1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Era

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Era globalisasi kini merambah seluruh belahan dunia. Globalisasi membawa angin
segar dengan pembaharuan yang dibawa dalam segala bidang. Arfani (2004) menjelaskan
bahwa globalisasi adalah kecenderungan umum terintegrasinya kehidupan masyarakat
domestik atau lokal ke dalam komunitas global di berbagai bidang. Kehidupan dalam satu
negara, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, bahkan budaya sekalipun kini
dirambah oleh globalisasi, termasuk juga Indonesia.
Menurut Ancok (1995), kemajuan di bidang teknologi dan komunikasi membuat
informasi dari luar suatu negara dengan mudah ditangkap dan berpengaruh ke dalam suatu
negara. Globalisasi meniadakan batas wilayah. Bukan hanya itu, globalisasi turut
membawa perubahan pada pola sikap, perilaku, dan gaya hidup masyarakat. Tuntutan
hidup modern membawa perubahan dalam bidang sosial budaya, terlebih dalam perubahan
pola perilaku konsumen di Indonesia.
Gaya hidup konsumtif adalah pola hidup baru yang kini dikenal di masyarakat
Indonesia. Bukan hanya sebagai dampak dari tuntutan kehidupan modern akibat
globalisasi. Gaya hidup dengan pola konsumsi berlebihan ini tumbuh beriringan dengan
semakin meningkat dan membaiknya pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional
Indonesia. Gaya hidup konsumtif terjadi ketika seseorang menghabiskan banyak waktu dan
uang untuk hal-hal yang tidak berguna, berlebihan atau tidak sesuai kebutuhan (Zebua &
Nurdjayadi, 2001).
1
2
Pola konsumsi berlebihan menjadi salah satu ciri dari konsumerisme. Heryanto
(2004) menjelaskan konsumerisme sebagai gaya hidup dengan falsafah konsumen. Gaya
hidup ini membawa masyarakat pada kebiasaan untuk selalu memenuhi keinginan dalam
mengonsumsi segala sesuatu, sekalipun itu berlebihan. Masyarakat seolah buta terhadap
keinginan yang dimiliki, mana yang harus dipenuhi pada saat itu juga dan mana yang bisa
dipenuhi di kemudian hari.
Penelitian Alfitri (2007) tentang Budaya Konsumerisme Masyarakat Perkotaan
menunjukkan bahwa munculnya pusat-pusat perbelanjaan di perkotaan telah memengaruhi
perubahan perilaku keluarga dan masyarakat yang mengarah kepada perilaku konsumtif.
Masih dalam penelitian yang sama, perubahan perilaku terjadi karena perubahan gaya
hidup masyarakat perkotaan yang dibentuk secara sistematis oleh media massa, khususnya
televisi dan penampilan, serta gaya pajangan pusat-pusat perbelanjaan. Konsumerisme dan
kondisi lingkungan sekitar mendorong masyarakat masuk ke dalam pola hidup konsumtif.
Masyarakat dengan pola hidup konsumtif senang berfoya-foya dan mengutamakan
kesenangan dalam kehidupan. Individu yang mengikuti falsafah konsumen selalu
mengutamakan keinginan dalam berbagai hal untuk dikonsumsi. Sejalan dengan penelitian
Alfitri (2007), berbagai pusat perbelanjaan kini selalu ramai dengan pengunjung.
Departement store atau shopping mall selalu dipenuhi masyarakat dari berbagai kalangan
di jam-jam sibuk. Mereka seakan berlomba untuk membeli aneka produk yang ditawarkan.
Perilaku konsumtif adalah fenomena nyata yang terjadi di masyarakat. Menurut data
United Nation on Environment Program, Indonesia tercatat sebagai negara paling
konsumtif nomor empat se-Asia-Pasifik pada tahun 2012 (Agustina, 2013). Perilaku
konsumtif adalah tindakan membeli barang bukan untuk mencukupi kebutuhan tetapi
untuk memenuhi keinginan, yang dilakukan secara berlebihan sehingga menimbulkan
pemborosan dan inefisiensi biaya (Fransisca & Suyasa, 2005). Tidak ada pertimbangan
3
rasional dalam keputusan membeli. Pembelian yang dilakukan menjadi tidak wajar karena
didasarkan pada nafsu konsumtif semata.
