2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi Retina Mata Ikan Mata (penglihatan) pada ikan merupakan salah satu indera yang sangat penting untuk mencari makan, menghindari predator atau pemangsa, atau keluar dari kepungan suatu alat tangkap. Ketajaman pada mata ikan dapat dijadikan dasar untuk mengetahui area kekuatan pandang untuk melihat suatu objek benda melalui metode tingkah laku (Muntz 1974). Kualitas pandangan di bawah air sangat minim sehingga sebagian besar ikan akan bergantung pada indera penglihatannya untuk mendapatkan informasi di sekelilingnya (Pitcher 1993). Retina merupakan salah satu dari bagian mata pada ikan yang berfungsi sebagai reseptor penglihatan. Retina adalah proyeksi dari otak dan terdiri atas berbagai tipe sel yang terdiri atas 8 lapisan dan 2 membran (Ali dan Anctil 1976). Retina terdapat pada salah satu lapisan mata ikan dengan ketebalan berkisar 90– 500 m, sedangkan lapisan visual selnya mempunyai ketebalan 30–200 m (Nicol 1989). Jenis teleostei memiliki jenis retina duplex, yaitu retina mereka mempunyai dua jenis reseptor yang dinamakan sel rod dan sel kon (cone). Pada retina tersebut umumnya distribusi kedua jenis reseptor tersebut berbeda untuk bagian yang berlainan yang biasanya erat hubungannya dengan pemanfaatan indera penglihatan dalam lingkungannya (Gunarso 1985). Matsuoka (1999) menjelaskan bahwa retina ikan umumnya terdiri atas tiga tipe pada lapisan indera penglihat (visual cell layer) , yaitu sel kon tunggal (single cone), sel kon ganda (twin cone), dan sel rod. Sel kon merupakan reseptor penglihatan untuk color vision dan ketajaman penglihatan (visual acuity). 12 Kapsul mata Ligamen Kornea Retina Lensa Saraf Otot Iris Gambar 2 Mata ikan dan bagiannya (Sumber: Fujaya 2002) Tidak semua jenis ikan memiliki dua reseptor, seperti misalnya pada ikan tuna, mackerel hanya memiliki reseptor kon saja, sedangkan jenis-jenis ikan dasar atau jenis ikan yang hampir sepanjang hidupnya tinggal di daerah yang hampir tidak dicapai lagi oleh cahaya matahari umumnya hanya memiliki rod saja (Gunarso 1985). Dijelaskan pula bahwa jenis ikan demersal yang mencari makan pada malam hari, seperti Solea sp dan Lysodes sp pada umumnya memiliki retina tanpa pengkonsentrasian reseptor sehingga tidak tercipta bentuk mosaik dan kon sangat minim jumlahnya. 2.2 Ketajaman Penglihatan (Visual Acuity) Ketajaman penglihatan pada ikan adalah kemampuan untuk melihat dua titik dari suatu objek pada satu garis digambarkan dalam hubungan timbal balik yang diperlihatkan dalam istilah sudut pembeda terkecil/minimum separable angle (MSA)(He 1989). Untuk membedakan dua sasaran penglihatan yang terdekat, yang dapat diukur melalui pengujian histologi. Ketajaman penglihatan pada ikan bergantung pada dua faktor, yaitu diameter lensa dan kepadatan sel reseptor kon pada retina (Shiobara et al. 1998). Dijelaskan 13 pula bahwa semakin tajam penglihatan karena peningkatan kedudukan jarak fokus lensa daripada kepadatan sel kon-nya. Kepadatan sel kon akan tetap selama ikan hidup. Perubahan kekuatannya mungkin akan meningkat sejalan dengan pertumbuhan lensanya (Tamura, 1957). Shiobara et al. (1998) menyatakan bahwa semakin tajam daya penglihatan mungkin diakibatkan oleh hubungan antara panjang fokus lensa yang lebih meningkat daripada kepadatan kon-nya. He (1989) menjelaskan bahwa sudut pembeda terkecil pada ikan berhubungan erat dengan karakteristik pemantulan sinar ke lensa dan ketepatan mengenai retina. Dengan makin bertambah panjang tubuh ikan, maka akan semakin tinggi ketajaman penglihatannya dengan nilai sudut pembeda terkecil yang semakin kecil. Diameter lensa ikan akan meningkat dengan bertambahnya ukuran tubuh, sementara itu kepadatan sel kon cenderung menurun dengan meningkatnya pertambahan panjang tubuh (Purbayanto 1999). 