BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Profil Pantai Kuta Kawasan Kuta terletak di tepi pantai yang terkenal dengan nama Pantai Kuta, merupakan salah satu kawasan di barat daya Pulau Bali yang namanya cukup dikenal oleh wisatawan di seluruh dunia khususnya bagi wisatawan manca negara. Kuta sudah dikenal sebagai daerah wisata semenjak pariwisata mulai berkembang di Bali. Kuta yang dulunya adalah desa nelayan mengalami perkembangan yang sangat pesat sejak wisatawan tertarik akan keindahan Pantai Kuta yang berpasir putih, berombak, dan memiliki pemandangan matahari terbenam yang indah, (Gambar 4.1). Sejak saat itu sedikit demi sedikit Kuta membuka diri sebagai kawasan wisata. Gambar 4.1 Kawasan Kuta (di tepi pantai) dengan suasana matahari terbenam Dokumen: Lasmini (Tahun 2012) 40 41 Perkembangan kawasan Kuta sebagai kawasan wisata dijabarkan sebagai berikut: 1. Pada tahun 1960, kawasan ini merupakan tempat persinggahan bagi wisman yang akan melaksanakan perjalanan ke Eropa. 2. Pada tahun 1970, kawasan ini berkembang sebagai koloni hippies, yaitu wisatawan backpackers yang datang dari seluruh belahan dunia dengan membawa gaya hidup bebas. 3. Pada tahun 1980, kawasan ini berkembang menjadi kawasan khusus untuk wisatawan Australia yang berselancar serta sarana akomodasi dari hotel berbintang sampai dengan hotel melati mulai berkembang di kawasan ini. 4. Pada tahun 1990, kawasan ini mengalami booming wisatawan dilihat berdasarkan jumlah ribuan kamar yang selalu penuh dan penduduk mulai mengubah bagian depan rumahnya menjadi art shop yang menjual bikini dan baju berlengan buntung dengan harga murah. 5. Pada tahun 2000, kawasan ini mengalami musibah pengeboman di Sari Club dan Paddy’s yang dilakukan oleh kelompok Amrozi pada 12 Oktober 2002 yang mengakibatkan kurang lebih 200 orang meninggal dunia. Kemudian, pada 1 Oktober 2005 kembali terjadi pengeboman kedua kafe di Jimbaran, yakni kafe Nyoman dan kafe Menega. Dalam perkembangannya, Pantai Kuta semakin menarik kunjungan berbagai karakteristik wisatawan dari berbagai belahan dunia (www.id.wikipedia.org/Caucasian) dijabarkan, sebagai berikut . 1. Wisatawan yang berkunjung ke Pantai Kuta merupakan wisatawan ras caucasion yang berasal dari Eropa, Amerika, dan Australia. 42 2. Wisatawan yang berkunjung dengan tujuan melakukan kegiatan olahraga di antaranya berselancar, berjemur, dan berenang. 3. Wisatawan berkunjung sebagian besar menggunakan kendaraan beroda dua dan kendaraan beroda empat yang berasal dari tempat penyewaan. 4. Wisatawan yang berkunjung bersama teman atau keluarga sebanyak dua sampai empat orang. 5. Lama tinggal wisatawan di kawasan Kuta ± 7 hari. Sebagai salah satu kawasan wisata favorit berdasarkan karakteristik wisatawan di atas, Kuta menyediakan berbagai pilihan jenis akomodasi hotel, cottage, inn, bungalow, dan sebagainya yang tersebar di sepanjang pantai, pusatpusat perbelanjaan, di kawasan hiburan malam, seperti pub, bar, diskotek sampai dengan di pelosok gang di area permukiman penduduk lokal. Selain menyediakan berbagai jenis akomodasi, Kuta juga menyediakan berbagai sarana pendukung untuk wisatawan, yang dibangun di area ini mulai dari pusat hiburan, pusat perbelanjaan, pasar seni lokal, tempat penyewaan kendaraan, toko-toko cendera mata, dan sebagainya. Kuta merupakan salah satu kawasan di barat daya Pulau Bali yang namanya cukup dikenal oleh wisatawan di seluruh dunia khususnya bagi wisatawan. Kuta sudah dikenal sebagai daerah wisata semenjak pariwisata mulai berkembang di Bali. Kuta yang dulunya adalah desa nelayan mengalami perkembangan yang sangat pesat sejak wisatawan tertarik akan keindahan Pantai Kuta yang berpasir putih, dengan deburan ombak yang sangat memukau, dan memiliki pemandangan matahari terbenam yang sangat indah. 43 4.1.1 Lokasi dan Geografis Pantai Kuta letaknya sangat strategis, sebagai salah satu kawasan di barat daya Pulau Bali yang namanya cukup dikenal oleh wisatawan di seluruh dunia khususnya bagi wisatawan Australia. Kuta sudah dikenal sebagai daerah wisata semenjak pariwisata mulai berkembang di Bali (Gambar 4.4). Kuta yang dulunya adalah desa nelayan mengalami perkembangan yang sangat pesat sejak wisatawan tertarik akan keindahan Pantai Kuta yang berpasir putih, berombak, dan memiliki pemandangan matahari terbenam yang indah. Sejak saat itu sedikit demi sedikit Kuta membuka diri sebagai kawasan wisata. Di samping itu, membangun berbagai sarana pariwisata sebagai penunjang pelayanan bagi wisatawan yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pantai Kuta terletak di sebelah barat Pulau Bali tepatnya di Kecamatan Kuta, Kelurahan Kuta dengan batas-batas administrasi dan batas alam, yaitu sebelah utara Desa Adat Legian, sebelah barat Samudra Hindia sebelah selatan: Desa Adat Tuban sebelah timur Desa Adat Pemongan, sedangkan batas alam, sebelah utara Pantai Legian, sebelah barat: Samudra Hindia, sebelah selatan, Pantai Tuban, sebelah timur, jalan raya dan permukiman penduduk. 4.1.2 Kondisi Fisik Alamiah Letak pantai ini berada di daerah tropis sehingga temperatur rata-rata tahunan kawasan ini ± 30 ˚C dengan temperatur maksimal ± 33 ˚C dan temperatur minimum ± 29 ˚C. Karena atraksi wisata yang satu ini berupa pantai, maka jenis material tanah yang ada merupakan tanah berpasir. 44 4.1.3 Aksesibilitas Pantai Kuta berada ± 10 km dari Kota Denpasar dan berjarak ± 2 km dari Bandar Udara Ngurah Rai. Untuk dapat sampai ke Pantai Kuta dapat melalui darat beraspal dengan lebar ± 6 meter. Jalan utama menuju pantai menjadi satu dengan jalan raya Hal tersebut yang menyebabkan areal parkir disediakan dengan cara berjajar di sepanjang pantai. Selain melalui darat dapat juga melalui jalur laut, yaitu dengan menggunakan perahu tradisional/jukung. Pantai Kuta sebagai pusat pengembangan kawasan pariwisata didukung dengan aksesibilitas fisik, yaitu Bandara Ngurah Rai sebagai akses utama wisatawan untuk melakukan kegiatan wisata ke Pantai Kuta dan daerah tujuan wisata lain di Pulau Bali. Untuk menuju Pantai Kuta akses fisik kendaraan yang dapat digunakan, yaitu kendaraan beroda dua dan kendaraan beroda empat dengan jarak tempuh sepuluh menit dari Bandara Ngurah Rai. Aksesibilitas nonfisik Pantai Kuta berupa akses informasi mengenai objek dan daya tarik, sarana prasarana, dan keterangan-keterangan kawasan ini yang dapat diperoleh di berbagai tempat, antara lain Kantor Kelurahan Kuta atau Kecamatan Kuta, Dinas Pariwisata Kabupaten Badung, Tourism Information Centre (TIC). Di samping itu, juga informasi melalui internet yang dapat diakses pada situs-situs perorangan yang dapat dicari dengan menggunakan mesin pencari (search engine) seperti google dan yahoo. 45 4.1.4 Kondisi Prasarana Penunjang Dalam pengembangan pariwisata perlu ditingkatkan langkah-langkah yang terarah dan terpadu perencanaan pengembangan fisik. Agar suatu objek wisata dapat dijadikan sebagai salah satu objek wisata yang menarik, maka faktor yang sangat menunjang adalah kelengkapan sarana dan prasarana objek wisata tersebut. Hal itu penting karena sarana dan prasarana juga sangat diperlukan untuk mendukung pengembangan objek wisata. Oka Yoeti (1985:72) mengatakan bahwa “prasarana kepariwisataan adalah semua fasilitas yang memungkinkan sarana kepariwisataan dapat hidup dan berkembang sehingga dapat memberikan pelayanan untuk memuaskan kebutuhan wisatawan yang beraneka ragam”. Prasarana tersebut, antara lain sebagai berikut. 1. Perhubungan meliputi jalan raya, terminal, pelabuhan udara dan laut. 2. Instalasi pembangkit listrik dan instalasi air bersih tingkat kualitas yang standar international. Kalau mungkin, jenis tenaga energi harus cocok dengan jenis yang dipakai di pasar yang ditargetkan dalam daerah tempat tujuan 3. Sistem telekomunikasi, baik telepon, radio, televise maupun kantor pos. 4. Pelayanan keamanan, baik pos satpam penjaga objek wisata maupun pos-pos polisi untuk menjaga keamanan di sekitar objek wisata. 5. Pelayanan wisatawan, itu berupa informasi maupun kantor pemandu wisata. 6. Pelayanan kesehatan, baik puskesmas maupun rumah sakit. Jenis jasajasa kesehatan yang tersedia akan tergantung pada jumlah tamu yang 46 diharapkan, umurnya, jenis kegiatan yang dilakukan/dilaksanakan, dan faktor-faktor geografis lokal. Misalnya, suatu daerah khusus untuk olahraga main ski cenderung menyediakan jasa-jasa kesehatan yang berspesialisasi pada tulang yang retak. 4.1.5 Kondisi Sarana Wisata Sarana wisata yang ada di Pantai Kuta ini adalah seperti di bawah ini. 1. Kios makanan Kios-kios yang terdapat di atraksi ini kebanyakan menjual berbagai jenis makanan ringan, seperti makanan-makanan tradisional, kelapa muda, mi, minuman dingin, dan berbagai jenis lainnya yang tersebar di sepanjang tembok badan pantai. 2. Tempat parkir Area parkir di Pantai Kuta kurang strategis karena langsung berada di pinggir jalan sepanjang pantai sehingga daya tampungnya juga tidak sesuai dengan kondisi jalan dan cukup mengganggu arus lalu lintas terutama bila jalan padat kendaraan. 3. Pintu masuk Pintu masuk di pantai ini berbentuk gapura besar sebanyak dua buah dan gapura kecil sebanyak tiga puluh buah yang tersebar di depan parkiran dan jalan masuk menuju panta (Gambar 4.2). 47 Gambar 4.2 Pintu masuk di Pantai Kuta yang menarik wisatawan Dokumen : Lasmini (Tahun 2012) 4. Pusat Informasi (Information Center) Terdapat satu buah yang berlokasi di dekat balawisata. Berfungsi untuk pusat informasi selama berada di kawasan Pantai Kuta. 5. Fasilitas penyewaan Tempat penyewaan di Pantai Kuta dikelola oleh perorangan (pribadi) dengan membayar iuran bagi penduduk asli Rp.15.000,00/bulan, sedangkan pendatang dikenakan biaya sebesar Rp.50.000,00/bulan, di mana iuran wajib tersebut digunakan untuk pengelolaan Pantai Kuta. Adapun fasilitas-fasilitas yang disewakan adalah shelter, papan surfing, dan handuk. Biayanya bervariasi mulai dari Rp.20.000,00 sampai dengan Rp.50.000,00.. 48 6. Pos Keamanan Pos keamanan di atraksi ini hanya satu buah, tetapi terdapat beberapa pihak keamanan (Polisi Pantai) yang bertugas memantau keliling setiap aktivitas di pantai (Gambar 4.3). Gambar 4.3 Pos Keamanan Pantai Kuta Dokumen : Lasmini (Tahun 2012) 7. Tempat Sampah Untuk tempat sampah terdapat lima puluh buah yang lokasinya tersebar di sekitar atraksi. Pengelolaan sampah dilakukan cukup baik oleh tiap-tiap pemilik usaha di sekitar daerah operasionalnya di bawah pengawasan pengelola atraksi di mana dalam beberapa jam akan diumumkan kepada para pedagang untuk melakukan pembersihan. Di samping itu, juga dilakukan rapat antara pengelola dan para pedagang sekali dalam seminggu, yaitu pada Kamis untuk membahas berbagai hal yang berhubungan dengan operasional di 49 atraksi. Peranan pemerintah daerah dalam pengelolaan Pantai Kuta, contoh pemberdayaan pekerja pembersih sampah organik seperti rumput laut dan lain-lain dan sampah nonorganik di kawasan Kuta. 8. Toilet Toilet dan tempat bilas terdapat tigs buah yang tersebar di sekitar atraksi di mana harganya bervariasi dari Rp1.000,00 hingga Rp.3.000,00/orang di mana dana tersebut digunakan untuk biaya operasional toilet. 9. Di isekitar pantai juga terdapat banyak fasilitas dan produk wisata, seperti akomodasi dalam berbagai klasifikasi dan jenis seperti Inna Kuta Beach Hotel dan Hard Rock Hotel. Selain itu, terdapat juga restoran dengan spesialisasi makanan yang beranekaragam, terdapat juga pub dan diskotek yang tidak jauh dari area pantai, kemudian tempat spa & refleksi, perjalanan wisata serta berbagai jenis fasilitas lainnya. Banyaknya fasilitas dan aktivitas di sekitar atraksi membuat atraksi ini selalu terlihat ramai dikunjungi. Terlihat juga berbagai jenis kegiatan bisnis yang dilakukan oleh pihak-pihak yang membuka usaha di sekitar atraksi tersebut. 10. Pasar Seni Kuta terletak di kawasan Kuta yang sangat mudah dicapai dengan menggunakan berbagai jenis transportasi, baik umum maupun pribadi. Kendaraan umum dapat digunakan dan paling mudah untuk didapatkan adalah kendaraan umum jenis taksi karena kawasan Kuta merupakan rute yang paling sering dilalui oleh jenis kendaraan tersebut. Bila dilihat dari kondisi jalan raya berkisar ±5 -- 6 meter dengan kondisi jalan dua arah yang cukup padat oleh kendaraan sehingga sering menimbulkan kemacetan lalu lintas. Sebaliknya, 50 bila dilihat dari kualitas jalan, maka dapat dikatakan baik dengan kelas jalan kabupaten. Gambar 4.4 Peta Pantai Kuta Sumber : Selayang Pandang ( Tahun 2010) Letak Pasar Seni Kuta di kawasan Kuta yang sering dilalui oleh wisatawan mengenai keberadaan Pasar Seni Kuta. Hal ini juga didukung dengan papan nama lokasi sepanjang 3 x 2 meter yang dipajang di bagian depan pasar, berada langsung di pinggir jalan umum sehingga mudah dilihat oleh wisatawan. 51 Masyarakat di Desa Adat Kuta pada umumnya berprofesi baik sebagai pedagang yang berjualan berbagai jenis produk dan karya seni di sepanjang jalan di kawasan Kuta maupun sebagai pekerja pada tempat-tempat penyedia jasa pariwisata, seperti hotel, restoran, bar, objek dan daya tarik wisata, seperti watterbom, pantai Kuta, dan lainnya. 4.1.6 Kondisi Atraksi Wisata Kondisi atraksi wisata di Pantai Kuta dapat dikatakan baik dengan tingkat kebersihan yang baik. Dalam hal menjaga kebersihan wilayah pantai, para pedagang bekerja sama dengan Dinas Kebersihan Kabupaten Badung turut melestarikan lingkungan sekitar. Salah satu cara yang mendukung kebersihan ini, yaitu dengan menyediakan banyak tempat sampah sehingga wisatawan dapat membuang sampah pada tempatnya. Lain dengan halnya pencemaran udara, hal ini diakibatkan oleh asap kendaraan yang berlalu lalang di sepanjang jalan atraksi. Bentang alam Pantai Kuta juga baik walaupun visability/jarak pandang sedikit terhalang oleh pepohonan di sekitarnya. Di Pantai Kuta, tingkat kebisingan sangat tinggi. Hal tersebut disebabkan oleh banyaknya kendaraan yang berlalu lalang di sepanjang pantai. Selain itu, juga disebabkan oleh pengunjung yang datang. Untuk rambu iklan banyak dipasang di sekitar pantai berupa stiker, spanduk, poster, sedangkan untuk vandalisme banyak terdapat di pintu masuk dan di dekat menara BMG. 52 4.1.7 Aktivitas Wisata Aktivitas wisata merupakan bagian dari daya tarik meliputi sesuatu yang dapat dilihat, sesuatu yang dapat dibeli dan sesuatu yang dapat dilakukan di kawasan ini dijabarkan sebagai berikut. 