kajian patologi hog cholera kasus outbreak tahun

advertisement
KAJIAN PATOLOGI HOG CHOLERA KASUS OUTBREAK
TAHUN 2006 DI KABUPATEN JAYAPURA PROVINSI PAPUA
SRI UTAMI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Patologi Hog Cholera Kasus
Outbreak Tahun 2006 Di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua adalah karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum di ajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau di kutip dari karya yang
di terbitkan maupun tidak di terbitkan dari penulis lain telah di sebutkan dalam teks dan di
cantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
Januari 2009
Sri Utami
NIM. B053050041
ABSTRACT
SRI UTAMI. Pathological Study of Hog Cholera Outbreak Cases of 2006 In District of
Jayapura, Province of Papua. Under direction of Dewi Ratih Agungpriyono and Sri
Estuningsih.
Hog cholera is a lethal viral disease on pig. This disease sporadically find in District
of Jayapura. The research aims to get a comprehensive understanding on the pathological
lesion and hog cholera viral distribution in pig organs. Samples of lung, heart, liver,
spleen, kidney and lymphnode of 10 sick pigs were used in this research. Unvaccinated
healthy pig organs were used as a control. Tissue samples stain with Hematoxyllin Eosin
(HE) were used to observe general changes on the sick pig tissues, Verhoeff van Giesson
and Masson Trichrome (MT) staining were used to observe general changes on the blood
vessel. Immunohistochemistry stain of hog cholera monoclonal antibody were used to
evaluate the distribution of hog cholera antigen on pig organ samples. Histopathology
observation showed that there are active chronic broncho interstitial pneumonia, active
chronic multifocal milliary necrotic hepatitis, active chronic nephritis, cardiomyopathy,
splenitis and lymphadenitis. The lesions are similar with previous reported cases of hog
cholera in other part of the world. Spleen and lymphnode are the most severe organs
affected with hog cholera virus. Histopathology observation on blood vessel showed that
there are hypertrophy and desquamated endothelium, degeneration and necrosis of tunica
intima, tunica media and tunica adventisia. The hog cholera antigen distribution by
immunohistochemical staning showed a high affinity consecutively in reticulo
endothelial, lung leukocytes, liver leukocytes, kidney glomerular and tubular
endothelium, kidney tubular epithelium, kidney blood vessel endothelium, lung blood
vessel endothelium, hepatocytes, liver blood vessel endothelium and heart blood vessel
endothelium.
Keywords : Blood vessel pathology; Classical swine fever; Hog cholera in Indonesia, .
RINGKASAN
SRI UTAMI. Kajian Patologi Hog Cholera Kasus Outbreak Tahun 2006 Di Kabupaten
Jayapura Provinsi Papua. Dibimbing oleh Dewi Ratih Agungpriyono dan Sri Estuningsih.
Hog cholera merupakan salah satu penyakit viral pada babi yang bersifat fatal,
secara sporadik penyakit ini masih di temukan di Kabupaten Jayapura dan di anggap
sebagai salah satu penyebab kematian babi. Untuk memperoleh pemahaman komprehensif
tentang hog cholera telah di lakukan penelaahan dengan tujuan untuk mengetahui 1).
Bagaimana perubahan patologi organ babi yang terinfeksi hog cholera, apakah perubahan
ini sama dengan perubahan yang di temukan pada kasus-kasus terdahulu di luar Papua.
(2). Distribusi antigen hog cholera (3). Bagaimana gambaran histopatologi organ babi
dengan tinjauan khusus perubahan pada buluh darah.
Sampel organ berupa paru-paru, jantung, hati, ginjal, limpa dan limfoglandula dari
10 ekor babi sakit digunakan dalam studi ini, sebagai kontrol digunakan sampel organ
babi sehat yang tidak divaksinasi sebanyak 3 ekor. Sampel jaringan di warnai dengan
pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) untuk mengamati perubahan jaringan secara umum,
Masson Trichrome (MT) dan Verhoeff van Giesson (VvG) di gunakan untuk mengamati
perubahan struktur buluh darah. Pewarnaan imunohistokimia di lakukan untuk
mengetahui distribusi antigen hog cholera pada organ sampel.
Hasil yang di peroleh dari penelitian ini ádalah 1). Gejala klinis yang di temukan
di lapangan dari 10 ekor babi yang terserang penyakit menunjukkan gejala; lemah, kurang
aktif, depresi, bergerombol di pojok kandang, diare kekuningan dan berbau. Terjadi
konjungtivitis, muntah, demam mencapai 42°C, eritema pada ujung telinga, bawah leher
sampai perut dan siku-siku kaki. Dua dari sepuluh ekor babi yang mati di sertai
pembesaran skrotum. Gejala klinis yang terjadi pada kasus ini umumnya memperlihatkan
gejala yang sama dengan gejala klinis hog cholera sebagaimana yang di laporkan pada
kasus-kasus sebelumnya di Inggris, Jerman dan Jepang, 2). Pengamatan makroskopis
organ babi pada penelitian ini menunjukkan adanya lesio laringitis dengan perdarahan
ptekhie, pneumonia, perdarahan paru-paru dan jantung. Pendarahan dan pembengkakan
organ hati, limpa, limfoglandula mesenterika, serosa, mesenterium usus dan pendarahan
ptekhie pada permukaan korteks ginjal. Lesio makroskopis yang di temukan pada kasus
ini umumnya memperlihatkan adanya kesamaan dengan lesio makroskopis sebagaimana
di ungkapkan oleh peneliti terdahulu. 3). Pengamatan mikroskopis organ babi pada
penelitian ini menunjukkan adanya lesio nekrosis tubuli ginjal, kongesti hati, bronkho
interstisialis pneumonia, nekrosis germinal pusat folikel limfoid, deplesi limfosit B,
hematopoiesis organ limpa dan limfadenitis dengan derajat keparahan yang berbeda-beda.
Lesio mikroskopis yang di temukan pada kasus ini umumnya memperlihatkan adanya
kesamaan dengan lesio mikroskopis sebagaimana di ungkapkan oleh peneliti terdahulu.
4). Deteksi distribusi antigen hog cholera menggunakan teknik imunohistokimia
menunjukkan afinitas yang tinggi berturut-turut pada: Sel limfoid limpa dan
limfogandula; sel leukosit dalam buluh darah dan sel endotel buluh darah limfogandula;
sel leukosit dalam buluh darah paru; sel endotel buluh darah ginjal, sel endotel
glomerulus dan tubulus ginjal, sel epitel tubulus ginjal; sel endotel buluh darah paru-paru,
makrofag dan sel leukosit dalam buluh darah paru-paru; sel endotel buluh darah hati,
makrofag, sel leukosit dalam buluh darah hati dan sel endotel buluh darah jantung. Secara
umum hasil pengamatan distribusi antigen hog cholera pada kasus asal Papua
memberikan hasil yang sama dengan laporan-laporan kasus terdahulu di dunia kecuali
organ pankreas dan sel-sel glial karena tidak di lakukan pengamatan organ tersebut pada
penelitian ini. 5). Pengamatan mikroskopis pada buluh darah di temukan adanya lesio
degeneratif yang di tandai dengan hipertrofi dan deskuamasi sel endotel, vakuolisasi dan
degenerasi fibrinoid tunika media dan tunika adventisia buluh darah arteri
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008
Hak cipta di lindungi Undang-undang
1.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah
b. pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KAJIAN PATOLOGI HOG CHOLERA KASUS OUTBREAK
TAHUN 2006 DI KABUPATEN JAYAPURA PROVINSI PAPUA
SRI UTAMI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magíster Sains pada
Program Studi Sains Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
Judul Tesis
:
Kajian Patologi Hog Cholera Kasus Outbreak Tahun 2006 Di
Kabupaten Jayapura Provinsi Papua
Nama
:
Sri Utami
NIM
:
B.053050041
Disetujui
Komisi Pembimbing
drh. Dewi Ratih Agungpriyono, Ph.D
Dr. drh. Sri Estuningsih, MSi
Ketua
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Sains Veteriner
drh.Bambang Pontjo Priyosoeryanto, MS, Ph.D
Tanggal Ujian:
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal lulus :
PRAKATA
Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas Rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan penelitian dengan judul :
”Kajian Patologi Hog Cholera Kasus Outbreak Tahun 2006 Di Kabupaten Jayapura
Provinsi Papua”. Penulisan ini di lakukan sebagai salah satu syarat penyelesaian tugas
akhir Program Magister Sains (S-2) pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Proses penelitian sampai penulisan tesis ini telah mendapatkan bantuan dan
saran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, saya patut mengucapkan banyak
terimakasih dan penghargaan yang tinggi atas sumbangsih pemikiran, moril, material dan
andil kepada mereka antara lain:
1.
drh. Dewi Ratih Agungpriyono, Ph.D dan Dr. drh. Sri Estuningsih, MSi
selaku komisi pembimbing atas arahan, bimbingan dan semua kebaikannya
dari awal mulai berkonsultasi untuk penulisan proposal sampai tesis ini
selesai.
2.
Ketua Program Studi Sains Veteriner drh. Bambang Pontjo Priyosoeryanto,
MS, Ph.D, dan drh. Ekowati Handaryani, MS, Ph.D yang selalu memberi
semangat untuk menyelesaikan studi.
3.
Drh. Hernomoadi Huminto, MVSc selaku penguji pada ujian tesis saya dan
sahabat saya drh.Vetnizah Juniantito yang telah memfasilitasi dan
membantu dalam pengadaan monoklonal antibodi hog cholera.
4.
Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak drh.
Constant Karma, dan Bapak Drs. Abdulah Hamzah, Msi (Kabag Anggran
Pemda Provinsi Papua) atas kepedulian dan perhatiannya dalam proses
penyelesaian studi saya.
5.
Bapak drh. AR. Pintadewa, MMT, Bapak drh. Indarto Sudarsono, MMT dan
Bapak drh. Benny Pantiadi dari Dinas Peternakan Provinsi Papua, yang
telah memfasilitasi penulis selama pengumpulan data awal penelitian.
6.
Staf dan Teknisi Laboratorium Patologi antara lain Pak Kasnadi, Pak
Endang, Pak Soleh, Bu Mely, Mbak Kiki yang telah banyak membantu
penulis.
7.
Sahabat terbaik saya Woro Pujiastuti, Pak Cornelis Tabuni (staf Wagub
Papua) dan Mas Karel, Mas Agus (Staf Sekda Papua) yang telah banyak
membantu penulis.
Secara khusus, saya sampaikan rasa hormat dan penghargaan kepada Bapak, Ibu,
kakak serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.
Herman teman terbaik dari Papua yang pernah saya miliki, untuk semua alasan yang
masuk akal dan Maura Edgina Jasmine yang telah memberi makna dan semua kebaikan
dalam kehidupan saya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan,
oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi
kesempurnaan tulisan ini.
Bogor, Januari 2009
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis di lahirkan di Sentani, Kabupaten Jayapura Provini Papua pada tanggal
15 Mei 1975 dari seorang ibu yang bernama Sugiarti dan Bapak M. Sarwan, sebagai anak
terakhir dari tiga bersaudara.
Pendidikan formal yang penulis tempuh sebagai berikut:
1. Sekolah Dasar SD YPKP Sentani lulus tahun 1987
2. Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Sentani lulus tahun 1990
3. Sekolah Menegah Atas Negeri 1 Abepura lulus tahun 1993
4. Pendidikan Sarjana Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor lulus tahun 1997
5. Pendidikan Profesi Dokter Hewan Institut Pertanian Bogor lulus tahun 1999
Penulis melanjutkan pendidikan program pascasarjana di Institut Pertanian Bogor
tahun 2005 dengan sponsor biaya pendidikan dari Pemerintah Daerah Provinsi Papua
(BUD).
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI
i
DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR LAMPIRAN
vii
I
II
III
PENDAHULUAN
1
1.1. Latar Belakang ………………………………………………………..
1
1.2. Tujuan ………………………………………………………………..
2
1.3. Hipotesa ………………………………………………………………
2
1.4. Manfaat ……………………………………………………………….
2
TINJAUAN PUSTAKA
3
2.1. Hog Cholera …………………………………………………………..
3
2.2. Penyebab ………………………………………………………...........
4
2.3. Epidemiologi …………………………………………………………
7
2.4. Patogenesis ……………………………………………………...........
8
2.5. Gejala Klinis ………………………………………………………….
8
2.6. Perubahan Patologi Anatomi (PA).……………………………...........
9
2.7. Perubahan Histopatologi (HP) ………………………………………..
10
2.8. Diagnosis ……………………………………………………………..
10
2.9. Pencegahan ……………………………………………………...........
11
METODE PENELITIAN
12
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ………………………………………...
12
3.2. Materi Penelitian ……………………………………………………...
12
3.3. Metode Penelitian …………………………………………………….
12
3.3.1. Pembuatan sediaan histologi …………………………………..
14
i
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
17
4.1. Gejala Klinis ………………………………………………………….
17
4.2. Lesio Makroskopis ……………………………………………...........
21
4.3. Lesio Mikroskopis.………. ………………………………………….
32
4.3.1. Organ Paru-paru .........................................................................
32
4.3.2. Organ Jantung.............................................................................
42
4.3.3. Organ Hati.. ................................................................................
48
4.3.4. Organ Ginjal.. .............................................................................
57
4.3.5. Organ Limpa ..............................................................................
67
4.3.6. Organ Limfoglandula ……………………………………........
75
4.4. Pengamatan Khusus Struktur Histopatologi Buluh Darah ..................
86
4.4.1. Buluh Darah Paru-paru, Jantung, Hati, Ginjal,
Limpa...........................................................................................
V
KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
87
99
101
ii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1
Nilai Skor Lesio Histopatologi Organ.............................................
13
Tabel 2
Nilai Skor Lesio Histopatologi Buluh Darah..................................
14
Tabel 3
Data Babi Sampel dan Kontrol........................................................
17
Tabel 4
Perubahan Patologi Anatomi organ Babi.......................................
30
Tabel 5
Nilai skor lesio histopatologi pada organ paru-paru.......................
33
Tabel 6
Nilai skor lesio histopatologi organ Jantung ..................................
43
Tabel 7
Nilai Skor lesio histopatologi organ Hati .......................................
49
Tabel 8
Nilai Skor lesio histopatologi organ Ginjal ………………………
58
Tabel 9
Nilai Skor lesio histopatologi organ limpa ………………….........
75
Tabel 10
Nilai Skor lesio histopatologi organ limfoglandula ………………
74
Tabel 11
Rangkuman lesio histopatologi organ jantung,
paru-paru, hati, ginjal, limpa dan limfoglandula …………….......
81
Tabel 12
Distribusi dan Skor Antigen hog cholera………………………...
84
Tabel 13
Rangkuman skor lesio histopatologi buluh darah…………..........
92
iii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1
Gambar 2
Gambar 3
Gambar 4
Gambar 5
Gambar 6
Gambar 7
Gambar 8
Gambar 9
Gambar 10
Gambar 11
Peta Penyebaran Hog Cholera (HC) di Provinsi Papua ...................................
Struktur virus Hog Cholera ..............................................................................
Struktur protein virus hog cholera dan fungsi ………………………………..
Gejala Klinis; Babi lemah, kurang aktif dan depresi ........................................
Gejala Klinis; Konjungtivitis ………………………………………................
Gejala Klinis; Eritema pada kulit bagian ujung telinga………………. ……..
Gejala Klinis; Eritema siku-siku kaki ………………………………………..
Gejala Klinis; Kematian yang disertai dengan pembesaran skrotum…
Babi sehat (Kontrol)..........................................................................................
Laringitis ..........................................................................................................
Laring babi Kontrol...........................................................................................
4
5
5
18
18
19
19
20
20
22
22
Gambar 12
Gambar 13
Pneumonia dan hemoragi……………………………………………..............
Paru-paru babi kontrol…………………....…………………………..............
23
23
Gambar 14
Gambar 15
Gambar 16
Gambar 17
Gambar 18
Gambar 19
Hemoragi jantung..............................................................................................
Jantung babi kontrol..........................................................................................
Kongesti dan multifokus perihepatitis hati........................................................
Hati babi kontrol...............................................................................................
Hemoragi usus babi..........................................................................................
Usus babi kontrol..............................................................................................
24
24
25
25
26
26
Gambar 20
Gambar 21
Gambar 22
Gambar 23
Multifokal ptekhi ginjal……………………………………………………….
Ginjal babi kontrol……...……………………………………………………..
Kongesti pada limpa…………………………………………………………..
Limpa babi kontrol…………………………………………………................
27
27
28
28
Gambar 24 a.
Gambar 24 b.
Gambar 25
Gambar 26 a.
29
29
29
Gambar 29.
Gambar 30a.
Gambar 30b.
Gambar 30c.
Gambar 31
Gambar 32
Gambar 33
Hemoragi limfoglandula……………………………………………................
Hemoragi limfoglandula……………………………………………................
Limfoglandula babi kontrol……………….…………………………..............
Eksudat dalam bronkhioli, infiltrasi sel radang limfositik
peribronkhiol…………………………………………………………………..
Penebalan interstisial………………………………………………………….
Eksudat dalam bronkioli, infiltrasi sel radang
limfositik peribronkhial………………………………………………………
Deskuamasi epitel bronkioli, infiltrasi sel radang
limfositik peribronkhial………………………………………………………
Bronkhiolitis......................................................................................................
Kongesti, udema, hemoragi…………………………………………..............
Udema dan pneumonia intersitialis……………………………………..........
Lesio hemoragi dan infiltrasi sel radang limfositik.........................................
Emfisema………………………………………………………………..........
Bagian paru dengan lesio minimal……………………………………...........
Septum alveoli normal dari paru-paru babi kontrol .…………………...
Gambar 34
Distribusi antigen hog cholera organ paru-paru…………………...................
42
Gambar 26 b.
Gambar 27.
Gambar 28.
34
34
35
35
36
36
37
37
38
38
39
iv
Gambar 35
Gambar 36
Gambar 37
Gambar 38
Gambar 39
Gambar 40
Gambar 41
Gambar 42
Gambar 43
Gambar 44
Gambar 45
Gambar 46 a.
Gambar 46 b.
Gambar 47
Gambar 48
Gambar 49
Gambar 50
Gambar 51
Gambar 52 a.
Gambar 52 b.
Gambar 53
Gambar 54 a.
Kongesti kapiler dan edema diantara serabut otot jantung,
degenerasi berbutir dan atrofi otot jantung……………………………...........
Multifokus miopatia otot jantung......................................................................
Fokus fibrosis di daerah infark miokardium. ...................................................
Infiltrasi sel radang limfositik pada bagian epikardium. ……………………..
Hemoragi diantara serabut otot jantung............................................................
Anastomose antar serabut otot jantung babi kontrol................................
44
Distribusi antigen hog cholera organ jantung………………………................
Infiltrasi sel radang pada septum interlobularis hati.........................................
Akumulasi sel radang limfositik daerah porta hati……………………………
Sel radang dalam pembuluh darah sinusoid dan disekitar fokus
nekrosa hepatosit……………………………………………………………...
Akumulasi sel radang limfositik pada kapsula Glisson. Multifokus
degenerasi lemak hepatosit pada bagian tepi lobular hepatosit. .......... ...
Multifokus degenerasi lemak hepatosit............................................................
Sebaran Fokus degenerasi lemak hepatosit…………………………..............
Kronik kongesti sinusoid hati...........................................................................
Kronik kongesti sinusoid hati...........................................................................
Infiltrasi ringan sel radang pada sinusoid hati kontrol.......................... .....
Susunan lobularis hati babi kontrol ............................................................
Distribusi antigen hog cholera organ hati.........................................................
48
50
50
51
52
52
53
53
54
54
57
Kongesti pembuluh darah mesangial dan kapiler pembuluh darah intra
tubuli; degenerasi dan nekrosa epitel tubuli.....................................................
Fokus Hemoragi..............................................................................................
59
59
44
45
45
46
46
51
Glomerulitis………………………………………………………….
Endapan protein dalam lumen tubuli; degenerasi hidropis sel
epitel tubuli……………………………………………………………………
60
61
61
Gambar 58
Degenerasi hidropis sel epitel tubulus………………………………..............
Endapan protein dalam lumen tubuli…………………………………………
Fokus nekrosa koagulasi dan akumulasi sel radang limfositik pada
jaringan interstisialis………………………………………………… ………
Degenerasi hialin pada epitel tubuli, kongesti, infiltrasi sel
radang limfositik pada jaringan interstisialis. ………………………………..
Endapan protein dalam lumen tubuli ginjal babi kontrol…………………
Gambar 59.a
Gambar 59.b
Gambar 60
Gambar 61
Gambar 62
Gambar 63
Gambar 64
Gambar 65
Gambar 66
Gambar 67.a
Gambar 67.b
Distribusi antigen hog cholera organ ginjal…………………………………..
Distribusi antigen hog cholera organ ginjal………………………………….
Distribusi antigen hog cholera organ ginjal………………………………….
Kongesti limpa disertai deplesi folikel limfoid. …………..............................
Splenitis dan peritonitis………………………………………………............
Fokus nekrosis………………………………………………………..............
Nekrosis sel limfoid pada pulpa putih ……………………………………….
Infiltrasi makrofag Pulpa merah …………………………………………….
Deplesi folikel limfoid limpa babi kontrol. ………………………….....
Sel megakariosit…………………………………………………….................
Sel megakariosit………………………………………………………………
65
66
66
Gambar 54 b.
Gambar 55
Gambar 56
Gambar 57
60
62
62
63
68
69
69
70
70
71
73
73
v
Gambar 68. a
Gambar 68. b
Distribusi antigen hog cholera organ limpa.………………………………….
Distribusi antigen hog cholera organ limpa. ………………..……………….
74
74
Gambar 69.
Gambar 70.
Gambar 71. a.
Gambar 71. b.
Gambar 72. a.
Gambar 72 b.
Kongesti Korteks limfonodus………………………………………………..
Udema sinus medularis………………………………………………………
Proliferasi sel retikulo endothelial di bagian sinus medularis..........................
Proliferasi sel retikulo endothelial di bagian sinus medularis. ........................
Bagian korteks limfoglandula babi kontrol .....................................................
Bagian korteks limfoglandula babi kontrol .............................................
76
77
77
78
78
79
Gambar 73
Distribusi antigen hog cholera organ limfoglandula. ………………..............
80
Gambar 74.
Tidak ditemukan antigen hog cholera di organ limfoglandula
Babi kontrol. ………………………………………………………........
81
Gambar 75.
Histogram Distribusi dan skor antigen hog cholera…………..............
85
Gambar 76.
Hipertropi sel endotel, nekrosa tunika adventisia arteri pulmonaris…............
88
Gambar 77.
Hipertropi sel endotel dan infiltrasi sel radang arteri ginjal…………............
88
Gambar 78.
Deskuamasi tunika intima, nekrosa arteri paru-paru…………………...........
89
Gambar 79.
Hipertropi sel endotel buluh dan hialinisasi arteri hati....................................
89
Gambar 80.
Hialinisasi tunika media dan vakuolisasi tunika media
arteri limpa........................................ ..........................................................
90
Gambar 81.
Deskuamasi sel endotel, dan rusaknya lamina interna arteri paru-paru..........
90
Gambar 82.
Deskuamasi sel endotel, akumulasi lemak di permukaan sel
arteri Jantung……………………....................................................................
91
Gambar 83
Trombus dilumen arteri limpa…………………………………………..........
91
Gambar 84
Stuktur tunika intima, tunika media dan tunika adventisia normal
buluh darah paru-paru babi kontrol………………………………...................
92
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Pembuatan sediaan histopatologi dengan pewarnaan Hematoxyllin-Eosin
Hasil Pengujian Lab BBV Maros
Uji U Mann- Whitney skor histopatologi organ Babi
Uji U Mann- Whitney skor lesio histopatologi buluh darah arteri
vii
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Salah satu kebijakan pemerintah dalam pembangunan subsektor peternakan di
Indonesia adalah upaya untuk mencukupi kebutuhan akan protein hewani. Salah satu
sumber pemenuhan protein hewani ini dapat berasal dari ternak babi.
Ternak babi di Provinsi Papua merupakan salah satu komoditas unggulan dan
mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi. Bagi masyarakat Papua ternak babi sangat
penting artinya dalam keterkaitannya dengan adat istiadat atau dapat di katakan bahwa
ternak babi sudah di pelihara sejak turun temurun. Selain itu, jumlah babi yang di miliki
biasanya dijadikan sebagai ukuran kekayaan seseorang (status sosial). Semakin banyak
babi yang di miliki, berarti semakin tinggi pula status sosialnya. Karena itu, tidaklah
mengherankan sekalipun penduduk setempat memiliki pekerjaan utama yang beragam
(pegawai negeri, swasta atau buruh) namun mereka tetap memiliki ternak babi sebagai
tambahan sumber pendapatan dan alternatif guna meningkatkan taraf hidup keluarga
(Pattiselanno 2005).
Salah satu daerah sumber penghasil ternak babi di Provinsi Papua adalah
Kabupaten Jayapura. Jenis babi yang banyak di pelihara oleh penduduk setempat di
kabupaten ini adalah jenis babi lokal (Sus scrofa domesticus) yang di pelihara masih
secara sederhana atau tradisional, contohnya seperti di beri makan limbah dapur dan
ubi-ubian, di kandangkan tetapi kadang-kadang di lepas dengan sistem perkandangan
tradisional, sistem pemeliharaannya hanya semata-mata di tujukan kepada kepentingan
adat istiadat dan kurang memperhatikan aspek ekonomis (Anonimous 1996).
