Pengaruh Pemberian Nutrisi Eicosapentaenoic acid (EPA) dan

advertisement
ARTIKEL PENELITIAN
Pengaruh Pemberian Nutrisi Eicosapentaenoic acid (EPA)
dan Gamma Linoleic Acid (GLA) terhadap Proses
Inflamasi, Oksigenasi dan Hemodinamik pada Pasien
Systemic Inflammatory Responces Syndrome (SIRS)
Syafri Kamsul Arif, A. Husni Tanra, Nurpudji Astuti, Ilham Jaya Patellongi
ABSTRACT
Background: Eicosapentaenoic acid (EPA) and
gamma linoleic acid (GLA) enteral nutrition were
increasingly used in intensive care unit (ICU) patient
who was in inflammatory phase such as ARDS
and septic, but only few was being used in SIRS`s
patient.
Objective: To evaluate the efficacy of enteral
nutrition containing EPA-GLA administration to
hemodynamic status, oxygenations, inflammatory
process, and resolutions of SIRS patients.
Methods: A double-blind placebo control and
EPA-GLA challenge) was conducted in 60 SIRS
patients in ICU Wahidin Sudirohusodo hospital,
Makassar (age range 29 - 61 years). Control group
(n=30) received a standard enteral nutritions, and
group EPA-GLA (n=30) was given enteral nutrition
containing EPA-GLA. Hemodynamic status (heart
rate and mean arterial pressure), oxygenation index
(PO2/FiO2 ratio), inflammation prosess (CRP,
TNF-α, IL-10 levels) were evaluated each day until
day 5
Bagian Anestesiologi Terapi Intensif dan Manajemen Ngiri
Fakultas Kedokteran Universitas Hassanudin
Rumah Sakit Umum Pemerintah Wahidin Sudiro Husodo,
Makassar
Koresondensi : [email protected]
Volume 2 Nomor 2 April 2012
Results: Compared to control group, a significant
lower heart rate, higher mean arterial pressure,
lower CRP and TNF-α level, higher IL-10 level and
lower TNFα/IL-10 ratio were observed in EPA-GLA
group. An improvement of oxygenations index was
found negatively associated with CRP, TNF-α level,
and TNFα/IL-10 ratio and based on CRP level, SIRS
resolutions was faster in EPA-GLA group compared
to control.
Conclusions: Enteral nutrition containing EPAGLA has shown to reduce inflammation, improve
hemodynamics and accelerate the resolution of SIRS
patients, therefore this nutrition should be consider
as a standard management for SIRS patient in
order to prevent the occurrence of multiple organ
dysfunction or multiple organ failure. (Maj Ked Ter
Intensif. 2012; 2(2): 60 - 72)
Keywords: Enteral nutrition, EPA-GLA, SIRS,
TNF-alfa, IL-10, CRP, MAP, HR, oxygenation index
PENDAHULUAN
Systemic inflammatory responses syndrome
(SIRS) adalah suatu keadaan terjadinya inflamasi
yang serentak di seluruh tubuh. Keadaan ini bisa
didahului oleh infeksi, penyakit inflamasi, trauma
jaringan yang masif, iskemia, tranfusi berulang, luka
bakar atau neoplasma yang jika tidak teratasi dapat
59
Pengaruh Pemberian Nutrisi EPA dan GLA terhadap Proses Inflamasi, Oksigenasi dan Hemodinamik pada Pasien SIRS
berkembang menjadi kegagalan organ ganda yang
berakibat kematian1, 2.
Beberapa penelitian melaporkan bahwa
peningkatan kadar sitokin proinflamasi dianggap
sebagai indikasi berkembangnya SIRS ke arah
sepsis. Namun penelitian lainnya mengindikasikan
bahwa sitokin anti-inflamasi juga berperan dalam
perburukan SIRS1, 3, 4. Umumnya, pengukuran kadar
C-reaktive protein (CRP) merupakan indikator
umum yang sering dipakai untuk menilai status
inflamasi1,5. Suatu kajian dari penelitian penelitian
mengenai SIRS pada pasien yang dirawat di rumah
sakit diseluruh dunia melaporkan bahwa prevalensi
SIRS terjadi pada hampir sepertiga dari pasien rumah
sakit dan mengisi lebih dari 50% ruang rawat intensif
(ICU) dan diantara seluruh pasien bedah yang masuk
ke ICU terdapat 80% yang dinyatakan mengalami
SIRS4. Dirumah Sakit Wahidin Sudirohusodo,
Makassar, 69% pasien yang diruang rawat intensif
adalah pasien SIRS (data rekam medik 2007, tidak
dipublikasi)
Saat ini belum ada pengelolaan standar untuk
pasien SIRS. Umumnya pengelolaan menjadi lebih
spesifik ketika seorang pasien SIRS memberikan
tanda tanda sepsis dan hal ini mengakibatkan
risiko terjadinya kematian menjadi lebih tinggi1,3,4.
Penelitian yang dilakukan pada binatang coba
memperlihatkan bahwa tikus dengan tanda tanda
inflamasi sistemik memberikan perbaikan yang
signifikan setelah diberikan nutrisi enteral yang
mengandung sedikit karbohidrat dan tinggi lemak4,18.
Selanjutnya, suatu penelitian yang dilakukan
pada pasien sepsis berat dengan acute respiratory
distress syndrome (ARDS) memperlihatkan adanya
perbaikan pertukaran gas, penurunan kebutuhan
ventilasi mekanik, masa rawat di ruang intensif
dan kegagalan organ setelah pemberian nutrisi
yang kaya akan Eicosapentaenoic acid (EPA) dan
Gamma linolenic acid (GLA)38. Eicosapentaenoic
acid (EPA) adalah suatu asam lemak omega-3 yang
yang umumnya tedapat pada ikan dan mamalia laut.
Data epidemiologi menunjukkan adanya hubungan
antara diet ikan dan rendahnya insiden penyakit
inflamasi (Das UN, 2000). Gamma linolenic acid
(GLA) adalah asam lemak omega 6 yang terdapat
pada air susu ibu, daging sapi, daging babi, ayam dan
kuning telur. Pemberian nutrisi mengandung GLA
dilaporkan dapat menghambat inflamasi dengan cara
menghambat produksi IL-2 (Santoli D, 1989)
Umumnya pasien sepsis didahului oleh SIRS
sehingga pasien SIRS mempunyai prognosis
lebih baik dibandingkan dengan pasien sepsis.
60
Jika pemberian nutrisi rendah karbohidrat tinggi
lemak (yang mengandung EPA dan GLA) dapat
menurunkan mortalitas pasien sepsis, maka bukan
tidak mungkin efek yang lebih baik dapat dicapai
jika pemberian nutrisi ini diberikan pada saat pasien
baru didiagnosis SIRS. Penelitian ini bertujuan untuk
menilai efektifitas pemberian nutrisi enteral EPAGLA pada pasien SIRS dengan melihat beberapa
indikator seperti status inflamasi (kadar CRP, TNF-α,
IL-10, rasio TNF-α/IL-10), status hemodinamik (laju
jantung dan tekanan arteri), indeks oksigenasi dan
resolusi pasien. Hasil dari penelitian ini diharapkan
dapat menambah pemahaman mengenai pengaruh
pemberian nutrisi, dalam hal ini EPA-GLA, pada
pasien SIRS sehingga dapat dikembangkan suatu
konsep penatalaksanaan yang standar agar pasien
SIRS tidak berkembang kearah yang tidak diinginkan
seperti sepsis atau gagal organ ganda.
METODE
Rancangan penelitian, kriteria inklusi/ekslusi
dan intervensi
Penelitian ini merupakan suatu penelitian
eksperimental dengan uji klinik acak tersamar
ganda (double blind placebo control and EPAGLA challenge) yang dilaksanakan di RS Wahidin
Sudirohusodo mulai 1 Januari hingga 30 Juni 2010
yang mengikutsertakan pasien SIRS yang dirawat di
ruang rawat intensif (ICU) yang belum memberikan
tanda tanda sepsis. Penelitian ini dinilai dan disetujui
oleh komisi etik penelitian pada manusia di Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar.
