1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat dan merdeka wajib melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Oleh karena itu negara wajib melindungi warga negaranya dimanapun ia berada, sebagaimana yang telah diamanahkan oleh isi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Alenia terakhir yang berbunyi “…Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia..”. Perpanjangan tangan pemerintah Indonesia di luar wilayah Negara Indonesia adalah perwakilan-perwakilan Pemerintah Republik Indonesia, yang mana perwakilan-perwakilan tersebut memiliki kewajiban untuk memupuk persatuan dan kerukunan antara sesama warga negara Indonesia di luar negeri serta wajib memberikan pengayoman, perlindungan dan bantuan hukum bagi warga negara dan badan hukum Indonesia di luar negeri. Dalam hal Warga Negara Indonesia terancam bahaya nyata, Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban memberikan perlindungan, membantu dan menghimpun mereka diwilayah yang aman, serta mengusahakan untuk memulangkan mereka ke Indonesia atas biaya Negara. Dewasa ini telah terjadi pergeseran konsep mengenai keamanan terhadap manusia (human security). Pada masa lalu saat perang masih berkecamuk, ancaman 1 2 terhadap keamanan manusia selalu diartikan dengan ancaman dari luar negara, sehingga keamanan manusia difokuskan pada pengamanan negara seperti pengamanan masalah perbatasan, uji coba senjata dan peralatan militer dan pencegahan perang. Saat ini keamanan manusia lebih mengarah kepada individu dibandingkan terhadap negara. Isu-isu seperti kemiskinan, penghormatan terhadap hak asasi manusia termasuk di dalamnya perlindungan terhadap buruh migran mendapatkan perhatian yang lebih besar sebagai ancaman terhadap keamanan manusia.1 Dalam konsep human security ini, negara tetap memiliki tanggung jawab yang besar terhadap keamanan individu. Sebagai subyek Hukum Internasional, negara memiliki hak dan kewajiban internasional. Adapun hak dan kewajiban negara terhadap individu pada hakekatnya ditentukan oleh wilayah negara tersebut dan kewarganegaraan dari individu yang bersangkutan. Menurut pendapat Sugeng Istanto, semua orang yang berada di wilayah suatu negara baik itu warganegaranya sendiri maupun orang asing harus tunduk pada kekuasaan dan hukum negara tersebut.2 Meskipun untuk orang asing akan berlaku beberapa pengecualian seperti tidak mempunyai hak dalam pemilihan umum dan tidak berhak menduduki jabatan tertentu, hal ini dapat dimengerti karena orang asing juga tunduk pada hukum negara asalnya. Namun di lain pihak, negara juga mempunyai kewajiban untuk melindungi 1 I Dewa Palguna, 2008, Tanggung Jawab Individu dan Negara Menurut Hukum Internasional, Seri Kuliah Hukum Internasional, Jakarta, hal. 2 2 Sugeng Istanto, 1998, Hukum Internasional, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, hal.42 3 warga negaranya yang tinggal atau berada di luar negeri. Hal tersebut sesuai dengan prinsip kewarganegaraan pasif yang menetapkan bahwa suatu negara mempunyai yurisdiksi atas orang yang melakukan pelanggaran hukum di wilayah negara lain, yang akibat hukumnya menimpa warga negaranya. Oleh karena itu, jika negara tempat terjadinya pelanggaran tidak mampu dan tidak mau menghukum pelaku pelanggaran, maka negara yang warga negaranya dirugikan berwenang untuk menghukum.3 Tanggung jawab dan kewajiban suatu negara untuk melindungi warga negaranya yang berada di luar negeri diemban oleh fungsi diplomatic dan konsuler suatu negarayaitu perwakilan konsuler negara pengirim di negara penerima berkewajiban untuk melindungi warga negaranya dan kepentingan mereka. Faktor utama mobilitas tenaga kerja antar negara dipengaruhi hal yang dominan adalah faktor ekonomi. Masalah kesempatan kerja semakin penting dan mendesak, karena