Respon Penglihatan Dan Penciuman Ikan Kerapu

advertisement
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Morfologi Retina Mata Ikan
Mata (penglihatan) pada ikan merupakan salah satu indera yang sangat
penting untuk mencari makan, menghindari predator atau pemangsa, atau keluar
dari kepungan suatu alat tangkap. Ketajaman pada mata ikan dapat dijadikan dasar
untuk mengetahui area kekuatan pandang untuk melihat suatu objek benda
melalui metode tingkah laku (Muntz 1974). Kualitas pandangan di bawah air
sangat minim sehingga sebagian besar ikan akan bergantung pada indera
penglihatannya untuk mendapatkan informasi di sekelilingnya (Pitcher 1993).
Retina merupakan salah satu dari bagian mata pada ikan yang berfungsi
sebagai reseptor penglihatan. Retina adalah proyeksi dari otak dan terdiri atas
berbagai tipe sel yang terdiri atas 8 lapisan dan 2 membran (Ali dan Anctil 1976).
Retina terdapat pada salah satu lapisan mata ikan dengan ketebalan berkisar 90–
500 m, sedangkan lapisan visual selnya mempunyai ketebalan 30–200 m (Nicol
1989).
Jenis teleostei memiliki jenis retina duplex, yaitu retina mereka mempunyai
dua jenis reseptor yang dinamakan sel rod dan sel kon (cone). Pada retina tersebut
umumnya distribusi kedua jenis reseptor tersebut berbeda untuk bagian yang
berlainan yang biasanya erat hubungannya dengan pemanfaatan indera
penglihatan dalam lingkungannya (Gunarso 1985). Matsuoka (1999) menjelaskan
bahwa retina ikan umumnya terdiri atas tiga tipe pada lapisan indera penglihat
(visual cell layer) , yaitu sel kon tunggal (single cone), sel kon ganda (twin cone),
dan sel rod. Sel kon merupakan reseptor penglihatan untuk color vision dan
ketajaman penglihatan (visual acuity).
12
Kapsul mata
Ligamen
Kornea
Retina
Lensa
Saraf
Otot
Iris
Gambar 2 Mata ikan dan bagiannya (Sumber: Fujaya 2002)
Tidak semua jenis ikan memiliki dua reseptor, seperti misalnya pada ikan
tuna, mackerel hanya memiliki reseptor kon saja, sedangkan jenis-jenis ikan dasar
atau jenis ikan yang hampir sepanjang hidupnya tinggal di daerah yang hampir
tidak dicapai lagi oleh cahaya matahari umumnya hanya memiliki rod saja
(Gunarso 1985). Dijelaskan pula bahwa jenis ikan demersal yang mencari makan
pada malam hari, seperti Solea sp dan Lysodes sp pada umumnya memiliki retina
tanpa pengkonsentrasian reseptor sehingga tidak tercipta bentuk mosaik dan kon
sangat minim jumlahnya.
2.2 Ketajaman Penglihatan (Visual Acuity)
Ketajaman penglihatan pada ikan adalah kemampuan untuk melihat dua titik
dari suatu objek pada satu garis digambarkan dalam hubungan timbal balik yang
diperlihatkan dalam istilah sudut pembeda terkecil/minimum separable angle
(MSA)(He 1989). Untuk membedakan dua sasaran penglihatan yang terdekat,
yang dapat diukur melalui pengujian histologi.
Ketajaman penglihatan pada ikan bergantung pada dua faktor, yaitu diameter
lensa dan kepadatan sel reseptor kon pada retina (Shiobara et al. 1998). Dijelaskan
13
pula bahwa semakin tajam penglihatan karena peningkatan kedudukan jarak fokus
lensa daripada kepadatan sel kon-nya.
Kepadatan sel kon akan tetap selama ikan hidup. Perubahan kekuatannya
mungkin akan meningkat sejalan dengan pertumbuhan lensanya (Tamura, 1957).
Shiobara et al. (1998) menyatakan bahwa semakin tajam daya penglihatan
mungkin diakibatkan oleh hubungan antara panjang fokus lensa yang lebih
meningkat daripada kepadatan kon-nya.
He (1989) menjelaskan bahwa sudut pembeda terkecil pada ikan
berhubungan erat dengan karakteristik pemantulan sinar ke lensa dan ketepatan
mengenai retina. Dengan makin bertambah panjang tubuh ikan, maka akan
semakin tinggi ketajaman penglihatannya dengan nilai sudut pembeda terkecil
yang semakin kecil. Diameter lensa ikan akan meningkat dengan bertambahnya
ukuran tubuh, sementara itu kepadatan sel kon cenderung menurun dengan
meningkatnya pertambahan panjang tubuh (Purbayanto 1999).
