1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jenis ikan yang hidup di daerah terumbu karang dan dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia digolongkan menjadi dua, yaitu ikan hias (ornamental fish) dan ikan konsumsi (food fish). Sebagai ikan konsumsi, ikan karang mempunyai nilai ekonomis penting. Peluang pengembangan ikan karang ini cukup menjanjikan. Hal ini dapat dilihat dari permintaan pasar, bukan saja untuk memenuhi kebutuhan lokal, tetapi juga untuk ekspor. Volume ekspor ikan kerapu tahun 2006 mencapai 4800 ton atau US$ 24 juta dari total produksi perikanan sebesar 12000 ton (DKP 2006). Penangkapan ikan karang di Indonesia selama ini dilakukan dengan menggunakan berbagai alat dan metode. Alat penangkap ikan karang yang umumnya digunakan adalah perangkap (trap), jaring insang (gillnet), pancing ulur (handline), tombak (hand spear), muro ami, racun, dan bom ikan. Dari sekian banyak alat tangkap tersebut di atas, pemilihan bubu sebagai alat penangkap ikan karang dipertimbangkan tepat, jika dilihat dari segi mutu ikan hasil tangkapan (Djamal 1995). Penggunaan bubu dalam penangkapan ikan karang dibandingkan dengan penggunaan alat tangkap lainnya dapat dikatakan lebih ramah lingkungan karena cara pengoperasiannya yang menunggu ikan masuk kurungan sehingga tidak merusak habitat ikan. Peranan ilmu fisiologi dan tingkah laku ikan sangat signifikan dalam menunjang perkembangan ilmu dan teknologi penangkapan ikan. Pada proses penangkapan ikan, prinsip tingkah laku ikan yang menjadi sasaran tangkapan harus didukung oleh pemahaman terhadap indera utama dari ikan (sense organ) khususnya indera penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba, linea lateralis, dan sebagainya (Gunarso 1985). Indera-indera tersebut merupakan indera penting pada ikan yang berhubungan dengan tingkah laku alami (natural behaviour). Berdasarkan periode aktif mencari makan, ikan dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu ikan nocturnal yang aktif ketika malam hari, ikan diurnal aktif ketika siang 2 hari, dan ikan crepuscular, yaitu ikan yang aktif pada waktu di antara siang dan malam hari (Indonesian Coral Reef Foundation 2004). Khusus untuk ikan karang yang hidup di zona euphotik, penggunaan indera penglihatan dan penciuman lebih dominan untuk mencari makan dan beradaptasi dengan lingkungan sekelilingnya. Penelitian tentang organ penglihatan dan organ penciuman merupakan fenomena yang menarik untuk dikaji. Telah cukup banyak penelitian pada kedua organ tersebut, namun penelitian-penelitian tersebut umumnya terfokus pada kajian parsial dari fisiologi penglihatan atau penciuman. Beberapa penelitian tersebut diantaranya adalah perkembangan ketajaman penglihatan red sea bream (Pagrus major) (Shiobara et al. 1998), karakteristik histologi dan perkembangan retina pada Japanese sardine (Sardinops melanostictus) (Matsuoka 1999), dan fisiologi penglihatan Japanese whiting (Sillago japonica) (Purbayanto et al. 2001). Penelitian terkait dengan organ penciuman yang telah dilakukan di antaranya adalah guanylyl cyclase sebagai visualisasi penyelenggara transgenik (Kusakabe dan Suzuki 2000), studi perbandingan sistem penciuman antara Pagrus major dan Acanthropagrus schegeli yang berasal dari alam dan stok budidaya (Mana dan Kawamura 2002), neuronal oksida berisi nitrat sintase pada sistem penciuman ikan teleostei Oreochromis mossambicus dewasa (Singru et al. 2003), dan peranan organ penciuman dan mata dalam perilaku homing pada ikan Sebastes inermis (Mitamura et al. 2005). Menurut Subani dan Barus (1989), efektivitas bubu sebagai alat tangkap pasif akan lebih baik apabila dalam pengoperasiannya menggunakan umpan. Sejauh ini belum diketahui efektivitas stimulasi organ penglihatan dan penciuman ikan terhadap umpan pada pengoperasian bubu. Organ penglihatan dan penciuman pada ikan yang hidup di zona fotik masih dapat berfungsi sampai batas ambang tertentu terhadap umpan. Akan tetapi, jika sudah di luar ambang batas toleransi penglihatan, maka organ penciuman yang lebih berperan. Untuk ikan yang hidup di zona afotik, organ penciumanlah yang sangat berperan