Eksplorium EVALUASI SISTEM PENGENDAPAN

advertisement
Eksplorium
Volume 37 No. 2, November 2016: 125–138
p-ISSN 0854-1418
e-ISSN 2503-426X
EVALUASI SISTEM PENGENDAPAN URANIUM PADA
BATUAN SEDIMEN FORMASI SIBOLGA, TAPANULI TENGAH
EVALUATION OF URANIUM DEPOSITIONAL SYSTEM IN
SEDIMENTARY ROCKS OF SIBOLGA FORMATION, TAPANULI
TENGAH
I Gde Sukadana* dan Heri Syaeful
Pusat Teknologi Bahan Galian Nuklir, Badan Tenaga Nuklir Nasional
Jl. Lebak Bulus Raya No. 09 Ps. Jumat, Jakarta 12440
*E-mail: [email protected]
Naskah diterima: 28 Oktober 2016, direvisi: 21 November 2016, disetujui: 26 November 2016
ABSTRAK
Uranium di alam dapat terbentuk dalam berbagai tipe cebakan, sesuai dengan sumber, proses, dan
lingkungan pengendapannya. Keterdapatan uranium di Sibolga pada batuan sedimen Formasi Sibolga merupakan
suatu potensi yang layak untuk dikembangkan tetapi hingga saat ini belum diketahui pola pengendapan dan proses
mineralisasi uranium tersebut. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pola sebaran batuan dan keterdapatan
anomali kadar uranium berdasarkan data geologi, radiometri permukaan, dan data log bor untuk mengetahui
proses pengendapan batuan dan mineralisasi uranium. Keterdapatan mineralisasi berdasarkan data log bor tersebar
dari satuan konglomerat alas (Kgl 1), satuan batupasir 1 (Bp 1), satuan konglomerat 2 (Kgl 2), dan satuan
batupasir 2 (Bp 2) dengan ketebalan dan sebaran semakin ke atas semakin menipis. Sebaran mineralisasi pada
bagian timur pada satuan batuan konglomerat 1 lebih didominasi oleh mineral detrital hasil pengendapan
epigenetik berupa monasit yang terbentuk pada saat pembentukan granit sebagai batuan sumber. Pada satuan
batuan di atasnya mineralisasi berbentuk pola alur (channel) yang berarah timur laut-barat daya, yang terbentuk
secara syn-genetic dengan mineral berupa uraninite, carnotite, dan coffinite. Pengendapan batuan Formasi Sibolga
berasal dari timur ke arah barat dan pengendapan uranium terjadi akibat perbedaan kondisi lingkungan
pengendapan dari oksidasi di bagian timur menjadi lebih reduktif di bagian barat daya. Peningkatan kandungan
material organik yang cukup tinggi pada lingkungan pengendapan bagian barat daya menyebabkan lingkungan
pengendapan dalam kondisi reduksi.
Kata kunci: sedimen, uranium, mineralisasi, granit, Sibolga.
ABSTRACT
Uranium in nature formed in various deposit type, depends on its sources, process, and depositional
environments. Uranium occurrence in Sibolga, hosted in sedimentary rocks of Sibolga Formation, is properly
potential to develop; nevertheless, the depositional pattern and uranium mineralization process so far had not
been recognized. The research aim is to determine the rock distribution patterns and the existence of uranium
grade anomalies based on surface geology and borehole log data. Mineralization occurrences from borehole log
data distributed from basalt conglomerate unit (Kgl 1), sandstone 1 unit (Bp 1), conglomerate 2 unit (Kgl 2), and
sandstone 2 unit (Bp 2) with their distribution and thickness are thinning to the top. Mineralization distribution in
the eastern area, mainly on Kgl 1 unit, dominated by detritus materials from epi-genetic depositional in the form
of monazite which is formed along with the formation of granite as its source rock. Meanwhile, mineralization on
the upper rocks units formed a channel pattern trending northeast-southwest, which formed in syn-genetic process
consist of uraninite, carnotite, and coffinite. Sibolga Formation deposition originated from east to west and
uranium deposit formed because of the differences of depositional environment from oxidation in the east to the
more reductive in the southwest. The increasing of organic materials in southwest basin caused the reduction
condition of depositional environment.
Keywords: sediment, uranium, mineralization, granite, Sibolga.
