komunikasi lintas agama: kegiatan penyebaran

advertisement
KOMUNIKASI LINTAS AGAMA: KEGIATAN
PENYEBARAN AGAMA GEREJA KRISTEN
PASUNDAN KAMPUNG SAWAH KOTA BEKASI
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Komunikasi Penyaran Islam (S.Kom.I)
Oleh
Dea Alvi Soraya
NIM. 1112051000050
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1437 H/2016 M
ABSTRAK
Dea Alvi Soraya
Komunikasi Lintas Agama: Kegiatan Penyebaran Agama Gereja Kristen Pasundan Kampung
Sawah Kota Bekasi
Penyebaran agama bagi agama Kristen dan Islam merupakan tugas penting dan
merupakan kewajiban bagi pemeluknya. Kegiatan penyebaran agama dapat disebut sebagai
kegiatan komunikasi, dimana komunikator menyemapaiakan pesan kepada komunikan baik
secara perorangan maupun kelompok. Penyebaran agama atau berdakwah dalam agama Islam
dianggap sebagai tugas suci yang merupakan tugas setiap muslim. Dengan demikian, setiap
muslim berkewajiban untuk berdakwah. Sedangkan dalam agama Kristen, perintah
penyebaran agama adalah amanat agung yang disampaikan Yesus sebelum naik ke Syurga.
Dengan penjelasan yang terurai di atas, maka dapat dirumuskan beberapa pokok
permasalahan yang mengahasilkan beberapa pertanyaan. Pertanyaan utamanya yaitu,
bagaimana komunikasi lintas agama kegiatan penyebaran agama GKP Kampung Sawah Kota
Bekasi? Adapun pertanyaan turunannya adalah apa bentuk bujukan dan paksaan atau reaksi
kebencian yang dilakukan umat kristiani dalam melakukan penyebaran agama? Apakah
komunikasi berperan sebagai obat manjur dalam menyelesaikan masalah atau racun yang
memperkeruh masalah? Apakah kegiatan penyebaran agama Kristen diibaratkan seperti
peluru atau bumarang? Apa respon umat muslim kampung sawah terhadap kegiatan
penyebaran agama GKP Kampung Sawah berada pada tahap negosiasi, dominasi atau
penolakan?
Teori utama yang digunakan dalampenelitian ini adalah Teori Resepsi Aktif milik
Andi Faisal Bakti. Teori ini menganggap abahwa manusia adalah makhluk yang aktif dalam
menginterpretasikan pesan dan informasi. Teori ini mengatakan bahwa keefektifan
komunikasi dan diterimanya pesan bukan berasal dari peran komunikator atau media massa,
melainkan dari proses penerimaan pesan oleh komunikan. Dalam hal ini komunikan tidak
bersifat pasif melainkan berperan aktif.
Penelitian ini menghasilkan sebuah fakta bahwa hubungan komunikasi lintas agama
di kampung sawah berjalan dengan harmonis dan penuh rasa toleransi. Kegiatan penyebaran
agama kristen di kampung sawah diakukan melalui jalur pernikahan lintas agama dan sistem
marga. Banyak umat muslim yang pindah agama dengan alasan mengikuti dorongan keluarga
atau keyakinannya sendiri. Ada pula sebaliknya, umat kristiani yang melepaskan
keyakinannya dan memilih Islam. Fenomena pindah agama baik bagi muslim maupun
kristiani dianggap sebagai hal yang wajar sehingga warga kampung swah sudah terbiasa
mengahdapi fenomena tersebut.
Kesimpulannya, kegiatan penyebaran agama Kristen di Kampung Sawah dilakukan
melalui bujukan dan terselung, sehingga orang yang menjadi sasaran kristenisasi tiddak akan
menyadarinya. Hal ini tentu membuat gerakan kristenisasi akan terus berjalan di Kampung
Sawah sampai kapanpun.
Keyword: penyebaran agama, kampung sawah, kristiani, muslim
Kata pengantar
Puji syukur saya hanturkan kepada Allah SWT penguasa alam semesta, hanya dengan
hidayah-Nya proses penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat dan salam semoga
selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan pengikutnya.
Skripsi dengan judul Komunikasi Lintas Agama: Kegiatan Penyebaran Agama Gereja
Kristen Pasundan Kampung Sawah Kota Bekasi, yang telah melalui beberapa kali pergantian
judul semenjak sidang proposal pada tanggal 16 desember 2015 lalu.
Peneliti menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya dukungan dari
banyak pihak baik secara materil maupun moril. Oleh karena itu, peneliti menyampaikan
banyak terima kasih kepada pihak yang sangat membantu dalam penyesaian skripsi ini,
terutama kepada yang terhormat:
1. Dr. Arief Subhan, MA, Selaku dekan fakultas ilmu dakwah dan ilmu
komunikasi uin syarif hidayatullah jakarta.
2. Drs. Masran, MA dan Fita Fathurakhmah, M.Si selaku ketua dan sekertaris
jurusan komunikasi penyiaran islam uin syarif hidayatullah jakarta.
3. Prof. Dr. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D, selaku guru besar fakultas ilmu
dakwah dan komunikasi sekaligus dosen pembimbing skripsi. Peneliti
mengucapkan banyak terima aksih atas bimbingan dan didikan yang diberikan
kepada peneliti demi mencapai hasil yang terbaik. Terima kasih pula atas
seluruh dukungan dan motivasi yang diberikan kepada peneliti.
4. Dr. Suhaimi, M.Si selaku ketua sidang skripsi, Dr. Rulli Nasrullah, M.Si
selaku penguji I dan Ade Masturi, MA selaku penguji II.
5. Keluarga besar fakultas ilmu dakwah dan ilmu komunikasi beserta segenap
dosenyang telah memberikan saran dan masukan kepada peneliti.
6. Seluruh staf tata usaha yang telah memudahkan peneliti dalam mempercepat
penyelesaian penelitian.
7. kepada Papa (Ahmad Sanusi, MA) dan Mama (Sri Mulyati, S.Ag) tercinta,
yang telah memberikan saran dan selalu bersedia menjadi tempat keluh kesan
peneliti di saat-saat sulit. Terima kasih pula saran dan dorongan yang selalu
diberikan demi memunculkan semangat peneliti dalam menulis.
8. Sahabat-sahabat peneliti, Yaumil Kurniati, Rahmah Novitasari dan Ina
Legiana yang selalu ada untuk peneliti dan selalu memberikan pengertian
kepada peneliti.
9. Kepada anggota KKN MEMORI 2015 yang sudah rela menyelesaikan tugas
KKN dan memaklumi peneliti. Terima kasih atas pengertiannya.
Terakhir, peneliti menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan.
Oleh sebab itu, peneliti berharap dikemudian hari skripsi ini dapat dikembangkan
dengan lebih baik. Amin.
Ciputat, 20 Maret 2016
Dea Alvi Soraya
DAFTAR ISI
ABSTRAK
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................................................
1
B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah.................................................
6
1. Identifikasi Masalah .............................................................................
6
2. Batasan Masalah ...................................................................................
7
3. Rumusan Masalah ................................................................................
7
C. Ruang Lingkup, Tujuan, Pernyataan dan Manfaat Penelitian ....................
8
1. Ruang Lingkup Penelitian ...................................................................
8
2. Tujuan Penelitian ..................................................................................
8
3. Pernyataan Penelitian ...........................................................................
8
4. Manfaat Penelitian ................................................................................
9
D. Bingkai Teoritis dan Metodologi Penelitian ...................................................
9
1. Bingkai Teoritis .....................................................................................
9
2. Metodologi Penelitian ...........................................................................
10
E. Tinjuan Pustaka ................................................................................................
12
F. Sistematika Penulisan .......................................................................................
14
BAB II. KAJIAN PUSTAKA : TEORI RESEPSI AKTIF
A. Komunikasi, Agama dan Budaya .................................................... ..
15
B. Coerseduction ........................................................................................
23
C. Panacea .................................................................................................
27
D. Bullet and Boomerang Effect ..............................................................
32
E. Negotiation ............................................................................................
35
BAB III. GAMBARAN UMUM
A. Bertemunya Kristen dan Islam ......................................................................
39
B. Gereja Kristen Protestan Pasundan Kampung Sawah .................................
41
C. Agama Kristen di Kampung Sawah................................................................
45
BAB IV. ANALISIS DATA : KRISTEN DAN RESPONS MUSLIM
A. Paksaan, Bujukan, atau Reaksi (Kebencian) .................................................
49
B. Obat Manjur, Penawar, atau Racun (Opium) ..............................................
56
C. Peluru dan Bumerang ......................................................................................
60
D. Tarik Ulur, Dominasi atau Penolakan ............................................................
64
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................................
74
B. Saran .................................................................................................................
75
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................
76
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hubungan antara negara dan agama merupakan hal yang tidak dapat
dipisahkan. Pancasila sebagai dasar negara Indonesia menyebutkan “Ketuhanan
Yang Maha Esa” dalam sila pertama. Sila tersebut dijabarkan dalam UUD 1945
bab XI tentang agama, yang berbunyi:1
“1. Negara berdasarkan atas Ketuhanan YME.
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.”
Indonesia adalah negara yang terdiri dari 17.800 pulau, dengan beragam suku,
bahasa, budaya dan agama. Penduduk Indonesia didominasi oleh pemeluk agama
Islam. Namun tidak menghalangi berkembangnya agama-agama besar di dunia
seperti Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu di Indonesia.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dalam hasil sensus penduduk tahun
2010, pemeluk agama Islam pada tahun 2010 tercatat sebanyak 207,2 juta jiwa
(87,18 persen), pemeluk agama Kristen sebanyak 16,5 juta jiwa (6,96 persen),
pemeluk agama Katolik sebanyak 6,9 juta jiwa (2,91 persen), pemeluk agama
Hindu sebanyak 4.012.116 jiwa (1,69 persen) dan pemeluk agama Budha
sebanyak 1.703.254 jiwa (0,72 persen). Sementara itu, agama Khong hu cu
sebagai agama termuda yang diakui oleh pemerintah Indonesia dianut sekitar
117,1 ribu jiwa (0,05 persen).2
Departemen Agama RI (Depag RI), Bingkai Teologi: Kerukunan Hidup Umat Beragama di
Indonesia (Jakarta: Depag RI, 1997),h. 1.
2
Badan Pusat Statistik (BPS), Hasil Sensus Penduduk 2010: Kewarganegaraan, Suku Bangsa,
Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia (Jakarta: BPS, 2010), h. 10.
1
1
2
Sedangkan jika dilihat secara luas dari populasi pemeluk agama seluruh dunia,
Pew Research Center memprediksikan terjadinya perubahan pada perkembangan
agama dan pemeluknya di tahun 2050, antara lain:3
1.
Perkembangan agama Kristen akan semakin berkembang pada tahun
2050 dengan perkiraan mencapai 11,2% dari seluruh populasi penduduk
Indonesia.
2.
Pengikut agama Islam akan semakin menurun sekitar 2-3% persepuluh
tahun. Jumlah muslim diperkirakan hanya sekitar 86,4% dari seluruh
populasi penduduk Indonesia pada tahun 2050 dengan jumlah awal
sekitar 87,2% pada tahun 2010.
3.
Islam akan berkembang pesat di India bahkan mengalahkan populasi
muslim di Indonesia.
4.
Pada tahun 2050 akan terjadi keseimbangan antara Islam dan Kristen,
dengan jumlah umat kristiani sebanyak 31,4% dan umat muslim
sebanyak 29,7% dari seluruh populasi penduduk di dunia, seperti yang
tercatat pada tabel 1.1.
Pew Research Center, The Future of World Religions: Populations Growth Projection,
2010-2050 (Washington D.C: Pew Research Center, 2015), h. 73.
3
3
Tabel 1.1
Perkembangan Agama 2010-2050
Penyebaran agama bagi agama Kristen dan Islam merupakan tugas penting
dan merupakan kewajiban bagi umat kristiani dan umat muslim. Hakekat Kristen
dan Islam sebagai agama misionaris membuatnya dominan dipeluk oleh penduduk
dunia. Kegiatan penyebaran agama dapat disebut sebagai kegiatan komunikasi, di
mana komunikator menyampaikan pesan kepada komunikan baik secara
perorangan atau kelompok. Secara teknis perbedaan antara kegiatan penyebaran
agama dengan kegiatan komunikasi terletak pada muatan pesan yang disampaikan.
Dalam komunikasi, pesan yang disampaikan bersifat netral sedangkan dalam
pesan penyebaran agama berisi nilai keteladanan dan kebenaran.4 Penyebaran
agama atau berdakwah dalam agama Islam, dianggap tugas suci yang merupakan
tugas setiap muslim. Dengan demikian, setiap muslim berkewajiban untuk
berdakwah. Seperti dalam firman Allah surat Ali Imran ayat 104, yang berbunyi:
4
Faizah dan Lalu Effendi, Psikologi Dakwah (Jakarta: Prenada Media, 2006), h. 37.
4


 



 


 

 

                    




  



 


