kepemilikannya
1)
Bank Milik Pemerintah
Dimana baik akte pendirian maupun modalnya dimiliki
oleh pemerintah, sehingga seluruh keuntungannya bank itu dimiliki
oleh pemerintah.
2)
Bank Milik Swasta Nasional
Bank jenis ini seluruh atau sebagian besarnya dimiliki oleh
swasta nasional serta akte pendiriannya pun didirikan oleh swasta
nasional. Dalam bank swasta milik nasional termasuk pula bankbank yang dimiliki oleh badan usaha yang berbenruk koperasi.
3)
Bank Milik Asing
2
Bank jenis ini merupakan cabang dari bank yang ada di luar
negeri, baik milik swasta asing maupun pemerintah asing jelas
kepemilikannya pun dimiliki oleh pihak luar negeri.
4)
Bank Milik Campuran
Kepemilikan saham bank campuran dimiliki oleh pihak
asing dan pihak swasta nasional. Kepemilikan sahamnya secara
mayoritas dipegang oleh warga negara Indonesia.
3.
Dilihat Dari Segi Status dan kemampuannya dalam melayani masyarakat
maka bank umum dapat dibagi kedalam 2 macam, yaitu :
1)
Bank Devisa
Merupakan bank yang dapat melaksanakan transaksi keluar
negeri atau yang berhubungan dengan mata uang asing secara
keseluruhan, misalnya transfer ke luar negeri, inkaso ke luar
negeri, travelers cheque, pembukaan dan pembayaran letter of
credit dan transaksi luar negeri lainnya. Persyaratan untuk menjadi
Bank devisa ini ditentukan oleh Bank Indonesia setelah memenuhi
persyaratan yang telah ditetapkan.
2)
Bank Non Devisa
Merupakan bank yang belum mempunyai izin untuk
melaksanakan transaksi sebagai bank devisa, sehingga tidak dapat
melaksanakan transaksi sebagai bank devisa. Jadi bank non devisa
merupakan kebalikan dari bank devisa, dimana transaksi yang
dilakukan rnasih dalam batas-batas Negara.
3
4. Dilihat Dari Segi Menentukan Harga
1)
Bank yang berdasarkan Prinsip Konvensional
Mayoritas bank yang berkembang di Indonesia dewasa ini
adalah bank yang berorientasi pada prinsip konvensional. Dalam
mencari
keuntungan dan
menentukan
harga
kepada
para
nasabahnya, menggunakan dua metode yaitu:
a)
Menetapkan bunga sebagai
harga, baik
untuk produk
simpanan maupun untuk produk pinjamannya
juga
ditentukan berdasarkan suku bunga tertentu.
b)
Untuk
jasa-jasa bank lainnya,
menggunakan
pihak
bank
dapat
atau menerapkan berbagai biaya - biaya
dalam nominal atau persentase tertentu.
2)
Bank yang berdasarkan Prinsip Syariah
Bank
berdasarkan
prinsip
syariah
adalah
peraturan
perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dengan pihak lain
untuk menyimpan dana atau pembiayaan usaha atau kegiatan
perbankan lainnya. Dalam menentukan harga atau mencari
keuntungan bagi bank yang berdasarkan prinsip syariah adalah
sebagai berikut:
a)
Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah)
b)
Pembiayaan
berdasarkan
(musharakah)
4
prinsip
penyertaan
modal
c)
Prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan
(murabahab)
d)
Pembiayaan barang modal berdasarkan sewa murni tanpa
pilihan (ijarah)
e)
Atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas
barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain
(ijarahwaiqtina)
2.1.3 Pengertian Kredit
Dalam bahasa latin kredit disebut “credere” yang atrinya percaya , dimana
pemberi kredit percaya terhadap penerima kredit, bahwa kredit yang disalurkan
akan dikembalikan sesuai perjanjian Hasibuan (2011;12)
Berdasarkan pengertian diatas nampak bahwa suatu fungsi pokok dari
kredit pada dasaraya adalah untuk pemenuhan jasa pelayanan terhadap kebutuhan
masyarakat dalam rangka mendorong dan melancarkan kegiatan usaha berbagai
bidang yang semua itu untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dalam hal ini
mempermudah mendapatkan modal usaha. Jadi tujuan suatu pemberian kredit
antara lain:
1. Mencari Keuntungan
Yaitu bank yang dalam kegiatannya menghimpun dana dari
masyarakat dan menyalurkan kembali dalam bentuk kredit kepada
masyarakat bertujuan untuk memperoleh hasil dari pemberian kredit dalam
bentuk bunga yang diterima oleh bank sebagai balas jasa dan biaya
5
administrasi kredit yang dibebankan kepada nasabah yang menggunakan
jasa bank tersebut.
