PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS ANAK JALANAN

advertisement
PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS ANAK JALANAN
(Studi Persepsi Komunikan terhadap Komunikator Pendidikan Layanan
Khusus Sekolah Kita di Surakarta)
Mukti Hening Pratiwi
Sofiah
Sri Urip Haryati
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract
Research study titled perception of street children against teachers
Education Special Services Sekolah Kita are aiming: 1). to determine the
comunicant perception of the communicator Education Special Services Sekolah
Kita in Surakarta, 2). to determine the factors that influence the communicant
perception of the communicator Education Special Services Sekolah Kita in
Surakarta, 3). to know the figure expected by the communicant of the
communicator Education Special Services Sekolah Kita in Surakarta.
This study used a qualitative approach. Informants are street children who
undergo special education services. Withdrawal informants determined by
purposive sampling, which aims at finding respondents understand the theme of
the study. Data was collected through observation, in-depth interviews, and
literature. The process of data analysis includes data reduction, data
presentation, and drawing conclusions and verification.
Results were obtained: 1). communicant positive perception of the
communicator through appearance, competencies, and attitudes also affect the
participation communicator communicant in pembelajaraan process, 2). the
factors that influence the perception of the communicator communicant include
freedom, attention, patience, and patience, 3). communicant communicator figure
is expected figure compassionate, capable of nurturing, learning and well
explained. It is more focused on the role of a communicator as a mentor figure,
protector for communicants. This study is expected to be a reference for other
studies with similar themes as well as beneficial to the academic world.
Keywords: perception, street children, teachers
1
Pendahuluan
Anak jalanan terlahir dari keterpurukan kondisi ekonomi keluarga yang
memaksa
anak
turut
bekerja.
Dilansir
dalam
penelitian
Kementerian
Pemberdayaan Perempuan terkait alasan anak turut bekerja adalah membantu
ekonomi orang tua (71%), dipaksa orang tua (6%), menambah biaya sekolah
(15%), serta lain-lain (33%), yang meliputi keinginan hidup bebas, untuk uang
jajan, ataupun mendapatkan teman(dalam jurnal psikologi Yudit Oktaria, Konsep
Diri Anak Jalanan Usia Remaja, http://www.academia.edu/5011304/konsep-dirianak-jalanan-usia-remaja-self-concept-adolescent-who-live-in-the-street, 2008).
Kondisi anak yang belum memiliki cukup keterampilan membuat mereka
memilih pekerjaan diranah marjinal, yakni jalanan. Pengertian anak jalanan
menurut Departemen Sosial adalah anak berusia kurang dari 18 tahun (6-18) yang
melakukan pekerjaan di jalanan selama 6 jam oleh sebab apapun. Dalam jurnal
internasional Mesir yang ditulis oleh Zain Al- Dien (education for the street
children
in
Egypt,
http://ejournals.library.ualberta.co/index.php/JCIE/article/view/6474,
2009)
mengatakan jalanan bagi anak dianggap sebagai tempat berlindung dan pengganti
hidup dengan keluarga dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan dasar, yakni
untuk makan dan kelangsungan hidup. Pekerjaan yang digeluti diantaranya
mengamen, mengemis, menyemir sepatu, ataupun penjual asongan (dalam Kang
Bull, anak jalanan dalam pengertian sosiologi, http://kafeilmu.com/2012/04/anakjalanan-dalam-pengertian-sosiologi.html#ixzz2HSNJ7ail, 2012).
Pekerjaan di jalanan membuat anak melupakan bangku sekolah. Sebuah
kajian dilakukan pada tahun 2011 oleh UNICEF, UNESCO bekerja sama dengan
Kementerian
Pendidikan
dan
Kebudayaan
Republik
Indonesia
(dalam
UNICEF_Anual_Report_(Ind)_130731.pdf, Laporan Tahunan 2012, 2013 )
menunjukkan bahwa 2,5 juta anak Indonesia pada usia 7 - 15 tahun tidak
mengenyam pendidikan dan kebanyakan putus sekolah ketika masa transisi dari
SD ke SMP. Hal tersebut terlatarbelakangi ketiadaan biaya dan tidak adanya
dukungan orang tua terhadap pendidikan anak.
2
Profesi orang tua yang juga berada diranah marjinal turut mendukung
pengabaian terhadap pendidikan. Profesi sebagai tukang ojek, buruh, pedagang
asongan, ataupun pemulung hanya mampu memenuhi kebutuhan untuk makan
sehari-hari.
Lingkungan jalanan yang kerap bersinggungan dengan cemoohan,
pelecehan, umpatan kasar, serta kekerasan menjadikan anak jalanan mengikuti
perilaku serupa. Stigma negatif masyarakat turut berperan menjadikan anak
jalanan bersikap apatis dan membenci dirinya sendiri.
Hal inilah yang menjadikan pendidikan penting untuk membangun
kembali karakter anak jalanan selaku aset generasi bangsa. Sesuai dengan
Undang-Undang no. 23 tentang Perlindungan Anak tahun 2002 “bahwa anak
adalah tunas, potensi, generasi muda, penerus cita-cita perjuangan bangsa,
memiliki peran strategis, serta mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin
kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.”(Undang – Undang
no.23, Perlindungan Anak, UU-No 23-Perlindungan-Anak. Pdf, 2002).”
Upaya perbaikan generasi bangsa turut memunculkan berbagai lembaga
maupun
yayasan
sebagai
bentuk
kepedulian.