        
Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar,
merekalah orang-orang yang beruntung.
Sedangkan dalam agama Kristen, perintah penyebaran agama diibaratkan
sebagai amanat agung. Sebelum Yesus meninggalkan para muridnya dan naik ke
surga, Yesus memberi perintah yang menjadi landasan umat kristiani dalam
melakukan penyebaran agama. Perintah itu tertulis dalam Alkitab perjanjian baru,
surat Matius ayat 19-20 yang berbunyi:
“(28:18) Then Jesus came up and said to them, “All authority in heaven
and on earth has been given to me. (28:19) Therefore go and make
disciples of all nations, baptizing them in the name of the Father and the
Son and the Holy Spirit,(28:20) teaching them to obey everything I have
commanded you. And remember,I am with you always, to the end of the
age.”
5
Artinya: Karena itu pergilah, jadikan semua bangsa murid-Ku dan baptislah
mereka dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus, dan ajarkanlah mereka
melakukan segala sesuatu yang telah kuperintahkan padamu. Dan ketahuilah, aku
menyertaimu senantiasa hingga akhir zaman.
Kesamaan kewajiban antara umat muslim dan kristiani, menjadikan kedua
agama ini berkompetisi dalam hal penyebaran agama. Manusia memiliki hak
untuk mengungkapkan agama dan keyakinannya dalam ritual peribadatan,
menaati, mengamalkan dan mengajarkan agama dan keyakinan mereka dalam
masyarakat baik secara tertutup maupun terbuka.
Perlindungan dalam beragama dan berkeyakinan tertera pada Hak Asasi
Manusia (HAM), Undang-Undang Dasar (UUD), maupun keputusan dari berbagai
macam forum dan federasi baik tingkat nasional maupun internasional. Hal ini
didasari komitmen untuk menghormati, melindungi dan mengembangkan ajaran
masing-masing pemeluk agama agar terhindar dari tindak intimidasi, diskriminasi,
kekerasan, dan isolasi. Kebebasan beragama dan berkeyakinan termasuk dalam
pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Kebebasan
beragama memiliki dua komponen, yaitu:5
“1. Kebebasan seseorang untuk memeluk atau untuk tidak memeluk agama
yang ia pilih.
2. Kebebasan seseorang untuk mengungkapkan agama dan keyakinannya,
secara individu atau dalam masyarakat bersama-sama dengan orang
lain, di muka umum atau secara pribadi, melalui pelaksanaan ibadah,
ketaatan, pengalaman, dan ajaran keyakinannya.”
Selain itu, dalam Peraturan Bersama Kementerian Agama dan Kementerian
Dalam Negeri nomer 9 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas
Kepala/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,
Europea UIO,EU Guidelines on the Promotion and Protection of Freedom of Religion or
Belief (Luxembourg: Europea UIO, 2013), h. 5.
5
6
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah,
menyatakan bahwa:
“1. Hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangidalam keadaan apapun.
2. Setiap orang bebas memilih agama dan beribadah menurut agamanya.
3. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanyadan
kepercayaannya itu.
4. Pemerintah berkewajiban melindungi setiap usaha penduduk
melaksanakan ajaran agama dan ibadah pemeluk-pemeluknya
sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
tidak menyalah-gunakan atau menodai agama, serta tidak mengganggu
ketentraman dan ketertiban umum.
5. Pemerintah memiliki tugas untuk memberikan bimbingan dan
pelayanan agar setiap penduduk dalam melaksanakan ajaran agamanya
dapat berlangsung dengan rukun, lancar dan tertib.
6. Kebijakan pemerintah dalam pembangunan nasional di bidang agama
antara lain peningkatan kualitas pelayanan dan pemahaman agama,
kehidupan beragama, serta peningkatan kerukunan intern dan antar
umat beragama.
7. Daerah dalam rangka menyelenggarakan otonomi, mempunyai
kewajiban melaksanakan urusan wajib bidang perencanaan,
pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang serta kewajiban melindungi
masyarakat, menjaga persatuan dan kesatuan, dan kerukunan nasional
Negara Republik Indonesia.
8. Kerukunan umat beragama merupakan bagian penting dari kerukunan
nasional.”6
Kebebasan tersebut yang menurut peneliti menarik, karena Indonesia
merupakan negara yang didominasi oleh pemeluk agama Islam yang selalu
mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan sosial sehari-hari. Meskipun
sosialisasi tentang toleransi antar agama sudah dikembangkan, namun keberadaan
umat kristiani di Indonesia tetap belum memiliki ruang bebas dalam menyebarkan
agama karena terbatas dengan kentalnya ajaran Islam yang tertanam dalam diri
masyarakat. Oleh sebab itu, terpilihlah “Komunikasi Lintas Agama: Kegiatan
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Pedoman Kerukunan Hidup Umat Beragama
(Bekasi: Atina Bulan Cahaya, 2012), h. 1-2.
6
7
Penyebaran Agama Gereja Kristen Pasundan Kampung Sawah Kota Bekasi”
sebagai tema utama dalam penelitian ini.
B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Sebelum membatasi masalah, peneliti akan terlebih dahulu memberikan
identifikasi masalah seputar judul yang diangkat. Masalah yang ditemukan
peneliti dalam judul ini adalah seputar kegiatan penyebaran agama Gereja Kristen
Pasundan (GKP) Kampung Sawah Kota Bekasi. Untuk mengetahui kegiatan
penyebaran agama yang dilakukan GKP maka peneliti akan melakukan penelitian
kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara
mendalam, dan uji dokumen.
2. Batasan Masalah
Pada penelitian ini, pembatasan yang diambil agar penelitian yang dilakukan
lebih terarah dan terperinci. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian
ini dibatasi pada kegiatan penyebaran agama GKP Kampung Sawah, Kota Bekasi.
Dalam penelitian ini, peneliti lebih terfokus pada faktor yang melatarbelakangi
berkembangnya agama Kristen di Kampung Sawah yang mayoritas penduduknya
beragama Islam.
3.
Rumusan Masalah
a. Bagaimana komunikasi lintas agama kegiatan penyebaran agama GKP
Kampung Sawah Kota Bekasi?
b. Apa teknik yang digunakan jamaat GKP Kampung Sawah dalam
melakukan penyebaran agama?
8
c. Apakah para pemeluk agama baik Islam atau Kristen tetap menjadikan
agamanya sebagai keyakinannya atau memilih berpaling pada agama
lain?
d. Apakah kegiatan penyebaran agama Kristen di Kampung Sawah
berjalan sesuai tujuan, atau justru berbalik dari tujuan awal?
e. Apa respons umat muslim Kampung sawah terhadap kegiatan
penyebaran agama GKP Kampung Sawah?
C. Ruang Lingkup, Tujuan, Pernyataan dan Manfaat Penelitian
1. Ruang Lingkup Penelitian
Status umat kristiani di wilayah Kampung Sawah dikategorikan sebagai
budaya pendamping yang berada diluar kaum dominan, karena umat muslim lebih
mendominasi. Keadaan ini berpotensi menimbulkan kecemasan dan ketakutan
jamaat GKP dalam menyebarkan agama mereka secara bebas. Keterbatasan ruang
gerak inilah yang akan menjadi fokus penelitian, di mana peneliti akan melakukan
observasi dan analisis mengenai strategi jamaat GKP dalam melakukan
penyebaran agama meskipun dengan ruang gerak yang terbatas.
2. Tujuan Penelitian
1) Untuk mengetahui teknik penyebaran agama yang dilakukan GKP
Kampung Sawah Kota Bekasi.
2) Untuk mengetahui pola komunikasi lintas agama di Kampung Sawah.
3) Untuk mengetahui pandangan jamaat GKP Kampung Sawah tentang
masyarakat muslim di lingkungan GKP Kampung Sawah dan
sebaliknya.
9
3. Pernyataan Penelitian
Jika dikaitkan dengan teori utama penelitian, yaitu Teori Resepsi Aktif
(Active-Reception Theory) maka dapat diasumsikan bahwa ada dua cara yang
dilakukan jamaat GKP Kampung Sawah dalam menyebarkan agamanya, yaitu
melalui bujukan dan paksaan. Pada saat ini, umat kristiani lebih memilih
melakukan teknik bujukan dibanding paksaan demi menghindari konflik
antaragama.
Peneliti juga mengasumsikan bahwa jamaat GKP Kampung Sawah
sebenarnya tidak sepenuhnya bebas dalam mengungkapkan ketaatannya pada
agama yang dia yakini. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa kaum kristiani
yang masih menyembunyikan kekristenannya jika berhadapan atau berada di
tengah-tengah masyarakat muslim. Namun, pernyataan dan asumsi tersebut belum
dipastikan kebenarannya. Oleh karena itu, peneliti akan menyajikan beberapa teori
diantaranya teori utama dan teori pendukung serta hasil-hasil temuan dan hasil
analisis penelitian.
4.
Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis
Menjadi gambaran bagi mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk
mengetahui bagaimana penyebaran agama yang dilakukan umat kristiani.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat menjadi acuan mahasiswa yang ingin mengetahui lebih
jauh keeksistensian umat kristiani dalam melakukan penyebaran agama
serta mengkaji teknik yang mereka aplikasikan.
10
D. Bingkai Teoritis dan Metodologi Penelitian
1.
Bingkai Teoritis
Gereja Kristen Pasundan
Kampung Sawah
Kota Bekasi
Coerseduction
Prasangka
Panacea
Resistensi
Bullet
Boomerang
Teknik Penyebaran Agama
Negotiation
Umat Muslim
Penolakan
Penerimaan
Gambar 1.1: Gambaran teoritis
Gambar 1.1 menunjukkan bahwa dalam proses penyebaran agama, terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi berhasil atau tidaknya proses penyebaran
agama tersebut. Faktor-faktor seperti Coerseduction, Panacea, Bullet, Boomerang,
dan Negotiation. Faktor terseut adalah instrumen yang berada dalam Teori Respon
Aktif (Active-Reception Theory).7Teknik-teknik tersebut memiliki pengertian dan
proses yang berbeda-beda.
Penjelasan dari tanda dua panah antara coerseduction dan prasangka adalah
berlawanannya kegiatan coerseduction dan prasangka. Coerseduction diartikan
sebagai cara seseorang untuk membujuk dan mengubah persepsi orang lain
dengan menggunakan bujukan atau paksaan. Sedangkan prasangka adalah suatu
Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South
Sulawesi Muslim Perceptions of a Global Development Program (Jakarta: INIS, 2004), h. 109-120.
7
11
pandangan suatu kelompok tentang kelompok lain. Biasanya, prasangka selalu
dikaitkan dengan hal-hal negatif seperti stereotip, rasis dan reaksi kebencian.
Sedangkan tanda dua panah antara penecea dan resistensi juga diarikan
sebagai hal yang berlawanan. Penecea diibaratkan sebagai faktor lain selain
komunikasi yang dijadikan sebagai penawar dalam menyelesaikan masalah sosial.
Sedangkan resistensi adalah diibaratkan sebagai reaksi yang timbul karena fakta
sosial yang terjadi baik berupa pujian, umpatan, dorongan, penolakan dan lainnya.
Resistensi dalam pandangan James Scoot berfokus pada bentuk-bentuk
perlawanan yang sebenarnya ada dan terjadi dalam kehidupan sehari-hari, ia
menggambarkan dengan jelas bagaimana bentuk perlawanan kaum minoritas yang
tidak memiliki kekuatan dalam melakukan penolakan terbuka dan berujung pada
penolakukan tertutup (resistensi tertutup) seperti gosip, fitnah, dan lainnya.8
Sedangkan bullet (peluru) diibaratkan sebagai kepasifan komunikan dalam
menginterpretasikan informasi sehingga cenderung menerima apapun pesan yang
diberikan oleh komunikator tanpa mempertimbangkan kebenaran pesan tersebut.
Berlawanan dengan boomerang (bumerang) yang menganggap bahwa komunikan
memiliki kemampuan memproses pesan dengan baik dan memiliki kekuasaan
penuh dalam menentukan diterima atau ditolaknya suatu pesan. Sehingga jika
komunikan tidak menerima pesan yang disampaikan komunikator, kemungkinan
pesan tersebut akan menjadi bumerang bagi komunikator tersebut.
Proses interpretasi pesan tersebut diasumsikan sebagai proses negosiasi yang
nantinya akan menentukan diterima atau tidaknya pesan tersebut berdasarkan
8
James Scoot, Moral Ekonomi Petani. Penerjemah Hasan Basri (Jakarta: LP3ES, 1994), h.
64.
12
faktor-faktor yang menjadi referensi komunikan dalam memaknai pesan yang
didapatnya.
Menurut Andi Faisal Bakti, resepsi aktif adalah teori yang menganggap bahwa
manusia adalah makhluk yang aktif dalam menginterpretasikan pesan dan
informasi yang dia dapat. Keefektifan komunikasi dan diterimanya pesan dalam
teori resepsi aktif bukan berasal dari peran komunikator atau media, melainkan
dari proses penerimaan pesan oleh komunikan. Paradigma yang digunakan dalam
teori ini lebih mengarah pada pengaruh atas-bawah atau pengaruh horizontal.
Active-Reception Theory berkaitan dengan komunikasi interpersonal, dengan
sosial kontrol diberikan kepada komunikan dengan pendekatan hubungan
interpersonal.9
2. Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yaitu jenis penelitian
yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, dimana peneliti
adalah sebagai instrument kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara
trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif dan hasil dari penelitian
kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.10 Jenis penelitian
kualitatif digunakan dalam penelitian ini untuk menggambarkan, menganalisa dan
menginterpretasikan kondisi-kondisi berdasarkan data yang penulis dapat secara
lebih mendalam tentang keeksistensian penyebaran agama Kristen di lingkungan
mayoritas muslim.
Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South
Sulawesi Muslim Perceptions of a Global Development Program, h. 108.
10
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D(Bandung: Alfabeta, 2011),
h. 205.
9
13
a.
Subjek dan Objek Penelitian
Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah Gereja Kristen
Pasundan (GKP) Kampung Sawah, Kota Bekasi. Sedangkan objek penelitian ini
adalah kegiatan penyebaran agama Kristen di Kampung Sawah yang mayoritas
pemeluk agama Islam.
b. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
berdasarkan teori dan metodologi yang digunakan, diantaranya:
a) Observasi
Observasi adalah proses pengamatan dan pencatatan secara sistematis
mengenai gejala-gejala yang diteliti. Teknik pengumpulan datanya sesuai dengan
tujuan penelitian yang direncanakan dan dicatat secara sistematis, agar terkontrol
reliabilitas dan validitasnya. Adapun jenis observasi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah observasi non-observasi, di mana peneliti hanya mengamati
tanpa berpartisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan penyebaran agama Kristen.
Dalam hal ini, peneliti hanya akan mengamati dan menganalisis faktor pendorong
serta teknik yang digunakan umat kristiani dalam melakukan penyebaran agama.
b) Wawancara
Wawancara merupakan alat rechecking atau pembuktian terhadap informasi
atau keterangan yang diperoleh sebelumnya.11 Dalam penelitian ini, peneliti akan
melakukan wawancara ketua dewan GKP Kampung Sawah, tokoh masyarakat
Kampung Sawah, pejabat kelurahan Kampung Sawah dan masyarakat Kampung
Sawah. Teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam yang
11
Sutopo HB, Metode Penelitian Kualitatif (Surakarta: UNS Press,2006), h. 140.
14
nantinya akan membantu peneliti dalam menganalisis dan menemukan keterangan
yang lebih detail.
c) Dokumen
Studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan
wawancara dalam penelitian kualitatif. Kredibilitas hasil penelitian kualitatif ini
akan semakin tinggi jika menggunakan studi dokumen.12Dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan buku, jurnal, tesis dan skripsi yang berkaitan dengan
pembahasan dalam penelitian.
1) Tahapan Penelitian (prosedur)
Adapun tahapan penelitian dalam penelitian ini adalah perumusan judul,
penyusunan pengantar masalah, penegasan maksud dan tujuan, penyusunan
perangkat teoritis, penyusunan kerangka konsep, pemilihan penetapan metodologi,
penyajian hasil-hasil penelitian, analisa data yang telah diteliti, penyusunan hasilhasil penelitian, penyusunan kesimpulan, dan terakhir penyusunan saran dan
kelemahan penelitian.
2) Teknik pengolahan data
Tahapan pengolahan data yaitu proses editing, dimana semua data diperiksa
dan diedit pada bagian yang tidak diperlukan. Setelah semua selesai, data yang
sudah diperiksa dan diedit akan dianalisis dan ditafsirkan dalam bentuk deskriptif.
Adapun teknik pengolahan data yang digunakan peneliti adalah teknik pengolahan
secara etnografi.
Etnografi dalam komunikasi adalah metode analisis yang berfokus pada
usaha peneliti dalam mengobservasi dan meneliti tentang suatu komunitas atau
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, h. 56.
12
15
suatu budaya agar bentuk komunikasi yang digunakan komunitas atau budaya
tersebut dapat diterima secara rasional. Etnografi melihat beberapa faktor, antara
lain:13
1) Pola komunikasi yang digunakan dalam sebuah kelompok
2) Mengartikan semua kegiatan komunikasi dalam kelompok
3) Kapan dan di mana anggota kelompok menggunakan kegiatan ini
4) Bagaimana praktik komunikasi yang digunakan
5) Keberagaman kode yang digunakan oleh sebuah kelompok
Teknik etnografi utama adalah wawancara yang panjang dan berkali-kali
dengan beberapa informan. Fokus peneliti dalam melakukan penelitian etnografi
berkaitan dengan perubahan sosial dan kebudayaan. Tujuan dari etnografi adalah
untuk mendapatkan gambaran masa lalu masyarakat tersebut. Namun, etnografi
berkembang dan dibedakan menjadi dua bagian, yaitu etnografi awal dan
etnografi modern. Jika etnografi awal lebih mementingkan hal yang berhubungan
dengan sejarah kebudayaan suatu masyarakat, maka etnografi modern lebih fokus
pada kehidupan masa kini yang sedang dijalani oleh masyarakat.14
Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan. Tujuan
utamanya adalah memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang
masyarakat pribumi. Oleh karena itu, penelitian etnografi tidak hanya mempelajari
masyarakat, namun juga belajar dari masyarakat. Seorang peneliti etnografi
melakukan
proses
memahami
apa
yang
dilihat
dan
didengar
lalu
13
Stephen Littlejohn dan Karen Foss, Teori Komunikasi. Penerjemah Muhammad Yusuf
Hamdan (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), h. 460.
14
James P. Spradley, Metode Etnografi. Penerjemah Misbah Zulfa Elizabeth (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1997), h. 3.
16
menyimpulkannya. Proses ini memerlukan pemikiran atas kenyataan atau
kejadian yang terjadi dan hal yang diduga atau diasumsikan.15
Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang dipakai adalah etnografi modern
yang mengedepankan fokus penelitian pada the way of life masyarakat saat ini,
karena fokus dalam penelitian ini adalah tentang bagaimana strategi GKP
Kampung Sawah dalam melakukan penyebaran agama hingga keeksistensiannya
masih terjaga hingga sekarang. Meskipun lebih memfokuskan pada kehidupan
saat ini, namun peneliti juga akan menambahkan beberapa bukti sejarah tentang
GKP Kampung Sawah yang nantinya akan menguatkan hasil penelitian.
3) Teknik Analisis Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif secara umum
dikelompokkan ke dalam dua jenis cara, yaitu teknik yang bersifat interaktif dan
non-interaktif. Metode interaktif meliputi interview dan observasi berperanserta,
sedangkan metode non-interaktif meliputi observasi tak berperanserta, teknik
kuesioner, mencatat dokumen, dan partisipasi tidak berperan.16Dalam penelitian
ini, peneliti akan menggunakan metode non-interaktif.
E. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini merujuk pada penelitian-penelitain terdahulu dan buku-buku
serta artikel dan makalah ilmiah yanng membahas tentang penyebaran agama dan
kebebasan beragama serta faktor yang mendasari kegiatan penyebaran agama
dalam berbagai perspektif. Adapun penelitian-penelitian terdahulu yang dijadikan
sebagai rujukan adalah:
James P. Spradley, Metode Etnografi, h. 4.
Sutopo HB, Metode Penelitian Kualitatif, h. 9.
15
16
17
Pertama, skripsi karya Saifudin Asrori, mahasiswa Jurusan Sosiologi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia yang berjudul Relasi
Antarumat Beragama di Indonesia. Dalam skripsinya, Saefudin menjelaskan
tentang hubungan kerukunan antarumat beragama yang telah berlangsung sejak
masa orde baru dengan terbentuknya forum-forum kerukunan umat beragama.
Skripsi ini dianggap relevan karena membahas hubungan antarumat beragama di
Indonesia, serta rasa untuk saling menghargai dan hidup rukun antarumat
beragama.17
Kedua, skripsi karya Meliza Faomasi Laoli, mahasiswi Jurusan Pendidikan
Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan
Indonesia yang berjudul Peranan Nederlandse Zendingsvereeniging dalam Sejarah
Pembentukan Gereja Kristen Pasundan di Jawa Barat Pada Awal Abad 20. Dalam
skripsinya, Meliza menceritakan tentang awal mula perkembangan agama Kristen
di Jawa Barat hingga berdirinya gereja Kristen Pasundan yang jamaatnya tersebat
dihampir seluruh Jawa Barat.18
Ketiga, skripsi karya Listyarini Diah Wulandari, mahasiswi Jurusan
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang berjudul Zending: Kristenisasi di
Margorejo Kecamatan Dukuhseti, Kabupaten Pati Tahun 1852-1942. Dalam
Saefudin Asrori, “Relasi Antarumat Beragama di Indonesia,” (Skripsi S1 Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2007), h. 38.
18
Meliza Faomasi Laoli, “Peranan Nederlandse Zendingsvereenigingdalam Sejarah
Pembentukan Gereja Kristen Pasundan di Jawa Barat Pada Awal Abad 20,” (Skripsi S1 Fakultas
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Pendidikan Indonesia, 2013), h. 23.
17
18
skripsinya, Listyarini menceritakan tentang sejarah penyebaran Kristen di
Margorejo dan peran Zending dalam proses penyebaran agama Kristen.19
Keempat, skripsi karya Saleh Tri Aryanto, mahasiswa Jurusan Perbandingan
Agama Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
yang berjudul Minoritas Muslim di Kalangan Mayoritas Kristen. Dalam
skripsinya, saleh menganalisis Dusun Ngento-Ento, Sumberagung, Mayudan,
Sleman yang mayoritas penduduknya adalah umat kristiani. Hasil dari penelitian
saleh menunjukkan bahwa pendangan mayoritas dan minoritas tidak terlihat di
dusun ini, seluruh penduduk baik muslim maupun kristiani dapat hidup rukun dan
saling menghormati.20
Kelima, skripsi karya Patar Pasaribu, mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah
Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia
yang berjudul Peranan Inger Ludwig Nommensen dalam Perkembangan HKBP di
Tanah Batak (1861-1881). Dalam skripsinya, Patar menceritakan perkembangan
HKBP serta peran Inger Ludwig Nommensen dalam penyebaran ajaran Kristen di
Batak.21
Keenam, skripsi karya Toto Tahari, mahasiswa jurusan perbandingan agama
fakultas ushuluddin dan ilmu filsafat universitas islam negeri syarif hidayatullah
jakarta yang berjudul respon muhammadiyah terhadap kristenisasi di Indonesia.
Dalam skripsinya, Toto menjelaskan bagaimana kegiatan kristenisasi yang terjadi
Listyarini Diah Wulandari, “Zending: Kristenisasi di Margorejo Kecamatan Dukuhseti,
Kabupaten Pati Tahun 1852-1942,” (Skripsi S1 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2011), h. 41.
20
Saleh Tri Aryanto, “Minoritas Muslim di Kalangan Mayoritas Kristen: Studi di Dusun
Ngento-Ento, Sumberagung, Mayudan, Sleman,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013), h. 67.
21
Peter Pasaribu, “Peranan Inger Ludwig Nommensen dalam Perkembangan HKBP di Tanah
Batak tahun 1861-1881,” (Skripsi S1 Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas
Pendidikan Indonesia, 2013), h. 12.
19
19
pada masa kepemimpinan K.H Ahmad Dahlan dan bagaimana beliau menghadapi
kegiatan kristenisasi tersebut.22
F. Sistematika Penulisan
Guna menjelaskan dan memberikan mensistematiskan penulisan laporan riset
in, maka disusun sistematika penulisan ke dalam lima bab, dan pada masingmasing bab dibagi menjadi beberapa sub-bab yang akan mendukung isi dari tiap
bab yang saling berhubungan, adapun sistematika penelitian skripsi ini yaitu
sebagai berikut:
Pendahuluan, penulis letakkan pada bab satu yang meliputi latar belakang
masalah yang membahas gambaran secara singkat mengenai agama di Indonesia
dan kesamaan antara Islam dengan Kristen. Kemudian bab ini juga mencangkup
pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi
penelitian, dan sistematika penulisan.
Kajian Pustaka menyusul pada bab dua, yang memuat teori-teori yang
menunjang dan mempunyai hubungan dengan permasalahn yang diangkat dalam
penelitian ini. Bab ini juga mengandung penjelasan teori Active-Reception sebagai
teori utama dan teori serta teori-teori lain yang mendukung dan mengkritik teori
utama.
Selanjutnya, Gambaran Umum tentang Gereja Kristen PasundanKampung
Sawah, Kota Bekasi akan dijabarkan pada bab tiga.
Sampai pada Analisis Data yang merupakan inti dari penelitian ini diletakkan
di bab empat. Dalam bab ini peneliti menganalisis semua temuan data yang
diperoleh dengan menggunakan analisis deskriptif. Peneliti membahas bagaimana
22
Toto Tahari, “Respon Muhammadiyah Terhadap Kristenisasi di Indonesia,” (Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin dan Ilmu Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2011), 5.
20
komunikasi lintas agama yang mereka alami, faktor-faktor yang mempengaruhi
aksi pengungkapan identitas agama, dan strategi Gereja Kristen Pasundan
Kampung Sawah dalam melakukan penyebaran agama.
Akhirnya, bab lima sebagai penutup penelitian ini. Dalam bab ini, peneliti
menyimpulkan hasil yang diambil setelah melakukan analisa data dan interpretasi
dari hasil penelitian, serta memberikan saran baik dari sisi akademis, maupun
praktis.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA: TEORI RESEPSI AKTIF
A. Komunikasi, Agama dan Budaya
Komunikasi dan budaya dianggap tidak memiliki batasan, begitu juga dengan
agama yang merupakan salah satu elemen dari budaya. Komunikasi, budaya dan
agama diibaratkan sebagai sebuah segitiga yang saling terhubung satu sama lain.
Keterkaitan tersebut yang banyak dianggap sebagai faktor mendasar dalam
pembentukan identitas seseorang. Samovar dan koleganya mendefinisikan
komunikasi antarbudaya sebagai komunikasi yang terjadi antara komunikator
(sender) dan penerima pesan (receiver) yang memiliki latar belakang kebudayaan
yang berbeda.1
Sejak lahir manusia dididik berdasarkan budaya dan agama yang disalurkan
melalui komunikasi. Selain itu, manusia mempelajari budaya dan agamanya
melalui komunikasi dan komunikasi adalah refleksi dari budaya, baik dalam
bentuk bahasa yang digunakan, dialek atau hal lainnya. Selain komunikasi, peran
agama juga dianggap sebagai faktor yang memiliki kekuatan untuk mengubah dan
membentuk sudut pandang manusia. Agama dianggap sebagai pemberi makna
kehidupan dan selalu terlihat di seluruh struktur budaya. Agama dijadikan sebagai
fondasi dasar kehidupan karena agama sangat merembes dan tertanam kuat dalam
diri manusia.
Thouless mengatakan terdapat kesulitan dalam mendefinisikan agama, karena
banyaknya ketidaksamaan pendapat dan kesulitan dalam menemukan kata yang
1
Larry A. Samovar, dkk.,Communication Between Cultures (USA: Wadsworth Cangage
Learning, 2009), h. 12.
20
21
dapat menginterpretasikan kesepakatan antara para peneliti dan teolog.2 Clark
mengatakan pengalaman agama adalah hal yang subjektif dan individual, di mana
setiap orang akan merasakan pengalaman agama yang berbeda satu sama lain,
oleh karena itu sulit untuk mencari kata-kata yang dapat menggambarkan tentang
agama.3
Pengaruh agama yang diceritakan melalui komunikasi juga berperan sebagai
pembentukan pandangan seseorang atau kelompok terhadap kelompok lain.
Seperti perselisihan antara Kristen dan Islam diawali sejak terjadi Perang Salib
dimulai pada tahun 1095 yang melibatkan pasukan gereja yang disebut Crusader
melawan pasukan Islam hampir di seluruh bagian benua Eropa. Perang Salib
merupakan sebuah gerakan militer dari gereja Katolik Romawi dengan tujuan
merebut kembali akses bagi masyarakat kristen akan tanah suci di Jerusalem yang
dimulai pada sekitar tahun 1905 oleh Paus Urban II. Setelah Perang Salib, terjadi
perselisihan selama 200 tahun untuk menentukan siapa yang berhak menduduki
tanah suci, dengan 6 Perang Salib besar dan beberapa Perang Salib kecil. Pada
tahun 1291, konflik ini berakhir dengan runtuhnya benteng milik pasukan Kristen
di Acre dan setelahnya, pasukan Katolik Eropa tidak lagi melakukan serangan ke
arah timur.4
Bakti berpendapat bahwa kebanyakan konflik terjadi karena pengaruh faktor
agama dan etnis. Bakti memaparkan beberapa jenis penyebab konflik yang terjadi
di Indonesia, diantaranya konflik antara muslim dan non muslim, etnis jawa dan
non jawa, aparat negara dan penduduk sipil, masyarakat pribumi dan imigran,
2
Robert H. Thouless, An Introduction to the Psychology of Religion (UK: Cambridge
University Press, 1971), h. 5.
3
Walter H. Clark, The Psychology of Religion (New York: Macmilan, 1970), h. 7.
4
Ilham Kadir, “Sejarah Perang Salib,” artikel diakses pada 9 Maret 2016 dari
http://www.portalsejarah.com/sejarah-perang-salib.html
22
penganut agama sekular dan nasionalis, dan kalangan muslim tradisionalis dan
modernis.5
Martin dan Nakayama mengatakan bahwa proses konstruksi pikiran melalui
cerita dapat berpengaruh dalam pembentukan stereotip. Penilaian secara stereotip
adalah tindakan yang paling sering dilakukan, stereotip adalah pandangan atau
penilaian seseorang tentang orang lain yang berasal dari kelompok yang berbeda
dan menyamaratakan orang tersebut dengan kelompoknya.6
Stereotip menurut pandangan psikolog Abbate, Boca dan Boccahiaro adalah
susunan kognitif yang mengandung pengetahuan, kepercayaan, dan harapan si
penerima mengenai sebuah kelompok sosial manusia.7 Stereotip biasanya
ditanamkan sejak dini oleh orang tua kepada anaknya, seperti pandangan bahwa
orang yang memakai baju serba hitam identik dengan teroris atau orang yang
sedang berduka cita. Contoh lain, pandangan tentang Islam sebagai agama teroris
sehingga setiap kali melihat orang yang memakai atribut Islam, maka akan
dianggap sebagai teroris. Hal ini yang membuat pandangan stereotip harus
dihindari, karena selain menjadi hambatan dalam komunikasi juga dapat
mempasifkan logika kita dan mengabaikan identitas pribadi dan aspek psikologis
yang tentunya berbeda antara satu orang dengan orang lainnya.
Michael Hecht mengatakan bahwa identitas adalah penghubung utama antara
individu dan masyarakat, sedangkan komunikasi adalah mata rantai yang
5
Andi Faisal Bakti, “Mayor Conflicts In Indonesia: How Can Communication Contribute
to a Solution?,” Review of Human Factor Studies, vol. 6, no. 2 (Desember 2000): h. 33.
6
Judith N. Martin dan Thomas K. Nakayama, Experiencing Intercultural Communication:
an Introduction, (New York: McGraw-Hill, 2005), h. 46.
7
C.S. Abbate, dkk., “Stereotyping in Persuasive Communication: Influence Exerted by
Disapproved Source,” dalam Larry A. Samovar, dkk., ed.,Communication Between Cultures
(USA: Wadsworth Cangage Learning, 2009), h. 201.
23
memperbolehkan hal itu terjadi.8 Jadi dapat dipahami bahwa identitas adalah hal
yang mencerminkan diri seseorang dalam masyarakat maupun dalam sebuah
proses komunikasi. Peran identitas dalam sebuah proses komunikasi juga dapat
berpengaruh pada keefektifan komunikasi.
Pada tahun 1967 Watzlawick, Beavin dan Jackson muncul dan membuat
model baru komunikasi. Model ini lahir untuk membantah pernyataan bahwa
dalam proses komunikasi, peran dari penerima pesan (receiver) tidak begitu
penting dan komunikasi hanya berjalan satu arah tanpa adanya respons.
Watzlawick dan koleganya melukiskan komunikasi sebagai proses memberikan
dan menerima pesan yang dilakukan diantara para anggota komunikasi. Model ini
menekankan pandangan bahwa komunikasi bukan sesuatu yang hanya terjadi
ketika komunikator atau sumber dengan sengaja mengirimkan pesan, namun
sesuatu yang terjadi berkelanjutan di mana anggota komunikasi secara bergantian
berperan sebagai komunikator dan komunikan.9
Pernyataan Watzlawick dkk secara tidak langsung menampik kekuatan media
massa telah berkembang sejak abad kedua puluh, tepatnya saat media massa
dijadikan alat penyebar propaganda pada masa Perang Dunia I. Sebelum itu telah
ada pandangan yang kuat bahwa media massa sangat efektif dalam membentuk
opini dan memengaruhi perilaku. Ciri utama dalam komunikasi massa adalah
bahwa media dapat menjangkau banyak orang, hubungan yang terjadi bersifat
satu arah dan pengirim pesan (sender) memiliki kekuatan yang lebih besar
Michael L. Hecht, “The Communication Theory of Identity: Development, Theoritical
Perspective, and Future Directions,” dalam Stephen Littlejohn dan Karen A. Foss, ed., Teori
Komunikasi. Penerjemah Muhammad Yusuf Hamdan (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), h. 131.
9