Populasi ternak babi di Provinsi Papua pada tahun 2006 di perkirakan
mengalami penurunan yang cukup besar yaitu sekitar 17.609 (tujuh belas ribu enam
ratus sembilan) ekor jika di bandingkan dengan data populasi ternak babi pada tahun
2004, penurunan populasi babi juga terjadi di Kabupaten Jayapura (Anonimous 2006).
Penurunan populasi ini sebagian besar di sebabkan oleh adanya wabah penyakit hog
cholera yang terjadi mulai bulan Juni tahun 2004 hingga saat ini.
Berdasarkan permasalahan di atas terutama penyakit hog cholera yang terjadi di
Propinsi Papua khususnya Kabupaten Jayapura maka perlu di lakukan suatu penelitian
atau kajian patologi hog cholera dengan tinjauan khusus mengenai buluh darah.
1
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman komprehensif tentang
perubahan–perubahan organ babi yang terkena penyakit hog cholera. Penelitian ini di
harapkan dapat menjawab pertanyaan mendasar berikut: (1). Bagaimana perubahan
patologi organ babi yang terinfeksi hog cholera, apakah perubahan ini sama dengan
perubahan yang di temukan pada kasus-kasus terdahulu di luar Papua. (2). Bagaimana
gambaran patologi organ babi khususnya perubahan pada buluh darah.
1.3 Hipotesa
Infeksi virus hog cholera menyebabkan perubahan yang khas pada organ-organ
dan buluh darah babi.
1.4 Manfaat
Hasil penelitian ini di harapkan dapat melengkapi informasi mengenai penyakit
hog cholera untuk penelitian selanjutnya dan dapat digunakan sebagai acuan bagi
petugas lapangan dalam pengambilan keputusan untuk penanganan penyakit.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hog Cholera
Hog cholera (HC) memiliki berbagai sinonim yaitu Classical Swine Fever
(CSF), Peste du Pork, Cholera Porcine dan Virus Schweine Pest, merupakan penyakit
viral menular yang di sebabkan oleh virus hog cholera, yang termasuk dalam Genus
Pestivirus dan Famili Flaviviridae. Hanya terdapat satu serotipe virus hog cholera
namun gejala yang di timbulkannya sangat bervariasi tergantung dari strain yang
menginfeksi (Geering et al. 1995). Virus ini secara antigenik berkerabat dengan Bovine
Viral Diarrhea Virus (BVDV), yang menyebabkan timbulnya penyakit BVD pada sapi
serta Border Disease Virus (BDV) pada domba (Edwards et al. 1991).
Hog cholera dapat di temukan di berbagai bagian dunia seperti di negara-negara
Afrika Timur, Afrika Tengah, Cina, Asia Timur, Asia Selatan, Asia Tenggara, Mexico
dan Amerika Selatan (Edward et al. 2000). Wabah hog cholera terjadi di Prancis pada
tahun 1822 sedangkan di Jerman terjadi pada tahun 1833 kemudian penyakit ini
menyebar ke Inggris dan Eropa tahun 1862 (Carbery et al. 1984). Kasus hog cholera di
kota Luxembourg terjadi pada bulan Oktober 2001 hingga Maret 2002. Penyakit ini
tidak di temukan lagi di Prancis sejak 1972, di Australia sejak 1962 dan di New
Zealand sejak tahun 1953 (Geering et al. 1995). Penyakit hog cholera pertama kali
masuk ke Papua di Kabupaten Timika pada tanggal 25 Juni 2004 menyebabkan
kematian ternak babi lokal sebanyak 9.000 ekor, yang kemudian berturut-turut
menyebar ke Kabupaten / Kota Sorong pada tanggal 26 Agustus 2005 dengan jumlah
kematian babi di perkirakan sebanyak 3.000 ekor, selanjutnya Kabupaten / Kota
Jayapura terjadi pada 23 Januari 2006 dengan kematian babi sebanyak 9.500 ekor,
Kabupaten Puncak Jaya pada 14 April 2006 dan Kabupaten Jayawijaya pada 5 Mei
2006 dengan jumlah kematian ternak babi di perkirakan di atas 2.000 ekor (Anonimous
2006). Peta penyebaran penyakit hog cholera di Provinsi Papua dapat di lihat pada
gambar 1.
3
Sorong, 25/8/2005
19
Jayapura, 23/1/2006
03
Puncak Jaya, 4/4/2006
KET :
01.Merauke
02.Jayawijaya
03.Jayapura
10.Paniai
11.Puncak Jaya
13.Boven Digoel
14.Mappi
15.Asmat
16.Yahukimo
17.Peg.Bintang
18.Tolikara
19.Sarmi
10
18
11
02
16
Jayawijaya,
5/5/2006
17
TIMIKA, 25 JUN 2004
15
14
13
01
Sumber: Dinas Peternakan Provinsi Papua
Gambar 1. Peta Penyebaran Hog Cholera (HC) di Provinsi Papua. Panah kuning
menunjukan awal perpindahan penyakit HC dari kabupaten Timika ke
kabupaten Jayapura. Panah merah menunjukkan alur penyebaran penyakit HC
ke kabupaten lain. Daratan dengan warna merah merupakan daerah tempat
tejadinya wabah HC, sedangkan daratan dengan warna krem merupakan
daerah yang belum tertular HC.
2.2 Penyebab.
Hog cholera di sebabkan oleh virus yang berbentuk bundar, berdiameter 40-50
nm, dengan nukleokapsid kira-kira berukuran 29 nm. Virus hog cholera merupakan
suatu virus RNA beramplop dengan inti isometrik yang di kelilingi oleh membran.
Nilai koefisien sedimentasinya adalah berkisar 140-180S (Horzinek 1981). Virion
terdiri dari RNA utas tunggal berpolaritas positif dengan ukuran panjang 12.3 kb.
Struktur virus Hog Cholera dapat di lihat pada gambar 2.
4
Gambar 2. Struktur Virus Hog Cholera. Virus Hog Cholera merupakan virus RNA utas
tunggal beramplop dengan inti isometrik yang di kelilingi oleh membran. Virus
berbentuk bundar, dengan protein nukleokapsid berukuran 29 nm. (Sumber :
Journal of virological methods. www.igentaconnect.com/..00000001/art 00162)
Protein E1 (gp33) terdapat di dalam envelop atau selubung virus sebagai suatu
bentuk heterodimer E1-E2 dan E2 (gp55) yaitu protein yang menyebabkan virus hog
cholera bersifat sangat immunogenik. Sementara itu protein p7 di duga tidak berperan
di dalam virion dan akan tetap tinggal sebagai bagian dari terminal C pada “Open
reading frame” yang berfungsi untuk mengkode protein jenis non struktural (Edwards
et al. 1991). Suatu penanda di gunakan untuk menandai variasi antigen pada masingmasing strain virus hog cholera (Edwards dan Sands 1990), marker ini pun di
perkirakan terletak di setengah bagian N terminal pada E2 dan pada E1. Struktur
protein virus hog cholera dan fungsi dapat di lihat pada gambar 3.
5’ Structural Proteins
Npro
C
Erns
E1
Non-Structural Proteins 3'
E2
NS2
NS3
NS4A
NS4B
NS5A
NS5B
Gambar 3. Struktur Protein Dan Fungsi Virus Hog Cholera. Protein Struktural C, berfungsi
sebagai kapsid internal Protein. Erns, memiliki aktivitas instrinsik RNase, E1-E2,
berfungsi sebagai glikoprotein transmembran, E2 merupakan glokoprotein mayor
yang sangat penting, sebab E2 merupakan target dari virus netralisasi antibodi,
Protein Non Struktural berfungsi membantu di dalam replikasi virus, NS5A dan
NS5B, keduanya bertanggung jawab di dalam replikasi RNA virus. (Sumber :
Parchariyanon
et
al.2000.
Journal
of
virological
methods.
www.igentaconnect.com/..00000001/art 00162)
5
Vilcek et al. (1996) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa isolat lapangan
dengan virulensi yang rendah, memperlihatkan hasil pembacaan yang lebih jelas
mengarah pada terbacanya atau terdeteksinya antibodi terhadap BVDV daripada
antibodi terhadap virus hog cholera. Meskipun secara genetik dan antigenik virus hog
cholera sangat berbeda dengan Virus BVD, namun seringkali memperlihatkan adanya
kesamaan dengan penyakit yang di akibatkan oleh pestvirus lainnya. Faktor penting
yang dapat membedakan antara virus hog cholera dan virus BVD adalah terletak pada
protein E2. Jika antibodi monoklonal (mAb) terhadap virus hog cholera di reaksikan
langsung dengan protein E2 maka akan nampak jelas perbedaannya (Edwards et al.
1991). Antigen bersama di antara pestivirus sebagian besar terletak di protein non
struktural NS2.3 yang merupakan suatu homolog protein yang terdiri dari 70% asam
amino. Diperkirakan 70% asam amino pada virus hog cholera dan virus BVD adalah
bersifat homolog. Hasil penelitian yang di lakukan dengan menggunakan antibodi
monoklonal (mAb) guna mempelajari keanekaragaman strain virus, di ketahui bahwa
berdasarkan pilogeniknya virus hog cholera di kelompokan menjadi dua kelompok
besar yaitu kelompok I (Strain Brescia) mencakup strain virus hog cholera yang
berasal dari Benua Asia dan Amerika dan kelompok II mencakup strain virus hog
cholera yang berasal dari Benua Eropa dan Negara Jepang (Vilcek et al. 1996).
Strain dengan virulensi yang tinggi menginduksi terjadinya suatu bentuk infeksi
yang bersifat akut, dengan tingkat kematian yang tinggi sementara pada strain dengan
tingkat virulensi yang sedang atau menengah dapat mengakibatkan suatu bentuk infeksi
yang sub akut dan kronis. Infeksi post natal babi oleh virus hog cholera dengan
virulensi yang rendah akan menghasilkan penyakit dengan gejala yang ringan atau
infeksi yang bersifat subklinis. Namun demikian suatu strain virus dengan virulensi
yang rendah juga dapat menyebabkan kematian pada fetus babi dan anak-anak babi
yang baru di lahirkan. Faktor-faktor penting yang berperan di dalam suatu infeksi virus
hog cholera antara lain : umur, status gizi dan kompetensi tanggap kebal (Vilcek et al.
1996). Virus hog cholera melakukan replikasi dalam sitoplasma tanpa menyebabkan
efek sitopatik. Virus pertama hasil replikasi keluar dari sel pada 5-6 jam setelah sel
terinfeksi. Dalam satu siklus perkembangbiakan virus, titer virus akan meningkat
berbanding lurus dengan waktu hingga 15 jam pasca infeksi dan kemudian titer virus
bertahan tetap tinggi hingga beberapa hari. Dalam kultur sel, hog cholera virus
menyebar ke sel lain melalui: cairan medium kultur, jembatan antar sel dan pada sel
yang membelah. Virus hog cholera dapat bertahan hidup dengan baik dalam kultur sel.
6
Di dalam sel, perkembangan tahap akhir replikasi virus terjadi pada bagian membran
sitoplasma sebelah dalam, sehingga keberadaan antigen hog cholera tidak bisa
terdeteksi dari bagian luar sel (Van Oirschot et al. 1999).
2.3 Epidemiologi
Daerah wabah hog cholera di Indonesia yang telah ditetapkan berdasarkan SK.
Mentan No. 888/ Kpts/TN. 560/9/97 adalah Provinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera
Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Bali, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi
Selatan dan Provinsi Nusa Tenggara Timur (Anonimous 1998). Secara sporadik
penyakit ini masih ditemukan di peternakan babi di Kalimatan Barat ( Sulaxono et al.
2003). Kasus hog cholera yang terjadi di Timor- Timur tahun 1998 menyerang semua
jenis babi, yaitu babi Landrace, persilangan dan babi lokal serta menyerang semua
kelompok umur. Namun kasus paling banyak terjadi pada babi lokal dari kelompok
umur kurang dari 2 bulan (Ketut et al.1998).
Spesies babi adalah satu-satunya spesies yang rentan terhadap virus hog cholera
(HCV), babi yang sakit akan berperan sebagai sumber penularan penyakit ini.
Penularan alami terjadi melalui kontak langsung sesama babi. Virus di sebarkan
melalui cairan mulut, hidung, mata, urin dan tinja. Babi yang sembuh akan tetapi belum
membentuk antibodi protektif yang cukup, masih dapat menjadi sumber penyakit bagi
hewan lain (Edwards et al. 1991). Pada penyakit yang berjalan akut, virus virulen
disebarkan oleh penderita selama 10-20 hari.
Infeksi virus in-utero atau kongenital pada induk yang bunting dan tertular,
menyebabkan embrio atau janin yang di lahirkan mati, lemah, atau cacat. Anak babi
yang di lahirkan dalam keadaan sehat akan bertindak sebagai sumber penularan selama
berbulan-bulan (carrier). Penularan secara mekanis juga dapat terjadi melalui petugas,
alat angkut atau alat-alat lain yang tercemar (Edwards et al. 1991). Pengaruh pH dan
suhu terhadap stabilitas strain virus hog cholera sangat bervariasi. Pada sel kultur yang
berbentuk cairan kemampuan infeksi virus akan hilang jika di tempatkan pada suhu
60°C setelah 10 menit, pada medium darah yang berfibrin aktifitas virus akan hilang
jika di tempatkan pada suhu 68°C setelah 30 menit. Infektifitas virus akan tetap stabil
pada pH 5-10, di atas atau dibawah pH tersebut infektivitas virus akan segera hilang
atau sangat menurun. Tingkat inaktivasi virus jika berada pada pH dibawah 5,
umumnya akan di pengaruhi oleh temperatur. Sebagian virus masih dapat hidup selama
260 jam jika ditempatkan pada pH 4 yang bersuhu 4°C, sementara sebagian virus masih
7
dapat hidup selama 11 jam jika di tempatkan pada pH 4 yang bersuhu 21°C (Carbery et
al. 1984). Inaktivasi virus dapat berlangsung cepat jika virus di tempatkan pada pelarut
lemak seperti; ether, chloroform, deoxycholate, 2% Sodium hydroxide. Virus hog
cholera tahan berada dalam daging segar, dan produk daging lainnya dalam bentuk
infektif untuk jangka waktu 8 bulan hingga 4 tahun, dengan demikian daging atau
produk daging lainnya dapat di gunakan virus sebagai salah satu media dalam
penyebarannya (Liess et al. 1992).
2.4 Patogenesis
Infeksi alami umumnya terjadi melalui rute oro-nasal. Virus masuk ke dalam
tubuh dapat melalui konjungtiva, mukosa alat genital, atau melalui kulit yang terluka.
Dengan afinitas yang tinggi dari virus hog cholera (HC) terhadap sel-sel sistem
retikuloendotelial, virus HC akan menginfeksi sel-sel endotel sistem vaskuler (kapiler,
vena maupun arteri dan pembuluh limfe) hingga mengalami degenerasi hidropis serta
nekrotik (Van Oirschot et al. 1999). Virus yang melakukan replikasi di dalam tonsil,
segera meluas ke jaringan limforetikuler di sekitarnya. Dengan perantaraan cairan limfe
virus menyebar ke kelenjar limfe. Di dalam kelenjar limfe virus memperbanyak diri
dan selanjutnya dengan perantara buluh darah virus terbawa ke perifer untuk kemudian
ke jaringan limfoid limpa, sumsum tulang, dan kelenjar limfe viseral. Perkembangan
virus yang cepat juga terjadi di dalam sel leukosit, hingga timbul viremia. Pada
penyakit yang berjalan akut sering terjadi pendarahan yang di sebabkan gangguan
sirkulasi yang akut oleh proses degenerasi sel-sel endotel pembuluh darah dan reaksi
imunologis (Vilcek et al. 1996).
2.5 Gejala klinis
Hewan yang terinfeksi virus hog cholera memperlihatkan gejala klinis antara
lain: lesu, tidak aktif, malas bergerak dan gemetar. Nafsu makan menurun hingga
hilang, suhu tubuh meningkat sampai 41-42°C selama 6 hari. Pada saat viremia, jumlah
leukosit turun dari 9000 menjadi 3000/ml dalam darah hewan (leukopenia). Hewan
penderita mengalami konjungtivitis, dengan air mata berlebihan. Eksudat bersifat
mukous atau muko purulen, nampak di kelopak mata dan menyebabkan kelopak mata
lengket (Vilcek et al. 1996). Konstipasi di sertai dengan radang saluran gastrointestinal
menyebabkan diare encer, berwarna kekuningan. Rasa dingin mendorong babi-babi
berkumpul (piled-up) di sudut kandang. Sebelum babi mati pada kulit daerah perut,
8
muka, telinga, dan bagian dalam dari kaki terlihat eritema (Van Oirschot et al. 1999).
Pada penyakit yang berjalan akut kematian babi biasanya memakan waktu 10-20 hari.
Sedangkan penyakit yang berjalan subakut proses kematian berlangsung selama 1
bulan.
Gomez Villamandos et al. (2001) membedakan manifestasi klinis HC kronik
kedalam 3 fase, yaitu 1). fase l atau akut di tandai dengan gejala anoreksia, depresi,
suhu badan meningkat dan leukopenia, fase ini berlangsung dalam beberapa minggu.
2). fase 2, atau kronik, di tandai dengan membaiknya kondisi, nafsu makan, suhu tubuh
normal atau sedikit meningkat dan leukopenia, dan 3). fase 3, hewan kembali tampak
menderita, anoreksia, depresi, suhu meningkat, dan akhirnya mati. Kasus hog cholera
yang berjalan secara perakut kronik dapat bertahan sampai lebih kurang 3 bulan.
Infeksi virus hog cholera yang terjadi pada masa kebuntingan, di kenal sebagai
late-onset HC, kematian dapat terjadi di antara bulan ke-2 sampai dengan bulan ke-11.
Gejala klinis pada kolera late-onset ini meliputi depresi dan anoreksia yang terjadi
secara lambat, suhu tubuh normal, konjungtivitis, dermatitis dan gangguan saat berjalan
(Liess et al. 1992).
2.6 Perubahan patologi anatomi (PA)
Kasus hog cholera yang berjalan secara perakut sering tidak di temukan adanya
lesio, sedangkan yang berjalan secara akut dan subakut, di temukan gambaran sepsis
berupa perdarahan multifokus. Hal tersebut terkait dengan kerusakan buluh darah
(Edwards et al. 2000). Reaksi radang yang bersifat katar, fibrinous dan hemoragi dapat
di temukan pada berbagai organ pencernaan, pernafasan dan saluran urogenital. Lesio
yang terlihat pada kelenjar limfe adalah bengkak, udema, hemoragi dan berwarna
merah kehitaman (Gomez Villamandos et al. 2001). Organ ginjal terutama pada
korteks, jantung, mukosa usus dan kulit mengalami perdarahan titik ptekhi sampai
ekhimosa (Van Oirschot et al.1990).
Perubahan patologi berupa infark pada limpa bersifat khas (patognomonik) pada
kasus hog cholera (Gering et al. 1995). Infark juga di temukan pada berbagai organ,
antara lain kantong kemih dan tonsil. Infark yang meluas di buluh darah submukosa
usus besar, sekum, dan kolon, memicu terbentuknya lesi yang berbentuk seperti
kancing baju, bundar, menonjol di kenal sebagai "button ulcer". Lesio button ulcer
pada usus besar tersebut memiliki arti diagnostik yang sangat penting dalam diagnosa
babi penderita HC. Pada kasus hog cholera akut dan subakut paru-paru mengalami
9
infark dan perdarahan, yang selanjutnya terbentuk proses radang paru-paru dan pleura.
Jantung terlihat pucat di sertai kongesti miokard.
2.7 Perubahan Histopatologi (HP)
Kasus hog cholera yang terjadi di Kalimantan Barat memperlihatkan adanya
variasi perubahan histopatologi seperti nekrosis akut tubuli ginjal, enteritis ringan,
kongesti pada hati, bronkhopneumonia sub akut, hemoragi pada korteks limfoglandula
dan nekrosis pada pusat folikel limfoid limpa (Sulaxono et al. 2003). Pada infeksi
bentuk persisten virus hog cholera menginduksi terjadinya hipoplasia korteks adrenal
yang di tandai dengan peningkatan luas zona fasciculata dan zona glomerulosa
sementara zona reticulata mengalami atrofi (Van Oirschot et al. 1999). Infeksi buatan
virus hog cholera isolat Quillota yang di lakukan oleh Quezada et al. (2000),
menunjukkan lesio antara lain: hemoragi alveolar, deskuamasi sel epitel bronkhi dan
bronkhioli, leukosit terlihat di sekitar area deskuamasi dan adanya peningkatan jumlah
sel-sel mononuklear terutama makrofag di lumen buluh darah. Lesio histopatologi
jantung pada kasus hog cholera timbul sebagai akibat adanya infeksi sekunder dari
bakteri, lesio yang terjdi antara lain: kongesti miokardium, hemoragi perikardium dan
endokardium (Van Oirschot et al. 1999). Penelitian yang dilakukan oleh Ruiz-Villamor
et al. (2001) menggunakan virus hog cholera isolat Quillota membuktikan bahwa
akibat infeksi virus hog cholera menyebabkan timbulnya lesio glomerulitis.
2.8 Diagnosis
Diagnosis hog cholera di lapangan dapat di tentukan berdasarkan anamnesa,
gambaran klinis, dan pemeriksaan pasca mati. Carbery et al. (1984) menyatakan bahwa
pada pemeriksaan pasca mati perlu di perhatikan adanya gambaran terutama perdarahan
kelenjar limfe, ginjal dan infark limpa yang (patognomonik) serta adanya button ulcer
di berbagai bagian usus besar. Sebagai diagnosis banding perlu di perhatikan African
swine fever (ASF), salmonellosis septik, pasteurellosis (septisemia epizootika, SE),
streptokokosis dan erisipelas. Pemeriksaan laboratorium yang perlu di lakukan meliputi
deteksi antigen virus, isolasi virus. Antigen virus salah satunya dapat di ketahui dengan
teknik antibodi fluoresent metode langsung (direct FAT) (Sasahara 1970).
10
2.9 Pencegahan
Negara yang bebas hog cholera tidak boleh mengimpor babi, daging babi dan
bahan berasal dari babi, yang berasal dari negara atau daerah tertular hog cholera.
Negara yang mengalami enzootik hog cholera harus melaksanakan program vaksinasi
dan stamping out. Bila kasus hog cholera sudah menurun cukup di lakukan stamping
out (Carbery et al. 1984). Program vaksinasi masal secara rutin telah di lakukan di
perusahaan peternakan babi dan peternakan babi rakyat. Vaksin yang di gunakan
berupa vaksin galur C (China), atau vaksin galur Japanese GPE dan French Triverval.
Vaksin-vaksin tersebut terutama vaksin galur C, memacu kekebalan sejak 1 minggu
pasca vaksinasi dan berlangsung selama 2-3 tahun. Program pencegahan
Sejak masuknya penyakit hog cholera ke Papua yang di mulai dari Kabupaten
Timika pada tahun 2004, dan kemudian menyebar ke berbagai kabupaten lainnya, telah
di lakukan langkah penanganan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Papua melalui Dinas
Peternakan Provinsi maupun Kabupaten. Tindakan yang di lakukan mengacu pada
Pedoman Teknis Pemberantasan dan Pengendalian Penyakit Classical Swine Fever
(Hog Cholera) Tahun 1988 yang di keluarkan oleh Direktorat Kesehatan Hewan
Jakarta. Tindakan tersebut meliputi: a). Menutup wilayah tertular dengan surat
keputusan Bupati. b). Mengisolasi ternak yang sakit. c). Memusnahkan ternak mati. d).
Melakukan vaksinasi dengan vaksin hog cholera e). Public awareness (penyuluhan
kepada masyarakat). Namun tindakan-tindakan di atas belum sepenuhnya dapat
mengatasi laju peningkatan angka morbiditas maupun mortalitas ternak babi.
Beberapa usaha yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten
Karanganyar Jawa Tengah untuk mencegah penularan penyakit pada babi terkait
dengan penyakit hog cholera antara lain : 1). Meningkatkan biosecurity kandang dan
pengawasan lalu lintas. 2). Pencegahan penyebaran penyakit dapat dilakukan dengan
vaksinasi. 3). Meningkatkan kebersihan kandang dan kualitas pakan. 4). Penggunaan
antibiotik yang tidak terkontrol dapat menyebabkan beberapa jenis bakteri menjadi
resisten, sehingga perlu di konsultasikan dengan dokter hewan setempat (Cicilia et
al.2006).
11
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini terdiri dari penelitian pendahuluan dan lanjutan. Penelitian
pendahuluan di lakukan pada bulan Agustus 2006. Penelitian lanjutan di lakukan mulai
bulan Februari 2007 sampai September 2007 bertempat di Bagian Patologi,
Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor. Tempat pengambilan sampel meliputi Distrik Sentani Timur, Sentani
Barat, Distrik Sentani Tengah dan Distrik Abepura.
3.2 Materi Penelitian
Sampel organ yang di gunakan dalam penelitian ini berasal dari 10 ekor babi
sakit dan moribun, dengan kisaran umur babi antara 2 bulan hingga 2 tahun. Sampel
babi berjenis kelamin jantan dan betina, merupakan babi jenis lokal dan persilangan.