Salah
satunya
Lembaga
Pemberdayaan Perempuan dan Anak Pinggiran (LPPAP) SEROJA yang berada di
Surakarta. Terbentuk pada tahun 2001, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ini
memiliki misi mengembangkan program-program pendidikan dan perlindungan
bagi anak pinggiran. LPPAP SEROJA berupaya memberikan pendekatan,
pembinaan, informasi, dan advokasi.
Terkait dengan jumlah anak jalanan di Surakarta sesuai dengan laporan
Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) terdapat 648
anak yang terdiri dari anak terlantar, anak nakal, dan anak jalanan tersebar di Solo
(dalam Supriyanto, Solo Tak Punya Program Penanganan Anak Jalanan,
http://tempo.com/2011/5/10/solo-tak-punya-program.html, 2011).”
LPPAP SEROJA turut membangun sarana pendidikan non formal dengan
tujuan memberikan hak pendidikan bagi anak yang memiliki keterbatasan, salah
satunya anak jalanan. Konsep pendidikan ini dikenal dengan sebutan Pendidikan
Layanan Khusus (PLK). PLK sebagai bentuk layanan pendidikan yang
3
diselenggarakan untuk pekerja anak melalui berbagai jenjang, yakni tingkat satuan
pendidikan dasar sampai tingkat satuan pendidikan menengah dalam rangka
mengembangkan potensi diri anak menuju perbaikan kualitas hidup.
Sekolah sebagai media pendidikan memegang peranan penting. Seperti
disampaikan Efendy (2004:102) sekolah merupakan pranata interaksionisme,
tempat berinteraksi, dan saling mempengaruhi diantara insan-insan yang terdiri
dari guru dan murid, berlangsung secara terarah, dan dalam suasana ilmu
pengetahuan.
Peranan guru dalam proses pembelajaran teramat penting sebagai sosok
pendidik sekaligus orang tua kedua bagi murid. Di lingkungan sekolah formal,
murid dengan senang hati mengikuti, mendengarkan, serta mematuhi perintah
guru. Hal ini didorong penanaman persepsi oleh orang tua terhadap anak bahwa
keberadaan guru sebagai sosok pembimbing dalam pembelajaran.
Situasi berbeda tentu terjadi pada anak jalanan, pengabaian orang tua serta
pola hidup di jalanan membuat mereka memiliki cara pandang berbeda dalam
berperilaku maupun memperlakukan orang. Tidak mudah bagi anak jalanan untuk
menghormati, mendengarkan, ataupun menjadikan seseorang sebagai panutan.
Bahkan sikap tertutup dan tidak bersahabat sering mereka tunjukkan. Rasa
percaya tidak mudah terbangun terhadap orang asing.
Realitas diatas menjadi salah satu alasan penulis tertarik melakukan
penelitian terkait kegiatan belajar di sekolah layanan khusus. Dalam kegiatan
belajar terdapat proses transfer informasi yang mengalami hambatan disebabkan
komunikan terbiasa hidup bebas, kurang memperoleh perhatian, terkucilkan dari
lingkungan masyarakat, serta memiliki kecenderungan menutup diri sehingga
tidak sembarang komunikator dipercaya untuk didengarkan oleh komunikan.
Oleh karena itu, dalam proses transfer informasi dibutuhkan sosok
komunikator yang memenuhi kriteria dan dipercaya komunikan, dekat dengan
kehidupan sehari-hari sehingga keberlangsungan komunikasi dapat terjalin.
Komunikan dalam mengkonversi pesan terdapat aspek psikologi yang berperan
yakni persepsi. Persepsi komunikan menentukan komunikator yang diterima,
faktor-faktor yang mempengaruhi penilaian komunikan, serta sosok komunikator
4
yang
diharapkan
sehingga
berpengaruh
pada
keberlangsungan
proses
pembelajaran. Penulis mengambil judul Pendidikan Layanan Khusus Anak
Jalanan (Studi Persepsi Komunikan terhadap Komunikator Pendidikan Layanan
Khusus Sekolah Kita di Surakarta).”
Perumusan Masalah
1. “Apa persepsi komunikan terhadap penampilan, kompetensi, serta sikap
komunikator Pendidikan Layanan Khusus Sekolah Kita di Surakarta?”
2. “Faktor - faktor apa saja yang mempengaruhi persepsi komunikan terhadap
komunikator Pendidikan Layanan Khusus Sekolah Kita di Surakarta?”
3. “Sosok komunikator seperti apa yang diinginkan oleh komunikan Pendidikan
Layanan Khusus Sekolah Kita di Surakarta?
Tinjauan Pustaka
1. Komunikasi
Istilah komunikasi atau dalam bahasa inggris communication berasal dari kata
Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti “sama”.
“Sama” disini maksudnya adalah “sama makna”. Dapat dijabarkan “sama makna”
adalah persamaan pengertian antara penyampai pesan (komunikator) dengan
penerima pesan (komunikan) dalam proses komunikasinya hingga memperoleh
pemahaman yang sama (dalam Efendy,1986: 11). Sesuai dengan rumusan yang
disampaikan oleh Carl Hovland, Janis & Kelley (dalam Riswandi, 2009: 1) bahwa
komunikasi adalah suatu proses dimana seseorang (komunikator) menyampaikan
stimulus (biasanya kata-kata) dengan tujuan mengubah atau membentuk perilaku
orang-orang lainnya (khalayak).
2. Persepsi
a. Pengertian Persepsi
Definisi persepsi (Sobur, 2003: 445) (dalam blog Dhani Munandar,
pengertian
dan
–
contoh
contoh
persepsi,
http://dhanicyx.blogspot.com/2012/12/pengertian-dan-contoh-contohpersepsi.html, 2012) secara etimologis berasal dari kata “perception” (bahasa
5
inggris) atau bahasa latin “percipare” yang artinya menerima atau mengambil.
