BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Dalam sebuah penelitian, pemilihan judul yang merupakan sebagai penunjuk kemana arah sebuah penelitian tersebut dan yang akan memberikan informasi mengenai apa yang ditulis secara garis besar. Dalam hal ini pemilihan judul tentu saja diiringi dengan pertimbangan yang logis dan matang. Penulisan skripsi ini dengan judul: “Kondisi Sosial Ekonomi Keluarga Muda ( Studi Mengenai Dampak Pernikahan Dini Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Keluarga di Desa Terong, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul )”. Penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini disertai beberapa alasan tentunya. Mulanya mengenai aktualitas pernikahan dini yang dari masa ke masa yang terus terjadi, dilihat dari berbagai sudut pandang dan alasan. Pernikahan dini juga bukan merupakan hal yang baru dalam masyarakat. Pernikahan dini, pernikahan pada usia yang dikategorikan belum dewasa, akhir – akhir ini cukup mendapat perhatian, dengan upaya penekanan pernikahan di usia dini juga merupakan salah satu upaya penekanan angka kelahiran bayi di Indonesia. Pernikahan dini sendiri juga dianggap sebagai bentuk keadaan dari sebuah bentuk keluarga yang belum dirasakan pantas dan siap. Selain faktor usia yang masih dianggap belum mumpuni, banyak modal dalam membangun rumah tangga yang masih belum siap. Pernikahan dini menciptakan keluarga muda, disebut dengan keluarga muda dikarenakan pemeran dalam keluarga tersebut atau pasangan suami istri pada keluarga tersebut baru saja menikah pada usia yang masih tergolong muda atau bisa dikatakan masih belum cukup pantas untuk membina sebuah rumah tangga. Usia pernikahan pada keluarga ini juga masih dalam usia 5 tahun terakhir. Dalam hal ini, penelitian yang akan di lakukan di Desa Terong Kecamatan Dlingo. Pada beberapa tahun yang lalu, Kecamatan Dlingo sendiri merupakan daerah yang “terpinggirkan” di Kabupaten Bantul. Akses yang cukup sulit untuk menuju ke daerah tersebut serta letak geografis yang kurang strategis menyebabkan daerah tersebut dikatakan secara kasar “terisolir”. Wajar apabila kasus pernikahan dini yang telah ada sejak bertahun – tahun lalu dikarenakan oleh keterbatasan masyarakat akan pengetahuan dan aksesbilitas untuk belajar keluar daerah. Namun seiring pembangunan daerah yang merata justru sekarang Kecamatan Dlingo tidak kalah bersanding dengan kecamatan kecamatan lain di Kabupaten Bantul. Akan tetapi, kemajuan pembangunan yang juga diikuti dengan kemajuan teknologi, justru sekarang ini, angka pernikahan pada usia muda di Desa Terong, Kecamatan Dlingo ini masih banyak terjadi. B. Relevansi dengan Studi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Studi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan adalah ilmu yang mempelajari mengenai hal – hal yang berkaitan dengan masyarakat, mengenai berbagai fenomena sosial yang ada dalam masyarakat, mengenai upaya – upaya dalam pengembangan masyarakat ( community development ). Studi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan di Universitas Gadjah Mada, telah dibagi spesifikasinya dalam tiga konsentrasi, yaitu mengenai Corpoorate Social Responsibility ( CSR ), Pemberdayaan Masyarakat dan Kebijakan. Studi Pembangunan Sosial juga memperlajari mengenai hubungan antar manusia dalam kehidupan kemasyarakatan dalam masyarakatnya. Dalam upaya pencapaian kesejahteraan secara menyeluruh dengan salah satunya yaitu pencapaian kesejahteraan dari setiap individunya terlebih dahulu. Untuk mewujudkan kesejahteraan dari setiap individunya diperlukan kesiapan dan modal dari masing – masing individu tersebut, apalagi dalam kehidupan berumah tangga, dimana mereka ( orang tua ) akan bertanggun jawab atas kehidupan keluarganya. Bertanggung jawab atas kebutuhan – kebutuhan seperti sadang, pangan, papan, dan pendidikan. Pernikahan dini diartikan sebuah pernikahan pada usia yang masih belum sesuai untuk membina rumah tangga. Kesiapan usia yang masih muda dalam menghadapi permasalahan – pemasalahan rumah tangga, masih belum matang, karena emosi pada usia sebelum dewasa dan lingkungan sekitar masih belum stabil. Selain itu, dampak lain yang akan terjadi dalam pernikahan dini yaitu terjadinya ledakan penduduk karena jarak kelahiran yang terlalu dekat. Sehingga topik mengenai pernikahan dini korelasinya dengan termasuk dalam permasalahan yang ada dalam masyarakat sekarang ini dan berkaitan dengan berbagai permasalahan, seperti halnya dalam pekerjaan atau mata pencaharian, mengenai bagaimana kehidupan setelah berumah tangga, terlebih yang berkaitan dengan perempuan ( gender ), untuk pencapaian kesejahteraan. Oleh karena itu penelitian dengan kajian ilmu studi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan relevan. C. Orisinilitas Mengenai sebuah keorisinilitasan sebuah penelitian yaitu, apabila sebelumnya penelitian tersebut belum pernah dilakukan oleh peneliti terdahulu, namun apabila sudah pernah dilakukan maka harus mampu menunjukkan perbedaan antara penelitian tersebut dengan penelitian terdahulu. Seperti halnya dalam penelitian yang mengangkat tema pernikahan dini, sebelumnya telah dilakukan oleh Fitra Puspitasari tentang Perkawinan Usia Muda: Faktor – faktor Pendorong dan Dampaknya Terhadap Pola Asuh Keluarga ( Studi Kasus di Desa Mandalagiri, Kecamatan Leuwisari, Kabupaten Tasikmalaya ). Pada penelitian tersebut, Fitra berfokus pada faktor pendorong perkawinan muda, dampak perkawinan muda, dan pola asuh keluarga dari pasangan muda. Responden dari penelitian ini yaitu, pasangan suami istri usia muda. Kemudian dalam penelitian tersebut yang diperoleh sperti faktor – faktor pendorong pernikahan usia muda antara lain seperti masalah perekonomian, yang menganggap bahwa menikahkan anak perempuannya bisa meringankan beban orang tuanya karena, anakanya telah ada yang bertanggung jawab, yaitu suami sang anak tersebut. Kemudian yang kedua, atas dasar kemauan sang anak sendiri, yang merasa mereka memang sudah ingin menikah muda. Lalu yang ketiga dengan rendahnya tingkat pedidikan,baik anak ataupun orang tua, putus sekolah dan tidak bekerja. Faktor yang keempat yaitu faktor dari orang tua, yang memang merasa lebih tenang anaknya apabila