karena organ penglihatan sudah tidak berfungsi lagi. Penelitian tingkah laku ikan karang konsumsi, khususnya ikan kerapu (Serranidae) di perairan tropis, terkait dengan sistem penglihatan dan penciuman, belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, penelitian mengenai sistem penglihatan dan penciuman pada ikan kerapu terkait 3 dengan efektivitas alat tangkap bubu dapat memberikan informasi penting dalam pengembangan teknologi penangkapan ikan. 1.2 Perumusan Masalah Ikan karang merupakan salah satu komoditas perikanan yang mempunyai prospek cerah di Indonesia dalam upaya peningkatan ekspor non-migas. Namun, penangkapan ikan di daerah karang sering kali dilakukan tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan. Metode penangkapan yang digunakan antara lain bahan peledak, bahan kimia beracun (potassium cyanide), atau dengan cara merusak terumbu karang sebagai bahan penutup bubu yang berfungsi untuk penyamaran (kamuflase) saat dioperasikan. Selain itu, selama ini hasil tangkapan bubu tidak hanya merupakan spesies ikan target saja, tetapi juga spesies ikan non target tangkapan. Hal tersebut disebabkan oleh sifat bubu yang pasif serta fungsi lain dari bubu sebagai tempat berlindung atau bersembunyi (shelter) bagi organisme yang sifatnya selalu bersembunyi. Penggunaan atraktor umpan dalam pengoperasian bubu sudah dikenal luas oleh nelayan. Berdasarkan kondisinya, umpan dapat dibedakan ke dalam umpan hidup (live bait) dan umpan mati (dead bait), sedangkan menurut asalnya umpan dapat dibedakan ke dalam umpan alami (natural bait) dan umpan buatan (artificial bait) (Leksono 1983). Meskipun pemasangan umpan sebagai atraktor dalam penangkapan telah banyak digunakan, spesies ikan yang terperangkap dalam bubu masih bervariasi (kurang selektif). Di sisi lain, lama waktu pemasangan bubu dengan menggunakan umpan berpengaruh pada hasil tangkapan karena kesegaran umpan yang semakin menurun sehingga kurang merangsang ikan masuk ke dalam bubu (Dulgofar 2000). Ikan kerapu juga dikenal sebagai ikan pemangsa (predator) yang memangsa berbagai jenis ikan kecil, plankton hewani, udang-udangan, cumi-cumi, dan hewan-hewan kecil lainnya (Ghufran dan Kordi 2005). Jenis-jenis makanan tersebut merupakan makanan utama bagi ikan kerapu. Informasi makanan utama tersebut dapat digunakan sebagai referensi mengenai umpan yang baik untuk menangkap ikan kerapu. Ketersediaan umpan alami di alam yang semakin 4 menurun dan bersifat musiman, mendorong perlu dikembangkannya penggunaan umpan buatan sebagai alternatif umpan yang dapat memberikan solusi terhadap ketersediaan umpan tersebut. Penggunaan umpan buatan (artificial bait) haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai atraktor yang tentunya selektif dan ramah lingkungan. Pendeteksian umpan oleh spesies ikan pada pengoperasian bubu dalam hubungannya dengan fungsi organ tubuh ikan masih belum banyak diketahui. Sejauh ini, belum diketahui efektivitas organ penglihatan dan penciuman ikan secara bersama-sama terhadap pendeteksian umpan pada pengoperasian bubu, meskipun hasil penelitian Purbayanto et al. (1998) menjelaskan bahwa indikator ikan bergerak masuk ke dalam alat tangkap karena didominasi oleh rangsangan bau yang ditimbulkan oleh umpan. Untuk mengoptimalkan ikan hasil tangkapan bubu sesuai dengan target tangkapan (selektif) maka perlu diketahui fisiologi penglihatan dan penciuman serta kandungan kimia umpan-umpan yang selama ini digunakan. Hal ini dapat dijadikan informasi dalam menentukan jenis umpan apa yang dapat menjadi atraktor efektif ikan untuk penangkapan ikan kerapu sehingga efektivitas dan efisiensi pengoperasian bubu dapat ditingkatkan berdasarkan konsep penangkapan ramah lingkungan. Berdasarkan aktivitas hidupnya ikan kerapu dikelompokkan menjadi ikan nocturnal (aktif di malam hari) dan memiliki puncak aktivitas pada senja dan subuh hari (Gunarso 1985). Menurut Indonesian Coral Reef Foundation (2004), kerapu termasuk jenis ikan yang aktif di antara siang dan malam hari (crepuscular). Aktivitas hidup yang utama adalah aktivitas untuk mencari makan. Aktivitas mencari makanan ini terkait erat dengan indera utama yang berperan penting pada natural behaviour dari masing-masing ikan. Sementara itu, aktivitas ikan kerapu, yang terkait dengan fungsi penglihatan dan penciuman belum banyak diteliti. Hal ini penting diteliti karena menjadi dasar dalam pengembangan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan. Penelitian tentang respons penglihatan dan penciuman ikan kerapu terhadap umpan belum banyak dilakukan sehingga diperlukan penelitian yang lebih detail untuk mengungkapkan respons makan ikan kerapu melalui fungsi organ penglihatan dan penciuman terhadap umpan dalam efektivitas penangkapan. 