Paul Warzlawick, dkk., Pragmatics of Human Communication: A Study of Interactional
Patterns, Pathologies, and Paradoxes (New York: Norton, 1967), h. 48-51.
8
24
daripada penerima (receivers).10 Seperti teori komunikasi model Harold Lasswell
yang merumuskan pernyataan: “who say what to whom in which channel with
what effect”11
Pandangan Lasswell tentang komunikasi mengingatkan pada pandangan
Aristoteles yang menekankan pembicara, pesan dan khalayak. Kedua ahli
komunikasi ini melihat komunikasi sebagai proses satu arah yang dikenal dengan
One Step Flow Model, di mana seorang individu memengaruhi individu lain
melalui pesan yang disampaikannya. Perbedaan antara Lasswell dan Aristoteles
adalah gagasan Lasswell yang melibatkan peran media massa sebagai bagian dari
proses komunikasi.12
Pada 1955 Elihu Katz dan Paul Lazarsfeld menyajikan model komunikasi dua
arah (Two Step Flow Model) untuk membantah teori Lasswell. Katz dan
Lazarsfeld merumuskan pegaruh pribadi (Personal Influence) berdasarkan
penelitian mereka yang menemukan bahwa informasi yang disampaikan media
massa tidak efektif dan tidak memiliki dampak pada individu secara langsung.
Secara khusus, penelitian mereka membuktikan bahwa pesan politik melalui radio
dan media cetak memilki efek yang kurang berarti bagi keputusan pemilih. Selain
itu mereka menemukan bahwa pemilih yang ragu-ragu lebih dipengaruhi oleh
orang-orang sekitar mereka dibandingkan informasi yang diberikan media massa.
Adapun kesimpulan dari penelitian Katz dan Lazarsfeld adalah: “that ideas, often,
10
Denis McQuail, Teori Komuniksi Massa. Penerjemah Putri Iva Izzati (Jakarta: Salemba
Humanika, 2011), h. 61.
11
Harold D. Lasswell, “The Structure and Function of Communication in Society,” dalam
Brent D. Ruben dan Lea P. Stewart, ed., Komunikasi dan Perilaku Manusia. Penerjemah Ibnu
Hamad (Jakarta: Raja Grafindo, 2013), h. 43.
12
Brent D. Ruben dan Lea P. Stewart, Komunikasi dan Perilaku Manusia. Penerjemah Ibnu
Hamad (Jakarta: Raja Grafindo, 2013), h. 43.
25
seem to flow from radio and print to opinion leaders and from them to the less
active sections of the population.”13
Teori Resepsi Aktif yang dijadikan sebagai teori utama dalam penelitian
adalah teori yang hadir untuk menyanggah teori efek media massa. Teori resepsi
aktif adalah teori gagasan Andi Faisal Bakti yang terinspirasi dari beberapa ahli
komunikasi yang berpendapat bahwa dalam sebuah proses komunikasi,
komunikan bukanlah pasif melainkan aktif. Hal ini dikarenakan peran komunikan
sebagai interpretator pesan.14
John Vivian membantah pendapat Lasswell yang berasumsi bahwa manusia
adalah pasif, tidak kritis, dan hanya menerima apapun yang diberikan media.
Faktanya, manusia membaca, mendengar, dan melihat hal yang sama dengan cara
yang berbeda. Menurutnya, media hanyalah sumber informasi yang nantinya akan
dikumpulkan manusia sebagai referensi dalam menginterpreasikan sesuatu.
Vivian beranggapan bahwa manusia pada umumnya berhati-hati dalam memilih
media dan cenderung mencari media yang memperkuat pandangan pribadinya.15
Fenomena ini disebut dengan Teori konsistensi (Consistance Theory) yang
didalamnya terdiri beberapa bentuk tindak selektif yang dilakukan manusia dalam
memilih berita yang ditayangkan media, antara lain:16
1.
Selective Exposure
Terjadi pada saat individu memilih beberapa media ketimbang
media lain. Dalam hal ini individu lebih mudah untuk membuka diri pada
13
Elihu Katz dan Paul F. Lazarsfeld, Personal Influence: The Part Played by People in The
Flow of Mass Communication (New York: Free Press, 1956), h. 32.
14
Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South
Sulawesi Muslim Perceptions of a Global Development Program(Jakarta: INIS, 2004), h. 108.
15
John Vivian, Teori Komunikasi Massa. Penerjemah Tri Wibowo (Jakarta: Kencana, 2008),
h. 470.
16
John Vivian, Teori Komunikasi Massa, h. 478.
26
pesan yang berisi hal yang berkaitan dengan seleranya. Individu
mengontrol efek pesan atas dirinya sendiri, tidak ada yang memaksa untuk
menentukan pilihan lain.
2.
Selective Perception
Selektivitas dapat terjadi dengan membaca, menonton, dan
mendengarkan pernyataan seseorang. Namun sejelas apapun sebuah pesan,
individu akan mendengar dan melihatnya dengan sudut pandangnya
sendiri. Dalam hal ini, Vivian mengatakan bahwa individu hanya akan
menerima pesan yang ingin mereka terima dan invidu cenderung mencari
apa yang mereka inginkan dibandingkan menerima apa yang tidak sesuai
keinginannya.
3.
Selective Retention dan Recall
Terjadi pada saat individu secara tidak sadar mempertahankan
beberapa kejadian dan pesan yang sesuai dengan kepentingan dan
tujuannya, namun mengabaikan pesan dan kejadian yang bertolak
belakang dengan kepentingan dan tujuannya. Ringkasnya, individu
memiliki kendali yang lebih besar atas cara sender memengaruhi mereka
dan menentukan pilihan atas apa yang mereka terima.
Festinger menamakan perasaan ketidaknyamanan atau kecemasan sebagai
disonansi kognitif (Cognitive Dissonance). Hal ini merupakan perasaan yang
dimiliki manusia ketika mereka melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan
kehendak mereka, atau mempunyai pendapat yang berbeda dengan pendapat
27
mayoritas lingkungannya.17 Inti dari teori disonansi kognitif adalah motivasi
seseorang untuk mengurangi dan menghindari hal-hal yang membuatnya tidak
nyaman.18
Gambar 2.1
Proses Disonansi Kognitif
Sikap, pemikiran, dan
perilaku yang tidak konsisten
berakibat pada
Rangsangan yang tidak
menyenangkan
Mulainya disonansi
dikurangi dengan
Perubahan yang menghilangkan
inkonsistensi
West dan Turner menggambarkan proses disonansi kognitif dalam sebuah
gambar yang merangkum empat asumsi dasar dari teori disonansi kognitif, yaitu:
(1) Manusia memiliki hasrat untuk mempertahankan konsistensinya pada
keyakinan,
sikap
dan
perilakunya;
(2)
Disonansi
diciptakan
oleh
ketidakseimbangan (inkonsistensi) psikologis; (3) Disonansi adalah perasaan tidak
17
Festinger. L, A Theory of Cognitive Dissonance (California: Stanford University Press,
1957), h. 4.
18
Richard West dan Lynn H. Turner, Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi.
Penerjemah Maria Natalia Damayanti (Jakarta: Salemba Humanika, 2008), h. 137.
28
suka yang memotivasi seseorang melakukan tindakan; (4) Disonansi akan
mendorong usaha untuk memperoleh konsonansi dan usaha untuk mengurangi
disonansi.19
Seseorang dapat melakukan minimal dua cara dalam usahanya mengurangi
disonansi, yaitu menghindari ketidaknyaman dengan menyembunyikan identitas
dan menyesuaikan diri dengan mayoritas atau menghindari ketidaknyamanan
dengan menunjukkan identitas secara terang-terangan dan tidak memperdulikan
ancama diskriminasi kaum mayoritas. Usaha tersebut lahir dari sebuah proses
pemikiran
kognitif
membutuhkan
sebuah
seseorang.
proses
Dalam
yang
penentuan
diawali
keputusan,
dengan
menerima
manusia
pesan,
memprosesnya, mengaitkannya dengan berbagai aspek dan berakhir dengan
membuat sebuah keputusan.
Lee Thayer memiliki pendapat yang sama mengenai proses komunikasi.
Thayer menekankan komunikasi sebagai proses yang dinamis di mana individu
menciptakan dan menginterpretasikan informasi yang dilihatnya sebagai suatu
yang kompleks, dinamis dan pribadi. Thayer beranggapan bahwa kemampuan dan
kerentanan kita mengarahkan cara kita memperoleh, memproses, menghasilkan,
dan menyebarkan informasi. Dalam gagasannya, Thayer merangkum beberapa hal
mengenai komunikasi diantaranya:20
a.
Pesan yang diperoleh penerima tidak pernah identik (sama) dengan
yang dikirimkan komunikator (sender).
19
Richard West dan Lynn H. Turner, Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi, h.
139.
20
Lee Thayer, Communication and Communication Systems in Organization, Management,
adn Interpersonal Relations (Homewood, Illinois: Richard D. Irwin, INC, 1968), h. 45; cf. Brent
D. Ruben dan Lea P. Stewart, Komunikasi dan Perilaku Manusia. Penerjemah Ibnu Hamad
(Jakarta: Raja Grafindo, 2013), h. 51.
29
b.
Penerima
(receiver)
mendapatkan
sejumlah
pesan
dengan
kemampuan memproses dan memahami dengan cara yang berbedabeda.
c.
Orang dapat berperan sebagai komunikator sekaligus komunikan dan
pergantian dari satu ke lainnya tidak selalu jelas.
d.
Informasi yang diterima dapat berfungsi sebagai umpan balik
(feedback).
Thayer berpendapat bahwa pesan yang diterima terdiri dari beberapa faktor
yang kemungkinan berisi informasi di luar konten yang terdapat di suatu pesan
atau pertanyaan. Menurutnya, pesan yang diterima berisi elemen-elemen yang
melebihi maksud awal yang disampaikan komunikator (sender). Dalam konteks
ini, Thayer berpendapat bahwa komunikan berperan aktif dalam proses
komunikasi terutama dalam menginterpretasikan pesan yang diterimanya.21
Ruben dan Steward mendefinisikan komunikasi manusia sebagai proses
manusia berinteraski dalam hubungan, kelompok, organisasi, dan masyarakat
untuk saling memberikan informasi dan berhubungan satu sama lain dan dengan
lingkungan. Menurutnya, komunikasi dapat diartikan sebagai kegiatan debat,
khotbah, peragaan seni peran, upaya seseorang menaklukkan ketakutannya, kode
morse, marka jalan, dan lainnya.22 Shannon dan Weaver berpendapat bahwa
komunikasi mencangkup semua prosedur dengan mana satu pikiran dapat
21
Lee Thayer, Communication and Communication Systems in Organization, Management,
and Interpersonal Relations (Homewood, Illinois: Richard D. Irwin, INC, 1968), h. 40; cf. Andi
Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi Muslim
Perceptions of a Global Development Program (Jakarta: INIS, 2004), h. 109.
22
Brent D. Ruben dan Lea P. Stewart, Komunikasi dan Perilaku Manusia, h. 19.
30
memengaruhi yang lain. Termasuk tulisan, pidato lisan, musik, seni gambar,
cerita, dan semua hal yang meliputi perilaku manusia.23
West dan Turner mendefinisikan komunikasi sebagai proses sosial di mana
individu-individu
menginterpretasikan
menggunakan
makna
simbol-simbol
dalam
lingkungan
untuk
menciptakan
mereka.24
Frank
dan
Dance
menggambarkan proses komunikasi dengan sebuah spiral dan meyakini bahwa
pengalaman proses komunikasi bersifat kumulatif dan dipengaruhi oleh masa lalu.
Ia menyatakan bahwa pengalaman di masa sekarang secara tidak terelakkan akan
memengaruhi masa depan seseorang.25
John Searle mencoba merancang teori kemampuan berbicara untuk
memahami bagaimana manusia menyempurnakan hal dengan kata-katanya.
Menurutnya, berbicara sebuah bahasa adalah menyatu dengan sebuah bentuk
aturan yang diatur oleh perilaku. Makna dari teori ini adalah kekuatan untuk
memengaruhi. Searle menyebutkan tiga hal yang membuktikan bahwa berbicara
dapat menyelesaikan beberapa hal, yaitu:26
1) Aksi Terungkap (Utterance Act) yaitu sebuah penyebutan kata dalam
bentuk sederhana namun berisi pesan yang ingin disampaikan.
2) Aksi Usulan (Propositional Act) yaitu menegaskan sesuatu tentang
dunia atau mengatakan sesuatu dengan tujuan meyakinkan orang lain
23
Claude E. Shannon dan Warren Weaver, The Mathematical Theory of Communication
(Urbana: university of Illinois Press, 1949), h. 30; cf. Brent D. Ruben dan Lea P. Stewart,
Komunikasi dan Perilaku Manusia. Penerjemah Ibnu Hamad (Jakarta: Raja Grafindo, 2013), h. 43.
24
Richard West and Lynn H. Turner, Introducing Communication Theory: Analysis And
Application (New York: Mcgraw Hill, 2007), h. 5.
25
Frank E. X. Dance, “Toward a Theory of Human Communication,” dalam Richard West
and Lynn H. Turner, ed., Introducing Communication Theory: Analysis And Application (New
York: Mcgraw Hill, 2007), h. 7.
26
John Searle, Speech Acts: An Essay in The Philosophy of Language (Cambridge:
Cambridge University Press, 1969), h. 165.
31
agar mempercayainya. Proposisi juga dapat berbentuk pertanyaan,
peringatan, dan pernyataan.
3) Aksi Berkehendak (Illocutionary Act) yaitu sebuah beberapa tindakan
yang akan menjadi fokus utama pembicara (sender). Searle
mengatakan bahwa terdapat beberapa jenis aksi berkehendak.
Pertama,
aksi
penegasan
yang
mengikat
pembicara
untuk
menunjukkan kebenaran dari sebuah pesan. Kedua, arahan (directives)
yang berupaya agar pendengar (receiver) melakukan sesuatu dengan
arahan yang diberikan. Ketiga, keterikatan (commussives) adalah
mengikat pembicara pada tindakan selanjutnya seperti bersumpah,
berjanji, ikrar, kontrak dan jaminan. Keempat, pernyataan (expressive)
yaitu tindakan menyampaikan beberapa aspek psikologis dari kondisi
pembicara seperti berterima kasih, permintaan maaf fan lainnya.
Terakhir, deklarasi (declaration) dirancang untuk menciptakan sebuah
proposisi, sangat menuntut, dan mengikat.
4) Aksi memengaruhi (perlocutionary act) yang dirancang untuk
memengaruhi perilaku orang lain. Aksi ini berbentuk sebuah tindakan
yang pembicara (sender) harapkan, bukan hanya sekedar pemahaman
namun juga tindakan yang dilakukan penerima (receiver).
Andi Faisal Bakti menciptakan teori resepsi aktif (Active-Reception Theory)
untuk mendukung pernyataan dari Watzlawick, Beavin dan Jackson serta Thayer.
Teori resepsi aktif digunakan untuk memahami proses terjadinya diterima, ditolak
atau negosiasi yang dilakukan komunikan terhadap pesan yang diterimanya. Teori
ini menempatkan komunikan sebagai orang yang menentukan efektif atau
32
tidaknya sebuah komunikasi. Menurut Bakti, makna diolah dan dikonstruksikan
oleh komunikan sesuai dengan situasinya, perhatiannya, kebutuhannya, tujuannya,
kedekatannya dan tingkat kepercayaannya kepada komunikator. Komunikan akan
lebih mudah menerima dan menginterpretasikan pesan yang berhubungan dengan
norma, budaya, dan kepentingannya atau identitas kelompoknya.27
Bakti menekankan bahwa komunikasi massa tidak selamanya memiliki
kekuatan penuh, dan komunikan (receivers) tidak bersifat pasif melainkan aktif.
Bakti menciptakan empat faktor dalam teori resepsi aktif, yaitu Coerseduction,
Panacea, Bullet and Boomerang Effect, dan Negotiation.28
B. Coerseduction
Istilah Coerseduction pertama kali diperkenalkan oleh Ravault yang
menekankan peran komunikan (receiver) pada proses hubungan interpersonal.
Coerseduction diartikan sebagai manipulasi yang meliputi pikiran, psikologis,
emosi, dan lainnya.29Bakti mengartikan Coerseduction sebagai cara untuk
memengaruhi seseorang secara langsung, baik dalam bentuk paksaan maupun
bujukan.30 Dalam hal ini, komunikator bertujuan untuk mengubah persepsi
komunikan dengan strategi bujukan dan paksaan baik dalam bentuk perkataan dan
tindakan.
Tindakan paksaan yang dipahami Mark Orbe adalah tindakan yang dapat
dengan mudah dilakukan jika sender merupakan kaum mayoritas sedangkan
27
Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South
Sulawesi Muslim Perceptions of a Global Development Program, h. 14.
28
Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South
Sulawesi Muslim Perceptions of a Global Development Program, h. 109.
29
R. J. Ravault, “Resisting Media Imperialism by Coerseduction,” Intermedia, 13 no. 3, h. 3237; cf Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South
Sulawesi Muslim Perceptions of a Global Development Program (Jakarta: INIS, 2004), h. 109.
30
Andi Faisal Bakti, ed., Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South
Sulawesi Muslim Perceptions of a Global Development Program, h. 109.
33
receiver adalah kaum minoritas. Menurutnya, kaum minoritas dapat dengan
mudah dipengaruhi, hal ini berkaitan dengan Asumsi dasar Orbe yaitu:31
1. Adanya hirarki yang mengistimewakan kaum dominan.
2. Anggota dominan memiliki kedudukan khusus.
3. Sistem komunikasi dominan bertujuan untuk menjaga agar budaya
pendamping tetap berada di luar lingkungan komunikasi.
4. Budaya pendamping memiliki strategi sendiri dalam menghadapi kaum
dominan.
Roger menemukan teori motivasi proteksi yang terispritrasi dari ketakutan
terdapat pesan persuasi. Teori ini memprediksikan dua kemungkinan yang terjadi
dalam proses persuasi, yaitu:32
1. Kerasnya sebuah ancaman dalam proses persuasi.
2. Kerentanan seseorang dalam menghadapi ancaman.
Secara singkat teori ini menjelaskan bahwa ancaman dalam sebuah pesan
persuasi sangat memperngaruhi seseorang dalam pengubahan persepsi.
Ramlan Surbakti mengartikan konsep Coerseduction sebagai salah satu
bentuk dari kekuatan (power). Dalam gagasannya, Subakti membagi konsep
kekuasaan dalam lima jenis, yaitu:33
Mark Orbe, “A Co-Cultural Communication Approach to Intergroup Relations,” dalam
Stephen Littlejohn dan Karen A. Foss, ed., Teori Komunikasi. Penerjemah Muhammad Yusuf
Hamdan (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), h. 265.
32
Roger R. W dan Prentice Dunn, “Protection Motivation Theory,” dalam Charles R. Berger
dkk., ed., Handbook Teori Komunikasi. Penerjemah Derta Sri Widowatie (Bandung: Nusa Media,
2014), h. 303.
33
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia,
1992), h. 52.
31
34
1.
Influence
Kemampuan untuk memengaruhi receiver agar mengubah sikap dan
perilakunya secara sukarela.
2.
Persuasion
Kemampuan meyakinkan
receiver
dengan
argumentasi
untuk
melakukan sesuatu.
3.
Manipulation
Penggunaan pengaruh di mana orang yang dipengaruhi tidak
menyadari bahwa ia telah mematuhi keinginan sender.
4.
Coercion
Peragaan ancaman paksaan yang dilakukan oleh sender terhadap
receiver agar bersikap sesuai dengan kehendak yang diinginkan
sender
5.
Force
Penggunaan tekanan secara fisik agar receivermelakukan apa yang
diinginkan sender.
Surbakti juga menyebutkan empat faktor yang dipertimbangkan sender dalam
menggunakan konsep untuk memengaruhi receiver, yaitu:34
1. Kuatnya motivasi untuk mencapai tujuan tertentu.
2. Harapan akan keberhasilan dalam mencapai tujuan.
3. Persepsi mengenai resiko yang timbul.
4. Pengetahuan mengenai cara-cara mencapai tujuan.
34
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, h. 96.
35
Candia Elliot berpendapat bahwa komunikasi mengandalkan gaya komunikasi
yang dihubungkan dengan nilai yang dianutnya. Nilai-nilai tersebut berbeda
antara satu kelompok dengan kelompok lain yang kemungkinan dapat mendukung
dan merusak pesan dari komunikasi tersebut. Gaya komunikasi yang dimaksud
Elliot terbagi menjadi dua, yaitu:35
1. Dominan dan Otoriter
Gaya komunikasi dominan dan otoriter dapat berbentuk paksaan,
ancaman,
tidak
diberikannya
receiver
untuk
menolak
atau
menegosiasikan pesan yang diterimanya. Dalam gaya komunikasi ini,
sender memiliki kekuatan besar dalam memastikan receiver menerima
pesan bahkan melakukan hal yang diperintahkan sender.
2. Bersahabat dan Demokratis
Gaya komunikasi bersahabat dan demokratis yang dimaksud adalah
gaya komunikasi yang mengedepankan aspek saling menghormati dan
berfikir secara terbuka. Dalam gaya komunikasi ini, sender memberikan
ruang
bagi
receiver
untuk
menginterpretasikan
pesan
serta
menunjukkan penerimaan atau penolakannya terhadap pesan yang
disampaikan sender. Elliot mengatakan bahwa gaya komunikasi ini
lebih mengedepankan kekuatan argumen yang dapat meyakinkan
receiver untuk melakukan apa yang diinginkan sender tanpa adanya
paksaan dan ancaman.
Candia Elliot, “Normative Communication Styles And Values For Cross Cultural
Collaboration,” dalam Alo Liliweri, ed., Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002), h. 17-18.
35
36
Myers mengatakan prasangka sebagai sifat negatif seseorang atau kelompok
terhadap kelompok lain yang disebabkan adanya perbedaan.36 Feldman
menambahkan definisi prasangka sosial sebagai tanggapan negatif atau sikap
mengadili seseorang karena keanggotaannya dalam suatu kelompok.37 Secara
lengkap Sears dan koleganya mendefinisikan prasangka sebagai penilaian
terhadap suatu kelompok atau individu berdasarkan keanggotannya. Penilaian
tersebut hanya berdasarkan pada faktor rasial dan mengabaikan faktor pribadi
individu tersebut.38 Gerungan juga menganggap prasangka sosial sebagai sikap
orang-orang terhadap suatu golongan atau kelompok yang berlainan dengannya,
baik dalam golongan ras, agama, budaya maupun hal lainnya.39
Baron dan Byrne menguraikan proses prasangka dalam interaksi sosial antar
kelompok masyarakat, antara lain:40
1. Menerima pendapat atau informasi tanpa mempertimbangkan kebenaran
fakta, dan hanya bergantung pada isu yang berkembang.
2. Tindakan atau perilaku yang sangat diyakini sebuah pendapat tentang
suatu kelompok, padahal pendapatnya tersebut tidak rasional dan tidak
memiliki buktu apapun.
3. Kebencian, ketidakakraban dan ketidaksukaan terhadap suatu kelompok,
ras, golongan, agama tau masyarakat tertentu dengan alasan yang tidak
jelas.
36
Myers, D. G, Social Psychology (New York: McGraw-Hill, 1996), h. 54.
Feldman, R. S, Social Psychology (New Jersey: Prentice Hall, 1998), h. 67.
38
David, O. Sears, dkk., Psikologi Sosial. Penerjemah Michael Adryanto (Jakarta:
Erlangga, 1994), h. 158.
39
Gerungan, W. A, Psikologi Sosial (Bandung: Refika Aditama, 2002), h. 166.
40
Baron, R. A dan Byrne, D, Psikologi Sosial (Jakarta: Erlangga, 2002), h. 115.
37
37
Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi timbulnya prasangka, seperti
aspek kepribadian, aspek frustasi dan scape goating, aspek konflik, aspek
kecemburuan sosial, aspek norma atau budaya, dan aspek penilaian yang digagas
oleh beberapa ahli psikologi. Adapun penjelasannya adalah:
1. Aspek kepribadian yaitu seseorang dengan kepribadian otoriter dan
dogmatisme dengan ciri-cirinya antara lain berprasangka, bersikap kaku,
konvensional dan tidak memiliki toleransi (dogmatisme), loyalitas tinggi
terhadap kelompoknya dan mendukung figur otoritas serta melakukan
tindakan agresif.41
2. Aspek frustasi dan scape goating yaitu prasangka yang muncul karena
rasa frustasi sehingga membutuhkan pelampiasan sebagai objek atau
ketidakmampuannya menghadapi kegagalan. Biasanya objek pelampiasan
adalah objek yang lemah atau yang tidak mampu memberikan
perlawanan.42
3. Aspek konflik timbul karena adanya kompetisi yang menunjukkan adanya
persaingan antara massing-masing individu maupun kelompok sebagai
pemuas kebutuhan. Persaingan tidak sehat yang terjadi terus menerus
akan menyebabkan ketegangan di kedua belah pihak sehingga timbul
prasangka sosial yang berakibat perlakuan agresif.43
4. Aspek kecemburuan sosial ditimbulkan oleh adanya anggapan bahwa
salah satu kelompok memiliki status yang lebih tinggi dibandingkan
kelompok lain, sehingga timbul diskriminatif. Biasanya, kecemburuan
41
Larry, A. Samovar, dkk., Komunikasi Lintas Budaya. Penerjemah Indri Margaretha
Sidabalok (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), h. 280.
42
Brigham, J. C, Social Psychology (New York: Harpercollins Publisher, 1991), h. 136.
43
Baron, R. A dan Byrne, D, Psikologi Sosial, h. 120.
38
sosial yang muncul adalah akibat dari perbedaan tingkat sosial ekonomi
dalam kehidupan masyarakat.44
5. Aspek norma atau budaya yaitu prasangka yang timbul karena norma atau
budaya yang mengajarkan anggotanya untuk berprasangka kepada orang
atau kelompok lain. Prasangka ini dapat disebut pula sebagai stereotipe
atau prasangka terhadap etnis lain.45
6. Aspek penilaian yang terlalu ekstrim dan terlalu menggenaralisasi yaitu
prasangka yang terjadi akibat penilaian individu yang terlalu ekstrim
dengan menyamaratakan suatu pengalaman yang menyakitkan atau kesan
buruk terhadap seseorang dari etnis atau kelompok tertentu kepada
seluruh anggota dari kelompok tersebut.46
C. Panacea
Panacea adalah istilah yang dibuat Bakti dari nama dewi penyembuh Yunani.
Panacea adalah ramuan atau obat yang mampu mengobati segala jenis penyakit
dan dipercaya dapat memanjangkan umur. Bakti menggunakan istilah
Panaceadengan filosofi bahwa kebanyakan orang mengibaratkan komunikasi
seperti Penecea yang dapat menyelesaikan berbagai permasalahan.47
Dalam hal ini, Bakti ingin mematahkan pendapat bahwa komunikasi
diibaratkan
sebuah
Panacea
yang
dapat
menyelesaikan
berbagai
permasalahan.Menurutnya, komunikasi tidak selamanya dapat menyelesaikan
permasalahan. Bakti juga mengatakan bahwa tidak efektifnya proses komunikasi
44
Ahmadi, A dan Supriono, W, Psikologi Belajar (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 76.
Watson, D. L, dkk., Social Psychology, Science, and Application (Illinois: Scott, 1984),
45
h. 134.
46
Brigham, J. C, Social Psychology, h. 140.
Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South
Sulawesi Muslim Perceptions of a Global Development Program, h. 111.
47
39
bukan
akibat
dari
adanya
kesalahpahaman
dalam
berkomunikasi
(misscommunication) tapi karena ada faktor lain yang memengaruhi anggota
komunikasi dalam menerima dan memproses pesan. Konsep Panacea yang
digagas Bakti ditunjukkan untuk menguji apakah komunikasi berperan sebagai
Penecea atau terdapat faktor lain seperti racun atau opium (candu) yang
mengalahkan peran komunikasi.48
Model respon kognitif milik Greenwald menegaskan bahwa perubahan sikap
adalah fungsi berfikir. Inti dari model ini adalah bahwa persuasi hanya akan
terjadi selama sebuah pesan mencetuskan pemikiran yang sesuai dengan dorongan
utama daya tariknya. Dengan sendirinya, wawasan ini memunculkan pertanyaan
seputar sesuatu yang dianggap sebagai respons kognitif dominan.49 Singkatnya,
model respons kognitif adalah respons aktif berdasarkan pada aspek kognitif
seseorang dalam menilai dan menginterpretasikan sesuatu yang sudah tertanam
kuat dalam masyarakat. Model ini juga meyakini bahwa seseorang hanya akan
menerima sebuah pesan persuasi yang sesuai dengan interpretasi dan pemikiran
kognitifnya.
Oleh sebab itu, peneliti akan mengklasifikasikan beberapa teori yang
menganggap komunikasi sebagai obat manjur untuk menyelesaikan berbagai
permasalahan dan teori yang menyebutkan faktor lain yang dianggap lebih manjur
dalam menyelesaikan permasalahan dibandingkan komunikasi.
48
Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South
Sulawesi Muslim Perceptions of a Global Development Program, h. 111.
49
Greenwald A. G, “Cognitive Learning, Cognitve Response to Persuation and Attitude
Change,” dalam Charles R. Berger, dkk., ed., Handbook Ilmu Komunikasi. Penerjemah Derta Sri
Widowatie (Bandung: Nusa Media, 2014), h. 293.
40
a. Komunikasi sebagai Penecea
John Searle adalah salah satu ahli yang mempercayai komunikasi sebagai obat
manjur dalam menyelesaikan berbagai masalah. Teori kemampuan berkomunikasi
yang digagasnya menjelaskan bagaimana manusia menyempurnakan hal dengan
kata-katanya. Makna dari teori ini adalah kekuatan komunikasi untuk
memengaruhi. Searle menyebutkan tiga hal yang membuktikan bahwa
komunikasi dapat menyelesaikan beberapa hal, yaitu:50
1) Aksi Terungkap (Utterance Act) yaitu sebuah penyebutan kata dalam bentuk
sederhana namun berisi pesan yang ingin disampaikan.
2) Aksi Usulan (Propositional Act) yaitu menegaskan sesuatu tentang dunia
atau mengatakan sesuatu dengan tujuan meyakinkan orang lain agar
mempercayainya. Proposisi juga dapat berbentuk pertanyaan, peringatan,
dan pernyataan.
3) Aksi Berkehendak (Illocutionary Act) yaitu sebuah beberapa tindakan yang
akan menjadi fokus utama pembicara (sender). Searle mengatakan bahwa
terdapat beberapa jenis aksi berkehendak. Pertama, aksi penegasan yang
mengikat pembicara untuk menunjukkan kebenaran dari sebuah pesan.
Kedua, arahan (directives) yang berupaya agar pendengar (receiver)
melakukan sesuatu dengan arahan yang diberikan. Ketiga, keterikatan
(commussives) adalah mengikat pembicara pada tindakan selanjutnya seperti
bersumpah, berjanji, ikrar, kontrak dan jaminan. Keempat, pernyataan
(expressive) yaitu tindakan menyampaikan beberapa aspek psikologis dari
kondisi pembicara seperti berterima kasih, permintaan maaf fan lainnya.
50
John Searle, Speech Acts: An Essay in The Philosophy of Language (Cambridge:
Cambridge University Press, 1969), h. 165.
41
Terakhir, deklarasi (declaration) dirancang untuk menciptakan sebuah
proposisi, sangat menuntut, dan mengikat.
4) Aksi memengaruhi (perlocutionary act) yang dirancang untuk memengaruhi
perilaku orang lain. Aksi ini berbentuk sebuah tindakan yang pembicara
(sender) harapkan, bukan hanya sekedar pemahaman namun juga tindakan
yang dilakukan penerima (receiver).
Shannon dan Weaver juga berpendapat bahwa komunikasi mencangkup semua
prosedur dengan mana satu pikiran dapat memengaruhi yang lain. Termasuk
tulisan, pidato lisan, musik, seni gambar, cerita, dan semua hal yang meliputi
perilaku manusia.51 Hal ini didukung West dan Turner yang mendefinisikan
komunikasi sebagai proses sosial di mana individu simbol untuk menciptakan dan
menginterpretasikan makna dalam lingkungan mereka.52
Benjamin Lee Whorf berpendapat bahwa susunan bahasa sebuah budaya
adalah faktor penentu perilaku dan identitas seseorang. Menurutnya, proses
pemikiran manusia dan cara manusia memandang dunia dibentuk oleh susunan
tata bahasa yang tertanam dalam diri.53
Sependapat dengan Whoft, Basil Bernstein juga berpendapat bahwa
kelompok sosial memiliki andil besar dalam memengaruhi tindak tutur yang
51
Claude E. Shannon dan Warren Weaver, “The Mathematical Theory of
Communication,” dalam Brent D. Ruben dan Lea P. Stewart, ed., Komunikasi dan Perilaku
Manusia. Penerjemah Ibnu Hamad (Jakarta: Raja Grafindo, 2013), h. 43.
52
Richard West and Lynn H. Turner, ed., Introducing Communication Theory: Analysis
And Application (New York: Mcgraw Hill, 2007), h. 5.
53
Benjamin L. Whorf, “Language, Thought, and Reality,” dalam Stephen Littlejohn dan
Karen A. Foss, ed., Teori Komunikasi. Penerjemah Muhammad Yusuf Hamdan (Jakarta: Salemba
Humanika, 2009), h. 449.
42
digunakan seseorang. Dengan kata lain, seseorang mempelajari lingkungan
sekitarnya dengan bantuan kode-kode bahasa yang mereka gunakan.54
Langer berpendapat bahwa orang lain dengan budaya yang berbeda memiliki
kemungkinan tidak menyetujui perspektif budaya lain. Ketika berusaha
menyampaikan pesan, seseorang akan memilih untuk menggunakan bahasa kedua
atau bahasa internasional yang dapat dimengerti oleh seluruh budaya
dibandingkan
bahasa
aslinya.
Hal
ini
dilakukan
untuk
mengantisipasi
kesalahpahaman dan memudahkan penyampaian pesan.55
LaRossa
dan
Reitzes
mengembangkan
asumsi
bahwa
individu
mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain. Asumsi ini
menyatakan bahwa manusia tidak lahir dengan konsep diri, melainkan belajar
tentang diri mereka melalui interaksi. Interaksi Simbolik menyatakan bahwa
proses pembelajaran ini terus berlanjut melalui proses anak mempelajari bahasa
dan
kemampuan
untuk
memberikan
respon
kepada
orang
lain
serta
menginternalisasi umpan balik yang diterimanya.56
Teori dan pernyataan para ahli tersebut meyakini bahwa komunikasi adalah
satu-satunya cara untuk mengatasi masalah sosial manusia, baik melalui
komunikasi dalam bentuk verbal atau non-verbal.
Basil Bernstein, “Class, Codes and Control: The Theoretical Studies Toward a
Sociology of Language,”dalamStephen Littlejohn dan Karen A. Foss, ed., Teori Komunikasi.
Penerjemah Muhammad Yusuf Hamdan (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), h. 451.
55
E. Langer, “Mindfulness,” dalam Larry A. Samovar, dkk., ed., Communication Between
Cultures (USA: Wadsworth Cangage Learning, 2009), h. 281.
56
R. LaRossa dan D. Reitzes, “Symbolic Interactionism and Family Studies,” dalam
Richard West And Lynn H. Turner, ed., Introducing Communication Theory: Analysis And
Application (New York: McGraw Hill, 2007), h. 103.
54
43
b. Penecea Lain Selain Komunikasi
John Locke menganggap bahwa pengalaman adalah satu-satunya jalan meraih
pengetahuan. Locke mengibaratkan manusia sebagai tabula rasa atau kertas putih.
Secara psikologis, seluruh prilaku manusia, kepribadian, dan tempramental
ditentukan oleh pengalaman inderawi (sensory experience). Pengalaman tersebut
dipisahkan menjadi dua elemen, yaitu pengalaman lahiriah (eksternal sensation)
dan pengalaman batiniah (internal sense).57
Walter Fisher berkeyakinan bahwa manusia adalah seorang pencerita dan
bahwa pertimbangan akan nilai, emosi, dan estetika dipengaruhi oleh keyakinan
seseorang terhadap cerita yang diyakininya. Fisher merumuskan pemikirannya
dalam teori paradigma naratif (Narrative Paradigm). Dalam teorinya, Fisher
beranggapan bahwa manusia lebih mudah terbujuk oleh sebuah cerita yang
menarik dibandingkan sebuah argumen.58 Sedangkan Rowland yang meyakini
bahwa ada peran kelompok elit dalam pengontrolan dan pengubahan pendapat
masyarakat.59
Robert W. Crapps, agama adalah faktor yang dapat menjadi penawar dari
