BAB II Tinjauan Pustaka

advertisement
 II.
2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Outpayments dan Hubungannya dengan Elastisitas Permintaan
(Harga) dan Elastisitas Pendapatan
Outpayments merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk pada
nilai impor. Besaran outpayments ditentukan oleh perkalian antara harga barang
(P) yang diimpor dengan kuantitas permintaannya (Q). Jadi, pada hakekatnya,
outpayments sama dengan total revenue (TR) atau penerimaan total eksportir.
Dengan asumsi bahwa kurva permintaan mempunyai slope bernilai
negatif (< 0), kenaikan harga (P) akan mengakibatkan penurunan permintaan (Q)
dan sebaliknya, penurunan harga (P) akan mengakibatkan peningkatan permintaan
(Q). Namun, dampak dari perubahan harga (P) tersebut terhadap total pengeluaran
konsumen (TE) ditentukan oleh sifat dari elastisitas permintaan terhadap harga
(Nicholson, 1989).
Elastisitas harga mengukur tingkat kepekaan permintaan suatu komoditas
(Q) akibat perubahan harganya (P). Elastisitas harga dinyatakan dalam persamaan:
eQ,P =
%∆Q
% ∆P
=
∆Q/Q
∆P/P
=
∂Q
∂P
·
P
Q
...................................................................... (1)
Oleh karena permintaan berhubungan negatif terhadap harga, maka nilai
elastisitas pun dalam bentuk negatif. Permintaan suatu barang dikatakan elastis
apabila persentase perubahan permintaan lebih besar daripada persentase
perubahan harganya, atau eQ,P
-1. Pada barang yang elastis, kenaikan harga
sebesar satu persen akan menurunkan permintaannya lebih dari satu persen.
Sebaliknya, jika permintaan terhadap komoditas tidak begitu responsif
(inelastis) terhadap perubahan harga, maka angka elastisitasnya akan lebih besar
daripada – 1. Namun, apabila persentase perubahan harga suatu barang sama
dengan persentase perubahan permintaan yang diakibatkannya (eQ,P
-1 , maka
permintaan barang tersebut dikatakan unit elastic (Nicholson, 1989).
Berdasarkan teori bila permintaannya bersifat inelastis (eQ,P > -1),
peningkatan harga (P) akan justru mengakibatkan peningkatan total penerimaan
9 eksportir. Sebaliknya, bila
permintaannya bersifat elastis (eQ,P < -1), maka
peningkatan harga (P) akan mengakibatkan penurunan total penerimaan (TR)
eksportir (Nicholson, 1989).
Dengan kata lain, outpayments buah-buahan Indonesia akan meningkat
sejalan dengan kenaikan harganya bila permintaan impornya bersifat inelastis.
Sebaliknya, kenaikan harga akan mengakibatkan outpayments buah-buahan
Indonesia akan turun bila permintaan impornya bersifat elastis.
Perubahan pendapatan konsumen (I) adalah faktor lain yang dapat
memengaruhi total penerimaan eksportir (TR). Seperti halnya dengan pengaruh
perubahan harga, pengaruh perubahan pendapatan terhadap total penerimaan
eksportir juga dapat diketahui dari besarnya nilai elastisitas pendapatan.
Elastisitas pendapatan mengukur seberapa besar persentase perubahan
permintaan akibat perubahan pendapatan sebesar satu persen. Elastisitas
pendapatan dirumuskan sebagai berikut:
eQ,I =
%∆Q
% ∆I
=
∆Q/Q
∆I/I
=
∂Q
∂I
·
I
Q
....................................................................... (2)
Berdasarkan teori, barang normal mempunyai elastisitas pendapatan
bernilai positif (eQ,I >0). Artinya, ketika pendapatan konsumen meningkat, maka
permintaan konsumen tersebut terhadap suatu komoditas akan meningkat pula.
Khusus untuk barang dengan elastisitas pendapatan lebih besar dari 1, dapat
dikatakan bahwa barang tersebut termasuk barang mewah (Nicholson, 1989).
Persentase peningkatan permintaan barang mewah akan jauh melebihi persentase
peningkatan pendapatannya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa untuk
barang normal dan barang mewah, maka peningkatan pendapatan konsumen akan
mengakibatkan peningkatan penerimaan eksportir untuk barang tersebut.
Sementara itu, jika elastisitas pendapatan negatif, maka barang tergolong
inferior. Peningkatan pendapatan justru akan menurunkan permintaan terhadap
komoditas tersebut (Nicholson, 1989). Dengan demikian, dalam kasus barang
inferior, kenaikan pendapatan konsumen justru akan menurunkan penerimaan
eksportir terhadap barang tersebut.
10 2.2.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Outpayments
Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi outpayments, di antaranya
sebagai berikut:
2.2.1.
