Pengaruh Ekstrak Kulit Pisang Kepok Terhadap Hepatosit yang

advertisement
Desti Nurul Qomariyah | Pengaruh Ekstrak Kulit Pisang Kepok Terhadap Hepatosit yang Diinduksi Aspirin
Pengaruh Ekstrak Kulit Pisang Kepok Terhadap Hepatosit yang Diinduksi
Aspirin
Desti Nurul Qomariyah
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
Abstrak
Penyakit kardiovaskuler masih merupakan penyakit yang mematikan di dunia dengan angka kejadian 17,5 juta orang
meninggal. Di Indonesia, penyakit kardiovaskuler ini merupakan penyakit ketiga terbanyak yang didiagnosis. Penyakit yang
mendominasi adalah stroke dengan persentase sebesar 57,9%. Tingginya kasus ini menyebabkan konsumsi aspirin menjadi
semakin tinggi. Fungsi aspirin adalah untuk menurunkan insiden serangan iskemik, transien, angina tak stabil, trombosis
arteri koronaria dengan infark miokard, dan trombosis pascagraft pirau (bypass) arteri koronaria. Selain efek terapi,
konsumsi aspirin yang berlebihan dapat merusak metabolisme hepar dan menimbulkan efek hepatotoksisitas dengan
mengganggu pada bagian metabolisme di dalam tubuh. Tanaman obat dilaporkan lebih aman dibandingkan dengan obat
sintetik. Tanaman yang sedang dikembangkan penelitiannya adalah tanaman pisang. Pisang adalah salah satu komoditas
buah unggulan Indonesia dan merupakan buah terbanyak kedua di dunia. Sekitar 16% dari total jumlah buah dunia
merupakan pisang. Dengan tingginya jumlah pisang menyebabkan limbah pisang saat ini juga semakin meningkat sehingga
dengan memanfaatkan limbah seperti ini tentulah tidak merugikan. Kulit pisang kepok mempunyai kandungan antioksidan
yang tinggi antara lain flavonoid dan fenolik. Kandungan pada kulit pisang inilah yang dapat menjadi hepatoprotektor
terhadap hepar yang diinduksi aspirin dilihat patologi anatomi. [Majority. 2015;4(7);1-5]
Kata kunci: aspirin, hepatoprotektor, kulit pisang kepok.
The Effect of Kepok Banana Peel to Hepatocyte induced by Aspirin
Abstract
Cardiovascular disease is still a deadly disease incidence in the world with 17.5 million people died . In Indonesia,
cardiovascular disease is the third most diagnosed disease. The disease is dominated by stroke with a percentage of 57.9%.
This leads to high rates of consumption aspirin are becoming increased. Aspirin function is to reduce the incidence of
ischemic heart attack , transient , unstable angina , coronary artery thrombosis with myocardial infarction , and thrombosis
pascagraft shunt (bypass) coronary artery. In addition to therapeutic effect , excessive consumption aspirin can damage
the liver metabolism and cause toxic effect on the liver toxicity by interfering with the metabolism in the body . Medicinal
plants reportedly safer than synthetic drugs. Plants are being developed in research is the banana. Bananas are one of the
seeded fruit commodities Indonesia and the second largest fruit in the world. Approximately 16% of the world's total
number of fruit is bananas. With the high amount of lead waste bananas this time also increased so that by utilizing waste
as this is certainly not harmful. Kepok banana peel has a high content of antioxidants including flavonoids and phenolic. The
content on this banana peel which can be hepatoprotective against aspirin induced hepatic seen by anatomic pathology.
[Majority. 2015;4(7);1-5]
Keywords : aspirin , hepatoprotective , kepok banana peel .
Korespondensi: Desti Nurul Qomariyah, alamat Jl. Soemantri Brojonegoro Perumahan Palem Permai III Blok A3 A4, HP
081315108855, e-mail [email protected]
Pendahuluan
Penyakit
kardiovaskuler
masih
merupakan penyebab kematian utama di
dunia. Hal ini dibuktikan dengan angka
kejadian yang mencapai 17,5 juta penduduk
dunia
meninggal
akibat
penyakit
kardiovaskuler pada tahun 2012. Asia Tenggara
merupakan urutan kedua dunia dengan
insidensi penyakit kardiovaskuler terbanyak.1
Di Indonesia, penyakit kardiovaskuler ini
merupakan penyakit ketiga terbanyak yang
didiagnosis. Penyakit yang mendominasi
adalah stroke dengan persentase sebesar
57,9%. Di provinsi Lampung penyakit ini juga
menjadi sorotan utama dengan angka kejadian
tertinggi keenam dan akan terus meningkat
seiring dengan bertambahnya usia.2
Pemerintah
melakukan
berbagai
kebijakan untuk menanggulangi hal ini,
terutama dalam hal pengobatan. Salah satu
obat yang sering digunakan pada penyakit
kardiovaskuler yaitu aspirin. Fungsi aspirin
adalah untuk menurunkan insiden serangan
iskemik, transien, angina tak stabil, trombosis
arteri koronaria dengan infark miokard, dan
trombosis pascagraft pirau (bypass) arteri
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 1
Desti Nurul Qomariyah | Pengaruh Ekstrak Kulit Pisang Kepok Terhadap Hepatosit yang Diinduksi Aspirin
koronaria. Selain efek terapi, aspirin juga
mempunyai efek samping antara lain gangguan
lambung (intoleransi) dan ulkus lambung serta
duodenum, hepatotoksisitas, asma, ruam, dan
toksisitas ginjal yang lebih jarang terjadi.3
Tanaman obat dilaporkan lebih aman
dibandingkan dengan obat sintetik.4 Indonesia
yang beriklim tropis merupakan negara dengan
keanekaragaman hayati terbesar kedua di
dunia setelah Brazil. Indonesia memiliki sekitar
25.000-30.000
spesies
tanaman
yang
merupakan 80% dari jenis tanaman di dunia
dan 90 % dari jenis tanaman di Asia. Hasil
inventarisasi yang dilakukan PT Eisai pada 1986
mendapatkan sekitar tujuh ribu spesies
tanaman di Indonesia digunakan masyarakat
sebagai obat khususnya oleh Pengembangan
Obat Tradisonal Indonesia Menjadi Fitofarmaka
industri jamu dan yang didaftarkan ke Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik
Indonesia berjumlah 283 spesies tanaman.5
Tanaman yang sedang dikembangkan
penelitiannya adalah tanaman pisang.6 Pisang
adalah salah satu komoditas buah unggulan
Indonesia. Luas panen dan produksi pisang
selalu menempati posisi pertama. Pada tahun
2002 produksinya mencapai 4.384.384 ton
dengan nilai ekonomi sebesar Rp 6,5 triliun.
Produksi tersebut sebagian besar dipanen dari
pertanaman kebun rakyat seluas 269.000 ha.
Di samping untuk konsumsi segar beberapa
kultivar pisang di Indonesia juga dimanfaatkan
sebagai bahan baku industri olahan pisang
misalnya industri kripik, sale, dan tepung
pisang. Perkembangan kebun rakyat dan
industri olahan di daerah sentra produksi
dapat memberikan peluang baik secara
langsung maupun tidak langsung terhadap
perluasan
kesempatan
berusaha
dan
kesempatan kerja.7
Salah satu provinsi penghasil pisang
terbanyak di Indonesia adalah Lampung
dengan jumlah terbanyak terdiri dari pisang
kepok.8 Sekitar tahun 2006, total produksi
pisang di Indonesia mencapai 5.037.472 ton
dengan 10,6% berasal dari Provinsi Lampung.9
Sepertiga bagian dari total produksi tersebut
merupakan kulit pisang.10 Pada penelitian
sebelumnya, disebutkan bahwa secara in vitro
kulit pisang memiliki aktivitas antioksidan yang
lebih tinggi dibanding bagian tanaman pisang
lainnya. Aktivitas antioksidan pada kulit pisang
mencapai 94,25% pada konsentrasi 125 µg/ml
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 2
sedangkan pada bagian buah pisang hanya
sekitar 70% pada konsentrasi 50 mg/ml.11
Isi
Pisang merupakan buah terbanyak
kedua di dunia. Sekitar 16% dari total jumlah
buah dunia merupakan pisang.12
Kulit pisang mempunyai kandungan
flavonoid dan fenolik.13 Flavonoid dan fenolik
merupakan antioksidan yang dapat berfungsi
sebagai hepatoprotektor. Kedua antioksidan ini
didapatkan melalui ekstrak dengan etanol, di
mana dengan ekstrak kasar didapatkan
kandungan antioksidan yang tertinggi. 14
Melalui mekanisme penghambatan pada
jalur
metabolisme
asam
arakhidonat,
pembentukan prostaglandian, dan pelepasan
histamin flavonoid berfungsi sebagai anti
inflamasi
atau
memperlambat
proses
peradangan. Cara kerja flavonoid sebagai
hepatoprotektor adalah dengan proses
detoksifikasi dengan jalan meningkatkan
ekspresi enzim Gluthation S-Transferase (GST)
yang merupakan antioksidan endogen pada
hati. Enzim GST berfungsi untuk detoksifikasi
dengan mengubah zat yang kurang polar
menjadi lebih polar melalui pengikatan
senyawa elektron aktif yang tidak berpasangan
pada zat toksik.15
Hati merupakan organ terbesar di
tubuh dengan berat sekitar 1,5 kg atau sekitar
2% berat tubuh orang dewasa. Dengan lobus
kanan yang besar dan lobus kiri yang lebih
kecil, hati merupakan kelenjar terbesar dan
terletak dalam rongga perut di bawah
diafragma.16 Hati adalah organ metabolik yang
sangat penting dalam tubuh, organ ini dilihat
sebagai pabrik biokimia utama.17 Hati
mempunyai beberapa fungsi antara lain dalam
metabolisme karbohidrat, lemak, protein dan
sintesis protein.18
Fungsi hati dalam metabolisme
karbohidrat adalah menyimpan glikogen dalam
jumlah besar, mengonversi galaktosa dan
fruktosa menjadi glukosa, glukoneogenesis,
dan membentuk banyak senyawa kimia yang
penting dari hasil perantara metabolisme
karbohidrat. Fungsi hati dalam metabolisme
lemak adalah dengan menyekresikan garam
empedu yang membantu pencernaan lemak
melalui efek deterjennya (emulsifikasi) dan
mempermudah penyerapan lemak dan ikut
serta dalam pembentukan misel.17 Fungsi hati
Desti Nurul Qomariyah | Pengaruh Ekstrak Kulit Pisang Kepok Terhadap Hepatosit yang Diinduksi Aspirin
dalam metabolisme protein adalah deaminasi
asam amino, pembentukan ureum untuk
mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, dan
interkonversi beragam asam amino dan
membentuk senyawa lain dari asam amino.18
Hati memproduksi banyak protein.
Kebanyakan protein tersebut merupakan
proten fase akut yaitu protein yang diproduksi
dan disekresikan ke dalam plasma apabila
terdapat rangsangan stres. Protein lainnya
yang diproduksi adalah protein yang
mengangkut steroid dan hormon lain dalam
plasma serta faktor-faktor pembekuan. Protein
tersebut antara lain albumin, orosomukoid,
antiprotease ɑ-1, dan lain-lain.19
Hepatosit membentuk suatu lempeng
yang berhubungan seperti batu bata di tembok
dan lempeng sel ini tersusun radial di sekeliling
vena sentral. Dari bagian perifer lobulus ke
pusatnya lempeng hepatosit bercanang dan
beranastomosis secara bebas membentuk
struktur yang menyerupai spons. Celah di
antara lempeng ini mengandung komponen
mikrovaskular penting yaitu sinusoid hati.15
Hepatosit merupakan sel polihedral
besar dengan enam atau lebih permukaan, dan
berdiameter 20-30 μm. Pada sediaan yang
dipulas dengan hematoksilin dan eosin,
sitoplasma hepatosit biasanya bersifat
eosinofilik karena banyaknya mitokondria,
yang berjumlah hingga 2000 per sel. Hepatosit
memiliki inti sferis besar dengan nukleolus. Selsel tersebut sering memiliki dua atau lebih
nukleolus dan sekitar 50% darinya bersifat
polipoid, dengan dua, empat, delapan atau
melebihi jumlah kromosom diploid normal. Inti
polipoid ditandai dengan ukuran yang lebih
besar, yang proporsional dengan sifat
ploidnya.16
Hepatosit secara aktif menyintesis
protein untuk kepentingan metabolisme tubuh.
Oleh karena itu sel ini mempunyai banyak
sekali ribosom, retikulum endoplasma kasar,
dan badan golgi. Karena kebutuhan hepatosit
akan energi yang banyak, tiap-tiap sel
mengandung 2000 mitokondria. Sel-sel yang
terletak di dekat vena sentral mengandung dua
kali lebih banyak mitokondria namun lebih
kecil dibandingkan dengan mitokondria pada
hepatosit di area periportal.20
Permukaan setiap hepatosit berkontak
dengan dinding sinusoid, melalui celah Disse,
dan dengan permukaan hepatosit lain. Di
tempat dua hepatosit berkontak, terbentuk
suatu celah tubular di antara kedua sel ini yang
disebut kanalikulus biliaris. Kanalikuli bagian
pertama sistem duktus biliaris adalah celah
panjang berdiameter 1-2 μm. Kanalikuli hanya
dibatasi membran plasma dari dua hepatosit,
yang menjulurkan sedikit mikrovili di bagian
dalamnya. Membran sel di dekat kanalikuli ini
diikat dengan kuat oleh taut erat. Taut celah
juga terdapat di antara hepatosit, yang
memungkinkan tempat komunikasi antar sel
dan koordinasi aktivitas sel-sel.16
Pada keadaan rusak, pembengkakan
merupakan manifestasi pertama yang ada
hampir pada semua bentuk jejas sel, sebagai
akibat pergeseran air ekstraseluler ke dalam
sel, akibat gangguan pengaturan ion dan
volume karena kehilangan Adenosin Tri
Phospate (ATP).21
Bila air berlanjut tertimbun dalam sel,
vakuol-vakuol kecil jernih tampak dalam
sitoplasma yang diduga merupakan retikulum
endoplasma yang melebar dan menonjol
keluar atau segmen pecahannya. Gambaran
jejas non-letal ini kadang-kadang disebut
degenerasi hidropik atau degenerasi vakuol.
Selanjutnya hepatosit yang membengkak juga
akan tampak edematosa (degenerasi balon)
dengan sitoplasma ireguler bergumpal dan
rongga-rongga jernih yang lebar.22
Aspirin efektif sebagai obat antiinflmasi,
meskipun aspirin mungkin lebih efektif sebagai
analgesik. Aspirin diabsorbsi dan cepat
dihidrolisis (waktu-paruh 15 menit) menjadi
asam asetat dan salisilat oleh esterase dalam
jaringan dan darah. Salisilat akan terikat pada
albumin, tetapi ikatan dan metabolisme
salisilat dapat menjadi jenuh sehingga fraksi
yang tidak terikat meningkat seiring
meningkatnya konsentrasi total. Di luar
kandungan dalam tubuh total sebesar 600 mg,
peningkatan dosis salisilat meningkatkan
konsentrasi salisilat secara tidak proporsional.
Seiring meningkatnya dosis aspirin, waktuparuh eliminasi salisilat meningkat dari 3-5 jam
(untuk dosis 600 mg/hari) menjadi 12-16 jam
(dosis >3,6 gr/hari). Alkalinisasi urin
meningkatkan laju ekskresi salisilat bebas dan
konjugatnya yang larut dalam air.3
Golongan salisilat (termasuk aspirin)
memproduksi efek toksik di hati dengan kadar
plasma aspirin di atas 150 μg/l. Toksisitas ini
biasa terjadi pada pasien dengan abnormalitas
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 3
Desti Nurul Qomariyah | Pengaruh Ekstrak Kulit Pisang Kepok Terhadap Hepatosit yang Diinduksi Aspirin
jaringan ikat. Hanya sekitar 5% dari populasi
golongan kedua yang mempunyai gejala
seperti hepatomegali, nausea, anoreksia, dan
jaundice.23
Pengaruh aspirin dalam penghambatan
proses fosforilasi oksidatif serupa dengan
pengaruh yang ditimbulkan 2,4-dinitrofenol.
Dalam dosis toksik, aspirin bisa menghambat
metabolisme aerob dari beberapa enzim
dehidrogenase di hepar dan jaringan lainnya,
dengan cara berkompetisi dengan koenzim
nukleotida
piridin
dan
penghambatan
beberapa enzim oksidase yang membutuhkan
nukleotida sebagai koenzim, seperti xanthin
oksidase.23
Efek serius lainnya yang dapat
ditimbulkan aspirin di hepar mencakup
pengosongan simpanan glikogen di hepar.
Dosis toksik aspirin mampu mengurangi
metabolisme aerob dari glukosa, meningkatkan
kinerja enzim glukosa-6-fosfatase serta sekresi
glukokortikoid. Penting untuk disimak bahwa
meskipun insiden toksisitas aspirin rendah
pada dosis kuratif, namun efeknya pada dosis
toksik amat berbahaya terhadap hepar.
Terlebih aspirin termasuk golongan obat yang
dapat dibeli tanpa resep dokter.23
Dengan kandungan kulit pisang yang
mempunyai kandungan antioksidan yang
tinggi, maka ekstrak kulit pisang dapat
menghambat kerusakan hepar melalui
penghambatan metabolisme aerob pada
hepar.
Ringkasan
Penggunaan aspirin yang berlebihan
akan mengakibatkan efek hepatotoksik.
Mekanisme ini terjadi melalui 3 tahap, yaitu
menghambat
metabolisme
aerob
dari
beberapa enzim dehidrogenase di hepar dan
jaringan lainnya, dengan cara berkompetisi
dengan koenzim nukleotida piridin, dan
penghambatan beberapa enzim oksidase yang
membutuhkan nukleotida sebagai koenzim
seperti xanthin oksidase. Selain itu melewati
mekanisme pengosongan simpanan glikogen di
hepar, serta mengurangi metabolisme aerob
dari glukosa, meningkatkan kinerja enzim
glukosa-6-fosfatase
serta
sekresi
glukokortikoid.
Kandungan kulit pisang kepok berupa
flavonoid dan fenolik serta antioksidan lainnya
dapat menghambat kerusakan hepar ini
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 4
melalui penghambatan 3 mekanisme tersebut.
Melihat uraian di atas berdasarkan mekanisme
kerja antioksidan pada kulit pisang dan
peranan aspirin dalam membuat kerusakan
pada hepar, maka kulit pisang kepok dapat
berfungsi sebagai hepatoprotektor pada hepar
yang terinduksi aspirin.
Simpulan
Disimpulkan bahwa aspirin memiliki
pengaruh terhadap gambaran histopatologi
hepar berdasarkan percobaan pada hewan
coba. Kulit pisang kepok memiliki efek
antioksidan karena mengandung falvonoid,
fenolik, dan masih banyak zat aktif lain yang
mampu menghambat terjadinya kelainan
metabolisme dan menghambat terjadinya
toksisitas pada hepar. Antioksidan yang
terkandung dalam kulit pisang dapat bereaksi
dan mampu menetralisir efek aspirin pada
hepar, sehingga pemberian ekstrak kulit pisang
dapat berguna sebagai hepatoprotektor.
Daftar Pustaka
1. World Health Organization. Global status
report on noncommunicable diseases.
Switzerland: WHO; 2014.
2. Kementrian Kesehatan Repunlik Indonesia.
Riskesdas. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan; 2010.
3. Furst DE, Ulrich RW. Obat antiinflamasi
nonsteroid: obat antireumatik pemodifikasi
penyakit, analgesik nonopioid, dan obat
yang digunakan pada gout. Dalam: Katzung
BG, editor. Farmakologi Dasar dan Klinik.
Edisi ke-10. Jakarta: EGC; 2012. hlm. 592-4.
4. Javed I, Iqbal Z, Rahman ZU, Khan FH,
Muhammad F, Aslam B, et al. Comparative
antihyperlipidaemic
efficacy
of
trachyspermum ammi in albino rabbits.
Pakistan Vet. 2006; 26(1): 229-36.
5. Prospek dan arah pengembangan agribisnis
pisang [internet]. Jakarta: Kantor Deputi
Menegristek Bidang Pendayagunaan dan
Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi; 2010 [disitasi tanggal 11 Maret
2015].
Tersedia
dari:
http://
www.warintek.ristek.go.id/pertanian/pisan
g.pdf
6. Imam MZ, Akter S, Mazumder EH, Rana S.
Antioxidant activities of different parts of
Musa sapientum L. ssp. sylvestris fruit.
Desti Nurul Qomariyah | Pengaruh Ekstrak Kulit Pisang Kepok Terhadap Hepatosit yang Diinduksi Aspirin
Journal of Applied Pharmaceutical Science.
2011; 1(10): 68-72.
7. Road map pisang pasca panen, pengolahan
dan pemasaran hasil pisang [internet].
Jakarta: Direktorat Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Holtikultura; 2005 [disitasi
tanggal 25 Maret 2015]. Tersedia dari:
http://www.pphp.deptan.go.id/xplore/vie
w.php?file.../Road%20map%20pisang.doc
8. Road map pisang pasca panen, pengolahan
dan pemasaran hasil pisang [internet].
Jakarta: Direktorat Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Holtikultura; 2005 [disitasi
tanggal 25 Maret 2015]. Tersedia dari:
http://www.pphp.deptan.go.id
9. Suprapto HJ, Mulyanti N. Teknologi
budidaya pisang. Bandar Lampung: Balai
Besar Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian; 2008.
10. Nityasa. Pemanfaatan kulit pisang sebagai
bahan baku bioetanol berbasis fermentasi
[internet]. 2013 [disitasi tanggal 20 Maret
2015].
Tersedia
dari:
http://www.hasanah2nur.files.wordpress.c
om/2013/05/new.docx
11. Fatemeh SR, Saifullah R, Abbas FMA, Azhar
ME. Total phenolics, flavonoids and
antioxidant activity of banana pulp and
peel flours: influence of variety and stage
of ripenes. International Food Research
Journal. 2012; 19(3): 1041-6.
12. Food and Agriculture Organization. State of
food and agriculture: livestock in balance.
Roma: Communication Division FAO; 2009.
13. Venkatarangaiah VK, Krishnappa P, Kumar
S, Rajanna S, Haris M, Keriyappa V.
Pharmacological properties of corm
ethanol of Musa paradisiaca L. CV
puttabale. World Journal of Pharmacy and
Pharmaceutical Sciences. 2014; 3(5): 136283.
14. Rahardian MRR, Mulyadi, Nurkhasanah.
Efek hepatoprotektor ekstrak etanol
kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa
L.) pada tikus sprague dawley yang
diinduksi
7,12-dimetilbenz(α)antrasen:
kajian GOT, SGPT, ALP dan gambaran
histopatologi hepar [penelitian tidak
terpublikasi].
Yogyakarta:
Universitas
Ahmad Dahlan; 2010.
15. Mahardikasari LW. Uji toksisitas akut
ekstrak batang pisang ambon (Musa
paradisiaca var. Sapientum) terhadap
mencit (Mus musculus) dengan parameter
LD50. Surabaya: Universitas Airlangga;
2013.
16. Mescher AL. Junqueira’s Basic Histology
Text and Atlas. Edisi ke-12. United States:
Lange; 2007. hlm. 363-72
17. Sherwood L. Anatomi dan fisiologi manusia
dari sel ke sistem. Edisi ke-6. Jakarta: EGC;
2012.
18. Guyton AC, Hall JE. Buku ajar fisiologi
kedokteran. Edisi ke-11. Jakarta: EGC
penerbit buku kedokteran; 2008.
19. Ganong WF. Review of Medical Physiology.
Edisi ke-22. New York: The McGraw-Hill
Companies; 2008.
20. Gartner PL, Hiatt JL. Color Textbook of
Histology. Edisi ke-2. China: Elsevier
Saunders; 2007.
21. Chandrasoma, Taylor. Ringkasan patologi
anatomi. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2005.
22. Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Buku ajar
patologi. Edisi ke-7. Jakarta: EGC; 2007.
23. Irvanda R. Pengaruh pemberian aspirin
berbagai dosis per oral terhadap gambaran
histopatologi hepar. Semarang: Universitas
Diponegoro; 2007.
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 5
Desti Nurul Qomariyah | Pengaruh Ekstrak Kulit Pisang Kepok Terhadap Hepatosit yang Diinduksi Aspirin
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 6
Rembulan Ayu NP| Indeks RDW DAN Mentzer sebagai uji skrining diagnosis Thalassemia
Indeks RDW dan Mentzer sebagai Uji Skrining Diagnosis Thalassemia
Rembulan Ayu NP
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
Abstrak
Thalassemia merupakan penyakit keturunan yang disebabkan oleh adanya mutasi gen globin alpha (α) atau beta (β), yang
kemudian menimbulkan kelainan sintesis hemoglobin (Hb). Secara klinis Thalassemia sulit dibedakan dengan anemia kronik
akibat defisiensi besi. Banyak metode pemeriksaan skrinning awal yang tinggi dalam membedakan Thalassemia dengan
anemia defisiensi besi. Indeks Mentzer dan RDW adalah uji yang banyak digunakan oleh para klinisi dalam skrinning awal
membedakan Thalassemia dengan anemia defisiensi besi. Ketepatan diagnosis yang tinggi dalam membedakan
Thalassemia dengan anemia defisiensi besi adalah indeks RDW (88.14%), dan diikuti oleh indeks Mentzer (86,85%).
Kata kunci: anemia, indeks RDW, indeks mentzer, thalesemia.
RDW and Mentzer Indexs as A Test Screening Diagnosis Thalassemia
Abstract
Thalassemia is a hereditary disease caused by mutations in the alpha globin gene (α) or beta (β), which then lead to
abnormal synthesis of hemoglobin (Hb). Clinically, Thalassemia is difficult to distinguish from chronic anemia due to iron
deficiency. Many methods of high initial examination screening to differentiatiating Thalassemia with iron deficiency
anemia. Mentzer index and RDW is a test that is widely used by clinicians to differentiating early screening of Thalassemia
with iron deficiency anemia. High diagnostic accuracy in distinguishing Thalassemia with iron deficiency anemia was RDW
index (88.14%), and followed by Mentzer index (86.85%).
Keywords: anemia, mentzer index, RDW index, thalesemia.
Korespondensi: Rembulan Ayu NP, alamat : Perumahan Jaya Pura Indah Blok F3 , Kedaton, Bandarlampung, Hp :
082178277469, email [email protected]
Pendahuluan
Thalassemia merupakan penyakit
keturunan yang disebabkan oleh adanya
mutasi gen globin alpha (α) atau beta (β), yang
kemudian menimbulkan kelainan sintesis
hemoglobin (Hb). Akibat dari kelainan sintesis,
Hb lebih mudah menjadi lisis dan
menyebabkan penderita mengalami anemia.
Thalassemia terdiri dari beberapa tipe dimana
terdapat manifestasi klinis yang bervariasi dari
yang tidak bergejala langsung sampai yang bisa
menyebabkan kematian.1,2
Thalassemia
dahulu
merupakan
penyakit yang terjadi di daerah tropis dan
subtropis, namun saat ini akibat adanya migrasi
maka Thalassemia telah tersebar luas di
seluruh
dunia.
Thalassemia
dan
hemoglobinopati merupakan penyakit kelainan
gen tunggal (single gene disorders) terbanyak
jenis dan frekuensinya di dunia. Penyebaran
penyakit ini mulai dari Mediterania, Timur
Tengah, Anak Benua (sub-continent) India dan
Burma, serta di daerah sepanjang garis antara
Cina bagian selatan, Thailand, semenanjung
Malaysia, kepulauan Pasifik dan Indonesia.3,4
Berdasarkan buletin yang dikeluarkan
oleh World Health Organization (WHO) pada
tahun 2008, gangguan Hb (sickle cell anemia
dan Thalassemia) menjadi endemik pada 60%
dari 229 negara dan berpotensi memberi efek
pada 75% kelahiran. WHO mengestimasi
terdapat sekitar 5,2% populasi dunia (6,6% di
Asia Tenggara) membawa varian yang
signifikan (Thalassemia HbS, HbC, HbE, HbD,
αo dan β) dimana 40% nya adalah pembawa
HbS. Sekurang-kurangnya terdapat 20% (44,6%
di Asia Tenggara) dari populasi membawa
Thalassemia α+ sedangkan 24% nya (45,5% di
Asia Tenggara) adalah karier untuk varian yang
lain.2
Di Indonesia, Thalassemia merupakan
kelainan genetik yang paling banyak
ditemukan. Angka pembawa sifat Thalassemia
sebanyak 3 – 5%, bahkan di beberapa daerah
mencapai 10%, sedangkan angka pembawa
sifat HbE berkisar antara 1,5 – 36%.
Berdasarkan hasil penelitian di atas dan
dengan memperhitungkan angka kelahiran dan
jumlah penduduk Indonesia, diperkirakan
jumlah pasien Thalassemia baru yang lahir
setiap tahun di Indonesia cukup tinggi, yakni
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015| 7
Rembulan Ayu NP|Indeks RDW dan Mentzer Sebagai Uji Skrining Diagnosis Thalassemia
sekitar 2.500 anak.4 Di Indonesia banyak
dijumpai Thalassemia karena adanya migrasi
penduduk dan percampuran penduduk dari
Cina Selatan dengan fenotip Mongoloid yang
kuat. Keseluruhan populasi ini tersebar di
Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Nias, Flores,
Sumba, dan Sumatera.5
Secara
klinis
Thalassemia
sulit
dibedakan dengan anemia kronik akibat
defisiensi besi. Banyak metode pemeriksaan
skrining awal yang tinggi dalam membedakan
Thalassemia dengan anemia defisiensi besi.
Salah satu metode yang banyak digunakan
adalah indeks RDW dan indeks Mentzer.5
Isi
Thalassemia
adalah
sekelompok
heterogen anemia hipokromik herediter
dengan berbagai derajat keparahan. Defek
(cacat) genetik yang mendasari meliputi delesi
(hilangnya materi genetik dari kromosom) total
atau parsial gen rantai globin dan substitusi,
delesi, atau insersi nukleotida. Akibat dari
perubahan ini adalah penurunan atau tidak
adanya mRNA bagi satu atau lebih rantai
globulin atau pembentukan mRNA yang cacat
secara fungsional.6 Menyebabkan penurunan
atau supresi total sintesis rantai polipeptida
Hb. Kira-kira 100 mutasi yang berbeda telah
ditemukan
mengakibatkan
fenotipe
Thalassemia, banyak diantara mutasi ini adalah
unik untuk daerah geografi setempat. Pada
umumnya rantai globin yang disintesis dalam
eritrosit Thalassemia secara struktural adalah
normal. Pada bentuk Thalassemia-α yang
berat, terbentuk hemoglobin homotetrameter
abnormal (β4 atau γ4), tetapi komponen
polipeptida globin mempunyai struktur normal.
Sebaliknya sejumlah Hb abnormal juga
menyebabkan perubahan hematologi mirip
Thalassemia.7
Penyakit ini diturunkan mengikuti
kaidah Mendel dan merupakan kelainan mutasi
gen tunggal (single gen mutation) terbanyak di
dunia. Menurut defek yang terjadi, ditemukan
beberapa jenis Thalassemia, namun tipe yang
paling sering dengan tanda klinis yang
umumnya berat adalah Thalassemia β
(kelainan pada rantai β) dan Thalassemia α
(kelainan pada rantai α).4
Thalassemia β adalah hasil lebih dari
150 mutasi dari rantai globin β, baik berupa
hilangnya rantai β (Thalassemia β0) atau
berkurangnya rantai β (Thalassemia β+).
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015| 8
Keadaan ini menyebabkan ketidakseimbangan
sintesis rantai globin yang mengakibatkan
berlebihnya rantai α sehingga terjadi
presipitasi prekursor eritrosit yang pada
gilirannya menyebabkan kerusakan sel darah
merah di sumsum tulang dan perifer.
Keseluruhan proses tersebut mengakibatkan
terjadinya anemia yang parah, yang
selanjutnya akan menyebabkan peningkatan
produksi eritropoetin dan ekspansi sumsum
tulang yang tidak efektif, deformitas tulang,
pembesaran limpa dan hati, serta hambatan
pertumbuhan.4
Thalassemia
β
mayor
adalah
Thalassemia dengan gejala klinis yang paling
berat. Bentuk yang lebih ringan, dimana gejala
klinis baru muncul pada usia yang lebih tua dan
pasien tidak memerlukan transfusi atau jarang
memerlukan transfusi disebut Thalassemia
intermedia.
Sementara
individu
yang
merupakan karier disebut Thalassemia minor,
dimana pasien tidak menunjukkan gejala klinis
dan kelainan baru diketahui melalui
pemeriksaan hematologi berupa anemia
hipokrom mikrositer dan peningkatan kadar Hb
A2. 4
Thalassemia α adalah terjadi kelainan
pada rantai α yang juga terdapatnya Hb F (fetal
haemoglobin) dan Hb A (adult haemoglobin),
maka penyakit ini dapat terjadi pada masa
janin dan usia dewasa. Lebih lanjut, kelebihan
rantai γ dan β tidak langsung mengalami
presipitasi di sumsum tulang seperti rantai α,
namun memproduksi tetramer yang tidak
stabil γ4 (Hb Bart’s) dan β4 (Hb H). Komponen
genetik Thalassemia α lebih kompleks dari
Thalassemia, dimana komposisinya bisa berupa
αα/αα, -/αα (hilangnya kedua α gen pada
kromosom, disebut Thalassemia α0), - α/αα
(hilangnya salah satu gen α, disebut
Thalassemia α+). Biasanya hilangnya gen α ini
terjadi karena delesi, walaupun dapat juga
akibat mutasi seperti pada Thalassemia β.8
Bentuk homozigot dari Thalassemia α°
menyebabkan kematian intrauterin dimana
janin mengalami anemia yang hebat dan
hidropik, sering disebut dengan sindroma
hidrop fetal hemoglobin Bart. Ibu hamil dengan
bayi sindroma hidrop fetal biasanya mengalami
toksemia
gravidarum
dan
perdarahan
postpartum. Sementara bentuk heterozigot
Thalassemia α (α0 Thalassemia dan α+)
menunjukkan gejala yang lebih ringan berupa
anemia dan splenomegali. Bentuk terakhir (--/-
Rembulan Ayu NP| Indeks RDW DAN Mentzer sebagai uji skrining diagnosis Thalassemia
α) disebut juga dengan penyakit Hb H. Karier
Thalassemia α° (–/αα ) dan homozigot
Thalassemia α (-α /- α) memiliki gambaran
klinis anemia hipokrom ringan. Sementara
karier Thalassemia α+ tidak menunjukkan
kelainan haematologis.9
Diagnosis Thalassemia biasanya dapat
di ketahui melalui anamnesis (pucat yang lama,
terlihat kuning, mudah infeksi, perut
membesar
akibat
hepatosplenomegali,
pertumbuhan terhambat/pubertas terlambat,
riwayat tranfusi berulang (jika pernah tranfusi
sebelumnya), riwayat keluarga yang menderita
Thalassemia).10
Pemeriksaan
fisik
(anemia/pucat, ikterus, hepar dan limpa
membesar, tulang-tulang wajah menonjol dan
pipih (facies cooley), gizi kurang/buruk,
perawakan pendek, hiperpigmentasi kulit,
pubertas terlambat).10
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan
laboratorium
untuk
menegakkan diagnosis Thalassemia meliputi
pemeriksaan darah tepi lengkap (CBC),
khususnya Hb, nilai eritrosit rerata seperti
MCV, MCH, MCHC, dan RDW. Selain itu perlu
dievaluasi sediaan apus darah tepi, badan
inklusi HbH dan analisis hemoglobin yang
meliputi pemeriksaan elektroforesis Hb, kadar
HbA2, HbF. Selain itu diperlukan pemeriksaan
cadangan besi tubuh berupa pemeriksaan
feritin atau serum iron (SI) / total iron binding
capacity (TIBC).11
Berikut kriteria anemia berdasarkan
WHO, tahun 1968:
1. Laki-laki dewasa Hb < 13 g/dl.
2. Perempuan dewasa tidak hamil Hb < 12 g/dl.
3. Perempuan dewasa hamil Hb < 11 g/dl.
4. Anak 6 bulan – 6 tahun Hb < 11 g/dl.
5. Anak 6 tahun – 14 tahun Hb < 11 g/dl.
Pemeriksaan indeks eritrosit adalah
pemeriksaan untuk melihat kualitas eritrosit
(ukuran dan kandungan Hb didalam eritrosit),
bila dikaitkan dengan morfologi darah tepi
dapat di gunakan untuk membedakan jenis
anemia.
Mean Corpuscular Volume (MCV)
adalah Volume Eritrosit Rata-Rata (VER) yaitu
volume rata-rata sebuah eritrosit disebut
dengan femoliter. MCV dapat menunjukan
apakah eritrosit normositik (80-95fl), mikrositik
(<80 fl) atau makrositik (>95). Mean
Corpuscular Hemoglobin (MCH) adalah
Hemoglobin Eritrosit Rata-Rata (HER), yaitu
banyaknya hemoglobin per eritrosit disebut
dengan pilogram, MCH dapat menunjukan
apakah eritrositnya normokrom (27-34 pg),
hipokrom (<27 pg) atau hiperkromik (>34 pg).
Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration
(MCHC) adalah Konsentrasi Hemoglobin
Eritrosit Rata-Rata (KHER), yaitu kadar
hemoglobin yang didapat per eritrosit,
dinyatakan dengan persen (%) meskipun nilai
KHER biasanya disebut dengan %, satuan yang
lebih tepat adalah “gram hemoglobin per dl
eritrosit”.12
Nilai eritrosit rata-rata diperhitungkan
dari
hasil
penetapan
jumlah,
kadar
hemoglobin, dan nilai hematokrit. dengan
menggunakan rumus-rumus, dalam rumusrumus tersebut:
Ht
= nilai hematokrit disebut dengan %.
Hb = nilai hemoglobin di sebut dengan
gram/dl.
E
= jumlah eritrosit disebut dengan
juta/mikroliter.
VER = 10 x Ht : E femtoliter (fl).
HER = 10 x Hb : E pikogram (pg).
KHER = 100 x Hb : Ht persent (%).
Sedangkan pada nilai RDW (rasio lebar
kurva distribusi) terjadi peningkatan 20-40 %
pada penderita Thalassemia heterozigot. Pada
pemeriksaan apus darah tepi dapat memberi
bantuan dan bahkan kadang-kadang informasi
diagnosis pasti dalam mengkaji anemia
(mikrositer,
hipokrom,
anisositosis,
poikilositosis, sel eritrosit muda/normoblas,
fragmentosit,sel target), dalam menentukan
ukuran RBC.12
Pada analisa hemoglobin pemeriksaan
elektrforesis hemoglobin yang berguna untuk
mengidentifikasi lebih dari 150 jenis
hemoglobin normal dan abnormal. Pada
Thalassemia β heterozigot terjadi penurunan
produksi rantai globulin β, menyebabkan
penurunan produksi hemoglobin A dan
peningkatan kompensasi produksi rantai globin
δ, sehingga terjadi peningkatan Hb A2 (3-6 %).
Pada Hb F juga terjadi peningkatan kompensasi
produksi rantai globulin γ, yang mengakibatkan
peningkatan Hb F (2-8 %, pada 50%
penderita).13
Berdasarkan pedoman pelayanan
medis Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)
pada pemeriksaan penunjang Thalassemia,
yaitu pemeriksaan laboratorium hematologi.
Pada pemeriksaan darah tepi lengkap: 10
1. Hemoglobin menurun.
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015| 9
Rembulan Ayu NP|Indeks RDW dan Mentzer Sebagai Uji Skrining Diagnosis Thalassemia
2. Sediaan apus darah tepi (mikrositer,
hipokrom, anisositosis, poikilositosis, sel
eritrosit muda/normoblas, fragmentosit,sel
target).
3. Indeks erirosit: MCV, MCH, dan MCHC
menurun,
RDW
meningkat.
Bila
menggunakan cell counter, dilakukan uji
resistensi osmotik I tabung (fragilitas).
Konfirmasi dengan analisis hemoglobin
menggunakan: 10
1. Elektroforesis
hemoglobin:
tidak
ditemukannya HbA dan meningkatnya HbA2
dan Hb F.
2. Jenis Hb kualitatif → menggunakan
elektrforesis cellulose acetate.
3. Hb A2 kuantitatif → menggunakan metode
mikrokolom.
4. Hb F → menggunakan akali denaturasi
modifikasi betke.
5. Hb H badan inklusi → menggunakan
pewarnaan supravital (retikulosit).
6. Metode HPLC (Beta short variant biorad):
analisis kualitatif dan kuantitatif.
Di beberapa daerah endemik, perlu
dilakukan screening test (uji saring) untuk
mendiagnosis anemia hipokrom mikrositik
sebagai gangguan Thalassemia minor dengan
anemia defisiensi besi. Dimana pada
pemeriksaan darah lengkap yang terdiri dari:
hemoglobin rendah; MCV, MCH, dan MCHC
rendah. RDW yang lebar dan MCV yang rendah
merupakan salah satu skrining defisiensi besi.
1. Nilai RDW tinggi lebih dari 14,5% pada
defisiensi besi, bila RDW normal (kurang
13%) pada Thalassemia trait
2. Rasio Mentzer index (MCV/RBC) kurang 13
dan bila RDW index (MCV/RBCxRDW)
kurang dari 220, merupakan tanda
Thalassemia trait, sedangakn jika kurang
dari 220 merupakan tanda anemia
defisiensi besi.10
Indeks Mentzer adalah metode yang
digunakan untuk membedakan penyakit
Thalassemia minor dengan anemia defisiensi
zat besi, yang ditemukan oleh Mentzer di
tahun 1973.
Indeks ini dihitung dari hasil hitung
darah lengkap (complete blood count /CBC).
Jika MCV (dalam FL) dibagi dengan RBC (dalam
juta per mikroliter) kurang dari 13, maka
dinyatakan sebagai talasemia minor. Tapi jika
hasilnya lebih besar dari 13, maka dinyatakan
sebagai anemia defisiensi besi.14
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015| 10
Indeks RDW
Indeks RDW atau RCDW merupakan
indeks yang dapat menunjukan variabilitas
bentuk eritrosit, yang juga manifestasi awal
terjadinya defisiensi besi. RDW meningkat
lebih dari 90% pada individu dengan defisiensi
zat besi, tetapi hanya 50% pada pasien
Thalassemia minor.14 Indeks RDW (MCV dibagi
RBC dikali RDW) dengan hasil lebih dari 220
merupakan indikasi untuk anemia defisiensi
besi dan bila indeks kurang dari 220
merupakan indikasi untuk Thalassemia
minor.14
Menurut penelitian yang dilakukan
oleh Niazi M. dkk. pada tahun 2010 pada
pasien dengan anemia defisiensi besi di
Pakistan, mengenai sensitifitas dan spesifitas
tujuh metode skrining untuk membedakan
Thalassemia trait dengan anemia defisiensi
besi, yaitu RDWI, Mentzer, Green & Kings,
Srivastava, Ricerca, England Fraser, dan Shine
Lal. Dari tujuh metode yang diuji tersebut, yang
memiliki ketepatan diagnosis yang tinggi dalam
membedakan Thalassemia dengan anemia
defisiensi besi adalah indeks RDW (88.14%),
dan diikuti oleh indeks Mentzer (86,85%).15
Indeks Mentzer dan RDW inilah yang
banyak digunakan oleh para klinisi dalam
skrinning awal membedakan Thalassemia
dengan anemia defisiensi besi. Indeks Mentzer
didapat dari hasil hitung darah lengkap
(Complete Blood Count/ CBC). Jika Indeks
Mentzer (MCV/ RBC) <13 maka diindikasikan
sebagai Thalassemia minor, tetapi jika hasilnya
≥13 maka diindikasikan sebagai anemia
defisiensi besi. Begitu juga dengan Indeks RDW
(MCV/ RBC x RDW), bila hasilnya ≥ 220
merupakan indikasi untuk anemia defisiensi
besi dan bila hasilnya < 220 merupakan indikasi
untuk Thalassemia minor/ trait.14
Hasil yang berbeda didapatkan oleh
Vehapoglu. Ia meneliti 290 anak dengan
Thalassemia
dan
anemia.
Peneliti
mendapatkan Indeks Mentzer adalah uji
screening yang paling tinggi dengan nilai
sensitivitasnya (98.7%) dan spesifisitasnya
(82.3%) jika dibandingkan uji saring lainnya.
Dalam sebuah penelitian 2010, Ferrara et al.
menunjukkan bahwa indeks RDW memiliki
sensitivitas tertinggi (78,9%), bahwa indeks
Inggris dan Fraser memiliki spesifisitas tertinggi
dan indeks Youden tertinggi (99,1 dan 64,2%,
resp.), dan bahwa Green dan Raja indeks
memiliki efisiensi tertinggi (80,2% ) di 458
Rembulan Ayu NP| Indeks RDW DAN Mentzer sebagai uji skrining diagnosis Thalassemia
anak-anak dengan anemia mikrositik ringan
berusia 1,8-7,5 tahun.16
AlFadhli et al. membandingkan
sembilan fungsi diskriminan pada pasien
dengan anemia mikrositik dan validitas diukur
dengan menggunakan indeks Youden. Indeks
Youden ini dianggap memiliki validitas
terhadapa sensitivitas dan spesifisitas dan
memberikan ukuran yang tepat untuk
menjawab pertanyaan atau membandingkan
teknik tertentu. Mereka menunjukkan bahwa
indeks Inggris dan Fraser memiliki nilai indeks
tertinggi Youden (98,2%) untuk membedakan
β-TT dan IDA, sedangkan indeks Shine dan Lal
tidak efektif untuk membedakan anemia
mikrositik.17
Pada tahun 2009, Ehsani et al.
menunjukkan bahwa indeks skrining terbaik
menurut kriteria Youden adalah indeks
Mentzer (90,1%), diikuti oleh Indeks RDW
(85,5%). Dalam studi mereka, indeks Mentzer
mampu benar mendiagnosa 94,7% dan 92,9%
dari kasus.18 Rahim dan Keikhaei meneliti
akurasi diagnostik dari 10 indeks di 153 pasien
dengan β-TT dan 170 pasien dengan IDA.
Menurut indeks Youden ini, Shine dan indeks
Lal dan RBC count menunjukkan nilai
diagnostik terbesar pada pasien <10 tahun
(89% dan 82%, responden).
Mereka
menemukan bahwa indeks Mentzer memiliki
sensitivitas 85% dan spesifisitas 93%, dan
79%.19
Ringkasan
Thalassemia merupakan penyakit
keturunan yang disebabkan oleh adanya
mutasi gen globin alpha (α) atau beta (β), yang
kemudian menimbulkan kelainan sintesis
hemoglobin (Hb). Pemeriksaan laboratorium
untuk menegakkan diagnosis Thalassemia
meliputi pemeriksaan darah tepi lengkap (CBC),
khususnya Hb, nilai eritrosit rerata seperti
MCV, MCH, MCHC, dan RDW. Selain itu perlu
dievaluasi sediaan apus darah tepi, badan
inklusi HbH dan analisis hemoglobin yang
meliputi pemeriksaan elektroforesis Hb, kadar
HbA2 dan HbF. Selain itu diperlukan
pemeriksaan cadangan besi tubuh berupa
pemeriksaan feritin atau serum iron (SI) / total
iron binding capacity (TIBC). Indeks Mentzer
dan RDW inilah yang banyak digunakan oleh
para klinisi dalam skrinning awal membedakan
Thalassemia dengan anemia defisiensi besi.
Simpulan
Indeks Mentzer dan RDW adalah uji
skrining terbaik yang dapat digunakan
menegakkan diagnosis Thalassemia. Ketepatan
diagnosis yang tinggi dalam membedakan
Thalassemia dengan anemia defisiensi besi
adalah indeks RDW (88.14%), dan diikuti oleh
indeks Mentzer (86,85%).
Daftar pustaka
1. Model B, Darllison M. Global Epidemiology
of Haemoglobin Disorders and Derived
Service Indicators. Buletin World Health
Organization; 2013.
2. Zuriana
N.
Karakteristik
Pasien
Thalassemia Di RSUP H Adam Malik
Medan Dari Tahun 2009 Sampai 2010
[Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera
Utara, 2011; 1.
3. Vanichsetakul P. Thallasemia: Detection,
Management, Prevention, & Curative
Treatment. Thailand: Bangkok Medical
Journal; 2013. Hlm. 113-18
4. Dirjen Bina Pelayanan Medik Kementrian
Kesehatan RI. Pencegahan Thalassemia
(Hasil
Kajian
HTA
Tahun
2009)
dipresentasikan pada konversi HTA 16
Juni. Jakarta: Dirjen Bina Pelayanan Medik
Kementrian Kesehatan RI. 2010
5. Ganie RA. Thalassemia: Permasalahan dan
Penanganannya. Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Tetap Universitas
Sumatera Utara. Medan: Universitas
Sumatera Utara; 2005. hlm. 2 – 3
6. Rathod D A, Kaur A, Patel V, Patel K,
Kabrawala B, Patel M, dkk.“Usefulness of
cell counter-based parameters and
formulas in detection of β-thalassemia
trait in areas of high prevalence,”
American Journal of Clinical Pathology.
2007;128(4):585–9.
7. Urrechaga E, Borque L, Escanero J F. “The
role of automated measurement of RBC
subpopulations in differential diagnosis of
microcytic anemia and β-thalassemia
screening,” American Journal of Clinical
Pathology. 2011;135(3):374–9.
8. Sirdah M, Tarazi I, Al Najjar E, Al Haddad R.
“Evaluation of the diagnostic reliability of
different RBC indices and formulas in the
differentiation of the β-thalassaemia
minor from iron deficiency in Palestinian
population,” International Journal of
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015| 11
Rembulan Ayu NP|Indeks RDW dan Mentzer Sebagai Uji Skrining Diagnosis Thalassemia
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Laboratory Hematology. 2008;30(4):324–
30.
Ehsani MA, Shahgholi E, Rahiminejad MS,
Seighali F, Rashidi A. “A new index for
discrimination between iron deficiency
anemia and beta-thalassemia minor:
results in 284 patients,” Pakistan Journal
of Biological Sciences. 2009;12(5):473–5.
Mosca A, Paleari R, Ivaldi G, Galanello R,
Giordano PC.“The role of haemoglobin
A(2) testing in the diagnosis of
thalassaemias
and
related
haemoglobinopathies,” Journal of Clinical
Pathology. 2009;62(1):13–7.
Ferrara M, Capozzi L, Russo R, Bertocco
F, Ferrara D. “Reliability of red blood cell
indices and formulas to discriminate
between β thalassemia trait and iron
deficiency in children,” Hematology.
2010;15(2):112–15.
AlFadhli SM, Al-Awadhi AM, AlKhaldi D.
“Validity assessment of nine discriminant
functions used for the differentiation
between Iron deficiency anemia and
thalassemia minor,” Journal of Tropical
Pediatrics. 2007;53(2):93–7.
Fakher R , Bijan K. “Better differential
diagnosis of iron deficiency anemia from
beta-thalassemia trait,” Turkish Journal of
Hematology. 2009;26(3):138–45.
Ferdian BA., Rosdiana N., Lubis B. Impact
of iron therapy on Mentzer index and red
cell distribution width index in primary
school children with iron deficiency
anemia. Medan: Pediatric Indonesia, Juli
2009; 49(4):195 – 196
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015| 12
15. Mussarrat N, Mohammad T, Fazal e R,
Abdul H. Usefulness Of Red Cell Indices In
Differentiating Microcytic Hypochromic
Anemias. Pakistan: Gomal Journal of
Medical Sciences, Juli – Desember 2010;
8(2):125-9.
16. Ferrara M, Capozzi L, Russo R, Bertocco
F, Ferrara D. “Reliability of red blood cell
indices and formulas to discriminate
between β thalassemia trait and iron
deficiency in children,” Hematology.
2010.15(2):112–5.
17. AlFadhli SM, Al-Awadhi AM, AlKhaldi D.
Validity assessment of nine discriminant
functions used for the differentiation
between Iron deficiency anemia and
thalassemia minor. Journal of Tropical
Pediatrics. 2007;53(2):93–7.
18. Ehsani MA, Shahgholi E, Rahiminejad MS,
Seighali F, Rashidi A. “A new index for
discrimination between iron deficiency
anemia and beta-thalassemia minor:
results in 284 patients,” Pakistan Journal
of Biological Sciences. 2009;12(5):473–5.
19. Fakher R , Bijan K. Better differential
diagnosis of iron deficiency anemia from
beta-thalassemia trait. Turkish Journal of
Hematology. 2009;26(3):138–45.
Nisrina Pradya │ Hubungan Usia dan Penggunaan Pil Kontrasepsi Jangka Panjang terhadap Hasil Pemeriksaan IVA Positif
sebagai Deteksi Dini Kejadian Kanker Leher Rahim
Hubungan Usia dan Penggunaan Pil Kontrasepsi Jangka Panjang terhadap
Hasil Pemeriksaan IVA Positif sebagai Deteksi Dini Kejadian Kanker Leher
Rahim
Nisrina Pradya
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
Abstrak
Latar Belakang : Kanker leher rahim adalah kanker yang terdapat pada serviks atau leher rahim, yaitu area bagian bawah
rahim yang menghubungkan rahim dengan vagina. Kanker leher rahim terjadi jika sel-sel serviks menjadi abnormal dan
membelah secara tidak terkendali. Di dunia diperkirakan terjadi sekitar 500.000 kanker serviks baru dan 250.000 kematian
setiap tahunnya yang ± 80% terjadi di negara-negara sedang berkembang. Di Indonesia, diperkirakan 15.000 kasus baru
kanker serviks terjadi setiap tahunnya, sedangkan angka kematiannya diperkirakan 7.500 kasus per tahun serta menurut
data dari Bagian Gynekologi RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung tercatat bahwa angka morbiditas pasien rawat
inap yang terdiagnosa kanker serviks dari bulan Januari-Desember 2010 adalah sebanyak 97 kasus dengan golongan usia
yang terbanyak adalah berusia 25-44 tahun. Pembahasan : Usia dan penggunaan pil kontrasepsi jangka panjang merupakan
dua diantara faktor-faktor resiko yang memperberat kejadian kanker leher rahim. Hasil penelitian mengungkapkan
responden yang mengalami lesi prakanker serviks pada perempuan yang berusia ≥ 35 tahun beresiko 5,86 kali untuk
mengalami kejadian lesi prakanker serviks dibanding mereka yang berusia < 35 tahun sedangkan faktor resiko kanker leher
rahim menunjukkan bahwa responden yang berhubungan seksual pertama kali pada usia ≤ 20 tahun beresiko 0,009 kali
untuk mengalami kejadian lesi prakanker serviks dibanding kelompok responden yang berhubungan seksual pertama kali
pada usia > 20 tahun. Dan pada faktor penggunaan pil kontrasepsi, pemakaian ≥ 4 tahun beresiko 42 kali untuk mengalami
kejadian lesi prakanker serviks dibanding kelompok responden yang menggunakan pil kontrasepsi < 4 tahun. Kesimpulan :
Usia dan pemakaian pil kontrasepsi jangka panjang berpengaruh signifikan terhadap angka kejadian kanker leher rahim.
Kata kunci : Kanker Leher Rahim, IVA, Usia, Pil Kontrasepsi
Corelation of Age and Long-Term Use of Contraceptive Pills Against Positive
IVA Examination Results For Early Detection of Cervical Cancer Incidence
Nisrina Pradya
Medical Faculty, Lampung University
Abstract
Background: Cervical cancer is a cancer that is present in the cervix or uterus, the area lower part of the uterus that
connects the uterus to the vagina. Cervical cancer occurs when cells of the cervix become abnormal and divide
uncontrollably. The world is expected to occur approximately 500,000 new cervical cancer and 250,000 deaths annually are
± 80% occur in developing countries. In Indonesia, an estimated 15,000 new cases of cervical cancer occur each year, while
an estimated mortality rate of 7,500 cases per year, and according to data from Gynaecology of Dr. H. Abdul Moeloek
Hospital Lampung Province noted that morbidity inpatients diagnosed with cervical cancer than in January-December 2010
was as many as 97 cases with the highest age group is 25-44 years old. Discussion: The age and long-term use of the
contraceptive pill are two of the risk factors that heighten the incidence of cervical cancer. Results of the study revealed
that respondents experiencing cervical precancerous lesions in women aged ≥ 35 years 5.86 times the risk for experiencing
incidence of cervical precancerous lesions than those aged <35 years whereas the cervical cancer risk factors showed that
respondents who have sex the first time at the age of ≤ 20 years 0,009 times at risk for experiencing incidence of cervical
precancerous lesions compared to the group of respondents whose first sexual intercourse at age> 20 years. From the
factors contraceptive pill use, the use of ≥ 4-year risk 42 times to experience the occurrence of cervical precancerous
lesions compared to the group of respondents who use the contraceptive pill <4 years. Conclusions: Age and long-term use
of the contraceptive pill have a significant effect on the incidence of cervical cancer.
Keywords: Cervical Cancer, IVA, Age, Contraceptive Pills
Korespondensi : Nisrina Pradya, HP 081369699991, e-mail [email protected]
Pendahuluan
Kanker leher rahim adalah kanker yang
terdapat pada serviks atau leher rahim, yaitu
area
bagian
bawah
rahim
yang
menghubungkan rahim dengan vagina. Kanker
leher rahim terjadi jika sel-sel serviks menjadi
abnormal dan membelah secara tidak
terkendali.1 Di dunia, setiap dua menit seorang
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 │ 13
Nisrina Pradya │ Hubungan Usia dan Penggunaan Pil Kontrasepsi Jangka Panjang terhadap Hasil Pemeriksaan IVA Positif
sebagai Deteksi Dini Kejadian Kanker Leher Rahim
perempuan meninggal akibat kanker leher
rahim, diperkirakan terjadi sekitar 500.000
kanker serviks baru dan 250.000 kematian
setiap tahunnya yang ± 80% terjadi di negaranegara sedang berkembang. Di Indonesia,
diperkirakan 15.000 kasus baru kanker serviks
terjadi setiap tahunnya, sedangkan angka
kematiannya diperkirakan 7.500 kasus per
tahun.2
Menurut data dari Bagian Gynekologi
RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung
tercatat bahwa angka morbiditas pasien rawat
inap yang terdiagnosa kanker serviks dari bulan
Januari-Desember 2010 adalah sebanyak 97
kasus dengan golongan usia yang terbanyak
adalah berusia 25-44 tahun. Data tersebut juga
menunjukkan bahwa selama tahun 2010
kejadian kanker serviks selalu menempati
urutan pertama dibandingkan dengan kejadian
kanker endometrium, kanker ovarium, dan
kanker vulva di Bagian Gynekologi RSUD Dr. H.
Abdul Moeloek Provinsi Lampung. Padahal
menurut WHO (2006) kanker serviks dapat
dicegah dan disembuhkan 100% bila
ditemukan sejak dini dan ditangani segera.
Akan tetapi, masih banyak wanita di negara
berkembang termasuk Indonesia yang belum
melakukan skrining. Pemerintah menargetkan
sekitar 80% perempuan usia 30-50 tahun
melakukan deteksi dini setiap lima tahun
sekali.3
Penelitian sebelumnya mengungkapkan
bahwa melakukan skrinning dan deteksi dini
pada wanita mulai usia 30 tahun per lima
tahunnya dapat menurunkan angka kejadian
kanker leher rahim.4 Wilgin mengungkapkan
terdapat beberapa metode skrinning dan
deteksi dini terhadap kanker leher rahim, yaitu
tes pap smear, IVA, pembesaran IVA dengan
gineskopi, kolposkopi, servikografi, thin Prep
dan tes HPV.2
Isi
Kanker leher rahim adalah penyakit akibat
tumor ganas pada daerah Servik (leher rahim)
sebagai akibat adanya pertumbuhan jaringan
yang tidak terkontrol dan merusak jaringan
normal
disekitarnya.2
Kanker
menjadi
penyebab kematian nomor 2 di dunia sebesar
13%
setelah
penyakit
kardiovaskular.
Diperkirakan pada 2030 insidens kanker dapat
mencapai 26 juta orang dan 17 juta di
antaranya meninggal akibat kanker, terutama
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 │ 14
pada negara miskin dan berkembang.5 Pada
tahun 2003, WHO menyatakan bahwa kanker
merupakan problem kesehatan yang sangat
serius karena jumlah penderitanya meningkat
sekitar 20% per tahun dan merupakan urutan
pertama terbanyak yang menyerang kaum
wanita di Indonesia.6 Jumlah kematian akibat
kanker serviks juga meningkat dari 7,6 juta
orang tahun 2008 menjadi 8,2 juta pada tahun
2012.5
Di Indonesia, insidens kanker serviks
diperkirakan ± 40.000 kasus pertahun dan
masih merupakan kanker wanita yang
tersering. Hal itu terjadi karena pasien datang
dalam stadium lanjut.7 Penelitian lain
menunjukkan bahwa diperkirakan 15.000 kasus
baru kanker serviks terjadi setiap tahunnya,
sedangkan angka kematiannya diperkirakan
7.500 kasus per tahun. Setiap harinya
diperkirakan terjadi 41 kasus baru kanker
serviks dan 20 perempuan meninggal dunia
karena penyakit tersebut. Pada tahun 2009,
kasus baru kanker serviks berjumlah 2.429 atau
sekitar 25,91% dari seluruh kanker yang
ditemukan di Indonesia. Dengan angka
kejadian ini, kanker serviks menduduki urutan
kedua setelah kanker payudara pada wanita
usia subur 15 – 44 tahun.8 Saat ini di Indonesia
ada sekitar 100 kasus per 100 ribu penduduk
atau 200 ribu kasus setiap tahunnya. Kanker
serviks yang sudah masuk ke stadium lanjut
sering menyebabkan kematian dalam jangka
waktu relatif cepat. Selain itu, lebih dari 70%
kasus yang datang ke rumah sakit ditemukan
dalam keadaan stadium lanjut. Selama kurun
waktu 5 tahun, usia penderita antara 30 – 60
tahun, terbanyak antara 45- 50 tahun. Periode
laten dari fase prainvasif untuk menjadi invasif
memakan waktu sekitar 10 tahun. Hanya 9%
dari wanita berusia <35 tahun menunjukkan
kanker serviks yang invasif pada saat
didiagnosis, sedangkan 53% dari KIS (kanker insitu) terdapat pada wanita di bawah usia 35
tahun.5
Penyebab kanker leher rahim adalah
Human Papilloma Virus (HPV) atau virus
papiloma manusia. Virus ini ditemukan pada 95
% kasus kanker leher rahim.9 HPV dapat
dengan mudah ditularkan melalui aktifitas
seksual dan beberapa sumber transmisi tidak
tergantung dari adanya penetrasi, tetapi juga
melalui sentuhan kulit di wilayah genital
tersebut (skin to skin genital contact). Dengan
Nisrina Pradya │ Hubungan Usia dan Penggunaan Pil Kontrasepsi Jangka Panjang terhadap Hasil Pemeriksaan IVA Positif
sebagai Deteksi Dini Kejadian Kanker Leher Rahim
demikian setiap wanita yang aktif secara
seksual memiliki resiko untuk terkena kanker
leher rahim .1
HPV merupakan faktor inisiator kanker
serviks. Onkoprotein E6 dan E7 yang berasal
dari HPV merupakan penyebab terjadinya
degenerasi keganasan. Onkoprotein E6 akan
mengikat p53 sehingga TSG (Tumor Supressor
Gene) p53 akan kehilangan fungsinya.
Sedangkan onkoprotein E7 akan mengikat TSG
Rb, ikatan ini menyebabkan terlepasnya E2F
yang merupakan faktor transkripsi sehingga
siklus sel berjalan tanpa kontrol.1
Karsinoma serviks biasa timbul di daerah
yang disebut squamo-columnar junction (SCJ),
yaitu batas antara epitel yang melapisi
ektoserviks (porsio) dan endoserviks kanalis
serviks, dimana secara histologik terjadi
perubahan dari epitel ektoserviks yaitu epitel
skuamosa berlapis dengan epitel endoserviks
yaitu epitel kuboid/kolumnar pendek selapis
bersilia. Letak SCJ dipengaruhi oleh faktor usia,
aktivitas seksual dan paritas. Pada wanita
muda SCJ berada di luar ostium uteri
eksternum, sedangkan pada wanita berusia di
atas 35 tahun SCJ berada di dalam kanalis
serviks. Oleh karena itu pada wanita muda, SCJ
yang berada di luar ostium uteri eksternum ini
rentan terhadap faktor luar berupa mutagen
yang akan memicu displasia dari SCJ tersebut.
Pada wanita dengan aktivitas seksual tinggi, SCJ
terletak di ostium eksternum karena trauma
atau retraksi otot oleh prostaglandin.10
Pada masa kehidupan wanita terjadi
perubahan fisiologis pada epitel serviks. Epitel
kolumnar akan digantikan oleh epitel
skuamosa yang diduga berasal dari cadangan
epitel kolumnar. Proses pergantian epitel
kolumnar menjadi epitel skuamosa disebut
proses metaplasia dan terjadi akibat pengaruh
pH vagina yang rendah. Aktivitas metaplasia
yang tinggi sering dijumpai pada masa
pubertas. Akibat proses metaplasia ini maka
secara morfogenetik terdapat 2 SCJ, yaitu SCJ
asli dan SCJ baru yang menjadi tempat
pertemuan antara epitel skuamosa baru
dengan epitel kolumnar. Daerah di antara
kedua SCJ ini disebut daerah transformasi.10
Penelitian
akhir-akhir
ini
lebih
memfokuskan virus sebagai salah satu faktor
penyebab yang penting, terutama virus DNA.
Pada proses karsinogenesis asam nukleat virus
tersebut dapat bersatu ke dalam gen dan DNA
sel tuan rumah sehingga menyebabkan
terjadinya mutasi sel. Sel yang mengalami
mutasi tersebut dapat berkembang menjadi sel
displastik sehingga terjadi kelainan epitel yang
disebut displasia. Dimulai dari displasia ringan,
displasia sedang, displasia berat dan karsinoma
in-situ dan kemudian berkembang menjadi
karsinoma invasif.10 Pada studi epidemiologi
sebelumnya terdapat sejumlah faktor yang
mempunyai
peran
nyata
terhadap
perkembangan kanker derajat rendah yaitu
paritas, usia, usia pertama kali berhubungan
seksual, jumlah pasangan, riwayat infeksi
menular seksual, merokok, riwayat hasil tes
pap sebelumnya yang abnormal, ibu atau
saudara perempuan yang menderita Ca
Serviks, riwayat penggunaan pil KB, riwayat
imunnosupresi.11
Wanita yang berusia 35 – 50 tahun dan
masih aktif berhubungan seksual rawan
terserang kanker serviks. Pada panelitian
secara retrospektif yang dilakukan oleh
Schellekens dan Ranti di Rumah Sakit dr. Hasan
Sadikin Bandung untuk periode januari tahun
2000 sampai juli 2001 dengan interval usia
mulai 21 sampai 85 tahun (N=307), didapatkan
usia rata-rata dari pasien karsinoma serviks
yaitu 32 tahun.
Ditempat yang sama S. Van Loon
melakukan penelitian terhadapat 58 pasien
dengan kanker serviks pada tahun 1996, dan
mendapatkan pasien mayoritas yaitu 20,3%
berusia 40- 44 tahun dan usia rata-rata 46
tahun. 12
Sedangkan hasil penelitian lain oleh
Wahyuningsih (2014) menunjukkan responden
yang mengalami lesi prakanker serviks pada
perempuan yang berusia ≥ 35 tahun beresiko
5,86 kali untuk mengalami kejadian lesi
prakanker serviks dibanding mereka yang
berusia < 35 tahun. Uji statistik menunjukkan
bahwa ada hubungan yang signifikan antara
usia responden dengan kejadian lesi prakanker
serviks (p< 0,05).
Menurut Benson KL, 2% dari wanita yang
berusai 40 tahun akan menderita kanker
serviks dalam hidupnya. Hal ini dimungkinkan
karena perjalanan penyakit ini memerlukan
waktu 7 sampai 10 tahun untuk terjadinya
kanker invasif sehingga sebagian besar
terjadinya atau diketahuinya setelah berusia
lanjut.12
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 │ 15
Nisrina Pradya │ Hubungan Usia dan Penggunaan Pil Kontrasepsi Jangka Panjang terhadap Hasil Pemeriksaan IVA Positif
sebagai Deteksi Dini Kejadian Kanker Leher Rahim
Usia pertama kali melakukan hubungan
seksual juga merupakan faktor resiko
terjadinya kanker serviks, sekitar 20% kanker
serviks dijumpai pada wanita yang aktif
berhubungan seksual sebelum usia 16 tahun. 12
Berdasarkan hasil penelitian lain mengenai
faktor resiko kanker leher rahim menunjukkan
bahwa responden yang berhubungan seksual
pertama kali pada usia ≤ 20 tahun beresiko
0,009 kali untuk mengalami kejadian lesi
prakanker serviks dibanding kelompok
responden yang berhubungan seksual pertama
kali pada usia > 20 tahun. Hasil uji statistik
menunjukkan ada hubungan yang signifikan
antara usia pertama kali berhubungan seksual
dengan kejadian lesi prakanker serviks (p <
0,05) .11
Usia kawin muda menurut Rotkin,
Chistoperson dan Parker serta Barron dan
Richart
jelas
berpengaruh.
Rotkin
menghubungkan terjadinya karsinoma serviks
dengan usia saat seorang wanita mulai aktif
berhubungan seksual, dikatakan pula olehnya
karsinoma serviks cenderung timbul bila saat
mulai aktif berhubungan seksual pada saat usia
kurang dari 17 tahun. Epitel serviks terdiri dari
2 jenis, yaitu epitel skuamosa dan epitel
kolumnar; kedua epitel tersebut dibatasi oleh
sambungan skuamosa-kolumnar (SSK) yang
letaknya tergantung pada usia, aktivitas
seksual dan paritas. Pada wanita dengan
aktivitas seksual tinggi, SSK terletak di ostium
eksternum karena trauma atau retraksi otot
oleh prostaglandin. Pada masa kehidupan
wanita terjadi perubahan fisiologis pada epitel
serviks; epitel kolumnar akan digantikan oleh
epitel skuamosa yang diduga berasal dari
cadangan epitel kolumnar. Proses pergantian
epitel kolumnar menjadi epitel skuamosa
disebut proses metaplasia dan terjadi akibat
pengaruh pH vagina yang rendah. Aktivitas
metaplasia yang tinggi sering dijumpai pada
masa pubertas. Akibat proses metaplasia ini
maka secara morfogenetik terdapat 2 SSK,
yaitu SSK asli dan SSK baru yang menjadi
tempat pertemuan antara epitel skuamosa
baru dengan epitel kolumnar. Daerah di antara
kedua SSK ini disebut daerah transformasi. 13
Umumnya sel-sel mukosa baru matang
setelah wanita berusia 20 tahun ke atas. Jadi,
seorang wanita yang menjalin hubungan seks
pada usia remaja, paling rawan bila dilakukan
di bawah usia 16 tahun. Hal ini berkaitan
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 │ 16
dengan kematangan sel-sel mukosa pada
serviks. Pada usia muda, sel-sel mukosa pada
serviks belum matang. Artinya, masih rentan
terhadap rangsangan. Sehingga tidak siap
menerima rangsangan dari luar. Termasuk zatzat kimia yang dibawa sperma. Karena masih
rentan, sel-sel mukosa bisa berubah sifat
menjadi kanker. Sifat sel kanker selalu berubah
setiap saat yaitu mati dan tumbuh lagi. Dengan
adanya rangsangan, sel bisa tumbuh lebih
banyak dari sel yang mati, sehingga
perubahannya tidak seimbang lagi. Kelebihan
sel ini akhirnya bisa berubah sifat menjadi sel
kanker. Lain halnya bila hubungan seks
dilakukan pada usia di atas 20 tahun, dimana
sel-sel mukosa tidak lagi terlalu rentan
terhadap perubahan. Lebih dijelaskan bahwa
usia antara 15-20 tahun merupakan periode
yang rentan. Pada periode laten antara coitus
pertama dan terjadinya kanker serviks kurang
lebih dari 30 tahun. 12
Periode rentan ini berhubungan dengan
kiatnya proses metaplasia pada usia pubertas,
sehingga bila ada yang mengganggu proses
metaplasia tersebut misalnya infeksi akan
memudahkan beralihnya proses menjadi
displasia yang lebih berpotensi untuk
terjadinya keganasan. 14
Penggunaan pil kontrasepsi dalam
jangka waktu yang lama juga meningkatkan
resiko terjadinya kanker serviks.8 Pada faktor
penggunaan alat kontrasepsi pil diketahui
bahwa 95,5% responden yang menggunakan
pil kontrasepsi ≥ 4 tahun, dinyatakan positif lesi
prakanker serviks. Penggunaan pil kontrasepsi
≥ 4 tahun beresiko 42 kali untuk mengalami
kejadian lesi prakanker serviks dibanding
kelompok responden yang menggunakan pil
kontrasepsi < 4 tahun. Uji statistik
menunjukkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara lama penggunaan pil
kontrasepsi dengan kejadian lesi prakanker
serviks (p ≤ 0,05). 11
Penelitian menunjukkan bahwa resiko
kanker serviks semakin meningkat selama
seorang wanita menggunakan kontrasepsi oral,
tetapi resikonya kembali turun lagi setelah
kontrasepsi oral dihentikan. Dalam penelitian
terbaru, resiko kanker serviks adalah dua kali
lipat pada wanita yang mengambil pil KB lebih
dari 5 tahun, namun resiko kembali normal 10
tahun setelah mereka dihentikan. 13
Nisrina Pradya │ Hubungan Usia dan Penggunaan Pil Kontrasepsi Jangka Panjang terhadap Hasil Pemeriksaan IVA Positif
sebagai Deteksi Dini Kejadian Kanker Leher Rahim
Estrogen merangsang pertumbuhan dan
perkembangan rahim pada masa pubertas,
menyebabkan endometrium (lapisan dalam
rahim) menebal pada paruh waktu pertama
siklus menstruasi serta mempengaruhi jaringan
payudara sepanjang hidup hal ini terjadi dari
masa
pubertas
sampai
menopause.
