KOMUNIKASI LINTAS AGAMA: KEGIATAN PENYEBARAN AGAMA GEREJA KRISTEN PASUNDAN KAMPUNG SAWAH KOTA BEKASI Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Penyaran Islam (S.Kom.I) Oleh Dea Alvi Soraya NIM. 1112051000050 JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/2016 M ABSTRAK Dea Alvi Soraya Komunikasi Lintas Agama: Kegiatan Penyebaran Agama Gereja Kristen Pasundan Kampung Sawah Kota Bekasi Penyebaran agama bagi agama Kristen dan Islam merupakan tugas penting dan merupakan kewajiban bagi pemeluknya. Kegiatan penyebaran agama dapat disebut sebagai kegiatan komunikasi, dimana komunikator menyemapaiakan pesan kepada komunikan baik secara perorangan maupun kelompok. Penyebaran agama atau berdakwah dalam agama Islam dianggap sebagai tugas suci yang merupakan tugas setiap muslim. Dengan demikian, setiap muslim berkewajiban untuk berdakwah. Sedangkan dalam agama Kristen, perintah penyebaran agama adalah amanat agung yang disampaikan Yesus sebelum naik ke Syurga. Dengan penjelasan yang terurai di atas, maka dapat dirumuskan beberapa pokok permasalahan yang mengahasilkan beberapa pertanyaan. Pertanyaan utamanya yaitu, bagaimana komunikasi lintas agama kegiatan penyebaran agama GKP Kampung Sawah Kota Bekasi? Adapun pertanyaan turunannya adalah apa bentuk bujukan dan paksaan atau reaksi kebencian yang dilakukan umat kristiani dalam melakukan penyebaran agama? Apakah komunikasi berperan sebagai obat manjur dalam menyelesaikan masalah atau racun yang memperkeruh masalah? Apakah kegiatan penyebaran agama Kristen diibaratkan seperti peluru atau bumarang? Apa respon umat muslim kampung sawah terhadap kegiatan penyebaran agama GKP Kampung Sawah berada pada tahap negosiasi, dominasi atau penolakan? Teori utama yang digunakan dalampenelitian ini adalah Teori Resepsi Aktif milik Andi Faisal Bakti. Teori ini menganggap abahwa manusia adalah makhluk yang aktif dalam menginterpretasikan pesan dan informasi. Teori ini mengatakan bahwa keefektifan komunikasi dan diterimanya pesan bukan berasal dari peran komunikator atau media massa, melainkan dari proses penerimaan pesan oleh komunikan. Dalam hal ini komunikan tidak bersifat pasif melainkan berperan aktif. Penelitian ini menghasilkan sebuah fakta bahwa hubungan komunikasi lintas agama di kampung sawah berjalan dengan harmonis dan penuh rasa toleransi. Kegiatan penyebaran agama kristen di kampung sawah diakukan melalui jalur pernikahan lintas agama dan sistem marga. Banyak umat muslim yang pindah agama dengan alasan mengikuti dorongan keluarga atau keyakinannya sendiri. Ada pula sebaliknya, umat kristiani yang melepaskan keyakinannya dan memilih Islam. Fenomena pindah agama baik bagi muslim maupun kristiani dianggap sebagai hal yang wajar sehingga warga kampung swah sudah terbiasa mengahdapi fenomena tersebut. Kesimpulannya, kegiatan penyebaran agama Kristen di Kampung Sawah dilakukan melalui bujukan dan terselung, sehingga orang yang menjadi sasaran kristenisasi tiddak akan menyadarinya. Hal ini tentu membuat gerakan kristenisasi akan terus berjalan di Kampung Sawah sampai kapanpun. Keyword: penyebaran agama, kampung sawah, kristiani, muslim Kata pengantar Puji syukur saya hanturkan kepada Allah SWT penguasa alam semesta, hanya dengan hidayah-Nya proses penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan pengikutnya. Skripsi dengan judul Komunikasi Lintas Agama: Kegiatan Penyebaran Agama Gereja Kristen Pasundan Kampung Sawah Kota Bekasi, yang telah melalui beberapa kali pergantian judul semenjak sidang proposal pada tanggal 16 desember 2015 lalu. Peneliti menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya dukungan dari banyak pihak baik secara materil maupun moril. Oleh karena itu, peneliti menyampaikan banyak terima kasih kepada pihak yang sangat membantu dalam penyesaian skripsi ini, terutama kepada yang terhormat: 1. Dr. Arief Subhan, MA, Selaku dekan fakultas ilmu dakwah dan ilmu komunikasi uin syarif hidayatullah jakarta. 2. Drs. Masran, MA dan Fita Fathurakhmah, M.Si selaku ketua dan sekertaris jurusan komunikasi penyiaran islam uin syarif hidayatullah jakarta. 3. Prof. Dr. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D, selaku guru besar fakultas ilmu dakwah dan komunikasi sekaligus dosen pembimbing skripsi. Peneliti mengucapkan banyak terima aksih atas bimbingan dan didikan yang diberikan kepada peneliti demi mencapai hasil yang terbaik. Terima kasih pula atas seluruh dukungan dan motivasi yang diberikan kepada peneliti. 4. Dr. Suhaimi, M.Si selaku ketua sidang skripsi, Dr. Rulli Nasrullah, M.Si selaku penguji I dan Ade Masturi, MA selaku penguji II. 5. Keluarga besar fakultas ilmu dakwah dan ilmu komunikasi beserta segenap dosenyang telah memberikan saran dan masukan kepada peneliti. 6. Seluruh staf tata usaha yang telah memudahkan peneliti dalam mempercepat penyelesaian penelitian. 7. kepada Papa (Ahmad Sanusi, MA) dan Mama (Sri Mulyati, S.Ag) tercinta, yang telah memberikan saran dan selalu bersedia menjadi tempat keluh kesan peneliti di saat-saat sulit. Terima kasih pula saran dan dorongan yang selalu diberikan demi memunculkan semangat peneliti dalam menulis. 8. Sahabat-sahabat peneliti, Yaumil Kurniati, Rahmah Novitasari dan Ina Legiana yang selalu ada untuk peneliti dan selalu memberikan pengertian kepada peneliti. 9. Kepada anggota KKN MEMORI 2015 yang sudah rela menyelesaikan tugas KKN dan memaklumi peneliti. Terima kasih atas pengertiannya. Terakhir, peneliti menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan. Oleh sebab itu, peneliti berharap dikemudian hari skripsi ini dapat dikembangkan dengan lebih baik. Amin. Ciputat, 20 Maret 2016 Dea Alvi Soraya DAFTAR ISI ABSTRAK KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang .................................................................................................. 1 B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah................................................. 6 1. Identifikasi Masalah ............................................................................. 6 2. Batasan Masalah ................................................................................... 7 3. Rumusan Masalah ................................................................................ 7 C. Ruang Lingkup, Tujuan, Pernyataan dan Manfaat Penelitian .................... 8 1. Ruang Lingkup Penelitian ................................................................... 8 2. Tujuan Penelitian .................................................................................. 8 3. Pernyataan Penelitian ........................................................................... 8 4. Manfaat Penelitian ................................................................................ 9 D. Bingkai Teoritis dan Metodologi Penelitian ................................................... 9 1. Bingkai Teoritis ..................................................................................... 9 2. Metodologi Penelitian ........................................................................... 10 E. Tinjuan Pustaka ................................................................................................ 12 F. Sistematika Penulisan ....................................................................................... 14 BAB II. KAJIAN PUSTAKA : TEORI RESEPSI AKTIF A. Komunikasi, Agama dan Budaya .................................................... .. 15 B. Coerseduction ........................................................................................ 23 C. Panacea ................................................................................................. 27 D. Bullet and Boomerang Effect .............................................................. 32 E. Negotiation ............................................................................................ 35 BAB III. GAMBARAN UMUM A. Bertemunya Kristen dan Islam ...................................................................... 39 B. Gereja Kristen Protestan Pasundan Kampung Sawah ................................. 41 C. Agama Kristen di Kampung Sawah................................................................ 45 BAB IV. ANALISIS DATA : KRISTEN DAN RESPONS MUSLIM A. Paksaan, Bujukan, atau Reaksi (Kebencian) ................................................. 49 B. Obat Manjur, Penawar, atau Racun (Opium) .............................................. 56 C. Peluru dan Bumerang ...................................................................................... 60 D. Tarik Ulur, Dominasi atau Penolakan ............................................................ 64 BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................................................ 74 B. Saran ................................................................................................................. 75 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 76 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hubungan antara negara dan agama merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan. Pancasila sebagai dasar negara Indonesia menyebutkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam sila pertama. Sila tersebut dijabarkan dalam UUD 1945 bab XI tentang agama, yang berbunyi:1 “1. Negara berdasarkan atas Ketuhanan YME. 2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Indonesia adalah negara yang terdiri dari 17.800 pulau, dengan beragam suku, bahasa, budaya dan agama. Penduduk Indonesia didominasi oleh pemeluk agama Islam. Namun tidak menghalangi berkembangnya agama-agama besar di dunia seperti Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dalam hasil sensus penduduk tahun 2010, pemeluk agama Islam pada tahun 2010 tercatat sebanyak 207,2 juta jiwa (87,18 persen), pemeluk agama Kristen sebanyak 16,5 juta jiwa (6,96 persen), pemeluk agama Katolik sebanyak 6,9 juta jiwa (2,91 persen), pemeluk agama Hindu sebanyak 4.012.116 jiwa (1,69 persen) dan pemeluk agama Budha sebanyak 1.703.254 jiwa (0,72 persen). Sementara itu, agama Khong hu cu sebagai agama termuda yang diakui oleh pemerintah Indonesia dianut sekitar 117,1 ribu jiwa (0,05 persen).2 Departemen Agama RI (Depag RI), Bingkai Teologi: Kerukunan Hidup Umat Beragama di Indonesia (Jakarta: Depag RI, 1997),h. 1. 2 Badan Pusat Statistik (BPS), Hasil Sensus Penduduk 2010: Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia (Jakarta: BPS, 2010), h. 10. 1 1 2 Sedangkan jika dilihat secara luas dari populasi pemeluk agama seluruh dunia, Pew Research Center memprediksikan terjadinya perubahan pada perkembangan agama dan pemeluknya di tahun 2050, antara lain:3 1. Perkembangan agama Kristen akan semakin berkembang pada tahun 2050 dengan perkiraan mencapai 11,2% dari seluruh populasi penduduk Indonesia. 2. Pengikut agama Islam akan semakin menurun sekitar 2-3% persepuluh tahun. Jumlah muslim diperkirakan hanya sekitar 86,4% dari seluruh populasi penduduk Indonesia pada tahun 2050 dengan jumlah awal sekitar 87,2% pada tahun 2010. 3. Islam akan berkembang pesat di India bahkan mengalahkan populasi muslim di Indonesia. 4. Pada tahun 2050 akan terjadi keseimbangan antara Islam dan Kristen, dengan jumlah umat kristiani sebanyak 31,4% dan umat muslim sebanyak 29,7% dari seluruh populasi penduduk di dunia, seperti yang tercatat pada tabel 1.1. Pew Research Center, The Future of World Religions: Populations Growth Projection, 2010-2050 (Washington D.C: Pew Research Center, 2015), h. 73. 3 3 Tabel 1.1 Perkembangan Agama 2010-2050 Penyebaran agama bagi agama Kristen dan Islam merupakan tugas penting dan merupakan kewajiban bagi umat kristiani dan umat muslim. Hakekat Kristen dan Islam sebagai agama misionaris membuatnya dominan dipeluk oleh penduduk dunia. Kegiatan penyebaran agama dapat disebut sebagai kegiatan komunikasi, di mana komunikator menyampaikan pesan kepada komunikan baik secara perorangan atau kelompok. Secara teknis perbedaan antara kegiatan penyebaran agama dengan kegiatan komunikasi terletak pada muatan pesan yang disampaikan. Dalam komunikasi, pesan yang disampaikan bersifat netral sedangkan dalam pesan penyebaran agama berisi nilai keteladanan dan kebenaran.4 Penyebaran agama atau berdakwah dalam agama Islam, dianggap tugas suci yang merupakan tugas setiap muslim. Dengan demikian, setiap muslim berkewajiban untuk berdakwah. Seperti dalam firman Allah surat Ali Imran ayat 104, yang berbunyi: 4 Faizah dan Lalu Effendi, Psikologi Dakwah (Jakarta: Prenada Media, 2006), h. 37. 4 Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung. Sedangkan dalam agama Kristen, perintah penyebaran agama diibaratkan sebagai amanat agung. Sebelum Yesus meninggalkan para muridnya dan naik ke surga, Yesus memberi perintah yang menjadi landasan umat kristiani dalam melakukan penyebaran agama. Perintah itu tertulis dalam Alkitab perjanjian baru, surat Matius ayat 19-20 yang berbunyi: “(28:18) Then Jesus came up and said to them, “All authority in heaven and on earth has been given to me. (28:19) Therefore go and make disciples of all nations, baptizing them in the name of the Father and the Son and the Holy Spirit,(28:20) teaching them to obey everything I have commanded you. And remember,I am with you always, to the end of the age.” 5 Artinya: Karena itu pergilah, jadikan semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus, dan ajarkanlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah kuperintahkan padamu. Dan ketahuilah, aku menyertaimu senantiasa hingga akhir zaman. Kesamaan kewajiban antara umat muslim dan kristiani, menjadikan kedua agama ini berkompetisi dalam hal penyebaran agama. Manusia memiliki hak untuk mengungkapkan agama dan keyakinannya dalam ritual peribadatan, menaati, mengamalkan dan mengajarkan agama dan keyakinan mereka dalam masyarakat baik secara tertutup maupun terbuka. Perlindungan dalam beragama dan berkeyakinan tertera pada Hak Asasi Manusia (HAM), Undang-Undang Dasar (UUD), maupun keputusan dari berbagai macam forum dan federasi baik tingkat nasional maupun internasional. Hal ini didasari komitmen untuk menghormati, melindungi dan mengembangkan ajaran masing-masing pemeluk agama agar terhindar dari tindak intimidasi, diskriminasi, kekerasan, dan isolasi. Kebebasan beragama dan berkeyakinan termasuk dalam pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Kebebasan beragama memiliki dua komponen, yaitu:5 “1. Kebebasan seseorang untuk memeluk atau untuk tidak memeluk agama yang ia pilih. 2. Kebebasan seseorang untuk mengungkapkan agama dan keyakinannya, secara individu atau dalam masyarakat bersama-sama dengan orang lain, di muka umum atau secara pribadi, melalui pelaksanaan ibadah, ketaatan, pengalaman, dan ajaran keyakinannya.” Selain itu, dalam Peraturan Bersama Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri nomer 9 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Europea UIO,EU Guidelines on the Promotion and Protection of Freedom of Religion or Belief (Luxembourg: Europea UIO, 2013), h. 5. 5 6 Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah, menyatakan bahwa: “1. Hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangidalam keadaan apapun. 2. Setiap orang bebas memilih agama dan beribadah menurut agamanya. 3. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanyadan kepercayaannya itu. 4. Pemerintah berkewajiban melindungi setiap usaha penduduk melaksanakan ajaran agama dan ibadah pemeluk-pemeluknya sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tidak menyalah-gunakan atau menodai agama, serta tidak mengganggu ketentraman dan ketertiban umum. 5. Pemerintah memiliki tugas untuk memberikan bimbingan dan pelayanan agar setiap penduduk dalam melaksanakan ajaran agamanya dapat berlangsung dengan rukun, lancar dan tertib. 6. Kebijakan pemerintah dalam pembangunan nasional di bidang agama antara lain peningkatan kualitas pelayanan dan pemahaman agama, kehidupan beragama, serta peningkatan kerukunan intern dan antar umat beragama. 7. Daerah dalam rangka menyelenggarakan otonomi, mempunyai kewajiban melaksanakan urusan wajib bidang perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang serta kewajiban melindungi masyarakat, menjaga persatuan dan kesatuan, dan kerukunan nasional Negara Republik Indonesia. 8. Kerukunan umat beragama merupakan bagian penting dari kerukunan nasional.”6 Kebebasan tersebut yang menurut peneliti menarik, karena Indonesia merupakan negara yang didominasi oleh pemeluk agama Islam yang selalu mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan sosial sehari-hari. Meskipun sosialisasi tentang toleransi antar agama sudah dikembangkan, namun keberadaan umat kristiani di Indonesia tetap belum memiliki ruang bebas dalam menyebarkan agama karena terbatas dengan kentalnya ajaran Islam yang tertanam dalam diri masyarakat. Oleh sebab itu, terpilihlah “Komunikasi Lintas Agama: Kegiatan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Pedoman Kerukunan Hidup Umat Beragama (Bekasi: Atina Bulan Cahaya, 2012), h. 1-2. 6 7 Penyebaran Agama Gereja Kristen Pasundan Kampung Sawah Kota Bekasi” sebagai tema utama dalam penelitian ini. B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah Sebelum membatasi masalah, peneliti akan terlebih dahulu memberikan identifikasi masalah seputar judul yang diangkat. Masalah yang ditemukan peneliti dalam judul ini adalah seputar kegiatan penyebaran agama Gereja Kristen Pasundan (GKP) Kampung Sawah Kota Bekasi. Untuk mengetahui kegiatan penyebaran agama yang dilakukan GKP maka peneliti akan melakukan penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara mendalam, dan uji dokumen. 2. Batasan Masalah Pada penelitian ini, pembatasan yang diambil agar penelitian yang dilakukan lebih terarah dan terperinci. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini dibatasi pada kegiatan penyebaran agama GKP Kampung Sawah, Kota Bekasi. Dalam penelitian ini, peneliti lebih terfokus pada faktor yang melatarbelakangi berkembangnya agama Kristen di Kampung Sawah yang mayoritas penduduknya beragama Islam. 3. Rumusan Masalah a. Bagaimana komunikasi lintas agama kegiatan penyebaran agama GKP Kampung Sawah Kota Bekasi? b. Apa teknik yang digunakan jamaat GKP Kampung Sawah dalam melakukan penyebaran agama? 8 c. Apakah para pemeluk agama baik Islam atau Kristen tetap menjadikan agamanya sebagai keyakinannya atau memilih berpaling pada agama lain? d. Apakah kegiatan penyebaran agama Kristen di Kampung Sawah berjalan sesuai tujuan, atau justru berbalik dari tujuan awal? e. Apa respons umat muslim Kampung sawah terhadap kegiatan penyebaran agama GKP Kampung Sawah? C. Ruang Lingkup, Tujuan, Pernyataan dan Manfaat Penelitian 1. Ruang Lingkup Penelitian Status umat kristiani di wilayah Kampung Sawah dikategorikan sebagai budaya pendamping yang berada diluar kaum dominan, karena umat muslim lebih mendominasi. Keadaan ini berpotensi menimbulkan kecemasan dan ketakutan jamaat GKP dalam menyebarkan agama mereka secara bebas. Keterbatasan ruang gerak inilah yang akan menjadi fokus penelitian, di mana peneliti akan melakukan observasi dan analisis mengenai strategi jamaat GKP dalam melakukan penyebaran agama meskipun dengan ruang gerak yang terbatas. 2. Tujuan Penelitian 1) Untuk mengetahui teknik penyebaran agama yang dilakukan GKP Kampung Sawah Kota Bekasi. 2) Untuk mengetahui pola komunikasi lintas agama di Kampung Sawah. 3) Untuk mengetahui pandangan jamaat GKP Kampung Sawah tentang masyarakat muslim di lingkungan GKP Kampung Sawah dan sebaliknya. 9 3. Pernyataan Penelitian Jika dikaitkan dengan teori utama penelitian, yaitu Teori Resepsi Aktif (Active-Reception Theory) maka dapat diasumsikan bahwa ada dua cara yang dilakukan jamaat GKP Kampung Sawah dalam menyebarkan agamanya, yaitu melalui bujukan dan paksaan. Pada saat ini, umat kristiani lebih memilih melakukan teknik bujukan dibanding paksaan demi menghindari konflik antaragama. Peneliti juga mengasumsikan bahwa jamaat GKP Kampung Sawah sebenarnya tidak sepenuhnya bebas dalam mengungkapkan ketaatannya pada agama yang dia yakini. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa kaum kristiani yang masih menyembunyikan kekristenannya jika berhadapan atau berada di tengah-tengah masyarakat muslim. Namun, pernyataan dan asumsi tersebut belum dipastikan kebenarannya. Oleh karena itu, peneliti akan menyajikan beberapa teori diantaranya teori utama dan teori pendukung serta hasil-hasil temuan dan hasil analisis penelitian. 4. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Akademis Menjadi gambaran bagi mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk mengetahui bagaimana penyebaran agama yang dilakukan umat kristiani. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini dapat menjadi acuan mahasiswa yang ingin mengetahui lebih jauh keeksistensian umat kristiani dalam melakukan penyebaran agama serta mengkaji teknik yang mereka aplikasikan. 10 D. Bingkai Teoritis dan Metodologi Penelitian 1. Bingkai Teoritis Gereja Kristen Pasundan Kampung Sawah Kota Bekasi Coerseduction Prasangka Panacea Resistensi Bullet Boomerang Teknik Penyebaran Agama Negotiation Umat Muslim Penolakan Penerimaan Gambar 1.1: Gambaran teoritis Gambar 1.1 menunjukkan bahwa dalam proses penyebaran agama, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi berhasil atau tidaknya proses penyebaran agama tersebut. Faktor-faktor seperti Coerseduction, Panacea, Bullet, Boomerang, dan Negotiation. Faktor terseut adalah instrumen yang berada dalam Teori Respon Aktif (Active-Reception Theory).7Teknik-teknik tersebut memiliki pengertian dan proses yang berbeda-beda. Penjelasan dari tanda dua panah antara coerseduction dan prasangka adalah berlawanannya kegiatan coerseduction dan prasangka. Coerseduction diartikan sebagai cara seseorang untuk membujuk dan mengubah persepsi orang lain dengan menggunakan bujukan atau paksaan. Sedangkan prasangka adalah suatu Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi Muslim Perceptions of a Global Development Program (Jakarta: INIS, 2004), h. 109-120. 7 11 pandangan suatu kelompok tentang kelompok lain. Biasanya, prasangka selalu dikaitkan dengan hal-hal negatif seperti stereotip, rasis dan reaksi kebencian. Sedangkan tanda dua panah antara penecea dan resistensi juga diarikan sebagai hal yang berlawanan. Penecea diibaratkan sebagai faktor lain selain komunikasi yang dijadikan sebagai penawar dalam menyelesaikan masalah sosial. Sedangkan resistensi adalah diibaratkan sebagai reaksi yang timbul karena fakta sosial yang terjadi baik berupa pujian, umpatan, dorongan, penolakan dan lainnya. Resistensi dalam pandangan James Scoot berfokus pada bentuk-bentuk perlawanan yang sebenarnya ada dan terjadi dalam kehidupan sehari-hari, ia menggambarkan dengan jelas bagaimana bentuk perlawanan kaum minoritas yang tidak memiliki kekuatan dalam melakukan penolakan terbuka dan berujung pada penolakukan tertutup (resistensi tertutup) seperti gosip, fitnah, dan lainnya.8 Sedangkan bullet (peluru) diibaratkan sebagai kepasifan komunikan dalam menginterpretasikan informasi sehingga cenderung menerima apapun pesan yang diberikan oleh komunikator tanpa mempertimbangkan kebenaran pesan tersebut. Berlawanan dengan boomerang (bumerang) yang menganggap bahwa komunikan memiliki kemampuan memproses pesan dengan baik dan memiliki kekuasaan penuh dalam menentukan diterima atau ditolaknya suatu pesan. Sehingga jika komunikan tidak menerima pesan yang disampaikan komunikator, kemungkinan pesan tersebut akan menjadi bumerang bagi komunikator tersebut. Proses interpretasi pesan tersebut diasumsikan sebagai proses negosiasi yang nantinya akan menentukan diterima atau tidaknya pesan tersebut berdasarkan 8 James Scoot, Moral Ekonomi Petani. Penerjemah Hasan Basri (Jakarta: LP3ES, 1994), h. 64. 12 faktor-faktor yang menjadi referensi komunikan dalam memaknai pesan yang didapatnya. Menurut Andi Faisal Bakti, resepsi aktif adalah teori yang menganggap bahwa manusia adalah makhluk yang aktif dalam menginterpretasikan pesan dan informasi yang dia dapat. Keefektifan komunikasi dan diterimanya pesan dalam teori resepsi aktif bukan berasal dari peran komunikator atau media, melainkan dari proses penerimaan pesan oleh komunikan. Paradigma yang digunakan dalam teori ini lebih mengarah pada pengaruh atas-bawah atau pengaruh horizontal. Active-Reception Theory berkaitan dengan komunikasi interpersonal, dengan sosial kontrol diberikan kepada komunikan dengan pendekatan hubungan interpersonal.9 2. Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yaitu jenis penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif dan hasil dari penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.10 Jenis penelitian kualitatif digunakan dalam penelitian ini untuk menggambarkan, menganalisa dan menginterpretasikan kondisi-kondisi berdasarkan data yang penulis dapat secara lebih mendalam tentang keeksistensian penyebaran agama Kristen di lingkungan mayoritas muslim. Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi Muslim Perceptions of a Global Development Program, h. 108. 10 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D(Bandung: Alfabeta, 2011), h. 205. 9 13 a. Subjek dan Objek Penelitian Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah Gereja Kristen Pasundan (GKP) Kampung Sawah, Kota Bekasi. Sedangkan objek penelitian ini adalah kegiatan penyebaran agama Kristen di Kampung Sawah yang mayoritas pemeluk agama Islam. b. Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan teori dan metodologi yang digunakan, diantaranya: a) Observasi Observasi adalah proses pengamatan dan pencatatan secara sistematis mengenai gejala-gejala yang diteliti. Teknik pengumpulan datanya sesuai dengan tujuan penelitian yang direncanakan dan dicatat secara sistematis, agar terkontrol reliabilitas dan validitasnya. Adapun jenis observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi non-observasi, di mana peneliti hanya mengamati tanpa berpartisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan penyebaran agama Kristen. Dalam hal ini, peneliti hanya akan mengamati dan menganalisis faktor pendorong serta teknik yang digunakan umat kristiani dalam melakukan penyebaran agama. b) Wawancara Wawancara merupakan alat rechecking atau pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya.11 Dalam penelitian ini, peneliti akan melakukan wawancara ketua dewan GKP Kampung Sawah, tokoh masyarakat Kampung Sawah, pejabat kelurahan Kampung Sawah dan masyarakat Kampung Sawah. Teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam yang 11 Sutopo HB, Metode Penelitian Kualitatif (Surakarta: UNS Press,2006), h. 140. 14 nantinya akan membantu peneliti dalam menganalisis dan menemukan keterangan yang lebih detail. c) Dokumen Studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif. Kredibilitas hasil penelitian kualitatif ini akan semakin tinggi jika menggunakan studi dokumen.12Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan buku, jurnal, tesis dan skripsi yang berkaitan dengan pembahasan dalam penelitian. 1) Tahapan Penelitian (prosedur) Adapun tahapan penelitian dalam penelitian ini adalah perumusan judul, penyusunan pengantar masalah, penegasan maksud dan tujuan, penyusunan perangkat teoritis, penyusunan kerangka konsep, pemilihan penetapan metodologi, penyajian hasil-hasil penelitian, analisa data yang telah diteliti, penyusunan hasilhasil penelitian, penyusunan kesimpulan, dan terakhir penyusunan saran dan kelemahan penelitian. 2) Teknik pengolahan data Tahapan pengolahan data yaitu proses editing, dimana semua data diperiksa dan diedit pada bagian yang tidak diperlukan. Setelah semua selesai, data yang sudah diperiksa dan diedit akan dianalisis dan ditafsirkan dalam bentuk deskriptif. Adapun teknik pengolahan data yang digunakan peneliti adalah teknik pengolahan secara etnografi. Etnografi dalam komunikasi adalah metode analisis yang berfokus pada usaha peneliti dalam mengobservasi dan meneliti tentang suatu komunitas atau Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, h. 56. 12 15 suatu budaya agar bentuk komunikasi yang digunakan komunitas atau budaya tersebut dapat diterima secara rasional. Etnografi melihat beberapa faktor, antara lain:13 1) Pola komunikasi yang digunakan dalam sebuah kelompok 2) Mengartikan semua kegiatan komunikasi dalam kelompok 3) Kapan dan di mana anggota kelompok menggunakan kegiatan ini 4) Bagaimana praktik komunikasi yang digunakan 5) Keberagaman kode yang digunakan oleh sebuah kelompok Teknik etnografi utama adalah wawancara yang panjang dan berkali-kali dengan beberapa informan. Fokus peneliti dalam melakukan penelitian etnografi berkaitan dengan perubahan sosial dan kebudayaan. Tujuan dari etnografi adalah untuk mendapatkan gambaran masa lalu masyarakat tersebut. Namun, etnografi berkembang dan dibedakan menjadi dua bagian, yaitu etnografi awal dan etnografi modern. Jika etnografi awal lebih mementingkan hal yang berhubungan dengan sejarah kebudayaan suatu masyarakat, maka etnografi modern lebih fokus pada kehidupan masa kini yang sedang dijalani oleh masyarakat.14 Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan. Tujuan utamanya adalah memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang masyarakat pribumi. Oleh karena itu, penelitian etnografi tidak hanya mempelajari masyarakat, namun juga belajar dari masyarakat. Seorang peneliti etnografi melakukan proses memahami apa yang dilihat dan didengar lalu 13 Stephen Littlejohn dan Karen Foss, Teori Komunikasi. Penerjemah Muhammad Yusuf Hamdan (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), h. 460. 14 James P. Spradley, Metode Etnografi. Penerjemah Misbah Zulfa Elizabeth (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), h. 3. 16 menyimpulkannya. Proses ini memerlukan pemikiran atas kenyataan atau kejadian yang terjadi dan hal yang diduga atau diasumsikan.15 Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang dipakai adalah etnografi modern yang mengedepankan fokus penelitian pada the way of life masyarakat saat ini, karena fokus dalam penelitian ini adalah tentang bagaimana strategi GKP Kampung Sawah dalam melakukan penyebaran agama hingga keeksistensiannya masih terjaga hingga sekarang. Meskipun lebih memfokuskan pada kehidupan saat ini, namun peneliti juga akan menambahkan beberapa bukti sejarah tentang GKP Kampung Sawah yang nantinya akan menguatkan hasil penelitian. 3) Teknik Analisis Data Metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif secara umum dikelompokkan ke dalam dua jenis cara, yaitu teknik yang bersifat interaktif dan non-interaktif. Metode interaktif meliputi interview dan observasi berperanserta, sedangkan metode non-interaktif meliputi observasi tak berperanserta, teknik kuesioner, mencatat dokumen, dan partisipasi tidak berperan.16Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan metode non-interaktif. E. Tinjauan Pustaka Penelitian ini merujuk pada penelitian-penelitain terdahulu dan buku-buku serta artikel dan makalah ilmiah yanng membahas tentang penyebaran agama dan kebebasan beragama serta faktor yang mendasari kegiatan penyebaran agama dalam berbagai perspektif. Adapun penelitian-penelitian terdahulu yang dijadikan sebagai rujukan adalah: James P. Spradley, Metode Etnografi, h. 4. Sutopo HB, Metode Penelitian Kualitatif, h. 9. 15 16 17 Pertama, skripsi karya Saifudin Asrori, mahasiswa Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia yang berjudul Relasi Antarumat Beragama di Indonesia. Dalam skripsinya, Saefudin menjelaskan tentang hubungan kerukunan antarumat beragama yang telah berlangsung sejak masa orde baru dengan terbentuknya forum-forum kerukunan umat beragama. Skripsi ini dianggap relevan karena membahas hubungan antarumat beragama di Indonesia, serta rasa untuk saling menghargai dan hidup rukun antarumat beragama.17 Kedua, skripsi karya Meliza Faomasi Laoli, mahasiswi Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia yang berjudul Peranan Nederlandse Zendingsvereeniging dalam Sejarah Pembentukan Gereja Kristen Pasundan di Jawa Barat Pada Awal Abad 20. Dalam skripsinya, Meliza menceritakan tentang awal mula perkembangan agama Kristen di Jawa Barat hingga berdirinya gereja Kristen Pasundan yang jamaatnya tersebat dihampir seluruh Jawa Barat.18 Ketiga, skripsi karya Listyarini Diah Wulandari, mahasiswi Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang berjudul Zending: Kristenisasi di Margorejo Kecamatan Dukuhseti, Kabupaten Pati Tahun 1852-1942. Dalam Saefudin Asrori, “Relasi Antarumat Beragama di Indonesia,” (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2007), h. 38. 18 Meliza Faomasi Laoli, “Peranan Nederlandse Zendingsvereenigingdalam Sejarah Pembentukan Gereja Kristen Pasundan di Jawa Barat Pada Awal Abad 20,” (Skripsi S1 Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Pendidikan Indonesia, 2013), h. 23. 17 18 skripsinya, Listyarini menceritakan tentang sejarah penyebaran Kristen di Margorejo dan peran Zending dalam proses penyebaran agama Kristen.19 Keempat, skripsi karya Saleh Tri Aryanto, mahasiswa Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berjudul Minoritas Muslim di Kalangan Mayoritas Kristen. Dalam skripsinya, saleh menganalisis Dusun Ngento-Ento, Sumberagung, Mayudan, Sleman yang mayoritas penduduknya adalah umat kristiani. Hasil dari penelitian saleh menunjukkan bahwa pendangan mayoritas dan minoritas tidak terlihat di dusun ini, seluruh penduduk baik muslim maupun kristiani dapat hidup rukun dan saling menghormati.20 Kelima, skripsi karya Patar Pasaribu, mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia yang berjudul Peranan Inger Ludwig Nommensen dalam Perkembangan HKBP di Tanah Batak (1861-1881). Dalam skripsinya, Patar menceritakan perkembangan HKBP serta peran Inger Ludwig Nommensen dalam penyebaran ajaran Kristen di Batak.21 Keenam, skripsi karya Toto Tahari, mahasiswa jurusan perbandingan agama fakultas ushuluddin dan ilmu filsafat universitas islam negeri syarif hidayatullah jakarta yang berjudul respon muhammadiyah terhadap kristenisasi di Indonesia. Dalam skripsinya, Toto menjelaskan bagaimana kegiatan kristenisasi yang terjadi Listyarini Diah Wulandari, “Zending: Kristenisasi di Margorejo Kecamatan Dukuhseti, Kabupaten Pati Tahun 1852-1942,” (Skripsi S1 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2011), h. 41. 20 Saleh Tri Aryanto, “Minoritas Muslim di Kalangan Mayoritas Kristen: Studi di Dusun Ngento-Ento, Sumberagung, Mayudan, Sleman,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013), h. 67. 21 Peter Pasaribu, “Peranan Inger Ludwig Nommensen dalam Perkembangan HKBP di Tanah Batak tahun 1861-1881,” (Skripsi S1 Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Pendidikan Indonesia, 2013), h. 12. 19 19 pada masa kepemimpinan K.H Ahmad Dahlan dan bagaimana beliau menghadapi kegiatan kristenisasi tersebut.22 F. Sistematika Penulisan Guna menjelaskan dan memberikan mensistematiskan penulisan laporan riset in, maka disusun sistematika penulisan ke dalam lima bab, dan pada masingmasing bab dibagi menjadi beberapa sub-bab yang akan mendukung isi dari tiap bab yang saling berhubungan, adapun sistematika penelitian skripsi ini yaitu sebagai berikut: Pendahuluan, penulis letakkan pada bab satu yang meliputi latar belakang masalah yang membahas gambaran secara singkat mengenai agama di Indonesia dan kesamaan antara Islam dengan Kristen. Kemudian bab ini juga mencangkup pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Kajian Pustaka menyusul pada bab dua, yang memuat teori-teori yang menunjang dan mempunyai hubungan dengan permasalahn yang diangkat dalam penelitian ini. Bab ini juga mengandung penjelasan teori Active-Reception sebagai teori utama dan teori serta teori-teori lain yang mendukung dan mengkritik teori utama. Selanjutnya, Gambaran Umum tentang Gereja Kristen PasundanKampung Sawah, Kota Bekasi akan dijabarkan pada bab tiga. Sampai pada Analisis Data yang merupakan inti dari penelitian ini diletakkan di bab empat. Dalam bab ini peneliti menganalisis semua temuan data yang diperoleh dengan menggunakan analisis deskriptif. Peneliti membahas bagaimana 22 Toto Tahari, “Respon Muhammadiyah Terhadap Kristenisasi di Indonesia,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Ilmu Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2011), 5. 20 komunikasi lintas agama yang mereka alami, faktor-faktor yang mempengaruhi aksi pengungkapan identitas agama, dan strategi Gereja Kristen Pasundan Kampung Sawah dalam melakukan penyebaran agama. Akhirnya, bab lima sebagai penutup penelitian ini. Dalam bab ini, peneliti menyimpulkan hasil yang diambil setelah melakukan analisa data dan interpretasi dari hasil penelitian, serta memberikan saran baik dari sisi akademis, maupun praktis. BAB II KAJIAN PUSTAKA: TEORI RESEPSI AKTIF A. Komunikasi, Agama dan Budaya Komunikasi dan budaya dianggap tidak memiliki batasan, begitu juga dengan agama yang merupakan salah satu elemen dari budaya. Komunikasi, budaya dan agama diibaratkan sebagai sebuah segitiga yang saling terhubung satu sama lain. Keterkaitan tersebut yang banyak dianggap sebagai faktor mendasar dalam pembentukan identitas seseorang. Samovar dan koleganya mendefinisikan komunikasi antarbudaya sebagai komunikasi yang terjadi antara komunikator (sender) dan penerima pesan (receiver) yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda.1 Sejak lahir manusia dididik berdasarkan budaya dan agama yang disalurkan melalui komunikasi. Selain itu, manusia mempelajari budaya dan agamanya melalui komunikasi dan komunikasi adalah refleksi dari budaya, baik dalam bentuk bahasa yang digunakan, dialek atau hal lainnya. Selain komunikasi, peran agama juga dianggap sebagai faktor yang memiliki kekuatan untuk mengubah dan membentuk sudut pandang manusia. Agama dianggap sebagai pemberi makna kehidupan dan selalu terlihat di seluruh struktur budaya. Agama dijadikan sebagai fondasi dasar kehidupan karena agama sangat merembes dan tertanam kuat dalam diri manusia. Thouless mengatakan terdapat kesulitan dalam mendefinisikan agama, karena banyaknya ketidaksamaan pendapat dan kesulitan dalam menemukan kata yang 1 Larry A. Samovar, dkk.,Communication Between Cultures (USA: Wadsworth Cangage Learning, 2009), h. 12. 20 21 dapat menginterpretasikan kesepakatan antara para peneliti dan teolog.2 Clark mengatakan pengalaman agama adalah hal yang subjektif dan individual, di mana setiap orang akan merasakan pengalaman agama yang berbeda satu sama lain, oleh karena itu sulit untuk mencari kata-kata yang dapat menggambarkan tentang agama.3 Pengaruh agama yang diceritakan melalui komunikasi juga berperan sebagai pembentukan pandangan seseorang atau kelompok terhadap kelompok lain. Seperti perselisihan antara Kristen dan Islam diawali sejak terjadi Perang Salib dimulai pada tahun 1095 yang melibatkan pasukan gereja yang disebut Crusader melawan pasukan Islam hampir di seluruh bagian benua Eropa. Perang Salib merupakan sebuah gerakan militer dari gereja Katolik Romawi dengan tujuan merebut kembali akses bagi masyarakat kristen akan tanah suci di Jerusalem yang dimulai pada sekitar tahun 1905 oleh Paus Urban II. Setelah Perang Salib, terjadi perselisihan selama 200 tahun untuk menentukan siapa yang berhak menduduki tanah suci, dengan 6 Perang Salib besar dan beberapa Perang Salib kecil. Pada tahun 1291, konflik ini berakhir dengan runtuhnya benteng milik pasukan Kristen di Acre dan setelahnya, pasukan Katolik Eropa tidak lagi melakukan serangan ke arah timur.4 Bakti berpendapat bahwa kebanyakan konflik terjadi karena pengaruh faktor agama dan etnis. Bakti memaparkan beberapa jenis penyebab konflik yang terjadi di Indonesia, diantaranya konflik antara muslim dan non muslim, etnis jawa dan non jawa, aparat negara dan penduduk sipil, masyarakat pribumi dan imigran, 2 Robert H. Thouless, An Introduction to the Psychology of Religion (UK: Cambridge University Press, 1971), h. 5. 3 Walter H. Clark, The Psychology of Religion (New York: Macmilan, 1970), h. 7. 4 Ilham Kadir, “Sejarah Perang Salib,” artikel diakses pada 9 Maret 2016 dari http://www.portalsejarah.com/sejarah-perang-salib.html 22 penganut agama sekular dan nasionalis, dan kalangan muslim tradisionalis dan modernis.5 Martin dan Nakayama mengatakan bahwa proses konstruksi pikiran melalui cerita dapat berpengaruh dalam pembentukan stereotip. Penilaian secara stereotip adalah tindakan yang paling sering dilakukan, stereotip adalah pandangan atau penilaian seseorang tentang orang lain yang berasal dari kelompok yang berbeda dan menyamaratakan orang tersebut dengan kelompoknya.6 Stereotip menurut pandangan psikolog Abbate, Boca dan Boccahiaro adalah susunan kognitif yang mengandung pengetahuan, kepercayaan, dan harapan si penerima mengenai sebuah kelompok sosial manusia.7 Stereotip biasanya ditanamkan sejak dini oleh orang tua kepada anaknya, seperti pandangan bahwa orang yang memakai baju serba hitam identik dengan teroris atau orang yang sedang berduka cita. Contoh lain, pandangan tentang Islam sebagai agama teroris sehingga setiap kali melihat orang yang memakai atribut Islam, maka akan dianggap sebagai teroris. Hal ini yang membuat pandangan stereotip harus dihindari, karena selain menjadi hambatan dalam komunikasi juga dapat mempasifkan logika kita dan mengabaikan identitas pribadi dan aspek psikologis yang tentunya berbeda antara satu orang dengan orang lainnya. Michael Hecht mengatakan bahwa identitas adalah penghubung utama antara individu dan masyarakat, sedangkan komunikasi adalah mata rantai yang 5 Andi Faisal Bakti, “Mayor Conflicts In Indonesia: How Can Communication Contribute to a Solution?,” Review of Human Factor Studies, vol. 6, no. 2 (Desember 2000): h. 33. 6 Judith N. Martin dan Thomas K. Nakayama, Experiencing Intercultural Communication: an Introduction, (New York: McGraw-Hill, 2005), h. 46. 7 C.S. Abbate, dkk., “Stereotyping in Persuasive Communication: Influence Exerted by Disapproved Source,” dalam Larry A. Samovar, dkk., ed.,Communication Between Cultures (USA: Wadsworth Cangage Learning, 2009), h. 201. 23 memperbolehkan hal itu terjadi.8 Jadi dapat dipahami bahwa identitas adalah hal yang mencerminkan diri seseorang dalam masyarakat maupun dalam sebuah proses komunikasi. Peran identitas dalam sebuah proses komunikasi juga dapat berpengaruh pada keefektifan komunikasi. Pada tahun 1967 Watzlawick, Beavin dan Jackson muncul dan membuat model baru komunikasi. Model ini lahir untuk membantah pernyataan bahwa dalam proses komunikasi, peran dari penerima pesan (receiver) tidak begitu penting dan komunikasi hanya berjalan satu arah tanpa adanya respons. Watzlawick dan koleganya melukiskan komunikasi sebagai proses memberikan dan menerima pesan yang dilakukan diantara para anggota komunikasi. Model ini menekankan pandangan bahwa komunikasi bukan sesuatu yang hanya terjadi ketika komunikator atau sumber dengan sengaja mengirimkan pesan, namun sesuatu yang terjadi berkelanjutan di mana anggota komunikasi secara bergantian berperan sebagai komunikator dan komunikan.9 Pernyataan Watzlawick dkk secara tidak langsung menampik kekuatan media massa telah berkembang sejak abad kedua puluh, tepatnya saat media massa dijadikan alat penyebar propaganda pada masa Perang Dunia I. Sebelum itu telah ada pandangan yang kuat bahwa media massa sangat efektif dalam membentuk opini dan memengaruhi perilaku. Ciri utama dalam komunikasi massa adalah bahwa media dapat menjangkau banyak orang, hubungan yang terjadi bersifat satu arah dan pengirim pesan (sender) memiliki kekuatan yang lebih besar Michael L. Hecht, “The Communication Theory of Identity: Development, Theoritical Perspective, and Future Directions,” dalam Stephen Littlejohn dan Karen A. Foss, ed., Teori Komunikasi. Penerjemah Muhammad Yusuf Hamdan (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), h. 131. 9 Paul Warzlawick, dkk., Pragmatics of Human Communication: A Study of Interactional Patterns, Pathologies, and Paradoxes (New York: Norton, 1967), h. 48-51. 8 24 daripada penerima (receivers).10 Seperti teori komunikasi model Harold Lasswell yang merumuskan pernyataan: “who say what to whom in which channel with what effect”11 Pandangan Lasswell tentang komunikasi mengingatkan pada pandangan Aristoteles yang menekankan pembicara, pesan dan khalayak. Kedua ahli komunikasi ini melihat komunikasi sebagai proses satu arah yang dikenal dengan One Step Flow Model, di mana seorang individu memengaruhi individu lain melalui pesan yang disampaikannya. Perbedaan antara Lasswell dan Aristoteles adalah gagasan Lasswell yang melibatkan peran media massa sebagai bagian dari proses komunikasi.12 Pada 1955 Elihu Katz dan Paul Lazarsfeld menyajikan model komunikasi dua arah (Two Step Flow Model) untuk membantah teori Lasswell. Katz dan Lazarsfeld merumuskan pegaruh pribadi (Personal Influence) berdasarkan penelitian mereka yang menemukan bahwa informasi yang disampaikan media massa tidak efektif dan tidak memiliki dampak pada individu secara langsung. Secara khusus, penelitian mereka membuktikan bahwa pesan politik melalui radio dan media cetak memilki efek yang kurang berarti bagi keputusan pemilih. Selain itu mereka menemukan bahwa pemilih yang ragu-ragu lebih dipengaruhi oleh orang-orang sekitar mereka dibandingkan informasi yang diberikan media massa. Adapun kesimpulan dari penelitian Katz dan Lazarsfeld adalah: “that ideas, often, 10 Denis McQuail, Teori Komuniksi Massa. Penerjemah Putri Iva Izzati (Jakarta: Salemba Humanika, 2011), h. 61. 11 Harold D. Lasswell, “The Structure and Function of Communication in Society,” dalam Brent D. Ruben dan Lea P. Stewart, ed., Komunikasi dan Perilaku Manusia. Penerjemah Ibnu Hamad (Jakarta: Raja Grafindo, 2013), h. 43. 12 Brent D. Ruben dan Lea P. Stewart, Komunikasi dan Perilaku Manusia. Penerjemah Ibnu Hamad (Jakarta: Raja Grafindo, 2013), h. 43. 25 seem to flow from radio and print to opinion leaders and from them to the less active sections of the population.”13 Teori Resepsi Aktif yang dijadikan sebagai teori utama dalam penelitian adalah teori yang hadir untuk menyanggah teori efek media massa. Teori resepsi aktif adalah teori gagasan Andi Faisal Bakti yang terinspirasi dari beberapa ahli komunikasi yang berpendapat bahwa dalam sebuah proses komunikasi, komunikan bukanlah pasif melainkan aktif. Hal ini dikarenakan peran komunikan sebagai interpretator pesan.14 John Vivian membantah pendapat Lasswell yang berasumsi bahwa manusia adalah pasif, tidak kritis, dan hanya menerima apapun yang diberikan media. Faktanya, manusia membaca, mendengar, dan melihat hal yang sama dengan cara yang berbeda. Menurutnya, media hanyalah sumber informasi yang nantinya akan dikumpulkan manusia sebagai referensi dalam menginterpreasikan sesuatu. Vivian beranggapan bahwa manusia pada umumnya berhati-hati dalam memilih media dan cenderung mencari media yang memperkuat pandangan pribadinya.15 Fenomena ini disebut dengan Teori konsistensi (Consistance Theory) yang didalamnya terdiri beberapa bentuk tindak selektif yang dilakukan manusia dalam memilih berita yang ditayangkan media, antara lain:16 1. Selective Exposure Terjadi pada saat individu memilih beberapa media ketimbang media lain. Dalam hal ini individu lebih mudah untuk membuka diri pada 13 Elihu Katz dan Paul F. Lazarsfeld, Personal Influence: The Part Played by People in The Flow of Mass Communication (New York: Free Press, 1956), h. 32. 14 Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi Muslim Perceptions of a Global Development Program(Jakarta: INIS, 2004), h. 108. 15 John Vivian, Teori Komunikasi Massa. Penerjemah Tri Wibowo (Jakarta: Kencana, 2008), h. 470. 16 John Vivian, Teori Komunikasi Massa, h. 478. 26 pesan yang berisi hal yang berkaitan dengan seleranya. Individu mengontrol efek pesan atas dirinya sendiri, tidak ada yang memaksa untuk menentukan pilihan lain. 2. Selective Perception Selektivitas dapat terjadi dengan membaca, menonton, dan mendengarkan pernyataan seseorang. Namun sejelas apapun sebuah pesan, individu akan mendengar dan melihatnya dengan sudut pandangnya sendiri. Dalam hal ini, Vivian mengatakan bahwa individu hanya akan menerima pesan yang ingin mereka terima dan invidu cenderung mencari apa yang mereka inginkan dibandingkan menerima apa yang tidak sesuai keinginannya. 3. Selective Retention dan Recall Terjadi pada saat individu secara tidak sadar mempertahankan beberapa kejadian dan pesan yang sesuai dengan kepentingan dan tujuannya, namun mengabaikan pesan dan kejadian yang bertolak belakang dengan kepentingan dan tujuannya. Ringkasnya, individu memiliki kendali yang lebih besar atas cara sender memengaruhi mereka dan menentukan pilihan atas apa yang mereka terima. Festinger menamakan perasaan ketidaknyamanan atau kecemasan sebagai disonansi kognitif (Cognitive Dissonance). Hal ini merupakan perasaan yang dimiliki manusia ketika mereka melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kehendak mereka, atau mempunyai pendapat yang berbeda dengan pendapat 27 mayoritas lingkungannya.17 Inti dari teori disonansi kognitif adalah motivasi seseorang untuk mengurangi dan menghindari hal-hal yang membuatnya tidak nyaman.18 Gambar 2.1 Proses Disonansi Kognitif Sikap, pemikiran, dan perilaku yang tidak konsisten berakibat pada Rangsangan yang tidak menyenangkan Mulainya disonansi dikurangi dengan Perubahan yang menghilangkan inkonsistensi West dan Turner menggambarkan proses disonansi kognitif dalam sebuah gambar yang merangkum empat asumsi dasar dari teori disonansi kognitif, yaitu: (1) Manusia memiliki hasrat untuk mempertahankan konsistensinya pada keyakinan, sikap dan perilakunya; (2) Disonansi diciptakan oleh ketidakseimbangan (inkonsistensi) psikologis; (3) Disonansi adalah perasaan tidak 17 Festinger. L, A Theory of Cognitive Dissonance (California: Stanford University Press, 1957), h. 4. 18 Richard West dan Lynn H. Turner, Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Penerjemah Maria Natalia Damayanti (Jakarta: Salemba Humanika, 2008), h. 137. 