Sampel organ babi yang diambil berupa: 1). Paru-paru ; 2). Jantung ; 3). Hati ; 4).
Ginjal ; 5). Limpa ; 6). Limfoglandula. Sebagai kontrol di gunakan sampel organ dari 3
ekor babi sehat yang tidak di vaksinasi. Babi kontrol diperoleh dari rumah potong
hewan yang tidak sepenuhnya bebas penyakit karena merupakan babi lapangan namun
dengan pewarnaan imunohistokimia diperoleh hasil yang negatif terhadap virus hog
cholera. Sampel di koleksi dengan cara bekerjasama dengan Laboratorium Tipe B,
Dinas Peternakan Provinsi Papua. Sampel serum di kirim ke BBV Maros untuk
identifikasi virus.
3.3 Metode Penelitian
Babi sakit maupun yang di duga sakit hog cholera di amati gejala klinisnya.
Selanjutnya babi moribun di eksanguinasi dan di nekropsi menurut prosedur standar,
saat nekropsi semua kelainan di amati, di catat dan di dokumentasikan dalam bentuk
foto patologi anatomi. Sampel organ di proses menjadi preparat histopatologi dan di
amati. Metode pengamatan yang di gunakan dalam penelitian ini adalah dengan
melakukan skoring lesio pada temuan perubahan histopatologi. Skor lesio di tentukan
berdasarkan sebaran lesio (fokus, multifokus, difus). Hasil skoring di gunakan sebagai
pendukung dalam menentukan derajat keparahan organ dan status penyakit (akut atau
kronis). Skoring perubahan histopatologi organ di lakukan dengan memberi skor di 10
lapangan pandang, menggunakan pembesaran 40 kali. Penentuan nilai skor yang di
amati dapat di lihat pada tabel 1 di bawah ini.
12
Tabel 1. Nilai Skor Lesio Histopatologi Organ
SKOR
NO
1
2
3
4
ORGAN
PARU-PARU
JANTUNG
HATI
GINJAL
0
1
2
3
Tidak ada
perubahan
Infiltrasi
limfositik ringan
di peribronkhial
Kongesti, udema,
hemoragi,
penebalan jaringan
interstisial oleh sel
radang limfositik,
hiperplasia,
deskuamasi epitel
bronkhioli
dan
emfisema
Kongesti kapiler,
udema di antara
serabut
otot
jantung, infiltarsi
dan akumulasi sel
radang
pada
epikardium
Infiltrasi
ringan
sel
radang
limfosit
dan makrofag di
septum
interlobularis,
daerah porta, buluh
darah sinusoid
Penebalan jaringan
interstisial oleh sel
radang
limfositik,
eksudat sel radang
polimorf
dalam
lumen dan emfisema
Kongesti, udema,
protein
hemoragi buluh Deposit
darah mesangial dalam lumen tubuli
dan kapiler buluh
darah inter tubuli,
infiltrasi
sel
radang
di
interstisium
Hiperplasia
sel
endotel
anyaman
mesangial glomerulus
di
sertai
deposit
protein di lumen
tubuli dan ruang
Bowman, degenerasi
hidropis
epitel
tubulus
Tidak ada
perubahan
Tidak ada
perubahan
Tidak ada
perubahan
5
LIMPA
Tidak ada
perubahan
6
LIMFOGLANDULA
Tidak ada
perubahan
Dilatasi
buluh
darah, infiltrasi
ringan sel radang
limfositik pada
epikardium
Infiltrasi ringan
sel
radang
di
sinusoid hati
Dilatasi
buluh
darah, infiltrasi
ringan sel radang
di daerah sub
kapsular
dan
superfisial
kapsula, deplesi
folikel limfoid
Dilatasi buluh
darah
Kongesti
dan
hemoragi
pulpa
merah, infiltrasi sel
radang makrofag,
limfosit
di
subkapsular
dan
superfisial
kapsula,
deplesi
folikel limfoid
Kongesti
dan
udema
korteks
limfonodus,
infiltrasi sel radang
di
sinus
subkapsularis
Degenerasi berbutir,
atrofi,
miopatia otot jantung,
infiltrasi, akumulasi
sel
radang
yang
semakin banyak.
Akumulasi
sel
radang limfositik di
kapsula
Glisson
dan udema ruang
Disse,
degenerasi
lemak hepatosit
Deplesi
folikel
limfoid pulpa putih
dan fokus nekrosis
Kongesti dan udema
korteks limfonodus,
deplesi
folikel
limfoid
dan
proliferasi sel retikulo
endotelial di sinus
medularis
13
Evaluasi imunohistokimia terhadap antigen virus hog cholera di lakukan
dengan memberi skor berdasarkan jumlah sel positif per lapangan pandang yang di
lakukan dengan menghitung jumlah sel positif pada perbesaran 40 kali di 10 lapangan
pandang. Sebagai gambaran skor (+) berarti terdapat 0-50 sel positif, skor (++) berarti
terdapat 50-100 sel positif, skor (+++) berarti terdapat lebih dari 100 sel positif
Skoring perubahan histopatologi buluh darah arteri organ paru-paru, jantung,
hati, ginjal dan limpa di lakukan dengan memberi skor di 10 lapangan pandang,
menggunakan pembesaran 40 kali. Penentuan skor untuk semua buluh darah di lakukan
dengan cara yang sama. Nilai skor yang di amati dapat di lihat pada tabel 2 di bawah
ini.
Tabel 2. Nilai Skor Lesio Histopatologi Buluh Darah
Skor
Deskripsi
0
Tidak ada perubahan
1
Terjadi hipertrofi endotel
2
Terjadi deskuamasi endotel, perubahan degenerasi
vakuolar tunika media dan adventisia
3
Terjadi
hialinisasi
tunika
media,
perubahan
degenerasi vakuolar dan nekrosa pada tunika media
dan adventisia, trombus, vaskulitis.
Analisis data lesio histopatologi organ dan lesio buluh darah arteri
menggunakan metode statistik non parametrik U Man-Whitney (Aviva et al. 2006)
untuk membedakan 2 sampel independen antara babi sakit dan babi sehat sebagai
kontrol sedangkan data distribusi antigen di olah secara deskriptif dan di buat dalam
histogram.
3.3.1 Pembuatan Sediaan Histologi
Seluruh organ yang di sampling di fiksasi di dalam buffer netral formalin
(BNF) 10%, minimal selama 48 jam. Selanjutnya sampel di proses untuk membuat
sedíaan histopatologi, melalui tahapan dehidrasi di dalam larutan alkohol konsentrasi
bertingkat (70% hingga 100%), clearing di dalam larutan xilol dengan ulangan
14
sebanyak tiga kali. Proses berikutnya adalah infiltrasi parafin cair ke dalam jaringan.
Proses pembuatan di lakukan dengan alat automatic tissue processor (Sakura)™.
Pembuatan blok jaringan di lakukan dalam parafin pada tissue embedding console
(Sakura)™. Blok jaringan di iris menggunakan mikrotom dengan ketebalan 3-5 µm.
Hasil sayatan di lekatkan diatas gelas objek dan di inkubasi dalam inkubator dengan
suhu 37oC selama 1 malam dan siap di warnai. Untuk pewarnaan imunohistokimia
(IHK), gelas objek terlebih dahulu di lapisi dengan gelatin 6 %.
3.3.2. Pewarnaan Hematoxyllin-Eosin, Masson Trichrome, Verhoeff Van Giesson
dan Imunohistokimia
Pewarnaan Hematoxyllin Eosin (HE) di lakukan untuk mengamati perubahan
jaringan secara umum, Masson Trichrome (MT) dan Verhoeff Van Giesson (VVG) di
gunakan untuk mengamati perubahan struktur buluh darah. Hasil pewarnaan
diinterpretasikan sebagai berikut: warna merah kekuningan atau kecoklatan pada
Masson Trichrome (MT) menunjukkan struktur kolagen, sedangkan warna biru
menunjukan struktur serabut elastik. Warna biru hitam pada Verhoeff Van Giesson
(VVG) menunjukkan serabut elastik. Pewarnaan imunohistokimia di lakukan untuk
mengetahui distribusi antigen hog cholera pada organ-organ sampel.
Sebelum pewarnaan, sayatan jaringan pada objek gelas di lakukan
deparafinisasi dan rehidrasi (lampiran 1). Selanjutnya di warnai dengan HE metode
Humason (1972) yang di modifikasi, Verhoeff Van Giesson dan Masson Trichrome
modifikasi Goldner (Kiernan 1990). Pewarnaan imunohistokimia di lakukan
berdasarkan metoda Avidin Biotin Complex (ABC method) (Hsu et al. 1981). Sebelum
di lakukan proses pewarnaan, terlebih dahulu di lakukan proses preinkubasi terhadap
jaringan, yang meliputi blocking endogenous peroxidase dengan larutan 0,3% H2O2
dalam metanol selama 30 menit untuk memblokir aktivitas peroksida endogen dan
blocking background dengan 10% normal goat serum selama 30 menit (Vector
Laboratories, Inc). Untuk un masking antigen di lakukan dengan cara pemanasan
menggunakan microwave 100oC selama 5 menit. Selanjutnya di inkubasi menggunakan
antibodi primer yaitu anti-HCV antibody monoclonal (WA303, Central Veterinary
Laboratory, New Haw, Addlestone, UK) dengan pengenceran 1:500, diinkubasi di
dalam refrigerator selama 24 jam. Antibodi sekunder, di gunakan Histofine code
424021 (Nichirei Corp.) selama 30 menit dalam inkubator 37oC. Sebagai marker di
gunakan campuran 10 μl avidin dan 10 μl biotin (Vector Laboratories, Inc.) dalam 1 ml
15
PBS dan di inkubasi dalam inkubator dengan suhu 37oC selama 30 menit. Untuk
visualisasi hasil pewarnaan, jaringan di inkubasi dengan larutan 0.03% 3.3diaminobenzidine tetrahydrochloride (DAB) selama 5-10 menit. Pada setiap langkah di
atas, jaringan di bilas menggunakan larutan Phosphat buffer saline (PBS). Untuk
pewarnaan latar belakang di gunakan pewarna Mayer Hematoxyllin selama 30 detik.
Selanjutnya sampel di dehidrasi dan clearing, kemudian di tutup dengan gelas penutup
menggunakan bahan perekat entelan.
16
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gejala Klinis
Gejala klinis yang di temukan di lapangan dari 10 ekor babi yang terserang
penyakit hog cholera menunjukkan gejala: lemah atau kurang aktif, depresi (gambar
4), bergerombol di pojok kandang, diare kekuningan atau kecoklatan dan berbau.
Umumnya babi mengalami konjungtivitis (gambar 5), muntah, demam dengan suhu
badan mencapai 42°C, eritema pada ujung telinga (gambar 6), leher bagian bawah,
abdomen dan siku-siku kaki (gambar 7). Kematian yang di sertai dengan pembesaran
skrotum (gambar 8). Babi kontrol yang digunakan merupakan babi sehat tanpa di
vaksinasi, tidak menunjukkan gejala klinis sakit (gambar 9). Data babi sampel dan
kontrol yang di gunakan dalam penelitian dapat di lihat pada tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3. Data Babi Sampel dan Kontrol
Babi Sampel
Umur
Nomor
Jenis
Ras
Lamanya Sakit
Kelamin
1.
2 bulan
Jantan
Sus scrofa domesticus
5 hari
2.
2 bulan
Jantan
Sus scrofa domesticus
7 hari
3.
4 bulan
Jantan
Sus scrofa domesticus
11 hari
4.
24 bulan
Jantan
Persilangan
35 hari
5.
6 bulan
Betina
Persilangan
31 hari
6.
2 bulan
Jantan
Sus scrofa domesticus
9 hari
7.
3 bulan
Betina
Sus scrofa domesticus
15 hari
8.
10 bulan
Jantan
Persilangan
31 hari
9.
7 bulan
Jantan
Sus scrofa domesticus
33 hari
10.
24 bulan
Jantan
Persilangan
38 hari
1.
2 bulan
Jantan
Sus scrofa domesticus
2.
6 bulan
Jantan
Persilangan
3.
24 bulan
Jantan
Persilangan
Babi Kontrol
Nomor
Sumber : Dinas Peternakan Provinsi Papua
17
HC
Gambar 4. Babi lemah, kurang aktif dan depresi pada babi lokal kasus Sentani
HC
Gambar 5. Konjungtivitis (tanda panah) pada babi lokal kasus Sentani
18
HC
Gambar 6. Eritema pada kulit bagian ujung telinga (tanda panah) kasus Sentani
HC
Gambar 7. Eritema siku-siku kaki (tanda panah) kasus Sentani
19
HC
Gambar 8.
Kematian yang di sertai dengan pembesaran skrotum (tanda
panah) kasus Sentani
K
Gambar 9. Babi sehat daerah Sentani
Pengamatan gejala klinis yang di temukan di lapangan pada kasus ini umumnya
ternak babi memperlihatkan gejala berupa depresi, bergerombol, diare, muntah dan
eritema pada kulit ujung telinga dan abdomen serta konjungtivitis. Gejala tersebut
adalah sesuai dengan gejala klinis hog cholera sebagaimana di ungkapkan oleh
20
beberapa peneliti terdahulu yaitu Liess et al. (1992) dan Van Oirschot et al. (1999).
Laporan mereka mengemukakan bahwa pada babi yang terinfeksi hog cholera
seringkali memperlihatkan adanya tanda klinis berupa eritema pada kulit ujung telinga,
konjungtivitis dan batuk. Infeksi buatan virus hog cholera isolat Quillota terhadap 35
ekor babi yang di lakukan oleh Quezada et al. (2000), menunjukkan gejala klinis antara
lain: demam, nafsu makan menurun, konstipasi, diare, eritema pada kulit,
konjungtivitis. Infeksi buatan virus hog cholera isolat Alfort 187 terhadap16 ekor babi
umur 4 bulan telah di lakukan oleh Nunez et al. (2005), hasilnya di temukan gejala
klinis berupa: nafsu makan menurun, gangguan saluran pencernaan dan eritema.
Peneliti lain Narita et al. (1996) telah melakukan infeksi buatan virus hog cholera
isolat The Kanagawa, yaitu strain virus hog cholera yang di isolasi dari kasus penyakit
kronis. Hasil infeksi yang di lakukan terhadap 7 ekor anak babi umur 4 hari tersebut, di
temukan gejala menurunnya nafsu makan yang berlangsung pada hari ke -7 hingga ke 11 pasca infeksi namun tidak ada kematian anak babi selama masa observasi.
Pembesaran skrotum pada kasus hog cholera di Jayapura yang di temukan pada
babi nomor 4 umur 24 bulan dan babi nomor 8 umur 10 bulan, ini di duga merupakan
bentuk infeksi pada testis atau orchitis. Kasus pembesaran skrotum belum pernah di
laporkan pada penemuan sebelumnya, pada kasus penelitian ini tidak dilakukan
sampling terhadap skrotum sehingga tidak dapat di bahas mengapa hal tersebut terjadi.
Jika lesio pembesaran skrotum di kaitkan dengan temuan lesio pada organ lain maka
diprediksikan terjadi hidrosel pada skrotum babi. Babi yang sudah menunjukkan
gejala-gejala klinis seperti tersebut di atas 90% akan mengalami kematian. Tingginya
tingkat viremia terjadi sebagai akibat dari perkembangan virus di dalam jaringan
limfoid dan juga leukosit. Sementara pengamatan gejala klinis pada babi kontrol tidak
menunjukkan adanya kelainan, hal ini di sebabkan karena babi yang di gunakan
sebagai kontrol merupakan babi sehat.
4.2. Lesio Makroskopis
Pengamatan makroskopis organ babi pada penelitian ini menunjukkan adanya
lesio laringitis yang di sertai dengan hemoragi ptekhie (gambar 10), sementara tidak di
temukan perubahan yang spesifik pada laring babi kontrol (gambar 11).
21
HC
Gambar 10. Laringitis di sertai hemoragi ptekhie (tanda panah)
pada babi mati kasus Sentani
K
Gambar 11. Laring babi kontrol dengan multi fokus abses (tanda
panah)
Lesio laringitis yang di sertai dengan hemoragi ptekhie di jumpai pada 6 dari 10 ekor
babi yaitu babi nomor 1,2,3,4,6,7 (6/10). Lesio pneumonia dan hemoragi paru-paru di
temukan pada seluruh babi (10/10) (gambar 12), pada paru-paru babi kontrol
ditemukan adanya penumonia (gambar 13).
22
HC
Gambar 12.
Pneumonia dan hemoragi paru-paru (tanda panah) kasus
Sentani.
K
Gambar 13. Pneumonia (tanda panah) pada paru-paru babi kontrol
Lesio hemoragi jantung di temukan enam dari sepuluh ekor babi yaitu babi nomor
1,2,3,6,7 dan 10 (6/10) (gambar 14), sementara pada jantung babi kontrol tidak di
temukan adanya perubahan (gambar 15).
23
HC
Gambar 14. Hemoragi jantung (tanda panah) kasus Sentani
K
Gambar 15. Jantung babi kontrol
Kongesti, multifokus perihepatitis dan multifokus degenerasi hati ditemukan 7 dari 10
ekor (7/10) (gambar 16) pada babi nomor 1 sampai 7, sedangkan pada hati babi kontrol
tidak di temukan perubahan yang spesifik (gambar 17).
24
*
*
HC
Gambar 16. Kongesti (tanda panah), multifokus perihepatitis hati (tanda
kepala anak panah) dan multifokus degenerasi hati (asterik)
kasus Sentani
K
Gambar 17. Hati babi kontrol
Lesio kongesti dan hemoragi parah pada mesenterika, serosa usus dan limfoglandula
mesenterika di temukan sebanyak 8 dari 10 ekor babi, yaitu pada babi 1,2,3,4,6,7,8 dan
25
10 (8/10) (gambar 18). Tidak di temukan perubahan yang spesifik pada serosa dan
mesenterium usus babi kontrol (gambar 19).
HC
Gambar 18. Kongesti dan hemoragi pada mesenterika dan serosa usus
(tanda panah), limfoglandula mesenterika (tanda kepala anak
panah) kasus Sentani
K
Gambar 19. Usus babi kontrol
26
Multifokal ptekhie yang menunjukkan pola Turkey egg pada permukaan korteks ginjal
di temukan 8 dari 10 ekor babi yaitu pada babi nomor 1,2,3,5,6,7,9,10 (8/10) (gambar
20). Tidak di temukan perubahan yang spesifik pada ginjal babi kontrol (gambar 21).
HC
Gambar 20. Multifokal ptekhie yang menunjukkan pola Turkey egg
korteks ginjal kasus Sentani
K
Gambar 21. Ginjal babi kontrol
27
Kongesti limpa di temukan di seluruh babi (10/10) (gambar 22). Tidak di temukan
adanya perubahan yang spesifik pada limpa babi kontrol (gambar 23).
HC
Gambar 22. Kongesti pada limpa (tanda panah) kasus Sentani
K
Gambar 23. Limpa babi kontrol
28
Lesio hemoragi limfoglandula mesenterika ditemukan pada 3 ekor babi (3/3) (gambar
24). Tidak di temukan adanya perubahan pada limfoglandula mesenterika babi kontrol
(gambar 25).
HC
a
b
Gambar 24 a. Hemoragi limfoglandula mesenterika (tanda panah) kasus Sentani.
Gambar 24 b. Bagian limfoglandula mesenterika yang diambil dari gambar 24 a.
K
Gambar 25. Limfoglandula mesenterika
babi kontrol
Pengamatan makroskopis organ babi pada penelitian ini menunjukkan adanya:
lesio laringitis dengan hemoragi ptekhie, pneumonia, hemoragi paru-paru dan jantung.
Hemoragi dan pembengkakan organ hati, limpa, limfoglandula mesenterika. Hemoragi
serosa dan mesenterium usus serta hemoragi ptekhie pada permukaan korteks ginjal.
Meskipun lesio button ulcer secara makroskopis tidak teramati pada kasus ini namun
lesio kongesti dan hemoragi parah yang
terjadi di serosa usus dan mesenterium
menunjukkan kerusakan mukosa usus yang terlokalisir, keadaan ini mengindikasikan
adanya button ulcer. Lesio makroskopis yang di temukan pada kasus ini umumnya
memperlihatkan adanya kesamaan dengan lesio makroskopis sebagaimana di
29
ungkapkan oleh peneliti terdahulu bahwa perubahan makroskopis yang ditemukan pada
babi terserang hog cholera antara lain: laringitis, hemoragi ptekhi pada korteks ginjal,
hemoragi pada hati, paru-paru, jantung, limfoglandula, serosa dan mesenterium usus,
pembengkakan dan kongesti limpa, serta button ulcer di kolon (Geering et al.1995;
Edwards et al. 2000; Gomez Villamandos et al. 2001; dan Ruiz Villamor et al. 2001).
Menurut Greiser Wilke et al. (2007), bahwa perubahan makroskopis organ babi akibat
infeksi virus hog cholera di lapangan menunjukkan adanya: pneumonia, hemoragi
ptekhi korteks ginjal, pembengkakan dan hemoragi pada limpa dan ginjal. Kasus
penumonia merupakan lesio umum yang bukan hanya terjadi pada penyakit hog
cholera (Greiser Wilke et al. 2007). Infeksi buatan virus hog cholera isolat Quillota
yang di lakukan oleh Quezada et al. (2000), menunjukan lesio makroskopis antara lain:
pneumonia, hemoragi organ ginjal, limpa dan limfoglandula namun lesio button ulcer
juga tidak di temukan pada kasus ini.
Perubahan patologi anatomi (makroskopis) organ babi akibat infeksi virus hog
cholera pada kasus outbreak di Kabupaten Jayapura dapat di lihat pada tabel 4.
Tabel 4. Perubahan Patologi Anatomi Organ Babi
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Lesio
Ptekhial Laringitis
Pneumonia
Hemoragi Jantung
Perihepatitis
Hemoragi Serosa,
mesenterium
Ptekhial Ginjal
Kongesti Limpa
Hemoragi
Limfoglandula
mesenterika
Babi Nomor
(Umur-Bulan)
6
7
8
1
2
3
4
5
9
10
K1
K2
K3
(2)
(2)
(4)
(2)
(6)
(2)
(3)
(10)
(7)
(24)
(2)
(6)
(24)
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
-
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
-
√
√
√
√
√
-
-
-
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
X
√
√
X
√
√
X
√
√
X
√
X
√
√
X
√
√
X
-
-
-
Keterangan : Tanda (√) = Ada; Tanda (-) = Tidak ada; Tanda (TD)= Tidak dilakukan; K= Kontrol
Berdasarkan kejadian penyakit, temuan gejala klinis dan lesio patologi anatomi
pada kasus ini, dari 10 ekor babi yang di periksa yang tergolong ke dalam kasus akut di
temukan sebanyak 5 ekor babi yaitu pada babi : nomor 1 berumur 2 bulan, nomor 2
berumur 2 bulan, nomor 3 berumur 4 bulan, nomor 6 berumur 2 bulan dan nomor 7
berumur 3 bulan. Kasus kronis di temukan sebanyak 5 ekor yaitu pada babi : nomor 4
berumur 24 bulan, nomor 5 berumur 6 bulan, nomor 8 berumur 10 bulan, nomor 9
berumur 7 bulan dan nomor 10 berumur 24 bulan. Kejadian penyakit hog cholera pada
30
kasus ini jika di kaitkan dengan umur babi maka umumnya anak babi di bawah umur 6
bulan akan terinfeksi secara akut sedangkan pada babi umur 6 bulan dan di atas umur
tersebut akan terinfeksi secara kronis (tabel 4). Kasus akut di tandai dengan gejala
klinis antara lain : demam yang mencapai 42°C, depresi, babi bergerombol di sudut
kandang, diare, konstipasi, konjungtivitis, eritema di pangkal kulit telinga, siku dan
perut. Kematian terjadi antara 5 sampai 15 hari setelah infeksi. Kasus kronis yang di
temukan pada penelitian ini di tandai dengan gejala klinis antara lain: depresi, kurus,
demam intermiten, diare, konstipasi dan kematian umumnya terjadi setelah 30 hari.
Kasus kronis di tandai dengan gejala klinis antara lain: depresi, kurus, demam
intermiten, diare, konstipasi, lesi pada kulit berupa pustula atau kerak dan kematian
terjadi setelah 30 hari (Van Oirschot et al. 1999). Temuan lesio patologi anatomi jika
di kaitkan dengan umur babi pada kasus ini maka akan di temukan bahwa : anak babi
yang berumur di bawah 6 bulan menunjukkan lesio patologi anatomi yang lengkap
pada semua organ sampling, sementara babi yang berumur 6 bulan dan di atas umur 6
bulan menunjukkan lesio patologi anatomi yang tidak lengkap. Lesio patologi anatomi
pada anak babi yang berumur dibawah 6 bulan meliputi: ptekhial laringitis, pneumonia,
hemoragi jantung, perihepatitis, hemoragi serosa dan mesenterium usus, ptekhial
ginjal, kongesti limpa dan hemoragi limfoglandula mesenterika (tabel 4). Secara
patologi anatomi lesio yang terjadi di berbagai organ tubuh menunjukkan bahwa
mekanisme penularan penyakit ini bersifat kontagius. Eksudat purulent pada
konjungtivitis menunjukkan bahwa infeksi yang terjadi di sertai adanya infeksi
sekunder dari bakteri. Menurut Van Oirchot et al. (1999), lesio patologi anatomi yang
selalu di temukan pada kasus hog cholera akut adalah lesio hemoragi yang terjadi
terutama di ginjal, limpa, limfoglandula, kulit dan kematian terjadi antara 10 sampai 20
hari pasca infeksi. Kasus kronis di tandai dengan sedikit atau tanpa adanya lesio
hemoragi pada organ babi yang mati.