1. Kegiatan olahraga air, seperti bermain selancar/surfing, 2. Berenang/swimming. 3. Berjemur/sunbathing melihat matahari terbenam/ sunset. 4. Menikmati, mengambil gambar/photography, mengabadikan pemandangan alam yang terdiri atas: pantai berpasir putih, deburan ombak yang sangat memukau. 5. Berjalan-jalan di sekitar area pantai/sightseeing, berbelanja cendera mata serta benda-benda kesenian khas Bali seperti lukisan, patung, dan pernak-pernik, 6. Pijat tradisional/massage dan layanan kuncir rambut, 7. Pemberian aksesoris pada kuku dengan menambah warna dan desain menarik/nail art. 8. Membuat semacam gambar untuk menghiasi tubuh dalam bentuk lukisan atau gambaran yang menggunakan alat-alat khusus dalam proses pembuatan/body painting/tattoo. 9. Olahraga pantai semacam bola voli di pinggir pantai. 53 Kegiatan atraksi wisata di atas merupakan kegiatan dominan yang dilakukan wisatawan dari usia remaja, usia produktif, dan usia lanjut di Pantai Kuta, tetapi lebih didominasi oleh wisatawan usia produktif, (Gambar 4.5). Gambar 4.5 Aktivitas Surfing di Pantai Kuta Dokumen : Lasmini (Tahun 2012) Aktivitas surfing di Pantai Kuta (Gambar 4.5) adalah kegiatan atraksi wisata yang merupakan kegiatan yang dilakukan wisatawan sebagai hobi selama berlibur di Bali. Kegiatan atraksi surfing ini biasa dilakukan wisatawan dari usia remaja, usia produktif, dan usia lanjut yang masih dapat beraktivitas surfing. 54 Surfing banyak dinikmati, baik oleh wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara. 4.1.8 Aspek Sosial Ekonomi Daya tarik wisata dan kegiatan atraksi wisata Pantai Kuta didukung dengan latar belakang kebudayaan masyarakat desa adat Pantai Kuta sebagai masyarakat kebudayaan Hindu Bali berorientasi pada pencerminan tri hita karana berstatus karma adat yang mewajibkan masyarakatnya untuk melakukan upacara adat, pemeliaharaan pura, dan fasilitas agama atau adat. Di kawasan ini, masyarakatnya tidak hanya berasal dari masyarakat adat setempat, tetapi berasal dari luar adat di antaranya masyarakat kristiani, masyarakat muslim, masyarakat budhis, dan masyarakat aliran atau agama lain yang hidup berdampingan dan memiliki toleransi yang cukup tinggi. Selain pemenuhan kebutuhan kehidupan beragama yang harmonis, maka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan mendorong kegiatan perekonomian, di Pantai Kuta terdapat beberapa kelompok atau jenis pekerjaan yang bersifat profit oriented, di antaranya pedagang kaki lima, pedagang acung, dan pedagang pasar seni. Bila dilihat dari kondisi ekonomi, maka sebagian besar masyarakat di sekitar kawasan ini bekerja sebagai wiraswasta atau penyedia usaha jasa pariwisata, pegawai swasta, dan buruh pada berbagai penyedia usaha jasa yang beroperasi di sekitar kawasan ini. 55 4.1.9 Kondisi Fisik Wilayah Kondisi fisik wilayah ini merupakan deskripsi ringkas kondisi topografi, klimatologi, dan pemanfaatan lahan Pantai Kuta dijabarkan sebagai berikut. 1. Topografi Pantai Kuta merupakan daerah pantai yang termasuk dataran rendah dengan ketinggian rata-rata di bawah 100 meter dari permukaan laut, dengan kemiringan rata-rata 0--3%, yang akan memengaruhi kondisi iklim dan curah hujan. 2. Klimatologi Berdasarkan Peta Isohyet Pulau Bali, Pantai Kuta memiliki curah hujan yang lebih rendah dibandingkan dengan bagian utara dan selatan kawasan Kuta, yaitu berkisar 1.760 mm. 3. Pemanfaatan Lahan Kondisi fisik Pantai Kuta yang merupakan dataran rendah dapat dimanfaatkan dan digunakan, antara lain untuk permukiman penduduk, tempat ibadah (pura), sarana publik, sarana perdagangan, dan sarana pariwisata. Kondisi fisik alamiah Pantai Kuta mendukung kawasan ini untuk mengalami tingkat perkembangan yang pesat sebagai salah satu kawasan yang memiliki perkembangan paling tinggi di antara kawasan Kuta yang terdiri atas Kuta, Legian dan Seminyak sehingga tidak berlebihan bila kawasan ini disebut sebagai pusat pengembangan kawasan pariwisata. 56 4.2 Profil Hotel Bakung Sari Kuta Hotel Bakung Sari Kuta memilki profil yang begitu unik. Keunikannya dari hotel Bakung Sari Kuta ini yang dulunya bernama Bakung Sari Cottages sesuai dengan profil bangunan hotel tersebut. Adapun perubahan profil bangunan yang dulunya berupa cottages telah dipugar dan bangunannya diubah menjadi bentuk kamar hotel. Hotel Bakung Sari Kuta memiliki pantai yang sangat fantastis dengan deburan ombak yang sangat memukau, pasir yang nyaman, serta pemandangan matahari terbenam yang indah. Namun, pantai hotel Bakung Sari tidak menjadi satu dengan lokasi hotel, untuk menikmati suasana pantai Hotel Bakung Sari telah menyiapkan sarana transportasi bagi tamu yang ingin ke pantai sehingga tamu tetap merasa nyaman dalam menikmati liburannya (Gambar 4.6). 57 LOGO HOTEL BAKUNG SARI KUTA Gambar 4.6 Profil Hotel Bakung Sari Dokumen : Lasmini (Tahun 2012) Fasilitas – Fasilitas yang dimiliki Hotel Bakung Sari Kuta Hotel Bakung Sari Kuta merupakan salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang pelayanan jasa perhotelan, yakni dengan memberikan jasa penginapan dan fasilitas lainnya kepada wisatawan yang datang ke Hotel Bakung 58 Sari Kuta. Adapun perincian fasilitas-fasilitas yang ada di hotel Bakung Sari Kuta secara lengkap sebagai berikut: 1. Fasilitas Kamar Jumlah kamar yang dimiliki hotel Bakung Sari Kuta hingga saat ini seratus satu kamar dengan berbagai fasilitas tergantung dari room type (tipe kamar) meliputi seperti di bawah ini. a. Superior Room Terdapat 68 kamar dengan fasilitas AC, air panas dan dingin, televisi dengan siaran satelit, refrigerator, IDD Telephone, mini bar, bath tub & shower. b. Standar Room Terdapat 33 kamar dengan fasilitas AC, air panas dan dingin, televisi dengan siaran satelit, IDD Telephone, bath tub & shower. 2. Fasiltas makan dan minum meliputi restoran dan bar sebagai berikut. a. Laksmi Restaurant, jam buka breakfast (07.00 A.M. – 11.00 A.M.), lunch (12.00 A.M. – 03.00 P.M.), snacks (03.00 P.M. – 06.00 P.M.), dinner (06.00 P.M. – 10.00 P.M.) dengan kapasitas tempat duduk 50 table. b. Sari Coffee Shop, jam buka 03.00 P.M. – 08.00 P.M. dengan kapasitas 25 table. c. The Poolside Bar, jam buka dari 11.00 A.M. – 10.00 P.M. dengan kapasitas 10 table. 3. Fasilitas pelayanan yang lain: a. foreign currency exchange 59 b. bconvention center c. safety box d. laundry e. day tours and excursion f. pool 4.2.1 Sejarah Hotel Bakung Sari Kuta Hotel Bakung Sari Kuta merupakan salah satu usaha yang bergerak di bidang jasa perhotelan di daerah Bali. Hotel Bakung Sari Kuta dulunya bernama Bakung Sari Cottages, yang didirikan pada 1 Juli 1984. Adapun perubahan nama dari cottages menjadi hotel ini dilandasi oleh perubahan jenis bangunan yang dimiliki. Pada saat masih berbentuk cottages, jumlah kamar yang tersedia adalah sebanyak 70 kamar, kemudian dilaksanakan renovasi secara bertahap sejak Januari 2000 dan pada akhirnya selesai pada 1 Januari 2002, terdiri atas 101 kamar. Bentuk bangunan yang dulunya berupa cottages telah dipugar dan bangunannya di rubah menjadi bentuk kamar hotel. Hotel Bakung Sari Kuta merupakan salah satu hotel di Kuta dengan klasifikasi nonbintang (Melati 3), terletak di atas lahan seluas 0,42 hektare. dan berlokasi di Jalan Singosari, Banjar Tegal Kuta, Bali 80361, telp. (62-361) 751868, fax (62-361) 752704. Adapun pengelolaannya dilakukan dengan sistem manajemen di bawah pengawasan Bapak Drs. Made Suwedja selaku pemilik sekaligus Managing Director. 60 Pendirian hotel Bakung Sari Kuta ini dimaksudkan untuk memberikan pelayanan khususnya di bidang jasa akomodasi sesuai dengan anjuran pemerintah pada saat itu, yaitu untuk meningkatkan pendapatan melalui devisa negara, di mana pada saat didirikan hotel tersebut jumlah kamar hotel yang ada di Bali khususnya Kuta sangatlah sedikit jika dibandingkan dengan jumlah tamu yang berkunjung ke daerah Kuta. Adapun letak geografis hotel Bakung Sari Kuta adalah: Sebelah utara (belakang hotel) adalah Jalan Singosari Sebelah timur adalah Gang Kresek Sebelah selatan adalah jalan Banjar Anyar Sebelah barat adalah Bale Banjar Teba Sari Di samping menjual kamar sebagai tempat menginap, sebagaimana hotel- hotel lain, hotel Bakung Sari Kuta juga menjual makanan dan minuman juga servis lain, seperti telepon, laundry, tour, dan lain-lain. Hotel Bakung Sari memiliki pantai yang sangat indah dengan deburan ombak yang memukau, pasir yang putih serta pemandangan matahari terbenam yang sangat indah, tetapi pantai hotel Bakung Sari terletak tidak menjadi satu dengan lokasi hotel. Hal ini tidak menjadi hambatan bagi para tamu untuk menikmati suasana pantai yang indah dan memesona. Hotel Bakung Sari telah menyiapkan sarana transportasi bagi tamu yang ingin ke pantai sehingga tamu tetap merasa nyaman dalam menikmati liburannya. 61 Gambar 4.7 Kuta Map Sumber : Selayang Pandang (Tahun 2010) Kuta Map, (Gambar 4.7) adalah petunjuk tata letak lokasi Kuta dan mempermudah wisatawan untuk mencari objek daerah wisata yang menarik. Kuta Map juga menunjukkan letak dari lokasi hotel Bakung Sari Kuta, yang menjadi objek pariwisata yang menarik. BAB V BENTUK REPRODUKSI CITRA HOTEL BAKUNG SARI 5.1 Bentuk Reproduksi Citra dalam Penampilan Kekhasan Fakta multikultural sebagai momen pencitraan dipandang oleh Rogers (dalam Ritzer, 2004: 324) berada pada keserasian penuh dengan postmodern terutama dalam penolakannya atas esensialisme. Pada sisi lain, kaum multikulturalis menerima perlawanan postmodern terhadap narasi-narasi besar. Citra (Image) merupakan strategi utama di dalam sistem produksi dan konsumen postmodern, yang di dalamnya konsep, gagasan, tema, atau ide-ide dikemas dan ditanamkan pada objek konsumsi untuk dijadikan sebagai memori publik, dalam rangka mengendalikan diri mereka. Reproduksi citra hotel sebagai tanda kelengkapan dari berbagai lambang yang mencakup tataran aksara, gambar lambang, dan berbagai jenis bentuk citra di dalam hotel. Cassier membedakan antara tanda (sign) dan symbol. Tanda adalah bagian “dunia fisik” yang berfungsi sebagai operator yang memiliki substansial. Sementara simbol adalah bagian dari dunia makna manusia yang berfungsi sebagai designator. Simbol tidak memiliki kenyataan fisik atau substansial, tetapi hanya memiliki nilai fungsional (Triguna, 2000:8) Hal ini terlihat dari bentuk bangunan hotel Bakung Sari. Reproduksi citra hotel yang semula hanya tampil dengan bangunan fisik biasa direproduksi kembali dengan menampilkan gaya khas Bali. Misalnya, stile bangunan: semi modern dan tradisional, kekuatan memakai beton bertulang, lantai bertingkat 62 63 untuk memperbanyak ruang, gaya tradisional menambah nuansa kedaerahan, adanya gapura pada pintu masuk menuju hotel, adanya penggunaan patung-patung dewa dan dewi simbol Hindu. Pilliang menjelaskan bahwa ketika tanda-tanda menjadi satu tidak terpisahkan dengan kehidupan spiritual, maka hal itu akan bermanfaat, memiliki nilai lebih dan menjadi simbolis (Titib, 2003: 63). Tanda menurut Peircean dapat dibedakan berdasarkan objek sebagai faktor penentunya yaitu (1) ikon, hubungan tanda dan objek karena serupa, (2) indeks, hubungan tanda dan objek sebab akibat (3) simbol, hubungan tanda dan objek karena kesepakatan (Ratna, 2004: 101). Dengan demikian reproduksi citra hotel sesuai dengan rencana penelitian ini diintegrasikan dari konsep reproduksi dan konsep citra. Konsep Reproduksi dalam disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora digunakan secara beragam oleh para ahli sesuai dengan konteks disiplin keilmuan yang digeluti. Irwan Abdullah memfokuskan reproduksi dalam kaitannya dengan kebudayaan, sementara Pierre Bourdieu menggunakannya dalam mengkaji reproduksi sosialbudaya. Jean Baudrillard pada bagian lain menggunakannya dalam mengkaji reproduksi sosial. Reproduksi sebagai penegasan kembali identitas secara genealogis sesuai dengan rencana penelitian ini merupakan sebuah perjuangan penguatan kembali citra terutama di kalangan hotel sebagai daya tarik pariwisata. Citra menjadi bidang perhatian cultural studies selama era 1990-an sebagaimana dituturkan oleh Piliang (2004: 12) bahwa citra bukan sesuatu yang eksis, citra tidak memiliki kandungan universal atau esensial. Citra merupakan 64 konstruksi diskursif, produk diskursus yang terarah. Citra dibangun, diciptakan dibandingkan dengan ditemukan oleh representasi. Bertolak dari pemaparan Piliang tersebut citra merupakan strategi utama di dalam sistem produksi dan konsumsi postmodern, yang di dalamnya konsep, gagasan, tema, atau ide-ide dikemas dan ditanamkan pada objek konsumsi untuk dijadikan sebagai memori publik dalam rangka mengendalikan diri mereka. Lebih lanjut Piliang (2004:12) mengungkapkan bahwa ada peluang untuk memandang citra hotel dan bangunan sosial sebagai artikulasi unik yang spesifik secara historis dari sejumlah unsur menjadi esensial, misalnya terjadinya profanisasi simbol-simbol agama, arsitektur rumah/bangunan, makanan/kuliner, dan busana/pakaian Bali. Dengan demikian, citra merupakan mekanisme yang sentral dalam mendefinisikan hubungan sosial lewat relasi sosial yang tercipta di dalam proses produksi dan konsumsi (status sosial, kelas sosial, pretise sosial). Reproduksi citra mengacu pada perjuangan dalam upaya membangun image positif yang dipresentasikan melalui akumulasi modal simbolik berupa legitimasi, status, otoritas, dan prestise dalam ruang komunitasnya. Reproduksi citra melibatkan strategi menciptakan relasi yang di dalamnya konsep, gagasan, tema atau ide-ide dikemas dan ditanamkan pada publik untuk dijadikan sebagai wahana untuk memperoleh pengakuan publik. Reproduksi citra dalam rangka menata kembali tatanan sosial yang telah dimapankan supaya sinergis dengan perkembangan zaman. Reproduksi citra sebagai fenomena sosial kemudian diperjelas dengan sesuatu yang dapat ditangkap secara persepsual, tetapi tidak memiliki eksistensi substansial. 