28 suka yang memotivasi seseorang melakukan tindakan; (4) Disonansi akan mendorong usaha untuk memperoleh konsonansi dan usaha untuk mengurangi disonansi.19 Seseorang dapat melakukan minimal dua cara dalam usahanya mengurangi disonansi, yaitu menghindari ketidaknyaman dengan menyembunyikan identitas dan menyesuaikan diri dengan mayoritas atau menghindari ketidaknyamanan dengan menunjukkan identitas secara terang-terangan dan tidak memperdulikan ancama diskriminasi kaum mayoritas. Usaha tersebut lahir dari sebuah proses pemikiran kognitif membutuhkan sebuah seseorang. proses Dalam yang penentuan diawali keputusan, dengan menerima manusia pesan, memprosesnya, mengaitkannya dengan berbagai aspek dan berakhir dengan membuat sebuah keputusan. Lee Thayer memiliki pendapat yang sama mengenai proses komunikasi. Thayer menekankan komunikasi sebagai proses yang dinamis di mana individu menciptakan dan menginterpretasikan informasi yang dilihatnya sebagai suatu yang kompleks, dinamis dan pribadi. Thayer beranggapan bahwa kemampuan dan kerentanan kita mengarahkan cara kita memperoleh, memproses, menghasilkan, dan menyebarkan informasi. Dalam gagasannya, Thayer merangkum beberapa hal mengenai komunikasi diantaranya:20 a. Pesan yang diperoleh penerima tidak pernah identik (sama) dengan yang dikirimkan komunikator (sender). 19 Richard West dan Lynn H. Turner, Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi, h. 139. 20 Lee Thayer, Communication and Communication Systems in Organization, Management, adn Interpersonal Relations (Homewood, Illinois: Richard D. Irwin, INC, 1968), h. 45; cf. Brent D. Ruben dan Lea P. Stewart, Komunikasi dan Perilaku Manusia. Penerjemah Ibnu Hamad (Jakarta: Raja Grafindo, 2013), h. 51. 29 b. Penerima (receiver) mendapatkan sejumlah pesan dengan kemampuan memproses dan memahami dengan cara yang berbedabeda. c. Orang dapat berperan sebagai komunikator sekaligus komunikan dan pergantian dari satu ke lainnya tidak selalu jelas. d. Informasi yang diterima dapat berfungsi sebagai umpan balik (feedback). Thayer berpendapat bahwa pesan yang diterima terdiri dari beberapa faktor yang kemungkinan berisi informasi di luar konten yang terdapat di suatu pesan atau pertanyaan. Menurutnya, pesan yang diterima berisi elemen-elemen yang melebihi maksud awal yang disampaikan komunikator (sender). Dalam konteks ini, Thayer berpendapat bahwa komunikan berperan aktif dalam proses komunikasi terutama dalam menginterpretasikan pesan yang diterimanya.21 Ruben dan Steward mendefinisikan komunikasi manusia sebagai proses manusia berinteraski dalam hubungan, kelompok, organisasi, dan masyarakat untuk saling memberikan informasi dan berhubungan satu sama lain dan dengan lingkungan. Menurutnya, komunikasi dapat diartikan sebagai kegiatan debat, khotbah, peragaan seni peran, upaya seseorang menaklukkan ketakutannya, kode morse, marka jalan, dan lainnya.22 Shannon dan Weaver berpendapat bahwa komunikasi mencangkup semua prosedur dengan mana satu pikiran dapat 21 Lee Thayer, Communication and Communication Systems in Organization, Management, and Interpersonal Relations (Homewood, Illinois: Richard D. Irwin, INC, 1968), h. 40; cf. Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi Muslim Perceptions of a Global Development Program (Jakarta: INIS, 2004), h. 109. 22 Brent D. Ruben dan Lea P. Stewart, Komunikasi dan Perilaku Manusia, h. 19. 30 memengaruhi yang lain. Termasuk tulisan, pidato lisan, musik, seni gambar, cerita, dan semua hal yang meliputi perilaku manusia.23 West dan Turner mendefinisikan komunikasi sebagai proses sosial di mana individu-individu menginterpretasikan menggunakan makna simbol-simbol dalam lingkungan untuk menciptakan mereka.24 Frank dan Dance menggambarkan proses komunikasi dengan sebuah spiral dan meyakini bahwa pengalaman proses komunikasi bersifat kumulatif dan dipengaruhi oleh masa lalu. Ia menyatakan bahwa pengalaman di masa sekarang secara tidak terelakkan akan memengaruhi masa depan seseorang.25 John Searle mencoba merancang teori kemampuan berbicara untuk memahami bagaimana manusia menyempurnakan hal dengan kata-katanya. Menurutnya, berbicara sebuah bahasa adalah menyatu dengan sebuah bentuk aturan yang diatur oleh perilaku. Makna dari teori ini adalah kekuatan untuk memengaruhi. Searle menyebutkan tiga hal yang membuktikan bahwa berbicara dapat menyelesaikan beberapa hal, yaitu:26 1) Aksi Terungkap (Utterance Act) yaitu sebuah penyebutan kata dalam bentuk sederhana namun berisi pesan yang ingin disampaikan. 2) Aksi Usulan (Propositional Act) yaitu menegaskan sesuatu tentang dunia atau mengatakan sesuatu dengan tujuan meyakinkan orang lain 23 Claude E. Shannon dan Warren Weaver, The Mathematical Theory of Communication (Urbana: university of Illinois Press, 1949), h. 30; cf. Brent D. Ruben dan Lea P. Stewart, Komunikasi dan Perilaku Manusia. Penerjemah Ibnu Hamad (Jakarta: Raja Grafindo, 2013), h. 43. 24 Richard West and Lynn H. Turner, Introducing Communication Theory: Analysis And Application (New York: Mcgraw Hill, 2007), h. 5. 25 Frank E. X. Dance, “Toward a Theory of Human Communication,” dalam Richard West and Lynn H. Turner, ed., Introducing Communication Theory: Analysis And Application (New York: Mcgraw Hill, 2007), h. 7. 26 John Searle, Speech Acts: An Essay in The Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), h. 165. 31 agar mempercayainya. Proposisi juga dapat berbentuk pertanyaan, peringatan, dan pernyataan. 3) Aksi Berkehendak (Illocutionary Act) yaitu sebuah beberapa tindakan yang akan menjadi fokus utama pembicara (sender). Searle mengatakan bahwa terdapat beberapa jenis aksi berkehendak. Pertama, aksi penegasan yang mengikat pembicara untuk menunjukkan kebenaran dari sebuah pesan. Kedua, arahan (directives) yang berupaya agar pendengar (receiver) melakukan sesuatu dengan arahan yang diberikan. Ketiga, keterikatan (commussives) adalah mengikat pembicara pada tindakan selanjutnya seperti bersumpah, berjanji, ikrar, kontrak dan jaminan. Keempat, pernyataan (expressive) yaitu tindakan menyampaikan beberapa aspek psikologis dari kondisi pembicara seperti berterima kasih, permintaan maaf fan lainnya. Terakhir, deklarasi (declaration) dirancang untuk menciptakan sebuah proposisi, sangat menuntut, dan mengikat. 4) Aksi memengaruhi (perlocutionary act) yang dirancang untuk memengaruhi perilaku orang lain. Aksi ini berbentuk sebuah tindakan yang pembicara (sender) harapkan, bukan hanya sekedar pemahaman namun juga tindakan yang dilakukan penerima (receiver). Andi Faisal Bakti menciptakan teori resepsi aktif (Active-Reception Theory) untuk mendukung pernyataan dari Watzlawick, Beavin dan Jackson serta Thayer. Teori resepsi aktif digunakan untuk memahami proses terjadinya diterima, ditolak atau negosiasi yang dilakukan komunikan terhadap pesan yang diterimanya. Teori ini menempatkan komunikan sebagai orang yang menentukan efektif atau 32 tidaknya sebuah komunikasi. Menurut Bakti, makna diolah dan dikonstruksikan oleh komunikan sesuai dengan situasinya, perhatiannya, kebutuhannya, tujuannya, kedekatannya dan tingkat kepercayaannya kepada komunikator. Komunikan akan lebih mudah menerima dan menginterpretasikan pesan yang berhubungan dengan norma, budaya, dan kepentingannya atau identitas kelompoknya.27 Bakti menekankan bahwa komunikasi massa tidak selamanya memiliki kekuatan penuh, dan komunikan (receivers) tidak bersifat pasif melainkan aktif. Bakti menciptakan empat faktor dalam teori resepsi aktif, yaitu Coerseduction, Panacea, Bullet and Boomerang Effect, dan Negotiation.28 B. Coerseduction Istilah Coerseduction pertama kali diperkenalkan oleh Ravault yang menekankan peran komunikan (receiver) pada proses hubungan interpersonal. Coerseduction diartikan sebagai manipulasi yang meliputi pikiran, psikologis, emosi, dan lainnya.29Bakti mengartikan Coerseduction sebagai cara untuk memengaruhi seseorang secara langsung, baik dalam bentuk paksaan maupun bujukan.30 Dalam hal ini, komunikator bertujuan untuk mengubah persepsi komunikan dengan strategi bujukan dan paksaan baik dalam bentuk perkataan dan tindakan. Tindakan paksaan yang dipahami Mark Orbe adalah tindakan yang dapat dengan mudah dilakukan jika sender merupakan kaum mayoritas sedangkan 27 Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi Muslim Perceptions of a Global Development Program, h. 14. 28 Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi Muslim Perceptions of a Global Development Program, h. 109. 29 R. J. Ravault, “Resisting Media Imperialism by Coerseduction,” Intermedia, 13 no. 3, h. 3237; cf Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi Muslim Perceptions of a Global Development Program (Jakarta: INIS, 2004), h. 109. 30 Andi Faisal Bakti, ed., Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi Muslim Perceptions of a Global Development Program, h. 109. 33 receiver adalah kaum minoritas. Menurutnya, kaum minoritas dapat dengan mudah dipengaruhi, hal ini berkaitan dengan Asumsi dasar Orbe yaitu:31 1. Adanya hirarki yang mengistimewakan kaum dominan. 2. Anggota dominan memiliki kedudukan khusus. 3. Sistem komunikasi dominan bertujuan untuk menjaga agar budaya pendamping tetap berada di luar lingkungan komunikasi. 4. Budaya pendamping memiliki strategi sendiri dalam menghadapi kaum dominan. Roger menemukan teori motivasi proteksi yang terispritrasi dari ketakutan terdapat pesan persuasi. Teori ini memprediksikan dua kemungkinan yang terjadi dalam proses persuasi, yaitu:32 1. Kerasnya sebuah ancaman dalam proses persuasi. 2. Kerentanan seseorang dalam menghadapi ancaman. Secara singkat teori ini menjelaskan bahwa ancaman dalam sebuah pesan persuasi sangat memperngaruhi seseorang dalam pengubahan persepsi. Ramlan Surbakti mengartikan konsep Coerseduction sebagai salah satu bentuk dari kekuatan (power). Dalam gagasannya, Subakti membagi konsep kekuasaan dalam lima jenis, yaitu:33 Mark Orbe, “A Co-Cultural Communication Approach to Intergroup Relations,” dalam Stephen Littlejohn dan Karen A. Foss, ed., Teori Komunikasi. Penerjemah Muhammad Yusuf Hamdan (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), h. 265. 32 Roger R. W dan Prentice Dunn, “Protection Motivation Theory,” dalam Charles R. Berger dkk., ed., Handbook Teori Komunikasi. Penerjemah Derta Sri Widowatie (Bandung: Nusa Media, 2014), h. 303. 33 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992), h. 52. 31 34 1. Influence Kemampuan untuk memengaruhi receiver agar mengubah sikap dan perilakunya secara sukarela. 2. Persuasion Kemampuan meyakinkan receiver dengan argumentasi untuk melakukan sesuatu. 3. Manipulation Penggunaan pengaruh di mana orang yang dipengaruhi tidak menyadari bahwa ia telah mematuhi keinginan sender. 4. Coercion Peragaan ancaman paksaan yang dilakukan oleh sender terhadap receiver agar bersikap sesuai dengan kehendak yang diinginkan sender 5. Force Penggunaan tekanan secara fisik agar receivermelakukan apa yang diinginkan sender. Surbakti juga menyebutkan empat faktor yang dipertimbangkan sender dalam menggunakan konsep untuk memengaruhi receiver, yaitu:34 1. Kuatnya motivasi untuk mencapai tujuan tertentu. 2. Harapan akan keberhasilan dalam mencapai tujuan. 3. Persepsi mengenai resiko yang timbul. 4. Pengetahuan mengenai cara-cara mencapai tujuan. 34 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, h. 96. 35 Candia Elliot berpendapat bahwa komunikasi mengandalkan gaya komunikasi yang dihubungkan dengan nilai yang dianutnya. Nilai-nilai tersebut berbeda antara satu kelompok dengan kelompok lain yang kemungkinan dapat mendukung dan merusak pesan dari komunikasi tersebut. Gaya komunikasi yang dimaksud Elliot terbagi menjadi dua, yaitu:35 1. Dominan dan Otoriter Gaya komunikasi dominan dan otoriter dapat berbentuk paksaan, ancaman, tidak diberikannya receiver untuk menolak atau menegosiasikan pesan yang diterimanya. Dalam gaya komunikasi ini, sender memiliki kekuatan besar dalam memastikan receiver menerima pesan bahkan melakukan hal yang diperintahkan sender. 2. Bersahabat dan Demokratis Gaya komunikasi bersahabat dan demokratis yang dimaksud adalah gaya komunikasi yang mengedepankan aspek saling menghormati dan berfikir secara terbuka. Dalam gaya komunikasi ini, sender memberikan ruang bagi receiver untuk menginterpretasikan pesan serta menunjukkan penerimaan atau penolakannya terhadap pesan yang disampaikan sender. Elliot mengatakan bahwa gaya komunikasi ini lebih mengedepankan kekuatan argumen yang dapat meyakinkan receiver untuk melakukan apa yang diinginkan sender tanpa adanya paksaan dan ancaman. Candia Elliot, “Normative Communication Styles And Values For Cross Cultural Collaboration,” dalam Alo Liliweri, ed., Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 17-18. 35 36 Myers mengatakan prasangka sebagai sifat negatif seseorang atau kelompok terhadap kelompok lain yang disebabkan adanya perbedaan.36 Feldman menambahkan definisi prasangka sosial sebagai tanggapan negatif atau sikap mengadili seseorang karena keanggotaannya dalam suatu kelompok.37 Secara lengkap Sears dan koleganya mendefinisikan prasangka sebagai penilaian terhadap suatu kelompok atau individu berdasarkan keanggotannya. Penilaian tersebut hanya berdasarkan pada faktor rasial dan mengabaikan faktor pribadi individu tersebut.38 Gerungan juga menganggap prasangka sosial sebagai sikap orang-orang terhadap suatu golongan atau kelompok yang berlainan dengannya, baik dalam golongan ras, agama, budaya maupun hal lainnya.39 Baron dan Byrne menguraikan proses prasangka dalam interaksi sosial antar kelompok masyarakat, antara lain:40 1. Menerima pendapat atau informasi tanpa mempertimbangkan kebenaran fakta, dan hanya bergantung pada isu yang berkembang. 2. Tindakan atau perilaku yang sangat diyakini sebuah pendapat tentang suatu kelompok, padahal pendapatnya tersebut tidak rasional dan tidak memiliki buktu apapun. 3. Kebencian, ketidakakraban dan ketidaksukaan terhadap suatu kelompok, ras, golongan, agama tau masyarakat tertentu dengan alasan yang tidak jelas. 36 Myers, D. G, Social Psychology (New York: McGraw-Hill, 1996), h. 54. Feldman, R. S, Social Psychology (New Jersey: Prentice Hall, 1998), h. 67. 38 David, O. Sears, dkk., Psikologi Sosial. Penerjemah Michael Adryanto (Jakarta: Erlangga, 1994), h. 158. 39 Gerungan, W. A, Psikologi Sosial (Bandung: Refika Aditama, 2002), h. 166. 40 Baron, R. A dan Byrne, D, Psikologi Sosial (Jakarta: Erlangga, 2002), h. 115. 37 37 Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi timbulnya prasangka, seperti aspek kepribadian, aspek frustasi dan scape goating, aspek konflik, aspek kecemburuan sosial, aspek norma atau budaya, dan aspek penilaian yang digagas oleh beberapa ahli psikologi. Adapun penjelasannya adalah: 1. Aspek kepribadian yaitu seseorang dengan kepribadian otoriter dan dogmatisme dengan ciri-cirinya antara lain berprasangka, bersikap kaku, konvensional dan tidak memiliki toleransi (dogmatisme), loyalitas tinggi terhadap kelompoknya dan mendukung figur otoritas serta melakukan tindakan agresif.41 2. Aspek frustasi dan scape goating yaitu prasangka yang muncul karena rasa frustasi sehingga membutuhkan pelampiasan sebagai objek atau ketidakmampuannya menghadapi kegagalan. Biasanya objek pelampiasan adalah objek yang lemah atau yang tidak mampu memberikan perlawanan.42 3. Aspek konflik timbul karena adanya kompetisi yang menunjukkan adanya persaingan antara massing-masing individu maupun kelompok sebagai pemuas kebutuhan. Persaingan tidak sehat yang terjadi terus menerus akan menyebabkan ketegangan di kedua belah pihak sehingga timbul prasangka sosial yang berakibat perlakuan agresif.43 4. Aspek kecemburuan sosial ditimbulkan oleh adanya anggapan bahwa salah satu kelompok memiliki status yang lebih tinggi dibandingkan kelompok lain, sehingga timbul diskriminatif. Biasanya, kecemburuan 41 Larry, A. Samovar, dkk., Komunikasi Lintas Budaya. Penerjemah Indri Margaretha Sidabalok (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), h. 280. 42 Brigham, J. C, Social Psychology (New York: Harpercollins Publisher, 1991), h. 136. 43 Baron, R. A dan Byrne, D, Psikologi Sosial, h. 120. 38 sosial yang muncul adalah akibat dari perbedaan tingkat sosial ekonomi dalam kehidupan masyarakat.44 5. Aspek norma atau budaya yaitu prasangka yang timbul karena norma atau budaya yang mengajarkan anggotanya untuk berprasangka kepada orang atau kelompok lain. Prasangka ini dapat disebut pula sebagai stereotipe atau prasangka terhadap etnis lain.45 6. Aspek penilaian yang terlalu ekstrim dan terlalu menggenaralisasi yaitu prasangka yang terjadi akibat penilaian individu yang terlalu ekstrim dengan menyamaratakan suatu pengalaman yang menyakitkan atau kesan buruk terhadap seseorang dari etnis atau kelompok tertentu kepada seluruh anggota dari kelompok tersebut.46 C. Panacea Panacea adalah istilah yang dibuat Bakti dari nama dewi penyembuh Yunani. Panacea adalah ramuan atau obat yang mampu mengobati segala jenis penyakit dan dipercaya dapat memanjangkan umur. Bakti menggunakan istilah Panaceadengan filosofi bahwa kebanyakan orang mengibaratkan komunikasi seperti Penecea yang dapat menyelesaikan berbagai permasalahan.47 Dalam hal ini, Bakti ingin mematahkan pendapat bahwa komunikasi diibaratkan sebuah Panacea yang dapat menyelesaikan berbagai permasalahan.Menurutnya, komunikasi tidak selamanya dapat menyelesaikan permasalahan. Bakti juga mengatakan bahwa tidak efektifnya proses komunikasi 44 Ahmadi, A dan Supriono, W, Psikologi Belajar (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 76. Watson, D. L, dkk., Social Psychology, Science, and Application (Illinois: Scott, 1984), 45 h. 134. 46 Brigham, J. C, Social Psychology, h. 140. Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi Muslim Perceptions of a Global Development Program, h. 111. 47 39 bukan akibat dari adanya kesalahpahaman dalam berkomunikasi (misscommunication) tapi karena ada faktor lain yang memengaruhi anggota komunikasi dalam menerima dan memproses pesan. Konsep Panacea yang digagas Bakti ditunjukkan untuk menguji apakah komunikasi berperan sebagai Penecea atau terdapat faktor lain seperti racun atau opium (candu) yang mengalahkan peran komunikasi.48 Model respon kognitif milik Greenwald menegaskan bahwa perubahan sikap adalah fungsi berfikir. Inti dari model ini adalah bahwa persuasi hanya akan terjadi selama sebuah pesan mencetuskan pemikiran yang sesuai dengan dorongan utama daya tariknya. Dengan sendirinya, wawasan ini memunculkan pertanyaan seputar sesuatu yang dianggap sebagai respons kognitif dominan.49 Singkatnya, model respons kognitif adalah respons aktif berdasarkan pada aspek kognitif seseorang dalam menilai dan menginterpretasikan sesuatu yang sudah tertanam kuat dalam masyarakat. Model ini juga meyakini bahwa seseorang hanya akan menerima sebuah pesan persuasi yang sesuai dengan interpretasi dan pemikiran kognitifnya. Oleh sebab itu, peneliti akan mengklasifikasikan beberapa teori yang menganggap komunikasi sebagai obat manjur untuk menyelesaikan berbagai permasalahan dan teori yang menyebutkan faktor lain yang dianggap lebih manjur dalam menyelesaikan permasalahan dibandingkan komunikasi. 48 Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi Muslim Perceptions of a Global Development Program, h. 111. 49 Greenwald A. G, “Cognitive Learning, Cognitve Response to Persuation and Attitude Change,” dalam Charles R. Berger, dkk., ed., Handbook Ilmu Komunikasi. Penerjemah Derta Sri Widowatie (Bandung: Nusa Media, 2014), h. 293. 40 a. Komunikasi sebagai Penecea John Searle adalah salah satu ahli yang mempercayai komunikasi sebagai obat manjur dalam menyelesaikan berbagai masalah. Teori kemampuan berkomunikasi yang digagasnya menjelaskan bagaimana manusia menyempurnakan hal dengan kata-katanya. Makna dari teori ini adalah kekuatan komunikasi untuk memengaruhi. Searle menyebutkan tiga hal yang membuktikan bahwa komunikasi dapat menyelesaikan beberapa hal, yaitu:50 1) Aksi Terungkap (Utterance Act) yaitu sebuah penyebutan kata dalam bentuk sederhana namun berisi pesan yang ingin disampaikan. 2) Aksi Usulan (Propositional Act) yaitu menegaskan sesuatu tentang dunia atau mengatakan sesuatu dengan tujuan meyakinkan orang lain agar mempercayainya. Proposisi juga dapat berbentuk pertanyaan, peringatan, dan pernyataan. 3) Aksi Berkehendak (Illocutionary Act) yaitu sebuah beberapa tindakan yang akan menjadi fokus utama pembicara (sender). Searle mengatakan bahwa terdapat beberapa jenis aksi berkehendak. Pertama, aksi penegasan yang mengikat pembicara untuk menunjukkan kebenaran dari sebuah pesan. Kedua, arahan (directives) yang berupaya agar pendengar (receiver) melakukan sesuatu dengan arahan yang diberikan. Ketiga, keterikatan (commussives) adalah mengikat pembicara pada tindakan selanjutnya seperti bersumpah, berjanji, ikrar, kontrak dan jaminan. Keempat, pernyataan (expressive) yaitu tindakan menyampaikan beberapa aspek psikologis dari kondisi pembicara seperti berterima kasih, permintaan maaf fan lainnya. 50 John Searle, Speech Acts: An Essay in The Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), h. 165. 41 Terakhir, deklarasi (declaration) dirancang untuk menciptakan sebuah proposisi, sangat menuntut, dan mengikat. 4) Aksi memengaruhi (perlocutionary act) yang dirancang untuk memengaruhi perilaku orang lain. Aksi ini berbentuk sebuah tindakan yang pembicara (sender) harapkan, bukan hanya sekedar pemahaman namun juga tindakan yang dilakukan penerima (receiver). Shannon dan Weaver juga berpendapat bahwa komunikasi mencangkup semua prosedur dengan mana satu pikiran dapat memengaruhi yang lain. Termasuk tulisan, pidato lisan, musik, seni gambar, cerita, dan semua hal yang meliputi perilaku manusia.51 Hal ini didukung West dan Turner yang mendefinisikan komunikasi sebagai proses sosial di mana individu simbol untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna dalam lingkungan mereka.52 Benjamin Lee Whorf berpendapat bahwa susunan bahasa sebuah budaya adalah faktor penentu perilaku dan identitas seseorang. Menurutnya, proses pemikiran manusia dan cara manusia memandang dunia dibentuk oleh susunan tata bahasa yang tertanam dalam diri.53 Sependapat dengan Whoft, Basil Bernstein juga berpendapat bahwa kelompok sosial memiliki andil besar dalam memengaruhi tindak tutur yang 51 Claude E. Shannon dan Warren Weaver, “The Mathematical Theory of Communication,” dalam Brent D. Ruben dan Lea P. Stewart, ed., Komunikasi dan Perilaku Manusia. Penerjemah Ibnu Hamad (Jakarta: Raja Grafindo, 2013), h. 43. 52 Richard West and Lynn H. Turner, ed., Introducing Communication Theory: Analysis And Application (New York: Mcgraw Hill, 2007), h. 5. 53 Benjamin L. Whorf, “Language, Thought, and Reality,” dalam Stephen Littlejohn dan Karen A. Foss, ed., Teori Komunikasi. Penerjemah Muhammad Yusuf Hamdan (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), h. 449. 42 digunakan seseorang. Dengan kata lain, seseorang mempelajari lingkungan sekitarnya dengan bantuan kode-kode bahasa yang mereka gunakan.54 Langer berpendapat bahwa orang lain dengan budaya yang berbeda memiliki kemungkinan tidak menyetujui perspektif budaya lain. Ketika berusaha menyampaikan pesan, seseorang akan memilih untuk menggunakan bahasa kedua atau bahasa internasional yang dapat dimengerti oleh seluruh budaya dibandingkan bahasa aslinya. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kesalahpahaman dan memudahkan penyampaian pesan.55 LaRossa dan Reitzes mengembangkan asumsi bahwa individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain. Asumsi ini menyatakan bahwa manusia tidak lahir dengan konsep diri, melainkan belajar tentang diri mereka melalui interaksi. Interaksi Simbolik menyatakan bahwa proses pembelajaran ini terus berlanjut melalui proses anak mempelajari bahasa dan kemampuan untuk memberikan respon kepada orang lain serta menginternalisasi umpan balik yang diterimanya.56 Teori dan pernyataan para ahli tersebut meyakini bahwa komunikasi adalah satu-satunya cara untuk mengatasi masalah sosial manusia, baik melalui komunikasi dalam bentuk verbal atau non-verbal. Basil Bernstein, “Class, Codes and Control: The Theoretical Studies Toward a Sociology of Language,”dalamStephen Littlejohn dan Karen A. Foss, ed., Teori Komunikasi. Penerjemah Muhammad Yusuf Hamdan (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), h. 451. 55 E. Langer, “Mindfulness,” dalam Larry A. Samovar, dkk., ed., Communication Between Cultures (USA: Wadsworth Cangage Learning, 2009), h. 281. 56 R. LaRossa dan D. Reitzes, “Symbolic Interactionism and Family Studies,” dalam Richard West And Lynn H. Turner, ed., Introducing Communication Theory: Analysis And Application (New York: McGraw Hill, 2007), h. 103. 