diperkirakan pertumbuhan angkatan kerja lebih cepat dari pertumbuhan kesempatan kerja. Hal ini akan mengakibatkan tingkat pengangguran yang semakin meningkat lebih-lebih dalam era krisis ekonomi dan moneter yang menlanda Indonesia saat ini yang ditandai dengan penyerapan angkatan kerja yang sangat sedikit, tingginya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), nilai tukar rupiah 3 Ibid. 4 yang cernderung melemah. Dalam kondisi yang demikian alternatif yang paling tepat dilakukan adalah mencari pekerjaan di luar negeri.4 Menurut Iman Syahputra Tunggal, dan Amin Widjaja Tunggal dengan semakin meluasnya pola perekonomian pasar dan pesatnya globalisasi perdagangan, keuangan, teknologi dan migrasi tenaga kerja antar negara maka dalam menganalisa konteks ekonomi perlu diletakkan pada konteks sistem sosial (social system) yaitu hubungan yang saling terkait antara apa yang disebut faktor ekonomi dan faktor non ekonomi. Faktor non ekonomi adalah sikap masyarakat dan individu dalam memandang kehidupan (norma budaya), kerja dan wewenang, struktur administrasi dan struktur birokrasi dalam sektor pemerintah/publik maupun swasta, pola-pola kekerabatan dan agama, tradisi budaya dan lain-lain.5 Muncul kasus-kasus yang berkaitan dengan nasib tenaga kerja Indonesia (TKI) semakin beragamdan bahkan berkembang ke arah perdagangan manusia yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan. Untuk menjamin dan mempercepat terwujudnya tujuan penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, perlu di perlukan pelayanan dan tanggungjawab secara terpadu. Untuk mencapai tujuan tersebut di bentuk Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), yang berfungsi 4 Michael Todaro P, 1998, Pembangunan ekonomi di Dunia Ketiga, Erlangga, Badung, hal. 90. 5 Iman Syahputra Tunggal, Amin Widjaja Tunggal, 1999, Peraturan PerundangUndangan Ketenagakerjaan Baru di Indonesia, Harvarindo, Jakarta, hal. 47. 5 merumuskan kebijakan di bidang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri secara terkoordinasi dan terintegrasi.6 Apabila seorang warga negara dari suatu negara pengirim mengalami suatu masalah di negara penerima maka perwakilan konsuler negara pengirim di negara penerima harus memberikan bantuan dan pertolongan. Maraknya peristiwa pelanggaran hukum yang menimpa warga negara Indonesia yang berada di luar negeri baik yang bekerja maupun menjalankan kegiatan lainnya menjadi peringatan keras bagi Pemerintah Indonesia untuk lebih memperhatikan perlindungan warga negara Indonesia yang berada di luar negeri. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka saya tertarik untuk mengangkat skripsi yang berjudul “TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI OLEH PERWAKILAN DIPLOMATIK BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL”. 1.2.Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas dalam skripsi ini ada 2 (dua) permasalahan pokok yang akan dibahas, yaitu : 1. Faktor apakah yang menjadi penyebab perwakilan diplomatik belum dapat melindungi Tenaga Kerja Indonesia? 2. Bagaimanakah tanggung jawab perwakilan diplomatik terhadap Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri? 6 Mauna Boer, 2003, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, PT Alumni, Bandung, hal.597 6 1.3. Ruang Lingkup Masalah Agar pembahasan tidak menyimpang dari permasalahan yang dirumuskan, maka ruang lingkup masalah pertama yang akan dibahas menyangkut penyebab perwakilan diplomatik belum dapat melindungi Tenaga Kerja Indonesiadan tanggung jawab perwakilan diplomatik terhadap Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. 