sosial budaya masyarakat nelayan

advertisement
SOSIAL BUDAYA
MASYARAKAT NELAYAN
Konsep dan Indikator Pemberdayaan
Penerbit :
Badan Riset Kelautan dan Perikanan,
Departemen Kelautan dan Perikanan.
Penanggung Jawab :
Dr. Ir. Agus Heri Purnomo, M.Sc.
(Kepala Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan)
Penulis :
Zahri Nasution
Sastrawidjaja
Tjahjo Tri Hartono
Mursidin
Fatriyandi Nur Priyatna
Editor :
Zahri Nasution
Asnawi
ISI DAPAT DIKUTIP DENGAN MENYEBUTKAN SUMBERNYA
BALAI BESAR RISET SOSIAL EKONOMI
KELAUTAN DAN PERIKANAN
JAKARTA, 2007
ii
SAMBUTAN
KEPALA BADAN RISET KELAUTAN DAN PERIKANAN
DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN RI
D
alam Rencana Strategis Departemen Kelautan dan Perikanan 2000-2004
ikemukakan bahwa pembangunan kelautan dan perikanan, selain perlu
melakukan perubahan paradigma pembangunan, juga harus memperhatikan
perubahan-perubahan lainnya sejalan dengan tuntutan masyarakat akan
demokratisasi pembangunan, yakni adanya perubahan fungsi pemerintah dari
provider menjadi fasilitator. Disamping itu, juga harus memperhatikan perubahan
fungsi tata pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Juga perubahan pada
paradigma pelayanan birokrasi dari birokrasi normatif menjadi responsif fleksibel.
Akhirnya, perubahan paradigma pengambilan keputusan/kebijakan dari top down
approach menjadi bottom up approach. Pendekatan sektoral juga diubah, tidak hanya
mengandalkan pendekatan sektoral saja, tetapi juga harus menggunakan pendekatan
wilayah.
Kehidupan sosial budaya masyarakat nelayan di Indonesia sangat majemuk,
merupakan suatu fenomena yang terjadi akibat pengaruh interaksi masyarakat
dengan Tuhan sebagai pencipta-Nya, antar masyarakat sendiri maupun masyarakat
dengan lingkungannya. Apabila dikaitkan dengan pelaksanaan pembangunan kelautan
dan perikanan, pengkajian fenomena ini mengandung nilai strategis, yaitu berupa
upaya untuk memperoleh indikator yang dapat mewakili kondisi sosial budaya
masyarakat kelautan dan perikanan dikaitkan dengan upaya pemberdayaan
masyarakatnya.
Nilai strategis indikator kondisi sosial budaya adalah sebagai alat untuk
menggerakkan modal sosial yang dimiliki masyarakat. Mobilisasi modal sosial sangat
diperlukan karena disadari potensi masyarakat ini yang merupakan aset penting
negara selama ini belum banyak dimanfaatkan secara optimal dalam rangka
mewujudkan masyarakat yang mandiri.
Upaya mendapatkan indikator sosial budaya dalam riset ini, dilakukan dengan
terlebih dahulu mengkaji dan menganalisis keterkaitan antara pembangunan dengan
konsep kebudayaan. Hal ini didasari pendapat para ahli sosiologi dan antropologi yang
mengemukakan bahwa pembangunan dapat diartikan sebagai sebuah program yang
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat.
Jakarta, Nopember 2007
Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan,
TANDATANGAN-NYAAAAAAAA
Prof. Dr. Indroyono Soesilo, M.Sc.
iii
SAMBUTAN
KEPALA BALAI BESAR RISET SOSIAL EKONOMI
KELAUTAN DAN PERIKANAN
S
aya menyambut gembira dengan selesai dan diterbitkannya buku dengan judul
Osial Budaya Masyarakat Nelayan: Konsep dan Indikator Pemberdayaan, yang
ditulis oleh para peneliti lingkup Kelompok Peneliti Sosial Antropologi dan
Kelembagaan, Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan (BBRSE-KP),
Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Buku ini
ditulis berdasarkan hasil-hasil riset yang dilakukan di bidang sosiologi antropologi
yang dilaksanakan pada tahun 2003, 2004 dan 2005.
Dasar pembentukan dan pemilihan indikator kondisi sosial budaya
masyarakat nelayan ini menggunakan penggabungan kandungan makna dalam
kebudayaan mesyarakat yang dikaitkan dengan makna pemberdayaan masyarakat.
Dalam buku ini, data dan informasi kondisi sosial budaya masyarakat nelayan
merupakan bagian penting untuk mendukung upaya perencanaan pelaksanaan
kegiatan pemberdayaan masyarakat kelautan dan perikanan, khususnya masyarakat
nelayan, baik di perairan laut maupun perairan umum daratan.
Kami menyadari buku ini masih mengandung kekurangan. Oleh karena itu,
kami mengundang masyarakat yang berminat atas buku ini terutama dari kalangan
peneliti untuk memberikan saran dan kritik guna penyempurnaan buku ini. Semoga
buku ini dapat bermanfaat sebagai pengkayaan pendekatan riset pada bidang sosial
ekonomi kelautan dan perikanan.
Jakarta, Nopember 2007
Kepala BBRSE-KP,
TANDATANGAN-NYAAAAAAAA
Dr.Agus Heri Purnomo, M.Sc.
iv
KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR
p
uji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Yang Maha Kuasa, karena atas
Berkah dan Rahmat-Nya jualah buku yang berjudul SOSIAL BUDAYA
MASYARAKAT NELAYAN: Konsep dan Indikator Pemberdayaan, ini dapat
diselesaikan. Buku ini ditulis berdasarkan hasil-hasil riset yang dilakukan oleh
para penulis pada tahun 2003, 2004 dan 2005. Penulis, dengan kegiatan
penelitian ini tergabung dalam Kelompok Peneliti Sosial Antropologi dan
Kelembagaan, Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
(BBRSE-KP), Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan
Perikanan.
Dasar pembentukan dan pemilihan indikator kondisi sosial budaya
masyarakat nelayan ini menggunakan penggabungan kandungan makna
dalam kebudayaan mesyarakat yang dikaitkan dengan makna pemberdayaan
masyarakat. Dalam buku ini, data dan informasi kondisi sosial budaya
masyarakat nelayan merupakan bagian penting untuk mendukung upaya
perencanaan pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat kelautan dan
perikanan, khususnya masyarakat nelayan, baik di perairan laut maupun
perairan umum daratan.
Kami menyadari buku ini masih mengandung kekurangan. Oleh karena
itu, kami mengundang masyarakat yang berminat atas buku ini terutama dari
kalangan peneliti untuk memberikan saran dan kritik guna penyempurnaan
buku ini. Semoga buku ini dapat bermanfaat sebagai pengkayaan informasi
bidang sosial ekonomi kelautan dan perikanan.
Jakarta, Nopember 2007
Tim Penulis
v
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
SAMBUTAN KEPALA BRKP – DKP
SAMBUTAN KEPALA BBRSE-KP
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
ii
iii
iv
v
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Sistematika Isi Buku
1
1
4
II
LANDASAN TEORI
2.1 Paradigma Pembangunan Kelautan dan Perikanan
2.2 Urgensi Aspek Sosial Budaya Dalam Pemberdayaan Masyarakat
2.3 Peranan Modal Sosial Dalam Pemberdayaan Masyarakat
2.4 Peran Kelembagaan Dalam Pemberdayaan Masyarakat
2.5 Peran Pemerintah Dalam Pemberdayaan Masyarakat
7
7
8
9
11
13
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Dimensi Pengetahuan Lokal
3.2 Dimensi Sistem Religi
3.2 Dimensi Ekonomi
3.4 Dimensi Kelembagaan
3.5 Dimensi Politik
15
18
20
24
26
29
IV KONDISI SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT NELAYAN
PERAIRAN LAUT
4.1 Bandar Lampung, Lampung
4.2 Lampung Selatan, Lampung
4.3 Pandeglang, Banten
4.4 Pasuruan, Jawa Timur
4.5 Selayar, Sulawesi Selatan
4.6 Makasar, Sulawesi Selatan
33
33
48
53
79
82
89
V KONDISI SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT NELAYAN
PERAIRAN PEDALAMAN
5.1 Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan
5.2 Cianjur, Jawa Barat
5.3 Purwakarta, Jawa Barat
5.4 Musi Banyuasin, Sumatera Selatan
97
97
106
113
125
VI CIRI-CIRI UMUM MASYARAKAT NELAYAN
137
VII PENUTUP
VIII DAFTAR PUSTAKA
145
147
1
I PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan dapat memiliki makna sebagai upaya membangun
masyarakat sekaligus mempertahankan kelestarian sumberdaya alam,
termasuk sumberdaya kelautan dan perikanan, pada saat bersamaan.
Oleh karena itu, pembangunan masyarakat dan sumberdaya kelautan
dan perikanan, satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Hal ini didasarkan
atas sebuah premis yang menyebutkan bahwa salah satu penyebab
kemiskinan adalah sumberdaya alam yang dipandang terbatas atau
tidak tersedianya sumberdaya alam konvensional yang biasanya
digunakan oleh masyarakat nelayan (Dahuri, 2000). Hal tersebut bisa
terjadi karena dua hal yaitu: pertama, kondisi geografi dan ekologi yang
memang tidak mendukung; dan kedua, teknologi yang dimanfaatkan
oleh masyarakat masih sangat sederhana.
Program-program pembangunan yang berkembang saat ini
sebagian besar bersumber dari wacana pemberdayaan masyarakat
dan pengelolaan sumberdaya alam yang berbasis masyarakat.
Pendekatan ini diharapkan akan memberikan arah kepada pemerataan
kesempatan kerja dan kehidupan yang lebih layak. Pendekatan
tersebut, karena dibentuk dari partisipasi aktif masyarakat, diharapkan
dapat menjamin kelestarian sumberdaya alam.
Dalam operasionalnya, paradigma pembangunan yang berbasis
masyarakat tersebut mensyaratkan adanya pembagian kewenangan
antara pemerintah dan masyarakat. Untuk itu, dua elemen terpenting
di dalam konsep pemberdayaan yang diperlukan adalah
mempertemukan peranan pemerintah dan masyarakat secara egaliter.
Masyarakat dengan potensi modal sosial (social capital)-nya dan
2
pemerintah dengan kebijakannya, secara bersama akan memberikan
corak dan warna terhadap sumberdaya alam dan pengelolaannya.
Pemberdayaan dapat merupakan salah satu upaya untuk
mengaktualisasikan potensi yang sudah dimiliki oleh masyarakat.
Dengan kata lain, keberhasilan pemberdayaan masyarakat dalam
konteks pembangunan antara lain bermakna bahwa suatu masyarakat
tersebut menjadi bagian dari pelaku pembangunan itu sendiri (Hikmat,
2001). Berbagai aspek yang perlu diperhatikan dalam pembangunan,
termasuk pemberdayaan masyarakat, antara lain adalah bagaimana
suatu inovasi yang lebih maju dapat bermanfaat bagi masyarakat,
bagaimana memanfaatkan budaya lokal (termasuk kearifan lokal),
bagaimana pula mekanisme pelaksanaan dan pembiayaan pembangunan
tersebut.
Terkait dengan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan,
perilaku manusia ketika memanfaatkannya cenderung mengganggap
sumberdaya alam tersebut sebagai suatu sumberdaya milik bersama
atau common property. Kondisi milik bersama tersebut dapat
menimbulkan beberapa pandangan bahwa semua orang berhak
memanfaatkan sumberdaya alam dan dikenal dengan prinsip open
access dalam pengelolaannya. Implikasi negatif dari prinsip open access
adalah “tidak ada satu pihak pun yang perduli untuk mengembalikan
atau memulihkan sumberdaya alam yang telah rusak atau habis”.
Penipisan sumberdaya ini pada akhirnya dapat menyebabkan
menurunnya produktivitas ekonomi dalam pemanfaatannya, bahkan
kemudian pada gilirannya dapat menurunkan kesejahteraan
masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat yang
bersumber pada kekuatan modal sosial masyarakat sendiri telah
terbukti dapat mengurangi sikap ”selfish” dan ”free rider”, dan akhirnya
kemudian cenderung lebih efektif mendorong ke arah pemanfaatan
3
sumberdaya yang sustainable (Ridley and Low, 1993). Sejalan dengan
prinsip ini, Departemen Kelautan dan Perikanan hingga kini telah
melaksanakan berbagai program pembangunan kelautan dan perikanan
berbasis masyarakat. Sebagai contoh misalnya program Pengembangan
Perikanan Berbasis Budidaya (Culture Based Fisheries, CBF) dan
Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP).
Faktor penting yang terkait dengan keberhasilan pelaksanaan
program yang menggunakan pendekatan berbasis pemberdayaan
masyarakat, antara lain adalah ketersediaan informasi tentang kondisi
sosial budaya masyarakat yang menerima program. Hal ini telah banyak
dikemukakan dalam berbagai hasil penelitian dan pendapat para pakar
sebelumnya (Taryoto, 1999; Wiradi; 1997; Kusnadi, 2000; 2002).
Bahkan, hasil kajian Cernea (1988) pada pelaksanaan pembangunan
masyarakat di Asia menyatakan bahwa dalam setiap tahap kegiatan
pembangunan (baik tahap identifikasi program, persiapan, penilaian,
pelaksanaan, maupun evaluasi pembangunan), kesemuanya
memerlukan sumbangan nyata, baik berupa informasi, interpretasi
maupun analisis bidang sosiologi dan antropologi.
Hingga kini, informasi yang terkait dengan kondisi sosial budaya
masyarakat nelayan dalam kaitannya dengan upaya pemberdayaannya
masih belum banyak dikemukakan. Hal ini menyulitkan, terutama bagi
para pengambil kebijakan, terutama untuk tujuan pelaksanaan program
pembangunan berbasis masyarakat yang terkait dengan upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kajian kondisi sosial budaya
pada masyarakat kelautan dan perikanan, baik di wilayah pesisir, laut
dan perairan umum daratan telah dilakukan selama 3 tahun (20032005) (Nasution et al., 2003; 2004; 2005). Buku ini mengemukakan data
dan informasi kondisi sosial budaya masyarakat nelayan di wilayah
pesisir, laut dan perairan umum daratan yang didasarkan atas hasil riset
yang telah dilakukan tersebut.
4
1.2. Sistematika Isi Buku
Buku ini berisikan analisis dan sintesis terhadap hasil penelitian
yang telah dilakukan yang menekankan pada upaya merangkum
keragaman kondisi sosial budaya sebagai salah satu faktor penting di
dalam program pemberdayaan masyarakat nelayan. Disamping
prosedur yang umum dilakukan menurut kaidah-kaidah ilmu sosial,
penelitian ini juga berusaha mendapatkan indikator yang dapat
menggambarkan deskripsi keragaman kondisi sosial budaya
masyarakat nelayan. Terobosan ini dimaksudkan sebagai upaya untuk
memudahkan setiap pengguna dalam memahami faktor-faktor yang
berdimensi sosial budaya dalam kehidupan masyarakat nelayan.
Alur bahasan dibagi menjadi tujuh bagian yang masing-masing
memiliki arti penting untuk pencapaian pemahaman terhadap hasilhasil penelitian yang dikemukakan. Bagian pertama, pendahuluan
berisikan alasan mengapa pentingnya kondisi sosial budaya penting
untuk diteliti dalam kaitannya dengan upaya pemberdayaan
masyarakat nelayan, dan ditulis dalam bentuk suatu buku khusus. Pada
bagian kedua, dikemukakan beberapa kerangka teoritis yang terkait
dengan pentingnya kondisi sosial budaya dalam pembangunan
masyarakat (pemberdayaan masyarakat). Termasuk didalamnya
bagaimana seharusnya peranan pemerintah, peranan kelembagaan,
peranan modal sosial dan bagaimana kondisi pemberdayaan
masyarakat yang ada saat ini.
Pada bagian ketiga dikemukakan kerangka pemikiran, yang
termasuk di dalamnya bagaimana penggalian kondisi sosial budaya
yang penting terkait dengan kebudayaan dan aktivitas pemberdayaan
masyarakat. Dimensi dan faktor yang digunakan serta data yang perlu
dikumpulkan pada masing-masing dimensi juga dikemukakan sehingga
didapatkan dimensi dan 25 faktor yang termasuk kedalam kondisi
sosial budaya tersebut. Dimensi yang dikemukakan adalah dimensi
5
pengetahuan lokal, dimensi sistem religi, dimensi ekonomi, dimensi
kelembagaan dan dimensi politik.
Pada bagian keempat dan kelima dikemukakan kondisi sosial
budaya masyarakat nelayan baik yang berada di perairan laut maupun
perairan umum daratan. Masing-masing kondisi sosial budaya
masyarakat nelayan diuraikan berdasarkan dimensi yang ditetapkan,
sehingga gambaran utuh didapatkan pada masing-masing lokasi.
Kemudian, ciri-ciri umum masing-masing kondisi sosial budaya
masyarakat nelayan tersebut diperbandingkan dengan ciri-ciri umum
masyarakat pedesaan dan perkotaan, sehingga diketahui kedudukan
masyarakat nelayan tersebut berada, sebagaimana dikemukakan pada
bagian keenam.
Disamping ciri-ciri umum masyarakat nelayan, pada bagian keenam
dikemukakan pula implikasi kondisi sosial budaya tersebut terhadap
upaya pemberdayaan masyarakat nelayan, terkait dengan program yang
ada di Departemen Kelautan dan Perikanan. Pada bagian akhir,
dikemukakan kesimpulan yang memperlihatkan bagaimana kondisi
sosial budaya penting bagi upaya pemberdayaan masyarakat nelayan.
7
II LANDASAN TEORI
LANDASAN TEORI
2.1. Paradigma Pembangunan Kelautan dan Perikanan
Dalam Rencana Strategis Departemen Kelautan dan Perikanan
2001-2004 (DKP, 2002) dikemukakan bahwa berdasarkan perubahan
paradigma dalam pembangunan ekonomi Indonesia secara
keseluruhan, maka Departemen Kelautan dan Perikanan dalam
melakukan pembangunan kelautan dan perikanan juga melakukan
perubahan paradigma pembangunan. Perubahan yang dilakukan yaitu
adanya keseimbangan paradigma pembangunan antara Resource Based
Development (RBD) dengan Social Based Development (SBD).
Resource Based Development (RBD) adalah paradigma
pembangunan yang dilaksanakan dengan berorientasi pada
pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya alam, terutama
sumberdaya alam daratan (terrestrial), dengan cara pengelolaan yang
terpusat pada pemerintah pusat. Dengan pendekatan RBD, sistem tata
nilai, norma dan hak-hak adat masyarakat (lokal) banyak terabaikan.
Akibatnya, hasil pembangunan bukan saja tidak dapat dinikmati oleh
masyarakat, bahkan masyarakat banyak menanggung beban
permasalahan lingkungan sebagai akibat dampak pembangunan (DKP,
2002).
Di lain pihak, dalam kerangka SBD terkandung makna bahwa
masyarakat terlibat dalam semua proses pembangunan, mulai dari
perencanaan sampai dengan evaluasi dan pemantauan (DKP, 2002).
Dengan demikian, masyarakat sebagai primary stakeholder yang akan
memperoleh manfaat sosial (social benefit) terbesar dalam
pembangunan menjadi sangat penting. Dalam paradigma ini, kearifan
lokal, seperti hak-hak kepemilikan, hak ulayat, dan hak-hak perolehan
8
rakyat (entilement), serta kelembagaan lokal (local institution) akan
menjadi perhatian utama (DKP, 2002).
Dijelaskan pula, bahwa dalam pembangunan kelautan dan
perikanan, selain perlu melakukan perubahan paradigma pembangunan,
juga harus memperhatikan perubahan-perubahan lainnya sejalan
dengan tuntutan masyarakat akan demokratisasi pembangunan, yakni
adanya perubahan fungsi pemerintah dari provider menjadi fasilitator.
Disamping itu, juga harus memperhatikan perubahan fungsi tata
pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Kemudian, juga
perubahan pada paradigma pelayanan birokrasi dari birokrasi normatif
menjadi responsif fleksibel. Akhirnya, perubahan paradigma
pengambilan keputusan/kebijakan dari top down approach menjadi
bottom up approach. Sementara, pendekatan sektoral juga diubah, tidak
hanya mengandalkan pendekatan sektoral, tetapi juga harus
menggunakan pendekatan wilayah.
2.2. Urgensi Aspek Sosial Budaya dalam Pemberdayaan
Masyarakat
Kehidupan sosial budaya masyarakat nelayan di Indonesia sangat
majemuk. Fenomena ini terjadi akibat pengaruh interaksi masyarakat
dengan Tuhan sebagai pencipta-Nya, antar masyarakat sendiri maupun
masyarakat tersebut dengan lingkungannya (Susanto, 1987). Apabila
dikaitkan dengan pelaksanaan pembangunan Nasional sektor kelautan
dan perikanan, pengkajian fenomena ini berupa upaya untuk
memperoleh indikator-indikator sosial budaya yang terkait dengan
upaya pemberdayaan masyarakat nelayan mengandung nilai strategis.
Nilai strategis indikator-indikator kondisi sosial budaya adalah sebagai
alat pengukur tingkat keberhasilan pembangunan skala nasional, dalam
hal menggerakkan modal sosial yang dimiliki masyarakat. Mobilisasi
modal sosial sangat diperlukan karena disadari potensi masyarakat ini
9
yang sesungguhnya merupakan aset penting negara selama ini belum
banyak dimanfaatkan secara optimal dalam rangka mewujudkan
masyarakat yang mandiri.
Upaya mendapatkan indikator sosial budaya dalam riset ini,
dilakukan dengan terlebih dahulu mengkaji dan menganalisis
keterkaitan antara pembangunan dengan konsep kebudayaan. Hal ini
didasari pada adanya pendapat beberapa ahli sosiologi dan antropologi
yang mengemukakan bahwa pembangunan dapat diartikan sebagai
sebuah program pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup masyarakat (Susanto, 1987; Irianto (dalam
Masinambow, 1997). Berdasarkan pendapat ini, maka pembangunan
dapat dilihat sebagai sebuah program yang isinya secara terencana
bertujuan untuk merubah cara-cara hidup dari para warga masyarakat
tersebut. Dalam perspektif ini, sebuah program pembangunan adalah
sebuah program terencana untuk merubah acuan yang secara
tradisional menjadi pedoman bagi kehidupan masyarakat tersebut
menjadi suatu acuan yang baru sesuai dengan isi dan tujuan dari
program pembangunan tersebut. Dalam pengertian ini program
pembangunan dapat dilihat sebagai sebuah program pembangunan
untuk merubah secara terencana kebudayaan dari masyarakat yang
dibangun.
2.3. Peranan Modal Sosial dalam Pemberdayaan Masyarakat
Pendekatan modal sosial merupakan alternatif dari strategi
pengembangan ekonomi masyarakat golongan ekonomi lemah yang
lazimnya ditunjang dana yang berasal dari bantuan proyek yang dikelola
pemerintah. Sehubungan dengan hal ini Gittell et al., (2001) dalam
Syahra (2003) melihat dua peranan yang dapat dimainkan modal sosial
dalam upaya peningkatan kemampuan masyarakat dalam menjalankan
kegiatan ekonomi. Peranan pertama berkaitan dengan bagaimana agar
10
modal sosial dapat memperkuat kapasitas organisasi yang mewadahi
kegiatan ekonomi. Dalam hal ini modal sosial dapat dianggap sebagai
aset dalam pengembangan ekonomi, yang dapat dilihat dari kapasitas
dan kinerja organisasi-organisasi berbasis komunitas, dan lembagalembaga swadaya masyarakat yang berorientasi nirlaba dan badanbadan pemerintah. Faktor-faktor kunci yang memberi sumbangan
terhadap keberhasilan lembaga-lembaga pelaksana pembangunan
masyarakat itu termasuk keterampilan manajemen, kemampuan
membuat perencanaan teknis dan kemampuan anggota personil dalam
mengelola kegiatan, serta kemampuan menjalin hubungan baik dengan
warga masyarakat.
Salah satu masalah penting dalam menggunakan dan
mengembangkan modal sosial dalam masyarakat miskin adalah
bagaimana memilih dengan tepat warga masyarakat yang dilibatkan
sejak awal dalam upaya pengembangan modal sosial. Kemudian, apa
insentif yang dapat diberikan kepada mereka, serta bagaimana
menelusuri hasil-hasil yang telah dicapai dan faktor-faktor penting
lainnya. Masalah ini menjadi penting karena adanya kecenderungan
berbagai organisasi berbasis masyarakat menghabiskan energi untuk
berkompetisi memperoleh bantuan dana dari pemerintah dan
lembaga-lembaga donor.
Modal sosial, juga mencakup perasaan simpati dari seseorang atau
suatu kelompok orang kepada seseorang atau kelompok lainnya.
Perasaan simpati itu dapat berupa rasa kagum, perhatian, peduli, empati,
penghargaan, rasa tanggungjawab, atau kepercayaan terhadap
seseorang atau sekelompok orang (Robison et.al., 2002). Seberapa
besar nilai modal sosial yang dimiliki seseorang terhadap orang lain
ditentukan oleh seberapa jauh adanya unsur-unsur yang berupa rasa
kagum, perhatian, kepedulian dan lain-lainnya itu pada seseorang
terhadap orang lain.
11
Di lain pihak, masyarakat pun tidak cukup hanya menuntut dan
menunggu saja hingga pejabat atau dinas terkait untuk memberikan
pelayanan di bidang kesehatan, pendidikan, bantuan sosial dan
sebagainya, karena tanpa adanya aktifitas yang mereka laksanakan
sendiri dalam kaitan pelayanan tersebut maka hasil yang dicapai tidak
akan optimal. Keberhasilan dari linking social capital ini terletak pada
adanya kesadaran untuk menunjukkan partisipasi aktif dan kontribusi
optimal dari masing-masing stakeholder. Proses untuk mencapai suatu
tujuan bersama yang dilaksanakan melalui partisipasi aktif semua
stakeholder itu dalam literatur modal sosial disebut sebagai koproduksi
(Syahra, 2003).