54 43 b. Penecea Lain Selain Komunikasi John Locke menganggap bahwa pengalaman adalah satu-satunya jalan meraih pengetahuan. Locke mengibaratkan manusia sebagai tabula rasa atau kertas putih. Secara psikologis, seluruh prilaku manusia, kepribadian, dan tempramental ditentukan oleh pengalaman inderawi (sensory experience). Pengalaman tersebut dipisahkan menjadi dua elemen, yaitu pengalaman lahiriah (eksternal sensation) dan pengalaman batiniah (internal sense).57 Walter Fisher berkeyakinan bahwa manusia adalah seorang pencerita dan bahwa pertimbangan akan nilai, emosi, dan estetika dipengaruhi oleh keyakinan seseorang terhadap cerita yang diyakininya. Fisher merumuskan pemikirannya dalam teori paradigma naratif (Narrative Paradigm). Dalam teorinya, Fisher beranggapan bahwa manusia lebih mudah terbujuk oleh sebuah cerita yang menarik dibandingkan sebuah argumen.58 Sedangkan Rowland yang meyakini bahwa ada peran kelompok elit dalam pengontrolan dan pengubahan pendapat masyarakat.59 Robert W. Crapps, agama adalah faktor yang dapat menjadi penawar dari segala masalah.60 Sama halnya dengan Nicholas Berdyaev yang berpendapat bahwa agama merupakan usaha untuk mengatasi keheningan dan melepaskan ego dari segala keterbatasan akal manusia.61 Jadi kedua teolog ini berpendapat bahwa John Locke, “An Essay Concerning Human Understanding,” dalam Jalaludin Rakhmat, ed., Psikologi Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), h. 21. 58 Walter Fisher, “Human Communication as Naration: Toward a Philosophy of Reason, Value, and Action,” dalam Richard West and Lynn H. Turner, ed.,Introducing Communication Theory: Analysis And Application (New York: Mcgraw Hill, 2007), h. 44. 59 Robert Rowland, “Narrative: Mode of Discourse or Paradigm?,”dalam Richard West and Lynn H. Turner, ed.,Introducing Communication Theory: Analysis And Application (New York: Mcgraw Hill, 2007), h. 55. 60 Robert W. Crapps, An Introduction to Psychology of Religion (Georgia: Mercer University Press, 1986), h. 19. 61 Nicholas Berdyaev, Solitude And Society (London: Centena, 1938), h. 68. 57 44 agama adalah obat penawar untuk penyelesaian masalah selain dengan jalur komunikasi. Ruben dan Steward mengatakan bahwa dalam organisasi yang lebih besar seperti masyarakat dan komunitas dunia, komunikasi menyediakan sarana pencipta hubungan yang memungkinkan untuk melakukan aksi bersama, pembentukan identitas bersama, dan pengembangan diri individu.62 Selain itu organisasi adalah wadah untuk menghubungkan diri seseorang dengan lingkungan dan orang-orang sekitarnya.63 Menurut Liliweri, perbedaan kebudayaan antara komunikator dan komunikan dalam komunikasi antarbudaya dijadikan sebagai hambatan karena perbedaan pandangan, pola pikir, struktur budaya dan iklim budaya. 64Hal ini terjadi karena setiap manusia sejak lahir akan ditanamkan identitas-identitas dalam dirinya, seperti identitas budaya, ras, etnis dan agama. Identitas tersebut akan tertanam kuat dalam diri manusia dan dijadikan pedoman dalam kehidupan sosialnya. Michael Hecht mengatakan bahwa identitas adalah penghubung utama antara individu dan masyarakat, sedangkan komunikasi adalah mata rantai yang memperbolehkan hal itu terjadi.65 Jadi dapat dipahami bahwa identitas adalah hal yang mencerminkan diri seseorang dalam masyarakat maupun dalam sebuah proses komunikasi. Peran identitas dalam sebuah proses komunikasi juga dapat berpengaruh pada keefektifan komunikasi. 62 Brent D. Ruben dan Lea P. Stewart, Komunikasi dan Perilaku Manusia, h. 17. Brent D. Ruben dan Lea P. Stewart, Komunikasi dan Perilaku Manusia, h. 19. 64 Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 10. 65 Michael L. Hecht, “The Communication Theory of Identity: Development, Theoritical Perspective, and Future Directions,” dalam Stephen Littlejohn dan Karen A. Foss, ed., Teori Komunikasi. Penerjemah Muhammad Yusuf Hamdan (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), h. 131. 63 45 Menurut Ting-Toomey, komunikasi yang dilakukan oleh kelompok dengan identitas yang sama akan mengalami kelebihan dalam persamaan pendapat, keterikatan, kedekatan, dan kejelasan. Sedangkan komunikasi dengan kelompok identitas yang berbeda akan lebih mengalami perbedaan, ketidakjelasan dan kerentanan dalam komunikasinya.66 Ting-Toomey menganggap identitas sebagai gambaran diri yang merefleksikan asal keluarga, gender, budaya, etnis, agama dan proses sosialisasi individu. Identitas pada dasarnya merujuk pada pandangan tentang diri sendiri ataupun pandangan orang lain mengenai diri kita.67 Keluarga juga diidentifikasikan sebagai sarana awal dalam pembentukan identitas seseorang. Hal ini disebabkan peran keluarga sebagai sumber ajaran budaya dan agama pertama yang diterima manusia sejak dia lahir. Penanaman identitas diri saat balita merupakan saat-saat terbaik, hal ini disebabkan pada masa itu manusia lebih mudah menyerap informasi yang dilihatnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Penanaman identitas secara terus-menerus akan membentuk identitas yang tertanam kuat dan sulit diubah atau dihilangkan, sedangkan penanaman yang kurang intens akan membentuk identitas yang lemah dan mudah berubah atau hilang. DeGenova dan Rice mengatakan bahwa keluarga adalah transmitor utama pengetahuan, nilai, perilaku, dan kebiasaan dari genera si ke generasi. Keluarga membentuk kepribadian seorang anak dan menanamkan pola pikir yang 66 Stella Ting-Toomey, “Identity Negotiation Theory: Crossing Cultural Boundaries,” dalam Stephen Littlejohn dan Karen A. Foss, ed., Teori Komunikasi. Penerjemah Muhammad Yusuf Hamdan (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), h. 133. 67 S. Ting-Toomey, “Identity Negotiation Theory: Crossing Cultural Boundaries,” dalam Larry A. Samovar, dkk., ed., Communication Between Cultures (USA: Wadsworth Cangage Learning, 2009), h.154. 46 berdasarkan budaya serta agama yang mereka yakini, sehingga menjadikannya sebuah identitas dan kebiasaan.68 Teori-teori tersebut adalah teori yang lahir untuk menyanggah pernyataan bahwa komunikasi diibaratkan sebagai sebuah obat manjur (Penecea) yang dapat menyelesaikan permasalahan sosial manusia. Teori-teori penyanggah tersebut meyakini bahwa ada faktor lain yang selain komunikasi, yang dapat berperan sebagai penyembuh masalah-masalah sosial seperti pengalaman pribadi, sejarah atau nilai yang diyakini, agama, dan identitas yang tertanam dalam diri seseorang. Selain itu, dapat disimpulkan bahwa teori dan pendapat para ahli di atas menyanggah adanya misscommunication dan ketidakefektifan komunikasi. Karena menurut mereka, komunikasi yang tidak efektif bukan dikarenakan adanya misscommunication, tapi karena ada faktor lain yang menghambat sampainya pesan dan informasi dalam sebuah komunikasi baik personal maupun kelompok. D. Bullet and Boomerang Effect Teori peluru dan bumerang yang digagas Bakti adalah pandangan menyetujui bahwa bagaimanapun setiap pertemuan terdapat minimal tiga hal yang dapat dipahami dari apa yang dikirim, yaitu apa yang dipikirkan komunikator tentang yang dikatakannya, apa yang komunikan pikirkan tentang yang dikatakan komunikator, dan apa yang dikatakan atau diinterpretasikan oleh komunikan. Menurutnya, terdapat dua kemungkinan tindakan yang dilakukan receiver sebagai efek dari pesan yang dikirimkan sender, yaitu:69 68 M.K DeGenova dan F.P Rice, “Why Examine Family Backgroud?,” dalam Larry A. Samovar, dkk., ed.,Communication Between Cultures (USA: Wadsworth Cangage Learning, 2009), h. 54. 69 Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi Muslim Perceptions of a Global Development Program, h. 113. 47 a. Peluru (Bullet) Peluru diartikan sebagai tindakan receiver yang sesuai dengan tujuan sender. Efek peluru ini serupa dengan jarum hipodermik (hipodermic needle) milik Lasswell yang menganggap media massa memiliki kekuatan penuh dalam memengaruhi khalayak. Lasswell menggambarkan media sebagai jarum hipodermik yang menyuntikkan pesan kepada khalayak dan meyakini bahwa khalayak akan menyerap apapun yang disuntikkan oleh media.70 Noelle-Neumann membuat teori efek komulatif (commulative effect) yang berasumsi bahwa tidak ada yang bisa menghindari media, karena sudah menyebar kemanapun. Teori ini juga menyatakan bahwa media dapat mengurangi keragaman pertimbangan publik terhadap suatu isu.71 Dalam hal ini, Neumann mengaitkan pada klasifikasi kelompok mayoritas dan minoritas di mana seorang dari kelompok mayoritas akan dengan lantang mengungkapkan pendapatnya sedangkan kelompok minoritas akan memandam pendapat mereka bahkan tidak mengungkapkan pendapat tersebut sama sekali. Dalam sudut pandang ini, Neumann menamakannya sebagai teori spiral keheningan (Spiral of Silence).72 b. Bumerang (Boomerang) Bumerang adalah kebalikan dari apa yang menjadi tujuan sender. Efek bumerang berasumsi bahwa receiver adalah individu yang aktif dalam menginterpretasikan makna, dan memiliki pertimbangan rumit dalam menentukan tindakan atau timbal balik (feedback). Harold D. Lasswell, “The Structure and Function of Communication in Society,” h. 43. Elizabeth Noelle-Neumann, “The Effect of Media on Media Effect Research,” Journal of Communication, 1983, h. 157. 72 Noelle-Neumann. E, “The Theory Of Public Opinion: The Concept Of The Spiral Of Silence,” dalam Richard West and Lynn H. Turner, ed., Introducing Communication Theory: Analysis And Application (New York: McGraw Hill, 2007), h. 121. 70 71 48 Ruben dan Stewart juga beranggapan bahwa komunikan (receiver) memainkan peran dalam menjelaskan dampak dari komunikasi massa. Mereka menekankan pentingnya peran perorangan dalam hal kebutuhan dan penggunaan, sikap, dan keyakinan dalam penerimaan pesan. Mereka mengingatkan bahwa komunikan (receiver) memainkan peran aktif dalam proses komunikasi dan dalam menentukan dampaknya.73 Stanley Fish dalam teori respons pembaca (Reader-Response Theory) juga memiliki kesamaan. Menurutnya, pembaca merupakan anggota dari komunitas interpretatif atau kelompok yang saling berinteraksi, membentuk realitas dan pemaknaan umum.74 Jika ditinjau dalam bidang komunikasi, pendapat Fish dapat diartikan bahwa komunikan (receiver) memiliki kemampuan untuk menginterpretasikan informasi dan pesan yang diterimanya dan dapat membentuk pemaknaan sendiri sesuai pemahaman mereka. Stephen Littlejohn menganggap bahwa terdapat beberapa faktor yang memungkin seseorang dalam membuat penilaian mengenai apa yang terjadi, dan selanjutnya memutuskan bagaimana bertindak dalam situasi tersebut. Faktorfaktor tersebut dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:75 (1) Mengidentifikasi sebuah situasi, atau kejadian. (2) Menyertakan seperangkat norma atau nilai. (3) Menegaskan sebuah hubungan antara susunan tindakan dan akibat yang mungkin terjadi. 73 Brent D. Ruben dan Lea P. Stewart, Komunikasi dan Perilaku Manusia, h. 411. Stanley Fish, “Is There a Text in This Class?,” dalam Stephen Littlejohn dan Karen A. Foss, ed., Teori Komunikasi. Penerjemah Muhammad Yusuf Hamdan (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), h. 196. 75 Stephen Littlejohn dan Karen A. Foss,Teori Komunikasi. Penerjemah Muhammad Yusuf Hamdan (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), h. 30. 74 49 Jika kembali pada pandangan tentang kaum mayoritas dan minoritas,tindakan afirmatif (Affirmative Action) adalah tanggapan dari tindak diskriminasi yang banyak terjadi di berbagai negara. Tindakan afirmatif diibaratkan sebagai pengambilan sisi positif dari tindak diskriminasi dan menjadikannya dorongan dan motivasi untuk bangkit. Teori ini berisi upaya untuk membuat kaum minoritas dapat bangkit dan bertahan di tengah tekanan kaum mayoritas.76 Karena banyaknya kritikan tentang teori spiral keheningan, Neumann mendefinisikan kelompok Hard Core yang terbentuk karena adanya motivasi dan dorongan dari dalam diri dan lingkungannya sehingga mereka akan memberanikan diri untuk bangkit. Hard Core adalah kelompok yang tetap mempertahankan prinsip mereka tanpa memperdulikan ancaman isolasi dari kaum mayoritas. Kelompok ini membuktikan bahwa minoritas yang aktif, akan lebih mudah memengaruhi sekitarnya dibandingkan mayoritas yang pasif.77 Reaktansi psikologis gagasan Brehm dan Brehm juga menerangkan bahwa motivasi terjadi ketika suatu kebebasan seseorang terancam menghilang. Teori ini berpendapat bahwa ketika kebebasan terancam, individu akan termotivasi untuk menegakkan kembali kebebasan tersebut. Pemulihan kebebasan yang digagas Brehm dan Brehm memiliki beberapa cara, yaitu:78 1. Mengarahkan kecenderungan ke arah pilihan yang terancam. 2. Melecehkan sumber ancaman. 3. Menyangkal keberadaan ancaman. 76 Rachel Kranz, Affirmative Action (New York: Facts on File, 2002), h. 4. Noelle-Neumann. E, The Spiral of Silence: Public Opinion Our Social Skin, h. 170. 78 Brehm S. S dan Brehm J. W, Psychological Rectance: a Theory of Freedom and Control (New York: Academic Press, 1981), h. 37. 77 50 4. Melaksanakan kebebasan lain untuk memperoleh perasaaan mampu mengontrol dan memilih dengan bebas. Bumerang efek juga dapat diartikan sebagai hasil dari komunikasi yang bersebrangan dengan tujuan komunikator. Pada saat komunikator menyampaikan suatu pesan, secara dinamis komunikan akan mendeteksi identitas komunikator terlebih dahulu. Pendeteksian tersebut dapat berdasarkan banyak faktor seperti status sosial, kedekatan hubungan, kredibilitas, asal asul keluarga, ras, etnis, agama hingga hal-hal kecil seperti penampilan komunikator. Jika komunikator tidak lolos tahap pendekteksian dan tidak sesuai standar dari komunikan, maka harapan dan tujuan komunikator untuk mengubah persepsi komunikan tidak akan tercapai bahkan justru akan berbalik kepada komunikator itu sendiri. E. Negotiation Negosiasi adalah proses tarik ulur informasi yang diterima oleh receiver. Dalam negosiasi, seorang receiver mengaitkan informasi yang didengarnya dengan informasi yang sudah berada dalam pemikirannya lalu menyeleksinya dan menentukan apakah pesan terebut akan diterima atau ditolak. Ruben dan Steward menggambarkan proses negosiasi sebagai proses mengaitkan pesan yang diterima dengan pengalaman dana kebutuhan pribadi. Mereka juga mengatakan bahwa dalam proses percakapan terdapat proses yang bertujuan untuk menegosiasikan makna, yaitu membuat dan mengeksternalisasi makna, menafsirkan dan menginternalisasi makna, menemukan perbedaan atau kesamaan makna antara mereka, dan menegosiasikan makna secara mutualistis yang sesuai dengan tujuan yang diinginkan.79 79 Brent D. Ruben dan Lea P. Stewart, Komunikasi dan Perilaku Manusia, h. 153. 51 Mead berpendapat bahwa makna dapat tercipta hanya ketika orang-orang memiliki interpretasi yang sama mengenai simbol yang mereka pertukarkandalam sebuah interaksi.80 Hall mengidentifikasikan tiga hipotesis mengenai proses dekoding (Decoding Positions), yaitu:81 1. Kode dominan (the dominant code) di saat respon dari komunikan (recipient) terhadap pesan yang diberikan sama dengan maksud dan tujuan dari komunikator (sender). 2. Kode negosiasi (the negot iated code) di saat komunikan menggabungkan elemen yang berlawanan dan mengadaptasikannya dengan tujuan untuk mencocokannya dengan lingkungannya, posisinya dan situasinya. 3. Kode yang berlawanan (the oppositional code) di saat pesan yang diterima oleh komunikan menggunakan kode, pembingkaian, dan referensi yang berbeda. Muzafer Sherif dan Hovland mencoba untuk menilai bagaimana seseorang menilai pesan dari orang lain dan bagaimana penilaian ini berpengaruh pada keyakinan seseorang tersebut. Dalam penelitiannya Sherif merumuskan teori penilaian sosial (Social Judgment) yang berfokus pada cara seseorang membuat sebuah penilaian mengenai pesan yang diterimanya.82 80 Mead. G.H, “Mind, Self and Society: from The Standpoint of a Social Behaviorist,” dalam Richard West dan Lynn H. Turner, ed., Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Penerjemah Maria Natalia Damayanti (Jakarta: Salemba Humanika, 2008), h. 100. 81 Hall. S, “Encoding and Decoding in Television Discourse,” dalam Stuart Hall, ed., Culture, Media and Language (London: Hutchinson, 1981), h. 128. 82 Sherif Muzafer dan Carl I. Hovland, “Social Judgment”, dalam Stephen Littlejohn dan Karen A. Foss, ed., Teori Komunikasi. Penerjemah Muhammad Yusuf Hamdan (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), h. 105. 52 Pada sebuah ekperimen penilaian sosial, seseorang diberikan sejumlah pernyataan tentang suatu isu, kemudian diminta untuk mengurutkannya ke dalam beberapa kelompok sesuai kesamaan isi pernyataan menggunakan proses yang dinamakan Q-sort. Orang tersebut diberikan kebebasan untuk mengurutkan pernyataan tersebut sesuai kesukaannya, kemudian meletakkan susunan tersebut dari yang dianggap positif hingga negatif, lalu diminta untuk menyatakan kelompok pernyataan mana yang disetujuinya, yang tidak disetujuinya dan diabaikannya. Hasil dari ekperimen tersebut menunjukkan bahwa terdapat tiga jenis penilaian, yaitu:83 1. Latitude of Acceptance Pernyataan yang dapat membuat seseorang menyetujui dan menerima pernyataan tersebut. 2. Latitude of Rejection Pernyataan yang memiliki kemungkinan besar ditolak. 3. Latitude of Noncommitment Pernyataan yang kemungkinan tidak dianggap menarik dan cenderung diabaikan. Bazerman, Curhan, Moore dan Valley adalah para ahli psikologi yang menggunakan pemahaman psikologis dalam memperlajari aspek negosiasi dalam komunikasi. Menurut mereka, terdapat empat pengaruhi terhadap proses negosiasi, yaitu:84 83 Sherif Muzafer dan Carl I. Hovland, Social Judgment, h. 106. Bazerman. dkk., “Negotiation : Annual Review of Psychology,” dalam Charles R. Berger, dkk., ed., Handbook Ilmu Komunikasi. Penerjemah Derta Sri Widowatie (Bandung: Nusa Media, 2014), h. 447. 84 53 1. Perbedaan individu Perbedaan individu menerangkan tentang sifat-sifat bawaan, gender, dan pandangan pribadi seseorang. Dalam hal ini, proses negosiasi dipengaruhi oleh aspek tersebut yang akhirnya akan memiliki hasil interpretasi yang berbeda. 2. Kognisi Pendekatan kognitif berhubungan dengan cara berfikir individu. Biasanya pelaku negosiasi hanya mampu bersikap kuasi-rasional dan pengambilan keputusan yang dilakukan sering kali tidak beraturan. Pendekatan ini memberikan wawasan berguna tentang prilaku negosiasi dan hasilnya walaupun bukan merupakan teori terpadu. 3. Motivasi Pendekatan motivasi terfokus pada motif yang mendominasi prilaku pelaku negosiasi. Ada dua umum yang memperngaruhi prilaku dan hasil negosiasi. Pertama, motivasi sosial yang merupakan hasrat untuk melihat hasil negosiasi yang tersebar dengan cara tertentu. Kedua, motivasi epistemis yang mencerminkan keinginan untuk memiliki pandangan yang akurat terhadap suatu peristiwa. Sherif mengatakan bahwa diterima atau ditolaknya suatu pesan dipengaruhi oleh keterlibatan ego (Ego Involvement). Keterlibatan ego adalah pemahaman seseorang tentang hubungan pribadi seseorang dengan sebuah masalah atau isi pesan. Sherif juga menganggap bahwa seseorang menilai hal yang menyenangkan 54 dari sebuah pesan berdasarkan keyakinan dan keterlibatan ego dan dua faktor lain yang memengaruhi diterima atau ditolaknya sebuah pesan, yaitu:85 1. Keterlibatan Ego (Ego involvement) Pemahaman tentang hubungan pribadi seseorang dengan sebuah masalah. Semakin besar keterlibatan ego dalam sebuah pesan, kemungkinan penolakan akan semakin besar, kemungkinan keterlibatan semakin kecil dan perubahan sikap akan lebih sedikit. Hal ini terjadi karena orang yang terlibat dengan ego akan lebih sulit dibujuk dan cenderung menolak pesan. Keterlibatan Ego adalah inti dari teori penilaian sosial (Social Judgment). 2. Efek Kontras (Contrast Effect) Terjadi ketika seseorang menilai sebuah pesan lebih jauh dari sudut pandangnya daripada yang seharusnya. Maksudnya, ketika seseorang tidak terlalu menyukai Manchester United maka dia tidak akan terpengaruh dengan kekalahan atau kemenangan dari tim setan merah tersebut, dan pesan yang diterimanya akan terasa biasa saja bahkan terkesan tidak penting. 3. Efek Asimilasi (Assimilation Effect) Terjadi ketika seseorang menilai sebuah pesan relatif dekat dengan sudut pandangnya daripada seharusnya. Maksudnya, ketika seseorang menyukai segala hal yang berhubungan dengan Paris, maka tragedi bom Paris dapat berdampak besar bagi dirinya bahkan menimbulkan perubahan sikap yang signifikan. 85 Sherif Muzafer dan Carl I. Hovland, Social Judgment, h. 107. 55 Proses negosiasi memiliki beragam tahapan. Beberapa ilmuan mengatakan bahwa negosiasi terdiri dari satu strategi dominan, adapula yang berpendapat bahwa negosiasi melewati strategi interaktif dan distributif. Olekalns dan Smith mengatakan, pelaku negosiasi kerap menimbang dari orientasi distributif ke orientasi integratif dan berdasarkan pada sumber pesan. Menurutnya, terdapat dua asumsi yang menjelaskan secara terperinci tentang negosiasi, yaitu:86 1. Negosiasi adalah aktivitas yang diarahakan oleh tujuan. Maksudnya proses negosiasi dilakukan oleh sender agar receiver melakukan menerima pesan yang telah dikirimkannya. Proses ini dapat berbentuk pendekatan secara intensif dan mengganti metode persuasi. 2. Pada awal negosiasi, faktor kontekstual meningkatkan keutamaan orientasi seseorang. Maksudnya, proses negosiasi memerlukan argumen dan data-data akurat pada saat tahap orientasi, agar pesan yang dikirimkan dapat diterima dan sesuai dengan kebutuhan receiver. M. Olekalns dan Smith P. L, “Social Venue Orientation and Strategy Choices in Competitive Negotiation,” dalam Charles R. Berger, dkk., ed., Handbook Ilmu Komunikasi. Penerjemah Derta Sri Widowatie (Bandung: Nusa Media, 2014), h. 457. 86 BAB III GAMBARAN UMUM A. Bertemunya Kristen dan Islam Perselisihan antara Kristen dan Islam diawali sejak terjadi Perang Salib dimulai pada tahun 1095 yang melibatkan pasukan gereja yang disebut Crusader melawan pasukan Islam hampir di seluruh bagian benua Eropa. Perang Salib merupakan sebuah gerakan militer dari gereja Katolik Romawi dengan tujuan merebut kembali akses bagi masyarakat kristen akan tanah suci di Jerusalem yang dimulai pada sekitar tahun 1905 oleh Paus Urbanus II. Setelah Perang Salib, terjadi perselisihan selama 200 tahun untuk menentukan siapa yang berhak menduduki tanah suci, dengan 6 Perang Salib besar dan beberapa Perang Salib kecil. Pada tahun 1291, konflik ini berakhir dengan runtuhnya benteng milik pasukan Kristen di Acre dan setelahnya, pasukan Kristen Eropa tidak lagi melakukan serangan ke arah timur.1 Perselisihan antara Kristen dan Islam bukan hanya terjadi ketika Perang Salib saja. Konflik antaragama yang terjadi di Indonesia sudah mulai terjadi sejak masa reformasi dan tidak terhitung jumlahnya. Islam dan Kristen adalah agama yang paling sering bertikai, sehingga masyarakat sudah menganggapnya sebagai kejadian yang biasa. Seperti pertikaian di wilayah Pondok Timur Indah Kota Bekasi yang melibatkan Ormas Islam dan jemaat Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Kota Bekasi hampir terjadi setiap minggu. Persoalan mengenai Ilham Kadir, “Sejarah Perang Salib,” artikel diakses pada 9 Maret 2016 dari http://www.portalsejarah.com/sejarah-perang-salib.html 1 56 57 kesahan rumah ibadah, lemahnya rasa toleransi, penguasaan masalah hingga permasalah sosial selalu dijadikan penyebab terjadinya konflik.2 Perselisihan terbaru terjadi di Bekasi Utara pada 7 Maret 2016 lalu. Perselisihan disebabkan penolakan umat muslim atas dibangunnya Gereja Santa Clara Bekasi Utara. Umat muslim berkisar 1000 orang berunjuk rasa dan menyatakan tuntutan kepada Walikota Bekasi agar perizinan pembangunan Gereja Santa Clara dicabut karena dianggap melanggar ketentuan dan persyaratan pembuatan rumah ibadah.3 Pertikaian antaragama yang terjadi antara Islam dan Kristen ini menyebabkan munculnya sikap stereotip bagi pemeluk kedua agama ini. Pemahaman eksklusifitas agama para pemeluk agama membuat mereka sulit untuk berfikir terbuka dan bertoleransi. Hal inilah yang membuat kedua pemeluk agama tersebut beranggapan bahwa agama mereka yang terbaik dan tidak ada agama yang lebih baik dibanding agama mereka. Pemahaman eksklusifitas agama dan tindakan stereotip merupakan akar permasalahan yang dapat menimbulkan konflik antaragama. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ekslusif berarti terpisah dengan yang lain, sedangkan inklusif berati termasuk dengan yang lain.4 Didin Hafidhuddin mendefisikan pengertian eksklusif dan inklusif dari sudut pandang Islam, menurutnya Islam merupakan agama yang sangat inklusif dan bukan merupakan ajaran yang bersifat eksklusif.5 “Ormas Islam dan Jamat HKBP Bentrok,” Tempo, 1 Agustus 2010, h. 5. “Masih Ada Konflik Pembangunan Gereja Santa Clara Bekasi,” Republika, 7 Maret 2016, h. 12. 4 Silvita I.S, Kamus Populer (Surabaya: Jaya Agung, 1989), h. 99 dan 127. 5 Didin Hafidhuddin, Islam Aplikatif (Jakarta: Gema Insani, 2003), h. 147. 