Terjadinya kasus hog cholera di Kabupaten Jayapura ini jika di kaitkan dengan
umur babi, maka terdapat perbedaan nyata antara umur babi yang muda dan tua.
Kematian yang terjadi pada anak babi jumlahnya lebih banyak di banding babi dewasa.
Hal ini diduga kemungkinan karena rendahnya titer antibodi hog cholera pada babi
akibat tidak adanya program vaksinasi di lapangan. Gejala klinis dan lesio patologi hog
cholera, bervariasi antara satu hewan dengan hewan lain. Faktor umur, virulensi virus
dan kekebalan tubuh hewan sangat berpengaruh terhadap timbulnya gejala penyakit.
31
Babi muda lebih rentan terinfeksi virus hog cholera di banding babi dewasa (Greiser
Wilke et al. 2007).
Maternally Derived Antibodies atau kekebalan turunan dari induk pada anak
babi yang induknya divaksin secara baik akan bertahan hingga anak babi berumur 7
minggu (Lipowski et al. 2000). Vaksinasi pertama pada anak babi di rekomendasikan
pada umur 4 minggu bila induknya telah di vaksinasi dengan baik. Calon induk
sebaiknya di vaksinasi pada hari ke-4, ke-8 atau ke-12 setelah kawin dan di booster 14
hari kemudian. Vaksinasi hog cholera tidak berdampak terhadap terjadinya aborsi pada
induk (Lipowski et al. 2000)
Pengamatan histopatologi organ interna pada paru-paru, jantung, hati, ginjal,
limpa dan limfoglandula babi yang terinfeksi virus hog cholera menunjukkan adanya
kerusakan sel dan jaringan dengan derajat yang bervariasi. Pembahasan mengenai
perubahan histopatologi pada organ interna serta hubungannya dengan nilai skoring
masing-masing di uraikan sebagai berikut:
4. 3. Lesio Mikroskopis
4. 3.1. Organ Paru-paru
Hasil pengamatan mikroskopis organ paru-paru menunjukkan adanya:
penebalan jaringan interstisial paru oleh sel radang limfositik dan cairan udema
(gambar 26 a,b); infiltrasi dan akumulasi sel radang limfosit dan makrofag di
peribronkhial (gambar 27); hiperplasia dan deskuamasi epitel bronkhioli (gambar 28);
bronkhiolitis yang di tandai dengan hiperplasi epitel bronkhioli dan eksudat purulen
dalam lumen bronkhioli di antara jaringan parenkim yang mengalami pneumonia
alveolaris (gambar 29); kongesti, udema, hemoragi (gambar 30 a,b,c) dan emfisema
(gambar 31). Dari perubahan-perubahan di atas di simpulkan paru-paru mengalami
kronik aktif bronkho interstisial pneumonia. Pengamatan mikroskopis organ paru-paru
babi kontrol di temukan infiltrasi ringan sel radang limfositik di peribronkhial (gambar
32); hampir sebagian besar septum alveoli menunjukan tidak ada kelainan (gambar 33).
Perubahan pada paru-paru di golongkan menjadi 4 jenis skor lesio berdasarkan
derajat keparahannya. Skor lesio 0 di tandai dengan tidak ada perubahan; skor lesio 1
di tandai dengan infiltrasi limfositik ringan di peribronkhial; skor lesio 2 di tandai
dengan kongesti, udema, hemoragi, penebalan jaringan interstisial oleh sel radang
limfositik, hiperplasia, deskuamasi epitel bronkhioli dan emfisema; skor lesio 3 di
tandai dengan penebalan jaringan interstisial oleh sel radang limfositik, eksudat
32
purulen dalam lumen dan emfisema. Hasil pengamatan nilai skor histopatologi di
rangkum dalam tabel 5.
Tabel 5. Nilai Skor Histopatologi Organ Paru-paru
Nilai Skor Histopatologi Paru-Paru
Lapangan
Pandang
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Skor rata-rata
Babi
1
Babi
2
Babi
3
Babi
4
Babi
5
Babi
6
Babi
7
Babi
8
Babi
9
Babi
10
K
1
K
2
K
3
2
1
2
2
3
3
3
2
3
3
3
2
1
3
2
3
3
2
3
1
2
3
3
2
3
2
3
3
3
1
2
2
1
1
2
2
2
3
3
3
1
2
1
1
2
3
2
2
3
2
3
1
2
3
2
3
2
3
2
3
1
2
2
2
3
3
1
2
2
2
3
2
3
3
2
2
2
2
2
2
2
3
2
3
2
1
1
2
2
3
2
1
1
2
3
2
2
2
3
2
1
0
1
0
1
1
1
1
1
1
0
0
1
1
1
0
1
1
0
1
1
1
0
0
1
0
0
1
1
1
3
3
3
2
2
3
2
2
2
2
1
1
1
Keterangan : K=Kontrol
Skoring terhadap perubahan histopatologi paru-paru dalam 10 lapangan
pandang di peroleh bahwa rataan skor terbanyak adalah skor 2 yaitu berupa kongesti,
udema, hemoragi, penebalan jaringan interstisial oleh sel radang limfositik, hiperplasia
dan deskuamasi epitel bronkhioli. Ini menunjukkan bahwa organ paru-paru mengalami
kerusakan derajat sedang akibat infeksi virus hog cholera. Skoring terhadap lesio
histopatologi paru-paru kontrol di peroleh bahwa rataan skor terbanyak yang di
temukan adalah skor 1 yaitu berupa infiltrasi limfositik ringan di peribronkhial.
33
HC
Gambar 26 a. Eksudat dalam lumen bronkhioli (tanda asteriks), infiltrasi sel radang
limfositik (tanda panah) peribronkhial, penebalan jaringan interstisial
paru oleh sel radang limfositik (tanda kepala anak panah). Skor 3.
Pewarnaan HE, Skala 4 µm
HC
Gambar 26.b.
Penebalan interstisial paru-paru oleh cairan udema (tanda panah) dan
sel radang limfositik (tanda kepala anak panah). Skor 2. Pewarnaan
HE, Skala 2 µm
34
HC
Gambar 27. Infiltrasi dan akumulasi sel radang limfosit dan makrofag di peribronkhioli
(tanda panah), eksudat dalam lumen bronkhioli (tanda asteriks). Skor 3.
Pewarnaan HE, Skala 2 µm
HC
Gambar 28. Deskuamasi epitel bronkioli (tanda asterik), infiltrasi sel radang limfositik
peribronkhial (tanda anak panah). Skor 3. Pewarnaan HE, Skala 2 µm
35
HC
Gambar 29. Bronkhiolitis di tandai oleh hiperplasia epitel bronkhioli (tanda panah),
eksudat purulen dalam lumen bronkhioli, diantara jaringan parenkim
yang mengalami pneumonia alveolaris (tanda kepala anak panah). Skor
3. Pewarnaan HE, Skala 4 µm
HC
Gambar 30.a. Kongesti (tanda panah), udema (tanda asterik), hemoragi (tanda kepala
anak panah), melengkapi lesio pneumonia interstisialis dan alveolaris.
Skor 2. Pewarnaan HE, Skala 10 µm
36
HC
Gambar 30.b. Daerah paru-paru yang mengalami udema (tanda kepala anak panah)
dan pneumonia interstisialis (tanda panah). Skor 2. Pewarnaan HE,
Skala 5 µm
HC
Gambar 30.c. Lesio hemoragi (tanda asterik) dan infiltrasi sel radang limfositik (tanda
panah) yang menyebabkan penebalan septum alveoli paru. Skor 2.
Pewarnaan HE, Skala 2 µm
37
HC
Gambar 31. Bagian paru dengan emfisema (tanda asterik) dan penebalan septum
alveoli ringan oleh infiltrasi sel radang limfositik (tanda anak panah).
Skor 2. Pewarnaan HE, Skala 5 µm
HC
Gambar 32. Bagian paru dengan lesio minimal berupa infiltrasi limfositik peribronkhial
(tanda panah). Skor 1. Pewarnaan HE, Skala 10 µm
38
K
Gambar 33. Septum alveoli normal dari paru-paru babi kontrol. Skor 0.Pewarnaan HE,
Skala 2 µm
Perubahan pada sistem respirasi dapat di sebabkan oleh agen yang datang
melalui rute aerogenus atau hematogenus (Dungworth 1993). Paru-paru menjadi salah
satu target organ penyakit hog cholera karena virus hog cholera memiliki efek sistemik
(Van Oirschot et al. 1999), di mana virus masuk ke paru-paru melalui rute
hematogenus. Virus hog cholera yang melalui rute hematogenus menyebabkan lesio
awal pada buluh darah kapiler septum alveoli berupa kongesti, udem dan hemoragi di
septum alveoli (gambar 30 a,b,c). Reaksi peradangan interstisium yang terjadi
umumnya di tandai dengan infiltrasi makrofag dan limfosit (gambar 26 a,b dan 27).
Peradangan di bagian interstisialis segera meluas ke lumen alveol (gambar 29) dan
mencapai bagian bronkhioli. Reaksi bronkhioli yang terjadi berupa hiperplasi epitel
dan timbulnya eksudat peradangan (gambar 29). Eksudat purulen pada bronkioli
menunjukkan adanya infeksi sekunder yang mengikuti infeksi virus hog cholera.
Akumulasi eksudat dalam lumen menyebabkan timbulnya obstruksi saluran pernafasan
hingga berakibat emfisema (gambar 31) (Lopez 1995). Pada kasus ini terjadinya
penurunan fungsi paru-paru, secara mikroskopis hal ini dapat dijelaskan karena
makrofag yang berfungsi sebagai pertahanan paru-paru, digunakan sebagai tempat
replikasi virus, sehingga terjadi penurunan reaksi pertahanan.
39
Lesio paru-paru berkaitan erat dengan lesio yang terjadi di organ jantung. Pada
kasus ini lesio kongesti dan udema selain akibat kerusakan buluh darah oleh virus hog
cholera juga di sebabkan oleh lesio pada organ jantung berupa kardiomiopatia. Infeksi
buatan virus hog cholera isolat Quillota yang di lakukan oleh Quezada et al. (2000),
menunjukkan lesio antara lain: hemoragi alveolar, deskuamasi sel epitel bronkhi dan
bronkhioli, leukosit terlihat di sekitar area deskuamasi dan adanya peningkatan jumlah
sel-sel mononuklear terutama makrofag di lumen buluh darah. Lesio yang di temukan
tersebut menandakan berlangsungnya proses bronkhopneumonia.
Perubahan histopatologi pada paru-paru babi ini sesuai dengan gejala klinis
ketika wabah terjadi, yaitu adanya gejala gangguan pernafasan dan perubahan patologi
anatomi berupa pneumonia. Kejadian pneumonia interstisialis dapat menyebar secara
luas pada seluruh paru-paru, namun sering terjadi pada daerah dorso kaudal bila di
sebabkan oleh agen hematogenus (Dungworth 1993). Menurut Lopez (1995), bahwa
pneumonia interstisialis terjadi oleh penyebab hematogen mengakibatkan kerusakan
kapiler alveolar. Kerusakan pada endotelium buluh darah paru dapat terjadi melalui
mekanisme septikemia, koagulasi intravaskular, mikroemboli atau infeksi virus
endoteliotropik.
Pneumonia interstisialis di tunjukkan dengan adanya respon eksudatif dan
proliferasi pada septum alveolar. Bila kerusakan terjadi secara persisten, lesio infiltrasi
dan proliferasi pada pneumonia interstisial akut dapat berubah menjadi kronis. Lesio
kronis di tunjukkan dengan adanya fibrosis alveolar, akumulasi sel radang dan
hiperplasia pneumosit tipe II persisten (Dungworth 1993). Pneumonia interstisialis
kronik merupakan akibat dari kerusakan persisten pada interstisial alveolar, septum
alveolar, dan pada dinding alveolar akibat proses peradangan (Dungworth 1993; Lopez
1995; Van Dijk 2007).
Emfisema merupakan akibat dari obstruktif kronik aliran udara yang
menyebabkan berkurangnya elastisitas paru dan perluasan alveol (Corwin 2001).
Penurunan elastisitas paru-paru menyebabkan pengembangan berlebihan pada paruparu akibat dari serat-serat elastis di beberapa bagian paru tidak dapat kembali setelah
di regangkan. Kompensasi dari penurunan elastisitas paru adalah penurunan ventilasi
paru. Penurunan ventilasi dapat terjadi ketika penyaluran udara ke sebagian alveolus
terhambat sehingga darah tidak dapat mengalir ke alveolus. Penurunan konsentrasi
oksigen ke alveolus akibat menurunnya ventilasi paru tersebut mengundang respon
berupa vasokonstriksi arteriol paru. Hal ini berguna untuk mengurangi aliran darah ke
40
alveolus sehingga rasio ventilasi kembali normal. Emfisema di tandai dengan beberapa
bagian parenkim paru yang mengalami kerusakan yaitu dinding alveol yang meluas
dan robek. Berdasarkan hasil pengamatan histopatologi, sampel paru babi mengalami
emfisema tipe alveolar. Hal ini terjadi karena sejumlah bronkhioli terlihat berisi
eksudat peradangan yang menyumbat aliran udara. Menurut Dungworth (1993),
bronkhiolus memiliki dinding yang tipis dan diameter lumen yang kecil sehingga lebih
mudah tersumbat.
Adanya
pneumonia
dan
emfisema
dapat
menyebabkan
terjadinya
pembendungan pada paru-paru. Pembendungan di perparah dengan adanya kelemahan
jantung yang dapat mengganggu sirkulasi umum. Kongesti menyebabkan buluh darah
melebar dan menekan daerah sekitarnya. Kongesti selalu mengganggu fungsi
pernafasan normal sehingga menjadi faktor predisposisi terjadinya bronkhopneumonia.
Jika skor lesio paru-paru di kaitkan dengan umur babi menunjukkan bahwa skor
lesio paru-paru babi muda yaitu babi yang berumur diantara 2 bulan sampai 5 bulan
memiliki skor yang lebih tinggi yaitu skor 3. Lesio skor 3 berupa penebalan jaringan
interstisial oleh sel radang limfositik, eksudat purulen dalam lumen dan emfisema.
Babi muda lebih peka atau mudah terserang virus hog cholera hal ini berkaitan dengan
menurunnya maternal antibodi dalam tubuh, apalagi jika tidak di lakukan vaksinasi
(Greiser Wilke et al. 2007).
Pewarnaan imunohistokimia menggunakan anti-HCV antibody monoclonal
(WA303, Central Veterinary Laboratory, New Haw, Addlestone,UK) di lakukan untuk
mengetahui distribusi virus hog cholera pada organ. Pemeriksaan imunohistokimia
pada paru-paru, di temukan virus di sel endotel buluh darah paru-paru, makrofag dan
sel leukosit dalam buluh darah paru-paru (gambar 34).
41
*
*
HC
Gambar 34.Distribusi antigen hog cholera di sel leukosit dalam buluh darah (tanda
kepala anak panah), makrofag (tanda asterik) dan sel endotel buluh darah
organ paru-paru (tanda panah). Pewarnaan imunohistokimia
menggunakan anti-HCV antibody monoclonal (WA303, Central
Veterinary Laboratory, New Haw, Addlestone, UK) Skor (+), Skala 4
µm
4.3.2. Organ Jantung
Hasil
evaluasi
histopatologi
terhadap
sampel
jantung
secara
umum
menunjukkan perubahan berupa: kongesti kapiler, udema diantara serabut otot jantung,
degenerasi berbutir dan atrofi otot jantung (gambar 35); multifokus miopatia otot
jantung (gambar 36), di tunjukkan oleh adanya warna yang lebih eosinofilik dari
sitoplasma otot jantung. Fibrosis di daerah infark miokardium (gambar 37); infiltrasi
sel radang limfositik pada bagian epikardium (gambar 38) dan hemoragi diantara
serabut otot jantung (gambar 39). Secara histopatologi di simpulkan jantung
mengalami kardiomiopatia. Pengamatan mikroskopis organ jantung babi kontrol
menunjukkan tidak ada kelainan (gambar 40).
Perubahan pada jantung di golongkan menjadi 4 jenis skor lesio berdasarkan
derajat keparahannya. Skor lesio 0 di tandai dengan tidak ada perubahan; skor lesio 1
di tandai dengan dilatasi buluh darah, infiltrasi ringan sel radang limfositik pada
epikardium; skor lesio 2 di tandai dengan kongesti kapiler, udema di antara serabut otot
42
jantung, infiltrasi dan akumulasi sel radang limfositik pada epikardium; lesio 3 di
tandai dengan degenerasi berbutir, atrofi, miopatia otot jantung, infiltrasi, akumulasi
sel radang yang semakin banyak. Hasil pengamatan skor lesio dirangkum dalam tabel
6.
Tabel 6. Nilai Skor Histopatologi Organ Jantung
Nilai Skor histopatologi Jantung
Lapangan
Pandang
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Skor rata-rata
Babi
1
Babi
2
Babi
3
Babi
4
Babi
5
Babi
6
Babi
7
Babi
8
Babi
9
Babi
10
K
1
K
2
K
3
1
2
2
2
1
1
3
3
2
2
1
2
3
2
3
3
3
2
3
3
2
3
3
1
2
3
2
3
3
2
1
2
1
1
3
2
2
2
2
2
2
2
2
1
3
2
2
2
1
3
2
2
3
1
3
3
2
2
2
2
3
1
2
2
3
2
3
2
2
1
2
1
3
2
2
3
1
3
2
2
1
3
3
2
2
2
1
3
2
2
2
3
3
3
1
2
2
3
2
2
0
0
1
0
1
1
0
0
1
0
0
0
1
0
1
0
1
0
0
1
1
0
0
0
1
0
0
1
0
0
3
3
3
2
2
2
2
2
2
2
0
0
0
Keterangan : K=Kontrol
Skoring terhadap perubahan histopatologi jantung dalam 10 lapangan pandang di
peroleh bahwa rataan skor terbanyak yang di temukan adalah skor 2 yaitu berupa
kongesti kapiler dan udema di antara serabut otot jantung, infiltrasi dan akumulasi sel
radang di epikardium. Ini menunjukkan bahwa organ jantung mengalami kerusakan
derajat sedang akibat infeksi virus hog cholera. Skoring terhadap perubahan
histopatologi organ jantung kontrol di peroleh bahwa rataan skor terbanyak yang di
temukan adalah skor 0 yaitu tidak ada perubahan.
43
HC
Gambar 35. Kongesti kapiler dan udema di antara serabut otot jantung (tanda panah),
degenerasi berbutir (tanda kepala anak panah) dan atrofi otot jantung
(tanda asterik). Skor 2. Pewarnaan HE, Skala 2 µm
HC
Gambar 36. Multifokus miopatia otot jantung (tanda kepala anak panah). Skor 3.
Pewarnaan HE, Skala 4 µm
44
HC
Gambar 37. Fokus fibrosis di daerah infark miokardium (tanda kepala anak panah).
Skor 3. Pewarnaan HE, Skala 4 µm
HC
Gambar 38. Infiltrasi sel radang limfositik pada bagian epikardium (tanda kepala
anak panah). Skor 1. Pewarnaan HE, Skala 5 µm
45
HC
Gambar 39. Hemoragi di antara serabut otot jantung (tanda panah). Skor 3. Pewarnaan
HE, Skala 2 µm
K
Gambar 40. Anastomose antar serabut otot jantung jelas terlihat pada jantung babi
kontrol, inti di tengah dan sitoplasma bergaris lurik. Skor 0. Pewarnaan
HE, Skala 5 µm
46
Virus Hog Cholera di jalur hematogenus akan bereplikasi di sel endotel.
Kondisi ini menyebabkan kerusakan buluh darah sehingga timbul hemoragi,
degenerasi, infark dan iskemia (gambar 35, 37 dan 39). Degenerasi menyebabkan
gangguan pada metabolisme sel. Gangguan metabolisme intraseluler menyebabkan
perubahan dalam struktur sel. Perubahan degeneratif dari otot jantung secara histologi
tampak seperti sitoplasma berwarna eosinofilik dan hilangnya garis melintang otot
(gambar 35). Nekrosis otot jantung di tunjukkan dengan pemadatan material kontraktil
dan piknosis inti sel (MacKenzie dan Alison 1990). Infark jantung di tandai dengan
lesio nekrosa koagulasi dan hiperemia (Van Vleet dan Ferran 1986). Infark jantung
mengakibatkkan gangguan kontraktilitas jantung (gambar 37).
Infark dan iskemia dapat terjadi karena adanya gangguan atau hambatan suplai
darah yang menuju suatu organ. Hambatan tersebut salah satunya dapat di sebabkan
oleh trombus. Sebagian besar kasus infark miokardium terdapat trombus yang
menyebabkan kematian. Permukaan organ tubuh yang terkena infark umumnya di
liputi oleh masa fibrin dan pada akhirnya akan terbentuk fokus fibrosis di daerah infark
(Carlton dan Gavin 1995).
Kontraksi otot di perlukan untuk mempertahankan ukuran otot yang normal.
Kontraksi otot itu sendiri bergantung pada energi yang di sediakan oleh ATP. ATP di
dapatkan dari substansi kreatinin fosfat, glikogen dan hasil metabolisme oksidatif dari
karbohidrat, protein, dan lemak sebagai sumber energi terbesarnya. Lesio akibat
gangguan kontraktilitas jantung yang berlangsung cukup lama di tandai oleh adanya
atrofi pada bagian otot jantung lainnya (gambar 35) menyebabkan output darah dari
jantung berkurang dan terjadi kekurangan darah di organ-organ lain seperti otak dan
paru-paru (Van Vleet dan Ferrans l995).
Jantung bukan merupakan organ penting dalam replikasi virus hog cholera,
lesio yang ditemukan di organ ini tidak konsisten pada setiap kasus infeksi alami
ataupun infeksi buatan dan lesio histopatologi jantung akibat infeksi virus hog cholera
belum banyak di publikasikan (Quezada et al. 2000). Lesio histopatologi jantung antara
lain kongesti miokardium, hemoragi perikardium dan endokardium yang timbul
sebagai akibat adanya infeksi sekunder dari bakteri (Van Oirschot et al. 1999).
Pewarnaan imunohistokimia menggunakan anti-HCV antibody monoclonal
(WA303, Central Veterinary Laboratory, New Haw, Addlestone,UK) di lakukan untuk
mengetahui distribusi virus hog cholera pada organ. Pemeriksaan imunohistokimia
47
pada jantung, di temukan virus di sel leukosit dalam buluh darah dan sel endotel buluh
darah organ jantung (gambar 41)
HC
Gambar 41. Distribusi antigen hog cholera di sel leukosit dalam pembuluh darah (tanda
kepala anak panah) dan sel endotel buluh darah organ jantung (tanda anak
panah). Pewarnaan imunohistokimia menggunakan anti-HCV antibody
monoclonal (WA303, Central Veterinary Laboratory, New Haw,
Addlestone, UK) Skor (+), Skala 2 µm
4.3.3. Organ Hati
Perubahan histopatologi organ hati akibat infeksi virus hog cholera
memperlihatkan berbagai kerusakan baik pada parenkim maupun interstitium dengan
derajat keparahan yang bervariasi. Hasil evaluasi histopatologi terhadap sampel hati
babi menunjukkan adanya peningkatan jumlah sel radang di septum interlobularis hati
(gambar 42), daerah porta hati, pembuluh darah sinusoid (gambar 43) dan di sekitar
fokus nekrosa hepatosit (gambar 44). Akumulasi sel radang limfositik pada kapsula
Glisson (gambar 45) mengindikasikan adanya peritonitis dan multifokus degenerasi
lemak hepatosit (gambar 46a,b) pada bagian tepi lobular hepatosit. Kronik kongesti
yang terjadi pada sinusoid hati (gambar 47), di tandai dengan adanya udema di ruang
Disse (gambar 48). Dari perubahan histopatologi di atas di simpulkan hati mengalami
multifokus miliari nekrotik hepatitis yang bersifat kronik aktif. Pengamatan
48
mikroskopis organ hati babi kontrol di temukan infiltrasi ringan sel radang di sinusoid
hati (gambar 49); lobularis hati menunjukkan tidak ada kelainan (gambar 50).
Perubahan pada hati di golongkan menjadi 4 jenis skor lesio berdasarkan
derajat keparahannya. Skor lesio 0 di tandai dengan tidak ada perubahan; skor lesio 1
di tandai dengan infiltrasi ringan sel radang di sinusoid hati; skor lesio 2 di tandai
dengan infiltrasi ringan sel radang limfosit dan makrofag di septum interlobularis,
daerah porta, buluh darah sinusoid; skor lesio 3 di tandai dengan Akumulasi sel radang
limfositik di kapsula Glisson dan udema ruang Disse, degenerasi lemak hepatosit. Hasil
pengamatan skor lesio di rangkum dalam tabel 7.
