37 BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Karakteristik Subjek Karakteristik subjek penelitian risiko kematian ibu akibat perdarahan secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 5.1. Total subjek penelitian sebanyak 93 orang yang terdiri dari 31 kasus dan 62 kontrol di seluruh Kabupaten/Kota se Pulau Lombok Provinsi Nusa Tengara Barat. Tabel 5.1 Karakteristik Subjek Kematian Ibu Akibat Perdarahan Karakteristik Pendidikan Tidak Sekolah SD SLTP SLTA PT Pekerjaan Tidak bekerja Petani/nelayan Swasta PNS Paritas 1 kali 2-3 kali 4 kali/ lebih Status ANC tidak pernah ANC 1 kali 2-3 kali 4 kali/lebih Kasus n % Kontrol n % 3 21 4 3 0 9,7 67,7 12,9 9,7 0,0 9 26 17 8 2 14,51 41,9 27,4 12,9 3,2 16 1 4 0 51,6 35,5 12,9 0,0 27 25 9 1 43,5 40,3 14,5 1,6 9 16 6 29,0 51,6 19,4 17 31 14 27,4 50,0 22,6 5 0 17 9 16,1 0,0 54,8 29,0 1 1 28 32 1,6 1,6 45,2 51,6 38 Dari keempat karakteristik subyek penelitian didapatkan tingkat pendidikan terbanyak pada kasus dan kontrol adalah SD sebesar 67,7 % pada kasus dan pada kontrol 41,9 %. Pekerjaan antara kasus dan kontrol terbesar adalah tidak bekerja yaitu 51,6 % pada kasus dan kontrol sebesar 43,5 %. Jumlah paritas pada kasus terbanyak adalah 2-3 kali sebesar 51,6 % dan kontrol 50,0 %. Frekuensi ANC terbanyak pada kasus adalah 2-3 kali sebesar 54,8 %, sedangkan pada kontrol ANC dengan frekuensi 4 kali atau lebih sebesar 51,6 %. Rerata usia ibu antara kasus dan kontrol yang terbanyak adalah pada kelompok umur 20- 35 tahun. 5.2 Risiko Terjadinya Kematian Akibat Perdarahan pada Pasien yang Tidak Tersedia Biaya Risiko terjadinya kematian akibat perdarahan pada pasien yang tidak tersedia biaya diuji berdasarkan proporsi ketersediaan biaya antar kelompok. Odd Ratio dipakai sebagai indikator untuk menilai antara ketersediaan biaya dengan kematian ibu akibat perdarahan. Hasil analisis kemaknaan dengan uji Chi-Square disajikan pada Tabel 5.2 berikut. Tabel 5.2 Risiko Terjadinya Kematian Akibat Perdarahan pada Pasien yang Tidak Tersedia Biaya Ketersediaan Biaya Tidak Tersedia Tersedia Kasus (n=31) Kontrol (n=62) 20 25 11 37 RO IK 95% p 2,69 1,10-6,58 0,028 39 Tabel 5.2 di atas menunjukkan bahwa ketidaktersediaan biaya dapat meningkatkan risiko terjadinya kematian ibu akibat perdarahan sebesar 2,7 kali (RO = 2,69, IK 95% = 1,10-6,58, p=0,028). 5.3 Risiko Terjadinya Kematian Akibat Perdarahan pada Pasien yang Ditolong Dukun Risiko terjadinya kematian akibat perdarahan pada pasien yang ditolong dukun diuji berdasarkan proporsi penolong persalinan antar kelompok. Odd Ratio dipakai sebagai indikator untuk menilai antara penolong persalinan dengan kematian ibu akibat perdarahan. Hasil analisis kemaknaan dengan uji Chi-Square disajikan pada Tabel 5.3 berikut. Tabel 5.3 Risiko Terjadinya Kematian Akibat Perdarahan pada Pasien yang Ditolong Dukun Penolong Persalinan Dukun Nakes Kasus (n=31) Kontrol (n=62) 16 26 15 RO IK 95% p 1,48 0,62-3,51 0,377 36 Tabel 5.3 di atas menunjukkan bahwa tidak terjadi risiko kematian akibat perdarahan pada pasien yang ditolong dukun (RO = 1,48, IK 95% = 0,62-3,51, p=0,377). 40 5.4 Risiko Terjadinya Kematian Akibat Perdarahan pada Pasien dengan Waktu Tempuh ke Fasilitas Lebih dari 1 jam Risiko terjadinya kematian akibat perdarahan pada pasien dengan waktu tempuh ke fasilitas lebih dari 1 jam diuji berdasarkan proporsi waktu tempuh ke fasilitas antar kelompok. Odd Ratio dipakai sebagai indikator untuk menilai antara waktu tempuh dengan kematian ibu akibat perdarahan. Hasil analisis kemaknaan dengan uji Chi-Square disajikan pada Tabel 5.4 berikut. Tabel 5.4 Risiko Terjadinya Kematian Akibat Perdarahan pada Pasien dengan Waktu Tempuh ke Fasilitas Lebih dari 1 jam Waktu Tempuh Kasus (n=31) Kontrol (n=62) Lebih dari 1 Jam 21 20 Kurang dari 1 Jam 10 RO IK 95% p 4,41 1,75-11,09 0,001 42 Tabel 5.4 di atas menunjukkan bahwa waktu tempuh ke fasilitas lebih dari 1 jam dapat meningkatkan risiko terjadinya kematian akibat perdarahan sebesar hampir 4,5 kali (RO = 4,41, IK 95% = 1,75-11,09, p=0,001). 5.5 Risiko Terjadinya Kematian Akibat Perdarahan pada Pasien yang tidak Memiliki P4K Risiko terjadinya kematian akibat perdarahan pada pasien yang tidak memiliki P4K diuji berdasarkan proporsi perencaaan persalinan antar kelompok. Odd Ratio dipakai sebagai indikator untuk menilai antara perencanaan persalinan 41 dengan kematian ibu akibat perdarahan. Hasil analisis kemaknaan dengan uji ChiSquare disajikan pada Tabel 5.5 berikut.. Tabel 5.5 Risiko Terjadinya Kematian Akibat Perdarahan pada Pasien yang tidak Memiliki P4K Perencanaan Persalinan Tanpa P4K Dengan P4K Kasus (n=31) Kontrol (n=62) 17 26 14 RO IK 95% p 1,68 0,71-4,01 0,239 36 Tabel 5.5 di atas menunjukkan bahwa tidak terjadi risiko kematian akibat perdarahan pada pasien yang tanpa P4K (RO=1,68, IK 95%=0,71-4,01, p=0,239). 5.6 Risiko Terjadinya Kematian Akibat Perdarahan pada Pasien tanpa Manajemen Kala III Risiko terjadinya kematian akibat perdarahan pada pasien tanpa manajemen kala II diuji berdasarkan proporsi manajemen kala III antar kelompok. Odd Ratio dipakai sebagai indikator untuk menilai antara manajemen kala III dengan kematian ibu akibat perdarahan. Hasil analisis kemaknaan dengan uji Chi-Square disajikan pada Tabel 5.6 berikut. 42 Tabel 5.6 Risiko Terjadinya Kematian Akibat Perdarahan pada Pasien tanpa Manajemen Aktif Kala III MAK III Kasus (n=31) Kontrol (n=62) Tanpa MAK III 19 20 Dengan MAK III 12 42 RO IK 95% p 5,33 1,36-8,16 0,007 Tabel 5.6 di atas menunjukkan bahwa tanpa manajemen aktif kala III dapat meningkatkan risiko terjadinya kematian akibat perdarahan sebesar 5 kali (RO = 5,33, IK 95% = 1,36-8,16, p=0,007). 