5 EKOSISTEM TERUMBU KARANG IKAN KERAPU FISIOLOGI IKAN KERAPU ORGAN PENCIUMAN (NOSTRIL) ORGAN PENGLIHATAN (EYES) UMPAN BAU UKURAN KANDUNGAN KIMIA - PROKSIMAT AS. AMINO ASAM LEMAK TINGKAH LAKU IKAN KERAPU FAKTOR EKSTERNAL Kecerahan perairan Arus Cahaya MENJAUHI MENDEKATI EFEKTIVITAS PENANGKAPAN PENINGKATAN EFEKTIVITAS DAN EFISIENSI PENANGKAPAN DENGAN UMPAN Keterangan: : input : output Gambar 1 Kerangka penelitian : proses 6 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji respons penglihatan dan penciuman ikan kerapu terhadap umpan sebagai atraktor dalam kaitannya dengan efektivitas penangkapan. 1.3.2 Tujuan khusus Tujuan penelitian secara khusus, adalah : (1) Mengkaji organ penglihatan dan organ penciuman ikan kerapu yang tercermin pada bagian otak. (2) Menentukan kandungan kimia umpan alami dan buatan serta pengaruhnya terhadap respons tingkah laku makan ikan kerapu. (3) Menghitung efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan menggunakan umpan pada alat tangkap bubu. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa informasi fisiologi sistem penglihatan dan penciuman ikan kerapu terkait dengan mekanisme respons terhadap umpan. Informasi ini selanjutnya dapat dijadikan bahan acuan dalam pengembangan teknologi penangkapan ikan kerapu yang efektif dan efisien. Di samping itu, aspek ilmiah penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi penelitian selanjutnya guna penyempurnaan formulasi umpan buatan. Dua aspek penelitian tersebut memberikan kontribusi kepada pemecahan masalah penangkapan ikan kerapu dengan bubu yang diberi umpan melalui pengembangan penangkapan ramah lingkungan. 1.5 Hipotesis (1) Organ penglihatan ikan kerapu lebih dominan digunakan dibandingkan organ penciuman dalam melakukan aktivitas mencari makan. (2) Respons ikan kerapu terhadap umpan buatan relatif sama dengan umpan alami. 7 (3) Nilai efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan menggunakan umpan buatan relatif sama dengan umpan alami. 1.6 Kerangka Penelitian Kerangka penelitian yang terdiri atas input, proses, dan output secara skematik dapat dilihat pada Gambar 1. Input merupakan proses di alam dimana terdapat suatu ekosistem terumbu karang. Pada ekosistem tersebut terdapat suatu habitat, salah satu penghuninya adalah ikan kerapu. Dalam melakukan aktivitas makan, ikan tersebut menggunakan organ-organ dalam tubuhnya, yaitu organ penglihatan untuk merespons bentuk dan ukuran umpan/makanan, serta organ penciuman untuk merespons bau dari umpan karena adanya kandungan bahan kimia. Bagian proses merupakan ruang lingkup penelitian yang mengungkapkan fisiologi ikan kerapu melalui analisis organ penglihatan dan organ penciuman. Organ penglihatan ikan kerapu yang dikaji adalah ketajaman penglihatan (visual acuity), sumbu penglihatan (visual axis), dan jarak pandang maksimum (maximum sighting distance) berdasarkan struktur ukuran umpan. Fungsi organ penciuman ikan kerapu diamati berdasarkan struktur otak, rasio berat otak, dan bagianbagiannya dalam dimensi berat. Informasi dari hasil penelitian struktur otak tersebut menjelaskan adaptasi dari organ-organ sensoris terutama untuk organ penglihatan dan penciuman yang berkembang pada ikan kerapu. Informasi mengenai organ penglihatan dan penciuman pada ikan kerapu berkaitan erat dengan faktor eksternal pada perairan yang menunjang proses tingkah laku ikan kerapu terhadap umpan. Pada bagian proses, dianalisis pula kandungan kimia umpan yang digunakan, meliputi analisis proksimat, asam amino, dan asam lemak. Selain itu, metode operasi penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap bubu dianalisis. Berdasarkan analisis organ penciuman, penglihatan, dan kandungan umpan serta metode operasi penangkapan bubu selanjutnya dianalisis tingkah laku ikan kerapu berdasarkan fungsi kedua organ tersebut dengan menggunakan umpan. 