Nafsu konsumtif merupakan keinginan masyarakat yang berlebihan untuk membeli
sesuatu baik makanan atau barang (Zemi, 2014). Nafsu konsumtif mendorong seseorang
untuk membeli lebih banyak dari yang dibutuhkan. Akhirnya perilaku konsumtif
menyebabkan pembelian barang bukan lagi karena kebutuhan, melainkan karena
keinginan. Zemi (2014) menjelaskan, realitas hidup di perkotaan cenderung kian
mengaburkan beda antara kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder-tersier yang
kemudian faktanya beralih fungsi menjadi keinginan.
Fenomena perilaku konsumtif nyata terjadi di masyarakat. Salah satu indikasi
perilaku konsumtif masyarakat adalah peningkatan jumlah pengeluaran. Data Badan Pusat
Statistik menunjukkan peningkatan sebesar 72. 471 dari tahun 2013 ke tahun 2014 untuk
rata-rata pengeluaran per kapita sebulan menurut kelompok barang (makanan dan bukan
makanan). Asosiasi kartu kredit Indonesia mencatat jumlah transaksi kartu kredit di
Indonesia hingga bulan Agustus 2015 mencapai angka 179. 642. 419 dengan nilai transaksi
(dalam juta) adalah 179. 984. 199. Data tersebut menunjukkan besarnya belanja yang
dilakukan masyarakat Indonesia.
Belanja dalam jumlah besar sebagai indikasi perilaku konsumtif bukan masalah jika
dilakukan masyarakat dengan kemampuan finansial mendukung. Katakanlah pada
masyarakat menengah ke atas. Perilaku konsumtif tidak akan berdampak besar bagi
kehidupan mereka. Tetapi, bagaimana jika perilaku konsumtif dilakukan oleh masyarakat
menengah ke bawah? Sementara masyarakat menengah ke bawah memiliki kemampuan
finansial yang terbatas.
Beberapa kasus bunuh diri karena tidak mampu mendapatkan barang yang
diinginkan terjadi di masyarakat Indonesia kalangan menengah kebawah. Seorang siswa
4
SMP di Bali memutuskan untuk mengakhiri hidupnya karena tidak kunjung mendapatkan
handphone yang diinginkan. Ayah dari siswa terebut mengatakan, “Pulang sekolah sore
tadi, dia sempat mainan HP dan minta dibelikan yang baru. Saya katakan mau beli pakai
apa, hidup saja masih pas-pasan” (Jaya, 2015). Siswa yang masih berusia 15 tahun
tersebut lebih memilih untuk mengakhiri hidupnya karena keinginan untuk memiliki HP
tidak terpenuhi.
Kasus yang sama terjadi pada seorang siswa SMK di Sumatera Utara. Siswa SMK
berusia 19 tahun tersebut ditemukan gantung diri di pohon durian. Siswa yang duduk di
kelas XII ini diduga nekad mengakhiri hidupnya dengan gantung diri lantaran malu tak
kunjung memiliki motor seperti teman sepermainannya (Akbar, 2015). Seorang suami
ditemukan meninggal gantung diri pada tahun 2011 lalu. Sebelumnya diketahui bahwa istri
korban sempat minta dibelikan baju, namun karena desakan ekonomi justru korban
bertengkar dengan istrinya sampai akhirnya memilih jalan pintas untuk bunuh diri
(http://www.harianaceh.co).
Perilaku konsumtif juga diduga menjadi penyebab kasus jual diri yang dilakukan
remaja putri. Seorang siswi SMK swasta di Samarinda mengaku menjual dirinya demi
memenuhi keinginannya untuk memiliki motor dan handphone seperti teman-temannya.
Kondisi keluarga yang tidak memungkinkan untuk memberi uang lebih membuat siswi
tersebut terjebak dalam bujuk rayu teman yang bersedia memberi pinjaman uang. “ Dia
bilang kerja, cuma nemanin om-om ke diskotik dan dandan yang cantik. Sebenernya sudah
tahu kalau itu maksudnya jual diri, tapi pura-pura lugu aja di depan dia”, ungkap siswi
tersebut saat menjelaskan syarat yang diberikan jika ia tidak mampu melunasi pinjaman
(Asyifa, 2014).
Kasus serupa juga terjadi di Depok baru-baru ini. “Demi bisa membeli baju baru,
HP, serta barang-barang lainnya dia rela melacurkan diri” (http://news.detik.com).
5
Praktik pelacuran yang dilakukan seorang siswi SMK ini dihargai Rp 500.000,00 untuk
sekali kencan. Mirisnya, siswi tersebut juga memiliki teman yang melakukan hal serupa.
