TINJAUAN PUSTAKA Proses Vermicomposting dan vermikompos Konsep vermicomposting dimulai dari pengetahuan tentang spesies cacing tanah tertentu yang memakan sisa bahan organik, mengubah sisa bahan organik menjadi tanah, menghasilkan unsur hara tanah yang menguntungkan lingkungan. Cacing tanah E. fetida dan L. rubellus yang digunakan untuk vermicomposting memiliki kategori ekologi yaitu epigeic, habitat hidupnya di kotoran atau sampah serta memakan bahan-bahan organik (Lavelle et al. 1999). Menurut Dominguez et al. (1997) mendefinisikan vermicomposting sebagai proses dekomposisi bahan organik yang melibatkan kerjasama antara cacing tanah dan mikroorganisme. Komponen utama dalam vermicomposting terdiri atas: kesesuaian substrat, faktor lingkungan, jenis cacing tanah, desain composter dan pengoperasian. Kualitas vermikompos dari limbah organik yang dihasilkan tergantung dari bahan organik awalnya seperti kotoran hewan, sampah dedaunan, sampah perkotaan dan limbah industri. Cacing tanah mempercepat stabilisasi bahan organik dengan bantuan mikroorganisme aerob dan anaerob yang terdapat di saluran pencernaan cacing tanah. Cacing tanah merubah bahan organik secara alami menjadi bentuk yang halus, mengandung humus dan vermikompos, yang merupakan nutrisi penting bagi tumbuhan. Mikrorganisme menyebabkan degradasi secara biokimia bahan organik dan cacing tanah memiliki peran mengubah substrat melalui akfitas secara biologi. Mikroorganisme yang berperan dalam proses vermicomposting terutama bakteri, fungi dan actinomycetes (Dominguez et al. 1997). Vermicomposting menghasilkan dua manfaat utama, yaitu biomassa cacing tanah dan vermikompos (Sharma et al. 2005). Vermikompos memiliki struktur halus, partikel-partikel humus yang stabil, porositas, kemampuan menahan air dan aerasi, kaya nutrisi, hormon, enzim dan populasi mikroorganisme (Lavelle at al. 1999). Vermikompos yang dihasilkan berwarna coklat gelap, tidak berbau dan mudah terserap air (Ismail 1997). Chaudhuri & Bhattacharjee (2002) mensyaratkan cacing tanah yang digunakan dalam proses vermicomposting memiliki memiliki laju reproduksi yang tinggi, tingkat produksi kokon yang tinggi, waktu perkembangan kokon yang pendek dan keberhasilan penetasan kokon yang tinggi. Selain itu, cacing tanah yang memiliki tingkat konsumsi bahan organik yang tinggi dan toleransi terhadap perubahan lingkungan yang luas dapat digunakan di dalam proses digunakan dalam proses vermicomposting (Edwards 1998; Dominguez et al. 2000). Beberapa spesies cacing tanah yang vermicomposting adalah: E. fetida (Albanell 1988), (Reinecke et al. 1992), (Gunadi et al. 2003), (Grag et al. 2005); L. rubellus (Delgado et al. 1995); L. terretris, Eudrilus eugeniae (Banu et al. 2008); P. excavatus (Suthar 2007a). Taksonomi Cacing Tanah Cacing tanah E. fetida dan L. rubellus termasuk ke dalam filum Annelida, Kelas Clitellata, Sub Kelas Oligochaeta (Brusca & Brusca 2003). Cacing tanah terbagi ke dalam 5 famili, yaitu Moniigastridae, Megascolecidae, Eudrilidae, Glossoscolecidae dan Lumbricidae (Edward & Lofty 1972). Habitat hidup E. fetida dan L. rubellus dijumpai di tempat yang lembab, dan hidup dalam kotoran hewan (Hartenstein et al. 1979; Edwards et al. 1988; Gunadi et al. 2003). Cacing E. fetida memiliki warna tubuh coklat tua dengan belang kuning antar