Desti Nurul Qomariyah | Pengaruh Ekstrak Kulit Pisang Kepok Terhadap Hepatosit yang Diinduksi Aspirin Pengaruh Ekstrak Kulit Pisang Kepok Terhadap Hepatosit yang Diinduksi Aspirin Desti Nurul Qomariyah Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung Abstrak Penyakit kardiovaskuler masih merupakan penyakit yang mematikan di dunia dengan angka kejadian 17,5 juta orang meninggal. Di Indonesia, penyakit kardiovaskuler ini merupakan penyakit ketiga terbanyak yang didiagnosis. Penyakit yang mendominasi adalah stroke dengan persentase sebesar 57,9%. Tingginya kasus ini menyebabkan konsumsi aspirin menjadi semakin tinggi. Fungsi aspirin adalah untuk menurunkan insiden serangan iskemik, transien, angina tak stabil, trombosis arteri koronaria dengan infark miokard, dan trombosis pascagraft pirau (bypass) arteri koronaria. Selain efek terapi, konsumsi aspirin yang berlebihan dapat merusak metabolisme hepar dan menimbulkan efek hepatotoksisitas dengan mengganggu pada bagian metabolisme di dalam tubuh. Tanaman obat dilaporkan lebih aman dibandingkan dengan obat sintetik. Tanaman yang sedang dikembangkan penelitiannya adalah tanaman pisang. Pisang adalah salah satu komoditas buah unggulan Indonesia dan merupakan buah terbanyak kedua di dunia. Sekitar 16% dari total jumlah buah dunia merupakan pisang. Dengan tingginya jumlah pisang menyebabkan limbah pisang saat ini juga semakin meningkat sehingga dengan memanfaatkan limbah seperti ini tentulah tidak merugikan. Kulit pisang kepok mempunyai kandungan antioksidan yang tinggi antara lain flavonoid dan fenolik. Kandungan pada kulit pisang inilah yang dapat menjadi hepatoprotektor terhadap hepar yang diinduksi aspirin dilihat patologi anatomi. [Majority. 2015;4(7);1-5] Kata kunci: aspirin, hepatoprotektor, kulit pisang kepok. The Effect of Kepok Banana Peel to Hepatocyte induced by Aspirin Abstract Cardiovascular disease is still a deadly disease incidence in the world with 17.5 million people died . In Indonesia, cardiovascular disease is the third most diagnosed disease. The disease is dominated by stroke with a percentage of 57.9%. This leads to high rates of consumption aspirin are becoming increased. Aspirin function is to reduce the incidence of ischemic heart attack , transient , unstable angina , coronary artery thrombosis with myocardial infarction , and thrombosis pascagraft shunt (bypass) coronary artery. In addition to therapeutic effect , excessive consumption aspirin can damage the liver metabolism and cause toxic effect on the liver toxicity by interfering with the metabolism in the body . Medicinal plants reportedly safer than synthetic drugs. Plants are being developed in research is the banana. Bananas are one of the seeded fruit commodities Indonesia and the second largest fruit in the world. Approximately 16% of the world's total number of fruit is bananas. With the high amount of lead waste bananas this time also increased so that by utilizing waste as this is certainly not harmful. Kepok banana peel has a high content of antioxidants including flavonoids and phenolic. The content on this banana peel which can be hepatoprotective against aspirin induced hepatic seen by anatomic pathology. [Majority. 2015;4(7);1-5] Keywords : aspirin , hepatoprotective , kepok banana peel . Korespondensi: Desti Nurul Qomariyah, alamat Jl. Soemantri Brojonegoro Perumahan Palem Permai III Blok A3 A4, HP 081315108855, e-mail [email protected] Pendahuluan Penyakit kardiovaskuler masih merupakan penyebab kematian utama di dunia. Hal ini dibuktikan dengan angka kejadian yang mencapai 17,5 juta penduduk dunia meninggal akibat penyakit kardiovaskuler pada tahun 2012. Asia Tenggara merupakan urutan kedua dunia dengan insidensi penyakit kardiovaskuler terbanyak.1 Di Indonesia, penyakit kardiovaskuler ini merupakan penyakit ketiga terbanyak yang didiagnosis. Penyakit yang mendominasi adalah stroke dengan persentase sebesar 57,9%. Di provinsi Lampung penyakit ini juga menjadi sorotan utama dengan angka kejadian tertinggi keenam dan akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya usia.2 Pemerintah melakukan berbagai kebijakan untuk menanggulangi hal ini, terutama dalam hal pengobatan. Salah satu obat yang sering digunakan pada penyakit kardiovaskuler yaitu aspirin. Fungsi aspirin adalah untuk menurunkan insiden serangan iskemik, transien, angina tak stabil, trombosis arteri koronaria dengan infark miokard, dan trombosis pascagraft pirau (bypass) arteri Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 1 Desti Nurul Qomariyah | Pengaruh Ekstrak Kulit Pisang Kepok Terhadap Hepatosit yang Diinduksi Aspirin koronaria. Selain efek terapi, aspirin juga mempunyai efek samping antara lain gangguan lambung (intoleransi) dan ulkus lambung serta duodenum, hepatotoksisitas, asma, ruam, dan toksisitas ginjal yang lebih jarang terjadi.3 Tanaman obat dilaporkan lebih aman dibandingkan dengan obat sintetik.4 Indonesia yang beriklim tropis merupakan negara dengan keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia setelah Brazil. Indonesia memiliki sekitar 25.000-30.000 spesies tanaman yang merupakan 80% dari jenis tanaman di dunia dan 90 % dari jenis tanaman di Asia. Hasil inventarisasi yang dilakukan PT Eisai pada 1986 mendapatkan sekitar tujuh ribu spesies tanaman di Indonesia digunakan masyarakat sebagai obat khususnya oleh Pengembangan Obat Tradisonal Indonesia Menjadi Fitofarmaka industri jamu dan yang didaftarkan ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia berjumlah 283 spesies tanaman.5 Tanaman yang sedang dikembangkan penelitiannya adalah tanaman pisang.6 Pisang adalah salah satu komoditas buah unggulan Indonesia. Luas panen dan produksi pisang selalu menempati posisi pertama. Pada tahun 2002 produksinya mencapai 4.384.384 ton dengan nilai ekonomi sebesar Rp 6,5 triliun. Produksi tersebut sebagian besar dipanen dari pertanaman kebun rakyat seluas 269.000 ha. Di samping untuk konsumsi segar beberapa kultivar pisang di Indonesia juga dimanfaatkan sebagai bahan baku industri olahan pisang misalnya industri kripik, sale, dan tepung pisang. Perkembangan kebun rakyat dan industri olahan di daerah sentra produksi dapat memberikan peluang baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap perluasan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja.7 Salah satu provinsi penghasil pisang terbanyak di Indonesia adalah Lampung dengan jumlah terbanyak terdiri dari pisang kepok.8 Sekitar tahun 2006, total produksi pisang di Indonesia mencapai 5.037.472 ton dengan 10,6% berasal dari Provinsi Lampung.9 Sepertiga bagian dari total produksi tersebut merupakan kulit pisang.10 Pada penelitian sebelumnya, disebutkan bahwa secara in vitro kulit pisang memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibanding bagian tanaman pisang lainnya. Aktivitas antioksidan pada kulit pisang mencapai 94,25% pada konsentrasi 125 µg/ml Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 2 sedangkan pada bagian buah pisang hanya sekitar 70% pada konsentrasi 50 mg/ml.11 Isi Pisang merupakan buah terbanyak kedua di dunia. Sekitar 16% dari total jumlah buah dunia merupakan pisang.12 Kulit pisang mempunyai kandungan flavonoid dan fenolik.13 Flavonoid dan fenolik merupakan antioksidan yang dapat berfungsi sebagai hepatoprotektor. Kedua antioksidan ini didapatkan melalui ekstrak dengan etanol, di mana dengan ekstrak kasar didapatkan kandungan antioksidan yang tertinggi. 14 Melalui mekanisme penghambatan pada jalur metabolisme asam arakhidonat, pembentukan prostaglandian, dan pelepasan histamin flavonoid berfungsi sebagai anti inflamasi atau memperlambat proses peradangan. Cara kerja flavonoid sebagai hepatoprotektor adalah dengan proses detoksifikasi dengan jalan meningkatkan ekspresi enzim Gluthation S-Transferase (GST) yang merupakan antioksidan endogen pada hati. Enzim GST berfungsi untuk detoksifikasi dengan mengubah zat yang kurang polar menjadi lebih polar melalui pengikatan senyawa elektron aktif yang tidak berpasangan pada zat toksik.15 Hati merupakan organ terbesar di tubuh dengan berat sekitar 1,5 kg atau sekitar 2% berat tubuh orang dewasa. Dengan lobus kanan yang besar dan lobus kiri yang lebih kecil, hati merupakan kelenjar terbesar dan terletak dalam rongga perut di bawah diafragma.16 Hati adalah organ metabolik yang sangat penting dalam tubuh, organ ini dilihat sebagai pabrik biokimia utama.17 Hati mempunyai beberapa fungsi antara lain dalam metabolisme karbohidrat, lemak, protein dan sintesis protein.18 Fungsi hati dalam metabolisme karbohidrat adalah menyimpan glikogen dalam jumlah besar, mengonversi galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa, glukoneogenesis, dan membentuk banyak senyawa kimia yang penting dari hasil perantara metabolisme karbohidrat. Fungsi hati dalam metabolisme lemak adalah dengan menyekresikan garam empedu yang membantu pencernaan lemak melalui efek deterjennya (emulsifikasi) dan mempermudah penyerapan lemak dan ikut serta dalam pembentukan misel.17 Fungsi hati Desti Nurul Qomariyah | Pengaruh Ekstrak Kulit Pisang Kepok Terhadap Hepatosit yang Diinduksi Aspirin dalam metabolisme protein adalah deaminasi asam amino, pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, dan interkonversi beragam asam amino dan membentuk senyawa lain dari asam amino.18 Hati memproduksi banyak protein. Kebanyakan protein tersebut merupakan proten fase akut yaitu protein yang diproduksi dan disekresikan ke dalam plasma apabila terdapat rangsangan stres. Protein lainnya yang diproduksi adalah protein yang mengangkut steroid dan hormon lain dalam plasma serta faktor-faktor pembekuan. Protein tersebut antara lain albumin, orosomukoid, antiprotease ɑ-1, dan lain-lain.19 Hepatosit membentuk suatu lempeng yang berhubungan seperti batu bata di tembok dan lempeng sel ini tersusun radial di sekeliling vena sentral. Dari bagian perifer lobulus ke pusatnya lempeng hepatosit bercanang dan beranastomosis secara bebas membentuk struktur yang menyerupai spons. Celah di antara lempeng ini mengandung komponen mikrovaskular penting yaitu sinusoid hati.15 Hepatosit merupakan sel polihedral besar dengan enam atau lebih permukaan, dan berdiameter 20-30 μm. Pada sediaan yang dipulas dengan hematoksilin dan eosin, sitoplasma hepatosit biasanya bersifat eosinofilik karena banyaknya mitokondria, yang berjumlah hingga 2000 per sel. Hepatosit memiliki inti sferis besar dengan nukleolus. Selsel tersebut sering memiliki dua atau lebih nukleolus dan sekitar 50% darinya bersifat polipoid, dengan dua, empat, delapan atau melebihi jumlah kromosom diploid normal. Inti polipoid ditandai dengan ukuran yang lebih besar, yang proporsional dengan sifat ploidnya.16 Hepatosit secara aktif menyintesis protein untuk kepentingan metabolisme tubuh. Oleh karena itu sel ini mempunyai banyak sekali ribosom, retikulum endoplasma kasar, dan badan golgi. Karena kebutuhan hepatosit akan energi yang banyak, tiap-tiap sel mengandung 2000 mitokondria. Sel-sel yang terletak di dekat vena sentral mengandung dua kali lebih banyak mitokondria namun lebih kecil dibandingkan dengan mitokondria pada hepatosit di area periportal.20 Permukaan setiap hepatosit berkontak dengan dinding sinusoid, melalui celah Disse, dan dengan permukaan hepatosit lain. Di tempat dua hepatosit berkontak, terbentuk suatu celah tubular di antara kedua sel ini yang disebut kanalikulus biliaris. Kanalikuli bagian pertama sistem duktus biliaris adalah celah panjang berdiameter 1-2 μm. Kanalikuli hanya dibatasi membran plasma dari dua hepatosit, yang menjulurkan sedikit mikrovili di bagian dalamnya. Membran sel di dekat kanalikuli ini diikat dengan kuat oleh taut erat. Taut celah juga terdapat di antara hepatosit, yang memungkinkan tempat komunikasi antar sel dan koordinasi aktivitas sel-sel.16 Pada keadaan rusak, pembengkakan merupakan manifestasi pertama yang ada hampir pada semua bentuk jejas sel, sebagai akibat pergeseran air ekstraseluler ke dalam sel, akibat gangguan pengaturan ion dan volume karena kehilangan Adenosin Tri Phospate (ATP).21 Bila air berlanjut tertimbun dalam sel, vakuol-vakuol kecil jernih tampak dalam sitoplasma yang diduga merupakan retikulum endoplasma yang melebar dan menonjol keluar atau segmen pecahannya. Gambaran jejas non-letal ini kadang-kadang disebut degenerasi hidropik atau degenerasi vakuol. Selanjutnya hepatosit yang membengkak juga akan tampak edematosa (degenerasi balon) dengan sitoplasma ireguler bergumpal dan rongga-rongga jernih yang lebar.22 Aspirin efektif sebagai obat antiinflmasi, meskipun aspirin mungkin lebih efektif sebagai analgesik. Aspirin diabsorbsi dan cepat dihidrolisis (waktu-paruh 15 menit) menjadi asam asetat dan salisilat oleh esterase dalam jaringan dan darah. Salisilat akan terikat pada albumin, tetapi ikatan dan metabolisme salisilat dapat menjadi jenuh sehingga fraksi yang tidak terikat meningkat seiring meningkatnya konsentrasi total. Di luar kandungan dalam tubuh total sebesar 600 mg, peningkatan dosis salisilat meningkatkan konsentrasi salisilat secara tidak proporsional. Seiring meningkatnya dosis aspirin, waktuparuh eliminasi salisilat meningkat dari 3-5 jam (untuk dosis 600 mg/hari) menjadi 12-16 jam (dosis >3,6 gr/hari). Alkalinisasi urin meningkatkan laju ekskresi salisilat bebas dan konjugatnya yang larut dalam air.3 Golongan salisilat (termasuk aspirin) memproduksi efek toksik di hati dengan kadar plasma aspirin di atas 150 μg/l. Toksisitas ini biasa terjadi pada pasien dengan abnormalitas Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 3 Desti Nurul Qomariyah | Pengaruh Ekstrak Kulit Pisang Kepok Terhadap Hepatosit yang Diinduksi Aspirin jaringan ikat. Hanya sekitar 5% dari populasi golongan kedua yang mempunyai gejala seperti hepatomegali, nausea, anoreksia, dan jaundice.23 Pengaruh aspirin dalam penghambatan proses fosforilasi oksidatif serupa dengan pengaruh yang ditimbulkan 2,4-dinitrofenol. Dalam dosis toksik, aspirin bisa menghambat metabolisme aerob dari beberapa enzim dehidrogenase di hepar dan jaringan lainnya, dengan cara berkompetisi dengan koenzim nukleotida piridin dan penghambatan beberapa enzim oksidase yang membutuhkan nukleotida sebagai koenzim, seperti xanthin oksidase.23 Efek serius lainnya yang dapat ditimbulkan aspirin di hepar mencakup pengosongan simpanan glikogen di hepar. Dosis toksik aspirin mampu mengurangi metabolisme aerob dari glukosa, meningkatkan kinerja enzim glukosa-6-fosfatase serta sekresi glukokortikoid. Penting untuk disimak bahwa meskipun insiden toksisitas aspirin rendah pada dosis kuratif, namun efeknya pada dosis toksik amat berbahaya terhadap hepar. Terlebih aspirin termasuk golongan obat yang dapat dibeli tanpa resep dokter.23 Dengan kandungan kulit pisang yang mempunyai kandungan antioksidan yang tinggi, maka ekstrak kulit pisang dapat menghambat kerusakan hepar melalui penghambatan metabolisme aerob pada hepar. Ringkasan Penggunaan aspirin yang berlebihan akan mengakibatkan efek hepatotoksik. Mekanisme ini terjadi melalui 3 tahap, yaitu menghambat metabolisme aerob dari beberapa enzim dehidrogenase di hepar dan jaringan lainnya, dengan cara berkompetisi dengan koenzim nukleotida piridin, dan penghambatan beberapa enzim oksidase yang membutuhkan nukleotida sebagai koenzim seperti xanthin oksidase. Selain itu melewati mekanisme pengosongan simpanan glikogen di hepar, serta mengurangi metabolisme aerob dari glukosa, meningkatkan kinerja enzim glukosa-6-fosfatase serta sekresi glukokortikoid. Kandungan kulit pisang kepok berupa flavonoid dan fenolik serta antioksidan lainnya dapat menghambat kerusakan hepar ini Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 4 melalui penghambatan 3 mekanisme tersebut. Melihat uraian di atas berdasarkan mekanisme kerja antioksidan pada kulit pisang dan peranan aspirin dalam membuat kerusakan pada hepar, maka kulit pisang kepok dapat berfungsi sebagai hepatoprotektor pada hepar yang terinduksi aspirin. Simpulan Disimpulkan bahwa aspirin memiliki pengaruh terhadap gambaran histopatologi hepar berdasarkan percobaan pada hewan coba. Kulit pisang kepok memiliki efek antioksidan karena mengandung falvonoid, fenolik, dan masih banyak zat aktif lain yang mampu menghambat terjadinya kelainan metabolisme dan menghambat terjadinya toksisitas pada hepar. Antioksidan yang terkandung dalam kulit pisang dapat bereaksi dan mampu menetralisir efek aspirin pada hepar, sehingga pemberian ekstrak kulit pisang dapat berguna sebagai hepatoprotektor. Daftar Pustaka 1. World Health Organization. Global status report on noncommunicable diseases. Switzerland: WHO; 2014. 2. Kementrian Kesehatan Repunlik Indonesia. Riskesdas. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; 2010. 3. Furst DE, Ulrich RW. Obat antiinflamasi nonsteroid: obat antireumatik pemodifikasi penyakit, analgesik nonopioid, dan obat yang digunakan pada gout. Dalam: Katzung BG, editor. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi ke-10. Jakarta: EGC; 2012. hlm. 592-4. 4. Javed I, Iqbal Z, Rahman ZU, Khan FH, Muhammad F, Aslam B, et al. Comparative antihyperlipidaemic efficacy of trachyspermum ammi in albino rabbits. Pakistan Vet. 2006; 26(1): 229-36. 5. Prospek dan arah pengembangan agribisnis pisang [internet]. Jakarta: Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi; 2010 [disitasi tanggal 11 Maret 2015]. Tersedia dari: http:// www.warintek.ristek.go.id/pertanian/pisan g.pdf 6. Imam MZ, Akter S, Mazumder EH, Rana S. Antioxidant activities of different parts of Musa sapientum L. ssp. sylvestris fruit. Desti Nurul Qomariyah | Pengaruh Ekstrak Kulit Pisang Kepok Terhadap Hepatosit yang Diinduksi Aspirin Journal of Applied Pharmaceutical Science. 2011; 1(10): 68-72. 7. Road map pisang pasca panen, pengolahan dan pemasaran hasil pisang [internet]. Jakarta: Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Holtikultura; 2005 [disitasi tanggal 25 Maret 2015]. Tersedia dari: http://www.pphp.deptan.go.id/xplore/vie w.php?file.../Road%20map%20pisang.doc 8. Road map pisang pasca panen, pengolahan dan pemasaran hasil pisang [internet]. Jakarta: Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Holtikultura; 2005 [disitasi tanggal 25 Maret 2015]. Tersedia dari: http://www.pphp.deptan.go.id 9. Suprapto HJ, Mulyanti N. Teknologi budidaya pisang. Bandar Lampung: Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian; 2008. 10. Nityasa. Pemanfaatan kulit pisang sebagai bahan baku bioetanol berbasis fermentasi [internet]. 2013 [disitasi tanggal 20 Maret 2015]. Tersedia dari: http://www.hasanah2nur.files.wordpress.c om/2013/05/new.docx 11. Fatemeh SR, Saifullah R, Abbas FMA, Azhar ME. Total phenolics, flavonoids and antioxidant activity of banana pulp and peel flours: influence of variety and stage of ripenes. International Food Research Journal. 2012; 19(3): 1041-6. 12. Food and Agriculture Organization. State of food and agriculture: livestock in balance. Roma: Communication Division FAO; 2009. 13. Venkatarangaiah VK, Krishnappa P, Kumar S, Rajanna S, Haris M, Keriyappa V. Pharmacological properties of corm ethanol of Musa paradisiaca L. CV puttabale. World Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences. 2014; 3(5): 136283. 14. Rahardian MRR, Mulyadi, Nurkhasanah. Efek hepatoprotektor ekstrak etanol kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) pada tikus sprague dawley yang diinduksi 7,12-dimetilbenz(α)antrasen: kajian GOT, SGPT, ALP dan gambaran histopatologi hepar [penelitian tidak terpublikasi]. Yogyakarta: Universitas Ahmad Dahlan; 2010. 15. Mahardikasari LW. Uji toksisitas akut ekstrak batang pisang ambon (Musa paradisiaca var. Sapientum) terhadap mencit (Mus musculus) dengan parameter LD50. Surabaya: Universitas Airlangga; 2013. 16. Mescher AL. Junqueira’s Basic Histology Text and Atlas. Edisi ke-12. United States: Lange; 2007. hlm. 363-72 17. Sherwood L. Anatomi dan fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2012. 18. Guyton AC, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi ke-11. Jakarta: EGC penerbit buku kedokteran; 2008. 19. Ganong WF. Review of Medical Physiology. Edisi ke-22. New York: The McGraw-Hill Companies; 2008. 20. Gartner PL, Hiatt JL. Color Textbook of Histology. Edisi ke-2. China: Elsevier Saunders; 2007. 21. Chandrasoma, Taylor. Ringkasan patologi anatomi. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2005. 22. Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Buku ajar patologi. Edisi ke-7. Jakarta: EGC; 2007. 23. Irvanda R. Pengaruh pemberian aspirin berbagai dosis per oral terhadap gambaran histopatologi hepar. Semarang: Universitas Diponegoro; 2007. Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 5 Desti Nurul Qomariyah | Pengaruh Ekstrak Kulit Pisang Kepok Terhadap Hepatosit yang Diinduksi Aspirin Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 6 Rembulan Ayu NP| Indeks RDW DAN Mentzer sebagai uji skrining diagnosis Thalassemia Indeks RDW dan Mentzer sebagai Uji Skrining Diagnosis Thalassemia Rembulan Ayu NP Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung Abstrak Thalassemia merupakan penyakit keturunan yang disebabkan oleh adanya mutasi gen globin alpha (α) atau beta (β), yang kemudian menimbulkan kelainan sintesis hemoglobin (Hb). Secara klinis Thalassemia sulit dibedakan dengan anemia kronik akibat defisiensi besi. Banyak metode pemeriksaan skrinning awal yang tinggi dalam membedakan Thalassemia dengan anemia defisiensi besi. Indeks Mentzer dan RDW adalah uji yang banyak digunakan oleh para klinisi dalam skrinning awal membedakan Thalassemia dengan anemia defisiensi besi. Ketepatan diagnosis yang tinggi dalam membedakan Thalassemia dengan anemia defisiensi besi adalah indeks RDW (88.14%), dan diikuti oleh indeks Mentzer (86,85%). Kata kunci: anemia, indeks RDW, indeks mentzer, thalesemia. RDW and Mentzer Indexs as A Test Screening Diagnosis Thalassemia Abstract Thalassemia is a hereditary disease caused by mutations in the alpha globin gene (α) or beta (β), which then lead to abnormal synthesis of hemoglobin (Hb). Clinically, Thalassemia is difficult to distinguish from chronic anemia due to iron deficiency. Many methods of high initial examination screening to differentiatiating Thalassemia with iron deficiency anemia. Mentzer index and RDW is a test that is widely used by clinicians to differentiating early screening of Thalassemia with iron deficiency anemia. High diagnostic accuracy in distinguishing Thalassemia with iron deficiency anemia was RDW index (88.14%), and followed by Mentzer index (86.85%). Keywords: anemia, mentzer index, RDW index, thalesemia. Korespondensi: Rembulan Ayu NP, alamat : Perumahan Jaya Pura Indah Blok F3 , Kedaton, Bandarlampung, Hp : 082178277469, email [email protected] Pendahuluan Thalassemia merupakan penyakit keturunan yang disebabkan oleh adanya mutasi gen globin alpha (α) atau beta (β), yang kemudian menimbulkan kelainan sintesis hemoglobin (Hb). Akibat dari kelainan sintesis, Hb lebih mudah menjadi lisis dan menyebabkan penderita mengalami anemia. Thalassemia terdiri dari beberapa tipe dimana terdapat manifestasi klinis yang bervariasi dari yang tidak bergejala langsung sampai yang bisa menyebabkan kematian.1,2 Thalassemia dahulu merupakan penyakit yang terjadi di daerah tropis dan subtropis, namun saat ini akibat adanya migrasi maka Thalassemia telah tersebar luas di seluruh dunia. Thalassemia dan hemoglobinopati merupakan penyakit kelainan gen tunggal (single gene disorders) terbanyak jenis dan frekuensinya di dunia. Penyebaran penyakit ini mulai dari Mediterania, Timur Tengah, Anak Benua (sub-continent) India dan Burma, serta di daerah sepanjang garis antara Cina bagian selatan, Thailand, semenanjung Malaysia, kepulauan Pasifik dan Indonesia.3,4 Berdasarkan buletin yang dikeluarkan oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 2008, gangguan Hb (sickle cell anemia dan Thalassemia) menjadi endemik pada 60% dari 229 negara dan berpotensi memberi efek pada 75% kelahiran. WHO mengestimasi terdapat sekitar 5,2% populasi dunia (6,6% di Asia Tenggara) membawa varian yang signifikan (Thalassemia HbS, HbC, HbE, HbD, αo dan β) dimana 40% nya adalah pembawa HbS. Sekurang-kurangnya terdapat 20% (44,6% di Asia Tenggara) dari populasi membawa Thalassemia α+ sedangkan 24% nya (45,5% di Asia Tenggara) adalah karier untuk varian yang lain.2 Di Indonesia, Thalassemia merupakan kelainan genetik yang paling banyak ditemukan. Angka pembawa sifat Thalassemia sebanyak 3 – 5%, bahkan di beberapa daerah mencapai 10%, sedangkan angka pembawa sifat HbE berkisar antara 1,5 – 36%. Berdasarkan hasil penelitian di atas dan dengan memperhitungkan angka kelahiran dan jumlah penduduk Indonesia, diperkirakan jumlah pasien Thalassemia baru yang lahir setiap tahun di Indonesia cukup tinggi, yakni Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015| 7 Rembulan Ayu NP|Indeks RDW dan Mentzer Sebagai Uji Skrining Diagnosis Thalassemia sekitar 2.500 anak.4 Di Indonesia banyak dijumpai Thalassemia karena adanya migrasi penduduk dan percampuran penduduk dari Cina Selatan dengan fenotip Mongoloid yang kuat. Keseluruhan populasi ini tersebar di Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Nias, Flores, Sumba, dan Sumatera.5 Secara klinis Thalassemia sulit dibedakan dengan anemia kronik akibat defisiensi besi. Banyak metode pemeriksaan skrining awal yang tinggi dalam membedakan Thalassemia dengan anemia defisiensi besi. Salah satu metode yang banyak digunakan adalah indeks RDW dan indeks Mentzer.5 Isi Thalassemia adalah sekelompok heterogen anemia hipokromik herediter dengan berbagai derajat keparahan. Defek (cacat) genetik yang mendasari meliputi delesi (hilangnya materi genetik dari kromosom) total atau parsial gen rantai globin dan substitusi, delesi, atau insersi nukleotida. Akibat dari perubahan ini adalah penurunan atau tidak adanya mRNA bagi satu atau lebih rantai globulin atau pembentukan mRNA yang cacat secara fungsional.6 Menyebabkan penurunan atau supresi total sintesis rantai polipeptida Hb. Kira-kira 100 mutasi yang berbeda telah ditemukan mengakibatkan fenotipe Thalassemia, banyak diantara mutasi ini adalah unik untuk daerah geografi setempat. Pada umumnya rantai globin yang disintesis dalam eritrosit Thalassemia secara struktural adalah normal. Pada bentuk Thalassemia-α yang berat, terbentuk hemoglobin homotetrameter abnormal (β4 atau γ4), tetapi komponen polipeptida globin mempunyai struktur normal. Sebaliknya sejumlah Hb abnormal juga menyebabkan perubahan hematologi mirip Thalassemia.7 Penyakit ini diturunkan mengikuti kaidah Mendel dan merupakan kelainan mutasi gen tunggal (single gen mutation) terbanyak di dunia. Menurut defek yang terjadi, ditemukan beberapa jenis Thalassemia, namun tipe yang paling sering dengan tanda klinis yang umumnya berat adalah Thalassemia β (kelainan pada rantai β) dan Thalassemia α (kelainan pada rantai α).4 Thalassemia β adalah hasil lebih dari 150 mutasi dari rantai globin β, baik berupa hilangnya rantai β (Thalassemia β0) atau berkurangnya rantai β (Thalassemia β+). Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015| 8 Keadaan ini menyebabkan ketidakseimbangan sintesis rantai globin yang mengakibatkan berlebihnya rantai α sehingga terjadi presipitasi prekursor eritrosit yang pada gilirannya menyebabkan kerusakan sel darah merah di sumsum tulang dan perifer. Keseluruhan proses tersebut mengakibatkan terjadinya anemia yang parah, yang selanjutnya akan menyebabkan peningkatan produksi eritropoetin dan ekspansi sumsum tulang yang tidak efektif, deformitas tulang, pembesaran limpa dan hati, serta hambatan pertumbuhan.4 Thalassemia β mayor adalah Thalassemia dengan gejala klinis yang paling berat. Bentuk yang lebih ringan, dimana gejala klinis baru muncul pada usia yang lebih tua dan pasien tidak memerlukan transfusi atau jarang memerlukan transfusi disebut Thalassemia intermedia. Sementara individu yang merupakan karier disebut Thalassemia minor, dimana pasien tidak menunjukkan gejala klinis dan kelainan baru diketahui melalui pemeriksaan hematologi berupa anemia hipokrom mikrositer dan peningkatan kadar Hb A2. 4 Thalassemia α adalah terjadi kelainan pada rantai α yang juga terdapatnya Hb F (fetal haemoglobin) dan Hb A (adult haemoglobin), maka penyakit ini dapat terjadi pada masa janin dan usia dewasa. Lebih lanjut, kelebihan rantai γ dan β tidak langsung mengalami presipitasi di sumsum tulang seperti rantai α, namun memproduksi tetramer yang tidak stabil γ4 (Hb Bart’s) dan β4 (Hb H). Komponen genetik Thalassemia α lebih kompleks dari Thalassemia, dimana komposisinya bisa berupa αα/αα, -/αα (hilangnya kedua α gen pada kromosom, disebut Thalassemia α0), - α/αα (hilangnya salah satu gen α, disebut Thalassemia α+). Biasanya hilangnya gen α ini terjadi karena delesi, walaupun dapat juga akibat mutasi seperti pada Thalassemia β.8 Bentuk homozigot dari Thalassemia α° menyebabkan kematian intrauterin dimana janin mengalami anemia yang hebat dan hidropik, sering disebut dengan sindroma hidrop fetal hemoglobin Bart. Ibu hamil dengan bayi sindroma hidrop fetal biasanya mengalami toksemia gravidarum dan perdarahan postpartum. Sementara bentuk heterozigot Thalassemia α (α0 Thalassemia dan α+) menunjukkan gejala yang lebih ringan berupa anemia dan splenomegali. Bentuk terakhir (--/- Rembulan Ayu NP| Indeks RDW DAN Mentzer sebagai uji skrining diagnosis Thalassemia α) disebut juga dengan penyakit Hb H. Karier Thalassemia α° (–/αα ) dan homozigot Thalassemia α (-α /- α) memiliki gambaran klinis anemia hipokrom ringan. Sementara karier Thalassemia α+ tidak menunjukkan kelainan haematologis.9 Diagnosis Thalassemia biasanya dapat di ketahui melalui anamnesis (pucat yang lama, terlihat kuning, mudah infeksi, perut membesar akibat hepatosplenomegali, pertumbuhan terhambat/pubertas terlambat, riwayat tranfusi berulang (jika pernah tranfusi sebelumnya), riwayat keluarga yang menderita Thalassemia).10 Pemeriksaan fisik (anemia/pucat, ikterus, hepar dan limpa membesar, tulang-tulang wajah menonjol dan pipih (facies cooley), gizi kurang/buruk, perawakan pendek, hiperpigmentasi kulit, pubertas terlambat).10 Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis Thalassemia meliputi pemeriksaan darah tepi lengkap (CBC), khususnya Hb, nilai eritrosit rerata seperti MCV, MCH, MCHC, dan RDW. Selain itu perlu dievaluasi sediaan apus darah tepi, badan inklusi HbH dan analisis hemoglobin yang meliputi pemeriksaan elektroforesis Hb, kadar HbA2, HbF. Selain itu diperlukan pemeriksaan cadangan besi tubuh berupa pemeriksaan feritin atau serum iron (SI) / total iron binding capacity (TIBC).11 Berikut kriteria anemia berdasarkan WHO, tahun 1968: 1. Laki-laki dewasa Hb < 13 g/dl. 2. Perempuan dewasa tidak hamil Hb < 12 g/dl. 3. Perempuan dewasa hamil Hb < 11 g/dl. 4. Anak 6 bulan – 6 tahun Hb < 11 g/dl. 5. Anak 6 tahun – 14 tahun Hb < 11 g/dl. Pemeriksaan indeks eritrosit adalah pemeriksaan untuk melihat kualitas eritrosit (ukuran dan kandungan Hb didalam eritrosit), bila dikaitkan dengan morfologi darah tepi dapat di gunakan untuk membedakan jenis anemia. Mean Corpuscular Volume (MCV) adalah Volume Eritrosit Rata-Rata (VER) yaitu volume rata-rata sebuah eritrosit disebut dengan femoliter. MCV dapat menunjukan apakah eritrosit normositik (80-95fl), mikrositik (<80 fl) atau makrositik (>95). Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) adalah Hemoglobin Eritrosit Rata-Rata (HER), yaitu banyaknya hemoglobin per eritrosit disebut dengan pilogram, MCH dapat menunjukan apakah eritrositnya normokrom (27-34 pg), hipokrom (<27 pg) atau hiperkromik (>34 pg). Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) adalah Konsentrasi Hemoglobin Eritrosit Rata-Rata (KHER), yaitu kadar hemoglobin yang didapat per eritrosit, dinyatakan dengan persen (%) meskipun nilai KHER biasanya disebut dengan %, satuan yang lebih tepat adalah “gram hemoglobin per dl eritrosit”.12 Nilai eritrosit rata-rata diperhitungkan dari hasil penetapan jumlah, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit. dengan menggunakan rumus-rumus, dalam rumusrumus tersebut: Ht = nilai hematokrit disebut dengan %. Hb = nilai hemoglobin di sebut dengan gram/dl. E = jumlah eritrosit disebut dengan juta/mikroliter. VER = 10 x Ht : E femtoliter (fl). HER = 10 x Hb : E pikogram (pg). KHER = 100 x Hb : Ht persent (%). Sedangkan pada nilai RDW (rasio lebar kurva distribusi) terjadi peningkatan 20-40 % pada penderita Thalassemia heterozigot. Pada pemeriksaan apus darah tepi dapat memberi bantuan dan bahkan kadang-kadang informasi diagnosis pasti dalam mengkaji anemia (mikrositer, hipokrom, anisositosis, poikilositosis, sel eritrosit muda/normoblas, fragmentosit,sel target), dalam menentukan ukuran RBC.12 Pada analisa hemoglobin pemeriksaan elektrforesis hemoglobin yang berguna untuk mengidentifikasi lebih dari 150 jenis hemoglobin normal dan abnormal. Pada Thalassemia β heterozigot terjadi penurunan produksi rantai globulin β, menyebabkan penurunan produksi hemoglobin A dan peningkatan kompensasi produksi rantai globin δ, sehingga terjadi peningkatan Hb A2 (3-6 %). Pada Hb F juga terjadi peningkatan kompensasi produksi rantai globulin γ, yang mengakibatkan peningkatan Hb F (2-8 %, pada 50% penderita).13 Berdasarkan pedoman pelayanan medis Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada pemeriksaan penunjang Thalassemia, yaitu pemeriksaan laboratorium hematologi. Pada pemeriksaan darah tepi lengkap: 10 1. Hemoglobin menurun. Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015| 9 Rembulan Ayu NP|Indeks RDW dan Mentzer Sebagai Uji Skrining Diagnosis Thalassemia 2. Sediaan apus darah tepi (mikrositer, hipokrom, anisositosis, poikilositosis, sel eritrosit muda/normoblas, fragmentosit,sel target). 3. Indeks erirosit: MCV, MCH, dan MCHC menurun, RDW meningkat. Bila menggunakan cell counter, dilakukan uji resistensi osmotik I tabung (fragilitas). Konfirmasi dengan analisis hemoglobin menggunakan: 10 1. Elektroforesis hemoglobin: tidak ditemukannya HbA dan meningkatnya HbA2 dan Hb F. 2. Jenis Hb kualitatif → menggunakan elektrforesis cellulose acetate. 3. Hb A2 kuantitatif → menggunakan metode mikrokolom. 4. Hb F → menggunakan akali denaturasi modifikasi betke. 5. Hb H badan inklusi → menggunakan pewarnaan supravital (retikulosit). 6. Metode HPLC (Beta short variant biorad): analisis kualitatif dan kuantitatif. Di beberapa daerah endemik, perlu dilakukan screening test (uji saring) untuk mendiagnosis anemia hipokrom mikrositik sebagai gangguan Thalassemia minor dengan anemia defisiensi besi. Dimana pada pemeriksaan darah lengkap yang terdiri dari: hemoglobin rendah; MCV, MCH, dan MCHC rendah. RDW yang lebar dan MCV yang rendah merupakan salah satu skrining defisiensi besi. 1. Nilai RDW tinggi lebih dari 14,5% pada defisiensi besi, bila RDW normal (kurang 13%) pada Thalassemia trait 2. Rasio Mentzer index (MCV/RBC) kurang 13 dan bila RDW index (MCV/RBCxRDW) kurang dari 220, merupakan tanda Thalassemia trait, sedangakn jika kurang dari 220 merupakan tanda anemia defisiensi besi.10 Indeks Mentzer adalah metode yang digunakan untuk membedakan penyakit Thalassemia minor dengan anemia defisiensi zat besi, yang ditemukan oleh Mentzer di tahun 1973. Indeks ini dihitung dari hasil hitung darah lengkap (complete blood count /CBC). Jika MCV (dalam FL) dibagi dengan RBC (dalam juta per mikroliter) kurang dari 13, maka dinyatakan sebagai talasemia minor. Tapi jika hasilnya lebih besar dari 13, maka dinyatakan sebagai anemia defisiensi besi.14 Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015| 10 Indeks RDW Indeks RDW atau RCDW merupakan indeks yang dapat menunjukan variabilitas bentuk eritrosit, yang juga manifestasi awal terjadinya defisiensi besi. RDW meningkat lebih dari 90% pada individu dengan defisiensi zat besi, tetapi hanya 50% pada pasien Thalassemia minor.14 Indeks RDW (MCV dibagi RBC dikali RDW) dengan hasil lebih dari 220 merupakan indikasi untuk anemia defisiensi besi dan bila indeks kurang dari 220 merupakan indikasi untuk Thalassemia minor.14 Menurut penelitian yang dilakukan oleh Niazi M. dkk. pada tahun 2010 pada pasien dengan anemia defisiensi besi di Pakistan, mengenai sensitifitas dan spesifitas tujuh metode skrining untuk membedakan Thalassemia trait dengan anemia defisiensi besi, yaitu RDWI, Mentzer, Green & Kings, Srivastava, Ricerca, England Fraser, dan Shine Lal. Dari tujuh metode yang diuji tersebut, yang memiliki ketepatan diagnosis yang tinggi dalam membedakan Thalassemia dengan anemia defisiensi besi adalah indeks RDW (88.14%), dan diikuti oleh indeks Mentzer (86,85%).15 Indeks Mentzer dan RDW inilah yang banyak digunakan oleh para klinisi dalam skrinning awal membedakan Thalassemia dengan anemia defisiensi besi. Indeks Mentzer didapat dari hasil hitung darah lengkap (Complete Blood Count/ CBC). Jika Indeks Mentzer (MCV/ RBC) <13 maka diindikasikan sebagai Thalassemia minor, tetapi jika hasilnya ≥13 maka diindikasikan sebagai anemia defisiensi besi. Begitu juga dengan Indeks RDW (MCV/ RBC x RDW), bila hasilnya ≥ 220 merupakan indikasi untuk anemia defisiensi besi dan bila hasilnya < 220 merupakan indikasi untuk Thalassemia minor/ trait.14 Hasil yang berbeda didapatkan oleh Vehapoglu. Ia meneliti 290 anak dengan Thalassemia dan anemia. Peneliti mendapatkan Indeks Mentzer adalah uji screening yang paling tinggi dengan nilai sensitivitasnya (98.7%) dan spesifisitasnya (82.3%) jika dibandingkan uji saring lainnya. Dalam sebuah penelitian 2010, Ferrara et al. menunjukkan bahwa indeks RDW memiliki sensitivitas tertinggi (78,9%), bahwa indeks Inggris dan Fraser memiliki spesifisitas tertinggi dan indeks Youden tertinggi (99,1 dan 64,2%, resp.), dan bahwa Green dan Raja indeks memiliki efisiensi tertinggi (80,2% ) di 458 Rembulan Ayu NP| Indeks RDW DAN Mentzer sebagai uji skrining diagnosis Thalassemia anak-anak dengan anemia mikrositik ringan berusia 1,8-7,5 tahun.16 AlFadhli et al. membandingkan sembilan fungsi diskriminan pada pasien dengan anemia mikrositik dan validitas diukur dengan menggunakan indeks Youden. Indeks Youden ini dianggap memiliki validitas terhadapa sensitivitas dan spesifisitas dan memberikan ukuran yang tepat untuk menjawab pertanyaan atau membandingkan teknik tertentu. Mereka menunjukkan bahwa indeks Inggris dan Fraser memiliki nilai indeks tertinggi Youden (98,2%) untuk membedakan β-TT dan IDA, sedangkan indeks Shine dan Lal tidak efektif untuk membedakan anemia mikrositik.17 Pada tahun 2009, Ehsani et al. menunjukkan bahwa indeks skrining terbaik menurut kriteria Youden adalah indeks Mentzer (90,1%), diikuti oleh Indeks RDW (85,5%). Dalam studi mereka, indeks Mentzer mampu benar mendiagnosa 94,7% dan 92,9% dari kasus.18 Rahim dan Keikhaei meneliti akurasi diagnostik dari 10 indeks di 153 pasien dengan β-TT dan 170 pasien dengan IDA. Menurut indeks Youden ini, Shine dan indeks Lal dan RBC count menunjukkan nilai diagnostik terbesar pada pasien <10 tahun (89% dan 82%, responden). Mereka menemukan bahwa indeks Mentzer memiliki sensitivitas 85% dan spesifisitas 93%, dan 79%.19 Ringkasan Thalassemia merupakan penyakit keturunan yang disebabkan oleh adanya mutasi gen globin alpha (α) atau beta (β), yang kemudian menimbulkan kelainan sintesis hemoglobin (Hb). Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis Thalassemia meliputi pemeriksaan darah tepi lengkap (CBC), khususnya Hb, nilai eritrosit rerata seperti MCV, MCH, MCHC, dan RDW. Selain itu perlu dievaluasi sediaan apus darah tepi, badan inklusi HbH dan analisis hemoglobin yang meliputi pemeriksaan elektroforesis Hb, kadar HbA2 dan HbF. Selain itu diperlukan pemeriksaan cadangan besi tubuh berupa pemeriksaan feritin atau serum iron (SI) / total iron binding capacity (TIBC). Indeks Mentzer dan RDW inilah yang banyak digunakan oleh para klinisi dalam skrinning awal membedakan Thalassemia dengan anemia defisiensi besi. Simpulan Indeks Mentzer dan RDW adalah uji skrining terbaik yang dapat digunakan menegakkan diagnosis Thalassemia. Ketepatan diagnosis yang tinggi dalam membedakan Thalassemia dengan anemia defisiensi besi adalah indeks RDW (88.14%), dan diikuti oleh indeks Mentzer (86,85%). Daftar pustaka 1. Model B, Darllison M. Global Epidemiology of Haemoglobin Disorders and Derived Service Indicators. Buletin World Health Organization; 2013. 2. Zuriana N. Karakteristik Pasien Thalassemia Di RSUP H Adam Malik Medan Dari Tahun 2009 Sampai 2010 [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara, 2011; 1. 3. Vanichsetakul P. Thallasemia: Detection, Management, Prevention, & Curative Treatment. Thailand: Bangkok Medical Journal; 2013. Hlm. 113-18 4. Dirjen Bina Pelayanan Medik Kementrian Kesehatan RI. Pencegahan Thalassemia (Hasil Kajian HTA Tahun 2009) dipresentasikan pada konversi HTA 16 Juni. Jakarta: Dirjen Bina Pelayanan Medik Kementrian Kesehatan RI. 2010 5. Ganie RA. Thalassemia: Permasalahan dan Penanganannya. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2005. hlm. 2 – 3 6. Rathod D A, Kaur A, Patel V, Patel K, Kabrawala B, Patel M, dkk.“Usefulness of cell counter-based parameters and formulas in detection of β-thalassemia trait in areas of high prevalence,” American Journal of Clinical Pathology. 2007;128(4):585–9. 7. Urrechaga E, Borque L, Escanero J F. “The role of automated measurement of RBC subpopulations in differential diagnosis of microcytic anemia and β-thalassemia screening,” American Journal of Clinical Pathology. 2011;135(3):374–9. 8. Sirdah M, Tarazi I, Al Najjar E, Al Haddad R. “Evaluation of the diagnostic reliability of different RBC indices and formulas in the differentiation of the β-thalassaemia minor from iron deficiency in Palestinian population,” International Journal of Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015| 11 Rembulan Ayu NP|Indeks RDW dan Mentzer Sebagai Uji Skrining Diagnosis Thalassemia 9. 10. 11. 12. 13. 14. Laboratory Hematology. 2008;30(4):324– 30. Ehsani MA, Shahgholi E, Rahiminejad MS, Seighali F, Rashidi A. “A new index for discrimination between iron deficiency anemia and beta-thalassemia minor: results in 284 patients,” Pakistan Journal of Biological Sciences. 2009;12(5):473–5. Mosca A, Paleari R, Ivaldi G, Galanello R, Giordano PC.“The role of haemoglobin A(2) testing in the diagnosis of thalassaemias and related haemoglobinopathies,” Journal of Clinical Pathology. 2009;62(1):13–7. Ferrara M, Capozzi L, Russo R, Bertocco F, Ferrara D. “Reliability of red blood cell indices and formulas to discriminate between β thalassemia trait and iron deficiency in children,” Hematology. 2010;15(2):112–15. AlFadhli SM, Al-Awadhi AM, AlKhaldi D. “Validity assessment of nine discriminant functions used for the differentiation between Iron deficiency anemia and thalassemia minor,” Journal of Tropical Pediatrics. 2007;53(2):93–7. Fakher R , Bijan K. “Better differential diagnosis of iron deficiency anemia from beta-thalassemia trait,” Turkish Journal of Hematology. 2009;26(3):138–45. Ferdian BA., Rosdiana N., Lubis B. Impact of iron therapy on Mentzer index and red cell distribution width index in primary school children with iron deficiency anemia. Medan: Pediatric Indonesia, Juli 2009; 49(4):195 – 196 Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015| 12 15. Mussarrat N, Mohammad T, Fazal e R, Abdul H. Usefulness Of Red Cell Indices In Differentiating Microcytic Hypochromic Anemias. Pakistan: Gomal Journal of Medical Sciences, Juli – Desember 2010; 8(2):125-9. 16. Ferrara M, Capozzi L, Russo R, Bertocco F, Ferrara D. “Reliability of red blood cell indices and formulas to discriminate between β thalassemia trait and iron deficiency in children,” Hematology. 2010.15(2):112–5. 17. AlFadhli SM, Al-Awadhi AM, AlKhaldi D. Validity assessment of nine discriminant functions used for the differentiation between Iron deficiency anemia and thalassemia minor. Journal of Tropical Pediatrics. 2007;53(2):93–7. 18. Ehsani MA, Shahgholi E, Rahiminejad MS, Seighali F, Rashidi A. “A new index for discrimination between iron deficiency anemia and beta-thalassemia minor: results in 284 patients,” Pakistan Journal of Biological Sciences. 2009;12(5):473–5. 19. Fakher R , Bijan K. Better differential diagnosis of iron deficiency anemia from beta-thalassemia trait. Turkish Journal of Hematology. 2009;26(3):138–45. Nisrina Pradya │ Hubungan Usia dan Penggunaan Pil Kontrasepsi Jangka Panjang terhadap Hasil Pemeriksaan IVA Positif sebagai Deteksi Dini Kejadian Kanker Leher Rahim Hubungan Usia dan Penggunaan Pil Kontrasepsi Jangka Panjang terhadap Hasil Pemeriksaan IVA Positif sebagai Deteksi Dini Kejadian Kanker Leher Rahim Nisrina Pradya Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung Abstrak Latar Belakang : Kanker leher rahim adalah kanker yang terdapat pada serviks atau leher rahim, yaitu area bagian bawah rahim yang menghubungkan rahim dengan vagina. Kanker leher rahim terjadi jika sel-sel serviks menjadi abnormal dan membelah secara tidak terkendali. Di dunia diperkirakan terjadi sekitar 500.000 kanker serviks baru dan 250.000 kematian setiap tahunnya yang ± 80% terjadi di negara-negara sedang berkembang. Di Indonesia, diperkirakan 15.000 kasus baru kanker serviks terjadi setiap tahunnya, sedangkan angka kematiannya diperkirakan 7.500 kasus per tahun serta menurut data dari Bagian Gynekologi RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung tercatat bahwa angka morbiditas pasien rawat inap yang terdiagnosa kanker serviks dari bulan Januari-Desember 2010 adalah sebanyak 97 kasus dengan golongan usia yang terbanyak adalah berusia 25-44 tahun. Pembahasan : Usia dan penggunaan pil kontrasepsi jangka panjang merupakan dua diantara faktor-faktor resiko yang memperberat kejadian kanker leher rahim. Hasil penelitian mengungkapkan responden yang mengalami lesi prakanker serviks pada perempuan yang berusia ≥ 35 tahun beresiko 5,86 kali untuk mengalami kejadian lesi prakanker serviks dibanding mereka yang berusia < 35 tahun sedangkan faktor resiko kanker leher rahim menunjukkan bahwa responden yang berhubungan seksual pertama kali pada usia ≤ 20 tahun beresiko 0,009 kali untuk mengalami kejadian lesi prakanker serviks dibanding kelompok responden yang berhubungan seksual pertama kali pada usia > 20 tahun. Dan pada faktor penggunaan pil kontrasepsi, pemakaian ≥ 4 tahun beresiko 42 kali untuk mengalami kejadian lesi prakanker serviks dibanding kelompok responden yang menggunakan pil kontrasepsi < 4 tahun. Kesimpulan : Usia dan pemakaian pil kontrasepsi jangka panjang berpengaruh signifikan terhadap angka kejadian kanker leher rahim. Kata kunci : Kanker Leher Rahim, IVA, Usia, Pil Kontrasepsi Corelation of Age and Long-Term Use of Contraceptive Pills Against Positive IVA Examination Results For Early Detection of Cervical Cancer Incidence Nisrina Pradya Medical Faculty, Lampung University Abstract Background: Cervical cancer is a cancer that is present in the cervix or uterus, the area lower part of the uterus that connects the uterus to the vagina. Cervical cancer occurs when cells of the cervix become abnormal and divide uncontrollably. The world is expected to occur approximately 500,000 new cervical cancer and 250,000 deaths annually are ± 80% occur in developing countries. In Indonesia, an estimated 15,000 new cases of cervical cancer occur each year, while an estimated mortality rate of 7,500 cases per year, and according to data from Gynaecology of Dr. H. Abdul Moeloek Hospital Lampung Province noted that morbidity inpatients diagnosed with cervical cancer than in January-December 2010 was as many as 97 cases with the highest age group is 25-44 years old. Discussion: The age and long-term use of the contraceptive pill are two of the risk factors that heighten the incidence of cervical cancer. Results of the study revealed that respondents experiencing cervical precancerous lesions in women aged ≥ 35 years 5.86 times the risk for experiencing incidence of cervical precancerous lesions than those aged <35 years whereas the cervical cancer risk factors showed that respondents who have sex the first time at the age of ≤ 20 years 0,009 times at risk for experiencing incidence of cervical precancerous lesions compared to the group of respondents whose first sexual intercourse at age> 20 years. From the factors contraceptive pill use, the use of ≥ 4-year risk 42 times to experience the occurrence of cervical precancerous lesions compared to the group of respondents who use the contraceptive pill <4 years. Conclusions: Age and long-term use of the contraceptive pill have a significant effect on the incidence of cervical cancer. Keywords: Cervical Cancer, IVA, Age, Contraceptive Pills Korespondensi : Nisrina Pradya, HP 081369699991, e-mail [email protected] Pendahuluan Kanker leher rahim adalah kanker yang terdapat pada serviks atau leher rahim, yaitu area bagian bawah rahim yang menghubungkan rahim dengan vagina. Kanker leher rahim terjadi jika sel-sel serviks menjadi abnormal dan membelah secara tidak terkendali.1 Di dunia, setiap dua menit seorang Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 │ 13 Nisrina Pradya │ Hubungan Usia dan Penggunaan Pil Kontrasepsi Jangka Panjang terhadap Hasil Pemeriksaan IVA Positif sebagai Deteksi Dini Kejadian Kanker Leher Rahim perempuan meninggal akibat kanker leher rahim, diperkirakan terjadi sekitar 500.000 kanker serviks baru dan 250.000 kematian setiap tahunnya yang ± 80% terjadi di negaranegara sedang berkembang. Di Indonesia, diperkirakan 15.000 kasus baru kanker serviks terjadi setiap tahunnya, sedangkan angka kematiannya diperkirakan 7.500 kasus per tahun.2 Menurut data dari Bagian Gynekologi RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung tercatat bahwa angka morbiditas pasien rawat inap yang terdiagnosa kanker serviks dari bulan Januari-Desember 2010 adalah sebanyak 97 kasus dengan golongan usia yang terbanyak adalah berusia 25-44 tahun. Data tersebut juga menunjukkan bahwa selama tahun 2010 kejadian kanker serviks selalu menempati urutan pertama dibandingkan dengan kejadian kanker endometrium, kanker ovarium, dan kanker vulva di Bagian Gynekologi RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung. Padahal menurut WHO (2006) kanker serviks dapat dicegah dan disembuhkan 100% bila ditemukan sejak dini dan ditangani segera. Akan tetapi, masih banyak wanita di negara berkembang termasuk Indonesia yang belum melakukan skrining. Pemerintah menargetkan sekitar 80% perempuan usia 30-50 tahun melakukan deteksi dini setiap lima tahun sekali.3 Penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa melakukan skrinning dan deteksi dini pada wanita mulai usia 30 tahun per lima tahunnya dapat menurunkan angka kejadian kanker leher rahim.4 Wilgin mengungkapkan terdapat beberapa metode skrinning dan deteksi dini terhadap kanker leher rahim, yaitu tes pap smear, IVA, pembesaran IVA dengan gineskopi, kolposkopi, servikografi, thin Prep dan tes HPV.2 Isi Kanker leher rahim adalah penyakit akibat tumor ganas pada daerah Servik (leher rahim) sebagai akibat adanya pertumbuhan jaringan yang tidak terkontrol dan merusak jaringan normal disekitarnya.2 Kanker menjadi penyebab kematian nomor 2 di dunia sebesar 13% setelah penyakit kardiovaskular. Diperkirakan pada 2030 insidens kanker dapat mencapai 26 juta orang dan 17 juta di antaranya meninggal akibat kanker, terutama Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 │ 14 pada negara miskin dan berkembang.5 Pada tahun 2003, WHO menyatakan bahwa kanker merupakan problem kesehatan yang sangat serius karena jumlah penderitanya meningkat sekitar 20% per tahun dan merupakan urutan pertama terbanyak yang menyerang kaum wanita di Indonesia.6 Jumlah kematian akibat kanker serviks juga meningkat dari 7,6 juta orang tahun 2008 menjadi 8,2 juta pada tahun 2012.5 Di Indonesia, insidens kanker serviks diperkirakan ± 40.000 kasus pertahun dan masih merupakan kanker wanita yang tersering. Hal itu terjadi karena pasien datang dalam stadium lanjut.7 Penelitian lain menunjukkan bahwa diperkirakan 15.000 kasus baru kanker serviks terjadi setiap tahunnya, sedangkan angka kematiannya diperkirakan 7.500 kasus per tahun. Setiap harinya diperkirakan terjadi 41 kasus baru kanker serviks dan 20 perempuan meninggal dunia karena penyakit tersebut. Pada tahun 2009, kasus baru kanker serviks berjumlah 2.429 atau sekitar 25,91% dari seluruh kanker yang ditemukan di Indonesia. Dengan angka kejadian ini, kanker serviks menduduki urutan kedua setelah kanker payudara pada wanita usia subur 15 – 44 tahun.8 Saat ini di Indonesia ada sekitar 100 kasus per 100 ribu penduduk atau 200 ribu kasus setiap tahunnya. Kanker serviks yang sudah masuk ke stadium lanjut sering menyebabkan kematian dalam jangka waktu relatif cepat. Selain itu, lebih dari 70% kasus yang datang ke rumah sakit ditemukan dalam keadaan stadium lanjut. Selama kurun waktu 5 tahun, usia penderita antara 30 – 60 tahun, terbanyak antara 45- 50 tahun. Periode laten dari fase prainvasif untuk menjadi invasif memakan waktu sekitar 10 tahun. Hanya 9% dari wanita berusia <35 tahun menunjukkan kanker serviks yang invasif pada saat didiagnosis, sedangkan 53% dari KIS (kanker insitu) terdapat pada wanita di bawah usia 35 tahun.5 Penyebab kanker leher rahim adalah Human Papilloma Virus (HPV) atau virus papiloma manusia. Virus ini ditemukan pada 95 % kasus kanker leher rahim.9 HPV dapat dengan mudah ditularkan melalui aktifitas seksual dan beberapa sumber transmisi tidak tergantung dari adanya penetrasi, tetapi juga melalui sentuhan kulit di wilayah genital tersebut (skin to skin genital contact). Dengan Nisrina Pradya │ Hubungan Usia dan Penggunaan Pil Kontrasepsi Jangka Panjang terhadap Hasil Pemeriksaan IVA Positif sebagai Deteksi Dini Kejadian Kanker Leher Rahim demikian setiap wanita yang aktif secara seksual memiliki resiko untuk terkena kanker leher rahim .1 HPV merupakan faktor inisiator kanker serviks. Onkoprotein E6 dan E7 yang berasal dari HPV merupakan penyebab terjadinya degenerasi keganasan. Onkoprotein E6 akan mengikat p53 sehingga TSG (Tumor Supressor Gene) p53 akan kehilangan fungsinya. Sedangkan onkoprotein E7 akan mengikat TSG Rb, ikatan ini menyebabkan terlepasnya E2F yang merupakan faktor transkripsi sehingga siklus sel berjalan tanpa kontrol.1 Karsinoma serviks biasa timbul di daerah yang disebut squamo-columnar junction (SCJ), yaitu batas antara epitel yang melapisi ektoserviks (porsio) dan endoserviks kanalis serviks, dimana secara histologik terjadi perubahan dari epitel ektoserviks yaitu epitel skuamosa berlapis dengan epitel endoserviks yaitu epitel kuboid/kolumnar pendek selapis bersilia. Letak SCJ dipengaruhi oleh faktor usia, aktivitas seksual dan paritas. Pada wanita muda SCJ berada di luar ostium uteri eksternum, sedangkan pada wanita berusia di atas 35 tahun SCJ berada di dalam kanalis serviks. Oleh karena itu pada wanita muda, SCJ yang berada di luar ostium uteri eksternum ini rentan terhadap faktor luar berupa mutagen yang akan memicu displasia dari SCJ tersebut. Pada wanita dengan aktivitas seksual tinggi, SCJ terletak di ostium eksternum karena trauma atau retraksi otot oleh prostaglandin.10 Pada masa kehidupan wanita terjadi perubahan fisiologis pada epitel serviks. Epitel kolumnar akan digantikan oleh epitel skuamosa yang diduga berasal dari cadangan epitel kolumnar. Proses pergantian epitel kolumnar menjadi epitel skuamosa disebut proses metaplasia dan terjadi akibat pengaruh pH vagina yang rendah. Aktivitas metaplasia yang tinggi sering dijumpai pada masa pubertas. Akibat proses metaplasia ini maka secara morfogenetik terdapat 2 SCJ, yaitu SCJ asli dan SCJ baru yang menjadi tempat pertemuan antara epitel skuamosa baru dengan epitel kolumnar. Daerah di antara kedua SCJ ini disebut daerah transformasi.10 Penelitian akhir-akhir ini lebih memfokuskan virus sebagai salah satu faktor penyebab yang penting, terutama virus DNA. Pada proses karsinogenesis asam nukleat virus tersebut dapat bersatu ke dalam gen dan DNA sel tuan rumah sehingga menyebabkan terjadinya mutasi sel. Sel yang mengalami mutasi tersebut dapat berkembang menjadi sel displastik sehingga terjadi kelainan epitel yang disebut displasia. Dimulai dari displasia ringan, displasia sedang, displasia berat dan karsinoma in-situ dan kemudian berkembang menjadi karsinoma invasif.10 Pada studi epidemiologi sebelumnya terdapat sejumlah faktor yang mempunyai peran nyata terhadap perkembangan kanker derajat rendah yaitu paritas, usia, usia pertama kali berhubungan seksual, jumlah pasangan, riwayat infeksi menular seksual, merokok, riwayat hasil tes pap sebelumnya yang abnormal, ibu atau saudara perempuan yang menderita Ca Serviks, riwayat penggunaan pil KB, riwayat imunnosupresi.11 Wanita yang berusia 35 – 50 tahun dan masih aktif berhubungan seksual rawan terserang kanker serviks. Pada panelitian secara retrospektif yang dilakukan oleh Schellekens dan Ranti di Rumah Sakit dr. Hasan Sadikin Bandung untuk periode januari tahun 2000 sampai juli 2001 dengan interval usia mulai 21 sampai 85 tahun (N=307), didapatkan usia rata-rata dari pasien karsinoma serviks yaitu 32 tahun. Ditempat yang sama S. Van Loon melakukan penelitian terhadapat 58 pasien dengan kanker serviks pada tahun 1996, dan mendapatkan pasien mayoritas yaitu 20,3% berusia 40- 44 tahun dan usia rata-rata 46 tahun. 12 Sedangkan hasil penelitian lain oleh Wahyuningsih (2014) menunjukkan responden yang mengalami lesi prakanker serviks pada perempuan yang berusia ≥ 35 tahun beresiko 5,86 kali untuk mengalami kejadian lesi prakanker serviks dibanding mereka yang berusia < 35 tahun. Uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara usia responden dengan kejadian lesi prakanker serviks (p< 0,05). Menurut Benson KL, 2% dari wanita yang berusai 40 tahun akan menderita kanker serviks dalam hidupnya. Hal ini dimungkinkan karena perjalanan penyakit ini memerlukan waktu 7 sampai 10 tahun untuk terjadinya kanker invasif sehingga sebagian besar terjadinya atau diketahuinya setelah berusia lanjut.12 Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 │ 15 Nisrina Pradya │ Hubungan Usia dan Penggunaan Pil Kontrasepsi Jangka Panjang terhadap Hasil Pemeriksaan IVA Positif sebagai Deteksi Dini Kejadian Kanker Leher Rahim Usia pertama kali melakukan hubungan seksual juga merupakan faktor resiko terjadinya kanker serviks, sekitar 20% kanker serviks dijumpai pada wanita yang aktif berhubungan seksual sebelum usia 16 tahun. 12 Berdasarkan hasil penelitian lain mengenai faktor resiko kanker leher rahim menunjukkan bahwa responden yang berhubungan seksual pertama kali pada usia ≤ 20 tahun beresiko 0,009 kali untuk mengalami kejadian lesi prakanker serviks dibanding kelompok responden yang berhubungan seksual pertama kali pada usia > 20 tahun. Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara usia pertama kali berhubungan seksual dengan kejadian lesi prakanker serviks (p < 0,05) .11 Usia kawin muda menurut Rotkin, Chistoperson dan Parker serta Barron dan Richart jelas berpengaruh. Rotkin menghubungkan terjadinya karsinoma serviks dengan usia saat seorang wanita mulai aktif berhubungan seksual, dikatakan pula olehnya karsinoma serviks cenderung timbul bila saat mulai aktif berhubungan seksual pada saat usia kurang dari 17 tahun. Epitel serviks terdiri dari 2 jenis, yaitu epitel skuamosa dan epitel kolumnar; kedua epitel tersebut dibatasi oleh sambungan skuamosa-kolumnar (SSK) yang letaknya tergantung pada usia, aktivitas seksual dan paritas. Pada wanita dengan aktivitas seksual tinggi, SSK terletak di ostium eksternum karena trauma atau retraksi otot oleh prostaglandin. Pada masa kehidupan wanita terjadi perubahan fisiologis pada epitel serviks; epitel kolumnar akan digantikan oleh epitel skuamosa yang diduga berasal dari cadangan epitel kolumnar. Proses pergantian epitel kolumnar menjadi epitel skuamosa disebut proses metaplasia dan terjadi akibat pengaruh pH vagina yang rendah. Aktivitas metaplasia yang tinggi sering dijumpai pada masa pubertas. Akibat proses metaplasia ini maka secara morfogenetik terdapat 2 SSK, yaitu SSK asli dan SSK baru yang menjadi tempat pertemuan antara epitel skuamosa baru dengan epitel kolumnar. Daerah di antara kedua SSK ini disebut daerah transformasi. 13 Umumnya sel-sel mukosa baru matang setelah wanita berusia 20 tahun ke atas. Jadi, seorang wanita yang menjalin hubungan seks pada usia remaja, paling rawan bila dilakukan di bawah usia 16 tahun. Hal ini berkaitan Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 │ 16 dengan kematangan sel-sel mukosa pada serviks. Pada usia muda, sel-sel mukosa pada serviks belum matang. Artinya, masih rentan terhadap rangsangan. Sehingga tidak siap menerima rangsangan dari luar. Termasuk zatzat kimia yang dibawa sperma. Karena masih rentan, sel-sel mukosa bisa berubah sifat menjadi kanker. Sifat sel kanker selalu berubah setiap saat yaitu mati dan tumbuh lagi. Dengan adanya rangsangan, sel bisa tumbuh lebih banyak dari sel yang mati, sehingga perubahannya tidak seimbang lagi. Kelebihan sel ini akhirnya bisa berubah sifat menjadi sel kanker. Lain halnya bila hubungan seks dilakukan pada usia di atas 20 tahun, dimana sel-sel mukosa tidak lagi terlalu rentan terhadap perubahan. Lebih dijelaskan bahwa usia antara 15-20 tahun merupakan periode yang rentan. Pada periode laten antara coitus pertama dan terjadinya kanker serviks kurang lebih dari 30 tahun. 12 Periode rentan ini berhubungan dengan kiatnya proses metaplasia pada usia pubertas, sehingga bila ada yang mengganggu proses metaplasia tersebut misalnya infeksi akan memudahkan beralihnya proses menjadi displasia yang lebih berpotensi untuk terjadinya keganasan. 14 Penggunaan pil kontrasepsi dalam jangka waktu yang lama juga meningkatkan resiko terjadinya kanker serviks.8 Pada faktor penggunaan alat kontrasepsi pil diketahui bahwa 95,5% responden yang menggunakan pil kontrasepsi ≥ 4 tahun, dinyatakan positif lesi prakanker serviks. Penggunaan pil kontrasepsi ≥ 4 tahun beresiko 42 kali untuk mengalami kejadian lesi prakanker serviks dibanding kelompok responden yang menggunakan pil kontrasepsi < 4 tahun. Uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara lama penggunaan pil kontrasepsi dengan kejadian lesi prakanker serviks (p ≤ 0,05). 11 Penelitian menunjukkan bahwa resiko kanker serviks semakin meningkat selama seorang wanita menggunakan kontrasepsi oral, tetapi resikonya kembali turun lagi setelah kontrasepsi oral dihentikan. Dalam penelitian terbaru, resiko kanker serviks adalah dua kali lipat pada wanita yang mengambil pil KB lebih dari 5 tahun, namun resiko kembali normal 10 tahun setelah mereka dihentikan. 13 Nisrina Pradya │ Hubungan Usia dan Penggunaan Pil Kontrasepsi Jangka Panjang terhadap Hasil Pemeriksaan IVA Positif sebagai Deteksi Dini Kejadian Kanker Leher Rahim Estrogen merangsang pertumbuhan dan perkembangan rahim pada masa pubertas, menyebabkan endometrium (lapisan dalam rahim) menebal pada paruh waktu pertama siklus menstruasi serta mempengaruhi jaringan payudara sepanjang hidup hal ini terjadi dari masa pubertas sampai menopause. Progesteron yang diproduksi pada paruh terakhir dari siklus menstruasi mempersiapkan endometrium untuk menerima telur. Jika telur telah dibuahi maka sekresi progesteron akan mencegah pelepasan telur dari ovarium. Untuk alasan ini, progesteron disebut "mendukung kehamilan" hormon, dan para ilmuwan percaya bahwa progesteron memiliki efek kontrasepsi berharga. Progesteron buatan manusia yang digunakan dalam kontrasepsi oral disebut progestogen atau progestin. Karena penelitian medis menunjukkan bahwa beberapa jenis kanker bergantung pada hormon seks alami bagi perkembangan mereka dan pertumbuhan, para ilmuwan telah menyelidiki kemungkinan adanya hubungan antara penggunaan kontrasepsi oral dan resiko kanker. Para peneliti telah berfokus banyak perhatian pada pengguna kontrasepsi oral selama 40 tahun terakhir. Pengawasan ini telah menghasilkan kekayaan data tentang penggunaan kontrasepsi oral dan perkembangan kanker tertentu, meskipun hasil studi ini tidak selalu konsisten. Resiko kanker endometrium dan ovarium. berkurang dengan penggunaan kontrasepsi oral, sementara resiko kanker payudara dan leher rahim meningkat.13 Dari penelitian menunjukkan bahwa penggunaan jangka panjang dari kontrasepsi oral 5 tahun atau lebih dikaitkan dengan peningkatan resiko kanker serviks. Sebuah analisis tahun 2003 oleh Badan Internasional untuk Riset Kanker (IARC) menemukan peningkatan resiko kanker serviks dengan penggunaan kontrasepsi oral lama. Para peneliti menganalisis data dari 28 studi yang mencakup 12.531 wanita dengan kanker serviks. Data menunjukkan bahwa resiko kanker serviks dapat menurunkan setelah digunakan OC berhenti. 