JURNAL ILMU KESEHATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS SAINS AL-QUR’AN JAWA TENGAH POLA TATALAKSANA DIARE CAIR AKUT DI RSUD WONOSOBO IKA PURNAMA SARI DAN ARI SETYAWATI PENGARUH PENDAMPING PERSALINAN DAN PARITAS TERHADAP PENGURANGAN RASA NYERI KALA I FASE AKTIF PADA IBU BERSALIN NORMAL FARIHAH INDRIANI EKSTRAK DAUN BELIMBING WULUH TERHADAP PENURUNAN TEKANAN DARAH TIKUS PUTIH JANTAN (RATTUS NORVEGICUS) HIPERTENSI SRI MULYANI ABNORMALITAS GEN PADA THALASEMIA ANISA ELL RAHARYANI ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGERUHI KUALITAS DISCHARGE PLANNING TERHADAP TINGKAT KEMANDIARIAN PASIEN DENGAN GANGGUAN CARDIOVARCULAR PASCA HOSPITALISASI: LITERATURE REVIEW CANDRA DEWI RAHAYU ANALISIS PERAN FORUM KESEHATAN DESA DALAM PELAKSANAAN DESA SIAGA AKTIF DI KABUPATEN WONOSOBO TAHUN 2014 MUHAMMAD SAHLI JURNAL ILMU KESEHATAN DEWAN REDAKSI Penerbit : FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS SAINS AL-QUR’AN JAWA TENGAH DI WONOSOBO Pelindung : Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan (FIKES) Universitas Sains Al-Qur’an Jawa Tengah di Wonosobo Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi : M. Fahrurrozi. S. Kep. Ns Sekretaris Redaksi : Siti Khoiriyah, S. Kep. Ns, Dewi Candra Resmi, S. SiT Editor : Fajar Gunawan, Amd.Kom Anggota Redaksi : Candra Dewi Rahayu, S. Kep. Ns, Farihah Indriani, S.SiT POLA TATALAKSANA DIARE CAIR AKUT DI RSUD WONOSOBO Ika Purnamasari, Ari Setyawati ABSTRAK Latar Belakang : Penyakit diare merupakan penyebab kematian pertama pada usia balita. Penatalaksanaan yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan berbasis bukti diharapkan mampu menekan angka mortalitas dan morbiditas penyakit diare. Tujuan : untuk mengetahui bagaimana pola tata laksana pasien diare cair akut di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Wonosobo. Metode : Penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan retrospektf. Sampel penelitian ini adalah pasien anak usia dibawah dua tahun yang menjalani rawat inap karena diare selama periode waktu Januari – Desember tahun 2013. Julah sampel 193 anak. Data dikumpulkan menggunakan kuesioner dan ceklist. Analisis data dilakukan dengan SPSS versi 16.00. Hasil :Pasien yang dirawat dengan dehidrasi berat hanya 5,2%, tatalaksana diare terkait upaya rehidrasi oral menggunakan oralit masih sangat rendah (7,3%) dan 92,7% anak diare tidak diberi oalit. Penggunaan rehidrasi intravena pada kasus diare dijumpai 100% pada semua kasus tanpa memperhatikan derajat dehidrasi. Penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dijumpai 98,4%. Pemberian zink sebagai mikronutrien sudah sangat bagik dterapkan yaitu 95,3% anak diare mendapatkan terapi zink. Penggunaan anti diare dan anti emetik masing-masing sebanyak 2,6% dan 44%. Sedangkan untuk pemberian ASI maupun susu formula dijumpai bahwa 58% anak diare tidak mendapatkan ASI dan atau susu formula Kesimpulan : Pola tatalaksana diare cair akut pada anak di RSUD Wonosobo masih ada yang belum sesuai dengan pedoman tatalaksana diare menurut Kementrian Kesehatan RI Implikasi Keperawatan : Perawat dapat melaksanakan perannya sebagai advocate terkait tatalaksana diare cair akut di rumah sakit. Kata Kunci : Tatalaksana, Anak, Diare Cair Akut Pendahuluan Penyakit Diare merupakan penyakit yang menempati urutan kedua penyebab kematian balita di dunia setelah pneumonia. WHO mencatat hampir sembilan juta anak balita meninggal setiap tahunnya dan satu setengah juta per tahun anak balita meninggal karena diare atau 16 % dari seluruh penyebab kematian. Saat ini, hanya 39% anak dengan diare di negara-negara berkembang mendapatkan penanganan yang sesuai (WHO 2009). Di Indonesia, penyakit diare merupakan penyakit endemis yang berpotensi untuk menjadi KLB (Kejadian Luar Biasa) dan sering disertai dengan kematian. Laporan Riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa penyakit diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi (31,4%) dan pada balita (25,2%), sedangkan pada golongan semua umur merupakan penyebab kematian yang ke empat (13,2%). (Kemenkes RI 2012). Paket penanganan dan pengawasan terhadap penyakit diare telah disusun oleh WHO yang meliputi paket pengobatan (treatment) dengan tujuan untuk mengurangi angka kematian balita akibat diaredan paket pencegahan yang bertujuan untuk mengurangi beban diare pada jangka waktu menengah dan lama. Paket ini tersusun atas 7 (tujuh) poin perencanaan untuk penanganan diare secara komprehensif, yaitu 2(dua) elemen penting pengobatan sesuai WHO dan UNICEF dan 5 elemen pencegahan yang membutuhkan perhatian lebih dalam proses implementasinya, yaitu (WHO 2009): 1. Penggantian cairan untuk mencegah dehidrasi, termasuk dengan menggunakan low-osmolarity oral rehydration (ORS), 2. Pengobatan dengan zinc, dimana pengobatan ini dapat menurunkan keparahan dan lama diare. 3. Vaksinasi rotavirus dan campak 4. Promosi kesehatan tentang ASI eksklusif dan suplemen vitamin A 5. Promosi kesehatan tentang cuci tangan menggunakan sabun 6. Peningkatan kualitas dan kuantitas penyediaan air, termasuk keamanan penyimpanan air rumah tangga 7. Promosi tentang sanitasi di komunitas. Penelitian oleh Sofian (2004) tentang pola penggunaan antibiotik di RSI NU Demak, diperoleh hasil bahwa 100% anak usia 1-3 tahun yang dirawat di rumah sakit tersebut mendapatkan antibiotik. Cara pemberian 62,93% serbuk injeksi dan 37,07% sirup (oral). Hal ini menunjukkan penggunaan antibiotik pada kasus diare bersifat tidak rasional. Penelitian lain di rumah sakit swasta di Jakarta tentang penatalaksanaan diare diperoleh hasil bahwa tata laksana diare akut di tiga rumah sakit swasta di Jakarta kurang sesuai dengan panduan/protabel WHO, tampak dari hasil pemakaian CRO hanya pada 50% pasien, antibiotik masih banyak dipakai (90%), dan pemakaian susu formula khusus pada 70% anak (Dwipurwantoro 2005) Rumah Sakit Umum Daerah Wonosobo, merupakan salah satu rumah sakit yang sering mendapatkan rujukan dari puskesmas di wilayah Wonosobo. Berdasarkan data di ruang rawat inap RSUD Wonosobo tahun 2013, diketahui bahwa peringkat pertama dari 10 besar penyakit anak adalah diare. Hal ini dapat terjadi hampir sepanjang tahun. Jumlah rata-rata pasien diare setiap bulannya di ruang perawatan khusus anak mencapai 50 – 60 pasien. Jumlah ini merupakan jumlah yang cukup tinggi. Berdasarkan wawancara dengan perawat di rumah sakit, masih terdapat penggunaan antibiotik pada kasus – kasus diare, penggantian susu formula dan pemberian cairan intravena yang kurang sesuai dengan indikasi. Keadaan ini membutuhkan pemantauan yang rutin terkait tata laksana pasien diare, sehingga pasien mendapatkan pengobatan dan perawatan yang sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan. Apabila pasien diare mendapatkan pengobatan dan perawatan yang tidak sesuai, maka dikhawatirkan pasien mendapatkan kerugian dari praktik tersebut seperti resisten terhadap antibiotika dan dapat juga berhubungan dengan penambahan biaya karena harus membeli obat yang sebenarnya kurang dibutuhkan. Hal ini disebabkan karena pada umumnya diare disebabkan oleh rotavirus dan tidak memerlukan antibotika. Berdasarkan keadaan tersebut di atas dapat dirumuskan permasalahan yang ada, yaitu “Bagaimana pola tata laksana pasien diare cair akut di RSUD Wonosobo? Apakah sudah sesuai dengan lima langkah tuntaskan diare (Lima Lintas Diare) dari Kemenkes RI?” Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pola tata laksana pasien diare cair akut di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Wonosobo. yang meliputi: 1. Pemberian cairan rehidrasi oral (CRO) 2. Pemberian cairan parenteral 3. Penggunaan antibiotik 4. Pemberian tablet zinc 5. Penggunaan anti diare dan anti emetik 6. Pemberian ASI dan susu formula Metode Penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan retrospektf. Sampel penelitian ini adalah pasien anak usia dibawah dua tahun yang menjalani rawat inap karena diare selama periode waktu Januari – Desember tahun 2013. Julah sampel 193 anak. Data dikumpulkan menggunakan kuesioner dan ceklist. Analisis data dilakukan dengan SPSS versi 16.00. Hasil 1. Karakteristik Responden Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 257 pasien anak dengan diare cair akut yang dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Setjonegoro Wonosobo periode bulan Januari sampai Desember 2013. Adapun sampel yang memenuhi kriteria inklusi berjumlah 193 pasien, terdiri dari 126 (65,3%) anak laki-laki dan 67 (34,7%) anak perempuan dengan rentang usia 0 – 24 bulan. Kelompok umur 0 – 6 bulan berjumlah 41 (21,2%) anak, kelompok umur 7 – 11 bulan berjumlah 66 (34,1%) anak serta 86 (44,6%) anak berusia 12-24 bulan. Berdasarkan derajat dehidrasi, 115 (59,6%) diantaranya tanpa mengalami dehidrasi, sebanyak 68 (35,2%) dengan dehidrasi ringan-sedang, sedangkan dengan dehidrasi berat terdapat 10 (5,2%) anak. 2. Pola Tatalaksana Diare Cair Akut Berdasarkan penelitian diperoleh data bahwa penggunaan oralit dipakai pada 14 (7,3%) anak, sedangkan 179 (92,7%) anak tidak diberikan oralit. Pada penelitian ini anak dengan diare cair akut masih banyak yang tidak diberikan ASI yaitu 112 (58%), sedangkan anak yang masih diberikan ASI 81 (42%). Terapi cairan parenteral masih banyak digunakan pada kasus diare baik tanpa dehidrasi, dengan dehidrasi ringan sampai sedang dan dehidrasi berat yaitu 193 (100%). Penggunaan antibiotik dalam kasus diare juga menjadi salah satu terapi yang banyak digunakan yaitu 190 (98,4%) dan 3 (1,6%) anak tidak mendapatkan terapi antibiotik. Tetapi untuk penggunaan zink hanya pada 9 (4,7%) anak saja yang tidak mendapatkan zink, yang lain 184 (95,3%) menggunakan zink. Terapi antidiare hanya digunakan pada 4 (2,6%) anak saja, sedangkan sebagian besar 188 (97,4%) anak tidak mendapat terapi antidiare. Penggunaan antiemetik didapatkan pada 85 (44%) anak, sedangkan 108 (56%) anak tidak mendapatkan antiemetik. Gambaran pola tatalaksana diatas dapat dilihat pada Tabel 1 berikut Tabel 1 Pola Tata Laksana Diare Cair Akut No. Jenis Tatalaksana 1. Pemberian oralit Ya Tidak 2. Pemberian ASI/Sufor Ya Tidak 3. Pemberian cairan parenteral Ya Tidak 4. Pemberian antibiotik Ya Tidak 5. Pemberian zinc Ya Tidak Frekuensi Prosentase 14 179 7,3 92,7 81 112 42 58 193 0 100 0 190 3 98,4% 1,6 184 9 95,3% 4,7% 6. 7. Pemberian antidiare Ya Tidak Pemberian antiemetik Ya Tidak 4 188 2,6% 97,4% 85 108 44% 56% Pembahasan 1. Jenis Kelamin Pada penelitian ini didapatkan bahwa anak yang mengalami diare cair akut yang dirawat di RSUD Setjonegoro sebagian besar adalah laki laki (65,3%), dengan rentang usia 0 – 24 bulan. Penelitian yang dilakukan Pramita dkk juga menyebutkan bahwa 55% dari keseluruhan anak yang dirawat di RS swasta di Jakarta dengan diare adalah laki laki1,3. Hal ini dimungkinkan karena pada tahap pertumbuhan dan perkembangannya, tingkat aktifitas pada anak laki laki lebih banyak daripada anak perempuan. Pada usia tersebut juga anak mulai mengeksplorasi lingkungan. 2. Usia Berdasarkan data yang diperoleh, insiden tertinggi anak yang mengalami diare cair akut berada pada usia dibawah 2 tahun. Jumlah terbanyak didapatkan pada usia lebih dari 6 bulan, kemungkinan terjadi karena pada anak lebh dari 6 bulan sudah diperkenalkan makanan pendamping ASI dan makanan tambahan lainnya, sedangkan untuk rentang usia kurang dari 6 bulan tingkat kejadian diare lebih sedikit karena anak masih mendapatkan ASI. 3. Tingkat dehidrasi Berdasarkan hasil yang diperoleh, tingkat dehidrasi pada diare cair akut yang dirawat di RSUD Wonosobo paling banyak pada kasus tanpa dehidrasi. Hasil ini tidak sesuai dengan pola tata laksana yang direkomendasikan oleh WHO, dimana pada kasus diare cair akut, yang perlu dirawat di Rumah Sakit adalah pada kasus diare cair akut dengan dehidrasi berat. Faktor ini mungkin disebabkan oleh kurangnya pemahaman dan tingkat pengetahuan orang tua/keluarga tentang tanda dan gejala diare serta penanganan pertama untuk diare, yaitu untuk diare cair akut tanpa dehidrasi dapat dengan pemberian CRO/oralit, yang bisa dilakukan di rumah. 4. Upaya rehidrasi Hasil penelitian ini, pasien yang mendapatkan CRO hanya 7,3% saja, sisanya tidak mendapatkan terapi rehidrasi oral. Pemberian CRO belum dapat dipahami dan dilaksanakan sepenuhnya, padahal terapi rehidrasi oral merupakan terapi pilihan dan direkomendasikan untuk menggantikan cairan dan elektrolit yang hilang akibat diare pada anak dengan diare akut dehidrasi ringan sedang2. Selain itu juga belum tersedianya pojok oralit di rumah Sakit. Terapi parenteral didapatkan 100% pada penelitian ini. Dari keseluruhan pasien yang dirawat dengan diare cair akut tanpa dehidrasi, dehidrasi sedang mendapatkan terapi parenteral. Akan tetapi, terapi parenteral pada diare cair akut dengan dehidrasi berat telah dilaksanakan sesuai dengan rekomendasi WHO, yaitu pemberian pemberian cairan intravena secara bertahap. Untuk anak umur kurang dari 12 bulan 30 ml/kgBB pada 1 jam dan 70 mm/kgBB dalam 5 jam pada pemberian berikutnya. Sedangkan untuk anak usia lebih dari 12 bulan diberikan dengan dosis yang sama pada 30 ml pemberian pertama dan 2,5 jam untuk pemberian berikutnya (WHO, 2009). Pemberian ASI pada anak dengan diare cair akut yang ditemukan pada penelitian ini masih jarang ditemukan, hanya 42% anak dengan diare yang masih diberikan ASI. Sebagian tidak diberikan ASI, padahal ASI dan makanan pendamping ASI sebenarnya masih dapat dilanjutkan walaupun anak mengalami diare, karena ASI/MPASI masih dibutuhkan oleh tubuh pada anak dengan diare. Pemberian ASI pada anak 0-6 bulan juga sangat dianjurkan mengingat ASI dapat meningkatkan imunitas anak, sehingga anak tidak mudah terinfeksi bakteri/virus. Sebagian besar anak yang dirawat dengan diare cair akut mendapatkan terapi antibiotik, yaitu pada 98,4% kasus. Penatalaksanaan ini tidak sesuai dengan rekomendasi WHO. Pemberian antibiotik dilakukan pada diare yang disebabkan karena virus/bakteri. Namun, pada penelitian ini tidak ditemukan adanya pemeriksaan penunjang yaitu feces rutin, sehingga pemberian antibiotik ini dilakukan sebagai upaya pencegahan. Pemberian zinc pada anak dengan diare cair akut sangat direkomendasikan oleh WHO, sesuai dengan penelitian ini bahwa 95,3% anak sudah mendapatkan zinc. Pemberian antidiare hanya diberikan pada 2,6% kasus, sedangkan anti emetik diberikan pada 88% kasus anak dengan diare cair akut karena mengalami mual dan muntah. Hal ini sebenarnya tidak direkomendasikan oleh WHO. Kesimpulan dan Saran Pola tatalaksana diare cair akut pada anak bawah dua tahun masih ada yang belum sesuai dengan panduan penetalaksanaan diare menurut Departemmen Kesehatan RI. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan evaluasi rumah sakit khususnya terkait tatalaksana anak diare dan selanjutnya dapat digunakan untuk menyusun prosedur operasional standar pelayanan. Penelitian ini masih terbatas pada deskripsi tatalaksana diare sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang faktor-faktor yang menyebabkan ketidaksesuaian tatalaksana diare dengan panduan yang telah ditetapkan. DAFTAR PUSTAKA DepKes RI (2011), Buku saku Bagi Petugas Kesehatan ; Lima Langkah Tuntaskan Diare (LINTAS DIARE), Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dorland (2002) Kamus Kedokteran Dwipoerwantoro, PG, Hegar Badriul, Witjaksono PAW (2005), Pola Tata Laksana Diare Akut di Beberapa Rumah Sakit Swasta di Jakarta, Apakah Sesuaidengan ProtokolWHO? Sari Pediatri, vol 6 No 4 2005 ;182-187 KemenKes RI (2013), Profil Kesehatan Indonesia 2012 Opando et al.. Effect of a multi faceted quality improvement intervention on inappropriate antibiotic use in children with non bloody diarrhoea admitted to district hospitals in Kenya. BMC Pediatrics http://www.biomedcentral.com/1471-2431/11/109. Pramita G. Dwipoerwantoro, Badriul Hegar, Pustika A. W. Witjaksono. Pola Tata Laksana Diare Akut di Beberapa Rumah Sakit Swasta di Jakarta; apakah sesuai dengan protokol WHO. Sari Pediatri, Vol.6, No.4, Maret 2005: 182187 Sidik NA dkk (2013), Assessment of The Quality of Hospital Care for Children in Indonesia, Tropical Medicine and International Health, volume 18 No.4 PP 407 – 415 April 2013 Sofian Ahmad (2004), Pola Penggunaan Antibiotik pada Diare Anak di RSI NU Demak, skripsi WHO – UNICEF (2009), Diarrhoea : Why Children Are Still Dying and What Can Be done? WHO (2009), Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah sakit; Pedoman Bagi Rumah sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten / Kota PENGARUH PENDAMPING PERSALINAN DAN PARITAS TERHADAP PENGURANGAN RASA NYERI KALA I FASE AKTIF PADA IBU BERSALIN NORMAL Farihah Indriyani ABSTRAK Nyeri persalinan merupakan proses fisiologis, terjadinya disebabkan oleh kontraksi uterus yang dirasakan bertambah kuat dan paling dominan terjadi pada kala I fase aktif. Intensitas nyeri dirasakan berbeda-beda dan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pendamping persalinan dan paritas. Tujuan penelitian adalah mengetahui tentang Pengaruh Pendamping Persalinan Dan Paritas Terhadap Pengurangan Rasa Nyeri Kala I Fase Aktif Pada Ibu Bersalin Normal. Metode penelitian. Studi ini merupakan penelitian quasi eksperiment yang dilakukan di RSIA Adina Wonosobo. Pada penelitian ini mengambil jenis “One group pre test-posttest” di mana kelompok eksperimen diberikan pre test sebelum di beri perlakuan yang kemudian diukur dengan posttest setelah adanya perlakuan. Populasi adalah Semua ibu bersalin di RSIA Adina Wonosobo. Teknik pengambilan sampel adalah Total Sampling yaitu semua ibu bersalin yang normal di RB Adina Wonosobo pada bulan Maret sampai April tahun 2014. Hasil penelitian adalah 1) Pengaruh tingkat rasa nyeri kala I fase aktif pada ibu bersalin sebelum ada pendamping persalinan dan setelah ada pendampingan persalinan dapat disimpulkan bahwa ibu dengan pendamping persalinan mengalami nyeri yang lebih ringan dibandingkan ibu tidak dengan pendamping persalinan. 2) Pengaruh paritas terhadap pengurangan rasa nyeri kala I fase aktif pada ibu bersalin normal dapat disimpulkan bahwa ibu multigravida ternyata mengalami nyeri yang lebih ringan dibandingkan ibu primigravida 3)Interaksi pengaruh peran pendamping persalinan dan paritas terhadap pengurangan rasa nyeri kala I fase aktif pada ibu bersalin normal ibu di RSIA Adina Wonosobo dapat disimpulkan bahwa faktor interaksi pendamping persalinan dan paritas mempunyai interaksi yang signifikan terhadap skala nyeri kala I pada ibu bersalin di RB Adina Wonosobo Kata Kunci: Pendamping persalinan, Paritas, Pengurangan rasa nyeri kala I fase aktif pada ibu bersalin normal. PENDAHULUAN Persalinan dan kelahiran merupakan kejadian fisiologis yang normal. Kelahiran seorang bayi merupakan peristiwa yang sosial yang ibu dan keluarga nantikan selama kurang lebih 9 bulan. Ketika persalinan di mulai, peran ibu adalah untuk melahirkan bayinya. Peran petugas kesehatan adalah memantau persalinan untuk mendeteksi dini adanya komplikasi, selain itu bersama keluarga memberikan bantuan dan dukungan pada ibu bersalin (Saifudin, 2002). Melahirkan merupakan proses alami dan menimbulkan rasa sakit. Melahirkan secara normal akan membutuhkan daya tahan tubuh yang kuat karena terlampau sakit. Perempuan yang merasakan sakit terlalu parah dari seharusnya disebut fear-tension-pain concept, yaitu rasa sakit yang menimbulkan ketegangan dan kepanikan yang menyebabkan otot kaku dan sakit sehingga tidak heran jika ada juga perempuan yang melahirkan normal, namun menggunakan obat-obatan untuk mengatasi rasa sakit. Ada beberapa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi rasa nyeri adalah berbagai hambatan fisik dan psikologis ibu. Faktor fisik diantaranya tindakan medis selama persalinan, besarnya pembukaan dan lamanya kontraksi, sedangkan faktor psikologis diantaranya panik, sugesti, dan pendamping persalinan (Danuatmada & Mciliasari, 2004). Cara-cara alternatif untuk mengatasi rasa sakit dan kecemasan selama proses persalinan dan melahirkan perlu dianjurkan atau setidaknya dicoba sebelum menawarkan obat-obat pereda rasa sakit. Dukungan yang terus menerus, urut/pijat, air hangat yang menenangkan, perubahan posisi tubuh, kata-kata serta belaian yang memberi semangat dapat meningkatkan kenyamanan si ibu dan mengalihkan perhatiannya dari rasa sakit. Asuhan kebidanan dukungan persalinan Kala I dapat diberikan dengan cara menghadirkan orang yang dianggap penting oleh ibu untuk mendampingi ibu selama proses persalinan seperti suami, keluarga, atau teman dekat. Suami dan keluarga dianjurkan untuk berperan aktif dalam mendukung dan melakukan kegiatan yang dapat memberikan kenyamanan bagi ibu. Pendamping ibu saat persalinan sebaiknya adalah orang yang peduli pada ibu, yang paling penting 1 adalah orang-orang yang diinginkan oleh si ibu untuk mendampinginya selama persalinan. Di beberapa tempat, hanya wanita yang boleh menemani ibu pada saat ia melahirkan. Dalam budaya lain, sudah menjadi kebiasaan bagi suami menjadi pendamping dalam persalinan bahkan menolong persalinan. Kehadiran pendamping selama proses persalinan, sentuhan penghiburan dan dorongan orang yang mendukung sangat besar artinya karena dapat membantu ibu saat