Hubungan Komunikasi Orang Tua dan Anak Tentang Seksualitas

advertisement
HUBUNGAN KOMUNIKASI ORANG TUA DAN ANAK TENTANG
SEKSUALITAS DENGAN PERILAKU SEKSUAL REMAJA DARI
KELUARGA PRASEJAHTERA
OLEH
KRISNO DWI WAHYUDHA
802009149
TUGAS AKHIR
Ditujukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
HUBUNGAN KOMUNIKASI ORANG TUA DAN ANAK TENTANG
SEKSUALITAS DENGAN PERILAKU SEKSUAL REMAJA DARI
KELUARGA PRASEJAHTERA
Krisno Dwi Wahyudha
Chr. Hari Soetjiningsih
Ratriana Y.E. Kusumiati
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara komunikasi orang
tua dan anak tentang seksualitas dengan perilaku seksual pada remaja dari
keluarga prasejahtera di Jakarta Barat. Teknik sampling yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teknik snow ball sampling dengan jumlah sampel 103
remaja menjadi 89. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skala
Komunikasi tentang seksual yang disusun berdasarkan aspek-aspek komunikasi
yang digabung dengan topik-topik seksual jumlahnya 17 aitem dan perilaku
seksual yang berjumlah 12 aitem. Hasil dari penelitian ditemukan bahwa ada
hubungan yang negatif dan signifikan antara komunikasi orang tua dan anak
tentang seksualitas dengan perilaku seksual pada remaja.
Kata kunci : Komunikasi orang tua dan anak, perilaku seksual, remaja.
ABSTRACT
This study aimed to determine the relationship between parent and child
communication about sexuality with sexual behavior in adolescents with
underprivileged in West Jakarta. The sampling technique used in this study is a
snow ball sampling technique with a sample of 103 adolescents which become
89 sample. Measuring instruments used in this study is about sexual
Communication Scale is based on aspects of communication who combined with
sexual topics and item numbers 17 sexual behavior which amounts to 12 aitem.
The Results of the study found that there was a negative and significant
relationship between parent and child communication about sexuality with
sexual behavior in adolescents.
Keywords: parents-children communication about sexual, sexual behavior,
adolescent.
1
PENDAHULUAN
Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa
dewasa yang melibatkan sejumlah perubahan biologis, kognitif, dan sosio
emosional. (Santrock, 2007) & (Papalia, 2009). Stanley Hall (dalam Santrock,
2007) menggambarkan bahwa pada masa remaja diwarnai oleh pergolakan yang
disebut dengan masa badai dan stres (strom and stress); masa tersebut banyak
dipenuhi oleh konflik dan perubahan suasana hati. Namun gambaran
berdasarkan riset Daniel Offer, remaja tidak lagi dipenuhi oleh konflik dan
perubahan suasana hati seperti yang dilihat Stanley Hall. Remaja saat ini
digambarkan secara positif yang pada umumnya mampu merasa bahagia,
menikmati hidup, memandang dirinya mampu melatih kendali diri, menghargai
kerja
dan
sekolah,
mengekspresikan
keyakinan
sehubungan
dengan
seksualitasnya, memiliki perasaan yang positif terhadap keluarga, dan merasa
mampu mengatasi tekanan hidup (dalam Santrock, 2011).
Perubahan biologis pada diri remaja diantaranya adalah pertambahan
tinggi tubuh, perubahan suara munculnya bulu di area-area khusus, serta tandatanda kematangan seksual. Perubahan kognitif ditandai dengan mulainya
berpikir abstrak, idealistik, dan logis; sedangkan perubahan sosio-emosional
ditandai dengan kemauan untuk mandiri atau mulai melepaskan ketergantungan
dengan orang tua, semakin banyaknya konflik dengan orang tua, dan lebih
banyak meluangkan waktu dengan teman sebaya. Perubahan-perubahan tersebut
merupakan upaya remaja dalam pencarian identitas diri.
Dalam upaya membentuk identitas diri ini remaja mulai banyak
melakukan eksplorasi diri, mulai dari ekplorasi minat, pertemanan, dan juga
2
dalam hal relasi romantis. Menurut Santrock (2011) masa remaja merupakan
masa eksplorasi dan eksperimen seksual, masa fantasi dan realitas seksual, masa
mengintegrasikan seksualitas ke dalam identitas seseorang. Remaja memikirkan
rasa ingin tahu mengenai seksualitas yang hampir tidak dapat dipuaskan. Remaja
memikirkan apakah dirinya secara seksual menarik, lalu bagaimana cara
melakukan hubungan seks, dan bagaimanakah nasib kehidupan seksual mereka.
Sutton (2002) menambahkan bahwa remaja menjadi haus akan informasi
seksual, mereka termotivasi atau terdorong untuk aktif mencari infromasi
seksual, dengan harapan dapat meningkatkan keromantisan dan pengalaman
seksual (Miller & Simon, 1980); dalam Sutton, 2002).
Remaja terus mengeksplorasi keingintahuan mereka yang besar terhadap
seksualitas, ditambah dengan kondisi biologis yang sedang memasuki
kematangan seksual, minat yang tinggi terhadap seksual, kesempatan untuk
mengeksplorasi seksual, dan meningkatnya pengetahuan seksual selama SMP
(O’ Sullivan & Meyer-Bahlburg, 2003; Winn & Roker, 1995; dalam Raffaelli,
2003). Sebagian besar manusia akan memulai berhubungan romantis atau
berpacaran dalam rangka eksplorasi diri sebagai bagian dari pencarian identitas
seksual pada masa remaja. Remaja menghabiskan cukup banyak waktunya untuk
berpacaran atau setidaknya berpikir untuk memiliki pacar (dalam Santrock,
2011).
Pacaran dapat merupakan sebuah bentuk rekreasi, sumber status, sebuah
fasilitas untuk mempelajari relasi yang akrab, dan juga suatu cara untuk
menemukan pasangan. Masa berpacaran pada usia remaja memungkinkan
remaja untuk melakukan perilaku seksual. Menurut Soetjiningsih (2008),
3
perilaku seksual adalah segala tingkah laku remaja yang didorong oleh hasrat
baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis dan objek seksualnya
dapat berupa orang lain, orang dalam khayalan, atau diri sendiri. Perilaku
seksual muncul akibat adanya dorongan seksual secara alami dan disalurkan
melalui aktivitas-aktivitas fisik dengan lawan jenisnya. Ditambah lagi kondisi
kognisi remaja yang sedang berkembang sehingga turut mempengaruhi dalam
mengambil sebuah keputusan dalam berperilaku (Montemayor, dalam Stanoff,
2010).
