KAJIAN PATOLOGI HOG CHOLERA KASUS OUTBREAK TAHUN 2006 DI KABUPATEN JAYAPURA PROVINSI PAPUA SRI UTAMI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Patologi Hog Cholera Kasus Outbreak Tahun 2006 Di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum di ajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau di kutip dari karya yang di terbitkan maupun tidak di terbitkan dari penulis lain telah di sebutkan dalam teks dan di cantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Januari 2009 Sri Utami NIM. B053050041 ABSTRACT SRI UTAMI. Pathological Study of Hog Cholera Outbreak Cases of 2006 In District of Jayapura, Province of Papua. Under direction of Dewi Ratih Agungpriyono and Sri Estuningsih. Hog cholera is a lethal viral disease on pig. This disease sporadically find in District of Jayapura. The research aims to get a comprehensive understanding on the pathological lesion and hog cholera viral distribution in pig organs. Samples of lung, heart, liver, spleen, kidney and lymphnode of 10 sick pigs were used in this research. Unvaccinated healthy pig organs were used as a control. Tissue samples stain with Hematoxyllin Eosin (HE) were used to observe general changes on the sick pig tissues, Verhoeff van Giesson and Masson Trichrome (MT) staining were used to observe general changes on the blood vessel. Immunohistochemistry stain of hog cholera monoclonal antibody were used to evaluate the distribution of hog cholera antigen on pig organ samples. Histopathology observation showed that there are active chronic broncho interstitial pneumonia, active chronic multifocal milliary necrotic hepatitis, active chronic nephritis, cardiomyopathy, splenitis and lymphadenitis. The lesions are similar with previous reported cases of hog cholera in other part of the world. Spleen and lymphnode are the most severe organs affected with hog cholera virus. Histopathology observation on blood vessel showed that there are hypertrophy and desquamated endothelium, degeneration and necrosis of tunica intima, tunica media and tunica adventisia. The hog cholera antigen distribution by immunohistochemical staning showed a high affinity consecutively in reticulo endothelial, lung leukocytes, liver leukocytes, kidney glomerular and tubular endothelium, kidney tubular epithelium, kidney blood vessel endothelium, lung blood vessel endothelium, hepatocytes, liver blood vessel endothelium and heart blood vessel endothelium. Keywords : Blood vessel pathology; Classical swine fever; Hog cholera in Indonesia, . RINGKASAN SRI UTAMI. Kajian Patologi Hog Cholera Kasus Outbreak Tahun 2006 Di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua. Dibimbing oleh Dewi Ratih Agungpriyono dan Sri Estuningsih. Hog cholera merupakan salah satu penyakit viral pada babi yang bersifat fatal, secara sporadik penyakit ini masih di temukan di Kabupaten Jayapura dan di anggap sebagai salah satu penyebab kematian babi. Untuk memperoleh pemahaman komprehensif tentang hog cholera telah di lakukan penelaahan dengan tujuan untuk mengetahui 1). Bagaimana perubahan patologi organ babi yang terinfeksi hog cholera, apakah perubahan ini sama dengan perubahan yang di temukan pada kasus-kasus terdahulu di luar Papua. (2). Distribusi antigen hog cholera (3). Bagaimana gambaran histopatologi organ babi dengan tinjauan khusus perubahan pada buluh darah. Sampel organ berupa paru-paru, jantung, hati, ginjal, limpa dan limfoglandula dari 10 ekor babi sakit digunakan dalam studi ini, sebagai kontrol digunakan sampel organ babi sehat yang tidak divaksinasi sebanyak 3 ekor. Sampel jaringan di warnai dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) untuk mengamati perubahan jaringan secara umum, Masson Trichrome (MT) dan Verhoeff van Giesson (VvG) di gunakan untuk mengamati perubahan struktur buluh darah. Pewarnaan imunohistokimia di lakukan untuk mengetahui distribusi antigen hog cholera pada organ sampel. Hasil yang di peroleh dari penelitian ini ádalah 1). Gejala klinis yang di temukan di lapangan dari 10 ekor babi yang terserang penyakit menunjukkan gejala; lemah, kurang aktif, depresi, bergerombol di pojok kandang, diare kekuningan dan berbau. Terjadi konjungtivitis, muntah, demam mencapai 42°C, eritema pada ujung telinga, bawah leher sampai perut dan siku-siku kaki. Dua dari sepuluh ekor babi yang mati di sertai pembesaran skrotum. Gejala klinis yang terjadi pada kasus ini umumnya memperlihatkan gejala yang sama dengan gejala klinis hog cholera sebagaimana yang di laporkan pada kasus-kasus sebelumnya di Inggris, Jerman dan Jepang, 2). Pengamatan makroskopis organ babi pada penelitian ini menunjukkan adanya lesio laringitis dengan perdarahan ptekhie, pneumonia, perdarahan paru-paru dan jantung. Pendarahan dan pembengkakan organ hati, limpa, limfoglandula mesenterika, serosa, mesenterium usus dan pendarahan ptekhie pada permukaan korteks ginjal. Lesio makroskopis yang di temukan pada kasus ini umumnya memperlihatkan adanya kesamaan dengan lesio makroskopis sebagaimana di ungkapkan oleh peneliti terdahulu. 3). Pengamatan mikroskopis organ babi pada penelitian ini menunjukkan adanya lesio nekrosis tubuli ginjal, kongesti hati, bronkho interstisialis pneumonia, nekrosis germinal pusat folikel limfoid, deplesi limfosit B, hematopoiesis organ limpa dan limfadenitis dengan derajat keparahan yang berbeda-beda. Lesio mikroskopis yang di temukan pada kasus ini umumnya memperlihatkan adanya kesamaan dengan lesio mikroskopis sebagaimana di ungkapkan oleh peneliti terdahulu. 4). Deteksi distribusi antigen hog cholera menggunakan teknik imunohistokimia menunjukkan afinitas yang tinggi berturut-turut pada: Sel limfoid limpa dan limfogandula; sel leukosit dalam buluh darah dan sel endotel buluh darah limfogandula; sel leukosit dalam buluh darah paru; sel endotel buluh darah ginjal, sel endotel glomerulus dan tubulus ginjal, sel epitel tubulus ginjal; sel endotel buluh darah paru-paru, makrofag dan sel leukosit dalam buluh darah paru-paru; sel endotel buluh darah hati, makrofag, sel leukosit dalam buluh darah hati dan sel endotel buluh darah jantung. Secara umum hasil pengamatan distribusi antigen hog cholera pada kasus asal Papua memberikan hasil yang sama dengan laporan-laporan kasus terdahulu di dunia kecuali organ pankreas dan sel-sel glial karena tidak di lakukan pengamatan organ tersebut pada penelitian ini. 5). Pengamatan mikroskopis pada buluh darah di temukan adanya lesio degeneratif yang di tandai dengan hipertrofi dan deskuamasi sel endotel, vakuolisasi dan degenerasi fibrinoid tunika media dan tunika adventisia buluh darah arteri © Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta di lindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB KAJIAN PATOLOGI HOG CHOLERA KASUS OUTBREAK TAHUN 2006 DI KABUPATEN JAYAPURA PROVINSI PAPUA SRI UTAMI Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magíster Sains pada Program Studi Sains Veteriner SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 Judul Tesis : Kajian Patologi Hog Cholera Kasus Outbreak Tahun 2006 Di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua Nama : Sri Utami NIM : B.053050041 Disetujui Komisi Pembimbing drh. Dewi Ratih Agungpriyono, Ph.D Dr. drh. Sri Estuningsih, MSi Ketua Anggota Diketahui Ketua Program Studi Sains Veteriner drh.Bambang Pontjo Priyosoeryanto, MS, Ph.D Tanggal Ujian: Dekan Sekolah Pascasarjana Prof.Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal lulus : PRAKATA Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas Rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan penelitian dengan judul : ”Kajian Patologi Hog Cholera Kasus Outbreak Tahun 2006 Di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua”. Penulisan ini di lakukan sebagai salah satu syarat penyelesaian tugas akhir Program Magister Sains (S-2) pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Proses penelitian sampai penulisan tesis ini telah mendapatkan bantuan dan saran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, saya patut mengucapkan banyak terimakasih dan penghargaan yang tinggi atas sumbangsih pemikiran, moril, material dan andil kepada mereka antara lain: 1. drh. Dewi Ratih Agungpriyono, Ph.D dan Dr. drh. Sri Estuningsih, MSi selaku komisi pembimbing atas arahan, bimbingan dan semua kebaikannya dari awal mulai berkonsultasi untuk penulisan proposal sampai tesis ini selesai. 2. Ketua Program Studi Sains Veteriner drh. Bambang Pontjo Priyosoeryanto, MS, Ph.D, dan drh. Ekowati Handaryani, MS, Ph.D yang selalu memberi semangat untuk menyelesaikan studi. 3. Drh. Hernomoadi Huminto, MVSc selaku penguji pada ujian tesis saya dan sahabat saya drh.Vetnizah Juniantito yang telah memfasilitasi dan membantu dalam pengadaan monoklonal antibodi hog cholera. 4. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak drh. Constant Karma, dan Bapak Drs. Abdulah Hamzah, Msi (Kabag Anggran Pemda Provinsi Papua) atas kepedulian dan perhatiannya dalam proses penyelesaian studi saya. 5. Bapak drh. AR. Pintadewa, MMT, Bapak drh. Indarto Sudarsono, MMT dan Bapak drh. Benny Pantiadi dari Dinas Peternakan Provinsi Papua, yang telah memfasilitasi penulis selama pengumpulan data awal penelitian. 6. Staf dan Teknisi Laboratorium Patologi antara lain Pak Kasnadi, Pak Endang, Pak Soleh, Bu Mely, Mbak Kiki yang telah banyak membantu penulis. 7. Sahabat terbaik saya Woro Pujiastuti, Pak Cornelis Tabuni (staf Wagub Papua) dan Mas Karel, Mas Agus (Staf Sekda Papua) yang telah banyak membantu penulis. Secara khusus, saya sampaikan rasa hormat dan penghargaan kepada Bapak, Ibu, kakak serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Herman teman terbaik dari Papua yang pernah saya miliki, untuk semua alasan yang masuk akal dan Maura Edgina Jasmine yang telah memberi makna dan semua kebaikan dalam kehidupan saya. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan tulisan ini. Bogor, Januari 2009 Penulis RIWAYAT HIDUP Penulis di lahirkan di Sentani, Kabupaten Jayapura Provini Papua pada tanggal 15 Mei 1975 dari seorang ibu yang bernama Sugiarti dan Bapak M. Sarwan, sebagai anak terakhir dari tiga bersaudara. Pendidikan formal yang penulis tempuh sebagai berikut: 1. Sekolah Dasar SD YPKP Sentani lulus tahun 1987 2. Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Sentani lulus tahun 1990 3. Sekolah Menegah Atas Negeri 1 Abepura lulus tahun 1993 4. Pendidikan Sarjana Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor lulus tahun 1997 5. Pendidikan Profesi Dokter Hewan Institut Pertanian Bogor lulus tahun 1999 Penulis melanjutkan pendidikan program pascasarjana di Institut Pertanian Bogor tahun 2005 dengan sponsor biaya pendidikan dari Pemerintah Daerah Provinsi Papua (BUD). DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI i DAFTAR TABEL iii DAFTAR GAMBAR iv DAFTAR LAMPIRAN vii I II III PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang ……………………………………………………….. 1 1.2. Tujuan ……………………………………………………………….. 2 1.3. Hipotesa ……………………………………………………………… 2 1.4. Manfaat ………………………………………………………………. 2 TINJAUAN PUSTAKA 3 2.1. Hog Cholera ………………………………………………………….. 3 2.2. Penyebab ………………………………………………………........... 4 2.3. Epidemiologi ………………………………………………………… 7 2.4. Patogenesis ……………………………………………………........... 8 2.5. Gejala Klinis …………………………………………………………. 8 2.6. Perubahan Patologi Anatomi (PA).……………………………........... 9 2.7. Perubahan Histopatologi (HP) ……………………………………….. 10 2.8. Diagnosis …………………………………………………………….. 10 2.9. Pencegahan ……………………………………………………........... 11 METODE PENELITIAN 12 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ………………………………………... 12 3.2. Materi Penelitian ……………………………………………………... 12 3.3. Metode Penelitian ……………………………………………………. 12 3.3.1. Pembuatan sediaan histologi ………………………………….. 14 i IV HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4.1. Gejala Klinis …………………………………………………………. 17 4.2. Lesio Makroskopis ……………………………………………........... 21 4.3. Lesio Mikroskopis.………. …………………………………………. 32 4.3.1. Organ Paru-paru ......................................................................... 32 4.3.2. Organ Jantung............................................................................. 42 4.3.3. Organ Hati.. ................................................................................ 48 4.3.4. Organ Ginjal.. ............................................................................. 57 4.3.5. Organ Limpa .............................................................................. 67 4.3.6. Organ Limfoglandula ……………………………………........ 75 4.4. Pengamatan Khusus Struktur Histopatologi Buluh Darah .................. 86 4.4.1. Buluh Darah Paru-paru, Jantung, Hati, Ginjal, Limpa........................................................................................... V KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA 87 99 101 ii DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 Nilai Skor Lesio Histopatologi Organ............................................. 13 Tabel 2 Nilai Skor Lesio Histopatologi Buluh Darah.................................. 14 Tabel 3 Data Babi Sampel dan Kontrol........................................................ 17 Tabel 4 Perubahan Patologi Anatomi organ Babi....................................... 30 Tabel 5 Nilai skor lesio histopatologi pada organ paru-paru....................... 33 Tabel 6 Nilai skor lesio histopatologi organ Jantung .................................. 43 Tabel 7 Nilai Skor lesio histopatologi organ Hati ....................................... 49 Tabel 8 Nilai Skor lesio histopatologi organ Ginjal ……………………… 58 Tabel 9 Nilai Skor lesio histopatologi organ limpa …………………......... 75 Tabel 10 Nilai Skor lesio histopatologi organ limfoglandula ……………… 74 Tabel 11 Rangkuman lesio histopatologi organ jantung, paru-paru, hati, ginjal, limpa dan limfoglandula ……………....... 81 Tabel 12 Distribusi dan Skor Antigen hog cholera………………………... 84 Tabel 13 Rangkuman skor lesio histopatologi buluh darah………….......... 92 iii DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4 Gambar 5 Gambar 6 Gambar 7 Gambar 8 Gambar 9 Gambar 10 Gambar 11 Peta Penyebaran Hog Cholera (HC) di Provinsi Papua ................................... Struktur virus Hog Cholera .............................................................................. Struktur protein virus hog cholera dan fungsi ……………………………….. Gejala Klinis; Babi lemah, kurang aktif dan depresi ........................................ Gejala Klinis; Konjungtivitis ………………………………………................ Gejala Klinis; Eritema pada kulit bagian ujung telinga………………. …….. Gejala Klinis; Eritema siku-siku kaki ……………………………………….. Gejala Klinis; Kematian yang disertai dengan pembesaran skrotum… Babi sehat (Kontrol).......................................................................................... Laringitis .......................................................................................................... Laring babi Kontrol........................................................................................... 4 5 5 18 18 19 19 20 20 22 22 Gambar 12 Gambar 13 Pneumonia dan hemoragi…………………………………………….............. Paru-paru babi kontrol…………………....………………………….............. 23 23 Gambar 14 Gambar 15 Gambar 16 Gambar 17 Gambar 18 Gambar 19 Hemoragi jantung.............................................................................................. Jantung babi kontrol.......................................................................................... Kongesti dan multifokus perihepatitis hati........................................................ Hati babi kontrol............................................................................................... Hemoragi usus babi.......................................................................................... Usus babi kontrol.............................................................................................. 24 24 25 25 26 26 Gambar 20 Gambar 21 Gambar 22 Gambar 23 Multifokal ptekhi ginjal………………………………………………………. Ginjal babi kontrol……...…………………………………………………….. Kongesti pada limpa………………………………………………………….. Limpa babi kontrol…………………………………………………................ 27 27 28 28 Gambar 24 a. Gambar 24 b. Gambar 25 Gambar 26 a. 29 29 29 Gambar 29. Gambar 30a. Gambar 30b. Gambar 30c. Gambar 31 Gambar 32 Gambar 33 Hemoragi limfoglandula……………………………………………................ Hemoragi limfoglandula……………………………………………................ Limfoglandula babi kontrol……………….………………………….............. Eksudat dalam bronkhioli, infiltrasi sel radang limfositik peribronkhiol………………………………………………………………….. Penebalan interstisial…………………………………………………………. Eksudat dalam bronkioli, infiltrasi sel radang limfositik peribronkhial……………………………………………………… Deskuamasi epitel bronkioli, infiltrasi sel radang limfositik peribronkhial……………………………………………………… Bronkhiolitis...................................................................................................... Kongesti, udema, hemoragi………………………………………….............. Udema dan pneumonia intersitialis…………………………………….......... Lesio hemoragi dan infiltrasi sel radang limfositik......................................... Emfisema……………………………………………………………….......... Bagian paru dengan lesio minimal……………………………………........... Septum alveoli normal dari paru-paru babi kontrol .…………………... Gambar 34 Distribusi antigen hog cholera organ paru-paru…………………................... 42 Gambar 26 b. Gambar 27. Gambar 28. 34 34 35 35 36 36 37 37 38 38 39 iv Gambar 35 Gambar 36 Gambar 37 Gambar 38 Gambar 39 Gambar 40 Gambar 41 Gambar 42 Gambar 43 Gambar 44 Gambar 45 Gambar 46 a. Gambar 46 b. Gambar 47 Gambar 48 Gambar 49 Gambar 50 Gambar 51 Gambar 52 a. Gambar 52 b. Gambar 53 Gambar 54 a. Kongesti kapiler dan edema diantara serabut otot jantung, degenerasi berbutir dan atrofi otot jantung……………………………........... Multifokus miopatia otot jantung...................................................................... Fokus fibrosis di daerah infark miokardium. ................................................... Infiltrasi sel radang limfositik pada bagian epikardium. …………………….. Hemoragi diantara serabut otot jantung............................................................ Anastomose antar serabut otot jantung babi kontrol................................ 44 Distribusi antigen hog cholera organ jantung………………………................ Infiltrasi sel radang pada septum interlobularis hati......................................... Akumulasi sel radang limfositik daerah porta hati…………………………… Sel radang dalam pembuluh darah sinusoid dan disekitar fokus nekrosa hepatosit……………………………………………………………... Akumulasi sel radang limfositik pada kapsula Glisson. Multifokus degenerasi lemak hepatosit pada bagian tepi lobular hepatosit. .......... ... Multifokus degenerasi lemak hepatosit............................................................ Sebaran Fokus degenerasi lemak hepatosit………………………….............. Kronik kongesti sinusoid hati........................................................................... Kronik kongesti sinusoid hati........................................................................... Infiltrasi ringan sel radang pada sinusoid hati kontrol.......................... ..... Susunan lobularis hati babi kontrol ............................................................ Distribusi antigen hog cholera organ hati......................................................... 48 50 50 51 52 52 53 53 54 54 57 Kongesti pembuluh darah mesangial dan kapiler pembuluh darah intra tubuli; degenerasi dan nekrosa epitel tubuli..................................................... Fokus Hemoragi.............................................................................................. 59 59 44 45 45 46 46 51 Glomerulitis…………………………………………………………. Endapan protein dalam lumen tubuli; degenerasi hidropis sel epitel tubuli…………………………………………………………………… 60 61 61 Gambar 58 Degenerasi hidropis sel epitel tubulus……………………………….............. Endapan protein dalam lumen tubuli………………………………………… Fokus nekrosa koagulasi dan akumulasi sel radang limfositik pada jaringan interstisialis………………………………………………… ……… Degenerasi hialin pada epitel tubuli, kongesti, infiltrasi sel radang limfositik pada jaringan interstisialis. ……………………………….. Endapan protein dalam lumen tubuli ginjal babi kontrol………………… Gambar 59.a Gambar 59.b Gambar 60 Gambar 61 Gambar 62 Gambar 63 Gambar 64 Gambar 65 Gambar 66 Gambar 67.a Gambar 67.b Distribusi antigen hog cholera organ ginjal………………………………….. Distribusi antigen hog cholera organ ginjal…………………………………. Distribusi antigen hog cholera organ ginjal…………………………………. Kongesti limpa disertai deplesi folikel limfoid. ………….............................. Splenitis dan peritonitis………………………………………………............ Fokus nekrosis……………………………………………………….............. Nekrosis sel limfoid pada pulpa putih ………………………………………. Infiltrasi makrofag Pulpa merah ……………………………………………. Deplesi folikel limfoid limpa babi kontrol. …………………………..... Sel megakariosit……………………………………………………................. Sel megakariosit……………………………………………………………… 65 66 66 Gambar 54 b. Gambar 55 Gambar 56 Gambar 57 60 62 62 63 68 69 69 70 70 71 73 73 v Gambar 68. a Gambar 68. b Distribusi antigen hog cholera organ limpa.…………………………………. Distribusi antigen hog cholera organ limpa. ………………..………………. 