proses persalinan (Januardi, 2002). Dukungan yang terus menerus dari seorang pendamping persalinan kepada ibu selama proses persalinan dan melahirkan dapat mempermudah proses persalinan dan melahirkan itu sendiri, mengurangi kebutuhan tindakan medis, serta meningkatkan rasa percaya diri ibu akan kemampuan menyusui dan merawat bayinya. Seorang pendamping dapat membantu proses kelahiran berjalan normal dengan mengajak si ibu bergerak dan berjalan di ruang persalinan, memberi minuman dan makanan ringan, serta memberinya semangat agar tidak merasa cemas dan kesakitan. Menurut wawancara yang dilakukan kepada penanggung jawab rumah bersalin RB Adina Wonosobo, jumlah pasien pada tahun 2013 sebanyak 355 orang, untuk pasien primigravida sebanyak 190 orang sedangkan pada multigravida sebanyak 165 orang. Dalam menangani persalinan di RB Adina Wonosobo mengutamakan kenyamanan pasien, karena pasien yang memasuki proses persalinan kala I sudah mulai merasakan kesakitan. Rasa sakit itu disebabkan oleh rasa nyeri yang hebat pada bagian perut, apalagi bagi ibu primigravida yang belum mempunyai pengalaman dalam mengahadapi persalinan, biasanya ibu mengalami kebingungan dan kesakitan karena rasa nyeri yang hebat pada perutnya, apabila terjadi kontraksi dalam persalinan kala I. Untuk mengurangi rasa nyeri pada ibu bersalin ada beberapa faktor yang mempengaruhinya yaitu umur dan paritas ibu, ras, budaya, dan etnik, mekanisme coping, metode relaksasi yang digunakan, cemas dan takut, kelelahan, lama persalinan, posisi maternal dan fetal, pendamping persalinan. Akan tetapi peneliti hanya ingin meneliti tentang peran pendamping dan paritas terhadap pengurangan rasa nyeri kala I fase aktif pada ibu bersalin normal. Dengan adanya 2 pendampingan oleh suami atau anggota keluarga yang membuat ibu nyaman dan tenang di harapkan akan dapat mengurangi nyeri persalinan pada ibu bersalin. Pendamping persalinan juga mempengaruhi psikologis ibu dimana faktor psikologis juga termasuk faktor-faktor yang mempengaruhi lama persalinan. Pengurangan rasa nyeri pada pasien bisa dibantu oleh anggota keluarga atau bidan untuk memberikan dukungan secara moril dan memberi sentuhan atau pemijatan sehingga ibu bisa merasa nyaman dan tenang sehingga nyeri yang dirasakan oleh pasien dapat berkurang. Akan tetapi kebanyakan para pendamping persalinan tidak mengetahui apa peran pendamping pada proses persalinan, para pendamping hanya mengikuti anjuran bidan yang menganjurkan mereka untuk mendamping ibu yang sedang bersalin, apabila itu ibu bersalin primigravida yang belum pernah ada pengalaman. Maka penulis melakukan penelitian tentang “Peran pendamping persalinan dan Paritas Terhadap Pengurangan Rasa Nyeri Kala I Fase Aktif Pada Ibu Bersalin Normal Di RB Adina Wonosobo”. KAJIAN PUSTAKA 1. Persalinan Normal a. Pengertian persalinan Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan uri) yang telah cukup bulan atau dapat hidup di luar kandungan melalui jalan lain, dengan bantuan atau tanpa bantuan (kekuatan sendiri) (Manuaba, 2005). Menurut Winknjosatro (2006), Persalinan adalah proses membuka dan menipisnya servik dan janin turun ke dalam jalan lahir. Kelahiran adalah proses dimana janin dan ketuban didorong keluar melalui jalan lahir. Sedangkan menurut Mansjoer (2005), Persalinan adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi yang dapat hidup dari dalam uterus melalui vagina ke dunia luar. b. Etiologi persalinan Sebab-sebab persalinan sampai saat ini merupakan teori yang komplek, antara lain: 3 a) Teori Penurunan Hormon b) Teori Plasenta Menjadi Tua c) Teori Ketegangan (distensi rahim) d) Teori Sirkulasi mekanik e) Induksi partus c. Faktor yang berperan dalam Persalinan Menurut Kuswnowardhani (2003), faktor yang berperan dalam persalinan antara lain: a) Power (tenaga) b) Passege (jalan lahir) c) Passeger (janin) d) Position e) Psychologic Proses Persalinan Winkjosastro (2006) menyatakan bahwa proses persalinan terdiri dari 4 kala, yaitu : a. Kala I Kala I berlangsung dari permulaan persalinan sesungguhnya sampai pembukaan lengkap. Kala I dimulai sejak terjadinya his adekuat dan servik mulai membuka sehingga pembukaan lengkap (10 cm), pada primigravida lamanya 6 sampai 8 jam dan pada multipara 2 sampai 10 jam (Oxorn, 2003) atau pada primigravida kira – kira 13 jam dan multipara kira–kira 7 jam (Wiknjosastro, 2006). Kala pembukaan dibagi 2 fase , yaitu : 1) Fase laten Fase laten dimulai dari permulaan kontraksi uterus yang reguler sampai terjadinya dilatasi servik yang mencapai ukuran dimeter 3 cm. kontraksi uterus selam fase ini lebih pendek dan ringan, lama kontraksi 20-40 4 detik. Fase ini berlangsung 6 jam pada primipara dan 4,5 jam pada multipara. 2) Fase aktif Selama fase aktif persalinan, dilatasi servik terjadi lebih cepat. Dimulai dari akhir fase laten dan berakhir dengan dilatasi servik 4 cm sampai 10 cm. persalinan efektif di mulai pada fase ini. Rata-rata dilatasi servik untuk primipara 1,2 cm atau lebih tiap jam dan multipara 1,5 jam atau tiap jam (Martin, 2002). b. Kala II Kala II persalinan didefinisikan mulai dari dilatasi servik penuh sampai diikuti kelahiran bayi. Batasan kala II dimulai saat pembukaan serviks lengkap dan berakhir dengan lahirnya seluruh tubuh janin (Chapman, 2006). Kala II primi 1,5 sampai 2 jam sedangkan pada multi 0,5 sampai 1 jam (Wiknjosastro, 1999). c. Kala III Kala tiga persalinan tiga disebut juga sebagai kala uri atau kala pengeluaran plasenta. Kala tiga dan empat persalinan merupakan kelanjutan dari kala satu (kala pembukaan) dan kala dua (kala pengeluaran bayi) persalinan. d. Kala IV Kala IV adalah kala pengawasan selama 2 jam setelah bayi dan plasenta lahir untuk mengamati keadaan ibu terutama terhadap bahaya perdarahan post partum. Masa post partum merupakan saat paling kritis untuk mencegah kematian ibu, terutama kematian disebabkan karena perdarahan. 2. Konsep Dasar Nyeri 1. Pengertian Nyeri a. Pengertian nyeri 5 Menurut kamus besar Bahasa Indonesia nyeri adalah rasa yang menyebabkan penderitaan. Nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman baik ringan ataupun berat (Perry & Poter, 2005). b. Respon Tubuh Terhadap Nyeri 1) Respon Simpatis 2) Respon Parasimpatis 3) Respon Perilaku 4) Faktor-faktor yang mempengaruhi respon Oleh karena nyeri merupakan masalah yang kompleks, maka berbagai faktor dapat mempengaruhi respon nyeri antara lain (Mander, 2004) : a) Umur b) Jenis kelamin c) Sosiokultural d) Situasi/lingkungan e) Arti Nyeri f) Perhatian g) Kecemasan h) Kelelahan i) Pengalaman Nyeri Sebelumnya j) Coping style k) Dukungan Sosial dan Keluarga c. Skala Intensitas Nyeri Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri yang dirasakan oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri sangat subyektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologis tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun pengukuran nyeri dengan 6 teknik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri. Pengukuran subjek nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai alat pengukuran nyeri, seperti skala visual analog, skala nyeri numerik analog, skala nyeri deskriptif atau skala nyeri Wong-Bakers untuk anak-anak. Nyeri bisa diukur dengan menggunakan skala intensitas nyeri deskriptif atau pain of ruler. 0 : Tidak nyeri 1–3 : Nyeri ringan : Secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik 4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik 7-9 : Sangat nyeri tetapi masih dapat dikontrol : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi 10 : Sangat nyeri yang tidak dapat dikontrol : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi. Saat pengukuran responden diminta untuk menunjukkan berapa skala nyeri yang sedang dirasakan sehingga dapat diketahui bahwa responden tidak merasakan nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang, sangat nyeri tetapi masih dapat dikontrol atau bahkan sangat nyeri yang tidak dapat dikontrol lagi. 2. Nyeri Persalinan a. Pengertian Nyeri Persalinan Nyeri persalinan adalah respon nyeri yang menyertai kontraksi uterus mempengaruhi mekanisme fisiologis sejumlah 7 sistem tubuh yang selalu menyebabkan respon stres fisiologis yang umum dan menyeluruh (Mander, 2004). b. Jaras Perifer Nyeri Persalinan Karya eksperimental pada sistem saraf otonom menunjukan bahwa baik komponen simpatis dan parasimpatis menyuplai sebagaian besar organ abdomen dan pelvis, termasuk uterus. Secara otomatis, otot polos uterus di suplai sebagian besar oleh serat-C yang tidak bermielin dan sebagian oleh serat A-delta kecil yang bermielin. Serat nosiseptif dalam uterus dan servik melewati pleksus uterine dan servikalis dan kemudian (secara berurutan) melewati pleksus pelvikus, nervus hipogasatrikus medius, nervus hipogastrikus superior dan kemudian menuju ranta simpatis lumbalis. Dari sini, serat nosiseptif melewati rantai torasikus bagian bawah dan meninggalkannya dengan berjalan melalui rami komunikantes albus yang berkaitan dengan nervus spinalis T10, T12, T12, dan L1. Akhirnya serat nosiest berjalan melalui saraf-saraf spinalis dan berkaitan dengan neuron kornu dorsalis. Serat nosiseptif dari perineum melalui nervus pudendus dan masuk kedalam medula spinalis melalui radisk posterior S2, S3, dan S4. Selain itu, segmen lumbalis bagian bawah dan sakralis bagian atas menyuplai saraf menuju struktur pelvis yang terlibat dalam nyeri persalinan. Selama kala I persalinan, nyeri diakibatkan oleh dilatasi servik dan segmen bawah uterus dan distensia korpus uterus (Mochtar, 2001). Intensitas nyeri selama kala ini diakibatkan oleh kekuatan konstraksi dan tekanan yang dibangkitkan. Pernyataan yang tegas ini didasarkan pada hasil remuan bahwa tekanan cairan amnion lebih dari 15 mmHg di atas tonus yang dibutuhkan untuk meregangkan segmen bawah uterus dan servik dan dengan demikian menghasilakan nyeri. Sebenarnya, tekanan 8 diatas 50 mmHg telah direkam sebagai sesuatu yang normal selama kala I persalinan. Dengan demikian logis untuk mengharapkan bahwa makin tinggi tekanan cairan amnion, makin besar distensia sehingga menyebabkan nyeri yang lebih berat. Nyeri ini dialihkan ke dermaton yang disuplai oleh segmen medulla spinalis yang sama dengan segmen yang menerima input nosiseptif dari uterus dan serviks. Dermaton adalah daerah tubuh yang dipersarafi oleh saraf spinalis khusus, misalnya dermaton 12 mengacu pada dermaton torasiikus ke 12. Nyeri di rasakan sebagai nyeri tumpul yang lama pada awal kala I dan terbatas dermaton torasikus ke-11 (T11) dan ke-12 (T12). Kemudian pada kala II persalinan, nyeri pada dermaton T10 dan L1. Penurunan kepala janin memasuki pelvis pada akhir kala I menyebabkan distensia struktur pelvis dan tekanan pada rodiks pleksus lumbosakrolis, yang menyebabkan nyeri alih pada perjalanan segmen L2 ke bawah. Akibatnya nyeri dirasakan pada region L2, bagian bawah punggung dan juga pada paha dan tungkai. Pada kala II persalinan, nyeri tambahan disebabkan oleh regangan dan robekan jaringan, misalnya pada nyeri perineum dan tekanan pada otot skelet perineum. Di sini nyeri disebabkan oleh regangan struktur somatic superficial dan digambarkan sebagai nyeri yang tajam dan terlokalisasi, terutama pada daerah yang disuplai oleh saraf pudendus. Beberapa wanita dapat mengalami nyeri pada paha dan tungkai mereka, digambarkan sebagai nyeri tumpul yang lama, terbakar atau kram. Hal ini dapat diakibatkan oleh rangsangan struktur pada pelvis yang sensitive-nyeri dan yang menyebabkan nyeri ringan yang 9 dialihkan pada segmen lumbalis dan sakralis bagian bawah (Mander, 2004). c. Nyeri Persalinan dan Respon Tubuh Nyeri yang menyertai kontraksi uterus menyebabkan hiperventilasi, dengan frekuensi pernafasan tercatat 60-70 kali permenit. Hiperventilasi sebaliknya menyebabkan penurunan kadar PaCO2 (kadar pada kehamilan normal adalah 32 mmHg, kadar yang menurun adalah 16-20 mmHg) dan konsekuensinya adalah peningkatan kadar pH yang konsisten. Temuan yang sama telah dilaporkan oleh sejumlah peneliti di bidang nyeri persalinan. Salah satu bahaya kadar PaCO2 ibu rendah adalah penurunan kadar PaCO2 janin yang menyebabkan deselerasi lambat denyut jantung janin (Mender, 2004). Ventilasi dapat meningkat nyata ketika wanita bersalin menggunakan latihan pernafasan. Hal ini dapat mempengaruhi kesimbangan asam basa system sirkulasi, menghasilkan alkalosis selama persalinan adalah penurunan transfer oksigen bagi janin. Alkalosis juga dapat menginduksi vasokontriksi uterus, memperlama persalinan dan alkalosis yang makin memburuk. d. Nyeri Kala I Persalinan Selama kala I persalinan rasa nyeri disebabkan oleh dua peristiwa yaitu : 1) Nyeri karena kontraksi rahim yang dihantarkan oleh serabut saraf torakal 11 dan12 Otot rahim mempunyai kemampuan meregang selama kehamilan dalam batas tertentu, setelah melewati batas tersebut maka otot rahim akan berkontraksi atau disebut dengan his pertanda dimulainya persalinan. Kontraksi rahim terjadi selain karena regangan otot polos juga pengaruh dari estrogen dan progesteron , sistem 10 kontraktilitas miometrium sendiri dan oksitosin. Pada fase laten kala I persalinan kontraksi rahim terjadi setiap 15 sampai 20 menit dan bisa berlangsung kira-kira 30 detik. Kontraksi-kontraksi ini sedikit lemah dan bahkan tidak terasa oleh ibu yang bersangkutan. Kontraksi-kontraksi ini biasanya terjadi dengan keteraturan syang beriman dan interval (selang antar waktu) diantara kontraksi secara berangsur menjadi lebih pendek, sementara lamanya kontraksi semakin panjang. Pada fase aktif kala I persalinan kontraksi rahim bisa terjadi setiap 2 sampai 3 menit dan berlangsung selama 50-60 detik. Kontraksi rahim pada fase ini sangat kuat. Selama kontraksi akan terjadi kontriksi pembuluh darah yang menyebabkan anoksia serabut otot, hal inilah yang menyebabkan anoksia serabut otot, hal inilah yang menyebabkan timbulnya rangsang nyeri, selain itu rangsanga nyeri timbuk karena tertekannya ujung saraf sewaktu rahim berkontraksi. Selama kontraksi rahim selalu diikuti pengerasan abdomen dan rasa tidak nyaman (rasa nyeri). Rasa nyeri yang dirasakan sebagai rasa sakit punggung. Dalam perkembanganya kontraksi akan menjadi lebih lama dan kuat yang mengakibatkan intensitas nyeri yang dirasakan semakin bertambah (Mander, 2004). 2) Nyeri karena peregangan atau pembukaan leher rahim yang dihantarkan oleh serabut saraf sacrum 2, 3 dan 4. Pembukaan leher rahim adalah proses pembesaran lubang luar leher rahim dari keadaan yang memungkinkan lewatnya kepala janin. Pembukaan diukur dalam cenmimeter dan pembukaan lengkap pada bulan penuh sama dengan kira-kira 10 cm. Pembukaan akan terjadi sebagai akibat dari kerja rahim serta tekanan yang 11 berlawanan yang dikenakan oleh kantung membran dan bagian janin yang menyodor. Kepala janin yang berada dalam keadaan fleksi penuh yang dengan ketat dikenakan pada leher rahim akan membantu permukaan yang efisien. Tekanan yang dikenakan secara merata ke leher rahim akan menyebabkan fundus rahim bereaksi dengan jalan berkontraksi, hal inilah yang menimbulkan rasa nyeri (Mander, 2004). 3) Penyebaran Rasa Nyeri Pada Kala I persalinan Rasa nyeri pada suatu alat atau tubuh tidak selalu berarti bahwa tubuh tadi yang sakit, tetapi bisa berasal dari alat tubuh lain. Misalnya rasa nyeri di punggung pada awal persalinan dapat berasal dari uterus dan bukan dari otot punggung sendiri, hal demikian dinamakan refered poin (penyebaran rasa nyeri). Daerah penyebaran rasa nyeri berubah-ubah selama proses persalinan. Pada kala I persalinan (kala pembukaan) daerah nyeri yang dirasakan pada punggung bahwa hal ini berhubungan dengan kontraksi rahim dan peregangan leher di mana rasa nyeri di hantarkan melalui serabut saraf torakal 11, 12, dan serabut saraf sacral 2,3 dan 4 (Mander, 2004). e. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri Persalinan 1) Umur dan Paritas 2) Ras, Budaya, dan Etnik 3) Mekanisme coping 4) Metode Relaksasi Yang Digunakan 5) Cemas dan Takut 6) Kelelahan 7) Lama Persalinan 8) Posisi Maternal dan Fetal 9) Pendamping Persalinan 12 f. 3. Teknik Pengurangan Rasa Nyeri Peran Pendamping persalinan 1. Pengertian Pendampingan adalah perbuatan mendampingi, menemani dan menyertai dalam suka maupun duka (Depdiknas, 2001). 2. Dukungan pendamping persalinan Menurut Marshall (2000) menyebutkan bahwa dukungan pada persalinan dapat dibagi menjadi dua yaitu: a. Dukungan fisik adalah dukungan langsung berupa pertolongan langsung yang diberikan oleh keluarga atau suami kepada ibu bersalin. b. Dukungan adalah dukungan yang berupa kehangatan, kepedulian atau ungkapan empati yang akan menimbulkan keyakinan bahwa ibu merasa dicintai dan diperhatikan oleh suami, yang pada akhirnya dapat berpengaruh kepada keberhasilan. Peran Pendamping a. Peran pendamping selama proses persalinan yaitu (Darsa, 2009) : 1) Mengatur posisi ibu, dengan membantu ibu tidur miring atau sesuai dengan keinginan ibu disela-sela kontraksi dan mendukung posisi ini agar dapat mengejan secara efektif saat relaksasi. 2) Mengatur nafas ibu, dengan cara membimbing ibu mengatur nafas saat kontraksi dan beristirahat saat relaksasi. 3) Memberikan asuhan tubuh dengan menghapuskan keringat ibu, memegang tangan, memberikan pijatan, mengelus perut ibu dengan lembut. 4) Memberi informasi kepada ibu tentang kemajuan persalinan. 5) Menciptakan suasana kekeluargaan dan rasa aman. 13 6) Membantu ibu kekamar mandi. 7) Memberikan cairan dan nutrisi sesuai keinginan ibu. 8) Memberikan dorongan spiritual dengan ikut berdoa. 9) Memberi dorongan semangat mengejan saat kontraksi serta memberikan pujian atas kemampuan ibu saat mengejan. b. Menurut Ruth (2002) suami sebagai pendamping persalinan dapat melakukan hal sebagai berikut : 1) Memberi dorongan semangat yang akan dibutuhkan jika persalinan lebih lama dari yang diperkirakan. Suami sebaiknya diberitahu terlebih dahulu bahwa jika istri berteriak padanya hanya karena sang istri tidak mungkin berteriak pada dokter. 2) Memijat bagian tubuh, agar anda tidak terlalu tegang atau untuk mengalihkan perhatian istri dari kontraksi. Pukulan perlahan pada perut yang disebut effeurage, dengan menggunakan ujung jari merupakan pijatan yang disarankan. 3) Memastikan istri merasa nyaman dengan menyediakan bantal, air, permen atau potongan es untuk istri atau memanggilkan perawat atau dokter jika istri membutuhkan bantuan. 4) Memegang istri saat mengejan agar istri memiliki pegangan saat mendorong dan memimpin istri agar mengejan dengan cara yang paling efektif. 3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Peran Pendamping Persalinan Faktor-faktor yang mempengaruhi peran pendamping persalinan antara lain (Darsa, 2009): a. Sosial Ekonomi b. Budaya c. Lingkungan d. Pengetahuan e. Umur f. Pendidikan 14 4. Pembagian persalinan normal berdasarkan Gravida dan para atau berdasarkan paritasnya Hampir sebagian besar persalinan merupakan persalinan normal, hanya sebagian saja (12% sampai 15%) merupakan persalinan patologi. Pada beberapa kondisi, persalinan normal dapat beralih menjadi persalinan patologi apabila terjadi kesalahan dalam penilaian kondisi ibu dan bayi atau juga akibat kesalahan dalam memimpin proses persalinan ( Winkjosastro, 2006). Ada beberapa istilah yang berkaitan dengan persalinan normal, yaitu gravid dan para. Gravida adalah seorang wanita yang sedang hamil dan yang dimaksud dengan para adalah seorang wanita yang pernah melahirkan bayi yang dapat hidup atau Viabel (Winkjosastro, 2006). Dalam istilah lain yaitu paritas, paritas adalah banyaknya kelahiran hidup yang dipunyai oleh seorang wanita (BKKBN, 2006). Menurut Winkjosastro (2006) berdasarkan gravid, ibu dibagi menjadi 2 yaitu: a. Primigravida b. Seorang wanita yang hamil untuk pertama kali. Multigravida Seorang wanita yang sudah beberapa kali hamil, sampai 5 kali. Menurut Winkjosastro (2006) berdasarkan para, ibu dibagi menjadi menjadi 3, yaitu : a. Nullipara b. Seorang wanita yang belum pernah melahirkan bayi viable. Primipara c. Seorang wanita yang pernah melahirkan bayi hidup untuk pertama kali. Multipara atau pleuripara d. Wanita yang pernah melahirkan bayi viable beberapa kali yaitu sampai 5 kali. Grandemultipara Wanita yang pernah melahirkan bayi 6 kali atau lebih hidup atau mati. 15 HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Univariat Analisis univariat digunakan untuk menyajikan gambaran masingmasing variabel penelitian, dimana hasilnya diuraikan dalam tabel-tabel dibawah ini : a. Skala Nyeri Ibu dengan Pendamping Persalinan Tabel 4.1 Statistik Deskriptif Berdasarkan Skala Nyeri Ibu dengan Pendamping Persalinan pada Ibu Bersalin di RB Adina Wonosobo Variabel N Mean SD Min Max Skala Nyeri 16 5,69 1,078 4 8 Berdasarkan tabel 4.1 dapat diketahui bahwa dari 16 ibu bersalin di RB Adina Wonosobo yang memiliki pendamping persalinan, rata-rata skala nyeri ibu sebesar 5,67 ± 1,08, dimana skala nyeri paling ringan sebesar 4 dan paling berat sebesar 8. b. Skala Nyeri Ibu Tidak dengan Pendamping Persalinan Tabel 4.2 Statistik Deskriptif Berdasarkan Skala Nyeri Kala I pada Ibu Bersalin tidak dengan Pendamping Persalinan di RB Adina Wonosobo Variabel N Mean SD Min Max Skala Nyeri 13 7,77 1,013 6 9 Berdasarkan tabel 4.2 dapat diketahui bahwa dari 13 ibu bersalin di RB Adina Wonosobo yang tidak memiliki pendamping persalinan, rata-rata skala nyeri ibu sebesar 7,7 ± 1,01, dimana skala nyeri paling ringan sebesar 6 dan paling berat sebesar 9. c. Skala Nyeri Kala I pada Ibu Primigravida Tabel 4.3 16 Statistik Deskriptif Berdasarkan Skala Nyeri Kala I pada Ibu Bersalin Primigravida di RB Adina Wonosobo Variabel N Mean SD Min Max Skala Nyeri 12 8,08 0,669 7 9 Berdasarkan tabel 4.3 dapat diketahui bahwa dari 12 ibu bersalin primigravida di RB Adina Wonosobo, rata-rata skala nyeri ibu sebesar 8,08 ± 0,67, dimana skala nyeri paling ringan sebesar 7 dan paling berat sebesar 9. d. Skala Nyeri Kala I pada Ibu Multigravida Tabel 4.4 Statistik Deskriptif Berdasarkan Skala Nyeri Kala I pada Ibu Bersalin Multigravida di RB Adina Wonosobo Variabel N Mean SD Min Max Skala Nyeri 17 5,59 0,870 4 7 Berdasarkan tabel 4.4 dapat diketahui bahwa dari 17 ibu bersalin multigravida di RB Adina Wonosobo, rata-rata skala nyeri ibu sebesar 5,59 ± 0,87, dimana skala nyeri paling ringan sebesar 4 dan paling berat sebesar 7. e. Skala Nyeri Kala I pada Ibu Primigravida dengan Pendamping Persalinan Tabel 4.5 Statistik Deskriptif Berdasarkan Skala Nyeri Kala I pada Ibu Bersalin Primigravida dengan Pendamping Persalinan di RB Adina Wonosobo Variabel N Mean SD Min Max Skala Nyeri 2 7,50 0,707 7 8 17 Berdasarkan tabel 4.5 dapat diketahui bahwa dari 2 ibu bersalin primigravida dengan pendamping persalinan di RB Adina Wonosobo, ratarata skala nyeri ibu sebesar 7,50 ± 0,71, dimana skala nyeri paling ringan sebesar 7 dan paling berat sebesar 8. f. Skala Nyeri Kala I pada Ibu Primigravida Tidak dengan Pendamping Persalinan Tabel 4.6 Statistik Deskriptif Berdasarkan Skala Nyeri Kala I pada Ibu Bersalin Primigravida Tidak dengan Pendamping Persalinan di RB Adina Wonosobo Variabel N Mean SD Min Max Skala Nyeri 10 8,20 0,632 7 9 Berdasarkan tabel 4.6 dapat diketahui bahwa dari 3 ibu bersalin primigravida tidak dengan pendamping persalinan di RB Adina Wonosobo, rata-rata skala nyeri ibu sebesar 8,20 ± 0,63, dimana skala nyeri paling ringan sebesar 7 dan paling berat sebesar 8. g. Skala Nyeri Kala I pada Ibu Multigravida dengan Pendamping Persalinan Tabel 4.7 Statistik Deskriptif Berdasarkan Skala Nyeri Kala I pada Ibu Bersalin Multigravida dengan Pendamping Persalinan di RB Adina Wonosobo Variabel N Mean SD Min Max Skala Nyeri 14 5,43 0,852 4 7 Berdasarkan tabel 4.7 dapat diketahui bahwa dari 14 ibu bersalin multiigravida dengan pendamping persalinan di RB Adina Wonosobo, ratarata skala nyeri ibu sebesar 5,43 ± 0,85, dimana skala nyeri paling ringan sebesar 4 dan paling berat sebesar 7. 