Tarif Impor
Pada kenyataannya harga impor yang diterima masyarakat tidak serta-
merta merupakan harga keseimbangan yang terjadi di pasar internasional. Negara
terkadang membebankan tarif bagi beberapa komoditas tertentu. Tarif merupakan
salah satu instrumen yang seringkali digunakan pemerintah dalam mengatur
perdagangan lintas negara. Tarif impor adalah pajak yang dibebankan terhadap
komoditas yang diimpor dari negara lain. Terdapat beberapa jenis tarif
berdasarkan perhitungannya, yaitu tarif ad valorem, spesifik, dan gabungan. Tarif
ad valorem dihitung berdasarkan persentase tertentu terhadap nilai impor.
Sedangkan tarif spesifik ditentukan sebagai beban tetap per unit produk impor.
Adapun tarif campuran merupakan gabungan dari kedua tarif yang dijelaskan
sebelumnya (Salvatore, 1997). Umumnya, tarif yang dibebankan pada produk
pertanian impor berupa tarif ad valorem.
Pada era perdagangan bebas sekarang ini, sebagian negara masih
memproteksi komoditas pertaniannya, seperti buah-buahan. Tujuan pemberlakuan
kebijakan tersebut ialah guna melindungi sektor pertanian domestik. Harga
komoditas impor yang relatif lebih murah dibandingkan komoditas serupa di
dalam
negeri
menyebabkan
masyarakat
secara
rasional
akan
memilih
mengonsumsi produk impor ketimbang domestik. Dampaknya, sektor domestik
akan mengalami keterpurukan dan neraca pembayaran negara pun akan
mengalami defisit.
Ketika pemerintah membebankan tarif impor terhadap komoditas buahbuahan yang masuk ke Indonesia, maka tindakan tersebut tidak akan berdampak
signifikan pada harga impor buah-buahan dunia. Sebab, Indonesia merupakan
small country dalam perdagangan internasional buah-buahan. Seperti yang terlihat
pada Tabel 2.1, share impor buah-buahan Indonesia terhadap total impor dunia
amat kecil, bahkan tidak mencapai satu persen. Oleh karena itu, pengaruh
penetapan tarif impor yang dilakukan Indonesia hanya akan meningkatkan harga
buah-buahan impor di Indonesia.
11 Kenaikan harga yang diakibatkan oleh pembebanan tarif impor tersebut
diharapkan akan mendorong konsumen Indonesia untuk menurunkan permintaan
impor buah-buahan. Mengingat outpayments merupakan perkalian antara harga
impor dengan kuantitasnya, maka pembebanan tarif impor akan menurunkan
outpayments. Pengaruh pemberlakuan tarif impor terhadap outpayments dapat
dijelaskan dengan lebih mudah melalui pendekatan grafis (Gambar 2.1).
Tabel 2.1. Share Outpayments Buah-buahan Indonesia terhadap Dunia Outpayments (US$)
Tahun
Share
Indonesia
Dunia
2001
142,042,449
32,865,088,881
0.43%
2002
214,671,690
35,837,533,750
0.60%
2003
189,033,155
42,732,799,657
0.44%
2004
216,363,160
48,428,642,800
0.45%
2005
217,484,837
54,355,331,094
0.40%
2006
327,843,604
59,419,827,471
0.55%
2007
435,436,524
68,311,123,723
0.64%
2008
451,972,763
78,372,858,741
0.58%
2009
606,817,760
73,175,649,596
0.83%
2010
655,386,591
80,055,507,987
0.82%
Sumber: UN Comtrade, 2012 (diolah)
Hal pertama yang harus diperhatikan adalah diasumsikan Indonesia
sebagai penerima harga (price taker). Asumsi ini didasarkan pada fakta bahwa
kontribusi Indonesia di pasar impor buah global relatif kecil. Dengan bertitik-tolak
pada asumsi ini, maka kurva supply buah-buahan impor yang dihadapi Indonesia
garis horizontal (lihat Gambar 2.1).
Misalkan, kondisi keseimbangan pasar internasional terjadi pada titik a
yang merupakan perpotongan antara demand (Dw) dan supply (Sw) buah di pasar
internasional (Gambar 2.1). Pada titik keseimbangan tersebut harga yang
terbentuk di pasar internasional ialah sebesar Pw dan kuantitasnya ialah sebesar
Qw. Harga tersebut menjadi kurva supply impor yang dihadapi pasar dalam negeri
Indonesia, sebelum penerapan tarif impor oleh pemerintah Indonesia.
Jadi, kuantitas buah yang diimpor domestik pada harga Pw adalah
sebesar Q1, sehingga pengeluaran konsumen domestik ialah sebesar Pw×Q1 yang
12 ditunjukkan oleh daerah OQ1bPw. Pengeluaran konsumen domestik tersebut
seluruhnya menjadi penerimaan bagi eksportir (outpayments).
Kemudian, misalkan, pemerintah menerapkan kebijakan tarif impor pada
buah-buahan sebesar t untuk mengendalikan outpayments buah-buahan.