Koproduksi, merupakan konsep yang relatif baru. Tetapi salah satu
unsurnya, “swadaya masyarakat” tentu bukan hal baru lagi dalam
masyarakat Indonesia. Sistem swadaya ini beberapa tahun belakangan
semakin mendapat perhatian, antara lain dari Bank Dunia (World
Bank). Suatu contoh misalnya, bagaimana Bank Dunia telah mengubah
strategi dan kebijakan pemberian bantuan yang sebelumnya
mempercayakan pelaksanaan pembangunan hampir sepenuhnya
kepada aparat pemerintah dari tingkat pusat sampai ke daerah menjadi
pembangunan yang lebih berorientasi pada kehendak dan kebutuhan
masyarakat atau community-driven development. Untuk itu, swadaya
masyarakat bukan saja dalam bentuk tenaga dan material, tetapi juga
mencakup pemikiran untuk merencanakan dan melaksanakan sendiri
proyek pembangunan yang ada didaerahnya, sedangkan fungsi dan
peran pemerintah lebih terbatas sebagai pemberi dana dan fasilitator.
2.4. Peran Kelembagaan dalam Pemberdayaan Masyarakat
Para praktisi pembangunan sering mengalami frustasi terhadap
kegagalan program (Hikmat, 2001). Kemunculan lebih mengedepankan
partisipasi dan pemberdayaan masyarakat sebagai strategi dalam
12
pembangunan masyarakat, memerlukan seperangkat teknik-teknik.
Teknik-teknik tersebut harus dapat menciptakan kondisi adanya
keberdayaan masyarakat melalui proses pemberdayaan masyarakat
secara partisipatif. Menurut Hikmat (2001), sebenarnya, masyarakat
memiliki banyak potensi, baik dilihat dari sumber-sumber daya alam
yang ada maupun dari sumber-sumber sosial budaya. Masyarakat
memiliki kekuatan yang bila digali dan disalurkan akan berubah menjadi
energi yang besar untuk mengatasi masalah yang mereka alami (Hikmat,
2001).
Cara menggali dan mendayagunakan sumber-sumber daya yang
ada dimasyarakat inilah yang menjadi inti dari pemberdayaan
masyarakat. Di dalam pemberdayaan masyarakat, faktor yang paling
penting adalah bagaimana mendudukkan masyarakat pada posisi pelaku
(subjek) pembangunan yang aktif, bukan hanya penerima yang pasif.
Konsep gerakan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan
mengutamakan inisiatif dan kreasi masyarakat dengan strategi pokok
adalah memberi kekuatan (power) kepada masyarakat.
Masyarakat lebih memahami kebutuhan dan permasalahan yang
mereka hadapi. Untuk itu, harus diberdayakan agar mereka lebih
mampu mengenali kebutuhan-kebutuhannya. Mereka juga dilatih untuk
dapat merumuskan rencana-rencananya serta melaksanakan
pembangunan secara mandiri dan swadaya. Dengan perkataan lain,
gerakan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan dari, oleh, dan
untuk masyarakat.
Hikmat (2001) mengemukakan pula bahwa partisipasi warga
masyarakat dalam melaksanakan gerakan pembangunan tersebut harus
selalu didorong dan ditumbuhkembangkan secara bertahap, mantap,
dan berkelanjutan. Jiwa partisipasi warga masyarakat adalah semangat
solidaritas sosial, yaitu hubungan sosial yang selalu didasarkan pada
perasaan moral, kepercayaan dan cita-cita bersama. Karena itu seluruh
13
warga masyarakat harus selalu bekerjasama, bahu membahu, saling
membantu dan mempunyai komitmen moral dan sosial yang tinggi
dalam masyarakat. Namun demikian, Hermanto et al., (1999)
mengemukakan pula bahwa political will pemerintah harus tuntas
dalam menangani kemiskinan masyarakat pantai (termasuk nelayan),
termasuk pembinaan keluarga nelayan (anak dan isteri). Penanganan
yang dilakukan melalui pendekatan partisipatif dapat membangkitkan
peranan kelompok masyarakat nelayan sehingga kelompok tersebut
menjadi mandiri dan harmonis terhadap mitra usaha (lembaga ekonomi
dan keuangan).
2.5. Peran Pemerintah dalam Pemberdayaan Masyarakat
Menurut Hikmat (2001), meskipun keanekaragaman sistem sosial
budaya di Indonesia telah dikenal lama, namun cenderung diabaikan dan
bahkan mulai dilupakan oleh sebagian masyarakat, termasuk kalangan
pemerintah. Salah satu bukti bahwa pemerintah telah melakukan
distorsi terhadap keanekaragaman sistem sosial budaya adalah
perencanaan program pembangunan dari atas (top down planning) dan
penggunaan pola penyeragaman strategi dalam melaksanakan
pembangunan masyarakat.
Memang pemerintah memiliki kepedulian untuk berupaya
mengatasi masalah kemiskinan dan permasalahan sosial lainnya, tetapi
kebijakan yang dibuat cenderung didesain oleh pemerintah dengan pola
seragam dan bersifat instruksi dari atas. Instruksi inilah yang harus
dilaksanakan sesuai dengan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk
teknis (juknis) (Hikmat, 2001). Dalam hal ini masyarakat lebih berperan
sebagai obyek pembangunan dalam mensukseskan program yang
sebelumnya telah dirancang oleh pemerintah, sehingga masyarakat
bukan sebagai subjek pembangunan yang aktualisasi dirinya diakui.
Dalam reposisi peran pemerintah, maka perlu adanya perbaikan
14
terhadap cara pengambilan keputusan dan penetapan serta
penyampaian kebijakan. Banyak faktor yang mempengaruhi
keberhasilan adopsi kebijakan oleh masyarakat, faktor-faktor tersebut
sangat ditentukan oleh kesediaan masyarakat dalam mengadopsi
produk kebijakan yang dianjurkan tersebut. Menganalogikan kebijakan
dengan suatu teknologi, maka faktor-faktor yang mempengaruhi
kecepatan adopsi kebijakan adalah sifat-sifat inovasi, jenis keputusan
inovasi, saluran komunikasi, ciri-ciri sistem sosial, kegiatan promosi,
interaksi individu dan kelompoknya, sumber informasi dan faktor
internal.
Masyarakat tidak akan langsung mengadopsi atau menerapkan
suatu produk kebijakan pada saat pertama kali mereka ketahui, mereka
baru bersedia menerima dan menerapkan kebijakan tersebut apabila
merasa yakin bahwa kebijakan atau teknologi tersebut menguntungkan
dan memberi manfaat. Oleh sebab itu, diperlukan jangka waktu
tertentu sebelum masyarakat mengambil keputusan akan mengadopsi
atau menolak produk kebijakan tersebut. Adapun kemampuan
masyarakat untuk menentukan sikap menerima atau mengadopsi
kebijakan kelautan dan perikanan erat hubungannya dengan faktor
karakteristik internal dan faktor karakteristik eksternal masyarakat
pengguna atau penerima produk kebijakan.
Proses adopsi terdiri lima tahap, yaitu
1) Tahap kesadaran,
2) Tahap minat,
3) Tahap penilaian,
4) Tahap percobaan serta
5 ) Tahap penerimaan (Rogers dan Shoemaker, 1971). Namun kelima
tahapan adopsi tersebut tidak harus dilalui satu persatu. Terkait
dengan hal ini, kajian yang mendalam terhadap berbagai faktor yang
ikut menentukan tingkat adopsi produk kebijakan kelautan dan
perikanan.
15
III. KERANGKA PEMIKIRAN
KERANGKA PEMIKIRAN
Kondisi sosial budaya merupakan syarat yang perlu diketahui
dalam rangka pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, perlu
diketahui unsur-unsur apa saja yang perlu diperhatikan terkait dengan
suatu kebudayaan dalam masyarakat. Secara umum, unsur-unsur
kebudayaan yang bersifat universal, menurut C. Kluckhohn dalam
Koentjaraningrat (2003) adalah bahasa, sistem pengetahuan, organisasi
sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian
hidup, sistem religi, dan kesenian.
Setiap unsur kebudayaan tersebut mengandung wujud-wujud
kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat (2003), wujud kebudayaan
tersebut dapat berupa nilai-nilai budaya, sistem budaya, sistem sosial,
dan dapat pula berupa artifak atau benda-benda fisik. Kebudayaan
dalam wujud nilai-nilai budaya dapat berupa gagasan-gagasan yang telah
dipelajari (oleh para warga suatu kebudayaan) sejak dini. Istilah untuk
wujud kebudayaan ini adalah ”nilai-nilai budaya”, yang menentukan sifat
dan corak pikiran, cara berpikir, serta tingkah laku manusia suatu
kebudayaan.Wujud kebudayaan ini sangat sukar dirubah.
Sementara, kebudayaan dalam wujud sistem budaya adalah abstrak
(tidak dapat dilihat) dan hanya dapat diketahui serta dipahami (oleh
warga kebudayaan lain, termasuk peneliti) setelah dipelajari dengan
mendalam baik melalui wawancara yang mendalam atau dengan
membaca literatur. Tempatnya adalah dalam kepala tiap individu warga
kebudayaan yang bersangkutan yang dibawa kemanapun ia pergi.
Kebudayaan dalam wujud ini juga memiliki pola dan berdasarkan
sistem-sistem tertentu yang disebut ”sistem budaya”. Fungsi dari
sistem budaya adalah menata serta menetapkan tindakan-tindakan dan
16
tingkah laku manusia. Sistem budaya dalam bahasa Indonesia juga lazim
disebut ”adat-istiadat”.
Kebudayaan dalam wujud sistem sosial digambarkan sebagai
tingkah laku manusia, termasuk tingkah laku dalam melakukan suatu
pekerjaan. Semua gerak-gerik yang dilakukan dari hari ke hari dan dari
masa ke masa merupakan pola-pola tingkah laku yang dilakukan
berdasarkan sistem. Pola-pola tingkah laku manusia tersebut disebut
”sistem sosial” dikarenakan terdiri dari aktivitas-aktivitas atau
tindakan-tindakan berinteraksi antar individu yang dilakukan dalam
kehidupan masyarakat. Semua aktivitas dan tindakan tersebut sifatnya
dapat dilihat dan diobservasi.Wujud kebudayaan yang bersifat konkret
(artifak atau benda-benda), merupakan wujud kebudayaan yang dapat
diraba dan dilihat.
Sebagai contoh adalah kapal/perahu, alat tangkap, rumah, dan lainlain. Pengkajian kebudayaan juga mencermati fungsi kebudayaan.
Kebudayaan mempunyai fungsi yang besar bagi manusia dan
masyarakat. Fungsi pertama adalah sebagai modal masyarakat dan
anggota-anggotanya di dalam menghadapi bermacam kekuatan, seperti
kekuatan alam maupun kekuatan-kekuatan lainnya di dalam masyarakat
itu sendiri yang tidak selalu baik baginya. Fungsi lain dari kebudayaan
adalah sebagai alat pemenuhan kepuasaan manusia (yang berasal dari
manusia itu sendiri), baik di bidang spiritual maupun materil.
Selain kebudayaan, konsep lainnya yang digunakan dalam
menentukan pentingnya kondisi sosial budaya dalam rangka upaya
pemberdayaan masyarakat nelayan adalah konsep pemberdayaan.
Pengertian pemberdayaan masyarakat sebenarnya mengacu pada kata
”empowerment”, yaitu sebagai upaya untuk mengaktualisasikan potensi
yang sudah dimiliki oleh masyarakat. Oleh karena itu, pendekatan
pemberdayaan dalam pengembangan masyarakat menekankan
pentingnya masyarakat lokal yang mandiri (self-reliant communities)
17
sebagai suatu sistem yang mengorganisir diri mereka sendiri.
Pendekatan pemberdayaan masyarakat yang berpusat pada manusia
(people-centered development) ini kemudian melandasi wawasan
pengelolaan sumberdaya lokal (community-based resources
management). Dalam wawasan ini, terbentuk mekanisme perencanaan
people-centered development yang menekankan pada teknologi
pembelajaran sosial (social learning) dan strategi perumusan program
bersama masyarakat.
Moelyarto, 1999 dalam Wahyono et al., (2001) mengemukakan ciriciri pendekatan pengelolaan sumberdaya lokal yang berbasis
masyarakat meliputi:
a. Keputusan dan inisiatif untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
setempat dibuat di tingkat lokal, oleh masyarakat yang memiliki
identitas yang diakui peranannya sebagai partisipan dalam proses
pengambilan keputusan;
b. Fokus utama pengelolaan sumberdaya lokal adalah memperkuat
kemampuan masyarakat dalam mengarahkan aset-aset yang ada
dalam masyarakat setempat, untuk memenuhi kebutuhannya;
c. Toleransi yang besar terhadap adanya variasi. Oleh karena itu
mengakui makna pilihan individual dan mengakui proses
pengambilan keputusan yang desentralistis;
d. Budaya kelembagaannya ditandai oleh adanya organisasi-organisasi
yang otonom dan mandiri, yang saling berinteraksi memberikan
umpan balik pelaksanaan untuk mengoreksi diri pada setiap jenjang
organisasi;
e. Adanya jaringan koalisi dan komunikasi antara para pelaku dan
organisasi lokal yang otonom dan mandiri, yang mencakup
kelompok penerima manfaat, pemerintah lokal, bank lokal dan
sebagainya, yang menjadi dasar bagi semua kegiatan yang ditujukan
untuk memperkuat pengawasan dan penguasaan masyarakat atas
18
berbagai sumber yang ada, serta kemampuan masyarakat untuk
mengelola sumberdaya setempat.
Dengan demikian keberdayaan masyarakat terletak pada proses
pengambilan keputusan sendiri untuk mengembangkan pilihan-pilihan
adaptasi terhadap perubahan lingkungan ekologis dan sosial.
Berdasarkan konsep kebudayaan dan makna yang terkandung dalam
pemberdayaan masyarakat, maka ditetapkan lima dimensi kehidupan
sosial budaya masyarakat nelayan. Kelima dimensi tersebut adalah
dimensi pengetahuan lokal, sistem religi, ekonomi, kelembagaan dan
politik. Pada setiap dimensi terdiri atas faktor-faktor yang dikaji terkait
dengan upaya pemberdayaan masyarakat nelayan dalam rangka
pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan (SDKP).
3.1. Dimensi Pengetahuan Lokal
Dimensi ini merupakan pengkajian ”sistem pengetahuan”
masyarakat nelayan setempat. Ruang lingkup kajian dibatasi pada
pengetahuan lokal tentang pemanfaatan dan pengelolaan SDKP
setempat secara arif. Dalam hal ini digali informasi tentang perilaku
masyarakat yang ramah lingkungan beserta tata nilai yang menyebabkan
terjadinya perilaku tersebut. Dikaitkan dengan upaya pemberdayaan,
dalam dimensi ini diperlukan kajian terhadap tiga faktor, yaitu
pemanfaatan dan pengelolaan SDKP, konservasi SDKP serta penegakan
peraturan (law enforcement).
Pengetahuan lokal masyarakat nelayan yang terkait dengan
persepsi dan konsepsi, sistem dan mekanisme pengelolaan dan
pemanfaatan SDKP secara lestari. Persepsi adalah suatu proses
masyarakat mengetahui beberapa hal dengan menggunakan panca
inderanya terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan SDKP secara
lestari. Dalam tahapan proses selanjutnya, persepsi dapat menjadi suatu
konsepsi. Hal ini terjadi pada saat persepsi yang dimiliki menjadi bahan
19
Tabel 1. Faktor, Atribut dan Jenis Data Dimensi Pengetahuan Lokal dalam Rangka
Pemberdayaan Masyarakat Nelayan
No.
1.
Faktor
Pengelolaan dan
pemanfaatan
sumberdaya
kelautan dan
perikanan
Atribut/Verifier
1. Persepsi dan konsepsi
terhadap sistem dan
mekanisme pengelolaan
dan pemanfaatan
2. Sistem pengelolaan dan
pemanfaatan
3. Mekanisme pengelolaan
dan pemanfaatan
Jenis Data
a.
b.
c.
d.
e.
2.
Konservasi
sumberdaya
kelautan dan
perikanan
4. Persepsi dan konsepsi
upaya konservasi
5. Mekanisme upaya
konservasi
a.
b.
c.
d.
3.
Penegakan
peraturan (law
enforcement)
6. Bentuk sanksi atas
pelanggaran pengaturan.
7. Mekanisme penegakan
sanksi atas pelanggaran
peraturan.
8. Efektivitas penegakan
peraturan.
a.
b.
c.
Batas-batas wilayah
penangkapan ikan
Klaim terhadap wilayah
penangkapan ikan tertentu
Pemegang wewenang dan
distribusi hak pemenfaatan
Aturan tentang daerah
penangkapan, musim
penangkapan, alat tangkap,
atau aturan lainnya yang
berhubungan dengan
penangkapan ikan.
Tata cara pengaturan
pengelolaan dan
pemanfaatan SDKP.
Keberadaan upaya
konservasi SDKP.
Pencetus dan pelaksana
kegiatan konservasi SDKP.
Tata cara pengaturan dan
kegiatan konservasi SDKP
Deskripsi dan manfaat yang
dirasakan oleh masyarakat
dari kegiatan konservasi
SDKP.
Peraturan-peraturan
(tertulis ataupun tidak
tertulis) yang terkait
dengan pengelolaan dan
pemanfaatan SDKP.
Bentuk-bentuk sanksi di
dalam peraturan-peraturan
yang ada.
Jumlah penyelesaian kasus
pelanggaran (berdasarkan
hukum normatif maupun
hukum positif).
pemikiran (individu atau masyarakat) untuk membuat suatu rancangan
tindakan. Persepsi dan konsepsi pada akhirnya menjadi bagian dari
pengetahuan lokal, dan menjadi dasar berlangsungnya sistem dan
mekanisme pemanfaatan dan pengelolaan SDKP. Sistem dan
mekanisme pengelolaan dan pemanfaatan SDKP dalam hal ini
merupakan suatu rangkaian perilaku dan tindakan masyarakat dalam
20
memperlakukan atau berinteraksi dengan SDKP yang ada.
Pengkajian tentang konservasi SDKP dituangkan dalam bentuk
pengetahuan lokal masyarakat setempat yang terkait dengan persepsi
mereka tentang mekanisme konservasi SDKP. Mekanisme tersebut
tercipta dengan tujuan untuk menjaga fungsi SDKP didalam mendukung
keberlanjutan pengelolaan dan pemanfaatan SDKP.
Adapun fungsi SDKP tersebut terbagi ke dalam fungsi ekologi,
sosial dan ekonomi. Dalam pembangunan berkelanjutan, ketiga fungsi
SDKP tersebut harus senantiasa berada didalam suatu keseimbangan
(Pearce and Warford, 1993). Terkait dengan konservasi SDKP, maka
persepsi dan konsepsi yang dimaksud adalah pendapat atau paham
tentang upaya konservasi SDKP. Persepsi dan konsepsi tersebut
mencerminkan adanya suatu rancangan upaya konservasi di dalam
pikiran masyarakat. Sementara itu, mekanisme merupakan suatu
rangkaian perilaku dan tindakan masyarakat dalam upaya konservasi
SDKP. Kesemua faktor yang termasuk dalam kategori pengetahuan
lokal tersebut, beserta jenis data yang diperlukan untuk
menjelaskannya, secara ringkas dikemukakan pada Tabel 1.
3.2. Dimensi Sistem Religi
Dimensi ini merupakan pengkajian terhadap berfungsinya peran
agama dan atau kepercayaan yang dianut terhadap aktivitas kehidupan
dan kesejahteraan dalam suatu masyarakat. Dimensi ini memiliki tiga
faktor penjelas, yaitu agama dan atau kepercayaan yang dianut,
hubungan antara agama dan atau kepercayaan dengan kegiatan
ekonomi masyarakat, peranan agama dan atau kepercayaan dalam
kegiatan sosial-politik masyarakat.
Faktor agama dan atau kepercayaan yang dianut memandang
agama merupakan suatu hal yang dijadikan sandaran penganutnya
ketika terjadi hal-hal yang berada di luar jangkauan dan kemampuannya
karena sifatnya yang supranatural. Dengan demikian, diharapkan dapat
21
mengatasi masalah-masalah yang non-empiris dan supra-empiris.
Agama dan atau kepercayaan merupakan faktor esensial bagi identitas
dan integrasi masyarakat. Masyarakat diikat oleh sistem simbol yang
bersifat umum. Sistem simbol itu akan berpusat pada martabat manusia
sebagai pribadi, kesejahteraan umum, dan norma-norma etik yang
selaras dengan karakteristik masyarakat itu sendiri.
Setiap masyarakat dalam proses menghayati cita-citanya yang
tertinggi akan menumbuhkan kebaktian pada representasi diri
simboliknya. Dalam bentuk sistem simbol, anggota masyarakat bisa
menjadi sadar akan dirinya (identitas individu). Lebih jauh, sistem
simbol merupakan cara berpikir tentang eksistensi kolektif. Hal ini
yang menjadikan fungsi agama dapat berjalan dalam masyarakat yang
bersangkutan.
Agama memiliki fungsi mengatasi persoalan-persoalan yang timbul
di masyarakat yang tidak dapat dipecahkan secara empiris karena
adanya keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian manusia.
Berjalannya fungsi agama tersebut diharapkan masyarakat merasa
sejahtera, aman, stabil dan sebagainya. Dalam hal ini fungsi agama yang
perlu diperhatikan adalah agama sebagai pemberi identitas diri/individu
seseorang dan agama merupakan sarana hubungan transedental
melalui pemujaan serta upacara ibadat.
Hubungan antara agama dan atau kepercayaan dengan kegiatan
ekonomi masyarakat dalam hal ini terkait dengan ketaatan masyarakat
terhadap syariat agama dan atau kepercayaan atas aktifitas ekonomi
yang dilakukan oleh penganut agama dan atau kepercayaan tersebut.
Agama dan atau kepercayaan memiliki ajaran atau syariat yang juga
mengatur aktifitas ekonomi masyarakat. Di sektor ekonomi terdapat
dogma yang berfungsi menata norma ekonomi di dalam masyarakat.
Ajaran atau syariat bersifat dogma seharusnya dipatuhi oleh
masyarakat.
22
Tabel 2. Faktor, Atribut atau Verifier dan Jenis Data Dimensi Sistem Religi dalam
Rangka Pemberdayaan Masyarakat Nelayan.
No.
1
2.
Faktor
Agama dan atau
kepercayaan yang
dianut.
Hubungan antara
agama dan atau
kepercayaan
dengan kegiatan
ekonomi
masyarakat
Atribut/Verifier
1. Agama dan atau
kepercayaan yan g dianut
2. Pandangan dan
kepercayaan tentang
hubungan antara agama
dan atau kepercayaan
dengan kegiatan ekonomi
masyarakat.
3. Simbolik hubungan
antara agama dan atau
kepercayaan dengan
kegiatan ekonomi
masyarakat.
4. Pandangan dan
kepercayaan tentang
hubungan antara agama
dan atau aliran
kepercayaan dengan
kegiatan ekonomi
masyarakat
5. Simbolik hubungan antara
agama dan atau aliran
kepercayaan dengan
kegiatan ekonomi
masyarakat.
Jenis Data
a.
b.
a.
b.
c.
d.
e.
3
Peranan agama dan 1. Peranan tokoh-tokoh
atau kepercayaan
agama dan atau
dalam kegiatan
kepercayaan.
sosial-politik
masyarakat
a.
b.
c.
Agama dan atau
kepercayaan yang dianut
dan dominan di
masyarakat.
Ajaran atau syariat agama
dan atau kepercayaan yang
dilakukan oleh pemeluknya.
Ajaran atau syariat agama
dan atau kepercayaan
terkait secara langsung
maupun tidak langsung
dengan aktifitas ekonomi
yang ada di masyarakat.
Jenis-jenis upacara serta
kegiatan ritual keagamaan
dan atau kepercayaan yang
ada di masyarakat.
Tujuan dan makna
pelaksanaan ajaran atau
syariat tersebut oleh
masyarakat.
Keberadaan dan bentuk
(jika ada) pengaruh ajaran
atau syariat tersebut kepada
setiap anggota masyarakat.
Seberapa luas ajaran atau
syariat mengikat anggota
masyarakat.
Tokoh agama dan atau
kepercayaan yang diakui
masyarakat.
Dasar-dasar
penilaian/kriteria dari
masyarakat terkait dengan
pengakuan individu sebagai
tokoh agama dan atau
kepercayaan.
Besarnya pengaruh tokohtokoh masyarakat yang
dimaksud.
23
Lanjutan Tabel 2
No.
Faktor
Atribut/Verifier
Jenis Data
d.
Keterlibatan tokoh agama
dan atau kepercayaan dalam
aktivitas masyarakat di luar
kegiatan peribadahan.
e. Bagaimana bentuk
keterlibatan tersebut (jika
ada).
Pengkajian terhadap ketaatan masyarakat pada ajaran atau syariat
agama dan atau kepercayaan memerlukan pemahaman bahwa ajaran
atau syariat agama dan atau kepercayaan memiliki simbol-simbol yang
diartikan sebagai manifestasi atau cerminan dalam kehidupan
keseharian. Simbol-simbol agama dan atau kepercayaan mencakup halhal seperti kegiatan ritual, upacara atau lainnya. Simbol-simbol ini
digunakan dalam segala aktifitas kehidupan masyarakat termasuk
aktivitas ekonomi di dalam pemanfaatan dan pengelolaan SDKP.