2. Membantu usaha nasabah
Tujuan lainnya adalah untuk membantu usaha nasabah yang
mengalami devisit anggaran (kekurangan dana), baik dana investasi
maupun dana modal kerja.
Adapun dana tersebut
akan dapat
mengembangkan dan memperluas usahanya.
3.
Membantu pemerintah
Keuntungan bagi pemerintah dengan pemberian kredit adalah:
1) Penerimaan pajak
2) Membuka kesempatan kerja
3) Meningkatkan jumlah barang dan jasa yang beredar di
masyarakat.
Untuk mengetahui layak atau tidaknya suatu kredit, perlu dilakukan
analisis kepada calon debitur yaitu analisis 5 C. Penilaian kredit dengan metode
analisis 5 C adalah sebagai berikut:
1.
Character (watak)
Analisis ini untuk mengetahui watak yang berkaitan dengan
integritas dari calon nasabah, integritas ini sangat menentukan kemauan
membayar kembali nasabah atas kredit yang telah dinikmatinya.
2.
Capital (modal)
6
Analisis ini berkaitan dengan nilai kekayaan yang dimiliki calon
nasabah yang biasanya diukur dari modal sendiri yaitu total aktiva
dikurangi total kewajiban (untuk perusahaan).
3.
Capacity (kemampuan)
Adalah penilaian terhadap calon debitur dan dalam kemampuan
untuk memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam perjanjian akad
kredit yaitu melunasi utang pokok dan bunga.
4
Collateral (jaminan)
Berdasarkan
ketentuan
pemerintah/Bank
Indonesia,
setiap
pemberian kredit harus didukung oleh adanya agunan yang memadai,
kecuali untuk program-program pemerintah, karena kredit pada dasarnya
mengandung risiko.
5.
Condition of economy (kondisi ekonomi)
Kondisi perekonomian akan mempengaruhi kegiatan dan prospek
usaha peminjam, dalam rangka proyeksi pemberian kredit,kondisi
perekonomian harus pula dianalisis (paling sedikit selama jangka waktu
kredit).
2.1.4 Risiko Kredit
Risiko kredit adalah Risiko tidak kembalinya dana bank yang disalurkan
berupa kredit kepada masyarakat baik sebagaian atau keseluruhanya sesuai
dengan perjanjian kredit yang ada. Risiko tersebut mengurangi kemampuan bank
dalam memenuhi kewajibanya atau berdampak pada risiko likuiditas. Dampak
dari risiko kredit adalah risiko kerugian dimana bank tidak menerima bunga dari
7
kredit yang disalurkanya kepada masyarakat di balik bank membayar bunga dana
dan biaya lainnya. Bank yang terkena risiko kredit ditandai oleh kredit non
performing sehingga memburuknya kas masuk (cash flow) bank. Dengan adanya
risiko kredit berarti bank mengalami kegagalan dalam penyaluran kredit
.Kegagalan tersebut disebabkan oleh lemahnya manajemen kredit disamping
adanya kelemahan di pihak nasabah seperti gagalnya usaha nasabah, perubahan
karakter nasabah dan sebab lain seperti persaingan antar bank sehingga
terbatasnya nasabah – nasabah yang layak diberikan kredit .Kondisi tersebut
sering disebut bank berada dalam perubahan lingkungan (Sudirman,2013:191).
Untuk menghindari kegagalan bank supaya bank tidak tertimpa risiko kredit ,bank
menentukan tiga pilar dalam manajemen kredit (Soedarto dalam sudirman 2013)
yaitu:1) Kebijakan dan prosedur kredit. 2) Proses pemberian kredit. 3)Pengawasan
kredit.