1.4.Orisinalitas Penelitian Dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat didalam dunia pendidikan di Indonesia, maka mahasiswa diwajibkan untuk mampu menunjukkan orisinalitas dari penelitian yang tengah dibuat dengan menampilkan beberapa judul penelitian terdahulu sebagai pembanding. Adapun dalam penelitian ini, peneliti akan menampilkan 3 (tiga) skripsi terdahulu yang pembahasannya berkaitan dengan tanggung jawab perwakilan diplomatik terhadap Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri,antara lain: No Judul Skripsi Penulis Rumusan Masalah 1. Ketidakpatuhan TKI Muslan 1. Mengapa para TKI Yang Tidak Terampil Abdurrahman, Terhadap Peraturan Fakultas Perundang-Undangan Universitas Tentang Penempatan Diponegoro, 2006 berangkat secara ilegal? Hukum TKI ke Luar Negeri 2. Peranan Kementerian Chairiah Ulfa, 1. Bagaimana tinjauan umum 7 Luar Negeri Indonesia Fakultas Hukum tentang Kementerian Luar dalam Menangani Universitas Negeri? Masalah Hukum Yang Sumatera Utara, Menimpa Tenaga Medan, 2011 Kerja Indonesia di 2. Bagaimana perkembangan Tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi? Arab Saudi 3. Bagaimana peranan Kementerian Luar Negeri Indonesia dalam menangani masalah hukum yang menimpa Tenaga Kerja Indonesia di Arab Saudi? 3. Aspek Perlindungan I Dewa Rai Hukum Hak-Hak Astawa 1. Apakah ada penyimpangan yang dilakukan TKI baik Tenaga Kerja lewat PJTKI maupun non Indonesia di Luar PJTKI di wilayah Negeri Kabupaten Grobogan? 2. Upaya-upaya apa yang dilakukan dalam perlindungan hukum terhadap TKI diluar negeri yang dikirim PJTKI dan non 8 PJTKI? 3. Bagaimana aspek perlindungan hukum dan hak-hak TKI di luar negri yang melalui PJTKI dan non PJTKI? 1.5. Tujuan Penelitian 1.5.1 Tujuan Umum 1. Untuk mengetahui tinjauan umum tentang perwakilan diplomatik. 2. Untuk mengetahui tinjauan umum tentang Tenaga Kerja Indonesia. 1.5.2 Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui penyebab perwakilan diplomatik belum dapat melindungi Tenaga Kerja Indonesia secara yuridis dan sosiologis. 2. Untuk mengetahui fungsi dantanggung jawab perwakilan diplomatik terhadap Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. 1.6.Manfaat Penelitian Hasil penelitian nantinya dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu : 9 1.6.1 Manfaat Teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dan bermanfaat serta meningkatkan khasanah pengetahuan bagi kalangan akademis dalam mempelajari bagaimana tanggung jawab negara terhadap tenaga kerja Indonesia di luar negeri oleh perwakilan diplomatik berdasarkan Hukum Internasional. 1.6.2 Manfaat Praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat serta dapat untuk menambah wawasan dalam bidang ilmu pengetahuan bagi para pihak dibidang Hukum Internasional. 1.7.Landasan Teoritis Teori kedaulatan negara menurut Paul Laband dan George Jellinek adanya negara merupakan kodrat alam, demikian pula kekuasaan tertinggi terdapat pada pemimpin negara. Kodrat alam merupakan sumber kedaulatan. Penerapan hukum mengikat disebabkan karena dikehendaki oleh negara yang menurut kodrat memiliki kekuasaan mutlak.7 Kemunculan teori ini dianggap sebagai kelanjutan dari teori kedaulatan rakyat. Ajaran ini pertama kali muncul di Jerman. Kemunculan teori ini terkonsepsikan dalam rangka mempertahankan kedudukan raja yang pada saat itu mendapatkan dukungan dari tiga lapisan masyarakat yang cukup besar, baik dari 7 hal.203 Sefriani, 2014, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Rajawali Press, Jakarta, 10 golongan bangsawan (jungkertum), golongan militer, maupun alat-alat pemerintah atau birokrasi. Teori kedaulatan negara mengajarkan bahwa kekuasaan tertinggi terletak pada negara. Sumber kedaulatan adalah negara, yang merupakan lembaga tertinggi kehidupan suatu bangsa. Kedaulatan timbul bersamaan dengan berdirinya suatu negara. Demikian juga hukum dan konstitusi juga merupakan kehendak negara, diperlukan