1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Indonesia

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat dan merdeka wajib melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Oleh karena itu negara wajib
melindungi warga negaranya dimanapun ia berada,
sebagaimana yang telah
diamanahkan oleh isi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Alenia terakhir yang
berbunyi “…Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia..”.
Perpanjangan tangan pemerintah Indonesia di luar wilayah Negara Indonesia
adalah
perwakilan-perwakilan
Pemerintah
Republik
Indonesia,
yang
mana
perwakilan-perwakilan tersebut memiliki kewajiban untuk memupuk persatuan dan
kerukunan antara sesama warga negara Indonesia di luar negeri serta wajib
memberikan pengayoman, perlindungan dan bantuan hukum bagi warga negara dan
badan hukum Indonesia di luar negeri. Dalam hal Warga Negara Indonesia terancam
bahaya
nyata,
Perwakilan
Republik
Indonesia
berkewajiban
memberikan
perlindungan, membantu dan menghimpun mereka diwilayah yang aman, serta
mengusahakan untuk memulangkan mereka ke Indonesia atas biaya Negara.
Dewasa ini telah terjadi pergeseran konsep mengenai keamanan terhadap
manusia (human security). Pada masa lalu saat perang masih berkecamuk, ancaman
1
2
terhadap keamanan manusia selalu diartikan dengan ancaman dari luar negara,
sehingga keamanan manusia difokuskan pada pengamanan negara seperti
pengamanan masalah perbatasan, uji coba senjata dan peralatan militer dan
pencegahan perang. Saat ini keamanan manusia lebih mengarah kepada individu
dibandingkan terhadap negara. Isu-isu seperti kemiskinan, penghormatan terhadap
hak asasi manusia termasuk di dalamnya perlindungan terhadap buruh migran
mendapatkan perhatian yang lebih besar sebagai ancaman terhadap keamanan
manusia.1
Dalam konsep human security ini, negara tetap memiliki tanggung jawab
yang besar terhadap keamanan individu. Sebagai subyek Hukum Internasional,
negara memiliki hak dan kewajiban internasional. Adapun hak dan kewajiban negara
terhadap individu pada hakekatnya ditentukan oleh wilayah negara tersebut dan
kewarganegaraan dari individu yang bersangkutan. Menurut pendapat Sugeng Istanto,
semua orang yang berada di wilayah suatu negara baik itu warganegaranya sendiri
maupun orang asing harus tunduk pada kekuasaan dan hukum negara tersebut.2
Meskipun untuk orang asing akan berlaku beberapa pengecualian seperti tidak
mempunyai hak dalam pemilihan umum dan tidak berhak menduduki jabatan
tertentu, hal ini dapat dimengerti karena orang asing juga tunduk pada hukum negara
asalnya. Namun di lain pihak, negara juga mempunyai kewajiban untuk melindungi
1
I Dewa Palguna, 2008, Tanggung Jawab Individu dan Negara Menurut Hukum
Internasional, Seri Kuliah Hukum Internasional, Jakarta, hal. 2
2
Sugeng Istanto, 1998, Hukum Internasional, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta,
hal.42
3
warga negaranya yang tinggal atau berada di luar negeri. Hal tersebut sesuai dengan
prinsip kewarganegaraan pasif yang menetapkan bahwa suatu negara mempunyai
yurisdiksi atas orang yang melakukan pelanggaran hukum di wilayah negara lain,
yang akibat hukumnya menimpa warga negaranya. Oleh karena itu, jika negara
tempat terjadinya pelanggaran tidak mampu dan tidak mau menghukum pelaku
pelanggaran, maka negara yang warga negaranya dirugikan berwenang untuk
menghukum.3
Tanggung jawab dan kewajiban suatu negara untuk melindungi warga
negaranya yang berada di luar negeri diemban oleh fungsi diplomatic dan konsuler
suatu negarayaitu perwakilan konsuler negara pengirim di negara penerima
berkewajiban untuk melindungi warga negaranya dan kepentingan mereka.