Perilaku konsumtif mendorong keinginan masyarakat memiliki ini dan itu. Bagi
masyarakat dengan kemampuan finansial terbatas hal ini menjadi masalah. Uang yang
mereka miliki notabenenya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok, seperti
makan. Memenuhi kebutuhan pokok saja seringkali belum dapat terpenuhi secara
maksimal. Menuruti nafsu konsumtif justru menjadi masalah baru bagi masyarakat
menengah ke bawah.
Nafsu konsumtif membuat seseorang tidak lagi memikirkan prioritas atau kebutuhan
dalam pembelian yang dilakukan. Menjadi boros adalah salah satu dampak yang terjadi
pada masyarakat dengan perilaku konsumtif. Masyarakat menengah ke atas tidak masalah
dengan hal ini. Sayangnya, jika terjadi pada masyarakat menengah ke bawah hal ini akan
membuat mereka tidak bijaksana dalam menggunakan uang yang dimiliki.
Masalah yang timbul akibat perilaku konsumtif pada masyarakat dengan kemampuan
finansial terbatas masih berlanjut. Penelitian perusahaan riset Global Kadence
International menunjukkan fakta bahwa tingginya sifat konsumtif sudah menjerumuskan
sebagian masyarakat ke dalam jerat hutang (http://www.jpnn.com). Penelitian tersebut
menemukan bahwa masyarakat yang digolongkan sebagai kelompok broke, yaitu
kelompok masyarakat dengan penghasilan rendah, justru memiliki jumlah belanja yang
lebih besar dibandingkan dengan jumlah belanja kelompok lain dengan penghasilan yang
lebih tinggi. Jumlah belanja kelompok broke tercatat mencapai Rp 1, 02 juta hanya untuk
hiburan dan pakaian.
Masyarakat dengan kemampuan finansial rendah seharusnya bisa mempergunakan
uang yang dimiliki sebaik mungkin untuk kebutuhannya. Namun, dengan terjerumus ke
dalam perilaku konsumtif uang tersebut akan habis untuk sesuatu yang bukan menjadi
6
kebutuhan. Perilaku konsumtif juga semakin memperjelas kesenjangan sosial yang ada di
masyarakat. Kesenjangan sosial yang terjadi akan memperburuk kondisi masyarakat
menengah kebawah karena menjadi tekanan tersendiri secara sosial. Perilaku konsumtif
menjadi masalah bagi masyarakat menengah ke bawah, yang secara nyata tidak memiliki
kemampuan finansial mendukung.
Masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai kelompok. Salah satunya adalah
kelompok mahasiswa. Rekap nasional semester 2016/ 2017 genap mencatat total
mahasiswa sejumlah
7. 018. 067 orang (http://forlap.dikti.go.id). Mahasiswa yang
menempati sekitar 18 persen jumlah penduduk Indonesia tidak luput dari perilaku
konsumtif. Justru saat ini fenomena perilaku konsumtif banyak terjadi di kalangan
mahasiswa.
Para kawula muda yang notabenenya adalah mahasiswa selalu memadati pusat-pusat
perbelanjaan terutama pada jam-jam sibuk. Puspitarini (2012) mengutip pernyataan dari
Johannes Frederik Warouw,
“Mall melakukan eksploitasi terhadap mahasiswa yang memiliki kebutuhan tidak
terbatas, salah satunya melalui window shopping. Namun, dari window shopping,
mereka pun tertarik dan akhirnya membeli barang yang sebenarnya belum tentu
akan mereka gunakan.”
Berdasarkan kutipan pernyataan tersebut terlihat jelas bahwa mahasiswa kini juga
konsumtif. Mereka membeli barang karena keinginan bukan karena kebutuhan.
Seorang mahasiswa perguruan tinggi swasta di Yogyakarta menyatakan bahwa ia
membeli sepatu untuk penampilan. Terutama saat sepatu yang diinginkan adalah stok
terakhir, maka harga miring yang ditawarkan akan membuatnya langsung membeli sepatu
yang diinginkan. Mahasiswa tersebut juga mengatakan ia baru saja membeli sepatu seharga
setengah juta. Sepatu tersebut dibeli karena ia sudah lama menginginkannya dan kebetulan
ada bonus satu pasang sepatu untuk setiap pembelian. Tetapi mahasiswa tersebut juga
mengakui bahwa uang makannya sudah habis untuk membeli sepatu.