z
125
Evaluasi Sistem Pengendapan Uranium pada Batuan Sedimen Formasi Sibolga, Tapanuli Tengah
Oleh: I Gde Sukadana dan Heri Syaeful
PENDAHULUAN
Keterdapatan uranium di suatu daerah
merupakan suatu potensi yang sangat
strategis karena merupakan bahan baku
pembuatan bahan bakar nuklir. Berbagai tipe
cebakan telah dijumpai di berbagai belahan
dunia yang didominasi oleh tipe cebakan
ketidakselarasan (unconformity), batupasir
(sandstones), kompleks breksi (breccia
complexes), granit, tipe gunung api (volcanic
related), serpih hitam (blackshale), dan tipe
cebakan lainnya [1]. Formasi Sibolga yang
tersusun oleh batupasir merupakan salah satu
formasi yang mengandung kadar uranium
cukup signifikan [2]. Mobilisasi dan
pengendapan uranium pada batuan sedimen
dipengaruhi oleh dua hal yang dominan, yaitu
(1) kondisi geologi global dipengaruhi oleh
kandungan material organik yang sangat
bervariasi pada batuan sedimen sehingga
dapat menyebabkan terjadinya perubahan EhpH, (2) keterdapatan material organik pada
batuan
sedimen
dapat
menyebabkan
terjadinya perubahan valensi pada uranium
sehingga uranium valensi 6 (U(VI)) dapat
berubah menjadi uranium valensi 4 (U(IV))
[3]. Mobilisasi uranium dapat terjadi akibat
proses hidrotermal dan proses oksidasi oleh
air tanah. Karena perbedaan tingkat kelarutan
antara kondisi uranium teroksidasi dan
kondisi tereduksi, maka kondisi reduksi
sangat efektif dalam penyerapan uranium dan
pembentukan mineral hasil reduksi dengan
uranium terlarut dalam larutan oksidasi [4].
Mineralisasi uranium di Sektor Aloban
Sibolga merupakan tipe batupasir tabular
epigenetik (epigenetic tabular sandstone
type) yang diendapkan pada zona reduksioksidasi (redox) dengan jenis mineral
uraninite, carnotite, dan coffinite yang
merupakan mineralisasi permukaan [5].
Keterdapatan uranium pada bagian dekat
dengan permukaan sangat sering terbentuk,
126
kajian geofisika juga telah dilaksanakan.
Hingga saat ini belum diketahui pola sebaran
mineralisasi secara detail serta proses
pengendapan belum diketahui. Untuk
mengetahui pola penyebaran, bentuk, serta
proses pengendapan uranium di Sibolga maka
dilakukan evaluasi terhadap seluruh data bor
yang pernah dlakukan di Aek Siti dan
Harirongga. Dengan evaluasi ini diharapkan
dapat memperlihatkan sebaran uranium dan
proses pengendapannya.
METODOLOGI
Data yang digunakan dalam pengamatan
mineralisasi uranium adalah data geologi
permukaan, radiometri, dan log bor. Data
radiometri merupakan suatu data khusus
dalam eksplorasi uranium atau mineral lain
yang mengandung unsur radioaktif. Pada
prinsipnya segala sesuatu yang bersifat
radioaktif,
termasuk
batuan
yang
mengandung
uranium
atau
thorium
memancarkan radiasi yang hanya dapat
ditangkap oleh detektor. Alat yang digunakan
dalam pengambilan data radiometri di lokasi
penelitian adalah:
 SPP2NF. Prinsip pengukuran radiometri
dengan alat SPP2NF adalah dengan
memperkirakan kadar uranium pada
batuan dengan mencacah seluruh sinar
gamma yang tertangkap oleh detektor
NaITl. Satuan yang digunakan dalam
pengukuran ini adalah cps (count per
second). Namun dikarenakan cacahan
sinar gamma dapat berasal dari uranium,
thorium, dan potassium maka biasanya
kadar uranium hasil pengukuran dengan
metoda ini dilambangkan dengan rU
(relative uranium).
 Exploranium GR-320, dilakukan untuk
mengetahui tingkat konsentrasi uranium,
thorium, dan potassium dengan mencacah
sinar
gamma
yang
dipancarkan
Eksplorium
Volume 37 No. 2, November 2016: 125–138
berdasarkan asal jenis nuklida dan tingkat
energinya. Cacahan sinar gamma yang
ditangkap oleh detektor selanjutnya diubah
menjadi
spektrum
dan
dibedakan
berdasarkan jenis nuklida yang ditangkap.
Evaluasi dilakukan terhadap 22 titik bor
yang terdapat pada daerah Aloban, Sibolga.
Analisis data dilakukan dengan rekonstruksi
dan korelasi stratigrafi antar lubang bor,
keterdapatan anomali kadar uranium pada
setiap lubang bor, dan analisis struktur
sedimen untuk mengetahui lingkungan
pengendapan.
Analisis proses akumulasi uranium
didasarkan pada model akumulasi uranium
pada batuan sedimen yang secara umum
dapat dibagi ke dalam dua model lingkungan,
yaitu lingkungan reduksi dan resistat [4].
Lingkungan reduksi merupakan suatu
lingkungan pengendapan dimana uranium
yang larut bersama air tanah dapat
terakumulasi. Pada umumnya akumulasi
terjadi dalam beberapa tahap perubahan
lingkungan reduksi ke oksidasi yang
menjadikan proses akumulasi yang terjadi
menjadi semakin baik. Lingkungan resistat
merupakan suatu lingkungan dimana uranium
terikat secara kimia bersama mineral-mineral
yang resisten terhadap pelapukan dan
terendapkan pada batuan sedimen dalam
bentuk endapan plaser sungai. Analisis proses
akumulasi uranium juga didukung dengan
pola sebaran setiap mineralisasi pada lapisan
batuan yang sama.
p-ISSN 0854-1418
e-ISSN 2503-426X
DATA DAN HASIL PENELITIAN
Sibolga merupakan cekungan antar
pegunungan
yang
secara
geologi
memungkinkan
terbentuknya
cebakan
uranium tipe sedimenter. Sumber uranium
berasal dari granit yang berumur Perem.