segala masalah.60 Sama halnya dengan Nicholas Berdyaev yang berpendapat
bahwa agama merupakan usaha untuk mengatasi keheningan dan melepaskan ego
dari segala keterbatasan akal manusia.61 Jadi kedua teolog ini berpendapat bahwa
John Locke, “An Essay Concerning Human Understanding,” dalam Jalaludin Rakhmat,
ed., Psikologi Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), h. 21.
58
Walter Fisher, “Human Communication as Naration: Toward a Philosophy of Reason,
Value, and Action,” dalam Richard West and Lynn H. Turner, ed.,Introducing Communication
Theory: Analysis And Application (New York: Mcgraw Hill, 2007), h. 44.
59
Robert Rowland, “Narrative: Mode of Discourse or Paradigm?,”dalam Richard West
and Lynn H. Turner, ed.,Introducing Communication Theory: Analysis And Application (New
York: Mcgraw Hill, 2007), h. 55.
60
Robert W. Crapps, An Introduction to Psychology of Religion (Georgia: Mercer
University Press, 1986), h. 19.
61
Nicholas Berdyaev, Solitude And Society (London: Centena, 1938), h. 68.
57
44
agama adalah obat penawar untuk penyelesaian masalah selain dengan jalur
komunikasi.
Ruben dan Steward mengatakan bahwa dalam organisasi yang lebih besar
seperti masyarakat dan komunitas dunia, komunikasi menyediakan sarana
pencipta hubungan yang memungkinkan untuk melakukan aksi bersama,
pembentukan identitas bersama, dan pengembangan diri individu.62 Selain itu
organisasi adalah wadah untuk menghubungkan diri seseorang dengan lingkungan
dan orang-orang sekitarnya.63
Menurut Liliweri, perbedaan kebudayaan antara komunikator dan
komunikan dalam komunikasi antarbudaya dijadikan sebagai hambatan karena
perbedaan pandangan, pola pikir, struktur budaya dan iklim budaya. 64Hal ini
terjadi karena setiap manusia sejak lahir akan ditanamkan identitas-identitas
dalam dirinya, seperti identitas budaya, ras, etnis dan agama. Identitas tersebut
akan tertanam kuat dalam diri manusia dan dijadikan pedoman dalam kehidupan
sosialnya.
Michael Hecht mengatakan bahwa identitas adalah penghubung utama antara
individu dan masyarakat, sedangkan komunikasi adalah mata rantai yang
memperbolehkan hal itu terjadi.65 Jadi dapat dipahami bahwa identitas adalah hal
yang mencerminkan diri seseorang dalam masyarakat maupun dalam sebuah
proses komunikasi. Peran identitas dalam sebuah proses komunikasi juga dapat
berpengaruh pada keefektifan komunikasi.
62
Brent D. Ruben dan Lea P. Stewart, Komunikasi dan Perilaku Manusia, h. 17.
Brent D. Ruben dan Lea P. Stewart, Komunikasi dan Perilaku Manusia, h. 19.
64
Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011), h. 10.
65
Michael L. Hecht, “The Communication Theory of Identity: Development, Theoritical
Perspective, and Future Directions,” dalam Stephen Littlejohn dan Karen A. Foss, ed., Teori
Komunikasi. Penerjemah Muhammad Yusuf Hamdan (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), h. 131.
63
45
Menurut Ting-Toomey, komunikasi yang dilakukan oleh kelompok dengan
identitas yang sama akan mengalami kelebihan dalam persamaan pendapat,
keterikatan, kedekatan, dan kejelasan. Sedangkan komunikasi dengan kelompok
identitas yang berbeda akan lebih mengalami perbedaan, ketidakjelasan dan
kerentanan dalam komunikasinya.66 Ting-Toomey menganggap identitas sebagai
gambaran diri yang merefleksikan asal keluarga, gender, budaya, etnis, agama dan
proses sosialisasi individu. Identitas pada dasarnya merujuk pada pandangan
tentang diri sendiri ataupun pandangan orang lain mengenai diri kita.67
Keluarga juga diidentifikasikan sebagai sarana awal dalam pembentukan
identitas seseorang. Hal ini disebabkan peran keluarga sebagai sumber ajaran
budaya dan agama pertama yang diterima manusia sejak dia lahir. Penanaman
identitas diri saat balita merupakan saat-saat terbaik, hal ini disebabkan pada masa
itu manusia lebih mudah menyerap informasi yang dilihatnya baik secara
langsung maupun tidak langsung. Penanaman identitas secara terus-menerus akan
membentuk identitas yang tertanam kuat dan sulit diubah atau dihilangkan,
sedangkan penanaman yang kurang intens akan membentuk identitas yang lemah
dan mudah berubah atau hilang.
DeGenova dan Rice mengatakan bahwa keluarga adalah transmitor utama
pengetahuan, nilai, perilaku, dan kebiasaan dari genera si ke generasi. Keluarga
membentuk kepribadian seorang anak dan menanamkan pola pikir yang
66
Stella Ting-Toomey, “Identity Negotiation Theory: Crossing Cultural Boundaries,”
dalam Stephen Littlejohn dan Karen A. Foss, ed., Teori Komunikasi. Penerjemah Muhammad
Yusuf Hamdan (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), h. 133.
67
S. Ting-Toomey, “Identity Negotiation Theory: Crossing Cultural Boundaries,” dalam
Larry A. Samovar, dkk., ed., Communication Between Cultures (USA: Wadsworth Cangage
Learning, 2009), h.154.
46
berdasarkan budaya serta agama yang mereka yakini, sehingga menjadikannya
sebuah identitas dan kebiasaan.68
Teori-teori tersebut adalah teori yang lahir untuk menyanggah pernyataan
bahwa komunikasi diibaratkan sebagai sebuah obat manjur (Penecea) yang dapat
menyelesaikan permasalahan sosial manusia. Teori-teori penyanggah tersebut
meyakini bahwa ada faktor lain yang selain komunikasi, yang dapat berperan
sebagai penyembuh masalah-masalah sosial seperti pengalaman pribadi, sejarah
atau nilai yang diyakini, agama, dan identitas yang tertanam dalam diri seseorang.
Selain itu, dapat disimpulkan bahwa teori dan pendapat para ahli di atas
menyanggah adanya misscommunication dan ketidakefektifan komunikasi.
Karena menurut mereka, komunikasi yang tidak efektif bukan dikarenakan adanya
misscommunication, tapi karena ada faktor lain yang menghambat sampainya
pesan dan informasi dalam sebuah komunikasi baik personal maupun kelompok.
D. Bullet and Boomerang Effect
Teori peluru dan bumerang yang digagas Bakti adalah pandangan menyetujui
bahwa bagaimanapun setiap pertemuan terdapat minimal tiga hal yang dapat
dipahami dari apa yang dikirim, yaitu apa yang dipikirkan komunikator tentang
yang dikatakannya, apa yang komunikan pikirkan tentang yang dikatakan
komunikator, dan apa yang dikatakan atau diinterpretasikan oleh komunikan.
Menurutnya, terdapat dua kemungkinan tindakan yang dilakukan receiver sebagai
efek dari pesan yang dikirimkan sender, yaitu:69
68
M.K DeGenova dan F.P Rice, “Why Examine Family Backgroud?,” dalam Larry A.
Samovar, dkk., ed.,Communication Between Cultures (USA: Wadsworth Cangage Learning,
2009), h. 54.
69
Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South
Sulawesi Muslim Perceptions of a Global Development Program, h. 113.
47
a. Peluru (Bullet)
Peluru diartikan sebagai tindakan receiver yang sesuai dengan tujuan sender.
Efek peluru ini serupa dengan jarum hipodermik (hipodermic needle) milik
Lasswell yang menganggap media massa memiliki kekuatan penuh dalam
memengaruhi khalayak. Lasswell menggambarkan media sebagai jarum
hipodermik yang menyuntikkan pesan kepada khalayak dan meyakini bahwa
khalayak akan menyerap apapun yang disuntikkan oleh media.70
Noelle-Neumann membuat teori efek komulatif (commulative effect) yang
berasumsi bahwa tidak ada yang bisa menghindari media, karena sudah menyebar
kemanapun. Teori ini juga menyatakan bahwa media dapat mengurangi
keragaman pertimbangan publik terhadap suatu isu.71 Dalam hal ini, Neumann
mengaitkan pada klasifikasi kelompok mayoritas dan minoritas di mana seorang
dari kelompok mayoritas akan dengan lantang mengungkapkan pendapatnya
sedangkan kelompok minoritas akan memandam pendapat mereka bahkan tidak
mengungkapkan pendapat tersebut sama sekali. Dalam sudut pandang ini,
Neumann menamakannya sebagai teori spiral keheningan (Spiral of Silence).72
b. Bumerang (Boomerang)
Bumerang adalah kebalikan dari apa yang menjadi tujuan sender. Efek
bumerang berasumsi bahwa receiver adalah individu yang aktif dalam
menginterpretasikan makna, dan memiliki pertimbangan rumit dalam menentukan
tindakan atau timbal balik (feedback).
Harold D. Lasswell, “The Structure and Function of Communication in Society,” h. 43.
Elizabeth Noelle-Neumann, “The Effect of Media on Media Effect Research,” Journal
of Communication, 1983, h. 157.
72
Noelle-Neumann. E, “The Theory Of Public Opinion: The Concept Of The Spiral Of
Silence,” dalam Richard West and Lynn H. Turner, ed., Introducing Communication Theory:
Analysis And Application (New York: McGraw Hill, 2007), h. 121.
70
71
48
Ruben dan Stewart juga beranggapan bahwa komunikan (receiver) memainkan
peran dalam menjelaskan dampak dari komunikasi massa. Mereka menekankan
pentingnya peran perorangan dalam hal kebutuhan dan penggunaan, sikap, dan
keyakinan dalam penerimaan pesan. Mereka mengingatkan bahwa komunikan
(receiver) memainkan peran aktif dalam proses komunikasi dan dalam
menentukan dampaknya.73
Stanley Fish dalam teori respons pembaca (Reader-Response Theory) juga
memiliki kesamaan. Menurutnya, pembaca merupakan anggota dari komunitas
interpretatif atau kelompok yang saling berinteraksi, membentuk realitas dan
pemaknaan umum.74 Jika ditinjau dalam bidang komunikasi, pendapat Fish dapat
diartikan
bahwa
komunikan
(receiver)
memiliki
kemampuan
untuk
menginterpretasikan informasi dan pesan yang diterimanya dan dapat membentuk
pemaknaan sendiri sesuai pemahaman mereka.
Stephen Littlejohn menganggap bahwa terdapat beberapa faktor yang
memungkin seseorang dalam membuat penilaian mengenai apa yang terjadi, dan
selanjutnya memutuskan bagaimana bertindak dalam situasi tersebut. Faktorfaktor tersebut dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:75
(1) Mengidentifikasi sebuah situasi, atau kejadian.
(2) Menyertakan seperangkat norma atau nilai.
(3) Menegaskan sebuah hubungan antara susunan tindakan dan akibat yang
mungkin terjadi.
73
Brent D. Ruben dan Lea P. Stewart, Komunikasi dan Perilaku Manusia, h. 411.
Stanley Fish, “Is There a Text in This Class?,” dalam Stephen Littlejohn dan Karen A.
Foss, ed., Teori Komunikasi. Penerjemah Muhammad Yusuf Hamdan (Jakarta: Salemba
Humanika, 2009), h. 196.
75
Stephen Littlejohn dan Karen A. Foss,Teori Komunikasi. Penerjemah Muhammad
Yusuf Hamdan (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), h. 30.
74
49
Jika kembali pada pandangan tentang kaum mayoritas dan minoritas,tindakan
afirmatif (Affirmative Action) adalah tanggapan dari tindak diskriminasi yang
banyak terjadi di berbagai negara. Tindakan afirmatif diibaratkan sebagai
pengambilan sisi positif dari tindak diskriminasi dan menjadikannya dorongan
dan motivasi untuk bangkit. Teori ini berisi upaya untuk membuat kaum minoritas
dapat bangkit dan bertahan di tengah tekanan kaum mayoritas.76
Karena banyaknya kritikan tentang teori spiral keheningan, Neumann
mendefinisikan kelompok Hard Core yang terbentuk karena adanya motivasi dan
dorongan
dari
dalam
diri
dan
lingkungannya
sehingga
mereka
akan
memberanikan diri untuk bangkit. Hard Core adalah kelompok yang tetap
mempertahankan prinsip mereka tanpa memperdulikan ancaman isolasi dari kaum
mayoritas. Kelompok ini membuktikan bahwa minoritas yang aktif, akan lebih
mudah memengaruhi sekitarnya dibandingkan mayoritas yang pasif.77
Reaktansi psikologis gagasan Brehm dan Brehm juga menerangkan bahwa
motivasi terjadi ketika suatu kebebasan seseorang terancam menghilang. Teori ini
berpendapat bahwa ketika kebebasan terancam, individu akan termotivasi untuk
menegakkan kembali kebebasan tersebut. Pemulihan kebebasan yang digagas
Brehm dan Brehm memiliki beberapa cara, yaitu:78
1. Mengarahkan kecenderungan ke arah pilihan yang terancam.
2. Melecehkan sumber ancaman.
3. Menyangkal keberadaan ancaman.
76
Rachel Kranz, Affirmative Action (New York: Facts on File, 2002), h. 4.
Noelle-Neumann. E, The Spiral of Silence: Public Opinion Our Social Skin, h. 170.
78
Brehm S. S dan Brehm J. W, Psychological Rectance: a Theory of Freedom and
Control (New York: Academic Press, 1981), h. 37.
77
50
4. Melaksanakan kebebasan lain untuk memperoleh perasaaan
mampu mengontrol dan memilih dengan bebas.
Bumerang efek juga dapat diartikan sebagai hasil dari komunikasi yang
bersebrangan dengan tujuan komunikator. Pada saat komunikator menyampaikan
suatu pesan, secara dinamis komunikan akan mendeteksi identitas komunikator
terlebih dahulu. Pendeteksian tersebut dapat berdasarkan banyak faktor seperti
status sosial, kedekatan hubungan, kredibilitas, asal asul keluarga, ras, etnis,
agama hingga hal-hal kecil seperti penampilan komunikator. Jika komunikator
tidak lolos tahap pendekteksian dan tidak sesuai standar dari komunikan, maka
harapan dan tujuan komunikator untuk mengubah persepsi komunikan tidak akan
tercapai bahkan justru akan berbalik kepada komunikator itu sendiri.
E. Negotiation
Negosiasi adalah proses tarik ulur informasi yang diterima oleh receiver.
Dalam negosiasi, seorang receiver mengaitkan informasi yang didengarnya
dengan informasi yang sudah berada dalam pemikirannya lalu menyeleksinya dan
menentukan apakah pesan terebut akan diterima atau ditolak.
Ruben dan Steward menggambarkan proses negosiasi sebagai proses
mengaitkan pesan yang diterima dengan pengalaman dana kebutuhan pribadi.
Mereka juga mengatakan bahwa dalam proses percakapan terdapat proses yang
bertujuan untuk menegosiasikan makna, yaitu membuat dan mengeksternalisasi
makna, menafsirkan dan menginternalisasi makna, menemukan perbedaan atau
kesamaan makna antara mereka, dan menegosiasikan makna secara mutualistis
yang sesuai dengan tujuan yang diinginkan.79
79
Brent D. Ruben dan Lea P. Stewart, Komunikasi dan Perilaku Manusia, h. 153.
51
Mead berpendapat bahwa makna dapat tercipta hanya ketika orang-orang
memiliki interpretasi yang sama mengenai simbol yang mereka pertukarkandalam
sebuah interaksi.80 Hall mengidentifikasikan tiga hipotesis mengenai proses
dekoding (Decoding Positions), yaitu:81
1.
Kode dominan (the dominant code) di saat respon dari komunikan
(recipient) terhadap pesan yang diberikan sama dengan maksud dan
tujuan dari komunikator (sender).
2.
Kode
negosiasi
(the
negot
iated
code)
di
saat
komunikan
menggabungkan elemen yang berlawanan dan mengadaptasikannya
dengan tujuan untuk mencocokannya dengan lingkungannya, posisinya
dan situasinya.
3.
Kode yang berlawanan (the oppositional code) di saat pesan yang
diterima oleh komunikan menggunakan kode, pembingkaian, dan
referensi yang berbeda.
Muzafer Sherif dan Hovland mencoba untuk menilai bagaimana seseorang
menilai pesan dari orang lain dan bagaimana penilaian ini berpengaruh pada
keyakinan seseorang tersebut. Dalam penelitiannya Sherif merumuskan teori
penilaian sosial (Social Judgment) yang berfokus pada cara seseorang membuat
sebuah penilaian mengenai pesan yang diterimanya.82
80
Mead. G.H, “Mind, Self and Society: from The Standpoint of a Social Behaviorist,”
dalam Richard West dan Lynn H. Turner, ed., Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi.
Penerjemah Maria Natalia Damayanti (Jakarta: Salemba Humanika, 2008), h. 100.
81
Hall. S, “Encoding and Decoding in Television Discourse,” dalam Stuart Hall, ed.,
Culture, Media and Language (London: Hutchinson, 1981), h. 128.
82
Sherif Muzafer dan Carl I. Hovland, “Social Judgment”, dalam Stephen Littlejohn dan
Karen A. Foss, ed., Teori Komunikasi. Penerjemah Muhammad Yusuf Hamdan (Jakarta: Salemba
Humanika, 2009), h. 105.
52
Pada sebuah ekperimen penilaian sosial, seseorang diberikan sejumlah
pernyataan tentang suatu isu, kemudian diminta untuk mengurutkannya ke dalam
beberapa kelompok sesuai kesamaan isi pernyataan menggunakan proses yang
dinamakan Q-sort. Orang tersebut diberikan kebebasan untuk mengurutkan
pernyataan tersebut sesuai kesukaannya, kemudian meletakkan susunan tersebut
dari yang dianggap positif hingga negatif, lalu diminta untuk menyatakan
kelompok pernyataan mana yang disetujuinya, yang tidak disetujuinya dan
diabaikannya. Hasil dari ekperimen tersebut menunjukkan bahwa terdapat tiga
jenis penilaian, yaitu:83
1.
Latitude of Acceptance
Pernyataan yang dapat membuat seseorang menyetujui dan menerima
pernyataan tersebut.
2.
Latitude of Rejection
Pernyataan yang memiliki kemungkinan besar ditolak.
3. Latitude of Noncommitment
Pernyataan yang kemungkinan tidak dianggap menarik dan cenderung
diabaikan.
Bazerman, Curhan, Moore dan Valley adalah para ahli psikologi yang
menggunakan pemahaman psikologis dalam memperlajari aspek negosiasi dalam
komunikasi. Menurut mereka, terdapat empat pengaruhi terhadap proses
negosiasi, yaitu:84
83
Sherif Muzafer dan Carl I. Hovland, Social Judgment, h. 106.
Bazerman. dkk., “Negotiation : Annual Review of Psychology,” dalam Charles R.
Berger, dkk., ed., Handbook Ilmu Komunikasi. Penerjemah Derta Sri Widowatie (Bandung: Nusa
Media, 2014), h. 447.
84
53
1.
Perbedaan individu
Perbedaan individu menerangkan tentang sifat-sifat bawaan, gender, dan
pandangan pribadi seseorang. Dalam hal ini, proses negosiasi
dipengaruhi oleh aspek tersebut yang akhirnya akan memiliki hasil
interpretasi yang berbeda.
2.
Kognisi
Pendekatan kognitif berhubungan dengan cara berfikir individu.
Biasanya pelaku negosiasi hanya mampu bersikap kuasi-rasional dan
pengambilan keputusan yang dilakukan sering kali tidak beraturan.
Pendekatan ini memberikan wawasan berguna tentang prilaku negosiasi
dan hasilnya walaupun bukan merupakan teori terpadu.
3.
Motivasi
Pendekatan motivasi terfokus pada motif yang mendominasi prilaku
pelaku negosiasi. Ada dua umum yang memperngaruhi prilaku dan hasil
negosiasi. Pertama, motivasi sosial yang merupakan hasrat untuk melihat
hasil negosiasi yang tersebar dengan cara tertentu. Kedua, motivasi
epistemis yang mencerminkan keinginan untuk memiliki pandangan yang
akurat terhadap suatu peristiwa.
Sherif mengatakan bahwa diterima atau ditolaknya suatu pesan dipengaruhi
oleh keterlibatan ego (Ego Involvement). Keterlibatan ego adalah pemahaman
seseorang tentang hubungan pribadi seseorang dengan sebuah masalah atau isi
pesan. Sherif juga menganggap bahwa seseorang menilai hal yang menyenangkan
54
dari sebuah pesan berdasarkan keyakinan dan keterlibatan ego dan dua faktor lain
yang memengaruhi diterima atau ditolaknya sebuah pesan, yaitu:85
1. Keterlibatan Ego (Ego involvement)
Pemahaman tentang hubungan pribadi seseorang dengan sebuah masalah.
Semakin besar keterlibatan ego dalam sebuah pesan, kemungkinan
penolakan akan semakin besar, kemungkinan keterlibatan semakin kecil
dan perubahan sikap akan lebih sedikit. Hal ini terjadi karena orang yang
terlibat dengan ego akan lebih sulit dibujuk dan cenderung menolak pesan.
Keterlibatan Ego adalah inti dari teori penilaian sosial (Social Judgment).
2. Efek Kontras (Contrast Effect)
Terjadi ketika seseorang menilai sebuah pesan lebih jauh dari sudut
pandangnya daripada yang seharusnya. Maksudnya, ketika seseorang tidak
terlalu menyukai Manchester United maka dia tidak akan terpengaruh
dengan kekalahan atau kemenangan dari tim setan merah tersebut, dan
pesan yang diterimanya akan terasa biasa saja bahkan terkesan tidak
penting.
3. Efek Asimilasi (Assimilation Effect)
Terjadi ketika seseorang menilai sebuah pesan relatif dekat dengan sudut
pandangnya daripada seharusnya. Maksudnya, ketika seseorang menyukai
segala hal yang berhubungan dengan Paris, maka tragedi bom Paris dapat
berdampak besar bagi dirinya bahkan menimbulkan perubahan sikap yang
signifikan.
85
Sherif Muzafer dan Carl I. Hovland, Social Judgment, h. 107.
55
Proses negosiasi memiliki beragam tahapan. Beberapa ilmuan mengatakan
bahwa negosiasi terdiri dari satu strategi dominan, adapula yang berpendapat
bahwa negosiasi melewati strategi interaktif dan distributif. Olekalns dan Smith
mengatakan, pelaku negosiasi kerap menimbang dari orientasi distributif ke
orientasi integratif dan berdasarkan pada sumber pesan. Menurutnya, terdapat dua
asumsi yang menjelaskan secara terperinci tentang negosiasi, yaitu:86
1. Negosiasi adalah aktivitas yang diarahakan oleh tujuan. Maksudnya
proses negosiasi dilakukan oleh sender agar receiver melakukan
menerima pesan yang telah dikirimkannya. Proses ini dapat berbentuk
pendekatan secara intensif dan mengganti metode persuasi.
2. Pada awal negosiasi, faktor kontekstual meningkatkan keutamaan
orientasi seseorang. Maksudnya, proses negosiasi memerlukan
argumen dan data-data akurat pada saat tahap orientasi, agar pesan
yang dikirimkan dapat diterima dan sesuai dengan kebutuhan receiver.
M. Olekalns dan Smith P. L, “Social Venue Orientation and Strategy Choices in
Competitive Negotiation,” dalam Charles R. Berger, dkk., ed., Handbook Ilmu Komunikasi.
Penerjemah Derta Sri Widowatie (Bandung: Nusa Media, 2014), h. 457.
86
BAB III
GAMBARAN UMUM
A. Bertemunya Kristen dan Islam
Perselisihan antara Kristen dan Islam diawali sejak terjadi Perang Salib
dimulai pada tahun 1095 yang melibatkan pasukan gereja yang disebut Crusader
melawan pasukan Islam hampir di seluruh bagian benua Eropa. Perang Salib
merupakan sebuah gerakan militer dari gereja Katolik Romawi dengan tujuan
merebut kembali akses bagi masyarakat kristen akan tanah suci di Jerusalem yang
dimulai pada sekitar tahun 1905 oleh Paus Urbanus II. Setelah Perang Salib,
terjadi perselisihan selama 200 tahun untuk menentukan siapa yang berhak
menduduki tanah suci, dengan 6 Perang Salib besar dan beberapa Perang Salib
kecil. Pada tahun 1291, konflik ini berakhir dengan runtuhnya benteng milik
pasukan Kristen di Acre dan setelahnya, pasukan Kristen Eropa tidak lagi
melakukan serangan ke arah timur.1
Perselisihan antara Kristen dan Islam bukan hanya terjadi ketika Perang Salib
saja. Konflik antaragama yang terjadi di Indonesia sudah mulai terjadi sejak masa
reformasi dan tidak terhitung jumlahnya. Islam dan Kristen adalah agama yang
paling sering bertikai, sehingga masyarakat sudah menganggapnya sebagai
kejadian yang biasa. Seperti pertikaian di wilayah Pondok Timur Indah Kota
Bekasi yang melibatkan Ormas Islam dan jemaat Gereja Huria Kristen Batak
Protestan (HKBP) Kota Bekasi hampir terjadi setiap minggu. Persoalan mengenai
Ilham Kadir, “Sejarah Perang Salib,” artikel diakses pada 9 Maret 2016 dari
http://www.portalsejarah.com/sejarah-perang-salib.html
1
56
57
kesahan rumah ibadah, lemahnya rasa toleransi, penguasaan masalah hingga
permasalah sosial selalu dijadikan penyebab terjadinya konflik.2
Perselisihan terbaru terjadi di Bekasi Utara pada 7 Maret 2016 lalu.
Perselisihan disebabkan penolakan umat muslim atas dibangunnya Gereja Santa
Clara Bekasi Utara. Umat muslim berkisar 1000 orang berunjuk rasa dan
menyatakan tuntutan kepada Walikota Bekasi agar perizinan pembangunan Gereja
Santa Clara dicabut karena dianggap melanggar ketentuan dan persyaratan
pembuatan rumah ibadah.3
Pertikaian antaragama yang terjadi antara Islam dan Kristen ini menyebabkan
munculnya sikap stereotip bagi pemeluk kedua agama ini. Pemahaman
eksklusifitas agama para pemeluk agama membuat mereka sulit untuk berfikir
terbuka dan bertoleransi. Hal inilah yang membuat kedua pemeluk agama tersebut
beranggapan bahwa agama mereka yang terbaik dan tidak ada agama yang lebih
baik dibanding agama mereka. Pemahaman eksklusifitas agama dan tindakan
stereotip merupakan akar permasalahan yang dapat menimbulkan konflik
antaragama.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ekslusif berarti terpisah dengan
yang lain, sedangkan inklusif berati termasuk dengan yang lain.4 Didin
Hafidhuddin mendefisikan pengertian eksklusif dan inklusif dari sudut pandang
Islam, menurutnya Islam merupakan agama yang sangat inklusif dan bukan
merupakan ajaran yang bersifat eksklusif.5
“Ormas Islam dan Jamat HKBP Bentrok,” Tempo, 1 Agustus 2010, h. 5.
“Masih Ada Konflik Pembangunan Gereja Santa Clara Bekasi,” Republika, 7 Maret
2016, h. 12.
4
Silvita I.S, Kamus Populer (Surabaya: Jaya Agung, 1989), h. 99 dan 127.
5
Didin Hafidhuddin, Islam Aplikatif (Jakarta: Gema Insani, 2003), h. 147.
2
3
58
Crapps mengutip perkataan Allport yang mendefinisikan agama eksklusif
sebagai agama yang mendukung dan membenarkan kepentingan pribadi
pemeluknya. Dalam keadaan seperti itu, agama dijadikan budak bagi kepentingan,
keinginan dann kebutuhan yang sama sekali tidak berkaitan dengan nilai yang ada
dalam agama tersebut. Para penganut agama eksklusif bukan menjunjung agama,
melainkan memanfaatkannya untuk mendukung dan membenarkan gaya hidup
dan perilaku mereka.6
Sebaliknya agama inklusif diartikan sebagai agama yang memenuhi seluruh
aspek kehidupan dengan motivasi dan makna. Maksudnya, agama inklusif
memiliki kekuatan dalam memberikan arah hidup bagi pemeluknya. Allport
mengatakan bahwa dalam agama inklusif, pemeluk agama menghayati agama
tanpa menganggap agama lain tidak lebih baik dibandingkan agamanya.7
Menurut sejarah, agama Kristen adalah agama tertua di dunia. Agama Kristen
didirikan oleh seorang pemuda dari bangsa Yahudi yang bernama Yesus yang
lahir di Batlehem, Palestina antara tahun empat hingga delapan SM.8Yesus lahir
dari rahim seorang perawan yang bernama Maria. Yesus mulai menyebarkan
agama Kristen sejak berumur tiga puluh tahun bersama dua belas sahabatnya yang
dinobatkan sebagai rasul. Yesus wafat pada usia tiga puluh tiga tahun karena
disalib oleh orang-orang Farisi. Setelah tiga hari kematiannya, Yesus bangkit
kembali dan naik ke surga.
6
Robert W. Crapps, Dialog Psikologi dan Agama: Sejak William James Hingga Gordon
W. Allport. Penerjemah A.M Hardjana (Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 28.
7
Robert W. Crapps, Dialog Psikologi dan Agama: Sejak William James Hingga Gordon
W. Allport., h. 29.
8L. Berkhof, The History of Christian Doctrine. Penerjemah Thoriq A. Hindun (Bandung:
Sinar Baru, 1992), h. 2.
59
Pada hari kebangkitan, Yesus berpesan pada pengikutnya agar terus
menyebarkan agama Kristen dan perintah tersebut yang hingga kini menjadi
landasan umat kristiani dalam melakukan penyebaran agama. Setelah wafatnya
Yesus, para rasul mulai menyebarkan ajaran kristiani ke berbagai tempat dan
berhasil membaptis sekitar tiga ribu orang. Pada masa awal penyebaran, Kristen
dianggap sebagai ancaman oleh kerajaan Romawi yang berkuasa pada masa itu.
Banyak pendeta dan umat kristiani yang dianiaya dan menjadi kekejaman
kekaisaran Romawi.
Romawi berusaha menekan perkembangan agama Kristen dan melarang
siapapun untuk mengikuti agama Kristen. Hal ini disebabkan umat kristiani yang
tidak ingin menyembah kaisar dan menyulitkan kekuasaan Romawi. Namun pada
tahun 313, Kaisar Konstantinus melegalkan agama Kristen dan menetapkan
agama Kristen sebagai agama negara.
Agama Kristen memiliki beberapa sekte, yaitu
Lutheran, Aglikan,
Presbyterian, Yudaistis (Yahudi), Katholik, Protestan dan Ortodoks Yunani.
Agama Kristen berpedoman pada Bible (Alkitab). Alkitab sendiri memiliki dua
versi, yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Zafar menjelaskan definisi dari
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, yaitu:9
“The Bible has been divided into two main parts. The first langer part is
called ‘the Old Testament’, which is an account of the events occurred
before Jesus Christ. The Old Testament has been written and complied
before the birth of Jesus. The second and the smaller part of the Bible is
9
Muhammad Jawed Zafar, Christio-Islamic Theologies (India: Adam Publishers, 1994),
h. 1.
60
‘the New Testament’. It is a record, though not complete, of the life and
the teachings of Jesus and his disciples.”
Perjanjian Lama (Old Testament) tidak berbentuk satu buku, melainkan
kumpulan dari sembilan puluh sembilan buku kecil yang ditulis oleh penulis yang
berbeda dari zaman yang berbeda pula. Lima buku pertama dari Perjanjian Lama
dikenal sebagai ‘Pentateuch’ atau biasa disebut ‘Books of Moses’. Buku-buku
tersebut pertama kali dikumpulkan pada tahun 400 sebelum masehi dan penulisan
terbanyak berasal dari Babilonia. Perjanjian Lama pertama kali ditulis dengan
bahasa Ibrani dan Aram lalu diterjemahkan dalam bahasa Yunani dengan
beberapa modifikasi.10
Perjanjian baru sebagai edisi kedua dari Bibel dibuat setelah kelahiran Yesus
sekitar 5-130 M. Periode ini dinamakan dengan tahun kedua agama Kristen. Pada
periode ini umat kristiani berhenti untuk mengikuti sekte yahudi dan merubah
dirinya menjadi agama yang independen. Perjanjian Baru adalah sebuah
interpretasi yang tidak diterima Yahudi dalam Perjanjian Lama. Perjanjian Baru
berisi doktrin dalam Perjanjian Lama diverifikasi sehingga menimbulkan
ambiguitas yang berkelanjutan, khususnya doktrin tentang Tuhan. Wujud Tuhan
dalam Perjanjian Lama direfleksikan dalam bentuk Yesus Kristus.11
Menurut Peter G. Van Schie, kedatangan Kristen ke Indonesia sejak awal
ketujuh masehi, bersamaan dengan tumbuhnya Gereja Mar Thoma di Barus
Sumatra dan Gereja Nestorian di Jawa Timur namun kehadiran Kristen tidak
meninggalkan bekas di Indonesia.12 Agama Kristen dibawa kembali ke Indonesia
10
Muhammad Jawed Zafar, Christio-Islamic Theologies, h. 5.
Muhammad Jawed Zafar, Christio-Islamic Theologies, h. 45.
12
Peter G. Van Schie, Rangkuman Sejarah Gereja Kristiani Dalam Konteks Sejarah
Agama-Agama Lain (Jakarta: Penerbit Obor Indonesia, 1994), h. 102.
11
61
ketika Portugis ke Indonesia untuk mencari rempah-rempah, dalam perjalanannya
mereka membawa para misionaris Katholik dengan misi untuk menyebarluaskan
agama Katholik kemana dan kapanpun.13
Kegiatan misionaris didukung sepenuhnya oleh penguasa Portugal dan
Spanyol seperti tujuan mereka yang terkenal dengan semboyan 3G, yakni Gold
(Kekayaan), Glory (Kejayaan), dan Gospel (Menyebarkan Agama Katholik).
Sekitar 200 misionaris melancarkan usaha penginjilan di Indonesia bagian timur
sepanjang abad keenam belas.14 Namun sejak Belanda dan Inggris merebut kuasa
Spanyol dan Portugal pada tahun 1600, maka kandaslah kekuasaan Portugis dan
masuklah agama Kristen Protestan.
Sedangkan agama Islam muncul pertama kali pada abad ketujuh masehi.
Agama Islam dibawa oleh pemuda bangsa Arab bernama Muhammad
(Rasulullah) yang lahir di Mekkah padatahun 570 M. Islam lahir disaat belahan
dunia bagian barat sedang diliputi oleh pandangan filsafat Romawi dan Yunani
Kristen.15
Kitab suci dalam agama Islam adalah Al-Qur’an. Al-Qur’an turun secara
berangsur-angsur dan hanya memiliki satu versi yang sampai saat ini masih
terjaga keasliannya. Pada masa Rasulullah SAW, Islam tidak memiliki aliran
apapun dan hanya berpedoman pada Al-Qur’an. Namun setelah terjadinya perang
Siffin pada tahun 37 Hijriah antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah, mulai
bermunculan aliran-aliran baru yang mengatasnamakan Islam, diantaranya adalah
Khawarij yang berisi kelompok-kelompok yang memisahkan diri dari Ali bin Abi
13
Burhanuddin Daya, Agama Dialogis: Merenda Dialektika Idealita dan Realita
Hubungan Antaragama (Yogyakarta: Mataram-Minang Lintas Budaya, 2004), h. 98.
14
S. H. Sukoco, Tata Injil di Bumi Muria (Semarang: Pustaka Muria, 2010), h. 17.
15
M. Amin Syukur, dkk., Teologi Islam Terapan: Upaya Antisipatif Terhadap Hedonisme
Kehidupan Modern (Jakarta: Tiga Serangkai, 2003), h. 192.
62
Thalib, lalu disusul beberapa aliran lain seperti Syiah, Jabariyah, Mu’tazilah,
Murjiah, dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sedangkan aliran-aliran yang diakui di
Indonesia dan telah mendapat persetujuan Majlis Ulama Indonesia (MUI) adalah
Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah dan Persis.16
Penyebaran agama bagi agama Kristen dan Muslim merupakan tugas penting
dan merupakan kewajiban bagi umat kristiani dan umat muslim. Hakekat Kristen
dan Islam sebagai agama misionaris menjadikan Kristen dan Islam sebagai agama
yang dominan dipeluk penduduk dunia. Kegiatan penyebaran agama dapat disebut
sebagai kegiatan komunikasi, di mana komunikator menyampaikan pesan kepada
komunikan baik secara perorangan atau kelompok. Secara teknis perbedaan antara
kegiatan penyebaran agama dengan kegiatan komunikasi terletak pada muatan
pesan yang disampaikan. Dalam komunikasi, pesan yang disampaikan bersifat
netral sedangkan dalam pesan penyebaran agama berisi nilai keteladanan dan
kebenaran.17
Penyebaran agama atau berdakwah dalam agama Islam, dianggap tugas suci
yang merupakan tugas setiap muslim. Dengan demikian, setiap muslim
berkewajiban untuk berdakwah. Seperti dalam firman Allah surat Ali Imran ayat
104, yang berbunyi:
           