7
Berdasarkan pernyataan di atas, mahasiswa tersebut rela menghabiskan uang
makannya hanya untuk membeli sepatu yang diinginkan. Mahasiswa tersebut tidak
memikirkan bagaimana ia akan makan sampai akhir bulan. Satu hal yang ia tahu adalah
bisa mendapatkan sepatu yang diinginkan. Pembelian yang dilakukan sudah tergolong
konsumtif, mengingat juga bahwa ia membeli sepatu lebih karena penampilan dan
keinginan, bukan kebutuhan.
Mahasiswa yang sama mengungkapkan bahwa ia memiliki teman yang datang
merantau untuk menuntut ilmu di Yogyakarta. Ibu dari temannya adalah pedagang buah di
kampung halamannya. Menurut keterangan mahasiswa tersebut, temannya punya
kebiasaan membeli berbagai barang dengan semaunya, bahkan selalu membeli baju setiap
minggu. Mahasiswa tersebut tidak peduli jika kehabisan uang atau harus berhutang pada
teman yang lain. Jika sudah berhutang, maka ia akan minta ibunya untuk mengirimkan
uang, sedangkan menurut mahasiswa tersebut ibu temannya juga susah di kampungnya.
Mahasiswi lain mengatakan dia memiliki beberapa teman dari luar kota Yogyakarta
yang punya hobi belanja. Menurut mahasiswi tersebut, keheranan juga dirasakan pada
teman-temannya yang seperti tidak pernah belajar karena setiap kali tidak kuliah selalu
pergi belanja di mall. Jika uang yang dimiliki sudah habis, maka teman-temannya itu
tinggal menelepon orang tuanya untuk minta uang lagi. Berdasarkan beberapa pernyataan
tersebut, nyatalah bahwa perilaku konsumtif memang terjadi di kalangan mahasiswa. Bagi
mahasiswa dengan kemampuan finansial mendukung tentunya bukan masalah, tetapi bagi
mahasiswa dengan kemampuan finansial terbatas perilaku konsumtif menjadi masalah
tersendiri.
Perilaku konsumtif membuat mahasiswa dengan kemampuan finansial terbatas rela
berhutang, bahkan berbohong. Tidak sedikit dari mereka tanpa segan meminta uang saku
tambahan kepada orang tuanya dengan alasan untuk keperluan sekolah. Mereka berbohong
8
pada orang tuanya hanya demi memenuhi nafsu konsumtif. Mahasiswa yang sudah
terjebak perilaku konsumtif ini bahkan tidak lagi memikirkan seberapa keras usaha orang
tua untuk membiayai dirinya. Sementara orang tua sendiri akan berusaha sekeras mungkin
memenuhi keinginan anaknya, sekalipun itu berarti ia harus berhutang atau bahkan
menjual harta benda yang dimiliki.
Fenomena perilaku konsumtif saat ini sudah semakin berkembang. Jika tadinya
perilaku konsumtif adalah pada semua produk tanpa mempedulikan merek, maka saat ini
konsumen sangat konsumtif pada produk bermerek. Penelitian Afifatur Rohmah
menunjukkan bahwa gaya hidup brand minded lebih berpengaruh dominan pada perilaku
konsumtif bila dibandingkan dengan inovasi produk (Kusnan, 2015). Begitu pula dengan
penelitian Hasibuan (2010) yang menemukan adanya hubungan signifikan antara gaya
hidup brand minded dan kecenderungan perilaku konsumtif pada remaja putri. Brand
minded adalah keadaan dimana dalam memilih sebuah produk sebagai objek komersil,
seseorang lebih mengutamakan merek dari produk tersebut (McNeal, 2007).
MARS Indonesia melakukan survei perilaku belanja konsumen terhadap barangbarang bermerek (branded item) di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan,
Makassar, Balikpapan, dan Palembang. Responden berjumlah 5. 476 orang dan hasilnya
adalah 43% diantaranya sangat percaya merek atau menyukai produk bermerek. Sebanyak
53% biasa saja terhadap barang bermerek dan hanya 3, 4% yang tidak percaya merek.
9
Gambar 1.
Diperoleh dari http://www.marsindonesia.com
Perilaku konsumtif kini nyata terjadi pada produk-produk bermerek yang beredar di
pasaran. Diskon atau potongan harga dari produk-produk bermerek selalu menjadi sasaran
utama dari para penggila belanja. Masyarakat kini lebih mengutamakan keinginan daripada
kebutuhan saat melakukan pembelian. Nyatanya, kondisi seperti inilah yang membawa
konsumen kepada perilaku konsumtif, sehingga akhirnya produk bermerek yang diburu
adalah demi gengsi dan status sosial (Sularsi, 2011).