Secara stratigrafi regional daerah Sibolga
dibagi menjadi delapan formasi dari tua ke
muda, yaitu: Formasi Kluet (metaarenit dan
argilit), Formasi Sibolga (granit, diorit, dan
granodiorit) berumur Perem Akhir–Trias
Awal, Formasi Gunung api Angkola, Formasi
Barus (batupasir karbonan dan batubara)
berumur Oligosen–Miosen Awal, Formasi
Gunung api Pinapan, Tuff Toba, Aluvium
Tua, dan Aluvium berumur Kuarter [6]. Peta
geologi regional terdapat pada Gambar 1.
Hasil pengukuran geofisika diketahui
permukaan
granit secara umum sangat
dangkal di sebelah timur dan menjadi
semakin dalam di bagian tengah dan barat
daya. Secara umum permukaan granit berada
pada elevasi -121,01 sampai 170,72 meter
dari permukaan laut [7].
Secara umum lokasi penelitian tersusun
oleh Formasi Sibolga yang dapat dibedakan
dalam enam satuan batuan, yaitu satuan
granit, satuan konglomerat alas (konglomerat
1), satuan batupasir 1, satuan konglomerat 2,
satuan batupasir 2, dan satuan endapan
aluvial. Kondisi singkapan batuan di lapangan
adalah seperti Gambar 2.
127
Evaluasi Sistem Pengendapan Uranium pada Batuan Sedimen Formasi Sibolga, Tapanuli Tengah
Oleh: I Gde Sukadana dan Heri Syaeful
Gambar 1. Peta Geologi Regional daerah Sibolga dan sekitarnya [6].
Gambar 2. Singkapan batuan hasil pemetaan geologi:
(a) singkapan granit pada bagian timur, (b)
konglomerat alas, (c) lapisan batubara, (d) batupasir
berlapis.
Secara rinci sebaran satuan batuan di
daerah penelitian adalah seperti Gambar 3,
dengan karakteristik batuan sebagai berikut:
a. Satuan Granit
Satuan ini tersusun atas dua jenis batuan
yang dapat dibedakan secara megaskopis,
yaitu: granit bertekstur kasar dan granit
dengan tekstur halus. Granit bertekstur kasar
128
tersebar di Aek Padabu-dabuan dan Aek
Korsik, berwarna putih sampai kemerahan.
Granit bertekstur halus ditemui di bagian
timur laut daerah penelitian, berdekatan
dengan Desa Hajoran. Warna batuannya
adalah abu-abu kemerahan, tekstur halus, dan
berkomposisi mineral sama dengan batuan
granit bertekstur kasar.
b. Satuan Konglomerat Alas
(Konglomerat 1/Kgl 1)
Satuan konglomerat alas merupakan
satuan pertama yang diendapkan pada
Formasi Sibolga yang menumpang di atas
granit. Satuan ini secara umum merupakan
konglomerat dengan fragmen-fragmen granit
berukuran 5 cm–2,5 m, bentuk fragmen
menyudut–membundar tanggung, kemas
terbuka, pemilahan buruk, kekerasan sangat
keras, massa dasar pasir dan feldspar.
Eksplorium
p-ISSN 0854-1418
e-ISSN 2503-426X
Volume 37 No. 2, November 2016: 125–138
Gambar 3. Peta geologi daerah penelitian.
c. Satuan Batupasir 1 (Bp 1)
Satuan
ini
merupakan
batupasir
konglomeratan memiliki sebaran terluas di
lokasi penelitian. Satuan ini terdiri atas
konglomerat,
breksi,
batupasir kasar,
batulanau, dan batubara. Konglomerat pada
umumnya berwarna kuning kecoklatan,
fragmen berukuran 5–30 cm, kemas terbuka,
dan sortasi buruk.
d. Satuan Konglomerat 2 (Kgl 2)
Satuan konglomerat ini tersusun oleh
konglomerat dan breksi, berwarna coklat
kekuningan–coklat tua, fragmen berukuran 5–
20 cm, menyudut, kemas terbuka, matriks
pasir kasar–sedang, dan sortasi buruk.
Penyebaran satuan ini cukup luas berselingan
dengan batupasir kasar, ketebalan lapisan
bervariasi antara 1 sampai 3 m.
e. Satuan Batupasir 2 (Bp 2)
Batupasir ditemukan tersebar pada bagian
tinggian di daerah penelitian. Penampakan di
lapangan batupasir berwarna abu-abu
kecoklatan–coklat muda, berbutir halus–
kasar,
menyudut
tanggung–membundar
tanggung, sortasi baik, setempat diketemukan
material karbon.
f. Satuan Endapan Aluvium (Al)
Satuan endapan aluvium tersebar merata di
daerah dataran pada lokasi penelitian.