sudah menikah, yang bisa diartikan wes payu. Penelitian selanjutnya oleh Rusmayanti, mengenai Pengalaman Pernikahan Dini pada Anak Perempuan di Desa Karangtengah, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Fokus dari penelitian Rusmiyanti ini jua mengenai pernikahan dini, akan tetapi lebih dikerucutkan pada anak perempuan, sehingga dalam hal ini lebih tertuju pada gender. Rusmiyanti sendiri juga lebih mengutamakan informasi kecenderungan pernikahan dini yang dilakukan oleh perempuan daripada laki – laki, serta pengalaman pernikahan dini yang telah dilakukan oleh anak perempuan. Penelitian Rusmiyanti, memilih informan yaitu anak perempuan yang menikah muda dan orang tua sebagai informan primer. Dalam hal ini perempuan lebih dilihat mengenai pengambilan keputusan memiih menikah muda, kemudian juga mengenai perihal yang akan diemban perempuan setelah menikah. Karena pada kodratnya terutama apabila kita menengok budaya yang ada di daerah tersebut, budaya Jawa yang masih menjunjung tinggi bahwa perempuan yang sudah menikah sejatinya memang harus mengabdi kepada suami dan keluarganya. Tentu saja mereka tidak akan seleluasa dahulu ketika sebelum menikah. Kemudian penelitian yang serupa juga dilakukan oleh Utari Mansyur pada penelitiannya yang berjudul Perkawinan di Bawah Umur ( Studi Kasus di Desa Trantang Sakti, Kecamatan Martapura, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Barat ). Fokus penelitian yang dilakukan oleh Utari yaitu pendorong dan perkawinan di bawah umur, dengan penjelasan teori Behavioral Sociology yang memusatkan perhatian pada hubungan antara sebab-akibat dari tingkah laku yang terjadi di lingkungan sekitar. Melihat dari penelitian – penelitian yang sudah dilakuan sebelumnya, maka penelitian yang dilakukan oleh peneliti ini berbeda. Meski dengan tema yang sama, yaitu mengenai pernikahan dini, peneliti mencoba mengulas secara deskriptif, melihat dampak dari keberadaan keluarga atau pasangan yang telah melakukan praktik pernikahan dini terutama pada kehidupan ekonomi sosial mereka. D. Aktualitas Membicarakan mengenai pernikahan dini yang semakin marak di lingkungan, terutama kalangan usia remaja atau masih dalam usia sekolah. Pada hakikatnya memang tidak ada salah dalam hal pernikahan pada usia dini, akan tetapi semakin majunya waktu berjalan, paradigma mengenai pernikahan dini ini tidak sedikit menuai tanggapan negatif untuk sebagian masyarakatnya. Terlebih lagi apabila menikah pada masa usia sekolah. Tentu saja dalam pernikahan dini, banyak terjadi pro dan kontra dalam hal ini. Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa lebih baik menikah daripada berbuat zina. Akan tetapi menikah bukanlah hal yang mudah, bukan sekedar mengenai tinggal bersama antara laki – laki dan perempuan yang telah menjadi muhrim. Akan tetapi banyak hal yang harus dipertimbangkan, dipikirkan. Di Indonesia sendiri, pemerintah sedang mengusahakan agar tidak terjadi ledakan penduduk dengan salah satu upayanya adalah meminimalisir pernikahan dibawah umur terutama usia sekolah. Pemerintah sendiri juga lebih mengupayakan untuk anak yang masih dibawah umur lebih diutamakan untuk lebih memaksimalkan dalam hal pendidikan. Seperti yang disampaikan oleh, Dr. Agus Hadna pada tahun 2013 selaku kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, beliau menyampaikan pada tahun 2013 sesuai dengan Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI ), tingkat kelahiran nasional meningkat dari 2,41 menjadi 2,6 sedangkan di Yogyakarta sendiri meningkat dari angka 1,93 menjadi 2,1. Peningkatan angka kelahiran tersebut, salah satu penyebabnya adalah pernikahan usia dini, terutama pernikahan usia dini yang disebabkan oleh kehamilan yang tidak diinginkan. Dengan demikian, pernikahan dini layak untuk dibahas dewasa ini, karena pernikahan dini juga mulai menjadi sebuah permasalahan dalam masyarakat yang berpengaruh dengan pencapaian tingkat kesejahteraan nasional serta berkaitan dengan perkembangan anak usia dini yang seharusnya memaksimalkan pendidikan guna menaikkan kualitas sumber daya manusia. Sehingga perhatian mengenai pernikahan dini selain dari pemerintah juga seharusnya menjadi wacana umum agar dapat diminimalisir. E. Latar Belakang Pada dasarnya kata pernikahan bukanlah hal yang tabu dalam kehidupan bermasyarakat, pernikahan merupakan sebuah ikatan antara dua orang, antara laki – laki dan perempuan yang telah merasa cukup umur dan mampu baik secara jasmani, rohani, dan finansial. Secara agama islam, pernikahan juga merupakan ikatan yang menghalalkan hubungan antara laki – laki dan perempuan, ikatan yang disahkan baik secara agama, karena dilakukan dengan dasar “akad” yaitu perjanjian antara wali dan pihak laki – laki dalam hal penyerahan tanggung jawab untuk perempuan yang dinikahi. Serta pernikahan tersebut juga telah tercatat secara sah dalam hukum melalui Kantor Urusan Agama. Dalam hal ini, pernikahan diwajibkan adanya wali dan saksi. Proses pernikahan lainnya sesuai dengan hukum yang berlaku dan sesuai kepercayaan agama dan adat yang berlaku di lingkungan masing – masing. Permasalahan pernikahan dini pada anak tentunya tidak hanya terjadi di Indonesia, di berbagai belahan dunia juga pasti mengalami hal tersebut, hanya saja pasti berbeda setiap pokok permasalahan dan cara penyikapan. Menurut sumber dari BKKBN pada tahun 2012 dalam kajian mengenai pernikahan dini di Indonesia, diperoleh informasi mengenai usia perempuan di dunia, pada usia 20-24 tahun yang sebelumnya menikah pada usia kurang dari atau sama dengan 18 tahun, sedangkan usia yang diizinkan untuk menikah yaitu pada usia 18 tahun keatas. Indonesia termasuk negara dengan presentase usia pernikahan muda yang tinggi. Indonesia menduduki peringkat 37 dari negara di seluruh dunia dan menduduki peringkat kedua setelah Negara Kamboja di Asia Tenggara. Batas minimal usia pernikahan yang ditentukan di 158 negara adalah 18 tahun dan di Indonesia masih banyak yang menikah di bawah usia tersebut dengan berbagai alasan dan sebab. Sebagiajn besar negara yang memiliki angka pernikahan dini yang menikah dibawah usia 18 tahun merupakan negara berkembang. Kemudian untuk mengenai kesejahteraan masyarakatnya sebagian besar masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara berkembang lainnya. Kemudian untuk diagram di bawah ini juga menunjukkan angka pernikahan yang terjadi di Indonesia pada kurun waktu 2005 – 2010 Diagram 1 Sumber BKKBN 2012 Memang, dalam kisaran angka pernikahan di Indonesia lebih didominasi oleh pihak perempuan, dari jumlah keseluruhan wanita di Indonesia pada usia 15 – 19 tahun presentase perempuan yang menikah yaitu 11,7% sedangkan laki – laki yang sudah menikah pada rentang waktu usia tersebut yaitu berkisar 1, 6% dari keseluruhannya. ( BKKBN 2012). Kemudian di Indonesia sendiri angka pernikahan dini tertinggi pada usia 15 – 19 tahun yaitu di Provinsi Kalimantan Tengah sebanyak 52,1%, kemudian Provinsi Jawa Barat sebanyak 50,2% serta diikuti dengan Kalimantan Selatan sebanyak 48,8%. ( BKKBN: 2012 ) Di Yogyakarta sendiri angka pernikahan dini memang tidak sebanyak ketiga provinsi diatas, akan tetapi yang disayangkan adalah kenaikan angkanya setiap tahunnya. Seperti yang telah dituliskan pada harian Kedaulatan Rakyat, pada hari Senin 7 Maret 2016 mengenai kenaikan angka pernikahan usia dini. Meningkatnya angka pernikahan di usia dini dapat mengakibatkan angka pertumbuhan penduduk yang terlalu dekat dan memicu terjadinya ledakan penduduk. Terlebih lagi, di Yogyakarta sudah tergolong dengan daerah padat penduduk di Indonesia. Sehingga apabila kenaikan angka pernikahan dini yang terus terjadi di Yogyakarta dapat dikhawatirkan akan mempengaruhi tingkat pencapaian kesejahteraan di Yogyakarta. Untuk usia pernikahan dini di Desa Terong, Kecamatan Dlingo untuk data disayangkan tidak dalam bentuk file word akan tetapi masih dalam bentuk “manual” yakni dalam catatan buku. Namun telah dituturkan oleh beberapa pamong atau perangkat desa seperti halnya oleh kepala dukuh, kepala sosial, dan kepala desa memang membenarkan adanya praktik pernikahan usia dini di Desa Terong yang tergolong cukup tinggi. Dari penuturan perangkat desa dan data yang tertulis di buku “ Nikah – Rujuk” dan “ NTCR (Nikah, Talak, Cerai, Rujuk) untuk data dari tahun 2012 hingga tahun 2015, praktik pernikahan usia dini setiap tahunnya pasti terjadi.” Sebuah pernikahan juga melekat khas dengan suatu keadaan kebahagiaan, tidak sedikit dalam masyarakt yang mengadakan pesta atau perayaan untuk sebuah pernikahan. Bahkan tidak sedikit juga yang rela menghabiskan puluhan juta untuk mengadakan pesta perayaan tersebut. Hal demikian sudah melekat dengan budaya yang ada di Indonesia. Pernikahan sendiri, telah diatur dalam undang – undang, yaitu Undang – Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974. Salah satu yang menjelaskan mengenai perkawinan yaitu Pasal 1 UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 yang bunyinya yaitu “ Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan, mengenai syarat – syarat hingga kewajiban dan hak yang dimiliki oleh pasangan suami istri. Pada UU No.1 tahun 1974 Pasal 6 ( ayat 2 ) mengenai syarat usia perkawinan yaitu untuk pihak laki – laki dalam usia minimal 19 tahun dan untuk perempuan minimal 16 tahun. Akan tetapi di masa sekarang ini, pada usia tersebut masih dikatakan usia remaja dan belum dewasa untuk ukuran laki – laki dan perempuan. Usia tersebut masih tergolong remaja, dimana remaja merupakan masa transisi dari masa anak – anak menuju dewasa, pada usia tersebut mereka masih mencari jati diri, terutama laki – laki, proses pendewasaan mereka jauh lebih lambat daripada perempuan. Selain itu, pada usia tersebut, dikatakan usia sekolah, usia yang sedang menggebu – gebunya menuntut ilmu. Terlepas dari wajib belajar 12 tahun, banyak pula yang menjadikan minimal pendidikan adalah S1, sehingga usia tersebut masih termasuk usia sekolah. Jadi, apabila dibandingkan dengan masa sekarang ini, menikah pada usia 16 hingga 19 tahun dikatakan tabu. Semakin majunya jaman, semakin tingginya tuntutan hidup, untuk paradigma masyarakat pada umumnya memantaskan seseorang menikah apabila sudah menyelesaikan studi terlebih sudah memiliki pekerjaan terutama untuk laki – laki. Tujuan dari sebuah pernikahan sesungguhnya merupakan pilihan dan penilaian dari masing – masing setiap individu tentnunya berlainan. Seperti halnya memperoleh kebahagiaan baik lahir dan bathin. Akan tetapi satu hal yang mutlak terjadi dengan adanya pernikahan yaitu pembentukan sebuah institusi terkecil dalam masyarakat, yaitu keluarga. Keluarga sendiri memiliki tujuan bersama dari setiap anggotanya dn mengarahkan pada tujuan yang seirama dari setiap anggotanya. Dalam hal pengambilan keputusan antara dua orang untuk menikah disebabkan oleh banyak faktor. Dalam keadaan normal atau sewajarnya terjadinya pernikahan adalah keinginan antara dua orang yaitu laki – laki dan perempuan yang sudah merasa siap untuk hidup bersama dan slaing menghidupi dengan usia yang juga memang sudah sesuai untuk terikat dalam pernikahan. Contoh kasus yang dikatakan normal dalam kehidupan sehari - hari, apabila antara laki – laki dan perempuan yang sudah merasa dewasa baik secara umur dan perilaku, kemudian keduanya, terutama untuk laki – laki sudah mampu menafkahi lahir dan bathin, lalu meminta izin dan restu kepada kedua orang tua untuk menikah. Secara garis besar yang terjadi umumnya adalah demikian. Akan tetapi semakin berkembangnya jaman, semakin kuatnya setiap individu yang menurut pada sebuah keyakinan, faktor dari sebuah pengambilan keputusan seseorang untuk menikah semakin banyak. Selain dirasa sudah cukup dewasa dan mampu keduanya, sudah menyelesaiakan tanggung jawab pendidikan, sebuah pernikahan juga didasari akan kemampuan finansial, terutama dari laki – laki. Lain hal dengan beberapa puluh tahun yang lalu, ketika masih banyak orang mempercayai hal yang cukup kolot seperti, seorang anak perempuan yang hanya diizinkan untuk di rumah dan harus terampil dalam urusan pekerjaan rumah kemudian ketika sudah mulai remaja mereka dipaksa menikah dengan orang pilihan dari orang tua, dengan tujuan menyelamatkan perekonomian keluarga dan mengangkat martabat orang tua. Akan tetapi itu merupakan secuil dari cerita berpuluh tahun yang lalu, dimasa yang sekarang yang semestinya lebih realistis, masyarakat Desa Terong meskipun masih disebut dengan masyarakat desa, tetapi