65 5.1.1 Pencitraan dalam Visi dan Misi Hotel Istilah pariwisata yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada segala kegiatan dalam masyarakat yang berhubungan dengan wisatawan. Wisatawan sebagai orang yang melakukan perjalanan dari tempat kediamannya tanpa menetap di tempat yang didatanginya atau untuk sementara waktu tinggal di tempat yang didatanginya. Pengertian tentang pariwisata pertama kali muncul di Perancis pada akhir abad ke-17. Pada tahun 1672 de St Maurice menerbitkan sebuah buku petunjuk yang diberi judul The True Guide for Foreigners Travelling in France: to Appreciate Beauties, Learn the Language, and Take Axercise yang di dalamnya dijelaskan mengenai istilah pariwisata. Sejak itu, istilah pariwisata digunakan sebagai istilah yang berhubungan dengan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang ke tempat lain untuk berbagai kepentingan (Mathieson, 1988:1; bdk. Soekardjo, 1996:2--4). Di samping pengertian normatif tersebut, seiring dengan perkembangan zaman, istilah pariwisata selanjutnya berhubungan dengan industri jasa yang berkaitan dengan segala urusan yang berkaitan dengan pariwisata tersebut. Dengan demikian, istilah pariwisata yang digunakan dalam penelitian ini ialah segala sesuatu yang berhubungan dengan perjalanan untuk rekreasi, pelancongan, dan turisme (Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 1985:731). Menurut Ritchie dan Zins, daya tarik suatu daerah sebagai daerah tujuan wisata (DTW) berhubungan dengan berbagai keunikan yang ingin dilihat oleh orang lain (Burns, 1995 114—115; cf. Mathieson,1988: 158--159). Daya tarik tersebut berhubungan dengan adanya faktor kekhasan, seperti (1) kerajinan tangan 66 (handicrafts), (2) bahasa (language), (3) tradisi (traditions), (4) makanan khas (gastronomi), (5) seni dan musik (art and music),(including conserts, paintings, and sculpture), termasuk konser pertunjukan, lukisan, dan patung, (6) sejarah suatu tempat, termasuk monumen (the history of the region, including its visual reminders) termasuk monumen yang dapat dilihat), (7) tipe-tipe pekerjaan yang dilakukan oleh masyarakat dan teknologi yang digunakan (the type of work engaged in by residents and the technology wich its use), (8) arsitektur yang menunjukkan kekhasan suatu daerah (architecture giving the area a distinctive appearance), (9) agama, termasuk kemungkinan manifestasinya (religions, including its visible manifestations), (10) sistem pendidikan (educations system), (11) pakaian (dress), dan (12) aktivitas waktu luang (leisure activities). Staf dan manajemen hotel Bakung Sari mereproduksi visi dan misi hotel dengan memasukkan teori semiotika, di mana penanda dan petanda keterdekatan hotel dengan karyawan juga tamu yang datang berkunjung menjadi menonjol. Pencantuman kekhasan dan keunikan apa yang ada di hotel Bakung Sari, sehingga berbeda dengan hotel lain tidak ditemukan di hotel lain. Pencantuman ke-12 aspek yang menjadi kekhasan sebuah tempat yang layak dikunjungi oleh tamu tersebut merujuk pada apa yang dikemukakan oleh Richie di atas. Menurut UU RI No. 9,Tahun 1990 tentang kepariwisataan, disebutkan pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pariwisata, termasuk pengusaha, objek dan daya tarik wisata serta, usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut. Sebaliknya, wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela bersifat sementara untuk 67 menikmati objek dan daya tarik wisata. Wisatawan adalah orang yang melalukan wisata. Kepariwisataan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelenggaraan wisata. Dengan demikian, elemen daya tarik pariwisata yang dimaksud di dalam penelitian ini berhubungan dengan berbagai elemen yang digunakan untuk menarik wisatawan agar berkunjung ke suatu daerah. Dalam hal ini sarana upacara yang pada dasarnya berhubungan dengan religiusitas masyarakat Bali digunakan sebagai daya tarik wisatawan. 5.1.2 Pencitraan dalam Pelayanan Reproduksi citra hotel sebagai tanda kelengkapan dari berbagai lambang yang mencakup tataran aksara, gambar lambang, dan berbagai jenis bentuk citra di dalam hotel. Cassier membedakan antara tanda (sign) dan symbol. Tanda adalah bagian “dunia fisik” yang berfungsi sebagai operator yang memiliki substansial, Sementara simbol adalah bagian dari dunia makna manusia yang berfungsi sebagai designator. Simbol tidak memiliki kenyataan fisik atau substansial, tetapi hanya memiliki nilai fungsional (Triguna, 2000:8). Ketika tanda-tanda menjadi satu tidak terpisahkan dengan kehidupan spiritual, maka hal itu akan bermanfaat, memiliki nilai lebih dan menjadi simbolis (Titib, 2003: 63). Menurut Levi Strauss, untuk menganalisis fenomena yang menjadi penanda, meneliti tindakan atau objek yang membawa makna, seorang peneliti harus mendalilkan adanya sistem hubungan yang mendasari hal yang ditelitinya dan harus mencoba melihat apakah makna unsur objek individual bukan merupakan akibat dari kontrasnya dengan unsur dan objek lain dalam suatu sistem hubungan yang tidak disadari adanya oleh anggota suatu budaya. Makna yang 68 diberikan kepada objek atau tindakan oleh para anggota suatu budaya bukanlah fenomena yang benar-benar acak, pasti ada sistem pembedaan, penggolongan yang merupakan semiologi, pasti ada kaidah penggabungan yang dapat digambarkan. Jadi, yang dapat dimasukkan ke semiologi adalah suatu bidang kajian yang amat luas. Segala ranah kegiatan manusia, apakah itu musik, arsitektur, memasak, etiket, periklanan, mode, dan sastra dapat dikaji (didekati) menurut pendekatan semiologi. Meskipun kebanyakan objek dan kegiatan kemasyarakatan adalah tanda, objek dan kegiatan tersebut bukanlah tanda yang jenisnya sama. Untuk membedakan antara jenis-jenis tanda yang berbeda perlu dikaji dengan cara yang berbeda. Ada tiga golongan tanda yang mendasar dan menonjol serta memerlukan pendekatan yang berbeda.,yaitu ikon, indeks. dan tanda biasa (yang kadang-kadang secara keliru disebut ’simbol’). Semua tanda terdiri atas suatu penanda (signifier) dan yang ditanda (konsep atau signified), yakni bentuk dengan makna atau makna-makna yang terkait. Hubungan antara penanda dan konsep (ditanda) akan berbeda dari ketiga jenis tanda ini (Culler, 1996: 80 – 83). Sebuah objek sebagai hasil dari interaksi simbolis adalah segala sesuatu yang dapat diindikasikan atau ditunjukkan. Objek yang sama mempunyai arti yang berbeda untuk individu-individu yang berbeda pula. Dari proses indikasi timbal balik, objek umum bermunculan. Objek yang memiliki arti yang sama bagi sekelompok manusia, akan dipandang dengan cara yang sama pula oleh mereka. Namun, ada dua pandangan yang berbeda atas objek tersebut. Pertama, paparan di atas memberikan gambaran yang berbeda terhadap lingkup pergaulan manusia. 69 Kedua, objek tersebut (mengacu pada arti mereka) harus dilihat sebagai kreasi sosial. Dengan pengertian lain, kreasi sosial tersebut lahir dari dan dalam proses interpretasi ketika interaksi sosial sedang berlangsung. Secara singkat, teori interaksionisme simbolis memandang bahwa kehidupan kelompok manusia adalah sebuah proses. Objek diciptakan, dikukuhkan, ditransformasikan, bahkan dibuang. Kehidupan dan prilaku manusia secara pasti berubah sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam dunia objek mereka. (Soeprapto, 2002: 144--145). Konkretisasi reproduksi citra hotel sebagai daya tarik pariwisata, khususnya di Desa Kuta ialah dengan cara menggunakan citra tersebut sebagai bentuk estetik yang menarik wisatawan. Pada saat profanisasi terjadi, wisatawan menikmati bentuk-bentuk reproduksi citra hotel itu sebagai bentuk estetik yang lebih indah dan eksotik. Pada pihak lainnya, bagi masyarakat Bali, profanisasi yang terjadi menjadi koreksi yang mengakibatkan ketersinggungan kolektif. Keadaan seperti ini mereflesikan terjadinya komunikasi yang terintegrasi sebagai kesatuan emosi, yaitu lambang-lambang yang digunakan sebagai pusat orientasi kontemplasi dianggap direndahkan oleh kepentingan produk pariwisata. Di sini juga tampak adanya religius yang pada satu sisi dianggap sebagai benda estetik sedangkan di pihak lainnya dipandang sebagai benda yang dianggap mempunyai nilai keramat (sacre) yang dapat dibedakan dengan benda pralambang lainnya sebagai objek yang tidak keramat (profane). 70 5.2. Bentuk Reproduksi Arsitektur Arsitektur adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan seni atau lebih tepatnya dengan keindahan. Karya seni apa pun, baik dalam bentuk visual, audio/musik, maupun video, hampir dapat dipastikan mengandung niai-nilai estetika. Tidaklah terlalu menyimpang jika ada yang mengatakan bahwa tidak ada karya seni tanpa nilai estetika. Karya seni yang murni merupakan eskpresi jiwa ataupun karya seni pesanan semuanya tetap harus memiliki nilai estetika. Selain itu, nilai estetika sangat universal sifatnya. 5.2.1 Stile : Semi Modern dan Tradisional Kekuatan memakai bangunan beton bertulang, lantai bertingkat untuk memperbanyak ruang, gaya tradisional untuk menambah nuansa kedaerahan, dan keunikan bentuk bangunan. Bentuk bangunan merupakan ciri khas karya seni tradisional dan lebih banyak bernuansa kedaerahan yang merupakan citra dari bangunan hotel Bakung Sari yang masih menonjolkan sifat kedaerahan. Gambar 5.1 Arsitektur Hotel Bakung Sari Dokumen : Lasmini (Tahun 2012) 71 Reproduksi citra hotel Bakung Sari sebagai daya tarik pariwisata di Desa Kuta, khususnya yang menyangkut bentuk reproduksi itu sendiri dalam bab ini dijelaskan dengan teori semiotika, yang dibantu dengan dua teori lainnya yaitu teori dekonstruksi dan teori perubahan. Dalam proses reproduksi, aspek citra hotel Bakung Sari menjadi sangat strategis dalam menunjang keberhasilan hotel Bakung Sari sebagai daya tarik pariwisata di Desa Kuta karena melalui reproduksi yang intensif permasalahan yang timbul di lapangan dapat segera dipecahkan. Maksud reproduksi citra hotel Bakung Sari adalah setiap bentuk upaya untuk mendorong citra hotel Bakung Sari ke arah hotel pertumbuhan yang sehat dan mandiri mampu berperan serta dalam melaksanakan fungsinya sesuai dengan pembentukannya dalam mencapai tujuan pembangunan pariwisata khususnya merupakan fasilitas pendukung pariwisata budaya sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3, Tahun 1991. Kegiatan pokok dari reproduksi diarahkan pada upaya peningkatan daya tarik pariwisata di Desa Kuta khususnya di hotel Bakung Sari Kuta. Pengembangan pariwisata pada masa depan hendaknya memerhatikan keseimbangan kebutuhan dan keinginan antara wisatawan mancanegara (wisman) dan masyarakat setempat. Pemanfaatan sumber-sumber ditujukan sepenuhnya pada peningkatan perekonomian, menjaga keseimbangan kehidupan sosial budaya, dan keharmonisan antara manusia dan lingkungannya. 72 5.3 Bentuk Profanisasi Simbol Keagamaan ke Estetika Estetika adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan seni atau lebih tepatnya dengan keindahan. Nilai –nilai estetika digunakan sebagai daya tarik pariwisata, khususnya di Desa Kuta ialah dengan cara menggunakan citra tersebut sebagai bentuk estetik yang menarik daya tarik wisatawan. Pada saat profanisasi terjadi, wisatawan menikmati bentuk-bentuk reproduksi citra hotel itu sebagai bentuk estetik yang lebih indah dan eksotik. Pada pihak lainnya, bagi masyarakat Bali, profanisasi ketersinggungan yang kolektif. terjadi menjadi Keadaan seperti koreksi itu yang mengakibatkan merefleksikan terjadinya komunikasi yang terintegrasi sebagai kesatuan emosi, yaitu lambang-lambang yang digunakan sebagai pusat orientasi kontemplasi dianggap direndahkan oleh kepentingan produk pariwisata. Di sini juga tampak adanya religius yang pada satu sisi dianggap sebagai benda estetik dan di pihak lainnya dipandang sebagai benda yang dianggap mempunyai nilai keramat yang dapat dibedakan dengan benda pralambang lainnya sebagai objek yang tidak keramat. Gambar 5.2 Estetika Agama dalam bentuk gapura stile Bali Dokumen : Lasmini (Tahun 2012) 73 Simbol-simbol keagamaan (Hindu) adalah sebagai berikut. 1. Model pura (candi bentar) adalah pemedal atau pintu masuk pura dan hanya digunakan pada pura-pura yang dianggap sebagai simbol keagamaan. 2. Patung adalah penggunaan pemasangan patung pada pura-pura tertentu. Misalnya, di pura Dalem dipasang patung naga pada pemedal pura sebagai lambang pura Dalem. 3. Umbul-umbul, lelontek, pajeng, dan penjor adalah sarana upacara yang digunakan pada waktu upacara keagamaan. 4. Sesajen (canang sari, gebongan) adalah bentuk rangkaian yang terbuat dari bahan-bahan makanan dan susunan bunga, yang disusun menjulang tinggi di atas sebuah dulang dan diigunakan pada waktu upacara keagamaan. Secara konvensi, tanda-tanda di atas lazim ditempatkan di pura-pura atau sejenisnya. Kemudian dipindahkan ke tempat lain (hotel) dengan maknanya yang khusus, yaitu dekoratif. Dekorasi tradisional yang digunakan oleh hotel untuk melengkapi dekorasi hotel, baik untuk dekorasi secara reguler maupun dalam acara-acara tertentu sesuai dengan kegiatan yang dilaksanakan di hotel. Fungsinya adalah menghias lebih indah (estetika), menciptakan kesan’ ke balian”, dan lainlain. Menurut Piliang (2004:12), membacanya sebagai tanda dauur ulang (resicled sign) di mana tanda-tanda kemasalaluan yang secara konvensional biasanya ditempatkan di arena-arena keagamaan, tetapi kemudian diubah (dauur ulang) dan ditempatkan di area yang lain (hotel) untuk kepentingan yang berbeda pula. 74 5.4 Bentuk Tata Hidangan Tata hidangan merupakan suatu produk dari suatu pengelolaan hotel untuk dapat menimbulkan kesan baik, langsung maupun tidak langsung baik positif maupun negative, yang dipersepsikan oleh wisatawan. Tata hidangan juga merupakan salah satu bagian penting yang menentukan operasional hotel dan mutlak harus ada di suatu hotel. Hal ini penting karena departemen ini mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap citra suatu hotel yaitu berhubungan dengan pelayanan bidang makanan dan minuman. Selain itu, ikut memiliki andil dalam maju mundurnya usaha hotel tersebut. Citra hotel dapat memengaruhi individu wisatawan mancanegara (wisman) dalam memutuskan memilih untuk alternatif hotel yang akan dikunjungi (Konecnik, 2004: 42 Pike & Ryan, 2004: 72 Chen & Uysal; 2002: 67). Sebelum berkunjung wisman telah mendapat informasi atau kesan terhadap hotel yang akan dikunjunginya. Menurut survei Dinas Pariwisata Bali, 32,85 % informasi didapat dari teman-teman atau keluarga, kemudian 22,81 % dari perusahaan perjalanan. Produk unggulan pada tata hidangan menu khas daerah bebek betutu yang disajikan pada waktu prasmanan yang dipesan sebelum wisman/domestik datang ke hotel. Produk unggulan ini paling banyak digemari oleh wisman/domestik. Menurut survei PHRI (Perhimpunan Hotel Restoran Indonesia) menu khas daerah lebih banyak digemari oleh wisman/domestic, yaitu menunjukkan 80%. Kotas dan Jayawardena (1999: 45) menyatakan bahwa komponen produk restoran terdiri atas (1) kualitas produk makan dan minuman, (2) kualitas pelayanan makanan dan minuman, (3) dekorasi restoran dan bar, (4) furniture; penataan dan peralatan restoran, (5) desain menu, (6) ukuran porsi makanan dan 75 minuman, (7) jam operasional restoran, (8) popularitas merek restoran, (9) popularitas citra staf restoran (kepala juru masak, manajer, pegawai), (10) musik dan hiburan (entertainment). (Gambar 5.3) Gambar 5.3 Sajian betutu merupakan Produk Unggulan khas daerah Dokumen: Lasmini (Tahun 2012) Makanan/minuman tradisional (khas) suatu daerah merupakan makanan dan minuman serta bahan campuran yang secara turun temurun dikonsumsi oleh masyarakat di suatu daerah untuk memenuhi hidupnya (Sirta, 1998:61). Di samping itu, makanan daerah mempunyai karakteristik atau ciri khas tertentu. Salah satu ciri khas atau karakteristik makanan Bali terlihat dari bumbunya. Basa genep atau bumbu lengkap salah satu jenis bumbu yang digunakan dalam pengolahan daerah Bali. Dikatakan basa genep karena bumbu ini merupakan 76 gabungan dari beberapa jenis bumbu yang secara keseluruhan memiliki keenam jenis rasa (sad rasa), yaitu rasa pedas, pahit, manis, asam, asin, dan sepek (Sudiara 1999:21). Dengan kemajuan industri pariwisata akhir-akhir ini membawa dampak positif terhadap makanan tradisional karena makanan tidak hanya mengandung nilai ritual dan nilai sosial, tetapi makanan juga mengandung nilai ekonomi sehinggga makanan sebagai mata pencaharian. seperti restoran, kafe, warung nasi dan sebagainya. Apabila dilihat dari aspek teknologi, makanan sebagai alat pemuas karena makanan mengandung nilai kenikmatan yang berkaitan dengan rasa enak (satisfaction) menurut selera masing-masing (Sirtha, 1998:63). Produk unggulan khas daerah biasanya disajikan kalau ada yang memesan penyajian makanan dalam bentuk prasmanan dan yang dihidangkan menu khas daerah yang dipesannya. Menu khas daerah biasanya banyak dipesan wisatawan domestik yang sudah pernah datang mencoba menu khas daerah. Kesan wisatawan domestik 75% menyatakan bahwa menu khas daerah banyak diminati oleh kalangan luar karena rasanya sudah dapat dinikmati/dirasakannya. Pengelola hotel berupaya memosisikan produknya sesuai dengan produk unggulan yang dimiliki. Posisi produk adalah cara produk itu diidentifikasi oleh konsumen berdasarkan sejumlah atribut atau tempat produk tertentu di pikiran konsumen secara relatif terhadap produk-produk yang bersaing (Kotler, Bowen & Makens, 2002: 272). Persaingan antarpengelola hotel menyebabkan konsumen dijejali begitu banyak informasi tentang produk dan pelayanan sehingga tidak mungkin mengevaluasi tinggal/menginap.Untuk ulang produk setiap menyederhanakan saat untuk memutuskan pengambilan keputusan tinggal/menginap, konsumen merangkai produk dan hotel ke dalam pikirannya. 77 5.5 Bentuk Peningkatan Profesionalisme Hotel adalah suatu jenis akomodasi yang menggunakan jasa pelayanan, penginapan, makan dan minum, serta jasa lainnya bagi umum yang dikelola secara komersial serta memenuhi ketentuan persyaratan yang ditetapkan dalam surat keputusan. Hotel sebagai salah satu bagian dari usaha kepariwisataan dengan fungsi utamanya menawarkan, jasa pelayanan, penginapan, dan memerlukan sumber daya manusia. Sumber daya manusia merupakan faktor yang sangat penting di dalam memberikan suatu pelayanan dalam suatu hotel. Dalam usaha hotel diperlukan karyawan yang terampil melaksanakan pekerjaan serta memiliki semangat kerja yang tinggi dalam berbagai macam tugas. Keterampilan karyawan hotel merupakan faktor yang sangat penting di dalam memberikan pelayanan selama wisman berada di hotel. Berikut merupakan uraian mengenai pengertian, tugas, dan tanggung jawab Departemen Kantor Depan yang merupakan departemen yang pertama kali di hubungi oleh tamu di hotel hingga meninggalkan hotel. Departemen Kantor Depan terdiri atas receptionist, concierge, dan front office cashier. 1.1 Bidang Tugas Receptionist Menurut Sugiarto dalam Endar Sugiarto (2000:83), hotel receptionist adalah petugas hotel yang tugas utamanya melayani tamu yang akan check-in dan memprosesnya hingga memeroleh kamar yang diinginkan dengan cara yang 78 menyenangkan. Selanjutnya dikatakan pula bahwa reception adalah bagian operasional sebuah hotel yang tugas utamanya menerima tamu. Seperti yang telah diungkapkan di atas bahwa tugas utama dari receptionist adalah menerima tamu. Penjelasan mengenai tugas-tugas receptionist diuraikan oleh Agus Sambodo & Bagyono (2005:33), yaitu sebagai berikut. 1. Melayani tamu yang check-in dan check-out sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan manajemen. 2. Menjual kamar kepada tamu. 3. Mengetahui seluruh aktivitas yang sedang berlangsung di hotel. 4. Membaca log book dan papan pengumuman untuk mengetahui informasi terbaru. 5. Membuat persiapan kedatangan tamu, baik individual maupun tamu grup. 6. Menyiapkan arrival dan depature list. 7. Membantu tamu dalam mengisi kartu registrasi. 8. Memperbaharui status kamar pada computer/rak kamar. 9. Memberikan informasi yang tepat kepada tamu, baik tentang hotel maupun informasi luar hotel. 10. Menangani tamu yang pindah kamar. 11. Membuat laporan status kamar dan laporan penjualan kamar. 12. Bekerja sama dengan departemen/bagian lain hotel. 13. Menerima dan menyelesaikan keluhan tamu. 14. Menjaga agar harga kamar khusus tetap akurat. 79 15. Mengikuti morning briefing yang diadakan oleh pengawas. 1.2 Bidang Pengawas Concierge Keberadaan concierge sudah mulai dikenal sejak abad pertengahan, di mana pada saat itu concierge berfungsi sebagai pegawai kerjaan yang bertugas untuk mengadili masyarakat. Barulah kemudian pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, concierge mulai digunakan di Paris pada bangunan apartemen yang bertugas untuk mengawasi seluruh apartemen dan semua pengunjung yang keluar masuk. Menurut situs www.answers.com/topic/concierge menyebutkan pengertian concierge adalah sebagai berikut. Concierge adalah karyawan hotel atau apartemen yang membantu para tamu atau tuan rumah dalam menangani penyimpanan barang seperti koper, mengambil dan mengantarkan pesan, dan membuat pemesanan untuk tour. Dalam bukunya, Endar Sugiarto (2000:32) menguraikan tugas dan tanggung jawab seorang concierge di antaranya seperti di bawah ini. 1. Mengarahkan dan mengawasi bawahan, yaitu parking valet (Hotel bintang IV dan V), doorman, bellboy, bellcaptain, dan petugas informasi dalam memberikan pelayanan kepada tamu. 2. Mengurus tagihan koran (majalah) khusus bagi tamu yang meminta di luar item yang diberikan hotel. 3. Memerintahkan bell captain untuk pendistribusian semua surat, telex dan faksimili yang masuk. 80 4. Memastikan sistem pengeluaran “kunci duplikat” dan pengembaliannya ke dalam log book. 5. Mengecek kebenaran berita di papan pengumuman di pintu masuk hotel tentang event yang sedang berlangsung pada hari itu. 6. Mengecek dan memastikan bahwa semua tamu telah menerima koran dan majalah yang merupakan “complimentary” dari hotel. 7. Mengawasi proses penitipan barang dan sistem penyimpanannya. 1.3. Bidang Tugas Front Office Cashier Front Office Cashier atau Kasir Kantor Depan di sebuah hotel merupakan suatu bagian kerja yang sifatnya unik. Bagian ini secara struktural berada di bawah Accounting Department, sedangkan secara operasional sehari-hari di bawah Departemen Kantor Depan. Bagian kasir adalah bagian yang sangat sensitif karena berhubungan dengan uang. Menurut Agus Sulastiyono (2007:131), pengertian “Kasir Kantor Depan adalah orang yang bertugas menerima pembayaran (cash/charge) khususnya untuk tamu tersebut telah tinggal di hotel selama waktu tertentu. “Mengingat tugas dan tanggung jawabnya dari seorang kasir (cashier) cukup berat, maka dilihat dari syarat-syaratnya yang harus dipenuhi oleh seorang kasir (chasier) adalah sebagai berikut: 1. Jujur dan teliti. 2. Menguasai mesin/komputer yang dipakainya dengan baik. 3. Menguasai semua jenis hitungan. 81 4. Dapat menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan baik. 5. Mempunyai tulisan tangan yang rapi. 6. Menguasai penggunaan jenis-jenis peralatan yang digunakan. Adapun tugas – tugas Front Office Cashier seperti yang diungkapkan oleh Richard Sihite (2000:144), antara lain seperti di bawah ini. Membuat charge dari semua beban tamu yang muncul selama tamu berada di hotel yang dikirim oleh seluruh outlet, termasuk juga untuk T/A. 1. Membuat charge cash sales dari transaksi tunai di luar tagihan tamu. 2. Membukukan pos city ledger untuk bill – bill yang tidak dibayar tunai untuk ditagihkan ke perusahaan tamu yang bersangkutan termasuk credit card sesuai prosedur. 3. Menerima pembayaran dari tamu pada saat tamu check-out bila membayar tunai. 4. Mengeluarkan paid out sesuai dengan policies & procedure. 5. Menerima pembayaran / penukaran uang asing sesuai dengan prosedur. 6. Menangani safety deposit box untuk tamu yang memerlukan. 7. Membantu menyampaikan nama– nama tamu dan kamarnya kepada FO Manager/Asst. FO Manager/Reception Supervisor untuk tagihan yang telah melebihi batas jumlah yang telah ditentukan (Overdue List). 8. Mengecek city ledger bill mengenai kelengkapan data/persyaratan, misalnya voucher untuk travel agent yang harus dilengkapi dengan tagihan tamu dan untuk guarantee letter tamu dari suatu perusahaan. 82 9. Mencatat / melaporkan semua penerimaan pada setiap shift (cash report) sesuai dengan A-Card dan B-Card untuk control. Gambar 5.4 Kegiatan Karyawan Kantor Depan Hotel Dokumen : Lasmini (Tahun 2012) 5.5.1 Busana Busana karyawan adalah pakaian seragam yang dipakai oleh karyawan untuk melaksanakan tugas di hotel. Dalam tugas menerima tamu, pakaian yang digunakan oleh karyawan adalah pakaian adat ringan. Busana dalam karyawan dibagi menjadi tiga stel, yaitu (1) pakaian yang digunakan pada waktu menerima tamu di kantor depan adalah kemeja putih dan kain panjang. (2) pakaian yang digunakan pada waktu melaksanakan tugas di restoran adalah kemeja kuning dan kain panjang; (3) pakaian yang digunakan pada waktu melaksanakan tugas di dapur adalah kemeja putih dan celana panjang hitam. Dalam tugas kantor depan, 83 pakaian yang digunakan oleh karyawan adalah pakaian adat ringan. Dalam sebuah hotel mengenai busana/pakaian sebagai alat untuk menarik wisatawan datang ke suatu hotel dan proses menuju itu, misalnya bisa menggunakan busana/pakaian yang menunjukkan arah bagaimana proses itu terjadi dan sebagai pedoman untuk menarik wisatawan datang dan tinggal lama di hotel Bakung Sari Kuta. Busana/pakaian juga digunakan sebagai alat untuk melakukan upacara persembahyangan. Seperti yang terlihat (Gambar 5.5) di bawah ini pakaian adat ringan digunakan dalam melaksanakan tugas di hotel. Gambar 5.5 Busana Karyawan Hotel Bakung Sari Dokumen : Lasmini (Tahun 2012) 5.5.2 Etika Etika merupakan suatu alat untuk menerima tamu, baik yang baru datang di hotel maupun yang akan meninggalkan hotel. Dalam etika hotel, tujuannya adalah untuk menerima tamu selama berada di hotel secara ramah tamah dan dapat memberikan pelayanan yang baik selama tamu berada di hotel. Pelayanan memilki definisi sebagai suatu usaha yang dilakukan oleh manusia, dalam rangka 84 memenuhi kebutuhan-kebutuhan serta tujuan-tujuan sehingga membuatnya menjadi puas, (Sulastiyono dan Rumekso 2001: 37). Rumekso (2001:37) menyebutkan ada lima dimensi dalam pelayanan, yaitu sebagai berikut. 1. Bukti langsung (Tangibles) Bukti langsung bentukan penampilan dan kemampuan fasilitas, baik perlengkapan, peralatan, maupun sarana dan prasarana fisik yang diandalkan Hal itu. meliputi fasilitas fisik, peralatan, pegawai, sarana, komunikasi, penampilan karyawan dan materi promosi. Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik harus dapat diandalkan yang berfokus pada penampilan fisik (fasilitas, perlengkapan, pegawai, dll). Penting bagi suatu hotel untuk mengetahui seberapa jauh aspek bukti langsung yang paling tepat yaitu masih memberikan impresi yang positif terhadap pelayanan yang diberikan, tetapi tidak menyebabkan harapan pelanggan yang terlalu tinggi. 2. Keandalan (reliability) Keandalan kemampuan untuk memberikan jasa yang dijanjikan dengan akurat dan terpercaya termasuk di dalamnya waktu pelayanan yang sama bagi semua pelanggan, tingkat kesalahan minim, dan hal lainnya. Hal itu meliputi kemampuan memberikan jasa pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat, dan memuaskan. 