Hamidi (2007:57) menjelaskan persepsi adalah proses internal yang kita lakukan
untuk
memilih,
mengevaluasi,
dan
mengorganisasikan
rangsangan
dari
lingkungan eksternal. Makna persepsi menurut Rakhmat (dalam Effendy, 2004:
101) adalah penginderaan atau pengamatan tentang objek, peristiwa, atau
hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan. Penginderaan
dipengaruhi oleh pengalaman, kebiasaan, dan kebutuhan.
B. Proses Pembentukan Kesan
Proses pembentukan kesan (dalam Liliweri, 2011: 93) memiliki alur mulai
dari stereotyping, implicit personality sampai proses atribusi.
1. Stereotyping
Seorang guru ketika menghadapi murid-muridnya yang bermacam-macam,
ia akan mengelompokkan mereka pada konsep-konsep tertentu; cerdas, bodoh,
cantik, jelek, rajin, atau malas. Inilah yang disebut stereotyping.
2. Pengkategorian (implicit personality)
Memberikan
kategori
berarti
membuat
konsep.
Seperti
konsep
“bersahabat” meliputi konsep-konsep ramah, suka menolong, toleran, tidak
mencemooh dan sebagainya. Setiap orang mempunyai konsepsi tersendiri tentang
“sifat-sifat apa” yang berkaitan dengan “sifat-sifat lainnya”. Konsepsi ini
merupakan teori yang dipergunakan orang ketika membuat kesan tentang orang
lain.
3. Atibusi
Atribusi adalah proses menyimpulkan motif, maksud, dan karakteristik
orang lain dengan melihat pada perilakunya yang tampak. Menurut Fritz Heider
(1958) (dalam Rahmat, 2005: 61) bila kita mengamati perilaku sosial, pertamatama kita menentukan dahulu apa yang menyebabkannya; faktor situasional atau
personal. Menurut Jones dan Nisbett (dalam Rahmat, 2005: 61), seseorang dapat
memahami motif pribadi dengan memperhatikan dua hal,yaitu fokus terhadap
pola perilaku sehari-hari dan penyimpangan yang dilakukan dari perilaku
biasanya.
6
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Informan merupakan
anak jalanan yang menjalani pendidikan layanan khusus. Penarikan informan
ditentukan berdasarkan purposive sampling, bertujuan mencari responden yang
memahami tema penelitian.
Penelitian dilakukan pada PLK Sekolah Kita dengan 25 komunikan yang
tercatat sebagai peserta didik. Namun dalam proses pelaksanaan kegiatannya
komunikan sering datang dan pergi. Dalam setiap kegiatan belajar mengajar
komunikan yang dapat hadir sekitar delapan hingga sepuluh orang. Kami pilih
menggunakan purposive sampling berdasarkan keaktifan kehadiran serta kategori
penelitian sehingga terpilih lima responden sebagai sumber informasi berkaitan
dengan tujuan penelitian. Peneliti juga melakukan wawancara dengan
komunikator Sekolah Kita sebagai data pelengkap.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara
mendalam, dan studi pustaka. Dalam Observasi, peneliti berlaku sebagai
pengamat partisipatif, yakni terlibat langsung dalam kegiatan belajar mengajar
dan turut membantu pengajar dalam pembahasan soal, keterampilan, maupun
bermain dengan anak jalanan selaku subjek penelitian.
Adapula wawancara mendalam dilakukan melalui temu muka langsung
berulang kali dengan lima anak jalanan dalam kegiatan belajar mengajar untuk
memahami pandangan hidup, pengalaman, atau situasi sosial dengan bahasa yang
dirangkai sendiri oleh komunikan. Serta studi pustaka yakni pengumpulan data
yang diperoleh melalui penelitian sebelumnya maupun sumber tertulis dari
berbagai referensi buku, surat kabar, dan lain-lain. Proses analisis data meliputi
reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan serta verifikasinya.
7
Sajian dan Analisis Data
1. Persepsi Komunikan terhadap Komunikator PLK Sekolah Kita
Persepsi merupakan proses internal individu ketika melihat objek
kemudian menginterpretasikan objek ke dalam suatu makna yang berpengaruh
terhadap tindakan selanjutnya. Persepsi terjadi setelah seseorang berinteraksi
dengan orang lain dan melakukan penilaian didalam benaknya. Proses persepsi
meliputi penginderaan, atensi, dan interpretasi.
Persepsi turut berpengaruh pada keberjalanan belajar mengajar Sekolah
Kita. Komunikan selaku peserta didik menjadikan persepsi terhadap komunikator
sebagai tolok ukur penentu keikutsertaan menempuh pendidikan. Komunikator
dianggap sebagai objek hidup bagi sistem pendidikan apakah menyenangkan atau
tidak. Seperti dalam model interaksional Schramm dijelaskan bahwa komunikasi
berjalan secara aktif antara kedua belah pihak dengan melakukan fungsi encoding
(menyandi), interpreter (menafsirkan), decoding (menyandi balik), serta
mentransmisikan dan menerima sinyal.
Dalam proses penafsiran makna, aspek psikologis komunikan yaitu
persepsi mengacu pada teori atribusi yakni menyimpulkan motif, maksud, dan
karakteristik komunikator dengan melihat perilakunya yang tampak. Hal ini
mengacu pada faktor personal dan faktor situsional.