Berikut contoh-contoh kasus perilaku seksual yang dilakukan dan
dialami oleh remaja dari Majalah HAI (edisi XXXVII/14/2013 tanggal 8-14
April 2013) :
Kasus arisan seks yang dilakukan pelajar SMA di Situbondo Jawa
Timur. Berita yang mulai beredar pada akhir tahun 2012 tersebut
mengungkapkan bahwa beberapa siswa di salah satu SMA/SMK di Situbondo
mengadakan arisan setiap bulannya dengan membayar Rp. 5.000/bulan. Mereka
yang membayar namanya akan ditulis di kertas dan dikocok layaknya arisan
biasanya. Bagi yang beruntung atau namanya keluar akan mendapatkan jatah
untuk booking PSK sesuai selera, tentunya dengan uang hasil arisan. Kemudian
Jumat, 1 Juni 2012 kasus perkosaan yang terjadi di Bojonegoro, Jawa Timur
oleh seorang laki-laki berstatus siswa SMA kepada pacarnya sendiri. Senin, 8
Oktober 2012 kasus perkosaan yang menimpa seorang siswi SMP dan membuat
dirinya dikeluarkan oleh sekolah pemerintah kota Depok. Kamis, 7 Maret 2013
kasus pemerkosaan yang menimpa siswi SD berumur 12 tahun asal Subang,
Jawa Barat yang dilakukan oleh empat pemuda di gerbong kereta api. Jumat, 8
Maret 2013 kasus perkosaan yang terjadi di Sulawesi Selatan, dan dilakukan
4
oleh delapan siswa SMK kepada siswi SMA yang berusia 16 tahun. Kamis, 14
Maret 2013 kasus perkosaan yang dilakukan oleh 13 orang pemuda kepada siswi
SMA swasta yang berumur 15 tahun di Jakarta Timur.
Perilaku seksual ini pada akhirnya membawa dampak negatif pada
kehidupan remaja seperti kehilangan masa depan karena hukuman, kehamilan
dini, serta terinfeksi penyakit menular atau sexual transmitted disease (STD).
Perilaku seksual dapat terjadi karena berbagai faktor. Menurut Soetjiningsih
(2008) faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual yaitu : a. faktor
individual (seperti self esteem / harga diri dan religiusitas), b. faktor keluarga
(hubungan orang tua – remaja), c. faktor-faktor diluar keluarga (seperti tekanan
negatif dari teman sebaya dan media pornografi). Salah satu faktor perilaku
seksual yang disebutkan adalah hubungan dengan orang tua atau komunikasi
antara orang tua anak. Remaja dengan keadaan sedang bergelora membutuhkan
informasi dan pendampingan dalam hal seksualitas agar mereka dapat
mengontrol perilaku seksualnya dan menjauhi perilaku seksual menyimpang.
Rasa ingin tahu yang berlebihan membuat remaja berusaha mencari
berbagai sumber informasi yang mungkin dapat diperoleh, misalnya dari orang
tua, pendidikan di sekolah, teman-teman sebaya, buku-buku tentang seks, media
pornografi, atau bereksperimen sendiri dengan masturbasi, bercumbu, atau
bersenggama. Budaya toleransi saat ini yang semakin terbuka membuat arus
informasi seks tersedia di berbagai media. Perilaku seksual secara ekplisit
ditayangkan di berbagai film, pertunjukan TV, video, lirik dari lagu-lagu
populer, MTV, dan situs-situs di internet (Collins, 2005;Comstock & Scharrer,
2006; Pettit, 2003; Roberts, Henriksen, & Foehr, 2004;Ward,2003; Hansbrough,
5
& Walker, 2005; dalam Santrock, 2007). Namun, sayang informasi seksual yang
terpampang di berbagai media cenderung kurang tepat untuk mengisi
keingintahuan para remaja. Dalam bukunya, Jim Burns (2010) menunjukkan
bahwa anak-anak yang secara dini terekspos oleh media yang bermuatan seksual
di program-program TV, film, majalah, musik, dan di internet kemungkinan
besar telah melakukan hubungan seks dalam jangka waktu dua tahun kemudian,
dibandingkan dengan teman-teman mereka yang tidak terlalu terekspos media.
Tingginya kualitas relasi dan komunikasi antara orangtua dan remaja
berkaitan dengan baiknya komunikasi tentang seksual (e.g., Barnes & Farrell,
1992; Fisher, 1990; Somers & Paulson, 2000; dalam Sommer, 2006) serta
kurangnya perilaku sexual intercourse dini pada remaja (e.g., Fox, 1981; Miller
& Fox, 1987; Taris & Semin, 1998; dalam Sommers & Vollmar, 2006).
Beberapa penelitian lain juga mengungkap bahwa komunikasi orang tua dan
anak tentang seksualitas benar-benar mengurangi perilaku seksual beresiko dan
menunda hubungan seks atau menggunakan kondom untuk seks yang aman
(Miller, 1998). Dalam berkomunikasi dengan anaknya orang tua membawa
pengetahuan atau wawasan, keyakinan, nilai-nilai, harapan dengan maksud
mempengaruhi perilaku anaknya.
Komunikasi orang tua dan anak merupakan bagian penting dari
pengawasan dan bagian dari pantauan orang tua terhadap anak-anak mereka,
khususnya anak remaja. Kepekaan dan kemauan orang tua harus dianggap
penting dalam berkomunikasi tentang seksual (Kirkman, Rosenthal, & Feldman,
2005). Dalam hal ini peran kenyamanan menjadi penting di dalam komunikasi
orang tua dan remaja mengenai seksualitas (Somers & Vollmar, 2006).
6
Meskipun sudah banyak peneliti yang telah meneliti kaitan antara
komunikasi orang tua dan remaja dengan perilaku seksual, tetapi beberapa
penelitian menunjukan hasil yang beragam. Seperti yang diungkapkan Miller
(dalam Somers, 2003) bahwa hasil-hasil penelitian yang meneliti tentang
komunikasi orang tua dan anak dengan perilaku seksual sangat beragam selama
20 tahun ini dan menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Wang (2009) &
Fongkaew et al. (2012) menambahkan bahwa beberapa studi menghasilkan hasil
yang
bertentangan
atau
ketidakonsistenan
mengenai
hubungan
antara
komunikasi orang tua dan anak dan perilaku seksual beresiko. Hal ini
disebabkan karena komunikasi orang tua tentang seksual masih terlalu umum
dan orang tua hanya memberikan pesan mengenai bagaimana menghindari
perilaku seksual beresiko.