Penjelasan sebelum penelitian diberikan kepada
pasien/keluarganya, dan penelitian hanya dilakukan
jika pasien atau keluarga pasien menandatangani
persetujuan untuk mengikuti penelitian ini. Seluruh
pasien menerima terapi menurut surviving sepsis
campign guidelines 2008.
Kriteria inklusi penelitian ini adalah pasien SIRS
(mempunyai minimal 2 dari tanda SIRS yaitu detak
jantung > 90/menit, suhu tubuh < 36 atau > 38°C,
frekuensi napas > 20 / menit atau kadar PaCO2<32
mm Hg, jumlah sel darah putih < 4000 sel/mm³ atau
> 12000 sel/mm³ atau jumlah neutrophils muda >
10%) yang berumur >18 tahun, tidak mendapat
terapi steroid, mulai menerima nutrisi enteral 12 jam
setelah dinyatakan masuk kriteria inklusi, dan dapat
mentoleransi pemberian nutrisi enteral paling kurang
75% total kalori yang telah dikalkulasi. Pasien yang
memenuhi kriteria diatas tapi mengalami sepsis,
hamil atau menyusui, mempunyai harapan hidup
kurang 28 hari (oleh karena penyakit kronik dan
Majalah Kedokteran Terapi Intensif
Syafri Kamsul Arif, A. Husni Tanra, Nurpudji Astuti, Ilham Jaya Patellongi
kanker yang tidak terkontrol serta penyakit terminal),
mempunyai riwayat insufisiensi ginjal kronis dan
membutuhkan dialisis, pankreatitis akut yang tidak
stabil, berpartisipasi pada penelitian klinik yang
lain kurang dari 30 hari sebelum masuk dalam trial
penelitian ini, mengalami trauma kepala dengan
Glasgow coma scale (GCS) < = 5, mempunyai
riwayat strok atau perdarahan subaraknoid (kurang
dari 3 bulan), mempunyai tanda tanda penekanan
sistem imun yang berat (hitung leukosit < 5.000 sel/
mm3), terinfeksi HIV, mendapat parenteral nutrisi
parsial untuk memenuhi jumlah kalori, mengalami
diare yang tidak terkontrol atau perdarahan saluran
cerna, tidak diikutkan dalam penelitian ini.
Pasien dibagi menjadi kelompok kontrol
(mendapat nutrisi enteral dengan perbandingan
karbohidrat: protein lemak = 30%: 20%: 50%)
dan kelompok EPA-GLA (mendapat nutrisi
dengan perbandingan yang sama tetapi komposisi
lemaknya mengandung 20% EPA dan 20% GLA,
[Oxepa, Abboth]). Randomisasi dilakukan dengan
cara acak dengan rasio 1 : 1 dengan menggunakan
amplop yang dipilih oleh keluarga pasien. Nutrisi
diberikan dengan kecepatan 20-40ml/jam dan pasien
dinyatakan bertoleransi baik terhadap pemberian ini
jika gastric residual volume kurang dari 50% dalam
3 jam pertama. Selanjutnya pemberian dilakukan
secara intermitten tiap 4 jam (6 kali sehari) sampai
total kalori mencapai 25-30 kilo kalori/hari. Nutrisi
enteral tersamar ganda diberikan selama 5 hari dan
status inflamasi, indeks oksigenasi dan hemodinamik
dinilai setiap hari. Resolusi pasien dinilai dari
penurunan kadar CRP dan lamanya pasien di ruang
rawat intensif.
Penilaian status inflamasi
Kadar TNF-α dan IL-10 serum diukur dengan
menggunakan quantitative sandwich enzyme
immunoassay (R&D Systems, Inc., Minneapolis,
MN, USA) dengan metode ELISA sesuai dengan
petunjuk dari manufacturer. Intensitas dari warna
diukur pada panjang gelombang 490 nm yang
hasilnya kemudian dikonversi dalam bentuk ng/
dL. High-sensitivity C-reactive protein (hs-CRP)
pada plasma diukur dengan mengikuti petunjuk
dari manufactur sebagai berikut: Plasma dicampur
dengan antibodi spesifik terhadap human CRP
dengan menggunakan buffer sesuai dengan yang
terdapat pada kit. Formasi kompleks imun kemudian
diukur dengan spectrophotometer dengan panjang
Tabel 1. Karakteristik Dasar Sampel Kedua Kelompok
Karakteristik
Umur
Rasio pria:wanita
Laju jantung
Frekuensi nafas
Suhu
Kadar leukosit
Kelompok Kontrol (n=30) Kelompok EPA-GLA (n=30) Rerata (± simpangan baku) Rerata (± simpangan baku) 44.73 (± 8.38) 16:14
106.81 (± 13.79) 22.13 (± 5.12) 37.94 (± 0.70) 17549.38 (± 5724.98) 46.90 (± 7,93) 15:15
97.43 (± 13.66)
22.79 (± 5.38) 37.7143 (± 0.83)
14062.14 (± 4025.28)
Kemaknaan
0.308
1.000
0.072
0.733
0.418
0.067
Data disajikan dalam bentuk nilai minimum, maksimal, dan rerata/mean (standar deviasi) kemudian probabilitas (nilai p) diuji dengan independent t-test. *Diuji dengan Pearson Chi Square Test. Nilai p<0,05 dinyatakan signifikan
Tabel 2. Nilai rentang dari masing-masing variabel penelitian pada kedua kelompok selama rentang waktu pengamatan
Variabel
Kelompok Kontrol
min - maks (rentang)
Kelompok EPA-GLA
min - maks (rentang)
HR (x/men)
MAP (mmHg)
IOK ( )
CRP (ng/dL)
TNF-α (ng/dL)
IL-10 (ng/L)
76
138 (62,0)
57
121 (64,0)
97
347 (25,0)
6,0
69,0 (63,0)
2,0
25,0 (23,0)
1,09 17,0 (15,9)
67
66
96
2,0
1,0
2,95
120
116
316
39,0
14,0
15,80
(53,0)
(50,0)
(220,0)
(37,0)
(13,0)
(12,8)
Data disajikan dalam bentuk nilai minimum, maksimal, dan rentang.
Volume 2 Nomor 2 April 2012
61
Pengaruh Pemberian Nutrisi EPA dan GLA terhadap Proses Inflamasi, Oksigenasi dan Hemodinamik pada Pasien SIRS
gelombang 546 nm. Hasil yang terbaca kemudian
di kalkulasi secara otomatis menggunakan standar
yang telah ditentukan.
Status hemodinamik dan indeks oksigenasi
Status hemodinamik dinilai dengan mengukur
rerata tekanan arteri (mmHg) dan laju jantung (kali
permenit) dan dicatat sesuai dengan yang tampak
pada monitor ICU (SPACELABS MEDICAL 90367
Monitor) dan indeks oksigenasi: rasio tekanan O2/
fraksi inspirasi oksigen (dihitung dalam %) sesuai
dengan yang terbaca pada mesin analisa gas darah
(Roche AVL 912 Blood Gas Analyzer)
Analisa statistik
Data dicatat dan diolah dengan menggunakan
program SPSS. Perbedaan antara kelompok kontrol
dan kelompok EPA-GLA untuk jenis kelamin diuji
dengan uji Chi square, untuk umur, rerata tekanan
arteri, laju jantung, indeks oksigenasi diuji dengan
independent t-test, Kadar CRP, TNF-α, IL-10, rasio
TNF-α/IL-10 dan hubungan antara variabel diuji
dengan uji korelasi Spearman. Perbedaan dinyatakan
signifikan antara kedua kelompok jika nilai p < 0.05
HASIL
Karakteristik awal pasien dan nilai rentang variabel selama pengamatan
Homogenitas kelompok kontrol dan kelompok
EPA-GLA dinilai berdasarkan karakteristik umur,
jenis kelamin, denyut nadi, frekuensi pernafasan,
suhu dan kadar lekosit. Pada tabel 1 terlihat tidak ada
perbedaan karakteristik antara kedua kelompok.