2.3 Sumbu Penglihatan (Visual Axis) Sumbu penglihatan (visual axis) diidentifikasi untuk mengetahui kebiasaan ikan dalam melihat makanan atau objek yang lain (Blaxter 1980). Sumbu penglihatan diperoleh setelah nilai kepadatan sel kon tiap bagian dari retina mata diketahui, dengan cara menarik garis lurus dari bagian retina yang memiliki nilai kepadatan sel kon tertinggi menuju titik pusat lensa mata (Tamura 1957). Menurut Tamura (1957), dalam menentukan sumbu penglihatan terlebih dahulu mengetahui kepadatan sel kon yang biasanya terletak pada area dorsotemporal, temporal atau ventro-temporal di retina mata ikan. Apabila area kepadatan sel kon terbanyak diketahui, dengan menarik garis lurus dari bagian area retina dengan sel kon terbanyak menuju ke titik lensa mata, maka dapat ditentukan sumbu penglihatannya. Biasanya sumbu penglihatan ikan menghadap arah depan menurun (lower-fore), arah depan (fore), dan arah depan-naik (upperfore). Kepadatan sel kon yang tinggi dimungkinkan untuk mengetahui ketajaman penglihatan dan sumbu penglihatan (Blaxter 1980). Selanjutnya dijelaskan pula 14 bahwa pada daerah retina yang memiliki kepadatan sel kon tertinggi pada bagian dorso-temporal dengan perubahan arah pada diopter ke arah depan menurun (lower-fore) maka sumbu penglihatan juga akan ke arah depan menurun pada sudut berkisar 20°. Kepadatan tertinggi sel kon di bagian temporal, maka ada dua kemungkinan untuk perubahan arah pada diopter. Jika perubahan arah pada diopter ke arah depan, maka sumbu penglihatan juga akan ke arah depan pada sudut 0°. Perubahan arah pada diopter ke arah depan-naik (upper-fore) maka sumbu penglihatan juga akan ke arah depan dan depan-naik (fore-upper-fore) pada sudut 30°. Kepadatan tertinggi sel kon di bagian ventro-temporal, maka perubahan arah pada diopter ke arah depan-naik (upper-fore) dan sumbu penglihatan juga akan ke arah depan-naik (upper-fore) pada sudut 30°. 2.4 Organ Penciuman (Olfactory Organ) ”Hidung” pada ikan teleost merupakan sepasang cekungan penciuman (olfactory) yang biasanya terletak di sisi dorsal bagian kepala dan sedikit agak jauh dari posisi mulut (Hoar dan Randall 1971). Secara umum organ olfactory ikan serupa dengan organ nasal untuk penciuman manusia, akan tetapi dari struktur bentuk dan sistematika fungsinya ada perbedaan antara manusia dan ikan. Lubang atau cuping hidung pada ikan jarang terbuka ke dalam rongga mulut. Dasar dari lubang hidung dibentuk oleh epitelium penciuman atau mucosa berupa lipatan/lamella berbentuk rosette (Pitcher 1993). Susunan bentuk dan lipatan perkembangan lamella sangat bervariasi pada setiap spesies (Gambar 3). 15 Keterangan : (a) Posisi cuping hidung teleostei, (b) epithelium olfactory; (vo) hidung depan; (ho) hidung belakang; (H) kulit yang menahan pergerakan air masuk ke dalam hidung depan; (F) lamella Gambar 3 Bentuk hidung ikan dan bagiannya (Sumber: Fujaya 2004) Epithellium sensori terdiri atas tiga tipe sel utama, yaitu reseptor, Epithellium sensori terdiri atas tiga tipe sel utama, yaitu reseptor, pendukung dan basal. Dua tipe morfologi sel reseptor adalah cilia dan mikrovilar, umumnya terdapat pada teleostei. Pada elasmobranch dan Australian Lung Fish hanya memiliki sel microvilar sedangkan African Lung Fish hanya memiliki sel reseptor cilia. Sel reseptor adalah neuron primer bipolar dengan dendrit silindris yang berakhir pada permukaan epitelium dan tidak terlindung dari lingkungan luar. Sel pendukung adalah sel epitel kolumnar yang keluar secara vertikal dari permukaan epitelium ke lomuna dasar, yang berhubungan dengan sel reseptor, sedangkan sel sensori tidak bersilia (Schultz 2004). Reseptor pembau mendeteksi rangsangan kimia dalam bentuk signal elektrik yang berasal dari gerakan cilia yang disebabkan oleh arus lemah yang melewati lamella. Selanjutnya informasi tersebut diteruskan ke sistem saraf pusat. Sistem saraf olfactory yang menuju ke otak memiliki dua konfigurasi (Schultz 2004) , yaitu: (1) Pola pertama, cuping olfactory berhubungan dengan otak melalui sistem olfactory bagian depan dari forebrain yang biasa disebut olfactory lobe. Biasanya batas pemisah dari forebrain tidak jelas. 