Penjabaran di atas mendorong peneliti untuk meneliti mengenai
hubungan komunikasi orang tua dan anak tentang seksualitas dengan perilaku
seksual pada remaja. Penelitian ini dilakukan di sebuah daerah padat penduduk
Jakarta Barat. Beberapa dari mereka melakukan aktivitas seperti berpegangan
tangan, memeluk di area-area tertentu dengan lawan jenisnya berdasarkan
pengamatan peneliti. Bahkan beberapa dari mereka sudah melakukan perilaku
seksual yang lebih jauh dan beresiko. Hal tersebut berdasarkan informasi yang
diperoleh dari wawancara dengan narasumber yang berhubungan dengan
mereka. Fakta ini menunjukkan bahwa terdapat perilaku seksual yang terjadi
pada remaja di daerah tersebut. Faktor sosial, ekonomi dan pendidikan
mempengaruhi orang tua dalam berkomunikasi kepada anak mengenai
7
seksualitas seperti yang diungkapkan dalam penelitian Lefkowitz, Boone, Au, &
Sigman (dalam Botchway, 2004).
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dikaji
dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan yang signifikan antara
komunikasi orang tua dan anak tentang seksualitas dengan perilaku seksual pada
remaja. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui apakah ada hubungan yang
signifikan antara komunikasi orang tua dan anak tentang seksualitas dengan
perilaku seksual pada remaja.
TINJAUAN PUSTAKA
Perilaku Seksual
Perilaku seksual didefinisikan sebagai segala tingkah laku yang didorong
oleh hasrat seksual baik dengan lawan jenis maupun yang sejenis (Sarwono,
2000).
Sedangkan,
menurut Soetjiningsih (2008), perilaku seksual adalah
segala tingkah laku remaja yang di dorong oleh hasrat baik dengan lawan jenis
maupun dengan sesama jenis dan objek seksualnya dapat berupa orang lain,
orang dalam khayalan, atau diri sendiri. Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku seksual remaja menurut Soetjiningsih (2008) yaitu :
a) Faktor individual (self esteem/ harga diri dan religiusitas)
b) Faktor keluarga (hubungan orang tua-remaja)
c) Faktor-faktor diluar keluarga (tekanan negatif teman sebaya dan media
pornografi).
Masa remaja merupakan masa yang dicirikan dengan berbagai bentuk
pertumbuhan. Perubahan di otak dan fisik di remaja membawa remaja pada rasa
ingin tahu yang begitu dalam mengenai seksualitas. Diamon & Savin-William
8
(dalam Santrock, 2011) mengatakan bahwa masa remaja merupakan proses
dalam menguasai perasaan seksual dan pembentukan rasa identitas seksual. Hal
ini mencakup kemampuan belajar untuk mengelola perasaan seksual,
mengembangkan bentuk intimasi yang baru, serta mempelajari ketrampilan
untuk mengelola tingkah laku seksual agar terhindar dari konsekuensi yang tidak
diinginkan. Identitas seksual remaja menurut Buzwell & Rosenthal (dalam
Santrock, 2011) mencakup minat, gaya perilaku, dan indikasi yang mengarah
pada orientasi seksual. Kondisi inilah yang membawa remaja pada perilaku
seksual.
Berikut ini merupakan aspek-aspek perilaku seksual menurut Soetjiningsih
(2008) dengan memodifikasi Diagram Book dalam buku sex : A user’s manual :
a. Berpegangan tangan, b. Memeluk/dipeluk bahu, c. Memeluk-dipeluk
pinggang, d. Ciuman bibir, e. Ciuman bibir sambil pelukan, f. Meraba/diraba
daerah erogen (payudara, alat kelamin) dalam keadaan berpakaian, g.
Mencium/dicium daerah erogen dalam keadaan berpakaian, h. Meraba/diraba
daerah erogen dalam keadaan tanpa berpakaian, i. Mencium/dicium daerah
erogen dalam keadaan tanpa berpakaian, j. Saling menempelkan alat kelamin
dalam keadaan berpakaian, k. Saling menempelkan alat kelamin dalam keadaan
tanpa berpakaian.
Komunikasi Orang Tua Anak Tentang Seksualitas
Pengertian komunikasi secara luas sendiri menurut McCubbin dan Dahl
(dalam Friedman, 1998) merupakan proses tukar-menukar perasaan, keinginan,
kebutuhan-kebutuhan serta opini-opini. Dalam konteks keluarga, komunikasi
keluarga menurut Galvin dan Brommel (dalam Friedman, 1998) adalah suatu
9
proses simbolik, transaksional untuk menciptakan dan mengungkapkan
pengertian dalam keluarga. Selanjutnya, Model Rommetveit dan Blakar (dalam
Botchway, 2004), menjelaskan bahwa komunikasi adalah Interaksi antara dua
pihak,
dengan
masing-masing
memiliki
kemampuan
untuk
saling
mempengaruhi.
Komunikasi mengenai seksualitas didefinisikan sebagai komunikasi
yang berkaitan dengan diskusi tentang kesehatan seksual, termasuk HIV / AIDS,
IMS, penggunaan
kondom, dan KB (Thongpat, 2006). Menurut Snell (dalam
Thongpat, 2006) komunikasi tentang seksualitas adalah bersedianya seseorang
untuk berkomunikasi dan berdiskusi dengan orang lain mengenai topik-topik
seksualitas yang berhubungan dengan seksualitas manusia itu sendiri.
Komunikasi orang tua dan remaja mengenai seks juga sering diartikan sebagai
komunikasi yang berfokus pada mengurangi perilaku seksual beresiko atau
mempromosikan seks yang bertanggung jawab, dan aman di kalangan remaja
(Fongkaew et al., 2012).
Melalui komunikasi orang tua dapat memberikan nilai-nilai dan
keyakinannya khususnya tentang seksualitas kepada anaknya. Orang tua dapat
memberikan pengaruh positif kepada keputusan anak dalam perilaku seksual,
karena mereka sumber yang bagus untuk mempengaruhi pengetahuan, sikap, dan
perilaku remaja, Lefkowitz (dalam Wang, 2009). Hasil penelitan Miller, &
Forehand; East; B. C. Miller, Norton, Fan, & Christopherson; Whitaker et
al.,(dalam Fongkaew et al., 2012) juga menunjukkan bahwa pengaruh positif
dari orang tua melalui komunikasi mengenai seksualitas dapat terjadi apabila
adanya keterbukaan, friendly, dan kenyamanan dalam berkomunikasi.