2.3 Sumbu Penglihatan (Visual Axis)
Sumbu penglihatan (visual axis) diidentifikasi untuk mengetahui kebiasaan
ikan dalam melihat makanan atau objek yang lain (Blaxter 1980). Sumbu
penglihatan diperoleh setelah nilai kepadatan sel kon tiap bagian dari retina mata
diketahui, dengan cara menarik garis lurus dari bagian retina yang memiliki nilai
kepadatan sel kon tertinggi menuju titik pusat lensa mata (Tamura 1957).
Menurut Tamura (1957), dalam menentukan sumbu penglihatan terlebih
dahulu mengetahui kepadatan sel kon yang biasanya terletak pada area dorsotemporal, temporal atau ventro-temporal di retina mata ikan. Apabila area
kepadatan sel kon terbanyak diketahui, dengan menarik garis lurus dari bagian
area retina dengan sel kon terbanyak menuju ke titik lensa mata, maka dapat
ditentukan sumbu penglihatannya. Biasanya sumbu penglihatan ikan menghadap
arah depan menurun (lower-fore), arah depan (fore), dan arah depan-naik (upperfore).
Kepadatan sel kon yang tinggi dimungkinkan untuk mengetahui ketajaman
penglihatan dan sumbu penglihatan (Blaxter 1980). Selanjutnya dijelaskan pula
14
bahwa pada daerah retina yang memiliki kepadatan sel kon tertinggi pada bagian
dorso-temporal dengan perubahan arah pada diopter ke arah depan menurun
(lower-fore) maka sumbu penglihatan juga akan ke arah depan menurun pada
sudut berkisar 20°. Kepadatan tertinggi sel kon di bagian temporal, maka ada dua
kemungkinan untuk perubahan arah pada diopter. Jika perubahan arah pada
diopter ke arah depan, maka sumbu penglihatan juga akan ke arah depan pada
sudut 0°. Perubahan arah pada diopter ke arah depan-naik (upper-fore) maka
sumbu penglihatan juga akan ke arah depan dan depan-naik (fore-upper-fore)
pada sudut 30°. Kepadatan tertinggi sel kon di bagian ventro-temporal, maka
perubahan arah pada diopter ke arah depan-naik (upper-fore) dan sumbu
penglihatan juga akan ke arah depan-naik (upper-fore) pada sudut 30°.
2.4 Organ Penciuman (Olfactory Organ)
”Hidung” pada ikan teleost merupakan sepasang cekungan penciuman
(olfactory) yang biasanya terletak di sisi dorsal bagian kepala dan sedikit agak
jauh dari posisi mulut (Hoar dan Randall 1971).
Secara umum organ olfactory ikan serupa dengan organ nasal untuk
penciuman manusia, akan tetapi dari struktur bentuk dan sistematika fungsinya
ada perbedaan antara manusia dan ikan. Lubang atau cuping hidung pada ikan
jarang terbuka ke dalam rongga mulut. Dasar dari lubang hidung dibentuk oleh
epitelium penciuman atau mucosa berupa lipatan/lamella berbentuk rosette
(Pitcher 1993). Susunan bentuk dan lipatan perkembangan lamella sangat
bervariasi pada setiap spesies (Gambar 3).
15
Keterangan :
(a) Posisi cuping hidung teleostei, (b) epithelium olfactory; (vo) hidung depan; (ho)
hidung belakang; (H) kulit yang menahan pergerakan air masuk ke dalam hidung
depan; (F) lamella
Gambar 3 Bentuk hidung ikan dan bagiannya (Sumber: Fujaya 2004)
Epithellium sensori terdiri atas tiga tipe sel utama, yaitu reseptor,
Epithellium sensori terdiri atas tiga tipe sel utama, yaitu reseptor,
pendukung dan basal. Dua tipe morfologi sel reseptor adalah cilia dan mikrovilar,
umumnya terdapat pada teleostei. Pada elasmobranch dan Australian Lung Fish
hanya memiliki sel microvilar sedangkan African Lung Fish hanya memiliki sel
reseptor cilia. Sel reseptor adalah neuron primer bipolar dengan dendrit silindris
yang berakhir pada permukaan epitelium dan tidak terlindung dari lingkungan luar.
Sel pendukung adalah sel epitel kolumnar yang keluar secara vertikal dari
permukaan epitelium ke lomuna dasar, yang berhubungan dengan sel reseptor,
sedangkan sel sensori tidak bersilia (Schultz 2004).
Reseptor pembau mendeteksi rangsangan kimia dalam bentuk signal
elektrik yang berasal dari gerakan cilia yang disebabkan oleh arus lemah yang
melewati lamella. Selanjutnya informasi tersebut diteruskan ke sistem saraf pusat.
Sistem saraf olfactory yang menuju ke otak memiliki dua konfigurasi (Schultz
2004) , yaitu:
(1) Pola pertama, cuping olfactory berhubungan dengan otak melalui sistem
olfactory bagian depan dari forebrain yang biasa disebut olfactory lobe.
Biasanya batas pemisah dari forebrain tidak jelas.