Peranan agama dan atau kepercayaan dalam kegiatan sosial politik masyarakat mengandung pengertian bahwa agama dan atau
kepercayaan pada saat tertentu dapat berfungsi sebagai pelindung
tatanan sosial. Agama juga dapat menilai kondisi sosial saat sekarang
dengan mengacu kepada masyarakat ideal yang berdasarkan kepada
ajarannya. Peranan pemimpin agama dan atau kepercayaan dalam
aktifitas sehari-hari diperlukan karena pada umumnya pembangunan
diorientasikan pada upaya-upaya manusia yang bersifat utuh dan serasi
antara kemajuan aspek lahiriah dan kepuasan aspek batiniah. Dalam
keseharian, pemimpin agama dan atau kepercayaan dapat berfungsi
sebagai motivator, pembimbing, pemberi landasan etis dan moral serta
menjadi mediator dalam seluruh aspek keseharian dan kegiatan
pembangunan. Secara ringkas, faktor dan atribut serta jenis data
dimensi sistem religi tersebut dikemukakan pada Tabel 2.
24
3.3. Dimensi Ekonomi
Dimensi ini merupakan pengkajian terhadap pandangan dan sistem
mata pencaharian hidup yang dilakukan dan dikembangkan oleh
masyarakat nelayan setempat. Kebudayaan secara kritis telah
ditempatkan pada tiga elemen utama dari ekonomi. Elemen pertama,
yaitu produksi mencakup kebudayaan organisasi, kelas sosial dan
konsekuensi-konsekuensi ekonominya. Elemen kedua yaitu konsumsi,
mencakup persoalan selera dan preferensi yang dikaitkan dengan
kelahiran perilaku konsumtif. Elemen ketiga, pertukaran adalah fungsi
kebudayaan di dalam pasar, di mana kebudayaan berfungsi sebagai
bentuk konstitutif aktor-aktor yang terlibat di dalam pasar, dari
masyarakat pasar dan sarana pemahaman bentuk-bentuk kapitalis.
Dimensi ini terdiri dari tiga faktor, yaitu tingkat ketergantungan
terhadap sumberdaya, pembagian peran dalam kegiatan produksi,
sistem jaminan sosial dan tingkat konsumsi ikan.
Masyarakat nelayan dikenal memiliki tingkat ketergantungan yang
tinggi terhadap SDKP.Tingkat ketergantungan tersebut membuat polapola produksi tertentu. Kegiatan produksi tidak hanya diartikan sebagai
upaya di dalam pemenuhan kebutuhan keseharian (subsistensi). Namun
kegiatan berproduksi lebih diartikan sebagai upaya untuk memperoleh
hasil yang berorientasi pasar. Saat kegiatan produksi masih sebatas pada
upaya pemenuhan kebutuhan keseharian, maka pengembangan usaha
terkait dengan kegiatan produksi tersebut akan berjalan lamban.
Berjalan lamban dapat diartikan sebagai lambatnya penyerapan
teknologi atau rendahnya akses pada peningkatan teknologi dan
rendahnya investasi. Melalui pengamatan, tingkat ketergantungan bisa
juga diketahui dari jumlah dan jenis mata pencaharian alternatif (MPA)
yang ada dan berkembang dalam masyarakat yang dikaji.
Kegiatan produksi dalam konsep pemberdayaan harus
memperhatikan spesialisasi dan keterampilan fungsional yang ada di
25
masyarakat. Dengan demikian akan ada pembagian peran di dalam
pekerjaan. Ciri dari kegiatan ekonomi adalah semakin terspesialisasi
suatu pekerjaan maka kecenderungan semakin efisien dalam
pengalokasian sumberdaya. Spesialisasi terbentuk dari adanya
keterampilan fungsional.
Jaminan sosial merupakan suatu bentuk pola adaptasi dari
masyarakat ketika dihadapkan pada permasalahan adanya keterbatasan
akses terhadap sumberdaya. Dengan kata lain masyarakat akan
menciptakan jaringan pengaman sosial yang dapat menjamin
keberlangsungan terhadap hidup mereka, seperti halnya kebutuhan
akan modal ketika saluran-saluran formal yang ada tidak mampu untuk
memberikan jaminan kepada masyarakat. Sistem jaminan sosial
mensyaratkan adanya bentuk-bentuk kerjasama diantara anggota
masyarakat.
Kerjasama-kerjasama dalam berbagai bentuk diantara anggota
masyarakat bertujuan untuk menjamin keberlangsungan usaha.
Kemampuan masyarakat nelayan dalam membangun kerjasama secara
nyata untuk menyelesaikan pekerjaan dalam proses produksi
merupakan suatu hal yang diperlukan di dalam menghadapi sumberdaya
yang memiliki tingkat resiko dan ketidakpastian yang tinggi. Pola
kerjasama juga dapat berupa pola-pola ketergantungan
(interdependensi) antara anggota masyarakat dengan anggota
masyarakat lainnya. Pola hubungan ketergantungan umumnya
memberikan jaminan subsistensi kepada anggota yang terlibat di dalam
kerjasama tersebut. Selain itu, hubungan saling ketergantungan juga
memberikan pembagian insentif (sistem bagi hasil) sesuai dengan peran
dan kontribusi masing-masing pelaku kegiatan ekonomi.
Tingkat konsumsi makanan tertentu secara budaya terkait dengan
kebiasaan dan pantangan makan. Besarnya tingkat konsumsi atas
produk ter tentu dapat meningkatkan keinginan untuk
26
mempertahankan bahkan meningkatkan kegiatan produksi. Hal ini
berkaitan dengan kajian pengembangan pasar produk kegiatan
ekonomi (lokal, regional atau internasional). Faktor dan atribut atau
verifier serta jenis data dimensi ekonomi tersebut dikemukakan pada
Tabel 3.
3.4. Dimensi Kelembagaan
Dimensi ini mengkaji berbagai lembaga sosial yang terdapat dalam
suatu masyarakat nelayan yang kajiannya mencakup proses
Tabel 3. Faktor,Atribut atau Verifier dan Jenis Data Dimensi Ekonomi
dalam rangka Pemberdayaan Masyarakat Nelayan.
No.
1.
Faktor
Tingkat
ketergantungan
terhadap
sumberdaya
Atribut/Verifier
1. Orientasi kegiatan
produksi
2. Pandangan terhadap
inovasi teknologi yang
digunakan (termasuk
didalamnya pemahaman
akan teknologi ramah
lingkungan)
3. Besar dan laju investasi
dalam kegiatan
produksi
4. Diversifikasi MPA
Jenis Data
a.
b.
c.
d.
e.
f.
2.
3.
Pembagian Peran 5. Spesialisasi pekerjaan
dalam Kegiatan 6. Keterampilan
produksi
fungsional yang dimiliki
nelayan
Sistem Jaminan
7. Kemampuan
Sosial
kerjasama
8. Interdependensi
9. Struktur hubungan
10. Sharing system
g.
h.
a.
Sejarah penggunaan alat
produksi
Skala usaha produksi yang
dijalankan saat ini
Kemampuan masyarakat
nelayan dalam melakukan
pekerjaan secara terencana,
logis dan terukur.
Besar dan laju investasi
dalam kegiatan produksi
Jumlah dan jenis MPA
(didalam maupun diluar
sektor kelautan dan
perikanan).
Keinginan menjalankan jenis
MPA yang ada.
Jenis pekerjaan
Pembagian peran dalam
suatu pekerjaan
Bentuk-bentuk kerjasama
yang ada di masyarakat
dalam hubungannya dengan
kegiatan ekonomi (produksi
dan pemasaran)
b. Kegiatan produksi
mencakup kegiatan
penangkapan dan di luar
penangkapan.
27
Lanjutan Tabel 3
No.
Faktor
Atribut/Verifier
Jenis Data
c.
4.
Tingkat
konsumsi ikan
11. Tingkat konsumsi
ikan
Bentuk-bentuk kerjasama
yang ada di masyarakat di
dalam keseharian (seperti
contoh arisan, pengajian,
dll).
d. Sistem bagi hasil atau
margin yang diperoleh oleh
pelaku-pelaku ekonomi.
a. Berbagai cara pengolahan
hasil perikanan
b. Kebiasaan dan pantangan
makan.
c. Tingkat konsumsi ikan per
kapita per tahun masyarakat
nelayan setempat.
pembentukan serta aturan main, kewenangan dan aturan representasi
dalam setiap organisasi sosial yang teridentifikasi dan teramati. Ciri
umum lembaga sosial adalah organisasi pola-pola pemikiran dan polapola perilaku yang terwujud melalui aktifitas-aktifitas kemasyarakatan
dan hasil-hasilnya. Lembaga sosial memiliki suatu tingkat kekekalan
tertentu ketika himpunan norma-norma yang terkandung di dalam
lembaga sosial tersebut berkisar kepada kebutuhan pokok sudah
sewajarnya harus dipelihara. Kelembagaan memegang peranan penting
di dalam konsep pemberdayaan. Kelembagaan dapat menjadi sebuah
pembawa perubahan (agent of change) di dalam suatu komunitas
masyarakat.
Berdasarkan asal-usulnya kelembagaan dapat muncul dari inisiatif
masyarakat ataupun pemerintah. Asal-usul terbentuknya lembaga di
masyarakat sangat penting untuk diketahui. Hal ini terkait dengan dasar
serta tujuan dari pembentukan lembaga tersebut. Selain itu, sifat
lembaga yang ada juga menjadi penting untuk diketahui. Kemudian,
eksistensi sebuah lembaga dapat dicirikan dengan adanya tiga hal. Ketiga
hal tersebut adalah batas kewenangan, aturan representasi dan aturan
28
main dari lembaga tersebut. Batas kewenangan merupakan cerminan
seberapa jauh lembaga tersebut mencakup norma-norma yang
mengikat di dalam kehidupan anggotanya dan masyarakat. Aturan
representasi mencerminkan seberapa jauh dapat memenuhi normanorma yang ada sesuai dengan kebutuhan anggotanya dan masyarakat.
Aturan main dari lembaga merupakan cerminan dari normanorma yang menjadi pembatas bagi anggotanya dan masyarakat.
Aturan-aturan ini haruslah dapat menata pola-pola tingkah laku
anggotanya dan masyarakat.
Fungsi dari lembaga sosial adalah menjaga keutuhan masyarakat
dan memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan
sistem pengendalian sosial (social control system). Konflik terjadi seiring
munculnya perbedaan kepentingan atau kebutuhan di dalam suatu
masyarakat. Berfungsinya peranan ini akan dapat mengikat tujuantujuan pembentukan lembaga sesuai dengan fungsi lembaga. Tabel 4
Tabel 4. Faktor, Atribut atau Verifier dan Jenis Data Dimensi
Kelembagaan dalam rangka Pemberdayaan Masyarakat
Nelayan.
No.
1.
Faktor
Atribut/Verifier
Asal usul lembaga 1. Proses
pembentukan
2. Sifat lembaga
Jenis Data
a.
b.
c.
d.
2.
3.
Eksistensi
lembaga
Manajemen
konflik
3. Batas kewenangan
4. Aturan representasi
5. Aturan main dari
lembaga
a.
6. Manajemen konflik
a.
b.
c.
b.
Sejarah pembentukan lembaga yang ada di
masyarakat.
Inisiatif pembentukan lembaga yang ada di
masyarakat.
Dasar pembentukan lembaga yang ada di
masyarakat.
Tujuan pembentukan lembaga yang ada di
masyarakat.
Identifikasi anggota-anggota lembaga
sosial yang ada.
Proses rekruitmen.
Bentuk-bentuk aturan yang tertulis atau
tidak tertulis dalam kegiatan pengelolaan
dan pemanfaatan SDKP (penangkapan dan
non penangkapan).
Kemampuan pemimpin atau seluruh
anggota suatu lembaga
sosial/kemasyarakatan dalam penyelesaian
konflik yang terjadi di masyarakat.
Mekanisme atau prosedur penyelesaian
konflik
29
menghimpun secara ringkas tentang faktor, atribut atau verifier dan jenis
data dimensi kelembagaan dalam rangka pemberdayaan masyarakat
nelayan.
3.5. Dimensi Politik
Dimensi ini mengkaji mata rantai antara politik dan masyarakat,
antara struktur-struktur sosial dan struktur-struktur politik dan antara
tingkah laku sosial dan tingkah laku politik. Dimensi ini terkait dengan
kebijaksanaan pembangunan. Dimensi ini juga berusaha memahami
bagaimana keputusan-keputusan yang sah dibuat dan dilaksanakan
dalam suatu komunitas masyarakat.
Tuntutan dan dukungan adalah input dari suatu sistem politik yang
merupakan suatu bahan mentah atau informasi yang harus diproses di
dalam sistem politik. Tuntutan berasal dari masyarakat. Tuntutan
tersebut lahir apabila masyarakat membutuhkan sesuatu dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Tuntutan tidak akan terwujud apabila
tidak disertai oleh dukungan. Dukungan bersumber dari kepemimpinan
politik dalam masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat
kepemimpinan politik merupakan kepemimpinan pemerintahan.
Kepemimpinan dalam pemerintahan diperlukan untuk menjamin
program pembangunan berwujud suatu program yang terencana dan
dapat mengarahkan suatu perubahan cara hidup masyarakat yang
sesuai dengan isi dan tujuan program pembangunan. Visi merupakan
kemampuan untuk melihat pada inti persoalan. Pemahaman atau
wawasan tersebut diperlukan agar program pembangunan
direncanakan dan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Seorang pemimpin penting memiliki kemampuan dalam
memahami dan menempatkan diri pada kondisi/persepsi pihak lain
untuk mendapatkan manfaat bersama. Prinsip ini juga dapat dilihat dari
seberapa jauh pimpinan mampu berkorban untuk memperoleh
30
kepercayaan masyarakat. Kepercayaan tersebut dapat digunakan oleh
pimpinan untuk menggerakkan kemajuan ekonomi masyarakat nelayan
setempat secara lebih cepat dan terarah. Kemampuan berkomunikasi
yang baik seorang pemimpin dengan anggota masyarakat yang
dipimpinnya juga hal yang haruslah diperhatikan. Hal ini bertujuan
untuk melihat kemampuan seorang pemimpin memberi inspirasi dan
mengarahkan (inspiring and directing) anggota masyarakat yang
dipimpinnya.
Kesatuan dan keutuhan sistem politik didukung oleh konsep, yaitu
sistem, struktur dan fungsi. Sistem politik merupakan organisasi melalui
mana masyarakat merumuskan dan berusaha mencapai tujuan-tujuan
bersama mereka. Sistem politk sebagai sebuah saluran untuk mencapai
tujuan-tujuan bersama masyarakat terkait erat dengan proses
pengambilan keputusan atau penetapan aturan. Proses pengambilan
keputusan ini merupakan cerminan dari representasi publik yang
diwadahi oleh suatu lembaga sosial tertentu. Dasar pengambilan
Tabel 5. Faktor, Atribut atau Verifier dan Jenis Data Dimensi Politik
dalam rangka Pemberdayaan Masyarakat Nelayan.
No.
Faktor
Atribut/Verifier
1.
Tuntutan dan
Dukungan terhadap
sistem politik
1. Tuntutan dan
pencetus tuntutan
2. Penilaian
kepemimpinan oleh
masyarakat
3. Dukungan terhadap
kepemimpinan oleh
masyarakat
2.
Sistem Politik
4. Proses pengambilan
keputusan / aturan
representasi publik
3.
Keputusan dan
Kebijakan
5. Hubungan pemegang
kekuasaan lokal
dengan luar
Jenis Data
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
a.
b.
c.
a.
Jenis-jenis tuntutan masyarakat
Asal tuntutan yang
teridentifikasi
Visi pemimpin
Daya empati pemimpin
Kemampuan komun ikasi
pemimpin
Rasionalitas pemimpin
Kemampuan pemimpin dalam
Inspiring and directing
Integritas pemimpin
Transparansi
Akuntabel
Terbuka untuk diaudit
(Auditable)
Conflict of interest
31
keputusan sudah seharusnya diketahui oleh masyrakat luas yang
menjadi anggota. Kemudian juga keputusan yang diambil haruslah
mencerminkan alur logika dan pemikiran yang dapat diterima
masyarakat. Selain itu, masyarakat harus memiliki akses untuk
mengkaji kembali (merevisi) dan memutuskan ulang keputusan yang
telah dibuat.
Sistem politik sebagai suatu konsep ekologis, menunjukkan
adanya suatu organisasi yang berintegrasi dengan suatu lingkungan
yang mempengaruhinya dan dipengaruhinya. Secara ringkas, dimensi
politik diuraikan menjadi faktor, atribut dan jenis data seperti yang
dikemukakan pada Tabel 5.
Dalam Tabel 5 terlihat bahwa keputusan dan kebijakan terkait
erat dengan fungsi yang dimiliki oleh suatu sistem politik. Pada
prinsipnya suatu keputusan dan kebijakan tidak dapat berdiri sendiri
tanpa melihat kepentingan dari luar. Kemudian menjadi suatu hal yang
penting untuk melihat keselarasan antara keputusan dan kebijakan
yang telah dibuat dengan keputusan dan kebijakan yang ada di luar
sistem politik tersebut. Dengan demikian, menjadi hal penting untuk
melihat terjalinnya kesamaan kepentingan antara pemegang
kekuasaan lokal dan luar.
33
IV
KONDISI SOSIAL BUDAYA
MASYARAKAT NELAYAN PERAIRAN LAUT
Kondisi sosial budaya masyarakat nelayan perairan laut yang
dikemukakan dalam bagian ini merupakan hasil riset yang dilaksanakan
pada berbagai masyarakat nelayan.
4.1. Bandar Lampung, Lampung.
Gambar 1. Suasana kegiatan penanganan ikan
di PPP Lempasing, Bandar Lampung.
Pemukiman nelayan di Bandar Lampung terpusat pada tiga lokasi
dengan ciri didominasi oleh etnis tertentu. Desa Lempasing (TPI
Lempasing) dan Desa Gudang Agen Lama (TPI Ujung Bom) umumnya
merupakan nelayan pendatang yang berasal dari Cirebon, Banten dan
Jawa Timur (khusus Desa Lempasing) serta Daerah Cungkeng
(Kampung Bugis) yang sebagian besar dihuni oleh pendatang Bugis. Di
Bandar Lampung ini nelayan yang berasal dari Lampung sendiri
(penduduk asli) jarang ditemukan, demikian juga hal yang sama pada
bakul (pengumpul ataupun pengecer di TPI) (Gambar 1).
Teknologi penangkapan yang digunakan oleh nelayan di wilayah
Propinsi Lampung didominasi oleh mini purse seine, payang dan bagan
dengan ukuran kapal yang beragam. Ukuran kapal yang dioperasikan di
34
wilayah Lempasing (TPI) berkisar antara 5 sampai 25 GT, dengan daerah
penangkapan (fishing ground) Teluk Lampung dan sekitarnya. Kapal-kapal
jukung dengan ukuran motor 5-10 PK juga masih banyak ditemukan,
dimana pengguna teknologi penangkapan ini terutama adalah nelayan
suku bugis (daerah Cungkeng).
Di samping kapal-kapal untuk menangkap ikan, di Bandar Lampung
juga tampak penggunaan kapal pelele, yaitu kapal yang terutama
digunakan untuk mengumpulkan ikan (dominan hasil tangkapan nelayan
bagan) disamping juga berfungsi untuk mengangkut perbekalan nelayan.
Lama melaut relatif singkat, yaitu antara satu hari (one day fishing) untuk
bagan perahu dan jukung hingga 2-3 hari untuk payang, cantrang dan
mini purse seine. Daerah penangkapan jukung berkisar pada Jalur 1
(kurang dari 2 mil) disekitar lokasi bagan tancap disepanjang garis
pantai Bandar Lampung hingga pesisir Kabupaten Lampung Selatan.
Sementara daerah penangkapan cantrang, payang dan mini purse-seine
terletak pada jalur 2 hingga 3, mulai dari daerah Lampung Selatan,
daerah perairan Selat Sunda hingga pantai Timur Sumatera dan daerah
perairan Lampung Barat.
Dimensi Pengetahuan Lokal
Konsepsi hak kepemilikan secara umum yang ada di masyarakat
cenderung mengarah kepada konsepsi non property. Hal ini ditandai
dengan persepsi masyarakat yang menganggap bahwa laut adalah
pemberian Allah SWT, dan diciptakan untuk digunakan secara bersamasama. Hal ini ditandai juga dengan tidak adanya klaim yang dilakukan
oleh masyarakat nelayan setempat terhadap sumberdaya laut yang ada
di daerahnya sebagai wilayah mereka. Arti dari tidak adanya klaim
wilayah juga menandakan bahwa setiap orang dari wilayah di luar
daerah mereka, bisa menangkap ikan di wilayah tersebut. Walaupun
demikian, secara tidak disadari ternyata ada nelayan yang sebenarnya
menerapkan ”klaim” wilayah, terutama nelayan yang menggunakan alat
35
tangkap bagan. Tempat dimana bagan tersebut ditancapkan atau
dioperasikan tidak boleh diganggu oleh nelayan lain. Sifat kepemilikan
bagan tersebut diketahui dan dihargai oleh nelayan lainnya.
Selain itu, konsepsi pengelolaan sumberdaya juga sangat erat
kaitannya dengan bagaimana akses yang ada bagi masyarakat terhadap
sumberdaya laut tersebut. Pemahaman masyarakat terkait dengan
akses terhadap sumberdaya yang ada adalah laut bersifat open access.
Artinya, siapa pun bebas untuk menangkap ikan di laut tempat mereka
berada. Masyarakat tidak memiliki aturan-aturan tentang bagaimana
memanfaatkan dan mengelola sumberdaya laut. Hal ini terjadi karena
kondisi open access menggambarkan tidak adanya pihak-pihak yang
bertanggung jawab terhadap kegiatan yang telah mereka lakukan. Satu
aturan yang berlaku adalah siapa yang memiliki modal yang kuat akan
lebih memiliki akses yang langsung terhadap sumberdaya yang lebih
baik (dalam hal ini fishing ground). Sistem pengelolaan yang berlangsung
di masyarakat Lempasing adalah cenderung bersifat open access.
Mekanisme pengelolaan sumberdaya yang berjalan adalah siapapun
berhak untuk menangkap ikan di wilayah Lempasing. Oleh karenanya,
maka tidak ada mekanisme ataupun pengaturan apa pun yang terkait
dengan fishing gears, seasoning dan lainnya. Semuanya berjalan dengan
asas open access. Bahkan aturan-aturan formal yang ada tidak dapat
berjalan efektif dan dipatuhi oleh masyarakat. Aturan-aturan Perda
tersebut tentang pelarangan jenis-jenis alat tangkap tertentu yang
dianggap merugikan.
Terkait dengan faktor konservasi yang ada di masyarakat, dapat
dilihat dari beberapa hal. Konsepsi upaya konservasi masyarakat dapat
dilihat dari kesadaran mereka terhadap kondisi sumberdaya laut di
wilayah mereka. Sebagian besar dari mereka telah menyadari atau
merasakan bahwa kondisi sumberdaya laut sekarang ini telah semakin
berkurang produksinya. Mereka beranggapan fenomena alam ini
disebabkan faktor manusia berupa semakin banyaknya nelayan serta
36
faktor alam berupa adanya perubahan iklim. Demikian halnya dengan
nelayan bagan tancap, mereka merasa saat ini jumlah ikan telah jauh
berkurang. Bagi nelayan bagan tancap, penyebab dari berkurangnya hasil
tangkapan karena banyaknya nelayan cantrang, payang dan arad yang
beroperasi di daerah mulut teluk (Gambar 2).
Gambar 2. Kapal yang digunakan untuk kegiatan
penangkapan ikan di perairan laut sekitar
Penggunaan alat tangkap yang dilarang dan merusak juga ditengarai
sebagai penyebab menurunnya tangkapan ikan. Masyarakat nelayan
hanya beranggapan bahwa seharusnya pihak yang berwajib melakukan
penindakan yang tegas terhadap pelaku perusakan lingkungan. Kasus
yang sering terjadi adalah pihak yang berwajib membiarkan saja alat
tangkap yang sebenarnya jelas-jelas telah dilarang seperti arad untuk
tetap beroperasi. Pembuktian tentang kasus pemboman di laut juga
sangat sulit untuk dibuktikan karena terbatasnya jumlah personil
penegak hukum. Hal ini menyebabkan seringkali pelaku tidak dapat
ditangkap karena lebih dahulu berhasil membuang barang bukti ke laut.
Sampai dengan saat ini belumlah terlihat upaya konservasi yang benarbenar telah dilakukan oleh masyarakat setempat. Mekanisme
konservasi pun tidak ada, kalaupun ada biasanya hal itu timbul dari
inisiatif pemerintah.
37
Terkait dengan sanksi yang ada di masyarakat dalam hubungannya
dengan pemanfaatan, pengelolaan dan konservasi sumberdaya kelautan
maka yang sangat berperan adalah pihak pemerintah daerah.
Pelarangan-pelarangan terhadap penggunaan alat tangkap yang
merugikan sebenarnya telah diatur dalam bentuk peraturan daerah.
Kasus yang paling sering terjadi adalah kasus pemboman ikan, namun
sayangnya sangat sulit untuk menangkap pelaku. Dari pihak masyarakat
sendiri belumlah memiliki sebuah aturan ataupun sanksi yang mereka
buat sendiri terhadap pengelolaan sumberdaya laut. Berdasarkan
informasi dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung
Selatan lemahnya penegakan peraturan dikarenakan masih kurangnya
keasadaran masyarakat akan pentingnya penegakan peraturan. Faktor
lain yang semakin melemahkan upaya penegakan peraturan adalah
minimnya sarana dan parasarana penunjang yang dimiliki oleh aparat
instansi yang berwenang.
Dimensi Sistem Religi
Masyarakat umumnya memeluk agama Islam dan menjadikannya
sebagai dasar pandangan kehidupan. Namun berdasarkan penuturan
informan didapatkan bahwa dalam kehidupan keseharian seringkali
bertentangan dengan ajaran agama yang mereka anut. Bentuk upacaraupacara keagamaan yang mereka lakukan terutama yang terkait dengan
kegiatan ekonomi, dalam hal ini dikaji melalui informasi mengenai
upacara ”ruwatan laut” serta ”lek-lekan” yang dilakukan oleh
masyarakat nelayan setempat.