10
Aspek Komunikasi
Adapun Aspek-aspek komunikasi secara umum menurut Supratiknya (dalam
Liana, 2007) antara lain :
a) Pembukaan diri
Saling terbuka dan jujur dalam berhubungan atau berinteraksi dengan orang
lain.
b) Mampu mendengarkan lawan bicara
Memahami pesan atau ide yang dikemukakan oleh orang lain.
c) Mampu mengkomunikasikan ide atau gagasan dengan baik
Mampu
mengungkapkan
ide-ide,
gagasan
atau
perasaannya
dan
menyampaikan pesan tersebut dengan tepat.
d) Penerimaan terhadap orang lain
Menghargai pendapat orang lain atau mampu menerima gagasan dari sudut
pandang orang lain.
Adapun topik seksual yang dibahas dalam penelitian ini adalah Topik seksual
yang terdiri dari 20 topik yang meliputi (Sommers & Canivez, 2003) :
1.sexual reproductive system- where babies come from, 2. the father’s part in
conception, 3.menstruation (periods), 4. nocturnal emissions (wet dreams), 5.
Masturbation ,6. dating relationships, 7.petting, 8. sexual intercourse, 9. birth
control in general, 10.personal use of birth control, 11.consequences or teen
pregnancy (other than AIDS), 12. sexually transmitted diseases,13. love and/or
marriage, 14.whether premarital sex is right or wrong, 15. abortion and related
legal issues, 16. prostitution, 17. homosexsuality,18. AIDS, 19.sexual abuse,
20.rape
11
Hubungan komunikasi orang tua dan remaja tentang seksualitas dengan
perilaku seksual pada remaja.
Teori Eriskson (dalam Papalia, 2009) menyatakan bahwa masa remaja
merupakan masa mencari identitas. Pencarian Identitas ini dapat menjawab tiga
persoalan besar salah satunya identias seksual (Papalia, 2009). Melihat diri
sendiri sebagai mahluk seksual, mengenali orientasi seksual diri sendiri,
menerima dorongan seksual, dan membentuk keadaan romantis atau seksual
adalah bagian dari pencapaian identitas seksual (Papalia, 2009). Minat remaja
pada dunia seksualitas sedang berada di area tinggi yang didorong oleh
meningkatnya libido / perubahan hormon (Hurlock, 1990). Akibatnya remaja
mengeksplorasi minat seksualnya / orientasi seksualnya dengan berbagai macam
tindakan karena remaja membutuhkan jawaban mengenai peristiwa yang sedang
terjadi dalam dirinya. Remaja membutuhkan informasi dan biasanya mereka
mendapatkan informasi mengenai seks dari teman-teman, orang tua, pendidikan
seks di sekolah, dan media (dalam Burns, 2010)..
Pendidikan
seksual
dapat
membantu
remaja
untuk
menerima
karaktersitik biologis dan psikologis gender mereka, artinya pendidikan ini
menyediakan pengenalan identitas seksual mereka secara tepat (Ivchenkova,
Efimova & Akkuzina, 2003; dalam Wang, 2009). Pendidikan seksual tidak
hanya berperan dalam pencegahan HIV dan penyakit menular seksual lainnya
pada remaja, tapi juga penting untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan
(dalam Wang, 2009).
Menurut Montemayor (dalam Wang, 2009 ) kemampuan mengambil
sebuah keputusan remaja masih belum baik, remaja masih dianggap kurang
12
dewasa dalam memutuskan perilaku yang beresiko. Selain itu remaja masih
impulsif dalam menentukan keputusan sehingga lebih mungkin membawa
remaja pada perilaku seksual beresiko. Oleh karenanya, remaja perlu didampingi
oleh orang dewasa dalam menemukan informasi yang tepat tentang seksualitas
(dalam Wang, 2009). Remaja membutuhkan figur yang dapat membantu mereka
melewati masa pencarian identitas yang penuh dengan tantangan ini. Figur
tersebut ada dalam diri orang tua yang merupakan sosok penting dalam
perkembangan hidup remaja.
Menurut Brooks (2011) orang tua merupakan individu yang memelihara,
melindungi, dan membimbing kehidupan anak sampai anak menjadi dewasa dan
mandiri. Sedangkan pandangan Jaccard et al (dalam Wang, 2009) orang tua
dipandang sebagai agen perubahan yang menjadi sumber informasi berharga
dalam membantu remaja membentuk keyakinan dan perilaku seksualnya. Oleh
karena itu Jaccard et al (dalam Wang, 2009) menekankan pentingnya untuk
mengajarkan orang tua berkomunikasi secara efektif dengan anak remaja
mengenai persoalan seksualitas, yang pada akhirnya akan mencegah remaja
terlibat dalam perilaku beresiko yang tinggi. Dengan demikian orang tua yang
mampu berkomunikasi secara efektif dengan anaknya terkait masalah-masalah
seksual maka anak tersebut cenderung kurang terlibat banyak dalam perilaku
seksualnya.
Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan negatif dan signifikan
antara komunikasi orang tua dan anak tentang seksualitas dan perilaku seksual
pada remaja dari keluarga prasejahtera. Semakin buruk komunikasi orang tua
13
dan anak mengenai seksualitas maka semakin tinggi perilaku seksual dan begitu
pula sebaliknya semakin baik komunikasi orang tua dan anak tentang seksualitas
maka semakin rendah pula perilaku seksualnya.
METODE
Variabel penelitian dan definisi operasional.
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah komunikasi orang tua dan
anak tentang seksualitas. Komunikasi oleh Supratiknya (1995) didefinisikan
sebagai setiap bentuk tingkah laku seseorang baik verbal maupun nonverbal
yang ditanggapi oleh orang lain, meliputi aspek pembukaan diri, mampu
mendengarkan lawan bicara, mampu mengkomunikasikan ide atau gagasan
dengan baik, serta penerimaan terhadap orang lain. Komunikasi orang dan tua
anak tentang seksual berarti komunikasi antara orang tua dengan anak yang
membahas tentang topik seksualitas.