Bank perlu mengelola risiko kredit dari seluruh portofolio serta risiko dari
individu atau kredit transaksi. Bagi sebagian besar bank, pinjaman adalah yang
terbesar dan juga sumber risiko kredit, namun sumber-sumber risiko kredit lain
juga terdapat di seluruh kegiatan bank, termasuk pembukuan perbankan dan
pembukuan perdagangan baik yang di dalam atau di luar neraca. Untuk
menentukan berkualitas atau tidaknya suatu kredit perlu diberikan ukuran-ukuran
tertentu.
1)
Lancar (pas) Suatu kredit dapat dikatakan lancar apabila:
(1)
Pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga tepat waktu
(2)
Memiliki mutasi rekening yang aktif
8
(3)
Sebagian dari kredit yang dijamin dengan agunan tunai (cash
collateral)
2)
Dalam perhatian khusus (special mention) Dikatakan dalam perhatian
khusus apabila memenuhi kriteria antara lain:
(1)
Terdapat tunggakan pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga
yang belum melampaui 90 hari
3)
(2)
Kadang-kadang jadi cerukan
(3)
Jarang terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan
(4)
Mutasi rekening relatif aktif
(5)
Didukung dengan pinjaman baru
Kurang lancar(substandard) Dikatakan kurang lancar apabila memenuhi
kriteria diantaranya :
(1)
Terdapat tunggakan pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga
yang telah melampaui 90 hari
(2)
Sering terjadi cerukan
(3)
Terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan lebih dari
90 hari
4)
(4)
Frekuensi relative rekening relatif rendah
(5)
Terdapat indikasi masalah keuangan yang dihadapi debitur
(6)
Dokumen pinjaman yang lemah
(7)
Diragukan (doubtful)
Dikatakan diragukan apabila memenuhi kriteria diantaranya :
(1)
Terdapat tunggakan pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga
9
yang telah melampaui 180 hari
(2)
Terjadi cerukan yang bersifat permanen
(3)
Terjadi wanprestasi lebih dari 180 hari
(4)
Terjadi kapitalisasi bunga
(5)
Dokumen hukum yang lemah, baik untuk perjanjian kredit
maupun pengikatan jaminan.
5)
Macet (loss) Dikatakan macet apabila memenuhi kriteria antara lain :
(1)
Terdapat tunggakan pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga
yang telah melampaui 270 hari
(2)
Kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru
(3)
Dari segi hukum dan kondisi pasar, jaminan tidak dapat dicairkan
pada nilai yang wajar.
2.1.5 Non Performing Loan (NPL)
Non Performing Loan (NPL) atau sering disebut kredit bermasalah
dapat diartikan sebagai pinjaman yang mengalami kesulitan pelunasan akibat
adanya faktor kesengajaan dan atau karena faktor eksternal di luar ke-mampuan
kendali debitur (Setyorini, 2012:181). Tingkat terjadina kredit bermasalah
biasanya dicerminkan dengan Non Perfoming Loan (NPL) yang terjadi pada
bank tersebut. Semakin rendahnya rasio NPL maka akan semakin rendah
tingkat kredit bermasalah yang terjadi, berarti semakin kecil risiko kredit dan
membaiknya kondisi Bank (Dyanti, 2012). Dengan mengetahui presentase
Non Peroming Loan yang terjadi pada suatu bank, maka masyarakat dan
10
Bank Central ( Bank Indonesia) dapat mengambil langkah yang ba ijak dalam
menyikapi dan menghadapi bank tersebut.
Istilah kredit bermasalah sering juga dipakai untuk kredit macet yang
sudah dihapus dari pembukuan bank. Agar tidak terjadi kerancuan untuk
selanjutnya dipakai istilah yang lebih teknis yaitu Non Performing Loan (NPL).
yang termasuk dengan NPL adalah debitur atau kelompok debitur golongan
kurang lancar, dan Macet. Dimana menghitungnya dengan cara total NPL di bagi
total kredit dikali 100%. Early warning system, serta pemantauan yang efektif
akan memudahkan bank dalam mengambil langkah yang diperlukan apabila suatu
nasabah akan mengalami penurunan kualitas atau peningkatan risiko kredit.