negara dan diabdikan kepada kepentingan negara. Menurut Jimly teori kedaulatan negara biasanya dibicarakan dalam konteks hukum Internasional karena teori kedaulatan ini bisa dipandang sebagai konsep kekuasaan negara yang bersifat eksternal yaitu hubungan antar negara, sementara ajaran kedaulatan lainnya dipandang sebagai konsep kekuasaan yang bersifat internal dan dianggap penting untuk dibahas dalam kajian Hukum Tata Negara.8 Boer Mauna berpendapat bahwa kedaulatan negara diartikan sebagai kekuasaan tertinggi yang dimiliki suatu negara untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai dengan kepentingannya, selama tidak bertentangan dengan hukum Internasional. Pada dasarnya, ada dua macam teori pertanggungjawaban negara, yaitu pertama teori resiko (risk theory) yang kemudian melahirkan prinsip tanggung jawab mutlak (absolute liability atau strict liability) atau tanggung jawab objektif (objective responbility) yaitu bahwa suatu negara mutlak bertanggung jawab atas setiap kegiatan 8 Sugeng Istanto, Op.Cit, hal.51 11 yang menimbulkan akibat yang sangat membahayakan (harmful effects of untrahazardous activities) walaupun kegiatan ini sendiri adalah kegiatan yang sah menurut hukum. Kedua teori kesalahan (fault theory) yang melahirkan prinsip tanggung jawab subjektif (subjective responbility) atau tanggung jawab atas dasar kesalahan (liability based on fault) yang artinya bahwa tanggung jawab negara atas perbuatannya baru dikatakan ada jika dapat dibuktikan adanya unsur kesalahan pada perbuatan itu.9 Tanggung jawab negara merupakan prinsip dasar di dalam hukum internasional. Prinsip ini semula dikenal di dalam hukum perdata, yang menyebutkan bahwa seseorang harus bertanggung jawab terhadap kesalahan yang telah dibuatnya. Dalam hukum romawi, konsep pertanggungjawaban negara disebut sebagai Sic Utere jure tuo ut alienum non laedes yang artinya bahwa seseorang boleh menggunakan haknya atas semua miliknya, tetapi harus dijaga agar tidak mencelakai atau merugikan orang lain.10 Tanggung jawab negara muncul diakibatkan karena adanya prinsip persamaan dan kedaulatan negara yang diakui di dalam hukum internasional. Pertanggungjawaban negara tersebut pada dasarnya timbul karena adanya pelanggaran atas hukum internasional seperti pelanggaran terhadap perjanjian internasional, pelanggaran terhadap kedaulatan wilayah negara lain, penyerangan 9 Sigit Riyanto, 2010, Pengantar Hukum Internasional, Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal.51-52 10 Yanti Fristikawati, 2005, Tanggung Jawab Negara Berkenaan Dengan Kerusakan Lingkungan Akibat Kegiatan Pada Reaktor Penelitian Nuklir, Disertasi, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung,hal.73 12 terhadap negara lain hingga pelanggaran terhadap perwakilan diplomatik dari negara lain maupun warga negara asing.11 Dalam hukum internasional dinyatakan bahwa suata negara mempunyai hak dan tanggung jawab untuk melindungi warga negaranya yang berada di luar negeri. Pernyataan ini sejalan dengan the Mavrommatis Palestine Concessions Case, the Permanent Court of International Justice by acts contrary to international Law committed by another state, from whom the have been unable to obtain satisfaction through the ordinary vannel.12 Suatu negara bertanggung jawab atas pelanggaran terhadap orang asing, oleh sebab itu maka sebuah negara memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan perlindungan diplomatik terhadap tenaga kerja Indonesia yang menderita kerugian di luar negeri. Lebih lanjut, Pasal 2 ayat (2) International Law Commision Draft Articles on Diplomatik Protection 2006 menyatakan bahwa “a state has the right to exercise diplomatik protection in accordance with the present draft articles”.13 Tenaga kerja adalah tiap orang