Faktor utama mobilitas tenaga kerja antar negara dipengaruhi hal yang
dominan adalah faktor ekonomi. Masalah kesempatan kerja semakin penting dan
mendesak, karena diperkirakan pertumbuhan angkatan kerja lebih cepat dari
pertumbuhan kesempatan kerja. Hal ini akan mengakibatkan tingkat pengangguran
yang semakin meningkat lebih-lebih dalam era krisis ekonomi dan moneter yang
menlanda Indonesia saat ini yang ditandai dengan penyerapan angkatan kerja yang
sangat sedikit, tingginya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), nilai tukar rupiah
3
Ibid.
4
yang cernderung melemah. Dalam kondisi yang demikian alternatif yang paling tepat
dilakukan adalah mencari pekerjaan di luar negeri.4
Menurut Iman Syahputra Tunggal, dan Amin Widjaja Tunggal dengan
semakin meluasnya pola perekonomian pasar dan pesatnya globalisasi perdagangan,
keuangan, teknologi dan migrasi tenaga kerja antar negara maka dalam menganalisa
konteks ekonomi perlu diletakkan pada konteks sistem sosial (social system) yaitu
hubungan yang saling terkait antara apa yang disebut faktor ekonomi dan faktor non
ekonomi. Faktor non ekonomi adalah sikap masyarakat dan individu dalam
memandang kehidupan (norma budaya), kerja dan wewenang, struktur administrasi
dan struktur birokrasi dalam sektor pemerintah/publik maupun swasta, pola-pola
kekerabatan dan agama, tradisi budaya dan lain-lain.5
Muncul kasus-kasus yang berkaitan dengan nasib tenaga kerja Indonesia
(TKI) semakin beragamdan bahkan berkembang ke arah perdagangan manusia yang
dapat dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan. Untuk menjamin dan
mempercepat terwujudnya tujuan penempatan dan perlindungan tenaga kerja
Indonesia (TKI) di luar negeri, perlu di perlukan pelayanan dan tanggungjawab
secara terpadu. Untuk mencapai tujuan tersebut di bentuk Badan Nasional
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), yang berfungsi
4
Michael Todaro P, 1998, Pembangunan ekonomi di Dunia Ketiga, Erlangga,
Badung, hal. 90.
5
Iman Syahputra Tunggal, Amin Widjaja Tunggal, 1999, Peraturan PerundangUndangan Ketenagakerjaan Baru di Indonesia, Harvarindo, Jakarta, hal. 47.
5
merumuskan kebijakan di bidang penempatan dan perlindungan tenaga kerja
Indonesia di luar negeri secara terkoordinasi dan terintegrasi.6
Apabila seorang warga negara dari suatu negara pengirim mengalami suatu
masalah di negara penerima maka perwakilan konsuler negara pengirim di negara
penerima harus memberikan bantuan dan pertolongan. Maraknya peristiwa
pelanggaran hukum yang menimpa warga negara Indonesia yang berada di luar
negeri baik yang bekerja maupun menjalankan kegiatan lainnya menjadi peringatan
keras bagi Pemerintah Indonesia untuk lebih memperhatikan perlindungan warga
negara Indonesia yang berada di luar negeri.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka saya tertarik untuk mengangkat
skripsi yang berjudul “TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP TENAGA
KERJA
INDONESIA
DI
LUAR
NEGERI
OLEH
PERWAKILAN
DIPLOMATIK BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL”.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dalam skripsi ini ada 2 (dua) permasalahan
pokok yang akan dibahas, yaitu :
1. Faktor apakah yang menjadi penyebab perwakilan diplomatik belum dapat
melindungi Tenaga Kerja Indonesia?
2. Bagaimanakah tanggung jawab perwakilan diplomatik terhadap Tenaga
Kerja Indonesia di Luar Negeri?