5.7 Risiko Terjadinya Kematian Akibat Perdarahan pada Pasien dengan Manajemen PPP yang tidak sesuai Standar Risiko terjadinya kematian akibat perdarahan pada pasien yang tidak sesuai standar manajemen PPP diuji berdasarkan proporsi manajemen PPP antar kelompok. Odd Ratio dipakai sebagai indikator untuk menilai antara manajemen PPP dengan kematian ibu akibat perdarahan. Hasil analisis kemaknaan dengan uji Chi-Square disajikan pada Tabel 5.7 berikut. Tabel 5.7 Risiko Terjadinya Kematian Akibat Perdarahan pada Pasien dengan Manajemen PPP yang tidak sesuai Standar Manajemen PPP Tidak Sesuai Standar Sesuai Standar Kasus (n=31) Kontrol (n=62) 25 29 6 33 OR IK 95% p 4,74 1,71-13,16 0,002 43 Tabel 5.7 di atas menunjukkan bahwa tidak sesuai standar manajemen PPP dapat meningkatkan risiko terjadinya kematian akibat perdarahan sebesar hampir 5 kali (RO = 4,74, IK 95% = 1,71-13,16, p=0,002). Untuk mengetahui faktor risiko yang paling berperan terhadap kematian ibu akibat perdarahan maka dilakukan uji regresi logistik dengan metode Forward LR. Hasil analisis regresi logistik selengkapnya disajikan pada Tabel 5.8. Tabel 5.8 Analisis Regresi Logistik Faktor Risiko Kematian Ibu Akibat Perdarahan Faktor Risiko RO IK 95 % P Waktu Tempuh ke Fasilitas 3.003 1,07-8,42 0,037 Manajemen Aktif Kala III 6.609 2,02-21,59 0,002 Manajemen Pertolongan Perdarahan 7.966 2,19-29,04 0,002 Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 5.8 di atas ditunjukkan bahwa, dari empat variabel yang masuk ke dalam model, hanya tiga yang terbukti secara bermakna meningkatkan risiko terjadinya kematian ibu akibat perdarahan. Faktor risiko yang terbukti adalah : waktu tempuh ke fasilitas yang lebih dari 1 jam (RO = 00: IK 95% : 1,07-8,42, P = 0,037), tanpa manajemen aktif kala III dengan nilai (RO= 6,61: IK 95%: 2,02-21,59, P = 0,002), dan manajemen pertolongan pada pasien dengan perdarahan yang tidak sesuai standar dengan nilai ( RO= 7,97: IK 95 % : 2,19-29,04, P= 0,002). Dari hasil persamaan regresi diatas menunjukkan bahwa faktor waktu tempuh lebih dari 1 jam, tanpa manajemen aktif kala III, dan pertolongan pada pasien perdarahan yang tidak sesuai standar memiliki probabilitas untuk meningkatkan 44 risiko kematian ibu akibat perdarahan sebesar 75,3 persen, sisanya sebesar 24,7 persen di tentukan oleh faktor lain. 45 BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Gambaran umum Wilayah Penelitian 6.1.1 Keadaan Geografi Pulau Lombok merupakan satu diantara dua pulau yang ada di Propinsi Nusa Tenggara Barat yang memiliki luas wilayah sekitar 4.738,65 Km2 atau sekitar 23,51 persen dari luas wilayah Nusa Tenggara Barat seluas 20.153,15 Km2. Secara administrative pulau Lombok terdiri dari empat daerah kabupaten dan satu kota, 50 kecamatan dan empat ratus enam desa. 6.1.2 Kependudukan Jumlah penduduk Pulau Lombok sampai akhir tahun 2010 sebanyak 3.341.267 jiwa. Terdiri dari 1.570.268 jiwa penduduk laki-laki dan 1.770.999 jiwa penduduk perempuan. Tabel 6.1 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin di masing-masing Kabupaten se Pulau Lombok tahun 2010 No Kabupaten 1 Lombok Barat 404.685 429.092 829.777 2 Lombok Tengah 382.531 474.144 856.675 3 Lombok Timur 501.166 579.071 1.080.237 4 Mataram 185.321 190.185 375.506 5 Lombok Utara 97.565 102.507 200.072 1.570.268 1.770.999 3.342.267 Jumlah Laki Perempuan Jumlah 46 Tabel 6.1 diatas menunjukkan bahwa proporsi penduduk terbesar berada di Kabupaten Lombok Timur yaitu sebesar 32,32 %, dan yang terkecil di Kabupaten Lombok Utara sebesar 0,59 %. 6.1.3 Keadaan Pelayanan Kesehatan 6.1.3.1 Sarana Pelayanan Kesehatan Pulau Lombok memiliki 85 puskesmas yang tersebar di Lima Kabupaten Kota. Terdapat 23 buah Puskesmas yang mampu PONED, 263 unit puskesmas Pembantu dan 242 Poskesdes. Jumlah rumah sakit terdapat 4 rumah sakit milik pemerintah. Peranan sektor swasta terlihat dengan adanya 2 rumah sakit swasta dan 4 rumah sakit bersalin. 6.1.3.2 Ketenagaan Distribusi tenaga kesehatan terkait kesehatan ibu dan anak tahun 2010 yang bertugas di Rumah Sakit dan Puskesmas Se Pulau Lombok terdiri dari : 12 DSOG, 9 orang DSA, dr umum yang bertugas di Puskesmas 117 orang. Bidan Desa sebanyak 406 orang tetapi yang tinggal di desa hanya 242 Orang. Sedangkan bidan yang bertugas di Puskesmas sebanyak 112 orang. 6.2 Karakteristik Subjek Hubungan antara pendidikan dan kematian ibu tidak bersifat langsung. Pendidikan akan memberikan pengaruh secara tidak langsung melalui peningkatan status sosial dan kedudukan ibu di dalam masyarakat, peningkatan pilihan mereka terhadap kehidupan dan peningkatan kemampuan untuk membuat keputusan sendiri serta menyatakan pendapat. Wanita dengan tingkat pendidikan 47 rendah, menyebabkan kurangnya pengertian mereka akan bahaya yang dapat menimpa ibu hamil terutama dalam hal kegawat – daruratan kehamilan dan persalinan. Hal ini berpengaruh pada kesadaran dan kemampuan mengambil keputusan. Wanita dengan pendidikan rendah memiliki independensi yang rendah terhadap pengambilan keputusan (J.Killewo et al, 2008). Tingkat pengetahuan yang rendah yang didukung oleh kemampuan mengambil keputusan yang rendah berpengaruh terhadap kemampuan ibu untuk mengakses layanan yang berkualitas. Wanita yang berpendidikan tinggi cenderung lebih memperhatikan kesehatan diri dan keluarganya, sedangkan wanita dengan tingkat pendidikan yang rendah, menyebabkan kurangnya pengertian mereka akan bahaya yang dapat menimpa ibu hamil maupun bayinya terutama dalam hal kegawatdaruratan kehamilan dan persalinan. Secara umum, terdapat kecenderungan lebih besar dari orang tua di NTB untuk menyekolahkan anak laki‐laki daripada anak perempuan ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan demikian, proporsi laki‐laki yang menamatkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi (SMA ke atas) lebih besar dibandingkan dengan perempuan. Alasan untuk memprioritaskan laki‐laki ketimbang perempuan antara lain karena jarak sekolah yang cukup jauh dari rumah, budaya kawin muda bagi perempuan di perdesaan, dan anggapan bahwa menyekolahkan anak perempuan ke jenjang yang lebih