Gengsi dan status sosial bermuara pada harga diri. Produk bermerek dianggap dapat
meningkatkan harga diri karena bergengsi dan dapat memperjelas status sosial seseorang.
Riset terbaru yang dimuat di jurnal Social Psychological and Personality Science
menunjukkan bahwa membeli barang bermerek dengan harga mahal dapat membantu
mendorong rasa percaya diri, dan ketika ia tidak mampu mendapatkannya ia rela
menggesek kartu kredit meski ia akan meninggalkan hutang yang besar (Dini, 2011).
Harus diakui memang, saat ini perilaku konsumtif terhadap produk bermerek menyebar
dan merambah berbagai kalangan, termasuk mahasiswa sekalipun. Masih dalam Dini
(2011), Niro Sivanathan menyatakan bahwa keinginan membeli barang mewah dan
bermerek kerap dilakukan setelah harga diri jatuh, dimana mereka berharap dengan
melakukan pembelian seperti itu harga diri mereka akan kembali.
10
Kegemaran belanja produk bermerek juga dilakukan oleh mahasiswa. Remaja ingin
kehadirannya diakui sebagai bagian dari komunitas remaja secara umum dan secara khusus
bagian dari kelompok sebaya mereka (Zebua & Nurdjayadi, 2001). Berbagai usaha
dilakukan mahasiswa untuk mendapatkan pengakuan dari lingkungan. Sebuah studi
tentang perilaku konsumtif dari Chaney membuktikan bahwa hadirnya pusat-pusat
perbelanjaan yang menyajikan segala nama merek terkenal yang berasal dari luar negeri,
untuk segala pakaian dan barang mewah membuat seseorang lebih tertarik untuk belanja
(Fransisca & Suyasa, 2005). Pembelian produk bermerek juga dirasakan dapat
meningkatkan status sosial yang berdampak pada peningkatan harga diri. Tampaknya,
berawal dari inilah mahasiswa kemudian terdorong untuk berperilaku konsumtif.
Penelitian Dong & Cao (2006) menunjukkan adanya faktor kognitif, yaitu harga diri
dan faktor sosial, yaitu penggunaan media yang berperan dalam keterlibatan konsumen di
Cina saat berbelanja. Harga diri adalah kepribadian umum yang mempengarui keseluruhan
individu (Tokinan & Bilen, 2010). Tinggi rendahnya harga diri seseorang dirasakan terkait
dengan sikap orang tersebut terhadap diri, bagaimana ia melihat dirinya. Penentuan sikap
terhadap diri sendiri, yang akan menentukan tinggi rendahnya harga diri ini dipengaruhi
oleh beberapa hal, di antaranya adalah penampilan fisik dan perbandingan sosial.
Harga diri berkaitan dengan bagaimana seseorang merasakan penampilan fisiknya
(Santrock, 2012). Produk-produk bermerek dianggap dapat meningkatkan penampilan
fisik seseorang. Itulah mengapa individu kemudian membeli berbagai produk bermerek
demi meningkatkan kepercayaan diri. Harapannya adalah harga diri akan naik dengan
kepercayaan diri yang lebih tinggi.
Harga diri juga berkaitan dengan bagaimana kita berpikir dan merasakan diri kita
yang bergantung pada standar perbandingan yang kita gunakan (Baron & Branscombe,
2012). Perbandingan sosial yang dilakukan selalu menghasilkan evaluasi terhadap diri kita
11
sendiri atas dasar melihat dan membandingkan dengan orang lain. Menggunakan produk
bermerek, seseorang cenderung merasa lebih dibandingkan dari orang lain. Perasaan ini
menghasilkan evaluasi positif pada individu dan berdampak pada peningkatan harga diri.
Seorang mahasiswi perguruan tinggi negeri di Yogyakarta menyatakan bahwa
dirinya sangat konsumtif terhadap merek. Jika ada baju atau produk lain yang mereknya
disukai, maka ia akan langsung membelinya. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa saat
ini mahasiswa mengejar merek dari sebuah produk, bukan hanya nilai kegunaan produk
tersebut. Kegemaran mahasiswa terhadap sebuah merek menjerumuskan mereka ke dalam
perilaku konsumtif. Suburnya perilaku konsumtif di kalangan mahasiswa ini didukung pula
oleh perkembangan mereka sebagai seorang remaja.