Pembebanan tarif impor terhadap buah ditunjukkan oleh pergeseran ke atas kurva
supply di pasar domestik menjadi Sw+t yang mengakibatkan terjadinya
peningkatan harga impor menjadi P2. Kenaikan harga impor menyebabkan
penurunan jumlah permintaan impor masyarakat menjadi Q2.
Akibatnya, pengeluaran konsumen domestik menjadi sebesar P2×Q2
yang ditunjukkan oleh daerah OQ2cP2. Akan tetapi, pengeluaran konsumen
tersebut tidak seluruhnya menjadi penerimaan eksportir, sebab harga impor yang
dibayarkan konsumen termasuk tarif. Penerimaan dari tarif impor sebesar (P2Pw)×Q2 akan masuk ke dalam kas negara. Dengan demikian, penerimaan yang
diterima eksportir hanya sebesar daerah OQ2ePw atau dengan kata lain
outpayments akan menurun jika buah impor dikenai tarif.
P
P
SW
c
P2
a
PW
Pw = P1
DW
O
Qw
Pasar Internasional
SW+t
e
b
SW
DInd
Q
O Q2
Q
Q1
Pasar Domestik
Gambar 2.1. Dampak Pemberlakuan Tarif Impor
2.2.2.
Nilai Tukar
Mengingat adanya keterbatasan data harga impor, maka nilai tukar dapat
digunakan sebagai pendekatan dalam menganalisis faktor yang memengaruhi
outpayments. Ketika melakukan perdagangan dengan negara luar, maka
dibutuhkan mata uang negara tersebut agar transaksi dapat berjalan lancar.
13 Perbandingan antara harga mata uang domestik terhadap harga mata uang luar
negeri disebut nilai tukar nominal (kurs nominal). Besarnya nilai tukar
berfluktuasi dari waktu ke waktu tergantung kekuatan permintaan dan penawaran
mata uang di pasar valuta asing.
Dalam kaitannya untuk mengkaji dampak volatilitas nilai tukar terhadap
outpayments, maka nilai tukar yang digunakan sebagai proxy ialah nilai tukar riil
(kurs riil). Variabel ini mengukur rasio harga produk luar negeri terhadap harga
produk serupa di dalam negeri dalam mata uang luar negeri (McTaggart, Findlay,
dan Parkin, 1996). Nilai tukar riil dapat dinyatakan dalam persamaan berikut:
e
P*/P) ................................................................................................ (3)
dimana:
= kurs riil
e
= kurs nominal
P
= harga barang domestik
P*
= harga barang luar negeri
Outpayments umumnya dinyatakan dalam mata uang dollar Amerika
Serikat yang dijadikan mata uang yang berlaku dalam perdagangan internasional.
Apabila kurs rupiah
Indonesia dengan dollar Amerika Serikat sebesar Rp
9.000,00 per US$, maka untuk memperoleh US$ 1 diperlukan mata uang
domestik sebesar Rp 9.000,00. Jika terjadi depresiasi nilai tukar rupiah terhadap
dollar Amerika Serikat, diperlukan lebih dari Rp 9.000,00 untuk memperoleh
US$1. Hal yang sebaliknya dinamakan apresiasi kurs, yaitu penguatan nilai tukar
domestik terhadap mata uang domestik.
Pengaruh nilai tukar riil terhadap outpayments tergantung dari elastisitas
permintaan komoditas terhadap harganya. Depresiasi rupiah akan menyebabkan
harga komoditas domestik lebih murah dibandingkan dengan harga komoditas
serupa yang didatangkan dari Amerika Serikat dalam satuan rupiah. Misalkan,
awalnya kurs berada pada posisi Rp 9.000,00/US$. Harga komoditas X di
Indonesia senilai Rp 10.000,00, sedangkan di Amerika Serikat harganya hanya
sebesar US$ 1 atau Rp 9.000,00. Dengan asumsi tidak ada pengaruh biaya
transportasi, masyarakat Indonesia lebih memilih mengimpor komoditas X dari
Amerika Serikat karena harganya relatif murah.
14 Kemudian, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat melemah
menjadi Rp 10.500,00/US$. Harga komoditas X di masing-masing negara tetap
dalam satuan mata uang yang berlaku di negara tersebut. Akibatnya, harga X di
Amerika Serikat yang seharga US$ 1 akan menjadi relatif lebih mahal
dibandingkan harga X di domestik. Harga impor X akan menjadi Rp 10.500,00.
Depresiasi menyebabkan penurunan permintaan impor X oleh masyarakat
Indonesia.
Dampak depresiasi nilai tukar terhadap outpayments memiliki dua
kemungkinan. Jika komoditas yang dikonsumsi merupakan barang yang elastis
terhadap harga, maka depresiasi nilai rupiah terhadap dollar Amerika Serikat akan
menurunkan outpayments. Hal ini disebabkan persentase peningkatan harga impor
jauh lebih kecil dibandingkan persentase penurunan jumlah permintaan komoditas
tersebut. Beda halnya apabila produk impor tersebut merupakan barang yang
bersifat inelastis terhadap harga. Depresiasi nilai tukar menyebabkan penurunan
kuantitas permintaan relatif kecil dibandingkan persentase peningkatan harga
impornya. Akibatnya, outpayments barang inelastis akan meningkat jika terjadi
depresiasi nilai tukar.