Menurut penuturan tokoh masyarakat yang dituakan disana (Pak
Murdin), ”ruwatan laut merupakan tanda bersyukur dari nelayan atas
rahmat yang diberikan Tuhan melalui hasil tangkapan dan keselamatan
di tahun sebelumnya sekaligus memohon hal yang sama untuk waktu
berikutnya”. Acara ”lek-lekan” oleh nelayan Cirebon dan pemasangan
38
paku emas (di bagian-bagian tertentu kapal) disertai pula dengan
kegiatan pengajian. Hasil penggalian informasi yang sama kepada
nelayan yang relatif masih muda menunjukkan bahwa aktifitas ritual
lebih sekedar sebuah ritualisme saja. Nelayan-nelayan muda tidak lagi
perduli terhadap makna sebenarnya, bahkan di dalam pelaksanaannya
cenderung melenceng dari tujuan awal (”lek-lekan” terkadang menjadi
ajang perjudian dan mabuk-mabukan). Hal ini berbeda dengan generasi
tua nelayan yang masih memahami makna dari simbol-simbol yang
terkandung di dalam aktifitas atau ritual keagamaan atau aliran
kepercayaan.
Keterlibatan tokoh-tokoh agama setempat umumnya hanya
berperan pada masalah-masalah ibadah keagamaan. Namun pada
beberapa kasus tokoh-tokoh ini juga berperan di dalam kehidupan
keseharian. Seperti yang biasanya terjadi pada saat pemilihan kepala
desa, ketua KUD ataupun sektor publik lainnya. Bagi sebagian informan,
keterlibatan mereka di dalam sektor publik dan politik lebih
dikarenakan faktor kharismatik. Keputusan yang biasanya mereka ambil
bersifat hanya mengikat bagi anggota-anggota yang menjadi
pengikutnya saja. Menurut penuturan informan yang ditemui,
penggunaan simbol-simbol agama untuk mendukung ataupun menolak
suatu program pembangunan belum pernah terjadi.
Dimensi Ekonomi
Dari pengamatan dan hasil wawancara yang dilakukan di lapang,
didapatkan bahwa sudah sangat jarang sekali ditemui nelayan yang
hanya bertujuan untuk subsistensi diri. Bagi mereka, jika mendapatkan
ikan sedikit (kira-kira tidak mencukupi untuk dijual) biasanya digunakan
untuk konsumsi saja. Sedangkan jika ikan itu cukup untuk dijual maka
mereka akan menjualnya baik melalui TPI ataupun langsung kepada
bakul. Namun sudah bisa dikatakan bahwa orientasi mereka di dalam
39
melakukan kegiatan penangkapan adalah berorientasi ekonomi (uang).
Di sisi lain, perilaku juragan bagan tancap mengganti teknologi
penangkapannya merupakan cerminan cukup tingginya keinginan untuk
memanfaatkan dan mengubah (merekayasa) hasil temuan baru (dalam
hal ini bagan motor) yang berimplikasi terhadap perbaikan kinerja
usaha perikanan yang digelutinya. Selain itu, beberapa informan yang
menggunakan alat tangkap selain bagan umumnya menginginkan untuk
memiliki alat tangkap jaring setan atau jaring milenium. Menurut
mereka dengan alat tangkap tersebut hasil tangkapan jauh lebih baik.
Kendala umum yang dihadapi oleh nelayan di Bandar Lampung adalah
keterbatasan modal.
Resistensi terhadap kehadiran inovasi terjadi pada kasus
penolakan masuknya purse seine di TPI Lempasing oleh nelayan
setempat dikarenakan hasil tangkapan kapal purse seine dengan volume
yang besar dirasakan oleh mereka menyebabkan harga jual ikan hasil
tangkapan menjadi rendah (over supply) yang bermuara pada
menurunnya pendapatan nelayan setempat. Meskipun demikian perlu
dikaji lagi alasan atas penolakan tersebut mengingat disisi lain
bertentangan dengan maraknya penjualan ikan hasil tangkapan di
daerah lain dikirim dengan menggunakan kendaraan darat.
Alat tangkap yang umumnya digunakan oleh nelayan di daerah ini
adalah pancing, cantrang, payang, purse seine, arad, rawe, dan bagan (baik
tancap maupun motor). Nelayan di daerah ini sudah menggunakan
beberapa macam alat tangkap (multi gears) disesuaikan dengan musim
ikan. Daerah penangkapan jukung berkisar pada Jalur 1 (kurang dari 2
mil) di sekitar lokasi bagan tancap disepanjang garis pantai Bandar
Lampung hingga pesisir Kab. Lampung Selatan. Sementara daerah
penangkapan cantrang, payang dan mini purse seine terletak pada jalur
2 hingga 3, mulai dari daerah Lampung Selatan, daerah perairan Selat
Sunda hingga pantai timur sumatera dan daerah perairan Lampung
Barat. Penggunaan alat tangkap yang dominan biasanya berbeda dan
40
sesuai dengan dari suku mana mereka berasal. Suku Bugis dominan
menggunakan alat tangkap bagan tancap dan baru-baru ini mulai
mengembangkan bagan motor. Sementara, suku Banten dominan
menggunakan alat tangkap payang dan cantrang. Suku Jawa yang
berasal dari daerah Jawa Tengah dan Timur dominan menggunakan alat
tangkap mini purse seine, payang dan cantrang.
Terbatasnya akses kepada lembaga ekonomi seperti bank ataupun
KUD bagi sebagian besar kelompok nelayan membuat tidak cukupnya
terekam gambaran hidup hemat dan berinvestasi. Hemat dalam hal ini
bukan hanya berarti menyisihkan nilai hasil pekerjaan saja tetapi lebih
mengarah kepada adanya upaya untuk investasi. Bagi kelompok juragan,
budaya menabung di Bank ataupun KUD lebih terasa dibandingkan
dengan kelompok ABK atau nelayan kecil. Para juragan rata-rata
menyisihkan uangnya untuk kemudian meningkatkan alat tangkap atau
pun menambah armadanya. Hal ini tampak disamping pada kisah Pak
Arzein juga pada Pak Suwarno, seorang juragan di Desa Lempasing yang
bergerak di pengolahan ikan asin. Saat ini Pak Suwarno beserta
kelompok pengolahan ikan asinnya (Mina Bina Usaha) telah berhasil
mendatangkan kapal purse seine berukuran 30 GT. Pengoperasian
kapal tersebut bertujuan agar dapat menjamin pasokan bahan baku
untuk kelompok Pak Suwarno, yang seringkali kekurangan pada saatsaat harga ikan segar sedang baik.
Pak Lantang, yang berasal dari Kampung Bugis di Cungkeng
menceritakan bahwa pada pertengahan tahun 1970–1980-an,
orangtuanya dapat memiliki sedikitnya enam bagan tancap. Namun
pada saat ini dikarenakan tidak pernah menyisihkan hasil tangkapannya
dan lebih cenderung menghabiskannya untuk tujuan yang sangat
konsumtif (membeli pakaian-pakaian mahal), dan kebiasaan tersebut
terus berlanjut meskipun hasil tangkapan semakin menurun dan tidak
menentu (diperkirakan oleh Pak Lantang mulai pada sekitar tahun
1985), akibatnya saat ini tidak lagi tersisa satupun armada.
41
Kemudian, hal yang perlu diperhatikan adalah berdasarkan
pertanyaan yang diajukan pada kelompok ABK dan nelayan kecil,
diperoleh jawaban yang menyiratkan bahwa dengan kondisi hasil
tangkapan saat ini, maka dilapisan sosial ini mereka yang berhemat
adalah mereka yang hingga saat ini masih dapat dapat memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari tanpa terlilit utang (umumnya pada
juragan atau pada ”bank keliling”). Fenomena sosial di atas
menunjukkan bahwa hemat dalam hal kehidupan nelayan dapat
diartikan sebagai sebuah pola-pola jaminan sosial yang lebih dari hanya
sekedar menyimpan materi untuk investasi, tetapi bisa juga berarti
investasi dalam bentuk lainnya.
Masyarakat akan menciptakan jaringan pengaman sosial yang dapat
menjamin kelangsungan hidup mereka, seperti halnya kebutuhan akan
modal ketika saluran-saluran formal yang ada tidak mampu untuk
memberikan jaminan kepada masyarakat. Kecenderungan untuk
memelihara hubungan dengan juragan dalam bentuk konsepsi patronklien atau pada ”bank keliling” juga dirasakan sebagai sebuah investasi
jangka panjang.
Dalam beberapa hal justru pihak juragan yang meninggalkan para
kliennya dan beralih usaha karena semakin tidak menentunya kondisi
sumberdaya ikan yang berarti juga semakin tidak menentunya
pendapatan. Pengalihan penguasaan teknologi penangkapan yang
dilakukan oleh para juragan tanpa mempertimbangkan bagaimana nasib
ABK-nya yang selama ini telah ”berjuang” dapat dijadikan salah satu
indikator rendahnya daya empati yang dimiliki oleh para juragan.
Interdependensi (saling ketergantungan simetris) dalam kegiatan
ini dilihat pada pola hubungan patron-klien. Sebenarnya baik patron
maupun klien menguasai sumberdaya yang berbeda, patron menguasai
sumberdaya modal sementara klien menguasai sumberdaya
manusianya. Artinya, pola interdependensi mensyaratkan adanya dua
pihak yang menguasai sumberdaya yang berbeda dan saling bekerja
42
sama. Jika dihubungkan dengan hubungan antara masyarakat nelayan
dengan lembaga KUD ataupun TPI, maka didapatkan sebuah hubungan
yang tidak simetris.
Bagi juragan nelayan, proses perekrutan pada mulanya lebih
berdasarkan pada koneksi atau hubungan kekerabatan. Namun
demikian, semenjak hasil tangkapan dirasakan mulai menurun dan tidak
menentu, mereka mulai merekrut ABK berdasarkan reputasi
kejujurannya (juragan menceritakan adanya ABK yang tidak jujur
didalam melaporkan hasil tangkapan dan menyerahkan uang hasil
tangkapan) serta keahliannya didalam memperoleh hasil penangkapan.
Proses perekrutan semacam ini juga dijumpai di unit usaha
pembuatan kapal. Berdasarkan penuturan Pak Endi, seorang pendatang
dari Banten dan merupakan ahli pembuat kapal yang telah
berpengalaman lebih dari 30 tahun, untuk usaha pembuatan kapal yang
dilakukan oleh keluarga dan skala kecil memang masih kental dengan
budaya kekerabatan (umumnya beranggotakan satu keluarga batih,
dengan si Bapak sebagai pemimpinnya). Hal ini dilakukan untuk
menularkan keahlian pada si anak atau sanak familinya. Namun
demikian manakala kelompok tersebut mulai tumbuh besar (seiring
dengan order pembuatan kapal yang bertambah banyak), maka faktor
keahlian adalah merupakan pertimbangan utama di dalam perekrutan
tenaga kerja. Si pemimpin kelompok akan berusaha merekrut tenagatenaga berdasarkan orang yang telah memiliki keterampilan
(dituturkan sebagai orang yang sudah ”jadi”) dibandingkan dengan
kerabatnya (saudara atau teman dekat) yang masih memerlukan
pembinaan.
Hubungan yang terjadi hanya sebatas kepada keperluan ekonomi
saja, tetapi tidak berarti memberikan jaminan subsistensi kepada
nelayan. Proses lelang di TPI tidak berjalan dengan semestinya karena
ikan hasil tangkapan lebih banyak yang langsung dijual kepada bakul,
43
sehingga tidak memberikan jaminan harga jual yang layak. Pemerintah
Kota melalui Dinas Perikanan dan Kelautan hanya sebatas
mengumpulkan retribusi tanpa pernah mengembalikan kembali kepada
nelayan apabila mengacu pada perda yang ada apa yang menjadi hak
mereka dalam bentuk Dana Kesejahteraan Nelayan (DKN).Walaupun
kedua belah pihak menguasai sumberdaya yang berbeda namun tidak
terjadi hubungan yang simetris, bahkan dalam beberapa hal dapat
dikatakan terjadi sebuah eksploitasi nelayan melalui retribusi.
Dimensi Kelembagaan
Kelembagaan yang terbentuk di masyarakat adalah
dilatarbelakangi berupa pola-pola kepemimpinan lokal yang mengikuti
pola-pola kesukuan dan bersifat informal. Artinya masing-masing suku
biasanya memiliki pemimpin lokal sendiri. Kepemimpinan lokal ini
sangat memegang peranan penting di dalam penanganan (resolusi)
konflik. Jika konflik yang terjadi disebabkan karena masalah antar
anggotanya, maka hal tersebut cukup diselesaikan oleh pemimpin lokal
sebagai fasilitator. Sedangkan jika konflik yang terjadi disebabkan oleh
dua kelompok masyarakat atau suku yang berbeda maka peranan
antara dua tokoh dari suku berasal sangat berperan. Kata-katanya
dijadikan dasar bagi anggotanya untuk melakukan suatu tindakan.
Konsep kepemimpinan lokal yang ada masih mewarnai ciri dari
masyarakat komunal yang ditandai dengan adanya suatu semangat
solidaritas mekanik. Masyarakat komunal pun dicirikan dengan sangat
menonjolnya pola-pola hubungan primer serta kuatnya ikatan pada
tradisi, terutama pada masyarakat Bugis.
Pekerjaan sebagai nelayan bagan, cantrang, purse seine, pembuat
perahu, pengolah ikan asin dan bakul lebih besar berkaitan dengan
faktor modal dan sumberdaya yang mereka hadapi dibandingkan
dengan keahlian yang mereka miliki. Hal tersebut disebabkan karena
44
rata-rata nelayan dapat dengan cepat belajar untuk melakukan salah
satu pekerjaan tersebut asalkan ada modalnya. Oleh karena itu
pengkajian lebih mendalam untuk faktor ini dilakukan pula dengan
berlandaskan pada pengertian tentang diferensiasi dalam masyarakat
nelayan seharusnya diawali dengan kesadaran bahwa mereka senasib
dan kemudian diikuti dengan kemauan untuk bersatu.
Secara umum dapat dikatakan bahwa belum adanya rasa kesadaran
senasib dan keinginan untuk bersatu dikalangan nelayan Lempasing.
Untuk masyarakat nelayan Lempasing, diferensiasi baru terjadi pada
tingkatan kesukuan yang menguasai alat tangkap yang berbeda atau pun
juga karena faktor akses kepada modal yang kecil. Berdasarkan
penuturan Pak Hendi yang merupakan bendahara HNSI menyebutkan
bahwa nelayan cantrang dan purse seine biasanya berasal dari Banten,
Cirebon dan pekalongan, sedangkan palele dan bakul rata-rata berasal
dari Cirebon. Untuk nelayan bagan umumnya dilakukan oleh nelayan
yang berasal dari Bugis, untuk pengolah ikan asin cenderung pendatang
dari wilayah Jawa, seperti yang dijumpai dilapangan adalah pendatang
dari Brebes dan Cirebon.
Dimensi Politik
Pak Warsono dianggap sebagai seorang tokoh karena konsisten
dalam memperjuangkan nasib masyarakat nelayan di Desa Lempasing.
Disamping itu, juga dikenal mendahulukan kepentingan orang banyak
dibandingkan dengan kepentingan dirinya sendiri. Berdasarkan
penuturan Pak Murdin (tokoh masyarakat) pernah suatu kali Pak
Warsono bersama dengan seorang rekan pengolah ikan asin dan lima
orang nelayan (juragan) mengajukan proposal peminjaman modal
kepada pihak Pertamina Lampung, namun yang disetujui oleh pihak
Pertamina hanyalah beliau dan satu rekannya sesama pengasin.
Akhirnya Pak Warsono memutuskan untuk tidak menerima pinjaman
45
modal dari Pertamina tersebut karena kelima nelayan lainnya tidak
mendapatkan pinjaman modal. Pada saat proses pembuatan dan
pengajuan proposal tersebut, beliau tidak mengenakan sepeserpun
biaya kepada yang dibantunya walaupun dia sendiri telah menghabiskan
uang sebesar Rp.600.000.Pemimpin dengan visi yang kuat yaitu memperjuangkan apa yang
diinginkan oleh nelayan (tangkap, pengolah dan pengumpul), cukup
tampak pada wawasan Pak Warsono. Berdasarkan penuturan nelayannelayan yang diwawancarai tentang Pak Warsono, tampak adanya
kesamaan keinginan antara apa yang diinginkan oleh mereka dengan
Pak Warsono sebagai orang yang ditokohkan oleh mereka, yaitu
nelayan merasa aman dan nyaman ketika menyandarkan kapal terutama
dari bentuk-bentuk retribusi tidak resmi dan juga ”alang-alang” (orangorang yang mengambil ikan ketika kapal bersandar). Kemudian, ketika
melakukan proses lelang dapat dengan segera uangnya. Hal ini
disebabkan seringnya bakul melakukan hutang kepada TPI dalam proses
lelang dan terakhir mereka menginginkan untuk mendapatkan
perhatian yang layak dari pemerintah, seperti contohnya dengan
bantuan-bantuan yang berupa alat-alat fisik (teknologi penangkapan).
Berbagai upaya yang telah dilakukan Pak Warsono beserta
keseriusannya didalam memperjuangkan hal-hal tersebut diatas
tampaknya yang membuat beliau dianggap sebagai wakil dari
masyarakat. Walaupun upaya yang dilakukannya tersebut sering berarti
harus berkonfrontasi dengan pihak pemerintah daerah ataupun KUD.
Kematangan emosional dapat dilihat pada contoh Pak Arzein (Suku
Bugis), beliau adalah seorang juragan yang memiliki tiga kapal. Pada
beberapa waktu yang lalu, beliau mengakui pernah menabrak kapal
nelayan lainnya ketika berpapasan di muara sungai. Secara sadar beliau
langsung meminta maaf dan kemudian dengan segera
menyelesaikannya dengan cara kekeluargaan yaitu dengan mengganti
46
kerusakannya. Beliau melarang ABK-nya untuk menggunakan
kekerasan jika terjadi permasalahan yang menyangkut kehidupan di
laut. Baginya semua masalah atau konflik tidak ada yang tidak bisa
diselesaikan jika seandainya saja setiap orang mampu untuk menjaga
emosinya serta berpikir jernih.
Faktor usia cukup berpengaruh kuat didalam membentuk
kematangan emosional seseorang. Hal ini diketahui dari informan yang
menyebutkan sebagian besar sumber konflik dilakukan oleh generasi
muda. Dimana bentuk konflik adalah perkelahian antar kampung
(terutama di daerah Cungkeng) yang dipicu oleh hal-hal yang terjadi di
darat, seperti pencurian, mabuk ataupun menggoda wanita.
Faktor manajemen sangat terpengaruh oleh faktor kepemimpinan,
sehingga akan lebih baik jika dilihat terlebih dahulu dari faktor-faktor
yang menentukan seseorang menjadi pemimpin. Berdasarkan
penuturan Pak Murdin (Ketua kelompok pengolahan ikan asin di
Lempasing), kepemimpinan di KUD lebih ditentukan oleh kemampuan
seseorang mempengaruhi publik dibandingkan dengan kemampuan
manajerial. Bahkan menurutnya sekarang ketua KUD sendiri tidak
dapat tulis baca, tetapi karena beliau adalah orang yang ditakuti oleh
masyarakat maka beliau terpilih.
Faktor transparansi tidak terlihat di dalam proses pengambilan
keputusan, bahkan orang-orang yang dianggap terlalu vokal sering tidak
diundang pada saat Rapat Anggota Tahunan (RAT) ataupun rapat-rapat
penting lainnya walaupun orang tersebut merupakan anggota KUD. Hal
yang menjadi sorotan utama adalah permasalahan Dana Kesejahteraan
Nelayan yang tidak pernah diberikan kembali kepada nelayan.Walaupun
sebenarnya dana tersebut merupakan hasil dari simpanan nelayan
ketika mereka menjual ikan di TPI dan seharusnya kembali lagi kepada
nelayan dalam bentuk dana kecelakaan di laut, dana paceklik, dana
kematian dan lainnya.
47
Pemenuhan azas-azas manajemen yang baik (transparan, rasional,
akuntabel dan auditable) dapat dilihat pada pengelolaan usaha
pengolahan ikan asin oleh kelompok pengolah ikan asin ”Mina Bina
Usaha” yang sesungguhnya dilakukan secara sederhana dan sarat
dengan nuansa kekeluargaan. Berdasarkan diskusi dengan anggota
kelompok masyarakat tersebut diketahui bahwa semua permasalahan
yang tengah dihadapi hampir selalu dibicarakan dan diketahui secara
bersama (transparan). Oleh mereka transparansi tersebut
dicontohkan pada saat seluruh anggota kelompok mengetahui upaya
pengurus kelompok untuk mengajukan pengadaan kapal motor.
Selain mengetahui rencana tersebut mereka juga memahami
pertimbangan yang mendasari dan tujuan dilakukannya upaya tersebut
dimana menurut mereka yaitu untuk memenuhi dan menutupi
kekurangan bahan baku ikan (apabila kondisi ini sedang terjadi mereka
terpaksa mencari bahan baku hingga keluar daerah bahkan hingga P.
Jawa). Secara prinsip penarikan alur pemikiran tentang alasan-alasan
yang mendasari pengadaan kapal motor tersebut memenuhi prinsipprinsip akuntabilitas. Dan sampai dengan sekarang dengan keberadaan
kapal motor tersebut sangatlah dirasakan manfaatnya yaitu mampu
mencukupi sebesar 2 ton (rata-rata 1 ton) bahan baku per hari.
Kapasitas produksi pengolahan ikan asin maksimal yang bisa dilakukan
adalah 2,5 ton per hari dengan produksi minimal 1 ton per hari.
Di Lempasing dan Cungkeng bisa dikatakan penyelenggaraan
pemerintahannya tidaklah berjalan dengan baik. Sebelum melihat
apakah telah tersedia saluran-saluran yang berfungsi sebagai
representasi ”kedaulatan”, maka lebih baik jika ditilik dari sumber
permasalahannya. Era otonomi daerah telah disalahpersepsikan baik
oleh pemerintah kota, kabupaten, maupun propinsi. Semuanya hanya
berpikir bagaimana mendapatkan PAD sebesar-besarnya, sehingga yang
terjadi adalah perebutan aset-aset ekonomi yang dianggap potensial
menghasilkan PAD.
48
Apa yang kemudian muncul adalah dualisme kepemimpinan atau
kepentingan di dalam lembaga masyarakat yang seharusnya menjadi
saluran-saluran ”kedaulatan” bagi masyarakat. Sering terjadi dalam satu
kelembagaan ”kedaulatan” terdapat dua pengaruh yang saling
bertentangan. Seperti halnya TPI yang ”dikuasai” oleh pemerintah kota
membuat masyarakat ataupun tokoh nelayan tidak dapat berbuat
banyak untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Sedangkan KUD
”dikuasai” oleh masyarakat dan tidak mendapat restu dari pemerintah
kota membuat terjadi ketimpangan-ketimpangan dalam
operasionalnya.
4.2. Lampung Selatan, Lampung
Dimensi Pengetahuan Lokal
Masyarakat nelayan di desa Maja mempersepsikan hak kepemilikan
sumberdaya laut merupakan kepemilikan Allah SWT dan pengaturan
pengelolaan dan pemanfaatan dilakukan oleh pemerintah. Persepsi
masyarakat terkait PSDKP adalah terutama dalam batas wilayah yang
diklaim sejauh 4 mil laut untuk nelayan tradisional, namun dalam
pemanfaatannya masih bersifat open access. Masyarakat tidak
mengenal adanya pemegang wewenang dari sumberdaya laut yang ada,
sehingga secara otomatis mereka beranggapan tidak adanya
mekanisme pembagian atau pendistribusian hak pemanfaatan.
Mekanisme yang berjalan adalah siapapun yang memiliki modal dan
ingin berusaha dapat masuk dengan mudah ke sektor perikanan.
Mekanisme pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan masih
mencirikan open access.
Persepsi masyarakat terkait dengan kegiatan konservasi
merupakan tugas dan kewajiban dari pemerintah, belum menjadi
tanggung jawab mereka sebagai masyarakat. Masyarakat tidak
mengenal adanya upaya-upaya konservasi di wilayah sekitar mereka.
Secara umum belum ditemukan mekanisme upaya konservasi yang
49
berjalan di masyarakat. Tuntutan dan pertimbangan ekonomi menjadi
dasar dalam melakukan tindakan konservasi atau tidak. Mekanisme
yang ada hanya berasal dari pemerintah melalui lembaga-lembaga
formal.
Belum ada bentuk sanksi yang bersumber dari masyarakat
terhadap pelanggaran dalam pemanfaatan dan konservasi sumberdaya
kelautan dan perikanan. Sanksi yang ada hanya bersumber dari
peraturan pemerintah. Penegakan peraturan oleh aparat pemerintah
mengacu kepada peraturan yang berlaku. Masyarakat memberikan
laporan ketika mengetahui terjadi pelanggaran hukum. Penegakan
peraturan dirasakan belum berjalan efektif karena pengawasan oleh
pemerintah dirasakan kurang. Hal ini disebabkan oleh armada dan
jumlah personel yang kurang.
Dimensi Sistem Religi
Agama yang dianut sebagian besar adalah Islam. Pelaksanaan syariat
merupakan tanggung jawab pribadi tidak komunitas. Pelaksanaan agama
dalam keseharian dipandang bersifat vertikal (manusia – Tuhan) dan
hubungan horizontal (manusia – manusia). Terkait kegiatan
penangkapan, masyarakat memandang bahwa rezeki berupa hasil
tangkapan setiap orang sudah diatur oleh Tuhan. Hal ini menyebabkan
jarang terjadi perebutan hasil tangkapan sesama anggota masyarakat.