Progesteron yang diproduksi pada paruh
terakhir dari siklus menstruasi mempersiapkan
endometrium untuk menerima telur. Jika telur
telah dibuahi maka sekresi progesteron akan
mencegah pelepasan telur dari ovarium. Untuk
alasan ini, progesteron disebut "mendukung
kehamilan" hormon, dan para ilmuwan percaya
bahwa progesteron memiliki efek kontrasepsi
berharga. Progesteron buatan manusia yang
digunakan dalam kontrasepsi oral disebut
progestogen atau progestin. Karena penelitian
medis menunjukkan bahwa beberapa jenis
kanker bergantung pada hormon seks alami
bagi perkembangan mereka dan pertumbuhan,
para ilmuwan telah menyelidiki kemungkinan
adanya
hubungan
antara
penggunaan
kontrasepsi oral dan resiko kanker. Para
peneliti telah berfokus banyak perhatian pada
pengguna kontrasepsi oral selama 40 tahun
terakhir. Pengawasan ini telah menghasilkan
kekayaan
data
tentang
penggunaan
kontrasepsi oral dan perkembangan kanker
tertentu, meskipun hasil studi ini tidak selalu
konsisten. Resiko kanker endometrium dan
ovarium. berkurang dengan penggunaan
kontrasepsi oral, sementara resiko kanker
payudara dan leher rahim meningkat.13
Dari penelitian menunjukkan bahwa
penggunaan jangka panjang dari kontrasepsi
oral 5 tahun atau lebih dikaitkan dengan
peningkatan resiko kanker serviks. Sebuah
analisis tahun 2003 oleh Badan Internasional
untuk Riset Kanker (IARC) menemukan
peningkatan resiko kanker serviks dengan
penggunaan kontrasepsi oral lama. Para
peneliti menganalisis data dari 28 studi yang
mencakup 12.531 wanita dengan kanker
serviks. Data menunjukkan bahwa resiko
kanker serviks dapat menurunkan setelah
digunakan OC berhenti. 13
Dalam laporan lain IARC, data dari
delapan studi digabungkan untuk menilai efek
penggunaan OC pada resiko kanker serviks
pada perempuan HPV-positif. Para peneliti
menemukan peningkatan empat kali lipat
resiko di antara wanita yang telah
menggunakan kontrasepsi oral selama lebih
dari 5 tahun. Resiko juga meningkat pada
wanita yang mulai menggunakan kontrasepsi
oral sebelum usia 20 dan wanita yang telah
menggunakan kontrasepsi oral dalam 5 tahun
terakhir 13.
Salah satu metode yang dapat dilakukan
untuk mendeteksi lesi pada kanker leher rahim
adalah Inspeksi Visual Asam Asetat. Inspeksi
Visual dengan Asam Asetat (IVA) adalah
pemeriksaan leher rahim secara visual
menggunakan asam cuka dengan mata
telanjang untuk mendeteksi abnormalitas
setelah pengolesan asam cuka 3-5% (15).
Menurut Rasjidi, tujuan pemeriksaan IVA
adalah untuk melihat adanya sel yang
mengalami displasia sebagai salah satu metode
skrining kanker mulut rahim. IVA tidak
direkomendasikan
pada
wanita
pasca
menopause, karena daerah zona transisional
seringkali terletak di kanalis servikalis dan tidak
tampak dengan pemeriksaan inspekulo 2.
Saat melakukan pemeriksaan IVA,
pertama petugas melakukan menggunakan
speculum untuk memeriksa leher rahim. Lalu
serviks dibersihkan untuk menghilangkan
cairan keputihan (discarge), kemudian asam
asetat dioleskan secara merata pada leher
rahim. Setelah minimal 1 menit, leher rahim
dan seluruh SCJ, diperiksa untuk melihat
apakah terjadi perubahan acetowhite. Hasil tes
(positif atau negatif) harus dibahas bersama
ibu, dan pengobatan diberikan setelah
konseling, jika diperlukan dan tersedia. 16
Penentuan terapi dapat dilakukan
setelah diagnosis kanker ditegakkan. Secara
umum, jenis terapi yang dapat diberikan
tergantung pada usia, keadaan umum
penderita, luasnya penyebaran, dan komplikasi
yang menyertai. Pada stadium awal, terapi
yang diberikan adalah pembedahan atau
radiasi. Sementara pada stadium lanjut (2B, 3,
dan 4) dipilih radiasi intrakaviter (brakhiradiasi)
dan eksternal. Penggunaan kemoterapi dapat
diberikan pada pasien dengan stadium lanjut
atau kasus berulang yang tidak mungkin
dilakukan pembedahan atau radiasi. 17
Ringkasan
1. Kanker leher rahim adalah kanker yang
terdapat pada serviks atau leher rahim,
yaitu area bagian bawah rahim yang
menghubungkan rahim dengan vagina dan
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 │ 17
Nisrina Pradya │ Hubungan Usia dan Penggunaan Pil Kontrasepsi Jangka Panjang terhadap Hasil Pemeriksaan IVA Positif
sebagai Deteksi Dini Kejadian Kanker Leher Rahim
2.
3.
4.
5.
terjadi jika sel-sel serviks menjadi
abnormal dan membelah secara tidak
terkendali.
Usia 35-50 tahun beresiko terkena kanker
leher rahim karena perjalanan penyakit ini
memerlukan waktu 7 sampai 10 tahun
untuk terjadinya kanker invasif sehingga
sebagian
besar
terjadinya
atau
diketahuinya setelah berusia lanjut
Usia <20 tahun saat pertama kali
melakukan
hubungan
seksual
berhubungan dengan kiatnya proses
metaplasia pada usia pubertas, sehingga
bila ada yang mengganggu proses
metaplasia tersebut misalnya infeksi akan
memudahkan beralihnya proses menjadi
displasia yang lebih berpotensi untuk
terjadinya keganasan resiko kanker serviks
semakin meningkat selama seorang
wanita menggunakan kontrasepsi oral,
tetapi resikonya kembali turun lagi setelah
kontrasepsi oral dihentikan.
Diagnosis menggunakan IVA adalah
pemeriksaan leher rahim secara visual
menggunakan asam cuka dengan mata
telanjang untuk mendeteksi abnormalitas
setelah pengolesan asam cuka 3-5%
Penentuan terapi dapat dilakukan setelah
diagnosis kanker ditegakkan. Secara
umum, jenis terapi yang dapat diberikan
tergantung pada usia, keadaan umum
penderita, luasnya penyebaran, dan
komplikasi yang menyertai
Kesimpulan
Faktor usia 30-50 tahun berpengaruh
signifikan terhadap terjadinya kanker leher
rahim. Penggunaan pil kontrasepsi dalam
jangka waktu ≥4tahun berpengaruh signifikan
terhadap terjadinya kanker leher rahim
Daftar Pustaka
1. Emilia, Ova et all. Bebas Ancaman Kanker
Serviks. Yogyakarta: Media Pressindo;
2010.
2. Yuliwati. Faktor-Faktor yang Berhubungan
Dengan Perilaku WUS Dalam Deteksi Dini
Kanker Leher Rahim Metode IVA Di
Wilayah Puskesmas Prembun Kabupaten
Kebumen Tahun 2012. Universitas
Indonesia; 2012.
3. Ambarita RH. Hubungan Pengetahuan
Sikap dan Sarana Pemeriksaan PAP Smear
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 │ 18
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
dengan Perilaku Pemeriksaan PAP Smear
pada Wanita Yang Sudah Menikah di
Poliklinik rawat Jalan Obstetri dan
Gynekologi RSUD DR H Abdul Moeloek
Provinsi Lampung. Universitas Lampung;
2011.
Peirson L, Fitzpatrick-Lewis D, Ciliska D,
Warren R. Screening for cervical cancer: a
systematic review and meta-analysis. Syst
Rev [Internet]. Systematic Reviews;
2013;2(1):35.
Tersedia
dari:
http://www.systematicreviewsjournal.co
m/content/2/1/35
Depkes RI. Pedoman Teknis Pengendalian
Kanker Payudara dan Kanker Leher Rahim.
2010;
Azamris. Analisis Faktor Risiko pada
Pasien Kanker Payudara di RS. Dr. M.
Djamil Padang. Cermin Dunia Kedokt.
2006;152:53–6.
Suwiyoga. Tes Human Papillomavirus
sebagai Skrinning Alternative Kanker
Serviks. CDK. 2006;
Wijaya D. Pembunuh Ganas itu
bernama Kanker Serviks. Yogyakarta: Sinar
Kejora; 2010.
Depkes
RI.
Pedoman
Surveilans
Epidemiologi Penyakit Kanker. 2007;
Wiknjosastro H. Ilmu Kebidanan. Jakarta:
Yayasan
Bina
Pustaka
Sarwono
Prawirohardjo; 2007.
Wahyuningsih T, Mulyani EY. Faktor Risiko
Terjadinya Lesi Prakanker Serviks melalui
Deteksi Dini dengan Metode IVA. Forum
Ilm. 2014;11:192–209.
Rasjidi I. Manual Prakanker Serviks. 1st ed.
Jakarta: Sagung Seto; 2008.
Saputra A. Analisis Resiko dari FaktorFaktor Predisposisi Penderita Kanker Leher
Rahim. Universitas Sumatera Utara; 2012.
p. 4–16.
Cullati S. Cancer Screening In a MiddleAged General Population : Factors
Associated with Practices and Attitudes.
BMC Public Health. 2009;
Depkes RI. Pencegahan Kanker Leher
Rahim dan Kanker Payudara. 2009;
Depkes RI. Pencegahan Kanker Leher
Rahim dan Kanker Payudara. 2007;
Chamim. Buku Acuan Nasional Onkologi
Ginekologi. M Farid Aziz, Adrijojo ABS,
editor. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; 2006.
Muhammad Farras Hadyan I Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Low Back Pain pada Pengemudi Transportasi
Publik
Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Low Back Pain pada Pengemudi
Transportasi Publik
Muhammad Farras Hadyan
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
Abstrak
Transportasi publik atau angkutan umum merupakan alat transportasi yang masih menjadi kebutuhan masyarakat. Hal ini
dikarenakan harganya yang murah, efisien, dan mudah ditemukan. Pengemudi transportasi publik rata-rata memiliki lama
kerja sekitar 12 jam setiap harinya dengan load factor penumpang yang tinggi sehingga menyebabkan peningkatan beban
kerja pengemudi tersebut. Kondisi ini ditambah dengan posisi duduk yang statis dalam waktu lama yang dapat
menimbulkan efek kausa negatif dalam hal kesehatan terutama pada keluhan muskuloskeletal seperti nyeri otot, nyeri
tulang belakang dan kram. Salah satu keluhan muskuloskeletal yang sering dialami oleh pengemudi adalah low back pain
(LBP) yang merupakan nyeri pada punggung bagian bawah yang dapat diakibatkan oleh berbagai sebab antara lain karena
beban berat yang menyebabkan otot – otot yang berperan dalam mempertahankan keseimbangan seluruh tubuh
mengalami luka atau iritasi pada diskus intervertebralis. Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi keluhan LBP yaitu
faktor individu seperti usia, jenis kelamin, masa kerja, kebiasaan merokok, dan peningkatan indeks massa tubuh (IMT),
faktor lingkungan seperti getaran seluruh tubuh, faktor pekerjaan seperti posisi kerja, lama kerja, desain tempat kerja, dan
repetisi, dan faktor gerakan tubuh. Oleh karena itu perlu dilakukan pencegahan terhadap faktor risiko tersebut dan
pengobatan pada penderita yang mengalami keluhan LBP secara medikamentosa maupun non medikamentosa melalui dua
tahapan pada setiap kunjungan.
Kata Kunci : keluhan muskuloskeletal, low back pain, pengemudi, transportasi publik
Factors That Influence Incidences of Low Back Pain in Public Transportation
Drivers
Abstract
Public transportation is one of transportation that is preferred at most by the pedestrians. This is mainly related by its
economic value, efficiency and easy to access. Public transportation drivers mostly have at least 12 hours of operational
time daily, carrying high number of passengers which may raise its occupational load. This condition get more severed with
static seat position in a long duration which make a negative cause in musculoskeletal problems like muscle ache, spinal
pain and cramp. One of the musculoskeletal disorders that mostly happen to drivers is low back pain (LBP), a pain in the
lower back which can be inflicted by various causes, such as heavy loads that causes the muscles that play a role in
maintaining the balance of the whole body undergo injuries or irritation in diskus invertebralis. There are factors that
affecting LBP, such as age, duration of time, smoking habits, and increases in body mass index, environtment factors such as
whole body vibrations, and factors like working position, working time, workplace design, and repetition, and body
movement. Therefore, prevention of those risks factors and medical treatments whether medicament or non medicament
for patient with LBP through two steps in every visit.
Keywords : drivers, low back pain, musculosceletal problem, public transportation
Korespondensi : Muhammad Farras Hadyan, Jalan KH Mas Mansyur No. 25 A RSTA Blok 45/1/3 Kelurahan Kebon Kacang,
Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, HP : 081284657770, [email protected]
Pendahuluan
Transportasi merupakan komponen
utama dalam sistem kehidupan masyarakat.
Peningkatan kepadatan penduduk akan
memiliki pengaruh signifikan terhadap
kemampuan transportasi melayani kebutuhan
masyarakat. Transportasi publik atau angkutan
umum merupakan alat transportasi yang masih
menjadi kebutuhan masyarakat. Hal ini
dikarenakan harganya yang murah, efisien, dan
mudah
ditemukan.1
Beberapa
contoh
transportasi publik yang masih menjadi pilihan
masyarakat dalam pemakaian jasa dan sarana
transportasi darat antara lain angkutan kota
atau angkot, bus, taksi, metro mini dan lain
sebagainya.1
Pengemudi transportasi publik ratarata memiliki lama kerja sekitar 12 jam setiap
harinya dengan load factor penumpang yang
tinggi sehingga menyebabkan peningkatan
beban kerja pengemudi tersebut. Kondisi ini
ditambah dengan posisi duduk yang statis
dalam waktu lama yang dapat menimbulkan
efek kausa negatif dalam hal kesehatan
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 19
Muhammad Farras Hadyan I Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Low Back Pain pada Pengemudi Transportasi
Publik
terutama pada keluhan muskuloskeletal
seperti nyeri otot, nyeri tulang belakang dan
kram.2 Keluhan muskuloskeletal adalah keluhan
pada bagian otot-otot skeletal yang dirasakan
oleh seseorang sehingga dapat mengurangi
efesiensi kerja dan kehilangan waktu kerja
yang menyebabkan produktivitas menurun.3
Salah satu penyakit yang berhubungan
dengan gangguan muskuloskeletal adalah low
back pain (LBP) atau yang biasa orang awam
kenal dengan nyeri punggung bawah (NPB).
Nyeri punggung bawah adalah gangguan
muskuloskeletal pada daerah punggung bawah
yang disebabkan oleh berbagai penyakit dan
aktivitas tubuh yang kurang baik.4
Keluhan low back pain (LBP) pada
pengemudi diakibatkan karena beberapa
stressor seperti faktor demografi, faktor desain
fisik kendaraan, faktor pekerjaan dan faktor
lingkungan. Ruang kerja pengemudi biasanya
hanya terbatas pada kabin kemudi yang tidak
memungkinkan adanya pergerakan tubuh yang
leluasa. Postur statis ini menyebabkan
akumulasi ketegangan otot yang semakin
memburuk. Keluhan ini dirasakan sebagai nyeri
punggung yang dominan dirasakan oleh
pengemudi disampin keluhan nyeri lainnya
seperti yang terjadi di leher, bahu, dan lutut.5
Keluhan muskuloskeletal ini juga dapat
dipengaruhi oleh kondisi lain yaitu status
kesehatan individu, kualitas dan kuantitas dari
beban fisik dan psikis dan getaran yang
ditimbulkan oleh mesin kendaraan bermotor
yang disebut dengan whole body vibration,
dimana dalam kondisi duduk statis dengan
paparan getaran seluruh tubuh tersebut dapat
menimbulkan cedera pada spinal cord yang
menimbulkan nyeri.5 Secara garis besar, faktorfaktor yang berhubungan dengan kejadian LBP
dibagi menjadi faktor individu, faktor
lingkungan, faktor risiko tempat kerja, dan
faktor gerakan tubuh.5,6,7 Keseluruhan faktor ini
harus dicegah untuk meningkatkan kualitas
kerja dan kepuasan masyarakat terhadap
kinerja dan pelayanan yang diberikan oleh
pengemudi transportasi publik.
Isi
Tubuh terbentuk atas banyak jaringan
dan organ yang masing-masing mempunyai
fungsi yang khusus. Salah satu organ manusia
yang sangat penting peranannya dalam tubuh
yaitu tulang belakang. Tulang belakang atau
vertebrae dirancang untuk mendukung dan
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 20
membentuk tubuh manusia, memungkinkan
terjadinya gerakan berputar pada tulang
rangka, melindungi corda spinalis di dalamnya,
dan untuk membantu menyerap gaya berat
terhadap tubuh.8
Namun, ada kalanya tulang belakang
tidak mampu menopang tubuh yang terlalu
lama dalam posisi yang statis atau dalam
kondisi yang tidak ergonomis sehingga dapat
mengalami kerusakan seperti cedera pada
tulang dan saraf spinal di dalamnya. Kondisi ini
yang kita kenal dengan musculoskeletal
disorders (MSDs).8 Musculoskeletal disorders
adalah cedera dan gangguan pada jaringan
lunak seperti otot, tendon, ligamen, dan sendi
serta sistem saraf yang terjadi akibat paparan
faktor risiko yang dapat menyebabkan
sejumlah kondisi termasuk nyeri, mati rasa,
kesemutan, kaku sendi, sulit bergerak,
kehilangan
otot,
dan
kadang-kadang
kelumpuhan.9
Low back pain (LBP) adalah nyeri pada
punggung bagian bawah yang dapat
diakibatkan oleh berbagai sebab antara lain
karena beban berat yang menyebabkan otototot yang berperan dalam mempertahankan
keseimbangan seluruh tubuh mengalami luka
atau iritasi pada diskus intervertebralis dan
penekanan diskus terhadap saraf yang keluar
melalui antar vertebra.10 Low back pain juga
dianggap sebagai suatu sindroma nyeri yang
terjadi pada punggung bagian bawah dan
merupakan work related musculoskeletal
disorders.
Pekerjaan yang berisiko mengalami
LBP salah satunya adalah pengemudi
transportasi publik atau angkutan umum.
Angkutan adalah sarana untuk memindahkan
orang atau barang dari suatu tempat ke tempat
lain, sedangkan transportasi publik adalah
angkutan penumpang yang dilakukan dengan
sistem sewa atau bayar seperti angkot, kereta
api, bus, angkutan air, dan lain sebagainya.11
Tujuan utama keberadaan transportasi publik
ini adalah menyelenggarakan pelayanan
angkutan yang baik dan layak bagi masyarakat.
Pengemudi, diketahui memiliki risiko
yang tinggi untuk mengalami LBP karena duduk
yang terlalu lama dan vibrasi dari mesin
kendaraan bermotor. Selain itu, kondisi kabin
kemudi yang sempit tidak memungkinkan bagi
pengemudi untuk menggerakkan anggota
tubuhnya secara leluasa, sehingga dalam
waktu yang lama dengan kondisi duduk statis
Muhammad Farras Hadyan I Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Low Back Pain pada Pengemudi Transportasi
Publik
dan
mobilitas
yang
terbatas,
akan
mengakibatkan cedera dan kekakuan pada
sendi dan tulang belakang.5 Studi prevalensi
mengenai LBP pada supir bus, supir truk, dan
pekerja yang duduk menetap terindikasi sekitar
81% di Amerika dan 49% di Swedia mengalami
LBP selama waktu kerjanya.12 Low back pain
adalah permasalahan kesehatan yang umum
dimana 50%-70% orang memiliki kemungkinan
mengalami nyeri punggung bawah selama
hidupnya.13
Pada dasarnya, nyeri adalah kondisi
akibat terjadinya tekanan pada susunan saraf
tepi daerah pinggang yang terjepit. Jepitan
pada saraf ini dapat terjadi karena gangguan
pada otot dan jaringan sekitarnya, gangguan
pada syaraf sendiri, kelainan tulang belakang
maupun kelainan di tempat lain, misalnya
infeksi atau batu ginjal.14 Secara garis besar,
etiologi LBP dapat dihubungkan dengan
beberapa kondisi seperti proses degeneratif
pada vertebra lumbusakralis dan annulus
fibrosus diskus intervertebralis yang bila
tersobek dapat disusul dengan protusio diskus
intervertebralis yang akhirnya menyebabkan
hernia nukleus pulposus (HNP). Selain itu ada
beberapa penyakit seperti arthritis rheumatoid
dan spondilitis angkilopoetika dengan keluhan
sakit punggung dan sakit pinggang yang
sifatnya
kaku,
osteoporosis,
kelainan
kongenital seperti adanya lumbalisasi atau
adanya enam bukan lima korpus vertebra
lumbalis yang merupakan variasi anatomis,
tumor, toksik akibat keracunan logam berat,
infeksi, dan masalah psikoneurotik seperti
histeria, depresi atau malingering. 15
Low back pain (LBP) terjadi karena
gangguan biomekanik vertebra lumbal akibat
perubahan titik berat badan dengan
kompensasi perubahan posisi tubuh dan akan
menimbulkan nyeri. Ketegangan (strain) otot
dan keregangan (sprain) ligamentum tulang
belakang merupakan salah satu penyebab
utama LBP. Bila seseorang duduk dengan
tungkai atas berada pada posisi 90°, maka
daerah lumbal akan menjadi mendatar keluar
yang dapat menimbulkan keadaan kifosis.
Keadaan ini terjadi karena sendi panggul yang
hanya berotasi sebesar 600, mendesak pelvis
untuk berotasi ke belakang sebesar 300 untuk
menyesuaikan tungkai atas yang berada pada
posisi 900.15
Berdasarkan studi yang dilakukan
secara klinik, biomekanika, fisiologi, dan
epidemiologi, didapatkan kesimpulan bahwa
terdapat tiga faktor besar yang menyebabkan
terjadinya LBP akibat pekerjaan yaitu faktor
pekerjaan (work factors) dalam hal ini
termasuk faktor risiko tempat kerja seperti
sikap tubuh, posisi tubuh, desain tempat kerja,
repetisi, lama kerja, pekerjaan statis, dan
pekerjaan yang memaksakan tenaga. Selain itu,
terdapat faktor individu (personal factors)
seperti masa kerja, usia, jenis kelamin, posisi
kerja, kebiasaan merokok dan obesitas dan
faktor lingkungan seperti getaran dan
temperatur ekstrem.5
Pada umumnya, keluhan otot skeletal
mulai dirasakan pada usia kerja yaitu 25 tahun.
Keluhan pertama biasanya dimulai pada usia
35 tahun dan tingkat keluhan terus bertambah
sejalan dengan bertambahnya umur. Hasil
penelitian diketahui responden terbanyak
berumur di atas 29 tahun (berisiko) yaitu
sebanyak 27 orang (81,8%) dan responden
yang berumur 20-29 tahun (tidak berisiko)
sebanyak 6 orang (1,28%).16 Semakin tua usia
seseorang, maka akan terjadi degenerasi pada
tulang yang selanjutnya akan timbul kerusakan
jaringan. Hasilnya adalah terbentuknya
jaringan parut sehingga terjadi penurunan
stabilitas dan elastisitas tulang dan otot.
Faktor individu lainnya yang dikatakan
berhubungan dengan kejadian LBP adalah
kebiasaan merokok. Dalam laporan resmi
World Health Organization (WHO), jumlah
kematian akibat merokok tiap tahun adalah 4,9
juta orang per tahunnya. Hubungan yang
signifikan antara kebiasaan merokok dengan
keluhan otot pinggang, terutama untuk
pekerjaan yang memerlukan pengerahan otot,
karena nikotin pada rokok dapat menyebabkan
berkurangnya aliran darah ke jaringan. Selain
itu, merokok dapat pula menyebabkan
berkurangnya kandungan mineral pada tulang
sehingga menyebabkan nyeri akibat terjadinya
keretakan atau kerusakan pada tulang.17
Laki-laki dan perempuan memiliki
risiko yang sama terhadap keluhan nyeri
punggung sampai umur 60 tahun, namun pada
kenyatannya jenis kelamin seseorang dapat
mempengaruhi timbulnya keluhan LBP, karena
pada wanita keluhan ini lebih sering terjadi
misalnya pada saat mengalami siklus
menstruasi, selain itu proses menopause juga
dapat menyebabkan kepadatan tulang
berkurang akibat penurunan hormon estrogen,
sehingga memungkinkan terjadinya LBP.18
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 21
Muhammad Farras Hadyan I Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Low Back Pain pada Pengemudi Transportasi
Publik
Faktor lain yang berhubungan dengan kejadian
LBP pada pengemudi adalah faktor pekerjaan
(work factors) yaitu duduk dalam jangka waktu
yang lama dan dalam kondisi yang statis. Posisi
duduk dalam jangka waktu yang lama dan
dalam keadaan yang statis akan sangat
membebani tulang punggung bawah dan akan
menimbulkan rasa pegal dan lelah pada area
pinggang, hal ini akan diperberat ketika
pengemudi duduk dengan posisi yang salah
atau tidak sesuai postur, maka akan terjadi
ketegangan pada otot-otot daerah pinggang,
sehingga rasa lelah akan muncul dengan cepat,
dan jika terus berulang dengan kondisi
tersebut, maka nyeri akan muncul.19 Namun,
pada
penelitian
deskriptif
analitik
menggunakan pearson correlation yang
dilakukan kepada pengemudi bus kota di
terminal Giwangan, menunjukkan hubungan
yang tidak signifikan antara lamanya posisi
duduk dengan keluhan subyektif LBP pada
pengemudi bus kota.
Faktor
lingkungan
yang
paling
berpengaruh dan berhubungan erat dengan
pengemudi transportasi publik adalah getaran
yang dirasakan oleh seluruh tubuh, yang
berasal dari sumber mesin yang dimiliki
kendaraan bermotor. Berdasarkan penelitian
Youani Nusa et al terhadap keluhan sistem
muskuloskeletal pada supir bus trayek Manado
ke Langowan, didapatkan hasil yang signifikan
dengan hubungan yang kuat antara getaran
dengan keluhan muskuloskeletal.20 Hal ini
dijelaskan bahwa frekuensi getaran diluar
ambang batas toleransi tubuh yaitu di atas 4 Hz
dapat mempengaruhi beberapa organ seperti
dinding perut dan dada atau gangguan tulang,
otot dan jaringan ikat bagian punggung.20
Patofisiologi yang dapat menjelaskan
keluhan nyeri punggung bawah ini dimulai
karena respon tubuh dengan mengeluarkan
mediator inflamasi akibat faktor-faktor di atas,
sehingga jaringan otot atau tulang yang cedera
memicu pengeluaran sitokin pro inflamasi yang
akan menimbulkan persepsi nyeri. Mekanisme
nyeri merupakan proteksi yang bertujuan
untuk mencegah pergerakan sehingga proses
penyembuhan dimungkinkan. Salah satu
bentuk proteksi adalah spasme otot, yang
selanjutnya dapat menimbulkan iskemia.21
Iritasi neuropatik pada serabut saraf
dapat menyebabkan dua kemungkinan.
Pertama, penekanan hanya terjadi pada
selaput pembungkus saraf yang kaya
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 22
nosiseptor dari nervi nervorum yang
menimbulkan nyeri inflamasi. Nyeri dirasakan
sepanjang serabut saraf dan bertambah
dengan peregangan serabut saraf misalnya
karena pergerakan. Kemungkinan kedua,
penekanan pada serabut saraf. Pada kondisi ini
terjadi perubahan biomolekuler di mana terjadi
akumulasi saluran ion natrium dan ion lainnya.
Penumpukan ini menyebabkan timbulnya
mechano-hotspot yang sangat peka terhadap
rangsangan mekanik dan termal.21
Setelah mengetahui faktor risiko dan
patofisiologi pada low back pain, akan diulas
mengenai tatalaksana LBP secara singkat.
Pengobatan terhadap LBP dibagi menjadi dua
tahap yaitu pada kedatangan pertama dan
kedatangan kedua.22 Pada kedatangan
pertama, dilakukan edukasi pada pasien untuk
menghindari tidur terlalu lama dan segera
melakukan aktifitas normal sehari-hari,
sarankan kepada pasien untuk menghindari
posisi membungkuk. Selain itu, untuk
menangani nyeri, diberikan NSAID seperti
asetaminofen atau ibuprofen. Pertimbangkan
pemberian terapi opioid jangan pendek bila
nyeri semakin memburuk dan rujukan untuk
stabilisasi tulang dengan metode terapi fisik
McKenzie.22 Pada saat kedatangan kedua,
sekitar dua sampai empat minggu setelah
kunjungan pertama, dan keluhan belum
membaik, maka pertimbangkan pemberian
obat analgesik yang lebih kuat atau rujukan
kepada spesialis atau subspesialis apabila
keluhan tulang belakang semakin parah.3
Ringkasan
Berdasarkan pembahasan di atas,
pengemudi transportasi publik, sangat berisiko
terkenal keluhan muskuloskeletal berupa low
back pain (LBP). LBP merupakan nyeri pada
punggung bagian bawah yang dapat
diakibatkan oleh berbagai sebab yang
menimbulkan trauma pada vertebrae dan saraf
di sekitarnya. Disamping etiologi myogenik
yang menyebabkan kerusakan pada tulang,
otot dan jaringan lunak pada tulang belakang,
terdapat berbagai faktor risiko yang
menyebabkan keluhan pada pengemudi antara
lain faktor individu, faktor pekerjaan dan
tempat kerja, faktor lingkungan dan faktor
gerakan tubuh.
Muhammad Farras Hadyan I Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Low Back Pain pada Pengemudi Transportasi
Publik
Simpulan
Terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi kejadian low back pain (LBP)
pada pengemudi transportasi publik.
Daftar Pustaka
1. Susanto B & Danang P. 1-2-3 Langkah:
Langkah Kecil yang Kita Lakukan Menuju
Transportasi yang Berkelanjutan. Majalah
Transportasi Indonesia. Jakarta. 2004; 6:
85 – 89.
2. Albar Z. Gangguan Muskuloskeletal Akibat
Kerja. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Internal Publishing. Jakarta; 2009.
3. Tarwaka. Ergonomi untuk Keselamatan
Kesehatan Kerja dan Produktivitas.
Surakarta: Uniba Press; 2004.
4. Widyastuti R. Analisa Pengaruh Aktivitas
Kerja dan Beban Angkat Terhadap
Kelelahan Muskuloskeletal. Gema Teknik.
2009; 2: 28–9.
5. Armstrong. Element of Ergonomics
Programs a Primer Based on Workplace
Evaluations of Musculoskeletal Disorders.
US Departement of Health and Human
Service NIOSH. America; 2009.
6. Pope. Review of Studies on Seated Whole
Body Vibration and LBP. Departement of
Envirnmental and Occupational Mediine
University of Aberdeen. Scotland; 1999.
7. Rahmaniyah D. Analisa Pengaruh Aktifitas
Kerja dan Beban Angkat Terhadap
Kelelahan Muskuloskeletal. 2007; 10 (2).
8. Subiyono HS. Profil Antropo Metrik Tulang
Belakang Pada Pekerja Konveksi Bagian
Menjahit Dengan Posisi Duduk. KEMAS.
Edisi Juli – Desember. 2008; 4 (1).
9. OSHA. Ergonomics: The Study of Work.
New York Departement of Labour
Occupational
Safety
and
Health
Administration; 2000.
10. Suzilawati. Batu Ginjal Bukan Satu –
Satunya Pemicu Nyeri Pinggang. Bandung:
Harian Pikiran Rakyat. 2005; 5
11. Warpani S. Merencanakan Sistem
Perangkutan.Bandung. ITB; 1990.
12. Alperovitch D, Santo Y P, Masharawi, Y PT,
Katz-Leuer, Diana U & Kalichman L. Low
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
Back Pain Among Professional Bus Drivers
: Ergonomic and Occupational –
Psychosocial Risk Factors. Imaj. 2010; 2
Van Tulder MW, Koe BW. Low Back Pain
and Sciatica. Clin Evid. 2001; 6: 864–3.
Purba JS, Ng DS. Nyeri Punggung Bawah:
Patofisiologi, Terapi Farmakologi dan Non
– Farmakologi Akupuntur. Medicinus;
2008.
Samara D. Lama dan Sikap Duduk sebagai
Faktor Risiko Terjadinya Nyeri Pinggang
Bawah. 2005; 23 (2): 63–7.
Tarwaka. Ergonomi untuk Keselamatan
Kesehatan Kerja dan Produktivitas.
Surakarta: Uniba Press; 2004.
Trimunggara. Faktor – Faktor yang
Mempengaruhi Keluhan Low Back Pain
pada Kegiatan Mengemudi Tim Ekspedisi
PT. Enseval Putera Megatrading Jakarta
Tahun 2010. Jakarta: Jurnal Ergonomi
Indonesia; 2010.
Valeri TS, Nikolov, Miroslava PP, Nikola
VK. Obesity and Low Back Pain In Post
Menopausal Women. Medical University
Pleven; 2009.
Aulia RG. Model Korset dengan Bahan
Dasar Support Bambu untuk Mengurangi
Nyeri LBP pada Pengemudi Bus di Kota
Surakarta. Fakultas Ilmu Kesehatan UMS;
2012.
Nousa Y. Hubungan Antara Umur, Lama
Kerja dan Getaran dengan Keluhan Sistem
Muskuloskeletal pada Sopir Bus Trayek
Manado – Langowan di Terminal
Karombasan Manado; 2013.
Tunjung R. Diagnosis dan Penatalaksanaan
Nyeri Punggung Bawah di Puskesmas.
2009.
dokterblog.wordpress.com/2009/05/19/di
agnosis-dan-penatalaksanaan-nyeripunggung-bawah-di-puskesmas/ [Diakses
19 Juni 2015]
Casazza B. Diagnosis and Treatment of
Acute Low Back Pain. American Family
Physician.
2012;
85:
343-50.
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 23
Muhammad Farras Hadyan I Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Low Back Pain pada Pengemudi Transportasi
Publik
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 24
Nindia Dara Utama | Hubungan Obesitas dengan Kejadian Asma
Hubungan Obesitas dengan Kejadian Asma
Nindia Dara Utama
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
Abstrak
Asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi saluran nafas kronik dengan banyak sel yang ikut berperan, khususnya sel
mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan, inflamasi ini menyebabkan mengi berulang, sesak nafas, rasa dada
tertekan dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan
nafas yang luas namun bervariasi, yang sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan.
Inflamasi ini juga terkait dengan hipereaktivitas jalan nafas terhadap berbagai rangsangan. Obesitas merupakan suatu
keadaan dengan kelebihan lemak tubuh yang dapat menyebabkan permasalahan kesehatan. Masalah kesehatan yang dapat
ditimbulkan adalah kejadian asma. Meningkatnya mediator inflamasi, gangguan mekanik, dan volume paru menjadikan
obesitas sebagai satu faktor penyebab terjadinya asma. Disimpulkan bahwa obesitas memiliki hubungan dengan kejadian
asma.
Kata kunci: asma, inflamasi, obesitas
The Relation of Obesity and Asthma
Abstract
Asthma is defined as a chronic inflammatory disorder of the airways in which many cells play a role, in particular mast cells,
eosinophils, and lymphocytes T. In susceptible people, this inflammation causes recurrent wheezing, shortness of breath,
chest distress taste and coughing, particularly at night or early morning. These symptoms are usually associated with airway
constriction broad but varied, which is partly reversible either spontaneously or with treatment, inflammation is also
associated with airway hypereactivity to various stimuli. Obesity is a state of excess body fat that can affect health. One
problem that can arise is the occurrence of asthma. Increased inflammatory mediators, disruption mechanics and lung
volume causes obesity as one of the source factors of asthma. In conclusion obesity has a relation with the incidence of
asthma.
Keywords: asthma, inflammation, obesity.
Korespondensi: Nindia Dara Utama, e-mail [email protected]
Pendahuluan
Asma adalah penyakit inflamasi saluran
pernapasan kronik dimana banyak sel
berperan, di antaranya sel mast dan eosinofil.1
Asma merupakan keadaan inflamasi kronik
yang
menyebabkan
obstruksi
saluran
pernapasan reversibel dan disertai gejala
batuk, mengi, dada terasa terangkat, dan sesak
napas.2 Walaupun Indonesia dinyatakan
sebagai lowprevalence country (<5%) untuk
asma, kenyataan sulit dibantahkan bahwa
asma masih banyak diderita. Di Indonesia,
prevalensi asma belum diketahui secara pasti.
Pada anak-anak, penderita asma anak laki-laki
lebih banyak dibandingkan perempuan.
Sebaliknya, pada usia dewasa angka kejadian
asma
pada
perempuan
lebih
tinggi
3
dibandingkan laki-laki.
Prevalensi obesitas telah meningkat
pada sebagian besar negara industri dalam
dekade terakhir. Obesitas adalah penyakit
sistemik yang merupakan predisposisi dari
bermacam morbiditas dan merupakan
komplikasi yang menimbulkan efek pada
kesehatan.4 Berdasarkan kriteria dari World
Health
Organization
(WHO),
obesitas
didefinisikan sebagai Indeks Massa Tubuh
(IMT) >30 kg/m2.5 Di negara barat, prevalensi
obesitas sangat tinggi, yaitu satu dari tiga
penduduk mengalami hal tersebut. Di
Indonesia, obesitas mencapai 1,5%-5%.6 Dari
perkiraan 210 juta penduduk Indonesia tahun
2015, jumlah penduduk yang overweight
diperkirakan mencapai 76,7 juta (17,5%) dan
pasien obesitas berjumlah lebih dari 9,8 juta
(4,7%).7
Prevalensi asma dan obesitas telah
meningkat di beberapa negara, didapatkan
spekulasi bahwa orang dengan obesitas
meningkatkan resiko perkembangan asma.
Padadata hasil penelitian cross sectional dan
case control ditemukan adanya hubungan
obesitas dengan asma. Lebih dari dua puluh
juta orang Amerika menderita asma, dan lebih
dari sepertiganya adalah orang dengan
obesitas. Di Manado sebuah penelitian oleh
Majority | Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015 | 25
Nindia Dara Utama | Hubungan Obesitas dengan Kejadian Asma
Ford Tahun 2005 didapatkan 16% anak yang
terkena asma adalah anak yang juga menderita
obesitas.8
Peningkatan prevalensi obesitas telah
diikuti dengan peningkatan asma di seluruh
dunia baik pada anak-anak maupun dewasa.
Banyak hipotesis telah dikeluarkan untuk
menjelaskan peningkatan prevalensi dari asma
tetapi tidak didapatkan kesepakatan.9
Isi
Istilah asma berasal dari kata Yunani
yang artinya “terengah-engah” dan berarti
serangan
nafas
pendek.10
Nelson
mendefinisikan asma sebagai kumpulan tanda
dan gejala wheezing (mengi) dan atau batuk
dengan karakteristik sebagai berikut; timbul
secara episodik dan atau kronik, cenderung
pada malam hari atau dini hari (nocturnal),
musiman, adanya faktor pencetus yaitu
aktivitas fisik dapat juga bersifat reversibel baik
secara spontan maupun dengan penyumbatan,
serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada
pasien atau keluarga, sedangkan sebab-sebab
lain sudah disingkirkan.11
Batasan asma yang lengkap yang
dikeluarkan oleh Global Initiative for Asthma
(GINA) didefinisikan sebagai gangguan
inflamasi kronik saluran nafas dengan banyak
sel yang berperan, khususnya sel mast,
eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang
rentan inflamasi ini menyebabkan mengi
berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan, dan
batuk, khususnya pada malam atau dini hari.
Gejala ini biasanya berhubungan dengan
penyempitan jalan nafas yang luas namun
bervariasi, dan sebagian bersifat reversibel baik
secara spontan maupun dengan pengobatan,
inflamasi ini juga berhubungan dengan
hipereaktivitas jalan nafas terhadap berbagai
rangsangan. 12
Obstruksi saluran nafas pada asma
merupakan kombinasi spasme otot bronkus,
sumbatan mukus, edema, dan inflamasi
dinding bronkus.10 Obstruksi bertambah berat
selama ekspirasi karena secara fisiologis
saluran nafas menyempit pada fase tersebut.
Hal ini mengakibatkan udara distal tempat
terjadinya obtruksi terjebak tidak bisa
diekspirasi, selanjutnya terjadi peningkatan
volume residu, Kapasitas Residu Fungsional
(KRF), dan pasien akan bernafas pada volume
yang tinggi mendekati Kapasitas Paru Total
(KPT). Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar
Majority | Volume 4 | Nomor 7|Juni 2015| 26
saluran nafas tetap terbuka dan pertukaaran
gas lancar.
Gangguan yang berupa obstruksi saluran
nafas dapat dinilai secara objektif dengan
Volume Ekspirasi Paksa (VEP) atau Arus Puncak
Ekspirasi (APE),
sedangkan penurunan
Kapasitas Vital Paksa (KVP) menggambarkan
derajat hiperinflasi paru. Penyempitan saluran
nafas dapat terjadi baik pada di saluran nafas
besar, sedang maupun yang kecil. Gejala mengi
menandakan ada penyempitan di saluran nafas
besar. Manifestasi penyumbatan jalan nafas
pada asma disebabkan oleh bronkokontriksi,
hipersekresi mukus, edema mukosa, infiltrasi
seluler, dan deskuamasi sel epitel serta sel
radang.
Berbagai
rangsangan
alergi
dan
rangsangan nonspesifik, akan adanya jalan
nafas yang hiperaktif, mencetuskan respon
bronkokontriksi dan radang. Rangsangan ini
meliputi alergen yang dihirup (tungau debu,
tepungsari, sari kedelai, dan protein minyak
jarak), protein sayuran lainnya, infeksi virus,
asap rokok, polutan udara, bau busuk, obatobatan (metabisulfit), udara dingin, dan olah
raga.13
Patologi
asma
berat
adalah
bronkokontriksi, hipertrofi otot polos bronkus,
hipertropi kelenjar mukosa, edema mukosa,
infiltrasi sel radang (eosinofil, neutrofil, basofil,
makrofag), dan deskuamasi. Tanda-tanda
patognomosis adalah krisis kristal Charcotleyden (lisofosfolipase membran eosinofil),
spiral Cursch-mann (silinder mukosa bronkiale),
dan benda-benda Creola (sel epitel terkelupas).
Penyumbatan paling berat adalah selama
ekspirasi karena jalan nafas intratoraks
biasanya menjadi lebih kecil selama ekspirasi.
Penyumbatan jalan nafas difus ini tidak
seragam di seluruh paru.
Atelektasis
segmental
atau
subsegmental dapat terjadi dan memperburuk
ketidakseimbangan ventilasi serta perfusi.
Hiperventilasi
menyebabkan
penurunan
kelenturan,
karena
kerja
pernafasan
bertambah. Kenaikan tekanan transpulmuner
yang diperlukan untuk ekspirasi melalui jalan
nafas yang tersumbat, dapat menyebabkan
penyempitan lebih lanjut, atau penutupan dini
(prematur) beberapa jalan nafas secara total
selama ekspirasi, dengan demikian menaikkan
risiko pneumotoraks. Asma dapat timbul pada
segala umur, dimana 30% penderita bergejala
pada umur 1 tahun, sedangkan 80-90% anak
Nindia Dara Utama | Hubungan Obesitas dengan Kejadian Asma
yang menderita asma gejala pertamanya
muncul sebelum umur 4-5 tahun.13
Asma merupakan gangguan kompleks
yang melibatkan faktor autonom, imunologis,
infeksi, endokrin, dan psikologis dalam
berbagai tingkat pada berbagai individu.
Aktivitas bronkokontriktor neural diperantarai
oleh bagian kolinergik sistem saraf otonom.
Ujung sensoris vagus pada epitel jalan nafas
merupakan reseptor batuk atau iritan, dapat
mencetuskan refleks arkus cabang aferens, dan
pada ujung eferens dapat merangsang
kontraksi otot polos bronkus. Neurotransmisi
Peptida Intestinal Vasoaktif (PIV) memulai
relaksasi otot polos bronkus. Neurotransmisi
peptida
vasoaktif
merupakan
suatu
neuropeptida dominan yang dilibatkan pada
terbukanya jalan nafas. Faktor imunologi
penderita asma ekstrinsik atau alergi, terjadi
setelah pemaparan terhadap faktor lingkungan
seperti debu rumah, tepung sari, dan ketombe.
Bentuk asma inilah yang paling sering
ditemukan pada usia 2 tahun pertama dan
pada orang dewasa (asma yang timbul lambat),
disebut intrinsik.13
Faktor endokrin menyebabkan asma
menjadi lebih buruk dalam hubungannya
dengan kehamilan dan menstruasi atau pada
saat wanita menopause, dan asma membaik
pada beberapa anak saat pubertas. Faktor
psikologis emosi dapat memicu gejala-gejala
pada beberapa anak dan dewasa yang
berpenyakit asma, tetapi emosional atau sifatsifat perilaku yang dijumpai pada anak asma
lebih sering dari pada anak dengan penyakit
kronis lainnya.13 Penegakan diagnosis asma
didasarkan pada anamnesis, tanda-tanda klinik
dan pemeriksaan tambahan.14
Pemeriksaan
anamnesis
dalam
menegakan diagnosis asma dapat berupa
keluhan episodik batuk kronik berulang, mengi,
sesak dada, dan kesulitan bernafas. Faktor
pencetus (inciter) didapatkan seperti iritan
(debu), pendinginan saluran nafas, allergen,
dan emosi, sedangkan perangsang (inducer)
berupa
kimia,
infeksi
dan,
alergen.
Pemeriksaan fisik ditemukan sesak nafas
(dyspnea), mengi, nafas cuping hidung pada
saat inspirasi (anak), bicara terputus putus,
agitasi, hiperinflasi toraks, dan lebih suka posisi
duduk. Tanda-tanda lain yaitu sianosis,
mengantuk, susah bicara, takikardia, dan
hiperinflasi torak. Pemeriksaan uji fungsi paru
sebelum dan sesudah pemberian metakolin
atau bronkodilator sebelum dan sesudah
olahraga dapat membantu menegakkan
diagnosis asma.13
Asma sulit didiagnosis pada anak di
bawah umur 3 tahun. Untuk anak yang
umurnya sudah lebih dari 6 tahun pemeriksaan
fungsi paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru
yang sederhana dengan peak flow meter atau
yang lebih lengkap dengan spirometer, uji yang
lain dapat melalui provokasi bronkus dengan
histamin, metakolin, latihan (exercise), udara
kering dan dingin, atau dengan NaCl hipertonis.
Penggunaan peak flow meter merupakan hal
penting dan perlu diupayakan, karena selain
mendukung diagnosis, juga mengetahui
keberhasilan tata laksana asma, selain itu
dapat juga menggunakan lembar catatan
harian sebagai alternatif.15
WHO mendefinisikan obesitas sebagai
suatu keadaan dengan kelebihan lemak tubuh
yang menjadi permasalahan kesehatan
sehingga bisa mempengaruhi kesehatan.16
Untuk
mendefinisikan
obesitas
sering
digunakan Body Mass Indeks (BMI) atau Indeks
Massa Tubuh (IMT) yang mana dibatasi oleh
BMI > 30. Perhitungan didasarkan pada tinggi
badan dan berat badan.16 Ukuran yang
ditetapkan WHO ternyata terlalu besar untuk
orang Asia. Dari jurnal yang diakses dari
website WHO, diperoleh keterangan mengenai
BMI untuk orang Asia, yang dikatakan sudah
menderita kelebihan berat badan jika Indeks
Massa Tubuhnya melebihi 23kg/m2 dan
disebut obesitas apabila telah mencapai > 25
kg/m2. Tipe Obesitas dapat ditentukan
berdasarkan distribusi lemak pada tubuh
dengan mengukur pinggang menggunakan
pengukuran lingkar pinggul.18
Tipe-tipe obesitas saat ini yaitu: Obesitas
Tipe Android (tipe buah apel).19 Kegemukan
tipe android banyak terjadi pada pria dan
wanita yang telah mengalami menopause.
Timbunan lemak umumnya terdapat di bagian
atas tubuh. Kegemukan tipe android lebih
berisiko terkena penyakit-penyakit yang
berhubungan dengan metabolisme glukosa dan
lemak seperti penyakit gula (diabetes melitus,
penyakit jantung koroner, stroke, pendarahan
otak, dan tekanan darah tinggi).
Obesitas Tipe Ginoid (Tipe Buah pir)
dapat ditandai dengan banyaknya timbunan
lemak di bagian bawah tubuh, yaitu di sekitar
perut, pinggul, paha, dan pantat. Tipe ini
banyak terjadi pada wanita. Tipe ginoid lebih
Majority | Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015 | 27
Nindia Dara Utama | Hubungan Obesitas dengan Kejadian Asma
aman dari penyakit-penyakit degeneratif,
tetapi penurunan berat badan akan lebih susah
dilakukan. Obesitas meningkatkan jumlah
inflamasi pada tubuh.20 Jaringan lemak
mensintesis dan mensekresi beberapa
mediator inflamasi. Karenanya sistem imun
berperan pada patofisiologi asma.8 Obesitas
juga dapat menyebabkan penurunan volume
paru.21
Obesitas memiliki peranan terhadap
fungsi paru.Obesitas memiliki efek mekanik
yang penting untuk perubahan fisiologi paru;
gejala yang timbul mirip asma. Obesitas
menyebabkan penurunan sistem komplians
paru, volume paru, dan diameter saluran napas
perifer. Akibatnya, terjadi peningkatan
hipereaktivitas saluran napas, perubahan
volume darah pulmoner, dan gangguan fungsi
ventilasi perfusi.
Penurunan sistem komplians paru pada
obesitas disebabkan oleh penekanan dan
infiltrasi jaringan lemak di dinding dada, serta
peningkatan volume darah paru. Dispneu
merupakan gejala akibat terganggunya sistem
ini. Selain itu, pada penderita obesitas aliran
udara di saluran napas terbatas, ditandai
dengan menurunnya nilai FEV1 dan FVC yang
umumnya terjadi simetris. Penurunan volume
paru berhubungan dengan berkurangnya
diameter saluran napas perifer menimbulkan
gangguan fungsi otot polos saluran napas. Hal
ini menyebabkan perubahan siklus jembatan
aktin-miosin
yang
berdampak
pada
peningkatan hipereaktivitas dan obstruksi
saluran napas.22
Obesitas juga memiliki keterkaitan
dengan beberapamediator inflamasi. Jaringan
adiposit memproduksi sejumlah molekul proinflamasi yang berperan dalam sistem imun
seperti interleukin (IL)-6, eotaxin, tumor
necrosis factor (TNF)-α, transforming growth
factor (TGF)-β1, leptin, dan adiponektin. Pada
penderita obesitas produksi molekul-molekul
tersebut meningkat sehingga menimbulkan
respon inflamasi sistemik. Berikut informasi
mengenai molekul-molekul yang berperan
pada patogenesis asma.23
Sel adiposit memproduksi IL-6 dan
kadarnya berkorelasi dengan massa lemak
tubuh total. Kadar IL-6 yang meningkat
berhubungan dengan stimulasi terhadap
histamin, IL-4, TNF-α, dan IL-1. Stimulasi
terhadap IL-4 akan meningkatkan produksi IgE
yang berperan penting pada asma.9 IL-6 juga
Majority | Volume 4 | Nomor 7|Juni 2015| 28
berperan untuk terjadinya fibrosis subepitelial
saluran napas, yang merupakan kunci
terjadinya remodeling saluran napas pada
asma.24
Eotaxin merupakan kemokin yang
berperan dalam migrasi eosinofil dari darah ke
saluran napas sehingga menimbulkan respon
inflamasi pada penderita asma.11 Eotaxin pada
manusia disekresikan oleh sel endotel,
fibroblas, makrofag, sel epitel bronkus bersilia
dan tidak bersilia, sel otot polos, kondrosit, dan
eosinofil. Ditemukan bahwa jaringan adiposit
juga mensekresikan eotaxin dan kadarnya
meningkat baik pada tikus percobaan maupun
manusia yang obesitas. Selain itu percobaan
penurunan berat badan pada manusia
menyebabkan menurunnya kadar eotaxin
plasma. Hal ini membuktikan bahwa kadar
eotaxin yang meningkat pada obesitas akan
meningkatkan risiko seseorang menderita
asma.25
TNF-α juga dihasilkan oleh sel adiposit
dan kadarnya berhubungan langsung dengan
massa lemak tubuh. Selain itu, diketahui
bahwa pada asma terjadi peningkatan kadar
TNF-α yang meningkatkan produksi sitokin T
helper (Th)-2 yakni IL-4 dan IL-6 di epitel
bronkus.22
Pada asma, TGF-β1 dihasilkan oleh
eosinofil
dan
makrofag.
Sitokin
ini
menyebabkan terjadinya transformasi fibroblas
menjadi miofibroblas dan berdampak terhadap
remodeling saluran napas.26 Banyak penelitian
yang menyatakan bahwa leptin merupakan
faktor yang berperan dalam hubungan antara
obesitas dan asma. Leptin merupakan hormon
yang diproduksi oleh adiposit dan kadarnya
meningkat pada penderita obesitas. Melalui
pengaturan di hipotalamus, leptin berfungsi
mengatur asupan energi dan metabolisme
tubuh. Selain itu, leptin memiliki peran dalam
pengaturan respons inflamasi pada penderita
obesitas yakni meng-atur proliferasi dan
aktivasi sel T, promosi angiogenesis, serta
aktivasi sel monosit dan makrofag. Kadar leptin
dalam darah dapat digunakan untuk
memprediksi terjadinya asma pada anak.22
Adiponektin memiliki peran sebagai antiinflamasi termasuk di saluran napas. Pada
obesitas terjadi penurunan kadar adiponektin
serum sehingga mempermudah terjadinya
respons inflamasi, seperti pada asma.22
Polimorfisme genetik menyebabkan
terdapatnya beberapa efek yang mungkin
Nindia Dara Utama | Hubungan Obesitas dengan Kejadian Asma
muncul pada satu gen. Selain itu, suatu gen
yang terdapat pada satu region kromosom
dapat pula menjadi penghubung antara satu
penyakit dengan penyakit lainnya. Kandidat
gen yang berperan pada obesitas dan asma
terdapat pada region kromosom 5q, 6p, 11q13,
dan 12q.22
Pada kromosom 5q terdapat kandidat
gen ADRB2, NR3C1, dan GRL yang
berhubungan untuk terjadinya asma dan
obesitas.
Polimorfisme
gen
ADRB2
menyebabkan peningkatan kadar IgE serum
dan derajat serangan asma, gangguan respons
terapi terhadap pemberian β agonis, serta
menyebabkan obesitas.27 Gen NR3C1 berperan
untuk respons inflamasi baik pada asma
maupun obesitas, sedangkan gen GRL
berhubungan dengan peningkatan derajat
serangan asma, berkurangnya respons
terhadap steroid pada pengobatan asma, dan
terjadinya obesitas. 27
Kromosom 6p mengandung kandidat
gen TNF-α yang berperan terhadap
hipereaktivitas saluran napas, asma, dan
terjadinya
obesitas.22Kromosom
11q13
memiliki dua kandidat gen yakni UCP2-UCP3
dan gen untuk reseptor IgE.UCP2-UCP3
mempengaruhi pengaturanmetabolisme tubuh
tetapi tidak berperan pada asma. Sebaliknya,
gen reseptor IgE memiliki peran dalam respons
inflamasi sel Th-2 yang meningkat pada asma
namun tidak berperan pada obesitas.22 Pada
kromosom 12q terdapat gen untuk sitokin
inflamasi pada asma (IFN-γ, LTA4H, NOS-1) dan
obesitas (STAT6, IGF1, CD36L1).22
Banyak penelitian membuktikan bahwa
efek obesitas pada asma lebih sering terjadi
pada wanita.Hal ini menjelaskan pengaruh
hormon seks terhadap kedua penyakit
tersebut. Anak perempuan overweight atau
obesitas yang mengalami pubertas lebih awal
berisiko lebih tinggi terhadap kejadian asma
dibandingkan dengan anak perempuan yang
memiliki IMT normal.
Ada dua hal yang menjelaskan pengaruh
hormonal dalam hubungan obesitas dan
asma.Pertama,
obesitas
mempengaruhi
pengaturan hormon perempuan sehingga
mempercepat pubertas. Pada keadaan ini, sel
adiposit memproduksi estron (salah satu
estrogen alami) dan leptin sehingga kadarnya
meningkat dalam darah. Kedua hormon ini
memiliki peran untuk terjadinya asma. Hormon
estrogen berperan mempengaruhi respons
saluran napas terhadap β2 adrenergik,
sedangkan leptin mempengaruhi respons
inflamasi.
Kedua, peningkatan hormon estrogen
pada
perempuan
obes
cenderung
menyebabkan atopi.Hal ini karena hormon
perempuan
menyebabkan
sel
limfosit
menyekresi lebih banyak IL-4 dan IL-13
sehingga
meningkatkan
produksi
IgE.
Meningkatnya kepekaan terhadap alergi pada
anak perempuan yang obes menjelaskan
terjadinya asma.25
Konsumsi makanan penderita obesitas
cenderung memiliki nilai nutrisi rendah tetapi
tinggi lemak. Kadar vitamin A, C, E, karoten,
riboflavin, piridoksin, zink, dan magnesium
yang dikonsumsi berbanding terbalik dengan
kadar lemak tubuh. Rendahnya kadar zat-zat
tersebut berpengaruh terhadap terjadinya
asma. Defisiensi zink dan magnesium
berhubungan dengan munculnya gejala asma
dan hipereaktivitas bronkus. Selain itu,
defisiensi zink juga meningkatkan respons
imun sel Th. Vitamin A, E, karoten, riboflavin,
dan piridoksin diduga berhubungan dengan
penurunan fungsi paru dan asma. Kadar
vitamin C yang rendah berhubungan dengan
meningkatnya prevalensi asma pada anak dan
dewasa, gejala respirasi, serta hipereaktivitas
bronkus. Suplementasi vitamin C menunjukkan
terjadinya penurunan derajat serangan dan
frekuensi asma, bronkospasme yang diinduksi
oleh aktivitas, dan respons saluran napas
terhadap metakolin.
Nutrien lain yang berhubungan untuk
terjadinya asma adalah natrium (Na). Pada
obesitas terjadi retensi Na akibat produksi
angiotensin II oleh adiposit dan leptin yang
menimbulkan efek simpatis langsung pada
sistem renal. Beberapa penelitian menemukan
bahwa peningkatan Na berhubungan dengan
peningkatan reaktivitas saluran napas, tetapi
penelitian lain tidak menemukan hal ini.
Restriksi Na pada tiga uji klinik memperbaiki
respons saluran napas, FEV1, dan gejala
asma.27
Ringkasan
Asma didefinisikan sebagai gangguan
inflamasi kronik saluran nafas dengan banyak
sel yang berperan, khususnya sel mast,
eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang
rentan inflamasi ini menyebabkan mengi
berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan dan
Majority | Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015 | 29
Nindia Dara Utama | Hubungan Obesitas dengan Kejadian Asma
batuk, khususnya pada malam atau dini hari.
Gejala ini biasanya berhubungan dengan
penyempitan jalan nafas yang luas namun
bervariasi, yang sebagian bersifat reversibel
baik secara spontan maupun dengan
pengobatan, inflamasi ini juga berhubungan
dengan hipereaktivitas jalan nafas terhadap
berbagai rangsangan. Obesitas sebagai suatu
keadaan dengan kelebihan lemak tubuh yang
menjadi permasalahan kesehatan sehingga
bisa mempengaruhi kesehatan. Salah satu
masalah yang dapat ditimbulkan adalah
kejadian asma. Meningkatnya mediator
inflamasi, gangguan mekanik dan volume paru
menyebabkan obesitas sebagai salah satu
faktor peneyebab terjadinya asma.
Simpulan
Obesitas memiliki hubungan dengan
kejadian asma.Obesitas memiliki keterkaitan
dengan beberapa mediator inflamasi yang
memiliki hubungan erat dengan kejadian asma.
Daftar Pustaka
1. Gershwin ME, Albertson TE (eds).
Bronchial Asthma: A Guide for Practical
Understanding and Treatment. Honolulu:
Humana Press; 2004.
2. Davey P. At a Glance Medicine. Jakarta:
Erlangga; 2002.
3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Asma
Pedoman
Diagnosis
dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2004.
4. Pischon N. Obesity, Inflammation, and
Periodontal Disease. 2007.
5. Chang CJ, dkk. International Journal of
Obesity. 2003; 27:253-259.
6. Cahyono SB. Gaya Hidup dan Penyakit
Modern. Jakarta: Kanisius; 2006.
7. Tapan E. Penyakit Degeneratif. Jakarta:
Elex Media Komputindo; 2005.
8. Ford ES. The Epidemiology of Obesity and
Asthma. Journal of Allergy and Clinical
Immunology. 2005; 115 : 897-909.
9. Mishra V. Effect of Obesity on Asthma
among Adult Indian Women. Int J of
Obes. 2004; 28: 1048-1058.
10. McLachlan Car G, dkk. Adiposity, asthma,
and airway inlflammation. J Allergy Clin
Immunol. 2006; 119 (3):634-9.
11. Nelson WE.
Ilmu Kesehatan Anak.
Terjemahan Wahab S. Vol I: Jakarta.
Penerbit EGC; 2006. hlm 775.
Majority | Volume 4 | Nomor 7|Juni 2015| 30
12. GINA (Global Initiative for Asthma). Pocket
Guide for Asthma Management and
Prevension In Children. USA: GINA (Global
Initiative for Asthma); 2006.
13. Sundaru H, Sukamto. Asma Bronkial.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakulas Kedokteran Universitas Indonesia;
2006. hlm 247.
14. Ramailah S. Asma Mengetahui Penyebab,
Gejala dan Cara Penanggulangannya.
Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, Gramedia;
2006.
15. Dahlan Z. Penegakan Diagnosis dan Terapi
Asma dengan Metode Obyektif. Cermin
dunia kedokteran; 2000. hlm 120:15
16. Gray GA, Bouchard C. Handbook of
Obesity. Ohio: Informa Health Care. 2004.
17. Ostman J, Johnson E., Britton M. (eds).
Treating and Preventing Obesity. Boston:
Willey-VCH. 2004.
18. Ramayulis R. Alternatif untuk Langsing.
Jakarta: Niaga Swadaya rashers VL.
Aplikasi Klinis Patofisiologi. Jakarta: EGC;
2008:11: 157.
19. Nammi S, et al. Obesity: An overview on
its Current Perspective and Treatment
Option. Nutrition Journal. 2004; 3:14752891.
20. Meggs WJ, Svec C. The Inflammation Cure.
Boston: McGraw-HillProfessional; 2004. .
21. Ronmark E, et al. Obesity increases the
Risk of Incidence Asthma among Adult. Eu
Respir J. 25: 282-286. 2005.
22. Delgado J, Barranco P, Quirce S. Obesity
and asthma. J Investig Allergol Clin
Immunol. 2008; 18(6): 420-25.
23. Castro-Rodriguez JA, Holberg CJ, Morgan
WJ, Wright AL, Martinez FD. Increased
incidence of asthma like symptoms in girls
who become overweight or obese during
the school years. Am J Respir Crit Care
Med. 2001; 163: 1344-9.
24. Tantisira KG, Weiss ST. Complex
interactions in complex traits: obesity and
asthma. Thorax. 2001; 56: ii64.
25. Vasudevan AR, Wu H, Xydakis AM et al.
Eotaxin and obesity. J Clin Endocrinol
Metab. 2006; 91(1): 256-61.
26. Naning R, Darmawan MT. Airway
remodelling in asthma. Paediatrica Indon.
2001; 41 (5-6): 125-31.
27. David A. Beuther, Scott T. Weiss, and E.
Rand Sutherland. : obesity and asthma.
Am J Respir Crit Jul 15; 174(2): 112–119.
Inaz dan Anggraeni | Efek Paparan Gelombang Elektromagnetik Handphone terhadap Kadar Glukosa Darah
Efek Paparan Gelombang Elektromagnetik Handphone terhadap Kadar
Glukosa Darah
Inaz Kemala Dewi1, Anggraeni Janar Wulan 2
1
Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
2
Bagian Anatomi, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
Abstrak
Global System for Mobile Communications (GSM) merupakan salah satu jaringan telepon yang paling sering digunakan.
Padahal, tingkat radiasi yang dipancarkan oleh GSM lebih tinggi dibanding jaringan telepon yang lain. Sejumlah penelitian di
dunia telah membuktikan bahwa gelombang elektromagnetik yang dipancarkan oleh handphone memiliki pengaruh
terhadap tubuh manusia. Pengaruh yang ditimbulkan meliputi perubahan struktur mikroskopis maupun fungsional
termasuk perubahan secara biokimiawi. Beberapa penelitian membuktikan bahwa gelombang elektromagnetik dapat
mengakibatkan terganggunya pengaturan metabolisme glukosa dalam tubuh. Mekanisme yang menyebabkan hal tersebut
adalah mekanisme stres. Stresor dari gelombang elektromagnetik akan mengaktifkan hypothalamus-pituitary-adrenal (HPA)
axis, yaitu mengakibatkan hipotalamus mensekresi corticotropin-releasing hormone (CRH) dan arginine vasopressin (AVP).
Hormon CRH akan menstimulasi hipofisis anterior untuk mensekresi adrenocorticotropin hormone (ACTH). Kemudian ACTH
akan menstimulasi korteks adrenal untuk mensekresi kortisol. Kortisol akan memacu peningkatan glukoneogenesis dan
resisten insulin. Lebih jauh lagi, glukoneogenesis dan resisten insulin ini akan mengakibatkan peningkatan kadar glukosa
darah. Simpulan: Paparan gelombang elektromagnetik dari handphone dapat meningkatkan kadar glukosa darah.
Kata kunci: Gelombang elektromagnetik, Glukosa, GSM, Handphone, Stres
Effects of Handphone Electromagnetic Wave Exposure on Blood Glucose Level
Abstract
Global System for Mobile Communications (GSM) is one of the most frequently used telephone network. In fact, the level of
radiation emitted by GSM is higher than other telephone network . A number of studies in the world have proved that
electromagnetic waves emitted by mobile phones have an influence on the human body. The effect include changes in the
microscopic structure and function, including biochemical changes. Several studies have shown that electromagnetic waves
can lead to disruption in the body's regulation of glucose metabolism. The mechanisms that cause this is the mechanism of
stress. Stressors of electromagnetic waves would activate the hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) axis, which resulted in
the hypothalamus secrete corticotropin-releasing hormone (CRH) and arginine vasopressin (AVP). CRH hormone stimulates
the anterior pituitary to secrete adrenocorticotropin hormone (ACTH). Then ACTH stimulates the adrenal cortex to secrete
cortisol. Cortisol will spur increased gluconeogenesis and insulin resistance. Furthermore, gluconeogenesis and insulin
resistance will result in an increase in blood glucose levels. Conclusions: Exposure to electromagnetic waves from mobile
phones can increase blood glucose levels.
Keywords: Electromagnetic Wave, Glucose, GSM, Handphone, Stress
Korespondensi: Inaz Kemala Dewi, alamat Jalan Bumi Manti No. 74 Kel. Kampung Baru Kec. Kedaton Bandar
Lampung, HP 081220106544, email [email protected]
Pendahuluan
Jumlah pengguna handphone di dunia
setiap tahun selalu meningkat. Menurut
Statista (2015), salah satu negara dengan
peningkatan pengguna handphone yang pesat
yaitu China. Pada April 2014, pengguna
handphone di China mencapai 1,25 milyar
pengguna. Kurang dari satu tahun, pada
Februari 2015 sekitar 1,29 milyar pengguna
handphone terdaftar di China.1 Penggunaan
handphone telah mengenai semua kalangan
masyarakat dan tingkatan usia. Tidak hanya
kalangan
orang
dewasa
saja
yang
menggunakan handphone saat ini, bahkan
sudah tidak asing lagi anak-anak menggunakan
handphone. Salah satu survey di sebuah
sekolah swasta di Bekasi menunjukkan dari 57
orang anak kelas 4 sampai 6 berusia 9 sampai
13 tahun, hanya 1 orang anak saja yang tidak
menggunakan
handphone,
selebihnya
menggunakan handphone dengan berbagai
macam merek.2
Global
System
for
Mobile
Communications (GSM) dan Code Division
Multiple Access (CDMA) merupakan dua
teknologi komunikasi generasi kedua (2G) yang
paling sering digunakan oleh masyarakat.3
Global System for Mobile Communications
Majority | Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015| 31
Inaz dan Anggraeni | Efek Paparan Gelombang Elektromagnetik Handphone terhadap Kadar Glukosa Darah
(GSM) terhitung sebagai jaringan telepon
utama di dunia. Telepon GSM umumnya
beroperasi pada setengah dari keluaran radiasi
maksimumnya, sedangkan telepon CDMA
beroperasi hanya sedikit dari keluaran radiasi
maksimalnya.4 Telepon seluler GSM memiliki
efek yang lebih besar pada otak dibandingkan
dengan telepon seluler CDMA.3
Pemberian
paparan
medan
elektromagnetik sebesar 50 Hz empat jam
sehari selama enam minggu pada tikus jantan
menunjukkan perubahan pada pankreas secara
mikroskopis. Hasil penelitian ini menunjukkan
berkurangnya ukuran islet pankreas.5 DI sisi
lain, Paras et al. (2014) menunjukkan paparan
medan elektromagnetik berfrekuensi tinggi
sebesar 1,9 GHz selama 30 hari pada tikus
Wistar mengakibatkan peningkatan jumlah,
volume, densitas, dan rasio nukleositoplasmik
sel beta pankreas.6 Pada penelitian Ayeni
(2011), menunjukkan perubahan secara
fungsional dimana terdapat peningkatan
denyut jantung sekitar 1,4% pada subyek
penelitian setelah didekatkan dengan telepon
GSM dalam mode vibrasi.7 Dan lebih jauh lagi,
gelombang elektromagnetik menimbulkan
perubahan secara biokimiawi di mana pada
penelitian yang dilakukan oleh Sedghi et al.
(2006) pemberian paparan medan magnetik
sebesar 50 Hz selama 1, 2 dan 4 jam selama 5
hari berturut-turut pada guinea pig jantan
menunjukkan penurunan kadar lipid total,
kolesterol, trigliserida.8
Pada penelitian yang dilakukan oleh
Mahdavi et al. (2014), pemberian paparan
medan elektromagnetik sebesar 1 Hz dan 5 Hz
dengan
menggunakan
Extremely
Low
Frequency Electromagnetic Fields (ELF-EMF)
Generator pada tikus Wistar jantan selama dua
jam setiap hari selama 21 hari dapat
meningkatkan
kadar
adrenocorticotropin
hormone (ACTH) plasma. Temuan ini
mengindikasikan bahwa sistem stres otak
teraktivasi setelah paparan medan dan dapat
didalilkan bahwa corticotropin releasing factor
(CRF) dilepaskan dari sumbernya (sel-sel
magnoselular
nukleus
paraventrikular
hipotalamus).9 Menurut Radon et al. (2001)10,
penelitian
epidemiologi
telah
mendokumentasikan bahwa electromagnetic
fields (EMF) menyebabkan peningkatan
kortisol.
Tulisan ini merupakan review dari
berbagai sumber jurnal dan penelitian terbaru
Majority | Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015| 32
yang relevan seiring dengan meningkatnya
penggunaan handphone dan untuk mengetahui
pengaruh
efek
samping
gelombang
elektromagnetik handphone terhadap kadar
glukosa darah.
Isi
Gelombang elektromagnetik merupakan
aliran energi dalam bentuk medan elektrik (E)
dan magnetik (M). Spektrum elektromagnetik
dapat dibagi menjadi radiasi non-pengion dan
pengion; tergantung pada kemampuan untuk
mengionisasi molekul; hanya radiasi pengion
yang memiliki energi foton yang cukup untuk
memecah ikatan-ikatan kimia.11 Radiasi
pengion contohnya sinar-X dan sinar gamma,
sedangkan radiasi non-pengion seperti medan
magnet dan elektrik, gelombang radio, berkas
radio-frekuensi termasuk microwave, infrared,
ultraviolet, dan radiasi yang tampak.12
Spektrum radiasi non-pengion lebih jauh lagi
dapat dibagi menjadi beberapa kategori
berdasarkan frekuensi atau panjang gelombang
(Gambar 1):11
1. Extremely
Low
Frequency
(ELF)
Electromagnetic Fields (EMF)
2. Intermediate
Frequency
(IF)
Electromagnetic Fields (EMF)
3. Radiofrequency (RF) Electromagnetic
Fields (EMF)
4. Infrared (IR) Radiation
5. Visible (VIS) Light
6. Ultraviolet (UV) Radiation
Gambar 1. Spektrum Gelombang
Elektromagnetik11
Ponsel atau handphone merupakan salah
satu
sumber
Radiofrequency
(RF)
Electromagnetic Fields (EMF). Salah satu sistem
telepon seluler (ponsel) yang paling sering
digunakan oleh masyarakat, GSM beroperasi
pada RF-EMW 900 MHz dan 1800 MHz.
Walaupun kadar energi yang rendah dari
Inaz dan Anggraeni | Efek Paparan Gelombang Elektromagnetik Handphone terhadap Kadar Glukosa Darah
radiasi non-ionisasi tidak bisa memecah ikatan
kovalen pada molekul biologis, tubuh manusia
berkaitan sifat elektrisnya seperti permitivitas
dan konduktivitas mampu menerima dan
menginduksi medan elektrik dan bagian
tertentu di dalam jaringan.13 Interaksi antara
radiasi elektromagnetik dan organisme hidup
melalui dua mekanisme, yaitu efek thermal dan
efek non-thermal.14 Efek non-thermal dapat
mengganggu secara luas berbagai jalur
metabolisme.
Efek
tersebut
sering
dihubungkan dengan trauma membran
plasma, efek transduksi sinyal selular,
gangguan
eksitabilitas
sistem
saraf,
neuroendokrin dan trauma sistem imun.15,16
Efek non-thermal dari EMF sejauh ini belum
diteliti secara dalam, walaupun banyak
mekanisme yang telah dipertimbangkan,
seperti contohnya modulasi kanal ion
membran untuk Na+ dan K+,17 perubahan
homeostasis Ca++ sel,18 peningkatan pada
eksitabilitas sel,19 atau aktivasi respon stres
selular.20,21
Stres dideskripsikan sebagai keadaan
yang mengancam homeostasis atau ketidak
seimbangan.22 Stresor adalah suatu keadaan
yang menimbulkan respon stres.23 Sistem stres
mengkoordinasikan respon adaptif organisme
terhadap stresor dari berbagai jenis.