Persepsi berdasarkan faktor personal, berupa kerangka pemikiran berdasar
pengalaman masa lampau. Komunikan menjalani kehidupan sehari – hari di
jalanan dan kerap mendengar atau berhadapan langsung dengan pengacuhan,
pelecehan, penolakan, serta kekerasan masyarakat yang membuat mereka menilai
bahwa masyarakat normal menolak dirinya. Hal ini membentuk sikap komunikan
menjadi cuek dan tidak mudah percaya pada orang lain diluar kelompok jalanan.
Diungkapkan Susilo, salah seorang komunikan Sekolah Kita terkait sikap
masyarakat terhadap dirinya;
“Ono sing cuman kon lungo, tau digethak karo pakdhe-pakdhe ojo
ngamen neng kene, kerepe yo diulati ngono Mbak. Ora penak.(Ada juga
yang hanya menyuruh pergi, pernah juga dibentak sama Bapak-Bapak
agar tidak mengamen disana, tapi kebanyakan hanya dilihat saja
Kak).”(Wawancara dengan Susilo (Senin, 22 april 2013))
8
Pengalaman tidak menyenangkan dengan masyarakat umum menjadikan
komunikan tidak mudah menjalin kedekatan dan komunikasi. Sikap tertutup dan
alienatif cenderung mereka tunjukkan. Pengalaman sekolah formal sebelumnya
juga menjadi referensi berpikir komunikan dalam menilai seseorang.
Komunikan rata-rata sebelumnya telah mengenyam pendidikan formal dan
memiliki pengalaman tidak menyenangkan dengan sosok
komunikator
pendidikan. Sebagian besar komunikan memutuskan keluar sekolah dikarenakan
perlakuan buruk dari komunikator sekolah formal sebelumnya baik berupa
kekerasan, pengacuhan, maupun pelecehan karena beberapa komunikator
mengetahui profesi komunikan di jalanan. Respon yang cenderung diperoleh
komunikan adalah nasehat keras dan pelecehan.
Seperti diungkapkan oleh Marsono;
”Gurune galak Mbak. Aku tau digepuk bokongku nanggo penggaris, kerep
yen disengeni, salah thithik penggarise melayang Mbak.(Gurunya galak
Kak. Saya pernah dipukul dengan penggaris di bagian pantat, sering
dimarahi,
berbuat
kesalahan
sedikit
penggarisnya
“melayang”.”(Wawancara dengan Marsono, Senin, 10 Juni 2013).
Penjelasan diatas menjadi gambaran bahwa komunikan memiliki trauma
tersendiri terhadap sosok komunikator. Beberapa hal yang menjadi tolok ukur
persepsi komunikan terhadap komunikator PLK Sekolah Kita, diantaranya;
a. Penampilan
Penampilan menjadi petunjuk artifaktual bagi komunikan dalam
melakukan persepsi. Petunjuk artifaktual meliputi segala macam penampilan sejak
potongan tubuh, pakaian, kosmetik yang dikenakan, pangkat, maupun ekspresi
wajah. Penampilan terkait dengan daya tarik komunikator karena dapat
membentuk image atau gambaran diri seseorang sesuai sosok yang ingin
diwujudkan. Dalam ungkapan jawa seseorang dinilai berdasarkan “tata wicara”
(perkataan) dan “tata busana” (penampilan).
Komunikan menjadikan penampilan sebagai tolok ukur dalam penilaian
terhadap komunikator. Dalam teori persepsi hal ini masuk pada tahapan
interpretasi berupa faktor eksternal fisiologis, yakni persepsi yang dilakukan
9
melalui pengamatan penampilan fisik luar sebagai data tambahan dalam
melakukan penilaian.
Komunikan menilai penampilan komunikator dengan pakaian sehari-hari
yang bebas tanpa penggunaan seragam sebagai cerminan sosok fleksibel,
sederhana, menyenangkan sebagai teman, tidak terikat aturan. Seperti
disampaikan oleh Novita selaku komunikan.
“ Penampilane Mbak-Mbak e neng kene biasa, nganggo klambi biasa, ora
seragaman, klambine yo sederhana. Yo malah seneng kok, soale yen
nganggo seragam mengko ndak malah diatur-atur, ora penak.
(Penampilan Kakak-Kakaknya disini biasa, menggunakan pakaian biasa,
tidak berseragam, pakaiannya sederhana. Ya malah senang kok,
soalnya kalau mengenakan seragam nanti sukanya mengatur, tidak
menyenangkan.”(Wawancara dengan Novita, Rabu, 22 Mei 2013).
Komunikan lebih nyaman dengan lingkungan keseharian yang sama
seperti mereka jalani. Pakaian komunikator yang cenderung bebas membuat
komunikan merasa nyaman meskipun komunikator merupakan “orang baru”
bukan bagian dari kelompok jalanan. Penampilan komunikator dirasa sebagai
komponen yang dekat dengan kehidupan sehari-hari dalam lingkungan tempat
mereka tumbuh. Perasaan “terkucilkan” yang biasa menghinggapi komunikan
terhadap orang luar tidak terasa karena pendekatan melalui penampilan.
Penampilan komunikator yang mengenakan hijab turut dinilai komunikan
sebagai sosok yang dapat dipercaya, berwibawa, memberikan pengajaran yang
baik, dan sosok dewasa sebagai kakak. Seperti diungkapkan Okta selaku
komunikan.
“ yen kudungane nunjukke nek isoh dipercoyo Mbak, ora bakal ngapusi,
ngarahke nek sing apik.(Kalau kerudungnya menunjukkan bisa dipercaya
Kak, tidak bakal berbohong, mengarahkan kepada hal yang
baik).”(Wawancara dengan Okta, peserta didik, Selasa, 21 Mei 2013).