74 74 Gambar 69. Gambar 70. Gambar 71. a. Gambar 71. b. Gambar 72. a. Gambar 72 b. Kongesti Korteks limfonodus……………………………………………….. Udema sinus medularis……………………………………………………… Proliferasi sel retikulo endothelial di bagian sinus medularis.......................... Proliferasi sel retikulo endothelial di bagian sinus medularis. ........................ Bagian korteks limfoglandula babi kontrol ..................................................... Bagian korteks limfoglandula babi kontrol ............................................. 76 77 77 78 78 79 Gambar 73 Distribusi antigen hog cholera organ limfoglandula. ……………….............. 80 Gambar 74. Tidak ditemukan antigen hog cholera di organ limfoglandula Babi kontrol. ………………………………………………………........ 81 Gambar 75. Histogram Distribusi dan skor antigen hog cholera………….............. 85 Gambar 76. Hipertropi sel endotel, nekrosa tunika adventisia arteri pulmonaris…............ 88 Gambar 77. Hipertropi sel endotel dan infiltrasi sel radang arteri ginjal…………............ 88 Gambar 78. Deskuamasi tunika intima, nekrosa arteri paru-paru…………………........... 89 Gambar 79. Hipertropi sel endotel buluh dan hialinisasi arteri hati.................................... 89 Gambar 80. Hialinisasi tunika media dan vakuolisasi tunika media arteri limpa........................................ .......................................................... 90 Gambar 81. Deskuamasi sel endotel, dan rusaknya lamina interna arteri paru-paru.......... 90 Gambar 82. Deskuamasi sel endotel, akumulasi lemak di permukaan sel arteri Jantung…………………….................................................................... 91 Gambar 83 Trombus dilumen arteri limpa………………………………………….......... 91 Gambar 84 Stuktur tunika intima, tunika media dan tunika adventisia normal buluh darah paru-paru babi kontrol………………………………................... 92 vi DAFTAR LAMPIRAN Pembuatan sediaan histopatologi dengan pewarnaan Hematoxyllin-Eosin Hasil Pengujian Lab BBV Maros Uji U Mann- Whitney skor histopatologi organ Babi Uji U Mann- Whitney skor lesio histopatologi buluh darah arteri vii I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu kebijakan pemerintah dalam pembangunan subsektor peternakan di Indonesia adalah upaya untuk mencukupi kebutuhan akan protein hewani. Salah satu sumber pemenuhan protein hewani ini dapat berasal dari ternak babi. Ternak babi di Provinsi Papua merupakan salah satu komoditas unggulan dan mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi. Bagi masyarakat Papua ternak babi sangat penting artinya dalam keterkaitannya dengan adat istiadat atau dapat di katakan bahwa ternak babi sudah di pelihara sejak turun temurun. Selain itu, jumlah babi yang di miliki biasanya dijadikan sebagai ukuran kekayaan seseorang (status sosial). Semakin banyak babi yang di miliki, berarti semakin tinggi pula status sosialnya. Karena itu, tidaklah mengherankan sekalipun penduduk setempat memiliki pekerjaan utama yang beragam (pegawai negeri, swasta atau buruh) namun mereka tetap memiliki ternak babi sebagai tambahan sumber pendapatan dan alternatif guna meningkatkan taraf hidup keluarga (Pattiselanno 2005). Salah satu daerah sumber penghasil ternak babi di Provinsi Papua adalah Kabupaten Jayapura. Jenis babi yang banyak di pelihara oleh penduduk setempat di kabupaten ini adalah jenis babi lokal (Sus scrofa domesticus) yang di pelihara masih secara sederhana atau tradisional, contohnya seperti di beri makan limbah dapur dan ubi-ubian, di kandangkan tetapi kadang-kadang di lepas dengan sistem perkandangan tradisional, sistem pemeliharaannya hanya semata-mata di tujukan kepada kepentingan adat istiadat dan kurang memperhatikan aspek ekonomis (Anonimous 1996). Populasi ternak babi di Provinsi Papua pada tahun 2006 di perkirakan mengalami penurunan yang cukup besar yaitu sekitar 17.609 (tujuh belas ribu enam ratus sembilan) ekor jika di bandingkan dengan data populasi ternak babi pada tahun 2004, penurunan populasi babi juga terjadi di Kabupaten Jayapura (Anonimous 2006). Penurunan populasi ini sebagian besar di sebabkan oleh adanya wabah penyakit hog cholera yang terjadi mulai bulan Juni tahun 2004 hingga saat ini. Berdasarkan permasalahan di atas terutama penyakit hog cholera yang terjadi di Propinsi Papua khususnya Kabupaten Jayapura maka perlu di lakukan suatu penelitian atau kajian patologi hog cholera dengan tinjauan khusus mengenai buluh darah. 1 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman komprehensif tentang perubahan–perubahan organ babi yang terkena penyakit hog cholera. Penelitian ini di harapkan dapat menjawab pertanyaan mendasar berikut: (1). Bagaimana perubahan patologi organ babi yang terinfeksi hog cholera, apakah perubahan ini sama dengan perubahan yang di temukan pada kasus-kasus terdahulu di luar Papua. (2). Bagaimana gambaran patologi organ babi khususnya perubahan pada buluh darah. 1.3 Hipotesa Infeksi virus hog cholera menyebabkan perubahan yang khas pada organ-organ dan buluh darah babi. 1.4 Manfaat Hasil penelitian ini di harapkan dapat melengkapi informasi mengenai penyakit hog cholera untuk penelitian selanjutnya dan dapat digunakan sebagai acuan bagi petugas lapangan dalam pengambilan keputusan untuk penanganan penyakit. 2 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hog Cholera Hog cholera (HC) memiliki berbagai sinonim yaitu Classical Swine Fever (CSF), Peste du Pork, Cholera Porcine dan Virus Schweine Pest, merupakan penyakit viral menular yang di sebabkan oleh virus hog cholera, yang termasuk dalam Genus Pestivirus dan Famili Flaviviridae. Hanya terdapat satu serotipe virus hog cholera namun gejala yang di timbulkannya sangat bervariasi tergantung dari strain yang menginfeksi (Geering et al. 1995). Virus ini secara antigenik berkerabat dengan Bovine Viral Diarrhea Virus (BVDV), yang menyebabkan timbulnya penyakit BVD pada sapi serta Border Disease Virus (BDV) pada domba (Edwards et al. 1991). Hog cholera dapat di temukan di berbagai bagian dunia seperti di negara-negara Afrika Timur, Afrika Tengah, Cina, Asia Timur, Asia Selatan, Asia Tenggara, Mexico dan Amerika Selatan (Edward et al. 2000). Wabah hog cholera terjadi di Prancis pada tahun 1822 sedangkan di Jerman terjadi pada tahun 1833 kemudian penyakit ini menyebar ke Inggris dan Eropa tahun 1862 (Carbery et al. 1984). Kasus hog cholera di kota Luxembourg terjadi pada bulan Oktober 2001 hingga Maret 2002. Penyakit ini tidak di temukan lagi di Prancis sejak 1972, di Australia sejak 1962 dan di New Zealand sejak tahun 1953 (Geering et al. 1995). Penyakit hog cholera pertama kali masuk ke Papua di Kabupaten Timika pada tanggal 25 Juni 2004 menyebabkan kematian ternak babi lokal sebanyak 9.000 ekor, yang kemudian berturut-turut menyebar ke Kabupaten / Kota Sorong pada tanggal 26 Agustus 2005 dengan jumlah kematian babi di perkirakan sebanyak 3.000 ekor, selanjutnya Kabupaten / Kota Jayapura terjadi pada 23 Januari 2006 dengan kematian babi sebanyak 9.500 ekor, Kabupaten Puncak Jaya pada 14 April 2006 dan Kabupaten Jayawijaya pada 5 Mei 2006 dengan jumlah kematian ternak babi di perkirakan di atas 2.000 ekor (Anonimous 2006). Peta penyebaran penyakit hog cholera di Provinsi Papua dapat di lihat pada gambar 1. 3 Sorong, 25/8/2005 19 Jayapura, 23/1/2006 03 Puncak Jaya, 4/4/2006 KET : 01.Merauke 02.Jayawijaya 03.Jayapura 10.Paniai 11.Puncak Jaya 13.Boven Digoel 14.Mappi 15.Asmat 16.Yahukimo 17.Peg.Bintang 18.Tolikara 19.Sarmi 10 18 11 02 16 Jayawijaya, 5/5/2006 17 TIMIKA, 25 JUN 2004 15 14 13 01 Sumber: Dinas Peternakan Provinsi Papua Gambar 1. Peta Penyebaran Hog Cholera (HC) di Provinsi Papua. Panah kuning menunjukan awal perpindahan penyakit HC dari kabupaten Timika ke kabupaten Jayapura. Panah merah menunjukkan alur penyebaran penyakit HC ke kabupaten lain. Daratan dengan warna merah merupakan daerah tempat tejadinya wabah HC, sedangkan daratan dengan warna krem merupakan daerah yang belum tertular HC. 2.2 Penyebab. Hog cholera di sebabkan oleh virus yang berbentuk bundar, berdiameter 40-50 nm, dengan nukleokapsid kira-kira berukuran 29 nm. Virus hog cholera merupakan suatu virus RNA beramplop dengan inti isometrik yang di kelilingi oleh membran. Nilai koefisien sedimentasinya adalah berkisar 140-180S (Horzinek 1981). Virion terdiri dari RNA utas tunggal berpolaritas positif dengan ukuran panjang 12.3 kb. Struktur virus Hog Cholera dapat di lihat pada gambar 2. 4 Gambar 2. Struktur Virus Hog Cholera. Virus Hog Cholera merupakan virus RNA utas tunggal beramplop dengan inti isometrik yang di kelilingi oleh membran. Virus berbentuk bundar, dengan protein nukleokapsid berukuran 29 nm. (Sumber : Journal of virological methods. www.igentaconnect.com/..00000001/art 00162) Protein E1 (gp33) terdapat di dalam envelop atau selubung virus sebagai suatu bentuk heterodimer E1-E2 dan E2 (gp55) yaitu protein yang menyebabkan virus hog cholera bersifat sangat immunogenik. Sementara itu protein p7 di duga tidak berperan di dalam virion dan akan tetap tinggal sebagai bagian dari terminal C pada “Open reading frame” yang berfungsi untuk mengkode protein jenis non struktural (Edwards et al. 1991). Suatu penanda di gunakan untuk menandai variasi antigen pada masingmasing strain virus hog cholera (Edwards dan Sands 1990), marker ini pun di perkirakan terletak di setengah bagian N terminal pada E2 dan pada E1. Struktur protein virus hog cholera dan fungsi dapat di lihat pada gambar 3. 5’ Structural Proteins Npro C Erns E1 Non-Structural Proteins 3' E2 NS2 NS3 NS4A NS4B NS5A NS5B Gambar 3. Struktur Protein Dan Fungsi Virus Hog Cholera. Protein Struktural C, berfungsi sebagai kapsid internal Protein. Erns, memiliki aktivitas instrinsik RNase, E1-E2, berfungsi sebagai glikoprotein transmembran, E2 merupakan glokoprotein mayor yang sangat penting, sebab E2 merupakan target dari virus netralisasi antibodi, Protein Non Struktural berfungsi membantu di dalam replikasi virus, NS5A dan NS5B, keduanya bertanggung jawab di dalam replikasi RNA virus. (Sumber : Parchariyanon et al.2000. Journal of virological methods. www.igentaconnect.com/..00000001/art 00162) 5 Vilcek et al. (1996) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa isolat lapangan dengan virulensi yang rendah, memperlihatkan hasil pembacaan yang lebih jelas mengarah pada terbacanya atau terdeteksinya antibodi terhadap BVDV daripada antibodi terhadap virus hog cholera. Meskipun secara genetik dan antigenik virus hog cholera sangat berbeda dengan Virus BVD, namun seringkali memperlihatkan adanya kesamaan dengan penyakit yang di akibatkan oleh pestvirus lainnya. Faktor penting yang dapat membedakan antara virus hog cholera dan virus BVD adalah terletak pada protein E2. Jika antibodi monoklonal (mAb) terhadap virus hog cholera di reaksikan langsung dengan protein E2 maka akan nampak jelas perbedaannya (Edwards et al. 1991). Antigen bersama di antara pestivirus sebagian besar terletak di protein non struktural NS2.3 yang merupakan suatu homolog protein yang terdiri dari 70% asam amino. Diperkirakan 70% asam amino pada virus hog cholera dan virus BVD adalah bersifat homolog. Hasil penelitian yang di lakukan dengan menggunakan antibodi monoklonal (mAb) guna mempelajari keanekaragaman strain virus, di ketahui bahwa berdasarkan pilogeniknya virus hog cholera di kelompokan menjadi dua kelompok besar yaitu kelompok I (Strain Brescia) mencakup strain virus hog cholera yang berasal dari Benua Asia dan Amerika dan kelompok II mencakup strain virus hog cholera yang berasal dari Benua Eropa dan Negara Jepang (Vilcek et al. 1996). Strain dengan virulensi yang tinggi menginduksi terjadinya suatu bentuk infeksi yang bersifat akut, dengan tingkat kematian yang tinggi sementara pada strain dengan tingkat virulensi yang sedang atau menengah dapat mengakibatkan suatu bentuk infeksi yang sub akut dan kronis. Infeksi post natal babi oleh virus hog cholera dengan virulensi yang rendah akan menghasilkan penyakit dengan gejala yang ringan atau infeksi yang bersifat subklinis. Namun demikian suatu strain virus dengan virulensi yang rendah juga dapat menyebabkan kematian pada fetus babi dan anak-anak babi yang baru di lahirkan. Faktor-faktor penting yang berperan di dalam suatu infeksi virus hog cholera antara lain : umur, status gizi dan kompetensi tanggap kebal (Vilcek et al. 1996). Virus hog cholera melakukan replikasi dalam sitoplasma tanpa menyebabkan efek sitopatik. Virus pertama hasil replikasi keluar dari sel pada 5-6 jam setelah sel terinfeksi. Dalam satu siklus perkembangbiakan virus, titer virus akan meningkat berbanding lurus dengan waktu hingga 15 jam pasca infeksi dan kemudian titer virus bertahan tetap tinggi hingga beberapa hari. Dalam kultur sel, hog cholera virus menyebar ke sel lain melalui: cairan medium kultur, jembatan antar sel dan pada sel yang membelah. Virus hog cholera dapat bertahan hidup dengan baik dalam kultur sel. 6 Di dalam sel, perkembangan tahap akhir replikasi virus terjadi pada bagian membran sitoplasma sebelah dalam, sehingga keberadaan antigen hog cholera tidak bisa terdeteksi dari bagian luar sel (Van Oirschot et al. 1999). 2.3 Epidemiologi Daerah wabah hog cholera di Indonesia yang telah ditetapkan berdasarkan SK. Mentan No. 888/ Kpts/TN. 560/9/97 adalah Provinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Bali, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Provinsi Nusa Tenggara Timur (Anonimous 1998). Secara sporadik penyakit ini masih ditemukan di peternakan babi di Kalimatan Barat ( Sulaxono et al. 2003). Kasus hog cholera yang terjadi di Timor- Timur tahun 1998 menyerang semua jenis babi, yaitu babi Landrace, persilangan dan babi lokal serta menyerang semua kelompok umur. Namun kasus paling banyak terjadi pada babi lokal dari kelompok umur kurang dari 2 bulan (Ketut et al.1998). Spesies babi adalah satu-satunya spesies yang rentan terhadap virus hog cholera (HCV), babi yang sakit akan berperan sebagai sumber penularan penyakit ini. Penularan alami terjadi melalui kontak langsung sesama babi. Virus di sebarkan melalui cairan mulut, hidung, mata, urin dan tinja. Babi yang sembuh akan tetapi belum membentuk antibodi protektif yang cukup, masih dapat menjadi sumber penyakit bagi hewan lain (Edwards et al. 1991). Pada penyakit yang berjalan akut, virus virulen disebarkan oleh penderita selama 10-20 hari. Infeksi virus in-utero atau kongenital pada induk yang bunting dan tertular, menyebabkan embrio atau janin yang di lahirkan mati, lemah, atau cacat. Anak babi yang di lahirkan dalam keadaan sehat akan bertindak sebagai sumber penularan selama berbulan-bulan (carrier). Penularan secara mekanis juga dapat terjadi melalui petugas, alat angkut atau alat-alat lain yang tercemar (Edwards et al. 1991). Pengaruh pH dan suhu terhadap stabilitas strain virus hog cholera sangat bervariasi. Pada sel kultur yang berbentuk cairan kemampuan infeksi virus akan hilang jika di tempatkan pada suhu 60°C setelah 10 menit, pada medium darah yang berfibrin aktifitas virus akan hilang jika di tempatkan pada suhu 68°C setelah 30 menit. Infektifitas virus akan tetap stabil pada pH 5-10, di atas atau dibawah pH tersebut infektivitas virus akan segera hilang atau sangat menurun. Tingkat inaktivasi virus jika berada pada pH dibawah 5, umumnya akan di pengaruhi oleh temperatur. Sebagian virus masih dapat hidup selama 260 jam jika ditempatkan pada pH 4 yang bersuhu 4°C, sementara sebagian virus masih 7 dapat hidup selama 11 jam jika di tempatkan pada pH 4 yang bersuhu 21°C (Carbery et al. 1984). Inaktivasi virus dapat berlangsung cepat jika virus di tempatkan pada pelarut lemak seperti; ether, chloroform, deoxycholate, 2% Sodium hydroxide. Virus hog cholera tahan berada dalam daging segar, dan produk daging lainnya dalam bentuk infektif untuk jangka waktu 8 bulan hingga 4 tahun, dengan demikian daging atau produk daging lainnya dapat di gunakan virus sebagai salah satu media dalam penyebarannya (Liess et al. 1992). 2.4 Patogenesis Infeksi alami umumnya terjadi melalui rute oro-nasal. Virus masuk ke dalam tubuh dapat melalui konjungtiva, mukosa alat genital, atau melalui kulit yang terluka. Dengan afinitas yang tinggi dari virus hog cholera (HC) terhadap sel-sel sistem retikuloendotelial, virus HC akan menginfeksi sel-sel endotel sistem vaskuler (kapiler, vena maupun arteri dan pembuluh limfe) hingga mengalami degenerasi hidropis serta nekrotik (Van Oirschot et al. 1999). Virus yang melakukan replikasi di dalam tonsil, segera meluas ke jaringan limforetikuler di sekitarnya. Dengan perantaraan cairan limfe virus menyebar ke kelenjar limfe. Di dalam kelenjar limfe virus memperbanyak diri dan selanjutnya dengan perantara buluh darah virus terbawa ke perifer untuk kemudian ke jaringan limfoid limpa, sumsum tulang, dan kelenjar limfe viseral. Perkembangan virus yang cepat juga terjadi di dalam sel leukosit, hingga timbul viremia. Pada penyakit yang berjalan akut sering terjadi pendarahan yang di sebabkan gangguan sirkulasi yang akut oleh proses degenerasi sel-sel endotel pembuluh darah dan reaksi imunologis (Vilcek et al. 1996). 2.5 Gejala klinis Hewan yang terinfeksi virus hog cholera memperlihatkan gejala klinis antara lain: lesu, tidak aktif, malas bergerak dan gemetar. Nafsu makan menurun hingga hilang, suhu tubuh meningkat sampai 41-42°C selama 6 hari. Pada saat viremia, jumlah leukosit turun dari 9000 menjadi 3000/ml dalam darah hewan (leukopenia). Hewan penderita mengalami konjungtivitis, dengan air mata berlebihan. Eksudat bersifat mukous atau muko purulen, nampak di kelopak mata dan menyebabkan kelopak mata lengket (Vilcek et al. 1996). Konstipasi di sertai dengan radang saluran gastrointestinal menyebabkan diare encer, berwarna kekuningan. Rasa dingin mendorong babi-babi berkumpul (piled-up) di sudut kandang. Sebelum babi mati pada kulit daerah perut, 8 muka, telinga, dan bagian dalam dari kaki terlihat eritema (Van Oirschot et al. 1999). Pada penyakit yang berjalan akut kematian babi biasanya memakan waktu 10-20 hari. Sedangkan penyakit yang berjalan subakut proses kematian berlangsung selama 1 bulan. Gomez Villamandos et al. (2001) membedakan manifestasi klinis HC kronik kedalam 3 fase, yaitu 1). fase l atau akut di tandai dengan gejala anoreksia, depresi, suhu badan meningkat dan leukopenia, fase ini berlangsung dalam beberapa minggu. 2). fase 2, atau kronik, di tandai dengan membaiknya kondisi, nafsu makan, suhu tubuh normal atau sedikit meningkat dan leukopenia, dan 3). fase 3, hewan kembali tampak menderita, anoreksia, depresi, suhu meningkat, dan akhirnya mati. Kasus hog cholera yang berjalan secara perakut kronik dapat bertahan sampai lebih kurang 3 bulan. Infeksi virus hog cholera yang terjadi pada masa kebuntingan, di kenal sebagai late-onset HC, kematian dapat terjadi di antara bulan ke-2 sampai dengan bulan ke-11. Gejala klinis pada kolera late-onset ini meliputi depresi dan anoreksia yang terjadi secara lambat, suhu tubuh normal, konjungtivitis, dermatitis dan gangguan saat berjalan (Liess et al. 1992). 2.6 Perubahan patologi anatomi (PA) Kasus hog cholera yang berjalan secara perakut sering tidak di temukan adanya lesio, sedangkan yang berjalan secara akut dan subakut, di temukan gambaran sepsis berupa perdarahan multifokus. Hal tersebut terkait dengan kerusakan buluh darah (Edwards et al. 2000). Reaksi radang yang bersifat katar, fibrinous dan hemoragi dapat di temukan pada berbagai organ pencernaan, pernafasan dan saluran urogenital. Lesio yang terlihat pada kelenjar limfe adalah bengkak, udema, hemoragi dan berwarna merah kehitaman (Gomez Villamandos et al. 2001). Organ ginjal terutama pada korteks, jantung, mukosa usus dan kulit mengalami perdarahan titik ptekhi sampai ekhimosa (Van Oirschot et al.1990). Perubahan patologi berupa infark pada limpa bersifat khas (patognomonik) pada kasus hog cholera (Gering et al. 1995). Infark juga di temukan pada berbagai organ, antara lain kantong kemih dan tonsil. Infark yang meluas di buluh darah submukosa usus besar, sekum, dan kolon, memicu terbentuknya lesi yang berbentuk seperti kancing baju, bundar, menonjol di kenal sebagai "button ulcer". Lesio button ulcer pada usus besar tersebut memiliki arti diagnostik yang sangat penting dalam diagnosa babi penderita HC. Pada kasus hog cholera akut dan subakut paru-paru mengalami 9 infark dan perdarahan, yang selanjutnya terbentuk proses radang paru-paru dan pleura. Jantung terlihat pucat di sertai kongesti miokard. 2.7 Perubahan Histopatologi (HP) Kasus hog cholera yang terjadi di Kalimantan Barat memperlihatkan adanya variasi perubahan histopatologi seperti nekrosis akut tubuli ginjal, enteritis ringan, kongesti pada hati, bronkhopneumonia sub akut, hemoragi pada korteks limfoglandula dan nekrosis pada pusat folikel limfoid limpa (Sulaxono et al. 2003). Pada infeksi bentuk persisten virus hog cholera menginduksi terjadinya hipoplasia korteks adrenal yang di tandai dengan peningkatan luas zona fasciculata dan zona glomerulosa sementara zona reticulata mengalami atrofi (Van Oirschot et al. 1999). Infeksi buatan virus hog cholera isolat Quillota yang di lakukan oleh Quezada et al. (2000), menunjukkan lesio antara lain: hemoragi alveolar, deskuamasi sel epitel bronkhi dan bronkhioli, leukosit terlihat di sekitar area deskuamasi dan adanya peningkatan jumlah sel-sel mononuklear terutama makrofag di lumen buluh darah. Lesio histopatologi jantung pada kasus hog cholera timbul sebagai akibat adanya infeksi sekunder dari bakteri, lesio yang terjdi antara lain: kongesti miokardium, hemoragi perikardium dan endokardium (Van Oirschot et al. 1999). Penelitian yang dilakukan oleh Ruiz-Villamor et al. (2001) menggunakan virus hog cholera isolat Quillota membuktikan bahwa akibat infeksi virus hog cholera menyebabkan timbulnya lesio glomerulitis. 