Komponen utama sistem stres yaitu
corticotropin-releasing hormone (CRH) dan
locus
ceruleus-norepinephrine
(LC/NE)automatic system dan efektor-efektor perifer,
the pituitary-adrenal axis, dan sistem
otonom.22
Corticotropin-releasing hormone (CRH)
merupakan salah satu hormon yang dihasilkan
di hipotalamus.24 Pada keadaan tidak terpapar
stres, baik CRH dan arginine vasopressin (AVP)
disekresi pada sistem portal mengikuti irama
sirkadian dengan frekuensi sekitar dua sampai
tiga episode sekresi per jam.25 Di bawah
keadaan istirahat, amplitudo pengeluaran CRH
dan AVP meningkat pada jam-jam awal di pagi
hari, yang akhirnya menghasilkan peningkatan
sekresi ACTH dan kortisol.26,27 Variasi diurnal ini
diganggu oleh perubahan cahaya, jadwal
makan, dan aktivitas dan dikacaukan oleh
stres.22 Ketika hipotalamus terpicu oleh stresor,
CRH dan AVP disekresi, mengakibatkan baik
produksi ACTH dari hipofisis anterior dan
aktivasi neuron-neuron noradregenik dari
sistem LC/NE di otak.28
Hipofisis anterior terbagi menjadi tiga
bagian, yaitu pars distalis, pars tuberalis dan
pars intermedia. Pars distalis terdiri dari dua
kelompok sel yaitu kromofil dan kromofob.
Kromofil adalah sel sekretoris dengan hormon
yang disimpan dalam granula sitoplasma.
Kromofil juga disebut sebagai basofil dan
asidofil, masing-masing sesuai afinitasnya
terhadap pulasan basa dan asam. Asidofil
mencakup
sel
somatotropik
dan
mammotropik, sedangkan sel basofilik meliputi
sel gonadotropik, kotikotropik dan sel
tirotropik.29
Sel-sel
kromofob
tidak
berpartisipasi pada sintesis hormon, melainkan
lebih menjadi prekursor sel yang memproduksi
hormon.30 CRH dari hipotalamus menstimulasi
sekresi ACTH oleh sel-sel kortikotrop.24
Korteks adrenal dibagi menjadi tiga
zona: zona glomerulosa, zona fasciculata dan
zona retikularis. Sekresi ACTH dari hipofisis
anterior menstimulasi zona fasciculata dan
retikularis
untuk
mensekresi
hormon
glukokortikoid,
terutama
kortisol.31,32
Glukokortikoid memiliki beberapa efek, yaitu
pemecahan protein, pembentukan glukosa,
lipolisis, resistansi terhadap stres, efek antiinflamasi dan depresi respon imun.
Kortisol merupakan salah satu indikator
stres dan telah dikenali bahwa kadarnya
meningkat pada manusia yang terpapar dalam
jangka waktu yang lama terhadap EMF.32
Sekresi kortisol oleh ACTH membantu
memelihara
kadar
glukosa
dengan
menstimulasi
glukoneogenesis
dan
menyebabkan resistensi insulin adiposa dan
perifer.33
Glukoneogenesis
merupakan
pembentukan glukosa yang terutama dari
laktat dan asam amino selama keadaan
puasa.34 Sebagian gliserol dari trigliserida, asam
laktat, dan asam amino tertentu bisa
dikonversi di hati menjadi glukosa. Proses di
mana glukosa dibentuk dari sumber nonkabohidrat
disebut
glukoneogenesis.
Glukoneogenesis distimulasi oleh kortisol,
hormon glukokortikoid utama dari korteks
adrenal, dan oleh glukagon dari pankreas. Di
samping itu, kortisol menstimulasi pemecahan
protein menjadi asam amino, kemudian
memperbanyak jumlah asam amino yang
tersedia untuk glukoneogenesis.24
Selain hormon glukokortikoid, beberapa
hormon lain juga berperan dalam metabolisme
glukosa, yaitu epinefrin, norepinefrin, growth
hormone, glukagon dan insulin. Epinefrin
Majority | Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015| 33
Inaz dan Anggraeni | Efek Paparan Gelombang Elektromagnetik Handphone terhadap Kadar Glukosa Darah
dilepaskan oleh medulla adrenal sebagai
respon terhadap hipoglikemia, dan sebagai
bagian dari persiapan untuk latihan.
Norepinefrin dilepaskan dari neuron simpatis.
Kedua katekolamin tersebut memiliki peran
dalam memelihara kadar glukosa selama
latihan, dan dalam keadaan yang berhubungan
dengan stres. Katekolamin menstimulasi
pelepasan glukagon dan menghambat
pelepasan insulin, menyebabkan penurunan
rasio insulin : glukagon dan juga memiliki efek
tidak langsung tehadap stimulasi metabolisme
glukosa di hati. Epinefrin juga memiliki efek
langsung pada stimulasi glukoneogenesis hati,
glikolisis otot, dan pemecahan glikogen di
kedua jaringan.35 Aktivasi fosforilase di hati
oleh katekolamin terjadi via reseptor βadrenergik, di mana akan meningkatkan cAMP
intraselular dan reseptor α-adrenergik, di mana
akan meningkatkan Ca2+ intraselular. Kemudian
output
glukosa
hepatik
meningkat,
menghasilkan hiperglikemia. Di otot, fosforilasi
juga diaktifkan via cAMP dan dapat juga via
Ca2+, tetapi glucose 6-phosphate yang dibentuk
bisa dikatabolis hanya menjadi piruvat karena
tidak adanya glucose 6-phosphatase. Sejumlah
besar piruvat dikonversi menjadi laktat,
kemudian berdifusi dari otot ke dalam sirkulasi.
Laktat dioksidasi di hati menjadi piruvat dan
dikonversi menjadi glikogen. Epinefrin dan
norepinefrin juga membebaskan free fatty acid
(FFA) ke dalam sirkulasi.36
Hormon pertumbuhan atau growth
hormone dilepas sebagai respon terhadap
penurunan kadar glukosa plasma. Kerja
hormon pertumbuhan berhubungan dengan
peningkatan glukosa plasma berhubungan
dengan stimulasi lipolisis dan penghambatan
kerja
insulin.35
Hormon
pertumbuhan
memobilisasi FFA dari jaringan lemak, sehingga
memicu ketogenesis. Hormon pertumbuhan
menurunkan kadar glukosa ke dalam beberapa
jaringan (“anti-insulin action”), meningkatkan
output glukosa hepatik, dan menurunkan
ikatan insulin ke jaringan.36
Islet Langerhans merupakan sekelompok
sel endokrin pankreas yang berisi empat tipe
sel yang mensekresi hormon, yaitu sel alfa, sel
beta, sel delta dan sel F. Dua jenis sel yang
berperan dalam metabolisme glukosa darah
yaitu sel alfa dan sel beta.24,35 Sel alfa yang
berwarna merah berfungsi mensekresi
glukagon.30 Kerja utama glukagon yaitu untuk
meningkatkan kadar glukosa darah ketika
Majority | Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015| 34
kadarnya turun di bawah normal. Berikut
merupakan regulasi sekresi glukagon:24
1. Kadar glukosa yang rendah menstimulasi
sekresi glukagon dari sel alfa Islet
Langerhans.
2. Glukagon bekerja pada hepatosit untuk
mempercepat konversi glikogen menjadi
glukosa (glikogenolisis) dan meningkatkan
pembentukan glukosa dari asam laktat dan
asam amino tertentu (glukoneogenesis).
3. Sebagai hasilnya, hepatosit melepas glukosa
ke dalam darah lebih cepat, dan kadar
glukosa darah meningkat.
4. Jika glukosa darah terus meningkat, kadar
glukosa darah yang tinggi menghambat
pelepasan glukagon.
Sedangkan sel beta yang berwarna biru
berfungsi mensekresi insulin.30 Insulin bekerja
pada berbagai jaringan tubuh, contohnya
jaringan otot, adiposa dan hepar. Pada jaringan
otot dan adiposa, insulin meningkatkan
masukan glukosa ke jaringan tersebut. Glukosa
memasuki sel-sel dengan difusi terfasilitasi
atau, di usus dan ginjal dengan transport aktif
sekunder dengan Na+.36
Untuk memulai efeknya pada sel target,
insulin pertama-tama berikatan dengan
reseptor membran dan mengaktivasi reseptor
membran. Reseptor insulin merupakan
kombinasi dari empat subunit yang disatukan
oleh ikatan disulfida: dua subunit alfa yang
terletak di luar membran sel dan subunit beta
yang berpenetrasi melewati membran, yang
menonjol ke dalam sitoplasma sel. Insulin
berikatan dengan subunit alfa di luar sel, tetapi
karena berikatan dengan subunit beta, bagian
subunit beta yang yang menonjol ke dalam
sitoplasma
sel
menjadi
terfosforilasi.
Autofosforilasi
subunit
beta
reseptor
mengaktivasi tyrosine kinase lokal, yang
kemudian menyebabkan fosforilasi multipel
enzim intraselular lainnya, yaitu insulinreceptor
substrates
(IRS).
IRS
yang
diekspresikan di tiap jaringan memiliki tipe
yang berbeda (contohnya IRS-1, IRS-2). Pada
jalur ini, insulin mengarahkan perlengkapan
metabolik intraselular untuk memproduksi
efek yang diinginkan pada metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein. Efek akhir
stimulasi insulin pada metabolisme glukosa
yaitu dalam hitungan detik setelah insulin
berikatan
dengan
reseptor
membran,
Inaz dan Anggraeni | Efek Paparan Gelombang Elektromagnetik Handphone terhadap Kadar Glukosa Darah
membran dari sekitar 80% sel tubuh akan
meningkatkan ambilan glukosa.37 Di jaringan
otot, adiposa, dan beberapa jaringan lainnya,
insulin menstimulasi glukosa masuk ke dalam
sel dengan meningkatkan jumlah transporter
glukosa di membran sel. Transporter glukosa
(GLUT) bertanggung jawab terhadap difusi
terfasilitasi glukosa yang melewati membran
sel. Terdapat tujuh jenis transporter glukosa
yang berbeda, masing-masing diberi nama
mulai dari GLUT 1-7. GLUT 4 merupakan
transporter di jaringan otot otot dan adiposa
yang distimulasi oleh insulin. GLUT 4 terletak
dalam vesikel di sitoplasma sel yang sensitif
insulin. Ketika reseptor insulin dari sel ini
teraktivasi, phosphatidyilinositol 3-kinase akan
teraktivasi. Aktivasi dari phosphatidyilinositol
3-kinase
akan
mengakibatkan
vesikel
berpindah secara cepat ke membran sel dan
berfusi dengan membran sel, menyisipkan
transporter ke dalam membran sel. Ketika
kerja insulin berhenti, bagian membran yang
berisi transporter berendositosis dan vesikel
siap untuk paparan insulin selanjutnya.36
Glukosa bekerja secara langsung pada
sel beta pankreas untuk meningkatkan sekresi
insulin. Glukosa memasuki sel beta lewat
transporter GLUT 2 dan difosforilasi oleh
glukokinase kemudian dimetabolisme menjadi
piruvat di sitoplasma. Piruvat memasuki
mitokondria dan dimetabolisme menjadi CO2
dan H2O lewat siklus asam sitrat dengan
pembentukan ATP oleh fosforilasi oksidatif.
ATP memasuki sitoplasma, di mana ATP
menghambat ATP-sensitive K+ channel,
mengurangi efluks K+. Kejadian ini akan
mendepolarisasi sel beta, dan Ca2+ memasuki
sel lewat voltage-gated Ca2+ channel. Influks
Ca2+ menyebabkan eksositosis vesikel yang
berisi granul sekretori yang berisi insulin yang
siap lepas, menghasilkan sekresi insulin.36 Pada
keadaan stres, sekresi insulin meningkat.
Menurut Hansei dan Henric (2010), sebagai
faktor stres, high frequency electromagnetic
fields (HF EMF) mempengaruhi sel beta dengan
menginduksi sintesis dan pelepasan granul
insulin.38 Medan magnetik mempengaruhi
sekresi
insulin
dengan
menyebabkan
modifikasi influks Ca2+ lewat kanal Ca2+.39 Selain
secara langsung EMF mempengaruhi sekresi
insulin, EMF juga mempengaruhi peningkatan
sekresi insulin melalui peningkatan glukosa
darah. Pada penelitian Amara et.al (2006)
menunjukkan paparan terhadap medan
magnetik menyebabkan peningkatan glukosa
darah.40 Seperti yang diketahui, kerja insulin
membantu menurunkan kadar glukosa jika
kadarnya tinggi.24
Glukosa memiliki efek yang poten
terhadap pertumbuhan massa sel beta yang
menyebabkan sel beta hiperplasia dan
hipertrofi.41 Prosedur yang secara kronik
meningkatkan kadar glukosa darah direspon
oleh sel beta dengan hipertrofi.36 Pada
penelitian Paras et.al (2014) menunjukkan
peningkatan pada densitas volume sel beta
pada hewan yang terpapar HF EMF dibanding
dengan kelompok kontrol. Selain itu juga,
paparan HF EMF menyebabkan penurunan
pada permukaan sel beta dan peningkatan
nucleo-cytoplasmic ratio pada sel beta.6
Kejadian berikut dipercaya dikarenakan sel
beta tersebut bermultiplikasi lewat selfduplication dari sel beta yang ada.42 Lebih jauh
lagi, penelitian tersebut mengindikasikan
pertumbuhan sel beta (34,6 sel per potongan
pankreas pada hewan yang tepapar dan 19,8
sel per potongan pankreas pada kelompok
kontrol).6 Peningkatan jumlah sel beta diikuti
dengan penurunan permukaan sel beta ketika
paparan HF EMF mengindikasikan suatu
proliferasi cepat.42
Gambar 2. Pengaruh Stres Terhadap Kadar Glukosa
Darah 43
Ringkasan
Penggunaan handphone yang sudah
mendunia
sekarang
ini,
ternyata
mengakibatkan beberapa efek bagi tubuh
manusia. Banyak peneliti-peneliti yang sudah
menemukan berbagai efek gelombang
elektromagnetik dari handphone terhadap
kesehatan. Gelombang elektromagnetik yang
dipancarkan
oleh
handphone
dapat
menimbulkan stres bagi tubuh manusia. Stres
Majority | Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015| 35
Inaz dan Anggraeni | Efek Paparan Gelombang Elektromagnetik Handphone terhadap Kadar Glukosa Darah
tersebut dapat mengakibatkan teraktivasinya
HPA-axis. Hipotalamus yang terpicu oleh
stresor akan mensekresi CRH dan AVP. Sekresi
CRH akan menstimulasi korteks adrenal untuk
mensekresi kortisol.
Kortisol kemudian akan menimbulkan
beberapa
efek,
salah
satunya
yaitu
glukoneogenesis
dan
resisten
insulin.
Glukoneogenesis merupakan suatu keadaan di
mana tubuh membentuk glukosa dengan
memecah zat lain, yaitu asam amino dan
laktat. Glukoneogenesis ini kemudian bisa
menyebabkan peningkatan glukosa dalam
darah. Ditambah lagi dengan efek resisten
insulin yang akan menyebabkan sulitnya
glukosa untuk memasuki sel sehingga banyak
yang bersirkulasi dalam darah.
7.
8.
9.
10.
Simpulan
Gelombang elektromagnetik handphone
mempengaruhi pengaturan kadar glukosa
darah. Pengaruh tersebut diperlihatkan dengan
terpicunya HPA-axis oleh stresor yang
dihasilkan gelombang elektromagnetik. Yang
pada
akhirnya
dapat
mengakibatkan
peningkatan glukosa darah.
Daftar pustaka
1. Number of mobile cell phone subscribers
in China from March 2014 to March 2015
(in millions) [internet]. Jerman: Statista;
2015. Jerman: Statista; 2015 [diakses
tanggal 14 Juni 2015]. Tersedia dari:
http://www.statista.com/
2. Fauzi A. Data pengguna smartphone dan
social media 2015 [internet];2015.
[diakses tanggal 14 Juni 2015]. Tersedia
dari: http://lembing.com/
3. Tyagi A, Duhan M, Bhatia D. Effect of
mobile phone radiation on brain activity.
IJSTM. 2011;2(2):1-5.
4. Lee M. Health effects of GSM vs CDMA
[internet];2015. [diakses tanggal 29 Maret
2015].
Tersedia
dari:
http://www.livestrong.com/
5. Khaki AA, Ali-Hemmati A, Nobahari R. A
study of the effects of electromagnetic
field on islets of langerhans and insulin in
rats. Crescent J Med & Biol Sci.
2015;2(1):1-5.
6. Paras S, Snjegota D, Manojlovic M,
Matavulj M. Effect of high high frequency
electromagnetic filed on beta cells of
Majority | Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015| 36
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
langerhans islets in pancreas of rats. Folia
Medica. 2014;49(1):32-6
Ayeni AA, Braimoh KT, Ayeni OB. Effect of
GSM phone radiation on human pulse rate
(heartbeat rate). IJETTCS. 2011;2(11):5807.
Sedghi H, Zare S, Hayatgeibi H, Alivandi S,
Ebadi AG. Biological effects of power
frequency magnetic fields on serum
biochemical parameters in guinea pigs.
Pak. J. Biol. Sci. 2006;9(6):1083-7.
Mahdavi SM, Sahraei H, Yaghmaei P,
Tavakoli H. Effects of electromagnetics
radiation exposure on stress-related
behaviors and stress hormones in male
wistar rats. Biomol Ther. 2014;22(6):5706.
Radon K, Parera D, Rose DM, Jung D,
Vollrath L. No effects of pulsed radio
frequency electromagnetic fields on
melatonin, cortisol and selected markers
of the immune system in man.
Bioelectromagnetics. 2001;22:280-7.
Markkanen A. Effects of electromagnetic
fields on cellular responses to agents
causing oxidative stress and DNA
[disertasi]. Finland: Kuopio University
Library;2009.
Sivani S, Sudarsanam D. Impacts of radiofrequency electromagnetic field (RF-EMF)
from cell phone towers and wieless
devices on biosystem and ecosystem – a
review. Biol Med. 2012;4(4): 202-16.
Sysoev VN, Lukyanov GN, Serov IN.
Electromagnetic influence on human
health [internet]. 2013. [diakses tanggal
27
Maret
2015.
Tersedia
dari:
http://www.airestech.com/
Ferreri F, Curcio G, Pasqualetti P, Gennaro
LD, Fini R, Rossini PM. Mobile phone
emissions and human brain excitability.
Annals Neurol. 2006;60(2):188–96.
Bhat MA. Effects of electromagnetic
waves emitted by mobile phones on male
fertility. Comp Engineering and Intelligent
Systems. 2013;4(3)
Zecca L, Mantegazza C, Margonato V,
Cerretelli P, Caniatti M, Piva F. Biological
effects of prolonged exposure to ELF
electromagnetic
fields
in
rats.
Bioelectromagnetics. 2006;19(1):57-66.
Cleary SF. Effects of radio-frequency
radiation on mammalian cells and
biomolecules in vitro. Dalam: Blank M,
Inaz dan Anggraeni | Efek Paparan Gelombang Elektromagnetik Handphone terhadap Kadar Glukosa Darah
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
editor. Electromagnetic fields: biological
interactions and mechanism. Washington,
DC: American Chemical Society;1995.
Adey WR. Tissue interactions with nonionizing electromagnetic fields. Physiol.
Rev. 1981;61:435–514.
Tattersal JE, Scott IR, Wood SJ, Nettell JJ,
Bevir MK, Wang Z, et al. Effects of low
intensity radiofrequency electromagnetic
fields on electrical activity in rat
hippocampal
slices.
Brain
Res.
2001;904:43–53.
Leszczynski D, Joenvaara S, Reivenen J,
Kuokka R. Non-thermal activation of the
hsp27/p38MAPK stress pathway by
mobile phone radiation in human
endothelial cell: molecular mechanism for
cancer- and blood-brain barrier-related
effects. Differentiation. 2002;70:120-129.
Nylund R, Leszczynski D. Proteomics
analysis of human endothelial cell line
EA.hy926 after exposure to GSM 900
radiation. Proteomics. 2004;4:1359-1365.
Tsigos C, Chrousos GP. Hypothalamic –
pituitary – adrenal axis, neuroendocrine
factors and stress. J Psychosom Res.
2002;53(4):865-71.
Wiyono N, Aswin S, Harijadi. Hubungan
Antara Tebal Lamina Pyramidalis CA1
Hippocampus Dengan Memori Kerja Pada
Tikus (Rattus norvegicus) Pascastres
Kronik. JAI. 2007;1:104 – 11.
Tortora GJ, Derrickson B. Principles of
anatomy physiology (12th Ed). USA: John
Wiley & Sons, Inc; 2009.
Engler O, Pham T, Fullenon MJ, Ooi G,
Funder JW, Clarke IJ. Studies of the section
of corticotropin releasing factor and
arginine vasopressin into hypophyseal
portal circulation of the conscious sheep.
Neuroendocrinology. 1989;49:367 – 81.
Horrocks PM, Jones AF, Ratcliffe WA,
Holder G, White A, Holder R, et al.
Patterns of ACTH and cortisol pulsatility
over twenty-four hours in nomal males
and females. Clin Endocrinol. 1990;83:
127-34.
Chrousos GP, Gold PW. A healthy body in
a healthy mind – and vice versa – the
damaging power of “uncontrollable”
stress. J Clin Endocrinol Metab.
1998;83:1842-5.
Guilliams TG, Edwards L. Chronic stress
and the HPA axis: Clinical assessment and
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42.
therapeutic considerations. Point Institue
Nutraceutical Research. 2010;9(2).
Mescher AL. Histologi dasar junqueira:
teks&atlas (Edisi 12). Jakarta: EGC; 2011.
Kuehnel W. Color atlas of cytology,
histology, and microscopic anatomy (4th
Ed). New York: Thieme; 2003.
Boron WF, Boulpaep EL. Medical
physiology. USA: Elsevier Health Sciences;
2003.
Vangelova K, Israel M, Velkovaand D,
Ivanova M. Changes in secretion rates of
stress hormones in medical staff exposed
to
electromagnetic
radiation.
Environmentalist. 2007;27:551-5.
Gorczynska E, Wegrzynowicz R. Glucose
homeostasis in rats exposed to magnetic
field. Invest. Radiol. 1991;26:1095-100.
Aronoff SL, Berkowitz K, Shreiner B, Want
L. Glucose metabolism and regulation:
Beyond insulin and glucagon. Diabetes
Spectrum. 2004;17(3):183-4.
Brandt M. Endocrine Core Notes.
California : University California of Irvine
Press; 2009.
Barrett KE, Barman SM, Boitano S, Brooks
HL. Ganong’s review of medical physiology
(23rd Ed). New York: Mc Graw Hill
Companies, Inc; 2010.
Guyton AC, Hall JE. Textbook of medical
physiology (11th Ed). Pennsylvania: Elsevier
Inc; 2006.
Halsei R, Henric J. Clinical impressions and
speculations on the use of high frequency
pulsed EMF. J Clinic Investi. 2010;68:1422.
Schwartz JL, House DE, Mealing GA.
Exposure of frog hearts to CW or
amplitude modulated VHF fields: selective
efflux of calcium ions at 16 Hz.
Bioelectromagnetics. 1990;11:349-58.
Amara S, Abdelmelek H, Ben Salem M,
Abidi R, Sakly M. Effect of static magnetic
field exposure on hematological and
biochemical parameters in rats. Braz Arch
Biol Techn. 2006;49(6):889-95.
Bernad-Kargar C, Ktorza A. Endocrine
pancreas plasticity under physiological
and pathological conditions. Diabetes.
2001;50:S30-S35.
Orci L, Unger RH. Functional subdivision of
islets of Langerhans and possible role of Dcells. Lancet. 1975;2:1243-44.
Majority | Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015| 37
Inaz dan Anggraeni | Efek Paparan Gelombang Elektromagnetik Handphone terhadap Kadar Glukosa Darah
43. Endocrine
regulation
system part 2:
[internet]; 2015.
Majority | Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015| 38
glucose
[diakses
tanggal 14 Juni 2015]. Tersedia dari:
http://www.slideshare.net/
Dina Ikrama Putri | Infeksi Clostridium Difficile Pada Diare yang Diinduksi Penggunaan Antibiotika
Infeksi Clostridium Difficile Pada Diare yang Diinduksi Penggunaan Antibiotika
Dina Ikrama Putri
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
Abstrak
Clostridium difficile (C. difficile) adalah mikroorganisme Gram positif anaerob penghasil basil spora yang menjadi patogen
penting dengan angka prevalensi 10-20% sebagai penyebab diare yang diinduksi antibiotika. Strain mutasi hipervirulensi,
NAP1/BI/027 (North American Pulse-field gel electrophoresis type 1 /restriction endonuclease analysis BI/ribotype 027)
teridentifikasi sebagai strain yang paling berpengaruh dalam patogenisitas infeksi C. difficile. Spora yang dihasilkan terdapat
pada saluran cerna dari 2-3% individu dewasa sehat serta 70% bayi sehat. Spora tersebut mengeluarkan dua protein
exotoksin (TcdA dan TcdB) yang akan menyebabkan kematian kolonosit, hilangnya fungsi barier intestinal, dan kolitis
neutrofilik. Infeksi C. difficile dapat memicu berbagai macam respon tubuh bervariasi bergantung dengan jenis antibiotik
yang digunakan, keadaan epidemiologi, dan kondisi hospes. Dalam pengobatan lini pertama, digunakan metronidazole dan
vankomisin oral untuk eradikasi untuk infeksi C. difficile. Sedangkan bila terjadi rekurensi kedua, maka akan sulit diobati
karena adanya spora yang menetap pada usus dan ketidakmampuan hospes untuk mengaktifkan respon imun efektif
terhadap toksin C. difficile. Pada kasus berat, prosedur transplantasi mikrobiota feses dapat menjadi bahan pertimbangan
untuk mencegah komplikasi. Di sisi lain, penggunaan antibiotika untuk keperluan eradikasi infeksi juga perlu diperhatikan
sebagai kunci penting lebih lanjut untuk mengurangi resiko infeksi C. difficile.
Kata kunci: antibiotika, Clostridium difficile, diare
Clostridium Difficile Infection On Antibiotic Associated Diarrhea
Abstract
Clostridium difficile (C. difficile) is an anaerobic Gram positive spore forming bacillus as important pathogen responsible for
antibiotic associated diarrhea (AAD). The mutant hypervirulent strain, NAP1/BI/027 (North American Pulse-field gel
electrophoresis type 1 /restriction endonuclease analysis BI/ribotype 027) is mostly responsible strain for C. difficile
infection pathogenicity. Spores which is produced can be found in gastrointestinal tracts from 2-3% in healthy individuals
and 70% in healthy infants. The spores release two protein exotoxins (TcdA and TcdB) that leading to colonocyte death, loss
of intestinal barrier function, and neutrophilic colitis. C. difficile infection can trigger various system responses depend on
antibiotic use, epidemiological setting and host condition. On the first line treatment, oral metronidazole and vancomycin
are used for C. difficile infection eradication. If there is second recurrence can be difficult to cure, primarily because of the
persistence of spores in the bowel and the inability of the patient to mount an effective immune response to C. difficile
toxins. In severe cases, fecal microbial transplantation can be considered to prevent any complication. In the contrary,
antibiotic use for eradication needs to be focused as important key to diminish C. difficile infection risks.
Keywords: antibiotic associated diarrhea, Clostridium difficile
Korespondensi: Dina Ikrama Putri, alamat Asrama Melati No. 3C, Jalur 2 Unila, Rajabasa, HP 081282090704, e-mail
[email protected]
Pendahuluan
Clostridium
difficile
(C.
difficile)
merupakan bakteri Gram positif anaerob
penghasil spora yang menjadi patogen penting
dalam penyakit diare yang diinduksi
antibiotika.1,2 Prevalensi angka kejadian infeksi
C. difficile di negara-negara Asia bahkan sangat
sedikit yang telah dilaporkan.3,4 Strain mutasi
hipervirulensi, NAP1/BI/027 (North American
Pulse-field gel electrophoresis type 1
/restriction endonuclease analysis BI/ribotype
027)
dipercaya
sebagai
strain
yang
menimbulkan wabah penyakit infeksi C. difficile
di seluruh bagian dunia.5 Infeksi C. difficile
dapat memicu berbagai macam respon tubuh
yang beragam dari gejala asimtomatik, kolitis
fulminan hingga diare rekuren.6 Variasi klinis
tersebut biasanya lebih ditentukan karena
faktor hospes dibandingkan faktor virulensi
bakteri.6
Pengobatan awal infeksi C. difficile telah
dikembangkan
dengan
baik,
termasuk
penghentian antibiotik yang dapat memicu
adanya infeksi, terapi suportif cairan dan
elektrolit, serta penggunaan antibiotik
metronidazole atau vankomisin.7,8 Bila diare
disebabkan oleh infeksi C. difficile, gejala klinis
akan lebih berat dan fulminan, relaps, dan
kolitis berat.9 Diare yang diinduksi antibiotika
membutuhkan prosedur diagnostik yang
meningkat, opname yang berkepanjangan dan
meningkatnya biaya medis.10 Jumlah serangan
Majority|Volume 4|Nomor 7|Juni 2015|39
Dina Ikrama Putri | Infeksi Clostridium Difficile Pada Diare yang Diinduksi Penggunaan Antibiotika
bervariasi bergantung dengan jenis antibiotik
yang digunakan, keadaan epidemiologi, dan
kondisi hospes.9 Frekuensi yang meningkat
ditemukan pada anak-anak dan usia lanjut,
adanya
penyakit
penyerta,
riwayat
pembedahan dan obat-obatan yang bekerja
pada motilitas usus merupakan faktor yang
dapat
meningkatkan
resiko
antibiotic
associated diarrhea (AAD).11 Berdasarkan dari
semua kasus AAD, 10 hingga 20% disebabkan
adanya infeksi C. difficile.12
dewasa sehat serta 70% bayi sehat.13 C. difficile
berkolonisasi
pada
usus
besar
dan
mengeluarkan dua protein eksotoksin (TcdA
dan TcdB). Transmisi penyakit melalui spora
yang resisten terhadap panas, asam, dan
antibiotik. Spora tersebar hampir di seluruh
fasilitas
pelayanan
kesehatan
seperti
lingkungan rumah sakit dan suplai makanan
bagi
pasien,
sehingga
memungkinkan
terjadinya
transmisi
nosokomial
pada
14
komunitas. Patogenesis dari C. difficile dapat
dilihat pada Gambar 1
Isi
C. difficile membentuk spora yang
terdapat pada saluran cerna dari 2-3% individu
Gambar 1. Patogenesis infeksi C. difficile15
Diare yang disebabkan oleh C. difficile
diperantarai oleh TcdA dan TcdB yang akan
menginaktivasi Rho guanosin trifosfat (Rho
GTPase). Hal ini menyebabkan kematian
kolonosit, hilangnya fungsi barier intestinal,
dan kolitis neutrofilik. C. difficile tidak bersifat
invasif, sehingga infeksi ekstra kolon sangat
jarang terjadi.16
TcdA terdiri dari protein dengan berat
molekul
sekitar
400.000-600.000,
dan
mempunyai sifat enterotoksik yang dapat
mengikat sel pada membran brush border.
Akibat perlekatan ini terjadi erosi pada mukosa
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 40
usus dan merangsang pengeluaran cairan dari
usus, selain itu toksin ini juga dapat
menyebabkan perdarahan.17
TcdB dengan berat molekul sekitar
360.000-500.000 terbukti tidak aktif di usus,
tetapi mempunyai kekuatan sitotoksin 1000
kali lebih kuat dibandingkan toksin A.15
Faktor resiko yang paling penting dalam
infeksi C. difficile adalah adanya penggunaan
antibiotik. Ampisilin, amoksisilin, sefalosporin,
klindamisin dan flurokuinolon merupakan
antibiotik tersering yang dapat menyebabkan
infeksi C. difficile (Tabel 1).
Dina Ikrama Putri | Infeksi Clostridium Difficile Pada Diare yang Diinduksi Penggunaan Antibiotika
Tabel 1. Golongan Antibiotik dan Hubungannya
terhadap Infeksi Clostridium difficile15
Golongan
Klindamisin
Ampisilin
Amoksisilin
Sefalosporin
Fluroquinolone
Golongan penicillin
lainnya
Sulfonamida
Trimetropim
Trimethoprim–
sulfamethoxazole
Macrolides
Aminoglikosida
Bacitracin
Metronidazole
Teicoplanin
Rifampin
Kloramfenikol
Tetrasiklin
Karbapenem
Daptomycin
Tigecycline
Hubungan dengan
Infeksi C. Difficile
Sangat umum
Sangat umum
Sangat umum
Sangat umum
Sangat umum
Umum
terbukti mampu menurunkan prevalensi infeksi
C. difficile sebanyak 77% dalam 450 kasus pada
rumah sakit di Skotlandia.22
Tabel 2. Tatalaksana Infeksi Clostridium difficile18
Derajat
Karier
asimtomatik
Ringan
Umum
Umum
Umum
Umum
Tidak umum
Tidak umum
Tidak umum
Tidak umum
Tidak umum
Tidak umum
Tidak umum
Tidak umum
Tidak umum
Tidak umum
Dalam sebuah penelitian, resiko infeksi
C. difficile dalam sebuah wabah 10 kali lebih
tinggi pada pasien diatas 65 tahun dan pasien
muda.18 Mayoritas infeksi C. difficile
didapatkan dari rumah sakit (hospitalacquired), tetapi infeksi community-acquired
meningkat pada dekade akhir ini.19
Infeksi C. difficile kini didiagnosis dengan
mendeteksi toksin pada feses menggunakan
enzyme immunoassay atau mendeteksi DNA
toksin pada feses yang belum terbentuk. Kultur
feses untuk C. difficile membutuhkan suasana
anaerobik yang sulit untuk disediakan di setiap
waktu. Enzyme immunoassay tetap menjadi
pilihan pertama dalam mendeteksi infeksi C.
difficile karena hasilnya cepat dan mudah
untuk dilakukan. Beberapa uji DNA juga
mampu
mendeteksi
adanya
strain
BI/NAP1/027.20
Tidak tersedianya vaksin yang efektif,
maka pengontrolan terhadap infeksi telah
difokuskan
pada
pemilihan
antibiotik,
pencegahan dalam penularan di fasilitas
layanan
kesehatan
dan
probiotik.
Meminimalkan penggunaan antibiotik telah
terbukti dapat menurunkan angka kejadian
infeksi C. difficile.21 Dicegahnya penggunaan
rutin antibiotik ceftriaxone dan siprofloksasin
Sedang
Berat
Komplikasi
Rekurensi
pertama
Rekurensi
kedua dan
selanjutnya
Manifestasi
klinis
Tidak ada tanda
dan gejala
Diare ringan,
afebris, nyeri
abdomen ringan
dan tidak ada
abnormalitas
hasil lab
Diare sedang
tanpa darah,
nyeri abdomen
sedang, nausea,
muntah,
dehidrasi,
leukosit
>15.000/mm3,
meningkatnya
kadar BUN dan
nitrogen
Diare berat
berdarah, nyeri
abdomen berat,
muntah, ileus,
suhu >38,90C,
leukosit
>20.000/mm3,
kadar albumin
<2,5 mg/dl
Toxic
megacolon,
peritonitis,
gangguan
pernapasan,
hemodinamik
tidak stabil
Tatalaksana
Tidak ada indikasi
pengobatan
Hidrasi,
Metronidazole
oral (500 mg, 3
kali sehari)
Rawat inap,
hidrasi,
Metronidazole
oral (500 mg, 3
kali sehari) atau
vankomisin oral
(125 mg, 4 kali
sehari selama 14
hari)
Rawat inap,
vankomisin
secara oral atau
nasogastric (500
mg 4 kali sehari)
dengan atau
tanpa
metronidazole IV
(500 mg 3 kali
sehari)
Konsultasi bedah
untuk dilakukan
subtotal
colectomy atau
diverting
ileostomy
Vankomisin oral
(125 mg, 4 kali
sehari selama 14
hari) atau
fidaxomicin (200
mg, 2 kali sehari
selama 10 hari).
Transplantasi
mikrobiota feses
atau fidaxomicin
(200 mg, 2 kali
sehari selama 10
hari)
Majority|Volume 4|Nomor 7|Juni 2015|41
Dina Ikrama Putri | Infeksi Clostridium Difficile Pada Diare yang Diinduksi Penggunaan Antibiotika
Metronidazole dan vankomisin oral
masih menjadi terapi obat lini pertama untuk
infeksi C. difficile sejak tahun 1970. Walaupun
sudah digunakan sejak lama, resistensi
terhadap kedua obat tersebut belum tercatat
hingga saat ini. Pada penderita dengan diare
berat, vankomisin menjadi pilihan utama,
tetapi untuk diare infeksi ringan hingga sedang,
keduanya memiliki efektivitas yang sama.23
Meningkatnya kegagalan proses penyembuhan
secara klinis dengan metronidazole pada strain
BI/NAP1/027 juga dilaporkan pada dekade
silam.24
Pengobatan rekurensi episode awal
dengan menggunakan metronidazole atau
vankomisin selama 10 hingga 14 hari terbukti
efektif pada 50% pasien.25,26 Sedangkan bila
terjadi rekurensi kedua, maka hal tersebut
menjadi sulit diobati karena adanya spora yang
menetap pada usus dan ketidakmampuan
hospes untuk mengaktifkan respon imun
efektif terhadap toksin C. difficile.27 Rekurensi
kedua dapat diobati dengan fidaxomisin (200
mg, dua kali sehari selama 10 hari) atau
pemberian regimen vankomisin dalam dosis
yang dapat diturunkan atau dosis intermiten
(Tabel 2). Penelitian terakhir menunjukkan
bahwa fidaxomisin lebih efektif mencegah
episode rekurensi berikutnya dibandingkan
vankomisin setelah rekurensi awal.28
Mikrobiota
kolon
manusia
yang
berfungsi sebagai penghambat kolonisasi
dalam melawan bakteri patogen menjadi kunci
penting dalam patogenesis terjadinya infeksi C.
difficile. Setelah pasien terpapar penggunaan
antibiotik oral, terjadi penurunan yang cepat
terhadap berbagai mikrobiota kolon yang akan
berakhir
selama
beberapa
bulan.29,30
Penghentian administrasi pemberian semua
antibiotik merupakan jalan terbaik untuk
mengeliminasi C. difficile dari kolon, sehingga
mikrobiota kolon mampu kembali pulih secara
cepat. Pemulihan tersebut membutuhkan
waktu 12 minggu atau lebih lama di saat pasien
mungkin mengalami relaps. Transplantasi
mikrobiota feses merupakan prosedur yang
pertama kali dilakukan pada tahun 1958, telah
diakui menjadi penatalaksanaan yang aman
dan efektif untuk kasus infeksi C. difficile.
Komponen spesifik dalam mikrobiota feses
yang mampu menghambat C. difficile tidak
diketahui dengan jelas, tetapi filum Bakteriodes
dan Firmicutes diketahui menjadi komponen
yang terpenting untuk dilakukan transplantasi
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 42
dalam prosedur tersebut.31,32 Transplantasi
feses melalui oral atau rektal dari pendonor
sehat yang telah diuji terbukti efektif dalam
mengobati 90% pasien dengan infeksi
rekurensi C. difficile.33 Walaupun transmisi
patogen yang tidak teridentifikasi atau tidak
terdeteksi sangat memungkinkan, tidak ada
laporan komplikasi infeksi berat yang berasal
dari transplantasi mikrobiota feses yang telah
dilakukan.34
Percobaan pada hewan menunjukkan
bahwa imunisasi menggunakan toksoid TcdA
dan TcdB mampu secara efektif melindungi
antitoksin IgG pada serum alami yang didapat
pada pasien dengan keadaan C. difficile yang
terkolonisasi. Hal tersebut menjadi program
vaksinasi yang potensial pada manusia dalam
melawan infeksi C. difficile.35 Imunisasi pasif
dengan antibodi monoklonal terhadap toksin C.
difficile juga mampu melindungi hospes
terhadap angka rekurensi setelah infeksi akut
khususnya pada pasien dengan resiko tinggi
rekurensi.36
Ringkasan
Clostridium difficile merupakan bakteri
Gram positif anaerob penghasil spora yang
resisten terhadap panas, asam dan antibiotik.
Strain yang berperan penting dalam terjadinya
penyakit ini adalah NAP1/BI/027 yang mampu
memicu berbagai macam respon tubuh,
beragam dari gejala asimtomatik, kolitis
fulminan hingga diare rekuren. Gejala tersebut
bervariasi bergantung dengan jenis antibiotik
yang digunakan, keadaan epidemiologi, kondisi
hospes dan range umur pada anak-anak dan
usia lanjut. Diare yang disebabkan oleh C.
difficile diperantarai oleh TcdA dan TcdB yang
akan menginaktivasi Rho guanosin trifosfat
(Rho GTPase). Hal ini menyebabkan kematian
kolonosit, hilangnya fungsi barier intestinal,
dan kolitis neutrofilik. Ampisilin, amoksisilin,
sefalosporin, klindamisin dan flurokuinolon
merupakan antibiotik tersering yang dapat
menyebabkan infeksi C. difficile. Pengobatan
lini pertama menggunakan metronidazole dan
vankomisin oral, hal ini sama dalam
pengobatan rekurensi episode awal selama 10
hingga 14 hari, sedangkan untuk rekurensi
selanjutnya dapat diberikan fidaxomisin atau
regimen vankomisin. Terapi adjunctive pada
kasus berat dapat dilakukan prosedur
transplantasi mikrobiota usus menggunakan
filum Bakteriodes dan Firmicutes. Di sisi lain,
Dina Ikrama Putri | Infeksi Clostridium Difficile Pada Diare yang Diinduksi Penggunaan Antibiotika
pencegahan menggunakan imunisasi pasif
toksoid TcdA dan TcdB yang melindungi
antitoksin IgG pada serum alami yang didapat
pada pasien masih dalam tahap dikembangkan.
Simpulan
Infeksi Clostridium difficile pada diare
(associated antibiotic diarrhea/AAD) perlu
diagnosis dan pengobatan yang sesuai untuk
menghindari terjadinya komplikasi dan
rekurensi penyakit. Penggunaan antibiotika
untuk keperluan eradikasi infeksi juga perlu
diperhatikan lebih lanjut untuk mengurangi
resiko infeksi C. difficile.
Daftar Pustaka
1. Kelly CP, LaMont JT. Clostridium difficile
more difficult than ever. N Engl J Med.
2008; 359(18):1932-40.
2. Khanna S, Pardi DS, Aronson SL, Kammer
PP, Orenstein R, St. Sauver JL, et al. The
epidemiology of community-acquired
Clostridium
difficile
infection:
a
population-based
study.
Am
J
Gastroenterol. 2012;107(1):89-95.
3. Ekma N, Yee LY, Aziz RA. Prevalence of
Clostridium difficile infection in Asian
countries.
Rev
Med
Microbiol.
2012;23(1):1-4.
4. Collins DA, Hawkey PM, Riley TV.
Epidemiology of Clostridium difficile
infection in Asia. Antimicrob Resist Infect
Control. 2013;2(1):21.
5. Vaishnavi C. Clinical spectrum &
pathogenesis of Clostridium difficile
associated diseases. Indian J Med Res.
2010; 131:487-99.
6. Yong Gil, Kim & Ik Byung, Jang. Current
advances related to Clostridium difficile
infection. Indian J Med Res. 2015;
141:172-4.
7. Gerding DN, Muto CA, Owens RC, Jr.
Treatment
of
Clostridium
difficile
infection. Clin Infect Dis. 2008;46(Suppl
1):S32-42.
8. Surowiec D, Kuyumjian AG, Wynd MA,
Cicogna CE. Past, present, and future
therapies
for
Clostridium
difficile
associated disease. Ann Pharmacother.
2006; 40:2155-63.
9. Surawicz CM, Brandt LJ, Binion DG,
Ananthakrishnan AN, Curry SR, Gilligan
PH, et al. Guidelines for diagnosis,
treatment, and prevention of Clostridium
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
difficile infections. Am J Gastroenterol.
2013; 108:478-98.
Owens RC. Clostridium difficile-associated
disease: changing epidemiology and
implications for management. Drugs.
2007; 67:487-502.
Surowiec D, Kuyumjian AG, Wynd MA,
Cicogna CE. Past, present, and future
therapies
for
Clostridium
difficile
associated disease. Ann Pharmacother.
2006;40:2155-63
Lowy I, Molrine DC, Leav BA, Blair BM,
Baxter R, Gerding DN, et al. Treatment
with monoclonal antibodies against
Clostridium difficile toxins. N Engl J Med.
2010;362: 197-205.
Aberra FN & Katz J. Clostridium Difficile
Colitis [Internet]. Medscape Reference ;
2013 [diakses tanggal 25 April 2015].
Tersedia
dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1
86458-overview#aw2aab6b2b1aa
Rupnik, M. Is Clostridium difficileassociated infection a potentially zoonotic
and foodborne disease. Clin Microbiol
Infect. 2007; 13:457-9.
Leffler, Daniel A. & Lamont, J. Thomas.
Clostridium difficile Infection. The new
england journal of medicine. 2015;372:16
O’Connor JR, Johnson S, Gerding DN.
Clostridium difficile infection caused by
the epidemic BI/NAP1/027 strain.
Gastroenterology. 2009;136: 1913-24.
Bauer, MP & van, Dissel JT. Alternative
strategies
for
Clostridium
difficile
infection. Int J Antimicrob Agents.
2009;33(Suppl 1):S51–6.
Pépin J, Valiquette L, Cossette B. Mortality
attributable to nosocomial Clostridium
difficile-associated disease during an
epidemic caused by a hypervirulent strain
in Quebec. CMAJ. 2005;173:1037-42.
Wilcox MH, Mooney L, Bendall R, Settle
CD, Fawley WN. A case-control study of
community-associated Clostridium difficile
infection. J Antimicrob Chemother. 2008;
62: 388-96.
Longtin Y, Trottier S, Brochu G. Impact of
the type of diagnostic assay on Clostridium
difficile infection and complication rates in
a mandatory reporting program. Clin
Infect Dis. 2013;56:67-73.
Majority|Volume 4|Nomor 7|Juni 2015|43
Dina Ikrama Putri | Infeksi Clostridium Difficile Pada Diare yang Diinduksi Penggunaan Antibiotika
21. Vonberg RP, Kuijper EJ, Wilcox MH.
Infection control measures to limit the
spread of Clostridium difficile. Clin
Microbiol Infect. 2008;14(Suppl 5): 2-20.
22. Dancer SJ, Kirkpatrick P, Corcoran DS,
Christison F, Farmer D, Robertson C.
Approaching zero: temporal effects of a
restrictive
antibiotic
policy
on
hospitalacquired Clostridium difficile,
extended-spectrum
β-lactamaseproducing coliforms and meticillinresistant Staphylococcus aureus. Int J
Antimicrob Agents. 2013; 41:137-42.
23. Zar FA, Bakkanagari SR, Moorthi KM, Davis
MB. A comparison of vancomycin and
metronidazole for the treatment of
Clostridium difficile-associated diarrhea,
stratified by disease severity. Clin Infect
Dis. 2007; 45: 302-7.
24. Pépin J, Valiquette L, Gagnon S, Routhier
S, Brazeau I. Outcomes of Clostridium
difficile-associated disease treated with
metronidazole or vancomycin before and
after the emergence of NAP1/027. Am J
Gastroenterol. 2007;102:2781-8.
25. Leffler DA, Lamont JT. Treatment of
Clostridium difficile-associated disease.
Gastroenterology. 2009;136:1899-912.
26. Hu MY, Katchar K, Kyne L. Prospective
derivation and validation of a clinical
prediction rule for recurrent Clostridium
difficile infection. Gastroenterology. 2009;
136:1206-14.
27. Maroo S, Lamont JT. Recurrent Clostridium
difficile. Gastroenterology. 2006;130:
1311-6.
28. Cornely OA, Miller MA, Louie TJ, Crook
DW, Gorbach SL. Treatment of first
recurrence
of
Clostridium
difficile
infection: fidaxomicin versus vancomycin.
Clin Infect Dis. 2012;55(Suppl 2): S154S161.
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 44
29. Dethlefsen L, Huse S, Sogin ML, Relman
DA. The pervasive effects of an anti
antibiotic on the human gut microbiota, as
revealed by deep 16S rRNA sequencing.
PLoS Biol. 2008; 6(11):280.
30. Jernberg C, Löfmark S, Edlund C, Jansson
JK. Long-term ecological impacts of
antibiotic administration on the human
intestinal microbiota. ISME. 2007; 1:56-66
31. Antharam VC, Li EC, Ishmael A. Intestinal
dysbiosis and depletion of butyrogenic
bacteria in Clostridium difficile infection
and nosocomial diarrhea. J Clin Microbiol.
2013;51:2884-92.
32. Song Y, Garg S, Girotra M. Microbiota
dynamics in patients treated with fecal
microbiota transplantation for recurrent
Clostridium difficile infection. PLoS One.
2013;8(11):81330.
33. Kassam Z, Lee CH, Yuan Y, Hunt RH. Fecal
microbiota transplantation for Clostridium
difficile infection: systematic review and
meta-analysis. Am J Gastroenterol.
2013;108:500-8.
34. van Nood E, Vrieze A, Nieuwdorp M.
Duodenal infusion of donor feces for
recurrent Clostridium difficile. N Engl J
Med. 2013;368:407-15.
35. Siddiqui F, O’Connor JR, Nagaro K.
Vaccination with parenteral toxoid B
protects hamsters against lethal challenge
with toxin A-negative, toxin B-positive
clostridium difficile but does not prevent
colonization. J Infect Dis. 2012;205:12833.
36. Lowy I, Molrine DC, Leav BA. Treatment
with monoclonal antibodies against
Clostridium difficile toxins. N Engl J Med.
2010;362:197-205.
Ayu Aprilia | Obesitas pada Anak Sekolah Dasar
Obesitas pada Anak Sekolah Dasar
Ayu Aprilia
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
Abstrak
Di Indonesia, masalah obesitas menjadi masalah gizi yang belum dapat diselesaikan. Beberapa faktor yang dapat
menimbulkan obesitas, yaitu pola makan yang tidak baik, genetik, aktivitas fisik. Aktivitas fisik dapat menimbulkan obesitas
akibat terbatasnya lapangan bermain dan kurangnya fasilitas untuk bermain sehingga anak lebih memilih bermain di dalam
rumah dan semakin majunya teknologi seperti video games, playstation, televisi dan komputer yang menyebabkan anak
malas untuk melakukan aktivitas fisik. Pada anak sekolah, obesitas dapat berlanjut hingga dewasa dan menimbulkan
beberapa penyakit kardiovaskular seperti diabetes mellitus, osteoarthritis dan kanker dan penyakit lainnya.
Kata Kunci: aktivitas fisik, anak sekolah, obesitas
Obesity in Primary School Children
Abstract
In Indonesia, obesity is the nutritional problem that cannot be solved. Some factors can rise obesity, such as bad diet,
genetic, physical activity. Physical activity can lead to obesity due to the limited field of play and the lack of facilities for
playing so that children prefer to play in the house and technologies such as video games, playstation, television and
computers cause children are lazy for doing physical activity. In elementary student, obesity may continue into adulthood
and lead to cardiovascular diseases such as diabetes mellitus, osteoarthritis and cancer and other diseases .
Keyword: elementary student, obesity, physical activity
Korespondensi : Ayu Aprilia, alamat Jl. Soemantri Brojonegoro, Pondok Arbenta, Bandar Lampung, no HP 081273813624, email [email protected]
Pendahuluan
Kegemukan dan obesitas terjadi akibat
asupan energi lebih tinggi daripada energi yang
dikeluarkan. Asupan energi tinggi disebabkan
oleh konsumsi makanan sumber energi dan
lemak tinggi, sedangkan pengeluaran energi
yang rendah disebabkan karena kurangnya
aktivitas fisik dan sedentary life style.1
Prevalensi kegemukan dan obesitas pada
anak sekolah (6-12 tahun) sebesar 9,2%.
Sebelas provinsi, seperti D.I. Aceh (11,6%),
Sumatera Utara (10,5%), Sumatera Selatan
(11,4%), Riau (10,9%), Lampung (11,6%),
Kepulauan Riau (9,7%), DKI Jakarta (12,8%),
Jawa Tengah (10,9%), Jawa Timur (12,4%),
Sulawesi Tenggara (14,7%), Papua Barat
(14,4%) berada di atas prevalensi nasional. Dari
hasil penelitian terhadap anak-anak sekolah
dasar di New York, dari 3069 sampel
didapatkan prevalensi anak yang obesitas
sebesar 24% dan overweight sebesar 43%,
sedangkan hasil penelitian yang telah dilakukan
di United States didapatkan prevalensi sejak
tahun 1980 hingga sekarang untuk usia 2-5
tahun meningkat dua kali lipat dari 5% hingga
12,4% dan untuk anak usia 6-11 tahun
meningkat lebih dari tiga kali lipat dari 5%
hingga 17,6%.2,3,4
Obesitas merupakan keadaan indeks
massa tubuh (IMT) anak yang berada di atas
persentil ke-95 pada grafik tumbuh kembang
anak sesuai jenis kelaminnya. Sejak tahun 1970
hingga sekarang, kejadian obesitas meningkat
2 (dua) kali lipat pada anak usia 2-5 tahun dan
usia 12-19 tahun, bahkan meningkat tiga kali
lipat pada anak usia 6-11 tahun. Di Indonesia,
prevalensi obesitas pada anak usia 6-15 tahun
meningkat dari 5% tahun 1990 menjadi 16%
tahun 2001.5,6
Isi
Obesitas masih merupakan masalah
kesehatan bagi anak maupun dewasa, oleh
karena komplikasi jangka pendek obesitas itu
sendiri berakibat terhadap pertumbuhan
tulang, penyakit endokrin, kardiovaskular dan
sistem gastrointestinal.7
Kesejahteraan yang meningkat dan
berubahnya pola makan pada masyarakat
mengakibatkan peningkatan konsumsi lemak
oleh masyarakat. Berkurangnya lapangan
tempat bermain serta makin tersedianya
MAJORITY| Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015| 45
Ayu Aprilia | Obesitas pada Anak Sekolah Dasar
hiburan dalam bentuk tontonan televisi,
permainan
video
atau
playstation
menyebabkan berkurangnya aktivitas fisik
terutama oleh anak-anak. 8
Obesitas secara umum didefenisikan
sebagai peningkatan berat badan yang
disebabkan oleh meningkatnya lemak tubuh
secara
berlebihan.
Obesitas
sering
dihubungkan dengan Indeks Massa Tubuh
(IMT) dimana berat badan (kg) dibagi tingggi
badan (m2). Anak dengan IMT ≥ persentil (P) 85
diklasifikasikan sebagai berat badan lebih dan
IMT ≥ P 95 diklasifikasikan sebagai obesitas.8
Faktor-faktor penyebab obesitas:
Faktor
genetik,
Parental
fatness
merupakan faktor genetik yang berperan
besar. Bila kedua orang tua obesitas, 80%
anaknya menjadi obesitas; bila salah satu
orang tua obesitas, kejadian obesitas menjadi
40 % dan bila kedua orang tua tidak obesitas
kejadian obesitas, prevalensi menjadi 14 %.
Hipotesis Barjer menyatakan bahwa perubahan
lingkungan nutrisi intrauterin menyebabkan
gangguan
perkembangan
organ-organ
pertumbuhan terutama kerentanan terhadap
pemrograman janin yang dikemudian hari
bersama-sama dengan pengaruh diet dan
stress lingkungan merupakan predisposisi pada
kemudian hari.9
Faktor lingkungan. Aktivitas fisik
merupakan komponen utama dari energy
expenditure, yaitu sekitar 20-50 % dari total
energy expenditure. Penelitian di negara maju
mendapatkan hubungan antara aktifitas fisik
yang rendah dengan kejadian obesitas. Individu
dengan aktivitas fisik yang rendah mempunyai
resiko peningkatan berat badan sebesar 5 kg.
Penelitian di Jepang menunjukkan resiko
obesitas yang rendah (OR: 0,48) pada
kelompok yang mempunyai kebiasaan
olahraga, sedang penelitian di Amerika
menunjukkan penurunan berat badan dengan
jogging (OR: 0,57), aerobik (OR: 0,59), tetapi
untuk olahraga tim dan tenis tidak
menunjukkan berat badan yang signifikan.10
Faktor nutrisional. Peranan faktor nitrisi
dimulai sejak kandungan dimana jumlah lemak
tubuh dan pertumbuhan bayi dipengaruhi
berat badan ibu. Kenaikan berat badan dan
lemak anak dipengaruhi oleh waktu pertama
kali mendapat makanan padat, asupan tinggi
kalori dari karbohidrat dan lemak serta
kebiasaan mengkonsumsi yang mengandung
energi tinggi.11
MAJORITY| Volume 2 | Nomor 7 |Juni 2015| 46
Faktor sosial ekonomi. Perubahan
pengetahuan, sikap, perilaku dan gaya
hidup, pola makan, serta peningkatan
pendapatan mempengaruhi pemilihan
jenis dan jumlah makanan yang
dikonsumsi.12
“The National Health and Medical
Research
Council
(NHMRC)
“merekomendasikan penggunaan dari “The
United States Centers for Disease Control and
Prevention BMI percentile charts”. Akhir-akhir
ini terdapat peningkatan prevalensi obesitas.
Australian Health and Fitness Survey yang
bekerja sama dengan Australian Council for
Health, Physical Education and Recreation
(ACHPER) tahun 1985 mengambil lebih dari
8000 sampel anak sekolah di Australia dengan
rentang umur 7–15 tahun. Studi ini melaporkan
peningkatan overweight dan obesitas dari
11,8% pada anak laki-laki dan 10,7% pada anak
perempuan menjadi lebih besar 19% pada anak
laki-laki dan 21% pada anak perempuan dalam
3 tahun.13
Prevalensi obesitas pada anak usia 6–17
tahun di Amerika Serikat dalam tiga dekade
terakhir meningkat dari 7,6–10,8% menjadi 13
– 14%. Prevalensi overweight dan obesitas
pada anak usia 6–18 tahun di Rusia adalah 6%
dan 10%, di Cina adalah 3,6% dan 3,4% dan di
Inggris adalah 22–31% dan 10–17%,
bergantung pada umur dan jenis kelamin.
Prevalensi obesitas pada anak-anak sekolah di
Singapura meningkat dari 9% menjadi 19,6%
berdasarkan Studi pada 1997-2000 dan pada
negara-negara
berkembang
di
dunia
13
menunjukan hasil yang hampir sama.
Obesitas yang terjadi pada masa anakanak dapat beresiko tinggi untuk menjadi
obesitas pada masa dewasanya nanti. Masa
anak-anak adalah masa pertumbuhan dan
perkembangan sehingga kegemukan pada
masa anak menyebabkan semakin banyaknya
jumlah sel otot dan tulang rangka sedangkan
obesitas pada orang dewasa hanya terjadi
pembesaran sel-sel saja sehingga kemungkinan
penurunan berat badan ke normal akan lebih
mudah. Anak yang mengalami obesitas pada
masanya 75% akan menderita obesitas pula
pada masa dewasanya dan berpotensi
mengalami berbagai penyebab kesakitan dan
kematian antara lain penyakit kardiovaskular
dan diabetes mellitus dan akibat yang
ditimbulkan obesitas ini akan mempunyai
Ayu Aprilia | Obesitas pada Anak Sekolah Dasar
dampak terhadap tumbuh kembang anak itu
sendiri.14
Kegemukan tidak hanya disebabkan oleh
kebanyakan makan dalam hal karbohidrat,
lemak, maupun protein, tetapi juga karena
kurangnya aktivitas fisik. Obesitas pada anak
adalah faktor penentu yang sangat penting
terhadap obesitas pada usia dewasa. Indeks
Massa Tubuh (IMT) yang tinggi pada remaja
memprediksikan peningkatan risiko kematian
dan penyakit kardiovaskular. Lebih dari 60%
anak overweight sebelum masa pubertas akan
berlanjut hingga masa dewasa awal, hal ini
penting untuk diperhatikan karena obesitas
memiliki dampak yang signifikan terhadap
kesehatan, status psikososial, kualitas hidup
dan usia harapan hidup.15,16
Salah satu yang menjadi faktor resiko
adalah anak usia sekolah. Hasil penelitian
Husaini
yang
dikutip
Hadi
(2005)
mengemukakan bahwa, dari 50 anak yang
mengalami gizi lebih, 86% akan tetap obesitas
hingga dewasa dan dari 50 anak perempuan
yang obesitas, 80% akan tetap obesitas hingga
dewasa.17
Hal ini juga dapat ditemui pada
penelitian yang dilakukan oleh Angel (2013)
diperoleh 44 (64,7%) kasus obesitas terjadi
pada siswa berjenis kelamin laki-laki sedangkan
untuk siswa berjenis kelamin perempuan
hanya 24 (35,3%) kasus dan dari 136 anak SD
yang menjadi responden diperoleh 100 anak
SD yang memiliki intensitas aktivitas ringan dan
36 anak SD yang memiliki intensitas aktivitas
sedang. Dari 100 responden yang memiliki
intensitas aktivitas ringan terdapat 58 anak
yang mengalami obesitas dan sisanya 42 anak
tidak mengalami obesitas. Sedangkan dari 36
responden yang memiliki intensitas aktivitas
sedang terdapat 10 anak yang mengalami
obesitas dan sisanya 26 anak yang tidak
mengalami obesitas.18
Aktivitas fisik yang dilakukan setiap hari
bermanfaat bukan hanya untuk mendapatkan
kondisi tubuh yang sehat tetapi juga
bermanfaat untuk kesehatan mental, hiburan
dalam mencegah stres. Rendahnya aktivitas
fisik
merupakan
faktor
utama
yang
mempengaruhi obesitas. Kebiasaan olahraga
didasarkan atas aktivitas fisik anak dalam
kesehariannya antara lain kebiasaan berjalan
kaki dan bersepeda. Proporsi anak yang tidak
rutin berolah raga sebesar 39,4%. Penelitian
yang dilakukan oleh Mustelin menunjukkan
bahwa terdapat hubungan antara aktivitas fisik
dengan obesitas pada anak. Anak yang tidak
rutin berolahraga memiliki risiko obesitas
sebesar 1,35 kali dibandingkan dengan
responden yang rutin berolahraga. Selain itu
ternyata anak yang tidak rutin berolah raga
justru cenderung memiliki asupan energi yang
lebih tinggi dibandingkan anak yang rutin
berolah raga. Makanan dan aktivitas fisik dapat
mempengaruhi timbulnya obesitas baik secara
bersama maupun masing-masing.19,20
Penelitian lainnya didapatkan hasilnya
77,5% anak obesitas yang menghabiskan waktu
lebih dari 8 jam untuk tidur dalam satu hari,
85% anak obesitas menghabiskan waktu lebih
dari 2 jam untuk waktu menonton TV, bermain
game, dan internet dalam satu hari, dan 70%
anak obes yang menghabiskan waktunya
bermain di luar rumah kurang dari 2 jam per
hari.21
Untuk mengurangi angka kejadian
obesitas, The United States Dietary Guidelines
for Americans merekomendasikan untuk anakanak sekolah melakukan aktivitas fisik paling
tidak untuk melakukan aktivitas fisik selama 60
menit setiap hari.22
Ringkasan
Obesitas masih merupakan masalah
kesehatan bagi anak dan dewasa. Obesitas
secara
umum
didefenisikan
sebagai
peningkatan berat badan yang disebabkan oleh
meningkatnya lemak tubuh secara berlebihan.
Faktor-faktor yang menyebabkan obesitas
antara lain faktor genetik, faktor lingkungan,
faktor nutrisional dan faktor sosial ekonomi.
Obesitas pada anak adalah faktor penentu
yang sangat penting terhadap obesitas pada
usia dewasa. Untuk mengurangi angka kejadian
obesitas, The United States Dietary Guidelines
for Americans merekomendasikan untuk anakanak sekolah melakukan aktivitas fisik paling
tidak selama 60 menit setiap hari. Aktivitas fisik
yang dilakukan setiap hari bermanfaat bukan
hanya untuk mendapatkan kondisi tubuh yang
sehat tetapi juga bermanfaat untuk kesehatan
mental, hiburan dalam mencegah stres.
Rendahnya aktivitas fisik merupakan faktor
utama yang mempengaruhi obesitas.
Simpulan
Obesitas yang terjadi pada anak-anak
dapat
mengganggu
pertumbuhan
dan
perkembangan dan dapat menimbulkan
MAJORITY| Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015| 47
Ayu Aprilia | Obesitas pada Anak Sekolah Dasar
beberapa
penyakit
seperti
penyakit
kardiovaskular dan diabetes mellitus.
11.
Daftar Pustaka
1. Departemen
Kesehatan
Republik
Indonesia. Laporan Riset Kesehatan Dasar
[Internet]. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan; 2013 [disitasi
tanggal 28 November 2014]. Tersedia dari:
http://www.litbang.depkes.go.id/sites/do
wnload/rkd2013/Laporan_Riskesdas2013.
PDF.
2. Departemen
Kesehatan
Republik
Indonesia. Laporan Riset Kesehatan Dasar
[Internet]. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan;2010; [disitasi
tanggal 28 November 2014]. Tersedia dari:
http://www.litbang.depkes.go.id/sites/do
wnload/rkd2013/Laporan_Riskesdas2010.
PDF.
3. Lorna ET, Deborah GL, Terry M, Linda M,
Steven DH, Thomas RF. Childhood obesity
in new york city elementary school
students. Am J Public Health. 2004;
94(9):1496–500.
4. National Collaborative On Childhood
Obesity Research. Childhood Obesity in
the United States. US: National
Collaborative On Childhood Obesity
Research; 2009.
5. Centers for Disease Control and
Prevention. Growth charts for the United
States: methods and development.
Washington. Department of Health and
Human Services; 2000.
6. Soegondo, S. Berbagai Penyakit dan
Dampaknya terhadap Kesehatan dan
Ekonomi. Jakarta: Widyakarya Nasional
Pangan dan Gizi (WNPG) IX; 2008.
7. Sjarif D. Anak gemuk, apakah sehat?
Jakarta: Divisi anak dan penyakit
metabolic Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2004.
8. Jhon M. Obesity in children tackling a
growing problem. Australian Family
Physician. 2004; 33(1/2):33-6.
9. Freedman DS. Childhood Obesity and
Coronary Heart Disease. Dalam: Kiess W,
Marcus C, Wabitsch M, editor. Obesity in
Childhood and Adolescence. Basel: Karger
AG; 2004. hlm. 194-206.
10. Bluher S. Type 2 Diabetes Melitus in
Children and Adolesscent : The European
Perspective. Dalam: Kiess W, Marcus C,
MAJORITY| Volume 2 | Nomor 7 |Juni 2015| 48
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
Wabitsch M, editor. Basel: Karger AG;
2004. hlm. 170-80.
Fatimah SN. Terapi Diet dan Aktivitas Fisik
pada Penanggulangan Obesitas. Jakarta:
CV Sagung Seto; 2009. hlm. 9-18.
Snetselaar L. Nutrition Counseling Skills for
the Nutrition Care Proces Fourth Edition.
Lowa City: Jones and Bartlett Publishers;
2009.
Centers for Disease Control and
Prevention. Physical education curriculum
analysis tool. Department of Health and
Human Services; 2006.
Agoes S, Poppy M. Mencegah dan
Mengatasi Kegemukan pada Balita.
Jakarta: Puspa Swara; 2003.
Almatsier. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama; 2003.
World Health Organization Europe
Regional. Prevalence of Overweight and
obesity in children and Adolescents.
Europe: World Health Organization
Europe Regional; 2009.
Hadi H. Beban Ganda Masalah Gizi dan
Implikasinya
Terhadap
Kebijakan
Pembangunan
Kesehatan.
Pidato
Pengukuhan
Guru
Besar
Fakultas
Kedokteran; 2005 Feb 5; Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada; 2005.
Angel L, Nelly M, Franly O. Hubungan
Aktivitas Fisik Dengan Kejadian Obesitas
Pada Anak SD di Kota Manado. Ejournal
keperawatan (e-Kp). 2013; 1(1):1-4.
World Health Organization. Obesity:
Preventing and managing the global
epidemic.
Geneva:
World
Health
Organization; 2000.
Mustelin L, Silventoinen K, Pietilainen K,
Rissanen A, Kaprio J. Physical activity
reduces the influence of genetic effects on
bmi and waist circumference: a study in
young adult twins. Int. J. Obes. 2009:
33(1):29-36.
Pramudita, RA. Faktor resiko pada anak
sekolah dasar di kota Bogor [Internet];
2011 [disitasi tanggal 27 November 2014].
Tersedia
dari:
http://repository.ipb.ac.id/handle/12345
6789/52932
U.S. Department of Health and Human
Services & U.S. Department of Agriculture.
Dietary guidelines for Americans edisi 6.
Washington: U.S. Government Printing
Office; 2005.
Ika Agustin Putri Haryanti dan Khairun Nisa | Terapi Konservatif dan Terapi Pengganti Ginjal sebagai Penatalaksanaan pada
Gagal Ginjal Kronik
Terapi Konservatif dan Terapi Pengganti Ginjal sebagai Penatalaksanaan pada
Gagal Ginjal Kronik
Ika Agustin Putri Haryanti, Khairun Nisa
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
Abstrak
Berdasarkan estimasi WHO (World Health Organization), secara global lebih dari 500 juta orang mengalami penyakit gagal
ginjal kronik. Sekitar 1,5 juta orang harus menjalani hidup bergantung pada cuci darah. Pengobatan gagal ginjal kronik
dapat dilakukan dengan terapi konservatif untuk menghambat progesifitas penyakit dengan cara pengaturan asupan
protein, kalium, kalori, cairan, elektrolit dan mineral. Ketika tindakan konservatif tidak lagi efektif dalam mempertahankan
kehidupan pada penyakit ginjal stadium akhir atau gagal ginjal maka dilakukan terapi pengganti ginjal. Terapi pengganti
ginjal yang terdapat di pelayanan renal unit adalah hemodialisis, CAPD (Continous Ambolatory Peritoneal Disease) dan
transplantasi ginjal.
Kata kunci: gagal ginjal kronik, terapi konservatif, terapi pengganti ginjal.
Conservative Therapy and Renal Replacement Therapy as Treatment for
Chronic Renal Failure
Abstract
Based on WHO (World Health Organization) estimation, globally more than 500 million people suffer chronic renal failure.
Around 1,5 million people living their life depending on dialysis. the treatment for crhonic renal failure with conservative
therapy to slow the progress of the disease by doing controlling the protein, calium, calorie, fluid, electrolit and mineral
intake.when the conservative treatment no longer efective in maintaining the patient's life on end-stage renal disease or
renal failure, then renal replacement therapy is the only way. the renal replacement therapy which is available in renal unit
services are hemodialisis, CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Disease), and kidney transplant. [Majority. 2015;4(7):1-5]
Keywords: chronic renal failure, conservative therapy, renal replacement therapy.
Korespondensi: Ika Agustin Putri Haryanti, e-mail [email protected] | Khairun Nisa, e-mail
[email protected]
Pendahuluan
Berdasarkan estimasi World Health
Organization (WHO), secara global lebih dari
500 juta orang mengalami penyakit gagal ginjal
kronik. Sekitar 1.5 juta orang harus menjalani
cuci darah dalam hidupnya. Di Indonesia,
berdasarkan Pusat Data dan Informasi
Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia,
jumlah pasien gagal ginjal kronik diperkirakan
sekitar 50 orang per satu juta penduduk, 60%
nya adalah usia dewasa dan usia lanjut.1
Pengobatan gagal ginjal kronik dibagi
dalam dua tahap yaitu penanganan konservatif
dan terapi penggantian ginjal. Penanganan
gagal ginjal secara konservatif terdiri dari
tindakan untuk menghambat berkembangnya
gagal ginjal, menstabilkan keadaan pasien, dan
mengobati setiap faktor yang reversible.
Sedangkan penanganan dengan pengganti
ginjal dapat dilakukan dialisis intermiten atau
transplantasi ginjal yang merupakan cara paling
efektif untuk penanganan gagal ginjal.2
Dialisis sebagai terapi pengganti ginjal
telah menyelamatkan nyawa jutaan individu
pada pasien End Stage Renal Disease (ESRD).
Kemajuan dalam memahami penyakit gagal
ginjal dan komplikasinya telah mengakibatkan
perkembangan intervensi terhadap penyakit
gagal
ginjal
kronik
sehingga
dapat
memperlambat progesifitas dan memperbaiki
komplikasi penyakit. Dengan dialisis telah
memperpanjang masa hidup dan memperbaiki
kualitas hidup pasien.3
Menurut National Kidney and Urologic
Disease Information Clearinghouse tahun 2006
hemodialisis merupakan terapi yang paling
sering digunakan pada penderita gagal ginjal
kronis.4
Berdasarkan
data
PERNEFRI
(Perhimpunan Nefrologi Indonesia) tahun
2012, jenis fasilitas layanan yang diberikan oleh
renal unit adalah hemodialisis (78%),
Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(3%), transplantasi (16%) dan Continuous Renal
Replacement Therapy (3%). Jumlah pasien baru
yang menjalani hemodialis di tahun 2007
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015| 49
Ika Agustin Putri Haryanti dan Khairun Nisa | Terapi Konservatif dan Terapi Pengganti Ginjal sebagai Penatalaksanaan pada
Gagal Ginjal Kronik
adalah 49977 pasien, di tahun 2008 ada 5392
pasien, di tahun 2009 ada 8193 pasien, di
tahun 2010 ada 9649 pasien, di tahun 2011 ada
1535 pasien dan di tahun 2012 ada 19621. Dari
data tersebut terlihat bahwa dari tahun ke
tahun terjadi peningkatan jumlah pasien baru
yang menjalani hemodialisis.5
Isi
Gagal ginjal kronik didefinisikan sebagai
nilai Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) yang berada
dibawah batas normal selama lebih dari 3
bulan.6 Gagal ginjal kronik merupakan
perkembangan gagal ginjal yang progresif dan
lambat biasanya berlangsung beberapa tahun.
Pada
keadaan
ini
ginjal
kehilangan
kemampuannya
untuk
mempertahankan
volume dan komposisi cairan tubuh dalam
keadaan asupan makanan normal.2
Penyebab penyakit gagal ginjal kronik
menurut PERNEFRI pada tahun 2012 dijelaskan
dalam tabel 1.
