II. 2.1. TINJAUAN PUSTAKA Outpayments dan Hubungannya dengan Elastisitas Permintaan (Harga) dan Elastisitas Pendapatan Outpayments merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk pada nilai impor. Besaran outpayments ditentukan oleh perkalian antara harga barang (P) yang diimpor dengan kuantitas permintaannya (Q). Jadi, pada hakekatnya, outpayments sama dengan total revenue (TR) atau penerimaan total eksportir. Dengan asumsi bahwa kurva permintaan mempunyai slope bernilai negatif (< 0), kenaikan harga (P) akan mengakibatkan penurunan permintaan (Q) dan sebaliknya, penurunan harga (P) akan mengakibatkan peningkatan permintaan (Q). Namun, dampak dari perubahan harga (P) tersebut terhadap total pengeluaran konsumen (TE) ditentukan oleh sifat dari elastisitas permintaan terhadap harga (Nicholson, 1989). Elastisitas harga mengukur tingkat kepekaan permintaan suatu komoditas (Q) akibat perubahan harganya (P). Elastisitas harga dinyatakan dalam persamaan: eQ,P = %∆Q % ∆P = ∆Q/Q ∆P/P = ∂Q ∂P · P Q ...................................................................... (1) Oleh karena permintaan berhubungan negatif terhadap harga, maka nilai elastisitas pun dalam bentuk negatif. Permintaan suatu barang dikatakan elastis apabila persentase perubahan permintaan lebih besar daripada persentase perubahan harganya, atau eQ,P -1. Pada barang yang elastis, kenaikan harga sebesar satu persen akan menurunkan permintaannya lebih dari satu persen. Sebaliknya, jika permintaan terhadap komoditas tidak begitu responsif (inelastis) terhadap perubahan harga, maka angka elastisitasnya akan lebih besar daripada – 1. Namun, apabila persentase perubahan harga suatu barang sama dengan persentase perubahan permintaan yang diakibatkannya (eQ,P -1 , maka permintaan barang tersebut dikatakan unit elastic (Nicholson, 1989). Berdasarkan teori bila permintaannya bersifat inelastis (eQ,P > -1), peningkatan harga (P) akan justru mengakibatkan peningkatan total penerimaan 9 eksportir. Sebaliknya, bila permintaannya bersifat elastis (eQ,P < -1), maka peningkatan harga (P) akan mengakibatkan penurunan total penerimaan (TR) eksportir (Nicholson, 1989). Dengan kata lain, outpayments buah-buahan Indonesia akan meningkat sejalan dengan kenaikan harganya bila permintaan impornya bersifat inelastis. Sebaliknya, kenaikan harga akan mengakibatkan outpayments buah-buahan Indonesia akan turun bila permintaan impornya bersifat elastis. Perubahan pendapatan konsumen (I) adalah faktor lain yang dapat memengaruhi total penerimaan eksportir (TR). Seperti halnya dengan pengaruh perubahan harga, pengaruh perubahan pendapatan terhadap total penerimaan eksportir juga dapat diketahui dari besarnya nilai elastisitas pendapatan. Elastisitas pendapatan mengukur seberapa besar persentase perubahan permintaan akibat perubahan pendapatan sebesar satu persen. Elastisitas pendapatan dirumuskan sebagai berikut: eQ,I = %∆Q % ∆I = ∆Q/Q ∆I/I = ∂Q ∂I · I Q ....................................................................... (2) Berdasarkan teori, barang normal mempunyai elastisitas pendapatan bernilai positif (eQ,I >0). Artinya, ketika pendapatan konsumen meningkat, maka permintaan konsumen tersebut terhadap suatu komoditas akan meningkat pula. Khusus untuk barang dengan elastisitas pendapatan lebih besar dari 1, dapat dikatakan bahwa barang tersebut termasuk barang mewah (Nicholson, 1989). Persentase peningkatan permintaan barang mewah akan jauh melebihi persentase peningkatan pendapatannya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa untuk barang normal dan barang mewah, maka peningkatan pendapatan konsumen akan mengakibatkan peningkatan penerimaan eksportir untuk barang tersebut. Sementara itu, jika elastisitas pendapatan negatif, maka barang tergolong inferior. Peningkatan pendapatan justru akan menurunkan permintaan terhadap komoditas tersebut (Nicholson, 1989). Dengan demikian, dalam kasus barang inferior, kenaikan pendapatan konsumen justru akan menurunkan penerimaan eksportir terhadap barang tersebut. 10 2.