segmen tubuhnya. Bentuk tubuh bulat dengan panjang ± 32130 mm dan segmen tubuhnya berjumlah ±80-110 segmen. Cacing L. rubellus memiliki warna merah kecoklatan atau merah violet pada bagian dorsalnya sedangkan di bagian ventralnya berwarna lebih pucat. Bentuk tubuh agak pipih dengan panjang 25-105 mm, dan segmen berjumlah 95-120 segmen. Memiliki seta disetiap segmennya yaitu rambut yang keras, berukuran pendek dan jumlahnya sedikit (Edward & Lofty 1972). Famili Lumbricidae mencakup semua spesies cacing tanah, dengan tubuh yang relatif besar dan pemakan serasah. Lumbricidae memiliki seta yang kadang dengan ornamen sigmoid. Lubang jantan (male pore) umumnya terdapat pada segmen ke-15, sedangkan lubang betina (female pore) terdapat pada segmen ke- 14. Testes terdiri dari dua pasang, dan terdapat pada segmen 10 dan 11. Testes tidak mempunyai prostat, tetapi kadang kala terdapat kelenjar berbentuk prostat dan spermatekanya sangat sederhana. Ovari terdapat pada segmen ke-13 bagian posterior testes. Lambung sederhana dan berkembang baik, terdapat di depan usus. Esophagus mengandung kelenjar kalsiferus yang berfungsi untuk menetralisir media jika dalam kondisi asam. Klitelum berbentuk saddle, terdapat di bagian posterior dari lubang jantan (Edward & Lofty 1972). Klasifikasi Ekologi dan Pola Pencarian Pakan Spesies cacing tanah yang berbeda memiliki sejarah hidup yang berbeda dan menempati ruang ekologi yang berbeda. Lee (1985) mengelompokkan spesies cacing tanah ke dalam tiga katagori ekologi berdasarkan strategi mencari makanan dan membuat liang, yaitu spesies epigeic, endogeic dan anecic. Cacing tanah epigeic hidup dan mencari serasah di lapisan atas tanah. Cacing tanah epigeic memiliki tubuh kecil (1−7 cm), dan sangat sensitif terhadap perubahan cahaya, contohnya E. fetida (Hartenstein et al. 1979; Sherman 2003) , L. rubellus dan E. euginiae (Kale & Bano 1988). Cacing tanah epigeic membuat liang ephemeral ke dalam tanah selama periode diapause (Edward & Lofty 1972). Spesies cacing tanah endogeic mempunyai daerah mencari makanan yang luas, membuat liang secara horizontal dengan kedalaman ± 50 cm dan sangat baik untuk aerasi (Sherman 2003). Cacing tanah ini memiliki ukuran panjang tubuh 2−12 cm sebagai contoh Aporrectodea calignosa. Cacing tanah jenis ini tidak memiliki pigmen tubuh dan membuat liang horizontal yang bercabang ke dalam. Cacing tanah endogeic tidak memiliki pengaruh yang besar dalam penguraian sampah karena cacing ini memakan bahan-bahan di bawah permukaan tanah. Spesies cacing tanah anecic yang hidup memakan organik debris dan mengubahnya menjadi humus. Cara hidupnya dengan mengambil serasah dari permukaan tanah dan membawanya dengan menggali tanah sampai kedalaman mencapai 2 m. Spesies cacing tanah yang hidup di lokasi ini memiliki ukuran tubuh yang besar (8−15 cm) contoh L. terrestris. Cacing tanah anecic mengeluarkan sisa pencernaannya (casting) pada permukaan tanah dan muncul di malam hari untuk memakan sampah pada permukaan tanah, kotoran dan bahan organik lain yang diturunkan ke dalam liangnya. Cacing tanah anecic memiliki peran dalam dekomposisi bahan organik, siklus makanan dan pembentukan tanah (Lavelle 1988). Distribusi Geografi Cacing Tanah Distribusi cacing tanah sangat luas di seluruh dunia. Akan tetapi, pada daerah