6
Mauna Boer, 2003, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam
Era Dinamika Global, PT Alumni, Bandung, hal.597
6
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Agar pembahasan tidak menyimpang dari permasalahan yang dirumuskan,
maka ruang lingkup masalah pertama yang akan dibahas menyangkut penyebab
perwakilan diplomatik belum dapat melindungi Tenaga Kerja Indonesiadan tanggung
jawab perwakilan diplomatik terhadap Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
1.4.Orisinalitas Penelitian
Dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat didalam dunia pendidikan
di Indonesia, maka mahasiswa diwajibkan untuk mampu menunjukkan orisinalitas
dari penelitian yang tengah dibuat dengan menampilkan beberapa judul penelitian
terdahulu sebagai pembanding. Adapun dalam penelitian ini, peneliti akan
menampilkan 3 (tiga) skripsi terdahulu yang pembahasannya berkaitan dengan
tanggung jawab perwakilan diplomatik terhadap Tenaga Kerja Indonesia di Luar
Negeri,antara lain:
No
Judul Skripsi
Penulis
Rumusan Masalah
1.
Ketidakpatuhan TKI
Muslan
1. Mengapa para TKI
Yang Tidak Terampil
Abdurrahman,
Terhadap Peraturan
Fakultas
Perundang-Undangan
Universitas
Tentang Penempatan
Diponegoro, 2006
berangkat secara ilegal?
Hukum
TKI ke Luar Negeri
2.
Peranan Kementerian
Chairiah Ulfa,
1. Bagaimana tinjauan umum
7
Luar Negeri Indonesia
Fakultas Hukum
tentang Kementerian Luar
dalam Menangani
Universitas
Negeri?
Masalah Hukum Yang
Sumatera Utara,
Menimpa Tenaga
Medan, 2011
Kerja Indonesia di
2. Bagaimana perkembangan
Tenaga kerja Indonesia di
Arab Saudi?
Arab Saudi
3. Bagaimana peranan
Kementerian Luar Negeri
Indonesia dalam menangani
masalah hukum yang
menimpa Tenaga Kerja
Indonesia di Arab Saudi?
3.
Aspek Perlindungan
I Dewa Rai
Hukum Hak-Hak
Astawa
1. Apakah ada penyimpangan
yang dilakukan TKI baik
Tenaga Kerja
lewat PJTKI maupun non
Indonesia di Luar
PJTKI di wilayah
Negeri
Kabupaten Grobogan?
2. Upaya-upaya apa yang
dilakukan dalam
perlindungan hukum
terhadap TKI diluar negeri
yang dikirim PJTKI dan non
8
PJTKI?
3. Bagaimana aspek
perlindungan hukum dan
hak-hak TKI di luar negri
yang melalui PJTKI dan non
PJTKI?
1.5. Tujuan Penelitian
1.5.1 Tujuan Umum
1. Untuk mengetahui tinjauan umum tentang perwakilan diplomatik.
2. Untuk mengetahui tinjauan umum tentang Tenaga Kerja Indonesia.
1.5.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui penyebab perwakilan diplomatik belum dapat
melindungi Tenaga Kerja Indonesia secara yuridis dan sosiologis.
2. Untuk mengetahui fungsi dantanggung jawab perwakilan diplomatik
terhadap Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
1.6.Manfaat Penelitian
Hasil penelitian nantinya dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara
praktis, yaitu :
9
1.6.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dan
bermanfaat serta meningkatkan khasanah pengetahuan bagi kalangan akademis
dalam mempelajari bagaimana tanggung jawab negara terhadap tenaga kerja
Indonesia di luar negeri oleh perwakilan diplomatik berdasarkan Hukum
Internasional.
1.6.2 Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
bagi masyarakat serta dapat untuk menambah wawasan dalam bidang ilmu
pengetahuan bagi para pihak dibidang Hukum Internasional.
1.7.Landasan Teoritis
Teori kedaulatan negara menurut Paul Laband dan George Jellinek adanya
negara merupakan kodrat alam, demikian pula kekuasaan tertinggi terdapat pada
pemimpin negara. Kodrat alam merupakan sumber kedaulatan. Penerapan hukum
mengikat disebabkan karena dikehendaki oleh negara yang menurut kodrat memiliki
kekuasaan mutlak.7
Kemunculan teori ini dianggap sebagai kelanjutan dari teori kedaulatan
rakyat. Ajaran ini pertama kali muncul di Jerman. Kemunculan teori ini
terkonsepsikan dalam rangka mempertahankan kedudukan raja yang pada saat itu
mendapatkan dukungan dari tiga lapisan masyarakat yang cukup besar, baik dari
7
hal.203
Sefriani, 2014, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Rajawali Press, Jakarta,
10
golongan bangsawan (jungkertum), golongan militer, maupun alat-alat pemerintah
atau birokrasi.