Secara tidak disadari penampilan komunikator mengenakan hijab
menumbuhkan kredibilitas berupa kepercayaan dimata komunikan. Seperti
diungkapkan Riswandi (2009:134) komponen kredibilitas penting dalam
komunikasi karena komunikan akan mendengarkan apa yang disampaikan
komunikator jika dapat dipercaya dan memiliki keahlian sebagai nilai tambah
dimata komunikan.
10
Terkait persepsi komunikan terhadap penampilan komunikator, Retno
selaku ketua yayasan memberikan tanggapan bahwa penggunaan hijab dan
pakaian non formal keseharian adalah bagian dari identitas yang dibangun oleh
sekolah karena sebelumnya orang-orang yang bekerja merupakan aktivis dakwah.
Seperti diungkapkan Retno, selaku Ketua LPPAP Seroja;
“Di sini pengajar mengenakan pakaian biasa yang terpenting rapi dan
sopan. Mengenai hijab memang secara tidak langsung diwajibkan
karena di sini kami berasaskan keislaman.” (Wawacara dengan Retno,
Rabu, 22 Mei 2013)).
Tanggapan Yeni, salah seorang komunikator terkait penilaian komunikan
dirasa sesuai dengan harapan dari pihak sekolah yakni memberikan kesan bebas,
santai, dan tidak teknikal. Pandangan yang ingin ditunjukkan adalah pembelajaran
yang lebih fleksibel, tidak tersekat oleh peraturan, ataupun pendisiplinan yang
ketat.
“Mengenai penampilan, disini fleksibel, ya pake pakaian biasa yang
terpenting sopan. Kalo hijab rata-rata pengajar disini mengenakan hijab,
kebijakan dari yayasan ketika direkrut. Dengan pakaian seperti ini adikadik bisa merasa nyaman karena mereka tidak canggung ataupun
takut
akan
diatur-atur
seperti
di
sekolah
formal
kebanyakan.”(Wawancara dengan Yeni, pengajar, Jumat, 24 Mei 2013))
b. Kompetensi Komunikator
Kompetensi ialah seperangkat pengetahuan dan keterampilan serta
perilaku yang harus dimiliki dan dikuasai oleh komunikator dalam melaksanakan
tugas. Kompetensi komunikator termasuk faktor personal dimana komunikan
mempersepsi berdasar pengalaman sebelumnya. Kompetensi komunikator
berkaitan erat dengan kemampuan mengajar, teknik mengajar, serta penguasaan
materi.
b.1. Kemampuan Mengajar
Kemampuan mengajar dinilai komunikan dari cara menerangkan yang
mudah dipahami serta pengemasan contoh yang disesuaikan kehidupan sehari-hari
yang mereka jalani. Seperti diungkapkan Susilo terkait penilaian kemampuan
mengajar;
”Coro ngajare penak, nek rodo angel diwenehi contoh sing gampang
dimudengi, sabar nek nerangke, kadang cerito dhisik nggawe suasanane
11
meriah, ora tau sok menehi nasehat tapi luwih koyo cerito, kadhang nek
ono sing ora mudheng banget diwenehi wektu dhewe dinggo
ngajari.(Cara mengajarnya menyenangkan, kalau ada kesulitan
diberikan contoh yang mudah dipahami, sabar dalam menerangkan,
terkadang cerita terlebih dahulu yang membuat suasana hidup, tidak
pernah memberikan nasehat tetapi lebih pada bercerita, terkadang kalau
ada yang tidak paham diberikan waktu sendiri untuk belajar bersama
guru).”(Wawancara dengan Susilo, peserta didik, Senin, 22 April 2013).
Dalam komunikasi, penjelasan diatas berkenaan dengan pengemasan
pesan yang disesuaikan dengan kemampuan komunikan menangkap pesan.
Seperti disampaikan Hamidi (2007:72) terkait proses efektifitas pesan terjadi
jikapesan yang disampaikan dapat dipahami oleh komunikan. Teori efektifitas
pesan berasumsi jika komunikasi diharapkan efektif maka pesan mesti dikemas
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan komunikan. Wilbur Schramm
dalam model interaksional (dalam Efendy, 1986: 18) menyatakan komunikasi
akan berhasil apabila pesan yang disampaikan komunikator sesuai kerangka
acuan, yakni panduan pengalaman dan pengertian yang pernah diperoleh
komunikan.
b.2. Teknik Mengajar
Teknik mengajar berkenaan dengan cara penyampaian materi kepada
komunikan. Steve A.Mc Cormark (dalam Liliweri, 2011: 172), mengatakan pesan
akan
diterima
manakala
komunikator
dengan
metode
dan
teknik
tertentumenambah jumlah informasi (quantity), meningkatkan kualitas informasi
(quality) dan meningkatkan relasi dengan audiens.
Terkait teknik mengajar, komunikan mengungkapkan senang dengan
teknik yang digunakan oleh komunikator karena dirasa tidak membosankan dan
berganti-ganti cara penyampaian memudahkan murid memahami materi.
komunikan yang terbiasa bekerja menyukai teknik yang diterapkan berupa praktek
langsung ataupun bercerita yang tidak monoton namun aplikasi dari kehidupan
sehari-hari.