16 (2) Pola kedua, cuping olfactory dan tangkai olfactory bergabung menuju otak, kadang-kadang lurus dan kadang-kadang mengalami penyempitan antara cuping dan forebrain. Umumnya pada bagian rongga hidung ikan jenis elasmobranch mempunyai dua pembukaan, yaitu saluran anterior dan pintu masuk di depan, akan tetapi hal tersebut berbeda pada ikan bertulang belakang, tidak ada kontak antara sistem pencium dan sistem pernapasan. Menurut Schultz (2004), sistem olfactory pada ikan, apabila air yang masuk melalui nostril (hidung bagian depan) dan keluar melalui anterior naris ketika ikan berenang maka air yang mengandung zat kimia akan diterima oleh sistem saraf olfactory yang berhubungan dengan otak. Pada sistem pernafasan, terdiri atas dua tahap, yaitu tahap pertama, inspirasi, rongga mulut terbuka, rongga mulut terbuka, rongga bukopharin dan rongga insang mengembang, air masuk melalui rongga mulut. Tahap kedua, ekspirasi, yaitu rongga mulut menutup, rongga bukopharin dan rongga insang menyempit, celah insang terbuka dan air bergerak dari rongga mulut ke rongga insang kemudian keluar melalui celah insang. Dalam beberapa jenis (Zoarces viviparus, Gasterosteus aculentus, Spinnchin spinachin), ada saat naris membuka dan air masuk dengan meninggalkan suatu pergerakan. Secara skematik perbedaan sistem tersebut terdapat pada Gambar 4. Gambar 4 Sistem penciuman (olfactory) pada ikan (Sumber: Schultz 2004) Menurut Mitamura et al. (2005), pengaturan, bentuk, dan derajat tingkat pengembangan lamella berbeda-beda antarjenis ikan. Jumlah lamella meningkat 17 sampai taraf tertentu sesuai dengan pertumbuhan dari suatu individu, tetapi secara relatif tetap setelah ikan mencapai pertumbuhan tertentu. Tidak ada korelasi antara banyaknya lamella dengan ketajaman penciuman/bau. Untuk ikan jenis Cyclothone spp pada kelompok jantan daya penciumannya lebih besar dibandingkan dengan betina. Dari penelitian yang pernah dilakukan ada dugaan bahwa ikan bathypelagic biasa menggunakan perasaan daripada menggunakan organ penciuman untuk mencari makanan. Selain itu organ pencium lebih sering digunakan pada ikan jantan untuk mencari pasangannya (Mitamura et al. 2005). Apabila dilihat dari arah dorsal, maka hubungan antara lamella (berbentuk rosette) dengan otak dapat dilihat pada Gambar 5. Ikan mendeteksi adanya stimuli kimia melalui reseptor pembau. Stimuli tersebut masuk pada lubang hidung (nostril) dan di rubah dalam bentuk signal elektrik yang berasal dari gerakan silia yang kemudian melewati olfactory lamella yang berbentuk rosette (bunga mawar). Sinyal yang dihasilkan pada olfactory lamella diteruskan pada olfactory bulb dan olfactory tract yang kemudian diterjemahkan pada otak telencephalon. Keterangan: OB : Olfactory Bulb OT : Olfactory Tracts GCL : Granule Cell Layer GL : Glomerular Layer MCL : Mitral Cell Layer MOT : Medial Olfactory Tract MR : Median Raphe OL : Olfactory Lamellae ON : Olfactory Nerve ONL : Olfactory Nerve Layer Tel : Telencephalon Gambar 5 Struktur organ penciuman pada ikan mulai dari organ lamella hingga otak bagian telencephalon (dilihat dari posisi dorsal) (Sumber: Mitamura et al. 2005) Ikan mendeteksi stimuli kimia melalui sedikitnya dua saluran chemoreception yang berbeda, yaitu olfaction (bau) dan gustory (rasa). Pembedaan antara dua organ tersebut menurut perkiraan tidaklah selalu pada 18 semua hewan bertulang belakang, yang sebagian besar menggunakan organ olfaction dan perasa. Olfaction digambarkan sebagai pendeteksian melalui hidung (air-borne molekul) yang berasal dari suatu jarak, yang memungkinkan ikan untuk menempatkan dan menemukan makanan atau pasangan seksual atau untuk menghindari musuh pada suatu jarak yang lebih jauh (Hansen dan Reutter 2004). Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa banyak penemuan menunjukkan bahwa secara umum olfaction sebagai penengah dari isyarat kimia yang mempengaruhi perilaku berbagai ikan teleostei. Meskipun demikian, teori dasar tentang mekanisme fisiologis ikan masih sedikit. Secara umum, olfactory serupa dengan organ nasal untuk penciuman manusia. Fungsi organ olfactory (penciuman) pada ikan merupakan salah satu sistem reseptor kimia yang beradaptasi terhadap substansi kimia spesifik lingkungan, baik berupa bahan organik maupun anorganik. Dalam berbagai pola tingkah laku ikan, fungsi tambahan dari olfactory antara lain homing, migrasi, sosial, seksual, dan perilaku yang berkenaan dengan orang tua (Pitcher 1993). Penciuman ikan sangat sensitif terhadap bahan organik maupun anorganik yang dikenal melalui indera penciuman (Syandri 1988). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa ikan dapat mengenal bau mangsanya, predator, dan spesies sendiri. Bau-bau tersebut melarut dalam air dan merangsang reseptor pada organ penciuman (olfactory organ) ikan, sehingga menimbulkan reaksi terhadap ikan tersebut. Organ penciuman sebagai alat bantu sensor untuk mengetahui banyaknya makanan yang tersedia di sekitar habitatnya (Wudianto et al. 1993). Lebih lanjut dijelaskan pula oleh Gunarso (1985) bahwa organ penciuman merupakan salah satu organ dari organ-organ penting lainnya pada tubuh ikan yang berhubungan untuk mempelajari natural behaviour. Kelompok ikan anadromous (ikan salmon) dan black rockfish (Sebastes inermis) sangat mengandalkan organ penciumannya untuk kembali “homing (pulang)” ke habitat asalnya untuk tumbuh dewasa, spawning atau melakukan schooling saat melakukan migrasinya (Mana dan Kawamura 2002, Mitamura et al. 2005). 19 Organ penciuman umumnya adalah indera yang paling sensitif bagi ikan, terutama pada ikan hiu karena pada konsentrasi 0,0001 ppm ikan tersebut masih sensitif terhadap bau (Syandri 1988). Pada ikan predator (buas), sistem penciumannya digunakan untuk mendeteksi makanan/umpan mati berdasarkan stimuli asam amino yang dikeluarkan dari makanan tersebut (Hansen dan Reutter 2004). 2.5 Otak dan Bagian-bagiannya Otak merupakan cerminan berkembang tidaknya fungsi organ-organ sensoris yang dominan pada hewan (Bone and Marshall 1982). Otak ikan memiliki bagian-bagian yang menunjukkan susunan yang berbeda pada kelompoknya. Secara umum, otak ikan di bagi ke dalam tiga bagian besar, yaitu otak depan (forebrain) disebut juga prosencephalon, otak tengah (mesencephalon) dan otak belakang (rhombencephalon). Ketiga bagian otak tersebut terbagi lagi ke dalam sub bagian seperti dijelaskan pada Tabel 1. Tabel 1 Bagian utama dan subbagian otak ikan (Bone and Marshall 1982) No. Bagian Utama 1. Forebrain (Prosencephalon) Sub Bagian Lobus olfactorius Telencephalon (cerebral hemisphere) Diencephalon (between-brain) 2. Midbrain (Mesencephalon) Lobus opticus 3. Hindbrain (Rhombencephalon) Metencephalon (cerebellum) Myelencephalon (medulla oblongata) Telencephalon merupakan pusat penciuman pada bagian otak depan. Bagian ini di sebut juga otak depan (forebrain). Pada ikan, telencephalon merupakan tempat penerimaan, elaborasi dan meneruskan impuls aroma (bau). Ukuran telencephalon bervariasi, sesuai dengan peranan yang dimainkannya bagi kehidupan ikan. Ikan elasmobranchii (cucut, pari, skate, dan chimaeras) memiliki indera penciuman yang berperan besar dalam mencari makan dan berinteraksi sosial karena itu lobus olfactorius membesar. Seperti contoh pada otak depan ikan 20 cucut bagian bulbus olfactorius yang membesar menjadi indikasi berkembangnya indera penciuman yang berguna untuk memburu mangsa melalui deteksi keberadaan mangsanya melalui bau hingga sejauh 9 km (Ristori 1991 diacu dalam Razak 2005). Mesencephalon merupakan otak tengah (mid brain). Pada ikan relatif besar yang terdiri atas lobus opticus dorsal, di bagian dorsal terdapat dua lobus opticus dan ventral tegmentum. Lobus opticus merupakan bagian depan dari retina yang diteruskan proyeksinya ke dalam bagian belakang contra-lateral dari lobus opticus dari sisi yang lain pada ikan. Ikan sebagaimana vertebrata lainnya memiliki lensa konveks pada matanya yang dapat membuat bayangan sampai di retina. Lobus opticus yang besar pada ikan salmon dibandingkan dengan ikan pari listrik (Raja clavata), goldfish (Carasius