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Outpayments Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi outpayments, di antaranya sebagai berikut: 2.2.1. Tarif Impor Pada kenyataannya harga impor yang diterima masyarakat tidak serta- merta merupakan harga keseimbangan yang terjadi di pasar internasional. Negara terkadang membebankan tarif bagi beberapa komoditas tertentu. Tarif merupakan salah satu instrumen yang seringkali digunakan pemerintah dalam mengatur perdagangan lintas negara. Tarif impor adalah pajak yang dibebankan terhadap komoditas yang diimpor dari negara lain. Terdapat beberapa jenis tarif berdasarkan perhitungannya, yaitu tarif ad valorem, spesifik, dan gabungan. Tarif ad valorem dihitung berdasarkan persentase tertentu terhadap nilai impor. Sedangkan tarif spesifik ditentukan sebagai beban tetap per unit produk impor. Adapun tarif campuran merupakan gabungan dari kedua tarif yang dijelaskan sebelumnya (Salvatore, 1997). Umumnya, tarif yang dibebankan pada produk pertanian impor berupa tarif ad valorem. Pada era perdagangan bebas sekarang ini, sebagian negara masih memproteksi komoditas pertaniannya, seperti buah-buahan. Tujuan pemberlakuan kebijakan tersebut ialah guna melindungi sektor pertanian domestik. Harga komoditas impor yang relatif lebih murah dibandingkan komoditas serupa di dalam negeri menyebabkan masyarakat secara rasional akan memilih mengonsumsi produk impor ketimbang domestik. Dampaknya, sektor domestik akan mengalami keterpurukan dan neraca pembayaran negara pun akan mengalami defisit. Ketika pemerintah membebankan tarif impor terhadap komoditas buahbuahan yang masuk ke Indonesia, maka tindakan tersebut tidak akan berdampak signifikan pada harga impor buah-buahan dunia. Sebab, Indonesia merupakan small country dalam perdagangan internasional buah-buahan. Seperti yang terlihat pada Tabel 2.1, share impor buah-buahan Indonesia terhadap total impor dunia amat kecil, bahkan tidak mencapai satu persen. Oleh karena itu, pengaruh penetapan tarif impor yang dilakukan Indonesia hanya akan meningkatkan harga buah-buahan impor di Indonesia. 11 Kenaikan harga yang diakibatkan oleh pembebanan tarif impor tersebut diharapkan akan mendorong konsumen Indonesia untuk menurunkan permintaan impor buah-buahan. Mengingat outpayments merupakan perkalian antara harga impor dengan kuantitasnya, maka pembebanan tarif impor akan menurunkan outpayments. Pengaruh pemberlakuan tarif impor terhadap outpayments dapat dijelaskan dengan lebih mudah melalui pendekatan grafis (Gambar 2.1). Tabel 2.1. Share Outpayments Buah-buahan Indonesia terhadap Dunia Outpayments (US$) Tahun Share Indonesia Dunia 2001 142,042,449 32,865,088,881 0.43% 2002 214,671,690 35,837,533,750 0.60% 2003 189,033,155 42,732,799,657 0.44% 2004 216,363,160 48,428,642,800 0.45% 2005 217,484,837 54,355,331,094 0.40% 2006 327,843,604 59,419,827,471 0.55% 2007 435,436,524 68,311,123,723 0.64% 2008 451,972,763 78,372,858,741 0.58% 2009 606,817,760 73,175,649,596 0.83% 2010 655,386,591 80,055,507,987 0.82% Sumber: UN Comtrade, 2012 (diolah) Hal pertama yang harus diperhatikan adalah diasumsikan Indonesia sebagai penerima harga (price taker). Asumsi ini didasarkan pada fakta bahwa kontribusi Indonesia di pasar impor buah global relatif kecil. Dengan bertitik-tolak pada asumsi ini, maka kurva supply buah-buahan impor yang dihadapi Indonesia garis horizontal (lihat Gambar 2.1). Misalkan, kondisi keseimbangan pasar internasional terjadi pada titik a yang merupakan perpotongan antara demand (Dw) dan supply (Sw) buah di pasar internasional (Gambar 2.1). Pada titik keseimbangan tersebut harga yang terbentuk di pasar internasional ialah sebesar Pw dan kuantitasnya ialah sebesar Qw. Harga tersebut menjadi kurva supply impor yang dihadapi pasar dalam negeri Indonesia, sebelum penerapan tarif impor oleh pemerintah Indonesia. Jadi, kuantitas buah yang diimpor domestik pada harga Pw adalah sebesar Q1, sehingga pengeluaran konsumen domestik ialah sebesar Pw×Q1 yang 12 ditunjukkan oleh daerah OQ1bPw. Pengeluaran konsumen domestik tersebut seluruhnya menjadi penerimaan bagi eksportir (outpayments). Kemudian, misalkan, pemerintah menerapkan kebijakan tarif impor pada buah-buahan sebesar t untuk mengendalikan outpayments buah-buahan. Pembebanan tarif impor terhadap buah ditunjukkan oleh pergeseran ke atas kurva supply di pasar domestik