Teori kedaulatan negara mengajarkan bahwa kekuasaan tertinggi terletak pada
negara. Sumber kedaulatan adalah negara, yang merupakan lembaga tertinggi
kehidupan suatu bangsa. Kedaulatan timbul bersamaan dengan berdirinya suatu
negara. Demikian juga hukum dan konstitusi juga merupakan kehendak negara,
diperlukan negara dan diabdikan kepada kepentingan negara.
Menurut Jimly teori kedaulatan negara biasanya dibicarakan dalam konteks
hukum Internasional karena teori kedaulatan ini bisa dipandang sebagai konsep
kekuasaan negara yang bersifat eksternal yaitu hubungan antar negara, sementara
ajaran kedaulatan lainnya dipandang sebagai konsep kekuasaan yang bersifat internal
dan dianggap penting untuk dibahas dalam kajian Hukum Tata Negara.8
Boer Mauna berpendapat bahwa kedaulatan negara diartikan sebagai
kekuasaan tertinggi yang dimiliki suatu negara untuk secara bebas melakukan
berbagai kegiatan sesuai dengan kepentingannya, selama tidak bertentangan dengan
hukum Internasional.
Pada dasarnya, ada dua macam teori pertanggungjawaban negara, yaitu
pertama teori resiko (risk theory) yang kemudian melahirkan prinsip tanggung jawab
mutlak (absolute liability atau strict liability) atau tanggung jawab objektif (objective
responbility) yaitu bahwa suatu negara mutlak bertanggung jawab atas setiap kegiatan
8
Sugeng Istanto, Op.Cit, hal.51
11
yang menimbulkan akibat yang sangat membahayakan (harmful effects of untrahazardous activities) walaupun kegiatan ini sendiri adalah kegiatan yang sah menurut
hukum. Kedua teori kesalahan (fault theory) yang melahirkan prinsip tanggung jawab
subjektif (subjective responbility) atau tanggung jawab atas dasar kesalahan (liability
based on fault) yang artinya bahwa tanggung jawab negara atas perbuatannya baru
dikatakan ada jika dapat dibuktikan adanya unsur kesalahan pada perbuatan itu.9
Tanggung jawab negara merupakan prinsip dasar di dalam hukum
internasional. Prinsip ini semula dikenal di dalam hukum perdata, yang menyebutkan
bahwa seseorang harus bertanggung jawab terhadap kesalahan yang telah dibuatnya.
Dalam hukum romawi, konsep pertanggungjawaban negara disebut sebagai Sic Utere
jure tuo ut alienum non laedes yang artinya bahwa seseorang boleh menggunakan
haknya atas semua miliknya, tetapi harus dijaga agar tidak mencelakai atau
merugikan orang lain.10
Tanggung
jawab negara muncul diakibatkan karena adanya prinsip
persamaan dan kedaulatan negara yang diakui di dalam hukum internasional.
Pertanggungjawaban negara tersebut pada dasarnya timbul karena adanya
pelanggaran atas hukum internasional seperti pelanggaran terhadap perjanjian
internasional, pelanggaran terhadap kedaulatan wilayah negara lain, penyerangan
9
Sigit Riyanto, 2010, Pengantar Hukum Internasional, Bagian Hukum Internasional
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal.51-52
10
Yanti Fristikawati, 2005, Tanggung Jawab Negara Berkenaan Dengan Kerusakan
Lingkungan Akibat Kegiatan Pada Reaktor Penelitian Nuklir, Disertasi, Universitas Katolik
Parahyangan, Bandung,hal.73
12
terhadap negara lain hingga pelanggaran terhadap perwakilan diplomatik dari negara
lain maupun warga negara asing.11
Dalam hukum internasional dinyatakan bahwa suata negara mempunyai hak
dan tanggung jawab untuk melindungi warga negaranya yang berada di luar negeri.