Menurut catatan bank Indonesia kredit macet disebabkan antara lain
penurunan kualitas kredit yang disebabkan oleh penurunan kondisi keuangan
debitur, keterlambatan pembayaran, masalah pembayaran lainnya, buruknya
prospek usaha debitur dan efek penerapan peraturan Bank Indonesia nomor
7/2/PBI/2005 tentang penilaian kualiatas bank umum. Kredit bermasalah yang
tinggi dapat menimbulkan keengganan bank untuk menyalurkan kredit karena
harus membentuk cadangan penghapusan yang besar. NPL merupakan persentase
jumlah kredit bermasalah kurang lancar, diragukan dan macet semakin kecil pula
risiko kredit yang ditanggung oleh pihak bank. Bank dalam melakukan kredit
harus melakukan analisis terhdap kemampuan debitur untuk membayar kembali
kewajibannya. Setelah kredit diberikan, bank wajib melakukan pemantauan
terhadap penggunaan kredit serta kemampuan dan kepatuhan debitur dalam
memenuhi kewajibannya. Bank melakukan peninjauan dan pengikatan terhadap
11
agunan untuk memperkecil risiko kredit (Dendawijaya, 2005) sebagai akibat dari
timbulnya kredit bermasalah dapat berupa sebagai berikut.
1) Hilangnya kesempatan untuk memperoleh income yang diberikannya,
sehingga mengurangi perolehan laba dan berpengaruh buruk bagi
rentabilitas bank.
2) Rasio kualitas aktiva produktif atau yang lebih dikenal dengan BDR
Debt Ratio yang memburuk.
3) Bank harus memperbesar penyisihan untuk cadangan aktiva produktif
yang diklasifikasikan berdasarkan ketentuan yang ada. Hal ini pada
akhirnya akan mengurangi besarnya modal bank dan akan sangat
berpengaruh terhadap CAR
4) Menurunnya tingkat kesehatan bank.
Potensi terjadinya NPL dimulai dari tahap awal persetujuan kredit,
terutama pemberian kredit yang tidak sehat. Supaya NPL tidak membengkak,
bank-bank hendaknya lebih berhati-hati dalam penyaluran kredit. Misalnya
menyalurkan kredit ke sektor yang ber-NPL rendah dan berprospek bisnis tinggi
(Info bank, 2003). Salah satu risiko yang muncul akibat semakin kompleksnya
kegiatan perbankan adalah munculnya Non-Performing Loan (NPL) yang
semakin besar. Dengan kata lain semakin besar skala operasi suatu bank maka
aspek pengawasan semakin menurun, sehingga NPL semakin besar atau risiko
kredit semakin besar (Mawardi dalam Syahfitri ,2011).
Kredit lancar yang diberikan bank dapat berubah menjadi kredit
bermasalah (kurang lancar, diragukan, maupun macet). Untuk mengurangi
12
kemungkinan terjadinya kredit bermasalah tersebut, maka perlu diadakan sistem
“pengenalan diri” secara sistematis yang berupa daftar kejadian atau gejala yang
dapat menyebabkan kredit menjadi bermasalah. Gejala tersebut terjadi karena
beberapa faktor berikut : (Dendawijaya, 2001)
1) Faktor interal bank yang memberikan kredit, seperti :mark up
yang dilakukan dengan sengaja, feasibility studyng yang
supaya
proyek
dibuat
sangat feasible, adanya praktik KKN, kurang
ketatnya monitoring kredit, dan sebagainya. Adanya faktor-faktor ini
setidaknya berpengaruh terhadap tingkat rasio-rasio kesehatan bank
seperti CAR dan LDR serta mempengaruhi total asset yang
dimiliki oleh bank yang tercermin dalam rasio bank size.
2) Faktor internal perusahaan (nasabah bank), seperti mismanagement
dalam perusahaan nasabah, kesulitan keuangan, kesalahan dalam
produksi, kesalahan dalam marketing strategy, dan sebagainya.