yang mampu melaksanakan pekerjaan baik didalam maupun diluar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk 11 Jawahir Thontowi, 2006, Hukum Internasional Kontemporer, PT Refika Aditama, Bandung, hal.194 12 Craig Forcese, “The Capacity to Protect : Diplomatik Protection of Dual National in the War on Terror”, European Journal of International Law, Vol.369, 2006, hal.373, ditelusuri di http://www.ejil.org/pdfs/17/2/79.pdf, diakses pada tanggal 25 mei 2014 pukul 09.15 WITA. 13 International Law Commision’s Draft Artcles on Diplomatik Protection with Commentaries”,ditelusuridihttp://untreaty.un.org/ilc/texts/instrumen/english/commentaries/9 _8_2006.pdf,, diakses terakhir 25 Mei 2014 13 memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini sesuai dengan undang-undang Nomor 14 Tahun 1969, Pasal 1 tentang ketentuan-ketentuan pokok mengenai tenaga kerja. Demikian juga jika tenaga kerja wanita yang bekerja di perusahaan atau pabrik maupun yang menjual jasa dari tenaganya, harus mendapat perlindungan yang baik atas keselamatan, kesehatan, serta kesusilaan, pemeliharaan moril kerja serta perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama. Hal ini telah diterapkan dalam pasal 10 UU No. 1969, yang berlaku baik tenaga kerja pria maupun wanita yang menyebutnya bahwa pemerintah membina perlindungan kerja yang mencakup : a. Norma Keselamatan Kerja ; b. Norma Kesehatan Kerja dan hygiene perusahaan ; c. Norma Kerja ; d. Pemberian ganti kerugian, perawatan dan rehabilitas dalam hal kecelakaan kerja. Pemerintah mempunyai kewajiban membina perlindungan kerja bagi tenaga kerja Indonesia, dan tidak membedakan antara tenaga kerja laki-laki dan tenaga kerja wanita. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969, pasal 2 menyebutkan bahwa : “Didalam menjalankan undang-undang ini serta peraturan pelaksaannya tidak boleh diadakan diskriminasi”. Namun dalam kenyataan menunjukkan bahwa ada peraturan-peraturan atau ketentuan yang hanya diperuntukkan sifat kodrat wanita, yang pada saat tertentu 14 mengalami haid, hamil, melahirkan dan sebagainya. Mengingat hal demikian pemerintah membina perlindungan kerja yang khusus bagi tenaga kerja wanita. Perlindungan suatu negara terhadap tenaga kerja Indonesia yang berada di luar negeri dikenal dengan istilah Diplomatic Protection. Craig Forcese berpendapat bahwa Diplomatic Protection adalah “action taken by a state against another state in respect of injury to the person or property of national caused by an internationally wrongful act or omission attributable to the latter state”.14 Berbicara mengenai Diplomatic Protection maka hal ini akan berkaitan erat dengan peranan perwakilan konsuler dan tuntutan suatu negara ke negara lain berkaitan dengan adanya pelanggaran hukum internasional (“Espousal of Claims”). Berdasarkan pendapat Craig Forcese, kita dapat mengetahui bahwa perlindungan diplomatik akan diberikan oleh suatu negara kepada warga negaranya di luar negeri dalam hal jika : a. Ada tindakan yang melanggar hukum internasional. Dalam konteks ini, suatu negara pengirim mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap warga negaranya di luar negeri apabila terjadi pelanggaran hukum internasional yang dilakukan oleh negara penerima terhadap warga negara dari negara pengirim. Adapun tindakan pelanggaran hukum internasional dari negara penerima ini dilakukan secara langsung maupun tidak langsung (dilakukan oleh pejabat negara). Dalam hal ini jika pelanggaran hukum internasional dikaitkan dengan masalah perlindungan diplomatik maka penjelasannya 14 Craig Forcese, Op. Cit., hal.375 15 akan mengarah pada pelaksanaan Pasal 3 Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik yang menyatakan bahwa, “protection in the receiving state the interests of