sudah banyak fasilitas penunjang pendidikan, angka pernikahan yang disebabkan karena hal tidak lazim masih banyak terjadi. Mirisnya lagi pernikahan tersebut terjadi pada masa usia sekolah. Dikatakan tidak lazim karena, pernikahan tersebut dilakukan secara terpaksa dan harus, seperti disebabkan oleh kehamilan terlebih dahulu, kemudian alasan karena tidak dapat melanjutkan pendidikan dan memilih untuk membangun rumah tangga. Mau tidak mau pernikahan tersebut harus dilakukan, untuk bertanggung jawab atas anak yang ada dalam kandungan tersebut serta apa yang telah diperbuat. Pengaruh negatif tersebut juga tidak terlepas dari pengaruh pergaulan lingkungan di sekitar dan lingkungan di sekolah. Menurut Erikson ( Teori Sosial: hal 204 ) mengenai masa bayi hingga masa dewasa hingga masa tua, setiap manusia mengalami tahapan psikososial. Hubungan sosial dalam keluarga dekat adalah landasan sosialisasi dalam tahapan awal, kemudia menurut Erikson bahwasanya kelompok sebaya dan partisipasi dalam subkebudayaan pemuda sebagai pemberi pengaruh yang sangat penting terhadap identitas remaja. Keinginan akan memiliki pasangan atau pacar dari usia muda pada anak zaman sekarang memang cukup tinggi, hal ini tidak luput pula dari pengaruh media elektronik dan informasi. Seperti contohnya pada tayangan televisi di Indonesia, dimulai dari tayangan sinetron zaman sekarang yang memberi contoh kepada anak usia sekolah sudah memiliki pacar, cara berpakaian seragam anak sekolah yang tidak sewajarnya, cara berdandan anak yang tidak sesuai dengan usianya. Demikian pula dalam hal gaya pergaulan dan gaya hidup, yang lebih sering mempertontonkan kemewahan, tindak kriminal, dan juga mengenai seks diluar nikah. Tidak semua masyarakat bisa merespon secara diolah terlebih dahulu mengenai baik buruknya, mana yang pantas untuk dicontoh dan mana yang sebaiknya dihindari. Kemudian untuk tahapan dewasa muda ditandai dengan pencarian persahabatan yang erat yaitu pembentukan keintiman, kehidupan berpasangan yang stabil, dan keluarga. Usia dewasa pertengahan adalah tahapan pemeliharaan anak dan pengembangan karier. Korelasi pernyatan dari Erikson dengan konteks masalah pernikahan usia dini ini, ketika anak masih dalam tahap usia remaja yang sedang masanya bermai dengan teman sebaya, sudah harus dipaksa untuk menjadi dewasa dengan tanggung jawab akan keluarga. Seharusnya bekal ilmu pengetahuan, norma, dan kepatuhannya akan agama pada anak dapat meminimalisir terjadinya sebuah pernikahan dini. Pernikahan pada usia dini disebut bisa mempengaruhi perkembangan seorang anak. Seorang anak berhak tumbuh sebagaimana mestinya, secara hakikatnya mengikuti perkembangan seusianya, menikmati masa mudanya, dan memperoleh haknya memperoleh pendidikan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Menurut Dlori ( 2005 ) bahwa pernikahan dini yaitu pernikahan dibawah umur yang target persiapannya belum dikatakan maksimal – persiapan fisik, mental, material. Batasan usia pertama pernikahan tertera juga dalam UU No. 23 Tahun 2002, dalam hal perlindungan anak. Selama anak masih dalam kandungan hingga belum mencapai usia 18 tahun, anak masih menjadi tanggung jawab orang tua. Sehingga orang tua mempuunyai kewajiban memberikan perlindungan terhadap anak, salah satunya upaya pencegahan terjadinya pernikahan dini pada usia dibawah 18 tahun. Disebutkan juga bahwasanya usia minimal laki – laki untuk menikah yaitu 19 tahun dan usia minimal perempuan 16 tahun. Sehingga dalam hal ini, pernikahan dini dianggap tidak layak karena dapat menghambat kreativitas dan menjebak anak dalam tanggung jawab rumah tangga dengan dunia anak – anak yang seharusnya masih dinikmatinya. Anak akan merasa terhambat untuk mencapai cita – citanya. Merasa memiliki beban yang belum seharusnya, sehingga psikis anak dalam hal ini juga tidak akan berkembang sebagaimana mestinya. Pada usia tersebut hendaklah anak menikmati masa mudanya dengan berkarya sebanyak mungkin dan nencapai prestasi setinggi mungkin. Agar kelak bisa menjadikan cerita dan contoh untuk keturunannya dimasa mendatang. Telah kita ketahui bahwa berbagai penyebab pernikahan dini di Indonesia yang paling disayangkan yakni pernikahan dini yang disebabkan oleh kehamilan diluar nikah. Bahkan kasus tersebut tidak sedikit terjadi di Indonesia, tercatat pada tahun 2013 sebanyak 20,9% remaja di Indonesia hamil diluar nikah ( BKKBN; 2013) hal ini merupakan angka yang tinggi. Kehamilan diluar nikah yang terjadi pada usia dini, berdampak pada rentang angka kelahiran yang semakin dekat. Permasalahan penduduk juga bukan merupakan masalah baru di Indonesia, berbagai upaya pemerintah telah dilaksanakan seperti penekanan angka kelahiran dengan cara program keluarga berencana yang menganjurkan setiap keluarga maksimal memiliki dua orang anak. Akan tetapi, permasalahan kelahiran yang terjadi oleh orang tua yang masih berusia dini tentunya akan mempengaruhi pada piramida usia di Indonesia, yang berujung dengan pengaruh tingginya angka masyarakat usia kerja, komposisi penduduk usia muda akan lebih bayak dan berkembang. Apabila beban ketergantungan kerja semakin tinggi, ini akan berarti pencapaian tingkat kesejahteraan masyarakat semakin rendah. Persaingan hidup dalam memperoleh pekerjaan sekarang ini sangatlah tinggi, apabila tidak dimodali dengan skill dan pendidikan yang tinggi, nantinya akan sulit untuk memperoleh pekerjaan yang layak dan tepat untuk menghidupi keluarga. Pencapaian kesejahteraan sebuah kehidupan keluarga nantinya akan berpengaruh pada tingkat keharmonisan komunikasi sebuah keluarga. Tidak sedikit kita membaca atau melihat berita di media masa mengenai kasus kekerasan dalam rumah tangga. Tidak sedikit kekerasan dalam rumah tangga dialami oleh kaum perempuan, dengan alasan pihak laki – laki merasa stress ataupun kesal dengan hasil jerih payah mereka sehingga tidak mampu membuat keluarga sejahtera. Dengan demikian, pernikahan yang seharusnya memiliki tujuan membentuk keluarga agar tercapai keluarga yang bahagia dan sejahtera memiliki kemungkinan yang kecil untuk terwujud. Yogyakarta terkenal dengan biaya hidup yang lebih murah dibanding dengan kota – kota besar lainnya seperti Ibukota Jakarta dan Surabaya, bahkan sering