   
16
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia, 1986), h. 5.
17
Faizah dan Lalu Effendi, Psikologi Dakwah, h. 37.
63
Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang
munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.
Secara historis, umat Islam dan kristen di Kampung Sawah berasal dari satu
rumpun. Akibatnya hubungan kekeluargaan sangat terlihat akrab karena terikat
oleh tali persaudaraan. Bahkan ada dalam satu keluarga terdapat beberapa
penganut agama. Suasana demikian juga didukung oleh letak desa yang cukup
terpencil, sehingga satu sama lain saling membutuhkan dan saling membantu
apabila memperoleh kesusahan. Kegiatan yang saling menunjang tersebut
membuat kerukunan beragama secara kasat mata cukup tercipta di Kampung
Sawah.Kesamaan kewajiban antara umat muslim dan kristiani, menjadikan kedua
agama ini berkompetisi dalam hal penyebaran agama.
B. Gereja Kristen Protestan Pasundan Kampung Sawah
Gereja Kristen Protestan Pasundan adalah gereja yang berpusat di kota
Bandung dan tersebar di pulau Jawa Barat. Gereja ini resmi berdiri di Bandung
pada tanggal 14 November1934dengan Rad Ageng (Majelis Besar) pertama, yang
diketuai oleh Penginjil J. Iken dari Nederlandse Zendelings Vereeniging (NZV)
dari Belanda.
Pada tahun 1886 jumlah anggota jemaat kristiani telah mencapai 104 orang
yang terdiri dari beberapa kelompok. Masing-masing kelompok dipimpin oleh
pimpinan kelompok, antara lain: Matias, Laban Rikin, Lukas Rikin dan Yoseb
Baiin. Kemudian mereka dianjurkan oleh Pendeta C. Albers agar bersatu. Atas
anjuran tersebut terwujudlah jemaat yang cukup besar saat itu, yang dipimpin oleh
Pendeta C. Albers sendiri, dengan pusat kebaktian di rumah Laban Rikin. Di
64
bawah kepemimpinannya jemaat dalam kuantitas semakin berkembang sehingga
mencapai jumlah 179 jiwa yang tersebar di Kampung Sawah timur 51 orang,
Kampung Sawah Barat 102 orang dan di Pondok Melati 26 orang.
Pada tahun 1902, jemaat mendirikan rumah ibadah di kebun Bapak Lukas
Rikin berukuran 13,5 x 6,5 M dan digunakan juga untuk sekolah yang diasuh oleh
Zendeling A.J. Bliek. Pada tahun 1911, rumah ibadah dipindah ke tempat
sekarang, dan jemaat berada dibawah kepemimpinan Musa Rikin. Pada tahun
1967 Mika Rikin dan Madi Lampung memimpin jemaat Kampung Sawah. Bentuk
gedung gerejapun mengalami perubahan berbentuk salib dan dasarnya
ditinggikan.
Jumlah anggota jemaat pada saat itu tercatat 605 orang. Sepeninggalan
Pendeta Mika Rikin, pada tahun 1972 D. Ngapon ditahbiskan menjadi Pendeta
Jemaat Kampung Sawah. Kepemimpinannya berlangsung sampai dengan tahun
1980 dan pada tahun 1982 Pendeta Drajat Majan melayani di Jemaat Kampung
Sawah hingga masa emeritasi.
Setelah itu pada tahun 1999, Pendeta Anna Mariyani Sarniem melayani di
Kampung Sawah lalu Pdt Alex F Banua, S.Th sampai dengan tanggal 16 Juni
2013. dan kini Pdt. Dewi Agustina, S. Si. Keanggotaan jemaat Kampung Sawah
saat itu berjumlah 504 KK yang terdiri dari 1.586 jiwa dan terbagi menjadi dua
bagian, yaitu 1.097 Jiwa anggota Sidi dan 472 Jiwa anggota Baptis, dan masih
terus bertambah seiring dengan waktu Fungsionaris Jemaat: 1 Orang Pendeta dan
27 Orang Majelis Jemaat.
Adapun data-data mengenai Gereja Kristen Protestan Pasundan Kampung
Sawah terdiri dari struktur kepengurusan Gereja Kristen Protestan Pasundan
65
tertera pada gambar 3.1, visi dan missi GKP pada gambar 3.2, data jumlah
keanggotaan GKP Pasundan tercatat dalam gambar 3.3, dan jadwal kegiatan
harian GKP tertera pada gambar 3.4.18
Gambar 3.1
Struktur Kepengurusan GKP Kampung Sawah
Gambar 3.2
Visi dan Missi GKP Kampung Sawah
Gambar 3.3
Pertumbuhan Jemaat GKP Kampung Sawah
18
Data pribadi Gereja Kristen Protestan Pasundan (GKP) Kampung Sawah, 1 Maret 2016.
66
67
Gambar 3.4
Jadwal Kegiatan Rutin GKP Kampung Sawah
C. Agama Kristen di Kampung Sawah
Penyebaran agama Kristen di Indonesia dilakukan oleh Belanda pada
permulaan abad ketujuh belas masehi. Bangsa Belanda dan bangsa-bangsa
Protestan lainnya terutama Inggris mendapatkan kesempatan untuk melakukan
penyebaran ajaran Injil keluar Eropa.19Pada tahun 1602, Belanda membentuk
Verenidge Oost-Indische Compagnie (VOC) untuk melakukan tugas-tugas
perdagangan dari Belanda hingga Jepang melalui Tanjung Harapan dan Indonesia.
Dalam melakukan perjalanan tersebut, Belanda mengikutsertakanperawat rohani
yang memperoleh hak dari gereja untuk membaptis orang dan mengusahakan
penyebaran Injil atau Zending.
19
Burhanudin Daya, Agama Dialogis: Merenda Dialektika Idealita dan Realita
Hubungan Antaragama, h. 99.
68
Zending Belanda mulai memasuki pulau Jawa pada tahun 1848, pada saat
Hindia-Belanda dipimpin oleh Stamford Raffles. Salah satu kelompok Zending
yang tersebar di Indonesia adalah Het Genootschap Voor In-En Uitwendige
Zending(GIUZ). GIUZ didirikan di Batavia pada tahun 1852 atas prakarsa tiga
serangkai, yaitu: Mr. F.L. Authing, Ds. E.W King, dan J. Esser yang merasa
prihatin dengan kehidupan ornag-orang yang berada di luar gereja dan yang
murtad dari gereja.
Prinsip GIUZ adalah mengajarkan ajaran Injil dan melakukan penginjilan
kaum pribumi. Melalui penginjilan-penginjilan, kaum pribumi dididik dan banyak
melahirkan tokoh-tokoh penting dalam proses penyebaran agama Kristen, seperti
Ibrahim Sujana yang berhasil membentuk jamaat Kristen yang dikenal dengan
jamaat Anthing. Jamaat Anthing berkembang di Kampung Sawah, Pondok Melati,
Gunung Putri, Cigelam, Cikuya, Tanah Tinggi, Cakung dan Ciater.20
Kampung Sawah dijadikan salah satu wilayah target penginjilan para Zending
karena pemahaman keagamaan masyakarat Kampung Sawah yang sangat minim.
Bahkan, banyak warga yang mengaku sebagai umat beragama tapi tidak
melakukan apapun yang dianjurkan oleh agamanya. Sehingga pada saat Zending
masuk dan mulai melakukan penginjilan, usaha yang diperlukan tidaklah sulit
karena keimanan warga Kampung Sawah yang belum kuat dan mudah
berubah.21Sedangkan sejarah khusus penyebaran Kristen di Kampung Sawah
dimulai pada tahun 1870-an.
Kampung Sawah sendiri terletak di Kecamatan Pondok Melati dan terbagi
menjadi dua kelurahan, yaitu Kelurahan Jati Melati Dan Jati Murni. Kecamatan
20
S.H. Soekotjo, Sejarah Gereja-Gereja Kristen Jawa: di Bawah Bayang-Bayang
Zending, 1858-1948 (Salatiga: Lembaga Studi dan Pengembangan GKJ, 2009), h. 111.
21
Wawancara Pribadi dengan Rahmadin Afif, Bekasi, 28 Februari 2016.
69
Pondok Melati dengan luas wilayah 1.179,925 ha yang terdiri dari 4 kelurahan
yaitu:22
1. Kelurahan Jatimurni
: 300,500 Ha
2. Kelurahan Jatimelati
: 319,000 Ha
3. Kelurahan Jatiwarna
: 248,000 Ha
4. Kelurahan Jatirahayu
: 312,425 Ha
Pertumbuhan penduduk di Kecamatan Pondok Melati mencapai 2,5 % per
tahun. Jumlah penduduk Kecamatan Pondok Melati sampai dengan Desember
2011 sebanyak 105.087 jiwa yang terdiri dari :
1. Penduduk Laki-Laki Sebanyak
: 52.041 Jiwa
2. Penduduk Perempuan Sebanyak
: 53.046 Jiwa
3. Jumlah Kepala Keluarga
: 25.699 KK
Sedangkan jumlah Penduduk muslim di Kampung Sawah sekitar
43314
orang, penduduk kristiani 9736 orang, Budha 274 orang dan Hindu 164 orang.
Adapun tempat ibadah yang tersedia secara resmi di dua kelurahan jumlah masjid
sekitar 21 buah dan gereja 9 buah.Adapun tempat ibadah yang tersedia secara
resmi di dua kelurahan jumlah masjid sekitar 21 buah dan gereja 9 buah.
Sedangkan jumlah Tempat Pemakaman Umum ( TPU ) ada 9 buah, masingmasing TPU GKP Kristen, TPU Protestan, TPU Katholik, TPU Islam, TPU
Kecapi dan TPU Darma Asih Jaya, semuanya di kelurahan Jati Melati sedang tiga
sisanya, yaitu TPU sundari, Mede dan Sendeng masing-masing di kelurahan
Jatimurni dan berlaku untuk umum.23
Tabel 3.1
22
Data Pribadi Kecamatan Pondok Melati, Bekasi, 3 Maret 2016.
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Encep, Bekasi, 3 Maret 2016.
23
70
Data Pertumbuhan Penduduk Kecamatan Pondok Melati
Tahun
No Kelurahan
2009
2010
2011
1
Jati Murni
16.661
16.796
16.983
2
Jati Melati
14.450
14.619
14.706
3
Jati Warna
19.623
19.679
19.858
4
Jati Rahayu
52.282
52.024
53.540
Jumlah
103.106
103.139
105.087
data : seksi kependudukan tahun 2009-2011
BAB IV
ANALISIS DATA:
STRATEGI PENYEBARAN AGAMA KRISTEN DAN RESPONS MUSLIM
A. Paksaan, Bujukan dan Reaksi Kebencian
Paksaan, bujukan dan reaksi kebencian yang dimaksud salam sub bab ini
merujuk pada salah satu instrumen dari Teori Resepsi Aktif yaitu
Coerseduction (bujukan dan paksaan). Adapun paksaan dan bujukan yang
dimaksud peneliti adalah bujukan dan paksaan yang berasal dari teknik umat
kristiani dalam menyebarkan agamanya. Sedangkan reaksi kebencian adalah
alasan umat kristiani dalam melakukan kristenisasi umat muslim.
Bentuk paksaan diartikan sebagai cara seseorang untuk meraih tujuannya
dengan taktik yang mengedepankan ancaman dan kekerasan baik secara fisik
maupun mental. Maksudnya, komunikator yang menggunakan paksaan dalam
komunikasi tidak akan mempertimbangkan pendapat komunikan dan hanya
terfokus pada pencapaian tujuan saja. Salah satu contoh bentuk paksaan dalam
komunikasi adalah ketika seorang dosen menuntut mahasiswa untuk menuruti
perintahnya dan menggunakan ancaman seperti penangguhan nilai atau
lainnya agar mahasiswa tersebut menuruti keinginannya. Dalam melakukan
paksaan, ada beberapa aspek yang dimanfaatkan komunikator dalam
melancarkan tujuannya, yaitu kekuasaan, jabatan, atau kapabilitasnya dalam
suatu bidang.
Berbeda dengan paksaan, komunikasi persuasi dengan bujukan terlihat
lebih halus. Pencapaian tujuan dengan bujukan biasanya bersifat berkala dan
71
72
merembes. Maksudnya, komunikator melakukan pencapaian tujuannya
dengan cara-cara yang kemungkinan tidak disadari oleh komunikan. Salah
satu contoh, ketika seorang pastur menyemar menjadi seorang musafir baik
hati yang senang membantu orang miskin dan membuat warga menyukainya,
lalu setelah mendapatkan simpati dan kepercayaan warga maka dengan mudah
pastur itu melakukan kristenisasi bahkan kemungkinan tanpa ada perlawanan
dari komunikan.
Sedangkan reaksi kebencian adalah persepsi seseorang atau kelompok
tentang kelompok lain. Reaksi kebencian biasanya timbul dari pengalaman,
sejarah, atau kepercayaan yang sudah mengakar sejak dulu. Sebagai contoh,
terjadinya pertikaian dan konflik yang terjadi di seluruh penjuru dunia.
Pertikaian ini dapat disebabkan karena adanya prasangka negatif, rasisme, dan
stereotip.
Awalnya, hampir semua warga Kampung Sawah menganut Islam.
Protestan baru hadir 1886, ditandai munculnya Jemaat Meester F.L. Anthing
di bawah Perhimpunan Pekhabaran Injil Belanda. Pada akhir 1880-an
perkembangan Protestan kian pesat, akibat banyaknya jemaat dari Mojowarno,
Jawa Timur, dan lereng Gunung Muria, Jawa Tengah, yang hijrah ke
Kampung Sawah. Pada tahun 1895, pemeluk Protestan yang mulai multi etnis
pecah jadi tiga kelompok. Satu di antaranya memilih Katolik Roma, meski
saat itu tak sadar bahwa Katolik bukan bagian Protestan. Perkembangan
Katolik di Kampung Sawah itu ditandai dengan pembaptisan 18 putra
73
setempat pada 6 Oktober 1896 oleh Pater Bernardus Scwheitz, dari Katedral
Batavia.1
Kampung Sawah zaman dulu adalah daerah tempat pembuangan para
buronan kriminal menyembunyikan diri, sebagaimana terjadi pada masa VOC
(Vereenigde Oost Indische Cornpagnie). Hal ini didukung dengan letak
geografis Kampung Sawah yang strategis dan hanya berjarak kurang lebih 40
km dari pusat kota Batavia.2
Suksesnya kegiatan penginjilan di Kampung Sawah dibuktikan dengan
dibangunnya Gereja Kristen Protestan Pasundan Kampung Sawah pada tahun
1870 dan Gereja Kristen Katholik Santo Sarvetius pada tahun 1896.Sejarah
berdirinya Paroki Santo Servatius Kampung Sawah sendiri merupakan
sempalan dari Gereja Protestan Kampung Sawah yang dirintis Meester
Anthing.
Matheus Nalih selaku Wakil Ketua Dewan Gereja Kristen Protestan
Pasundan menceritakan bahwa pada 1895, jemaat Protestan Kampung Sawah
terpecah menjadi tiga faksi yang saling bermusuhan. Faksi pertama adalah
kelompok guru Laban yang bermarkas di Kampung Sawah Barat. Faksi kedua
adalah kelompok Yoseh yang mengadakan kebaktian di Kampung Sawah
Timur dan faksi ketiga adalah kelompok guru Nathanael yang memilih
Katolik Roma untuk masuk ke Kampung Sawah. Guru Nathanael melakukan
hal tersebut setelah ia dipecat dari jabatan guru pembantu di Gereja Protestan
Kampung Sawah. Ia kemudian mencari bantuan ke Gereja Katedral yang
berada di Lapangan Banteng, Jakarta. Pada 6 Oktober dianggap sebagai hari
1
Sunardian Wirodono, “Betawi Kristen Kampung Sawah,” artikel diakses pada 9 Maret
2016 dari http://www.gobetawi.com/2014/10/betawi-kristen-kampung-sawah-tentang.html
2
Wawancara pribadi dengan Nur Ali Akbar, Bekasi, 28 Februari 2016.
74
kelahiran umat Katolik Kampung Sawah (sebutan awal untuk Paroki Santo
Servatius Kampung Sawah) setelah Pastor Schweitz membaptis 18 anak di
Kampung Sawah.3
Penganut Kristen di Kampung Sawah kemudian membentuk sistem
marga.Tradisi ini hanya berada di Kampung Sawah dan tak ditemukan di
betawi lainnya. Sistem marga umat kristiani Kampung Sawah berbeda dengan
sistem marga masyarakat Medan. Penggabungan nama marga seperti Baiin,
Saiman, Bicin, Napiun, Kadiman, Dani, Rikin, dan Kelip dibentuk sejak
sistem hukum kolonial. Masa itu berlaku hukum Islam, adat, dan barat.
Kolonial Belanda menerapkan sistem hukum yang berbeda pada masingmasing golongan masyarakat dan bagi warga Kristen bumi putera yang
hendak menikah diberlakukan peraturan khusus yang menyerupai hukum sipil
Barat. Mereka harus menggunakan nama keluarga ditambah nama baptis.
Oleh sebab itu tidak asing jika menemukan nama seperti Musa Dani, Marthius
Napiun, atau Sulaeman Kadiman di Kampung Sawah.4
Tradisi marga diberlakukan dengan cara membubuhkan nama leluhur lakilaki pada setiap nama belakang seseorang, yang adalah keturunan dari leluhur
tersebut. Hal ini tidak jauh berbeda dengan pengertian marga secara umum,
yaitu suatu kelompok kekerabatan yang berdasarkan atas keturunan melalui
garis keturunan pihak laki-laki atau perempuan yang bersumber pada seorang
leluhur.Gejala ini disebut patrilineal, yaitu keturunan berdasarkan garis bapak.
Model ini adalah garis keturunan unilineal, artinya seseorang tidak dapat
memilih garis keturunannya, beda halnya dengan ambilineal adalah
3
Wawancara Pribadi dengan Matheus Nalih, Bekasi, 1 Maret 2016.
Sapta Siagian, “Kekristenan di Kampung Sawah Pondok Gede,” artikel diakses pada 6
Maret 2016 dari http://gerejasahabat.id/ke-kristenan-di-kampung-sawah-pondok-gede/
4
75
kebalikannya.Sehingga
masing-masing
keluarga
dengan
keturunannya
memiliki marganya masing-masing.5
Ada beberapa nama marga yang sering dijumpai di Kampung Sawah.
Mereka ini berarti orang pertama yang hidup dan tinggal di Kampung Sawah,
kemudian berkembang hingga sekarang. Oleh karena itu, sangat mudah cara
mengenali orang Kampung Sawah dengan melihat siapa nama terakhir dari
nama seseorang itu, maka itulah marganya. Di antara nama marga yangada di
Kampung Sawah hampir dua puluh lebih diantaranya: Napiun, Pepe,Kelip,
Baiin, Saiman, Dani, Sabajan, Jilin, Empit, Peking, Emeng, Centeng,Cimi,
Kuding, Senen, Noron, Rikin, Kuding, Kari’in, Oyan, Baidan, Seran,Rimin,
Niman, Minan, Modo, Halim, Kadiman, dan Nathanael.
Hasil wawancara peneliti dengan sejumlah tokoh masyarakat dan
agamayang ada bahwa masyarakat Kampung Sawah antara keluarga yang satu
denganyang lain masih terikat hubungan persaudaraan. Jika diruntut satu
denganyang lainnya, mereka berasal dari keturunan yang sama baik dari pihak
kakekmaupun nenek. Agar keturunan initidak bercerai berai, mereka
mengikatnya dengan sistem kekerabatan yanghingga saat ini masih tetap
terjaga, yaitu diberinya nama marga.
Sebagai contoh, peneliti mengambil silsilah keluarga besar Marga Dani.
Keluarga Dani termasuk orang generasi pertama yang tinggal di Kampung
Sawah. Bapak Dani menikah dan mempunyai anak bernama Atin, Suradi,
Kleopas dan Marya. Anak Dani yang bernama Kleopas menikah dan
mempunyai anak bernama Musa dan Klarina. Bapak Musa Dani yang berumur
5
A. W. Widjaja, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat (Jakarta: Professional Books,
1986), h. 102.
76
87 Tahun merupakan generasi ke-3 dari keluarga besar marga Dani yang
masih hidup.6
Hal yang manarik dari sistem marga di Kampung sawah yaitu perkawinan.
Marga di Kampung Sawah tidak memperbolehkan kawin dalam satu marga
(misalnya
marga
Napiun
dengan
marga
Napiun
sendiri).
Mereka
memperbolehkan kawin antar marga (misalnya marga Napiun dengan marga
Dani) walaupun berlainan agama. Justru dengan adat seperti itu sistem
kekerabatan masyarakat Kampung Sawah menjadi luas dan kuat, meski agama
mereka berbeda-beda.7
Hingga saat ini keragaman pemeluk agama di Kampung sawah tidak
pernah menjadi konflik, sebab diikat oleh antar marga mereka sendiri, melalui
jalur perkawinan. Penulis mengambil sampel keluarga Bapak Yohanes Dani
yang merupakan salah satu warga Kampung Sawah. Dia memiliki istri
bernama Elizabet yang merupakan pemeluk agama Katholik. Yohanes dan
Elizabeth memiliki lima anak yaitu Veronika, Ruginah, Agustinus, Marcelio,
dan Alexander. Seluruhnya beragama Kristen Katolik. Sekitar tahun 2010,
anak beliau Veronika menikah dengan lelaki muslim bernama Husaini.
Akhirnya Veronika pindah menjadi muslim dan tinggal di Kampung Sawah.
Penulis sempat mewawancarai kepindahan agama mereka dan Veronika
menjawab bahwa kepindahan agama mereka lebih disebabkan mengikuti
keyakinan suami dan dia tidak menyesali hal itu. Ini disebabkan peristiwa
perpindahan agama telah menjadi hal yang biasa di Kampung Sawah.8
6
Wawancara Pribadi dengan Musa Dani, Bekasi, 29 Februari 2016.
Wawancara Pribadi dengan Musa Dani, Bekasi, 29 Februari 2016.
8
Wawancara Pribadi dengan Veronika Dani, Bekasi, 29 Februari 2016.
7
77
Itupun diakui oleh ayahnya Veronika, Bapak Yohanes, bahwa tradisi di
Kampung Sawah urusan agama diserahkan masing-masing anak. Sebab hal ini
akan menjadi pilihan dalam hidupnya, asalkan dengan kesungguhan dan
kesadaran dari dirinya. Hal itu dianggap sesuatu yang lumrah dan biasa pada
tradisi beragama Kampung sawah. KH Rahmadin Afif selaku pengasuh
Pesantren Fisabilillah sendiri mempunyai saudara sepupu yang menjadi tokoh
Protestan dan Katolik, salah satunya Musa Dani yang merupakan sesepuh
Protestan Gereja St. Servatius Kampung Sawah. Persaudaraan mereka tak
terganggu.9
Menurut Muhammad Encep selaku Camat Pondok Melati, “Ini salah satu
modal terjaganya kerukunan beragama di antara kami,”. Hubungan kerabat
itu tak saja berupa hubungan darah, melainkan juga melalui jalur perkawinan.
Banyak terjadi kawin silang antarpemeluk agama berbeda. Perkawinan lintas
agama tersebut menyebabkan adanya individu yang melebur ke agama
pasangannya dan ada juga yang bertahan pada agama masing-masing.10
Jika diperhatikan lebih dalam, pernikahan lintas agama yang menjamur di
Kampung Sawah bukan hanya bertujuan untuk mempererat hubungan
persaudaraan, melainkan stategi untuk memperluas penyebaran agama.
Penyebaran agama terselubung dalam ikatan pernikahan dapat dikategorikan
sebagai tindakan korseduksi (Coerseduction). Coerseduction pertama kali
diperkenalkan oleh Ravault yang menekankan peran komunikan (receiver)
pada proses hubungan interpersonal. Coerseduction diartikan sebagai
9
Wawancara Pribadi dengan Yohanes Dani, 29 Februari 2016.
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Encep, Bekasi, 3 Maret 2016.
10
78
manipulasi yang meliputi pikiran, psikologis, emosi, dan lainnya. 11 Bakti
mengartikan Coerseduction sebagai cara untuk mempengaruhi seseorang
secara langsung, baik dalam bentuk paksaan maupun bujukan.12 Dalam hal
ini, komunikator bertujuan untuk mengubah persepsi komunikan dengan
strategi bujukan dan paksaan baik dalam bentuk perkataan dan tindakan.
Sesuai dengan banyaknya fakta lapangan yang ditemukan serta teori-teori
yang dikumpulkan, maka dapat disimpulkan bahwa strategi penyebaran
agama yang digunakan adalah bujukan (seduction). Namun setelah melihat
sejarah perjalanan penyebaran Kristen di Kampung Sawah, peneliti
menemukan bahwa terdapat paksaan (coersion) dalam kegiatan penyebaran
agama yang dilakukan umat kristiani terhadap umat muslim.
Nur Ali Akbar menceritakan bahwa sekitar tahun 1960, penyebaran agama
Kristen dilakukan secara paksa dan hal ini dialami langsung oleh teman
dekatnya. Saat itu, misionaris Kristen memaksa anak-anak yatim untuk
memeluk Kristen lalu ditampung di yayasan yatim piatu milik Kristen yang
dikenal dengan pondok damai. “itu alasan kyai mendirikan YASFI yang
awalnya cuma pondok yatim piatu aja.” tambahnya.13
Pada tahun 1965, Kampung Sawah adalah kampung yang tidak
mempunyai kepedulian terhadap agama. Meskipun secara resmi kaum
muslimin tercatat sebagai urutan yang mayoritas, tetapi tempat ibadah yang
tersedia pada waktu itu hanya sebuah mushalla kecil milik keluarga Bagung.
Hanya beberapa orang saja yang taat melaksanakan ibadah. Kepedulian
R. J. Ravault, “Resisting Media Imperialism by Coerseduction,” h. 109.
Andi Faisal Bakti, ed., Communication and Family Planning in Islam in Indonesia:
South Sulawesi Muslim Perceptions of a Global Development Program, h. 109.
13
Wawancara Pribadi dengan Nur Ali Akbar, Bekasi, 28 Februari 2016.
11
12
79
terhadap agama mulai tumbuh seiring dengan penumpasan pemberontakan
G.30.S / PKI. Sesudah tahun 1965, muncul semangat membangun di
kalangan kaum muslimin Kampung Sawah. Mushalla kecil milik keluarga
Bagung dibangun kembali dan direnovasi di atas tanah wakaf keluarga
Bagung seluas lebih kurang 200 meter. Namun rutinitas ibadah masih sedikit
dilakukan karena warga masih dipengaruhi oleh aliran kepercayaan animisme
pada masa itu, seperti membakar kemenyan, menghitung hari, sesajian dan
berbagai bentuk khurofat lainnya.14
Leo Paldaeli, salah seorang penggagas dan penyelenggara Bimbingan
Masyarakat Katolik, Departemen Agama Kota Bekasi, juga tidak membantah
adanya kenaikan penganut Katolik sebesar 1 persen setiap tahun. Pada tahun
2003 pemeluk Katolik baru mencapai 58.000 orang. Satu tahun kemudian
yaitu tahun 2004, pengakut Katolik naik menjadi 67.000 orang. Lalu tahun
2005 melonjak menjadi 77.000 orang.Pendeta Jonathan, mengklaim penganut
Kristen tahun 2003 saja sudah mencapai 85.655 atau sebesar 4,93 persen dari
jumlah penduduk kota Bekasi saat itu. Tentu kini jauh lebih besar lagi. Sebab
gerakan Kristenisasi yang dilakukan Kristen Protestan lebih gencar. Bahkan
mereka tidak segan-segan menggarap anak-anak gelandangan, fakir miskin,
untuk dikristenisasikan.15
Sedangkan jumlah Penduduk muslim di Kampung Sawah sekitar 43314
orang, penduduk kristiani 9736 orang, Budha 274 orang dan Hindu 164
“Sejarah Perkembangan Agama di Kampung Sawah,” Media Dakwah, 20 Oktober
1989, h. 2.
15
“Gencarnya Gerakan Kristenisasi,” Suara Muslim, 15 Oktober 2006, h. 14.
14
80
orang. Adapun tempat ibadah yang tersedia secara resmi di dua kelurahan
jumlah masjid sekitar 21 buah dan gereja 9 buah.16
Fakta lain dibalik pernikahan lintas agama di Kampung Sawah terletak
pada fenomena penyembunyian identitas. Hal ini terjadi pada masa
kepemimpinan presiden Soeharto sekiar tahun 1965. Pada masa itu, terdapat
peraturan yang mewajibkan seluruh penduduk Indonesia untuk memeluk
agama. Hal ini dilakukan demi mengurangi kekejaman kelompok PKI.
Menurut
keterangan Rahmadin Afif, pada saat itu seluruh penduduk
Kampung Sawah sepakat untuk memeluk agama Islam selain untuk
mendapatkan keamanan, pemahaman penduduk mengenai ajaran agama juga
sangat kurang sehingga berpindah agama bukanlah hal yang sulit untuk
dilakukan.17
Zamaksari mengakui kurang yakin dengan kerukunan yang terjadi di
Kampung Sawah, saat peneliti menanyakan pendapatnya tentang kira-kira
bagaimana sikap umat kristiani di lingkungan sosialnya yang didominasi
umat muslim. “sebenarnya kalo dilihat, mereka (umat kristiani) biasa dan
nerima aja keputusan atau peraturan yang berlaku. Tapi belum tentu hatinya
bener-bener nerima kan. Ini gara-gara mereka minoritas aja disini, makanya
lebih milih jalan aman dan ngehindarin konflik.” Katanya.18
16
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Encep, Bekasi, 3 Maret 2016.
Wawancara Pribadi dengan Rahmadin Afif, Bekasi, 28 Februari 2016.
18
Wawancara Pribadi dengan Zamaksari, Bekasi, 23 Februari 2016.
17
81
Ramlan Surbakti mengartikan konsep Coerseduction sebagai salah satu
bentuk dari kekuatan (power). Dalam gagasannya, Subakti membagi konsep
kekuasaan dalam lima jenis, yaitu:19
1. Influence
Kemampuan untuk mempengaruhi receiver agar mengubah sikap dan
perilakunya secara sukarela.
2. Persuation
Kemampuan
meyakinkan
receiver
dengan
argumentasi
untuk
melakukan sesuatu.
3. Manipulation
Penggunaan pengaruh di mana orang yang dipengaruhi tidak menyadari
bahwa ia telah mematuhi keinginan sender.
4. Coercion
Peragaan ancaman paksaan yang dilakukan oleh sender terhadap
receiver agar bersikap sesuai dengan kehendak yang diinginkan sender.
5. Force
Penggunaan tekanan secara fisik agar receiver melakukan apa yang
diinginkan sender.
Hak asasi manusia yang paling esensial dalam hidup adalah hak
kemerdekaanatau kebebasan salah satunya kebebasan dalam memilih
kepercayaan atau agama. Kebebasan merupakan hak yang fundamental bagi
manusia sehingga hal ini yang dapat membedakan manusia dengan makhluk
yang lainnya. Kebebasan beragama di sini bebas memilih suatu kepercayaan
19
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia,
1992), h. 52.
82
atau agama yang menurut mereka paling benar dan membawa keselamatan
tanpa ada yang memaksa atau menghalanginya.
Kemerdekaan telah menjadi salah satu pilar demokrasi dari tiga pilar
revolusi di dunia. Ketiga pilar tersebut adalah persamaan, persaudaraan dan
kebebasan.20Kebebasan beragama atau rohani diartikan sebagai suatu
ungkapan yang menunjukkan hak setiap individu dalam memilih keyakinan
suatu agama.21
Rahmadin mengakui bahwa saat menikah, baik mempelai pria maupun
wanita saling memeluk agama yang sama, baik itu Islam maupun Kristen.
Namun, setelah beberapa tahun pernikahan suami atau istri yang awalnya
tidak memeluk agama tersebut akan kembali ke agama awal yang
diyakininya, bahkan mengajak istri dan anaknya untuk ikut berpindah
agama.22
B. Obat Manjur, Penawar atau Racun
Peran komunikasi tentu sulit dipisahkan dari sistem kehidupan sosial
manusia. Keberadaan komunikasi kerap dianggap sebagai faktor yang dapat
menyelesaikan berbagai permasalahan dalam kehidupan. Namun, banyak
peneliti berpendapat bahwa komunikasi bukanlah satu-satunya cara
menyelesaikan masalah. Hal ini sesuai dengan konsep panacea gagasan
Bakti. Dalam pemahamannya, Bakti terinspirasi dari beberapa ahli
komunikasi seperi Thayer, Ravault dan Hall yang beranggapan bahwa
terdapat penawar yang
dapat menyaingi peran komunikasi sebagai obat
20
Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam. Penerjemah A. Abdussamad (Jakarta:
Bulan Bintang, 1979), h. 22.
21
Al Mu’tal As Saidi, Kebebasan Berfikir dalam Islam (Yogyakarta: Adi Wacana, 1999),
h. 4.
22
Wawancara Pribadi dengan Rahmadin Afif, Bekasi, 28 Februari 2016.
83
manjur dalam menyelesaikan masalah. Selain itu, komunikasi juga terkadang
berperan sebagai racun yang dapat memperkeruh permasalahan sosial.oleh
karena itu, persepsi tentang peranan komunikasi yang tertanam dalam benak
manusia sebenarnya perlu dikaji ulang, karena tidak dapat dipungkiri bahwa
banyak yang permasalahan muncul diakibatkan peranan komunikasi.
Sebagai contoh, pengaruh agama yang diceritakan melalui komunikasi
juga berperan sebagai pembentukan pandangan seseorang atau kelompok
terhadap kelompok lain. Seperti perselisihan antara Kristen dan Islam diawali
sejak terjadi Perang Salib dimulai pada tahun 1095 yang melibatkan pasukan
gereja yang disebut Crusader melawan pasukan Islam hampir di seluruh
bagian benua Eropa. Perang Salib merupakan sebuah gerakan militer dari
gereja Katolik Romawi dengan tujuan merebut kembali akses bagi
masyarakat kristen akan tanah suci di Jerusalem yang dimulai pada sekitar
tahun 1905 oleh Paus Urban II. Setelah Perang Salib, terjadi perselisihan
selama 200 tahun untuk menentukan siapa yang berhak menduduki tanah
suci, dengan 6 Perang Salib besar dan beberapa Perang Salib kecil. Pada
tahun 1291, konflik ini berakhir dengan runtuhnya benteng milik pasukan
Kristen di Acre dan setelahnya, pasukan Katolik Eropa tidak lagi melakukan
serangan ke arah timur.23
Dalam hal ini, proses konstruksi pikiran melalui cerita dapat berpengaruh
dalam pembentukan stereotip. Penilaian secara stereotip adalah tindakan yang
paling sering dilakukan, stereotip adalah pandangan atau penilaian seseorang
tentang orang lain yang berasal dari kelompok yang berbeda dan
Ilham Kadir, “Sejarah Perang Salib,” artikel
2016darihttp://www.portalsejarah.com/sejarah-perang-salib.html
23
diakses
pada
9
Maret
84
menyamaratakan orang tersebut dengan kelompoknya. Stereotip biasanya
ditanamkan sejak dini oleh orang tua kepada anaknya, seperti pandangan
bahwa orang yang memakai baju serba hitam identik dengan teroris atau
orang yang sedang berduka cita. Contoh lain, pandangan tentang Islam
sebagai agama teroris sehingga setiap kali melihat orang yang memakai