85 3. Daya tanggap (Resposveness) Daya tanggap pemberian pelayanan yang cepat kepada pelanggan dan mengerti akan apa yang dibutuhkan termasuk didalamnya ketanggapan, kesadaran melayani dan hal lainnya. Meliputi keinginan para staf untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap pemberian pelayanan secara cepat tanggap kepada pelanggan. Merupakan dimensi kualitas pelayanan yang paling dinamis. Pelayanan yang tanggap juga di pengaruhi oleh sikap staf atau karyawan. Di antaranya adalah kesigapan dan ketulusan dalam menjawab pertanyaan atau permintaan pelanggan, pelayanan konsumen, penyampaian informasi saat pelayanan, dan kemauan untuk membantu pelanggan. 4. Jaminan (Assurance) Jaminan akan mendapatkan pelayanan secara benar dan tepat sehingga menimbulkan rasa kepercayaan dan kenyamanan bagi pelanggan termasuk di dalamnya pengetahuan, kepercayaan, kesopanan, dan keamanan. Jaminan merupakan dimensi kualitas yang berhubungan dengan kemampuan hotel dan perilaku karyawan dalam menanamkan rasa percaya dan keyakinan terhadap pelanggan dimensi jaminan meliputi keramahan, kompetensi, reputasi, kejujuran, pengetahuan, kemampuan, dan sifat dapat dipercaya. Pengetahuan dan keramahan karyawan serta 86 kemampuan melaksanakan tugas secara spontan yang dapat menjamin kinerja yang baik sehingga menimbulkan kepercayaan dan keyakinan pelanggan. 5. Empati (Emphaty) Empati pemberian perhatian secara khusus atau secara pribadi kepada para pelanggan dalam hal pemenuhan kebutuhan konsumen. Empati juga mencakup mengenai komunikasi, kemudahan kontak dan keberadaan, serta mengerti kebutuhan konsumen. Empat merupakan ketetapan memedulikan serta perhatian secara pribadi ke pelanggan. Kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan pelanggan. Menurut Wickof dalam Tjiptono, F (2000:29), kualitas pelayanan merupakan keunggulan yang diharapakan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan. Dalam hal ini service quality mengacu pada skala yang dipakai untuk mengukur kesenjangan antara harapan–harapan konsumen terhadap jasa dan persepsi mereka tentang jasa yang di rasakan. Dengan kata lain service quality tidak dapat dipisahkan dari unsur harapan serta persepsi yang kemudian timbul akibat telah multiitem yang diberikan nama service equal. Seperti yang disampaikan oleh I Ketut Suryawan (48 tahun) bahwa profesi karyawan perjalanan wisata ia mengatakan adalah sebagai berikut. “Kualitas pelayanan yang diberikan kepada tamu sangat ditentukan oleh sumber daya manusia hotel. Seorang karyawan hotel harus bersifat 87 inovatif karena karyawan dituntut untuk senantiasa dinamis dan sejalan dengan apa yang ingin dicapai oleh hotel, yaitu mendapatkan kepuasan tamu” (Wawancara, 12 Mei 2013). Dari wawancara tersebut dapat diketahui bahwa hotel perlu memaksimalkan potensi sumber daya manusianya untuk memberikan pelayanan yang memuaskan kepada setiap tamu yang menginap di hotel. Pelayanan merupakan salah satu usaha untuk membuat perbedaan dengan hotel lain. Bentuk pelayanan yang dilakukan hotel yang satu berbeda dengan hotel lain. Setiap hotel berusaha menarik minat tamu agar mau menjadi pelanggan setia. Kualitas layanan merupakan mutu atau kualitas dari keberadaan jasa yang sedang digunakan. Intinya, pelayanan terus menerus, perbaikan mutu dan perbaikan secara kontinu dilakukan untuk meningkatkan pelayanan yang ditawarkan sampai pelanggan dapat merasakan kepuasan. Untuk mengantisipasi hotel mampu bersaing dan dapat memberikan pelayanan yang maksimal. Secara umum, produk sebuah restoran adalah makanan, minuman, pelayanan, cendera mata, suasana, dan hiburan. Cousin dkk (2002, 14--15) menyatakan bahwa faktor makanan dan minuman terdiri atas variabel jenis/memuaskan, variasi pilihan menu, rasa, tekstur, presentasi, dan pelayanan (service). Beberapa faktor yang mendukung kepuasan pelanggan mengenai keramahan karyawan dalam pelayanan sebagai berikut. Pertama, personaliti karyawan, di mana karyawan yang memiliki personaliti atau kepribadian yang baik akan lebih cenderung ramah dan hangat kepada pelanggan. Kedua, budaya karyawan, di mana setiap karyawan memiliki tradisi untuk bersikap dan bertindak 88 ramah kepada pelanggan sehingga menjadi modal yang baik dalam memberikan kesan yang menyenangkan kepada pelanggan. BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG REPRODUKSI CITRA HOTEL SEBAGAI DAYA TARIK PARIWISATA 6.1. Faktor Reproduksi Citra Hotel sebagai Hotel Keluarga Reproduksi citra hotel yang dimaksud dalam penelitian ini adalah berbagai reproduksi yang digunakan untuk terjadinya profanisasi, simbol agama, arsitektur rumah, makanan, busana Bali. Reproduksi berasal dari kata “repro” / dipertegas / diperjelas /diperbanyak sehingga yang semula kabur kemudian diperjelas. Citra (image): sesuatu yang dapat ditangkap secara perseptual, tetapi tidak memiliki eksistensi substansial. Citra bisa merujuk pada konsepsi mental atau imajinatif seorang individu, peristiwa, lokasi, atau objek. Sebelum hotel melakukan reproduksi citra, karyawan menggunakan seragam formal dalam penampilan mereka. Namun, kemudian menggunakan seragam berpakaian adat madya dengan kebaya dan berkain bagi perempuan, sedangkan destar kain panjang, dan saput di pinggang bagi yang laki. Senada dengan terminologi di atas, Piliang (2003: 47, 2004:12, 2006:28) melihat citra sebagai sesuatu yang dapat ditangkap secara persepsual, tetapi tidak memiliki eksistensi substansial. Dengan demikian, citra merupakan mekanisme yang sentral, dalam mendefinisikan hubungan sosial, lewat relasi sosial yang tercipta di dalam proses produksi (status sosial, prestise sosial). 89 90 Hal ini memberikan gambaran bahwa hotel Bakung Sari berusaha memberikan citra baru, dengan mereproduksi citra menjadi sebuah bentuk ramah, mendekatkan diri pada para wisatawan, dengan budaya Bali sendiri. 6.2 Faktor Reproduksi Citra Hotel sebagai Hotel Ramah Lingkungan Citra yang menjadi mekanisme sentral dalam mendefinisikan hubungan sosial, relasi sosial yang tercipta melalui proses produksi dan konsumsi maka konsep pencitraan erat pertaliannya dengan strategi menciptakan relasi produksi tersebut. Hal itu sebagaimana dituturkan oleh Piliang (1999: 429) bahwa pencitraan (imagology) merupakan strategi utama dalam relasi produksi dan konsumsi postmodern, yang di dalamnya konsep, gagasan, tema atau ide-ide dikemas dan ditanamkan pada objek konsumsi, untuk dijadikan sebagai memori publik. Piliang menggunakan citra sebagai alat mengendalikan masa konsumer yaitu pengendalian selera, gaya hidup, tingkah laku, serta imajinasi-imajinasi kolektif mereka oleh sekelompok elite (kapasitas) lewat berbagai ilusi yang diciptakannya. Hal ini terwujud dengan reproduksi citra hotel Bakung Sari sebagai hotel yang ramah lingkungan, dengan mengolah kembali limbah hotel, sesedikit mungkin menggunakan bahan yang terbuat dari plastik dan sampah yang tidak mungkin didaur ulang kembali. Piliang (2004: 249) sangat optimis memosisikan citra sebagai instrumen untuk menguasai kehidupan jiwa (inner life) serta mengatur tingkah laku eksternal setiap orang yang dipengaruhinya. Citra merupakan instrumen menguasai 91 kehidupan jiwa (inner life) serta mengatur tingkah laku eksternal setiap orang yang dipengaruhinya. Dengan demikian, citra diyakini Piliang menjadikan yang tidak berguna menjadi sangat berguna, yang tidak perlu menjadi perlu, dan yang banal menjadi esensial. Hotel Bakung Sari juga memperbanyak persentase daerah hijau dengan tanaman yang ada di lingkungan hotel, membatasi sekat-sekat yang ada antar ruang di hotel itu sendiri sehingga udara bebas mengalir dengan lancar. Berkenaan dengan penelitian ini reproduksi citra mengacu pada perjuangan dalam upaya membangun image positif yang direpresentasikan melalui akumulasi modal simbolik berupa legitimasi, status, otoritas, dan prestise dalam ruang komunitasnya. Reproduksi citra melibatkan strategi menciptakan relasi yang di dalamnya konsep, gagasan, tema atau ide-ide dikemas dan ditanamkan pada publik untuk dijadikan sebagai wahana untuk memeroleh pengakuan publik. Reproduksi citra tersebut dalam rangka menata kembali tatanan sosial yang telah dimapankan supaya sinergis dengan perkembangan zaman. Reproduksi citra sebagai fenomena sosial pada hotel sebagai daya tarik pariwisata. 6.3 Faktor Reproduksi Citra Hotel sebagai Pelayanan Prima dan Murah Piliang (2003:47,2004:12,2006:28) melihat citra sebagai sesuatu yang dapat ditangkap secara persepsual, tetapi tidak memiliki eksistensi substansial. Dengan demikian, citra merupakan mekanisme yang sentral, dalam 92 mendefinisikan hubungan sosial, lewat relasi sosial yang tercipta di dalam proses produksi (status sosial, prestise sosial). Pada umumnya setiap orang ingin memeroleh perlakuan bagaikan raja. Hal ini disadari oleh staf manajemen dan pemilik hotel Bakung Sari. Ini yang mendorong terjadinya upaya mereproduksi citra, yang sebelumnya hanya hotel biasa, tetapi meningkatkan diri menjadi hotel berbintang yang memberikan pelayanan prima. Hal ini misalnya terwujud dalam perlengkapan/amenities yang tersedia di dalam kamar. Contohnya: TV, note book, kulkas, telepon, dan lainlain. Berkenaan dengan konsep citra yang menjadi mekanisme sentral dalam mendifinisikan hubungan sosial, relasi sosial yang tercipta melalui proses produksi dan konsumsi maka konsep pencitraan erat pertaliannya dengan strategi menciptakan relasi produksi tersebut. Hal itu sebagaimana dituturkan oleh Piliang (1999: 429) bahwa pencitraan (imagology) merupakan strategi utama dalam relasi produksi dan konsumsi postmodern, yang di dalamnya konsep, gagasan, tema atau ide-ide dikemas dan ditanamkan pada objek konsumsi, untuk dijadikan sebagai memori publik. Piliang menggunakan citra sebagai alat mengendalikan massa consumer, yaitu pengendalian selera, gaya hidup, tingkah laku, serta imajinasiimajinasi kolektif mereka oleh sekelompok elite (kapasitas) lewat berbagai ilusi yang diciptakannya. 93 6.4 Faktor Reproduksi Hotel sebagai Alat Daya Tarik Wisatawan Citra menjadi bidang perhatian cultural studies selama era 1990-an sebagaimana dituturkan oleh Piliang (2004: 12) bahwa citra bukan sesuatu yang eksis, citra tidak memiliki kandungan universal atau esensial. Citra merupakan konstruksi diskursif, produk diskursus yang terarah. Citra dibangun, diciptakan dibandingkan dengan ditemukan oleh representasi. Bertolak dari pemaparan Piliang tersebut diketahui bahwa citra merupakan strategi utama di dalam sistem produksi dan konsumsi postmodern, yang di dalamnya konsep, gagasan, tema, atau ide-ide dikemas dan ditanamkan pada objek konsumsi, untuk dijadikan sebagai memori publik, dalam rangka mengendalikan diri mereka. Lebih lanjut Piliang (2004: 12) mengungkapkan bahwa ada peluang untuk memandang citra hotel dan bangunan sosial sebagai artikulasi unik yang spesifik secara historis dari sejumlah unsur menjadi esensial. Misalnya terjadinya profanisasi simbol-simbol agama, arsitektur rumah/bangunan, makanan/kuliner, busana/pakaian Bali. Dengan demikian, citra merupakan mekanisme yang sentral, dalam mendefinisikan hubungan sosial, lewat relasi sosial tercipta di dalam proses produksi dan konsumsi (status sosial, kelas sosial, pretise sosial). Reproduksi citra mengacu pada perjuangan dalam upaya membangun image positif yang dipresentasikan melalui akumulasi modal simbolik berupa legitimasi, status, otoritas, dan prestise dalam ruang komunitasnya. Reproduksi citra melibatkan strategi menciptakan relasi yang di dalamnya konsep, gagasan, tema atau ide-ide dikemas dan ditanamkan pada publik, untuk dijadikan sebagai wahana untuk memeroleh pengakuan publik. 94 Reproduksi citra tersebut bermanfaat dalam rangka menata kembali tatanan sosial yang telah dimapankan supaya sinergis dengan perkembangan zaman. Reproduksi citra sebagai fenomena sosial kemudian diperjelas dengan sesuatu yang dapat ditangkap secara persepsual, tetapi tidak memiliki eksistensi substansial. Menurut Ritchie dan Zinsn, daya tarik suatu daerah sebagai daerah tujuan wisata (DTW) berhubungan dengan berbagai keunikan yang ingin dilihat oleh orang lain. (Dalam Burns, 1995: 114--115; cf. Mathieson,1988: 158--159). Daya tarik tersebut berhubungan dengan adanya faktor kekhasan, seperti (1) kerajinan tangan (handicrafts), (2) bahasa (language), (3) tradisi (traditions), (4) makanan khas (gastronomi), (5) seni dan musik (art and music),(including conserts, paintings, and sculpture), termasuk konser pertunjukan, lukisan, dan patung, (6) sejarah suatu tempat, termasuk monumen (the history of the region, including its visual reminders) termasuk monumen yang dapat dilihat, (7) tipe-tipe pekerjaan yang dilakukan oleh masyarakat dan teknologi yang digunakan (the type of work engaged in by residents and the technology wich its use), (8) arsitektur yang menunjukkan kekhasan suatu daerah (architecture giving the area a distinctive appearance), (9) agama, termasuk kemungkinan manifestasinya (religions, including its visible manifestations), (10) sistem pendidikan (educations system), (11) pakaian (dress), dan (12) aktivitas waktu luang (leisure activities). 6.4.1 Faktor Citra Tanda Hotel sebagai Daya Tarik Reproduksi citra hotel sebagai tanda kelengkapan dari berbagai lambang yang mencakup tataran aksara, gambar lambang, dan berbagai jenis bentuk citra di dalam hotel. Cassier membedakan antara tanda (sign) dan symbol. Tanda adalah 95 bagian “dunia fisik” yang berfungsi sebagai operator yang memiliki substansial. Sementara simbol adalah bagian dari dunia makna manusia yang berfungsi sebagai designator. Simbol tidak memiliki kenyataan fisik atau substansial, tetapi hanya memiliki nilai fungsional (Triguna, 2000:8). Ketika tanda-tanda menjadi satu tidak terpisahkan dengan kehidupan spiritual, maka hal itu akan bermanfaat, memiliki nilai lebih dan menjadi simbolis (Titib, 2003: 63). Tanda menurut Peircean dapat dibedakan berdasarkan objek sebagai faktor penentunya, yaitu (1) ikon, hubungan tanda dan objek karena serupa, (2) indeks, hubungan tanda dan objek sebab akibat, (3) simbol, hubungan tanda dan objek karena kesepakatan (Ratna, 2004: 101). Upaya menafsirkan Reproduksi citra hotel sebagai suatu tanda dalam penelitian ini menggunakan teori semiotika. Semiotika berasal dari kata semesion, bahasa Yunani, yang berarti penafsir tanda. Sebagai teori, semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia (Cobley dan Janz dalam Ratna, 2004: 71). Sebagai ilmu tanda, semiotika sosial mesti dipahami dengan konteks di mana tanda-tanda tersebut difungsikan. Pendekatan semiotik atau semiologi didasarkan pada asumsi bahwa tindakan manusia atau hal yang dihasilkannya menunjukkan makna, asalkan tindakan tersebut berfungsi sebagai tanda, tentu ada sistem konvensi dan pembedaan yang mendasarinya dan yang memungkinkan adanya makna tersebut. Di mana ada tanda di situlah ada sistem. Hal inilah yang sama-sama ada dalam berbagai kegiatan yang menjadi penanda (Culler, 1996: 74). 