tinggi akan merugikan karena kurang memberikan manfaat ekonomi bagi keluarga. Pekerjaan merupakan determinan jauh dari kematian ibu. Pada keadaan hamil, ibu terutama dengan keadaan ekonomi keluarga di tingkat subsisten tetap 48 melakukan pekerjaan fisik, seperti membantu suami bekerja di sawah atau berdagang. Ibu bahkan menjadi tumpuan keluarga jika suami terbatas secara fisik. Keadaan tersebut akan membawa pengaruh terhadap kesehatan ibu dan menyebabkannya rentan terhadap kemungkinan terjadinya komplikasi selama kehamilan, persalinan serta nifas. Pekerjaan terkait dengan keadaan ekonomi keluarga. Kemiskinan dapat menjadi sebab rendahnya peran serta masyarakat pada upaya kesehatan. Kematian maternal sering terjadi pada kelompok miskin, tidak berpendidikan, tinggal di tempat terpencil, dan mereka tidak memiliki kemampuan untuk memperjuangkan kehidupannya sendiri (Kemenkes RI,1996). Wanita – wanita dari keluarga dengan pendapatan rendah (kurang dari US$ 1 perhari) memiliki risiko kurang lebih 300 kali untuk menderita kesakitan dan kematian maternal bila dibandingkan dengan mereka yang memiliki pendapatan yang lebih baik (Kemenkes RI, 1996). Paritas 2 – 3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut kematian maternal. Paritas ≤ 1 (belum pernah melahirkan/baru melahirkan pertama kali) dan paritas > 4 memiliki angka kematian maternal lebih tinggi (Saifudin, 2000). Paritas ≤ 1 dan usia muda berisiko karena ibu belum siap secara medis maupun secara mental, sedangkan paritas di atas 4 dan usia tua, secara fisik ibu mengalami kemunduran untuk menjalani kehamilan. Angka kematian biasanya meningkat mulai pada persalinan keempat, dan akan meningkat secara dramatis pada persalinan kelima dan setiap anak berikutnya. Akan tetapi, pada kehamilan kedua atau ketigapun jika kehamilannya terjadi pada keadaan yang tidak diharapkan (gagal KB, ekonomi tidak baik, interval terlalu pendek), dapat meningkatkan 49 risiko kematian maternal (UNFA, 2004). Di Pulau Lombok saat ini ditemukan kecenderungan menurunnya partisipasi keluarga miskin masih dan masyarakat pedesaan dalam Keluarga Berencana (KB) akibat menurunnya intensitas penyuluhan. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya „empat terlalu‟ di NTB, yaitu terlalu dekat jarak kelahiran, terlalu sering melahirkan, terlalu muda, dan terlalu tua melahirkan. Hal ini secara tidak langsung meningkatkan risiko kematian ibu melahirkan akibat komplikasi baik pada saat hamil maupun melahirkan. Pemeriksaan antenatal adalah pemeriksaan kehamilan yang dilakukan untuk memeriksa keadaan ibu dan janinnya secara berkala, yang diikuti dengan upaya koreksi terhadap penyimpangan yang ditemukan. Pemeriksaan antenatal dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terlatih dan terdidik dalam bidang kebidanan, yaitu bidan, dokter dan perawat yang sudah terlatih. Tujuannya adalah untuk menjaga agar ibu hamil dapat melalui masa kehamilan, persalinan dan nifas dengan baik dan selamat. Pemeriksaan antenatal dilakukan minimal 4 kali selama kehamilan, dengan ketentuan satu kali pada trimester pertama (usia kehamilan sebelum 14 minggu), satu kali selama trimester kedua (antara 14 sampai dengan 28 minggu), dan dua kali selama trimester ketiga (antara minggu 28 s/d 36 minggu dan setelah 36 minggu). Pemeriksaan antenatal yang teratur, minimal 4 kali selama kehamilan kepada petugas kesehatan, dapat mendeteksi secara dini kemungkinan adanya komplikasi yang timbul pada masa kehamilan, seperti preeklamsia, anemia, KEK, infeksi kehamilan dan perdarahan antepartum, dimana keadaan tersebut merupakan faktor – faktor risiko untuk terjadinya kematian 50 maternal. Dengan ANC teratur maka kemungkinan komplikasi yang akan timbul dapat di prediksi sejak awal sehingga persalinan dapat direncanakan lebih optimal. Pada penelitian ini frekuensi terbanyak pada kasus adalah frekuensi pemeriksaan 2-3 kali. Frekuensi ANC yang tidak sesuai dengan standar minimal yang diharapkan berimpilkasi terhadap rendahnya kualitas pelayanan yang di terima sehingga kemungkinan risiko maupun komplikasi yang terjadi pada saat kehamilan maupun persalinan tidak dapat di perkirakan. Dengan sendirinya perencanaan persiapan persalinan tidak dapat di lakukan dengan maksimal. Sedangkan rerata usia ibu antara kasus dan kontrol yang terbanyak adalah pada kelompok umur 20- 35 tahun. Usia di bawah 20 tahun dan di atas 35 tahun merupakan usia berisiko untuk hamil dan melahirkan (UNFA,2004). Risiko paling besar terdapat pada ibu berusia ≤ 14 tahun. Penelitian di Bangladesh menunjukkan bahwa risiko kematian maternal lima kali lebih tinggi pada ibu berusia 10 – 14 tahun daripada ibu berusia 20 – 24 tahun, sedangkan penelitian yang dilakukan di Nigeria menyebutkan bahwa wanita usia 15 tahun memiliki risiko kematian maternal 7 kali lebih besar dibandingkan dengan wanita yang berusia 20 – 24 tahun. Kehamilan di atas usia 35 tahun menyebabkan wanita terpapar pada komplikasi medik dan obstetrik, seperti risiko terjadinya hipertensi kehamilan, diabetes, penyakit kardiovaskuler, penyakit ginjal dan gangguan fungsi paru. Kejadian perdarahan pada usia kehamilan lanjut meningkat pada wanita yang hamil di usia > 35 tahun, dengan peningkatan insidensi perdarahan akibat solusio plasenta dan plasenta previa. Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menyatakan bahwa kematian maternal akan meningkat 4 kali lipat pada ibu yang 51 hamil pada usia 35 – 39 tahun bila dibanding wanita yang hamil pada usia 20 – 24 tahun. Usia kehamilan yang paling aman untuk melahirkan adalah usia 20 – 30 tahun. 