2.8 Diagnosis Diagnosis hog cholera di lapangan dapat di tentukan berdasarkan anamnesa, gambaran klinis, dan pemeriksaan pasca mati. Carbery et al. (1984) menyatakan bahwa pada pemeriksaan pasca mati perlu di perhatikan adanya gambaran terutama perdarahan kelenjar limfe, ginjal dan infark limpa yang (patognomonik) serta adanya button ulcer di berbagai bagian usus besar. Sebagai diagnosis banding perlu di perhatikan African swine fever (ASF), salmonellosis septik, pasteurellosis (septisemia epizootika, SE), streptokokosis dan erisipelas. Pemeriksaan laboratorium yang perlu di lakukan meliputi deteksi antigen virus, isolasi virus. Antigen virus salah satunya dapat di ketahui dengan teknik antibodi fluoresent metode langsung (direct FAT) (Sasahara 1970). 10 2.9 Pencegahan Negara yang bebas hog cholera tidak boleh mengimpor babi, daging babi dan bahan berasal dari babi, yang berasal dari negara atau daerah tertular hog cholera. Negara yang mengalami enzootik hog cholera harus melaksanakan program vaksinasi dan stamping out. Bila kasus hog cholera sudah menurun cukup di lakukan stamping out (Carbery et al. 1984). Program vaksinasi masal secara rutin telah di lakukan di perusahaan peternakan babi dan peternakan babi rakyat. Vaksin yang di gunakan berupa vaksin galur C (China), atau vaksin galur Japanese GPE dan French Triverval. Vaksin-vaksin tersebut terutama vaksin galur C, memacu kekebalan sejak 1 minggu pasca vaksinasi dan berlangsung selama 2-3 tahun. Program pencegahan Sejak masuknya penyakit hog cholera ke Papua yang di mulai dari Kabupaten Timika pada tahun 2004, dan kemudian menyebar ke berbagai kabupaten lainnya, telah di lakukan langkah penanganan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Papua melalui Dinas Peternakan Provinsi maupun Kabupaten. Tindakan yang di lakukan mengacu pada Pedoman Teknis Pemberantasan dan Pengendalian Penyakit Classical Swine Fever (Hog Cholera) Tahun 1988 yang di keluarkan oleh Direktorat Kesehatan Hewan Jakarta. Tindakan tersebut meliputi: a). Menutup wilayah tertular dengan surat keputusan Bupati. b). Mengisolasi ternak yang sakit. c). Memusnahkan ternak mati. d). Melakukan vaksinasi dengan vaksin hog cholera e). Public awareness (penyuluhan kepada masyarakat). Namun tindakan-tindakan di atas belum sepenuhnya dapat mengatasi laju peningkatan angka morbiditas maupun mortalitas ternak babi. Beberapa usaha yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah untuk mencegah penularan penyakit pada babi terkait dengan penyakit hog cholera antara lain : 1). Meningkatkan biosecurity kandang dan pengawasan lalu lintas. 2). Pencegahan penyebaran penyakit dapat dilakukan dengan vaksinasi. 3). Meningkatkan kebersihan kandang dan kualitas pakan. 4). Penggunaan antibiotik yang tidak terkontrol dapat menyebabkan beberapa jenis bakteri menjadi resisten, sehingga perlu di konsultasikan dengan dokter hewan setempat (Cicilia et al.2006). 11 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini terdiri dari penelitian pendahuluan dan lanjutan. Penelitian pendahuluan di lakukan pada bulan Agustus 2006. Penelitian lanjutan di lakukan mulai bulan Februari 2007 sampai September 2007 bertempat di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Tempat pengambilan sampel meliputi Distrik Sentani Timur, Sentani Barat, Distrik Sentani Tengah dan Distrik Abepura. 3.2 Materi Penelitian Sampel organ yang di gunakan dalam penelitian ini berasal dari 10 ekor babi sakit dan moribun, dengan kisaran umur babi antara 2 bulan hingga 2 tahun. Sampel babi berjenis kelamin jantan dan betina, merupakan babi jenis lokal dan persilangan. Sampel organ babi yang diambil berupa: 1). Paru-paru ; 2). Jantung ; 3). Hati ; 4). Ginjal ; 5). Limpa ; 6). Limfoglandula. Sebagai kontrol di gunakan sampel organ dari 3 ekor babi sehat yang tidak di vaksinasi. Babi kontrol diperoleh dari rumah potong hewan yang tidak sepenuhnya bebas penyakit karena merupakan babi lapangan namun dengan pewarnaan imunohistokimia diperoleh hasil yang negatif terhadap virus hog cholera. Sampel di koleksi dengan cara bekerjasama dengan Laboratorium Tipe B, Dinas Peternakan Provinsi Papua. Sampel serum di kirim ke BBV Maros untuk identifikasi virus. 3.3 Metode Penelitian Babi sakit maupun yang di duga sakit hog cholera di amati gejala klinisnya. Selanjutnya babi moribun di eksanguinasi dan di nekropsi menurut prosedur standar, saat nekropsi semua kelainan di amati, di catat dan di dokumentasikan dalam bentuk foto patologi anatomi. Sampel organ di proses menjadi preparat histopatologi dan di amati. Metode pengamatan yang di gunakan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan skoring lesio pada temuan perubahan histopatologi. Skor lesio di tentukan berdasarkan sebaran lesio (fokus, multifokus, difus). Hasil skoring di gunakan sebagai pendukung dalam menentukan derajat keparahan organ dan status penyakit (akut atau kronis). Skoring perubahan histopatologi organ di lakukan dengan memberi skor di 10 lapangan pandang, menggunakan pembesaran 40 kali. Penentuan nilai skor yang di amati dapat di lihat pada tabel 1 di bawah ini. 12 Tabel 1. Nilai Skor Lesio Histopatologi Organ SKOR NO 1 2 3 4 ORGAN PARU-PARU JANTUNG HATI GINJAL 0 1 2 3 Tidak ada perubahan Infiltrasi limfositik ringan di peribronkhial Kongesti, udema, hemoragi, penebalan jaringan interstisial oleh sel radang limfositik, hiperplasia, deskuamasi epitel bronkhioli dan emfisema Kongesti kapiler, udema di antara serabut otot jantung, infiltarsi dan akumulasi sel radang pada epikardium Infiltrasi ringan sel radang limfosit dan makrofag di septum interlobularis, daerah porta, buluh darah sinusoid Penebalan jaringan interstisial oleh sel radang limfositik, eksudat sel radang polimorf dalam lumen dan emfisema Kongesti, udema, protein hemoragi buluh Deposit darah mesangial dalam lumen tubuli dan kapiler buluh darah inter tubuli, infiltrasi sel radang di interstisium Hiperplasia sel endotel anyaman mesangial glomerulus di sertai deposit protein di lumen tubuli dan ruang Bowman, degenerasi hidropis epitel tubulus Tidak ada perubahan Tidak ada perubahan Tidak ada perubahan 5 LIMPA Tidak ada perubahan 6 LIMFOGLANDULA Tidak ada perubahan Dilatasi buluh darah, infiltrasi ringan sel radang limfositik pada epikardium Infiltrasi ringan sel radang di sinusoid hati Dilatasi buluh darah, infiltrasi ringan sel radang di daerah sub kapsular dan superfisial kapsula, deplesi folikel limfoid Dilatasi buluh darah Kongesti dan hemoragi pulpa merah, infiltrasi sel radang makrofag, limfosit di subkapsular dan superfisial kapsula, deplesi folikel limfoid Kongesti dan udema korteks limfonodus, infiltrasi sel radang di sinus subkapsularis Degenerasi berbutir, atrofi, miopatia otot jantung, infiltrasi, akumulasi sel radang yang semakin banyak. Akumulasi sel radang limfositik di kapsula Glisson dan udema ruang Disse, degenerasi lemak hepatosit Deplesi folikel limfoid pulpa putih dan fokus nekrosis Kongesti dan udema korteks limfonodus, deplesi folikel limfoid dan proliferasi sel retikulo endotelial di sinus medularis 13 Evaluasi imunohistokimia terhadap antigen virus hog cholera di lakukan dengan memberi skor berdasarkan jumlah sel positif per lapangan pandang yang di lakukan dengan menghitung jumlah sel positif pada perbesaran 40 kali di 10 lapangan pandang. Sebagai gambaran skor (+) berarti terdapat 0-50 sel positif, skor (++) berarti terdapat 50-100 sel positif, skor (+++) berarti terdapat lebih dari 100 sel positif Skoring perubahan histopatologi buluh darah arteri organ paru-paru, jantung, hati, ginjal dan limpa di lakukan dengan memberi skor di 10 lapangan pandang, menggunakan pembesaran 40 kali. Penentuan skor untuk semua buluh darah di lakukan dengan cara yang sama. Nilai skor yang di amati dapat di lihat pada tabel 2 di bawah ini. Tabel 2. Nilai Skor Lesio Histopatologi Buluh Darah Skor Deskripsi 0 Tidak ada perubahan 1 Terjadi hipertrofi endotel 2 Terjadi deskuamasi endotel, perubahan degenerasi vakuolar tunika media dan adventisia 3 Terjadi hialinisasi tunika media, perubahan degenerasi vakuolar dan nekrosa pada tunika media dan adventisia, trombus, vaskulitis. Analisis data lesio histopatologi organ dan lesio buluh darah arteri menggunakan metode statistik non parametrik U Man-Whitney (Aviva et al. 2006) untuk membedakan 2 sampel independen antara babi sakit dan babi sehat sebagai kontrol sedangkan data distribusi antigen di olah secara deskriptif dan di buat dalam histogram. 3.3.1 Pembuatan Sediaan Histologi Seluruh organ yang di sampling di fiksasi di dalam buffer netral formalin (BNF) 10%, minimal selama 48 jam. Selanjutnya sampel di proses untuk membuat sedíaan histopatologi, melalui tahapan dehidrasi di dalam larutan alkohol konsentrasi bertingkat (70% hingga 100%), clearing di dalam larutan xilol dengan ulangan 14 sebanyak tiga kali. Proses berikutnya adalah infiltrasi parafin cair ke dalam jaringan. Proses pembuatan di lakukan dengan alat automatic tissue processor (Sakura)™. Pembuatan blok jaringan di lakukan dalam parafin pada tissue embedding console (Sakura)™. Blok jaringan di iris menggunakan mikrotom dengan ketebalan 3-5 µm. Hasil sayatan di lekatkan diatas gelas objek dan di inkubasi dalam inkubator dengan suhu 37oC selama 1 malam dan siap di warnai. Untuk pewarnaan imunohistokimia (IHK), gelas objek terlebih dahulu di lapisi dengan gelatin 6 %. 3.3.2. Pewarnaan Hematoxyllin-Eosin, Masson Trichrome, Verhoeff Van Giesson dan Imunohistokimia Pewarnaan Hematoxyllin Eosin (HE) di lakukan untuk mengamati perubahan jaringan secara umum, Masson Trichrome (MT) dan Verhoeff Van Giesson (VVG) di gunakan untuk mengamati perubahan struktur buluh darah. Hasil pewarnaan diinterpretasikan sebagai berikut: warna merah kekuningan atau kecoklatan pada Masson Trichrome (MT) menunjukkan struktur kolagen, sedangkan warna biru menunjukan struktur serabut elastik. Warna biru hitam pada Verhoeff Van Giesson (VVG) menunjukkan serabut elastik. Pewarnaan imunohistokimia di lakukan untuk mengetahui distribusi antigen hog cholera pada organ-organ sampel. Sebelum pewarnaan, sayatan jaringan pada objek gelas di lakukan deparafinisasi dan rehidrasi (lampiran 1). Selanjutnya di warnai dengan HE metode Humason (1972) yang di modifikasi, Verhoeff Van Giesson dan Masson Trichrome modifikasi Goldner (Kiernan 1990). Pewarnaan imunohistokimia di lakukan berdasarkan metoda Avidin Biotin Complex (ABC method) (Hsu et al. 1981). Sebelum di lakukan proses pewarnaan, terlebih dahulu di lakukan proses preinkubasi terhadap jaringan, yang meliputi blocking endogenous peroxidase dengan larutan 0,3% H2O2 dalam metanol selama 30 menit untuk memblokir aktivitas peroksida endogen dan blocking background dengan 10% normal goat serum selama 30 menit (Vector Laboratories, Inc). Untuk un masking antigen di lakukan dengan cara pemanasan menggunakan microwave 100oC selama 5 menit. Selanjutnya di inkubasi menggunakan antibodi primer yaitu anti-HCV antibody monoclonal (WA303, Central Veterinary Laboratory, New Haw, Addlestone, UK) dengan pengenceran 1:500, diinkubasi di dalam refrigerator selama 24 jam. Antibodi sekunder, di gunakan Histofine code 424021 (Nichirei Corp.) selama 30 menit dalam inkubator 37oC. Sebagai marker di gunakan campuran 10 μl avidin dan 10 μl biotin (Vector Laboratories, Inc.) dalam 1 ml 15 PBS dan di inkubasi dalam inkubator dengan suhu 37oC selama 30 menit. Untuk visualisasi hasil pewarnaan, jaringan di inkubasi dengan larutan 0.03% 3.3diaminobenzidine tetrahydrochloride (DAB) selama 5-10 menit. Pada setiap langkah di atas, jaringan di bilas menggunakan larutan Phosphat buffer saline (PBS). Untuk pewarnaan latar belakang di gunakan pewarna Mayer Hematoxyllin selama 30 detik. Selanjutnya sampel di dehidrasi dan clearing, kemudian di tutup dengan gelas penutup menggunakan bahan perekat entelan. 16 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gejala Klinis Gejala klinis yang di temukan di lapangan dari 10 ekor babi yang terserang penyakit hog cholera menunjukkan gejala: lemah atau kurang aktif, depresi (gambar 4), bergerombol di pojok kandang, diare kekuningan atau kecoklatan dan berbau. Umumnya babi mengalami konjungtivitis (gambar 5), muntah, demam dengan suhu badan mencapai 42°C, eritema pada ujung telinga (gambar 6), leher bagian bawah, abdomen dan siku-siku kaki (gambar 7). Kematian yang di sertai dengan pembesaran skrotum (gambar 8). Babi kontrol yang digunakan merupakan babi sehat tanpa di vaksinasi, tidak menunjukkan gejala klinis sakit (gambar 9). Data babi sampel dan kontrol yang di gunakan dalam penelitian dapat di lihat pada tabel 3 di bawah ini. Tabel 3. Data Babi Sampel dan Kontrol Babi Sampel Umur Nomor Jenis Ras Lamanya Sakit Kelamin 1. 2 bulan Jantan Sus scrofa domesticus 5 hari 2. 2 bulan Jantan Sus scrofa domesticus 7 hari 3. 4 bulan Jantan Sus scrofa domesticus 11 hari 4. 24 bulan Jantan Persilangan 35 hari 5. 6 bulan Betina Persilangan 31 hari 6. 2 bulan Jantan Sus scrofa domesticus 9 hari 7. 3 bulan Betina Sus scrofa domesticus 15 hari 8. 10 bulan Jantan Persilangan 31 hari 9. 7 bulan Jantan Sus scrofa domesticus 33 hari 10. 24 bulan Jantan Persilangan 38 hari 1. 2 bulan Jantan Sus scrofa domesticus 2. 6 bulan Jantan Persilangan 3. 24 bulan Jantan Persilangan Babi Kontrol Nomor Sumber : Dinas Peternakan Provinsi Papua 17 HC Gambar 4. Babi lemah, kurang aktif dan depresi pada babi lokal kasus Sentani HC Gambar 5. Konjungtivitis (tanda panah) pada babi lokal kasus Sentani 18 HC Gambar 6. Eritema pada kulit bagian ujung telinga (tanda panah) kasus Sentani HC Gambar 7. Eritema siku-siku kaki (tanda panah) kasus Sentani 19 HC Gambar 8. Kematian yang di sertai dengan pembesaran skrotum (tanda panah) kasus Sentani K Gambar 9. Babi sehat daerah Sentani Pengamatan gejala klinis yang di temukan di lapangan pada kasus ini umumnya ternak babi memperlihatkan gejala berupa depresi, bergerombol, diare, muntah dan eritema pada kulit ujung telinga dan abdomen serta konjungtivitis. Gejala tersebut adalah sesuai dengan gejala klinis hog cholera sebagaimana di ungkapkan oleh 20 beberapa peneliti terdahulu yaitu Liess et al. (1992) dan Van Oirschot et al. (1999). Laporan mereka mengemukakan bahwa pada babi yang terinfeksi hog cholera seringkali memperlihatkan adanya tanda klinis berupa eritema pada kulit ujung telinga, konjungtivitis dan batuk. Infeksi buatan virus hog cholera isolat Quillota terhadap 35 ekor babi yang di lakukan oleh Quezada et al. (2000), menunjukkan gejala klinis antara lain: demam, nafsu makan menurun, konstipasi, diare, eritema pada kulit, konjungtivitis. Infeksi buatan virus hog cholera isolat Alfort 187 terhadap16 ekor babi umur 4 bulan telah di lakukan oleh Nunez et al. (2005), hasilnya di temukan gejala klinis berupa: nafsu makan menurun, gangguan saluran pencernaan dan eritema. Peneliti lain Narita et al. (1996) telah melakukan infeksi buatan virus hog cholera isolat The Kanagawa, yaitu strain virus hog cholera yang di isolasi dari kasus penyakit kronis. Hasil infeksi yang di lakukan terhadap 7 ekor anak babi umur 4 hari tersebut, di temukan gejala menurunnya nafsu makan yang berlangsung pada hari ke -7 hingga ke 11 pasca infeksi namun tidak ada kematian anak babi selama masa observasi. Pembesaran skrotum pada kasus hog cholera di Jayapura yang di temukan pada babi nomor 4 umur 24 bulan dan babi nomor 8 umur 10 bulan, ini di duga merupakan bentuk infeksi pada testis atau orchitis. Kasus pembesaran skrotum belum pernah di laporkan pada penemuan sebelumnya, pada kasus penelitian ini tidak dilakukan sampling terhadap skrotum sehingga tidak dapat di bahas mengapa hal tersebut terjadi. Jika lesio pembesaran skrotum di kaitkan dengan temuan lesio pada organ lain maka diprediksikan terjadi hidrosel pada skrotum babi. Babi yang sudah menunjukkan gejala-gejala klinis seperti tersebut di atas 90% akan mengalami kematian. Tingginya tingkat viremia terjadi sebagai akibat dari perkembangan virus di dalam jaringan limfoid dan juga leukosit. Sementara pengamatan gejala klinis pada babi kontrol tidak menunjukkan adanya kelainan, hal ini di sebabkan karena babi yang di gunakan sebagai kontrol merupakan babi sehat. 4.2. Lesio Makroskopis Pengamatan makroskopis organ babi pada penelitian ini menunjukkan adanya lesio laringitis yang di sertai dengan hemoragi ptekhie (gambar 10), sementara tidak di temukan perubahan yang spesifik pada laring babi kontrol (gambar 11). 21 HC Gambar 10. Laringitis di sertai hemoragi ptekhie (tanda panah) pada babi mati kasus Sentani K Gambar 11. Laring babi kontrol dengan multi fokus abses (tanda panah) Lesio laringitis yang di sertai dengan hemoragi ptekhie di jumpai pada 6 dari 10 ekor babi yaitu babi nomor 1,2,3,4,6,7 (6/10). Lesio pneumonia dan hemoragi paru-paru di temukan pada seluruh babi (10/10) (gambar 12), pada paru-paru babi kontrol ditemukan adanya penumonia (gambar 13). 22 HC Gambar 12. Pneumonia dan hemoragi paru-paru (tanda panah) kasus Sentani. K Gambar 13. Pneumonia (tanda panah) pada paru-paru babi kontrol Lesio hemoragi jantung di temukan enam dari sepuluh ekor babi yaitu babi nomor 1,2,3,6,7 dan 10 (6/10) (gambar 14), sementara pada jantung babi kontrol tidak di temukan adanya perubahan (gambar 15). 23 HC Gambar 14. Hemoragi jantung (tanda panah) kasus Sentani K Gambar 15. Jantung babi kontrol Kongesti, multifokus perihepatitis dan multifokus degenerasi hati ditemukan 7 dari 10 ekor (7/10) (gambar 16) pada babi nomor 1 sampai 7, sedangkan pada hati babi kontrol tidak di temukan perubahan yang spesifik (gambar 17). 24 * * HC Gambar 16. Kongesti (tanda panah), multifokus perihepatitis hati (tanda kepala anak panah) dan multifokus degenerasi hati (asterik) kasus Sentani K Gambar 17. Hati babi kontrol Lesio kongesti dan hemoragi parah pada mesenterika, serosa usus dan limfoglandula mesenterika di temukan sebanyak 8 dari 10 ekor babi, yaitu pada babi 1,2,3,4,6,7,8 dan 25 10 (8/10) (gambar 18). Tidak di temukan perubahan yang spesifik pada serosa dan mesenterium usus babi kontrol (gambar 19). HC Gambar 18. Kongesti dan hemoragi pada mesenterika dan serosa usus (tanda panah), limfoglandula mesenterika (tanda kepala anak panah) kasus Sentani K Gambar 19. Usus babi kontrol 26 Multifokal ptekhie yang menunjukkan pola Turkey egg pada permukaan korteks ginjal di temukan 8 dari 10 ekor babi yaitu pada babi nomor 1,2,3,5,6,7,9,10 (8/10) (gambar 20). Tidak di temukan perubahan yang spesifik pada ginjal babi kontrol (gambar 21). HC Gambar 20. Multifokal ptekhie yang menunjukkan pola Turkey egg korteks ginjal kasus Sentani K Gambar 21. Ginjal babi kontrol 27 Kongesti limpa di temukan di seluruh babi (10/10) (gambar 22). Tidak di temukan adanya perubahan yang spesifik pada limpa babi kontrol (gambar 23). HC Gambar 22. Kongesti pada limpa (tanda panah) kasus Sentani K Gambar 23. Limpa babi kontrol 28 Lesio hemoragi limfoglandula mesenterika ditemukan pada 3 ekor babi (3/3) (gambar 24). Tidak di temukan adanya perubahan pada limfoglandula mesenterika babi kontrol (gambar 25). HC a b Gambar 24 a. Hemoragi limfoglandula mesenterika (tanda panah) kasus Sentani. Gambar 24 b. Bagian limfoglandula mesenterika yang diambil dari gambar 24 a. K Gambar 25. Limfoglandula mesenterika babi kontrol Pengamatan makroskopis organ babi pada penelitian ini menunjukkan adanya: lesio laringitis dengan hemoragi ptekhie, pneumonia, hemoragi paru-paru dan jantung. Hemoragi dan pembengkakan organ hati, limpa, limfoglandula mesenterika. Hemoragi serosa dan mesenterium usus serta hemoragi ptekhie pada permukaan korteks ginjal. Meskipun lesio button ulcer secara makroskopis tidak teramati pada kasus ini namun lesio kongesti dan hemoragi parah yang terjadi di serosa usus dan mesenterium menunjukkan kerusakan mukosa usus yang terlokalisir, keadaan ini mengindikasikan adanya button ulcer. Lesio makroskopis yang di temukan pada kasus ini umumnya memperlihatkan adanya kesamaan dengan lesio makroskopis sebagaimana di 29 ungkapkan oleh peneliti terdahulu bahwa perubahan makroskopis yang ditemukan pada babi terserang hog cholera antara lain: laringitis, hemoragi ptekhi pada korteks ginjal, hemoragi pada hati, paru-paru, jantung, limfoglandula, serosa dan mesenterium usus, pembengkakan dan kongesti limpa, serta button ulcer di kolon (Geering et al.1995; Edwards et al. 2000; Gomez Villamandos et al. 2001; dan Ruiz Villamor et al. 2001). Menurut Greiser Wilke et al. (2007), bahwa perubahan makroskopis organ babi akibat infeksi virus hog cholera di lapangan menunjukkan adanya: pneumonia, hemoragi ptekhi korteks ginjal, pembengkakan dan hemoragi pada limpa dan ginjal. Kasus penumonia merupakan lesio umum yang bukan hanya terjadi pada penyakit hog cholera (Greiser Wilke et al. 2007). Infeksi buatan virus hog cholera isolat Quillota yang di lakukan oleh Quezada et al. (2000), menunjukan lesio makroskopis antara lain: pneumonia, hemoragi organ ginjal, limpa dan limfoglandula namun lesio button ulcer juga tidak di temukan pada kasus ini. Perubahan patologi anatomi (makroskopis) organ babi akibat infeksi virus hog cholera pada kasus outbreak di Kabupaten Jayapura dapat di lihat pada tabel 4. Tabel 4. Perubahan Patologi Anatomi Organ Babi No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Lesio Ptekhial Laringitis Pneumonia Hemoragi Jantung Perihepatitis Hemoragi Serosa, mesenterium Ptekhial Ginjal Kongesti Limpa Hemoragi Limfoglandula mesenterika Babi Nomor (Umur-Bulan) 6 7 8 1 2 3 4 5 9 10 K1 K2 K3 (2) (2) (4) (2) (6) (2) (3) (10) (7) (24) (2) (6) (24) √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ - √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ - √ √ √ √ √ - - - √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ X √ √ X √ √ X √ √ X √ X √ √ X √ √ X - - - Keterangan : Tanda (√) = Ada; Tanda (-) = Tidak ada; Tanda (TD)= Tidak dilakukan; K= Kontrol Berdasarkan kejadian penyakit, temuan gejala klinis dan lesio patologi anatomi pada kasus ini, dari 10 ekor babi yang di periksa yang tergolong ke dalam kasus akut di temukan sebanyak 5 ekor babi yaitu pada babi : nomor 1 berumur 2 bulan, nomor 2 berumur 2 bulan, nomor 3 berumur 4 bulan, nomor 6 berumur 2 bulan dan nomor 7 berumur 3 bulan. Kasus kronis di temukan sebanyak 5 ekor yaitu pada babi : nomor 4 berumur 24 bulan, nomor 5 berumur 6 bulan, nomor 8 berumur 10 bulan, nomor 9 berumur 7 bulan dan nomor 10 berumur 24 bulan. Kejadian penyakit hog cholera pada 30 kasus ini jika di kaitkan dengan umur babi maka umumnya anak babi di bawah umur 6 bulan akan terinfeksi secara akut sedangkan pada babi umur 6 bulan dan di atas umur tersebut akan terinfeksi secara kronis (tabel 4). Kasus akut di tandai dengan gejala klinis antara lain : demam yang mencapai 42°C, depresi, babi bergerombol di sudut kandang, diare, konstipasi, konjungtivitis, eritema di pangkal kulit telinga, siku dan perut. Kematian terjadi antara 5 sampai 15 hari setelah infeksi. Kasus kronis yang di temukan pada penelitian ini di tandai dengan gejala klinis antara lain: depresi, kurus, demam intermiten, diare, konstipasi dan kematian umumnya terjadi setelah 30 hari. Kasus kronis di tandai dengan gejala klinis antara lain: depresi, kurus, demam intermiten, diare, konstipasi, lesi pada kulit berupa pustula atau kerak dan kematian terjadi setelah 30 hari (Van Oirschot et al. 1999). Temuan lesio patologi anatomi jika di kaitkan dengan umur babi pada kasus ini maka akan di temukan bahwa : anak babi yang berumur di bawah 6 bulan menunjukkan lesio patologi anatomi yang lengkap pada semua organ sampling, sementara babi yang berumur 6 bulan dan di atas umur 6 bulan menunjukkan lesio patologi anatomi yang tidak lengkap. Lesio patologi anatomi pada anak babi yang berumur dibawah 6 bulan meliputi: ptekhial laringitis, pneumonia, hemoragi jantung, perihepatitis, hemoragi serosa dan mesenterium usus, ptekhial ginjal, kongesti limpa dan hemoragi limfoglandula mesenterika (tabel 4). Secara patologi anatomi lesio yang terjadi di berbagai organ tubuh menunjukkan bahwa mekanisme penularan penyakit ini bersifat kontagius. Eksudat purulent pada konjungtivitis menunjukkan bahwa infeksi yang terjadi di sertai adanya infeksi sekunder dari bakteri. Menurut Van Oirchot et al. (1999), lesio patologi anatomi yang selalu di temukan pada kasus hog cholera akut adalah lesio hemoragi yang terjadi terutama di ginjal, limpa, limfoglandula, kulit dan kematian terjadi antara 10 sampai 20 hari pasca infeksi. Kasus kronis di tandai dengan sedikit atau tanpa adanya lesio hemoragi pada organ babi yang mati. Terjadinya kasus hog cholera di Kabupaten Jayapura ini jika di kaitkan dengan umur babi, maka terdapat perbedaan nyata antara umur babi yang muda dan tua. Kematian yang terjadi pada anak babi jumlahnya lebih banyak di banding babi dewasa. Hal ini diduga kemungkinan karena rendahnya titer antibodi hog cholera pada babi akibat tidak adanya program vaksinasi di lapangan. Gejala klinis dan lesio patologi hog cholera, bervariasi antara satu hewan dengan hewan lain. Faktor umur, virulensi virus dan kekebalan tubuh hewan sangat berpengaruh terhadap timbulnya gejala penyakit. 31 Babi muda lebih rentan terinfeksi virus hog cholera di banding babi dewasa (Greiser Wilke et al. 2007). Maternally Derived Antibodies atau kekebalan turunan dari induk pada anak babi yang induknya divaksin secara baik akan bertahan hingga anak babi berumur 7 minggu (Lipowski et al. 2000). Vaksinasi pertama pada anak babi di rekomendasikan pada umur 4 minggu bila induknya telah di vaksinasi dengan baik. Calon induk sebaiknya di vaksinasi pada hari ke-4, ke-8 atau ke-12 setelah kawin dan di booster 14 hari kemudian. Vaksinasi hog cholera tidak berdampak terhadap terjadinya aborsi pada induk (Lipowski et al. 2000) Pengamatan histopatologi organ interna pada paru-paru, jantung, hati, ginjal, limpa dan limfoglandula babi yang terinfeksi virus hog cholera menunjukkan adanya kerusakan sel dan jaringan dengan derajat yang bervariasi. Pembahasan mengenai perubahan histopatologi pada organ interna serta hubungannya dengan nilai skoring masing-masing di uraikan sebagai berikut: 4. 3. Lesio Mikroskopis 4. 3.1. Organ Paru-paru Hasil pengamatan mikroskopis organ paru-paru menunjukkan adanya: penebalan jaringan interstisial paru oleh sel radang limfositik dan cairan udema (gambar 26 a,b); infiltrasi dan akumulasi sel radang limfosit dan makrofag di peribronkhial (gambar 27); hiperplasia dan deskuamasi epitel bronkhioli (gambar 28); bronkhiolitis yang di tandai dengan hiperplasi epitel bronkhioli dan eksudat purulen dalam lumen bronkhioli di antara jaringan parenkim yang mengalami pneumonia alveolaris (gambar 29); kongesti, udema, hemoragi (gambar 30 a,b,c) dan emfisema (gambar 31). Dari perubahan-perubahan di atas di simpulkan paru-paru mengalami kronik aktif bronkho interstisial pneumonia. Pengamatan mikroskopis organ paru-paru babi kontrol di temukan infiltrasi ringan sel radang limfositik di peribronkhial (gambar 32); hampir sebagian besar septum alveoli menunjukan tidak ada kelainan (gambar 33). Perubahan pada paru-paru di golongkan menjadi 4 jenis skor lesio berdasarkan derajat keparahannya. Skor lesio 0 di tandai dengan tidak ada perubahan; skor lesio 1 di tandai dengan infiltrasi limfositik ringan di peribronkhial; skor lesio 2 di tandai dengan kongesti, udema, hemoragi, penebalan jaringan interstisial oleh sel radang limfositik, hiperplasia, deskuamasi epitel bronkhioli dan emfisema; skor lesio 3 di tandai dengan penebalan jaringan interstisial oleh sel radang limfositik, eksudat 32 purulen dalam lumen dan emfisema. Hasil pengamatan nilai skor histopatologi di rangkum dalam tabel 5. Tabel 5. Nilai Skor Histopatologi Organ Paru-paru Nilai Skor Histopatologi Paru-Paru Lapangan Pandang 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Skor rata-rata Babi 1 Babi 2 Babi 3 Babi 4 Babi 5 Babi 6 Babi 7 Babi 8 Babi 9 Babi 10 K 1 K 2 K 3 2 1 2 2 3 3 3 2 3 3 3 2 1 3 2 3 3 2 3 1 2 3 3 2 3 2 3 3 3 1 2 2 1 1 2 2 2 3 3 3 1 2 1 1 2 3 2 2 3 2 3 1 2 3 2 3 2 3 2 3 1 2 2 2 3 3 1 2 2 2 3 2 3 3 2 2 2 2 2 2 2 3 2 3 2 1 1 2 2 3 2 1 1 2 3 2 2 2 3 2 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 1 3 3 3 2 2 3 2 2 2 2 1 1 1 Keterangan : K=Kontrol Skoring terhadap perubahan histopatologi paru-paru dalam 10 lapangan pandang di peroleh bahwa rataan skor terbanyak adalah skor 2 yaitu berupa kongesti, udema, hemoragi, penebalan jaringan interstisial oleh sel radang limfositik, hiperplasia dan deskuamasi epitel bronkhioli. Ini menunjukkan bahwa organ paru-paru mengalami kerusakan derajat sedang akibat infeksi virus hog cholera. Skoring terhadap lesio histopatologi paru-paru kontrol di peroleh bahwa rataan skor terbanyak yang di temukan adalah skor 1 yaitu berupa infiltrasi limfositik ringan di peribronkhial. 33 HC Gambar 26 a. Eksudat dalam lumen bronkhioli (tanda asteriks), infiltrasi sel radang limfositik (tanda panah) peribronkhial, penebalan jaringan interstisial paru oleh sel radang limfositik (tanda kepala anak panah). Skor 3. Pewarnaan HE, Skala 4 µm HC Gambar 26.b. Penebalan interstisial paru-paru oleh cairan udema (tanda panah) dan sel radang limfositik (tanda kepala anak panah). Skor 2. Pewarnaan HE, Skala 2 µm 34 HC Gambar 27. Infiltrasi dan akumulasi sel radang limfosit dan makrofag di peribronkhioli (tanda panah), eksudat dalam lumen bronkhioli (tanda asteriks). Skor 3. Pewarnaan HE, Skala 2 µm HC Gambar 28. Deskuamasi epitel bronkioli (tanda asterik), infiltrasi sel radang limfositik peribronkhial (tanda anak panah). Skor 3. Pewarnaan HE, Skala 2 µm 35 HC Gambar 29. Bronkhiolitis di tandai oleh hiperplasia epitel bronkhioli (tanda panah), eksudat purulen dalam lumen bronkhioli, diantara jaringan parenkim yang mengalami pneumonia alveolaris (tanda kepala anak panah). Skor 3. Pewarnaan HE, Skala 4 µm HC Gambar 30.a. Kongesti (tanda panah), udema (tanda asterik), hemoragi (tanda kepala anak panah), melengkapi lesio pneumonia interstisialis dan alveolaris. Skor 2. Pewarnaan HE, Skala 10 µm 36 HC Gambar 30.b. Daerah paru-paru yang mengalami udema (tanda kepala anak panah) dan pneumonia interstisialis (tanda panah). Skor 2. Pewarnaan HE, Skala 5 µm HC Gambar 30.c. Lesio hemoragi (tanda asterik) dan infiltrasi sel radang limfositik (tanda panah) yang menyebabkan penebalan septum alveoli paru. Skor 2. Pewarnaan HE, Skala 2 µm 37 HC Gambar 31. Bagian paru dengan emfisema (tanda asterik) dan penebalan septum alveoli ringan oleh infiltrasi sel radang limfositik (tanda anak panah). Skor 2. Pewarnaan HE, Skala 5 µm HC Gambar 32. Bagian paru dengan lesio minimal berupa infiltrasi limfositik peribronkhial (tanda panah). Skor 1. Pewarnaan HE, Skala 10 µm 38 K Gambar 33. Septum alveoli normal dari paru-paru babi kontrol. Skor 0.Pewarnaan HE, Skala 2 µm Perubahan pada sistem respirasi dapat di sebabkan oleh agen yang datang melalui rute aerogenus atau hematogenus (Dungworth 1993). Paru-paru menjadi salah satu target organ penyakit hog cholera karena virus hog cholera memiliki efek sistemik (Van Oirschot et al. 1999), di mana virus masuk ke paru-paru melalui rute hematogenus. Virus hog cholera yang melalui rute hematogenus menyebabkan lesio awal pada buluh darah kapiler septum alveoli berupa kongesti, udem dan hemoragi di septum alveoli (gambar 30 a,b,c). Reaksi peradangan interstisium yang terjadi umumnya di tandai dengan infiltrasi makrofag dan limfosit (gambar 26 a,b dan 27). Peradangan di bagian interstisialis segera meluas ke lumen alveol (gambar 29) dan mencapai bagian bronkhioli. Reaksi bronkhioli yang terjadi berupa hiperplasi epitel dan timbulnya eksudat peradangan (gambar 29). Eksudat purulen pada bronkioli menunjukkan adanya infeksi sekunder yang mengikuti infeksi virus hog cholera. Akumulasi eksudat dalam lumen menyebabkan timbulnya obstruksi saluran pernafasan hingga berakibat emfisema (gambar 31) (Lopez 1995). Pada kasus ini terjadinya penurunan fungsi paru-paru, secara mikroskopis hal ini dapat dijelaskan karena makrofag yang berfungsi sebagai pertahanan paru-paru, digunakan sebagai tempat replikasi virus, sehingga terjadi penurunan reaksi pertahanan. 39 Lesio paru-paru berkaitan erat dengan lesio yang terjadi di organ jantung. Pada kasus ini lesio kongesti dan udema selain akibat kerusakan buluh darah oleh virus hog cholera juga di sebabkan oleh lesio pada organ jantung berupa kardiomiopatia. Infeksi buatan virus hog cholera isolat Quillota yang di lakukan oleh Quezada et al. (2000), menunjukkan lesio antara lain: hemoragi alveolar, deskuamasi sel epitel bronkhi dan bronkhioli, leukosit terlihat di sekitar area deskuamasi dan adanya peningkatan jumlah sel-sel mononuklear terutama makrofag di lumen buluh darah. Lesio yang di temukan tersebut menandakan berlangsungnya proses bronkhopneumonia. Perubahan histopatologi pada paru-paru babi ini sesuai dengan gejala klinis ketika wabah terjadi, yaitu adanya gejala gangguan pernafasan dan perubahan patologi anatomi berupa pneumonia. Kejadian pneumonia interstisialis dapat menyebar secara luas pada seluruh paru-paru, namun sering terjadi pada daerah dorso kaudal bila di sebabkan oleh agen hematogenus (Dungworth 1993). Menurut Lopez (1995), bahwa pneumonia interstisialis terjadi oleh penyebab hematogen mengakibatkan kerusakan kapiler alveolar. Kerusakan pada endotelium buluh darah paru dapat terjadi melalui mekanisme septikemia, koagulasi intravaskular, mikroemboli atau infeksi virus endoteliotropik. Pneumonia interstisialis di tunjukkan dengan adanya respon eksudatif dan proliferasi pada septum alveolar. Bila kerusakan terjadi secara persisten, lesio infiltrasi dan proliferasi pada pneumonia interstisial akut dapat berubah menjadi kronis. Lesio kronis di tunjukkan dengan adanya fibrosis alveolar, akumulasi sel radang dan hiperplasia pneumosit tipe II persisten (Dungworth 1993). Pneumonia interstisialis kronik merupakan akibat dari kerusakan persisten pada interstisial alveolar, septum alveolar, dan pada dinding alveolar akibat proses peradangan (Dungworth 1993; Lopez 1995; Van Dijk 2007). Emfisema merupakan akibat dari obstruktif kronik aliran udara yang menyebabkan berkurangnya elastisitas paru dan perluasan alveol (Corwin 2001). Penurunan elastisitas paru-paru menyebabkan pengembangan berlebihan pada paruparu akibat dari serat-serat elastis di beberapa bagian paru tidak dapat kembali setelah di regangkan. Kompensasi dari penurunan elastisitas paru adalah penurunan ventilasi paru. Penurunan ventilasi dapat terjadi ketika penyaluran udara ke sebagian alveolus terhambat sehingga darah tidak dapat mengalir ke alveolus. Penurunan konsentrasi oksigen ke alveolus akibat menurunnya ventilasi paru tersebut mengundang respon berupa vasokonstriksi arteriol paru. Hal ini berguna untuk mengurangi aliran darah ke 40 alveolus sehingga rasio ventilasi kembali normal. Emfisema di tandai dengan beberapa bagian parenkim paru yang mengalami kerusakan yaitu dinding alveol yang meluas dan robek. Berdasarkan hasil pengamatan histopatologi, sampel paru babi mengalami emfisema tipe alveolar. Hal ini terjadi karena sejumlah bronkhioli terlihat berisi eksudat peradangan yang menyumbat aliran udara. Menurut Dungworth (1993), bronkhiolus memiliki dinding yang tipis dan diameter lumen yang kecil sehingga lebih mudah tersumbat. Adanya pneumonia dan emfisema dapat menyebabkan terjadinya pembendungan pada paru-paru. Pembendungan di perparah dengan adanya kelemahan jantung yang dapat mengganggu sirkulasi umum. Kongesti menyebabkan buluh darah melebar dan menekan daerah sekitarnya. Kongesti selalu mengganggu fungsi pernafasan normal sehingga menjadi faktor predisposisi terjadinya bronkhopneumonia. Jika skor lesio paru-paru di kaitkan dengan umur babi menunjukkan bahwa skor lesio paru-paru babi muda yaitu babi yang berumur diantara 2 bulan sampai 5 bulan memiliki skor yang lebih tinggi yaitu skor 3. Lesio skor 3 berupa penebalan jaringan interstisial oleh sel radang limfositik, eksudat purulen dalam lumen dan emfisema. Babi muda lebih peka atau mudah terserang virus hog cholera hal ini berkaitan dengan menurunnya maternal antibodi dalam tubuh, apalagi jika tidak di lakukan vaksinasi (Greiser Wilke et al. 2007). Pewarnaan imunohistokimia menggunakan anti-HCV antibody monoclonal (WA303, Central Veterinary Laboratory, New Haw, Addlestone,UK) di lakukan untuk mengetahui distribusi virus hog cholera pada organ. Pemeriksaan imunohistokimia pada paru-paru, di temukan virus di sel endotel buluh darah paru-paru, makrofag dan sel leukosit dalam buluh darah paru-paru (gambar 34). 41 * * HC Gambar 34.Distribusi antigen hog cholera di sel leukosit dalam buluh darah (tanda kepala anak panah), makrofag (tanda asterik) dan sel endotel buluh darah organ paru-paru (tanda panah). Pewarnaan imunohistokimia menggunakan anti-HCV antibody monoclonal (WA303, Central Veterinary Laboratory, New Haw, Addlestone, UK) Skor (+), Skala 4 µm 4.3.2. Organ Jantung Hasil evaluasi histopatologi terhadap sampel jantung secara umum menunjukkan perubahan berupa: kongesti kapiler, udema diantara serabut otot jantung, degenerasi berbutir dan atrofi otot jantung (gambar 35); multifokus miopatia otot jantung (gambar 36), di tunjukkan oleh adanya warna yang lebih eosinofilik dari sitoplasma otot jantung. Fibrosis di daerah infark miokardium (gambar 37); infiltrasi sel radang limfositik pada bagian epikardium (gambar 38) dan hemoragi diantara serabut otot jantung (gambar 39). Secara histopatologi di simpulkan jantung mengalami kardiomiopatia. Pengamatan mikroskopis organ jantung babi kontrol menunjukkan tidak ada kelainan (gambar 40). Perubahan pada jantung di golongkan menjadi 4 jenis skor lesio berdasarkan derajat keparahannya. Skor lesio 0 di tandai dengan tidak ada perubahan; skor lesio 1 di tandai dengan dilatasi buluh darah, infiltrasi ringan sel radang limfositik pada epikardium; skor lesio 2 di tandai dengan kongesti kapiler, udema di antara serabut otot 42 jantung, infiltrasi dan akumulasi sel radang limfositik pada epikardium; lesio 3 di tandai dengan degenerasi berbutir, atrofi, miopatia otot jantung, infiltrasi, akumulasi sel radang yang semakin banyak. Hasil pengamatan skor lesio dirangkum dalam tabel 6. Tabel 6. Nilai Skor Histopatologi Organ Jantung Nilai Skor histopatologi Jantung Lapangan Pandang 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Skor rata-rata Babi 1 Babi 2 Babi 3 Babi 4 Babi 5 Babi 6 Babi 7 Babi 8 Babi 9 Babi 10 K 1 K 2 K 3 1 2 2 2 1 1 3 3 2 2 1 2 3 2 3 3 3 2 3 3 2 3 3 1 2 3 2 3 3 2 1 2 1 1 3 2 2 2 2 2 2 2 2 1 3 2 2 2 1 3 2 2 3 1 3 3 2 2 2 2 3 1 2 2 3 2 3 2 2 1 2 1 3 2 2 3 1 3 2 2 1 3 3 2 2 2 1 3 2 2 2 3 3 3 1 2 2 3 2 2 0 0 1 0 1 1 0 0 1 0 0 0 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 0 1 0 0 1 0 0 3 3 3 2 2 2 2 2 2 2 0 0 0 Keterangan : K=Kontrol Skoring terhadap perubahan histopatologi jantung dalam 10 lapangan pandang di peroleh bahwa rataan skor terbanyak yang di temukan adalah skor 2 yaitu berupa kongesti kapiler dan udema di antara serabut otot jantung, infiltrasi dan akumulasi sel radang di epikardium. Ini menunjukkan bahwa organ jantung mengalami kerusakan derajat sedang akibat infeksi virus hog cholera. Skoring terhadap perubahan histopatologi organ jantung kontrol di peroleh bahwa rataan skor terbanyak yang di temukan adalah skor 0 yaitu tidak ada perubahan. 