Tabel 1. penyebab penyakit gagal ginjal kronik. 5
Penyebab
Penyakit ginjal hipertensi
Nefropati diabetika
Glomerulopati primer
Nefropati obstruksi
Pielonefritis kronik
Nefropati asam urat
Nefropati lupus/SLE
Ginjal polikistik
Tidak diketahui
Lain lain
Insiden
35%
26%
12%
8%
7%
2%
1%
1%
2%
6%
Kriteria penyakit ginjal kronik: 1)
Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi
lebih dari 3 bulan berupa kelainan struktural
maupun fungsional dengan atau tanpa
penurunan LFG yang bermanifestasi dengan
adanya Kelainan patologis dan erdapat tanda
kelainan pada ginjal, kelainan tersebut dapat
berupa komposisi darah, urin atau kelainan
pada tes pencitraan (imaging tests). 2) LFG
kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3
bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.2
Klasifikasi penyakit gagal ginjal kronik
sebagai berikut:
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015| 50
Tabel 2. Klasifikasi penyakit gagal ginjal kronik7
Derajat
1
LFG
(ml/mnt/1.7
32m2)
≥ 90
2
60-89
3A
3B
4
5
45-59
30-44
15-29
< 15
Penjelasan
LFG
normal
atau
meningkat
LFG turun ringan
LFG turun sedang
LFG turun berat
Gagal ginjal
Penatalaksanaan gagal ginjal kronik
dapat dilakukan dua tahap yaitu dengan terapi
konservatif dan terapi pengganti ginjal. Tujuan
dari terapi konservatif adalah mencegah
memburuknya faal ginjal secara progresif,
meringankan
keluhan-keluhan
akibat
akumulasi toksin azotemia, memperbaiki
metabolisme secara optimal, dan memelihara
keseimbangan cairan elektrolit. Beberapa
tindakan konservatif yang dapat dilakukan
dengan pengaturan diet pada pasien gagal
ginjal kronis.8
Diet rendah protein menguntungkan
untuk mencegah atau mengurangi toksin
azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat
merugikan terutama gangguan keseimbangan
negatif nitrogen.8 Pembatasan asupan protein
dalam makanan pasien gagal ginjal kronik
dapat mengurangi gejala anoreksia, mual, dan
muntah. Pembatasan ini juga telah terbukti
menormalkan kembali dan memperlambat
terjadinya gagal ginjal. Asupan rendah protein
mengurangi beban ekskresi ginjal sehingga
menurunkan hiperfiltrasi glomerulus, tekanan
intraglomerulus, dan cedera sekunder pada
nefron intak.2 Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa pasien penyakit ginjal
kronis akan secara spontan membatasi asupan
protein mereka. Jumlah protein yang
diperbolehkan kurang dari 0,6 g protein/Kg
/hari dengan LFG kurang dari 10 ml / menit.9
Hiperkalemia merupakan masalah yang
penting pada gagal ginjal kronik. Hiperkalemia
merupakan komplikasi interdialitik yaitu
komplikasi yang terjadi selama periode antar
hemodialisis.
Keadaan
hiperkalemia
mempunyai resiko untuk terjadinya kelainan
jantung yaitu aritmia yang dapat memicu
terjadinya cardiac arrest yang merupakan
penyebab kematian mendadak.8 Hiperkalemia
berat dapat didefinisikan sebagai kadar kalium
Ika Agustin Putri Haryanti dan Khairun Nisa | Terapi Konservatif dan Terapi Pengganti Ginjal sebagai Penatalaksanaan pada
Gagal Ginjal Kronik
lebih dari 6,5 mEq/L (6,5 mmol/L)atau kurang
dari
6,5
mEq/L
dengan
perubahan
elektrokardiografi khas pada hiperkalemia
(gambaran tinggi dan meruncing pada
gelombang T atau terjadinya T elevasi).10
Terapi diet rendah kalium dengan tidak
mengkonsumsi obat-obatan atau makanan
yang mengandung kalium tinggi. Jumlah yang
diperbolehkan dalam diet adalah 40 hingga 80
mEq/hari. Makanan yang mengandung kalium
seperti sup, pisang, dan jus buah murni.
Pemberian kalium yang berlebihan akan
menyebabkan hiperkalemia yang berbahaya.2
Kebutuhan jumlah kalori untuk gagal
ginjal kronik harus adekuat dengan tujuan
utama yaitu mempertahankan keseimbangan
positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan
memelihara status gizi.8 Diet Asupan Energi
yang direkomendasikan untuk penderita gagal
ginjal kronis dengan LFG <25ml/menit dan
tidak menjalani dialisis adalah 35 kkal/kg/hari
untuk usia kurang dari 60 tahun dan 30-35
kkal/kg/hari untuk usia lebih dari 60 tahun.3
Asupan cairan pada gagal ginjal kronik
membutuhkan regulasi yang hati-hati dalam
gagal ginjal lanjut. Asupan yang terlalu bebas
dapat menyebabkan kelebihan beban sirkulasi,
edem, dan intoksikasi cairan. Kekurangan
cairan juga dapat menyebabkan dehidrasi,
hipotensi, dan memburuknya fungsi ginjal.
Aturan umum untuk asupan cairan adalah
keluaran urine dalam 24 jam ditambah 500 ml
yang mencerminkan kehilangan cairan yang
tidak disadari. Pada pasien dialysis cairan yang
mencukupi untuk memungkinkan penambahan
berat badan 0,9 hingga 1,3 kg2. Sedangkan
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit
bersifat individual tergantung dari LFG dan
penyakit ginjal dasar.8
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada
penyakit ginjal kronik stadium 5 yaitu pada LFG
kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut
dapat berupa hemodialisis, Continuous
Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) dan
transplantasi ginjal.11
Hemodialisis adalah suatu cara untuk
mengeluarkan produk sisa metabolisme
melalui membran semipermeabel atau yang
disebut dialyzer.12 Sisa-sisa metabolisme atau
racun tertentu dari peredaran darah manusia
itu dapat berupa air, natrium, kalium,
hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zatzat lain.13 Hemodialisis telah menjadi rutinitas
perawatan medis untuk End Stage Renal
Disease (ESRD).14
Salah satu langkah penting sebelum
memulai hemodialisis yaitu mempersiapkan
access vascular beberapa minggu atau
beberapa bulan sebelum hemodialisis. access
vascular memudahkan dalam perpindahan
darah dari mesin ke tubuh pasien. Hemodialisis
umumnya dilakukan dua kali seminggu selama
4-5 jam per sesi pada kebanyakan pasien
ESRD.14
Menurut data Perhimpunan Nefrologi
Indonesia (PERNEFRI) tahun 2012 terjadi
peningkatan jumlah pasien baru yang
menjalani hemodialisis dari tahun ke tahun.
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat
untuk mencegah gejala toksik azotemia dan
malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh
terlalu cepat pada pasien gagal ginjal kronik
yang belum mencapai tahap akhir dalam
perburukan fungsi ginjal.11
Akhir-akhir ini sudah populer CAPD di
pusat ginjal dan luar negeri. CAPD dapat
digunakan sebagai terapi alternatif dialisis
untuk penderita ESRD dengan 3-4 kali
pertukaran cairan per hari.14 Pertukaran cairan
terakhir dilakukan pada jam tidur sehingga
cairan peritoneal dibiarkan semalam.2 Terapi
dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien
dialisis peritoneal. Indikasi dialisis peritoneal
yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur
lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah
menderita penyakit sistem kardiovaskular,
pasien-pasien yang cenderung akan mengalami
perdarahan bila dilakukan hemodialisis,
kesulitan pembuatan AV shunting, pasien
dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal
terminal) dengan residual urin masih cukup
dan pasien nefropati diabetik disertai comorbidity dan co-mortality .8
Transplantasi ginjal merupakan cara
pengobatan yang lebih disukai untuk pasien
gagal ginjal stadium akhir. Namun kebutuhan
transplantasi ginjal jauh melebihi jumlah
ketersediaan ginjal yang ada dan biasanya
ginjal yang cocok dengan pasien adalah yang
memiliki kaitan keluarga dengan pasien.
Sehingga hal ini membatasi transplantasi ginjal
sebagai pengobatan yang dipilih oleh pasien.2
Kebanyakan ginjal diperoleh dari donor hidup
karena ginjal yang berasal dari kadaver tidak
sepenuhnya diterima karena adanya masalah
sosial dan masalah budaya. Karena kurangnya
donor hidup sehingga pasien yang ingin
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015| 51
Ika Agustin Putri Haryanti dan Khairun Nisa | Terapi Konservatif dan Terapi Pengganti Ginjal sebagai Penatalaksanaan pada
Gagal Ginjal Kronik
melakukan
transplantasi
ginjal
harus
melakukan
operasi
diluar
negeri.14
Transplantasi ginjal memerlukan dana dan
peralatan yang mahal serta sumber daya
manusia yang memadai. Transplantasi ginjal ini
juga dapat menimbulkan komplikasi akibat
pembedahan atau reaksi penolakan tubuh.15.
Ringkasan
Gagal ginjal kronik merupakan kerusakan
struktural dan fungsional ginjal selama lebih
dari 3 bulan dengan LFG kurang dari 60
ml/menit/1,73m2. Penatalaksanaan awal gagal
ginjal kronik dilakukan secara konservatif
dengan pengaturan diet protein yang berfungsi
untuk mencegah atau mengurangi azetomia,
diet kalium untuk mencegah terjadinya
hiperkalemi yang membahayakan pasien, diet
kalori untuk menambah energi pasien gagal
ginjal yang sering mengalami malnutrisi dan
pengaturan kebutuhan cairan, mineral, dan
elektrolit berguna untuk mengurangi kelebihan
beban sirkulasi dan intoksikasi cairan. Jika
penanggulangan konservatif tidak lagi dapat
mempertahankan fungsi ginjal maka dilakukan
terapi pengganti ginjal yaitu hemodialisis yang
merupakan penggunan terapi pengganti ginjal
terbanyak, CAPD dapat digunakan sebagai
alternatif terapi dialis dan transplantasi ginjal
pengobatan yang paling disukai untuk pasien
gagal ginjal namun memerlukan dana yang
mahal.
Simpulan
Penatalaksanaan gagal ginjal kronik
dapat dilakukan secara konsevatif dengan
pengaturan diet dan terapi pengganti ginjal
dengan menggunakan hemodialisis, CAPD, dan
transplantasi ginjal.
Daftar Pustaka
1. Setiawan Y, Faradila RT. Mengenal cuci
darah
(hemodialisa)[internet].
2012.
[disitasi tanggal 24 april 2015]; Tersedia
dari:
http://www.lkc.or.id/2012/06/mengenalcuci-darah.
2. Wilson LM. Pengobatan Gagal Ginjal
Kronik. Dalam: Hartanto H, Susi
N,
Wulansari P, Mahanani DA, editor.
Patofisiologi Konsep Klinis Proses -Proses
Penyakit. 6 ed. Vol 2. Jakarta: EGC; 2006.
hlm. 965-978.
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015| 52
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
National Kidney Foundation. Clinical
practice guidelines for chronic kidney
disease: evaluation, classification, and
stratification. National Kidney Foundation.
Inc; 2002.
National Kidney and Urologic Disease
Information Clearinghouse (NKUDIC).
Hemodialysis treatment metode for
kidney failure [internet]. Institutes of
health (NIH) [disitasi tanggal 5 april 2015].
Tersedia
dari:
http://www.kidney.niddk.nih.gov.
PERNEFRI. (2012). 5 th Report Of
Indonesian Renal Registry; 2012.
Davey P. At a Glance Medicine. Jakarta:
Erlangga; 2006.
NICE, acute kidney injury prevention
detecting and management of acute
kidney injury up to the point of renal
replacement therapy [internet]. UK:
National Institute For Health and Care
Excellent; 2013 [disitasi tanggal24 April
2015].
Tersedia
dari:
http://www.nice.org.uk/guidance/cg169/r
esources/guidance-acute-kidney-injurypdf.
Sukandar E. Gagal Ginjal Kronik dan
terminal. Dalam: Nefrologi klinik. Edisi
3.Bandung: Penerbit Pusat Inforamsi
Ilmiah Bag Ilmu Penyakit Dalam
FK.UNPAD; 2006. hlm. 465- 524.
Ikizler
TA:
Protein and
energy:
recommended
intakeand
nutrient
supplementation in chronic dialysis
patients. Semin Dial. 2004; 17:471-478.
Rahman M, Shad F, Smith MC. Acute
kidney injury: a guide to diagnosis and
management. American Family Physician
[internet]; 2012. [disitasi tanggal 24 april
2015]; 86(7):631-639. Tersedia dari:
www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23062091
Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam:
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam (PAPDI). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi kelima. Jilid II. Jakarta:
Interna Publishing; 2009.
Thomas, N. Renal Nursing (2nd edition).
London United Kingdom: Elsevier Science;
2002.
Brunner dan Suddarth. Buku Ajar
Keperawatan Medikal Bedah (terjemahan,
volume II). Jakarta: EGC; 2001.
Prodjosudjadi W, Suhardjono A. End-Stage
Renal Disease In Indonesia: Treatment
Ika Agustin Putri Haryanti dan Khairun Nisa | Terapi Konservatif dan Terapi Pengganti Ginjal sebagai Penatalaksanaan pada
Gagal Ginjal Kronik
development. Ethnicity & Disease
[internet]; 2009 [disitasi tanggal 24 April
2015]; 19: 33-36. Tersedia dari : http://
www.ishib.org/journal/19.../ethn-1901s1-33.pdf
15. Vogt BA, Avner ED. Renal failure. Dalam:
Behrman RM, Kliegman RM, Jenson HB,
penyunting.
Nelson
Textbook
of
Pediatrics. Edisi ke 17. Philadelphia: WB
Saunders; 2004. hlm 1770-1775.
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015| 53
Ika Agustin Putri Haryanti dan Khairun Nisa | Terapi Konservatif dan Terapi Pengganti Ginjal sebagai Penatalaksanaan pada
Gagal Ginjal Kronik
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015| 54
N. Dearsi Deby| Indeks Produksi Retikulosit sebagai Diagnosis Dini Anemia Aplastik
INDEKS PRODUKSI RETIKULOSIT SEBAGAI DIAGNOSIS DINI ANEMIA APLASTIK
N. Dearasi Deby NF
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
Abstrak
Anemia aplastik merupakan salah satu jenis anemia akibat kelainan hematologi yang ditandai dengan penurunan
komponen selular pada darah tepi seperti anemia, leukopenia dan trombositpenia sebagai akibat penurunan pembentukan
sel hematopoetik dalam sumsum tulang. Keadaan ini disebut sebagai pansitopenia. Diagnosis dini sangat penting dilakukan
untuk kemungkinan sembuh secara spontan semakin besar. Selain itu mencegah terjadinya kematian jika tidak dilakukan
pengobatan segera. Indeks produksi retikulosit adalah angka yang menunjukan produksi eritrosit oleh sumsum tulang pada
pasien yang menderita anemia. Peningkatan jumlah retikulosit di darah tepi menggambarkan produksi eritrosit mengalami
peningkatan dalam sumsum tulang. Sebaliknya, hitung retikulosit yang rendah terus-menerus dapat mengindikasikan
keadan hipofungsi sumsum tulang atau anemia aplastik. Berdasarkan hal tersebut indeks produksi retikulosit dapat
digunakan sebagai penanda anemia aplastik.
Kata kunci: anemia aplastik, indeks produksi retikulosit, retikulosit, pansitopenia.
Reticulocyte Index as Early Diagnosis Anemia Aplastic
Abstract
Aplastic anemia is one type of anemia due to hematological disorder characterized by a decrease in peripheral blood
cellular components such as anemia, leukopenia and trombositopenia as a result of a decrease in the formation of
hematopoietic cells in the bone marrow. This condition is known as pancytopenia. Early diagnosis is very important to
recover spontaneously possibility of getting greater. More over preventing death if treatment is not done immediately.
Reticulocyte production index is a number that indicates the production of erythrocytes by the bone marrow in patients
suffering from anemia. Increasing the number of reticulocytes in peripheral blood illustrates the production of erythrocytes
increased in the bone marrow. Conversely, a low reticulocyte count constantly may indicate bone marrow hypofunction or
aplastic anemia. Based on the reticulocyte production index can be used as a marker of aplastic anemia.
Keywords:aplastic anemia, reticulocyte production index, reticulocyte, pancytopenia.
Korespondensi: N. Dearasi Deby NF , e-mail [email protected]
Pendahuluan
Anemia aplastik merupakan salah satu
jenis anemia akibat kelainan hematologi yang
ditandai dengan penurunan komponen selular
pada darah tepi seperti anemia, leukopenia
dan trombositpenia sebagai akibat penurunan
pembentukan sel hematopoetik dalam
sumsum tulang, keadaan ini disebut sebagai
pansitopenia.1
Konsep mengenai anemia aplastik
pertama kali diperkenalkan oleh Paul Ehrlich
pada tahun 1988, yang ditemukan pada pasien
yang mengalami anemia berat dan leukopenia.
Hasil autopsi ditemukan tidak ada aktifitas
sumsum tulang yang aktif. Penyakit anemia
aplastik didasari dari kegagalan sumsum tulang
dalam memproduksi sel-sel hematopoetik
dalam darah tepi yang mengarah pada suatu
penurunan nyata produksi sel-sel darah.2
Angka
kejadian
anemia
aplastik
bervariasi di seluruh dunia, insidensi anemia
aplastik diperkirakan lebih sering terjadi di
negara timur dibanding negara barat.
Penelitian yang dilakukan The International
Aplastic Anemia and Agranulocytosis Studyt
ahun 2010 mendapatkan insidensi anemia
aplastik didunia bervariasi antara 5 sampai 7
kasus tiap 1 juta populasi. Sedangkan di Asia,
kasus anemia aplastik di Cina sebesar 7 kasus
persejuta penduduk, di Thailand sebesar 4
kasus persejuta penduduk dan 5 kasus
persejuta penduduk di Malaysia.3
Berdasarkan data Kemenkes RI tahun
2011 prevalensi angka kejadian anemia aplastik
sangat rendah pertahun diperkirakan sebesar
2-5 kasus persejuta penduduk. Meskipun angka
kejadian penyakit ini sangat jarang, anemia
aplastik dapat menyerang segala umur dan
penyakit
ini
tergolong
berpotensi
menyebabkan kematian. Penderita anemia
aplastik tidak hanya mengalami kekurangan
eritrosit tetapi juga kekurangan leukosit
sehingga penderita sangat mudah terpapar
infeksi.4
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 55
N. Dearsi Deby| Indeks Produksi Retikulosit sebagai Diagnosis Dini Anemia Aplastik
Diagnosis anemia aplastik dapat
ditegakkan berdasarkan gejala subjektif, gejala
objektif, pemeriksaan darah rutin, pemeriksaan
apusan darah tepi, serta pemeriksaan apusan
sumsum tulang. Pemeriksaan lain yang
mendukung diagnosis pasti anemia aplastik
adalah berdasarkan pemeriksaan retikulosit
dengan penghitungan
indeks produksi
retikulosit atau reticulocyte production index
(RPI). Jumlah retikulosit dapat membedakan
antara anemia karena depresi sumsum tulang
dengan anemia karena perdarahan atau
hemolisis. Jika jumlah retikulosit menurun
menandakan bahwa sumsum tulang tidak
memproduksi eritrosit secara cukup dan dapat
menjadi penanda adanya depresi sumsum
tulang pada penderita anemia aplastik.5
Hampir semua kasus anemia aplastik
dapat berkembang menjadi kematian bila tidak
dilakukan pengobatan segera. Diagnosis secara
dini dengan pemeriksaan darah yang tepat
sangat penting untuk dilakukan sebab semakin
dini penyakit ini didiagnosis kemungkinan
sembuh secara spontan semakin besar.5
Isi
Anemia adalah suatu keadaan tubuh
yang ditandai dengan jumlah eritrosit atau
jumlah hemoglobin dalam eritrosit kurang dari
jumlah normal sehingga tidak mampu
memenuhi fungsinya untuk menyediakan
oksigen bagi jaringan tubuh.6 Salah satu jenis
anemia adalah anemia aplastik. Anemia
aplastik merupakan suatu sindroma kegagalan
sumsum tulang yang ditandai dengan
penurunan komponen selular pada darah tepi
seperti eritrosit, leukosit dan trombosit sebagai
akibat
terhentinya
pembentukan
sel
hemopoetik dalam sumsum tulang, keadaan ini
disebut sebagai pansitopenia.7
Insiden anemia aplastik bervariasi di
seluruh dunia, berkisar antara 2 sampai 6 kasus
persejuta penduduk pertahun. Anemia aplastik
jarang ditemukan dengan angka kejadian
bervariasi di seluruh dunia, berkisar antara 2-6
kasus persejuta penduduk pertahun. Studi
retrospektif di Amerika Serikat memperkirakan
insiden anemia aplastik berkisar antara 2-5
kasus persejuta penduduk pertahun.8
The Internasional Aplastic Anemia and
Agranulocytosis Study dan French Study
memperkirakan ada 2 kasus persejuta orang
setiap tahun. Frekuensi tertinggi anemia
aplastik terjadi pada orang berusia 15 sampai
Majority | Volume 7 | Nomor 2 | Juni 2015 | 56
25 tahun dan peringkat kedua terjadi pada usia
65 sampai 69 tahun. Anemia aplastik lebih
sering terjadi di Asia dan Afrika, insiden kirakira 7 kasus persejuta penduduk di Cina, 4
kasus persejuta penduduk di Thailand dan 5
kasus persejuta penduduk di Malaysia.
Penyebab tingginya angka kejadian anemia
aplastik di Asia Timur lebih besar daripada di
negara barat belum diketahui secara pasti.
Peningkatan ini diperkirakan berhubungan
dengan faktor lingkungan seperti peningkatan
paparan dengan bahan kimia toksik
dibandingkan dengan faktor genetik.9
Penyebab anemia aplastik dibagi dua,
yaitu primer dan sekunder. Penyebab anemia
primer adalah kongenital (Fanconi’s anemia)
dan idiopatik yang didapat sebanyak (67%).
Penyebab sekunder adalah paparan dengan
bahan kimiawi, insektisida, radiasi pengion,
infeksi
dan
Paroxysmal
Nocturnal
hemoglobin.10
Sindrom Fanconi merupakan penyebab
utama dari faktor kongenital yang biasanya
disertai kelainan bawaan lain seperti
mikrosefali, strabismus, anomali pada jari,
kelainan ginjal dan lain sebagainya.11 Adapun
faktor didapat seperti bahan kimia golongan
hidrokarbon siklik meliputi benzena dan
trinitrotoluene, serta golongan insektisida
termasuk chlordane. Obat-obatan seperti
khloramfenikol, radiasi sinar roentgen dan
radioaktif.
Faktor individu seperti alergi
terhadap obat, bahan kimia, riwayat infeksi
dan keganasan.
Penyebab hampir sebagian besar kasus
anemia aplastik bersifat idiopatik dimana
penyebabnya masih belum dapat dipastikan.
Namun, ada faktor-faktor yang diduga dapat
memicu terjadinya penyakit anemia aplastik
ini. Penyebab anemia aplastik terjadi di
Indonesia biasanya dikarenakan sel yang
memproduksi butir darah merah (pada
sumsum tulang) tidak berfungsi baik. Hal ini
dapat terjadi karena infeksi virus, radiasi,
kemoterapi, atau sebagai dampak dari
penggunaan obat tertentu.12 Gejala yang khas
dari anemia aplastik adalah penurunan jumlah
sel darah pada pemeriksaan hematologi yang
dilakukan pada penderita meskipun pasien
sepertinya terlihat sehat. Keluhan sistemik dan
penurunan berat badan sebaiknya mengarah
pada penyebab pansitopenia lainnya. Adanya
pemakaian obat sebelumnya, paparan zat
kimia, dan penyakit infeksi virus sebelumnya
N. Dearsi Deby| Indeks Produksi Retikulosit sebagai Diagnosis Dini Anemia Aplastik
harus diketahui. Riwayat kelainan hematologis
pada
keluarga
dapat
mengindikasikan
penyebab konstitusional pada kegagalan
sumsum tulang. 13
Gejala-gejala yang timbul berupa
keluhan pucat, lemah, mudah lelah, dan
berdebar-debar yang disebabkan anemia.
Sering muncul infeksi bakteri, virus, jamur, dan
kuman patogen lain akibat leukopenia ataupun
granulositopenia. Perdarahan seperti petekia,
ekimosa, epistaksis, perdarahan gusi dan lainlain akibat trombositopenia.14 Setidaknya ada
tiga mekanisme terjadinya anemia aplastik.
Anemia aplastik yang diturunkan (inherited
aplastic anemia), terutama anemia Fanconi
disebabkan
oleh
ketidakstabilan
DNA.
Beberapa bentuk anemia aplastik yang
didapatkan (acquired aplastic anemia)
disebabkan kerusakan langsung pada stem sel
oleh agen toksik, misalnya radiasi. Patogenesis
dari kebanyakan anemia aplastik yang
didapatkan melibatkan reaksi autoimun
terhadap stem sel.15 Gambaran hapusan
sumsum tulang akan menunjukkan gambaran
yang hipoplastik peningkatan sel lemak
didalam apusan sumsum tulang.
Anemia Fanconi merupakan bentuk
inherited anemia aplastik yang paling sering
karena bentuk inherited yang lain merupakan
penyakit yang langka. Kromosom pada
penderita anemia Fanconi bersifat sensitif
mengalami perubahan DNA akibat obat-obat
tertentu. Sebagai akibatnya, pasien dengan
anemia Fanconi memiliki resiko tinggi
terjadinya aplasia, sindrom mielodisplastia dan
leukemia mielodisplastia. Kerusakan DNA juga
mengaktifkan suatu kompleks yang terdiri dari
protein Fanconi A, C, G dan F. Hal ini
menyebabkan perubahan pada protein
FANCD2 (Fanconi’s anemiacomplementation
group D2). Protein ini dapat berinteraksi,
contohnya dengan gen (BRCA1) breast cancer
suceptibility genes 1 (gen yang terkait dengan
kanker payudara). Mekanisme bagaimana
berkembangnya anemia Fanconi menjadi
anemia aplastik dari sensitifitas mutagen dan
kerusakan DNA masih belum diketahui dengan
pasti.16
Kerusakan oleh agen toksik secara
langsung terhadap stem sel dapat disebabkan
oleh paparan radiasi, kemoterapi sitotoksik
atau
benzene.
Agen-agen
ini
dapat
menyebabkan rantai DNA putus sehingga
menyebabkan inhibisi sintesis DNA dan RNA.
Kehancuran hematopoiesis stem sel yang di
perantai sistem imun mungkin merupakan
mekanisme utama terjadinya anemia aplastik.
Walaupun mekanismenya belum diketahui
benar, T limfosit sitotoksik berperan dalam
menghambat proliferasi stem sel dan
mencetuskan kematian stem sel.17
Diagnosis anemia aplastik dapat
ditegakkan berdasarkan gejala subjektif, gejala
objektif, pemeriksaan darah serta pemeriksaan
sumsum tulang. Gejala subjektif dan objektif
merupakan manifestasi pansitopenia yang
terjadi. Namun, gejala dapat bervariasi dan
tergantung dari sel mana yang mengalami
depresi paling berat. Penegakkan diagnosa
secara dini sangatlah penting sebab semakin
dini penyakit ini didiagnosis kemungkinan
sembuh secara spontan atau parsial semakin
besar.17
Indeks produksi retikulosit adalah angka
yang menunjukkanproduksi eritrosit oleh
sumsum tulang pada pasien yang menderita
anemia. Indeks ini digunakan untuk mengukur
tingkat produksi eritrosit oleh sumsum tulang.
Hasil penghitungan retikulosit tersebut harus
dilakukan koreksi terhadap kadar hematokrit
pasien yang bersangkutan dan koreksi
terhadap efek dari eritropoietin terhadap
proses pelepasan retikulosit muda dari
sumsum tulang ke darah tepi.18
Pada kebanyakan laboratorium biasanya
secara otomatis dilakukan koreksi dengan
jumlah absolut eritrosit sehingga didapatkan
jumlah absolut dari retikulosit, atau dengan
mengalikan dengan fraksi hematokrit pasien
dengan hematokrit normal (45%). Banyaknya
retikulosit dalam darah tepi menggambarkan
eritropoesis yang hampir akurat. Peningkatan
jumlah
retikulosit
di
darah
tepi
menggambarkan produksi eritrosit meningkat
dalam sumsum tulang. Sebaliknya, hitung
retikulosit yang rendah terus-menerus dapat
mengindikasikan keadan hipofungsi sumsum
tulang atau anemia aplastik.18
Indeks produksi retikulosit bermanfaat
untuk menentukan klasifikasi fungsional
anemia. Parameter laboratorium yang lebih
spesifik selanjutnya bermanfaat dalam
tatalaksana. Pada beberapa kasus sering terjadi
ketidak sesuaian nilai indeks produksi
retikulosit dengan jenis anemia.18
Saat ini dikenal dua cara menghitung
retikulosit di dalam sirkulasi darah yaitu secara
otomatis dan secara manual. Pertama adalah
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 57
N. Dearsi Deby| Indeks Produksi Retikulosit sebagai Diagnosis Dini Anemia Aplastik
otomatis menggunakan flowcytometry, sampel
darah segar ditambahkan pewarna acridine
orange, kemudian jumlah retikulosit dihitung
dengan alat flowcytometer. Sistem ini dapat
diotomatisasi sehingga dapat memeriksa
sejumlah sampel persatuan waktu yang relatif
lebih singkat. Retikulosit diidentifikasi sebagai
sel yang lebih besar dan mengandung
fluoresens karena RNA-nya menyerap acridine
orange tadi.19
Cara kedua adalah cara manual,
sampel darah segar dicampur dengan zat
pewarna suprival (New Methylene Blue,
Brilliant Cresyl Blue) dan diinkubasi, kemudian
dari campuran ini dibuat sediaan hapus. Hitung
retikulosit diperoleh dari jumlah retikulosit
yang ditemukan per 1.000 eritrosit dari sediaan
hapus yang diperiksa dengan mempergunakan
mikroskop cahaya. Bahan pemeriksaan adalah
sampel darah dengan antikoagulan EDTA.
Bahan pewarna berupa larutan Brilliant Cresyl
Blue (BCB) dengan komposisi BCB sebanyak 1
gram dan dilarutkan pada 100 ml cairan
fisiologis (NACl 0,9 %).
Larutan pewarna tadi diambil dengan
pipet pastur sebanyak lebih kurang 2 tetes lalu
dicampur pada sebuah botol dengan 2-4 tetes
darah EDTA dari penderita, kemudian botol
ditutup dengan kertas saring yang telah
dibasahi dengan akuades (untuk tetap
memberikan kelembaban yang cukup pada
saat inkubasi), lalu didiamkan selama 20-30
menit pada suhu kamar. Kemudian dari
campuran ini diambil satu tetes untuk dibuat
sediaan hapus pada sebuah objek glass.
Setelah didiamkan selama ±15 menit atau
ditunggu sampai kering, maka preparat siap
untuk dibaca.19
Retikulosit biasanya berada di darah
selama 24 jam sebelum mengeluarkan sisa RNA
dan menjadi eritrosit. Apabila retikulosit
dilepaskan secara dini dari sumsum tulang,
retikulosit imatur dapat berada di sirkulasi
selama 2-3 hari. Hal ini terjadi pada anemia
berat yang menyebabkan peningkatan
eritropoiesis. Perhitungan retikulosit dengan
koreksi untuk retikulosit imatur disebut indeks
produksi retikulosit/reticulocyte production
index (RPI).20
Majority | Volume 7 | Nomor 2 | Juni 2015 | 58
Rumus Reticulocyte Production Index :
𝑅𝑃𝐼 =
(%Retikulosit x Ht penderita x FK)
Hematokrit berdasarkan usia
FK= Faktor Koreksi
Indeks produksi retikulosit di bawah 2
merupakan indikasi adanya kegagalan sumsum
tulang dalam produksi eritrosit atau
kecendrungan
hipoplastikanemia
hipoproliferatif.
Nilai
RPI
meningkat
mengindikasi adanya hiperproliferasi sumsum
tulang atau respons yang adekuat terhadap
anemia aplastik. 21
Keterangan:
Dikatakan meningkat jika RPI > 2
Dikatakan menurun jika RPI < 2
Dikatakan normal bila = 1
Hasil penelitian Choi (2006) tentang
Indeks produksi retikulosit pada 56 pasien
anemia aplastik didapat semua responden
memiliki Indeks produksi retikulosit < 2.22
Ringkasan
Anemia aplastik adalah suatu sindroma
kegagalan sumsum tulang yang ditandai
dengan pansitopenia perifer dan hipoplasia
sumsum tulang. Pada anemia aplastik terjadi
penurunan produksi sel darah dari sumsum
tulang
sehingga
menyebabkan
retikulositopenia, anemia, granulositopenia,
monositopenia dan trombositopenia. Hampir
semua kasus anemia aplastik dapat
berkembang menjadi kematian bila tidak
dilakukan pengobatan segera. Untuk itu,
diagnosis secara dini dengan pemeriksaan
darah yang tepat sangat penting untuk
dilakukan sebab semakin dini penyakit ini
didiagnosis kemungkinan sembuh secara
spontan semakin besar. Indeks produksi
retikulosit adalah angka yang menunjukkan
produksi eritrosit oleh sumsum tulang pada
pasien yang menderita anemia. Peningkatan
jumlah
retikulosit
di
darah
tepi
menggambarkan produksi eritrosit meningkat
dalam sumsum tulang. Sebaliknya, hitung
N. Dearsi Deby| Indeks Produksi Retikulosit sebagai Diagnosis Dini Anemia Aplastik
retikulosit yang rendah terus-menerus dapat
mengindikasikan keadan hipofungsi sumsum
tulang atau anemia aplastik sehingga indeks
produksi retikulosit dapat digunakan sebagai
penanda anemia aplastik.
Simpulan
Indeks produksi retikulosit dapat
digunakan sebagai penanda anemia aplastik.
Daftar pustaka
1. Ray H. Penatalaksanaan Pada Pasien
Talasemia. Bandar Lampung:
Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung; 2013.
2. Wahap AS. Nelson Ilmu Kesehatan Anak
Edisi 15. Jakarta: EGC;
2012.
3. Mehta AB., Hoffbrand AV. Anemia
Hemolitik IV: Defek Genetik Pada
Hemoglobin. At a Glance Hematologi
Edisi 2. Jakarta: Erlangga; 2006.
4. Kee
JL.
Pedoman
Pemeriksaan
Laboraturium & Diagnostik. Edisi 6.
Jakarta: EGC; 2007.
5. Kumar V, Contran RS, Robbin SL.
Gangguan Eritrosit. Buku Ajar Patologi
Edisi 7. Jakarta: EGC; 2007.
6. Pine M, Walter AW. Pancytopenia in
Hospitalized children. A five year review. J
Pediatrics Hematol Oncol. 2010;32:192–4.
7. E.N. Kosasih dan A.S. Kosasih. Tafsiran
Hasil Pemeriksaan Laboratorium Klinik.
Ciputat: Karisma Publishing Group; 2008.
8. Escobar MC, Rappaport ES, Tipton P,
Balentine P Reticulocyte estimate from
peripheral blood smear: a simple, fast, and
economical method for evaliation of
anemia.
Laboratory
Medicine
2002;33:703-5.
9. Bhatnagar SK, Chandra J, Narayan S,
Sharma S, Singh V, Dutta AK. Pancytopenia
in children: Etiological profile. J Trop
Pediatr. 2005;51:236–9.
10. Bakta Made I. Hematologi Klinik Ringkas.
Jakarta: EGC; 2012.
11. Libby P. Hematologi dan Onkologi. Dalam:
Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: EGC; 2000. hlm. 479-747
12. Kumar R, Kalra SP, Kumar H, Anand AC,
Madan M. Pancytopenia-A six year study. J
Assoc Physicians India. 2001;49: 1079–81.
13. Poorana Priya, Subhashree.A Role of
Absolute Reticulocyte Count in Evaluation
of Pancytopenia-A Hospital Based Study.J
Clin Diagn Res. 2014 Aug; 8(8): FC01–
FC03.
14. Buttarello M, Bulian P, Farina G, Petris
MG, Temporin V, Toffolo L. Five fully
automated methods for performing
immature
reticulocyte
fraction:
comparison in diagnosis of bone marrow
aplasia. Am J Clin Pathol. 2006;117:871–9.
15. Bessman JD, Gilmer PR, Gardner FH.
Improved classification of anaemias by
MCV and RDW. Am J Clin Pathol.
1983;80:322–6.
16. Cooper C, Sears W, Bienzle D. Reticulocyte
change after experimental anemia and
erythropoietin treatment of horses. J of
Applied Physiol 2005; 99:915-21.
17. Hoffbrand AV, Moss PAH. Kelainan
Genetik Pada Hemoglobin. In: Setiawan
L. Kapita Selekta Hematologi Edisi ke-6.
Jakarta: EGC; 2002.
18. Guyton&Hall. Sel-sel
Darah Merah.
In: Irawati, Ramadani D, Indriyani F. Buku
Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta:
EGC;2008.
19. Wirawan R. Pemeriksaan Laboratorium
Hematologi Edisi 1. Jakarta: Badan
Penerbit
Fakultas
Kedokteran
Universitas Indonesia. 2011.
20. Freund Mathias. Atlas Hematologi
Heckner Edisi 11. Jakarta: EGC; 2009.
21. Piva E, Brugnara C, Chiandetti L, Plebani
M. Automated reticulocyte counting: state
of the art and clinical applications in the
evaluation of erythropoiesis. Clin Chem
Lab Med. 2010; 48(10):1369–80.
22. Choi JW. Ratio of Bone Marrow
Reticulocytes to Peripheral Corrected
Reticulocytes
for
Evaluating
Ineffective Erythropoiesis. Annals of
Clinical & Laboratory
Science 2006;
36: 439-41.
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 59
N. Dearsi Deby| Indeks Produksi Retikulosit sebagai Diagnosis Dini Anemia Aplastik
Majority | Volume 7 | Nomor 2 | Juni 2015 | 60
Radita Dewi Prasetyani | Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue
Radita Dewi Prasetyani
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
Abstrak
Demam berdarah dengue adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan
nyamuk Aedes aegypti. Gejala klinis utama yaitu demam yang tinggi, manifestasi perdarahan, hepatomegali, dan tandatanda kegagalan sirkulasi sampai timbulnya renjatan (sindrom renjatan dengue) sebagai akibat dari kebocoran plasma yang
dapat menyebabkan kematian. Faktor-faktor risiko yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit demam berdarah
diantaranya: lingkungan rumah (jarak rumah, tata rumah, jenis kontainer, ketinggian tempat dan iklim), lingkungan biologi,
dan lingkungan sosial. Pencegahan penyakit demam berdarah dengue terdiri dari: pencegahan primer, pencegahan
sekunder, dan yang terakhir adalah pencegahan tersier. Dengan dilakukan pengendalian atau pencegahan terhadap faktor
resiko demam berdarah dengue (DBD), diharapkan dapat mengurangi angka kejadian demam berdarah dengue (DBD).
Kata kunci: demam berdarah dengue, faktor risiko, dan pencegahan
Factors Related to the Occurrences of Dengue Hemorrhagic Fever
Abstract
Dengue hemorrhagic fever is an infectious disease caused by the dengue virus and is transmitted through the bite of Aedes
aegypti mosquito. The main clinical symptoms are high fever, hemorrhagic manifestations, hepatomegaly, and signs of
circulatory failure until the onset of shock (dengue shock syndrome) as a result of plasma leakage that can cause death. Risk
factors that could affect the occurrence of dengue fever are: the home environment (within the home, home layout, types
of containers, altitude and climate), environmental biology, and social environment. Prevention of dengue fever consists of:
primary prevention, secondary prevention and tertiary prevention. By working for control or prevention of risk factor
dengue hemorrhagic fever (DHF), is expected to decrease the incidence of dengue hemorrhagic fever.
Keywords: dengue hemorrhagic fever, prevention, and risk factor
Korespondensi: Radita Dewi Prasetyani, Bandar Lampung, 085279790064, e-mail [email protected]
Pendahuluan
Indonesia merupakan negara beriklim
tropis yang baik bagi kehidupan hewan dan
tumbuhan, tetapi juga menjadikan indonesia
sebagai
tempat yang baik pula bagi
perkembangan penyakit, terutama penyakit
yang penularannya melalui vektor. Demam
berdarah (DBD) dengue merupakan penyakit
yang disebabkan oleh virus dengue dengan
penularan melalui vektor. Demam berdarah
dengue adalah penyakit akut dengan
manifestasi
klinis
perdarahan
yang
menimbulkan syok yang berujung kematian.
Demam berdarah dengue disebabkan oleh
salah satu dari empat serotipe virus dari genus
Flavivirus, famili Flaviviridae. Virus ini bisa
masuk ke dalam tubuh manusia dengan
perantara nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus. Hampir di seluruh plosok Indonesia
terdapat kedua jenis nyamuk tersebut, kecuali
ditempat-tempat dengan ketinggian lebih dari
1000 meter di atas permukaan laut.1
Kejadian Luar Biasa (KLB) dengue
biasanya terjadi di daerah endemik dan
berkaitan dengan datangnya musim hujan,
sehingga terjadi peningkatan aktifitas vektor
dengue.2 Penyakit ini masih menjadi masalah
kesehatan baik bagi tenaga kesehetan,
maupun masyarakat luas, terutama pada
daerah endemis baik dikota ataupun
kabupaten.3
Semua golongan umur dapat terserang
penyakit demam berdarah dengue. Saat ini
penyakit demam berdarah dengue lebih
banyak menyerang anak-anak, namun delapan
tahun terakhir ini terdapat peningkatan
proporsi kejadian DBD pada orang dewasa.1
Penyakit DBD di Indonesia pertama kali terjadi
di Surabaya pada tahun 1968. Pada tahun 1994
kasus DBD menyebar ke 27 provinsi di
Indonesia. Tahun 1968 jumlah kasus DBD
sebanyak 53 orang (Incidence Rate (IR)
0.05/100.000 penduduk) meninggal 24 orang
(42,8%).2 Sejak saat itu, penyakit ini menyebar
luas ke seluruh Indonesia. Pada tahun 2005
jumlah
kasus
sebanyak
95.279
(IR:
43,31/100.000 penduduk) dengan 1.298
kematian (Case Fatality Rate (CFR): 1,36%),
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 61
Radita Dewi Prasetyani | Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue
tahun 2006 jumlah kasus sebanyak 114.656 (IR:
52,48/100.000 penduduk) dengan 1.196
kematian (Case Fatality Rate: 1,04%) sampai
dengan bulan November 2007, kasus telah
mencapai
124.811
(IR:
57,52/100.000
penduduk) dengan 1.277 kematian (CFR:
1,02%).1 Berdasarkan data tersebut, dapat
dilihat bahwa kasus DBD mengalami
peningkatan yang signifikan pada tahun 2012.
Faktor Lingkungan menjadi pemicu terjadinya
peningkatan kasus DBD.
Isi
Demam berdarah dengue adalah
penyakit menular yang disebabkan oleh virus
dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk
Aedes aegypti. Penyakit ini adalah penyakit
demam akut yang disebabkan oleh serotipe
virus dengue, dan ditandai dengan empat
gejala klinis utama yaitu demam yang tinggi,
manifestasi perdarahan, hepatomegali, dan
tanda-tanda kegagalan sirkulasi sampai
timbulnya renjatan (sindrom renjatan dengue)
sebagai akibat dari kebocoran plasma yang
dapat menyebabkan kematian.5
Penyakit demam berdarah dengue (DBD)
diebabkan oleh virus dengue yang sampai
sekarang dikenal 4 serotipe (Dengue-1,
Dengue-2, Dengue-3 dan Dengue-4), termasuk
dalam grup B Arthropod Borne Virus
(Arbovirus). Ke-empat serotipe virus ini telah
ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Di
Indonesia Dengue-3 sangat berkaitan dengan
kasus DBD berat dan merupakan serotipe yang
paling luas distribusinya disusul oleh Dengue-2,
Dengue-1 dan Dengue-4.6
Terdapat tiga faktor yang memegang
peranan pada penularan infeksi virus dengue,
yaitu mausia, virus dan vektor perantara. Virus
dengue ditularkan kepada manusia melalui
nyamuk Aedes Aegypti. Aedes albopictus,
Aedes polynesiensis. Aedes mengandung virus
dengue pada saat menggigit manusia yang
sedang mengalami viremia. Kemudian virus
yang berada di kelenjar liur berkembang biak
dalam waktu 8 – 10 hari (extrinsic incubation
period) sebelum dapat ditularkan kembali pada
manusia pada saat gigitan berikutnya. Sekali
virus dapat masuk dan berkembang biak di
dalam tubuh nyamuk tersebut akan dapat
menularkan virus selama hidupnya.1
Pada manusia, penularan penyakit
terjadi karena setiap kali nyamuk menggigit,
alat tusuknya yang disebut proboscis akan
Majority | Volume 7 | Nomor 2 | Juni 2015 | 62
mencari kapiler darah. Setelah diperoleh, maka
dikeluarkan liur yang mengandung zat
antipembekuan darah, agar darah mudah di
hisap melalui saluran proboscis yang sangat
sempit. Bersama liurnya inilah virus
dipindahkan kepada orang lain.7 Virus
memerlukan waktu masa tunas 4–6 hari
(intrinsic
incubation
period)
sebelum
menimbulkan penyakit.1
Patogenesis dan patofisiologi terjadinya
demam berdarah dengue hingga saat ini masih
diperdebatkan.1 Dikatakan bahwa mekanisme
imunopatologis berperan dalam terjadinya
demam berdarah dengue dan sindrom renjatan
dengue.8 Respon imun yang diketahui berperan
dalam pathogenesis DBD antara lain: a) respon
humoral berupa pembentukan antibodi yang
berparan dalam proses netralisasi virus,
sitolisis yang dimediasi komplemen dan
sitotoksisitas yang dimediasi antibodi. Antibodi
terhadap virus dengue berperan dalam
mempercepat replikasi virus pad monosit atau
makrofag. Hipotesis ini disebut antibodi
dependent enhancement (ADE); b) Limfosit T
baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8)
berepran dalam respon imun seluler terhadap
virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1
akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan
limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL5, IL-6 dan IL-10; c) monosit dan makrofag
berperan dalam fagositosis virus dengan
opsonisasi antibodi. Namun proses fagositosis
ini menyebabkan peningkatan replikasi virus
dan sekresi sitokin oleh makrofag; d) Selain itu
aktivitasi komplemen oleh kompleks imun
menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a.7
Terdapat dua perubahan patofisiologis
utama pada DBD. Pertama adalah peningkatan
permeabilitas vaskular yang meningkatkan
kehilangan plasma dari kompartemen vaskular.
Keadaan ini mengakibatkan hemokonsentrasi,
tekanan nadi rendah, dan tanda syok lain, bila
kehilangan plasma sangat membahayakan.
Perubahan kedua adalah gangguan pada
hemostasis yang mencakup perubahan
vaskular, trombositopenia, dan koagulopati.8
Gejala pada penyakit demam berdarah
dengue diawali oleh: 1) demam tinggi
mendadak 2-7 hari (38oC-40oC); 2) manifestasi
perdarahan, dengan bentuk uji tourniquet
positif, purpura, pendarahan konjungtiva,
epitaksis, melena; 3) hepatomegali; 4) syok,
tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau
kurang, tekanan sistolik mencapai 80 mmHg
Radita Dewi Prasetyani | Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue
atau kurang; 5) trombositopenia, dari hari 3-7
ditemukan penurunan trombosit sampai
100.000/mm3;
6)
hemokonsentarasi,
meningkatnya nilai hematokrit; 7) gejala-gejala
klinik lainnya yang dapat menyertai, anoreksia,
mual, muntah, lemah, sakit perut, diare kejang
dan sakit kepala; 8) dan rasa sakit pada otot
dan persendian.9
Faktor-faktor
risiko
yang
dapat
mempengaruhi terjadinya penyakit demam
berdarah diantaranya: lingkungan rumah (jarak
rumah, tata rumah, jenis kontainer, ketinggian
tempat dan iklim), lingkungan biologi, dan
lingkungan sosial.7 Jarak antara rumah
mempengaruhi penyebaran nyamuk dari satu
rumah ke rumah lain, semakin dekat jarak
antar rumah semakin mudah nyamuk
menyebar kerumah sebelah menyebelah.
Bahan-bahan pembuat rumah, konstruksi
rumah, warna dinding dan pengaturan barangbarang dalam rumah menyebabkan rumah
tersebut disenangi atau tidak disenangi oleh
nyamuk. Berbagai penelitian penyakit menular
membuktikan bahwa kondisi perumahan yang
berdesak-desakan dan kumuh mempunyai
kemungkinan lebih besar terserang penyakit.10
Macam kontainer, termasuk macam
kontainer disini adalah jenis/bahan kontainer,
letak kontainer, bentuk, warna, kedalaman air,
tutup dan asal air mempengaruhi nyamuk
dalam pemilihan tempat bertelur.7,10 Ketingian
tempat,
pengaruh
variasi
ketinggian
berpengaruh terhadap syarat-syarat ekologis
yang diperlukan oleh vektor penyakit. Di
Indonesia nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus dapat hidup pada daerah dengan
ketinggian 1000 meter diatas permukaan laut.
Iklim adalah salah satu komponen pokok
lingkungan fisik, yang terdiri dari: suhu udara,
kelembaban udara, curah hujan dan kecepatan
angin.1
Lingkungan biologi yang mempengaruhi
penularan DBD terutama adalah banyaknya
tanaman hias dan tanaman pekarangan, yang
mempengaruhi kelembaban dan pencahayaan
didalam rumah. Adanya kelembaban yang
tinggi dan kurangnya pencahayaan dalam
rumah merupakan tempat yang disenangi
nyamuk untuk hinggap beristirahat.10
Lingkungan Sosial, kebiasaan masyarakat
yang merugikan kesehatan dan kurang
memperhatikan kebersihan lingkungan seperti
kebiasaan menggantung baju, kebiasaan tidur
siang, kebiasaan membersihkan TPA, kebiasaan
membersihkan halaman rumah, dan juga
partisipasi masyarakat khususnya dalam rangka
pembersihan sarang nyamuk, maka akan
menimbulkan resiko terjadinya transmisi
penularan penyakit DBD di dalam masyarakat.
Kebiasaan ini akan menjadi lebih buruk dimana
masyarakat sulit mendapatkan air bersih,
sehingga mereka cenderung untuk menyimpan
air dalam tandon bak air, karena TPA tersebut
sering tidak dicuci dan dibersihkan secara rutin
pada akhirnya menjadi potensial sebagai
tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti.7
Pencegahan penyakit demam berdarah
dengue dapat dibagi menjadi tingkatan.
Pertama pencegahan primer, pencegahan
tingkat pertama ini merupakan upaya untuk
mempertahankan orang yang sehat agar tetap
sehat atau mencegah orang yang sehat
menjadi sakit. Secara garis besar ada cara
pengendalian vektor antara lain:
a)
pengendalian cara kimiawi, pada pengendalian
kimiawi digunakan insektisida yang ditujukan
pada nyamuk dewasa atau larva. Insektisida
yang dapat digunakan adalah dari golongan
organoklorin, organopospor, karbamat, dan
pyrethoid. b) Pengendalian hayati atau
biologik, menggunakan kelompok hidup, baik
dari
golongan
mikroorganisme
hewan
invertebrata
atau
vertebrata.
Sebagai
pengendalian hayati dapat berperan sebagai
patogen, parasit, dan pemangsa. Beberapa
jenis ikan kepala timah (Panchaxpanchax), ikan
gabus (Gambusia afffinis) adalah pemangsa
yang cocok untuk larva nyamuk. C)
Pengendalian lingkungan, pencegahan yang
paling tepat dan efektif dan aman untuk jangka
panjang adalah dilakukan dengan program
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan 3M
yaitu: menguras bak mandi, bak penampungan
air, tempat minum hewan peliharaan.
Menutup rapat tempat penampungan air
sedemikian rupa sehingga tidak dapat
diterobos oleh nyamuk dewasa. Mengubur
barang bekas yang sudah tidak terpakai, yang
kesemuanya dapat menampung air hujan
sebagai tempat berkembang biaknya nyamuk
Aedes aegypty.1
Kedua pencegahan sekunder dilakukan
upaya diagnosis dan dapat diartikan sebagai
tindakan yang berupaya untuk menghentikan
proses penyakit pada tingkat permulaan
sehingga tidak akan menjadi lebih parah. 1)
Melakukan diagnosis sedini mungkin dan
memberikan pengobatan yang tepat bagi
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 63
Radita Dewi Prasetyani | Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue
penderita demam berdarah dengue. 2) Unit
Pelayanan Kesehatan (UPK) yang menemukan
penderita atau tersangka penderita demam
berdarah dengue segera melaporkan ke
puskesmas dan dinas kesehatan dalam waktu
jam. 3) Penyelidikan epidemiologi dilakukan
petugas puskesmas untuk pencarian penderita
panas tanpa sebab yang jelas sebanyak orang
atau lebih, pemeriksaan jentik, dan juga
dimaksudkan untuk mengetahui adanya
kemungkinan terjadinya penularan lebih lanjut
sehingga perlu dilakukan fogging fokus dengan
radius meter dari rumah penderita, disertai
penyuluhan.5
Ketiga pencegahan tertier, pencegahan
ini dimaksudkan untuk mencegah kematian
akibat penyakit demam berdarah dengue dan
melakukan rehabilitasi. Upaya pencegahan ini
dapat dilakukan sebagai berikut: membuat
ruangan gawat darurat khusus untuk penderita
DBD di setiap unit pelayanan kesehatan
terutama di puskesmas agar penderita dapat
penanganan yang lebih baik, transfusi darah
penderita
yang
menunjukkan
gejala
perdarahan, mencegah terjadinya Kejadian
Luar Biasa (KLB).1
Ringkasan
Demam berdarah dengue adalah
penyakit menular yang disebabkan oleh virus
dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk
Aedes aegypti. Gejala klinis utama yaitu
demam yang tinggi, manifestasi perdarahan,
hepatomegali, dan tanda-tanda kegagalan
sirkulasi sampai timbulnya renjatan atau
sindrom renjatan dengue sebagai akibat dari
kebocoran plasma yang dapat menyebabkan
kematian. Faktor-faktor risiko yang dapat
mempengaruhi terjadinya penyakit demam
berdarah diantaranya: lingkungan rumah (jarak
rumah, tata rumah, jenis kontainer, ketinggian
tempat dan iklim), lingkungan biologi, dan
lingkungan sosial. Pencegahan penyakit
demam berdarah dengue terdiri dari:
pencegahan primer, pencegahan sekunder,
dan yang terakhir adalah pencegahan tersier.
Majority | Volume 7 | Nomor 2 | Juni 2015 | 64
Simpulan
Faktor-faktor yang berhubungan dengan
peningkatan angka kejadian DBD dapat dicegah
keterlibatannya pada penyakit DBD dengan
melakukan pencegahan primer, sekunder dan
tersier.
Daftar Pustaka
1. Sukohar A. Demam berdarah dengue.
Medula. Bandar Lampung: Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung. 2014.
2(2):1-14
2. Astuti D, Sri D. Beberapa faktor yang
berhubungan dengan kejadian demam
berdarah dengue (DBD) di kelurahan ploso
kecamatan pacitan tahun 2009. Surakarta:
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Surakarta. 2009:8-27.
3. Sidiek A. Hubungan tingkat pengetahuan
ibu mengenai penyakit DBD terhadap
kejadian DBD pada anak. Media Medika
Muda. Semarang: Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro. 2012. 1(1):2-6.
4. Tamza R, Suhartono, Dharminto. Hubungan
faktor lingkungan dan perilaku dengan kejadian
demam berdarah dengue (DBD) di wilayah
kelurahan perumnas way halim kota bandar
lampung. Kesehatan Masyarakat. Semarang:
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Diponegoro, 2013:1-8.
5. Wirayoga MA. Hubungan kejadian demam
berdarah dengue dengan iklim di kota
semarang pada tahun 2006-2011.
Semarang: Universitas Negeri Semarang,
2013:10-34.
6. Praditya S. Gambaran sanitasi lingkungan
rumah tinggaldengan kejadian penyakit
demam berdarah dengue (DBD) di
kecamatan subersari kabupaten jember.
Jember: Universitas Jember, 2011:6-27.
7. Widiyanto
T.
Kajian
manajemen
lingkungan terhadap kejadian demam
berdarah dengue (DBD) di kota
purwokerto jawa tengah. Semarang:
Universitas Diponegoro. 2007:8-37.
Radita Dewi Prasetyani | Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue
8.
9.
Sitio A. Hubungan perilaku tentang
pemberantasan sarang nyamuk dan
kebiasaan keluarga dengan kejadian
demam berdarah dengue di kecamatan
medan perjuangan kota mean tahun 2008.
Semarang:
Universitas
Diponegoro.
2008:7-32.
Sukmawati
I.
Faktor-faktor
yang
berhubungan
dengan
perilaku
pencegahan DBD di kecamatan pondok
gede kota bekasi. Jakarta: Fakultas
Kesehatan
Masyarakat
Universitas
Indonesia. 2008: 8-25.
10. Desniawati F. Pelaksanaan 3M plus
terhadap keberadaan larva aedes agypti di
wilayah kerja puskesmas ciputat kota
tangerang selatan bulan mei-juni 2014.
Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, 2014:8-38.
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 65
Radita Dewi Prasetyani | Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue
Majority | Volume 7 | Nomor 2 | Juni 2015 | 66
I.Ratna Novalia Sari | Kontrasepsi Hormonal Suntik Depo Medroxyprogesterone Acetate (DMPA) Sebagai Salah Satu
Penyebab Kenaikan Berat Badan
Kontrasepsi Hormonal Suntik Depo Medroxyprogesterone Acetate (DMPA)
sebagai Salah Satu Penyebab Kenaikan Berat Badan
I.Ratna Novalia Sari
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
Abstrak
Kontrasepsi merupakan upaya untuk mencegah terjadinya proses kehamilan baik yang bersifat sementara, maupun yang
bersifat permanen. Kontrasepsi berasal dari kata kontra yang berarti mencegah atau melawan, sedangkan konsepsi adalah
pertemuan antara sel telur yang matang dan sel sperma yang mengakibatkan kehamilan. Penggunaan alat kontrasepsi
disarankan pada pasangan usia subur, ibu yang mempunyai banyak anak dan ibu yang mempunyai resiko tinggi terhadap
kehamilan. Alat kontrasepsi yang paling banyak digunakan yaitu alat kontrasepsi hormonal suntik. Salah satu macam alat
kontrasepsi hormonal suntik yaitu Depo Medroxyprogesterone Acetate (DMPA) yang mengandung hormon progesteron,
dan dapat merangsang pusat pengendalian nafsu makan di hipotalamus sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan
nafsu makan dan berat badan.
Kata kunci: Berat badan, DMPA, kontrasepsi, kontrasepsi hormonal
Injectable Hormonal Contraceptive Depo Medroxyprogesterone Acetate
(DMPA) as One of the Causes Increase Weight
Abstract
Contraception is an attempt to prevent pregnancy either temporary, or permanent. Contraception is derived from the word
that means to prevent or fight, while the concept is a meeting between a mature egg cells and sperm cells resulting in
pregnancy. The use of contraception is recommended in couples of childbearing age, mothers with many children and
mothers who have a high risk of pregnancy. Contraceptives are the most widely used injectable hormonal contraceptives.
One kind of injectable hormonal contraceptives is Depo Medroxyprogesterone Acetate (DMPA) which contains the
hormone progesterone, and can stimulates the appetite control center in the hypothalamus, causing an increase in appetite
and weight.
Keywords: Weight, DMPA, contraceptives, hormonal contraception
Korespondensi: I.Ratna Novalia Sari e-mail [email protected]
Pendahuluan
Menurut World Population Data Sheet
2013, Indonesia merupakan negara ke-5 di
dunia dengan estimasi jumlah penduduk
terbanyak, yaitu 249 juta.1 Salah satu faktor
penambah bagi jumlah penduduk yaitu
fertilitas atau kelahiran. Pemerintah Indonesia
menerapkan suatu program untuk dapat
mengatasi masalah ini, yaitu program Keluarga
Berencana (KB) yang dimulai sejak tahun 1968
dengan didirikannya Lembaga Keluarga
Berencana Nasional (LKBN) dan pada tahun
1970 diubah menjadi Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dengan
tujuan dapat mewujudkan keluarga kecil yang
bahagia dan sejahtera. Program Keluarga
Berencana ini mendukung untuk diadakannya
suatu pelayanan kontrasepsi.2
Keluarga Berencana merupakan salah
satu pelayanan kesehatan preventif yang
paling dasar dan utama bagi wanita, meskipun
tidak selalu diakui demikian. Pelayanan
keluarga berencana merupakan salah satu di
dalam paket pelayanan kesehatan reproduksi
essensial yang perlu mendapatkan perhatian
serius karena dengan mutu pelayanan keluarga
berencana berkualitas akan meningkatkan
tingkat kesejahteraan, kesehatan bayi dan anak
serta kesehatan reproduksi.3
Program KB di Indonesia sudah dimulai
sejak tahun 1957, namun masih menjadi
urusan kesehatan dan belum menjadi urusan
kependudukan. Namun sejalan dengan
semakin meningkatnya jumlah penduduk
Indonesia serta tingginya angka kematian ibu
dan kebutuhan akan kesehatan reproduksi,
program KB selanjutnya digunakan sebagai
salah satu cara untuk menekan pertumbuhan
jumlah
penduduk
serta
meningkatkan
4
kesehatan ibu dan anak. Menurut World
Health Organization (WHO) expert komite
1970, keluarga berencana adalah tindakan
yang membantu individu atau pasangan suami
istri mendapatkan objektif-objektif tertentu,
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 67
I.Ratna Novalia Sari | Kontrasepsi Hormonal Suntik Depo Medroxyprogesterone Acetate (DMPA) Sebagai Salah Satu
Penyebab Kenaikan Berat Badan
menghindari kelahiran yang tidak diinginkan,
mengatur jarak kelahiran, mendapatkan
kelahiran yang diinginkan, mengontrol waktu
keahiran dalam hubungan dengan umur suami
isteri, menentukan jumlah anak dalam
keluarga.5
Data Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional menunjukan bahwa pada
tahun 2013 ada 8.500.247 pasangan usia subur
(PUS) yang merupakan peserta KB baru, dan
hampir separuhnya (48,56%) menggunakan
metode kontrasepsi hormonal suntikan.1
Sebelum menggunakan alat kontrasepsi
sebaiknya diperlukan pertimbangan mengenai
efek samping yang akan timbul terhadap fungsi
reproduksi dan juga kesejahteraan umum.
Salah satu alasan penghentian atau perubahan
penggunaan alat kontrasepsi adalah efek
samping yang dirasakan tersebut.6
Penggunaaan alat kontrasepsi hormonal
dapat menimbulkan berbagai efek samping
yang salah satu di antaranya adalah perubahan
berat badan akseptor. Hal ini disebabkan oleh
hormon progesteron yang mempermudah
terjadinya perubahan karbohidrat dan gula
menjadi lemak, sehingga lemak di bawah
jaringan kulit bertambah.7 Penambahan berat
badan merupakan salah satu efek samping
yang sering dikeluhkan oleh akseptor
kontrasepsi hormonal terutama kontrasepsi
hormonal
suntik
KB
Depo
Medroxyprogesterone Acetate (DMPA).6
Beberapa studi penelitian didapatkan
peningkatan berat badan akibat penggunaan
kontrasepsi
DMPA
berkaitan
dengan
peningkatan lemak tubuh dan adanya
hubungan dengan regulasi nafsu makan. Salah
satu studi menemukan peningkatan nafsu
makan yang dilaporkan sendiri oleh wanita
yang menggunakan kontrasepsi DMPA setelah
6 bulan. Hal ini dapat dihubungkan dengan
kandungan pada DMPA yaitu hormon
progesteron, yang dapat merangsang pusat
pengendalian nafsu makan di hipotalamus
sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan
nafsu makan.2
Isi
Kontrasepsi berasal dari kata kontra
yang berarti mencegah atau melawan,
sedangkan konsepsi adalah pertemuan antara
sel telur yang matang dan sel sperma yang
mengakibatkan kehamilan. Maksud dari
Majority | Volume 7 | Nomor 2 | Juni 2015 | 68
kontrasepsi adalah menghindar dan mencegah
terjadinya
kehamilan
sebagai
akibat
pertemuan antara sel telur yang matang
dengan sel sperma tersebut. Cara kerja
kontrasepsi bermacam-macam tetapi pada
umumnya mempunyai fungsi mengusahakan
agar tidak terjadi ovulasi, melumpuhkan
sperma, menghalangi pertemuan sel telur
dengan sperma.8
Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam
pemilihan alat kontrasepsi adalah tidak
memiliki efek samping yang merugikan, lama
kerja dapat diatur menurut keinginan, tidak
mengganggu persetubuhan, harganya murah
supaya dapat dijangkau masyarakat luas, dapat
diterima pasangan suami istri, tidak
memerlukan bantuan medik atau kontrol yang
terlambat selama penatalaksanaan.9
Sasaran dalam
penggunaan alat
kontrasepsi yaitu 1) pasangan usia subur,
semua pasangan usia subur yang ingin
menunda, menjarangkan kehamilan dan
mengatur jumlah anak; 2) ibu yang mempunyai
banyak anak dianjurkan memakai kontrasepsi
untuk menurunkan angka kematian ibu dan
angka kematian bayi yang disebabkan karena
faktor multiparitas (banyak melahirkan anak);
3) Ibu yang mempunyai resiko tinggi terhadap
kehamilan, Ibu yang mempunyai penyakit yang
bisa membahayakan keselamatan jiwanya jika
dia hamil, maka ibu tersebut dianjurkan
memakai kontrasepsi.10
Faktor yang perlu diperhatikan dalam
pemilihan metode kontrasepsi yaitu efektifitas
kontrasepsi progestin tinggi, efek samping
minor (gangguan siklus haid, perubahan berat
badan, keterlambatan kembalinya kesuburan
dan osteoporosis pada pemakaian jangka
panjang), kerugian hanya sedikit dan jarang
terjadi pada wanita yang mengunakan
kontrasepsi
progesterone,
komplikasikomplikasi yang potensial, biaya kontrasepsi
progesterone yang terjangkau.9
Berbagai jenis metode atau alat
kontrasepsi dibagi menjadi:11
1. Kontrasepsi Sterilisasi yaitu pencegahan
kehamilan dengan mengikat sel indung
telur pada wanita (tubektomi) atau testis
pada pria (vasektomi). Proses sterilisasi ini
harus dilakukan oleh ginekolog (dokter
kandungan). Efektif bila memang ingin
melakukan pencegahan kehamilan secara
permanen, misalnya karena faktor usia.
I.Ratna Novalia Sari | Kontrasepsi Hormonal Suntik Depo Medroxyprogesterone Acetate (DMPA) Sebagai Salah Satu
Penyebab Kenaikan Berat Badan
2. Kontrasepsi teknik, dibagi menjadi :
a. Coitus Interruptus adalah ejakulasi
yang dilakukan di luar vagina. Faktor
kegagalan biasanya terjadi karena ada
sperma yang sudah keluar sebelum
ejakulasi, orgasme berulang atau
terlambat menarik penis keluar.
b. Sistem
kalendar
adalah
tidak
melakukan senggama pada masa
subur,
perlu
kedisiplinan
dan
pengertian antara suami istri karena
sperma maupun sel telur (ovum)
mampu bertahan hidup sampai dengan
48 jam setelah ejakulasi. Faktor
kegagalan karena salah menghitung
masa subur (saat ovulasi) atau siklus
haid
tidak
teratur
sehingga
perhitungan tidak akurat.
c. Prolonged lactation adalah selama tiga
bulan setelah melahirkan saat bayi
hanya minum air susu ibu (ASI) dan
menstruasi belum terjadi, otomatis
tidak akan terjadi kehamilan. Tapi jika
ibu hanya menyusui kurang dari enam
jam per hari, kemungkinan terjadi
kehamilan cukup besar.
3. Kontrasepsi mekanik, terdiri dari:
a. Kondom adalah suatu alat kontrasepsi
yang terbuat dari latex. Terdapat
kondom untuk pria maupun wanita
serta berfungsi sebagai pemblokir
sperma. Kegagalan pada umumnya
karena kondom tidak dipasang sejak
permulaan senggama atau terlambat
menarik penis setelah ejakulasi
sehingga kondom terlepas dan cairan
sperma tumpah di dalam vagina.
b. Spermatisida adalah suatu bahan kimia
aktif untuk membunuh sperma,
berbentuk cairan, krim atau tisu vagina
yang harus dimasukkan ke dalam
vagina lima menit sebelum senggama.
Kegagalan sering terjadi karena waktu
larut yang belum cukup, jumlah
spermatisida yang digunakan terlalu
sedikit atau vagina sudah dibilas dalam
waktu kurang dari enam jam setelah
senggama.
c. Vaginal diafragma adalah lingkaran
cincin dilapisi karet fleksibel ini akan
menutup mulut rahim bila dipasang
dalam liang vagina enam jam sebelum
senggama. Efektivitasnya sangat kecil,
karena itu harus digunakan bersama
spermatisida
untuk
mencapai
efektivitas 80%.
d. Intra Uterine Device (IUD) atau spiral
adalah alat kontrasepsi yang terbuat
dari bahan polyethylene yang diberi
lilitan logam, umumnya tembaga (Cu)
dan dipasang di mulut rahim.
Kelemahan alat ini yaitu bisa
menimbulkan rasa nyeri di perut,
infeksi panggul, pendarahan di luar
masa
menstruasi
atau
darah
menstruasi lebih banyak dari biasanya.
4. Kontrasepsi hormonal adalah kontrasepsi
yang cara kerjanya bersifat hormonal bisa
berupa pil KB yang diminum sesuai
petunjuk hitungan hari yang ada pada
setiap blisternya, suntikan, susuk/implan
yang ditanam untuk periode tertentu, koyo
KB atau spiral berhormon.
Kontrasepsi hormonal terdiri dari:
a. Pil Kombinasi Oral Contraception (OC)
Pil kombinasi merupakan kombinasi
dosis
rendah
estrogen
dan
progesteron. Penggunaan kontrasepsi
pil
kombinasi
estrogen
dan
progesteron atau yang hanya terdiri
dari progesteron saja merupakan
penggunaan kontrasepsi terbanyak.
b. Koyo KB
Digunakan dengan ditempelkan di kulit
setiap minggu. Kekurangannya adalah
menimbulkan reaksi alergi bagi yang
memiliki kulit sensitif dan kurang cocok
untuk digunakan pada daerah beriklim
tropis.
c. Susuk KB ( Implan )
Implan terdiri dari 6 kapsul silastik,
setiap kapsulnya berisi levornorgestrel
sebanyak 36 miligram dengan panjang
3,4 cm dan diameter 2,4 cm. Kapsul
yang dipasang harus dicabut menjelang
akhir masa 5 tahun. Terdapat dua jenis
Implan yaitu Norplant dan Implanon.
d. Suntik KB
Kontrasepsi suntikan mengandung
hormon sintetik. Cara pemakaiannya
dengan menyuntikkan zat hormonal ke
dalam tubuh. Zat hormonal yang
terkandung dalam cairan suntikan
dapat mencegah kehamilan dalam
waktu tertentu. Biasanya penyuntikan
ini dilakukan 2-3 kali dalam sebulan.11
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 69
I.Ratna Novalia Sari | Kontrasepsi Hormonal Suntik Depo Medroxyprogesterone Acetate (DMPA) Sebagai Salah Satu
Penyebab Kenaikan Berat Badan
KB suntik adalah suatu alat kontrasepsi
hormonal
yang
cara
penggunaannya
disuntikkan secara intramuscular (IM).10 Cara
kerja KB suntik menurut Saifudin (2003),
diantaranya
adalah:
menekan
ovulasi,
mengentalkan
lendir
servik
sehingga
menurunkan kemampuan penetrasi sperma,
menjadikan selaput lendir rahim tipis dan
atropi dan menghambat transportasi gamet
oleh tuba.10 Komposisi suntik kombinasi terdiri
dari 25 mg depo medroksi progesterone asetat
dengan 5 mg estradiol sipinoat dan 50 mg
norethindrone enantat dengan 5 mg etradiol
valerat. Komposisi suntik progestin terdiri dari
150 mg depo medroksi progesterone asetat
dan 200 mg depo norestisteron enantat.12
Jenis KB suntik golongan progestin
menurut Saifudin (2003) adalah 1). Depo
Medroxyprogesteron
Acetate
(DMPA)
mengandung 150 mg DMPA diberikan 3 bulan
sekali secara intramuscular, dan 2).Depo
noretisterone
(Depo
Noristerate)
yang
mengandung 200 mg noretindron enantat,
diberikan
setiap
2
bulan
secara
intramuscular.10
Cara kerja DMPA diantaranya adalah
mencegah ovulasi, mengentalkan lendir serviks
sehingga menurunkan kemampuan penetrasi
sperma, menjadikan selaput lendir rahim tipis
dan atrofi, menghambat transportasi gamet
oleh tuba, gangguan haid.13
Gejala dan keluhan biasanya yaitu
amenorhoe (tidak datangnya haid pada setiap
bulan selama akseptor mengikuti suntik KB),
metrhoragia (perdarahan yang berlebihan
diluar masa haid), spotting (bercak – bercak
perdarahan diluar masa haid yang terjadi selala
akseptor mengikuti KB suntik), menorrhagia
(datangnya darah haid dalam jumlah banyak).13
Alat kontrasepsi hormonal suntik DMPA
adalah satu-satunya kontrasepsi hormonal
yang konsisten terkait dengan penambahan
berat badan. Sebuah studi prospektif
menemukan bahwa wanita yang menggunakan
Depo-Provera memperoleh penambahan berat
badan rata-rata sebesar 5,1 kg selama 36
bulan, sedangkan wanita yang menggunakan
kontrasepsi oral kombinasi tidak mendapatkan
kenaikan berat badan.14
Perdebatan mengenai meningkatnya
berat badan sebagai akibat dari penggunaan
DMPA-IM yang terus menerus, serta
penambahan jumlah berat dilaporkan naik dari
Majority | Volume 7 | Nomor 2 | Juni 2015 | 70
waktu ke waktu, bervariasi dari sekitar 1-2 kg
setelah 1 tahun penggunaan menjadi antara 410 kg setelah penggunaan yang lama sekitar 35 tahun. Menurut WHO, dalam menyelidiki
efek samping dan alasan penghentian DMPAIM menemukan bahwa wanita dewasa
memperoleh rata-rata 1,9 kg pada tahun
pertama penggunaan DMPA-IM, dan berat
badan dikutip sebagai salah satu alasan utama
untuk penghentian penggunaan DMPA-IM ini.15
Perhitungan untuk mengetahui berat
badan normal (BBN) dihitung dengan
mengurangi ukuran tinggi badan (dalam cm)
dengan angka 100. Berat badan ideal (BBI)
diperoleh dengan mengurangi BBN dnegan
10% dari BBN, sedangkan berat badan berlebih
jika berat badan seseorang lebih dari 15% dari
BBN.16
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan
berat badan seseorang menurut Wijayanti
(2006) adalah:6
1. Herediter
Kencenderungan menjadi gemuk pada
keluarga tertentu telah lama diketahui. Hal
ini disebabkan oleh kebiasaan keluarga
makan banyak dan berkali-kali tiap harinya.
Dengan demikian masukan energi tiap
harinya melebihi kebutuhannya.
2. Bangsa atau suku
Pada bangsa atau suku tertentu kadangkadang terlihat lebih banyak anggotaanggotanya yang menderita obesitas.