Tabel 7. Nilai Skor histopatologi Organ Hati
Nilai Skor Histopatologi Hati
Lapangan
Pandang
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Skor rata-rata
Babi
1
Babi
2
Babi
3
Babi
4
Babi
5
Babi
6
3
2
3
3
2
1
3
3
3
1
3
3
3
1
3
2
2
3
3
3
3
3
2
2
3
3
1
3
2
2
1
2
2
3
3
2
2
2
1
2
2
3
3
2
2
2
3
2
1
2
2
2
2
2
1
1
2
3
2
1
Babi
7
o
2
3
2
3
1
2
2
3
2
2
3
3
3
2
2
2
2
Babi
8
Babi
9
Babi
10
K
1
K
2
K
3
2
3
1
2
2
2
2
1
2
1
1
1
2
2
2
3
1
2
2
2
1
2
1
3
2
3
2
2
3
2
1
1
1
1
1
2
1
0
1
0
1
0
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
0
1
1
0
1
1
1
2
1
1
1
1
2
Keterangan : K=Kontrol
Hasil skoring terhadap perubahan histopatologi hati dalam 10 lapangan pandang
di peroleh bahwa rataan skor terbanyak yang di temukan adalah skor 2 yaitu berupa
infiltrasi sel radang di septum interlobularis, daerah porta dan buluh darah sinusoid. Ini
menunjukkan bahwa organ hati mengalami kerusakan derajat sedang akibat infeksi
virus hog cholera. Skoring terhadap perubahan histopatologi organ hati babi kontrol di
peroleh bahwa ke-3 babi kontrol mempunyai rataan skor terbanyak adalah 1 yaitu
berupa infiltrasi ringan sel radang di sinusoid hati.
49
HC
Gambar 42. Infiltrasi sel radang pada septum interlobularis hati (tanda kepala anak
panah). Skor 2. Pewarnaan HE, Skala 5 µm
HC
Gambar 43. Akumulasi sel radang limfositik daerah porta hati (tanda kepala anak
panah). Skor 2. Pewarnaan HE, Skala 2 µm
50
HC
Gambar 44. Sel radang dalam buluh darah sinusoid (tanda asterik) dan di sekitar fokus
nekrosa hepatosit (tanda kepala anak panah). Skor 2. Pewarnaan HE,
Skala 1 µm
HC
Gambar 45. Akumulasi sel radang limfositik pada kapsula Glisson (tanda kepala anak
panah). Multifokus degenerasi lemak hepatosit pada bagian tepi lobular
hepatosit (tanda asterik). Skor 3. Pewarnaan HE, Skala 4 µm
51
HC
Gambar 46.a. Multifokus degenerasi lemak hepatosit. Skor 3. Pewarnaan HE, Skala
2 µm
HC
Gambar 46.b. Sebaran dari fokus degenerasi lemak hepatosit pada bagian tepi lobular
hepatosit. Skor 3. Pewarnaan HE, Skala 5 µm
52
HC
Gambar 47. Kronik kongesti sinusoid hati (tanda panah). Skor 3. Pewarnaan HE,
Skala 5 µm
HC
Gambar 48. Kronik kongesti sinusoid hati (tanda asterik) mengakibatkan udema
ruang Disse (tanda kepala anak panah) Skor 3. Pewarnaan HE, Skala 2
µm
53
K
Gambar 49.
Multifokus infiltrasi ringan sel radang pada sinusoid hati kontrol (tanda
panah). Skor 1. Pewarnaan HE, Skala 2 µm
HC
Gambar 50.
Susunan lobularis hati babi kontrol. Skor 0. Pewarnaan HE, Skala
10 µm
54
Respon peradangan yang terjadi pada kasus yang di amati terkonsentrasi di
buluh darah portal (gambar 43), jaringan interstisial subendotel dan kapiler sinusoid
(gambar 44). Respon peradangan yang mengikuti pola aliran darah ini menunjukkan
rute infeksi melalui hematogen (MacLachlan et al.1995). Lesio peritonitis (gambar 45)
di duga berasal dari aliran darah umum menuju buluh limfatik peritonium.
Histopatologi pada kasus ini menunjukkan hati mengalami multifokus miliari
nekrotik hepatitis yang bersifat kronik aktif (gambar 45 dan 46 a,b). Sifat akut hingga
kronis di tandai dengan adanya kongesti dan infiltrasi netrofil sebagai lesio akut,
sedangkan adanya sel radang jenis limfosit dan makrofag mengarah pada lesio kronik.
Infeksi buatan virus hog cholera isolat Quillota yang di lakukan oleh Quezada et al.
(2000), menunjukkan lesio antara lain: hipertrofi sel hati, adanya infiltrasi sel-sel
mononuklear di periportal dan jaringan interlobular.
Hati berperan dalam banyak fungsi penting, seperti sintesis kolesterol dan asam
empedu, degradasi glikogen, memproduksi protein plasma. Selain itu hati berfungsi
sebagai penyaring darah yang masuk ke hati melalui vena portal. Sel Kupffer berperan
dalam memfagosit agen infeksi sebelum masuk ke sistem sirkulasi umum (MacLachlan
et al. 1995).
Lemak di metabolisme pada sebagian besar sel hati. Degenerasi lemak terjadi
bila hasil produk trigliserida berlebihan dalam sel akibat gangguan atau kerusakan pada
organel. Degenerasi lemak yang terjadi di organ hati, ginjal dan jantung di tandai
dengan adanya kebengkakan organ dan berwarna kuning atau pucat. Sitoplasma
jaringan yang mengalami degenerasi lemak, terlihat berisi vakuola-vakuola lemak
(Cheville 1999). Trigliserida atau lemak netral di dalam hepatosit berbentuk sebagai
simpanan untuk proses sintesa lipid lanjut di dalam hati. Pada kasus degenerasi lemak,
produksi trigliserida berlebihan, berjalan lebih lambat dan melibatkan proses sintesis
yang kompleks. Jika suatu kejadian penyakit merusak jalur metabolik lipid yang
melibatkan beberapa subtrat seperti kolestrol, phospolipid atau asam lemak, hal ini
dapat mengakibatkan perubahan sitopatik berupa degenerasi lemak (Cheville 1999).
Adanya vakuola lemak pada hati menunjukkan bahwa dalam tubuh terdapat ketidak
seimbangan proses normal yang mempengaruhi kadar lemak di dalam sel dan di luar
sel hati akibat gangguan metabolisme. Akumulasi lipid di dalam sel dapat terjadi
sebagai akibat dari ; (1). Tingginya konsentrasi lipid darah yang telah berlangsung
lama (2). Hipoksia kronis sebagai akibat terhambatnya metabolisme enzim lipid (3).
Keracunan yang berjalan subletal akut yang menekan jalur lipid (4). Penyakit metabolis
55
bersifat progresif kronis yang terjadi sebagai akibat ketidak sempurnaan enzim sel
(Cheville 1999). Degenerasi lemak hepatosit pada kasus infeksi hog cholera, cenderung
terjadi akibat hipoksia kronis, sehubungan dengan lesio pada buluh darah. Hati dan
ginjal merupakan organ yang paling mudah mengalami lesio pada penyakit
metabolisme akut. Dengan melihat sebaran dan ukuran butir lipid, kejadian degenerasi
lemak hepatosit dapat mengindikasikan perjalanan penyakit. Degenerasi dengan butir
lipid berukuran kecil merupakan indikasi dari penyakit metabolisme akut. Keadaan ini
selalu di tandai dengan kebengkakan sel. Degenerasi lemak dengan butir lipid
berukuran besar mengindikasikan adanya suatu infeksi viral dan keracunan (Cheville
1999). Degenerasi lemak yang tampak pada kasus ini menunjukkan butiran lipid besar
(gambar 45 dan 46 a,b) sesuai dengan penyebabnya yaitu akibat infeksi viral.
Akibat dari kongesti maka sirkulasi darah menjadi lambat sehingga oksigenasi
ke jaringan menurun. Sel hati sangat peka terhadap kekurangan oksigen atau anoksia.
Adanya kongesti menyebabkan terganggunya fungsi hati sebagai tempat metabolisme
protein dan lemak. Pada kongesti akut hati, sinusoid meluas terisi darah, sedangkan
bila
berlangsung
lama,
maka
seluruh
tepi
lobulus
fungsional
mengalami
pembendungan di vena sentralis dan sinusoid (MacLachlan et al. 1995). Kongesti yang
kronis biasanya di ikuti oleh udema. Udema pada kongesti kronis hati terjadi di ruang
Disse, di tunjukkan dengan terangkatnya sel-sel endotel dari membran sel hati (gambar
48). Fokus-fokus peradangan hati bersifat kronik di dominasi oleh sel radang limfosit
dan makrofag (gambar 42, 43, 44). Sel limfosit pada peradangan kronis berfungsi
sebagai mediator peradangan (Tighe dan Davies 1984). Makrofag berperan dalam
fagositosis dan penghancuran partikel asing serta mengolah bahan asing sehingga dapat
membangkitkan tanggap kebal (Tizard 1988). Sel Kupffer membentuk pertahanan
makrofag-monosit yang berfungsi mengeluarkan eritrosit rusak dan runtuhan jaringan
(debris) lainnya dalam peredaran darah, serta bersifat fagositik terhadap benda asing
(Hartono 1992; Burkitt et al. 1995). Penelitian yang di lakukan oleh Quezada et al.
(2000) yang menggunakan isolat virus hog cholera (Quillota), membuktikan bahwa
akibat infeksi buatan ini tidak menimbulkan lesio yang konsisten pada organ hati.
Organ ini bukan merupakan target utama replikasi dari virus hog cholera. Lesio utama
terjadi di ruang periportal di bandingkan parenkim hati. Hipertrofi sel hati dan adanya
infiltrasi sel-sel mononuklear di ruang periportal di duga berhubungan dengan replikasi
virus di makrofag.
56
Pewarnaan imunohistokimia menggunakan anti-HCV antibody monoclonal
(WA303, Central Veterinary Laboratory, New Haw, Addlestone,UK) di lakukan untuk
mengetahui distribusi virus hog cholera pada organ. Pemeriksaan imunohistokimia
pada hati, di temukan virus di sel leukosit buluh darah hati, makrofag dan sel endotel
buluh darah hati (gambar 51).
*
HC
Gambar 51.Distribusi antigen hog cholera di sel leukosit buluh darah hati (tanda
kepala anak panah), sel makrofag (tanda asterik) dan sel endotel buluh
darah (tanda anak panah). Pewarnaan imunohistokimia menggunakan
anti-HCV antibody monoclonal (WA303, Central Veterinary Laboratory,
New Haw, Addlestone, UK). Skor (+), Skala 1 µm
4.3.4. Organ Ginjal
Pengamatan mikroskopis organ ginjal menunjukkan adanya kongesti buluh
darah mesangial dan kapiler buluh darah inter tubuli; degenerasi dan nekrosa epitel
tubuli (gambar 52a), fokus hemoragi di antara tubuli di korteks ginjal (gambar 52b).
Glomerulitis di tandai dengan perlekatan mesangial buluh darah dengan kapsula
Bowman dan deposit protein di ruang Bowman (gambar 53). Atrofi sel epitel tubuli dan
degenerasi hidropis epitel tubulus (gambar 54a,b). Akumulasi multifokus sel radang
makrofag, limfosit dan sel plasma di interstisial (gambar 55) dan nekrosa koagulasi
(gambar 56). Degenerasi hialin pada epitel tubuli (gambar 57). Secara histopatologi di
simpulkan ginjal mengalami nefritis kronik akut. Pengamatan mikroskopis organ ginjal
57
babi kontrol menunjukkan adanya endapan protein dalam lumen tubuli tetapi tidak
sebanyak pada lumen tubuli ginjal babi sakit (gambar 58).
Perubahan pada ginjal di golongkan menjadi 4 jenis skor lesio berdasarkan
derajat keparahannya. Skor lesio 0 di tandai dengan tidak ada perubahan; skor lesio 1
di tandai dengan deposit protein dalam lumen tubuli; skor lesio 2 di tandai dengan
kongesti, udema, hemoragi buluh darah mesangial dan kapiler buluh darah inter tubuli,
infiltrasi sel radang di interstisium; lesio 3 di tandai dengan hiperplasia sel endotel
anyaman mesangial glomerulus di sertai deposit protein di lumen tubuli dan ruang
Bowman, degenerasi hidropis epitel tubulus. Hasil pengamatan skor lesio di rangkum
dalam tabel 8.
Tabel 8. Nilai Skor Histopatologi Organ Ginjal
Nilai Skor Histopatologi Ginjal
Lapangan
Pandang
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Skor rata-rata
Babi
1
Babi
2
Babi
3
Babi
4
Babi
5
Babi
6
Babi
7
Babi
8
Babi
9
Babi
10
K
1
K
2
K
3
2
1
3
3
2
1
3
3
3
1
2
3
3
1
3
2
2
1
3
3
1
1
2
2
3
3
3
3
2
3
2
2
2
3
3
2
2
2
1
2
2
3
3
2
2
2
3
2
1
2
2
2
2
2
1
1
2
3
2
1
3
3
2
3
1
2
2
3
2
3
1
3
1
2
2
2
2
1
2
2
2
1
2
2
2
3
1
2
2
2
1
2
2
3
2
3
2
2
3
2
0
1
1
1
1
2
1
0
1
0
1
0
1
1
1
0
1
0
1
1
0
0
1
0
1
1
0
1
1
1
3
3
3
2
2
2
3
2
2
1
1
1
1
Keterangan : K=Kontrol
Skoring terhadap perubahan histopatologi ginjal dalam 10 lapangan pandang di
temukan bahwa rataan skor terbanyak yang di temukan adalah skor 2 yaitu berupa
kongesti, udema, hemoragi buluh darah mesangial dan kapiler buluh darah inter tubuli;
infiltrasi sel radang di interstisium. Ini menunjukkan bahwa organ ginjal mengalami
kerusakan derajat sedang akibat infeksi virus hog cholera. Skoring terhadap perubahan
histopatologi ginjal kontrol di temukan bahwa rataan skor terbanyak yang di temukan
adalah skor 1 yaitu berupa deposit protein dalam lumen tubuli.
58
HC
Gambar 52 a. Kongesti buluh darah mesangial dan kapiler buluh darah intra tubuli
(tanda kepala anak panah), degenerasi dan nekrosa epitel tubuli
(tanda panah). Skor 2.Pewarnaan HE, Skala 2 µm.
HC
Gambar 52 b.Fokus hemoragi di antara tubuli di korteks ginjal (tanda panah). Skor 3.
Pewarnaan HE, Skala 4 µm.
59
HC
Gambar 53.
Glomerulitis, perlekatan mesangial buluh darah dengan kapsula
Bowman yang menebal (tanda kepala anak panah), endapan protein
dalam lumen tubuli (tanda asterik), infiltrasi sel radang limfositik
pada jaringan interstisialis (tanda panah). Skor 3. Pewarnaan HE,
Skala 2 µm.
HC
Gambar 54.a. Endapan protein dalam lumen tubuli (tanda asterik), atrofi sel epitel
tubuli (tanda panah). Skor 3. Pewarnaan HE, Skala 4 µm.
60
HC
Gambar 54.b.
Degenerasi hidropis sel epitel tubulus (tanda panah), endapan protein
di dalam lumen tubuli (tanda asterik). Skor 3. Pewarnaan HE, Skala
1 µm
HC
Gambar 55. Endapan protein dalam lumen tubuli (tanda asterik), infiltrasi sel radang
limfositik pada jaringan interstitialis (tanda kepala anak panah). Skor 2.
Pewarnaan HE, Skala 4µm
61
HC
Gambar 56.Fokus nekrosa koagulasi di sertai akumulasi sel radang limfositik pada
jaringan interstitialis (tanda kepala anak panah). Skor 3. Pewarnaan HE,
Skala 2 µm
HC
Gambar 57. Degenerasi hialin pada epitel tubuli (tanda kepala anak panah). Skor 3.
Pewarnaan HE, Skala 4 µm
62
K
Gambar 58. Endapan protein ringan dalam lumen tubuli ginjal babi kontrol
(tanda anak panah), lumen tubuli yang bersih dari endapan
protein (tanda asterik) Skor 1. Pewarnaan HE, Skala 2 µm
Struktur histologi nefron ginjal terdiri dari glomerulus dan tubulus. Glomeruli
merupakan susunan anyaman kompleks kapiler yang memiliki peranan penting yaitu
melakukan penyaringan filtrat plasma. Glomeruli juga berhubungan erat dengan sistem
tubular. Kerusakan atau gangguan saringan glomerulus dapat menyebabkan penyakit
ginjal dan komplikasi patologis pada organ tubuh lainnya Kelainan pada glomerulus di
tandai dengan adanya kebocoran molekul protein berukuran kecil yang masuk ke
dalam ruang Bowman dan tubulus. Jika sebagian besar protein plasma dan albumin
yang lolos melalui barier glomerular yang rusak maka kemampuan reabsorbsi protein
di tubuli convolti proximal akan terlampaui. Keadaan ini dapat mengakibatkan
akumulasi protein di lumen tubulus dan pada urin (Carlton dan Gavin 1995).
Perubahan histopatologi ginjal memberikan gambaran bahwa rute infeksi
hematogenus menghasilkan lesio-lesio di mesangial glomerulus dan pada buluh darah
kapiler diantara tubuli (Confer dan Panciera 1995). Lesio awal yang di timbulkan
terlihat sebagai kongesti, udema dan hemoragi (gambar 52a). Hiperplasi sel endotel
mesangial, menyebabkan fungsi filtrasi ginjal menjadi terganggu. Adanya gangguan
filtrasi di tunjukan oleh adanya endapan protein di ruang Bowman (gambar 53) dan
lumen tubuli (gambar 54 a,b dan 55). Protein yang terakumulasi di lumen tubuli akan
63
di reabsorbsi kembali oleh sel epitel tubuli mengakibatkan lesio degeneratif pada sel
epitel tubuli (degenerasi hialin) (gambar 57). Area-area nekrosa koagulasi pada ginjal
(gambar 56) adalah akibat iskemia. Kerusakan endotel kapiler interstisium
menyebabkan hambatan suplai oksigen pada jaringan dan mengundang kehadiran sel
radang pada jaringan interstisialis (gambar 53, 55 dan 57).
Nekrosa koagulasi di tandai dengan struktur jaringan dan seluler yang utuh
tetapi sitoplasma mengalami koagulasi dan mengambil warna merah muda pada
pewarnaan HE. Inti sel yang mengalami nekrosa koagulasi umumnya piknotis,
karioreksis hingga kariolisis (gambar 56). Terhambatnya aliran darah dapat di
sebabkan oleh trombus. Trombosis merupakan pembentukan trombus di dalam sistem
buluh darah yang berasal dari komponen-komponen darah. (Cheville 1999). Faktor
penting pada trombosis arteri adalah kelainan dinding buluh darah, sedangkan pada
trombosis vena adalah statis dan hiperkoagulabilitas. Bentuk nekrosis ini dapat terjadi
di organ ginjal, hati dan otot (Carlton dan Gavin 1995). Lesio patologi anatomi berupa
multifokal ptekhie berpola Turkey egg pada korteks ginjal yang sangat signifikan
ternyata berhubungan erat dengan lesio histopatologi yang terlihat sebagai fokus
hemoragi diantara tubuli di korteks (gambar 52b).
Penyakit akut yang di sebabkan oleh virus seperti hog cholera umumnya
menimbulkan lesio pada glomerulus. Lesio yang di timbulkan umumnya ringan, dapat
pula bersifat sementara sebagai akibat dari replikasi virus di endotelium kapiler. Secara
histopatologi glomerulitis di tandai dengan hipertropi endotelial, penebalan
mesangium, udema, hemoragi dan nekrosis endotelium (Carlton dan Gavin 1995).
Infeksi buatan virus hog cholera isolat Quillota yang di lakukan oleh Quezada et al.
(2000), menunjukkan lesio yang bervariasi antara lain : hemoragi glomerulus dan
adanya mikrotrombosis pada kapiler glomerulus. Endapan protein dalam jumlah yang
banyak di temukan di glomerulus dan dari hasil penelitian ini di peroleh bahwa tubulus
ginjal merupakan tempat penting untuk replikasi virus hog cholera. Penelitian yang di
lakukan oleh Ruiz-Villamor et al. (2001) menggunakan virus hog cholera isolat
Quillota membuktikan bahwa glomerulitis yang terjadi di akibatkan oleh endapan imun
kompleks yang tertimbun di mesangium, atau di antara endotelium dan membran dasar
glomerulus.
Pewarnaan imunohistokimia menggunakan anti-HCV antibody monoclonal
(WA303, Central Veterinary Laboratory, New Haw, Addlestone,UK) dilakukan untuk
mengetahui distribusi virus hog cholera pada organ. Pemeriksaan imunohistokimia
64
pada ginjal, di temukan virus di sel leukosit dalam pembuluh darah organ ginjal, sel
endotel buluh darah ginjal dan sel endotel glomerulus dan tubulus ginjal (gambar 59 a,
59 b, 60).
HC
Gambar 59 a. Distribusi antigen hog cholera di sel leukosit dalam pembuluh darah
organ ginjal (tanda kepala anak panah). Pewarnaan imunohistokimia
menggunakan anti-HCV antibody monoclonal (WA303, Central
Veterinary Laboratory, New Haw, Addlestone, UK). Skor (++), Skala
2 µm
65
HC
Gambar 59 b. Distribusi antigen hog cholera di sel leukosit dalam buluh darah organ
ginjal (tanda kepala anak panah) dan sel endotel buluh darah ginjal
(tanda panah). Pewarnaan imunohistokimia menggunakan anti-HCV
antibody monoclonal (WA303, Central Veterinary Laboratory, New
Haw, Addlestone, UK). Skor (++), Skala 2 µm.
HC
Gambar 60. Distribusi antigen hog cholera di sel endotel glomerulus dan tubulus
ginjal (tanda anak panah). Pewarnaan imunohistokimia menggunakan
anti-HCV antibody monoclonal (WA303, Central Veterinary
Laboratory, New Haw, Addlestone, UK). Skor (++), Skala 2 µm.
66
3.5. Organ Limpa
Hasil evaluasi histopatologi limpa babi, mengalami kongesti dan hemoragi di
sertai deplesi folikel limfoid (gambar 61). Hemoragi pada pulpa merah limpa, infiltrasi
sel radang di daerah sub kapsular dan superfisial kapsula menandakan adanya splenitis
dan peritonitis (gambar 62). Pada pulpa putih secara umum di temukan kerusakan
berupa deplesi folikel limfoid di tunjukkan oleh kepadatan populasi sel limfoid pada
pulpa putih yang menurun serta di temukan fokus nekrosis pada bagian tengahnya dan
infark hemoragi (gambar 63). Beberapa sel limfoid pada pulpa putih mengalami
nekrosis di cirikan oleh inti yang mengalami piknosis dan kariolisis (gambar 64).
Infiltrasi sel radang makrofag dan limfosit di daerah sub kapsular dan pulpa merah
mengarahkan pada diagnosis splenitis (gambar 65). Berdasarkan perubahan
histopatologi di simpulkan limpa mengalami splenitis. Histopatologi terhadap sampel
limpa babi sehat sebagai kontrol di temukan deplesi folikel limfoid, di tunjukkan oleh
kepadatan populasi sel limfoid pada pulpa putih menurun (gambar 66).
Perubahan pada limpa di golongkan menjadi 4 jenis skor lesio berdasarkan
derajat keparahannya. Skor lesio 0 di tandai dengan tidak ada perubahan; skor lesio 1
di tandai dengan dilatasi buluh darah, infiltasi ringan sel radang didaerah sub kapsular
dan superfisial kapsula, deplesi folikel limfoid; skor lesio 2 di tandai dengan kongesti
dan hemoragi pulpa merah, infiltasi sel radang makrofag, limfosit di subkapsular dan
superfisial kapsula, deplesi folikel limfoid; lesio 3 di tandai deplesi folikel limfoid
pulpa putih dan fokus nekrosis. Hasil pengamatan skor lesio dirangkum dalam tabel 9.
Tabel 9. Nilai Skor Histopatologi Organ Limpa
Nilai Skor Histopatologi Limpa
Lapangan
Pandang
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Skor rata-rata
Babi
1
Babi
2
Babi
3
Babi
4
Babi
5
Babi
6
Babi
7
Babi
8
Babi
9
Babi
10
K
1
K
2
K
3
2
3
3
3
3
3
2
1
1
3
3
2
2
3
2
3
3
2
3
3
3
3
3
1
1
2
3
3
2
3
3
2
1
2
2
1
2
3
2
3
3
2
2
3
3
1
3
3
3
2
2
2
2
3
3
3
3
2
3
3
3
2
2
3
3
3
3
1
3
3
2
2
2
2
1
3
3
3
2
2
3
1
1
1
3
3
3
3
3
2
3
1
1
1
3
3
3
3
3
2
1
1
2
1
2
1
1
1
1
2
1
0
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
0
1
0
1
1
1
1
3
3
3
2
3
3
3
2
3
3
1
1
1
Keterangan : K=Kontrol
67
Skoring terhadap perubahan histopatologi limpa dalam 10 lapangan pandang di
temukan bahwa skor terbanyak yang ditemukan adalah skor 3 yaitu berupa deplesi
folikel limfoid pulpa putih dan nekrosis. Ini menunjukkan bahwa organ limpa
mengalami kerusakan derajat parah akibat infeksi virus hog cholera. Skoring terhadap
perubahan histopatologi organ limpa kontrol di temukan bahwa rataan skor terbanyak
yang di temukan adalah skor 1 yaitu berupa di latasi buluh darah, infiltrasi ringan sel
radang di daerah sub kapsular dan superfisial kapsula, deplesi folikel limfoid.