Komunikasi orang tua dan anak tentang seksualitas diungkap dengan
skala komunikasi yang penulis susun berdasarkan aspek-aspek komunikasi yang
dikemukakan oleh Supratiknya (1995). Kemudian digabungkan dengan topiktopik seksual yang memodifikasi topik-topik seksual dari Somers & Canivez
(2003),
seperti
menstruation,
nocturnal
emissions
(“wet
dreams”),
homosexuality, sexual intercourse, masturbation, birth control in general,
dating relationship, whether premarital sex is right or wrong, abortion and
related legal issues, sexual abuse, prostitution, AIDS, rape.. Baik buruknya
komunikasi dapat dilihat dari tingginya skoring dalam komunikasi. Semakin
tinggi skor yang diperoleh dari skala komunikasi orang tua dan anak tentang
seksual maka semakin baik komunikasi orang tua dan anak tentang seksualitas.
14
Sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh dari skala komunikasi orang tua
dan anak tentang seksual maka semakin buruk komunikasi orang tua dan anak
tentang seksualitas.
Sedangkan variabel terikatnya adalah perilaku seksual pada remaja.
Perilaku seksual menurut Soetjiningsih (2008) adalah segala tingkah laku remaja
yang didorong oleh hasrat baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis
dan objek seksualnya dapat berupa orang lain, orang dalam khayalan, atau diri
sendiri. Perilaku seksual ini diukur dengan menggunakan skala perilaku seksual
yang mengacu pada tahapan perilaku seksual (Soetjiningsih, 2008). Tinggi
rendahnya perilaku seksual dapat dilihat dari besarnya skoring perilaku seksual.
Subjek penelitian
Kriteria subjek dalam penelitian ini adalah (1) berusia remaja (12-21
tahun), (2) sudah pernah berpacaran, (3) berasal dari keluarga prasejahtera
(underpreviledge). Subyek dalam penelitian ini merupakan anak-anak di Jakarta
Barat yang mendapatkan pelayanan dari Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB)
berupa kesempatan bersekolah di Rumah Belajar Cinta Anak Bangsa (RBCAB),
maupun anak-anak yang tidak bersekolah di RBCAB tetapi mendapatkan
bantuan dana pendidikan dari YCAB. Kriteria Prasejahtera (underpreviledge)
telah diseleksi oleh YCAB sebelum anak-anak tersebut mendapatkan pelayanan,
berupa: (1) persyaratan administrasi, yaitu Surat Keterangan Tidak Mampu
(SKTM) dari kelurahan; dan rekening listrik tidak lebih dari seratus tujuh puluh
ribu per bulan; (2) wawancara mendalam dengan anak maupun orang tua untuk
mengetahui motivasi belajar dan kondisi keluarga; (3) kunjungan ke rumah yang
bersangkutan untuk melihat kondisi rumah.
15
Berdasarkan kriteria di atas, dan dikarenakan keterbatasan waktu dan
sumber daya, peneliti hanya mampu mengumpulkan 103 orang subyek
penelitian; dengan rincian sebagai berikut: 1 anak berusia 14 tahun, 3 anak
berusia 15 tahun, 15 anak berusia 16 tahun, 55 anak berusia 17 tahun, 19 anak
berusia 18 tahun, 6 anak berusia 19 tahun, 3 anak berusia 20 tahun, dan 1 anak
berusia 21 tahun. Sebanyak 14 dari 103 subyek penelitian ini gugur karena tidak
mempunyai skor pada perilaku seksual sehingga jumlah subjek menjadi 89
orang.
Teknik pengambilan sampel dengan snowball sampling yaitu teknik
penentuan sampel yang mula-mula jumlahnya kecil, kemudian membesar.
Dalam penentuan sampel pertama-tama dipilih satu atau dua orang, kemudian
terus berkembang untuk mencapai jumlah yang diinginkan peneliti sehingga
jumlah sampel semakin banyak (Sugiyono, 2013).
Alat Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan dua skala
psikologi. Skala pertama yang digunakan yaitu skala komunikasi orang tua dan
anak tentang seksualitas. Skala ini penulis susun berdasarkan aspek-aspek
komunikasi menurut Supratiknya (1995) ditambah dengan topik-topik seksual
yg memodifikasi dari Sommers & Caniverz (2003). Namun tidak semua topik
seksual dijadikan aitem. Beberapa contoh aitem sebagai berikut, “saya enggan
mendengarkan nasihat orang tua mengenai bahayanya pornografi.” (aitem nomor
2), “orang tua saya mau mendengarkan pendapat saya tentang maraknya perilaku
seks bebas yang terjadi di kalangan teman-teman saya” (aitem nomor 25).
16
Skala kedua yang digunakan untuk mengukur perilaku seksual yaitu
skala perilaku seksual yang dikembangkan oleh Soetjiningsih (2008). Beberapa
contoh aitem sebagai berikut, “saya melakukan ciuman bibir dengan lawan
jenis.” (aitem no 4),“saya melakukan hubungan seksual layaknya suami istri”
(aitem no 12). Skala perilaku seksual ini menggunakan skala Guttman, yaitu
skala kumulatif dengan skor tertinggi satu dan skor terendah nol. Jika seseorang
mengiyakan pertanyaan atau pernyataan yang lebih berat, maka ia juga akan
mengiyakan pertanyaan-pertanyaan atau pernyataan-pernyataan yang kurang
berbobot lainnya (Nazir, dalam Anita 2014).
Dari hasil pengujian daya beda analisis aitem dengan batas kriteria 0,25
(Azwar, 2013), maka alat ukur komunikasi orang tua dan anak tentang
seksualitas mempunyai daya beda yang baik karena r aitem totalnya bergerak
dari 0.285-0.601 dengan skor reliabilitas sebesar 0,815. Sedangkan untuk aitem
perilaku seksual dengan batas kriteria 0, 25 (Azwar) juga didapati memiliki
daya beda yang baik karena r aitem totalnya bergerak dari 0,274-0,670 dengan
skor reliabilitas sebesar 0,852.
Prosedur Pengumpulan Data
Tahap awal sebelum melakukan pengambilan data adalah mengamati dan
mencari informasi mengenai perilaku remaja di RBCAB, khususnya yang
berpacaran. Tahap ini dilakukan pada tanggal 28 November 2014. Berdasarkan
hasil pengamatan dan informasi yang diperoleh dari orang-orang yang bekerja di
RBCAB, mengindikasikan adanya perilaku seksual di kalangan remaja yang
dilayani YCAB. Maka selanjutnya peneliti menyiapkan alat ukur berupa
kuisioner dan mendapatkan persetujuan pada tanggal 17 Desember 2014.