auratus), lungfish atau ikan pari (Neoceradotus forsteri), bermakna mata ikan salmon berkembang sangat baik (Rose 2002). Perkembangan otak depan yang sangat besar dibandingkan dengan kelompok ikan bertulang sejati maupun hewan vertebrate lainnya merupakan indikasi bahwa hewan predator seperti ikan cucut sangat mengandalkan indera penciuman sebagai detektor mangsanya dari jarak yang cukup jauh (Scheer 1966 diacu dalam Razak 2006). Pada Gambar 6 diperlihatkan bagian-bagian dari otak pada kelompok ikan teleost (A) (B) Ob - Olfactory bulb I - Olfactory nerve Tel - Telencephalon Ot - Optic tectum Cerb - Cerebellum Hyp - Hypothalamus Vag L Med - Vagal lobe of medulla oblongata SpC - Spinal cord. Keterangan: A). Posisi otak secara dorsal, B) Posisi otak secara lateral. Gambar 6 Bagian-bagian otak ikan (Sumber: Hoar and Randall 1970) 21 Bagian utama yang ketiga adalah otak belakang (hindbraind) yang terdiri atas metencephalon dan myelencephalon (medulla oblongata). Metencephalon merupakan pusat keseimbangan dan tonus otot, dimana pada bagian tersebut terdapat cerebellum atau otak kecil. Fungsi cerebellum adalah pengatur keseimbangan renang, dan orientasi ruang. Pada beberapa ikan komponen ini bagian yang terbesar dari otak. Bagian myelencephalon adalah tempat ditemukannya medulla oblongata. Medulla oblongata merupakan komponen saraf pusat yang mempengaruhi saraf-saraf sensoris (Scheer 1966 diacu dalam Razak 2006). 2.6 Umpan Umpan merupakan salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya pada keberhasilan dalam usaha penangkapan, baik masalah jenis umpan, sifat, dan cara pemasangan (Sadhori 1985). Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa umpan merupakan salah satu bentuk rangsangan (stimulus) yang bersifat fisika dan kimia yang dapat memberikan respons bagi ikan-ikan tertentu pada proses penangkapan ikan. Beberapa ahli perikanan sependapat bahwa umpan merupakan alat bantu (perangsang) yang memikat sasaran penangkapan dan sangat berpengaruh untuk meningkatkan laju tangkap bubu (Rahardjo dan Linting 1993). Syarat umpan yang baik (Djatikusumo 1975) adalah: (1) Tahan lama artinya tidak mudah busuk; (2) Mempunyai ukuran yang memadai; (3) Harganya terjangkau; (4) Mempunyai bau yang spesifik yang dapat merangsang; (5) Mempunyai warna yang mudah dilihat; dan (6) Disenangi oleh ikan yang menjadi tujuan penangkapan King (1991) menjelaskan bahwa umpan pada bubu dan perangkap digunakan untuk menangkap ikan dan crustacea. Prinsipnya adalah ikan tertarik oleh umpan, lalu masuk ke dalam bubu melalui mulut bubu dan sulit untuk melarikan diri. Umpan dengan menggunakan ikan cucut dan kakap dapat 22 menghasilkan tangkapan yang banyak (Wudianto et al. 1988). Bubu yang menggunakan umpan dari ikan yang dipotong-potong, hasil tangkapannya lebih baik dibandingkan dengan menggunakan umpan buatan (pellet). Tidak semua jenis ikan akan merespons jenis umpan yang sama. Masing-masing spesies memiliki pilihan jenis umpan yang berbeda, seperti misalnya pinfish (Lagodon rhomboides) memperlihatkan respons yang besar terhadap umpan dari udang dan pigfish (Orthopristis chrysopterus), namun terkadang pinfish lebih merespons umpan dari kepiting (Yamamoto 1982). Menurut Monintja et al. (1992), umpan yang digunakan dalam pengoperasian jaring keranjang untuk menangkap ikanikan karang adalah terasi. Menurut Prayitno (1986), berdasarkan hasil pengamatan secara menyeluruh mengenai reaksi ikan karang terhadap beberapa jenis umpan di perairan Karimunjawa seperti tertera pada Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2 Hasil pengamatan mengenai reaksi beberapa jenis ikan karang terhadap umpan di perairan Karimunjawa (Prayitno 1986) No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Keterangan: +++ ++ + Jenis Umpan Kepiting Kepala ikan Kepala ikan tongkol Tahu Bulu babi Terasi Multi krill Reaksi +++ ++ +++ + ++ +++ + : baik sekali : baik : sedang Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Titaley (2000) bahwa jenis umpan cumi dan udang menghasilkan tangkapan terbanyak pada ikan kerapu bebek (Plectropomus altivelis). Demikian pula pada umpan bulu babi, menghasilkan tangkapan kerapu terbanyak sebesar 48% dibandingkan dengan menggunakan umpan ikan dan keong mas (Mawardi 2001). Jenis umpan berupa ikan, sering dikonsumsi kelompok ikan kerapu terutama untuk spesies Cephalipholis cruentata (Scultz’s 2004). 