HC
Gambar 61. Kongesti limpa (tanda kepala anak panah) di sertai deplesi folikel
limfoid (tanda asterik). Skor 2. Pewarnaan HE, Skala 10 µm
68
HC
Gambar 62. Hemoragi pada pulpa merah limpa (tanda asterik), infiltrasi sel radang
di daerah sub kapsular dan superfisial kapsula yang menandakan
adanya splenitis dan peritonitis (tanda kepala anak panah). Skor 2.
Pewarnaan HE, Skala 4 µm
*
HC
Gambar 63. Deplesi folikel limfoid, kepadatan populasi sel limfoid pada pulpa putih
menurun (tanda kepala anak panah), infark hemoragi (tanda asterik).
Bagian tengah di temukan fokus nekrosis (tanda panah). Skor 3.
Pewarnaan HE, Skala 2 µm
69
HC
Gambar 64. Beberapa sel limfoid pada pulpa putih mengalami nekrosis di cirikan
dengan inti yang mengalami piknosis (huruf P) dan kariolisis (huruf L)
Skor 3. Pewarnaan HE, Skala 1 µm.
HC
Gambar 65. Pulpa merah di infiltrasi makrofag (huruf M) dan limfosit (huruf Ly).
Skor 3. Pewarnaan HE, Skala 1 µm
70
K
Gambar 66. Deplesi folikel limfoid limpa babi kontrol. Skor 1.Pewarnaan HE, Skala
5µm
Fungsi limpa antara lain membentuk limfosit di pulpa putih yang selanjutnya
bermigrasi ke pulpa merah (Gomez Villamandos et al. 2001). Pada kasus yang di amati
di temui adanya nekrosa sel limfoid di cirikan dengan inti yang mengalami piknosis
dan kariolisis, (gambar 64). Genus pestivirus pada hog cholera bereplikasi selain di
endotel buluh darah (Van Vleet dan Ferran 1986) juga di jaringan limfoid babi
penderita. Replikasi virus pada jaringan limfoid mengakibatkan rusaknya pusat
germinal pada limpa (Susa et al. 1992). Implikasi dari adanya kerusakan pada pusat
germinal limfoid folikel limpa akan mengakibatkan terjadinya deplesi limfosit B. Sel
limfosit B merupakan salah satu calon pembentuk zat kebal tubuh. Adanya kerusakan
sel-sel limfoid dari limpa sebagai akibat infeksi virus penyebab hog cholera,
mengakibatkan adanya penurunan produksi sel B oleh limpa.
Keadaan ini berakibat pada terjadinya penurunan reaksi pembentukan zat kebal
tubuh sehingga babi menjadi peka dan mudah terserang berbagai macam penyakit (Van
Oirschot et al.1999). Menurut Gomez Villamandos et al. (2001) bahwa efek
imunosupresi yang di timbulkan, di awali dengan adanya infeksi virus hog cholera
yang secara langsung menginfeksi dan melakukan perbanyakan diri (replikasi) pada
limpa dan limfoglandula sebagai organ target utamanya. Penelitian yang di lakukan
71
oleh Quezada et al. (2000) menggunakan virus hog cholera isolat Quillota di temukan
adanya lesio antara lain: nekrosis folikel limfoid pada area infark dan hemoragi.
Fungsi lain dari limpa adalah sebagai tempat destruksi eritrosit. Sel darah
merah secara normal mempunyai jangka hidup rata-rata 120 hari dan setelah itu di
hancurkan. Proses tersebut terutama terjadi dalam limpa selain pada sumsum tulang.
Makrofag di pulpa merah menelan dan mencernakan eritrosit yang sering pecah
berkeping-keping dalam ruang ekstrasel. Pada kasus di mana di temukan kongesti dan
hemoragi, pemecahan eritosit terjadi secara berlebihan.
Fungsi utama makrofag adalah melahap partikel dan mencernakkannya oleh
lisosom dan mengeluarkan sederetan substansi yang berperan dalam fungsi pertahanan
(sistem imun) dan perbaikan. Mereka juga berpartisipasi dalam respon imun bermedia
sel terhadap infeksi oleh bakteri, virus, protozoa, jamur, dan metazoa, terhadap tumor,
metabolisme besi dan lemak, dan pemusnahan eritrosit tua (Bellanti et al.1993).
Akumulasi makrofag berlebihan dan limfosit pada pulpa merah dan sinus subkapsularis
limpa merupakan reaksi pertahanan tubuh terhadap adanya infeksi virus dan
pemusnahan eritrosit yang rusak. Virus hog cholera meningkatkan efektivitas
makrofag sehingga jumlahnya meningkat (Gomez-Villamandos et al. 2001). Makrofag
melepaskan interleukin-1 (IL-1) yaitu monokin yang di duga identik dengan pirogen
leukosit. IL-1 sangat di perlukan untuk aktivasi limfosit–T helper. Bila makrofag di
aktifkan maka selain interleukin-1, sederet enzim protease netral seperti kolagenase
dan elastase akan disekresikan. Pelepasan limfokin seperti faktor kemotaktik makrofag
(macrophage chemotactic factor) akan mendatangkan sel-sel pada tempat reaksi,
sedangkan faktor penghambat migrasi (migration inhibitory factor) akan menghambat
makrofag dan cenderung untuk melokalisasi mereka di sekitar tempat reaksi (Roitt et
al. 1988).
Kongesti yang terjadi di limpa menunjukkan adanya pembendungan pasif darah
yang berlebihan dalam buluh darah (gambar 61). Kongesti dapat terjadi karena
penghambatan buluh darah setempat, atau adanya penurunan kemampuan kerja jantung
(Carlton dan Gavin 1995). Pada kasus ini, terjadinya kongesti di beberapa organ sangat
berkorelasi dengan adanya virus di endotel buluh darah dan kerusakan struktur
pembuluh darah. Secara patologi anatomi lesio infark pada limpa tidak terlihat namun
secara histopatologi lesio ini terlihat meskipun tidak parah hal ini ditandai dengan
adanya lesio infark hemoragi (gambar 63). Narita et al. (2000) mengungkapkan bahwa
anak babi yang di infeksi menggunakan virus hog cholera bervirulensi rendah (Strain
72
Kanagawa / strain 74), menunjukan adanya nekrosis sel-sel limfosit dan deplesi
folikuler sel-sel limfosit, hiperplasi histiositik dan hematopoiesis pada organ limpa.
Pada kasus ini terdapat juga kejadian hematopoiesis yang di tandai dengan adanya
proliferasi sel megakariosit, walaupun jumlahnya tidak terlalu banyak (gambar 67 a,b).
Jika di kaitkan dengan umur babi maka megakariosit yang di temukan pada kasus
penelitian ini terdapat di limpa babi muda.
HC
Gambar 67 a,b. Sel megakariosit (tanda panah). Skor 1. Pewarnaan HE, Skala 1 µm
Pewarnaan imunohistokimia menggunakan anti-HCV antibody monoclonal
(WA303, Central Veterinary Laboratory, New Haw, Addlestone,UK) di lakukan untuk
mengetahui distribusi virus hog cholera pada organ. Pemeriksaan imunohistokimia
pada limpa, di temukan virus di sel- sel limfoid organ limpa (gambar 68 a,b).
73
HC
Gambar 68 a. Distribusi antigen hog cholera di sel- sel limfoid organ limpa (tanda
kepala anak panah). Pewarnaan imunohistokimia menggunakan antiHCV antibody monoclonal (WA303, Central Veterinary Laboratory,
New Haw, Addlestone, UK) Skor (+++), Skala 2 µm
HC
Gambar 68.b.Distribusi antigen hog cholera di sel- sel limfoid organ limpa (tanda
kepala anak panah). Pewarnaan imunohistokimia menggunakan antiHCV antibody monoclonal (WA303, Central Veterinary Laboratory,
New Haw, Addlestone ,UK) Skor (+++), Skala 1 µm
74
4.3.6. Organ Limfoglandula
Pada penelitian ini hanya berhasil di amati limfoglandula mesenterika dari 3
ekor babi sakit. Hasil evaluasi histopatologi limfoglandula babi di temukan lesio
berupa: kongesti dan udema korteks limfonodus, sinus subkapsularis di infiltrasi oleh sel
radang (gambar 68), udema sinus medularis, folikel limfoid jumlahnya menurun, zona
mantel dan pusat germinal folikel limfoid tidak menunjukan batas yang jelas (Gambar
69), proliferasi sel retikulo endothelial di bagian sinus medularis (Gambar 70 a,b).
Berdasarkan perubahan histopatologi yang di temui di simpulkan limfoglandula
mengalami
limfadenitis.
Hasil
pengamatan
histopatologi
terhadap
sampel
limfoglandula mesenterika babi sehat sebagai kontrol terlihat tidak ada perubahan
(gambar 71 a,b)
Perubahan pada limfoglandula mesenterika di golongkan menjadi 4 jenis skor
lesio berdasarkan derajat keparahannya. Skor lesio 0 di tandai dengan tidak ada
perubahan; skor lesio 1 di tandai dengan dilatasi buluh darah; skor lesio 2 di tandai
dengan kongesti dan udema korteks limfonodus, infiltasi sel radang di sinus
subkapsularis; lesio 3 di tandai dengan kongesti dan udema korteks limfonodus, deplesi
folikel limfoid dan proliferasi sel retikuloendotelial di sinusmedularis. Hasil
pengamatan skor lesio dirangkum dalam tabel 10.
Tabel 10. Nilai Skor Histopatologi Organ Limfoglandula Mesenterika
Lapangan
Pandang
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Skor rata-rata
Nilai Skor Histopatologi Limfoglandula
Babi
1
Babi
2
Babi
3
2
3
3
2
3
2
2
3
2
2
3
2
2
1
1
2
3
3
3
3
3
3
1
2
3
3
2
3
3
2
2
3
Babi
4
Babi
5
TD
TD
3
Babi
6
TD
Babi
7
TD
Babi
8
TD
Babi
9
TD
Babi
10
K
1
K
2
K
3
TD
0
1
0
0
0
0
0
1
1
1
0
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
0
0
1
0
1
0
0
1
0
0
0
Keterangan : K=kontrol; TD= Tidak dilakukan
Skoring terhadap perubahan histopatologi limfoglandula mesenterika dalam 10
lapangan pandang di peroleh bahwa skor terbanyak yang di temukan adalah skor 3
yaitu berupa kongesti dan edema korteks limfonodus, deplesi folikel limfoid dan
proliferasi sel retikulo endothelial di sinus medularis. Ini menunjukkan bahwa organ
75
limfoglandula mesenterika mengalami kerusakan derajat parah akibat infeksi virus hog
cholera. Skoring terhadap perubahan histopatologi organ limfoglandula kontrol di
temukan bahwa rataan skor terbanyak adalah skor 0 yaitu berupa tidak ada perubahan
limfoglandula.
HC
Gambar 69. Korteks limfonodus mengalami kongesti dan udema (tanda kepala anak
panah), sinus subkapsularis di infiltrasi oleh sel radang (tanda panah).
Skor 2. Pewarnaan HE, Skala 5 µm
76
HC
Gambar 70. Udema sinus medularis (tanda kepala anak panah), jumlah folikel
limfoid menurun (tanda panah). Skor 3. Pewarnaan HE, Skala 5 µm.
HC
Gambar 71 a. Proliferasi sel retikulo endothelial di bagian sinus medularis (tanda
panah). Skor 3. Pewarnaan HE, Skala 4 µm
77
HC
Gambar 71 b. Proliferasi sel retikulo endothelial di bagian sinus medularis (tanda
kepala anak panah). Skor 3. Pewarnaan HE, Skala 1 µm
K
Gambar 72 a. Bagian korteks limfoglandula babi kontrol. Folikel limfoid
menunjukkan pola khas dari zona mantel dan pusat germinal. Skor
0. Pewarnaan HE, Skala 5 µm
78
K
Gambar 72 b.
Bagian korteks limfoglandula mesenterika babi kontrol. Dilatasi
buluh darah dan folikel limfoid menunjukkan pola khas dari zona
mantel dan pusat germinal. Skor 1. Pewarnaan HE, Skala 5 µm
Limfadenitis sering di temukan pada septikemi akut dan umum terjadi pada
kasus hog cholera. Limfadenitis di tandai dengan kebengkakan kelenjar limfe,
kebengkakan ini dapat di sebabkan oleh kombinasi eksudasi dan proliferasi jaringan
limfoid serta sel-sel retikulo endotelial (Carlton dan Gavin 1995). Pengamatan
limfonodus pada kasus ini menunjukkan hal serupa. Pada kasus ini, limfonodus babi
yang di periksa menunjukkan adanya udema (gambar 69 dan 70) dan proliferasi sel
retikulo endothelial di bagian sinus medularis (gambar 71 a,b). Folikel limfoid pada
limfonodus mengalami deplesi sel limfoid, hal ini merupakan indikasi bahwa folikel
limfoid pada babi yang di periksa sedang mengalami aktivitas imunologis dengan
mengirim sel-sel limfosit ke jaringan perifer. Selain itu kejadian deplesi sel limfoid
berkaitan erat dengan di gunakannya sel limfoid dari organ limpa dan limfoglandula
sebagai tempat replikasi virus hog cholera (Susa et al.1992). Penelitian yang di
lakukan oleh Quezada et al. (2000) menggunakan virus hog cholera isolat Quillota di
temukan adanya lesio antara lain: hemoragi di area medula dan sinus subskapularis,
deplesi folikel limfoid serta proliferasi sel-sel retikuloendotelial.
Pewarnaan imunohistokimia menggunakan anti-HCV antibody monoclonal
(WA303, Central Veterinary Laboratory, New Haw, Addlestone,UK) di lakukan untuk
mengetahui distribusi virus hog cholera pada organ. Pemeriksaan imunohistokimia
79
pada limfoglandula, di temukan virus di sel retikular endothelial (limfosit), sel endotel
buluh darah, dan sel leukosit dalam buluh darah organ limfoglandula (gambar 73),
sedangkan pada limpa dan limfoglandula babi kontrol tidak di temukan virus (gambar
74 ).
*
HC
Gambar 73. Distribusi antigen hog cholera di sel retikular endothelial (limfosit) (tanda
anak panah), sel endotel buluh darah (tanda kepala anak panah) dan sel
leukosit dalam buluh darah (tanda asterik). Pewarnaan imunohistokimia
menggunakan anti-HCV antibody monoclonal (WA303, Central Veterinary
Laboratory, New Haw, Addlestone, UK) Skor (+++), Skala 1 µm.
80
K
Gambar 74. Tidak di temukan antigen hog cholera di organ limfoglandula
mesenterika babi kontrol. Pewarnaan imunohistokimia menggunakan
anti-HCV antibody monoclonal (WA303, Central Veterinary
Laboratory, New Haw, Addlestone, UK) Skor (0), Skala 5 µm
Rangkuman perubahan histopatologi seluruh organ yang di amati pada
penelitian ini dapat di lihat pada tabel 11.
Tabel 11.
No.
Rangkuman Lesio Histopatologi Organ Jantung, Paru-paru, Hati,
Ginjal, Limpa dan Limfoglandula Mesenterika
Babi Nomor
(Umur-Bulan)
Lesio
1
(2)
2
(2)
3
(4)
4
(2)
5
(6)
6
(2)
7
(3)
8
(10)
9
(7)
10
(24)
K1
(2)
K2
(6)
K3
(24)
1.
Kronik aktif bronko
interstisial pneumonia
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
-
-
-
2.
Kronik aktif multifokus
miliari nekrotik hepatitis
√
√
√
√
√
√
√
-
-
-
-
-
-
3.
Kronik akut nefritis
√
√
√
-
√
√
√
-
√
√
-
-
-
4.
Kardiomiopatia
√
√
√
-
-
√
√
-
-
√
-
-
-
5.
Splenitis
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
-
-
-
6.
Limfadenitis
√
√
√
TD
TD
TD
TD
-
-
-
TD
TD
TD
Ket: Tanda (√) = Ada; Tanda (-) = Tidak ada; Tanda (TD)= Tidak dilakukan; K= Kontrol
81
Hasil skor histopatologi dari seluruh organ menunjukkan beragamnya tingkat
kerusakan, di mulai dari kerusakan ringan dengan skor 1, hingga kerusakan terberat
dengan skor 3. Kerusakan organ terparah pada masing -masing hewan bervariasi, pada
babi 1. berturut-turut paru-paru, ginjal, limfoglandula, limpa, jantung, hati. Pada babi 2,
berturut-turut limpa, limfoglandula, ginjal, paru-paru, hati, jantung. Pada babi 3
berturut-turut limpa, limfoglandula, ginjal, paru-paru, hati, jantung. Pada babi 4,
berturut-turut limpa, hati, paru-paru, ginjal, jantung. Pada babi 5, berturut-turut limpa,
ginjal, jantung, paru-paru, hati. Pada babi 6, berturut-turut paru-paru, hati, limpa,
ginjal, jantung. Pada babi 7, berturut-turut limpa, hati, paru-paru, ginjal, jantung. Pada
babi 8, berturut-turut limpa, paru-paru, ginjal, hati, jantung. Pada babi 9, berturut-turut
limpa, jantung, paru-paru, hati, ginjal. Pada babi 10, berturut-turut limpa, paru-paru,
ginjal, jantung, hati. Delapan dari sepuluh hewan kerusakan terparah terjadi di organ
limpa dan organ limfoglandula menduduki peringkat ke 2. Hal ini berkaitan dengan
affinitas yang tinggi dari virus hog cholera terhadap sel-sel sistem retikuloendotelial dari
limpa dan limfoglandula sebagai tempat perkembangan virus (Van Oirschot et al.
1999). Temuan lesio histopatologi jika di kaitkan dengan umur babi pada kasus ini
maka akan di temukan bahwa: anak babi yang berumur dibawah 6 bulan menunjukkan
lesio histopatologi yang lengkap pada semua organ sampling, sementara babi yang
berumur 6 bulan dan diatas umur 6 bulan menunjukkan lesio histopatologi yang tidak
lengkap. Lesio histopatologi pada anak babi yang berumur dibawah 6 bulan meliputi:
kronik aktif bronko interstisial pneumonia, kronik aktif multifokus miliari nekrotik
hepatitis, kronik akut nefritis, kardiomiopatia, splenitis dan limfadenitis (tabel 11).
Temuan lesio histopatologi jika di kaitkan dengan umur babi ternyata sejalan dengan
temuan lesio patologi anatomi.
Lokalisasi atau tempat antigen hog cholera virus sangat berhubungan erat
dengan perubahan atau lesio dari suatu organ. Di duga bahwa konsentrasi dari antigen
hog cholera di dalam jaringan terinfeksi berkaitan erat dengan lama masa virus berada
di dalam sel target (Van Oirschot et al.1999). Pada penelitian ini di temukan
konsentrasi virus yang bervariasi pada organ hewan yang di periksa. Konsentrasi
tertinggi antigen hog cholera pada kasus asal Papua berturut-turut terlihat di sel
retikuloendotelial, sel leukosit buluh darah paru-paru, sel leukosit buluh darah hati, sel
endotel buluh darah ginjal, sel endotel buluh darah paru-paru, makrofag, sel endotel
buluh darah hati dan sel endotel buluh darah jantung (gambar 34, 41, 51, 58, 59, 60,
67a,b, dan 71). Titik-titik coklat yang membentuk pola tertentu mengikuti bentuk sel
82
merupakan gambaran positif dari adanya virus hog cholera di dalam sel. Gambaran ini
menunjukkan lokasi replikasi virus, jika titik-titik coklat tersebut ditemukan pada sel
fagosit ini menunjukkan adanya sel debri yang difagosit (gambar 73). Distribusi dan
skor antigen hog cholera secara terinci dapat dilihat pada Tabel 12. Histogram
distribusi dan skor antigen hog cholera secara jelas dapat di lihat pada gambar 75.
Beberapa peneliti terdahulu menyatakan bahwa tingkat afinitas tertinggi antigen
di temukan di organ limpa, pankreas, sel epitel, makrofag, monosit, sel-sel limfoid, selsel glial dan otot polos dinding buluh darah (Choi dan Chae 2003; Narita 2000;
Quezada 1997). Secara umum hasil pengamatan distribusi antigen hog cholera pada
kasus asal Papua memberikan hasil yang sama dengan laporan-laporan kasus terdahulu
di dunia kecuali pankreas dan sel-sel glial karena tidak di lakukan pengamatan pada
organ-organ tersebut di penelitian ini.
83
Tabel 12. Distribusi dan Skor Antigen hog cholera
Babi
Distribusi antigen HCV
Skor Sel positif
Babi 1.
Sel endotel buluh darah Jantung
Sel leukosit dalam buluh darah hati, makrofag
Sel endotel buluh darah paru-paru
Sel endotel tubulus ginjal
Sel limfoid limpa
Sel limfoid, sel endotel buluh darah limfoglandula
+
+
++
+
+++
+++
Babi 2.
Sel endotel buluh darah Jantung
Sel leukosit dalam buluh darah hati
Sel endotel buluh darah paru-paru, makrofag
Sel epitel tubulus ginjal
Sel limfoid limpa
Sel limfoid, sel endotel buluh darah limfoglandula
+
++
++
++
+++
++
Sel endotel buluh darah Jantung
Sel leukosit dalam buluh darah hati
Sel endotel buluh darah paru-paru, makrofag
Sel endotel buluh darah ginjal
Sel limfoid limpa
Sel limfoid, sel endotel buluh darah limfoglandula
+
++
+
+
+++
+++
Sel endotel buluh darah Jantung
Sel leukosit dalam buluh darah hati, makrofag
Sel endotel buluh darah paru-paru, makrofag
Sel endotel tubulus ginjal
Sel limfoid limpa
+
+
++
++
++
Sel endotel buluh darah jantung
Sel leukosit dalam buluh darah hati, makrofag
Sel leukosit dalam buluh darah paru
Sel endotel buluh darah ginjal,
Sel limfoid limpa
+
+
++
+
++
Sel endotel buluh darah jantung
Sel endotel buluh darah hati, makrofag
Sel leukosit dalam buluh darah paru
Sel leukosit dalam buluh darah ginjal
Sel limfoid limpa
+
+
+
++
+++
Babi 3.
Babi 4.
Babi 5.
Babi 6.
Babi 7.
Sel endotel buluh darah jantung
Sel hati dan Sel leukosit dalam buluh darah hati
Sel leukosit dalam buluh darah paru, makrofag
Sel endotel buluh darah paru
Sel endotel glomerulus ginjal
Sel limfoid limpa
Babi 8.
Sel endotel buluh darah jantung
Sel endotel buluh darah hati dan makrofag
Sel leukosit dalam buluh darah paru, makrofag
Sel endotel buluh darah paru
Sel endotel glomerulus ginjal
Sel limfoid limpa
Babi 9.
Babi 10.
Sel endotel buluh darah jantung
Sel endotel buluh darah hati dan makrofag
Sel leukosit dalam buluh darah paru
Sel endotel buluh darah hati dan makrofag
Sel limfoid limpa
Sel endotel buluh darah hati dan makrofag
Sel leukosit dalam buluh darah paru
Sel endotel buluh darah jantung
Sel endotel glomerulus dan tubulus ginjal
Sel limfoid limpa
+
+
++
+
+
+++
+
+
++
+
++
+++
+
+
++
+
++
+
++
+
+
++
Tidak ditemukan
Babi kontrol (1,2,3)
84
3
2.5
Skor
2
1.5
1
0.5
0
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
Organ
Gambar 75. Histogram distribusi dan rataan skor antigen hog cholera. A=Sel endotel buluh
darah paru-paru, makrofag ; B= Sel limfoid limpa C=Sel limfoid, Sel leukosit
dalam buluh darah, Sel endotel buluh darah limfogandula; D= Sel leukosit dalam
buluh darah paru E= Sel endotel glomerulus dan tubulus ginjal ; F= makrofag
dan Sel leukosit dalam buluh darah hati G=Sel endotel buluh darah ginjal H= Sel
Endotel buluh darah hati I= Sel epitel tubulus ginjal J= Sel endotel buluh darah
jantung. Skor (+) = 0-50 sel positif, skor (++) = 51-100 sel positif, skor (+++) =
lebih dari 100 sel positif.
Data histogram di atas menggambarkan hubungan antara skor histopatologi dan
distribusi antigen hog cholera di organ babi. Sel limfoid limpa, sel limfoid
limfogandula, sel leukosit dalam buluh darah dan sel endotel buluh darah
limfogandula menempati urutan teratas dengan skor terbanyak 3, selanjutnya sel
leukosit dalam buluh darah paru, sel endotel buluh darah ginjal, sel endotel
glomerulus dan tubulus ginjal, sel epitel tubulus ginjal menepati urutan ke dua dengan
skor terbanyak 2, terakhir adalah sel endotel buluh darah paru-paru, makrofag dan sel
leukosit dalam buluh darah paru-paru, sel endotel buluh darah hati, makrofag, sel
leukosit dalam buluh darah hati, sel endotel buluh darah jantung dengan skor
terbanyak 1.