Disampaikan oleh Okta, salah seorang komunikan terkait keberagaman
teknik mengajar yang dilakukan komunikator;
“Kene guru penak nerangkene, gampang mlebune, okeh acarane, ora gor
lingguh koyo neng sekolahan liyane, kadang soal, digawe prakarya,
12
kadang praktek, terus kerep jalan-jalan, dadine gonta ganti suasana tapi
pelajarane yo esuh nyanthol.(Guru disini(Sekolah Kita-red) menerangkan
dengan baik, mudah memahaminya, banyak acara(teknik mengajarred), tidak hanya duduk-duduk seperi di sekolahan lain, terkadang
mengerjakan soal, membuat prakarya, kemudian sering jalan-jalan,
jadinya bergonta ganti suasana tetapi pelajaran tetap bisa
memahami).”(Wawancara dengan Okta, Selasa, 21 Mei 2013).
Teknik mengajar juga dinilai berdasarkan kebersediaan komunikator untuk
mendengarkan apa yang disampaikan komunikan. Adanya ruang diskusi
menjadikan komunikan merasa dapat mengungkapkan aspirasi dan kreativitas.
Komunikan merasa dihargai dan terdorong mengungkapkan pertanyaan, isi hati,
ataupun mengasah kemampuan berbicara.
Menanggapi penilaian komunikan terkait kompetensi mengajar, Yeni
selaku komunikator menuturkan rata-rata anak memiliki daya fokus rendah
dikarenakan tanggung jawab pekerjaan serta kesulitan-kesulitan yang dihadapi
baik dari lingkungan keluarga, masyarakat, maupun jalanan yang keras diusia
yang masih belia. Maka dari itu teknik mengajar disesuaikan dengan kemampuan
anak dalam menangkap materi.
Sesuai dengan komponen pesan dapat tersampaikan sesuai maksud
komunikator jika adanya, 1). Attention (perhatian), pesan dibuat semenarik
mungkin sehingga menimbulkan perhatian si penerima pesan. 2). Need
(kebutuhan), yaitu komunikator berusaha meyakinkan bahwa pesan itu penting
bagi penerima pesan. 3). Satisfaction (pemuasan), artinya komunikator
memberikan bukti bahwa apa yang disampaikannya benar. 4). Visualization
(visualisasi), yakni komunikator menyampaikan bukti-bukti yang konkret
sehingga penerima pesan bisa melihat. 5). Action (tindakan) artinya komunikator
mendorong penerima pesan agar melaksanakan pesan tersebut.
b.3. Penguasaan Materi
Penguasaan materi menjadi penilaian lain bagi komunikan. Penguasaan
materi dari komunikator dinilai dari sejauh mana komunikator dapat menjawab
pertanyaan yang diajukan komunikan. Seperti disampaikan Marsono salah
seorang peserta didik;
13
”Ngajare pinter, yen diteko i mesti dijawab, embuh kuwi pelajaran,
pendapat, masukan dinggo masa depan. Mesti ngerti ne..(Mengajarnya
cerdas, kalau ditanya pasti dijawab,entah pelajaran, pendapat, masukan
tentang masa depan. Pasti mengetahui).”(Wawancara dengan Marsono,
Senin, 10 Juni 2013).
c. Sikap dan Perilaku
Sikap dan perilaku komunikator menjadi penilaian bagi anak didik yang
dilihat melalui tindakan sehari-hari. Rata-rata komunikan menilai sikap
komunikator berupa perhatian, senang bercanda, sabar, suka bercerita,
membebaskan, dan tidak bersikap kaku. Komunikator juga mengutamakan
kebersamaan dalam segala kegiatan sehingga menumbuhkan kedekatan dan sifat
saling percaya. Bagi komunikan, komunikator merupakan sosok pendengar serta
menolong disaat mereka membutuhkan. Komunikan merasa diperlakukan sebagai
keluarga bukan sekedar murid dalam sistem pendidikan.
Diungkapkan oleh Wardhani dan Susilo terkait perilaku komunikator
Sekolah Kita;
Podho apik kabeh Mbak, nek ora apik aku yo emoh sekolah neng kene,
nggatekke neng murid, isoh dijak guyon, sering podho curhat yo
dirungokke.(Semuanya baik Kak, kalau tidak baik saya juga tidak
mau bersekolah disini. Perhatian pada murid, bisa diajak bercanda,
mendengarkan ketika teman-teman curhat).”(Wawancara dengan
Wardhani, Selasa, 11 Juni 2013).
Seperti yang diungkapkan Ferguson (dalam syarifarief.blogspot.com,
pengertian komunikator dalam komunikasi, 2010) komunikan (pendengar)
memiliki kecenderungan mendengarkan pesan dari orang yang dipercaya.
Demikian pula Koffka dan Kohler (dalam blog Haryanto, teori belajar Gestalt,
2010) dalam prinsip teori belajar Gestalt menjelaskan kedekatan (proximity),
menjadi unsur penting kelancaran penerimaan materi karena berpengaruh pada
kondisi psikologis peserta didik yang membuatnya berasumsi pengajar adalah
orang terdekat yang membuat nyaman.
14
2. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Persepsi Komunikan
Dalam melakukan persepsi
terhadap komunikator Sekolah Kita,
komunikan selaku peserta didik memiliki faktor – faktor yang mempengaruhi
persepsi, diantaranya ;
a. Kebebasan
Bagi komunikan yang pernah menjalani kehidupan sekolah formal,
kebebasan menjadi hal utama yang berpengaruh pada penilaian terhadap
komunikator. Peraturan sekolah serta karakter komunikator sekolah formal
sebelumnya mengacu pada kurikulum membuat komunikan tidak dapat mengikuti
pola serupa dikarenakan lingkungan hidup terbiasa bebas.