Endapan aluvium terbentuk dari hasil erosi
dan pengendapan batuan beku dan sedimen
yang berada di sekitar lokasi penelitian.
Anomali Kadar Uranium
Eksplorasi uranium di daerah Aloban
dilakukan pada tahun 1980-an hingga tahapan
pemboran eksplorasi [7]. Pada daerah tersebut
setidaknya telah dilakukan pemboran
eksplorasi berjumlah 48 titik. Pada lokasi
tersebut telah dilakukan logging geofisika
dengan alat logging ST 22 dan GMT 3T yang
memiliki keluaran kadar U3O8 [7]. Sebaran
beberapa titik bor yang akan digunakan
sebagai bahan evaluasi dan kondisi topografi
daerah Aloban seperti pada Gambar 4.
z
129
Evaluasi Sistem Pengendapan Uranium pada Batuan Sedimen Formasi Sibolga, Tapanuli Tengah
Oleh: I Gde Sukadana dan Heri Syaeful
Gambar 4. Peta topografi dan lintasan penampang geologi melintasi beberapa titik bor [7].
Berdasarkan data log batuan pada titik
bor yang terdapat di daerah Aloban, dibuat
penampang yang menghubungkan beberapa
titik bor yang dianggap mewakili stratigrafi
daerah Aloban. Penampang A-A’ berarah
barat daya-timur laut yang melalui lima titik
bor yang memiliki kedalaman berbeda-beda,
yaitu: WK-29 (60, 79 m), WK-15 (78,85 m),
WK-47 (85,70 m), WK-23 (79,47 m), dan
WK-20 (62,90m). Pada titik bor WK-29 yang
terletak pada topografi paling rendah (-5,4
mdpl) menembus hingga batuan dasar granit
dengan beberapa anomali kadar uranium pada
konglomerat (52 m) dan pada batupasir (12,5
dan 40 m). Titik bor WK-15 dengan elevasi
22,25 mdpl menembus anomali pada
konglomerat (54–61 m dan 71 m) dan pada
batupasir (22 m dan 51 m). Titik WK-47
dengan elevasi 48,9 mdpl menembus hingga
batuan dasar granit dan beberapa anomali
pada batupasir (56 m, 49 m, 18 m, 12 m, 7 m,
3 m). Titik bor WK-23 dengan elevasi 71,09
mdpl sebagian besar menembus konglomerat
dengan anomali pada batuan konglomerat (76
130
m, 65 m, dan 62 m). Titik bor WK-20 dengan
elevasi 82 mdpl menembus hingga batuan
dasar granit dan beberapa anomali kadar
uranium pada batuan konglomerat (39 m, 35
m, 28 m, dan 11 m). Korelasi dari kelima titik
bor tersebut seperti pada Gambar 5.
Penampang yang tegak lurus dengan
penampang A-A’ adalah penampang D-D’
berarah barat laut-tenggara yang melalui 6
(enam) titik bor dengan kedalaman yang
berbeda-beda, yaitu WK-43 (73,08 m), WK42 (63 m), WK-16 (66,6 m), WK-15 (78,85
m), WK-17 (66,9 m), dan WK-14 (44,61 m).
Titik bor WK-43 dengan elevasi 47,16 mdpl
dengan inklinasi 70º menembus anomali
kadar uranium pada konglomerat (30 m).
Titik bor WK-42 terletak pada elevasi 25,3
mdpl dengan inklinasi 80º menembus hingga
batuan dasar granit dengan anomali pada
konglomerat (pada kedalaman 40–45 m dan 4
m) dan pada batupasir (35 m). Titik bor WK16 pada elevasi 7,62 mdpl menembus
anomali pada konglomerat (50 m) dan
beberapa
anomali
dengan
ketebalan
Eksplorium
Volume 37 No. 2, November 2016: 125–138
centimetrik pada batupasir. Titik Bor WK-15
dengan elevasi 22,25 mdpl menembus
anomali pada konglomerat (70 m dan 55–60
m), dan pada batupasir (50 m dan beberapa
anomali berukuran milimetrik). Titik bor
WK-17 dengan elevasi 19,33 mdpl
menembus hingga batuan dasar granit dan
p-ISSN 0854-1418
e-ISSN 2503-426X
anomali pada konglomerat (49 m dan 56 m)
dan pada batupasir (46 m). Titik Bor WK-14
dengan elevasi 20,94 mdpl menembus hingga
batuan dasar granit dan anomali pada
konglomerat (38 m). Korelasi antartitik
tersebut terdapat pada Gambar 6.
Gambar 5. Penampang A-A’ yang mewakili beberapa titik bor berarah barat daya-timur laut.
Gambar 6. Penampang D-D’ yang membentang dengan arah barat laut-tenggara.