Dalam hal ini sukar untuk menentukan
faktor yang lebih menonjol. Keturunan
atau latar belakang kebudayaan seperti
biasa makan makanan yang mengandung
banyak energi, tidak berolah raga dan
sebagainya.
3. Gangguan emosi
Gangguan emosi merupakan sebab
terpenting obesitas pada remaja. Pada
anak yang bersedih hati dan memisahkan
diri dari lingkungannya timbul rasa lapar
yang berlebihan sebagai kompensasi
terhadap masalahnya. Adanya kebiasaan
makanan yang terlampau banyak akan
menghilang
dengan
menyembuhnya
gangguan emosi yang dideritanya.
4. Fisiologi
Energi yang dikeluarkan menurun dengan
bertambahnya usia dan ini sering
meningkatkan berat badan pada usia
pertengahan.
I.Ratna Novalia Sari | Kontrasepsi Hormonal Suntik Depo Medroxyprogesterone Acetate (DMPA) Sebagai Salah Satu
Penyebab Kenaikan Berat Badan
5. Gangguan hormon
Gangguan hormon hypotyroid dapat
mempengaruhi peningkatan berat badan
atau kecenderungan untuk meningkatkan
berat badan.
6. Aktivitas fisik
Peningkatan berat badan dapat disebabkan
asupan energi yang melebihi kebutuhan
tubuh yang biasanya dialami oleh orang
yang kurang olahraga atau kurang aktivitas
fisik. Hal ini menyebabkan energi yang
masuk kedalam tubuh tidak dibakar atau
digunakan yang kemudian disimpan dalam
bentuk lemak. Adapun faktor-faktor
pendukung
yang
mempengaruhi
perubahan berat badan.
Selain faktor utama, adapun faktorfaktor pendukung yang mempengaruhi
perubahan berat badan menurut BKKBN
(2013), diantaranya adalah:1
1. Pola makan
Pola makan dapat dikendalikan dengan
memilih responden yang mempunyai pola
makan yang teratur karena efek dari
hormon
progesteron
disini
dapat
meningkatkan nafsu makan.
2. Umur
Usia 20-35 tahun adalah usia yang lebih
aman dari resiko kematian maternal,
sehingga mengatur kehamilan pada usia
tersebut dengan kontrasepsi adalah
mengurangi resiko kematian maternal
pada bayi dan anak. Terbukti bahwa jarak
kehamilan kurang dari 2 tahun akan
meningkatkan
kematian
bayinya.
Disamping itu wanita yang melahirkan
pada usia dibawah 18 tahun cenderung
prematur dan meninggal dunia. Dengan
demikian program KB secara langsung
maupun
tidak
langsung
dengan
kelangsungan hidup ibu, bayi, dan anak.
Selain faktor- faktor yang dapat
meningkatkan berat badan adapun usahausaha untuk mengurangi berat badan.6
Ringkasan
kontrasepsi adalah menghindar dan
mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat
pertemuan antara sel telur yang matang
dengan sel sperma tersebut. Cara kerja
kontrasepsi bermacam-macam tetapi pada
umumnya mempunyai fungsi mengusahakan
agar tidak terjadi ovulasi, melumpuhkan
sperma, menghalangi pertemuan sel telur
dengan sperma. Sasaran dalam penggunaan
alat kontrasepsi yaitu semua pasangan usia
subur yang ingin menunda, menjarangkan
kehamilan dan mengatur jumlah anak; ibu yang
mempunyai banyak anak dianjurkan memakai
kontrasepsi
untuk
menurunkan
angka
kematian ibu dan angka kematian bayi karena
faktor multiparitas; ibu yang mempunyai resiko
tinggi terhadap kehamilan; ibu yang
mempunyai penyakit yang bisa membahayakan
keselamatan jiwanya jika dia hamil, maka ibu
tersebut dianjurkan memakai kontrasepsi.
Faktor yang perlu diperhatikan dalam
pemilihan metode kontrasepsi yaitu efektifitas
kontrasepsi tinggi, efek samping minor,
kerugian hanya sedikit, biaya kontrasepsi yang
terjangkau. Macam-macam alat kontrasepsi
yaitu kontrasepsi sterilisasi, kontrasepsi
mekanik, kontrasepsi teknik, dan kontrasepsi
hormonal. DMPA merupakan salah satu
kontrasepsi hormonal suntik yang paling sering
digunakan yang memiliki efek samping
peningkatan berat badan. Cara kerja DMPA
diantaranya adalah mencegah ovulasi,
mengentalkan
lendir
serviks
sehingga
menurunkan kemampuan penetrasi sperma,
menjadikan selaput lendir rahim tipis dan
atrofi, menghambat transportasi gamet oleh
tuba, gangguan haid.
Simpulan
Alat kontrasepsi hormonal suntik DMPA
yaitu alat kontrasepsi yang mengandung
hormon progesteron, yang dapat merangsang
pusat pengendalian nafsu makan di
hipotalamus sehingga menyebabkan terjadinya
peningkatan berat badan akseptor.
Daftar Pustaka
1. BKKBN. Pemantauan pasangan usia subur
melalui mini survei indonesia. Jakarta.
BKKBN. 2013.
2. Pratiwi, D, Syahredi, Erkadius. Hubungan
antara penggunaan kontrasepsi hormonal
suntik DMPA dengan peningkatan berat
badan di Puskesmas Lapai Kota Padang.
Jurnal Kesehatan Andalas, 3(3):367–371.
2013.
3. Suyati. Hubungan jenis kontrasepsi suntik
dengan perubahan berat badan. Jurnal
Edu Health, 3(2): 84 – 88. 2013.
4. Kemenkes RI. Situasi dan analisis keluarga
berencana.
Jakarta.
Kementerian
Kesehatan RI. 2014.
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 71
I.Ratna Novalia Sari | Kontrasepsi Hormonal Suntik Depo Medroxyprogesterone Acetate (DMPA) Sebagai Salah Satu
Penyebab Kenaikan Berat Badan
5.
Irnawati. Analisis faktor-faktor yang
berhubungan dengan perubahan pola
menstruasi pada akseptor KB suntik depo
medroxyprogesterone
acetate
di
Puskesmas Batua Kota Makassar. Jurnal
Ilmiah Kebidanan, 1(1): 1–8. 2012.
6. Purnamasari,
D.
Hubungan
lama
pemakaian
KB
suntik
depo
medroxyprogesterone asetat (DMPA)
dengan perubahan berat badan di BPS
(Bidan praktek swasta) “Yossi Trihana”
Jogonalan Klaten. [Skripsi]. Surakarta:
Universitas Sebelas Maret. 2009.
7. Mayulu, N, Kawengian, S, Hasan, M.
Hubungan
penggunaan
kontrasepsi
hormonal dengan obesitas pada wanita
usia subur (WUS) di Puskesmas Wawonas
Kecamatan Singkil Manado. [Skripsi].
Manado: Universitas Sam Ratulangi. 2008.
8. Alexander, N, J. Contraception: present
and future. Medical Journal of Indonesia,
8(1) : 7-8. 1999.
9. Hartanto, H. Keluarga berencana dan
kontrasepsi. Jakarta. Pustaka Sinar
Harapan. 2003.
10. Saifuddin, A,B. Buku panduan praktis
pelayanan kontrasepsi. Jakarta. Yayasan
Majority | Volume 7 | Nomor 2 | Juni 2015 | 72
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
2003.
Wulandari,
P.
Sistem
penunjang
keputusan
pemilihan
metode/alat
kontrasepsi. [Skripsi]. Depok: Universitas
Indonesia. 2013.
Apreliasari, H. Risiko riwayat pemakaian
kontrasepsi hormonal terhadap kejadian
kanker payudara di RSUD Dr. Moewardi
Surakarta. [Skripsi]. Surakarta: Universitas
Sebelas Maret. 2009.
Haryani, D,D, Santjaka, A, Sumarni.
Pengaruh frekuensi kontrasepsi suntik
DMPA terhadap kenaikan berat badan
pada akseptor kontrasepsi suntik DMPA.
Jurnal Ilmiah Kebidanan, 1(1): 59–72.
2010.
Barr, N,G. Managing adverse effects of
hormonal
contraceptives.
American
Family Physician, 82(2):1499–1506. 2010.
Beksinska, M,E, Smit, J,A , Guidozzi, F.
Weight
change
and
hormonal
contraception: fact and fiction. Expert Rev
of Obstet Gynecol, 6(1):45-56. 2011.
Arisman, Dr. Gizi dalam daur kehidupan.
Jakarta. EGC. 2010.
Adietya Bima Prakasa | Pengaruh Madu terhadap Jumlah Leukosit Total yang Dipapari Asap Rokok
Pengaruh Madu terhadap Jumlah Leukosit Total Akibat Paparan Asap Rokok
Adietya Bima Prakasa
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
Abstrak
Merokok merupakan salah satu ancaman kesehatan masyarakat terbesar yang pernah dihadapi. Setidaknya hampir 6 juta
orang meninggal per tahun akibat merokok. Asap rokok yang dihirup seorang perokok mengandung komponen gas dan
partikel. Komponen gas sangat berpotensi untuk menimbulkan radikal bebas. Merokok dalam jangka panjang meningkatkan
jumlah leukosit total, terutama jumlah polymorphonuclear neutrophil (PMN) pada sirkulasi darah yang disebabkan oleh
radikal bebas dan reaksi inflamasi. Madu memiliki antioksidan dan zat antiinfalamsi yang dapat menghambat aktivasi dari
leukosit yang terjadi karena stress oksidatif yang disebabkan rokok, yang berefek pada menurunnya jumlah leukosit total
dalam tubuh.
Kata kunci: asap rokok, jumlah leukosit total, madu, polymorphonuclear neutrophil (PMN ), radikal bebas.
The Effect of Honey to the Total Leucocytes Count Because of Cigarette
Smoke Exposure
Abstract
Smoking is one of the biggest public health threat that has ever faced. At least nearly 6 million people die each year because
of smoking. Cigarette smoke that inhaled by a smoker containing gases and particles. Gas component has the potential to
give rise to free radicals. Long-term smoking increases the total number of leukocytes, particularly the number of
polymorphonuclear neutrophils (PMN) in the blood circulation because of free radical and inflamatory reaction. Honey has
antioxidant and antiinflamatory subtances that can inhibit the activation of leukocytes that occurs due to oxidative stress
caused by smoking, that have effect on the decrease of total leukocytes count in the body.
Keywords: free radical, honey, polymorphonuclear neutrophil (PMN), smoke, total leucocytes count.
Korespondensi: Adietya Bima Prakasa, Jl. Abdul Muis 8 no. 9A Gedung Meneng, Bandar Lampung, HP 082183199550, e-mail
[email protected]
Pendahuluan
Merokok merupakan salah satu ancaman
kesehatan masyarakat terbesar yang pernah
dihadapi. Setidaknya hampir 6 juta orang
meninggal per tahun akibat merokok. Lebih
dari 5 juta kematian diakibatkan karena hasil
dari penggunaan tembakau langsung dan lebih
dari 600.000 kematian sisanya disebabkan
perokok pasif yang terpapar asap rokok secara
tidak langsung.1
Indonesia menempati peringkat pertama
di Asia Tenggara dalam hal prevalensi perokok
dewasa per hari. Menurut data Global Adult
Tobacco Survey (GATS) tahun 2011, sebanyak
67% laki-laki dewasa dan 2,7% wanita dewasa
atau sekitar 59,9 juta orang dewasa secara
keseluruhan di Indonesia adalah perokok.2
Asap rokok yang dihirup seorang
perokok mengandung komponen gas dan
partikel. Komponen gas sangat berpotensi
untuk menimbulkan radikal bebas, yang
diantaranya terdiri dari karbon monoksida,
karbon dioksida, oksida dari nitrogen dan
senyawa hidrokarbon. Sedangkan komponen
partikel beberapa diantaranya terdiri dari tar,
nikotin, benzopiren, fenol, dan cadmium.3
Tiap hisapan rokok mengandung jumlah
oksidan yang besar meliputi aldehida, epoxide,
peroxide, dan radikal bebas lain.4 Selain
mengandung oksidan, asap rokok dapat
memicu aktivitas sel-sel antiiflamasi untuk
membentuk radikal bebas secara tidak
langsung dalam tubuh sehingga jumlah oksidan
yang ada dalam tubuh bisa melebihi jumlah
antioksidan yang tersedia.5 Merokok juga
merupakan faktor risiko utama terhadap
penyakit kardiovaskuler. Mekanisme yang
berperan dalam peningkatan risiko penyakit
kardiovaskular pada perokok adalah karena
peningkatan aktivasi dan pengeluaran sel
inflamasi pada sirkulasi yang disebabkan asap
rokok.
Banyak studi yang telah dilakukan
sebelumnya menunjukkan bahwa merokok
dalam jangka panjang meningkatkan jumlah
leukosit total, terutama jumlah PMN pada
sirkulasi darah. Jumlah rokok yang dihisap juga
berhubungan dengan jumlah leukosit.6 Untuk
Majority | Volume 4| Nomor 7| Juni 2015 | 73
Adietya Bima Prakasa | Pengaruh Madu terhadap Jumlah Leukosit Total yang Dipapari Asap Rokok
mengurangi dampak negatif tersebut
dibutuhkan suatu zat yang dapat berperan
sebagai
antioksidan
sekaligus
sebagai
antiinflamasi, salah satunya adalah madu.
Madu adalah cairan manis yang berasal
dari nektar tanaman yang diproses oleh lebah
menjadi madu dan tersimpan dalam sel-sel
sarang lebah. Sejak ribuan tahun yang lalu
sampai sekarang ini, madu telah dikenal
sebagai salah satu bahan makanan atau
minuman alami yang mempunyai peranan
penting dalam kehidupan.7 Madu kaya akan
vitamin A, betakaroten, vitamin B kompleks
atau lengkap, vitamin C,D,E, dan K.8 Madu juga
banyak mengandung komponen flavonoid,
seperti luteolin, quercetin, apigenin, fisetin,
kaempferol,
ishoramnetin,
acacetin,
tamarixetin, chrystin, dan galangin, sehingga
sangat berperan sebagai antioksidan.9 Selain
itu madu dapat mengurangi inflamasi dan
edema karena mempunyai sifat antiinflamasi
yang juga berasal dari flavonoid.10
Isi
Rokok
merupakan
hasil
olahan
tembakau terbungkus termasuk cerutu atau
bahan lainya yang dihasilkan dari tanamam
Nicotiana Tabacum, Nicotiana Rustica dan
spesies lainnya atau sintesisnya yang
mengandung nikotin dan tar dengan atau
tanpa bahan tambahan.11
Secara umum asap rokok dibagi
menjadi dua fase yaitu fase tar dan fase gas.
Asap rokok fase tar memiliki kandungan >10 17
radikal bebas/g dan pada fase gas
mengandung > 10 15 radikal bebas/ hisapan.
Radikal bebas pada fase tar memiliki waktu
paruh yang lama di tubuh yaitu beberapa jam
sampai beberapa bulan, sedangkan radikal
bebas pada fase gas hanya memiliki waktu
paruh beberapa detik. 12
Perokok aktif mendapatkan paparan
langsung dari sebatang rokok, dan asapnya
disebut dengan minstream smoke. Sedangkan
perokok pasif terpapar oleh asap dari ujung
rokok yang terbakar atau sidestream smoke.
Mainstream cigarette smoke terdiri dari 8%
fase tar dan 92% fase gas. Asap rokok di
ruangan sekitar perokok terdiri dari 85 %
sidestream smoke, 15% mainstream smoke
yang dihembuskan oleh perokok. Sidestream
smoke relatif mengandung konsentrasi
komponen gas beracun yang lebih tinggi
daripada mainstream cigarette smoke.12
Majority | Volume 4| Nomor 7| Juni 2015 | 74
Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa
peningkatan
leukosit
dapat
disebabkan peningkatan radikal bebas.
Radikal bebas menyebabkan aktivasi NF-κB
dan mengakibatkan peningkatan produksi IL-8
yang berperan dalam peningkatan leukosit.13
Selain
itu
asap
rokok
juga
dapat
mengakibatkan stress oksidatif yang ditandai
dengan meningkatnya radikal bebas, dan reaksi
inflamasi berupa peningkatan jumlah leukosit,
neutrofil darah perifer dan kadar ALP.14
Madu memiliki kandungan gizi yang
cukup lengkap. Madu mengandung berbagai
jenis gula, yaitu monosakarida, disakarida dan
trisakarida. Monosakarida terdiri atas glukosa
dan fruktosa sekitar 70%, disakarida yaitu
maltosa sekitar 7% dan sukrosa antara 1-3%,
sedangkan trisakarida antara 1-5%. Dalam
madu juga terdapat banyak kandungan asam
amino, vitamin, mineral, asam, enzim serta
serat. Asam amino yang terdapat dalam madu
berjumlah 18 jenis. Vitamin dalam madu
berupa thiamin, riboflavin, niasin, asam
pantotenat, folat, vitamin B6, B12, C, A, D, dan
vitamin K. Enzim yang terkandung dalam madu
antara lain enzim invertase, amilase atau
diastase, glukosa oksidase, katalase, dan asam
fosfatase. Madu mengandung sekitar 15 jenis
asam sehingga pH madu sekitar 3,9.15
Kandungan mineral dalam madu yang
telah diketahui antara lain Sulfur (S), Kalsium
(Ca), Tembaga (Cu), Mangan (Mn), Besi (Fe),
Fosfor (P), Kalium (K), Klor (Cl), Magnesium
(Mg), Iodium (I), Seng (Zn), Silikon (Si), Natrium
(Na), Molibdenum (Mo) dan Alumunium (Al).
Masing-masing mineral ini memiliki manfaat,
diantaranya adalah Mangan yang berfungsi
sebagai antioksidan serta berpengaruh dalam
pengontrolan glukosa darah serta mengatur
hormon steroid.16
Magnesium berperan penting dalam
mengaktifkan fungsi replikasi sel, protein dan
energi. Iodium berguna bagi pertumbuhan.
Besi
(Fe) dapat membantu proses
pembentukan sel darah merah. Magnesium,
Fospor dan Belerang berkaitan dengan
metabolisme tubuh. Sedangkan Molibdenum
berguna dalam pencegahan anemia dan
sebagai penawar racun. Efek antimikrobial dari
madu berkaitan dengan osmolaritas madu,
keasaman, kandungan flavonoid maupun
hidrogen peroksida.16 flavonoid juga dapat
menjadi zat antiinflamasi dan penstabil
Reactive Oxygen Species (ROS). Efek flavonoid
Adietya Bima Prakasa | Pengaruh Madu terhadap Jumlah Leukosit Total yang Dipapari Asap Rokok
sebagai antioksidan secara tidak langsung
mendukung efek antiinflamasi flavonoid.
Adanya radikal bebas dapat menarik berbagai
mediator inflamasi dan flavonoid dapat
menstabilkan ROS dengan bereaksi dengan
senyawa reaktif dari radikal sehingga radikal
menjadi inaktif.17
Kandungan nutrisi dalam madu yang
berfungsi sebagai antioksidan lainnya adalah
vitamin C, asam organik, enzim, asam fenolat,
flavonoid dan beta karoten, serta Vitamin A,
dan Vitamin E yang juga merupakan salah satu
vitamin antioksidan esensial yang utama.2
Karena banyaknya substansi alami yang
bermanfaat, madu dapat dipakai dalam dunia
medis
misalnya
sebagai:
antibakteri,
hepatoprotective, perbaikan fungsi reproduksi,
anti-hipertensi dan sebagai antioksidan serta
antiinflamasi, sehingga dapat berperan sebagai
penghambat aktivasi leukosit yang diakibatkan
oleh stress oksidatif yang disebabkan oleh
rokok.18
Madu dapat menurunkan leukosit
terutama PMN karena memiliki kandungan
antioksidan serta zat antiinflamasi yaitu
flavonoid, yang dapat menstabilkan ROS
sehingga radikal bebas menjadi inaktif dan
menurunkan reaksi inflamasi.17 Hal ini
dikarenakan penurunan radikal
bebas
menyebabkan berkurangnya aktivasi NF-κB
dan mengakibatkan penurunan produksi IL-8
yang berperan dalam peningkatan leukosit
sehingga kadar leukosit total darah dapat
menurun.
Ringkasan
Merokok merupakan salah satu ancaman
kesehatan masyarakat terbesar yang pernah
dihadapi. Setidaknya hampir 6 juta orang
meninggal per tahun akibat merokok. Asap
rokok yang dihirup seorang perokok,
mengandung komponen gas dan partikel.
Komponen gas sangat berpotensi untuk
menimbulkan
radikal
bebas
dan
mengakibatkan oksidatif stress yang ditandai
dengan meningkatnya reaksi inflamasi berupa
peningkatan jumlah leukosit. Sehingga akan
terjadi peningkatan jumlah leukosit total,
terutama jumlah PMN pada sirkulasi darah.
Madu memiliki flavonoid sebagai antioksidan
dan antiinflamasi yang dapat menghambat
aktivasi dari mediator inflamasi yang terjadi
karena stress oksidatif yang disebabkan rokok,
dan berefek pada menurunnya jumlah leukosit
total dalam tubuh.
Simpulan
Disimpulkan bahwa asap rokok memiliki
pengaruh terhadap jumlah leukosit total
karena radikal bebas dan inflamasi.
Antioksidan yang terkandung dalam madu
dapat bereaksi dan mampu menetralisir radikal
bebas, sehingga dengan pemberian madu
dapat menurunkan jumlah leukosit total,
terutama PMN.
Daftar Pustaka
1. World Health Organization. Report on the
Global Tobacco Epidemic. Geneva: World
Health Organization; 2013
2. Parwata OA, Ratnayati K, listya A. Aktivitas
Antiradikal Bebas Serta Kadar Beta
Karoten Pada Madu Randu (Ceiba
pentandra) dan Madu Kelengkeng
(Nephelium longata L). [internet]. 2010
[diakses pada 18 Maret 2015]; tersedia
dari:
http://ojs.unud.ac.id/index.php/jchem/art
icle/download/2766/1958
3. Zavos PM, Correa
JR, Karagounis
CS,
Ahparaki A, Phoroglou C, Hicks CL. An
electron microscope study of the
axonemal ultrastructure in human
spermatozoa from male smokers and
nonsmokers.
Fertility and Sterility.
1998; 69(1):430-34.
4. Arief S. Radikal bebas. Dalam: Ilmu
Kesehatan Anak. Surabaya: FK UNAIR/RSU
Dr. Soetomo; 2007. hlm 1–9
5. Diniz MF, Dourado VA, Silva ME, et al.
Cigarette smoke causes changes in liver
and spleen of mice newborn exposed
during pregnancy: Journal of Cytology &
Histology. 2013; 04(01): 1–5.
6. Smith M, Kinmonth K, & Luben R. Smoking
status and differential white cell count in
men and women in the EPIC-Norfolk
population. Atherosclerosis. 2003; 169(2):
331-37.
7. Hariyati LF. Aktivitas antibakteri berbagai
jenis madu terhadap mikroba pembusuk
(Pseudomonas fluoroscens FNCC 0071 dan
Pseudomonas putida FNCC 0070).
[internet]. 2010 [diakses 19 Maret 2015].
Tersedia
dari:
http://eprints.uns.ac.id/526/1/170552511
201011471.pdf
Majority | Volume 4| Nomor 7| Juni 2015 | 75
Adietya Bima Prakasa | Pengaruh Madu terhadap Jumlah Leukosit Total yang Dipapari Asap Rokok
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Suranto A. Terapi lebah. Jakarta: Penebar
Swadaya; 2007.
Erguder BI, Kilicoglu SS, Namuslu M,
Kilicoglu B, Devrim E, Kismet K, Durak, I.
Honey prevents hepatic damage induced
by obstruction of the common bile duct.
World Journal of Gastroenterology. 2008;
14(23), 3729–32
Ali Raeessi M, Aslani J, Raeessi N, Gharaie
H, Karimi ZAA, Raeessi F. Honey plus
coffee versus systemic steroid in the
treatment of persistent post-infectious
cough: A randomised controlled trial.
Primary Care Respiratory Journal. 2013;
22(3), 325–30.
Tendra, H. Tembakau dan produknya.
Bandung: PT. Rineka Cipta; 2003.
Ambrose
JA,
Barua
RS.
The
pathophysiology of cigarette smoking and
cardiovascular disease: An update. Journal
of the American College of Cardiology.
2004; 43(10), 1731–37.
Iho S, Tanaka Y, Takauji R, Kobayashi C,
Muramatsu I, Iwasaki H, Takahashi T.
Nicotine induces human neutrophils to
produce IL-8 through the generation of
peroxynitrite and subsequent activation of
Majority | Volume 4| Nomor 7| Juni 2015 | 76
14.
15.
16.
17.
18.
NF-kappaB. Journal of Leukocyte Biology.
2003; 74, 942–51.
Sela S, Shurtz-Swirski R, Awad J, Shapiro G,
Nasser L, Shasha SM, Kristal B. The
involvement
of
peripheral
polymorphonuclear leukocytes in the
oxidative stress and inflammation among
cigarette smokers. The Israel Medical
Association Journal : IMAJ. 2002; 1015–19.
Tartibian B, Maleki BH. The effects of
honey supplementation on seminal
plasma cytokines, oxidative stress
biomarkers, and antioxidants during 8
weeks of intensive cycling training. Journal
of Andrology. 2012; 33(3), 449–61.
Pérez E, Rodríguez-Malaver AJ, Vit P.
Antioxidant capacity of venezuelan honey
in wistar rat homogenates. Journal of
Medicinal Food. 2006; 9(4), 510–16.
Hidayati N, Listyawati S, Setyawan, A.
Kandungan kimia dan uji antiinflamasi
ekstrak etanol Lantana camara L . pada
tikus putih ( Rattus norvegicus L ) jantan.
Bioteknologi. 2005; 5(1), 10–17.
Erejuwa O, Sulaiman SA, & Wahab MSA.
Honey: A novel antioxidant. Molecules
journal. 2012; 17(4): 4400–23.
Hanna Insani Vedy | Efektivitas Kitosan Sebagai Absorben Logam Berat pada Gambaran Anatomi Ginjal Mencit (Mus
Musculus L) yang diinduksi Plumbum Asetat
Efektifitas Kitosan Sebagai Absorben Logam Berat pada Gambaran Anatomi
Ginjal Mencit (Mus Musculus L) yang Dinduksi Plumbum Asetat
Hanna Insani Vedy
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
Abstrak
Plumbum merupakan logam berat yang sangat berbahaya bagi kesehatan. Angka insidensi keracunan plumbum di Indonesia
masih tergolong tinggi. Keracunan plumbum dapat mengakibatkan gangguan kesehatan seperti enselopati, anemia, epilepsy,
kerusakan otak besar, halusinasi, bahkan kerusakan ginjal. Gangguan ginjal dapat dilihat dari gambaran histopatologi dengan
ditemukannya gambaran fibrosis interstitialis kronis. Kerusakan pada ginjal akan berdampak pada sampah metabolisme yang
tidak dapat dikeluarkan dan meracuni tubuh. Kitosan berasal dari cangkang udang sebagai absorben logam berat yang dapat
mengikat plumbum. Sehingga penting untuk melihat efektivitas kitosan terhadap gambaran histopatologi ginjal yang
diinduksi plumbum.
Kata kunci: Plumbum, Ginjal, Kitosan
Chitosan Effectiveness as Heavy Metals Absorbent at Kidney Anatomy
Overview of Mice (Mus Musculus L) that was Inducted by Plumbum Acetate
Abstract
Plumbum is a heavy metal that is harmful to health. Plumbum poisoning incidence rate in Indonesia is still relatively high.
Plumbum poisoning can cause health problems such as enselopati, anemia, epilepsy, brain damage large, hallucinations, and
even kidney damage. Kidney disorders can be seen from the description of the histopathological finding of chronic interstitial
fibrosis picture. Damage to the kidneys will have an impact on metabolic waste that can not be removed and poison the body.
Chitosan is derived from the shells of shrimp as absorbent of heavy metals that can bind plumbum. So it is important to see
the effectiveness of chitosan against induced renal histopathologic picture plumbum.
Keywords: Plumbum, Kidney, Chitosan
Keywords : Plumbum, Kidney, Chitosan
Korespondensi: Hanna Insani Vedy, Jl. Cut Mutia Gg. Maninjau no. 30 Gulak Galik, Teluk Betung Utara Bandar Lampung, HP
082186672999, e-mail [email protected]
Pendahuluan
Keracunan plumbum sangat berbahaya
bagi kesehatan manusia. Kurangnya perhatian
akan bahaya pumblum menyebabkan angka
pencemaran plumbum di Indonesia meningkat
pesat. Hal ini dibuktikan dengan, data hasil Studi
Asosiasi Pendidikan dan Mainan Tradisional
menemukan 80% mainan di Indonesia
mengandung plumbum empat kali lebih tinggi
dari Standar Nasional Indonesia (SNI). Kadar
plumbum jauh di atas ambang batas yang
ditetapkan, yaitu 915 dan 389 mg/kg dan
ambang batas amannya sebesar 100 mg/kg.
Selain itu, Seperempat dari anak-anak sekolah
di Jakarta memiliki kandungan plumbum dalam
darah berkisar 10-14.9 ug/dL, telah melampaui
batas yang tetapkan oleh Pusat Pengontrolan
dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat yaitu
kurang dari 10 ug/dL tentang batas plumbum
yang di golongkan tidak beracun.1
Konsentrasi plumbum air laut di Ancol
sebesar 0,55 ppm, sedangkan ambang batas
aman plumbum untuk air laut menurut
Kementrian Lingkungan Hidup yaitu 0,008 ppm.
Selain itu, konsentrasi plumbum sayuran dan
tanaman di Bogor di atas nilai ambang aman
yang ditetapkan WHO sebesar 2 ppm untuk
berat basah dan 2,82 ppm untuk berat kering.2
Pencemaran plumbum tidak dapat
dianggap remeh karena dapat mengakibatkan
gangguan kesehatan seperti ensefalopati,
anemia, kolik yang disertai peningkatan tekanan
darah, epilepsi, halusinasi, kerusakan pada otak
besar, infertil (wanita dan pria), abortus
spontan, gangguan haid. Keracunan berat
Plumbum akan menyebabkan penyakit renal
progresif, kerusakan ginjal berupa fibriosis
interstitialis kronis.
Plumblum dapat merusak organ dengan
cara masuk melalui inhalasi atau ingesti, masuk
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 77
Hanna Insani Vedy | Efektivitas Kitosan Sebagai Absorben Logam Berat pada Gambaran Anatomi Ginjal Mencit (Mus
Musculus L) yang diinduksi Plumbum Asetat
ke saluran pernafasan dan faring, yang
kemudian akan terdistribusi ke darah sebanyak
95%, dan di ekskskresi melalui kulit berupa
keringat, usus besar berupa tinja dan plumbum
di ekskresikan di ginjal yaitu melalui filtrasi
glomerulus dengan hasil akhir urin.3
Ekskresi plumbum di ginjal dapat
mempengaruhi fungsi ginjal, menginggat ginjal
merupakan suatu organ yang sangat penting
untuk mengatur fungsi untuk mempertahankan
volume, komposisi dan distribusi cairan tubuh
serta mengeluarkan hasil metabolisme tubuh
yang sudah tidak digunakan dan obat-obatan.
Kerusakan pada ginjal membuat sampah
metabolisme dan air tidak dapat lagi
dikeluarkan. Dalam kadar tertentu, sampah
tersebut dapat meracuni tubuh, kemudian
menimbulkan kerusakan jaringan bahkan
kematian. Penanganan pada kerusakan ginjal
adalah transplantasi ginjal dan dialisis atau cuci
darah. Tetapi, dana yang dikeluarkan besar dan
pengobatan dapat berjalan hingga seumur
hidup, sehingga diperlukan alternatif lain untuk
pencegahan kerusakan ginjal akibat paparan
plumbum.4
Kitosan turunan kitin dari cangkang
Crustacea merupakan limbah yang dapat
mencemari lingkungan jika tidak dimanfaatkan.
Pengolahan kulit udang yang dapat memberi
nilai tambah dapat dilakukan dengan
menjadikannya sebagai serbuk yang kemudian
diolah lebih lanjut menjadi kitin dan kitosan
yang merupakan bahan industri bernilai
ekonomi tinggi. Karena kitosan berfungsi
sebagai absorben logam berat yang dapat
mengikat plumbum. Sehingga, penting untuk
mengetahui efektivitas kitosan sebagai
pencegahan penyakit ginjal karena induksi
plumbum.
Isi
Plumbum yang kita kenal dengan timah
hitam dan dalam bahasa ilmiahnya dikenal
dengan kata plumbum dan kelompok logam
golongan IV A pada tabel periodik unsur kimia.
Mempunyai nomor atom (NA) 82 dengan bobot
atau berat (BA) 207,2 adalah suatu logam berat
berwarna kelabu dan lunak dengan titik leleh
327ºC dan titik didih 1.620ºC. Plumbum
menguap dan membentuk oksigen dalam udara
yang kemudian membentuk plumbum oksida.
Bentuk oksida yang paling umum adalah
plumbum (II). Walaupun bersifat lunak dan
lentur, Plumbum sangat rapuh dan mengkerut
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 78
pada pendinginan, sulit larut dalam air dingin,
air panas dan air asam timah hitam dapat larut
dalam asam nitrit, asam asetat dan asam sulfat
pekat. Timah hitam di tambahkan pada bahan
bakar kendaraan bermotor dalam bentuk
senyawa organik tetraalkylead, terdiri dari
tetramethyllead (TML), tetraethylead (TEL), dan
campuran
alkil
Triethylmethylead,
diethylmehyllead dan ethyltrimethyllead. Tidak
ada timah hitam yang ditambahkan pada bahan
bakar solar (diesel) dan minyak tanah. TEL dan
TML secara ditambahkan ke dalam bensin
sebagai adiktif anti ketukan mesin dan
menaikkan angka oktan bensin. TEL berbentuk
cairan berat dengan kerapatan 1,659 g/ml, titik
didih 200ºC = 390ºF dan larut dalam bensin.4
Efek-efek Plumbum terhadap kesehatan
dapat dijelaskan secara rinci sebagai berikut.5
a. Efek terhadap terjadinya anemia
secara biokimiawi, keracunan timah hitam
dapat menyebabkan :
1)
Peningkatan produksi ALA (Amino
Levulinic Acid)
plumbum akan menghambat enzim
hemesintetase, yang mengakibatkan
penurunan produksi heme. Penurunan
produksi heme ini meningkatkan
aktivitas ALA sintetase, dan produksi
ALA pada urin meningkat;
2)
Peningkatan protoporphirin
perubahan protoporphirin IX menjadi
heme, akan terhambat oleh plumbum.
Hal ini akan menyebabkan terjadinya
akumulasi dari protoporphirin IX pada
plasma dan feses; dan
3)
Peningkatan koproporphirin akumulasi
dari protoporphirin akan meningkatkan
akumulasi dari koproporphirin III pada
urin dan feses.
b. Efek terhadap sistem saraf pusat
Susunan saraf merupakan jaringan yang
paling sensitif terhadap keracunan
Plumbum. Pajanan tinggi dengan kadar
Plumbum darah di atas 80 μg/dl dapat
terjadi
ensefalopati.
Ensefalopati
merupakan bentuk keracunan Plumbum
yang sangat buruk dengan sindrom gejala
neurologis yang berat. Terjadi kerusakan
pada
arteriol
dan kapiler
yang
mengakibatkan oedema (adanya cairan)
otak, meningkatnya tekanan cairan
serebrospinal, degenerasi neuron dan
perkembangbiakan sel glia. Kerusakan
dapat pula mengenai saraf kranial, kadar
Hanna Insani Vedy | Efektivitas Kitosan Sebagai Absorben Logam Berat pada Gambaran Anatomi Ginjal Mencit (Mus
Musculus L) yang diinduksi Plumbum Asetat
Plumbum dalam darah 1 – 18 μg/dl
menyebabkan gangguan pendengaran tipe
sensorineural.
c. Efek terhadap ginjal
Keracunan
berat
Plumbum
akan
menyebabkan penyakit renal progresif.
Kerusakan
ginjal
berupa
fibriosis
interstitialis kronis, degenerasi tubuler,
dan perubahan vaskuler pada arteri kecil
dan arteriol. Ditemukan gambaran khas,
yaitu penuhnya badan inklusi intranuklear
pada sel dinding tubulus. Badan inklusi
merupakan kompleks protein Plumbum
yang kemudian diekskresi melalui urine.
d. Efek terhadap sistem kardiovaskular
Pada keracunan Plumbum akut beberapa
pasien menderita kolik yang disertai
peningkatan tekanan darah. Kemungkinan
timbulnya kerusakan miokard tidak dapat
diabaikan. Perubahan elektro kardiografi
dijumpai pada 70 % penderita dengan
gejala umum berupa takikardia, disritmia
atrium.
e. Efek terhadap sistem reproduksi
Plumbum dapat menembus jaringan
plasenta sehingga menyebabkan kelainan
pada janin. Peningkatan kasus infertil
(wanita dan pria), abortus spontan,
gangguan haid dan bayi lahir mati pada
pekerja perempuan yang terpajan
Plumbum telah dilaporkan sejak abad 19.
Dampak plumbum pada ginjal sendiri
didapatkan hasil pada penelitian Hariono (2005)
dengan pemberian 0,5 g Pb asetat
netral/kgBB/oral/hr pada tikus putih (Rattus
norvegicus) selama 16 minggu terjadi
penurunan BB yang signifikan (P<0,05). Begitu
juga rata-rata berat absolut hati, ginjal, dan
limpa terjadi penurunan yang signifikan
dibandingkan kelompok control.6
Pada penelitian tersebut juga dihasilkan
kadar plumbum dalam ginjal lebih tinggi dari
hati dan limpa. Hal ini dapat menyebabkan
ginjal lebih beresiko daripada jaringan tubuh
lain. Selanjutnya hasil pemeriksaan secara
makroskopis pada minggu ke-14 dan ke-16
organ hati dan ginjal tampak pucat sedangkan
organ lain normal. Secara mikroskopis pada
minggu ke-12 sampai ke-16, epitel tubulus
kontortus proksimal ginjal terlihat degenerasi,
hiperplasia, dan pada minggu ke-8 terlihat
benda-benda inklusi dalam inti sel. Terlihat pula
vakuolisasi duktus kolektivus, dilatasi lumen
disertai akumulasi sel debris dan pelebaran
ruangan Bowman.6
Kitosan adalah turunan kitin yang
diisolasi dari kulit udang, rajungan, kepiting, dan
kulit serangga lainnya. Kitosan merupakan
kopolimer alam berbentuk lembaran tipis, tidak
berbau, berwarna putih.7
Sumber utama pembuatan serbuk
kitosan adalah kitin, nama kitin (chitin) berasal
dari bahasa Yunani yang artinya jubah atau
amplop, kitin diisolasi dari eksoskleton berbagai
crustacean, terutama kepiting dan udang. Kitin
merupakan komponen utama dari struktur
tubuh hewan golongan Crustacea, Antropoda,
Annelida, Mollusca dan Nematoda.8
Kitosan bersifat polielektrolit kation yang
dapat mengikat logam berat, sehingga dapat
berfungsi sebagai adsorben terhadap logam
berat dalam air limbah. Prinsip dasar dalam
mekanisme pengikatan antara kitosan dan
logam berat yang terkandung dalam limbah cair
adalah prinsip penukar ion. Gugus amina
khususnya nitrogen dalam kitosan akan beraksi
dan mengikat logam dari persenyawaan limbah
cair. Kitosan sebagai polimer kationik yang
dapat mengikat logam dimana gugus amino
yang terdapat pada kitosan berikatan dengan
logam dapat membentuk ikatan kovalen. Gaya
yang bekerja yaitu gaya Van der Walls, gaya
elektrostatik, ikatan hidrogen dan ikatan
kovalen. Standarisasi penyerapan limbah logam
dengan kitosan sebesar ≥ 70 %.9
Ringkasan
Plumbum sangat berbahaya bagi
kesehatan
manusia.
Plumbum
dapat
mengakibatkan gangguan kesehatan seperti
kerusakan ginjal berupa fibriosis interstitialis
kronis.
Plumblum dapat merusak organ dengan
cara masuk melalui inhalasi atau ingesti.
Ekskresi
plumbum
di
ginjal
dapat
mempengaruhi fungsi ginjal, menginggat ginjal
merupakan suatu organ yang sangat penting
untuk mengatur fungsi untuk mempertahankan
volume, komposisi dan distribusi cairan tubuh
serta mengeluarkan hasil metabolisme tubuh
yang sudah tidak digunakan dan obat-obatan.
Kerusakan pada ginjal membuat sampah
metabolisme dan air tidak dapat lagi
dikeluarkan, sehingga diperlukan alternatif lain
untuk pencegahan kerusakan ginjal akibat
paparan plumbum. Kitosan dari cangkang
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 79
Hanna Insani Vedy | Efektivitas Kitosan Sebagai Absorben Logam Berat pada Gambaran Anatomi Ginjal Mencit (Mus
Musculus L) yang diinduksi Plumbum Asetat
udang dapat mengikat logam berat seperti
plumbum karena berifat polielektrolit, yang
ditandai dengan tidak terjadinya fibriosis
interstitialis
kronis
pada
gambaran
histopatologi ginjal.
4.
5.
Simpulan
Kitosan efektif dalam mengikat logam
berat pada ginjal yang diinduksi plumbum.
Daftar Pustaka
1. Lubis B, Rosdiana N, Nafi S, Rasyianti O,
Panjaitan FM. Hubungan Keracunan Timbal
dengan Anemia Defisiensi Besi pada Anak.
2013; 40(1), 17-21.
2. Suherni O. Keracunan Timbal di Indonesia
[internet]. Macquarie University of Sidney;
[diperbaharui tanggal 16 september 2010;
disitasi tanggal 20 Desember 2014].
Tersedia
dari:
http://www.lead.org.au/cu.html
3. Isro’in, Laily. Personal Higiene: Konsep,
Proses, dan Aplikasi Praktik Keperawatan.
Jakarta: Graha Ilmu; 2012.
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 80
6.
7.
8.
9.
Riwayati I, Hartati I, Purwanto H,
Suwardiyono. Prosiding Seminar Nasional
Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST); 2014
Nov 15; Yogyakarta. Indonesia : 1979-911X.
SNAST; 2014.
Palar H. Pencemaran dan Toksikologi
Logam Berat. Jakarta : PT. Rhineka Cipta;
1994.
Hariono B. Efek Peberian Plumbum (Timah
Hitam) Anorgani Pada Tikus Putih (Rattus
novergicus). J. Sain Vet. 2015; 2(23), 107–
118.
Rismana E. Serat Kitosan Mengikat Lemak.
Jakarta: Pusat P2 Teknologi Farmasi; 2003.
Neely M. Chitin and Its Derivates in
Industrial.
California:
Gums
Kelco
Company; 1969.
Margnarof. Potensi Limbah Udang sebagai
Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium,
dan Tembaga) di Perairan [internet].
[diperbarui 2003; disitasi tanggal 20
Desember
2014].
Tersedia
dari:
tumoutu.net/70207134/marganof.pdf.
Aulia Agristika | Komplikasi Obesitas Pada Anak dan Upaya Penanganannya
Komplikasi Obesitas Pada Anak dan Upaya Penanganannya
Aulia Agristika
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
Abstrak
Obesitas merupakan masalah gizi berlebih yang kian marak dijumpai pada anak di seluruh dunia, terutama di negara-negara
dengan tingkat pendapatan rendah dan menengah. Prevalensi atau angka kejadian obesitas pada anak meningkat sangat
cepat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007 diperkirakan 22 juta anak dibawah usia lima tahun menderita overweight
(obesitas). Komplikasi dari obesitas antara lain berkurangnya kapasitas otak, kesulitan bernapas, iritasi kulit, hipertensi, dan
diabetes. Penanganannya dapat dilakukan dengan menerapkan pola hidup sehat seperti berjalan 20-30 menit sehari
danmengurangi konsumsi makanan cepat saji (fast food).
Kata Kunci: anak-anak, komplikasi, obesitas
The Complication of Obesity for Children and Treatment Effort
Abstract
Obesity is a problem that is increasingly prevalent excess nutrients found in children around the world , especially in
countries with low and medium income levels . The prevalence or incidence of obesity in children has increased very rapidly
from year to year . In 2007 an estimated 22 million children under the age of five suffer overweight. Complications of
obesity include a reduced capacity of the brain, difficulty breathing, skin irritations, hypertension and diabetes. Handling
can be done by adopting a healthy lifestyle such as walking 20-30 minutes a day and reduce the consumption of fast food.
Keyword: children, complication, obesity
Korespondensi : Aulia Agristika, alamat Jl. SoemantriBrojonegoro, PondokArbenta, Bandar Lampung, no HP
+6282182085444, [email protected]
Pendahuluan
Obesitasmerupakan
masalah
gizi
berlebih yang kian marak dijumpai pada anak
di seluruh dunia, terutama di negara-negara
dengan tingkat pendapatan rendah dan
menengah.Prevalensi atau angka kejadian
obesitas pada anak meningkat sangat cepat
dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007
diperkirakan 22 juta anak dibawah usia lima
tahun menderita overweight.1
Angka kejadian obesitas pada anak-anak
usia 6-17 tahun di Amerika Serikat dalam III
dekade terakhir meningkat dari 7,6–10,8%
menjadi 13-14%. Di Rusia, angka kejadian
obesitas pada anak usia 6-8 tahun adalah 10%,
Cina 3,4%, Inggris 10-17%. Sedangkan angka
kejadian obesitas pada anak usia sekolah di
Singapura adalah 9-19%, dan 12,2% menjadi
15-16% di Thailand dalam dua tahun terakhir.2
Di Indonesia, angka kejadian obesitas
pada balita menurut Survei Sosial Ekonomi
Nasional meningkat baik di desa maupun di
perkotaan. Pada tahun 1992, angka kejadian
obesitas di perkotaan didapatkan 6,3% pada
laki-laki dan 8% pada perempuan. Pada tahun
1995, angka kejadian obesitas pada 27 provinsi
sebesar 4,6%.2
Obesitas yang terjadi pada masa anakanak memiliki resiko yang tinggi untuk
terjadinya obesitas saat dewasa dan berpotensi
untuk mengalami penyakit metabolik dan
penyakit degeneratif dikemudian hari. Anak
dengan obesitas memiliki resiko yang lebih
besar untuk terjadinya hipertensi. Maka dari
itu obesitas pada anak perlu mendapatkan
perhatian khusus dan penanganan yang sedini
mungkin.20,21,22
Isi
Obesitas adalah kelebihan lemak dalam
tubuh, yang umumnya ditimbun dalam
jaringan subkutan (bawah kulit), sekitar organ
tubuh dan kadang meluas ke dalan jaringan
organnya.3Secara klinis obesitas dapat dengan
mudah dikenali, antara lain seperti wajah
membulat, pipi tembam, dagu rangkap, leher
relatif pendek, dada membusung dengan
payudara membesar yang mengandung
jaringan lemak, perut membuncit disertai
dinding perut yang berlipat-lipat, kedua
tungkai berbentuk X dengan kedua pangkal
paha bagian dalam saling menempel dan
bergesekan, pada anak laki-laki penis tampak
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 81
Aulia Agristika | Komplikasi Obesitas Pada Anak dan Upaya Penanganannya
kecil karena tertutupi oleh jaringan
lemak.4Faktor penyebab obesitas antara lain
adalah herediter (keturunan), pola makan, dan
aktifitas fisik.5
Anak yang mengalami obesitas biasanya
berasal dari keluarga yang mengalami obesitas.
Jika kedua orang tua obesitas, maka sekitar
80% anak-anak mereka akan menjadi obesitas.
Jika salah satu dari orang tua yang mengalami
obesitas, maka kejadian obesitas pada anakanak menjadi 40%, dan jika kedua orang tua
tidak mengalami obesitas, maka angka
kejadian obesitas pada anak-anak mereka
turun menjadi 14%.5,
Penyebab mendasar obesitas pada anak
adalah ketidakseimbangan antara kalori yang
masuk dan kalori yang dikeluarkan. Perilaku
makan mulai terkondisi dan terlatih sejak bulan
bulan pertama kehidupan yaitu saat diasuh
orang tua. Pemberian susu botol pada bayi
mempunyai kecenderungan diberkan dalam
jumlah yang berlebih sehingga resiko untuk
terjadinya obesitas lebih besar. Akibatnya anak
tersebut terbiasa untuk mengkonsumsi
makanan yang melebihi kebutuhan dan terus
berlanjut ke masa prasekolah, masa usia
sekolah sampai usia remaja.6Pada usia sekolah
anak-anak memiliki kebiasaan mengkonsumsi
makanan cepat saji (fast food dan junk food)
yang umumnya mengandung energi tinggi
karena 40-50%nya berasal dari lemak.
Kebiasaan lainnya adalah melewatkan sarapan
pagi dan mengkonsumsi makanan camilan
yang tinggi gula sambil menonton televisi.9
Kecendrungan kurangnya melakukan
aktivitas fisikkarena anak-anak lebih banyak
menghabiskan waktu didalam rumah daripada
diluar rumah.7Perkembangan teknologi juga
turut membawa pengaruh bagi aktivitas fisik
anak karena anak-anak di era modern seperti
sekarang cenderung lebih suka untuk bermain
game elektronik dan menonton televisi. Suatu
penelitian kohort menyatakan bahwa anakanak yang menonton televisi lebih dari lima
jam dapat meningkatkan angka kejadian
terjadinya obesitas sebesar 18% pada usia 6-12
tahun.8
Diagnosis obesitas pada anak dilakukan
dengan menghitung indeks masa tubuh
(IMT)nya, dikatakan obesitas jika IMT anak
tersebut berada diatas persentil 95 pada grafik
tumbuh kembang berdasarkan usia dan jenis
kelaminnya.Sedangkan untuk mengukur IMT
ditunjukkan dengan perhitungan kilogram per
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 82
meter kuadrat (kg/m2), berkorelasi dengan
lemak yang terdapat dalam tubuh.Bagi anak
yang
mengalami
obesitas
diperlukan
pemeriksaan khusus untuk deteksi dini sindrom
metabolik. 10
Dampak yang ditimbulkan oleh obesitas
yang pertama adalah tekanan darah tinggi,
kolesterol tinggi, kadar lipid dalam darah yang
abnormal dan resistensi insulin.11Kedua, sesak
napas yang membuat olahraga atau aktifitas
fisik lebih sulit dan dapat memperburuk gejala
dan menyebabkan terjadinya asma.Ketiga,
gangguan hati dan penyakit kandung
empedu.12
Komplikasi obesitas yang pertama
adalah mengenai kapasitas otak, semakin besar
tubuh sesorang yang mengalami obesitas maka
akan semakin berkurang pula jaringan
otaknya.Kedua, mengenai saluran napasyakni
gangguan fungsi saluran napas Obstructive
Sleep Apnea Sindrome(OSAS). Gejalanya mulai
dari mengorok sampai mengompol. Obstruksi
saluran napas intermiten dapat menyebabkan
tidur
gelisah.Ketiga,
kulit
lecet
dan
pelipatan.Obesitas
pada
anak
dapat
menyebabkan gesekan sehingga membuat kulit
menjadi lecet, anak merasa gerah atau panas
dan disertai biang keringat serta jamur pada
lipatan kulit.13Keempat, mengenai jantung.
Anak-anak
yang
mengalami
obesitas
cenderung mengakibatkan hipertensi(tekanan
darah tinggi) pada masa pubertas.Kelima,
mengenai ginjal. Anak yang mengalami
obesitas memiliki resiko terkena diabetes
dengan komplikasi sakit ginjal di kemudian
hari.14
Penanganan obesitas pada anak secara
teoritis bahwa intervensi terapi apapun pada
anak dengan obesitas harus mencapai kontrol
berat badan dan pengurangan IMT dengan
aman dan efektif serta harus mencegah
komplikasi jangka panjang dari obesitas pada
masa kanak-kanak dan dewasa. Rencana
perawatan dengan menekankan diet jangka
panjang, latihan, dukungan keluarga, dan
menghindari perubahan dramatis dalam berat
badan.Lakukan pendekatan tim untuk terapi
yang melibatkan upaya perawat pendidik, ahli
gizi, ahli fisiologi olahraga, dan konselor.
Konsultasi dengan spesialis paru kedokteran,
dan ortopedi.15Hilangnya 5-20% dariberat total
tubuh dapat mengurangi banyak resiko
kesehatan yang berhubungan dengan obesitas
pada orang dewasa namun apakah penurunan
Aulia Agristika | Komplikasi Obesitas Pada Anak dan Upaya Penanganannya
berat badan atau pengurangan moderat dalam
IMT dapat meningkatkan hasil pada pasien
anak atau mengurangi resiko jangka panjang
obesitas di masa dewasa tidak diketahui.
Karena pengurangan dramatis dalam IMT sulit
untuk dicapai dan dipertahankan pada anakanak dan remaja serta orang dewasa, sehingga
perlu untuk memulai konseling dan terapi yang
dinilai lebih bijaksana dengan tujuan yang
realistis yang menekankan pada proses
pengurangan berat badan secara bertahap.16
Terapkan untuk memiliki pola makan
hidup sehat, yakni dengan mengurangi
makanan yang manis yang kurang mengandung
gizi. Seperti makanan cepat saji (fast
food).17Perilaku dan kebiasaan makan yang
baik merupakan cara teraupetik yang
dianjurkan untuk menghindari obesitas. Secara
umum
farmakoterapi
untuk
obesitas
dikelompokkan yaitu penekan nafsu makan
seperti sibutramin, penghambat absorbsi zatzat gizi misalnya orlistat, dan kelompok lainlain termasuk leptin, octreoctid, dan
metformin. Belum tuntasnya penelitian
tentang
jangka
panjang
penggunaan
farmakoterapi
obesitas
pada
anak,
menyebabkan tidak satupun farmakoterapi
tersebut yang diizinkan pemakainnya pada
anak oleh United State Food and Drug
Administration sampai saat ini. Lakukan
modifikasi gaya hidup, perbanyak latihan dan
aktivitas
fisik
seperti
renang,
danjogging.Meskipun tidak ada program
pengobatan
yang
meyakinkan
untuk
direkomendasikan, gabungan intervensi gaya
hidup sehat menghasilkan penurunan berat
badan yang signifikan.
Batasi waktu untuk menonoton tv dan
bermain game, biasakan untuk berjalan kaki
selama 20-30 menit per hari. Dengan berjalan
kaki, dapat mengurangi pertambahan berat
badan melalui peningkatan pengeluaran energi
dan memiliki efek yang menguntungkan
terhadap status kardiovaskular, mengurangi
tingkat lemak tubuh dan kolesteroltotal,
meningkatkan massa tubuh tanpa lemak dan
highdensitylipoprotein
(HDL),
dan
meningkatkan psikologis kesejahteraan.18
Percobaan terkontrol telah menunjukkan
bahwa program latihan gaya hidup, berkaitan
dengan pembatasan diet, memberikan kontrol
berat badan jangka panjang pada anak-anak
dan remaja. Hasil studi tahun 2012
menunjukkan bahwa rendahnya tingkat
kebugaran kardiorespirasi juga telah dikaitkan
dengan gejala depresi yang meningkat pada
obesitas remaja.19
Ringkasan
Obesitas merupakan masalah gizi
berlebih yang kian marak dijumpai pada anak
diseluruh dunia, terutama di negara-negara
dengan tingkat pendapatan rendah dan
menengah. Obesitas adalah kelebihan lemak
dalam tubuh, yang umumnya ditimbun dalam
jaringan subkutan (bawah kulit). Komplikasi
dari obesitas antara lain dapat dapat mengenai
beberapa organ tubuh yakni otak, jantung,
paru-paru, ginjal, kulit, dan saluran napas.
Penanganannya dapat dilakukan dengan
memodifikasi gaya hidup mulai dari
menerapkan pola makan sehat dan berolah
raga.
Simpulan
Obesitas
dapat
menyebabkan
terganggunya beberapa organ tubuh seperti
otak, jantung, paru-paru, ginjal, kulit dan
saluran napas. Penanganannya dapat dilakukan
dengan memodifikasi gaya hidup, dimulai dari
pola makan sehat dan rajin berolah raga.
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
4.
Flegal KM, Ogden CL, Wei R, Kunczmarski
RL, Johnson CL. Prevalence of overweight
in US children: comparison of US growth
charts from the centers for disease control
and prevention with other reference
values for body mass index. Am J ClinNutr.
2001; 73(6):1086-93.
Shomaker LB, Tanofsky-Kraff M, Zocca JM,
Field SE, Drinkard B, Yanovski JA.
Depressive
symptoms
and
cardiorespiratory
fitness in obese
adolescents. J
AdolescHealth.
2012;
50(1):87-92.
Huh S, Rifas-Shiman S, Taveras E, Oken E,
Gillman M. Timing of solid food
introduction and risk of obesity in
preschool-aged children. Pediatrics. 2011;
127(3):544-51.
Ortega FB, Labayen I, Ruiz JR, Kurvinen
E, Loit
HM, Harro
J, Veidebaum
T, Sjöström M. Improvements in fitness
reduce the risk of becoming overweight
across puberty. Med Sci Sports Exerc.
2011; 43(10):1891-7
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 83
Aulia Agristika | Komplikasi Obesitas Pada Anak dan Upaya Penanganannya
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Neumark-Sztainer D, Wall M, Story M,
Standish AR. Dieting and unhealthy weight
control behaviors during adolescence:
associations with 10-year changes in body
mass index. J Adolesc Health. 2012;
50(1):80-6.
Tirosh A, Shai I, Afek A, Dubnov-Raz
G, Ayalon N, Gordon B et al. Adolescent
BMI trajectory and risk of diabetes versus
coronary disease. N Engl J Med. 7 2011;
364(14):1315-25.
Crowley D, Khoury P, Urbina E, Ippisch H,
Kimball T. Cardiovascular impact of the
pediatric obesity epidemic: higher left
ventricular mass is related to higher body
mass index. J Pediatr. 2011; 158(5):709714.e1.
Maffeis C, Pinelli L, Brambilla P, Banzato C,
Valzolgher L, Ulmi D, et al. Fasting plasma
glucose (FPG) and the risk of impaired
glucose tolerance in obese children and
adolescents. Obesity (Silver Spring). 2010;
18(7):1437-42.
Kalarchian MA, Levine MD, Arslanian
SA, Ewing LJ, Houck PR, Cheng Y et al.
Family-based treatment of severe
pediatric obesity: randomized, controlled
trial. Pediatrics. 2009; 124(4):1060-8.
Wildes
JE, Marcus
MD, Kalarchian
MA, Levine MD, Houck PR, Cheng Y. Selfreported binge eating in severe pediatric
obesity: impact on weight change in a
randomized controlled trial of familybased treatment. Int J Obes (Lond). 2010;
34(7):1143-8
DeBar LL, Stevens VJ, Perrin N, Wu P,
Pearson J, Yarborough BJ, et al. A primary
care-based, multicomponent lifestyle
intervention for overweight adolescent
females. Pediatrics. 2012; 129(3):611-20.
Oude
Luttikhuis
H, Baur
L, Jansen
H, Shrewsbury VA, O'Malley C, Stolk RP, et
al. Interventions for treating obesity in
children.
Cochrane Database Syst
Rev. 2009; 21(1):CD001872.
Pavey TG, Taylor AH, Fox KR, Hillsdon M,
Anokye N, Campbell JL, et al. Effect of
exercise referral schemes in primary care
on
physical
activity
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 84
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
and
improving
health
outcomes:
systematic review and meta-analysis. BMJ.
2011; 343:d6462.
Jolly K, Lewis A, Beach J, Denley J, Adab P,
Deeks JJ, et al. Comparison of range of
commercial or primary care led weight
reduction programmes with minimal
intervention control for weight loss in
obesity: lighten up randomised controlled
trial. BMJ. 2011; 343:d6500.
Hooper L, Abdelhamid A, Moore HJ,
Douthwaite W, Skeaff CM, Summerbell
CD. Effect of reducing total fat intake on
body weight: systematic review and metaanalysis of randomised controlled trials
and cohort studies. BMJ. 2012; 345:e7666.
Duckworth LC, Gately PJ, Radley D, Cooke
CB, King RF, Hill AJ. RCT of a high-protein
diet on hunger motivation and weight-loss
in obese children: an extension and
replication. Obesity (Silver Spring). 2009;
17(9):1808-10.
August GP, Caprio S, Fennoy I, Freemark
M, Kaufman FR, Lustig RH, Silverstein JH,
et al. Prevention and treatment of
pediatric obesity: an endocrine society
clinical practice guideline based on expert
opinion. J Clin Endocrinol Metab. 2008;
93(12):4576-99.
American Heart Association. Guidelines
for the Primary Prevention of Stroke. US.
American Heart Association; 2010.
Harris KC, Kuramoto LK, Schulzer M,
Retallack JE. Effect of school-based
physical activity interventions on body
mass index in children: a meta-analysis.
CMAJ. 2009; 180(7):719-26
World Health Organisation. Obesity:
Preventing and Managing The Global
Epidemic, World Health Organisation
Technical Report Series. Geneva: World
Health Organization; 2000.
Heird, W.C. parenteral Feeding Behavior
and Children’s Fat Mass. Am J Clin Nutr.
2002; 75: 451-452.
Taitz, L.S. Obesity. Dalam: McLaren DS,
Burman D, Belton NR, Williams AF, editor.
Textbook Of Pediatric Nutrition IIIrd ed.
London: Churchill Livingstone; 1991. hlm.
485-509.
Karina | ASI Sebagai Pilihan Untuk Perbaiki Perkembangan Motorik Bayi
ASI sebagai Pilihan untuk Perbaiki Perkembangan Motorik Bayi
Karina
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
Abstrak
Air Susu Ibu (ASI) eksklusif adalah pemberian ASI saja kepada bayi mulai ia lahir sampai berumur 6 bulan tanpa tambahan cairan
lain dan tambahan makanan lain. ASI tanpa bahan makanan lain dapat mencukupi kebutuhan pertumbuhan usia sekitar enam
bulan. Pemberian ASI eksklusif membantu dalam peningkatan kualitas anak, seperti mempertahankan kelangsungan hidup dan
meningkatkan kualitas anak agar mencapai tumbuh kembang yang optimal, baik fisik, mental, emosional maupun sosial serta
memiliki intelegensi majemuk. Pemberian ASI ekslusif dapat menurunkan risiko berbagai penyakit, bahkan kematian bayi.
Tumbuh kembang dapat berjalan dengan pemberian ASI eksklusif seperti keterampilan motorik kasar, motorik halus,
kemampuan bicara dan bahasa serta kemampuan sosialisasi dan kemandirian. Rendahnya pemberian ASI eksklusif menjadi
ancaman bagi perkembangan anak. Bayi yang mendapat ASI eksklusif memiliki pertumbuhan dan perkembangan motorik yang
baik karena ASI eksklusif merupakan faktor protektor untuk terjadinya keterlambatan perkembangan motorik. Simpulan: ASI
eksklusif dapat memengaruhi perkembangan motorik bayi. [Majority. 2015;4(7);1-5]
Kata kunci: ASI eksklusif, bayi, perkembangan motorik
ASI as Option to Improve Infant Motor Development
Abstract
Exclusive breastfeeding is the giving of breast milk in to babies without any other liquid or foods supplements since they are
born until they are six months old. Breastfeeding without other foods can meet the growing needs of the age of about six
months. Exclusive breastfeeding helps in improving the quality of the child, such as maintaining the viability and improve the
quality of the child in order to achieve optimal growth and development, both physically, mentally, emotionally and socially as
well as having the intelligence compound. Exclusive breastfeeding can reduce the risk of various diseases, and even infant death.
Exclusive breastfeeding is essential for optimal growth and development both physically and mentally and infant intelligence.
Exclusive breastfeeding can be the growing of the age of about six months. Growth be run with exclusive breastfeeding as gross
motor skills, speech and language, and social skills. Low exclusive breastfeeding be threat to a child's development. Infants who
got exclusive breastfeeding has a growth and development of good motor skills because breastfeeding is a protector factor for
motor development delays. Conclusion: Exclusive breastfeeding can affect the infant motor development. [Majority.
2015;4(7);1-5]
Keywords: exclusive breastfeeding, infant, motor development
Korespondensi: Karina, alamat Jl. Way Kanan No. 8 Pahoman Bandar Lampung,
[email protected]
Pendahuluan
Pemberian Air Susu Ibu (ASI) merupakan
intervensi
yang
ditetapkan
dan
direkomendasikan untuk perbaikan gizi anak.
Studi telah menunjukkan bahwa ASI dapat
mengurangi kematian pada bayi dan anak-anak.
Hal tersebut adalah salah satu faktor yang paling
penting untuk pertumbuhan dan perkembangan
bayi dan secara global disahkan menjadi yang
terbaik untuk neonatus. World Health
Organization
(WHO)
merekomendasikan
pemberian ASI eksklusif dari bayi untuk enam
bulan pertama kehidupan setelah kelahiran. ASI
eksklusif berarti bahwa bayi menerima ASI saja.
Tidak ada cairan atau makanan lainnya
HP 089655407809, email
yang
diberikan,
bahkan
air,
dengan
pengecualian dari larutan garam rehidrasi oral,
atau tetes/sirup vitamin, mineral atau obatobatan.1,2
Pemberian makanan pada bayi dan anak
usia 0-24 bulan yang optimal adalah menyusui
bayi segera setelah lahir, memberikan ASI
eksklusif yaitu hanya ASI saja tanpa makanan
dan minuman lain sampai bayi berumur 6 bulan,
memberikan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)
yang tepat dan adekuat sejak usia 6 bulan dan
tetap meneruskan pemberian ASI sampai usia
anak 24 bulan. ASI saja untuk bayi usia 0-6 bulan
(ASI eksklusif) bukan saja investasi terbaik,
namun juga penyelamat masa depan bangsa.3
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 85
Karina | ASI Sebagai Pilihan Untuk Perbaiki Perkembangan Motorik Bayi
Kematian sekitar 30 ribu anak Indonesia
setiap tahunnya dapat dicegah melalui
pemberian ASI secara eksklusif selama enam
bulan sejak kelahiran bayi. Pemberian ASI secara
eksklusif dapat menekan angka kematian bayi
hingga 13%.4
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2013 di Indonesia, persentase
pemberian ASI saja dalam 24 jam terakhir
semakin menurun seiring meningkatnya umur
bayi dengan persentase. Namun kesadaran
masyarakat dalam mendorong peningkatan
pemberian ASI masih relatif rendah, termasuk di
dalamnya kurangnya pengetahuan ibu hamil,
keluarga, dan masyarakat akan pentingnya ASI.5
Tumbuh kembang dapat berjalan dengan
pemberian ASI eksklusif seperti keterampilan
motorik kasar, motorik halus, kemampuan
bicara dan bahasa, serta kemampuan sosialisasi
dan kemandirian di mana ketrampilan ini
menunjukkan tingkah laku yang menggerakkan
otot-otot besar lengan, kaki, dan batang tubuh,
misalnya mengangkat kepala dan duduk.6
Kemampuan motorik terbagi dua yaitu
motorik kasar dan motorik halus. Motorik kasar
adalah aktivitas dengan menggunakan otot-otot
besar yang meliputi gerak dasar lokomotor, non
lokomotor, dan manipulatif. Sedangkan yang
dimaksud dengan motorik halus adalah
kemampuan anak prasekolah beraktivitas
menggunakan otot-otot halus (otot kecil) seperti
menulis, menggambar, dan lain-lain.7
Isi
Pada masa ini gizi bagi bayi merupakan
hal yang penting karena terdapat pertumbuhan
pesat dari jaringan termasuk pertumbuhan otak.
Pertumbuhan otak yang pesat terbentuk disebut
pacu tumbuh otak (brain growth spurt) terjadi
sejak dalam kandungan dan dilanjutkan pada
awal kehidupan. Di antara bahan yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan otak, kira-kira
60% adalah lemak. Lemak yang dibutuhkan
untuk pembentukan struktur otak janin dan bayi
dibentuk dari bahan lain seperti karbohidrat dan
keton. Pengecualian adalah asam lemak esensial
yang memerlukan asupan dari luar, yaitu melalui
plasenta pada janin dan pada bayi melalui diet.8
Air Susu Ibu (ASI) adalah minuman
alamiah untuk semua bayi cukup bulan selama
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 86
bulan-bulan pertama. Pertumbuhan dan
perkembangan bayi sebagian besar juga
ditentukan oleh jumlah ASI yang diperoleh
termasuk energi dan zat gizi lainnya yang
terkandung di dalam ASI tersebut. Bahkan ASI
tanpa bahan makanan lain dapat mencukupi
kebutuhan pertumbuhan sampai usia sekitar
empat bulan. Selain itu ASI selalu mudah
tersedia pada suhu yang sesuai dan tidak
memerlukan waktu untuk persiapannya.6,9
Memberikan ASI eksklusif kepada bayi
sampai dengan usia 6 bulan dan diteruskan
sampai usia 2 tahun dapat menjamin kesehatan
dan status gizi yang optimal pada bayi karena
ASI mengandung antibodi yang dapat
melindungi anak dari penyakit infeksi dan
kandungan docosahexaenoic acid (DHA) yang
dapat mengoptimalkan kecerdasan anak. Selain
itu ASI juga terjamin kebersihannya sehingga
anak dapat terhindar dari kejadian diare. Hal
tersebut dikarenakan susunya segar dan bebas
dari kontaminasi bakteri yang akan mengurangi
peluang gangguan gastrointestinal.6,10
Pada bayi usia 0-1 tahun, ASI merupakan
makanan yang terpenting bagi perkembangan
otak. ASI merupakan sumber taurin dan folasin,
asam linoleat (asam lemak rantai terpanjang),
dan laktosa yang hanya sedikit sekali ada dalam
susu sapi. Semua unsur nutrisi ini merupakan
bahan penting dalam pertumbuhan saraf otak.
Jaringan otak bayi yang mendapat ASI eksklusif
akan tumbuh optimal dan terbebas dari
rangsangan kejang sehingga menjadikan anak
lebih cerdas dan terhindar dari kerusakan sel-sel
saraf otak.11
Kolustrum berbeda dengan air susu yang
berwarna putih, karena kolustrum mengandung
lebih banyak protein (terdapat sekitar 10%
protein dalam kolustrum dan hanya sekitar 1%
dalam air susu putih), lebih banyak mengandung
imunologik A (Ig A), laktoferin, dan sel-sel darah
putih yang semuanya sangat penting untuk
pertahanan tubuh bayi terhadap serangan
penyakit (infeksi), lebih sedikit mengandung
lemak dan laktosa, lebih banyak mengandung
vitamin A, dan lebih banyak mengandung
mineral-mineral natrium (Na) dan seng (Zn),
taurin, docosahexaenoic acid (DHA), dan asam
arakhidonat (AA). DHA dan AA dalam ASI dapat
dibentuk dari substansi pembentuknya, yakni
Karina | ASI Sebagai Pilihan Untuk Perbaiki Perkembangan Motorik Bayi
masing-masing omega-3 (asam linolenat) dan
omega-6 (asam linoleat).12,13
Lemak dalam ASI diperlukan sebagai
energi dan juga digunakan oleh otak untuk
membuat mielin, sedangkan mielin merupakan
zat yang mengelilingi sel saraf otak dan akson
agar tidak mudah rusak bila terkena rangsangan.
Seluruh asam lemak dapat dibuat oleh tubuh
dari protein dan karohidrat, kecuali satu yaitu
asam linoleat. Asam linoleat ada di dalam ASI
dengan jumlah yang cukup tinggi. Lemak ASI
mudah dicerna dan diserap oleh bayi karena ASI
juga mengandung enzim lipase yang mencerna
lemak trigliserida menjadi digliserida, sehingga
sedikit sekali lemak yang tidak diserap oleh
pencernaan bayi.14
Lipid dari sistem saraf pusat kita
mengandung proporsi yang tinggi dari AA dan
DHA yang merupakan dua asam lemak tak jenuh
ganda yang paling penting dalam otak. Kadar
asam linoleat dan asam α-linolenat rendah,
biasanya kurang dari 1% sampai 2% dari total
asam lemak. Asam linoleat dan α-linolenic acid
merupakan prekursor untuk AA dan DHA.
Pertumbuhan otak pada manusia dimulai pada
awal trimester ketiga kehamilan. Ini adalah masa
paling penting bagi AA otak dan akumulasi DHA.
Oleh karena itu, komposisi lemak di otak selama
periode ini sangat penting untuk pertumbuhan
normal dan perkembangan otak. Setiap
perubahan dalam keseimbangan asam lemak
dalam
asupan
lemak
makanan
akan
mengakibatkan
perubahan
dalam
fungsi
membran sel-sel otak.8
Susu formula tidak mengandung enzim
karena enzim akan rusak bila dipanaskan. Itu
sebabnya bayi akan sulit menyerap lemak susu
formula dan menyababkan bayi menjadi diare.
Jumlah asam linoleat dalam ASI sangat tinggi
dan perbandingannya dengan susu buatan yaitu
6:1. Jumlah asam linoleat yang tinggi akan
memacu perkembangan sel saraf otak bayi
seoptimal mungkin.14
Susu formula yang tersedia dirancang
untuk memberikan bayi dengan nilai gizi yang
sama seperti ASI. Namun ada banyak komponen
biologis yaitu antibodi dari ibu yang diturunkan
yang tidak dapat direproduksi. ASI memberikan
manfaat untuk bayi dalam hal pembangunan
dan hasil kognitif. Komponen yang paling banyak
dipelajari dari ASI adalah asam lemak rantai
panjang tak jenuh ganda, khususnya DHA dan
AA. Asam lemak non esensial ini telah terbukti
memberikan keuntungan yang terukur pada bayi
yang diberi ASI lebih daripada susu formula pada
skala masa perkembangan kognitif. ASI juga
mengandung sejumlah faktor pertumbuhan dan
hormon
yang
dikenal
memiliki
efek
perkembangan saraf.16
Manfaat pemberian ASI bagi bayi : (1)
Sebagai nutrisi terbaik, terdapat nutrien-nutrien
khusus dalam ASI yang tidak terdapat atau
hanya sedikit terdapat pada susu sapi; (2)
Meningkatkan daya tahan tubuh; (3)
Meningkatkan kecerdasan; (4) Meningkatkan
jalinan
kasih
sayang;
(5)
Menunjang
perkembangan motorik sehingga bayi dengan
ASI eksklusif akan lebih cepat bisa berjalan; (6)
Menunjang
perkembangan
kepribadian,
kecerdasan emosional, kematangan spiritual,
dan hubungan sosial yang baik.9
Pemberian Air Susu Ibu (ASI) sangat
penting bagi tumbuh kembang yang optimal
baik fisik maupun mental dan kecerdasan bayi.