43 HC Gambar 35. Kongesti kapiler dan udema di antara serabut otot jantung (tanda panah), degenerasi berbutir (tanda kepala anak panah) dan atrofi otot jantung (tanda asterik). Skor 2. Pewarnaan HE, Skala 2 µm HC Gambar 36. Multifokus miopatia otot jantung (tanda kepala anak panah). Skor 3. Pewarnaan HE, Skala 4 µm 44 HC Gambar 37. Fokus fibrosis di daerah infark miokardium (tanda kepala anak panah). Skor 3. Pewarnaan HE, Skala 4 µm HC Gambar 38. Infiltrasi sel radang limfositik pada bagian epikardium (tanda kepala anak panah). Skor 1. Pewarnaan HE, Skala 5 µm 45 HC Gambar 39. Hemoragi di antara serabut otot jantung (tanda panah). Skor 3. Pewarnaan HE, Skala 2 µm K Gambar 40. Anastomose antar serabut otot jantung jelas terlihat pada jantung babi kontrol, inti di tengah dan sitoplasma bergaris lurik. Skor 0. Pewarnaan HE, Skala 5 µm 46 Virus Hog Cholera di jalur hematogenus akan bereplikasi di sel endotel. Kondisi ini menyebabkan kerusakan buluh darah sehingga timbul hemoragi, degenerasi, infark dan iskemia (gambar 35, 37 dan 39). Degenerasi menyebabkan gangguan pada metabolisme sel. Gangguan metabolisme intraseluler menyebabkan perubahan dalam struktur sel. Perubahan degeneratif dari otot jantung secara histologi tampak seperti sitoplasma berwarna eosinofilik dan hilangnya garis melintang otot (gambar 35). Nekrosis otot jantung di tunjukkan dengan pemadatan material kontraktil dan piknosis inti sel (MacKenzie dan Alison 1990). Infark jantung di tandai dengan lesio nekrosa koagulasi dan hiperemia (Van Vleet dan Ferran 1986). Infark jantung mengakibatkkan gangguan kontraktilitas jantung (gambar 37). Infark dan iskemia dapat terjadi karena adanya gangguan atau hambatan suplai darah yang menuju suatu organ. Hambatan tersebut salah satunya dapat di sebabkan oleh trombus. Sebagian besar kasus infark miokardium terdapat trombus yang menyebabkan kematian. Permukaan organ tubuh yang terkena infark umumnya di liputi oleh masa fibrin dan pada akhirnya akan terbentuk fokus fibrosis di daerah infark (Carlton dan Gavin 1995). Kontraksi otot di perlukan untuk mempertahankan ukuran otot yang normal. Kontraksi otot itu sendiri bergantung pada energi yang di sediakan oleh ATP. ATP di dapatkan dari substansi kreatinin fosfat, glikogen dan hasil metabolisme oksidatif dari karbohidrat, protein, dan lemak sebagai sumber energi terbesarnya. Lesio akibat gangguan kontraktilitas jantung yang berlangsung cukup lama di tandai oleh adanya atrofi pada bagian otot jantung lainnya (gambar 35) menyebabkan output darah dari jantung berkurang dan terjadi kekurangan darah di organ-organ lain seperti otak dan paru-paru (Van Vleet dan Ferrans l995). Jantung bukan merupakan organ penting dalam replikasi virus hog cholera, lesio yang ditemukan di organ ini tidak konsisten pada setiap kasus infeksi alami ataupun infeksi buatan dan lesio histopatologi jantung akibat infeksi virus hog cholera belum banyak di publikasikan (Quezada et al. 2000). Lesio histopatologi jantung antara lain kongesti miokardium, hemoragi perikardium dan endokardium yang timbul sebagai akibat adanya infeksi sekunder dari bakteri (Van Oirschot et al. 1999). Pewarnaan imunohistokimia menggunakan anti-HCV antibody monoclonal (WA303, Central Veterinary Laboratory, New Haw, Addlestone,UK) di lakukan untuk mengetahui distribusi virus hog cholera pada organ. Pemeriksaan imunohistokimia 47 pada jantung, di temukan virus di sel leukosit dalam buluh darah dan sel endotel buluh darah organ jantung (gambar 41) HC Gambar 41. Distribusi antigen hog cholera di sel leukosit dalam pembuluh darah (tanda kepala anak panah) dan sel endotel buluh darah organ jantung (tanda anak panah). Pewarnaan imunohistokimia menggunakan anti-HCV antibody monoclonal (WA303, Central Veterinary Laboratory, New Haw, Addlestone, UK) Skor (+), Skala 2 µm 4.3.3. Organ Hati Perubahan histopatologi organ hati akibat infeksi virus hog cholera memperlihatkan berbagai kerusakan baik pada parenkim maupun interstitium dengan derajat keparahan yang bervariasi. Hasil evaluasi histopatologi terhadap sampel hati babi menunjukkan adanya peningkatan jumlah sel radang di septum interlobularis hati (gambar 42), daerah porta hati, pembuluh darah sinusoid (gambar 43) dan di sekitar fokus nekrosa hepatosit (gambar 44). Akumulasi sel radang limfositik pada kapsula Glisson (gambar 45) mengindikasikan adanya peritonitis dan multifokus degenerasi lemak hepatosit (gambar 46a,b) pada bagian tepi lobular hepatosit. Kronik kongesti yang terjadi pada sinusoid hati (gambar 47), di tandai dengan adanya udema di ruang Disse (gambar 48). Dari perubahan histopatologi di atas di simpulkan hati mengalami multifokus miliari nekrotik hepatitis yang bersifat kronik aktif. Pengamatan 48 mikroskopis organ hati babi kontrol di temukan infiltrasi ringan sel radang di sinusoid hati (gambar 49); lobularis hati menunjukkan tidak ada kelainan (gambar 50). Perubahan pada hati di golongkan menjadi 4 jenis skor lesio berdasarkan derajat keparahannya. Skor lesio 0 di tandai dengan tidak ada perubahan; skor lesio 1 di tandai dengan infiltrasi ringan sel radang di sinusoid hati; skor lesio 2 di tandai dengan infiltrasi ringan sel radang limfosit dan makrofag di septum interlobularis, daerah porta, buluh darah sinusoid; skor lesio 3 di tandai dengan Akumulasi sel radang limfositik di kapsula Glisson dan udema ruang Disse, degenerasi lemak hepatosit. Hasil pengamatan skor lesio di rangkum dalam tabel 7. Tabel 7. Nilai Skor histopatologi Organ Hati Nilai Skor Histopatologi Hati Lapangan Pandang 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Skor rata-rata Babi 1 Babi 2 Babi 3 Babi 4 Babi 5 Babi 6 3 2 3 3 2 1 3 3 3 1 3 3 3 1 3 2 2 3 3 3 3 3 2 2 3 3 1 3 2 2 1 2 2 3 3 2 2 2 1 2 2 3 3 2 2 2 3 2 1 2 2 2 2 2 1 1 2 3 2 1 Babi 7 o 2 3 2 3 1 2 2 3 2 2 3 3 3 2 2 2 2 Babi 8 Babi 9 Babi 10 K 1 K 2 K 3 2 3 1 2 2 2 2 1 2 1 1 1 2 2 2 3 1 2 2 2 1 2 1 3 2 3 2 2 3 2 1 1 1 1 1 2 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 2 1 1 1 1 2 Keterangan : K=Kontrol Hasil skoring terhadap perubahan histopatologi hati dalam 10 lapangan pandang di peroleh bahwa rataan skor terbanyak yang di temukan adalah skor 2 yaitu berupa infiltrasi sel radang di septum interlobularis, daerah porta dan buluh darah sinusoid. Ini menunjukkan bahwa organ hati mengalami kerusakan derajat sedang akibat infeksi virus hog cholera. Skoring terhadap perubahan histopatologi organ hati babi kontrol di peroleh bahwa ke-3 babi kontrol mempunyai rataan skor terbanyak adalah 1 yaitu berupa infiltrasi ringan sel radang di sinusoid hati. 49 HC Gambar 42. Infiltrasi sel radang pada septum interlobularis hati (tanda kepala anak panah). Skor 2. Pewarnaan HE, Skala 5 µm HC Gambar 43. Akumulasi sel radang limfositik daerah porta hati (tanda kepala anak panah). Skor 2. Pewarnaan HE, Skala 2 µm 50 HC Gambar 44. Sel radang dalam buluh darah sinusoid (tanda asterik) dan di sekitar fokus nekrosa hepatosit (tanda kepala anak panah). Skor 2. Pewarnaan HE, Skala 1 µm HC Gambar 45. Akumulasi sel radang limfositik pada kapsula Glisson (tanda kepala anak panah). Multifokus degenerasi lemak hepatosit pada bagian tepi lobular hepatosit (tanda asterik). Skor 3. Pewarnaan HE, Skala 4 µm 51 HC Gambar 46.a. Multifokus degenerasi lemak hepatosit. Skor 3. Pewarnaan HE, Skala 2 µm HC Gambar 46.b. Sebaran dari fokus degenerasi lemak hepatosit pada bagian tepi lobular hepatosit. Skor 3. Pewarnaan HE, Skala 5 µm 52 HC Gambar 47. Kronik kongesti sinusoid hati (tanda panah). Skor 3. Pewarnaan HE, Skala 5 µm HC Gambar 48. Kronik kongesti sinusoid hati (tanda asterik) mengakibatkan udema ruang Disse (tanda kepala anak panah) Skor 3. Pewarnaan HE, Skala 2 µm 53 K Gambar 49. Multifokus infiltrasi ringan sel radang pada sinusoid hati kontrol (tanda panah). Skor 1. Pewarnaan HE, Skala 2 µm HC Gambar 50. Susunan lobularis hati babi kontrol. Skor 0. Pewarnaan HE, Skala 10 µm 54 Respon peradangan yang terjadi pada kasus yang di amati terkonsentrasi di buluh darah portal (gambar 43), jaringan interstisial subendotel dan kapiler sinusoid (gambar 44). Respon peradangan yang mengikuti pola aliran darah ini menunjukkan rute infeksi melalui hematogen (MacLachlan et al.1995). Lesio peritonitis (gambar 45) di duga berasal dari aliran darah umum menuju buluh limfatik peritonium. Histopatologi pada kasus ini menunjukkan hati mengalami multifokus miliari nekrotik hepatitis yang bersifat kronik aktif (gambar 45 dan 46 a,b). Sifat akut hingga kronis di tandai dengan adanya kongesti dan infiltrasi netrofil sebagai lesio akut, sedangkan adanya sel radang jenis limfosit dan makrofag mengarah pada lesio kronik. Infeksi buatan virus hog cholera isolat Quillota yang di lakukan oleh Quezada et al. (2000), menunjukkan lesio antara lain: hipertrofi sel hati, adanya infiltrasi sel-sel mononuklear di periportal dan jaringan interlobular. Hati berperan dalam banyak fungsi penting, seperti sintesis kolesterol dan asam empedu, degradasi glikogen, memproduksi protein plasma. Selain itu hati berfungsi sebagai penyaring darah yang masuk ke hati melalui vena portal. Sel Kupffer berperan dalam memfagosit agen infeksi sebelum masuk ke sistem sirkulasi umum (MacLachlan et al. 1995). Lemak di metabolisme pada sebagian besar sel hati. Degenerasi lemak terjadi bila hasil produk trigliserida berlebihan dalam sel akibat gangguan atau kerusakan pada organel. Degenerasi lemak yang terjadi di organ hati, ginjal dan jantung di tandai dengan adanya kebengkakan organ dan berwarna kuning atau pucat. Sitoplasma jaringan yang mengalami degenerasi lemak, terlihat berisi vakuola-vakuola lemak (Cheville 1999). Trigliserida atau lemak netral di dalam hepatosit berbentuk sebagai simpanan untuk proses sintesa lipid lanjut di dalam hati. Pada kasus degenerasi lemak, produksi trigliserida berlebihan, berjalan lebih lambat dan melibatkan proses sintesis yang kompleks. Jika suatu kejadian penyakit merusak jalur metabolik lipid yang melibatkan beberapa subtrat seperti kolestrol, phospolipid atau asam lemak, hal ini dapat mengakibatkan perubahan sitopatik berupa degenerasi lemak (Cheville 1999). Adanya vakuola lemak pada hati menunjukkan bahwa dalam tubuh terdapat ketidak seimbangan proses normal yang mempengaruhi kadar lemak di dalam sel dan di luar sel hati akibat gangguan metabolisme. Akumulasi lipid di dalam sel dapat terjadi sebagai akibat dari ; (1). Tingginya konsentrasi lipid darah yang telah berlangsung lama (2). Hipoksia kronis sebagai akibat terhambatnya metabolisme enzim lipid (3). Keracunan yang berjalan subletal akut yang menekan jalur lipid (4). Penyakit metabolis 55 bersifat progresif kronis yang terjadi sebagai akibat ketidak sempurnaan enzim sel (Cheville 1999). Degenerasi lemak hepatosit pada kasus infeksi hog cholera, cenderung terjadi akibat hipoksia kronis, sehubungan dengan lesio pada buluh darah. Hati dan ginjal merupakan organ yang paling mudah mengalami lesio pada penyakit metabolisme akut. Dengan melihat sebaran dan ukuran butir lipid, kejadian degenerasi lemak hepatosit dapat mengindikasikan perjalanan penyakit. Degenerasi dengan butir lipid berukuran kecil merupakan indikasi dari penyakit metabolisme akut. Keadaan ini selalu di tandai dengan kebengkakan sel. Degenerasi lemak dengan butir lipid berukuran besar mengindikasikan adanya suatu infeksi viral dan keracunan (Cheville 1999). Degenerasi lemak yang tampak pada kasus ini menunjukkan butiran lipid besar (gambar 45 dan 46 a,b) sesuai dengan penyebabnya yaitu akibat infeksi viral. Akibat dari kongesti maka sirkulasi darah menjadi lambat sehingga oksigenasi ke jaringan menurun. Sel hati sangat peka terhadap kekurangan oksigen atau anoksia. Adanya kongesti menyebabkan terganggunya fungsi hati sebagai tempat metabolisme protein dan lemak. Pada kongesti akut hati, sinusoid meluas terisi darah, sedangkan bila berlangsung lama, maka seluruh tepi lobulus fungsional mengalami pembendungan di vena sentralis dan sinusoid (MacLachlan et al. 1995). Kongesti yang kronis biasanya di ikuti oleh udema. Udema pada kongesti kronis hati terjadi di ruang Disse, di tunjukkan dengan terangkatnya sel-sel endotel dari membran sel hati (gambar 48). Fokus-fokus peradangan hati bersifat kronik di dominasi oleh sel radang limfosit dan makrofag (gambar 42, 43, 44). Sel limfosit pada peradangan kronis berfungsi sebagai mediator peradangan (Tighe dan Davies 1984). Makrofag berperan dalam fagositosis dan penghancuran partikel asing serta mengolah bahan asing sehingga dapat membangkitkan tanggap kebal (Tizard 1988). Sel Kupffer membentuk pertahanan makrofag-monosit yang berfungsi mengeluarkan eritrosit rusak dan runtuhan jaringan (debris) lainnya dalam peredaran darah, serta bersifat fagositik terhadap benda asing (Hartono 1992; Burkitt et al. 1995). Penelitian yang di lakukan oleh Quezada et al. (2000) yang menggunakan isolat virus hog cholera (Quillota), membuktikan bahwa akibat infeksi buatan ini tidak menimbulkan lesio yang konsisten pada organ hati. Organ ini bukan merupakan target utama replikasi dari virus hog cholera. Lesio utama terjadi di ruang periportal di bandingkan parenkim hati. Hipertrofi sel hati dan adanya infiltrasi sel-sel mononuklear di ruang periportal di duga berhubungan dengan replikasi virus di makrofag. 56 Pewarnaan imunohistokimia menggunakan anti-HCV antibody monoclonal (WA303, Central Veterinary Laboratory, New Haw, Addlestone,UK) di lakukan untuk mengetahui distribusi virus hog cholera pada organ. Pemeriksaan imunohistokimia pada hati, di temukan virus di sel leukosit buluh darah hati, makrofag dan sel endotel buluh darah hati (gambar 51). * HC Gambar 51.Distribusi antigen hog cholera di sel leukosit buluh darah hati (tanda kepala anak panah), sel makrofag (tanda asterik) dan sel endotel buluh darah (tanda anak panah). Pewarnaan imunohistokimia menggunakan anti-HCV antibody monoclonal (WA303, Central Veterinary Laboratory, New Haw, Addlestone, UK). Skor (+), Skala 1 µm 4.3.4. Organ Ginjal Pengamatan mikroskopis organ ginjal menunjukkan adanya kongesti buluh darah mesangial dan kapiler buluh darah inter tubuli; degenerasi dan nekrosa epitel tubuli (gambar 52a), fokus hemoragi di antara tubuli di korteks ginjal (gambar 52b). Glomerulitis di tandai dengan perlekatan mesangial buluh darah dengan kapsula Bowman dan deposit protein di ruang Bowman (gambar 53). Atrofi sel epitel tubuli dan degenerasi hidropis epitel tubulus (gambar 54a,b). Akumulasi multifokus sel radang makrofag, limfosit dan sel plasma di interstisial (gambar 55) dan nekrosa koagulasi (gambar 56). Degenerasi hialin pada epitel tubuli (gambar 57). Secara histopatologi di simpulkan ginjal mengalami nefritis kronik akut. Pengamatan mikroskopis organ ginjal 57 babi kontrol menunjukkan adanya endapan protein dalam lumen tubuli tetapi tidak sebanyak pada lumen tubuli ginjal babi sakit (gambar 58). Perubahan pada ginjal di golongkan menjadi 4 jenis skor lesio berdasarkan derajat keparahannya. Skor lesio 0 di tandai dengan tidak ada perubahan; skor lesio 1 di tandai dengan deposit protein dalam lumen tubuli; skor lesio 2 di tandai dengan kongesti, udema, hemoragi buluh darah mesangial dan kapiler buluh darah inter tubuli, infiltrasi sel radang di interstisium; lesio 3 di tandai dengan hiperplasia sel endotel anyaman mesangial glomerulus di sertai deposit protein di lumen tubuli dan ruang Bowman, degenerasi hidropis epitel tubulus. Hasil pengamatan skor lesio di rangkum dalam tabel 8. Tabel 8. Nilai Skor Histopatologi Organ Ginjal Nilai Skor Histopatologi Ginjal Lapangan Pandang 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Skor rata-rata Babi 1 Babi 2 Babi 3 Babi 4 Babi 5 Babi 6 Babi 7 Babi 8 Babi 9 Babi 10 K 1 K 2 K 3 2 1 3 3 2 1 3 3 3 1 2 3 3 1 3 2 2 1 3 3 1 1 2 2 3 3 3 3 2 3 2 2 2 3 3 2 2 2 1 2 2 3 3 2 2 2 3 2 1 2 2 2 2 2 1 1 2 3 2 1 3 3 2 3 1 2 2 3 2 3 1 3 1 2 2 2 2 1 2 2 2 1 2 2 2 3 1 2 2 2 1 2 2 3 2 3 2 2 3 2 0 1 1 1 1 2 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 1 0 1 1 0 0 1 0 1 1 0 1 1 1 3 3 3 2 2 2 3 2 2 1 1 1 1 Keterangan : K=Kontrol Skoring terhadap perubahan histopatologi ginjal dalam 10 lapangan pandang di temukan bahwa rataan skor terbanyak yang di temukan adalah skor 2 yaitu berupa kongesti, udema, hemoragi buluh darah mesangial dan kapiler buluh darah inter tubuli; infiltrasi sel radang di interstisium. Ini menunjukkan bahwa organ ginjal mengalami kerusakan derajat sedang akibat infeksi virus hog cholera. Skoring terhadap perubahan histopatologi ginjal kontrol di temukan bahwa rataan skor terbanyak yang di temukan adalah skor 1 yaitu berupa deposit protein dalam lumen tubuli. 58 HC Gambar 52 a. Kongesti buluh darah mesangial dan kapiler buluh darah intra tubuli (tanda kepala anak panah), degenerasi dan nekrosa epitel tubuli (tanda panah). Skor 2.Pewarnaan HE, Skala 2 µm. HC Gambar 52 b.Fokus hemoragi di antara tubuli di korteks ginjal (tanda panah). Skor 3. Pewarnaan HE, Skala 4 µm. 59 HC Gambar 53. Glomerulitis, perlekatan mesangial buluh darah dengan kapsula Bowman yang menebal (tanda kepala anak panah), endapan protein dalam lumen tubuli (tanda asterik), infiltrasi sel radang limfositik pada jaringan interstisialis (tanda panah). Skor 3. Pewarnaan HE, Skala 2 µm. HC Gambar 54.a. Endapan protein dalam lumen tubuli (tanda asterik), atrofi sel epitel tubuli (tanda panah). Skor 3. Pewarnaan HE, Skala 4 µm. 60 HC Gambar 54.b. Degenerasi hidropis sel epitel tubulus (tanda panah), endapan protein di dalam lumen tubuli (tanda asterik). Skor 3. Pewarnaan HE, Skala 1 µm HC Gambar 55. Endapan protein dalam lumen tubuli (tanda asterik), infiltrasi sel radang limfositik pada jaringan interstitialis (tanda kepala anak panah). Skor 2. Pewarnaan HE, Skala 4µm 61 HC Gambar 56.Fokus nekrosa koagulasi di sertai akumulasi sel radang limfositik pada jaringan interstitialis (tanda kepala anak panah). Skor 3. Pewarnaan HE, Skala 2 µm HC Gambar 57. Degenerasi hialin pada epitel tubuli (tanda kepala anak panah). Skor 3. Pewarnaan HE, Skala 4 µm 62 K Gambar 58. Endapan protein ringan dalam lumen tubuli ginjal babi kontrol (tanda anak panah), lumen tubuli yang bersih dari endapan protein (tanda asterik) Skor 1. Pewarnaan HE, Skala 2 µm Struktur histologi nefron ginjal terdiri dari glomerulus dan tubulus. Glomeruli merupakan susunan anyaman kompleks kapiler yang memiliki peranan penting yaitu melakukan penyaringan filtrat plasma. Glomeruli juga berhubungan erat dengan sistem tubular. Kerusakan atau gangguan saringan glomerulus dapat menyebabkan penyakit ginjal dan komplikasi patologis pada organ tubuh lainnya Kelainan pada glomerulus di tandai dengan adanya kebocoran molekul protein berukuran kecil yang masuk ke dalam ruang Bowman dan tubulus. Jika sebagian besar protein plasma dan albumin yang lolos melalui barier glomerular yang rusak maka kemampuan reabsorbsi protein di tubuli convolti proximal akan terlampaui. Keadaan ini dapat mengakibatkan akumulasi protein di lumen tubulus dan pada urin (Carlton dan Gavin 1995). Perubahan histopatologi ginjal memberikan gambaran bahwa rute infeksi hematogenus menghasilkan lesio-lesio di mesangial glomerulus dan pada buluh darah kapiler diantara tubuli (Confer dan Panciera 1995). Lesio awal yang di timbulkan terlihat sebagai kongesti, udema dan hemoragi (gambar 52a). Hiperplasi sel endotel mesangial, menyebabkan fungsi filtrasi ginjal menjadi terganggu. Adanya gangguan filtrasi di tunjukan oleh adanya endapan protein di ruang Bowman (gambar 53) dan lumen tubuli (gambar 54 a,b dan 55). Protein yang terakumulasi di lumen tubuli akan 63 di reabsorbsi kembali oleh sel epitel tubuli mengakibatkan lesio degeneratif pada sel epitel tubuli (degenerasi hialin) (gambar 57). Area-area nekrosa koagulasi pada ginjal (gambar 56) adalah akibat iskemia. Kerusakan endotel kapiler interstisium menyebabkan hambatan suplai oksigen pada jaringan dan mengundang kehadiran sel radang pada jaringan interstisialis (gambar 53, 55 dan 57). Nekrosa koagulasi di tandai dengan struktur jaringan dan seluler yang utuh tetapi sitoplasma mengalami koagulasi dan mengambil warna merah muda pada pewarnaan HE. Inti sel yang mengalami nekrosa koagulasi umumnya piknotis, karioreksis hingga kariolisis (gambar 56). Terhambatnya aliran darah dapat di sebabkan oleh trombus. Trombosis merupakan pembentukan trombus di dalam sistem buluh darah yang berasal dari komponen-komponen darah. (Cheville 1999). Faktor penting pada trombosis arteri adalah kelainan dinding buluh darah, sedangkan pada trombosis vena adalah statis dan hiperkoagulabilitas. Bentuk nekrosis ini dapat terjadi di organ ginjal, hati dan otot (Carlton dan Gavin 1995). Lesio patologi anatomi berupa multifokal ptekhie berpola Turkey egg pada korteks ginjal yang sangat signifikan ternyata berhubungan erat dengan lesio histopatologi yang terlihat sebagai fokus hemoragi diantara tubuli di korteks (gambar 52b). Penyakit akut yang di sebabkan oleh virus seperti hog cholera umumnya menimbulkan lesio pada glomerulus. Lesio yang di timbulkan umumnya ringan, dapat pula bersifat sementara sebagai akibat dari replikasi virus di endotelium kapiler. Secara histopatologi glomerulitis di tandai dengan hipertropi endotelial, penebalan mesangium, udema, hemoragi dan nekrosis endotelium (Carlton dan Gavin 1995). Infeksi buatan virus hog cholera isolat Quillota yang di lakukan oleh Quezada et al. (2000), menunjukkan lesio yang bervariasi antara lain : hemoragi glomerulus dan adanya mikrotrombosis pada kapiler glomerulus. Endapan protein dalam jumlah yang banyak di temukan di glomerulus dan dari hasil penelitian ini di peroleh bahwa tubulus ginjal merupakan tempat penting untuk replikasi virus hog cholera. Penelitian yang di lakukan oleh Ruiz-Villamor et al. (2001) menggunakan virus hog cholera isolat Quillota membuktikan bahwa glomerulitis yang terjadi di akibatkan oleh endapan imun kompleks yang tertimbun di mesangium, atau di antara endotelium dan membran dasar glomerulus. Pewarnaan imunohistokimia menggunakan anti-HCV antibody monoclonal (WA303, Central Veterinary Laboratory, New Haw, Addlestone,UK) dilakukan untuk mengetahui distribusi virus hog cholera pada organ. Pemeriksaan imunohistokimia 64 pada ginjal, di temukan virus di sel leukosit dalam pembuluh darah organ ginjal, sel endotel buluh darah ginjal dan sel endotel glomerulus dan tubulus ginjal (gambar 59 a, 59 b, 60). HC Gambar 59 a. Distribusi antigen hog cholera di sel leukosit dalam pembuluh darah organ ginjal (tanda kepala anak panah). Pewarnaan imunohistokimia menggunakan anti-HCV antibody monoclonal (WA303, Central Veterinary Laboratory, New Haw, Addlestone, UK). Skor (++), Skala 2 µm 65 HC Gambar 59 b. Distribusi antigen hog cholera di sel leukosit dalam buluh darah organ ginjal (tanda kepala anak panah) dan sel endotel buluh darah ginjal (tanda panah). Pewarnaan imunohistokimia menggunakan anti-HCV antibody monoclonal (WA303, Central Veterinary Laboratory, New Haw, Addlestone, UK). Skor (++), Skala 2 µm. HC Gambar 60. Distribusi antigen hog cholera di sel endotel glomerulus dan tubulus ginjal (tanda anak panah). Pewarnaan imunohistokimia menggunakan anti-HCV antibody monoclonal (WA303, Central Veterinary Laboratory, New Haw, Addlestone, UK). Skor (++), Skala 2 µm. 66 3.5. Organ Limpa Hasil evaluasi histopatologi limpa babi, mengalami kongesti dan hemoragi di sertai deplesi folikel limfoid (gambar 61). Hemoragi pada pulpa merah limpa, infiltrasi sel radang di daerah sub kapsular dan superfisial kapsula menandakan adanya splenitis dan peritonitis (gambar 62). Pada pulpa putih secara umum di temukan kerusakan berupa deplesi folikel limfoid di tunjukkan oleh kepadatan populasi sel limfoid pada pulpa putih yang menurun serta di temukan fokus nekrosis pada bagian tengahnya dan infark hemoragi (gambar 63). Beberapa sel limfoid pada pulpa putih mengalami nekrosis di cirikan oleh inti yang mengalami piknosis dan kariolisis (gambar 64). Infiltrasi sel radang makrofag dan limfosit di daerah sub kapsular dan pulpa merah mengarahkan pada diagnosis splenitis (gambar 65). Berdasarkan perubahan histopatologi di simpulkan limpa mengalami splenitis. Histopatologi terhadap sampel limpa babi sehat sebagai kontrol di temukan deplesi folikel limfoid, di tunjukkan oleh kepadatan populasi sel limfoid pada pulpa putih menurun (gambar 66). Perubahan pada limpa di golongkan menjadi 