disebut bahwa Yogyakarta adalah kota yang sederhana. Akan tetapi apabila keadaan penduduk yang semakin banyak dan persaingan hidup yang semakin ketat, dapat diperhitungkan untuk jarak beberapa tahun yang akan datang, angka kesejahteraan dapat menurun. Berbagai permasalahan yang dipicu dari keadaan ekonomi dan sosial pada masyarakat di Desa Terong yang menikah pada usia dini, kesiapan yang kurang matang berpengaruh pada kehidupan pernikahan. Dalam beberapa kasus di Desa Terong angka perceraian meningkat terlebih pada keluarga yang menikah dini, disebabkan oleh usia yang belum matang, kesiapan diri dan emosional yang belum cukup dewasa. Sehingga di Desa Terong, pada keluarga yang menikah di usia dini, memiliki probabilitas perceraian yang cukup tinggi. Pernikahan dini dengan latar belakang pendidikan masih cukup rendah, di Desa Terong sebagian besar penduduk yang menikah di usia dini rata – rata memiliki latar belakang pendidikan setingkat sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Sehingga sebagian besar dari mereka kesulitan untuk memperoleh pekerjaan yang diidamkan, padahal sebagai sebuah keluarga terutama untuk kepala keluarga mereka harus memiliki penghasilan untuk menghidupi keluarga. Selain dianggap menjadi sebuah perhatian permasalahan sosial oleh perangkat Desa Terong, bahkan kader kesehatan juga menjadikan pernikahan usia dini juga merupakan permasalahan dalam kesehatan, terutama untuk perempuan. Dikaitkan dengan kekhawatiran kehamilan yang terjadi pada usia yang masih muda, yang akan menimbulkan resiko tinggi pada kehamilan serta akan berpengaruh pada kesehatan baik dari ibu ataupun anak. Oleh karena itu pada kesempatan kali ini, peneliti akan meneliti mengenai kondisi sosial dan ekonomi pada keluarga yang menikah di usia dini. F. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti merumuskan permasalahan yang akan menjadi fokus perhatian penelitian ini. Permasalahan tersebut dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana kondisi sosial dan ekonomi pada keluarga yang menikah pada usia dini di Desa Terong ? G. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran dari: 1. Untuk mengetahui bagaimana kondisi sosial dan ekonomi keluarga yang menikah pada usia dini di Desa Terong 2. Untuk mengetahui tingkat kesejahteraan keluarga yang menikah pada usia dini H. Kegunaan Penelitian 1. Sebagai salah satu bahan referensi dan juga input bagi civitas akademika dan peneliti lain yang juga memiliki ketertarikan dengan tema pernikahan dini, serta memberikan kontribusi akademik untuk pengembangan Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. 2. Menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan, sehingga pemerintah mampu membuat suatu kebijakan yang lebih baik, efektif dan efisien untuk mengantisipasi melonjaknya angka pernikahan dini serta untuk memberikan evaluasi terhadap kondisi ekonomi dan sosial dari setiap masyarakat / keluarga yang menikah pada usia muda. I. Tinjauan Pustaka Sebuah Negara pasti memiliki tujuan untuk mencapai kesejahteraan yang adil dan merata untuk masyarakatnya. Untuk tahapan pencapaian tersebut diperlukan banyak aspek yang menjadi acuan atau tolok ukur. Ukuran dan pencapaian kesejahteraan dari setiap Negara memiliki indikasi yang berbeda – beda. Bahkan dalam satu Negara, antara daerah satu dengan daerah lainnya memiliki ukuran kesejahteraan yang berbeda – beda. Kesejahteraan dalam suatu masyarakat ditentukan pula dari kesejahteraan setiap individunya. Manusia dalam masyarakat adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain baik mereka dalam keadaan suka ataupun tidak. Sehingga dalam pencapaian sebuah keadaan yang sejahtera, diperlukan juga peran dari individu lainnya. Sehingga dalam studi kasus mengenai. Menurut Midgley (2000:xi) dalam Ratna Handayani, mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai “a condition or state of human well being…”, mengacu pada kesejahteraan sosial, sebagai perwujudan keadaan terpenuhinya kebutuhan, baik secara material dan non material. Secara garis besar di Indonesia pada umumnya, sebuah kesejahteraan dapat tercapai apabila kebutuhan gizi, kesehatan, sandang, papan, pendidikan dan pendapatan dapat terpenuhi. Kesejahteraan sosial menurut Segal dan Bruzzy (Suud, 2006) yaitu “kesejahteraan sosial adalah kondisi sejahtera dari suatu masyarakat. Kesejahteraan sosial meliputi kesehatan, keadaan ekonomi, kebahagiaan, dan kualitas hidup rakyat”. Menurut Suparlan ( Suud, 2006 ) kesejahteraan sosial menandakan keadaan sejahtera pada umumnya, yang meliputi keadaan jasmaniah, rohaniah dan sosial, dan bukan hanya keadaan pemberantasan keburukan sosial tertentu saja; sehingga merupak sebuah keadaan dan kegiatan. Dalam sebuah masyarakat, tentu saja terdiri dari berbagai macam jenis masyarakat, terutama dari tingkatan ekonomi setiap individu atau keluarga dalam masyarakat. Mulai dari masayarakat lapisan ekonomi bawah, menengah, dan atas. Dalam kehidupan bermasyarakat tingkatan lapisan ekonomi setiap individu atau keluarga memiliki kepuasan akan pemenuhan kebutuhan berdasarkan tingkat kebutuhan mereka sendiri. Kondisi ekonomi sosial dalam sebuah keluarga dengan keluarga lainnya memiliki tingkat yang berbeda – beda sesuai dengan kebutuhan masing – masing. Sehingga, hasrat dalam pemenuhan kebutuhan tidak bisa disamakan. Begitu pula dalam konteks kehidupan sosial ekonomi pada keluarga yang menikah di usia dini, pencapaian akan kesejahteraan hidup sudah terpenuhi atau belum, tergantung dengan persepsi mereka mengenai hasil dari pencapaian pemenuhan kebutuhan mereka. Well-being secara psikologis menurut Ryff ( Nainggolan, 2012) mengarah pada konsep tersebut yaitu pencapaian sebuah keadaan yang tercukupi, makmur, aman, selamat sentausa atau dalam keadaan sejahtera pada suatu keadaan individu. Kesejahteraan erat kaitannya dengan keadaan yang menyenangkan dan kebahagiaan. Keluarga memiliki fungsi dan peran bagi setiap anggotanya. Tujuan dari sebuah keluarga juga untuk mengupayakan kesejahteraan bagi seluruh anggotanya. Terbentuknya sebuah keluarga selayaknya dibentuk melalui sebuah ikatan pernikahan. Pernikahan dapat membentuk keluarga yang baru. Pemenuhan kebutuhan keluarga, anatara keluarga muda yang baru saja membina rumah tangga dengan keluarga yang sudah lama dalam berumah tangga tentu saja berbeda. Apabila di telaah dalam pemenuhan kebutuhan pokok pada keluarga muda masih cenderung lebih rendah dibandingkan dengan keluarga yang sudah lama dalam berumah tangga. Seperti pemenuhan kebutuhan terutama untuk anak, untuk biaya pendidikan, biaya untuk kebutuhan sehari – hari dengan jumlah anggota yang lebih banyak. Terutama untuk biaya anak, keluarga muda masih cenderung lebih sedikit, dengan analogi bahwa keluarga muda adalah keluarga yang menikah pada usia dini dan dengan usia pernikahan masih kurang dari 5 tahun, oleh karena itu usia anak yang masih dalam usia balita. 