2 3 58 Crapps mengutip perkataan Allport yang mendefinisikan agama eksklusif sebagai agama yang mendukung dan membenarkan kepentingan pribadi pemeluknya. Dalam keadaan seperti itu, agama dijadikan budak bagi kepentingan, keinginan dann kebutuhan yang sama sekali tidak berkaitan dengan nilai yang ada dalam agama tersebut. Para penganut agama eksklusif bukan menjunjung agama, melainkan memanfaatkannya untuk mendukung dan membenarkan gaya hidup dan perilaku mereka.6 Sebaliknya agama inklusif diartikan sebagai agama yang memenuhi seluruh aspek kehidupan dengan motivasi dan makna. Maksudnya, agama inklusif memiliki kekuatan dalam memberikan arah hidup bagi pemeluknya. Allport mengatakan bahwa dalam agama inklusif, pemeluk agama menghayati agama tanpa menganggap agama lain tidak lebih baik dibandingkan agamanya.7 Menurut sejarah, agama Kristen adalah agama tertua di dunia. Agama Kristen didirikan oleh seorang pemuda dari bangsa Yahudi yang bernama Yesus yang lahir di Batlehem, Palestina antara tahun empat hingga delapan SM.8Yesus lahir dari rahim seorang perawan yang bernama Maria. Yesus mulai menyebarkan agama Kristen sejak berumur tiga puluh tahun bersama dua belas sahabatnya yang dinobatkan sebagai rasul. Yesus wafat pada usia tiga puluh tiga tahun karena disalib oleh orang-orang Farisi. Setelah tiga hari kematiannya, Yesus bangkit kembali dan naik ke surga. 6 Robert W. Crapps, Dialog Psikologi dan Agama: Sejak William James Hingga Gordon W. Allport. Penerjemah A.M Hardjana (Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 28. 7 Robert W. Crapps, Dialog Psikologi dan Agama: Sejak William James Hingga Gordon W. Allport., h. 29. 8L. Berkhof, The History of Christian Doctrine. Penerjemah Thoriq A. Hindun (Bandung: Sinar Baru, 1992), h. 2. 59 Pada hari kebangkitan, Yesus berpesan pada pengikutnya agar terus menyebarkan agama Kristen dan perintah tersebut yang hingga kini menjadi landasan umat kristiani dalam melakukan penyebaran agama. Setelah wafatnya Yesus, para rasul mulai menyebarkan ajaran kristiani ke berbagai tempat dan berhasil membaptis sekitar tiga ribu orang. Pada masa awal penyebaran, Kristen dianggap sebagai ancaman oleh kerajaan Romawi yang berkuasa pada masa itu. Banyak pendeta dan umat kristiani yang dianiaya dan menjadi kekejaman kekaisaran Romawi. Romawi berusaha menekan perkembangan agama Kristen dan melarang siapapun untuk mengikuti agama Kristen. Hal ini disebabkan umat kristiani yang tidak ingin menyembah kaisar dan menyulitkan kekuasaan Romawi. Namun pada tahun 313, Kaisar Konstantinus melegalkan agama Kristen dan menetapkan agama Kristen sebagai agama negara. Agama Kristen memiliki beberapa sekte, yaitu Lutheran, Aglikan, Presbyterian, Yudaistis (Yahudi), Katholik, Protestan dan Ortodoks Yunani. Agama Kristen berpedoman pada Bible (Alkitab). Alkitab sendiri memiliki dua versi, yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Zafar menjelaskan definisi dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, yaitu:9 “The Bible has been divided into two main parts. The first langer part is called ‘the Old Testament’, which is an account of the events occurred before Jesus Christ. The Old Testament has been written and complied before the birth of Jesus. The second and the smaller part of the Bible is 9 Muhammad Jawed Zafar, Christio-Islamic Theologies (India: Adam Publishers, 1994), h. 1. 60 ‘the New Testament’. It is a record, though not complete, of the life and the teachings of Jesus and his disciples.” Perjanjian Lama (Old Testament) tidak berbentuk satu buku, melainkan kumpulan dari sembilan puluh sembilan buku kecil yang ditulis oleh penulis yang berbeda dari zaman yang berbeda pula. Lima buku pertama dari Perjanjian Lama dikenal sebagai ‘Pentateuch’ atau biasa disebut ‘Books of Moses’. Buku-buku tersebut pertama kali dikumpulkan pada tahun 400 sebelum masehi dan penulisan terbanyak berasal dari Babilonia. Perjanjian Lama pertama kali ditulis dengan bahasa Ibrani dan Aram lalu diterjemahkan dalam bahasa Yunani dengan beberapa modifikasi.10 Perjanjian baru sebagai edisi kedua dari Bibel dibuat setelah kelahiran Yesus sekitar 5-130 M. Periode ini dinamakan dengan tahun kedua agama Kristen. Pada periode ini umat kristiani berhenti untuk mengikuti sekte yahudi dan merubah dirinya menjadi agama yang independen. Perjanjian Baru adalah sebuah interpretasi yang tidak diterima Yahudi dalam Perjanjian Lama. Perjanjian Baru berisi doktrin dalam Perjanjian Lama diverifikasi sehingga menimbulkan ambiguitas yang berkelanjutan, khususnya doktrin tentang Tuhan. Wujud Tuhan dalam Perjanjian Lama direfleksikan dalam bentuk Yesus Kristus.11 Menurut Peter G. Van Schie, kedatangan Kristen ke Indonesia sejak awal ketujuh masehi, bersamaan dengan tumbuhnya Gereja Mar Thoma di Barus Sumatra dan Gereja Nestorian di Jawa Timur namun kehadiran Kristen tidak meninggalkan bekas di Indonesia.12 Agama Kristen dibawa kembali ke Indonesia 10 Muhammad Jawed Zafar, Christio-Islamic Theologies, h. 5. Muhammad Jawed Zafar, Christio-Islamic Theologies, h. 45. 12 Peter G. Van Schie, Rangkuman Sejarah Gereja Kristiani Dalam Konteks Sejarah Agama-Agama Lain (Jakarta: Penerbit Obor Indonesia, 1994), h. 102. 11 61 ketika Portugis ke Indonesia untuk mencari rempah-rempah, dalam perjalanannya mereka membawa para misionaris Katholik dengan misi untuk menyebarluaskan agama Katholik kemana dan kapanpun.13 Kegiatan misionaris didukung sepenuhnya oleh penguasa Portugal dan Spanyol seperti tujuan mereka yang terkenal dengan semboyan 3G, yakni Gold (Kekayaan), Glory (Kejayaan), dan Gospel (Menyebarkan Agama Katholik). Sekitar 200 misionaris melancarkan usaha penginjilan di Indonesia bagian timur sepanjang abad keenam belas.14 Namun sejak Belanda dan Inggris merebut kuasa Spanyol dan Portugal pada tahun 1600, maka kandaslah kekuasaan Portugis dan masuklah agama Kristen Protestan. Sedangkan agama Islam muncul pertama kali pada abad ketujuh masehi. Agama Islam dibawa oleh pemuda bangsa Arab bernama Muhammad (Rasulullah) yang lahir di Mekkah padatahun 570 M. Islam lahir disaat belahan dunia bagian barat sedang diliputi oleh pandangan filsafat Romawi dan Yunani Kristen.15 Kitab suci dalam agama Islam adalah Al-Qur’an. Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur dan hanya memiliki satu versi yang sampai saat ini masih terjaga keasliannya. Pada masa Rasulullah SAW, Islam tidak memiliki aliran apapun dan hanya berpedoman pada Al-Qur’an. Namun setelah terjadinya perang Siffin pada tahun 37 Hijriah antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah, mulai bermunculan aliran-aliran baru yang mengatasnamakan Islam, diantaranya adalah Khawarij yang berisi kelompok-kelompok yang memisahkan diri dari Ali bin Abi 13 Burhanuddin Daya, Agama Dialogis: Merenda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama (Yogyakarta: Mataram-Minang Lintas Budaya, 2004), h. 98. 14 S. H. Sukoco, Tata Injil di Bumi Muria (Semarang: Pustaka Muria, 2010), h. 17. 15 M. Amin Syukur, dkk., Teologi Islam Terapan: Upaya Antisipatif Terhadap Hedonisme Kehidupan Modern (Jakarta: Tiga Serangkai, 2003), h. 192. 62 Thalib, lalu disusul beberapa aliran lain seperti Syiah, Jabariyah, Mu’tazilah, Murjiah, dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sedangkan aliran-aliran yang diakui di Indonesia dan telah mendapat persetujuan Majlis Ulama Indonesia (MUI) adalah Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah dan Persis.16 Penyebaran agama bagi agama Kristen dan Muslim merupakan tugas penting dan merupakan kewajiban bagi umat kristiani dan umat muslim. Hakekat Kristen dan Islam sebagai agama misionaris menjadikan Kristen dan Islam sebagai agama yang dominan dipeluk penduduk dunia. Kegiatan penyebaran agama dapat disebut sebagai kegiatan komunikasi, di mana komunikator menyampaikan pesan kepada komunikan baik secara perorangan atau kelompok. Secara teknis perbedaan antara kegiatan penyebaran agama dengan kegiatan komunikasi terletak pada muatan pesan yang disampaikan. Dalam komunikasi, pesan yang disampaikan bersifat netral sedangkan dalam pesan penyebaran agama berisi nilai keteladanan dan kebenaran.17 Penyebaran agama atau berdakwah dalam agama Islam, dianggap tugas suci yang merupakan tugas setiap muslim. Dengan demikian, setiap muslim berkewajiban untuk berdakwah. Seperti dalam firman Allah surat Ali Imran ayat 104, yang berbunyi: 16 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), h. 5. 17 Faizah dan Lalu Effendi, Psikologi Dakwah, h. 37. 63 Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung. Secara historis, umat Islam dan kristen di Kampung Sawah berasal dari satu rumpun. Akibatnya hubungan kekeluargaan sangat terlihat akrab karena terikat oleh tali persaudaraan. Bahkan ada dalam satu keluarga terdapat beberapa penganut agama. Suasana demikian juga didukung oleh letak desa yang cukup terpencil, sehingga satu sama lain saling membutuhkan dan saling membantu apabila memperoleh kesusahan. Kegiatan yang saling menunjang tersebut membuat kerukunan beragama secara kasat mata cukup tercipta di Kampung Sawah.Kesamaan kewajiban antara umat muslim dan kristiani, menjadikan kedua agama ini berkompetisi dalam hal penyebaran agama. B. Gereja Kristen Protestan Pasundan Kampung Sawah Gereja Kristen Protestan Pasundan adalah gereja yang berpusat di kota Bandung dan tersebar di pulau Jawa Barat. Gereja ini resmi berdiri di Bandung pada tanggal 14 November1934dengan Rad Ageng (Majelis Besar) pertama, yang diketuai oleh Penginjil J. Iken dari Nederlandse Zendelings Vereeniging (NZV) dari Belanda. Pada tahun 1886 jumlah anggota jemaat kristiani telah mencapai 104 orang yang terdiri dari beberapa kelompok. Masing-masing kelompok dipimpin oleh pimpinan kelompok, antara lain: Matias, Laban Rikin, Lukas Rikin dan Yoseb Baiin. Kemudian mereka dianjurkan oleh Pendeta C. Albers agar bersatu. Atas anjuran tersebut terwujudlah jemaat yang cukup besar saat itu, yang dipimpin oleh Pendeta C. Albers sendiri, dengan pusat kebaktian di rumah Laban Rikin. Di 64 bawah kepemimpinannya jemaat dalam kuantitas semakin berkembang sehingga mencapai jumlah 179 jiwa yang tersebar di Kampung Sawah timur 51 orang, Kampung Sawah Barat 102 orang dan di Pondok Melati 26 orang. Pada tahun 1902, jemaat mendirikan rumah ibadah di kebun Bapak Lukas Rikin berukuran 13,5 x 6,5 M dan digunakan juga untuk sekolah yang diasuh oleh Zendeling A.J. Bliek. Pada tahun 1911, rumah ibadah dipindah ke tempat sekarang, dan jemaat berada dibawah kepemimpinan Musa Rikin. Pada tahun 1967 Mika Rikin dan Madi Lampung memimpin jemaat Kampung Sawah. Bentuk gedung gerejapun mengalami perubahan berbentuk salib dan dasarnya ditinggikan. Jumlah anggota jemaat pada saat itu tercatat 605 orang. Sepeninggalan Pendeta Mika Rikin, pada tahun 1972 D. Ngapon ditahbiskan menjadi Pendeta Jemaat Kampung Sawah. Kepemimpinannya berlangsung sampai dengan tahun 1980 dan pada tahun 1982 Pendeta Drajat Majan melayani di Jemaat Kampung Sawah hingga masa emeritasi. Setelah itu pada tahun 1999, Pendeta Anna Mariyani Sarniem melayani di Kampung Sawah lalu Pdt Alex F Banua, S.Th sampai dengan tanggal 16 Juni 2013. dan kini Pdt. Dewi Agustina, S. Si. Keanggotaan jemaat Kampung Sawah saat itu berjumlah 504 KK yang terdiri dari 1.586 jiwa dan terbagi menjadi dua bagian, yaitu 1.097 Jiwa anggota Sidi dan 472 Jiwa anggota Baptis, dan masih terus bertambah seiring dengan waktu Fungsionaris Jemaat: 1 Orang Pendeta dan 27 Orang Majelis Jemaat. Adapun data-data mengenai Gereja Kristen Protestan Pasundan Kampung Sawah terdiri dari struktur kepengurusan Gereja Kristen Protestan Pasundan 65 tertera pada gambar 3.1, visi dan missi GKP pada gambar 3.2, data jumlah keanggotaan GKP Pasundan tercatat dalam gambar 3.3, dan jadwal kegiatan harian GKP tertera pada gambar 3.4.18 Gambar 3.1 Struktur Kepengurusan GKP Kampung Sawah Gambar 3.2 Visi dan Missi GKP Kampung Sawah Gambar 3.3 Pertumbuhan Jemaat GKP Kampung Sawah 18 Data pribadi Gereja Kristen Protestan Pasundan (GKP) Kampung Sawah, 1 Maret 2016. 66 67 Gambar 3.4 Jadwal Kegiatan Rutin GKP Kampung Sawah C. Agama Kristen di Kampung Sawah Penyebaran agama Kristen di Indonesia dilakukan oleh Belanda pada permulaan abad ketujuh belas masehi. Bangsa Belanda dan bangsa-bangsa Protestan lainnya terutama Inggris mendapatkan kesempatan untuk melakukan penyebaran ajaran Injil keluar Eropa.19Pada tahun 1602, Belanda membentuk Verenidge Oost-Indische Compagnie (VOC) untuk melakukan tugas-tugas perdagangan dari Belanda hingga Jepang melalui Tanjung Harapan dan Indonesia. Dalam melakukan perjalanan tersebut, Belanda mengikutsertakanperawat rohani yang memperoleh hak dari gereja untuk membaptis orang dan mengusahakan penyebaran Injil atau Zending. 19 Burhanudin Daya, Agama Dialogis: Merenda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama, h. 99. 68 Zending Belanda mulai memasuki pulau Jawa pada tahun 1848, pada saat Hindia-Belanda dipimpin oleh Stamford Raffles. Salah satu kelompok Zending yang tersebar di Indonesia adalah Het Genootschap Voor In-En Uitwendige Zending(GIUZ). GIUZ didirikan di Batavia pada tahun 1852 atas prakarsa tiga serangkai, yaitu: Mr. F.L. Authing, Ds. E.W King, dan J. Esser yang merasa prihatin dengan kehidupan ornag-orang yang berada di luar gereja dan yang murtad dari gereja. Prinsip GIUZ adalah mengajarkan ajaran Injil dan melakukan penginjilan kaum pribumi. Melalui penginjilan-penginjilan, kaum pribumi dididik dan banyak melahirkan tokoh-tokoh penting dalam proses penyebaran agama Kristen, seperti Ibrahim Sujana yang berhasil membentuk jamaat Kristen yang dikenal dengan jamaat Anthing. Jamaat Anthing berkembang di Kampung Sawah, Pondok Melati, Gunung Putri, Cigelam, Cikuya, Tanah Tinggi, Cakung dan Ciater.20 Kampung Sawah dijadikan salah satu wilayah target penginjilan para Zending karena pemahaman keagamaan masyakarat Kampung Sawah yang sangat minim. Bahkan, banyak warga yang mengaku sebagai umat beragama tapi tidak melakukan apapun yang dianjurkan oleh agamanya. Sehingga pada saat Zending masuk dan mulai melakukan penginjilan, usaha yang diperlukan tidaklah sulit karena keimanan warga Kampung Sawah yang belum kuat dan mudah berubah.21Sedangkan sejarah khusus penyebaran Kristen di Kampung Sawah dimulai pada tahun 1870-an. Kampung Sawah sendiri terletak di Kecamatan Pondok Melati dan terbagi menjadi dua kelurahan, yaitu Kelurahan Jati Melati Dan Jati Murni. Kecamatan 20 S.H. Soekotjo, Sejarah Gereja-Gereja Kristen Jawa: di Bawah Bayang-Bayang Zending, 1858-1948 (Salatiga: Lembaga Studi dan Pengembangan GKJ, 2009), h. 111. 21 Wawancara Pribadi dengan Rahmadin Afif, Bekasi, 28 Februari 2016. 69 Pondok Melati dengan luas wilayah 1.179,925 ha yang terdiri dari 4 kelurahan yaitu:22 1. Kelurahan Jatimurni : 300,500 Ha 2. Kelurahan Jatimelati : 319,000 Ha 3. Kelurahan Jatiwarna : 248,000 Ha 4. Kelurahan Jatirahayu : 312,425 Ha Pertumbuhan penduduk di Kecamatan Pondok Melati mencapai 2,5 % per tahun. Jumlah penduduk Kecamatan Pondok Melati sampai dengan Desember 2011 sebanyak 105.087 jiwa yang terdiri dari : 1. Penduduk Laki-Laki Sebanyak : 52.041 Jiwa 2. Penduduk Perempuan Sebanyak : 53.046 Jiwa 3. Jumlah Kepala Keluarga : 25.699 KK Sedangkan jumlah Penduduk muslim di Kampung Sawah sekitar 43314 orang, penduduk kristiani 9736 orang, Budha 274 orang dan Hindu 164 orang. Adapun tempat ibadah yang tersedia secara resmi di dua kelurahan jumlah masjid sekitar 21 buah dan gereja 9 buah.Adapun tempat ibadah yang tersedia secara resmi di dua kelurahan jumlah masjid sekitar 21 buah dan gereja 9 buah. Sedangkan jumlah Tempat Pemakaman Umum ( TPU ) ada 9 buah, masingmasing TPU GKP Kristen, TPU Protestan, TPU Katholik, TPU Islam, TPU Kecapi dan TPU Darma Asih Jaya, semuanya di kelurahan Jati Melati sedang tiga sisanya, yaitu TPU sundari, Mede dan Sendeng masing-masing di kelurahan Jatimurni dan berlaku untuk umum.23 Tabel 3.1 22 Data Pribadi Kecamatan Pondok Melati, Bekasi, 3 Maret 2016. Wawancara Pribadi dengan Muhammad Encep, Bekasi, 3 Maret 2016. 23 70 Data Pertumbuhan Penduduk Kecamatan Pondok Melati Tahun No Kelurahan 2009 2010 2011 1 Jati Murni 16.661 16.796 16.983 2 Jati Melati 14.450 14.619 14.706 3 Jati Warna 19.623 19.679 19.858 4 Jati Rahayu 52.282 52.024 53.540 Jumlah 103.106 103.139 105.087 data : seksi kependudukan tahun 2009-2011 BAB IV ANALISIS DATA: STRATEGI PENYEBARAN AGAMA KRISTEN DAN RESPONS MUSLIM A. Paksaan, Bujukan dan Reaksi Kebencian Paksaan, bujukan dan reaksi kebencian yang dimaksud salam sub bab ini merujuk pada salah satu instrumen dari Teori Resepsi Aktif yaitu Coerseduction (bujukan dan paksaan). Adapun paksaan dan bujukan yang dimaksud peneliti adalah bujukan dan paksaan yang berasal dari teknik umat kristiani dalam menyebarkan agamanya. Sedangkan reaksi kebencian adalah alasan umat kristiani dalam melakukan kristenisasi umat muslim. Bentuk paksaan diartikan sebagai cara seseorang untuk meraih tujuannya dengan taktik yang mengedepankan ancaman dan kekerasan baik secara fisik maupun mental. Maksudnya, komunikator yang menggunakan paksaan dalam komunikasi tidak akan mempertimbangkan pendapat komunikan dan hanya terfokus pada pencapaian tujuan saja. Salah satu contoh bentuk paksaan dalam komunikasi adalah ketika seorang dosen menuntut mahasiswa untuk menuruti perintahnya dan menggunakan ancaman seperti penangguhan nilai atau lainnya agar mahasiswa tersebut menuruti keinginannya. Dalam melakukan paksaan, ada beberapa aspek yang dimanfaatkan komunikator dalam melancarkan tujuannya, yaitu kekuasaan, jabatan, atau kapabilitasnya dalam suatu bidang. Berbeda dengan paksaan, komunikasi persuasi dengan bujukan terlihat lebih halus. Pencapaian tujuan dengan bujukan biasanya bersifat berkala dan 71 72 merembes. Maksudnya, komunikator melakukan pencapaian tujuannya dengan cara-cara yang kemungkinan tidak disadari oleh komunikan. Salah satu contoh, ketika seorang pastur menyemar menjadi seorang musafir baik hati yang senang membantu orang miskin dan membuat warga menyukainya, lalu setelah mendapatkan simpati dan kepercayaan warga maka dengan mudah pastur itu melakukan kristenisasi bahkan kemungkinan tanpa ada perlawanan dari komunikan. Sedangkan reaksi kebencian adalah persepsi seseorang atau kelompok tentang kelompok lain. Reaksi kebencian biasanya timbul dari pengalaman, sejarah, atau kepercayaan yang sudah mengakar sejak dulu. Sebagai contoh, terjadinya pertikaian dan konflik yang terjadi di seluruh penjuru dunia. Pertikaian ini dapat disebabkan karena adanya prasangka negatif, rasisme, dan stereotip. Awalnya, hampir semua warga Kampung Sawah menganut Islam. Protestan baru hadir 1886, ditandai munculnya Jemaat Meester F.L. Anthing di bawah Perhimpunan Pekhabaran Injil Belanda. Pada akhir 1880-an perkembangan Protestan kian pesat, akibat banyaknya jemaat dari Mojowarno, Jawa Timur, dan lereng Gunung Muria, Jawa Tengah, yang hijrah ke Kampung Sawah. Pada tahun 1895, pemeluk Protestan yang mulai multi etnis pecah jadi tiga kelompok. Satu di antaranya memilih Katolik Roma, meski saat itu tak sadar bahwa Katolik bukan bagian Protestan. Perkembangan Katolik di Kampung Sawah itu ditandai dengan pembaptisan 18 putra 73 setempat pada 6 Oktober 1896 oleh Pater Bernardus Scwheitz, dari Katedral Batavia.1 Kampung Sawah zaman dulu adalah daerah tempat pembuangan para buronan kriminal menyembunyikan diri, sebagaimana terjadi pada masa VOC (Vereenigde Oost Indische Cornpagnie). Hal ini didukung dengan letak geografis Kampung Sawah yang strategis dan hanya berjarak kurang lebih 40 km dari pusat kota Batavia.2 Suksesnya kegiatan penginjilan di Kampung Sawah dibuktikan dengan dibangunnya Gereja Kristen Protestan Pasundan Kampung Sawah pada tahun 1870 dan Gereja Kristen Katholik Santo Sarvetius pada tahun 1896.Sejarah berdirinya Paroki Santo Servatius Kampung Sawah sendiri merupakan sempalan dari Gereja Protestan Kampung Sawah yang dirintis Meester Anthing. Matheus Nalih selaku Wakil Ketua Dewan Gereja Kristen Protestan Pasundan menceritakan bahwa pada 1895, jemaat Protestan Kampung Sawah terpecah menjadi tiga faksi yang saling bermusuhan. Faksi pertama adalah kelompok guru Laban yang bermarkas di Kampung Sawah Barat. Faksi kedua adalah kelompok Yoseh yang mengadakan kebaktian di Kampung Sawah Timur dan faksi ketiga adalah kelompok guru Nathanael yang memilih Katolik Roma untuk masuk ke Kampung Sawah. Guru Nathanael melakukan hal tersebut setelah ia dipecat dari jabatan guru pembantu di Gereja Protestan Kampung Sawah. Ia kemudian mencari bantuan ke Gereja Katedral yang berada di Lapangan Banteng, Jakarta. Pada 6 Oktober dianggap sebagai hari 1 Sunardian Wirodono, “Betawi Kristen Kampung Sawah,” artikel diakses pada 9 Maret 2016 dari http://www.gobetawi.com/2014/10/betawi-kristen-kampung-sawah-tentang.html 2 Wawancara pribadi dengan Nur Ali Akbar, Bekasi, 28 Februari 2016. 74 kelahiran umat Katolik Kampung Sawah (sebutan awal untuk Paroki Santo Servatius Kampung Sawah) setelah Pastor Schweitz membaptis 18 anak di Kampung Sawah.3 Penganut Kristen di Kampung Sawah kemudian membentuk sistem marga.Tradisi ini hanya berada di Kampung Sawah dan tak ditemukan di betawi lainnya. Sistem marga umat kristiani Kampung Sawah berbeda dengan sistem marga masyarakat Medan. Penggabungan nama marga seperti Baiin, Saiman, Bicin, Napiun, Kadiman, Dani, Rikin, dan Kelip dibentuk sejak sistem hukum kolonial. Masa itu berlaku hukum Islam, adat, dan barat. Kolonial Belanda menerapkan sistem hukum yang berbeda pada masingmasing golongan masyarakat dan bagi warga Kristen bumi putera yang hendak menikah diberlakukan peraturan khusus yang menyerupai hukum sipil Barat. Mereka harus menggunakan nama keluarga ditambah nama baptis. Oleh sebab itu tidak asing jika menemukan nama seperti Musa Dani, Marthius Napiun, atau Sulaeman Kadiman di Kampung Sawah.4 Tradisi marga diberlakukan dengan cara membubuhkan nama leluhur lakilaki pada setiap nama belakang seseorang, yang adalah keturunan dari leluhur tersebut. Hal ini tidak jauh berbeda dengan pengertian marga secara umum, yaitu suatu kelompok kekerabatan yang berdasarkan atas keturunan melalui garis keturunan pihak laki-laki atau perempuan yang bersumber pada seorang leluhur.Gejala ini disebut patrilineal, yaitu keturunan berdasarkan garis bapak. Model ini adalah garis keturunan unilineal, artinya seseorang tidak dapat memilih garis keturunannya, beda halnya dengan ambilineal adalah 3 Wawancara Pribadi dengan Matheus Nalih, Bekasi, 1 Maret 2016. Sapta Siagian, “Kekristenan di Kampung Sawah Pondok Gede,” artikel diakses pada 6 Maret 2016 dari http://gerejasahabat.id/ke-kristenan-di-kampung-sawah-pondok-gede/ 4 75 kebalikannya.Sehingga masing-masing keluarga dengan keturunannya memiliki marganya masing-masing.5 Ada beberapa nama marga yang sering dijumpai di Kampung Sawah. Mereka ini berarti orang pertama yang hidup dan tinggal di Kampung Sawah, kemudian berkembang hingga sekarang. Oleh karena itu, sangat mudah cara mengenali orang Kampung Sawah dengan melihat siapa nama terakhir dari nama seseorang itu, maka itulah marganya. Di antara nama marga yangada di Kampung Sawah hampir dua puluh lebih diantaranya: Napiun, Pepe,Kelip, Baiin, Saiman, Dani, Sabajan, Jilin, Empit, Peking, Emeng, Centeng,Cimi, Kuding, Senen, Noron, Rikin, Kuding, Kari’in, Oyan, Baidan, Seran,Rimin, Niman, Minan, Modo, Halim, Kadiman, dan Nathanael. Hasil wawancara peneliti dengan sejumlah tokoh masyarakat dan agamayang ada bahwa masyarakat Kampung Sawah antara keluarga yang satu denganyang lain masih terikat hubungan persaudaraan. Jika diruntut satu denganyang lainnya, mereka berasal dari keturunan yang sama baik dari pihak kakekmaupun nenek. Agar keturunan initidak bercerai berai, mereka mengikatnya dengan sistem kekerabatan yanghingga saat ini masih tetap terjaga, yaitu diberinya nama marga. Sebagai contoh, peneliti mengambil silsilah keluarga besar Marga Dani. Keluarga Dani termasuk orang generasi pertama yang tinggal di Kampung Sawah. Bapak Dani menikah dan mempunyai anak bernama Atin, Suradi, Kleopas dan Marya. Anak Dani yang bernama Kleopas menikah dan mempunyai anak bernama Musa dan Klarina. Bapak Musa Dani yang berumur 5 A. W. Widjaja, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat (Jakarta: Professional Books, 1986), h. 102. 76 87 Tahun merupakan generasi ke-3 dari keluarga besar marga Dani yang masih hidup.6 Hal yang manarik dari sistem marga di Kampung sawah yaitu perkawinan. Marga di Kampung Sawah tidak memperbolehkan kawin dalam satu marga (misalnya marga Napiun dengan marga Napiun sendiri). Mereka memperbolehkan kawin antar marga (misalnya marga Napiun dengan marga Dani) walaupun berlainan agama. Justru dengan adat seperti itu sistem kekerabatan masyarakat Kampung Sawah menjadi luas dan kuat, meski agama mereka berbeda-beda.7 Hingga saat ini keragaman pemeluk agama di Kampung sawah tidak pernah menjadi konflik, sebab diikat oleh antar marga mereka sendiri, melalui jalur perkawinan. Penulis mengambil sampel keluarga Bapak Yohanes Dani yang merupakan salah satu warga Kampung Sawah. Dia memiliki istri bernama Elizabet yang merupakan pemeluk agama Katholik. Yohanes dan Elizabeth memiliki lima anak yaitu Veronika, Ruginah, Agustinus, Marcelio, dan Alexander. Seluruhnya beragama Kristen Katolik. Sekitar tahun 2010, anak beliau Veronika menikah dengan lelaki muslim bernama Husaini. Akhirnya Veronika pindah menjadi muslim dan tinggal di Kampung Sawah. Penulis sempat mewawancarai kepindahan agama mereka dan Veronika menjawab bahwa kepindahan agama mereka lebih disebabkan mengikuti keyakinan suami dan dia tidak menyesali hal itu. Ini disebabkan peristiwa perpindahan agama telah menjadi hal yang biasa di Kampung Sawah.8 6 Wawancara Pribadi dengan Musa Dani, Bekasi, 29 Februari 2016. Wawancara Pribadi dengan Musa Dani, Bekasi, 29 Februari 2016. 