I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) merupakan salah satu komoditas perikanan budidaya yang memiliki prospek usaha yang sangat baik. Ikan ini memiliki harga cukup tinggi yaitu sekitar Rp. 110.000/kg untuk ukuran konsumsi (dalam kondisi hidup) dan Rp. 1000/cm untuk ukuran benih serta memiliki permintaan yang cukup tinggi di pasar Internasional (Handolok, 2009). Sejauh ini Indonesia menjadi pemasok utama ikan kerapu terutama ke Hongkong, Cina dan Singapura (Afero et al. 2010). Produksi ikan kerapu juga terus mengalami peningkatan berdasarkan data statistik Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP), produksi Indonesia pada 2006 sebanyak 4.021 ton, pada 2008 mencapai 5.005 ton dan pada 2009 terus naik menjadi 5.300 ton (KKP, 2011). Hal ini menunjukkan ikan kerapu semakin dibutuhkan oleh pasar. Budidaya ikan kerapu macan baik pendederan maupun pembesaran biasanya dilakukan menggunakan teknik keramba jaring apung (KJA) yang tentunya tidak terlepas dari permasalahan. Salah satu masalah yang dihadapi adalah tingginya tingkat kematian akibat ukuran benih yang ditebar masih rentan terhadap penyakit. Menurut Rahayu (2009), salah satu penyakit yang sering menyerang benih ikan kerapu macan di KJA adalah penyakit bakterial yaitu vibriosis yang disebabkan bakteri Vibrio sp. Pada penelitian Herfiani (2011) ditemukan jenis Vibrio sp. yang banyak menyerang kerapu macan adalah Vibrio alginolyticus. Bakteri golongan vibrio diketahui sebagai bakteri oportunistik dan merupakan bakteri yang sangat ganas dan berbahaya pada budidaya ikan kerapu karena dapat bertindak sebagai patogen primer dan sekunder. Sebagai patogen primer bakteri masuk ke tubuh ikan melalui kontak langsung sedangkan sebagai patogen sekunder bakteri menginfeksi ikan yang telah terserang penyakit lain, misalnya parasit (Post, 1987 dalam Johnny et al., 2002). Mekanisme infeksi bakteri ini dapat dimulai dari pelekatan bakteri pada lendir (mucus) yang dihasilkan sekitar permukaan kulit ikan, dimana pada bagian mucus ini terdapat nutrisi yang dibutuhkan V. alginolyticus (Rahmaningsih, 2011) untuk melakukan invasi jaringan pada tubuh ikan dengan membentuk kolonisasi 1 dan perkembangbiakan hingga mencapai quorum sensing dan menjadi patogen untuk menyerang sistem imun non spesifik seperti sisik dan kulit ikan sehingga dapat masuk ke dalam jaringan tubuh dan menyerang sistem imun spesifiknya sehingga membuat ikan menjadi sakit (Todar, 2002 dalam Sarjito et al., 2007). Pada penelitian Herfiani (2011) bakteri V. alginolyticus ini patogen pada konsentrasi bakteri 104 cfu/ml. Bakteri ini kemudian akan mengeluarkan produk ekstraseluler yaitu toksin yang sangat berbahaya pada organ-organ target seperti usus dan ginjal. Toksin yang dikeluarkan diantaranya adalah haemolysin yang dapat merusak sel darah merah hingga pecah dan keluar dari pembuluh darah yang membuat jaringan kulit pada mulut dan sirip seperti luka kemerahan (Sudheesh dan Xu, 2001). Menurut Koesharyani et al. (2001), penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini memperlihatkan gejala klinis seperti borok pada pangkal sirip ekor, sirip yang busuk dan mulut merah serta menyebabkan kematian dengan tingkat mortalitasnya dapat mencapai 20-30%. Hal tersebut pernah terjadi di Kepulauan Seribu dengan kematian ikan mencapai 80% (Rahayu, 2009). Selain tingkat kematian yang tinggi, ikan yang sakit juga mengalami abnormalitas organ tubuh seperti bentuk tubuh abnormal (bengkok), tubuh kurus dan lemah, nafsu makan berkurang, dan sirip ekor geripis. Hal ini tentunya akan menghambat pertumbuhan ikan sehingga dapat menurunkan target produksi. Salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk menghadapi permasalahan ini adalah dengan melakukan pengendalian penyakit dengan memberikan pakan yang mengandung obat pada benih kerapu macan sehingga lebih tahan terhadap penyakit. Namun, obat yang digunakan dalam pakan bukan berupa antibiobik mengingat penggunaan antibiotik dilarang pada ikan konsumsi yang akan diekspor ke wilayah Eropa (Tempo, 2012) seperti oksitetrasiklin, kloramfenikol dan furazolidone yang biasa digunakan pada ikan kerapu macan. Selain itu, penggunaan antibiotik yang terus-menerus menyebabkan bakteri menjadi resisten dan pencemaran lingkungan akibat residu yang dihasilkan dari penggunaan antibiotik tersebut. Untuk itu, digunakanlah tanaman obat pada penelitian ini yang merupakan bahan alami ramah lingkungan dan tidak menimbulkan residu jika dikonsumsi ikan. 2 Tanaman obat yang mengandung antibakteri dan imunostimulan serta telah digunakan dalam beberapa penelitian diantaranya adalah meniran (Phyllanthus niruri) dan bawang putih (Allium sativum). Pada bawang putih terdapat zat antibakteri yang berasal dari senyawa allicin. Menurut Palungkun dan Budiarti (1998) allicin memiliki aktifitas antibakteri pada bakteri Gram negatif maupun positif. Pada daun meniran diduga senyawa potensial yang berperan sebagai antimikroba adalah flavonoid, disamping itu senyawa ini juga berperan sebagai imunostimulan, antioksidan, antikarsinogen, hepatoprotektor dan antialergi (Sabir dan Rocha, 2008). Campuran kedua bahan tersebut dalam pakan (repelleting) terbukti dapat menekan angka kematian ikan yang terserang penyakit akibat bakteri. Pakan dengan campuran meniran-bawang putih yang diberikan selama 14 hari menghasilkan kelangsungan hidup sebesar 73,33% pada ikan lele yang diuji tantang dengan bakteri Aeromonas hydrophila (Widiani, 2011) dan 83,33% pada ikan nila yang diuji tantang dengan bakteri Streptococcus agalactiae (Fauziah, 2012). Pada penelitian ini, campuran meniran-bawang putih diujikan untuk pencegahan dan pengobatan penyakit akibat bakteri V. alginolyticus pada benih kerapu macan. 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas campuran meniranbawang putih yang dicampurkan dalam pakan sebagai upaya pengendalian penyakit akibat bakteri V. alginolyticus pada benih ikan kerapu macan. 3