Pernyataan ini sejalan dengan the Mavrommatis Palestine Concessions Case, the
Permanent Court of International Justice by acts contrary to international Law
committed by another state, from whom the have been unable to obtain satisfaction
through the ordinary vannel.12 Suatu negara bertanggung jawab atas pelanggaran
terhadap orang asing, oleh sebab itu maka sebuah negara memiliki hak dan kewajiban
untuk melakukan perlindungan diplomatik terhadap tenaga kerja Indonesia yang
menderita kerugian di luar negeri. Lebih lanjut, Pasal 2 ayat (2) International Law
Commision Draft Articles on Diplomatik Protection 2006 menyatakan bahwa “a state
has the right to exercise diplomatik protection in accordance with the present draft
articles”.13
Tenaga kerja adalah tiap orang yang mampu melaksanakan pekerjaan baik
didalam maupun diluar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk
11
Jawahir Thontowi, 2006, Hukum Internasional Kontemporer, PT Refika Aditama,
Bandung, hal.194
12
Craig Forcese, “The Capacity to Protect : Diplomatik Protection of Dual National
in the War on Terror”, European Journal of International Law, Vol.369, 2006, hal.373,
ditelusuri di http://www.ejil.org/pdfs/17/2/79.pdf, diakses pada tanggal 25 mei 2014 pukul
09.15 WITA.
13
International Law Commision’s Draft Artcles on Diplomatik Protection with
Commentaries”,ditelusuridihttp://untreaty.un.org/ilc/texts/instrumen/english/commentaries/9
_8_2006.pdf,, diakses terakhir 25 Mei 2014
13
memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini sesuai dengan undang-undang Nomor 14
Tahun 1969, Pasal 1 tentang ketentuan-ketentuan pokok mengenai tenaga kerja.
Demikian juga jika tenaga kerja wanita yang bekerja di perusahaan atau
pabrik maupun yang menjual jasa dari tenaganya, harus mendapat perlindungan yang
baik atas keselamatan, kesehatan, serta kesusilaan, pemeliharaan moril kerja serta
perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama. Hal ini telah
diterapkan dalam pasal 10 UU No. 1969, yang berlaku baik tenaga kerja pria maupun
wanita yang menyebutnya bahwa pemerintah membina perlindungan kerja yang
mencakup :
a.
Norma Keselamatan Kerja ;
b.
Norma Kesehatan Kerja dan hygiene perusahaan ;
c.
Norma Kerja ;
d.
Pemberian ganti kerugian, perawatan dan rehabilitas dalam hal
kecelakaan kerja.
Pemerintah mempunyai kewajiban membina perlindungan kerja bagi tenaga
kerja Indonesia, dan tidak membedakan antara tenaga kerja laki-laki dan tenaga kerja
wanita.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969, pasal 2 menyebutkan bahwa :
“Didalam menjalankan undang-undang ini serta peraturan pelaksaannya tidak boleh
diadakan diskriminasi”.
Namun dalam kenyataan menunjukkan bahwa ada peraturan-peraturan atau
ketentuan yang hanya diperuntukkan sifat kodrat wanita, yang pada saat tertentu
14
mengalami haid, hamil, melahirkan dan sebagainya. Mengingat hal demikian
pemerintah membina perlindungan kerja yang khusus bagi tenaga kerja wanita.
Perlindungan suatu negara terhadap tenaga kerja Indonesia yang berada di luar
negeri dikenal dengan istilah Diplomatic Protection. Craig Forcese berpendapat
bahwa Diplomatic Protection adalah “action taken by a state against another state in
respect of injury to the person or property of national caused by an internationally
wrongful act or omission attributable to the latter state”.14 Berbicara mengenai
Diplomatic Protection maka hal ini akan berkaitan erat dengan peranan perwakilan
konsuler dan tuntutan suatu negara ke negara lain berkaitan dengan adanya
pelanggaran hukum internasional (“Espousal of Claims”).
Berdasarkan pendapat Craig Forcese, kita dapat mengetahui bahwa
perlindungan diplomatik akan diberikan oleh suatu negara kepada warga negaranya di
luar negeri dalam hal jika :
a. Ada tindakan yang melanggar hukum internasional.