Selama 5 hari berturut - turut dilakukan
pengamatan dinamika hemodinamik (laju jantung,
LJ; dan rerata tekanan arteri, RTA), dinamika indeks
oksigenasi (IOK) dan dinamika inflamasi (CRP,
TNF-α, dan IL-10 serum). Pada tabel 2 terlihat
nilai rentang pada kelompok EPA-GLA lebih
sempit daripada nilai rentang kelompok kontrol
pada semua variabel yang diamati. Nilai minimum
dan maksimum LJ lebih rendah pada kelompok
EPA-GLA, sedangkan nilai RTA lebih rendah pada
kelompok kontrol. Nilai minimum dan maksimum
kadar CRP dan TNF-α serum lebih rendah pada
kelompok EPA-GLA, sedangkan kadar IL-10 serum
lebih tinggi pada kelompok EPA-GLA.
Dinamika hemodinamik
Dibandingkan dengan kelompok kontrol, laju
jantung (LJ) pada kelompok EPA-GLA terlihat
62
lebih rendah pada semua waktu pengamatan. Hal ini
berbeda secara signifikan (p<0,05) pada semua waktu
pengamatan kecuali pada hari ke-2. Pada kelompok
kontrol, LJ >100x/menit terlihat pada semua waktu
pengamatan, sedangkan kelompok EPA-GLA hanya
pada hari-1. Rerata nilai LJ kelompok EPA-GLA
lebih rendah daripada kelompok kontrol terutama
setelah hari-3, dimana nilai rerata LJ sudah <100x/
menit pada kelompok EPA-GLA, sedangkan pada
kelompok kontrol LJ masih > 100 x/menit (p<0.05).
Pada kelompok EPA-GLA laju jantung menurun dari
104, 7x/menit pada hari-1 menjadi 91,5x/menit pada
hari-5. Walaupun kelompok kontrol mempunyai
kecenderungan yang sama, tetapi LJ sampai hari-5
masih >100 x/menit (Gambar 1).
Rerata tekanan arteri (RTA) lebih rendah pada
kelompok kontrol daripada kelompok EPA-GLA,
terutama setelah hari ke-2. Nilai RTA cenderung
menurun pada kedua kelompok, tetapi nilai TAR
kelompok kontrol lebih rendah. Setelah hari-2, nilai
rerata RTA pada kelompok kontrol <90,0mmHg
hingga hari-5, sementara nilai RTA pada kelompok
EPA-GLA masih >90,0mmHg hingga hari-5. Hasil
uji perbedaan dengan independent sample t test
menujukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05)
pada semua waktu pengamatan kecuali pada hari-1
(Gambar 2).
Dinamika indeks oksigenasi
Pada hari pertama, nilai rerata indeks oksigenasi
(IOK) pada kelompok kontrol (210,3), sedikit lebih
tinggi dibanding kelompok EPA-GLA (206,3),
walaupun tidak berbeda bermakna secara statistik
(p>0,05). Setelah hari ke-2, indeks oksigenasi
kelompok EPA - GLA cenderung meningkat,
sementara kelompok kontrol cenderung menurun.
Hasil uji perbedaan dengan independent sample t-test
menunjukkan perbedaan bermakna (p<0,05) antara
kedua kelompok pada setiap waktu pengamatan,
kecuali hari-1. Rerata indeks oksigenasi pada
kelompok EPA-GLA meningkat dari 200,0 menjadi
246,5 pada hari-5; sedangkan pada kelompok
kontrol menurun dari 200,0 pada hari ke-2 hingga
menjadi 173,3 pada hari ke-5. Kelompok EPA-GLA
memiliki IOK lebih dari 200 persen pada semua
waktu pengamatan, sedangkan kelompok kontrol
hanya pada hari-1 (Gambar 3)
Dinamika petanda inflamasi
Kadar rerata CRP serum pada kelompok kontrol
meningkat dari 12,3 ng/dL pada hari-1 menjadi
26,9ng/dL pada hari-5; sementara pada kelompok
Majalah Kedokteran Terapi Intensif
Syafri Kamsul Arif, A. Husni Tanra, Nurpudji Astuti, Ilham Jaya Patellongi
Gambar 1. Perbedaan dinamika Heart Rate antara kedua kelompok.
*Nilai p<0,05 dengan uji independent t-test.
Gambar 3. Perbedaan dinamika indeks oksigenasi (IOK) antara
kedua kelompok. *Nilai p<0,05 dengan uji independent t-test.
EPA-GLA terjadi penurunan dari 16,2ng/dL pada
hari-1 menjadi 5,9ng/dL pada hari-5. Pada hari-1
kadar CRP pada kelompok kontrol lebih tinggi
daripada kadar CRP kelompok EPA-GLA, tetapi
setelah hari-2, nilai rerata kadar CRP pada kelompok
EPA-GLA lebih rendah daripada nilai rerata kadar
CRP pada kelompok kontrol. Hasil uji perbedaan
dengan Mann Whitney U menujukkan perbedaan yang
bermakna (p<0,05) pada semua waktu pengamatan,
kecuali hari-1 (Gambar 4)
Dinamika kadar TNF-α serum pada kelompok
kontrol juga berbeda dengan dinamika kadar TNF-α
serum pada kelompok EPA-GLA. Pada hari-1, rerata
kadar TNF-α serum pada kelompok kontrol (6,2ng/
dL) sedikit lebih tinggi daripada kelompok EPA-GLA
(5,3ng/dL), tetapi tidak berbeda bermakna (p>0,05)
dengan uji Mann Whitney-U. Pada pengamatan
hari-2 hingga hari-5, rerata kadar TNF-α serum
pada kelompok kontrol cenderung meningkat,
sementara pada kelompok EPA-GLA cenderung
menurun (p<0,05). Pada kelompok EPA-GLA,
rerata kadar TNF-α menurun dari 5,3ng/dL pada
pertama menjadi 3,2 ng/dL pada hari-5; sedangkan
pada kelompok kontrol meningkat dari 6,2 ng/dL
Volume 2 Nomor 2 April 2012
Gambar 2. Perbedaan dinamika Mean Arterial Pressure (MAP)
antara kedua kelompok. *Nilai p<0,05 dengan uji independent ttest.
pada pertama menjadi 8,5ng/dL pada hari ke-5.
Rerata kadar TNF-α kelompok EPA-GLA cenderung
mengalami penurunan dengan nilai kurang dari 6ng/
dL pada semua waktu pengamatan, sedangkan pada
kelompok kontrol memperlihatkan peningkatan
hingga lebih dari 8ng/dL (Gambar 5).
Dinamika kadar IL-10 serum pada kedua
kelompok dapat dilihat pada gambar 6. Nilai rerata
kadar IL-10 serum pada kelompok kontrol mengalami
peningkatan dari 4,0ng/dL pada hari-1 menjadi
6,3ng/dL pada hari-5; sementara pada kelompok-2
meningkat dari 5,8ng/dL pada hari-1 menjadi
7,8ng/dL pada hari-5. Rerata kadar IL-10 serum
lebih tinggi pada kelompok EPA-GLA daripada
kelompok kontrol pada setiap waktu pengamatan.
Hasil uji perbedaan kadar IL-10 serum antara kedua
kelompok pada setiap hari pengamatan dengan Mann
Withney-U test menujukkan perbedaan bermakna.
Status inflamasi dapat dinilai dengan menghitung
rasio pro/anti-inflamasi, dalam hal ini rasio kadar
TNF-α/Il-10. Pada hari-1, rerata rasio kadar
TNF-α/IL-10 serum pada kelompok kontrol (1,68)
lebih tinggi daripada nilai rasio kadar TNF-α/IL10 serum pada kelompok EPA-GLA yaitu masing
masing 1,68 dan 1,0 (p<0,05). Pada pengamatan
hari-2 hingga hari-5, rasio pada kelompok kontrol
berfluktasi, sementara pada kelompok EPA-GLA
cenderung menurun. Hasil uji perbedaan dengan
Mann Whitney-U menujukkan perbedaan yang
bermakna (p<0,05) pada setiap hari pengamatan.