8 Wawancara Pribadi dengan Veronika Dani, Bekasi, 29 Februari 2016. 7 77 Itupun diakui oleh ayahnya Veronika, Bapak Yohanes, bahwa tradisi di Kampung Sawah urusan agama diserahkan masing-masing anak. Sebab hal ini akan menjadi pilihan dalam hidupnya, asalkan dengan kesungguhan dan kesadaran dari dirinya. Hal itu dianggap sesuatu yang lumrah dan biasa pada tradisi beragama Kampung sawah. KH Rahmadin Afif selaku pengasuh Pesantren Fisabilillah sendiri mempunyai saudara sepupu yang menjadi tokoh Protestan dan Katolik, salah satunya Musa Dani yang merupakan sesepuh Protestan Gereja St. Servatius Kampung Sawah. Persaudaraan mereka tak terganggu.9 Menurut Muhammad Encep selaku Camat Pondok Melati, “Ini salah satu modal terjaganya kerukunan beragama di antara kami,”. Hubungan kerabat itu tak saja berupa hubungan darah, melainkan juga melalui jalur perkawinan. Banyak terjadi kawin silang antarpemeluk agama berbeda. Perkawinan lintas agama tersebut menyebabkan adanya individu yang melebur ke agama pasangannya dan ada juga yang bertahan pada agama masing-masing.10 Jika diperhatikan lebih dalam, pernikahan lintas agama yang menjamur di Kampung Sawah bukan hanya bertujuan untuk mempererat hubungan persaudaraan, melainkan stategi untuk memperluas penyebaran agama. Penyebaran agama terselubung dalam ikatan pernikahan dapat dikategorikan sebagai tindakan korseduksi (Coerseduction). Coerseduction pertama kali diperkenalkan oleh Ravault yang menekankan peran komunikan (receiver) pada proses hubungan interpersonal. Coerseduction diartikan sebagai 9 Wawancara Pribadi dengan Yohanes Dani, 29 Februari 2016. Wawancara Pribadi dengan Muhammad Encep, Bekasi, 3 Maret 2016. 10 78 manipulasi yang meliputi pikiran, psikologis, emosi, dan lainnya. 11 Bakti mengartikan Coerseduction sebagai cara untuk mempengaruhi seseorang secara langsung, baik dalam bentuk paksaan maupun bujukan.12 Dalam hal ini, komunikator bertujuan untuk mengubah persepsi komunikan dengan strategi bujukan dan paksaan baik dalam bentuk perkataan dan tindakan. Sesuai dengan banyaknya fakta lapangan yang ditemukan serta teori-teori yang dikumpulkan, maka dapat disimpulkan bahwa strategi penyebaran agama yang digunakan adalah bujukan (seduction). Namun setelah melihat sejarah perjalanan penyebaran Kristen di Kampung Sawah, peneliti menemukan bahwa terdapat paksaan (coersion) dalam kegiatan penyebaran agama yang dilakukan umat kristiani terhadap umat muslim. Nur Ali Akbar menceritakan bahwa sekitar tahun 1960, penyebaran agama Kristen dilakukan secara paksa dan hal ini dialami langsung oleh teman dekatnya. Saat itu, misionaris Kristen memaksa anak-anak yatim untuk memeluk Kristen lalu ditampung di yayasan yatim piatu milik Kristen yang dikenal dengan pondok damai. “itu alasan kyai mendirikan YASFI yang awalnya cuma pondok yatim piatu aja.” tambahnya.13 Pada tahun 1965, Kampung Sawah adalah kampung yang tidak mempunyai kepedulian terhadap agama. Meskipun secara resmi kaum muslimin tercatat sebagai urutan yang mayoritas, tetapi tempat ibadah yang tersedia pada waktu itu hanya sebuah mushalla kecil milik keluarga Bagung. Hanya beberapa orang saja yang taat melaksanakan ibadah. Kepedulian R. J. Ravault, “Resisting Media Imperialism by Coerseduction,” h. 109. Andi Faisal Bakti, ed., Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi Muslim Perceptions of a Global Development Program, h. 109. 13 Wawancara Pribadi dengan Nur Ali Akbar, Bekasi, 28 Februari 2016. 11 12 79 terhadap agama mulai tumbuh seiring dengan penumpasan pemberontakan G.30.S / PKI. Sesudah tahun 1965, muncul semangat membangun di kalangan kaum muslimin Kampung Sawah. Mushalla kecil milik keluarga Bagung dibangun kembali dan direnovasi di atas tanah wakaf keluarga Bagung seluas lebih kurang 200 meter. Namun rutinitas ibadah masih sedikit dilakukan karena warga masih dipengaruhi oleh aliran kepercayaan animisme pada masa itu, seperti membakar kemenyan, menghitung hari, sesajian dan berbagai bentuk khurofat lainnya.14 Leo Paldaeli, salah seorang penggagas dan penyelenggara Bimbingan Masyarakat Katolik, Departemen Agama Kota Bekasi, juga tidak membantah adanya kenaikan penganut Katolik sebesar 1 persen setiap tahun. Pada tahun 2003 pemeluk Katolik baru mencapai 58.000 orang. Satu tahun kemudian yaitu tahun 2004, pengakut Katolik naik menjadi 67.000 orang. Lalu tahun 2005 melonjak menjadi 77.000 orang.Pendeta Jonathan, mengklaim penganut Kristen tahun 2003 saja sudah mencapai 85.655 atau sebesar 4,93 persen dari jumlah penduduk kota Bekasi saat itu. Tentu kini jauh lebih besar lagi. Sebab gerakan Kristenisasi yang dilakukan Kristen Protestan lebih gencar. Bahkan mereka tidak segan-segan menggarap anak-anak gelandangan, fakir miskin, untuk dikristenisasikan.15 Sedangkan jumlah Penduduk muslim di Kampung Sawah sekitar 43314 orang, penduduk kristiani 9736 orang, Budha 274 orang dan Hindu 164 “Sejarah Perkembangan Agama di Kampung Sawah,” Media Dakwah, 20 Oktober 1989, h. 2. 15 “Gencarnya Gerakan Kristenisasi,” Suara Muslim, 15 Oktober 2006, h. 14. 14 80 orang. Adapun tempat ibadah yang tersedia secara resmi di dua kelurahan jumlah masjid sekitar 21 buah dan gereja 9 buah.16 Fakta lain dibalik pernikahan lintas agama di Kampung Sawah terletak pada fenomena penyembunyian identitas. Hal ini terjadi pada masa kepemimpinan presiden Soeharto sekiar tahun 1965. Pada masa itu, terdapat peraturan yang mewajibkan seluruh penduduk Indonesia untuk memeluk agama. Hal ini dilakukan demi mengurangi kekejaman kelompok PKI. Menurut keterangan Rahmadin Afif, pada saat itu seluruh penduduk Kampung Sawah sepakat untuk memeluk agama Islam selain untuk mendapatkan keamanan, pemahaman penduduk mengenai ajaran agama juga sangat kurang sehingga berpindah agama bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan.17 Zamaksari mengakui kurang yakin dengan kerukunan yang terjadi di Kampung Sawah, saat peneliti menanyakan pendapatnya tentang kira-kira bagaimana sikap umat kristiani di lingkungan sosialnya yang didominasi umat muslim. “sebenarnya kalo dilihat, mereka (umat kristiani) biasa dan nerima aja keputusan atau peraturan yang berlaku. Tapi belum tentu hatinya bener-bener nerima kan. Ini gara-gara mereka minoritas aja disini, makanya lebih milih jalan aman dan ngehindarin konflik.” Katanya.18 16 Wawancara Pribadi dengan Muhammad Encep, Bekasi, 3 Maret 2016. Wawancara Pribadi dengan Rahmadin Afif, Bekasi, 28 Februari 2016. 18 Wawancara Pribadi dengan Zamaksari, Bekasi, 23 Februari 2016. 17 81 Ramlan Surbakti mengartikan konsep Coerseduction sebagai salah satu bentuk dari kekuatan (power). Dalam gagasannya, Subakti membagi konsep kekuasaan dalam lima jenis, yaitu:19 1. Influence Kemampuan untuk mempengaruhi receiver agar mengubah sikap dan perilakunya secara sukarela. 2. Persuation Kemampuan meyakinkan receiver dengan argumentasi untuk melakukan sesuatu. 3. Manipulation Penggunaan pengaruh di mana orang yang dipengaruhi tidak menyadari bahwa ia telah mematuhi keinginan sender. 4. Coercion Peragaan ancaman paksaan yang dilakukan oleh sender terhadap receiver agar bersikap sesuai dengan kehendak yang diinginkan sender. 5. Force Penggunaan tekanan secara fisik agar receiver melakukan apa yang diinginkan sender. Hak asasi manusia yang paling esensial dalam hidup adalah hak kemerdekaanatau kebebasan salah satunya kebebasan dalam memilih kepercayaan atau agama. Kebebasan merupakan hak yang fundamental bagi manusia sehingga hal ini yang dapat membedakan manusia dengan makhluk yang lainnya. Kebebasan beragama di sini bebas memilih suatu kepercayaan 19 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992), h. 52. 82 atau agama yang menurut mereka paling benar dan membawa keselamatan tanpa ada yang memaksa atau menghalanginya. Kemerdekaan telah menjadi salah satu pilar demokrasi dari tiga pilar revolusi di dunia. Ketiga pilar tersebut adalah persamaan, persaudaraan dan kebebasan.20Kebebasan beragama atau rohani diartikan sebagai suatu ungkapan yang menunjukkan hak setiap individu dalam memilih keyakinan suatu agama.21 Rahmadin mengakui bahwa saat menikah, baik mempelai pria maupun wanita saling memeluk agama yang sama, baik itu Islam maupun Kristen. Namun, setelah beberapa tahun pernikahan suami atau istri yang awalnya tidak memeluk agama tersebut akan kembali ke agama awal yang diyakininya, bahkan mengajak istri dan anaknya untuk ikut berpindah agama.22 B. Obat Manjur, Penawar atau Racun Peran komunikasi tentu sulit dipisahkan dari sistem kehidupan sosial manusia. Keberadaan komunikasi kerap dianggap sebagai faktor yang dapat menyelesaikan berbagai permasalahan dalam kehidupan. Namun, banyak peneliti berpendapat bahwa komunikasi bukanlah satu-satunya cara menyelesaikan masalah. Hal ini sesuai dengan konsep panacea gagasan Bakti. Dalam pemahamannya, Bakti terinspirasi dari beberapa ahli komunikasi seperi Thayer, Ravault dan Hall yang beranggapan bahwa terdapat penawar yang dapat menyaingi peran komunikasi sebagai obat 20 Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam. Penerjemah A. Abdussamad (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 22. 21 Al Mu’tal As Saidi, Kebebasan Berfikir dalam Islam (Yogyakarta: Adi Wacana, 1999), h. 4. 22 Wawancara Pribadi dengan Rahmadin Afif, Bekasi, 28 Februari 2016. 83 manjur dalam menyelesaikan masalah. Selain itu, komunikasi juga terkadang berperan sebagai racun yang dapat memperkeruh permasalahan sosial.oleh karena itu, persepsi tentang peranan komunikasi yang tertanam dalam benak manusia sebenarnya perlu dikaji ulang, karena tidak dapat dipungkiri bahwa banyak yang permasalahan muncul diakibatkan peranan komunikasi. Sebagai contoh, pengaruh agama yang diceritakan melalui komunikasi juga berperan sebagai pembentukan pandangan seseorang atau kelompok terhadap kelompok lain. Seperti perselisihan antara Kristen dan Islam diawali sejak terjadi Perang Salib dimulai pada tahun 1095 yang melibatkan pasukan gereja yang disebut Crusader melawan pasukan Islam hampir di seluruh bagian benua Eropa. Perang Salib merupakan sebuah gerakan militer dari gereja Katolik Romawi dengan tujuan merebut kembali akses bagi masyarakat kristen akan tanah suci di Jerusalem yang dimulai pada sekitar tahun 1905 oleh Paus Urban II. Setelah Perang Salib, terjadi perselisihan selama 200 tahun untuk menentukan siapa yang berhak menduduki tanah suci, dengan 6 Perang Salib besar dan beberapa Perang Salib kecil. Pada tahun 1291, konflik ini berakhir dengan runtuhnya benteng milik pasukan Kristen di Acre dan setelahnya, pasukan Katolik Eropa tidak lagi melakukan serangan ke arah timur.23 Dalam hal ini, proses konstruksi pikiran melalui cerita dapat berpengaruh dalam pembentukan stereotip. Penilaian secara stereotip adalah tindakan yang paling sering dilakukan, stereotip adalah pandangan atau penilaian seseorang tentang orang lain yang berasal dari kelompok yang berbeda dan Ilham Kadir, “Sejarah Perang Salib,” artikel 2016darihttp://www.portalsejarah.com/sejarah-perang-salib.html 23 diakses pada 9 Maret 84 menyamaratakan orang tersebut dengan kelompoknya. Stereotip biasanya ditanamkan sejak dini oleh orang tua kepada anaknya, seperti pandangan bahwa orang yang memakai baju serba hitam identik dengan teroris atau orang yang sedang berduka cita. Contoh lain, pandangan tentang Islam sebagai agama teroris sehingga setiap kali melihat orang yang memakai atribut Islam, maka akan dianggap sebagai teroris. Hal ini yang membuat pandangan stereotip harus dihindari, karena selain menjadi hambatan dalam komunikasi juga dapat mempasifkan logika kita dan mengabaikan identitas pribadi dan aspek psikologis yang tentunya berbeda antara satu orang dengan orang lainnya. Perselisihan antara Kristen dan Islam bukan hanya terjadi ketika Perang Salib saja. Konflik antaragama yang terjadi di Indonesia sudah mulai terjadi sejak masa reformasi dan tidak terhitung jumlahnya. Islam dan Kristen adalah agama yang paling sering bertikai, sehingga masyarakat sudah menganggapnya sebagai kejadian yang biasa. Seperti pertikaian di wilayah Pondok Timur Indah Kota Bekasi yang melibatkan Ormas Islam dan jemaat Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Kota Bekasi hampir terjadi setiap minggu. Persoalan mengenai kesahan rumah ibadah, lemahnya rasa toleransi, penguasaan masalah hingga permasalah sosial selalu dijadikan penyebab terjadinya konflik.24 Perselisihan terbaru terjadi di Bekasi Utara pada 7 Maret 2016 lalu. Perselisihan disebabkan penolakan umat muslim atas dibangunnya Gereja Santa Clara Bekasi Utara. Umat muslim berkisar 1000 orang berunjuk rasa “Ormas Islam dan Jamat HKBP Bentrok,” Tempo, 1 Agustus 2010, h. 5. 24 85 dan menyatakan tuntutan kepada Walikota Bekasi agar perizinan pembangunan Gereja Santa Clara dicabut karena dianggap melanggar ketentuan dan persyaratan pembuatan rumah ibadah.25 Pertikaian antaragama yang terjadi antara Islam dan Kristen ini menyebabkan munculnya sikap stereotip bagi pemeluk kedua agama ini. Pemahaman eksklusifitas agama para pemeluk agama membuat mereka sulit untuk berfikir terbuka dan bertoleransi. Hal inilah yang membuat kedua pemeluk agama tersebut beranggapan bahwa agama mereka yang terbaik dan tidak ada agama yang lebih baik dibanding agama mereka. Pemahaman eksklusifitas agama dan tindakan stereotip merupakan akar permasalahan yang dapat menimbulkan konflik antaragama. Jika dikaitkan dengan berbagai macam pertikaian yang terjadi serta adanya tindak stereotip antara pemeluk agama, maka hal pertama yang akan dijadikan pemecah masalah adalah tindakan komunikasi melalui sosialisasi tentang toleransi antaragama. Namun setelah melihat fenomena yang terjadi antara umat beragama di Kampung Sawah, maka pemikiran tersebut mungkin dianggap tidak penting sama sekali. Fenomena ini sejalan dengan pendapat Bakti yang membantah komunikasi sebagai sebuah Panacea. Nama Panacea terinspirasi dari nama dewi penyembuh Yunani yang dipercaya mampu mengobati segala jenis penyakit dan dipercaya dapat memanjangkan umur. Bakti menggunakan istilah Panacea dengan filosofi bahwa kebanyakan orang mengibaratkan komunikasi seperti Penecea yang dapat menyelesaikan berbagai permasalahan. “Masih Ada Konflik Pembangunan Gereja Santa Clara Bekasi,” Republika, 7 Maret 2016, h. 12. 25 86 Menurutnya komunikasi tidak selamanya dapat menyelesaikan permasalahan. Bakti juga mengatakan bahwa tidak efektifnya proses komunikasi bukan akibat dari adanya kesalahpahaman dalam berkomunikasi (misscommunication) tapi karena ada faktor lain yang mempengaruhi anggota komunikasi dalam menerima dan memproses pesan. Konsep Panacea yang digagas Bakti ditunjukkan untuk membuktikan apakah komunikasi berperan sebagai Penecea atau terdapat faktor lain yang mengalahkan peran komunikasi. Berbeda dengan pernyataan Fisher tentang paradigma Naratif dan Abbate, Boca dan Boccahiaro tentang stereotip, kenyataan yang terjadi pada hubungan antaragama di Kampung Sawah tidak berpengaruh pada sejarah perang salib antara Kristen dan Islam yang penuh pertikaian. Sebaliknya warga Kampung Sawah dapat hidup berdampingan dan hanya berpedoman pada sejarah pribadi nenek moyang mereka yang sudah rukun walaupun memiliki perbedaan keyakinan. Kerukunan warga Kampung Sawah ini membuktikan konsep Panacea dalam Teori Resepsi Aktif (Active-Reception Theory) milik Andi Faisal Bakti. Penecea ini menyanggah peran komunikasi sebagai sarana pemecahan masalah, karena terbukti dari fenomena kerukunan antaragama di Kampung Sawah bahwa timbulnya rasa toleransi dan kerukunan antaragama bukan berasal dari sosialisasi dari pemerintah kepada mesyarakat, tapi karena tradisi, sejarah dan identitas yang melekat pada masing-masing individu warga Kampung Sawah. 87 DeGenova dan Rice yang mengungkapkan dukungannya kepada konsep Peneceadalam teori Resepsi Aktif mengatakan bahwa keluarga adalah transmitor utama pengetahuan, nilai, perilaku, dan kebiasaan dari generasi ke generasi. Keluarga membentuk kepribadian seorang anak dan menanamkan pola pikir yang berdasarkan budaya serta agama yang mereka yakini, sehingga menjadikannya sebuah identitas dan kebiasaan.26 Menurut Liliweri, komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh orang yang berbeda latar belakang kebudayaannya. menurutnya perbedaan kebudayaan antara komunikator dan komunikan dalam komunikasi antarbudaya dijadikan sebagai hambatan karena perbedaan pandangan, pola pikir, struktur budaya dan iklim budaya.27 Hal ini terjadi karena setiap manusia sejak lahir akan ditanamkan identitasidentitas dalam dirinya, seperti identitas budaya, ras, etnis dan agama. Identitas tersebut akan tertanam kuat dalam diri manusia dan dijadikan pedoman dalam kehidupan sosialnya. Michael Hecht mengatakan bahwa identitas adalah penghubung utama antara individu dan masyarakat, sedangkan komunikasi adalah mata rantai yang memperbolehkan hal itu terjadi.28 Jadi dapat dipahami bahwa identitas adalah hal yang mencerminkan diri seseorang dalam masyarakat maupun 26 M.K DeGenova dan F.P Rice, “Why Examine Family Backgroud?,” dalamLarry A. Samovar, dkk., ed.,Communication Between Cultures (USA: Wadsworth Cangage Learning, 2009), h. 54. 27 Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 10. 28 Michael L. Hecht, “The Communication Theory of Identity: Development, Theoritical Perspective, and Future Directions,” dalam Stephen Littlejohn dan Karen A. Foss, ed., Teori Komunikasi. Penerjemah Muhammad Yusuf Hamdan (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), h. 131. 88 dalam sebuah proses komunikasi. Peran identitas dalam sebuah proses komunikasi juga dapat berpengaruh pada keefektifan komunikasi. Menurut Ting-Toomey, komunikasi yang dilakukan oleh kelompok dengan identitas yang sama akan mengalami kelebihan dalam persamaan pendapat, keterikatan, kedekatan, dan kejelasan. Sedangkan komunikasi dengan kelompok identitas yang berbeda akan lebih mengalami perbedaan, ketidakjelasan dan kerentanan dalam komunikasinya.29 Ting-Toomey menganggap identitas sebagai gambaran diri yang merefleksikan asal keluarga, gender, budaya, etnis, agama dan proses sosialisasi individu. Identitas pada dasarnya merujuk pada pandangan tentang diri sendiri ataupun pandangan orang lain mengenai diri kita.30 C. Peluru dan Bumerang Peluru dan bomerang yang dimaksud, berujuk pada konsep yang dikembangakan Bakti dari pernyataan Ravault. Dalam hal ini, peluru dan bumerang yang dimaksud adalah respons komunikan dalam menerima pesan dari komunikator. Dalam proses komunikasi yang difikirkan Ravault dan Bakti, komunikan dijadikan sebagai sosok penentu efektif atau tidaknya sebuah komunikasi. Pesan yang disampaikan oleh komunikator nantinya akan melalui beberapa tahap. Dalam tahapan tersebut, terdapat beberapa hal yang menjadi pertimbangan komunikan dalam menerima pesan, diantaranya 29 Stella Ting-Toomey, “Identity Negotiation Theory: Crossing Cultural Boundaries,” dalam Stephen Littlejohn dan Karen A. Foss, ed., Teori Komunikasi. Penerjemah Muhammad Yusuf Hamdan (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), h. 133. 30 S. Ting-Toomey, “Identity Negotiation Theory: Crossing Cultural Boundaries,” dalam Larry A. Samovar, dkk., ed., Communication Between Cultures (USA: Wadsworth Cangage Learning, 2009), h.154. 89 hubungan, perhatian, tujuan, situasi dan kondisi, kedekatan hubungan, konsekuensi yang mungkin didapat, dan banyak lagi. Adapun pengertian peluru yang dimaksud adalah respons komunikan dalam menerima pesan. Dalam konsep peluru, komunikan diibaratkan sebagai target sebuah penembakan yang jika sudah tepat sasaran, maka peluru yang ditembakkan tidak akan bisa dihindari oleh korban. Contoh sederhana, ketika seorang penjualmenawarkan produkkesehatan herbal dengan iming-iming hadiah yang menggiurkan kepada seorang tukang ojek yang memang tidak memiliki pengalaman dan pengetahuan terkait produk tersebut maka akan dengan mudah mempercayai penjualtersebut tanpa mempertimbangkan kebenaran dan keaslian produk. Berbeda halnya apabila penjual tersebut menawarkannya kepada seorang dokter spesialis penyakit dalam yang memang sudah mengerti bahaya dan kegunaan obat-obatan herbal. Dalam hal ini, komunikasi yang dilakukan penjual dengan dokter tersebut akan berbentuk sebagai sebuah bumerang yang akan berbalik dan menyerang sales tersebut. Jika kembali kepada permasalahan di kampung sawah, peran identitas sebagai ciri khas dan pembeda antarkelompok juga dianggap sebagai hal yang penting bagi warga Kampung Sawah. Kentalnya identitas budaya Betawi di Kampung Sawah memiliki keunikan tersendiri dibandingkan budaya Betawi di wilayah lain. Hal ini terlihat dari inkulturasi yang terjadi, dimana pakaian khas Betawi seperti peci, baju koko, dansarung yang selama ini identik sebagai ciri khas seorang muslim justru lebih banyak dipakai oleh umat kristiani. “Kebiasaan Kampung Sawah ini bisa dibilang unik,” kata Nur 90 AliAkbar. “Disini, jemaat nasrani beribadah menggunakan pakaian khas Betawi. Padahal Betawi terlanjur identik dengan nilai-nilai Islam..” tambahnya.31 Saat dimintai tanggapan seputar umat kristiani Kampung Sawah yang menggunakan atribut seperti peci, sarung dan baju koko, K.H Zamaksari selakuKetua I Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota bekasi mengaku sedikit kaget dengan adanya fenomena tersebut.“Kebiasaan orangorang kristen di kampung sawah memang cukup unik. Awalnya, saya juga sempet negur mereka karena berpakean kaya gitu. Tapi pas mereka jelasin kalo peci, baju koko ama sarung yang mereka pake itu wakilin budaya betawi ya saya ga bisa larang.” Katanya.32 Rahmadin mengakui toleransi antar umat beragama telah mengakar di sana. Ini lantaran setiap orang terikat identitas sama, yakni penduduk Kampung Sawah. “Karena masih satu keturunan, bahasanya sama dan penduduk asli, jadi kita tidak ada masalah. Saling menghormati dan menghargai,” katanya. “Kalau baju muslim kan jilbab, dia pakai kerudung, kebaya. Ada juga baju koko,” ujarnya. “Baju koko itu baju Cina, cuma dipakai orang Betawi.”.33 Umat kristiani Kampung Sawah mayoritas berbudaya Betawi, menciptakan keunikan tersendiri karena inkulturasi antara agama Kristen dengan budaya betawi. Inkulturasi yang terjadi di Kampung Sawah diwujudkan dengan penggunaan atribut yang selama ini identik dengan agama 31 Wawancara Pribadi dengan Nur Ali Akbar, Bekasi, 28 Maret 2016. Wawancara Pribadi dengan Zamaksari, Bekasi, 23 Februari 2016. 33 Wawancara Pribadi dengan Rahmadin Afif. 32 91 Islam seperti peci, baju koko dan sarung oleh umat kristiani sudah berjalan sejak awal abad 19.34 Wakil Ketua Dewan Gereja Kristen Protestan Pasundan Kampung Sawah, Matheus Nalih Ungin, mengatakan penggunaan adat tersebut dimulai sejak ada umat perdana yang mengikrarkan diri sebagai pemeluk Protestan pada 1896. Menurutnya, tradisi adat Betawi di gereja itu sempat memudar. Namun seiring bergantinya pastor yang menetap di Kampung Sawah, akhirnya penggunaan adat Betawi kembali dibudayakan. “Sekarang sejarah itu dicoba untuk tetap dijaga dan dipertahankan,” kata Nalih.35 Gereja memandang penggunaan adat ada baiknya, karena kebudayaan dapat menjadi petunjuk peradaban suatu masyarakat yang sekaligus digunakan sebagai perekat antarsesama dalam kehidupan yang beragam. Nalih mengatakan, “harapan besar bahwa umat dapat mendekatkan diri pada Tuhan sesuai dengan tradisi dan kebiasaan sehari-hari dengan tetap mengacu pada pakem ekaristi gereja.” Nalih menjelaskan bahwa tradisi tersebut diniatkan untuk mengkolaborasi sekat-sekat perbedaan. Sehingga, hubungan antarsesama warga di Kampung Sawah semakin rukun, saling menghormati, dan menghargai dengan mengeleminasi suku, ras, dan agama.36 Kentalnya identitas budaya Betawi di Kampung Sawah, membuat masyarakatnya sudah terbiasa menggunakan pakaian khas Betawi tanpa memandang agama apa yang diyakininya. Meski berbeda agama, kerukunan antara umat Nasrani dan Islam dapat tercipta begitu kuat. Rahmadin juga mengatakan kebudayaan Kampung Sawah tidak banyak memiliki perbedaan 34 Wawancara Pribadi dengan Rahmadin Afif, Bekasi, 28 Februari 2016. Wawancara Pribadi dengan Matheus Nalih. 36 Wawancara Pribadi dengan Matheus Nalih. 