17
Skala komunikasi orang tua-anak tentang seksualitas menggunakan lima pilihan
jawaban dengan rentang nilai 1-5 skala Likert. Subjek diberi pilihan respon
sebagai berikut : skor 5 untuk pilihan sangat sesuai (SS), skor 4 untuk pilihan
sesuai (S), skor 3 untuk pilihan netral (N), skor 2 untuk pilihan tidak sesuai (TS),
dan 1 untuk pilihan sangat tidak sesuai (STS). Sedangkan skala perilaku seksual
menggunakan dua pilihan jawaban yaitu Pernah (P) skor 1 dan Tidak Pernah
(TP) skor 0. Angket atau kuisioner mulai diberikan pada tanggal 8 Januari 2015
sampai tanggal 16 Januari 2015. Semua angket terkumpul pada tanggal 16
Januari 2015 . Setelah angket terkumpul peneliti melakukan skoring, kemudian
dilanjutkan dengan menguji alat ukur. Dari hasil uji alat ukur dengan
menggunakan batas kriteria aitem 0,25 (dalam Azwar, 2013) skala komunikasi
mengalami pengguguran dari 35 aitem menjadi 17 aitem. Sedangkan untuk skala
perilaku seksual semua aitem tidak ada yang gugur. Setelah melakukan
pengujian alat ukur barulah peneliti melakukan analisis data sehingga dapat
diketahui hasil dari penelitian.
HASIL PENELITIAN
Uji Asumsi
Setelah mendapatkan data penelitian yang dibutuhkan, untuk mengetahui
adanya hubungan antara komunikasi orang tua dan anak dengan perilaku seksual
pada remaja maka dilakukan uji asumsi. Uji asumsi diantaranya uji normalitas
dan linearitas untuk memastikan data yang diperoleh bisa dan layak untuk
dipergunakan. Berdasarkan perhitungan melalui Kolmogorov-Smirnov SPSS
16.00, di dapatkan bahwa skor K-S-Z komunikasi orang tua dan anak tentang
seksual dengan signifikansi sebesar 0,582 (p>0,05) sedangkan skor K-S-Z
18
perilaku seksual dengan signifikansi sebesar 1,844 (p>0,05). Dari hasil tersebut,
maka data kedua variabel dapat dikatakan berdistribusi normal.
Uji liniearitas dilakukan dengan maksud mengetahui hubungan antar
variabel
memiliki hubungan yang linier atau tidak secara signifikan. Dari
hasil uji liniearitas yang dilakukan dengan menggunakan ANOVA table of
linearity, maka didapatkan hasil Fbeda dengan signifikansi sebesar 0,649 (p >
0,05). Artinya komunikasi orang tua dan anak tentang seksualitas dan perilaku
seksual memiliki hubungan yang linear.
Analisis Deskriptif
Statistik deskriptif dilakukan untuk mengetahui kategorisasi tiap
variabel. Dari hasil statistik deskriptif maka ditemukan total minimum pada
variabel komunikasi orang tua-anak tentang seksualitas sebesar 30,00, total skor
maksimum sebesar 76,00 dengan mean 53,13 dan standar deviasi 10, 31.
Sedangkan hasil statistik deskriptif pada variabel perilaku seksual ditemukan
total skor minimum 1, total skor maksimum sebesar 12,00 dengan mean 4,12
dan standar deviasi 2,60.
Melalui hasil analisis statistik deskriptif tersebut, maka dilakukan
pengkategorisasian. Maka di dapatkan kemungkinan pembagian skor tertinggi
sebsar 76,0 sedangkan skor terendah sebesar 30,0. Kemudian pada variabel
perilaku seksual di dapatkan kemungkinan pembagian skor tertinggi sebesar
12,0 dan skor terendah sebesar 1. Melalui pengkategorisasian yang dilakukan,
maka didapatkan bahwa komunikasi orang tua dan anak tentang seksualitas pada
remaja dari keluarga prasejahtera dapat dikategorikan cukup, sedangkan perilaku
seksualnya dapat dikategorikan rendah.
19
Tabel 1
Kategorisasi Komunikasi tentang seksualitas
Interval
66,80 < x ≤ 76,00
57,60 < x ≤ 66,80
48,40 < x ≤ 57,60
39,20 < x ≤ 48,40
30,00 < x ≤ 39,20
Kategori
Sangat Tinggi
Tinggi
Cukup
Rendah
Sangat Rendah
Frekuensi
9
22
25
26
7
%
10,11
24,72
28,09
29,21
7,87
Mean
SD
9,2
53,13
Tabel 2
Kategorisasi Perilaku Seksual
Interval
Kategori
Frekuensi
%
Mean
8,3 < x ≤ 12
Tinggi
7
7,87
4 ,7< x ≤ 8,3
Cukup
27
30,34
1 < x ≤ 4,7
Rendah
55
61,80
SD
3,7
4,12
Tabel 3
Presentase tahap perilaku seksual
No
Tahapan
∑ org
%
1
Berpegangan tangan
12
13,48
2
Memeluk/Dipeluk dibagian bahu
9
10,11
3
Memeluk/ di peluk di pinggang
18
20,22
4
Ciuman bibir
9
10,11
5
Ciuman bibir sambil pelukan
16
17,98
6
Meraba/Diraba di daerah erogen dalam
keadaan berpakaian
Mencium/dicium di daerah erogen
dalam keadaan berpakaian
Meraba/diraba di daerah erogen dalam
keadaan tanpa berpakaian
Mencium/dicium di daerah erogen
dalam keadaan tanpa berpakaian
Saling menempelkan alat kelamin dalam
keadaan berpakaian
Saling menempelkan alat kelamin dalam
keadaan tanpa berpakaian
Hubungan seksual
5
5,62
5
1,12
1
3,37
3
3,37
6
6,74
1
1,12
4
4,49
7
8
9
10
11
12
Mean
4,12
20
Berdasarkan tabel diatas, maka tahap perilaku perilaku seksual yang
dilakukan oleh remaja dari keluarga prasejahtera di lingkungan rumah belajar
YCAB Jakarta Barat adalah sebanyak, 12 remaja melakukan berpegangan
tangan (13,48%), 9 remaja melakukan memeluk/dipeluk di bagian bahu
(10,11%), 18 remaja melakukan memeluk/dipeluk dibagian pinggang (20,22%),
9 remaja melakukan ciuman bibir (10,11%), 16 remaja melakukan ciuman bibir
sambil berpelukan (17,98%), 5 remaja melakukan meraba/diraba di daerah
erogen
dalam
keadaan
berpakaian
(5,62%),
5
remaja
melakukan
mencium/dicium di daerah erogen dalam keadaan berpakaian (5,62%), 1 remaja
melakukan meraba/diraba di daerah erogen dalam keadaan tanpa berpakaian
(1,12%), 3 remaja melakukan mencium/dicium di daerah erogen dalam keadaan
tanpa berpakaian (3,37%), 6 remaja melakukan saling menempelkan alat
kelamin dalam keadaan berpakaian (6,74%), 1 remaja melakukan saling
menempelkan alat kelamin dalam keadaan tanpa berpakaian (1,12%), dan
sebanyak 4 remaja melakukan berhubungan seksual (4,49%).