1. Pernikahan Pernikahan adalah ikatan lahir dan bathin antara dua orang lawan jenis, yang telah disahkan melalui hukum dan agama. Pernikahan disebabkan oleh berbagai macam sebab dan alasan. Untuk sebab dan alasan pada umumnya yaitu dikarenakan laki – laki dan perempuan yang saling mencintai dan berkinginan untuk hidup bersama dan membangun rumah tangga untuk mewujudkan sebuah keluarga. Pernikahan merupakan suatu keputusan yang berbeda - beda pada setiap orang dalam prespektif pelaksanaannya. Ada yang menimang hingga memantapkan perekonomian terutama untuk laki – laki, dikarenakan mereka nantinya akan menanggung beban istri mereka, tapi bukan berarti perempuan tidak berkeinginan untuk bekerja atau berkarir. Ada pula yang benar – benar ingin menunggu usia yang tepat yang dianggap sudah dewasa. Serta tidak sedikit pula yang menginginkan menikah di usia muda. Proses dari sebuah pernikahan sendiri dapat kita pahami melalui berbagai aspek, salah satu dalam hal budaya, baik dalam proses berlangsungnya sebuah pernikahan atau dalam rangka melestarikan keturunan. Menurut Taylor (1989), budaya adalah suatu keyakinan dan perilaku yang diajarkan manusia ke generasi berikutnya. Sedangkan menurut E.B Taylor (1871) dalam buku Primitive Culture, budaya adalah sesuatu yang kompleks, yang mengandung pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kesanggupan - kesanggupan lain yang diperoleh seseorang sebagai anggota masyarakat. Pernikahan pada umumnya digambarkan sebagai persatuan dua individu, tetapi pada hakikat yang sesungguhnya adalah persatuan dua sistem keluarga secara keseluruhan dan pembangunan sebuah sistem ketiga yang baru. Pernikahan dalam masyarakat merupakan sebuah warisan budaya, dipandang melalui nilai dan norma di masyarakat, dengan adanya pernikahan telah menyatukan dua keluarga, menghindari dari perbuatan zina yang akan mengakibatkan gunjingan dari masyarakat. Tujuan dari sebuah pernikahan sendiri dikaitkan dengan pelestarian keturunan manusia. Proses dalam pernikahan atau upacara pernikahan juga merupakan warisan budaya yang merupakan adat – istiadat bahkan termasuk dalam bentuk kesenian. 1.1. Landasan Pernikahan Bentuk dari sebuah pernikahan telah diatur pada UU No. 1 Tahun 1974 pasal 1 : “ Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu sebuah pernikahan dianggap sah juga dicantumkan pada UU No. 1 Tahun 1974 pasal 2 , perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing – masing agama dan kepercayaan para pihak. Setelah perkawinan dilakukan, perkawinan tersebut pun harus dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan catatn sipil. Berikut yang merupakan syarat – syarat untuk pernikahan juga telah diatur pada UU No. 1 Tahun 1974 pasal 6, yakni: a. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai; b. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua. c. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud (ayat 2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. d. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendakya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya. e. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang – orang yang disebut dalam (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang – orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini. Bahkan di beberapa daerah di Indonesia yang masih menjunjung tinggi budaya adat daerah masing – masing, sebuah pernikahan juga harus sesuai dengan adat yang berlaku di daerah tersebut. Sesuai dengan peraturan yang berlaku di setiap daerah, contoh perbandingan adat sebuah pernikahan di Yogyakarta tentunya berbeda dengan adat pernikahan di Bali ataupun dengan di Palembang. Baik dilihat dari segi busana hingga prosesi atau tata acara. Sehingga sebuah prosesi dari pernikahan tidak terlepas dari kebudayaan. 1.2.Jenis – Jenis Pernikahan Bentuk dari sebuah pernikahan terdapat beberapa jenis secara umum dari berbagai belahan dunia antara lain: a. Pernikahan Monogami yaitu merupakan pernikahan yang terdiri dari satu orang laki – laki dan satu orang perempuan. b. Pernikahan Eugenis yaitu pernikahan yang bertujuan untuk memperbaiki atau memuliakan ras atau agar ras tersebut tetap kuat. c. Pernikahan Poligami yaitu pernikahan dimana seorang suami memiliki lebih dari satu istri ataupun poliandri, dimana seorang istri berhak memiliki lebih dari satu orang suami ataupun lebih. Banyak hal yang mendasari bentuk poligami, seperti halnya status sosial, ekonomi, ataupun anak. d. Pernikahan Periodik atau biasa lebih sering disebut dengan kawin kontrak bertahap, yaitu sebuah pernikahan yang terjadi dalam sebuah kontrak bertahap, misalkan untuk tahun pertama selama 3 – 5 tahun, ditahap kedua ditempuh selama 10 tahun dan pada tahap ketiga berhak untuk memiliki secara utuh dan permanen. e. Pernikahan Percobaan atau trial marriage, dalam hal ini pernikahan percobaan hampir sama konsepnya dengan pernikahan periodik, akan tetpai dalam pernikahan percobaan tidak memerlukan batas waktu tahapan, dan hanya ada satu tahapan, apabila dalam jangka waktu tertentu keduanya sudah saling merasa cocok baru dilakukan ikattan pernikahan permanen. 