Namun demikian terkait dengan pemenuhan modal ekonomi, sebagian
masyarakat masih menggunakan jasa tengkulak ataupun ”bank keliling”
yang memberikan pinjaman dengan bunga tinggi, atau dalam
terminologi syariat islam disebut dengan riba. Masyarakat beranggapan
bahwa sebenarnya mereka terpaksa meminjam uang dengan sistem
riba tersebut. Keterpaksaan ini disebabkan karena kebutuhan modal
usaha dan tuntutan ekonomi bagi keluarganya.
Masyarakat nelayan di daerah ini memiliki bentuk upacara atau
kegiatan ritual terkait dengan kehidupan di laut. Secara komunitas,
50
masyarakat mengenal adanya bentuk-bentuk pesta atau syukuran laut.
Masyarakat beranggapan bahwa dengan mengadakan syukuran laut
maka musim panen ikan berikutnya akan lebih baik. Bagi sebagian besar
masyarakat menganggap golongan ulama tidak memiliki kekuatan
dalam aktifitas keseharian. Mereka hanya ditempatkan sebagai
pemimpin dalam urusan ibadah keagamaan saja oleh masyarakat.Tokoh
agama dalam masyarakat tidak memiliki pengaruh dalam aktifitas sosial
politik.
Dimensi Ekonomi
Kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh sebagian besar nelayan
di daerah ini hanya bertujuan untuk memenuhi kehidupan dan
kebutuhan ekonomi sehari-hari (subsistensi). Masyarakat terlihat
memiliki keinginan berinovasi bertujuan untuk meningkatkan ikan hasil
tangkapan. Hal ini ditandai banyak ditemukannya bagan perahu yang
merupakan pengembangan dari bagan tancap oleh nelayan yang berasal
dari Bugis. Namun umumnya keinginan berinovasi tersebut selalu
terganjal permodalan. Nelayan yang berasal dari Jawa umumnya jarang
yang melakukan tindakan berinvestasi, hal ini didasarkan atas kondisi
dalam upaya pemenuhan kebutuhan dan tuntutan ekonomi sehari-hari
saja sulit terpenuhi. Lain halnya dengan masyarakat yang berasal dari
Bugis, umumnya mereka berinvestasi dalam bentuk emas (perhiasan).
MPA seperti pada pertanian kebun cukup tersedia namun masyarakat
banyak yang tidak memiliki lahan dan keahlian dalam mengolah lahan
pertanian tersebut. Kegiatan pemancingan cumi-cumi juga masih
jarang dilakukan (Gambar 3).
Belum terlihat adanya pembagian pekerjaan dalam kegiatan
penangkapan. Semua orang yang berada di perahu secara bersamasama melakukan semua pekerjaan di atas kapal. Keterampilan
51
Gambar 3. Alat dan sarana penangkapan ikan
yang digunakan oleh nelayan di Desa Maja Lampung Selatan.
fungsional tidak terlihat dengan nyata. Hal tersebut disebabkan karena
anggapan bahwa umumnya masyarakat tidak memiliki keahlian selain
menjadi nelayan.
Masyarakat mampu untuk bekerjasama dalam aktifitas produksi.
Kerjasama juga lebih terlihat pada pola hubungan kekerabatan yang ada.
Kerjasama juga terjalin dalam kehidupan keseharian seperti dalam hal
pembangunan rumah ibadah. Interdependensi terjadi pada tingkat
juragan dan ABK. Penyebabnya adalah secara umum nelayan tidak
memiliki perahu dan juragan tidak turun ke laut. Bakul dengan nelayan
juga memiliki interdependensi. Struktur hubungan yang terbentuk
dalam masyarakat nelayan mengarah kepada hubungan yang cenderung
asimetris. Hal ini disebabkan karena terjadinya ketimpangan faktor
modal. Sistem bagi hasil diantara juragan dan nelayan ABK tidak
berimbang dalam pembagian keuntungan dan penanggungan resiko
kerugian. Tingkat konsumsi ikan pada masyarakat nelayan tergolong
rendah. Umumnya ikan hasil tangkapan dijual.
Dimensi Kelembagaan
Masyarakat di lokasi ini secara formal belum memiliki kelembagaan
yang berfungsi sebagai wadah dalam kehidupan mereka. Namun
52
masyarakat menganggap bahwa dalam keseharian secara tidak langsung
sudah ada kelompok-kelompok. Kelompok-kelompok tersebut terbagi
berdasarkan kekerabatan atau kesukuan. Masyarakat di lokasi ini secara
formal memiliki kelembagaan yang dimaksudkan sebagai wadah dalam
kehidupan mereka. Kelompok-kelompok tersebut diinisiasi oleh
pemerintah setempat, namun tidak dapat berjalan. Lembaga bersifat
informal dan formal.
Kewenangan kelembagaan formal lebih luas dari kelompok
informal, namun pada kenyataannya tidak dapat berjalan dan cenderung
diacuhkan oleh masyarakat. Kewenangan kelompok informal hanya
terbatas pada anggota kelompoknya. Kelompok formal memiliki aturan
representasi dengan keterwakilan juragan atau pemilik modal lebih
besar dibanding dengan anggota biasa. Sedangkan kelompok informal
tidak memiliki aturan representasi. Kelompok formal memiliki aturan
main sebagai peraturan yang dibuat berdasarkan inisiasi pengurus
kelompok dan pemerintah.
Kelompok informal yang ada tidak memiliki aturan main
(peraturan), semuanya bergantung hanya kepada keputusan ketua
kelompok atau juragan. Konflik yang terdapat pada masyarakat nelayan
dalam banyak hal dapat diselesaikan oleh kelompok-kelompok
informal. Penyelesaian konflik masih mengalami hambatan jika
melibatkan konflik dengan masyarakat di lain daerah. Terkait dengan
manajemen konflik yang selama ini berjalan adalah dengan melakukan
penyelesaian secara kekeluargaan. Penyelesaian ini melibatkan antara
tokoh-tokoh masing-masing suku dengan pemerintah desa.
Dimensi Politik
Penilaian kepemimpinan berdasarkan wibawa dan kejujuran
seseorang. Dukungan yang kuat terhadap kepemimpinan kelompok
masyarakat sangat bergantung terhadap masing-masing suku. Hal ini
53
disebabkan tidak adanya satu orang tokoh yang dianggap sebagai
pemimpin keseluruhan dari masyarakat. Dukungan terhadap kelompok
formal sangat rendah, masyarakat cenderung tidak perduli. Proses
pengambilan keputusan belum mencerminkan representasi dari
kepentingan seluruh masyarakat. Proses pengambilan keputusan
umumnya cenderung hanya mewakili kepentingan kelompoknya saja.
Hubungan antara tokoh informal masyarakat dengan pemerintah lokal
berlangsung dengan baik, namun belum terjadi komunikasi yang efektif.
4.3. Pandeglang, Banten.
Desa nelayan di Labuhan Teluk, secara geografis dilihat dari
tofografinya terletak di pantai Barat yang berhadapan langsung dengan
Samudera Hindia. Pantai Barat ini memiliki daerah pantai yang sempit,
gelombang besar dan curam sedangkan pantai yang berpasir dengan
gelombang yang tenang tempatnya sangat terbatas, sehingga
menyebabkan kelompok konsentrasi masyarakat nelayan relatif kecil
dan terpencar-pencar.
Masyarakat nelayan yang hidup di daerah ini dilihat dari asal-usul
sukunya berasal dari Sunda, Cirebon dan Bugis. Kehidupan masyarakat
nelayan didaerah ini ada yang menetap, terutama dari masyarakat
nelayan yang berasal dari Pandeglang dan Serang, dan juga dari suku
Bugis, sedangkan dari Cirebon dan Rembang melakukan perpindahan
secara teratur mengikuti waktu musim ikan.
Berdasarkan cara melakukan penangkapan ikan yang terlihat dari
peralatan penangkapan yang mereka gunakan, seperti bagan tancap dan
apung yang dominan dari suku Bugis. Sementara, payang dan pancing
banyak dilakukan oleh masyarakat nelayan Sunda dan jaring arad dan
purse-seine oleh masyarakat nelayan dari Cirebon. Peralatan
penangkapan seperti perahu, jaring dan mesin serta peralatan lainnya
cukup bervariasi, volume dan tempat penangkapannya dipengaruhi
oleh alat tangkapnya.
54
Jaring purse-seine menggunakan ukuran perahu yang lebih besar
dengan GT mencapai 20 - 30 ton, mesin in-board dan jaring ukuran
panjangnya mencapai 150 meter. Perahu dengan kapasitas 3 - 5 ton,
mesin motor tempel menggunakan jaring payang dengan panjang
sekitar 25 meter, pancing dan arad. Kegiatan penangkapan umumnya
dilakukan one day fishing dengan lokasi sekitar 4 - 5 mil laut dari pantai.
Untuk penangkapan menggunakan bagan, perahu yang dipakai adalah
ukuran kecil dan bagannya ditempatkan tidak terlalu jauh dari tempat
tinggal mereka.
Dimensi Pengetahuan Lokal
Persepsi terhadap sumberdaya alam merupakan hak milik Yang
Maha Kuasa (Allah), karena itu wajib dipelihara bersama dan hasilnya
dimanfaatkan bersama-sama. Dalam merealisasikan persepsi ini paling
tidak ada dua pandangan sistem pengelolaan dan pemanfaatan yang
terjadi; Pertama, ada sebagian masyarakatnya memandang bahwa ikan
dilaut itu tidak akan habis, karena itu boleh saja melakukan usaha
kegiatan penangkapan kapanpun seseorang itu mau selagi dia mampu.
Kedua, sumberdaya laut apabila tidak dikendalikan dengan baik, ikan
yang ada didalamnya akan berkurang (Gambar 4).
Gambar 4. Alat dan sarana penangkapan ikan
yang digunakan oleh nelayan di wilayah Banten.
55
Batas-batas wilayah penangkapan ikan dari penduduk dusun Teluk
yang menetap, dibatasi oleh hak kepemilikan fishing ground yang dimiliki
bersama, karena tidak ada hak kepemilikan perorangan. Pembatas yang
lainnya adalah musim penangkapan yang dipengaruhi oleh arah angin,
dan sangat mempengaruhi keberadaan musim ikan. Karena itu maka
penjagaan wilayah ppenangkapan menjadi kewajiban bersama
masyarakat nelayan Teluk untuk menjaganya dari kegiatan penangkapan
yang dilakukan oleh nelayan datangan. Keberadaan mekanisme
pengelolaan, menyangkut fishing ground, pengaturan alat tangkap, musim
penangkapan dan fishing right dilakukan secara bersama-sama. Musim
penangkapan umumnya dilakukan pada bulan-bulan April hingga
Desember dan tiga bulan sisanya dianggap musim paceklik.
Sistem pengelolaan dan pemanfaatan berdasarkan persepsi
pertama menghasilkan pandangan bahwa sumberdaya laut dapat
dieksploitasi sepanjang waktu karena bersifat open acceses. Property
right system yang menyangkut fishing ground karena sifatnya milik
bersama pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat penangkap
sendiri tanpa ada pembatasan yang tegas. Dalam upaya pemanfaatan
maka setiap anggota masyarakat bebas melakukan usaha penangkapan
di daerah tersebut tanpa ada aturan yang tegas dan ketat.
Terkait dengan klaim terhadap wilayah penangkapan ikan tertentu,
pengaturan alat tangkap dan musim penangkapan, masyarakat nelayan
hingga sampai sekarang belum mempunyai tatacara pengaturan
penangkapan yang berasal dari dan oleh masyarakat nelayan sendiri.
Pemegang wewenang dan distribusi hak pemanfaatan karena belum ada
pengaturan yang tegas tadi mengakibatkan kurangnya kemampuan
pengawasan langsung (kapal patroli khusus perikanan) untuk mencegah
pelanggaran. Kelemahan ini telah menyebabkan terjadinya
pertambahan alat tangkap, tetapi karena daerah fishing ground yang
dimiliki bersama terbatas hal tersebut telah menyebabkan terjadinya
keluhan terhadap penurunan hasil tangkapan oleh nelayan.
56
Keberadaan mekanisme pengelolaan, menyangkut fishing ground,
pengaturan alat tangkap, musim penangkapan dan fishing right dilakukan
secara bersama-sama. Musim penangkapan umumnya dilakukan pada
bulan-bulan April hingga Desember dan tiga bulan sisanya dianggap
musim paceklik. Keberadaan sumberdaya perikanan tangkap terletak di
wilayah pantai Barat Pulau Jawa, berada dibagian lautan Hindia. Perairan
ini sifat penangkapannya open access, artinya setiap orang dari
penduduk desa Teluk mempunyai kesempatan yang sama untuk dapat
melakukan penangkapan ikan di daerah fishing ground yang sama.
Pertambahan armada penangkapannya dari tahun ke tahun cenderung
sesuai dengan laju pertambahan penduduknya.
Mekanisme pengelolaan dan pemanfaatan menyangkut aturan
tentang daerah penangkapan, musim penangkapan, alat tangkap, atau
aturan lainnya yang berhubungan dengan penangkapan ikan, hingga saat
ini belum mempunyai tata cara pengaturannya, yaitu yang berasal dari
dan oleh masyarakat nelayan sendiri.Tata cara pengaturan pengelolaan
dan pemanfaatan SDKP yang belum tegas mengakibatkan kurangnya
kemampuan mengendalikan daerah fishing ground, sebagian besar
anggota masyarakat nelayan desa Teluk dalam upaya melakukan
penjagaan fishing ground yang mereka miliki telah melakukan reaksi
menentang terhadap nelayan pendatang.
Masyarakat nelayan pada umumnya menyatakan penyebab
utamanya ikan hasil tangkapan mereka berkurang karena adanya
nelayan pendatang yang melakukan pencurian di wilayah penangkapan
mereka dengan menggunakan alat tangkap yang lebih besar dan alat
tangkap aktif seperti mini trawl atau arad. Contoh nelayan pendatang
yang dipersoalkan masyarakat adalah terhadap nelayan dari Sibolga.
Terhadap nelayan dari Sibolga ini masyarakat telah melakukan reaksi,
yaitu dengan cara melakukan menentang keras dan bentuk reaksi
tersebut berupa penangkapan terhadap kapal pendatang. Kemudian
57
bahkan ada yang dibakar atau ditenggelamkan sehingga konflik sosial
tidak dapat terhindarkan.
Untuk masyarakat nelayan di desa Teluk, keberadaan upaya
konservasi SDKP adalah berupa upaya konservasi yang di pahami
sebagai daerah larangan. Daerah larangan ini apabila dilanggar, artinya
nelayan melakukan penangkapan di daerah yang terlarang tersebut
akan mendapat celaka (pamali). Daerah larangan biasanya terdiri dari
daerah yang mempunyai karang, dan daerah tersebut secara umum
telah diketahui oleh sebagian besar masyarakat nelayan. Pencetus dan
pelaksana kegiatan konservasi SDKP yang berasal dari masyarakat
dilakukan oleh aturan masyarakat sendiri melalui tokoh adat dan para
alim ulama.
Konsepsi upaya konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan
dirunut dari kesejarahan, ternyata masyarakat nelayan di sekitar pantai
Barat Kabupaten Pandeglang telah mengenal konservasi. Konservasi
yang mereka maksudkan adalah adalah upaya di lokasi-lokasi tertentu
yang dilindungi bersama, alasan perlindungan adalah dengan
memberikan berita bahwa didaerah tertentu tersebut memiliki bahaya
tertentu yang dapat mengakibatkan celaka bagi pelanggarnya (biasanya
daerah karang yang dilindungi). Dengan cara penuturan yang sakral,
maka kepatuhan nelayan untuk tidak menghampiri atau melakukan
kegiatan penangkapan didaerah tersebut dapat terjaga dengan baik
dalam waktu yang cukup lama.
Keberadaan upaya konservasi yang dikenalkan secara formal oleh
institusi pemerintah belum dikenal luas, karena konsep konservasi yang
dimaksudkan belum menjadi bagian kehidupan bersama. Disamping itu,
arti konservasi yang dimaksudkan kadang kala berbeda dengan daerah
larangan yang dimaksudkan oleh masyarakat.Tata cara pengaturan dan
kegiatan konservasi SDKP yaitu berupa mekanisme penerapan upaya
konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan sesuai dengan konsepsi
58
yang dianut oleh masyarakat yaitu daerah larangan bersama yang
terlindungi karena kesakralannya, kemudian penghormatan
perlindungan tersebut dilakukan melalui upacara-upacara keagamaan
tertentu berdasarkan keyakinan yang telah diturunkan secara turun
temurun. Deskripsi dan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dari
kegiatan konservasi SDKP, prakteknya dalam masyarakat dapat berupa
sedekah laut atau mauludan.
Untuk perahu yang baru selesai dibuat dan siap pertama kali
diturunkan ke laut, dalam bahasa keseharian masyarakat disebut
temurunan, dan yang mengikuti upacara pembacaan doa atau tolak bala,
biasanya diawali dengan upacara ritual dengan memenuhi berbagai
macam syarat seperti kembang-kembangan, buah-buahan, kemenyan,
nasi kuning atau tumpengan dan lain-lainnya yang disesuaikan dengan
kebiasaan setempat.
Bentuk sanksi atas pelanggaran pengaturan pemanfaatan,
pengelolaan dan konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan
ditinjau dari bentuk sanksi atas pelanggaran pengaturan adalah sebagai
berikut. Pelanggaran oleh masyarakat nelayan setempat terhadap
pemanfaatan, misalnya menggunakan alat tangkap yang merusak
(pengeboman, trawl) bentuk sanksi yang diberikan masyarakat adalah
berupa peringatan yang pemberitahuannya dilakukan oleh pemuka
masyarakat. Isi peringatan biasanya berupa pemberitahuan bahwa alat
tangkap yang digunakan tersebut akan merusak lingkungan tempat
penangkapan ikan, yang akhirnya akan merugikan bersama, disamping
itu cara-cara yang tidak terpuji akan menimbulkan keresahan
bermasyarakat dan keluarga. Sanksi yang lebih tegas terpaksa diberikan
oleh masyarakat apabila tetap melakukan pelanggaran yaitu berupa
perusakan alat tangkap yang dipakai oleh nelayan.
Pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat nelayan yang berasal
dari laur daerah. Pertama dilakukan dengan cara memberikan
59
peringatan supaya meninggalkan daerah penangkapan dan tidak kembali
lagi. Apabila melakukan pelanggaran lagi maka kadangkala masyarakat
melakukan sanksi berbentuk melakukan penangkapan secara beramairamai dan merusak perahu dan alat penangkapannya. Pelanggaran oleh
masyarakat nelayan setempat terhadap pengelolaan, misalnya
melakukan penangkapan didaerah yang disepakati bahwa daerah
tertentu adalah terlarang, daerah ini harus mendapat penjagaan
bersama dengan mentaati menggunakan alat tangkap yang tidak
merusak lingkungan, dan bentuk sanksi yang diberikan masyarakat
adalah berupa peringatan yang pemberitahuannya dilakukan oleh
pemuka masyarakat. Isi peringatan biasanya berupa pemberitahuan
bahwa alat tangkap yang digunakan tersebut akan merusak lingkungan
tempat penangkapan ikan, yang akhirnya akan merugikan bersama.
Disamping itu, cara-cara yang tidak terpuji akan menimbulkan
keresahan bermasyarakat dan keluarga.
Pelanggaran oleh masyarakat nelayan setempat terhadap
konservasi, misalnya melakukan penangkapan didaerah yang disepakati
bahwa daerah tertentu adalah terlarang dan sakralkan karena memiliki
kekuatan yang ditabukan, daerah ini harus mendapat penjagaan
bersama dengan mentaati untuk tidak mengganggu dan merusaknya.
Bentuk sanksi yang diberikan masyarakat adalah berupa peringatan
yang pemberitahuannya dilakukan oleh pemuka masyarakat bahwa
daerah ini perlu dijaga kesakralannya, karena dapat merugikan baik
secara sosial ataupun moral masyarakat karena dianggap kualat atau
mendapat cobaan kesulitan hidup.
Mekanisme penegakan sanksi atas pelanggaran peraturan adalah
berupa mekanismen penegakan peraturan tentang pemanfaatan,
pengelolaan dan konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan.
Dilihat dari sanksi atas pelanggaran peraturan adalah sebagai berikut;
mekanisme sanksi atas pelanggaran pemanfaatan yang dilakukan
60
kepada masyarakat nelayan di desa nelayan Labuhan Teluk, Carita
Kabupaten Pandeglang untuk menegakkan peraturan, pertama-tama
diserahkan kepada tokoh masyarakat atau pemuka agama agar diberi
sanksi sesuai dengan hukum kebiasaan yang telah berlaku menurut
adat istiadat setempat kalau pelanggarnya dari penduduk setempat.
Kedua, apabila tidak dapat juga diselesaikan, baru kemudian diberikan
kepada aparat yang berwenang (Dinas Kelautan dan Perikanan, atau
aparat lainnya) agar dapat diproses lebih lanjut untuk dapat ditetapkan
sanksinya sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan negara
yang berlaku.
Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan dilapangan,
masyarakat nelayan pendatang dengan masyarakat nelayan asli di
Labuhan Teluk, dapat bersosialisasi yang erat dengan saling
membutuhkan. Dapat diketahui banyak masyarakat nelayan pendatang
yang melakukan kegiatan penangkapan secara regulir seperti dari
Cirebon, Rembang dapat melaksanakan kegiatan penangkapannya
dengan tidak mengalamai hambatan dan gangguan dari masyarakat
setempat. Bentuk sanksi dapat dijalankan dengan baik terhadap
masyarakat nelayan yang mematuhi hukum kebiasaan yang berlaku di
tempat yang mereka datangi, terbukti masing-masing nelayan dapat
melakukan kerjasama penangkapan di lokasi yang sama walaupun
berbeda asal usulnya. Dilihat dari penegakan pelaksanaan
efektifitasnya masih dipertanyakan, karena belum terlihat adanya
sinkronisasi antara sanksi menurut adat dan kebiasaan dengan sanksi
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
dilaksanakan oleh pemerintah.
Dimensi Sistem Religi
Agama yang dianut dan diyakini oleh sebagian besar masyarakat
nelayan desa Labuhan Teluk adalah Agama Islam dan mereka telah
61
menjadikannya sebagai dasar pandangan kehidupan. Oleh karena itu,
kehidupan bermasyarakatnya didasarkan pada nilai-nilai yang
terkandung dalam ajaran Islam. Banyak ditemukan tempat ibadah dan
kegiatan keagamaan seperti mushollah, masjid, pendidikan yang
bernafaskan Islam dan juga pengajian-pengajian (majelis taklim). Bentuk
kegiatan tersebut telah mencerminkan bahwa masyarakat nelayan di
daerah ini sangat patuh terhadap agama. Hal ini dapat dilihat dan
diketahui apabila kita berbicara tentang nilai-nilai kehidupan, maka
sendi-sendi kehidupan banyak didasarkan pada nilai-nilai agama.
Dalam menjalin hubungan kehidupan, masyarakat telah
memadukan hubungan mereka secara vertikal terhadap Allah swt, dan
hubungan horizontal terhadap manusia dan alam sekitarnya. Jalinan
hubungan yang bersifat horizontal diisi dengan nilai-nilai ajaran agama
Islam. Karena itu apabila ada perselisihan antar kehidupan yang
berkenaan dengan kemanusiaan, penyelesaiannya lebih didasarkan pada
ajaran agama untuk diselesaikan secara kekeluargaan dan ridho serta
ikhlas kepadaNya. Penyadaran seperti ini telah menciptakan hubungan
sosial dan ekonomi yang harmonis, saling menjaga nilai-nilai yang baik
bagi semua masyarakat.
Adapun hubungan mereka sebagai manusia terhadap alam, sesuai
dengan ajaran agama yang mereka terima dan amalkan bahwa alam
beserta segala isinya adalah ciptaan Allah dan milik Allah, sedangkan kita
hanya diberi kesempatan untuk memanfaatkannya. Oleh sebab itu
setiap orang telah dituntut untuk ikut menjaga alam sekitarnya. Ajaran
atau syariat agama dan atau kepercayaan yang dilakukan oleh
pemeluknya ada hubungannya dengan peranan agama dalam kegiatan
ekonomi secara langsung dan tidak langsung. Pengaruh yang
dimaksudkan oleh masyarakat nelayan adalah pengaruh dalam bersikap
terhadap suatu keputusan politik tertentu yang kadangkala telah
diterjemahkan dalam bentuk program-program kebijakan. Indikasi
62
bahwa sebuah kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah untuk
meningkatkan peran serta dalam pembangunan, yaitu dengan jalan ikut
berpartisipasi aktif memanfaatkan hasil pembangunan tersebut
(biasanya berbentuk bangunan fisik). Partisipasi pemanfaatan seringkali
tidak optimal, hal ini ada hubungannya dengan peranan tokoh agama
atau keyakinan tertentu bahwa pembangunan tersebut tidak
memberikan manfaat bagi masyarakat.
Pengambilan keputusan dalam kegiatan ekonomi masyarakat
kerapkali dipengaruhi oleh tokoh-tokoh agama. Hal ini dapat terjadi
karena tokoh masyarakat khususnya para Kiay adalah orang yang dapat
dipercaya dalam masyarakat yang bersangkutan. Contohnya adalah
pada saat menentukan kesepakatan siapa yang sebaiknya memimpin
desa (RT, RW atau Kepala Desa) masyarakat biasanya senantiasa
melakukan konsultasi sebelum menentukan pilihannya. Konsepsi
agama dalam mendukung program pembangunan pada dasarnya selalu
tidak bertentangan dengan tujuan baik pembangunan tersebut yang
diselenggarakan oleh pemerintah.
Hubungan simbolik antara agama atau kepercayaan dengan
kegiatan ekonomi masyarakat kadangkala masih dikaitkan dengan
semacam upacara keagaman atau upacara kepercayaan tertentu yang
dihubungkan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
kelautan dan perikanan. Hubungan pemanfaatan dan pengelolaan yaitu
diwujutkan dalam bentuk upacara ritual, seperti waktu turun perahu
pertama kali ke laut, perahu ini di dahului dengan upacara pembersihan,
keselamatan dan tolak balah dengan mengikuti rangkaian upacara ritual
yang telah terpola dan dianggap sakral, karena itu semua syarat dan
kesucian harus terjaga dengan baik.