gurun, kutub, pegunungan dan daerah dengan sedikit tanah dan vegetasi cacing tanah jarang ditemukan. Beberapa spesies cacing tanah yang terdistribusi secara luas dikenal dengan istilah perigrin, sedangkan spesies yang hanya terdapat pada satu daerah tertentu dikenal dengan istilah endemik (Hendrix & Bohlen 2002). Cacing tanah umumnya hidup di darat dan beberapa hidup di air tawar. Cacing tanah hidup pada suhu sedikit panas sampai daerah lebih dingin di daerah Hemisphere bagian Utara, Jepang, Siberia, Asia Tengah, Eropa, India Utara dan Pakistan, Israel, Jordan dan Amerika Utara. Wilayah distribusi Eisenia sp. terdapat di Siberia, Rusia bagian selatan, Israel, Eropa dan Amerika Utara. Wilayah distribusi Lumbricus sp. terdapat di Siberia, Eropa, Iceland, Amerika Utara dan telah tersebar luas di dunia (Edward & Lofty 1972). Hal ini berkaitan dengan pola distribusi yang meliputi tiga faktor utama yaitu barrier geografi, distribusi alami dan distribusi oleh manusia (Monroy et al. 2006). Penggunaan Bedding Penambahan suatu lapisan bahan organik di atas permukaan substrat dapat menjadi tempat berlindung bagi cacing tanah dari suhu tinggi selama proses dekomposisi. Lapisan dari bahan organik ini disebut bedding (Lavelle et al. 1999). Menurut Munroe (2004) ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam mempersiapkan bahan untuk bedding agar cacing tanah dapat hidup pada tempat yang homeotatis seperti habitat alaminya. Pertama, bahan yang digunakan memiliki kemampuan untuk menyerap air. Ketersedian air dan kondisi lingkungan yang lembab dibutuhkan oleh cacing tanah bernafas dan bertahan hidup. Kedua, memiliki kemampuan menjaga sirkulasi udara atau aerasi di dalam wadah. Jika bahan yang digunakan terlalu padat atau wadah yang terlalu sempit maka akan menghambat aliran udara sehingga mengakibatkan cacing tanah kekurangan oksigen. Bentuk serta ukuran partikel, tekstur dan struktur bahan dapat mempengaruhi aliran udara di dalam wadah. Ketiga, bedding memiliki kandungan protein yang rendah dan rasio C:N yang tinggi. Kadar protein atau nitrogen yang tinggi mengakibat terjadinya peningkatan suhu di dalam wadah. Bahan-bahan yang digunakan sebagai bedding memiliki keuntungan dan karakteristik yang berbeda-beda. Pemilihan jenis bedding merupakan salah satu faktor penentu suksesnya proses vermiculture dan vermicomposting. Menurut Dickerson (2001) potongan koran kertas komputer, karton, kardus, potongan daun, jerami, rumput kering atau tanaman yang mati, serbuk gergaji, lumut dapat dimanfaatkan sebagai bedding. Bahan-bahan ini mudah didapat dan merupakan sampah yang belum dimanfaatkan dengan baik. Bahan bedding harus memiliki kandungan selulosa yang tinggi untuk pengaturan aerasi di dalam wadah sehingga cacing mendapatkan sirkulasi udara yang baik. Menurut Munroe (2004) pemilihan jenis bedding yang tepat merupakan kunci untuk keberhasilan proses vermicomposting. Jerami, kulit jagung, daun pisang dan kardus juga memiliki potensi sebagai bedding karena bahan-bahan ini memiliki karakteristik sebagai bedding seperti kemampuan menyerap air dan sirkulasi udara dengan kategori sedang-baik dan rasio C:N (48563) (Munroe 2004). Fisiologi Cacing Tanah Sistem Reproduksi Cacing tanah bersifat hermaprodit atau biseksual, artinya pada setiap tubuh cacing tanah terdapat alat kelamin