8 Output atau keluaran dari penelitian mengenai sistem penglihatan dan penciuman terhadap umpan adalah informasi mengenai kedua sistem fisiologi tersebut dalam merespons umpan yang selanjutnya bermanfaat bagi pengembangan teknologi penangkapan ikan kerapu yang efektif dan efisien sehingga ramah lingkungan. 1.7 Metodologi Umum 1.7.1 Waktu dan lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu : (1) Tahap pertama yaitu skala laboratorium (experimental laboratory), yang terdiri atas beberapa bagian: - Histologi dan analisis organ penglihatan ikan kerapu sunu (Plectropomus maculatus), kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), dan ikan kerapu karet (Epinephelus heniochus) dari bulan Juni hingga Agustus 2007 yang dilaksanakan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, FPIK-IPB. Ikan kerapu sunu dan kerapu karet didapatkan dari hasil tangkapan nelayan di perairan Teluk Awur Jepara, Jawa Tengah, sedangkan ikan kerapu macan didapatkan dari karamba jaring apung (KJA) program sea farming di Pulau Semak Daun, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. - Pembedahan dan pengukuran berat rasio area otak dari ketiga jenis kerapu pada bulan Juni-Juli 2007 dilaksanakan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perikanan, FPIK- IPB. - Pembuatan dan pengujian kimia serta ketahanan formulasi umpan buatan serta pengujian kimia dan ketahanan umpan alami dilaksanakan pada bulan Juni-Agustus 2007. Pembuatan umpan buatan dilakukan di Laboratorium Bio-Kimia, Departemen Teknologi Hasil Perairan, FPIK-IPB, analisis kandungan kimia umpan buatan dan alami dilakukan di Laboratorium Pascapanen, Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian, Bogor, serta analisis ketahanan umpan buatan dan alami selama perendaman dengan 9 menggunakan air laut dilakukan di Laboratorium Biologi dan Keanekaragaman Hayati Laut, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB. - Pengamatan dan analisis tingkah laku (respons) ikan terhadap umpan dilaksanakan dari bulan Juni 2007 hingga bulan Februari 2008 di Laboratorium Biologi dan Keanekaragaman Hayati Laut, Departemen Ilmu Kelautan, IPB dan Laboratorium Hatchery LPWP Jepara, FPIK-UNDIP. (2) Tahap kedua (experimental fishing) adalah uji coba penggunaan umpan dilaksanakan pada bulan Maret 2008 di perairan Kepulauan Seribu, provinsi DKI Jakarta. 1.7.2 Alat dan bahan penelitian Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian skala laboratorium, adalah peralatan dan bahan untuk melakukan analisis mikroteknik dan histoteknik mata ikan kerapu, peralatan untuk menimbang berat ikan kerapu dan menimbang berat otak ikan kerapu, peralatan dan bahan yang digunakan untuk membuat formulasi umpan buatan serta peralatan dan bahan untuk menguji kandungan kimia umpan alami dan buatan, serta peralatan untuk pengamatan dan analisis respons ikan kerapu terhadap umpan. Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian lapangan adalah alat tangkap bubu tambun, kamera digital dan data sheet serta umpan alami dan umpan buatan. 1.7.3 Metode penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan disertasi ini bersifat parsial. Keterkaitan bagian satu dengan bagian lainnya akan membentuk satu kesatuan disertasi. Metode penelitian yang digunakan secara umum dijelaskan sebagai berikut: 10 (1) Metode eksperimen di laboratorium (experimental laboratory) Metode ini bertujuan untuk melakukan eksperimen secara langsung di laboratorium untuk memperoleh data yang diperlukan dalam analisis respons tingkah laku ikan terhadap umpan. (2) Metode eksperimen penangkapan (experimental fishing) Metode ini bertujuan untuk melakukan eksperimen secara langsung di lapangan untuk memperoleh data yang diperlukan dalam analisis efektivitas penggunaan umpan pada bubu terhadap hasil tangkapan.