6.3 Hubungan Ketersediaan Biaya Persalinan dengan Kematian Ibu Akibat Perdarahan Pada variabel ketersediaan biaya, dikategorikan tidak tersedia dan tersedia biaya pada saat ibu membutuhkan pertolongan saat terjadinya perdarahan obstetri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketidaktersediaan biaya pada kelompok kasus sebagian besar terjadi pada kelompok masyarakat yeng memiliki penghasilan dibawah upah mininimum regional (UMR), sehingga mereka tidak memiliki banyak pilihan untuk menyisihkan biaya kesehatan. Tidak tersedianya biaya mengakibatkan keterlambatan ibu dan keluarga untuk membuat keputusan apakah ia akan mencari pertologan ke fasilitas kesehatan atau tidak. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mamady Cham et al (2008) yang menyatakan bahwa hambatan sosial ekonomi yang dirasakan membuat ketidakmampuan bagi perempuan dalam mengambil keputusan untuk mencari perawatan.Hambatan sosial disini terkait dengan status wanita dalam keluarga dan masyarakat serta pendidikan, sedangkan ekonomi terkait dengan biaya dan pendapatan. Manueke (2006) melakukan penelitian tentang, “Hubungan kemampuan membayar keluarga dengan pemanfaatan penolong persalinan di Indonesia.” Menggunakan rancangan cross-sectional dengan analisis data SUSENAS KOR 52 2001. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa keluarga di Indonesia sudah sebagian besar (70,9%) mampu membayar biaya pelayanan kesehatan. Kemampuan membayar keluarga mempunyai hubungan yang signifikan dengan pemanfaatan penolong persalinan dan kemampuan membayar keluarga yang rendah memiliki peluang lebih besar untuk memanfaatkan tenaga non-kesehatan untuk menolong persalinannya, yang mengakibatkan risiko terjadinya kematian pada ibu tersebut. Penelitian yang dilakukan van Eijk et al. (2006) di western Kenya, menyatakan bahwa 80% persalinan terjadi di luar fasilitas kesehatan karena rendahnya status sosial ekonomi (OR 1,63; 95% CI : 1,07-2,49). Penelitian lain oleh Sreeramareddy et al. (2006) melaporkan bahwa di western Nepal, kira-kira 90% persalinan terjadi di rumah. Bahkan dilaporkan, kemudahan akses tidak cukup menjamin penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan untuk melahirkan. Rendahnya pemanfaatan ini dipengaruhi oleh pendapatan, pendidikan dan kepercayaan terhadap budaya, namun alasan utama adalah hambatan pembiayaan yang mengakibatkan ibu dan keluarga tidak bisa membuat keputusan untuk mencari perawatan ke fasilitas kesehatan. Beberapa hasil penelitian diatas bertolak belakang dengan hasil penelitian yang dilakukan di Pulau Lombok dimana pada penelitian ini tidak tersedianya biaya bukan merupakan risiko yang meningkatkan kematian akibat terjadinya perdarahan secara langsung. Adanya berbagai intervensi dan program yang diluncurkan pemerintah untuk pengentasan kemiskinan, telah berkontribusi cukup besar dalam membantu keluarga khususnya keluarga yang tidak mampu untuk 53 mengakses layanan kesehatan. Program JAMKESMAS sebagai program nasional telah menyediakan biaya grastis untuk semua persalinan dan komplikasi kehamilan dan persalinan bagi keluarga miskin. Program penanggulangan kemiskinan yang sedang dilaksanakan oleh Pemda Provinsi NTB saat ini adalah Gerbang Emas Bangun Desa. Program ini bertujuan mempercepat pembangunan di NTB dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan penguatan kelembagaan dan pengembangan komoditi. Penguatan kelembagaan dimaksudkan untuk memperkuat lembaga desa sebagai pelaksana program pelayanan kepada masyarakat. Lebih dari itu, bekerjasama dengan lembaga internasional –dengan memanfaatkan utang dan/atau hibah– dilakukan program penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat lainnya, seperti Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Program Pemberdayaan Masyarakat untuk Pembangunan Desa (P2MPD) dan program‐program penguatan Lembaga Keuangan Mikro dan Usaha Koperasi melalui program Bantuan Dana Bergulir. Sejak tahun 2001 pemerintah melaksanakan program Beras Untuk Keluarga Miskin (Raskin) yang bertujuan menyediakan beras bersubsidi bagi keluarga miskin guna meringankan beban mereka dalam memenuhi kebutuhan pangan pokok. Khusus untuk program kesehatan di Provinsi NTB, khususnya di Pulau Lombok disamping JAMKESMAS, program JAMKESDA NTB juga diluncurkan untuk seluruh masyarakat NTB. Dimana program JAMKESDA NTB ini diperuntukkan bagi semua ibu melahirkan yang memanfaatkan Puskesmas maupun Rumah Sakit 54 dengan ruang rawat inap kelas III sebagai tempat persalinan mereka tanpa dipungut biaya. Dengan adanya berbagai program pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah maka kendala biaya yang selama ini sering terjadi dan merupakan masalah di masyarakat secara perlahan mulai dapat diatasi karena dampak program secara mikro jelas ada, tetapi secara makro memang tidak signifikan. 6.4 Hubungan Penolong Persalinan dengan Kematian Ibu Akibat Perdarahan Pada variabel penolong persalinan, dikategorikan persalinan yang di tolong dukun dan non dukun (tenaga kesehatan). Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan dengan beberapa penelitian di tempat lain seperti penelitian di Jawa Tengah, dari jumlah persalinan 14.100 terjadi kematian sebanyak 50 orang dan 60% kematian ibu terjadi pada pertolongan persalinan yang dilakukan oleh dukun baik yang sudah terlatih atau tidak terlatih (Manuaba, 2001). Pertolongan persalinan oleh dukun terutama yang tidak terlatih dapat menyebabkan kematian ibu yang disebabkan oleh perdarahan, partus macet, sepsis, dan eklamsia yang sulit untuk dikontrol dan diselamatkan (Jokhio et al., 2005). Oleh karena itu persalinan sebaiknya ditolong atau minimal didampingi oleh petugas kesehatan terampil. Adanya perbedaan hasil penelitian ini dengan beberapa penelitian lainnya yang di pengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah status kesehatan ibu hamil. Meskipun dilakukan pertolongan persalinan oleh dukun akan tetapi apabila tidak terjadi komplikasi yang serius pertolongan persalinan dapat dilakukan oleh siapa saja. Bila tidak terjadi komplikasi langsung pada kehamilan atau persalinan 55 maka jiwa ibu tidak akan terancam. Seperti yang telah