menjadi Sw+t yang mengakibatkan terjadinya peningkatan harga impor menjadi P2. Kenaikan harga impor menyebabkan penurunan jumlah permintaan impor masyarakat menjadi Q2. Akibatnya, pengeluaran konsumen domestik menjadi sebesar P2×Q2 yang ditunjukkan oleh daerah OQ2cP2. Akan tetapi, pengeluaran konsumen tersebut tidak seluruhnya menjadi penerimaan eksportir, sebab harga impor yang dibayarkan konsumen termasuk tarif. Penerimaan dari tarif impor sebesar (P2Pw)×Q2 akan masuk ke dalam kas negara. Dengan demikian, penerimaan yang diterima eksportir hanya sebesar daerah OQ2ePw atau dengan kata lain outpayments akan menurun jika buah impor dikenai tarif. P P SW c P2 a PW Pw = P1 DW O Qw Pasar Internasional SW+t e b SW DInd Q O Q2 Q Q1 Pasar Domestik Gambar 2.1. Dampak Pemberlakuan Tarif Impor 2.2.2. Nilai Tukar Mengingat adanya keterbatasan data harga impor, maka nilai tukar dapat digunakan sebagai pendekatan dalam menganalisis faktor yang memengaruhi outpayments. Ketika melakukan perdagangan dengan negara luar, maka dibutuhkan mata uang negara tersebut agar transaksi dapat berjalan lancar. 13 Perbandingan antara harga mata uang domestik terhadap harga mata uang luar negeri disebut nilai tukar nominal (kurs nominal). Besarnya nilai tukar berfluktuasi dari waktu ke waktu tergantung kekuatan permintaan dan penawaran mata uang di pasar valuta asing. Dalam kaitannya untuk mengkaji dampak volatilitas nilai tukar terhadap outpayments, maka nilai tukar yang digunakan sebagai proxy ialah nilai tukar riil (kurs riil). Variabel ini mengukur rasio harga produk luar negeri terhadap harga produk serupa di dalam negeri dalam mata uang luar negeri (McTaggart, Findlay, dan Parkin, 1996). Nilai tukar riil dapat dinyatakan dalam persamaan berikut: e P*/P) ................................................................................................ (3) dimana: = kurs riil e = kurs nominal P = harga barang domestik P* = harga barang luar negeri Outpayments umumnya dinyatakan dalam mata uang dollar Amerika Serikat yang dijadikan mata uang yang berlaku dalam perdagangan internasional. Apabila kurs rupiah Indonesia dengan dollar Amerika Serikat sebesar Rp 9.000,00 per US$, maka untuk memperoleh US$ 1 diperlukan mata uang domestik sebesar Rp 9.000,00. Jika terjadi depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat, diperlukan lebih dari Rp 9.000,00 untuk memperoleh US$1. Hal yang sebaliknya dinamakan apresiasi kurs, yaitu penguatan nilai tukar domestik terhadap mata uang domestik. Pengaruh nilai tukar riil terhadap outpayments tergantung dari elastisitas permintaan komoditas terhadap harganya. Depresiasi rupiah akan menyebabkan harga komoditas domestik lebih murah dibandingkan dengan harga komoditas serupa yang didatangkan dari Amerika Serikat dalam satuan rupiah. Misalkan, awalnya kurs berada pada posisi Rp 9.000,00/US$. Harga komoditas X di Indonesia senilai Rp 10.000,00, sedangkan di Amerika Serikat harganya hanya sebesar US$ 1 atau Rp 9.000,00. Dengan asumsi tidak ada pengaruh biaya transportasi, masyarakat Indonesia lebih memilih mengimpor komoditas X dari Amerika Serikat karena harganya relatif murah. 14 Kemudian, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat melemah menjadi Rp 10.500,00/US$. Harga komoditas X di masing-masing negara tetap dalam satuan mata uang yang berlaku di negara tersebut. Akibatnya, harga X di Amerika Serikat yang seharga US$ 1 akan menjadi relatif lebih mahal dibandingkan harga X di domestik. Harga impor X akan menjadi Rp 10.500,00. Depresiasi menyebabkan penurunan permintaan impor X oleh masyarakat Indonesia. Dampak depresiasi nilai tukar terhadap outpayments memiliki dua kemungkinan. Jika komoditas yang dikonsumsi merupakan barang yang elastis terhadap harga, maka depresiasi nilai rupiah terhadap dollar Amerika Serikat akan menurunkan outpayments. Hal ini disebabkan persentase peningkatan harga impor jauh lebih kecil dibandingkan persentase penurunan jumlah permintaan komoditas tersebut. Beda halnya apabila produk impor tersebut merupakan barang yang bersifat inelastis terhadap harga. Depresiasi nilai tukar menyebabkan penurunan kuantitas permintaan relatif kecil dibandingkan persentase peningkatan harga impornya. Akibatnya, outpayments barang inelastis akan meningkat jika terjadi depresiasi nilai tukar. 