16
(2) Pola kedua, cuping olfactory dan tangkai olfactory bergabung menuju otak,
kadang-kadang lurus dan kadang-kadang mengalami penyempitan antara
cuping dan forebrain.
Umumnya pada bagian rongga hidung ikan jenis elasmobranch mempunyai
dua pembukaan, yaitu saluran anterior dan pintu masuk di depan, akan tetapi hal
tersebut berbeda pada ikan bertulang belakang, tidak ada kontak antara sistem
pencium dan sistem pernapasan.
Menurut Schultz (2004), sistem olfactory pada ikan, apabila air yang masuk
melalui nostril (hidung bagian depan) dan keluar melalui anterior naris ketika
ikan berenang maka air yang mengandung zat kimia akan diterima oleh sistem
saraf olfactory yang berhubungan dengan otak. Pada sistem pernafasan, terdiri
atas dua tahap, yaitu tahap pertama, inspirasi, rongga mulut terbuka, rongga mulut
terbuka, rongga bukopharin dan rongga insang mengembang, air masuk melalui
rongga mulut. Tahap kedua, ekspirasi, yaitu rongga mulut menutup, rongga
bukopharin dan rongga insang menyempit, celah insang terbuka dan air bergerak
dari rongga mulut ke rongga insang kemudian keluar melalui celah insang. Dalam
beberapa jenis (Zoarces viviparus, Gasterosteus aculentus, Spinnchin spinachin),
ada saat naris membuka dan air masuk dengan meninggalkan suatu pergerakan.
Secara skematik perbedaan sistem tersebut terdapat pada Gambar 4.
Gambar 4 Sistem penciuman (olfactory) pada ikan (Sumber: Schultz 2004)
Menurut Mitamura et al. (2005), pengaturan, bentuk, dan derajat tingkat
pengembangan lamella berbeda-beda antarjenis ikan. Jumlah lamella meningkat
17
sampai taraf tertentu sesuai dengan pertumbuhan dari suatu individu, tetapi secara
relatif tetap setelah ikan mencapai pertumbuhan tertentu.
Tidak ada
korelasi
antara
banyaknya
lamella
dengan
ketajaman
penciuman/bau. Untuk ikan jenis Cyclothone spp pada kelompok jantan daya
penciumannya lebih besar dibandingkan dengan betina. Dari penelitian yang
pernah dilakukan ada dugaan bahwa ikan bathypelagic biasa menggunakan
perasaan daripada menggunakan organ penciuman untuk mencari makanan. Selain
itu organ pencium lebih sering digunakan pada ikan jantan untuk mencari
pasangannya (Mitamura et al. 2005). Apabila dilihat dari arah dorsal, maka
hubungan antara lamella (berbentuk rosette) dengan otak dapat dilihat pada
Gambar 5.
Ikan mendeteksi adanya stimuli kimia melalui reseptor pembau. Stimuli
tersebut masuk pada lubang hidung (nostril) dan di rubah dalam bentuk signal
elektrik yang berasal dari gerakan silia yang kemudian melewati olfactory lamella
yang berbentuk rosette (bunga mawar). Sinyal yang dihasilkan pada olfactory
lamella diteruskan pada olfactory bulb dan olfactory tract yang kemudian
diterjemahkan pada otak telencephalon.
Keterangan:
OB : Olfactory Bulb
OT : Olfactory Tracts
GCL : Granule Cell Layer
GL : Glomerular Layer
MCL : Mitral Cell Layer
MOT : Medial Olfactory Tract
MR : Median Raphe
OL : Olfactory Lamellae
ON : Olfactory Nerve
ONL : Olfactory Nerve Layer
Tel : Telencephalon
Gambar 5 Struktur organ penciuman pada ikan mulai dari organ lamella hingga
otak bagian telencephalon (dilihat dari posisi dorsal)
(Sumber: Mitamura et al. 2005)
Ikan
mendeteksi
stimuli
kimia
melalui
sedikitnya
dua
saluran
chemoreception yang berbeda, yaitu olfaction (bau) dan gustory (rasa).
Pembedaan antara dua organ tersebut menurut perkiraan tidaklah selalu pada
18
semua hewan bertulang belakang, yang sebagian besar menggunakan organ
olfaction dan perasa. Olfaction digambarkan sebagai pendeteksian melalui hidung
(air-borne molekul) yang berasal dari suatu jarak, yang memungkinkan ikan untuk
menempatkan dan menemukan makanan atau pasangan seksual atau untuk
menghindari musuh pada suatu jarak yang lebih jauh (Hansen dan Reutter 2004).
Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa banyak penemuan menunjukkan bahwa secara
umum olfaction sebagai penengah dari isyarat kimia yang mempengaruhi perilaku
berbagai ikan teleostei. Meskipun demikian, teori dasar tentang mekanisme
fisiologis ikan masih sedikit.