Uji Hipotesis
Setelah mengetahui kelayakan data yang diperoleh melalui uji asumsi,
maka selanjutnya dilakukan uji hitpotesis dengan menggunakan Pearson’ s
product moment untuk mengetahui hubungan dari kedua variabel. Uji korelasi
yang dilakukan menemukan bahwa korelasi antara komunikasi orang tua dan
anak tentang seksualitas dengan perilaku seksual pada remaja memiliki nilai
koefisien sebesar -0.118 dan signifikansi sebesar 0, 039 (p < 0.05) yang berarti
terdapat hubungan negatif dan signifikan antara komunikasi orang tua dan anak
tentang seksualitas dengan perilaku seksual pada remaja dari keluarga
prasejahtera. Semakin rendah perilaku seksual, maka semakin baik komunikasi
21
orang tua dan anak tentang seksualitas, atau sebaliknya semakin tinggi perilaku
seksual, maka semakin rendah komunikasi orang tua dan anak tentang
seksualitas.
Tabel 3
Hasil Uji Korelasi
Correlations
Komunikasi
Komunikasi
Pearson Correlation
PS
1
Sig. (1-tailed)
.039
N
PS
Pearson Correlation
Sig. (1-tailed)
*
-.188
89
89
*
1
-.188
.039
N
89
89
*. Correlation is significant at the 0.05 level (1-tailed).
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil dari pengujian terhadap hipotesis penelitian, maka
diperoleh hasil bahwa hipotesis yang diajukan diterima. Terdapat hubungan
negatif dan signifikan antara komunikasi orang tua dan anak tentang seksualitas
dengan perilaku seksual pada remaja dari keluarga prasejahtera. Artinya semakin
buruk komunikasi antara orang tua dan anak tentang seksualitas maka semakin
tinggi perilaku seksual remaja. Begitu pula sebaliknya, bahwa semakin baik
komunikasi antara orang tua dan anak tentang seksualitas maka semakin rendah
perilaku seksualnya.
Hubungan tersebut dapat terjadi karena adanya komunikasi antara orang
tua kepada anak. Melalui komunikasi orang tua membawa pengetahuan atau
wawasan, keyakinan, nilai-nilai, dan juga harapan kepada anaknya (Miller,
22
1998). Komunikasi orang tua dapat memberikan pengaruh positif pada
keputusan anak dalam perilaku seksual, karena mereka merupakan sumber yang
baik untuk mempengaruhi pengetahuan, sikap, dan perilaku remaja (Lefkowitz,
dalam Wang, 2009).
Komunikasi antara remaja dan orang tua tentang seksualitas pada
keluarga prasejahtera dapat berjalan karena adanya pembukaan diri, kemauan
untuk saling mendengarkan, kemampuan untuk menyampaikan ide atau
pendapat secara tepat, serta penerimaan diri satu sama lain. Peran kenyamanan
menjadi penting dalam komunikasi antara orang tua dan remaja mengenai
seksualitas (Somers & Vollmar, 2005). Orang tua dapat memberikan pengaruh
positif kepada anaknya melalui komunikasi apabila ada keterbukaan, kedekatan,
dan kenyamanan dalam berkomunikasi (Fongkaew et al., 2012). Orang tua
merupakan agen perubahan, yang menjadi sumber informasi yang berharga
dalam membantu membentuk keyakinan seksual dan perilaku seksual (Jaccard,
dalam Stanoff 2010).
Dengan demikian hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya
bahwa tinggi atau baiknya komunikasi antara orang tua dan anak berhubungan
dengan penundaan perilaku seksual beresiko seperti sexual intercourse (dalam
Miller, 1998; Somers & Vollmar, 2006). Dari banyaknya faktor perilaku seksual
faktor komunikasi antara orang tua dan anak memberikan sumbangsih sebesar
3.9% terhadap perilaku seksual pada remaja.
23
KESIMPULAN
Dari semua pemaparan yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Terdapat hubungan yang negatif dan signifikan
antara komunikasi
orang tua dan anak tentang seksualitas dengan perilaku seksual pada
remaja dari keluarga prasejahtera.
2. Sebanyak (29,21%) remaja pada penelitian ini memiliki komunikasi
yang buruk dengan orang tuanya tentang seksualitas. Kemudian
sebanyak (61,80%) remaja dalam penelitian ini memiliki perilaku seksual
yang rendah.
3. Komunikasi orang tua dan anak tentang seksualitas memberikan
sumbangan sebesar 3, 9 % terhadap perilaku seksual pada remaja.
SARAN
Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka penulis menyarankan kepada orang tua
untuk
1. Membina hubungan yang baik dengan anak dan membangun
persahabatan dengan anak-anak. Mengingat kedekatan orang tua
mempengaruhi perilaku anak.
Bagi anak atau remaja penulis, menyarankan untuk :
1. Berani untuk mengungkapkan persoalan khususnya seputar seksualitas
baik kepada orang tua, guru, petugas kesehatan, dan orang dewasa yang
bertanggung jawab demi menghindari dampak dari perilaku seksual.
2. Remaja banyak mengikuti kegiatan-kegiatan positif yang dapat
mengembangkan diri. Seperti kegiatan olahraga, kegiatan agama, dan
kegiatan-kegiatan positif lainnya.
24
Bagi peneliti selanjutnya, penulis menyarankan :
1. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengkalimatkan topik-topik
seksual yang akan digunakan untuk mengukur komunikasi tentang
seksualitas dengan lebih sederhana dan mudah dimengerti oleh anak.