Oleh karena itu pemberian ASI perlu mendapat
perhatian para ibu dan tenaga kesehatan agar
proses menyusui dapat terlaksana dengan
benar. Selain itu pemberian ASI dapat
menurunkan risiko kematian bayi.6
Otak pada balita mempunyai sisi positif
dan negatif. Masa lima tahun pertama kehidupan
merupakan masa yang sangat peka terhadap
lingkungan dan masa ini berlangsung sangat
pendek serta tidak dapat diulang lagi, maka masa
balita disebut sebagai “masa keemasan” (golden
period), “jendela kesempatan” (window of
opportunity), dan “masa kritis” (critical period).
Oleh karena itu pemberian ASI sedini mungkin
segera setelah bayi lahir sangatlah penting
karena ini merupakan stimulasi dini terhadap
tumbuh kembang anak.10
Salah satu instrumen skrining yang dipakai
secara
internasional
untuk
menilai
perkembangan anak adalah DDST II (Denver
Development Screening Test). DDST II merupakan
alat untuk menemukan secara dini masalah
penyimpangan perkembangan anak sesuai
umurnya.16
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 87
Karina | ASI Sebagai Pilihan Untuk Perbaiki Perkembangan Motorik Bayi
Tumbuh kembang sangatlah dipengaruhi
oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Oleh
karena itu penting bagi ibu untuk memberikan
nutrisi yang terbaik bagi anak sejak awal
kehidupannya. Di awal kehidupan bayi
membutuhkan nutrisi yang adekuat untuk
pertumbuhannya
sehingga
dapat
mengoptimalkan seluruh proses tumbuh
kembangnya. ASI merupakan cairan biologis
kompleks yang mengandung semua nutrien yang
diperlukan tumbuh kembang anak. Sifatnya yang
sangat mudah diserap oleh tubuh bayi,
menjadikan nutrisi utama yang paling memenuhi
persyaratan untuk tumbuh kembang bayi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara pemberian ASI eksklusif
sewaktu bayi dengan Intelligence Quotient (IQ)
pada anak.17
Ringkasan
Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan
paling sempurna bagi bayi, karena mengandung
semua zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan
untuk tumbuh kembang bayi. ASI eksklusif
adalah pemberian ASI tanpa makanan dan
minuman tambahan lain pada bayi berumur 0-6
bulan.
Lemak dalam ASI diperlukan sebagai
energi dan juga digunakan oleh otak untuk
membuat mielin. Mielin merupakan zat yang
mengelilingi sel saraf otak dan akson agar tidak
mudah rusak bila terkena rangsangan. Asam
arakidonat (AA) dan docosahexaenoic acid (DHA)
yang merupakan dua asam lemak tak jenuh
ganda yang paling penting dalam otak. Asam
linoleat dan α-linolenic acid merupakan
prekursor untuk AA dan DHA. Jumlah asam
linoleat dalam ASI sangat tinggi dan
perbandingannya dengan susu buatan yaitu 6:1.
Jumlah asam linoleat yang tinggi akan memacu
perkembangan sel saraf otak bayi seoptimal
mungkin.
Simpulan
Disimpulkan bahwa terdapatnya hubungan
yang bermakna antara perkembangan motorik
untuk anak yang mendapatkan ASI eksklusif.
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 88
Daftar Pustaka
1. Black RE, Allen LH, Bhutta ZA, Caulfield LE,
de Onis M, Ezzati M, Mathers C, Rivera J.
Maternal and child undernutrition: global
and regional exposures and health
consequences. Lancet. 2008; 371:243–260.
2. Jones G, Steketee RW, Black RE, Bhutta ZA,
Morris SS. Bellagio child survival study
group: how many child deaths can we
prevent this year? Lancet J. 2003; 362:65–
71
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Proses perkembangan jasmani dan
perkembangan. Jakarta: Kemenkes; 2006.
4. Supariasa. Penilaian status gizi. Jakarta:
EGC; 2008.
5. Kementerian
Kesehatan
Republik
Indonesia. Riset kesehatan dasar. Diabetes
mellitus. Jakarta: Badan Peneliti dan
Pengembangan Kesehatan; 2013. hlm. 8790.
6. Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. Ilmu
kesehatan anak nelson. Edisi ke-15. Vol. 1.
Jakarta: EGC; 2000.
7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Tahapan perkembangan anak. Jakarta:
Kemenkes; 2004.
8. Tangkilisan HA, Lestari H. Peran
penambahan DHA pada susu formula. Sari
Pediatri. 2001; 3(3): 147-151.
9. Roesli, U. Mengenal ASI eksklusif. Jakarta:
Trobus Agriwidya; 2000.
10. Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional. Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia. Jakarta; 2012.
11. Yuliarti, Nurheti. Keajaiban ASI makanan
terbaik untuk kesehatan, kecerdasan, dan
kelincahan si kecil. Yogyakarta: ANDI; 2010.
12. Muchtadi, Deddy. Gizi untuk bayi: ASI, susu
formula, dan makanan tambahan. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan; 1996.
13. Purwanti, Sri Hubertin. Konsep penerapan
ASI eksklusif. Jakarta: EGC; 2004.
14. Nurlinda, Andi. Gizi dalam siklus kehidupan
seri baduta. Yogyakarta: Perpustakaan
Nasional: Katalog dalam terbitan (KDT);
2013.
Karina | ASI Sebagai Pilihan Untuk Perbaiki Perkembangan Motorik Bayi
15. Jenni Yum. Effects of breast milk versus
infant formulae on cognitive development.
Journal On Developmental Disabilities.
2007; 13(1). 30 halaman.
16. Chamidah
AN.
Deteksi
Dini
Gangguan
Pertumbuhan
dan
Perkembangan Anak. Jurnal UNY. 2009;
1(3): 8 halaman.
17. Besar DS, Eveline TN. Air susu ibu dan hak
bayi dalam bedah ASI. Jakarta: IDAI; 2009.
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 89
Karina | ASI Sebagai Pilihan Untuk Perbaiki Perkembangan Motorik Bayi
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 90
Fairuz Rabbaniyah| Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium guajava Linn.) terhadap Peningkatan Trombosit
pada Pasien Demam Berdarah Dengue
Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium guajava Linn.)
terhadap Peningkatan Trombosit pada Pasien Demam Berdarah Dengue
Fairuz Rabbaniyah
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
Abstrak
Demam berdarah merupakan salah satu penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat Indonesia. Penyakit ini disebabkan
oleh virus dengue yang dibawa oleh nyamuk Aedes aegypti. Sekarang ini sudah banyak yang mengetahui bahwa terdapat
obat tradisional yang mampu meningkatkan trombosit pada pasien demam berdarah, obat tersebut berasal dari tanaman
buah jambu biji. Di dalam daun jambu biji terdapat komponen senyawa tanin dan flavonoid yang dinyatakan sebagai
quersetin dalam ekstrak daun jambu biji yang dapat menghambat pertumbuhan virus dengue. Simpulan : daun jambu biji
dapat menghambat pertumbuhan virus dengue. [Majority. 2015;4(7);1-5]
Kata kunci: daun jambu biji, demam berdarah, jumlah trombosit
The Effect of Leaf Extract Guava (Psidium guajava Linn.) Against Increased
Platelets in Patients with Dengue Hemorrhagic Fever
Abstract
Dengue fever is a disease that affects many people of Indonesia. The disease is caused by the dengue virus carried by the
Aedes aegypti mosquito. Now there are many who know that there is a traditional medicine that is able to increase the
platelets in patients with dengue fever, the drug derived from the plant guava fruit. In guava leaves are compound
components tannins and flavonoids expressed as quersetin in the extract of guava leaf that can inhibit the growth of
dengue virus. Conclusion : guava leaves can inhibits the growth of dengue virus. [Majority. 2015;4(7);1-5]
Key words: guava leaf, hemorrhagic fever, number of trombocytes
Korespondensi: Fairuz Rabbaniyah, alamat Jl. Kopi Arabika No.5, HP 08567682653, e-mail [email protected]
Pendahuluan
Selama abad ke-19 dengue dianggap
sebagai penyakit sporadis yang menyebabkan
epidemi pada interval panjang, refleksi dari
lambatnya transportasi dan perjalanan yang
terbatas. Dalam 50 tahun terakhir insiden telah
meningkat 30 kali lipat. Diperkirakan terdapat
2,5 miliar orang yang tinggal di lebih dari 100
negara endemik dan daerah di mana virus
dengue dapat menular. Hingga 50 juta infeksi
terjadi setiap tahun dengan 500.000 kasus
demam berdarah dengue dan 22.000 kematian
terutama di kalangan anak-anak. Sebelum
1970, hanya sembilan negara yang mengalami
kasus demam berdarah dengue (DBD), sejak
saat itu jumlahnya sudah meningkat lebih dari
4 kali lipat dan terus meningkat.1
Sekitar 2,5 miliar orang atau 40% dari
populasi dunia hidup di daerah di mana
terdapat risiko penularan DBD. Dengue
endemik sedikitnya 100 negara di Asia Pasifik,
Amerika, Afrika, dan Karibia. World Health
Organization (WHO) memperkirakan bahwa 50
sampai 100 juta infeksi terjadi setiap tahun
termasuk 500.000 kasus DBD dan 22.000
kematian yang sebagian besar terjadi pada
anak-anak.2
Di Indonesia DBD telah menjadi masalah
kesehatan masyarakat selama 41 tahun
terakhir. Sejak tahun 1968 telah terjadi
peningkatan persebaran jumlah provinsi dan
kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2
provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) dan 382
(77%) kabupaten/kota pada tahun 2009.
Provinsi Maluku, dari tahun 2002 sampai tahun
2009 tidak ada laporan kasus DBD. Selain itu
terjadi juga peningkatan jumlah kasus DBD,
pada tahun 1968 hanya 58 kasus menjadi
158.912 kasus pada tahun 2009. Angka
Kematian (AK)/Case Fatality Rate (CFR) pada
tahun-tahun awal kasus DBD merebak di
Indonesia sangat tinggi. Kemudian dari tahun
ke tahun mulai menurun dari 41,4% pada
tahun 1968 terus menurun sampai menjadi
0,89% pada tahun 2009.3
Penularan infeksi virus dengue terjadi
melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama
A. aegyti dan A. albopictus). Peningkatan kasus
setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi
lingkungan dengan tempat perindukan bagi
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 91
Fairuz Rabbaniyah| Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium guajava Linn.) terhadap Peningkatan Trombosit
pada Pasien Demam Berdarah Dengue
nyamuk betina, yaitu bejana yang berisi air
jernih (bak mandi, kaleng bekas, dan tempat
penampungan air lainnya). Beberapa faktor
diketahui berkaitan dengan peningkatan
transmisi biakan virus dengue yaitu: (1) Vektor
: perkembangbiakan vektor, kebiasaan
menggigit, kepadatan vektor di lingkungan,
transportasi vektor dari satu tempat ke tempat
lainnya; (2) Pejamu : terdapatnya penderita di
lingkungan atau keluarga, mobilisasi, dan
paparan terhadap nyamuk, usia, dan jenis
kelamin; (3) Lingkungan : curah hujan, suhu,
dan kepadatan penduduk.4
Manifestasi klinis mulai dari infeksi tanpa
gejala demam, demam dengue (DD), dan DBD
yang ditandai dengan demam tinggi terus
menerus selama 2-7 hari, pendarahan diatesis
seperti uji tourniquet positif, trombositopenia
dengan jumlah trombosit ≤ 100 x 109/l, dan
kebocoran
plasma
akibat
peningkatan
permeabilitas pembuluh.5
Klasifikasi demam dengue menurut WHO
terdapat dalam tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi demam dengue menurut WHO6
DD/DBD/DSS
Demam Dengue
Demam
Berdarah Dengue
Gejala
- Demam dan dua atau lebih
manifestasi berikut : nyeri
retro-orbital atau mata,
sakit kepala, ruam, mialgia,
artralgia, leukopenia, atau
hemoragik (misalnya, tes
tourniquet
positif,
petechiae,
purpura
/
ekimosis,
epistaksis,
perdarahan gusi, darah
dalam muntahan, urin, atau
feses, atau perdarahan
vagina)
- Demam yang berlangsung
dari 2-7 hari
- Bukti
hemoragik
manifestasi
atau
tes
tourniquet
positif.
Trombositopenia (≤100.000
sel per mm3)
- Bukti kebocoran plasma
yang ditunjukkan oleh
hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit
≥20% di atas rata-rata
untuk usia atau penurunan
hematokrit ≥20% dari awal
mengikuti
terapi
penggantian cairan), atau
efusi pleura, asites atau
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 92
Sindrome Syok
Dengue
-
-
atau hypoproteinemia
Nadi cepat dan lemah dan
tekanan nadi sempit (<20
mmHg), atau
Usia tertentu hipotensi dan
dingin, kulit lembab, dan
gelisah
Pada dasarnya terapi DBD adalah
bersifat
suportif
dan
simptomatis.
Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti
kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan
memberikan terapi substitusi komponen darah
bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi
cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan
adalah pemantauan baik secara klinis maupun
laboratoris. Proses kebocoran plasma dan
terjadinya trombositopenia pada umumnya
terjadi antara hari ke-4 hingga 6 sejak demam
berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran
plasma akan berkurang dan cairan akan
kembali dari ruang interstitial ke intravaskular.
Terapi cairan pada kondisi tersebut secara
bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk
menilai apakah pemberian cairan sudah cukup
atau
kurang,
pemantauan
terhadap
kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta
terjadinya efusi pleura ataupun asites yang
masif perlu selalu diwaspadai.7
Terapi nonfarmakologis yang diberikan
meliputi tirah baring (pada trombositopenia
yang berat) dan pemberian makanan dengan
kandungan gizi yang cukup, lunak, dan tidak
mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi
saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis
dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol
serta obat simptomatis untuk mengatasi
keluhan dispepsia. Pemberian aspirin ataupun
obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya
dihindari
karena
berisiko
terjadinya
perdarahan pada saluran cerna bagaian atas
(lambung/duodenum).7
Indonesia merupakan negara yang
memiliki banyak tanaman yang dapat dijadikan
obat tradisional, salah satunya daun jambu biji.
Daun jambu biji sudah lama digunakan untuk
mengobati seseorang yang terkena demam
berdarah dengue. Ekstrak daun jambu biji juga
dapat meningkatkan jumlah megakariosit
dalam sumsum tulang sehingga dapat
meningkatkan jumlah trombosit dalam darah.8
Daun jambu biji (Psidium guajava Linn.)
ternyata mengandung berbagai macam
komponen yang berkhasiat mengatasi DBD.
Fairuz Rabbaniyah| Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium guajava Linn.) terhadap Peningkatan Trombosit
pada Pasien Demam Berdarah Dengue
Kelompok senyawa tanin dan flavonoid yang
dinyatakan sebagai quersetin dalam ekstrak
daun jambu biji dapat menghambat aktivitas
enzim reverse trancriptase sehingga dapat
menghambat pertumbuhan virus dengue.8
Daun jambu biji mengandung flavonoid,
tanin (17,4%), fenolat (573,3 mg/g), dan
minyak atsiri. Efek farmakologis dari daun biji
ini yaitu antiinflamasi, antidiare, analgesik,
antibakteri, antidiabetes, antihipertensi, dan
penambah trombosit. Adapun salah satu
senyawa flavonoid yang terkandung di dalam
daun jambu biji adalah quersetin yang memiliki
titik didih 310o C sehingga quersetin tahan
terhadap pemanasan.9
Isi
Dengue adalah penyakit arboviral
tersering yang tersebar di seluruh dunia.
Dengue disebabkan oleh infeksi 1 dari 4
serotipe virus dengue. Virus dengue berasal
dari keluarga Flaviviridae, genus Flavivirus
(virus RNA ikatan tunggal tidak bersegmen).
Virus dengue menular ke manusia melalui
gigitan nyamuk Aedes betina yang telah terinfeksi. Virus dengue (DEN) mempunyai 4
serotipe (DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4). Infeksi
dari salah satu tipe virus bisa tanpa gejala di
mayoritas kasus yang terjadi atau bisa
menimbulkan gejala klinis. Mulai dari yang
ringan dengan gejala seperti flu (yang biasa
disebut demam dengue/DD), bentuk yang lebih
parah
(yang
biasa
disebut
demam
berdarah/DBD), dan yang hingga menimbulkan
gejala syok (dengue syok sindrom/DSS).10
Infeksi virus dengue dapat menyebabkan
aktivasi makrofag yang memfagositosis
kompleks virus-antibodi non netralisasi
sehingga virus bereplikasi di makrofag dan
berujung dengan menurunnya trombosit dalam
tubuh (trombositopenia).4 Trombositopenia
adalah penurunan jumlah trombosit dalam
darah (trombosit <140.000/μl). Derajat
beratnya perdarahan berkorelasi dengan
tingkatan trombositopenia: trombositopenia
ringan
(trombosit
100.000-140.000/μl),
trombositopenia sedang ( trombosit 50.000100.000/μl), trombositopenia berat ( trombosit
20.000-50.000/μl), trombositopenia sangat
berat (trombosit 20.000/μl). Di mana pada
trombositopenia berat mempunyai resiko
untuk terjadinya perdarahan spontan, pada
yang ringan seringkali asimptomatik, dan yang
sedang dapat terjadi perdarahan bila ada
trauma, pembedahan atau obat-obatan.11
Patogenesis infeksi dengue adalah
peningkatan akut permeabilitas vaskular yang
mengarah ke kebocoran plasma ke dalam
ruang ekstravaskular, sehingga menimbulkan
hemokonsentrasi dan penurunan tekanan
darah. Pada kasus berat, volume plasma
menurun lebih dari 20%, hal ini didukung
penemuan post mortem meliputi efusi pleura,
hemokonsentrasi,
dan
hipoproteinemi.8
Setelah masuk dalam tubuh manusia, virus
dengue berkembang biak dalam sel
retikuloendotelial yang selanjutnya diikuti
dengan viremia yang berlangsung 5-7 hari.
Akibat infeksi ini, muncul respon imun baik
humoral maupun selular, antara lain
antinetralisasi,
antihemaglutinin
dan
antikomplemen. Antibodi yang muncul pada
umumnya adalah IgG dan IgM, pada infeksi
dengue primer antibodi mulai terbentuk, dan
pada infeksi sekunder kadar antibodi yang
telah ada jadi meningkat.5
Manifestasi klinis mulai dari infeksi tanpa
gejala demam, demam dengue (DD), dan
demam berdarad dengue (DBD), ditandai
dengan demam tinggi terus menerus selama 27 hari, pendarahan diatesis seperti uji
tourniquet positif, trombositopenia dengan
jumlah trombosit ≤100 x 109/l dan kebocoran
plasma akibat peningkatan permeabilitas
pembuluh darah. Tiga tahap presentasi klinis
diklasifikasikan sebagai demam, beracun, dan
pemulihan. Tahap beracun, yang berlangsung
24-48 jam adalah masa paling kritis dengan
kebocoran plasma cepat yang mengarah ke
gangguan peredaran darah.4 Terdapat 4
tahapan derajat keparahan DBD yaitu : (1)
Derajat I dengan tanda terdapat demam
disertai gejala tidak khas dan uji torniquet
positif; (2) Derajat II yaitu derajat I ditambah
ada perdarahan spontan di kulit atau
perdarahan lain; (3) Derajat III yang ditandai
adanya kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan
lemah serta penurunan tekanan nadi (<20
mmHg), hipotensi (sistolik menurun sampai
<80 mmHg), sianosis di sekitar mulut, akral
dingin, kulit lembab dan pasen tampak gelisah;
(4) Derajat IV yang ditandai dengan syok berat
(profound shock) yaitu nadi tidak dapat diraba
dan tekanan darah tidak terukur.5
Salah satu faktor risiko penularan DBD
adalah pertumbuhan penduduk perkotaan
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 93
Fairuz Rabbaniyah| Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium guajava Linn.) terhadap Peningkatan Trombosit
pada Pasien Demam Berdarah Dengue
yang cepat, mobilisasi penduduk karena
membaiknya
sarana
dan
prasarana
transportasi, dan terganggu atau melemahnya
pengendalian populasi sehingga memungkin
terjadinya KLB. Unsur iklim juga jelas
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangan
nyamuk
pradewasa.
Ketersediaan air (yang bersumber dari curah
hujan
atau
selisih
hujan
dengan
evapotranspirasi) dan suhu. Setelah nyamuk
dewasa, hal yang mempengaruhi penularan
penyakit demam berdarah adalah aktivitas
nyamuk seperti menghisap darah dan
kecepatan replikasi virus penyakit demam
berdarah. Unsur iklim yang paling berpengaruh
adalah suhu. Tingkat penyebaran virus yang
tinggi terjadi pada peralihan musim dengan
curah hujan dan saat suhu udara meningkat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu
yang dibutuhkan telur nyamuk untuk berubah
menjadi dewasa berkurang (makin cepat)
dengan bertambahnya suhu udara. 12
Indonesia merupakan negara yang
memiliki banyak tanaman yang dapat dijadikan
obat tradisional, salah satunya daun jambu biji.
Daun jambu biji sudah lama digunakan untuk
mengobati seseorang yang terkena demam
berdarah dengue. Ekstrak daun jambu biji juga
dapat meningkatkan jumlah megakariosit
dalam sumsum tulang sehingga dapat
meningkatkan jumlah trombosit dalam darah.8
Sistematika dan klasifikasi tanaman jambu biji
adalah sebagai berikut:
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Bangsa
: Myrtales
Suku
: Myrtaceae
Marga
: Psidium
Jenis
: Psidium guajava L
Jambu biji berasal dari Amerika tropik,
tumbuh pada tanah yang gembur maupun liat
pada tempat terbuka dan mengandung air
yang cukup banyak. Pohon jambu biji banyak
ditanam sebagai pohon buah-buahan. Namun
sering tumbuh liar dan dapat ditemukan pada
ketinggian 1 m sampai 1.200 m dari permukaan
laut. Jambu biji berbunga sepanjang tahun.
Perdu atau pohon kecil, tinggi 2 m sampai 10
m, percabangan banyak. Batangnya berkayu,
keras, kulit batang licin, berwarna coklat
kehijauan. Daun tunggal, bertangkai pendek,
letak berhadapan, daun muda berambut halus,
permukaan atas daun tua licin. Helaian daun
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 94
berbentuk bulat telur agak jorong, ujung
tumpul, pangkal membulat, tepi rata agak
melekuk ke atas, pertulangan menyirip,
panjang 6 sampai 12 cm, lebar 3 cm sampai 6
cm. Bunga tunggal, bertangkai, keluar dari
ketiak daun, berkumpul 1 sampai 3 bunga,
berwarna putih. Buahnya buah buni, berbentuk
bulat sampai bulat telur, berwarna hijau
sampai hijau kekuningan. Daging buah tebal,
buah yang masak bertekstur lunak, berwarna
putih kekuningan atau merah jambu. Biji buah
banyak mengumpul di tengah, kecil-kecil,
keras, berwarna kuning kecoklatan.13
Daun jambu biji sudah banyak
dimanfaatkan dalam pengobatan tradisional.
Secara empiris daun jambu biji bersifat
antibiotik dan telah dimanfaatkan untuk
antidiare, sedangkan buahnya untuk obat
pencahar, dan kandungan senyawa tanin di
dalamnya dapat mempersempit pembuluh
darah. Daun jambu biji mengandung tanin,
triterpenoid, minyak atsiri, minyak lemak, dan
minyak
malat,
sedangkan
buahnya
mengandung vitamin C yang tinggi. Hasil
penelitian yang dikutip dari berbagai sumber
menunjukkan daun jambu biji terbukti dapat
menghambat
aktivitas
enzim
reverse
transcriptase dari virus dengue. Tanin
menghambat enzim reverse transcriptase
maupun DNA polymerase dari virus serta
menghambat pertumbuhan virus yang berinti
DNA maupun RNA. Hasil uji klinis menunjukkan
bahwa pemberian ekstrak kering daun jambu
biji selama 5 hari mempercepat pencapaian
jumlah trombosit >100.000/μl, pemberian
ekstrak kering setiap 4-6 jam meningkatkan
jumlah trombosit >100.000/μl setelah 12-14
jam, tanpa menimbulkan efek samping yang
berarti. Dengan demikian ekstrak daun jambu
biji dapat digunakan untuk pengobatan kuratif
demam berdarah. Beragam tanaman obat
dapat digunakan untuk mengatasi penyakit
demam berdarah baik berupa simplisia, serbuk,
maupun sirup. Masih diperlukan penelitian
untuk menghasilkan obat yang teruji mutu,
keamanan, dan khasiatnya agar bisa
dikembangkan sebagai obat fitofarmaka dan
dimanfaatkan dalam pengobatan formal
penyakit demam berdarah.14
Daun jambu biji mengandung berbagai
macam komponen yang berkhasiat mengatasi
DBD. Kelompok senyawa tanin dan flavonoid
yang dinyatakan sebagai quersetin dalam
ekstrak daun jambu biji dapat menghambat
Fairuz Rabbaniyah| Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium guajava Linn.) terhadap Peningkatan Trombosit
pada Pasien Demam Berdarah Dengue
aktivitas enzim reverse transcriptase sehingga
dapat menghambat pertumbuhan virus
dengue. Uji preklinik yang dilakukan oleh
Kusumawati (1999) tentang uji aktivitas produk
ekstrak etanol terstandar daun jambu biji
sebagai obat demam berdarah (aspek
imunologis), pada penelitian ini menggunakan
mencit sebagai subjek penelitian didapatkan
bahwa ekstrak daun jambu biji dapat
meningkatkan jumlah megakariosit dalam
sumsum tulang sehingga dapat meningkatkan
jumlah trombosit dalam darah. Peningkatan
jumlah megakariosit terjadi melalui mekanisme
peningkatan
GM-CSF
(Granulocyte–
Macrophage Colony Stimulating Factor) yang
akan menyebabkan rangsangan proliferasi dan
diferensiasi megakariosit.8
Efek dari ekstrak daun jambu biji pada
waktu pendarahan dan tiga mekanisme utama
hemostasis yaitu vasokonstriksi, agregasi
trombosit dan pembekuan darah. Ekstrak air
daun jambu biji tidak memperpendek
perdarahan pada tikus. Ekstrak air daun jambu
biji mempotensiasi kontraksi otot pembuluh
darah pada kelinci yang diinduksi oleh
fenilefrin dan ketika diberikan secara in vitro
dengan dosis tertentu kepada manusia dapat
merangsang agregasi trombosit. Di sisi lain,
secara signifikan dapat memperpanjang waktu
pembekuan darah. Dengan demikian, ekstrak
air daun jambu biji menunjukkan efek ambigu
pada sistem hemostatik. Ekstrak daun jambu
biji
tidak
memengaruhi
pendarahan,
merangsang vasokonstriksi dan agregasi
platelet tetapi menghambat pembekuan darah.
Oleh karena itu ekstrak daun jambu biji tidak
dianjurkan sebagai agen hemostatik.15
Dari hasil penelitian efek penggunaan
suplemen ekstrak daun jambu biji (Psidium
guajava Linn.) dan angkak (Monascus
purpureus) dalam meningkatkan trombosit
pada pasien DBD di instalasi rawat inap
penyakit dalam RSUP DR. M. Djamil Padang
didapatkan hasil bahwa pemberian suplemen
ekstrak daun jambu biji (Psidium guajava Linn.)
dan angkak (Monascus purpureus) lebih cepat
meningkatkan jumlah trombosit pada pasien
DBD
dengan
trombosit
>100.000/µl
dibandingkan kelompok kontrol di instalasi
rawat
inap
penyakit
dalam
RSUP DR. M. Djamil Padang.8
Ringkasan
Demam berdarah dengue adalah
penyakit yang disebabkan oleh virus dengue
yang dibawa oleh vektor nyamuk Aedes
aegypti.
Infeksi
virus
yang
terjadi
menyebabkan kadar trombosit dalam tubuh
menurun atau trombositopenia. Demam
berdarah dengue ditandai dengan demam
tinggi terus menerus selama 2-7 hari,
pendarahan diatesis seperti uji tourniquet
positif, trombositopenia dengan jumlah
trombosit ≤100 x 109/l, dan kebocoran plasma
akibat peningkatan permeabilitas pembuluh
darah.
Jambu biji berasal dari Amerika tropik,
tumbuh pada tanah yang gembur maupun liat
pada tempat terbuka dan mengandung air
yang cukup banyak. Daun jambu biji sudah
banyak dimanfaatkan dalam pengobatan
tradisional. Secara empiris daun jambu biji
bersifat antibiotik dan telah dimanfaatkan
untuk antidiare, sedangkan buahnya untuk
obat pencahar, dan kandungan senyawa tanin
di dalamnya dapat mempersempit pembuluh
darah. Daun jambu biji mengandung berbagai
macam komponen yang berkhasiat mengatasi
DBD. Kelompok senyawa tanin dan flavonoid
yang dinyatakan sebagai quersetin dalam
ekstrak daun jambu biji dapat menghambat
aktivitas enzim reverse transcriptase sehingga
dapat menghambat pertumbuhan virus
dengue.
Simpulan
Disimpulkan bahwa penyakit demam
berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue
melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama
A. aegypti dan A. albopictus). Virus ini dapat
menyebabkan kadar trombosit di dalam tubuh
menurun (trombositopenia).
Daun jambu biji mengandung berbagai
macam komponen yang berkhasiat mengatasi
DBD. Kelompok senyawa tanin dan flavonoid
yang dinyatakan sebagai quersetin dalam
ekstrak daun jambu biji dapat menghambat
aktivitas enzim reverse transcriptase sehingga
dapat menghambat pertumbuhan virus
dengue.
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 95
Fairuz Rabbaniyah| Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium guajava Linn.) terhadap Peningkatan Trombosit
pada Pasien Demam Berdarah Dengue
Daftar Pustaka
1. Impact of dengue [internet]. World Health
Organization (WHO). 2015 [disitasi pada
tanggal 1 Juli 2015]. Tersedia dari:
http://www.who.int/csr/disease/dengue/i
mpact/en/
2. Dengue epidemiology [internet]. Centres
for disease control and prevention (CDC).
2014 [disitasi pada tanggal 2 Juli 2015].
Tersedia
dari:
http://
www.cdc.gov/dengue/epidemiology/
3. Achmadi UF, Sudjana P, Sukowati S,
Whyono TYM, Haryanto B, Mulyono S, et
al. Jendela epidemiologi demam berdarah
dengue. Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia. 2010; 2(1):1–43.
4. Suhendro, Naingolan L, Chen K, Pohan HT.
Ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5 Jilid ke-III.
Jakarta: Interna Publishing; 2009. hlm:
2773–9.
5. Candra A. Demam berdarah dengue :
epidemiologi , patogenesis , dan faktor
risiko penularan dengue. Aspirator. 2010;
2(2): 110–9.
6. Clinical description for case definitions
[internet]. Centres for disease control and
prevention (CDC). 2013 [disitasi pada
tanggal 2 Juli 2015]. Tersedia dari:
http://www.cdc.gov/dengue/clinicalLab/c
aseDef.html
7. Tjandrawinata RR, Setiawati A, Purba JS,
Puruhito, Setiabudy R. Diagnosis dan
terapi cairan pada demam berdarah
dengue. Sci J Pharm Dev Med Appl. 2009;
21(4): 5.
8. Muharini S, Almahdy, Martini RD. Efek
penggunaan suplemen ekstrak daun
jambu biji ( Psidium guajava Linn .) dan
angkak ( Monascus purpureus ) dalam
meningkatkan trombosit pada demam
berdarah dengue ( DBD ) di instalasi rawat
inap ilmu penyakit dalam rumah sakit DR.
M.
Djamil
Padang.
J
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 96
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
Penelit Farm Indonesia. 2013; 1(2): 57–61.
Daud MF, Sadiyah E, Rismawati E.
Pengaruh perbedaan metode ekstraksi
terhadap aktivitas antioksidan ekstrak
etanol daun jambu biji ( Psidium guajava
L .) berdaging buah putih. J Pros SNaPP
2011 Sains, Teknol dan Kesehat. 2002;
1(1): 55–62.
Manuaba D, Sutirtayasa WP, Dewi R.
Immunopatogenesis infeksi virus dengue.
Bali; 2012 p. 1–12. Report No.: 1.
Soegijanto S, MS A, Tumbelaka AR,
Anggraini, Rufiati R, Sary DD. Uji klinik
multisenter sirup ekstrak daun jambu biji
pada penderita demam berdarah dengue.
J Med. 2010; 23(1): 5–10.
Hadi UK, Soviana S, Gunandini DD.
Aktivitas nokturnal vektor demam
berdarah dengue di beberapa daerah di
Indonesia. J Entomol Indones [internet].
2013; 9(1): 1–6 [disitasi pada tanggal 3 Juli
2015].
Tersedia
dari:
http://journal.ipb.ac.id/index.php/entomo
logi/article/view/6110
Anggraini S. Optimasi formula fast
disintegrating tablet ekstrak daun jambu
biji ( Psidium guajava L .) dengan bahan
penghancur sodium starch glycolate dan
bahan pengisi manitol. Universitas
Muhammadiyah Surakarta; 2010. hlm 5–6.
Mengatasi demam berdarah dengan
tanaman obat. J War Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. 2006; 28(6):
6–8.
Jaiarj
P,
Wongkrajang
Y,
Thongpraditchote s, Peungvicha P,
Bunyapraphatsara N, Opartkiattikul N.
Guava
leaf
extract
and
topical
haemostasis. [Internet]. Pubmed. 2000
[diditasi pada tanggal 3 Juli 2015].
Tersedia
dari:
http://
www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10925412
Andrian Prasetya Wicaksono | Pengaruh Pemberian Ekstrak Jahe Merah (Zingiber Officinale) terhadap Kadar Glukosa Darah
Puasa dan Postprandial pada Tikus Diabetes
Pengaruh Pemberian Ekstrak Jahe Merah (Zingiber Officinale) terhadap Kadar
Glukosa Darah Puasa dan Postprandial pada Tikus Diabetes
Andrian Prasetya Wicaksono
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
Abstrak
Diabetes mellitus adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah akibat dari kegagalan
fisiologis tubuh dalam mengatur metabolisme glukosa. Prevalensi penderita diabetes mellitus di dunia semakin meningkat
setiap tahunnya, Indonesia pernah menempati urutan keempat tertinggi kasus diabetes mellitus di dunia. Tinjauan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia menyatakan bahwa penyakit diabetes mellitus berada pada peringkat keenam
dari sepuluh penyakit utama pasien rawat jalan rumah sakit di Indonesia. Penderita diabetes seringkali tidak menyadari
gejala diabetes yang dialaminya, namun terdapat beberapa gejala tipikal yang harus diwaspadai, antara lain poliuria (sering
buang air kecil), polidipsia (sering haus), dan polifagia (mudah lapar). Diabetes mellitus memiliki kecenderungan yang tinggi
untuk menjadi suatu komplikasi kronik yang menyerang pembuluh darah besar ataupun kecil apabila tidak diobati dengan
tepat. Jahe merah merupakan jenis rempah-rempah yang memiliki banyak manfaat, salah satunya adalah sebagai obat
tradisional. Kandungan fenol yang berada dalam rimpang jahe merah membuat tanaman ini mempunyai khasiat untuk
menurunkan kadar glukosa darah pada penderita diabetes mellitus karena sifat antiinflamasi dan antioksidan yang
dimilikinya.
Kata kunci : diabetes mellitus, fenol, jahe merah
The Influence of Administration Red Ginger Extracts (Zingiber Officinale)
towards Fasting and Postprandial Glucose Levels on Diabetic Rat
Abstract
Diabetes mellitus is a disease characterized by elevated levels of blood glucose resulting from the body's physiological
failure in regulating glucose metabolism. The prevalence of diabetes mellitus in the world is increasing every year,
Indonesia ranks fourth highest ever case of diabetes mellitus in the world. Overview Department of Health of the Republic
of Indonesia stated that diabetes mellitus is ranked sixth out of ten major disease outpatient hospital in Indonesia. People
with diabetes are often unaware of the symptoms of diabetes that happened, but there are some typical symptoms to
watch out for, among others, polyuria (frequent urination), polydipsia (frequent thirst), and polyphagia (easy hungry).
Diabetes mellitus has a high tendency to become a chronic complications affecting the large and small blood vessels, if not
treated appropriately. Red Ginger is a kind of spice that has many benefits, one of which is as traditional medicine. The
content of phenols which are in the red ginger rhizome make this plant has the property to lower blood glucose levels in
people with diabetes mellitus due to the nature of its anti-inflammatory and antioxidant.
Keywords : diabetes mellitus, phenol, red ginger
Korespondensi : Andrian Prasetya Wicaksono, HP 081333319988, e-mail : [email protected]
Pendahuluan
Diabetes melitus (DM) adalah suatu
penyakit peningkatan kadar glukosa darah
akibat
ketidakmampuan
tubuh
dalam
melakukan
pengaturan
kadar
glukosa.
Penyebab dari diabetes melitus sendiri bersifat
multifaktorial, diantaranya adalah genetik,
gaya hidup, pola makan, dan jenis makanan
yang dikonsumsi.
Menurut estimasi data WHO maupun
IDF (International Diabetes Federation),
memaparkan data angka kasus diabetes di
Indonesia berdasarkan hasil survey tahun 2008
menempati urutan keempat tertinggi di dunia
setelah Cina, India dan Amerika, yaitu 8,4 juta
jiwa dan diperkirakan jumlahnya melebihi 21
juta jiwa pada tahun 2025 mendatang.1
Menurut laporan Departemen Kesehatan
Indonesia dalam Profil Kesehatan Indonesia
tahun 2007, DM berada pada urutan
kesembilan dari 10 penyakit utama pada
pasien rawat jalan di rumah sakit di Indonesia.2
Penderita DM memiliki resiko tinggi
untuk mengalami suatu komplikasi di
kemudian hari. Komplikasi yang terjadi dapat
mengenai sistem pembuluh darah kecil
(mikrovaskular) ataupun sistem pembuluh
darah
besar
(makrovaskular).
Untuk
menghindari
bahaya
komplikasi
yang
ditimbulkan, biasanya penderita diabetes akan
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 97
Andrian Prasetya Wicaksono | Pengaruh Pemberian Ekstrak Jahe Merah (Zingiber Officinale) terhadap Kadar Glukosa Darah
Puasa dan Postprandial pada Tikus Diabetes
mencari
suatu
penanggulangan
atau
pengobatan.
Dasar
pengobatan
yang
sedang
berkembang di kalangan peneliti adalah
penggunaan obat tradisional karena beragam
nilai kelebihan yang didapat, seperti mudah
diperoleh, harga murah, bahkan umumnya
gratis serta efek samping yang kecil.
Pengembangan
ini
berkonsep
pada
pemanfaatan tanaman-tanaman obat. Secara
tradisional, banyak tanaman yang berkhasiat
menurunkan kadar gula darah, tetapi
penggunaan tanaman obat tersebut kadang
hanya berdasarkan pengalaman atau secara
empiris saja, belum didukung oleh adanya
penelitian untuk uji klinis dan farmakologinya.
Tanaman obat yang diketahui memiliki efek
hipoglikemik salah satunya adalah jahe merah.
Jahe merah sering digunakan sebagai
tambahan bumbu masakan ataupun minuman
penghangat tubuh, kemudian jahe merah juga
dapat digunakan sebagai bahan baku obatobatan tradisional. Salah satu penggunaannya
adalah sebagai obat antidiabetes, untuk
menurunkan kadar glukosa darah. Kelebihan
jahe merah sebagai bahan baku adalah karena
nilai keamanan, kepraktisan dan nilai
ekonomisnya yang jauh lebih menguntungkan
dibanding obat-obat dengan bahan kimia yang
selama ini umum digunakan.
Pada penelitian sebelumnya dalam
British Journal of Nutrition telah dilakukan
pengujian terhadap khasiat ekstrak jahe merah
terhadap penurunan kadar glukosa darah
puasa tikus yang diinduksi oleh streptozosin,
namun hanya aspek glukosa darah puasa yang
diteliti atau dibahas dalam penelitian ini. Hal ini
mendorong peneliti tertarik dalam menilai
aspek lainnya yaitu penilaian kadar glukosa
darah puasa dengan postprandial pada tikus
diabetes yang diinduksi oleh aloksan. Peneliti
juga membedakan terhadap penginduksinya
yaitu aloksan, karena sifat diabetogenik dan
radikal bebas yang dimiikinya.
Isi
Diabetes melitus adalah gangguan
metabolisme yang secara genetis dan klinis
termasuk heterogen dengan manifestasi
berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Jika
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 98
telah berkembang penuh secara klinis, maka
diabetes
mellitus
ditandai
dengan
hiperglikemia puasa dan postprandial,
aterosklerotik,
dan
penyakit
vaskular
3
mikroangiopati, dan neuropati.
Manifestasi klinis hiperglikemia biasanya
sudah bertahun-tahun mendahului timbulnya
kelainan klinis dari penyakit vaskularnya.
Pasien dengan kelainan toleransi glukosa
ringan (gangguan glukosa puasa dan gangguan
toleransi glukosa) dapat tetap beresiko
mengalami komplikasi metabolik diabetes.3
Diabetes melitus secara umum terbagi
menjadi dua tipe yaitu diabetes melitus tipe 1
dan tipe 2. Diabetes mellitus tipe 1 adalah
penyakit autoimun yang ditentukan secara
genetik dengan gejala-gejala yang pada
akhirnya menuju proses bertahap perusakan
imunologik sel-sel yang memproduksi insulin di
dalam pankreas, karena keterkaitan dengan
jumlah insulin yang berkurang sehingga
penyakit ini biasa disebut diabetes tipe IDDM
(Insulin Dependent Diabetes Mellitus). Pasien
dengan diabetes mellitus tipe 2, penyakitnya
mempunyai pola familial yang kuat. Diabetes
tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi insulin,
serta kerja insulin sehingga sering disebut
sebagai diabetes tipe NIDDM (Non Insulin
Dependent Diabetes Mellitus).4
Pada DM tipe 1 atau yang disebut IDDM
(Insulin Dependent Diabetes Mellitus) terjadi
akibat destruksi autoimun sel beta. Bentuk
diabetes tipe 1 yang parah dan memerlukan
insulin biasanya terjadi pada anak dan remaja,
tetapi penyakit autoimun ini juga dapat
bermanifestasi pada orang dewasa dalam
bentuk yang lebih ringan.4
Pada diabetes melitus tipe 2 faktor
genetik berperan lebih penting dibandingkan
dengan diabetes tipe 1. Dua defek metabolik
yang menandai diabetes tipe 2 adalah
gangguan sekresi insulin pada sel beta dan
ketidakmampuan jaringan perifer berespons
terhadap insulin (resistensi insulin). Gangguan
sekresi insulin bersifat lebih ringan dibanding
diabetes tipe 1. Namun, kenyataannya pada
awal perjalanan penyakit, kadar insulin
mungkin
dapat
meningkat
untuk
mengompensasi resistensi insulin.4
Andrian Prasetya Wicaksono | Pengaruh Pemberian Ekstrak Jahe Merah (Zingiber Officinale) terhadap Kadar Glukosa Darah
Puasa dan Postprandial pada Tikus Diabetes
diwaspadai sebagai isyarat kemungkinan
diabetes. Gejala tipikal yang sering dirasakan
penderita diabetes antara lain poliuria (sering
buang air kecil), polidipsia (sering haus), dan
polifagia (banyak makan/mudah lapar). Ketiga
gejala tersebut sering disebut sebagai gejala
klasik diabetes melitus.6
Tabel 1. Acuan nilai glukosa darah.6
Glukosa
Darah
Sewaktu
(GDS)
Normal
Pradiabetes
Diabetes
Gambar 1. Patogenesis diabetes mellitus tipe 1.4
Predisposisi genetik
Defek genetik
multipel
Defek sel beta
primer
Gangguan sekresi
insulin
Lingkungan
Kegemukan
Resistensi insulin
jaringan perifer
Kurangnya
pemanfaatan
insulin
Hipoglikemia
Kelemahan sel beta
Diabetes tipe 2
Gambar 2. Patogenesis diabetes mellitus tipe 2.4
Diabetes
melitus
lebih
banyak
ditemukan pada wanita dibanding dengan pria
serta pada golongan tingkat pendidikan dan
status sosial yang rendah. Kelompok usia
terbanyak DM adalah 55-64 tahun yaitu 13.5%.
Beberapa hal yang dihubungkan dengan faktor
resiko DM adalah obesitas, hipertensi,
kurangnya aktivitas fisik dan rendahnya
konsumsi sayur dan buah.5
Diabetes seringkali muncul tanpa gejala.
Namun, ada beberapa gejala yang harus
<100
100-199
Glukosa
Darah
Postprandial
(GDP-p)
<140
140-199
≥200
≥200
Glukosa
Darah
Puasa
(GDP)
<100
100125
≥125
Diagnosis dari penyakit diabetes mellitus
dapat ditegakkan melalui 3 cara, yaitu (1)
Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu >
200mg/dl (2) Gejala klasik DM + Glukosa
plasma puasa > 126 mg/dl atau (3) Glukosa
plasma 2 jam pada TTGO (Test Toleransi
Glukosa Oral) > 200 mg/dl, menggunakan
beban glukosa 75gr anhidrus yang dilarukan
dalam air.6
Komplikasi kronik diabetes mellitus
dapat terjadi pada semua pembuluh darah
diseluruh bagian tubuh yaitu pembuluh darah
kecil (mikrovaskular) dan pembuluh darah
besar (makrovaskular). Komplikasi pada
mikrovaskular diantaranya adalah penyakit
ginjal, retinopati, neuropati dan katarak.
Sedangkan, komplikasi makrovaskular yaitu
terjadinya gambaran histopatologis berupa
aterosklerosis.3
Jahe Merah memiliki taksonomi antara
lain, (1) Kingdom: Plantae (2) Divisi:
Pteridophyta (3) Sub-divisi : Angiospermae (4)
Kelas: Monocotyledoneae (5) Ordo: Scitaminae
(6) Famili: Zingiberaceae (7) Genus: Zingiber (8)
Species: Zingiber officinale Rosc.
Jahe
merah/jahe
sunti
(Zingiber
officinale var. amarum) memiliki rimpang
dengan bobot antara 0.5-0.7 kg/rumpun.
Struktur rimpang jahe merah, kecil berlapislapis dan daging rimpangnya berwarna merah
jingga sampai merah, ukuran lebih kecil dari
jahe kecil. Diameter rimpang dapat mencapai 4
cm dan tingginya antara 5,26-10,40 cm.
Panjang rimpang dapat mencapai 12.50 cm.
Jahe merah selalu dipanen setelah tua, dan
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 99
Andrian Prasetya Wicaksono | Pengaruh Pemberian Ekstrak Jahe Merah (Zingiber Officinale) terhadap Kadar Glukosa Darah
Puasa dan Postprandial pada Tikus Diabetes
juga memiliki kandungan minyak atsiri yang
lebih tinggi dibandingkan jahe kecil, sehingga
cocok untuk ramuan obat-obatan. Jahe merah
yang mempunyai keunggulan dari segi
kandungan senyawa kimia lebih banyak
digunakan sebagai bahan baku obat.8
Rimpang jahe mengandung 2 komponen
utama yaitu komponen volatile dan komponen
non-volatile. Komponen volatile terdiri dari
oleoresin (4,0-7,5%), yang bertanggung jawab
terhadap aroma jahe (minyak atsiri) dengan
komponen terbanyak adalah zingiberen dan
zingiberol. Minyak atsiri atau dikenal juga
sebagai minyak eteris (aetheric oil), minyak
esensial, minyak terbang, serta minyak
aromatik adalah kelompok besar minyak nabati
yang berwujud cairan kental pada suhu ruang
namun mudah menguap sehingga memberikan
aroma yang khas.9
Minyak atsiri jahe berwarna bening
sampai kuning tua dan memiliki nilai ekonomi
tinggi karena banyak digunakan dalam industri
parfum, kosmetik, essence, farmasi dan
flavoring agent.10 Komponen non-volatile pada
jahe bertanggung jawab terhadap rasa pedas,
salah satu diantaranya adalah gingerol yang
termasuk ke dalam salah satu kandungan
fenol. Gingerol yang terkandung di dalam jahe
memiliki efek sebagai antiinflamasi, antipiretik,
gastroprotektif, kardiotonik dan antioksidan,
antikanker, antiinflamasi, antiangiogenesis dan
antiaterosklerosis. Pada jahe merah juga
terkandung sejumlah nutrisi, seperti vitamin,
mineral, protein, karbohidrat dan lemak yang
bermanfaat untuk kesehatan.9
Jahe biasanya aman sebagai obat herbal.
Hasil penelitian farmakologi menyatakan
bahwa senyawa antioksidan alami dalam jahe
cukup tinggi dan sangat efisien dalam
menghambat radikal bebas superoksida dan
hidroksil yang dihasilkan oleh sel-sel kanker,
dan bersifat sebagai antikarsinogenik, nontoksik dan non-mutagenik pada konsentrasi
tinggi. Beberapa senyawa fenol, termasuk
gingerol, shogaol dan zingeron memberikan
aktivitas farmakologi dan fisiologis seperti efek
antioksidan,
antiinflammasi,
analgesik,
antikarsinogenik dan kardiotonik.11
Penelitian Al Amin et al. mempelajari
potensi hipoglikemik jahe pada tikus yang telah
diinduksi diabetes, dengan memberikan jahe
segar sebanyak 500 mg/kg setiap hari selama 7
minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
dosis tersebut signifikan efektif menurunkan
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 100
level serum glukosa, kolesterol dan
triasilgliserol.10 Singh et al. pernah meneliti
tentang pengaruh pemberian jahe sebagai
antiglikemik, menurunkan lemak darah dan
sebagai agen antioksidan untuk diabetes tipe
2.12
Penelitian Abdulrazaq et al. Juga telah
membuktikan efektifitas dari ekstrak jahe
merah sebagai penurun kadar glukosa darah
karena sifat hipoglikemik yang dimilikinya.
Dalam penelitian ini dilakukan dengan
memberikan ekstrak jahe merah dalam
berbagai dosis yang bervariasi pada tiga
kelompok yang diberi perlakuan. Dosis yang
diujikan adalah dosis ekstrak jahe merah
sebesar 100mg/kg BB, 300mg/Kg BB, 500mg/kg
BB.13
Aloksan (2,4,5,6-tetraoksipirimidin; 5,6dioksiurasil) merupakan senyawa hidrofilik dan
tidak stabil (Gambar 1). Waktu paruh pada
suhu 37°C dan pH netral adalah 1,5 menit dan
bisa lebih lama pada suhu yang lebih rendah.
Sebagai diabetogenik, aloksan dapat digunakan
secara intravena, intraperitoneal dan subkutan.
Dosis intravena yang digunakan biasanya 65
mg/kg BB, sedangkan intraperitoneal dan
subkutan adalah 2-3 kalinya.14
Gambar 3. Struktur kimia aloksan.14
Ringkasan
Diabetes melitus terdiri dari 2 tipe yaitu
diabetes mellitus tipe 1 dan 2. Diabetes melitus
tipe 1 erat kaitannya dengan jumlah insulin,
sedangkan tipe 2 berkaitan dengan resistensi
sel terhadap insulin. Penyakit metabolik ini
sering bersifat asimptomatik dan berujung
pada komplikasi yang serius apabila tidak
ditangani dengan tepat.
Penatalaksanaan terkait diabetes hingga
saat ini masih mengutamakan obat-obatan
berbahan kimia yang pada dasarnya memiliki
resiko efek samping bagi tubuh. Oleh karena
itu,
banyak
para
ahli
yang
mulai
Andrian Prasetya Wicaksono | Pengaruh Pemberian Ekstrak Jahe Merah (Zingiber Officinale) terhadap Kadar Glukosa Darah
Puasa dan Postprandial pada Tikus Diabetes
mengembangkan pemanfaatan tanaman obat
tradisional salah satu nya adalah jahe merah.
Jahe merah memiliki berbagai manfaat
terutama bagi kesehatan. Kandungan fenol
yang dimilikinya membuat tanaman obat ini
mampu untuk menurunkan kadar glukosa
darah bagi penderita diabetes mellitus tanpa
perlu takut akan resiko efek samping bagi
tubuh karena sifat alami yang dikandungnya.
Selain itu, penggunaan jahe merah sebagai
obat dinilai sangat bermanfaat karena praktis,
mudah ditemukan, dan ekonomis.
Simpulan
Berdasarkan uraian di atas terlihat
bahwa kandungan fenol yang ada dalam
esktrak jahe merah memiliki sifat antioksidan
dan antiinflamasi yang akan mengurangi
radikal bebas dan proses inflamasi pada
pankreas yang disebabkan oleh induksi
aloksan. Oleh karena itu, ekstrak jahe merah
memiliki kemampuan dalam menurunkan
kadar gula darah pada penderita diabetes
melitus.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Daftar Pustaka
1. Wild S, Roglic G, Green A, Sicree R, King H.
Global prevalence of diabetes. Diabetes
Care.2004; 27(5): 1047-53.
2. Departemen
Kesehatan
Republik
Indonesia. Profil kesehatan indonesia
2007. Jakarta: Depkes RI; 2008. 22-8.
3. Schteingart DE. Pankreas: Metabolisme
glukosa dan diabetes melitus. Dalam:
Hartanto H, Susi N, Wulansari P, Mahanani
DA. Patofisiologi: Konsep klinis prosesproses penyakit edisi ke-6 (terjemahan).
Jakarta: EGC; 2005. hlm. 1259-72.
4. Salzler MJC, Crawford JM, Kumar V.
Pankreas. Dalam: Asroruddin M, Hartanto
H, Darmaniah N. buku ajar patologi
robbins edisi ke-7 (terjemahan). Jakarta:
EGC; 2007. hlm. 711-33.
5. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan
Departemen
12.
13.
14.
Kesehatan Republik Indonesia. riset
kesehatan dasar 2007 (laporan Nasional
2007). Jakarta: Depkes RI; 2008. 156-60.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan
Klinik Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan
Departemen
Kesehatan
Republik Indonesia. pharmaceutical care
untuk penyakit diabetes melitus. Jakarta:
Depkes RI; 2005. 10-25.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia.
Konsensus pengelolaan dan pencegahan
diabetes melitus tipe 2 di Indonesia.
Jakarta: Perkeni; 2011. 6-10.
Hapsoh, Hasanah Y, Julianti E. Budidaya
dan teknologi pasca panen jahe. Medan:
USU Press; 2008. 1-10.
Lestari WEW. pengaruh nisbah rimpang
dengan pelarut dan lama ekstraksi
terhadap mutu oleoresin jahe merah.
Bogor: Insitut Pertanian Bogor; 2006. 6-18.
Supardan MD, Ruslan, Satriana, Arpi N.
Hidrodistilasi minyak jahe (zingiber
officinale rosc): Menggunakan Gelombang
Ultrasonik. Reaktor. 2009; 12(4): 239-44.
Hernani, Winarti C. Kandungan bahan aktif
jahe dan pemanfaatannya dalam bidang
kesehatan. Bogor: Balai Besar Penelitian
dan
Pengembangan
Pascapanen
Pertanian; 2011. 125-42.
Singh AB, Akanksha, Singh N, Maurya R,
Srivastava AK. Anti-hyperglycaemic, lipid
lowering and anti-oxidant properties of
[6]-gingerol in db/db mice. International
Journal of Medicine and Medical Sciences.
2009; 1(12): 536-44.
Abdulrazaq NB, Cho MM, Win NN, Zaman
R, Rahman MT. Beneficial effects of ginger
(zingiber officinale) on carbohydrate
metabolism in streptozotocin-induced
diabetic rats. British Journal of Nutrition.
2011; 108: 1194-201.
Nugroho AE. Hewan percobaan diabetes
melitus: patologi dan mekanisme aksi
diabetogenik. Biodiversitas. 2006; 7(4):
378-82.
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 101
Andrian Prasetya Wicaksono | Pengaruh Pemberian Ekstrak Jahe Merah (Zingiber Officinale) terhadap Kadar Glukosa Darah
Puasa dan Postprandial pada Tikus Diabetes
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 102
Zahra Zettira dan Khairun Nisa| Analisis Hubungan Penggunaan Kontrasepsi Hormonal dengan Disfungsi Seksual pada Wanita
Analisis Hubungan Penggunaan Kontrasepsi Hormonal dengan Disfungsi Seksual
pada Wanita
Zahra Zettira, Khairun Nisa
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
Abstrak
Disfungsi seksual pada wanita merupakan suatu masalah kesehatan reproduksi yang penting karena hal ini berhubungan dengan
kelangsungan fungsi dari reproduksi seorang wanita dan hal ini dapat berpengaruh besar terhadap keharmonisan dari hubungan
antara suami dan isteri. Lebih dari separuh kaum wanita di dalam suatu negara menunjukkan potensi tinggi untuk mengalami
gangguan fungsi seksual. Data Epidemiologi di Amerika Serikat melaporkan bahwa insiden disfungsi seksual pada wanita adalah
sebesar 43%, dengan keluhan gangguan hasrat seksual sebesar 10 - 46%, gangguan rangsang seksual sebesar 4 – 7 %, gangguan
orgasme sebesar 5 – 42%, Nyeri sebesar 3 – 18% dan vaginismus sebesar 30%. Penggunaan metode kontrasepsi hormonal
merupakan salah satu dari faktor risiko yang dapat mempengaruhi kejadian dari disfungsi seksual pada penggunanya karena
kandungan hormon yang terkandung didalamnya dapat mempengaruhi fungsi fisiologis hormonal dari seorang wanita sehingga
hal ini dapat menimbulkan berbagai gangguan seksual, contohnya seperti antara lain adalah gangguan minat, gangguan
orgasme ataupun gangguan birahi.
Kata kunci: Disfungsi Seksual, Kontrasepsi hormonal
Analysis of the Relationship of Hormonal Contraceptive Use in Women with
Sexual Dysfunction
Abstract
Sexual dysfunctionin women is an important reproductive health issues as its relate to the continuity of a woman's reproductive
function and influence on the harmony of marriage. More than half of women in a country may experience sexual dysfunction.
Epidemiologic data in the United States reported the incidents of sexual dysfunction in women is 43%, with complaints of sexual
desire disorder 10 - 46%, disorders of sexual arousal disorder 4 - 7%, orgasm disorder 5 - 42%, pain is 3 - 18% and 30%
vaginismus. Use of hormonal contraception method is one of the risk factors that may affect the incidence of sexual dysfunction
in users. The use of hormonal contraceptive methods is one of the risk factors that may affect the incidence of sexual
dysfunction in users because the content contained therein affect physiological function of hormonal women that can lead to
various sexual disorders such as disorders of interest, orgasm disorders and disorders lust.
Keywords: Hormonal Contraception, Sexual Dysfunction
Korespondensi: Zahra Zettira dan Khairun Nisa | [email protected] dan [email protected]
Pendahuluan
Kontrasepsi merupakan salah satu upaya
untuk mencegah terjadinya kehamilan. Upaya itu
dapat bersifat sementara, dapat pula bersifat
permanen. Pada saat ini telah banyak beredar
berbagai macam alat kontrasepsi. Macammacam metode kontrasepsi tersebut adalah
Intra Uterine Device, implant, kondom, suntik
,metode operatif untuk wanita (MOW), metode
operatif untuk pria (MOP), dan kontrasepsi pil.
Alat kontrasepsi hendaknya memenuhi syarat
yaitu aman pemakaiannya dan dapat dipercaya,
efek samping yang merugikan tidak ada, lama
kerjanya dapat diatur keinginan, tidak
mengganggu hubungan seksual, harganya murah
dan dapat diterima oleh pasangan suami istri1.
Dewasa ini hampir 380 juta pasangan
menjalankan keluarga berencana dan 66 –75
juta diantaranya, terutama di Negara
berkembang,
menggunakan
kontrasepsi
hormonal.
Kontrasepsi
hormonal
yang
digunakan untuk mencegah terjadi kehamilan
dapat memiliki pengaruh positif maupun negatif
terhadap berbagai organ tubuh, baik organ
genitalia maupun non genitalia2.
Data
SDKI
2012
menunjukkan
peningkatan prevalensi penggunaan kontrasepsi
atau Contraceptive Prevalence Rate (CPR) di
Indonesia sejak 1991-2012 sementara angka
fertilitas atau Total Fertility Rate (TFR)
cenderung menurun. Tren ini menggambarkan
Majority | Volume 4 | Nomor 7| Juni 2015 | 103
Zahra Zettira dan Khairun Nisa| Analisis Hubungan Penggunaan Kontrasepsi Hormonal dengan Disfungsi Seksual pada Wanita
bahwa meningkatnya cakupan usia 15-49 tahun
yang melakukan KB sejalan dengan menurunnya
angka fertilitas nasional3.
Pada tahun 2013, cakupan KB aktif secara
nasional sebesar 75,88%. Dari 33 provinsi, masih
ada 15 provinsi yang cakupannya masih berada
dibawah cakupan nasional. Provinsi Bengkulu
merupakan provinsi dengan cakupan tertinggi
sebesar 85,70% dan provinsi Papua merupakan
provinsi dengan cakupan terendah sebesar
67,15%. Data juga menunjukkan bahwa ada
8.500.247 PUS yang merupakan peserta KB baru
dan hampir separuhnya (48,56%) menggunakan
metode kontrasepsi suntikan, IUD ( 7,75%) ,
Metode Operasi Wanita (1,52%), Metode
Operasi pria (0,25%), kondom ( 6,09 %), implant
(9,23 5), dan pil (26,6%)4.
Berdasarkan tetapan BKKBN Provinsi
Lampung pada tahun 2008 didapatkan jumlah
pemakai alat kontrasepsi berdasarkan jenisjenisnya, yaitu suntikan sebesar 162.055 orang
(40,35%), pil sebanyak 137,38 orang (35,10%),
dan implant 20,713 orang (12,05%)4.
Adapun data BPS Kabupaten Lampung
Utara menyebutkan jumlah pengguna alat
kontrasepsi jangka panjang (MKPJ) terdiri dari
IUD 8.695 orang , MOP 674 orang, MOW 1.315
orang dan KDM 1.667 orang. Sedangkan alat
kontrasepsi non MKPJ terdiri atas Pil 28366
orang, Suntik 30.166 orang dan INF 13.018
orang5.
Data
diatas
menunjukkan
bahwa
kontrasepsi hormonal dan non hormonal paling
banyak diminati di negara-negara berkembang
seperti Indonesia, tetapi tidak semua alat
kontrasepsi cocok dengan kondisi setiap orang,
untuk itu setiap pribadi harus bisa memilih alat
kontrasepsi yang cocok. Resiko efek samping
juga dapat terjadi pada pemakai kontrasepsi
seperti gangguan haid, perubahan berat badan
dan perubahan libido atau masalah seksual6.
Masalah seksual termasuk gangguan
keinginan, gairah seksual, lubrikasi, orgasme, dan
rasa sakit. Masalah tersebut tanpa melihat faktor
usia, dapat memberikan dampak negatif
terhadap kualitas hidup dan kesehatan emosi.
Disfungsi seksual adalah penyakit yang umum
dimana dua dari lima wanita memiliki setidaknya
satu jenis disfungsi seksual, dan keluhan yang
Majority | Volume 4 | Nomor 7| Juni 2015 | 104
paling banyak terjadi adalah rendahnya gairah
seksual/libido7.
Selama tahun 2013, BKKBN mencatat ada
3.287 kegagalan pada KB. Jumlah terbesar terjadi
pada metode kontrasepsi IUD atau Alat
Kontrasepsi dalam Rahim (AKDR) dengan 1.513
(46,03%) kejadian kegagalan,diikuti oleh implant
1.189 (36,17%) kejadian kegagalan. Sementara
untuk komplikasi berat, dari total 2.548 kejadian
komplikasi berat, 1.358 (53,3%) terjadi pada
metode implant, diikuti oleh IUD dengan 1.25
(40,23%) kejadian. Baik pada kejadian kegagalan
maupun komplikasi berat, paling sedikit terjadi
pada MOP karena jumlah peserta KB yang
menggunakan metode ini memang paling
sedikit4.
Kurang
berhasilnya
program
KB,
diantaranya dipengaruhi oleh efek samping. Efek
samping dari kontrasepsi itu sendiri seperti efek
seksual, baik pemakai kontrasepsi hormonal
maupun non hormonal. Namun efek samping ini
sangat mempengaruhi kesejahteraan rumah
tangga dan dapat mempengaruhi psikologi untuk
yang bekerja. Oleh karena itu mengingat
pentingnya
kehidupan
seksual
dalam
kebahagiaan keluarga, maka disfungsi seksual
perlu mendapat penanganan yang benar8.
Isi
Kontrasepsi adalah upaya mencegah
kehamilan yang bersifat sementara atau
menetap, yang dapat dilakukan tanpa
menggunakan
alat,
secara
mekanis,
menggunakan alat/obat, atau dengan operasi9.
Tujuan dari penggunaan kontrasepsi
adalah menghindari atau mencegah terjadinya
kehamilan sebagai akibat adanya pertemuan
antara sel telur dengan sel sperma. Berdasarkan
maksud dan tujuan kontrasepsi, maka yang
membutuhkan kontrasepsi adalah pasangan
yang aktif melakukan hubungan seks dan keduaduanya memiliki kesuburan normal namun tidak
menghendaki kehamilan6.
Kontrasepsi terbagi menjadi dua macam
yaitu kontrasepsi hormonal dan kontrasepsi
nonhormonal. Kontrasepsi hormonal adalah
kontrasepsi yang mengandung estrogen dan
progesteron ataupun hanya salah satu diantara
keduanya10.
Zahra Zettira dan Khairun Nisa| Analisis Hubungan Penggunaan Kontrasepsi Hormonal dengan Disfungsi Seksual pada Wanita
Metoda KB hormonal adalah memakai
obat-obatan yang mengandung 2 hormon,
estrogen dan progestin. Adapun macam-macam
kontrasepsi hormonal : pil (pil kombinasi dan pil
progestin), suntik (suntikan kombinasi dan
suntikan progestin), implan, alat kontrasepsi
dalam rahim dengan progestin11.
Beberapa mekanisme kerja konrasepsi
hormonal dalam menunda/ menjarangkan
kehamilan, yaitu: mencegah ovulasi, mengurangi
dan mengentalkan jumlah lendir servik sehingga
menurunkan kemampuan penetrasi sperma,
menjadikan selaput lendir rahim tipis dan atropi,
menghambat transportasi gamet dan tuba, dan
mengubah
endometrium
menjadi
tidak
8
sempurna untuk implantasi hasil konsepsi .
Perilaku seksual adalah manisfestasi
aktivitas seksual yang mencakup baik hubungan
seksual (intercourse; coitus) maupun masturbasi.
Dorongan/ nafsu seksual adalah minat/ niat
seseorang untuk memulai atau mengadakan
hubungan intim (sexual relationship). Kegairahan
seksual (sexual excitement) adalah respons
tubuh terhadap rangsangan seksual. Ada dua
respons yang mendasar yaitu myotonia
(ketegangan otot yang meninggi) dan
vasocongestion (bertambahnya aliran darah ke
daerah genital)12.
Disfungsi seksual adalah gangguan respon
fungsi seksual atau gangguan pada perilaku
seksual. Pada wanita disfungsi seksual diartikan
sebagai kegagalan yang menetap atau berulang,
baik sebagian atau secara keseluruhan, untuk
memperoleh dan atau mempertahankan respon
lubrikasi vasokongesti sampai berakhirnya
aktifitas seksual12.
Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders IV (DSM-IV) menjabarkan
tentang disfungsi seksual sebagai gangguan
hasrat seksual dan atau di dalam siklus
tanggapan seksual yang menyebabkan tekanan
berat dan kesulitan hubungan antar manusia.
Disfungsi seksual ini dapat terbagi menjadi
empat kategori yaitu gangguan minat, gangguan
birahi, gangguan orgasme, dan gangguan nyeri
seksual. Salah satu penyebab terjadinya disfungsi
seksual
adalah
penggunaan
kontrasepsi
hormonal, dimana penyebab lainnya yaitu :
gangguan vaskuler pembuluh darah, penyakit
sistemik, gangguan neurologis dan psikoseksual.
Disfungsi seksual akibat pemakaian kontrasepsi
bergantung pada jenis kontrasepsi itu sendiri.
Dimana pada kontrasepsi hormonal akan
berpengaruh pada efek umpan balik positif
estrogen (estrogen positive feedback) dan umpan
balik negatif progesteron (progesteron negative
feedback). Pemberian hormon yang berasal dari
luar tubuh seperti pada kontrasepsi hormonal
baik berupa estrogen maupun progesteron
menyebabkan peningkatan kadar kedua hormon
tersebut di darah, hal ini akan di deteksi oleh
hipofisis anterior dan hipofisis anterior dan akan
menimbulakn umpan balik negatif dengan
menurunkan sekresi hormon FSH dan LH dan
dengan
keberadaan
progesteron
efek
penghambatan estrogen akan berlipat ganda.
Dalam jangka waktu tertentu tubuh dapat
mengkompensasi dengan meningkatkan sekresi
estrogen agar tetap dalam keadaan normal
namun dalam jangka waktu yang lama
menyebabkan hilangnya kompensasi tubuh dan
menurunnya
sekresi
hormon
terutama
estrogen13.
Disfungsi
seksual
wanita
secara
tradisional terbagi menjadi gangguan minat/
keinginan seksual atau libido, gangguan birahi,
nyeri atau rasa tidak nyaman dan hambatan
untuk mencapai puncak atau orgasme. Pada
DSM IV dari American Phychiatric Association,
dan ICD-10 dari WHO, disfungsi seksual wanita
ini dibagi menjadi empat kategori yaitu:
gangguan minat/ keinginan seksual yaitu
berkurang atau hilangnya pikiran, khayalan
tentang seks dan minat untuk melakukan
hubungan seks, atau takut dan menghindari
hubungan seks, gangguan birahi/ perangsangan
yaitu
ketidakmampuan
mencapai
keterangsangan dan kenikmatan seksual secara
subjektif, yang ditandai dengan berkurangnya
cairan atau lendir pada vagina (lubrikasi),
gangguan orgasme yaitu sulit atau tidak dapat
mencapai orgasme, walaupun telah ada
rangsang seksual yang cukup dan telah mencapai
fase arousal, gangguan nyeri seksual yaitu
merasakan nyeri saat melakukan senggama dan
dapat terjadi saat masuknya penis ke dalam
vagina (penetrasi) atau selama berlangsungnya
hubungan seks, dan vaginismus yaitu terjadinya
kontraksi atau kejang otot-otot vagina sepertiga
Majority | Volume 4 | Nomor 7| Juni 2015 | 105
Zahra Zettira dan Khairun Nisa| Analisis Hubungan Penggunaan Kontrasepsi Hormonal dengan Disfungsi Seksual pada Wanita
bawah sebelum atau selama senggama sehingga
penis sulit masuk ke dalam vagina14.
Female Sexual Function Index (FSFI)
merupakan alat ukur yang valid dan akurat
terhadap fungsi seksual wanita. Kuesioner ini
terdiri dari 19 pertanyaan yang terbagi dalam
enam subskor, termasuk hasrat seksual,
rangsangan
seksual,
lubrikasi,
orgasme,
kepuasan, dan rasa nyeri. FSFI digunakan untuk
mengukur fungsi seksual termasuk hasrat seksual
dan respon seksual dalam empat minggu
terakhir. Skor domain individu dan skor
keseluruhan dapat diperoleh dari tabel yang
sudah ditetapkan pada FSFI. Wanita dengan skor
FSFI ≤26,5 dinyatakan mengalami disfungsi
seksual. Pada penelitian sebelumnya yang
bertepatan di Puskesmas Rajabasa dinyatakan
bahwa hampir separuh dari pengguna
kontrasepsi hormonal mengalami disfungsi
seksual dengan skor FSFI≤ 26,5 15.
Ringkasan
Penggunaan kontrasepsi hormonal yang
selama ini membantu masyarakat dalam
mencegah kehamilan ataupun mengendalikan
produksi rumah tangga ternyata mempunyai
efek negatif bagi penggunanya yaitu dapat
menyebabkan pengguna mengalami disfungsi
seksual. Dimana pada kontrasepsi hormonal
akan berpengaruh pada efek umpan balik positif
estrogen (estrogen positive feedback) dan umpan
balik negatif progesteron (progesteron negative
feedback). Pemberian hormon yang berasal dari
luar tubuh seperti pada kontrasepsi hormonal
baik berupa estrogen maupun progesteron
menyebabkan peningkatan kadar kedua hormon
tersebut di darah, hal ini akan di deteksi oleh
hipofisis anterior dan hipofisis anterior dan akan
menimbulkan umpan balik negatif dengan
menurunkan sekresi hormon FSH dan LH dan
dengan
keberadaan
progesteron
efek
penghambatan estrogen akan berlipat ganda,
dalam jangka waktu tertentu tubuh dapat
mengkompensasi dengan meningkatkan sekresi
estrogen agar tetap dalam keadaan normal
namun dalam jangka waktu yang lama
menyebabkan hilangnya kompensasi tubuh dan
menurunnya sekresi hormon terutama estrogen.
Majority | Volume 4 | Nomor 7| Juni 2015 | 106
Simpulan
Penggunaan kontrasepsi hormonal dapat
menyebabkan terjadinya disfungsi seksual bagi
penggunanya dikarenakan kandungan hormon
yang
terdapat
didalamnya.
Penggunaan
kontrasepsi hormonal yang mengandung
kombinasi kedua hormon yaitu estrogen dan
progestin ataupun yang hanya mengandung
salah satu dari hormon mempunyai peran yang
cukup signifikan pada kejadian disfungsi seksual
namun pada penggunaan kontrasepsi hormonal
yang mengandung kombinasi kedua hormon
lebih signifikan dalam menyebabkan disfungsi
seksual dibandingkan dengan kontrasepsi
hormonal yang hanya mengandung salah satu
hormon.
Daftar Pustaka
1. BKKBN.
Konversi
peserta
keluarga
berencana menurut Jenis kontrasepsi
[internet]; 2006 [diakses pada 20 Maret
2015].
tersedia
dari
http://www.bkkbn.go.id.
2. Baziad A. Kontrasepsi hormonal. Jakarta:
Yayasan
Bina
Pustaka
Sarwono
Prawirohardjo; 2008.
3. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
(SDKI). Tren pemakaian kontrasepsi pada
wanita kawin, Indonesia 1991-2012
[internet]; 2012 [diakses pada 24 Maret
2015].
Tersedia
dari
http://surveidemografidankesehatanindone
siaSDKI.com.
4. BKKBN Provinsi Lampung. Penduduk dan
ketenagakerjaan [internet]; 2013 [diakses
pada 21 Maret 2015]. Tersedia dari
http://lampung.bkkbn.go.id.