diungkapkan oleh Abdulla et al. (2010) yang menyatakan bahwa terjadinya komplikasi pada kehamilan merupakan penyebab langsung kematian maternal. Komplikasi kehamilan yang sering terjadi yaitu perdarahan, preeklampsi/eklampsi, dan infeksi. Hal ini juga duperkuat oleh UNFA (2004) bahwa komplikasi yang timbul pada persalinan dan masa nifas merupakan penyebab langsung kematian maternal, komplikasi yang terjadi menjelang persalinan, saat dan setelah persalinan terutama adalah perdarahan, partus macet atau partus lama dan infeksi akibat trauma pada persalinan. Sehingga apabila tidak ada komplikasi pada kehamilan dan proses persalinan risiko kematian ibu dapat dihindarkan meskipun penolong persalinan dilakukan oleh siapa saja. Disamping itu pula telah dilakukan berbagai intervensi program untuk menekan persalinan dukun, salah satunya dalam program Making Pregnancy Safer (MPS). Salah satu starteginya menjamin agar bidan di desa dapat meningkatkan kerjasama dengan dukun bayi untuk memberi dukungan pelayanan ibu dan bayi baru lahir. Kemitraan ini penting dilakukan untuk meningkatkan kesehatan ibu dan bayi baru lahir terutama dalam upaya peningkatan akses terhadap pelayanan oleh tenaga kesehatan terampil (Bappenas, 2007). Program kemitraan bidan dengan dukun ataupun petugas kesehatan yang lain ternyata mulai menggeser peran dukun sebagai tenaga penolong persalinan yang masih popular dimasyarakat khususnya masyarakat pedesaan. Penelitian yang dilakukan Rooys et al (2004) di rumah sakit Guatemala yang menyatakan bahwa dengan adanya kerjasama antar dukun dan petugas kesehatan dapat menurunkan angka kematian. 56 Pada saat persalinan diupayakan dilakukan oleh bidan atau tenaga kesehatan dan dukun hanya bersifat membantu bidan dalam menolong persalinan. Dalam kerjasama ini dukun diberikan intensif bila merujuk ibu hamil dan bersalin ke rumah sakit, dan dengan melibatkan dukun dalam membantu proses persalinan, dukun tidak merasa tersingkirkan dan tetap bisa menjalin kerjasama dengan petugas kesehatan khususnya bidan sehingga terjalin kemitraan. Pada penelitian ini persalinan yang ditolong oleh dukun bukan merupakan penyebab peningkatan risiko kematian secara langsung, akan tetapi adanya dukun mempengaruhi keluarga dalam membuat keputusan dan pencapaian fasilitas kesehatan dan pemilihan penolong persalinan. Pemilihan dukun beranak sebagai penolong persalinan pada dasarnya disebabkan karena beberapa alasan antara lain dukun dikenal secara dekat, biaya murah, mengerti dan dapat membantu dalam upacara adat yang berkaitan dengan kelahiran anak serta merawat ibu dan bayi sampai 40 hari. Disamping itu juga masih adanya keterbatasan jangkauan pelayanan kesehatan yang ada. Secara medis, penyebab klasik kematian ibu akibat melahirkan adalah perdarahan, infeksi dan eklamsia (keracunan kehamilan). Kondisi-kondisi tersebut bila tidak ditangani secara tepat dan profesional dapat berakibat fatal bagi ibu dalam proses persalinan. Namun, kefatalan ini sering terjadi tidak hanya karena penanganan yang kurang baik dan tepat, tetapi juga karena ada faktor keterlambatan pengambilan keputusan dalam keluarga, dukun dijadikan alternatife pemilihan penolong persalinan karena dekat denagn masyarakat dan tidak menakuti. Tidak jarang pula nasehat-nasehat yang diberikan oleh teman atau tetangga mempengaruhi keputusan yang diambil. Selain dari 57 faktor keterlambatan dalam pengambilan keputusan, faktor geografis dan kendala ekonomi, keterlambatan mencari pertolongan disebabkan juga oleh adanya suatu keyakinan dan sikap pasrah dari masyarakat bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan takdir yang tak dapat dihindarkan. Di Pulau Lombok pertolongan persalinan oleh dukun tidak berpengaruh secara langsung terhadap peningkatan risiko kemaatian ibu akibat perdarahan, tetapi adanya dukun berpengaruh terdapat pengambilan keputusan oleh keluarga karena pemilih penolong persalinan yang pertama dipilih adalah dukun dan keterlambatan pengambilan keputusanlah yang mengakibatkan keterlambatan mencapai fasilitas sehingga terjadi peningkatan risiko kematian. 6.5 Hubungan Waktu Tempuh ke Fasilitas dengan Kematian Ibu Akibat Perdarahan Sumarmo (2007) menyatakan bahwa biaya dan jarak sering berkaitan sebagai bahan pertimbangan dalam mengakses pelayanan. Jarak yang jauh yang didukung oleh ketidakmampuan untuk biaya transportasi mengakibatkan keluarga untuk memutuskan mencari perawatan yang lebih dekat dan tersedia di sekitar mereka, sehingga dukun menjadi pilihan ibu dan keluarga. Sebuah studi di Tanzania mencatat bahwa 84 % wanita pedesaan memutuskan untuk melahirkan di rumah karena masalah transportasi dan jarak (Cham et al, 2007). Ketepatan waktu untuk mencapai fasilitas merupakan hal yang penting pada pasien dengan perdarahan, karena pada pasien perdarahan pertolongan harus diberikan sesegera mungkin. Apabila perdarahan terjadi di luar fasilitas 58 kesehatan, ataupun pada fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang memiliki tenaga yang kurang kompeten maka fasilitas rujukan harus dapat di capai secepat mungkin. Seorang ibu dapat meninggal karena perdarahan pascapersalinan dalam waktu kurang dari satu jam. Atoni uteri menjadi penyebab lebih dari 90% perdarahan pascapersalinan yang terjadi dalam 24 jam setelah kelahiran (Kemenkes RI, 2008). Karena alasan ini pertolongan pada pasien perdarahan harus diberikan dalam waktu kurang dari 1 jam, dan apabila terjadi diluar fasilitas ibu harus mencapai fasilitas dalam waktu kurang dari 1 jam. Waktu tempuh ke fasilitas sering terkait dengan keterlambatan mencapai fasilitas, hal ini juga sering dipengaruhi oleh keterlambatan dalam memutuskan untuk mencari pelayanan kesehatan. Dimana kendala geografi, kesulitan mencari alat transportasi, sarana jalan dan alat transportasi yang tidak memenuhi syarat sering menjadi kendala yang mengakibatkan lamanya mencapai fasilitas kesehatan. Waktu tempuh yang jauh juga menjadi bahan pertimbangan yang sulit bagi keluarga untuk memutuskan apakah akan mencari pusat pelayanan kesehatan atau tidak. Keadaan ini diperberat oleh keluarga yang tidak mempunyai persiapan menghadapi persalinan dan komplikasi termasuk persiapan transportasi. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar anggota keluarga baru mencari alat transportasi setelah bidan menyarankan ibu untuk dirujuk (Cham et al, 2008). Keterlambatan keluarga dalam mendapatkan alat transportasi mengakibatkan keterlambatan dalam mencapai fasilitas yang mengakibatkan keterlambatan bagi ibu untuk mendapatkan pertolongan kematian tidak dapat dihindarkan ( Cham et al, 2008). sehingga risiko 59 Beberapa hasil penelitian diatas sesuai dengen penelitian yang dilakukan di Pulau Lombok yang menunjukkan bahwa waktu tempuh yang lebih dari 1 jam mengakibatkan keterlambatan mencapai fasilitas dan memberikan pengaruh terhadap risiko peningkatan kematian ibu. Waktu tempuh ke fasilitas dipengaruhi oleh banyak faktor, disamping oleh faktor geografi, alasan ekonomi, ibu tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan apakah ia akan mencari fasilitas pelayanan kesehatan atau tidak. Waktu tempuh yang lebih dari 1 jam, di tambah dengan keterlambatan memutuskan untuk mencari pertolongan mengakibatkan keterlambatan mencapai fasilitas dan merupakan risiko yang meningkatkan terjadinya kematian terutama pada ibu dengan perdarahan. Di Pulau Lombok keputusan untuk mencari perawatan tidak dapat di putuskan oleh keluarga sendiri akan tetapi di putuskan oleh keluarga besar, sehingga meskipun ibu sudah mengalami komplikasi yang berat kalau keluarga besar tidak setuju maka ibu akan tetap menunggu, sehingga keterlambatan memutuskan mengakibatkan keterlambatan mencapai fasilitas kesehatan, meskipun ibu sudah dibawa ke fasilitas kesehatan akan tetapi keadaan tersebut sudah terlambat. Keterlambatan mencapai fasilitas juga sering terjadi akibat dari keengganan bidan, perawat dan dokter untuk melayani pasien yang harus segera dikirim ke fasilitas rujukan. Istilah “takut salah” seringkali disebutkan dan tampaknya ketakutan itu mendadak muncul bila pasien akan di rujuk ke dokter spesialis (WHO, 2007). Keadaan ini juga masih terjadi di beberapa fasilitas pelayanan 60 kesehatan ditingkat dasar di Pulau Lombok, sehingga keterlambatan mencapai fasilitas rujukan masih sering terjadi. 6.6 Hubungan Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) dengan Kematian Ibu Akibat Perdarahan Menurut Laksmono (2008) Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) merupakan suatu upaya kesehatan untuk menurunkan kasus kematian akibat komplikasi pada ibu hamil, dalam hal ini bidan diharapkan dapat membuat perencanaan persalinan disetiap pemeriksaan kehamilan atau antenatal care ibu hamil. Sesuai dengan Kemenkes RI (2008) tujuan dari program P4K adalah untuk meningkatkan cakupan dan mutu pelayanan kesehatan bagi ibu hamil dan bayi baru lahir, menghadapi komplikasi tanda dan bahaya kehamilan serta persalinan sehingga melahirkan bayi dengan aman, selamat dan sehat serta terdatanya seluruh ibu hamil dan terpasangnya stiker P4K dirumah ibu hamil. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara fungsi manajemen perencanaan persalinan bidan desa dengan cakupan persalinan, yang berimplikasi terhadap penurunan angka kematian ibu (Hulam Asri, 2004). Hasil penelitian diatas juga didukung oleh hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 menyebutkan bahwa Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) mampu menurunkan angka kematian ibu di Indonesia yang masih tinggi. 61 Berjalannnya program P4K yang berimplikasi terhadap penurunan kematian ibu tentunya bisa terlaksana dengan dukungan semua pihak, baik dari lintas program maupun lintas sektoral. Di Pulau Lombok program P4K belum bisa berjalan secara maksimal. Hal ini dilihat dari aplikasi program P4K yang berbentuk stiker yang ditempelkan di rumah ibu – ibu hamil belum kita jumpai secara merata. Bahkan tokoh masyarakat maupun lintas sektoral lain yang diharapkan sebagai motivator pelaksanaan program inipun masih ada yang belum mengenal istilah P4K. Tidak berjalannya program P4K ini disamping karena faktor budaya yang masih melekat dimasyarakat Pulau Lombok dimana kehamilan itu bukanlah suatu hal yang harus disebarkan, bahkan harus dirahasiakan, karena adanya kepercayaan bahwa ibu hamil rawan oleh guna- guna, sehingga kalau orang tahu tentang kehamilan menjadi ketakutan bagi ibu hamil dan keluarganya. Karena itulan stiker yang diharapkan ditempel di rumah ibu disembunyikan bahkan suami tidak mau membuat kesepakatan dengan ibu hamil untuk membuat kesepakatan perencanaan persalinan tersebut. Disamping itu juga selain dari faktor masyarakat bidan sebagai penggerak utama juga tidak mensosialisasikan program P4K secara maksimal, dalam membuat kartu perencanaan tidak melibatkan suami, bahkan langsung mengisi kartu kesepakatan pada satu kali kunjungan dengan pertanyaan singkat tanpa melalui diskusi yang bertahap, sehingga ibu hanya menerima kartu tanpa mengerti makna kartu dan stiker yang ia tanda tangani tanpa keikutsertaan suami. 62 Berdasarkan beberapa fakta tentang program P4K di Pulau Lombok tersebut mengakibatkan tidak adanya pengaruh yang bermakna terhadap penurunan risiko kematian ibu di Pulau Lombok. 