13 Dalam laporan lain IARC, data dari delapan studi digabungkan untuk menilai efek penggunaan OC pada resiko kanker serviks pada perempuan HPV-positif. Para peneliti menemukan peningkatan empat kali lipat resiko di antara wanita yang telah menggunakan kontrasepsi oral selama lebih dari 5 tahun. Resiko juga meningkat pada wanita yang mulai menggunakan kontrasepsi oral sebelum usia 20 dan wanita yang telah menggunakan kontrasepsi oral dalam 5 tahun terakhir 13. Salah satu metode yang dapat dilakukan untuk mendeteksi lesi pada kanker leher rahim adalah Inspeksi Visual Asam Asetat. Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) adalah pemeriksaan leher rahim secara visual menggunakan asam cuka dengan mata telanjang untuk mendeteksi abnormalitas setelah pengolesan asam cuka 3-5% (15). Menurut Rasjidi, tujuan pemeriksaan IVA adalah untuk melihat adanya sel yang mengalami displasia sebagai salah satu metode skrining kanker mulut rahim. IVA tidak direkomendasikan pada wanita pasca menopause, karena daerah zona transisional seringkali terletak di kanalis servikalis dan tidak tampak dengan pemeriksaan inspekulo 2. Saat melakukan pemeriksaan IVA, pertama petugas melakukan menggunakan speculum untuk memeriksa leher rahim. Lalu serviks dibersihkan untuk menghilangkan cairan keputihan (discarge), kemudian asam asetat dioleskan secara merata pada leher rahim. Setelah minimal 1 menit, leher rahim dan seluruh SCJ, diperiksa untuk melihat apakah terjadi perubahan acetowhite. Hasil tes (positif atau negatif) harus dibahas bersama ibu, dan pengobatan diberikan setelah konseling, jika diperlukan dan tersedia. 16 Penentuan terapi dapat dilakukan setelah diagnosis kanker ditegakkan. Secara umum, jenis terapi yang dapat diberikan tergantung pada usia, keadaan umum penderita, luasnya penyebaran, dan komplikasi yang menyertai. Pada stadium awal, terapi yang diberikan adalah pembedahan atau radiasi. Sementara pada stadium lanjut (2B, 3, dan 4) dipilih radiasi intrakaviter (brakhiradiasi) dan eksternal. Penggunaan kemoterapi dapat diberikan pada pasien dengan stadium lanjut atau kasus berulang yang tidak mungkin dilakukan pembedahan atau radiasi. 17 Ringkasan 1. Kanker leher rahim adalah kanker yang terdapat pada serviks atau leher rahim, yaitu area bagian bawah rahim yang menghubungkan rahim dengan vagina dan Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 │ 17 Nisrina Pradya │ Hubungan Usia dan Penggunaan Pil Kontrasepsi Jangka Panjang terhadap Hasil Pemeriksaan IVA Positif sebagai Deteksi Dini Kejadian Kanker Leher Rahim 2. 3. 4. 5. terjadi jika sel-sel serviks menjadi abnormal dan membelah secara tidak terkendali. Usia 35-50 tahun beresiko terkena kanker leher rahim karena perjalanan penyakit ini memerlukan waktu 7 sampai 10 tahun untuk terjadinya kanker invasif sehingga sebagian besar terjadinya atau diketahuinya setelah berusia lanjut Usia <20 tahun saat pertama kali melakukan hubungan seksual berhubungan dengan kiatnya proses metaplasia pada usia pubertas, sehingga bila ada yang mengganggu proses metaplasia tersebut misalnya infeksi akan memudahkan beralihnya proses menjadi displasia yang lebih berpotensi untuk terjadinya keganasan resiko kanker serviks semakin meningkat selama seorang wanita menggunakan kontrasepsi oral, tetapi resikonya kembali turun lagi setelah kontrasepsi oral dihentikan. Diagnosis menggunakan IVA adalah pemeriksaan leher rahim secara visual menggunakan asam cuka dengan mata telanjang untuk mendeteksi abnormalitas setelah pengolesan asam cuka 3-5% Penentuan terapi dapat dilakukan setelah diagnosis kanker ditegakkan. Secara umum, jenis terapi yang dapat diberikan tergantung pada usia, keadaan umum penderita, luasnya penyebaran, dan komplikasi yang menyertai Kesimpulan Faktor usia 30-50 tahun berpengaruh signifikan terhadap terjadinya kanker leher rahim. Penggunaan pil kontrasepsi dalam jangka waktu ≥4tahun berpengaruh signifikan terhadap terjadinya kanker leher rahim Daftar Pustaka 1. Emilia, Ova et all. Bebas Ancaman Kanker Serviks. Yogyakarta: Media Pressindo; 2010. 2. Yuliwati. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Perilaku WUS Dalam Deteksi Dini Kanker Leher Rahim Metode IVA Di Wilayah Puskesmas Prembun Kabupaten Kebumen Tahun 2012. Universitas Indonesia; 2012. 3. Ambarita RH. Hubungan Pengetahuan Sikap dan Sarana Pemeriksaan PAP Smear Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 │ 18 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. dengan Perilaku Pemeriksaan PAP Smear pada Wanita Yang Sudah Menikah di Poliklinik rawat Jalan Obstetri dan Gynekologi RSUD DR H Abdul Moeloek Provinsi Lampung. Universitas Lampung; 2011. Peirson L, Fitzpatrick-Lewis D, Ciliska D, Warren R. Screening for cervical cancer: a systematic review and meta-analysis. Syst Rev [Internet]. Systematic Reviews; 2013;2(1):35. Tersedia dari: http://www.systematicreviewsjournal.co m/content/2/1/35 Depkes RI. Pedoman Teknis Pengendalian Kanker Payudara dan Kanker Leher Rahim. 2010; Azamris. Analisis Faktor Risiko pada Pasien Kanker Payudara di RS. Dr. M. Djamil Padang. Cermin Dunia Kedokt. 2006;152:53–6. Suwiyoga. Tes Human Papillomavirus sebagai Skrinning Alternative Kanker Serviks. CDK. 2006; Wijaya D. Pembunuh Ganas itu bernama Kanker Serviks. Yogyakarta: Sinar Kejora; 2010. Depkes RI. Pedoman Surveilans Epidemiologi Penyakit Kanker. 2007; Wiknjosastro H. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2007. Wahyuningsih T, Mulyani EY. Faktor Risiko Terjadinya Lesi Prakanker Serviks melalui Deteksi Dini dengan Metode IVA. Forum Ilm. 2014;11:192–209. Rasjidi I. Manual Prakanker Serviks. 1st ed. Jakarta: Sagung Seto; 2008. Saputra A. Analisis Resiko dari FaktorFaktor Predisposisi Penderita Kanker Leher Rahim. Universitas Sumatera Utara; 2012. p. 4–16. Cullati S. Cancer Screening In a MiddleAged General Population : Factors Associated with Practices and Attitudes. BMC Public Health. 2009; Depkes RI. Pencegahan Kanker Leher Rahim dan Kanker Payudara. 2009; Depkes RI. Pencegahan Kanker Leher Rahim dan Kanker Payudara. 2007; Chamim. Buku Acuan Nasional Onkologi Ginekologi. M Farid Aziz, Adrijojo ABS, editor. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2006. Muhammad Farras Hadyan I Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Low Back Pain pada Pengemudi Transportasi Publik Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Low Back Pain pada Pengemudi Transportasi Publik Muhammad Farras Hadyan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung Abstrak Transportasi publik atau angkutan umum merupakan alat transportasi yang masih menjadi kebutuhan masyarakat. Hal ini dikarenakan harganya yang murah, efisien, dan mudah ditemukan. Pengemudi transportasi publik rata-rata memiliki lama kerja sekitar 12 jam setiap harinya dengan load factor penumpang yang tinggi sehingga menyebabkan peningkatan beban kerja pengemudi tersebut. Kondisi ini ditambah dengan posisi duduk yang statis dalam waktu lama yang dapat menimbulkan efek kausa negatif dalam hal kesehatan terutama pada keluhan muskuloskeletal seperti nyeri otot, nyeri tulang belakang dan kram. Salah satu keluhan muskuloskeletal yang sering dialami oleh pengemudi adalah low back pain (LBP) yang merupakan nyeri pada punggung bagian bawah yang dapat diakibatkan oleh berbagai sebab antara lain karena beban berat yang menyebabkan otot – otot yang berperan dalam mempertahankan keseimbangan seluruh tubuh mengalami luka atau iritasi pada diskus intervertebralis. Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi keluhan LBP yaitu faktor individu seperti usia, jenis kelamin, masa kerja, kebiasaan merokok, dan peningkatan indeks massa tubuh (IMT), faktor lingkungan seperti getaran seluruh tubuh, faktor pekerjaan seperti posisi kerja, lama kerja, desain tempat kerja, dan repetisi, dan faktor gerakan tubuh. Oleh karena itu perlu dilakukan pencegahan terhadap faktor risiko tersebut dan pengobatan pada penderita yang mengalami keluhan LBP secara medikamentosa maupun non medikamentosa melalui dua tahapan pada setiap kunjungan. Kata Kunci : keluhan muskuloskeletal, low back pain, pengemudi, transportasi publik Factors That Influence Incidences of Low Back Pain in Public Transportation Drivers Abstract Public transportation is one of transportation that is preferred at most by the pedestrians. This is mainly related by its economic value, efficiency and easy to access. Public transportation drivers mostly have at least 12 hours of operational time daily, carrying high number of passengers which may raise its occupational load. This condition get more severed with static seat position in a long duration which make a negative cause in musculoskeletal problems like muscle ache, spinal pain and cramp. One of the musculoskeletal disorders that mostly happen to drivers is low back pain (LBP), a pain in the lower back which can be inflicted by various causes, such as heavy loads that causes the muscles that play a role in maintaining the balance of the whole body undergo injuries or irritation in diskus invertebralis. There are factors that affecting LBP, such as age, duration of time, smoking habits, and increases in body mass index, environtment factors such as whole body vibrations, and factors like working position, working time, workplace design, and repetition, and body movement. Therefore, prevention of those risks factors and medical treatments whether medicament or non medicament for patient with LBP through two steps in every visit. Keywords : drivers, low back pain, musculosceletal problem, public transportation Korespondensi : Muhammad Farras Hadyan, Jalan KH Mas Mansyur No. 25 A RSTA Blok 45/1/3 Kelurahan Kebon Kacang, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, HP : 081284657770, [email protected] Pendahuluan Transportasi merupakan komponen utama dalam sistem kehidupan masyarakat. Peningkatan kepadatan penduduk akan memiliki pengaruh signifikan terhadap kemampuan transportasi melayani kebutuhan masyarakat. Transportasi publik atau angkutan umum merupakan alat transportasi yang masih menjadi kebutuhan masyarakat. Hal ini dikarenakan harganya yang murah, efisien, dan mudah ditemukan.1 Beberapa contoh transportasi publik yang masih menjadi pilihan masyarakat dalam pemakaian jasa dan sarana transportasi darat antara lain angkutan kota atau angkot, bus, taksi, metro mini dan lain sebagainya.1 Pengemudi transportasi publik ratarata memiliki lama kerja sekitar 12 jam setiap harinya dengan load factor penumpang yang tinggi sehingga menyebabkan peningkatan beban kerja pengemudi tersebut. Kondisi ini ditambah dengan posisi duduk yang statis dalam waktu lama yang dapat menimbulkan efek kausa negatif dalam hal kesehatan Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 19 Muhammad Farras Hadyan I Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Low Back Pain pada Pengemudi Transportasi Publik terutama pada keluhan muskuloskeletal seperti nyeri otot, nyeri tulang belakang dan kram.2 Keluhan muskuloskeletal adalah keluhan pada bagian otot-otot skeletal yang dirasakan oleh seseorang sehingga dapat mengurangi efesiensi kerja dan kehilangan waktu kerja yang menyebabkan produktivitas menurun.3 Salah satu penyakit yang berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal adalah low back pain (LBP) atau yang biasa orang awam kenal dengan nyeri punggung bawah (NPB). Nyeri punggung bawah adalah gangguan muskuloskeletal pada daerah punggung bawah yang disebabkan oleh berbagai penyakit dan aktivitas tubuh yang kurang baik.4 Keluhan low back pain (LBP) pada pengemudi diakibatkan karena beberapa stressor seperti faktor demografi, faktor desain fisik kendaraan, faktor pekerjaan dan faktor lingkungan. Ruang kerja pengemudi biasanya hanya terbatas pada kabin kemudi yang tidak memungkinkan adanya pergerakan tubuh yang leluasa. Postur statis ini menyebabkan akumulasi ketegangan otot yang semakin memburuk. Keluhan ini dirasakan sebagai nyeri punggung yang dominan dirasakan oleh pengemudi disampin keluhan nyeri lainnya seperti yang terjadi di leher, bahu, dan lutut.5 Keluhan muskuloskeletal ini juga dapat dipengaruhi oleh kondisi lain yaitu status kesehatan individu, kualitas dan kuantitas dari beban fisik dan psikis dan getaran yang ditimbulkan oleh mesin kendaraan bermotor yang disebut dengan whole body vibration, dimana dalam kondisi duduk statis dengan paparan getaran seluruh tubuh tersebut dapat menimbulkan cedera pada spinal cord yang menimbulkan nyeri.5 Secara garis besar, faktorfaktor yang berhubungan dengan kejadian LBP dibagi menjadi faktor individu, faktor lingkungan, faktor risiko tempat kerja, dan faktor gerakan tubuh.5,6,7 Keseluruhan faktor ini harus dicegah untuk meningkatkan kualitas kerja dan kepuasan masyarakat terhadap kinerja dan pelayanan yang diberikan oleh pengemudi transportasi publik. Isi Tubuh terbentuk atas banyak jaringan dan organ yang masing-masing mempunyai fungsi yang khusus. Salah satu organ manusia yang sangat penting peranannya dalam tubuh yaitu tulang belakang. Tulang belakang atau vertebrae dirancang untuk mendukung dan Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 20 membentuk tubuh manusia, memungkinkan terjadinya gerakan berputar pada tulang rangka, melindungi corda spinalis di dalamnya, dan untuk membantu menyerap gaya berat terhadap tubuh.8 Namun, ada kalanya tulang belakang tidak mampu menopang tubuh yang terlalu lama dalam posisi yang statis atau dalam kondisi yang tidak ergonomis sehingga dapat mengalami kerusakan seperti cedera pada tulang dan saraf spinal di dalamnya. Kondisi ini yang kita kenal dengan musculoskeletal disorders (MSDs).8 Musculoskeletal disorders adalah cedera dan gangguan pada jaringan lunak seperti otot, tendon, ligamen, dan sendi serta sistem saraf yang terjadi akibat paparan faktor risiko yang dapat menyebabkan sejumlah kondisi termasuk nyeri, mati rasa, kesemutan, kaku sendi, sulit bergerak, kehilangan otot, dan kadang-kadang kelumpuhan.9 Low back pain (LBP) adalah nyeri pada punggung bagian bawah yang dapat diakibatkan oleh berbagai sebab antara lain karena beban berat yang menyebabkan otototot yang berperan dalam mempertahankan keseimbangan seluruh tubuh mengalami luka atau iritasi pada diskus intervertebralis dan penekanan diskus terhadap saraf yang keluar melalui antar vertebra.10 Low back pain juga dianggap sebagai suatu sindroma nyeri yang terjadi pada punggung bagian bawah dan merupakan work related musculoskeletal disorders. Pekerjaan yang berisiko mengalami LBP salah satunya adalah pengemudi transportasi publik atau angkutan umum. Angkutan adalah sarana untuk memindahkan orang atau barang dari suatu tempat ke tempat lain, sedangkan transportasi publik adalah angkutan penumpang yang dilakukan dengan sistem sewa atau bayar seperti angkot, kereta api, bus, angkutan air, dan lain sebagainya.11 Tujuan utama keberadaan transportasi publik ini adalah menyelenggarakan pelayanan angkutan yang baik dan layak bagi masyarakat. Pengemudi, diketahui memiliki risiko yang tinggi untuk mengalami LBP karena duduk yang terlalu lama dan vibrasi dari mesin kendaraan bermotor. Selain itu, kondisi kabin kemudi yang sempit tidak memungkinkan bagi pengemudi untuk menggerakkan anggota tubuhnya secara leluasa, sehingga dalam waktu yang lama dengan kondisi duduk statis Muhammad Farras Hadyan I Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Low Back Pain pada Pengemudi Transportasi Publik dan mobilitas yang terbatas, akan mengakibatkan cedera dan kekakuan pada sendi dan tulang belakang.5 Studi prevalensi mengenai LBP pada supir bus, supir truk, dan pekerja yang duduk menetap terindikasi sekitar 81% di Amerika dan 49% di Swedia mengalami LBP selama waktu kerjanya.12 Low back pain adalah permasalahan kesehatan yang umum dimana 50%-70% orang memiliki kemungkinan mengalami nyeri punggung bawah selama hidupnya.13 Pada dasarnya, nyeri adalah kondisi akibat terjadinya tekanan pada susunan saraf tepi daerah pinggang yang terjepit. Jepitan pada saraf ini dapat terjadi karena gangguan pada otot dan jaringan sekitarnya, gangguan pada syaraf sendiri, kelainan tulang belakang maupun kelainan di tempat lain, misalnya infeksi atau batu ginjal.14 Secara garis besar, etiologi LBP dapat dihubungkan dengan beberapa kondisi seperti proses degeneratif pada vertebra lumbusakralis dan annulus fibrosus diskus intervertebralis yang bila tersobek dapat disusul dengan protusio diskus intervertebralis yang akhirnya menyebabkan hernia nukleus pulposus (HNP). Selain itu ada beberapa penyakit seperti arthritis rheumatoid dan spondilitis angkilopoetika dengan keluhan sakit punggung dan sakit pinggang yang sifatnya kaku, osteoporosis, kelainan kongenital seperti adanya lumbalisasi atau adanya enam bukan lima korpus vertebra lumbalis yang merupakan variasi anatomis, tumor, toksik akibat keracunan logam berat, infeksi, dan masalah psikoneurotik seperti histeria, depresi atau malingering. 15 Low back pain (LBP) terjadi karena gangguan biomekanik vertebra lumbal akibat perubahan titik berat badan dengan kompensasi perubahan posisi tubuh dan akan menimbulkan nyeri. Ketegangan (strain) otot dan keregangan (sprain) ligamentum tulang belakang merupakan salah satu penyebab utama LBP. Bila seseorang duduk dengan tungkai atas berada pada posisi 90°, maka daerah lumbal akan menjadi mendatar keluar yang dapat menimbulkan keadaan kifosis. Keadaan ini terjadi karena sendi panggul yang hanya berotasi sebesar 600, mendesak pelvis untuk berotasi ke belakang sebesar 300 untuk menyesuaikan tungkai atas yang berada pada posisi 900.15 Berdasarkan studi yang dilakukan secara klinik, biomekanika, fisiologi, dan epidemiologi, didapatkan kesimpulan bahwa terdapat tiga faktor besar yang menyebabkan terjadinya LBP akibat pekerjaan yaitu faktor pekerjaan (work factors) dalam hal ini termasuk faktor risiko tempat kerja seperti sikap tubuh, posisi tubuh, desain tempat kerja, repetisi, lama kerja, pekerjaan statis, dan pekerjaan yang memaksakan tenaga. Selain itu, terdapat faktor individu (personal factors) seperti masa kerja, usia, jenis kelamin, posisi kerja, kebiasaan merokok dan obesitas dan faktor lingkungan seperti getaran dan temperatur ekstrem.5 Pada umumnya, keluhan otot skeletal mulai dirasakan pada usia kerja yaitu 25 tahun. Keluhan pertama biasanya dimulai pada usia 35 tahun dan tingkat keluhan terus bertambah sejalan dengan bertambahnya umur. Hasil penelitian diketahui responden terbanyak berumur di atas 29 tahun (berisiko) yaitu sebanyak 27 orang (81,8%) dan responden yang berumur 20-29 tahun (tidak berisiko) sebanyak 6 orang (1,28%).16 Semakin tua usia seseorang, maka akan terjadi degenerasi pada tulang yang selanjutnya akan timbul kerusakan jaringan. Hasilnya adalah terbentuknya jaringan parut sehingga terjadi penurunan stabilitas dan elastisitas tulang dan otot. Faktor individu lainnya yang dikatakan berhubungan dengan kejadian LBP adalah kebiasaan merokok. Dalam laporan resmi World Health Organization (WHO), jumlah kematian akibat merokok tiap tahun adalah 4,9 juta orang per tahunnya. Hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan keluhan otot pinggang, terutama untuk pekerjaan yang memerlukan pengerahan otot, karena nikotin pada rokok dapat menyebabkan berkurangnya aliran darah ke jaringan. Selain itu, merokok dapat pula menyebabkan berkurangnya kandungan mineral pada tulang sehingga menyebabkan nyeri akibat terjadinya keretakan atau kerusakan pada tulang.17 Laki-laki dan perempuan memiliki risiko yang sama terhadap keluhan nyeri punggung sampai umur 60 tahun, namun pada kenyatannya jenis kelamin seseorang dapat mempengaruhi timbulnya keluhan LBP, karena pada wanita keluhan ini lebih sering terjadi misalnya pada saat mengalami siklus menstruasi, selain itu proses menopause juga dapat menyebabkan kepadatan tulang berkurang akibat penurunan hormon estrogen, sehingga memungkinkan terjadinya LBP.18 Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 21 Muhammad Farras Hadyan I Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Low Back Pain pada Pengemudi Transportasi Publik Faktor lain yang berhubungan dengan kejadian LBP pada pengemudi adalah faktor pekerjaan (work factors) yaitu duduk dalam jangka waktu yang lama dan dalam kondisi yang statis. Posisi duduk dalam jangka waktu yang lama dan dalam keadaan yang statis akan sangat membebani tulang punggung bawah dan akan menimbulkan rasa pegal dan lelah pada area pinggang, hal ini akan diperberat ketika pengemudi duduk dengan posisi yang salah atau tidak sesuai postur, maka akan terjadi ketegangan pada otot-otot daerah pinggang, sehingga rasa lelah akan muncul dengan cepat, dan jika terus berulang dengan kondisi tersebut, maka nyeri akan muncul.19 Namun, pada penelitian deskriptif analitik menggunakan pearson correlation yang dilakukan kepada pengemudi bus kota di terminal Giwangan, menunjukkan hubungan yang tidak signifikan antara lamanya posisi duduk dengan keluhan subyektif LBP pada pengemudi bus kota. Faktor lingkungan yang paling berpengaruh dan berhubungan erat dengan pengemudi transportasi publik adalah getaran yang dirasakan oleh seluruh tubuh, yang berasal dari sumber mesin yang dimiliki kendaraan bermotor. Berdasarkan penelitian Youani Nusa et al terhadap keluhan sistem muskuloskeletal pada supir bus trayek Manado ke Langowan, didapatkan hasil yang signifikan dengan hubungan yang kuat antara getaran dengan keluhan muskuloskeletal.20 Hal ini dijelaskan bahwa frekuensi getaran diluar ambang batas toleransi tubuh yaitu di atas 4 Hz dapat mempengaruhi beberapa organ seperti dinding perut dan dada atau gangguan tulang, otot dan jaringan ikat bagian punggung.20 Patofisiologi yang dapat menjelaskan keluhan nyeri punggung bawah ini dimulai karena respon tubuh dengan mengeluarkan mediator inflamasi akibat faktor-faktor di atas, sehingga jaringan otot atau tulang yang cedera memicu pengeluaran sitokin pro inflamasi yang akan menimbulkan persepsi nyeri. Mekanisme nyeri merupakan proteksi yang bertujuan untuk mencegah pergerakan sehingga proses penyembuhan dimungkinkan. Salah satu bentuk proteksi adalah spasme otot, yang selanjutnya dapat menimbulkan iskemia.21 Iritasi neuropatik pada serabut saraf dapat menyebabkan dua kemungkinan. Pertama, penekanan hanya terjadi pada selaput pembungkus saraf yang kaya Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 22 nosiseptor dari nervi nervorum yang menimbulkan nyeri inflamasi. Nyeri dirasakan sepanjang serabut saraf dan bertambah dengan peregangan serabut saraf misalnya karena pergerakan. Kemungkinan kedua, penekanan pada serabut saraf. Pada kondisi ini terjadi perubahan biomolekuler di mana terjadi akumulasi saluran ion natrium dan ion lainnya. Penumpukan ini menyebabkan timbulnya mechano-hotspot yang sangat peka terhadap rangsangan mekanik dan termal.21 Setelah mengetahui faktor risiko dan patofisiologi pada low back pain, akan diulas mengenai tatalaksana LBP secara singkat. Pengobatan terhadap LBP dibagi menjadi dua tahap yaitu pada kedatangan pertama dan kedatangan kedua.22 Pada kedatangan pertama, dilakukan edukasi pada pasien untuk menghindari tidur terlalu lama dan segera melakukan aktifitas normal sehari-hari, sarankan kepada pasien untuk menghindari posisi membungkuk. Selain itu, untuk menangani nyeri, diberikan NSAID seperti asetaminofen atau ibuprofen. Pertimbangkan pemberian terapi opioid jangan pendek bila nyeri semakin memburuk dan rujukan untuk stabilisasi tulang dengan metode terapi fisik McKenzie.22 Pada saat kedatangan kedua, sekitar dua sampai empat minggu setelah kunjungan pertama, dan keluhan belum membaik, maka pertimbangkan pemberian obat analgesik yang lebih kuat atau rujukan kepada spesialis atau subspesialis apabila keluhan tulang belakang semakin parah.3 Ringkasan Berdasarkan pembahasan di atas, pengemudi transportasi publik, sangat berisiko terkenal keluhan muskuloskeletal berupa low back pain (LBP). LBP merupakan nyeri pada punggung bagian bawah yang dapat diakibatkan oleh berbagai sebab yang menimbulkan trauma pada vertebrae dan saraf di sekitarnya. Disamping etiologi myogenik yang menyebabkan kerusakan pada tulang, otot dan jaringan lunak pada tulang belakang, terdapat berbagai faktor risiko yang menyebabkan keluhan pada pengemudi antara lain faktor individu, faktor pekerjaan dan tempat kerja, faktor lingkungan dan faktor gerakan tubuh. Muhammad Farras Hadyan I Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Low Back Pain pada Pengemudi Transportasi Publik Simpulan Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian low back pain (LBP) pada pengemudi transportasi publik. Daftar Pustaka 1. Susanto B & Danang P. 1-2-3 Langkah: Langkah Kecil yang Kita Lakukan Menuju Transportasi yang Berkelanjutan. Majalah Transportasi Indonesia. Jakarta. 2004; 6: 85 – 89. 2. Albar Z. Gangguan Muskuloskeletal Akibat Kerja. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Internal Publishing. Jakarta; 2009. 3. Tarwaka. Ergonomi untuk Keselamatan Kesehatan Kerja dan Produktivitas. Surakarta: Uniba Press; 2004. 4. Widyastuti R. Analisa Pengaruh Aktivitas Kerja dan Beban Angkat Terhadap Kelelahan Muskuloskeletal. Gema Teknik. 2009; 2: 28–9. 5. Armstrong. Element of Ergonomics Programs a Primer Based on Workplace Evaluations of Musculoskeletal Disorders. US Departement of Health and Human Service NIOSH. America; 2009. 6. Pope. Review of Studies on Seated Whole Body Vibration and LBP. Departement of Envirnmental and Occupational Mediine University of Aberdeen. Scotland; 1999. 7. Rahmaniyah D. Analisa Pengaruh Aktifitas Kerja dan Beban Angkat Terhadap Kelelahan Muskuloskeletal. 2007; 10 (2). 8. Subiyono HS. Profil Antropo Metrik Tulang Belakang Pada Pekerja Konveksi Bagian Menjahit Dengan Posisi Duduk. KEMAS. Edisi Juli – Desember. 2008; 4 (1). 9. OSHA. Ergonomics: The Study of Work. New York Departement of Labour Occupational Safety and Health Administration; 2000. 10. Suzilawati. Batu Ginjal Bukan Satu – Satunya Pemicu Nyeri Pinggang. Bandung: Harian Pikiran Rakyat. 2005; 5 11. Warpani S. Merencanakan Sistem Perangkutan.Bandung. ITB; 1990. 12. Alperovitch D, Santo Y P, Masharawi, Y PT, Katz-Leuer, Diana U & Kalichman L. Low 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. Back Pain Among Professional Bus Drivers : Ergonomic and Occupational – Psychosocial Risk Factors. Imaj. 2010; 2 Van Tulder MW, Koe BW. Low Back Pain and Sciatica. Clin Evid. 2001; 6: 864–3. Purba JS, Ng DS. Nyeri Punggung Bawah: Patofisiologi, Terapi Farmakologi dan Non – Farmakologi Akupuntur. Medicinus; 2008. Samara D. Lama dan Sikap Duduk sebagai Faktor Risiko Terjadinya Nyeri Pinggang Bawah. 2005; 23 (2): 63–7. Tarwaka. Ergonomi untuk Keselamatan Kesehatan Kerja dan Produktivitas. Surakarta: Uniba Press; 2004. Trimunggara. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Keluhan Low Back Pain pada Kegiatan Mengemudi Tim Ekspedisi PT. Enseval Putera Megatrading Jakarta Tahun 2010. Jakarta: Jurnal Ergonomi Indonesia; 2010. Valeri TS, Nikolov, Miroslava PP, Nikola VK. Obesity and Low Back Pain In Post Menopausal Women. Medical University Pleven; 2009. Aulia RG. Model Korset dengan Bahan Dasar Support Bambu untuk Mengurangi Nyeri LBP pada Pengemudi Bus di Kota Surakarta. Fakultas Ilmu Kesehatan UMS; 2012. Nousa Y. Hubungan Antara Umur, Lama Kerja dan Getaran dengan Keluhan Sistem Muskuloskeletal pada Sopir Bus Trayek Manado – Langowan di Terminal Karombasan Manado; 2013. Tunjung R. Diagnosis dan Penatalaksanaan Nyeri Punggung Bawah di Puskesmas. 2009. dokterblog.wordpress.com/2009/05/19/di agnosis-dan-penatalaksanaan-nyeripunggung-bawah-di-puskesmas/ [Diakses 19 Juni 2015] Casazza B. Diagnosis and Treatment of Acute Low Back Pain. American Family Physician. 2012; 85: 343-50. Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 23 Muhammad Farras Hadyan I Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Low Back Pain pada Pengemudi Transportasi Publik Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 24 Nindia Dara Utama | Hubungan Obesitas dengan Kejadian Asma Hubungan Obesitas dengan Kejadian Asma Nindia Dara Utama Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung Abstrak Asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi saluran nafas kronik dengan banyak sel yang ikut berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan, inflamasi ini menyebabkan mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan nafas yang luas namun bervariasi, yang sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga terkait dengan hipereaktivitas jalan nafas terhadap berbagai rangsangan. Obesitas merupakan suatu keadaan dengan kelebihan lemak tubuh yang dapat menyebabkan permasalahan kesehatan. Masalah kesehatan yang dapat ditimbulkan adalah kejadian asma. Meningkatnya mediator inflamasi, gangguan mekanik, dan volume paru menjadikan obesitas sebagai satu faktor penyebab terjadinya asma. Disimpulkan bahwa obesitas memiliki hubungan dengan kejadian asma. Kata kunci: asma, inflamasi, obesitas The Relation of Obesity and Asthma Abstract Asthma is defined as a chronic inflammatory disorder of the airways in which many cells play a role, in particular mast cells, eosinophils, and lymphocytes T. In susceptible people, this inflammation causes recurrent wheezing, shortness of breath, chest distress taste and coughing, particularly at night or early morning. These symptoms are usually associated with airway constriction broad but varied, which is partly reversible either spontaneously or with treatment, inflammation is also associated with airway hypereactivity to various stimuli. Obesity is a state of excess body fat that can affect health. One problem that can arise is the occurrence of asthma. Increased inflammatory mediators, disruption mechanics and lung volume causes obesity as one of the source factors of asthma. In conclusion obesity has a relation with the incidence of asthma. Keywords: asthma, inflammation, obesity. Korespondensi: Nindia Dara Utama, e-mail [email protected] Pendahuluan Asma adalah penyakit inflamasi saluran pernapasan kronik dimana banyak sel berperan, di antaranya sel mast dan eosinofil.1 Asma merupakan keadaan inflamasi kronik yang menyebabkan obstruksi saluran pernapasan reversibel dan disertai gejala batuk, mengi, dada terasa terangkat, dan sesak napas.2 Walaupun Indonesia dinyatakan sebagai lowprevalence country (<5%) untuk asma, kenyataan sulit dibantahkan bahwa asma masih banyak diderita. Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Pada anak-anak, penderita asma anak laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Sebaliknya, pada usia dewasa angka kejadian asma pada perempuan lebih tinggi 3 dibandingkan laki-laki. Prevalensi obesitas telah meningkat pada sebagian besar negara industri dalam dekade terakhir. Obesitas adalah penyakit sistemik yang merupakan predisposisi dari bermacam morbiditas dan merupakan komplikasi yang menimbulkan efek pada kesehatan.4 Berdasarkan kriteria dari World Health Organization (WHO), obesitas didefinisikan sebagai Indeks Massa Tubuh (IMT) >30 kg/m2.5 Di negara barat, prevalensi obesitas sangat tinggi, yaitu satu dari tiga penduduk mengalami hal tersebut. Di Indonesia, obesitas mencapai 1,5%-5%.6 Dari perkiraan 210 juta penduduk Indonesia tahun 2015, jumlah penduduk yang overweight diperkirakan mencapai 76,7 juta (17,5%) dan pasien obesitas berjumlah lebih dari 9,8 juta (4,7%).7 Prevalensi asma dan obesitas telah meningkat di beberapa negara, didapatkan spekulasi bahwa orang dengan obesitas meningkatkan resiko perkembangan asma. Padadata hasil penelitian cross sectional dan case control ditemukan adanya hubungan obesitas dengan asma. Lebih dari dua puluh juta orang Amerika menderita asma, dan lebih dari sepertiganya adalah orang dengan obesitas. Di Manado sebuah penelitian oleh Majority | Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015 | 25 Nindia Dara Utama | Hubungan Obesitas dengan Kejadian Asma Ford Tahun 2005 didapatkan 16% anak yang terkena asma adalah anak yang juga menderita obesitas.8 Peningkatan prevalensi obesitas telah diikuti dengan peningkatan asma di seluruh dunia baik pada anak-anak maupun dewasa. Banyak hipotesis telah dikeluarkan untuk menjelaskan peningkatan prevalensi dari asma tetapi tidak didapatkan kesepakatan.9 Isi Istilah asma berasal dari kata Yunani yang artinya “terengah-engah” dan berarti serangan nafas pendek.10 Nelson mendefinisikan asma sebagai kumpulan tanda dan gejala wheezing (mengi) dan atau batuk dengan karakteristik sebagai berikut; timbul secara episodik dan atau kronik, cenderung pada malam hari atau dini hari (nocturnal), musiman, adanya faktor pencetus yaitu aktivitas fisik dapat juga bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan penyumbatan, serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien atau keluarga, sedangkan sebab-sebab lain sudah disingkirkan.11 Batasan asma yang lengkap yang dikeluarkan oleh Global Initiative for Asthma (GINA) didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran nafas dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan nafas yang luas namun bervariasi, dan sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan, inflamasi ini juga berhubungan dengan hipereaktivitas jalan nafas terhadap berbagai rangsangan. 12 Obstruksi saluran nafas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus, sumbatan mukus, edema, dan inflamasi dinding bronkus.10 Obstruksi bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran nafas menyempit pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obtruksi terjebak tidak bisa diekspirasi, selanjutnya terjadi peningkatan volume residu, Kapasitas Residu Fungsional (KRF), dan pasien akan bernafas pada volume yang tinggi mendekati Kapasitas Paru Total (KPT). Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar Majority | Volume 4 | Nomor 7|Juni 2015| 26 saluran nafas tetap terbuka dan pertukaaran gas lancar. Gangguan yang berupa obstruksi saluran nafas dapat dinilai secara objektif dengan Volume Ekspirasi Paksa (VEP) atau Arus Puncak Ekspirasi (APE), sedangkan penurunan Kapasitas Vital Paksa (KVP) menggambarkan derajat hiperinflasi paru. Penyempitan saluran nafas dapat terjadi baik pada di saluran nafas besar, sedang maupun yang kecil. Gejala mengi menandakan ada penyempitan di saluran nafas besar. Manifestasi penyumbatan jalan nafas pada asma disebabkan oleh bronkokontriksi, hipersekresi mukus, edema mukosa, infiltrasi seluler, dan deskuamasi sel epitel serta sel radang. Berbagai rangsangan alergi dan rangsangan nonspesifik, akan adanya jalan nafas yang hiperaktif, mencetuskan respon bronkokontriksi dan radang. Rangsangan ini meliputi alergen yang dihirup (tungau debu, tepungsari, sari kedelai, dan protein minyak jarak), protein sayuran lainnya, infeksi virus, asap rokok, polutan udara, bau busuk, obatobatan (metabisulfit), udara dingin, dan olah raga.13 Patologi asma berat adalah bronkokontriksi, hipertrofi otot polos bronkus, hipertropi kelenjar mukosa, edema mukosa, infiltrasi sel radang (eosinofil, neutrofil, basofil, makrofag), dan deskuamasi. Tanda-tanda patognomosis adalah krisis kristal Charcotleyden (lisofosfolipase membran eosinofil), spiral Cursch-mann (silinder mukosa bronkiale), dan benda-benda Creola (sel epitel terkelupas). Penyumbatan paling berat adalah selama ekspirasi karena jalan nafas intratoraks biasanya menjadi lebih kecil selama ekspirasi. Penyumbatan jalan nafas difus ini tidak seragam di seluruh paru. Atelektasis segmental atau subsegmental dapat terjadi dan memperburuk ketidakseimbangan ventilasi serta perfusi. Hiperventilasi menyebabkan penurunan kelenturan, karena kerja pernafasan bertambah. Kenaikan tekanan transpulmuner yang diperlukan untuk ekspirasi melalui jalan nafas yang tersumbat, dapat menyebabkan penyempitan lebih lanjut, atau penutupan dini (prematur) beberapa jalan nafas secara total selama ekspirasi, dengan demikian menaikkan risiko pneumotoraks. Asma dapat timbul pada segala umur, dimana 30% penderita bergejala pada umur 1 tahun, sedangkan 80-90% anak Nindia Dara Utama | Hubungan Obesitas dengan Kejadian Asma yang menderita asma gejala pertamanya muncul sebelum umur 4-5 tahun.13 Asma merupakan gangguan kompleks yang melibatkan faktor autonom, imunologis, infeksi, endokrin, dan psikologis dalam berbagai tingkat pada berbagai individu. Aktivitas bronkokontriktor neural diperantarai oleh bagian kolinergik sistem saraf otonom. Ujung sensoris vagus pada epitel jalan nafas merupakan reseptor batuk atau iritan, dapat mencetuskan refleks arkus cabang aferens, dan pada ujung eferens dapat merangsang kontraksi otot polos bronkus. Neurotransmisi Peptida Intestinal Vasoaktif (PIV) memulai relaksasi otot polos bronkus. Neurotransmisi peptida vasoaktif merupakan suatu neuropeptida dominan yang dilibatkan pada terbukanya jalan nafas. Faktor imunologi penderita asma ekstrinsik atau alergi, terjadi setelah pemaparan terhadap faktor lingkungan seperti debu rumah, tepung sari, dan ketombe. Bentuk asma inilah yang paling sering ditemukan pada usia 2 tahun pertama dan pada orang dewasa (asma yang timbul lambat), disebut intrinsik.13 Faktor endokrin menyebabkan asma menjadi lebih buruk dalam hubungannya dengan kehamilan dan menstruasi atau pada saat wanita menopause, dan asma membaik pada beberapa anak saat pubertas. Faktor psikologis emosi dapat memicu gejala-gejala pada beberapa anak dan dewasa yang berpenyakit asma, tetapi emosional atau sifatsifat perilaku yang dijumpai pada anak asma lebih sering dari pada anak dengan penyakit kronis lainnya.13 Penegakan diagnosis asma didasarkan pada anamnesis, tanda-tanda klinik dan pemeriksaan tambahan.14 Pemeriksaan anamnesis dalam menegakan diagnosis asma dapat berupa keluhan episodik batuk kronik berulang, mengi, sesak dada, dan kesulitan bernafas. Faktor pencetus (inciter) didapatkan seperti iritan (debu), pendinginan saluran nafas, allergen, dan emosi, sedangkan perangsang (inducer) berupa kimia, infeksi dan, alergen. Pemeriksaan fisik ditemukan sesak nafas (dyspnea), mengi, nafas cuping hidung pada saat inspirasi (anak), bicara terputus putus, agitasi, hiperinflasi toraks, dan lebih suka posisi duduk. Tanda-tanda lain yaitu sianosis, mengantuk, susah bicara, takikardia, dan hiperinflasi torak. Pemeriksaan uji fungsi paru sebelum dan sesudah pemberian metakolin atau bronkodilator sebelum dan sesudah olahraga dapat membantu menegakkan diagnosis asma.13 Asma sulit didiagnosis pada anak di bawah umur 3 tahun. Untuk anak yang umurnya sudah lebih dari 6 tahun pemeriksaan fungsi paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter atau yang lebih lengkap dengan spirometer, uji yang lain dapat melalui provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, latihan (exercise), udara kering dan dingin, atau dengan NaCl hipertonis. Penggunaan peak flow meter merupakan hal penting dan perlu diupayakan, karena selain mendukung diagnosis, juga mengetahui keberhasilan tata laksana asma, selain itu dapat juga menggunakan lembar catatan harian sebagai alternatif.15 WHO mendefinisikan obesitas sebagai suatu keadaan dengan kelebihan lemak tubuh yang menjadi permasalahan kesehatan sehingga bisa mempengaruhi kesehatan.16 Untuk mendefinisikan obesitas sering digunakan Body Mass Indeks (BMI) atau Indeks Massa Tubuh (IMT) yang mana dibatasi oleh BMI > 30. Perhitungan didasarkan pada tinggi badan dan berat badan.16 Ukuran yang ditetapkan WHO ternyata terlalu besar untuk orang Asia. Dari jurnal yang diakses dari website WHO, diperoleh keterangan mengenai BMI untuk orang Asia, yang dikatakan sudah menderita kelebihan berat badan jika Indeks Massa Tubuhnya melebihi 23kg/m2 dan disebut obesitas apabila telah mencapai > 25 kg/m2. Tipe Obesitas dapat ditentukan berdasarkan distribusi lemak pada tubuh dengan mengukur pinggang menggunakan pengukuran lingkar pinggul.18 Tipe-tipe obesitas saat ini yaitu: Obesitas Tipe Android (tipe buah apel).19 Kegemukan tipe android banyak terjadi pada pria dan wanita yang telah mengalami menopause. Timbunan lemak umumnya terdapat di bagian atas tubuh. Kegemukan tipe android lebih berisiko terkena penyakit-penyakit yang berhubungan dengan metabolisme glukosa dan lemak seperti penyakit gula (diabetes melitus, penyakit jantung koroner, stroke, pendarahan otak, dan tekanan darah tinggi). Obesitas Tipe Ginoid (Tipe Buah pir) dapat ditandai dengan banyaknya timbunan lemak di bagian bawah tubuh, yaitu di sekitar perut, pinggul, paha, dan pantat. Tipe ini banyak terjadi pada wanita. Tipe ginoid lebih Majority | Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015 | 27 Nindia Dara Utama | Hubungan Obesitas dengan Kejadian Asma aman dari penyakit-penyakit degeneratif, tetapi penurunan berat badan akan lebih susah dilakukan. Obesitas meningkatkan jumlah inflamasi pada tubuh.20 Jaringan lemak mensintesis dan mensekresi beberapa mediator inflamasi. Karenanya sistem imun berperan pada patofisiologi asma.8 Obesitas juga dapat menyebabkan penurunan volume paru.21 Obesitas memiliki peranan terhadap fungsi paru.Obesitas memiliki efek mekanik yang penting untuk perubahan fisiologi paru; gejala yang timbul mirip asma. Obesitas menyebabkan penurunan sistem komplians paru, volume paru, dan diameter saluran napas perifer. Akibatnya, terjadi peningkatan hipereaktivitas saluran napas, perubahan volume darah pulmoner, dan gangguan fungsi ventilasi perfusi. Penurunan sistem komplians paru pada obesitas disebabkan oleh penekanan dan infiltrasi jaringan lemak di dinding dada, serta peningkatan volume darah paru. Dispneu merupakan gejala akibat terganggunya sistem ini. Selain itu, pada penderita obesitas aliran udara di saluran napas terbatas, ditandai dengan menurunnya nilai FEV1 dan FVC yang umumnya terjadi simetris. Penurunan volume paru berhubungan dengan berkurangnya diameter saluran napas perifer menimbulkan gangguan fungsi otot polos saluran napas. Hal ini menyebabkan perubahan siklus jembatan aktin-miosin yang berdampak pada peningkatan hipereaktivitas dan obstruksi saluran napas.22 Obesitas juga memiliki keterkaitan dengan beberapamediator inflamasi. Jaringan adiposit memproduksi sejumlah molekul proinflamasi yang berperan dalam sistem imun seperti interleukin (IL)-6, eotaxin, tumor necrosis factor (TNF)-α, transforming growth factor (TGF)-β1, leptin, dan adiponektin. Pada penderita obesitas produksi molekul-molekul tersebut meningkat sehingga menimbulkan respon inflamasi sistemik. Berikut informasi mengenai molekul-molekul yang berperan pada patogenesis asma.23 Sel adiposit memproduksi IL-6 dan kadarnya berkorelasi dengan massa lemak tubuh total. Kadar IL-6 yang meningkat berhubungan dengan stimulasi terhadap histamin, IL-4, TNF-α, dan IL-1. Stimulasi terhadap IL-4 akan meningkatkan produksi IgE yang berperan penting pada asma.9 IL-6 juga Majority | Volume 4 | Nomor 7|Juni 2015| 28 berperan untuk terjadinya fibrosis subepitelial saluran napas, yang merupakan kunci terjadinya remodeling saluran napas pada asma.24 Eotaxin merupakan kemokin yang berperan dalam migrasi eosinofil dari darah ke saluran napas sehingga menimbulkan respon inflamasi pada penderita asma.11 Eotaxin pada manusia disekresikan oleh sel endotel, fibroblas, makrofag, sel epitel bronkus bersilia dan tidak bersilia, sel otot polos, kondrosit, dan eosinofil. Ditemukan bahwa jaringan adiposit juga mensekresikan eotaxin dan kadarnya meningkat baik pada tikus percobaan maupun manusia yang obesitas. Selain itu percobaan penurunan berat badan pada manusia menyebabkan menurunnya kadar eotaxin plasma. Hal ini membuktikan bahwa kadar eotaxin yang meningkat pada obesitas akan meningkatkan risiko seseorang menderita asma.25 TNF-α juga dihasilkan oleh sel adiposit dan kadarnya berhubungan langsung dengan massa lemak tubuh. Selain itu, diketahui bahwa pada asma terjadi peningkatan kadar TNF-α yang meningkatkan produksi sitokin T helper (Th)-2 yakni IL-4 dan IL-6 di epitel bronkus.22 Pada asma, TGF-β1 dihasilkan oleh eosinofil dan makrofag. Sitokin ini menyebabkan terjadinya transformasi fibroblas menjadi miofibroblas dan berdampak terhadap remodeling saluran napas.26 Banyak penelitian yang menyatakan bahwa leptin merupakan faktor yang berperan dalam hubungan antara obesitas dan asma. Leptin merupakan hormon yang diproduksi oleh adiposit dan kadarnya meningkat pada penderita obesitas. Melalui pengaturan di hipotalamus, leptin berfungsi mengatur asupan energi dan metabolisme tubuh. Selain itu, leptin memiliki peran dalam pengaturan respons inflamasi pada penderita obesitas yakni meng-atur proliferasi dan aktivasi sel T, promosi angiogenesis, serta aktivasi sel monosit dan makrofag. Kadar leptin dalam darah dapat digunakan untuk memprediksi terjadinya asma pada anak.22 Adiponektin memiliki peran sebagai antiinflamasi termasuk di saluran napas. Pada obesitas terjadi penurunan kadar adiponektin serum sehingga mempermudah terjadinya respons inflamasi, seperti pada asma.22 Polimorfisme genetik menyebabkan terdapatnya beberapa efek yang mungkin Nindia Dara Utama | Hubungan Obesitas dengan Kejadian Asma muncul pada satu gen. Selain itu, suatu gen yang terdapat pada satu region kromosom dapat pula menjadi penghubung antara satu penyakit dengan penyakit lainnya. Kandidat gen yang berperan pada obesitas dan asma terdapat pada region kromosom 5q, 6p, 11q13, dan 12q.22 Pada kromosom 5q terdapat kandidat gen ADRB2, NR3C1, dan GRL yang berhubungan untuk terjadinya asma dan obesitas. Polimorfisme gen ADRB2 menyebabkan peningkatan kadar IgE serum dan derajat serangan asma, gangguan respons terapi terhadap pemberian β agonis, serta menyebabkan obesitas.27 Gen NR3C1 berperan untuk respons inflamasi baik pada asma maupun obesitas, sedangkan gen GRL berhubungan dengan peningkatan derajat serangan asma, berkurangnya respons terhadap steroid pada pengobatan asma, dan terjadinya obesitas. 27 Kromosom 6p mengandung kandidat gen TNF-α yang berperan terhadap hipereaktivitas saluran napas, asma, dan terjadinya obesitas.22Kromosom 11q13 memiliki dua kandidat gen yakni UCP2-UCP3 dan gen untuk reseptor IgE.UCP2-UCP3 mempengaruhi pengaturanmetabolisme tubuh tetapi tidak berperan pada asma. Sebaliknya, gen reseptor IgE memiliki peran dalam respons inflamasi sel Th-2 yang meningkat pada asma namun tidak berperan pada obesitas.22 Pada kromosom 12q terdapat gen untuk sitokin inflamasi pada asma (IFN-γ, LTA4H, NOS-1) dan obesitas (STAT6, IGF1, CD36L1).22 Banyak penelitian membuktikan bahwa efek obesitas pada asma lebih sering terjadi pada wanita.Hal ini menjelaskan pengaruh hormon seks terhadap kedua penyakit tersebut. Anak perempuan overweight atau obesitas yang mengalami pubertas lebih awal berisiko lebih tinggi terhadap kejadian asma dibandingkan dengan anak perempuan yang memiliki IMT normal. Ada dua hal yang menjelaskan pengaruh hormonal dalam hubungan obesitas dan asma.Pertama, obesitas mempengaruhi pengaturan hormon perempuan sehingga mempercepat pubertas. Pada keadaan ini, sel adiposit memproduksi estron (salah satu estrogen alami) dan leptin sehingga kadarnya meningkat dalam darah. Kedua hormon ini memiliki peran untuk terjadinya asma. Hormon estrogen berperan mempengaruhi respons saluran napas terhadap β2 adrenergik, sedangkan leptin mempengaruhi respons inflamasi. Kedua, peningkatan hormon estrogen pada perempuan obes cenderung menyebabkan atopi.Hal ini karena hormon perempuan menyebabkan sel limfosit menyekresi lebih banyak IL-4 dan IL-13 sehingga meningkatkan produksi IgE. Meningkatnya kepekaan terhadap alergi pada anak perempuan yang obes menjelaskan terjadinya asma.25 Konsumsi makanan penderita obesitas cenderung memiliki nilai nutrisi rendah tetapi tinggi lemak. Kadar vitamin A, C, E, karoten, riboflavin, piridoksin, zink, dan magnesium yang dikonsumsi berbanding terbalik dengan kadar lemak tubuh. Rendahnya kadar zat-zat tersebut berpengaruh terhadap terjadinya asma. Defisiensi zink dan magnesium berhubungan dengan munculnya gejala asma dan hipereaktivitas bronkus. Selain itu, defisiensi zink juga meningkatkan respons imun sel Th. Vitamin A, E, karoten, riboflavin, dan piridoksin diduga berhubungan dengan penurunan fungsi paru dan asma. Kadar vitamin C yang rendah berhubungan dengan meningkatnya prevalensi asma pada anak dan dewasa, gejala respirasi, serta hipereaktivitas bronkus. Suplementasi vitamin C menunjukkan terjadinya penurunan derajat serangan dan frekuensi asma, bronkospasme yang diinduksi oleh aktivitas, dan respons saluran napas terhadap metakolin. Nutrien lain yang berhubungan untuk terjadinya asma adalah natrium (Na). Pada obesitas terjadi retensi Na akibat produksi angiotensin II oleh adiposit dan leptin yang menimbulkan efek simpatis langsung pada sistem renal. Beberapa penelitian menemukan bahwa peningkatan Na berhubungan dengan peningkatan reaktivitas saluran napas, tetapi penelitian lain tidak menemukan hal ini. Restriksi Na pada tiga uji klinik memperbaiki respons saluran napas, FEV1, dan gejala asma.27 Ringkasan Asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran nafas dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan dan Majority | Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015 | 29 Nindia Dara Utama | Hubungan Obesitas dengan Kejadian Asma batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan nafas yang luas namun bervariasi, yang sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan, inflamasi ini juga berhubungan dengan hipereaktivitas jalan nafas terhadap berbagai rangsangan. Obesitas sebagai suatu keadaan dengan kelebihan lemak tubuh yang menjadi permasalahan kesehatan sehingga bisa mempengaruhi kesehatan. Salah satu masalah yang dapat ditimbulkan adalah kejadian asma. Meningkatnya mediator inflamasi, gangguan mekanik dan volume paru menyebabkan obesitas sebagai salah satu faktor peneyebab terjadinya asma. Simpulan Obesitas memiliki hubungan dengan kejadian asma.Obesitas memiliki keterkaitan dengan beberapa mediator inflamasi yang memiliki hubungan erat dengan kejadian asma. Daftar Pustaka 1. Gershwin ME, Albertson TE (eds). Bronchial Asthma: A Guide for Practical Understanding and Treatment. Honolulu: Humana Press; 2004. 2. Davey P. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga; 2002. 3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004. 4. Pischon N. Obesity, Inflammation, and Periodontal Disease. 2007. 5. Chang CJ, dkk. International Journal of Obesity. 2003; 27:253-259. 6. Cahyono SB. Gaya Hidup dan Penyakit Modern. Jakarta: Kanisius; 2006. 7. Tapan E. Penyakit Degeneratif. Jakarta: Elex Media Komputindo; 2005. 8. Ford ES. The Epidemiology of Obesity and Asthma. Journal of Allergy and Clinical Immunology. 2005; 115 : 897-909. 9. Mishra V. Effect of Obesity on Asthma among Adult Indian Women. Int J of Obes. 2004; 28: 1048-1058. 10. McLachlan Car G, dkk. Adiposity, asthma, and airway inlflammation. J Allergy Clin Immunol. 2006; 119 (3):634-9. 11. Nelson WE. Ilmu Kesehatan Anak. Terjemahan Wahab S. Vol I: Jakarta. Penerbit EGC; 2006. hlm 775. Majority | Volume 4 | Nomor 7|Juni 2015| 30 12. GINA (Global Initiative for Asthma). Pocket Guide for Asthma Management and Prevension In Children. USA: GINA (Global Initiative for Asthma); 2006. 13. Sundaru H, Sukamto. Asma Bronkial. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakulas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. hlm 247. 14. Ramailah S. Asma Mengetahui Penyebab, Gejala dan Cara Penanggulangannya. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, Gramedia; 2006. 15. Dahlan Z. Penegakan Diagnosis dan Terapi Asma dengan Metode Obyektif. Cermin dunia kedokteran; 2000. hlm 120:15 16. Gray GA, Bouchard C. Handbook of Obesity. Ohio: Informa Health Care. 2004. 17. Ostman J, Johnson E., Britton M. (eds). Treating and Preventing Obesity. Boston: Willey-VCH. 2004. 18. Ramayulis R. Alternatif untuk Langsing. Jakarta: Niaga Swadaya rashers VL. Aplikasi Klinis Patofisiologi. Jakarta: EGC; 2008:11: 157. 19. Nammi S, et al. Obesity: An overview on its Current Perspective and Treatment Option. Nutrition Journal. 2004; 3:14752891. 20. Meggs WJ, Svec C. The Inflammation Cure. Boston: McGraw-HillProfessional; 2004. . 21. Ronmark E, et al. Obesity increases the Risk of Incidence Asthma among Adult. Eu Respir J. 25: 282-286. 2005. 22. Delgado J, Barranco P, Quirce S. Obesity and asthma. J Investig Allergol Clin Immunol. 2008; 18(6): 420-25. 23. Castro-Rodriguez JA, Holberg CJ, Morgan WJ, Wright AL, Martinez FD. Increased incidence of asthma like symptoms in girls who become overweight or obese during the school years. Am J Respir Crit Care Med. 2001; 163: 1344-9. 24. Tantisira KG, Weiss ST. Complex interactions in complex traits: obesity and asthma. Thorax. 2001; 56: ii64. 25. Vasudevan AR, Wu H, Xydakis AM et al. Eotaxin and obesity. J Clin Endocrinol Metab. 2006; 91(1): 256-61. 26. Naning R, Darmawan MT. Airway remodelling in asthma. Paediatrica Indon. 2001; 41 (5-6): 125-31. 27. David A. Beuther, Scott T. Weiss, and E. Rand Sutherland. : obesity and asthma. Am J Respir Crit Jul 15; 174(2): 112–119. Inaz dan Anggraeni | Efek Paparan Gelombang Elektromagnetik Handphone terhadap Kadar Glukosa Darah Efek Paparan Gelombang Elektromagnetik Handphone terhadap Kadar Glukosa Darah Inaz Kemala Dewi1, Anggraeni Janar Wulan 2 1 Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung 2 Bagian Anatomi, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung Abstrak Global System for Mobile Communications (GSM) merupakan salah satu jaringan telepon yang paling sering digunakan. Padahal, tingkat radiasi yang dipancarkan oleh GSM lebih tinggi dibanding jaringan telepon yang lain. Sejumlah penelitian di dunia telah membuktikan bahwa gelombang elektromagnetik yang dipancarkan oleh handphone memiliki pengaruh terhadap tubuh manusia. Pengaruh yang ditimbulkan meliputi perubahan struktur mikroskopis maupun fungsional termasuk perubahan secara biokimiawi. Beberapa penelitian membuktikan bahwa gelombang elektromagnetik dapat mengakibatkan terganggunya pengaturan metabolisme glukosa dalam tubuh. Mekanisme yang menyebabkan hal tersebut adalah mekanisme stres. Stresor dari gelombang elektromagnetik akan mengaktifkan hypothalamus-pituitary-adrenal (HPA) axis, yaitu mengakibatkan hipotalamus mensekresi corticotropin-releasing hormone (CRH) dan arginine vasopressin (AVP). Hormon CRH akan menstimulasi hipofisis anterior untuk mensekresi adrenocorticotropin hormone (ACTH). Kemudian ACTH akan menstimulasi korteks adrenal untuk mensekresi kortisol. Kortisol akan memacu peningkatan glukoneogenesis dan resisten insulin. Lebih jauh lagi, glukoneogenesis dan resisten insulin ini akan mengakibatkan peningkatan kadar glukosa darah. Simpulan: Paparan gelombang elektromagnetik dari handphone dapat meningkatkan kadar glukosa darah. Kata kunci: Gelombang elektromagnetik, Glukosa, GSM, Handphone, Stres Effects of Handphone Electromagnetic Wave Exposure on Blood Glucose Level Abstract Global System for Mobile Communications (GSM) is one of the most frequently used telephone network. In fact, the level of radiation emitted by GSM is higher than other telephone network . A number of studies in the world have proved that electromagnetic waves emitted by mobile phones have an influence on the human body. The effect include changes in the microscopic structure and function, including biochemical changes. Several studies have shown that electromagnetic waves can lead to disruption in the body's regulation of glucose metabolism. The mechanisms that cause this is the mechanism of stress. Stressors of electromagnetic waves would activate the hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) axis, which resulted in the hypothalamus secrete corticotropin-releasing hormone (CRH) and arginine vasopressin (AVP). CRH hormone stimulates the anterior pituitary to secrete adrenocorticotropin hormone (ACTH). Then ACTH stimulates the adrenal cortex to secrete cortisol. Cortisol will spur increased gluconeogenesis and insulin resistance. Furthermore, gluconeogenesis and insulin resistance will result in an increase in blood glucose levels. Conclusions: Exposure to electromagnetic waves from mobile phones can increase blood glucose levels. Keywords: Electromagnetic Wave, Glucose, GSM, Handphone, Stress Korespondensi: Inaz Kemala Dewi, alamat Jalan Bumi Manti No. 74 Kel. Kampung Baru Kec. Kedaton Bandar Lampung, HP 081220106544, email [email protected] Pendahuluan Jumlah pengguna handphone di dunia setiap tahun selalu meningkat. Menurut Statista (2015), salah satu negara dengan peningkatan pengguna handphone yang pesat yaitu China. Pada April 2014, pengguna handphone di China mencapai 1,25 milyar pengguna. Kurang dari satu tahun, pada Februari 2015 sekitar 1,29 milyar pengguna handphone terdaftar di China.1 Penggunaan handphone telah mengenai semua kalangan masyarakat dan tingkatan usia. Tidak hanya kalangan orang dewasa saja yang menggunakan handphone saat ini, bahkan sudah tidak asing lagi anak-anak menggunakan handphone. Salah satu survey di sebuah sekolah swasta di Bekasi menunjukkan dari 57 orang anak kelas 4 sampai 6 berusia 9 sampai 13 tahun, hanya 1 orang anak saja yang tidak menggunakan handphone, selebihnya menggunakan handphone dengan berbagai macam merek.2 Global System for Mobile Communications (GSM) dan Code Division Multiple Access (CDMA) merupakan dua teknologi komunikasi generasi kedua (2G) yang paling sering digunakan oleh masyarakat.3 Global System for Mobile Communications Majority | Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015| 31 Inaz dan Anggraeni | Efek Paparan Gelombang Elektromagnetik Handphone terhadap Kadar Glukosa Darah (GSM) terhitung sebagai jaringan telepon utama di dunia. Telepon GSM umumnya beroperasi pada setengah dari keluaran radiasi maksimumnya, sedangkan telepon CDMA beroperasi hanya sedikit dari keluaran radiasi maksimalnya.4 Telepon seluler GSM memiliki efek yang lebih besar pada otak dibandingkan dengan telepon seluler CDMA.3 Pemberian paparan medan elektromagnetik sebesar 50 Hz empat jam sehari selama enam minggu pada tikus jantan menunjukkan perubahan pada pankreas secara mikroskopis. Hasil penelitian ini menunjukkan berkurangnya ukuran islet pankreas.5 DI sisi lain, Paras et al. (2014) menunjukkan paparan medan elektromagnetik berfrekuensi tinggi sebesar 1,9 GHz selama 30 hari pada tikus Wistar mengakibatkan peningkatan jumlah, volume, densitas, dan rasio nukleositoplasmik sel beta pankreas.6 Pada penelitian Ayeni (2011), menunjukkan perubahan secara fungsional dimana terdapat peningkatan denyut jantung sekitar 1,4% pada subyek penelitian setelah didekatkan dengan telepon GSM dalam mode vibrasi.7 Dan lebih jauh lagi, gelombang elektromagnetik menimbulkan perubahan secara biokimiawi di mana pada penelitian yang dilakukan oleh Sedghi et al. (2006) pemberian paparan medan magnetik sebesar 50 Hz selama 1, 2 dan 4 jam selama 5 hari berturut-turut pada guinea pig jantan menunjukkan penurunan kadar lipid total, kolesterol, trigliserida.8 Pada penelitian yang dilakukan oleh Mahdavi et al. (2014), pemberian paparan medan elektromagnetik sebesar 1 Hz dan 5 Hz dengan menggunakan Extremely Low Frequency Electromagnetic Fields (ELF-EMF) Generator pada tikus Wistar jantan selama dua jam setiap hari selama 21 hari dapat meningkatkan kadar adrenocorticotropin hormone (ACTH) plasma. Temuan ini mengindikasikan bahwa sistem stres otak teraktivasi setelah paparan medan dan dapat didalilkan bahwa corticotropin releasing factor (CRF) dilepaskan dari sumbernya (sel-sel magnoselular nukleus paraventrikular hipotalamus).9 Menurut Radon et al. (2001)10, penelitian epidemiologi telah mendokumentasikan bahwa electromagnetic fields (EMF) menyebabkan peningkatan kortisol. Tulisan ini merupakan review dari berbagai sumber jurnal dan penelitian terbaru Majority | Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015| 32 yang relevan seiring dengan meningkatnya penggunaan handphone dan untuk mengetahui pengaruh efek samping gelombang elektromagnetik handphone terhadap kadar glukosa darah. Isi Gelombang elektromagnetik merupakan aliran energi dalam bentuk medan elektrik (E) dan magnetik (M). Spektrum elektromagnetik dapat dibagi menjadi radiasi non-pengion dan pengion; tergantung pada kemampuan untuk mengionisasi molekul; hanya radiasi pengion yang memiliki energi foton yang cukup untuk memecah ikatan-ikatan kimia.11 Radiasi pengion contohnya sinar-X dan sinar gamma, sedangkan radiasi non-pengion seperti medan magnet dan elektrik, gelombang radio, berkas radio-frekuensi termasuk microwave, infrared, ultraviolet, dan radiasi yang tampak.12 Spektrum radiasi non-pengion lebih jauh lagi dapat dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan frekuensi atau panjang gelombang (Gambar 1):11 1. Extremely Low Frequency (ELF) Electromagnetic Fields (EMF) 2. Intermediate Frequency (IF) Electromagnetic Fields (EMF) 3. Radiofrequency (RF) Electromagnetic Fields (EMF) 4. Infrared (IR) Radiation 5. Visible (VIS) Light 6. Ultraviolet (UV) Radiation Gambar 1. Spektrum Gelombang Elektromagnetik11 Ponsel atau handphone merupakan salah satu sumber Radiofrequency (RF) Electromagnetic Fields (EMF). Salah satu sistem telepon seluler (ponsel) yang paling sering digunakan oleh masyarakat, GSM beroperasi pada RF-EMW 900 MHz dan 1800 MHz. Walaupun kadar energi yang rendah dari Inaz dan Anggraeni | Efek Paparan Gelombang Elektromagnetik Handphone terhadap Kadar Glukosa Darah radiasi non-ionisasi tidak bisa memecah ikatan kovalen pada molekul biologis, tubuh manusia berkaitan sifat elektrisnya seperti permitivitas dan konduktivitas mampu menerima dan menginduksi medan elektrik dan bagian tertentu di dalam jaringan.13 Interaksi antara radiasi elektromagnetik dan organisme hidup melalui dua mekanisme, yaitu efek thermal dan efek non-thermal.14 Efek non-thermal dapat mengganggu secara luas berbagai jalur metabolisme. Efek tersebut sering dihubungkan dengan trauma membran plasma, efek transduksi sinyal selular, gangguan eksitabilitas sistem saraf, neuroendokrin dan trauma sistem imun.15,16 Efek non-thermal dari EMF sejauh ini belum diteliti secara dalam, walaupun banyak mekanisme yang telah dipertimbangkan, seperti contohnya modulasi kanal ion membran untuk Na+ dan K+,17 perubahan homeostasis Ca++ sel,18 peningkatan pada eksitabilitas sel,19 atau aktivasi respon stres selular.20,21 Stres dideskripsikan sebagai keadaan yang mengancam homeostasis atau ketidak seimbangan.22 Stresor adalah suatu keadaan yang menimbulkan respon stres.23 Sistem stres mengkoordinasikan respon adaptif organisme terhadap stresor dari berbagai jenis. Komponen utama sistem stres yaitu corticotropin-releasing hormone (CRH) dan locus ceruleus-norepinephrine (LC/NE)automatic system dan efektor-efektor perifer, the pituitary-adrenal axis, dan sistem otonom.22 Corticotropin-releasing hormone (CRH) merupakan salah satu hormon yang dihasilkan di hipotalamus.24 Pada keadaan tidak terpapar stres, baik CRH dan arginine vasopressin (AVP) disekresi pada sistem portal mengikuti irama sirkadian dengan frekuensi sekitar dua sampai tiga episode sekresi per jam.25 Di bawah keadaan istirahat, amplitudo pengeluaran CRH dan AVP meningkat pada jam-jam awal di pagi hari, yang akhirnya menghasilkan peningkatan sekresi ACTH dan kortisol.26,27 Variasi diurnal ini diganggu oleh perubahan cahaya, jadwal makan, dan aktivitas dan dikacaukan oleh stres.22 Ketika hipotalamus terpicu oleh stresor, CRH dan AVP disekresi, mengakibatkan baik produksi ACTH dari hipofisis anterior dan aktivasi neuron-neuron noradregenik dari sistem LC/NE di otak.28 Hipofisis anterior terbagi menjadi tiga bagian, yaitu pars distalis, pars tuberalis dan pars intermedia. Pars distalis terdiri dari dua kelompok sel yaitu kromofil dan kromofob. Kromofil adalah sel sekretoris dengan hormon yang disimpan dalam granula sitoplasma. Kromofil juga disebut sebagai basofil dan asidofil, masing-masing sesuai afinitasnya terhadap pulasan basa dan asam. Asidofil mencakup sel somatotropik dan mammotropik, sedangkan sel basofilik meliputi sel gonadotropik, kotikotropik dan sel tirotropik.29 Sel-sel kromofob tidak berpartisipasi pada sintesis hormon, melainkan lebih menjadi prekursor sel yang memproduksi hormon.30 CRH dari hipotalamus menstimulasi sekresi ACTH oleh sel-sel kortikotrop.24 Korteks adrenal dibagi menjadi tiga zona: zona glomerulosa, zona fasciculata dan zona retikularis. Sekresi ACTH dari hipofisis anterior menstimulasi zona fasciculata dan retikularis untuk mensekresi hormon glukokortikoid, terutama kortisol.31,32 Glukokortikoid memiliki beberapa efek, yaitu pemecahan protein, pembentukan glukosa, lipolisis, resistansi terhadap stres, efek antiinflamasi dan depresi respon imun. Kortisol merupakan salah satu indikator stres dan telah dikenali bahwa kadarnya meningkat pada manusia yang terpapar dalam jangka waktu yang lama terhadap EMF.32 Sekresi kortisol oleh ACTH membantu memelihara kadar glukosa dengan menstimulasi glukoneogenesis dan menyebabkan resistensi insulin adiposa dan perifer.33 Glukoneogenesis merupakan pembentukan glukosa yang terutama dari laktat dan asam amino selama keadaan puasa.34 Sebagian gliserol dari trigliserida, asam laktat, dan asam amino tertentu bisa dikonversi di hati menjadi glukosa. Proses di mana glukosa dibentuk dari sumber nonkabohidrat disebut glukoneogenesis. Glukoneogenesis distimulasi oleh kortisol, hormon glukokortikoid utama dari korteks adrenal, dan oleh glukagon dari pankreas. Di samping itu, kortisol menstimulasi pemecahan protein menjadi asam amino, kemudian memperbanyak jumlah asam amino yang tersedia untuk glukoneogenesis.24 Selain hormon glukokortikoid, beberapa hormon lain juga berperan dalam metabolisme glukosa, yaitu epinefrin, norepinefrin, growth hormone, glukagon dan insulin. Epinefrin Majority | Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015| 33 Inaz dan Anggraeni | Efek Paparan Gelombang Elektromagnetik Handphone terhadap Kadar Glukosa Darah dilepaskan oleh medulla adrenal sebagai respon terhadap hipoglikemia, dan sebagai bagian dari persiapan untuk latihan. Norepinefrin dilepaskan dari neuron simpatis. Kedua katekolamin tersebut memiliki peran dalam memelihara kadar glukosa selama latihan, dan dalam keadaan yang berhubungan dengan stres. Katekolamin menstimulasi pelepasan glukagon dan menghambat pelepasan insulin, menyebabkan penurunan rasio insulin : glukagon dan juga memiliki efek tidak langsung tehadap stimulasi metabolisme glukosa di hati. Epinefrin juga memiliki efek langsung pada stimulasi glukoneogenesis hati, glikolisis otot, dan pemecahan glikogen di kedua jaringan.35 Aktivasi fosforilase di hati oleh katekolamin terjadi via reseptor βadrenergik, di mana akan meningkatkan cAMP intraselular dan reseptor α-adrenergik, di mana akan meningkatkan Ca2+ intraselular. Kemudian output glukosa hepatik meningkat, menghasilkan hiperglikemia. Di otot, fosforilasi juga diaktifkan via cAMP dan dapat juga via Ca2+, tetapi glucose 6-phosphate yang dibentuk bisa dikatabolis hanya menjadi piruvat karena tidak adanya glucose 6-phosphatase. Sejumlah besar piruvat dikonversi menjadi laktat, kemudian berdifusi dari otot ke dalam sirkulasi. Laktat dioksidasi di hati menjadi piruvat dan dikonversi menjadi glikogen. Epinefrin dan norepinefrin juga membebaskan free fatty acid (FFA) ke dalam sirkulasi.36 Hormon pertumbuhan atau growth hormone dilepas sebagai respon terhadap penurunan kadar glukosa plasma. Kerja hormon pertumbuhan berhubungan dengan peningkatan glukosa plasma berhubungan dengan stimulasi lipolisis dan penghambatan kerja insulin.35 Hormon pertumbuhan memobilisasi FFA dari jaringan lemak, sehingga memicu ketogenesis. Hormon pertumbuhan menurunkan kadar glukosa ke dalam beberapa jaringan (“anti-insulin action”), meningkatkan output glukosa hepatik, dan menurunkan ikatan insulin ke jaringan.36 Islet Langerhans merupakan sekelompok sel endokrin pankreas yang berisi empat tipe sel yang mensekresi hormon, yaitu sel alfa, sel beta, sel delta dan sel F. Dua jenis sel yang berperan dalam metabolisme glukosa darah yaitu sel alfa dan sel beta.24,35 Sel alfa yang berwarna merah berfungsi mensekresi glukagon.30 Kerja utama glukagon yaitu untuk meningkatkan kadar glukosa darah ketika Majority | Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015| 34 kadarnya turun di bawah normal. Berikut merupakan regulasi sekresi glukagon:24 1. Kadar glukosa yang rendah menstimulasi sekresi glukagon dari sel alfa Islet Langerhans. 