Selain dua penampang tersebut juga
dibuat beberapa penampang lainnya. Dari
hasil korelasi antarpenampang batuan dan
anomali kadar uranium maka dapat dilakukan
131
Evaluasi Sistem Pengendapan Uranium pada Batuan Sedimen Formasi Sibolga, Tapanuli Tengah
Oleh: I Gde Sukadana dan Heri Syaeful
pembuatan peta sebaran anomali kadar
uranium berdasarkan batuan favourable. Hal
ini dapat digunakan untuk menghitung luasan
anomali kadar uranium pada lapisan batuan
yang berbeda. Korelasi beberapa titik bor
yang memiliki anomali pada satuan batuan
yang sama. Dari korelasi tersebut didapatkan
bentuk sebaran anomali. Sebaran anomali
kadar uranium berdasarkan satuan batuan
favourable seperti pada Gambar 7. Pada
gambar tersebut dapat diketahui bahwa
sebaran anomali kadar uranium yang paling
luas terdapat pada satuan batuan konglomerat
1 (Kgl 1), kemudian sebaran pada satuan
batupasir 1 (Bp 1) yang memperlihatkan
sebaran anomali kadar uranium membentuk
alur-alur berarah timur laut-barat daya. Pada
satuan batuan konglomerat 2 (Kgl 2) anomali
kadar uranium membentuk pola alur
(channel) yang berarah timur laut-barat daya.
Sebaran anomali kadar uranium tersebut lebih
rendah dari lapisan di bawahnya. Pada lapisan
batupasir 2 yang merupakan lapisan paling
atas pada daerah penelitian masih terdapat
anomali kadar uranium pada dua titik bor.
Pola sebaran anomali kadar uranium pada
setiap lapisan memiliki penyebaran menerus
dari arah timur dan pada bagian barat
memiliki pola yang tidak menerus. Pada
satuan konglomerat 1 (Kgl 1) yang
merupakan batuan sedimen yang memiliki
kontak dengan batuan granit memiliki
sebaran anomali kadar uranium yang lebih
luas dibandingkan dengan batuan di atasnya.
Gambar 7. Sebaran anomali mineral radioaktif pada lubang bor, (a) pada batuan konglomerat 1, (b) pada batuan
batupasir 1, (c) pada lapisan konglomerat 2, (d) pada lapisan batupasir 2.
Analisis Lingkungan Pengendapan
Analisis
lingkungan
pengendapan
dilakukan dengan pengamatan keberadaan
132
struktur sedimen dan korelasi antarlubang bor
untuk mengetahui penyebaran litologi secara
horizontal
dan
vertikal.
Berdasarkan
Eksplorium
Volume 37 No. 2, November 2016: 125–138
penampang litologi timur-barat, diketahui
bahwa penyebaran konglomerat yang
merupakan produk aliran debris mendominasi
litologi di daerah penelitian. Analisis sistem
pengendapan aliran debris dapat diamati dari
keberadaan matriks berukuran pasir dengan
dominan kemas terbuka (matrix supported)
dan bentuk butir menyudut. Fragmen dari
konglomerat alas merupakan batuan granit
sampai dengan granodiorit dan berukuran
centimetrik sampai dengan desimetrik.
Struktur sedimen yang dapat diamati adalah
reverse graded sampai normal graded.
Ketebalan satuan konglomerat alas bervariasi
dari 10 meter sampai mencapai hampir 50
meter. Di atas konglomerat alas, diendapkan
batupasir kasar sampai batulanau dan
merupakan endapan abandoned channel.
Struktur sedimen yang berkembang pada
lapisan ini adalah parallel lamination dan
graded bedding. Secara umum dapat
disimpulkan di lokasi penelitian berdasarkan
pengamatan lapangan dan korelasi antara
lubang bor bahwa siklus pengendapan aliran
debris sampai endapan abandoned channel
terjadi selama tiga kali.
Berdasarkan penampang A-A’ yang
merupakan
penampang
sejajar
arah
pengendapan dapat terlihat bahwa ketebalan
satuan konglomerat menipis dari posisi
proksimal ke posisi distal. Pada posisi tegak
lurus arah pengendapan (penampang C-C’),
lapisan konglomerat mempunyai pelamparan
yang luas atau hampir selebar daerah
penelitian (kurang lebih 1 km).
Berdasarkan kenampakan litologi dan
keberadaan mineral dapat diketahui suasana
pengendapan bervariasi dari lingkungan
reduksi sampai oksidasi. Suasana lingkungan
pengendapan reduksi terjadi pada endapan
fraksi halus dan dicirikan dengan warna
batuan keabuan serta mengandung material
p-ISSN 0854-1418
e-ISSN 2503-426X
karbon sampai batubara dan mineral pirit.
Suasana oksidasi dapat terlihat dari warna
batuan yang putih sampai kemerah-merahan
dan dicirikan dengan keberadaan mineral
hematit.