6.7 Hubungan Persalinan Tanpa Pelaksanaan Manajemen Aktif Kala III dengan Kematian Ibu Akibat Perdarahan Pada variabel manajemen aktif kala III, dikategorikan tanpa pelaksanaan manajemen aktif kala III dan dengan melaksanakan manajemen aktif kala III yang sesuai standar. Hasil analisis multivariat menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara ibu melahirkan tanpa pelaksanaan manajemen aktif kala III dengan kematian ibu akibat perdarahan. Manajemen aktif kala III merupakan intervensi yang direncanakan untuk mempercepat pelepasan plasenta dengan meningkatkan kontraksi uterus dan mencegah perdarahan postpasrtum dengan menghindari atonia uteri. Selanjutnya ibu yang mendapatkan manajemen aktif kala III hanya sedikit yang mengalami kehilangan darah dan rata-rata mengalami penurunan hemoglobin postpartum lebih rendah dibanding dengan ibu yang mendapatkan manajemen rutin (Fenton et al. 2005). Penelitian Fenton di perkuat oleh Varney et al. (2008) menyatakan bahwa kepatuhan bidan terhadap standar manajemen aktif kala tiga dapat mencegah terjadinya perdarahan pada kala tiga, selain itu juga dapat mencegah terjadinya inversio uterus serta syok yang mengancam jiwa sehingga risiko kematian menjadi lebih besar. 63 Hasil penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian lain yaitu, Bibi et al. (2006) mengemukakan bahwa perdarahan postpartum dapat dicegah dengan menghindari induksi persalinan yang tidak diperlukan, mengidentifikasi risiko tinggi menggunakan standar penanganan kala III, diperkuat oleh Rogers et al. (1998) mengemukakan bahwa manajemen aktif kala III terbukti mengurangi kejadian perdarahan postpartum, mengurangi kejadian pemberian transfusi darah, mengurangi penggunaan obat-obatan untuk mengatasi komplikasi pasca persalinan dan mengurangi kejadian kala III yang memanjang dibandingkan dengan manajemen menunggu/ekspektatif yang masih banyak dikerjakan di negara berkembang termasuk Indonesia. Beberapa hasil penelitian diatas sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Pulau Lombok dimana pertolongan persalinan tanpa manajemen aktif kala III memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan risiko kematian ibu. Beberapa faktor yang menyebabkan tidak terlaksananya manajemen aktif kala III antara lain kepatuhan bidan yang dipengaruhi oleh pendidikan dan pelatihan yang pernah diikuti oleh penolong persalinan, tempat pertolongan persalinan, disamping itu pula di Pulau Lombok masih ada pertolongan persalinan yang dilakukan oleh dukun. Keadaan yang terjadi di Pulau Lombok ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Sumantri et al (2004) yang meneliti tentang faktor – faktor yang mempengaruhi terhadap pelaksanaan manajemen aktif kala III oleh bidan dalam pertolongan persalinan di Kabupaten Klaten. Dari penelitian ini di dapat ada hubungan yang signifikan antara pendidikan, pelatihan dan tempat pertolongan persalinan terhadap pelaksanaan manajemen aktif kala III oleh bidan. 64 Pelaksanaan manajemen aktif kala III juga tergantung pada tersedianya obat – obat utrotonika, alat suntik dan jarum serta hadirnya tenaga terlatih pada saat persalinan. Di negara – negara berkembang, hanya separuh dari jumlah ibu hamil yang melahirkan dengan bantuan bidan, dan hanya 40 persen melahirkan di rumah sakit atau puskesmas ( WHO,1999). Di lokasi penelitian di Pulau Lombok keadaan seperti ini juga masih terjadi dimana obat-obatan dan alat di beberapa tempat belum memenuhi standar, begitu juga dengan bidan sebagai penolong persalinan belum semua mengikuti pelatihan APN. 6.8 Hubungan Manajemen Pertolongan Pada Pasien Perdarahan dengan Kematian Ibu Akibat Perdarahan Pada variabel manajemen pertolongan pasien dengan perdarahan, hasil uji multivariat menunjukkan bahwa risiko kematian ibu melahirkan akibat perdarahan pada ibu tanpa manajemen pertolongan pasien dengan perdarahan yang tidak sesuai standar memiliki risiko sebesar 7,96 kali lipat lebih besar daripada pasien perdarahan dengan manajemen pertolongan yang sesuai standar. Kemampuan petugas menjadi salah satu faktor penentu yang sangat mempengaruhi kelangsungan hidup pasien dengan perdarahan, dimana tenaga yang kurang terampil tidak mampu memberikan pertolongan sesuai dengan standar minimal yang seharusnya. Keterampilan penolong persalinan yang kurang juga merupakan salah satu penyebab masyarakat tidak mengkases fasilitas pelayanan kesehatan. 65 Harvey at al. (2007), menyatakan bahwa keterampilan penolong didefinisikan sebagai penolong terampil dalam melakukan pertolongan selama masa persalinan, dan pada periode awal setelah persalinan, serta dapat mencegah kematian, walaupun dalam menentukan hubungan penyebab antara penolong terampil dengan kematian ibu bersalin masih menjadi masalah. Keputusan keluarga untuk mencari layanan disamping dIpengaruhi oleh keterampilan dan kualitas layanan yang diberikan oleh petugas juga tidak terlepas dari tersedianya fasilitas yang memadai. Menurut Depkes (2001), tersedianya fasilitas dan kemampuan petugas memadai, kepatuhan petugas terhadap prosedur kerja maka pelayanan kesehatan yang optimal akan tercapai. Saifudin (2000) menyatakan bahwa petugas kesehatan terampil mampu memberikan pertolongan pertama pada kegawatdaruratan obstetri neonatal (Saifuddin, 2000). Suatu penelitian yang dilakukan oleh Sullivan dan Gaffriksin (1997), dikatakan terampil apabila bidan dan dokter yang telah dilatih akan mengetahui langkah dan urutan yang dibutuhkan dalam melaksanakan suatu prosedur, dikatakan kompeten bila mampu melaksanakan tahap-tahap yang ada dengan benar sebanyak 100 persen. Shaheen dan Hassan (2006) meneliti tentang Postpartum haemorrhage: a preventable cause of maternal mortality mengemukakan bahwa luaran maternal yang baik adalah dengan memberikan pelayanan selama persalinan, pada masa postnatal dan melaksanakan manajemen komplikasi serta mengetahui faktor-faktor risiko sehingga tidak terjadi perdarahan postpartum. Dengan penanganan terhadap komplikasi sesuai standar maka risiko kematian dapat dihindarkan. 