35 92 dengan adat Betawi meski secara geografis tidak masuk wilayah Jakarta. Dia membenarkan kelompok Nasrani menggunakan simbol-simbol Betawi untuk melestarikan budaya. “Karena bahasanya juga sama sih. Di sini kan omongnya sama dengan Betawi,” katanya. “Makanya gereja Katolik ini menghidupkan budaya Betawi.” Walaupun begitu, Rahmadin tidak menampik ada penolakan dari komunitas Islam saat kalangan Katolik mengenakan simbol-simbol Betawi dan Islam. Tetapi masyarakat akhirnya dapat menerima setelah mendapat penjelasan dari kelompok Katolik.37 “Kebiasaan Kampung Sawah ini bisa dibilang unik,” kata Mohamad Ali. Jemaat Nasrani beribadah menggunakan pakaian khas Betawi. Padahal Betawi terlanjur identik dengan nilai-nilai Islam. Namun, saat peneliti menemui Jacobus Napiun selaku pengurus Gereja St. Servatius Kampung Sawah dan menanyakan pendapatnya seputar tradisi berpakaian Betawi yang identik dengan ajaran islam, Jacobus menjawab tidak sependapat dengan pandangan tersebut. “Kami tidak mau ada dikotomi seolah ini produk orang muslim. Ini produknya orang Kampung Sawah.” Jelasnya.38Dani Musa menambahkan, “Kalau lebaran, selain wargaKampung Sawah pasti susah membedakan mana muslim dan mana Kristen,” lanjut Musa.39 Sekretaris Kelurahan Jati Murni Mohamad Ali menjelaskan kadang warga dari masing-masing agama saling bertukar makanan saat hari raya tertentu. Dia mencontohkan saat Natal jemaat Nasrani memberi makanan kepada orang Islam. Begitu juga sebaliknya, orang Islam berbagi hal serupa atau istilahnya balikin rantang. Alhasil, suasana kehidupan beragama di Kampung Sawah 37 Wawancara Pribadi dengan Rahmadin Afif. Wawancara Pribadi dengan Jacobus Napiun. 39 Wawancara Pribadi dengan Musa Dani. 38 93 berjalan kondusif. Bahkan mereka saling menjaga keamanan dan ketertiban saat tiap penganut agama beribadah. Misalnya kalau Natal ada organisasi kemasyarakatan Islam menjaga parkir jemaat Nasrani. Begitu pula sebaliknya ketika Idul Fitri. “Itu berjalan alami dan tanpa dikomandoi,” kata Ali.40 Rahmadin juga mengakui, “Kalau lebaran, kami biasa mengirim rantang dan saling berkunjung.”41 Keunikan lain dari hubungan antara umat muslim, Katholik dan Protestan adalah ketika ada kematian, warga serempak melayat tanpa mempertimbangakan agama yang diyakini oleh almarhum. Mereka membantu semampunya, dan turut mengantarkan jenazah. Saat tahlilan, warga nonmuslim menunggu di luar rumah. Begitu acara usai, semua bergabung mencicipi hidangan atau sekadar bercengkerama. Begitu pula ketika penghiburan. Kerabat muslim akan menunggu di luar, sampai acara ritualnya selesai. Penggabungan keyakinan iman dan tradisi di Kampung Sawah juga masih terjaga. Tradisi sekedah bumi salah satunya, tradisi tahunan umat Katolik Paroki Santo Servatius Kampung Sawah, merupakan acara tahunan yang telah berlangsung puluhan tahun lalu.“Ada sebuah tradisi berkembang di masyarakat seperti kenduri. Kami sebut itu sedekah bumi,” ujar Jacobus. “Itu ditempatkan dalam sebuah ritual. Ini kan tema pokoknya bersyukur baik dalam komunitas kecil atau besar.”42 Sedekah bumi identik dengan persembahan hasil panen, seperti padi dan sayur-mayur lainnya. Kini ketika zaman mulai modern, representasi rasa 40 Wawancara Pribadi dengan Mohamad Ali, Bekasi, 3 Maret 2016. Wawancara Pribadi dengan Rahmadin Afif. 42 Wawancara Pribadi dengan Jacobus Napiun, Bekasi, 1 Maret 2016. 41 94 syukur tetap terjaga, meski mereka tak lagi bertani. Acara ini telah berlangsung sejak tahun 1996, diperingati setiap 13 Mei ini selain wujud ungkapan syukur, juga dikaitkan dengan hari pelindung paroki tersebut, yakni Santo Servatius.43 Saat peringatan ini, seluruh jemaat mengenakan pakaian adat Betawi, kebaya dan kerudung bagi perempuan serta baju jawara atau baju koko bagi laki-laki. Jacobus mengungkapkan hal ini merupakan bagian dari upaya melestarikan kebudayaan Betawi sudah lama ada di Kampung Sawah. Dia pun akrab dengan busana tradisional Betawi. Dia sering berbaju koko dan berpeci tidak hanya saat beribadah, melainkan juga ketika menghadiri undangan hajatan. Bahkan beberapa orang kerap memanggilnya ustadz karena penampilannya yang islami dan menyerupai penampilan ustadz pada umumnya. Lewat acara ini umat diajak untuk berbagi segala hasil karya dan berkat. Rasa syukurnya dinyatakan dengan cara berbagi. Seusai Misa, umat menyantap makanan bersama yang disajikan dalam meja besar. Berbagi dan bersyukur, wujud ini tak ditinggalkan dengan mengundang pula tokoh-tokoh Betawi setempat. Bahkan, pengiring gambang kromong pun berasal dari berbagai agama seperti Kristen, Islam dan Budha. Selain mensyukuri berkat Tuhan, umat dan gereja bersyukur atas kerukunan dan kedamaian, serta kesempatan gereja berdiri dan berkembang. Bukan hanya tradisi sedekah bumi, tradisi lain seperti Ngaduk Dodol juga masih menajadi tradisi yang tidak pernah punah dan selalu dinantikan 43 Wawancara Pribadi dengan Jacobus Napiun, Bekasi, 1 Maret 2016. 95 masyarakat Kampung Sawah. Mengaduk dodok biasanya dilakukan sehari sebelum perayaan sedekah bumi, mulai pukul 02.00 dini hari hingga pagi hari ketika Misa selesai.Setelah diberkati Uskup, dodol bisa dinikmati umat. Tradisi Ngaduk dodol memiliki makna mendalam bagi masyarakat, karena proses pembuatan yang memakan waktu lebih dari tujuh jam dan diaduk secara bergantian mengajarkan kesabaran, toleransi, solidaritas dan gotong royong. Sedekah bumi yang telah dimulai 40 tahun lalu tetap terjaga, sebab wujud keimanan dan rasa syukur hendaknya menjadi bagian dari keimanan itu sendiri. Untuk menjaga dan meningkatkan komunikasi antar penganut agama terdapat wadah bernama Paguyuban Umat Beragama (PUB). Lembaga ini digunakan warga untuk kegiatan sosial kemasyarakatan di Kecamatan Pondok Melati, khususnya di Kampung Sawah. “Pengurusnya dari Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha. Jadi kegiatan ini sifatnya sosial, tidak ada hubungannya dengan akidah,” tutur Jacobus Napiun, yang merupakan salah satu pengurus PUB Pondok Melati. Lelaki asli Kampung Sawah ini bahkan berani bertaruh identitas semacam itu tidak ada di daerah lain. “Tradisi Kampung Sawah bukan produk dari generasi sekarang, melainkan sejak nenek moyang kami,” ucapnya.44 D. Tarik Ulur, Dominasi atau Penolakan Tarik ulur, dominasi dan penolakan adalah level dalam konsep negosiasi karangan Hall, yang dikembangkan dalam teori resepsi aktif. Negosiasi adalah proses antara menolak dan menerima pesan yang dikirimkan oleh 44 Wawancara Pribadi dengan Jacobus Napiun. 96 komunikator. Dalam proses negosiasi, seorang komunikan memiliki peran penuh untuk menentukan pilihannya. Tarik ulur diibaratkan sebagai tahap awal komunikan dalam mempertimbangkan pesan yang diterimanya dengan informasi yang sudah tertanam dalam pikirannya. Sedangkan dominasi dan penolakan adalah tahapan ketika komunikan sudah memutuskan untuk menerima atau menolak pesan tersebut. Hak asasi manusia yang paling esensial dalam hidup adalah hak kemerdekaanatau kebebasan salah satunya kebebasan dalam memilih kepercayaan atau agama. Kebebasan merupakan hak yang fundamental bagi manusia sehingga hal ini yang dapat membedakan manusia dengan makhluk yang lainnya. Kebebasan beragama di sini bebas memilih suatu kepercayaan atau agama yang menurut mereka paling benar dan membawa keselamatan tanpa ada yang memaksa atau menghalanginya. Kemerdekaan telah menjadi salah satu pilar demokrasi dari tiga pilar revolusi di dunia. Ketiga pilar tersebut adalah persamaan, persaudaraan dan kebebasan.45Kebebasan beragama atau rohani diartikan sebagai suatu ungkapan yang menunjukkan hak setiap individu dalam memilih keyakinan suatu agama.46 Rahmadin mengakui bahwa saat menikah, baik mempelai pria maupun wanita saling memeluk agama yang sama, baik itu Islam maupun Kristen. Namun, setelah beberapa tahun pernikahan suami atau istri yang awalnya tidak memeluk agama tersebut akan kembali ke agama awal yang 45 Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam. Penerjemah A. Abdussamad (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 22. 46 Al Mu’tal As Saidi, Kebebasan Berfikir dalam Islam (Yogyakarta: Adi Wacana, 1999), h. 4. 97 diyakininya, bahkan mengajak istri dan anaknya untuk ikut berpindah agama.47 Peneliti mengambil contoh dari keluarga bapak Tegar Napiun atau yang kerap disapa pak Engkar yang merupakan salah satu sesepuh di Kampung Sawah. Bapak Engkar menikah dengan Maesaroh yang awalnya adalah seorang muslimah namun berpindah agama menjadi Katholik. Setelah tujuh tahun pernikahan, Maesaroh atau yang akrab dipanggil Aroh ini memutuskan untuk kembali memeluk Islam. Maesaroh mengakui sempat merasa takut dan khawatir untuk kembali memeluk Islam, namun dengan tekad yang bulat akhirnya dia kembali mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi seorang muslimah. “ya awalnya gitu, bapak marah terus. Tapi saya tetep patuh agama.” kata Maesaroh. “pernah pas idul adha, sehabis saya pulang dari masjid. Bapak bawa gunting, walaupun nanti saya ditimpuk pake gunting, saya tetep ngikutin agama saya.” tuturnya.48 Meskipun pernah terjadi pertentangan, seiring berjalannya waktu kehidupan rumah tangga Engkar dan Aroh kembali rukun. Engkar juga mengakui bahwa urusan agama tidak dapat dipaksakan dan dia juga meyakini bahwa seluruh agama pada hakekatnya baik. “ya kalo sekarang mungkin ini cobaan bagi diri saya di saat mengatasi masalah tentang keagamaan ini. Tapi bagi saya yang terpenting itu kerukunan. Jadi tidak ada yang mengina dan membanding-bandingkan agama. Yang bagus itu kan agamanya tapi manusianya yang laen” Kata Engkar.49 47 Wawancara Pribadi dengan Rahmadin Afif, Bekasi, 28 Februari 2016. Wawancara Pribadi dengan Maesaroh, Bekasi, 29 Februari 2016. 49 Wawancara Pribadi dengan Tegar Napiun, Bekasi, 29 Februari 2016. 48 98 Tindakan yang dilakukan Aroh merupakan salah satu bentuk Tindakan Afirmatif (Affirmative Action), yaitu tanggapan dari tindak diskriminasi yang banyak terjadi di berbagai negara. Tindakan afirmatif diibaratkan sebagai pengambilan sisi positif dari tindak diskriminasi dan menjadikannya dorongan dan motivasi untuk bangkit. Teori ini berisi upaya untuk membuat kaum minoritas dapat bangkit dan bertahan ditengah tekanan kaum mayoritas.50 Neumann mendefinisikannya sebagai kelompok Hard Core yang terbentuk karena adanya motivasi dan dorongan dari dalam diri dan lingkungannya sehingga mereka akan memberanikan diri untuk bangkit. Hard Core adalah kelompok yang tetap mempertahankan prinsip mereka tanpa memperdulikan ancaman isolasi dari kaum mayoritas. Kelompok ini membuktikan bahwa minoritas yang aktif, akan lebih mudah mempengaruhi sekitarnya dibandingkan mayoritas yang pasif.51 Hal menarik lain adalah pada saat perkawinan yang seagama (Kristen dengan Kristen), nama marganya tetap ada dan dipakai di belakang namanya. Lain halnya, jika pindah ke Islam terkadang nama marganya menjadi hilang dan tidak dipakai, atau kadang dipakai tetapi dengan disingkat saja, kemungkinan berubah menjadi bin bukan marga. Peneliti mengambil contoh keluarga Bapak Yohanes Dani yang merupakan salah satu warga Kampung Sawah. Yohanes memiliki istri bernama Elizabet yang merupakan pemeluk agama Katholik. Yohanes dan Elizabeth memiliki lima anak yaitu Veronika 50 Rachel Kranz, Affirmative Action, h. 4. Noelle-Neumann. E, The Spiral of Silence: Public Opinion Our Social Skin, h. 170. 51 99 Dani, Ruginah Dani, Agustinus Dani, Marcelio Dani, dan Alexander Dani. Seluruhnya beragama Kristen Katolik. Sekitar tahun 2010, anak beliau Veronika menikah dengan lelaki muslim bernama Husaini. Akhirnya Veronika pindah menjadi muslim dan mengganti namanya menjadi Veronica bin Dani. Peneliti sempat mewawancarai kepindahan agama mereka dan Veronika menjawab bahwa kepindahan agama mereka lebih disebabkan mengikuti keyakinan suami dan dia tidak menyesali hal itu. Ini disebabkan peristiwa perpindahan agama telah menjadi hal yang biasa di Kampung Sawah.52 Itupun diakui oleh ayahnya Veronika, Bapak Yohanes, bahwa tradisi di Kampung Sawah urusan agama diserahkan masing-masing anak. Sebab hal ini akan menjadi pilihan dalam hidupnya, asalkan dengan kesungguhan dan kesadaran dari dirinya. Hal itu dianggap sesuatu yang lumrah dan biasa pada tradisi beragama Kampung sawah. KH Rahmadin Afif selaku pengasuh Pesantren Fisabilillah sendiri mempunyai saudara sepupu yang menjadi tokoh Protestan dan Katolik, salah satunya Musa Dani yang merupakan sesepuh Protestan Gereja St. Servatius Kampung Sawah. Persaudaraan mereka tak terganggu.53 Martin dan Nakayama yang menceritakan bahwa manusia saat pertama kali lahir dalam keadaan tidak mengetahui apapun, oleh karena itu manusia belajar bagaimana makan, minum, berbicara dan berinteraksi seperti anggota kelompok budayanya. Pemikiran manusia bagaimana menjadi seseorang adalah dengan cara mengikuti apa yang dilakukan oleh keluarga dan orang 52 Wawancara Pribadi dengan Veronika Dani, Bekasi, 29 Februari 2016. Wawancara Pribadi dengan Yohanes Dani, Bekasi, 29 Februari 2016. 53 100 sekitarnya. Mereka mengidentifikasikan bahwa budaya dapat dipelajari, melibatkan persepsi dan nilai, disebarkan, diekspresikan menjadi sebuah kebiasaan, dan dinamis serta heterogen.54 Proses enkulturasi sangat tampak seperti mereka mengajarkan kepada keturunannya bahwa di Kampung Sawah selain agamaIslam juga ada agama Kristen sehingga diajarkan tentang hidup salingmenghargai, menghormati walaupun berbeda agama dan pendapat. Ini adalahproses pembelajaran nilai dan norma hidup dalam pluralitas (kemajemukanagama), sehingga akan membentuk sikap saling menghormati serta menyayangidiantara mereka. Etika yang harus dilaksanakan dari sikap toleransi setelah memberikan kebebasan beragama adalah menghormati eksistensi agama lain dengan pengertian menghormati keragaman dan perbedaan ajaran-ajaran yang terdapat pada setiap agama dan kepercayaan yang ada baik yang diakui negara maupun belum diakui oleh negara. Menghadapi realitas ini setiap pemeluk agama dituntut agar senantiasa mampu menghayati sekaligus memposisikan diri dalam konteks pluralitas dengan didasari semangat saling menghormati dan menghargai eksistensi agama lain. Dalam bentuk tidak mencela atau memaksakan maupun bertindak sewenang-wenangnya dengan pemeluk agama lain.55 Tradisi atau kebiasaan sebuah budaya, terutama budaya Betawi tentunya melekat dengan ajaran-ajaran Islam. Namun di Kampung Sawah, Tradisi seperti sedekah, silahturahmi, dan berbagi makanan bukan hanya dilakukan 54 Judith N. Martin dan Thomas K. Nakayama, Experiencing Intercultural Communication: an Introduction (New York: McGraw-Hill, 2005), h. 28. 55 Ruslani, Masyarakat Dialog Antar Agama: Studi Atas Pemikiran Muhammad Arkoun (Yogyakarta: Yayasan Bintang Budaya, 2000), h. 169. 101 oleh umat muslim, melainkan seluruh penduduk Kampung Sawah termasuk umat Kristiani. Keadaan Kampung Sawah sebagai wilayah multikultural membuat tradisi tersebut diartikan sebagai tradisi dari budaya Betawi tanpa mengaitkannya dengan ajaran Islam. Dewan Pendidikan YASFI, Nur Ali Akbar menjelaskan warga dari masing-masing agama saling bertukar makanan saat hari raya tertentu. Dia mencontohkan saat Natal jemaat Nasrani memberi makanan kepada orang Islam. Begitu juga sebaliknya, orang Islam berbagi hal serupa atau istilahnya balikin rantang. Alhasil, suasana kehidupan beragama di Kampung Sawah berjalan kondusif. Bahkan mereka saling menjaga keamanan dan ketertiban saat tiap penganut agama beribadah. Misalnya kalau Natal ada organisasi kemasyarakatan Islam menjaga parkir jemaat Nasrani. Begitu pula sebaliknya ketika Idul Fitri. “Itu berjalan alami dan tanpa dikomandoi,” kata Ali.56 Rahmadin juga mengakui, “Kalau lebaran, kami biasa mengirim rantang dan saling berkunjung.”57“Kalau lebaran, selain warga Kampung Sawah pasti susah membedakan mana muslim dan mana Kristen,” lanjut Musa.58 Dalam surat Al-Maidah ayat 48 diterangkan bahwa terjadinya pluralisme merupakan salah satu ujian bagi umat muslim untuk tetap teguh pada keyakinannya sebagai pemeluk agama Islam. 56 Wawancara Pribadi dengan Nur Ali Akbar, Bekasi, 3 Maret 2016. Wawancara Pribadi dengan Rahmadin Afif., Bekasi, 29 Februari 2016. 58 Wawancara Pribadi dengan Musa Dani, Bekasi, 29 Februari 2016. 57 102 Artinya: “Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu, Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” Toleransi antar umat beragama merupakan perbuatan terpuji baik dari sudut pandang sosial maupun agama, namun toleransi dalam urusan aqidah 103 tidak didukung dalam agama Islam seperti yang tertera dalam surat AlKafirun ayat 6 dan Al-Imran ayat 118, yang berbunyi: Artinya: “untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” Jika dilihat dari dua ayat diatas, maka pesan yang pertama kali didapat adalah peringatan untuk berhati-hati dalam menjalin hubungan dengan orangorang selain Islam baik dalam keluarga, persaudaraan, pertemanan atau yang lainnya. Meskipun begitu, sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk bersosialisasi dengan lingkungan dan masyarakatnya baik dengan segolongan dengannya maupun tidak. Hal ini juga tertera dalam surat Al-Mumtahanah ayat 8-9, yang berbunyi: 104 Artinya: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orangorang yang berlaku adil (8) Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim(9)”. Pada hakekatnya Islam pun menghargai adanya pluralitas (kemajemukan, keberagaman, perbedaan) selama kemajemukan itu tidak memerangi, menistai dan melecehkan agama. Tetapi Islam tidak menerima pluralisme agama, contohnya keberagaman agama dalam satu keluarga. Jika pluralitas itu terjadi, itu berarti Islam harus membenarkan keimanan/prinsip dasar orang kafir. Maka dari itu, ajaran Islam menolak pluralisme agama, seperti dalam surat Al-Baqoroh ayat 221, surat Al-Mumtahanah ayat 1 dan Al-Mujadillah ayat 22, yang berbunyi: 105 Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” 106 Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; Padahal Sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. dan Barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, Maka Sesungguhnya Dia telah tersesat dari jalan yang lurus.” Artinya: “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. meraka Itulah orang-orang 107 yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. mereka Itulah golongan Allah. ketahuilah, bahwa Sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” Keunikan lain dari hubungan antara umat muslim, Katholik dan Protestan adalah ketika ada kematian, mempertimbangakan agama warga yang diyakini serempak melayat tanpa oleh almarhum. Mereka membantu semampunya, dan turut mengantarkan jenazah. Saat tahlilan, warga non-muslim menunggu di luar rumah. Begitu acara usai, semua bergabung mencicipi hidangan atau sekadar bercengkerama. Begitu pula ketika penghiburan. Kerabat muslim akan menunggu di luar, sampai acara ritualnya selesai. Kebiasaan ini agak bertentangan dengan surat At-Taubah ayat 113 yang berbunyi: Artinya:Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum Kerabat (Nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam. 108 Penggabungan keyakinan iman dan tradisi di Kampung Sawah juga masih terjaga. Tradisi sekedah bumi salah satunya, tradisi tahunan umat Katolik Paroki Santo Servatius Kampung Sawah, merupakan acara tahunan yang telah berlangsung puluhan tahun lalu. “Ada sebuah tradisi berkembang di masyarakat seperti kenduri. Kami sebut itu sedekah bumi,” ujar Jacobus. “Itu ditempatkan dalam sebuah ritual. Ini kan tema pokoknya bersyukur baik dalam komunitas kecil atau besar.”59 Sedekah bumi identik dengan persembahan hasil panen, seperti padi dan sayur-mayur lainnya. Kini ketika zaman mulai modern, representasi rasa syukur tetap terjaga, meski mereka tak lagi bertani. Acara ini telah berlangsung sejak tahun 1996, diperingati setiap 13 Mei ini selain wujud ungkapan syukur, juga dikaitkan dengan hari pelindung paroki tersebut, yakni Santo Servatius.60 Saat peringatan ini, seluruh jemaat mengenakan pakaian adat Betawi, kebaya dan kerudung bagi perempuan serta baju jawara atau baju koko bagi laki-laki. Jacobus mengungkapkan hal ini merupakan bagian dari upaya melestarikan kebudayaan Betawi sudah lama ada di Kampung Sawah. Dia pun akrab dengan busana tradisional Betawi. Dia sering berbaju koko dan berpeci tidak hanya saat beribadah, melainkan juga ketika menghadiri undangan hajatan. Bahkan beberapa orang kerap memanggilnya ustadz karena penampilannya yang islami dan menyerupai penampilan ustadz pada umumnya. 59 Wawancara Pribadi dengan Jacobus Napiun, Bekasi, 1 Maret 2016. Wawancara Pribadi dengan Jacobus Napiun, Bekasi, 1 Maret 2016. 60 109 Lewat acara ini umat diajak untuk berbagi segala hasil karya dan berkat. Rasa syukurnya dinyatakan dengan cara berbagi. Seusai Misa, umat menyantap makanan bersama yang disajikan dalam meja besar. Berbagi dan bersyukur, wujud ini tak ditinggalkan dengan mengundang pula tokoh-tokoh Betawi setempat. Bahkan, pengiring gambang kromong pun berasal dari berbagai agama seperti Kristen, Islam dan Budha. Selain mensyukuri berkat Tuhan, umat dan gereja bersyukur atas kerukunan dan kedamaian, serta kesempatan gereja berdiri dan berkembang.Jika dilihat dari tradisi tersebut, secara tidak langsung mengajak umat muslim untuk mengukuti tradisi umat kristiani dan bersama memperingarti hari kebesaran mereka. Bukan hanya tradisi sedekah bumi, tradisi lain seperti Ngaduk Dodol juga masih menajadi tradisi yang tidak pernah punah dan selalu dinantikan masyarakat Kampung Sawah. Mengaduk dodok biasanya dilakukan sehari sebelum perayaan sedekah bumi, mulai pukul 02.00 dini hari hingga pagi hari ketika Misa selesai. Setelah diberkati Uskup, dodol bisa dinikmati umat. Tradisi Ngaduk dodol memiliki makna mendalam bagi masyarakat, karena proses pembuatan yang memakan waktu lebih dari tujuh jam dan diaduk secara bergantian mengajarkan kesabaran, toleransi, solidaritas dan gotong royong. Sedekah bumi yang telah dimulai 40 tahun lalu tetap terjaga, sebab wujud keimanan dan rasa syukur hendaknya menjadi bagian dari keimanan itu sendiri.Dari Umar radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda: “Aku diutus dengan pedang menjelang hari kiamat hingga mereka menyembah Allah Ta’ala semata dan tidak mempersekutukanNya dengan 110 sesuatupun, dan telah dijadikan rizkiku di bawah bayangan tombakku, dijadikan kehinaan dan kerendahan bagi siapa yang menyelisihi perkaraku. Dan barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian dari mereka” (HR Ahmad, dishahihkan oleh Al Albani) Hubungan toleransi tinggi antaragama di Kampung Sawah memang merupakan hal yang baik demi menghindari terjadinya konflik dan ketegangan antaragama. Namun kedekatan yang melebihi batas wajar bahkan menyalahi ajaran Islam tentu harus dihindari. Oleh sebab itu, sebagai umat beragama sekaligus makhluk sosial, manusia diwajibkan untuk mampu menempatkan diri sesuai dan dapat bermasyarakat dengan baik tanpa harus mengorbankan aqidah yang telah tertanam dalam dirinya. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Kesimpulan skripsi ini adalah jawaban dari pertanyaan turunan penelitian. Berdasarkan fakta dan hasil data yang ditemukan, maka jawaban dari pertanyaan turunan penelitian yang dirumuskan peneliti adalah: 1. Kegiatan penyebaran agama Kristen di Kampung Sawah dilakukan dengan cara paksaan (coersion). Sekitar tahun 1960, misionaris Kristen memaksa anak-anak yatim untuk memeluk Kristen lalu ditampung di yayasan yatim piatu milik Kristen yang dikenal dengan pondok damai. Namun, saat ini kegiatan penyebaran agama dilakukan dengan cara seduksi (bujukan) dan biasa menggunakan ikatan pernikahan. 2. Rasa toleransi antaragama yang selama ini dianggap dapat tumbuh melalui komunikasi dan sosialisasi, sebaliknya dianggap tidak penting sama sekali. Penduduk Kampung Sawah lebih mengandalkan tali persaudaraan dan kekeluargaan untuk membangun rasa toleransi antaragama. Jadi yang berperan sebagai obat manjur dalam sebuah hubungan sosial dan toleransi antaragama bukanlah komunikasi melainkan keterikatan persaudaraan dan kesamaan identitas warga Kampung Sawah 3. Terdapat dua tindakan yang dilakukan umat muslim saat menghadapi kegiatan penyebaran agama Kristen, yaitu menurut dan masuk agama Kristen atau tetap meyakini Islam. Peneliti juga menemukan kejadian 111 112 sebaliknya, yaitu umat kristiani tersebut yang akhirnya berpindah agama dan menjadi muslim. 4. Peneliti juga menyimpulkan bahwa penduduk Kampung Sawah baik muslim maupun kristiani merupakan individu-individu yang aktif dalam menginterpretasikan pesan yang mereka dapat. Menurut pengamatan, peneliti juga menyimpulkan bahwa mereka adalah tipe orang yang akan melakukan apapun yang menurut mereka benar tanpa memperdulikan ancaman dari pihak luar. Dalam hal ini, respons yang ditunjukkan umat muslim bervariasi, karena ada yang menerima kegiatan penyebaran agama Kristen bahkan memutuskan untuk memeluk agama Kristen, adapula yang mempertahankan kepercayaannya pada Islam dan menolak kegiatan penyebaran agama tersebut, serta ada pula umat kristiani tersebut yang justru menyadari kebenaran Islam dan memutuskan untuk meninggalkan agamanya dan menjadi seorang muallaf. B. Saran Setelah melakukan penelitian dan menyimpulkan hasil penelitian, peneliti mengajukan beberapa saran kepada pembaca ataupun akademisi yang tertarik untuk mengembangkan penelitian ini, diantaranya: 1. Peneliti hendaknya melihat dari berbagai pandangan dan tidak memihak kepada satu kelompok atau golongan. 