2. Penelitian selanjutnya dapat memperhitungkan faktor-faktor lain seperti
gender, urutan kelahiran, jumlah saudara yang tinggal di rumah.
3. Peneliti selanjutnya diharapkan untuk memperbanyak jumlah subjek atau
paling tidak mengetahui populasi yang akan dijadikan subjek.
KETERBATASAN PENELITIAN
Penelitian ini memiliki keterbatasan. Keterbatasan yang pertama adalah
subjek yang didapatkan hanya 103 orang, dan yang terpakai hanya 89 orang.
Alhasil hasil penelitian kurang kuat dalam mengeneralisasikan keadaan remaja
prasejahtera. Keterbatasan kedua adalah topik- topik seksual yang mengadopsi
dari milik Somers & Canivezz (2003) tidak semua dimasukan. Padahal ke 20
topik seksual tersebut berjenjang atau berurutan alhasil komunikasi orang tua
dan anak tentang seksual masih belum lengkap.
25
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, S. (2010). Metode penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azwar, S. (2012). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azwar, S. (2013). Reliabilitas dan validitas (Edisi keempat). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Anita, T. (2014). Hubungan antara self-esteem dengan perilaku seksual pada
remaja awal. (Skripsi) tidak dipublikasikan. Salatiga: Fakultas Psikologi
UKSW.
Botchway, A.L. (2004). Parent and adolescent males’ communication about
sexuality in the Context of HIV/AIDS. Thesis. Norway: University of Bergen.
Burns, J. (2010). Teaching your children healthy sexuality. Jakarta: Visi Press.
Friedman, B., & Jones. (2003). Family nursing : research, theory, & practice
(4thed).
USA: Printice hall.
Friedman & Marilyn, M. (1998). Keperawatan keluarga: Teori dan praktik
(Edisi ketiga). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.
Fongkaew, W., Miller, B.A., Cupp, P.K., dkk. (2012). Parernt-teen
communication
about sex in urban thai families. Journal of Health
Communication, 17, 380396.
Gunarsa, S. (2004). Psikologi praktis: Anak, remaja dan keluarga. Jakarta:
Gunung Mulia.
Kirby, Douglas et all. (2011). Reducing Adolescent Sexual Risk (E-book).
California:
Associates.
Kirkman, M., Rosenthal, D. A., & Feldman, S.S. (2005). Being open with your
mouth shut: the meaning of ‘openness’ in family communication about
sexuality. Sex Education. 5(1), 49-66.
Lianna, D. (2007). Perilaku seksual pada remaja ditinjau dari komunikasi orang
tua
dan anak tentang seksualitas. Skripsi. Semarang: Fakultas Psikologi
UNIKA.
Miller, K. S., Kotchick, B. A., Dorsey, S., Forehand, R., & Ham, A. Y. (1998).
Family communication about sex: what are parents saying and are their
adolescents listening. Family Planning Perspectives. ProQuest Public Health,
pg. 218.
26
Miller,K. S., Levin, M. L., Whitaker, D. J., & Xu, X. (1998). Patterns of
condom use among adolescents: The impact of mother-adolescent
communication. American Journal of Publich Health. ProQuest, pg. 1542.
Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2009). Perkembangan manusia.
Jakarta:
Salemba Humanika.
Raffaelli, M., & Green, S. (2003). Parent-adolescent communication about sex:
retrospective reports by Latino college students. Journal of Marriage
andFamily Relations, 65, 474-481.
Rian., Sobri., & Agung. (2013,8-14 April). Curious about sex. Majalah Hai,
XXXVII, 29-49.
Santrock, J.W. (2007). Remaja (Edisi kesebelas jilid 1). Jakarta: Salemba
Humanika.
Santrock, J.W. (2012). Life span development perkembangan masa hidup
(Edisi ketigabelas jilid 1). Jakarta: Erlangga.
Sarwono, S.W. (2000). Psikologi remaja. Jakarta: CV Rajawali.
Soetjiningsih, C. H. (2008). Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
seksual
pranikah pada remaja. Diunduh pada 20 Oktober 2014, dari
http: //lib.ugm.ac.id/digitasi/upload/824_RD0906004. pdf .
________. (2008). Remaja usia 15-18 tahun banyak lakukan perilaku seksual
pranikah. Diunduh tanggal 17 April 2014 dari http: //ugm.ac.id/id/berita/551dr. soetjiningsih: .remaja. usia. 15. . 18.tahun.banyak.lakukan.perilaku.pranikah
.
Somers, L. C., & Canivez, G. L. (2003). The sexual communication scale a
measure of frequency of sexual communication between parents and
adolescents. Adolescence, Vol. 38, 43-56.
Somer, L.C., & Vollmar, W.L . (2006). Parent-adolescent relationships and
adolsecent sexuality: closeness, communication, and, comfort among diverse
U.S adolescent samples. Social and Behaviour Personality, 34(4), 451-460.
Stanoff, M.N. (2010). Parent adolescent sexual communication and adolecent
cognitive processes on sexual risk among european American female
adolescentcs. Unpublished Doctor’s dissertation. University of California,
Riverside.
Sugiyono. (2013). Statistika untuk penelitian. Bandung: Alvabeta.
27
Supratiknya, A. 1995. Komunikasi Antarpribadi – Tinjauan Psikologis.
Yogyakarta : Kanisius.
Sutton, D. S (2002). Sex, law and society in late imperial China. Journal of
Social History, 35(3), 712-714.
Thongpat, S. (2006). Thai mothers and their adolescent daughters’
communication
about sexuality. Doctoral thesis. University of Illinois,
Chicago. Tope, O. (2012). Correlation between peer influence and sexual
behavior among in- school adolescents in Nigeria. Ogun State: EgoBooster
Books.
Upton, P. (2012). Psikologi perkembangan. Jakarta: Erlangga.
Wang, Z. (2009). Parent adolescent communication and sexual risk-taking
behaviours of adolescents. Master’s thesis, University of Stellenbosch,
Stellenbosch, South Africa.
Westheimer, K.R., & Sanford. L. (2011). Human sexuality a psychological
perspective (second edition). USA: Kingsi
Wikipedia. (2013). Sex education. Diakses Desember 3, 2013 dari
http://en.wikipedia.org/wiki/Sex_education
Yulia, S.D.G., & Gunarsa,Singgih.D. (2004). Psikologi Perkembangan Anak
dan Remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Download