Pada kelompok EPA-GLA, rasio kadar TNF-α/
IL-10 serum menurun dari 1,0 pada hari-1 menjadi
0,45 pada hari-5 (< 1,0); sedangkan pada kelompok
kontrol tetap >1,0 (Gambar 7). Kelompok EPAGLA mengalami penurunan rasio dengan nilai < =
1 pada semua waktu pengamatan. Sedangkan pada
kelompok kontrol justru semakin meningkat > = 1,5
pada semua waktu pengamatan, kecuali pada hari-5.
63
Pengaruh Pemberian Nutrisi EPA dan GLA terhadap Proses Inflamasi, Oksigenasi dan Hemodinamik pada Pasien SIRS
Gambar 4. Perbedaan dinamika kadar CRP serum antara kedua kelompok. *Nilai p<0,05 dengan uji Mann Whitney-U test.
Gmbar 5. Perbedaan dinamika kadar TNF-α serum antara kedua
kelompok. *Nilai p<0,05 dengan uji Mann Whitney-U test.
Gambar 6. Perbedaan dinamika kadar IL-10 serum antara kedua
kelompok. *Nilai p<0,05 dengan uji Mann Whitney-U test.
Gambar 7. Perbedaan dinamika rasio kadar TNF-α/IL-10 serum
antara kedua kelompok. *Nilai p<0,05 dengan uji Mann Whitney-U
test.
Resolusi dan lama rawat di ruang intensif
kelompok EPA-GLA yaitu masing masing 5-25 (9,4)
dan 5-19 (7.6). Uji Mann Whitney menunjukkan
adanya perbedaan yang signifikan (p=0.027).
Hubungan antara indeks oksigenasi dengan
petanda inflamasi dan antara resolusi pasien dengan
kadar sitokin.
Resolusi pasien dinilai dengan penurunan kadar
CRP dan ditemukan hubungan terbalik antara indeks
oksigenasi dengan kadar CRP, TNF-α, dan rasio
TNF-α/IL-10 (p<0.05) namun tidak berhubungan
dengan kadar IL-10 (tabel 4). Pada tabel 5 terlihat
kadar TNF-α serum lebih rendah secara bermakna
(p<0,05) pada kelompok yang sudah mengalami
resolusi (median=3,2) dibanding kelompok yang
belum mengalami resolusi (median=6,7). Rasio
TNF-α/IL-10 serum juga didapatkan lebih rendah
pada kelompok yang sudah resolusi (median=0,5)
dibandingkan dengan kelompok yang belum resolusi
(median=1,1). Sebaliknya, meskipun perbedaannya
tidak signifikan terlihat bahwa kadar IL-10 serum
cenderung lebih tinggi pada kelompok yang sudah
mengalami resolusi (median=8,0) dibandingkan
kelompok yang belum mengalami resolusi
(median=6,8).
Tabel 3 menunjukkan bahwa hingga hari
kedua setelah pemberian nutrisi, belum ada yang
mengalami resolusi pada kedua kelompok dan hingga
hari ke-5 belum ada pasien pada kelompok kontrol
yang mengalami resolusi. Pada kelompok EPAGLA, pada hari ke-3 ditemukan 1 pasien yang telah
mengalami resolusi, dan pada hari ke-4 meningkat
menjadi 5 pasien dan hari-5 menjadi 15 pasien. Hasil
uji Fisher’s exact menunjukkan perbedaan bermakna
(p<0,05) pada hari-4 dan hari-5. Resolusi ini
tampaknya mempengaruhi ketergantungan terhadap
ruang ICU seperti yang terlihat ketika lama rawat
ruang intensif dikelompokkan menjadi <8, 8-10
dan >10 hari. Jumlah pasien kelompok kontrol dan
kelompok EPA-GLA yang dirawat <8 hari adalah
masing masing 13 dan 22 pasien; yang dirawat
8-10 hari masing masing 8 dan 4 pasien dan >10
hari hari masing masing 9 dan 4 pasien. Meskipun
Uji Chi squire menunjukkan tidak ada perbedaan
jika dilihat dari pengelompokan lama perawatan
(p=0.062), namun jika dinilai berdasarkan rentang
dan rerata lama perawatan terlihat bahwa perawatan
di ICU pada kelompok kontrol lebih lama dibanding
64
Majalah Kedokteran Terapi Intensif
Syafri Kamsul Arif, A. Husni Tanra, Nurpudji Astuti, Ilham Jaya Patellongi
Tabel 3. Perbedaan pasien yang sudah mengalami resolusi antara kedua kelompok
Kelompok Kontrol
Pengamatan
Resolusi
Hari-1
Hari-2
Hari-3
Hari-4
Hari-5
Kelompok EPA-GLA
Belum Resolusi
Resolusi
30
30
30
30
30
0
0
1
6
15
0
0
0
0
0
Kemak-naan
Belum Resolusi
30
30
29
24
15
p=1,000
p=1,000
p=0,500
p=0,012*
p=0,000*
Keterangan: Signifikansi diuji dengan uji Fisher’s exact, bermakna bila nilai p<0,05. *Nilai p<0,05.
Tabel 4. Korelasi Indeks Oksigenasi dengan Kadar CRP, TNF-α, dan rasio TNF-α/IL-10
Indeks Oksigenasi
Variabel
Kadar CRP
Kadar TNF-α
Kadar IL-10
Rasio TNF-α/IL-10
Koefisien Korelasi
Kemaknaan
-0,393
-0,256
-0,066
-0,237
P=0,000*
P=0,000*
P=0,127
P=0,000*
Nilai probabilitas (p) diuji dengan uji korelasi Spearman.Nilai p<0.01 dinyatakan signifikan. *Nilai p<0,01.
Tabel 5. Perbedaan kadar TNF-α, IL-10 dan TNF-α/IL-10 serum antara pasien resolusi dan belum
resolusi
Variabel
TNF-α
IL-10
TNF-α/IL-10
Resolusi
(n=15)
Median
3,2
8,0
0,5
Belum Resolusi
(n=45)
Min - Maks
1,09 – 7,04
2,95 - 15,80
0,10 – 0,80
Median
6,7
6,8
1,1
Min - Maks
1,07 - 25,0
1,98 – 17,00
0,10 – 2,72
Kemak-naan
P=0,009*
P=0,175
P=0,001*
Keterangan: Signifikansi diuji dengan uji Mann Whitney-U Test, bermakna bila nilai p<0,05. *Nilai p<0,05.
PEMBAHASAN
Suatu kajian penelitian mengenai SIRS pada
pasien yang dirawat di rumah sakit di seluruh dunia
melaporkan bahwa prevalensi SIRS mencapai hampir
sepertiga dari pasien rumah sakit dan mengisi lebih
dari 50% ruangan ICU. Di antara seluruh pasien bedah
yang masuk ke ICU terdapat 80% yang dinyatakan
mengalami SIRS dan sekitar sepertiga pasien SIRS
dapat berkembang menjadi sepsis. Di ICU, terdapat
sekitar 25% pasien berkembang menjadi sepsis
dengan 10% diantaranya mengalami bakteremia.
Jika terjadi bakteremia, maka kemungkinan menjadi
Volume 2 Nomor 2 April 2012
sepsis berat adalah lebih dari > 50%. Dua puluh
lima persen pasien dengan sepsis berat berkembang
menjadi syok septis. Kemungkinan terjadinya
kematian pada hari ke 28 pada pasien SIRS,
sepsis, sepsis berat dan syok sepsis adalah masing
masing 10%, 20%, 20% - 40%, dan 40%- 60%411.
Di Indonesia, tidak ada data yang dapat diakses
secara langsung yang dapat memberikan informasi
mengenai prevalensi pasien yang masuk kerumah
sakit di Indonesia yang mengalami SIRS atau sepsis.