113 2. Peneliti lebih baik menentukan fokus penelitian mengenai kerukunan umat beragama Kampung Sawah, karena peneliti menganggap masalah tersebut lebih menarik untuk diteliti. 3. Peneliti harus mencari dan menyelidiki terlebih dahulu latar belakang narasumber yang akan diwawancarai demi menghindari kesalahan informasi yang diberikan, karena ada beberapa informan yang ternyata memiliki keberpihakan kepada satu golongan sehingga mengungkapkan informasi yang tidak jujur. DAFTAR PUSTAKA Abbate,C.S. dkk. “Stereotyping in Persuasive Communication: Influence Exerted by Disapproved Source.” Dalam Larry A. Samovar, dkk. ed. Communication Between Cultures. USA: Wadsworth Cangage Learning, 2009: h. 201. Ahmadi, A dan Supriono, W. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta, 1990. As Saidi,Al Mu’tal. Kebebasan Berfikir dalam Islam. Yogyakarta: Adi Wacana, 1999. Badan Pusat Statistik (BPS). Hasil Sensus Penduduk 2010: Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia.Jakarta: BPS, 2010. Bakti, Andi Faisal.Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi Muslim Perceptions of a Global Development Program. Jakarta: INIS, 2004. Bakti, Andi Faisal. “Mayor Conflicts In Indonesia: How Can Communication Contribute to a Solution?,” Review of Human Factor Studies, vol. 6, no. 2 (Desember 2000): h. 33. Baron, R. A dan Byrne, D. Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga, 2002. Bazerman, dkk. “Negotiation : Annual Review of Psychology.” Dalam Charles R. Berger, dkk. ed.Handbook Ilmu Komunikasi. Bandung: Nusa Media, 2014: h. 447. Berdyaev,Nicholas.Solitude And Society. London: Centena, 1938. Berkhof, L. The History of Christian Doctrine. Bandung: Sinar Baru, 1992. Bernstein,Basil. “Class, Codes and Control: The Theoretical Studies Toward a Sociology of Language.” Dalam Stephen Littlejohn dan Karen A. Foss, ed.Teori Komunikasi. Penerjemah Muhammad Yusuf Hamdan. Jakarta: Salemba Humanika, 2009: h. 451. Boisard,Marcel A. Humanisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Brehm, S. S dan Brehm, J. W.Psychological Rectance: a Theory of Freedom and Control. New York: Academic Press, 1981. Brigham, J. C. Social Psychology. New York: Harpercollins Publisher, 1991. Clark,Walter H. The Psychology of Religion. New York: Macmilan, 1970. Crapps, Robert W. An Introduction to Psychology of Religion. Georgia: Mercer University Press, 1986: h. 19. Crapps,Robert W. Dialog Psikologi dan Agama: Sejak William James Hingga Gordon W. Allport. Yogyakarta: Kanisius, 1993. Dance,Frank E. X. “Toward a Theory of Human Communication.” DalamRichard West and Lynn H. Turner, ed.Introducing Communication Theory: Analysis And Application. New York: McGraw Hill, 2007: h. 7. 114 115 David, O. Sears, dkk. Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga, 1994. Daya,Burhanuddin.Agama Dialogis: Merenda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama.Yogyakarta: Mataram-Minang Lintas Budaya, 2004. DeGenova, M.K dan Rice,F.P. “Why Examine Family Backgroud?” DalamLarry A. Samovar, dkk. ed.Comunication Between Cultures. USA: Wadsworth Cangage Learning, 2009: h. 54. Departemen Agama RI (Depag RI). Bingkai Teologi: Kerukunan Hidup Umat Beragama di Indonesia.Jakarta: Depag RI, 1997. Elliot,Candia. “Normative Communication Styles And Values For Cross Cultural Collaboration.” Dalam Alo Liliweri, ed.Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002: h. 17-18. Europea UIO.EU Guidelines on the Promotion and Protection of Freedom of Religion or Belief. Luxembourg: Europea UIO, 2013. Faizah dan Effendi, Lalu.Psikologi Dakwah. Jakarta: Prenada Media, 2006. Feldman, R. S. Social Psychology. New Jersey: Prentice Hall, 1998. Festinger, L.A Theory of Cognitive Dissonance. California: Stanford University Press, 1957. Fish,Stanley. “Is There a Text in This Class?” DalamStephen Littlejohn dan Karen A. Foss, ed.Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika, 2009: h. 196. Fisher, Walter.“Human Communication as Naration: Toward a Philosophy of Reason, Value, and Action.” Dalam Richard West and Lynn H. Turner, ed.Introducing Communication Theory: Analysis And Application. New York: Mcgraw Hill, 2007: h. 44. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).Pedoman Kerukunan Hidup Umat Beragama. Bekasi: Atina Bulan Cahaya, 2012. Gerungan, W. A. Psikologi Sosial. Bandung: Refika Aditama, 2002. Gillin, J. L dan Gillin,J. P. Cultural Sociology. New York: The Mc Millan Corporation, 1954. Greenwald A. G. “Cognitive Learning, Cognitve Response to Persuation and Attitude Change.” Dalam Charles R. Berger, dkk. ed.Handbook Ilmu Komunikasi. Bandung: Nusa Media, 2014: h. 293. Gudykunst, William B. “The Uncertainly Reduction and Anxiety-Uncertainly Reduction Theories of Berger, Gudykunst And Associates.” Dalam Stephen Littlejohn dan Karen A. Foss, ed. Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika, 2009: h. 220. Hafidhuddin,Didin.Islam Aplikatif. Jakarta: Gema Insani, 2003. 116 Hall, S.“Encoding and Decoding in Television Discourse.” Dalam Andi Faisal Bakti, ed.Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi Muslim Perceptions of a Global Development Program. Jakarta: INIS, 2004: h. 109. Hall,B.J. “Among Cultures.” DalamLarry A. Samovar, dkk. ed. Communication Between Cultures. USA: Wadsworth Cangage Learning, 2009: h. 155. Hecht, Michael L. “The Communication Theory of Identity: Development, Theoritical Perspective, and Future Directions.” Dalam Stephen Littlejohn dan Karen A. Foss, ed.Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika, 2009: h. 131. Katz, Elihu dan Lazarsfeld,Paul F. Personal Influence:The Part Played by People in The Flow of Mass Communication. New York: Free Press, 1956. Kranz,Rachel.Affirmative Action. New York: Facts on File, 2002. Langer,E. “Mindfulness.” Dalam Larry A. Samovar, dkk. ed. Communication Between Cultures. USA: Wadsworth Cangage Learning, 2009: h. 281. LaRossa, R. dan Reitzes,D. “Symbolic Interactionism and Family Studies.” Dalam Richard West And Lynn H. Turner, ed.Introducing Communication Theory: Analysis And Application.New York: Mcgraw Hill, 2007: h. 103. Lasswell, Harold D. “The Structure and Function of Communication in Society.” DalamBrent D. Ruben dan Lea P. Stewart, ed. Komunikasi dan Perilaku Manusia. Jakarta: Raja Grafindo, 2013: h. 43. Liliweri,Alo.Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011. Littlejohn, Stephen dan Foss, Karen.Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika, 2009. Locke,John. “An Essay Concerning Human Understanding.” Dalam Jalaludin Rakhmat, ed.Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009: h. 21. Martin, Judith N dan Nakayama, Thomas K. Experiencing Intercultural Communication: an Introduction. New York: McGraw-Hill, 2005. McQuail, Denis.Teori Komuniksi Massa. Jakarta: Salemba Humanika, 2011. Mead, G. H.“Mind, Self and Society: from The Standpoint of a Social Behaviorist.” Dalam Richard West dan Lynn H. Turner, ed.Introducing Communication Theory: Analysis And Application. New York: Mcgraw Hill, 2007: h. 55. Muhammad Jawed Zafar, Christio-Islamic Theologies. India: Adam Publishers, 1994. Muzafer, Sherif dan Hovland,Carl I. “Social Judgment.” Dalam Stephen Littlejohn dan Karen A. Foss, ed.Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika, 2009: h. 105. Myers, D. G. Social Psychology. New York: McGraw-Hill, 1996. Nasution,Harun.Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986. 117 Noelle-Neumann, Elizabeth. “The Theory Of Public Opinion: The Concept Of The Spiral Of Silence.” DalamRichard West and Lynn H. Turner, ed., Introducing Communication Theory: Analysis And Application. New York: McGraw Hill, 2007: h. 121. Noelle-Neumann, Elizabeth.“The Effect of Media on Media Effect Research.” Journal of Communication, 1983: h. 157. Olekalns, M dan Smith, P. L. “Social Venue Orientation and Strategy Choices in Competitive Negotiation.” Dalam Charles R. Berger, dkk. ed.Handbook Ilmu Komunikasi. Bandung: Nusa Media, 2014: h. 457. Orbe,Mark. “A Co-Cultural Communication Approach to Intergroup Relations.” DalamStephen Littlejohn dan Karen A. Foss, ed.Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika, 2009: h. 265. Pew Research Center, The Future of World Religions: Populations Growth Projection, 2010-2050. Washington D.C: Pew Research Center, 2015. Ravault, R. J. “Resisting Media Imperialism by Coerseduction.” DalamAndi Faisal Bakti, ed. Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi Muslim Perceptions of a Global Development Program. Jakarta: INIS, 2004: h. 109. Roger, R. W dan Dunn,Prentice. “Protection Motivation Theory.” Dalam Charles R. Berger dkk. ed.Handbook Teori Komunikasi. Bandung: Nusa Media, 2014: h. 303. Rowland, Robert.“Narrative: Mode of Discourse or Paradigm?”Dalam Richard West and Lynn H. Turner, ed.Introducing Communication Theory: Analysis And Application. New York: Mcgraw Hill, 2007: h. 55. Ruben, Brent D dan Stewart, Lea P. Komunikasi dan Perilaku Manusia. Jakarta: Raja Grafindo, 2013. Ruslani, Masyarakat Dialog Antar Agama: Studi Atas Pemikiran Muhammad Arkoun. Yogyakarta: Yayasan Bintang Budaya, 2000). Samovar, Larry A. dkk. Communication Between Cultures. USA: Wadsworth Cangage Learning, 2009. Searle, John.Speech Acts: An Essay in The Philosophy of Language.Cambridge: Cambridge University Press, 1969. Shannon, Claude E. dan Weaver,Warren “The Mathematical Theory of Communication.” DalamBrent D. Ruben dan Lea P. Stewart, ed. Komunikasi dan Perilaku Manusia. Jakarta: Raja Grafindo, 2013: h. 43. Silvita, I. S.Kamus Populer. Surabaya: Jaya Agung, 1989. Soekotjo, S.H. Sejarah Gereja-Gereja Kristen Jawa: di Bawah Bayang-Bayang Zending, 1858-1948. Salatiga: Lembaga Studi dan Pengembangan GKJ, 2009. Spradley, James P.Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997. Sugiyono.Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2011. 118 Sukoco, S. H. Tata Injil di Bumi Muria.Semarang: Pustaka Muria, 2010. Surbakti, Ramlan.Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992. Sutopo HB.Metode Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press, 2006. Syukur, M. Amin dkk.Teologi Islam Terapan: Upaya Antisipatif Terhadap Hedonisme Kehidupan Modern.Jakarta: Tiga Serangkai, 2003. Thayer,Lee. “Communication and Communication Systems.” DalamBrent D. Ruben dan Lea P. Stewart, ed. Komunikasi dan Perilaku Manusia. Jakarta: Raja Grafindo, 2013: h. 51. Thouless,Robert H. An Introduction to the Psychology of Religion. UK: Cambridge University Press, 1971. Ting-Toomey, Stella. “Identity Negotiation Theory: Crossing Cultural Boundaries.” Dalam Larry A. Samovar, dkk. ed. Communication Between Cultures. USA: Wadsworth Cangage Learning, 2009: h.154. Ting-Toomey,Stella. “Identity Negotiation Theory: Crossing Cultural Boundaries.” Dalam Stephen Littlejohn dan Karen A. Foss, ed.Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika, 2009: h. 133. Van Schie,Peter G. Rangkuman Sejarah Gereja Kristiani Dalam Konteks Sejarah Agama-Agama Lain.Jakarta: Penerbit Obor Indonesia, 1994. Vivian,John.Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Kencana, 2008. Warzlawick Paul, dkk.Pragmatics of Human Communication: A Study of Interactional Patterns, Pathologies, and Paradoxes. New York: Norton, 1967. Watson, D. L, dkk. Social Psychology, Science, and Application. llinois: Scott, 1984. West, Richard dan Turner, Lynn H. Introducing Communication Theory: Analysis and Application. Jakarta: Salemba Humanika, 2008. Whorf,L.Benjamin. “Language, Thought, and Reality.” Dalam Stephen Littlejohn dan Karen A. Foss, ed.Teori Komunikasi. Penerjemah Muhammad Yusuf Hamdan. Jakarta: Salemba Humanika, 2009, h. 449. Widjaja, A.W. Komunikasi dan Hubungan Masyarakat.Jakarta: Professional Books, 1986. Referensi Tambahan “Gencarnya Gerakan Kristenisasi.” Suara Muslim, 15 Oktober 2006. “Masih Ada Konflik Pembangunan Gereja Santa Clara Bekasi,” Republika, 7 Maret 2016. “Ormas Islam dan Jamat HKBP Bentrok,” Tempo, 1 Agustus 2010. 119 “Sejarah Perkembangan Agama di Kampung Sawah.” Media Dakwah, 20 Oktober 1989. Kadir,Ilham. “Sejarah Perang Salib.” Artikel diakses pada darihttp://www.portalsejarah.com/sejarah-perang-salib.html 9 Maret 2016 Siagian,Sapta. “Kekristenan di Kampung Sawah Pondok Gede.” Artikel diakses pada 6 Maret 2016 dari http://gerejasahabat.id/ke-kristenan-di-kampungsawah-pondok-gede/ Wirodono, Sunardian. “Betawi Kristen Kampung Sawah.” Artikel diakses pada 9 Maret 2016 dari http://www.gobetawi.com/2014/10/betawi-kristen-kampung-sawahtentang.html Skripsi Aryanto, Saleh Tri. “Minoritas Muslim di Kalangan Mayoritas Kristen: Studi di Dusun Ngento-Ento, Sumberagung, Mayudan, Sleman,” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013. Asrori, Saefudin. “Relasi Antarumat Beragama di Indonesia,” Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2007. Laoli, Meliza Faomasi. “Peranan Nederlandse Zendingsvereenigingdalam Sejarah Pembentukan Gereja Kristen Pasundan di Jawa Barat Pada Awal Abad 20,” Skripsi S1 Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Pendidikan Indonesia, 2013. Pasaribu, Peter. “Peranan Inger Ludwig Nommensen dalam Perkembangan HKBP di Tanah Batak tahun 1861-1881,” Skripsi S1 Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Pendidikan Indonesia, 2013. Tahari, Toto. “Respon Muhammadiyah Terhadap Kristenisasi di Indonesia,” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Ilmu Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2011. Wulandari, Listyarini Diah. “Zending: Kristenisasi di Margorejo Kecamatan Dukuhseti, Kabupaten Pati Tahun 1852-1942,” Skripsi S1 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2011. Hasil Observasi dan Wawancara Data pribadi Gereja Kristen Protestan Pasundan (GKP) Kampung Sawah, 1 Maret 2016. Data Pribadi Kecamatan Pondok Melati, Bekasi, 3 Maret 2016. Wawancara Pribadi dengan Jacobus Napiun, Bekasi, 1 Maret 2016. Wawancara Pribadi dengan Maesaroh, Bekasi, 29 Februari 2016. Wawancara Pribadi dengan Matheus Nalih, Bekasi, 1 Maret 2016. Wawancara Pribadi dengan Muhammad Encep, Bekasi, 3 Maret 2016. 120 Wawancara Pribadi dengan Musa Dani, Bekasi, 29 Februari 2016. Wawancara pribadi dengan Nur Ali Akbar, Bekasi, 28 Februari 2016. Wawancara Pribadi dengan Rahmadin Afif, Bekasi, 28 Februari 2016. Wawancara Pribadi dengan Tegar Napiun, Bekasi, 29 Februari 2016. Wawancara Pribadi dengan Veronika Dani, Bekasi, 29 Februari 2016. Wawancara Pribadi dengan Yohanes Dani, Bekasi, 29 Februari 2016. Wawancara Pribadi dengan Zamaksari, Bekasi, 23 Februari 2016 Transkip Wawancara Penelitian 1. Narasumber : K.H Zamaksari (Ketua I FKUB Kota Bekasi) Tanggal Wawancara : 23 Februari 2016 Data Wawancara : a. Apa tanggapan Kyai seputar Betawi Kristen di Kampung Sawah? Aneh dan jarang ditemui di tempat lain. Karena kan kita taunya, Betawi itu kebanyakan orang muslim jadi agak kaget saat ada orang Betawi tapi beragama Kristen. Pernah waktu itu, saat acara FKUB di Kampung Sawah saya ketemu dengan pastur yang mirip ustad, awalnya saya kira dia memang ustad karena saat menyampaikan sambutan, dia menggunakan muqodimah Islam tapi setelah mendengar kalau dia beragama Kristen saya langsung menegur pastur itu. b. Apa tanggapan Kyai tentang ciri khas Betawi Kristen yang menggunakan atribut seperti peci, sarung dan baju koko? Awalnya saya engga nyangka kalau mereka itu orang Kristen karena memang gaya pakaiannya yang mirip seperti orang muslim. Saya juga sempat bertanya langsung dengan pendeta dan pastur disana dan mereka bilang kalau ini salah satu tradisi budaya betawi dan kalau memang mereka menggunakan peci, sarung dan baju koko karena ingin melestarikan budaya betawi, ya saya ga bisa larang. c. Menurut Kyai, apakah umat kristiani nyaman dengan peraturan dan dominasi umat muslim? Kalau dilihat sekilas memang mereka itu seperti terima-terima aja, tapi kita kan juga engga tau aslinya mereka seperti apa. Kalau menurut saya, karena disini mereka itu minoritas jadi mereka cari aman aja makanya kalau ada rapat atau apapun biasanya orang non muslim lebih banyak nurut. d. Menurut Kyai, teknik apa yang digunakan dalam kegiatan kristenisasi? Kristenisasi sebenarnya bukan sudah terjadi dimana-mana, stateginya juga macam-macam, mulai dari bagi-bagi sembako, layanan kesehatan, acara sosial, dan banyak lagi. Ini stategi kristenisasi secara umum ya. e. Bagaimana cara agar tumbuh rasa toleransi dan kerukunan di lingkungan multukultural? Jadi FKUB itu kan memang dibentuk untuk menciptakan kerukunan antar agama, makanya kita sering mengadakan sosialisasi, seminar, dan investigasi. Sosialisasinya biasanya disitu kita mengajarkan warga untuk bertoleransi dan menjaga kerukunan. Anggota FKUB dan komunitas agama-agama di Bekasi juga beberapa kali mengadakan seminar untuk membahas konflik antaragama dan cara menyelesaikannya. Nah, kalau investigasi itu biasanya dilakukan di tempat-tempat yang sedang terjadi konflik. Disitu kita akan selidiki penyebab konfliknya, apa karena kecemburuan sosial, adanya profokator atau ada penyebab lain. Mengetahui, Narasumber (KH. Zamaksari) Peneliti (Dea Alvi Soraya) 2. Narasumber : K.H Rahmadin Afif (Pimpinan Ponpes Fiisabilillah Kampung Sawah) Tanggal wawancara : 28 Februari 2016 Data Wawancara : a. Bagaimana sejarah berdirinya ponpes fiisabilillah (YASFI)? YASFI berdiri sejak 1976, didikan oleh H. Fii Sabilillah makanya nama pesantren ini yayasan Fii Sabilillah. Dulu, YASFI itu cuma yayasan untuk yatim piatu saja tapi pada tahun 1977, YASFI membangun madrasah ibtidaiyah dan berkembang pesat sampai sekarang. Bisa dibilang, YASFI itu pusat peradaban Islam di Kampung Sawah. b. Apa alasan Kyai mendirikan ponpes di wilayah yang dikelilingi gereja? Karena kan dulu, orang Kampung Sawah tidak terlalu paham tentang agama. Diibaratin, Islamnya cuma Islam KTP. Makanya,kalau ada orang yang pindah agama itu udah biasa aja karena memang udah sering terjadi. Maka dari itu, YASFI didirikan dengan harapan bisa membantu masyarakat mengenal Islam lebih dalam. c. Bagaimana sejarah tersebarnya agama Kristen di Kampung Sawah? Dulu, Kampung Sawah itu ada asrama tempat pembuangan anak Kristen Belanda yang nakal, lalu mereka memperkerjakan orang pribumi di asrama itu dan dari situ mereka melakukan kristenisasi kepada orang muslim yang pemahaman agamanya kurang. d. Apa tanggapan Kyai tentang Betawi Kristen yang menggunakan peci, sarung dan baju koko? Kan disini orang Betawi Kristen itu menganggap peci, sarung dan baju koko adalah tradisi orang Betawi jadi ya sebagai sesama orang Betawi kita ga bisa melarang dan mereka sah-sah saja memakainya. e. Apa tanggapan Kyai tentang pernikahan lintas agama? Pernikahan lintas agama disini udah ada sebelum saya lahir. Istri saya juga sebenernya berasal dari keluarga Protestan tapi dia mengikuti saya dan pindah agama. Makanya, saudara saya juga banyak yang dari Protestan dan Katolik. Dan alhamdulillah, kita rukun-rukun aja. Mengetahui, Narasumber KH. Rahmadin Afif Peneliti Dea Alvi Soraya 3. Narasumber : Nur Ali Akbar (Ketua Dewan Pendidikan YASFI) Tanggal Wawancara : 28 Februari 2016 Data Wawancara : a. Bagaimana tanggapan Ustad seputar Betawi Kristen Kampung Sawah? Unik ya, karena kan budaya betawi itu identik sekali dengan Islam, tapi di Kampung Sawah orang Betawi juga ada yang Kristen. b. Apa tanggapan Ustad mengenai atribut peci, baju kokoh dan sarung yang digunakan Betawi Kristen? Kita sih biasa-biasa aja, toh itu kan memang salah satu tradisi orang Betawi, tapi orang dari luar kampung sawah yang justru nolak. Ya mungkin risih ya melihat orang non islam tapi pakaiannya seperti ustad. c. Bagaimana bentuk toleransi beragama antara umat muslim dan kristiani? Toleransi disini itu ya paling kalau setiap kebaktian kan jamaat banyak, nah mereka boleh parkir di halaman masjid. Begitu juga kalau ada maulid atau pengajian, ya kita juga boleh parkir di halaman gereja. d. Apakah teknik yang dilakukan umat Kristiani dalam melakukan Kristenisasi? Macem-macem, bukan Cuma di kampung sawah. Kristenisasi kan udah banyak di wilayah lain. Kalau disini awalnya mereka buka koperasi simpan pinjam untuk warga kurang mampu terus sumbangan sembako. e. Apa yang terjadi antara umat muslim dan kristiani pada saat hari-hari besar atau hari raya? Karena disini muslim dan kristen punya tali persaudaraan, jadi ya walaupun hari raya Islam, orang Kristen tetep dateng dan silahturahmi ke keluarganya yang muslim. Begitu juga muslim, ya walaupun memang engga boleh ngucapin selamaet natal tapi kita menghormati hari besar mereka. Mengetahui, Narasumber Peneliti Nur Ali Akbar Dea Alvi Soraya 4. Narasumber : Musa Dani (Sesepuh umat kristiani Kampung Sawah) Tanggal Wawancara : 29 Februari 2016 Instrumen Pertanyaan : a. Bagaimana silsilah keturunan umat kristiani pertama Kampung Sawah? Keluarga Dani itu termasuk generasi Kristen pertama yang tinggal di Kampung Sawah. Dulu bapak Dani menikah dan punya anak bernama Atin, Suradi, Kleopas dan Marya. Anak Dani yang namanya Kleopas menikah dan mempunyai anak dua, yaitu saya dan Klarina. Jadi, saya itu adalah generasi ke-3 dari keluarga besar marga Dani yang masih hidup. b. Bagaimana sejarah terbentuknya sistem marga bagi umat kristiani Kampung Sawah? Di Kampung Sawah, ada hampir dua puluh lebih nama marga. Dulu Kolonial Belanda menetapkan perbedaan peraturan pada setiap golongan masyarakat dan bagi warga Kristen pribumi yang mau menikah harus menggunakan nama keluarga ditambah nama baptis Napiun, Pepe, Kelip, Baiin, Saiman, Dani, Sabajan, Jilin, Empit, Peking, Emeng, Centeng, Cimi, Kuding, Senen, Noron, Rikin, Kuding, Kari’in, Oyan, Baidan, Seran, Rimin, Niman, Minan, Modo, Halim, Kadiman, dan Nathanael. Makanya disini tidak aneh kalau ada nama seperti Musa Dani, Marthius Napiun, atau Sulaeman Kadiman. c. Apa yang membedakan marga di Kampung Sawah dengan Marga di Medan? Kalau marga medan itu kan marganya punya pemaknaan sendiri. Misalnya marga pasaribu yang berawal dari seseorang bernama sariburaja. Nah pasaribu itu diturunkan dengan harapan dapat memiliki sifat-sifat yang ada pada diri sariburaja. Kalau di Kampung Sawah, nama marga itu dibentuk dari nama baptis dan tidak punya makna khusus karena ini dipakai untuk memberikan identitas sendiri bagi umat kristiani kampung sawah. d. Apakah pernikahan lintas agama dapat berpengaruh pada marga yang berlaku bagi umat kristiani Kampung Sawah? Tergantung, jadi disini menikah beda agama karena disini kalau orang Kristen menikah dengan muslim atau agama lain, tapi tidak pindah agama maka marganya tidak akan hilang atau terhapus. Tapi kalau pindah agama, marganya akan hilang atau ditambahkan “bin” kalau pindah ke agama Islam. e. Apa tanggapan bapak seputar hubungan antara umat muslim dan kristiani Kampung Sawah? Puji tuhan, disini toleransi antaragama sangat tinggi. Sejak dulu juga tidak pernah ada konflik antaragama. Karena memang didukung hubungan keluarga yang terjalin. Mengetahui, Narasumber Peneliti Nur Ali Akbar Dea Alvi Soraya 5. Narasumber : Maesaroh dan Tegar Napiun (pasangan berbeda agama) Tanggal Wawancara : 29 Februari 2016 Instrumen Pertanyaan : a. Bagaimana sejarah pernikahan bapak dan ibu? Maesaroh: dulu ibu dan bapak sama-sama agama katolik, kami juga menikah di gereja katolik santo servatius. Tapi saat tahun 1980 ibu memutuskan pindah agama dan menjadi muslim kembali. Karena dulu sebelum menikah dengan bapak, keluarga ibu muslim semua. b. Apakah terjadi pertentangan sebelum pernikahan ini terjadi? Maesaroh: Awalnya ada, karena keluarga ibu dari pedurenan (kampung sebelah yang keseluruhan warganya muslim) makanya banyak yang tidak setuju ibu nikah sama bapak, tapi waktu itu ibu tetap menikah dan pindah ke kampung sawah. c. Selama menjalani pernikahan apakah pernah terjadi konflik keagamaan yang terjadi? Maesaroh: Pernah, dulu saat ibu masuk Islam abis idul adha ibu pernah pengen dilempar pake gunting sama bapak. Waktu itu bapak nyuruh ibu balik ke Kristen tapi ibu tetap pertahankan Islam. d. Bagaimana bapak dan ibu menyelesaikan konflik tersebut? Tegar: ya awal-awal ibu pindah agama memang bapak kaget dan engga rela ibu pindah agama. Tapi bapak sadar, waktu itu bapak lagi diuji kesabaran jadi yasudah kalo emang ibu memang memilih Islam yasudah. Lagian bapak juga sadar, semua agama itu kan baik cuma orangorangnya aja yang belum tentu semuanya bener. e. Apa teknik bapak dan ibu agar konflik tersebut tidak terjadi kembali? Tegar: engga ada teknik apa apa sebenernya, cuma kita saling menghormati dan saling mendukung aja. Makanya sekarang juga bapak ngebebasin anak-anak bapak nantuin agamnya sendiri. Mengetahui, Narasumber Narasumber Tegar Napiun Maesaroh LAMPIRAN (Gereja Kristen Protestan Pasundan Kampung Sawah) (Masjid Agung YASFI Kampung Sawah) (Jemaat kristiani Gereja Kristen Protestan Pasundan Kampung Sawah saat kebaktian) (Tradisi Betawi Kristen Kampung Sawah saat kebaktian) (Perayaan Sedekah Bumi GKP Kampung Sawah) (Pasangan Beda Agama/ Maesaror & Tegar) (K.H Rahmadin Afif) (Jacobus Napiun) (Matheus Nalih) (Keluarga Lintas Agama/ Keluarga Dani)