18 h. Skala Nyeri Kala I pada Ibu Multigravida Tidak dengan Pendamping Persalinan Tabel 4.8 Statistik Deskriptif Berdasarkan Skala Nyeri Kala I pada Ibu Bersalin Multigravida Tidak dengan Pendamping Persalinan di RB Adina Wonosobo Variabel N Mean SD Min Max Skala Nyeri 3 6,33 0,577 6 7 Berdasarkan tabel 4.8 dapat diketahui bahwa dari 3 ibu bersalin multiigravida tidak dengan pendamping persalinan di RB Adina Wonosobo, rata-rata skala nyeri ibu sebesar 6,33 ± 0,58, dimana skala nyeri paling ringan sebesar 6 dan paling berat sebesar 7. Berdasarkan hasil-hasil di atas, skala nyeri kala I pada Ibu hamil berdasarkan paritas dan pendamping persalinan dapat dirangkum pada tabel berikut. Tabel 4.9 Skala Nyeri Kala I pada Ibu bersalin berdasarkan Paritas dan Pendamping Persalinan Paritas Pendamping Persalinan Primigravida Tidak Ya Multigravida Tidak Ya B. N Mean SD Minimum Maksimum 10 8,20 0,632 7 9 2 7,50 0,707 7 8 3 6,33 0,577 6 7 14 5,43 0,852 4 7 Analisis Bivariat Analisis bivariat dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui pengaruh peran pendamping persalinan dan paritas terhadap pengurangan rasa nyeri kala I fase aktif pada ibu bersalin normal di RB Andina 19 Wonosobo. Untuk menguji perbedaan ini digunakan uji analisis varian (ANOVA), namun uji ANOVA ini memiliki asumsi yang harus dipenuhi, yaitu data berdistribusi normal dan varian yang homogen atau homogenitas varian. 1. Uji Distribusi Normal Uji normalitas ini menggunakan uji Kolmogorov Smirnov, dimana uji ini dilakukan terhadap residual atau error yang diperoleh dari analisis varian (ANOVA). Hasil dari uji normalitas disajikan pada tabel berikut ini. Tabel 4.10 Uji Normalitas Variabel Kolmogorov Smirnov p-value Residual 1,060 0,211 Berdasarkan tabel 4.10 dapat diketahui bahwa hasil uji normalitas diperoleh p-value 0,211 > α (0,05), ini menunjukkan bahwa data residual dari hasil ANOVA dapat dinyatakan berdistribusi normal. Ini menunjukkan asumsi normalitas sudah terpenuhi. 2. Uji Homogenitas Varian Tabel 4.11 Uji Homogenitas Varian F hitung 0,951 Berdasarkan tabel Df1 Df2 p-value 3 25 0,431 4.11 dapat diketahui bahwa hasil uji homogenitas varian menggunakan Lavene test diperoleh p-value 0,431 > α (0,05), ini menunjukkan bahwa data residual yang diperoleh dari uji ANOVA dapat dinyatakan memiliki varian yang homogen. Ini berarti bahwa asumsi homogenitas sudah terpenuhi dan kemudian dapat dilakukan pengujian selanjutnya. 3. Uji Hipotesis dengan Analisis Varian Dua Arah (two-way ANOVA) 20 Analisis varian dua arah (two-way ANOVA) digunakan teknik statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis komparatif lebih dari dua sampel (k sampel) secara serentak, dimana setiap sampel terdiri dari 2 kategori atau lebih. a. Perbedaan Skala Nyeri Kala I antara Ibu Bersalin dengan Pendamping Persalinan dengan Ibu Bersalin tidak dengan Pendamping Persalinan Berdasarkan hasil analisis varian dua arah (two – way ANOVA) diperoleh nilai F untuk variabel pendamping persalinan terhadap skala nyeri kala I sebesar nilai signifikansi 0,044, sedangkan nilai F tabel dengan α = 0,05 dan dk1 = 1, dk2 = 25. Oleh karena nilai signifikan 0,044 < 0,05 maka Ho ditolak. Ini berarti bahwa pendamping persalinan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap skala nyeri kala I pada ibu bersalin di RB Adina Wonosobo. Berdasarkah hasil perhitungan, nilai rata-rata skala nyeri untuk ibu dengan pendamping persalinan didapatkan sebesar 5,69 dan untuk ibu tidak dengan pendamping persalinan sebesar 7,77. Ini berarti dapat disimpulkan bahwa ibu dengan pendamping persalinan mengalami nyeri yang lebih ringan dibandingkan ibu tidak dengan pendamping persalinan. b. Perbedaan Skala Nyeri Kala I antara Ibu Bersalin Primigravida dengan Ibu Bersalin Multigravida Berdasarkan hasil analisis varian dua arah (two – way ANOVA) diperoleh nilai F untuk variabel pendamping persalinan terhadap skala nyeri kala I sebesar nilai signifikansi 0,000, sedangkan nilai F tabel dengan α = 0,05 dan dk1 = 1, dk2 = 25. Oleh karena nilai signifikan 0,000 < 0,05 maka Ho ditolak. Ini berarti bahwa paritas mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap skala nyeri kala I pada ibu bersalin di RB Adina Wonosobo. Berdasarkah hasil nilai rata-rata, skala nyeri untuk ibu primigravida didapatkan sebesar 8,08 dan untuk ibu multigravida sebesar 5,59. Ini berarti dapat disimpulkan bahwa ibu multigravida ternyata mengalami nyeri yang lebih ringan dibandingkan ibu primigravida. 21 c. Pengaruh Interaksi antara Pendamping Persalinan dengan Paritas terhadap Skala Nyeri Kala I Berdasarkan hasil analisi varian dua arah (two – way ANOVA) diperoleh nilai signifikan untuk variabel interaksi pendamping persalinan dan paritas 0,073, sedangkan nilai F dengan α = 0,05 dan dk1 = 1, dk2 = 25. Oleh karena nilai signifikan 0,073 > 0,05, maka Ho ditolak. Ini berarti bahwa faktor interaksi pendamping persalinan dan paritas mempunyai interaksi yang signifikan terhadap skala nyeri kala I pada ibu bersalin di RB Adina Wonosobo. PEMBAHASAN 1) Pengaruh tingkat rasa nyeri kala I fase aktif pada ibu bersalin sebelum ada pendamping persalinan dan setelah ada pendampingan persalinan Persalinan kala I merupakan kala pembukaan yang berlangsung antara pembukaan nol sampai pembukaan lengkap. Pada permulaan his, kala pembukaan berlangsung tidak begitu kuat sehingga parturian masih dapat berjalan-jalan. Lama kala I pada primigravida 12 jam sedangkan multigravida sekitar 8 jam. Berdasarkan kurve friedman, diperhitungkan pembukaan primigravida 1 cm/jam dan pembukaan multigravida 2 cm/jam (Manuaba, 2005). Selama kala I nyeri dihasilkan oleh dilatasi serviks dan segmen bawah rahim, serta distensi uterus. Intensitas nyeri kala I akibat dari kontraksi uterus, involunter nyeri dirasakan dari pinggang dan menjalar ke perut. Kualitas nyeri bervariasi, sensasi impuls dari uterus sinapsnya pada Torakal 10, 11,12 dan lumbal 1. Mengurangi nyeri pada fase ini dengan memblok daerah di atasnya (Rusmini, 2007). Berdasarkah hasil perhitungan, nilai rata-rata skala nyeri untuk ibu dengan pendamping persalinan didapatkan sebesar 5,69 dan untuk ibu tidak dengan pendamping persalinan sebesar 7,77. Ini berarti dapat disimpulkan bahwa ibu dengan pendamping persalinan mengalami nyeri yang lebih ringan dibandingkan ibu tidak dengan pendamping persalinan. 22 Menurut Mochtar (2001), selama kala I persalinan, nyeri diakibatkan oleh dilatasi servik dan segmen bawah uterus dan distensia korpus uterus. Intensitas nyeri selama kala ini diakibatkan oleh kekuatan konstraksi dan tekanan yang dibangkitkan. Pernyataan yang tegas ini didasarkan pada hasil temuan bahwa tekanan cairan amnion lebih dari 15 mmHg di atas tonus yang dibutuhkan untuk meregangkan segmen bawah uterus dan servik sehingga menghasilkan nyeri. Sebenarnya, tekanan diatas 50 mmHg telah direkam sebagai sesuatu yang normal selama kala I persalinan. Dengan demikian logis untuk mengharapkan bahwa makin tinggi tekanan cairan amnion, makin besar distensia sehingga menyebabkan nyeri yang lebih berat. Selanjutnya, nyeri ini dialihkan ke dermaton yang disuplai oleh segmen medulla spinalis yang sama dengan segmen yang menerima input nosiseptif dari uterus dan serviks. Dermaton adalah daerah tubuh yang dipersarafi oleh saraf spinalis khusus, misalnya dermaton 12 mengacu pada dermaton torakus ke-12. Nyeri di rasakan sebagai nyeri tumpul yang lama pada awal kala I dan terbatas dermaton torasikus ke-11 (T11) dan ke-12 (T12). Kemudian pada kala II persalinan, nyeri pada dermaton T10 dan L1. Penurunan kepala janin memasuki pelvis pada akhir kala I menyebabkan distensia struktur pelvis dan tekanan pada rodiks pleksus lumbosakralis, yang menyebabkan nyeri alih pada perjalanan segmen L2 ke bawah. Akibatnya nyeri dirasakan pada region L2, bagian bawah punggung dan juga pada paha dan tungkai. Sedangkan menurut Mander (2004), selama kala I persalinan rasa nyeri disebabkan oleh dua peristiwa yaitu: yang pertama nyeri karena kontraksi rahim yang dihantarkan oleh serabut saraf torakal 11 dan 12. Sedangkan yang kedua adalah nyeri karena peregangan atau pembukaan leher rahim yang dihantarkan oleh serabut saraf sacrum 2, 3 dan 4. Otot rahim mempunyai kemampuan meregang selama kehamilan dalam batas tertentu, setelah melewati batas tersebut maka otot rahim akan berkontraksi atau disebut dengan his pertanda dimulainya persalinan. 23 Kontraksi rahim terjadi selain karena regangan otot polos juga pengaruh dari estrogen dan progesteron, sistem kontraktilitas miometrium sendiri dan oksitosin. Pada fase laten kala I persalinan kontraksi rahim terjadi setiap 15 sampai 20 menit dan bisa berlangsung kira-kira 30 detik. Kontraksikontraksi ini sedikit lemah dan bahkan tidak terasa oleh ibu yang bersangkutan. Kontraksi-kontraksi ini biasanya terjadi dengan keteraturan yang beriman dan interval (selang antar waktu) diantara kontraksi secara berangsur menjadi lebih pendek, sementara lamanya kontraksi semakin panjang. Pada fase aktif kala I persalinan kontraksi rahim bisa terjadi setiap 2 sampai 3 menit dan berlangsung selama 50-60 detik. Kontraksi rahim pada fase ini sangat kuat. Selama kontraksi akan terjadi kontriksi pembuluh darah yang menyebabkan anoksia serabut otot yang menimbulkan rangsangan nyeri, selain itu rangsanga nyeri timbul karena tertekannya ujung saraf sewaktu rahim berkontraksi. Selama kontraksi rahim selalu diikuti pengerasan abdomen dan rasa tidak nyaman (rasa nyeri). Rasa nyeri yang dirasakan sebagai rasa sakit punggung. Dalam perkembanganya kontraksi akan menjadi lebih lama dan kuat yang mengakibatkan intensitas nyeri yang dirasakan semakin bertambah (Mander, 2004). Pembukaan leher rahim adalah proses pembesaran lubang luar leher rahim dari keadaan yang memungkinkan lewatnya kepala janin. Pembukaan diukur dalam cenmimeter dan pembukaan lengkap pada bulan penuh sama dengan kira-kira 10 cm. Pembukaan akan terjadi sebagai akibat dari kerja rahim serta tekanan yang berlawanan yang dikenakan oleh kantung membran dan bagian janin yang menyodor. Kepala janin yang berada dalam keadaan fleksi penuh yang dengan ketat dikenakan pada leher rahim akan membantu permukaan yang efisien. Tekanan yang dikenakan secara merata ke leher rahim akan menyebabkan fundus rahim bereaksi dengan jalan berkontraksi, hal inilah yang menimbulkan rasa nyeri (Mander, 2004). Nyeri merupakan kondisi berupa kondisi perasaan yang tidak menyenangkan, bersifat sangat subjektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang dalam hal skala atau tingkatannya, dan hanya pada orang 24 tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya. Nyeri menurut kebanyakan ahli, sebagai suatu fenomena misterius yang tidak dapat didefinisikan secara khusus. Menurut Brunner dan Suddart pengertian nyeri dalam kebidanan adalah sesuatu yang dikatakan oleh pasien, kapan saja adanya nyeri tersebut. Sedangkan Wolf Firest (dalam Depkes RI, 1997) mendefinisikan nyeri sebagai suatu perasaan menderita secara fisik dan mental atau perasaan yang dapat menimbulkan ketegangan. Nyeri adalah suatu mekanisme proteksi bagi tubuh, timbul bilamana jaringan sedang dirusakkan dan menyebab individu bereaksi untuk menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri. Scrumum, mengartikan nyeri sebagai suatu keadaan yang tidak menyenangkan akibat terjadinya rangsangan fisik maupun dari serabut saraf dalam tubuh ke otak dan diikuti oleh reaksi fisik, fisiologis maupun emosional (Hidayat, 2008). Berdasarkan penelitian Deviany, 2013 Sebagian besar persalinan didampingi yaitu sebesar 63 %, Skala nyeri yang dirasakan yaitu skala nyeri minimum sebesar 0 hal ini berarti Terdapat hubungan kehadiran pendamping persalinan dengan skala nyeri saat ibu bersalin. 2) Pengaruh paritas terhadap pengurangan rasa nyeri kala I fase aktif pada ibu bersalin normal Berdasarkah hasil nilai rata-rata, skala nyeri untuk ibu primigravida didapatkan sebesar 8,08 dan untuk ibu multigravida sebesar 5,59. Ini berarti dapat disimpulkan bahwa ibu multigravida ternyata mengalami nyeri yang lebih ringan dibandingkan ibu primigravida. Pendamping selama proses persalinan merupakan dukungan atau pendampingan yang dapat memberikan manfaat seperti memberi ketenangan dan penguat psikis pada istri yang sedang melahirkan baik pada ibu yang primigravida maupun pada multigravida. Di tengah kondisi yang tidak nyaman, istri memerlukan pegangan, dukungan dan semangat untuk mengurangi kecemasan dan ketakutannya. Pendamping persalinan baik itu suami, keluarga, atau ibu akan selalu ada bila dibutuhkan, dengan berada di samping istri yang sedang melahirkan, keluarga maupun suami siap membantu apa saja yang dibutuhkan istri. Manfaat lain adalah kedekatan 25 emosi suami-istri akan bertambah saat suami melihat sendiri perjuangan hidup dan mati sang istri saat melahirkan anaknya yang dapat membuat suami semakin dekat dan sayang kepada istrinya. Menurut Darsa (2009), kehadiran suami dalam kamar bersalin akan disambut dengan baik karena dapat membawa ketentraman bagi istri yang akan melahirkan, suami juga dapat memainkan peranan yang aktif dalam memberikan dukungan fisik dan moral kepada istrinya. Suami yang telah ikut aktif berpartisipasi dalam kursus antenatal dan persiapan kelahiran biasanya memandang persalinan sebagai hal yang positif. Menurut Ruth (2002) suami sebagai pendamping persalinan dapat memberi dorongan semangat yang akan dibutuhkan jika persalinan lebih lama dari yang diperkirakan. Suami sebaiknya diberitahu terlebih dahulu bahwa jika istri berteriak padanya hanya karena sang istri tidak mungkin berteriak pada dokter. Suami juga bisa berperan dengan memijat bagian tubuh tubuh sang istri, agar istri tidak terlalu tegang atau untuk mengalihkan perhatian istri dari kontraksi. Pukulan perlahan pada perut yang disebut effeurage, dengan menggunakan ujung jari merupakan pijatan yang disarankan. Selain itu, suami akan memastikan istri merasa nyaman dengan menyediakan bantal, air, permen atau potongan es untuk istri atau memanggilkan perawat atau dokter jika istri membutuhkan bantuan. Dengan memegang istri saat mengejan agar istri memiliki pegangan saat mendorong dan memimpin istri agar mengejan dengan cara yang paling efektif. Berdasarkan hasil penelitian sri ratmawati (2011) menunjukkan bahwa yang paling dominan mengalami nyeri persalinan berat adalah ibu bersalin primipara, dimana menurut kenyataan bahwa ibu primipara memang belum pernah mempunyai pengalaman melahirkan termasuk pengalaman nyeri waktu persalinan yang mengakibatkan sulit untuk mengantisipasinya. Selain itu proses melahirkan yang tidak sama dengan multipara, karena pada primipara proses penipisan biasanya terjadi lebih dulu daripada dilatasi serviks. Sedangkan pada multipara proses penipisan dan dilatasi serviks terjadi bersamaan. 26 Berdasarkan hasil penelitian, pemberian dukungan fisik, emosional dan psikologis selama persalinan juga dapat membantu mempercepat proses persalinan dan membantu ibu memperoleh kepuasan dalam melalui proses persalinan normal. Metode mengurangi rasa nyeri yang dilakukan secara terus menerus dalam bentuk dukungan harus dipilih yang bersifat sederhana, biaya rendah, resiko rendah, membantu kemajuan persalinan, hasil kelahiran bertambah baik dan bersifat sayang ibu. 3) Interaksi pengaruh peran pendamping persalinan dan paritas terhadap pengurangan rasa nyeri kala I fase aktif pada ibu bersalin normal Berdasarkan hasil analisis Varian Dua arah (two – way ANOVA) diperoleh nilai F hitung untuk variabel interaksi pendamping persalinan dan paritas terhadap skala nyeri sebesar nilai signifikan = 0,073, α = 0,05 dan dk1 = 1, dk2 = 25). Oleh karena nilai signifikan 0,073 > 0,05 , maka Ho ditolak. Ini berarti bahwa faktor interaksi pendamping persalinan dan paritas mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap skala nyeri kala I pada ibu bersalin di RB Adina Wonosobo. Hal ini dikarenakan pendampingan suami atau keluarga selama proses persalinan memberikan manfaat seperti memberi ketenangan dan penguat psikis pada istri yang sedang melahirkan. Sehingga istri yang mulanya tidak nyaman sebelum ada suami atau keluarga yang mendampingi, merasa nyaman setalah didampingi oleh keluarga atau suami itu terjadi pada wanita baik yang baru melahirkan maupun yang sudah pernah melahirkan. Pada saat melahirkan istri memerlukan pegangan, dukungan, dan semangat untuk mengurangi kecemasan dan ketakutannya. Menurut Darsa (2009), dalam proses kelahiran, suami dapat ikut berperan membantu agar ibu dapat menjalani proses persalinan dengan lancar. Peran yang dapat suami lakukan dalam proses persalinan antara lain mengatur posisi ibu, memberikan nutrisi dan cairan, mengalihkan perhatian ibu dari rasa nyeri selama proses persalinan, mengukur waktu kontraksi, mengusap-usap punggung ibu, menjadi titik fokus, bernapas bersama ibu saat kontraksi, menginformasikan kemajuan persalinan, memberikan 27 dorongan spiritual, memberi dukungan moral, menghibur dan memberi dorongan semangat. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Atin Puspitasari (2009), menyimpulkan bahwa pendampingan suami selama proses persalinan mempunyai pengaruh terhadap pengurangan rasa nyeri dibandingkan dengan ibu intrapartum yang tidak didampingi oleh suaminya selama proses persalinan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendamping persalinan secara signifikan dapat mengurangi rasa nyeri ibu pada kala I fase aktif pada persalinan. Hal ini sesuai dengan pendapat Danuatmaja dan Meiliasari (2004) yang mengatakan bahwa pendamping persalinan dapat memberi dorongan dan keyakinan pada ibu selama proses persalinan berlangsung dan membantu ibu untuk menciptakan suasana nyaman dalam ruang bersalin serta membantu ibu mengatasi rasa nyeri yang tidak nyaman. Beberapa faktor yang menimbulkan nyeri selama persalinan secara fisiologis adalah kontraksi uterus yang berakibat terjadinya hipoksia dari otot-otot uterus, peregangan servik, penekanan pada tuba, ovarium dan peritonium, peregangan pada ligamentum uterus serta distensia otot-otot dasar panggul serta perineum (Pilliteri, 2003). Nyeri persalinan akan dirasakan lebih hebat apabila disertai dengan kecemasan dan ketakutan (Lowe, 2002). Pada kala I reaksi ibu bersalin antara lain adalah perasaan kecemasan, ketakutan dan meningkatnya sensitivitas nyeri. Dengan adanya dukungan orang-orang berarti terutama suami akan memberi perasaan aman dan nyaman, kehadiran seorang pendamping persalinan juga akan membantu merangsang pengeluaran hormon oksitosin yang memberi pengaruh pada proses kemajuan persalinan, sehingga diharapkan dengan adanya pendamping persalinan dapat mempercepat proses persalinan. Dukungan yang terus menerus dari seorang pendamping persalinan baik itu dari suami maupun keluarga kepada ibu selama proses persalinan dan melahirkan dapat mempermudah proses persalinan dan melahirkan, 28 mengurangi kebutuhan tindakan medis, serta meningkatkan rasa percaya diri ibu akan kemampuan menyusui dan merawat bayinya. Seorang pendamping dapat membantu proses kelahiran berjalan normal dengan mengajak ibu bersalin bergerak dan berjalan di ruang persalinan, memberi minuman dan makanan ringan, serta memberinya semangat agar tidak merasa cemas dan kesakitan. Pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti, pada saat dilakukan penelitian ini seorang pendamping persalinan memberikan minum dan makan, mengajak ibu jalan-jalan, mengusap-usap atau menghapus keringat, mengelus-elus punggung, mengipasi ibu, membantu ibu mengubah posisi, membantu ibu ke kamar mandi, memberikan pengetahuan tentang persalinan, membantu ibu untuk berdo’a sehingga ibu merasa tenang dan nyaman dalam menjalani proses persalinan tersebut. Dengan dukungan yang terus-menerus, perubahan posisi tubuh, kata-kata serta belaian yang memberi semangat dapat meningkatkan kenyamanan si ibu dan mengalihkan perhatiannya dari rasa sakit. Mengingat pentingnya pendamping persalinan bagi ibu yang melahirkan, maka diharapkan bagi keluarga dan suami untuk secara aktif memberikan dukungan dan pendampingan kepada ibu dan harus siap dengan berada di samping istri yang sedang melahirkan. Keluarga maupun suami harus siap membantu apa saja yang dibutuhkan istri, sehingga diharapkan persalinan menjadi lancar dan dapat memberikan kenyamanan bagi sang ibu yang melahirkan serta mengurangi rasa sakit selama proses persalinan. Selanjutnya, bagi tenaga kesehatan dalam penatalaksanaan di kamar bersalin, diharapkan memberikan kenyamanan bagi klien dan memungkin suami atau keluarga dapat mendampingi ibu selama proses persalinan tanpa mengganggu kenyamanan klien lain. 29 KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di bab sebelumnya, maka peneliti menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Pengaruh tingkat rasa nyeri kala I fase aktif pada ibu bersalin sebelum ada pendamping persalinan dan setelah ada pendampingan persalinan dapat disimpulkan bahwa ibu dengan pendamping persalinan mengalami nyeri yang lebih ringan dibandingkan ibu tidak dengan pendamping persalinan. 2. Pengaruh paritas terhadap pengurangan rasa nyeri kala I fase aktif pada ibu bersalin normal dapat disimpulkan bahwa ibu multigravida ternyata mengalami nyeri yang lebih ringan dibandingkan ibu primigravida 3. Interaksi pengaruh peran pendamping persalinan dan paritas terhadap pengurangan rasa nyeri kala I fase aktif pada ibu bersalin normal ibu di RSIA Adina Wonosobo dapat disimpulkan bahwa faktor interaksi pendamping persalinan dan paritas mempunyai interaksi yang signifikan terhadap skala nyeri kala I pada ibu bersalin di RB Adina Wonosobo. 30 DAFTAR PUSTAKA Alimul, A. 2003. Riset Keperawatan dan Tehnik Penelitian Ilmiah. Surabaya: Salemba Medika. Arikunto,S. 2006. Prosedur Praktis: Suatu Pendekatan Praktik, Edisi VI. jakarta: PT. Rineka Cipta Chapman, V. 2006. Asuhan Kebidanan Persalinan dan Kelahiran. Jakarta : EGC Danuatmajda & Meiliasari (2004). Persalinan Normal Tanpa Rasa Sakit. Penerbit Puspa Swara. Jakarta Darsa. 2009. Gambaran Pendampingan Selama Proses Persalinan. Di akses 3 juli 2013,dari: http://darsananursejiwa.blogspot.com/2010/03/gambaran- pendamping-selama-proses-persalinan/23.html Depkes RI. 2000. Pedoman Pelayanan Kesehatan Perinatal di Puskesmas. Jakarta. Depkes RI Depkes RI. 2002. Pedoman Pelayanan Antenatal di Tingkat Dasar. Depkes RI : Jakarta Depkes RI. 2008. Pembangunan Kesehatan : Mewujudkan Indonesia yang Lebih Sehat. Jakarta : Depkes RI Ismarwati. 2005. Teknih Mengurangi Rasa Nyeri. Di akses 3 november, 2013, dari http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/18149.tehnikmengurangirasanyeri.p df/18149.html Januardi, Judi. 2002. Mempersiapkan Persalinan Sehat. Jakarta: Puspa Swara Karina. 2003. Mengatasi Nyeri Persalinan. http://infoibu.com/2010/3.pdf.html Klien & Thomson. 2008. Panduan lengkap kebidanan. Jogjakarta : Palmall Kusumowardhani. 2003. Wanita Hamil Membutuhkan Psikolog. From http://www.promos/kes.com/artikel From: 31 Linkages. 2009. Protecting, Promoting and Supporting Breastfeeding: The Special Role of Maternity Services. Di akses 8 desember 2013, dari: http://www.pdfqueen.com/html Mander. 2004. Nyeri Persalinan. (Alih Bahasa Bertha Sugiarto). Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta Mansjoer, dkk. 2005. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Media Aesculapius: Jakarta Manuaba. 2005. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan Dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta; EGC . 2007. Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta; EGC Mario, T.P. 2006. SPSS untuk Paramedis. Jogjakarta : Ardana Media Martin. 2002. Inpartum Managemen Moduls : A perinatal education program Philadelphia : Williams Mochtar. 1998. Sinopsis Obstetri : Obstetri Fisiologis, Obtetri patologis. Jakarta : EGC Nolan. 2004. Kehamilan dan Melahirkan. Penerbit Buku Arcan. Jakarta Notoatmodjo, S. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta Notoatmodjo. 2005. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta; Rineka Cipta Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika Oxorn. 2003. Ilmu Kebidanan Patologis Dan Fisiologis Persalinan. Yogyakarta: Yayasan Essintica Medika Prawirohardjo, S. 2005. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta Perry and Potter. 2005. Fundamental keperawatan, Konsep, Proses, dan Praktikan. Edisi 4. Alih bahasa; Yasmin Asih. Jakarta; EGC 32 Rusmini. 2007. Manajemen nyeri persalinan. Di akses 8 desember 2013, dari: http://images.albadroe.multiply.multiplycontent.com/attachment/MANAJ EMENNYERIPERSALINAN.ppt Ruth. 2002. Mengkreasikan kehamilan & menjaga kasih sayang bersama Dr. Ruth. Jakarta: PT Raja Gravindo Persada Saifuddin, A.B. 2002. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo Sugiyono. 2007. Statistika Untuk Penelitian. Bandung : Alfa Beta Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : Alfa Beta Sarwono, P. 2002. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Prawirohardjo Wiknjosastro. 2006. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo Zaenal. 2005. Nyeri http://www.compas.com persalinan. Di akses 3 desember 2013, dari 33 EKSTRAK DAUN BELIMBING WULUH TERHADAP PENURUNAN TEKANAN DARAH TIKUS PUTIH JANTAN (RATTUS NORVEGICUS) HIPERTENSI Sri Mulyani INTISARI Latar Belakang: Hipertensi merupakan faktor risiko koroner yang sangat penting. Hal tersebut terlihat baik di Negara-negara yang telah maju maupun Negara yang sedang berkembang. Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) mempunyai kandungan kimia yang bermanfaat bagi kesehatan. Penapisan fitokimia menunjukkan bahwa simplisia daun belimbing wuluh mengandung flavonoid, saponin, tannin dan steroid/triterpenoid. Tanin memiliki efek diuretik selain itu tannin dan flavonoid juga berperan sebagai antioksidan yang berguna untuk menurunkan tekanan darah. Tujuan: mengetahui ekstrak daun belimbing wuluh terhadap penurunan tekanan darah tikus putih jantan (Rattus norvegicus) hipertensi. Metode: penelitian ini merupakan penelitian eksperimen murni dengan desain pretest-posttest control group. Jumlah sampel 21 ekor yang dibagi dalam 3 kelompok yang sebelumnya telah diinduksi dengan NaCl 2.5% dan prednisone dosis 1.5 mg/kg BB selama 15 hari. Kelompok 1 diberikan perlakuan captopril dosis 2.5 mg/kg BB, kelompok 2 diberikan ekstrak daun belimbing wuluh dosis 52.517 mg/100 gram BB tikus dan kelompok 3 diberikan ekstrak daun belimbing wuluh dosis 105.034 mg/100 gram BB tikus. Perlakuan diberikan selama 15 hari setelah itu diukur tekanan darah tikus. Hasil: captopril dosis 2.5 mg/kg BB efektif terhadap penurunan tekanan darah tikus (p < 0.05). Ekstrak daun belimbing wuluh dosis 52.517 mg/100 gram BB tikus efektif terhadap penurunan tekanan darah tikus (p < 0.05) dan ekstrak daun belimbing wuluh dosis 105.034 mg/100 gram BB tikus efektif terhadap penurunan tekanan darah tikus (p 0.05). Kesimpulan: captopril dosis 2.5 mg/kg BB dan ekstrak daun belimbing wuluh dosis 105.034 mg/100 gram BB tikus memiliki efektivitas yang sama terhadap penurunan tekanan darah tikus putih jantan hipertensi. Kata Kunci: belimbing wuluh, diuretic, antioksidan dan tekanan darah. 34 PENDAHULUAN Hipertensi merupakan penyebab kematian nomor 3 (tiga), setelah stroke dan tuberkulosis. Jumlahnya mencapai 6,8 persen dari proporsi penyebab kematian pada semua umur di Indonesia. Prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 30% dengan insiden komplikasi penyakit kardiovaskuler lebih banyak pada perempuan (52%) dibandingkan pada laki-laki (48%) 1. Jumlah tersebut akan terus tinggi lagi mengingat hipertensi merupakan faktor utama penyebab penyakit jantung dan kardiovaskuler 2. Pelayanan kesehatan saat ini berusaha untuk menerapkan konsep holistik, yaitu suatu pendekatan yang memandang manusia secara keseluruhan, meliputi bio-psiko-sosiokultural-spiritual 3 . Keperawatan holistik menghormati serta mengobati jiwa, tubuh dan pikiran klien. Model kesehatan holistik juga mencerminkan terapi medis alternatif dan komplementer. Perawat menggunakan intervensi holistik pada pengobatan standar tambahan, mengganti intervensi yang tidak efektif atau merusak dan mempromosikan atau memelihara kesehatan. Salah satu jenis terapi komplementer adalah terapi herbal. Filosofi terapi herbal berbeda dengan terapi obat konvensional. Tujuan terapi herbal adalah memperbaiki keseimbangan dalam individu dengan memfasilitasi kemampuan penyembuhan diri individu 4. Anti hipertensi yang berasal dari tumbuhan dapat bekerja dengan berbagai cara, antara lain dengan cara menurunkan volume cairan tubuh (diuresis), mengurangi tahanan perifer (vasodilator) atau mempengaruhi kerja jantung itu sendiri 5. Penggunaan obat dan formulasi herbal menjadi pertimbangan untuk mengurangi efek toksik dan memiliki efek samping yang minimal dibandingkan dengan obat-obat sintetik 6. Daun belimbing wuluh mengandung tanin, sulfur, asam format dan peroksida 7. Penelitian yang dilakukan oleh Prasetya (2007) menunjukkan bahwa ekstrak daun belimbing wuluh mempunyai efek diuresis pada dosis 52,517 mg/100 gram BB) dan 105,034 mg/100 gram BB) pada tikus putih jantan 8. 35 Penelitian uji fitokimia menunjukkan bahwa daun belimbing wuluh mengandung senyawa tanin, flavonoid dan triterpenoid 9. Penelitian yang dilakukan oleh Lidyawati, dkk (2006) menunjukkan bahwa penapisan fitokimia simplisia dari ekstrak metanol daun belimbing wuluh mengandung flavonoid, saponin, tanin dan steroid/triterpenoid 10. Flavonoid memiliki efek anti tumor, immunostimulan, analgesik, anti radang (anti inflamasi), anti virus, anti bakteri, anti HIV, anti diare, anti hepatotoksik, anti hiperglikemik dan sebagai vasodilator11. Flavonoid juga memiliki potensi sebagai antioksidan. Antioksidan berguna untuk mencegah penuaan akibat zat-zat radikal bebas yang menyebabkan kerusakan jantung. Flavonoid berguna untuk menurunkan tekanan darah dengan zat yang dikeluarkan yaitu nitric oxide serta menyeimbangkan beberapa hormon didalam tubuh12. Menurut Jouad (2001) campuran flavonoid dapat meningkatkan urinasi dan pengeluaran elektrolit pada tikus normotensi. Kecepatan filtrasi glomerulus (GFR) memperlihatkan peningkatan peningkatan yang signifikan setelah pemberian flavonoid13. Daun belimbing wuluh juga mengandung kalium yang dapat mempengaruhi pengeluaran urin. Kalium berfungsi sebagai diuretik sehingga pengeluaran natrium cairan meningkat, jumlah natrium rendah tekanan darah menurun14. Diuretik berperan dalam mengurangi besarnya volume isi pembuluh darah, menghilangkan retensi natrium dan memperkecil oedema perifer, paru-paru dan jantung kongesti melalui penambahan jumlah urin (diuresis) yang mekanisme kerjanya pada ginjal. Mekanisme ini sangat penting untuk mengatur tekanan darah dan untuk membuang komponen-komponen toksik keluar dari tubuh kita. karena itulah, tanin berkhasiat untuk mengobati hipertensi 15. Tanin merupakan senyawa aktif metabolit sekunder yang diketahui mempunyai beberapa khasiat yaitu sebagai astringen, anti diare, anti bakteri dan antioksidan. Antioksidan menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi 36 kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas, dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas 16. BAHAN DAN CARA Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan desain pretest-posttest control group design yaitu dengan cara memilih kelompok penelitian yang dilakukan secara random baik kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan. Populasi dalam penelitian adalah tikus putih jantan (Rattus Norvegicus). Sampel dalam penelitian ini berjumlah 21 ekor tikus yang dibagi menjadi 3 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 7 ekor tikus. Kriteria sampel dalam penelitian ini adalah tikus putih jantan galur wistar (Rattus Norvegicus), jenis kelamin jantan, umur 3 bulan, berat badan 200-210 gram, hipertensi. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmakologi dan Terapi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada pada tanggal 20 Mei s.d 24 Juni 2013. Bahan penelitian yang digunakan adalah ekstrak daun belimbing wuluh, tikus putih jantan galur wistar dengan usia 3 bulan dan berat badan 200-210 gram sebanyak 21 ekor, prednison, captopril, NaCl 2,5%, aquades, makanan dan minum standar untuk tikus. Alat penelitian yang digunakan adalah, kandang tikus, timbangan electrical scale, sonde, Blood pressure analyzer. Variabel dalam penelitian ini ada 2 yaitu variabel independen (pemberian ekstrak daun belimbing wuluh dosis 52,517 mg/100 gram BB dan 105,034 mg/100 gram BB) dan variabel dependen (tekanan darah sistole dan diastole tikus putih jantan). Tahap-tahap dalam penelitian ini adalah: 1. Pembuatan ekstrak daun belimbing wuluh Daun belimbing wuluh dikeringkan dengan oven pada suhu 650C selama 72 jam. Daun yang telah kering diblender hingga menjadi tepung, kemudian dilakukan maserasi dengan pelarut ethanol 95%. Kemudian diinkubasi selama 72 jam untuk memberikan kesempatan zat pelarut untuk menarik bahan aktif. Dilakukan penyaringan dan kemudian filtrat diuapkan 37 sampai memperoleh ekstrak kental daun belimbing wuluh. Pembuatan ekstrak daun belimbing wuluh ini dilakukan di Laboratorium Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada. 2. Hewan coba 1) Hewan coba yang digunakan adalah tikus putih jantan galur wistar usia 3 bulan dengan berat 200-210 gram yang diaklimatisasi selama 7 hari untuk penyesuaian terhadap tempat penelitian 2) Dilakukan induksi hipertensi buatan dengan menggunakan kombinasi prednison 1,5 mg/kgBB dan NaCl 2,5% yang diberikan setiap hari secara oral selama 15 hari untuk memperoleh tekanan darah diatas normal. Setelah 15 hari diinduksi, tikus diukur tekanan darahnya terlebih dahulu dan yang digunakan adalah tekanan darah diatas 150 mmHg (7). 3) Tikus putih jantan dibagi secara random menjadi 3 kelompok. Kelompok 1 adalah kelompok kontrol dengan pemberian captopril dengan dosis 2,5 mg/kg BB, kelompok 2 dan 3 adalah kelompok perlakuan yang diberikan ekstrak daun belimbing wuluh dengan dosis 52,517 mg/100 gram BB dan 105,034 mg/100 gram BB. 4) Pemberian ekstrak daun belimbing wuluh dilakukan satu kali setiap hari secara oral selama 15 hari. Sebelumnya ekstrak daun belimbing wuluh diencerkan dengan aquades kemudian disedot menggunakan sonde yang ujungnya terbuat dari karet dan dimasukkan melalui mulut tikus hingga mencapai lambung, setelah itu ekstrak daun belimbing wuluh disemprotkan. 5) Setelah 15 hari perlakuan, satu hari berikutnya dilakukan pengukuran tekanan darah pada masing-masing tikus, baik kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol dengan menggunakan alat Blood pressure analyzer. Analisa data yang digunakan pada peneltian ini adalah analisa univariat untuk mengetahui rata-rata tekanan darah tikus percobaan sebelum 38 dan setelah perlakuan. Analisa bivariat dengan menggunakan uji paired t test untuk data yang berdistribusi normal dan wilcoxon test untuk data yang tidak berdistribusi normal. Analisa multivariate dengan uji MANOVA untuk mengetahui pengaruh dari semua variabel independen terhadap variabel dependen. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Hasil Uji Paired t Test dan Wilcoxon Test Kelompok Kelompok 1 Systole pre Systole post Diastole pre Diastole post Kelompok 2 Systole pre Systole post Diastole pre Diastole post Kelompok 3 Systole pre Systole post Diastole pre Diastole post N 7 Mean 183,57 7 131,00 7 173,13 7 124,83 7 181,43 7 143,29 7 169,57 7 136,00 7 184,43 7 135,57 7 173,86 7 123,86 P 0,018 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 Dari tabel diatas menunjukkan bahwa p value tekanan darah systole dan diastole baik kelompok 1, kelompok 2 dan kelompok 3 adalah < 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan 39 antara tekanan darah systole dan diastole baik dari kelompok 1, kelompok 2 dan kelompok 3 antara sebelum dan setelah diberikan perlakuan. Hasil Uji Manova Pengaruh Variabel Independen terhadap Variabel Dependen (N=21) Variabel Variabel P value (Sig) Independen Dependen Pemberian Perlakuan Sistole Pretest 0,722 (Kelompok 1, Sistole Posttest 0,001 Kelompok 2, Diastole Pretest 0,471 Kelompok 3) Diastole Posttest 0,001 Dari tabel hasil uji Manova diatas dapat dilihat bahwa nilai p value pada tekanan darah pretest (systole dan diastole) > 0,05 dan nilai p value tekanan darah posttest (systole dan diastole) < 0,05, sehingga dapat disimpulkan jawaban dari hipotesis adalah sebagai berikut: a. Pemberian perlakuan (captopril 2,5 mg/kgBB, ekstrak daun belimbing wuluh 52,517 mg/100 gram BB tikus dan ekstrak daun belimbing wuluh 105,034 mg/100 gram BB tikus) secara bermakna mempengaruhi tekanan systole dengan p value 0,001. b. Pemberian perlakuan (captopril 2,5 mg/kgBB, ekstrak daun belimbing wuluh 52,517 mg/100 gram BB tikus dan ekstrak daun belimbing wuluh 105,034 mg/100 gram BB tikus) secara bermakna mempengaruhi tekanan darah diastole dengan p value 0,001. Dependen Variabel Sistole Pretest Sistole Posttest Hasil Uji Post Hoc Benferroni (N=21) Independen Variabel Mean Difference Kelompok 1 Kelompok 2 2,14 Kelompok 3 -0,86 Kelompok 2 Kelompok 1 -2,14 Kelompok 3 -3,00 Kelompok 3 Kelompok 1 0,86 Kelompok 2 3,00 Kelompok 1 Kelompok 2 -12,29 Kelompok 3 -4,57 P value (sig) 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 0,001 0,342 40 Kelompok 2 Kelompok 3 Diastole Pretest Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Diastole Postest Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 1 Kelompok 3 Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 1 Kelompok 3 Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 1 Kelompok 3 Kelompok 1 Kelompok 2 12,29 7,71 4,57 -7,71 3,29 -1,00 -3,29 -4,29 1,00 4,29 -11,57 -0,57 11,57 12,14 -0,57 -12,14 0,001 0,035 0,342 0,035 1,000 1,000 1,000 0,740 1,000 0,740 0,005 1,000 0,005 0,003 1,000 0,003 Dari hasil uji Post Hoc menunjukkan bahwa: a. Nilai systole post test yang memiliki perbedaan adalah kelompok captopril 2,5 mg/kgBB dan kelompok ekstrak daun belimbing wuluh 52,517 mg/100 gram BB tikus, kelompok ekstrak daun belimbing wuluh 52,517 mg/100 gram BB tikus dan kelompok captopril 2,5 mg/kgBB, kelompok ekstrak daun belimbing wuluh 52,517 mg/100 gram BB tikus dan kelompok ekstrak daun belimbing wuluh 105,034 mg/100 gram BB tikus serta kelompok ekstrak daun belimbing wuluh 105,034 mg/100 gram BB tikus dan kelompok ekstrak daun belimbing wuluh 52,517 mg/100 gram BB tikus. b. Nilai diastole posttest yang memiliki perbedaan adalah kelompok captopril 2,5 mg/kg BB dan kelompok ekstrak daun belimbing wuluh 52,517 mg/100 gram BB tikus, kelompok ekstrak daun belimbing wuluh 52,517 mg/100 gram BB tikus dan kelompok captopril 2,5 mg/kgBB, kelompok ekstrak daun belimbing wuluh 52,517 mg/100 gram BB tikus dan kelompok ekstrak daun belimbing wuluh 105,034 mg/100 gram BB tikus serta kelompok ekstrak daun belimbing wuluh 105,034 mg/100 gram BB tikus dan kelompok ekstrak daun belimbing wuluh 52,517 mg/100 gram BB tikus. 