Namun, tempat tidur di ruang ICU di Indonesia selalu
padat oleh pasien. Jika mengikuti kecenderungan
65
Pengaruh Pemberian Nutrisi EPA dan GLA terhadap Proses Inflamasi, Oksigenasi dan Hemodinamik pada Pasien SIRS
global, maka pasien di Indonesia yang mengalami
SIRS atau sepsis mungkin sangat tinggi. Penyebab
SIRS dirumah sakit ini terutama adalah luka bakar
disusul pembedahan besar.
Pasien SIRS dapat ditemukan pada mereka
yang mengalami infeksi, penyakit inflamasi, trauma
jaringan yang masif, iskemia, tranfusi multipel, luka
bakar atau neoplasma1,3,12. Pada keadaan tersebut
terjadi pelepasan sitokin yang merupakan respons
imun yang bertujuan untuk mengatasi keadaan
tersebut. Jika keadaan ini berlangsung lama, dapat
terjadi positive feedback loop antara sitokin dan selsel imun, dengan peninggian kadar berbagai sitokin
yang disebut sebagai badai sitokin4,12. Alih-alih
memperbaiki keadaan, badai tersebut malah dapat
menyebabkan terjadinya inflamasi secara menyeluruh
atau disebut systemic inflammatory responsse
syndrome (SIRS)12,13. Beberapa pasien SIRS dapat
mengalami perbaikan dengan penatalaksanaan
standar, namun tidak sedikit diantaranya yang
berkembang menjadi disfungsi organ ganda
(MODS), kegagalan organ ganda (MOFS) dan syok
dan akhirnya mengalami kematian11, 14, 15.
Manajemen pasien dengan inflamasi tergantung
pada sumber dan tingkat keparahan respons
inflamasi. Secara umum, pendekatan yang dilakukan
adalah: Penanganan penyebab dasar, koreksi semua
abnormalitas metabolik yang mencakup resusitasi
cairan dan koreksi elektrolit, mempertahankan tekanan
darah agar tetap adekuat dengan menggunakan cairan
hingga vasopressor, mempertahankan oksigenasi
jaringan tetap adekuat dengan tunjangan ventilasi
mekanik sesuai kebutuhan, mempertahankan nutrisi
yang adekuat melalui jalur enteral atau parental,
serta mencegah komplikasi iatrogenik seperti deep
venous thrombosis dan melakukan control infeksi
untuk mencegah infeksi nosokomial16.
Pada pasien SIRS atau sepsis, jalur nutrisi yang
direkomendasikan adalah nutrisi enteral karena
nutrisi parenteral total terbukti justru menyebabkan
hiperglikemia iatrogenik. Nutrisi enteral melalui
pipa nasogastrik dini sebaiknya diberikan dalam 24
- 48 jam setelah pasien masuk ICU, dengan syarat
pasien dalam status hemodinamik yang stabil. Pada
pasien SIRS dapat terjadi kedaaan hipermetabolik,
perubahan akut pada konsentrasi protein17.
Peninggian pemakaian energi, peninggian turnover
protein, anoreksia, berkurangnya jumlah protein,
dan konsumsi cadangan lemak13, 14, 18. Pengurangan
jumlah protein diakibatkan oleh mobilisasi protein
untuk proses penyembuhan dan sintesis protein
yang berperan dalam sistem imun19. Penggunaan
protein dan lemak yang berlebihan oleh tubuh
66
dapat mengurangi kualitas sistem imun, gangguan
fungsi dan struktur sawar usus, translokasi bakteri
serta endotoksin20. Nutrisi enteral yang optimal
dapat meningkatkan kualitas fungsi sistem imun
dan mengurangi reaksi inflamasi serta komplikasi
sepsis20.
Eicosapentaenoic acid (EPA) adalah suatu
omega-3 fatty acid. EPA dan metabolitnya
berperan dalam tubuh melalui interaksinya dengan
asam arakhidonat. EPA merupakan prekursor
prostaglandin-3 (yang menghambat agregasi
platelet), tromboksan-3, dan grup leukotriene-5
(alleicosanoids)21-24. GLA adalah γ-linolenic acid.
Penelitian yang dilakukan oleh Pontes-Arruda, dkk
pada pasien sepsis menunjukkan adanya perbaikan
setelah pemberian nutrisi yang kaya akan EPA
dan GLA6. Pasien sepsis berat dengan ARDS ini
mengalami perbaikan oksigenasi setelah pemberian
nutrisi yang mengandung EPA dan GLA dan
penurunan mortalitas sebanyak 19,4%. Peningkatan
oksigenasi secara signifikan menurunkan kegagalan
organ baru, dan kebutuhan akan ventilator23.
Perbaikan hemodinamik juga dapat dicapai pada
pasien sepsis yang mendapat EPA dan GLA3,12 18.
Defek metabolisme yang mendasari SIRS, sepsis,
dan syok sepsis telah menjadi kontroversi selama 30
tahun terakhir. Sebagian besar syok berkaitan dengan
curah jantung rendah dan hipoperfusi jaringan
yang mengarah pada iskemia jaringan. Akibatnya
terjadi glikolisis anaerobik dan asidosis intraselular,
peningkatan kadar laktat, dan deplesi fosfat energitinggi di jaringan tersebut. Rasio ekstraksi oksigen
(oksigen yang dikonsumsi dibagi oksigen yang
diterima) meningkat seiring dengan maksimalnya
ekstraksi jaringan demi memelihara konsumsi
oksigen. Sitokin yang dilepaskan akibat reaksi
inflamasi akan memperpanjang durasi hipoksia
jaringan yang diikuti oleh abnormalitas sirkulasi yang
berat, hingga akhirnya mengarah pada kegagalan
organ25. Akibatnya, terjadi gangguan pertukaran gas
perifer dan disoksia. Dalam kondisi ini, kebutuhan
metabolik tidak terpenuhi oleh hantaran oksigen
mikrovaskular sehingga terjadi shunting dan disoksia
jaringan, bahkan gagal organ26.
Respons respirasi dini pada SIRS/sepsis
mencakup takipnea dan hiperventilasi. Pertukaran
gas umumnya abnormal ringan. Pada tahap lanjut,
pasien mengalami kerusakan alveolar difus yang
konsisten dengan acute lung injury (ALI) atau adult
respiratory distress syndrome (ARDS). Resiko
ARDS yang terkait SIRS/sepsis meningkat sesuai
derajat keparahannya. Beberapa faktor komorbid
yang meningkatkan risiko ARDS adalah konsumsi
Majalah Kedokteran Terapi Intensif
Syafri Kamsul Arif, A. Husni Tanra, Nurpudji Astuti, Ilham Jaya Patellongi
alkohol kronik, penyakit paru kronik, dan asidemia
berat. Kegagalan dalam koreksi ARDS/ALI dalam
minggu pertama berhubungan dengan progresi
sindrom dan prognosis buruk27. Dari pemeriksaan
analisis gas darah akan ditemukan gangguan indeks
oksigenasi (rasio PaO2/FIO2) < 300 untuk ALI atau <
200 untuk ARDS26.
Pada saat terjadi badai sitokin, terjadi peninggian
kadar sitokin, bukan hanya sitokin pro-inflamasi
(TNF-α, IL-1 dan IL-6), tetapi juga sitokin antiinflamasi IL-10 dan antagonis reseptor IL-128.
Sitokin adalah protein yang disekresi oleh sel yang
yang memediasi fungsi dari sel itu sendiri. Predominan respons inflamasi mengacu pada SIRS
dan dapat menyebabkan masalah kardiovaskular,
syok, disfungsi organ, dan status paralisis imun.