2. Glukagon bekerja pada hepatosit untuk mempercepat konversi glikogen menjadi glukosa (glikogenolisis) dan meningkatkan pembentukan glukosa dari asam laktat dan asam amino tertentu (glukoneogenesis). 3. Sebagai hasilnya, hepatosit melepas glukosa ke dalam darah lebih cepat, dan kadar glukosa darah meningkat. 4. Jika glukosa darah terus meningkat, kadar glukosa darah yang tinggi menghambat pelepasan glukagon. Sedangkan sel beta yang berwarna biru berfungsi mensekresi insulin.30 Insulin bekerja pada berbagai jaringan tubuh, contohnya jaringan otot, adiposa dan hepar. Pada jaringan otot dan adiposa, insulin meningkatkan masukan glukosa ke jaringan tersebut. Glukosa memasuki sel-sel dengan difusi terfasilitasi atau, di usus dan ginjal dengan transport aktif sekunder dengan Na+.36 Untuk memulai efeknya pada sel target, insulin pertama-tama berikatan dengan reseptor membran dan mengaktivasi reseptor membran. Reseptor insulin merupakan kombinasi dari empat subunit yang disatukan oleh ikatan disulfida: dua subunit alfa yang terletak di luar membran sel dan subunit beta yang berpenetrasi melewati membran, yang menonjol ke dalam sitoplasma sel. Insulin berikatan dengan subunit alfa di luar sel, tetapi karena berikatan dengan subunit beta, bagian subunit beta yang yang menonjol ke dalam sitoplasma sel menjadi terfosforilasi. Autofosforilasi subunit beta reseptor mengaktivasi tyrosine kinase lokal, yang kemudian menyebabkan fosforilasi multipel enzim intraselular lainnya, yaitu insulinreceptor substrates (IRS). IRS yang diekspresikan di tiap jaringan memiliki tipe yang berbeda (contohnya IRS-1, IRS-2). Pada jalur ini, insulin mengarahkan perlengkapan metabolik intraselular untuk memproduksi efek yang diinginkan pada metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Efek akhir stimulasi insulin pada metabolisme glukosa yaitu dalam hitungan detik setelah insulin berikatan dengan reseptor membran, Inaz dan Anggraeni | Efek Paparan Gelombang Elektromagnetik Handphone terhadap Kadar Glukosa Darah membran dari sekitar 80% sel tubuh akan meningkatkan ambilan glukosa.37 Di jaringan otot, adiposa, dan beberapa jaringan lainnya, insulin menstimulasi glukosa masuk ke dalam sel dengan meningkatkan jumlah transporter glukosa di membran sel. Transporter glukosa (GLUT) bertanggung jawab terhadap difusi terfasilitasi glukosa yang melewati membran sel. Terdapat tujuh jenis transporter glukosa yang berbeda, masing-masing diberi nama mulai dari GLUT 1-7. GLUT 4 merupakan transporter di jaringan otot otot dan adiposa yang distimulasi oleh insulin. GLUT 4 terletak dalam vesikel di sitoplasma sel yang sensitif insulin. Ketika reseptor insulin dari sel ini teraktivasi, phosphatidyilinositol 3-kinase akan teraktivasi. Aktivasi dari phosphatidyilinositol 3-kinase akan mengakibatkan vesikel berpindah secara cepat ke membran sel dan berfusi dengan membran sel, menyisipkan transporter ke dalam membran sel. Ketika kerja insulin berhenti, bagian membran yang berisi transporter berendositosis dan vesikel siap untuk paparan insulin selanjutnya.36 Glukosa bekerja secara langsung pada sel beta pankreas untuk meningkatkan sekresi insulin. Glukosa memasuki sel beta lewat transporter GLUT 2 dan difosforilasi oleh glukokinase kemudian dimetabolisme menjadi piruvat di sitoplasma. Piruvat memasuki mitokondria dan dimetabolisme menjadi CO2 dan H2O lewat siklus asam sitrat dengan pembentukan ATP oleh fosforilasi oksidatif. ATP memasuki sitoplasma, di mana ATP menghambat ATP-sensitive K+ channel, mengurangi efluks K+. Kejadian ini akan mendepolarisasi sel beta, dan Ca2+ memasuki sel lewat voltage-gated Ca2+ channel. Influks Ca2+ menyebabkan eksositosis vesikel yang berisi granul sekretori yang berisi insulin yang siap lepas, menghasilkan sekresi insulin.36 Pada keadaan stres, sekresi insulin meningkat. Menurut Hansei dan Henric (2010), sebagai faktor stres, high frequency electromagnetic fields (HF EMF) mempengaruhi sel beta dengan menginduksi sintesis dan pelepasan granul insulin.38 Medan magnetik mempengaruhi sekresi insulin dengan menyebabkan modifikasi influks Ca2+ lewat kanal Ca2+.39 Selain secara langsung EMF mempengaruhi sekresi insulin, EMF juga mempengaruhi peningkatan sekresi insulin melalui peningkatan glukosa darah. Pada penelitian Amara et.al (2006) menunjukkan paparan terhadap medan magnetik menyebabkan peningkatan glukosa darah.40 Seperti yang diketahui, kerja insulin membantu menurunkan kadar glukosa jika kadarnya tinggi.24 Glukosa memiliki efek yang poten terhadap pertumbuhan massa sel beta yang menyebabkan sel beta hiperplasia dan hipertrofi.41 Prosedur yang secara kronik meningkatkan kadar glukosa darah direspon oleh sel beta dengan hipertrofi.36 Pada penelitian Paras et.al (2014) menunjukkan peningkatan pada densitas volume sel beta pada hewan yang terpapar HF EMF dibanding dengan kelompok kontrol. Selain itu juga, paparan HF EMF menyebabkan penurunan pada permukaan sel beta dan peningkatan nucleo-cytoplasmic ratio pada sel beta.6 Kejadian berikut dipercaya dikarenakan sel beta tersebut bermultiplikasi lewat selfduplication dari sel beta yang ada.42 Lebih jauh lagi, penelitian tersebut mengindikasikan pertumbuhan sel beta (34,6 sel per potongan pankreas pada hewan yang tepapar dan 19,8 sel per potongan pankreas pada kelompok kontrol).6 Peningkatan jumlah sel beta diikuti dengan penurunan permukaan sel beta ketika paparan HF EMF mengindikasikan suatu proliferasi cepat.42 Gambar 2. Pengaruh Stres Terhadap Kadar Glukosa Darah 43 Ringkasan Penggunaan handphone yang sudah mendunia sekarang ini, ternyata mengakibatkan beberapa efek bagi tubuh manusia. Banyak peneliti-peneliti yang sudah menemukan berbagai efek gelombang elektromagnetik dari handphone terhadap kesehatan. Gelombang elektromagnetik yang dipancarkan oleh handphone dapat menimbulkan stres bagi tubuh manusia. Stres Majority | Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015| 35 Inaz dan Anggraeni | Efek Paparan Gelombang Elektromagnetik Handphone terhadap Kadar Glukosa Darah tersebut dapat mengakibatkan teraktivasinya HPA-axis. Hipotalamus yang terpicu oleh stresor akan mensekresi CRH dan AVP. Sekresi CRH akan menstimulasi korteks adrenal untuk mensekresi kortisol. Kortisol kemudian akan menimbulkan beberapa efek, salah satunya yaitu glukoneogenesis dan resisten insulin. Glukoneogenesis merupakan suatu keadaan di mana tubuh membentuk glukosa dengan memecah zat lain, yaitu asam amino dan laktat. Glukoneogenesis ini kemudian bisa menyebabkan peningkatan glukosa dalam darah. Ditambah lagi dengan efek resisten insulin yang akan menyebabkan sulitnya glukosa untuk memasuki sel sehingga banyak yang bersirkulasi dalam darah. 7. 8. 9. 10. Simpulan Gelombang elektromagnetik handphone mempengaruhi pengaturan kadar glukosa darah. Pengaruh tersebut diperlihatkan dengan terpicunya HPA-axis oleh stresor yang dihasilkan gelombang elektromagnetik. Yang pada akhirnya dapat mengakibatkan peningkatan glukosa darah. Daftar pustaka 1. Number of mobile cell phone subscribers in China from March 2014 to March 2015 (in millions) [internet]. Jerman: Statista; 2015. Jerman: Statista; 2015 [diakses tanggal 14 Juni 2015]. Tersedia dari: http://www.statista.com/ 2. Fauzi A. Data pengguna smartphone dan social media 2015 [internet];2015. [diakses tanggal 14 Juni 2015]. Tersedia dari: http://lembing.com/ 3. Tyagi A, Duhan M, Bhatia D. Effect of mobile phone radiation on brain activity. IJSTM. 2011;2(2):1-5. 4. Lee M. Health effects of GSM vs CDMA [internet];2015. [diakses tanggal 29 Maret 2015]. Tersedia dari: http://www.livestrong.com/ 5. Khaki AA, Ali-Hemmati A, Nobahari R. A study of the effects of electromagnetic field on islets of langerhans and insulin in rats. Crescent J Med & Biol Sci. 2015;2(1):1-5. 6. Paras S, Snjegota D, Manojlovic M, Matavulj M. Effect of high high frequency electromagnetic filed on beta cells of Majority | Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015| 36 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. langerhans islets in pancreas of rats. Folia Medica. 2014;49(1):32-6 Ayeni AA, Braimoh KT, Ayeni OB. Effect of GSM phone radiation on human pulse rate (heartbeat rate). IJETTCS. 2011;2(11):5807. Sedghi H, Zare S, Hayatgeibi H, Alivandi S, Ebadi AG. Biological effects of power frequency magnetic fields on serum biochemical parameters in guinea pigs. Pak. J. Biol. Sci. 2006;9(6):1083-7. Mahdavi SM, Sahraei H, Yaghmaei P, Tavakoli H. Effects of electromagnetics radiation exposure on stress-related behaviors and stress hormones in male wistar rats. Biomol Ther. 2014;22(6):5706. Radon K, Parera D, Rose DM, Jung D, Vollrath L. No effects of pulsed radio frequency electromagnetic fields on melatonin, cortisol and selected markers of the immune system in man. Bioelectromagnetics. 2001;22:280-7. Markkanen A. Effects of electromagnetic fields on cellular responses to agents causing oxidative stress and DNA [disertasi]. Finland: Kuopio University Library;2009. Sivani S, Sudarsanam D. Impacts of radiofrequency electromagnetic field (RF-EMF) from cell phone towers and wieless devices on biosystem and ecosystem – a review. Biol Med. 2012;4(4): 202-16. Sysoev VN, Lukyanov GN, Serov IN. Electromagnetic influence on human health [internet]. 2013. [diakses tanggal 27 Maret 2015. Tersedia dari: http://www.airestech.com/ Ferreri F, Curcio G, Pasqualetti P, Gennaro LD, Fini R, Rossini PM. Mobile phone emissions and human brain excitability. Annals Neurol. 2006;60(2):188–96. Bhat MA. Effects of electromagnetic waves emitted by mobile phones on male fertility. Comp Engineering and Intelligent Systems. 2013;4(3) Zecca L, Mantegazza C, Margonato V, Cerretelli P, Caniatti M, Piva F. Biological effects of prolonged exposure to ELF electromagnetic fields in rats. Bioelectromagnetics. 2006;19(1):57-66. Cleary SF. Effects of radio-frequency radiation on mammalian cells and biomolecules in vitro. Dalam: Blank M, Inaz dan Anggraeni | Efek Paparan Gelombang Elektromagnetik Handphone terhadap Kadar Glukosa Darah 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. editor. Electromagnetic fields: biological interactions and mechanism. Washington, DC: American Chemical Society;1995. Adey WR. Tissue interactions with nonionizing electromagnetic fields. Physiol. Rev. 1981;61:435–514. Tattersal JE, Scott IR, Wood SJ, Nettell JJ, Bevir MK, Wang Z, et al. Effects of low intensity radiofrequency electromagnetic fields on electrical activity in rat hippocampal slices. Brain Res. 2001;904:43–53. Leszczynski D, Joenvaara S, Reivenen J, Kuokka R. Non-thermal activation of the hsp27/p38MAPK stress pathway by mobile phone radiation in human endothelial cell: molecular mechanism for cancer- and blood-brain barrier-related effects. Differentiation. 2002;70:120-129. Nylund R, Leszczynski D. Proteomics analysis of human endothelial cell line EA.hy926 after exposure to GSM 900 radiation. Proteomics. 2004;4:1359-1365. Tsigos C, Chrousos GP. Hypothalamic – pituitary – adrenal axis, neuroendocrine factors and stress. J Psychosom Res. 2002;53(4):865-71. Wiyono N, Aswin S, Harijadi. Hubungan Antara Tebal Lamina Pyramidalis CA1 Hippocampus Dengan Memori Kerja Pada Tikus (Rattus norvegicus) Pascastres Kronik. JAI. 2007;1:104 – 11. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of anatomy physiology (12th Ed). USA: John Wiley & Sons, Inc; 2009. Engler O, Pham T, Fullenon MJ, Ooi G, Funder JW, Clarke IJ. Studies of the section of corticotropin releasing factor and arginine vasopressin into hypophyseal portal circulation of the conscious sheep. Neuroendocrinology. 1989;49:367 – 81. Horrocks PM, Jones AF, Ratcliffe WA, Holder G, White A, Holder R, et al. Patterns of ACTH and cortisol pulsatility over twenty-four hours in nomal males and females. Clin Endocrinol. 1990;83: 127-34. Chrousos GP, Gold PW. A healthy body in a healthy mind – and vice versa – the damaging power of “uncontrollable” stress. J Clin Endocrinol Metab. 1998;83:1842-5. Guilliams TG, Edwards L. Chronic stress and the HPA axis: Clinical assessment and 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. therapeutic considerations. Point Institue Nutraceutical Research. 2010;9(2). Mescher AL. Histologi dasar junqueira: teks&atlas (Edisi 12). Jakarta: EGC; 2011. Kuehnel W. Color atlas of cytology, histology, and microscopic anatomy (4th Ed). New York: Thieme; 2003. Boron WF, Boulpaep EL. Medical physiology. USA: Elsevier Health Sciences; 2003. Vangelova K, Israel M, Velkovaand D, Ivanova M. Changes in secretion rates of stress hormones in medical staff exposed to electromagnetic radiation. Environmentalist. 2007;27:551-5. Gorczynska E, Wegrzynowicz R. Glucose homeostasis in rats exposed to magnetic field. Invest. Radiol. 1991;26:1095-100. Aronoff SL, Berkowitz K, Shreiner B, Want L. Glucose metabolism and regulation: Beyond insulin and glucagon. Diabetes Spectrum. 2004;17(3):183-4. Brandt M. Endocrine Core Notes. California : University California of Irvine Press; 2009. Barrett KE, Barman SM, Boitano S, Brooks HL. Ganong’s review of medical physiology (23rd Ed). New York: Mc Graw Hill Companies, Inc; 2010. Guyton AC, Hall JE. Textbook of medical physiology (11th Ed). Pennsylvania: Elsevier Inc; 2006. Halsei R, Henric J. Clinical impressions and speculations on the use of high frequency pulsed EMF. J Clinic Investi. 2010;68:1422. Schwartz JL, House DE, Mealing GA. Exposure of frog hearts to CW or amplitude modulated VHF fields: selective efflux of calcium ions at 16 Hz. Bioelectromagnetics. 1990;11:349-58. Amara S, Abdelmelek H, Ben Salem M, Abidi R, Sakly M. Effect of static magnetic field exposure on hematological and biochemical parameters in rats. Braz Arch Biol Techn. 2006;49(6):889-95. Bernad-Kargar C, Ktorza A. Endocrine pancreas plasticity under physiological and pathological conditions. Diabetes. 2001;50:S30-S35. Orci L, Unger RH. Functional subdivision of islets of Langerhans and possible role of Dcells. Lancet. 1975;2:1243-44. Majority | Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015| 37 Inaz dan Anggraeni | Efek Paparan Gelombang Elektromagnetik Handphone terhadap Kadar Glukosa Darah 43. Endocrine regulation system part 2: [internet]; 2015. Majority | Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015| 38 glucose [diakses tanggal 14 Juni 2015]. Tersedia dari: http://www.slideshare.net/ Dina Ikrama Putri | Infeksi Clostridium Difficile Pada Diare yang Diinduksi Penggunaan Antibiotika Infeksi Clostridium Difficile Pada Diare yang Diinduksi Penggunaan Antibiotika Dina Ikrama Putri Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung Abstrak Clostridium difficile (C. difficile) adalah mikroorganisme Gram positif anaerob penghasil basil spora yang menjadi patogen penting dengan angka prevalensi 10-20% sebagai penyebab diare yang diinduksi antibiotika. Strain mutasi hipervirulensi, NAP1/BI/027 (North American Pulse-field gel electrophoresis type 1 /restriction endonuclease analysis BI/ribotype 027) teridentifikasi sebagai strain yang paling berpengaruh dalam patogenisitas infeksi C. difficile. Spora yang dihasilkan terdapat pada saluran cerna dari 2-3% individu dewasa sehat serta 70% bayi sehat. Spora tersebut mengeluarkan dua protein exotoksin (TcdA dan TcdB) yang akan menyebabkan kematian kolonosit, hilangnya fungsi barier intestinal, dan kolitis neutrofilik. Infeksi C. difficile dapat memicu berbagai macam respon tubuh bervariasi bergantung dengan jenis antibiotik yang digunakan, keadaan epidemiologi, dan kondisi hospes. Dalam pengobatan lini pertama, digunakan metronidazole dan vankomisin oral untuk eradikasi untuk infeksi C. difficile. Sedangkan bila terjadi rekurensi kedua, maka akan sulit diobati karena adanya spora yang menetap pada usus dan ketidakmampuan hospes untuk mengaktifkan respon imun efektif terhadap toksin C. difficile. Pada kasus berat, prosedur transplantasi mikrobiota feses dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mencegah komplikasi. Di sisi lain, penggunaan antibiotika untuk keperluan eradikasi infeksi juga perlu diperhatikan sebagai kunci penting lebih lanjut untuk mengurangi resiko infeksi C. difficile. Kata kunci: antibiotika, Clostridium difficile, diare Clostridium Difficile Infection On Antibiotic Associated Diarrhea Abstract Clostridium difficile (C. difficile) is an anaerobic Gram positive spore forming bacillus as important pathogen responsible for antibiotic associated diarrhea (AAD). The mutant hypervirulent strain, NAP1/BI/027 (North American Pulse-field gel electrophoresis type 1 /restriction endonuclease analysis BI/ribotype 027) is mostly responsible strain for C. difficile infection pathogenicity. Spores which is produced can be found in gastrointestinal tracts from 2-3% in healthy individuals and 70% in healthy infants. The spores release two protein exotoxins (TcdA and TcdB) that leading to colonocyte death, loss of intestinal barrier function, and neutrophilic colitis. C. difficile infection can trigger various system responses depend on antibiotic use, epidemiological setting and host condition. On the first line treatment, oral metronidazole and vancomycin are used for C. difficile infection eradication. If there is second recurrence can be difficult to cure, primarily because of the persistence of spores in the bowel and the inability of the patient to mount an effective immune response to C. difficile toxins. In severe cases, fecal microbial transplantation can be considered to prevent any complication. In the contrary, antibiotic use for eradication needs to be focused as important key to diminish C. difficile infection risks. Keywords: antibiotic associated diarrhea, Clostridium difficile Korespondensi: Dina Ikrama Putri, alamat Asrama Melati No. 3C, Jalur 2 Unila, Rajabasa, HP 081282090704, e-mail [email protected] Pendahuluan Clostridium difficile (C. difficile) merupakan bakteri Gram positif anaerob penghasil spora yang menjadi patogen penting dalam penyakit diare yang diinduksi antibiotika.1,2 Prevalensi angka kejadian infeksi C. difficile di negara-negara Asia bahkan sangat sedikit yang telah dilaporkan.3,4 Strain mutasi hipervirulensi, NAP1/BI/027 (North American Pulse-field gel electrophoresis type 1 /restriction endonuclease analysis BI/ribotype 027) dipercaya sebagai strain yang menimbulkan wabah penyakit infeksi C. difficile di seluruh bagian dunia.5 Infeksi C. difficile dapat memicu berbagai macam respon tubuh yang beragam dari gejala asimtomatik, kolitis fulminan hingga diare rekuren.6 Variasi klinis tersebut biasanya lebih ditentukan karena faktor hospes dibandingkan faktor virulensi bakteri.6 Pengobatan awal infeksi C. difficile telah dikembangkan dengan baik, termasuk penghentian antibiotik yang dapat memicu adanya infeksi, terapi suportif cairan dan elektrolit, serta penggunaan antibiotik metronidazole atau vankomisin.7,8 Bila diare disebabkan oleh infeksi C. difficile, gejala klinis akan lebih berat dan fulminan, relaps, dan kolitis berat.9 Diare yang diinduksi antibiotika membutuhkan prosedur diagnostik yang meningkat, opname yang berkepanjangan dan meningkatnya biaya medis.10 Jumlah serangan Majority|Volume 4|Nomor 7|Juni 2015|39 Dina Ikrama Putri | Infeksi Clostridium Difficile Pada Diare yang Diinduksi Penggunaan Antibiotika bervariasi bergantung dengan jenis antibiotik yang digunakan, keadaan epidemiologi, dan kondisi hospes.9 Frekuensi yang meningkat ditemukan pada anak-anak dan usia lanjut, adanya penyakit penyerta, riwayat pembedahan dan obat-obatan yang bekerja pada motilitas usus merupakan faktor yang dapat meningkatkan resiko antibiotic associated diarrhea (AAD).11 Berdasarkan dari semua kasus AAD, 10 hingga 20% disebabkan adanya infeksi C. difficile.12 dewasa sehat serta 70% bayi sehat.13 C. difficile berkolonisasi pada usus besar dan mengeluarkan dua protein eksotoksin (TcdA dan TcdB). Transmisi penyakit melalui spora yang resisten terhadap panas, asam, dan antibiotik. Spora tersebar hampir di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan seperti lingkungan rumah sakit dan suplai makanan bagi pasien, sehingga memungkinkan terjadinya transmisi nosokomial pada 14 komunitas. Patogenesis dari C. difficile dapat dilihat pada Gambar 1 Isi C. difficile membentuk spora yang terdapat pada saluran cerna dari 2-3% individu Gambar 1. Patogenesis infeksi C. difficile15 Diare yang disebabkan oleh C. difficile diperantarai oleh TcdA dan TcdB yang akan menginaktivasi Rho guanosin trifosfat (Rho GTPase). Hal ini menyebabkan kematian kolonosit, hilangnya fungsi barier intestinal, dan kolitis neutrofilik. C. difficile tidak bersifat invasif, sehingga infeksi ekstra kolon sangat jarang terjadi.16 TcdA terdiri dari protein dengan berat molekul sekitar 400.000-600.000, dan mempunyai sifat enterotoksik yang dapat mengikat sel pada membran brush border. Akibat perlekatan ini terjadi erosi pada mukosa Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 40 usus dan merangsang pengeluaran cairan dari usus, selain itu toksin ini juga dapat menyebabkan perdarahan.17 TcdB dengan berat molekul sekitar 360.000-500.000 terbukti tidak aktif di usus, tetapi mempunyai kekuatan sitotoksin 1000 kali lebih kuat dibandingkan toksin A.15 Faktor resiko yang paling penting dalam infeksi C. difficile adalah adanya penggunaan antibiotik. Ampisilin, amoksisilin, sefalosporin, klindamisin dan flurokuinolon merupakan antibiotik tersering yang dapat menyebabkan infeksi C. difficile (Tabel 1). Dina Ikrama Putri | Infeksi Clostridium Difficile Pada Diare yang Diinduksi Penggunaan Antibiotika Tabel 1. Golongan Antibiotik dan Hubungannya terhadap Infeksi Clostridium difficile15 Golongan Klindamisin Ampisilin Amoksisilin Sefalosporin Fluroquinolone Golongan penicillin lainnya Sulfonamida Trimetropim Trimethoprim– sulfamethoxazole Macrolides Aminoglikosida Bacitracin Metronidazole Teicoplanin Rifampin Kloramfenikol Tetrasiklin Karbapenem Daptomycin Tigecycline Hubungan dengan Infeksi C. Difficile Sangat umum Sangat umum Sangat umum Sangat umum Sangat umum Umum terbukti mampu menurunkan prevalensi infeksi C. difficile sebanyak 77% dalam 450 kasus pada rumah sakit di Skotlandia.22 Tabel 2. Tatalaksana Infeksi Clostridium difficile18 Derajat Karier asimtomatik Ringan Umum Umum Umum Umum Tidak umum Tidak umum Tidak umum Tidak umum Tidak umum Tidak umum Tidak umum Tidak umum Tidak umum Tidak umum Dalam sebuah penelitian, resiko infeksi C. difficile dalam sebuah wabah 10 kali lebih tinggi pada pasien diatas 65 tahun dan pasien muda.18 Mayoritas infeksi C. difficile didapatkan dari rumah sakit (hospitalacquired), tetapi infeksi community-acquired meningkat pada dekade akhir ini.19 Infeksi C. difficile kini didiagnosis dengan mendeteksi toksin pada feses menggunakan enzyme immunoassay atau mendeteksi DNA toksin pada feses yang belum terbentuk. Kultur feses untuk C. difficile membutuhkan suasana anaerobik yang sulit untuk disediakan di setiap waktu. Enzyme immunoassay tetap menjadi pilihan pertama dalam mendeteksi infeksi C. difficile karena hasilnya cepat dan mudah untuk dilakukan. Beberapa uji DNA juga mampu mendeteksi adanya strain BI/NAP1/027.20 Tidak tersedianya vaksin yang efektif, maka pengontrolan terhadap infeksi telah difokuskan pada pemilihan antibiotik, pencegahan dalam penularan di fasilitas layanan kesehatan dan probiotik. Meminimalkan penggunaan antibiotik telah terbukti dapat menurunkan angka kejadian infeksi C. difficile.21 Dicegahnya penggunaan rutin antibiotik ceftriaxone dan siprofloksasin Sedang Berat Komplikasi Rekurensi pertama Rekurensi kedua dan selanjutnya Manifestasi klinis Tidak ada tanda dan gejala Diare ringan, afebris, nyeri abdomen ringan dan tidak ada abnormalitas hasil lab Diare sedang tanpa darah, nyeri abdomen sedang, nausea, muntah, dehidrasi, leukosit >15.000/mm3, meningkatnya kadar BUN dan nitrogen Diare berat berdarah, nyeri abdomen berat, muntah, ileus, suhu >38,90C, leukosit >20.000/mm3, kadar albumin <2,5 mg/dl Toxic megacolon, peritonitis, gangguan pernapasan, hemodinamik tidak stabil Tatalaksana Tidak ada indikasi pengobatan Hidrasi, Metronidazole oral (500 mg, 3 kali sehari) Rawat inap, hidrasi, Metronidazole oral (500 mg, 3 kali sehari) atau vankomisin oral (125 mg, 4 kali sehari selama 14 hari) Rawat inap, vankomisin secara oral atau nasogastric (500 mg 4 kali sehari) dengan atau tanpa metronidazole IV (500 mg 3 kali sehari) Konsultasi bedah untuk dilakukan subtotal colectomy atau diverting ileostomy Vankomisin oral (125 mg, 4 kali sehari selama 14 hari) atau fidaxomicin (200 mg, 2 kali sehari selama 10 hari). Transplantasi mikrobiota feses atau fidaxomicin (200 mg, 2 kali sehari selama 10 hari) Majority|Volume 4|Nomor 7|Juni 2015|41 Dina Ikrama Putri | Infeksi Clostridium Difficile Pada Diare yang Diinduksi Penggunaan Antibiotika Metronidazole dan vankomisin oral masih menjadi terapi obat lini pertama untuk infeksi C. difficile sejak tahun 1970. Walaupun sudah digunakan sejak lama, resistensi terhadap kedua obat tersebut belum tercatat hingga saat ini. Pada penderita dengan diare berat, vankomisin menjadi pilihan utama, tetapi untuk diare infeksi ringan hingga sedang, keduanya memiliki efektivitas yang sama.23 Meningkatnya kegagalan proses penyembuhan secara klinis dengan metronidazole pada strain BI/NAP1/027 juga dilaporkan pada dekade silam.24 Pengobatan rekurensi episode awal dengan menggunakan metronidazole atau vankomisin selama 10 hingga 14 hari terbukti efektif pada 50% pasien.25,26 Sedangkan bila terjadi rekurensi kedua, maka hal tersebut menjadi sulit diobati karena adanya spora yang menetap pada usus dan ketidakmampuan hospes untuk mengaktifkan respon imun efektif terhadap toksin C. difficile.27 Rekurensi kedua dapat diobati dengan fidaxomisin (200 mg, dua kali sehari selama 10 hari) atau pemberian regimen vankomisin dalam dosis yang dapat diturunkan atau dosis intermiten (Tabel 2). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa fidaxomisin lebih efektif mencegah episode rekurensi berikutnya dibandingkan vankomisin setelah rekurensi awal.28 Mikrobiota kolon manusia yang berfungsi sebagai penghambat kolonisasi dalam melawan bakteri patogen menjadi kunci penting dalam patogenesis terjadinya infeksi C. difficile. Setelah pasien terpapar penggunaan antibiotik oral, terjadi penurunan yang cepat terhadap berbagai mikrobiota kolon yang akan berakhir selama beberapa bulan.29,30 Penghentian administrasi pemberian semua antibiotik merupakan jalan terbaik untuk mengeliminasi C. difficile dari kolon, sehingga mikrobiota kolon mampu kembali pulih secara cepat. Pemulihan tersebut membutuhkan waktu 12 minggu atau lebih lama di saat pasien mungkin mengalami relaps. Transplantasi mikrobiota feses merupakan prosedur yang pertama kali dilakukan pada tahun 1958, telah diakui menjadi penatalaksanaan yang aman dan efektif untuk kasus infeksi C. difficile. Komponen spesifik dalam mikrobiota feses yang mampu menghambat C. difficile tidak diketahui dengan jelas, tetapi filum Bakteriodes dan Firmicutes diketahui menjadi komponen yang terpenting untuk dilakukan transplantasi Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 42 dalam prosedur tersebut.31,32 Transplantasi feses melalui oral atau rektal dari pendonor sehat yang telah diuji terbukti efektif dalam mengobati 90% pasien dengan infeksi rekurensi C. difficile.33 Walaupun transmisi patogen yang tidak teridentifikasi atau tidak terdeteksi sangat memungkinkan, tidak ada laporan komplikasi infeksi berat yang berasal dari transplantasi mikrobiota feses yang telah dilakukan.34 Percobaan pada hewan menunjukkan bahwa imunisasi menggunakan toksoid TcdA dan TcdB mampu secara efektif melindungi antitoksin IgG pada serum alami yang didapat pada pasien dengan keadaan C. difficile yang terkolonisasi. Hal tersebut menjadi program vaksinasi yang potensial pada manusia dalam melawan infeksi C. difficile.35 Imunisasi pasif dengan antibodi monoklonal terhadap toksin C. difficile juga mampu melindungi hospes terhadap angka rekurensi setelah infeksi akut khususnya pada pasien dengan resiko tinggi rekurensi.36 Ringkasan Clostridium difficile merupakan bakteri Gram positif anaerob penghasil spora yang resisten terhadap panas, asam dan antibiotik. Strain yang berperan penting dalam terjadinya penyakit ini adalah NAP1/BI/027 yang mampu memicu berbagai macam respon tubuh, beragam dari gejala asimtomatik, kolitis fulminan hingga diare rekuren. Gejala tersebut bervariasi bergantung dengan jenis antibiotik yang digunakan, keadaan epidemiologi, kondisi hospes dan range umur pada anak-anak dan usia lanjut. Diare yang disebabkan oleh C. difficile diperantarai oleh TcdA dan TcdB yang akan menginaktivasi Rho guanosin trifosfat (Rho GTPase). Hal ini menyebabkan kematian kolonosit, hilangnya fungsi barier intestinal, dan kolitis neutrofilik. Ampisilin, amoksisilin, sefalosporin, klindamisin dan flurokuinolon merupakan antibiotik tersering yang dapat menyebabkan infeksi C. difficile. Pengobatan lini pertama menggunakan metronidazole dan vankomisin oral, hal ini sama dalam pengobatan rekurensi episode awal selama 10 hingga 14 hari, sedangkan untuk rekurensi selanjutnya dapat diberikan fidaxomisin atau regimen vankomisin. Terapi adjunctive pada kasus berat dapat dilakukan prosedur transplantasi mikrobiota usus menggunakan filum Bakteriodes dan Firmicutes. Di sisi lain, Dina Ikrama Putri | Infeksi Clostridium Difficile Pada Diare yang Diinduksi Penggunaan Antibiotika pencegahan menggunakan imunisasi pasif toksoid TcdA dan TcdB yang melindungi antitoksin IgG pada serum alami yang didapat pada pasien masih dalam tahap dikembangkan. Simpulan Infeksi Clostridium difficile pada diare (associated antibiotic diarrhea/AAD) perlu diagnosis dan pengobatan yang sesuai untuk menghindari terjadinya komplikasi dan rekurensi penyakit. Penggunaan antibiotika untuk keperluan eradikasi infeksi juga perlu diperhatikan lebih lanjut untuk mengurangi resiko infeksi C. difficile. Daftar Pustaka 1. Kelly CP, LaMont JT. Clostridium difficile more difficult than ever. N Engl J Med. 2008; 359(18):1932-40. 2. Khanna S, Pardi DS, Aronson SL, Kammer PP, Orenstein R, St. Sauver JL, et al. The epidemiology of community-acquired Clostridium difficile infection: a population-based study. Am J Gastroenterol. 2012;107(1):89-95. 3. Ekma N, Yee LY, Aziz RA. Prevalence of Clostridium difficile infection in Asian countries. Rev Med Microbiol. 2012;23(1):1-4. 4. Collins DA, Hawkey PM, Riley TV. Epidemiology of Clostridium difficile infection in Asia. Antimicrob Resist Infect Control. 2013;2(1):21. 5. Vaishnavi C. Clinical spectrum & pathogenesis of Clostridium difficile associated diseases. Indian J Med Res. 2010; 131:487-99. 6. Yong Gil, Kim & Ik Byung, Jang. Current advances related to Clostridium difficile infection. Indian J Med Res. 2015; 141:172-4. 7. Gerding DN, Muto CA, Owens RC, Jr. Treatment of Clostridium difficile infection. Clin Infect Dis. 2008;46(Suppl 1):S32-42. 8. Surowiec D, Kuyumjian AG, Wynd MA, Cicogna CE. Past, present, and future therapies for Clostridium difficile associated disease. Ann Pharmacother. 2006; 40:2155-63. 9. Surawicz CM, Brandt LJ, Binion DG, Ananthakrishnan AN, Curry SR, Gilligan PH, et al. Guidelines for diagnosis, treatment, and prevention of Clostridium 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. difficile infections. Am J Gastroenterol. 2013; 108:478-98. Owens RC. Clostridium difficile-associated disease: changing epidemiology and implications for management. Drugs. 2007; 67:487-502. Surowiec D, Kuyumjian AG, Wynd MA, Cicogna CE. Past, present, and future therapies for Clostridium difficile associated disease. Ann Pharmacother. 2006;40:2155-63 Lowy I, Molrine DC, Leav BA, Blair BM, Baxter R, Gerding DN, et al. Treatment with monoclonal antibodies against Clostridium difficile toxins. N Engl J Med. 2010;362: 197-205. Aberra FN & Katz J. Clostridium Difficile Colitis [Internet]. Medscape Reference ; 2013 [diakses tanggal 25 April 2015]. Tersedia dari: http://emedicine.medscape.com/article/1 86458-overview#aw2aab6b2b1aa Rupnik, M. Is Clostridium difficileassociated infection a potentially zoonotic and foodborne disease. Clin Microbiol Infect. 2007; 13:457-9. Leffler, Daniel A. & Lamont, J. Thomas. Clostridium difficile Infection. The new england journal of medicine. 2015;372:16 O’Connor JR, Johnson S, Gerding DN. Clostridium difficile infection caused by the epidemic BI/NAP1/027 strain. Gastroenterology. 2009;136: 1913-24. Bauer, MP & van, Dissel JT. Alternative strategies for Clostridium difficile infection. Int J Antimicrob Agents. 2009;33(Suppl 1):S51–6. Pépin J, Valiquette L, Cossette B. Mortality attributable to nosocomial Clostridium difficile-associated disease during an epidemic caused by a hypervirulent strain in Quebec. CMAJ. 2005;173:1037-42. Wilcox MH, Mooney L, Bendall R, Settle CD, Fawley WN. A case-control study of community-associated Clostridium difficile infection. J Antimicrob Chemother. 2008; 62: 388-96. Longtin Y, Trottier S, Brochu G. Impact of the type of diagnostic assay on Clostridium difficile infection and complication rates in a mandatory reporting program. Clin Infect Dis. 2013;56:67-73. Majority|Volume 4|Nomor 7|Juni 2015|43 Dina Ikrama Putri | Infeksi Clostridium Difficile Pada Diare yang Diinduksi Penggunaan Antibiotika 21. Vonberg RP, Kuijper EJ, Wilcox MH. Infection control measures to limit the spread of Clostridium difficile. Clin Microbiol Infect. 2008;14(Suppl 5): 2-20. 22. Dancer SJ, Kirkpatrick P, Corcoran DS, Christison F, Farmer D, Robertson C. Approaching zero: temporal effects of a restrictive antibiotic policy on hospitalacquired Clostridium difficile, extended-spectrum β-lactamaseproducing coliforms and meticillinresistant Staphylococcus aureus. Int J Antimicrob Agents. 2013; 41:137-42. 23. Zar FA, Bakkanagari SR, Moorthi KM, Davis MB. A comparison of vancomycin and metronidazole for the treatment of Clostridium difficile-associated diarrhea, stratified by disease severity. Clin Infect Dis. 2007; 45: 302-7. 24. Pépin J, Valiquette L, Gagnon S, Routhier S, Brazeau I. Outcomes of Clostridium difficile-associated disease treated with metronidazole or vancomycin before and after the emergence of NAP1/027. Am J Gastroenterol. 2007;102:2781-8. 25. Leffler DA, Lamont JT. Treatment of Clostridium difficile-associated disease. Gastroenterology. 2009;136:1899-912. 26. Hu MY, Katchar K, Kyne L. Prospective derivation and validation of a clinical prediction rule for recurrent Clostridium difficile infection. Gastroenterology. 2009; 136:1206-14. 27. Maroo S, Lamont JT. Recurrent Clostridium difficile. Gastroenterology. 2006;130: 1311-6. 28. Cornely OA, Miller MA, Louie TJ, Crook DW, Gorbach SL. Treatment of first recurrence of Clostridium difficile infection: fidaxomicin versus vancomycin. Clin Infect Dis. 2012;55(Suppl 2): S154S161. Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 44 29. Dethlefsen L, Huse S, Sogin ML, Relman DA. The pervasive effects of an anti antibiotic on the human gut microbiota, as revealed by deep 16S rRNA sequencing. PLoS Biol. 2008; 6(11):280. 30. Jernberg C, Löfmark S, Edlund C, Jansson JK. Long-term ecological impacts of antibiotic administration on the human intestinal microbiota. ISME. 2007; 1:56-66 31. Antharam VC, Li EC, Ishmael A. Intestinal dysbiosis and depletion of butyrogenic bacteria in Clostridium difficile infection and nosocomial diarrhea. J Clin Microbiol. 2013;51:2884-92. 32. Song Y, Garg S, Girotra M. Microbiota dynamics in patients treated with fecal microbiota transplantation for recurrent Clostridium difficile infection. PLoS One. 2013;8(11):81330. 33. Kassam Z, Lee CH, Yuan Y, Hunt RH. Fecal microbiota transplantation for Clostridium difficile infection: systematic review and meta-analysis. Am J Gastroenterol. 2013;108:500-8. 34. van Nood E, Vrieze A, Nieuwdorp M. Duodenal infusion of donor feces for recurrent Clostridium difficile. N Engl J Med. 2013;368:407-15. 35. Siddiqui F, O’Connor JR, Nagaro K. Vaccination with parenteral toxoid B protects hamsters against lethal challenge with toxin A-negative, toxin B-positive clostridium difficile but does not prevent colonization. J Infect Dis. 2012;205:12833. 36. Lowy I, Molrine DC, Leav BA. Treatment with monoclonal antibodies against Clostridium difficile toxins. N Engl J Med. 2010;362:197-205. Ayu Aprilia | Obesitas pada Anak Sekolah Dasar Obesitas pada Anak Sekolah Dasar Ayu Aprilia Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung Abstrak Di Indonesia, masalah obesitas menjadi masalah gizi yang belum dapat diselesaikan. Beberapa faktor yang dapat menimbulkan obesitas, yaitu pola makan yang tidak baik, genetik, aktivitas fisik. Aktivitas fisik dapat menimbulkan obesitas akibat terbatasnya lapangan bermain dan kurangnya fasilitas untuk bermain sehingga anak lebih memilih bermain di dalam rumah dan semakin majunya teknologi seperti video games, playstation, televisi dan komputer yang menyebabkan anak malas untuk melakukan aktivitas fisik. Pada anak sekolah, obesitas dapat berlanjut hingga dewasa dan menimbulkan beberapa penyakit kardiovaskular seperti diabetes mellitus, osteoarthritis dan kanker dan penyakit lainnya. Kata Kunci: aktivitas fisik, anak sekolah, obesitas Obesity in Primary School Children Abstract In Indonesia, obesity is the nutritional problem that cannot be solved. Some factors can rise obesity, such as bad diet, genetic, physical activity. Physical activity can lead to obesity due to the limited field of play and the lack of facilities for playing so that children prefer to play in the house and technologies such as video games, playstation, television and computers cause children are lazy for doing physical activity. In elementary student, obesity may continue into adulthood and lead to cardiovascular diseases such as diabetes mellitus, osteoarthritis and cancer and other diseases . Keyword: elementary student, obesity, physical activity Korespondensi : Ayu Aprilia, alamat Jl. Soemantri Brojonegoro, Pondok Arbenta, Bandar Lampung, no HP 081273813624, email [email protected] Pendahuluan Kegemukan dan obesitas terjadi akibat asupan energi lebih tinggi daripada energi yang dikeluarkan. Asupan energi tinggi disebabkan oleh konsumsi makanan sumber energi dan lemak tinggi, sedangkan pengeluaran energi yang rendah disebabkan karena kurangnya aktivitas fisik dan sedentary life style.1 Prevalensi kegemukan dan obesitas pada anak sekolah (6-12 tahun) sebesar 9,2%. Sebelas provinsi, seperti D.I. Aceh (11,6%), Sumatera Utara (10,5%), Sumatera Selatan (11,4%), Riau (10,9%), Lampung (11,6%), Kepulauan Riau (9,7%), DKI Jakarta (12,8%), Jawa Tengah (10,9%), Jawa Timur (12,4%), Sulawesi Tenggara (14,7%), Papua Barat (14,4%) berada di atas prevalensi nasional. Dari hasil penelitian terhadap anak-anak sekolah dasar di New York, dari 3069 sampel didapatkan prevalensi anak yang obesitas sebesar 24% dan overweight sebesar 43%, sedangkan hasil penelitian yang telah dilakukan di United States didapatkan prevalensi sejak tahun 1980 hingga sekarang untuk usia 2-5 tahun meningkat dua kali lipat dari 5% hingga 12,4% dan untuk anak usia 6-11 tahun meningkat lebih dari tiga kali lipat dari 5% hingga 17,6%.2,3,4 Obesitas merupakan keadaan indeks massa tubuh (IMT) anak yang berada di atas persentil ke-95 pada grafik tumbuh kembang anak sesuai jenis kelaminnya. Sejak tahun 1970 hingga sekarang, kejadian obesitas meningkat 2 (dua) kali lipat pada anak usia 2-5 tahun dan usia 12-19 tahun, bahkan meningkat tiga kali lipat pada anak usia 6-11 tahun. Di Indonesia, prevalensi obesitas pada anak usia 6-15 tahun meningkat dari 5% tahun 1990 menjadi 16% tahun 2001.5,6 Isi Obesitas masih merupakan masalah kesehatan bagi anak maupun dewasa, oleh karena komplikasi jangka pendek obesitas itu sendiri berakibat terhadap pertumbuhan tulang, penyakit endokrin, kardiovaskular dan sistem gastrointestinal.7 Kesejahteraan yang meningkat dan berubahnya pola makan pada masyarakat mengakibatkan peningkatan konsumsi lemak oleh masyarakat. Berkurangnya lapangan tempat bermain serta makin tersedianya MAJORITY| Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015| 45 Ayu Aprilia | Obesitas pada Anak Sekolah Dasar hiburan dalam bentuk tontonan televisi, permainan video atau playstation menyebabkan berkurangnya aktivitas fisik terutama oleh anak-anak. 8 Obesitas secara umum didefenisikan sebagai peningkatan berat badan yang disebabkan oleh meningkatnya lemak tubuh secara berlebihan. Obesitas sering dihubungkan dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) dimana berat badan (kg) dibagi tingggi badan (m2). Anak dengan IMT ≥ persentil (P) 85 diklasifikasikan sebagai berat badan lebih dan IMT ≥ P 95 diklasifikasikan sebagai obesitas.8 Faktor-faktor penyebab obesitas: Faktor genetik, Parental fatness merupakan faktor genetik yang berperan besar. Bila kedua orang tua obesitas, 80% anaknya menjadi obesitas; bila salah satu orang tua obesitas, kejadian obesitas menjadi 40 % dan bila kedua orang tua tidak obesitas kejadian obesitas, prevalensi menjadi 14 %. Hipotesis Barjer menyatakan bahwa perubahan lingkungan nutrisi intrauterin menyebabkan gangguan perkembangan organ-organ pertumbuhan terutama kerentanan terhadap pemrograman janin yang dikemudian hari bersama-sama dengan pengaruh diet dan stress lingkungan merupakan predisposisi pada kemudian hari.9 Faktor lingkungan. Aktivitas fisik merupakan komponen utama dari energy expenditure, yaitu sekitar 20-50 % dari total energy expenditure. Penelitian di negara maju mendapatkan hubungan antara aktifitas fisik yang rendah dengan kejadian obesitas. Individu dengan aktivitas fisik yang rendah mempunyai resiko peningkatan berat badan sebesar 5 kg. Penelitian di Jepang menunjukkan resiko obesitas yang rendah (OR: 0,48) pada kelompok yang mempunyai kebiasaan olahraga, sedang penelitian di Amerika menunjukkan penurunan berat badan dengan jogging (OR: 0,57), aerobik (OR: 0,59), tetapi untuk olahraga tim dan tenis tidak menunjukkan berat badan yang signifikan.10 Faktor nutrisional. Peranan faktor nitrisi dimulai sejak kandungan dimana jumlah lemak tubuh dan pertumbuhan bayi dipengaruhi berat badan ibu. Kenaikan berat badan dan lemak anak dipengaruhi oleh waktu pertama kali mendapat makanan padat, asupan tinggi kalori dari karbohidrat dan lemak serta kebiasaan mengkonsumsi yang mengandung energi tinggi.11 MAJORITY| Volume 2 | Nomor 7 |Juni 2015| 46 Faktor sosial ekonomi. Perubahan pengetahuan, sikap, perilaku dan gaya hidup, pola makan, serta peningkatan pendapatan mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi.12 “The National Health and Medical Research Council (NHMRC) “merekomendasikan penggunaan dari “The United States Centers for Disease Control and Prevention BMI percentile charts”. Akhir-akhir ini terdapat peningkatan prevalensi obesitas. Australian Health and Fitness Survey yang bekerja sama dengan Australian Council for Health, Physical Education and Recreation (ACHPER) tahun 1985 mengambil lebih dari 8000 sampel anak sekolah di Australia dengan rentang umur 7–15 tahun. Studi ini melaporkan peningkatan overweight dan obesitas dari 11,8% pada anak laki-laki dan 10,7% pada anak perempuan menjadi lebih besar 19% pada anak laki-laki dan 21% pada anak perempuan dalam 3 tahun.13 Prevalensi obesitas pada anak usia 6–17 tahun di Amerika Serikat dalam tiga dekade terakhir meningkat dari 7,6–10,8% menjadi 13 – 14%. Prevalensi overweight dan obesitas pada anak usia 6–18 tahun di Rusia adalah 6% dan 10%, di Cina adalah 3,6% dan 3,4% dan di Inggris adalah 22–31% dan 10–17%, bergantung pada umur dan jenis kelamin. Prevalensi obesitas pada anak-anak sekolah di Singapura meningkat dari 9% menjadi 19,6% berdasarkan Studi pada 1997-2000 dan pada negara-negara berkembang di dunia 13 menunjukan hasil yang hampir sama. Obesitas yang terjadi pada masa anakanak dapat beresiko tinggi untuk menjadi obesitas pada masa dewasanya nanti. Masa anak-anak adalah masa pertumbuhan dan perkembangan sehingga kegemukan pada masa anak menyebabkan semakin banyaknya jumlah sel otot dan tulang rangka sedangkan obesitas pada orang dewasa hanya terjadi pembesaran sel-sel saja sehingga kemungkinan penurunan berat badan ke normal akan lebih mudah. Anak yang mengalami obesitas pada masanya 75% akan menderita obesitas pula pada masa dewasanya dan berpotensi mengalami berbagai penyebab kesakitan dan kematian antara lain penyakit kardiovaskular dan diabetes mellitus dan akibat yang ditimbulkan obesitas ini akan mempunyai Ayu Aprilia | Obesitas pada Anak Sekolah Dasar dampak terhadap tumbuh kembang anak itu sendiri.14 Kegemukan tidak hanya disebabkan oleh kebanyakan makan dalam hal karbohidrat, lemak, maupun protein, tetapi juga karena kurangnya aktivitas fisik. Obesitas pada anak adalah faktor penentu yang sangat penting terhadap obesitas pada usia dewasa. Indeks Massa Tubuh (IMT) yang tinggi pada remaja memprediksikan peningkatan risiko kematian dan penyakit kardiovaskular. Lebih dari 60% anak overweight sebelum masa pubertas akan berlanjut hingga masa dewasa awal, hal ini penting untuk diperhatikan karena obesitas memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan, status psikososial, kualitas hidup dan usia harapan hidup.15,16 Salah satu yang menjadi faktor resiko adalah anak usia sekolah. Hasil penelitian Husaini yang dikutip Hadi (2005) mengemukakan bahwa, dari 50 anak yang mengalami gizi lebih, 86% akan tetap obesitas hingga dewasa dan dari 50 anak perempuan yang obesitas, 80% akan tetap obesitas hingga dewasa.17 Hal ini juga dapat ditemui pada penelitian yang dilakukan oleh Angel (2013) diperoleh 44 (64,7%) kasus obesitas terjadi pada siswa berjenis kelamin laki-laki sedangkan untuk siswa berjenis kelamin perempuan hanya 24 (35,3%) kasus dan dari 136 anak SD yang menjadi responden diperoleh 100 anak SD yang memiliki intensitas aktivitas ringan dan 36 anak SD yang memiliki intensitas aktivitas sedang. Dari 100 responden yang memiliki intensitas aktivitas ringan terdapat 58 anak yang mengalami obesitas dan sisanya 42 anak tidak mengalami obesitas. Sedangkan dari 36 responden yang memiliki intensitas aktivitas sedang terdapat 10 anak yang mengalami obesitas dan sisanya 26 anak yang tidak mengalami obesitas.18 Aktivitas fisik yang dilakukan setiap hari bermanfaat bukan hanya untuk mendapatkan kondisi tubuh yang sehat tetapi juga bermanfaat untuk kesehatan mental, hiburan dalam mencegah stres. Rendahnya aktivitas fisik merupakan faktor utama yang mempengaruhi obesitas. Kebiasaan olahraga didasarkan atas aktivitas fisik anak dalam kesehariannya antara lain kebiasaan berjalan kaki dan bersepeda. Proporsi anak yang tidak rutin berolah raga sebesar 39,4%. Penelitian yang dilakukan oleh Mustelin menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara aktivitas fisik dengan obesitas pada anak. Anak yang tidak rutin berolahraga memiliki risiko obesitas sebesar 1,35 kali dibandingkan dengan responden yang rutin berolahraga. Selain itu ternyata anak yang tidak rutin berolah raga justru cenderung memiliki asupan energi yang lebih tinggi dibandingkan anak yang rutin berolah raga. Makanan dan aktivitas fisik dapat mempengaruhi timbulnya obesitas baik secara bersama maupun masing-masing.19,20 Penelitian lainnya didapatkan hasilnya 77,5% anak obesitas yang menghabiskan waktu lebih dari 8 jam untuk tidur dalam satu hari, 85% anak obesitas menghabiskan waktu lebih dari 2 jam untuk waktu menonton TV, bermain game, dan internet dalam satu hari, dan 70% anak obes yang menghabiskan waktunya bermain di luar rumah kurang dari 2 jam per hari.21 Untuk mengurangi angka kejadian obesitas, The United States Dietary Guidelines for Americans merekomendasikan untuk anakanak sekolah melakukan aktivitas fisik paling tidak untuk melakukan aktivitas fisik selama 60 menit setiap hari.22 Ringkasan Obesitas masih merupakan masalah kesehatan bagi anak dan dewasa. Obesitas secara umum didefenisikan sebagai peningkatan berat badan yang disebabkan oleh meningkatnya lemak tubuh secara berlebihan. Faktor-faktor yang menyebabkan obesitas antara lain faktor genetik, faktor lingkungan, faktor nutrisional dan faktor sosial ekonomi. Obesitas pada anak adalah faktor penentu yang sangat penting terhadap obesitas pada usia dewasa. Untuk mengurangi angka kejadian obesitas, The United States Dietary Guidelines for Americans merekomendasikan untuk anakanak sekolah melakukan aktivitas fisik paling tidak selama 60 menit setiap hari. Aktivitas fisik yang dilakukan setiap hari bermanfaat bukan hanya untuk mendapatkan kondisi tubuh yang sehat tetapi juga bermanfaat untuk kesehatan mental, hiburan dalam mencegah stres. Rendahnya aktivitas fisik merupakan faktor utama yang mempengaruhi obesitas. Simpulan Obesitas yang terjadi pada anak-anak dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan dan dapat menimbulkan MAJORITY| Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015| 47 Ayu Aprilia | Obesitas pada Anak Sekolah Dasar beberapa penyakit seperti penyakit kardiovaskular dan diabetes mellitus. 11. Daftar Pustaka 1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Riset Kesehatan Dasar [Internet]. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; 2013 [disitasi tanggal 28 November 2014]. Tersedia dari: http://www.litbang.depkes.go.id/sites/do wnload/rkd2013/Laporan_Riskesdas2013. PDF. 2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Riset Kesehatan Dasar [Internet]. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan;2010; [disitasi tanggal 28 November 2014]. Tersedia dari: http://www.litbang.depkes.go.id/sites/do wnload/rkd2013/Laporan_Riskesdas2010. PDF. 3. Lorna ET, Deborah GL, Terry M, Linda M, Steven DH, Thomas RF. Childhood obesity in new york city elementary school students. Am J Public Health. 2004; 94(9):1496–500. 4. National Collaborative On Childhood Obesity Research. Childhood Obesity in the United States. US: National Collaborative On Childhood Obesity Research; 2009. 5. Centers for Disease Control and Prevention. Growth charts for the United States: methods and development. Washington. Department of Health and Human Services; 2000. 6. Soegondo, S. Berbagai Penyakit dan Dampaknya terhadap Kesehatan dan Ekonomi. Jakarta: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) IX; 2008. 7. Sjarif D. Anak gemuk, apakah sehat? Jakarta: Divisi anak dan penyakit metabolic Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2004. 8. Jhon M. Obesity in children tackling a growing problem. Australian Family Physician. 2004; 33(1/2):33-6. 9. Freedman DS. Childhood Obesity and Coronary Heart Disease. Dalam: Kiess W, Marcus C, Wabitsch M, editor. Obesity in Childhood and Adolescence. Basel: Karger AG; 2004. hlm. 194-206. 10. Bluher S. Type 2 Diabetes Melitus in Children and Adolesscent : The European Perspective. Dalam: Kiess W, Marcus C, MAJORITY| Volume 2 | Nomor 7 |Juni 2015| 48 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. Wabitsch M, editor. Basel: Karger AG; 2004. hlm. 170-80. Fatimah SN. Terapi Diet dan Aktivitas Fisik pada Penanggulangan Obesitas. Jakarta: CV Sagung Seto; 2009. hlm. 9-18. Snetselaar L. Nutrition Counseling Skills for the Nutrition Care Proces Fourth Edition. Lowa City: Jones and Bartlett Publishers; 2009. Centers for Disease Control and Prevention. Physical education curriculum analysis tool. Department of Health and Human Services; 2006. Agoes S, Poppy M. Mencegah dan Mengatasi Kegemukan pada Balita. Jakarta: Puspa Swara; 2003. Almatsier. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 2003. World Health Organization Europe Regional. Prevalence of Overweight and obesity in children and Adolescents. Europe: World Health Organization Europe Regional; 2009. Hadi H. Beban Ganda Masalah Gizi dan Implikasinya Terhadap Kebijakan Pembangunan Kesehatan. Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Kedokteran; 2005 Feb 5; Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada; 2005. Angel L, Nelly M, Franly O. Hubungan Aktivitas Fisik Dengan Kejadian Obesitas Pada Anak SD di Kota Manado. Ejournal keperawatan (e-Kp). 2013; 1(1):1-4. World Health Organization. Obesity: Preventing and managing the global epidemic. Geneva: World Health Organization; 2000. Mustelin L, Silventoinen K, Pietilainen K, Rissanen A, Kaprio J. Physical activity reduces the influence of genetic effects on bmi and waist circumference: a study in young adult twins. Int. J. Obes. 2009: 33(1):29-36. Pramudita, RA. Faktor resiko pada anak sekolah dasar di kota Bogor [Internet]; 2011 [disitasi tanggal 27 November 2014]. Tersedia dari: http://repository.ipb.ac.id/handle/12345 6789/52932 U.S. Department of Health and Human Services & U.S. Department of Agriculture. Dietary guidelines for Americans edisi 6. Washington: U.S. Government Printing Office; 2005. Ika Agustin Putri Haryanti dan Khairun Nisa | Terapi Konservatif dan Terapi Pengganti Ginjal sebagai Penatalaksanaan pada Gagal Ginjal Kronik Terapi Konservatif dan Terapi Pengganti Ginjal sebagai Penatalaksanaan pada Gagal Ginjal Kronik Ika Agustin Putri Haryanti, Khairun Nisa Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung Abstrak Berdasarkan estimasi WHO (World Health Organization), secara global lebih dari 500 juta orang mengalami penyakit gagal ginjal kronik. Sekitar 1,5 juta orang harus menjalani hidup bergantung pada cuci darah. Pengobatan gagal ginjal kronik dapat dilakukan dengan terapi konservatif untuk menghambat progesifitas penyakit dengan cara pengaturan asupan protein, kalium, kalori, cairan, elektrolit dan mineral. Ketika tindakan konservatif tidak lagi efektif dalam mempertahankan kehidupan pada penyakit ginjal stadium akhir atau gagal ginjal maka dilakukan terapi pengganti ginjal. Terapi pengganti ginjal yang terdapat di pelayanan renal unit adalah hemodialisis, CAPD (Continous Ambolatory Peritoneal Disease) dan transplantasi ginjal. Kata kunci: gagal ginjal kronik, terapi konservatif, terapi pengganti ginjal. Conservative Therapy and Renal Replacement Therapy as Treatment for Chronic Renal Failure Abstract Based on WHO (World Health Organization) estimation, globally more than 500 million people suffer chronic renal failure. Around 1,5 million people living their life depending on dialysis. the treatment for crhonic renal failure with conservative therapy to slow the progress of the disease by doing controlling the protein, calium, calorie, fluid, electrolit and mineral intake.when the conservative treatment no longer efective in maintaining the patient's life on end-stage renal disease or renal failure, then renal replacement therapy is the only way. the renal replacement therapy which is available in renal unit services are hemodialisis, CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Disease), and kidney transplant. [Majority. 2015;4(7):1-5] Keywords: chronic renal failure, conservative therapy, renal replacement therapy. Korespondensi: Ika Agustin Putri Haryanti, e-mail [email protected] | Khairun Nisa, e-mail [email protected] Pendahuluan Berdasarkan estimasi World Health Organization (WHO), secara global lebih dari 500 juta orang mengalami penyakit gagal ginjal kronik. Sekitar 1.5 juta orang harus menjalani cuci darah dalam hidupnya. Di Indonesia, berdasarkan Pusat Data dan Informasi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia, jumlah pasien gagal ginjal kronik diperkirakan sekitar 50 orang per satu juta penduduk, 60% nya adalah usia dewasa dan usia lanjut.1 Pengobatan gagal ginjal kronik dibagi dalam dua tahap yaitu penanganan konservatif dan terapi penggantian ginjal. Penanganan gagal ginjal secara konservatif terdiri dari tindakan untuk menghambat berkembangnya gagal ginjal, menstabilkan keadaan pasien, dan mengobati setiap faktor yang reversible. Sedangkan penanganan dengan pengganti ginjal dapat dilakukan dialisis intermiten atau transplantasi ginjal yang merupakan cara paling efektif untuk penanganan gagal ginjal.2 Dialisis sebagai terapi pengganti ginjal telah menyelamatkan nyawa jutaan individu pada pasien End Stage Renal Disease (ESRD). Kemajuan dalam memahami penyakit gagal ginjal dan komplikasinya telah mengakibatkan perkembangan intervensi terhadap penyakit gagal ginjal kronik sehingga dapat memperlambat progesifitas dan memperbaiki komplikasi penyakit. Dengan dialisis telah memperpanjang masa hidup dan memperbaiki kualitas hidup pasien.3 Menurut National Kidney and Urologic Disease Information Clearinghouse tahun 2006 hemodialisis merupakan terapi yang paling sering digunakan pada penderita gagal ginjal kronis.4 Berdasarkan data PERNEFRI (Perhimpunan Nefrologi Indonesia) tahun 2012, jenis fasilitas layanan yang diberikan oleh renal unit adalah hemodialisis (78%), Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (3%), transplantasi (16%) dan Continuous Renal Replacement Therapy (3%). Jumlah pasien baru yang menjalani hemodialis di tahun 2007 Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015| 49 Ika Agustin Putri Haryanti dan Khairun Nisa | Terapi Konservatif dan Terapi Pengganti Ginjal sebagai Penatalaksanaan pada Gagal Ginjal Kronik adalah 49977 pasien, di tahun 2008 ada 5392 pasien, di tahun 2009 ada 8193 pasien, di tahun 2010 ada 9649 pasien, di tahun 2011 ada 1535 pasien dan di tahun 2012 ada 19621. Dari data tersebut terlihat bahwa dari tahun ke tahun terjadi peningkatan jumlah pasien baru yang menjalani hemodialisis.5 Isi Gagal ginjal kronik didefinisikan sebagai nilai Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) yang berada dibawah batas normal selama lebih dari 3 bulan.6 Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat biasanya berlangsung beberapa tahun. Pada keadaan ini ginjal kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan asupan makanan normal.2 Penyebab penyakit gagal ginjal kronik menurut PERNEFRI pada tahun 2012 dijelaskan dalam tabel 1. Tabel 1. penyebab penyakit gagal ginjal kronik. 5 Penyebab Penyakit ginjal hipertensi Nefropati diabetika Glomerulopati primer Nefropati obstruksi Pielonefritis kronik Nefropati asam urat Nefropati lupus/SLE Ginjal polikistik Tidak diketahui Lain lain Insiden 35% 26% 12% 8% 7% 2% 1% 1% 2% 6% Kriteria penyakit ginjal kronik: 1) Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan berupa kelainan struktural maupun fungsional dengan atau tanpa penurunan LFG yang bermanifestasi dengan adanya Kelainan patologis dan erdapat tanda kelainan pada ginjal, kelainan tersebut dapat berupa komposisi darah, urin atau kelainan pada tes pencitraan (imaging tests). 2) LFG kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.2 Klasifikasi penyakit gagal ginjal kronik sebagai berikut: Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015| 50 Tabel 2. Klasifikasi penyakit gagal ginjal kronik7 Derajat 1 LFG (ml/mnt/1.7 32m2) ≥ 90 2 60-89 3A 3B 4 5 45-59 30-44 15-29 < 15 Penjelasan LFG normal atau meningkat LFG turun ringan LFG turun sedang LFG turun berat Gagal ginjal Penatalaksanaan gagal ginjal kronik dapat dilakukan dua tahap yaitu dengan terapi konservatif dan terapi pengganti ginjal. Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal, dan memelihara keseimbangan cairan elektrolit. Beberapa tindakan konservatif yang dapat dilakukan dengan pengaturan diet pada pasien gagal ginjal kronis.8 Diet rendah protein menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.8 Pembatasan asupan protein dalam makanan pasien gagal ginjal kronik dapat mengurangi gejala anoreksia, mual, dan muntah. Pembatasan ini juga telah terbukti menormalkan kembali dan memperlambat terjadinya gagal ginjal. Asupan rendah protein mengurangi beban ekskresi ginjal sehingga menurunkan hiperfiltrasi glomerulus, tekanan intraglomerulus, dan cedera sekunder pada nefron intak.2 Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pasien penyakit ginjal kronis akan secara spontan membatasi asupan protein mereka. Jumlah protein yang diperbolehkan kurang dari 0,6 g protein/Kg /hari dengan LFG kurang dari 10 ml / menit.9 Hiperkalemia merupakan masalah yang penting pada gagal ginjal kronik. Hiperkalemia merupakan komplikasi interdialitik yaitu komplikasi yang terjadi selama periode antar hemodialisis. Keadaan hiperkalemia mempunyai resiko untuk terjadinya kelainan jantung yaitu aritmia yang dapat memicu terjadinya cardiac arrest yang merupakan penyebab kematian mendadak.8 Hiperkalemia berat dapat didefinisikan sebagai kadar kalium Ika Agustin Putri Haryanti dan Khairun Nisa | Terapi Konservatif dan Terapi Pengganti Ginjal sebagai Penatalaksanaan pada Gagal Ginjal Kronik lebih dari 6,5 mEq/L (6,5 mmol/L)atau kurang dari 6,5 mEq/L dengan perubahan elektrokardiografi khas pada hiperkalemia (gambaran tinggi dan meruncing pada gelombang T atau terjadinya T elevasi).10 Terapi diet rendah kalium dengan tidak mengkonsumsi obat-obatan atau makanan yang mengandung kalium tinggi. Jumlah yang diperbolehkan dalam diet adalah 40 hingga 80 mEq/hari. Makanan yang mengandung kalium seperti sup, pisang, dan jus buah murni. Pemberian kalium yang berlebihan akan menyebabkan hiperkalemia yang berbahaya.2 Kebutuhan jumlah kalori untuk gagal ginjal kronik harus adekuat dengan tujuan utama yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.8 Diet Asupan Energi yang direkomendasikan untuk penderita gagal ginjal kronis dengan LFG <25ml/menit dan tidak menjalani dialisis adalah 35 kkal/kg/hari untuk usia kurang dari 60 tahun dan 30-35 kkal/kg/hari untuk usia lebih dari 60 tahun.3 Asupan cairan pada gagal ginjal kronik membutuhkan regulasi yang hati-hati dalam gagal ginjal lanjut. Asupan yang terlalu bebas dapat menyebabkan kelebihan beban sirkulasi, edem, dan intoksikasi cairan. Kekurangan cairan juga dapat menyebabkan dehidrasi, hipotensi, dan memburuknya fungsi ginjal. Aturan umum untuk asupan cairan adalah keluaran urine dalam 24 jam ditambah 500 ml yang mencerminkan kehilangan cairan yang tidak disadari. Pada pasien dialysis cairan yang mencukupi untuk memungkinkan penambahan berat badan 0,9 hingga 1,3 kg2. Sedangkan Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar.8 Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5 yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) dan transplantasi ginjal.11 Hemodialisis adalah suatu cara untuk mengeluarkan produk sisa metabolisme melalui membran semipermeabel atau yang disebut dialyzer.12 Sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia itu dapat berupa air, natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zatzat lain.13 Hemodialisis telah menjadi rutinitas perawatan medis untuk End Stage Renal Disease (ESRD).14 Salah satu langkah penting sebelum memulai hemodialisis yaitu mempersiapkan access vascular beberapa minggu atau beberapa bulan sebelum hemodialisis. access vascular memudahkan dalam perpindahan darah dari mesin ke tubuh pasien. Hemodialisis umumnya dilakukan dua kali seminggu selama 4-5 jam per sesi pada kebanyakan pasien ESRD.14 Menurut data Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) tahun 2012 terjadi peningkatan jumlah pasien baru yang menjalani hemodialisis dari tahun ke tahun. Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien gagal ginjal kronik yang belum mencapai tahap akhir dalam perburukan fungsi ginjal.11 Akhir-akhir ini sudah populer CAPD di pusat ginjal dan luar negeri. CAPD dapat digunakan sebagai terapi alternatif dialisis untuk penderita ESRD dengan 3-4 kali pertukaran cairan per hari.14 Pertukaran cairan terakhir dilakukan pada jam tidur sehingga cairan peritoneal dibiarkan semalam.2 Terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien dialisis peritoneal. Indikasi dialisis peritoneal yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup dan pasien nefropati diabetik disertai comorbidity dan co-mortality .8 Transplantasi ginjal merupakan cara pengobatan yang lebih disukai untuk pasien gagal ginjal stadium akhir. Namun kebutuhan transplantasi ginjal jauh melebihi jumlah ketersediaan ginjal yang ada dan biasanya ginjal yang cocok dengan pasien adalah yang memiliki kaitan keluarga dengan pasien. Sehingga hal ini membatasi transplantasi ginjal sebagai pengobatan yang dipilih oleh pasien.2 Kebanyakan ginjal diperoleh dari donor hidup karena ginjal yang berasal dari kadaver tidak sepenuhnya diterima karena adanya masalah sosial dan masalah budaya. Karena kurangnya donor hidup sehingga pasien yang ingin Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015| 51 Ika Agustin Putri Haryanti dan Khairun Nisa | Terapi Konservatif dan Terapi Pengganti Ginjal sebagai Penatalaksanaan pada Gagal Ginjal Kronik melakukan transplantasi ginjal harus melakukan operasi diluar negeri.14 Transplantasi ginjal memerlukan dana dan peralatan yang mahal serta sumber daya manusia yang memadai. Transplantasi ginjal ini juga dapat menimbulkan komplikasi akibat pembedahan atau reaksi penolakan tubuh.15. Ringkasan Gagal ginjal kronik merupakan kerusakan struktural dan fungsional ginjal selama lebih dari 3 bulan dengan LFG kurang dari 60 ml/menit/1,73m2. Penatalaksanaan awal gagal ginjal kronik dilakukan secara konservatif dengan pengaturan diet protein yang berfungsi untuk mencegah atau mengurangi azetomia, diet kalium untuk mencegah terjadinya hiperkalemi yang membahayakan pasien, diet kalori untuk menambah energi pasien gagal ginjal yang sering mengalami malnutrisi dan pengaturan kebutuhan cairan, mineral, dan elektrolit berguna untuk mengurangi kelebihan beban sirkulasi dan intoksikasi cairan. Jika penanggulangan konservatif tidak lagi dapat mempertahankan fungsi ginjal maka dilakukan terapi pengganti ginjal yaitu hemodialisis yang merupakan penggunan terapi pengganti ginjal terbanyak, CAPD dapat digunakan sebagai alternatif terapi dialis dan transplantasi ginjal pengobatan yang paling disukai untuk pasien gagal ginjal namun memerlukan dana yang mahal. Simpulan Penatalaksanaan gagal ginjal kronik dapat dilakukan secara konsevatif dengan pengaturan diet dan terapi pengganti ginjal dengan menggunakan hemodialisis, CAPD, dan transplantasi ginjal. Daftar Pustaka 1. Setiawan Y, Faradila RT. Mengenal cuci darah (hemodialisa)[internet]. 2012. [disitasi tanggal 24 april 2015]; Tersedia dari: http://www.lkc.or.id/2012/06/mengenalcuci-darah. 2. Wilson LM. Pengobatan Gagal Ginjal Kronik. Dalam: Hartanto H, Susi N, Wulansari P, Mahanani DA, editor. Patofisiologi Konsep Klinis Proses -Proses Penyakit. 6 ed. Vol 2. Jakarta: EGC; 2006. hlm. 965-978. Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015| 52 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. National Kidney Foundation. Clinical practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation, classification, and stratification. National Kidney Foundation. Inc; 2002. National Kidney and Urologic Disease Information Clearinghouse (NKUDIC). Hemodialysis treatment metode for kidney failure [internet]. Institutes of health (NIH) [disitasi tanggal 5 april 2015]. Tersedia dari: http://www.kidney.niddk.nih.gov. PERNEFRI. (2012). 5 th Report Of Indonesian Renal Registry; 2012. Davey P. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga; 2006. NICE, acute kidney injury prevention detecting and management of acute kidney injury up to the point of renal replacement therapy [internet]. UK: National Institute For Health and Care Excellent; 2013 [disitasi tanggal24 April 2015]. Tersedia dari: http://www.nice.org.uk/guidance/cg169/r esources/guidance-acute-kidney-injurypdf. Sukandar E. Gagal Ginjal Kronik dan terminal. Dalam: Nefrologi klinik. Edisi 3.Bandung: Penerbit Pusat Inforamsi Ilmiah Bag Ilmu Penyakit Dalam FK.UNPAD; 2006. hlm. 465- 524. Ikizler TA: Protein and energy: recommended intakeand nutrient supplementation in chronic dialysis patients. Semin Dial. 2004; 17:471-478. Rahman M, Shad F, Smith MC. Acute kidney injury: a guide to diagnosis and management. American Family Physician [internet]; 2012. [disitasi tanggal 24 april 2015]; 86(7):631-639. Tersedia dari: www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23062091 Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam (PAPDI). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi kelima. Jilid II. Jakarta: Interna Publishing; 2009. Thomas, N. Renal Nursing (2nd edition). London United Kingdom: Elsevier Science; 2002. Brunner dan Suddarth. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah (terjemahan, volume II). Jakarta: EGC; 2001. Prodjosudjadi W, Suhardjono A. End-Stage Renal Disease In Indonesia: Treatment Ika Agustin Putri Haryanti dan Khairun Nisa | Terapi Konservatif dan Terapi Pengganti Ginjal sebagai Penatalaksanaan pada Gagal Ginjal Kronik development. Ethnicity & Disease [internet]; 2009 [disitasi tanggal 24 April 2015]; 19: 33-36. Tersedia dari : http:// www.ishib.org/journal/19.../ethn-1901s1-33.pdf 15. Vogt BA, Avner ED. Renal failure. Dalam: Behrman RM, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke 17. Philadelphia: WB Saunders; 2004. hlm 1770-1775. Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015| 53 Ika Agustin Putri Haryanti dan Khairun Nisa | Terapi Konservatif dan Terapi Pengganti Ginjal sebagai Penatalaksanaan pada Gagal Ginjal Kronik Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015| 54 N. Dearsi Deby| Indeks Produksi Retikulosit sebagai Diagnosis Dini Anemia Aplastik INDEKS PRODUKSI RETIKULOSIT SEBAGAI DIAGNOSIS DINI ANEMIA APLASTIK N. Dearasi Deby NF Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung Abstrak Anemia aplastik merupakan salah satu jenis anemia akibat kelainan hematologi yang ditandai dengan penurunan komponen selular pada darah tepi seperti anemia, leukopenia dan trombositpenia sebagai akibat penurunan pembentukan sel hematopoetik dalam sumsum tulang. Keadaan ini disebut sebagai pansitopenia. Diagnosis dini sangat penting dilakukan untuk kemungkinan sembuh secara spontan semakin besar. Selain itu mencegah terjadinya kematian jika tidak dilakukan pengobatan segera. Indeks produksi retikulosit adalah angka yang menunjukan produksi eritrosit oleh sumsum tulang pada pasien yang menderita anemia. Peningkatan jumlah retikulosit di darah tepi menggambarkan produksi eritrosit mengalami peningkatan dalam sumsum tulang. Sebaliknya, hitung retikulosit yang rendah terus-menerus dapat mengindikasikan keadan hipofungsi sumsum tulang atau anemia aplastik. Berdasarkan hal tersebut indeks produksi retikulosit dapat digunakan sebagai penanda anemia aplastik. Kata kunci: anemia aplastik, indeks produksi retikulosit, retikulosit, pansitopenia. Reticulocyte Index as Early Diagnosis Anemia Aplastic Abstract Aplastic anemia is one type of anemia due to hematological disorder characterized by a decrease in peripheral blood cellular components such as anemia, leukopenia and trombositopenia as a result of a decrease in the formation of hematopoietic cells in the bone marrow. This condition is known as pancytopenia. Early diagnosis is very important to recover spontaneously possibility of getting greater. More over preventing death if treatment is not done immediately. Reticulocyte production index is a number that indicates the production of erythrocytes by the bone marrow in patients suffering from anemia. Increasing the number of reticulocytes in peripheral blood illustrates the production of erythrocytes increased in the bone marrow. Conversely, a low reticulocyte count constantly may indicate bone marrow hypofunction or aplastic anemia. Based on the reticulocyte production index can be used as a marker of aplastic anemia. Keywords:aplastic anemia, reticulocyte production index, reticulocyte, pancytopenia. Korespondensi: N. Dearasi Deby NF , e-mail [email protected] Pendahuluan Anemia aplastik merupakan salah satu jenis anemia akibat kelainan hematologi yang ditandai dengan penurunan komponen selular pada darah tepi seperti anemia, leukopenia dan trombositpenia sebagai akibat penurunan pembentukan sel hematopoetik dalam sumsum tulang, keadaan ini disebut sebagai pansitopenia.1 Konsep mengenai anemia aplastik pertama kali diperkenalkan oleh Paul Ehrlich pada tahun 1988, yang ditemukan pada pasien yang mengalami anemia berat dan leukopenia. Hasil autopsi ditemukan tidak ada aktifitas sumsum tulang yang aktif. Penyakit anemia aplastik didasari dari kegagalan sumsum tulang dalam memproduksi sel-sel hematopoetik dalam darah tepi yang mengarah pada suatu penurunan nyata produksi sel-sel darah.2 Angka kejadian anemia aplastik bervariasi di seluruh dunia, insidensi anemia aplastik diperkirakan lebih sering terjadi di negara timur dibanding negara barat. Penelitian yang dilakukan The International Aplastic Anemia and Agranulocytosis Studyt ahun 2010 mendapatkan insidensi anemia aplastik didunia bervariasi antara 5 sampai 7 kasus tiap 1 juta populasi. Sedangkan di Asia, kasus anemia aplastik di Cina sebesar 7 kasus persejuta penduduk, di Thailand sebesar 4 kasus persejuta penduduk dan 5 kasus persejuta penduduk di Malaysia.3 Berdasarkan data Kemenkes RI tahun 2011 prevalensi angka kejadian anemia aplastik sangat rendah pertahun diperkirakan sebesar 2-5 kasus persejuta penduduk. Meskipun angka kejadian penyakit ini sangat jarang, anemia aplastik dapat menyerang segala umur dan penyakit ini tergolong berpotensi menyebabkan kematian. Penderita anemia aplastik tidak hanya mengalami kekurangan eritrosit tetapi juga kekurangan leukosit sehingga penderita sangat mudah terpapar infeksi.4 Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 55 N. Dearsi Deby| Indeks Produksi Retikulosit sebagai Diagnosis Dini Anemia Aplastik Diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan berdasarkan gejala subjektif, gejala objektif, pemeriksaan darah rutin, pemeriksaan apusan darah tepi, serta pemeriksaan apusan sumsum tulang. Pemeriksaan lain yang mendukung diagnosis pasti anemia aplastik adalah berdasarkan pemeriksaan retikulosit dengan penghitungan indeks produksi retikulosit atau reticulocyte production index (RPI). Jumlah retikulosit dapat membedakan antara anemia karena depresi sumsum tulang dengan anemia karena perdarahan atau hemolisis. Jika jumlah retikulosit menurun menandakan bahwa sumsum tulang tidak memproduksi eritrosit secara cukup dan dapat menjadi penanda adanya depresi sumsum tulang pada penderita anemia aplastik.5 Hampir semua kasus anemia aplastik dapat berkembang menjadi kematian bila tidak dilakukan pengobatan segera. Diagnosis secara dini dengan pemeriksaan darah yang tepat sangat penting untuk dilakukan sebab semakin dini penyakit ini didiagnosis kemungkinan sembuh secara spontan semakin besar.5 Isi Anemia adalah suatu keadaan tubuh yang ditandai dengan jumlah eritrosit atau jumlah hemoglobin dalam eritrosit kurang dari jumlah normal sehingga tidak mampu memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh.6 Salah satu jenis anemia adalah anemia aplastik. Anemia aplastik merupakan suatu sindroma kegagalan sumsum tulang yang ditandai dengan penurunan komponen selular pada darah tepi seperti eritrosit, leukosit dan trombosit sebagai akibat terhentinya pembentukan sel hemopoetik dalam sumsum tulang, keadaan ini disebut sebagai pansitopenia.7 Insiden anemia aplastik bervariasi di seluruh dunia, berkisar antara 2 sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun. Anemia aplastik jarang ditemukan dengan angka kejadian bervariasi di seluruh dunia, berkisar antara 2-6 kasus persejuta penduduk pertahun. Studi retrospektif di Amerika Serikat memperkirakan insiden anemia aplastik berkisar antara 2-5 kasus persejuta penduduk pertahun.8 The Internasional Aplastic Anemia and Agranulocytosis Study dan French Study memperkirakan ada 2 kasus persejuta orang setiap tahun. Frekuensi tertinggi anemia aplastik terjadi pada orang berusia 15 sampai Majority | Volume 7 | Nomor 2 | Juni 2015 | 56 25 tahun dan peringkat kedua terjadi pada usia 65 sampai 69 tahun. Anemia aplastik lebih sering terjadi di Asia dan Afrika, insiden kirakira 7 kasus persejuta penduduk di Cina, 4 kasus persejuta penduduk di Thailand dan 5 kasus persejuta penduduk di Malaysia. Penyebab tingginya angka kejadian anemia aplastik di Asia Timur lebih besar daripada di negara barat belum diketahui secara pasti. Peningkatan ini diperkirakan berhubungan dengan faktor lingkungan seperti peningkatan paparan dengan bahan kimia toksik dibandingkan dengan faktor genetik.9 Penyebab anemia aplastik dibagi dua, yaitu primer dan sekunder. Penyebab anemia primer adalah kongenital (Fanconi’s anemia) dan idiopatik yang didapat sebanyak (67%). Penyebab sekunder adalah paparan dengan bahan kimiawi, insektisida, radiasi pengion, infeksi dan Paroxysmal Nocturnal hemoglobin.10 Sindrom Fanconi merupakan penyebab utama dari faktor kongenital yang biasanya disertai kelainan bawaan lain seperti mikrosefali, strabismus, anomali pada jari, kelainan ginjal dan lain sebagainya.11 Adapun faktor didapat seperti bahan kimia golongan hidrokarbon siklik meliputi benzena dan trinitrotoluene, serta golongan insektisida termasuk chlordane. Obat-obatan seperti khloramfenikol, radiasi sinar roentgen dan radioaktif. Faktor individu seperti alergi terhadap obat, bahan kimia, riwayat infeksi dan keganasan. Penyebab hampir sebagian besar kasus anemia aplastik bersifat idiopatik dimana penyebabnya masih belum dapat dipastikan. Namun, ada faktor-faktor yang diduga dapat memicu terjadinya penyakit anemia aplastik ini. Penyebab anemia aplastik terjadi di Indonesia biasanya dikarenakan sel yang memproduksi butir darah merah (pada sumsum tulang) tidak berfungsi baik. Hal ini dapat terjadi karena infeksi virus, radiasi, kemoterapi, atau sebagai dampak dari penggunaan obat tertentu.12 Gejala yang khas dari anemia aplastik adalah penurunan jumlah sel darah pada pemeriksaan hematologi yang dilakukan pada penderita meskipun pasien sepertinya terlihat sehat. Keluhan sistemik dan penurunan berat badan sebaiknya mengarah pada penyebab pansitopenia lainnya. Adanya pemakaian obat sebelumnya, paparan zat kimia, dan penyakit infeksi virus sebelumnya N. Dearsi Deby| Indeks Produksi Retikulosit sebagai Diagnosis Dini Anemia Aplastik harus diketahui. Riwayat kelainan hematologis pada keluarga dapat mengindikasikan penyebab konstitusional pada kegagalan sumsum tulang. 13 Gejala-gejala yang timbul berupa keluhan pucat, lemah, mudah lelah, dan berdebar-debar yang disebabkan anemia. Sering muncul infeksi bakteri, virus, jamur, dan kuman patogen lain akibat leukopenia ataupun granulositopenia. Perdarahan seperti petekia, ekimosa, epistaksis, perdarahan gusi dan lainlain akibat trombositopenia.14 Setidaknya ada tiga mekanisme terjadinya anemia aplastik. Anemia aplastik yang diturunkan (inherited aplastic anemia), terutama anemia Fanconi disebabkan oleh ketidakstabilan DNA. Beberapa bentuk anemia aplastik yang didapatkan (acquired aplastic anemia) disebabkan kerusakan langsung pada stem sel oleh agen toksik, misalnya radiasi. Patogenesis dari kebanyakan anemia aplastik yang didapatkan melibatkan reaksi autoimun terhadap stem sel.15 Gambaran hapusan sumsum tulang akan menunjukkan gambaran yang hipoplastik peningkatan sel lemak didalam apusan sumsum tulang. Anemia Fanconi merupakan bentuk inherited anemia aplastik yang paling sering karena bentuk inherited yang lain merupakan penyakit yang langka. Kromosom pada penderita anemia Fanconi bersifat sensitif mengalami perubahan DNA akibat obat-obat tertentu. Sebagai akibatnya, pasien dengan anemia Fanconi memiliki resiko tinggi terjadinya aplasia, sindrom mielodisplastia dan leukemia mielodisplastia. Kerusakan DNA juga mengaktifkan suatu kompleks yang terdiri dari protein Fanconi A, C, G dan F. Hal ini menyebabkan perubahan pada protein FANCD2 (Fanconi’s anemiacomplementation group D2). Protein ini dapat berinteraksi, contohnya dengan gen (BRCA1) breast cancer suceptibility genes 1 (gen yang terkait dengan kanker payudara). Mekanisme bagaimana berkembangnya anemia Fanconi menjadi anemia aplastik dari sensitifitas mutagen dan kerusakan DNA masih belum diketahui dengan pasti.16 Kerusakan oleh agen toksik secara langsung terhadap stem sel dapat disebabkan oleh paparan radiasi, kemoterapi sitotoksik atau benzene. Agen-agen ini dapat menyebabkan rantai DNA putus sehingga menyebabkan inhibisi sintesis DNA dan RNA. Kehancuran hematopoiesis stem sel yang di perantai sistem imun mungkin merupakan mekanisme utama terjadinya anemia aplastik. Walaupun mekanismenya belum diketahui benar, T limfosit sitotoksik berperan dalam menghambat proliferasi stem sel dan mencetuskan kematian stem sel.17 Diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan berdasarkan gejala subjektif, gejala objektif, pemeriksaan darah serta pemeriksaan sumsum tulang. Gejala subjektif dan objektif merupakan manifestasi pansitopenia yang terjadi. Namun, gejala dapat bervariasi dan tergantung dari sel mana yang mengalami depresi paling berat. Penegakkan diagnosa secara dini sangatlah penting sebab semakin dini penyakit ini didiagnosis kemungkinan sembuh secara spontan atau parsial semakin besar.17 Indeks produksi retikulosit adalah angka yang menunjukkanproduksi eritrosit oleh sumsum tulang pada pasien yang menderita anemia. Indeks ini digunakan untuk mengukur tingkat produksi eritrosit oleh sumsum tulang. Hasil penghitungan retikulosit tersebut harus dilakukan koreksi terhadap kadar hematokrit pasien yang bersangkutan dan koreksi terhadap efek dari eritropoietin terhadap proses pelepasan retikulosit muda dari sumsum tulang ke darah tepi.18 Pada kebanyakan laboratorium biasanya secara otomatis dilakukan koreksi dengan jumlah absolut eritrosit sehingga didapatkan jumlah absolut dari retikulosit, atau dengan mengalikan dengan fraksi hematokrit pasien dengan hematokrit normal (45%). Banyaknya retikulosit dalam darah tepi menggambarkan eritropoesis yang hampir akurat. Peningkatan jumlah retikulosit di darah tepi menggambarkan produksi eritrosit meningkat dalam sumsum tulang. Sebaliknya, hitung retikulosit yang rendah terus-menerus dapat mengindikasikan keadan hipofungsi sumsum tulang atau anemia aplastik.18 Indeks produksi retikulosit bermanfaat untuk menentukan klasifikasi fungsional anemia. Parameter laboratorium yang lebih spesifik selanjutnya bermanfaat dalam tatalaksana. Pada beberapa kasus sering terjadi ketidak sesuaian nilai indeks produksi retikulosit dengan jenis anemia.18 Saat ini dikenal dua cara menghitung retikulosit di dalam sirkulasi darah yaitu secara otomatis dan secara manual. Pertama adalah Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 57 N. Dearsi Deby| Indeks Produksi Retikulosit sebagai Diagnosis Dini Anemia Aplastik otomatis menggunakan flowcytometry, sampel darah segar ditambahkan pewarna acridine orange, kemudian jumlah retikulosit dihitung dengan alat flowcytometer. Sistem ini dapat diotomatisasi sehingga dapat memeriksa sejumlah sampel persatuan waktu yang relatif lebih singkat. Retikulosit diidentifikasi sebagai sel yang lebih besar dan mengandung fluoresens karena RNA-nya menyerap acridine orange tadi.19 Cara kedua adalah cara manual, sampel darah segar dicampur dengan zat pewarna suprival (New Methylene Blue, Brilliant Cresyl Blue) dan diinkubasi, kemudian dari campuran ini dibuat sediaan hapus. Hitung retikulosit diperoleh dari jumlah retikulosit yang ditemukan per 1.000 eritrosit dari sediaan hapus yang diperiksa dengan mempergunakan mikroskop cahaya. Bahan pemeriksaan adalah sampel darah dengan antikoagulan EDTA. Bahan pewarna berupa larutan Brilliant Cresyl Blue (BCB) dengan komposisi BCB sebanyak 1 gram dan dilarutkan pada 100 ml cairan fisiologis (NACl 0,9 %). Larutan pewarna tadi diambil dengan pipet pastur sebanyak lebih kurang 2 tetes lalu dicampur pada sebuah botol dengan 2-4 tetes darah EDTA dari penderita, kemudian botol ditutup dengan kertas saring yang telah dibasahi dengan akuades (untuk tetap memberikan kelembaban yang cukup pada saat inkubasi), lalu didiamkan selama 20-30 menit pada suhu kamar. Kemudian dari campuran ini diambil satu tetes untuk dibuat sediaan hapus pada sebuah objek glass. Setelah didiamkan selama ±15 menit atau ditunggu sampai kering, maka preparat siap untuk dibaca.19 Retikulosit biasanya berada di darah selama 24 jam sebelum mengeluarkan sisa RNA dan menjadi eritrosit. Apabila retikulosit dilepaskan secara dini dari sumsum tulang, retikulosit imatur dapat berada di sirkulasi selama 2-3 hari. Hal ini terjadi pada anemia berat yang menyebabkan peningkatan eritropoiesis. Perhitungan retikulosit dengan koreksi untuk retikulosit imatur disebut indeks produksi retikulosit/reticulocyte production index (RPI).20 Majority | Volume 7 | Nomor 2 | Juni 2015 | 58 Rumus Reticulocyte Production Index : 𝑅𝑃𝐼 = (%Retikulosit x Ht penderita x FK) Hematokrit berdasarkan usia FK= Faktor Koreksi Indeks produksi retikulosit di bawah 2 merupakan indikasi adanya kegagalan sumsum tulang dalam produksi eritrosit atau kecendrungan hipoplastikanemia hipoproliferatif. Nilai RPI meningkat mengindikasi adanya hiperproliferasi sumsum tulang atau respons yang adekuat terhadap anemia aplastik. 21 Keterangan: Dikatakan meningkat jika RPI > 2 Dikatakan menurun jika RPI < 2 Dikatakan normal bila = 1 Hasil penelitian Choi (2006) tentang Indeks produksi retikulosit pada 56 pasien anemia aplastik didapat semua responden memiliki Indeks produksi retikulosit < 2.22 Ringkasan Anemia aplastik adalah suatu sindroma kegagalan sumsum tulang yang ditandai dengan pansitopenia perifer dan hipoplasia sumsum tulang. Pada anemia aplastik terjadi penurunan produksi sel darah dari sumsum tulang sehingga menyebabkan retikulositopenia, anemia, granulositopenia, monositopenia dan trombositopenia. Hampir semua kasus anemia aplastik dapat berkembang menjadi kematian bila tidak dilakukan pengobatan segera. Untuk itu, diagnosis secara dini dengan pemeriksaan darah yang tepat sangat penting untuk dilakukan sebab semakin dini penyakit ini didiagnosis kemungkinan sembuh secara spontan semakin besar. Indeks produksi retikulosit adalah angka yang menunjukkan produksi eritrosit oleh sumsum tulang pada pasien yang menderita anemia. Peningkatan jumlah retikulosit di darah tepi menggambarkan produksi eritrosit meningkat dalam sumsum tulang. Sebaliknya, hitung N. Dearsi Deby| Indeks Produksi Retikulosit sebagai Diagnosis Dini Anemia Aplastik retikulosit yang rendah terus-menerus dapat mengindikasikan keadan hipofungsi sumsum tulang atau anemia aplastik sehingga indeks produksi retikulosit dapat digunakan sebagai penanda anemia aplastik. Simpulan Indeks produksi retikulosit dapat digunakan sebagai penanda anemia aplastik. Daftar pustaka 1. Ray H. Penatalaksanaan Pada Pasien Talasemia. Bandar Lampung: Fakultas Kedokteran Universitas Lampung; 2013. 2. Wahap AS. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15. Jakarta: EGC; 2012. 3. Mehta AB., Hoffbrand AV. Anemia Hemolitik IV: Defek Genetik Pada Hemoglobin. At a Glance Hematologi Edisi 2. Jakarta: Erlangga; 2006. 4. Kee JL. Pedoman Pemeriksaan Laboraturium & Diagnostik. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2007. 5. Kumar V, Contran RS, Robbin SL. Gangguan Eritrosit. Buku Ajar Patologi Edisi 7. Jakarta: EGC; 2007. 6. Pine M, Walter AW. Pancytopenia in Hospitalized children. A five year review. J Pediatrics Hematol Oncol. 2010;32:192–4. 7. E.N. Kosasih dan A.S. Kosasih. Tafsiran Hasil Pemeriksaan Laboratorium Klinik. Ciputat: Karisma Publishing Group; 2008. 8. Escobar MC, Rappaport ES, Tipton P, Balentine P Reticulocyte estimate from peripheral blood smear: a simple, fast, and economical method for evaliation of anemia. Laboratory Medicine 2002;33:703-5. 9. Bhatnagar SK, Chandra J, Narayan S, Sharma S, Singh V, Dutta AK. Pancytopenia in children: Etiological profile. J Trop Pediatr. 2005;51:236–9. 10. Bakta Made I. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC; 2012. 11. Libby P. Hematologi dan Onkologi. Dalam: Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: EGC; 2000. hlm. 479-747 12. Kumar R, Kalra SP, Kumar H, Anand AC, Madan M. Pancytopenia-A six year study. J Assoc Physicians India. 2001;49: 1079–81. 13. Poorana Priya, Subhashree.A Role of Absolute Reticulocyte Count in Evaluation of Pancytopenia-A Hospital Based Study.J Clin Diagn Res. 2014 Aug; 8(8): FC01– FC03. 14. Buttarello M, Bulian P, Farina G, Petris MG, Temporin V, Toffolo L. Five fully automated methods for performing immature reticulocyte fraction: comparison in diagnosis of bone marrow aplasia. Am J Clin Pathol. 2006;117:871–9. 15. Bessman JD, Gilmer PR, Gardner FH. Improved classification of anaemias by MCV and RDW. Am J Clin Pathol. 1983;80:322–6. 16. Cooper C, Sears W, Bienzle D. Reticulocyte change after experimental anemia and erythropoietin treatment of horses. J of Applied Physiol 2005; 99:915-21. 17. Hoffbrand AV, Moss PAH. Kelainan Genetik Pada Hemoglobin. In: Setiawan L. Kapita Selekta Hematologi Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2002. 18. Guyton&Hall. Sel-sel Darah Merah. In: Irawati, Ramadani D, Indriyani F. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC;2008. 19. Wirawan R. Pemeriksaan Laboratorium Hematologi Edisi 1. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2011. 20. Freund Mathias. Atlas Hematologi Heckner Edisi 11. Jakarta: EGC; 2009. 21. Piva E, Brugnara C, Chiandetti L, Plebani M. Automated reticulocyte counting: state of the art and clinical applications in the evaluation of erythropoiesis. Clin Chem Lab Med. 2010; 48(10):1369–80. 22. Choi JW. Ratio of Bone Marrow Reticulocytes to Peripheral Corrected Reticulocytes for Evaluating Ineffective Erythropoiesis. Annals of Clinical & Laboratory Science 2006; 36: 439-41. Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 59 N. Dearsi Deby| Indeks Produksi Retikulosit sebagai Diagnosis Dini Anemia Aplastik Majority | Volume 7 | Nomor 2 | Juni 2015 | 60 Radita Dewi Prasetyani | Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue Radita Dewi Prasetyani Fakultas Kedokteran Universitas Lampung Abstrak Demam berdarah dengue adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Gejala klinis utama yaitu demam yang tinggi, manifestasi perdarahan, hepatomegali, dan tandatanda kegagalan sirkulasi sampai timbulnya renjatan (sindrom renjatan dengue) sebagai akibat dari kebocoran plasma yang dapat menyebabkan kematian. Faktor-faktor risiko yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit demam berdarah diantaranya: lingkungan rumah (jarak rumah, tata rumah, jenis kontainer, ketinggian tempat dan iklim), lingkungan biologi, dan lingkungan sosial. Pencegahan penyakit demam berdarah dengue terdiri dari: pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan yang terakhir adalah pencegahan tersier. Dengan dilakukan pengendalian atau pencegahan terhadap faktor resiko demam berdarah dengue (DBD), diharapkan dapat mengurangi angka kejadian demam berdarah dengue (DBD). Kata kunci: demam berdarah dengue, faktor risiko, dan pencegahan Factors Related to the Occurrences of Dengue Hemorrhagic Fever Abstract Dengue hemorrhagic fever is an infectious disease caused by the dengue virus and is transmitted through the bite of Aedes aegypti mosquito. The main clinical symptoms are high fever, hemorrhagic manifestations, hepatomegaly, and signs of circulatory failure until the onset of shock (dengue shock syndrome) as a result of plasma leakage that can cause death. Risk factors that could affect the occurrence of dengue fever are: the home environment (within the home, home layout, types of containers, altitude and climate), environmental biology, and social environment. Prevention of dengue fever consists of: primary prevention, secondary prevention and tertiary prevention. By working for control or prevention of risk factor dengue hemorrhagic fever (DHF), is expected to decrease the incidence of dengue hemorrhagic fever. Keywords: dengue hemorrhagic fever, prevention, and risk factor Korespondensi: Radita Dewi Prasetyani, Bandar Lampung, 085279790064, e-mail [email protected] Pendahuluan Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang baik bagi kehidupan hewan dan tumbuhan, tetapi juga menjadikan indonesia sebagai tempat yang baik pula bagi perkembangan penyakit, terutama penyakit yang penularannya melalui vektor. Demam berdarah (DBD) dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dengue dengan penularan melalui vektor. Demam berdarah dengue adalah penyakit akut dengan manifestasi klinis perdarahan yang menimbulkan syok yang berujung kematian. Demam berdarah dengue disebabkan oleh salah satu dari empat serotipe virus dari genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Virus ini bisa masuk ke dalam tubuh manusia dengan perantara nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Hampir di seluruh plosok Indonesia terdapat kedua jenis nyamuk tersebut, kecuali ditempat-tempat dengan ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut.1 Kejadian Luar Biasa (KLB) dengue biasanya terjadi di daerah endemik dan berkaitan dengan datangnya musim hujan, sehingga terjadi peningkatan aktifitas vektor dengue.2 Penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan baik bagi tenaga kesehetan, maupun masyarakat luas, terutama pada daerah endemis baik dikota ataupun kabupaten.3 Semua golongan umur dapat terserang penyakit demam berdarah dengue. Saat ini penyakit demam berdarah dengue lebih banyak menyerang anak-anak, namun delapan tahun terakhir ini terdapat peningkatan proporsi kejadian DBD pada orang dewasa.1 Penyakit DBD di Indonesia pertama kali terjadi di Surabaya pada tahun 1968. Pada tahun 1994 kasus DBD menyebar ke 27 provinsi di Indonesia. Tahun 1968 jumlah kasus DBD sebanyak 53 orang (Incidence Rate (IR) 0.05/100.000 penduduk) meninggal 24 orang (42,8%).2 Sejak saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia. Pada tahun 2005 jumlah kasus sebanyak 95.279 (IR: 43,31/100.000 penduduk) dengan 1.298 kematian (Case Fatality Rate (CFR): 1,36%), Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 61 Radita Dewi Prasetyani | Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue tahun 2006 jumlah kasus sebanyak 114.656 (IR: 52,48/100.000 penduduk) dengan 1.196 kematian (Case Fatality Rate: 1,04%) sampai dengan bulan November 2007, kasus telah mencapai 124.811 (IR: 57,52/100.000 penduduk) dengan 1.277 kematian (CFR: 1,02%).1 Berdasarkan data tersebut, dapat dilihat bahwa kasus DBD mengalami peningkatan yang signifikan pada tahun 2012. Faktor Lingkungan menjadi pemicu terjadinya peningkatan kasus DBD. Isi Demam berdarah dengue adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Penyakit ini adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh serotipe virus dengue, dan ditandai dengan empat gejala klinis utama yaitu demam yang tinggi, manifestasi perdarahan, hepatomegali, dan tanda-tanda kegagalan sirkulasi sampai timbulnya renjatan (sindrom renjatan dengue) sebagai akibat dari kebocoran plasma yang dapat menyebabkan kematian.5 Penyakit demam berdarah dengue (DBD) diebabkan oleh virus dengue yang sampai sekarang dikenal 4 serotipe (Dengue-1, Dengue-2, Dengue-3 dan Dengue-4), termasuk dalam grup B Arthropod Borne Virus (Arbovirus). Ke-empat serotipe virus ini telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Di Indonesia Dengue-3 sangat berkaitan dengan kasus DBD berat dan merupakan serotipe yang paling luas distribusinya disusul oleh Dengue-2, Dengue-1 dan Dengue-4.6 Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue, yaitu mausia, virus dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui nyamuk Aedes Aegypti. Aedes albopictus, Aedes polynesiensis. Aedes mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8 – 10 hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali pada manusia pada saat gigitan berikutnya. Sekali virus dapat masuk dan berkembang biak di dalam tubuh nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya.1 Pada manusia, penularan penyakit terjadi karena setiap kali nyamuk menggigit, alat tusuknya yang disebut proboscis akan Majority | Volume 7 | Nomor 2 | Juni 2015 | 62 mencari kapiler darah. Setelah diperoleh, maka dikeluarkan liur yang mengandung zat antipembekuan darah, agar darah mudah di hisap melalui saluran proboscis yang sangat sempit. Bersama liurnya inilah virus dipindahkan kepada orang lain.7 Virus memerlukan waktu masa tunas 4–6 hari (intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit.1 Patogenesis dan patofisiologi terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih diperdebatkan.1 Dikatakan bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue.8 Respon imun yang diketahui berperan dalam pathogenesis DBD antara lain: a) respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berparan dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pad monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibodi dependent enhancement (ADE); b) Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berepran dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL5, IL-6 dan IL-10; c) monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag; d) Selain itu aktivitasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a.7 Terdapat dua perubahan patofisiologis utama pada DBD. Pertama adalah peningkatan permeabilitas vaskular yang meningkatkan kehilangan plasma dari kompartemen vaskular. Keadaan ini mengakibatkan hemokonsentrasi, tekanan nadi rendah, dan tanda syok lain, bila kehilangan plasma sangat membahayakan. Perubahan kedua adalah gangguan pada hemostasis yang mencakup perubahan vaskular, trombositopenia, dan koagulopati.8 Gejala pada penyakit demam berdarah dengue diawali oleh: 1) demam tinggi mendadak 2-7 hari (38oC-40oC); 2) manifestasi perdarahan, dengan bentuk uji tourniquet positif, purpura, pendarahan konjungtiva, epitaksis, melena; 3) hepatomegali; 4) syok, tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang, tekanan sistolik mencapai 80 mmHg Radita Dewi Prasetyani | Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue atau kurang; 5) trombositopenia, dari hari 3-7 ditemukan penurunan trombosit sampai 100.000/mm3; 6) hemokonsentarasi, meningkatnya nilai hematokrit; 7) gejala-gejala klinik lainnya yang dapat menyertai, anoreksia, mual, muntah, lemah, sakit perut, diare kejang dan sakit kepala; 8) dan rasa sakit pada otot dan persendian.9 Faktor-faktor risiko yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit demam berdarah diantaranya: lingkungan rumah (jarak rumah, tata rumah, jenis kontainer, ketinggian tempat dan iklim), lingkungan biologi, dan lingkungan sosial.7 Jarak antara rumah mempengaruhi penyebaran nyamuk dari satu rumah ke rumah lain, semakin dekat jarak antar rumah semakin mudah nyamuk menyebar kerumah sebelah menyebelah. Bahan-bahan pembuat rumah, konstruksi rumah, warna dinding dan pengaturan barangbarang dalam rumah menyebabkan rumah tersebut disenangi atau tidak disenangi oleh nyamuk. Berbagai penelitian penyakit menular membuktikan bahwa kondisi perumahan yang berdesak-desakan dan kumuh mempunyai kemungkinan lebih besar terserang penyakit.10 Macam kontainer, termasuk macam kontainer disini adalah jenis/bahan kontainer, letak kontainer, bentuk, warna, kedalaman air, tutup dan asal air mempengaruhi nyamuk dalam pemilihan tempat bertelur.7,10 Ketingian tempat, pengaruh variasi ketinggian berpengaruh terhadap syarat-syarat ekologis yang diperlukan oleh vektor penyakit. Di Indonesia nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus dapat hidup pada daerah dengan ketinggian 1000 meter diatas permukaan laut. Iklim adalah salah satu komponen pokok lingkungan fisik, yang terdiri dari: suhu udara, kelembaban udara, curah hujan dan kecepatan angin.1 Lingkungan biologi yang mempengaruhi penularan DBD terutama adalah banyaknya tanaman hias dan tanaman pekarangan, yang mempengaruhi kelembaban dan pencahayaan didalam rumah. Adanya kelembaban yang tinggi dan kurangnya pencahayaan dalam rumah merupakan tempat yang disenangi nyamuk untuk hinggap beristirahat.10 Lingkungan Sosial, kebiasaan masyarakat yang merugikan kesehatan dan kurang memperhatikan kebersihan lingkungan seperti kebiasaan menggantung baju, kebiasaan tidur siang, kebiasaan membersihkan TPA, kebiasaan membersihkan halaman rumah, dan juga partisipasi masyarakat khususnya dalam rangka pembersihan sarang nyamuk, maka akan menimbulkan resiko terjadinya transmisi penularan penyakit DBD di dalam masyarakat. Kebiasaan ini akan menjadi lebih buruk dimana masyarakat sulit mendapatkan air bersih, sehingga mereka cenderung untuk menyimpan air dalam tandon bak air, karena TPA tersebut sering tidak dicuci dan dibersihkan secara rutin pada akhirnya menjadi potensial sebagai tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti.7 Pencegahan penyakit demam berdarah dengue dapat dibagi menjadi tingkatan. Pertama pencegahan primer, pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Secara garis besar ada cara pengendalian vektor antara lain: a) pengendalian cara kimiawi, pada pengendalian kimiawi digunakan insektisida yang ditujukan pada nyamuk dewasa atau larva. Insektisida yang dapat digunakan adalah dari golongan organoklorin, organopospor, karbamat, dan pyrethoid. b) Pengendalian hayati atau biologik, menggunakan kelompok hidup, baik dari golongan mikroorganisme hewan invertebrata atau vertebrata. Sebagai pengendalian hayati dapat berperan sebagai patogen, parasit, dan pemangsa. Beberapa jenis ikan kepala timah (Panchaxpanchax), ikan gabus (Gambusia afffinis) adalah pemangsa yang cocok untuk larva nyamuk. C) Pengendalian lingkungan, pencegahan yang paling tepat dan efektif dan aman untuk jangka panjang adalah dilakukan dengan program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan 3M yaitu: menguras bak mandi, bak penampungan air, tempat minum hewan peliharaan. Menutup rapat tempat penampungan air sedemikian rupa sehingga tidak dapat diterobos oleh nyamuk dewasa. Mengubur barang bekas yang sudah tidak terpakai, yang kesemuanya dapat menampung air hujan sebagai tempat berkembang biaknya nyamuk Aedes aegypty.1 Kedua pencegahan sekunder dilakukan upaya diagnosis dan dapat diartikan sebagai tindakan yang berupaya untuk menghentikan proses penyakit pada tingkat permulaan sehingga tidak akan menjadi lebih parah. 1) Melakukan diagnosis sedini mungkin dan memberikan pengobatan yang tepat bagi Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 63 Radita Dewi Prasetyani | Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue penderita demam berdarah dengue. 2) Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) yang menemukan penderita atau tersangka penderita demam berdarah dengue segera melaporkan ke puskesmas dan dinas kesehatan dalam waktu jam. 3) Penyelidikan epidemiologi dilakukan petugas puskesmas untuk pencarian penderita panas tanpa sebab yang jelas sebanyak orang atau lebih, pemeriksaan jentik, dan juga dimaksudkan untuk mengetahui adanya kemungkinan terjadinya penularan lebih lanjut sehingga perlu dilakukan fogging fokus dengan radius meter dari rumah penderita, disertai penyuluhan.5 Ketiga pencegahan tertier, pencegahan ini dimaksudkan untuk mencegah kematian akibat penyakit demam berdarah dengue dan melakukan rehabilitasi. Upaya pencegahan ini dapat dilakukan sebagai berikut: membuat ruangan gawat darurat khusus untuk penderita DBD di setiap unit pelayanan kesehatan terutama di puskesmas agar penderita dapat penanganan yang lebih baik, transfusi darah penderita yang menunjukkan gejala perdarahan, mencegah terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB).1 Ringkasan Demam berdarah dengue adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Gejala klinis utama yaitu demam yang tinggi, manifestasi perdarahan, hepatomegali, dan tanda-tanda kegagalan sirkulasi sampai timbulnya renjatan atau sindrom renjatan dengue sebagai akibat dari kebocoran plasma yang dapat menyebabkan kematian. Faktor-faktor risiko yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit demam berdarah diantaranya: lingkungan rumah (jarak rumah, tata rumah, jenis kontainer, ketinggian tempat dan iklim), lingkungan biologi, dan lingkungan sosial. Pencegahan penyakit demam berdarah dengue terdiri dari: pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan yang terakhir adalah pencegahan tersier. Majority | Volume 7 | Nomor 2 | Juni 2015 | 64 Simpulan Faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan angka kejadian DBD dapat dicegah keterlibatannya pada penyakit DBD dengan melakukan pencegahan primer, sekunder dan tersier. Daftar Pustaka 1. Sukohar A. Demam berdarah dengue. Medula. Bandar Lampung: Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. 2014. 2(2):1-14 2. Astuti D, Sri D. Beberapa faktor yang berhubungan dengan kejadian demam berdarah dengue (DBD) di kelurahan ploso kecamatan pacitan tahun 2009. Surakarta: Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2009:8-27. 3. Sidiek A. Hubungan tingkat pengetahuan ibu mengenai penyakit DBD terhadap kejadian DBD pada anak. Media Medika Muda. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. 2012. 1(1):2-6. 4. Tamza R, Suhartono, Dharminto. Hubungan faktor lingkungan dan perilaku dengan kejadian demam berdarah dengue (DBD) di wilayah kelurahan perumnas way halim kota bandar lampung. Kesehatan Masyarakat. Semarang: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro, 2013:1-8. 5. Wirayoga MA. Hubungan kejadian demam berdarah dengue dengan iklim di kota semarang pada tahun 2006-2011. Semarang: Universitas Negeri Semarang, 2013:10-34. 6. Praditya S. Gambaran sanitasi lingkungan rumah tinggaldengan kejadian penyakit demam berdarah dengue (DBD) di kecamatan subersari kabupaten jember. Jember: Universitas Jember, 2011:6-27. 7. Widiyanto T. Kajian manajemen lingkungan terhadap kejadian demam berdarah dengue (DBD) di kota purwokerto jawa tengah. Semarang: Universitas Diponegoro. 2007:8-37. Radita Dewi Prasetyani | Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue 8. 9. Sitio A. Hubungan perilaku tentang pemberantasan sarang nyamuk dan kebiasaan keluarga dengan kejadian demam berdarah dengue di kecamatan medan perjuangan kota mean tahun 2008. Semarang: Universitas Diponegoro. 2008:7-32. Sukmawati I. Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pencegahan DBD di kecamatan pondok gede kota bekasi. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. 2008: 8-25. 10. Desniawati F. Pelaksanaan 3M plus terhadap keberadaan larva aedes agypti di wilayah kerja puskesmas ciputat kota tangerang selatan bulan mei-juni 2014. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2014:8-38. Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 65 Radita Dewi Prasetyani | Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue Majority | Volume 7 | Nomor 2 | Juni 2015 | 66 I.Ratna Novalia Sari | Kontrasepsi Hormonal Suntik Depo Medroxyprogesterone Acetate (DMPA) Sebagai Salah Satu Penyebab Kenaikan Berat Badan Kontrasepsi Hormonal Suntik Depo Medroxyprogesterone Acetate (DMPA) sebagai Salah Satu Penyebab Kenaikan Berat Badan I.Ratna Novalia Sari Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung Abstrak Kontrasepsi merupakan upaya untuk mencegah terjadinya proses kehamilan baik yang bersifat sementara, maupun yang bersifat permanen. Kontrasepsi berasal dari kata kontra yang berarti mencegah atau melawan, sedangkan konsepsi adalah pertemuan antara sel telur yang matang dan sel sperma yang mengakibatkan kehamilan. Penggunaan alat kontrasepsi disarankan pada pasangan usia subur, ibu yang mempunyai banyak anak dan ibu yang mempunyai resiko tinggi terhadap kehamilan. Alat kontrasepsi yang paling banyak digunakan yaitu alat kontrasepsi hormonal suntik. Salah satu macam alat kontrasepsi hormonal suntik yaitu Depo Medroxyprogesterone Acetate (DMPA) yang mengandung hormon progesteron, dan dapat merangsang pusat pengendalian nafsu makan di hipotalamus sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan nafsu makan dan berat badan. Kata kunci: Berat badan, DMPA, kontrasepsi, kontrasepsi hormonal Injectable Hormonal Contraceptive Depo Medroxyprogesterone Acetate (DMPA) as One of the Causes Increase Weight Abstract Contraception is an attempt to prevent pregnancy either temporary, or permanent. Contraception is derived from the word that means to prevent or fight, while the concept is a meeting between a mature egg cells and sperm cells resulting in pregnancy. The use of contraception is recommended in couples of childbearing age, mothers with many children and mothers who have a high risk of pregnancy. Contraceptives are the most widely used injectable hormonal contraceptives. One kind of injectable hormonal contraceptives is Depo Medroxyprogesterone Acetate (DMPA) which contains the hormone progesterone, and can stimulates the appetite control center in the hypothalamus, causing an increase in appetite and weight. Keywords: Weight, DMPA, contraceptives, hormonal contraception Korespondensi: I.Ratna Novalia Sari e-mail [email protected] Pendahuluan Menurut World Population Data Sheet 2013, Indonesia merupakan negara ke-5 di dunia dengan estimasi jumlah penduduk terbanyak, yaitu 249 juta.1 Salah satu faktor penambah bagi jumlah penduduk yaitu fertilitas atau kelahiran. Pemerintah Indonesia menerapkan suatu program untuk dapat mengatasi masalah ini, yaitu program Keluarga Berencana (KB) yang dimulai sejak tahun 1968 dengan didirikannya Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN) dan pada tahun 1970 diubah menjadi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dengan tujuan dapat mewujudkan keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera. Program Keluarga Berencana ini mendukung untuk diadakannya suatu pelayanan kontrasepsi.2 Keluarga Berencana merupakan salah satu pelayanan kesehatan preventif yang paling dasar dan utama bagi wanita, meskipun tidak selalu diakui demikian. Pelayanan keluarga berencana merupakan salah satu di dalam paket pelayanan kesehatan reproduksi essensial yang perlu mendapatkan perhatian serius karena dengan mutu pelayanan keluarga berencana berkualitas akan meningkatkan tingkat kesejahteraan, kesehatan bayi dan anak serta kesehatan reproduksi.3 Program KB di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1957, namun masih menjadi urusan kesehatan dan belum menjadi urusan kependudukan. Namun sejalan dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk Indonesia serta tingginya angka kematian ibu dan kebutuhan akan kesehatan reproduksi, program KB selanjutnya digunakan sebagai salah satu cara untuk menekan pertumbuhan jumlah penduduk serta meningkatkan 4 kesehatan ibu dan anak. Menurut World Health Organization (WHO) expert komite 1970, keluarga berencana adalah tindakan yang membantu individu atau pasangan suami istri mendapatkan objektif-objektif tertentu, Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 67 I.Ratna Novalia Sari | Kontrasepsi Hormonal Suntik Depo Medroxyprogesterone Acetate (DMPA) Sebagai Salah Satu Penyebab Kenaikan Berat Badan menghindari kelahiran yang tidak diinginkan, mengatur jarak kelahiran, mendapatkan kelahiran yang diinginkan, mengontrol waktu keahiran dalam hubungan dengan umur suami isteri, menentukan jumlah anak dalam keluarga.5 Data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional menunjukan bahwa pada tahun 2013 ada 8.500.247 pasangan usia subur (PUS) yang merupakan peserta KB baru, dan hampir separuhnya (48,56%) menggunakan metode kontrasepsi hormonal suntikan.1 Sebelum menggunakan alat kontrasepsi sebaiknya diperlukan pertimbangan mengenai efek samping yang akan timbul terhadap fungsi reproduksi dan juga kesejahteraan umum. Salah satu alasan penghentian atau perubahan penggunaan alat kontrasepsi adalah efek samping yang dirasakan tersebut.6 Penggunaaan alat kontrasepsi hormonal dapat menimbulkan berbagai efek samping yang salah satu di antaranya adalah perubahan berat badan akseptor. Hal ini disebabkan oleh hormon progesteron yang mempermudah terjadinya perubahan karbohidrat dan gula menjadi lemak, sehingga lemak di bawah jaringan kulit bertambah.7 Penambahan berat badan merupakan salah satu efek samping yang sering dikeluhkan oleh akseptor kontrasepsi hormonal terutama kontrasepsi hormonal suntik KB Depo Medroxyprogesterone Acetate (DMPA).6 Beberapa studi penelitian didapatkan peningkatan berat badan akibat penggunaan kontrasepsi DMPA berkaitan dengan peningkatan lemak tubuh dan adanya hubungan dengan regulasi nafsu makan. Salah satu studi menemukan peningkatan nafsu makan yang dilaporkan sendiri oleh wanita yang menggunakan kontrasepsi DMPA setelah 6 bulan. Hal ini dapat dihubungkan dengan kandungan pada DMPA yaitu hormon progesteron, yang dapat merangsang pusat pengendalian nafsu makan di hipotalamus sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan nafsu makan.2 Isi Kontrasepsi berasal dari kata kontra yang berarti mencegah atau melawan, sedangkan konsepsi adalah pertemuan antara sel telur yang matang dan sel sperma yang mengakibatkan kehamilan. Maksud dari Majority | Volume 7 | Nomor 2 | Juni 2015 | 68 kontrasepsi adalah menghindar dan mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat pertemuan antara sel telur yang matang dengan sel sperma tersebut. Cara kerja kontrasepsi bermacam-macam tetapi pada umumnya mempunyai fungsi mengusahakan agar tidak terjadi ovulasi, melumpuhkan sperma, menghalangi pertemuan sel telur dengan sperma.8 Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pemilihan alat kontrasepsi adalah tidak memiliki efek samping yang merugikan, lama kerja dapat diatur menurut keinginan, tidak mengganggu persetubuhan, harganya murah supaya dapat dijangkau masyarakat luas, dapat diterima pasangan suami istri, tidak memerlukan bantuan medik atau kontrol yang terlambat selama penatalaksanaan.9 Sasaran dalam penggunaan alat kontrasepsi yaitu 1) pasangan usia subur, semua pasangan usia subur yang ingin menunda, menjarangkan kehamilan dan mengatur jumlah anak; 2) ibu yang mempunyai banyak anak dianjurkan memakai kontrasepsi untuk menurunkan angka kematian ibu dan angka kematian bayi yang disebabkan karena faktor multiparitas (banyak melahirkan anak); 3) Ibu yang mempunyai resiko tinggi terhadap kehamilan, Ibu yang mempunyai penyakit yang bisa membahayakan keselamatan jiwanya jika dia hamil, maka ibu tersebut dianjurkan memakai kontrasepsi.10 Faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan metode kontrasepsi yaitu efektifitas kontrasepsi progestin tinggi, efek samping minor (gangguan siklus haid, perubahan berat badan, keterlambatan kembalinya kesuburan dan osteoporosis pada pemakaian jangka panjang), kerugian hanya sedikit dan jarang terjadi pada wanita yang mengunakan kontrasepsi progesterone, komplikasikomplikasi yang potensial, biaya kontrasepsi progesterone yang terjangkau.9 Berbagai jenis metode atau alat kontrasepsi dibagi menjadi:11 1. Kontrasepsi Sterilisasi yaitu pencegahan kehamilan dengan mengikat sel indung telur pada wanita (tubektomi) atau testis pada pria (vasektomi). Proses sterilisasi ini harus dilakukan oleh ginekolog (dokter kandungan). Efektif bila memang ingin melakukan pencegahan kehamilan secara permanen, misalnya karena faktor usia. I.Ratna Novalia Sari | Kontrasepsi Hormonal Suntik Depo Medroxyprogesterone Acetate (DMPA) Sebagai Salah Satu Penyebab Kenaikan Berat Badan 2. Kontrasepsi teknik, dibagi menjadi : a. Coitus Interruptus adalah ejakulasi yang dilakukan di luar vagina. Faktor kegagalan biasanya terjadi karena ada sperma yang sudah keluar sebelum ejakulasi, orgasme berulang atau terlambat menarik penis keluar. b. Sistem kalendar adalah tidak melakukan senggama pada masa subur, perlu kedisiplinan dan pengertian antara suami istri karena sperma maupun sel telur (ovum) mampu bertahan hidup sampai dengan 48 jam setelah ejakulasi. Faktor kegagalan karena salah menghitung masa subur (saat ovulasi) atau siklus haid tidak teratur sehingga perhitungan tidak akurat. c. Prolonged lactation adalah selama tiga bulan setelah melahirkan saat bayi hanya minum air susu ibu (ASI) dan menstruasi belum terjadi, otomatis tidak akan terjadi kehamilan. Tapi jika ibu hanya menyusui kurang dari enam jam per hari, kemungkinan terjadi kehamilan cukup besar. 3. Kontrasepsi mekanik, terdiri dari: a. Kondom adalah suatu alat kontrasepsi yang terbuat dari latex. Terdapat kondom untuk pria maupun wanita serta berfungsi sebagai pemblokir sperma. Kegagalan pada umumnya karena kondom tidak dipasang sejak permulaan senggama atau terlambat menarik penis setelah ejakulasi sehingga kondom terlepas dan cairan sperma tumpah di dalam vagina. b. Spermatisida adalah suatu bahan kimia aktif untuk membunuh sperma, berbentuk cairan, krim atau tisu vagina yang harus dimasukkan ke dalam vagina lima menit sebelum senggama. Kegagalan sering terjadi karena waktu larut yang belum cukup, jumlah spermatisida yang digunakan terlalu sedikit atau vagina sudah dibilas dalam waktu kurang dari enam jam setelah senggama. c. Vaginal diafragma adalah lingkaran cincin dilapisi karet fleksibel ini akan menutup mulut rahim bila dipasang dalam liang vagina enam jam sebelum senggama. Efektivitasnya sangat kecil, karena itu harus digunakan bersama spermatisida untuk mencapai efektivitas 80%. d. Intra Uterine Device (IUD) atau spiral adalah alat kontrasepsi yang terbuat dari bahan polyethylene yang diberi lilitan logam, umumnya tembaga (Cu) dan dipasang di mulut rahim. Kelemahan alat ini yaitu bisa menimbulkan rasa nyeri di perut, infeksi panggul, pendarahan di luar masa menstruasi atau darah menstruasi lebih banyak dari biasanya. 4. Kontrasepsi hormonal adalah kontrasepsi yang cara kerjanya bersifat hormonal bisa berupa pil KB yang diminum sesuai petunjuk hitungan hari yang ada pada setiap blisternya, suntikan, susuk/implan yang ditanam untuk periode tertentu, koyo KB atau spiral berhormon. Kontrasepsi hormonal terdiri dari: a. Pil Kombinasi Oral Contraception (OC) Pil kombinasi merupakan kombinasi dosis rendah estrogen dan progesteron. Penggunaan kontrasepsi pil kombinasi estrogen dan progesteron atau yang hanya terdiri dari progesteron saja merupakan penggunaan kontrasepsi terbanyak. b. Koyo KB Digunakan dengan ditempelkan di kulit setiap minggu. Kekurangannya adalah menimbulkan reaksi alergi bagi yang memiliki kulit sensitif dan kurang cocok untuk digunakan pada daerah beriklim tropis. c. Susuk KB ( Implan ) Implan terdiri dari 6 kapsul silastik, setiap kapsulnya berisi levornorgestrel sebanyak 36 miligram dengan panjang 3,4 cm dan diameter 2,4 cm. Kapsul yang dipasang harus dicabut menjelang akhir masa 5 tahun. Terdapat dua jenis Implan yaitu Norplant dan Implanon. d. Suntik KB Kontrasepsi suntikan mengandung hormon sintetik. Cara pemakaiannya dengan menyuntikkan zat hormonal ke dalam tubuh. Zat hormonal yang terkandung dalam cairan suntikan dapat mencegah kehamilan dalam waktu tertentu. Biasanya penyuntikan ini dilakukan 2-3 kali dalam sebulan.11 Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 69 I.Ratna Novalia Sari | Kontrasepsi Hormonal Suntik Depo Medroxyprogesterone Acetate (DMPA) Sebagai Salah Satu Penyebab Kenaikan Berat Badan KB suntik adalah suatu alat kontrasepsi hormonal yang cara penggunaannya disuntikkan secara intramuscular (IM).10 Cara kerja KB suntik menurut Saifudin (2003), diantaranya adalah: menekan ovulasi, mengentalkan lendir servik sehingga menurunkan kemampuan penetrasi sperma, menjadikan selaput lendir rahim tipis dan atropi dan menghambat transportasi gamet oleh tuba.10 Komposisi suntik kombinasi terdiri dari 25 mg depo medroksi progesterone asetat dengan 5 mg estradiol sipinoat dan 50 mg norethindrone enantat dengan 5 mg etradiol valerat. Komposisi suntik progestin terdiri dari 150 mg depo medroksi progesterone asetat dan 200 mg depo norestisteron enantat.12 Jenis KB suntik golongan progestin menurut Saifudin (2003) adalah 1). Depo Medroxyprogesteron Acetate (DMPA) mengandung 150 mg DMPA diberikan 3 bulan sekali secara intramuscular, dan 2).Depo noretisterone (Depo Noristerate) yang mengandung 200 mg noretindron enantat, diberikan setiap 2 bulan secara intramuscular.10 Cara kerja DMPA diantaranya adalah mencegah ovulasi, mengentalkan lendir serviks sehingga menurunkan kemampuan penetrasi sperma, menjadikan selaput lendir rahim tipis dan atrofi, menghambat transportasi gamet oleh tuba, gangguan haid.13 Gejala dan keluhan biasanya yaitu amenorhoe (tidak datangnya haid pada setiap bulan selama akseptor mengikuti suntik KB), metrhoragia (perdarahan yang berlebihan diluar masa haid), spotting (bercak – bercak perdarahan diluar masa haid yang terjadi selala akseptor mengikuti KB suntik), menorrhagia (datangnya darah haid dalam jumlah banyak).13 Alat kontrasepsi hormonal suntik DMPA adalah satu-satunya kontrasepsi hormonal yang konsisten terkait dengan penambahan berat badan. Sebuah studi prospektif menemukan bahwa wanita yang menggunakan Depo-Provera memperoleh penambahan berat badan rata-rata sebesar 5,1 kg selama 36 bulan, sedangkan wanita yang menggunakan kontrasepsi oral kombinasi tidak mendapatkan kenaikan berat badan.14 Perdebatan mengenai meningkatnya berat badan sebagai akibat dari penggunaan DMPA-IM yang terus menerus, serta penambahan jumlah berat dilaporkan naik dari Majority | Volume 7 | Nomor 2 | Juni 2015 | 70 waktu ke waktu, bervariasi dari sekitar 1-2 kg setelah 1 tahun penggunaan menjadi antara 410 kg setelah penggunaan yang lama sekitar 35 tahun. Menurut WHO, dalam menyelidiki efek samping dan alasan penghentian DMPAIM menemukan bahwa wanita dewasa memperoleh rata-rata 1,9 kg pada tahun pertama penggunaan DMPA-IM, dan berat badan dikutip sebagai salah satu alasan utama untuk penghentian penggunaan DMPA-IM ini.15 Perhitungan untuk mengetahui berat badan normal (BBN) dihitung dengan mengurangi ukuran tinggi badan (dalam cm) dengan angka 100. Berat badan ideal (BBI) diperoleh dengan mengurangi BBN dnegan 10% dari BBN, sedangkan berat badan berlebih jika berat badan seseorang lebih dari 15% dari BBN.16 Faktor-faktor yang dapat meningkatkan berat badan seseorang menurut Wijayanti (2006) adalah:6 1. Herediter Kencenderungan menjadi gemuk pada keluarga tertentu telah lama diketahui. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan keluarga makan banyak dan berkali-kali tiap harinya. Dengan demikian masukan energi tiap harinya melebihi kebutuhannya. 2. Bangsa atau suku Pada bangsa atau suku tertentu kadangkadang terlihat lebih banyak anggotaanggotanya yang menderita obesitas. Dalam hal ini sukar untuk menentukan faktor yang lebih menonjol. Keturunan atau latar belakang kebudayaan seperti biasa makan makanan yang mengandung banyak energi, tidak berolah raga dan sebagainya. 3. Gangguan emosi Gangguan emosi merupakan sebab terpenting obesitas pada remaja. Pada anak yang bersedih hati dan memisahkan diri dari lingkungannya timbul rasa lapar yang berlebihan sebagai kompensasi terhadap masalahnya. Adanya kebiasaan makanan yang terlampau banyak akan menghilang dengan menyembuhnya gangguan emosi yang dideritanya. 