atribut Islam, maka akan dianggap sebagai teroris. Hal ini yang membuat
pandangan stereotip harus dihindari, karena selain menjadi hambatan dalam
komunikasi juga dapat mempasifkan logika kita dan mengabaikan identitas
pribadi dan aspek psikologis yang tentunya berbeda antara satu orang dengan
orang lainnya.
Perselisihan antara Kristen dan Islam bukan hanya terjadi ketika Perang
Salib saja. Konflik antaragama yang terjadi di Indonesia sudah mulai terjadi
sejak masa reformasi dan tidak terhitung jumlahnya. Islam dan Kristen adalah
agama
yang
paling
sering
bertikai,
sehingga
masyarakat
sudah
menganggapnya sebagai kejadian yang biasa. Seperti pertikaian di wilayah
Pondok Timur Indah Kota Bekasi yang melibatkan Ormas Islam dan jemaat
Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Kota Bekasi hampir terjadi
setiap minggu. Persoalan mengenai kesahan rumah ibadah, lemahnya rasa
toleransi, penguasaan masalah hingga permasalah sosial selalu dijadikan
penyebab terjadinya konflik.24
Perselisihan terbaru terjadi di Bekasi Utara pada 7 Maret 2016 lalu.
Perselisihan disebabkan penolakan umat muslim atas dibangunnya Gereja
Santa Clara Bekasi Utara. Umat muslim berkisar 1000 orang berunjuk rasa
“Ormas Islam dan Jamat HKBP Bentrok,” Tempo, 1 Agustus 2010, h. 5.
24
85
dan
menyatakan
tuntutan
kepada
Walikota
Bekasi
agar
perizinan
pembangunan Gereja Santa Clara dicabut karena dianggap melanggar
ketentuan dan persyaratan pembuatan rumah ibadah.25
Pertikaian antaragama yang terjadi antara Islam dan Kristen ini
menyebabkan munculnya sikap stereotip bagi pemeluk kedua agama ini.
Pemahaman eksklusifitas agama para pemeluk agama membuat mereka sulit
untuk berfikir terbuka dan bertoleransi. Hal inilah yang membuat kedua
pemeluk agama tersebut beranggapan bahwa agama mereka yang terbaik dan
tidak ada agama yang lebih baik dibanding agama mereka. Pemahaman
eksklusifitas agama dan tindakan stereotip merupakan akar permasalahan
yang dapat menimbulkan konflik antaragama.
Jika dikaitkan dengan berbagai macam pertikaian yang terjadi serta adanya
tindak stereotip antara pemeluk agama, maka hal pertama yang akan
dijadikan pemecah masalah adalah tindakan komunikasi melalui sosialisasi
tentang toleransi antaragama. Namun setelah melihat fenomena yang terjadi
antara umat beragama di Kampung Sawah, maka pemikiran tersebut mungkin
dianggap tidak penting sama sekali. Fenomena ini sejalan dengan pendapat
Bakti yang membantah komunikasi sebagai sebuah Panacea. Nama Panacea
terinspirasi dari nama dewi penyembuh Yunani yang dipercaya mampu
mengobati segala jenis penyakit dan dipercaya dapat memanjangkan umur.
Bakti menggunakan istilah Panacea dengan filosofi bahwa kebanyakan orang
mengibaratkan komunikasi seperti Penecea yang dapat menyelesaikan
berbagai permasalahan.
“Masih Ada Konflik Pembangunan Gereja Santa Clara Bekasi,” Republika, 7 Maret
2016, h. 12.
25
86
Menurutnya
komunikasi
tidak
selamanya
dapat
menyelesaikan
permasalahan. Bakti juga mengatakan bahwa tidak efektifnya proses
komunikasi bukan akibat dari adanya kesalahpahaman dalam berkomunikasi
(misscommunication) tapi karena ada faktor lain yang mempengaruhi anggota
komunikasi dalam menerima dan memproses pesan. Konsep Panacea yang
digagas Bakti ditunjukkan untuk membuktikan apakah komunikasi berperan
sebagai Penecea atau terdapat faktor lain yang mengalahkan peran
komunikasi.
Berbeda dengan pernyataan Fisher tentang paradigma Naratif dan Abbate,
Boca dan Boccahiaro tentang stereotip, kenyataan yang terjadi pada
hubungan antaragama di Kampung Sawah tidak berpengaruh pada sejarah
perang salib antara Kristen dan Islam yang penuh pertikaian. Sebaliknya
warga Kampung Sawah dapat hidup berdampingan dan hanya berpedoman
pada sejarah pribadi nenek moyang mereka yang sudah rukun walaupun
memiliki perbedaan keyakinan.
Kerukunan warga Kampung Sawah ini membuktikan konsep Panacea
dalam Teori Resepsi Aktif (Active-Reception Theory) milik Andi Faisal
Bakti. Penecea ini menyanggah peran komunikasi sebagai sarana pemecahan
masalah, karena terbukti dari fenomena kerukunan antaragama di Kampung
Sawah bahwa timbulnya rasa toleransi dan kerukunan antaragama bukan
berasal dari sosialisasi dari pemerintah kepada mesyarakat, tapi karena tradisi,
sejarah dan identitas yang melekat pada masing-masing individu warga
Kampung Sawah.
87
DeGenova dan Rice yang mengungkapkan dukungannya kepada konsep
Peneceadalam teori Resepsi Aktif mengatakan bahwa keluarga adalah
transmitor utama pengetahuan, nilai, perilaku, dan kebiasaan dari generasi ke
generasi. Keluarga membentuk kepribadian seorang anak dan menanamkan
pola pikir yang berdasarkan budaya serta agama yang mereka yakini,
sehingga menjadikannya sebuah identitas dan kebiasaan.26
Menurut
Liliweri,
komunikasi
antarbudaya
adalah
komunikasi
antarpribadi yang dilakukan oleh orang yang berbeda latar belakang
kebudayaannya. menurutnya perbedaan kebudayaan antara komunikator dan
komunikan dalam komunikasi antarbudaya dijadikan sebagai hambatan
karena perbedaan pandangan, pola pikir, struktur budaya dan iklim budaya.27
Hal ini terjadi karena setiap manusia sejak lahir akan ditanamkan identitasidentitas dalam dirinya, seperti identitas budaya, ras, etnis dan agama.
Identitas tersebut akan tertanam kuat dalam diri manusia dan dijadikan
pedoman dalam kehidupan sosialnya.
Michael Hecht mengatakan bahwa identitas adalah penghubung utama
antara individu dan masyarakat, sedangkan komunikasi adalah mata rantai
yang memperbolehkan hal itu terjadi.28 Jadi dapat dipahami bahwa identitas
adalah hal yang mencerminkan diri seseorang dalam masyarakat maupun
26
M.K DeGenova dan F.P Rice, “Why Examine Family Backgroud?,” dalamLarry A.
Samovar, dkk., ed.,Communication Between Cultures (USA: Wadsworth Cangage Learning,
2009), h. 54.
27
Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011), h. 10.
28
Michael L. Hecht, “The Communication Theory of Identity: Development, Theoritical
Perspective, and Future Directions,” dalam Stephen Littlejohn dan Karen A. Foss, ed., Teori
Komunikasi. Penerjemah Muhammad Yusuf Hamdan (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), h. 131.
88
dalam sebuah proses komunikasi. Peran identitas dalam sebuah proses
komunikasi juga dapat berpengaruh pada keefektifan komunikasi.
Menurut Ting-Toomey, komunikasi yang dilakukan oleh kelompok dengan
identitas yang sama akan mengalami kelebihan dalam persamaan pendapat,
keterikatan, kedekatan, dan kejelasan. Sedangkan komunikasi dengan
kelompok identitas yang berbeda akan lebih mengalami perbedaan,
ketidakjelasan dan kerentanan dalam komunikasinya.29 Ting-Toomey
menganggap identitas sebagai gambaran diri yang merefleksikan asal
keluarga, gender, budaya, etnis, agama dan proses sosialisasi individu.
Identitas pada dasarnya merujuk pada pandangan tentang diri sendiri ataupun
pandangan orang lain mengenai diri kita.30
C. Peluru dan Bumerang
Peluru dan bomerang yang dimaksud, berujuk pada konsep yang
dikembangakan Bakti dari pernyataan Ravault. Dalam hal ini, peluru dan
bumerang yang dimaksud adalah respons komunikan dalam menerima pesan
dari komunikator. Dalam proses komunikasi yang difikirkan Ravault dan
Bakti, komunikan dijadikan sebagai sosok penentu efektif atau tidaknya
sebuah komunikasi. Pesan yang disampaikan oleh komunikator nantinya akan
melalui beberapa tahap. Dalam tahapan tersebut, terdapat beberapa hal yang
menjadi pertimbangan komunikan dalam menerima pesan, diantaranya
29
Stella Ting-Toomey, “Identity Negotiation Theory: Crossing Cultural Boundaries,”
dalam Stephen Littlejohn dan Karen A. Foss, ed., Teori Komunikasi. Penerjemah Muhammad
Yusuf Hamdan (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), h. 133.
30
S. Ting-Toomey, “Identity Negotiation Theory: Crossing Cultural Boundaries,” dalam
Larry A. Samovar, dkk., ed., Communication Between Cultures (USA: Wadsworth Cangage
Learning, 2009), h.154.
89
hubungan, perhatian, tujuan, situasi dan kondisi, kedekatan hubungan,
konsekuensi yang mungkin didapat, dan banyak lagi.
Adapun pengertian peluru yang dimaksud adalah respons komunikan dalam
menerima pesan. Dalam konsep peluru, komunikan diibaratkan sebagai target
sebuah penembakan yang jika sudah tepat sasaran, maka peluru yang
ditembakkan tidak akan bisa dihindari oleh korban. Contoh sederhana, ketika
seorang penjualmenawarkan produkkesehatan herbal dengan iming-iming
hadiah yang menggiurkan kepada seorang tukang ojek yang memang tidak
memiliki pengalaman dan pengetahuan terkait produk tersebut maka akan
dengan mudah mempercayai penjualtersebut tanpa mempertimbangkan
kebenaran dan keaslian produk.
Berbeda halnya apabila penjual tersebut menawarkannya kepada seorang
dokter spesialis penyakit dalam yang memang sudah mengerti bahaya dan
kegunaan obat-obatan herbal. Dalam hal ini, komunikasi yang dilakukan
penjual dengan dokter tersebut akan berbentuk sebagai sebuah bumerang
yang akan berbalik dan menyerang sales tersebut.
Jika kembali kepada permasalahan di kampung sawah, peran identitas
sebagai ciri khas dan pembeda antarkelompok juga dianggap sebagai hal yang
penting bagi warga Kampung Sawah. Kentalnya identitas budaya Betawi di
Kampung Sawah memiliki keunikan tersendiri dibandingkan budaya Betawi
di wilayah lain. Hal ini terlihat dari inkulturasi yang terjadi, dimana pakaian
khas Betawi seperti peci, baju koko, dansarung yang selama ini identik
sebagai ciri khas seorang muslim justru lebih banyak dipakai oleh umat
kristiani. “Kebiasaan Kampung Sawah ini bisa dibilang unik,” kata Nur
90
AliAkbar. “Disini, jemaat nasrani beribadah menggunakan pakaian khas
Betawi. Padahal Betawi terlanjur identik dengan nilai-nilai Islam..”
tambahnya.31
Saat dimintai tanggapan seputar umat kristiani Kampung Sawah yang
menggunakan atribut seperti peci, sarung dan baju koko, K.H Zamaksari
selakuKetua I Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota bekasi
mengaku sedikit kaget dengan adanya fenomena tersebut.“Kebiasaan orangorang kristen di kampung sawah memang cukup unik. Awalnya, saya juga
sempet negur mereka karena berpakean kaya gitu. Tapi pas mereka jelasin
kalo peci, baju koko ama sarung yang mereka pake itu wakilin budaya betawi
ya saya ga bisa larang.” Katanya.32
Rahmadin mengakui toleransi antar umat beragama telah mengakar di
sana. Ini lantaran setiap orang terikat identitas sama, yakni penduduk
Kampung Sawah. “Karena masih satu keturunan, bahasanya sama dan
penduduk asli, jadi kita tidak ada masalah. Saling menghormati dan
menghargai,” katanya. “Kalau baju muslim kan jilbab, dia pakai kerudung,
kebaya. Ada juga baju koko,” ujarnya. “Baju koko itu baju Cina, cuma dipakai
orang Betawi.”.33
Umat
kristiani
Kampung
Sawah
mayoritas
berbudaya
Betawi,
menciptakan keunikan tersendiri karena inkulturasi antara agama Kristen
dengan budaya betawi. Inkulturasi yang terjadi di Kampung Sawah
diwujudkan dengan penggunaan atribut yang selama ini identik dengan agama
31
Wawancara Pribadi dengan Nur Ali Akbar, Bekasi, 28 Maret 2016.
Wawancara Pribadi dengan Zamaksari, Bekasi, 23 Februari 2016.
33
Wawancara Pribadi dengan Rahmadin Afif.
32
91
Islam seperti peci, baju koko dan sarung oleh umat kristiani sudah berjalan
sejak awal abad 19.34
Wakil Ketua Dewan Gereja Kristen Protestan Pasundan Kampung Sawah,
Matheus Nalih Ungin, mengatakan penggunaan adat tersebut dimulai sejak
ada umat perdana yang mengikrarkan diri sebagai pemeluk Protestan pada
1896. Menurutnya, tradisi adat Betawi di gereja itu sempat memudar. Namun
seiring bergantinya pastor yang menetap di Kampung Sawah, akhirnya
penggunaan adat Betawi kembali dibudayakan. “Sekarang sejarah itu dicoba
untuk tetap dijaga dan dipertahankan,” kata Nalih.35
Gereja memandang penggunaan adat ada baiknya, karena kebudayaan
dapat menjadi petunjuk peradaban suatu masyarakat yang sekaligus digunakan
sebagai perekat antarsesama dalam kehidupan yang beragam. Nalih
mengatakan, “harapan besar bahwa umat dapat mendekatkan diri pada
Tuhan sesuai dengan tradisi dan kebiasaan sehari-hari dengan tetap mengacu
pada pakem ekaristi gereja.” Nalih menjelaskan bahwa tradisi tersebut
diniatkan untuk mengkolaborasi sekat-sekat perbedaan. Sehingga, hubungan
antarsesama warga di Kampung Sawah semakin rukun, saling menghormati,
dan menghargai dengan mengeleminasi suku, ras, dan agama.36
Kentalnya identitas budaya Betawi di Kampung Sawah, membuat
masyarakatnya sudah terbiasa menggunakan pakaian khas Betawi tanpa
memandang agama apa yang diyakininya. Meski berbeda agama, kerukunan
antara umat Nasrani dan Islam dapat tercipta begitu kuat. Rahmadin juga
mengatakan kebudayaan Kampung Sawah tidak banyak memiliki perbedaan
34
Wawancara Pribadi dengan Rahmadin Afif, Bekasi, 28 Februari 2016.
Wawancara Pribadi dengan Matheus Nalih.
36
Wawancara Pribadi dengan Matheus Nalih.
35
92
dengan adat Betawi meski secara geografis tidak masuk wilayah Jakarta. Dia
membenarkan kelompok Nasrani menggunakan simbol-simbol Betawi untuk
melestarikan budaya. “Karena bahasanya juga sama sih. Di sini kan
omongnya sama dengan Betawi,” katanya. “Makanya gereja Katolik ini
menghidupkan budaya Betawi.” Walaupun begitu, Rahmadin tidak menampik
ada penolakan dari komunitas Islam saat kalangan Katolik mengenakan
simbol-simbol Betawi dan Islam. Tetapi masyarakat akhirnya dapat menerima
setelah mendapat penjelasan dari kelompok Katolik.37
“Kebiasaan Kampung Sawah ini bisa dibilang unik,” kata Mohamad Ali.
Jemaat Nasrani beribadah menggunakan pakaian khas Betawi. Padahal Betawi
terlanjur identik dengan nilai-nilai Islam. Namun, saat peneliti menemui
Jacobus Napiun selaku pengurus Gereja St. Servatius Kampung Sawah dan
menanyakan pendapatnya seputar tradisi berpakaian Betawi yang identik
dengan ajaran islam, Jacobus menjawab tidak sependapat dengan pandangan
tersebut. “Kami tidak mau ada dikotomi seolah ini produk orang muslim. Ini
produknya orang Kampung Sawah.” Jelasnya.38Dani Musa menambahkan,
“Kalau lebaran, selain wargaKampung Sawah pasti susah membedakan mana
muslim dan mana Kristen,” lanjut Musa.39
Sekretaris Kelurahan Jati Murni Mohamad Ali menjelaskan kadang warga
dari masing-masing agama saling bertukar makanan saat hari raya tertentu.
Dia mencontohkan saat Natal jemaat Nasrani memberi makanan kepada orang
Islam. Begitu juga sebaliknya, orang Islam berbagi hal serupa atau istilahnya
balikin rantang. Alhasil, suasana kehidupan beragama di Kampung Sawah
37
Wawancara Pribadi dengan Rahmadin Afif.
Wawancara Pribadi dengan Jacobus Napiun.
39
Wawancara Pribadi dengan Musa Dani.
38
93
berjalan kondusif. Bahkan mereka saling menjaga keamanan dan ketertiban
saat tiap penganut agama beribadah. Misalnya kalau Natal ada organisasi
kemasyarakatan Islam menjaga parkir jemaat Nasrani. Begitu pula sebaliknya
ketika Idul Fitri. “Itu berjalan alami dan tanpa dikomandoi,” kata Ali.40
Rahmadin juga mengakui, “Kalau lebaran, kami biasa mengirim rantang dan
saling berkunjung.”41
Keunikan lain dari hubungan antara umat muslim, Katholik dan Protestan
adalah
ketika
ada
kematian,
warga
serempak
melayat
tanpa
mempertimbangakan agama yang diyakini oleh almarhum. Mereka membantu
semampunya, dan turut mengantarkan jenazah. Saat tahlilan, warga nonmuslim menunggu di luar rumah. Begitu acara usai, semua bergabung
mencicipi hidangan atau sekadar bercengkerama. Begitu pula ketika
penghiburan. Kerabat muslim akan menunggu di luar, sampai acara ritualnya
selesai.
Penggabungan keyakinan iman dan tradisi di Kampung Sawah juga masih
terjaga. Tradisi sekedah bumi salah satunya, tradisi tahunan umat Katolik
Paroki Santo Servatius Kampung Sawah, merupakan acara tahunan yang telah
berlangsung puluhan tahun lalu.“Ada sebuah tradisi berkembang di
masyarakat seperti kenduri. Kami sebut itu sedekah bumi,” ujar Jacobus. “Itu
ditempatkan dalam sebuah ritual. Ini kan tema pokoknya bersyukur baik
dalam komunitas kecil atau besar.”42
Sedekah bumi identik dengan persembahan hasil panen, seperti padi dan
sayur-mayur lainnya. Kini ketika zaman mulai modern, representasi rasa
40
Wawancara Pribadi dengan Mohamad Ali, Bekasi, 3 Maret 2016.
Wawancara Pribadi dengan Rahmadin Afif.
42
Wawancara Pribadi dengan Jacobus Napiun, Bekasi, 1 Maret 2016.
41
94
syukur tetap terjaga, meski mereka tak lagi bertani. Acara ini telah
berlangsung sejak tahun 1996, diperingati setiap 13 Mei ini selain wujud
ungkapan syukur, juga dikaitkan dengan hari pelindung paroki tersebut, yakni
Santo Servatius.43
Saat peringatan ini, seluruh jemaat mengenakan pakaian adat Betawi,
kebaya dan kerudung bagi perempuan serta baju jawara atau baju koko bagi
laki-laki. Jacobus mengungkapkan hal ini merupakan bagian dari upaya
melestarikan kebudayaan Betawi sudah lama ada di Kampung Sawah. Dia pun
akrab dengan busana tradisional Betawi. Dia sering berbaju koko dan berpeci
tidak hanya saat beribadah, melainkan juga ketika menghadiri undangan
hajatan. Bahkan beberapa orang kerap memanggilnya ustadz karena
penampilannya yang islami dan menyerupai penampilan ustadz pada
umumnya.
Lewat acara ini umat diajak untuk berbagi segala hasil karya dan berkat.
Rasa syukurnya dinyatakan dengan cara berbagi. Seusai Misa, umat
menyantap makanan bersama yang disajikan dalam meja besar. Berbagi dan
bersyukur, wujud ini tak ditinggalkan dengan mengundang pula tokoh-tokoh
Betawi setempat. Bahkan, pengiring gambang kromong pun berasal dari
berbagai agama seperti Kristen, Islam dan Budha. Selain mensyukuri berkat
Tuhan, umat dan gereja bersyukur atas kerukunan dan kedamaian, serta
kesempatan gereja berdiri dan berkembang.
Bukan hanya tradisi sedekah bumi, tradisi lain seperti Ngaduk Dodol juga
masih menajadi tradisi yang tidak pernah punah dan selalu dinantikan
43
Wawancara Pribadi dengan Jacobus Napiun, Bekasi, 1 Maret 2016.
95
masyarakat Kampung Sawah. Mengaduk dodok biasanya dilakukan sehari
sebelum perayaan sedekah bumi, mulai pukul 02.00 dini hari hingga pagi hari
ketika Misa selesai.Setelah diberkati Uskup, dodol bisa dinikmati umat.
Tradisi Ngaduk dodol memiliki makna mendalam bagi masyarakat, karena
proses pembuatan yang memakan waktu lebih dari tujuh jam dan diaduk
secara bergantian mengajarkan kesabaran, toleransi, solidaritas dan gotong
royong. Sedekah bumi yang telah dimulai 40 tahun lalu tetap terjaga, sebab
wujud keimanan dan rasa syukur hendaknya menjadi bagian dari keimanan itu
sendiri.
Untuk menjaga dan meningkatkan komunikasi antar penganut agama
terdapat wadah bernama Paguyuban Umat Beragama (PUB). Lembaga ini
digunakan warga untuk kegiatan sosial kemasyarakatan di Kecamatan Pondok
Melati, khususnya di Kampung Sawah. “Pengurusnya dari Islam, Katolik,
Protestan, Hindu, Buddha. Jadi kegiatan ini sifatnya sosial, tidak ada
hubungannya dengan akidah,” tutur Jacobus Napiun, yang merupakan salah
satu pengurus PUB Pondok Melati. Lelaki asli Kampung Sawah ini bahkan
berani bertaruh identitas semacam itu tidak ada di daerah lain. “Tradisi
Kampung Sawah bukan produk dari generasi sekarang, melainkan sejak
nenek moyang kami,” ucapnya.44
D. Tarik Ulur, Dominasi atau Penolakan
Tarik ulur, dominasi dan penolakan adalah level dalam konsep negosiasi
karangan Hall, yang dikembangkan dalam teori resepsi aktif. Negosiasi
adalah proses antara menolak dan menerima pesan yang dikirimkan oleh
44
Wawancara Pribadi dengan Jacobus Napiun.
96
komunikator. Dalam proses negosiasi, seorang komunikan memiliki peran
penuh untuk menentukan pilihannya. Tarik ulur diibaratkan sebagai tahap
awal komunikan dalam mempertimbangkan pesan yang diterimanya dengan
informasi yang sudah tertanam dalam pikirannya. Sedangkan dominasi dan
penolakan adalah tahapan ketika komunikan sudah memutuskan untuk
menerima atau menolak pesan tersebut.
Hak asasi manusia yang paling esensial dalam hidup adalah hak
kemerdekaanatau kebebasan salah satunya kebebasan dalam memilih
kepercayaan atau agama. Kebebasan merupakan hak yang fundamental bagi
manusia sehingga hal ini yang dapat membedakan manusia dengan makhluk
yang lainnya. Kebebasan beragama di sini bebas memilih suatu kepercayaan
atau agama yang menurut mereka paling benar dan membawa keselamatan
tanpa ada yang memaksa atau menghalanginya.
Kemerdekaan telah menjadi salah satu pilar demokrasi dari tiga pilar revolusi
di dunia. Ketiga pilar tersebut adalah persamaan, persaudaraan dan
kebebasan.45Kebebasan beragama atau rohani diartikan sebagai suatu
ungkapan yang menunjukkan hak setiap individu dalam memilih keyakinan
suatu agama.46
Rahmadin mengakui bahwa saat menikah, baik mempelai pria maupun
wanita saling memeluk agama yang sama, baik itu Islam maupun Kristen.
Namun, setelah beberapa tahun pernikahan suami atau istri yang awalnya
tidak memeluk agama tersebut akan kembali ke agama awal yang
45
Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam. Penerjemah A. Abdussamad (Jakarta:
Bulan Bintang, 1979), h. 22.
46
Al Mu’tal As Saidi, Kebebasan Berfikir dalam Islam (Yogyakarta: Adi Wacana, 1999),
h. 4.
97
diyakininya, bahkan mengajak istri dan anaknya untuk ikut berpindah
agama.47
Peneliti mengambil contoh dari keluarga bapak Tegar Napiun atau yang
kerap disapa pak Engkar yang merupakan salah satu sesepuh di Kampung
Sawah. Bapak Engkar menikah dengan Maesaroh yang awalnya adalah
seorang muslimah namun berpindah agama menjadi Katholik. Setelah tujuh
tahun pernikahan, Maesaroh atau yang akrab dipanggil Aroh ini memutuskan
untuk kembali memeluk Islam. Maesaroh mengakui sempat merasa takut dan
khawatir untuk kembali memeluk Islam, namun dengan tekad yang bulat
akhirnya dia kembali mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi
seorang muslimah. “ya awalnya gitu, bapak marah terus. Tapi saya tetep
patuh agama.” kata Maesaroh. “pernah pas idul adha, sehabis saya pulang
dari masjid. Bapak bawa gunting, walaupun nanti saya ditimpuk pake
gunting, saya tetep ngikutin agama saya.” tuturnya.48
Meskipun pernah terjadi pertentangan, seiring berjalannya waktu
kehidupan rumah tangga Engkar dan Aroh kembali rukun. Engkar juga
mengakui bahwa urusan agama tidak dapat dipaksakan dan dia juga meyakini
bahwa seluruh agama pada hakekatnya baik. “ya kalo sekarang mungkin ini
cobaan bagi diri saya di saat mengatasi masalah tentang keagamaan ini.
Tapi bagi saya yang terpenting itu kerukunan. Jadi tidak ada yang mengina
dan membanding-bandingkan agama. Yang bagus itu kan agamanya tapi
manusianya yang laen” Kata Engkar.49
47
Wawancara Pribadi dengan Rahmadin Afif, Bekasi, 28 Februari 2016.
Wawancara Pribadi dengan Maesaroh, Bekasi, 29 Februari 2016.
49
Wawancara Pribadi dengan Tegar Napiun, Bekasi, 29 Februari 2016.
48
98
Tindakan yang dilakukan Aroh merupakan salah satu bentuk Tindakan
Afirmatif (Affirmative Action), yaitu tanggapan dari tindak diskriminasi yang
banyak terjadi di berbagai negara. Tindakan afirmatif diibaratkan sebagai
pengambilan sisi positif dari tindak diskriminasi dan menjadikannya
dorongan dan motivasi untuk bangkit. Teori ini berisi upaya untuk membuat
kaum minoritas dapat bangkit dan bertahan ditengah tekanan kaum
mayoritas.50
Neumann mendefinisikannya sebagai kelompok Hard Core yang
terbentuk karena adanya motivasi dan dorongan dari dalam diri dan
lingkungannya sehingga mereka akan memberanikan diri untuk bangkit.
Hard Core adalah kelompok yang tetap mempertahankan prinsip mereka
tanpa memperdulikan ancaman isolasi dari kaum mayoritas. Kelompok ini
membuktikan bahwa minoritas yang aktif, akan lebih mudah mempengaruhi
sekitarnya dibandingkan mayoritas yang pasif.51
Hal menarik lain adalah pada saat perkawinan yang seagama (Kristen
dengan Kristen), nama marganya tetap ada dan dipakai di belakang namanya.
Lain halnya, jika pindah ke Islam terkadang nama marganya menjadi hilang
dan tidak dipakai, atau kadang dipakai tetapi dengan disingkat saja,
kemungkinan berubah menjadi bin bukan marga. Peneliti mengambil contoh
keluarga Bapak Yohanes Dani yang merupakan salah satu warga Kampung
Sawah. Yohanes memiliki istri bernama Elizabet yang merupakan pemeluk
agama Katholik. Yohanes dan Elizabeth memiliki lima anak yaitu Veronika
50
Rachel Kranz, Affirmative Action, h. 4.
Noelle-Neumann. E, The Spiral of Silence: Public Opinion Our Social Skin, h. 170.
51
99
Dani, Ruginah Dani, Agustinus Dani, Marcelio Dani, dan Alexander Dani.
Seluruhnya beragama Kristen Katolik.
Sekitar tahun 2010, anak beliau Veronika menikah dengan lelaki muslim
bernama Husaini. Akhirnya Veronika pindah menjadi muslim dan mengganti
namanya menjadi Veronica bin Dani. Peneliti sempat mewawancarai
kepindahan agama mereka dan Veronika menjawab bahwa kepindahan agama
mereka lebih disebabkan mengikuti keyakinan suami dan dia tidak menyesali
hal itu. Ini disebabkan peristiwa perpindahan agama telah menjadi hal yang
biasa di Kampung Sawah.52
Itupun diakui oleh ayahnya Veronika, Bapak Yohanes, bahwa tradisi di
Kampung Sawah urusan agama diserahkan masing-masing anak. Sebab hal
ini akan menjadi pilihan dalam hidupnya, asalkan dengan kesungguhan dan
kesadaran dari dirinya. Hal itu dianggap sesuatu yang lumrah dan biasa pada
tradisi beragama Kampung sawah. KH Rahmadin Afif selaku pengasuh
Pesantren Fisabilillah sendiri mempunyai saudara sepupu yang menjadi tokoh
Protestan dan Katolik, salah satunya Musa Dani yang merupakan sesepuh
Protestan Gereja St. Servatius Kampung Sawah. Persaudaraan mereka tak
terganggu.53
Martin dan Nakayama yang menceritakan bahwa manusia saat pertama
kali lahir dalam keadaan tidak mengetahui apapun, oleh karena itu manusia
belajar bagaimana makan, minum, berbicara dan berinteraksi seperti anggota
kelompok budayanya. Pemikiran manusia bagaimana menjadi seseorang
adalah dengan cara mengikuti apa yang dilakukan oleh keluarga dan orang
52
Wawancara Pribadi dengan Veronika Dani, Bekasi, 29 Februari 2016.
Wawancara Pribadi dengan Yohanes Dani, Bekasi, 29 Februari 2016.
53
100
sekitarnya. Mereka
mengidentifikasikan bahwa budaya dapat dipelajari,
melibatkan persepsi dan nilai, disebarkan, diekspresikan menjadi sebuah
kebiasaan, dan dinamis serta heterogen.54
Proses enkulturasi sangat tampak seperti mereka mengajarkan kepada
keturunannya bahwa di Kampung Sawah selain agamaIslam juga ada agama
Kristen sehingga diajarkan tentang hidup salingmenghargai, menghormati
walaupun berbeda agama dan pendapat. Ini adalahproses pembelajaran nilai
dan norma hidup dalam pluralitas (kemajemukanagama), sehingga akan
membentuk sikap saling menghormati serta menyayangidiantara mereka.
Etika yang harus dilaksanakan dari sikap toleransi setelah memberikan
kebebasan beragama adalah menghormati eksistensi agama lain dengan
pengertian menghormati keragaman dan perbedaan ajaran-ajaran yang
terdapat pada setiap agama dan kepercayaan yang ada baik yang diakui
negara maupun belum diakui oleh negara. Menghadapi realitas ini setiap
pemeluk agama dituntut agar senantiasa mampu menghayati sekaligus
memposisikan diri dalam konteks pluralitas dengan didasari semangat saling
menghormati dan menghargai eksistensi agama lain. Dalam bentuk tidak
mencela atau memaksakan maupun bertindak sewenang-wenangnya dengan
pemeluk agama lain.55
Tradisi atau kebiasaan sebuah budaya, terutama budaya Betawi tentunya
melekat dengan ajaran-ajaran Islam. Namun di Kampung Sawah, Tradisi
seperti sedekah, silahturahmi, dan berbagi makanan bukan hanya dilakukan
54
Judith N. Martin dan Thomas K. Nakayama, Experiencing Intercultural
Communication: an Introduction (New York: McGraw-Hill, 2005), h. 28.
55
Ruslani, Masyarakat Dialog Antar Agama: Studi Atas Pemikiran Muhammad Arkoun
(Yogyakarta: Yayasan Bintang Budaya, 2000), h. 169.
101
oleh umat muslim, melainkan seluruh penduduk Kampung Sawah termasuk
umat Kristiani. Keadaan Kampung Sawah sebagai wilayah multikultural
membuat tradisi tersebut diartikan sebagai tradisi dari budaya Betawi tanpa
mengaitkannya dengan ajaran Islam.
Dewan Pendidikan YASFI, Nur Ali Akbar menjelaskan warga dari
masing-masing agama saling bertukar makanan saat hari raya tertentu. Dia
mencontohkan saat Natal jemaat Nasrani memberi makanan kepada orang
Islam. Begitu juga sebaliknya, orang Islam berbagi hal serupa atau istilahnya
balikin rantang. Alhasil, suasana kehidupan beragama di Kampung Sawah
berjalan kondusif. Bahkan mereka saling menjaga keamanan dan ketertiban
saat tiap penganut agama beribadah. Misalnya kalau Natal ada organisasi
kemasyarakatan Islam menjaga parkir jemaat Nasrani. Begitu pula sebaliknya
ketika Idul Fitri. “Itu berjalan alami dan tanpa dikomandoi,” kata Ali.56
Rahmadin juga mengakui, “Kalau lebaran, kami biasa mengirim rantang dan
saling berkunjung.”57“Kalau lebaran, selain warga Kampung Sawah pasti
susah membedakan mana muslim dan mana Kristen,” lanjut Musa.58 Dalam
surat Al-Maidah ayat 48 diterangkan bahwa terjadinya pluralisme merupakan
salah satu ujian bagi umat muslim untuk tetap teguh pada keyakinannya
sebagai pemeluk agama Islam.
56
Wawancara Pribadi dengan Nur Ali Akbar, Bekasi, 3 Maret 2016.
Wawancara Pribadi dengan Rahmadin Afif., Bekasi, 29 Februari 2016.
58
Wawancara Pribadi dengan Musa Dani, Bekasi, 29 Februari 2016.
57
102