5. Badan Pusat Statistik (BPS). Penggunaan
akseptor bagi pasangan subur [internet];
2009 [diakses pada 19 Maret 2015].
Tersedia
dari
http://www.demografi.bps.go.id.
6. Saifuddin
AB.
Buku panduan praktis pelayanan
kontrasepsi. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; 2006.
7. Michael A and O’keane V. Sexual
dysfunction in depression. J. Hum
Psychopharmacol. 2007; 15: 337-45.
Zahra Zettira dan Khairun Nisa| Analisis Hubungan Penggunaan Kontrasepsi Hormonal dengan Disfungsi Seksual pada Wanita
8.
Prawirohardjo S. Obstetri dan ginekologi
sosial. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; 2005.
9. Wiknjosastro
H,
Saifuddin
AB
&
Rachimhadhi T. Ilmu kandungan. Jakarta:
Yayasan
Bina
Pustaka
Sarwono
Prawirohardjo; 2006.
10. Hanafi. Keluarga berencana dan kontrasepsi.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan; 2004.
11. Rabe T. Ilmu kandungan. Jakarta:
Hipokrates; 2003.
12. Chandra L. Gangguan fungsi atau perilaku
seksual dan penanggulangannya. Jakarta :
Cermin Dunia Kedokteran; 2005.
13. Guyton AC and Hall JE. Buku ajar fisiologi
kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC; 2008.
14. Elvira D. Disfungsi seksual pada perempuan.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2006.
15. Rosen R, Brown C, Heiman J, Leiblum S,
Meston C, Shasigh R. et al. Female sexual
function index (FSFI) . J. Sex and Marital
Therapy. 2010; 26: 191-208.
Majority | Volume 4 | Nomor 7| Juni 2015 | 107
Zahra Zettira dan Khairun Nisa| Analisis Hubungan Penggunaan Kontrasepsi Hormonal dengan Disfungsi Seksual pada Wanita
Majority | Volume 4 | Nomor 7| Juni 2015 | 108
Zaraz Obella Nur Adliyani |Pengaruh Perilaku Individu terhadap Hidup Sehat
Pengaruh Perilaku Individu terhadap Hidup Sehat
Zaraz Obella Nur Adliyani
Faculty of Medicine, Lampung University
Abstrak
Sehat merupakan suatu kondisi yang ingin dimiliki oleh setiap individunya. Sehat tidak hanya dalam keadaan fisik, namun
juga sehat secara mental dan sehat secara sosial. Tidak hanya meliputi kebebasan dari suatu penyakit, namun juga sehat
meliputi keadaan psikis dari seseorang. Sehat pada umumnya mempengaruhi perilaku manusia, begitu pula sebaliknya,
perilaku seseorang juga akan dapat mempengaruhi kesehatan orang tersebut. Perilaku merupakan hal yang lumrah di
lakukan oleh seseorang baik yang secara sadar mau pun secara tidak sadar. Perilaku seseorang dapat mempengaruhi
keadaan kesehatan seseorang itu sendiri. Perilaku yang baik dalam menjaga kesehatan dapat meningkatkan kualitas hidup
seseorang menjadi lebih baik dan lebih sejahtera. Salah satunya adalah dengan melaksanakan perilaku hidup bersih dan
sehat. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat sebaiknya di terapkan setiap saat. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat seseorang dapat
dipengaruhi beberapa faktor. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah faktor pengetahuan. Menurut beberapa
penelitian, jika pengetahuan seseorang baik, maka Perilaku Hidup Bersih dan Sehatnya juga akan menjadi baik, dan akan
berdampak baik pula untuk kehidupannya.
Kata kunci: perilaku, perilaku kesehatan, sehat
The Effect of Human Behavior for Healthy Life
Abstract
Health is what everyones’s want. Health is not only about physical, but also mental healthy and social healthy. Not only
being free of any deseases, but health is including psychological condition of someone. Generally, health affetcs human
behavior, so do behavior, it affects the individual’s health. Behavior is something that is usually done by someone who is
consicious or unconsicious. Human’s behavior can affect the healthy state it self. Good behavior in keeping the health can
increase the quality of someone’s life being better and more prosperous. For example by doing some sanitary activities and
keeping healthy life. Doing some sanitary activities and keeping healthy life should be done in everytime. Sanitary behavior
and healthy life is effected by some factors. One of the factors that effect is knowledge. Beside on many resource that have
been done, if someone’s knowledge is good, then the sanitary behavior and healthy life will be good too, and it will give the
good effect for someone’s life.
Keywords: behavior, health, healthy behavior
Korespondensi: Zaraz Obella Nur Adliyani | [email protected]
Pendahuluan
Kesehatan menurut undang-undang
Republik Indonesia no 36 tahun 2009 adalah
keadaan sehat, baik secara fisik, mental,
spritual maupun sosial yang memungkinkan
setiap orang untuk hidup produktif secara
sosial dan ekonomis. Menurut WHO,
kesehatan adalah kondisi dinamis meliputi
kesehatan jasmani, rohani, sosial, dan tidak
hanya terbebas dari penyakit, cacat, dan
kelemahan. Dikatakan sehat secara fisik adalah
orang tersebut tidak memiliki gangguan
apapun secara klinis. Fungsi organ tubuhnya
berfungsi secara baik, dan dia memang tidak
sakit. Sehat secara mental/psikis adalah
sehatnya pikiran, emosional, maupun spiritual
dari seseorang. 1
Blum menyebutkan terdapat empat pilar
yang mempengaruhi derajat kesehatan
seseorang, diantaranya adalah keturunan,
lingkungan, pelayanan kesehatan, dan perilaku.
Faktor yang paling besar pengaruhnya adalah
lingkungan dan perilaku. Contoh perilaku yang
dapat mempengaruhi kesehatan adalah gaya
hidup dan personal hygiene.
Gaya hidup atau life style seseorang
berbeda-beda. Seperti halnya merokok.
Kebiasaan merokok dapat mempengaruhi
kesehatan seseorang. Merokok dapat memicu
timbulnya berbagai penyakit. Menurut
penelitian yang dilakukan Kusuma 2011 di
UNISSULA mengenai dampak rokok, rokok
tidak hanya berbahaya bagi bagi orang yang
merokok (perokok aktif) namun juga
berbahaya bagi orang di sekitarnya yang
terkena paparan asap rokok (perokok pasif).
Rokok dapat pula menyebabkan berbagai
penyakit seperti penyakit paru, penyakit
kardiovaskular, resiko terjadinya neoplasma
larynx, esophagus, dan merokok juga dapat
memicu timbulnya penyakit pada rongga mulut
dan menimbulkan kelainan pada gigi.2
Majority | Volume 4 | Nomor 7| Juni 2015 | 109
Zaraz Obella Nur Adliyani |Pengaruh Perilaku Individu terhadap Hidup Sehat
Tidak hanya gaya hidup merokok yang
berbahaya bagi kesehatan, namun alcoholic
atau peminum alkohol juga merupakan gaya
hidup yang tidak baik. Menurut penelitian yang
dilakukan Deappen JB tahun 2014 di Inggris
menyebutkan bahwa individu yang tidak
mengkonsumsi alkohol memiliki kualitas hidup
yang lebih baik disbanding individu yang
mengkonsumsi alkohol.3
Olahraga sebagai life style seseorang
juga akan berdampak terhadap kesehatan
seseorang. Seperti yang di katakan Svantesson
dalam penelitiannya tahun 2015 di Sweden
bahwa terdapat korelasi yang sangat positif
antara aktivitas fisik dan pengurangan penyakit
kronis dan juga dapat mencegahnya. Pada
lansia yang berusia 65 tahun bisa
meningkatkan kognisi dan membuat fungsifungsi otot jadi lebih baik. Selain itu juga bisa
menurunkan rasa takut akan jatuh. Dengan
demikian kualitas kesehatan diri yang
dirasakan akan meningkat.4
Kebiasaan atau perilaku buruk juga
dapat berdampak buruk bagi kesehatan.
Sebagai contoh perilaku jarang mandi dan
sering meminjam baju dari teman bisa
menyebabkan gangguan kesehatan berupa
penyakit kulit skabies. Penelitian yang
dilakukan oleh Rohmawati pada tahun 2010 di
Surakarta menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara perilaku jarang mandi dan
sering meminjam baju teman dengan
timbulnya penyakit skabies.5
Mandi termasuk salah satu dari personal
hygiene yang harus di perhatikan. Selain
mandi, banyak aspek lainnya dari personal
hygiene yang mempengaruhi kesehatan. Salah
satu contohnya adalah rutin memotong dan
membersihkan kuku. Ketidakpatuhan terhadap
penjagaan
kebersihan
kuku
dapat
mempengaruhi kesehatan dan menimbulkan
penyakit yaitu infeksi cacing. Penilitian yang
dilakukan Yulinto 2007 terhadap siswa sekolah
dasar di Semarang menunjukan ada hubungan
antara siswa yang jarang mencuci tangan dan
memotong kuku dengan kejadian infeksi
cacing. Sehingga mencuci tangan sebagai
perilaku yang harus dilakukan untuk mencegah
terjangkitnya penyakit yaitu infeksi cacing.6
Isi
Sehat merupakan kondisi yang diinginkan
setiap individu. Menurut WHO, definisi sehat
adalah keadaan sejahtera, sempurna dari fisik,
Majority | Volume 4 | Nomor 7| Juni 2015 | 110
mental, dan sosial yang tidak terbatas hanya
pada bebas dari penyakit atau kelemahan saja.
Pencapaian derajat kesehatan yang baik dan
setinggi-tingginya merupakan suatu hak yang
fundamental bagi setiap orang tanpa
membedakan ras, agama, jenis kelamin, politik
yang dianut, dan tingkat sosial ekonominya.
Sehat ialah keadaan sejahtera dari
badan, jiwa, dan social yang memungkinkan
setiap orang hidup produktif secara sosial dan
ekonomis. Menurut While tahun 1997,
kesehatan adalah keadaan dimana seseorang
pada waktu diperiksa oleh ahlinya tidak
mempunya keluhan ataupun tidak terdapat
tanda-tanda suatu penyakit atau kelainan.
Dalam setiap hal di dunia, termasuk kesehatan,
pasti memiliki maslah-masalah tertentu. Tidak
selamanya masalah kesehatan merupakan
masalah kompleks yang merupakan resultant
dari berbagai masalah lingkungan yang bersifat
alamiah maupun masalah buatan manusia,
sosial budaya, perilaku, populasi penduduk,
genetika, dan sebagainya. Derajat kesehatan
masyarakat yang disebut sebagai psychosocio
somatic health well being, merupakan resultant
dari empat faktor yaitu Environment atau
lingkungan, Behaviour atau perilaku, antara
yang pertama dan kedua dihubungkan dengan
ecological balance. Heredity atau keturunan
yang dipengaruhi oleh populasi, distribusi
penduduk, dan sebagainya, Health care service
berupa program kesehatan yang bersifat
preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif.
Dari empat faktor tersebut di atas, lingkungan
dan perilaku merupakan faktor yang paling
besar pengaruhnya (dominan).7
Gambar 1 Faktor-faktor Pengaruh
Kesehatan Menurut Hendrik L.Blum
Derajat
Lingkungan memiliki pengaruh yang dan
peranan terbesar diikuti perilaku, fasilitas
kesehatan dan keturunan. Lingkungan sangat
bervariasi, umumnya digolongkan menjadi tiga
kategori, yaitu yang berhubungan dengan
Zaraz Obella Nur Adliyani |Pengaruh Perilaku Individu terhadap Hidup Sehat
aspek fisik dan sosial. Lingkungan yang
berhubungan dengan aspek fisik contohnya
sampah, air, udara, tanah, ilkim, perumahan,
dan sebagainya. Sedangkan lingkungan sosial
merupakan hasil interaksi antar manusia
seperti kebudayaan, pendidikan, ekonomi, dan
sebagainya
Perilaku merupakan faktor kedua yang
mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat
karena sehat atau tidak sehatnya lingkungan
kesehatan individu, keluarga dan masyarakat
sangat tergantung pada perilaku manusia itu
sendiri. Di samping itu, juga dipengaruhi oleh
kebiasaan,
adat
istiadat,
kebiasaan,
kepercayaan, pendidikan sosial ekonomi, dan
perilaku-perilaku lain yang melekat pada
dirinya.
Pelayanan kesehatan merupakan faktor
ketiga yang mempengaruhi derajat kesehatan
masyarakat karena keberadaan fasilitas
kesehatan
sangat
menentukan
dalam
pelayanan pemulihan kesehatan, pencegahan
terhadap
penyakit,
pengobatan
dan
keperawatan serta kelompok dan masyarakat
yang memerlukan pelayanan kesehatan.
Ketersediaan fasilitas dipengaruhi oleh lokasi,
apakah dapat dijangkau atau tidak. Yang kedua
adalah tenaga kesehatan pemberi pelayanan,
informasi dan motivasi masyarakat untuk
mendatangi fasilitas dalam memperoleh
pelayanan serta program pelayanan kesehatan
itu sendiri apakah sesuai dengan kebutuhan
masyarakat yang memerlukan.
Keturunan (genetik) merupakan faktor
yang telah ada dalam diri manusia yang dibawa
sejak lahir, misalnya dari golongan penyakit
keturunan seperti diabetes melitus dan asma
bronehial.
Blum juga menyebutkan 12 indikator
yang berhubungan dengan derajat kesehatan,
adalah life spam yaitu lamanya usia harapan
untuk hidup dari masyarakat, atau dapat juga
dipandang
sebagai
derajat
kematian
masyarakat yang bukan karena mati tua.
Disease or infirmity yang merupakan keadaan
sakit atau cacat secara fisiologis dan anatomis
dari masyarakat. Selanjutnya adalah discomfort
or ilness yaitu keluhan sakit dari masyarakat
tentang keadaan somatik, kejiwaan maupun
sosial dari dirinya. Disability or incapacity
maksudnya adalah ketidakmampuan seseorang
dalam masyarakat untuk melakukan pekerjaan
dan menjalankan peranan sosialnya karena
sakit. Berikutnya participation in health care,
yaitu kemampuan dan kemauan masyarakat
untuk berpartisipasi dalam menjaga dirinya
untuk selalu dalam keadaan sehat. Health
behavior, merupakan perilaku manusia yang
nyata dari anggota masyarakat secara langsung
berkaitan
dengan
masalah
kesehatan.
Selanjutnya ecologic behavior, yaitu perilaku
masyarakat terhadap lingkungan, spesies lain,
sumber daya alam, dan ekosistem. Teori Blum
juga menyebutkan social behaviour yang
berarti perilaku anggota masyarakat terhadap
sesamanya,
keluarga,
komunitas
dan
bangsanya. Interpersonal relationship, yaitu
kualitas komunikasi anggota masyarakat
terhadap sesamanya. Reserve or positive health
dimana makasudnya adalah daya tahan
anggota masyarakat terhadap penyakit atau
kapasitas
anggota
masyarakat
dalam
menghadapi
tekanan-tekanan
somatik,
kejiwaan, dan sosial. Selanjutnya adalah
external satisfaction, yaitu rasa kepuasan
anggota masyarakat terhadap lingkungan
sosialnya meliputi rumah, sekolah, pekerjaan,
rekreasi, transportasi. Terakhir adalah internal
satisfaction,
yaitu
kepuasan
anggota
masyarakat terhadap seluruh aspek kehidupan
dirinya sendiri. 8
Perilaku adalah kumpulan dari reaksi,
perbuatan, aktivitas, gabungan gerakan,
tanggapan dan jawaban yang dilakukan
seseorang, seperti proses berpikir, bekerja,
hubungan seks, dan sebagainya.9
Perilaku merupakan keseluruhan atau
totalitas kegiatan akibat belajar dari
pengalaman sebelumnya dan dipelajari melalui
proses penguatan dan pengkondisian.10
Perilaku adalah reaksi manusia akibat
kegiaan kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Ketiga aspek ini saling berhubungan. Jika salah
satu aspek mengalami hambatan, maka aspek
perilaku lainnya juga terganggu.11
Perilaku adalah akibat interelasi stimulus
eksternal dengan internal yang akan
memberikan
respons-respons
eksternal.
Stimulus internal merupakan stimulus-stimulus
yang berkaitan dengan kebutuhan fisiologis
atau psikologis seseorang. Misalnya, ketika kita
lapar maka reaksi kita adalah mencari
makanan. Sedangkan stimulus eksternal
merupakan segala macam reaksi seseorang
akibat faktor luar diri (lingkungan). Sebagai
contoh ketika melihat roti maka timbul
keinginan untuk makan, meskipun reaksi dari
tubuh kita tidak menunjukkan rasa lapar.12
Majority | Volume 4 | Nomor 7| Juni 2015 | 111
Zaraz Obella Nur Adliyani |Pengaruh Perilaku Individu terhadap Hidup Sehat
Perilaku
adalah
totalitas
dari
penghayatan dan aktivitas yang memengaruhi
proses perhatian, pengamatan, pikiran, daya
ingat dan fantasi seseorang. Meskipun perilaku
adalah totalitas respons, namun semua
respons sangat tergantung pada karakteristik
individual. Faktor-faktor yang membedakan
respons terhadap stimulus yang berbeda-beda
disebut sebagai determinan perilaku.13
Perilaku merupakan respon atau reaksi
seseorang terhadap rangsangan dari luar
(stimulus). Perilaku dapat dikelompokkan
menjadi dua, perilaku tertutup (covert
behaviour), perilaku tertutup terjadi bila
respons terhadap stimulus tersebut masih
belum bisa diamati orang lain (dari luar) secara
jelas. Respon seseorang masih terbatas dalam
bentuk perhatian, perasaan, persepsi, dan
sikap terhadap stimulus yang bersangkutan.
Bentuk “unobservabel behavior´atau “covert
behavior” apabila respons tersebut terjadi
dalam diri sendiri, dan sulit diamati dari luar
(orang lain) yang disebut dengan pengetahuan
(knowledge) dan sikap (attitude). Selanjutnya
adalah perilaku terbuka (Overt behaviour),
apabila respons tersebut dalam bentuk
tindakan yang dapat diamati dari luar (orang
lain) yang disebut praktek (practice) yang
diamati orang lain dari luar atau “observabel
behavior”.
Perilaku muncul sebagai akibat dari
beberapa hal, diantaranya karena adanya
hubungan timbal balik antara stimulus dan
respons yang lebih dikenal dengan rangsangan
tanggapan. Hubungan stimulus dan respons
akan membentuk pola-pola perilaku baru.
Selain itu, hubungan stimulus dan respons
merupaka suatu mekanisme dari proses belajar
dari lingkungan luar juga mempengaruhi
perilaku seseorang. Ganjaran (reward) akan
memberikan penguatan kepada respons atau
tetap untuk mempertahankan respons. Lalu
adanya hukuman (punishment) melemahkan
respons atau mengalihkan respons ke bentuk
respons lainnya. Perubahan perilaku akibat
perubahan dari ganjaran atau hukuman. 11
Perilaku kesehatan sebagai atributatribut seperti kepercayaan, ekspektasi, motifmotif, nilai-nilai, persepsi elemen kogniti
lainnya,karakteristik kepribadian, termasuk
mood dan status emosi dan sifat-sifat serta
pola
perilaku
yang
jelas,
Majority | Volume 4 | Nomor 7| Juni 2015 | 112
tindakan dan kebiasaan yang berhubungan
dengan pemeliharaan kesehatan, restorasi dan
peninngkatan kesehatan.13
Perilaku kesehatan adalah sesuatu
respon (organisme) terhadap stimulus atau
obyek yang berkaitan dengan sakit dan
penyakit, sistem pelayanan kesehatan,
makanan dan minuman, serta lingkungan. Dari
batasan ini, perilaku pemeliharaan kesehatan
ini terjadi dari 3 aspek meliputi aspek perilaku
pencegahan penyakit, dan penyembuhan
penyakit bila sakit, serta pemulihan kesehatan
bilamana telah senbuh dari sakit. Selanjutnya
adalah perilaku peningkatan kesehatan,
apabila seseorang dalam keadaan sehat. Dan
terakhir adalah perilaku gizi (makanan) dan
minuman. 13
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat harus
diterapkan dalam setiap sisi kehidupan
manusia kapan saja dan dimana saja termasuk
di dalam lingkungan kampu dan tempat tinggal
karena perilaku merupakan sikap dan tindakan
yang akan membentuk kebiasaan sehingga
melekat dalam diri seseorang. PHBS (Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat) merupakan
sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas
dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran,
yang menjadikan seseorang atau keluarga
dapat menolong diri sendiri di bidang
kesehatan dan berperan aktif dalam
mewujudkan kesehatan masyarakat. PHBS
merupakan salah satu pilar utama dalam
Indonesia Sehat dan merupakan salah satu
strategi untuk mengurangi beban negara dan
masyarakat terhadap pembiayaan kesehatan.
Sehat adalah keadaan sejahtera dari badan,
jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap
orang hidup produktif secara sosial dan
ekonomi.
Perilaku seseorang akan mempengaruhi
kualitas hidup seseorang itu sendiri. Perilaku
yang baik dan positif akan berdampak positif
pula terhadap kesehatannya. Penelitian yang
telah di lakukan Istiningtyas tahun 2010 pada
mahasiswa PSIK di UNDIP menunjukkan bahwa
ada hubungan yang signifikan antara
pengetahuan tentang gaya hidup sehat dengan
perilaku gaya hidup sehat serta ada hubungan
antara sikap terhadap gaya hidup sehat dengan
perilaku gaya hidup sehat. Perilaku yang sehat
akan meningkatkan kualitas hidup seseorang.14
Zaraz Obella Nur Adliyani |Pengaruh Perilaku Individu terhadap Hidup Sehat
Ringkasan
Menurut beberapa pengertian dari
beberapa sumber, sehat merupakan keadaan
dimana tubuh kita terbebas dari penyakit, serta
keadaan yang sejahtera dalam diri kita baik
keadaan mental, fisik, dan sosial. Definisi
Kesehatan itu sendiri adalah kondisi dinamis
meliputi kesehatan jasmani, rohani, sosial, dan
tidak hanya terbebas dari penyakit, cacat, dan
kelemahan. Dikatakan sehat secara fisik adalah
orang tersebut tidak memiliki gangguan
apapun secara klinis.
Sehat dapat di pengaruhi oleh perilaku
seseorang. Pengertian dari perilaku manusia
adalah sekumpulan perilaku yang dimiliki oleh
manusia dan dipengaruhi oleh adat, sikap,
emosi, nilai, etika, kekuasaan, persuasi, dan
atau
genetika.
Semua
itu
saling
berkesinambungan dan saling mempengaruhi,
termasuk dalam bidang kesehatan itu sendiri.
Jika
perilaku
dan
kesehatan
digabungkan, maka didapatkan perilaku sehat,
dimana maksudnya adalah pengetahuan, sikap
dan tindakan proaktif untuk memelihara dan
mencegah
risiko
terjadinya
penyakit,
melindungi diri dari ancaman penyakit.
Simpulan
Perilaku seseorang merupakan suatu hal
yang dipengaruhi oleh beberapa aspek meliputi
adat, sikap, emosi, nilai, etika, kekuasaan,
persuasi, dan atau genetika. Perilaku sendiri
penting dan berengaruh dalam kesehatan,
terutama tentang perilaku hidup sehat.
Perilaku yang positif akan berdampak positif
pula bagi kesehatan individu. Perilaku yang
sehat sangat mempengaruhi kualitas dan taraf
hidup seseorang agar dapat menjadi lebih baik
dan sejahtera.
Daftar pustaka
1. Notoatmodjo S. Prinsip-prinsip dasar ilmu
kesehatan masyarakat edisi 2. Jakarta:
rineka cipta; 2003.
2. Aditama TY. Proses Berhenti Merokok.
3
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Jurnal Cermin Dunia Kedokteran 1995.
102: 37-9.
Deappen JB. Quality of life depends on the
drinking pattern in alcohol-dependent
patients. Oxford University; 2014.
Svantesson U. Impact of physical activity
on the self-perceived quality of life in nonfrail older adults. Mid Sweden University;
2015
Rohmawati RN. Hubungan antara faktor
pengetahuan dan perilaku dengan
kejadian skabies di pondok pesantren almuayyad Surakarta; 2010.
Yulianto E. Hubungan higiene sanitasi
dengan kejadian penyakit cacingan pada
siswa sekolah dasar negeri rowosari 01
kecamatan tembalang kota semarang.
Semarang; 2007.
Soejoeti S. Konsep sehat, sakit dan
penyakit dalam konteks sosial budaya
[internet]. Surabaya: Cermin Dunia
Kedokteran; 2005 [diakses pada 20
September
2015].
tersedia
dari:
http://yuniawan.blog.unair.ac.id/files/200
8/03/sehatsakit.pdf.
Blum
HL.
Planning
for
health,
development and aplication of social
changes theory. New York: Human
Sciences Press; 1974.
Chaplin JP. Kamus lengkap psikologi.
Jakarta: PT Raja/grafindo Persada; 2006.
Wordworth and Marquis. Psychology.
London: Butlher and Tanner Ltd; 1971.
Zan PH. Pengantar psikologi untuk
kebidanan. Jakarta: Prenada Media Goup;
2010.
Walgito B. Pengantar psikologi sosial.
Yogyakarta: Andi Offset; 1990.
Notoadmodjo S. Promosi kesehatan.
Jakarta: Rineka Cipta; 2007.
Istiningtyas
A.
hubungan
antara
pengetahuan dan sikap tentang gaya
hidup sehat mahasiswa di psik undip
semarang.
2010;
1(1).
Majority | Volume 4 | Nomor 7| Juni 2015 | 113
Zaraz Obella Nur Adliyani |Pengaruh Perilaku Individu terhadap Hidup Sehat
Majority | Volume 4 | Nomor 7| Juni 2015 | 114
Asoly Giovano I Kejadian Dermatitis Kontak Iritan Pada Petugas Sampah di TPA
Kejadian Dermatitis Kontak Iritan Pada Petugas Sampah di TPA
Asoly Giovano Imartha
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
Abstrak
Menurut penelitian yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 1999, pada pekeja tentang penyakit
akibat kerja di 5 (Lima) Benua, memperlihatkan bahwa dermatitis kontak iritan menempatkan urutan keempat, yaitu sebesar
10%. Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan efek sitotoksik yang menimbulkan reaksi peradangan non imunologik pada kulit.
Faktor resiko dermatitis kontak iritan (DKI) bisa melalui paparan iritan langsung dan paparan tidak langsung. Paparan iritan
langsung berupa bahan kimia dan pelarut sedangkan paparan tidak langsung berupa umur, ras, jenis kelamin, personal hygiene,
alat pelindung diri, dan pengetahuan. Pada petugas sampah di TPA memiliki factor resiko terkena dermatitis kontak iritan
karena memiliki hubungan dengan jenis pekerjaan yang bersifat basah dan kontak dengan berbagai jenis sampah. Upaya
pencegahan dermatitis kontak iritan (DKI) yang terpenting adalah menghindari pajanan bahan iritan, baik yang bersifat mekanik,
fisik, maupun kimiawi. Petugas sampah dapat menghindari bahan iritan dengan pemakaian alat pelindung diri yang adekuat dan
tingkat pengetahuan pekerja yang baik. Bila ditemukan peradangan bisa diberikan kortikosteroid topikal.
Kata kunci : dermatitis kontak iritan, faktor resiko, petugas sampah, pencegahan
The Accident of Dustmen Irritant Contact Dermatitis in Landfill
Abstract
According to research conducted by world health organization (WHO) in 1999 , on workers about the illness caused by work in 5
( five ) the continent , shows that an irritant contact dermatitis put fourth , is as much as 10 %. Irritant contact dermatitis (ICD) is
a cytotoxic effect causes non-immunological inflammatory reaction of the skin. Risk factors of irritant contact dermatitis (ICD)
either through direct irritant exposure and indirect exposure. Direct exposure to irritants such as chemicals and solvents
whereas, indirect exposure such as age, race, sex, personal hygiene, personal protective equipment, and knowledge. Dustmen in
the landfill have risk factors suffering irritant contact dermatitis because dustmen have familiar with the kind of wet work
situation and contact with the various types of dust. Most important prevention to Irritant Contact Dermatitis (ICD) are avoid
exposure to irritants, both mechanic and chemical, adequate personal protective equipment uses and a good level of knowledge
workers. Topical corticosteroids may be given if inflammation found.
Keywords : irritant contact dermatitis, risk factors, dustmen, prevention
Korespondensi : Asoly Giovano Imartha e-mail [email protected]
Pendahuluan
Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan
efek sitotoksik yang menimbulkan reaksi
peradangan non imunologik pada kulit melalui
jalur eksogen ataupun endogen yang berkontak
langsung dengan tubuh. 1,2
Penyakit dermatitis kontak iritan dapat
terjadi sebagai akibat dari pemaparan zat-zat
kimia yang mengakibatkan penyakit dermatitis
kontak iritan dengan gejala seperti iritasi, gatalgatal, kulit kering, pecah-pecah, kemerahmerahan, dan koreng yang sulit sembuh.
Penyakit dermatitis sering terjadi pada pekerja
informal yang umumnya kurang memperhatikan
sanitasi dan perlindungan bagi kesehatan
dirinya.3
Dermatitis kontak iritan dapat diderita
oleh semua orang dari berbagai golongan umur,
ras, dan jenis kelamin. Menurut penellitian yang
dilakukan oleh World Health Organization (WHO)
pada tahun 1999, pada pekeja tentang penyakit
akibat kerja di 5 (Lima) Benua, memperlihatkan
bahwa dermatitis kontak iritan menempatkan
urutan keempat, yaitu sebesar 10%. Berdasarkan
survey tahunan penyakit okupational pada
populasi pekerja di Amerika menunjukkan 80% di
dalamnya adalah dermatitis kontak iritan. 4,5
Petugas sampah di TPA memiliki faktor
resiko untuk terkena dermatitis kontak iritan
(DKI). Petugas sampah merupakan pekerjaan
yang memiliki hubungan dengan jenis pekerjaan
yang bersifat basah, kontak dengan berbagai
jenis sampah, dan kurangnya alat pelindung diri.
Kejadian dermatitis kontak iritan pada
pekerja pengolahan sampah di TPA cipayung
kota depok tahun 2010 didapatkan dari 40
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 115
Asoly Giovano I Kejadian Dermatitis Kontak Iritan Pada Petugas Sampah di TPA
responden, 22 responden (55%) mengalami
dermatitis kontak iritan dan 18 pekerja (45%)
tidak mengalami dermatitis kontak iritan.6
Setelah melihat penguraian di atas, artikel
ini akan membahas tentang dermatitis kontak
iritan (DKI), faktor resiko DKI terhadap petugas
sampah, dan pencegahan DKI terhadap petugas
sampah.
Isi
Dermatitis kontak iritan (DKI) adalah efek
sitotoksik local langsung dari bahan iritan yang
bersifat tidak spesifik, pada sel epidermis
sehingga menimbulkan reaksi peradangan non
imunologik pada dermis dalam waktu dan
konsentrasi tertentu. Bahan iritan bisa muncul
melalui jalur eksogen ataupun endogen yang
berkontak langsung dengan tubuh.
Suatu
peradangan pada kulit disebabkan oleh
kerusakan langsung ke kulit setelah terekspos
agen berbahaya. 1,2,6
Menurut data yang didapatkan U.S.
Bureau of Labour Statistic menunjukkan bahwa
249.000 kasus penyakit okupational nonfatal
pada tahun 2004. Berdasarkan survey tahunan
penyakit okupational pada populasi pekerja di
Amerika menunjukkan 80% di dalamnya adalah
dermatitis kontak iritan. 4
Menurut penellitian yang dilakukan oleh
World Health Organization (WHO) pada tahun
1999, pada pekeja tentang penyakit akibat kerja
di 5 (Lima) Benua, memperlihatkan bahwa
dermatitis kontak iritan menempatkan urutan
keempat, yaitu sebesar 10%. Berdasarkan tabel
di bawah tentang studi dari distribusi kejadian
dermatitis kontak iritan pada pekerja pengolahan
sampah di TPA cipayung kota depok tahun 2010
didapatkan dari 40 responden, 22 responden
(55%) mengalami dermatitis kontak iritan dan 18
pekerja (45%) tidak mengalami dermatitis kontak
iritan. 5,6
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 116
Tabel 1. Distribusi Kejadian Dermatitis Kontak Iritan
Pekerja Pengolahan Sampah di TPA Cipayung Kota
Depok Tahun 2010
Kejadian Dermatitis
Tidak dermatitis
Dermatitis
Jumlah
N
18
22
40
%
45
55
100
Faktor resiko dermatitis kontak iritan (DKI)
bisa melalui paparan iritan langsung dan paparan
tidak langsung. Paparan iritan langsung berupa
bahan kimia dan pelarut sedangkan paparan
tidak langsung berupa umur, ras, jenis kelamin,
personal hygiene, alat pelindung diri, dan
pengetahuan.7,8
Sekitar 80-90% kasus dermatitis kontak
iritan (DKI) disebabkan oleh paparan iritan.
Dermatitis kontak iritan yang terjadi setelah
pemaparan pertama kali disebut DKI akut dan
bisaanya disebabkan oleh iritan yang kuat,
seperti asam kuat, basa kuat, garam, logam
berat, aldehid, bahan pelarut, senyawa aromatic,
dan polisiklik. Sedangkan, DKI yang terjadi
setelah pemaparan berulang disebut DKI kronis,
dan bisaanya disebabkan oleh iritan lemah.9
Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel
yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja
kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan
tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan lemak
lapisan tanduk dan mengubah daya ikat air kulit.
Kebanyak bahan iritan (toksin) merusak
membran lemak keratinosit tetapi sebagian
dapat menembus membran sel dan merusak
lisosom, mitokondria atau komplemen inti. 10
Ketika terkena paparan iritan, kulit
menjadi radang, bengkak, kemerahan dan dapat
berkembang menjadi vesikel atau papul dan
mengeluarkan cairan bila terkelupas. Gatal,
perih, dan rasa terbakar terjadi pada bintik
merah-merah itu. Reaksi inflamasi bermacammacam mulai dari gejala awal seperti ini hingga
Asoly Giovano I Kejadian Dermatitis Kontak Iritan Pada Petugas Sampah di TPA
pembentukan luka dan area nekrosis pada kulit.
dalam beberapa hari, penurunan dermatitis
dapat terjadi bila iritan dihentikan. Pada pasien
yang terpapar iritan secara kronik, area kulit
tersebut akan mengalami radang, dan mulai
mengkerut, membesar bahkan terjadi hiper atau
hipopigmentasi dan penebalan. 2
Gejala klinis dermatitis iritan dibedakan
berdasarkan klasifikasinya yaitu dermatitis
kontak iritan akut dan dermatitis kontak iritan
kronik
1. Dermatitis kontak iritan akut
Dermatitis kontak iritan akut bisaanya
timbul akibat paparan bahan kimia asam
atau basa kuat, atau paparan singkat serial
bahan kimia, atau kontak fisik. Sebagian
kasus dermatitis kontak iritan akut
merupakan akibat kecelakaan kerja.
Kelainan kulit yang timbul dapat berupa
eritema, edema, vesikel, dapat disertai
eksudasi, pembentukan bula dan nekrosis
jaringan pada kasus yang berat.
2. Dermatitis kontak iritan kronik
Dermatitis kontak iritan kronis disebabkan
oleh kontak dengan iritan lemah yang
berulang-ulang, dan mungkin bisa terjadi
oleh karena kerjasama berbagai macam
faktor. Bisa jadi suatu bahan secara sendiri
tidak cukup kuat menyebabkan dermatitis
iritan, tetapi bila bergabung dengan faktor
lain baru mampu. Kelainan baru nyata
setelah berhari-hari, berminggu-minggu
atau bulan, bahkan bisa bertahun-tahun
kemudian. Sehingga waktu dan rentetan
kontak merupakan faktor paling penting.
Gejala klasik berupa kulit kering, eritema,
skuama, lambat laun kulit tebal dan terjadi
likenifikasi, batas kelainan tidak tegas. Bila
kontak terus berlangsung maka dapat
menimbulkan retak kulit yang disebut fisura.
Adakalanya kelainan hanya berupa kulit kering
dan skuama tanpa eritema, sehingga diabaikan
oleh penderita. Setelah kelainan dirasakan
mengganggu, baru mendapat perhatian. 11
Pada dermatitis kontak tidak memiliki
gambaran klinis yang tetap. Untuk menegakkan
diagnosis dapat didasarkan pada:
1. Anamnesis, harus dilakukan dengan cermat.
Anamnesis
dermatologis
terutama
mengandung pertanyaan-pertanyaan: onset
dan durasi, fluktuasi, perjalanan gejalagejala, riwayat penyakit terdahulu, riwayat
keluarga, pekerjaan dan hobi, kosmetik yang
digunakan, serta terapi yang sedang dijalani.
Pertanyaan mengenai kontaktan yang
dicurigai didasarkan kelainan kulit yang
ditemukan. Misalnya, ada kelainan kulit
berupa lesi numular di sekitar umbilicus
berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan
papul dan erosi, maka perlu ditanyakan
apakah penderita memakai kancing celana
atau kepala ikat pinggang yang terbuat dari
logam (nikel).
2. Pada Pemeriksaan fisik ,didapatkan adanya
eritema, edema dan papula disusul dengan
pembentukan vesikel yang jika pecah akan
membentuk dermatitis yang membasah.
Lesi pada umumnya timbul pada tempat
kontak, tidak berbatas tegas dan dapat
meluas ke daerah sekitarnya. Karena
beberapa bagian tubuh sangat mudah
tersensitisasi dibandingkan bagian tubuh
yang lain maka predileksi regional akan
sangat membantu penegakan diagnosis. 12
3. Pemeriksaan Penunjang,untuk membantu
menegakan diagnosis penyakit kulit akibat
kerja selain pentingnya anamnesa, juga
banyak test lainnya yang digunakan untuk
membantu. Salah satu yang paling sering
digunakan adalah patch test.
Upaya pencegahan dermatitis kontak
iritan (DKI) yang terpenting adalah menghindari
pajanan bahan iritan, baik yang bersifat mekanik
(gesekan atau tekanan yang bersifat terus
menerus suatu alat), fisik (lingkungan yang
lembab, panas, dingin, asap, sinar matahari dan
ultraviolet) atau kimiawi (alkali, sabun, pelarut
organik, detergen, pemutih, dan asam kuat, basa
kuat). Bila dapat dilakukan dengan sempurna dan
tanpa komplikasi, maka tidak perlu pengobatan
topikal dan cukup dengan pelembab untuk
memperbaiki kulit yang kering . 11
Pemakaian alat pelindung diri yang
adekuat dan tingkat pengetahuan pekerja yang
baik diperlukan bagi mereka yang bekerja
dengan bahan iritan. Bila ditemukan peradangan
bisa diberikan kortikosteroid topical.13,14,15
Berdasarkan penelitian didapatkan bahwa
terjadinya dermatitis kontak iritan (DKI) pada
petugas sampah karena jarangnya pekerja
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 117
Asoly Giovano I Kejadian Dermatitis Kontak Iritan Pada Petugas Sampah di TPA
menggunakan APD selama bekerja dan
kurangnya pengawasan terhadap pekerja selama
melakukan pekerjaannya. Hal ini terjadi karena
pengetahuan pekerja yang baik tetapi mereka
tidak menerapkannya dalam pekerjaannya.6
Ringkasan
Dermatitis kontak iritan (DKI) adalah efek
sitotoksik lokal langsung dari bahan iritan yang
bersifat tidak spesifik pada sel epidermis
sehingga menimbulkan reaksi peradangan non
imunologik pada dermis dalam waktu dan
konsentrasi tertentu. Faktor resiko dermatitis
kontak iritan (DKI) melalui paparan iritan
langsung berupa bahan kimia dan pelarut
sedangkan paparan tidak langsung berupa umur,
ras, jenis kelamin, personal hygiene, alat
pelindung diri, dan pengetahuan.
Upaya pencegahan DKI yang terpenting
adalah menghindari pajanan bahan iritan, baik
yang bersifat mekanik, Pemakaian alat pelindung
diri yang adekuat dan tingkat pengetahuan
pekerja yang baik. Berdasarkan penelitian
terjadinya dermatitis kontak iritan (DKI) pada
petugas sampah karena jarangnya pekerja
menggunakan APD selama bekerja,kurangnya
pengawasan terhadap pekerja,dan pengetahuan
pekerja yang baik tetapi mereka tidak
menerapkannya dalam pekerjaannya.
Simpulan
Pada petugas sampah di TPA memiliki
faktor resiko terkena dermatitis kontak iritan
karena memiliki hubungan dengan jenis
pekerjaan yang bersifat basah dan kontak
dengan berbagai jenis sampah. Pada petugas
sampah biasanya selalu mengabaikan alat
pelindung diri sebagai alat untuk melindungi diri
dari kontak bahan iritan secara langsung
sedangkan petugas sampah tersebut sudah
memiliki pengetahuan mengenai
resiko
terjadinya dermatitis kontak iritan.
Menurut
penjelasan singkat di atas selanjutnya perlu
diperhatikan penggunaan APD selama bekerja
untuk
dapat
diawasi
saat
melakukan
pekerjaannya. Selain itu, promosi kesehatan
perlu
dilakukan
untuk
meningkatkan
pengetahuan petugas sampah dan menurunkan
angka kejadian dermatitis kontak pada petugas
sampah di TPA.
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 118
Daftar Pustaka
1. Wolff K, Lowel AG, Stephen IK, Barbara AG,
Amy SP, David JL. Fitzpatrick’s Dermatology
in general medicine. 7e th d. New York:
McGrawHill. 396-401; 2008.
2. Verayati D. Hubungan Pemakaian Alat
Pelindung Diri dan Personal Higine Terhadap
Keajadian Dermatitis Kontak Akibat Kerja
Pada Pemulung Di Tempat Pembuangan
Akhir (TPA) Bakung Bandar Lampung. Skirpsi
Mahasiswa Fakultas Kedokteran. Universitas
Lampung. Lampung; 2011.
3. Ernasari. Pengaruh Penyuluhan Dermatitis
Kontak terhadap Pengetahuan dan Sikap
Perajin Tahu di Kelurahan Mabar Kecamatan
Medan Deli. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;
2011.
4. Hogan DJ. Contact Dermatitis, Allergic.
EMedicine Dermatology; 2009.
5. Sumantri MA, Febriani, Musa ST. Dermatitis
Kontak. Yogyakarta: Pharma-C; 2010.
6. Mausulli
A.
Faktor-Faktor
Yang
Berhubungan Dengan Dermatitis Kontak
Iritan Pada Pekerja Pengelolahan Sampah Di
TPA Cipayung Kota Depok Tahun 2010.
Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Jakarta; 2010.
7. Keefner DM, Curry CE. Contact dermatitis
handbook of nonprescription drugs. Edisi
ke-12. Washington: American Pharmasis
Accociation; 2004.
8. Lestari, Fatma, Utomo HS. Faktor-faktor
yang berhubungan dengan dermatitis
kontak pada pekerja di PT Inti Pantja Press
Industri. Makara Kesehatan. 2007;11(2):6168.
9. Hayakawa, R. Contact Dermatitis. Nagoya J.
Med. Sci 63. 83-90. Nagoya; 2000.
10. Streit M, Lasse RB. Contact Dermatitis:
Clinics and Pathology. Acta Odontol Scand
59: 309-314; 2001.
11. Djuanda S, Sri AS. Dermatitis. Dalam:
Djuanda A. et al. Edisi ke-3. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2013: 126-131.
12. Trihapsoro I. Dermatitis Kontak Aleregi pada
Pasien Rawat Jalan di RSUP H Adam Malik
Asoly Giovano I Kejadian Dermatitis Kontak Iritan Pada Petugas Sampah di TPA
Medan. Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara; 2003.
13. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu
penyakit kulit dan kelamin. Dermatitis
kontak Alergi pada Pasien Rawat Jalan di
RSUP H Adam Malik Medan. Edisi ke-6.
Departemen Ilmu Kedokteran Kulit dan
Kelamin FK UI. Jakarta; 2007.
14. Kampf G, Harald L. Prevention of Irritant
Contact
Dermatitis
Among
Health
Care Workers by Using Evidence-Based
Hand Higiene Practice: A Review. Industrial
Health 45. 2007;(1): 645-652.
15. Garmini M. Analisis faktor penyebab
dermatitis kontak iritan pada pekerja pabrik
tahu primkopti usaha kelurahan bukit
sangkal Palembang tahun 2014. [Skripsi].
Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Palembang. Universitas Sriwijaya. 2014
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 119
Asoly Giovano I Kejadian Dermatitis Kontak Iritan Pada Petugas Sampah di TPA
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 120
Zygawindi Nurhidayati | Pengaruh Pola Konsumsi Makanan Bebas Gluten Bebas Casein dengan Gangguan Perilaku pada
Anak Autistik
Pengaruh Pola Konsumsi Makanan Bebas Gluten Bebas Kasein dengan
Gangguan Perilaku pada Anak Autistik
Zygawindi Nurhidayati
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
Abstrak
Autistik merupakan suatu gangguan perkembangan pervasif yang mempengaruhi kemampuan dalam interaksi sosial,
komunikasi dan perilaku. Kelainan tersebut terlihat sebelum anak berusia tiga tahun. Anak dengan gangguan autistik
memiliki gangguan perilaku yang disebut perilaku autis. Gangguan perilaku pada anak autistik tersebut dipengaruhi oleh
berbagai faktor. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi gangguan perilaku pada anak autistik adalah makanan
terutama makanan yang mengandung gluten dan kasein. Hal tersebut terjadi karena kedua jenis protein tersebut sulit
dicerna oleh tubuh. Pada membran saluran cerna anak dengan autistik ditemukan kelainan berupa adanya pori-pori yang
tidak normal dan hiperpermeabilitas mukosa usus. Gluten dan kasein pada anak autistik hanya terpecah sampai
polipeptida. Polipeptida tersebut kemudian terserap ke dalam aliran darah dan beredar dalam bentuk gluteo dan
caseomorphin. Gluteo dan caseomorphin tersebut kemudian terikat pada reseptor opiod di otak. Reseptor tersebut
mempengaruhi mood dan perilaku sehingga terikatnya kedua zat tersebut dapat mempengaruhi gangguan perilaku pada
anak autistik. Oleh karena itu, salah satu cara untuk mengurangi gangguan perilaku pada anak autistik, yaitu dengan cara
menghindari makanan yang mengandung gluten dan casein.
Kata kunci: Autistik, casein,gluten, perilaku autis
The Influence of Gluten Free Casein Free Foods Consumption with Behavior
Disorders in Autistic Children
Abstract
Autistic is a pervasive developmental disorder that influences the ability of social interaction, communication and behavior.
It can be seenat the children under three years. The abnormality seen before three years of age. Children with autistic
disorder get behavioral disorders called autism behavior. Behavior disorders in autistic children is influenced by various
factors. One of the factors that can influence behavioral disorders is food, especially food that contain gluten and casein. It
happens because of two types of protein are difficult to digest. In autistic children gastrointestinal tract membrane was
found pores abnormal and hiperpermeability intestinal mucosa. Gluten and casein can be rended only up to polypeptide in
children with autistic disorder. Then, the polypeptide absorbed in to the bloodstream and circulate in the form of gluteo
and caseomorphin. Gluteo and caseomorphin bound to the opoid receptor in the brain. The receptor can influence mood
and behavior, so both of these substances can affect behavioral disorders in autistic children. Therefore, one of the way to
reduce behavioral disorders on autistic children is by avoiding foods that contain gluten and casein.
Keyword : autistic, autism behavior, casein;, gluten
Korespondensi : Zygawindi Nurhidayati, alamat KP. Cakung No. 101 Rt 004/002 Jatikramat, Jatiasih, Bekasi, HP
082186062369, e-mail [email protected]
Pendahuluan
Anak berkebutuhan khusus merupakan
anak yang memiliki keterbatasan dalam hal
fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu
pertumbuhan dan perkembangannya, dan
anak
yang
akibat
keadaan
tertentu
memerlukan penanganan secara khusus. Salah
satu yang termasuk dalam kelompok anak
berkebutuhan khusus adalah anak dengan
gangguan autistik.1 Autistik adalah gangguan
perkembangan pervasif yang ditandai dengan
ketidakmampuan dalam berinteraksi sosial,
berkomunikasi, dan berperilaku sesuai dengan
perkembangan, ketertarikan dan aktifitas.
Kelainan tersebut terlihat sebelum anak
berusia 3 tahun.2 Kasus autisme terjadi di
berbagai negara, tanpa memandang ras, etnik,
maupun latar belakang sosial ekonomi. Pada
beberapa tahun terakhir ini, kasus autis
meningkat terus-menerus. Menurut United
Nations Educational, Scientific Organization
(UNESCO) pada tahun 2011 tercatat 35 juta
orang penyandang autis yang ada diseluruh
dunia.Di negara maju seperti Amerika Serikat
prevalensi anak autis pun meningkat setiap
tahunnya.3 Prevalensi autis dunia saat ini
mencapai 15─20 kasus per 10.000 anak atau
berkisar 0,15─0,20%. Jika angka kelahiran di
Indonesia mencapai enam juta per tahun,
maka jumlah penyandang autis di Indonesia
Majority | Volume 4 | Nomor 7| Juni 2015| 121
Zygawindi Nurhidayati | Pengaruh Pola Konsumsi Makanan Bebas Gluten Bebas Casein dengan Gangguan Perilaku pada
Anak Autistik
per tahunnya bertambah sekitar 6.900 anak
per tahun.4 Berdasarkan jenis kelaminnya,
penderita autis empat kali lebih banyak
diderita oleh laki-laki daripada perempuan.
Dengan kata lain, anak laki-laki lebih rentan
terkena autis dibandingkan anak perempuan.2
Anak autis memiliki gangguan perilaku
khas yang disebut perilaku autis. Pada sebagian
besar anak autis sering memperlihatkan
perilaku seperti hiperaktif, menyakiti diri
sendiri, suka bertepuk tangan berulang
ulang,suka mengamuk, tidak mampu dalam
menatap lawan bicara.2 Perilaku-perilaku
tersebut disebabkan oleh berbagai faktor
seperti umur, intelegensia, pola asuh orang
tua, intensitas terapi, pola konsumsi pangan
dan lain sebagainya.5
Pola konsumsi makanan merupakan
salah satu faktor yang harus diperhatikan bagi
anak dengan autistic spectrum disorder (ASD)
karena terdapat makanan-makanan tertentu
yang menjadi pantangan. Hal tersebut juga
terkait dengan salah satu terapi diet bagi
penderita ASD berupa diet gluten free casein
free (GFCF). Diet tersebut diterapkan karena
makanan yang mengandung gluten dan kasein
seperti
gandum
dapat
meningkatkan
hiperpermeabilitas usus yang mengakibatkan
gluten dan kasein tidak tercerna dengan baik
dan ada yang mengalir ke aliran darah dan otak
sehingga mempengaruhi perilaku dari anak
autis tersebut.6
Isi
Autistic Spectrum Disorder (ASD) adalah
gangguan perkembangan pervasif yang
ditandai dengan ketidakmampuan dalam
berinteraksi sosial, berkomunikasi, dan
berperilaku sesuai dengan perkembangan,
ketertarikan dan aktifitas. Kelainan tersebut
terlihat sebelum anak berusia 3 tahun.2
Menurut Atchison dalam Marpaung (2014)
istilah Pervasive developmental disorder (PDD)
menjadi Autistic Spectrum Disorder (ASD)
berubah sejak dilakukannya revisi terhadap
Diagnostic and statistical Manual Of Mental
(DSM) Disorder IV TR menjadi Diagnostic and
statistical Manual Of Mental (DSM) Disorder
V.7,8
Autistic Spectrum Disorder (ASD)
merupakan kelainan neurodevelopmental yang
belum dapat dipastikan penyebabnya. Berbagai
teori tentang autisme banyak dikemukakan
diantaranya berkaitan dengan faktor genetik,
Majority | Volume 4 | Nomor 7| Juni 2015| 122
disfungsi metabolik, gangguan perkembangan
saat postnatal dan prenatal dan faktor
lingkungan.2 Sampai saat ini masih belum
dapat dipastikan penyebab dari autisme, tetapi
terdapat sejumlah teori yang mendukung
terkait penyebab autisme, antara lain sebagai
berikut :
a. Genetik
Gangguan autistik diperkirakan sekitarr
90%, dicurigai adanya abnormalitas
genetik pada kromosom 7, 2 dan 15.9
Hasil penelitian pada keluarga dan anak
kembar menunjukkan adanya faktor
genetik
yang
berperan
dalam
perkembangan autisme.10
b. Faktor perinatal
Komplikasi perinatal yang cukup tinggi
ditemukan pada anak-anak dengan
gangguan autistik, walaupun tidak ada
komplikasi yang secara langsung
dinyatakan
sebagai
penyebab.
Komplikasi yang sering dilaporkan adalah
adanya perdarahan di trisemester
pertama dan adanya mekonium dalam
cairan amnion lebih sering ditemukan
pada anak dengan gangguan autistik.11
c. Neuroanatomi
Berbagai kondisi neuropatologi diduga
dapat mendorong timbulnnya gangguan
perilaku pada anak-anak autistik, ada
beberapa daerah di otak anak autistik
yang diduga mengalami disfungsi.10
Lobus temporalis telah diperkirakan
sebagai bagian penting dalam otak yang
mungkin abnormal pada gangguan
autistik. Hal tersebut berdasarkan
laporan adanya sindroma yang mirip
gangguan autistik pada orang dengan
kerusakan lobus temporalis. Jika daerah
temporalis rusak, perilaku sosial yang
diharapkan
menghilang,
dan
kegelisahan, perilaku motorik berulang,
dan kumpulan perilaku terbatas
ditemukan.11 Pada otak kecil juga
ditemukan kelainan, terutama pada
lobus ke VI dan VII. Jumlah sel purkinje di
otak kecil juga didapatkan sangat sedikit,
sehingga terjadi gangguan keseimbangan
serotonin dan dopamin, menyebabkan
gangguan impuls di otak. Ditemukan
pula kelainan khas didaerah sistem
limbik yang disebut hipokamus dan
amigdala. Akibatnya terjadi gangguan
fungsi kontrol terhadap agresi dan
Zygawindi Nurhidayati | Pengaruh Pola Konsumsi Makanan Bebas Gluten Bebas Casein dengan Gangguan Perilaku pada
Anak Autistik
emosi, gangguan sensoris, daya ingat,
dan perilaku aneh serta hiperaktif pada
anak-anak dengan gangguan autistik.12
d. Faktor imunologi
Sistem imun diduga berperan pada
terjadinya autisme karena ditemukannya
penurunan respon imun pada anak
dengan gangguan autistik. Beberapa
bukti
yang
menyatakan
bahwa
inkompatibilitas antara ibu dan embrio
atau
janin
dapat
menyebabkan
gangguan autistik.10,11
e. Faktor infeksi virus
Peningkatan gangguan autisme pada
anak-anak dengan congenital rubella,
herpes simplex, ensefalitis, dan infeksi
cytomegalovirus,
membuat
peniliti
menduga bahwa infeksi virus tersebut
juga turut berperan sebagai salah satu
penyebab gangguan autistik.10
Berbagai faktor-faktor yang diduga
berperan sebagai penyebab gangguan autistik
erat dikaitkan dengan gejala klinis yang terjadi
pada anak-anak dengan gangguan autistik.
Terdapat sekelompok gejala khas pada
gangguan autistik yaitu gangguan interaksi
sosial, gangguan komunikasi dan gangguan
perilaku . 10
American Psychiatric Association (APA)
dalam buku Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorder Fifth Edition Text Revision,
menentukan kriteria diagnostik dari gangguan
ASD adalah sebagai berikut : 13
A. Terhambatnya dalam komunikasi dan
interaksi sosial yang bersifat menetap
pada berbagai konteks, seperti;
a) Kekurangan dalam kemampuan
komunikasi sosial dan emosional.
Contohnya pendekatan sosial yang
tidak normal dan kegagalan untuk
melakukan komunikasi dua arah,
kegagalan untuk berinisiatif atau
merespon pada interaksi sosial.
b) Terganggunya perilaku komunikasi
non-verbal yang digunakan untuk
interaksi sosial. Integrasi komunikasi
verbal dan non-verbal yang sangat
parah, hilangnya kontak mata,
bahasa tubuh dan ekspresi wajah.
c) Kekurangan
dalam
mengembangkan, mempertahankan
hubungan. Contohnya kesulitan
menyesuaikan
perilaku
pada
berbagai konteks sosial, kesulitan
B.
C.
D.
E.
dalam bermain imajinatif atau
berteman,
tidak
adanya
ketertarikan
terhadap
teman
sebaya.
Perilaku yang terbatas, pola perilaku
yang repetitif, ketertarikan, atau
aktivitas yang termanifestasi minimal
dua dari perilaku berikut:
a) Pergerakan motor repetitif atau
stereotipe, penggunaan objek-objek
atau bahasa, misalnya: perilaku
stereotipe
yang
sederhana,
membariskan mainan-mainan atau
membalikkan objek.
b) Perhatian yang berlebihan pada
kesamaan, rutinitas yang kaku atau
pola perilaku verbal atau non-verbal
yang diritualkan, contohnya stress
ekstrim pada suatu perubahan yang
kecil, kesulitan pada saat adanya
proses perubahan, pola pikir yang
kaku.
c) Kelekatan dan pembatasan diri yang
tinggi pada suatu ketertarikan yang
abnormal. Contoh: kelekatan yang
kuat atau preokupasi pada objekobjek yang tidak biasa, pembatasan
yang berlebihan atau perseverative
interest.
d) Hiperaktivitas/hipoaktivitas
pada
input sensori atau ketertarikan yang
tidak biasa pada aspek sensori pada
lingkungan. Contoh, sikap tidak
peduli pada rasa sakit atau
temperatur udara, respon yang
berlawanan pada suara atau tekstur
tertentu,
penciuman
yang
berlebihan atau sentuhan dari
objek, kekaguman visual pada
cahaya atau gerakan.
Gejala-gejala harus muncul pada periode
perkembangan awal (tapi mungkin tidak
termanifestasi secara penuh sampai
tuntutan sosial melebihi kapasitas yang
terbatas, atau mungkin tertutupi dengan
strategi belajar dalam kehidupannya).
Gejala-gejala menyebabkan gangguan
yang signifikan pada kehidupan sosial,
pekerjaan atau situasi penting lain dalam
kehidupan.
Gangguan-gangguan ini lebih baik tidak
disebut dengan istilah ketidakmampuan
intelektual (intellectual disability) atau
gangguan perkembangan intelektual
Majority | Volume 4 | Nomor 7| Juni 2015| 123
Zygawindi Nurhidayati | Pengaruh Pola Konsumsi Makanan Bebas Gluten Bebas Casein dengan Gangguan Perilaku pada
Anak Autistik
atau keterlambatan perkembangan
secara global.
Gangguan perilaku yang dialami anak
autis digolongkan menjadi dua yaitu perilaku
yang eksesif dan perilaku defisit. Perilaku
eksesif adalah perilaku yang hiperaktif dan
tantrum seperti menjerit, menggigit, mencakar
dan memukul serta menyakiti diri sendiri (self
abuse). Perilaku defisit adalah perilaku yang
menimbulkan gangguan bicara atau kurangnya
perilaku sosial seperti tertawa atau menangis
tanpa sebab serta melamun. Perilaku-perilaku
tersebut muncul karena berbagai sebab yang
terkadang terkesan sederhana dan terjadi
secara tiba-tiba.14
Perilaku agresif pada anak autis berbeda
dengan anak normal karena terjadi secara
berlebihan dan terkadang tanpa penyebab
yang jelas serta tiba-tiba. Perilaku agresif pada
anak autis yang merupakan suatu tanda dari
gangguan,
seperti
temper
tantrum,
memberantakan benda, menggigit orang lain
Perilaku tersebut diikuti dengan menyakiti diri
sendiri seperti membenturkan kepala, menarik
rambut.5 Perilaku membahayakan tersebut
merupakan akibat kurangnya perasaan bahaya
pada anak autis. Banyak anak autis yang
memiliki peningkatan ambang nyeri atau
perubahan respon terhadap nyeri. Hal tersebut
dikarenakan pada anak autis terdapat
gangguan fungsi sensori.11
Anak autistik memiliki aktivitas yang
kaku, berulang, dan monoton. Anak autis dapat
memiliki ketertarikan pada suatu hal hingga
mengabaikan aktivitas yang lainnya. Hal
tersebut juga mereka lakukan secara berulangulang
seperti
memutar-mutar
botol,
memainkan
saklar
listrik
berjam-jam.
Ketertarikan tersebut bisa sampai secara
khusus pada bagian-bagian tertentu dari suatu
objek yang mereka sukai seperti memainkan
kancing sweater.9,11
Anak autis memiliki ketertarikan pada
objek yang berputar seperti memandang
putaran kipas angin, roda mobil, atau mesin
cuci. Anak autis juga memiliki tingkah laku yang
suka mengepak-ngepakan tangan (flapping
hand),
menggoyang-goyangkan
anggota
tubuhnya atau menyeringai. Stereotipi
tersebut tampak hampir pada semua anak
autistik. Perilaku rutinitas berulang-ulang yang
mereka sukai menyebabkan mereka menolak
adanya perubahan lingkungan dan rutinitas
baru. Walaupun demikian, ada beberapa anak
Majority | Volume 4 | Nomor 7| Juni 2015| 124
autistik yang masih dapat menerima
perubahan yang terjadi disekitarnya, tetapi
menjadi sangat cemas dan bingung dengan
perubahan sekecil apapun tersebut. contohnya
seorang anak autistik akan mengalami
kesukaran bila jalan yang biasa ia tempuh ke
sekolah diubah. Perilaku rutinitas tersebut
jarang atau sulit dihilangkan dan perilaku ini
dapat
menjadi tidak terkontrol dan
mengganggu dalam proses belajar. Perilaku ini
bukan hanya suatu kelemahan mereka tetapi
merupakan satu bagian agar tetap dapat
menjalin hubungan dengan orang lain atau
dunia luar yang tidak diketahuinya. Hal
tersebut karena anak autistik memiliki
keterbatasan dalam pemahaman komunikasi
verbal dan non verbal serta intelegensi sosial
yang terhambat.5,10
Karakteristik gangguan perilaku pada
autistik menjadi makin terlihat seiring dengan
pertumbuhan anak dan berlanjut sepanjang
hidupnya dengan sejumlah bentuk variasi
tingkat keparahan dan juga berbeda antara
anak autistik yang satu dan yang lainnya.
Seperti pada salah satu penelitian yang
membandingkan kemampuan berinteraksi
antara kelompok anak-anak, remaja dan
dewasa menunjukkan kemampuan berinteraksi
pada kelompok usia remaja lebih sedikit
terganggu dibandingkan dengan kelompok usia
dewasa. Perbedaaan tingkat karakteristik
gangguan perilaku tersebut dipengaruhi oleh
berbagai faktor seperti kematangan anak,
pemahaman anak, diet makanan, terapi yang
diberikan, penanganan yang bersifat medis,
dan usaha yang sangat luar biasa dari sekolah
dan orang tua serta keluarganya.5,9
Pola makan pada anak terutama anak
autis harus mengandung jumlah zat gizi,
terutama karbohidrat, protein dan kalsium
yang tinggi guna memenuhi kebutuhan selama
masa pertumbuhan dan perkembangan. Ada
beberapa jenis makanan yang menyebabkan
reaksi alergi pada anak autis seperti gula,susu
sapi, gandum, coklat, telur, kacang maupun
ikan. Selain itu, konsumsi gluten dan kasein
perlu dihindari karena penderita autis
umumnya tidak tahan terhadap gluten dan
kasein. Gluten adalah protein yang bersifat
khas yang terdapat pada tepung terigu, dan
dalam jumlah kecil dalam tepung serealia
lainnya, gluten terdiri dari dua komponen
protein yaitu gliadin dan glutein. Sedangkan
kasein adalah protein kompleks pada susu yang
Zygawindi Nurhidayati | Pengaruh Pola Konsumsi Makanan Bebas Gluten Bebas Casein dengan Gangguan Perilaku pada
Anak Autistik
mempunyai sifat khas yaitu dapat menggumpal
dan membentuk massa yang kompak.4
Pada orang normal gluten dan casein
akan dicerna secara sempurna oleh proses
kimiawi dan fisik menjadi asam amino tunggal
dan diserap oleh usus. Sedangkan pada anak
autis proses pencernaan gluten dan casein
berlangsung secara tidak sempurna.15
Pada
kebanyakan
pasien
autis
ditemukan adanya pori-pori yang tidak lazim
pada
membran
saluran
cerna
dan
hiperpermeabilitas mukosa usus. Gluten dan
kasein pada anak dengan gangguan autistik,
hanya
terpecah
sampai
polipeptida.
Hiperpermebilitas
pada
mukosa
usus
menyebabkan
peptide
ini
meningkat.
Polipeptida dari kedua protein tersebut tidak
tercerna keluar dari dinding usus tetapi
terserap ke dalam aliran darah dan beredar
dalam bentuk gluteo dan caseomorphin dan
kemudian terikat pada reseptor opioid diotak.
Reseptor tersebut berhubungan dengan mood
dan tingkah laku, sehingga menimbulkan gejala
kelainan perilaku pada anak autistik. Selain itu,
adanya gangguan enzim Dipeptidylpeptidase IV
pada anak autis mengakibatkan gluten
dankasein
tidak
tercerna
dengan
sempurna.6,12,15
Dari penelitian Whiteley, Rodgers,
Savery dan Shattock (1999), 22 anak autis
mendapat diet bebas gluten selama 5 bulan
dibandingkan dengan 5 anak autis yang tetap
diberi diet mengandung gluten dan 6 pasien
autis yang digunakan sebagai kelompok
kontrol. Setelah 3 bulan, pada diet bebas
gluten terjadi perbaikan verbal dan komunikasi
non verbal, pendekatan afektif, motorik, dan
kemampuan anak untuk perhatian serta tidur
jadi lebih baik. Sedangkan pada kelompok
makanan yang masih mengandung gluten
justru semuanya memburuk. Meskipun
penelitian ini masih menggunakan jumlah
pasien yang sangat kecil, tetapi cukup bisa
diterima sampai sekarang.12
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
di Bogor tahun 2004 diperoleh hasil bahwa
sebanyak 68,24% anak autis menunjukkan
adanya perbaikan perilaku pada tingkat
hiperaktivitas setelah dilakukan terapi diet.16
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
Knivsberg et al. selama 12 bulan dengan dua
puluh peserta yang dipasangkan kemudian
diacak ke dalam suatu kelompok, didapatkan
perbaikan perilaku autisme dan kemampuan
linguistik pada kelompok dengan pemberian
diet gluten free casein free tetapi tidak ada
perbaikan dalam keterampilan kognitif atau
motorik.17
Berdasarkan penelitian tahun 2012 di
Bandung, didapatkan bahwa sebanyak 85%
orang tua yang tidak patuh dalam menerapkan
diet GFCF berdampak pada terjadinya
gangguan perilaku anak mereka dibandingkan
pada anak autis yang orang tuanya patuh
menjalankan diet. Hal tersebut terjadi karena
tidak semua makanan yang mengandung
gluten dan kasein dapat dengan mudah
dihilangkan dari menu makanan anak.
Ketidakpatuhan tersebut akan menyebabkan
gangguan perilaku anak autis seperti
mengamuk. Anak autis yang menjalani diet
GFCF secara patuh memiliki emosi yang lebih
stabil dan lebih tenang.18
Penelitian terhadap anak autis yang
dilakukan di Pusat Terapi Pendidikan Ananda
Bekasi tahun 2013 menunjukan bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara
frekuensi diet bebas gluten bebas kasein
dengan skor perilaku autis. Pada penelitian
tersebut, penderita autis yang mengkonsumsi
makanan sumber gluten dan kasein dengan
frekuensi yang rendah memiliki perilaku yang
lebih terarah daripada penderita autis yang
mengkonsumsi makanan sumber gluten dan
kasein dengan frekuensi tinggi.14
Penelitian di Kota Depok tahun 2013
terhadap 35 anak ASD dengan rentang usia 3-7
tahun terkait hubungan praktik pengaturan
diet dengan perilaku emosional anak dengan
ASD, didapatkan nilai signifikan p-value 0,001.
hal tersebut menunjukkan bahwa praktik
pengaturan diet yang dilakukan memiliki
hubungan dengan perilaku emosional pada
anak ASD dengan rentang usia 3-7 tahun. Diet
yang diterapkan pada penelitian tersebut tidak
hanya diet bebas gluten bebas kasein tetapi
beberapa diet yang lain seperti diet bebas gula
murni, diet bebas jamur .19
Pada penelitian terhadap 70 anak-anak
autis berumur 1-8 tahun yang mendapat diet
gluten free casein free ditemukan bahwa 81%
diantaranya mengalami perubahan perilaku
yang signifikan dalam 3 bulan yaitu berupa
perubahan dari isolasi sosial, kontak mata,
mutisme, hiperaktif, aktivitas stereotipik dan
serangan panik. Perubahan tersebut terus
mengalami perbaikan selama 12 bulan.
Kemudian pada 19 % yang tidak mengalami
Majority | Volume 4 | Nomor 7| Juni 2015| 125
Zygawindi Nurhidayati | Pengaruh Pola Konsumsi Makanan Bebas Gluten Bebas Casein dengan Gangguan Perilaku pada
Anak Autistik
perbaikan, 1/3 diantaranya tidak mengikuti
diet dan masih memiliki banyak gluten dan
casein dalam darah.20
Penelitian yang
telah dilakukan di
Sekolah Autisme Laboratorium UM, SLB Putra
Jaya, dan Tempat Terapi A Plus Kota Malang
dengan jumlah responde 17 anak, untuk
hubungan antara pola konsumsi gluten-kasein
dengan perilaku autisme dengan kekuatan
korelasi sangat kuat sekali.19
Walaupun
beberapa
penelitian
menunjukkan hasil yang signifikan terkait
penerapan diet bebas gluten bebas kasein
dengan perbaikan perilaku pada anak dengan
ASD, namun ada beberapa penelitian lain
menunjukkan hasil yang tidak signifikan secara
statistik.
Salah satunya penelitian secara
Randomized Clinical Trial (RCT) terkait diet
GFCF yang pernah dilakukan Elder dan
rekannya (2006) terhadap 15 anak yang
didiagnosis autisme tidak menunjukkan hasil
uji statistik yang signifikan, meskipun beberapa
orang tua mereka melaporkan adanya
perbaikan perilaku . 21
Perbedaan hasil setiap penelitian
bergantung oleh berbagai faktor diantaranya
besarnya sampel, metode yang digunakan,
serta kontrol yang ketat terhadap proses
penelitian.
Ringkasan
Autistic spectrum disorder (ASD)
merupakan suatu gangguan perkembangan
pervasive yang memiliki karakteristik berupa
gangguan
interaksi
sosial,
gangguan
komunikasi dan gangguan perilaku. Kelainan
tersebut terlihat sebelum anak berusia tiga
tahun. Penyebab ASD sampai saat ini belum
dapat dipastikan tetapi terdapat sejumlah teori
yang mendukung terjadinya kelainan tersebut
seperti
genetik,
faktor
perinatal,
neuroanatomi,
faktor
imunologi
dan
sebagainya.
Gangguan perilaku pada anak autistik
dipengaruhi oleh berbagai faktor yang salah
satunya adalah makanan. Makanan yang
mengandung gluten dan casein dapat
mempengaruhi perilaku anak autistik karena
kedua zat tersebut tidak sempurna tercerna
oleh tubuh sehingga dapat mempengaruhi
sistem saraf pusat yang menimbulkan
gangguan perilaku. Oleh karena itu, salah satu
cara mengurangi gangguan perilaku pada anak
Majority | Volume 4 | Nomor 7| Juni 2015| 126
autistik dengan menghindari konsumsi
makanan yang mengandung gluten dan casein.
Beberapa
penelitian
yang
telah
dilakukan terkait pengaruh konsumsi makanan
mengandung gluten dan casein dengan
gangguan perilaku pada anak autistik
membuktikan bahwa terdapat pengaruh antara
pola konsumsi makanan bebas gluten bebas
casein dengan gangguan perilaku yang terjadi
pada anak autistik, walaupun dinataranya
terdapat hasil perbaikan perilaku yang tidak
signifikan.
Simpulan
Berdasarkan teori yang telah dijelaskan
diatas dan beberapa penelitian yang telah
dilakukan dapat diketahui bahwa terdapat
pengaruh antara pola konsumsi makanan
bebas gluten bebas casein dengan gangguan
perilaku pada anak autistik.
Daftar Pustaka
1. Kemenkes RI. Pedoman Pelayanan
Kesehatan Anak di Sekolah Luar Biasa
(SLB) Bagi Petugas Kesehatan. Pedoman
Pelayanan Kesehatan Anak di Sekolah Luar
Biasa (SLB) Bagi Petugas Kesehatan.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2010.
2. Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF,
St.Geme WJ, Behrman RE.
Nelson
Textbook of Pediatrics (19th ed.).
Philadelphia: Saunders Elsevier Inc; 2011.
3. Blumberg SJ, Bramlet MD, Kogan MD,
Schieve LA, Jones, JR . Changes in
Prevalence of Parent-reported Autism
Spectrum Disorder in School-aged U.S.
Children: 2007 to 2011– 2012. National
Health Statistics Reports. 2013; 65: 1─12.
4. Mashabi NA, & Tajudin NR. Hubungan
Antara Pengetahuan Gizi Ibu dengan Pola
Makan Anak Autis. Makara,Kesehatan.
2009; 13(2): 84–6.
5. Yuwono W. Memahami Anak Autistik
(Kajian Teoritik dan Empirik). Bandung:
Alfabeta; 2012.
6. Ramadayanti, S. Perilaku Pemilihan
Makanan dan Diet Bebas Gluten Bebas
Kasein pada Anak Autis. Journal of
Nutrition College. 2013; 2(1): 35–43.
7. American
Psychiatric
Association.
Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorder (4th ed Text Revision).
Washington, DC: American Psychiatric
Association; 2004.
Zygawindi Nurhidayati | Pengaruh Pola Konsumsi Makanan Bebas Gluten Bebas Casein dengan Gangguan Perilaku pada
Anak Autistik
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
Marpaung W. Social Skill Training untuk
Meningkatkan Keterampilan Sosial pada
Anak Autistic Spectrum Disorder [Tesis].
Medan: Universitas Sumatera Utara; 2014.
Halgin RP, Susan KW. Psikologi Abnormal:
Perspektif Klinis pada Gangguan Psikologi.
Edisi ke-6. Jakarta: Salemba Humanika;
2010.
Widyawati I. Autisme Masa Kanak. Dalam:
SD Elvira & G Hadisukanto, editor. Buku
Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Indonesia; 2014.
Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Sinopsis
Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Perilaku Klinis.