PEMBAHASAN
Tipe mineralisasi endapan uranium yang
berhubungan dengan batuan granitik lebih
banyak
berhubungan
dengan
batuan
leucogranit peraluminous. Batuan ini
memiliki variasi komposisi yang sangat
terbatas (biotit <10%) dan sangat berkorelasi
dengan
peningkatan
indeks
peraluminusitasnya dimana peningkatan
kadar uranium berkaitan dengan tingkat
fraksinasi [8]. Granit Sibolga dapat menjadi
batuan sumber uranium karena telah
mengalami proses pelapukan. Batuan yang
mengandung uranium apabila mengalami
proses pelapukan dan dialiri oleh air tanah
maka akan menyebabkan pembebasan
uranium dan unsur kimia lainnya dan terbawa
oleh larutan air tanah [9]. Keterdapatan
uranium pada air tanah hanya akan bertahan
pada kondisi oksidasi dalam bentuk uranil
(U(VI)) dan kondisi redoks akan mengontrol
perubahan kondisi uranium dalam air tanah
menjadi mineral akibat tingkat kelarutan yang
sangat berbeda sehingga dalam kondisi
reduksi akan segera terbentuk mineral dengan
jenis uranium U(IV) pada batuan sedimen
[10].
Berdasarkan
tipe
pengendapannya,
keterdapatan mineralisasi uranium pada
lingkungan batuan sedimen dibagi ke dalam
tiga kelompok utama, yaitu cebakan zona
redoks pada lingkungan pengendapan laut
(SRtm), cebakan zona redoks pada
lingkungan
darat/benua
(SRtc),
dan
kristalisasi kimia yang berhubungan dengan
endapan cebakan pada zona redoks (SCcr).
133
Evaluasi Sistem Pengendapan Uranium pada Batuan Sedimen Formasi Sibolga, Tapanuli Tengah
Oleh: I Gde Sukadana dan Heri Syaeful
Berdasarkan kondisi geologi daerah Sibolga
terbentuk pada lingkungan pengendapan darat
[2]. Hubungan yang kuat antara material
organik dengan endapan uranium dalam
batuan sedimen serta pada perubahan
karakteristik pengendapan, baik secara fisik
maupun komposisi kimia yang terbentuk
secara bersamaan dengan perubahan pada
daerah oksidasi yang dipengaruhi oleh
oksidasi akibat pengaruh atmosfer dan
kondisi reduksi merupakan proses kimia yang
sangat penting akibat pengaruh dari material
organik dalam proses pembentukan tipe
endapan uranium [4]. Uranium dapat
terendapkan dan membentuk mineral uraninit
oleh penyerapan pada material organik
dan/atau oleh reduksi UO22+ akibat aktivitas
bakteri anaerobik [1]. Tipe endapan uranium
yang mungkin terbentuk pada daerah Sibolga
seperti ilustrasi pada Gambar 8.
Gambar 8. Ilustrasi proses pembentukan dan jenis endapan mineral radioaktif pada batuan sedimen dengan batuan
sumber granit.
Evaluasi
Pembentukan
Mineralisasi
Uranium
Berdasarkan keseluruhan data yang
dikumpulkan baik berupa data sekunder
maupun data primer yang berupa data geologi
regional, pemboran, log geofisika, pemetaan
geologi, radiometri, mineralogi, dan lain-lain
maka dapat dilakukan suatu evaluasi sistem
pengendapan uranium pada sektor Aloban.
Analisis ditekankan lebih kepada genesa
akumulasi uranium pada batuan sedimen dan
tidak kepada proses diferensiasi magma yang
menyebabkan terbentuknya mineralisasi
uranium. Mineral yang terbentuk di daerah ini
adalah uraninite, carnotite, dan coffinite [5].
Hasil analisis dapat dijabarkan bahwa
proses pembentukan Formasi Sibolga dan
mineralisasi radioaktif terbentuk dalam
beberapa
tahap.
Pembekuan
atau
pembentukan batuan granit terjadi pada
134
Perem Akhir sampai Trias Awal, atau sekitar
250 juta tahun yang lalu dan merupakan
granit tipe S [6, 2]. Hal ini memungkinkan
terkandungnya unsur uranium yang cukup
tinggi pada tubuh batuan granit dan dapat
terbebaskan pada saat proses pelapukan [9].
Pengendapan
batuan
sedimen
yang
merupakan hasil rombakan dari granit terjadi
pada Oligosen–Miosen Awal [6, 11].
Pengendapan batuan sedimen tersebut diawali
dengan adanya gejala pensesaran normal yang
menyebabkan terjadinya perbedaan elevasi
dan memungkinkan terbentuknya endapan
batuan sedimen pada sistem kipas aluvium
yang mengandung material organik dan
membentuk lapisan serpih hitam pada satuan
batuan
konglomerat
dan
batupasir.
Bersamaan dengan pengendapan batuan
sedimen terjadi pelarutan unsur radioaktif
dari batuan dan lapukan batuan granitik dan
Eksplorium
Volume 37 No. 2, November 2016: 125–138
terlarut di dalam air tanah berbentuk uranil
(U(VI)). Unsur uranium yang berupa uranil
akan segera terendapkan pada lapisan yang
kaya akan material organik dan berubah
menjadi (U(IV)) yang berbentuk mineral
uraninite, carnotite, dan coffinite.