2.2.3. Pendapatan Riil per Kapita Jumlah permintaan impor masyarakat juga ditentukan oleh besarnya pendapatan yang dimilikinya (McTaggart, Findlay, dan Parkin, 1996). Pada penelitian ini, proxy pendapatan yang digunakan adalah pendapatan riil per kapita per tahun. Ketika pendapatan riil per kapita nasional meningkat, maka jumlah uang yang siap dibelanjakan masyarakat pun meningkat. Dengan asumsi buahbuahan impor sebagai barang normal, peningkatan pendapatan menyebabkan masyarakat dapat meningkatkan konsumsinya. Peningkatan konsumsi masyarakat secara keseluruhan menyebabkan peningkatan permintaan terhadap suatu komoditas secara agregat. Gejala meningkatnya impor Indonesia ditandai oleh adanya tren peningkatan pertumbuhan ekonomi sejak tahun 2000 rata-rata lima persen (BPS, 2012). Pertumbuhan ekonomi yang positif meningkatkan pendapatan per kapita Indonesia. Gambar 2.2 menunjukkan adanya tren positif pada pendapatan riil per 15 kapita dengan tahun dasar 2000. Pada saat terjadi krisis moneter tahun 1997, pendapatan riil per kapita sempat anjlok hingga 14.28 persen. Pada masa tersebut, pendapatan riil per kapita Indonesia hanya sekitar 6.32 juta rupiah per tahun atau setara dengan 526.66 ribu rupiah. Perekonomian kembali memulih pada tahun 2000. Keadaan ini terlihat dari adanya peningkatan pendapatan per kapita riil Indonesia secara terus-menerus sejak tahun 2000. Pada tahun 2000, pendapatan riil per kapita Indonesia sebesar 6.51 juta rupiah per tahun. Pendapatan riil per kapita Indonesia terus meningkat dan pertumbuhan nilai tertinggi terjadi pada tahun 2007 dengan angka pertumbuhan sebesar 5.18 persen. Pada tahun 2007, pendapatan riil per kapita Indonesia per tahun telah mencapai 8.45 juta rupiah per tahun. Bahkan pada tahun 2010, nilai pendapatan riil per kapita Indonesia per tahun hampir mendekati Pendapatan per Kapita (Rp/tahun) sepuluh juta rupiah. 12000000 10000000 8000000 6000000 4000000 2000000 0 Tahun Sumber: World Bank, 2012 (diolah) Gambar 2.2. Tren Pendapatan Riil per Kapita Indonesia Periode 1996-2010 (Tahun Dasar = 2000) Sejalan dengan kenaikan pendapatan riil per kapita tersebut, menurut laporan World Bank (2010), pada tahun 2010 jumlah kelas menengah di Indonesia telah mencapai 56.5 persen dari total penduduk Indonesia atau sekitar 134 juta jiwa. Padahal, pada tahun 2003 kelas menengah hanya mencakup 37.7 persen penduduk. World Bank mendefinisikan kelas menengah sebagai kelompok masyarakat yang berpenghasilan sebesar US$ 2 hingga US$ 20 per hari. 16 Pertumbuhan kelas menengah di Indonesia menjadikan Indonesia sebagai pasar potensial buah-buahan impor yang eksotis. Bagi konsumen kelas tersebut, harga produk bukan lagi pertimbangan utama dalam menentukan pilihan konsumsi. Masyarakat kelas menengah tersebut lebih mengutamakan kualitas dan prestise yang umumnya melekat pada produk-produk impor. Hal ini akan berdampak pada peningkatan outpayments impor buah-buahan Indonesia. 2.3. Penelitian Terdahulu Penelitian terkait impor telah dilakukan sebelumnya oleh Santos-Paulino dan Thirlwall (2004). Kedua penulis menggunakan analisis data panel dinamis dalam mengestimasi efek liberalisasi perdagangan terhadap ekspor, impor, neraca perdagangan, dan neraca pembayaran di negara-negara berkembang. Data panel yang digunakan melibatkan 22 negara dengan periode analisis dari tahun 1972 hingga 1997. Dampak liberalisasi diukur melalui dua indikator, yaitu variabel tingkat bea masuk dan variabel dummy untuk tahun berjalannya liberalisasi perdagangan. Hasil penelitian Santos-Paulino dan Thirlwall untuk analisis impor menunjukkan bahwa bea masuk secara signifikan pada taraf nyata lima persen berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan impor. Selain itu, liberalisasi perdagangan berdampak positif terhadap pertumbuhan impor. Variabel dummy tersebut signifikan pada taraf nyata satu persen dan nilai koefisiennya lebih besar dibandingkan variabel tingkat bea masuk. Selain itu dari hasil penelitian didapatkan pula bahwa efek perubahan bea masuk dan liberalisasi perdagangan terhadap pertumbuhan impor lebih besar pada negara dengan tingkat