Lingkungan jalanan telah membentuk pola hidup serta cara berpikir serba
bebas. Seperti diungkapkan beberapa komunikan yang telah menjalani kehidupan
jalanan, diantaranya Novita sedari bayi dekat dengan dunia jalanan karena mata
pencaharian orang tua sebagai pengamen, atau Susilo, Okta, serta Marsono yang
hidup dalam lingkungan tempat tinggal dekat profesi jalanan sehingga anak rawan
turun ke jalan. Lingkungan jalanan yang bebas membuat mereka lebih menyukai
kebebasan.
b. Perhatian
Perhatian menjadi komponen lain yang berpengaruh pada persepsi
komunikan. Komunikan sebelumnya kerap diabaikan serta kurang mendapatkan
perhatian orang tua merasakan perhatian tercurah dari komunikator PLK Sekolah
Kita.
Perhatian dirasakan komunikan mulai dari sebelum masuk PLK, dimana
pendekatan komunikator secara intens dengan mengajak ke berbagai acara
membuat komunikan merasa memperoleh lingkungan yang hangat dan
diinginkan. Seperti diungkapkan Wardhani, salah seorang komunikan yang
memiliki ketidak percayaan diri dikarenakan kondisi keluarga serta pengacuhan di
lingkungan jalanan;
”Awale Mbak-mbak Seroja marani pas aku ngamen. Ditekoni omahku.
Terus diajak i yen ono kegiatan, suwe-suwe akrab.(Awalnya KakakKakak Seroja mendekati ketika saya mengamen. Ditanya rumah saya.
Kemudian diajak ketika ada kegiatan, lama kelamaan
akrab).”(Wawancara dengan Wardhani, Selasa, 11 Juni 2013).
15
Bentuk perhatian yang dirasakan komunikan juga terwujud ketika
komunikan tidak masuk sekolah, komunikator akan mendatangi ke rumah dan
memberikan pembelajaran intensif, membantu ketika kesulitan, serta kebersediaan
mendengarkan curhatan atau masalah yang sedang dialami. Perhatian terwujud
pula dalam bentuk tindakan seperti pengadaan piknik, berkemah, berenang,
footsal bersama atas usulan dari komunikan.
c. Kesabaran
Kesabaran menjadi komponen lain yang berpengaruh pada persepsi
komunikan.
Komunikan
kerap
mengalami
berbagai
kekerasan,
hujatan,
penyepelean, serta bentakan di berbagai tempat baik lingkungan keluarga,
sekolah, maupun jalanan. Komunikan jarang mengenal kelembutan, kehalusan
sikap, maupun belaian kasih sayang yang akhirnya menjadikan sifat keras sebagai
cara bertahan hidup. Kesabaran komunikator dapat dirasakan oleh Novita, salah
seorang peserta didik ketika menangani tingkah polah teman-temannya;
“Sing tak senengi Mbak-mbak e sabar, yen konco-konco rame, begajulan
dewe, kerengan ora disengeni neng diarahke nganggo contoh sing apik,
koyo bar dho kerah setelke video persahabatan, utowo digawe lelucon
mengko rasido kerah. Pokokmen sabar tenan.(Yang saya sukai Kakakkakaknya sabar, kalau teman-teman ramai, seenaknya sendiri,
bertengkar tidak dimarahi tapi diarahkan dengan contoh yang baik,
seperti setelah bertengkar ditontonkan video persahabatan, atau dibuat
lelucon sehingga tidak jadi bermusuhan. Pokoknya sabar
sekali).”(Wawancara dengan Novita, Rabu, 22 Mei 2013))
Selain itu kesabaran juga ditunjukkan komunikator dengan kebersediaan
mengajarkan materi berulang kali ketika anak tidak paham, mencarikan contoh
yang dekat dengan kehidupan anak, berusaha menjawab segala pertanyaan, serta
meluangkan waktu bagi komunikan yang belum paham terhadap suatu materi atau
kerap tidak masuk.
d. Ketelatenan
Ketelatenan komunikator dirasakan komunikan melalui cara mengajar
yang tidak membosankan, teknik yang berganti-ganti supaya komunikan dapat
paham, serta kemauan berulang kali mengarahkan pada perilaku baik. Faktor
ketelatenan teramat penting karena kondisi komunikan yang mudah jenuh,
16
didukung dengan kebiasaan belum mandi dan makan membuat komunikan lebih
terpancing untuk bosan.
Ketelatenan turut berpengaruh pada perubahan pakaian komunikan putri.
Diawal masuk PLK komunikan putri mengenakan pakaian seadanya, dengan kaos
dan celana pendek namun kini sebagian besar komunikan mengenakan kerudung
serta pakaian panjang yang lebih rapi. Hal ini dikarenakan pembiasaan berulangulang oleh komunikator melalui diri pribadi.
Selain itu bentuk lain ketelatenan dimata komunikan dalam pengajaran
materi praktek seperti keterampilan, komunikator telaten dalam mengarahkan
berulang kali hingga menjadi suatu produk. Penanaman karakter yang berulangulang dilakukan dapat membuat perubahan.
3. Sosok Komunikator
Dari berbagai poin terkait komunikator dalam persepsi komunikan dapat
dijabarkan sosok komunikator yang diinginkan oleh komunikan. Komunikan
merupakan anak jalanan dengan lingkungan bebas, serta kondisi psikologis labil
memiliki kriteria mengenai sosok komunikator. Komunikan Sekolah Kita rata-rata
mempersepsi sosok komunikator yang ada dalam benak mereka adalah kakakkakak komunikator Sekolah Kita saat ini.