jantan dan betina sekaligus (unisex). Namun, dalam proses kawin (mating) cacing tanah akan berpasangan dengan cacing lain, dan saling mentransferkan spermanya. Metode kopulasi ketika akan melakukan perkawinan dua spesies cacing tanah saling berdekatan dengan mendeteksi mukus yang dikeluarkan oleh bagian ventral tubuhnya secara bersama-sama. Ujung kepala cacing tanah terletak pada arah yang berlawanan. Keduanya saling mendekatkan diri pada daerah pembukaan spermateka dimana daerah klitelum salah satu cacing tanah menyentuh permukaan spermateka yang lainnya. Pada saat kopulasi, kedua cacing tanah tidak sensitif dalam merespon rangsangan luar seperti sentuhan dan cahaya. Banyak mukus yang disekresikan sehingga masing-masing cacing tanah diselubungi oleh mukus antara segmen sembilan dan sisi posterior klitelum, mukus-mukus tersebut saling melekat (Gambar 1) (Edwards & Lofty 1972). Gambar 1 Perkawinan dan pembentukkan kokon E. fetida (Dominguez et al. 2003; Davidson & Stahl 2005). Sebuah celah semen terbentang dari gonofor jantan sampai klitelum terlihat seperti benang. Tiap-tiap celah semen merupakan bagian dari dinding luar tubuh yang melekuk ke dalam akibat dari terbentuknya rangkaian pori-pori oleh kontraksi otot yang terbentang pada lapisan otot longitudinal. Kontraksi otot membawa cairan sperma dari gonofor jantan menuju daerah klitelum. Cairan sperma berkumpul di daerah klitelum dan akhirnya memasuki spermateka cacing tanah lawannya (Edwards & Lofty 1972). Setelah kopulasi berlangsung, cacing tanah terpisah dan masing-masing klitelum mengeluarkan getah mukus yang akhirnya mengeras di sekeliling permukaan luarnya. Ketika getah mukus mengeras, cacing tanah bergerak ke arah belakang kemudian membuat selubung di sekeliling kepalanya dan ketika cacing tanah terpisah sempurna, ujung selubung menutup untuk membentuk kokon. Kokon mengandung cairan albumin yang diproduksi oleh kelenjar klitelum, ovum dan spermatozoa yang disalurkan ke dalamnya ketika melewati pembukaan spermateka. Kokon akan terus diproduksi sampai cairan sperma yang tersedia habis. Fertilisasi terjadi secara eksternal tubuh cacing tanah, di dalam kokon (Gambar 2) (Edwards & Lofty 1972). Gambar 2 Bentuk, ukuran dan posisi spermatopore E. fetida, sperma (a) spermatopore (b &c), lokasi spermatopore pada dinding tubuh (d) (Monroy et al. 2003) Warna kokon berubah sesuai dengan perkembangannya. Pada saat terbentuk kokon berwarna keputihan, kemudian berubah menjadi kuning, kehijauan dan kecoklat-coklatan. Kokon yang berwarna kecoklatan mengindikasikan perkembangan yang matang dan siap untuk menetas (Gambar 3) (Edwards & Lofty 1972). Juvenil a b c Gambar 3 Kokon E. fetida (a), kokon L. rubellus (b) dan penetasan kokon menjadi juvenil (c). Jumlah ovum yang dibuahi di dalam setiap kokon berkisar 1-20 untuk cacing tanah Lumbricidae, tetapi tidak lebih dari satu atau dua yang bertahan hidup dan menetas menjadi juvenil (Stephenson 1930). Penetasan kokon dipengaruhi oleh suhu lingkungan (Gerard 1967; Chaudhuri & Bhattacharjee 2002). Menurut Reinecke et al. (1992) suhu yang lebih tinggi dari 25 0C menurunkan masa inkubasi rata-rata kokon cacing tanah epigeic. Sistem Pencernaan Sistem pencernaan cacing tanah terdiri atas rongga mulut, faring, esofagus, tembolok, lambung dan usus. Cacing tanah memperoleh makanan dari bahan organik berupa organ tumbuhan, protozoa, rotifera, nematoda, bakteri, fungi dan sisa-sisa pembusukan hewan (Edwards & Lofty 1972). Menurut Gansen (1962) berdasarkan segmennya, bagian tubuh cacing tanah dikelompokkan ke dalam tiga daerah sebagai berikut (Gambar 4): 1. Daerah penerima, terdapat pada segmen 1-14. Daerah ini terdiri atas mulut, esofagus dan kelenjar faring tak berpembuluh yang mensekresi getah asam yang mengandung enzim amilase. 