2. Pernikahan Usia Dini Pernikahan di usia dini bukanlah wacana baru di Indonesia, bisa kita tengok sejarah terlebih dahulu, kita sekarang melihat jarak usia kakek dan nenek kita tidak terpaut jauh dengan jarak orang tua. Atau bahkan melalui cerita yang telah dituturkan oleh orang tua, bahwasanya pada zaman dahulu dengan berbagai alasan, baik karena alasan ekonomi ataupun alasan pendidikan pada akhirnya mereka memutuskan untuk menikah saja. Terlebih lagi dengan kebiasaan orang zaman dahulu, apabila memiliki anak perempuan yang sudah dianggap remaja, mereka pasti buru – buru untuk segera mengentaskan putri mereka dengan cara menikahkan dengan laki – laki yang dianggap sudah berpenghasilan baik. Hal ini merupakan salah satu alasan ekonomi dari sebuah keluarga. Selain untuk menyelamatkan perekobnomian keluarga, dianggap tidak baik apabila memiliki anak gadis dan tidak segera dinikahkan karena bisa dianggap “ora payu”. Namun seiring dengan berjalannya waktu, dengan perkembangan zaman, alasan dari pernikahan dini pada zaman dahulu sudah mulai berkurang, tetapi bukan berarti tidak ada sama sekali. Praktik pernikahan dini hingga sekarang masih banyak dengan berbagai macam sebab dan alasan. Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional pada tahun 2008, dari 2 juta pasangan yang menikah, 35% dari pasangan tersebut adalah anak yang masih berusia dibawah 16 tahun. Berikut faktor pendorong dari pernikahan dini yang sering terjadi di Indonesia yaitu: a. Ekonomi Pernikahan di usia dini yang terjadi karena keadaan keluarga yang hidup dalam kemiskinan, untuk menyelamatkan perekonomian maka apabila memiliki anak perempuan yang sudah cukup umur segera dinikahkan dengan orang yang dianggap lebih berkecukupan, agar membantu pereknomian keluarga. Bahwa dengan adanya pernikahan anak – anak tersebut, maka dalam keluarga gadis akan berkurang satu anggota keluarganya yang menjadi tanggung jawab (makanan, pakaian, pendidikan dan lainnya) (Soekanto, 1992:65) b. Pendidikan Rendahnya tingkat pendidikan dalam suatu masyarakat, baik pada orang tua, lingkungan atau bahkan pada anak tersebut, akan cenderung lebih mendorong anak menikah pada usia dini tanpa memikirkan panjang akibat yang akan terjadi kedepannya. Terlebih pada lingkungan yang tidak mendorong untuk mereka berpendidikan tinggi, maka pernikahan merupakan salah satu cara pelarian terutama untuk anak perempuan daripada terlihat menganggur di rumah. c. Keluarga/ Orang Tua Kekhawatiran orang tua ataupun keluarga kepada anak yang telah lama berpacaran dan sering pergi berdua, seperti pada masyarakat desa yang tidak ingin menimbulkan fitnah kepada anak – anaknya, dan menghindarkan dari hal yang tidak diinginkan maka langkah paling baik untuk menghindari fitnah ataupun gunjingan tersebut dengan cara menikahkan anak mereka meskipun masih berusia muda. d. Adat/ Lingkungan Seperti yang telah disebutkan diatas, terutama untuk keluarga yang memiliki anak perempuan, ditakutkan nantinya anak perempuan mereka menjadi perawan tua ataupun biasa disebut ora payu. Untuk menghindarkan dari ketakutan tersebut, seorang anak perempuan pada usia tertentu sudah diharuskan untuk menikah. Sehingga hal tersebut berpengaruh dalam suatu lingkungan masyarakat yang mengharuskan untuk menikah pada usia dini. e. Media massa dan pengaruh dunia luar Di era sekarang ini, dimana teknologi sudah menjamah hampir sebagaian besar masyarakat Indonesia, terlebih internet yang seakan menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat, akan tetapi segala bentuk informasi masuk tanpa disaring dan dipilah. Pengaruh seks bebas yang sangat mudhah diperoleh dari internet, tontonan ataupun bacaan yang memberi contoh kurang baik. Menyebabkan tingginya dorongan pernikahan dini, terlebih diakibatkan pada kehamilan di luar nikah. Pada dasarnya pernikahan dini hingga saat ini masih menimbulkan pro dan kontra, dilihat dari sebab dan akibatnya. Tidak sedikit yang menganggap bahwa pernikahan dini adalah hal buruk. Akan tetapi apabila menengok dari berbagai sisi, dari berbagai sebab dan latar belakangnya, tentu saja akan ada dampak baik positif ataupun negatif. Berikut beberapa dampak positif dan negaif dari pernikahan dini dari beberapa aspek: a. Dampak Positif Tidak semua orang menyetujui adanya dampak positif dari sebuah pernikahan dini, akan tetapi beberapa masyarakat menganggap hal tersebut sebagai hal yang baik. Pada agama islam, menikah di usia muda untuk menghindari hal zina dianggap menjadi suatu perihal yang baik. Pada masyarakat jawa, menikah pada usia muda dapat melatih kemandirian, karena perempuan akan berlatih untuk lebih mandiri dalam mengurus seagal kebutuhan rumah tangga dan laki – laki akan semakin giat untuk bekerja menafkahi keluarga. Terlebih apabila keuangan belum stabil, rasa kerjasama untuk menghidupi keluarga akan lebih besar. b. Dampak Negatif Pernikahan dini yang disebabkan oleh kehamilan diluar nikah yang tidak diinginkan tentu saja akan menjadi gunjingan pada masyarakat, namun juga tidak semua masyarakat menganggap hal tersebut buruk. Pada bebrapa contoh masyarakat, seperti penduduk Bali, menganggap bahwa kehamilan seorang anak diluar nikah bukanlah sebuah aib, justru hal tersebut dianggap sebagai keberuntungan serta bukti bahwa mereka mampu memberikan keturunan. Berbeda dengan di Yogyakarta, yang menganggap hal tersebut adalah aib. Pernikahan dini adalah pernikahan yang terjadi pada usia yang masih muda atau belum dewasa, dilihat dari aspek psikologi seseorang, bahwasanya pernikahan tidak hanya mengenai sebuah kebahagiaan pada fase hidup setelah menikah, akan tetapi dalam pernikahan pastilah akan timbul berbagai masalah. Pasangan suami istri pada umumnya yang menikah dengan modal kedewasaan dan usia yang sudah cukup, dapat meminimalisir konflik permasalahan, akan tetapi apabila usia masih belum cukup dan kedewasaan masih belum matang, pasangan tersebut akan cenderung lebih mudah stress dikarenakan tekanan masalah dan tidak sedikit yang berujung pada sebuah perceraian karena emosi dan ego masing – masing yang masih tinggi. Kesiapan dalam mengurus anak apabila ego masih tinggi, dikhawatirkan anak akan menjadi korban kekerasan dan penelantaran dari orang tua. Dilihat dari segi kesehatan, untuk reproduksi terutama untuk perempuan pada pasangan yang masih dibawah umur dikhawatirkan lebih rentan dan mudah terkena penyakit daripada dengan perempuan yang sudah lebih dewasa. Pernikahan dini juga sering dianggap menghambat pendidikan, karena sudah terlanjur mengurus keluarga kebanyakan untuk melanjutkan pendidikan akan terhambat. Sehingga hal tersebut akan mempengaruhi kualitas pendidikan dari seseorang. 