2.2.3.
Pendapatan Riil per Kapita
Jumlah permintaan impor masyarakat juga ditentukan oleh besarnya
pendapatan yang dimilikinya (McTaggart, Findlay, dan Parkin, 1996). Pada
penelitian ini, proxy pendapatan yang digunakan adalah pendapatan riil per kapita
per tahun. Ketika pendapatan riil per kapita nasional meningkat, maka jumlah
uang yang siap dibelanjakan masyarakat pun meningkat. Dengan asumsi buahbuahan impor sebagai barang normal, peningkatan pendapatan menyebabkan
masyarakat dapat meningkatkan konsumsinya. Peningkatan konsumsi masyarakat
secara keseluruhan menyebabkan peningkatan permintaan terhadap suatu
komoditas secara agregat.
Gejala meningkatnya impor Indonesia ditandai oleh adanya tren
peningkatan pertumbuhan ekonomi sejak tahun 2000 rata-rata lima persen (BPS,
2012). Pertumbuhan ekonomi yang positif meningkatkan pendapatan per kapita
Indonesia. Gambar 2.2 menunjukkan adanya tren positif pada pendapatan riil per
15 kapita dengan tahun dasar 2000. Pada saat terjadi krisis moneter tahun 1997,
pendapatan riil per kapita sempat anjlok hingga 14.28 persen. Pada masa tersebut,
pendapatan riil per kapita Indonesia hanya sekitar 6.32 juta rupiah per tahun atau
setara dengan 526.66 ribu rupiah.
Perekonomian kembali memulih pada tahun 2000. Keadaan ini terlihat
dari adanya peningkatan pendapatan per kapita riil Indonesia secara terus-menerus
sejak tahun 2000. Pada tahun 2000, pendapatan riil per kapita Indonesia sebesar
6.51 juta rupiah per tahun. Pendapatan riil per kapita Indonesia terus meningkat
dan pertumbuhan
nilai tertinggi terjadi pada tahun 2007 dengan angka
pertumbuhan sebesar 5.18 persen. Pada tahun 2007, pendapatan riil per kapita
Indonesia per tahun telah mencapai 8.45 juta rupiah per tahun. Bahkan pada tahun
2010, nilai pendapatan riil per kapita Indonesia per tahun hampir mendekati
Pendapatan per Kapita
(Rp/tahun)
sepuluh juta rupiah.
12000000
10000000
8000000
6000000
4000000
2000000
0
Tahun
Sumber: World Bank, 2012 (diolah)
Gambar 2.2. Tren Pendapatan Riil per Kapita Indonesia Periode 1996-2010
(Tahun Dasar = 2000)
Sejalan dengan kenaikan pendapatan riil per kapita tersebut, menurut
laporan World Bank (2010), pada tahun 2010 jumlah kelas menengah di Indonesia
telah mencapai 56.5 persen dari total penduduk Indonesia atau sekitar 134 juta
jiwa. Padahal, pada tahun 2003 kelas menengah hanya mencakup 37.7 persen
penduduk. World Bank mendefinisikan kelas menengah sebagai kelompok
masyarakat yang berpenghasilan sebesar US$ 2 hingga US$ 20 per hari.
16 Pertumbuhan kelas menengah di Indonesia menjadikan Indonesia sebagai
pasar potensial buah-buahan impor yang eksotis. Bagi konsumen kelas tersebut,
harga produk bukan lagi pertimbangan utama dalam menentukan pilihan
konsumsi. Masyarakat kelas menengah tersebut lebih mengutamakan kualitas dan
prestise yang umumnya melekat pada produk-produk impor. Hal ini akan
berdampak pada peningkatan outpayments impor buah-buahan Indonesia.
2.3.
Penelitian Terdahulu
Penelitian terkait impor telah dilakukan sebelumnya oleh Santos-Paulino
dan Thirlwall (2004). Kedua penulis menggunakan analisis data panel dinamis
dalam mengestimasi efek liberalisasi perdagangan terhadap ekspor, impor, neraca
perdagangan, dan neraca pembayaran di negara-negara berkembang. Data panel
yang digunakan melibatkan 22 negara dengan periode analisis dari tahun 1972
hingga 1997. Dampak liberalisasi diukur melalui dua indikator, yaitu variabel
tingkat bea masuk dan variabel dummy untuk tahun berjalannya liberalisasi
perdagangan.