96 Menurut Levi Strauss, untuk menganalisis fenomena yang menjadi penanda, meneliti tindakan atau objek yang membawa makna, seorang peneliti harus mendalilkan adanya sistem hubungan yang mendasari hal yang ditelitinya. Di samping itu, harus mencoba melihat apakah makna unsur objek individual bukan merupakan akibat dari kontrasnya dengan unsur dan objek lain dalam suatu sistem hubungan yang tidak disadari adanya oleh anggota suatu budaya. Makna yang diberikan kepada objek atau tindakan oleh para anggota suatu budaya bukanlah fenomena yang benar-benar acak, pasti ada sistem pembedaan, penggolongan yang merupakan semiologi, pasti ada kaidah penggabungan yang dapat digambarkan. Jadi, yang dapat dimasukkan kedalam semiologi adalah suatu bidang kajian yang amat luas. Segala ranah kegiatan manusia, apakah itu musik, arsitektur, memasak, etiket, periklanan, mode, dan sastra dapat dikaji (didekati) menurut pendekatan semiologi. Meskipun kebanyakan objek dan kegiatan kemasyarakatan adalah tanda, objek dan kegiatan tersebut bukanlah tanda yang jenisnya sama. Untuk membedakan antara jenis-jenis tanda yang berbeda perlu dikaji dengan cara yang berbeda. Ada tiga golongan tanda yang mendasar dan menonjol serta memerlukan pendekatan yang berbeda yaitu, ikon, indeks, dan tanda biasa (yang kadang-kadang secara keliru disebut ’simbol’). Semua tanda terdiri atas suatu penanda (signifier) dan yang ditanda (konsep atau signified), yakni bentuk dengan makna atau makna-makna yang terkait. Hubungan antara penanda dan konsep (ditanda) akan dari ketiga jenis tanda ini (Culler, 1996: 80 – 83). 97 Sebuah objek sebagai hasil dari interaksi simbolis adalah segala sesuatu yang dapat diindikasikan atau ditunjukkan. Objek yang sama mempunyai arti yang berbeda untuk individu-individu yang berbeda pula. Dari proses indikasi timbal balik, objek umum bermunculan. Objek yang memiliki arti yang sama bagi sekelompok manusia, akan dipandang dengan cara yang sama pula oleh mereka. Namun, ada dua pandangan yang berbeda atas objek tersebut. Pertama, paparan di atas memberikan gambaran yang berbeda terhadap lingkup pergaulan manusia. Kedua, objek tersebut (mengacu pada arti mereka) harus dilihat sebagai kreasi sosial. Dengan pengertian lain, kreasi sosial tersebut lahir dari dan dalam proses interpretasi ketika interaksi sosial sedang berlangsung. Secara singkat, teori interaksionisme simbolis memandang bahwa kehidupan kelompok manusia adalah sebuah proses. Objek diciptakan, dikukuhkan, ditransformasikan, dan bahkan dibuang. Kehidupan dan perilaku manusia secara pasti berubah sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam dunia objek mereka. (Soeprapto, 2002 : 144--145). Konkretisasi reproduksi citra hotel sebagai daya tarik pariwisata, khususnya di Desa Kuta ialah dengan cara menggunakan citra tersebut sebagai bentuk estetik yang menarik wisatawan. Pada saat profanisasi terjadi, wisatawan menikmati bentuk-bentuk reproduksi citra hotel itu sebagai bentuk estetik yang lebih indah dan eksotik. Pada pihak lainnya, bagi masyarakat Bali, profanisasi yang terjadi menjadi koreksi yang mengakibatkan ketersinggungan kolektif. Keadaan seperti ini mereflesikan terjadinya komunikasi yang terintegrasi sebagai kesatuan emosi, yaitu lambang-lambang yang digunakan sebagai pusat orientasi 98 kontemplasi dianggap direndahkan oleh kepentingan produk pariwisata. Di sini juga tampak adanya religius yang pada satu sisi dianggap sebagai benda estetik dan di pihak lainnya dipandang sebagai benda yang dianggap mempunyai nilai keramat (sacre) yang dapat dibedakan dengan benda pralambang lainnya sebagai objek yang tidak keramat (profane). 6.4.2 Faktor Reproduksi Tanda Melalui Pembongkaran Kode-Kode Sosial Dekonstruksi merupakan sebuah istilah yang dikemukakan oleh Jacques Derrida (selanjutnya disebut Derrida), seorang filusuf Perancis keturunan Yahudi. Dekonstruksi digunakan oleh Derrida untuk menjelaskan lembaran baru dalam dunia filsafat. Dekonstruksi sendiri lebih terpusat pada pencarian sesuatu yang terdapat di balik sebuah teks. Unsur-unsur yang dilacak untuk kemudian dibongkar bukanlah inkonsisten logis, argumen yang lemah, ataupun premis yang tidak akurat yang terdapat dalam sebuah teks, melainkan unsur yang secara filosofis menjadi penentu atau unsur yang memungkinkan teks tersebut menjadi filosofis (Norris, 2008: 11). Dekonstruksi dapat diartikan sebagai sebuah pembongkaran terhadap sebuah teks, untuk mencari makna di baliknya dengan membangunnya kembali atau meredekonstruksi kembali dekonstruksi teks yang telah dibongkar, dan tidak berakhir dengan kekosongan. Mendekonstruksi berarti melahirkan suatu dekonstruksi baru dengan memisahkan unsur-unsur dalam teks dalam rangka mencari sebuah pembebasan sebuah teks. Dekonstruksi adalah sebuah strategi yang dipakai dalam menguraikan sebuah teks. Strategi yang dimaksud adalah strategi dalam mengurai, mengurangi, dan membuka sebuah teks yang kemudian 99 disusun kembali untuk menghasilkan suatu struktur yang baru (AI-fayyadl, 2005: 79). Dekonstruksi mencoba membongkar pandangan tentang pusat, fondasi, prinsip, dan dominasi sehingga berada di pinggir. Strategi pembalikan ini berjalan dalam kesementaraan dan ketidakstabilan yang permanen sehingga terus bisa dilanjutkan dengan tanpa batas (Heri dalam Santoso, 2007: 253). Dekonstruksi berusaha mengekspos ruang-ruang dan memberikan makna pada ruang-ruang kosong dalam sebuah teks. Derrida memandang bahasa merupakan sebuah sistem makna-makna diferensial yang melahirkan perbedaan dan bukan korespondensi dengan makna-makna transendental yang pasti. Tidak ada makna orisinal di luar tanda, yang merupakan suatu bentuk representasi grafis. Dalam konteks tersebut Derrida memandang bahwa tulisan berada pada pangkal asalmula makna. Bagi Derrida, tulisan adalah jejak permanen yang selalu sudah ada sebelum persepsi. Derrida mendekonstruksi gagasan bahwa tuturan menyediakan identitas untuk tanda dan makna (Derrida dalam Baker, 2005:98). Tanda tidak hanya memiliki satu makna denotatif yang stabil, tetapi bersifat polisemis. Artinya, tanda mengandung banyak makna potensial. Dengan demikian, semua teks dapat ditafsir dengan beberapa cara yang berbeda. Penafsiran teks tergantung pada repertoar kultural pembaca serta pengetahuan mereka tentang kode-kode sosial (Barker, 2005:96). Dekonstruksi tidak semata-mata ditujukan pada teks tulisan, tetapi semua pernyataan kultural sebab semua pernyataan kultural adalah teks yang dengan sendirinya telah mengandung tanda, nilai-nilai, persyaratan ideologi, kebenaran, dan tujuan-tujuan tertentu (Ratna, 2004: 223). Dekonstruksi merupakan cara-cara 100 pengurangan terhadap suatu intensitas dekonstruksi, yaitu gagasan, bangunan, dan susunan yang sudah baku. Berdasarkan kerangka berpikir di atas teori dekonstruksi dalam penelitian ini dipakai untuk membedah berbagai bentuk dan makna yang terdapat dalam reproduksi yang dilakukan pada citra hotel Bakung Sari sebagai daya tarik pariwisata di daerah Kuta. Dimana Citra Hotel Bakung Sari yang diproduksi terlihat mengalami berbagai macam perubahan dari tatanan normatifnya, baik dari segi struktur, ornamen, maupun dekonstruksinya. 6.4.3 Faktor Penyesuaian Selera Konsumen Hal tersebut tampak dalam bentuk dan makna ornamen, dekorasi, dan tata hidangan. Menurut pandangan Horton (1990: 210--122) bahwa setiap perubahan dalam masyarakat yang bermanfaat (fungsional) akan diterima oleh masyarakat, sedangkan perubahan yang tidak memberikan manfaat (disfungsional) akan ditolak atau ditinggalkan oleh masyarakatnya. Pada sisi lain Rodney Stark (1987: 440) mengungkapkan bahwa perubahan yang terjadi di lingkungan fisik sering berkaitan dengan dua penyesuaian sosial, yakni adaptasi manusia pada kebudayaan dan mengadaptasi kebudayaaan kepada manusia. Demikian pula, Suparlan (1985: 106) mengatakan bahwa perubahan sosial adalah perubahan dalam struktur sosial dan pola-pola hubungan sosial, antara lain mencakup sistem sosial, hubungan-hubungan dalam keluarga, sistem-sistem politik dan kekuatan, dan persebaran penduduk. Perubahan itu dapat dilihat dari dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Pendapat ini didukung Boskoff (1964: 140) yang mengungkapkan 101 bahwa perubahan sosialbudaya dalam masyarakat disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal berasal dari dalam diri manusia, sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang datang dari luar. Pendapat para pakar di atas tentang teori perubahan dikaitkan dengan kondisi masyarakat sejak dahulu hingga sekarang bahwa perubahan dalam kehidupan perhotelan dalam pengamatan di lapangan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Kondisi hotel yang tidak dapat merealisasikan potensi mereka dalam menangani masalahnya mengakibatkan hotel berada dalam kondisi tidak menyakinkan. Dari pendapat di atas tampak bahwa teori perubahan sangat relevan digunakan untuk dapat membantu dan menganalisis fungsi yang dapat dicapai melalui bentuk reproduksi citra hotel yang telah dilaksanakan. Hal itu terjadi karena perubahan pada citra hotel akan bermafaat dan diterima oleh pihak hotel begitu juga sebaliknya. Pariwisata sering dipersepsikan dengan perkembangan di segala bidang, ruang, dan waktu tidak menjadi hambatan lagi bagi umat manusia untuk berkomunikasi. Pariwisata berlangsung di semua bidang kehidupan, seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan teknologi informasi dan komunikasi adalah faktor pendukung utama dalam masuknya pengaruh pariwisata. Dewasa ini, perkembangan teknologi begitu cepat sehingga segala informasi dengan berbagai bentuk dan kepentingan dapat tersebar luas ke seluruh dunia, sehingga pariwisata merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Pariwisata mengarah kepada pembentukan 102 monokulturalisme karena arus pariwisata dapat memengaruhi kehidupan nilainilai kebudayaan tradisional. Bali sebagai daerah tujuan wisata (tourist destination) secara tidak langsung terkena pengaruh dari budaya tersebut. Industri pariwisata mendorong masyarakat Bali meningkatkan kreativitas untuk dapat bersaing dalam kehidupan modern Selain itu, pariwisata memberikan dampak terhadap kehidupan budaya tradisional Bali. Hal ini sesuai dengan hal yang diungkapkan oleh I Wayan Dana B.A. (48 tahun). Ia mengatakan, mengatakan berikut. ”Penggunaan pakaian adat madya, dengan kebaya dan kain panjang bagi perempuan, dan destar serta kain panjang dan saput di pinggang bagi yang laki-laki biasa dipergunakan untuk ke pura sekarang lebih sering dilihat untuk digunakan pada seragam karyawan hotel.” (Wawancara, 12 Mei 2013). Wawancara tersebut dapat memberikan fenomena sosial pada hotel sebagai daya tarik pariwisata. Demikian pula halnya dengan pemasangan patung, gapura, tedung, saput poleng pada patung-patung yang ada di sekitar hotel merupakan imajinasi kolektif melalui pencitraan proses produksi dan konsumsi. Teori yang digunakan untuk membedah situasi di atas adalah pendapat Pilliang mengenai semiotika. Menurut Pilliang, semiotika adalah ilmu yang mempelajari peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Semiotika adalah ilmu yang mempelajari struktur, jenis, tipologi, dan relasi-relasi tanda dalam penggunaannya dalam masyarakat. Oleh sebab itu, Semiotika 103 mempeljari komponen-komponen tanda serta relasi antara komponenkomponen tersebut dan masyarakat pengguna. (Pilliang, 2003:47). Hal senada juga diungkapkan oleh I Wayan Suparta (45 tahun) sebagai berikut. ”Pemasangan gapura/candi bentar yang sering dipakai pada pemedal/pintu masuk pura sekarang dipergunakan sebagai dekorasi di hotel,” (Wawancara, 13 mei 2013). Dari pernyataan informan di atas dapat dimaknai bahwa pemasangan gapura/candi bentar memiliki keinginan selera untuk mengembangkan imajinasi yang diciptakannya. Reproduksi citra hotel yang digunakan sebagai elemen daya tarik pariwisata oleh pemeluk agama Hindu dan para pelaku pariwisata dipandang sebagai produk yang mempunyai nilai estetis yang menarik. Bagi pemeluk agama Hindu mungkin juga sebagai masyarakat pariwisata merasa diuntungkan oleh pihak pariwisata dapat menimbulkan kesentimentalitasan pemeluk agama Hindu yang merasa terganggu. Hal itu terjadi karena lambang yang digunakan sebagai pusat orientasi kontemplasi dianggap direndahkan oleh produk pariwisata. Dari penuturan Ni Made Suantari (45 tahun) seorang pegawai Camat Kuta, diketahui seperti di bawah ini. 104 ”Awalnya pemasangan tedung/payung, saput poleng hanya dipakai waktu upacara keagamaan di pura sebagai simbol-simbol keagamaan sekarang sudah dipasang di sekitar area hotel sebagai artikulasi unik. (Wawancara, 12 Mei 2013). Uraian di atas memperlihatkan bahwa para pemeluk agama Hindu memandang perlu memerhatikan lambang yang digunakan sebagai lambang keagamaan mengalami perubahan manfaat sosial budaya. Dalam konteks pergeseran semacam ini simbol kebudayaan akhirnya tidak lagi menjadi pengarah yang menentukan code of conduct dalam suatu masyarakat yang dipatuhi dan memiliki daya paksa, tetapi menjadi alat politik bagi perjuangan kepentingan para pihak, baik individual, kelompok, maupun institusi. Simbolsimbol agama, misalnya, tidak hanya menjadi penunjuk arah dari suatu praktik yang berhubungan dengan religiusitas, tetapi juga bagi sebagian orang, kelompok atau isntitusi, menjadi alat bagi legitimasi atas keberadaan dan kepentingan. Agama berfungsi mengesahkan keberadaan dan tindakantindakan yang bisa terjadi menyimpang dari substansi ajaran karena citra telah mewakili suatu realitas keagamaan itu sendiri. Agama dipraktikkan sebagai bagian dari pengendalian sosial dan identiifikasi diri untuk pemosisian individu, kelompok, dan institusi dalam serangkaian transaksi sosial yang dinamis dan kontekstual. Simbol-simbol budaya telah menjadi alat bagi penegasan autentisitas kelompok yang keberadaannya menjadi bagian dari sitem sosial global dengan pertentangan nilai yang semakin tajam (Abdullah, 2006: 9). 