Secara umum, olfactory serupa dengan organ nasal untuk penciuman
manusia. Fungsi organ olfactory (penciuman) pada ikan merupakan salah satu
sistem reseptor kimia yang beradaptasi terhadap substansi kimia spesifik
lingkungan, baik berupa bahan organik maupun anorganik. Dalam berbagai pola
tingkah laku ikan, fungsi tambahan dari olfactory antara lain homing, migrasi,
sosial, seksual, dan perilaku yang berkenaan dengan orang tua (Pitcher 1993).
Penciuman ikan sangat sensitif terhadap bahan organik maupun anorganik
yang dikenal melalui indera penciuman (Syandri 1988). Selanjutnya dijelaskan
pula bahwa ikan dapat mengenal bau mangsanya, predator, dan spesies sendiri.
Bau-bau tersebut melarut dalam air dan merangsang reseptor pada organ
penciuman (olfactory organ) ikan, sehingga menimbulkan reaksi terhadap ikan
tersebut.
Organ penciuman sebagai alat bantu sensor untuk mengetahui banyaknya
makanan yang tersedia di sekitar habitatnya (Wudianto et al. 1993). Lebih lanjut
dijelaskan pula oleh Gunarso (1985) bahwa organ penciuman merupakan salah
satu organ dari organ-organ penting lainnya pada tubuh ikan yang berhubungan
untuk mempelajari natural behaviour.
Kelompok ikan anadromous (ikan salmon) dan black rockfish (Sebastes
inermis) sangat mengandalkan organ penciumannya untuk kembali “homing
(pulang)” ke habitat asalnya untuk tumbuh dewasa, spawning atau melakukan
schooling saat melakukan migrasinya (Mana dan Kawamura 2002, Mitamura et
al. 2005).
19
Organ penciuman umumnya adalah indera yang paling sensitif bagi ikan,
terutama pada ikan hiu karena pada konsentrasi 0,0001 ppm ikan tersebut masih
sensitif terhadap bau (Syandri 1988). Pada ikan predator (buas), sistem
penciumannya digunakan untuk mendeteksi makanan/umpan mati berdasarkan
stimuli asam amino yang dikeluarkan dari makanan tersebut (Hansen dan Reutter
2004).
2.5 Otak dan Bagian-bagiannya
Otak merupakan cerminan berkembang tidaknya fungsi organ-organ
sensoris yang dominan pada hewan (Bone and Marshall 1982). Otak ikan
memiliki bagian-bagian yang menunjukkan susunan yang berbeda pada
kelompoknya. Secara umum, otak ikan di bagi ke dalam tiga bagian besar, yaitu
otak depan (forebrain) disebut juga prosencephalon, otak tengah (mesencephalon)
dan otak belakang (rhombencephalon). Ketiga bagian otak tersebut terbagi lagi ke
dalam sub bagian seperti dijelaskan pada Tabel 1.
Tabel 1 Bagian utama dan subbagian otak ikan (Bone and Marshall 1982)
No. Bagian Utama
1.
Forebrain (Prosencephalon)
Sub Bagian
Lobus olfactorius
Telencephalon (cerebral hemisphere)
Diencephalon (between-brain)
2.
Midbrain (Mesencephalon)
Lobus opticus
3.
Hindbrain (Rhombencephalon)
Metencephalon (cerebellum)
Myelencephalon (medulla oblongata)
Telencephalon merupakan pusat penciuman pada bagian otak depan. Bagian
ini di sebut juga otak depan (forebrain). Pada ikan, telencephalon merupakan
tempat penerimaan, elaborasi dan meneruskan impuls aroma (bau). Ukuran
telencephalon bervariasi, sesuai dengan peranan yang dimainkannya bagi
kehidupan ikan. Ikan elasmobranchii (cucut, pari, skate, dan chimaeras) memiliki
indera penciuman yang berperan besar dalam mencari makan dan berinteraksi
sosial karena itu lobus olfactorius membesar. Seperti contoh pada otak depan ikan
20
cucut bagian bulbus olfactorius yang membesar menjadi indikasi berkembangnya
indera penciuman yang berguna untuk memburu mangsa melalui deteksi
keberadaan mangsanya melalui bau hingga sejauh 9 km (Ristori 1991 diacu
dalam Razak 2005).
Mesencephalon merupakan otak tengah (mid brain). Pada ikan relatif besar
yang terdiri atas lobus opticus dorsal, di bagian dorsal terdapat dua lobus opticus
dan ventral tegmentum. Lobus opticus merupakan bagian depan dari retina yang
diteruskan proyeksinya ke dalam bagian belakang contra-lateral dari lobus
opticus dari sisi yang lain pada ikan. Ikan sebagaimana vertebrata lainnya
memiliki lensa konveks pada matanya yang dapat membuat bayangan sampai di
retina. Lobus opticus yang besar pada ikan salmon dibandingkan dengan ikan pari
listrik (Raja clavata), goldfish (Carasius auratus), lungfish atau ikan pari
(Neoceradotus forsteri), bermakna mata ikan salmon berkembang sangat baik
(Rose 2002).