41 200 180 160 140 120 kelompok 1 100 kelompok 2 80 kelompok 3 60 40 20 0 0 0.5 1 1.5 2 2.5 Grafik perbedaan tekanan darah systole pretest dan posttest 200 180 160 140 120 kelompok 1 100 kelompok 2 80 kelompok 3 60 40 20 0 0 0.5 1 1.5 2 2.5 Grafik perbedaan tekanan darah systole pretest dan posttest 2. Pembahasan a. Captopril terhadap Penurunan Tekanan Darah Hasil pengukuran tekanan darah systole dan diastole pada kelompok satu (kelompok kontrol positif dengan pemberian captopril 2,5 mg/kg BB) menunjukkan penurunan yang bermakna. Rerata tekanan systole sebelum perlakuan adalah 183,57 dan setelah 42 perlakuan 131,00. Untuk analisa bivariat pada tekanan systole digunakan wilcoxon test karena data tidak berdistribusi normal dan diperoleh nilai p 0,018. Rerata tekanan diastole sebelum perlakuan 173,13 dan setelah perlakuan 124, 83.Dengan uji paired t test diperoleh p value 0,000. Karena p value < 0,05 maka dapat diambil kesimpulan bahwa ada perbedaan yang bermakna antara tekanan darah baik sistole maupun diastole sebelum dan setelah diberikan captopril 2,5 mg/kgBB secara oral selama 2 minggu. Salah satu jenis terapi farmakologi hipertensi adalah dengan Inhibitor ACE (angiotensin converting enzyme), jenis obat ini diduga menghambat system rennin-angiotensin-aldosteron, sehingga tekanan darah turun. Inhibitor ACE menghambat enzim untuk mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II (vasokonstriktor kuat) 17 . Hasil Penelitian Supadmi (2011) menyatakan bahwa golongan penghambat enzim pengubah angiotensin (ACE inhibitor) paling umum digunakan adalah captopril sebanyak 34 pasien dan lisinopril 7 pasien 18. Captopril merupakan obat antihipertensi yang bekerja sebagai ACE (Angiotensin Converting Enzyme) inhibitor yaitu sebagai penghambat enzim pengkonversi angiotensin dengan cara mengurangi pembentukan angiotensin II 19. Hal ini juga diungkapkan oleh Katzung (2001) bahwa captopril dan obat-obat golongan ini menghambat enzim penghambat yang menghidrolisa angiotensin I menjadi angiotensin II dan (dengan nama plasmakinase) menginaktifkan bradikinin, suatu vasodilator yang poten. Captopril tidak memiliki pressor, jadi aktivitas hipotensif captopril kemungkinan dihasilkan dari kerja penghambat pada system angiotensin rennin dan suatu kerja rangsangan pada system kinin kalikrein 20. b. Ekstrak Daun Belimbing Wuluh terhadap Tekanan Darah Dari hasil uji statistik kelompok 2 (kelompok eksperimen 1 yaitu pemberian ekstrak daun belimbing wuluh dengan dosis 52,517 mg/100 gram BB tikus) diperoleh nilai mean tekanan systole sebelum 43 181,43 dan setelah perlakuan 143,29. Sedangkan nilai mean diastole sebelum 169,57 dan setelah perlakuan 136,00. Hasil uji statistik kelompok 3 (kelompok eksperimen 2 yaitu dengan pemberian ekstrak daun belimbing wuluh dosis 105,034 mg/100 gram BB tikus) didapatkan nilai mean systole sebelum 184,43 dan setelah perlakuan 135,57, sedangkan mean diastole sebelum 173,86 dan setelah perlakuan 123,86. Pre dan Post test pada masing-masing kelompok dianalisa menggunakan paired t test dengan hasil nilai p kedua kelompok adalah 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tekanan darah yang signifikan antara sebelum dan setelah perlakuan baik kelompok 2 maupun kelompok 3. Antihipertensi yang berasal dari tumbuhan dapat bekerja dengan berbagai cara antara lain dengan cara menurunkan volume cairan tubuh (diuresis), mengurangi tahanan perifer (vasodilator) atau mempengaruhi kerja jantung itu sendiri 5. Penggunaan tanaman obat dan formulasi herbal menjadi pertimbangan untuk mengurangi efek toksik dan memiliki efek samping yang minimal dibandingkan dengan obat-obat sintetik 6. Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) merupakan salah satu jenis tanaman asli Indonesia yang biasanya digunakan sebagai obat. Batang dan daun belimbing wuluh mengandung tanin, sulfur dan asam format21. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lidyawati, dkk (2006) yang menunjukkan bahwa simplisia dari ekstrak methanol daun belimbing wuluh mengandung flavonoid, saponin, tanin, steroid/triterpenoid 10. Flavonoid memiliki efek anti tumor, immunostimulan, analgesik, anti radang (anti inflamasi), anti virus, anti bakteri, anti HIV, anti diare, anti hepatotoksik, anti hiperglikemik dan sebagai vasodilator11. Flavonoid juga memiliki potensi sebagai antioksidan. Antioksidan berguna untuk mencegah penuaan akibat zat-zat radikal bebas yang menyebabkan kerusakan jantung. Flavonoid berguna 44 untuk menurunkan tekanan darah dengan zat yang dikeluarkan yaitu nitric oxide serta menyeimbangkan beberapa hormon didalam tubuh12. Menurut Jouad (2001) campuran flavonoid dapat meningkatkan urinasi dan pengeluaran elektrolit pada tikus normotensi. Kecepatan filtrasi glomerulus (GFR) memperlihatkan peningkatan peningkatan yang signifikan setelah pemberian flavonoid13. Daun belimbing wuluh juga mengandung kalium yang dapat mempengaruhi pengeluaran urin. Kalium berfungsi sebagai diuretik sehingga pengeluaran natrium cairan meningkat, jumlah natrium rendah tekanan darah menurun14. Hal ini juga dibuktikan oleh hasil penelitian Prasetya (2007) yang mengatakan bahwa ekstrak daun belimbing wuluh mempunyai efek diuresis pada dosis 52,517 mg/100 gram BB tikus dan 105, 034 mg/100 gram BB tikus 8. Senyawa fitokimia alkaloid tanin memiliki efek dalam bidang kesehatan sebagai antihipertensi 22 . Tanin mengurangi pengerasan pembuluh darah. Jika pengerasan tidak terjadi, peredaran darah lancar sehingga kerja jantung tidak terlalu berat dan potensi stroke bisa hilang 23 . Tanin juga merupakan senyawa aktif metabolit sekunder yang diketahui mempunyai beberapa khasiat yaitu sebagai astringen, anti diare, anti bakteri dan antioksidan. Tanin juga dapat berfungsi sebagai antioksidan biologis. Antioksidan dalam pengertian kimia, merupakan senyawa pemberi elektron. Antioksidan bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut bisa terhambat. Antioksidan menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas, dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas 16. 45 KESIMPULAN Dari hasil uji statistik dapat diambil kesimpulan bahwa dari ketiga kelompok terjadi perbedaan tekanan darah baik systole maupun diastole sebelum dan setelah perlakuan. Dengan kata lain ekstrak daun belimbing wuluh dapat menurunkan tekanan darah tikus putih jantan hipertensi. Dan dari uji MANOVA dan Pos Hoc dapat diambil kesimpulan bahwa kelompok captopril 2,5 mg/kg BB memiliki efektivitas yang sama dengan kelompok ekstrak daun belimbing wuluh dosis 105,034 mg/100 gram BB dalam menurunkan tekanan darah tikus putih jantan hipertensi. 46 DAFTAR PUSTAKA Departemen Kesehatan RI. 2010. Hipertensi Penyebab Kematian No. 3. Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Departemen Kesehatan RI. 2009. Hipertensi Faktor Risiko Utama Penyakit Kardiovaskuler. Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Press Kemenkes RI. Azizatunnisa, Nurul dan Suhartini. 2012. Pengetahuan dan Keterampilan Perawat dalam Pelayanan Keperawatan Holistik di Indonesian Holistic Tourist Hospital. Jurnal Nursing Studies. Vol. 1. No. 1 Tahun 2012. Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jnursing Potter, Patricia A and Perry, Anne G. 2010. Fundamental of Nursing. 7th edition. Vol. 3. Singapore: Elsevier. Loew D and M. Kaszkin. 2002. Approaching the problem of bioequivalence of Herbal Medicinal Products. Pytother Res. Harlbeistin, R.A. 2005. Medicinal Plants: Historical and Cross Cultural usage pattern. Ann Epidemiol. Dalimartha dan Wijayakusuma. 2006. Ramuan Tradisional untuk Pengobatan Darah Tinggi. Jakarta: Swadaya. Prasetya, Andhika Arie. (2007). Efek Diuresis Ekstrak Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa Bilimbi L) pada Tikus Putih Jantan (Rattus Norvegicus). Digilib FK UNS. Mukhlisoh, Wardatul. 2010. Pengaruh Ekstrak Tunggal dan Gabungan Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa Bilimbi, Linn) terhadap Efektivitas Antibakteri secara In Vitro. Malang: UIN Malang Malik Ibrahim. Lidyawati, S dan Ruslan K. 2006. Karakterisasi Simplisia dan Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa Bilimbi, L). Skripsi Farmasi ITB. Adha, Andi Citra. (2009). Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Daun Alpukat (Persea Americana Mill.) terhadap Aktivitas Diuretik Tikus Putih Jantan Spraguey-Dawley. Fakultas Kedokteran Hewan. IPB. 47 Putri, Laras. 2011. P4 Molecullar Modelling. http://www.scribd.com/doc/55/55105548/p4-molecullar-modelling. Diakses 2 Maret 2013. Jouad, H; MA Lacaille Dubois; B Lyoussi and M. Edduks. 2001. Effects of The Flavonoids Extract from Spregularia Pupurea Pers. On Arterial Blood Pressure and Renal Function in Normal and Hypertensive Rats. Journal of Ethnopharmacology. Vol. 76: http://www.sciencedirect.com/science/journal/03788741. 159-163. Diakses 10 Desember 2013. Fitriani, V. (2009). Obat Tradisional Pengidap Hipertensi Makanlah Kucai. Trubus Majalah Pertanian Indonesia. http://www.trubus-online.co.id. Diakses 20 Desember 2013. Sutedjo, A.Y. 2008. Mengenal Obat-Obatan secara mudah dan Aplikasinya dalam Keperawatan. Yogyakarta: Amara Books. Malangi, Liberty P; Sangi, Meiske S dan Paendong, Jessie J. E. Penentuan Kandungan Tanin dan Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Biji Buah Alpukat (Persea Americana Mill.). Jurnal MIPA UNSRAT. On line 1 (1). 5-10. http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jmuo. Tambayong, Jan. 2002. Farmakologi untuk Keperawatan. Editor: Monica Ester. Jakarta: Widya Medika. Supadmi, Woro. Evaluasi Penggunaan Obat Antihipertensi pada Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis. Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan. Jurnal Ilmiah Kefarmasian. Vol 1 No. 1 6780, 2011. Rasyad, Ade Arinia; Noviza, Deni dan Muslim. Mikroenkapsulasi Kaptopril dengan Penyalut Etil Selulosa Menggunakan Metode Penguapan Pelarut. Jurnal Ilmiah Farmasi. Vol 8. No.2 Tahun 2011. Katzung, Bertram G. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik. Alih Bahasa: Staf Dosen Farmakologi Fakultas Kedokteran UNSRI. Editor: Azwar Agoes. Jakarta: EGC. 48 Hartini, N. 2005. Hubungan Kadar Senyawa Dikarbonil dan Tirosin setelah Pemberian Perasan Buah Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.) pada Reaksi Glikosilasi In Vitro. Jurnal Berkala Kedokteran. Vol. 2. Sangi, M, M. R. J Runtuwene, H. E. I Simbala dan V. M. A Makang. 2008. Phytochemical Analysis of Medicine Plant in North Minahasa Region. Fakultas MIPA UNSRAT Manado. Diennazola, Renda. 2012. Manfaat Si Hitam Langka. Tabloid Agribisnis Dwi Mingguan. aid=3530 http://www.agrinaonline.com/show_article.php?rid=12& 49 ABNORMALITAS GEN PADA THALASEMIA Anisa Ell Raharyani ABSTRAK Thalasemia merupakan penyakit yang diakibatkan oleh mutasi gen globin sehingga menyebabkan kekurangan sintesis protein yang berperan dalam membentuk globin darah. Thalasemia bersifat autosom, sehingga dapat diturunkan dari generasi ke generasi atau diturunkan langsung oleh kedua orang tuanya. Mutasi gen globin disebabkan oleh gangguan translasi pada mRNA sehingga menimbulkan gangguan pada rantai globin. Sintesa rantai globin diatur dan dikendalikan oleh 2 kelompok gen yaitu kluster gen globin α yang terletak pada lengan pendek autosom 16 (16 p 13.3), dan kluster gen globin β yang terletak pada lengan pendek autosom 11 (11 p 15.4). Mutasi di globin betha terjadi di dalam regio promotor dan tempat cup, di dalam ekson dan intron, dan di laut penyambungan batas ekson intron. Mutasi juga ditemukan pada tempat poliadenilasi dan delesi besar dijumpai pada regio 5’ dan 3’ pada gen. Terdapat perbedaan antara thalasemia α dan thalasemia β. Skrinning, pencegahan dan penanganan yang tepat akan meminimalkan dampak dari thalasamia khususnya thalasemia mayor. 50 Pendahuluan Thalasemia merupakan permasalahan kesehatan di dunia termasuk Indonesia. World Health Organization (WHO) menyatakan, bahwa insiden pembawa penyakit Thalasemia di Indonesia berkisar antara 6 - 10%, itu artinya bahwa dari 100 orang, 6 – 10 orang menurunkan/membawa sifat Thalasemia. Setiap tahunnya kurang lebih terdapat 3.000 bayi lahir di Indonesia dan menderita Thalasemia (Yayasan Thallasaemia Yogyakarta). Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 yaitu menunjukkan bahwa prevalensi nasional penyakit thalasemia sebesar 0,1%, delapan Propinsi menunjukkan prevalensinya diatas prevalensi nasional yaitu Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (1,34%), DKI Jakarta, Sumatera Selatan, Gorontalo, Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Barat, Papua Barat serta Maluku. Sebesar 0,01% yang merupakan prevalensi terendah yaitu Propinsi Lampung, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara dan sebesar 0,04% prevalensi didapatkan di Propinsi Bali (Riset kesehatan Dasar, 2007). Penyakit Thalasemia merupakan penyakit yang diturunkan secara autosomal, oleh karena itu penyakit ini biasanya sudah terdeteksi sejak lahir. Thalasemia memerlukan pencegahan dan penanganan secara khusus karena pada penderita thalasemia mayor yang sudah agak besar akan menunjukkan beberapa gejala gejala klinis seperti gangguan pertumbuhan, anak menjadi kurus dan bahkan kurang gizi (Lubis et al, 1991). Tujuan studi ini adalah untuk mengetahui adanya mutasi genetik yang menyebabkan thalasemia dan pewarisannya. Manfaat dari studi ini bahwa thalasemia itu merupakan penyakit herediter dan dapat ditemukan sejak lahir, maka perlu dilakukan skrining, pencegahan, dan penanganan yang tepat. Definisi Thalasemia Thalasemia merupakan defek genetik yang mengakibatkan berkurang atau tidak adanya sama sekali sintesis satu atau lebih rantai globin yang merupakan polipeptida penting molekul hemoglobin (Atmakusumah, 2010). Thalasemia disebabkan oleh penurunan kecepatan sintesis atau kemampuan produksi satu atau 51 lebih rantai globin α, β ataupun rantai globin lainnya sehingga terjadi delesi total atau parsial gen globin dan substitusi, delesi atau insersi nukleotida. Pada thalasemia terjadi perubahan nukleotida ke 59 secara transisi (T menjadi C) dan nukleotida ke 147 secara transversi (G menjadi C). Hasil analisis jenis mutasi yang ditemukan adalah silent mutation karena tidak ada perubahan asam amino yang disandi (Andika Tripramudya, 2014). Defek bersifat kuantitatif dimana sintesis rantai globin normal menjadi kurang atau tidak ada, tapi ada juga mutasi yang menyebabkan struktur bervariasi dan mutasi yang menghasilkan hemoglobin sangat tidak stabil, sehingga fenotif talasemia beragam (Galanello, 2014). Hemoglobinopati dan Mutasi Gen Globin Thalasemia merupakan penyakit yang diakibatkan oleh kekurangan rantai globin pembentuk hemoglobin (Hb) baik rantai globin α (Thalasemia α) maupun rantai globin β (Thalasemia β). Kekurangan rantai globin tersebut dapat disebabkan oleh gangguan translasi pada tingkat mRNA yang menimbulkan gangguan pada sintesis rantai globin, kemudian pembentukan rantai globin yang tidak normal juga dapat menyebabkan kekurangan pada rantai globin sehingga menjadi tidak stabil (Kartikawati, 2001). Hemoglobin merupakan komponen pada darah yang berfungsi untuk membawa oksigen dan nutrisi untuk didistribusikan ke seluruh tubuh. Hemoglobin terdiri dari 2 senyawa yaitu hem dan globin. Senyawa hem mengandung zat besi (atom Fe), sedangkan globin merupakan suatu protein yang terdiri dari rantai polipeptida. Normalnya, hemoglobin pada orang dewasa yang normal terdiri dari 2 rantai alpha (α) dan 2 rantai beta (β) yaitu HbA (α2β2 = 97%), sebagian lagi HbA2 (α2δ2 = 2,5%) dan sisanya adalah HbF (α2γ2) kira kira 0,5%. Sedangkan pada janin terdapat bentuk hemoglobin yang lain yaitu HbF (hemoglobin Fetal) dan hemoglobin embrional : Hb Gowers1, Hb Gowers2, dan Hb Portland. Masing masing hemoglobin mempunyai komposisi yaitu HbF : alpha2 gama2, Hb Gowers 1 : Zeta2 epsilon2, Hb Gowers2 : alpha2 epsilon2, Hb portland : zeta2 gama2 (Kauffman. E, 2001). Sintesa rantai globin diatur dan dikendalikan oleh suatu gen tertentu. Terdapat 2 kelompok gen yang bertanggung jawab untuk mengatur dan 52 mengendalikan sintesa protein globin, yaitu kluster gen globin α yang terletak pada lengan pendek autosom 16 (16 p 13.3), dengan demikian sel diploid memiliki 4 salinan gen globin α dan kluster gen globin β yang terletak pada lengan pendek autosom 11 (11 p 15.4) (Evans et all 1990 dan Colins et al, 1984). Mutasi di globin betha terjadi di dalam regio promotor dan tempat cup, di dalam ekson dan intron, dan di laut penyambungan batas ekson intron. Mutasi juga ditemukan pada tempat poliadenilasi dan delesi besar dijumpai pada regio 5’ dan 3’ pada gen (Watsen J. Gilman, 1992) Gambar 1. Ekspresi gen dan sintesa protein pada thalasemia (Biokimia kedokteran Dasar.2000) Sintesa pada rantai globin sebenarnya sudah dimulai sejak awal kehidupan pada embrio dalam kandungan manusia, sampai dengan usia kandungan 8 minggu dan sampai akhir kehamilan. Organ yang bertanggung jawab dalam proses sintesa ini adalah hati, limpa, dan sumsum tulang ( Gale et al, 1979). Selama tahap perkembangan embrionik (kurang dari 8 minggu), rantai ζ dan rantai α disintesis. 53 Selama periode janin (8-41 minggu) rantai γ dan rantai α menggantikan rantai embrionik itu, dimulai di sekitar kehamilan sampai sepanjang hidup. Rantai rantai β menggantikan rantai γ. Sebagian kecil hemoglobin dewasa memiliki rantai δ sebagai ganti rantai bethanya. Sinyal sinyal yang mengontrol diaktifkan dan dimatikannya berbagai gen hemoglobin belum diketahui, namun kemiripan dalam hal struktur nukleotida semua gen itu nampaknya menunjukkan di awal evolusi (John C. Avise, 2007). Adanya mutasi gen dalam dalam Thalasemia bersifat herediter sehingga dapat diturunkan dari generasi ke generasi. Gambar 2. faktor faktor evolusioner yang bertanggung jawab pada keragaman hemoglobin (The Genetics Gods.2007) 54 Klasifikasi Thalasemia a. Thalasemia α Pada individu yang normal mengandung 4 gen α yang mengandung protein dalam jumlah yang sama. Thalasemia α terbagi menjadi 2 kelompok yaitu tipe delesi (deletional α thalasemia) dan tipe non delesi (non deletional α thalasemia). Gejala klinis yang muncul pada penderita Thalasemia α tergantung pada gen α yang masih utuh. Manifestasi klinis yang muncul pada dasarnya disebabkan oleh anemia dan hipoksia. Anemia disebabkan karena menurunnya kadar hemoglobin normal (HbA) yang diakibatkan oleh kurangnya rantai globin α, akibat kekurangan rantai globin α menyebabkan ketidaksesuaian dengan pasangannya pada rantai β dan γ. Rantai β dan rantai γ yang berlebihan tersebut menimbulkan pembentukan Hb H (β4) atau Hb Bart’s (γ4). Sedangkan hipoksia muncul sebagai akibat dari Hb H dan Hb Bart’s yang mengikat oksigen tetapi tidak mudah untuk melepaskannya kembali seperti pada hemoglobin yang normal (Kartikawati, 2001). b. Thalasemia β Pada Thalasemia β banyak disebabkan oleh mutasi (mutasi titik). Mutasi titik dapat terjadi di berbagai tempat dan dapat menimbulkan akibat yang berbeda beda. Sebagian lagi disebabkan persilangan yang tidak seimbang. Persilangan tak seimbang pada thalasemia β menyebabkan delesi sebagian dari gen β atau menimbulkan gen gabungan (fusion genes) δβ, hemoglobin yang dihasilkan oleh gabungan 2 gen (δβ) tersebut dinamakan Hb lepore. Persilangan tak seimbang juga dapat menimbulkan delesi tidak hanya gen β tetapi juga pada gen gen yang lain seperti gen α, G-γ, A-γ, tergantung lebarnya delesi. Bentuk bentuk ini dinamakan Thal β komplek. Bentuk komplek ini biasanya mengakibatkan gejala yang ringan oleh karena tidak adanya gen β menyebabkan Hb F terus diproduksi sampai dengan dewasa. Variasi dari thalasemia β yaitu, thalasemia minor, thalasemia mayor, dan thalasemia intermediet. 55 Tabel 1. Mutasi penyebab Thalasemia β Letak mutasi akibat fenotip Transkripsi turun β+ Cup site mRNA tidak stabil β0 Initiation codon Translasi tidak terjadi β0 Abnormal splice site β + atau β 0 Frame shift β0 Premature termination β0 Protein labil β0 Abnormal splice site β + atau β 0 mRNA tidak stabil β0 a. Promotor b. 5’UT c. Ekson (1,2,3) d. Intron (1 dan 2) e. 3’UT Poliadenilation signal Sedangkan bentuk mutasi gen yang terjadi pada Thalasemia α : 1. Delesi, mencakup satu gen (-α) atau kedua (--) gen globin α. Pada thalasemia αËš terdapat 14 delesi yang mengenai gen α, sehingga produksi rantai α hilang sama sekali dari kromosom abnormal. Bentuk umum –α+ yang paling umum (-α3,7 dan –α4,2) mencakup delesi satu atau duplikasi gen globin α lainnya. 2. Non delesi, kedua haploid gen α utuh (αα), ekspresi gen –α2 lebih kuat 2-3 kali dari ekspresi gen –α1 sehingga sebagian besar mutasi non delesi ditemukan predominasi pada ekspresi gen –α2. Bentuk mutasi gen yang terjadi pada Thalasemia β : 1. Delesi. Pada thalasemia β ditemukan 17 delesi, sering ditemukan adalah delesi 619 bp pada ujung akhir 3’ gen globin β. Bentuk homozygot pada delesi ini menyebabkan thalasemia βËš, sedangkan heterozygot menimbulkan peningkatan HbA2 dan HbE. 56 2. Non delesi, terjadi transkripsi, prosesing dan translasi berupa mutasi titik : region promotor, mutasi transkripsional pada lokasi cap, mutasi prosesing RNA : intron – ekson boundaris, polyadenilation signal, splice site concencus sequences, cryptic sites in exons, cryptic sites in introns. Mutasi yang menyebabkan translasi abnormal mRNA : inisiasi, nonsence, dan mutasi frameshift. 