4. Fisiologi Energi yang dikeluarkan menurun dengan bertambahnya usia dan ini sering meningkatkan berat badan pada usia pertengahan. I.Ratna Novalia Sari | Kontrasepsi Hormonal Suntik Depo Medroxyprogesterone Acetate (DMPA) Sebagai Salah Satu Penyebab Kenaikan Berat Badan 5. Gangguan hormon Gangguan hormon hypotyroid dapat mempengaruhi peningkatan berat badan atau kecenderungan untuk meningkatkan berat badan. 6. Aktivitas fisik Peningkatan berat badan dapat disebabkan asupan energi yang melebihi kebutuhan tubuh yang biasanya dialami oleh orang yang kurang olahraga atau kurang aktivitas fisik. Hal ini menyebabkan energi yang masuk kedalam tubuh tidak dibakar atau digunakan yang kemudian disimpan dalam bentuk lemak. Adapun faktor-faktor pendukung yang mempengaruhi perubahan berat badan. Selain faktor utama, adapun faktorfaktor pendukung yang mempengaruhi perubahan berat badan menurut BKKBN (2013), diantaranya adalah:1 1. Pola makan Pola makan dapat dikendalikan dengan memilih responden yang mempunyai pola makan yang teratur karena efek dari hormon progesteron disini dapat meningkatkan nafsu makan. 2. Umur Usia 20-35 tahun adalah usia yang lebih aman dari resiko kematian maternal, sehingga mengatur kehamilan pada usia tersebut dengan kontrasepsi adalah mengurangi resiko kematian maternal pada bayi dan anak. Terbukti bahwa jarak kehamilan kurang dari 2 tahun akan meningkatkan kematian bayinya. Disamping itu wanita yang melahirkan pada usia dibawah 18 tahun cenderung prematur dan meninggal dunia. Dengan demikian program KB secara langsung maupun tidak langsung dengan kelangsungan hidup ibu, bayi, dan anak. Selain faktor- faktor yang dapat meningkatkan berat badan adapun usahausaha untuk mengurangi berat badan.6 Ringkasan kontrasepsi adalah menghindar dan mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat pertemuan antara sel telur yang matang dengan sel sperma tersebut. Cara kerja kontrasepsi bermacam-macam tetapi pada umumnya mempunyai fungsi mengusahakan agar tidak terjadi ovulasi, melumpuhkan sperma, menghalangi pertemuan sel telur dengan sperma. Sasaran dalam penggunaan alat kontrasepsi yaitu semua pasangan usia subur yang ingin menunda, menjarangkan kehamilan dan mengatur jumlah anak; ibu yang mempunyai banyak anak dianjurkan memakai kontrasepsi untuk menurunkan angka kematian ibu dan angka kematian bayi karena faktor multiparitas; ibu yang mempunyai resiko tinggi terhadap kehamilan; ibu yang mempunyai penyakit yang bisa membahayakan keselamatan jiwanya jika dia hamil, maka ibu tersebut dianjurkan memakai kontrasepsi. Faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan metode kontrasepsi yaitu efektifitas kontrasepsi tinggi, efek samping minor, kerugian hanya sedikit, biaya kontrasepsi yang terjangkau. Macam-macam alat kontrasepsi yaitu kontrasepsi sterilisasi, kontrasepsi mekanik, kontrasepsi teknik, dan kontrasepsi hormonal. DMPA merupakan salah satu kontrasepsi hormonal suntik yang paling sering digunakan yang memiliki efek samping peningkatan berat badan. Cara kerja DMPA diantaranya adalah mencegah ovulasi, mengentalkan lendir serviks sehingga menurunkan kemampuan penetrasi sperma, menjadikan selaput lendir rahim tipis dan atrofi, menghambat transportasi gamet oleh tuba, gangguan haid. Simpulan Alat kontrasepsi hormonal suntik DMPA yaitu alat kontrasepsi yang mengandung hormon progesteron, yang dapat merangsang pusat pengendalian nafsu makan di hipotalamus sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan berat badan akseptor. Daftar Pustaka 1. BKKBN. Pemantauan pasangan usia subur melalui mini survei indonesia. Jakarta. BKKBN. 2013. 2. Pratiwi, D, Syahredi, Erkadius. Hubungan antara penggunaan kontrasepsi hormonal suntik DMPA dengan peningkatan berat badan di Puskesmas Lapai Kota Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 3(3):367–371. 2013. 3. Suyati. Hubungan jenis kontrasepsi suntik dengan perubahan berat badan. Jurnal Edu Health, 3(2): 84 – 88. 2013. 4. Kemenkes RI. Situasi dan analisis keluarga berencana. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI. 2014. Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 71 I.Ratna Novalia Sari | Kontrasepsi Hormonal Suntik Depo Medroxyprogesterone Acetate (DMPA) Sebagai Salah Satu Penyebab Kenaikan Berat Badan 5. Irnawati. Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan perubahan pola menstruasi pada akseptor KB suntik depo medroxyprogesterone acetate di Puskesmas Batua Kota Makassar. Jurnal Ilmiah Kebidanan, 1(1): 1–8. 2012. 6. Purnamasari, D. Hubungan lama pemakaian KB suntik depo medroxyprogesterone asetat (DMPA) dengan perubahan berat badan di BPS (Bidan praktek swasta) “Yossi Trihana” Jogonalan Klaten. [Skripsi]. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. 2009. 7. Mayulu, N, Kawengian, S, Hasan, M. Hubungan penggunaan kontrasepsi hormonal dengan obesitas pada wanita usia subur (WUS) di Puskesmas Wawonas Kecamatan Singkil Manado. [Skripsi]. Manado: Universitas Sam Ratulangi. 2008. 8. Alexander, N, J. Contraception: present and future. Medical Journal of Indonesia, 8(1) : 7-8. 1999. 9. Hartanto, H. Keluarga berencana dan kontrasepsi. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan. 2003. 10. Saifuddin, A,B. Buku panduan praktis pelayanan kontrasepsi. Jakarta. Yayasan Majority | Volume 7 | Nomor 2 | Juni 2015 | 72 11. 12. 13. 14. 15. 16. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2003. Wulandari, P. Sistem penunjang keputusan pemilihan metode/alat kontrasepsi. [Skripsi]. Depok: Universitas Indonesia. 2013. Apreliasari, H. Risiko riwayat pemakaian kontrasepsi hormonal terhadap kejadian kanker payudara di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. [Skripsi]. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. 2009. Haryani, D,D, Santjaka, A, Sumarni. Pengaruh frekuensi kontrasepsi suntik DMPA terhadap kenaikan berat badan pada akseptor kontrasepsi suntik DMPA. Jurnal Ilmiah Kebidanan, 1(1): 59–72. 2010. Barr, N,G. Managing adverse effects of hormonal contraceptives. American Family Physician, 82(2):1499–1506. 2010. Beksinska, M,E, Smit, J,A , Guidozzi, F. Weight change and hormonal contraception: fact and fiction. Expert Rev of Obstet Gynecol, 6(1):45-56. 2011. Arisman, Dr. Gizi dalam daur kehidupan. Jakarta. EGC. 2010. Adietya Bima Prakasa | Pengaruh Madu terhadap Jumlah Leukosit Total yang Dipapari Asap Rokok Pengaruh Madu terhadap Jumlah Leukosit Total Akibat Paparan Asap Rokok Adietya Bima Prakasa Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung Abstrak Merokok merupakan salah satu ancaman kesehatan masyarakat terbesar yang pernah dihadapi. Setidaknya hampir 6 juta orang meninggal per tahun akibat merokok. Asap rokok yang dihirup seorang perokok mengandung komponen gas dan partikel. Komponen gas sangat berpotensi untuk menimbulkan radikal bebas. Merokok dalam jangka panjang meningkatkan jumlah leukosit total, terutama jumlah polymorphonuclear neutrophil (PMN) pada sirkulasi darah yang disebabkan oleh radikal bebas dan reaksi inflamasi. Madu memiliki antioksidan dan zat antiinfalamsi yang dapat menghambat aktivasi dari leukosit yang terjadi karena stress oksidatif yang disebabkan rokok, yang berefek pada menurunnya jumlah leukosit total dalam tubuh. Kata kunci: asap rokok, jumlah leukosit total, madu, polymorphonuclear neutrophil (PMN ), radikal bebas. The Effect of Honey to the Total Leucocytes Count Because of Cigarette Smoke Exposure Abstract Smoking is one of the biggest public health threat that has ever faced. At least nearly 6 million people die each year because of smoking. Cigarette smoke that inhaled by a smoker containing gases and particles. Gas component has the potential to give rise to free radicals. Long-term smoking increases the total number of leukocytes, particularly the number of polymorphonuclear neutrophils (PMN) in the blood circulation because of free radical and inflamatory reaction. Honey has antioxidant and antiinflamatory subtances that can inhibit the activation of leukocytes that occurs due to oxidative stress caused by smoking, that have effect on the decrease of total leukocytes count in the body. Keywords: free radical, honey, polymorphonuclear neutrophil (PMN), smoke, total leucocytes count. Korespondensi: Adietya Bima Prakasa, Jl. Abdul Muis 8 no. 9A Gedung Meneng, Bandar Lampung, HP 082183199550, e-mail [email protected] Pendahuluan Merokok merupakan salah satu ancaman kesehatan masyarakat terbesar yang pernah dihadapi. Setidaknya hampir 6 juta orang meninggal per tahun akibat merokok. Lebih dari 5 juta kematian diakibatkan karena hasil dari penggunaan tembakau langsung dan lebih dari 600.000 kematian sisanya disebabkan perokok pasif yang terpapar asap rokok secara tidak langsung.1 Indonesia menempati peringkat pertama di Asia Tenggara dalam hal prevalensi perokok dewasa per hari. Menurut data Global Adult Tobacco Survey (GATS) tahun 2011, sebanyak 67% laki-laki dewasa dan 2,7% wanita dewasa atau sekitar 59,9 juta orang dewasa secara keseluruhan di Indonesia adalah perokok.2 Asap rokok yang dihirup seorang perokok mengandung komponen gas dan partikel. Komponen gas sangat berpotensi untuk menimbulkan radikal bebas, yang diantaranya terdiri dari karbon monoksida, karbon dioksida, oksida dari nitrogen dan senyawa hidrokarbon. Sedangkan komponen partikel beberapa diantaranya terdiri dari tar, nikotin, benzopiren, fenol, dan cadmium.3 Tiap hisapan rokok mengandung jumlah oksidan yang besar meliputi aldehida, epoxide, peroxide, dan radikal bebas lain.4 Selain mengandung oksidan, asap rokok dapat memicu aktivitas sel-sel antiiflamasi untuk membentuk radikal bebas secara tidak langsung dalam tubuh sehingga jumlah oksidan yang ada dalam tubuh bisa melebihi jumlah antioksidan yang tersedia.5 Merokok juga merupakan faktor risiko utama terhadap penyakit kardiovaskuler. Mekanisme yang berperan dalam peningkatan risiko penyakit kardiovaskular pada perokok adalah karena peningkatan aktivasi dan pengeluaran sel inflamasi pada sirkulasi yang disebabkan asap rokok. Banyak studi yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa merokok dalam jangka panjang meningkatkan jumlah leukosit total, terutama jumlah PMN pada sirkulasi darah. Jumlah rokok yang dihisap juga berhubungan dengan jumlah leukosit.6 Untuk Majority | Volume 4| Nomor 7| Juni 2015 | 73 Adietya Bima Prakasa | Pengaruh Madu terhadap Jumlah Leukosit Total yang Dipapari Asap Rokok mengurangi dampak negatif tersebut dibutuhkan suatu zat yang dapat berperan sebagai antioksidan sekaligus sebagai antiinflamasi, salah satunya adalah madu. Madu adalah cairan manis yang berasal dari nektar tanaman yang diproses oleh lebah menjadi madu dan tersimpan dalam sel-sel sarang lebah. Sejak ribuan tahun yang lalu sampai sekarang ini, madu telah dikenal sebagai salah satu bahan makanan atau minuman alami yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan.7 Madu kaya akan vitamin A, betakaroten, vitamin B kompleks atau lengkap, vitamin C,D,E, dan K.8 Madu juga banyak mengandung komponen flavonoid, seperti luteolin, quercetin, apigenin, fisetin, kaempferol, ishoramnetin, acacetin, tamarixetin, chrystin, dan galangin, sehingga sangat berperan sebagai antioksidan.9 Selain itu madu dapat mengurangi inflamasi dan edema karena mempunyai sifat antiinflamasi yang juga berasal dari flavonoid.10 Isi Rokok merupakan hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau bahan lainya yang dihasilkan dari tanamam Nicotiana Tabacum, Nicotiana Rustica dan spesies lainnya atau sintesisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan.11 Secara umum asap rokok dibagi menjadi dua fase yaitu fase tar dan fase gas. Asap rokok fase tar memiliki kandungan >10 17 radikal bebas/g dan pada fase gas mengandung > 10 15 radikal bebas/ hisapan. Radikal bebas pada fase tar memiliki waktu paruh yang lama di tubuh yaitu beberapa jam sampai beberapa bulan, sedangkan radikal bebas pada fase gas hanya memiliki waktu paruh beberapa detik. 12 Perokok aktif mendapatkan paparan langsung dari sebatang rokok, dan asapnya disebut dengan minstream smoke. Sedangkan perokok pasif terpapar oleh asap dari ujung rokok yang terbakar atau sidestream smoke. Mainstream cigarette smoke terdiri dari 8% fase tar dan 92% fase gas. Asap rokok di ruangan sekitar perokok terdiri dari 85 % sidestream smoke, 15% mainstream smoke yang dihembuskan oleh perokok. Sidestream smoke relatif mengandung konsentrasi komponen gas beracun yang lebih tinggi daripada mainstream cigarette smoke.12 Majority | Volume 4| Nomor 7| Juni 2015 | 74 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan leukosit dapat disebabkan peningkatan radikal bebas. Radikal bebas menyebabkan aktivasi NF-κB dan mengakibatkan peningkatan produksi IL-8 yang berperan dalam peningkatan leukosit.13 Selain itu asap rokok juga dapat mengakibatkan stress oksidatif yang ditandai dengan meningkatnya radikal bebas, dan reaksi inflamasi berupa peningkatan jumlah leukosit, neutrofil darah perifer dan kadar ALP.14 Madu memiliki kandungan gizi yang cukup lengkap. Madu mengandung berbagai jenis gula, yaitu monosakarida, disakarida dan trisakarida. Monosakarida terdiri atas glukosa dan fruktosa sekitar 70%, disakarida yaitu maltosa sekitar 7% dan sukrosa antara 1-3%, sedangkan trisakarida antara 1-5%. Dalam madu juga terdapat banyak kandungan asam amino, vitamin, mineral, asam, enzim serta serat. Asam amino yang terdapat dalam madu berjumlah 18 jenis. Vitamin dalam madu berupa thiamin, riboflavin, niasin, asam pantotenat, folat, vitamin B6, B12, C, A, D, dan vitamin K. Enzim yang terkandung dalam madu antara lain enzim invertase, amilase atau diastase, glukosa oksidase, katalase, dan asam fosfatase. Madu mengandung sekitar 15 jenis asam sehingga pH madu sekitar 3,9.15 Kandungan mineral dalam madu yang telah diketahui antara lain Sulfur (S), Kalsium (Ca), Tembaga (Cu), Mangan (Mn), Besi (Fe), Fosfor (P), Kalium (K), Klor (Cl), Magnesium (Mg), Iodium (I), Seng (Zn), Silikon (Si), Natrium (Na), Molibdenum (Mo) dan Alumunium (Al). Masing-masing mineral ini memiliki manfaat, diantaranya adalah Mangan yang berfungsi sebagai antioksidan serta berpengaruh dalam pengontrolan glukosa darah serta mengatur hormon steroid.16 Magnesium berperan penting dalam mengaktifkan fungsi replikasi sel, protein dan energi. Iodium berguna bagi pertumbuhan. Besi (Fe) dapat membantu proses pembentukan sel darah merah. Magnesium, Fospor dan Belerang berkaitan dengan metabolisme tubuh. Sedangkan Molibdenum berguna dalam pencegahan anemia dan sebagai penawar racun. Efek antimikrobial dari madu berkaitan dengan osmolaritas madu, keasaman, kandungan flavonoid maupun hidrogen peroksida.16 flavonoid juga dapat menjadi zat antiinflamasi dan penstabil Reactive Oxygen Species (ROS). Efek flavonoid Adietya Bima Prakasa | Pengaruh Madu terhadap Jumlah Leukosit Total yang Dipapari Asap Rokok sebagai antioksidan secara tidak langsung mendukung efek antiinflamasi flavonoid. Adanya radikal bebas dapat menarik berbagai mediator inflamasi dan flavonoid dapat menstabilkan ROS dengan bereaksi dengan senyawa reaktif dari radikal sehingga radikal menjadi inaktif.17 Kandungan nutrisi dalam madu yang berfungsi sebagai antioksidan lainnya adalah vitamin C, asam organik, enzim, asam fenolat, flavonoid dan beta karoten, serta Vitamin A, dan Vitamin E yang juga merupakan salah satu vitamin antioksidan esensial yang utama.2 Karena banyaknya substansi alami yang bermanfaat, madu dapat dipakai dalam dunia medis misalnya sebagai: antibakteri, hepatoprotective, perbaikan fungsi reproduksi, anti-hipertensi dan sebagai antioksidan serta antiinflamasi, sehingga dapat berperan sebagai penghambat aktivasi leukosit yang diakibatkan oleh stress oksidatif yang disebabkan oleh rokok.18 Madu dapat menurunkan leukosit terutama PMN karena memiliki kandungan antioksidan serta zat antiinflamasi yaitu flavonoid, yang dapat menstabilkan ROS sehingga radikal bebas menjadi inaktif dan menurunkan reaksi inflamasi.17 Hal ini dikarenakan penurunan radikal bebas menyebabkan berkurangnya aktivasi NF-κB dan mengakibatkan penurunan produksi IL-8 yang berperan dalam peningkatan leukosit sehingga kadar leukosit total darah dapat menurun. Ringkasan Merokok merupakan salah satu ancaman kesehatan masyarakat terbesar yang pernah dihadapi. Setidaknya hampir 6 juta orang meninggal per tahun akibat merokok. Asap rokok yang dihirup seorang perokok, mengandung komponen gas dan partikel. Komponen gas sangat berpotensi untuk menimbulkan radikal bebas dan mengakibatkan oksidatif stress yang ditandai dengan meningkatnya reaksi inflamasi berupa peningkatan jumlah leukosit. Sehingga akan terjadi peningkatan jumlah leukosit total, terutama jumlah PMN pada sirkulasi darah. Madu memiliki flavonoid sebagai antioksidan dan antiinflamasi yang dapat menghambat aktivasi dari mediator inflamasi yang terjadi karena stress oksidatif yang disebabkan rokok, dan berefek pada menurunnya jumlah leukosit total dalam tubuh. Simpulan Disimpulkan bahwa asap rokok memiliki pengaruh terhadap jumlah leukosit total karena radikal bebas dan inflamasi. Antioksidan yang terkandung dalam madu dapat bereaksi dan mampu menetralisir radikal bebas, sehingga dengan pemberian madu dapat menurunkan jumlah leukosit total, terutama PMN. Daftar Pustaka 1. World Health Organization. Report on the Global Tobacco Epidemic. Geneva: World Health Organization; 2013 2. Parwata OA, Ratnayati K, listya A. Aktivitas Antiradikal Bebas Serta Kadar Beta Karoten Pada Madu Randu (Ceiba pentandra) dan Madu Kelengkeng (Nephelium longata L). [internet]. 2010 [diakses pada 18 Maret 2015]; tersedia dari: http://ojs.unud.ac.id/index.php/jchem/art icle/download/2766/1958 3. Zavos PM, Correa JR, Karagounis CS, Ahparaki A, Phoroglou C, Hicks CL. An electron microscope study of the axonemal ultrastructure in human spermatozoa from male smokers and nonsmokers. Fertility and Sterility. 1998; 69(1):430-34. 4. Arief S. Radikal bebas. Dalam: Ilmu Kesehatan Anak. Surabaya: FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo; 2007. hlm 1–9 5. Diniz MF, Dourado VA, Silva ME, et al. Cigarette smoke causes changes in liver and spleen of mice newborn exposed during pregnancy: Journal of Cytology & Histology. 2013; 04(01): 1–5. 6. Smith M, Kinmonth K, & Luben R. Smoking status and differential white cell count in men and women in the EPIC-Norfolk population. Atherosclerosis. 2003; 169(2): 331-37. 7. Hariyati LF. Aktivitas antibakteri berbagai jenis madu terhadap mikroba pembusuk (Pseudomonas fluoroscens FNCC 0071 dan Pseudomonas putida FNCC 0070). [internet]. 2010 [diakses 19 Maret 2015]. Tersedia dari: http://eprints.uns.ac.id/526/1/170552511 201011471.pdf Majority | Volume 4| Nomor 7| Juni 2015 | 75 Adietya Bima Prakasa | Pengaruh Madu terhadap Jumlah Leukosit Total yang Dipapari Asap Rokok 8. 9. 10. 11. 12. 13. Suranto A. Terapi lebah. Jakarta: Penebar Swadaya; 2007. Erguder BI, Kilicoglu SS, Namuslu M, Kilicoglu B, Devrim E, Kismet K, Durak, I. Honey prevents hepatic damage induced by obstruction of the common bile duct. World Journal of Gastroenterology. 2008; 14(23), 3729–32 Ali Raeessi M, Aslani J, Raeessi N, Gharaie H, Karimi ZAA, Raeessi F. Honey plus coffee versus systemic steroid in the treatment of persistent post-infectious cough: A randomised controlled trial. Primary Care Respiratory Journal. 2013; 22(3), 325–30. Tendra, H. Tembakau dan produknya. Bandung: PT. Rineka Cipta; 2003. Ambrose JA, Barua RS. The pathophysiology of cigarette smoking and cardiovascular disease: An update. Journal of the American College of Cardiology. 2004; 43(10), 1731–37. Iho S, Tanaka Y, Takauji R, Kobayashi C, Muramatsu I, Iwasaki H, Takahashi T. Nicotine induces human neutrophils to produce IL-8 through the generation of peroxynitrite and subsequent activation of Majority | Volume 4| Nomor 7| Juni 2015 | 76 14. 15. 16. 17. 18. NF-kappaB. Journal of Leukocyte Biology. 2003; 74, 942–51. Sela S, Shurtz-Swirski R, Awad J, Shapiro G, Nasser L, Shasha SM, Kristal B. The involvement of peripheral polymorphonuclear leukocytes in the oxidative stress and inflammation among cigarette smokers. The Israel Medical Association Journal : IMAJ. 2002; 1015–19. Tartibian B, Maleki BH. The effects of honey supplementation on seminal plasma cytokines, oxidative stress biomarkers, and antioxidants during 8 weeks of intensive cycling training. Journal of Andrology. 2012; 33(3), 449–61. Pérez E, Rodríguez-Malaver AJ, Vit P. Antioxidant capacity of venezuelan honey in wistar rat homogenates. Journal of Medicinal Food. 2006; 9(4), 510–16. Hidayati N, Listyawati S, Setyawan, A. Kandungan kimia dan uji antiinflamasi ekstrak etanol Lantana camara L . pada tikus putih ( Rattus norvegicus L ) jantan. Bioteknologi. 2005; 5(1), 10–17. Erejuwa O, Sulaiman SA, & Wahab MSA. Honey: A novel antioxidant. Molecules journal. 2012; 17(4): 4400–23. Hanna Insani Vedy | Efektivitas Kitosan Sebagai Absorben Logam Berat pada Gambaran Anatomi Ginjal Mencit (Mus Musculus L) yang diinduksi Plumbum Asetat Efektifitas Kitosan Sebagai Absorben Logam Berat pada Gambaran Anatomi Ginjal Mencit (Mus Musculus L) yang Dinduksi Plumbum Asetat Hanna Insani Vedy Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung Abstrak Plumbum merupakan logam berat yang sangat berbahaya bagi kesehatan. Angka insidensi keracunan plumbum di Indonesia masih tergolong tinggi. Keracunan plumbum dapat mengakibatkan gangguan kesehatan seperti enselopati, anemia, epilepsy, kerusakan otak besar, halusinasi, bahkan kerusakan ginjal. Gangguan ginjal dapat dilihat dari gambaran histopatologi dengan ditemukannya gambaran fibrosis interstitialis kronis. Kerusakan pada ginjal akan berdampak pada sampah metabolisme yang tidak dapat dikeluarkan dan meracuni tubuh. Kitosan berasal dari cangkang udang sebagai absorben logam berat yang dapat mengikat plumbum. Sehingga penting untuk melihat efektivitas kitosan terhadap gambaran histopatologi ginjal yang diinduksi plumbum. Kata kunci: Plumbum, Ginjal, Kitosan Chitosan Effectiveness as Heavy Metals Absorbent at Kidney Anatomy Overview of Mice (Mus Musculus L) that was Inducted by Plumbum Acetate Abstract Plumbum is a heavy metal that is harmful to health. Plumbum poisoning incidence rate in Indonesia is still relatively high. Plumbum poisoning can cause health problems such as enselopati, anemia, epilepsy, brain damage large, hallucinations, and even kidney damage. Kidney disorders can be seen from the description of the histopathological finding of chronic interstitial fibrosis picture. Damage to the kidneys will have an impact on metabolic waste that can not be removed and poison the body. Chitosan is derived from the shells of shrimp as absorbent of heavy metals that can bind plumbum. So it is important to see the effectiveness of chitosan against induced renal histopathologic picture plumbum. Keywords: Plumbum, Kidney, Chitosan Keywords : Plumbum, Kidney, Chitosan Korespondensi: Hanna Insani Vedy, Jl. Cut Mutia Gg. Maninjau no. 30 Gulak Galik, Teluk Betung Utara Bandar Lampung, HP 082186672999, e-mail [email protected] Pendahuluan Keracunan plumbum sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Kurangnya perhatian akan bahaya pumblum menyebabkan angka pencemaran plumbum di Indonesia meningkat pesat. Hal ini dibuktikan dengan, data hasil Studi Asosiasi Pendidikan dan Mainan Tradisional menemukan 80% mainan di Indonesia mengandung plumbum empat kali lebih tinggi dari Standar Nasional Indonesia (SNI). Kadar plumbum jauh di atas ambang batas yang ditetapkan, yaitu 915 dan 389 mg/kg dan ambang batas amannya sebesar 100 mg/kg. Selain itu, Seperempat dari anak-anak sekolah di Jakarta memiliki kandungan plumbum dalam darah berkisar 10-14.9 ug/dL, telah melampaui batas yang tetapkan oleh Pusat Pengontrolan dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat yaitu kurang dari 10 ug/dL tentang batas plumbum yang di golongkan tidak beracun.1 Konsentrasi plumbum air laut di Ancol sebesar 0,55 ppm, sedangkan ambang batas aman plumbum untuk air laut menurut Kementrian Lingkungan Hidup yaitu 0,008 ppm. Selain itu, konsentrasi plumbum sayuran dan tanaman di Bogor di atas nilai ambang aman yang ditetapkan WHO sebesar 2 ppm untuk berat basah dan 2,82 ppm untuk berat kering.2 Pencemaran plumbum tidak dapat dianggap remeh karena dapat mengakibatkan gangguan kesehatan seperti ensefalopati, anemia, kolik yang disertai peningkatan tekanan darah, epilepsi, halusinasi, kerusakan pada otak besar, infertil (wanita dan pria), abortus spontan, gangguan haid. Keracunan berat Plumbum akan menyebabkan penyakit renal progresif, kerusakan ginjal berupa fibriosis interstitialis kronis. Plumblum dapat merusak organ dengan cara masuk melalui inhalasi atau ingesti, masuk Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 77 Hanna Insani Vedy | Efektivitas Kitosan Sebagai Absorben Logam Berat pada Gambaran Anatomi Ginjal Mencit (Mus Musculus L) yang diinduksi Plumbum Asetat ke saluran pernafasan dan faring, yang kemudian akan terdistribusi ke darah sebanyak 95%, dan di ekskskresi melalui kulit berupa keringat, usus besar berupa tinja dan plumbum di ekskresikan di ginjal yaitu melalui filtrasi glomerulus dengan hasil akhir urin.3 Ekskresi plumbum di ginjal dapat mempengaruhi fungsi ginjal, menginggat ginjal merupakan suatu organ yang sangat penting untuk mengatur fungsi untuk mempertahankan volume, komposisi dan distribusi cairan tubuh serta mengeluarkan hasil metabolisme tubuh yang sudah tidak digunakan dan obat-obatan. Kerusakan pada ginjal membuat sampah metabolisme dan air tidak dapat lagi dikeluarkan. Dalam kadar tertentu, sampah tersebut dapat meracuni tubuh, kemudian menimbulkan kerusakan jaringan bahkan kematian. Penanganan pada kerusakan ginjal adalah transplantasi ginjal dan dialisis atau cuci darah. Tetapi, dana yang dikeluarkan besar dan pengobatan dapat berjalan hingga seumur hidup, sehingga diperlukan alternatif lain untuk pencegahan kerusakan ginjal akibat paparan plumbum.4 Kitosan turunan kitin dari cangkang Crustacea merupakan limbah yang dapat mencemari lingkungan jika tidak dimanfaatkan. Pengolahan kulit udang yang dapat memberi nilai tambah dapat dilakukan dengan menjadikannya sebagai serbuk yang kemudian diolah lebih lanjut menjadi kitin dan kitosan yang merupakan bahan industri bernilai ekonomi tinggi. Karena kitosan berfungsi sebagai absorben logam berat yang dapat mengikat plumbum. Sehingga, penting untuk mengetahui efektivitas kitosan sebagai pencegahan penyakit ginjal karena induksi plumbum. Isi Plumbum yang kita kenal dengan timah hitam dan dalam bahasa ilmiahnya dikenal dengan kata plumbum dan kelompok logam golongan IV A pada tabel periodik unsur kimia. Mempunyai nomor atom (NA) 82 dengan bobot atau berat (BA) 207,2 adalah suatu logam berat berwarna kelabu dan lunak dengan titik leleh 327ºC dan titik didih 1.620ºC. Plumbum menguap dan membentuk oksigen dalam udara yang kemudian membentuk plumbum oksida. Bentuk oksida yang paling umum adalah plumbum (II). Walaupun bersifat lunak dan lentur, Plumbum sangat rapuh dan mengkerut Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 78 pada pendinginan, sulit larut dalam air dingin, air panas dan air asam timah hitam dapat larut dalam asam nitrit, asam asetat dan asam sulfat pekat. Timah hitam di tambahkan pada bahan bakar kendaraan bermotor dalam bentuk senyawa organik tetraalkylead, terdiri dari tetramethyllead (TML), tetraethylead (TEL), dan campuran alkil Triethylmethylead, diethylmehyllead dan ethyltrimethyllead. Tidak ada timah hitam yang ditambahkan pada bahan bakar solar (diesel) dan minyak tanah. TEL dan TML secara ditambahkan ke dalam bensin sebagai adiktif anti ketukan mesin dan menaikkan angka oktan bensin. TEL berbentuk cairan berat dengan kerapatan 1,659 g/ml, titik didih 200ºC = 390ºF dan larut dalam bensin.4 Efek-efek Plumbum terhadap kesehatan dapat dijelaskan secara rinci sebagai berikut.5 a. Efek terhadap terjadinya anemia secara biokimiawi, keracunan timah hitam dapat menyebabkan : 1) Peningkatan produksi ALA (Amino Levulinic Acid) plumbum akan menghambat enzim hemesintetase, yang mengakibatkan penurunan produksi heme. Penurunan produksi heme ini meningkatkan aktivitas ALA sintetase, dan produksi ALA pada urin meningkat; 2) Peningkatan protoporphirin perubahan protoporphirin IX menjadi heme, akan terhambat oleh plumbum. Hal ini akan menyebabkan terjadinya akumulasi dari protoporphirin IX pada plasma dan feses; dan 3) Peningkatan koproporphirin akumulasi dari protoporphirin akan meningkatkan akumulasi dari koproporphirin III pada urin dan feses. b. Efek terhadap sistem saraf pusat Susunan saraf merupakan jaringan yang paling sensitif terhadap keracunan Plumbum. Pajanan tinggi dengan kadar Plumbum darah di atas 80 μg/dl dapat terjadi ensefalopati. Ensefalopati merupakan bentuk keracunan Plumbum yang sangat buruk dengan sindrom gejala neurologis yang berat. Terjadi kerusakan pada arteriol dan kapiler yang mengakibatkan oedema (adanya cairan) otak, meningkatnya tekanan cairan serebrospinal, degenerasi neuron dan perkembangbiakan sel glia. Kerusakan dapat pula mengenai saraf kranial, kadar Hanna Insani Vedy | Efektivitas Kitosan Sebagai Absorben Logam Berat pada Gambaran Anatomi Ginjal Mencit (Mus Musculus L) yang diinduksi Plumbum Asetat Plumbum dalam darah 1 – 18 μg/dl menyebabkan gangguan pendengaran tipe sensorineural. c. Efek terhadap ginjal Keracunan berat Plumbum akan menyebabkan penyakit renal progresif. Kerusakan ginjal berupa fibriosis interstitialis kronis, degenerasi tubuler, dan perubahan vaskuler pada arteri kecil dan arteriol. Ditemukan gambaran khas, yaitu penuhnya badan inklusi intranuklear pada sel dinding tubulus. Badan inklusi merupakan kompleks protein Plumbum yang kemudian diekskresi melalui urine. d. Efek terhadap sistem kardiovaskular Pada keracunan Plumbum akut beberapa pasien menderita kolik yang disertai peningkatan tekanan darah. Kemungkinan timbulnya kerusakan miokard tidak dapat diabaikan. Perubahan elektro kardiografi dijumpai pada 70 % penderita dengan gejala umum berupa takikardia, disritmia atrium. e. Efek terhadap sistem reproduksi Plumbum dapat menembus jaringan plasenta sehingga menyebabkan kelainan pada janin. Peningkatan kasus infertil (wanita dan pria), abortus spontan, gangguan haid dan bayi lahir mati pada pekerja perempuan yang terpajan Plumbum telah dilaporkan sejak abad 19. Dampak plumbum pada ginjal sendiri didapatkan hasil pada penelitian Hariono (2005) dengan pemberian 0,5 g Pb asetat netral/kgBB/oral/hr pada tikus putih (Rattus norvegicus) selama 16 minggu terjadi penurunan BB yang signifikan (P<0,05). Begitu juga rata-rata berat absolut hati, ginjal, dan limpa terjadi penurunan yang signifikan dibandingkan kelompok control.6 Pada penelitian tersebut juga dihasilkan kadar plumbum dalam ginjal lebih tinggi dari hati dan limpa. Hal ini dapat menyebabkan ginjal lebih beresiko daripada jaringan tubuh lain. Selanjutnya hasil pemeriksaan secara makroskopis pada minggu ke-14 dan ke-16 organ hati dan ginjal tampak pucat sedangkan organ lain normal. Secara mikroskopis pada minggu ke-12 sampai ke-16, epitel tubulus kontortus proksimal ginjal terlihat degenerasi, hiperplasia, dan pada minggu ke-8 terlihat benda-benda inklusi dalam inti sel. Terlihat pula vakuolisasi duktus kolektivus, dilatasi lumen disertai akumulasi sel debris dan pelebaran ruangan Bowman.6 Kitosan adalah turunan kitin yang diisolasi dari kulit udang, rajungan, kepiting, dan kulit serangga lainnya. Kitosan merupakan kopolimer alam berbentuk lembaran tipis, tidak berbau, berwarna putih.7 Sumber utama pembuatan serbuk kitosan adalah kitin, nama kitin (chitin) berasal dari bahasa Yunani yang artinya jubah atau amplop, kitin diisolasi dari eksoskleton berbagai crustacean, terutama kepiting dan udang. Kitin merupakan komponen utama dari struktur tubuh hewan golongan Crustacea, Antropoda, Annelida, Mollusca dan Nematoda.8 Kitosan bersifat polielektrolit kation yang dapat mengikat logam berat, sehingga dapat berfungsi sebagai adsorben terhadap logam berat dalam air limbah. Prinsip dasar dalam mekanisme pengikatan antara kitosan dan logam berat yang terkandung dalam limbah cair adalah prinsip penukar ion. Gugus amina khususnya nitrogen dalam kitosan akan beraksi dan mengikat logam dari persenyawaan limbah cair. Kitosan sebagai polimer kationik yang dapat mengikat logam dimana gugus amino yang terdapat pada kitosan berikatan dengan logam dapat membentuk ikatan kovalen. Gaya yang bekerja yaitu gaya Van der Walls, gaya elektrostatik, ikatan hidrogen dan ikatan kovalen. Standarisasi penyerapan limbah logam dengan kitosan sebesar ≥ 70 %.9 Ringkasan Plumbum sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Plumbum dapat mengakibatkan gangguan kesehatan seperti kerusakan ginjal berupa fibriosis interstitialis kronis. Plumblum dapat merusak organ dengan cara masuk melalui inhalasi atau ingesti. Ekskresi plumbum di ginjal dapat mempengaruhi fungsi ginjal, menginggat ginjal merupakan suatu organ yang sangat penting untuk mengatur fungsi untuk mempertahankan volume, komposisi dan distribusi cairan tubuh serta mengeluarkan hasil metabolisme tubuh yang sudah tidak digunakan dan obat-obatan. Kerusakan pada ginjal membuat sampah metabolisme dan air tidak dapat lagi dikeluarkan, sehingga diperlukan alternatif lain untuk pencegahan kerusakan ginjal akibat paparan plumbum. Kitosan dari cangkang Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 79 Hanna Insani Vedy | Efektivitas Kitosan Sebagai Absorben Logam Berat pada Gambaran Anatomi Ginjal Mencit (Mus Musculus L) yang diinduksi Plumbum Asetat udang dapat mengikat logam berat seperti plumbum karena berifat polielektrolit, yang ditandai dengan tidak terjadinya fibriosis interstitialis kronis pada gambaran histopatologi ginjal. 4. 5. Simpulan Kitosan efektif dalam mengikat logam berat pada ginjal yang diinduksi plumbum. Daftar Pustaka 1. Lubis B, Rosdiana N, Nafi S, Rasyianti O, Panjaitan FM. Hubungan Keracunan Timbal dengan Anemia Defisiensi Besi pada Anak. 2013; 40(1), 17-21. 2. Suherni O. Keracunan Timbal di Indonesia [internet]. Macquarie University of Sidney; [diperbaharui tanggal 16 september 2010; disitasi tanggal 20 Desember 2014]. Tersedia dari: http://www.lead.org.au/cu.html 3. Isro’in, Laily. Personal Higiene: Konsep, Proses, dan Aplikasi Praktik Keperawatan. Jakarta: Graha Ilmu; 2012. Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 80 6. 7. 8. 9. Riwayati I, Hartati I, Purwanto H, Suwardiyono. Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST); 2014 Nov 15; Yogyakarta. Indonesia : 1979-911X. SNAST; 2014. Palar H. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta : PT. Rhineka Cipta; 1994. Hariono B. Efek Peberian Plumbum (Timah Hitam) Anorgani Pada Tikus Putih (Rattus novergicus). J. Sain Vet. 2015; 2(23), 107– 118. Rismana E. Serat Kitosan Mengikat Lemak. Jakarta: Pusat P2 Teknologi Farmasi; 2003. Neely M. Chitin and Its Derivates in Industrial. California: Gums Kelco Company; 1969. Margnarof. Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium, dan Tembaga) di Perairan [internet]. [diperbarui 2003; disitasi tanggal 20 Desember 2014]. Tersedia dari: tumoutu.net/70207134/marganof.pdf. Aulia Agristika | Komplikasi Obesitas Pada Anak dan Upaya Penanganannya Komplikasi Obesitas Pada Anak dan Upaya Penanganannya Aulia Agristika Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung Abstrak Obesitas merupakan masalah gizi berlebih yang kian marak dijumpai pada anak di seluruh dunia, terutama di negara-negara dengan tingkat pendapatan rendah dan menengah. Prevalensi atau angka kejadian obesitas pada anak meningkat sangat cepat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007 diperkirakan 22 juta anak dibawah usia lima tahun menderita overweight (obesitas). Komplikasi dari obesitas antara lain berkurangnya kapasitas otak, kesulitan bernapas, iritasi kulit, hipertensi, dan diabetes. Penanganannya dapat dilakukan dengan menerapkan pola hidup sehat seperti berjalan 20-30 menit sehari danmengurangi konsumsi makanan cepat saji (fast food). Kata Kunci: anak-anak, komplikasi, obesitas The Complication of Obesity for Children and Treatment Effort Abstract Obesity is a problem that is increasingly prevalent excess nutrients found in children around the world , especially in countries with low and medium income levels . The prevalence or incidence of obesity in children has increased very rapidly from year to year . In 2007 an estimated 22 million children under the age of five suffer overweight. Complications of obesity include a reduced capacity of the brain, difficulty breathing, skin irritations, hypertension and diabetes. Handling can be done by adopting a healthy lifestyle such as walking 20-30 minutes a day and reduce the consumption of fast food. Keyword: children, complication, obesity Korespondensi : Aulia Agristika, alamat Jl. SoemantriBrojonegoro, PondokArbenta, Bandar Lampung, no HP +6282182085444, [email protected] Pendahuluan Obesitasmerupakan masalah gizi berlebih yang kian marak dijumpai pada anak di seluruh dunia, terutama di negara-negara dengan tingkat pendapatan rendah dan menengah.Prevalensi atau angka kejadian obesitas pada anak meningkat sangat cepat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007 diperkirakan 22 juta anak dibawah usia lima tahun menderita overweight.1 Angka kejadian obesitas pada anak-anak usia 6-17 tahun di Amerika Serikat dalam III dekade terakhir meningkat dari 7,6–10,8% menjadi 13-14%. Di Rusia, angka kejadian obesitas pada anak usia 6-8 tahun adalah 10%, Cina 3,4%, Inggris 10-17%. Sedangkan angka kejadian obesitas pada anak usia sekolah di Singapura adalah 9-19%, dan 12,2% menjadi 15-16% di Thailand dalam dua tahun terakhir.2 Di Indonesia, angka kejadian obesitas pada balita menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional meningkat baik di desa maupun di perkotaan. Pada tahun 1992, angka kejadian obesitas di perkotaan didapatkan 6,3% pada laki-laki dan 8% pada perempuan. Pada tahun 1995, angka kejadian obesitas pada 27 provinsi sebesar 4,6%.2 Obesitas yang terjadi pada masa anakanak memiliki resiko yang tinggi untuk terjadinya obesitas saat dewasa dan berpotensi untuk mengalami penyakit metabolik dan penyakit degeneratif dikemudian hari. Anak dengan obesitas memiliki resiko yang lebih besar untuk terjadinya hipertensi. Maka dari itu obesitas pada anak perlu mendapatkan perhatian khusus dan penanganan yang sedini mungkin.20,21,22 Isi Obesitas adalah kelebihan lemak dalam tubuh, yang umumnya ditimbun dalam jaringan subkutan (bawah kulit), sekitar organ tubuh dan kadang meluas ke dalan jaringan organnya.3Secara klinis obesitas dapat dengan mudah dikenali, antara lain seperti wajah membulat, pipi tembam, dagu rangkap, leher relatif pendek, dada membusung dengan payudara membesar yang mengandung jaringan lemak, perut membuncit disertai dinding perut yang berlipat-lipat, kedua tungkai berbentuk X dengan kedua pangkal paha bagian dalam saling menempel dan bergesekan, pada anak laki-laki penis tampak Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 81 Aulia Agristika | Komplikasi Obesitas Pada Anak dan Upaya Penanganannya kecil karena tertutupi oleh jaringan lemak.4Faktor penyebab obesitas antara lain adalah herediter (keturunan), pola makan, dan aktifitas fisik.5 Anak yang mengalami obesitas biasanya berasal dari keluarga yang mengalami obesitas. Jika kedua orang tua obesitas, maka sekitar 80% anak-anak mereka akan menjadi obesitas. Jika salah satu dari orang tua yang mengalami obesitas, maka kejadian obesitas pada anakanak menjadi 40%, dan jika kedua orang tua tidak mengalami obesitas, maka angka kejadian obesitas pada anak-anak mereka turun menjadi 14%.5, Penyebab mendasar obesitas pada anak adalah ketidakseimbangan antara kalori yang masuk dan kalori yang dikeluarkan. Perilaku makan mulai terkondisi dan terlatih sejak bulan bulan pertama kehidupan yaitu saat diasuh orang tua. Pemberian susu botol pada bayi mempunyai kecenderungan diberkan dalam jumlah yang berlebih sehingga resiko untuk terjadinya obesitas lebih besar. Akibatnya anak tersebut terbiasa untuk mengkonsumsi makanan yang melebihi kebutuhan dan terus berlanjut ke masa prasekolah, masa usia sekolah sampai usia remaja.6Pada usia sekolah anak-anak memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan cepat saji (fast food dan junk food) yang umumnya mengandung energi tinggi karena 40-50%nya berasal dari lemak. Kebiasaan lainnya adalah melewatkan sarapan pagi dan mengkonsumsi makanan camilan yang tinggi gula sambil menonton televisi.9 Kecendrungan kurangnya melakukan aktivitas fisikkarena anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu didalam rumah daripada diluar rumah.7Perkembangan teknologi juga turut membawa pengaruh bagi aktivitas fisik anak karena anak-anak di era modern seperti sekarang cenderung lebih suka untuk bermain game elektronik dan menonton televisi. Suatu penelitian kohort menyatakan bahwa anakanak yang menonton televisi lebih dari lima jam dapat meningkatkan angka kejadian terjadinya obesitas sebesar 18% pada usia 6-12 tahun.8 Diagnosis obesitas pada anak dilakukan dengan menghitung indeks masa tubuh (IMT)nya, dikatakan obesitas jika IMT anak tersebut berada diatas persentil 95 pada grafik tumbuh kembang berdasarkan usia dan jenis kelaminnya.Sedangkan untuk mengukur IMT ditunjukkan dengan perhitungan kilogram per Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 82 meter kuadrat (kg/m2), berkorelasi dengan lemak yang terdapat dalam tubuh.Bagi anak yang mengalami obesitas diperlukan pemeriksaan khusus untuk deteksi dini sindrom metabolik. 10 Dampak yang ditimbulkan oleh obesitas yang pertama adalah tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, kadar lipid dalam darah yang abnormal dan resistensi insulin.11Kedua, sesak napas yang membuat olahraga atau aktifitas fisik lebih sulit dan dapat memperburuk gejala dan menyebabkan terjadinya asma.Ketiga, gangguan hati dan penyakit kandung empedu.12 Komplikasi obesitas yang pertama adalah mengenai kapasitas otak, semakin besar tubuh sesorang yang mengalami obesitas maka akan semakin berkurang pula jaringan otaknya.Kedua, mengenai saluran napasyakni gangguan fungsi saluran napas Obstructive Sleep Apnea Sindrome(OSAS). Gejalanya mulai dari mengorok sampai mengompol. Obstruksi saluran napas intermiten dapat menyebabkan tidur gelisah.Ketiga, kulit lecet dan pelipatan.Obesitas pada anak dapat menyebabkan gesekan sehingga membuat kulit menjadi lecet, anak merasa gerah atau panas dan disertai biang keringat serta jamur pada lipatan kulit.13Keempat, mengenai jantung. Anak-anak yang mengalami obesitas cenderung mengakibatkan hipertensi(tekanan darah tinggi) pada masa pubertas.Kelima, mengenai ginjal. Anak yang mengalami obesitas memiliki resiko terkena diabetes dengan komplikasi sakit ginjal di kemudian hari.14 Penanganan obesitas pada anak secara teoritis bahwa intervensi terapi apapun pada anak dengan obesitas harus mencapai kontrol berat badan dan pengurangan IMT dengan aman dan efektif serta harus mencegah komplikasi jangka panjang dari obesitas pada masa kanak-kanak dan dewasa. Rencana perawatan dengan menekankan diet jangka panjang, latihan, dukungan keluarga, dan menghindari perubahan dramatis dalam berat badan.Lakukan pendekatan tim untuk terapi yang melibatkan upaya perawat pendidik, ahli gizi, ahli fisiologi olahraga, dan konselor. Konsultasi dengan spesialis paru kedokteran, dan ortopedi.15Hilangnya 5-20% dariberat total tubuh dapat mengurangi banyak resiko kesehatan yang berhubungan dengan obesitas pada orang dewasa namun apakah penurunan Aulia Agristika | Komplikasi Obesitas Pada Anak dan Upaya Penanganannya berat badan atau pengurangan moderat dalam IMT dapat meningkatkan hasil pada pasien anak atau mengurangi resiko jangka panjang obesitas di masa dewasa tidak diketahui. Karena pengurangan dramatis dalam IMT sulit untuk dicapai dan dipertahankan pada anakanak dan remaja serta orang dewasa, sehingga perlu untuk memulai konseling dan terapi yang dinilai lebih bijaksana dengan tujuan yang realistis yang menekankan pada proses pengurangan berat badan secara bertahap.16 Terapkan untuk memiliki pola makan hidup sehat, yakni dengan mengurangi makanan yang manis yang kurang mengandung gizi. Seperti makanan cepat saji (fast food).17Perilaku dan kebiasaan makan yang baik merupakan cara teraupetik yang dianjurkan untuk menghindari obesitas. Secara umum farmakoterapi untuk obesitas dikelompokkan yaitu penekan nafsu makan seperti sibutramin, penghambat absorbsi zatzat gizi misalnya orlistat, dan kelompok lainlain termasuk leptin, octreoctid, dan metformin. Belum tuntasnya penelitian tentang jangka panjang penggunaan farmakoterapi obesitas pada anak, menyebabkan tidak satupun farmakoterapi tersebut yang diizinkan pemakainnya pada anak oleh United State Food and Drug Administration sampai saat ini. Lakukan modifikasi gaya hidup, perbanyak latihan dan aktivitas fisik seperti renang, danjogging.Meskipun tidak ada program pengobatan yang meyakinkan untuk direkomendasikan, gabungan intervensi gaya hidup sehat menghasilkan penurunan berat badan yang signifikan. Batasi waktu untuk menonoton tv dan bermain game, biasakan untuk berjalan kaki selama 20-30 menit per hari. Dengan berjalan kaki, dapat mengurangi pertambahan berat badan melalui peningkatan pengeluaran energi dan memiliki efek yang menguntungkan terhadap status kardiovaskular, mengurangi tingkat lemak tubuh dan kolesteroltotal, meningkatkan massa tubuh tanpa lemak dan highdensitylipoprotein (HDL), dan meningkatkan psikologis kesejahteraan.18 Percobaan terkontrol telah menunjukkan bahwa program latihan gaya hidup, berkaitan dengan pembatasan diet, memberikan kontrol berat badan jangka panjang pada anak-anak dan remaja. Hasil studi tahun 2012 menunjukkan bahwa rendahnya tingkat kebugaran kardiorespirasi juga telah dikaitkan dengan gejala depresi yang meningkat pada obesitas remaja.19 Ringkasan Obesitas merupakan masalah gizi berlebih yang kian marak dijumpai pada anak diseluruh dunia, terutama di negara-negara dengan tingkat pendapatan rendah dan menengah. Obesitas adalah kelebihan lemak dalam tubuh, yang umumnya ditimbun dalam jaringan subkutan (bawah kulit). Komplikasi dari obesitas antara lain dapat dapat mengenai beberapa organ tubuh yakni otak, jantung, paru-paru, ginjal, kulit, dan saluran napas. Penanganannya dapat dilakukan dengan memodifikasi gaya hidup mulai dari menerapkan pola makan sehat dan berolah raga. Simpulan Obesitas dapat menyebabkan terganggunya beberapa organ tubuh seperti otak, jantung, paru-paru, ginjal, kulit dan saluran napas. Penanganannya dapat dilakukan dengan memodifikasi gaya hidup, dimulai dari pola makan sehat dan rajin berolah raga. Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. Flegal KM, Ogden CL, Wei R, Kunczmarski RL, Johnson CL. Prevalence of overweight in US children: comparison of US growth charts from the centers for disease control and prevention with other reference values for body mass index. Am J ClinNutr. 2001; 73(6):1086-93. Shomaker LB, Tanofsky-Kraff M, Zocca JM, Field SE, Drinkard B, Yanovski JA. Depressive symptoms and cardiorespiratory fitness in obese adolescents. J AdolescHealth. 2012; 50(1):87-92. Huh S, Rifas-Shiman S, Taveras E, Oken E, Gillman M. Timing of solid food introduction and risk of obesity in preschool-aged children. Pediatrics. 2011; 127(3):544-51. Ortega FB, Labayen I, Ruiz JR, Kurvinen E, Loit HM, Harro J, Veidebaum T, Sjöström M. Improvements in fitness reduce the risk of becoming overweight across puberty. Med Sci Sports Exerc. 2011; 43(10):1891-7 Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 83 Aulia Agristika | Komplikasi Obesitas Pada Anak dan Upaya Penanganannya 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. Neumark-Sztainer D, Wall M, Story M, Standish AR. Dieting and unhealthy weight control behaviors during adolescence: associations with 10-year changes in body mass index. J Adolesc Health. 2012; 50(1):80-6. Tirosh A, Shai I, Afek A, Dubnov-Raz G, Ayalon N, Gordon B et al. Adolescent BMI trajectory and risk of diabetes versus coronary disease. N Engl J Med. 7 2011; 364(14):1315-25. Crowley D, Khoury P, Urbina E, Ippisch H, Kimball T. Cardiovascular impact of the pediatric obesity epidemic: higher left ventricular mass is related to higher body mass index. J Pediatr. 2011; 158(5):709714.e1. Maffeis C, Pinelli L, Brambilla P, Banzato C, Valzolgher L, Ulmi D, et al. Fasting plasma glucose (FPG) and the risk of impaired glucose tolerance in obese children and adolescents. Obesity (Silver Spring). 2010; 18(7):1437-42. Kalarchian MA, Levine MD, Arslanian SA, Ewing LJ, Houck PR, Cheng Y et al. Family-based treatment of severe pediatric obesity: randomized, controlled trial. Pediatrics. 2009; 124(4):1060-8. Wildes JE, Marcus MD, Kalarchian MA, Levine MD, Houck PR, Cheng Y. Selfreported binge eating in severe pediatric obesity: impact on weight change in a randomized controlled trial of familybased treatment. Int J Obes (Lond). 2010; 34(7):1143-8 DeBar LL, Stevens VJ, Perrin N, Wu P, Pearson J, Yarborough BJ, et al. A primary care-based, multicomponent lifestyle intervention for overweight adolescent females. Pediatrics. 2012; 129(3):611-20. Oude Luttikhuis H, Baur L, Jansen H, Shrewsbury VA, O'Malley C, Stolk RP, et al. Interventions for treating obesity in children. Cochrane Database Syst Rev. 2009; 21(1):CD001872. Pavey TG, Taylor AH, Fox KR, Hillsdon M, Anokye N, Campbell JL, et al. Effect of exercise referral schemes in primary care on physical activity Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 84 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. and improving health outcomes: systematic review and meta-analysis. BMJ. 2011; 343:d6462. Jolly K, Lewis A, Beach J, Denley J, Adab P, Deeks JJ, et al. Comparison of range of commercial or primary care led weight reduction programmes with minimal intervention control for weight loss in obesity: lighten up randomised controlled trial. BMJ. 2011; 343:d6500. Hooper L, Abdelhamid A, Moore HJ, Douthwaite W, Skeaff CM, Summerbell CD. Effect of reducing total fat intake on body weight: systematic review and metaanalysis of randomised controlled trials and cohort studies. BMJ. 2012; 345:e7666. Duckworth LC, Gately PJ, Radley D, Cooke CB, King RF, Hill AJ. RCT of a high-protein diet on hunger motivation and weight-loss in obese children: an extension and replication. Obesity (Silver Spring). 2009; 17(9):1808-10. August GP, Caprio S, Fennoy I, Freemark M, Kaufman FR, Lustig RH, Silverstein JH, et al. Prevention and treatment of pediatric obesity: an endocrine society clinical practice guideline based on expert opinion. J Clin Endocrinol Metab. 2008; 93(12):4576-99. American Heart Association. Guidelines for the Primary Prevention of Stroke. US. American Heart Association; 2010. Harris KC, Kuramoto LK, Schulzer M, Retallack JE. Effect of school-based physical activity interventions on body mass index in children: a meta-analysis. CMAJ. 2009; 180(7):719-26 World Health Organisation. Obesity: Preventing and Managing The Global Epidemic, World Health Organisation Technical Report Series. Geneva: World Health Organization; 2000. Heird, W.C. parenteral Feeding Behavior and Children’s Fat Mass. Am J Clin Nutr. 2002; 75: 451-452. Taitz, L.S. Obesity. Dalam: McLaren DS, Burman D, Belton NR, Williams AF, editor. Textbook Of Pediatric Nutrition IIIrd ed. London: Churchill Livingstone; 1991. hlm. 485-509. Karina | ASI Sebagai Pilihan Untuk Perbaiki Perkembangan Motorik Bayi ASI sebagai Pilihan untuk Perbaiki Perkembangan Motorik Bayi Karina Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung Abstrak Air Susu Ibu (ASI) eksklusif adalah pemberian ASI saja kepada bayi mulai ia lahir sampai berumur 6 bulan tanpa tambahan cairan lain dan tambahan makanan lain. ASI tanpa bahan makanan lain dapat mencukupi kebutuhan pertumbuhan usia sekitar enam bulan. Pemberian ASI eksklusif membantu dalam peningkatan kualitas anak, seperti mempertahankan kelangsungan hidup dan meningkatkan kualitas anak agar mencapai tumbuh kembang yang optimal, baik fisik, mental, emosional maupun sosial serta memiliki intelegensi majemuk. Pemberian ASI ekslusif dapat menurunkan risiko berbagai penyakit, bahkan kematian bayi. Tumbuh kembang dapat berjalan dengan pemberian ASI eksklusif seperti keterampilan motorik kasar, motorik halus, kemampuan bicara dan bahasa serta kemampuan sosialisasi dan kemandirian. Rendahnya pemberian ASI eksklusif menjadi ancaman bagi perkembangan anak. Bayi yang mendapat ASI eksklusif memiliki pertumbuhan dan perkembangan motorik yang baik karena ASI eksklusif merupakan faktor protektor untuk terjadinya keterlambatan perkembangan motorik. Simpulan: ASI eksklusif dapat memengaruhi perkembangan motorik bayi. [Majority. 2015;4(7);1-5] Kata kunci: ASI eksklusif, bayi, perkembangan motorik ASI as Option to Improve Infant Motor Development Abstract Exclusive breastfeeding is the giving of breast milk in to babies without any other liquid or foods supplements since they are born until they are six months old. Breastfeeding without other foods can meet the growing needs of the age of about six months. Exclusive breastfeeding helps in improving the quality of the child, such as maintaining the viability and improve the quality of the child in order to achieve optimal growth and development, both physically, mentally, emotionally and socially as well as having the intelligence compound. Exclusive breastfeeding can reduce the risk of various diseases, and even infant death. Exclusive breastfeeding is essential for optimal growth and development both physically and mentally and infant intelligence. Exclusive breastfeeding can be the growing of the age of about six months. Growth be run with exclusive breastfeeding as gross motor skills, speech and language, and social skills. Low exclusive breastfeeding be threat to a child's development. Infants who got exclusive breastfeeding has a growth and development of good motor skills because breastfeeding is a protector factor for motor development delays. Conclusion: Exclusive breastfeeding can affect the infant motor development. [Majority. 2015;4(7);1-5] Keywords: exclusive breastfeeding, infant, motor development Korespondensi: Karina, alamat Jl. Way Kanan No. 8 Pahoman Bandar Lampung, [email protected] Pendahuluan Pemberian Air Susu Ibu (ASI) merupakan intervensi yang ditetapkan dan direkomendasikan untuk perbaikan gizi anak. Studi telah menunjukkan bahwa ASI dapat mengurangi kematian pada bayi dan anak-anak. Hal tersebut adalah salah satu faktor yang paling penting untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi dan secara global disahkan menjadi yang terbaik untuk neonatus. World Health Organization (WHO) merekomendasikan pemberian ASI eksklusif dari bayi untuk enam bulan pertama kehidupan setelah kelahiran. ASI eksklusif berarti bahwa bayi menerima ASI saja. Tidak ada cairan atau makanan lainnya HP 089655407809, email yang diberikan, bahkan air, dengan pengecualian dari larutan garam rehidrasi oral, atau tetes/sirup vitamin, mineral atau obatobatan.1,2 Pemberian makanan pada bayi dan anak usia 0-24 bulan yang optimal adalah menyusui bayi segera setelah lahir, memberikan ASI eksklusif yaitu hanya ASI saja tanpa makanan dan minuman lain sampai bayi berumur 6 bulan, memberikan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat dan adekuat sejak usia 6 bulan dan tetap meneruskan pemberian ASI sampai usia anak 24 bulan. ASI saja untuk bayi usia 0-6 bulan (ASI eksklusif) bukan saja investasi terbaik, namun juga penyelamat masa depan bangsa.3 Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 85 Karina | ASI Sebagai Pilihan Untuk Perbaiki Perkembangan Motorik Bayi Kematian sekitar 30 ribu anak Indonesia setiap tahunnya dapat dicegah melalui pemberian ASI secara eksklusif selama enam bulan sejak kelahiran bayi. Pemberian ASI secara eksklusif dapat menekan angka kematian bayi hingga 13%.4 Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 di Indonesia, persentase pemberian ASI saja dalam 24 jam terakhir semakin menurun seiring meningkatnya umur bayi dengan persentase. Namun kesadaran masyarakat dalam mendorong peningkatan pemberian ASI masih relatif rendah, termasuk di dalamnya kurangnya pengetahuan ibu hamil, keluarga, dan masyarakat akan pentingnya ASI.5 Tumbuh kembang dapat berjalan dengan pemberian ASI eksklusif seperti keterampilan motorik kasar, motorik halus, kemampuan bicara dan bahasa, serta kemampuan sosialisasi dan kemandirian di mana ketrampilan ini menunjukkan tingkah laku yang menggerakkan otot-otot besar lengan, kaki, dan batang tubuh, misalnya mengangkat kepala dan duduk.6 Kemampuan motorik terbagi dua yaitu motorik kasar dan motorik halus. Motorik kasar adalah aktivitas dengan menggunakan otot-otot besar yang meliputi gerak dasar lokomotor, non lokomotor, dan manipulatif. Sedangkan yang dimaksud dengan motorik halus adalah kemampuan anak prasekolah beraktivitas menggunakan otot-otot halus (otot kecil) seperti menulis, menggambar, dan lain-lain.7 Isi Pada masa ini gizi bagi bayi merupakan hal yang penting karena terdapat pertumbuhan pesat dari jaringan termasuk pertumbuhan otak. Pertumbuhan otak yang pesat terbentuk disebut pacu tumbuh otak (brain growth spurt) terjadi sejak dalam kandungan dan dilanjutkan pada awal kehidupan. Di antara bahan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan otak, kira-kira 60% adalah lemak. Lemak yang dibutuhkan untuk pembentukan struktur otak janin dan bayi dibentuk dari bahan lain seperti karbohidrat dan keton. Pengecualian adalah asam lemak esensial yang memerlukan asupan dari luar, yaitu melalui plasenta pada janin dan pada bayi melalui diet.8 Air Susu Ibu (ASI) adalah minuman alamiah untuk semua bayi cukup bulan selama Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 86 bulan-bulan pertama. Pertumbuhan dan perkembangan bayi sebagian besar juga ditentukan oleh jumlah ASI yang diperoleh termasuk energi dan zat gizi lainnya yang terkandung di dalam ASI tersebut. Bahkan ASI tanpa bahan makanan lain dapat mencukupi kebutuhan pertumbuhan sampai usia sekitar empat bulan. Selain itu ASI selalu mudah tersedia pada suhu yang sesuai dan tidak memerlukan waktu untuk persiapannya.6,9 Memberikan ASI eksklusif kepada bayi sampai dengan usia 6 bulan dan diteruskan sampai usia 2 tahun dapat menjamin kesehatan dan status gizi yang optimal pada bayi karena ASI mengandung antibodi yang dapat melindungi anak dari penyakit infeksi dan kandungan docosahexaenoic acid (DHA) yang dapat mengoptimalkan kecerdasan anak. Selain itu ASI juga terjamin kebersihannya sehingga anak dapat terhindar dari kejadian diare. Hal tersebut dikarenakan susunya segar dan bebas dari kontaminasi bakteri yang akan mengurangi peluang gangguan gastrointestinal.6,10 Pada bayi usia 0-1 tahun, ASI merupakan makanan yang terpenting bagi perkembangan otak. ASI merupakan sumber taurin dan folasin, asam linoleat (asam lemak rantai terpanjang), dan laktosa yang hanya sedikit sekali ada dalam susu sapi. Semua unsur nutrisi ini merupakan bahan penting dalam pertumbuhan saraf otak. Jaringan otak bayi yang mendapat ASI eksklusif akan tumbuh optimal dan terbebas dari rangsangan kejang sehingga menjadikan anak lebih cerdas dan terhindar dari kerusakan sel-sel saraf otak.11 Kolustrum berbeda dengan air susu yang berwarna putih, karena kolustrum mengandung lebih banyak protein (terdapat sekitar 10% protein dalam kolustrum dan hanya sekitar 1% dalam air susu putih), lebih banyak mengandung imunologik A (Ig A), laktoferin, dan sel-sel darah putih yang semuanya sangat penting untuk pertahanan tubuh bayi terhadap serangan penyakit (infeksi), lebih sedikit mengandung lemak dan laktosa, lebih banyak mengandung vitamin A, dan lebih banyak mengandung mineral-mineral natrium (Na) dan seng (Zn), taurin, docosahexaenoic acid (DHA), dan asam arakhidonat (AA). DHA dan AA dalam ASI dapat dibentuk dari substansi pembentuknya, yakni Karina | ASI Sebagai Pilihan Untuk Perbaiki Perkembangan Motorik Bayi masing-masing omega-3 (asam linolenat) dan omega-6 (asam linoleat).12,13 Lemak dalam ASI diperlukan sebagai energi dan juga digunakan oleh otak untuk membuat mielin, sedangkan mielin merupakan zat yang mengelilingi sel saraf otak dan akson agar tidak mudah rusak bila terkena rangsangan. Seluruh asam lemak dapat dibuat oleh tubuh dari protein dan karohidrat, kecuali satu yaitu asam linoleat. Asam linoleat ada di dalam ASI dengan jumlah yang cukup tinggi. Lemak ASI mudah dicerna dan diserap oleh bayi karena ASI juga mengandung enzim lipase yang mencerna lemak trigliserida menjadi digliserida, sehingga sedikit sekali lemak yang tidak diserap oleh pencernaan bayi.14 Lipid dari sistem saraf pusat kita mengandung proporsi yang tinggi dari AA dan DHA yang merupakan dua asam lemak tak jenuh ganda yang paling penting dalam otak. Kadar asam linoleat dan asam α-linolenat rendah, biasanya kurang dari 1% sampai 2% dari total asam lemak. Asam linoleat dan α-linolenic acid merupakan prekursor untuk AA dan DHA. Pertumbuhan otak pada manusia dimulai pada awal trimester ketiga kehamilan. Ini adalah masa paling penting bagi AA otak dan akumulasi DHA. Oleh karena itu, komposisi lemak di otak selama periode ini sangat penting untuk pertumbuhan normal dan perkembangan otak. Setiap perubahan dalam keseimbangan asam lemak dalam asupan lemak makanan akan mengakibatkan perubahan dalam fungsi membran sel-sel otak.8 Susu formula tidak mengandung enzim karena enzim akan rusak bila dipanaskan. Itu sebabnya bayi akan sulit menyerap lemak susu formula dan menyababkan bayi menjadi diare. Jumlah asam linoleat dalam ASI sangat tinggi dan perbandingannya dengan susu buatan yaitu 6:1. Jumlah asam linoleat yang tinggi akan memacu perkembangan sel saraf otak bayi seoptimal mungkin.14 Susu formula yang tersedia dirancang untuk memberikan bayi dengan nilai gizi yang sama seperti ASI. Namun ada banyak komponen biologis yaitu antibodi dari ibu yang diturunkan yang tidak dapat direproduksi. ASI memberikan manfaat untuk bayi dalam hal pembangunan dan hasil kognitif. Komponen yang paling banyak dipelajari dari ASI adalah asam lemak rantai panjang tak jenuh ganda, khususnya DHA dan AA. Asam lemak non esensial ini telah terbukti memberikan keuntungan yang terukur pada bayi yang diberi ASI lebih daripada susu formula pada skala masa perkembangan kognitif. ASI juga mengandung sejumlah faktor pertumbuhan dan hormon yang dikenal memiliki efek perkembangan saraf.16 Manfaat pemberian ASI bagi bayi : (1) Sebagai nutrisi terbaik, terdapat nutrien-nutrien khusus dalam ASI yang tidak terdapat atau hanya sedikit terdapat pada susu sapi; (2) Meningkatkan daya tahan tubuh; (3) Meningkatkan kecerdasan; (4) Meningkatkan jalinan kasih sayang; (5) Menunjang perkembangan motorik sehingga bayi dengan ASI eksklusif akan lebih cepat bisa berjalan; (6) Menunjang perkembangan kepribadian, kecerdasan emosional, kematangan spiritual, dan hubungan sosial yang baik.9 Pemberian Air Susu Ibu (ASI) sangat penting bagi tumbuh kembang yang optimal baik fisik maupun mental dan kecerdasan bayi. Oleh karena itu pemberian ASI perlu mendapat perhatian para ibu dan tenaga kesehatan agar proses menyusui dapat terlaksana dengan benar. Selain itu pemberian ASI dapat menurunkan risiko kematian bayi.6 Otak pada balita mempunyai sisi positif dan negatif. Masa lima tahun pertama kehidupan merupakan masa yang sangat peka terhadap lingkungan dan masa ini berlangsung sangat pendek serta tidak dapat diulang lagi, maka masa balita disebut sebagai “masa keemasan” (golden period), “jendela kesempatan” (window of opportunity), dan “masa kritis” (critical period). Oleh karena itu pemberian ASI sedini mungkin segera setelah bayi lahir sangatlah penting karena ini merupakan stimulasi dini terhadap tumbuh kembang anak.10 Salah satu instrumen skrining yang dipakai secara internasional untuk menilai perkembangan anak adalah DDST II (Denver Development Screening Test). DDST II merupakan alat untuk menemukan secara dini masalah penyimpangan perkembangan anak sesuai umurnya.16 Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 87 Karina | ASI Sebagai Pilihan Untuk Perbaiki Perkembangan Motorik Bayi Tumbuh kembang sangatlah dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Oleh karena itu penting bagi ibu untuk memberikan nutrisi yang terbaik bagi anak sejak awal kehidupannya. Di awal kehidupan bayi membutuhkan nutrisi yang adekuat untuk pertumbuhannya sehingga dapat mengoptimalkan seluruh proses tumbuh kembangnya. ASI merupakan cairan biologis kompleks yang mengandung semua nutrien yang diperlukan tumbuh kembang anak. Sifatnya yang sangat mudah diserap oleh tubuh bayi, menjadikan nutrisi utama yang paling memenuhi persyaratan untuk tumbuh kembang bayi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pemberian ASI eksklusif sewaktu bayi dengan Intelligence Quotient (IQ) pada anak.17 Ringkasan Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan paling sempurna bagi bayi, karena mengandung semua zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan untuk tumbuh kembang bayi. ASI eksklusif adalah pemberian ASI tanpa makanan dan minuman tambahan lain pada bayi berumur 0-6 bulan. Lemak dalam ASI diperlukan sebagai energi dan juga digunakan oleh otak untuk membuat mielin. Mielin merupakan zat yang mengelilingi sel saraf otak dan akson agar tidak mudah rusak bila terkena rangsangan. Asam arakidonat (AA) dan docosahexaenoic acid (DHA) yang merupakan dua asam lemak tak jenuh ganda yang paling penting dalam otak. Asam linoleat dan α-linolenic acid merupakan prekursor untuk AA dan DHA. Jumlah asam linoleat dalam ASI sangat tinggi dan perbandingannya dengan susu buatan yaitu 6:1. Jumlah asam linoleat yang tinggi akan memacu perkembangan sel saraf otak bayi seoptimal mungkin. Simpulan Disimpulkan bahwa terdapatnya hubungan yang bermakna antara perkembangan motorik untuk anak yang mendapatkan ASI eksklusif. Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 88 Daftar Pustaka 1. Black RE, Allen LH, Bhutta ZA, Caulfield LE, de Onis M, Ezzati M, Mathers C, Rivera J. Maternal and child undernutrition: global and regional exposures and health consequences. Lancet. 2008; 371:243–260. 2. Jones G, Steketee RW, Black RE, Bhutta ZA, Morris SS. Bellagio child survival study group: how many child deaths can we prevent this year? Lancet J. 2003; 362:65– 71 3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Proses perkembangan jasmani dan perkembangan. Jakarta: Kemenkes; 2006. 4. Supariasa. Penilaian status gizi. Jakarta: EGC; 2008. 5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan dasar. Diabetes mellitus. Jakarta: Badan Peneliti dan Pengembangan Kesehatan; 2013. hlm. 8790. 6. Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. Ilmu kesehatan anak nelson. Edisi ke-15. Vol. 1. Jakarta: EGC; 2000. 7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Tahapan perkembangan anak. Jakarta: Kemenkes; 2004. 8. Tangkilisan HA, Lestari H. Peran penambahan DHA pada susu formula. Sari Pediatri. 2001; 3(3): 147-151. 9. Roesli, U. Mengenal ASI eksklusif. Jakarta: Trobus Agriwidya; 2000. 10. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia. Jakarta; 2012. 11. Yuliarti, Nurheti. Keajaiban ASI makanan terbaik untuk kesehatan, kecerdasan, dan kelincahan si kecil. Yogyakarta: ANDI; 2010. 12. Muchtadi, Deddy. Gizi untuk bayi: ASI, susu formula, dan makanan tambahan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan; 1996. 13. Purwanti, Sri Hubertin. Konsep penerapan ASI eksklusif. Jakarta: EGC; 2004. 14. Nurlinda, Andi. Gizi dalam siklus kehidupan seri baduta. Yogyakarta: Perpustakaan Nasional: Katalog dalam terbitan (KDT); 2013. Karina | ASI Sebagai Pilihan Untuk Perbaiki Perkembangan Motorik Bayi 15. Jenni Yum. Effects of breast milk versus infant formulae on cognitive development. Journal On Developmental Disabilities. 2007; 13(1). 30 halaman. 16. Chamidah AN. Deteksi Dini Gangguan Pertumbuhan dan Perkembangan Anak. Jurnal UNY. 2009; 1(3): 8 halaman. 17. Besar DS, Eveline TN. Air susu ibu dan hak bayi dalam bedah ASI. Jakarta: IDAI; 2009. Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 89 Karina | ASI Sebagai Pilihan Untuk Perbaiki Perkembangan Motorik Bayi Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 90 Fairuz Rabbaniyah| Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium guajava Linn.) terhadap Peningkatan Trombosit pada Pasien Demam Berdarah Dengue Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium guajava Linn.) terhadap Peningkatan Trombosit pada Pasien Demam Berdarah Dengue Fairuz Rabbaniyah Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung Abstrak Demam berdarah merupakan salah satu penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue yang dibawa oleh nyamuk Aedes aegypti. Sekarang ini sudah banyak yang mengetahui bahwa terdapat obat tradisional yang mampu meningkatkan trombosit pada pasien demam berdarah, obat tersebut berasal dari tanaman buah jambu biji. Di dalam daun jambu biji terdapat komponen senyawa tanin dan flavonoid yang dinyatakan sebagai quersetin dalam ekstrak daun jambu biji yang dapat menghambat pertumbuhan virus dengue. Simpulan : daun jambu biji dapat menghambat pertumbuhan virus dengue. [Majority. 2015;4(7);1-5] Kata kunci: daun jambu biji, demam berdarah, jumlah trombosit The Effect of Leaf Extract Guava (Psidium guajava Linn.) Against Increased Platelets in Patients with Dengue Hemorrhagic Fever Abstract Dengue fever is a disease that affects many people of Indonesia. The disease is caused by the dengue virus carried by the Aedes aegypti mosquito. Now there are many who know that there is a traditional medicine that is able to increase the platelets in patients with dengue fever, the drug derived from the plant guava fruit. In guava leaves are compound components tannins and flavonoids expressed as quersetin in the extract of guava leaf that can inhibit the growth of dengue virus. Conclusion : guava leaves can inhibits the growth of dengue virus. [Majority. 2015;4(7);1-5] Key words: guava leaf, hemorrhagic fever, number of trombocytes Korespondensi: Fairuz Rabbaniyah, alamat Jl. Kopi Arabika No.5, HP 08567682653, e-mail [email protected] Pendahuluan Selama abad ke-19 dengue dianggap sebagai penyakit sporadis yang menyebabkan epidemi pada interval panjang, refleksi dari lambatnya transportasi dan perjalanan yang terbatas. Dalam 50 tahun terakhir insiden telah meningkat 30 kali lipat. Diperkirakan terdapat 2,5 miliar orang yang tinggal di lebih dari 100 negara endemik dan daerah di mana virus dengue dapat menular. Hingga 50 juta infeksi terjadi setiap tahun dengan 500.000 kasus demam berdarah dengue dan 22.000 kematian terutama di kalangan anak-anak. Sebelum 1970, hanya sembilan negara yang mengalami kasus demam berdarah dengue (DBD), sejak saat itu jumlahnya sudah meningkat lebih dari 4 kali lipat dan terus meningkat.1 Sekitar 2,5 miliar orang atau 40% dari populasi dunia hidup di daerah di mana terdapat risiko penularan DBD. Dengue endemik sedikitnya 100 negara di Asia Pasifik, Amerika, Afrika, dan Karibia. World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa 50 sampai 100 juta infeksi terjadi setiap tahun termasuk 500.000 kasus DBD dan 22.000 kematian yang sebagian besar terjadi pada anak-anak.2 Di Indonesia DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 41 tahun terakhir. Sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan persebaran jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) dan 382 (77%) kabupaten/kota pada tahun 2009. Provinsi Maluku, dari tahun 2002 sampai tahun 2009 tidak ada laporan kasus DBD. Selain itu terjadi juga peningkatan jumlah kasus DBD, pada tahun 1968 hanya 58 kasus menjadi 158.912 kasus pada tahun 2009. Angka Kematian (AK)/Case Fatality Rate (CFR) pada tahun-tahun awal kasus DBD merebak di Indonesia sangat tinggi. Kemudian dari tahun ke tahun mulai menurun dari 41,4% pada tahun 1968 terus menurun sampai menjadi 0,89% pada tahun 2009.3 Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama A. aegyti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tempat perindukan bagi Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 91 Fairuz Rabbaniyah| Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium guajava Linn.) terhadap Peningkatan Trombosit pada Pasien Demam Berdarah Dengue nyamuk betina, yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas, dan tempat penampungan air lainnya). Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi biakan virus dengue yaitu: (1) Vektor : perkembangbiakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lainnya; (2) Pejamu : terdapatnya penderita di lingkungan atau keluarga, mobilisasi, dan paparan terhadap nyamuk, usia, dan jenis kelamin; (3) Lingkungan : curah hujan, suhu, dan kepadatan penduduk.4 Manifestasi klinis mulai dari infeksi tanpa gejala demam, demam dengue (DD), dan DBD yang ditandai dengan demam tinggi terus menerus selama 2-7 hari, pendarahan diatesis seperti uji tourniquet positif, trombositopenia dengan jumlah trombosit ≤ 100 x 109/l, dan kebocoran plasma akibat peningkatan permeabilitas pembuluh.5 Klasifikasi demam dengue menurut WHO terdapat dalam tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi demam dengue menurut WHO6 DD/DBD/DSS Demam Dengue Demam Berdarah Dengue Gejala - Demam dan dua atau lebih manifestasi berikut : nyeri retro-orbital atau mata, sakit kepala, ruam, mialgia, artralgia, leukopenia, atau hemoragik (misalnya, tes tourniquet positif, petechiae, purpura / ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, darah dalam muntahan, urin, atau feses, atau perdarahan vagina) - Demam yang berlangsung dari 2-7 hari - Bukti hemoragik manifestasi atau tes tourniquet positif. Trombositopenia (≤100.000 sel per mm3) - Bukti kebocoran plasma yang ditunjukkan oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit ≥20% di atas rata-rata untuk usia atau penurunan hematokrit ≥20% dari awal mengikuti terapi penggantian cairan), atau efusi pleura, asites atau Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 92 Sindrome Syok Dengue - - atau hypoproteinemia Nadi cepat dan lemah dan tekanan nadi sempit (<20 mmHg), atau Usia tertentu hipotensi dan dingin, kulit lembab, dan gelisah Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simptomatis. Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke-4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang masif perlu selalu diwaspadai.7 Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandungan gizi yang cukup, lunak, dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia. Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas (lambung/duodenum).7 Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak tanaman yang dapat dijadikan obat tradisional, salah satunya daun jambu biji. Daun jambu biji sudah lama digunakan untuk mengobati seseorang yang terkena demam berdarah dengue. Ekstrak daun jambu biji juga dapat meningkatkan jumlah megakariosit dalam sumsum tulang sehingga dapat meningkatkan jumlah trombosit dalam darah.8 Daun jambu biji (Psidium guajava Linn.) ternyata mengandung berbagai macam komponen yang berkhasiat mengatasi DBD. Fairuz Rabbaniyah| Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium guajava Linn.) terhadap Peningkatan Trombosit pada Pasien Demam Berdarah Dengue Kelompok senyawa tanin dan flavonoid yang dinyatakan sebagai quersetin dalam ekstrak daun jambu biji dapat menghambat aktivitas enzim reverse trancriptase sehingga dapat menghambat pertumbuhan virus dengue.8 Daun jambu biji mengandung flavonoid, tanin (17,4%), fenolat (573,3 mg/g), dan minyak atsiri. Efek farmakologis dari daun biji ini yaitu antiinflamasi, antidiare, analgesik, antibakteri, antidiabetes, antihipertensi, dan penambah trombosit. Adapun salah satu senyawa flavonoid yang terkandung di dalam daun jambu biji adalah quersetin yang memiliki titik didih 310o C sehingga quersetin tahan terhadap pemanasan.9 Isi Dengue adalah penyakit arboviral tersering yang tersebar di seluruh dunia. Dengue disebabkan oleh infeksi 1 dari 4 serotipe virus dengue. Virus dengue berasal dari keluarga Flaviviridae, genus Flavivirus (virus RNA ikatan tunggal tidak bersegmen). Virus dengue menular ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes betina yang telah terinfeksi. Virus dengue (DEN) mempunyai 4 serotipe (DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4). Infeksi dari salah satu tipe virus bisa tanpa gejala di mayoritas kasus yang terjadi atau bisa menimbulkan gejala klinis. Mulai dari yang ringan dengan gejala seperti flu (yang biasa disebut demam dengue/DD), bentuk yang lebih parah (yang biasa disebut demam berdarah/DBD), dan yang hingga menimbulkan gejala syok (dengue syok sindrom/DSS).10 Infeksi virus dengue dapat menyebabkan aktivasi makrofag yang memfagositosis kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga virus bereplikasi di makrofag dan berujung dengan menurunnya trombosit dalam tubuh (trombositopenia).4 Trombositopenia adalah penurunan jumlah trombosit dalam darah (trombosit <140.000/μl). Derajat beratnya perdarahan berkorelasi dengan tingkatan trombositopenia: trombositopenia ringan (trombosit 100.000-140.000/μl), trombositopenia sedang ( trombosit 50.000100.000/μl), trombositopenia berat ( trombosit 20.000-50.000/μl), trombositopenia sangat berat (trombosit 20.000/μl). Di mana pada trombositopenia berat mempunyai resiko untuk terjadinya perdarahan spontan, pada yang ringan seringkali asimptomatik, dan yang sedang dapat terjadi perdarahan bila ada trauma, pembedahan atau obat-obatan.11 Patogenesis infeksi dengue adalah peningkatan akut permeabilitas vaskular yang mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskular, sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Pada kasus berat, volume plasma menurun lebih dari 20%, hal ini didukung penemuan post mortem meliputi efusi pleura, hemokonsentrasi, dan hipoproteinemi.8 Setelah masuk dalam tubuh manusia, virus dengue berkembang biak dalam sel retikuloendotelial yang selanjutnya diikuti dengan viremia yang berlangsung 5-7 hari. Akibat infeksi ini, muncul respon imun baik humoral maupun selular, antara lain antinetralisasi, antihemaglutinin dan antikomplemen. Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM, pada infeksi dengue primer antibodi mulai terbentuk, dan pada infeksi sekunder kadar antibodi yang telah ada jadi meningkat.5 Manifestasi klinis mulai dari infeksi tanpa gejala demam, demam dengue (DD), dan demam berdarad dengue (DBD), ditandai dengan demam tinggi terus menerus selama 27 hari, pendarahan diatesis seperti uji tourniquet positif, trombositopenia dengan jumlah trombosit ≤100 x 109/l dan kebocoran plasma akibat peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Tiga tahap presentasi klinis diklasifikasikan sebagai demam, beracun, dan pemulihan. Tahap beracun, yang berlangsung 24-48 jam adalah masa paling kritis dengan kebocoran plasma cepat yang mengarah ke gangguan peredaran darah.4 Terdapat 4 tahapan derajat keparahan DBD yaitu : (1) Derajat I dengan tanda terdapat demam disertai gejala tidak khas dan uji torniquet positif; (2) Derajat II yaitu derajat I ditambah ada perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lain; (3) Derajat III yang ditandai adanya kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi (<20 mmHg), hipotensi (sistolik menurun sampai <80 mmHg), sianosis di sekitar mulut, akral dingin, kulit lembab dan pasen tampak gelisah; (4) Derajat IV yang ditandai dengan syok berat (profound shock) yaitu nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.5 Salah satu faktor risiko penularan DBD adalah pertumbuhan penduduk perkotaan Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 93 Fairuz Rabbaniyah| Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium guajava Linn.) terhadap Peningkatan Trombosit pada Pasien Demam Berdarah Dengue yang cepat, mobilisasi penduduk karena membaiknya sarana dan prasarana transportasi, dan terganggu atau melemahnya pengendalian populasi sehingga memungkin terjadinya KLB. Unsur iklim juga jelas berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan nyamuk pradewasa. Ketersediaan air (yang bersumber dari curah hujan atau selisih hujan dengan evapotranspirasi) dan suhu. Setelah nyamuk dewasa, hal yang mempengaruhi penularan penyakit demam berdarah adalah aktivitas nyamuk seperti menghisap darah dan kecepatan replikasi virus penyakit demam berdarah. Unsur iklim yang paling berpengaruh adalah suhu. Tingkat penyebaran virus yang tinggi terjadi pada peralihan musim dengan curah hujan dan saat suhu udara meningkat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan telur nyamuk untuk berubah menjadi dewasa berkurang (makin cepat) dengan bertambahnya suhu udara. 12 Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak tanaman yang dapat dijadikan obat tradisional, salah satunya daun jambu biji. Daun jambu biji sudah lama digunakan untuk mengobati seseorang yang terkena demam berdarah dengue. Ekstrak daun jambu biji juga dapat meningkatkan jumlah megakariosit dalam sumsum tulang sehingga dapat meningkatkan jumlah trombosit dalam darah.8 Sistematika dan klasifikasi tanaman jambu biji adalah sebagai berikut: Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Myrtales Suku : Myrtaceae Marga : Psidium Jenis : Psidium guajava L Jambu biji berasal dari Amerika tropik, tumbuh pada tanah yang gembur maupun liat pada tempat terbuka dan mengandung air yang cukup banyak. Pohon jambu biji banyak ditanam sebagai pohon buah-buahan. Namun sering tumbuh liar dan dapat ditemukan pada ketinggian 1 m sampai 1.200 m dari permukaan laut. Jambu biji berbunga sepanjang tahun. Perdu atau pohon kecil, tinggi 2 m sampai 10 m, percabangan banyak. Batangnya berkayu, keras, kulit batang licin, berwarna coklat kehijauan. Daun tunggal, bertangkai pendek, letak berhadapan, daun muda berambut halus, permukaan atas daun tua licin. Helaian daun Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 94 berbentuk bulat telur agak jorong, ujung tumpul, pangkal membulat, tepi rata agak melekuk ke atas, pertulangan menyirip, panjang 6 sampai 12 cm, lebar 3 cm sampai 6 cm. Bunga tunggal, bertangkai, keluar dari ketiak daun, berkumpul 1 sampai 3 bunga, berwarna putih. Buahnya buah buni, berbentuk bulat sampai bulat telur, berwarna hijau sampai hijau kekuningan. Daging buah tebal, buah yang masak bertekstur lunak, berwarna putih kekuningan atau merah jambu. Biji buah banyak mengumpul di tengah, kecil-kecil, keras, berwarna kuning kecoklatan.13 Daun jambu biji sudah banyak dimanfaatkan dalam pengobatan tradisional. Secara empiris daun jambu biji bersifat antibiotik dan telah dimanfaatkan untuk antidiare, sedangkan buahnya untuk obat pencahar, dan kandungan senyawa tanin di dalamnya dapat mempersempit pembuluh darah. Daun jambu biji mengandung tanin, triterpenoid, minyak atsiri, minyak lemak, dan minyak malat, sedangkan buahnya mengandung vitamin C yang tinggi. Hasil penelitian yang dikutip dari berbagai sumber menunjukkan daun jambu biji terbukti dapat menghambat aktivitas enzim reverse transcriptase dari virus dengue. Tanin menghambat enzim reverse transcriptase maupun DNA polymerase dari virus serta menghambat pertumbuhan virus yang berinti DNA maupun RNA. Hasil uji klinis menunjukkan bahwa pemberian ekstrak kering daun jambu biji selama 5 hari mempercepat pencapaian jumlah trombosit >100.000/μl, pemberian ekstrak kering setiap 4-6 jam meningkatkan jumlah trombosit >100.000/μl setelah 12-14 jam, tanpa menimbulkan efek samping yang berarti. Dengan demikian ekstrak daun jambu biji dapat digunakan untuk pengobatan kuratif demam berdarah. Beragam tanaman obat dapat digunakan untuk mengatasi penyakit demam berdarah baik berupa simplisia, serbuk, maupun sirup. Masih diperlukan penelitian untuk menghasilkan obat yang teruji mutu, keamanan, dan khasiatnya agar bisa dikembangkan sebagai obat fitofarmaka dan dimanfaatkan dalam pengobatan formal penyakit demam berdarah.14 Daun jambu biji mengandung berbagai macam komponen yang berkhasiat mengatasi DBD. Kelompok senyawa tanin dan flavonoid yang dinyatakan sebagai quersetin dalam ekstrak daun jambu biji dapat menghambat Fairuz Rabbaniyah| Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium guajava Linn.) terhadap Peningkatan Trombosit pada Pasien Demam Berdarah Dengue aktivitas enzim reverse transcriptase sehingga dapat menghambat pertumbuhan virus dengue. Uji preklinik yang dilakukan oleh Kusumawati (1999) tentang uji aktivitas produk ekstrak etanol terstandar daun jambu biji sebagai obat demam berdarah (aspek imunologis), pada penelitian ini menggunakan mencit sebagai subjek penelitian didapatkan bahwa ekstrak daun jambu biji dapat meningkatkan jumlah megakariosit dalam sumsum tulang sehingga dapat meningkatkan jumlah trombosit dalam darah. Peningkatan jumlah megakariosit terjadi melalui mekanisme peningkatan GM-CSF (Granulocyte– Macrophage Colony Stimulating Factor) yang akan menyebabkan rangsangan proliferasi dan diferensiasi megakariosit.8 Efek dari ekstrak daun jambu biji pada waktu pendarahan dan tiga mekanisme utama hemostasis yaitu vasokonstriksi, agregasi trombosit dan pembekuan darah. Ekstrak air daun jambu biji tidak memperpendek perdarahan pada tikus. Ekstrak air daun jambu biji mempotensiasi kontraksi otot pembuluh darah pada kelinci yang diinduksi oleh fenilefrin dan ketika diberikan secara in vitro dengan dosis tertentu kepada manusia dapat merangsang agregasi trombosit. Di sisi lain, secara signifikan dapat memperpanjang waktu pembekuan darah. Dengan demikian, ekstrak air daun jambu biji menunjukkan efek ambigu pada sistem hemostatik. Ekstrak daun jambu biji tidak memengaruhi pendarahan, merangsang vasokonstriksi dan agregasi platelet tetapi menghambat pembekuan darah. Oleh karena itu ekstrak daun jambu biji tidak dianjurkan sebagai agen hemostatik.15 Dari hasil penelitian efek penggunaan suplemen ekstrak daun jambu biji (Psidium guajava Linn.) dan angkak (Monascus purpureus) dalam meningkatkan trombosit pada pasien DBD di instalasi rawat inap penyakit dalam RSUP DR. M. Djamil Padang didapatkan hasil bahwa pemberian suplemen ekstrak daun jambu biji (Psidium guajava Linn.) dan angkak (Monascus purpureus) lebih cepat meningkatkan jumlah trombosit pada pasien DBD dengan trombosit >100.000/µl dibandingkan kelompok kontrol di instalasi rawat inap penyakit dalam RSUP DR. M. Djamil Padang.8 Ringkasan Demam berdarah dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang dibawa oleh vektor nyamuk Aedes aegypti. Infeksi virus yang terjadi menyebabkan kadar trombosit dalam tubuh menurun atau trombositopenia. Demam berdarah dengue ditandai dengan demam tinggi terus menerus selama 2-7 hari, pendarahan diatesis seperti uji tourniquet positif, trombositopenia dengan jumlah trombosit ≤100 x 109/l, dan kebocoran plasma akibat peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Jambu biji berasal dari Amerika tropik, tumbuh pada tanah yang gembur maupun liat pada tempat terbuka dan mengandung air yang cukup banyak. Daun jambu biji sudah banyak dimanfaatkan dalam pengobatan tradisional. Secara empiris daun jambu biji bersifat antibiotik dan telah dimanfaatkan untuk antidiare, sedangkan buahnya untuk obat pencahar, dan kandungan senyawa tanin di dalamnya dapat mempersempit pembuluh darah. Daun jambu biji mengandung berbagai macam komponen yang berkhasiat mengatasi DBD. Kelompok senyawa tanin dan flavonoid yang dinyatakan sebagai quersetin dalam ekstrak daun jambu biji dapat menghambat aktivitas enzim reverse transcriptase sehingga dapat menghambat pertumbuhan virus dengue. Simpulan Disimpulkan bahwa penyakit demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama A. aegypti dan A. albopictus). Virus ini dapat menyebabkan kadar trombosit di dalam tubuh menurun (trombositopenia). Daun jambu biji mengandung berbagai macam komponen yang berkhasiat mengatasi DBD. Kelompok senyawa tanin dan flavonoid yang dinyatakan sebagai quersetin dalam ekstrak daun jambu biji dapat menghambat aktivitas enzim reverse transcriptase sehingga dapat menghambat pertumbuhan virus dengue. Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 95 Fairuz Rabbaniyah| Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium guajava Linn.) terhadap Peningkatan Trombosit pada Pasien Demam Berdarah Dengue Daftar Pustaka 1. Impact of dengue [internet]. World Health Organization (WHO). 2015 [disitasi pada tanggal 1 Juli 2015]. Tersedia dari: http://www.who.int/csr/disease/dengue/i mpact/en/ 2. Dengue epidemiology [internet]. Centres for disease control and prevention (CDC). 2014 [disitasi pada tanggal 2 Juli 2015]. Tersedia dari: http:// www.cdc.gov/dengue/epidemiology/ 3. Achmadi UF, Sudjana P, Sukowati S, Whyono TYM, Haryanto B, Mulyono S, et al. Jendela epidemiologi demam berdarah dengue. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2010; 2(1):1–43. 4. Suhendro, Naingolan L, Chen K, Pohan HT. Ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5 Jilid ke-III. Jakarta: Interna Publishing; 2009. hlm: 2773–9. 5. Candra A. Demam berdarah dengue : epidemiologi , patogenesis , dan faktor risiko penularan dengue. Aspirator. 2010; 2(2): 110–9. 6. Clinical description for case definitions [internet]. Centres for disease control and prevention (CDC). 2013 [disitasi pada tanggal 2 Juli 2015]. Tersedia dari: http://www.cdc.gov/dengue/clinicalLab/c aseDef.html 7. Tjandrawinata RR, Setiawati A, Purba JS, Puruhito, Setiabudy R. Diagnosis dan terapi cairan pada demam berdarah dengue. Sci J Pharm Dev Med Appl. 2009; 21(4): 5. 8. Muharini S, Almahdy, Martini RD. Efek penggunaan suplemen ekstrak daun jambu biji ( Psidium guajava Linn .) dan angkak ( Monascus purpureus ) dalam meningkatkan trombosit pada demam berdarah dengue ( DBD ) di instalasi rawat inap ilmu penyakit dalam rumah sakit DR. M. Djamil Padang. J Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 96 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. Penelit Farm Indonesia. 2013; 1(2): 57–61. Daud MF, Sadiyah E, Rismawati E. Pengaruh perbedaan metode ekstraksi terhadap aktivitas antioksidan ekstrak etanol daun jambu biji ( Psidium guajava L .) berdaging buah putih. J Pros SNaPP 2011 Sains, Teknol dan Kesehat. 2002; 1(1): 55–62. Manuaba D, Sutirtayasa WP, Dewi R. Immunopatogenesis infeksi virus dengue. Bali; 2012 p. 1–12. Report No.: 1. Soegijanto S, MS A, Tumbelaka AR, Anggraini, Rufiati R, Sary DD. Uji klinik multisenter sirup ekstrak daun jambu biji pada penderita demam berdarah dengue. J Med. 2010; 23(1): 5–10. Hadi UK, Soviana S, Gunandini DD. Aktivitas nokturnal vektor demam berdarah dengue di beberapa daerah di Indonesia. J Entomol Indones [internet]. 2013; 9(1): 1–6 [disitasi pada tanggal 3 Juli 2015]. Tersedia dari: http://journal.ipb.ac.id/index.php/entomo logi/article/view/6110 Anggraini S. Optimasi formula fast disintegrating tablet ekstrak daun jambu biji ( Psidium guajava L .) dengan bahan penghancur sodium starch glycolate dan bahan pengisi manitol. Universitas Muhammadiyah Surakarta; 2010. hlm 5–6. Mengatasi demam berdarah dengan tanaman obat. J War Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2006; 28(6): 6–8. Jaiarj P, Wongkrajang Y, Thongpraditchote s, Peungvicha P, Bunyapraphatsara N, Opartkiattikul N. Guava leaf extract and topical haemostasis. [Internet]. Pubmed. 2000 [diditasi pada tanggal 3 Juli 2015]. Tersedia dari: http:// www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10925412 Andrian Prasetya Wicaksono | Pengaruh Pemberian Ekstrak Jahe Merah (Zingiber Officinale) terhadap Kadar Glukosa Darah Puasa dan Postprandial pada Tikus Diabetes Pengaruh Pemberian Ekstrak Jahe Merah (Zingiber Officinale) terhadap Kadar Glukosa Darah Puasa dan Postprandial pada Tikus Diabetes Andrian Prasetya Wicaksono Fakultas Kedokteran Universitas Lampung Abstrak Diabetes mellitus adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah akibat dari kegagalan fisiologis tubuh dalam mengatur metabolisme glukosa. Prevalensi penderita diabetes mellitus di dunia semakin meningkat setiap tahunnya, Indonesia pernah menempati urutan keempat tertinggi kasus diabetes mellitus di dunia. Tinjauan Departemen Kesehatan Republik Indonesia menyatakan bahwa penyakit diabetes mellitus berada pada peringkat keenam dari sepuluh penyakit utama pasien rawat jalan rumah sakit di Indonesia. Penderita diabetes seringkali tidak menyadari gejala diabetes yang dialaminya, namun terdapat beberapa gejala tipikal yang harus diwaspadai, antara lain poliuria (sering buang air kecil), polidipsia (sering haus), dan polifagia (mudah lapar). Diabetes mellitus memiliki kecenderungan yang tinggi untuk menjadi suatu komplikasi kronik yang menyerang pembuluh darah besar ataupun kecil apabila tidak diobati dengan tepat. Jahe merah merupakan jenis rempah-rempah yang memiliki banyak manfaat, salah satunya adalah sebagai obat tradisional. Kandungan fenol yang berada dalam rimpang jahe merah membuat tanaman ini mempunyai khasiat untuk menurunkan kadar glukosa darah pada penderita diabetes mellitus karena sifat antiinflamasi dan antioksidan yang dimilikinya. Kata kunci : diabetes mellitus, fenol, jahe merah The Influence of Administration Red Ginger Extracts (Zingiber Officinale) towards Fasting and Postprandial Glucose Levels on Diabetic Rat Abstract Diabetes mellitus is a disease characterized by elevated levels of blood glucose resulting from the body's physiological failure in regulating glucose metabolism. The prevalence of diabetes mellitus in the world is increasing every year, Indonesia ranks fourth highest ever case of diabetes mellitus in the world. Overview Department of Health of the Republic of Indonesia stated that diabetes mellitus is ranked sixth out of ten major disease outpatient hospital in Indonesia. People with diabetes are often unaware of the symptoms of diabetes that happened, but there are some typical symptoms to watch out for, among others, polyuria (frequent urination), polydipsia (frequent thirst), and polyphagia (easy hungry). Diabetes mellitus has a high tendency to become a chronic complications affecting the large and small blood vessels, if not treated appropriately. Red Ginger is a kind of spice that has many benefits, one of which is as traditional medicine. The content of phenols which are in the red ginger rhizome make this plant has the property to lower blood glucose levels in people with diabetes mellitus due to the nature of its anti-inflammatory and antioxidant. Keywords : diabetes mellitus, phenol, red ginger Korespondensi : Andrian Prasetya Wicaksono, HP 081333319988, e-mail : [email protected] Pendahuluan Diabetes melitus (DM) adalah suatu penyakit peningkatan kadar glukosa darah akibat ketidakmampuan tubuh dalam melakukan pengaturan kadar glukosa. Penyebab dari diabetes melitus sendiri bersifat multifaktorial, diantaranya adalah genetik, gaya hidup, pola makan, dan jenis makanan yang dikonsumsi. Menurut estimasi data WHO maupun IDF (International Diabetes Federation), memaparkan data angka kasus diabetes di Indonesia berdasarkan hasil survey tahun 2008 menempati urutan keempat tertinggi di dunia setelah Cina, India dan Amerika, yaitu 8,4 juta jiwa dan diperkirakan jumlahnya melebihi 21 juta jiwa pada tahun 2025 mendatang.1 Menurut laporan Departemen Kesehatan Indonesia dalam Profil Kesehatan Indonesia tahun 2007, DM berada pada urutan kesembilan dari 10 penyakit utama pada pasien rawat jalan di rumah sakit di Indonesia.2 Penderita DM memiliki resiko tinggi untuk mengalami suatu komplikasi di kemudian hari. Komplikasi yang terjadi dapat mengenai sistem pembuluh darah kecil (mikrovaskular) ataupun sistem pembuluh darah besar (makrovaskular). Untuk menghindari bahaya komplikasi yang ditimbulkan, biasanya penderita diabetes akan Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 97 Andrian Prasetya Wicaksono | Pengaruh Pemberian Ekstrak Jahe Merah (Zingiber Officinale) terhadap Kadar Glukosa Darah Puasa dan Postprandial pada Tikus Diabetes mencari suatu penanggulangan atau pengobatan. Dasar pengobatan yang sedang berkembang di kalangan peneliti adalah penggunaan obat tradisional karena beragam nilai kelebihan yang didapat, seperti mudah diperoleh, harga murah, bahkan umumnya gratis serta efek samping yang kecil. Pengembangan ini berkonsep pada pemanfaatan tanaman-tanaman obat. Secara tradisional, banyak tanaman yang berkhasiat menurunkan kadar gula darah, tetapi penggunaan tanaman obat tersebut kadang hanya berdasarkan pengalaman atau secara empiris saja, belum didukung oleh adanya penelitian untuk uji klinis dan farmakologinya. Tanaman obat yang diketahui memiliki efek hipoglikemik salah satunya adalah jahe merah. Jahe merah sering digunakan sebagai tambahan bumbu masakan ataupun minuman penghangat tubuh, kemudian jahe merah juga dapat digunakan sebagai bahan baku obatobatan tradisional. Salah satu penggunaannya adalah sebagai obat antidiabetes, untuk menurunkan kadar glukosa darah. Kelebihan jahe merah sebagai bahan baku adalah karena nilai keamanan, kepraktisan dan nilai ekonomisnya yang jauh lebih menguntungkan dibanding obat-obat dengan bahan kimia yang selama ini umum digunakan. Pada penelitian sebelumnya dalam British Journal of Nutrition telah dilakukan pengujian terhadap khasiat ekstrak jahe merah terhadap penurunan kadar glukosa darah puasa tikus yang diinduksi oleh streptozosin, namun hanya aspek glukosa darah puasa yang diteliti atau dibahas dalam penelitian ini. Hal ini mendorong peneliti tertarik dalam menilai aspek lainnya yaitu penilaian kadar glukosa darah puasa dengan postprandial pada tikus diabetes yang diinduksi oleh aloksan. Peneliti juga membedakan terhadap penginduksinya yaitu aloksan, karena sifat diabetogenik dan radikal bebas yang dimiikinya. Isi Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Jika Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 98 telah berkembang penuh secara klinis, maka diabetes mellitus ditandai dengan hiperglikemia puasa dan postprandial, aterosklerotik, dan penyakit vaskular 3 mikroangiopati, dan neuropati. Manifestasi klinis hiperglikemia biasanya sudah bertahun-tahun mendahului timbulnya kelainan klinis dari penyakit vaskularnya. Pasien dengan kelainan toleransi glukosa ringan (gangguan glukosa puasa dan gangguan toleransi glukosa) dapat tetap beresiko mengalami komplikasi metabolik diabetes.3 Diabetes melitus secara umum terbagi menjadi dua tipe yaitu diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2. Diabetes mellitus tipe 1 adalah penyakit autoimun yang ditentukan secara genetik dengan gejala-gejala yang pada akhirnya menuju proses bertahap perusakan imunologik sel-sel yang memproduksi insulin di dalam pankreas, karena keterkaitan dengan jumlah insulin yang berkurang sehingga penyakit ini biasa disebut diabetes tipe IDDM (Insulin Dependent Diabetes Mellitus). Pasien dengan diabetes mellitus tipe 2, penyakitnya mempunyai pola familial yang kuat. Diabetes tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi insulin, serta kerja insulin sehingga sering disebut sebagai diabetes tipe NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus).4 Pada DM tipe 1 atau yang disebut IDDM (Insulin Dependent Diabetes Mellitus) terjadi akibat destruksi autoimun sel beta. Bentuk diabetes tipe 1 yang parah dan memerlukan insulin biasanya terjadi pada anak dan remaja, tetapi penyakit autoimun ini juga dapat bermanifestasi pada orang dewasa dalam bentuk yang lebih ringan.4 Pada diabetes melitus tipe 2 faktor genetik berperan lebih penting dibandingkan dengan diabetes tipe 1. Dua defek metabolik yang menandai diabetes tipe 2 adalah gangguan sekresi insulin pada sel beta dan ketidakmampuan jaringan perifer berespons terhadap insulin (resistensi insulin). Gangguan sekresi insulin bersifat lebih ringan dibanding diabetes tipe 1. Namun, kenyataannya pada awal perjalanan penyakit, kadar insulin mungkin dapat meningkat untuk mengompensasi resistensi insulin.4 Andrian Prasetya Wicaksono | Pengaruh Pemberian Ekstrak Jahe Merah (Zingiber Officinale) terhadap Kadar Glukosa Darah Puasa dan Postprandial pada Tikus Diabetes diwaspadai sebagai isyarat kemungkinan diabetes. Gejala tipikal yang sering dirasakan penderita diabetes antara lain poliuria (sering buang air kecil), polidipsia (sering haus), dan polifagia (banyak makan/mudah lapar). Ketiga gejala tersebut sering disebut sebagai gejala klasik diabetes melitus.6 Tabel 1. Acuan nilai glukosa darah.6 Glukosa Darah Sewaktu (GDS) Normal Pradiabetes Diabetes Gambar 1. Patogenesis diabetes mellitus tipe 1.4 Predisposisi genetik Defek genetik multipel Defek sel beta primer Gangguan sekresi insulin Lingkungan Kegemukan Resistensi insulin jaringan perifer Kurangnya pemanfaatan insulin Hipoglikemia Kelemahan sel beta Diabetes tipe 2 Gambar 2. Patogenesis diabetes mellitus tipe 2.4 Diabetes melitus lebih banyak ditemukan pada wanita dibanding dengan pria serta pada golongan tingkat pendidikan dan status sosial yang rendah. Kelompok usia terbanyak DM adalah 55-64 tahun yaitu 13.5%. Beberapa hal yang dihubungkan dengan faktor resiko DM adalah obesitas, hipertensi, kurangnya aktivitas fisik dan rendahnya konsumsi sayur dan buah.5 Diabetes seringkali muncul tanpa gejala. Namun, ada beberapa gejala yang harus <100 100-199 Glukosa Darah Postprandial (GDP-p) <140 140-199 ≥200 ≥200 Glukosa Darah Puasa (GDP) <100 100125 ≥125 Diagnosis dari penyakit diabetes mellitus dapat ditegakkan melalui 3 cara, yaitu (1) Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu > 200mg/dl (2) Gejala klasik DM + Glukosa plasma puasa > 126 mg/dl atau (3) Glukosa plasma 2 jam pada TTGO (Test Toleransi Glukosa Oral) > 200 mg/dl, menggunakan beban glukosa 75gr anhidrus yang dilarukan dalam air.6 Komplikasi kronik diabetes mellitus dapat terjadi pada semua pembuluh darah diseluruh bagian tubuh yaitu pembuluh darah kecil (mikrovaskular) dan pembuluh darah besar (makrovaskular). Komplikasi pada mikrovaskular diantaranya adalah penyakit ginjal, retinopati, neuropati dan katarak. Sedangkan, komplikasi makrovaskular yaitu terjadinya gambaran histopatologis berupa aterosklerosis.3 Jahe Merah memiliki taksonomi antara lain, (1) Kingdom: Plantae (2) Divisi: Pteridophyta (3) Sub-divisi : Angiospermae (4) Kelas: Monocotyledoneae (5) Ordo: Scitaminae (6) Famili: Zingiberaceae (7) Genus: Zingiber (8) Species: Zingiber officinale Rosc. Jahe merah/jahe sunti (Zingiber officinale var. amarum) memiliki rimpang dengan bobot antara 0.5-0.7 kg/rumpun. Struktur rimpang jahe merah, kecil berlapislapis dan daging rimpangnya berwarna merah jingga sampai merah, ukuran lebih kecil dari jahe kecil. Diameter rimpang dapat mencapai 4 cm dan tingginya antara 5,26-10,40 cm. Panjang rimpang dapat mencapai 12.50 cm. Jahe merah selalu dipanen setelah tua, dan Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 99 Andrian Prasetya Wicaksono | Pengaruh Pemberian Ekstrak Jahe Merah (Zingiber Officinale) terhadap Kadar Glukosa Darah Puasa dan Postprandial pada Tikus Diabetes juga memiliki kandungan minyak atsiri yang lebih tinggi dibandingkan jahe kecil, sehingga cocok untuk ramuan obat-obatan. Jahe merah yang mempunyai keunggulan dari segi kandungan senyawa kimia lebih banyak digunakan sebagai bahan baku obat.8 Rimpang jahe mengandung 2 komponen utama yaitu komponen volatile dan komponen non-volatile. Komponen volatile terdiri dari oleoresin (4,0-7,5%), yang bertanggung jawab terhadap aroma jahe (minyak atsiri) dengan komponen terbanyak adalah zingiberen dan zingiberol. Minyak atsiri atau dikenal juga sebagai minyak eteris (aetheric oil), minyak esensial, minyak terbang, serta minyak aromatik adalah kelompok besar minyak nabati yang berwujud cairan kental pada suhu ruang namun mudah menguap sehingga memberikan aroma yang khas.9 Minyak atsiri jahe berwarna bening sampai kuning tua dan memiliki nilai ekonomi tinggi karena banyak digunakan dalam industri parfum, kosmetik, essence, farmasi dan flavoring agent.10 Komponen non-volatile pada jahe bertanggung jawab terhadap rasa pedas, salah satu diantaranya adalah gingerol yang termasuk ke dalam salah satu kandungan fenol. Gingerol yang terkandung di dalam jahe memiliki efek sebagai antiinflamasi, antipiretik, gastroprotektif, kardiotonik dan antioksidan, antikanker, antiinflamasi, antiangiogenesis dan antiaterosklerosis. Pada jahe merah juga terkandung sejumlah nutrisi, seperti vitamin, mineral, protein, karbohidrat dan lemak yang bermanfaat untuk kesehatan.9 Jahe biasanya aman sebagai obat herbal. Hasil penelitian farmakologi menyatakan bahwa senyawa antioksidan alami dalam jahe cukup tinggi dan sangat efisien dalam menghambat radikal bebas superoksida dan hidroksil yang dihasilkan oleh sel-sel kanker, dan bersifat sebagai antikarsinogenik, nontoksik dan non-mutagenik pada konsentrasi tinggi. Beberapa senyawa fenol, termasuk gingerol, shogaol dan zingeron memberikan aktivitas farmakologi dan fisiologis seperti efek antioksidan, antiinflammasi, analgesik, antikarsinogenik dan kardiotonik.11 Penelitian Al Amin et al. mempelajari potensi hipoglikemik jahe pada tikus yang telah diinduksi diabetes, dengan memberikan jahe segar sebanyak 500 mg/kg setiap hari selama 7 minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis tersebut signifikan efektif menurunkan Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 100 level serum glukosa, kolesterol dan triasilgliserol.10 Singh et al. pernah meneliti tentang pengaruh pemberian jahe sebagai antiglikemik, menurunkan lemak darah dan sebagai agen antioksidan untuk diabetes tipe 2.12 Penelitian Abdulrazaq et al. Juga telah membuktikan efektifitas dari ekstrak jahe merah sebagai penurun kadar glukosa darah karena sifat hipoglikemik yang dimilikinya. Dalam penelitian ini dilakukan dengan memberikan ekstrak jahe merah dalam berbagai dosis yang bervariasi pada tiga kelompok yang diberi perlakuan. Dosis yang diujikan adalah dosis ekstrak jahe merah sebesar 100mg/kg BB, 300mg/Kg BB, 500mg/kg BB.13 Aloksan (2,4,5,6-tetraoksipirimidin; 5,6dioksiurasil) merupakan senyawa hidrofilik dan tidak stabil (Gambar 1). Waktu paruh pada suhu 37°C dan pH netral adalah 1,5 menit dan bisa lebih lama pada suhu yang lebih rendah. Sebagai diabetogenik, aloksan dapat digunakan secara intravena, intraperitoneal dan subkutan. Dosis intravena yang digunakan biasanya 65 mg/kg BB, sedangkan intraperitoneal dan subkutan adalah 2-3 kalinya.14 Gambar 3. Struktur kimia aloksan.14 Ringkasan Diabetes melitus terdiri dari 2 tipe yaitu diabetes mellitus tipe 1 dan 2. Diabetes melitus tipe 1 erat kaitannya dengan jumlah insulin, sedangkan tipe 2 berkaitan dengan resistensi sel terhadap insulin. Penyakit metabolik ini sering bersifat asimptomatik dan berujung pada komplikasi yang serius apabila tidak ditangani dengan tepat. Penatalaksanaan terkait diabetes hingga saat ini masih mengutamakan obat-obatan berbahan kimia yang pada dasarnya memiliki resiko efek samping bagi tubuh. Oleh karena itu, banyak para ahli yang mulai Andrian Prasetya Wicaksono | Pengaruh Pemberian Ekstrak Jahe Merah (Zingiber Officinale) terhadap Kadar Glukosa Darah Puasa dan Postprandial pada Tikus Diabetes mengembangkan pemanfaatan tanaman obat tradisional salah satu nya adalah jahe merah. Jahe merah memiliki berbagai manfaat terutama bagi kesehatan. Kandungan fenol yang dimilikinya membuat tanaman obat ini mampu untuk menurunkan kadar glukosa darah bagi penderita diabetes mellitus tanpa perlu takut akan resiko efek samping bagi tubuh karena sifat alami yang dikandungnya. Selain itu, penggunaan jahe merah sebagai obat dinilai sangat bermanfaat karena praktis, mudah ditemukan, dan ekonomis. Simpulan Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa kandungan fenol yang ada dalam esktrak jahe merah memiliki sifat antioksidan dan antiinflamasi yang akan mengurangi radikal bebas dan proses inflamasi pada pankreas yang disebabkan oleh induksi aloksan. Oleh karena itu, ekstrak jahe merah memiliki kemampuan dalam menurunkan kadar gula darah pada penderita diabetes melitus. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Daftar Pustaka 1. Wild S, Roglic G, Green A, Sicree R, King H. Global prevalence of diabetes. Diabetes Care.2004; 27(5): 1047-53. 2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil kesehatan indonesia 2007. Jakarta: Depkes RI; 2008. 22-8. 3. Schteingart DE. Pankreas: Metabolisme glukosa dan diabetes melitus. Dalam: Hartanto H, Susi N, Wulansari P, Mahanani DA. Patofisiologi: Konsep klinis prosesproses penyakit edisi ke-6 (terjemahan). Jakarta: EGC; 2005. hlm. 1259-72. 4. Salzler MJC, Crawford JM, Kumar V. Pankreas. Dalam: Asroruddin M, Hartanto H, Darmaniah N. buku ajar patologi robbins edisi ke-7 (terjemahan). Jakarta: EGC; 2007. hlm. 711-33. 5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen 12. 13. 14. Kesehatan Republik Indonesia. riset kesehatan dasar 2007 (laporan Nasional 2007). Jakarta: Depkes RI; 2008. 156-60. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. pharmaceutical care untuk penyakit diabetes melitus. Jakarta: Depkes RI; 2005. 10-25. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia. Jakarta: Perkeni; 2011. 6-10. Hapsoh, Hasanah Y, Julianti E. Budidaya dan teknologi pasca panen jahe. Medan: USU Press; 2008. 1-10. Lestari WEW. pengaruh nisbah rimpang dengan pelarut dan lama ekstraksi terhadap mutu oleoresin jahe merah. Bogor: Insitut Pertanian Bogor; 2006. 6-18. Supardan MD, Ruslan, Satriana, Arpi N. Hidrodistilasi minyak jahe (zingiber officinale rosc): Menggunakan Gelombang Ultrasonik. Reaktor. 2009; 12(4): 239-44. Hernani, Winarti C. Kandungan bahan aktif jahe dan pemanfaatannya dalam bidang kesehatan. Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian; 2011. 125-42. Singh AB, Akanksha, Singh N, Maurya R, Srivastava AK. Anti-hyperglycaemic, lipid lowering and anti-oxidant properties of [6]-gingerol in db/db mice. International Journal of Medicine and Medical Sciences. 2009; 1(12): 536-44. Abdulrazaq NB, Cho MM, Win NN, Zaman R, Rahman MT. Beneficial effects of ginger (zingiber officinale) on carbohydrate metabolism in streptozotocin-induced diabetic rats. British Journal of Nutrition. 2011; 108: 1194-201. Nugroho AE. Hewan percobaan diabetes melitus: patologi dan mekanisme aksi diabetogenik. Biodiversitas. 2006; 7(4): 378-82. Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 101 Andrian Prasetya Wicaksono | Pengaruh Pemberian Ekstrak Jahe Merah (Zingiber Officinale) terhadap Kadar Glukosa Darah Puasa dan Postprandial pada Tikus Diabetes Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 102 Zahra Zettira dan Khairun Nisa| Analisis Hubungan Penggunaan Kontrasepsi Hormonal dengan Disfungsi Seksual pada Wanita Analisis Hubungan Penggunaan Kontrasepsi Hormonal dengan Disfungsi Seksual pada Wanita Zahra Zettira, Khairun Nisa Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung Abstrak Disfungsi seksual pada wanita merupakan suatu masalah kesehatan reproduksi yang penting karena hal ini berhubungan dengan kelangsungan fungsi dari reproduksi seorang wanita dan hal ini dapat berpengaruh besar terhadap keharmonisan dari hubungan antara suami dan isteri. Lebih dari separuh kaum wanita di dalam suatu negara menunjukkan potensi tinggi untuk mengalami gangguan fungsi seksual. Data Epidemiologi di Amerika Serikat melaporkan bahwa insiden disfungsi seksual pada wanita adalah sebesar 43%, dengan keluhan gangguan hasrat seksual sebesar 10 - 46%, gangguan rangsang seksual sebesar 4 – 7 %, gangguan orgasme sebesar 5 – 42%, Nyeri sebesar 3 – 18% dan vaginismus sebesar 30%. Penggunaan metode kontrasepsi hormonal merupakan salah satu dari faktor risiko yang dapat mempengaruhi kejadian dari disfungsi seksual pada penggunanya karena kandungan hormon yang terkandung didalamnya dapat mempengaruhi fungsi fisiologis hormonal dari seorang wanita sehingga hal ini dapat menimbulkan berbagai gangguan seksual, contohnya seperti antara lain adalah gangguan minat, gangguan orgasme ataupun gangguan birahi. Kata kunci: Disfungsi Seksual, Kontrasepsi hormonal Analysis of the Relationship of Hormonal Contraceptive Use in Women with Sexual Dysfunction Abstract Sexual dysfunctionin women is an important reproductive health issues as its relate to the continuity of a woman's reproductive function and influence on the harmony of marriage. More than half of women in a country may experience sexual dysfunction. Epidemiologic data in the United States reported the incidents of sexual dysfunction in women is 43%, with complaints of sexual desire disorder 10 - 46%, disorders of sexual arousal disorder 4 - 7%, orgasm disorder 5 - 42%, pain is 3 - 18% and 30% vaginismus. Use of hormonal contraception method is one of the risk factors that may affect the incidence of sexual dysfunction in users. The use of hormonal contraceptive methods is one of the risk factors that may affect the incidence of sexual dysfunction in users because the content contained therein affect physiological function of hormonal women that can lead to various sexual disorders such as disorders of interest, orgasm disorders and disorders lust. Keywords: Hormonal Contraception, Sexual Dysfunction Korespondensi: Zahra Zettira dan Khairun Nisa | [email protected] dan [email protected] Pendahuluan Kontrasepsi merupakan salah satu upaya untuk mencegah terjadinya kehamilan. Upaya itu dapat bersifat sementara, dapat pula bersifat permanen. Pada saat ini telah banyak beredar berbagai macam alat kontrasepsi. Macammacam metode kontrasepsi tersebut adalah Intra Uterine Device, implant, kondom, suntik ,metode operatif untuk wanita (MOW), metode operatif untuk pria (MOP), dan kontrasepsi pil. Alat kontrasepsi hendaknya memenuhi syarat yaitu aman pemakaiannya dan dapat dipercaya, efek samping yang merugikan tidak ada, lama kerjanya dapat diatur keinginan, tidak mengganggu hubungan seksual, harganya murah dan dapat diterima oleh pasangan suami istri1. Dewasa ini hampir 380 juta pasangan menjalankan keluarga berencana dan 66 –75 juta diantaranya, terutama di Negara berkembang, menggunakan kontrasepsi hormonal. Kontrasepsi hormonal yang digunakan untuk mencegah terjadi kehamilan dapat memiliki pengaruh positif maupun negatif terhadap berbagai organ tubuh, baik organ genitalia maupun non genitalia2. Data SDKI 2012 menunjukkan peningkatan prevalensi penggunaan kontrasepsi atau Contraceptive Prevalence Rate (CPR) di Indonesia sejak 1991-2012 sementara angka fertilitas atau Total Fertility Rate (TFR) cenderung menurun. Tren ini menggambarkan Majority | Volume 4 | Nomor 7| Juni 2015 | 103 Zahra Zettira dan Khairun Nisa| Analisis Hubungan Penggunaan Kontrasepsi Hormonal dengan Disfungsi Seksual pada Wanita bahwa meningkatnya cakupan usia 15-49 tahun yang melakukan KB sejalan dengan menurunnya angka fertilitas nasional3. Pada tahun 2013, cakupan KB aktif secara nasional sebesar 75,88%. Dari 33 provinsi, masih ada 15 provinsi yang cakupannya masih berada dibawah cakupan nasional. Provinsi Bengkulu merupakan provinsi dengan cakupan tertinggi sebesar 85,70% dan provinsi Papua merupakan provinsi dengan cakupan terendah sebesar 67,15%. Data juga menunjukkan bahwa ada 8.500.247 PUS yang merupakan peserta KB baru dan hampir separuhnya (48,56%) menggunakan metode kontrasepsi suntikan, IUD ( 7,75%) , Metode Operasi Wanita (1,52%), Metode Operasi pria (0,25%), kondom ( 6,09 %), implant (9,23 5), dan pil (26,6%)4. Berdasarkan tetapan BKKBN Provinsi Lampung pada tahun 2008 didapatkan jumlah pemakai alat kontrasepsi berdasarkan jenisjenisnya, yaitu suntikan sebesar 162.055 orang (40,35%), pil sebanyak 137,38 orang (35,10%), dan implant 20,713 orang (12,05%)4. Adapun data BPS Kabupaten Lampung Utara menyebutkan jumlah pengguna alat kontrasepsi jangka panjang (MKPJ) terdiri dari IUD 8.695 orang , MOP 674 orang, MOW 1.315 orang dan KDM 1.667 orang. Sedangkan alat kontrasepsi non MKPJ terdiri atas Pil 28366 orang, Suntik 30.166 orang dan INF 13.018 orang5. Data diatas menunjukkan bahwa kontrasepsi hormonal dan non hormonal paling banyak diminati di negara-negara berkembang seperti Indonesia, tetapi tidak semua alat kontrasepsi cocok dengan kondisi setiap orang, untuk itu setiap pribadi harus bisa memilih alat kontrasepsi yang cocok. Resiko efek samping juga dapat terjadi pada pemakai kontrasepsi seperti gangguan haid, perubahan berat badan dan perubahan libido atau masalah seksual6. Masalah seksual termasuk gangguan keinginan, gairah seksual, lubrikasi, orgasme, dan rasa sakit. Masalah tersebut tanpa melihat faktor usia, dapat memberikan dampak negatif terhadap kualitas hidup dan kesehatan emosi. Disfungsi seksual adalah penyakit yang umum dimana dua dari lima wanita memiliki setidaknya satu jenis disfungsi seksual, dan keluhan yang Majority | Volume 4 | Nomor 7| Juni 2015 | 104 paling banyak terjadi adalah rendahnya gairah seksual/libido7. Selama tahun 2013, BKKBN mencatat ada 3.287 kegagalan pada KB. Jumlah terbesar terjadi pada metode kontrasepsi IUD atau Alat Kontrasepsi dalam Rahim (AKDR) dengan 1.513 (46,03%) kejadian kegagalan,diikuti oleh implant 1.189 (36,17%) kejadian kegagalan. Sementara untuk komplikasi berat, dari total 2.548 kejadian komplikasi berat, 1.358 (53,3%) terjadi pada metode implant, diikuti oleh IUD dengan 1.25 (40,23%) kejadian. Baik pada kejadian kegagalan maupun komplikasi berat, paling sedikit terjadi pada MOP karena jumlah peserta KB yang menggunakan metode ini memang paling sedikit4. Kurang berhasilnya program KB, diantaranya dipengaruhi oleh efek samping. Efek samping dari kontrasepsi itu sendiri seperti efek seksual, baik pemakai kontrasepsi hormonal maupun non hormonal. Namun efek samping ini sangat mempengaruhi kesejahteraan rumah tangga dan dapat mempengaruhi psikologi untuk yang bekerja. Oleh karena itu mengingat pentingnya kehidupan seksual dalam kebahagiaan keluarga, maka disfungsi seksual perlu mendapat penanganan yang benar8. Isi Kontrasepsi adalah upaya mencegah kehamilan yang bersifat sementara atau menetap, yang dapat dilakukan tanpa menggunakan alat, secara mekanis, menggunakan alat/obat, atau dengan operasi9. Tujuan dari penggunaan kontrasepsi adalah menghindari atau mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat adanya pertemuan antara sel telur dengan sel sperma. Berdasarkan maksud dan tujuan kontrasepsi, maka yang membutuhkan kontrasepsi adalah pasangan yang aktif melakukan hubungan seks dan keduaduanya memiliki kesuburan normal namun tidak menghendaki kehamilan6. Kontrasepsi terbagi menjadi dua macam yaitu kontrasepsi hormonal dan kontrasepsi nonhormonal. Kontrasepsi hormonal adalah kontrasepsi yang mengandung estrogen dan progesteron ataupun hanya salah satu diantara keduanya10. Zahra Zettira dan Khairun Nisa| Analisis Hubungan Penggunaan Kontrasepsi Hormonal dengan Disfungsi Seksual pada Wanita Metoda KB hormonal adalah memakai obat-obatan yang mengandung 2 hormon, estrogen dan progestin. Adapun macam-macam kontrasepsi hormonal : pil (pil kombinasi dan pil progestin), suntik (suntikan kombinasi dan suntikan progestin), implan, alat kontrasepsi dalam rahim dengan progestin11. Beberapa mekanisme kerja konrasepsi hormonal dalam menunda/ menjarangkan kehamilan, yaitu: mencegah ovulasi, mengurangi dan mengentalkan jumlah lendir servik sehingga menurunkan kemampuan penetrasi sperma, menjadikan selaput lendir rahim tipis dan atropi, menghambat transportasi gamet dan tuba, dan mengubah endometrium menjadi tidak 8 sempurna untuk implantasi hasil konsepsi . Perilaku seksual adalah manisfestasi aktivitas seksual yang mencakup baik hubungan seksual (intercourse; coitus) maupun masturbasi. Dorongan/ nafsu seksual adalah minat/ niat seseorang untuk memulai atau mengadakan hubungan intim (sexual relationship). Kegairahan seksual (sexual excitement) adalah respons tubuh terhadap rangsangan seksual. Ada dua respons yang mendasar yaitu myotonia (ketegangan otot yang meninggi) dan vasocongestion (bertambahnya aliran darah ke daerah genital)12. Disfungsi seksual adalah gangguan respon fungsi seksual atau gangguan pada perilaku seksual. Pada wanita disfungsi seksual diartikan sebagai kegagalan yang menetap atau berulang, baik sebagian atau secara keseluruhan, untuk memperoleh dan atau mempertahankan respon lubrikasi vasokongesti sampai berakhirnya aktifitas seksual12. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV (DSM-IV) menjabarkan tentang disfungsi seksual sebagai gangguan hasrat seksual dan atau di dalam siklus tanggapan seksual yang menyebabkan tekanan berat dan kesulitan hubungan antar manusia. Disfungsi seksual ini dapat terbagi menjadi empat kategori yaitu gangguan minat, gangguan birahi, gangguan orgasme, dan gangguan nyeri seksual. Salah satu penyebab terjadinya disfungsi seksual adalah penggunaan kontrasepsi hormonal, dimana penyebab lainnya yaitu : gangguan vaskuler pembuluh darah, penyakit sistemik, gangguan neurologis dan psikoseksual. Disfungsi seksual akibat pemakaian kontrasepsi bergantung pada jenis kontrasepsi itu sendiri. Dimana pada kontrasepsi hormonal akan berpengaruh pada efek umpan balik positif estrogen (estrogen positive feedback) dan umpan balik negatif progesteron (progesteron negative feedback). Pemberian hormon yang berasal dari luar tubuh seperti pada kontrasepsi hormonal baik berupa estrogen maupun progesteron menyebabkan peningkatan kadar kedua hormon tersebut di darah, hal ini akan di deteksi oleh hipofisis anterior dan hipofisis anterior dan akan menimbulakn umpan balik negatif dengan menurunkan sekresi hormon FSH dan LH dan dengan keberadaan progesteron efek penghambatan estrogen akan berlipat ganda. Dalam jangka waktu tertentu tubuh dapat mengkompensasi dengan meningkatkan sekresi estrogen agar tetap dalam keadaan normal namun dalam jangka waktu yang lama menyebabkan hilangnya kompensasi tubuh dan menurunnya sekresi hormon terutama estrogen13. Disfungsi seksual wanita secara tradisional terbagi menjadi gangguan minat/ keinginan seksual atau libido, gangguan birahi, nyeri atau rasa tidak nyaman dan hambatan untuk mencapai puncak atau orgasme. Pada DSM IV dari American Phychiatric Association, dan ICD-10 dari WHO, disfungsi seksual wanita ini dibagi menjadi empat kategori yaitu: gangguan minat/ keinginan seksual yaitu berkurang atau hilangnya pikiran, khayalan tentang seks dan minat untuk melakukan hubungan seks, atau takut dan menghindari hubungan seks, gangguan birahi/ perangsangan yaitu ketidakmampuan mencapai keterangsangan dan kenikmatan seksual secara subjektif, yang ditandai dengan berkurangnya cairan atau lendir pada vagina (lubrikasi), gangguan orgasme yaitu sulit atau tidak dapat mencapai orgasme, walaupun telah ada rangsang seksual yang cukup dan telah mencapai fase arousal, gangguan nyeri seksual yaitu merasakan nyeri saat melakukan senggama dan dapat terjadi saat masuknya penis ke dalam vagina (penetrasi) atau selama berlangsungnya hubungan seks, dan vaginismus yaitu terjadinya kontraksi atau kejang otot-otot vagina sepertiga Majority | Volume 4 | Nomor 7| Juni 2015 | 105 Zahra Zettira dan Khairun Nisa| Analisis Hubungan Penggunaan Kontrasepsi Hormonal dengan Disfungsi Seksual pada Wanita bawah sebelum atau selama senggama sehingga penis sulit masuk ke dalam vagina14. Female Sexual Function Index (FSFI) merupakan alat ukur yang valid dan akurat terhadap fungsi seksual wanita. Kuesioner ini terdiri dari 19 pertanyaan yang terbagi dalam enam subskor, termasuk hasrat seksual, rangsangan seksual, lubrikasi, orgasme, kepuasan, dan rasa nyeri. FSFI digunakan untuk mengukur fungsi seksual termasuk hasrat seksual dan respon seksual dalam empat minggu terakhir. Skor domain individu dan skor keseluruhan dapat diperoleh dari tabel yang sudah ditetapkan pada FSFI. Wanita dengan skor FSFI ≤26,5 dinyatakan mengalami disfungsi seksual. Pada penelitian sebelumnya yang bertepatan di Puskesmas Rajabasa dinyatakan bahwa hampir separuh dari pengguna kontrasepsi hormonal mengalami disfungsi seksual dengan skor FSFI≤ 26,5 15. Ringkasan Penggunaan kontrasepsi hormonal yang selama ini membantu masyarakat dalam mencegah kehamilan ataupun mengendalikan produksi rumah tangga ternyata mempunyai efek negatif bagi penggunanya yaitu dapat menyebabkan pengguna mengalami disfungsi seksual. Dimana pada kontrasepsi hormonal akan berpengaruh pada efek umpan balik positif estrogen (estrogen positive feedback) dan umpan balik negatif progesteron (progesteron negative feedback). Pemberian hormon yang berasal dari luar tubuh seperti pada kontrasepsi hormonal baik berupa estrogen maupun progesteron menyebabkan peningkatan kadar kedua hormon tersebut di darah, hal ini akan di deteksi oleh hipofisis anterior dan hipofisis anterior dan akan menimbulkan umpan balik negatif dengan menurunkan sekresi hormon FSH dan LH dan dengan keberadaan progesteron efek penghambatan estrogen akan berlipat ganda, dalam jangka waktu tertentu tubuh dapat mengkompensasi dengan meningkatkan sekresi estrogen agar tetap dalam keadaan normal namun dalam jangka waktu yang lama menyebabkan hilangnya kompensasi tubuh dan menurunnya sekresi hormon terutama estrogen. Majority | Volume 4 | Nomor 7| Juni 2015 | 106 Simpulan Penggunaan kontrasepsi hormonal dapat menyebabkan terjadinya disfungsi seksual bagi penggunanya dikarenakan kandungan hormon yang terdapat didalamnya. Penggunaan kontrasepsi hormonal yang mengandung kombinasi kedua hormon yaitu estrogen dan progestin ataupun yang hanya mengandung salah satu dari hormon mempunyai peran yang cukup signifikan pada kejadian disfungsi seksual namun pada penggunaan kontrasepsi hormonal yang mengandung kombinasi kedua hormon lebih signifikan dalam menyebabkan disfungsi seksual dibandingkan dengan kontrasepsi hormonal yang hanya mengandung salah satu hormon. Daftar Pustaka 1. BKKBN. Konversi peserta keluarga berencana menurut Jenis kontrasepsi [internet]; 2006 [diakses pada 20 Maret 2015]. tersedia dari http://www.bkkbn.go.id. 2. Baziad A. Kontrasepsi hormonal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2008. 3. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI). Tren pemakaian kontrasepsi pada wanita kawin, Indonesia 1991-2012 [internet]; 2012 [diakses pada 24 Maret 2015]. Tersedia dari http://surveidemografidankesehatanindone siaSDKI.com. 4. BKKBN Provinsi Lampung. Penduduk dan ketenagakerjaan [internet]; 2013 [diakses pada 21 Maret 2015]. Tersedia dari http://lampung.bkkbn.go.id. 5. Badan Pusat Statistik (BPS). Penggunaan akseptor bagi pasangan subur [internet]; 2009 [diakses pada 19 Maret 2015]. Tersedia dari http://www.demografi.bps.go.id. 6. Saifuddin AB. Buku panduan praktis pelayanan kontrasepsi. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2006. 7. Michael A and O’keane V. Sexual dysfunction in depression. J. Hum Psychopharmacol. 2007; 15: 337-45. Zahra Zettira dan Khairun Nisa| Analisis Hubungan Penggunaan Kontrasepsi Hormonal dengan Disfungsi Seksual pada Wanita 8. Prawirohardjo S. Obstetri dan ginekologi sosial. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2005. 9. Wiknjosastro H, Saifuddin AB & Rachimhadhi T. Ilmu kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2006. 10. Hanafi. Keluarga berencana dan kontrasepsi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan; 2004. 11. Rabe T. Ilmu kandungan. Jakarta: Hipokrates; 2003. 12. Chandra L. Gangguan fungsi atau perilaku seksual dan penanggulangannya. Jakarta : Cermin Dunia Kedokteran; 2005. 13. Guyton AC and Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC; 2008. 14. Elvira D. Disfungsi seksual pada perempuan. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2006. 15. Rosen R, Brown C, Heiman J, Leiblum S, Meston C, Shasigh R. et al. Female sexual function index (FSFI) . J. Sex and Marital Therapy. 