Jilid 2. Tangerang: Bina Rupa Aksara; 2010.
Sari ID. Nutrisi pada Pasien Autis. CDK.
2009; 36(2): 89–93.
American
Psychiatric
Association.
Diagnostic and Statistical Manual of
Mental
Disorder,
Fifth
Edition.
Washington,DC: American Psychiatric
Association; 2013.
Pratiwi RA. Hubungan Skor Frekuensi Diet
Bebas Gluten Bebas Casein dengan Skor
Perilaku Autis. Journal of Nutrition
College. 2014; 3(1): 34–42.
Syafitri IL. Pengasuhan (Makan, Hidup
Sehat, dan Bermain), Konsumsi dan Status
Gizi Penderita Autism Spectrum Disorder
(ASD)[Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian
16.
17.
18.
19.
20.
21.
Bogor; 2008.
Latifah RE. Studi Konsumsi dan Status Gizi
pada Anak Penyandang Gangguan
Spektrum Autisme di Kota Bogor. Bogor:
Institut Pertanian Bogor; 2004.
Millward C, Ferriter M, Calver S, ConnellJones G. Gluten- and casein-free diets for
autistic spectrum disorder. Cochrane
Database of Systematic Reviews; 2007.
Sofia AD. Kepatuhan Orang Tua dalam
Menerapkan Terapi Diet Gluten Free
Casein Free pada Anak Penyandang
Autisme di Yayasan Pelita Hafizh dan SLBN
Cileunyi Bandung [Skripsi]. Bandung:
Universitas Padjadjaran; 2012.
Mukhfi, Nugraheni SA, Kartini A.
Hubungan Praktek Pengaturan Diet
dengan
Perilaku
Emosional
pada
Penyandang Autism Spectrum Disorder
(ASD) Usia 3-7 Tahun di Kota Depok. Jurnal
Kesehatan Masyarakat. 2014;2(2): 132-9.
Adams JB. Summary of Dietary,
Nutritional, and Medical Treatments for
Autism–based on over 150 published
research studies Summary of Dietary ,
Nutritional , and Medical Treatments for
Autism. Autism Research Institute; 2013.
CormierE, Elder JH. Diet and child behavior
problems: fact or fiction? Pediatric
Nursing.
2007;
33(2):
138–43
Majority | Volume 4 | Nomor 7| Juni 2015| 127
Zygawindi Nurhidayati | Pengaruh Pola Konsumsi Makanan Bebas Gluten Bebas Casein dengan Gangguan Perilaku pada
Anak Autistik
Majority | Volume 4 | Nomor 7| Juni 2015| 128
Ratna Agustina | Peran Derajat Differensiasi Histopatologik Dan Stadium Klinis Pada Rekurensi Kanker Payudara
Peran Derajat Differensiasi Histopatologik dan Stadium Klinis Pada Rekurensi
Kanker Payudara
Ratna Agustina
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
Abstrak
Kanker payudara di dunia saat ini merupakan kasus terbanyak kedua setelah kanker serviks. Disamping itu, kanker
payudara menjadi salah satu pembunuh utama wanita di dunia maupun di Indonesia. World Health Organization (WHO)
pada tahun 2010, memperkirakan sebanyak 206.966 wanita di Amerika Serikat terdiagnosa kanker payudara dan sebanyak
40.996 wanita meninggal dunia akibat kanker payudara. Terapi kanker payudara pun terus dilakukan seperti pembedahan,
terapi hormonal, kemoterapi, maupun radiasi. Namun ternyata, banyak sekali kasus kanker payudara yang kembali kambuh
atau rekuren setelah dilakukan pengobatan walaupun sudah dikatakan sembuh. Salah satu faktor risiko yang menyebabkan
kambuhnya kanker payudara yaitu derajat differensiasi dan stadium klinis. Secara teoritis, derajat differensiasi
histopatologik dan stadium klinis berperan dalam keagresifan sel kanker. Derajat differensiasi merupakan hasil penilaian
mikroskopis sel kanker berdasarkan jumlah sel yang mengalami mitosis, kemiripan bentuk sel ganas dengan sel asal, dan
susunan homogenitas dari sel. Sedangkan untuk sistem staging atau stadium kanker dilihat berdasarkan penyebaran kanker
sesuai dengan fitur dari tumor primer (lokalisasi, ukuran, dan perluasan ke struktur sekitarnya), keterlibatan kelenjar getah
bening regional, dan adanya metastasis.
Kata kunci: kanker payudara, derajat differensiasi histopatologik, stadium kanker, rekuren.
The Role of Histopathological Differentiation and Clinical Stage to Breast
Cancer Recurrence
Abstract
Today, breast cancer in the world is the second highest cases after cervical cancer. Besides that, breast cancer in addition to
be one of the major killers of women in the world and in Indonesia. World Health Organization (WHO) in 2010, estimates
that 206.966 women in the United States are diagnosed with breast cancer and 40.996 women died of breast cancer.
Treatment of breast cancer continues to be done such as surgery, hormonal therapy, chemotherapy, or radiation. However
it turns out, a lot of cases of breast cancer relapsed or recurrent after treatment, despite being said to heal. One of the risk
factors that lead to recurrence of breast cancer are degree of histopathological differentiation and clinical stage.
Theoretically, the degree of histopathological differentiation and clinical stage role in the aggressiveness of the cancer cells.
The degree of differentiation is the result of microscopic assessment of cancer cells based on the number of cells
undergoing mitosis, a similar shape to the cell of origin of malignant cells, and composition homogeneity of the cell. As for
the staging system or stage of cancer seen by the spread of cancer according to the features of the primary tumor
(localization, size, and extension into surrounding structures), involvement of regional lymph nodes, and metastasis.
Keywords: breast cancer, the degree of histopathological differentiation, stage of cancer, recurrent.
Korespondensi: Ratna Agustina, alamat Jl. Taman Palem Permai no. A3 A4 Rajabasa Bandar Lampung, HP 082177576366, email [email protected]
Pendahuluan
Kanker payudara disebut juga dengan
Carcinoma Mammae (Ca Mammae) adalah
sebuah tumor ganas yang tumbuh dalam
jaringan payudara. Tumor ini dapat tumbuh
dalam kelenjar susu, jaringan lemak, maupun
pada jaringan ikat payudara.1 Selama beberapa
dekade terakhir, perkembangan risiko kanker
payudara telah meningkat baik di negara maju
maupun negara berkembang yaitu 1% -2% per
tahunnya.2 Jumlah kasus kanker payudara di
dunia menduduki peringkat kedua setelah
kanker serviks, disamping itu kanker payudara
menjadi salah satu pembunuh utama wanita di
dunia dengan lebih dari 1.000.000 kasus yang
terjadi di seluruh dunia setiap tahun dan
adanya kecenderungan peningkatan kasus baik
di dunia maupun di Indonesia. 3
World Health Organization (WHO) pada
tahun 2010, memperkirakan sebanyak 206.966
wanita di Amerika Serikat terdiagnosa kanker
payudara dan sebanyak 40.996 wanita
meninggal dunia akibat kanker payudara.4
Selain itu pada tahun 2013 menurut American
Cancer Society (ACS) dan National Cancer
Institute (NCI) terdapat kasus baru sekitar
232.340 kasus kanker payudara invasif dan
39.620 kematian akibat kanker payudara.5
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 129
Ratna Agustina | Peran Derajat Differensiasi Histopatologik Dan Stadium Klinis Pada Rekurensi Kanker Payudara
diperkirakan 1 diantara 8 wanita di Amerika
Serikat (± 12,8%) mengidap kanker payudara
selama hidupnya. Tiap tahun 180.000 kasus
baru invasive breast cancer terdiagnosis
dengan lebih dari 40.000 angka kematian
terjadi di AS sedangkan lebih dari 1 juta kasus
baru dan 370.000 kematian tiap tahunnya
terjadi di seluruh dunia. Ini menunjukkan
bahwa metode pengobatan yang efektif sangat
dibutuhkan untuk memberantas penyakit ini.6
Terapi kanker payudara dapat dilakukan
pembedahan, terapi hormonal, kemoterapi,
maupun radiasi.2 Namun ternyata, banyak
sekali kasus kanker payudara yang kembali
kambuh atau residif setelah dilakukan
pengobatan walaupun sudah dikatakan
sembuh. Salah satu faktor risiko rekurensi
kanker payudara yaitu derajat differensiasi dan
stadium klinis. Derajat differensiasi merupakan
hasil penilaian mikroskopis sel kanker
berdasarkan jumlah sel yang mengalami
mitosis, kemiripan bentuk sel ganas dengan sel
asal, dan susunan homogenitas dari sel.7
Kemiripan bentuk sel ganas dengan sel asal dan
jumlah mitosis menjadi poin utama dari sistem
derajat differensiasi ini, di mana sel dianggap
semakin ganas jika perubahan bentuk yang
terjadi semakin tidak terkendali dan tidak mirip
dengan
sel
asalnya
sehingga
besar
kemungkinan terjadinya rekurensi kanker
payudara.8 Sedangkan untuk sistem staging
atau stadium kanker dilihat berdasarkan sistem
TNM (tumor, nodul, metastasis) yaitu
penyebaran kanker sesuai dengan fitur dari
tumor primer (lokalisasi, ukuran, dan perluasan
ke struktur sekitarnya), keterlibatan kelenjar
getah bening regional, dan adanya metastasis.
Semakin tinggi stadium maka semakin besar
pula kemungkinan terjadinya rekurensi kanker
payudara.9
Isi
Kanker payudara merupakan tumor
ganas yang tumbuh di dalam jaringan
payudara. Kanker dapat tumbuh di dalam
kelenjar susu, saluran susu, jaringan lemak,
maupun jaringan ikat pada payudara.1 Kanker
payudara paling banyak dari bagian dalam
lapisan duktus ataupun lobulus sebagai akibat
mutasi dari gen yang bertanggung jawab dalam
mengatur pertumbuhan sel dan menjaga
mereka tetap sehat.10 Perubahan fibrokistik
digunakan untuk berbagai perubahan di
payudara perempuan yang berkisar dari
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 130
kelainan tidak berbahaya hingga pola yang
berkaitan dengan peningkatan risiko karsinoma
payudara. Perubahan fibrokistik dapat
dibedakan dari karsinoma dengan pemeriksaan
bahan aspirasi jarum-halus atau secara lebih
pasti dengan biopsi dan evaluasi histologik.11
Kanker payudara berulang adalah kanker
payudara yang datang kembali setelah
pengobatan awal. Pengobatan tersebut antara
lain:
a. Pembedahan
Bedah kuratif yang mungkin dilakukan ialah
mastektomi radikal dan bedah konservatif
merupakan eksisi tumor luas. Terapi kuratif
dilakukan jika tumor terbatas pada
payudara dan tidak ada infiltrasi ke dinding
dada dan kulit mamma atau infiltrasi dari
kelenjar limfe ke struktur sekitarnya.1
b. Kemoterapi
Adalah pemberian obat untuk membunuh
sel-sel kanker, diberikan dalam bentuk infus
atau dalam bentuk oral (tablet). Kemoterapi
biasanya diberikan dalam bentuk kombinasi
agar lebih banyak sel kanker yang dapat
dibunuh melalui berbagai jalur yang
berbeda. Kombinasi kemoterapi bias
berbeda-beda dari satu pasien ke pasien
lainnya, tergantung pada kanker payudara
yang diderita.
c. Radiasi
Radiasi adalah pengobatan dengan sinar-X
yang berintensitas tinggi dan berfungsi
untuk membunuh sel kanker. Radiasi
biasanya dilakukan setelah pembedahan,
untuk membersihkan sisasisa sel kanker
yang masih ada. Radiasi bisa mengurangi
risiko kekambuhan hingga 70%.
d. Terapi Hormonal
Terapi hormon bekerja melawan kanker
payudara
yang
pertumbuhannya
dipengaruhi oleh reseptor hormon yang
positif atau tumor dengan status ER
(estrogen) atau PR (progesteron) positif
pada pemeriksaan jaringan patologi
anatomi. Terapi hormonal bekerja melalui
dua cara yaitu menurunkan jumlah hormon
estrogen dalam tubuh dan menghambat
kerja estrogen dalam tubuh.2
Meskipun pengobatan awal bertujuan
untuk menghilangkan semua sel kanker,
namun ada beberapa yang kembali berulang
atau kambuh. Salah satu faktor risiko yang
menyebabkan kambuhnya kanker payudara
yaitu derajat differensiasi dan stadium klinis.12
Ratna Agustina | Peran Derajat Differensiasi Histopatologik Dan Stadium Klinis Pada Rekurensi Kanker Payudara
Kanker dapat datang kembali di tempat yang
sama seperti kanker yang asli (kekambuhan
lokal), atau mungkin menyebar ke area lain.
dari tubuh (kekambuhan jauh). Kanker
payudara berulang mungkin lebih sulit
daripada saat diagnosis awal. Pengobatan
dapat menghilangkan kanker payudara
berulang lokal, regional atau jauh (metastasis)
dan untuk jangka waktu yang lama. Tanda dan
gejala kanker payudara berulang bervariasi
tergantung di mana kanker datang kembali.13
Kanker payudara yang paling mungkin
untuk kambuh dalam dua tahun pertama jika
tidak ada perawatan. The Early Breast Cancer
Trialists Collaboration Group melakukan meta
analisis dari 55 uji klinis pada pasien rekuren
kanker payudara ysng melibatkan 37.000
pasien.
Hasil
ini
jelas
menunjukkan
pengelompokan risiko kekambuhan pada
beberapa tahun pertama setelah diagnosis
awal kanker payudara dini untuk pasien-pasien
yang tidak menerima terapi adjuvant. Insiden
kumulatif kematian terkait rekurensi kanker
payudara terus meningkat sepanjang 10 tahun
pertama setelah diagnosis, dengan sebagian
besar dari rekurensi terjadi lebih dari lima
tahun setelah diagnosis. Tingkat kekambuhan
pada pasien yang tidak menerima terapi
hormonal adjuvant hampir 50% pada pasien
nodul positif dan 32,4% pada pasien nodul
negatif. Tidak seperti kanker yang lainnya,
kanker payudara dianggap tidak mengalami
kekambuhan jika tidak ditemukannya gejala
pada 5 tahun pasca terapi.14
Dalam dekade terakhir, grading secara
histologis telah diterima secara luas sebagai
indikator kuat dari prognosis kanker payudara.
Grading diartikan sebagai penilaian terhadap
morfologi sel yang dicurigai sebagai bagian dari
jaringan tumor. Penilaian kanker dilakukan
oleh ahli patologi anatomi dengan didasarkan
pada:
 Jumlah sel yang mengalami mitosis
 Kemiripan bentuk sel ganas dengan sel
asal.
 Susunan homogenitas dari sel.
Poin utama dari penilaian ini adalah jumlah
mitosis dan kemiripannya dengan sel asal. Sel
dianggap semakin ganas jika perubahan bentuk
yang terjadi semakin tidak terkendali dan tidak
mirip dengan sel asalnya sehingga besar
kemungkinan terjadinya rekurensi kanker
payudara.8
Nomenklatur untuk kanker payudara,
menggunakan kriteria WHO yaitu sistem
grading Nottingham (juga disebut modifikasi
Elston-Ellis dari sistem grading Scarff-BloomRichardson). Skala penilaian ini terlihat pada 3
gambaran sel yang berbeda dan diklasifikasikan
masing-masing skor dari 1-3. Klasifikasi
tersebut yaitu :
 Grade I dengan skor 3-5 untuk grade
rendah dengan kanker berdiferensiasi
baik (well differentiated) dimana sel
kanker tidak tumbuh dengan cepat dan
tampak tidak menyebar.
 Grade II dengan skor 6-7 untuk kanker
dengan
differensiasi
moderat
(moderately/intermediate
differentiated) yang memiliki gambaran
antara grade 1 dan 3.
 Grade III dengan skor 8-9 untuk kanker
dengan differensiasi jelek (poorly
differentiated or undifferentiated)
dimana sel kanker tumbuh dengan
cepat dan lebih mungkin untuk
menyebar.
Manfaat lain dari penentuan derajat
differensiasi adalah untuk menentukan jenis
terapi yang akan diberikan. Pada derajat
differensiasi jelek, di mana pertumbuhan dan
penyebaran sel dianggap lebih cepat atau
agresif, dibutuhkan terapi tambahan selain
definitif,
yakni
dengan
pemberian
15
kemoradiasi.
Stadium kanker dinilai berdasarkan
klasifikasi sistem TNM yang direkomendasikan
oleh UICC (International Union Against Cancer
dari World Helath Organization) / AJCC
(American Joint Committee On Cancer yang
disponsori oleh American Cancer Society dan
American College of Surgeons). Klasifikasi TNM
Kanker Payudara Berdasarkan AJCC Cancer
Staging Manual, 6th Edition tersaji pada tabel
1.
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 131
Ratna Agustina | Peran Derajat Differensiasi Histopatologik Dan Stadium Klinis Pada Rekurensi Kanker Payudara
Tabel 1. Klasifikasi TNM Kanker Payudara Berdasarkan AJCC Cancer Staging Manual, 6th Editon
Klasifikasi
Definisi
Tumor Primer (T)
Tx
T0
Tis
Tis (DCIS)
Tis (LCIS)
Tis (Paget)
T1
T1 mic
T1a
T1b
T1c
T2
T3
T4
T4a
T4b
T4c
T4d
Kelenjar Limfe Regional
Nx
N0
N1
N2
N3
Metastasis (M)
Mx
M0
M1
Tumor primer tidak didapatkan
Tidak ada bukti adanya tumor primer
Karsinoma In Situ
Duktal Karsinoma In Situ
Lobular Karsinoma In Situ
Paget’s disease tanpa adanya tumor
Ukuran tumor < 2 cm
Mikroinvasif > 0,1 cm
Tumor > 0,1 - < 0,5 cm
Tumor > 0,5 - < 1cm
Tumor > 1 - < 2 cm
Tumor > 2 - < 5 cm
Tumor > 5 cm
Tumor dengan segala ukuran disertai dengan adanya perlekatan pada
dinding thoraks atau kulit
Melekat pada dinding dada, tidak termasuk M. Pectoralis Major
Edema (termasuk peau d’orange) atau ulserasi pada kulit
Gabungan antara T4a dan T4b
Inflamasi karsinoma
Kelenjar limfe regional tidak didapatkan
Tidak ada metastasis pada kelenjar limfe
Metastasis pada kelenjar aksila ipsilateral, bersifat mobile
Metastasis pada kelenjar limfe aksila ipsilateral, tidak dapat digerakkan
(fixed)
Metastasis pada kelenjar limfe infraklavikular, atau mengenai kelenjar
mammae interna, atau kelenjar limfe supraklavikular
Metastasis jauh tidak didapatkan
Tidak ada bukti adanya metastasis
Didapatkan metastasis yang telah mencapai organ
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 132
Ratna Agustina | Peran Derajat Differensiasi Histopatologik Dan Stadium Klinis Pada Rekurensi Kanker Payudara
Adapun Stadium Klinis Berdasarkan Klasifikasi TNM Kanker Payudara Berdasarkan AJCC Cancer
Staging Manual, 6th Edition tersaji pada tabel 2 berikut.
Tabel 2. Stadium Klinis
Berdasarkan Klasifikasi TNM Kanker Payudara Berdasarkan AJCC Cancer Staging Manual, 6th Edition.16
Stadium
Ukuran Tumor
Metastasis Kelenjar Limfe
Metastasis Jauh
0
I
IIA
IIB
IIIA
IIIB
IIIC
IV
TNM
Tis
T1
T0
T1
T2
T2
T3
T0
T1
T2
T3
T4
T apapun
T apapun
Tumor
N0
N0
N1
N1
N0
N1
N0
N2
N2
N2
N1,N2
N apapun
N3
N apapun
Nodus
Ringkasan
Derajat differensiasi merupakan hasil
penilaian mikroskopis sel kanker. Derajat
differensiasi sel dianggap semakin ganas jika
perubahan bentuk yang terjadi semakin tidak
terkendali dan tidak mirip dengan sel asalnya
sehingga besar kemungkinan terjadinya
rekurensi kanker payudara. Sedangkan pada
stadium klinis berdasarkan sistem TNM (tumor,
nodul, metastasis), semakin tinggi stadium
maka semakin besar pula kemungkinan
terjadinya rekurensi kanker payudara.
Simpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
derajat differensiasi dan stadium klinis
memiliki peranan pada rekurensi kanker
payudara.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat R, De Jong W. Buku Ajar
Ilmu Bedah Edisi ke 2. Jakarta: EGC; 2005.
2. WHO. Guidelines for management of
breast
cancer.Egypt:
WHO
EMRO
publications; 2006:11-26.
3. Bansal C, Pujani M, Sharma KL , Srivastava
AN, Singh US. Grading systems in the
cytological diagnosis of breast cancer : A
review.2014; 10(4): 839.
4. U.S. Cancer Statistics Working Group.
United States Cancer Statistics: 1999–2011
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M1
Metastasis
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Incidence and Mortality Web-based
Report. Atlanta (GA): Department of
Health and Human Services, Centers for
Disease Control and Prevention, and
National Cancer Institute; 2014.
American Cancer Society. Cancer Facts &
Figures 2013. Atlanta: American Cancer
Society; 2013.
Desantis C, Ma J, Bryan L, Jemal A. Breast
Cancer Statistics 2013. CA Cancer Journal
for Clinicians,2014; 64: 52–62.
Fang Fan MDP. Cancer Grading Manual.
2007; 75–81.
Stankov A, Rocha JEB, Silvio ANS, Ramirez
MT, Ninova KS, Garcia AM. Prognostic
Factors and Recurrence in Breast Cancer:
Experience at the National Cancer
Institute of Mexico. International Scholarly
Research Network Oncology Journal.
2012; 1-5
Ozsaran Z, Alanyali SD. Staging of Breast
Cancer . New York: Springer; 2013: 13–20.
Aggarwal BB, Sung B. Inflammation and
Cancer. Subash Chandra Gupta; 2014: 5374.
Kumar V, Abbas A.K, Fausto N, Mitchell R.
Robbins Basic Pathology 8th Edition.
Philadelphia: Elsevier; 2007.
Jeong Y, Kim SS, Gong G, Lee HJ, Ahn SH,
Son BH, et al. Treatment results of breast
cancer
patients with locoregional
recurrence after mastectomy, Radiation
Oncology Journal. 2013; 31(3): 138–146.
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 133
Ratna Agustina | Peran Derajat Differensiasi Histopatologik Dan Stadium Klinis Pada Rekurensi Kanker Payudara
13. American Cancer Society. Cancer Facts &
Figures 2009. Atlanta: American Cancer
Society; 2009.
14. Hoy J, Lieberman G. Recurrence
Surveillance in Breast Cancer Survivors.
Hardvard : Hardvard Medical School;
2014.
Majority | Volume 4 | Nomor 7 | Juni 2015 | 134
15. Canadian Cancer Society. Grades of
Breast Cancer. Diakses pada tanggal 16
Juni
2015
dari
https://www.cancer.ca/en/cancerinformation/cancer-type/breast/grading.
16. Rasjidi I. 100 Question & Answer Kanker
Pada Wanita. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo; 2010
Indriasari Nurul Putri | Pengaruh Paparan Gelombang Eletromagnetik Terhadap Kadar Kolesterol Total dan Trigliserida
Serum
Pengaruh Paparan Gelombang Elektromagnetik Terhadap Kadar Kolesterol
Total dan Trigliserida Serum
Indriasari Nurul Putri
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
Abstrak
Saat ini dengan kemajuan perkembangan telekomunikasi dan penyediaan jaringan listrik yang sangat pesat berdampak
pada gelombang elektromagnetik yang menjadi masalah global. Kekhawatiran tentang dampak kesehatan yang mungkin
terjadi akibat penggunaan ponsel tubuh sejalan dengan perkembangan yang terjadi. Teknologi ponsel menggunakan radiasi
radio elektromagnetik secara drastis meningkatkan paparan gelombang elektromagnetik dalam kehidupan sehari-hari.Salah
satu dampak yang ditimbulkan akibat paparan gelombang elektromagnetik adalah perubahan kadar profil lipid serum
khususnya pada kadar kolesterol total dan trigliserid.Perubahan ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu stres baik stres
fisik maupun psikis akibat paparan gelombang elektromagnetik atau terjadinya perubahan keseimbangan kadar radikal
bebas yang akan menimbulkan stres oksidatif dan mengakibatkan kerusakan hepar.
Kata kunci:paparan gelombang elektromagnetik, profil lipid, trigliserid, total kolesterol
Effect of Electromagnetic Field Exposure on Total Cholesterol and Triglyceride
Levels of Plasma
Abstract
Nowdays with ectension and progress in telecommunication, application of cellular phones and power transmitted lines,
exposing to Electomagnetic Fields (EMF) is a global hazardous problem. Concerns about the possible health effects of
mobile phone usage are growing as the number of users has increased tremendously over the past several years. Mobile
phone technology uses radiofrequency electromagnetc radiation and has drastically increased the electromagnetic field
exposure encountered in daily life. One of the effects caused by exposing to electomagnetic fields is the change in the levels
of lipid profiles serum escpecially on total cholesterol and triglyceride levels. This change is caused by several factors, like
stress both physical and pychological stress due to electomagnetic field exposure or changes in the balance of free radicals
levels that would cause oxidative stress and damage hepar.
Keywords: electromagnetic fields exposure, lipid profiles, trigyceride, total cholesterol
Korespondensi: Indriasari Nurul Putri, alamat Jl. M.P. Mangkunegara Komplek Villa Kenten Blok C-17 Palembang, HP
085758579945 , e-mail [email protected]
Pendahuluan
Saat ini, kemajuan perkembangan
telekomunikasi dan penyediaan jaringan listrik
yang sangat pesat berdampak pada gelombang
elektromagnetik yang menjadi masalah global.1
Kekhawatiran tentang dampak kesehatan yang
mungkin terjadi akibat penggunaan ponsel
tubuh sejalan dengan perkembangan yang
terjadi. Teknologi ponsel menggunakan radiasi
radio
elektromagnetik
secara
drastis
meningkatkan
paparan
gelombang
elektromagnetik dalam kehidupan sehari-hari.2
Salah satu dampak yang ditimbulkan
akibat paparan gelombang elektromagnetik
adalah perubahan kadar profil lipid
serum.3Perubahan ini disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu stres baik stres fisik
maupun psikis akibat paparan gelombang
elektromagnetik4 atau terjadinya perubahan
keseimbangan kadar radikal bebas yang akan
menimbulkan
stres
oksidatif
dan
mengakibatkan kerusakan hepar.5
Badan
kesehatan
dunia
(WHO)
menyatakan 20% kejadian stroke dan lebih dari
serangan jantung disebabkan karena kadar
kolesterol yang tinggi.6 Oleh sebab itu,
tingginya kadar profil lipid perlu mendapat
perhatian serius. Paparan radiasi gelombang
elektromagnetik dalam jangka panjang
berhubungan dengan peningkatan resiko
kardiovaskuler. Hal ini terjadi akibat
peningkatan yang signifikan dari kolesterol
total dan kadar LDL-C C (Low Density
Lipoprotein-Cholesterol).7
Mengingat begitu besarnya penggunaan
gelombang elektromagnetik dalam kehidupan
sehari-hari terutama yang berasal dari
penggunaan ponsel yang sangat erat
hubungannya dengan aktivitas, penting untuk
membahas, memahami dan memantau
Majority |Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015|135
Indriasari Nurul Putri | Pengaruh Paparan Gelombang Eletromagnetik Terhadap Kadar Kolesterol Total dan Trigliserida
Serum
dampak paparan gelombang elektromagnetik
terhadap kesehatan masyarakat khususnya
pada perubahan kadar profil lipid serum.
Sehingga diharapkan setelah penulisan riview
ini bisa meningkatkan kewaspadaan dan dapat
meminimalisir
paparan
gelombang
elektromagnetik terhadap diri sendiri maupun
orang sekitar.
Isi
Lipid adalah suatu zat yang kaya akan
energi dan merupakan penyumbang energi
terbesar dibandingkan dengan zat gizi makro
lainnya, yang ditandai dengan sifat tak larut
dalam air dan bisa di ekstrak dengan larutan
nonpolar.8 Lemak yang beredar dalam tubuh
diperoleh dari dua sumber yaitu dari makanan
dan hasil produksi organ hati yang biasa
disimpan di dalam sel-sel lemak sebagai
cadangan energi.9
Fungsi lemak dalam tubuh adalah : (1)
bahan bakar metabolisme seluler, (2)
merupakan bagian pokok dari membran sel, (3)
sebagai mediator atau second messenger
aktivitas biologis antar sel, (4) sebagai isolasi
dalam menjaga keseimbangan temperatur
tubuh dan melindungi organ-organ tubuh, (5)
pelarut vitamin A, D, E, dan K agar dapat
diseraptubuh.10
Secara ilmu gizi, lemak diklasifikasikan
sebagai, (1) lipid sederhana, yang terdiri atas
lemak netral (monogliserida, digliserida,
trigliserida) dan ester asam lemak dengan
alkohol berberat molekul tinggi, (2) lipid
majemuk, yang terdiri dari fosfolipid dan
lipoprotein, dan (3) lipid turunan, terdiri dari
asam lemak dan sterol, yaitu kolesterol,
ergosterol.Secara klinis, lemak yang penting
dan merupakan lipid utama dalam darah terdiri
atas kolesterol, trigliserida, fosfolipid, dan
asam lemak bebas.8,9
Kolesterol merupakan lipid amfipatik
yang menjadi komponen struktural esensial
yang membentuk membran sel dan lapisan luar
lipoprotein
plasma.
Kolesterol
sering
ditemukan dalam bentuk kombinasi dengan
asam lemak seperti ester kolesterol.11 Sekitar
70% kolesterol dalam lipoprotein plasma
berbentuk ester kolesterol.4 Kolesterol
merupakan komponen struktural esensial yang
membentuk membran sel dan lapisan eksterna
lipoprotein plasma.12,13 Kolesterol juga
merupakan senyawa induk bagi semua steroid
lainnya yang disintesis dalam tubuh seperti
Majority |Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015|136
hormon korteks adrenal serta hormon seks,
vitamin D dan asam empedu.10 Dalam proses
pengangkutan balik kolesterol,
kolesterol
bebas yang sudah dikeluarkan dari jaringan
oleh HDL akan diangkut menuju hati untuk
dikonversi menjadi asam empedu.10,12 Asam
empedu berfungsi meningkatkan pencernaan
dan absorbsi lemak. Selain itu, kolesterol juga
membuat kulit lebih resisten terhadap absorbsi
zat yang larut-air dan berbagai zat kimia, serta
membantu mencegah evaporasi air dari kulit.
Kolesterol,
bersama dengan fosfolipid
berfungsi di sel otak untuk proses mengingat.10
Kolesterol dalam tubuh berasal dari dua
sumber utama, yaitu dari dalam tubuh sendiri
dan dari makanan. Semua jaringan yang
mengandung sel berinti sanggup menyintesis
kolesterol, khususnya hati, korteks adrenal,
kulit, usus, testis dan aorta. Kolesterol eksogen
adalah kolesterol yang diabsorbsi dari saluran
pencernaan berupa melalui makanan, dengan
produk-produk hewani misalnya kuning telur,
daging merah dan mentega sebagai sumber
utama lipid ini.4,14 Sebagian besar kolesterol
tubuh merupakan kolesterol endogen yakni
sebersar 1 gr perhari, sedangkan sekitar 0,3 gr
perhari didapat dari kolesterol eksogen.15
Trigliserida adalah ester alkohol gliserol
dan asam lemak.10 Trigliserida terdiri dari tiga
molekul asam lemak teresterifikasi menjadi
gliserol. Zat ini adalah lemak netral yang
disintesis dari karbohidrat untuk disimpan
dalam sel lemak.16
Trigliserida dipakai dalam tubuh
terutama untuk menyediakan energi bagi
berbagai proses metabolik; suatu fungsi yang
hampir sama dengan karbohidrat.4 Lemak
disimpan di dalam tubuh dalam bentuk
trigliserida. Apabila sel membutuhkan energi,
enzim lipase dalam sel lemak akan memecah
trigliserida menjadi gliserol dan asam lemak
serta melepaskannya ke dalam pembuluh
darah. Oleh sel-sel yang membutuhkan
komponen-komponen tersebut kemudian
dibakar
dan
menghasilkan
energi,
karbondioksida (CO2), dan air (H2O).17
Trigliserida ada dalam darah sebagai
makromolekul yang membentuk kompleks
dengan protein tertentu (apoprotein) sehingga
membentuk lipoprotein. Lipoprotein itulah
bentuk transportasi yang dipakai untuk
mengenali dan mengukurnya.18 Trigliserida
merupakan gliserol yang berikatan dengan tiga
Indriasari Nurul Putri | Pengaruh Paparan Gelombang Eletromagnetik Terhadap Kadar Kolesterol Total dan Trigliserida
Serum
asam lemak. Ketiga asam lemak yang berikatan
dengan gliserol dapat sama maupun berbeda.
Gambar 1. Struktur Kimia Trigliserida10
Lemak yang paling banyak terdapat
dalam trigliserida tubuh manusia adalah (1)
asam stearat, yang mempunyai rantai karbon 18 dan sangat jenuh dengan atom hidrogen; (2)
asam oleat, mempunyai rantai karbon -18
tetapi mempunyai satu ikatan ganda di bagian
tengah rantai; dan (3) asam palmitat,
mempunyai 16 atom karbon dan sangat jenuh.4
Metabolisme trigliserida dalam tubuh
terjadi pada hepar. Jalur metabolisme
trigliserida dibagi menjadi 2, yaitu jalur
eksogen dan jalur endogen.Pada jalur eksogen,
trigliserida yang berasal dari makanan dalam
usus dikemas sebagai kilomikron. Kilomikron
ini akan diangkut dalam darah melalui ductus
totasikus. Dalam jaringan lemak, trigliserida
dan kilomikron mengalami hidrolisis oleh
liporotein lipase yang terdapat pada
permukaan sel endotel. Akibat hidrolisis ini
maka akan terbentuk asam lemak dan
kilomikron remnan. Asam lemak bebas akan
menembus endotel dan masuk ke dalam
jaringan lemak atau sel otot untuk diubah
menjadi
trigliserida
kembali
atau
dioksidasi.19,20Sedangkan pada jalur endogen
trigliserida yang disintesis oleh hati diangkut
secara endogen dalam bentuk Very Low
Density Lipoprotein (VLDL) kaya trigliserida dan
mengalami hidrolisis dalam sirkulasi oleh
lipoprotein lipase yag juga menghidrolisis
kilomikron menjadi partikel lipoprotein yang
lebih kecil yaitu Intermediate Density
Lipoprotein (IDL) dan Low Density Lipoprotein
(LDL). Low Density Lipoprotein merupakan
lipoprotein yang mengandung kolesterol paling
banyak (60-70%).19
Lipoprotein terbagi menjadi 5 fraksi
20
yaitu :
1. Kilomikron,
merupakan
lipoprotein
dengan berat molekul yang terbesar.
Kandungannya sebagian besar trigliserida
untuk dibawa ke jaringan lemak dan otot
rangka. Kilomikron juga mengandung
kolesterol untuk dibawa ke hati.
2. Very Low Density Lipoprotein (VLDL)
dibentuk dari asam bebas di hati. VLDL
mengandung 60% trigliserida endogen dan
10-15% kolesterol.
3. Intermediet Density Lipoprotein (IDL) juga
mengandung trigliserida dan kolesterol.
IDL merupakan zat antara yang terjadi
sewaktu VLDL dikatabolisme menjadi LDL.
4. Low Density Lipoprotein (LDL) merupakan
lipoprotein
pengangkut
kolesterol
terbesar untuk disebarkan ke seluruh
endotel jaringan perifer dan pembuluh
nadi. LDL merupakan metabolit VLDL yang
disebut kolesterol jahat karena efeknya
yang aterogenik, yaitu mudah melekat
pada dinding sebelah dalam pembuluh
darah dan menyebabkan penumpukan
lemak
yang
dapat
menyempitkan
pembuluh darah. Hal ini disebabkan LDL
merupakan lemak jenuh yang tidak mudah
larut.
5. High Density Lipoprotein (HDL) merupakan
lipoprotein yang mengandung Apo A dan
mempunyai efek antiaterogenik kuat
sehingga disebut juga kolesterol baik.
Fungsi utama HDL yaitu mengangkut
kolesterol bebas yang terdapat dalam
endotel jaringan perifer, termasuk
pembuluh darah ke reseptor HDL di hati
untuk dikeluarkan lewat empedu. Dengan
demikian, penimbunan kolesterol di
perifer berkurang. Jumlah kadar HDL
dalam tubuh diharapkan banyak, tetapi
pada orang gemuk, perokok berat,
penderita diabetes melitus yang tidak
terkontrol, pada pemakaian alat KB dan
pada orang yang kurang gerak, kadar
kolesterol ini jumlahnya sedikit.
Ada beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi kadar profil lipid khususnya
kadar kolesterol dan trigliserida. Faktor-faktor
tersebut antara lain:
1. Faktor diet. Diet tinggi lemak jenuh dan
kolesterol, yang terutama terdapat pada
lemak hewani dan minyak tumbuhan
tropis seperti minyak kelapa dan minyak
sawit, asam-asam lemak ini merangsang
sintesis kolesterol dan menghambat
perubahannya menjadi garam-garam
empedu. Sedangkan kadar trigliserida
dapat dipengaruhi oleh diet tinggi
karbohidrat.21
Majority |Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015|137
Indriasari Nurul Putri | Pengaruh Paparan Gelombang Eletromagnetik Terhadap Kadar Kolesterol Total dan Trigliserida
Serum
2. Faktor
genetik.
Misalnya
pada
hiperkolesterolemia
familial,
hipertrigliseridemia
familial,
dan
disbetalipoproteinemia familial.22
3. Usia, semakin tua seseorang maka terjadi
penurunan berbagai fungsi organ tubuh
sehingga keseimbangan kadar profil lipid
sulit tercapai akibatnya kadar kolesterol
cenderung lebih mudah meningkat.
4. Stres mengaktifkan sistem saraf simpatis
yang menyebabkan pelepasan epinefrin
dan norepinefrin yang akan meningkatkan
konsentrasi asam lemak bebas dalam
darah.
5. Penyakit hati, menimbulkan kelainan pada
kolesterol darah karena hati merupakan
tempat degradasi insulin, sehingga bila
hati rusak, jumlah insulin akan meningkat
dan mengakibatkan penurunan kolesterol
darah, karena insulin akan meningkatkan
pemakaian glukosa oleh sebagian besar
jaringan tubuh, sehingga mengurangi
pemakaian lemak. Selain itu hati juga
merupakan tempat sintesis kolesterol
sehingga penyakit hati dapat menurunkan
kadar kolesterol.
6. Hormon-hormon dalam darah.Hormon
tiroid tiroid menginduksi peningkatan
jumlah reseptor LDL pada sel hati, yang
akan meningkatkan kecepatan sekresi
kolesterol, sehingga konsentrasi kolesterol
plasma akan menurun. Peran hormon
tiroid terhadap trigliderida yaitu akan
menginduksi peningkatan asam lemak
bebas dalam darah, namun menurunkan
kadar trigliserida darah. Hormon insulin
dapat menurunkan kadar trigliserida
darah, karena insulin akan mencegah
hidrolisis trigliserida (guyton), sedangkan
pengaruh insulin pada kolesterol sudah
dibahas pada poin 5. Hormon esterogen
menurunkan
kolesterol
LDL
dan
meningkatkan kolesterol HDL)23.
7. Kolesterol plasma ditingkatkan oleh
obstruksi empedu dan diabetes yang tidak
diobati.
8. Serat dari makanan, misalnya kulit
gandum (oat bran) dan sekam biji-psilium
diketahui menurunkan kadar kolesterol
darah, terutama kolesterol LDL, yang
mungkin secara fisik memengaruhi
penyerapannya di usus.
Pengaruh
paparan
gelombang
elektromagnetik terhadap penurunan kadar
Majority |Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015|138
profil lipid dapat terjadi melalui stres fisik dan
psikis yang ditimbulkan oleh paparan radiasi
gelombang elektromagnetik tersebut. Tubuh
akan merespon dengan mengeluarkan hormon
terutama dari hipotalamus. Respon tersebut
terbagi dalam empat fase. Fase pertama adalah
fase alarm yang terjadi enam sampai empat
puluh delapan jam setelah terjadi perlukaan
atau stres. Akan terjadi peningkatan kerja dari
kelenjar adrenal akibat disekresikannya ACTH
dari hipofisisyang menyebabkan bertambahnya
sekresi produk-produknya, termasuksekresi
glukokortikoid. Apabila pada fase ini
rangsangan tidakdihilangkan maka tubuh akan
masuk pada fase kedua, yaitu fase
resistance,dimana hormon tubuh berada pada
konsentrasi
yang
tinggi.
Apabila
stresberlangsung lama maka akan masuk ke
fase exhaustion dimana tubuh sudah
tidak bisa menahan dari stress tersebut. Secara
fisiologis setiap stress fisik dan psikis dapat
sangat meningkatkan sekresi ACTH dan
akibatnya sekresi hormon glukokortikoid juga
akan meningkat.10
Sebagian besar rangsang stres yang
meningkatkan sekresi ACTH juga mengaktifkan
sistem saraf simpatis, dan sebagian fungsi
glukokortikoid dalam darah mungkin adalah
untuk mempertahankan reaktivitas vaskular
terhadap katekolamin. Glukokortikoid juga
penting bagi katekolamin untuk menerapkan
efek mobilisasi asam lemak bebas secara
penuh.23Peningkatan
kadar
hormon
glukokortikoid
mengakibatkan
terjadinya
penurunan atau penghambatan kadar HMG
KoA reductase dan penurunan HMG KoA akan
menyebabkan
penurunan
laju
sintesis
kolesterol.10 Penurunan sintesiskolesterol juga
akan mempengaruhi pengangkutan dan
ekskresi kolesterol dan terjadi peningkatan
jumlah reseptor LDL di hati.24Peningkatan
hormon
glukokortikoid
juga
akan
meningkatkan terjadinya glukoneogenesis,
yaitu proses pembentukan glukosa dari zat-zat
nonkarbohidrat. Selain peningkatan hormon
glukokortikoid, juga terjadi peningkatan sekresi
hormon epinefrin dan norepinefrin, kedua
hormon ini akan meningkatkan laju lipolisis di
jaringan adiposa2, selain itu norepinefrin juga
meningkatkan penggunaanlipoprotein sirkulasi,
sehingga kadarnya yang terdapatdalam plasma
akan menurun.10
Setiap stres fisik dan psikologis dalam
waktu singkat hanya beberapa menit sudah
Indriasari Nurul Putri | Pengaruh Paparan Gelombang Eletromagnetik Terhadap Kadar Kolesterol Total dan Trigliserida
Serum
dapat meningkatkan sekresi ACTH dan
akibatnya sekresi kortisol juga akan
meningkat.25 Kortisol diproduksi lebih banyak
oleh tubuh pada saat tubuh terpapar stres,
baik fisik maupun psikologis. Kortisol dapat
memodulasi sistem imun karena semua
leukosit mempunyai reseptor untuk kortisol.
Dan
sekarang
sudah
banyak
yang
mengindikasikan hubungan erat antara sistem
imun dengan sistem metabolik termasuk dalam
metabolisme lipid.26
Mekanisme yang mungkin berperan
dalam terjadinya penurunan sintesis kolesterol
dan
trigliserida
adalah
perubahan
keseimbangan kadar radikal bebas yang akan
menyebabkan
stres
oksidatif
dan
mengakibatkan kerusakan hepar sehingga
perubahan kadar enzim di hepar juga ikut
terjadi.5 Perubahan kadar enzim di hepar ini
menyebabkan perubahan yang signifikan pada
metabolisme lipid, karena hepar merupakan
tempat metabolisme utama lipid.10Stres
oksidatif terjadi karena meningkatnya reactive
oxygen species (ROS) yang akan menimbulkan
kerusakan membran sel dan jejas sel sehingga
mengakibatkan
peningkatan
peroksidase
3,27
lipid. Penurunan aktifitas antioksidan dan
peningkatan kadar radikal bebas menyebabkan
peningkatan Tiobarbituric Acid Reactive
Substance (TBARS) dalam hati. Kadar TBARS
sendiri digunakan untuk mengukur terjadinya
lipid peroksidase, yang merupakan marker
stres oksidatif.28Terdapat korelasi positif antara
profil lipid dan lipid peroksidase setelah
terpapar stresor, yang mengindikasikan bahwa
peningkatan lipid peroksidase diasosiasikan
pada peningkatan kolesterol total dan LDL.Ini
merupakan resiko terbesar dari aterosklerosis
dan penyakit lain yang diinduksi lipid
peroksidase.29
Meningkatnya endapan asam lemak
bebas di hati setelah paparan gelombang
elektromagnetik dapat terjadi sebagai akibat
dari produksi nitric oxide (NO).3Pada dinding
pembuluh darah arteri terdapat sel endotel
yang melepaskan NO dan bersifat antara lain
mengatur kelenturan pembuluh darah,
menjaga kompisisi otot tetap seimbang, dan
mencegah pembekuan darah.30
Kemungkinan terakhir yang dapat
menjelaskan mekanisme efek paparan
gelombang
elektromagnetik
terhadap
metabolisme lemak adalah karena akumulasi
reversibel baik trigliserida atau prekursornya di
hati.31
Ringkasan
Gelombang elektromagnetik yang kita
ketahui banyak memberi keuntungan dan
memudahkan kita dalam melakukan kegiatan,
ternyata memiliki dampak yang tidak dapat
diacuhkan. Salah satu dari dampak tersebut
adalah perubahan kadar profil lipid serum.
Perubahan ini disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu stres baik stres fisik maupun psikis
akibat paparan gelombang elektromagnetik
tersebut yang akan memicu sekresi dari
hormon-hormon yang dapat mempengruhi
kadar profil lipid seperti ACTH,glukokortikoid,
hormon epinefrin dan norepinefrin, serta
kortisol.Mekanisme lainnya adalah terjadinya
perubahan keseimbangan kadar radikal bebas
yang akan menimbulkan stres oksidatif dan
kerusakan hepar sehingga perubahan kadar
enzim di hepar juga akan terjadi. Perubahan
inilah yang akan menyebabkan perubahan
yang signifikan pada metabolisme lipid, karena
hepar merupakan tempat metabolime utama
lipid.
Simpulan
Dapat disimpulkan bahwa terdapat
dampak paparan gelombang elektromagnetik
terhadap kesehatan masyarakat khususnya
pada perubahan kadar profil lipid serum
seperti kadar kolesterol total dan trigliserida.
Daftar Pustaka
1. Seyednour R, Chekaniazar V. Effects of
exposure to cellular phones 950 MHz
electromagnetic fields on progesterone,
cotrisol and glucose level in female
hamsters (Mesocricetus auratus): Asian J.
Anim. Vet. Adv. 2011; 6(11):1084-88.
2. Mailankot M, Kunnath AP, Jayalekshmi H,
Koduru B, Valsalan R. Radio frequency
electromagnetic radiation (RF-EMR) from
gsm (0,9/1,8ghz) mobile phones induces
oxidative stress and reduces sperm
motility in rats. Clinics. 2009; 64(6): 561-5.
3. Torres-duran P, Hermosillo AF, Oropeza
MAJ, Vinas DE, Diaz LV. Effect of whole
body exposure to extremely low
frequency electromagnetic fields (ELFEMF) on serum and lipids levels, in the rat.
Lipids in Health and Disease. 2007; 6: 31.
Majority |Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015|139
Indriasari Nurul Putri | Pengaruh Paparan Gelombang Eletromagnetik Terhadap Kadar Kolesterol Total dan Trigliserida
Serum
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
Guyton AC & Hall JE. Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi ke-12. Singapore:
Saunder Elsevier; 2014.
Crumpton
MJ.
Are
low-frequency
electomagnetic fields a health hazard?. Phi
Trans. R. Soc. B. 2005; 360: 1223-30.
World Health Organization. Raised
cholesterol; 2015.
Israel, Michael, Vangelova K,Ivanova M.
Cardiovasculer risk under electromgnetic
exposure in physiotherapy. Environ. 2007;
27(4): 539-43.
Price
SA,
Wilson,
Lorraine
M.
Patofisiologikonsepklinis proses penyakit.
Edisi 6. AlihBahasa: Peter Anugerah.
Editor: Caroline Wijaya. Jakarta: EGC;
2005.
Sumarno.
Biokimiakedokteran
II.
Surakarta: Universitas Sebelas Maret;
1998.
Murray RK, Granner DK, Mayes
PA,Rodwell VW. Biokimia harper. Edisi 27.
Jakarta: EGC; 2009.
Mayes PA, Botham, Kathleen M.
Pengangkutandanpenyimpanan
lipid.Dalam: Biokimia Harper. Edisi
27..Jakarta: EGC; 2009.
Devlin, TM. Textbook of biochemistry:
with clinical correlations. Sixth Edition.
New York: John Wiley and Sons, Inc; 2006.
Harmanto, N. Mengusir kolesterol
bersama mahkota
dewa. Cetakan
pertama. Jakarta: Agromedia Pustaka;
2007.
Sherwood, L. Fisiologimanusia: Dari
selkesistem. Edisi 8.Jakarta: EGC; 2014
Pfizer. Apa itu kolesterol. 2007.
http://www.pedulikolesterol.com.
Dorland. Kamuskedokteran Dorland. Edisi
28.
Editor
Bahasa
Indonesia:
HuriawatiHartanto, dkk. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2011
Szemerszky R, Zelena D, Barna I, Bárdos G.
Stress-related
endocrinological
and
psychopathological effects of short-and
long-term 50Hz electromagnetic field
exposure in rats. Brain Res Bull. 2010; 8:
92–9.
Feychting M, Ahlbom A, Kheifets L. EMF
and health. Annu. Rev. Public Health.
2005; 26: 165–89.
Suyatna FD, Handoko SK. Farmakologi dan
terapi.Edisi ke-4. Jakarta: Gaya Baru; 2005.
Majority |Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015|140
20. Dalimartha, Setiawan. Atlas tumbuhan
obat Indonesia jilid 4. Jakarta : Puspa
Swara; 2007.
21. U.S. Departement of Health and Human
Services. Third report of the national
cholesterol education program education
program (NCEP) expert panel on
detection, evaluation and treatment of
high blood cholesterol in adult (Adult
treatment panel III). NIH Publication.
2001; 1: 3670.
22. Hori T, Harakawa S, Herbas SM, Ueta YY,
Inoue N, & Suzuki H. Effect of 50 Hz
electric
field
in
diacylglycerol
acytransferase mRNA expression level and
plasma concentration of triacylglycerol,
free fatty acid, phospholipid and total
cholesterol. Lipids in Health Disease. 2012;
11: 68.
23. Ganong WF. Fisiologi kedokteran. Edisi22.
Jakarta: EGC; 2008.
24. Shi Y, Cheng D. Beyond triglyceride
synthesis: the dynamic functional roles of
MGAT and DGAT enzymes in energy
metabolism. Am. J. Physiol Endocrinol
Metab. 2009; 297: E10-E18.
25. Sarookhani MR, Rezaei MA, Safari A,
Zaroushani V, Ziaeiha M. The influence of
950 MHz magnetic fields (mobile phone
radiation) on sex organ and adrenal
function of male rabbits. Afri. J. Biochem
Res. 2011; 5: 65-8.
26. Zecca L, Mantegazza C, Margonato V,
Cerretelli P, Caniatti M, Piva F. Biological
effects of prolonged exposure to ELF
electromagnetic
fields
in
rats.
Bioelectromagnetics. 2006;19(1): 57-66.
27. Yudomustopo, B. Perubahan
nilai
peroksida lipid dan glutation peroksidase
jantung akibat diet makanan tinggi garam
penelitian eksperimental pada model
hewancoba
tikus
Sparaguedawley
bunting. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; 2006.
28. Stranges S, Dorn JM, Donahue RP, Browne
RW, Freudenheim JL, Hovey KM.
Oxidation, type 2 diabetes, and coronary
heart disease: a complex interaction.
Diabetes Care. 2008; 31: 1864-66.
29. Nayanatara AK, Nagaraja HS, Ramaswamy
C, Bahagyalakshmi K, Ramesh BM,
Damodara GK et al. Effect of chronic
unpredictable stressors on some selected
lipid
parameters
and
biochemical
Indriasari Nurul Putri | Pengaruh Paparan Gelombang Eletromagnetik Terhadap Kadar Kolesterol Total dan Trigliserida
Serum
parameters in Wistar rats. Chinese J Clin
Med. 2009; 4(2).
30. Mumpuni SS. Peranan SOD terhadap
pencegahan aterosklerosis. Kalbe Medical
Portal; 2008.
31. Lofti AR, Shahryar HA. Effect of 900 MHz
electromagnetic fields emitted by cellular
phone on total cholesterol & triaglyceride
levels of plasma in Syrian hamsters
(Mesocricetus auratus). J. Applied Biol. Sci.
2009;
3:85-88.
Majority |Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015|141
Indriasari Nurul Putri | Pengaruh Paparan Gelombang Eletromagnetik Terhadap Kadar Kolesterol Total dan Trigliserida
Serum
Majority |Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015|142
Gulbuddin Hikmatyar | Kualitas Mikrobiologi Udara di Ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU) Rumah Sakit Umum
Daerah Dr. H. Abdul Moeloek Bandarlampung
Kualitas Mikrobiologi Udara di Ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU)
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Abdul Moeloek Bandarlampung
Soleha TU, Rukmono P, Hikmatyar G
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
Abstrak
Neonatal intensive care unit (NICU) merupakan ruang perawatan neonatal yang harus dijaga kebersihan dan sterilitasnya
untuk mencegah infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial dapat disebabkan oleh kualitas udara ruangan yang buruk, karena
beberapa cara kuman yang menyebabkan infeksi dapat ditularkan melalui udara. Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode deskriptif analitik yang bertujuan untuk menentukan kualitas mikrobiologis dari ruang udara NICU
Rumah Sakit Abdul Moeloek. Hasil penelitian ini menemukan bahwa bakteri Staphylococcus aureus, Streptocossus sp.,
Neisseria sp., Shigella sp., Pseudomonas sp., Klebsiella, Corynebacterium, Escherichia, S. saprophyticus, S. epidermidis dan
untuk jamur ditemukan jenis Rhizopus sp dan Aspergillus sp. kemudian dari perhitungan jumlah normal bakteri
menunjukkan bahwa angka kuman ruangan tersebut sebesar 1.162 CFU / m3. Kesimpulannya ada banyak jenis
mikroorganisme di ruang NICU. Hasil perhitungan jumlah bakteri menunjukkan normal, tapi masih ada kemungkinan infeksi
nosokomial.
Kata kunci : bakteri, jamur, infeksi nosokomial, NICU
Air Microbiological Quality from Neonatal Intensive Care Unit (NICU) General
Hospital of Dr. H. Abdul Moeloek Bandarlampung
Abstract
Neonatal intensive care unit of a neonatal care space that must be maintained cleanliness and sterility, to protect neonatus
from nosocomial infections. Nosocomial infections can be caused by bad air quality, because some of the ways of
transmission of germs that cause the infection can be transmitted through the air. This research was conducted by using
descriptive method Analytic for the purpose of this study was to determine the microbiological quality of the air space NICU
Abdul Moeloek Hospital. The results of this study found that bacterias Staphylococcus aureus, Streptocossus sp., Neisseria
sp., Shigella sp., Pseudomonas sp., Klebsiella, Corynebacterium, Escherichia, S. saprophyticus, S. epidermidis. and for fungi
showed that Rhizopus sp. and Aspergillus sp. from the calculation of the normal number of bacteria showed that 1,162 CFU
/ m3. In conclusion there are many different types of microorganisms in the NICU room. The results of the calculation of
number of bacteria showed normal, but still there is the possibility of nosocomial infection.
Keywords: bacteria, fungi, NICU, nosocomial infections.
Korespondensi: Gulbuddin Hikmatyar | [email protected]
Pendahuluan
Flora mikroba di udara bersifat
sementara dan beragam. Udara bukanlah
suatu medium tempat mikroorganisme
tumbuh, tetapi merupakan pembawa bahan
partikulat debu dan tetesan cairan, yang
semuanya mengandung mikroorganisme.
Mikroorganisme di udara dapat ditemukan
pada udara di luar ruangan maupun udara di
dalam ruangan, salah satunya ruangan rumah
sakit yang bisa menyebabkan terjadinya infeksi
nosocomial. Sejumlah faktor intrinsik dan
lingkungan mempengaruhi dan distribusi jenis
mikroflora di udara. Faktor intrinsik meliputi
sifat dan keadaan fisiologis mikroorganisme
dan juga keadaan suspensi. Spora relatif lebih
banyak daripada sel vegetatif.1 Hal ini terutama
karena
sifat
spora
dorman
yang
memungkinkan mereka untuk mentolerir
kondisi yang tidak menguntungkan seperti
pengeringan, kurangnya nutrisi yang cukup dan
radiasi ultraviolet. Demikian pula spora jamur
berlimpah di udara karena spora merupakan
alat penyebaran penyebaran jamur.2
Infeksi nosokomial merupakan infeksi
yang terjadi di rumah sakit atau dihasilkan oleh
mikroorganisme yang didapat selama dirawat
di rumah sakit. Infeksi nosokomial bukan hanya
melibatkan pasien tetapi siapa saja yang
berhubungan dengan rumah sakit seperti staf,
pegawai, relawan, pengunjung, pekerja
penjual, maupun petugas pengantar barang.
Sebagian
besar
infeksi
nosokomial
menampakkan gejala klinis saat masih dirawat
tapi ada juga penyakit yang muncul setelah
pasien pulang, seperti infeksi luka operasi yang
25 % menampakkan gejala setelah pasien
pulang. Pada kasus ini, pasien terinfeksi di
Majority | Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015| 143
Gulbuddin Hikmatyar | Kualitas Mikrobiologi Udara di Ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU) Rumah Sakit Umum
Daerah Dr. H. Abdul Moeloek Bandarlampung
rumah sakit tapi waktu inkubasi penyakit lebih
lama dari pada waktu rawat pasien.3
Infeksi nosokomial dapat terjadi karena
rendahnya kualitas udara dalam ruangan
rumah sakit. Sedangkan menurut Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
1204/Menkes/SK/X/2004 Tentang Persyaratan
Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit, dalam
indeks angka kuman menurut fungsi ruang
atau unit (CFU/m3) pada ruang ICU, ruang
perawatan bayi dan ruang perawatan prematur
sebesar 200 CFU/m3. Artinya, nilai normal dari
angka kuman ruangan tersebut harus dibawah
200 CFU/m3 sehingga bisa dikategorikan aman
dari mikroorganisme penyebab infeksi. 4
Infeksi nosokomial paling tinggi terjadi
pada bangsal anak pada umur <1 tahun. Angka
infeksi tertinggi terjadi di NICU (Neonatal
Intensive Care Unit) oleh karena resiko infeksi
bertambah tinggi misalnya pada bayi berat
badan lahir rendah.5
Berdasarkan penjelasan diatas, perlu
diteliti tentang identifikasi mikrobiologi udara
sehingga bisa diketahui kualitas udara di ruang
Neonatal Intensive Care Unit (NICU) RSUD Dr.
H. Abdul Moeloek Bandarlampung.
Metode
Penelitian
ini
dilakukan
dengan
menggunakan metode Total Plate Count (TPC)
untuk menghitung jumlah koloni yang tumbuh
pada media agar. Sampel diambil pada ruang
NICU Rumah Sakit Umum Dr. Abdul Moeloek.
Cara pengambilan sampel adalah dengan
meletakkan plate yang berisi agar Plate Count
Agar (PCA) sebagai media pertumbuhan
mikroorganisme dan ditunggu selama 15 menit
dan selanjutnya diinkubasi pada inkubator
selama 48 jam agar mikroorganisme yang
menempel bisa tumbuh. Setelah terjadi
pertumbuhan koloni pada media PCA maka
dilakukan perhitungan jumlah koloni pada
media tersebut dan dilakukan pewarnaan gram
pada koloni yang tumbuh. Setelah didapatkan
hasil, maka dilakukan penanaman bakteri
kembali pada media agar darah untuk bakteri
gram positif dan pada media agar Mac Conkey
untuk bakteri gram negatif. Sedangkan untuk
jamur dilakukan penanaman terpisah pada
media Sabouraud Dextrose Agar (SDA). Setalah
terjadi pertumbuhan pada masing-masing
media maka dilakukan uji biokimia untuk
bakteri dan dilakukan pewarnaan untuk jamur.
Majority | Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015| 144
Hasil
Setelah dilakukan penelitan pada udara
ruang Neonatal Intensive Care Unit Rumah
Sakit Umum Daerah Dr. H. Abdul Moeloek
Bandarlampung didapatkan hasil seperti pada
tabel berikut.
Tabel 1. Hasil Perhitungan Koloni pada Media PCA
Titik
1
Nomor
Plate
1
2
2
3
4
3
5
6
4
7
8
5
9
10
Jumlah total
Jumlah
koloni
827
20
776`
63
95
29
11
15
9
39
Rata rata
Koloni Tiap
Titik
423,5
419,5
124
26
48
1041
Dari tabel diatas maka dilakukan
penghitungan
angka
kuman
yang
3
didapatkan hasil 1,162 CFU/m yang
artinya masih berada pada batas normal
jika dibandingkan dengan indeks angka
kuman yang telah ditetapkan oleh Depkes
RI untuk ruang perawatan bayi yaitu
sebesar 200 CFU/m3.
Dari hasil identifikasi dan hasil uji
biokimia bakteri dan jamur yang tumbuh
berdasarkan yang telah dilakukan maka
didapatkan hasil seperti pada tabel berikut:
Tabel 2. Hasil Identifikasi Plate
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Mikroorganiseme yang ditemukan
Staphylococcus aureus
Streptocossus sp.
Neisseria sp.
Klebsiella
Shigella sp.
Pseudomonas sp.
Corynebacterium
Escherichia
S. saprophyticus
S. epidermidis
Rhizopus sp.
Aspergillus sp.
Dari tabel diatas dapat dilihat hasil
bahwa terdapat berbagai jenis mikroorganisme
Gulbuddin Hikmatyar | Kualitas Mikrobiologi Udara di Ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU) Rumah Sakit Umum
Daerah Dr. H. Abdul Moeloek Bandarlampung
di udara diruangan tersebut. Hasil identifikasi
yang terbanyak adalah bakteri Staphylococcus
aureus dan untuk jamur yang terbanyak adalah
Rhizopus sp.
Pembahasan
Pemeriksaan kualitas udara ruang NICU
diawali dengan pengambilan sampel dengan
menggunakan 10 plate PCA sebagai media
pertumbuhan untuk bakteri dan jamur yang
terdapat diudara ruangan tersebut. Dari 10
plate yang digunakan sebagai media
pertumbuhan menunjukkan hasil positif dan
dari perhitungan angka kuman yang telah
dilakukan menunjukkan hasil 1,162 CFU/m3
artinya angka yang didapatkan dari
perhitungan koloni udara masih jauh dibawah
angka maksimal yang telah ditetapkan Depkes
yaitu sebanyak 200 CFU/m3 namun hasil ini
belum bisa menjadi patokan untuk perhitungan
angka kuman pada ruangan karena harus
dilakukan perhitungan angka kuman total pada
keseluruhan bagian ruangan, bukan hanya
pada udara ruangan saja.
Dari hasil identifikasi koloni yang tumbuh
pada keseluruhan plate didapatkan hasil yaitu
Staphylococcus aureus, Streptocossus sp.,
Neisseria sp., Shigella sp., Pseudomonas sp.,
Klebsiella, Corynebacterium, Escherichia, S.
saprophyticus, S. epidermidis. dan untuk jamur
didapatkan hasil yaitu Rhizopus sp. dan
Aspergillus sp.
Staphylococcus ureus dapat ditemukan
di kulit dan di hidung manusia, hidung biasanya
dianggap tempat utama berkembangnya
kolonisasinya dan ada kalanya dapat
menyebabkan infeksi dan sakit parah. Infeksi
yang lebih berat diantaranya pneumonia,
mastitis, plebitis, meningitis, infeksi saluran
kemih, osteomielitis, dan endocarditis.
Kontaminasi dari Staphylococcus aureus pada
luka terbuka (seperti luka pascabedah) atau
infeksi setelah trauma (seperti osteomielitis
kronis setelah fraktur terbuka), meningitis
setelah fraktur tengkorak, dan bakteri ini
merupakan bakteri penyebab utama dari
pneumonia nosokomial.6,7
Bakteri selanjutnya yang bisa menyebar
melalui udara adalah Strepstococcus sp. bakteri
ini terbagi atas berbagai jenis dan memiliki
berbagai macam toksin dengan fungsinya
masing-masing dalam menginvasi tubuh
manusia.Jenis Streptococcus yang paling
banyak menginfeksi pada neonatus adalah
Streptococcus pneumonia (Pneumokokus) yang
menyebabkan
peyakit
pneumonia
pneumokokus
yang
salah
satu
cara
penularannya adalah melalui inhalasi sehingga
bisa menjangkiti yang lain 8.
Neiserria sp. ditemukan pada penelitian
ini. Jenis Neisseria sp. yang penyebarannya
melalui lewat udara adalah Neisseria
meningitidis yang banyak ditemukan pada
kasus klinis. Bakteri ini bisa menyebabkan
terjadinya penyakit meningitis, dan menjadi
salah satu penyebab kejadian infeksi meningitis
pada neonatus dan anak balita. Bakteri
meningokokus ini masuk melalui orofaring, dan
kemudian menetap sementara pada bagian
tersebut namun tidak menyebabkan adanya
gejala, namun terkadang dapat disertai adanya
gejala yang mirip seperti infeksi saluran nafas
atas. Selanjutnya bakteri tersebut akan masuk
ke dalam aliran darah dan menyebabkan
bakterimia untuk menyebar keseluruh
tubuh.10,11
Bakteri dari genus Psudomonas sp. juga
dapat menyebar melalui udara salah satunya
adalah Pseudomonas aeruginosa. Bakteri ini
termasuk bakteri gram negatif dan berbentuk
batang. Pseudomonas aeruginosa banyak
terdapat dalam lingkungan yang lembab dan
sering dijumpai pada temuan klinis. Bakteri ini
akan menyebabkan penyakit pada penjamu
dengan daya tahan tubuh yang lemah dan
biasanya masuk melalui inhalasi. Penyakit yang
dapat
disebabkan
oleh
Pseudomonas
aeruginosa diantaranya adalah pneumonia
nekrotik jika mengenai paru, dan juga bisa
mengakibatkan meningitis setelah beredar ke
lapisan otak.9,10
Bakteri dari genus Klebsiella sp.
merupakan bakteri gram negatif berbentuk
batang, bakteri ini terdapat di alam dan
biasanya terdapat dalam air. Spesies Klebsiella
yang banyak ditemukan pada klinis adalah
Klebsiella pneumonia, bakteri ini dapat
menyebabkan
terjadinya
pneumonia.
Kolonisasi pada orofaring dapat terjadi pada
penjamu dengan ketahanan tubuh yang
menurun.7
Corynebacterium juga ditemukan pada
penelitian ini, salah satu jenis yang sering
ditemukan adalah Corynebacterium diphtheria
yang umumnya masuk melalui saluran
pernafasan bagian atas, dimana organisme
berkembang biak pada lapisan superfisial pada
selaput lendir dan terjadi penguraian
Majority | Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015| 145
Gulbuddin Hikmatyar | Kualitas Mikrobiologi Udara di Ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU) Rumah Sakit Umum
Daerah Dr. H. Abdul Moeloek Bandarlampung
eksotoksin sehingga terjadinya nekrosis pada
jaringan sekitar. Apabila terjadinya infeksi
laringeal maka sangat berbahaya karena bisa
terjadinya sumbatan jalan nafas. Selain itu luka
difteria juga bisa ditemukan pada kulit, bagian
depan lubang hidung, bagian dalam hidung,
mulut, mata, telinga tengah, dan pada kasus
yang jarang dapat ditemukan pada vagina.9
Bakteri E. coli merupakan bakteri yang
umumnya ditemukan pada sisa metabolisme
manusia, namun E. coli bisa menginfeksi
melalui inhalasi ketika bakteri tersebut
terbawa oleh udara misalnya melalui debu.
Infeksi yang disebabkan oleh bakteri tersebut
diantaranya adalah pneumonia nosokomial
dan juga meningitis pada neonatus.11
Staphylococcus
epidermidis
juga
ditemukan pada penelitian, yang merupakan
flora normal pada kulit manusia, saluran
pernafasan dan saluran pencernaan makanan.
Pada 6,6% dari bayi yang berumur 1 hari telah
dapat ditemukan Staphylococcus pada
hidungnya, 50% pada umur 2 hari, 62% pada
umur 3 hari dan 88,8% pada umur 4 hari.
Bakteri ini jug dapat ditemukan pada udara dan
dilingkungan sekitar kita. Invasi dari
Staphylococcus
epidermidis
dapat
menyebabkan terjadinya infeksi kulit yang
kronis pada manusia dan biasanya bersifat
ringan dan disertai adanya abses.7
Pada penelitian ini juga ditemukan adanya
jamur yang tumbuh pada media agar yaitu
Rhizopus sp. dan Aspergillus sp. Jamur-jamur
tersebut termasuk mempunyai kemampuan
menghasilkan dan menyebarkan spora melalui
udara. Umumnya jamur yang tersebar di udara
menginfeksi melalui mekanisme yang disebut
droplet infection, yaitu suatu proses
penyebaran spora melalui butir-butir debu
atau melalui residu tetesan air ludah yang
kering.12
Rhizopus sp. merupakan jamur yang
biasanya tumbuh pada roti, sayuran, buahbuahan, dan produk makanan lainnya. Namun
apabila jamur tersebut tersebar di udara dan
terhirup melalui saluran pernafasan, secara
klinis
dapat
menyebabkan
reaksi
hipersensitivitas tipe II dan III seperti asma dan
pneumonitis hipersensitivitas.13
Aspergillus sp. yang ditemukan jamur
yang penyebarannya melalui tanah ataupun
pajanan debu yang terhirup melalui udara
pernapasan. Penyakit yang disebabkan oleh
jamur ini disebut Aspergillosis yang sering
Majority | Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015| 146
menyebabkan infeksi dan kematian pada
pasien dengan keganasan darah.14
Dari perhitungan angka kuman yang
dilakukan didapatkan hasil yaitu 1,162 CFU/m3
yang artinya masih berada dalam batas normal
dari yang ditetapkan oleh Depkes yaitu 200
CFU/m3, namun hasil perhitungan terhadap
angka kuman udara ini masih belum bisa
dijadikan sebagai acuan untuk mengetahui
angka kuman dalam ruangan tersebut karena
perlu diteliti dari seluruh bagian sehingga bisa
didapatkan angka kuman untuk ruangan
tersebut. Hasil perhitungan angka kuman yang
rendah tidak menutup kemungkinan akan
tetap terjadinya infeksi nosokomial oleh
bakteri-bakteri yang ditemukan tersebut.
Banyak
tidaknya
jumlah
koloni
ditentukan oleh paparan udara dari luar serta
kurangnya higienitas tenaga medis dalam
melakukan tindakan terhadap pasien di dalam
inkubator bayi. Angka kuman di udara juga
dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban. Suhu
yang tinggi akan menyebabkan kelembaban
yang tinggi dan mengakibatkan perkembangan
kuman patogen meningkat sehingga memicu
terjadinya infeksi.13
Hasil perhitungan angka kuman yang
rendah tidak menutup kemungkinan akan
tetap terjadinya infeksi nosokomial oleh
bakteri-bakteri yang ditemukan tersebut,
karena kondisi ketahanan penjamu yang cukup
lemah.
Simpulan
Kualitas udara diruang Neonatal
Intensive Care Unit (NICU) Rumah Sakit Umum
Daerah Abdul Moeloek Bandarlampung cukup
baik dan terjaga karena angka kuman ruangan
tersebut yang rendah, tetapi terdapat berbagai
macam mikroorganisme di ruangan tersebut
sehingga tetap adanya kemungkinan terjadinya
infeksi nosokomial.
Daftar Pustaka
1. Budiyanto. Dasar-dasar Mikrobiologi.
Jakarta: Erlangga; 2005.
2. Gutarowska B, Piotrowska M. Methods of
mycological analysis in buildings: Building
and Environment. 2007; 1843-1850.
3. Depkes. Pedoman Pengendalian Infeksi
Nosokomial di Rumah Sakit. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI; 2001.
Gulbuddin Hikmatyar | Kualitas Mikrobiologi Udara di Ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU) Rumah Sakit Umum
Daerah Dr. H. Abdul Moeloek Bandarlampung
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Depkes. Persyaratan kesehatan lingkungan
rumah sakit Jakarta: Depertemen
Kesehatan RI; 2004.
Soedarmo, S.Purwo Sumarno dkk., editor
Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi
ke-2. Jakarta: IDAI; 2008.
Kusuma, Sri AF. Staphylococcus aureus
Jatinangor: Fakultas Farmasi Universitas
Padjadjaran; 2009.
Jawetz E., Melnick J.L., Adelberg
E.A.. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta :
EGC Press; 2007.
Hill PC, Cheung YB, Akisanya A, Sankareh
K, Lahai G, Greenwood BM
et al.
Nasopharyngeal carriage of Streptococcus
pneumoniae in Gambian infants: a
longitudinal study. Clin Infect Dis. 2008;
46:807-814.
Bas, Evrim Kiray. Bülbül, A. Cömert, S.
Uslu, S. Arslan, S. Nuhoglu, A. Neonatal
Infection with Neisseria meningitidis:
Analysis of a 97-Year Period Plus Case
Study September 2014; 52(9):3478-3482.
10. Mayasari, Evita. Pseudomonas aeruginosa;
Karakteristik, Infeksi, dan Penanganan;
2006.
11. Rahajoe, N. Nastiti dkk.. Respirologi Anak.
Edisi Pertama, Jakarta: IDAI; 2008.
12. Brooks, G. Mikrobiologi Kedokteran.
Dalam: Jawetz, Melnick, & Adleberg’s
Medical Microbiology. Edisi ke-23.Jakarta:
EGC; 2008.
13. Pelczar, J. Michael, dan Chan. Dasar-dasar
Mikrobiologi.
Jakarta:
Universitas
Indonesia Press; 2008.
14. Kennedy FPC. Apriliana E. Rukmono P.
Kualitas Mikrobiologi Air di Unit
Perinatologi di Rumah Sakit Umum Abdul
Moeloek Bandarlampung. 2011; 61-68.
Majority | Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015| 147
Gulbuddin Hikmatyar | Kualitas Mikrobiologi Udara di Ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU) Rumah Sakit Umum
Daerah Dr. H. Abdul Moeloek Bandarlampung
Majority | Volume 4 | Nomor 7 |Juni 2015| 148
Download