3. Bentuk mutasi lain seperti thalasemia β yang diwariskan dominan, varian globin β tidak stabil, thalasemia β tersembunyi, mutasi thalasemia yang tidak terkait kluster gen globin β dn bentuk variasi thalasemia β (Setyaningsih, 2009) Jenis cacat molekul gen globin yang banyak dijumpai adalah Hb E/ivs 1- nt5. Hb E merupakan jenis thalasemia yang banyak ditemukan di negara negara Asia tenggara dan frekuensi karier nya diperkirakan sebesar 50%. Secara klinis Hb E baik yang homozygot maupun heterozygot tidak tampak/asimptomatis, tetapi apabila ditemukan bersama thalasemia bentuk double heterozygot akan menghasilkan Hb E yang secara klinis beratnya sama dengan thalasemia mayor atau thalasemia intermediet yang membutuhkan transfusi secara reguler (Moedrik Tamam, et al. 2010). Tabel 2. Perbedaan thalasemia α dan thalasemia β : Perbedaan Mutasi Thalasemia α Delesi gen Thalasemia β umum Delesi terjadi gen umum jarang terjadi Sifat globin yang Tetramer γ4 dan β4 Agregat rantai α yang berlebihan yang larut tidak larut Pembentukan Pembentukan hemikrom yang lambat hemikrom cepat Band 4.1 teroksidasi tidak Band 4.1 teroksidasi 57 Sel darah merah Overhidrasi, kaku, Dehidrasi, kaku, membran stabil membran tidak stabil Anemia Hemolitik Diseritropoetik Perubahan tulang Jarang Sering Besi berlebih Jarang Sering Pola Pewarisan (Ilmu Kesehatan Anak Nelson, 2000) a. Pewarisan resesif autosom : anak dengan orang tua heterozigot memiliki 25% peluang bersifat homozygot (misalnya 1 peluang pada pewarisan gen mutan yang berasal dari setiap orang tuanya : ½ X ½ = ¼ ), laki laki dan wanita terkena dengan frekuensi yang sama, individu yang terkena hampir selalu dilahirkan hanya pada satu generasi keluarga, anak anak dari yang terkena (homozygot) semuanya heterozygot, anak anak dari homozygot hanya bisa terkena jika pasangannya heterozygot. Frekuensi heterozygot dapat dihitung dengan cara formula Hardy Weinberg : p2 + 2 pq + q2 = 1, dimana p adalah frekuensi salah satu dari sepasang alel, dan q merupakan frekuensi yang lain. Gambar 3. Pewarisan resesif autosom 58 b. Pewarisan dominan autosom : pada pewarisan ini baik laki laki maupun wanita sama sama terkena yang pemindahannya terjadi dari satu orang tua kepada anak, dan gen mutan yang bertanggung jawab dapat muncul dengan gen mutan secara spontan. Gambar 4. Pewarisan dominan autosom Tindakan preventif dan kontrol thalasemia a. Pembentukan kelompok kerja thalasemia di tingkat nasional maupun regional.(G. Akbari.2006) Kelompok kerja thalasemia perlu dibentuk yang melibatkan para ahli dan orang orang berhubungan dengan masalah thalasemia. Kelompok kerja ini dibentuk dengan tujuan untuk menyelenggarakan pertemuan pertemuan ilmiah secara rutin baik di tingkat regional maupun nasional guna memantau dan mengevaluasi permasalahan yang terjadi, kebijaksanaan dan langkah langkah yang harus ditempuh guna menyelesaikan permasalahan tersebut serta melaporkankannya ke dinas kesehatan yang terkait. b. Meningkatkan penelitian tentang epidemiologi, patofisiologi molekuler, dan manajemen klinis penyakit thalasemia. Studi 59 epidemiologi dapat dimulai dengan melakukan skrinning pada populasi untuk mengetahui lebih jauh tentang resiko pembawa sifat thalasemia, Analisis molekuler juga perlu dilakukan terhadap populasi terutama pada pasangan yang mempunyai pembawa sifat thalasemia. Pengetahuan dasar tentang molekuler thalasemia juga sangat penting, karena ekspresi gen globin pada thalasemia sangat kompleks dan banyak melibatkan komponen yang ada di luar gen itu sendiri. c. Meningkatkan kualitas SDM dan fasilitas laboratorium Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan pada pasien yang dicurigai thalasemia adalah : 1. Darah rutin : pada thalasemia terdapat anemia hipokromik mikrositik dengan nilai mean corpuscular volume (MCV) < 80 fl dan mean corpuscular hemoglobin (MCH) < 27 pg. Anemia hipokromik mikrositik juga ditemukan pada defisiensi besi, namun biasanya disertai penurunan kadar red blood cell (RBC) dan peningkatan red cell distribution width (RDW). Jika terjadi hipersplenisme akan terjadi penurunan trombosit (Atmakumah, 2009) 2. Hitung retikulosit pada thalasemia meningkat antara 2-8% 3. Gambaran darah tepi : pada gambaran darah tepi akan ditemukan retikulosit poikilositosis, basophilic stippling, sel tear drops dan sel target. 4. Feritin, Serum Iron (SI) dan Total Iron Binding Capacity (TIBC). Pada anemia defisiensi besi SI akan mengalami penurunan, sedangkan TIBC akan mengalami peningkatan. HbA2 yang rendah dapat ditemukan pada anemia defisiensi besi dan thalasemia α sehingga kadang sulit membedakan dengan pembawa sifat thalasemia β. 5. Tes fungsi hepar. Kadar bilirubin tak terkonjugasi akan meningkat sampai 2-4 mg%. SGOT dan SGPT juga akan 60 meningkat yang akan mengakibatkan gangguan pada faktor pembekuan darah. 6. Pemeriksaan rontgen. Pemeriksaan rontgen bertujuan untuk melihat adanya metabolisme tulang akibat eritropoesis. 7. Pemeriksaan sumsum tulang. Pada pemeriksaan sumsum tulang akan nampak gambaran eritropoesis yang sangat aktif. 8. Pemeriksaan EKG, bertujuan untuk melihat keadaan jantungnya akibat terjadi anemia. d. Konseling genetik dan diagnosis prenatal Sasaran konseling genetik adalah pasangan pra nikah terutama mereka yang berasal dari kalangan/ populasi yang berpotensi tinggi menderita atau ada anggota keluarga yang menderita thalasemia. Pemeriksaan yang dilakukan adalah indeks hematologis untuk memastikan bahwa membawa thalasemia atau tidak. Informasi penting yang harus disampaikan antara lain : 1. Tentang penyakit thalasemia itu sendiri, bagaimana cara penurunannya dan permasalahan yang dihadapi oleh penderita thalasemia terutama thalasemia mayor. 2. Memberi jalan keluar cara mengatasi masalah yang sedang dihadapi oleh klien dan membiarkan membuat keputusan sendiri terhadap tindakan yang akan dilakukan. 3. Membantu mereka/klien agar keputusan yang diambil dapat dilaksanakan dengan baik dan benar. Diagnosis prenatal bertujuan untuk mengetahui sedini mungkin apakah janin menderita thalsemia mayor, yaitu dimulai dengan pemeriksaan DNA kedua orang tuanya terlebih dahulu. Setelah usia kehamilan 6-8 minggu dilakukan pemeriksaan sampel jaringan villi choriolis serta dilakukan pemeriksaan molekuler sesuai dengan mutan yang diemban oleh kedua orang tuanya (Anak Agung G.P. 2015) 61 Kesimpulan Thalasemia merupakan kelainan genetik akibat mutasi gen yang disebabkan oleh kekurangan sintesis protein yang berperan dalam pembentukan darah dengan manifestasi klinis anemia dan hipoksia. Prevalensi thalasemia di Indonesia tergolong tinggi dan memerlukan perhatian dari pemerintah. Skrinning yang tepat pada populasi akan membantu penegakkan diagnosis yang tepat pula terkait Thalasemia. Terutama pada pasangan pra nikah untuk memberikan konseling bahwa thalasemia dapat diturunkan dari generasi ke generasi. Pemeriksaan secara lengkap juga harus dilakukan pada wanita yang sedang hamil yang dicurigai mempunyai sifat bawaan thalasemia. 62 DAFTAR PUSTAKA Akbari Ganie R. 2006. Pidato Pengukuhan “Thalasemia Permasalahan dan Penanganannya”.2005. repository usu 2006 Anak Agung Gede P.W., 2015. Skrinning dan Diagnosis Thalasemia Dalam Kehamilan. E-Journal Obstetric dan Gynecology. Andika Tripramudya Onggo. 2014. Identifikasi Mutasi Gen β Globin Ekson 1 Pada Pembawa Thalasemia. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada Anomim. 2008. Riset Kesehatan Dasar. 2007. Jakarta : Badan Penelitian dan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Atmakusumah, T.D., Wahidiyat, P.A., Sofro, A.S., Wirawan, R., Tjitrasari, T., Setyaningsih, I., Wibawa, A. 2010. Pencegahan Thalassemia. Hasil Kajian Konvensi HTA. Jakarta: 16 Juni. Atmakusumah, T.D. 2009. Thalassemia: manifestasi klinis, pendekatan diagnosis, dan thalassemia intermedia. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B.,Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta Atmakusumah, T.D. Setyaningsih, I. 2009. Dasar-dasar talasemia: salah satu jenis hemoglobinopati. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta Collins. F. S and Weissman S. M. 1984. The Molecular Genetics of Human Hemoglobin. Prog. Nucleid Acid Red. Mol. Biol. 31:315 Evans T. Felsenfel G. And Reitman M. 1990. Control of Globin Gene Transkription. Annu. Rev. Cell. Biol.6:95-124 Gale R.E., Clegg J.B., and Huehns E.R., 1979. Human Embrionic and Haemoglobin Gower 1 and Gower 2. Nature. 280 (5718): 162-164 http://www.thalassaemia-yogyakarta.org/2013_02_01_archive.html 63 Henny Kartikawati. 2001. Hemoglobinopati Sebagai Model Penyakit Thalasemia. Magister Ilmu Biomedik. Universitas Diponegoro John C. Avise, The Genetics Gods :Evolution and Belief in Human Asffairs .havard university pres 2001 cetakan 2007) Kauffman. E. 2001. Human Genetics. Haemoglobin Structure. BMS 655. March 2001. Moedrik Tamam, Suharyo Hadisaputro, Sutaryo, Iswari Setianingsih, Rini Astuti, Agustinus Soemantri. 2010. Hubungan Antara Tipe Mutasi Gen Globin dan Manifestasi Klinis Pada Thalasemia. Jurnal Kedokteran Brawijaya Vol.26. Februari. 2010 Marks Dawn B. 2000. Biokimia Kedokteran Dasar ; Sebuah pendekatan klinis , Jakarta ; EGC Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak volume I. Editor Richard E. Behrman. Jakarta : EGC Pignatti, C. B., Galanello, R. 2014. Thalassemia and Related Disorders:Quantitative Disorders of Hemoglobin Synthesis. In : Greer, J.P., Arber, D.A., Glader, B., List, A.F., Means, R.T., Paraskevas, F, Rodgers, G.M.Wintrobe’s Clinical Hematology. 13th edition. Lippincott Williams s& Wilkins Watson, J. Gilman M. 1992. Witkowski C. Zowler M. Recombinant DNA Scientific American Books, New York Will Freenan 540-544 64 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGERUHI KUALITAS DISCHARGE PLANNING TERHADAP TINGKAT KEMANDIARIAN PASIEN DENGAN GANGGUAN CARDIOVARCULAR PASCA HOSPITALISASI: LITERATURE REVIEW CANDRA DEWI RAHAYU ABSTRAK Latar Belakang dan Tujuan: Managemen perawatan gangguan cardiovascular melibatkan multidisiplin professional, banyak evidence yang menunjukan bahwa pasien yang dilakukan perawatan di rumah sakit yang dilakukan oleh multidisiplin mempunyai efek yang lebih baik dari pada yang tidak. Discharge planning terprogam diharapkan mampu meningkatkan kemandirian pasien dalam melakukan perawatan baik saat di rumah sakit maupun setelah perawatan, sehingga diharapkan dapat menurunkan angka re-hospitalisasi karena keluhan yang sama (relapse). Discharge planning juga diharapkan meminimalisir adanya komplikasi akibat penyakit kardiovascular tersebut. Tujuan dari penulisan adalah untuk mengetahui evidence faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kualitas discharge planning terhadap tingkat kemandirian pasien dengan ganggunan cardiovascular pasca hospitalisasi Metodologi: Systematic review ini dilakukan dengan mengumpulkan hasil publikasi ilmiah pada tahun 2010-2014 dengan penelusuran EBSCO, ProQuest, PubMed, Google search dan American Journal Of Nursing (AJN). Penelusuran dengan metoda boleon, full teks, pdf, medeline dengan kata kunci “nursing” and “discharge planning” and “program” and “cardiovascular”. Metodologi yang digunakan dalam publikasi ilmuah dengan menggunakan metoda kualitatif dan RCT dilakukan oleh perawat kepada pasien dengan gangguan cardiovascular. Selanjutnya data direview dengan penggunakan CASP tools dan diekstraksi kemudian dikelompokkan untuk dibahas dan disimpulkan untuk mengetahui kualitas jurnal. Hasil dan Kesimpulan: Hasil penelusuran mendapat 4 publikasi ilmiah dengan kualitas baik. Dari studi ditemukan 10 faktor yang dapat mempengaruhi kualitas discharge planning. Factor-faktor tersebut mempunyai hasil yang signifikan terhadap kuliatas discharge planning. Hasil ini menunjukan pentingnya discharge planning terprogram untuk meningkatkan kemandirian pasien. Akan tetapi yang terjadi di rumah sakit terutama rumah sakit di Indonesia belum dilakukan sesuai dengan hasil penelitian. Termassuk dalam hal dokumentasi keperawatan yang masih lemah. Key word: discharge planning, cardiovascular, multidisiplin profesional 65 A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Di Indonesia semua pelayanan keperawatan di Rumah Sakit, telah merancang berbagai bentuk format Discharge Planning, bentuk pendokumentasian discharge planing berupa resume pasien pulang. Cara ini merupakan pemberian informasi yang sasarannya ke pasien dan keluarga hanya untuk mengingatkan, akan tetapi tidak ada yang bisa menjamin apakah pasien dan keluarga mengetahui faktor resiko apa yang dapat membuat penyakitnya kambuh, penanganan apa yang dilakukan bisa terjadi kegawatdaruratan terhadap kondisi penyakitnya. Discahrge planing seharusnya memberikan proses deep-learning pada pasien sehingga terjadinya perubahan perilaku dan kemampuan melakukan perawatan diri secara mandiri baik pasien maupun keluarga (Uke Panila, 2014). Terutama pada pasien dengan gangguan cardiovascular outcome dari perawatan gangguan cardiovasculat adalah pasien bisa toleran dalam melakukan ADL (activity dialy living). Penelitian yang dilakuakn oleh Jane Graham pada tahun 2013 menunjukan bahwa discharge planning sangat dibutuhkan pada pasien di masa transisi yaitu perpindahan pasien dari perawatan rumah sakitperawatan rumah. Untuk mendapat discharge planing yang berkualitas diperlukan pengkajian yang mendalam terkait dengan metoda discharge planning. Untuk menerapkan metoda discharge planning yang berkualitas harus di ketahui terlebih dahulu kebutuhan pasien dan perawat dalam melakukan discharge planning. Dalam pemenuhan tersebut tentu dipengaruhi oleh banyak faktor baik dari perawat, pasien maupun tenaga profesional yang lain. Dan apakah faktor faktor- tersedut dapat mempengaruhi kualitas discharge planning sehingga berdampak terhadap tingkap kemanddirian pasien terutama pada pasien dengan gangguan cardiovascular? 66 Discharge planning yang dilakukan sejak awal (saat pasien masuk) dapat menurunkan angka kunjungan ulang pasien ke rumah sakit dengan keluhan yang sama (relapse) (Mary T Fox, 2013) bahkan dapat menurunkan angka terjadinya komplikasi (Jane Graham, 2013) selain itu discharge planning yang dilakukan secara terprogram dapat memperpendek lama perawatan pasien di rumah sakit (LOS menurun) hal ni disebabkan karena tingkat kemandirian pasien dan keluarga meningkat sehingga perawatan lebih efektif dan efisian hal dapat menekan biaya perawatan (Petsunee Thungjaroenkul: 2007). 2. Tujuan a. Tujuan Umum Untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kualitas discharge planning terhadap tingkat kemandirian pasien dengan gangguan kardiovascular pasca hospitalisasi b. Tujuan Khusus a) Untuk mengetahui faktor yang paling dominan mempengaruhi kualitas discharge planning pada pasien dengan gangguan cardiovascular. b) Untuk mengetahu efectifitas discharge planning terprogram dalam meningkatkan tingkat kemandirian pasien dengan gangguan cardiovascular. c) Untuk mengetahui efektifitas perawat khusus dalam melakukan discharge planning pada pasien dengan gangguan cardiovascular B. METODE Pengumpulan artikel yang dilakukan sitematik review ini menggabungkan antara discharge planning yang dilakukan oleh perawat dan oleh tenaga kesehatan lain dalam melakukan perawatan mandiri dan rehabilitasi. 1. Kriteria inklusi dan eksklusi 67 Kriteria inkkusi yaitu artikel dengan metoda penelitian kulaitatif dan kuantitatif tahun 2010-2014 dilakukan secara terprogram discharge planning pada pasien dengan gangguan cardiovascular dengan usia dewasa (minimal 18 tahun) dan di evalusi secara berkala untuk mengetahui factor yang dapat mempengaruhi kualitas discharge palanning serta efektifitas discharge planning yang dilakukan secara terprogram. Jumlah total sampel pada penelitian kualitatif dilakukan pada 18 rumah sakit dan 31 partisipan dimana teknik pengambilan sampel dengan menggunakan purposepul samping. Rumah sakit yang digunakan dalam penelitian adalah rumah sakit khusus untuk gangguan kardiovaskular dan rumah sakit umum dengan actual number of date 30 hari perawatan dan pastisipan dibedakan atas usia, jenis kelamin, pengalaman, pendidikan terakhir. Randomized Control Trial (RCT) yang digunakan dalam artike dengan total poulasi artikel pertama n=340 dan pada artikel kedua n=162. Yang kemudian 11 pasien gugur untuk dijadikan sampel karena tidak bersedia mengisi inform concern. Segingga total sampel pada artikel pertama adalah 329. Kemudian sampel tersebut dibagi menjadi dua kelompok, satu kelompok di berikan perlakuan dan satu kelompok dijadikan sebagai control. Pemilihan sampel pada artikel dengan metoda RCT ini adalah pasien yang dilakukan perawatan dirumah sakit dengan gangguan cardiovascular usia diatas 18 tahun. Yang kemudian dilakukan perlakuan. Pada artikel yang kedua yaitu dengan memberikan pendidikan kesehatan yang didasarkan pada teori motivasi dan teori perkembangan pada artikel ke 4 (emoat) perlakukan di lakukan oleh cese-managemen untuk mengidentifikasi masalah perawatn individu dan fasilitas pelayan yang digunakan dan disease management untuk mengidentifikasi masalah dan factor risiko pada masalah 68 cardiovascular tentang informasi dan pendidikan kesehatan yang dibutuhkan oleh pasien. 2. Strategi Pencarian Literatur Systematic review ini dilakukan dengan mengumpulkan hasil publikasi ilmiah pada tahun 2010-2014 dengan penelusuran EBSCO, ProQuest, PubMed, Google search, American Journal Of Nursing (AJN). Penelusuran dengan metoda boleon, full teks, pdf, medeline dengan kata kunci “nursing” and “discharge planning” and “program” and “cardiovascular”. Gambar 1 Diagram prisma Identifikasi EBSCO DP & cardiovascular n=919 DP & cardiocascular & AMI n =171 PROQUEST Nurse & DP & program & cardiovascular n=1.633 PUBMED Nurse & DP & program &Acute Myocard Infrak n=510 AJN dan Google Search Skrening 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. PDF Full text Bahasa Inggis Free download Tahun 2009-2014 Medeline Peer review EBSCO n= 171 PROQUEST n=666 PUBMED n=140 AJN dan Google Search 69 Kelayakan 1. Jurnal 2. Sampel perawat dan atau pasien diatas usia 18 tahun 3. Kualitas discharge plannig EBSCO n=10 PROQUEST n=29 PUBMED n=35 AJN dan Google Search Included analisis 1. Motoda kualitatif dan atau RCT 2. Factor yang mempengaruhi kualitas Discharge Planning EBSCO n=1 PROQUEST n=2 PUBMED n=1 AJN dan Google Search n=3 Systematic review n=4 3. Ekstraksi data dan motede pengkajian kualitas studi Data dari artikel direview dengan penggunakan CASP tools dan diekstraksi kemudian dikelompokkan untuk dilakukan triangulasi untuk dilakukan pembahasan dan disimpulkan sehingga dikeahui kualitas jurnal. Penentuan kualitas jurnal dengan menggunakan prosentase hasil ekstraksi yaitu jurnal dikategorikan menjadi kualitas baik, sedang dan kulaitas tidak baik. Jurnal dikategorikan baik jika propsentase 80%-100%, cukup jika 65%-79% dan tidak baik jika prosentase <64%. Dari hasil analisa tersebut didapat 4 jurnal dengan kateggori baik yaitu dengan prosentase 88,2 % dan 91,1% untuk hasil peneitian kulaitatif (lampiran 1) 80,9% dan 85,7% untuk Randomized Control Trial (RCT) ( lampiran 2) 4. Analisa Data Data dikumpulkan berdasarkan tujuan, sampel dan hasil yang sebanding kemudian dilakukan analisis (table 1) sehingga dapat pula dilihat heterogenitas dari hasil penelitian yang ditemukan dalam studi (publikasi ilmiah). Jika dalam temuan jurnal tidak sesuai dengan 70 kirteria baik kriteria inklusi maupun kriteria eksklusi ataupun hasil tidak sesuai yang telah ditetapkan maka jurnal tersebut tidak dilakukan sistematik review (dihapus). Sistematik review ini bertujuan untuk untuk memperkuat hasil dari studi/penelitian tersebut. Dalam review ini ada tiga jurnal yang kemudian tidak dilakukan analissis (dihapus) 71 Tabel 1 Karakteristik artikel yang didapatkan ( n=4) No Penulis Judul Jurnal Tujuan Metodologi Hasil S Rian “Learning by J Gen Intern Mengurangi Kualitatif Lima topik utama untuk Greysen et Doing”—Resident Med readmisi dan analissis identifikasi discharge planning all (2012) Perspectives on efeksamping yang berkualitas Developing dengan 1. Kerja sama tim dan Competency in High- penggunaan interdisipliner Quality Discharge discharge laning Disharge planing Care yang berkualitas (tahun) 1 2. Perencanaan terstuktur serta strategi discharge planing 3. Keselamatan pasien dan konsep Discharge planning yang aman 4. Perawatan berkelanjutan setelah pasien mendapatkan discharge planning. 5. Dokumentassi discharge planing 2 Emily J. Features of High J Gen Intern Untuk Kualitatif Lima tema untuk membedakan 72 Cherlinall Quality Discharge Med mengidentifikasi (2012) Planning for Patients proses discharge Following Acute planning terkait Myocardial Infarction dengan kinerja study kualitas discharge planning 1. Memulai Discharge planning pada saat pasien masuk 2. Memberikan perawatan yang lebih baik di komprehensif dalam rumah sakit perawatan pasien. perawatan AMI 3. Memastikan bahwa rencana yang diukur tindak lanjut di berikan dengan RSMR sebelum rencana pemulangan 4. Memberikan waktu khusus untuk discharge planning pada lien dan keluarga. 5. Menghubungi perawat primer untuk rencana perawatan tindak lanjut. 