4 jenis skor lesio berdasarkan derajat keparahannya. Skor lesio 0 di tandai dengan tidak ada perubahan; skor lesio 1 di tandai dengan dilatasi buluh darah, infiltasi ringan sel radang didaerah sub kapsular dan superfisial kapsula, deplesi folikel limfoid; skor lesio 2 di tandai dengan kongesti dan hemoragi pulpa merah, infiltasi sel radang makrofag, limfosit di subkapsular dan superfisial kapsula, deplesi folikel limfoid; lesio 3 di tandai deplesi folikel limfoid pulpa putih dan fokus nekrosis. Hasil pengamatan skor lesio dirangkum dalam tabel 9. Tabel 9. Nilai Skor Histopatologi Organ Limpa Nilai Skor Histopatologi Limpa Lapangan Pandang 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Skor rata-rata Babi 1 Babi 2 Babi 3 Babi 4 Babi 5 Babi 6 Babi 7 Babi 8 Babi 9 Babi 10 K 1 K 2 K 3 2 3 3 3 3 3 2 1 1 3 3 2 2 3 2 3 3 2 3 3 3 3 3 1 1 2 3 3 2 3 3 2 1 2 2 1 2 3 2 3 3 2 2 3 3 1 3 3 3 2 2 2 2 3 3 3 3 2 3 3 3 2 2 3 3 3 3 1 3 3 2 2 2 2 1 3 3 3 2 2 3 1 1 1 3 3 3 3 3 2 3 1 1 1 3 3 3 3 3 2 1 1 2 1 2 1 1 1 1 2 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 3 3 3 2 3 3 3 2 3 3 1 1 1 Keterangan : K=Kontrol 67 Skoring terhadap perubahan histopatologi limpa dalam 10 lapangan pandang di temukan bahwa skor terbanyak yang ditemukan adalah skor 3 yaitu berupa deplesi folikel limfoid pulpa putih dan nekrosis. Ini menunjukkan bahwa organ limpa mengalami kerusakan derajat parah akibat infeksi virus hog cholera. Skoring terhadap perubahan histopatologi organ limpa kontrol di temukan bahwa rataan skor terbanyak yang di temukan adalah skor 1 yaitu berupa di latasi buluh darah, infiltrasi ringan sel radang di daerah sub kapsular dan superfisial kapsula, deplesi folikel limfoid. HC Gambar 61. Kongesti limpa (tanda kepala anak panah) di sertai deplesi folikel limfoid (tanda asterik). Skor 2. Pewarnaan HE, Skala 10 µm 68 HC Gambar 62. Hemoragi pada pulpa merah limpa (tanda asterik), infiltrasi sel radang di daerah sub kapsular dan superfisial kapsula yang menandakan adanya splenitis dan peritonitis (tanda kepala anak panah). Skor 2. Pewarnaan HE, Skala 4 µm * HC Gambar 63. Deplesi folikel limfoid, kepadatan populasi sel limfoid pada pulpa putih menurun (tanda kepala anak panah), infark hemoragi (tanda asterik). Bagian tengah di temukan fokus nekrosis (tanda panah). Skor 3. Pewarnaan HE, Skala 2 µm 69 HC Gambar 64. Beberapa sel limfoid pada pulpa putih mengalami nekrosis di cirikan dengan inti yang mengalami piknosis (huruf P) dan kariolisis (huruf L) Skor 3. Pewarnaan HE, Skala 1 µm. HC Gambar 65. Pulpa merah di infiltrasi makrofag (huruf M) dan limfosit (huruf Ly). Skor 3. Pewarnaan HE, Skala 1 µm 70 K Gambar 66. Deplesi folikel limfoid limpa babi kontrol. Skor 1.Pewarnaan HE, Skala 5µm Fungsi limpa antara lain membentuk limfosit di pulpa putih yang selanjutnya bermigrasi ke pulpa merah (Gomez Villamandos et al. 2001). Pada kasus yang di amati di temui adanya nekrosa sel limfoid di cirikan dengan inti yang mengalami piknosis dan kariolisis, (gambar 64). Genus pestivirus pada hog cholera bereplikasi selain di endotel buluh darah (Van Vleet dan Ferran 1986) juga di jaringan limfoid babi penderita. Replikasi virus pada jaringan limfoid mengakibatkan rusaknya pusat germinal pada limpa (Susa et al. 1992). Implikasi dari adanya kerusakan pada pusat germinal limfoid folikel limpa akan mengakibatkan terjadinya deplesi limfosit B. Sel limfosit B merupakan salah satu calon pembentuk zat kebal tubuh. Adanya kerusakan sel-sel limfoid dari limpa sebagai akibat infeksi virus penyebab hog cholera, mengakibatkan adanya penurunan produksi sel B oleh limpa. Keadaan ini berakibat pada terjadinya penurunan reaksi pembentukan zat kebal tubuh sehingga babi menjadi peka dan mudah terserang berbagai macam penyakit (Van Oirschot et al.1999). Menurut Gomez Villamandos et al. (2001) bahwa efek imunosupresi yang di timbulkan, di awali dengan adanya infeksi virus hog cholera yang secara langsung menginfeksi dan melakukan perbanyakan diri (replikasi) pada limpa dan limfoglandula sebagai organ target utamanya. Penelitian yang di lakukan 71 oleh Quezada et al. (2000) menggunakan virus hog cholera isolat Quillota di temukan adanya lesio antara lain: nekrosis folikel limfoid pada area infark dan hemoragi. Fungsi lain dari limpa adalah sebagai tempat destruksi eritrosit. Sel darah merah secara normal mempunyai jangka hidup rata-rata 120 hari dan setelah itu di hancurkan. Proses tersebut terutama terjadi dalam limpa selain pada sumsum tulang. Makrofag di pulpa merah menelan dan mencernakan eritrosit yang sering pecah berkeping-keping dalam ruang ekstrasel. Pada kasus di mana di temukan kongesti dan hemoragi, pemecahan eritosit terjadi secara berlebihan. Fungsi utama makrofag adalah melahap partikel dan mencernakkannya oleh lisosom dan mengeluarkan sederetan substansi yang berperan dalam fungsi pertahanan (sistem imun) dan perbaikan. Mereka juga berpartisipasi dalam respon imun bermedia sel terhadap infeksi oleh bakteri, virus, protozoa, jamur, dan metazoa, terhadap tumor, metabolisme besi dan lemak, dan pemusnahan eritrosit tua (Bellanti et al.1993). Akumulasi makrofag berlebihan dan limfosit pada pulpa merah dan sinus subkapsularis limpa merupakan reaksi pertahanan tubuh terhadap adanya infeksi virus dan pemusnahan eritrosit yang rusak. Virus hog cholera meningkatkan efektivitas makrofag sehingga jumlahnya meningkat (Gomez-Villamandos et al. 2001). Makrofag melepaskan interleukin-1 (IL-1) yaitu monokin yang di duga identik dengan pirogen leukosit. IL-1 sangat di perlukan untuk aktivasi limfosit–T helper. Bila makrofag di aktifkan maka selain interleukin-1, sederet enzim protease netral seperti kolagenase dan elastase akan disekresikan. Pelepasan limfokin seperti faktor kemotaktik makrofag (macrophage chemotactic factor) akan mendatangkan sel-sel pada tempat reaksi, sedangkan faktor penghambat migrasi (migration inhibitory factor) akan menghambat makrofag dan cenderung untuk melokalisasi mereka di sekitar tempat reaksi (Roitt et al. 1988). Kongesti yang terjadi di limpa menunjukkan adanya pembendungan pasif darah yang berlebihan dalam buluh darah (gambar 61). Kongesti dapat terjadi karena penghambatan buluh darah setempat, atau adanya penurunan kemampuan kerja jantung (Carlton dan Gavin 1995). Pada kasus ini, terjadinya kongesti di beberapa organ sangat berkorelasi dengan adanya virus di endotel buluh darah dan kerusakan struktur pembuluh darah. Secara patologi anatomi lesio infark pada limpa tidak terlihat namun secara histopatologi lesio ini terlihat meskipun tidak parah hal ini ditandai dengan adanya lesio infark hemoragi (gambar 63). Narita et al. (2000) mengungkapkan bahwa anak babi yang di infeksi menggunakan virus hog cholera bervirulensi rendah (Strain 72 Kanagawa / strain 74), menunjukan adanya nekrosis sel-sel limfosit dan deplesi folikuler sel-sel limfosit, hiperplasi histiositik dan hematopoiesis pada organ limpa. Pada kasus ini terdapat juga kejadian hematopoiesis yang di tandai dengan adanya proliferasi sel megakariosit, walaupun jumlahnya tidak terlalu banyak (gambar 67 a,b). Jika di kaitkan dengan umur babi maka megakariosit yang di temukan pada kasus penelitian ini terdapat di limpa babi muda. HC Gambar 67 a,b. Sel megakariosit (tanda panah). Skor 1. Pewarnaan HE, Skala 1 µm Pewarnaan imunohistokimia menggunakan anti-HCV antibody monoclonal (WA303, Central Veterinary Laboratory, New Haw, Addlestone,UK) di lakukan untuk mengetahui distribusi virus hog cholera pada organ. Pemeriksaan imunohistokimia pada limpa, di temukan virus di sel- sel limfoid organ limpa (gambar 68 a,b). 73 HC Gambar 68 a. Distribusi antigen hog cholera di sel- sel limfoid organ limpa (tanda kepala anak panah). Pewarnaan imunohistokimia menggunakan antiHCV antibody monoclonal (WA303, Central Veterinary Laboratory, New Haw, Addlestone, UK) Skor (+++), Skala 2 µm HC Gambar 68.b.Distribusi antigen hog cholera di sel- sel limfoid organ limpa (tanda kepala anak panah). Pewarnaan imunohistokimia menggunakan antiHCV antibody monoclonal (WA303, Central Veterinary Laboratory, New Haw, Addlestone ,UK) Skor (+++), Skala 1 µm 74 4.3.6. Organ Limfoglandula Pada penelitian ini hanya berhasil di amati limfoglandula mesenterika dari 3 ekor babi sakit. Hasil evaluasi histopatologi limfoglandula babi di temukan lesio berupa: kongesti dan udema korteks limfonodus, sinus subkapsularis di infiltrasi oleh sel radang (gambar 68), udema sinus medularis, folikel limfoid jumlahnya menurun, zona mantel dan pusat germinal folikel limfoid tidak menunjukan batas yang jelas (Gambar 69), proliferasi sel retikulo endothelial di bagian sinus medularis (Gambar 70 a,b). Berdasarkan perubahan histopatologi yang di temui di simpulkan limfoglandula mengalami limfadenitis. Hasil pengamatan histopatologi terhadap sampel limfoglandula mesenterika babi sehat sebagai kontrol terlihat tidak ada perubahan (gambar 71 a,b) Perubahan pada limfoglandula mesenterika di golongkan menjadi 4 jenis skor lesio berdasarkan derajat keparahannya. Skor lesio 0 di tandai dengan tidak ada perubahan; skor lesio 1 di tandai dengan dilatasi buluh darah; skor lesio 2 di tandai dengan kongesti dan udema korteks limfonodus, infiltasi sel radang di sinus subkapsularis; lesio 3 di tandai dengan kongesti dan udema korteks limfonodus, deplesi folikel limfoid dan proliferasi sel retikuloendotelial di sinusmedularis. Hasil pengamatan skor lesio dirangkum dalam tabel 10. Tabel 10. Nilai Skor Histopatologi Organ Limfoglandula Mesenterika Lapangan Pandang 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Skor rata-rata Nilai Skor Histopatologi Limfoglandula Babi 1 Babi 2 Babi 3 2 3 3 2 3 2 2 3 2 2 3 2 2 1 1 2 3 3 3 3 3 3 1 2 3 3 2 3 3 2 2 3 Babi 4 Babi 5 TD TD 3 Babi 6 TD Babi 7 TD Babi 8 TD Babi 9 TD Babi 10 K 1 K 2 K 3 TD 0 1 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 0 0 1 0 1 0 0 1 0 0 0 Keterangan : K=kontrol; TD= Tidak dilakukan Skoring terhadap perubahan histopatologi limfoglandula mesenterika dalam 10 lapangan pandang di peroleh bahwa skor terbanyak yang di temukan adalah skor 3 yaitu berupa kongesti dan edema korteks limfonodus, deplesi folikel limfoid dan proliferasi sel retikulo endothelial di sinus medularis. Ini menunjukkan bahwa organ 75 limfoglandula mesenterika mengalami kerusakan derajat parah akibat infeksi virus hog cholera. Skoring terhadap perubahan histopatologi organ limfoglandula kontrol di temukan bahwa rataan skor terbanyak adalah skor 0 yaitu berupa tidak ada perubahan limfoglandula. HC Gambar 69. Korteks limfonodus mengalami kongesti dan udema (tanda kepala anak panah), sinus subkapsularis di infiltrasi oleh sel radang (tanda panah). Skor 2. Pewarnaan HE, Skala 5 µm 76 HC Gambar 70. Udema sinus medularis (tanda kepala anak panah), jumlah folikel limfoid menurun (tanda panah). Skor 3. Pewarnaan HE, Skala 5 µm. HC Gambar 71 a. Proliferasi sel retikulo endothelial di bagian sinus medularis (tanda panah). Skor 3. Pewarnaan HE, Skala 4 µm 77 HC Gambar 71 b. Proliferasi sel retikulo endothelial di bagian sinus medularis (tanda kepala anak panah). Skor 3. Pewarnaan HE, Skala 1 µm K Gambar 72 a. Bagian korteks limfoglandula babi kontrol. Folikel limfoid menunjukkan pola khas dari zona mantel dan pusat germinal. Skor 0. Pewarnaan HE, Skala 5 µm 78 K Gambar 72 b. Bagian korteks limfoglandula mesenterika babi kontrol. Dilatasi buluh darah dan folikel limfoid menunjukkan pola khas dari zona mantel dan pusat germinal. Skor 1. Pewarnaan HE, Skala 5 µm Limfadenitis sering di temukan pada septikemi akut dan umum terjadi pada kasus hog cholera. Limfadenitis di tandai dengan kebengkakan kelenjar limfe, kebengkakan ini dapat di sebabkan oleh kombinasi eksudasi dan proliferasi jaringan limfoid serta sel-sel retikulo endotelial (Carlton dan Gavin 1995). Pengamatan limfonodus pada kasus ini menunjukkan hal serupa. Pada kasus ini, limfonodus babi yang di periksa menunjukkan adanya udema (gambar 69 dan 70) dan proliferasi sel retikulo endothelial di bagian sinus medularis (gambar 71 a,b). Folikel limfoid pada limfonodus mengalami deplesi sel limfoid, hal ini merupakan indikasi bahwa folikel limfoid pada babi yang di periksa sedang mengalami aktivitas imunologis dengan mengirim sel-sel limfosit ke jaringan perifer. Selain itu kejadian deplesi sel limfoid berkaitan erat dengan di gunakannya sel limfoid dari organ limpa dan limfoglandula sebagai tempat replikasi virus hog cholera (Susa et al.1992). Penelitian yang di lakukan oleh Quezada et al. (2000) menggunakan virus hog cholera isolat Quillota di temukan adanya lesio antara lain: hemoragi di area medula dan sinus subskapularis, deplesi folikel limfoid serta proliferasi sel-sel retikuloendotelial. Pewarnaan imunohistokimia menggunakan anti-HCV antibody monoclonal (WA303, Central Veterinary Laboratory, New Haw, Addlestone,UK) di lakukan untuk mengetahui distribusi virus hog cholera pada organ. Pemeriksaan imunohistokimia 79 pada limfoglandula, di temukan virus di sel retikular endothelial (limfosit), sel endotel buluh darah, dan sel leukosit dalam buluh darah organ limfoglandula (gambar 73), sedangkan pada limpa dan limfoglandula babi kontrol tidak di temukan virus (gambar 74 ). * HC Gambar 73. Distribusi antigen hog cholera di sel retikular endothelial (limfosit) (tanda anak panah), sel endotel buluh darah (tanda kepala anak panah) dan sel leukosit dalam buluh darah (tanda asterik). Pewarnaan imunohistokimia menggunakan anti-HCV antibody monoclonal (WA303, Central Veterinary Laboratory, New Haw, Addlestone, UK) Skor (+++), Skala 1 µm. 80 K Gambar 74. Tidak di temukan antigen hog cholera di organ limfoglandula mesenterika babi kontrol. Pewarnaan imunohistokimia menggunakan anti-HCV antibody monoclonal (WA303, Central Veterinary Laboratory, New Haw, Addlestone, UK) Skor (0), Skala 5 µm Rangkuman perubahan histopatologi seluruh organ yang di amati pada penelitian ini dapat di lihat pada tabel 11. Tabel 11. No. Rangkuman Lesio Histopatologi Organ Jantung, Paru-paru, Hati, Ginjal, Limpa dan Limfoglandula Mesenterika Babi Nomor (Umur-Bulan) Lesio 1 (2) 2 (2) 3 (4) 4 (2) 5 (6) 6 (2) 7 (3) 8 (10) 9 (7) 10 (24) K1 (2) K2 (6) K3 (24) 1. Kronik aktif bronko interstisial pneumonia √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ - - - 2. Kronik aktif multifokus miliari nekrotik hepatitis √ √ √ √ √ √ √ - - - - - - 3. Kronik akut nefritis √ √ √ - √ √ √ - √ √ - - - 4. Kardiomiopatia √ √ √ - - √ √ - - √ - - - 5. Splenitis √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ - - - 6. Limfadenitis √ √ √ TD TD TD TD - - - TD TD TD Ket: Tanda (√) = Ada; Tanda (-) = Tidak ada; Tanda (TD)= Tidak dilakukan; K= Kontrol 81 Hasil skor histopatologi dari seluruh organ menunjukkan beragamnya tingkat kerusakan, di mulai dari kerusakan ringan dengan skor 1, hingga kerusakan terberat dengan skor 3. Kerusakan organ terparah pada masing -masing hewan bervariasi, pada babi 1. berturut-turut paru-paru, ginjal, limfoglandula, limpa, jantung, hati. Pada babi 2, berturut-turut limpa, limfoglandula, ginjal, paru-paru, hati, jantung. Pada babi 3 berturut-turut limpa, limfoglandula, ginjal, paru-paru, hati, jantung. Pada babi 4, berturut-turut limpa, hati, paru-paru, ginjal, jantung. Pada babi 5, berturut-turut limpa, ginjal, jantung, paru-paru, hati. Pada babi 6, berturut-turut paru-paru, hati, limpa, ginjal, jantung. Pada babi 7, berturut-turut limpa, hati, paru-paru, ginjal, jantung. Pada babi 8, berturut-turut limpa, paru-paru, ginjal, hati, jantung. Pada babi 9, berturut-turut limpa, jantung, paru-paru, hati, ginjal. Pada babi 10, berturut-turut limpa, paru-paru, ginjal, jantung, hati. Delapan dari sepuluh hewan kerusakan terparah terjadi di organ limpa dan organ limfoglandula menduduki peringkat ke 2. Hal ini berkaitan dengan affinitas yang tinggi dari virus hog cholera terhadap sel-sel sistem retikuloendotelial dari limpa dan limfoglandula sebagai tempat perkembangan virus (Van Oirschot et al. 1999). Temuan lesio histopatologi jika di kaitkan dengan umur babi pada kasus ini maka akan di temukan bahwa: anak babi yang berumur dibawah 6 bulan menunjukkan lesio histopatologi yang lengkap pada semua organ sampling, sementara babi yang berumur 6 bulan dan diatas umur 6 bulan menunjukkan lesio histopatologi yang tidak lengkap. Lesio histopatologi pada anak babi yang berumur dibawah 6 bulan meliputi: kronik aktif bronko interstisial pneumonia, kronik aktif multifokus miliari nekrotik hepatitis, kronik akut nefritis, kardiomiopatia, splenitis dan limfadenitis (tabel 11). Temuan lesio histopatologi jika di kaitkan dengan umur babi ternyata sejalan dengan temuan lesio patologi anatomi. Lokalisasi atau tempat antigen hog cholera virus sangat berhubungan erat dengan perubahan atau lesio dari suatu organ. Di duga bahwa konsentrasi dari antigen hog cholera di dalam jaringan terinfeksi berkaitan erat dengan lama masa virus berada di dalam sel target (Van Oirschot et al.1999). Pada penelitian ini di temukan konsentrasi virus yang bervariasi pada organ hewan yang di periksa. Konsentrasi tertinggi antigen hog cholera pada kasus asal Papua berturut-turut terlihat di sel retikuloendotelial, sel leukosit buluh darah paru-paru, sel leukosit buluh darah hati, sel endotel buluh darah ginjal, sel endotel buluh darah paru-paru, makrofag, sel endotel buluh darah hati dan sel endotel buluh darah jantung (gambar 34, 41, 51, 58, 59, 60, 67a,b, dan 71). Titik-titik coklat yang membentuk pola tertentu mengikuti bentuk sel 82 merupakan gambaran positif dari adanya virus hog cholera di dalam sel. Gambaran ini menunjukkan lokasi replikasi virus, jika titik-titik coklat tersebut ditemukan pada sel fagosit ini menunjukkan adanya sel debri yang difagosit (gambar 73). Distribusi dan skor antigen hog cholera secara terinci dapat dilihat pada Tabel 12. Histogram distribusi dan skor antigen hog cholera secara jelas dapat di lihat pada gambar 75. Beberapa peneliti terdahulu menyatakan bahwa tingkat afinitas tertinggi antigen di temukan di organ limpa, pankreas, sel epitel, makrofag, monosit, sel-sel limfoid, selsel glial dan otot polos dinding buluh darah (Choi dan Chae 2003; Narita 2000; Quezada 1997). Secara umum hasil pengamatan distribusi antigen hog cholera pada kasus asal Papua memberikan hasil yang sama dengan laporan-laporan kasus terdahulu di dunia kecuali pankreas dan sel-sel glial karena tidak di lakukan pengamatan pada organ-organ tersebut di penelitian ini. 83 Tabel 12. Distribusi dan Skor Antigen hog cholera Babi Distribusi antigen HCV Skor Sel positif Babi 1. Sel endotel buluh darah Jantung Sel leukosit dalam buluh darah hati, makrofag Sel endotel buluh darah paru-paru Sel endotel tubulus ginjal Sel limfoid limpa Sel limfoid, sel endotel buluh darah limfoglandula + + ++ + +++ +++ Babi 2. Sel endotel buluh darah Jantung Sel leukosit dalam buluh darah hati Sel endotel buluh darah paru-paru, makrofag Sel epitel tubulus ginjal Sel limfoid limpa Sel limfoid, sel endotel buluh darah limfoglandula + ++ ++ ++ +++ ++ Sel endotel buluh darah Jantung Sel leukosit dalam buluh darah hati Sel endotel buluh darah paru-paru, makrofag Sel endotel buluh darah ginjal Sel limfoid limpa Sel limfoid, sel endotel buluh darah limfoglandula + ++ + + +++ +++ Sel endotel buluh darah Jantung Sel leukosit dalam buluh darah hati, makrofag Sel endotel buluh darah paru-paru, makrofag Sel endotel tubulus ginjal Sel limfoid limpa + + ++ ++ ++ Sel endotel buluh darah jantung Sel leukosit dalam buluh darah hati, makrofag Sel leukosit dalam buluh darah paru Sel endotel buluh darah ginjal, Sel limfoid limpa + + ++ + ++ Sel endotel buluh darah jantung Sel endotel buluh darah hati, makrofag Sel leukosit dalam buluh darah paru Sel leukosit dalam buluh darah ginjal Sel limfoid limpa + + + ++ +++ Babi 3. Babi 4. Babi 5. Babi 6. Babi 7. Sel endotel buluh darah jantung Sel hati dan Sel leukosit dalam buluh darah hati Sel leukosit dalam buluh darah paru, makrofag Sel endotel buluh darah paru Sel endotel glomerulus ginjal Sel limfoid limpa Babi 8. Sel endotel buluh darah jantung Sel endotel buluh darah hati dan makrofag Sel leukosit dalam buluh darah paru, makrofag Sel endotel buluh darah paru Sel endotel glomerulus ginjal Sel limfoid limpa Babi 9. Babi 10. Sel endotel buluh darah jantung Sel endotel buluh darah hati dan makrofag Sel leukosit dalam buluh darah paru Sel endotel buluh darah hati dan makrofag Sel limfoid limpa Sel endotel buluh darah hati dan makrofag Sel leukosit dalam buluh darah paru Sel endotel buluh darah jantung Sel endotel glomerulus dan tubulus ginjal Sel limfoid limpa + + ++ + + +++ + + ++ + ++ +++ + + ++ + ++ + ++ + + ++ Tidak ditemukan Babi kontrol (1,2,3) 84 3 2.5 Skor 2 1.5 1 0.5 0 A B C D E F G H I J Organ Gambar 75. Histogram distribusi dan rataan skor antigen hog cholera. A=Sel endotel buluh darah paru-paru, makrofag ; B= Sel limfoid limpa C=Sel limfoid, Sel leukosit dalam buluh darah, Sel endotel buluh darah limfogandula; D= Sel leukosit dalam buluh darah paru E= Sel endotel glomerulus dan tubulus ginjal ; F= makrofag dan Sel leukosit dalam buluh darah hati G=Sel endotel buluh darah ginjal H= Sel Endotel buluh darah hati I= Sel epitel tubulus ginjal J= Sel endotel buluh darah jantung. Skor (+) = 0-50 sel positif, skor (++) = 51-100 sel positif, skor (+++) = lebih dari 100 sel positif. Data histogram di atas menggambarkan hubungan antara skor histopatologi dan distribusi antigen hog cholera di organ babi. Sel limfoid limpa, sel limfoid limfogandula, sel leukosit dalam buluh darah dan sel endotel buluh darah limfogandula menempati urutan teratas dengan skor terbanyak 3, selanjutnya sel leukosit dalam buluh darah paru, sel endotel buluh darah ginjal, sel endotel glomerulus dan tubulus ginjal, sel epitel tubulus ginjal menepati urutan ke dua dengan skor terbanyak 2, terakhir adalah sel endotel buluh darah paru-paru, makrofag dan sel leukosit dalam buluh darah paru-paru, sel endotel buluh darah hati, makrofag, sel leukosit dalam buluh darah hati, sel endotel buluh darah jantung dengan skor terbanyak 1. Perkembangan virus di dalam sel leukosit menunjukkan tingkat viremia tinggi (Sasahara 1970). Dalam perjalanan viremia, virus hog cholera selanjutnya menggunakan sel endotel sebagai tempat replikasi, sebelum kemudian menggunakan sel parenkim setempat sebagai tempat replikasi selanjutnya. Replikasi virus pada organ limpa dan limfoglandula, terkait fungsi limpa dan limfonodus sebagai organ pertahanan. Makrofag di cirikan berdasarkan daya fagositosisnya. Pada daerah tertentu, makrofag memiliki nama khusus, misalnya, sel Kupffer dalam hati, sel mikroglia dalam 85 sistem saraf pusat, dan osteoklas dalam jaringan tulang. Semua makrofag tubuh di pandang sebagai bagian dari sistem retikuloendotel (Bellanti et al.1993). Dari semua sel fagositik pada organ-organ tubuh, sel-sel fagositik limpa dan limfonodus merupakan sel fagosit yang paling aktif dalam memfagosit partikel antigen asing (Roitt et al.1988). Strain dengan virulensi yang tinggi menginduksi terjadinya suatu bentuk infeksi yang bersifat akut, dengan tingkat kematian yang tinggi sementara pada strain dengan tingkat virulensi yang sedang atau menengah dapat mengakibatkan suatu bentuk infeksi yang sub akut dan kronis (Vilcek et al. 1996). Berdasarkan lesio yang di temukan pada kasus hog cholera di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua, bentuk infeksi tergolong dalam bentuk infeksi yang bersifat sub akut, akut dan kronis. Hasil uji statistik non parametrik menurut U Mann- Whitney terhadap skor perubahan histopatologi organ babi menunjukkan bahwa antara babi sakit dengan babi kontrol untuk semua amatan berbeda nyata (p< 0,05). Artinya bahwa akibat infeksi virus hog cholera pada organ babi sakit menyebabkan perubahan histopatologi yang sangat jelas atau signifikan, sedangkan perubahan histopatologi pada organ babi kontrol tidak memperlihatkan perubahan yang berarti. 