3) Faktor eksternal seperti keadaan ekonomi secara makro yang
tercermin dalam tingkat Gross Domestic Product dan juga, kenaikan
nilai tukar US dolar terhadap rupiah yang menaikkan harga pokok
produk/jasa, kebijakan pemerintah, dan sebagainya.
2.2
Pembahasasn Hasil Penelitian Sebelumnya
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya oleh Herman 2011 “Analisis
Tingkat Risiko Kredit Pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Cabang
Sinjai di Kabupaten Sinjai. Dengan hasil Kredit Non - Performing Loans, (NPL)
pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Cabang Sinjai selama empat
13
tahun (2007 -2010) mengalami penurunan tiap tahunnya. Hal ini terlihat dari
besarnya rata-rata persentase tingkat risiko PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero)
Tbk. Cabang Sinjai yang ditetapkan oleh Bank Indonesia di bawah persentase
untuk kredit kategori rendah Artinya Non - Performing Loans (NPL) PT. Bank
Rakyat Indonesia (Persero) Tbk selama empat periode (2007 - 2010) tergolong
rendah.
Menurut R.C.T., S. Murni., S. Murniharapon dalam penelitiannya yang
berjudul “Penerapan Manajemen risiko Untuk Meminimalisir risiko kredit macet
pada PT. Bank SuLutyo” dengan menggunakan alat ukur Non Perfoming Loan
(NPL)dengan hasil yang diperoleh, dimana Non Performing Loan (NPL) pada
PT. Bank SulutGo tahun 2013-September 2015 mengalami fluktuasi. Secara
keseluruhan, NPL PT. Bank SulutGo masih dapat ditoleransi, yaitu tidak melebihi
batas maksimum yang ditetapkan Bank Indonesia. Sehingga PT. Bank SulutGo
harus mempertahankan dalam segi penerapan manajemen resiko yang baik
Menurut penelitian sebelumnya oleh S. Priangga Putra., T. Nengah.,
Sudjana “Analisis Manajemen Risio Kreit Sebagai alat untuk meminimalisir
Risiko Kredit Pada PT.
BPR
Dau
Kusumadjaja
Malang ” dengan
mengunakan metode Non Performing Loan (NPL) sebagai kriteria dalam
mengukur risiko kredit. Kondisi NPL bank,sudah cukup baik tetapi belum efektif.
Sudah cukup baik dapat dilihat dari rata-rata NPL sebesar 2,83% dibawah
toleransi Bank Indonesia sebesar 5%. Belum efektif dapat dilihat dari peningkatan
tingkat NPL pada akhir tahun 2014 khususnya 4 bulan terakhir mulai dari2,21%
pada bulan Agustus 2014 sampai dengan 4,94% pada bulan November 2014.
14
Penelitian selanjutnya oleh Rina Melinda Moch “Evaluasi Pengendlian
Manajemen Pemberian Kredit Modal Kerja Dalam Upaya Meminimalkan Non
Pergoming Loan (NPL) Pada PT. Bank Pembangunan Rakyat nusamba Wlingi”
diamana Non
Performing
Loan
(NPL)
Kredit Modal Kerja pada PT. BPR
Nusamba Wlingi per tahunnya sudah dikatakan baik, tetapi dari segi Non
Performing Loan (NPL) pada tingkat kolektibilitasnya atas kredit bermasalah
masih jauh dari batas ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Berdasarkan Penelitian sebelumnya telah memberikan gambaran hasil
dengan teori yang ada, dimana semakin besar nilai Non Perfoming Loan (NPL)
maka tingkat Risiko Kredit akan semakin tinggi. Berdasrakan aturan BI yang
telah menyatakan tingkat Non perfoming (NPL) tidak boleh melebihi 5%, karena
hal tersebut akan mengarah pada risiko kredit yang semakin tinggi dimna
banyaknya kredit yang tak terbayarkan dibandingkan dengan kredit yang di
salurkan. Sehingga hal tersebut bisa mengarah pada likuiditas bank yang nantinya
sulit di atasi, dengan demikan untuk penelitian kali ini akan meneliti presentase
risiko kredit yang ada pada PT Bank Pembangunan Daerah Cabang Mangupura
(Konsolidasi) periode 2015.
15
Download