23 Umpan yang mengandung asam amino diidentifikasi dapat menjadi stimulus dan atraktor makan pada ikan dan crustacea. Hampir semua studi mengenai rangsangan kimia untuk tingkah laku makan menunjukkan bahwa rangsangan makan pada ikan dan crustacea akan hilang seiring dengan hilangnya kandungan asam amino pada umpan (makanan) (Engas dan Lokkeborg 1994). Lebih lanjut menurut pendapat Hansen dan Reutter (2004), ikan predator (buas) yang memakan makanan tidak hidup (umpan) menggunakan sistem penciumannya untuk dapat mendeteksi dan dapat membeda-bedakan stimuli asam amino. Asam amino yang sangat efektif sebagai stimulus pada sistem penciuman ikan salmon atlantik adalah L-glutamina dan L-alanina (Caprio 1982). Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa efektivitas relatif stimulus organ penciuman dari kandungan asam amino sebanyak 10-4 M adalah L-alanina, L-glutamina, Lsisteina dan L-metionina. Kandungan L-alanina terdapat pada jaringan organisme cacing, moluska, crustacea, dan ikan teleostei. Adapun untuk L-arginina, terdapat pada jaringan organisme moluska dan crustacea. Pengetahuan yang mendasari bahwa untuk ikan catfish, reseptor penciuman sangat besar responsnya pada kandungan sisteina dan metionina; dan pada reseptor rasa sangat besar responsnya pada kandungan alanina dan arginina masih belum diketahui. 2.7 Ikan Kerapu (Serranidae) Menurut Indonesian Coral Reef Foundation (2004), ikan karang dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu pengelompokan ikan karang berdasarkan periode aktif mencari makan dan pengelompokan ikan karang berdasarkan perannya. Pengelompokan ikan karang berdasarkan periode aktif mencari makan di bagi lagi atas tiga kelompok yaitu : (1) Ikan nokturnal, merupakan jenis ikan yang aktif pada malam hari. Contohnya pada ikan-ikan dari suku Holocentridae (swanggi), suku Apogonindae (beseng), dan lain- lain. 24 (2) Ikan diurnal, merupakan jenis ikan yang aktif ketika siang hari. Contohnya pada ikan-ikan dari suku Pomacentridae (injel, napoleon), Acanthuridae (ketamba lencam) dan lain- lain. (3) Ikan crepuscular, merupakan ikan yang aktif di antara waktu siang dan malam. Contohnya pada ikan- ikan dari suku Sphyraenidae (Baracudas), Serranidae (kerapu), Carangidae (ikan kue), dan lain- lain. Pengelompokan ikan karang berdasarkan peranannya juga di bagi atas tiga kelompok yaitu : (1) Ikan target, merupakan target untuk penangkapan atau lebih dikenal juga dengan ikan ekonomis penting atau ikan konsumsi, seperti Serranidae (kerapu), Lutjanidae (kakap), Lethrinidae (ketamba lencam), Acanthuridae (botana), dan Siganidae (baronang). (2) Ikan indikator, merupakan ikan penentu keberadaan terumbu karang karena ikan ini erat hubungannya dengan tingkat kesuburan terumbu karang, yaitu ikan kepe-kepe dari Famili Chaetodontidae. (3) Ikan lain (mayor famili), ikan jenis ini umumnya dalam jumlah banyak dan umumnya dijadikan ikan hias air laut. Contohnya kakatua dari famili Scaridae, swanggi dari famili Holocentridae, dan lain- lain. Nontji (1993) mengatakan bahwa ikan yang berasal dari perairan karang yang mempunyai nilai ekonomis penting dalam produksi perikanan antara lain ikan ekor kuning dan pisang-pisang (Caesio spp), berbagai macam ikan hias, dan ikan yang sering disajikan, misalnya baronang (Siganus), lencam (Lethrinus), kuweh (Caranx), kakap (Lutjanus), dan kerapu (Epinephelus). Ikan kerapu, termasuk famili Serranidae, dikenal sebagai ikan yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi. Penyebarannya meliputi daerah tropis dan subtropis. Biasanya hidup di perairan karang berkedalaman kurang lebih 27 m (Departemen Pertanian, 1987). Ikan kerapu (Epinephelus sp) merupakan satu di antara sekian jenis ikan laut yang bernilai ekonomis tinggi yang banyak dipasarkan dalam keadaan hidup untuk restoran-restoran elit, baik di dalam maupun di luar negeri (Pramu 1994). Produksi ikan kerapu di Indonesia mencapai 6-30 ton per tahun (Hartati et al. 2004) 25 Di Indonesia ikan kerapu terdapat di seluruh wilayah perairan teluk Banten, Ujung kulon, Kep. Riau, Kep. Karimunjawa, Kep. Seribu, Jawa, dan NTB (Mayunar,1991). Ada berbagai jenis ikan kerapu yang terdapat di Indonesia, di antaranya adalah kerapu lumpur (Epinephelus suillus), kerapu sunu (Plectropomus leopardus), kerapu tikus (Cromileptes altivelis), kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), kerapu lodi (Plectropomus maculatus), kerapu merah (Epinephelus fasciatus), kerapu tutul (Epinephelus melanustigma), kerapu batu (Cephalopholis boenack), kerapu hitam (Cephalopholis microprion), dan kerapu lokal (Epinephelus gouyanus) (Balai Penelitian Perikanan Laut 2007). Ikan dari famili Serranidae di alam, aktif makan pada siang dan malam hari. Selanjutnya ikan kerapu dalam mencari makanan akan berenang-renang di antara batu karang, atau celah-celah batu yang merupakan tempat persembunyiannya dan hanya kepalanya yang terlihat. Dari tempat itulah ikan kerapu menunggu mangsanya. Bila mangsa telah tampak, ikan kerapu segera melesat dengan cepat menangkap mangsanya dan menelannya, setelah itu ikan kembali ke tempat persembunyiannya (Sugama et al. 1986). 2.8 Respons Tingkah Laku Ikan terhadap Alat Tangkap Bubu Tingkah laku ikan adalah suatu proses adaptasi terhadap lingkungan eksternal dan internal. Sistematika studi tingkah laku ikan termasuk ke dalam beberapa aspek (He 1989), yaitu: (1) Ragam dari tingkah laku ikan; yaitu ragam tingkah laku dari berbagai tingkah laku ikan. (2) Evolusi tingkah laku ikan; yaitu perubahan tingkah laku ikan dalam hubungannya dengan adaptasi terhadap lingkungan tertentu dalam jangka waktu yang panjang. (3) Sejarah (history) tingkah laku ikan; yaitu untuk mempelajari bagaimana pola tingkah laku tertentu dari generasi yang lampau sampai generasi yang akan datang dan bagaimana variasi yang akan muncul hubungannya dengan perubahan lingkungan. 26 Terdapat enam tahap perilaku ikan yang dapat dikenali saat pengoperasian alat tangkap bubu, yaitu arousal, location, tingkah laku di sekitar bubu, masuk dalam bubu (ingress), aktivitas di dalam bubu, dan melarikan diri (Furevik 1994). Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa untuk pengoperasian bubu dengan menggunakan umpan, arousal dan location merupakan dua tahap dalam tingkah laku ikan saat mengarah ke umpan, sedangkan tahap yang lain tidak begitu penting dalam penangkapan ikan dengan menggunakan bubu karena ketika ikan memakan umpan yang dipasang berarti ikan tersebut terperangkap. Beberapa alasan yang menyebabkan ikan menjadi lebih tertarik masuk dalam bubu ialah gerakan acak dari ikan, adaptasi ikan sebagai tempat tinggal atau tempat berlindung, keingintahuan ikan, tingkah laku sosial antarspesies atau adanya predator. Hal tersebut yang menjadikan dasar dalam mekanisme pengoperasian bubu tanpa umpan (Furevik 1994). Rangsangan kimia dari mangsa menjadikan alasan yang penting untuk efisiensi penangkapan pada bubu yang menggunakan umpan maupun yang tidak menggunakan umpan (Hara 1993). Bubu tanpa umpan yang direndam sekitar satu minggu di perairan, biasanya ditempeli oleh ganggang cokelat (Phaeophyceae) dan ganggang hijau (Chlorophyceae). Adanya ganggang tersebut diduga menjadi daya tarik bagi kelompok ikan herbivor untuk datang dan mengkonsumsi ganggang tersebut (Monintja et al. 1992) Bubu dengan menggunakan umpan, biasanya ikan mendekati bubu dari posisi bawah ketika aroma dari umpan telah menyebar. Ditemukan hampir 90% ikan haddock (Melanogrammus aeglefinus) mendekati bubu berumpan dari posisi atas (Furevik 1994), sedangkan untuk bubu tanpa menggunakan umpan, posisi ikan saat mendekati bubu dari segala arah. 2.9 Alat Tangkap Bubu dan Efektivitasnya Bubu (perangkap) adalah alat tangkap yang umumnya berbentuk kurungan. Ikan dapat masuk dengan mudah tanpa adanya paksaan, tetapi ikan tersebut akan sukar keluar karena terhalang pintu masuknya yang berbentuk corong (non-return device) (Brandt 1984). 