4. 4. Pengamatan Khusus Struktur Histopatologi Buluh Darah Pengamatan struktur histologi buluh darah arteri di lakukan dengan menggunakan pewarnaan Hematoxyllin Eosin (HE), Masson Trichrome (MT) dan Verhoeff Van Giesson (VvG). Buluh darah yang di amati berasal dari organ yang secara patologi menunjukan lesio khas hog cholera dan dengan pewarnaan imunohistokimia di temukan antigen hog cholera. Pemeriksaan histopatologi organ paru-paru, jantung, hati, ginjal, limpa dan limfoglandula yang terinfeksi virus hog cholera menggunakan pewarnaan Hematoxyllin Eosin (HE), secara umum menunjukkan adanya lesio hemoragi. Penyebab mengapa terjadi hemoragi ini belum dapat di jelaskan sampai dengan di lakukan pengamatan khusus pada buluh darah. Pengamatan histopatologi buluh darah paru-paru, jantung, hati, ginjal dan limpa babi yang terinfeksi virus hog cholera menunjukkan adanya kerusakan dengan derajat yang bervariasi. Pembahasan mengenai perubahan histopatologi pada buluh darah serta hubungannya dengan nilai skoring di uraikan sebagai berikut: 86 4.4.1 Buluh Darah Paru-paru, Jantung, Hati, Ginjal dan Limpa Hasil pengamatan histopatologi buluh darah pada organ paru-paru di temukan lesio yang bervariasi berupa: hipertrofi sel endotel dan nekrosa tunika adventisia arteri pulmonalis (gambar 76); deskuamasi sel endotel, nekrosa lamina elastika interna, trombus di lumen arteri pulmonalis (gambar 78). Pada buluh darah organ jantung di temukan lesio berupa: hipertrofi sel endotel; nekrosa tunika adventisia dan infiltrasi sel radang di tunika media arteri jantung; deskuamasi sel endotel, akumulasi lemak dipermukaan sel dan cairan plasma akibat lisis di lumen arteri jantung (gambar 82). Pada buluh darah organ hati di temukan lesio berupa: hipertrofi sel endotel; nekrosa tunika adventisia dan infiltrasi sel radang di sekitar arteri hati; hialinisasi arteri hati (gambar 79 ). Pada buluh darah organ ginjal di temukan lesio berupa: hipertrofi sel endotel dan infiltrasi sel radang di sekitar arteri ginjal (gambar 77); degenerasi vakuolar dan hialinisasi tunika media. Pada buluh darah organ limpa di temukan lesio berupa: hipertrofi sel endotel buluh darah limpa; deskuamasi tunika intima, tunika media dan tunika adventisia arteri limpa, hialinisasi tunika media dan vakuolisasi tunika media arteri limpa (gambar 80); trombus di lumen arteri limpa (gambar 83 ). Pada buluh darah paru-paru (gambar 84), jantung, hati, ginjal dan limpa babi kontrol di temukan struktur buluh darah yang normal. Skor lesio pada buluh darah di golongkan menjadi 4 jenis skor. Skor lesio ini di kelompokkan berdasarkan patogenesisnya. Skor lesio 0 di tandai dengan tidak ada perubahan; skor lesio 1 di tandai dengan terjadi hipertrofi endotel; skor lesio 2 di tandai dengan terjadi deskuamasi endotel, degenerasi vakuolar tunika media dan adventisia; skor lesio 3 di tandai dengan terjadi hialinisasi tunika media, perubahan degenerasi vakuolar, nekrosa pada tunika media dan adventisia, trombus dan vaskulitis. Rangkuman skor lesio buluh darah organ paru-paru, jantung hati, ginjal dan limpa dapat di lihat pada tabel 13. 87 HC Gambar 76. Hipertrofi sel endotel (tanda kepala anak panah), nekrosa ringan tunika adventisia arteri pulmonalis (tanda panah). Skor 1 Pewarnaan Masson Trichrome, Skala 2 µm HC Gambar 77. Hipertrofi sel endotel (tanda panah) dan infiltrasi sel radang di sekitar arteri ginjal (tanda anak panah). Skor 1. Pewarnaan HE, Skala 4 µm. 88 HC Gambar 78. Deskuamasi tunika intima (tanda kepala anak panah) dan nekrosa tunika adventisia arteri paru-paru (tanda panah). Skor 2. Pewarnaan Masson Trichrome. Skala 2 µm. HC Gambar 79. Hipertrofi sel endotel (tanda panah) dan hialinisasi arteri hati (tanda asterik). Skor 3. Pewarnaan HE, Skala 2 µm. 89 HC Gambar 80. Hialinisasi tunika media (tanda panah) dan vakuolisasi tunika media arteri limpa (tanda asterik). Skor 3. Pewarnaan Masson Trichrome, Skala 2 µm. * HC Gambar 81. Deskuamasi sel endotel dan rusaknya lamina elastika interna (tanda kepala anak panah), trombus di lumen arteri pulmonaris (tanda asterik). Skor 3. Pewarnaan Masson Trichrome, Skala 2 µm 90 * HC Gambar 82. Deskuamasi sel endotel, akumulasi lemak dipermukaan sel (tanda kepala anak panah), nekrosa tunika adventisia (tanda panah), plasma di lumen arteri jantung (tanda asterik). Skor 3. Pewarnaan Masson Trichrome, Skala 2 µm HC Gambar 83. Trombus di lumen arteri limpa (tanda asterik). Skor 3. Pewarnaan Masson Trichrome, Skala 2 µm 91 K Gambar 84. Stuktur tunika intima (tanda panah), tunika media (tanda asterik) dan tunika adventisia (tanda kepala anak panah) normal pada buluh darah paru-paru babi kontrol. Skor 0. Pewarnaan Masson Trichrome. Skala 2 µm Tabel 13. Rangkuman Skor Lesio Histopatologi Buluh Darah No. Babi Nomor (Umur-Bulan) Dan Skor Rata-rata Organ 1 (2) 2 (2) 3 (4) 4 (24) 5 (6) 6 (2) 7 (3) 8 (10) 9 (7) 10 (24) K1 (2) K2 (6) K3 (24) 3 3 3 2 2 2 2 2 2 3 0 0 0 1. Paru-paru 2. Jantung 3 3 3 3 2 2 3 2 2 3 0 0 1 3. Hati 3 3 3 3 2 2 2 3 2 1 0 0 0 4. Ginjal 3 3 3 2 3 2 3 2 2 3 0 1 0 5. Limpa 3 3 3 3 2 3 3 2 3 3 1 0 0 Keterangan: K = kontrol Skoring terhadap lesio buluh darah paru-paru dalam 10 lapangan pandang di peroleh bahwa rataan skor terbanyak yang di temukan adalah skor 2 yaitu berupa deskuamasi endotel, degenerasi vakuolar tunika media dan adventisia. Ini menunjukkan bahwa buluh darah paru-paru mengalami kerusakan derajat sedang akibat infeksi virus hog cholera. Skoring terhadap perubahan histopatologi buluh darah 92 organ paru-paru kontrol di peroleh bahwa rataan skor terbanyak yang di temukan adalah skor 0 yaitu tidak ada perubahan pada buluh darah. Skoring terhadap lesio buluh darah jantung, hati, ginjal dan limpa dalam 10 lapangan pandang di peroleh bahwa rataan skor terbanyak yang di temukan adalah skor 3 yaitu berupa hialinisasi tunika media, perubahan degenerasi vakuolar, nekrosa pada tunika media dan adventisia, trombus dan vaskulitis. Ini menunjukkan bahwa buluh darah ke-4 organ ini mengalami kerusakan parah akibat infeksi virus hog cholera. Skoring terhadap perubahan histopatologi buluh darah organ jantung, hati, ginjal dan limpa kontrol diperoleh bahwa rataan skor terbanyak yang di temukan adalah skor 0 yaitu tidak ada perubahan pada buluh darah. Terdapat perbedaan temuan lesio histopatologi buluh darah organ jika di kaitkan dengan umur babi. Pada anak babi yang berumur di bawah 6 bulan, sebanyak 4 dari 5 ekor babi (4/5) menunjukkan lesio histopatologi skor 3, sementara babi yang berumur 6 bulan dan di atas umur 6 bulan sebanyak 3 dari 5 ekor babi (3/5) menunjukkan lesio histopatologi skor 2. Lesio histopatologi pada anak babi yang berumur di bawah 6 bulan meliputi : hialinisasi tunika media, perubahan degenerasi vakuolar, nekrosa pada tunika media dan adventisia, trombus dan vaskulitis. Lesio histopatologi pada anak babi yang berumur 6 bulan dan di atas umur 6 bulan meliputi : deskuamasi endotel, degenerasi vakuolar tunika media dan adventisia (tabel 13). Lesio yang terjadi pada buluh darah merupakan ciri penting dalam suatu perubahan histopatologi, karena hal ini dapat menjelaskan mengenai patogenesa kejadian hemoragi dan fokus nekrosis yang menjadi ciri utama penyakit hog cholera. Pengamatan pada kasus ini di temukan lesio degenerasi hialin di hampir seluruh buluh darah arteri (gambar 79, 80). Degenerasi hialin merujuk pada suatu perubahan yang di tandai dengan adanya endapan bahan asidofilik tak berbentuk (amorf) dalam sitoplasma sel. Bahan hialin yang di warnai dengan Hematoxyllin Eosin akan berwarna merah jambu, sedangkan jika di warnai dengan pewarnaan khusus Masson Trichrome bahan hialin nampak berwarna coklat. Hialin pada tunika media atau dinding buluh darah di kelompokkan dalam subtansi hialin ekstraseluler. Hialin ini di kenal sebagai plasma protein, mekanisme terjadinya hialin di duga akibat adanya pembentukan lipatan pita protein yang tidak sempurna. Lipatan pita protein yang sesuai sangat penting untuk transport di dalam organel sel selama berlangsungnya sintesis protein dalam ribosom. Jika terjadi kerusakan pada lipatan pita protein maka protein akan di gantikan oleh kompleks proteasome (Myers dan McGavin 2007). Degenerasi fibrinoid 93 terjadi sebagai hasil deposisi imunoglobulin, komplemen dan protein plasma termasuk fibrin pada buluh darah. Secara makroskopis lesio fibrinoid tidak dapat di lihat namun biasanya selalu menyertai kejadian trombosis dan hemoragi. Secara mikroskopis kerusakan yang terjadi pada sel-sel endotel, membran basal, miosit otot licin dapat di akibatkan oleh penyebab langsung seperti virus atau penyebab tidak langsung seperti aktivasi protein komplemen dapat di gunakan sebagai petunjuk adanya aktivasi kaskade inflamasi akut dan deposisi protein plasma di dalam buluh darah (Carlton dan McGavin 1995). Adanya massa hialin atau fibrinoid menyebabkan fungsi suatu jaringan berkurang. Degenerasi hialin yang terjadi pada buluh darah menyebabkan dinding buluh darah menjadi kurang elastis, tidak dapat bertahan terhadap tekanan darah normal, sehingga dapat mengakibatkan kerobekan buluh darah dan akhirnya terjadi perdarahan (Van Oirschot et al. 1999). Variasi bentuk perdarahan dapat di temukan pada kasus hog cholera yang akut, di mana hal ini di sebabkan tidak hanya karena kerusakan buluh darah tetapi juga terkait dengan trombositopenia dan gangguan sintesis fibrinogen. Infark organ limpa di duga terjadi sebagai akibat dari adanya hambatan aliran darah oleh thrombus pada buluh darah arteri. Hipotesa ini di dukung dengan adanya hubungan lesio infark limpa dengan hialinisasi dinding arteri dan hambatan pada lumen buluh darah limpa (Quezada et al. 2000). Pada hog cholera kasus Papua lesio infark pada limpa tidak terlihat namun secara histopatologi lesio ini terlihat meskipun tidak parah. Hal ini ditandai dengan adanya lesio infark hemoragi. Umumnya di temukan banyak babi yang mati pada kasus ini. Hemoragi yang terjadi di organ ginjal dan organ lain merupakan karakteristik dari kasus hog cholera akut. Hemoragi yang terjadi menunjukkan pada suatu aktivitas sistem koagulasi darah karena kerusakan endotel buluh darah. Hipotesa ini di dukung dengan penemuan seperti trombositopenia, kegagalan mekanisme koagulasi darah dan mikrotrombosis di buluh darah (Quezada et al. 2000). Trombosis arteri sering terjadi pada daerah percabangan, karena di tempat tersebut terjadi perubahan aliran darah. Daya hemodinamik sendiri dapat menyebabkan kerusakan endotel, selain itu perubahan aliran darah akan menimbulkan akumulasi zatzat yang dapat merusak dinding buluh darah. Buluh darah arteri di lapisi oleh endotel pada permukaan yang menghadap ke lumen. Endotel yang utuh bersifat non trombogenik, sifat non trombogenik akan hilang bila endotel mengalami kerusakan. Kerusakan endotel dapat di sebabkan oleh anoksia. Karena untuk mempertahankan 94 integritas sel dan ultra struktur yang normal di perlukan oksigen (Verstraete and Vermylen 1984). Degenerasi hidropis atau degenerasi vakuolar adalah suatu keadaan di mana cairan intraseluler terakumulasi dalam sitoplasma di tandai dengan kebengkakan sel yang bersifat akut (gambar 80). Terjadinya degenerasi vakuolar ini melibatkan fungsi pompa sodium pada membran sel. Kondisi membran plasma yang rusak menyebabkan Sodium (Na+) dan Calsium (Ca++) masuk ke dalam sel, Potasium (K+) keluar dari sel dan cairan ekstraseluler akan masuk ke dalam sel di mana proses ini akan terus menerus berlangsung (Cheville 1999). Penelitian buluh darah pada kasus hog cholera klasik pernah di lakukan 75 tahun lalu oleh Seifried et al. (1932). Literatur tersebut mengungkapkan bahwa buluh darah arteri babi yang terinfeksi virus hog cholera secara alami, menunjukkan adanya perubahan sel seperti karioreksis, deskuamasi sel endotel, nekrosa dan penipisan lapisan kolagen atau serabut retikuler. Perubahan lebih lanjut dari buluh darah arteri adalah berupa penyempitan dan penyumbatan lumen kapiler. Pada daerah tertentu terjadi proliferasi dan peningkatan jumlah sel-sel endotel menyertai perubahan yang bersifat retrogresive (kemerosotan). Pengamatan kasus hog cholera asal Papua masih menunjukkan lesio serupa dengan hog cholera klasik, yaitu hipertrofi tunika intima hingga deskuamasi sel endotel (gambar 76, 77, 78, 79) dan pada kasus ini tidak hanya terbatas pada tunika intima namun meluas hingga tunika media dan adventisia buluh darah. Lesio hialinisasi dan lesio vakuolisasi pada tunika media hingga adventisia selalu di temukan di sertai infiltrasi sel radang di sekitarnya (gambar 79, 80). Lesio vaskulitis pada hampir semua organ juga di laporkan oleh Narita et al. (2000) pada penelitian infeksi buatan menggunakan virus hog cholera strain virulen (Strain ALD). Pemeriksaan histopatologi kasus hog cholera asal Papua secara umum memperlihatkan perubahan berupa lesio degeneratif yang di tandai dengan hipertrofi sel epitel endotel, vakuolisasi tunika media dan tunika adventisia. Perubahan tersebut berkelanjutan menjadi lesio kematian sel di tandai dengan perubahan berupa, karioreksis inti sel, deskuamasi endotel, diskontinu tunika intima, degenerasi hidropis dan degenerasi fibrinoid tunika media dan tunika adventisia. Vaskulitis di tandai dengan infiltrasi sel radang pada tunika media dan tunika adventisia. Infiltrasi sel radang ke interstisium terjadi karena adanya reaksi radang atau inflamasi di interstisium. Reaksi radang merupakan reaksi tubuh terhadap invasi agen infeksi dalam hal ini virus atau adanya kerusakan jaringan. Pada inflamasi terjadi 95 migrasi sel dan kebocoran molekul-molekul serum ke tempat inflamasi. Kejadian ini di kendalikan oleh (1) peningkatan pasokan darah ke lokasi inflamasi, dan (2) peningkatan permeabilitas kapiler yang di sebabkan oleh retraksi sel-sel endotel. Kejadian ini memungkinkan molekul-molekul besar seperti antibodi, komplemen dan sistem enzim plasma lain melewati endotel untuk mencapai lokasi inflamasi di interstisium. Leukosit yang telah mencapai lokasi inflamasi akan melepas mediator yang akan mengatur akumulasi dan aktivasi sel-sel lainnya (Bellanti et al.1993). Pada awal reaksi radang interleukin 1(IL-1) dan interleukin 2 (IL-2) di lepaskan oleh sel-sel jaringan tempat inflamasi di interstisium. Setelah limfosit dan sel-sel mononuklear berada di lokasi inflamasi dan diaktivasi oleh antigen, sel-sel tersebut akan melepas sitokin-sitokin seperti IL-1, IL-4, TNF, IFNγ. Sitokin-sitokin tersebut akan meningkatkan migrasi seluler dengan mempengaruhi endotel setempat. Sitokin lain seperti IL-8, bersifat kemotaktik serta bekerja mengaktivasi sel-sel yang berdatangan (Roitt et al. 1988). Tabel hasil penilaian skor lesio histopatologi buluh darah menyimpulkan bahwa limpa menempati kerusakan paling parah dari organ-organ lainnya. Hal ini menunjukkan afinitas yang tinggi dari virus hog cholera terhadap organ limpa. Sel-sel sistem retikulo endotelial pada limpa merupakan tempat perkembangan virus (Van Oirschot et al.1999). Walaupun tidak termasuk organ yang di skor, limfoglandula juga menunjukkan lesio serupa pada buluh darahnya. Kerusakan yang terjadi di buluh darah paru-paru, jantung, hati, dan ginjal ini membuktikan mekanisme masuknya virus hog cholera ke dalam tubuh secara hematogenus. Hasil uji statistik non parametrik menurut U Mann-Whitney terhadap skor perubahan histopatologi buluh darah arteri babi menunjukkan bahwa antara babi sakit dengan babi kontrol untuk semua pengamatan berbeda nyata (p< 0,05). Artinya bahwa akibat infeksi virus hog cholera pada buluh darah arteri babi menyebabkan perubahan histopatologi yang sangat jelas atau signifikan pada babi sakit, sedangkan perubahan histopatologi pada buluh darah babi kontrol tidak memperlihatkan perubahan yang berarti. Virus hog cholera merupakan parasit intraseluler obligat yang berkembang biak di dalam sel hospes dan menggunakan asam nukleat serta berbagai organ seluler hospes untuk metabolisme dan sintesis proteinnya. Virus masuk ke dalam sel hospes dengan cara berikatan dengan reseptor spesifik yang berada pada permukaan sel hospes. Setelah masuk ke dalam sel, virus menimbulkan kerusakan jaringan dan 96 penyakit serta menginduksi respon imun hospes. Infeksi alami virus hog cholera (HC) dapat terjadi melalui rute oro-nasal, konjungtiva, mukosa alat genital, atau melalui kulit yang terluka. Virus HC segera menginfeksi sel-sel endotel sistem vaskuler (kapiler, vena maupun arteri dan buluh limfe) hingga mengalami degenerasi hidropis serta nekrotik (Van Oirschot et al. 1999). Virus bereplikasi di dalam tonsil, dengan jalan memasuki sel epitel dari kripta tonsil, kemudian meluas ke jaringan limforetikuler di sekitarnya. Dengan perantaraan cairan limfe virus menyebar ke kelenjar limfe yang salurannya bermuara di daerah tonsil. Virus memperbanyak diri di dalam kelenjar limfe dan selanjutnya terbawa ke perifer untuk kemudian ke jaringan limfoid limpa, sumsum tulang, dan kelenjar limfe viseral. Perkembangan virus yang cepat juga terjadi di dalam sel leukosit, hingga tingkat viremianya tinggi. Infeksi virus HC pada babi di kasus penelitian ini menyebabkan terjadinya lesio patologi anatomi berupa: ptekhial laringitis, hemoragi jantung, pneumonia, perihepatitis, ptekhial ginjal, kongesti limpa, hemoragi limfoglandula dan hemoragi serosa mesenterium. Lesio histopatologi organ yang teramati berupa: kronik aktif bronko interstisial pneumonia, kronik aktif multifokus miliari nekrotik hepatitis, kronik akut nefritis, kardiomiopatia, splenitis dan limfadenitis. Lesio histopatologi buluh darah arteri karena lesio degeneratif yang di tandai dengan hipertrofi dan deskuamasi sel epitel endotel, vakuolisasi dan degenerasi fibrinoid tunika media dan tunika adventisia buluh darah arteri. Respon tubuh dalam mengatasi perubahan di atas antara lain udema, hemoragi dan kongesti. Udema terjadi jika jumlah cairan kompartemen ekstrasel abnormal. Mekanisme terjadinya udema di duga karena adanya perubahan hidrostatik dan perubahan permeabilitas sel (Cheville 1999). Kongesti yang terjadi menunjukkan adanya pembendungan pasif darah yang berlebihan dalam buluh darah. Kongesti dapat terjadi karena penghambatan pembuluh darah setempat, atau adanya penurunan kemampuan kerja jantung (Carlton dan McGavin 1995). Respon tubuh lain akibat infeksi virus hog cholera adalah terbentuknya trombus di lumen buluh darah dan degenerasi hialin di dinding buluh darah arteri. Patogenesa trombosis dapat di terangkan berdasarkan triad of Virchow’s yaitu karena adanya kelainan dinding buluh darah, perubahan aliran darah dan perubahan daya beku darah (Verstraete dan Vermylen 1984). Hialin pada tunika media buluh darah terbentuk akibat adanya subtitusi protein oleh kompleks proteasome (Myers dan McGavin 2007). Infeksi virus hog cholera bersifat sitolitik, dimana replikasi virus mengakibatkan kerusakan dan kematian sel karena replikasi mengganggu sintesis dan fungsi protein seluler hospes. 