3. Kehidupan Sosial dan Ekonomi Ekonomi dan sosial merupakan dua hal yang berjalan beriringan yang saling berpengaruh anatara satu dengan yang lainnya, akan tetapi kedua hal tersebut memiliki konsep yang berbeda. Dalam kaitannya dengan pernikahan usia dini, untuk melihat bagaiamana kehidupan sosial dan ekonomi dari keluarga yang menikah pada usia dini, maka kedua hal tersebut akan saling berkaitan. Menurut Melly G.Tan, kedudukan sosial ekonomi seseorang dapat dilihat dari pekerjaan, penghasilan, pendidikan. Berdasarkan ketiga hal tersebut, masyarakat dapat digolongkan dalam kedudukan sosial ekonomi tinggi, sedang, dan rendah (Koentjaraningrat, 1981:35). Ekonomi adalah ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari tingkah laku manusia dalam kehidupan bermasyarakat khususnya dengan usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam upaya pencapaian kesejahteraan. Sebuah pernikahan adalah langkah untuk perwujudan menjadi keluarga. Keluarga merupakan institusi sosial paling utama dari seseorang oleh karena aitu adapun fungsi sebuah keluarga yaitu sebagai berikut: a. Fungsi pendidikan, dikatakan fungsi pendidikan dikarenakan keluarga adalah tempat pembelajaran paling awal terutama bagi anak. Anak akan tumbuh dan belajar hal – hal mendasar dari keluarga, barulah pada tahap selanjutnya dia berhak untuk belajar di bangku sekolah. b. Fungsi sosialisasi anak, dalam hal ini keluarga merupakan proses awal bagi seorang anak untuk berinteraksi dengan orang lain, maka dari itu anak dipersiapkan agar mampu menyesuaikan diri dengan masyarakat sekitar. c. Fungsi perlindungan, keluarga adalah sebuah perlindungan bagi anak, agar mereka bisa merasa terjaga dan aman dari bahaya sekitar. Selain untuk anak, juga untuk seluruh anggota keluarga, sehingga sebuah keluarga harus mampu menciptakan rasa aman dan nyaman bagi setiap anggota keluarganya. d. Fungsi religius, yaitu memperkenalkan dan menanamkan kepada anak dan keluarga untuk memeluk dan meyakini sebuah agamma atau kepercayaan, dan mengakui kepercayaan atau agama lainnya. e. Fungsi ekonomis, sebuah keluarga terutama untuk kepala keluarga bertugas untuk menafkahi dan memenuhi fungsi – fungsi keluarga yang lain, untuk memenuhi segala kebutuhan keluarga. Dalam hal ini, fungsi ekonomis dapat berpengaruh pada fungsi yang lainnya. f. Fungsi rekreatif, yaitu fungsi keluarga sebagai tempat untuk berbagi keceriaan berbagi kebhagiaan, dalam hal inirekreasi bukan harus pergi keluar ke tempat wisata, akan tetapi bisa dilakukan dengan cara tersendiri misal dengan berkebun bersama, dengan menonton televisi untuk dapat melepaskan penat bersama dari segala aktivitas. Oleh karena itu, sebuah keluarga harus mampu menciptakan suasana yang menyenangkan. g. Fungsi biologis, dalam hal ini keluarga sebagai penerus dan pelestari keturunan. Fungsi ini dianggap paling penting dalam sebuah keluarga, apabila pada sebuah keluarga tidak mampu memberikan keturunan biologis, dikhawatirkan mampu mempengaruhi keharmonisan sebuah keluarga. Bertambahnya jumlah anggota keluarga dan membuat setiap anggotanya memiliki keterikatan keluarga untuk saling memiliki. Dari berbagai macam fungsi keluarga diatas, disebutkan juga fungsi ekonomis dan fungsi sosial, dalam masyarakat status sosial ekonomi akan berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat, pekerjaan, ataupun pendidikan. Kedudukan seseorang dalam masyarakat sosial menurut Polak, terdiri oleh aspek struktural dan aspek fungsionali (peranan sosial). Aspek struktural bersifat hirearkis yang artinya membandingkan tinggi rendahnya dengan status yang lainnya. Sedangkan aspek fungsional atau peranan sosial yang berkaitan dengan status yang dimiliki seseorang. Status sosial ekonomi merupakan posisi yang ditempati individu atau keluarga yang berkenaan dengan ukuran rata – rata yang berlaku tentang kepemilikan, kultural, pendapatan, pemilikan barang dan partisipasi dalam aktivfitas kelompok dan komunitasnya. Dengan demikian, sebuah status sosial ekonomi sebuah keluarga dalam masyarakat cenderung ditentukan oleh jumlah kepemilikan materi dan pendapatan dari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan. Dalam masayarakat tentu saja ada pembedaan antar individu, menurut Soerjono Soekanto, selama masyarakat masih mengahargai sesuatu maka hal ini menjadi bibit bertumbuhnya lapisan – lapisan sosial dalam masyarakat (Abdulsyani, 2007:83). Menurut Talcon Parsons (Taufik Rahman: 2008), ada beberapa halyang mempengaruhi dalam penilaian seseorang atau keluarga mengenai kedudukan dalam lapisan sosial di masyarakat, antara lain: a. Bentuk ukuran rumah, perawatan, tata kebun dan lainnya b. Wilayah tempat tinggal, apakah berada di lingkungan elite lingkungan yang kumuh dan kotor, atau berada pada c. Pekerjaan aatu profesi yang dipilih seseorang d. Sumber pendapatan Selain itu menurut Coleman dan Cressey juga mengklasifikasikan status sosial ekonomi (Sumardi, 2004), antara lain: a. Status sosial ekonomi atas, yaitu keadaan dalam individu atau keluarga dalam masyarakat yang berada dalam tingkatan paling atas. Apabila dikaitkan dengan faktor – faktor yang telah disebutkan sebelumnya, bahwasanya pemilil status sosial ekonomi paling atas ini, adalah orang kaya atau konglomerat yang memilik kepemilikan materi diatas rata – rata cukup, dan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dengan sangat cukup bahkan lebih. Menurut Havinghurst (Wijaksana, 1992), masyarakat dengan status sosial atas yaitu sekelompok keluarga dalam masyarakat yang jumlahnya relative sedikit dan tinggal di wilayah elite perkotaan. b. Status sosial ekonomi bawah, yaitu keadaan individu atau keluarga dalam masyarakat yang berada dalam tingtkatan bawah. Digolongkan dalam masyarakat tidak mampu karena, kemmapuan dalam pemenuhan kebutuhan sehari – hari dikatakan kurang apabila dibandingkan dari masyarakat lain pada umumnya, dan kepemilikan materi tergolong sedikit atau bahkan kurang. Tidak dipungkiri bahwa keharmonisan suatu keluarga juga dipengaruhi oleh berfungsinya sebuah keluarga seperti yang telah dipaparkan diatas serta pencapaian atau kemampuan sebuah keluarga dalam memenuhi kebutuhan sosial ekonomi.