the sending state and its nationals, within the limits permitted by international law”. Dalam pasal tersebut dijelaskan tentang perlindungan negara penerima terhadap kepentingan negara pengirim dan warga negaranya dengan batasan-batasan yang dijinkan oleh Hukum Internasional. Selain itu dalam Pasal 36 ayat (1a) Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler dinyatakan bahwa, “Consular officials are free to communicate with nationals of the sending state and to have access to them. Nationals of the sending state shall have the same freedom with respect to communication with access to consular officers of the sending state”. Pasal tersebut menerangkan bahwa perwakilan konsuler dari negara pengirim mempunyai kebebasan untuk berhubungan (berkomunikasi) dengan warga negaranya begitu juga dengan sebaliknya. Dengan kata lain pasal ini merupakan sebuah bentuk penegasan bahwa negara pengirim akan selalu meberikan perlindungan dan bantuan bagi warga negaranya di negara penerima baik itu ketika ada masalah maupun ketika tidak ada masalah. Hukum internasional mengatur bahwa suatu negara harus memperlakukan warga negara asing yang berada di dalam negaranya dengan baik, adanya perlakuan yang salah terhadap warga negara asing dianggap sebagai sebuah “denial justice”. Adapun pengertian denial justice adalah “is sometimes loosely used 16 to denote any international delinquency towards and alien for which a state is liable to made reparation”.15 b. Individu yang menderita kerugian harus melewati pengadilan local. Syarat ke-2 ini terkenal dengan istilah Exhaustion local Remedies. Berdasarkan persyaratan ini maka warga negara asing yang mengalami perlakuan tidak baik (terjadi pelanggaran hukum internasional) yang dilakukan oleh negara penerima (baik secara langsung maupun tidak) maka warga negara asing dapat melakukan penuntutan dengan diharuskan menempuh jalur hukum domestik terlebih dahulu di negara tersebut sebelum diajukan ke Mahkamah Internasional. Perlu mendapat catatan disini bahwa yurisdiksi Mahkamah Internasional adalah menyelesaikan perkara hukum antara negara dengan negara. Dengan kata lain, perlindungan diplomatik suatu negara (bantuan hukum kepada negara lain) akan dilakukan apabila si warga negara tersebut telah menempuh upaya hukum local di negara penerima. c.Perlindungan tersebut harus dilakukan oleh negara dari individu (warga negara) yang menderita kerugian. Secara umum dapat dikatakan bahwa perlindungan diplomatik hanya dapat dilakukan oleh negara yang warga negaranya mengalami tindakan pelanggaran hukum internasional oleh negara lain. Hal ini seperti juga tertuang dalam Pasal 3 ayat (1) the International Law Commision Draft Articles on Diplomatik Protection 2006 yang menyatakan bahwa, “The Articles on Diplomatik Protection is the state of 15 Craig Forcese, 1963, Op. Cit., hal.376 J. Brierly, the Law of Nations, hal.286 17 nationality”. Pasal ini ternyata membuka wacana lain mengenai pertanyaan siapakah yang dimaksud dengan warga negara itu dan bagaimana status kewarganegaraanya. Mengenai hal ini Pasal 4 the International Law Commision Draft Articles on Diplomatik Protection 2006 secara jelas menyebutkan bahwa, For the purposes of diplomatik protection of natural persons, a state of nationality means a state whose nationality the individual sought to be protected has acquired, descent, succession of states, naturalization or in any other manner, not inconsistent with international law. Berdasarkan pasal tersebut dapat diketahui bahwa untuk tujuan perlindungan diplomatik, kewarganegaraan asli seseorang dapat diperoleh karena kelahiran, keturunan, suksesi negara, naturalisasi atau cara lainnya yang tidak bertentangan dengan hukum internasional. 1.8.Metode Penelitian 1.8.