97 Sel yang terinfeksi akan mengalami lisis dengan melepaskan virus-virus baru ke ruang ekstraseluler (Roitt et al. 1988). Reaksi peradangan akibat infeksi virus ini berjalan sistemik atau sepsis. Salah satu aspek penting pada sepsis adalah terjadinya kerusakan organ yang apabila dalam fase lanjut akan melibatkan lebih dari satu organ (multiple organ failure/MOF). Keadaan MOF ini berhubungan dengan angka kematian ternak babi yang tinggi (Geering et al. 1995). 98 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan yang di peroleh dari penelitian ini yaitu : 1). Perubahan gejala klinis, patologi anatomi dan histopatologi dari organ-organ yang terinfeksi virus hog cholera asal Papua selain lesio patologi button ulcer, secara umum memiliki kesamaan dengan perubahan yang di temukan pada kasus-kasus sebelumnya yang di laporkan di Inggris, Jerman dan Jepang yaitu gejala klinis berupa: lesu, malas bergerak, gemetar, nafsu makan hilang, suhu tubuh mencapai 41-42°C. Konstipasi dan diare, konjungtivitis dan eritema pada kulit daerah perut, muka, telinga, dan bagian dalam dari kaki. Lesio patologi anatomi berupa: ptekhial laringitis, pneumonia, hemoragi jantung, perihepatitis, hemoragi serosa dan mesenterium usus, ptekhial ginjal, hemoragi limpa dan limfoglandula. Lesio histopatologi berupa: nekrosis tubuli ginjal, kongesti hati, bronkho interstisialis pneumonia, nekrosis germinal pusat folikel limfoid, deplesi limfosit B, hematopoiesis organ limpa dan limfadenitis. 2). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa metode imunohistokimia dapat digunakan untuk mendeteksi keberadan antigen selain di jaringan juga dapat digunakan untuk mendeteksi antigen di sel–sel darah. Deteksi distribusi antigen hog cholera menunjukkan afinitas yang tinggi berturut-turut pada: Sel limfoid limpa dan limfogandula; sel leukosit dalam buluh darah dan sel endotel buluh darah limfogandula; sel leukosit dalam buluh darah paru; sel endotel buluh darah ginjal, sel endotel glomerulus dan tubulus ginjal, sel epitel tubulus ginjal; sel endotel buluh darah paru-paru, makrofag dan sel leukosit dalam buluh darah paru-paru; sel endotel buluh darah hati, makrofag, sel leukosit dalam buluh darah hati dan sel endotel buluh darah jantung. 3). Patogenesa perdarahan yang hampir merata pada organ-organ terutama di sebabkan karena lesio degeneratif yang di tandai dengan hipertrofi dan deskuamasi sel epitel endotel, vakuolisasi dan degenerasi fibrinoid tunika media dan tunika adventisia buluh darah arteri. Saran yang dapat di sampaikan yaitu: 99 1). Dilakukan penelitian infeksi buatan virus hog cholera isolat asal Papua untuk mengetahui tahapan kejadian penyakit, agar gejala dini dari penyakit ini bisa segera dikenali oleh petugas lapang . 2). Mengumpulkan isolat virus lokal agar bisa di jadikan kandidat vaksin yang bisa di gunakan untuk menghentikan wabah penyakit hog cholera di wilayah Papua. 100 DAFTAR PUSTAKA Anonimous, 1996. Beternak Babi. Loka Pengkajian Tehnologi Pertanian Koya Barat. Jayapura. Lembar Informasi Pertanian. Halaman 5-8. Anonimous, 1998. Pedoman Teknis Pemberantasan dan Pengendalian Penyakit Clasical Swine Fever (Hog Cholera). Direktorat Bina Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian. Halaman 1-38 Anonimous, 2006. Papua Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Papua. Halaman 5-10. Aviva P and Paul W. 2006. Statistics for Veterinary and Animal Science 2nd Edition. Blackwell Publishing. Pp. 158-168 Bellanti JA and Kadlec JV. 1993. General Immunology. In Bellanti JA, editor. Immunology III. Phildephia, Pa:WB Saunders Co. Pp.16-53. Burkitt HG, Young B and Heat JW. 1995. Wheater’s Functional Histology. A Text and Color Atlas. EGC Jakarta. Pp. 333-334 Carbery EA, Erickson GA and Metz CA. 1984. Diagnosis of hog cholera. Preventive. Vet. Med. (2): 103-108. Carlton WW and McGavin MD. 1995. Thomson’s Special Veterinary Pathology. 2nd Ed. Mosby. St. louis. Pp.197- 265 Cheville NF. 1999. Introduction to Veterinary Pathology. Iowa State University Press/Ames. Pp. 57-99 Choi C and Chae C. 2003. Localization of Classical Swine Fever Virus from Chronically Infected Pigs by In Situ Hybridization and Immunohistochemistry. Vet Pathol (40) : 107-113. Chianini F, Majo N, Segales J, Domingues J and Dominggo J. 2001. Immunohistological Study of The Immune System Cells in Paraffin Embedded Tissues of Conventional Pig. J. Veterinary Immunology and Immunopathology (82): 245-255 Cicilia S. 2006. Penyidikan Penyakit Babi Di Karanganyar Tahun 2006. Bul Lab. Vet. Vol : 6. No: 4. Halaman 1-5. Confer AW and Panciera RJ. 1995. The Urinary System. In Carlton WW and Mc Gavin MD, editor. Thomson’s Special Veterinary Pathology. 2nd Ed. MosbyYear Book Inc. USA. Pp. 235-273 Corwin EJ. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Penerjemah; Endah P, editor. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Handbook of Pathophysiology. Halaman 5-16 101 Crookham J and Dapson R. 1991. Hazardous Chemicals in the Histology Laboratory 2nd ED, University of Utah Histology Laboratory SQ. Pp. 9-13 Dungworth DL. 1993. The Respiratory System. Di dalam: Jubb KVF,Kennedy PC, Palmer N, editor. Pathology of Domestic Animals. 4th Ed. Vol 1. San Diego: Academic Press. Pp. 305-332 Edwards S and Sands JJ. 1990. Antigenic comparison hog cholera virus isolates from Europe, America, and Asia using monoclonal antibodies. Deutsch Tierarztl Wochenschr 97:79-81. Edwards S, Fukusho A, Lefevre PC, Lipowski Z, Pejsak P, Roehe P and Westergaard J. 2000. Classical Swine Fever: The Global Situation. Vet. Microbiol. (13): 103109 Edwards S, Moennig V and Wensvoort G. 1991. The development of an international reference panel of monoclonal antibodies for the differentiation of hog cholera virus from other pestiviruses. Vet. Microbiol. (29): 101-110 Gomez Villamandos JE, Ruiz VE, Bautista MJ and Sanchez CP. 2001. Morphological and immunohistochemical changes in splenic macrophages of pig infected with classical swine fever. J. Comp. Pathol. 125 (2-3): 98-109 Geering WA, Forman AJ and Nunn MJ. 1995. Exotic Diseases of Animals, a Field Guide of Australia Veterinarians. Aust Gov. Publishing Service, Canberra. Pp. 9- 55 Greiser Wilke I, Blome S and Moennig V. 2007. Diagnostic Methods for detection of Classical swine fever virus status quo and new developments. J. Vaccine (25) : 5524-5530. Horzinek MC. 1981. Non Arthopod Borne Togaviruses. New York: Academic Press. Pp. 105-110 Hsu H, Raine L, and Fanger H. 1981. Use of Avidin Biotin Biotin Peroxidase Complex (ABC) Immunperoxidase Techniques : a comparison between ABC and unlabeled antibody (PAP) procedures : Histochem. Cytochem. (29) : 577-580 Humason GL. 1972. Animal Tissue Techniques. 3rd Ed . Freeman WH and Co. San Fransisco, USA. Pp. 1-20 Jubb KVP, Kennedy PC and Palmer N. 1993. Pathology of Domestic Animal. 4th Ed.Vol II. San Diego: Academic press. Pp. 105-109 Ketut S, Wibisono MM dan Wahyundari D. 1998. Kejadian Hog Cholera Di TimorTimur. Bul. Vet BPPH VI . Vol: XI. No: 55. Halaman 2-9 102 Kiernan JA. 1990. Histological & Histochemical Methods: Theory & Practice. 2ndedition. Pergamon Pr. England. Pp. 5-50 Lopez, A. 1995. Respiratory System. In Carlton WW and Mc Gavin MD, editor. Thomson’s Special Veterinary Pathology. 2nd Ed. Mosby-Year Book Inc. USA. Pp. 463-473 Liess B, Depner K, and Bauer T. 1992. Thermal and pH Stability of Pestiviruses. Rev Sci Tech OIE (Office national des Epizootics) 11: 885-893. Lipowski M, Drexler C and Pejsak Z. 2000. Safety and Efficacy of a Classical Swine Fever Subunit Vaccine in Pregnant Sows and their offspring. Vet. Microb. (15): 99-108 MacKenzie WF and Alison R. 1990. Heart. Di dalam: Pathology Reference and Atlas. Australia: Academic Press. Pp. 56-58 MacLachlan, NJ. and Cullen JM. 1995. Liver, Billiary System and Exocrine Pancreas. In Carlton WW and Mc Gavin MD, editor. Thomson’s Special Veterinary Pathology. 2nd Ed. Mosby-Year Book Inc. USA. Pp.80-123 Narita M, Kawashima K and Shimizu M. 1996. Viral Antigen and B and T Lymphocytes in Lymphoid Tissues of Gnotobiotic Piglets Infected with Hog Cholera Virus. J. Comp. Path. Vol. (114) : 257-263. Narita M, Kawashima K, Kimura O, Mikami K, Shibahara T, Yamada S, and Sakoda Y. 2000. Comparative Immunohistopathology in Pigs Infected with Highly Virulent or Less Virulent Strains of Hog Cholera Virus. Vet Pathol (37) : 402408. Nunez F, Carrasco L, Gomez Villamandos JC, Sanchez Cordon PJ, and Salguero FJ. 2005. Evolution of T Lymphocytes and Cytokine Expression in Classical Swine Fever (CSF) Virus Infection. J. Comp. Path. Vol. 132, 249-260 Pattiselanno F. 2005. Peternakan Babi di Manokwari : Mempertahankan Tradisi dan Meningkatkan Taraf Hidup. Universitas Papua Manokwari. Halaman 5-9 Parchariyanon S, Inni K, Pinyochon W and Takahashi E. 2000. Genetic Grouping of Classical Swine Fever Virus by Restriction Fragment Length Polymorphism of The E2 Gene. J. Virol Methods. (87) : 145-149. http://www.igentaconnect.com/../0000001/art 00162. [ 21 Juli 2008] Quezada M, Mulas J, Villamor E, Donoso S, Lecocq C and Sierra MA. 1997. Immunohistochemical detection of hog cholera viral glycoprotein 55 in paraffin –embedded tissues. J. vet Diagn Invest. (9): 10-16 Quezada M, Cayo L, Carrasco L, Islas A, Lecocq C, Gomez V and Sierra MA. 2000. Characterization of lesions caused by a South American virulent isolate (Quillota) of the hog cholera virus. J.Vet. Med. B. (47) 411-422 103 Roitt I. Brostoff J and Male D. 1988. Cells involved in the immune response. In: Roitt I. Brostoff J. Male D. Immunology. St. Louis, MO : The Cv Mosby Co. Pp. 2 16. Myers RK and McGavin MD. 2007. Cellular and Tissue Responses to Injury in Pathologic Basis of Veterinary Disease. In McGavin MD and Zachary JF, editor. Pathologic Basic of Veterinary Disease. 4rd Ed. Mosby. St. louis. Pp.747 Ruiz Villamor E, Quezada M, Bautista MJ, Romanini S, Carrasco L, Salguero FJ, and Gomes Villamandos JC. 2001. Classical Swine Fever: Pathogenesis of Glomerular Damage an Immunocharacterization of Immunocomplex Deposit. J. Comp. Path.Vol 124, 246-254. Sasahara J. 1970. Hog Cholera: Diagnosis and Prophylaxis. Nat. Inst. Anim. J. Health Quart. (10) : 57-81 Seifried O and Cain CB. 1932. Histological Studies on Hog Cholera Lesion of The Vascular System. J. Medicine. (56): 2-4. http://www.jem.org.hml. [18 September 2007] Sulaxono HY, Sriyanto J dan Kalianda S. 2003. Kasus Hog Cholera di Kalimantan Barat Tahun 2003. Dilavet.Vol 13, No 3. Halaman 10-14 Susa MM, Konig M, Saalmuller A, Reddehase MJ and Thiel HJ. 1992. Pathogenesis of Classical Swine Fever : B-lymphocyte Deficiency Caused by Hog Cholera Virus. J. Virol. Feb. (2) : 1171 -1175. Tighe JR and Davies DR. 1984. Pathology. Bailliere Tindal. London. Pp. 134-156 Tizard I. 2000.Veterinary Immunology: An Introduction (6th) WB Saunders Co. Pp. 450 Van Dijk JE, Gruys E and Mouwen JMVM. 2007. Color Atlas of Veterinery Pathology. 2nd Ed. Saunders Elsevier British Library. Pp. 5-10 Van Oirschot JT, Mengeling WL, William L and Taylor DJ. 1999. Hog Cholera. In: Disease of Swine, ed. 8th.Blackwell Science Malden, MA. Iowa Univ Press. Pp. 159-172. Van Vleet JF and Ferrans VJ. 1995. Pathology of Cardiovascular System. Di dalam Carlton WW dan McGavin MD, editor. Thomson’s Special Veterinary Pathology. 2nd Ed. St Louis: Mosby. Pp 197-227 Van Vleet JF and Ferrans VJ. 1986. Myocardial disease of animals. Am. J. Pathol.124:98. Verstraete M and Vermylen J. Trombosis. 1984. Pergamon Press. 1st ed. Oxford. Pp. 49-52. 104 Vilcek S, Lowings JP, Stadejek T, Ballagi-Pordany, Paton DJ and Belak S. 1996. Genetic Variability of Classical Swine Fever Virus. Virus Res. Aug 43 (2) : 137- 140 105 LAMPIRAN 106 107 PEMBUATAN SEDIAAN HISTOPATOLOGI DENGAN PEWARNAAN HEMATOXYLLIN-EOSIN Proses pembuatan sediaan histologi hingga pewarnaan terdiri dari tujuh tahap, yaitu fiksasi, dehidrasi, clearing, infiltrasi atau impregnasi, embedding atau blocking, pewarnaan dan mounting. 1. Fiksasi Jaringan yang akan di buat sediaan histologi di potong dengan ukuran tidak lebih dari 1x1 cm² dengan ketebalan 2-3 mm, kemudian di lakukan proses fiksasi dengan cara di rendam dalam cairan buffer normal formalin 10% (BNF) minimal selama 48 jam. Tahap ini sangat penting karena di tujukan untuk menghentikan proses enzimatis pada jaringan dan menjaga agar elemen-elemen sel tetap terfiksasi pada tempatnya. Setelah jaringan di anggap ”matang” atau terfiksasi dengan baik, kemudian di lakukan proses selanjutnya yaitu dehidrasi, clearing, infiltrasi atau impregnasi, embedding atau blocking. Selain embedding, semua proses di lakukan dengan menggunakan alat automatic tissue processor (Sakura). 2. Dehidrasi Proses dehidrasi di maksudkan untuk menarik air dari jaringan dengan cara merendamnya dalam larutan alkohol dengan konsentrasi bertingkat. Konsentrasi larutan alkohol bertingkat yang di gunakan di mulai dari 70%, 80%, 90%, 95% dan terakhir menggunakan alkohol absolut. Perendaman jaringan dalam masing-masing konsentrasi alkohol di lakukan selama 2 jam. Perendaman dalam alkohol 95% dan alkohol absolut masing-masing di lakukan dalam dua tahap. Lama perendaman dalam masing-masing gelas adalah 2 jam. Hal ini di maksudkan agar air yang terkandung dalam pori-pori jaringan benar-benar tertarik. Pori-pori kosong tersebut nantinya akan di isi dengan parafin dalam proses infiltrasi setelah melewati proses clearing. Proses dehidrasi di Bagian Patologi di lakukan dengan menggunakan mesin otomatis yaitu automatic tissue processor (Sakura). 3. Clearing Pada proses clearing atau penjernihan, jaringan di rendam dalam larutan xylol. Xylol bersifat mudah bercampur dengan alkohol (yang berasal dari proses dehidrasi) dan juga dapat melarutkan parafin (dari proses infiltrasi). Dengan demikian penggunaan xylol dalam proses ini di maksudkan untuk melarutkan alkohol dan parafin sehingga di peroleh jaringan yang jernih dan bersih tanpa kotoran atau artefak yang dapat mengganggu proses pembacaan. Agar di peroleh jaringan yang benar-benar jernih dan bersih, perendaman dalam xylol juga di lakukan dalam dua tahap, yaitu xylol I dan xylol II dan di lakukan menggunakan automatic tissue processor (Sakura) 4. Infiltrasi Infiltrasi atau impregnasi adalah proses pengisian parafin ke dalam pori-pori jaringan. Pengisian pori-pori ini di maksudkan untuk mengeraskan jaringan agar mudah di potong setipis mungkin dengan pisau mikrotom. Parafin yang di gunakan adalah parafin berplastik yang mempunyai titik lebur 56ºC (Histoplast, Shandon, England). Proses infiltrasi juga di lakukan dua tahapan, di sebut sebagai tahapan parafin I dan parafin II, masing-masing lamanya 2 jam. Hal ini di maksud agar seluruh pori-pori jaringan benar-benar terisi parafin. Infiltrasi parafin di lakukan menggunakan automatic tissue processor (Sakura) 5. Embedding atau Blocking Embedding atau Blocking adalah proses penanaman jaringan dalam parafin dan parafin tersebut di cetak ke dalam wadah khusus berupa ”tissue cassette” atau block besi, sehingga terbentuk blok-blok parafin. Parafin yang di pakai pada proses ini sama dengan yang di gunakan dalam proses infiltrasi. Embedding di lakukan untuk memudahkan proses pemotongan, karena blok parafin yang terbentuk dapat di letakkan pada holder mikrotom tepat di depan pisaunya. Proses embedding di lakukan menggunakan alat tissue embedding console 6. Pemotongan Untuk mendapatkan sediaan histologi yang baik, jaringan di potong setebal 4-5µ menggunakan rotary microtome Spencer, USA dan hasilnya berupa ’pita-pita’ jaringan yang saling bersambungan di letakkan di permukaan air dalam penangas dengan suhu 50ºC agar pita jaringan tersebut tidak berkerut dan tidak melekat satu sama lain. Sediaan kemudian di letakan pada gelas objek yang sebelumnya telah diberi Ewitt. Potongan jaringan kemudian di simpan semalam dalam inkubator bersuhu 56ºC agar parafin yang melekat pada jaringan mencair dan jaringan benarbenar melekat pada gelas objek. 7. Pewarnaan Hematoxyllin- Eosin (Humason, 1972) Sebelum melakukan pewarnaan, di lakukan proses deparafinisasi dengan cara merendam sediaan histologi ke dalam xylol sebanyak tiga tahap masing-masing selama dua menit. Kemudian dilakukan proses rehidrasi, yaitu penambahan air ke dalam jaringan dengan cara mencelupkan sediaan ke dalam alkohol bertingkat yang di mulai dengan alkohol 80% satu menit. Kemudian sediaan di cuci dengan air yang mengalir dan di keringkan. Selanjutnya sediaan di warnai dengan pewarnan Mayer’s Haematoxyllin yang di modifikasi dengan tahapan sebagai berikut: Tahapan Waktu Pewarnaan dengan Mayer’s Haematoxyllin 8 menit Cuci dengan air mengalir atau air keran 30 detik Pewarnaan dengan Lithium Carbonat 15-30 detik Cuci dengan air mengalir atau air keran 2 menit Pewarnaan dengan Eosin 2-3 menit Cuci dengan air mengalir atau air keran 30-60 menit Setelah di keringkan, sediaan di celupkan kembali ke dalam alkohol 95% sebanyak 10 kali celupan, alkohol absolut I 10 kali celupan, alkohol absolut II selama dua menit, xylol I selama satu menit dan xylol II selama dua menit. 8. Mounting Setelah tahapan pewarnaan, sediaan di tetesi perekat Permount (Fischer,USA) dan di tutup dengan gelas penutup. Setelah gelas penutup benar-benar melekat dan perekat kering, sediaan siap di baca di bawah mikroskop. HASIL UJI LABORATORIUM BALAI BESAR VETERINER MAROS Pengujian sampel yang terdiri dari serum dan organ hewan babi di lakukan di Laboratorium Virologi dan Laboratorium Patologi Balai Besar Veteriner Maros, dengan hasil sebagai berikut. Tabel 1. Rekapitulasi jumlah sampel serum dan organ babi dari Kabupaten dan Kodya Jayapura Bulan Juli s/d Oktober 2006 No. Tanggal terima Spesimen Jumlah Hasi Uji Jumlah 1. 18 Juli 2006 Serum 12 Positif Antibodi 2 hog cholera 2. 23 Agust 2006 Serum 47 Positif Antibodi 22 hog cholera organ 8 Positif Antigen 7 hog cholera 3. 20 Okt 2006 Serum 28 Positif Antibodi 2 hog cholera organ 1 Positif Antigen hog cholera Jumlah 94 Positif Antibodi 34 dan antigen cholera Sumber : Bagian Epidemiologi Balai Besar Veteriner Maros. Persentase 16,67% Keterangan Uji Elisa Ab 46,81% Uji Elisa Ab 87,5% Uji Elisa Ag 7,14% Uji Elisa Ab 100% Uji Elisa Ag 36,17% Uji Elisa ag dan Ab Uji U Mann-Whitney Skor Lesio Histopatologi Organ Ranks paru2 jantung Hati Ginjal Limpa perlk Babi Sakit Babi Sehat(kontrol) Total Babi Sakit Babi Sehat(kontrol) Total Babi Sakit Babi Sehat(kontrol) Total Babi Sakit Babi Sehat(kontrol) Total Babi Sakit Babi Sehat(kontrol) Total N 10 3 13 10 3 13 10 3 13 10 3 13 10 3 13 Mean Rank 8.50 2.00 Sum of Ranks 85.00 6.00 8.50 2.00 85.00 6.00 8.50 2.00 85.00 6.00 8.50 2.00 85.00 6.00 8.50 2.00 85.00 6.00 Test Statisticsb Mann-Whitney U Wilcoxon W Z paru2 .000 jantung .000 Hati .000 Ginjal .000 Limpa .000 6.000 6.000 6.000 6.000 6.000 -2.726 -3.122 -2.793 -2.726 -2.917 Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .006 .007 .002 a .007 .005 a .007 .006 a .007 .004 a .007 a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: perlk Interpretasi Keterangan : Mean Rank = rata-rata ranking Hipotesis H0 : Msakit = Mkontrol ( antara Babi sakit dengan Babi Kontrol Tidak Berbeda nyata) H1 : Msakit ≠ Mkontrol ( antara Babi sakit dengan Babi Kontrol Berbeda nyata) Jika nilai-p(significant) dari Mann Whitney < 0.05 maka tolak H0 Kesimpulannya : antara babi sakit dengan babi kontrol untuk semua amatan berbeda nyata. Uji U Mann-Whitney Skor Lesio Histopatologi Buluh darah arteri Organ Ranks paru2 jantung Hati Ginjal Limpa perlk Babi Sakit Babi Sehat(kontrol) Total Babi Sakit Babi Sehat(kontrol) Total Babi Sakit Babi Sehat(kontrol) Total Babi Sakit Babi Sehat(kontrol) Total Babi Sakit Babi Sehat(kontrol) Total N 10 3 13 10 3 13 10 3 13 10 3 13 10 3 13 Mean Rank 8.50 2.00 Sum of Ranks 85.00 6.00 8.50 2.00 85.00 6.00 8.35 2.50 83.50 7.50 8.50 2.00 85.00 6.00 8.50 2.00 85.00 6.00 Test Statisticsb Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] paru2 .000 6.000 -2.704 .007 .007 jantung .000 6.000 -2.704 .007 a .007 Hati 1.500 7.500 -2.453 .014 a .014 Ginjal .000 6.000 -2.726 .006 a .007 Limpa .000 6.000 -2.917 .004 a .007 a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: perlk Interpretasi Keterangan : Mean Rank = rata-rata ranking Hipotesis H0 : Msakit = Mkontrol ( antara Babi sakit dengan Babi Kontrol Tidak Berbeda nyata) H1 : Msakit ≠ Mkontrol ( antara Babi sakit dengan Babi Kontrol Berbeda nyata) Jika nilai –p (significant) dari Mann Whitney < 0.05 maka tolak H0 Kesimpulannya : antara babi sakit dengan babi kontrol untuk semua pengamatan berbeda nyata. Uji U Mann-Whitney Skor Lesio Histopatologi Organ Limfoglandula Ranks Limfoglandula perlk Babi Sakit Babi Sehat(Kontrol) Total N 3 3 6 Mean Rank 5.00 2.00 Sum of Ranks 15.00 6.00 Test Statisticsb Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] Limfoglan dula .000 6.000 -2.121 .034 .100 a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: perlk Interpretasi Keterangan : Mean Rank = rata-rata ranking Hipotesis H0 : Msakit = Mkontrol ( antara Babi sakit dengan Babi Kontrol Tidak Berbeda nyata) H1 : Msakit ≠ Mkontrol ( antara Babi sakit dengan Babi Kontrol Berbeda nyata) Jika nilai –p (significant) dari Mann Whitney < 0.05 maka tolak H0 Kesimpulannya : antara babi sakit dengan babi kontrol untuk limfoglandula berbeda nyata.