proteksi yang tinggi, seperti Indonesia. Kesimpulan dari penelitian Santos-Paulino dan Thirlwall ialah liberalisasi perdagangan meningkatkan laju pertumbuhan impor lebih cepat dibandingkan pertumbuhan ekspornya sehingga memperburuk neraca pembayaran dan perdagangan. Penggunaan istilah outpayments sebagai nilai impor diperkenalkan oleh Bahmani-Oskooee, et al (2005). Pada penelitian tersebut dianalisis sensitivitas inpayments dan outpayments Inggris terhadap nilai poundsterling. BahmaniOskooee, et al memilih membangun model yang menghubungkan langsung nilai 17 ekspor ataupun impor dengan nilai tukar. Sebab analisis ekspor dan impor yang telah banyak dilakukan saat ini menggunakan pendekatan elastistisitas yang memiliki kendala dalam pemerolehan data harga ekspor dan impor yang umumnya terbatas. Estimasi dilakukan menggunakan data perdagangan bilateral untuk menghindari aggregation bias. Terdapat 20 negara mitra dagang Inggris yang dianalisis dengan periode analisis data dari tahun kuartal I-1973 hingga kuartal IV-2002. Metode penelitian menggunakan analisis kointegrasi dan errorcorrection model dengan pendekatan Autoregressive Distributed Lag (ARDL). Hasil analisis menunjukkan bahwa inpayments Inggris tidak sensitif terhadap nilai tukar, beda halnya dengan outpayments. Depresiasi poundsterling menurunkan outpayments Inggris dari tiga belas negara mitra dagang utamanya. Keterbatasan dari penelitian ini adalah data perdagangan yang digunakan merupakan data agregat, bukan data yang telah dipilah berdasarkan jenis komoditasnya. Maria Cortes (2007) melakukan penelitian terkait outpayments dengan tujuan untuk mengetahui ada-tidaknya hubungan jangka panjang antara nilai impor bilateral antara Australia dan Kolombia dengan nilai tukar riil, pendapatan, populasi, dan keterbukaan yang diproksi dengan pertumbuhan total impor. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh potensi hubungan perdagangan bilateral antara Kolombia dan Australia yang belum tergarap secara maksimal. Periode analisis data yang dilakukan Cortes (2007) ialah 46 tahun, yaitu dari tahun 1960 hingga 2005. Metode analisis yang digunakan adalah kointegrasi dan error correction model. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan keseimbangan jangka panjang antara nilai impor Kolombia dari Australia dengan nilai tukar riil dan pendapatan dan total impor Kolombia. Sedangkan nilai impor Australia dari Kolombia terkointegrasi dengan pendapatan masing-masing negara dan populasi Kolombia. Dengan demikian, kesimpulan penelitian ialah adanya peluang peningkatan perdagangan antara dua negara tersebut. Hingga saat ini, penelitian terkait outpayments masih jarang dilakukan. Kebanyakan penelitian terkait impor masih menggunakan pendekatan elastisitas, seperti penelitian Wijeera, et al (2008). Penelitian tersebut menganalisis elastistisitas permintaan impor bilateral Bangladesh dengan enam negara mitra 18 dagang utama dalam kurun waktu 1973-2004. Wijeera, et al (2008) menggunakan nilai tukar riil sebagai pendekatan terhadap harga relatif dan pendapatan riil nasional untuk estimasi volume impor Bangladesh. Variabel dummy tarif juga dimasukkan untuk melihat dampak liberalisasi perdagangan terhadap permintaan impor. Analisis elastistas permintaan impor Bangladesh tersebut menggunakan metode kointegrasi Engle-Granger. Hasilnya ialah hanya impor dari negara India dan Amerika Serikat saja yang memiliki elastistas permintaan terhadap harga negatif. Artinya, depresiasi taka menyebabkan penurunan volume impor dari kedua negara tersebut. Adapun variabel pendapatan secara signifikan memengaruhi impor dengan nilai elastisitas positif hanya untuk produk dari Malaysia. Selain itu hasil penelitian juga menujukkan bahwa tarif impor secara signifikan berkorelasi negatif terhadap permintaan impor Bangladesh. Adapun penelitian yang terbaru dipublikasikan mengenai inpayments. Penelitian yang dilakukan oleh Madani dan Mas-Guix (2011) mengkaji efektivitas Motor Industri Development Program (MIDP) terhadap kinerja ekspor sektor otomotif di Afrika Selatan. MIDP dilaksanakan pada tahun 1995 dan merupakan suatu program pemberian insentif pajak bagi sektor otomotif yang berorientasi ekspor dalam