Perkembangan otak depan yang sangat besar dibandingkan dengan
kelompok ikan bertulang sejati maupun hewan vertebrate lainnya merupakan
indikasi bahwa hewan predator seperti ikan cucut sangat mengandalkan indera
penciuman sebagai detektor mangsanya dari jarak yang cukup jauh (Scheer 1966
diacu dalam Razak 2006).
Pada Gambar 6 diperlihatkan bagian-bagian dari otak pada kelompok ikan
teleost
(A)
(B)
Ob - Olfactory bulb
I - Olfactory nerve
Tel - Telencephalon
Ot - Optic tectum
Cerb - Cerebellum
Hyp - Hypothalamus
Vag L Med - Vagal lobe
of medulla
oblongata
SpC - Spinal cord.
Keterangan: A). Posisi otak secara dorsal, B) Posisi otak secara lateral.
Gambar 6 Bagian-bagian otak ikan (Sumber: Hoar and Randall 1970)
21
Bagian utama yang ketiga adalah otak belakang (hindbraind) yang terdiri
atas metencephalon dan myelencephalon (medulla oblongata). Metencephalon
merupakan pusat keseimbangan dan tonus otot, dimana pada bagian tersebut
terdapat cerebellum atau otak kecil. Fungsi cerebellum adalah pengatur
keseimbangan renang, dan orientasi ruang. Pada beberapa ikan komponen ini
bagian yang terbesar dari otak. Bagian myelencephalon adalah tempat
ditemukannya medulla oblongata. Medulla oblongata merupakan komponen saraf
pusat yang mempengaruhi saraf-saraf sensoris (Scheer 1966 diacu dalam Razak
2006).
2.6 Umpan
Umpan merupakan salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya pada
keberhasilan dalam usaha penangkapan, baik masalah jenis umpan, sifat, dan cara
pemasangan (Sadhori 1985). Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa umpan
merupakan salah satu bentuk rangsangan (stimulus) yang bersifat fisika dan kimia
yang dapat memberikan respons bagi ikan-ikan tertentu pada proses penangkapan
ikan.
Beberapa ahli perikanan sependapat bahwa umpan merupakan alat bantu
(perangsang) yang memikat sasaran penangkapan dan sangat berpengaruh untuk
meningkatkan laju tangkap bubu (Rahardjo dan Linting 1993). Syarat umpan yang
baik (Djatikusumo 1975) adalah:
(1) Tahan lama artinya tidak mudah busuk;
(2) Mempunyai ukuran yang memadai;
(3) Harganya terjangkau;
(4) Mempunyai bau yang spesifik yang dapat merangsang;
(5) Mempunyai warna yang mudah dilihat; dan
(6) Disenangi oleh ikan yang menjadi tujuan penangkapan
King (1991) menjelaskan bahwa umpan pada bubu dan perangkap
digunakan untuk menangkap ikan dan crustacea. Prinsipnya adalah ikan tertarik
oleh umpan, lalu masuk ke dalam bubu melalui mulut bubu dan sulit untuk
melarikan diri. Umpan dengan menggunakan ikan cucut dan kakap dapat
22
menghasilkan tangkapan yang banyak (Wudianto et al. 1988). Bubu yang
menggunakan umpan dari ikan yang dipotong-potong, hasil tangkapannya lebih
baik dibandingkan dengan menggunakan umpan buatan (pellet). Tidak semua
jenis ikan akan merespons jenis umpan yang sama. Masing-masing spesies
memiliki pilihan jenis umpan yang berbeda, seperti misalnya pinfish (Lagodon
rhomboides) memperlihatkan respons yang besar terhadap umpan dari udang dan
pigfish (Orthopristis chrysopterus), namun terkadang pinfish lebih merespons
umpan dari kepiting (Yamamoto 1982). Menurut Monintja et al. (1992), umpan
yang digunakan dalam pengoperasian jaring keranjang untuk menangkap ikanikan karang adalah terasi.
Menurut Prayitno (1986), berdasarkan hasil pengamatan secara menyeluruh
mengenai reaksi ikan karang terhadap beberapa jenis umpan di perairan
Karimunjawa seperti tertera pada Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2 Hasil pengamatan mengenai reaksi beberapa jenis ikan karang terhadap
umpan di perairan Karimunjawa (Prayitno 1986)
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Keterangan:
+++
++
+
Jenis Umpan
Kepiting
Kepala ikan
Kepala ikan tongkol
Tahu
Bulu babi
Terasi
Multi krill
Reaksi
+++
++
+++
+
++
+++
+
: baik sekali
: baik
: sedang
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Titaley (2000) bahwa
jenis umpan cumi dan udang menghasilkan tangkapan terbanyak pada ikan kerapu
bebek (Plectropomus altivelis). Demikian pula pada umpan bulu babi,
menghasilkan tangkapan kerapu terbanyak sebesar 48% dibandingkan dengan
menggunakan umpan ikan dan keong mas (Mawardi 2001). Jenis umpan berupa
ikan, sering dikonsumsi kelompok ikan kerapu terutama untuk spesies
Cephalipholis cruentata (Scultz’s 2004).