Didalam upaya memanfaatkan sumberdaya alam yaitu kegiatan
melakukan penangkapan ikan di laut, sebagian besar masyarakat masih
melakukan upacara kenduri (selamatan) syukuran dengan memohon
63
doa bersama kepada Khalik, agar diberi kemudahan rezki yang banyak
dan keselamatan selama mencari rezki ditengah laut. Kepercayaan
dalam hal-hal tertentu yang berhubungan dengan sektor kelautan dan
perikanan masih sering juga dilakukan. Kepercayaan tersebut misalnya
setiap tahun harus ada upacara ritual keagamaan seperti sedekah laut,
atau mauludan yang diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat, termasuk
upacara kesenian atau upacara adat lainnya.
Keberadaan dan bentuk pengaruh ajaran atau syariat tersebut
kepada setiap anggota masyarakat adalah berupa keyakinan bahwa
rezki yang akan didapat sebenarnya karena kehendak Allah SWT, dan
manusia hanya berfungsi mengusahakan saja. Seberapa luas ajaran atau
syariat mengikat anggota masyarakat, sangat tergantung kepada
pemahaman masyarkat itu sendiri terhadap ajaran agama yang
dianutnya. Makin besar pengetahuan dan pengalaman kerokhanian yang
didapat oleh seorang nelayan, maka kepercayaan bahwa rezki itu milik
sang Khalik semakin besar, karena itu untuk mendapatkannya harus
dimulai dengan upaya-upaya yang suci, misalnya dapat dilakukan melalui
doa orang tua atau orang yang dituakan.
Agama dan atau kepercayaan pada saat tertentu dapat berfungsi
sebagai pelindung tatanan sosial dan pada saat lainnya dapat menilai
kondisi sosial saat sekarang dengan mengacu kepada masyarakat ideal
yang berdasarkan kepada ajarannya. Peranan pemimpin agama dan atau
kepercayaan dalam aktifitas sehari-hari karena pada umumnya
pembangunan diorientasikan pada upaya-upaya manusia yang bersifat
utuh dan serasi antara kemajuan aspek lahiriah dan kepuasan aspek
batiniah. Dalam pelaksanaan keseharian, pemimpin agama dan atau
kepercayaan dapat berfungsi sebagai motivator, pembimbing, pemberi
landasan etis dan moral serta menjadi mediator dalam seluruh aspek
keseharian dan kegiatan pembangunan. Tokoh agama dan atau
kepercayaan yang diakui masyarakat dalam ikut pengambilan keputusan
dalam kegiatan sosial politik masyarakat kerapkali ikut berperan.
64
Besarnya pengaruh tokoh-tokoh masyarakat yang dimaksud
tercermin dari sikap dukungan tokoh agama untuk ikut serta dalam
proses pembangunan. Konsepsi agama dalam mendukung program
pembangunan pada dasarnya selalu tidak bertentangan dengan tujuan
pembangunan tersebut yang diselenggarakan oleh pemerintah.
Keterlibatan tokoh agama dan atau kepercayaan dalam aktivitas
masyarakat di luar kegiatan peribadahan merupakan manifestasi
mereka dalam dinamika bermasyarakat. Teknis pelaksanaan yang tidak
melibatkan secara utuh kehidupan masyarakat nelayan, seperti aspek
sosial, agama dan hukum menyebabkan tertolaknya rencana
pelaksanaan pembangunan itu sendiri. Jadi dari sudut peranan tokoh
agama masyarakat, peranan pemuka agama ikut berperan dalam
menentukan berhasil tidaknya sebuah proses pembangunan didalam
masyarakat nelayan.
Dimensi Ekonomi
Masyarakat nelayan dikenal memiliki tingkat ketergantungan yang
tinggi terhadap SDKP. Tingkat ketergantungan tersebut membuat
pola-pola produksi tertentu. Kegiatan produksi tidak hanya diartikan
sebagai upaya di dalam pemenuhan kebutuhan keseharian
(subsistensi). Namun kegiatan berproduksi lebih diartikan sebagai
upaya untuk memperoleh hasil yang berorientasi pasar. Saat kegiatan
produksi masih sebatas pada upaya pemenuhan kebutuhan keseharian,
maka pengembangan usaha terkait dengan kegiatan produksi tersebut
akan berjalan lamban. Berjalan lamban dapat diartikan sebagai
lambatnya penyerapan teknologi/rendahnya akses pada peningkatan
teknologi, rendahnya investasi.
Tingkat ketergantungan juga bisa diketahui dari jumlah dan jenis
mata pencaharian alternatif (MPA). Sejarah penggunaan alat produksi
terkait dengan orientasi kegiatan produksi. Orientasi masyarakat
nelayan di sekitar Kabupaten Pandeglang tujuan utamanya melakukan
65
kegiatan penangkapan ikan dan biota laut lainnya untuk menyambung
penghidupan, oleh karena itu setiap hasil tangkapan yang didapat dari
kegiatan penangkapan langsung di jual kepada pembeli. Kegiatan
penangkapan untuk memenuhi kebutuhan pasar yang tersedia di subsektor perikanan, dan melalui jual beli ikan, maka pasar ikan di
lingkungan masyarakat nelayan terus-menerus dapat berlanjut.Volume
hasil tangkapan yang dikhususkan untuk konsumsi rumah tangga,
berdasarkan hasil wawancara dilapangan mereka cenderung
mengatakan sedikit sekali yaitu sekitar 15% saja, walaupun mereka
hampir setiap hari mendapatkan ikan, tetapi ikan-ikan tersebut lebih
diutamakan untuk dijual ke pasar.
Skala usaha produksi yang dijalankan saat ini, adalah terkait erat
dengan kapasitas pemasaran yang mapu dihasilkan nelayan. Pemasaran
hasil tangkapan umumnya dilakukan oleh pedagang yang ada ditempat
atau di desa Teluk, dan selanjutnya dipasarkan kepada pihak lainnya yang
ada diluar daerah mereka. Nelayan penangkap bebas melakukan
penjualan hasil tangkapannya kepada siapa saja yang mereka inginkan,
terkecuali mereka yang terikat karena perjanjian (tertulis atau tidak
tertulis) yang diakibatkan karena adanya pinjaman lebih dahulu kepada
juragan sebelum melakukan penangkapan di laut. Untuk menjaga
keseimbangan hubungan sosial akibat kegiatan ekonomi, maka sistem
bagi hasillah yang dipakai sebagai sarana ekonomi masyarakat nelayan
dalam melakukan kegiatan usaha penangkapannya dilaut.
Kemampuan masyarakat nelayan dalam melakukan pekerjaan
secara terencana, logis dan terukur dapat diketahui dari inovasi
teknologi yang digunakan. Pandangan terhadap inovasi, adalah
berkenaan dengan keadaan kemampuan masyarakat untuk dapat
memanfaatkan atau mengubah (rekayasa) hasil temuan baru dari luar
maupun dalam yang berimplipikasi terhadap perbaikan kinerja usaha
perikanan setempat. Dari hasil pengamatan dilapangan sejak tahun
66
1985 hingga tahun 2004, dilihat dari peralatan kehidupan yang
masyarakat nelayan gunakan, seperti perahu, jaring dan mesin hampir
tidak mengalami perubahan yang signifikan. Belum ditemukannya
peralatan lainnya yang mampu menghasilkan hasil tangkapan ikan lebih
banyak dan efisein. Inovasi teknologi yang terjadi baru sebatas
penggunaan palka berinsulasi tempat ikan untuk kapal purse-seine,
sedangkan kapal/perahu lainnya masih menggunakan palka tanpa
insulasi. Alat bantu penanganan ikan diatas perahu hanyalah termos es
besar atau kotak es yang terbuat dari busa plastik untuk menempatkan
ikan hasil tangkapan.
Besar dan laju investasi dalam kegiatan produksi dapat dilihat dari
cara-cara melakukan kegiatannya mulai dari penangkapan, penanganan
dan pengolahan serta penjualan hasil tangkapan. Dengan kenyataan
yang banyak ditemukan di lapangan, ternyata teknologi penangkapan
belum banyak berubah, maka kinerja yang terbentuk selama ini diatas
kapal, setelah pendaratan, selama penjualan (transportasi dan
pelelangan) masih menggunakan cara-cara tradisional. Adapun
pembagian pekerjaan masih berdasarkan pada fungsi-fungsi
kepemilikan kapal, juragan/pedagang besar yang merangkap sebagai
pemilik modal, dan nelayan penangkap tetap saja tidak menguasai harga
pasar ikan yang dijualkannya tersebut.
Peranan anak buah perahu/kapal masih diwakili oleh pemilik
perahu/kapal atau orang suruhan dari pemilik modal dan mereka masih
berposisi sebagai penerima hasil transaksi akhir. Cara berkomunikasi
yang cepat berubah adalah terjadi di tingkat pemilik kapal/perahu,
juragan karena mereka mampu menggunakan teknologi komunikasi
yang lebih canggih. Pengaruh dari alat komunikasi ini adalah penguasaan
informasi pasar tetap pengendaliannya lebih besar di tangan mereka
dan nelayan penangkap tetap saja berada dipihak yang belum mengalami
67
inovasi, yaitu dari teknik penangkapan, kerjasama ataupun kemampuan
memanfaatkan peluang yang terjadi akibat pergeseran cara-cara
berkomunikasi secara tradisonal oleh juragan dan pemilik
kapal/perahu.
Jumlah dan jenis MPA (di dalam maupun diluar sektor kelautan dan
perikanan) tercermin dari keterampilan fungsional yang dimilki
masyarakat nelayan yang terkait dengan kehidupan sehari-hari.
Masyarakat nelayan sebagai pelaku ekonomi kelautan perikanan telah
mempunyai keterampilan yang terkait langsung dengan ekonomi yaitu
kegiatan penangkapan, pengolahan, pembuatan peralatan penangkapan,
pemasaran dan pembiayaan. Kegiatan penangkapan merupakan
keterampilan kelompok fungsional yang umumnya dimiliki oleh kaum
laki-laki, sehingga pergi kelaut untuk melakukan penangkapan
merupakan bagian utama pekerjaan mereka.
Pengolahan produk hasil tangkapan umumnya banyak dilakukan
oleh kaum perempuan, sehingga kelompok keterampilan ini seolaholah menjadi bagian kehidupan perempuan. Produk olahan yang mereka
buat umumnya masih terbatas pada produk olahan tradisional, seperti
ikan asin, pengasapan, pemindangan. Diversifikasi mata pencaharian
alternatif yang dikembangkan oleh masyarakat nelayan terkait erat
dengan hasil sumberdaya perikanannya, baik dari perikanan tangkap
atau dari perikanan budidaya.
Perkembangan alat penangkapan yang terjadi di daerah lainnya
yang telah menjadikan daerah mereka sebagai daerah penangkapan
baru yang dilakukan secara reguler yang datang dari Cirebon dan
Rembang ternyata tidak merubah banyak perahu kecilnya menjadi
perahu yang lebih besar. Juga, tidak pula mempunyai pengaruh terhadap
perubahan dinamika ekonomi masyarakat nelayan di wilayah
Pandeglang pada umumnya. Untuk desa Teluk diketahui agak sulit
menerima pengembangan dari luar secara drastis (cepat). Hal ini terjadi,
68
dimana ada suatu kondisi masyarakatnya cenderung tetap
mempertahankan keadaan yang telah ada selama ini. Sikap ini mungkin
terkait dengan pantai Barat Pulau Jawa yang bergelombang ganas dan
pantainya sempit serta tidak terlindung, telah menyulitkan mereka
untuk menerima hal-hal baru dari luar, karena resiko keamanan yang
akan mereka dapatkan mungkin lebih besar lagi.
Spesialisasi pekerjaan terkait secara langsung dengan jenis
pekerjaan yang berhubungan erat dengan alat tangkap dominan yang
digunakan oleh mayarakat nelayan desa Teluk dalam upaya
mendapatkan hasil dari perairan (kelautan dan perikanan) guna
menunjang proses produksi (panen). Alat tangkap terkait langsung
dengan perahu kayu yang digunakan, yaitu mulai dari ukuran kecil hingga
sedang, dan alat tangkapnya berupa jaring (purse-seine, payang, pancing)
dan sarana bantuan mesin penggerak berupa mesin in-boat dan outboat.
Perahu yang dipakai masyarakat nelayan adalah perahu kayu yang
umumnya dibuat oleh masyarakat sendiri, khususnya perahu-perahu
ukuran kecil dengan mesin penggerak motor tempel ber-merk Yamaha
atau Donfeng. Perahu kayu ini belum dilengkapi dengan palka
berinsulasi yang baik untuk menahan es supaya tidak hilang meleleh.
Nelayan yang menggunakan peralatan tangkap seperti ini umumnya
adalah pemakai jaring payang, dan arad. Daerah penangkapan mereka
tidak terlalu jauh dari lepas pantai yaitu sekitar 2 - 4 mil laut dengan
lama kegiatan penangkapan hanya satu hari, yaitu dimulai dari jam 04.30
pagi dan mendarat kembali sekitar jam 15.00 sore hari. Hasil tangkapan
umumnya adalah tembang, kembung kecil dan tongkol kecil.
Untuk kapal besar yang kaskonya masih terbuat dari kayu, telah
membuat yang baik sebagian palkanya berinsulasi yaitu terdiri dari kayu,
busa plastik, kayu dan kadang-kadang dilapisi fiber-glass, sehingga ikan
hasil tangkapan dapat ditangani dengan baik, mutunya tidak cepat
69
mundur. Kapal jenis ini menggunakan alat tangkap umumnya purse-seine
dan payang besar dengan jumlah ABK dari 15 sampai 20 orang, lama
operasi bisa mencapai 2 (dua) dan 3 (tiga ) hari dengan lokasi
penangkapan mencapai sekitar Selat Sunda dan Ujung Kulon. Hasil
tangkapan dapat berupa tongkol, tembang, kembung, tenggiri dan layur.
Pembagian peran dalam suatu pekerjaan adalah keinginan
menjalankan jenis MPA adalah berhubungan langsung dengan
kelompok-kelompok pekerjaan fungsional yang telah terbentuk
didalam masyarakat nelayan. Kelompok pekerjaan tersebut seperti
pembuatan peralatan penangkapan, dan untuk pembuatan perahu
umumnya dilakukan oleh laki-laki, sedangkan pembuatan jaring kadangkadang dilakukan juga oleh perempuan, termasuk perbaikannya.
Kelompok fungsional pemasaran hasil tangkapan untuk skala kecil dan
masih berada disekitar labuhan Teluk dan Carita banyak dilakukan oleh
perempuan, sedangkan pemasaran dalam jumlah partai besar umumnya
telah dilakukan oleh laki-laki. Dari pola ini tergambarkan pembagian
pekerjaan antara laki-laki dengan perempuan; keterampilan pemasaran
ditingkat pengecer dilakukan oleh perempuan dan sedangkan
pemasaran ditingkat pengumpul telah dilakukan oleh laki-laki.
Jaminan sosial merupakan suatu bentuk pola adaptasi dari
masyarakat ketika dihadapkan pada permasalahan akan adanya
keterbatasan akses terhadap sumberdaya. Dengan kata lain masyarakat
akan menciptakan jaringan pengaman sosial yang dapat menjamin
keberlangsungan terhadap mereka, seperti halnya kebutuhan akan
modal ketika saluran-saluran formal yang ada tidak mampu untuk
memberikan jaminan kepada masyarakat. Sistem jaminan sosial
mensyaratkan adanya bentuk-bentuk kerjasama diantara anggota
masyarakat. Bentuk kerjasama tersebut bertujuan untuk menjamin
keberlangsungan usaha. Kemampuan masyarakat nelayan dalam
membangun kerjasama secara nyata untuk menyelesaikan pekerjaan
70
dalam proses produksi merupakan suatu hal yang diperlukan di dalam
menghadapi sumberdaya yang memiliki tingkat resiko dan
ketidakpastian yang tinggi.
Interdependensi masih dapat dikenali secara umum melalui
struktur kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat nelayan
melalui pembagian pekerjaan mulai dari pengeksploitasian sumberdaya,
pemasaran hasil dan sistem bagi hasil yang diberlakukan pada umumnya
oleh sebagian besar masyarakat nelayan. Dilihat dari interdependensi
antar elemen, ternyata antar nelayan saling memberikan informasi dan
kesempatan untuk ikut melakukan kegiatan usaha penangkapan di
lokasi fishing ground yang sama, bersamaan dengan itu terbentuk pula
jaringan perdagangan hasil tangkapan ikan atau biota laut lainnya (udang,
kepiting, dll). Ditinjau dari sini, maka ada hubungan timbal balik yang
saling membutuhkan antara nelayan penangkap, dengan kaum
perempuan yang umumnya adalah para pengecer (pedagang kecil)
ikan/udang/kepiting atau biota laut lainnya dan juga ibu rumah tangga
yang berfungsi menjualkan hasil tangkapan atau mengolahnya menjadi
produk ikan olahan.
Pekerjaan yang ada di dalam masyarakat nelayan yang telah
terdeferensiasi menghasilkan struktur kerja menurut sifat
pekerjaannya. Dilihat dari gender, sifat pekerjaan yang menuntut lebih
banyak di perairan dilakukan oleh laki-laki (berlayar, menangkap ikan,
menyelam, memperbaiki mesin, memperbaiki perahu, memasang jaring
dan menentukan arus dan musim ikan). Adapun sifat pekerjaan yang
menuntut lebih banyak dilakukan di darat, umumnya adalah pekerjaan
perempuan (mendagangkan ikan/udang, melakukan pengolahan
pengawetan ikan, mengatur rumah tangga selama lakinya ke laut) dan
pekerjaan sosial lainnya.
Saling ketergantungan dalam kegiatan ekonomi di sub sektor
perikanan secara fungsional adalah keterkaitan antar sumberdaya,
71
peralatan penangkapan, pasar dan manusia. Kegiatan ekonomi adalah
merupakan representasi dari adanya permintaan dan penawaran.
Penawaran terjadi dikarenakan oleh adanya hasil produksi dari
eksploitasi sumberdaya, dan permintaan terjadi oleh karena adanya
pasar. Teknologi penangkapan dan manusia merupakan sarana
penggeraknya. Keterkaitan ini dapat ditinjau dari dua sisi, pertama,
keterkaitan secara langsung dan kedua, keterkaitan secara tidak
langsung. Keterkaitan langsung adalah proses dari sumberdaya ikan dan
biota lainnya, kegiatan penangkapan yang menghasilkan produksi hasil
tangkapan (dalam bentuk segar dan olahan), dan pasar, kemudian
keterkaitan ini dapat disebut mempunyai hubungan positif. Keterkaitan
yang tidak bersifat langsung, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh para
pemegang modal, pedagang (kecil, besar), dan komisioner (perantara).
Peranan mereka menggerakkan kegiatan ekonomi cukup besar, karena
mekanisme pasar sebagian terbesar berada dibawah pengendalian
mereka, seperti mempertemukan pembeli lokal dan dari luar, termasuk
norma-norma pasar yang berlaku di daerah.
Tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya dalam upaya
nelayan melakukan investasi pada usaha penangkapan ikan sesuai
dengan keahlian yang dimilikinya, hal ini dapat dilihat dari kemampuan
menyisihkan nilai hasil pekerjaan ditinjau dari investasi ke sarana
ekonomi dalam bentuk pembelian dan perbaikan peralatan
penangkapan (perahu, jaring dan mesin), tampaknya belum banyak
melakukannya. Investasi secara besar-besaran kepada peralatan
penangkapan belum terlihat nyata. Hal ini diindikasikan dengan ukuran,
dan volume perahu yang cenderung tidak banyak mengalami
perubahan. Kapal purse-seine hanya berbobot antara 20 GT hingga 40
GT dengan kapasitas (10 - 20 ton) saja. Penyisihan hasil tangkapan
untuk investasi pada nelayan skala kecil yang jarak operasinya ke daerah
penangkapan hanya 2 hingga 4 mil laut, juga cenderung tidak banyak
72
mengalami perkembangan, bahkan ada kecenderungan beberapa
perahu tidak dapat lagi beroperasi karena biaya operasionalnya tidak
mampu ditutupi dengan nilai hasil tagkapannya.
Kegiatan produksi mencakup kegiatan penangkapan dan di luar
penangkapan yang apabila dilihat dari kemampuan untuk menyisihkan
hasil pendapatan mereka dari kegiatan penangkapan untuk investasi
masa depan dalam bentuk pembangunan perumahan. Untuk desa Teluk
rata-rata masih sederhana dengan bangunan semi permanen, sebagian
ada juga yang permanen, dan keadaan ini dibandingkan antara tahun
1985 dengan tahun 2004 memang menunjukkan adanya perubahan,
tetapi perubahan yang terjadi tidaklah pesat. Kegiatan penangkapan di
laut telah ada yang dibantu rumpon, tetapi belum dimanfaatkan secara
optimal, karena kebiasaan yang terjadi pada malam hari mereka tidak
melakukan penangkapan.
Bentuk-bentuk kerjasama yang ada di masyarakat nelayan di dalam
keseharian (seperti contoh arisan, pengajian, dll). Dapat terlihat dari
kemampuan masyarakat nelayan dalam membangun kerjasama secara
nyata untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu, pekerjaan tersebut
memerlukan tenaga kerja lebih dari satu orang dalam proses produksi
dan ini telah terjalin dengan baik sekali, baik dalam hubungan sosial,
kekerabatan dan keagamaan. Didalam perahu agar dapat menghasilkan
produksi hasil tangkapan yang baik, pembagian pekerjaan telah sangat
jelas dan harus dilakukan secara bersama-sama, sehingga setiap orang
yang ada diatas perahu kemampuannya membangun kerjasama
didasarkan pada fungsi kerja masing-masing dengan kemampuan sangat
besar, karena nasib mereka secara bersamaan tergantung dari
kerjasamanya tersebut. Jadi budaya bekerja bersama-sama diatas
perahu, selama pelayaran, antar perahu nelayan dan antar anggota
masyarakat satu kaum merupakan kerjasama mutlak yang harus
dilakukan, prinsip ketaatan kepada aturan-aturan yang diberlakukan
73
untuk membangun keharmonisan kerjasama telah menjadi bagian yang
diutamakan secara bersama-sama.
Setiap pekerjaan spesialis mendapat pengakuan dan dihargai
dengan prosentase atau bagian tertentu yang berbeda dengan bagian
orang yang tidak mempunyai spesialisasi. Dari hasil tangkapan setiap kali
mendarat, langsung dilakukan pembagian hasil berdasarkan sistem bagi
hasil yang telah berlaku dan diakui secara umum oleh setiap anggota
masyarakat nelayan di desa Teluk. Pembagian bagi hasil ini, untuk pemilik
mendapatkan 2,5 (dua) bagian, nakhoda 1,5 (satu setengah) bagian dan
anggota lainnya masing-masing 1 (satu) bagian, sedangkan pemberi
pinjaman mendapat 10% dari raman kotor setiap kali kapal/perahu
mendarat dan menjual hasil tangkapannya. Potongan 10% tidak
mengurangi jumlah modal pinjaman yang diberikan oleh peminjam,
terkecuali kalau seluruh modal pinajamannya dikembalikan secara
kontan.Adapun kisaran jumlah total bagian yang dibagikan adalah antara
4 (empat) bagian hingga 5 (lima) bagian untuk kapal ukuran antara 3
hingga 7 GT, sedangkan Kapal purse-sein bisa mencapai 25 bagian.
Tingkat konsumsi makanan tertentu secara budaya terkait dengan
kebiasaan dan pantangan makan. Besarnya tingkat konsumsi atas
produk ter tentu dapat meningkatkan keinginan untuk
mempertahankan bahkan meningkatkan kegiatan produksi. Hal ini
nantinya akan berkaitan dengan kajian pengembangan pasar produk
kegiatan ekonomi (lokal, regional atau internasional). Dari susunan
menu makanan kesehariannya berdasarkan informasi yang
dikumpulkan (pak Samsuri, pak Mudin dan pak Hery), ada kebiasaan
masyarakat nelayan pada umumnya. Kebiasaan umum yang berlaku
adalah lebih mengutamakan penjualan ikan hasil tangkapannya dari pada
untuk dikonsumsi oleh keluarga. Jadi dengan prioritas utama untuk
dijual kepasar, maka bagian yang akan dimakan oleh keluarga porsinya
sangat kecil. Keadaan ini dapat dilihat dari ragam makanan dari ikan yang
74
tersedia didalam masyarakat, jumlah ragam pengolahannya terbatas,
seperti hanya di pepes, di goreng, di bakar atau di sayur dengan bumbu
basah (santan, air). Pengolahan dalam bentuk makanan yang dapat
dimakan setiap waktu (camilan) seperti kerupuk, naget, sosis, pempek,
bakso, abon adalah hampir tidak ada atau sulit ditemukan ditengahtenag masyarakat. Berdasarkan susunan menu makanan harian
tersebut, maka diperkirakan jumlah ikan yang dikonsumsi per-orang
perbulannya paling tinggi 1,5 kg, jadi rata-rata tingkat konsumsi
perkapita per-tahunnya hanya sebanyak 12 X 1,5 kg = 18 kg ikan saja.
Memperhatikan kebiasaan makanan yang di konsumsi oleh
kebanyakan masyarakat nelayan dari menu ikan, ragam dan jenisnya
masih terbatas. Keterbatasan ini memberikan gambaran bahwa
pengembangan pasar lokal dilihat dari pangsa pasar yang tersedia masih
sangat kecil, oleh karena itu hasil tangkapan ikan masih lebih banyak
untuk memenuhi kebutuhan dari konsumen yang berada diluar daerah
mereka sendiri (Jakarta, Bandung, Bogor, Sukabumi).