rangka meningkatkan daya saingnya dalam perdagangan bebas. Kedua peneliti tersebut menggunakan total nilai ekspor riil otomotif sebagai indikator kinerja ekspor. Analisis dilakukan dengan metode Difference-inDifference dalam bentuk panel yang dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah untuk analisis komparatif antara subsektor ekspor manufaktur Afrika Selatan. Terakhir, analisis untuk membandingkan perbedaan kinerja ekspor otomotif Afrika Selatan dengan negara eksportir otomotif lainnya pada periode 1993-2007. Estimator Difference-in-Difference pada kedua analisis ditunjukkan oleh koefisien dummy untuk sektor otomotif pada tahun setelah 1995, yaitu tahun telah berlangsungnya program. Angka koefisien tersebut menginterpretasikan respons nilai ekspor total manufaktur dan ekspor otomotif terhadap perubahan insentif pajak ekspor. Dari hasil analisis penelitian diperoleh bahwa MIDP secara signifikan berdampak positif terhadap kinerja ekspor otomotif Afrika Selatan. 19 Respons terbesar ekspor otomotif akibat adanya insentif pajak baru terlihat pada beberapa tahun setelah implementasi program. Selain itu, penelitian juga menunjukkan bahwa efektivitas insentif pajak berkurang seiring berjalannya waktu karena hanya memengaruhi keputusan bisnis dalam jangka pendek (Madani dan Mas-Guix, 2011). 2.4. Kebijakan Impor Buah di Indonesia Meningkatnya aliran buah-buahan asal luar negeri ke Indonesia tak lepas dari semakin longgarnya kebijakan impor buah yang ditetapkan pemerintah. Keadaan ini dimulai sejak dikeluarkannya Paket Deregulasi Juni tahun 1991 yang menyebabkan impor buah-buahan menjadi relatif bebas. Dengan adanya paket deregulasi tersebut maka SK Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 505/1982 mengenai pembatasan impor komoditas hortikultura dicabut. Importir bebas memasok buah dari luar ke Indonesia, namun impor tersebut dikenakan bea masuk sekitar dua puluh persen. Meskipun demikian, paket deregulasi tersebut secara nyata meningkatkan volume impor buah-buahan Indonesia. Pada tahun 1990, Indonesia hanya mengimpor sekitar 16.44 juta kilogram buah-buahan. Namun, pada tahun 1992, terjadi kenaikan volume impor hampir 169 persen dibanding dua tahun sebelumnya. Pada kurun waktu 1996-1997, tarif buah-buahan yang ditetapkan pemerintah bagi Most Favoured Nation (MFN) sekitar 10-25 persen. Akan tetapi, setelah era reformasi pada tahun 1998, kebijakan perdagangan internasional Indonesia mulai dilonggarkan. Pada tahun tersebut, tarif impor buah-buahan dari MFN diturunkan menjadi lima persen untuk semua jenisnya. Pada tanggal 4 November 2002, Indonesia bersama negara ASEAN lainnya menandatangani Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation dengan China. Kerjasama dilakukan untuk menciptakan kawasan perdagangan bebas dan peningkatan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan China. Salah satu upaya awal perwujudan liberalisasi perdagangan tersebut ialah dengan penurunan tarif di seluruh sektor perdagangan secara bertahap mulai 1 Januari 2004. Komoditas buah-buahan termasuk ke dalam kategori Early Harvest Program yang mengalami penurunan tarif bertahap hingga menjadi nol persen 20 pada 1 Januari 2006. Kebijakan tersebut diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 355/KMK.01/2004 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas Impor Barang dalam Kerangka EHP Bilateral Indonesia China-FTA. Kemudian, pada 30 Januari 2003, Indonesia beserta dengan negara lainnya yang tergabung ASEAN Free Trade Area (AFTA) menandatangani Protocol to Amend The CEPT-AFTA Agreement for The Elimination of Import Duties. Dengan perjanjian ini maka negara-negara ASEAN-6 berkomitmen untuk menghapus tarif barang dari negara sesama anggota . Penurunan tarif dilakukan secara bertahap melalui skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT). Akhirnya pada tahun 2005, tarif impor seluruh jenis buah-buahan dari China dan Thailand telah menjadi nol persen. Pembebasan tarif impor buahbuahan menyebabkan semakin tak terbendungnya arus buah-buahan, khususnya dari China ke Indonesia. China sendiri merupakan negara pengekspor buahbuahan ke Indonesia terbesar sejak tahun 2000 (UN Comtrade, 2011). Indonesia