Perkembangan virus di dalam sel leukosit menunjukkan tingkat viremia tinggi
(Sasahara 1970). Dalam perjalanan viremia, virus hog cholera selanjutnya
menggunakan sel endotel sebagai tempat replikasi, sebelum kemudian menggunakan
sel parenkim setempat sebagai tempat replikasi selanjutnya. Replikasi virus pada organ
limpa dan limfoglandula, terkait fungsi limpa dan limfonodus sebagai organ
pertahanan. Makrofag di cirikan berdasarkan daya fagositosisnya. Pada daerah tertentu,
makrofag memiliki nama khusus, misalnya, sel Kupffer dalam hati, sel mikroglia dalam
85
sistem saraf pusat, dan osteoklas dalam jaringan tulang. Semua makrofag tubuh di
pandang sebagai bagian dari sistem retikuloendotel (Bellanti et al.1993). Dari semua
sel fagositik pada organ-organ tubuh, sel-sel fagositik limpa dan limfonodus
merupakan sel fagosit yang paling aktif dalam memfagosit partikel antigen asing (Roitt
et al.1988).
Strain dengan virulensi yang tinggi menginduksi terjadinya suatu bentuk infeksi
yang bersifat akut, dengan tingkat kematian yang tinggi sementara pada strain dengan
tingkat virulensi yang sedang atau menengah dapat mengakibatkan suatu bentuk
infeksi yang sub akut dan kronis (Vilcek et al. 1996). Berdasarkan lesio yang di
temukan pada kasus hog cholera di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua, bentuk infeksi
tergolong dalam bentuk infeksi yang bersifat sub akut, akut dan kronis.
Hasil uji statistik non parametrik menurut U Mann- Whitney terhadap skor
perubahan histopatologi organ babi menunjukkan bahwa antara babi sakit dengan babi
kontrol untuk semua amatan berbeda nyata (p< 0,05). Artinya bahwa akibat infeksi
virus hog cholera pada organ babi sakit menyebabkan perubahan histopatologi yang
sangat jelas atau signifikan, sedangkan perubahan histopatologi pada organ babi
kontrol tidak memperlihatkan perubahan yang berarti.
4. 4. Pengamatan Khusus Struktur Histopatologi Buluh Darah
Pengamatan struktur histologi buluh darah arteri di lakukan dengan
menggunakan pewarnaan Hematoxyllin Eosin (HE), Masson Trichrome (MT) dan
Verhoeff Van Giesson (VvG). Buluh darah yang di amati berasal dari organ yang secara
patologi menunjukan lesio khas hog cholera dan dengan pewarnaan imunohistokimia
di temukan antigen hog cholera. Pemeriksaan histopatologi organ paru-paru, jantung,
hati, ginjal, limpa dan limfoglandula yang terinfeksi virus hog cholera menggunakan
pewarnaan Hematoxyllin Eosin (HE), secara umum menunjukkan adanya lesio
hemoragi. Penyebab mengapa terjadi hemoragi ini belum dapat di jelaskan sampai
dengan di lakukan pengamatan khusus pada buluh darah.
Pengamatan histopatologi buluh darah paru-paru, jantung, hati, ginjal dan limpa
babi yang terinfeksi virus hog cholera menunjukkan adanya kerusakan dengan derajat
yang bervariasi. Pembahasan mengenai perubahan histopatologi pada buluh darah serta
hubungannya dengan nilai skoring di uraikan sebagai berikut:
86
4.4.1 Buluh Darah Paru-paru, Jantung, Hati, Ginjal dan Limpa
Hasil pengamatan histopatologi buluh darah pada organ paru-paru di temukan
lesio yang bervariasi berupa: hipertrofi sel endotel dan nekrosa tunika adventisia arteri
pulmonalis (gambar 76); deskuamasi sel endotel, nekrosa lamina elastika interna,
trombus di lumen arteri pulmonalis (gambar 78). Pada buluh darah organ jantung di
temukan lesio berupa: hipertrofi sel endotel; nekrosa tunika adventisia dan infiltrasi sel
radang di tunika media arteri jantung; deskuamasi sel endotel, akumulasi lemak
dipermukaan sel dan cairan plasma akibat lisis di lumen arteri jantung (gambar 82).
Pada buluh darah organ hati di temukan lesio berupa: hipertrofi sel endotel; nekrosa
tunika adventisia dan infiltrasi sel radang di sekitar arteri hati; hialinisasi arteri hati
(gambar 79 ). Pada buluh darah organ ginjal di temukan lesio berupa: hipertrofi sel
endotel dan infiltrasi sel radang di sekitar arteri ginjal (gambar 77); degenerasi
vakuolar dan hialinisasi tunika media. Pada buluh darah organ limpa di temukan lesio
berupa: hipertrofi sel endotel buluh darah limpa; deskuamasi tunika intima, tunika
media dan tunika adventisia arteri limpa, hialinisasi tunika media dan vakuolisasi
tunika media arteri limpa (gambar 80); trombus di lumen arteri limpa (gambar 83 ).
Pada buluh darah paru-paru (gambar 84), jantung, hati, ginjal dan limpa babi kontrol di
temukan struktur buluh darah yang normal.
Skor lesio pada buluh darah di golongkan menjadi 4 jenis skor. Skor lesio ini di
kelompokkan berdasarkan patogenesisnya. Skor lesio 0 di tandai dengan tidak ada
perubahan; skor lesio 1 di tandai dengan terjadi hipertrofi endotel; skor lesio 2 di tandai
dengan terjadi deskuamasi endotel, degenerasi vakuolar tunika media dan adventisia;
skor lesio 3 di tandai dengan terjadi hialinisasi tunika media, perubahan degenerasi
vakuolar, nekrosa pada tunika media dan adventisia, trombus dan vaskulitis.
Rangkuman skor lesio buluh darah organ paru-paru, jantung hati, ginjal dan limpa
dapat di lihat pada tabel 13.
87
HC
Gambar 76. Hipertrofi sel endotel (tanda kepala anak panah), nekrosa ringan tunika
adventisia arteri pulmonalis (tanda panah). Skor 1 Pewarnaan Masson
Trichrome, Skala 2 µm
HC
Gambar 77. Hipertrofi sel endotel (tanda panah) dan infiltrasi sel radang di sekitar
arteri ginjal (tanda anak panah). Skor 1. Pewarnaan HE, Skala 4 µm.
88
HC
Gambar 78.
Deskuamasi tunika intima (tanda kepala anak panah) dan nekrosa
tunika adventisia arteri paru-paru (tanda panah). Skor 2. Pewarnaan
Masson Trichrome. Skala 2 µm.
HC
Gambar 79. Hipertrofi sel endotel (tanda panah) dan hialinisasi arteri hati (tanda
asterik). Skor 3. Pewarnaan HE, Skala 2 µm.
89
HC
Gambar 80. Hialinisasi tunika media (tanda panah) dan vakuolisasi tunika media
arteri limpa (tanda asterik). Skor 3. Pewarnaan Masson Trichrome,
Skala 2 µm.
*
HC
Gambar 81. Deskuamasi sel endotel dan rusaknya lamina elastika interna (tanda
kepala anak panah), trombus di lumen arteri pulmonaris (tanda asterik).
Skor 3. Pewarnaan Masson Trichrome, Skala 2 µm
90
*
HC
Gambar 82. Deskuamasi sel endotel, akumulasi lemak dipermukaan sel (tanda kepala
anak panah), nekrosa tunika adventisia (tanda panah), plasma di lumen
arteri jantung (tanda asterik). Skor 3. Pewarnaan Masson Trichrome,
Skala 2 µm
HC
Gambar 83. Trombus di lumen arteri limpa (tanda asterik). Skor 3. Pewarnaan
Masson Trichrome, Skala 2 µm
91
K
Gambar 84. Stuktur tunika intima (tanda panah), tunika media (tanda asterik) dan
tunika adventisia (tanda kepala anak panah) normal pada buluh darah
paru-paru babi kontrol. Skor 0. Pewarnaan Masson Trichrome. Skala 2
µm
Tabel 13. Rangkuman Skor Lesio Histopatologi Buluh Darah
No.
Babi Nomor
(Umur-Bulan) Dan Skor Rata-rata
Organ
1
(2)
2
(2)
3
(4)
4
(24)
5
(6)
6
(2)
7
(3)
8
(10)
9
(7)
10
(24)
K1
(2)
K2
(6)
K3
(24)
3
3
3
2
2
2
2
2
2
3
0
0
0
1.
Paru-paru
2.
Jantung
3
3
3
3
2
2
3
2
2
3
0
0
1
3.
Hati
3
3
3
3
2
2
2
3
2
1
0
0
0
4.
Ginjal
3
3
3
2
3
2
3
2
2
3
0
1
0
5.
Limpa
3
3
3
3
2
3
3
2
3
3
1
0
0
Keterangan: K = kontrol
Skoring terhadap lesio buluh darah paru-paru dalam 10 lapangan pandang di
peroleh bahwa rataan skor terbanyak yang di temukan adalah skor 2 yaitu berupa
deskuamasi endotel, degenerasi vakuolar tunika media dan adventisia. Ini
menunjukkan bahwa buluh darah paru-paru mengalami kerusakan derajat sedang
akibat infeksi virus hog cholera. Skoring terhadap perubahan histopatologi buluh darah
92
organ paru-paru kontrol di peroleh bahwa rataan skor terbanyak yang di temukan
adalah skor 0 yaitu tidak ada perubahan pada buluh darah.
Skoring terhadap lesio buluh darah jantung, hati, ginjal dan limpa dalam 10
lapangan pandang di peroleh bahwa rataan skor terbanyak yang di temukan adalah skor
3 yaitu berupa hialinisasi tunika media, perubahan degenerasi vakuolar, nekrosa pada
tunika media dan adventisia, trombus dan vaskulitis. Ini menunjukkan bahwa buluh
darah ke-4 organ ini mengalami kerusakan parah akibat infeksi virus hog cholera.
Skoring terhadap perubahan histopatologi buluh darah organ jantung, hati, ginjal dan
limpa kontrol diperoleh bahwa rataan skor terbanyak yang di temukan adalah skor 0
yaitu tidak ada perubahan pada buluh darah.
Terdapat perbedaan temuan lesio histopatologi buluh darah organ jika di
kaitkan dengan umur babi. Pada anak babi yang berumur di bawah 6 bulan, sebanyak 4
dari 5 ekor babi (4/5) menunjukkan lesio histopatologi skor 3, sementara babi yang
berumur 6 bulan dan di atas umur 6 bulan sebanyak 3 dari 5 ekor babi (3/5)
menunjukkan lesio histopatologi skor 2. Lesio histopatologi pada anak babi yang
berumur di bawah 6 bulan meliputi : hialinisasi tunika media, perubahan degenerasi
vakuolar, nekrosa pada tunika media dan adventisia, trombus dan vaskulitis. Lesio
histopatologi pada anak babi yang berumur 6 bulan dan di atas umur 6 bulan meliputi :
deskuamasi endotel, degenerasi vakuolar tunika media dan adventisia (tabel 13).
Lesio yang terjadi pada buluh darah merupakan ciri penting dalam suatu
perubahan histopatologi, karena hal ini dapat menjelaskan mengenai patogenesa
kejadian hemoragi dan fokus nekrosis yang menjadi ciri utama penyakit hog cholera.
Pengamatan pada kasus ini di temukan lesio degenerasi hialin di hampir seluruh buluh
darah arteri (gambar 79, 80). Degenerasi hialin merujuk pada suatu perubahan yang di
tandai dengan adanya endapan bahan asidofilik tak berbentuk (amorf) dalam
sitoplasma sel. Bahan hialin yang di warnai dengan Hematoxyllin Eosin akan berwarna
merah jambu, sedangkan jika di warnai dengan pewarnaan khusus Masson Trichrome
bahan hialin nampak berwarna coklat. Hialin pada tunika media atau dinding buluh
darah di kelompokkan dalam subtansi hialin ekstraseluler. Hialin ini di kenal sebagai
plasma protein, mekanisme terjadinya hialin di duga akibat adanya pembentukan
lipatan pita protein yang tidak sempurna. Lipatan pita protein yang sesuai sangat
penting untuk transport di dalam organel sel selama berlangsungnya sintesis protein
dalam ribosom. Jika terjadi kerusakan pada lipatan pita protein maka protein akan di
gantikan oleh kompleks proteasome (Myers dan McGavin 2007). Degenerasi fibrinoid
93
terjadi sebagai hasil deposisi imunoglobulin, komplemen dan protein plasma termasuk
fibrin pada buluh darah. Secara makroskopis lesio fibrinoid tidak dapat di lihat namun
biasanya selalu menyertai kejadian trombosis dan hemoragi. Secara mikroskopis
kerusakan yang terjadi pada sel-sel endotel, membran basal, miosit otot licin dapat di
akibatkan oleh penyebab langsung seperti virus atau penyebab tidak langsung seperti
aktivasi protein komplemen dapat di gunakan sebagai petunjuk adanya aktivasi
kaskade inflamasi akut dan deposisi protein plasma di dalam buluh darah (Carlton dan
McGavin 1995).
Adanya massa hialin atau fibrinoid menyebabkan fungsi suatu jaringan
berkurang. Degenerasi hialin yang terjadi pada buluh darah menyebabkan dinding
buluh darah menjadi kurang elastis, tidak dapat bertahan terhadap tekanan darah
normal, sehingga dapat mengakibatkan kerobekan buluh darah dan akhirnya terjadi
perdarahan (Van Oirschot et al. 1999). Variasi bentuk perdarahan dapat di temukan
pada kasus hog cholera yang akut, di mana hal ini di sebabkan tidak hanya karena
kerusakan buluh darah tetapi juga terkait dengan trombositopenia dan gangguan
sintesis fibrinogen. Infark organ limpa di duga terjadi sebagai akibat dari adanya
hambatan aliran darah oleh thrombus pada buluh darah arteri. Hipotesa ini di dukung
dengan adanya hubungan lesio infark limpa dengan hialinisasi dinding arteri dan
hambatan pada lumen buluh darah limpa (Quezada et al. 2000). Pada hog cholera
kasus Papua lesio infark pada limpa tidak terlihat namun secara histopatologi lesio ini
terlihat meskipun tidak parah. Hal ini ditandai dengan adanya lesio infark hemoragi.
Umumnya di temukan banyak babi yang mati pada kasus ini. Hemoragi yang terjadi di
organ ginjal dan organ lain merupakan karakteristik dari kasus hog cholera akut.
Hemoragi yang terjadi menunjukkan pada suatu aktivitas sistem koagulasi darah
karena kerusakan endotel buluh darah. Hipotesa ini di dukung dengan penemuan
seperti trombositopenia, kegagalan mekanisme koagulasi darah dan mikrotrombosis di
buluh darah (Quezada et al. 2000).
Trombosis arteri sering terjadi pada daerah percabangan, karena di tempat
tersebut terjadi perubahan aliran darah. Daya hemodinamik sendiri dapat menyebabkan
kerusakan endotel, selain itu perubahan aliran darah akan menimbulkan akumulasi zatzat yang dapat merusak dinding buluh darah. Buluh darah arteri di lapisi oleh endotel
pada permukaan yang menghadap ke lumen. Endotel yang utuh bersifat non
trombogenik, sifat non trombogenik akan hilang bila endotel mengalami kerusakan.
Kerusakan endotel dapat di sebabkan oleh anoksia. Karena untuk mempertahankan
94
integritas sel dan ultra struktur yang normal di perlukan oksigen (Verstraete and
Vermylen 1984).
Degenerasi hidropis atau degenerasi vakuolar adalah suatu keadaan di mana
cairan intraseluler terakumulasi dalam sitoplasma di tandai dengan kebengkakan sel
yang bersifat akut (gambar 80). Terjadinya degenerasi vakuolar ini melibatkan fungsi
pompa sodium pada membran sel. Kondisi membran plasma yang rusak menyebabkan
Sodium (Na+) dan Calsium (Ca++) masuk ke dalam sel, Potasium (K+) keluar dari sel
dan cairan ekstraseluler akan masuk ke dalam sel di mana proses ini akan terus
menerus berlangsung (Cheville 1999).
Penelitian buluh darah pada kasus hog cholera klasik pernah di lakukan 75
tahun lalu oleh Seifried et al. (1932). Literatur tersebut mengungkapkan bahwa buluh
darah arteri babi yang terinfeksi virus hog cholera secara alami, menunjukkan adanya
perubahan sel seperti karioreksis, deskuamasi sel endotel, nekrosa dan penipisan
lapisan kolagen atau serabut retikuler. Perubahan lebih lanjut dari buluh darah arteri
adalah berupa penyempitan dan penyumbatan lumen kapiler. Pada daerah tertentu
terjadi proliferasi dan peningkatan jumlah sel-sel endotel menyertai perubahan yang
bersifat retrogresive (kemerosotan). Pengamatan kasus hog cholera asal Papua masih
menunjukkan lesio serupa dengan hog cholera klasik, yaitu hipertrofi tunika intima
hingga deskuamasi sel endotel (gambar 76, 77, 78, 79) dan pada kasus ini tidak hanya
terbatas pada tunika intima namun meluas hingga tunika media dan adventisia buluh
darah. Lesio hialinisasi dan lesio vakuolisasi pada tunika media hingga adventisia
selalu di temukan di sertai infiltrasi sel radang di sekitarnya (gambar 79, 80). Lesio
vaskulitis pada hampir semua organ juga di laporkan oleh Narita et al. (2000) pada
penelitian infeksi buatan menggunakan virus hog cholera strain virulen (Strain ALD).
Pemeriksaan histopatologi kasus hog cholera asal Papua secara umum memperlihatkan
perubahan berupa lesio degeneratif yang di tandai dengan hipertrofi sel epitel endotel,
vakuolisasi tunika media dan tunika adventisia. Perubahan tersebut berkelanjutan
menjadi lesio kematian sel di tandai dengan perubahan berupa, karioreksis inti sel,
deskuamasi endotel, diskontinu tunika intima, degenerasi hidropis dan degenerasi
fibrinoid tunika media dan tunika adventisia. Vaskulitis di tandai dengan infiltrasi sel
radang pada tunika media dan tunika adventisia.
Infiltrasi sel radang ke interstisium terjadi karena adanya reaksi radang atau
inflamasi di interstisium. Reaksi radang merupakan reaksi tubuh terhadap invasi agen
infeksi dalam hal ini virus atau adanya kerusakan jaringan. Pada inflamasi terjadi
95
migrasi sel dan kebocoran molekul-molekul serum ke tempat inflamasi. Kejadian ini di
kendalikan oleh (1) peningkatan pasokan darah ke lokasi inflamasi, dan (2)
peningkatan permeabilitas kapiler yang di sebabkan oleh retraksi sel-sel endotel.
Kejadian ini memungkinkan molekul-molekul besar seperti antibodi, komplemen dan
sistem enzim plasma lain melewati endotel untuk mencapai lokasi inflamasi di
interstisium. Leukosit yang telah mencapai lokasi inflamasi akan melepas mediator
yang akan mengatur akumulasi dan aktivasi sel-sel lainnya (Bellanti et al.1993). Pada
awal reaksi radang interleukin 1(IL-1) dan interleukin 2 (IL-2) di lepaskan oleh sel-sel
jaringan tempat inflamasi di interstisium. Setelah limfosit dan sel-sel mononuklear
berada di lokasi inflamasi dan diaktivasi oleh antigen, sel-sel tersebut akan melepas
sitokin-sitokin seperti IL-1, IL-4, TNF, IFNγ. Sitokin-sitokin tersebut akan
meningkatkan migrasi seluler dengan mempengaruhi endotel setempat. Sitokin lain
seperti IL-8, bersifat kemotaktik serta bekerja mengaktivasi sel-sel yang berdatangan
(Roitt et al. 1988).
Tabel hasil penilaian skor lesio histopatologi buluh darah menyimpulkan
bahwa limpa menempati kerusakan paling parah dari organ-organ lainnya. Hal ini
menunjukkan afinitas yang tinggi dari virus hog cholera terhadap organ limpa. Sel-sel
sistem retikulo endotelial pada limpa merupakan tempat perkembangan virus (Van
Oirschot et al.1999). Walaupun tidak termasuk organ yang di skor, limfoglandula juga
menunjukkan lesio serupa pada buluh darahnya. Kerusakan yang terjadi di buluh darah
paru-paru, jantung, hati, dan ginjal ini membuktikan mekanisme masuknya virus hog
cholera ke dalam tubuh secara hematogenus.
Hasil uji statistik non parametrik menurut U Mann-Whitney terhadap skor
perubahan histopatologi buluh darah arteri babi menunjukkan bahwa antara babi sakit
dengan babi kontrol untuk semua pengamatan berbeda nyata (p< 0,05). Artinya bahwa
akibat infeksi virus hog cholera pada buluh darah arteri babi menyebabkan perubahan
histopatologi yang sangat jelas atau signifikan pada babi sakit, sedangkan perubahan
histopatologi pada buluh darah babi kontrol tidak memperlihatkan perubahan yang
berarti.
Virus hog cholera merupakan parasit intraseluler obligat yang berkembang biak
di dalam sel hospes dan menggunakan asam nukleat serta berbagai organ seluler
hospes untuk metabolisme dan sintesis proteinnya. Virus masuk ke dalam sel hospes
dengan cara berikatan dengan reseptor spesifik yang berada pada permukaan sel
hospes. Setelah masuk ke dalam sel, virus menimbulkan kerusakan jaringan dan
96
penyakit serta menginduksi respon imun hospes. Infeksi alami virus hog cholera (HC)
dapat terjadi melalui rute oro-nasal, konjungtiva, mukosa alat genital, atau melalui
kulit yang terluka. Virus HC segera menginfeksi sel-sel endotel sistem vaskuler
(kapiler, vena maupun arteri dan buluh limfe) hingga mengalami degenerasi hidropis
serta nekrotik (Van Oirschot et al. 1999). Virus bereplikasi di dalam tonsil, dengan
jalan memasuki sel epitel dari kripta tonsil, kemudian meluas ke jaringan limforetikuler
di sekitarnya. Dengan perantaraan cairan limfe virus menyebar ke kelenjar limfe yang
salurannya bermuara di daerah tonsil. Virus memperbanyak diri di dalam kelenjar limfe
dan selanjutnya terbawa ke perifer untuk kemudian ke jaringan limfoid limpa, sumsum
tulang, dan kelenjar limfe viseral. Perkembangan virus yang cepat juga terjadi di dalam
sel leukosit, hingga tingkat viremianya tinggi. Infeksi virus HC pada babi di kasus
penelitian ini menyebabkan terjadinya lesio patologi anatomi berupa: ptekhial
laringitis, hemoragi jantung, pneumonia, perihepatitis, ptekhial ginjal, kongesti limpa,
hemoragi limfoglandula dan hemoragi serosa mesenterium. Lesio histopatologi organ
yang teramati berupa: kronik aktif bronko interstisial pneumonia, kronik aktif
multifokus miliari nekrotik hepatitis, kronik akut nefritis, kardiomiopatia, splenitis dan
limfadenitis. Lesio histopatologi buluh darah arteri karena lesio degeneratif yang di
tandai dengan hipertrofi dan deskuamasi sel epitel endotel, vakuolisasi dan degenerasi
fibrinoid tunika media dan tunika adventisia buluh darah arteri.
Respon tubuh dalam mengatasi perubahan di atas antara lain udema, hemoragi
dan kongesti. Udema terjadi jika jumlah cairan kompartemen ekstrasel abnormal.
Mekanisme terjadinya udema di duga karena adanya perubahan hidrostatik dan
perubahan permeabilitas sel (Cheville 1999). Kongesti yang terjadi menunjukkan
adanya pembendungan pasif darah yang berlebihan dalam buluh darah. Kongesti dapat
terjadi karena penghambatan pembuluh darah setempat, atau adanya penurunan
kemampuan kerja jantung (Carlton dan McGavin 1995). Respon tubuh lain akibat
infeksi virus hog cholera adalah terbentuknya trombus di lumen buluh darah dan
degenerasi hialin di dinding buluh darah arteri. Patogenesa trombosis dapat di
terangkan berdasarkan triad of Virchow’s yaitu karena adanya kelainan dinding buluh
darah, perubahan aliran darah dan perubahan daya beku darah (Verstraete dan
Vermylen 1984). Hialin pada tunika media buluh darah terbentuk akibat adanya
subtitusi protein oleh kompleks proteasome (Myers dan McGavin 2007). Infeksi virus
hog cholera bersifat sitolitik, dimana replikasi virus mengakibatkan kerusakan dan
kematian sel karena replikasi mengganggu sintesis dan fungsi protein seluler hospes.
97
Sel yang terinfeksi akan mengalami lisis dengan melepaskan virus-virus baru ke ruang
ekstraseluler (Roitt et al. 1988). Reaksi peradangan akibat infeksi virus ini berjalan
sistemik atau sepsis. Salah satu aspek penting pada sepsis adalah terjadinya kerusakan
organ yang apabila dalam fase lanjut akan melibatkan lebih dari satu organ (multiple
organ failure/MOF). Keadaan MOF ini berhubungan dengan angka kematian ternak
babi yang tinggi (Geering et al. 1995).
98
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan yang di peroleh dari penelitian ini yaitu :
1).