Hal ini turut dipengaruhi pengalaman pembelajaran sekolah formal
sebelumnya
sehingga
mereka
komunikator
sebelumnya.
dapat
Komunikan
memperbandingkan
dengan
menjabarkan
yang
poin
sosok
dimiliki
komunikator Sekolah Kita yang sesuai dengan apa yang mereka inginkan.
Sosok komunikator di Sekolah Kita memiliki kepedulian tinggi, tempat
bercerita, mau
menjadi
tumpuan ketika
anak-anak
butuh
pertolongan.
Komunikator juga memberikan banyak pembelajaran dengan tanpa menggurui
namun berpaku pada pemahaman. Suasana pembelajaran yang terbangun dengan
kekeluargaan, kebersamaan, rasa mengasihi, dan menghargai.
Tercermin dari ungkapan Marsono mengenai sosok komunikator yang
diharapkan. Marsono merupakan komunikan yang putus sekolah ketika berada di
kelas lima karena kekerasan yang dilakukan oleh komunikator dengan dasar
kedisiplinan.
17
“Guru-guru neng sekolah formal ki galak Mbak, aturane ketat, salah
thithik “didisiplinke”. Beda neng kene gurune apik, nggatekke murid e,
nek ora isoh diwarahi, apik pokok e.(Guru-guru di sekolah formal itu
galak Kak, aturannya ketat, salah sedikit “didisiplinkan”. Beda dengan
disini(Sekolah Kita-red) gurunya baik, memperhatikan muridnya,
kalau tidak bisa(pelajaran-red) dibantu, baik pokoknya.Ya karena
sudah dekat Kak, Saya berpikir Kakak-Kakaknya baik, perhatian,
diarahkan agar menjadi lebih baik).”(Wawancara dengan Marsono,
Senin, 10 Juni 2013).
Dari penjelasan diatas diperoleh kesinambungan dengan teori atribusi
yakni proses menyimpulkan motif, maksud, dan karakteristik orang lain diperoleh
melalui perilaku yang tampak.
Kesimpulan
1. Persepsi positif komunikan terhadap penampilan, kompetensi, serta sikap
komunikator turut berpengaruh pada keikutsertaan komunikan dalam proses
pembelajaraan.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi komunikan terhadap komunikator
diantaranya kebebasan, perhatian, kesabaran, serta ketelatenan.
3. Sosok komunikator yang diharapkan komunikan adalah sosok yang
penyayang, mampu mengayomi, serta menerangkan pembelajaran dengan
baik. Hal ini lebih tertuju pada peran komunikator sebagai sosok pembimbing,
pengayom bagi komunikan.
Saran
1. Kepada Sekolah Kita perlu mengikutsertakan pendidik dalam training
pengajaran sehingga dapat meningkatkan kreativitas teknik mengajar.
2. Kepada pendidik diharapkan dapat meningkatkan kualitas perhatian, arahan,
serta ajaran edukatif sehingga pengaruh positif terhadap anak didik dapat
terealisasikan.
3. Kepada peserta didik perlu berperan secara aktif menyampaikan kebutuhan
terkait materi atau keterampilan kegiatan pembelajaran sehingga proses
pembelajaran berjalan lebih efektif.
18
4. Bagi penelitian selanjutnya diharapkan dapat menggali terkait persepsi
komunikator yakni pengajar dalam menyesuaikan teknik, pola mengajar, serta
pengemasan pesan sehingga dapat diterima peserta didik dan diikuti
perubahan tindakan.
Daftar Pustaka
Effendy, Onong Uchjana. (1986). Ilmu Komunikasi (Teori dan Praktek).
Bandung: CV REMAJA KARYA
Effendy, Onong Uchjana. (2004). Ilmu Komunikasi (Teori dan Praktek).
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Fajar, Marhaeni. (2009). Ilmu Komunukasi Teori dan Praktik. Yogyakarta:
GRAHA ILMU
Hamidi. (2007). Metode Penelitian dan Teori Komunikasi. Malang: UMM Press
Liliweri, Alo. (2011). Dasar-Dasar Komunikasi Kesehatan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Rakhmat, Jalaludin. (2005). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya
Cacha, Teori Komunikasi Persepsi, http://chaluchu.wordpress.com/teorikomunikasi-persepsi/2011/5/11, diakses 11 Mei 2011
Husniah,
Identifikasi
Maraknya
Anak
Jalanan,
http://husniah.blogspot.com/2011/1/7/identifikasi-maraknya-anakjalanan/html, diakses 23 Desember 2011
Kang
Bull,
Anak
Jalanan
Dalam
Pengertian
Sosiologi,
http://kafeilmu.com/2012/04/anak-jalanan-dalam-pengertiansosiologi.html#ixzz2HSNJ7ail, diakses April 2012
M. Zain Al-Dien. (2009). Education for Street Children in Egypt: The Role of
Hope Village Society. Egypt: Analisis Deskriptif Kualitatif. Egypt:AlAzhar
UniversityPress
(http://ejournals.library.ualberta.co/index.php/JCIE/article/view/6474)
Supriyanto, Solo Tak Punya Program Penangan Anak Jalanan, http://tempo.comsolo-tak-punya-program-penanganan-anak-jalanan-2011, diakses 10 Mei
2011
Undang-Undang Dasar RI, Undang-Undang no.23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, http://UU_23-2002-Perlindungan Anak.pdf, diakses
Juni 2005
UNICEF report, Laporan Tahunan UNICEF tahun 2012, Unicef-Anual-Report(Ind)-130731.pdf, diakses Januari 2013
19
Download