105 6.5 Keserasian Kebijaksanaan Pemda Bali dalam Pengembangan Pariwisata Budaya Pariwisata Budaya adalah salah satu jenis pariwisata yang mengandalkan peran kebudayaan memiliki daya tarik yang paling utama, seperti yang dikembangkan di daerah Bali dan daerah lain di Indonesia. Pariwisata budaya memiliki fungsi dan peranan penting bagi masyarakat Indonesia umumnya dan masyarakat Bali khususnya. Potensi kepariwisataan yang dimiliki Bali cukup besar meliputi keindahan alam, aneka ragam kesenian, adatistiadat, kekayaan budaya, dan tradisi sosial religius kemasyarakatan yang dijawai oleh agama Hindu. Potensi yang besar itu telah dikemas menjadi objek/daya tarik wisatawan sehingga Bali tetap menjadi andalan pariwisata Indonesia dengan ciri khas pariwisata budaya, sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3, Tahun 1991. Masyarakat Bali merupakan suatu masyarakat kolektif yang terikat oleh kesadaran akan kesatuan kebudayaan, yaitu kebudayaan Bali. Kebudayaan Bali pada dasarnya bersumber pada agama Hindu (Geriya, 1995:7). Pada sisi lain, saat ini masyarakat Bali mengembangkan pariwisata sebagai mata pencaharian baru yang menyebabkan intensitas hubungan dengan dunia akan semakin meningkat. Perkembangan pariwisata juga berimplikasikan pada kebudayaan yang disandang karena aktivitasnya memberikan suatu dampak, baik positif maupun negatif. Pada tahun 1970-an wacana hubungan pariwisata dengan kebudayaan mendominasi dibandingkan dengan wacana yang lain. 106 Pariwisata merupakan industri jasa memandang kebudayaan fisik masyarakat Bali sebagai akomodasi yang eksotik. Oleh karena itu, terjadi perbedaan sudut pandang religiusitas sebagai objek sarana cultural dan sarana komoditas. Industri pariwisata diatur sedemikian rupa oleh pemerintah. Pengembangan sektor industri pariwisata digerakkan berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3, Tahun 1974 dan kemudian diperbaru dengan Perda Nomor 3, Tahun 1991. Pada Bab 1 Pasal 1, antara lain disebutkan bahwa pariwisata budaya adalah jenis kepariwisataan yang dalam perkembangan dan pengembangannya menggunakan kebudayaan daerah Bali yang dijiwai oleh agama Hindu. Kebudayaan Bali merupakan bagian dari kebudayaan nasional sebagai potensi dasar yang dominan, yang di dalamnnya tersirat satu cita-cita akan adanya hubungan timbal balik antara pariwisata dan kebudayaan sehingga keduanya meningkat serasi, selaras, dan seimbang (Ardika 2003:49). Para wisatawan datang ke Bali tidak hanya karena daya tarik laut dan pantainya, tetapi juga karena budaya Bali yang memang amat kaya (Ardika, 2004:8). 6.6 Pencarian Kekhasan Identitas Kekhasan identitas merupakan suatu strategi yang digunakan oleh pihak hotel untuk menarik wisatawan datang menginap ke hotel. Dalam kekhasan identitas, tujuannya adalah untuk menarik para wisatawan datang kembali menginap ke hotel. Dalam pengembangan pariwisata dimanfatkan warisan 107 budaya, baik dalam pengertian fisik/objek budaya maupun nilai-nilai dan gaya hidup atau aktivitas budaya masyarakat untuk memikat wisatawan. Kekhasan identitas ditujukan untuk menguji apakah wisatawan akan kembali datang dan menginap pada hotel itu. Penilaian mengenai identitas subuah hotel sangat bergantung pada sarana pendukung hotel, seperti keramah-tamahan karyawan pada waktu melayani wisatawan yang baru datang ke hotel, daya tarik menu makanan yang dihidangkan di restoran, dan arsitektur bangunan hotel yang menjadi kekhasan arsitektur Bali. Menurut Marsum (1993:8--11) restoran dapat diklasifikasikan berdasarkan tipenya, yaitu sebagai berikut. 1. Coffee shop atau basserie adalah suatu restoran yang pada umumnya berhubungan dengan hotel, suatu tempat di mana tamu bisa mendapatkan makan pagi, makan siang, dan makan malam secara cepat. 2. Continental restaurant adalah suatu restoran yang menitikberatkan hidangan continental pilihan dengan pelayanan elaborate atau megah. Suasananya santai, susunannya agak rumit, disediakan bagi tamu yang ingin makan secara santai 3. Terrace restaurant adalah suatu restoran yang terletak di luar bangunan, tetapi pada umumnya masih berhubungan, baik dengan hotel maupun restoran induk. Terrace restaurant juga sebagai suatu restoran yang menghidangkan makanan dan minuman, baik untuk tamu-tamu keluarga maupun rombongan. Biasanya juga tersedia menu 108 makanan anak-anak. Di negara-negara barat pada umumnya restoran tersebut hanya buka pada waktu musim panas. 4. Dining room yang terdapat di hotel kecil, motel, atau inn, merupakan tempat yang tidak lebih ekonomis daripada tempat makan biasa. Dining room pada dasarnya disediakan untuk para tamu yang tinggal di hotel itu, namun juga terbuka bagi para tamu yang tinggal di hotel itu. Selain itu, juga terbuka bagi para tamu dari luar. Adapun komposisi konsumen hotel Bakung Sari Kuta Bali berdasarkan kewarganegaraanya adalah sebagai berikut (Tabel 1.1). Tabel 1.1 Rekapitulasi Konsumer Hotel Bakung Sari Kuta Berdasarkan Nasionality No Kewarganegaraan Persentase (%) 1 Australia 41 2 Jepang 15 3 Belanda 10 4 China/Taiwan 18 5 Indonesia 32 6 Others Country 5 Sumber : Hotel Bakung Sari Kuta Bali, Tahun 2012 Pramusaji melayani wisatawan dengan keramahtamahan. Pelayanan yang diberikan disertai dengan sikap yang ramah para pramusaji kepada tamu sehingga tamu merasa dihargai keberadaannya. 109 Gambar 6.1 Pramusaji Melayani Wisatawan dengan ramah-tamah Dokumen : Lasmini (Tahun 2012) Menurut Marsum ( 1993 : 8--11), pramusaji sedang melayani wisatawan mancanegara (Gambar 6.1) di Terrace Restaurant adalah suatu restoran yang terletak di luar bangunan, tetapi pada umumnya masih berhubungan dengan hotel maupun restoran induk. Terrace restaurant juga sebagai suatu restoran yang menghidangkan makanan dan minuman, baik untuk tamu-tamu keluarga maupun rombongan. Biasanya juga tersedia menu makanan anak-anak. Di negara-negara barat pada umumnya restoran tersebut hanya buka pada waktu musim panas. Tamu-tamu bujangan pada umumnya lebih senang di coffee shop atau brasserie, yaitu suatu restoran yang pada umumnya berhubungan dengan hotel, suatu tempat di mana tamu bisa mendapatkan makan pagi, makan siang, dan makan malam secara santai. 110 Tamu domestik pada umumnya lebih suka atau senang di dining room, yaitu yang terdapat di hotel kecil, yang tidak lebih ekonomis daripada tempat makan biasa. Dining room pada dasarnya disediakan untuk para tamu yang tinggal di hotel itu, tetapi juga terbuka bagi para tamu dari luar. Dari hasil wawancara dengan salah seorang pelanggan hotel Mr. Jack (asal Australia), diketahui seperti di bawah ini. Makanan yang disajikan adalah baik dan enak rasanya The food was nice and delicious Ketepatan cara penyajiannya dan pelayanannya juga memuaskan. The service was good and satisfaction, (Wawancara, 15 April 2013) Ungkapan di atas menggambarkan perkembangan bahwa kualitas pelayanan secara umum adalah mutu yang sesuai dengan standar pelayanan yang telah ditetapkan oleh pihak pemberi jasa. Pelayanan merupakan suatu kinerja penampilan tidak terwujud dan cepat berpatisipasi aktif dalam proses mengonsumsi jasa tersebut (Johanes Supranto, 1997:227). 6.7 Daya Tarik Citra Hotel Citra hotel dapat memengaruhi wisatawan mancanegara dalam memilih alternatif hotel yang akan dikunjungi (Konecnik, 2004). Sebelum berkunjung wisatawan telah mendapatkan informasi atau kesan terhadap hotel yang akan dikunjunginya. Menurut survei Dinas Pariwisata Bali, diketahui bahwa 32,85 % informasi didapat dari teman-teman atau keluarga, kemudian 22,81% dari perusahaan perjalanan. 111 Pengelola hotel berupaya untuk memosisikan produknya untuk dijadikan sebagai citra hotel sebagai daya tarik pariwisata. Produk hotel dan pelayanan serta arsitektur merupakan citra hotel. Faktor-faktor penentu kualitas pelayanan menurut Elhaitammy (dalam Fandy Tjiptono, 1996 : 58) sebuah perusahaan dalam menentukan kualitas pelayanannya memerlukan adanya service excellence atau pelayanan yang unggul, yaitu suatu sikap atau cara karyawan dalam menangani pelanggan dengan memuaskan. Pelayanan yang unggul akan didapat bila terdapat empat unsur pokok sebagai berikut. 1. Kecepatan, yakni jika pelayanan yang diberikan dapat dengan cepat dilakukan tanpa harus membuat tamu atau pelanggan merasa diabaikan. 2. Ketepatan, yakni pelayanan yang diberikan tepat atau sesuai dengan apa yang diharapkan atau diinginkan tamu. 3. Keramahtamahan, jika pelayanan yang diberikan disertai dengan adanya sikap yang ramah dari karyawan kepada tamu sehingga tamu merasa dihargai keberadaannya. 4. Kenyamanan, jika pelayanan yang dilakukan oleh karyawan juga diimbangi dengan adanya suasana dari lingkungan sekitarnya yang nyaman dan menyenangkan. Hal ini dapat membuat tamu merasa senang karena telah diberikan pelayanan yang memuaskan hatinya. Keempat komponen tersebut merupakan satu kesatuan pelayanan yang terintegrasi dengan maksud pelayanan atau jasa menjadi unggul. Apabila ada 112 komponen yang kurang, maka untuk mencapai tingkat itu, setiap karyawan harus memiliki keterampilan tertentu, di antaranya berpenampilan baik dan rapi, bersikap ramah, memerhatikan gairah dalam bekerja, tidak tinggi hati karena merasa dibutuhkan, menguasai pekerjaan, baik tugas yang berhubungan pada bagiannya maupun departemen lainnya, mampu berkomunikasi dengan baik, bisa memahami bahasa isyarat (gesture) pelanggan, dan memiliki kemampuan menangani keluhan pelanggan secara profesional. Bentuk pelayanan di hotel Bakung Sari Kuta dapat dilihat pada gambar 6.1 yaitu salah seorang pramusaji melayani wisatawan dengan ramah-tamah. Gambar 6.2 Citra Hotel dengan Produk Hotel yang menarik dan enak Dokumen : Lasmini (Tahun 2012) 113 Salah satu staf hotel, Ni Wayan Netri (40 tahun), staf tata hidangan wawancara dengan wisman Australia Mr. Rockwell. Ia mengatakan sebagai berikut. Silahkan berikan komentar tentang makanan yang dihidangkan dan mengenai pelayanannya. Please give your comment about the following : Makanan yang dihidangkan bagus dan enak, pelayanannya bagus dan memuaskan. Food was excellent and nice, service was good and satisfaction. (Wawancara, 15 April 2013) Hal senada dikemukakan oleh Wycoff dan Lovelock (dalam Endar Sugiarto, 1999:39) bahwa “kualitas pelayanan adalah tingkat pelayanan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan itu untuk memenuhi keinginan pelanggan. Berdasarkan hasil pemaparan di atas, maka terdapat empat alasan pelayanan bermutu atau lebih dikenal dengan sebutan service excellence itu penting (Martin, 2000:12) yang dijabarkan sebagai berikut. 1. Pelayanan adalah tempat berkumpulnya uang dan pekerjaan. Dilihat dari pesatnya perkembangan penyedia usaha jasa saat ini dibandingkan dengan masa sebelumnya memenuhi kebutuhan dan keinginan pengguna jasa memiliki keterikatan dengan hasil penghasilan dan pemberian kompensasi kepasa staf penyedia usaha jasa sebagai wujud hasil pemberian pelayanan untuk mendapat keuntungan. 2. Persaingan semakin ketat dalam industri pelayanan jasa, memengaruhi kelangsungan hidup penyedia usaha jasa ditentukan berdasarkan pelayanan jasa yang diberikan kepada pelanggan. 114 3. Pemahaman yang baik terhadap pengguna jasa adalah pemahaman usaha jasa mengapa pengguna jasa menjadi pengguna jasanya atau menjadi pengguna jasa lain. Pemahaman mengenai pengguna jasa mencerminkan kualitas pelayanan yang diberikan. Kualitas pelayanan dengan nilai harga yang terjangkau belum dapat dikatakan menarik pelanggan karena pengguna jasa ingin mendapatkan pelayanan yang baik. Jika penyedia usaha jasa dapat memenuhi kualitas pelayanan tersebut, maka pengguna jasa akan terus-menerus memanfaatkan jasa penyedia usaha jasa tersebut. 4. Pelayanan pengguna jasa bermutu memiliki makna ekonomi, yang dilihat dari cara penyedia usaha dalam memperluas pangsa pasar pengguna jasanya. Perluasan pangsa pasar yang dilakukan tersebut harus diimbangi dengan pemberian kualitas pelayanan yang optimal untuk dapat mempertahankan pengguna jasa dan calon pengguna jasa. Pemberian pelayanan tersebut memiliki makna ekonomi terhadap kelangsungan hidup penyedia usaha jasa. Pernyataan di atas mencerminkan orientasi bahwa pengguna jasa adalah penentu keberhasilan pelayanan jasa dalam upaya mencapai service excellence. Pencapaian tersebut bukanlah pekerjaan yang mudah. Namun, bila hal tersebut dilaksanakan dengan optimal, maka penyedia usaha jasa akan meraih manfaat besar berupa loyalitas pengguna jasa. Perkembangan citra hotel dan keinginan para wisatawan yang mengutamakan dan peduli terhadap produk dan sosial budaya menjadikan faktor 115 ini sebagai pertimbangan utama dalam memilih hotel yang akan dikunjungi . Hal ini dilakukan untuk mengetahui persepsi wisatawan terhadap sejumlah atribut produk hotel yang menjadi daya tarik pariwisata. 