2. Daerah sekresi, terdapat pada segmen 15-44. Daerah ini terdiri atas tembolok, yang menuju ke lambung dan usus. Cacing tanah mensekresi dua enzim protease dan satu enzim amilase terutama dari “sel piala” dinding usus yang mensekresi banyak getah. Makanan yang telah dicerna melintasi aliran darah di sepanjang epithelium usus dan dialirkan ke berbagai bagian tubuh dan jaringan untuk digunakan dalam proses metabolisme dan sebagai cadangan makanan. 3. Daerah absorpsi, terdapat pada segmen 44 sampai ke anus. Bahan makanan yang tidak dicerna di dalam usus diselubungi oleh membran peritrofik yang melapisi usus. Ketika bahan makanan diekskresi, membran peritrofik akan membungkus casting (sisa pencernaan/kotoran cacing) (Gansen 1962). Tembolok berupa esofagus yang membesar untuk menyimpan makanan. Lambung mencerna pakan secara mekanis dengan bantuan batuan kecil yang turut masuk bersama pakan. Kelenjar kalsiferus yang dihasilkan oleh organ pencernaan berfungsi untuk menyerap kalsium dari bahan yang dicerna. Kalsium berguna untuk menetralisir media jika kondisinya asam. Tiflosol merupakan bagian dari usus yang berlipat-lipat, berguna untuk memperluas permukaan usus. Lambung dan usus mensekret enzim-enzim seperti protease, lipase, amilase, sellulase, dan kitinase (Hand 1988). Selain itu fungi, algae, aktinomisetes dan mikroba hidup pada usus cacing tanah. Sel kloragen adalah sel berpigmen pada usus tengah yang berfungsi sebagai tempat metabolisme dan berperan dalam ekskresi. Lambung dan usus bekerja sebagai bioreaktor dan hanya 5-10 % komponen organik dicerna dan diserap tubuh selanjutnya dikeluarkan berupa butiran yang dilapisi mukus disebut vermikompos (Hand 1988). Gambar 4 Diagram sistem pencernaan E. fetida (Horn et al. 2002) Sistem ekskresi Organ ekskresi cacing tanah terdiri atas sepasang nefridia dan metanefridia yang terletak di seluruh segmen tubuh kecuali pada tiga segmen pertama dan terakhir. Sistem ekskresi bersifat sebagai penyaring yang menggerakkan sisa atau sampah dan mengembalikan substansi yang berguna ke sistem sirkulasi (Edward & Lofty 1972). Nefridia berperan sebagai penyaring diferensial, karena terdapat lebih banyak urea dan amonia. Kreatinin dan protein di dalam urin yang dihasilkan lebih sedikit daripada di dalam cairan selom (Ramsay 1949). Nefridia memiliki tiga fungsi pada proses ekskresi, yaitu filtrasi, reabsorbsi dan transformasi kimiawi (Bahl 1947). Metanefridia cacing tersusun atas preseptal nefrostom, postsegmental nefridioduct dan nefridiofor. Nefrostom bersilia bermuara di rongga tubuh (pseudoselom) dan berlanjut pada saluran berliku-liku (nefridioduct). Bagian akhir dari nefridioduct akan membesar seperti gelembung. Gelembung ini akan bermuara ke bagian luar tubuh melalui pori yang merupakan lubang nefridiofor. Ujung nefridiofor berbentuk bulbus berfungsi untuk