Hasil penelitian Santos-Paulino dan Thirlwall untuk analisis impor
menunjukkan bahwa bea masuk secara signifikan pada taraf nyata lima persen
berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan impor. Selain itu, liberalisasi
perdagangan berdampak positif terhadap pertumbuhan impor. Variabel dummy
tersebut signifikan pada taraf nyata satu persen dan nilai koefisiennya lebih besar
dibandingkan variabel tingkat bea masuk. Selain itu dari hasil penelitian
didapatkan pula bahwa efek perubahan bea masuk dan liberalisasi perdagangan
terhadap pertumbuhan impor lebih besar pada negara dengan tingkat proteksi
yang tinggi, seperti Indonesia. Kesimpulan dari penelitian Santos-Paulino dan
Thirlwall ialah liberalisasi perdagangan meningkatkan laju pertumbuhan impor
lebih cepat dibandingkan pertumbuhan ekspornya sehingga memperburuk neraca
pembayaran dan perdagangan.
Penggunaan istilah outpayments sebagai nilai impor diperkenalkan oleh
Bahmani-Oskooee, et al (2005). Pada penelitian tersebut dianalisis sensitivitas
inpayments dan outpayments Inggris terhadap nilai poundsterling. BahmaniOskooee, et al memilih membangun model yang menghubungkan langsung nilai
17 ekspor ataupun impor dengan nilai tukar. Sebab analisis ekspor dan impor yang
telah banyak dilakukan saat ini menggunakan pendekatan elastistisitas yang
memiliki kendala dalam pemerolehan data harga ekspor dan impor yang
umumnya terbatas.
Estimasi dilakukan menggunakan data perdagangan bilateral untuk
menghindari aggregation bias. Terdapat 20 negara mitra dagang Inggris yang
dianalisis dengan periode analisis data dari tahun kuartal I-1973 hingga kuartal
IV-2002. Metode penelitian menggunakan analisis kointegrasi dan errorcorrection model dengan pendekatan Autoregressive Distributed Lag (ARDL).
Hasil analisis menunjukkan bahwa inpayments Inggris tidak sensitif terhadap nilai
tukar, beda halnya dengan outpayments. Depresiasi poundsterling menurunkan
outpayments Inggris dari tiga belas negara mitra dagang utamanya. Keterbatasan
dari penelitian ini adalah data perdagangan yang digunakan merupakan data
agregat, bukan data yang telah dipilah berdasarkan jenis komoditasnya.
Maria Cortes (2007) melakukan penelitian terkait outpayments dengan
tujuan untuk mengetahui ada-tidaknya hubungan jangka panjang antara nilai
impor bilateral antara Australia dan Kolombia dengan nilai tukar riil, pendapatan,
populasi, dan keterbukaan yang diproksi dengan pertumbuhan total impor.
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh potensi hubungan perdagangan bilateral antara
Kolombia dan Australia yang belum tergarap secara maksimal.
Periode analisis data yang dilakukan Cortes (2007) ialah 46 tahun, yaitu
dari tahun 1960 hingga 2005. Metode analisis yang digunakan adalah kointegrasi
dan error correction model. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan
keseimbangan jangka panjang antara nilai impor Kolombia dari Australia dengan
nilai tukar riil dan pendapatan dan total impor Kolombia. Sedangkan nilai impor
Australia dari Kolombia terkointegrasi dengan pendapatan masing-masing negara
dan populasi Kolombia. Dengan demikian, kesimpulan penelitian ialah adanya
peluang peningkatan perdagangan antara dua negara tersebut.
Hingga saat ini, penelitian terkait outpayments masih jarang dilakukan.
Kebanyakan penelitian terkait impor masih menggunakan pendekatan elastisitas,
seperti penelitian Wijeera, et al (2008). Penelitian tersebut menganalisis
elastistisitas permintaan impor bilateral Bangladesh dengan enam negara mitra
18 dagang utama dalam kurun waktu 1973-2004. Wijeera, et al (2008) menggunakan
nilai tukar riil sebagai pendekatan terhadap harga relatif dan pendapatan riil
nasional untuk estimasi volume impor Bangladesh. Variabel dummy tarif juga
dimasukkan untuk melihat dampak liberalisasi perdagangan terhadap permintaan
impor.
Analisis elastistas permintaan impor Bangladesh tersebut menggunakan
metode kointegrasi Engle-Granger. Hasilnya ialah hanya impor dari negara India
dan Amerika Serikat saja yang memiliki elastistas permintaan terhadap harga
negatif. Artinya, depresiasi taka menyebabkan penurunan volume impor dari
kedua
negara
tersebut.
Adapun
variabel
pendapatan
secara
signifikan
memengaruhi impor dengan nilai elastisitas positif hanya untuk produk dari
Malaysia. Selain itu hasil penelitian juga menujukkan bahwa tarif impor secara
signifikan berkorelasi negatif terhadap permintaan impor Bangladesh.
Adapun penelitian yang terbaru dipublikasikan mengenai inpayments.