Dalam konteks ini, suatu negara pengirim mempunyai kewajiban untuk
memberikan perlindungan terhadap warga negaranya di luar negeri apabila terjadi
pelanggaran hukum internasional yang dilakukan oleh negara penerima terhadap
warga negara dari negara pengirim. Adapun tindakan pelanggaran hukum
internasional dari negara penerima ini dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung (dilakukan oleh pejabat negara). Dalam hal ini jika pelanggaran hukum
internasional dikaitkan dengan masalah perlindungan diplomatik maka penjelasannya
14
Craig Forcese, Op. Cit., hal.375
15
akan mengarah pada pelaksanaan Pasal 3 Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan
Diplomatik yang menyatakan bahwa, “protection in the receiving state the interests
of the sending state and its nationals, within the limits permitted by international
law”. Dalam pasal tersebut dijelaskan tentang perlindungan negara penerima terhadap
kepentingan negara pengirim dan warga negaranya dengan batasan-batasan yang
dijinkan oleh Hukum Internasional. Selain itu dalam Pasal 36 ayat (1a) Konvensi
Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler dinyatakan bahwa,
“Consular officials are free to communicate with nationals of the sending state
and to have access to them. Nationals of the sending state shall have the same
freedom with respect to communication with access to consular officers of the
sending state”.
Pasal tersebut menerangkan bahwa perwakilan konsuler dari negara pengirim
mempunyai kebebasan untuk berhubungan (berkomunikasi) dengan warga negaranya
begitu juga dengan sebaliknya. Dengan kata lain pasal ini merupakan sebuah bentuk
penegasan bahwa negara pengirim akan selalu meberikan perlindungan dan bantuan
bagi warga negaranya di negara penerima baik itu ketika ada masalah maupun ketika
tidak ada masalah. Hukum internasional mengatur bahwa suatu negara harus
memperlakukan warga negara asing yang berada di dalam negaranya dengan baik,
adanya perlakuan yang salah terhadap warga negara asing dianggap sebagai sebuah
“denial justice”. Adapun pengertian denial justice adalah “is sometimes loosely used
16
to denote any international delinquency towards and alien for which a state is liable
to made reparation”.15
b. Individu yang menderita kerugian harus melewati pengadilan local.
Syarat ke-2 ini terkenal dengan istilah Exhaustion local Remedies.
Berdasarkan persyaratan ini maka warga negara asing yang mengalami perlakuan
tidak baik (terjadi pelanggaran hukum internasional) yang dilakukan oleh negara
penerima (baik secara langsung maupun tidak) maka warga negara asing dapat
melakukan penuntutan dengan diharuskan menempuh jalur hukum domestik terlebih
dahulu di negara tersebut sebelum diajukan ke Mahkamah Internasional. Perlu
mendapat catatan disini bahwa yurisdiksi Mahkamah Internasional adalah
menyelesaikan perkara hukum antara negara dengan negara. Dengan kata lain,
perlindungan diplomatik suatu negara (bantuan hukum kepada negara lain) akan
dilakukan apabila si warga negara tersebut telah menempuh upaya hukum local di
negara penerima.
c.Perlindungan tersebut harus dilakukan oleh negara dari individu (warga negara)
yang menderita kerugian.
Secara umum dapat dikatakan bahwa perlindungan diplomatik hanya dapat
dilakukan oleh negara yang warga negaranya mengalami tindakan pelanggaran
hukum internasional oleh negara lain. Hal ini seperti juga tertuang dalam Pasal 3 ayat
(1) the International Law Commision Draft Articles on Diplomatik Protection 2006
yang menyatakan bahwa, “The Articles on Diplomatik Protection is the state of
15
Craig Forcese, 1963, Op. Cit., hal.376 J. Brierly, the Law of Nations, hal.286
17
nationality”. Pasal ini ternyata membuka wacana lain mengenai pertanyaan siapakah
yang dimaksud dengan warga negara itu dan bagaimana status kewarganegaraanya.
Mengenai hal ini Pasal 4 the International Law Commision Draft Articles on
Diplomatik Protection 2006 secara jelas menyebutkan bahwa,
For the purposes of diplomatik protection of natural persons, a state of
nationality means a state whose nationality the individual sought to be
protected has acquired, descent, succession of states, naturalization or in any
other manner, not inconsistent with international law.