6.8 Kesan Kunjungan Wisatawan Pengelola hotel disarankan secara terus-menerus memerhatikan dan memanfaatkan informasi persepsi yang baik dari wisatawan mengenai produk dan atributnya. Atribut keunikan budaya Bali yang telah dipersepsikan baik oleh wisatawan dapat dijadikan pembeda dari hotel lain dengan menonjolkan nilai yang superior kepada wisatawan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan citra hotel sebagai daerah tujuan wisata adalah (1) meningkatkan kualitas dan kelengkapan fasilitas hotel, (2) meningkatkan kualitas pelayanan, baik pada saat wisatawan/tamu baru tiba, selama, maupun saat meninggalkan hotel, (3) meningkatkan kesadaran dan mengikutsertakan masyarakat dalam aktivitas pariwisata, (4) meningkatkan peranan pemerintah dalam menciptakan, menjalankan, dan mengawasi regulasi yang mendukung daya tarik hotel dan sosial budaya, dan (5) meningkatkan kesadaran pelaku bisnis berorientasi pada pelestarian lingkungan dan sosial budaya. Hal ini dapat dibuktikan dengan merujuk pada pernyataan dari beberapa informan yang terlibat dalam penelitian ini. Salah seorang informan, yaitu I Wayan Leder (45 tahun) pekerjaan pemandu wisata menyebutkan sebagai berikut. 116 “Wisatawan dapat melakukan suatu perjalanan yang memuaskan dan dapat memberikan perasaan nyaman, rileks, dan senang selama menikmati liburan baik itu selama dalam perjalanan.” (Wawancara, 12 Mei 2012). Dari hasil wawancara dengan salah seorang pemandu wisata sebagai pelanggan hotel diperoleh informasi bahwa: agar wisatawan dapat melakukan suatu perjalanan yang memuaskan, dapat memberikan perasaan nyaman, rileks dan senang selama menikmati liburan, baik selama dalam perjalanan, bermain, maupun tempat makan, terutama makanan khas dari tempat tersebut sehingga mampu membuat wisatawan lebih betah tinggal di sana. Untuk mengukur kepuasan wisatawan dapat dilakukan dengan cara mengukur lima dimensi pelayanan dari Parasuraman, Berry, dan Zeithaml. Irawan (2002: 88) menyatakan bahwa terdapat lima dimensi pelayanan untuk mengukur kepuasan wisatawan, yaitu sebagai berikut. Pertama, aspek bukti fisik (tangibles), yaitu service/pelayanan merupakan sesuatu yang tidak dapat dilihat, tidak dapat dicium, dan tidak dapat diraba. Oleh karena itu, aspek tangible menjadi penting sebagai ukuran terhadap pelayanan. Kedua, aspek keandalan (reliability), dimensi reliabilitas merupakan dimensi yang mengukur keandalan. Ketiga, aspek daya tanggap (responsiveness), pelayanan yang responsive atau tanggap. Keempat, aspek jaminan (assurance), dimensi kualitas yang berhubungan dengan kemampuan perusahaan dan perilaku front-line-staf dalam menanamkan rasa percaya dan keyakinan kepada pelanggan. Kelima, aspek empati (empathy), dimensi yang memberikan peluang besar untuk memberikan pelayanan yang bersifat “surprise” terkait dengan ego dan aktualisasi. 117 Visi dan Misi Hotel Bakung Sari Kuta Setiap badan usaha atau organisasi agar berjalan dengan baik, maka harus memiliki suatu visi dan misi yang hendak dicapai. Begitu juga hotel Bakung Sari Kuta memiliki visi dan mengemban misi sebagai berikut 1. Visi Visi hotel bakung Sari Kuta, yaitu sebagai hotel melati yang mampu memberikan kepuasan kepada para tamu yang menginap di hotel dan membina hubungan persahabataan dengan tamu sehingga terbina hubungan jangka panjang yang menguntungkan. 2. Misi Hotel Bakung Sari Kuta mengemban misi, yaitu memberikan kepuasan kepada para tamu yang menginap di hotel dengan cara menyajikan kualitas produk dan kualitas pelayanan yang baik, keramah-tamahan kepada tamu agar merasa betah dan menganggap Hotel Bakung Sari Kuta sebagai rumah keduanya. BAB VII DAMPAK DAN MAKNA REPRODUKSI CITRA HOTEL SEBAGAI DAYA TARIK PARIWISATA 7.1 Dampak Pencitraan Citra menjadi bidang perhatian cultural studies selama era 1990-an sebagaimana dituturkan oleh Piliang (2004:12) bahwa citra bukan sesuatu yang eksis, citra tidak memiliki kandungan universal atau esensial. Citra merupakan konstruksi diskursif, produk diskursus yang terarah. Citra dibangun,dan diciptakan dibandingkan dengan ditemukan oleh representasi. Bertolak dari pemaparan Piliang tersebut diketahui bahwa citra merupakan strategi utama di dalam sistem produksi dan konsumsi postmodern, yang di dalamnya konsep, gagasan, tema, atau ide-ide dikemas dan ditanamkan pada objek konsumsi, untuk dijadikan sebagai memori publik dalam rangka mengendalikan diri mereka. Lebih lanjut Piliang (2004:12) mengungkapkan bahwa ada peluang untuk memandang citra hotel dan bangunan sosial sebagai artikulasi unik yang spesifik secara historis dari sejumlah unsur menjadi esensial. Contoh terjadinya profanisasi simbol-simbol agama, arsitektur rumah/bangunan, makanan/kuliner, dan busana/pakaian Bali. 7.1.1 Dampak Kualitas Pelayanan Citra merupakan mekanisme yang sentral, dalam mendefinisikan hubungan sosial, lewat relasi sosial tercipta di dalam proses produksi dan konsumsi (status sosial, kelas sosial, pretise sosial). Reproduksi citra mengacu 118 119 pada perjuangan dalam upaya membangun image positif yang dipresentasikan melalui akumulasi modal simbolik berupa legitimasi, status, otoritas, dan prestise dalam ruang komunitasnya. Reproduksi citra melibatkan strategi menciptakan relasi yang di dalamnya konsep, gagasan, tema atau ide-ide dikemas, dan ditanamkan pada publik untuk dijadikan sebagai wahana untuk memeroleh pengakuan publik. Reproduksi citra tersebut dalam rangka menata kembali tatanan sosial yang telah dimapankan supaya sinergis dengan perkembangan zaman. Reproduksi citra sebagai fenomena sosial kemudian diperjelas dengan sesuatu yang dapat ditangkap secara persepsual, tetapi tidak memiliki eksistensi substansial. 7.1.2 Dampak Mempertahankan Reputasi Sebuah objek sebagai hasil dari interaksi simbolis adalah segala sesuatu yang dapat diindikasikan atau ditunjukkan. Objek yang sama mempunyai arti yang berbeda untuk individu-individu yang berbeda pula. Dari proses indikasi timbal balik, objek umum bermunculan. Objek yang memiliki arti yang sama bagi sekelompok manusia, akan dipandang dengan cara yang sama pula oleh mereka. Namun, ada dua pandangan yang berbeda atas objek tersebut. Pertama, paparan di atas memberikan gambaran yang berbeda terhadap lingkup pergaulan manusia. Kedua, objek tersebut (mengacu pada arti mereka) harus dilihat sebagai kreasi sosial. Dengan pengertian lain, kreasi sosial tersebut lahir dari dan dalam proses interpretasi ketika interaksi sosial sedang berlangsung. Secara singkat, teori interaksionisme simbolis memandang bahwa kehidupan kelompok manusia adalah sebuah proses. Objek diciptakan, dikukuhkan, ditransformasikan, bahkan 120 dibuang. Kehidupan dan perilaku manusia secara pasti berubah sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam dunia objek mereka (Soeprapto, 2002: 144-145). Konkretisasi reproduksi citra hotel sebagai daya tarik pariwisata, khususnya di Desa Kuta ialah dengan cara menggunakan citra tersebut sebagai bentuk estetik yang menarik wisatawan. Pada saat profanisasi terjadi, wisatawan menikmati bentuk-bentuk reproduksi citra hotel itu sebagai bentuk estetik yang lebih indah dan eksotik. Pada pihak lainnya, bagi masyarakat Bali, profanisasi yang terjadi menjadi koreksi yang mengakibatkan ketersinggungan kolektif. Keadaan seperti ini mereflesikan terjadinya komunikasi yang terintegrasi sebagai kesatuan emosi, yaitu lambang-lambang yang digunakan sebagai pusat orientasi kontemplasi dianggap direndahkan oleh kepentingan produk pariwisata. Di sini juga tampak adanya religius yang pada satu sisi dianggap sebagai benda estetik dan di pihak lainnya dipandang sebagai benda yang dianggap mempunyai nilai keramat (sacre) yang dapat dibedakan dengan benda pralambang lainnya sebagai objek yang tidak keramat (profane). 7.2 Makna Reproduksi Citra Hotel sebagai Daya Tarik Pariwisata Teori perubahan memandang bahwa masyarakat terus mengalami perubahan, tetapi tidak disebutkan dan tidak ditetapkan berapa lama evolusinya. Menurut pandangan Horton (1990: 210--222), setiap perubahan dalam masyarakat yang bermanfaat (fungsional akan diterima oleh masyarakat), sedangkan 121 perubahan yang tidak memberikan manfaat (disfungsional) akan ditolak atau ditinggalkan oleh masyarakatnya. 7.2.1 Makna Inovatif Rodney Stark (1987: 440) mengungkapkan bahwa perubahan yang terjadi di lingkungan fisik sering berkaitan dengan dua penyesuaian sosial, yakni adaptasi manusia pada kebudayaan dan mengadaptasi kebudayaaan kepada manusia. Demikian pula Suparlan(1985: 106) mengatakan bahwa perubahan sosial adalah perubahan dalam struktur sosial dan pola-pola hubungan sosial, antara lain mencakup sistem sosial, hubungan-hubungan dalam keluarga, sistem-sistem politik dan kekuatan, dan persebaran penduduk. Perubahan itu dapat dilihat dari dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Pendapat ini didukung Boskoff (1964: 140) yang mengungkapkan bahwa perubahan sosial budaya dalam masyarakat disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal berasal dari dalam diri manusia, sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang datang dari luar. 7.2.2 Makna Pelestarian Pendapat para pakar di atas tentang teori perubahan dikaitkan dengan kondisi masyarakat sejak dahulu hingga sekarang bahwa perubahan dalam kehidupan perhotelan dalam pengamatan di lapangan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal, seperti faktor pelayanan pengguna jasa bermutu memiliki makna ekonomi, sedangkan eksternal, yaitu masyarakat makin terbuka untuk menerima adanya perubahan secara globalisai. Kondisi hotel yang tidak dapat merealisasikan potensi mereka dalam menangani masalahnya 122 mengakibatkan hotel berada dalam kondisi tidak menyakinkan. Dari pendapat di atas diketahui bahwa, teori perubahan sangat relevan digunakan untuk dapat membantu dan menganalisis fungsi yang dapat dicapai melalui bentuk reproduksi citra hotel yang telah dilaksanakan. Hal itu terjadi karena perubahan pada citra hotel akan bermafaat dan diterima oleh pihak hotel begitu menjadi sarana penting, yaitu pada perjuangan dalam upaya membangun image positif yang dipresentasikan melalui akumulasi modal simbolik berupa legitimasi, status, otoritas, dan prestise dalam ruang komunitasnya. BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN 8.1 Simpulan Pesatnya kenaikan kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara dewasa ini telah memberikan udara segar bagi masyarakat dan para pelaku bisnis pariwisata. Dengan kenaikan kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara ke Bali khusunya ke Desa Kuta menjadikan citra hotel sebagai daya tarik pariwisata. Dari semua hal yang telah diuraikan pada Bab I – Bab VII dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, bentuk reproduksi citra hotel Bakung Sari Kuta sebagai daya tarik pariwisata di Desa Kuta tahun terakhir ini cenderung lebih mengarah kepada kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara lebih meningkat. Banyak hotel dengan bentuk, gaya yang sangat menarik pada hotel yang menjadikan sumber informasi masyarakat dan kalangan para pelaku bisnis pariwisata untuk mengenal suatu hotel. Citra atau isu-isu dan kepentingan masyarakat dan para pelaku bisnis pariwisata untuk memproduksi citra hotel sehingga hotel memiliki nuansa kepedulian sosial. Kedua, terbentuknya reproduksi citra hotel Bakung Sari Kuta melalui proses yang cukup panjang. Proses ini ditentukan oleh empat hal, yaitu keserasian kebijakan Pemda Bali dalam pengembangan pariwisata budaya, pencarian kekhasan identitas, daya tarik citra hotel, dan kesan kunjungan wisatawan. 123 124 Ketiga, citra hotel Bakung Sari di Desa Kuta memiliki dampak dan makna yang cukup luas bagi wisatawan, khususnya dari para pelaku bisnis pariwisata. Dari segi dampak, reproduksi citra hotel Bakung Sari Kuta memilki dampak estetika yang tadinya digunakan hanya pada suatu kepentingan, yaitu dapat melakukan kegiatan bersama-sama. Citra hotel ini menggunakan pesan sebagai identitas dan kekhasan dari suatu hotel. Secara estetika, reproduksi citra hotel ini menarik masyarakat untuk datang ke hotel Bakung Sari Kuta sesuai dengan identias dan kekhasan masing-masing. Dengan berbagai bentuk identitas dan kekhasan yang ada di dalamnya, wisatawan mengenal bahwa hotel Bakung Sari Kuta menarik semua lapisan wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Dampak lingkungannya adalah berupa kerusakan arsitektur, benda estetika agama seperti yang tadinya sakral menjadi punah kesakralannya. Dari segi pemaknaan, reproduksi citra hotel dilihat dari dua segi, yaitu (a) pencarian kekhasan identitas, daya tarik citra hotel, konsumerisme yang ditandai oleh wisatawan yang telah menjadi ketergantungan dan (b) makna estetika, yakni desain hotel yang cenderung dapat membuat wisatawan menjadi tertarik. 8.2 Saran Dengan ketiga simpulan di atas, berikut ada beberapa saran yang dapat disampaikan. Saran-saran ini diajukan kepada hotel Bakung Sari Kuta, masyarakat di Desa Kuta, dan pemerintah Bali. Dalam reproduksi citra hotel Bakung Sari Kuta, yang berlokasi di Desa Kuta, hotel Bakung Sari Kuta tetap tunduk terhadap ketentuan kebijakan Pemda 125 Bali dan pengembangan pariwisata budaya dengan cerminan dari pariwisata budaya yang meliputi hal-hal berikut. a. Reproduksi citra hotel harus tetap mempertimbangkan agar jangan dengan adanya reproduksi hotel justru citra hotel di kalangan wisatawan menurun di Desa Kuta b. Reproduksi dan citra hotel harus disesuaikan dengan tempat atau kawasan hotel. c. Reproduksi citra hotel yang akan dirancang kembali harus disesuaikan dengan lokasi yang tepat, yang sesuai dengan areanya. Wisatawan domestik dan mancanegara tetap dan sabar. Di samping itu, tidak mudah terpengaruh oleh isu-isu pariwisata yang berkembang, yang tidak baik dari kalangan masyarakat luas. Bagi mereka dari kalangan wisatawan sebagai kajian karya seni yang bisa dinikmati nilai-nilai estetikanya karena sesungguhnya reproduksi citra hotel tersebut didesain dengan estetika yang cukup lama. Pemerintah Bali hendaknya dapat mengawasi secara ketat reproduksi citra hotel di berbagai sudut daerah Bali agar tidak sampai merusak visi daerah Bali sebagai daerah yang berwawasan budaya Bali. Reproduksi citra hotel hendaknya bisa diawasi agar tidak menghilangkan kesakralan arsitektur dan benda estetika agama.