Berdasarkan korelasi data litologi dari
sumur pemboran dan data anomali radiometri
dari log gamma ray maka dapat diketahui
keberadaan
akumulasi
mineral/unsur
radioaktif uranium dan thorium. Berdasarkan
data tersebut diketahui bahwa penyebaran
anomali unsur radioaktif tersebar merata pada
litologi
konglomerat,
batupasir,
dan
batulanau.
Berdasarkan
data
tersebut
diketahui bahwa lingkungan pengendapan
pada saat kondisi reduksi tidak hanya
pengaruh dari kandungan materal organik
pada batuan tetapi pengaruh kondisi
lingkungan pengendapan secara umum.
Dengan memperhatikan data penyebaran
akumulasi uranium maka diketahui bahwa
proses mineralisasi tidak hanya terjadi selama
satu kali bersamaan dengan proses
sedimentasi (syn-sedimentation/syn-genetic)
tetapi mineral yang mengandung uranium
seperti monasit juga telah terbentuk pada
batuan granit sebelumnya karena mineral
monasit mempunyai ikatan kimia kuat
sehingga mengikat unsur uranium [12].
Mineral radioaktif pada awalnya
terbentuk pada saat pembentukan batuan
granit berupa monasit yang mengandung
uranium, thorium, dan unsur tanah jarang
(REE). Pada proses selanjutnya akan
terbentuk sebagai mineral robakan granit
penyusun batuan sedimen [13, 14].
p-ISSN 0854-1418
e-ISSN 2503-426X
Pengendapan mineral radioaktif berupa
uraninite, carnotite, dan coffinite terbentuk
pada proses redoks dengan kondisi reduksi
yang dipengaruhi oleh kandungan material
organik yang cukup tinggi [15] sehingga
keterdapatannya hanya terbentuk pada serpih
hitam yang kaya akan material organik [3].
Pengendapan uranium pada batuan sedimen
berasal dari arah timur dan mengikuti arah
aliran air tanah membentuk beberapa pola
alur yang berarah timur laut- barat daya. Pada
bagian timur di sekitar kontak antara batuan
sedimen dengan granit, mineralisasi uranium
didominasi oleh mineral hasil rombakan
granit (monasit) dengan penyebaran yang
cukup luas, terutama pada satuan batuan
konglomerat 1. Semakin ke atas keterdapatan
mineral radioaktif membentuk pola alur
(channel) yang berarah timur laut-barat daya
yang menunjukkan bahwa batuan induknya
terbentuk dalam suatu pola pengendapan
sungai teranyam [16, 17].
Pada daerah timur mineralisasi berupa
hasil rombakan sehingga kaya akan uranium,
thorium, dan unsur tanah jarang (REE)
sedangkan pada bagian barat daya
mineralisasi uranium berbentuk tabular dan
lebih kaya akan kandungan uranium. Hal ini
menunjukkan bahwa kondisi lingkungan
pengendapan di bagian timur masih berupa
lingkungan oksidasi yang menyebabkan
terlarutnya unsur uranium dan terendapkan di
bagian baratdaya yang merupakan lingkungan
pengendapan reduksi [14, 18]. Korelasi
pengendapan batuan di Sibolga adalah seperti
Gambar 9.
135
Evaluasi Sistem Pengendapan Uranium pada Batuan Sedimen Formasi Sibolga, Tapanuli Tengah
Oleh: I Gde Sukadana dan Heri Syaeful
Gambar 9. Bentuk dan sebaran mineralisasi uranium pada Formasi Sibolga berdasarkan korelasi data pemboran.
KESIMPULAN
Mineralisasi uranium pada batuan
sedimen Formasi Sibolga sangat dipengaruhi
oleh kondisi redoks pada lingkungan
pengendapan
darat.
Mineral
yang
mengandung uranium, thorium, dan REE
berupa monasit terbentuk pada saat
pembentukan granit tipe S yang merupakan
batuan sumber unsur uranium dan mengalami
pelepasan uranium akibat proses pelapukan.
Hasil pencucian uranium terendapkan pada
bagian barat daya pada lingkungan
pengendapan
reduksi
berupa
mineral
uraninite,
carnotite,
dan
coffinite.
Pengendapan uranium pada bagian timur
merupakan mineralisasi epigenetik yang
berbentuk tabular sedangkan pada bagian
barat daya mineralisasi uranium terbentuk
secara syn-genetic yang berbentuk tabular
terutama pada lapisan yang kaya material
organik.
136
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kami ucapkan kepada Pusat
Teknologi Bahan Galian Nuklir atas
penyediaan data bor (tidak dipublikasikan)
yang sangat membantu dalam analisis
lingkungan pengendapan dan evaluasi
pembentukan mineralisasi uranium di daerah
penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
[1] P. Bruneton and M. Cuney, Geology of
Uranium Deposits, no. 1956. Elsevier
Ltd, 2016.
[2] R.
P.
Kusumadinata
and
S.