Dimensi Kelembagaan
Sejarah pembentukan lembaga yang ada di masyarakat dapat
ditinjau dari eksistensi tentang fungsi penyaluran kelembagaan yaitu
keberadaan lembaga yang berfungsi menyalurkan aspirasi masyarakat
kedalam penyelenggaraan pemerintahan (tingkat. Kabupaten/Kota).
Pembentukan lembaga dapat ditinjau dari dua cara, pertama yang
dibentuk pemerintah dan kedua yang dibentuk oleh masyarakat sendiri.
Pertama didalam lembaga formal pemerintahan di tingkat desa telah
dibentuk lembaga-lembaga yang dibutuhkan yang disesuaikan dengan
peraturan pemerintah yang berlaku. Lembaga yang ada didalam
pemerintahan setingkat kelurahan ialah Dewan Perwakilan Desa
(DPD) dan Lurah. Inisiatif pembentukan lembaga yang ada di
masyarakat, keberadaannya dapat terlihat dari aspirasi masyarakat
75
nelayan baik bersifat perorangan ataupun kelompok yang ingin
disalurkan. Aspirasi yang bersifat kelompok umumnya dibawa dan
diajukan oleh tokoh masyarakat informal yang kepemimpinannya diakui
oleh masyarakat. Pemimpin informal ini adalah kiay dan tokoh yang
disegani).
Sifat pembentukan lembaga yang ada di masyarakat tergantung
dari tujuannya yang hendak dicapai.Tujuan pembentukan lembaga yang
ada di masyarakat seperti pengajian, organisasi sosial lainnya adalah
untuk menyalurkan kegiatan yang tumbuh di dalam masyarakat nelayan.
Pembentukan lembaga yang diinisiasi oleh pemerintah (KUD Mina)
tujuannya untuk membantu masyarakat nelayan dalam sub sektor
ekonomi. Selain dari itu lembaga-lembaga resmi pemerintahan lainnya
melaksanakan program kerjanya di tingkat desa dilakukan secara
fungsional dengan berkoordinasi ke Kecamatan, seperti kesehatan,
pendidikan, agama, keamanan dan lain-lainnya. Kelembagaan formal di
tingkat desa ini ini secara organisatoris mempunyai hirarki langsung ke
organisasi yang lebih tinggi yaitu kecamatan dan selanjutnya ke Bupati.
Dimensi Politik
Tuntutan dan dukungan adalah input dari suatu sistem politik yang
merupakan suatu informasi yang harus diproses di dalam sistem politik.
Tuntutan berasal dari masyarakat. Tuntutan tersebut lahir apabila
masyarakat membutuhkan sesuatu dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Tuntutan tidak akan terwujud apabila tidak disertai oleh
dukungan. Dukungan bersumber dari kepemimpinan politik dalam
masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat kepemimpinan politik
merupakan kepemimpinan pemerintahan. Kepemimpinan dalam
pemerintahan diperlukan untuk menjamin program pembangunan
berwujud suatu program yang terencana dan dapat mengarahkan suatu
perubahan cara hidup masyarakat yang sesuai dengan isi dan tujuan
program pembangunan.
76
Seorang pemimpin penting memiliki kemampuan dalam
memahami dan menempatkan diri pada kondisi/persepsi pihak lain
untuk mendapatkan manfaat bersama. Prinsip ini juga dapat dilihat dari
seberapa jauh pimpinan mampu berkorban untuk memperoleh
kepercayaan masyarakat. Kepercayaan tersebut dapat digunakan oleh
pimpinan untuk menggerakkan kemajuan ekonomi masyarakat nelayan
setempat secara lebih cepat dan terarah. Kemampuan berkomunikasi
yang baik seorang pemimpin dengan anggota masyarakat yang
dipimpinnya juga hal yang haruslah diperhatikan. Hal ini bertujuan
untuk melihat kemampuan seorang pemimpin memberi inspirasi dan
mengarahkan anggota masyarakat yang dipimpinnya.
Tuntutan bukan hanya datang dari masyarakat nelayan selaku
pemanfaat sumberdaya, tetapi juga datang dari pemerintah yang
mempunyai fungsi regulasi. Dari kedua tuntutan ini sering
memunculkan motivasi yang berbeda-beda dan dipahami secara
berbeda pula. Jenis-jenis tuntutan masyarakat, umumnya berupa
keinginan untuk melakukan penangkapan secara bebas, baik fishing
ground maupun alat tangkap yang digunakan. Tuntutan lainnya adalah
kelonggaran peraturan yang diterapkan kepada mereka apabila terjadi
pelanggaran, dan mereka tidak dibebani pembiayaan yang besar.
Pelanggaran diselesaikan tidak melalui aparat kepolisian atau
pengaduan ke pengadilan, tetapi diselesaikan melalui musayawarah
dengan sesama masyarakat melalui tokoh masyarakat masing-masing.
Tuntutan yang teridentifikasi umumnya berupa penyelesaian
pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat nelayan dari luaran atau
dari masyarakat tempatan yang melanggar wilayah penangkapan di
daerah lainnya. Reaksi pelanggaran yang kadang-kadang mengakibatkan
perselisihan sosial antar desa dan kampung, sehingga kehidupan
bermasyarakat menjadi tidak begitu aman. Contohnya penyerbuan
oleh nelayan dari satu kampung ke kampung lainnya.
77
Visi pemimpin, adalah berkenaan dengan seberapa jauh pemimpin
yang ada memiliki visi yang jelas dan meyakinkan. Sejauh mana visi
tersebut dapat dipahami, menjadi bagian pengetahuan dan sesuai
dengan kebutuhan masyarakat setempat dimasa datang. Visi yang
dimiliki pemimpin masyarakat tergantung darimana dia berasal.
Umumnya memiliki visi untuk meningkatkan kesejahteraan dan
menjaga kedamaian warganya. Kesejahteraan yang dimaksud adalah
kesejahteraan yang didapat dengan cara-cara yang baik dan menurut
aqidah agama (Islam), dan kedamaian dicapai melalui kegiatan
keagamaan atau kegiatan sosial yang syarat dengan pesan moral
kebaikan (tidak bohong, tidak angkuh, tidak mau menang sendiri).
Daya empati pemimpin, di dalam masyarakat saat ini adalah yang
mempunyai empati tinggi karena memiliki daya menyangkut
kemampuan memahami dan menempatkan diri pada kondisi/persepsi
pihak lain yaitu anggota masyarakat untuk mendapatkan manfaat
bersama apabila ada permasalahan. Prinsip ini juga dapat dilihat dari
seringnya kepala desa dengan aparatnya yang lain ikut terjun langsung
menyelesaikan setiap permasalahan yang muncul dari warganya, baik
berkenaan dengan sesama warga atau dengan warga desa lainnya.
Pengorbanan yang diberikan adalah seringnya tidak kenal pamrih dalam
setiap kali melaksanakan tugas-tugas desarnya sehingga kepercayaan
masyarakat terhadap kepemimpinannya semakin besar. Dari
kepercayaan yang diperoleh tersebut ternyata mampu dan telah dapat
digunakan untuk menggerakkan kemajuan ekonomi masyarakat
nelayan setempat lebih cepat dan terarah.
Dukungan terhadap kepemimpinan oleh masyarakat ada
hubungannya dengan kemampuan membangun komunikasi.
Kemampuan komunikasi pemimpin adalah bentuk komunikatif dan
rasionalitas yang berhubungan dengan kapabilitas seseorang
mendemonstrasikan berkomunikasi yang baik dengan anggota
78
masyarakat yang dipimpinnya. Dimana saja pemimpin desanya berada
senantiasa disambut dengan empati, dan ini menunjukkan bahwa
pemimpin desa dan tokoh masyarakat adalah kebanggaan mereka yang
patut dibanggakan, apalagi terhadap tamu yang datang dari luar, jarang
ada nada miring yang diperdengarkan. Hal ini adalah hasil dari
kekentalan berkomunikasi dan komunikasi yang disampaikan ternyata
dihargai dan dihormati oleh masyarakatnya dengan mengindahkan
segala petunjuk dan tuntunan yang diberikan oleh aparat desanya dan
tokoh masyarakatnya ikut berperan aktif sebagai penjelas masyarakat
lebih lanjut. Kepemimpinan yang dikehendaki oleh masyarakat nelayan
adalah terutama bersikap tegas, untuk mewujutkan itu maka pemimpin
yang umumnya mucul dapat berasal dari tokoh masyarakat.
Berkaitan dengan integritas adalah seberapa jauh anggota
masyarakat setempat memberikan penilaian terhadap tokoh atau
pemimpinnya dilihat dari aspek kejujuran, mengemban kepercayaan dan
menerapkan prinsip keadilan serta memiliki kematangan emosional.
Pada umumnya integritas pemimpin yang dikehendaki adalah pemimpin
yang sepenuhnya mencurahkan perhatiannya untuk mengayomi
masyarakatnya sehingga masyarakatnya memiliki kebanggaan atas
kepemimpinannya, masyarakat merasa punya orang yang mampu
mengangkat harkat pribadinya dihadapan masyarakat kelompok
lainnya.
Kesatuan dan keutuhan sistem politik didukung oleh konsep, yaitu
sistem, struktur dan fungsi. Keputusan dan kebijakan terkait erat
dengan fungsi yang dimiliki oleh suatu sistem politik. Pada prinsipnya
suatu keputusan dan kebijakan tidak dapat berdiri sendiri tanpa melihat
kepentingan dari luar. Kemudian menjadi suatu hal yang penting untuk
melihat keselarasan antara keputusan dan kebijakan yang telah dibuat
dengan keputusan dan kebijakan yang ada di luar sistem politik
tersebut. Maka dari itu menjadi hal penting melihat terjalinnya
kesamaan kepentingan antara pemegang kekuasaan lokal dan luar.
79
Hubungan pemegang kekuasaan lokal dengan luar dilihat dari
conflict of interest. Benturan kepentingan umumnya tidaklah
diakibatkan oleh faktor tunggal tetapi seringkali terjadi karena tatanan
kesejarahan yang terpendam yang tidak terselesaikan sehingga disaat
berada diluar kampung ikut melakukan upaya instabilitas internal
kampungnya. Apabila kondisi memungkinkan maka goncangan dapat
timbul dengan tiba-tiba, dan untuk menghindari itu perlu pemahaman
mendalam dan diperhatikan. Alam demokrasi perlu ditumbuhkan
secara perlahan dengan tidak mengenyampingkan ketokohan
tradisional. Kemudian, ada upaya perbaikan kondisi ekonomi yang
memadai, dan peningkatan intelektualitas masyarakat. Apabila faktor
tersebut dapat ditumbuh kembangkan dalam budaya masyarakat, maka
pola hubungan kekuasaan lokal dengan luar akan berjalan lebih
transparan dan harmonis.
Konflik yang terjadi antar komunitas akar permasalahannya tidak
disebabkan oleh faktor tunggal, tetapi muncul dari berbagai faktor
multidimensional yang melibatkan persoalan yang terkait dengan status
dan harga diri, kekuasan serta perebutan sumberdaya yang langkah.Yang
terkait dengan status dan harga diri lebih banyak terkait dengan
dimensi politik yang diikuti oleh berbagai kelompok masyarakat yang
berbeda. Perselisihan yang diakibatkan olehnya melalui kepemimpinan
yang bijaksana dapat meredam ketegangan konflik antar warganya.
4.4. Pasuruan, JawaTimur
Dimensi Pengetahuan Lokal
Persepsi dan konsepsi nelayan disini beranggapan bahwa
sumberdaya laut merupakan anugrah dari Allah SWT yang bisa
dimanfaat bersama-sama. Tidak ada batas-batas wilayah pengelolaan
penangkapan sehingga pihak luar bisa menangkap ikan disini, begitupun
sebaliknya kalau nelayan di desa ini menangkap ikan ditempat lain.
80
Aturan mengenai mekanisme pengelolaan maupun pemanfaatan SDP
tidk ada, jadi bisa dikatakan masih bersifat open access.
Dalam hal upaya konservasi, belum ada persepsi dan konsepsi dari
masyarakat nelayan di desa ini. Upaya konservasi di desa ini bisa
dikatakan tidak ada. Sangsi yang diberlakukan di desa ini belum ada jika
ada pelanggaran baik dari pemerintah maupun dari masyarakat. Jika
ada yang melanggar peraturan seperti adanya pemboman ikan hanya
ada teguran dari masyarakat dan diberikan nasihat. Penegakan
peraturan belum efektif tetapi secara lisan sudah berlaku.
Dimensi Sistem Religi
Sebahagian besar masyarakat disini beragama Islam dan
menjadikannya sebagai pegangan hidup. Hubungan antara agama
dengan kegiatan ekonomi secara langsung memang tidak terlihat tetapi
digambarkan melalui kehidupan sehari-hari misalnya tidak boleh curang
dalam mencari nafkah. Simbolik hubungan antara agama dan atau
kepercayaan dengan kegiatan ekonomi, biasanya adanya upacaraupacara petik laut (sedekah laut) sebagai tanda syukur, tetapi 3 tahun
terakhir ini tidak pernah lagi dilakukan karena terbentur masalah biaya.
Peranan tokoh-tokoh agama dalam kegiatan sosial politik sangat
berpengaruh misalnya dalam hal memilih partai politik.
Dimensi Ekonomi
Sebahagian besar hasil tangkapan nelayan dijual, hanya sebahagian
kecil yang dikonsumsi dengan kata lain berorientasi ekonomi.
Pemikiran terhadap perbaikan teknologi alat tangkap (rekayasa
teknologi) sudah mulai nampak pada masyarakat nelayan walaupun
masih sederhana misalnya banyak nelayan sekarang yang menggunakan
alat tangkap tak-tak (dulunya alat tangkap payang) dengan hasil
tangkapan ikan bulu ayam yang merupakan komoditas ekspor. Usaha
81
kearah investasi belum nampak karena hasil yang diperoleh hanya
cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Mata pencaharian alternatif
nelayan tidak ada tetapi keinginan kearah sanasih ada.
Spesialisasi pekerjaan tidak terlalu nampak karena alat tangkap
masih skala kecil, hampir semua nelayan bisa melakukannya yang
penting punya jiwa kesabaran dan ketekunan. Keterampilaan fungsional
yang dimiliki nelayan di desa ini adalah pada pemilihan areal dan waktu
penangkapan. Kerjasama pada kegiatan nelayan maupun diluar nelayan
cukup bagus misalnya dalam kegiatan keagamaan dan sosial sangat
respon sekali. Tingkat ketergantungan masih terasa, terlihat antara
nelayan dengan juragan yaitu kedua belah pihak saling membutuhkan,
juragan membutuhkan hasil produksi tangkapan sedangkan nelayan
membutuhkan sebaliknya. Struktur hubungan yang terbentuk bisa
dikatakan asimetris. Pembagian kontribusi hasil antara pemilik kapal
dan ABK tidak berimbang, begitupun antara pemilik kapal dan juragan.
Tingkat konsumsi termasuk rendah, diperkirakan 1,50 kg perorang
perbulan.
Dimensi Kelembagaan
Kelompok–kelompok formal di desa ini seperti KUD, HNSI tidak
ada kecuali nelayan yang mengikuti program PEMP dibentuk kelompokkelompok pemanfaat dan nelayan-nelayan yang tidak mengikuti
program PEMP secara informal terbentuk dalam kelompok Patron
Clin. Sifat lembaga informal, manajemennya belum teratur dan belum
bisa sebagai wadah pembinaan. Sebagai pimpinan atau ketua kelompok
ialah para juragan yang mempunyai akses permodalan sehingga tingkat
kewenangannya tinggi. Belum mewakili kepentingan nelayan. Aturan
main lembaga tidak jelas, kecuali sebagai wadah jual beli biasa.
82
Dimensi Politik
Di desa ini masyarakatnya religius, sehingga kiai atau ulama
mempunyai kharismatik yang kuat jadi penilaian kepemimpinan oleh
masyarakat nelayan disini mempunyai sifat-sifat yang baik anatara lain
jujur, memperlihatkan contoh yang baik, jadi yang dianggap tokoh
termasuk bidang perikanan sesuai dengan krieria-kriteria yang
disebuitkan terdahulu. Dukungan terhadap kepemimpinan bisa
dikatakan positip. Proses penmgambilan keputusan oleh tokoh
masyarakat dalam hal pembangunan perikanan sudah
mempresentasikan kepentingan sebagian nelayan. Hubungn antara
pemerintah local dengan luar cukup baik, terbukti jika ada programprogram pemerintah bisa direspon dengan baik.
4.5. Selayar, Sulawesi Selatan
Dimensi Pengetahuan Lokal
Masyarakat nelayan di wilayah Desa Pattikarya, termasuk dalam
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan yang
diatur dalam lingkup wilayah Kabupaten Selayar, Propinsi Sulawesi
Selatan. Secara formal, pengaturan jalur penangkapan ikan sudah
diterakan dalam peraturan daerah yang dikeluarkan oleh dinas
perikanan dan kelautan setempat (4 mil dari tepi daratan ke arah laut).
Secara informal, masyarakat di masing-masing desa yang disurvei
memiliki pengetahuan tentang wilayah yang sejak nenek moyangnya
diklaim sebagai wilayah penangkapan ikan mereka. Mereka (anggota
masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan) sangat paham mengenai
batas-batas alam yang menandai wilayah penangkapan ikan tersebut.
Pengakuan terhadap batas-batas wilayah penangkapan secara informal
hanya berlaku di antara masyarakat di Kab.Selayar (masyarakat Selayar
dianggap sebagai satu suku bugis tersendiri – berbeda dengan suku
bugis yang hidup di daratan Sulawesi).
83
Pengaturan tentang pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
perikanan hanya terbatas pada pelarangan untuk beroperasi bagi alatalat tangkap seperti trawl yang dioperasikan oleh masyarakat luar (Kab.
Sinjai dan Kab. Bulukumba) yang lebih condong didasarkan pada alasan
domisili. Bagi masyarakat luar daerah yang telah tinggal atau berdomisili
lama bukan merupakan suatu kendala untuk turut mengoperasikan alat
tangkap mereka. Sistem pengelolaan antar kedua lokasi penelitian agak
berbeda, namun demikian keduanya cenderung mengarah ke open
access.
Pemberlakuan sistem property right oleh masyarakat nelayan
Desa Pattikarya hanya dapat berlaku pada wilayah penangkapan nelayan
yang tidak jauh dari tempat tinggal. Mereka tidak mampu untuk
melarang nelayan luar yang menangkap ikan di wilayah yang agak
berjauhan dengan tempat tinggal mereka, disamping nelayan luar
tersebut tidak mengabaikan adanya klaim dari nelayan Desa Pattikarya
atas wilayah perairan dimana mereka melakukan kegiatan penangkapan
ikan. Sedangkan pada masyarakat nelayan Benteng yang memiliki
wilayah penangkapan ikan jauh dari tempat tinggalnya telah
mengakibatkan sistem pengelolaan dan pemanfaatan SDKP bersifat
open access. Selain pengaturan batas wilayah penangkapan ikan, tidak
diperoleh adanya aturan lokal lainnya yang menjadi acuan masyarakat
lokal terkait dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan.
Masyarakat nelayan di kedua lokasi juga masih memiliki anggapan
bahwa isi laut tidak akan habis. Namun demikian, mereka sudah paham
akan dampak negatif penggunaan bom dan racun dalam kegiatan
penangkapan ikan bagi lingkungan perairan. Sanksi bagi pelanggaran
kegiatan tersebut mengacu pada hukum formal, dengan upaya
penerapannya yang relatif masih rendah karena terkendala oleh saranaprasarana pengawasan (termasuk tidak berfungsinya kapal pengawasan
Ditjen SDKP ada di Benteng karena tingginya biaya perawatan dan
operasional).
84
Dimensi Sistem Religi
Seluruh masyarakat di Desa Pattikarya memeluk agama Islam,
sedangkan di Benteng ada sekelompok masyarakat etnik Cina dalam
jumlah kecil yang memeluk agama kristen yang berprofesi sebagai
pedagang. Karenanya fokus kajian dimensi ini terpusat pada agama Islam
dan pemeluknya. Dari sisi ketaatan melaksanakan ibadah sudah mulai
berkurang, terutama di Desa Pattikarya. Menurut Imam Desa, saat ini
hanya sekitar 40-50% dari anggota masyarakat yang wajib beribadah
melaksanakan ibadah sholat Jum'at.
Di desa Pattikarya tidak diperoleh informasi mengenai adanya
upacara atau ritual yang terkait dengan kegiatan ekonomi. Simbolik
hubungan antara agama dan atau kepercayaan, seperti larung sesaji atau
sedekah laut, di masyarakat nelayan di Pantai Utara Jawa tidak pernah
diselenggarakan. Simbolik hubungan hanya diperoleh pada saat
pembuatan kapal dengan cara menanamkan bahan-bahan terbuat dari
emas. Barang tersebut, biasanya dalam bentuk semacam paku,
ditanamkan di bagian lunas kapal. Sewaktu pertama kali diluncurkan ke
laut, diiringi dengan terlebih dahulu selamatan sederhana.
Tokoh agama (Imam Desa) hanya berperan dalam kehidupan sosial
masyarakat. Sedangkan terkait dengan kegiatan ekonomi, peran
tersebut relatif sangat kecil. Fakta tersebut tampak pada aturan sama
yang diterapkan di kedua lokasi penelitian, yaitu aturan untuk bergiliran
menjadi imam dan khatib. Pada saat ini, banyak anggota masyarakat yang
mendapat giliran untuk menjalankan kewajiban terkait dengan aturan
tersebut, ”mangkir” dengan berbagai alasan. Namun alasan utama
adalah melaut untuk mencari nafkah. Akibat dari ketidaktaatan
terhadap aturan lokal tersebut, bila ada setiap anggota masyarakat yang
”mangkir” maka Imam Desa-lah yang menjadi penggantinya.
Disamping kewajiban ”rutin” tersebut di atas, Imam Desa memiliki
tugas untuk turut serta dalam menyelesaikan permasalahan sosial yang
85
terjadi di kehidupan sehari-hari (sebagai contoh: perseteruan antar 2
keluarga nelayan akibat kecemburuan besarnya hasil tangkapan). Tugas
tersebut dirasakan oleh Imam Desa sebagai suatu tugas yang berat
karena anggota masyarakat setempat yang sedang terlibat pertikaian
itu tidak mengabaikan nasihat-nasihat yang diberikan oleh Imam Desa.
Atau dengan kata lain, kewibawaan Imam Desa sebagai tokoh
masyarakat yang disegani sehingga harus ditaati nasihat-nasihat atau
pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan sudah banyak berkurang.
Akibatnya, minat anggota masyarakat untuk menjadi Imam Desa
rendah (bahkan dengan insentif berupa honor bulanan dari pemerintah
daerah setempat).
Dimensi Ekonomi
Masyarakat nelayan di desa Pattikarya memiliki ketergantungan
yang tinggi terhadap sumberdaya kelautan dan perikanan yang berada
berhadapan dengan desa mereka. Sebagian besar dari anggota
masyarakat berprofesi sebagai nelayan. Mereka setiap hari pergi ke laut
guna mendapatkan ikan hasil tangkapan. Alat tangkap yang digunakan
yang dominan adalah jaring dan pancing dengan menggunakan perahu
berukuran relatif kecil. Orientasi kegiatan produksi yang sangat
condong ke arah pemanfaatan sumberdaya kelautan (ikan) tampak pula
dari masih besarnya keengganan sebagian besar dari mereka untuk
mencoba menjalankan profesi lain seperti menjadi petani vanila atau
jambu mete. Hal ini dilandasi oleh anggapan mereka bahwa sumberdaya
perikanan di laut sekitar mereka tidak akan habis. Hasil tangkapan
seluruhnya dijual dan tidak ada yang ditujukan untuk konsumsi rumah
tangga (kecuali hasil pancing anak buah kapal bagan apung saat
menunggu jaring diangkat).
Masyarakat Benteng relatif tidak terlalu bergantung terhadap
sumberdaya laut. Hal ini tampak dari jenis mata pencaharian mereka
86
yang lebih beragam. Wilayah mereka yang termasuk kedalam wilayah
ibukota Kabupaten yang notabene menjadi pusat perekonomian
wilayah menyebabkan sebagian dari mereka memiliki mata pencaharian
lain yang masih terkait dengan kegiatan perikanan seperti bakul dan
pengolah ikan ataupun yang tidak terkait sama sekali tangkap seperti
pedagang dan pegawai. Nelayan Kelurahan Benteng juga memiliki
jangkauan melaut yang lebih jauh dibandingkan dengan nelayan Desa
Pattikarya. Mereka memiliki wilayah penangkapan ikan hingga mencapai
perairan sekitar kawasan Taman Nasional Laut Takabonerate yang
berjarak lebih kurang 9 – 13 jam dari tempat tinggal mereka. Alat
tangkap yang umum digunakan adalah bagan motor. Mereka menetap di
kawasan Takabonerate (tidak pulang) sekitar 2 – 6 minggu (1,5 bulan).
Hasil tangkapan lebih banyak diolah menjadi ikan asin dan dijual pada
para pembeli dari daerah di luar Selayar. Mereka tidak banyak menjual
hasil tangkapan dalam bentuk ikan segar karena kalah bersaing dengan
nelayan dari luar Selayar (sarana penyimpanan yang sederhana – tidak
membawa es/tidak memiliki palka khusus). Penjualan ikan segar hanya
terbatas pada pasar di kota Benteng, ibukota Selayar. Hal ini juga
mendukung masih kecil dan tradisionalnya skala usaha yang masyarakat
nelayan di kedua desa tersebut.
Skala usaha tersebut tampak pula dari spesialisasi pekerjaan yang
sederhana. Tidak ada pembagian pekerjaan pada nelayan di Desa
Pattikarya, sedangkan di Benteng meskipun sudah ada tetapi baru
sebatas nahkoda dan nelayan buruh yang terbagi menjadi penurun dan
pengangkat jaring pada alat tangkap bagan motor. Akibatnya,
keterampilan fungsional tidak dimiliki oleh nelayan, terutama nelayan di
Desa Pattikarya.