23
Umpan yang mengandung asam amino diidentifikasi dapat menjadi stimulus
dan atraktor makan pada ikan dan crustacea. Hampir semua studi mengenai
rangsangan kimia untuk tingkah laku makan menunjukkan bahwa rangsangan
makan pada ikan dan crustacea akan hilang seiring dengan hilangnya kandungan
asam amino pada umpan (makanan) (Engas dan Lokkeborg 1994). Lebih lanjut
menurut pendapat Hansen dan Reutter (2004), ikan predator (buas) yang
memakan makanan tidak hidup (umpan) menggunakan sistem penciumannya
untuk dapat mendeteksi dan dapat membeda-bedakan stimuli asam amino.
Asam amino yang sangat efektif sebagai stimulus pada sistem penciuman
ikan salmon atlantik adalah L-glutamina dan L-alanina (Caprio 1982). Lebih
lanjut dijelaskan pula bahwa efektivitas relatif stimulus organ penciuman dari
kandungan asam amino sebanyak 10-4 M adalah L-alanina, L-glutamina, Lsisteina dan L-metionina. Kandungan L-alanina terdapat pada jaringan organisme
cacing, moluska, crustacea, dan ikan teleostei. Adapun untuk L-arginina, terdapat
pada jaringan organisme moluska dan crustacea. Pengetahuan yang mendasari
bahwa untuk ikan catfish, reseptor penciuman sangat besar responsnya pada
kandungan sisteina dan metionina; dan pada reseptor rasa sangat besar responsnya
pada kandungan alanina dan arginina masih belum diketahui.
2.7 Ikan Kerapu (Serranidae)
Menurut Indonesian Coral Reef Foundation (2004), ikan karang dapat
dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu pengelompokan ikan karang berdasarkan
periode aktif mencari makan dan pengelompokan ikan karang berdasarkan
perannya.
Pengelompokan ikan karang berdasarkan periode aktif mencari makan di
bagi lagi atas tiga kelompok yaitu :
(1) Ikan nokturnal, merupakan jenis ikan yang aktif pada malam hari. Contohnya
pada ikan-ikan dari suku Holocentridae (swanggi), suku Apogonindae
(beseng), dan lain- lain.
24
(2) Ikan diurnal, merupakan jenis ikan yang aktif ketika siang hari. Contohnya
pada ikan-ikan dari suku Pomacentridae (injel, napoleon), Acanthuridae
(ketamba lencam) dan lain- lain.
(3) Ikan crepuscular, merupakan ikan yang aktif di antara waktu siang dan malam.
Contohnya pada ikan- ikan dari suku Sphyraenidae (Baracudas), Serranidae
(kerapu), Carangidae (ikan kue), dan lain- lain.
Pengelompokan ikan karang berdasarkan peranannya juga di bagi atas tiga
kelompok yaitu :
(1) Ikan target, merupakan target untuk penangkapan atau lebih dikenal juga
dengan ikan ekonomis penting atau ikan konsumsi, seperti Serranidae (kerapu),
Lutjanidae (kakap), Lethrinidae (ketamba lencam), Acanthuridae (botana), dan
Siganidae (baronang).
(2) Ikan indikator, merupakan ikan penentu keberadaan terumbu karang karena
ikan ini erat hubungannya dengan tingkat kesuburan terumbu karang, yaitu
ikan kepe-kepe dari Famili Chaetodontidae.
(3) Ikan lain (mayor famili), ikan jenis ini umumnya dalam jumlah banyak dan
umumnya dijadikan ikan hias air laut. Contohnya kakatua dari famili Scaridae,
swanggi dari famili Holocentridae, dan lain- lain.
Nontji (1993) mengatakan bahwa ikan yang berasal dari perairan karang
yang mempunyai nilai ekonomis penting dalam produksi perikanan antara lain
ikan ekor kuning dan pisang-pisang (Caesio spp), berbagai macam ikan hias, dan
ikan yang sering disajikan, misalnya baronang (Siganus), lencam (Lethrinus),
kuweh (Caranx), kakap (Lutjanus), dan kerapu (Epinephelus).