Dalam keadaan ini, pasien lebih mudah mengalami
infeksi dan tidak mampu berespons terhadap suatu
inflamasi lagi hingga akhirnya mengarah pada
kematian29. Jika respons anti-inflamasi mampu
mengimbangi stimulus inflamasi, homeostatis dan
pemulihan klinis bisa tercapai. Keadaan seperti
ini antara lain bisa dipengaruhi oleh sifat cedera
inflamasi atau ditentukan oleh variabilitas genetik
pasien30,31. Sitokin proinflamasi memiliki berbagai
macam efek, termasuk stimulasi produksi dan
pelepasan mediator pro-inflamasi lain. TNF-α, IL1β, dan IL-6 merupakan sitokin yang paling dikenali
dan memiliki efek tumpang tindih dan sinergistik
dalam stimulasi serangkaian reaksi inflamasi. Fase
respons sitokin berikutnya adalah serangkaian reaksi
counter inflammatory (anti-inflamasi) terhadap
aktivitas sistemik sitokin pro-inflamasi. Inhibitor
sitokin (seperti antagonis reseptor IL - 7 [IL-1ra]
dan soluble TNF receptor) sitokin anti-inflamasi
(seperti TGFβ, IL-4, IL-10, dan IL-13) terlibat
dalam respon ini. Dengan demikian, jaringan sitokin
dalam SIRS dan sepsis juga melibatkan sitokin
anti-inflamasi dan inhibitor sitokin. Keseimbangan
antara sitokin ini dalam berbagai titik yang berbeda
akan menentukan fase klinik, luaran sepsis dan
SIRS32. Suplementasi nutrisi yang mengandung
EPA dan GLA dapat menekan peningkatan
responss inflamasi, menginduksi vasodilatasi dan
memperbaiki hantaran oksigen33. C-reaktive protein
(CRP) adalah salah satu protein fase akut yang
terdapat dalam darah normal yang kadarnya akan
meningkat bila terjadi proses peradangan (inflamasi)
atau bila ada kerusakan jaringan (nekrosis) akibat
infeksi maupun yang bukan34. CRP telah digunakan
sebagai marker inflamasi akut, diproduksi oleh hati
sebagai respons terhadap kerusakan jaringan dan
Volume 2 Nomor 2 April 2012
infeksi. Dalam waktu 6–8 jam setelah terjadi reaksi
radang akut/kerusakan jaringan, sintesis dan sekresi
CRP meningkat dan dalam waktu 24 – 48 jam telah
mencapai nilai puncaknya (dapat mencapai lebih dari
1 gram/hari). Kadar CRP akan menurun bila proses
peradangan/kerusakan jaringan telah mereda35.
Sasaran terapi pasien dengan SIRS dan sepsis saat
ini banyak difokuskan pada strategi manajeman yang
optimal demi mencegah terjadinya disfungsi atau
gagal organ ganda. Sayangnya, informasi mengenai
strategi yang paling tepat dalam penanganan sepsis
masih sangat terbatas. Strategi pemberian nutrisi
untuk mencegah progresi perburukan SIRS/sepsis
saat ini menjadi salah satu fokus yang paling sering
diamati. Pasien sakit kritis, termasuk SIRS ditandai
oleh variasi metabolism karbohidrat, lipid, dan asam
amino (protein yang sangat beragam).Variasi inilah
yang menyebabkan peningkatan kebutuhan energi
pasien SIRS hingga memicu katabolisme protein
serta gangguan sistem immun dan gastrointestinal.
Di lain pihak, pelepasan sitokin seperti TNF-α dan
IL-1β akan memicu terjadinya hiperglikemia36.
Dengan demikian, pemberian karbohidrat dan
protein (dapat berubah menjadi glukosa akibat proses
glukoneogenesis) sebaiknya dibatasi.
Status hemodinamik
Pada penelitian ini ditemukan dinamika laju
jantung yang signifikan lebih rendah pada kelompok
pasien yang mendapat nutrisi yang kaya EPA-GLA
pada semua hari pengamatan. Sebaliknya, rerata
tekanan arteri (RTA) ditemukan signifikan lebih
tinggi pada kelompok EPA-GLA pada hari ke-2
hingga ke-5. Ini menunjukkan bahwa parameter
hemodinamik lebih baik pada pasien yang menerima
nutrisi yang kaya EPA-GLA. Ini sesuai dengan
penelitian Pontes-Arruda dkk yang menunjukkan
tingkat kejadian gagal kardiovaskuler yang lebih
rendah pada pasien sepsis yang menerima nutrisi
EPA-GLA 37.
Indeks oksigenasi
Pasien kritis tidak dapat mencapai keseimbangan
nitrogen yang positif akibat adanya pelepasan
sitokin dan hormon katabolik yang mencegah proses
anabolisme. Akibatnya, pemberian protein tinggi
tidak dapat menambah lean body mass bahkan
dapat menimbulkan azotemia. Karena pasien kritis
seringkali disertai gangguan paru-paru, beberapa
penelitian menganjurkan pemberian nutrisi dengan
kandungan lemak tinggi (50%) dan karbohidrat
rendah demi menurunkan produksi CO236.
67
Pengaruh Pemberian Nutrisi EPA dan GLA terhadap Proses Inflamasi, Oksigenasi dan Hemodinamik pada Pasien SIRS
Indeks oksigenasi (rasio PO2/FiO2) juga
ditemukan lebih tinggi signifikan pada kelompok
EPA-GLA pada hari ke-2 hingga ke-3 dengan
kecenderungan peningkatan. Nilai pada semua waktu
pengamatan lebih dari 200, namun tidak mencapai
300. Sebaliknya, pada kelompok kontrol, indeks
oksigenasi cenderung menurun bahkan kurang dari
200 sejak hari ke-2. Dengan demikian, pasien yang
menerima nutrisi EPA-GLA kemungkinan tidak
masuk ke tahap ARDS, sebaliknya, pasien dengan
nutrisi standar cenderung mengalami ARDS. Hal ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gadek
dkk. yang menggunakan diet enteral tinggi lemak
yang kaya akan EPA-GLA akan memperlihatkan
perbaikan secara bermakna, bukan hanya indeks
oksigenasi (PO2/FiO2), namun juga waktu lepas
dari ventilator lebih singkat, waktu keluar dari ICU
lebih pendek serta penurunan jumlah disfungsi organ
baru38. Penelitian yang dilakukan Elamin dkk. juga
menunjukkan bahwa pasien ARDS yang mendapat
nutrisi EPA-GLA secara signifikan memperlihatkan
perbaikan pertukaran gas, skor APACHE dan lama
perawatan di ICU39. Singer dkk. melaporkan bahwa
diet EPA-GLA memperbaiki status oksigenasi dan
mempersingkat lama perawatan ICU dan rumah sakit
pasien yang mengalami cedera paru akut. Diet ini
juga berhubungan dengan angka mortalitas 28-hari
yang lebih rendah40. Dengan demikian nutrisi enteral
yang mengandung EPA-GLA dapat menjadi pilihan
pada pasien yang mengalami gangguan napas akibat
inflamasi, misalnya ARDS. Penelitian ini juga sejalan
dengan penelitian Mayes T dkk. yang menunjukkan
adanya perbaikan status ventilasi pasien pediatrik
dengan gagal napas pada hari terakhir perawatan
dibanding hari pertama setelah pemberian nutrisi
enteral yang adekuat41.
Perbaikan indeks oksigenasi pada pasien EPAGLA menunjukkan bahwa nutrisi ini mampu
membatasi respons inflamasi yang berlebihan pada
sel epitel, endotel, dan mukosa pembuluh darah
(untuk perfusi) maupun paru-paru (untuk ventilasi).
Petanda inflamasi
Kadar TNF-α, IL-10 maupun CRP berbeda
bermakna antara pasien SIRS yang menerima
nutrisi enteral kaya EPA-GLA dengan yang tidak
mendapatkan EPA-GLA. Pasien yang mendapat
EPA-GLA memiliki kadar TNF-α, rasio TNF-α/
IL-10 dan CRP yang lebih rendah dibanding pasien
yang menerima nutrisi standar. Kadar TNF-α yang
lebih rendah pada kelompok EPA-GLA dibanding
kelompok non EPA-GLA mengindikasikan bahwa
68
nutrisi kaya EPA-GLA memiliki kapasitas dalam
menghambat modulasi sitokin proinflamasi TNF-α.