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu mengkaji pokok permasalahan yang dibahas dengan mengkaitkannya dengan peraturan perundanag-undangan dan pendapat-pendapat para sarjana dari berbagai sumber buku yang terkait dengan permasalahan, sehingga ditemukan titik pangkal dalam pembahasan. 18 1.8.2 Jenis Pendekatan Peter Mahmud Marzuki mengatakan bahwa “pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach) dan pendekatan konsepsual (conceptual approach)”.16 Dalam penulisan ini digunakan pendekatan undang-undang yaitu mengkaji permasalahan dari segi hukum yang sumbernya berdasarkan pada peraturan perundang-undangan. Dan juga menggunakan pendekatan konsep yaitu mengutip pandangan-pandangan atau pendapat-pendapat para sarjana yang terdapat dalam buku-buku atau literatur-literatur yang relevan dengan permasalahan yang dibahas. 1.8.3 Sumber Bahan Hukum 1. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat mengikat berupa peraturan perundang-undangan, dalam tulisan ini bahan hukum primer yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, Konvensi Wina Tahun 1963 tentang Hubungan Konsuler, Konvensi Wina Tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar 16 hal.93 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Cet I, Prenada Media, Jakarta, 19 Negeri, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia. 2. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalahbahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer berupa berbagai bahan kepustakaan yang diperoleh melalui buku-buku, karya tulis ilmiah, laporan-laporan dan literaturliteratur. 3. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelesan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder berupa kamus hukum, ensiklopedia dan lain-lain. 1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Mengenai teknik yang diterapkan dalam pengolahan bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini adalah melalui teknik telaah kepustakaan (study document). Telaah kepustakaan dilakukan dengan sistem kartu (card system) yakni dengan cara mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dalam penerapan teknik telaah kepustakaan itu didukung pula oleh teknik bola salju dengan menggunakan bahan hukum sebanyak mungkin dari informasi yang awalnya sedikit sehingga bahan hukum yang diperoleh terkait dengan tanggungjawab negara terhadap TKI di luar negeri oleh perwakilan diplomatic berdasarkan hukum internasional. 20 1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum Dalam penelitian hukum normatif, pengolahan bahan hukum pada hakikatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahanbahan hukum. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan kontruksi.17 Bahan-bahan hukum tersebut diolah dengan langkah-langkah deskripsi, sistematisasi dan eksplanasi. Deskripsi yaitu penggambaran bahan-bahan hukum sebagaimana adanya. Sedangkan sistematisasi yaitu menghubungkan bahan hukum yang satu dengan bahan hukum yang lain sehingga tidak menunjukkan adanya kontradiksi antara bahan hukum yang satu dengan bahan hukum yang lain. Kemudian dilanjutkan dengan eksplanasi ialah memberikan uraian-uraian yang bersifat penjelasan serta argumentasi-argumentasi terhadap bahan hukum yang diperoleh. Bahan-bahan hukum yang telah diolah tersebut selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode interpretasi. Interpretasi yang digunakan adalah interpretasi gramatikal, sistematik dan otentik yang kemudian dianalisa berdasarkan teori-teori yang relavan dengan permasalahan yang ada. Hasil dari analisa tersebut kemudian ditarik kesimpulan secara sistematis agar tidak menunjukkan adanya kontradiksi antara bahan hukum yang satu dengan bahan hukum yang lainnya. 17 hal.251-252 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986,