Ikan kerapu, termasuk famili Serranidae, dikenal sebagai ikan yang
mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi. Penyebarannya meliputi daerah tropis
dan subtropis. Biasanya hidup di perairan karang berkedalaman kurang lebih 27 m
(Departemen Pertanian, 1987). Ikan kerapu (Epinephelus sp) merupakan satu di
antara sekian jenis ikan laut yang bernilai ekonomis tinggi yang banyak
dipasarkan dalam keadaan hidup untuk restoran-restoran elit, baik di dalam
maupun di luar negeri (Pramu 1994). Produksi ikan kerapu di Indonesia mencapai
6-30 ton per tahun (Hartati et al. 2004)
25
Di Indonesia ikan kerapu terdapat di seluruh wilayah perairan teluk Banten,
Ujung kulon, Kep. Riau, Kep. Karimunjawa, Kep. Seribu, Jawa, dan NTB
(Mayunar,1991). Ada berbagai jenis ikan kerapu yang terdapat di Indonesia, di
antaranya adalah kerapu lumpur (Epinephelus suillus), kerapu sunu (Plectropomus
leopardus), kerapu tikus (Cromileptes altivelis), kerapu macan (Epinephelus
fuscoguttatus), kerapu lodi (Plectropomus maculatus), kerapu merah (Epinephelus
fasciatus), kerapu tutul (Epinephelus melanustigma), kerapu batu (Cephalopholis
boenack), kerapu hitam (Cephalopholis microprion), dan kerapu lokal
(Epinephelus gouyanus) (Balai Penelitian Perikanan Laut 2007).
Ikan dari famili Serranidae di alam, aktif makan pada siang dan malam hari.
Selanjutnya ikan kerapu dalam mencari makanan akan berenang-renang di antara
batu karang, atau celah-celah batu yang merupakan tempat persembunyiannya dan
hanya kepalanya yang terlihat. Dari tempat itulah ikan kerapu menunggu
mangsanya. Bila mangsa telah tampak, ikan kerapu segera melesat dengan cepat
menangkap mangsanya dan menelannya, setelah itu ikan kembali ke tempat
persembunyiannya (Sugama et al. 1986).
2.8 Respons Tingkah Laku Ikan terhadap Alat Tangkap Bubu
Tingkah laku ikan adalah suatu proses adaptasi terhadap lingkungan
eksternal dan internal. Sistematika studi tingkah laku ikan termasuk ke dalam
beberapa aspek (He 1989), yaitu:
(1) Ragam dari tingkah laku ikan; yaitu ragam tingkah laku dari berbagai tingkah
laku ikan.
(2) Evolusi tingkah laku ikan; yaitu perubahan tingkah laku ikan dalam
hubungannya dengan adaptasi terhadap lingkungan tertentu dalam jangka
waktu yang panjang.
(3) Sejarah (history) tingkah laku ikan; yaitu untuk mempelajari bagaimana pola
tingkah laku tertentu dari generasi yang lampau sampai generasi yang akan
datang dan bagaimana variasi yang akan muncul hubungannya dengan
perubahan lingkungan.
26
Terdapat enam tahap perilaku ikan yang dapat dikenali saat pengoperasian
alat tangkap bubu, yaitu arousal, location, tingkah laku di sekitar bubu, masuk
dalam bubu (ingress), aktivitas di dalam bubu, dan melarikan diri (Furevik 1994).
Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa untuk pengoperasian bubu dengan
menggunakan umpan, arousal dan location merupakan dua tahap dalam tingkah
laku ikan saat mengarah ke umpan, sedangkan tahap yang lain tidak begitu
penting dalam penangkapan ikan dengan menggunakan bubu karena ketika ikan
memakan umpan yang dipasang berarti ikan tersebut terperangkap.
Beberapa alasan yang menyebabkan ikan menjadi lebih tertarik masuk
dalam bubu ialah gerakan acak dari ikan, adaptasi ikan sebagai tempat tinggal atau
tempat berlindung, keingintahuan ikan, tingkah laku sosial antarspesies atau
adanya predator. Hal tersebut yang menjadikan dasar dalam mekanisme
pengoperasian bubu tanpa umpan (Furevik 1994). Rangsangan kimia dari mangsa
menjadikan alasan yang penting untuk efisiensi penangkapan pada bubu yang
menggunakan umpan maupun yang tidak menggunakan umpan (Hara 1993).
Bubu tanpa umpan yang direndam sekitar satu minggu di perairan, biasanya
ditempeli
oleh ganggang cokelat (Phaeophyceae) dan
ganggang hijau
(Chlorophyceae). Adanya ganggang tersebut diduga menjadi daya tarik bagi
kelompok ikan herbivor untuk datang dan mengkonsumsi ganggang tersebut
(Monintja et al. 1992)
Bubu dengan menggunakan umpan, biasanya ikan mendekati bubu dari
posisi bawah ketika aroma dari umpan telah menyebar. Ditemukan hampir 90%
ikan haddock (Melanogrammus aeglefinus) mendekati bubu berumpan dari posisi
atas (Furevik 1994), sedangkan untuk bubu tanpa menggunakan umpan, posisi
ikan saat mendekati bubu dari segala arah.