Mahasiswa sebagai seorang remaja masih berada dalam masa pencarian identitas.
Harga diri yang baik akan turut membantu terbangunnya identitas diri pada seorang
remaja. Itulah mengapa harga diri menjadi hal yang penting bagi seorang mahasiswa.
Berbagai cara dilakukan mahasiswa untuk meningkatkan dan menjaga harga diri yang
dimiliki. Salah satunya adalah dengan menjaga gengsi dan status sosial.
Merek dianggap sebagai simbol gengsi dan status sosial. Memiliki dan menggunakan
produk bermerek dianggap bergengsi dan menaikkan status sosial mahasiswa di
lingkungannya. Mereka merasa diakui dan diterima karena produk bermerek yang mereka
miliki. Pandangan ini membuat mahasiswa konsumtif pada produk bermerek, dengan
harapan bahwa produk bermerek tersebut dapat meningkatkan harga dirinya.
Penelitian tentang harga diri dan perilaku konsumtif sudah pernah dilakukan
sebelumnya. Salah satunya adalah penelitian Abdullah (2014) yang menunjukkan adanya
hubungan signifikan antara harga diri dan perilaku konsumtif pada mahasiswa. Wardhani
(2009) dalam penelitiannya tentang hubungan konformitas dan harga diri dengan perilaku
konsumtif juga menunjukkan hasil yang sama. Penelitian yang dilaksanakan pada siswa
12
SMA ini menunjukkan bahwa ada hubungan signifikan antara konformitas dan harga diri
dengan perilaku konsumtif.
Penelitian Ramadhan (2012) dengan subjek mahasiswa mengungkapkan hasil yang
berbeda. Meski dengan tema yang sama, yaitu hubungan antara harga diri dan gaya hidup
konsumtif, penelitian ini tidak menemukan adanya hubungan signifikan antara harga diri
dan gaya hidup konsumtif. Menjadi pertanyaan besar bagi peneliti bahwa hasil penelitian
Ramadhan (2012) berbeda jauh dengan dua penelitian sebelumnya. Padahal penelitian
Abdullah (2014) juga menggunakan mahasiswa sebagai subjek penelitian.
Berdasarkan uraian di atas terlihat jelas bahwa perilaku konsumtif menjadi masalah
pada mahasiswa, terutama pada mahasiswa dengan kemampuan finansial terbatas. Masalah
bertambah ketika perilaku konsumtif dilakukan pada produk dengan merek khusus.
Promosi seperti diskon akan melancarkan jalan bagi mahasiswa untuk memenuhi nafsu
konsumtifnya. Alasan bahwa merek tersebut jarang mengadakan promo atau diskon
membuat mahasiswa merelakan uang saku demi membeli produk bermerek tersebut.
Perilaku konsumtif produk bermerek diwarnai dengan keinginan mahasiswa untuk
meningkatkan harga diri. Demi harga diri, mahasiswa melakukan apapun asalkan
keinginan untuk memiliki suatu barang dapat terpenuhi. Mahasiswa dengan kemampuan
finansial terbatas justru lebih rentan terhadap permasalahan ini. Muncul pertanyaan pada
peneliti apakah terdapat hubungan antara harga diri dengan perilaku konsumtif mahasiswa
terhadap produk bermerek? Guna menjawab pertanyaan tersebut, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul hubungan antara harga diri dengan perilaku konsumtif
mahasiswa terhadap produk bermerek.
13
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara harga diri dengan
perilaku konsumtif mahasiswa terhadap produk bermerek.
C. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki dua manfaat, yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk perkembangan
ilmu pengetahuan, khususnya di bidang psikologi sosial dan psikologi konsumen. Selain
itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi sekunder bagi peneliti lain
yang akan melakukan penelitian dengan tema perilaku konsumtif.
2. Manfaat Praktis
a. Manfaat Bagi Subjek Penelitian dan Mahasiswa
Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat menjadi referensi untuk
perbaikan harga diri bagi mahasiswa. Jika ditemukan hubungan antara harga diri
dengan perilaku konsumtif, diharapkan dapat menjadi masukan bagi mahasiswa
untuk meningkatkan harga diri agar tidak terjerumus dalam perilaku konsumtif.
b. Manfaat Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada akan pentingnya
mengendalikan harga diri agar tidak terjebak dalam perilaku konsumtif.
Download