Berdasarkan pasal tersebut dapat diketahui bahwa untuk tujuan perlindungan
diplomatik, kewarganegaraan asli seseorang dapat diperoleh karena kelahiran,
keturunan, suksesi negara, naturalisasi atau cara lainnya yang tidak bertentangan
dengan hukum internasional.
1.8.Metode Penelitian
1.8.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif, yaitu mengkaji pokok permasalahan yang dibahas dengan mengkaitkannya
dengan peraturan perundanag-undangan dan pendapat-pendapat para sarjana dari
berbagai sumber buku yang terkait dengan permasalahan, sehingga ditemukan titik
pangkal dalam pembahasan.
18
1.8.2 Jenis Pendekatan
Peter Mahmud Marzuki mengatakan bahwa “pendekatan-pendekatan yang
digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute
approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical
approach), pendekatan komparatif (comparative approach) dan pendekatan
konsepsual (conceptual approach)”.16
Dalam penulisan ini digunakan pendekatan undang-undang yaitu mengkaji
permasalahan dari segi hukum yang sumbernya berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan. Dan juga menggunakan pendekatan konsep yaitu mengutip
pandangan-pandangan atau pendapat-pendapat para sarjana yang terdapat dalam
buku-buku atau literatur-literatur yang relevan dengan permasalahan yang dibahas.
1.8.3
Sumber Bahan Hukum
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat mengikat berupa
peraturan perundang-undangan, dalam tulisan ini bahan hukum primer yang
digunakan adalah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan
Luar Negeri, Konvensi Wina Tahun 1963 tentang Hubungan Konsuler,
Konvensi Wina Tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik, Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar
16
hal.93
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Cet I, Prenada Media, Jakarta,
19
Negeri, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Indonesia.
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalahbahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer berupa berbagai bahan kepustakaan yang
diperoleh melalui buku-buku, karya tulis ilmiah, laporan-laporan dan literaturliteratur.
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelesan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
berupa kamus hukum, ensiklopedia dan lain-lain.
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Mengenai teknik yang diterapkan dalam pengolahan bahan hukum yang
diperlukan dalam penelitian ini adalah melalui teknik telaah kepustakaan (study
document). Telaah kepustakaan dilakukan dengan sistem kartu (card system) yakni
dengan cara mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang
diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dalam penerapan
teknik telaah kepustakaan itu didukung pula oleh teknik bola salju dengan
menggunakan bahan hukum sebanyak mungkin dari informasi yang awalnya sedikit
sehingga bahan hukum yang diperoleh terkait dengan tanggungjawab negara terhadap
TKI di luar negeri oleh perwakilan diplomatic berdasarkan hukum internasional.
20
1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Dalam penelitian hukum normatif, pengolahan bahan hukum pada
hakikatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahanbahan hukum. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum
tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan kontruksi.17
Bahan-bahan hukum tersebut diolah dengan langkah-langkah deskripsi,
sistematisasi dan eksplanasi. Deskripsi yaitu penggambaran bahan-bahan hukum
sebagaimana adanya. Sedangkan sistematisasi yaitu menghubungkan bahan hukum
yang satu dengan bahan hukum yang lain sehingga tidak menunjukkan adanya
kontradiksi antara bahan hukum yang satu dengan bahan hukum yang lain. Kemudian
dilanjutkan dengan eksplanasi ialah memberikan uraian-uraian yang bersifat
penjelasan serta argumentasi-argumentasi terhadap bahan hukum yang diperoleh.
Bahan-bahan hukum yang telah diolah tersebut selanjutnya dianalisis dengan
menggunakan metode interpretasi. Interpretasi yang digunakan adalah interpretasi
gramatikal, sistematik dan otentik yang kemudian dianalisa berdasarkan teori-teori
yang relavan dengan permasalahan yang ada. Hasil dari analisa tersebut kemudian
ditarik kesimpulan secara sistematis agar tidak menunjukkan adanya kontradiksi
antara bahan hukum yang satu dengan bahan hukum yang lainnya.
17
hal.251-252
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986,
Download