Akan halnya dengan rasio TNF alfa/IL-10 pada
kelompok non EPA-GLA didapatkan lebih tinggi
dibandingkan dengan rasio TNF alfa/IL-10 pada
kelompok EPA-GLA. Beberapa penelitian telah
menunjukkan kemampuan EPA dan GLA dalam
regulasi sistem imun. EPA mempengaruhi respons
sel imun melalui regulasi ekspresi gen dan regulasi
downstream pada ligand reseptor nukleus sel imun
dan mengontrol faktor transkripsi sel43, 44. EPA juga
dapat mempengaruhi aktivitas faktor transkripsi
nukleus proinflamasi NK-κB yang meregulasi
ekspresi gen yang mengkode molekul adesi, sitokin,
kemokin, dan sistem imun lain45. GLA bekerja
dengan cara menekan biosintesis leukotriene dan
dapat dimetabolisme menjadi prostaglandin E1
yang merupakan vasodilator yang poten. GLA
dapat meningkatkan aktivitas anti-inflamasi melalui
hubungannya dengan membran sel imun46, 47. Dengan
penekanan proses inflamasi, perbaikan indeks
oksigenasi dan hemodinamik maka tidak menutup
kemungkinan bahwa pasien yang menerima nutrisi
EPA-GLA memiliki luaran yang lebih baik dibanding
kelompok non EPA-GLA yang pada akhirnya dapat
mencegah pasien jatuh kedalam kegagalan organ
ganda.
Seperti populasi ICU pada umumnya,
peningkatan kadar CRP selalu dilaporkan
berhubungan dengan peningkatan tingkat. Kadar
CRP yang tinggi juga berkaitan dengan prognosis
pada pasien pasca bedah, terutama bedah tumor.
Kadar CRP yang melebihi batas normal merupakan
prediktor outcome yang buruk. Pada pasien postoperative esofagektomi, peningkatan kadar CRP
lebih dari 72 jam meningkatkan angka mortalitas
1-tahun pasca bedah (van Genderen, 2011). Kadar
CRP pada kedua kelompok tetap tinggi setelah 72
jam (hari ke-3), namun demikian pada kelompok
nutrisi EPA-GLA kadar normal telah tercapai pada
hari-5 (120 jam). Lee TH mengemukakan bahwa
nutrisi EPA yang dapat memodulasi proses inflamasi
baik pada binatang maupun pada manusia42.
Resolusi
Salah satu indikator resolusi pasien SIRS adalah
penurunan kadar CRP hingga di bawah 6 ng/dL.
Seorang pasien akan berada dalam status SIRS bila
kadar CRP sekitar sama dengan atau lebih dari 7 ng/
dL. Bila mencapai 9,8 ng/dL maka termasuk sepsis,
bila mencapai 14,5 ng/dL maka termasuk sepsis
berat. Dan bila kadar CRP mencapai 17,3 ng/dL,
Majalah Kedokteran Terapi Intensif
Syafri Kamsul Arif, A. Husni Tanra, Nurpudji Astuti, Ilham Jaya Patellongi
pasien berada dalam status syok sepsis48. Penurunan
CRP setelah pemberian terapi tertentu pada pasien
SIRS atau sepsis menunjukkan adanya respons
perbaikan. Bila kadar CRP malah meningkat, maka
terapi bisa saja tidak adekuat atau malah tidak
tepat49. Pada penelitian ini ditemukan resolusi pasien
SIRS yang menerima nutrisi EPA-GLA pada hari
ketiga, sedangkan pada pasien nutrisi standar, tidak
terjadi resolusi hingga pengamatan hari terakhir.Ini
menunjukkan bahwa pasien SIRS berespons baik
terhadap terapi suportif dengan nutrisi enteral yang
mengandung EPA-GLA. Kadar CRP yang cenderung
persisten pada kelompok nutrisi standar menunjukkan
bahwa nutrisi ini tidak efektif atau bahkan tidak
berguna50. Diet yang kaya arginine, EPA, GLA, dan
vitamin A, C, dan E berhubungan dengan waktu
penyembuhan luka pasien pasca laparatomi yang
lebih cepat dibanding kontrol51. Hal ini mungkin
dapat menerangkan terjadinya resolusi pada pasien
yang mendapat EPA-GLA pada penelitian ini.
C-reactive protein (CRP) merupakan petanda
inflamasi sistemik dan prediktor kuat suatu tingkat
keparahan penyakit, terutama yang terkait inflamasi.
Efek EPA dan GLA dalam mempercepat resolusi
penyakit yang ditandai oleh penurunan CRP juga
dilaporkan pada penyakit kardiovaskular, artritis
reumatoid dan osteoarthritis dimana pada hari ke-7,
nutrisi ini secara signifikan mampu menurunkan
CRP (19%) dibandingkan placebo dan penurunan
ditemukan sangat bermakna pada hari ke 30 (reduksi
30%)52.
KESIMPULAN
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa
nutrisi enteral yang mengandung EPA-GLA efektif
dalam mempertahankan status hemodinamik
dalam batas normal, mampu meningkatkan indeks
oksigenasi serta mempercepat resolusi pasien
SIRS. Nutrisi enteral yang mengandung EPA-GLA
juga efektif dalam menekan produksi sitokin proinflamasi TNF-α serta menurunkan rasio TNF-α/
IL-10. Nutrisi enteral yang mengandung EPA-GLA
memiliki efek anti-inflamasi yang terlihat dengan
penurunan CRP secara bermakna dibandingkan
dengan nutisi standar. Dengan demikian pemberian
nutrisi enteral mengandung EPA-GLA mungkin
dapat dipertimbangkan sebagai penatalaksanaan
standar untuk pasien yang mengalami SIRS untuk
mencegah terjadinya kegagalan organ ganda.
DAFTAR PUSTAKA
1. Gullo A, Iscra F, Rubulotta F. Sepsis And
Volume 2 Nomor 2 April 2012
organ(S) dysfunction – Key Points, Reflections,
And Perspectives. In: A AG, Lumb P, editors.
Intensive and critical care medicine reflections,
recommendations and perspectives. Italia: C
Springer-Verlag; 2005. p. 71-90.
2. Moor M. Sepsis, severe sepsis, and septic shock.
In: Hall J, Schmidt G, Hogarth D, editors. Critical care medicine - just the facts. New York:
McGraw-Hill; 2007. p. 117-22.
3. Craf T, J JN, Parr M. Sirs : Sepsis and multiple
organ failure. In: Craf T, J JN, Parr M, editors.
Key topics in critical care. London: BIOS Scientific; 1199. p. 228-30.
4. Silverman M, Ostro M. Bacterial endotoxin
in human disease. DPC Industry Workshop
AACC2000.
5. Mitaka C. Markers for differentiation of SIRS
and sepsis. SciTopics - a free expert-generated
knowledge-sharing service2008.
6. Pontes-Arruda A, Michele SD. Enterai nutrition
with anti-inflammatory lipids in ALI/ARDS. In:
Vincent J, editor. Yearbook of Intensive Care and
emergency medicine. Berlin: Springer Berlin
Heidelberg; 2009. p. 695-701.
7. Jonkers C, Prins F, Kempen AV, Tepaske R. Towards implementation of optimum nutrition and
better clinical nutrition support. Clin Nutr. 2001;
20: 361-6.
8. Fan Y, Chapkin R. Importance of dietary gamma-linolenic acid in human health and nutrition.
J Nutr. 1998;128:1411-4.
9. Kompan L KB, Gadzjev, Prosek M. . Effects of
early nutrition on intestinal permeability and the
development of multiple organ failure after multiple injury. Intensive Care Med. 1999; 25: 15761.
10. Moher D, Howard M. Health effect of omega 3
Fatty acid in the disease, evidence base practice.
AHRQ. 2004; 91: 21-5.
11. Martin G, Mannino D, Eaton S, Moss M. The
epidemilogy of sepsis in the United States from
1979. N Engl J Med. 2003; 348: 1546-54.
12. Rivers ENB, Havstad S, Ressier J, Muzzin A,
Knoblich B, Peterson E, et al. Early goal-directed therapy in the treatment of severe sepsis and
septic shock. N Engl J Med 2001;345:1368-77.