menjadi negara net importir buah-buahan sejak tahun 2000 dengan nilai trade balance saat itu sekitar US$ -13,816,630 (BPS, 2012). Besarnya nilai impor berfluktuasi dari tahun ke tahun dan menunjukkan kecenderungan meningkat. Dalam upaya menekan laju impor, pemerintah telah mengeluarkan serangkaian kebijakan yang sifatnya berupa hambatan non-tarif. Pada tahun 2009, kebijakan impor diperketat dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 27/Permentan/PP.340/5/2009 tentang Pengawasan Keamanan Pangan terhadap Pemasukan dan Pengeluaran Pangan Segar Asal Tumbuhan. Pada peraturan tersebut ditentukan batas maksimum residu pestisida dan logam berat buah-buahan yang layak masuk ke Indonesia. Pengawasan tersebut guna menjamin kesegaran buah-buahan yang diimpor dan kesehatan masyarakat Indonesia. Terdapat empat jenis buah yang diawasi pemasukannya, yaitu apel, anggur, jeruk dan lengkeng. Buah-buahan yang akan masuk ke Indonesia harus dilengkapi sertifikat keamanan yang dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi resmi negara asal. Akan tetapi, seiring dengan meningkatnya aktivitas perdagangan buahbuahan Indonesia, pemasukan organisme pengganggu tumbuhan karantina (OPTK) ke Indonesia pun meningkat. OPTK tersebut dibawa oleh media 21 hortikultura yang diimpor, baik berupa produk ataupun benih. Guna meminimalisir risiko pemasukan dan penyebaran OPTK eksotik tersebut, Kementerian Pertanian memperketat kembali persyaratan teknis pemasukan produk hortikultura ke Indonesia (Deptan, 2011). Pada 14 Desember 2011, diterbitkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 88/Permentan/PP.340/12/2011 yang akan secara efektif berlaku mulai tanggal 18 Maret 2012. Pada peraturan ini, total jenis buah yang diawasi meningkat menjadi 43 jenis. Tidak hanya residu pestisida dan logam berat yang diatur batas maksimum kandungannya dalam buah, tetapi juga mikroorganisme dan bahan kimia berbahaya seperti formalin. Agar pengawasan pemasukan produk hortikultura tersebut dapat berjalan secara efektif, maka Kementerian Pertanian melakukan pembatasan tempat pemasukan buah-buahan dan sayuran segar dengan mengganti Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 37/Kpts/Hk.060/1/2006 dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 89/Permentan/OT.140/2011. Jika pada peraturan sebelumnya terdapat delapan tempat pemasukan buah-buahan dan sayuran segar, maka pada peraturan terbaru hanya terdapat empat tempat saja yang ditunjuk sebagai tempat pemasukan. Keempat tempat tersebut ialah Pelabuhan Laut Tanjung Perak, Surabaya; Pelabuhan Laut Belawan, Medan; Bandar Udara Soekarno-Hatta, Jakarta; dan Pelabuhan Laut Makassar. Pada 6 Maret 2012 Kementerian Pertanian menerbitkan kebijakan baru lagi yang mengizinkan impor produk hortikultura segar melalui pelabuhan bebas, yaitu Pulau Batam, Bintan, dan Karimun. Pembolehan impor tersebut hanya sebatas untuk memenuhi konsumsi masyarakat di sekitar daerah pelabuhan bebas tersebut. Kebijakan baru tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian No.15/Permentan/OT.140/3/2012 dan Peraturan Menteri Pertanian No.16/Permentan/OT. 140/3/2012. Di sisi lain, pemerintah juga menyadari bahwa perlu adanya rancangan peningkatan daya saing buah-buahan lokal untuk menghadapi perdagangan bebas sektor hortikultura. Pada tanggal 14 Oktober 2009 Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor: 118/M-IND/PER/2009 tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Pengolahan Buah diterbitkan. Road map tersebut menggambarkan arah pengembangan industri 22 pengolahan buah untuk lima tahun ke depan, yaitu kurun waktu 2010 hingga 2014. Inti strategi yang diatur dalam peta panduan tersebut ialah pengembangan produksi buah tropis eksotis dan peningkatan budi daya tanaman buah secara komersial. Meski telah dikeluarkan berbagai peraturan untuk mengurangi laju impor buah-buahan, nyatanya nilai impor terus meningkat dari tahun ke tahun dengan laju yang berfluktuasi. Pada tahun 2006, terjadi peningkatan nilai impor sebesar 51 persen dari tahun sebelumnya yang hanya berkisar 217 juta US$. Sementara itu laju pertumbuhan nilai impor buah-buahan pada tahun 2008 hanya sekitar empat persen. Akan tetapi, pada tahun berikutnya nilai impor melonjak kembali hingga 34 persen, yaitu menjadi 606.8 juta US$. Laju pertumbuhan nilai impor kemudian menurun di tahun 2010, yaitu sekitar delapan persen dibanding tahun 2009 atau setara dengan 655.4 juta US$. Hal ini menunjukkan kebijakan impor buah-buahan belum efektif menekan derasnya aliran buah-buahan ke Indonesia. 