2.9 Alat Tangkap Bubu dan Efektivitasnya
Bubu (perangkap) adalah alat tangkap yang umumnya berbentuk kurungan.
Ikan dapat masuk dengan mudah tanpa adanya paksaan, tetapi ikan tersebut akan
sukar keluar karena terhalang pintu masuknya yang berbentuk corong (non-return
device) (Brandt 1984).
27
Bubu dalam berbagai macam ukuran dan bentuk banyak digunakan pada
berbagai lokasi, terutama daerah karang (Martasuganda 2003). Lebih lanjut
dijelaskan pula bahwa bentuk bubu sangat beraneka ragam, antara lain ada yang
berbentuk segi empat, trapesium, silinder, lonjong, bulat setengah lingkaran, dan
persegi panjang. Bentuk bubu biasanya disesuaikan dengan ikan yang akan
dijadikan target tangkapan sama. Terkadang bentuk bubu yang dipakai biasa juga
berbeda
bergantung
pada
kebiasaan
atau
pengetahuan
nelayan
yang
mengoperasikan.
Secara umum bubu terdiri atas bagian badan (body), mulut (funnel) atau ijeb
dan pintu masuk. Badan berupa rongga sebagai tempat ikan terkurung. Mulut
bubu merupakan pintu ikan masuk dan tidak dapat keluar. Umumnya berbentuk
seperti corong. Pintu bubu untuk mengambil hasil tangkapan dari dalam badan
bubu (Subani dan Barus 1989).
Metode pengoperasian untuk semua jenis bubu pada umumnya hampir sama,
yaitu dipasang di daerah penangkapan yang sudah diperkirakan banyak hidup ikan
yang akan dijadikan target tangkapan (Martasuganda 2003). Lebih lanjut
dijelaskan pula bahwa lama perendaman bubu di perairan ada yang hanya
direndam beberapa jam, ada yang direndam satu malam, ada juga yang direndam
sampai tiga hari tiga malam dan bahkan ada yang direndam sampai tujuh hari
tujuh malam.
Bubu dioperasikan di dasar perairan dengan umpan sebagai pemikat mangsa.
Hasil tangkapan bubu berkualitas tinggi dan dapat dipasarkan dalam keadaan
hidup (Martasuganda 2003). Ikan yang banyak tertangkap oleh bubu adalah ikan
kue (caranx spp), beronang (Siganus spp), kerapu (Epinephelus spp), kakap
(Lutjanus spp), kakatua (Scarus spp), ekor kuning (Caesio spp), ikan kaji
(Diagramma spp), dan lencam (Lethrinus spp) (Subani dan Barus 1988).
Efektivitas adalah tingkat pencapaian hasil yang telah dicapai terhadap suatu
tujuan. Efektivitas (Ef) sama dengan hasil yang telah dicapai atau telah didapatkan
dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan dan dinyatakan dalam persen
(Gibson et al. 1990). Efektivitas dapat pula diartikan sebagai perbandingan antara
hasil dengan tujuan dalam persen. Apabila nilai efektivitasnya di atas 100% maka
dapat dikatakan cukup efektif, apabila nilai efektivitasnya di bawah 100% dapat
28
dikatakan kurang efektif. Dengan kata lain, efektivitas sama dengan hasil yang
telah dicapai atau telah didapatkan dibandingkan dengan tujuan yang telah
ditetapkan dan dinyatakan dalam persen.
Pengertian efektivitas pada alat tangkap adalah suatu kemampuan alat
tangkap untuk mendapatkan hasil tangkapan yang optimum sesuai dengan tujuan
penangkapan. Tujuan penangkapan yang dimaksud harus mengacu dari usaha
menjaga keberlangsungan sumber daya ikan, yaitu operasi penangkapan dengan
mempertimbangkan faktor keramahan terhadap lingkungan yang sesuai dengan
Code of Conduct for Responssible Fisheries. Menurut Baskoro et al. (2006), nilai
efektivitas pada alat tangkap dikategorikan tiga, yaitu apabila nilainya kurang dari
50% dapat dikatakan alat tangkap tersebut efektivitasnya rendah, nilai 50%-80%
dikatakan alat tangkap yang cukup efektivitasnya dan nilai 80%-100% dikatakan
alat tangkap yang efektivitasnya tinggi.
Menurut Friedman (1988), bahwa hasil tangkapan suatu alat tangkap
dipengaruhi efektivitas alat dan efisiensi cara operasi. Lebih lanjut dijelaskan pula
bahwa efektivitas alat tangkap secara umum bergantung pada faktor-faktor, antara
lain parameter alat tangkap itu sendiri (rancang bangun dan konstruksi), pola
tingkah laku ikan, ketersediaan atau kelimpahan ikan, dan kondisi oseanografi.
Dapat diartikan bahwa dalam menentukan efektivitas jenis alat tangkap tertentu
harus memperhatikan faktor-faktor tersebut.
Download