66 D'Ambruoso et al (2005) melakukan penelitian yang berjudul Please understand when I cry out in pain : women’s accounts of maternity services during labour and delivery in Ghana. Penelitian ini dengan metode kualitatif untuk mengetahui persepsi ibu bersalin terhadap pelayanan yang diberikan oleh petugas selama persalinan. Hasil penelitian menyatakan bahwa sikap petugas yang ramah, rasa kepedulian dan dekat dengan klien sangat mempengaruhi tingkat kepuasan pasien dan mempengaruhi keputusan pasien untuk memutuskan mengakses perawatan yang berkualitas. Keadaan yang sama juga terjadi di Pulau Lombok dimana masih terdapat pertolongan pada perdarahan yang tidak sesuai standar. Hal ini dipengaruhi banyak faktor baik dari sumber daya penolong persalinan maupun sarana dan prasarana di fasilitas rujukan terutama untuk kasus rujukan obstetri. Begitu juga dengan sikap petugas di beberapa rumah sakit maupun pusat pelayanan kesehatan yang kurang ramah dalam memberikan pelayanan kepada pasien. Sumber daya manusia terutama bidan yang bertugas baik di tingkat pelayanan dasar maupun rujukan belum semua memiliki kompetensi dalam memberikan pertolongan pada pasien dengan perdarahan. Pelatihan kegawatdaruratan maupun pelatihan-pelatihan yang lain khususnya bagi bidan masih sangat terbatas dan menunggu program dari Dinas Kesehatan. Disamping sarana pelayanan rujukan di lini pertama seperti puskesmas belum memenuhi kriteria yang layak baik dari segi tenaga maupun fasilitas dalam memberikan pertolongan kegawatdaruratan. Hal ini dilihat dari jumlah puskesmas yang ada di Pulau Lombok tidak semua mampu melaksanakan PONED. Dan tidak semua bidan desa menempati polindes selama 67 24 jam, sehingga dari segi sarana dan prasarana masih banyak terdapat kekurangan. Dari hasil penelitian terbukti ada tiga variabel yang signifikan terhadap peningkatan risiko kematian ibu akibat perdarahan. Ketiga variabel ini meningkatkan risiko peningkatan kematian ibu akibat perdarahan sebesar 75,5% 6.9 Keterbatasan Penelitian 1. Recall bias Karena penelitian ini menggunakan data skunder, banyak hambatan yang ditemukan terutama pada saat pengambilan data, dimana data yang diperoleh sering tidak konsisten antara pernyataan yang diungkapkan oleh petugas/penolong dengan catatan riwayat persalinan dan hasil otopsi yang ada. 2. Interview bias Interview bias adalah kesalahan dalam melakukan wawancara. Kesalahan ini akan terjadi bila pewawancara kurang jelas dalam memberikan pertanyaan, sehingga responden menjadi salah dalam menafsirkannya. Cara untuk mengatasinya adalah dengan melakukan pelatihan pada pewawancara dan peneliti berupaya untuk membuat dan menyusun pertanyaan – pertanyaan dengan kalimat – kalimat yang sederhana dan mudah dipahami baik oleh responden maupun pewawancara sendiri. 3. Mengingat kompleksnya faktor – faktor yang mempengaruhi kejadian kematian ibu, maka variabel penelitian yang dipilih untuk diketahui 68 pengaruhnya terhadap kematian ibu kemungkinan belum dapat menggambarkan secara keseluruhan permasalahan yang ada. 4. Area penelitian yang cukup luas yaitu pada Lima Kabupaten mengakibatkan kesulitan peneliti menjangkau lokasi penelitian dan membutuhkan biaya yang cukup tinggi. 69 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Setelah dilakukan penelitian tentang bebarapa faktor yang meningkatkan risiko kematian ibu akibat perdarahan studi kasus kontrol di Pulau Lombok Provinsi Nusa Tenggara, dapat disimpulkan bahwa : 1. Tidak tersedianya biaya tidak memberikan pengaruh secara langsung terhadap kematian ibu akibat perdarahan, tetapi berpengaruh terhadap pengambilan keputusan dalam pemilihan penolong persalinan dan ketepatan waktu mencapai fasilitas. 2. Pertolongan persalinan yang dilakukan oleh dukun tidak terbukti meningkatkan risiko kematian ibu akibat perdarahan. 3. Terbukti bahwa waktu tempuh ke fasilitas yang lebih dari 1 jam meningkatkan risiko peningkatan kematian ibu sebesar 3 kali dibandingkan dengan waktu tempuh yang kurang dari 1 jam dengan nilai p= 0,037. 4. Perencanaan persalinan dan pencegahan komplikasi tidak terbukti meningkatkan risiko kematian ibu akibat perdarahan. 5. Persalinan tanpa manajemen aktif kala III terbukti meningkatkan risiko kematian ibu akibat perdarahan sebesar 6,6 kali lebih besar dibandingkan dengan pelaksanaan manajemen aktif kala III dengan nilai p= 0,002. 6. Pertolongan perdarahan yang tidak sesuai standar terbukti meningkatkan risiko kematian ibu akibat perdarahan sebesar 7,9 kali lebih besar dibandingkan 70 dengan pertolongan pada pasien perdarahan yang sesuai standar dengan nilai p=0,002 7.2 Saran Berdasarkan simpulan di atas maka disarankan : 1. Program jaminan pembiayan kesehatan seperti JAMKESMAS dan JAMPERSAL hendaknya dapat dipertahankan terutama bagi masyarakat kurang mampu sehingga masyarakat dapat mengakses layanan kesehatan baik pada tingkat dasar maupun rujukan, dan peningkatan peran serta masyarakat melalui tabulin dan ambulan desa terutama pada kasus gawat darurat. 2. Mempertahankan dan meningkatkan program kemitraan bidan dukun sehingga kerjasama bidan dukun dapat terjalin baik dan persalinan dukun dapat ditekan, peningkatan pengetahuan dukun tentang identifikasi faktor risiko kehamilan dan persalinan serta rujukan. 3. Mendekatkan fasilitas pelayanan kesehatan seperti operasional semua Poskesdes di setiap desa/kelurahan dengan tenaga bidan yang mampu melayani selama 24 jam. Peningkatan sarana transportasi melalui ambulan desa dengan mengoptimalkan berbagai program yang sudah ada seperti desa siaga, P4K dan lain – lain. 4. Mengoptimalkan program P4K agar persalinan dapat dipersiapkan seoptimal mungkin. 71 5. Diupayakan peningkatan kepatuhan bidan dan staf kilinik yang lain dalam pelaksanaan manajemen aktif kala III melalui penyeliaan dan evaluasi secara berkala dan berkesinambungan. 6. Hendaknya diupayakan peningkatan pengetahuan dan keterampilan melalui pelatihan praktis yang berbasis kompetensi. kelengkapan obat- obatan terutama obat – obat kedaruratan baik di sarana pelayanan kesehatan dasar maupun di tingkat rujukan. Peningkatan status puskesmas yang belum mampu PONED menjadi puskesmas mampu PONED dan rumah sakit PONEK. 72