3 Palle Larsen Stimulation to self Nursing Untuk menguji Quasi tidak ada perbedaan total perilaku et all (2013) care in patient with Education prosedur ekspeimen perawatan diri antara kelompok heart failure: a quasi- and Practice perencanaan pada awal perlakuan nilai pemulanangan p=0,161 terhadap pasien setelah 4 minggu total score pada experimental study 73 gagal jantung kelompok control 25,3 dan pada dengan gejala kelompok intervensi 22,2 dengan ringan dan sedang nilai p=0.049 Serta untuk setelah 12 minggu total score mengetahui efek pada kelompok control 26,8 persiapan rencana angka ini sama pasa saat awal pulang indivudu percobaan dan pada kelompok dalam rehabilitasi intervensi dengn score 22.6. perbedaan skor 6,2 atau nilai p=0,007 4 Cristina Effect of a nurse case BioMed Untuk Single centre Discharge planning yang Meisinger et management Central mengevaluasi randomized dilakuka oleh case management all (2013) compared to usual discharge two armed tidak mendapatkan hasil yang care among aged planning yang group tryal signifikan setelah satu tahun patients with diberikan oleh perlakuan dengan hazard interval myocardial infarction: perawat berbasis 1.01, 95% dan confidence result from the managemen kasus interval 0.72-1.41 randomized controlled KORINDA studi 74 C. HASIL Systematic review yang dilakukan dengan metoda kulaitatif dan kuantitatif pada empat jurnal yang dianalisis yang didapat dengan menggunakan metoda boleon dari e juranal EBSCO, ProQuest, PubMed, AJN dan google search (gambar 1). Hasil penelitian kualitatif dengan mengidentifikasi beberapa tema, sedangkan hasil penelitian RCT dilakukan perlakuan berupa discharge planning (memberikan pendidikan kessehatan) yang kemudian di lakukan follow up untuk mengetahui efektifitas dari perlakuan/tindakan. Untuk penelitian RCT tidak dilakukan blinding dijelaskan dalam jurnal karena tidak memungkinkan untuk dilakukan blinding yang disebabkan karena perlakukan/tindakan berupa pemberian pendidikan kesehatan sehingga untuk sampel perawat tidak bisa dilakukan blinding, akan tetapi untuk pasien tetap dilakukan blinding. 1. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kualitas discharge planning Ketika akan menentukan bagaiamana teknik yang paling benar sehingga discharge planning dapat berkualitas dibutuhkan pembelajaran lebih mendalam untuk proses discharge planning. Proses ini sangat penting untuk memberikan pelayanan yang berkualitas kepada pasien. Proses tersebut menunjukan bahwa untuk mendapatkan pelayanan yang berkualitas dibutuhkan kerjasama, perencanaan terstruktur, keamanan pasien, perawatan berkelanjutan dan dokumentasi. (Greysen at all: 2011) dari dasar asumsi tersebut kemudian dijadikan tema dalam penelitian. Lima tema tersebut adalah kerja sama tim dan interdisipliner Disharge planing pada tema ini difikuskan tentang komunikasi yang dilakukan antar tenaga kesehatan. Meningkatkan kedisiplinan dan kerjasama antar tim akan meningkatkan kualiatas pelayan discharge planning. Sehingga kerja sama tim sangat dibutuhkan dalam proses discharge planning. Tema yang kedua: perencanaan terstuktur serta strategi discharge planning, hasil menunjukan belum ditemukan bahwa 75 discharge planning dijadikan sebagai prioritas sampai pasien siap untuk pulang. Untuk memberikan perencanaan terstruktur dilakukan dengan pembuatan jadwal terkait dengan kemampuan pasien dalam melakukan perawatan dan keselamatan pasien dalam keadaan gawat. Tema tiga: Keselamatan pasien dan konsep Discharge planning pasien membutuhkan perawatan yang holistic dan berkelanjutan dalam proses penyembuhan. Hasil penelitian menunjukan keselamatan pasien setelah pulang adalah perawatan lanjutatau rehabilitasi, Tema empat: Perawatan berkelanjutan setelah pasien mendapatkan discharge planning, discharge planning yang sudah dilakukan tapi masih susah untuk dilakukan pembelajaran berkelanjutan ssetelah pasien pulang sehingga harus ada follow up post discharge Tema lima: Dokumentassi discharge planning: dokumentasi selalu berbanding lusrus dengan kualitass discharge planning discharge planning yang berkualitas harus ada dokumentasi terstandar. Emely J Cerlin tahun 2012 hasil penelitian ini klasifikasikan dengan lima tema yaitu memulai discharge planning pada saat pasien masuk, yaitu diberikan pada awal pasien baru masuk rumah sakit. Hal ini penting dilakukan untuk membina hubungan yang proaktif dalam proses discharge planning. Memberikan perawatan komprehensif dalam perawatan pasien yaitu dengan memberikan pelayanan management kasus yang terdiri dari perawat, tenaga social dan tenaga kesehatan lain. Memastikan bahwa rencana tindak lanjut di berikan sebelum rencana pemulangan, hal menunjukan follow up setelah pasien pulang dari rumah sakit penting dilakukan dimana hal ini juga akan menunjukan performa/kualitas dari rumah sakit tersebut. Memberikan waktu khusus untuk discharge planning pada klien dan keluarga. Pendidikan kesehatan dilakukan pada waktu khusus dalam rangka persiapan pasien pulang. Menghubungi perawat primer untuk rencana perawatan tindak lanjut. 76 Rencana perawatan tindak lanjut diberikan pada hari 1-2 setelah perawatan tema pendidikan kesehatan dilakukan oleh perawat primer yang kemudian didelegasikan kepada staffnya atau perawat asosiet. 2. Factor yang paling dominan dalam menentukan kualitas discharge planning Dari hasil penelitian yang telah dipaparkan diatas bahwa discharge planning seharusnya dilakukan sedini mungkin yaitu sejak pasien datang kerumah sakit sampai pasien siap untuk dipulangkan, dilakukan oleh tenaga kesehatan kusus (case management) dan harus dilakukan follop up untuk mngetahui kualitas dari discharge planning tersebut. Selain itu dokumentasi merupankan hal penting karena dengan dokumentasi dapat dinilai kualitas dari discharge planning tersebut. Menurut hasil analisa ketiga factor tersebut harus ada untuk mendapatkan discharge planning berkualitas yaitu: discharge planning diberikan dari awal, follow up dan dikumentasi. 3. Efektifitas discharge planning terprogram terhapat tingkat kemandirian pasiaen Dari analisis faktor yang paling dominan terhadap discharge planning yang berkuaalitas maka dilakukan penelitian dengaan metoda RCT. (Pale Larsen: 2013) dengan melakukan intervensi pada sampe dengan usia minimal 18 tahun intervensi yang dilakukan yaitu denagna memberikan pendidikan kesehatan yang didasarkan pada teori motifasi dan teori perkembangan dengan hasil tidak ada perbedaan total perilaku perawatan diri antara kelompok pada awal perlakuan nilai p=0,161 setelah 4 minggu total score pada kelompok control 25,3 dan pada kelompok intervensi 22,2 dengan nilai p=0.049 setelah 12 minggu total score pada kelompok control 26,8 angka ini sama pasa saat awal 77 percobaan dan pada kelompok intervensi dengn score 22.6. perbedaan skor 6,2 atau nilai p=0,007. Dimana usia tidak mempengaruhi hasil. Penelitian lain menggabungkan intervensi yang dilakukan oleh case management dan desease management. Untuk case management discharge planning yang diberikan berupa identifikasi masalah dan fasilitas perawatan kesehatan yang dialami individu. Sedangakan untuk desease management tindakan discharge planning berupa masalah dan factor risiko pada gangguan ddischarge planning hasil menunjukan discharge planning yang dilakukan oleh case management Tidak mendapatkan hasil yang signifikan setelah satu tahun perlakuan dengan hazard interval 1.01, 95% dan confidence interval 0.72-1.41. Hal ini bisa disebakan karena pada penelitian pasien tidak hanya mengalami gangguan kardivaskular akan tetapi juga mengalami Diabetes Melitus hal ini juga disebabkan karena pada kelompok intervensi dilakukan bersamaan dengan foloow up, sehingga berpengaruh terhadap hasil D. PEMBAHASAN Empat jurnal dilakukan review sudah berdasarkan kriteria inklusi dan kriteria inklusi yang telah ditetapkan. Pada jurnal yang dilakukan dengan metoda kualitatif yang sudah di lakukan appraisal dengan menggunakan CASP tools mempunyai nilai baik yaitu diatas 80% begitu juga untuk jurnal dengan RCT. Hal ini menunjukan bahwa jurnal tersebut layak untuk diaplikasikan dalam ruang lingkup keperawatan khususnya baik dari untuk keperawatan klinik ataupun dari managemen keperawatan. Metoda RCT yang dilakukan tidak dilakukan blinding pada jurnal 3 (tiga) dan single blind pada jurnal (4) sehingga munculnya bias pada hasil penelitian lebih tinggi pada metoda RCT ini (Munsri: 2013). Seharusnya peneliti menggunkan double bahkan triple blind pada penelitian sehingga bias dalam penelitian dapat diminimalisir. 78 Dalam jurnal 1 (satu) tidak mencantumkan adanya etical clearance dalam penelitian ….. dalam jurnal kualitatif juga tidak dijelaskan dimana jurnal ini lebih tepat diaplikasikan. Dari hasil penelitian diatas telah dijelaskan beberapa factor yang dapat mempengaruhi kualitas discharge planning dan juga telah diketahui factor yang paling dominan mempengaruhi kualitas discharge planning yaitu discharge planning yang dilakukan sejak awal pasien masuk, ada perawat case managemen yang akan memberikan discharge planning serta adanya dokumentasi yang jelas. Hal ini menunjukan bahwa discharge planning terprogram/terstruktur mempunyai efek yang signifikan terhadap kualitas discharge planning yang akan ddiberikan kepada pasien. Sedangkan discharge planning yang berkualitas akan meningkatkan kemandirian pasien. Akan tetapi hal ini belum kita jumpai dirumah sakit. Dokumentasi discharge planning yang diberikan dirumah sakit hanya berupa resume pasien pulang yang isinya hanya berupa obat-obatan, jadwal control tanpa ada penjelasan dari perawat terkait dengan kondisi psien saat ini dan bagaimana managemen perawatan setelah pasien pulang dari rumah sakit. Sehingga hal ini perlu di tindak lanjuti teruma oleh bidang keperawatan yaitu untuk mengyusun protap/SOP (standar Opersional Prosedur) yang jelas sesuai dengan hasil penelitian disertai tools discharge planning yang mengindikasikan kulaitas dari discharge planning pada suatu rumah sakit. E. PENUTUP Dalam jurnal dibahas bahwa tingkat kemandirian pasien melakukan perawatan pacsa hospitalisasi mengidentifikasi kualitas dari discharge planning yang diberikan oleh perawat. Dari hasil review yang menunjukan bahwa discharge planning secara terprogram mempunyai dampak yang positif dan dipelayan belum optimal dilakukan maka fenomena ini bisa dijadikan sebagai bahan untuk researcher untuk melakukan penelitan lebih lanjut kenapa 79 discharge planning ini belum optimal dilakukan apakah karen factor managemen dalam arti pendokumentasian (SOP dan atau belum adanya tools discharge planning) yang sesuai dengan kondisi rumah sakit dan geografi Indonesia tau mungkin disebabkan karena sunber daya manusia (SDM). 80 DAFTAR PUSTAKA Uke Panila (2014) Fk.iu.ac.id/ konsep discharge planning/di akses tanggal 10 November 2014. Jane Graham, Robbyn Galakher and Janine Bothe. (2013). Nurse Discharge Planning and Risk assessment: Behaviour, understanding and barrier. Journal Of Clinical Nursing ed: 22. Blackwell Publishing. Mary T Fox, et all. (2013). Effectiveness of early discharge planning in acutely ill or injured hospitalized older adults:a systematic review and metaanalysis. BMC Geriatric Petsunee Thungjaroenkul.(2007). The Impact of Nurse Staffing on Hospital Costs and Patient Length of Stay:A Systematic Review. CNE vo:25 Palle Larsen. (2013) Stimulation To Self-Care In Patients With Heart Failure: A Quasi-Eksperiment Study. Nursing Education and Practice Vol:4 Emely J Cherlin. (2012) Features Of Higt Quality Discharge Planning for Patients Following Acute Miocard Infraction. J Gen Intern Med S Ryan Greysen. (2011). Learning By Doing-Resident Perspektif On Defeloping Competency in Hight Quality Discharge. J Gen Intern Med 81 ANALISIS PERAN FORUM KESEHATAN DESA DALAM PELAKSANAAN DESA SIAGA AKTIF DI KABUPATEN WONOSOBO TAHUN 2014 MUHAMMAD SAHLI Abstrak Pengembangan desa siaga sudah dimulai sejak tahun 2006, tetapi sampai tahun 2010 tercatat hanya 56,1% yang menjadi desa siaga. Perkembangan desa siaga aktif di Kabupaten Wonosobo dalam 3 (tiga) tahun terakhir mengalami fluktuasi. Fluktuasi ini disebabkan oleh peran FKD di Kabupaten Wonosobo belum optimal.Tujuan penelitian ini untuk menganalisis peran FKD dalam pelaksanaan desa siaga aktif di Kabupaten Wonosobo. Jenis penelitian adalah kualitatif. Informan utama 2 orang ketua FKD dan 2 orang kepala desa. Informan triangulasi sebanyak 7 orang yang terdiri dari 2 orang bidan desa, 2 orang ketua posyandu, 2 orang pemegang program promkes puskemas, 1 orang kasie pemberdayaan UKBM & pembiayaan kesehatan Dinas Kesehatan. Data dianalisis dengan analisis isi. Hasil penelitian menunjukan beberapa peran yang belum dilakukan oleh FKD dengan desa siaga pratama meliputi upaya penanggulangan faktor resiko masalah kesehatan, penemuan masalah kesehatan di UKBM, penyiapan dana untuk upaya pencegahan dan penanggulangan faktor resiko masalah kesehatan. Peran FKD pada strata pratama yang sudah dilakukan meliputi deteksi dini, melaporkan, koordinasi masalah kesehatan. Pada strata mandiri sudah melakukan semua peran FKD. Disarankan untuk melakukan koordinasi dengan pembina desa siaga aktif tingkat kecamatan untuk mengadakan rapat koordinasi minimal 3 bulan sekali dengan anggaran dari BOK. Selain itu juga mengadakan penyegaran materi desa siaga aktif kepada unsur FKD setiap tahun. . Kata kunci: Desa Siaga , Pelaksanaan, Forum Kesehatan Desa Kepustakaan: 25, 1995 - 2014 82 ABSTRACT Village allertness program development began in 2006,but until 2010 there were only 56.1% being village allertness program.The development of village allertness program in Wonosobo Regency in the last three years has fluctuated.These fluctuations are due to the role of Village Health Forum in Wonosobo regency is not maximized. The purpose of this study was to analyze the role of Village Health Forum in the implementation of village allertness program in Wonosobo Regency. Type of research is qualitative. Key informants consisted of two Village Health Forum chairman and two headmen. Informant triangulation seven people consisting of two midwives, two heads of Integrated Service Post, the two men that hold health promotion programs community health centers, one section head of self-sufficient empowerment Public Health Efforts and health financing Health Department. Data were analyzed using content analysis. The results showed some roles that have not beendoneby theVillage Health Forum with the first village allertness program include reduction of risk factors of health problems, health problems discoveries in Public Health Efforts community initiative, preparation of funding for prevention and control of risk factors of health problems. Role of Village Health Forum at the first strata that have been made include early detection reporting, coordination of health problems.In independent strata all roles Village Health Forum have already been done. Advised to coordinate with the village allertness program guidance for district level coordination meetings held at least once every three months with a budget of Health Operational Assistance. It also held are fresher materials to elements of the village allertness program to Health Forum village severy year. Keywords: Village Allertness Program, Implementation, Village Health Forum Literature: 25, 1995 - 2014 83 Pendahuluan Pengembangan Desa Siaga telah dimulai sejak tahun 2006. Sampai dengan saat ini, tercatat sudah 42.295 Desa dan Kelurahan Siaga Aktif (56,1%) dari 75.410 Desa dan Kelurahan yang ada di Indonesia. Namun demikian, banyak di antaranya yang belum berhasil menciptakan Desa Siaga dan Kelurahan Siaga Aktif. Padahal Desa dan Kelurahan Siaga Aktif merupakan salah satu indikator dalam Standar Pelayanan Minimal.1 Peran FKD/FKK, yaitu: 1) deteksi dini faktor resiko masalah kesehatan,2) melaporkan adanya masalah kesehatan, 3) upaya penanggulangan faktor resiko, 4) penyiapan dana untuk upaya pencegahan dan penanggulangan, 5) penemuan masalah kesehatan di UKBM ( Posyandu, UKS, Poskestren, PKD dll), 6) koordinasi penanganan masalah kesehatan di desa.1, 2 Studi pendahuluan pada peran FKD/FKK yang dilakukan melalui wawancara pada tanggal 13 – 20 Maret 2014 di 10 (sepuluh) FKD/FKK di dapatkan; 7 Kepala Desa/Kelurahan tidak tahu program FKD, 6 FKD belum melakukan deteksi dini faktor resiko masalah kesehatan . 5 FKD belum melaporkan adanya masalah kesehatan. 7 FKD belum melakukan upaya penanggulangan faktor resiko . 8 FKD belum melakukan penyiapan dana untuk upaya pencegahan dan penanggulangan. 8 FKD belum melakukan penemuan masalah kesehatan di UKBM serta 8 FKD belum melakukan koordinasi penanganan masalah kesehatan di desa. Dengan belum optimalnya peran FKD/FKK seperti digambarkan diatas dan melihat besarnya manfaat Desa/Kelurahan Siaga Aktif bagi masyarakat, khususnya bagi perkembangan Desa/Kelurahan Siaga Aktif dan pentingnya peran FKD/FKK dalam pelaksanaan Desa/Kelurahan Siaga Aktif akan sangat mempengaruhi kegiatan Desa/Kelurahan Siaga Aktif yang dilaksanakan setiap bulanya. Berdasarkan fenomena dan fakta-fakta tersebut diatas menjadi landasan peneliti dalam melakukan penelitian untuk mendapatkan informasi yang mendalam tentang bagaimana peran FKD/FKK di Kabupaten Wonosobo tahun 2014. 84 Metode Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui peran Forum Kesehatan Desa dalam Pelaksanaan Desa Siaga Aktif di Kabupaten Wonosobo 2014. 4 Informan utama adalah 2 (dua) orang ketua FKD/FKK dan 2 (dua) orang Kepala Desa/Kelurahan. Informan triangulasi adalah 2 (dua) orang bidan desa, 2 (dua) ketua Posyandu, 2 (dua) orang pemegang program promkes puskesmas, yaitu Puskesmas Wonosobo I dan Kepala Puskesmas Kaliwiro serta Kasie Pengembangan UKBM & Pembiayaan Kesehatan. Data yang diambil dalam penelitian ini adalah data primer melalui wawancara mendalam dan data skunder melalui telaah dokumen. Setelah pengumpulan data selesai di laksanakan maka data diolah menggunakan analisis isi (content analysis), yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan menarik kesimpulan. 5 Hasil Observasi Komponen Desa Siaga Aktif Observasi dilakukan bertujuan untuk mengetahui secara langsung pelaksanaan desa siaga aktif, data yang diperoleh dapat melengkapi dan mendukung hasil wawancara mendalam yang dilakukan pada informan utama dan informan triangulasi berkaitan dengan peran forum kesehatan desa dalam pelaksanaan desa siaga aktif. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Tabel 1: Hasil Observasi Komponen Desa Siaga Aktif Pratama Komponen Ada Tidak SK FKD V Struktur Organisasi V Uraian Tugas V Rencana Kegiatan V SMD V MMD V Rapat koordinasi 2 kali/tahun Pembiayaan Kesehatan V Surveilens V Mandiri Ada Tidak V V V V V V 4 kali/tahun V V 85 10 11 Hasil Gotong Royong PKD V V V V observasi yang dilakukan pada 2 (dua) desa siaga aktif. Keduanya memiliki SK FKD, struktur organisasi, dan uraian tugas. Rencana kegiatan, SMD, dan MMD tidak ada di desa siaga aktif dengan strata pratama, sedangkan pada strata mandiri ada uraian tugas, SMD dan MMD. Rapat koordinasi dilakukan setahun 2 (dua) pada strata pratama sedang pada strata mandiri rapat rutin setiap bulan. Pada desa siaga aktif dengan strata pratama pembiayaan kesehatan kurang koordinasi dengan bidan maupun kepala desa. Sedangkan pada desa siaga aktif dengan strata mandiri, pembiayaan kesehatan sudah terkoordinasi dengan kepala desa dan bidan. Keduanya mengadakan gotong royong dan memiliki PKD . SK FKD, Struktur organisasi dan Uraian tugas Kedua desa siaga sudah memiliki SK FKD, struktur organisasi dan uraian tugas. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kotak 1. Kotak 1 “Cara menerbitkan, kumpulan dengan Masyarakat,tokoh agama, BPD, LPMD, kita bentuk forum kesehatan desa, sudah di SK kan”(UKD2) “Kita kan kerja sama dengan BPD. Kita kerja sama dengan perangkat untuk mengawasinya,,,”(UKD1) Rencana kegiatan, SMD dan MMD Pada desa siaga aktif dengan strata pratama tidak memilki rencana kegiatan, SMD dan MMD. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kotak 2. Kotak 2 “Belum jalan, belum pernah ada pertemuan, baru sekali thok pas sosialisasi tahun 2013 dari puskesmas. Desa diminta untuk SMD dan MMD. Dilatih dari puskesmas dengan cara role play. Sekarang nda jalan, seharusnya dioprak-oprak lagi biar jalan”(TBD1) Pada desa siaga aktif dengan strata mandiri sudah memiliki rencana kegiatan, melaksanakan SMD dan MMD. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kotak 3. Kotak 3 “Kalau rencana sudah, sampai masuk ke RPJMDes, untuk ambulance di masukan, supaya rujukan ibu melahirkan lebih cepat, realisasi ambulance tahun 2015,,,”(UKD2) 86 Rapat Koordinasi Rapat koordinasi sudah dilakukan dari strata pratama 3 (tiga) bulan sekali ditingkat kecamatan sedangkan strata mandiri melakukan rapat koordinasi tiap 3 (tiga ) bulan ditingkat desa. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kotak 4. Kotak 4 “Ada pertemuan rutin 3 bulan sekali, kita manfaatkan untuk membahas di pertemuan itu sendiri, ada sharing”(UKD2) “Biasanya kita ada rapat koordinasi lintas sektoral 3 bulan sekali. Disitu siapa saja boleh melakukan usulan tidak harus desa siaga”(TP1) Upaya Pembiayaan Upaya pembiayaan pada desa siaga dengan strata pratama sudah ada, namun tidak semua anggota FKD mengetahui bahwa dana itu termasuk kategori pembiayaan kesehatan. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kotak 5. Kotak 5 “Saya kan memegang zakat mal kalo ada orang sakit yang kurang biaya saya bantu dari zakat mal”(UFKD1) “,,,belum ada, paling untuk PMT itu saja minim, dana sehat sekarang tidak ada”(TBD1) “dana sehat sekarang tidak ada”(TBD1) Pada strata mandiri sudah ada pembiayaan kesehatan yang diambil dari iuran jimpitan sebesar Rp. 500/bulan digunakan untuk biaya pengobatan di PKD, jumlah kunjungan ke PKD tidak dibatasi, biaya ditanggung dari iuran jimpitan. Bila ada pembiayaan kesehatan diluar PKD, masyarakat mengadakan iuran yang sifatnya insidentil. Pernyataan tersebut daapat dilihat pada kotak 6. Kotak 6 “,,,bagi masyarakat yang tidak mampu kita sediakan dana sosial, dari masyarakat iuran RP.500,perbulan untuk pengobatan di PKD”(UKD2) “Iuran lain, selain yang Rp.500,- kalau ada kegiatan tidak terencana”(UKD2) Bentuk pembiayaan kesehatan yang dapat dikembangkan dimasayarakat, yaitu a) tabulin, 2) arisan jamban, 3) dana psyandu untuk PMT, 4) jimpitan melalui RT/RW, dawis, PKK, 5) dana pengembangan lingkungan sebagai kompensasi industri/dunia usaha.2 87 Surveilens Surveilen pada kedua desa siaga aktif baik pratama maupun mandiri sudah dilakukan pada faktor lingkungan maupun perilaku. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kotak 7. Kotak 7 “Yang jelas anjuran kepala desa untuk masalah kesehatan rumah sehat, jamban, selokan di setiap pertemuan untuk disosialisasikan suruh disalurkan satu titik untuk mencegah nyamuk”(UFKD2) “Sudah, seperti jentik nyamuk, yang melakukan anggota-anggota pamong bersama-sama. Kalau sampah juga sudah”(TKP1) Gotong royong Gotong royong sudah dilakukan oleh kedua desa siaga aktif dengan cara kegiatan rabu bersih, jum’at bersih, donor darah. Pernyataan tersebut dapat lihat pada kotak 8. KOTAK 8 “,,,jum’at bersih, jimpitan beras, donor darah”(UFKD2) “kegiatan disini, tiap 3 bulan ada donor darah,,,”(UKD2) “Kalau ada jentiknya dikasih tau sama orangnya yang punya bak, suruh menguras”(TKP1) Poliklinik Kesehatan Desa (PKD) Kedua desa siaga aktif sudah ada tempat layanan kesehatan dasar berupa PKD. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kotak 9. Kotak 9 “PKD dan perlengakapanya sudah ada,,,”(UKD1) “Sediakan lahan, kedepan ada kekurangan dapur, bila tahun 2015 aturan terwujud kita alokasi kan ke perluasan PKD”(UKD2) Deteksi dini faktor resiko masalah kesehatan Peran FKD dalam deteksi dini faktor resiko masalah kesehatan, 2 (dua) informan utama (ketua FKD dengan strata pratama dan mandiri) mengatakan sudah melaksanakan deteksi dini faktor resiko masalah kesehatan dengan cara penyuluhan, kerja bhakti, pemeriksaan jentik nyamuk, pengelolaan sampah. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kotak 14. Kotak 14 “,,,Kita kan juga ada jumat bersih, dari sini kita bisa mendeteksi”(UFKD2) “Sudah, seperti jentik nyamuk, yang melakukan anggota-anggota pamong bersama-sama. Kalau sampah juga sudah” (TKP1) “Mengenai balita gizi buruk dan DBD, yang lain tidak ada. Kalau ada kasus DBD kita ke desa untuk menyelidiki, lalu kita cari jentik diwilayah itu itu kalo ada laporan dari dinas”(TP1) 88 Melaporkan adanya masalah kesehatan Peran FKD dalam melaporkan adanya masalah kesehatan kedua informan utama (ketua FKD dengan strata pratama dan mandiri) mengatakan sudah melaporkan bila ada masalah kesehatan dengan cara melapor kebidan atau ke kepala desa secara lisan. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kotak 15. Kotak 15 “Kalo tertulis belum, kalo lisan saya ke pak kepala desa, kalo kebidan canggung karena bidan desanya kurang feer” (UFKD1) “Kalo melaporkan sih iya kadang melaporkan contohnya penyakit cacar disekolahan”(TBD1) “Kader langsung ke saya atau ke puskesmas, PKD yang pertama bila saya tidak bisa saya rujuk ke Puskesmas”(TBD2) Upaya menanggulangi faktor resiko masalah kesehatan Peran FKD dalam upaya menanggulangi faktor resiko masalah kesehatan, informan utama (ketua FKD dengan strata pratama) belum melakukan upaya penanggulangan faktor resiko masalah kesehatan, namun yang melakukan langsung bidanya sendiri. Pernyataan bidan didukung oleh pernyataan ketua posyandu yang mengatakan kalau ada jentik pada bak mandi, dikasih tahu pada orangnya, suruh menguras. Pernyataan tersebut dapat dilihat dalam kotak 16. Kotak 16 “,,,kelingkungan belum”(UFKD1) “Langsung bidanya, yang ini turun ke desa”(TBD1) Pada informan utama (ketua FKD dengan strata pratama) sudah melakukan upaya menanggulangi faktor resiko masalah kesehatan, yaitu dengan cara pembuangan air limbah dari rumah warga dibuat satu titik yang akan dibuang ke sungai. Pernyataan tersebut dapat dilihat dalam kotak 17. Kotak 17. “Saluran pembuangan limbah akan dibuat satu titik yang mengalir ke sungai supaya tidak menggenang di lingkungan”(UFKD2) “Iya, kalau penyakit apa, kita melakukan kebersihan”(TKP2) 89 Upaya penyiapan dana Peran FKD dalam upaya penyiapan dana untuk pencegahan dan penanggulangan faktor resiko masalah kesehatan, kedua informan utama (ketua FKD dengan strata pratama dan mandiri) mengatakan sudah melakukan upaya penyiapan dana untuk pencegahan dan penanggulangan faktor resiko masalah kesehatan dengan cara mengambil dari zakat mal, alokasi ADD, iuran jimpitan Rp. 500,-, iuran swadaya yang sifatnya insidentil. Pernyataan tersebut bisa dilihat dalam kotak 18. Kotak 18. “Disini tidak ada dana khusus, kalau ada yang sakit tidak mampu kita bantu dengan dana dari zakat mall”(UFKD1) “Dari ADD karena terbatas akan bertahap”(UFKD2) “Biasanya mengadakan swadaya masyarakat, atau iuran lagi selain yang wajib Rp. 500,- perbulan. Rencana pembuatan bak sampah dari anggaran desa tahun depan”(TKP2) Upaya menemukan masalah kesehatan di UKBM Peran FKD dalam upaya menemukan masalah kesehatan di UKBM, informan utama (ketua FKD dengan strata pratama) mengatakan belum melakukan upaya menemukan masalah kesehatan di UKBM, karena pemahaman yang belum ada tentang peran FKD dalam pelaksanaan desa siaga aktif, namun pernyataan informan utama (Ketua FKD dengan strata pratama) tidak didukung oleh informan triangulasi (ketua posyandu, bidan desa maupun pemegang program promkes) yang mengatakan sudah melakukan penemuan masalah kesehatan di UKBM dengan cara penimbangan dan pengukuran tinggi badan di posyandu. Pernyataan tersebut bisa dilihat dalam kotak 19. Kotak 19 “Belum kita lakukan”(UFKD1) “Kan ada penimbangan, ngukur tinggi badan. Kalo grafiknya nda naik kita catat”(TKP1) “Kader biasanya melakukan saat kegiatan posyandu”(TP1) Pada informan utama (ketua FKD dengan strata mandiri) mengatakan sudah melakukan penemuan masalah kesehatan di UKBM dan didukung oleh pernyataan informan triangulasi ( ketua posyandu, bidan desa, pemegang program puskesmas), dengan cara melakukan posyandu. Pernyataan ini dapat dilihat pada kotak 20. Kotak 20 “Mengetahui di posyandu misal ada balita gizi buruk atau berat badan di bawah garis merah”(TKP2) “Saat ini masalah kesehatan, semua dukuh punya kader. Dari UKS bila ada masalah bisa ke PKD”(TBD2) 90 Koordinasi penanganan masalah kesehatan Peran FKD dalam koordinasi penanganan masalah kesehatan di desa, kedua informan utama (ketua FKD dengan strata pratama dan mandiri) mengatakan sudah melakukan koordinasi penanganan masalah kesehatan dengan bidan, kepala desa, maupun di tingkat kecamatan. Pernyataan ini dapat di lihat dikotak 21. Kotak 21 “Yaitu tadi dengan kepala desa, kalo dibale desa dengan perangkat”(UFKD1) “Ada pertemuan rutin 3 bulan sekali, kita manfaatkan untuk membahas di pertemuan itu sendiri, ada sharing”(UKD2) Faktor yang Mempengaruhi Peran FKD Menurut informan utama (ketua FKD dengan strata pratama) mengatakan faktor yang mempengaruhi peran FKD dalam pelaksanaan desa siaga aktif adalah sumber daya manusianya. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kotak 22. Kotak 22 “Karena termasuk SDM, kalo diberi saran, kalo yang mampu dan pintar tidak perlu saran. Yang kurang mampu tidak mau di beri saran”(UFKD1) Pada informan utama (ketua FKD) lainya mengatakan tidak ada faktor yang mempengaruhi peran FKD dalam pelaksanaan desa siaga aktif. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kotak 28. Kotak 28 “Tidak ada”(UFKD2) Manfaat kegiatan yang dilakukan Manfaat yang didapatkan anggota FKD dalam menjalankan peran dalam pelaksanaan desa siaga aktif, kedua informan utama (ketua FKD) mengatakan ada manfaatnya yaitu tahu lebih awal permasalahan kesehatan yang ada didesanya dan bisa belajar. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kotak 23. Kotak 23 “Kita lebih dulu tahu masalah-masalah yang ada didesa”(UFKD1) “Yang jelas kita bisa belajar, tahu kondisi di desa”(UFKD2) 91 Adanya kesempatan Kesempatan menjadi anggota FKD kedua informan utama (ketua FKD dengan strata pratama dan mandiri) mengatakan bahwa dalam pemilihan bukan karena mendaftar atau mengajukan diri tapi karena diajak ditunjuk oleh masyarakat. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kotak 24. Kotak 24 “Saya diangkat karena pilihan, saya ditunjuk dengan tulisan, saya usul tetapi mereka meminta saya untuk menjadi ketua”(UFKD1) “Kalo dipertemuan saya sering brangkat, karena ketua lama mengundurkan diri, saya dipilih untuk jadi ketua FKD”(UFKD2) Ketrampilan yang di miliki Ketrampilan yang dimiliki menurut informan utama (ketua FKD dengan strata pratama dan mandiri) akan mempengaruhi peran FKD dalam pelaksanaan desa siaga. Ketrampilan yang perlu dimiliki bisa berupa pengetahuan tentang penyakit, dan cara penyuluhan, punya rasa kebersihan. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kotak 25. Kotak 25 “,,,Kalo sering diundang kumpulan, ketrampilan bisa berupa penyuluhan,,,”(UFKD1) “Dibidang kesehatan harus punya seperti apa penyakit, , aktif dalam kegiatan, punya rasa kebersihan”(UFKD2) Rasa memiliki Kedua informan utama (ketua FKD dengan strata pratama dan mandiri) mengatakan ada rasa memiliki terhadap desa siaga aktif, yaitu ada rasa ingin mengembangkan, membesarkan karena itu berguna. Pernyataan tersebut dapat lihat padaa kotak 26. Kotak 26 “Bagus, ingin membesarkan, ingin mengembangkan contoh ingin membeli ambulance desa”(UFKD2) Ketokohan dalam masyarakat Kedua informan utama (ketua FKD dengan strata pratama dan mandiri) mengatakan faktor ketokohan anggota FKD mempengaruhi peran dalam pelaksanaan 92 desa siaga aktif. Seperti bila berbicara akan didengar, dan bisa memotivasi. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kotak 27. Kotak 27 “Jelas, ya misal kalau kalo orang yang ngomong bukan tokoh jelas tidak pengaruh, tapi kalo tokoh ya diperhatikan”(UFKD1) “Tokoh agama, pengaruhnya memotivasi, mendukung FKD dibidang sosial, diharapkan semua masyarakat memiliki”(UFKD2) Pembahasan SK FKD, Struktur organisasi dan Uraian tugas Kedua desa siaga sudah memiliki SK FKD, struktur organisasi dan uraian tugas. Keberadaan forum ini dibuktikan dengan adanya surat keputusan (SK) kepala desa/lurah yang dilengkapi struktur organisasi dan uraian tugas masing-masing anggota.2 Rencana kegiatan, SMD dan MMD Pada desa siaga aktif dengan strata pratama tidak memilki rencana kegiatan, SMD dan MMD. Pada desa siaga aktif dengan strata mandiri sudah memiliki rencana kegiatan, melaksanakan SMD dan MMD. SMD dilaksanakan dalam rangka identifikasi masalah kesehatan maupun potensi yang ada diwilayah desa tersebut. Hasil SMD meliputi masalah kesehatan, faktor resiko masalah kesehatan dan potensi yang ada di wilayahnya. SMD dilaksanakan minimal setahun sekali.2 MMD merupakan tindak lanjut kegiatan SMD yang dilaksanakan dengan tujuan menentukan prioritas masalah, pemecahan masalah dan kesepakatan tindak lanjut dengan memanfaatkan potensi yang ada. Hasil MMD dirumuskan dalam rencana kerja. MMD dilaksanakan minimal setahun sekali.2 Rapat Koordinasi Rapat koordinasi sudah dilakukan dari strata pratama 3 (tiga) bulan sekali ditingkat kecamatan sedangkan strata mandiri melakukan rapat koordinasi tiap 3 93 (tiga ) bulan ditingkat desa. Rapat pengurus FKD diperlukan dalam rangka koordinasi pelaksanaan kegiatan. Rapat ini seharusnya dilakukan secara rutin terjadual. Namun juga bisa dilaksanakan apabila diperlukan misalnya pada saat ada masalah bencana atau kegawatan.2 Upaya Pembiayaan Upaya pembiayaan pada desa siaga dengan strata pratama sudah ada, namun tidak semua anggota FKD mengetahui bahwa dana itu termasuk kategori pembiayaan kesehatan. Pada strata mandiri sudah ada pembiayaan kesehatan yang diambil dari iuran jimpitan sebesar Rp. 500/bulan digunakan untuk biaya pengobatan di PKD, jumlah kunjungan ke PKD tidak dibatasi, biaya ditanggung dari iuran jimpitan. Bila ada pembiayaan kesehatan diluar PKD, masyarakat mengadakan iuran yang sifatnya insidentil. Pembiayaan kesehatan dalam desa siaga aktif selain dengan mengembangkan dana swadaya masyarakat juga diharapkan adanya dukungan pendanaan secara resmi atau tetap yang dianggarkan oleh pemerintah desa melalui ADD/APBDes atau anggaran desa yang ditentukan dalam musrenbagdes. Dukungan pendanaan melalui anggaran desa ini merupakan bentuk komitmen dari pemerintah desa terhadap pengembangan desa siaga aktif sehingga dana ini akan dijamin keberlanjutanya. 2 Bentuk pembiayaan kesehatan yang dapat dikembangkan dimasayarakat, yaitu a) tabulin, 2) arisan jamban, 3) dana psyandu untuk PMT, 4) jimpitan melalui RT/RW, dawis, PKK, 5) dana pengembangan lingkungan sebagai kompensasi industri/dunia usaha.2 Surveilens Surveilen pada kedua desa siaga aktif baik pratama maupun mandiri sudah dilakukan pada faktor lingkungan maupun perilaku. Tujuan pengamatan dan pemantauan oleh masyarakat agar tercipta sistem kewaspadaan dan kesiapsiagaan dini masyarakat terhadap kemungkinan terjadinya penyakit dan masalah kesehatan, 94 bencana, kegawatdaruratan kesehatan yang akan mengancam dan merugikan masyarakat sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan dan penanggulangan. 2 Gotong royong Gotong royong sudah dilakukan oleh kedua desa siaga aktif dengan cara kegiatan rabu bersih, jum’at bersih, donor darah. Bentuk kegiatan gotong royong masyarakat di desa siaga aktif antara lain, 1) jum’at bersih, PSN, gerakan 3M, 2) Ambulance desa, 3) donor darah, 4) pemanfaatan masyarakat pada sarana kesehatan yang ada.2 Poliklinik Kesehatan Desa (PKD) Kedua desa siaga aktif sudah ada tempat layanan kesehatan dasar berupa PKD. PKD merupakan suatu upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat yang dibentuk dari, leh dan untuk masyarakat setempat atas dasar musyawarah desa yang didukung oleh tenaga profesional kesehatan untuk melakukan upaya kesehatan promotif, preventif, dan kuratif sesuai dengan kewenanganya dibawah pembinaan teknis puskesmas.2 Deteksi dini faktor resiko masalah kesehatan Peran FKD dalam deteksi dini faktor resiko masalah kesehatan, 2 (dua) informan utama (ketua FKD dengan strata pratama dan mandiri) mengatakan sudah melaksanakan deteksi dini faktor resiko masalah kesehatan dengan cara penyuluhan, kerja bhakti, pemeriksaan jentik nyamuk, pengelolaan sampah. Melaporkan adanya masalah kesehatan Peran FKD dalam melaporkan adanya masalah kesehatan kedua informan utama (ketua FKD dengan strata pratama dan mandiri) mengatakan sudah melaporkan bila ada masalah kesehatan dengan cara melapor kebidan atau ke kepala desa secara lisan. Upaya menanggulangi faktor resiko masalah kesehatan Peran FKD dalam upaya menanggulangi faktor resiko masalah kesehatan, informan utama (ketua FKD dengan strata pratama) belum melakukan upaya penanggulangan faktor resiko masalah kesehatan, namun yang melakukan langsung 95 bidanya sendiri. Pernyataan bidan didukung oleh pernyataan ketua posyandu yang mengatakan kalau ada jentik pada bak mandi, dikasih tahu pada orangnya, suruh menguras. Pada informan utama (ketua FKD dengan strata pratama) sudah melakukan upaya menanggulangi faktor resiko masalah kesehatan, yaitu dengan cara pembuangan air limbah dari rumah warga dibuat satu titik yang akan dibuang ke sungai. Ketua FKD dengan strata pratama belum memahami peran apa yang seharusnya dilakukan sehingga apa yang dilakukan oleh kader (ketua posyandu) ketua FKD tidak mengetahui. FKD/FKK beranggotakan berbagai unsur dimasyarakat, meliputi: 1) kepala desa dan perangkatnya, 2) Badan Permusyawaratan Desa, 3) TP PKK, 4) lembaga sosial, 5) tokoh agama, tokoh masyarakat, kader, 6) perwakilan kelompok. 2 Upaya yang dilakukan dengan meningkatkan kemandirian masyarakat dalam bidang kesehatan, dengan cara meningkatkan pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat sehingga masyarakat dapat berkontribusi dalam meningkatkan derajat kesehatan.6 Upaya penyiapan dana Peran FKD dalam upaya penyiapan dana untuk pencegahan dan penanggulangan faktor resiko masalah kesehatan, kedua informan utama (ketua FKD dengan strata pratama dan mandiri) mengatakan sudah melakukan upaya penyiapan dana untuk pencegahan dan penanggulangan faktor resiko masalah kesehatan dengan cara mengambil dari zakat mal, alokasi ADD, iuran jimpitan Rp. 500,-, iuran swadaya yang sifatnya insidentil. Upaya menemukan masalah kesehatan di UKBM Peran FKD dalam upaya menemukan masalah kesehatan di UKBM, informan utama (ketua FKD dengan strata pratama) mengatakan belum melakukan upaya menemukan masalah kesehatan di UKBM, karena pemahaman yang belum ada tentang peran FKD dalam pelaksanaan desa siaga aktif, namun pernyataan informan utama (Ketua FKD dengan strata pratama) tidak didukung oleh informan triangulasi (ketua posyandu, bidan desa maupun pemegang program promkes) yang mengatakan 96 sudah melakukan penemuan masalah kesehatan di UKBM dengan cara penimbangan dan pengukuran tinggi badan di posyandu. Pada informan utama (ketua FKD dengan strata mandiri) mengatakan sudah melakukan penemuan masalah kesehatan di UKBM dan didukung oleh pernyataan informan triangulasi ( ketua posyandu, bidan desa, pemegang program puskesmas), dengan cara melakukan posyandu. Koordinasi penanganan masalah kesehatan Peran FKD dalam koordinasi penanganan masalah kesehatan di desa, kedua informan utama (ketua FKD dengan strata pratama dan mandiri) mengatakan sudah melakukan koordinasi penanganan masalah kesehatan dengan bidan, kepala desa, maupun di tingkat kecamatan. Faktor yang Mempengaruhi Peran FKD Menurut informan utama (ketua FKD dengan strata pratama) mengatakan faktor yang mempengaruhi peran FKD dalam pelaksanaan desa siaga aktif adalah sumber daya manusianya. Pada informan utama (ketua FKD) lainya mengatakan tidak ada faktor yang mempengaruhi peran FKD dalam pelaksanaan desa siaga aktif. Manfaat kegiatan yang dilakukan Manfaat yang didapatkan anggota FKD dalam menjalankan peran dalam pelaksanaan desa siaga aktif, kedua informan utama (ketua FKD) mengatakan ada manfaatnya yaitu tahu lebih awal permasalahan kesehatan yang ada didesanya dan bisa belajar. Jika kegiatan yang di lakukan memberi manfaat yang nyata bagi masyarakat maka kesediaan masyarakat untuk berperan serta menjadi besar. 7 Adanya kesempatan Kesempatan menjadi anggota FKD kedua informan utama (ketua FKD dengan strata pratama dan mandiri) mengatakan bahwa dalam pemilihan bukan karena mendaftar atau mengajukan diri tapi karena diajak ditunjuk oleh masyarakat. Kesediaan juga berpengaruh oleh adanya kesempatan atau ajakan untuk berperan 97 serta dan masyarakat melihat memang ada hal-hal yang berguna dalam kegiatan yang akan datang.7 Ketrampilan yang di miliki Ketrampilan yang dimiliki menurut informan utama (ketua FKD dengan strata pratama dan mandiri) akan mempengaruhi peran FKD dalam pelaksanaan desa siaga. Ketrampilan yang perlu dimiliki bisa berupa pengetahuan tentang penyakit, dan cara penyuluhan, punya rasa kebersihan. Contoh kegiatan pemberdayaan masyarakat diantaranya segala bentuk komunikasi, informasi dan edukasi. Jika kegiatakan yang dilakukan membutuhkan ketrampilan tertentu dan orang yang mempunyai ketrampilan sesuai dengan ketrampilan tersebut, maka orang tertarik untuk berperan serta.7 Rasa memiliki Kedua informan utama (ketua FKD dengan strata pratama dan mandiri) mengatakan ada rasa memiliki terhadap desa siaga aktif, yaitu ada rasa ingin mengembangkan, membesarkan karena itu berguna. Rasa memiliki sesuatu akan tumbuh jika sejak awal kegiatan masyarakat sudah diikutsertakan, jika rasa memiliki ini bisa tumbuhkan dengan baik, maka peran serta akan dapat dilestarikan. 7 Ketokohan dalam masyarakat kedua informan utama (ketua FKD dengan strata pratama dan mandiri) mengatakan faktor ketokohan anggota FKD mempengaruhi peran dalam pelaksanaan desa siaga aktif. Seperti bila berbicara akan didengar, dan bisa memotivasi. Jika dalam kegiatan yang di selenggarakan masyarakat melihat ada tokoh-tokoh masyarakat atau pemimpin kader yang disegani ikut serta, maka mereka akan tertarik pula berperan serta.7 Simpulan Pemahaman ketua KD tentang peran dan koordinasi dalam tingkat desa, akan menentukan keaktifan desa siaga 98 DAFTAR PUSTAKA Departemen Kesehatan RI. Pedoman Umum Pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif. Jakarta. 2010. Dinas Kesehatan Jawa Tengah. Pedoman Penentuan Strata Desa/Kelurahan Siaga Aktif Provinsi Jawa Tengah. Semarang. 2011. Dinas Kesehatan Wonosobo. Draf Rencana Strategis Dinas Kesehatan Wonosobo Tahun 2010 - 2015. Wonosobo. 2010. Bungin, Burhan (Ed). Metodologi Penelitian Kualitatif. Cetakan ke-8. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2011. Anselm, Strauss & Juliet, C. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, Cetakan ke-3. Pustaka Pelajar Offset. Yogyakarta. 2009 Dinas Kesehatan Jawa Tengah. Standarisasi Proses Pemberdayaan Masyarakat Provinsi Jawa Tengah. Semarang 2011 Fallen, R & Budi Dwi K,R. Catatan Kuliah Keperawatan Komunitas. Nuha Medika. Yogyakarta. 2010.