Penelitian yang dilakukan oleh Madani dan Mas-Guix (2011) mengkaji efektivitas
Motor Industri Development Program (MIDP) terhadap kinerja ekspor sektor
otomotif di Afrika Selatan. MIDP dilaksanakan pada tahun 1995 dan merupakan
suatu program pemberian insentif pajak bagi sektor otomotif yang berorientasi
ekspor dalam rangka meningkatkan daya saingnya dalam perdagangan bebas.
Kedua peneliti tersebut menggunakan total nilai ekspor riil otomotif sebagai
indikator kinerja ekspor. Analisis dilakukan dengan metode Difference-inDifference dalam bentuk panel yang dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama
adalah untuk analisis komparatif antara subsektor ekspor manufaktur Afrika
Selatan. Terakhir, analisis untuk membandingkan perbedaan kinerja ekspor
otomotif Afrika Selatan dengan negara eksportir otomotif lainnya pada periode
1993-2007.
Estimator Difference-in-Difference pada kedua analisis ditunjukkan oleh
koefisien dummy untuk sektor otomotif pada tahun setelah 1995, yaitu tahun telah
berlangsungnya program. Angka koefisien tersebut menginterpretasikan respons
nilai ekspor total manufaktur dan ekspor otomotif terhadap perubahan insentif
pajak ekspor. Dari hasil analisis penelitian diperoleh bahwa MIDP secara
signifikan berdampak positif terhadap kinerja ekspor otomotif Afrika Selatan.
19 Respons terbesar ekspor otomotif akibat adanya insentif pajak baru terlihat pada
beberapa tahun setelah implementasi program. Selain itu, penelitian juga
menunjukkan bahwa efektivitas insentif pajak berkurang seiring berjalannya
waktu karena hanya memengaruhi keputusan bisnis dalam jangka pendek (Madani
dan Mas-Guix, 2011).
2.4.
Kebijakan Impor Buah di Indonesia
Meningkatnya aliran buah-buahan asal luar negeri ke Indonesia tak lepas
dari semakin longgarnya kebijakan impor buah yang ditetapkan pemerintah.
Keadaan ini dimulai sejak dikeluarkannya Paket Deregulasi Juni tahun 1991 yang
menyebabkan impor buah-buahan menjadi relatif bebas. Dengan adanya paket
deregulasi tersebut maka SK Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 505/1982
mengenai pembatasan impor komoditas hortikultura dicabut. Importir bebas
memasok buah dari luar ke Indonesia, namun impor tersebut dikenakan bea
masuk sekitar dua puluh persen. Meskipun demikian, paket deregulasi tersebut
secara nyata meningkatkan volume impor buah-buahan Indonesia. Pada tahun
1990, Indonesia hanya mengimpor sekitar 16.44 juta kilogram buah-buahan.
Namun, pada tahun 1992, terjadi kenaikan volume impor hampir 169 persen
dibanding dua tahun sebelumnya.
Pada kurun waktu 1996-1997, tarif buah-buahan yang ditetapkan
pemerintah bagi Most Favoured Nation (MFN) sekitar 10-25 persen. Akan tetapi,
setelah era reformasi pada tahun 1998, kebijakan perdagangan internasional
Indonesia mulai dilonggarkan. Pada tahun tersebut, tarif impor buah-buahan dari
MFN diturunkan menjadi lima persen untuk semua jenisnya.
Pada tanggal 4 November 2002, Indonesia bersama negara ASEAN
lainnya menandatangani Framework Agreement on Comprehensive Economic
Cooperation dengan China. Kerjasama dilakukan untuk menciptakan kawasan
perdagangan bebas dan peningkatan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan
China. Salah satu upaya awal perwujudan liberalisasi perdagangan tersebut ialah
dengan penurunan tarif di seluruh sektor perdagangan secara bertahap mulai 1
Januari 2004. Komoditas buah-buahan termasuk ke dalam kategori Early Harvest
Program yang mengalami penurunan tarif bertahap hingga menjadi nol persen
20 pada 1 Januari 2006. Kebijakan tersebut diatur dalam Keputusan Menteri
Keuangan RI Nomor 355/KMK.01/2004 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas
Impor Barang dalam Kerangka EHP Bilateral Indonesia China-FTA.
Kemudian, pada 30 Januari 2003, Indonesia beserta dengan negara
lainnya yang tergabung ASEAN Free Trade Area (AFTA) menandatangani
Protocol to Amend The CEPT-AFTA Agreement for The Elimination of Import
Duties. Dengan perjanjian ini maka negara-negara ASEAN-6 berkomitmen untuk
menghapus tarif barang dari negara sesama anggota . Penurunan tarif dilakukan
secara bertahap melalui skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT).
Akhirnya pada tahun 2005, tarif impor seluruh jenis buah-buahan dari
China dan Thailand telah menjadi nol persen. Pembebasan tarif impor buahbuahan menyebabkan semakin tak terbendungnya arus buah-buahan, khususnya
dari China ke Indonesia. China sendiri merupakan negara pengekspor buahbuahan ke Indonesia terbesar sejak tahun 2000 (UN Comtrade, 2011).