2010; 26: 191-208. Majority | Volume 4 | Nomor 7| Juni 2015 | 107 Zahra Zettira dan Khairun Nisa| Analisis Hubungan Penggunaan Kontrasepsi Hormonal dengan Disfungsi Seksual pada Wanita Majority | Volume 4 | Nomor 7| Juni 2015 | 108 Zaraz Obella Nur Adliyani |Pengaruh Perilaku Individu terhadap Hidup Sehat Pengaruh Perilaku Individu terhadap Hidup Sehat Zaraz Obella Nur Adliyani Faculty of Medicine, Lampung University Abstrak Sehat merupakan suatu kondisi yang ingin dimiliki oleh setiap individunya. Sehat tidak hanya dalam keadaan fisik, namun juga sehat secara mental dan sehat secara sosial. Tidak hanya meliputi kebebasan dari suatu penyakit, namun juga sehat meliputi keadaan psikis dari seseorang. Sehat pada umumnya mempengaruhi perilaku manusia, begitu pula sebaliknya, perilaku seseorang juga akan dapat mempengaruhi kesehatan orang tersebut. Perilaku merupakan hal yang lumrah di lakukan oleh seseorang baik yang secara sadar mau pun secara tidak sadar. Perilaku seseorang dapat mempengaruhi keadaan kesehatan seseorang itu sendiri. Perilaku yang baik dalam menjaga kesehatan dapat meningkatkan kualitas hidup seseorang menjadi lebih baik dan lebih sejahtera. Salah satunya adalah dengan melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat sebaiknya di terapkan setiap saat. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat seseorang dapat dipengaruhi beberapa faktor. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah faktor pengetahuan. Menurut beberapa penelitian, jika pengetahuan seseorang baik, maka Perilaku Hidup Bersih dan Sehatnya juga akan menjadi baik, dan akan berdampak baik pula untuk kehidupannya. Kata kunci: perilaku, perilaku kesehatan, sehat The Effect of Human Behavior for Healthy Life Abstract Health is what everyones’s want. Health is not only about physical, but also mental healthy and social healthy. Not only being free of any deseases, but health is including psychological condition of someone. Generally, health affetcs human behavior, so do behavior, it affects the individual’s health. Behavior is something that is usually done by someone who is consicious or unconsicious. Human’s behavior can affect the healthy state it self. Good behavior in keeping the health can increase the quality of someone’s life being better and more prosperous. For example by doing some sanitary activities and keeping healthy life. Doing some sanitary activities and keeping healthy life should be done in everytime. Sanitary behavior and healthy life is effected by some factors. One of the factors that effect is knowledge. Beside on many resource that have been done, if someone’s knowledge is good, then the sanitary behavior and healthy life will be good too, and it will give the good effect for someone’s life. Keywords: behavior, health, healthy behavior Korespondensi: Zaraz Obella Nur Adliyani | [email protected] Pendahuluan Kesehatan menurut undang-undang Republik Indonesia no 36 tahun 2009 adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Menurut WHO, kesehatan adalah kondisi dinamis meliputi kesehatan jasmani, rohani, sosial, dan tidak hanya terbebas dari penyakit, cacat, dan kelemahan. Dikatakan sehat secara fisik adalah orang tersebut tidak memiliki gangguan apapun secara klinis. Fungsi organ tubuhnya berfungsi secara baik, dan dia memang tidak sakit. Sehat secara mental/psikis adalah sehatnya pikiran, emosional, maupun spiritual dari seseorang. 1 Blum menyebutkan terdapat empat pilar yang mempengaruhi derajat kesehatan seseorang, diantaranya adalah keturunan, lingkungan, pelayanan kesehatan, dan perilaku. Faktor yang paling besar pengaruhnya adalah lingkungan dan perilaku. Contoh perilaku yang dapat mempengaruhi kesehatan adalah gaya hidup dan personal hygiene. Gaya hidup atau life style seseorang berbeda-beda. Seperti halnya merokok. Kebiasaan merokok dapat mempengaruhi kesehatan seseorang. Merokok dapat memicu timbulnya berbagai penyakit. Menurut penelitian yang dilakukan Kusuma 2011 di UNISSULA mengenai dampak rokok, rokok tidak hanya berbahaya bagi bagi orang yang merokok (perokok aktif) namun juga berbahaya bagi orang di sekitarnya yang terkena paparan asap rokok (perokok pasif). Rokok dapat pula menyebabkan berbagai penyakit seperti penyakit paru, penyakit kardiovaskular, resiko terjadinya neoplasma larynx, esophagus, dan merokok juga dapat memicu timbulnya penyakit pada rongga mulut dan menimbulkan kelainan pada gigi.2 Majority | Volume 4 | Nomor 7| Juni 2015 | 109 Zaraz Obella Nur Adliyani |Pengaruh Perilaku Individu terhadap Hidup Sehat Tidak hanya gaya hidup merokok yang berbahaya bagi kesehatan, namun alcoholic atau peminum alkohol juga merupakan gaya hidup yang tidak baik. Menurut penelitian yang dilakukan Deappen JB tahun 2014 di Inggris menyebutkan bahwa individu yang tidak mengkonsumsi alkohol memiliki kualitas hidup yang lebih baik disbanding individu yang mengkonsumsi alkohol.3 Olahraga sebagai life style seseorang juga akan berdampak terhadap kesehatan seseorang. Seperti yang di katakan Svantesson dalam penelitiannya tahun 2015 di Sweden bahwa terdapat korelasi yang sangat positif antara aktivitas fisik dan pengurangan penyakit kronis dan juga dapat mencegahnya. Pada lansia yang berusia 65 tahun bisa meningkatkan kognisi dan membuat fungsifungsi otot jadi lebih baik. Selain itu juga bisa menurunkan rasa takut akan jatuh. Dengan demikian kualitas kesehatan diri yang dirasakan akan meningkat.4 Kebiasaan atau perilaku buruk juga dapat berdampak buruk bagi kesehatan. Sebagai contoh perilaku jarang mandi dan sering meminjam baju dari teman bisa menyebabkan gangguan kesehatan berupa penyakit kulit skabies. Penelitian yang dilakukan oleh Rohmawati pada tahun 2010 di Surakarta menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara perilaku jarang mandi dan sering meminjam baju teman dengan timbulnya penyakit skabies.5 Mandi termasuk salah satu dari personal hygiene yang harus di perhatikan. Selain mandi, banyak aspek lainnya dari personal hygiene yang mempengaruhi kesehatan. Salah satu contohnya adalah rutin memotong dan membersihkan kuku. Ketidakpatuhan terhadap penjagaan kebersihan kuku dapat mempengaruhi kesehatan dan menimbulkan penyakit yaitu infeksi cacing. Penilitian yang dilakukan Yulinto 2007 terhadap siswa sekolah dasar di Semarang menunjukan ada hubungan antara siswa yang jarang mencuci tangan dan memotong kuku dengan kejadian infeksi cacing. Sehingga mencuci tangan sebagai perilaku yang harus dilakukan untuk mencegah terjangkitnya penyakit yaitu infeksi cacing.6 Isi Sehat merupakan kondisi yang diinginkan setiap individu. Menurut WHO, definisi sehat adalah keadaan sejahtera, sempurna dari fisik, Majority | Volume 4 | Nomor 7| Juni 2015 | 110 mental, dan sosial yang tidak terbatas hanya pada bebas dari penyakit atau kelemahan saja. Pencapaian derajat kesehatan yang baik dan setinggi-tingginya merupakan suatu hak yang fundamental bagi setiap orang tanpa membedakan ras, agama, jenis kelamin, politik yang dianut, dan tingkat sosial ekonominya. Sehat ialah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan social yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Menurut While tahun 1997, kesehatan adalah keadaan dimana seseorang pada waktu diperiksa oleh ahlinya tidak mempunya keluhan ataupun tidak terdapat tanda-tanda suatu penyakit atau kelainan. Dalam setiap hal di dunia, termasuk kesehatan, pasti memiliki maslah-masalah tertentu. Tidak selamanya masalah kesehatan merupakan masalah kompleks yang merupakan resultant dari berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun masalah buatan manusia, sosial budaya, perilaku, populasi penduduk, genetika, dan sebagainya. Derajat kesehatan masyarakat yang disebut sebagai psychosocio somatic health well being, merupakan resultant dari empat faktor yaitu Environment atau lingkungan, Behaviour atau perilaku, antara yang pertama dan kedua dihubungkan dengan ecological balance. Heredity atau keturunan yang dipengaruhi oleh populasi, distribusi penduduk, dan sebagainya, Health care service berupa program kesehatan yang bersifat preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif. Dari empat faktor tersebut di atas, lingkungan dan perilaku merupakan faktor yang paling besar pengaruhnya (dominan).7 Gambar 1 Faktor-faktor Pengaruh Kesehatan Menurut Hendrik L.Blum Derajat Lingkungan memiliki pengaruh yang dan peranan terbesar diikuti perilaku, fasilitas kesehatan dan keturunan. Lingkungan sangat bervariasi, umumnya digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu yang berhubungan dengan Zaraz Obella Nur Adliyani |Pengaruh Perilaku Individu terhadap Hidup Sehat aspek fisik dan sosial. Lingkungan yang berhubungan dengan aspek fisik contohnya sampah, air, udara, tanah, ilkim, perumahan, dan sebagainya. Sedangkan lingkungan sosial merupakan hasil interaksi antar manusia seperti kebudayaan, pendidikan, ekonomi, dan sebagainya Perilaku merupakan faktor kedua yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat karena sehat atau tidak sehatnya lingkungan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat sangat tergantung pada perilaku manusia itu sendiri. Di samping itu, juga dipengaruhi oleh kebiasaan, adat istiadat, kebiasaan, kepercayaan, pendidikan sosial ekonomi, dan perilaku-perilaku lain yang melekat pada dirinya. Pelayanan kesehatan merupakan faktor ketiga yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat karena keberadaan fasilitas kesehatan sangat menentukan dalam pelayanan pemulihan kesehatan, pencegahan terhadap penyakit, pengobatan dan keperawatan serta kelompok dan masyarakat yang memerlukan pelayanan kesehatan. Ketersediaan fasilitas dipengaruhi oleh lokasi, apakah dapat dijangkau atau tidak. Yang kedua adalah tenaga kesehatan pemberi pelayanan, informasi dan motivasi masyarakat untuk mendatangi fasilitas dalam memperoleh pelayanan serta program pelayanan kesehatan itu sendiri apakah sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang memerlukan. Keturunan (genetik) merupakan faktor yang telah ada dalam diri manusia yang dibawa sejak lahir, misalnya dari golongan penyakit keturunan seperti diabetes melitus dan asma bronehial. Blum juga menyebutkan 12 indikator yang berhubungan dengan derajat kesehatan, adalah life spam yaitu lamanya usia harapan untuk hidup dari masyarakat, atau dapat juga dipandang sebagai derajat kematian masyarakat yang bukan karena mati tua. Disease or infirmity yang merupakan keadaan sakit atau cacat secara fisiologis dan anatomis dari masyarakat. Selanjutnya adalah discomfort or ilness yaitu keluhan sakit dari masyarakat tentang keadaan somatik, kejiwaan maupun sosial dari dirinya. Disability or incapacity maksudnya adalah ketidakmampuan seseorang dalam masyarakat untuk melakukan pekerjaan dan menjalankan peranan sosialnya karena sakit. Berikutnya participation in health care, yaitu kemampuan dan kemauan masyarakat untuk berpartisipasi dalam menjaga dirinya untuk selalu dalam keadaan sehat. Health behavior, merupakan perilaku manusia yang nyata dari anggota masyarakat secara langsung berkaitan dengan masalah kesehatan. Selanjutnya ecologic behavior, yaitu perilaku masyarakat terhadap lingkungan, spesies lain, sumber daya alam, dan ekosistem. Teori Blum juga menyebutkan social behaviour yang berarti perilaku anggota masyarakat terhadap sesamanya, keluarga, komunitas dan bangsanya. Interpersonal relationship, yaitu kualitas komunikasi anggota masyarakat terhadap sesamanya. Reserve or positive health dimana makasudnya adalah daya tahan anggota masyarakat terhadap penyakit atau kapasitas anggota masyarakat dalam menghadapi tekanan-tekanan somatik, kejiwaan, dan sosial. Selanjutnya adalah external satisfaction, yaitu rasa kepuasan anggota masyarakat terhadap lingkungan sosialnya meliputi rumah, sekolah, pekerjaan, rekreasi, transportasi. Terakhir adalah internal satisfaction, yaitu kepuasan anggota masyarakat terhadap seluruh aspek kehidupan dirinya sendiri. 8 Perilaku adalah kumpulan dari reaksi, perbuatan, aktivitas, gabungan gerakan, tanggapan dan jawaban yang dilakukan seseorang, seperti proses berpikir, bekerja, hubungan seks, dan sebagainya.9 Perilaku merupakan keseluruhan atau totalitas kegiatan akibat belajar dari pengalaman sebelumnya dan dipelajari melalui proses penguatan dan pengkondisian.10 Perilaku adalah reaksi manusia akibat kegiaan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ketiga aspek ini saling berhubungan. Jika salah satu aspek mengalami hambatan, maka aspek perilaku lainnya juga terganggu.11 Perilaku adalah akibat interelasi stimulus eksternal dengan internal yang akan memberikan respons-respons eksternal. Stimulus internal merupakan stimulus-stimulus yang berkaitan dengan kebutuhan fisiologis atau psikologis seseorang. Misalnya, ketika kita lapar maka reaksi kita adalah mencari makanan. Sedangkan stimulus eksternal merupakan segala macam reaksi seseorang akibat faktor luar diri (lingkungan). Sebagai contoh ketika melihat roti maka timbul keinginan untuk makan, meskipun reaksi dari tubuh kita tidak menunjukkan rasa lapar.12 Majority | Volume 4 | Nomor 7| Juni 2015 | 111 Zaraz Obella Nur Adliyani |Pengaruh Perilaku Individu terhadap Hidup Sehat Perilaku adalah totalitas dari penghayatan dan aktivitas yang memengaruhi proses perhatian, pengamatan, pikiran, daya ingat dan fantasi seseorang. Meskipun perilaku adalah totalitas respons, namun semua respons sangat tergantung pada karakteristik individual. Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda-beda disebut sebagai determinan perilaku.13 Perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap rangsangan dari luar (stimulus). Perilaku dapat dikelompokkan menjadi dua, perilaku tertutup (covert behaviour), perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut masih belum bisa diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respon seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan. Bentuk “unobservabel behavior´atau “covert behavior” apabila respons tersebut terjadi dalam diri sendiri, dan sulit diamati dari luar (orang lain) yang disebut dengan pengetahuan (knowledge) dan sikap (attitude). Selanjutnya adalah perilaku terbuka (Overt behaviour), apabila respons tersebut dalam bentuk tindakan yang dapat diamati dari luar (orang lain) yang disebut praktek (practice) yang diamati orang lain dari luar atau “observabel behavior”. Perilaku muncul sebagai akibat dari beberapa hal, diantaranya karena adanya hubungan timbal balik antara stimulus dan respons yang lebih dikenal dengan rangsangan tanggapan. Hubungan stimulus dan respons akan membentuk pola-pola perilaku baru. Selain itu, hubungan stimulus dan respons merupaka suatu mekanisme dari proses belajar dari lingkungan luar juga mempengaruhi perilaku seseorang. Ganjaran (reward) akan memberikan penguatan kepada respons atau tetap untuk mempertahankan respons. Lalu adanya hukuman (punishment) melemahkan respons atau mengalihkan respons ke bentuk respons lainnya. Perubahan perilaku akibat perubahan dari ganjaran atau hukuman. 11 Perilaku kesehatan sebagai atributatribut seperti kepercayaan, ekspektasi, motifmotif, nilai-nilai, persepsi elemen kogniti lainnya,karakteristik kepribadian, termasuk mood dan status emosi dan sifat-sifat serta pola perilaku yang jelas, Majority | Volume 4 | Nomor 7| Juni 2015 | 112 tindakan dan kebiasaan yang berhubungan dengan pemeliharaan kesehatan, restorasi dan peninngkatan kesehatan.13 Perilaku kesehatan adalah sesuatu respon (organisme) terhadap stimulus atau obyek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman, serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku pemeliharaan kesehatan ini terjadi dari 3 aspek meliputi aspek perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta pemulihan kesehatan bilamana telah senbuh dari sakit. Selanjutnya adalah perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat. Dan terakhir adalah perilaku gizi (makanan) dan minuman. 13 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat harus diterapkan dalam setiap sisi kehidupan manusia kapan saja dan dimana saja termasuk di dalam lingkungan kampu dan tempat tinggal karena perilaku merupakan sikap dan tindakan yang akan membentuk kebiasaan sehingga melekat dalam diri seseorang. PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) merupakan sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran, yang menjadikan seseorang atau keluarga dapat menolong diri sendiri di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakat. PHBS merupakan salah satu pilar utama dalam Indonesia Sehat dan merupakan salah satu strategi untuk mengurangi beban negara dan masyarakat terhadap pembiayaan kesehatan. Sehat adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Perilaku seseorang akan mempengaruhi kualitas hidup seseorang itu sendiri. Perilaku yang baik dan positif akan berdampak positif pula terhadap kesehatannya. Penelitian yang telah di lakukan Istiningtyas tahun 2010 pada mahasiswa PSIK di UNDIP menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan tentang gaya hidup sehat dengan perilaku gaya hidup sehat serta ada hubungan antara sikap terhadap gaya hidup sehat dengan perilaku gaya hidup sehat. Perilaku yang sehat akan meningkatkan kualitas hidup seseorang.14 Zaraz Obella Nur Adliyani |Pengaruh Perilaku Individu terhadap Hidup Sehat Ringkasan Menurut beberapa pengertian dari beberapa sumber, sehat merupakan keadaan dimana tubuh kita terbebas dari penyakit, serta keadaan yang sejahtera dalam diri kita baik keadaan mental, fisik, dan sosial. Definisi Kesehatan itu sendiri adalah kondisi dinamis meliputi kesehatan jasmani, rohani, sosial, dan tidak hanya terbebas dari penyakit, cacat, dan kelemahan. Dikatakan sehat secara fisik adalah orang tersebut tidak memiliki gangguan apapun secara klinis. Sehat dapat di pengaruhi oleh perilaku seseorang. Pengertian dari perilaku manusia adalah sekumpulan perilaku yang dimiliki oleh manusia dan dipengaruhi oleh adat, sikap, emosi, nilai, etika, kekuasaan, persuasi, dan atau genetika. Semua itu saling berkesinambungan dan saling mempengaruhi, termasuk dalam bidang kesehatan itu sendiri. Jika perilaku dan kesehatan digabungkan, maka didapatkan perilaku sehat, dimana maksudnya adalah pengetahuan, sikap dan tindakan proaktif untuk memelihara dan mencegah risiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit. Simpulan Perilaku seseorang merupakan suatu hal yang dipengaruhi oleh beberapa aspek meliputi adat, sikap, emosi, nilai, etika, kekuasaan, persuasi, dan atau genetika. Perilaku sendiri penting dan berengaruh dalam kesehatan, terutama tentang perilaku hidup sehat. Perilaku yang positif akan berdampak positif pula bagi kesehatan individu. Perilaku yang sehat sangat mempengaruhi kualitas dan taraf hidup seseorang agar dapat menjadi lebih baik dan sejahtera. Daftar pustaka 1. Notoatmodjo S. Prinsip-prinsip dasar ilmu kesehatan masyarakat edisi 2. Jakarta: rineka cipta; 2003. 2. Aditama TY. Proses Berhenti Merokok. 3 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. Jurnal Cermin Dunia Kedokteran 1995. 102: 37-9. Deappen JB. Quality of life depends on the drinking pattern in alcohol-dependent patients. Oxford University; 2014. Svantesson U. Impact of physical activity on the self-perceived quality of life in nonfrail older adults. Mid Sweden University; 2015 Rohmawati RN. Hubungan antara faktor pengetahuan dan perilaku dengan kejadian skabies di pondok pesantren almuayyad Surakarta; 2010. Yulianto E. Hubungan higiene sanitasi dengan kejadian penyakit cacingan pada siswa sekolah dasar negeri rowosari 01 kecamatan tembalang kota semarang. Semarang; 2007. Soejoeti S. Konsep sehat, sakit dan penyakit dalam konteks sosial budaya [internet]. Surabaya: Cermin Dunia Kedokteran; 2005 [diakses pada 20 September 2015]. tersedia dari: http://yuniawan.blog.unair.ac.id/files/200 8/03/sehatsakit.pdf. Blum HL. Planning for health, development and aplication of social changes theory. New York: Human Sciences Press; 1974. Chaplin JP. Kamus lengkap psikologi. Jakarta: PT Raja/grafindo Persada; 2006. Wordworth and Marquis. Psychology. London: Butlher and Tanner Ltd; 1971. Zan PH. Pengantar psikologi untuk kebidanan. Jakarta: Prenada Media Goup; 2010. Walgito B. Pengantar psikologi sosial. Yogyakarta: Andi Offset; 1990. Notoadmodjo S. Promosi kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2007. Istiningtyas A. hubungan antara pengetahuan dan sikap tentang gaya hidup sehat mahasiswa di psik undip semarang. 2010; 1(1). Majority | Volume 4 | Nomor 7| Juni 2015 | 113 Zaraz Obella Nur Adliyani |Pengaruh Perilaku Individu terhadap Hidup Sehat Majority | Volume 4 | Nomor 7| Juni 2015 | 114 Asoly Giovano I Kejadian Dermatitis Kontak Iritan Pada Petugas Sampah di TPA Kejadian Dermatitis Kontak Iritan Pada Petugas Sampah di TPA Asoly Giovano Imartha Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung Abstrak Menurut penelitian yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 1999, pada pekeja tentang penyakit akibat kerja di 5 (Lima) Benua, memperlihatkan bahwa dermatitis kontak iritan menempatkan urutan keempat, yaitu sebesar 10%. Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan efek sitotoksik yang menimbulkan reaksi peradangan non imunologik pada kulit. Faktor resiko dermatitis kontak iritan (DKI) bisa melalui paparan iritan langsung dan paparan tidak langsung. Paparan iritan langsung berupa bahan kimia dan pelarut sedangkan paparan tidak langsung berupa umur, ras, jenis kelamin, personal hygiene, alat pelindung diri, dan pengetahuan. Pada petugas sampah di TPA memiliki factor resiko terkena dermatitis kontak iritan karena memiliki hubungan dengan jenis pekerjaan yang bersifat basah dan kontak dengan berbagai jenis sampah. Upaya pencegahan dermatitis kontak iritan (DKI) yang terpenting adalah menghindari pajanan bahan iritan, baik yang bersifat mekanik, fisik, maupun kimiawi. Petugas sampah dapat menghindari bahan iritan dengan pemakaian alat pelindung diri yang adekuat dan tingkat pengetahuan pekerja yang baik. Bila ditemukan peradangan bisa diberikan kortikosteroid topikal. Kata kunci : dermatitis kontak iritan, faktor resiko, petugas sampah, pencegahan The Accident of Dustmen Irritant Contact Dermatitis in Landfill Abstract According to research conducted by world health organization (WHO) in 1999 , on workers about the illness caused by work in 5 ( five ) the continent , shows that an irritant contact dermatitis put fourth , is as much as 10 %. Irritant contact dermatitis (ICD) is a cytotoxic effect causes non-immunological inflammatory reaction of the skin. Risk factors of irritant contact dermatitis (ICD) either through direct irritant exposure and indirect exposure. Direct exposure to irritants such as chemicals and solvents whereas, indirect exposure such as age, race, sex, personal hygiene, personal protective equipment, and knowledge. Dustmen in the landfill have risk factors suffering irritant contact dermatitis because dustmen have familiar with the kind of wet work situation and contact with the various types of dust. Most important prevention to Irritant Contact Dermatitis (ICD) are avoid exposure to irritants, both mechanic and chemical, adequate personal protective equipment uses and a good level of knowledge workers. Topical corticosteroids may be given if inflammation found. Keywords : irritant contact dermatitis, risk factors, dustmen, prevention Korespondensi : Asoly Giovano Imartha e-mail [email protected] Pendahuluan Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan efek sitotoksik yang menimbulkan reaksi peradangan non imunologik pada kulit melalui jalur eksogen ataupun endogen yang berkontak langsung dengan tubuh. 1,2 Penyakit dermatitis kontak iritan dapat terjadi sebagai akibat dari pemaparan zat-zat kimia yang mengakibatkan penyakit dermatitis kontak iritan dengan gejala seperti iritasi, gatalgatal, kulit kering, pecah-pecah, kemerahmerahan, dan koreng yang sulit sembuh. Penyakit dermatitis sering terjadi pada pekerja informal yang umumnya kurang memperhatikan sanitasi dan perlindungan bagi kesehatan dirinya.3 Dermatitis kontak iritan dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan umur, ras, dan jenis kelamin. Menurut penellitian yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 1999, pada pekeja tentang penyakit akibat kerja di 5 (Lima) Benua, memperlihatkan bahwa dermatitis kontak iritan menempatkan urutan keempat, yaitu sebesar 10%. Berdasarkan survey tahunan penyakit okupational pada populasi pekerja di Amerika menunjukkan 80% di dalamnya adalah dermatitis kontak iritan. 4,5 Petugas sampah di TPA memiliki faktor resiko untuk terkena dermatitis kontak iritan (DKI). Petugas sampah merupakan pekerjaan yang memiliki hubungan dengan jenis pekerjaan yang bersifat basah, kontak dengan berbagai jenis sampah, dan kurangnya alat pelindung diri. Kejadian dermatitis kontak iritan pada pekerja pengolahan sampah di TPA cipayung kota depok tahun 2010 didapatkan dari 40 Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 115 Asoly Giovano I Kejadian Dermatitis Kontak Iritan Pada Petugas Sampah di TPA responden, 22 responden (55%) mengalami dermatitis kontak iritan dan 18 pekerja (45%) tidak mengalami dermatitis kontak iritan.6 Setelah melihat penguraian di atas, artikel ini akan membahas tentang dermatitis kontak iritan (DKI), faktor resiko DKI terhadap petugas sampah, dan pencegahan DKI terhadap petugas sampah. Isi Dermatitis kontak iritan (DKI) adalah efek sitotoksik local langsung dari bahan iritan yang bersifat tidak spesifik, pada sel epidermis sehingga menimbulkan reaksi peradangan non imunologik pada dermis dalam waktu dan konsentrasi tertentu. Bahan iritan bisa muncul melalui jalur eksogen ataupun endogen yang berkontak langsung dengan tubuh. Suatu peradangan pada kulit disebabkan oleh kerusakan langsung ke kulit setelah terekspos agen berbahaya. 1,2,6 Menurut data yang didapatkan U.S. Bureau of Labour Statistic menunjukkan bahwa 249.000 kasus penyakit okupational nonfatal pada tahun 2004. Berdasarkan survey tahunan penyakit okupational pada populasi pekerja di Amerika menunjukkan 80% di dalamnya adalah dermatitis kontak iritan. 4 Menurut penellitian yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 1999, pada pekeja tentang penyakit akibat kerja di 5 (Lima) Benua, memperlihatkan bahwa dermatitis kontak iritan menempatkan urutan keempat, yaitu sebesar 10%. Berdasarkan tabel di bawah tentang studi dari distribusi kejadian dermatitis kontak iritan pada pekerja pengolahan sampah di TPA cipayung kota depok tahun 2010 didapatkan dari 40 responden, 22 responden (55%) mengalami dermatitis kontak iritan dan 18 pekerja (45%) tidak mengalami dermatitis kontak iritan. 5,6 Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 116 Tabel 1. Distribusi Kejadian Dermatitis Kontak Iritan Pekerja Pengolahan Sampah di TPA Cipayung Kota Depok Tahun 2010 Kejadian Dermatitis Tidak dermatitis Dermatitis Jumlah N 18 22 40 % 45 55 100 Faktor resiko dermatitis kontak iritan (DKI) bisa melalui paparan iritan langsung dan paparan tidak langsung. Paparan iritan langsung berupa bahan kimia dan pelarut sedangkan paparan tidak langsung berupa umur, ras, jenis kelamin, personal hygiene, alat pelindung diri, dan pengetahuan.7,8 Sekitar 80-90% kasus dermatitis kontak iritan (DKI) disebabkan oleh paparan iritan. Dermatitis kontak iritan yang terjadi setelah pemaparan pertama kali disebut DKI akut dan bisaanya disebabkan oleh iritan yang kuat, seperti asam kuat, basa kuat, garam, logam berat, aldehid, bahan pelarut, senyawa aromatic, dan polisiklik. Sedangkan, DKI yang terjadi setelah pemaparan berulang disebut DKI kronis, dan bisaanya disebabkan oleh iritan lemah.9 Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk dan mengubah daya ikat air kulit. Kebanyak bahan iritan (toksin) merusak membran lemak keratinosit tetapi sebagian dapat menembus membran sel dan merusak lisosom, mitokondria atau komplemen inti. 10 Ketika terkena paparan iritan, kulit menjadi radang, bengkak, kemerahan dan dapat berkembang menjadi vesikel atau papul dan mengeluarkan cairan bila terkelupas. Gatal, perih, dan rasa terbakar terjadi pada bintik merah-merah itu. Reaksi inflamasi bermacammacam mulai dari gejala awal seperti ini hingga Asoly Giovano I Kejadian Dermatitis Kontak Iritan Pada Petugas Sampah di TPA pembentukan luka dan area nekrosis pada kulit. dalam beberapa hari, penurunan dermatitis dapat terjadi bila iritan dihentikan. Pada pasien yang terpapar iritan secara kronik, area kulit tersebut akan mengalami radang, dan mulai mengkerut, membesar bahkan terjadi hiper atau hipopigmentasi dan penebalan. 2 Gejala klinis dermatitis iritan dibedakan berdasarkan klasifikasinya yaitu dermatitis kontak iritan akut dan dermatitis kontak iritan kronik 1. Dermatitis kontak iritan akut Dermatitis kontak iritan akut bisaanya timbul akibat paparan bahan kimia asam atau basa kuat, atau paparan singkat serial bahan kimia, atau kontak fisik. Sebagian kasus dermatitis kontak iritan akut merupakan akibat kecelakaan kerja. Kelainan kulit yang timbul dapat berupa eritema, edema, vesikel, dapat disertai eksudasi, pembentukan bula dan nekrosis jaringan pada kasus yang berat. 2. Dermatitis kontak iritan kronik Dermatitis kontak iritan kronis disebabkan oleh kontak dengan iritan lemah yang berulang-ulang, dan mungkin bisa terjadi oleh karena kerjasama berbagai macam faktor. Bisa jadi suatu bahan secara sendiri tidak cukup kuat menyebabkan dermatitis iritan, tetapi bila bergabung dengan faktor lain baru mampu. Kelainan baru nyata setelah berhari-hari, berminggu-minggu atau bulan, bahkan bisa bertahun-tahun kemudian. Sehingga waktu dan rentetan kontak merupakan faktor paling penting. Gejala klasik berupa kulit kering, eritema, skuama, lambat laun kulit tebal dan terjadi likenifikasi, batas kelainan tidak tegas. Bila kontak terus berlangsung maka dapat menimbulkan retak kulit yang disebut fisura. Adakalanya kelainan hanya berupa kulit kering dan skuama tanpa eritema, sehingga diabaikan oleh penderita. Setelah kelainan dirasakan mengganggu, baru mendapat perhatian. 11 Pada dermatitis kontak tidak memiliki gambaran klinis yang tetap. Untuk menegakkan diagnosis dapat didasarkan pada: 1. Anamnesis, harus dilakukan dengan cermat. Anamnesis dermatologis terutama mengandung pertanyaan-pertanyaan: onset dan durasi, fluktuasi, perjalanan gejalagejala, riwayat penyakit terdahulu, riwayat keluarga, pekerjaan dan hobi, kosmetik yang digunakan, serta terapi yang sedang dijalani. Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan kulit yang ditemukan. Misalnya, ada kelainan kulit berupa lesi numular di sekitar umbilicus berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka perlu ditanyakan apakah penderita memakai kancing celana atau kepala ikat pinggang yang terbuat dari logam (nikel). 2. Pada Pemeriksaan fisik ,didapatkan adanya eritema, edema dan papula disusul dengan pembentukan vesikel yang jika pecah akan membentuk dermatitis yang membasah. Lesi pada umumnya timbul pada tempat kontak, tidak berbatas tegas dan dapat meluas ke daerah sekitarnya. Karena beberapa bagian tubuh sangat mudah tersensitisasi dibandingkan bagian tubuh yang lain maka predileksi regional akan sangat membantu penegakan diagnosis. 12 3. Pemeriksaan Penunjang,untuk membantu menegakan diagnosis penyakit kulit akibat kerja selain pentingnya anamnesa, juga banyak test lainnya yang digunakan untuk membantu. Salah satu yang paling sering digunakan adalah patch test. Upaya pencegahan dermatitis kontak iritan (DKI) yang terpenting adalah menghindari pajanan bahan iritan, baik yang bersifat mekanik (gesekan atau tekanan yang bersifat terus menerus suatu alat), fisik (lingkungan yang lembab, panas, dingin, asap, sinar matahari dan ultraviolet) atau kimiawi (alkali, sabun, pelarut organik, detergen, pemutih, dan asam kuat, basa kuat). Bila dapat dilakukan dengan sempurna dan tanpa komplikasi, maka tidak perlu pengobatan topikal dan cukup dengan pelembab untuk memperbaiki kulit yang kering . 11 Pemakaian alat pelindung diri yang adekuat dan tingkat pengetahuan pekerja yang baik diperlukan bagi mereka yang bekerja dengan bahan iritan. Bila ditemukan peradangan bisa diberikan kortikosteroid topical.13,14,15 Berdasarkan penelitian didapatkan bahwa terjadinya dermatitis kontak iritan (DKI) pada petugas sampah karena jarangnya pekerja Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 117 Asoly Giovano I Kejadian Dermatitis Kontak Iritan Pada Petugas Sampah di TPA menggunakan APD selama bekerja dan kurangnya pengawasan terhadap pekerja selama melakukan pekerjaannya. Hal ini terjadi karena pengetahuan pekerja yang baik tetapi mereka tidak menerapkannya dalam pekerjaannya.6 Ringkasan Dermatitis kontak iritan (DKI) adalah efek sitotoksik lokal langsung dari bahan iritan yang bersifat tidak spesifik pada sel epidermis sehingga menimbulkan reaksi peradangan non imunologik pada dermis dalam waktu dan konsentrasi tertentu. Faktor resiko dermatitis kontak iritan (DKI) melalui paparan iritan langsung berupa bahan kimia dan pelarut sedangkan paparan tidak langsung berupa umur, ras, jenis kelamin, personal hygiene, alat pelindung diri, dan pengetahuan. Upaya pencegahan DKI yang terpenting adalah menghindari pajanan bahan iritan, baik yang bersifat mekanik, Pemakaian alat pelindung diri yang adekuat dan tingkat pengetahuan pekerja yang baik. Berdasarkan penelitian terjadinya dermatitis kontak iritan (DKI) pada petugas sampah karena jarangnya pekerja menggunakan APD selama bekerja,kurangnya pengawasan terhadap pekerja,dan pengetahuan pekerja yang baik tetapi mereka tidak menerapkannya dalam pekerjaannya. Simpulan Pada petugas sampah di TPA memiliki faktor resiko terkena dermatitis kontak iritan karena memiliki hubungan dengan jenis pekerjaan yang bersifat basah dan kontak dengan berbagai jenis sampah. Pada petugas sampah biasanya selalu mengabaikan alat pelindung diri sebagai alat untuk melindungi diri dari kontak bahan iritan secara langsung sedangkan petugas sampah tersebut sudah memiliki pengetahuan mengenai resiko terjadinya dermatitis kontak iritan. Menurut penjelasan singkat di atas selanjutnya perlu diperhatikan penggunaan APD selama bekerja untuk dapat diawasi saat melakukan pekerjaannya. Selain itu, promosi kesehatan perlu dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan petugas sampah dan menurunkan angka kejadian dermatitis kontak pada petugas sampah di TPA. Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 118 Daftar Pustaka 1. Wolff K, Lowel AG, Stephen IK, Barbara AG, Amy SP, David JL. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. 7e th d. New York: McGrawHill. 396-401; 2008. 2. Verayati D. Hubungan Pemakaian Alat Pelindung Diri dan Personal Higine Terhadap Keajadian Dermatitis Kontak Akibat Kerja Pada Pemulung Di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bakung Bandar Lampung. Skirpsi Mahasiswa Fakultas Kedokteran. Universitas Lampung. Lampung; 2011. 3. Ernasari. Pengaruh Penyuluhan Dermatitis Kontak terhadap Pengetahuan dan Sikap Perajin Tahu di Kelurahan Mabar Kecamatan Medan Deli. Fakultas Kesehatan Masyarakat Pascasarjana Universitas Sumatera Utara; 2011. 4. Hogan DJ. Contact Dermatitis, Allergic. EMedicine Dermatology; 2009. 5. Sumantri MA, Febriani, Musa ST. Dermatitis Kontak. Yogyakarta: Pharma-C; 2010. 6. Mausulli A. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Dermatitis Kontak Iritan Pada Pekerja Pengelolahan Sampah Di TPA Cipayung Kota Depok Tahun 2010. Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta; 2010. 7. Keefner DM, Curry CE. Contact dermatitis handbook of nonprescription drugs. Edisi ke-12. Washington: American Pharmasis Accociation; 2004. 8. Lestari, Fatma, Utomo HS. Faktor-faktor yang berhubungan dengan dermatitis kontak pada pekerja di PT Inti Pantja Press Industri. Makara Kesehatan. 2007;11(2):6168. 9. Hayakawa, R. Contact Dermatitis. Nagoya J. Med. Sci 63. 83-90. Nagoya; 2000. 10. Streit M, Lasse RB. Contact Dermatitis: Clinics and Pathology. Acta Odontol Scand 59: 309-314; 2001. 11. Djuanda S, Sri AS. Dermatitis. Dalam: Djuanda A. et al. Edisi ke-3. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2013: 126-131. 12. Trihapsoro I. Dermatitis Kontak Aleregi pada Pasien Rawat Jalan di RSUP H Adam Malik Asoly Giovano I Kejadian Dermatitis Kontak Iritan Pada Petugas Sampah di TPA Medan. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara; 2003. 13. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Dermatitis kontak Alergi pada Pasien Rawat Jalan di RSUP H Adam Malik Medan. Edisi ke-6. Departemen Ilmu Kedokteran Kulit dan Kelamin FK UI. Jakarta; 2007. 14. Kampf G, Harald L. Prevention of Irritant Contact Dermatitis Among Health Care Workers by Using Evidence-Based Hand Higiene Practice: A Review. Industrial Health 45. 2007;(1): 645-652. 15. Garmini M. Analisis faktor penyebab dermatitis kontak iritan pada pekerja pabrik tahu primkopti usaha kelurahan bukit sangkal Palembang tahun 2014. [Skripsi]. Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat. Palembang. Universitas Sriwijaya. 2014 Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 119 Asoly Giovano I Kejadian Dermatitis Kontak Iritan Pada Petugas Sampah di TPA Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 120 Zygawindi Nurhidayati | Pengaruh Pola Konsumsi Makanan Bebas Gluten Bebas Casein dengan Gangguan Perilaku pada Anak Autistik Pengaruh Pola Konsumsi Makanan Bebas Gluten Bebas Kasein dengan Gangguan Perilaku pada Anak Autistik Zygawindi Nurhidayati Fakultas Kedokteran Universitas Lampung Abstrak Autistik merupakan suatu gangguan perkembangan pervasif yang mempengaruhi kemampuan dalam interaksi sosial, komunikasi dan perilaku. Kelainan tersebut terlihat sebelum anak berusia tiga tahun. Anak dengan gangguan autistik memiliki gangguan perilaku yang disebut perilaku autis. Gangguan perilaku pada anak autistik tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi gangguan perilaku pada anak autistik adalah makanan terutama makanan yang mengandung gluten dan kasein. Hal tersebut terjadi karena kedua jenis protein tersebut sulit dicerna oleh tubuh. Pada membran saluran cerna anak dengan autistik ditemukan kelainan berupa adanya pori-pori yang tidak normal dan hiperpermeabilitas mukosa usus. Gluten dan kasein pada anak autistik hanya terpecah sampai polipeptida. Polipeptida tersebut kemudian terserap ke dalam aliran darah dan beredar dalam bentuk gluteo dan caseomorphin. Gluteo dan caseomorphin tersebut kemudian terikat pada reseptor opiod di otak. Reseptor tersebut mempengaruhi mood dan perilaku sehingga terikatnya kedua zat tersebut dapat mempengaruhi gangguan perilaku pada anak autistik. Oleh karena itu, salah satu cara untuk mengurangi gangguan perilaku pada anak autistik, yaitu dengan cara menghindari makanan yang mengandung gluten dan casein. Kata kunci: Autistik, casein,gluten, perilaku autis The Influence of Gluten Free Casein Free Foods Consumption with Behavior Disorders in Autistic Children Abstract Autistic is a pervasive developmental disorder that influences the ability of social interaction, communication and behavior. It can be seenat the children under three years. The abnormality seen before three years of age. Children with autistic disorder get behavioral disorders called autism behavior. Behavior disorders in autistic children is influenced by various factors. One of the factors that can influence behavioral disorders is food, especially food that contain gluten and casein. It happens because of two types of protein are difficult to digest. In autistic children gastrointestinal tract membrane was found pores abnormal and hiperpermeability intestinal mucosa. Gluten and casein can be rended only up to polypeptide in children with autistic disorder. Then, the polypeptide absorbed in to the bloodstream and circulate in the form of gluteo and caseomorphin. Gluteo and caseomorphin bound to the opoid receptor in the brain. The receptor can influence mood and behavior, so both of these substances can affect behavioral disorders in autistic children. Therefore, one of the way to reduce behavioral disorders on autistic children is by avoiding foods that contain gluten and casein. Keyword : autistic, autism behavior, casein;, gluten Korespondensi : Zygawindi Nurhidayati, alamat KP. Cakung No. 101 Rt 004/002 Jatikramat, Jatiasih, Bekasi, HP 082186062369, e-mail [email protected] Pendahuluan Anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang memiliki keterbatasan dalam hal fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya, dan anak yang akibat keadaan tertentu memerlukan penanganan secara khusus. Salah satu yang termasuk dalam kelompok anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan gangguan autistik.1 Autistik adalah gangguan perkembangan pervasif yang ditandai dengan ketidakmampuan dalam berinteraksi sosial, berkomunikasi, dan berperilaku sesuai dengan perkembangan, ketertarikan dan aktifitas. Kelainan tersebut terlihat sebelum anak berusia 3 tahun.2 Kasus autisme terjadi di berbagai negara, tanpa memandang ras, etnik, maupun latar belakang sosial ekonomi. Pada beberapa tahun terakhir ini, kasus autis meningkat terus-menerus. Menurut United Nations Educational, Scientific Organization (UNESCO) pada tahun 2011 tercatat 35 juta orang penyandang autis yang ada diseluruh dunia.Di negara maju seperti Amerika Serikat prevalensi anak autis pun meningkat setiap tahunnya.3 Prevalensi autis dunia saat ini mencapai 15─20 kasus per 10.000 anak atau berkisar 0,15─0,20%. Jika angka kelahiran di Indonesia mencapai enam juta per tahun, maka jumlah penyandang autis di Indonesia Majority | Volume 4 | Nomor 7| Juni 2015| 121 Zygawindi Nurhidayati | Pengaruh Pola Konsumsi Makanan Bebas Gluten Bebas Casein dengan Gangguan Perilaku pada Anak Autistik per tahunnya bertambah sekitar 6.900 anak per tahun.4 Berdasarkan jenis kelaminnya, penderita autis empat kali lebih banyak diderita oleh laki-laki daripada perempuan. Dengan kata lain, anak laki-laki lebih rentan terkena autis dibandingkan anak perempuan.2 Anak autis memiliki gangguan perilaku khas yang disebut perilaku autis. Pada sebagian besar anak autis sering memperlihatkan perilaku seperti hiperaktif, menyakiti diri sendiri, suka bertepuk tangan berulang ulang,suka mengamuk, tidak mampu dalam menatap lawan bicara.2 Perilaku-perilaku tersebut disebabkan oleh berbagai faktor seperti umur, intelegensia, pola asuh orang tua, intensitas terapi, pola konsumsi pangan dan lain sebagainya.5 Pola konsumsi makanan merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan bagi anak dengan autistic spectrum disorder (ASD) karena terdapat makanan-makanan tertentu yang menjadi pantangan. Hal tersebut juga terkait dengan salah satu terapi diet bagi penderita ASD berupa diet gluten free casein free (GFCF). Diet tersebut diterapkan karena makanan yang mengandung gluten dan kasein seperti gandum dapat meningkatkan hiperpermeabilitas usus yang mengakibatkan gluten dan kasein tidak tercerna dengan baik dan ada yang mengalir ke aliran darah dan otak sehingga mempengaruhi perilaku dari anak autis tersebut.6 Isi Autistic Spectrum Disorder (ASD) adalah gangguan perkembangan pervasif yang ditandai dengan ketidakmampuan dalam berinteraksi sosial, berkomunikasi, dan berperilaku sesuai dengan perkembangan, ketertarikan dan aktifitas. Kelainan tersebut terlihat sebelum anak berusia 3 tahun.2 Menurut Atchison dalam Marpaung (2014) istilah Pervasive developmental disorder (PDD) menjadi Autistic Spectrum Disorder (ASD) berubah sejak dilakukannya revisi terhadap Diagnostic and statistical Manual Of Mental (DSM) Disorder IV TR menjadi Diagnostic and statistical Manual Of Mental (DSM) Disorder V.7,8 Autistic Spectrum Disorder (ASD) merupakan kelainan neurodevelopmental yang belum dapat dipastikan penyebabnya. Berbagai teori tentang autisme banyak dikemukakan diantaranya berkaitan dengan faktor genetik, Majority | Volume 4 | Nomor 7| Juni 2015| 122 disfungsi metabolik, gangguan perkembangan saat postnatal dan prenatal dan faktor lingkungan.2 Sampai saat ini masih belum dapat dipastikan penyebab dari autisme, tetapi terdapat sejumlah teori yang mendukung terkait penyebab autisme, antara lain sebagai berikut : a. Genetik Gangguan autistik diperkirakan sekitarr 90%, dicurigai adanya abnormalitas genetik pada kromosom 7, 2 dan 15.9 Hasil penelitian pada keluarga dan anak kembar menunjukkan adanya faktor genetik yang berperan dalam perkembangan autisme.10 b. Faktor perinatal Komplikasi perinatal yang cukup tinggi ditemukan pada anak-anak dengan gangguan autistik, walaupun tidak ada komplikasi yang secara langsung dinyatakan sebagai penyebab. Komplikasi yang sering dilaporkan adalah adanya perdarahan di trisemester pertama dan adanya mekonium dalam cairan amnion lebih sering ditemukan pada anak dengan gangguan autistik.11 c. Neuroanatomi Berbagai kondisi neuropatologi diduga dapat mendorong timbulnnya gangguan perilaku pada anak-anak autistik, ada beberapa daerah di otak anak autistik yang diduga mengalami disfungsi.10 Lobus temporalis telah diperkirakan sebagai bagian penting dalam otak yang mungkin abnormal pada gangguan autistik. Hal tersebut berdasarkan laporan adanya sindroma yang mirip gangguan autistik pada orang dengan kerusakan lobus temporalis. Jika daerah temporalis rusak, perilaku sosial yang diharapkan menghilang, dan kegelisahan, perilaku motorik berulang, dan kumpulan perilaku terbatas ditemukan.11 Pada otak kecil juga ditemukan kelainan, terutama pada lobus ke VI dan VII. Jumlah sel purkinje di otak kecil juga didapatkan sangat sedikit, sehingga terjadi gangguan keseimbangan serotonin dan dopamin, menyebabkan gangguan impuls di otak. Ditemukan pula kelainan khas didaerah sistem limbik yang disebut hipokamus dan amigdala. Akibatnya terjadi gangguan fungsi kontrol terhadap agresi dan Zygawindi Nurhidayati | Pengaruh Pola Konsumsi Makanan Bebas Gluten Bebas Casein dengan Gangguan Perilaku pada Anak Autistik emosi, gangguan sensoris, daya ingat, dan perilaku aneh serta hiperaktif pada anak-anak dengan gangguan autistik.12 d. Faktor imunologi Sistem imun diduga berperan pada terjadinya autisme karena ditemukannya penurunan respon imun pada anak dengan gangguan autistik. Beberapa bukti yang menyatakan bahwa inkompatibilitas antara ibu dan embrio atau janin dapat menyebabkan gangguan autistik.10,11 e. Faktor infeksi virus Peningkatan gangguan autisme pada anak-anak dengan congenital rubella, herpes simplex, ensefalitis, dan infeksi cytomegalovirus, membuat peniliti menduga bahwa infeksi virus tersebut juga turut berperan sebagai salah satu penyebab gangguan autistik.10 Berbagai faktor-faktor yang diduga berperan sebagai penyebab gangguan autistik erat dikaitkan dengan gejala klinis yang terjadi pada anak-anak dengan gangguan autistik. Terdapat sekelompok gejala khas pada gangguan autistik yaitu gangguan interaksi sosial, gangguan komunikasi dan gangguan perilaku . 10 American Psychiatric Association (APA) dalam buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Fifth Edition Text Revision, menentukan kriteria diagnostik dari gangguan ASD adalah sebagai berikut : 13 A. Terhambatnya dalam komunikasi dan interaksi sosial yang bersifat menetap pada berbagai konteks, seperti; a) Kekurangan dalam kemampuan komunikasi sosial dan emosional. Contohnya pendekatan sosial yang tidak normal dan kegagalan untuk melakukan komunikasi dua arah, kegagalan untuk berinisiatif atau merespon pada interaksi sosial. b) Terganggunya perilaku komunikasi non-verbal yang digunakan untuk interaksi sosial. Integrasi komunikasi verbal dan non-verbal yang sangat parah, hilangnya kontak mata, bahasa tubuh dan ekspresi wajah. c) Kekurangan dalam mengembangkan, mempertahankan hubungan. Contohnya kesulitan menyesuaikan perilaku pada berbagai konteks sosial, kesulitan B. C. D. E. dalam bermain imajinatif atau berteman, tidak adanya ketertarikan terhadap teman sebaya. Perilaku yang terbatas, pola perilaku yang repetitif, ketertarikan, atau aktivitas yang termanifestasi minimal dua dari perilaku berikut: a) Pergerakan motor repetitif atau stereotipe, penggunaan objek-objek atau bahasa, misalnya: perilaku stereotipe yang sederhana, membariskan mainan-mainan atau membalikkan objek. b) Perhatian yang berlebihan pada kesamaan, rutinitas yang kaku atau pola perilaku verbal atau non-verbal yang diritualkan, contohnya stress ekstrim pada suatu perubahan yang kecil, kesulitan pada saat adanya proses perubahan, pola pikir yang kaku. c) Kelekatan dan pembatasan diri yang tinggi pada suatu ketertarikan yang abnormal. Contoh: kelekatan yang kuat atau preokupasi pada objekobjek yang tidak biasa, pembatasan yang berlebihan atau perseverative interest. d) Hiperaktivitas/hipoaktivitas pada input sensori atau ketertarikan yang tidak biasa pada aspek sensori pada lingkungan. Contoh, sikap tidak peduli pada rasa sakit atau temperatur udara, respon yang berlawanan pada suara atau tekstur tertentu, penciuman yang berlebihan atau sentuhan dari objek, kekaguman visual pada cahaya atau gerakan. Gejala-gejala harus muncul pada periode perkembangan awal (tapi mungkin tidak termanifestasi secara penuh sampai tuntutan sosial melebihi kapasitas yang terbatas, atau mungkin tertutupi dengan strategi belajar dalam kehidupannya). Gejala-gejala menyebabkan gangguan yang signifikan pada kehidupan sosial, pekerjaan atau situasi penting lain dalam kehidupan. Gangguan-gangguan ini lebih baik tidak disebut dengan istilah ketidakmampuan intelektual (intellectual disability) atau gangguan perkembangan intelektual Majority | Volume 4 | Nomor 7| Juni 2015| 123 Zygawindi Nurhidayati | Pengaruh Pola Konsumsi Makanan Bebas Gluten Bebas Casein dengan Gangguan Perilaku pada Anak Autistik atau keterlambatan perkembangan secara global. Gangguan perilaku yang dialami anak autis digolongkan menjadi dua yaitu perilaku yang eksesif dan perilaku defisit. Perilaku eksesif adalah perilaku yang hiperaktif dan tantrum seperti menjerit, menggigit, mencakar dan memukul serta menyakiti diri sendiri (self abuse). Perilaku defisit adalah perilaku yang menimbulkan gangguan bicara atau kurangnya perilaku sosial seperti tertawa atau menangis tanpa sebab serta melamun. Perilaku-perilaku tersebut muncul karena berbagai sebab yang terkadang terkesan sederhana dan terjadi secara tiba-tiba.14 Perilaku agresif pada anak autis berbeda dengan anak normal karena terjadi secara berlebihan dan terkadang tanpa penyebab yang jelas serta tiba-tiba. Perilaku agresif pada anak autis yang merupakan suatu tanda dari gangguan, seperti temper tantrum, memberantakan benda, menggigit orang lain Perilaku tersebut diikuti dengan menyakiti diri sendiri seperti membenturkan kepala, menarik rambut.5 Perilaku membahayakan tersebut merupakan akibat kurangnya perasaan bahaya pada anak autis. Banyak anak autis yang memiliki peningkatan ambang nyeri atau perubahan respon terhadap nyeri. Hal tersebut dikarenakan pada anak autis terdapat gangguan fungsi sensori.11 Anak autistik memiliki aktivitas yang kaku, berulang, dan monoton. Anak autis dapat memiliki ketertarikan pada suatu hal hingga mengabaikan aktivitas yang lainnya. Hal tersebut juga mereka lakukan secara berulangulang seperti memutar-mutar botol, memainkan saklar listrik berjam-jam. Ketertarikan tersebut bisa sampai secara khusus pada bagian-bagian tertentu dari suatu objek yang mereka sukai seperti memainkan kancing sweater.9,11 Anak autis memiliki ketertarikan pada objek yang berputar seperti memandang putaran kipas angin, roda mobil, atau mesin cuci. Anak autis juga memiliki tingkah laku yang suka mengepak-ngepakan tangan (flapping hand), menggoyang-goyangkan anggota tubuhnya atau menyeringai. Stereotipi tersebut tampak hampir pada semua anak autistik. Perilaku rutinitas berulang-ulang yang mereka sukai menyebabkan mereka menolak adanya perubahan lingkungan dan rutinitas baru. Walaupun demikian, ada beberapa anak Majority | Volume 4 | Nomor 7| Juni 2015| 124 autistik yang masih dapat menerima perubahan yang terjadi disekitarnya, tetapi menjadi sangat cemas dan bingung dengan perubahan sekecil apapun tersebut. contohnya seorang anak autistik akan mengalami kesukaran bila jalan yang biasa ia tempuh ke sekolah diubah. Perilaku rutinitas tersebut jarang atau sulit dihilangkan dan perilaku ini dapat menjadi tidak terkontrol dan mengganggu dalam proses belajar. Perilaku ini bukan hanya suatu kelemahan mereka tetapi merupakan satu bagian agar tetap dapat menjalin hubungan dengan orang lain atau dunia luar yang tidak diketahuinya. Hal tersebut karena anak autistik memiliki keterbatasan dalam pemahaman komunikasi verbal dan non verbal serta intelegensi sosial yang terhambat.5,10 Karakteristik gangguan perilaku pada autistik menjadi makin terlihat seiring dengan pertumbuhan anak dan berlanjut sepanjang hidupnya dengan sejumlah bentuk variasi tingkat keparahan dan juga berbeda antara anak autistik yang satu dan yang lainnya. Seperti pada salah satu penelitian yang membandingkan kemampuan berinteraksi antara kelompok anak-anak, remaja dan dewasa menunjukkan kemampuan berinteraksi pada kelompok usia remaja lebih sedikit terganggu dibandingkan dengan kelompok usia dewasa. Perbedaaan tingkat karakteristik gangguan perilaku tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kematangan anak, pemahaman anak, diet makanan, terapi yang diberikan, penanganan yang bersifat medis, dan usaha yang sangat luar biasa dari sekolah dan orang tua serta keluarganya.5,9 Pola makan pada anak terutama anak autis harus mengandung jumlah zat gizi, terutama karbohidrat, protein dan kalsium yang tinggi guna memenuhi kebutuhan selama masa pertumbuhan dan perkembangan. Ada beberapa jenis makanan yang menyebabkan reaksi alergi pada anak autis seperti gula,susu sapi, gandum, coklat, telur, kacang maupun ikan. Selain itu, konsumsi gluten dan kasein perlu dihindari karena penderita autis umumnya tidak tahan terhadap gluten dan kasein. Gluten adalah protein yang bersifat khas yang terdapat pada tepung terigu, dan dalam jumlah kecil dalam tepung serealia lainnya, gluten terdiri dari dua komponen protein yaitu gliadin dan glutein. Sedangkan kasein adalah protein kompleks pada susu yang Zygawindi Nurhidayati | Pengaruh Pola Konsumsi Makanan Bebas Gluten Bebas Casein dengan Gangguan Perilaku pada Anak Autistik mempunyai sifat khas yaitu dapat menggumpal dan membentuk massa yang kompak.4 Pada orang normal gluten dan casein akan dicerna secara sempurna oleh proses kimiawi dan fisik menjadi asam amino tunggal dan diserap oleh usus. Sedangkan pada anak autis proses pencernaan gluten dan casein berlangsung secara tidak sempurna.15 Pada kebanyakan pasien autis ditemukan adanya pori-pori yang tidak lazim pada membran saluran cerna dan hiperpermeabilitas mukosa usus. Gluten dan kasein pada anak dengan gangguan autistik, hanya terpecah sampai polipeptida. Hiperpermebilitas pada mukosa usus menyebabkan peptide ini meningkat. Polipeptida dari kedua protein tersebut tidak tercerna keluar dari dinding usus tetapi terserap ke dalam aliran darah dan beredar dalam bentuk gluteo dan caseomorphin dan kemudian terikat pada reseptor opioid diotak. Reseptor tersebut berhubungan dengan mood dan tingkah laku, sehingga menimbulkan gejala kelainan perilaku pada anak autistik. Selain itu, adanya gangguan enzim Dipeptidylpeptidase IV pada anak autis mengakibatkan gluten dankasein tidak tercerna dengan sempurna.6,12,15 Dari penelitian Whiteley, Rodgers, Savery dan Shattock (1999), 22 anak autis mendapat diet bebas gluten selama 5 bulan dibandingkan dengan 5 anak autis yang tetap diberi diet mengandung gluten dan 6 pasien autis yang digunakan sebagai kelompok kontrol. Setelah 3 bulan, pada diet bebas gluten terjadi perbaikan verbal dan komunikasi non verbal, pendekatan afektif, motorik, dan kemampuan anak untuk perhatian serta tidur jadi lebih baik. Sedangkan pada kelompok makanan yang masih mengandung gluten justru semuanya memburuk. Meskipun penelitian ini masih menggunakan jumlah pasien yang sangat kecil, tetapi cukup bisa diterima sampai sekarang.12 Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Bogor tahun 2004 diperoleh hasil bahwa sebanyak 68,24% anak autis menunjukkan adanya perbaikan perilaku pada tingkat hiperaktivitas setelah dilakukan terapi diet.16 Berdasarkan penelitian yang dilakukan Knivsberg et al. selama 12 bulan dengan dua puluh peserta yang dipasangkan kemudian diacak ke dalam suatu kelompok, didapatkan perbaikan perilaku autisme dan kemampuan linguistik pada kelompok dengan pemberian diet gluten free casein free tetapi tidak ada perbaikan dalam keterampilan kognitif atau motorik.17 Berdasarkan penelitian tahun 2012 di Bandung, didapatkan bahwa sebanyak 85% orang tua yang tidak patuh dalam menerapkan diet GFCF berdampak pada terjadinya gangguan perilaku anak mereka dibandingkan pada anak autis yang orang tuanya patuh menjalankan diet. Hal tersebut terjadi karena tidak semua makanan yang mengandung gluten dan kasein dapat dengan mudah dihilangkan dari menu makanan anak. Ketidakpatuhan tersebut akan menyebabkan gangguan perilaku anak autis seperti mengamuk. Anak autis yang menjalani diet GFCF secara patuh memiliki emosi yang lebih stabil dan lebih tenang.18 Penelitian terhadap anak autis yang dilakukan di Pusat Terapi Pendidikan Ananda Bekasi tahun 2013 menunjukan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara frekuensi diet bebas gluten bebas kasein dengan skor perilaku autis. Pada penelitian tersebut, penderita autis yang mengkonsumsi makanan sumber gluten dan kasein dengan frekuensi yang rendah memiliki perilaku yang lebih terarah daripada penderita autis yang mengkonsumsi makanan sumber gluten dan kasein dengan frekuensi tinggi.14 Penelitian di Kota Depok tahun 2013 terhadap 35 anak ASD dengan rentang usia 3-7 tahun terkait hubungan praktik pengaturan diet dengan perilaku emosional anak dengan ASD, didapatkan nilai signifikan p-value 0,001. hal tersebut menunjukkan bahwa praktik pengaturan diet yang dilakukan memiliki hubungan dengan perilaku emosional pada anak ASD dengan rentang usia 3-7 tahun. Diet yang diterapkan pada penelitian tersebut tidak hanya diet bebas gluten bebas kasein tetapi beberapa diet yang lain seperti diet bebas gula murni, diet bebas jamur .19 Pada penelitian terhadap 70 anak-anak autis berumur 1-8 tahun yang mendapat diet gluten free casein free ditemukan bahwa 81% diantaranya mengalami perubahan perilaku yang signifikan dalam 3 bulan yaitu berupa perubahan dari isolasi sosial, kontak mata, mutisme, hiperaktif, aktivitas stereotipik dan serangan panik. Perubahan tersebut terus mengalami perbaikan selama 12 bulan. Kemudian pada 19 % yang tidak mengalami Majority | Volume 4 | Nomor 7| Juni 2015| 125 Zygawindi Nurhidayati | Pengaruh Pola Konsumsi Makanan Bebas Gluten Bebas Casein dengan Gangguan Perilaku pada Anak Autistik perbaikan, 1/3 diantaranya tidak mengikuti diet dan masih memiliki banyak gluten dan casein dalam darah.20 Penelitian yang telah dilakukan di Sekolah Autisme Laboratorium UM, SLB Putra Jaya, dan Tempat Terapi A Plus Kota Malang dengan jumlah responde 17 anak, untuk hubungan antara pola konsumsi gluten-kasein dengan perilaku autisme dengan kekuatan korelasi sangat kuat sekali.19 Walaupun beberapa penelitian menunjukkan hasil yang signifikan terkait penerapan diet bebas gluten bebas kasein dengan perbaikan perilaku pada anak dengan ASD, namun ada beberapa penelitian lain menunjukkan hasil yang tidak signifikan secara statistik. Salah satunya penelitian secara Randomized Clinical Trial (RCT) terkait diet GFCF yang pernah dilakukan Elder dan rekannya (2006) terhadap 15 anak yang didiagnosis autisme tidak menunjukkan hasil uji statistik yang signifikan, meskipun beberapa orang tua mereka melaporkan adanya perbaikan perilaku . 21 Perbedaan hasil setiap penelitian bergantung oleh berbagai faktor diantaranya besarnya sampel, metode yang digunakan, serta kontrol yang ketat terhadap proses penelitian. Ringkasan Autistic spectrum disorder (ASD) merupakan suatu gangguan perkembangan pervasive yang memiliki karakteristik berupa gangguan interaksi sosial, gangguan komunikasi dan gangguan perilaku. Kelainan tersebut terlihat sebelum anak berusia tiga tahun. Penyebab ASD sampai saat ini belum dapat dipastikan tetapi terdapat sejumlah teori yang mendukung terjadinya kelainan tersebut seperti genetik, faktor perinatal, neuroanatomi, faktor imunologi dan sebagainya. Gangguan perilaku pada anak autistik dipengaruhi oleh berbagai faktor yang salah satunya adalah makanan. Makanan yang mengandung gluten dan casein dapat mempengaruhi perilaku anak autistik karena kedua zat tersebut tidak sempurna tercerna oleh tubuh sehingga dapat mempengaruhi sistem saraf pusat yang menimbulkan gangguan perilaku. Oleh karena itu, salah satu cara mengurangi gangguan perilaku pada anak Majority | Volume 4 | Nomor 7| Juni 2015| 126 autistik dengan menghindari konsumsi makanan yang mengandung gluten dan casein. Beberapa penelitian yang telah dilakukan terkait pengaruh konsumsi makanan mengandung gluten dan casein dengan gangguan perilaku pada anak autistik membuktikan bahwa terdapat pengaruh antara pola konsumsi makanan bebas gluten bebas casein dengan gangguan perilaku yang terjadi pada anak autistik, walaupun dinataranya terdapat hasil perbaikan perilaku yang tidak signifikan. Simpulan Berdasarkan teori yang telah dijelaskan diatas dan beberapa penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa terdapat pengaruh antara pola konsumsi makanan bebas gluten bebas casein dengan gangguan perilaku pada anak autistik. Daftar Pustaka 1. Kemenkes RI. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Sekolah Luar Biasa (SLB) Bagi Petugas Kesehatan. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Sekolah Luar Biasa (SLB) Bagi Petugas Kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2010. 2. Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St.Geme WJ, Behrman RE. Nelson Textbook of Pediatrics (19th ed.). Philadelphia: Saunders Elsevier Inc; 2011. 3. Blumberg SJ, Bramlet MD, Kogan MD, Schieve LA, Jones, JR . Changes in Prevalence of Parent-reported Autism Spectrum Disorder in School-aged U.S. Children: 2007 to 2011– 2012. National Health Statistics Reports. 2013; 65: 1─12. 4. Mashabi NA, & Tajudin NR. Hubungan Antara Pengetahuan Gizi Ibu dengan Pola Makan Anak Autis. Makara,Kesehatan. 2009; 13(2): 84–6. 5. Yuwono W. Memahami Anak Autistik (Kajian Teoritik dan Empirik). Bandung: Alfabeta; 2012. 6. Ramadayanti, S. Perilaku Pemilihan Makanan dan Diet Bebas Gluten Bebas Kasein pada Anak Autis. Journal of Nutrition College. 2013; 2(1): 35–43. 7. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (4th ed Text Revision). Washington, DC: American Psychiatric Association; 2004. Zygawindi Nurhidayati | Pengaruh Pola Konsumsi Makanan Bebas Gluten Bebas Casein dengan Gangguan Perilaku pada Anak Autistik 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. Marpaung W. Social Skill Training untuk Meningkatkan Keterampilan Sosial pada Anak Autistic Spectrum Disorder [Tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2014. Halgin RP, Susan KW. Psikologi Abnormal: Perspektif Klinis pada Gangguan Psikologi. Edisi ke-6. Jakarta: Salemba Humanika; 2010. Widyawati I. Autisme Masa Kanak. Dalam: SD Elvira & G Hadisukanto, editor. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2014. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Perilaku Klinis. Jilid 2. Tangerang: Bina Rupa Aksara; 2010. Sari ID. Nutrisi pada Pasien Autis. CDK. 2009; 36(2): 89–93. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, Fifth Edition. Washington,DC: American Psychiatric Association; 2013. Pratiwi RA. Hubungan Skor Frekuensi Diet Bebas Gluten Bebas Casein dengan Skor Perilaku Autis. Journal of Nutrition College. 2014; 3(1): 34–42. Syafitri IL. Pengasuhan (Makan, Hidup Sehat, dan Bermain), Konsumsi dan Status Gizi Penderita Autism Spectrum Disorder (ASD)[Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian 16. 17. 18. 19. 20. 