13. Davies M, Hagen P. Systemic inflammatory responsse syndrome. Br J Surg. 1997;84:920-35.
14. Hotchkiss R, Karl I. The Pathophysiology and
treatment of sepsis. N Engl J Med 2003;2:348.
15. Bateman R, Walley K. Microvascular resuscitation as a therapeutic goal in severe sepsis. Critical Care. 2005:S27-S32.
69
Pengaruh Pemberian Nutrisi EPA dan GLA terhadap Proses Inflamasi, Oksigenasi dan Hemodinamik pada Pasien SIRS
16. Chow CW, Downey GP. Basic biology and critical care medicine : inflammation. In: Albert RK,
editor. Clinical Critical Care Medicine. Philadelphia: Mosby; 2006.
17. Gabay C, Kushner I. Acute-phase proteins and
other systemic responsses to inflammation. N
Engl J Med. 1999;340:1376.
18. Heyland D, Lukan J, McClave S. The role of
nutritional support in sepsis. In: JL JV, Carlet J,
Opal S, editors. The sepsis text. USA: Kluwer
Academic Publishers; 2002. p. 479-87.
19. Bistrian B. Dietary treatment in secondary wasting and cachexia. J Nutr. 1999; 129: 290S-4S.
20. Li S-l, Xu Y-h, Wang X, Liu X-f, Zhao L. Effects
of enteral immunonutrition on immune function
in patients with multiple organ trauma. World J
Emerg Med. 2011; 2(3): 206-9.
21. Obata T, Nagakura T, Masaki T, Maekawa K,
Yamashita K. Eicosapentaenoic acid inhibits
prostaglandin D2 generation by inhibiting cyclooxygenase-2 in cultured human mast cells. Exp
Allergy Clin. 1999; 29(8).
22. Schmitz P, Zhang K, Dalal R. Eicosapentaenoic
Acid Suppresses Pdgf-Induced DNA synthesis in
rat mesangial cells: involvement of thromboxane
A2. Kidney International. 2000;57(3): 761-845.
23. Terano T, Hira A, T TH. Effect of oral administration of highly purified eicosapentaenoic acid on
platelet function, blood viscosity and red blood
cell deformality in healthy human subjects. Atheroscle. 1983;46: 321-31.
24. Yamada M, Omata K, Abe F, Ito S, Abe K.
Changes in prostacyclin, thromboxane A2 and
F2-isoprostanes, and influence of eicosapentaenoic acid and antiplatelet agents in patients
with hypertension and hyperlipidemia. Science.
1999;44: 193-8.
25. Ince C. The microcirculation is the motor of sepsis. Crit Care Med. 2005;4:S13–S9.
26. 26.Hurtado F, Buroni M, Tenzi J. Sepsis: Clinical approach, evidence-based at the bedside. In:
Gullo A, editor. Intensive and critical care medicine. Italia: Springer-Verlag; 2009. p. 299-311.
27. Piantadosi C, Schwartz D, Piantadosi C. The
acute respiratory distress syndrome. Ann Intern
Med. 2004; 141(460): 470.
28. Gorczynski R, Bioscience JSUL. Soluble mediators of immunity iII: cytokines. In: Gorczynski
R, Stanley J, editors. Clinical immunology. USA:
Landes Bioscience; 1999. p. 110-28.
29. Docke W, Randow F, Syrbe U. Monocyte deactivation in septic patients: restoration by IFN-gamma treatment Nature Med 1997;3(6):678-81.
70
30. Mira J, Cariou A, Grall F. Association of TNF2, a
TNF-alpha promoter polymorphism, with septic
shock susceptibility and mortality: a multicenter
study. JAMA 1999;282(6):561-8.
31. Holmes C, Russell J, Walley K. Genetic polymorphisms in sepsis and septic shock: role
in prognosis and potential for therapy. Chest
2003;124(1103-1115).
32. Van Amersfoort E, Van Berkel T, Kuiper J. Receptors, mediators, and mechanisms involved in
bacterial sepsis and septic shock. Clin Micro Rev
2003;16(3):379-414.
33. Pacht ER, DeMichele SJ, Nelson JL, Hart J,
Wennberg AK, Gadek JE. Enteral nutrition with
eicosapentaenoic acid, g-linoleic acid, and antioxidants reduces alveolar inflammatory mediators and protein influx in patients with acute
respiratory distress syndromes. Crit Care Med
2003;31(2):491-500.
34. Weitkamp J. 2005;82.
35. Handojo I. 2004(82).
36. Elamin EM, Camporesi E. Evidence-based nutritional support in the intensive care unit. International Anesthesiology Clinics 2009;47(1):
121-38.
37. Pontes-Arruda A, Martins LF, Lima SMd, Isola
AM, Toledo D, Rezende E, et al. Enteral nutrition with eicosapentaenoic acid, g-linolenic acid
and antioxidants in the early treatment of sepsis:
results from a multicenter, prospective, randomized, double-blinded, controlled study: the INTERSEPT Study. Critical Care 2011;15:1-15.
38. Gadek J, Michele SD, Karlstad M. Effect of enteral feeding with eicosapentaenoic acid, gammalinolenic acid, and antioxidants in ARDS Study
group. Critical Care Med. 1999;27:1409-20.
39. Elamin EM. Chest 2005.
40. Singer P, Theilla M, Fisher H, Gibstein L, Grozovski E, Cohen J. Benefit of an enteral diet enriched with eicosapentaenoic acid and γ-linolenic
acid in ventilated patients with acute lung injury.
Crit Care Med. 2006;34:1033-8.
41. Mayes T. An evaluation of the safety and efficacy of an antiinflmmatory, pulmonary enteral
formula in treatment of pediatric burn patients
with respiratory failure. Nutr Clin Pract 2005;
20: 130-1.
42. Lee T. N Engl J Med 1985.
43. Wanten G, PC PC. Immune modulation by parenteral lipid emulsions. Am J Clin Nutr. 2007;
85:1171-84.
44. Deckelbaum R, TS TW, Seo T. n-3 fatty acids
and gene expression. Am J Clin Nutr. 2006; 83(6
Majalah Kedokteran Terapi Intensif
Syafri Kamsul Arif, A. Husni Tanra, Nurpudji Astuti, Ilham Jaya Patellongi
Suppl):1520S-5S.
45. Singer P, Shapiro H, Theilla M, Anbar R, Singer
J, Cohen J. Antiinflammatory properties of Ω-3
fatty acids and critical illness: novel mechanisms
and an integrative perspective. Intensive Care
Med. 2008;34: 1580-92.
46. Palombo J, DeMichele S, Boyce P, Noursalehi
M, Forse R, Bistrian B. Metabolism of dietary
α-linolenic acid vs eicosapentaenoic acid in rat
immune cell phospholipids during endotoxemia.
Lipids. 1998; 33: 1099-105.
47. Karlstad M, DeMichele S, Leathem W, Peterson M. Effect of intravenous lipid emulsions
enriched with γ-linolenic acid on plasma n-6
fatty acids and prostaglandin biosynthesis after
burn and endotoxin injury in rats. Crit Care Med.
1993;21:1740-9.
48. Conference MotACoCPSoCCMC. Definitions
for sepsis and organ failure and guidelines for
Volume 2 Nomor 2 April 2012
the use of innovative therapies in sepsis. Crit
Care Med. 1992; 20: 864-74.
49. Povoa P. C-reactive protein: a valuable marker of
sepsis. Intensive Care Med 2002;28:235-43.
50. Yentis S, Soni N, Sheldon J. C-reactive protein
as an indicator of resolution of sepsis in the intensive care unit. Intensive Care Med. 1995; 21:
602–5.
51. Galeotalanza M, Spiezia S, Santangelo2 M. Effects of nutritional supplements in healing of
laparotomic dehiscences in obese patients with
metabolic syndrome: a randomized prospective
controlled study. BMC Geriatrics. 2010;11:A19.
52. Kidd PM. Omega-3 DHA and EPA for Cognition, Behavior, and Mood: Clinical Findings and
Structural-Functional Synergies with Cell Membrane Phospholipids. Alternative Medicine Review. 2007;12(3): 207-27.
71
Download