Indonesia menjadi negara net importir buah-buahan sejak tahun 2000
dengan nilai trade balance saat itu sekitar US$ -13,816,630 (BPS, 2012).
Besarnya nilai impor berfluktuasi dari tahun ke tahun dan menunjukkan
kecenderungan meningkat. Dalam upaya menekan laju impor, pemerintah telah
mengeluarkan serangkaian kebijakan yang sifatnya berupa hambatan non-tarif.
Pada tahun 2009, kebijakan impor diperketat dengan dikeluarkannya
Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 27/Permentan/PP.340/5/2009 tentang
Pengawasan Keamanan Pangan terhadap Pemasukan dan Pengeluaran Pangan
Segar Asal Tumbuhan. Pada peraturan tersebut ditentukan batas maksimum residu
pestisida dan logam berat buah-buahan yang layak masuk ke Indonesia.
Pengawasan tersebut guna menjamin kesegaran buah-buahan yang diimpor dan
kesehatan masyarakat Indonesia. Terdapat empat jenis buah yang diawasi
pemasukannya, yaitu apel, anggur, jeruk dan lengkeng. Buah-buahan yang akan
masuk ke Indonesia harus dilengkapi sertifikat keamanan yang dikeluarkan oleh
lembaga sertifikasi resmi negara asal.
Akan tetapi, seiring dengan meningkatnya aktivitas perdagangan buahbuahan Indonesia, pemasukan organisme pengganggu tumbuhan karantina
(OPTK) ke Indonesia pun meningkat. OPTK tersebut dibawa oleh media
21 hortikultura yang diimpor, baik berupa produk ataupun benih. Guna
meminimalisir risiko pemasukan dan penyebaran OPTK eksotik tersebut,
Kementerian Pertanian memperketat kembali persyaratan teknis pemasukan
produk hortikultura ke Indonesia (Deptan, 2011). Pada 14 Desember 2011,
diterbitkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 88/Permentan/PP.340/12/2011
yang akan secara efektif berlaku mulai tanggal 18 Maret 2012. Pada peraturan ini,
total jenis buah yang diawasi meningkat menjadi 43 jenis. Tidak hanya residu
pestisida dan logam berat yang diatur batas maksimum kandungannya dalam
buah, tetapi juga mikroorganisme dan bahan kimia berbahaya seperti formalin.
Agar pengawasan pemasukan produk hortikultura tersebut dapat berjalan
secara efektif, maka Kementerian Pertanian melakukan pembatasan tempat
pemasukan buah-buahan dan sayuran segar dengan mengganti Peraturan Menteri
Pertanian Nomor : 37/Kpts/Hk.060/1/2006 dengan Peraturan Menteri Pertanian
Nomor 89/Permentan/OT.140/2011. Jika pada peraturan sebelumnya terdapat
delapan tempat pemasukan buah-buahan dan sayuran segar, maka pada peraturan
terbaru hanya terdapat empat tempat saja yang ditunjuk sebagai tempat
pemasukan. Keempat tempat tersebut ialah Pelabuhan Laut Tanjung Perak,
Surabaya; Pelabuhan Laut Belawan, Medan; Bandar Udara Soekarno-Hatta,
Jakarta; dan Pelabuhan Laut Makassar.
Pada 6 Maret 2012 Kementerian Pertanian menerbitkan kebijakan baru
lagi yang mengizinkan impor produk hortikultura segar melalui pelabuhan bebas,
yaitu Pulau Batam, Bintan, dan Karimun. Pembolehan impor tersebut hanya
sebatas untuk memenuhi konsumsi masyarakat di sekitar daerah pelabuhan bebas
tersebut. Kebijakan baru tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian
No.15/Permentan/OT.140/3/2012
dan
Peraturan
Menteri
Pertanian
No.16/Permentan/OT. 140/3/2012.
Di sisi lain, pemerintah juga menyadari bahwa perlu adanya rancangan
peningkatan daya saing buah-buahan lokal untuk menghadapi perdagangan bebas
sektor hortikultura. Pada tanggal 14 Oktober 2009 Peraturan Menteri
Perindustrian Republik Indonesia Nomor: 118/M-IND/PER/2009 tentang Peta
Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Pengolahan Buah
diterbitkan. Road map tersebut menggambarkan arah pengembangan industri
22 pengolahan buah untuk lima tahun ke depan, yaitu kurun waktu 2010 hingga
2014. Inti strategi yang diatur dalam peta panduan tersebut ialah pengembangan
produksi buah tropis eksotis dan peningkatan budi daya tanaman buah secara
komersial.