21. Bogor; 2008. Latifah RE. Studi Konsumsi dan Status Gizi pada Anak Penyandang Gangguan Spektrum Autisme di Kota Bogor. Bogor: Institut Pertanian Bogor; 2004. Millward C, Ferriter M, Calver S, ConnellJones G. Gluten- and casein-free diets for autistic spectrum disorder. Cochrane Database of Systematic Reviews; 2007. Sofia AD. Kepatuhan Orang Tua dalam Menerapkan Terapi Diet Gluten Free Casein Free pada Anak Penyandang Autisme di Yayasan Pelita Hafizh dan SLBN Cileunyi Bandung [Skripsi]. Bandung: Universitas Padjadjaran; 2012. Mukhfi, Nugraheni SA, Kartini A. Hubungan Praktek Pengaturan Diet dengan Perilaku Emosional pada Penyandang Autism Spectrum Disorder (ASD) Usia 3-7 Tahun di Kota Depok. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2014;2(2): 132-9. Adams JB. Summary of Dietary, Nutritional, and Medical Treatments for Autism–based on over 150 published research studies Summary of Dietary , Nutritional , and Medical Treatments for Autism. Autism Research Institute; 2013. CormierE, Elder JH. Diet and child behavior problems: fact or fiction? Pediatric Nursing. 2007; 33(2): 138–43 Majority | Volume 4 | Nomor 7| Juni 2015| 127 Zygawindi Nurhidayati | Pengaruh Pola Konsumsi Makanan Bebas Gluten Bebas Casein dengan Gangguan Perilaku pada Anak Autistik Majority | Volume 4 | Nomor 7| Juni 2015| 128 Ratna Agustina | Peran Derajat Differensiasi Histopatologik Dan Stadium Klinis Pada Rekurensi Kanker Payudara Peran Derajat Differensiasi Histopatologik dan Stadium Klinis Pada Rekurensi Kanker Payudara Ratna Agustina Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung Abstrak Kanker payudara di dunia saat ini merupakan kasus terbanyak kedua setelah kanker serviks. Disamping itu, kanker payudara menjadi salah satu pembunuh utama wanita di dunia maupun di Indonesia. World Health Organization (WHO) pada tahun 2010, memperkirakan sebanyak 206.966 wanita di Amerika Serikat terdiagnosa kanker payudara dan sebanyak 40.996 wanita meninggal dunia akibat kanker payudara. Terapi kanker payudara pun terus dilakukan seperti pembedahan, terapi hormonal, kemoterapi, maupun radiasi. Namun ternyata, banyak sekali kasus kanker payudara yang kembali kambuh atau rekuren setelah dilakukan pengobatan walaupun sudah dikatakan sembuh. Salah satu faktor risiko yang menyebabkan kambuhnya kanker payudara yaitu derajat differensiasi dan stadium klinis. Secara teoritis, derajat differensiasi histopatologik dan stadium klinis berperan dalam keagresifan sel kanker. Derajat differensiasi merupakan hasil penilaian mikroskopis sel kanker berdasarkan jumlah sel yang mengalami mitosis, kemiripan bentuk sel ganas dengan sel asal, dan susunan homogenitas dari sel. Sedangkan untuk sistem staging atau stadium kanker dilihat berdasarkan penyebaran kanker sesuai dengan fitur dari tumor primer (lokalisasi, ukuran, dan perluasan ke struktur sekitarnya), keterlibatan kelenjar getah bening regional, dan adanya metastasis. Kata kunci: kanker payudara, derajat differensiasi histopatologik, stadium kanker, rekuren. The Role of Histopathological Differentiation and Clinical Stage to Breast Cancer Recurrence Abstract Today, breast cancer in the world is the second highest cases after cervical cancer. Besides that, breast cancer in addition to be one of the major killers of women in the world and in Indonesia. World Health Organization (WHO) in 2010, estimates that 206.966 women in the United States are diagnosed with breast cancer and 40.996 women died of breast cancer. Treatment of breast cancer continues to be done such as surgery, hormonal therapy, chemotherapy, or radiation. However it turns out, a lot of cases of breast cancer relapsed or recurrent after treatment, despite being said to heal. One of the risk factors that lead to recurrence of breast cancer are degree of histopathological differentiation and clinical stage. Theoretically, the degree of histopathological differentiation and clinical stage role in the aggressiveness of the cancer cells. The degree of differentiation is the result of microscopic assessment of cancer cells based on the number of cells undergoing mitosis, a similar shape to the cell of origin of malignant cells, and composition homogeneity of the cell. As for the staging system or stage of cancer seen by the spread of cancer according to the features of the primary tumor (localization, size, and extension into surrounding structures), involvement of regional lymph nodes, and metastasis. Keywords: breast cancer, the degree of histopathological differentiation, stage of cancer, recurrent. Korespondensi: Ratna Agustina, alamat Jl. Taman Palem Permai no. A3 A4 Rajabasa Bandar Lampung, HP 082177576366, email [email protected] Pendahuluan Kanker payudara disebut juga dengan Carcinoma Mammae (Ca Mammae) adalah sebuah tumor ganas yang tumbuh dalam jaringan payudara. Tumor ini dapat tumbuh dalam kelenjar susu, jaringan lemak, maupun pada jaringan ikat payudara.1 Selama beberapa dekade terakhir, perkembangan risiko kanker payudara telah meningkat baik di negara maju maupun negara berkembang yaitu 1% -2% per tahunnya.2 Jumlah kasus kanker payudara di dunia menduduki peringkat kedua setelah kanker serviks, disamping itu kanker payudara menjadi salah satu pembunuh utama wanita di dunia dengan lebih dari 1.000.000 kasus yang terjadi di seluruh dunia setiap tahun dan adanya kecenderungan peningkatan kasus baik di dunia maupun di Indonesia. 3 World Health Organization (WHO) pada tahun 2010, memperkirakan sebanyak 206.966 wanita di Amerika Serikat terdiagnosa kanker payudara dan sebanyak 40.996 wanita meninggal dunia akibat kanker payudara.4 Selain itu pada tahun 2013 menurut American Cancer Society (ACS) dan National Cancer Institute (NCI) terdapat kasus baru sekitar 232.340 kasus kanker payudara invasif dan 39.620 kematian akibat kanker payudara.5 Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 129 Ratna Agustina | Peran Derajat Differensiasi Histopatologik Dan Stadium Klinis Pada Rekurensi Kanker Payudara diperkirakan 1 diantara 8 wanita di Amerika Serikat (± 12,8%) mengidap kanker payudara selama hidupnya. Tiap tahun 180.000 kasus baru invasive breast cancer terdiagnosis dengan lebih dari 40.000 angka kematian terjadi di AS sedangkan lebih dari 1 juta kasus baru dan 370.000 kematian tiap tahunnya terjadi di seluruh dunia. Ini menunjukkan bahwa metode pengobatan yang efektif sangat dibutuhkan untuk memberantas penyakit ini.6 Terapi kanker payudara dapat dilakukan pembedahan, terapi hormonal, kemoterapi, maupun radiasi.2 Namun ternyata, banyak sekali kasus kanker payudara yang kembali kambuh atau residif setelah dilakukan pengobatan walaupun sudah dikatakan sembuh. Salah satu faktor risiko rekurensi kanker payudara yaitu derajat differensiasi dan stadium klinis. Derajat differensiasi merupakan hasil penilaian mikroskopis sel kanker berdasarkan jumlah sel yang mengalami mitosis, kemiripan bentuk sel ganas dengan sel asal, dan susunan homogenitas dari sel.7 Kemiripan bentuk sel ganas dengan sel asal dan jumlah mitosis menjadi poin utama dari sistem derajat differensiasi ini, di mana sel dianggap semakin ganas jika perubahan bentuk yang terjadi semakin tidak terkendali dan tidak mirip dengan sel asalnya sehingga besar kemungkinan terjadinya rekurensi kanker payudara.8 Sedangkan untuk sistem staging atau stadium kanker dilihat berdasarkan sistem TNM (tumor, nodul, metastasis) yaitu penyebaran kanker sesuai dengan fitur dari tumor primer (lokalisasi, ukuran, dan perluasan ke struktur sekitarnya), keterlibatan kelenjar getah bening regional, dan adanya metastasis. Semakin tinggi stadium maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya rekurensi kanker payudara.9 Isi Kanker payudara merupakan tumor ganas yang tumbuh di dalam jaringan payudara. Kanker dapat tumbuh di dalam kelenjar susu, saluran susu, jaringan lemak, maupun jaringan ikat pada payudara.1 Kanker payudara paling banyak dari bagian dalam lapisan duktus ataupun lobulus sebagai akibat mutasi dari gen yang bertanggung jawab dalam mengatur pertumbuhan sel dan menjaga mereka tetap sehat.10 Perubahan fibrokistik digunakan untuk berbagai perubahan di payudara perempuan yang berkisar dari Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 130 kelainan tidak berbahaya hingga pola yang berkaitan dengan peningkatan risiko karsinoma payudara. Perubahan fibrokistik dapat dibedakan dari karsinoma dengan pemeriksaan bahan aspirasi jarum-halus atau secara lebih pasti dengan biopsi dan evaluasi histologik.11 Kanker payudara berulang adalah kanker payudara yang datang kembali setelah pengobatan awal. Pengobatan tersebut antara lain: a. Pembedahan Bedah kuratif yang mungkin dilakukan ialah mastektomi radikal dan bedah konservatif merupakan eksisi tumor luas. Terapi kuratif dilakukan jika tumor terbatas pada payudara dan tidak ada infiltrasi ke dinding dada dan kulit mamma atau infiltrasi dari kelenjar limfe ke struktur sekitarnya.1 b. Kemoterapi Adalah pemberian obat untuk membunuh sel-sel kanker, diberikan dalam bentuk infus atau dalam bentuk oral (tablet). Kemoterapi biasanya diberikan dalam bentuk kombinasi agar lebih banyak sel kanker yang dapat dibunuh melalui berbagai jalur yang berbeda. Kombinasi kemoterapi bias berbeda-beda dari satu pasien ke pasien lainnya, tergantung pada kanker payudara yang diderita. c. Radiasi Radiasi adalah pengobatan dengan sinar-X yang berintensitas tinggi dan berfungsi untuk membunuh sel kanker. Radiasi biasanya dilakukan setelah pembedahan, untuk membersihkan sisasisa sel kanker yang masih ada. Radiasi bisa mengurangi risiko kekambuhan hingga 70%. d. Terapi Hormonal Terapi hormon bekerja melawan kanker payudara yang pertumbuhannya dipengaruhi oleh reseptor hormon yang positif atau tumor dengan status ER (estrogen) atau PR (progesteron) positif pada pemeriksaan jaringan patologi anatomi. Terapi hormonal bekerja melalui dua cara yaitu menurunkan jumlah hormon estrogen dalam tubuh dan menghambat kerja estrogen dalam tubuh.2 Meskipun pengobatan awal bertujuan untuk menghilangkan semua sel kanker, namun ada beberapa yang kembali berulang atau kambuh. Salah satu faktor risiko yang menyebabkan kambuhnya kanker payudara yaitu derajat differensiasi dan stadium klinis.12 Ratna Agustina | Peran Derajat Differensiasi Histopatologik Dan Stadium Klinis Pada Rekurensi Kanker Payudara Kanker dapat datang kembali di tempat yang sama seperti kanker yang asli (kekambuhan lokal), atau mungkin menyebar ke area lain. dari tubuh (kekambuhan jauh). Kanker payudara berulang mungkin lebih sulit daripada saat diagnosis awal. Pengobatan dapat menghilangkan kanker payudara berulang lokal, regional atau jauh (metastasis) dan untuk jangka waktu yang lama. Tanda dan gejala kanker payudara berulang bervariasi tergantung di mana kanker datang kembali.13 Kanker payudara yang paling mungkin untuk kambuh dalam dua tahun pertama jika tidak ada perawatan. The Early Breast Cancer Trialists Collaboration Group melakukan meta analisis dari 55 uji klinis pada pasien rekuren kanker payudara ysng melibatkan 37.000 pasien. Hasil ini jelas menunjukkan pengelompokan risiko kekambuhan pada beberapa tahun pertama setelah diagnosis awal kanker payudara dini untuk pasien-pasien yang tidak menerima terapi adjuvant. Insiden kumulatif kematian terkait rekurensi kanker payudara terus meningkat sepanjang 10 tahun pertama setelah diagnosis, dengan sebagian besar dari rekurensi terjadi lebih dari lima tahun setelah diagnosis. Tingkat kekambuhan pada pasien yang tidak menerima terapi hormonal adjuvant hampir 50% pada pasien nodul positif dan 32,4% pada pasien nodul negatif. Tidak seperti kanker yang lainnya, kanker payudara dianggap tidak mengalami kekambuhan jika tidak ditemukannya gejala pada 5 tahun pasca terapi.14 Dalam dekade terakhir, grading secara histologis telah diterima secara luas sebagai indikator kuat dari prognosis kanker payudara. Grading diartikan sebagai penilaian terhadap morfologi sel yang dicurigai sebagai bagian dari jaringan tumor. Penilaian kanker dilakukan oleh ahli patologi anatomi dengan didasarkan pada: Jumlah sel yang mengalami mitosis Kemiripan bentuk sel ganas dengan sel asal. Susunan homogenitas dari sel. Poin utama dari penilaian ini adalah jumlah mitosis dan kemiripannya dengan sel asal. Sel dianggap semakin ganas jika perubahan bentuk yang terjadi semakin tidak terkendali dan tidak mirip dengan sel asalnya sehingga besar kemungkinan terjadinya rekurensi kanker payudara.8 Nomenklatur untuk kanker payudara, menggunakan kriteria WHO yaitu sistem grading Nottingham (juga disebut modifikasi Elston-Ellis dari sistem grading Scarff-BloomRichardson). Skala penilaian ini terlihat pada 3 gambaran sel yang berbeda dan diklasifikasikan masing-masing skor dari 1-3. Klasifikasi tersebut yaitu : Grade I dengan skor 3-5 untuk grade rendah dengan kanker berdiferensiasi baik (well differentiated) dimana sel kanker tidak tumbuh dengan cepat dan tampak tidak menyebar. Grade II dengan skor 6-7 untuk kanker dengan differensiasi moderat (moderately/intermediate differentiated) yang memiliki gambaran antara grade 1 dan 3. Grade III dengan skor 8-9 untuk kanker dengan differensiasi jelek (poorly differentiated or undifferentiated) dimana sel kanker tumbuh dengan cepat dan lebih mungkin untuk menyebar. Manfaat lain dari penentuan derajat differensiasi adalah untuk menentukan jenis terapi yang akan diberikan. Pada derajat differensiasi jelek, di mana pertumbuhan dan penyebaran sel dianggap lebih cepat atau agresif, dibutuhkan terapi tambahan selain definitif, yakni dengan pemberian 15 kemoradiasi. Stadium kanker dinilai berdasarkan klasifikasi sistem TNM yang direkomendasikan oleh UICC (International Union Against Cancer dari World Helath Organization) / AJCC (American Joint Committee On Cancer yang disponsori oleh American Cancer Society dan American College of Surgeons). Klasifikasi TNM Kanker Payudara Berdasarkan AJCC Cancer Staging Manual, 6th Edition tersaji pada tabel 1. Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 131 Ratna Agustina | Peran Derajat Differensiasi Histopatologik Dan Stadium Klinis Pada Rekurensi Kanker Payudara Tabel 1. Klasifikasi TNM Kanker Payudara Berdasarkan AJCC Cancer Staging Manual, 6th Editon Klasifikasi Definisi Tumor Primer (T) Tx T0 Tis Tis (DCIS) Tis (LCIS) Tis (Paget) T1 T1 mic T1a T1b T1c T2 T3 T4 T4a T4b T4c T4d Kelenjar Limfe Regional Nx N0 N1 N2 N3 Metastasis (M) Mx M0 M1 Tumor primer tidak didapatkan Tidak ada bukti adanya tumor primer Karsinoma In Situ Duktal Karsinoma In Situ Lobular Karsinoma In Situ Paget’s disease tanpa adanya tumor Ukuran tumor < 2 cm Mikroinvasif > 0,1 cm Tumor > 0,1 - < 0,5 cm Tumor > 0,5 - < 1cm Tumor > 1 - < 2 cm Tumor > 2 - < 5 cm Tumor > 5 cm Tumor dengan segala ukuran disertai dengan adanya perlekatan pada dinding thoraks atau kulit Melekat pada dinding dada, tidak termasuk M. Pectoralis Major Edema (termasuk peau d’orange) atau ulserasi pada kulit Gabungan antara T4a dan T4b Inflamasi karsinoma Kelenjar limfe regional tidak didapatkan Tidak ada metastasis pada kelenjar limfe Metastasis pada kelenjar aksila ipsilateral, bersifat mobile Metastasis pada kelenjar limfe aksila ipsilateral, tidak dapat digerakkan (fixed) Metastasis pada kelenjar limfe infraklavikular, atau mengenai kelenjar mammae interna, atau kelenjar limfe supraklavikular Metastasis jauh tidak didapatkan Tidak ada bukti adanya metastasis Didapatkan metastasis yang telah mencapai organ Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 132 Ratna Agustina | Peran Derajat Differensiasi Histopatologik Dan Stadium Klinis Pada Rekurensi Kanker Payudara Adapun Stadium Klinis Berdasarkan Klasifikasi TNM Kanker Payudara Berdasarkan AJCC Cancer Staging Manual, 6th Edition tersaji pada tabel 2 berikut. Tabel 2. Stadium Klinis Berdasarkan Klasifikasi TNM Kanker Payudara Berdasarkan AJCC Cancer Staging Manual, 6th Edition.16 Stadium Ukuran Tumor Metastasis Kelenjar Limfe Metastasis Jauh 0 I IIA IIB IIIA IIIB IIIC IV TNM Tis T1 T0 T1 T2 T2 T3 T0 T1 T2 T3 T4 T apapun T apapun Tumor N0 N0 N1 N1 N0 N1 N0 N2 N2 N2 N1,N2 N apapun N3 N apapun Nodus Ringkasan Derajat differensiasi merupakan hasil penilaian mikroskopis sel kanker. Derajat differensiasi sel dianggap semakin ganas jika perubahan bentuk yang terjadi semakin tidak terkendali dan tidak mirip dengan sel asalnya sehingga besar kemungkinan terjadinya rekurensi kanker payudara. Sedangkan pada stadium klinis berdasarkan sistem TNM (tumor, nodul, metastasis), semakin tinggi stadium maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya rekurensi kanker payudara. Simpulan Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa derajat differensiasi dan stadium klinis memiliki peranan pada rekurensi kanker payudara. DAFTAR PUSTAKA 1. Sjamsuhidajat R, De Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi ke 2. Jakarta: EGC; 2005. 2. WHO. Guidelines for management of breast cancer.Egypt: WHO EMRO publications; 2006:11-26. 3. Bansal C, Pujani M, Sharma KL , Srivastava AN, Singh US. Grading systems in the cytological diagnosis of breast cancer : A review.2014; 10(4): 839. 4. U.S. Cancer Statistics Working Group. United States Cancer Statistics: 1999–2011 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M1 Metastasis 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Incidence and Mortality Web-based Report. Atlanta (GA): Department of Health and Human Services, Centers for Disease Control and Prevention, and National Cancer Institute; 2014. American Cancer Society. Cancer Facts & Figures 2013. Atlanta: American Cancer Society; 2013. Desantis C, Ma J, Bryan L, Jemal A. Breast Cancer Statistics 2013. CA Cancer Journal for Clinicians,2014; 64: 52–62. Fang Fan MDP. Cancer Grading Manual. 2007; 75–81. Stankov A, Rocha JEB, Silvio ANS, Ramirez MT, Ninova KS, Garcia AM. Prognostic Factors and Recurrence in Breast Cancer: Experience at the National Cancer Institute of Mexico. International Scholarly Research Network Oncology Journal. 2012; 1-5 Ozsaran Z, Alanyali SD. Staging of Breast Cancer . New York: Springer; 2013: 13–20. Aggarwal BB, Sung B. Inflammation and Cancer. Subash Chandra Gupta; 2014: 5374. Kumar V, Abbas A.K, Fausto N, Mitchell R. Robbins Basic Pathology 8th Edition. Philadelphia: Elsevier; 2007. Jeong Y, Kim SS, Gong G, Lee HJ, Ahn SH, Son BH, et al. Treatment results of breast cancer patients with locoregional recurrence after mastectomy, Radiation Oncology Journal. 2013; 31(3): 138–146. Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 133 Ratna Agustina | Peran Derajat Differensiasi Histopatologik Dan Stadium Klinis Pada Rekurensi Kanker Payudara 13. American Cancer Society. Cancer Facts & Figures 2009. Atlanta: American Cancer Society; 2009. 14. Hoy J, Lieberman G. Recurrence Surveillance in Breast Cancer Survivors. Hardvard : Hardvard Medical School; 2014. Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 134 15. Canadian Cancer Society. Grades of Breast Cancer. Diakses pada tanggal 16 Juni 2015 dari https://www.cancer.ca/en/cancerinformation/cancer-type/breast/grading. 16. Rasjidi I. 100 Question & Answer Kanker Pada Wanita. Jakarta: PT Elex Media Komputindo; 2010 Indriasari Nurul Putri | Pengaruh Paparan Gelombang Eletromagnetik Terhadap Kadar Kolesterol Total dan Trigliserida Serum Pengaruh Paparan Gelombang Elektromagnetik Terhadap Kadar Kolesterol Total dan Trigliserida Serum Indriasari Nurul Putri Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung Abstrak Saat ini dengan kemajuan perkembangan telekomunikasi dan penyediaan jaringan listrik yang sangat pesat berdampak pada gelombang elektromagnetik yang menjadi masalah global. Kekhawatiran tentang dampak kesehatan yang mungkin terjadi akibat penggunaan ponsel tubuh sejalan dengan perkembangan yang terjadi. Teknologi ponsel menggunakan radiasi radio elektromagnetik secara drastis meningkatkan paparan gelombang elektromagnetik dalam kehidupan sehari-hari.Salah satu dampak yang ditimbulkan akibat paparan gelombang elektromagnetik adalah perubahan kadar profil lipid serum khususnya pada kadar kolesterol total dan trigliserid.Perubahan ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu stres baik stres fisik maupun psikis akibat paparan gelombang elektromagnetik atau terjadinya perubahan keseimbangan kadar radikal bebas yang akan menimbulkan stres oksidatif dan mengakibatkan kerusakan hepar. Kata kunci:paparan gelombang elektromagnetik, profil lipid, trigliserid, total kolesterol Effect of Electromagnetic Field Exposure on Total Cholesterol and Triglyceride Levels of Plasma Abstract Nowdays with ectension and progress in telecommunication, application of cellular phones and power transmitted lines, exposing to Electomagnetic Fields (EMF) is a global hazardous problem. Concerns about the possible health effects of mobile phone usage are growing as the number of users has increased tremendously over the past several years. Mobile phone technology uses radiofrequency electromagnetc radiation and has drastically increased the electromagnetic field exposure encountered in daily life. One of the effects caused by exposing to electomagnetic fields is the change in the levels of lipid profiles serum escpecially on total cholesterol and triglyceride levels. This change is caused by several factors, like stress both physical and pychological stress due to electomagnetic field exposure or changes in the balance of free radicals levels that would cause oxidative stress and damage hepar. Keywords: electromagnetic fields exposure, lipid profiles, trigyceride, total cholesterol Korespondensi: Indriasari Nurul Putri, alamat Jl. M.P. Mangkunegara Komplek Villa Kenten Blok C-17 Palembang, HP 085758579945 , e-mail [email protected] Pendahuluan Saat ini, kemajuan perkembangan telekomunikasi dan penyediaan jaringan listrik yang sangat pesat berdampak pada gelombang elektromagnetik yang menjadi masalah global.1 Kekhawatiran tentang dampak kesehatan yang mungkin terjadi akibat penggunaan ponsel tubuh sejalan dengan perkembangan yang terjadi. Teknologi ponsel menggunakan radiasi radio elektromagnetik secara drastis meningkatkan paparan gelombang elektromagnetik dalam kehidupan sehari-hari.2 Salah satu dampak yang ditimbulkan akibat paparan gelombang elektromagnetik adalah perubahan kadar profil lipid serum.3Perubahan ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu stres baik stres fisik maupun psikis akibat paparan gelombang elektromagnetik4 atau terjadinya perubahan keseimbangan kadar radikal bebas yang akan menimbulkan stres oksidatif dan mengakibatkan kerusakan hepar.5 Badan kesehatan dunia (WHO) menyatakan 20% kejadian stroke dan lebih dari serangan jantung disebabkan karena kadar kolesterol yang tinggi.6 Oleh sebab itu, tingginya kadar profil lipid perlu mendapat perhatian serius. Paparan radiasi gelombang elektromagnetik dalam jangka panjang berhubungan dengan peningkatan resiko kardiovaskuler. Hal ini terjadi akibat peningkatan yang signifikan dari kolesterol total dan kadar LDL-C C (Low Density Lipoprotein-Cholesterol).7 Mengingat begitu besarnya penggunaan gelombang elektromagnetik dalam kehidupan sehari-hari terutama yang berasal dari penggunaan ponsel yang sangat erat hubungannya dengan aktivitas, penting untuk membahas, memahami dan memantau Majority |Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015|135 Indriasari Nurul Putri | Pengaruh Paparan Gelombang Eletromagnetik Terhadap Kadar Kolesterol Total dan Trigliserida Serum dampak paparan gelombang elektromagnetik terhadap kesehatan masyarakat khususnya pada perubahan kadar profil lipid serum. Sehingga diharapkan setelah penulisan riview ini bisa meningkatkan kewaspadaan dan dapat meminimalisir paparan gelombang elektromagnetik terhadap diri sendiri maupun orang sekitar. Isi Lipid adalah suatu zat yang kaya akan energi dan merupakan penyumbang energi terbesar dibandingkan dengan zat gizi makro lainnya, yang ditandai dengan sifat tak larut dalam air dan bisa di ekstrak dengan larutan nonpolar.8 Lemak yang beredar dalam tubuh diperoleh dari dua sumber yaitu dari makanan dan hasil produksi organ hati yang biasa disimpan di dalam sel-sel lemak sebagai cadangan energi.9 Fungsi lemak dalam tubuh adalah : (1) bahan bakar metabolisme seluler, (2) merupakan bagian pokok dari membran sel, (3) sebagai mediator atau second messenger aktivitas biologis antar sel, (4) sebagai isolasi dalam menjaga keseimbangan temperatur tubuh dan melindungi organ-organ tubuh, (5) pelarut vitamin A, D, E, dan K agar dapat diseraptubuh.10 Secara ilmu gizi, lemak diklasifikasikan sebagai, (1) lipid sederhana, yang terdiri atas lemak netral (monogliserida, digliserida, trigliserida) dan ester asam lemak dengan alkohol berberat molekul tinggi, (2) lipid majemuk, yang terdiri dari fosfolipid dan lipoprotein, dan (3) lipid turunan, terdiri dari asam lemak dan sterol, yaitu kolesterol, ergosterol.Secara klinis, lemak yang penting dan merupakan lipid utama dalam darah terdiri atas kolesterol, trigliserida, fosfolipid, dan asam lemak bebas.8,9 Kolesterol merupakan lipid amfipatik yang menjadi komponen struktural esensial yang membentuk membran sel dan lapisan luar lipoprotein plasma. Kolesterol sering ditemukan dalam bentuk kombinasi dengan asam lemak seperti ester kolesterol.11 Sekitar 70% kolesterol dalam lipoprotein plasma berbentuk ester kolesterol.4 Kolesterol merupakan komponen struktural esensial yang membentuk membran sel dan lapisan eksterna lipoprotein plasma.12,13 Kolesterol juga merupakan senyawa induk bagi semua steroid lainnya yang disintesis dalam tubuh seperti Majority |Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015|136 hormon korteks adrenal serta hormon seks, vitamin D dan asam empedu.10 Dalam proses pengangkutan balik kolesterol, kolesterol bebas yang sudah dikeluarkan dari jaringan oleh HDL akan diangkut menuju hati untuk dikonversi menjadi asam empedu.10,12 Asam empedu berfungsi meningkatkan pencernaan dan absorbsi lemak. Selain itu, kolesterol juga membuat kulit lebih resisten terhadap absorbsi zat yang larut-air dan berbagai zat kimia, serta membantu mencegah evaporasi air dari kulit. Kolesterol, bersama dengan fosfolipid berfungsi di sel otak untuk proses mengingat.10 Kolesterol dalam tubuh berasal dari dua sumber utama, yaitu dari dalam tubuh sendiri dan dari makanan. Semua jaringan yang mengandung sel berinti sanggup menyintesis kolesterol, khususnya hati, korteks adrenal, kulit, usus, testis dan aorta. Kolesterol eksogen adalah kolesterol yang diabsorbsi dari saluran pencernaan berupa melalui makanan, dengan produk-produk hewani misalnya kuning telur, daging merah dan mentega sebagai sumber utama lipid ini.4,14 Sebagian besar kolesterol tubuh merupakan kolesterol endogen yakni sebersar 1 gr perhari, sedangkan sekitar 0,3 gr perhari didapat dari kolesterol eksogen.15 Trigliserida adalah ester alkohol gliserol dan asam lemak.10 Trigliserida terdiri dari tiga molekul asam lemak teresterifikasi menjadi gliserol. Zat ini adalah lemak netral yang disintesis dari karbohidrat untuk disimpan dalam sel lemak.16 Trigliserida dipakai dalam tubuh terutama untuk menyediakan energi bagi berbagai proses metabolik; suatu fungsi yang hampir sama dengan karbohidrat.4 Lemak disimpan di dalam tubuh dalam bentuk trigliserida. Apabila sel membutuhkan energi, enzim lipase dalam sel lemak akan memecah trigliserida menjadi gliserol dan asam lemak serta melepaskannya ke dalam pembuluh darah. Oleh sel-sel yang membutuhkan komponen-komponen tersebut kemudian dibakar dan menghasilkan energi, karbondioksida (CO2), dan air (H2O).17 Trigliserida ada dalam darah sebagai makromolekul yang membentuk kompleks dengan protein tertentu (apoprotein) sehingga membentuk lipoprotein. Lipoprotein itulah bentuk transportasi yang dipakai untuk mengenali dan mengukurnya.18 Trigliserida merupakan gliserol yang berikatan dengan tiga Indriasari Nurul Putri | Pengaruh Paparan Gelombang Eletromagnetik Terhadap Kadar Kolesterol Total dan Trigliserida Serum asam lemak. Ketiga asam lemak yang berikatan dengan gliserol dapat sama maupun berbeda. Gambar 1. Struktur Kimia Trigliserida10 Lemak yang paling banyak terdapat dalam trigliserida tubuh manusia adalah (1) asam stearat, yang mempunyai rantai karbon 18 dan sangat jenuh dengan atom hidrogen; (2) asam oleat, mempunyai rantai karbon -18 tetapi mempunyai satu ikatan ganda di bagian tengah rantai; dan (3) asam palmitat, mempunyai 16 atom karbon dan sangat jenuh.4 Metabolisme trigliserida dalam tubuh terjadi pada hepar. Jalur metabolisme trigliserida dibagi menjadi 2, yaitu jalur eksogen dan jalur endogen.Pada jalur eksogen, trigliserida yang berasal dari makanan dalam usus dikemas sebagai kilomikron. Kilomikron ini akan diangkut dalam darah melalui ductus totasikus. Dalam jaringan lemak, trigliserida dan kilomikron mengalami hidrolisis oleh liporotein lipase yang terdapat pada permukaan sel endotel. Akibat hidrolisis ini maka akan terbentuk asam lemak dan kilomikron remnan. Asam lemak bebas akan menembus endotel dan masuk ke dalam jaringan lemak atau sel otot untuk diubah menjadi trigliserida kembali atau dioksidasi.19,20Sedangkan pada jalur endogen trigliserida yang disintesis oleh hati diangkut secara endogen dalam bentuk Very Low Density Lipoprotein (VLDL) kaya trigliserida dan mengalami hidrolisis dalam sirkulasi oleh lipoprotein lipase yag juga menghidrolisis kilomikron menjadi partikel lipoprotein yang lebih kecil yaitu Intermediate Density Lipoprotein (IDL) dan Low Density Lipoprotein (LDL). Low Density Lipoprotein merupakan lipoprotein yang mengandung kolesterol paling banyak (60-70%).19 Lipoprotein terbagi menjadi 5 fraksi 20 yaitu : 1. Kilomikron, merupakan lipoprotein dengan berat molekul yang terbesar. Kandungannya sebagian besar trigliserida untuk dibawa ke jaringan lemak dan otot rangka. Kilomikron juga mengandung kolesterol untuk dibawa ke hati. 2. Very Low Density Lipoprotein (VLDL) dibentuk dari asam bebas di hati. VLDL mengandung 60% trigliserida endogen dan 10-15% kolesterol. 3. Intermediet Density Lipoprotein (IDL) juga mengandung trigliserida dan kolesterol. IDL merupakan zat antara yang terjadi sewaktu VLDL dikatabolisme menjadi LDL. 4. Low Density Lipoprotein (LDL) merupakan lipoprotein pengangkut kolesterol terbesar untuk disebarkan ke seluruh endotel jaringan perifer dan pembuluh nadi. LDL merupakan metabolit VLDL yang disebut kolesterol jahat karena efeknya yang aterogenik, yaitu mudah melekat pada dinding sebelah dalam pembuluh darah dan menyebabkan penumpukan lemak yang dapat menyempitkan pembuluh darah. Hal ini disebabkan LDL merupakan lemak jenuh yang tidak mudah larut. 5. High Density Lipoprotein (HDL) merupakan lipoprotein yang mengandung Apo A dan mempunyai efek antiaterogenik kuat sehingga disebut juga kolesterol baik. Fungsi utama HDL yaitu mengangkut kolesterol bebas yang terdapat dalam endotel jaringan perifer, termasuk pembuluh darah ke reseptor HDL di hati untuk dikeluarkan lewat empedu. Dengan demikian, penimbunan kolesterol di perifer berkurang. Jumlah kadar HDL dalam tubuh diharapkan banyak, tetapi pada orang gemuk, perokok berat, penderita diabetes melitus yang tidak terkontrol, pada pemakaian alat KB dan pada orang yang kurang gerak, kadar kolesterol ini jumlahnya sedikit. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kadar profil lipid khususnya kadar kolesterol dan trigliserida. Faktor-faktor tersebut antara lain: 1. Faktor diet. Diet tinggi lemak jenuh dan kolesterol, yang terutama terdapat pada lemak hewani dan minyak tumbuhan tropis seperti minyak kelapa dan minyak sawit, asam-asam lemak ini merangsang sintesis kolesterol dan menghambat perubahannya menjadi garam-garam empedu. Sedangkan kadar trigliserida dapat dipengaruhi oleh diet tinggi karbohidrat.21 Majority |Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015|137 Indriasari Nurul Putri | Pengaruh Paparan Gelombang Eletromagnetik Terhadap Kadar Kolesterol Total dan Trigliserida Serum 2. Faktor genetik. Misalnya pada hiperkolesterolemia familial, hipertrigliseridemia familial, dan disbetalipoproteinemia familial.22 3. Usia, semakin tua seseorang maka terjadi penurunan berbagai fungsi organ tubuh sehingga keseimbangan kadar profil lipid sulit tercapai akibatnya kadar kolesterol cenderung lebih mudah meningkat. 4. Stres mengaktifkan sistem saraf simpatis yang menyebabkan pelepasan epinefrin dan norepinefrin yang akan meningkatkan konsentrasi asam lemak bebas dalam darah. 5. Penyakit hati, menimbulkan kelainan pada kolesterol darah karena hati merupakan tempat degradasi insulin, sehingga bila hati rusak, jumlah insulin akan meningkat dan mengakibatkan penurunan kolesterol darah, karena insulin akan meningkatkan pemakaian glukosa oleh sebagian besar jaringan tubuh, sehingga mengurangi pemakaian lemak. Selain itu hati juga merupakan tempat sintesis kolesterol sehingga penyakit hati dapat menurunkan kadar kolesterol. 6. Hormon-hormon dalam darah.Hormon tiroid tiroid menginduksi peningkatan jumlah reseptor LDL pada sel hati, yang akan meningkatkan kecepatan sekresi kolesterol, sehingga konsentrasi kolesterol plasma akan menurun. Peran hormon tiroid terhadap trigliderida yaitu akan menginduksi peningkatan asam lemak bebas dalam darah, namun menurunkan kadar trigliserida darah. Hormon insulin dapat menurunkan kadar trigliserida darah, karena insulin akan mencegah hidrolisis trigliserida (guyton), sedangkan pengaruh insulin pada kolesterol sudah dibahas pada poin 5. Hormon esterogen menurunkan kolesterol LDL dan meningkatkan kolesterol HDL)23. 7. Kolesterol plasma ditingkatkan oleh obstruksi empedu dan diabetes yang tidak diobati. 8. Serat dari makanan, misalnya kulit gandum (oat bran) dan sekam biji-psilium diketahui menurunkan kadar kolesterol darah, terutama kolesterol LDL, yang mungkin secara fisik memengaruhi penyerapannya di usus. Pengaruh paparan gelombang elektromagnetik terhadap penurunan kadar Majority |Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015|138 profil lipid dapat terjadi melalui stres fisik dan psikis yang ditimbulkan oleh paparan radiasi gelombang elektromagnetik tersebut. Tubuh akan merespon dengan mengeluarkan hormon terutama dari hipotalamus. Respon tersebut terbagi dalam empat fase. Fase pertama adalah fase alarm yang terjadi enam sampai empat puluh delapan jam setelah terjadi perlukaan atau stres. Akan terjadi peningkatan kerja dari kelenjar adrenal akibat disekresikannya ACTH dari hipofisisyang menyebabkan bertambahnya sekresi produk-produknya, termasuksekresi glukokortikoid. Apabila pada fase ini rangsangan tidakdihilangkan maka tubuh akan masuk pada fase kedua, yaitu fase resistance,dimana hormon tubuh berada pada konsentrasi yang tinggi. Apabila stresberlangsung lama maka akan masuk ke fase exhaustion dimana tubuh sudah tidak bisa menahan dari stress tersebut. Secara fisiologis setiap stress fisik dan psikis dapat sangat meningkatkan sekresi ACTH dan akibatnya sekresi hormon glukokortikoid juga akan meningkat.10 Sebagian besar rangsang stres yang meningkatkan sekresi ACTH juga mengaktifkan sistem saraf simpatis, dan sebagian fungsi glukokortikoid dalam darah mungkin adalah untuk mempertahankan reaktivitas vaskular terhadap katekolamin. Glukokortikoid juga penting bagi katekolamin untuk menerapkan efek mobilisasi asam lemak bebas secara penuh.23Peningkatan kadar hormon glukokortikoid mengakibatkan terjadinya penurunan atau penghambatan kadar HMG KoA reductase dan penurunan HMG KoA akan menyebabkan penurunan laju sintesis kolesterol.10 Penurunan sintesiskolesterol juga akan mempengaruhi pengangkutan dan ekskresi kolesterol dan terjadi peningkatan jumlah reseptor LDL di hati.24Peningkatan hormon glukokortikoid juga akan meningkatkan terjadinya glukoneogenesis, yaitu proses pembentukan glukosa dari zat-zat nonkarbohidrat. Selain peningkatan hormon glukokortikoid, juga terjadi peningkatan sekresi hormon epinefrin dan norepinefrin, kedua hormon ini akan meningkatkan laju lipolisis di jaringan adiposa2, selain itu norepinefrin juga meningkatkan penggunaanlipoprotein sirkulasi, sehingga kadarnya yang terdapatdalam plasma akan menurun.10 Setiap stres fisik dan psikologis dalam waktu singkat hanya beberapa menit sudah Indriasari Nurul Putri | Pengaruh Paparan Gelombang Eletromagnetik Terhadap Kadar Kolesterol Total dan Trigliserida Serum dapat meningkatkan sekresi ACTH dan akibatnya sekresi kortisol juga akan meningkat.25 Kortisol diproduksi lebih banyak oleh tubuh pada saat tubuh terpapar stres, baik fisik maupun psikologis. Kortisol dapat memodulasi sistem imun karena semua leukosit mempunyai reseptor untuk kortisol. Dan sekarang sudah banyak yang mengindikasikan hubungan erat antara sistem imun dengan sistem metabolik termasuk dalam metabolisme lipid.26 Mekanisme yang mungkin berperan dalam terjadinya penurunan sintesis kolesterol dan trigliserida adalah perubahan keseimbangan kadar radikal bebas yang akan menyebabkan stres oksidatif dan mengakibatkan kerusakan hepar sehingga perubahan kadar enzim di hepar juga ikut terjadi.5 Perubahan kadar enzim di hepar ini menyebabkan perubahan yang signifikan pada metabolisme lipid, karena hepar merupakan tempat metabolisme utama lipid.10Stres oksidatif terjadi karena meningkatnya reactive oxygen species (ROS) yang akan menimbulkan kerusakan membran sel dan jejas sel sehingga mengakibatkan peningkatan peroksidase 3,27 lipid. Penurunan aktifitas antioksidan dan peningkatan kadar radikal bebas menyebabkan peningkatan Tiobarbituric Acid Reactive Substance (TBARS) dalam hati. Kadar TBARS sendiri digunakan untuk mengukur terjadinya lipid peroksidase, yang merupakan marker stres oksidatif.28Terdapat korelasi positif antara profil lipid dan lipid peroksidase setelah terpapar stresor, yang mengindikasikan bahwa peningkatan lipid peroksidase diasosiasikan pada peningkatan kolesterol total dan LDL.Ini merupakan resiko terbesar dari aterosklerosis dan penyakit lain yang diinduksi lipid peroksidase.29 Meningkatnya endapan asam lemak bebas di hati setelah paparan gelombang elektromagnetik dapat terjadi sebagai akibat dari produksi nitric oxide (NO).3Pada dinding pembuluh darah arteri terdapat sel endotel yang melepaskan NO dan bersifat antara lain mengatur kelenturan pembuluh darah, menjaga kompisisi otot tetap seimbang, dan mencegah pembekuan darah.30 Kemungkinan terakhir yang dapat menjelaskan mekanisme efek paparan gelombang elektromagnetik terhadap metabolisme lemak adalah karena akumulasi reversibel baik trigliserida atau prekursornya di hati.31 Ringkasan Gelombang elektromagnetik yang kita ketahui banyak memberi keuntungan dan memudahkan kita dalam melakukan kegiatan, ternyata memiliki dampak yang tidak dapat diacuhkan. Salah satu dari dampak tersebut adalah perubahan kadar profil lipid serum. Perubahan ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu stres baik stres fisik maupun psikis akibat paparan gelombang elektromagnetik tersebut yang akan memicu sekresi dari hormon-hormon yang dapat mempengruhi kadar profil lipid seperti ACTH,glukokortikoid, hormon epinefrin dan norepinefrin, serta kortisol.Mekanisme lainnya adalah terjadinya perubahan keseimbangan kadar radikal bebas yang akan menimbulkan stres oksidatif dan kerusakan hepar sehingga perubahan kadar enzim di hepar juga akan terjadi. Perubahan inilah yang akan menyebabkan perubahan yang signifikan pada metabolisme lipid, karena hepar merupakan tempat metabolime utama lipid. Simpulan Dapat disimpulkan bahwa terdapat dampak paparan gelombang elektromagnetik terhadap kesehatan masyarakat khususnya pada perubahan kadar profil lipid serum seperti kadar kolesterol total dan trigliserida. Daftar Pustaka 1. Seyednour R, Chekaniazar V. Effects of exposure to cellular phones 950 MHz electromagnetic fields on progesterone, cotrisol and glucose level in female hamsters (Mesocricetus auratus): Asian J. Anim. Vet. Adv. 2011; 6(11):1084-88. 2. Mailankot M, Kunnath AP, Jayalekshmi H, Koduru B, Valsalan R. Radio frequency electromagnetic radiation (RF-EMR) from gsm (0,9/1,8ghz) mobile phones induces oxidative stress and reduces sperm motility in rats. Clinics. 2009; 64(6): 561-5. 3. Torres-duran P, Hermosillo AF, Oropeza MAJ, Vinas DE, Diaz LV. Effect of whole body exposure to extremely low frequency electromagnetic fields (ELFEMF) on serum and lipids levels, in the rat. Lipids in Health and Disease. 2007; 6: 31. Majority |Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015|139 Indriasari Nurul Putri | Pengaruh Paparan Gelombang Eletromagnetik Terhadap Kadar Kolesterol Total dan Trigliserida Serum 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. Guyton AC & Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-12. Singapore: Saunder Elsevier; 2014. Crumpton MJ. Are low-frequency electomagnetic fields a health hazard?. Phi Trans. R. Soc. B. 2005; 360: 1223-30. World Health Organization. Raised cholesterol; 2015. Israel, Michael, Vangelova K,Ivanova M. Cardiovasculer risk under electromgnetic exposure in physiotherapy. Environ. 2007; 27(4): 539-43. Price SA, Wilson, Lorraine M. Patofisiologikonsepklinis proses penyakit. Edisi 6. AlihBahasa: Peter Anugerah. Editor: Caroline Wijaya. Jakarta: EGC; 2005. Sumarno. Biokimiakedokteran II. Surakarta: Universitas Sebelas Maret; 1998. Murray RK, Granner DK, Mayes PA,Rodwell VW. Biokimia harper. Edisi 27. Jakarta: EGC; 2009. Mayes PA, Botham, Kathleen M. Pengangkutandanpenyimpanan lipid.Dalam: Biokimia Harper. Edisi 27..Jakarta: EGC; 2009. Devlin, TM. Textbook of biochemistry: with clinical correlations. Sixth Edition. New York: John Wiley and Sons, Inc; 2006. Harmanto, N. Mengusir kolesterol bersama mahkota dewa. Cetakan pertama. Jakarta: Agromedia Pustaka; 2007. Sherwood, L. Fisiologimanusia: Dari selkesistem. Edisi 8.Jakarta: EGC; 2014 Pfizer. Apa itu kolesterol. 2007. http://www.pedulikolesterol.com. Dorland. Kamuskedokteran Dorland. Edisi 28. Editor Bahasa Indonesia: HuriawatiHartanto, dkk. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2011 Szemerszky R, Zelena D, Barna I, Bárdos G. Stress-related endocrinological and psychopathological effects of short-and long-term 50Hz electromagnetic field exposure in rats. Brain Res Bull. 2010; 8: 92–9. Feychting M, Ahlbom A, Kheifets L. EMF and health. Annu. Rev. Public Health. 2005; 26: 165–89. Suyatna FD, Handoko SK. Farmakologi dan terapi.Edisi ke-4. Jakarta: Gaya Baru; 2005. Majority |Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015|140 20. Dalimartha, Setiawan. Atlas tumbuhan obat Indonesia jilid 4. Jakarta : Puspa Swara; 2007. 21. U.S. Departement of Health and Human Services. Third report of the national cholesterol education program education program (NCEP) expert panel on detection, evaluation and treatment of high blood cholesterol in adult (Adult treatment panel III). NIH Publication. 2001; 1: 3670. 22. Hori T, Harakawa S, Herbas SM, Ueta YY, Inoue N, & Suzuki H. Effect of 50 Hz electric field in diacylglycerol acytransferase mRNA expression level and plasma concentration of triacylglycerol, free fatty acid, phospholipid and total cholesterol. Lipids in Health Disease. 2012; 11: 68. 23. Ganong WF. Fisiologi kedokteran. Edisi22. Jakarta: EGC; 2008. 24. Shi Y, Cheng D. Beyond triglyceride synthesis: the dynamic functional roles of MGAT and DGAT enzymes in energy metabolism. Am. J. Physiol Endocrinol Metab. 2009; 297: E10-E18. 25. Sarookhani MR, Rezaei MA, Safari A, Zaroushani V, Ziaeiha M. The influence of 950 MHz magnetic fields (mobile phone radiation) on sex organ and adrenal function of male rabbits. Afri. J. Biochem Res. 2011; 5: 65-8. 26. Zecca L, Mantegazza C, Margonato V, Cerretelli P, Caniatti M, Piva F. Biological effects of prolonged exposure to ELF electromagnetic fields in rats. Bioelectromagnetics. 2006;19(1): 57-66. 27. Yudomustopo, B. Perubahan nilai peroksida lipid dan glutation peroksidase jantung akibat diet makanan tinggi garam penelitian eksperimental pada model hewancoba tikus Sparaguedawley bunting. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2006. 28. Stranges S, Dorn JM, Donahue RP, Browne RW, Freudenheim JL, Hovey KM. Oxidation, type 2 diabetes, and coronary heart disease: a complex interaction. Diabetes Care. 2008; 31: 1864-66. 29. Nayanatara AK, Nagaraja HS, Ramaswamy C, Bahagyalakshmi K, Ramesh BM, Damodara GK et al. Effect of chronic unpredictable stressors on some selected lipid parameters and biochemical Indriasari Nurul Putri | Pengaruh Paparan Gelombang Eletromagnetik Terhadap Kadar Kolesterol Total dan Trigliserida Serum parameters in Wistar rats. Chinese J Clin Med. 2009; 4(2). 30. Mumpuni SS. Peranan SOD terhadap pencegahan aterosklerosis. Kalbe Medical Portal; 2008. 31. Lofti AR, Shahryar HA. Effect of 900 MHz electromagnetic fields emitted by cellular phone on total cholesterol & triaglyceride levels of plasma in Syrian hamsters (Mesocricetus auratus). J. Applied Biol. Sci. 2009; 3:85-88. Majority |Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015|141 Indriasari Nurul Putri | Pengaruh Paparan Gelombang Eletromagnetik Terhadap Kadar Kolesterol Total dan Trigliserida Serum Majority |Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015|142 Gulbuddin Hikmatyar | Kualitas Mikrobiologi Udara di Ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU) Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Abdul Moeloek Bandarlampung Kualitas Mikrobiologi Udara di Ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU) Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Abdul Moeloek Bandarlampung Soleha TU, Rukmono P, Hikmatyar G Fakultas Kedokteran Universitas Lampung Abstrak Neonatal intensive care unit (NICU) merupakan ruang perawatan neonatal yang harus dijaga kebersihan dan sterilitasnya untuk mencegah infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial dapat disebabkan oleh kualitas udara ruangan yang buruk, karena beberapa cara kuman yang menyebabkan infeksi dapat ditularkan melalui udara. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif analitik yang bertujuan untuk menentukan kualitas mikrobiologis dari ruang udara NICU Rumah Sakit Abdul Moeloek. Hasil penelitian ini menemukan bahwa bakteri Staphylococcus aureus, Streptocossus sp., Neisseria sp., Shigella sp., Pseudomonas sp., Klebsiella, Corynebacterium, Escherichia, S. saprophyticus, S. epidermidis dan untuk jamur ditemukan jenis Rhizopus sp dan Aspergillus sp. kemudian dari perhitungan jumlah normal bakteri menunjukkan bahwa angka kuman ruangan tersebut sebesar 1.162 CFU / m3. Kesimpulannya ada banyak jenis mikroorganisme di ruang NICU. Hasil perhitungan jumlah bakteri menunjukkan normal, tapi masih ada kemungkinan infeksi nosokomial. Kata kunci : bakteri, jamur, infeksi nosokomial, NICU Air Microbiological Quality from Neonatal Intensive Care Unit (NICU) General Hospital of Dr. H. Abdul Moeloek Bandarlampung Abstract Neonatal intensive care unit of a neonatal care space that must be maintained cleanliness and sterility, to protect neonatus from nosocomial infections. Nosocomial infections can be caused by bad air quality, because some of the ways of transmission of germs that cause the infection can be transmitted through the air. This research was conducted by using descriptive method Analytic for the purpose of this study was to determine the microbiological quality of the air space NICU Abdul Moeloek Hospital. The results of this study found that bacterias Staphylococcus aureus, Streptocossus sp., Neisseria sp., Shigella sp., Pseudomonas sp., Klebsiella, Corynebacterium, Escherichia, S. saprophyticus, S. epidermidis. and for fungi showed that Rhizopus sp. and Aspergillus sp. from the calculation of the normal number of bacteria showed that 1,162 CFU / m3. In conclusion there are many different types of microorganisms in the NICU room. The results of the calculation of number of bacteria showed normal, but still there is the possibility of nosocomial infection. Keywords: bacteria, fungi, NICU, nosocomial infections. Korespondensi: Gulbuddin Hikmatyar | [email protected] Pendahuluan Flora mikroba di udara bersifat sementara dan beragam. Udara bukanlah suatu medium tempat mikroorganisme tumbuh, tetapi merupakan pembawa bahan partikulat debu dan tetesan cairan, yang semuanya mengandung mikroorganisme. Mikroorganisme di udara dapat ditemukan pada udara di luar ruangan maupun udara di dalam ruangan, salah satunya ruangan rumah sakit yang bisa menyebabkan terjadinya infeksi nosocomial. Sejumlah faktor intrinsik dan lingkungan mempengaruhi dan distribusi jenis mikroflora di udara. Faktor intrinsik meliputi sifat dan keadaan fisiologis mikroorganisme dan juga keadaan suspensi. Spora relatif lebih banyak daripada sel vegetatif.1 Hal ini terutama karena sifat spora dorman yang memungkinkan mereka untuk mentolerir kondisi yang tidak menguntungkan seperti pengeringan, kurangnya nutrisi yang cukup dan radiasi ultraviolet. Demikian pula spora jamur berlimpah di udara karena spora merupakan alat penyebaran penyebaran jamur.2 Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang terjadi di rumah sakit atau dihasilkan oleh mikroorganisme yang didapat selama dirawat di rumah sakit. Infeksi nosokomial bukan hanya melibatkan pasien tetapi siapa saja yang berhubungan dengan rumah sakit seperti staf, pegawai, relawan, pengunjung, pekerja penjual, maupun petugas pengantar barang. Sebagian besar infeksi nosokomial menampakkan gejala klinis saat masih dirawat tapi ada juga penyakit yang muncul setelah pasien pulang, seperti infeksi luka operasi yang 25 % menampakkan gejala setelah pasien pulang. Pada kasus ini, pasien terinfeksi di Majority | Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015| 143 Gulbuddin Hikmatyar | Kualitas Mikrobiologi Udara di Ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU) Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Abdul Moeloek Bandarlampung rumah sakit tapi waktu inkubasi penyakit lebih lama dari pada waktu rawat pasien.3 Infeksi nosokomial dapat terjadi karena rendahnya kualitas udara dalam ruangan rumah sakit. Sedangkan menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1204/Menkes/SK/X/2004 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit, dalam indeks angka kuman menurut fungsi ruang atau unit (CFU/m3) pada ruang ICU, ruang perawatan bayi dan ruang perawatan prematur sebesar 200 CFU/m3. Artinya, nilai normal dari angka kuman ruangan tersebut harus dibawah 200 CFU/m3 sehingga bisa dikategorikan aman dari mikroorganisme penyebab infeksi. 4 Infeksi nosokomial paling tinggi terjadi pada bangsal anak pada umur <1 tahun. Angka infeksi tertinggi terjadi di NICU (Neonatal Intensive Care Unit) oleh karena resiko infeksi bertambah tinggi misalnya pada bayi berat badan lahir rendah.5 Berdasarkan penjelasan diatas, perlu diteliti tentang identifikasi mikrobiologi udara sehingga bisa diketahui kualitas udara di ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU) RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandarlampung. Metode Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode Total Plate Count (TPC) untuk menghitung jumlah koloni yang tumbuh pada media agar. Sampel diambil pada ruang NICU Rumah Sakit Umum Dr. Abdul Moeloek. Cara pengambilan sampel adalah dengan meletakkan plate yang berisi agar Plate Count Agar (PCA) sebagai media pertumbuhan mikroorganisme dan ditunggu selama 15 menit dan selanjutnya diinkubasi pada inkubator selama 48 jam agar mikroorganisme yang menempel bisa tumbuh. Setelah terjadi pertumbuhan koloni pada media PCA maka dilakukan perhitungan jumlah koloni pada media tersebut dan dilakukan pewarnaan gram pada koloni yang tumbuh. Setelah didapatkan hasil, maka dilakukan penanaman bakteri kembali pada media agar darah untuk bakteri gram positif dan pada media agar Mac Conkey untuk bakteri gram negatif. Sedangkan untuk jamur dilakukan penanaman terpisah pada media Sabouraud Dextrose Agar (SDA). Setalah terjadi pertumbuhan pada masing-masing media maka dilakukan uji biokimia untuk bakteri dan dilakukan pewarnaan untuk jamur. Majority | Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015| 144 Hasil Setelah dilakukan penelitan pada udara ruang Neonatal Intensive Care Unit Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Abdul Moeloek Bandarlampung didapatkan hasil seperti pada tabel berikut. Tabel 1. Hasil Perhitungan Koloni pada Media PCA Titik 1 Nomor Plate 1 2 2 3 4 3 5 6 4 7 8 5 9 10 Jumlah total Jumlah koloni 827 20 776` 63 95 29 11 15 9 39 Rata rata Koloni Tiap Titik 423,5 419,5 124 26 48 1041 Dari tabel diatas maka dilakukan penghitungan angka kuman yang 3 didapatkan hasil 1,162 CFU/m yang artinya masih berada pada batas normal jika dibandingkan dengan indeks angka kuman yang telah ditetapkan oleh Depkes RI untuk ruang perawatan bayi yaitu sebesar 200 CFU/m3. Dari hasil identifikasi dan hasil uji biokimia bakteri dan jamur yang tumbuh berdasarkan yang telah dilakukan maka didapatkan hasil seperti pada tabel berikut: Tabel 2. Hasil Identifikasi Plate No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Mikroorganiseme yang ditemukan Staphylococcus aureus Streptocossus sp. Neisseria sp. Klebsiella Shigella sp. Pseudomonas sp. Corynebacterium Escherichia S. saprophyticus S. epidermidis Rhizopus sp. Aspergillus sp. Dari tabel diatas dapat dilihat hasil bahwa terdapat berbagai jenis mikroorganisme Gulbuddin Hikmatyar | Kualitas Mikrobiologi Udara di Ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU) Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Abdul Moeloek Bandarlampung di udara diruangan tersebut. Hasil identifikasi yang terbanyak adalah bakteri Staphylococcus aureus dan untuk jamur yang terbanyak adalah Rhizopus sp. Pembahasan Pemeriksaan kualitas udara ruang NICU diawali dengan pengambilan sampel dengan menggunakan 10 plate PCA sebagai media pertumbuhan untuk bakteri dan jamur yang terdapat diudara ruangan tersebut. Dari 10 plate yang digunakan sebagai media pertumbuhan menunjukkan hasil positif dan dari perhitungan angka kuman yang telah dilakukan menunjukkan hasil 1,162 CFU/m3 artinya angka yang didapatkan dari perhitungan koloni udara masih jauh dibawah angka maksimal yang telah ditetapkan Depkes yaitu sebanyak 200 CFU/m3 namun hasil ini belum bisa menjadi patokan untuk perhitungan angka kuman pada ruangan karena harus dilakukan perhitungan angka kuman total pada keseluruhan bagian ruangan, bukan hanya pada udara ruangan saja. Dari hasil identifikasi koloni yang tumbuh pada keseluruhan plate didapatkan hasil yaitu Staphylococcus aureus, Streptocossus sp., Neisseria sp., Shigella sp., Pseudomonas sp., Klebsiella, Corynebacterium, Escherichia, S. saprophyticus, S. epidermidis. dan untuk jamur didapatkan hasil yaitu Rhizopus sp. dan Aspergillus sp. Staphylococcus ureus dapat ditemukan di kulit dan di hidung manusia, hidung biasanya dianggap tempat utama berkembangnya kolonisasinya dan ada kalanya dapat menyebabkan infeksi dan sakit parah. Infeksi yang lebih berat diantaranya pneumonia, mastitis, plebitis, meningitis, infeksi saluran kemih, osteomielitis, dan endocarditis. Kontaminasi dari Staphylococcus aureus pada luka terbuka (seperti luka pascabedah) atau infeksi setelah trauma (seperti osteomielitis kronis setelah fraktur terbuka), meningitis setelah fraktur tengkorak, dan bakteri ini merupakan bakteri penyebab utama dari pneumonia nosokomial.6,7 Bakteri selanjutnya yang bisa menyebar melalui udara adalah Strepstococcus sp. bakteri ini terbagi atas berbagai jenis dan memiliki berbagai macam toksin dengan fungsinya masing-masing dalam menginvasi tubuh manusia.Jenis Streptococcus yang paling banyak menginfeksi pada neonatus adalah Streptococcus pneumonia (Pneumokokus) yang menyebabkan peyakit pneumonia pneumokokus yang salah satu cara penularannya adalah melalui inhalasi sehingga bisa menjangkiti yang lain 8. Neiserria sp. ditemukan pada penelitian ini. Jenis Neisseria sp. yang penyebarannya melalui lewat udara adalah Neisseria meningitidis yang banyak ditemukan pada kasus klinis. Bakteri ini bisa menyebabkan terjadinya penyakit meningitis, dan menjadi salah satu penyebab kejadian infeksi meningitis pada neonatus dan anak balita. Bakteri meningokokus ini masuk melalui orofaring, dan kemudian menetap sementara pada bagian tersebut namun tidak menyebabkan adanya gejala, namun terkadang dapat disertai adanya gejala yang mirip seperti infeksi saluran nafas atas. Selanjutnya bakteri tersebut akan masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan bakterimia untuk menyebar keseluruh tubuh.10,11 Bakteri dari genus Psudomonas sp. juga dapat menyebar melalui udara salah satunya adalah Pseudomonas aeruginosa. Bakteri ini termasuk bakteri gram negatif dan berbentuk batang. Pseudomonas aeruginosa banyak terdapat dalam lingkungan yang lembab dan sering dijumpai pada temuan klinis. Bakteri ini akan menyebabkan penyakit pada penjamu dengan daya tahan tubuh yang lemah dan biasanya masuk melalui inhalasi. Penyakit yang dapat disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa diantaranya adalah pneumonia nekrotik jika mengenai paru, dan juga bisa mengakibatkan meningitis setelah beredar ke lapisan otak.9,10 Bakteri dari genus Klebsiella sp. merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang, bakteri ini terdapat di alam dan biasanya terdapat dalam air. Spesies Klebsiella yang banyak ditemukan pada klinis adalah Klebsiella pneumonia, bakteri ini dapat menyebabkan terjadinya pneumonia. Kolonisasi pada orofaring dapat terjadi pada penjamu dengan ketahanan tubuh yang menurun.7 Corynebacterium juga ditemukan pada penelitian ini, salah satu jenis yang sering ditemukan adalah Corynebacterium diphtheria yang umumnya masuk melalui saluran pernafasan bagian atas, dimana organisme berkembang biak pada lapisan superfisial pada selaput lendir dan terjadi penguraian Majority | Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015| 145 Gulbuddin Hikmatyar | Kualitas Mikrobiologi Udara di Ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU) Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Abdul Moeloek Bandarlampung eksotoksin sehingga terjadinya nekrosis pada jaringan sekitar. Apabila terjadinya infeksi laringeal maka sangat berbahaya karena bisa terjadinya sumbatan jalan nafas. Selain itu luka difteria juga bisa ditemukan pada kulit, bagian depan lubang hidung, bagian dalam hidung, mulut, mata, telinga tengah, dan pada kasus yang jarang dapat ditemukan pada vagina.9 Bakteri E. coli merupakan bakteri yang umumnya ditemukan pada sisa metabolisme manusia, namun E. coli bisa menginfeksi melalui inhalasi ketika bakteri tersebut terbawa oleh udara misalnya melalui debu. Infeksi yang disebabkan oleh bakteri tersebut diantaranya adalah pneumonia nosokomial dan juga meningitis pada neonatus.11 Staphylococcus epidermidis juga ditemukan pada penelitian, yang merupakan flora normal pada kulit manusia, saluran pernafasan dan saluran pencernaan makanan. Pada 6,6% dari bayi yang berumur 1 hari telah dapat ditemukan Staphylococcus pada hidungnya, 50% pada umur 2 hari, 62% pada umur 3 hari dan 88,8% pada umur 4 hari. Bakteri ini jug dapat ditemukan pada udara dan dilingkungan sekitar kita. Invasi dari Staphylococcus epidermidis dapat menyebabkan terjadinya infeksi kulit yang kronis pada manusia dan biasanya bersifat ringan dan disertai adanya abses.7 Pada penelitian ini juga ditemukan adanya jamur yang tumbuh pada media agar yaitu Rhizopus sp. dan Aspergillus sp. Jamur-jamur tersebut termasuk mempunyai kemampuan menghasilkan dan menyebarkan spora melalui udara. Umumnya jamur yang tersebar di udara menginfeksi melalui mekanisme yang disebut droplet infection, yaitu suatu proses penyebaran spora melalui butir-butir debu atau melalui residu tetesan air ludah yang kering.12 Rhizopus sp. merupakan jamur yang biasanya tumbuh pada roti, sayuran, buahbuahan, dan produk makanan lainnya. Namun apabila jamur tersebut tersebar di udara dan terhirup melalui saluran pernafasan, secara klinis dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas tipe II dan III seperti asma dan pneumonitis hipersensitivitas.13 Aspergillus sp. yang ditemukan jamur yang penyebarannya melalui tanah ataupun pajanan debu yang terhirup melalui udara pernapasan. Penyakit yang disebabkan oleh jamur ini disebut Aspergillosis yang sering Majority | Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015| 146 menyebabkan infeksi dan kematian pada pasien dengan keganasan darah.14 Dari perhitungan angka kuman yang dilakukan didapatkan hasil yaitu 1,162 CFU/m3 yang artinya masih berada dalam batas normal dari yang ditetapkan oleh Depkes yaitu 200 CFU/m3, namun hasil perhitungan terhadap angka kuman udara ini masih belum bisa dijadikan sebagai acuan untuk mengetahui angka kuman dalam ruangan tersebut karena perlu diteliti dari seluruh bagian sehingga bisa didapatkan angka kuman untuk ruangan tersebut. Hasil perhitungan angka kuman yang rendah tidak menutup kemungkinan akan tetap terjadinya infeksi nosokomial oleh bakteri-bakteri yang ditemukan tersebut. Banyak tidaknya jumlah koloni ditentukan oleh paparan udara dari luar serta kurangnya higienitas tenaga medis dalam melakukan tindakan terhadap pasien di dalam inkubator bayi. Angka kuman di udara juga dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban. Suhu yang tinggi akan menyebabkan kelembaban yang tinggi dan mengakibatkan perkembangan kuman patogen meningkat sehingga memicu terjadinya infeksi.13 Hasil perhitungan angka kuman yang rendah tidak menutup kemungkinan akan tetap terjadinya infeksi nosokomial oleh bakteri-bakteri yang ditemukan tersebut, karena kondisi ketahanan penjamu yang cukup lemah. Simpulan Kualitas udara diruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU) Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek Bandarlampung cukup baik dan terjaga karena angka kuman ruangan tersebut yang rendah, tetapi terdapat berbagai macam mikroorganisme di ruangan tersebut sehingga tetap adanya kemungkinan terjadinya infeksi nosokomial. Daftar Pustaka 1. Budiyanto. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta: Erlangga; 2005. 2. Gutarowska B, Piotrowska M. Methods of mycological analysis in buildings: Building and Environment. 2007; 1843-1850. 3. Depkes. Pedoman Pengendalian Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2001. Gulbuddin Hikmatyar | Kualitas Mikrobiologi Udara di Ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU) Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Abdul Moeloek Bandarlampung 4. 5. 6. 7. 8. 9. Depkes. Persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit Jakarta: Depertemen Kesehatan RI; 2004. Soedarmo, S.Purwo Sumarno dkk., editor Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi ke-2. Jakarta: IDAI; 2008. Kusuma, Sri AF. Staphylococcus aureus Jatinangor: Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran; 2009. Jawetz E., Melnick J.L., Adelberg E.A.. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta : EGC Press; 2007. Hill PC, Cheung YB, Akisanya A, Sankareh K, Lahai G, Greenwood BM et al. Nasopharyngeal carriage of Streptococcus pneumoniae in Gambian infants: a longitudinal study. Clin Infect Dis. 2008; 46:807-814. Bas, Evrim Kiray. Bülbül, A. Cömert, S. Uslu, S. Arslan, S. Nuhoglu, A. Neonatal Infection with Neisseria meningitidis: Analysis of a 97-Year Period Plus Case Study September 2014; 52(9):3478-3482. 10. Mayasari, Evita. Pseudomonas aeruginosa; Karakteristik, Infeksi, dan Penanganan; 2006. 11. Rahajoe, N. Nastiti dkk.. Respirologi Anak. Edisi Pertama, Jakarta: IDAI; 2008. 12. Brooks, G. Mikrobiologi Kedokteran. Dalam: Jawetz, Melnick, & Adleberg’s Medical Microbiology. Edisi ke-23.Jakarta: EGC; 2008. 13. Pelczar, J. Michael, dan Chan. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta: Universitas Indonesia Press; 2008. 14. Kennedy FPC. Apriliana E. Rukmono P. Kualitas Mikrobiologi Air di Unit Perinatologi di Rumah Sakit Umum Abdul Moeloek Bandarlampung. 2011; 61-68. Majority | Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015| 147 Gulbuddin Hikmatyar | Kualitas Mikrobiologi Udara di Ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU) Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Abdul Moeloek Bandarlampung Majority | Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015| 148