Perubahan gejala klinis, patologi anatomi dan histopatologi dari organ-organ
yang terinfeksi virus hog cholera asal Papua selain lesio patologi button ulcer,
secara umum memiliki kesamaan dengan perubahan yang di temukan pada
kasus-kasus sebelumnya yang di laporkan di Inggris, Jerman dan Jepang yaitu
gejala klinis berupa: lesu, malas bergerak, gemetar, nafsu makan hilang, suhu
tubuh mencapai 41-42°C. Konstipasi dan diare, konjungtivitis dan eritema pada
kulit daerah perut, muka, telinga, dan bagian dalam dari kaki. Lesio patologi
anatomi berupa: ptekhial laringitis, pneumonia, hemoragi jantung, perihepatitis,
hemoragi serosa dan mesenterium usus, ptekhial ginjal, hemoragi limpa dan
limfoglandula. Lesio histopatologi berupa: nekrosis tubuli ginjal, kongesti hati,
bronkho interstisialis pneumonia, nekrosis germinal pusat folikel limfoid,
deplesi limfosit B, hematopoiesis organ limpa dan limfadenitis.
2).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa metode imunohistokimia dapat
digunakan untuk mendeteksi keberadan antigen selain di jaringan juga dapat
digunakan untuk mendeteksi antigen di sel–sel darah. Deteksi distribusi
antigen hog cholera menunjukkan afinitas yang tinggi berturut-turut pada: Sel
limfoid limpa dan limfogandula; sel leukosit dalam buluh darah dan sel
endotel buluh darah limfogandula; sel leukosit dalam buluh darah paru; sel
endotel buluh darah ginjal, sel endotel glomerulus dan tubulus ginjal, sel
epitel tubulus ginjal; sel endotel buluh darah paru-paru, makrofag dan sel
leukosit dalam buluh darah paru-paru; sel endotel buluh darah hati, makrofag,
sel leukosit dalam buluh darah hati dan sel endotel buluh darah jantung.
3).
Patogenesa perdarahan yang hampir merata pada organ-organ terutama di
sebabkan karena lesio degeneratif yang di tandai dengan hipertrofi dan
deskuamasi sel epitel endotel, vakuolisasi dan degenerasi fibrinoid tunika
media dan tunika adventisia buluh darah arteri.
Saran yang dapat di sampaikan yaitu:
99
1).
Dilakukan penelitian infeksi buatan virus hog cholera isolat asal Papua untuk
mengetahui tahapan kejadian penyakit, agar gejala dini dari penyakit ini bisa
segera dikenali oleh petugas lapang .
2).
Mengumpulkan isolat virus lokal agar bisa di jadikan kandidat vaksin yang bisa
di gunakan untuk menghentikan wabah penyakit hog cholera di wilayah Papua.
100
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 1996. Beternak Babi. Loka Pengkajian Tehnologi Pertanian Koya Barat.
Jayapura. Lembar Informasi Pertanian. Halaman 5-8.
Anonimous, 1998. Pedoman Teknis Pemberantasan dan Pengendalian Penyakit
Clasical Swine Fever (Hog Cholera). Direktorat Bina Kesehatan Hewan,
Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian. Halaman 1-38
Anonimous, 2006. Papua Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Papua.
Halaman 5-10.
Aviva P and Paul W. 2006. Statistics for Veterinary and Animal Science 2nd Edition.
Blackwell Publishing. Pp. 158-168
Bellanti JA and Kadlec JV. 1993. General Immunology. In Bellanti JA, editor.
Immunology III. Phildephia, Pa:WB Saunders Co. Pp.16-53.
Burkitt HG, Young B and Heat JW. 1995. Wheater’s Functional Histology. A Text and
Color Atlas. EGC Jakarta. Pp. 333-334
Carbery EA, Erickson GA and Metz CA. 1984. Diagnosis of hog cholera. Preventive.
Vet. Med. (2): 103-108.
Carlton WW and McGavin MD. 1995. Thomson’s Special Veterinary Pathology. 2nd
Ed. Mosby. St. louis. Pp.197- 265
Cheville NF. 1999. Introduction to Veterinary Pathology. Iowa State University
Press/Ames. Pp. 57-99
Choi C and Chae C. 2003. Localization of Classical Swine Fever Virus from
Chronically Infected Pigs by In Situ Hybridization and Immunohistochemistry.
Vet Pathol (40) : 107-113.
Chianini F, Majo N, Segales J, Domingues J and Dominggo J. 2001.
Immunohistological Study of The Immune System Cells in Paraffin Embedded
Tissues of Conventional Pig. J. Veterinary Immunology and Immunopathology
(82): 245-255
Cicilia S. 2006. Penyidikan Penyakit Babi Di Karanganyar Tahun 2006. Bul Lab. Vet.
Vol : 6. No: 4. Halaman 1-5.
Confer AW and Panciera RJ. 1995. The Urinary System. In Carlton WW and Mc
Gavin MD, editor. Thomson’s Special Veterinary Pathology. 2nd Ed. MosbyYear Book Inc. USA. Pp. 235-273
Corwin EJ. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Penerjemah; Endah P, editor. Jakarta: EGC.
Terjemahan dari: Handbook of Pathophysiology. Halaman 5-16
101
Crookham J and Dapson R. 1991. Hazardous Chemicals in the Histology Laboratory
2nd ED, University of Utah Histology Laboratory SQ. Pp. 9-13
Dungworth DL. 1993. The Respiratory System. Di dalam: Jubb KVF,Kennedy PC,
Palmer N, editor. Pathology of Domestic Animals. 4th Ed. Vol 1. San Diego:
Academic Press. Pp. 305-332
Edwards S and Sands JJ. 1990. Antigenic comparison hog cholera virus isolates from
Europe, America, and Asia using monoclonal antibodies. Deutsch Tierarztl
Wochenschr 97:79-81.
Edwards S, Fukusho A, Lefevre PC, Lipowski Z, Pejsak P, Roehe P and Westergaard
J. 2000. Classical Swine Fever: The Global Situation. Vet. Microbiol. (13): 103109
Edwards S, Moennig V and Wensvoort G. 1991. The development of an international
reference panel of monoclonal antibodies for the differentiation of hog cholera
virus from other pestiviruses. Vet. Microbiol. (29): 101-110
Gomez Villamandos JE, Ruiz VE, Bautista MJ and Sanchez CP. 2001. Morphological
and immunohistochemical changes in splenic macrophages of pig infected with
classical swine fever. J. Comp. Pathol. 125 (2-3): 98-109
Geering WA, Forman AJ and Nunn MJ. 1995. Exotic Diseases of Animals, a Field
Guide of Australia Veterinarians. Aust Gov. Publishing Service, Canberra. Pp.
9- 55
Greiser Wilke I, Blome S and Moennig V. 2007. Diagnostic Methods for detection of
Classical swine fever virus status quo and new developments. J. Vaccine (25) :
5524-5530.
Horzinek MC. 1981. Non Arthopod Borne Togaviruses. New York: Academic Press.
Pp. 105-110
Hsu H, Raine L, and Fanger H. 1981. Use of Avidin Biotin Biotin Peroxidase Complex
(ABC) Immunperoxidase Techniques : a comparison between ABC and
unlabeled antibody (PAP) procedures : Histochem. Cytochem. (29) : 577-580
Humason GL. 1972. Animal Tissue Techniques. 3rd Ed . Freeman WH and Co. San
Fransisco, USA. Pp. 1-20
Jubb KVP, Kennedy PC and Palmer N. 1993. Pathology of Domestic Animal. 4th
Ed.Vol II. San Diego: Academic press. Pp. 105-109
Ketut S, Wibisono MM dan Wahyundari D. 1998. Kejadian Hog Cholera Di TimorTimur. Bul. Vet BPPH VI . Vol: XI. No: 55. Halaman 2-9
102
Kiernan JA. 1990. Histological & Histochemical Methods: Theory & Practice.
2ndedition. Pergamon Pr. England. Pp. 5-50
Lopez, A. 1995. Respiratory System. In Carlton WW and Mc Gavin MD, editor.
Thomson’s Special Veterinary Pathology. 2nd Ed. Mosby-Year Book Inc. USA.
Pp. 463-473
Liess B, Depner K, and Bauer T. 1992. Thermal and pH Stability of Pestiviruses. Rev
Sci Tech OIE (Office national des Epizootics) 11: 885-893.
Lipowski M, Drexler C and Pejsak Z. 2000. Safety and Efficacy of a Classical Swine
Fever Subunit Vaccine in Pregnant Sows and their offspring. Vet. Microb. (15):
99-108
MacKenzie WF and Alison R. 1990. Heart. Di dalam: Pathology Reference and Atlas.
Australia: Academic Press. Pp. 56-58
MacLachlan, NJ. and Cullen JM. 1995. Liver, Billiary System and Exocrine Pancreas.
In Carlton WW and Mc Gavin MD, editor. Thomson’s Special Veterinary
Pathology. 2nd Ed. Mosby-Year Book Inc. USA. Pp.80-123
Narita M, Kawashima K and Shimizu M. 1996. Viral Antigen and B and T
Lymphocytes in Lymphoid Tissues of Gnotobiotic Piglets Infected with Hog
Cholera Virus. J. Comp. Path. Vol. (114) : 257-263.
Narita M, Kawashima K, Kimura O, Mikami K, Shibahara T, Yamada S, and Sakoda
Y. 2000. Comparative Immunohistopathology in Pigs Infected with Highly
Virulent or Less Virulent Strains of Hog Cholera Virus. Vet Pathol (37) : 402408.
Nunez F, Carrasco L, Gomez Villamandos JC, Sanchez Cordon PJ, and Salguero FJ.
2005. Evolution of T Lymphocytes and Cytokine Expression in Classical Swine
Fever (CSF) Virus Infection. J. Comp. Path. Vol. 132, 249-260
Pattiselanno F. 2005. Peternakan Babi di Manokwari : Mempertahankan Tradisi dan
Meningkatkan Taraf Hidup. Universitas Papua Manokwari. Halaman 5-9
Parchariyanon S, Inni K, Pinyochon W and Takahashi E. 2000. Genetic Grouping of
Classical Swine Fever Virus by Restriction Fragment Length Polymorphism of
The
E2
Gene.
J.
Virol
Methods.
(87)
:
145-149.
http://www.igentaconnect.com/../0000001/art 00162. [ 21 Juli 2008]
Quezada M, Mulas J, Villamor E, Donoso S, Lecocq C and Sierra MA. 1997.
Immunohistochemical detection of hog cholera viral glycoprotein 55 in paraffin
–embedded tissues. J. vet Diagn Invest. (9): 10-16
Quezada M, Cayo L, Carrasco L, Islas A, Lecocq C, Gomez V and Sierra MA. 2000.
Characterization of lesions caused by a South American virulent isolate
(Quillota) of the hog cholera virus. J.Vet. Med. B. (47) 411-422
103
Roitt I. Brostoff J and Male D. 1988. Cells involved in the immune response. In: Roitt
I. Brostoff J. Male D. Immunology. St. Louis, MO : The Cv Mosby Co. Pp. 2 16.
Myers RK and McGavin MD. 2007. Cellular and Tissue Responses to Injury in
Pathologic Basis of Veterinary Disease. In McGavin MD and Zachary JF,
editor. Pathologic Basic of Veterinary Disease. 4rd Ed. Mosby. St. louis. Pp.747
Ruiz Villamor E, Quezada M, Bautista MJ, Romanini S, Carrasco L, Salguero FJ, and
Gomes Villamandos JC. 2001. Classical Swine Fever: Pathogenesis of
Glomerular Damage an Immunocharacterization of Immunocomplex Deposit.
J. Comp. Path.Vol 124, 246-254.
Sasahara J. 1970. Hog Cholera: Diagnosis and Prophylaxis. Nat. Inst. Anim. J. Health
Quart. (10) : 57-81
Seifried O and Cain CB. 1932. Histological Studies on Hog Cholera Lesion of The
Vascular System. J. Medicine. (56): 2-4. http://www.jem.org.hml. [18
September 2007]
Sulaxono HY, Sriyanto J dan Kalianda S. 2003. Kasus Hog Cholera di Kalimantan
Barat Tahun 2003. Dilavet.Vol 13, No 3. Halaman 10-14
Susa MM, Konig M, Saalmuller A, Reddehase MJ and Thiel HJ. 1992. Pathogenesis of
Classical Swine Fever : B-lymphocyte Deficiency Caused by Hog Cholera
Virus. J. Virol. Feb. (2) : 1171 -1175.
Tighe JR and Davies DR. 1984. Pathology. Bailliere Tindal. London. Pp. 134-156
Tizard I. 2000.Veterinary Immunology: An Introduction (6th) WB Saunders Co. Pp.
450
Van Dijk JE, Gruys E and Mouwen JMVM. 2007. Color Atlas of Veterinery
Pathology. 2nd Ed. Saunders Elsevier British Library. Pp. 5-10
Van Oirschot JT, Mengeling WL, William L and Taylor DJ. 1999. Hog Cholera. In:
Disease of Swine, ed. 8th.Blackwell Science Malden, MA. Iowa Univ Press. Pp.
159-172.
Van Vleet JF and Ferrans VJ. 1995. Pathology of Cardiovascular System. Di dalam
Carlton WW dan McGavin MD, editor. Thomson’s Special Veterinary
Pathology. 2nd Ed. St Louis: Mosby. Pp 197-227
Van Vleet JF and Ferrans VJ. 1986. Myocardial disease of animals. Am. J.
Pathol.124:98.
Verstraete M and Vermylen J. Trombosis. 1984. Pergamon Press. 1st ed. Oxford. Pp.
49-52.
104
Vilcek S, Lowings JP, Stadejek T, Ballagi-Pordany, Paton DJ and Belak S. 1996.
Genetic Variability of Classical Swine Fever Virus. Virus Res. Aug 43 (2) :
137- 140
105
LAMPIRAN
106
107
PEMBUATAN SEDIAAN HISTOPATOLOGI DENGAN PEWARNAAN
HEMATOXYLLIN-EOSIN
Proses pembuatan sediaan histologi hingga pewarnaan terdiri dari tujuh tahap, yaitu
fiksasi, dehidrasi, clearing, infiltrasi atau impregnasi, embedding atau blocking,
pewarnaan dan mounting.
1. Fiksasi
Jaringan yang akan di buat sediaan histologi di potong dengan ukuran tidak lebih dari
1x1 cm² dengan ketebalan 2-3 mm, kemudian di lakukan proses fiksasi dengan cara di
rendam dalam cairan buffer normal formalin 10% (BNF) minimal selama 48 jam.
Tahap ini sangat penting karena di tujukan untuk menghentikan proses enzimatis pada
jaringan dan menjaga agar elemen-elemen sel tetap terfiksasi pada tempatnya. Setelah
jaringan di anggap ”matang” atau terfiksasi dengan baik, kemudian di lakukan proses
selanjutnya yaitu dehidrasi, clearing, infiltrasi atau impregnasi, embedding atau
blocking. Selain embedding, semua proses di lakukan dengan menggunakan alat
automatic tissue processor (Sakura).
2. Dehidrasi
Proses dehidrasi di maksudkan untuk menarik air dari jaringan dengan cara
merendamnya dalam larutan alkohol dengan konsentrasi bertingkat. Konsentrasi
larutan alkohol bertingkat yang di gunakan di mulai dari 70%, 80%, 90%, 95% dan
terakhir menggunakan alkohol absolut. Perendaman jaringan dalam masing-masing
konsentrasi alkohol di lakukan selama 2 jam. Perendaman dalam alkohol 95% dan
alkohol absolut masing-masing di lakukan dalam dua tahap. Lama perendaman dalam
masing-masing gelas adalah 2 jam. Hal ini di maksudkan agar air yang terkandung
dalam pori-pori jaringan benar-benar tertarik. Pori-pori kosong tersebut nantinya akan
di isi dengan parafin dalam proses infiltrasi setelah melewati proses clearing. Proses
dehidrasi di Bagian Patologi di lakukan dengan menggunakan mesin otomatis yaitu
automatic tissue processor (Sakura).
3. Clearing
Pada proses clearing atau penjernihan, jaringan di rendam dalam larutan xylol. Xylol
bersifat mudah bercampur dengan alkohol (yang berasal dari proses dehidrasi) dan
juga dapat melarutkan parafin (dari proses infiltrasi). Dengan demikian penggunaan
xylol dalam proses ini di maksudkan untuk melarutkan alkohol dan parafin sehingga
di peroleh jaringan yang jernih dan bersih tanpa kotoran atau artefak yang dapat
mengganggu proses pembacaan. Agar di peroleh jaringan yang benar-benar jernih dan
bersih, perendaman dalam xylol juga di lakukan dalam dua tahap, yaitu xylol I dan
xylol II dan di lakukan menggunakan automatic tissue processor (Sakura)
4. Infiltrasi
Infiltrasi atau impregnasi adalah proses pengisian parafin ke dalam pori-pori jaringan.
Pengisian pori-pori ini di maksudkan untuk mengeraskan jaringan agar mudah di
potong setipis mungkin dengan pisau mikrotom. Parafin yang di gunakan adalah
parafin berplastik yang mempunyai titik lebur 56ºC (Histoplast, Shandon, England).
Proses infiltrasi juga di lakukan dua tahapan, di sebut sebagai tahapan parafin I dan
parafin II, masing-masing lamanya 2 jam. Hal ini di maksud agar seluruh pori-pori
jaringan benar-benar terisi parafin. Infiltrasi parafin di lakukan menggunakan
automatic tissue processor (Sakura)
5. Embedding atau Blocking
Embedding atau Blocking adalah proses penanaman jaringan dalam parafin dan
parafin tersebut di cetak ke dalam wadah khusus berupa ”tissue cassette” atau block
besi, sehingga terbentuk blok-blok parafin. Parafin yang di pakai pada proses ini sama
dengan yang di gunakan dalam proses infiltrasi. Embedding di lakukan untuk
memudahkan proses pemotongan, karena blok parafin yang terbentuk dapat di
letakkan pada holder mikrotom tepat di depan pisaunya. Proses embedding di lakukan
menggunakan alat tissue embedding console
6. Pemotongan
Untuk mendapatkan sediaan histologi yang baik, jaringan di potong setebal 4-5µ
menggunakan rotary microtome Spencer, USA dan hasilnya berupa ’pita-pita’
jaringan yang saling bersambungan di letakkan di permukaan air dalam penangas
dengan suhu 50ºC agar pita jaringan tersebut tidak berkerut dan tidak melekat satu
sama lain. Sediaan kemudian di letakan pada gelas objek yang sebelumnya telah
diberi Ewitt. Potongan jaringan kemudian di simpan semalam dalam inkubator
bersuhu 56ºC agar parafin yang melekat pada jaringan mencair dan jaringan benarbenar melekat pada gelas objek.
7. Pewarnaan Hematoxyllin- Eosin (Humason, 1972)
Sebelum melakukan pewarnaan, di lakukan proses deparafinisasi dengan cara
merendam sediaan histologi ke dalam xylol sebanyak tiga tahap masing-masing
selama dua menit. Kemudian dilakukan proses rehidrasi, yaitu penambahan air ke
dalam jaringan dengan cara mencelupkan sediaan ke dalam alkohol bertingkat yang di
mulai dengan alkohol 80% satu menit. Kemudian sediaan di cuci dengan air yang
mengalir dan di keringkan. Selanjutnya sediaan di warnai dengan pewarnan Mayer’s
Haematoxyllin yang di modifikasi dengan tahapan sebagai berikut:
Tahapan
Waktu
Pewarnaan dengan Mayer’s Haematoxyllin
8 menit
Cuci dengan air mengalir atau air keran
30 detik
Pewarnaan dengan Lithium Carbonat
15-30 detik
Cuci dengan air mengalir atau air keran
2 menit
Pewarnaan dengan Eosin
2-3 menit
Cuci dengan air mengalir atau air keran
30-60 menit
Setelah di keringkan, sediaan di celupkan kembali ke dalam alkohol 95% sebanyak 10
kali celupan, alkohol absolut I 10 kali celupan, alkohol absolut II selama dua menit,
xylol I selama satu menit dan xylol II selama dua menit.
8. Mounting
Setelah tahapan pewarnaan, sediaan di tetesi perekat Permount (Fischer,USA) dan di
tutup dengan gelas penutup. Setelah gelas penutup benar-benar melekat dan perekat
kering, sediaan siap di baca di bawah mikroskop.
HASIL UJI LABORATORIUM
BALAI BESAR VETERINER MAROS
Pengujian sampel yang terdiri dari serum dan organ hewan babi di lakukan di Laboratorium
Virologi dan Laboratorium Patologi Balai Besar Veteriner Maros, dengan hasil sebagai berikut.
Tabel 1. Rekapitulasi jumlah sampel serum dan organ babi dari Kabupaten dan Kodya Jayapura
Bulan Juli s/d Oktober 2006
No. Tanggal terima Spesimen Jumlah Hasi Uji
Jumlah
1. 18 Juli 2006
Serum
12
Positif Antibodi 2
hog cholera
2. 23 Agust 2006 Serum
47
Positif Antibodi 22
hog cholera
organ
8
Positif Antigen 7
hog cholera
3. 20 Okt 2006
Serum
28
Positif Antibodi 2
hog cholera
organ
1
Positif Antigen
hog cholera
Jumlah
94
Positif Antibodi 34
dan
antigen
cholera
Sumber : Bagian Epidemiologi Balai Besar Veteriner Maros.
Persentase
16,67%
Keterangan
Uji Elisa Ab
46,81%
Uji Elisa Ab
87,5%
Uji Elisa Ag
7,14%
Uji Elisa Ab
100%
Uji Elisa Ag
36,17%
Uji Elisa ag
dan Ab
Uji U Mann-Whitney Skor Lesio Histopatologi Organ
Ranks
paru2
jantung
Hati
Ginjal
Limpa
perlk
Babi Sakit
Babi Sehat(kontrol)
Total
Babi Sakit
Babi Sehat(kontrol)
Total
Babi Sakit
Babi Sehat(kontrol)
Total
Babi Sakit
Babi Sehat(kontrol)
Total
Babi Sakit
Babi Sehat(kontrol)
Total
N
10
3
13
10
3
13
10
3
13
10
3
13
10
3
13
Mean Rank
8.50
2.00
Sum of Ranks
85.00
6.00
8.50
2.00
85.00
6.00
8.50
2.00
85.00
6.00
8.50
2.00
85.00
6.00
8.50
2.00
85.00
6.00
Test Statisticsb
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
paru2
.000
jantung
.000
Hati
.000
Ginjal
.000
Limpa
.000
6.000
6.000
6.000
6.000
6.000
-2.726
-3.122
-2.793
-2.726
-2.917
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)]
.006
.007
.002
a
.007
.005
a
.007
.006
a
.007
.004
a
.007
a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: perlk
Interpretasi
Keterangan :
Mean Rank = rata-rata ranking
Hipotesis
H0 : Msakit = Mkontrol ( antara Babi sakit dengan Babi Kontrol Tidak Berbeda nyata)
H1 : Msakit ≠ Mkontrol ( antara Babi sakit dengan Babi Kontrol Berbeda nyata)
Jika nilai-p(significant) dari Mann Whitney < 0.05 maka tolak H0
Kesimpulannya : antara babi sakit dengan babi kontrol untuk semua amatan berbeda
nyata.
Uji U Mann-Whitney Skor Lesio Histopatologi Buluh darah arteri Organ
Ranks
paru2
jantung
Hati
Ginjal
Limpa
perlk
Babi Sakit
Babi Sehat(kontrol)
Total
Babi Sakit
Babi Sehat(kontrol)
Total
Babi Sakit
Babi Sehat(kontrol)
Total
Babi Sakit
Babi Sehat(kontrol)
Total
Babi Sakit
Babi Sehat(kontrol)
Total
N
10
3
13
10
3
13
10
3
13
10
3
13
10
3
13
Mean Rank
8.50
2.00
Sum of Ranks
85.00
6.00
8.50
2.00
85.00
6.00
8.35
2.50
83.50
7.50
8.50
2.00
85.00
6.00
8.50
2.00
85.00
6.00
Test Statisticsb
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)]
paru2
.000
6.000
-2.704
.007
.007
jantung
.000
6.000
-2.704
.007
a
.007
Hati
1.500
7.500
-2.453
.014
a
.014
Ginjal
.000
6.000
-2.726
.006
a
.007
Limpa
.000
6.000
-2.917
.004
a
.007
a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: perlk
Interpretasi
Keterangan :
Mean Rank = rata-rata ranking
Hipotesis
H0 : Msakit = Mkontrol ( antara Babi sakit dengan Babi Kontrol Tidak Berbeda nyata)
H1 : Msakit ≠ Mkontrol ( antara Babi sakit dengan Babi Kontrol Berbeda nyata)
Jika nilai –p (significant) dari Mann Whitney < 0.05 maka tolak H0
Kesimpulannya : antara babi sakit dengan babi kontrol untuk semua pengamatan berbeda
nyata.
Uji U Mann-Whitney Skor Lesio Histopatologi Organ Limfoglandula
Ranks
Limfoglandula
perlk
Babi Sakit
Babi Sehat(Kontrol)
Total
N
3
3
6
Mean Rank
5.00
2.00
Sum of Ranks
15.00
6.00
Test Statisticsb
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)]
Limfoglan
dula
.000
6.000
-2.121
.034
.100
a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: perlk
Interpretasi
Keterangan :
Mean Rank = rata-rata ranking
Hipotesis
H0 : Msakit = Mkontrol ( antara Babi sakit dengan Babi Kontrol Tidak Berbeda nyata)
H1 : Msakit ≠ Mkontrol ( antara Babi sakit dengan Babi Kontrol Berbeda nyata)
Jika nilai –p (significant) dari Mann Whitney < 0.05 maka tolak H0
Kesimpulannya : antara babi sakit dengan babi kontrol untuk limfoglandula berbeda
nyata.
Download