27 Bubu dalam berbagai macam ukuran dan bentuk banyak digunakan pada berbagai lokasi, terutama daerah karang (Martasuganda 2003). Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa bentuk bubu sangat beraneka ragam, antara lain ada yang berbentuk segi empat, trapesium, silinder, lonjong, bulat setengah lingkaran, dan persegi panjang. Bentuk bubu biasanya disesuaikan dengan ikan yang akan dijadikan target tangkapan sama. Terkadang bentuk bubu yang dipakai biasa juga berbeda bergantung pada kebiasaan atau pengetahuan nelayan yang mengoperasikan. Secara umum bubu terdiri atas bagian badan (body), mulut (funnel) atau ijeb dan pintu masuk. Badan berupa rongga sebagai tempat ikan terkurung. Mulut bubu merupakan pintu ikan masuk dan tidak dapat keluar. Umumnya berbentuk seperti corong. Pintu bubu untuk mengambil hasil tangkapan dari dalam badan bubu (Subani dan Barus 1989). Metode pengoperasian untuk semua jenis bubu pada umumnya hampir sama, yaitu dipasang di daerah penangkapan yang sudah diperkirakan banyak hidup ikan yang akan dijadikan target tangkapan (Martasuganda 2003). Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa lama perendaman bubu di perairan ada yang hanya direndam beberapa jam, ada yang direndam satu malam, ada juga yang direndam sampai tiga hari tiga malam dan bahkan ada yang direndam sampai tujuh hari tujuh malam. Bubu dioperasikan di dasar perairan dengan umpan sebagai pemikat mangsa. Hasil tangkapan bubu berkualitas tinggi dan dapat dipasarkan dalam keadaan hidup (Martasuganda 2003). Ikan yang banyak tertangkap oleh bubu adalah ikan kue (caranx spp), beronang (Siganus spp), kerapu (Epinephelus spp), kakap (Lutjanus spp), kakatua (Scarus spp), ekor kuning (Caesio spp), ikan kaji (Diagramma spp), dan lencam (Lethrinus spp) (Subani dan Barus 1988). Efektivitas adalah tingkat pencapaian hasil yang telah dicapai terhadap suatu tujuan. Efektivitas (Ef) sama dengan hasil yang telah dicapai atau telah didapatkan dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan dan dinyatakan dalam persen (Gibson et al. 1990). Efektivitas dapat pula diartikan sebagai perbandingan antara hasil dengan tujuan dalam persen. Apabila nilai efektivitasnya di atas 100% maka dapat dikatakan cukup efektif, apabila nilai efektivitasnya di bawah 100% dapat 28 dikatakan kurang efektif. Dengan kata lain, efektivitas sama dengan hasil yang telah dicapai atau telah didapatkan dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan dan dinyatakan dalam persen. Pengertian efektivitas pada alat tangkap adalah suatu kemampuan alat tangkap untuk mendapatkan hasil tangkapan yang optimum sesuai dengan tujuan penangkapan. Tujuan penangkapan yang dimaksud harus mengacu dari usaha menjaga keberlangsungan sumber daya ikan, yaitu operasi penangkapan dengan mempertimbangkan faktor keramahan terhadap lingkungan yang sesuai dengan Code of Conduct for Responssible Fisheries. Menurut Baskoro et al. (2006), nilai efektivitas pada alat tangkap dikategorikan tiga, yaitu apabila nilainya kurang dari 50% dapat dikatakan alat tangkap tersebut efektivitasnya rendah, nilai 50%-80% dikatakan alat tangkap yang cukup efektivitasnya dan nilai 80%-100% dikatakan alat tangkap yang efektivitasnya tinggi. Menurut Friedman (1988), bahwa hasil tangkapan suatu alat tangkap dipengaruhi efektivitas alat dan efisiensi cara operasi. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa efektivitas alat tangkap secara umum bergantung pada faktor-faktor, antara lain parameter alat tangkap itu sendiri (rancang bangun dan konstruksi), pola tingkah laku ikan, ketersediaan atau kelimpahan ikan, dan kondisi oseanografi. Dapat diartikan bahwa dalam menentukan efektivitas jenis alat tangkap tertentu harus memperhatikan faktor-faktor tersebut.