Sastrowihardjo, “Uranium Prospect in
Tertiary Sediments in the Sibolga Area,
North Sumatera,” in Uranium Deposits
in Asia and the Pacific: Geology and
Exploration, 1988, pp. 121–140.
[3] S. A. Cumberland, G. Douglas, K.
Grice, and J. W. Moreau, “Uranium
Mobility in Organic Matter-Rich
Sediments: A Review of Geological and
Geochemical Processes,” Earth Sci.
Eksplorium
p-ISSN 0854-1418
e-ISSN 2503-426X
Volume 37 No. 2, November 2016: 125–138
Rev., 2016.
[4] C. S. Spirakis, “The Roles of Organic
Matter in the Formation of Uranium
Deposits in Sedimentary Rocks,” vol. 8,
pp. 53–69, 1996.
[5] M. Masdja, S. Sastrowihardjo, and P.
Tampubolon, “Uranium Mineralisation
in Sibolga Formation at Aloban, North
Sumatera,” In Seminar on Uranium
Exploration, Geology and Extraction,
1989, pp. 123–144.
[6] J. A. Aspde, W. Kartawa, D. T. Aldiss,
A. Djunuddin, D. Diatma, M. C. G.
Clarke, R. Whandoyo, dan H. Harahap,
“Peta
Geologi
Lembar
Padang
Sidempuan dan Sibolga, Sumatera,”
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi, 1992.
[7] A. G. Muhammad, M. Nurdin, H.
Syaeful, dan P. Widito, “Survey
Geolistrik Tahanan Jenis di Daerah
Aloban dan Sekitarnya, Sibolga,
Sumatera Utara,” Eksplorium, vol. 33,
no. 1 Mei, 2012.
[8] M. Cuney, “The Extreme Diversity of
Uranium Deposits,” Miner. Depos., vol.
44, no. 1, pp. 3–9, 2009.
[9] J. Wang, J. Liu, H. Li, Y. Chen, T. Xiao,
G. Song, D. Chen, and C. Wang,
“Uranium and Thorium Leachability in
Contaminated Stream Sediments from a
Uranium Minesite,” J. Geochemical
Explor., pp. 6–11, 2016.
[10] D. Cinti, P. P. Poncia, L. Brusca, F.
Tassi, F. Quattrocchi, and O. Vaselli,
“Spatial Distribution of Arsenic,
Uranium and Vanadium in the
Volcanic-Sedimentary Aquifers of the
Vicano-Cimino
Volcanic
District
(Central Italy),” J. Geochemical
Explor., vol. 152, pp. 123–133, 2015.
[11] K. Ullah, N. U. Khattak, A. A. Qureshi,
[12]
[13]
[14]
[15]
[16]
[17]
M. Akram, H. A. Khan, and A. Nisar,
“Search for Uranium Source in Warcha
Sandstone, Salt Range, Pakistan, Using
SSNTD Technique,” vol. 40, pp. 491–
495, 2005.
M. Cuney, A. Emetz, J. Mercadier, V.
Mykchaylov, V. Shunko, and A.
Yuslenko,
“Uranium
Deposits
Associated with Na-Metasomatism
from Central Ukraine : A Review of
Some of the Major Deposits and
Genetic Constraints,” Ore Geol. Rev.,
vol. 44, pp. 82–106, 2012.
M. Min, J. Chen, J. Wang, G. Wei, and
M. Fayek, “Mineral Paragenesis and
Textures Associated with SandstoneHosted Roll-Front Uranium Deposits ,
Nw China,” vol. 26, pp. 51–69, 2005.
S. M. Zaid, M. I. Moustafa, and M. G.
Barakat, Mineralogy, Chemistry and
Radioactivity Of The Heavy Minerals in
the Black Sands, along the Northern
Coast Of Egypt. Elsevier Ltd, 2016.
J. Eagling, P. J. Worsfold, W. H. Blake,
and M. J. Keith-Roach, “Influence of
Sediment Redox Conditions on
Uranium Mobilisation During Saline
Intrusion,” Chem. Geol., vol. 357, pp.
158–163, 2013.
S. Ortaboy and G. Atun, “Kinetics and
Equilibrium Modeling of Uranium(Vi)
Sorption by Bituminous Shale from
Aqueous Solution,” Ann. Nucl. Energy,
vol. 73, pp. 345–354, 2014.
Q. J. Fisher and P. B. Wignall,
“Palaeoenvironmental Controls on the
Uranium Distribution in an Upper
Carboniferous
Black
Shale
(Gastrioceras Listeri Marine Band) and
Associated Strata; England,” Chem.
Geol., vol. 175, no. 3–4, pp. 605–621,
2001.
137
Evaluasi Sistem Pengendapan Uranium pada Batuan Sedimen Formasi Sibolga, Tapanuli Tengah
Oleh: I Gde Sukadana dan Heri Syaeful
[18] I. H. Saleh and A. A. Abdel-Halim,
“Determination of Depleted Uranium
Using a High-Resolution Gamma-Ray
Spectrometer and Its Applications in
Soil and Sediments,” Integr. Med. Res.,
2015.
138
Download