2.5. Kerangka Pemikiran Perdagangan antar negara (perdagangan internasional) merupakan suatu hal yang lazim dan telah dipraktikkan sejak berabad-abad yang lalu. Berbagai pemikir perdagangan internasional telah memberikan landasan ilmiah untuk memahami mengapa negara-negara melakukan perdagangan. Dari teori-teori yang mereka kemukakan dapat disimpulkan bahwa perdagangan antar negara akan memberikan manfaat bagi kedua negara, dan manfaat tersebutlah yang mendorong negara-negara melakukan perdagangan internasional. Sesungguhnya, pemikiran akan manfaat perdagangan internasional tersebutlah yang menjadi faktor kunci dibalik fenomena globalisasi perekonomian. Dengan membiarkan arus barang dan jasa bergerak secara bebas antar negara-negara maka perdagangan akan memberikan manfaat yang maksimal bagi dunia. Oleh karena itu, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang didirikan pada tahun 1995 mendorong diberlakukannya perdagangan bebas antar negaranegara di dunia. Dengan adanya liberalisasi perdagangan, hambatan perdagangan seperti tarif yang selama ini digunakan sebagai instrumen proteksi sektor domestik 23 berusaha dieliminasi. Tarif impor tersebut tidak langsung dihapus, tetapi diturunkan secara bertahap. Dalam jangka panjang harga produk luar yang diterima oleh masyarakat nantinya benar-benar merupakan harga keseimbangan yang terbentuk oleh kekuatan permintaan dan penawaran internasional. Permasalahannya, di era perdagangan bebas ini, nilai impor buah-buahan justru melampaui nilai ekspor buah-buahan Indonesia. Hal ini menyebabkan Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan untuk komoditas buah-buahan. Selanjutnya, defisit neraca pembayaran tersebut akan mengganggu proses pembangunan sosial-ekonomi sebab saat ini pun Indonesia masih berjuang mengatasi kemiskinan. Masalah kemiskinan hanya dapat diatasi, bila perekonomian negara tersebut bertumbuh dengan baik. Defisit neraca pembayaran di atas akan menjadi hambatan bagi negara tersebut untuk memacu pembangunan perekononomiannya guna dapat mengatasi masalah kemiskinan yang sedang dihadapinya. Penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi outpayments, yaitu tarif impor, nilai tukar, dan pendapatan. Dampak volatilitas nilai tukar terhadap outpayments akan tergantung dari seberapa responsif permintaan impor masyarakat terhadap harganya. Oleh karena itu, sebelum menganalisis outpayments maka perlu dilakukan analisis permintaan impornya. Analisis permintaan impor dan outpayments buah-buahan dilakukan berdasarkan metode data panel. Berdasarkan hasil analisis, kemudian dibuat suatu rumusan kebijakan untuk mengendalikan laju outpayments buah-buahan Indonesia. 24 Globalisasi dan perdagangan bebas Penghapusan hambatan perdagangan Perubahan tarif impor Pengaruh nilai tukar Ekspor Impor (perbedaan harga relatif buahbuahan antar negara) Perubahan pendapatan masyarakat Outpayments > inpayments Analisis Permintaan Impor Analisis Data Panel Analisis Persamaan Outpayments Rumusan kebijakan untuk mengendalikan laju outpayments buah-buahan Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran Penelitian 25 2.6. Hipotesis Penelitian Berdasarkan teori yang dibahas pada Tinjauan Pustaka dapat disimpulkan bahwa ada empat faktor penting yang memengaruhi outpayments buah-buahan impor Indonesia, dan pengaruh dari masing-masing faktor tersebut terhadap outpayments diduga sebagai berikut: 1. Tarif impor berpengaruh negatif terhadap outpayments. 2. Pendapatan riil per kapita berpengaruh positif terhadap outpayments. 3. Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (kurs) berpengaruh positif terhadap outpayments jika permintaan buah-buahan impor bersifat inelastis terhadap harga atau berpengaruh negatif terhadap outpayments jika permintaan buah-buahan impor bersifat elastis terhadap harga. 4. Dummy krisis berpengaruh negatif terhadap outpayments.