Artinya: “Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa
kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu Kitab-Kitab (yang
diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu,
Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan
kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu,
Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki,
niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji
kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali
kamu
semuanya, lalu
diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.”
Toleransi antar umat beragama merupakan perbuatan terpuji baik dari
sudut pandang sosial maupun agama, namun toleransi dalam urusan aqidah
103
tidak didukung dalam agama Islam seperti yang tertera dalam surat AlKafirun ayat 6 dan Al-Imran ayat 118, yang berbunyi:

Artinya: “untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."


Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi
teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka
tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka menyukai
apa yang menyusahkan kamu. telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan
apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. sungguh
telah
Kami
terangkan
kepadamu
ayat-ayat
(Kami),
jika
kamu
memahaminya.”
Jika dilihat dari dua ayat diatas, maka pesan yang pertama kali didapat
adalah peringatan untuk berhati-hati dalam menjalin hubungan dengan orangorang selain Islam baik dalam keluarga, persaudaraan, pertemanan atau yang
lainnya. Meskipun begitu, sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk
bersosialisasi dengan lingkungan dan masyarakatnya baik dengan segolongan
dengannya maupun tidak. Hal ini juga tertera dalam surat Al-Mumtahanah
ayat 8-9, yang berbunyi:
104



Artinya: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak
(pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orangorang yang berlaku adil (8) Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu
menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama
dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk
mengusirmu. dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka
mereka Itulah orang-orang yang zalim(9)”.
Pada hakekatnya Islam pun menghargai adanya pluralitas (kemajemukan,
keberagaman, perbedaan) selama kemajemukan itu tidak memerangi,
menistai dan melecehkan agama. Tetapi Islam tidak menerima pluralisme
agama, contohnya keberagaman agama dalam satu keluarga. Jika pluralitas
itu terjadi, itu berarti Islam harus membenarkan keimanan/prinsip dasar orang
kafir. Maka dari itu, ajaran Islam menolak pluralisme agama, seperti dalam
surat Al-Baqoroh ayat 221, surat Al-Mumtahanah ayat 1 dan Al-Mujadillah
ayat 22, yang berbunyi:
105



Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari
wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya
mereka mengambil pelajaran.”




106
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan
kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; Padahal
Sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu,
mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada
Allah, Tuhanmu. jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku
dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). kamu
memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka,
karena rasa kasih sayang. aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan
dan apa yang kamu nyatakan. dan Barangsiapa di antara kamu yang
melakukannya, Maka Sesungguhnya Dia telah tersesat dari jalan yang lurus.”




Artinya: “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan
hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang
Allah dan Rasul-Nya, Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak
atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. meraka Itulah orang-orang
107
yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan
mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. dan dimasukan-Nya
mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka
kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas
terhadap (limpahan rahmat)-Nya. mereka Itulah golongan Allah. ketahuilah,
bahwa Sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.”
Keunikan lain dari hubungan antara umat muslim, Katholik dan Protestan
adalah
ketika
ada
kematian,
mempertimbangakan agama
warga
yang diyakini
serempak
melayat
tanpa
oleh almarhum. Mereka
membantu semampunya, dan turut mengantarkan jenazah. Saat tahlilan,
warga non-muslim menunggu di luar rumah. Begitu acara usai, semua
bergabung mencicipi hidangan atau sekadar bercengkerama. Begitu pula
ketika penghiburan. Kerabat muslim akan menunggu di luar, sampai acara
ritualnya selesai. Kebiasaan ini agak bertentangan dengan surat At-Taubah
ayat 113 yang berbunyi:


Artinya:Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman
memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun
orang-orang musyrik itu adalah kaum Kerabat (Nya), sesudah jelas bagi
mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka
jahanam.
108
Penggabungan keyakinan iman dan tradisi di Kampung Sawah juga masih
terjaga. Tradisi sekedah bumi salah satunya, tradisi tahunan umat Katolik
Paroki Santo Servatius Kampung Sawah, merupakan acara tahunan yang
telah berlangsung puluhan tahun lalu. “Ada sebuah tradisi berkembang di
masyarakat seperti kenduri. Kami sebut itu sedekah bumi,” ujar Jacobus. “Itu
ditempatkan dalam sebuah ritual. Ini kan tema pokoknya bersyukur baik
dalam komunitas kecil atau besar.”59
Sedekah bumi identik dengan persembahan hasil panen, seperti padi dan
sayur-mayur lainnya. Kini ketika zaman mulai modern, representasi rasa
syukur tetap terjaga, meski mereka tak lagi bertani. Acara ini telah
berlangsung sejak tahun 1996, diperingati setiap 13 Mei ini selain wujud
ungkapan syukur, juga dikaitkan dengan hari pelindung paroki tersebut, yakni
Santo Servatius.60
Saat peringatan ini, seluruh jemaat mengenakan pakaian adat Betawi,
kebaya dan kerudung bagi perempuan serta baju jawara atau baju koko bagi
laki-laki. Jacobus mengungkapkan hal ini merupakan bagian dari upaya
melestarikan kebudayaan Betawi sudah lama ada di Kampung Sawah. Dia
pun akrab dengan busana tradisional Betawi. Dia sering berbaju koko dan
berpeci tidak hanya saat beribadah, melainkan juga ketika menghadiri
undangan hajatan. Bahkan beberapa orang kerap memanggilnya ustadz
karena penampilannya yang islami dan menyerupai penampilan ustadz pada
umumnya.
59
Wawancara Pribadi dengan Jacobus Napiun, Bekasi, 1 Maret 2016.
Wawancara Pribadi dengan Jacobus Napiun, Bekasi, 1 Maret 2016.
60
109
Lewat acara ini umat diajak untuk berbagi segala hasil karya dan berkat.
Rasa syukurnya dinyatakan dengan cara berbagi. Seusai Misa, umat
menyantap makanan bersama yang disajikan dalam meja besar. Berbagi dan
bersyukur, wujud ini tak ditinggalkan dengan mengundang pula tokoh-tokoh
Betawi setempat. Bahkan, pengiring gambang kromong pun berasal dari
berbagai agama seperti Kristen, Islam dan Budha. Selain mensyukuri berkat
Tuhan, umat dan gereja bersyukur atas kerukunan dan kedamaian, serta
kesempatan gereja berdiri dan berkembang.Jika dilihat dari tradisi tersebut,
secara tidak langsung mengajak umat muslim untuk mengukuti tradisi umat
kristiani dan bersama memperingarti hari kebesaran mereka.
Bukan hanya tradisi sedekah bumi, tradisi lain seperti Ngaduk Dodol juga
masih menajadi tradisi yang tidak pernah punah dan selalu dinantikan
masyarakat Kampung Sawah. Mengaduk dodok biasanya dilakukan sehari
sebelum perayaan sedekah bumi, mulai pukul 02.00 dini hari hingga pagi hari
ketika Misa selesai. Setelah diberkati Uskup, dodol bisa dinikmati umat.
Tradisi Ngaduk dodol memiliki makna mendalam bagi masyarakat, karena
proses pembuatan yang memakan waktu lebih dari tujuh jam dan diaduk
secara bergantian mengajarkan kesabaran, toleransi, solidaritas dan gotong
royong. Sedekah bumi yang telah dimulai 40 tahun lalu tetap terjaga, sebab
wujud keimanan dan rasa syukur hendaknya menjadi bagian dari keimanan
itu sendiri.Dari Umar radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallaahu alaihi wa
sallam bersabda:
“Aku diutus dengan pedang menjelang hari kiamat hingga mereka
menyembah Allah Ta’ala semata dan tidak mempersekutukanNya dengan
110
sesuatupun, dan telah dijadikan rizkiku di bawah bayangan tombakku,
dijadikan kehinaan dan kerendahan bagi siapa yang menyelisihi perkaraku.
Dan barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian dari
mereka” (HR Ahmad, dishahihkan oleh Al Albani)
Hubungan toleransi tinggi antaragama di Kampung Sawah memang
merupakan hal yang baik demi menghindari terjadinya konflik dan
ketegangan antaragama. Namun kedekatan yang melebihi batas wajar bahkan
menyalahi ajaran Islam tentu harus dihindari. Oleh sebab itu, sebagai umat
beragama sekaligus makhluk sosial, manusia diwajibkan untuk mampu
menempatkan diri sesuai dan dapat bermasyarakat dengan baik tanpa harus
mengorbankan aqidah yang telah tertanam dalam dirinya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan skripsi ini adalah jawaban dari pertanyaan turunan penelitian.
Berdasarkan fakta dan hasil data yang ditemukan, maka jawaban dari pertanyaan turunan
penelitian yang dirumuskan peneliti adalah:
1. Kegiatan penyebaran agama Kristen di Kampung Sawah dilakukan dengan
cara paksaan (coersion). Sekitar tahun 1960, misionaris Kristen memaksa
anak-anak yatim untuk memeluk Kristen lalu ditampung di yayasan yatim
piatu milik Kristen yang dikenal dengan pondok damai. Namun, saat ini
kegiatan penyebaran agama dilakukan dengan cara seduksi (bujukan) dan
biasa menggunakan ikatan pernikahan.
2. Rasa toleransi antaragama yang selama ini dianggap dapat tumbuh melalui
komunikasi dan sosialisasi, sebaliknya dianggap tidak penting sama sekali.
Penduduk Kampung Sawah lebih mengandalkan tali persaudaraan dan
kekeluargaan untuk membangun rasa toleransi antaragama. Jadi yang
berperan sebagai obat manjur dalam sebuah hubungan sosial dan toleransi
antaragama bukanlah komunikasi melainkan keterikatan persaudaraan dan
kesamaan identitas warga Kampung Sawah
3. Terdapat dua tindakan yang dilakukan umat muslim saat menghadapi
kegiatan penyebaran agama Kristen, yaitu menurut dan masuk agama
Kristen atau tetap meyakini Islam. Peneliti juga menemukan kejadian
111
112
sebaliknya, yaitu umat kristiani tersebut yang akhirnya berpindah agama
dan menjadi muslim.
4. Peneliti juga menyimpulkan bahwa penduduk Kampung Sawah baik
muslim maupun kristiani merupakan individu-individu yang aktif dalam
menginterpretasikan pesan yang mereka dapat. Menurut pengamatan,
peneliti juga menyimpulkan bahwa mereka adalah tipe orang yang akan
melakukan apapun yang menurut mereka benar tanpa memperdulikan
ancaman dari pihak luar. Dalam hal ini, respons yang ditunjukkan umat
muslim bervariasi, karena ada yang menerima kegiatan penyebaran agama
Kristen bahkan memutuskan untuk memeluk agama Kristen, adapula yang
mempertahankan kepercayaannya pada Islam dan menolak kegiatan
penyebaran agama tersebut, serta ada pula umat kristiani tersebut yang
justru menyadari kebenaran Islam dan memutuskan untuk meninggalkan
agamanya dan menjadi seorang muallaf.
B. Saran
Setelah melakukan penelitian dan menyimpulkan hasil penelitian, peneliti
mengajukan beberapa saran kepada pembaca ataupun akademisi yang tertarik
untuk mengembangkan penelitian ini, diantaranya:
1. Peneliti hendaknya melihat dari berbagai pandangan dan tidak memihak
kepada satu kelompok atau golongan.
113
2. Peneliti lebih baik menentukan fokus penelitian mengenai kerukunan umat
beragama Kampung Sawah, karena peneliti menganggap masalah tersebut
lebih menarik untuk diteliti.
3. Peneliti harus mencari dan menyelidiki terlebih dahulu latar belakang
narasumber yang akan diwawancarai demi menghindari kesalahan
informasi yang diberikan, karena ada beberapa informan yang ternyata
memiliki keberpihakan kepada satu golongan sehingga mengungkapkan
informasi yang tidak jujur.
DAFTAR PUSTAKA
Abbate,C.S. dkk. “Stereotyping in Persuasive Communication: Influence Exerted by
Disapproved Source.” Dalam Larry A. Samovar, dkk. ed. Communication Between
Cultures. USA: Wadsworth Cangage Learning, 2009: h. 201.
Ahmadi, A dan Supriono, W. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta, 1990.
As Saidi,Al Mu’tal. Kebebasan Berfikir dalam Islam. Yogyakarta: Adi Wacana,
1999.
Badan Pusat Statistik (BPS). Hasil Sensus Penduduk 2010: Kewarganegaraan, Suku
Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia.Jakarta: BPS, 2010.
Bakti, Andi Faisal.Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South
Sulawesi Muslim Perceptions of a Global Development Program. Jakarta: INIS,
2004.
Bakti, Andi Faisal. “Mayor Conflicts In Indonesia: How Can Communication Contribute
to a Solution?,” Review of Human Factor Studies, vol. 6, no. 2 (Desember 2000): h.
33.
Baron, R. A dan Byrne, D. Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga, 2002.
Bazerman, dkk. “Negotiation : Annual Review of Psychology.” Dalam Charles R. Berger,
dkk. ed.Handbook Ilmu Komunikasi. Bandung: Nusa Media, 2014: h. 447.
Berdyaev,Nicholas.Solitude And Society. London: Centena, 1938.
Berkhof, L. The History of Christian Doctrine. Bandung: Sinar Baru, 1992.
Bernstein,Basil. “Class, Codes and Control: The Theoretical Studies Toward a Sociology
of Language.” Dalam Stephen Littlejohn dan Karen A. Foss, ed.Teori Komunikasi.
Penerjemah Muhammad Yusuf Hamdan. Jakarta: Salemba Humanika, 2009: h. 451.
Boisard,Marcel A. Humanisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Brehm, S. S dan Brehm, J. W.Psychological Rectance: a Theory of Freedom and Control.
New York: Academic Press, 1981.
Brigham, J. C. Social Psychology. New York: Harpercollins Publisher, 1991.
Clark,Walter H. The Psychology of Religion. New York: Macmilan, 1970.
Crapps, Robert W. An Introduction to Psychology of Religion. Georgia: Mercer
University Press, 1986: h. 19.
Crapps,Robert W. Dialog Psikologi dan Agama: Sejak William James Hingga Gordon W.
Allport. Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Dance,Frank E. X. “Toward a Theory of Human Communication.” DalamRichard West
and Lynn H. Turner, ed.Introducing Communication Theory: Analysis And
Application. New York: McGraw Hill, 2007: h. 7.
114
115
David, O. Sears, dkk. Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga, 1994.
Daya,Burhanuddin.Agama Dialogis: Merenda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan
Antaragama.Yogyakarta: Mataram-Minang Lintas Budaya, 2004.
DeGenova, M.K dan Rice,F.P. “Why Examine Family Backgroud?” DalamLarry A.
Samovar, dkk. ed.Comunication Between Cultures. USA: Wadsworth Cangage
Learning, 2009: h. 54.
Departemen Agama RI (Depag RI). Bingkai Teologi: Kerukunan Hidup Umat Beragama
di Indonesia.Jakarta: Depag RI, 1997.
Elliot,Candia. “Normative Communication Styles And Values For Cross Cultural
Collaboration.” Dalam Alo Liliweri, ed.Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002: h. 17-18.
Europea UIO.EU Guidelines on the Promotion and Protection of Freedom of Religion or
Belief. Luxembourg: Europea UIO, 2013.
Faizah dan Effendi, Lalu.Psikologi Dakwah. Jakarta: Prenada Media, 2006.
Feldman, R. S. Social Psychology. New Jersey: Prentice Hall, 1998.
Festinger, L.A Theory of Cognitive Dissonance. California: Stanford University Press,
1957.
Fish,Stanley. “Is There a Text in This Class?” DalamStephen Littlejohn dan Karen A.
Foss, ed.Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika, 2009: h. 196.
Fisher, Walter.“Human Communication as Naration: Toward a Philosophy of Reason,
Value, and Action.” Dalam Richard West and Lynn H. Turner, ed.Introducing
Communication Theory: Analysis And Application. New York: Mcgraw Hill, 2007:
h. 44.
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).Pedoman Kerukunan Hidup Umat
Beragama. Bekasi: Atina Bulan Cahaya, 2012.
Gerungan, W. A. Psikologi Sosial. Bandung: Refika Aditama, 2002.
Gillin, J. L dan Gillin,J. P. Cultural Sociology. New York: The Mc Millan Corporation,
1954.
Greenwald A. G. “Cognitive Learning, Cognitve Response to Persuation and Attitude
Change.” Dalam Charles R. Berger, dkk. ed.Handbook Ilmu Komunikasi. Bandung:
Nusa Media, 2014: h. 293.
Gudykunst, William B. “The Uncertainly Reduction and Anxiety-Uncertainly Reduction
Theories of Berger, Gudykunst And Associates.” Dalam Stephen Littlejohn dan
Karen A. Foss, ed. Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika, 2009: h. 220.
Hafidhuddin,Didin.Islam Aplikatif. Jakarta: Gema Insani, 2003.
116
Hall, S.“Encoding and Decoding in Television Discourse.” Dalam Andi Faisal Bakti,
ed.Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi
Muslim Perceptions of a Global Development Program. Jakarta: INIS, 2004: h. 109.
Hall,B.J. “Among Cultures.” DalamLarry A. Samovar, dkk. ed. Communication Between
Cultures. USA: Wadsworth Cangage Learning, 2009: h. 155.
Hecht, Michael L. “The Communication Theory of Identity: Development, Theoritical
Perspective, and Future Directions.” Dalam Stephen Littlejohn dan Karen A. Foss,
ed.Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika, 2009: h. 131.
Katz, Elihu dan Lazarsfeld,Paul F. Personal Influence:The Part Played by People in The
Flow of Mass Communication. New York: Free Press, 1956.
Kranz,Rachel.Affirmative Action. New York: Facts on File, 2002.
Langer,E. “Mindfulness.” Dalam Larry A. Samovar, dkk. ed. Communication Between
Cultures. USA: Wadsworth Cangage Learning, 2009: h. 281.
LaRossa, R. dan Reitzes,D. “Symbolic Interactionism and Family Studies.” Dalam
Richard West And Lynn H. Turner, ed.Introducing Communication Theory: Analysis
And Application.New York: Mcgraw Hill, 2007: h. 103.
Lasswell, Harold D. “The Structure and Function of Communication in Society.”
DalamBrent D. Ruben dan Lea P. Stewart, ed. Komunikasi dan Perilaku Manusia.
Jakarta: Raja Grafindo, 2013: h. 43.
Liliweri,Alo.Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Littlejohn, Stephen dan Foss, Karen.Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika,
2009.
Locke,John. “An Essay Concerning Human Understanding.” Dalam Jalaludin Rakhmat,
ed.Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009: h. 21.
Martin, Judith N dan Nakayama, Thomas K. Experiencing Intercultural Communication:
an Introduction. New York: McGraw-Hill, 2005.
McQuail, Denis.Teori Komuniksi Massa. Jakarta: Salemba Humanika, 2011.
Mead, G. H.“Mind, Self and Society: from The Standpoint of a Social Behaviorist.”
Dalam Richard West dan Lynn H. Turner, ed.Introducing Communication Theory:
Analysis And Application. New York: Mcgraw Hill, 2007: h. 55.
Muhammad Jawed Zafar, Christio-Islamic Theologies. India: Adam Publishers, 1994.
Muzafer, Sherif dan Hovland,Carl I. “Social Judgment.” Dalam Stephen Littlejohn dan
Karen A. Foss, ed.Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika, 2009: h. 105.
Myers, D. G. Social Psychology. New York: McGraw-Hill, 1996.
Nasution,Harun.Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia, 1986.
117
Noelle-Neumann, Elizabeth. “The Theory Of Public Opinion: The Concept Of The Spiral
Of Silence.” DalamRichard West and Lynn H. Turner, ed., Introducing
Communication Theory: Analysis And Application. New York: McGraw Hill, 2007:
h. 121.
Noelle-Neumann, Elizabeth.“The Effect of Media on Media Effect Research.” Journal of
Communication, 1983: h. 157.
Olekalns, M dan Smith, P. L. “Social Venue Orientation and Strategy Choices in
Competitive Negotiation.” Dalam Charles R. Berger, dkk. ed.Handbook Ilmu
Komunikasi. Bandung: Nusa Media, 2014: h. 457.
Orbe,Mark. “A Co-Cultural Communication Approach to Intergroup Relations.”
DalamStephen Littlejohn dan Karen A. Foss, ed.Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba
Humanika, 2009: h. 265.
Pew Research Center, The Future of World Religions: Populations Growth Projection,
2010-2050. Washington D.C: Pew Research Center, 2015.
Ravault, R. J. “Resisting Media Imperialism by Coerseduction.” DalamAndi Faisal Bakti,
ed. Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi
Muslim Perceptions of a Global Development Program. Jakarta: INIS, 2004: h. 109.
Roger, R. W dan Dunn,Prentice. “Protection Motivation Theory.” Dalam Charles R.
Berger dkk. ed.Handbook Teori Komunikasi. Bandung: Nusa Media, 2014: h. 303.
Rowland, Robert.“Narrative: Mode of Discourse or Paradigm?”Dalam Richard West and
Lynn H. Turner, ed.Introducing Communication Theory: Analysis And Application.
New York: Mcgraw Hill, 2007: h. 55.
Ruben, Brent D dan Stewart, Lea P. Komunikasi dan Perilaku Manusia. Jakarta: Raja
Grafindo, 2013.
Ruslani, Masyarakat Dialog Antar Agama: Studi Atas Pemikiran Muhammad
Arkoun. Yogyakarta: Yayasan Bintang Budaya, 2000).
Samovar, Larry A. dkk. Communication Between Cultures. USA: Wadsworth Cangage
Learning, 2009.
Searle, John.Speech Acts: An Essay in The Philosophy of Language.Cambridge:
Cambridge University Press, 1969.
Shannon, Claude E. dan Weaver,Warren “The Mathematical Theory of Communication.”
DalamBrent D. Ruben dan Lea P. Stewart, ed. Komunikasi dan Perilaku Manusia.
Jakarta: Raja Grafindo, 2013: h. 43.
Silvita, I. S.Kamus Populer. Surabaya: Jaya Agung, 1989.
Soekotjo, S.H. Sejarah Gereja-Gereja Kristen Jawa: di Bawah Bayang-Bayang Zending,
1858-1948. Salatiga: Lembaga Studi dan Pengembangan GKJ, 2009.
Spradley, James P.Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.
Sugiyono.Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2011.
118
Sukoco, S. H. Tata Injil di Bumi Muria.Semarang: Pustaka Muria, 2010.
Surbakti, Ramlan.Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia,
1992.
Sutopo HB.Metode Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press, 2006.
Syukur, M. Amin dkk.Teologi Islam Terapan: Upaya Antisipatif Terhadap Hedonisme
Kehidupan Modern.Jakarta: Tiga Serangkai, 2003.
Thayer,Lee. “Communication and Communication Systems.” DalamBrent D. Ruben dan
Lea P. Stewart, ed. Komunikasi dan Perilaku Manusia. Jakarta: Raja Grafindo, 2013:
h. 51.
Thouless,Robert H. An Introduction to the Psychology of Religion. UK: Cambridge
University Press, 1971.
Ting-Toomey, Stella. “Identity Negotiation Theory: Crossing Cultural Boundaries.”
Dalam Larry A. Samovar, dkk. ed. Communication Between Cultures. USA:
Wadsworth Cangage Learning, 2009: h.154.
Ting-Toomey,Stella. “Identity Negotiation Theory: Crossing Cultural Boundaries.”
Dalam Stephen Littlejohn dan Karen A. Foss, ed.Teori Komunikasi. Jakarta:
Salemba Humanika, 2009: h. 133.
Van Schie,Peter G. Rangkuman Sejarah Gereja Kristiani Dalam Konteks Sejarah
Agama-Agama Lain.Jakarta: Penerbit Obor Indonesia, 1994.
Vivian,John.Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Kencana, 2008.
Warzlawick Paul, dkk.Pragmatics of Human Communication: A Study of Interactional
Patterns, Pathologies, and Paradoxes. New York: Norton, 1967.
Watson, D. L, dkk. Social Psychology, Science, and Application. llinois: Scott, 1984.
West, Richard dan Turner, Lynn H. Introducing Communication Theory: Analysis and
Application. Jakarta: Salemba Humanika, 2008.
Whorf,L.Benjamin. “Language, Thought, and Reality.” Dalam Stephen Littlejohn dan
Karen A. Foss, ed.Teori Komunikasi. Penerjemah Muhammad Yusuf Hamdan.
Jakarta: Salemba Humanika, 2009, h. 449.
Widjaja, A.W. Komunikasi dan Hubungan Masyarakat.Jakarta: Professional Books,
1986.
Referensi Tambahan
“Gencarnya Gerakan Kristenisasi.” Suara Muslim, 15 Oktober 2006.
“Masih Ada Konflik Pembangunan Gereja Santa Clara Bekasi,” Republika, 7 Maret
2016.
“Ormas Islam dan Jamat HKBP Bentrok,” Tempo, 1 Agustus 2010.
119
“Sejarah Perkembangan Agama di Kampung Sawah.” Media Dakwah, 20 Oktober 1989.
Kadir,Ilham. “Sejarah Perang Salib.” Artikel diakses pada
darihttp://www.portalsejarah.com/sejarah-perang-salib.html
9
Maret
2016
Siagian,Sapta. “Kekristenan di Kampung Sawah Pondok Gede.” Artikel diakses
pada 6 Maret 2016 dari http://gerejasahabat.id/ke-kristenan-di-kampungsawah-pondok-gede/
Wirodono, Sunardian. “Betawi Kristen Kampung Sawah.” Artikel diakses pada 9 Maret
2016
dari
http://www.gobetawi.com/2014/10/betawi-kristen-kampung-sawahtentang.html
Skripsi
Aryanto, Saleh Tri. “Minoritas Muslim di Kalangan Mayoritas Kristen: Studi di Dusun
Ngento-Ento, Sumberagung, Mayudan, Sleman,” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin,
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013.
Asrori, Saefudin. “Relasi Antarumat Beragama di Indonesia,” Skripsi S1 Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2007.
Laoli, Meliza Faomasi. “Peranan Nederlandse Zendingsvereenigingdalam Sejarah
Pembentukan Gereja Kristen Pasundan di Jawa Barat Pada Awal Abad 20,” Skripsi
S1 Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Pendidikan Indonesia,
2013.
Pasaribu, Peter. “Peranan Inger Ludwig Nommensen dalam Perkembangan HKBP di
Tanah Batak tahun 1861-1881,” Skripsi S1 Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan
Sosial, Universitas Pendidikan Indonesia, 2013.
Tahari, Toto. “Respon Muhammadiyah Terhadap Kristenisasi di Indonesia,” Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin dan Ilmu Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2011.
Wulandari, Listyarini Diah. “Zending: Kristenisasi di Margorejo Kecamatan Dukuhseti,
Kabupaten Pati Tahun 1852-1942,” Skripsi S1 Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2011.
Hasil Observasi dan Wawancara
Data pribadi Gereja Kristen Protestan Pasundan (GKP) Kampung Sawah, 1 Maret
2016.
Data Pribadi Kecamatan Pondok Melati, Bekasi, 3 Maret 2016.
Wawancara Pribadi dengan Jacobus Napiun, Bekasi, 1 Maret 2016.
Wawancara Pribadi dengan Maesaroh, Bekasi, 29 Februari 2016.
Wawancara Pribadi dengan Matheus Nalih, Bekasi, 1 Maret 2016.
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Encep, Bekasi, 3 Maret 2016.
120
Wawancara Pribadi dengan Musa Dani, Bekasi, 29 Februari 2016.
Wawancara pribadi dengan Nur Ali Akbar, Bekasi, 28 Februari 2016.
Wawancara Pribadi dengan Rahmadin Afif, Bekasi, 28 Februari 2016.
Wawancara Pribadi dengan Tegar Napiun, Bekasi, 29 Februari 2016.
Wawancara Pribadi dengan Veronika Dani, Bekasi, 29 Februari 2016.
Wawancara Pribadi dengan Yohanes Dani, Bekasi, 29 Februari 2016.
Wawancara Pribadi dengan Zamaksari, Bekasi, 23 Februari 2016
Transkip Wawancara Penelitian
1. Narasumber
: K.H Zamaksari (Ketua I FKUB Kota Bekasi)
Tanggal Wawancara
: 23 Februari 2016
Data Wawancara
:
a. Apa tanggapan Kyai seputar Betawi Kristen di Kampung Sawah?
Aneh dan jarang ditemui di tempat lain. Karena kan kita taunya, Betawi
itu kebanyakan orang muslim jadi agak kaget saat ada orang Betawi tapi
beragama Kristen. Pernah waktu itu, saat acara FKUB di Kampung
Sawah saya ketemu dengan pastur yang mirip ustad, awalnya saya kira
dia
memang
ustad
karena
saat
menyampaikan
sambutan,
dia
menggunakan muqodimah Islam tapi setelah mendengar kalau dia
beragama Kristen saya langsung menegur pastur itu.
b. Apa tanggapan Kyai tentang ciri khas Betawi Kristen yang menggunakan
atribut seperti peci, sarung dan baju koko?
Awalnya saya engga nyangka kalau mereka itu orang Kristen karena
memang gaya pakaiannya yang mirip seperti orang muslim. Saya juga
sempat bertanya langsung dengan pendeta dan pastur disana dan mereka
bilang kalau ini salah satu tradisi budaya betawi dan kalau memang
mereka menggunakan peci, sarung dan baju koko karena ingin
melestarikan budaya betawi, ya saya ga bisa larang.
c. Menurut Kyai, apakah umat kristiani nyaman dengan peraturan dan
dominasi umat muslim?
Kalau dilihat sekilas memang mereka itu seperti terima-terima aja, tapi
kita kan juga engga tau aslinya mereka seperti apa. Kalau menurut saya,
karena disini mereka itu minoritas jadi mereka cari aman aja makanya
kalau ada rapat atau apapun biasanya orang non muslim lebih banyak
nurut.
d. Menurut Kyai, teknik apa yang digunakan dalam kegiatan kristenisasi?
Kristenisasi sebenarnya bukan sudah terjadi dimana-mana, stateginya
juga macam-macam, mulai dari bagi-bagi sembako, layanan kesehatan,
acara sosial, dan banyak lagi. Ini stategi kristenisasi secara umum ya.
e. Bagaimana cara agar tumbuh rasa toleransi dan kerukunan di lingkungan
multukultural?
Jadi FKUB itu kan memang dibentuk untuk menciptakan kerukunan antar
agama, makanya kita sering mengadakan sosialisasi, seminar, dan
investigasi. Sosialisasinya biasanya disitu kita mengajarkan warga untuk
bertoleransi dan menjaga kerukunan. Anggota FKUB dan komunitas
agama-agama di Bekasi juga beberapa kali mengadakan seminar untuk
membahas konflik antaragama dan cara menyelesaikannya. Nah, kalau
investigasi itu biasanya dilakukan di tempat-tempat yang sedang terjadi
konflik. Disitu kita akan selidiki penyebab konfliknya, apa karena
kecemburuan sosial, adanya profokator atau ada penyebab lain.
Mengetahui,
Narasumber
(KH. Zamaksari)
Peneliti
(Dea Alvi Soraya)
2. Narasumber
: K.H Rahmadin Afif
(Pimpinan Ponpes Fiisabilillah Kampung Sawah)
Tanggal wawancara
: 28 Februari 2016
Data Wawancara
:
a. Bagaimana sejarah berdirinya ponpes fiisabilillah (YASFI)?
YASFI berdiri sejak 1976, didikan oleh H. Fii Sabilillah makanya nama
pesantren ini yayasan Fii Sabilillah. Dulu, YASFI itu cuma yayasan untuk
yatim piatu saja tapi pada tahun 1977, YASFI membangun madrasah
ibtidaiyah dan berkembang pesat sampai sekarang. Bisa dibilang, YASFI
itu pusat peradaban Islam di Kampung Sawah.
b. Apa alasan Kyai mendirikan ponpes di wilayah yang dikelilingi gereja?
Karena kan dulu, orang Kampung Sawah tidak terlalu paham tentang
agama. Diibaratin, Islamnya cuma Islam KTP. Makanya,kalau ada orang
yang pindah agama itu udah biasa aja karena memang udah sering
terjadi. Maka dari itu, YASFI didirikan dengan harapan bisa membantu
masyarakat mengenal Islam lebih dalam.
c. Bagaimana sejarah tersebarnya agama Kristen di Kampung Sawah?
Dulu, Kampung Sawah itu ada asrama tempat pembuangan anak Kristen
Belanda yang nakal, lalu mereka memperkerjakan orang pribumi di
asrama itu dan dari situ mereka melakukan kristenisasi kepada orang
muslim yang pemahaman agamanya kurang.
d. Apa tanggapan Kyai tentang Betawi Kristen yang menggunakan peci,
sarung dan baju koko?
Kan disini orang Betawi Kristen itu menganggap peci, sarung dan baju
koko adalah tradisi orang Betawi jadi ya sebagai sesama orang Betawi
kita ga bisa melarang dan mereka sah-sah saja memakainya.
e. Apa tanggapan Kyai tentang pernikahan lintas agama?
Pernikahan lintas agama disini udah ada sebelum saya lahir. Istri saya
juga sebenernya berasal dari keluarga Protestan tapi dia mengikuti saya
dan pindah agama. Makanya, saudara saya juga banyak yang dari
Protestan dan Katolik. Dan alhamdulillah, kita rukun-rukun aja.
Mengetahui,
Narasumber
KH. Rahmadin Afif
Peneliti
Dea Alvi Soraya
3. Narasumber
: Nur Ali Akbar (Ketua Dewan Pendidikan YASFI)
Tanggal Wawancara
: 28 Februari 2016
Data Wawancara
:
a. Bagaimana tanggapan Ustad seputar Betawi Kristen Kampung Sawah?
Unik ya, karena kan budaya betawi itu identik sekali dengan Islam, tapi di
Kampung Sawah orang Betawi juga ada yang Kristen.
b. Apa tanggapan Ustad mengenai atribut peci, baju kokoh dan sarung yang
digunakan Betawi Kristen?
Kita sih biasa-biasa aja, toh itu kan memang salah satu tradisi orang
Betawi, tapi orang dari luar kampung sawah yang justru nolak. Ya
mungkin risih ya melihat orang non islam tapi pakaiannya seperti ustad.
c. Bagaimana bentuk toleransi beragama antara umat muslim dan kristiani?
Toleransi disini itu ya paling kalau setiap kebaktian kan jamaat banyak,
nah mereka boleh parkir di halaman masjid. Begitu juga kalau ada maulid
atau pengajian, ya kita juga boleh parkir di halaman gereja.
d. Apakah teknik yang dilakukan umat Kristiani dalam melakukan
Kristenisasi?
Macem-macem, bukan Cuma di kampung sawah. Kristenisasi kan udah
banyak di wilayah lain. Kalau disini awalnya mereka buka koperasi
simpan pinjam untuk warga kurang mampu terus sumbangan sembako.
e. Apa yang terjadi antara umat muslim dan kristiani pada saat hari-hari
besar atau hari raya?
Karena disini muslim dan kristen punya tali persaudaraan, jadi ya
walaupun hari raya Islam, orang Kristen tetep dateng dan silahturahmi ke
keluarganya yang muslim. Begitu juga muslim, ya walaupun memang
engga boleh ngucapin selamaet natal tapi kita menghormati hari besar
mereka.
Mengetahui,
Narasumber
Peneliti
Nur Ali Akbar
Dea Alvi Soraya
4. Narasumber
: Musa Dani
(Sesepuh umat kristiani Kampung Sawah)
Tanggal Wawancara
: 29 Februari 2016
Instrumen Pertanyaan
:
a. Bagaimana silsilah keturunan umat kristiani pertama Kampung Sawah?
Keluarga Dani itu termasuk generasi Kristen pertama yang tinggal di Kampung
Sawah. Dulu bapak Dani menikah dan punya anak bernama Atin, Suradi,
Kleopas dan Marya. Anak Dani yang namanya Kleopas menikah dan mempunyai
anak dua, yaitu saya dan Klarina. Jadi, saya itu adalah generasi ke-3 dari
keluarga besar marga Dani yang masih hidup.
b. Bagaimana sejarah terbentuknya sistem marga bagi umat kristiani
Kampung Sawah?
Di Kampung Sawah, ada hampir dua puluh lebih nama marga. Dulu Kolonial
Belanda menetapkan perbedaan peraturan pada setiap golongan masyarakat dan
bagi warga Kristen pribumi yang mau menikah harus menggunakan nama
keluarga ditambah nama baptis Napiun, Pepe, Kelip, Baiin, Saiman, Dani,
Sabajan, Jilin, Empit, Peking, Emeng, Centeng, Cimi, Kuding, Senen, Noron,
Rikin, Kuding, Kari’in, Oyan, Baidan, Seran, Rimin, Niman, Minan, Modo,
Halim, Kadiman, dan Nathanael. Makanya disini tidak aneh kalau ada nama
seperti Musa Dani, Marthius Napiun, atau Sulaeman Kadiman.
c. Apa yang membedakan marga di Kampung Sawah dengan Marga di
Medan?
Kalau marga medan itu kan marganya punya pemaknaan sendiri.
Misalnya marga pasaribu yang berawal dari seseorang bernama
sariburaja. Nah pasaribu itu diturunkan dengan harapan dapat memiliki
sifat-sifat yang ada pada diri sariburaja. Kalau di Kampung Sawah, nama
marga itu dibentuk dari nama baptis dan tidak punya makna khusus
karena ini dipakai untuk memberikan identitas sendiri bagi umat kristiani
kampung sawah.
d. Apakah pernikahan lintas agama dapat berpengaruh pada marga yang
berlaku bagi umat kristiani Kampung Sawah?
Tergantung, jadi disini menikah beda agama karena disini kalau orang
Kristen menikah dengan muslim atau agama lain, tapi tidak pindah agama
maka marganya tidak akan hilang atau terhapus. Tapi kalau pindah
agama, marganya akan hilang atau ditambahkan “bin” kalau pindah ke
agama Islam.
e. Apa tanggapan bapak seputar hubungan antara umat muslim dan kristiani
Kampung Sawah?
Puji tuhan, disini toleransi antaragama sangat tinggi. Sejak dulu juga
tidak pernah ada konflik antaragama. Karena memang didukung
hubungan keluarga yang terjalin.
Mengetahui,
Narasumber
Peneliti
Nur Ali Akbar
Dea Alvi Soraya
5. Narasumber
: Maesaroh dan Tegar Napiun
(pasangan berbeda agama)
Tanggal Wawancara
: 29 Februari 2016
Instrumen Pertanyaan
:
a. Bagaimana sejarah pernikahan bapak dan ibu?
Maesaroh: dulu ibu dan bapak sama-sama agama katolik, kami juga
menikah di gereja katolik santo servatius. Tapi saat tahun 1980 ibu
memutuskan pindah agama dan menjadi muslim kembali. Karena dulu
sebelum menikah dengan bapak, keluarga ibu muslim semua.
b. Apakah terjadi pertentangan sebelum pernikahan ini terjadi?
Maesaroh: Awalnya ada, karena keluarga ibu dari pedurenan (kampung
sebelah yang keseluruhan warganya muslim) makanya banyak yang tidak
setuju ibu nikah sama bapak, tapi waktu itu ibu tetap menikah dan pindah
ke kampung sawah.
c. Selama menjalani pernikahan apakah pernah terjadi konflik keagamaan
yang terjadi?
Maesaroh: Pernah, dulu saat ibu masuk Islam abis idul adha ibu pernah
pengen dilempar pake gunting sama bapak. Waktu itu bapak nyuruh ibu
balik ke Kristen tapi ibu tetap pertahankan Islam.
d. Bagaimana bapak dan ibu menyelesaikan konflik tersebut?
Tegar: ya awal-awal ibu pindah agama memang bapak kaget dan engga
rela ibu pindah agama. Tapi bapak sadar, waktu itu bapak lagi diuji
kesabaran jadi yasudah kalo emang ibu memang memilih Islam yasudah.
Lagian bapak juga sadar, semua agama itu kan baik cuma orangorangnya aja yang belum tentu semuanya bener.
e. Apa teknik bapak dan ibu agar konflik tersebut tidak terjadi kembali?
Tegar: engga ada teknik apa apa sebenernya, cuma kita saling
menghormati dan saling mendukung aja. Makanya sekarang juga bapak
ngebebasin anak-anak bapak nantuin agamnya sendiri.
Mengetahui,
Narasumber
Narasumber
Tegar Napiun
Maesaroh
LAMPIRAN
(Gereja Kristen Protestan Pasundan Kampung Sawah)
(Masjid Agung YASFI Kampung Sawah)
(Jemaat kristiani Gereja Kristen Protestan Pasundan Kampung Sawah saat kebaktian)
(Tradisi Betawi Kristen Kampung Sawah saat kebaktian)
(Perayaan Sedekah Bumi GKP Kampung Sawah)
(Pasangan Beda Agama/ Maesaror & Tegar)
(K.H Rahmadin Afif)
(Jacobus Napiun)
(Matheus Nalih)
(Keluarga Lintas Agama/ Keluarga Dani)
Download