Meski telah dikeluarkan berbagai peraturan untuk mengurangi laju impor
buah-buahan, nyatanya nilai impor terus meningkat dari tahun ke tahun dengan
laju yang berfluktuasi. Pada tahun 2006, terjadi peningkatan nilai impor sebesar
51 persen dari tahun sebelumnya yang hanya berkisar 217 juta US$. Sementara
itu laju pertumbuhan nilai impor buah-buahan pada tahun 2008 hanya sekitar
empat persen. Akan tetapi, pada tahun berikutnya nilai impor melonjak kembali
hingga 34 persen, yaitu menjadi 606.8 juta US$. Laju pertumbuhan nilai impor
kemudian menurun di tahun 2010, yaitu sekitar delapan persen dibanding tahun
2009 atau setara dengan 655.4 juta US$. Hal ini menunjukkan kebijakan impor
buah-buahan belum efektif menekan derasnya aliran buah-buahan ke Indonesia.
2.5.
Kerangka Pemikiran
Perdagangan antar negara (perdagangan internasional) merupakan suatu
hal yang lazim dan telah dipraktikkan sejak berabad-abad yang lalu. Berbagai
pemikir perdagangan internasional telah memberikan landasan ilmiah untuk
memahami mengapa negara-negara melakukan perdagangan. Dari teori-teori yang
mereka kemukakan dapat disimpulkan bahwa perdagangan antar negara akan
memberikan manfaat bagi kedua negara, dan manfaat tersebutlah yang mendorong
negara-negara melakukan perdagangan internasional.
Sesungguhnya, pemikiran akan manfaat perdagangan internasional
tersebutlah
yang
menjadi
faktor
kunci
dibalik
fenomena
globalisasi
perekonomian. Dengan membiarkan arus barang dan jasa bergerak secara bebas
antar negara-negara maka perdagangan akan memberikan manfaat yang maksimal
bagi dunia. Oleh karena itu, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang didirikan
pada tahun 1995 mendorong diberlakukannya perdagangan bebas antar negaranegara di dunia.
Dengan adanya liberalisasi perdagangan, hambatan perdagangan seperti
tarif yang selama ini digunakan sebagai instrumen proteksi sektor domestik
23 berusaha dieliminasi. Tarif impor tersebut tidak langsung dihapus, tetapi
diturunkan secara bertahap. Dalam jangka panjang harga produk luar yang
diterima oleh masyarakat nantinya benar-benar merupakan harga keseimbangan
yang terbentuk oleh kekuatan permintaan dan penawaran internasional.
Permasalahannya, di era perdagangan bebas ini, nilai impor buah-buahan
justru melampaui nilai ekspor buah-buahan Indonesia. Hal ini menyebabkan
Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan untuk komoditas buah-buahan.
Selanjutnya, defisit neraca pembayaran tersebut akan mengganggu proses
pembangunan sosial-ekonomi sebab saat ini pun Indonesia masih berjuang
mengatasi
kemiskinan.
Masalah
kemiskinan
hanya
dapat
diatasi,
bila
perekonomian negara tersebut bertumbuh dengan baik. Defisit neraca pembayaran
di atas akan menjadi hambatan bagi negara tersebut untuk memacu pembangunan
perekononomiannya guna dapat mengatasi masalah kemiskinan yang sedang
dihadapinya.
Penelitian
ini
menganalisis
faktor-faktor
yang
memengaruhi
outpayments, yaitu tarif impor, nilai tukar, dan pendapatan. Dampak volatilitas
nilai tukar terhadap outpayments akan tergantung dari seberapa responsif
permintaan impor masyarakat terhadap harganya. Oleh karena itu, sebelum
menganalisis outpayments maka perlu dilakukan analisis permintaan impornya.
Analisis permintaan impor dan outpayments buah-buahan dilakukan berdasarkan
metode data panel. Berdasarkan hasil analisis, kemudian dibuat suatu rumusan
kebijakan untuk mengendalikan laju outpayments buah-buahan Indonesia.
24 Globalisasi dan perdagangan bebas
Penghapusan hambatan perdagangan
Perubahan tarif impor
Pengaruh nilai tukar
Ekspor
Impor
(perbedaan harga relatif buahbuahan antar negara)
Perubahan pendapatan
masyarakat
Outpayments > inpayments
Analisis
Permintaan Impor
Analisis Data Panel
Analisis
Persamaan Outpayments
Rumusan kebijakan untuk mengendalikan laju outpayments buah-buahan
Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran Penelitian
25 2.6.
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan teori yang dibahas pada Tinjauan Pustaka dapat disimpulkan
bahwa ada empat faktor penting yang memengaruhi outpayments buah-buahan
impor Indonesia, dan pengaruh dari masing-masing faktor tersebut terhadap
outpayments diduga sebagai berikut:
1.
Tarif impor berpengaruh negatif terhadap outpayments.
2.
Pendapatan riil per kapita berpengaruh positif terhadap outpayments.
3.
Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (kurs) berpengaruh
positif terhadap outpayments jika permintaan buah-buahan impor bersifat
inelastis terhadap harga atau berpengaruh negatif terhadap outpayments
jika permintaan buah-buahan impor bersifat elastis terhadap harga.
4.
Dummy krisis berpengaruh negatif terhadap outpayments.
Download