mendorong sisa atau sampah keluar tubuh (Gambar 5) (Edward & Lofty 1972). Gambar 5 Anatomi nephridia dari E. fetida (Davidson & Stahl 2005). Cairan yang diserap pada proses ekskresi berupa sisa atau sampah nitrogen (amonia, urea, asam urat), protein selomik, air dan ion (Na+, K+, Cl-). Cairan tubuh akan ditarik ke nefrostom dan masuk ke nefridium oleh gerakan silia dan otot. Saat cairan tubuh mengalir melalui nefridioduct, bahan-bahan yang berguna seperti air, protein dan ion akan diambil oleh sel-sel tertentu dari tabung. Bahanbahan ini akan menembus kapiler dan disirkulasikan kembali. Sedangkan sampah nitrogen dan sedikit air yang tersisa dalam nefridium akan diekskresikan keluar melalui nefridiofor (Edward & Lofty 1972). Sistem saraf Sistem saraf utama pada cacing tanah terdiri atas sebuah ganglion serebral dorsal, sepasang konektif atau penghubung sirkumenterik dan satu buah atau lebih tali saraf longitudinal. Ganglion serebral dorsal mensuplai saraf bagian anterior tubuh dan saraf prostomial. Pergerakan tubuh cacing tanah diatur oleh ganglion subenterik. Sedangkan konektif sirkumenterik dan tali saraf longitudinal cacing tanah mengontrol saraf sensoris dan motoris keseluruh dinding tubuh serta organ di setiap segmen (Edward & Lofty 1972). Organ sensoris cacing tanah terdiri atas dua macam, yaitu organ fotoreseptor dan organ sensoris epitel. Di dalam setiap sel organ fotoreseptor terdapat organel optik yang berbentuk lonjong atau memanjang. Permukaan luar organel terdiri atas retina dan permukaan dalam terdiri atas substansi hialin yang transparan. Organ sensoris epitel merupakan kumpulan 34-45 sel-sel yang memanjang, besar dibagian dasarnya dan ujung distalnya berakhir pada penonjolan rambut-rambut sensori sepanjang daerah kutikula yang tipis. Cacing tidak memiliki mata, tetapi memiliki sel-sel sensoris yang strukturnya seperti lensa di daerah epidermis dan dermis, terutama pada prostomium. Bagian tengah dan prosterior tubuhnya kurang sensitif terhadap cahaya (Laverack 1963). Organ sensoris yang bereaksi terhadap rangsangan kimia (kemoreseptor) terdapat pada prostomium (Edward & Lofty 1972). Kemoreseptor berperan penting dalam kehidupan cacing tanah. Kemereseptor dapat mendeteksi bahan makanan dan memberikan informasi tentang kondisi lingkungan. Selain itu kemoreseptor juga berperan dalam proses perkawinan dengan mendeteksi getah mukus yang dihasilkan oleh cacing tanah yang lain (Smith 1902). Sistem Respirasi Cacing tanah tidak memiliki organ pernafasan yang spesifik, hanya terdapat pembuluh darah kapiler yang mengandung hemoglobin. Pembuluh darah ini melekat pada dinding tubuh cacing tanah. Proses pengangkutan oksigen dan pelepasan karbon dioksida di dalam darah melalui difusi. Proses difusi terjadi pada jaringan epidermis dan kutikula yang terdapat di permukaan tubuh cacing tanah (Edward & Lofty 1972). Pernapasan cacing tanah sangat dipengaruhi oleh kandungan hemoglobin dan tekanan cairan di dalam tubuh. Hemoglobin mampu menyerap dan mengalirkan oksigen melalui plasma darah ke seluruh tubuh. Kelembaban tubuh diatur oleh kutikula melalui proses sekresi kelenjar mukus pada jaringan epidermis , sehingga menurunkan tekanan cairan di dalam tubuh. Cacing tanah mampu menyerap oksigen 25-240 mm3/30 menit pada suhu 9 0C- 27 0C (Pomerat & Zarrow 1936).