Kemampuan bekerja sama antar nelayan yang mengoperasikan alat
tangkap rendah. Hal ini dapat dijelaskan sedikitnya dari rendahnya
hasrat atau keinginan untuk secara bersama mengembangkan
87
keterampilan, peningkatan akses ke lembaga permodalan atau
pembiayaan. Akibatnya, nelayan tersebut sangat tergantung pada
pemilik kapal dan pembeli ikan. Kondisi ini menyebabkan nelayan tidak
memiliki posisi tawar menawar yang rendah, dalam bagi hasil dengan
pemilik kapal serta dalam menentukan harga jual ikan dengan pembeli
ikan di kawasan Takabonerate. Adapun tingkat konsumsi ikan,
sebagaimana layaknya masyarakat sulawesi pada umumnya adalah
relatif tinggi. Ikan menjadi menu utama didalam lauk-pauk sehari-hari
masyarakat di kedua lokasi penelitian.
Dimensi Kelembagaan
Lembaga kemasyarakatan yang ada pada masyarakat nelayan di
kedua lokasi berbeda, dalam arti lebih banyak di Benteng daripada di
Pattikarya. Di Desa Pattikarya tampak lembaga formal yang dikepalai
oleh Kepala Desa sangat dominan didalam pengaturan kehidupan sosial
masyarakat. Lembaga informal yang bermain saat ini hanyalah antara
nelayan dengan pengumpul ikan. Pengumpul ikan yang rata-rata berasal
dari Benteng membeli ikan dengan harga yang telah ditentukan.
Selebihnya tidak tampak adanya lembaga informal yang berperan kuat
didalam kehidupan masyarakat setempat. Proses pemilihan meskipun
sudah berlangsung cukup demokratis namun masih tampak
dipengaruhi oleh kekuatan eksternal, yaitu pemerintahan di tingkat
kecamatan dan kabupaten. Dalam hal ini ada semacam ”restu” dari
pimpinan-pimpinan di tingkat daerah yang dimaksud kepada para calon
kades sebelum mereka mencalonkan diri dalam pilkades. Lembaga
informal yang dahulu berperan besar namun pada saat ini tidak lagi
adalah lembaga keagamaan yang dipimpin oleh Imam Desa. Faktorfaktor yang menyebabkan pudarnya eksistensi lembaga informal ini
sudah dijelaskan dalam dimensi religi.
88
Konflik yang menonjol yang terjadi dalam kehidupan sosial
masyarakat nelayan, tidak hanya di kedua lokasi penelitian namun juga
Kabupaten Selayar secara keseluruhan, adalah dalam hal pemanfaatan
sumberdaya perikanan antara nelayan Selayar dengan non Selayar yang
berasal dari Sinjai ataupun Bulukumba. Penyebabnya adalah nelayan
Selayar merasa memiliki hak milik (mengklaim) terhadap wilayah
perairan yang ada, namun dari segi teknologi alat tangkap mereka tidak
dapat bersaing dengan nelayan non Selayar. Akibatnya nelayan Selayar
merasa hak milik mereka berupa sumberdaya ikan ”diambil” oleh
nelayan non Selayar. Eksistensi konflik ini masih berlangsung hingga kini.
Upaya mereduksi konflik sudah dilakukan oleh dinas perikanan dan
kelautan setempat melalui upaya negosiasi antar kabupaten, dan dalam
hal ini dinas perikanan dan kelautan tingkat propinsi menjadi
fasilitatornya.
Dimensi Politik
Tuntutan masyarakat pada dasarnya berlandaskan pada
pemenuhan kebutuhan hidup yang secara fisik masih rendah (terutama
di Desa Pattikarya). Sebagai contoh, tuntutan masyarakat Desa
Pattikarya atas BMKT yang ditemukan untuk segera diangkat oleh
pihak pemerintah daerah lebih didasarkan pada nilai harta karun yang
menurut mereka dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan
mereka.
Asal tuntutan masyarakat sulit ditelusuri, namun demikian aspirasi
masyarakat tersebut umumnya disalurkan melalui lembaga
pemerintahan desa yang ada (Kepala Desa dan Badan Pertimbangan
Desa). Dukungan masyarakat terhadap mereka juga dikarenakan
mereka merupakan tokoh-tokoh masyarakat yang dilihat dari asal usul
masih ada hubungan darah atau sekerabat. Proses pengambilan
keputusan yang berjalan masih dominan bersifat top-down. Belum
89
terjadi proses musyawarah yang terjadi secara intensif antara
pemerintah ataupun lembaga formal-informal lainnya dengan
masyarakat. Hal ini berakibat pada berbagai kebijakan yang ditetapkan
atas nama pemerintah menjadi polemik atau keresahan dalam
kehidupan masyarakat setempat. Pada masalah BMKT tersebut di atas,
masyarakat mengusulkan untuk segera membagi harta karun yang ada
didalam kapal tenggelam. Keinginan masyarakat ini berbeda dengan
tindakan yang diambil oleh pemerintah yang lebih didasari pada
pengkajian aspek sejarah, nilai ekonomi dan hukum yang tentunya
kurang dipahami oleh masyarakat setempat dengan tingkat pendidikan
rata-rata rendah. Kurang pahamnya mereka akan adanya proses yang
harus dijalani oleh pemerintah daerah setempat terhadap BMKT
tersebut tampak dari kecurigaan masyarakat terhadap pihak
pemerintah yang dirasa memperlambat proses pengangkatan BMKT.
Kasus lainnya adalah tidak diterapkannya sanksi terhadap pelaku
kegiatan penangkapan ikan illegal (dengan bom atau racun) oleh pihak
yang berwenang. Masyarakat merasa tidak adanya perhatian
pemerintah terhadap kasus-kasus perusakan lingkungan, yang oleh
pemerintah setempat hal tersebut lebih dikarenakan kendala minimnya
sarana-prasarana pengawasan. Komunikasi yang tidak lancar
merupakan salah satu faktor penyebab masih kurang harmonisnya
hubungan antara pemerintah dengan masyarakat.
4.6. Makassar, Sulawesi Selatan
Dimensi Pengetahuan Lokal
Perairan laut yang menjadi wilayah penangkapan masyarakat di
sekitar Pulau Lae-Lae ini merupakan milik umum. Nelayan
mengemukakan bahwa tidak ada hak kepemilikan seseorang di wilayah
pesisir dan lautan yang menjadi tempat usaha penangkapan. Tidak ada
hak khusus untuk menangkap ikan di perairan pesisir dan laut di sekitar
90
pulau ini.Tidak ada sistem pengelolaan yang mengatur pemanfaatan dan
pengelolaan sumberdaya perikanan di dalamnya, kecuali pelarangan alat
tangkap arad/trawl, potas, bom/dinamit, racun dan aliran listrik.
Menurut kepala desa masayarakat di wilayahnya tidak pernah
menggunakan alat tangkap atau cara penangkapan yang dilarang
tersebut. Tidak ada mekanisme khusus dalam pemanfaatan dan
pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, tetapi jika ada
pelanggaran (menggunakan alat yang dilarang) langsung masyarakat
melaporkan kepada Lurah setempat.
Tidak ada konsepsi upaya konservasi sumberdaya kelautan dan
perikanan. Hanya dalam penerapan peraturan tertentu yang dilarang
pemerintah melalui sistem monitor oleh nelayan lalu dilaporkan kepada
Lurah jika ada pelanggaran-pelanggaran. Belum ada mekanisme upaya
penerapan konservasi dalam hubungannya dengan pemanfaatan dan
pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan.
Mekanisme penegakan peraturan dilaksanakan dengan jalan
musyawarah dulu. Jika tidak selesai barulah dilaporkan kepada yang
berwajib baik aparat kelurahan, polisi dan dinas kelautan dan perikanan
setempat. Belum ada bentuk sanksi yang diterapkan dalam masyarakat
nelayan. Berlaku hukum positif dan dengan kepolisian urusannya.
Pelanggaran dilaporkan ke Lurah setempat. Pelaksanaannya di lapangan
dipercayakan kepada masyarakat nelayan saja. Dalam hal ini, masyarakat
hanya berfungsi sebagai sumber informasi pelanggaran peraturan.
Masyarakat beranggapan penegakan peraturan yang ada tidak berjalan
efektif terutama dalam kaitannya dengan pemberantasan kegiatan
penangkapan yang menggunakan bom pada karang-karang yang jauh
dari pemukiman.
Dimensi Sistem Religi
Agama Islam merupakan agama yang dianut sebagian besar
masyarakat di wilayah pulau ini. Namun demikian, pandangan kehidupan
91
tidak sepenuhnya menurut ajaran agama Islam. Misalnya masih ada
praktek rentenir yang mengkreditkan uang kepada masyarakat nelayan.
Bahkan, bunga berbunga dengan jaminan rumah yang kadang-kadang
tergadai/terjual. Praktek ajaran agama antar manusia belum terlihat
dilaksanakan.
Ada kepercayaan tempat yang angker dalam melaksanakan
penangkapan ikan tetapi ada juga masyarakat nelayan yang tidak
percaya tentang hal ini. Bahaya yang akan timbal dalam kaitannya dengan
penangkapan ikan dipikirkan masyarakat secara rasional.Tidak terdapat
semacam upacara keagamaan atau kepercayaan tertentu dalam
hubungannya dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
kelautan dan perikanan. Nelayan disini juga menangkap ikan di wilayah
Pangkep, sedangkan di sekitar pulau mereka menangkap cumi-cumi.
Tokoh-tokoh agama tidak banyak berpengaruh dalam masyarakat
nelayan.Terdapat penggunaan konsepsi atau paham agama dalam hal ini.
Sebagai contoh misalnya pak Lurah menggunakan pendekatan norma
agama untuk mensukseskan program pemberdayaan masyarakat di
dalam wilayah kelurahan mereka.
Dimensi Ekonomi
Produksi yang dihasilkan masyarakat nelayan berorientasi pasar
dan semuanya dijual. Hal ini didasarkan atas alasan ikan yang ditangkap
semuanya berharga mahal. Uangnya untuk memenuhi kebutuhan
mereka sehari-hari. Masyarakat nelayan mampu memanfaatkan
teknologi canggih seperti potas tapi merusak sumberdaya. Malas dan
enggan menggunakan pancing saja karena anggota masyarakat yang
lainnya juga tetap menggunakan potas. Bahkan, karena menggunakan
potas dilaksanakan sambil menyelam maka akibatnya banyak anggota
masyarakat nelayan yang lumpuh.Alat tangkap yang dominan digunakan
masyarakat adalah jaring dan pancing disamping menggunakan potas
92
Gambar 5. Aktivitas penangkapan ikan di
perairan sekitar Pulau Lae-Lae Makasar, Sulawesi
Selatan
untuk ikan karang bahkan bom (dinamit) (Gambar 5). Masyarakat
nelayan di sekitar pulau Lae-Lae hanya menangkap cumi-cumi,
sedangkan menangkap ikan yang lainnya di perairan Pangkep.
Terdapat pembagian peran dalam kegiatan penangkapan ikan. Ada
masyarakat yang hanya menangkap cumi-cumi saja dan ada yang hanya
menangkapan ikan saja. Keterampilan fungsional lainnya yang dimiliki
masyarakat nelayan selain menangkap ikan ádalah menggunakan motor
tempel yang berfungsi sebagai angkutan penyeberangan dari Makasar
ke Pulau Lae-Lae. Namun demikian, ada juga kerjasama dalam
melaksanakan penangkapan ikan baik di sekitar Pulau Lae-Lae (2-3
orang) maupun keluar desa seperti ke Pangkep (7-10 orang)
menggunakan pancing untuk mencari ikan karang. Kebanyakan nelayan
lebih memikirkan rumah daripada pengembangan usaha. Tidak ada
usaha untuk melakukan investasi pada usa penangkapan. Masyarakat
nelayan sejauh ini mau mengerjakan pekerjaan alternative tetapi tidak
punya modal untuk melaksanakannya. Modal dalam hal ini diperlukan
untuk membeli perahu dan mesin nya yang dapat digunakan angkutan
antar ke dan ke pulau.
Tidak terlihat adanya hubungan yang bersifat positif antara nelayan
dan pedagang maupun sesama nelayan. Nelayan lebih banyak
93
tergantung terhadap rentenir. Dalam hal ini, masyarakat nelayan
terpaksa berhubungan dengan rentenir karena didesak oleh kebutuhan
hidup sehari-hari. Pemerintah belum ada perhatian pada masyarakat
nelayan tentang permodalan ini (baru mau ada). Kondisi patron klien
antara rentenir dan nelayan selalu bertahan karena semakin
meningkatnya biaya usaha penangkapan. Dalam hal ini nelayan selalu
dirugikan dan sebaliknya rentenir yang selalu mendapatkan keuntungan
(yang tidak sesuai dengan usahanya). Meskipun mereka mengetahui
dan memahami pentingnya perencanaan dalam kegiatan perikanan
tetapi sulit selalu untuk dipraktekkan di lapangan. Juga Ada faktor
budaya siri yang luntur untuk mereka sehingga malas berusaha kalau
berada di kampung sendiri.Tingkat konsumsi ikan rendah, sangat jarang
makan ikan. Mengkonsumsi sekitar 4-5 ons per hari (3 anak) dengan
frekuensi dua kali per minggu. Namun demikian ketika di laut makan
ikan setiap hari.
Dimensi Kelembagaan
Belum ada kelembagaan yang mengkelompokkan masyarakat
nelayan di wilayah ini. Hanya ada kelembagaan kelurahan yang sifatnya
formal. Lembaga lain yang bersifat informal juga belum ada. Sistem
kekerabatan jarang digunakan dalam berhubungan secara ekonomi.
KUD tidak ada dalam hubungannya dengan kegiatan ekonomi
masyarakat nelayan.Tidak ada kelembagaan yang teridentifikasi sebagai
penyelesaian konflik dalam masyarakat nelayan. Urusan konflik
masyarakat secara keseluruhan diselesaikan oleh Lurah bersama RW
nya serta Ketua RT di lingkungannya. Antara RT dan RW secara
bersama bermusyawarah untuk membangun kelurahan baik secara fisik
(bantuan diesel untuk penerangan desa) maupun non fisik (bantuan
moidal misalnya). Kepala desa dan ketua kelompoknya tidak perhatian
terhadap kehidupan masyarakat nelayan. Belum ada representasi
94
masyarakat nelayan dalam suatu kelembagaan yang ada yang sifatnya
resmi (RT dan RW atau kelurahan).
Tidak terbentuknya manajemen konflik yang dilaksanakan oleh
suatu lembaga. Jika terjadi konflik dalam masyarakat misalnya
sehubungan dengan mengurus permasalahan kompensasi BBM dapat
diselesaikan oleh Lurah bersama RW nya. Mereka dapat dengan tegas
memutuskan bahwa orang kaya tidak dapat menerima kompensasi
BBM. Masyarakat sejauh ini menggunakan rasionalitas tapi untuk
penggunaan potas alasannya mereka terpaksa, tidak ada jalan lain yang
lebih baik lagi. Menggunakan alat tangkap pancing hasilnya sedikit.
Meskipun demikian mereka tetap berusaha berbuat yang tidak
bertentangan dengan kaidah umum yang berlaku di daerah setempat
terutama dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Keberadaan
penerapan sanksi didasarkan atas norma-norma atau aturan-aturan
yang ada dan telah disepakati oleh anggota masyarakat secara
menyeluruh. Misalnya jika kawin lari makan pasangan tersebut diusir
dari kampung tersebut.
Dimensi Politik
Lurah memiliki visi untuk membangun masyarakat secara
menyeluruh tapi visi tersebut tidak seluruh masyarakat memahaminya.
Lurah dan RW nya memiliki kemampuan untuk menempatkan diri pada
kondisi terhadap pihak lain untuk mendapatkan manfaat secara
bersama. Pimpinan tersebut sejauh ini terlihat mau berkorban untuk
masyarakat seperti dalam pengurusan kompensasi BBM, sebagai
petugas tidak punya honor khusus untuk pekerjaan itu. Pimpinan
tersebut juga mampu berkomunikasi dengan masyarakat misalnya
menyelesaikan konflik dalam masyarakat terkait kompensasi BBM.
Tidak terlihat hal-hal yang berhubungan dengan memberikan inspirasi
dan mengarahkan anggotanya.
95
Sampai saat ini proses pengambilan keputusan belum diketahui
oleh masyarakat. Masyarakat menilai Lurah, RT, RW harus dapat
membangun keluarganya dan sabar serta adil dalam bertindak. Faktorfaktor yang menjadi dasar dalam pengambilan keputusan sangat
terbuka dan sesuai dengan kondisi yang ada dalam masyarakat serta
dapat diterima oleh masyarakat secara kolektif. Keputusan pemimpin
dapat dikaji kembali jika memang keliru dan selama ini kejadian seperti
ini belum terlihat dalam masyarakat. Kepentingan antara desa dan
kabupaten adalah sama yaitu sama-sama mensejahterakan masyarakat
nelayan secara menyeluruh dengan sumberdaya alam yang ada.
97
V.
KONDISI SOSIAL BUDAYA
MASYARAKAT NELAYAN PERAIRAN PEDALAMAN
Kondisi sosial budaya masyarakat nelayan yang dikemukakan dalam
bagian ini merupakan contoh kondisi sosial budaya yang terdapat pada
masyarakat nelayan perairan pedalaman yaitu sungai dan rawa serta
waduk.
5.1. Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan
Pemukiman masyarakat nelayan di perairan pedalaman Kalimantan
Selatan banyak terdapat di Kabupaten Hulu Sungai Utara. Pada wilayah
Kabupaten Hulu Sungai Utara, wilayah perairan pedalaman banyak
terdapat di kiri kanan sungai di perairan rawa lebak Sungai Negara.
Desa Danau Bangkau merupakan salah satu desa pemukiman
masyarakat nelayan perairan pedalaman yang mata pencaharian
mereka menangkap ikan di perairan rawa lebak dan sungainya.
Dimensi Pengetahuan Lokal
Pada masyarakat nelayan di wilayah perairan sungai dan rawa di
desa Danau Bangkau diketahui bahwa ada batas-batas wilayah
penangkapan ikan terutama pada kolam-kolam yang dibangun sendiri
oleh masyarakat yang dinamakan beje (semacam kolam perangkap).
Oleh karena itu mereka mengadakan klaim terhadap wilayah
penangkapan ikan tertentu yang mereka buat pada saat musim kemarau
atau air surut. Dalam hal ini, secara pemegang wewenang dan
mendistribusikan hak pemanfaatannya sumberdaya perikanan yang ada
di dalam beje (seperti kolam perangkap yang dibuat di lahan perairan
labak lebung) tersebut sepenuhnya dikelola oleh pemilik beje secara
perorangan.
98
Di lain pihak, pemegang wewenang dan mendistribusikan hak
pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berada di perairan umum
secara keseluruhan adalah pemerintah daerah yang dalam hal ini
diserahkan kepada Dinas Perikanan setempat. Pengaturan yang
berhubungan dengan aturan daerah penangkapan dalam hal ini terdapat
berupa pelarangan penangkapan di wilayah yang telah ditetapkan
sebagai daerah suaka perikanan (reservat) yaitu perairan Danau
Bangkau pada musim kemarau. Pelarangan penangkapan ikan di wilayah
reservat tersebut diberlakukan untuk siapapun dan alat tangkap
apapun. Disamping itu pelarangan yang ada antara lain tidak
diperbolehkan melakukan penangkapan ikan di perairan sungai dan
rawa menggunakan aliran listrik dan atau racun atau pestisida atau alat
dan bahan yang membahayakan kelestarian sumberdaya perikanan
tersebut.
Konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan dalam hal ini
adalah berupa pengetahuan lokal masyarakat setempat terkait dengan
persepsi dan konsepsi serta mekanisme konservasi sumberdaya
kelautan dan perikanan yang bertujuan menjaga SDKP agar tetap
berfungsi di dalam mendukung pengelolaan dan pemanfaatan SDKP
secara lestari. Fungsi di dalam hal ini adalah fungsi ekologi dan
ekonomi.
Keberadaan upaya konservasi SDKP dalam hal ini hanya berupa
penetapan kawasan tertentu yang difungsikan sebagai daerah reservat
yang dicetuskan dan dilaksanakan oleh pemerintah setempat.Tata cara
pengaturan wilayah konservasi di wilayah desa Danau Bangkau adalah
dengan cara penjagaan reservat. Kegiatan konservasi SDKP antara lain
berupa penjagaan kawasan dan pengendalian tumbuhan air yang berada
di kawasan konservasi tersebut. Namun demikian secara umum
responden mengemukakan bahwa belum terlihat secara nyata manfaat
wilayah konservasi tersebut yang dirasakan oleh masyarakat setempat.
99
Hingga saat ini belum termonitor adanya semacam penegakan
peraturan dalam bentuk penerapan pengetahuan lokal masyarakat
setempat terkait dengan bentuk sanksi, mekanisme dan efektifitasnya
dalam upaya pengelolaan dan pemanfaatan SDKP secara lestari.
Peraturan-peraturan yang tertulis hanya terdapat yang berasal dari
pemerintah yaitu berupa larangan penggunaan alat tangkap yang dapat
membahayakan kelestarian SDKP, sedangkan peraturan yang tidak
tertulis yang berasal dari masyarakat setempat hingga saat ini belum
didapatkan yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan SDKP.
Bentuk-bentuk sanksi yang ada yang diterapkan dalam pengelolaan
dan pemanfaatan SDKP termasuk upaya konservasinya hanya berupa
peraturan yang ada dari pemerintah setempat. Namun demikian hingga
saat ini belum terdapat adanya penyelesaian kasus pelanggaran baik
berdasarkan hukum normatif maupun hukum positif.
Dimensi Sistem Religi
Adapun agama yang dianut sebagian besar masyarakat yang
bermukim di desa Danau Bangkau adalah agama Islam. Namun
demikian masih terdapat semacam kepercayaan yang dianut oleh
masyarakat setempat.Ajaran atau syariat agama dan atau kepercayaan
yang dilakukan oleh masyarakat secara umum berdasarkan ajaran
agama Islam. Terdapat hubungan antara agama dan atau kepercayaan
dengan kegiatan ekonomi masyarakat. Hubungan dalam hal ini terkait
dengan ketaatan masyarakat terhadap syariat agama dan atau
kepercayaan atas aktifitas ekonomi yang dilakukan oleh penganut
agama dan atau kepercayaan tersebut. Hal ini tergambar dalam kegiatan
penangkapan ikan mereka percaya bahwa ikan yang terdapat di
perairan merupakan berkah dariYang Maha Kuasa.
Namun demikian, belum ditemukan jenis-jenis upacara serta
kegiatan ritual keagamaan dan atau kepercayaan yang ada di masyarakat
100
dalam kaitannya dengan aktivitas pengelolaan dan pemanfaatan SDKP.
Dengan demikian belum ditemukan pula tujuan dan makna pelaksanaan
ajaran atau syariat tersebut oleh masyarakat. Keberadaan dan bentuk
pengaruh ajaran atau syariat tersebut kepada setiap anggota
masyarakat hingga saat ini sangat mengikat terhadap pola kerja mereka.
Sebagai contoh mereka lebih cenderung libur pada hari Jum'at sebagai
upaya untuk melaksanakan ajaran agama tersebut. Secara umum
kebiasaan ini diterapkan secara luas dan mengikat anggota masyarakat.
Peranan agama dan atau kepercayaan dalam kegiatan sosial-politik
masyarakat. Dalam hal ini, agama dan atau kepercayaan pada saat
tertentu dapat berfungsi sebagai pelindung tatanan sosial dan pada saat
lainnya dapat menilai kondisi sosial saat sekarang dengan mengacu
kepada masyarakat ideal yang berdasarkan kepada ajarannya.
Tokoh agama merupakan panutan yang diakui oleh sebagian besar
masyarakat setempat. Dasar-dasar penilaian/kriteria dari masyarakat
terkait dengan pengakuan individu sebagai tokoh agama terkait dengan
ketaatan tokoh agama tersebut terhadap ajaran agama. Kemudian
tingkah laku dan perbuatan yang secara riel terlihat terhadap tokoh
agama tersebut merupakan hal yang dilihat secara langsung oleh
masyarakat juga. Oleh karena itu ada kepercayaan atau pengaruh
tokoh-tokoh masyarakat yang dimaksud terhadap masyarakat
setempat. Namun demikian tidak banyak keterlibatan tokoh agama
dalam aktivitas masyarakat di luar kegiatan peribadahan terutama
terhadap usaha penangkapan ikan yang dilakukan masyarakat nelayan.
Bentuk keterlibatan tokoh agama tersebut hanya sebagai panutan
dalam bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari.
Dimensi Ekonomi
Sejak lama masyarakat nelayan perairan pedalaman sungai dan
rawa lebak disekitar desa menggunakan alat tangkap berupa pancing,
101
perangkap yang terbuat dari bambu dan rotan serta menggunakan
jaring sejak dua puluhan tahun terakhir ini. Namun demikian skala usaha
produksi yang dijalankan saat ini masih bersifat subsisten atau
tradisional. Secara umum masyarakat nelayan cukup mampu dalam
melakukan pekerjaan secara terencana, logis dan terukur. Hal ini
tergambar dari kondisi alam yang diketahui mereka dalam hubungannya
dengan penangkapan ikan dan mengusahakan lahan sawah yang mereka
miliki. Sawah mereka usahakan pada musim kemarau di perairan rawa
lebak, sedangkan usaha penangkapan ikan yang utama mereka lakukan
pada saat air besar di musim penghujan. Hal ini telah mereka lakukan
secara turun temurun antar generasi, sehingga laju investasi dalam
kegiatan produksi dapat dikatakan sangat lambat dan kecil sekali untuk
sebagian masyarakat.
Jenis mata pencaharian alternatif terbatas pada usaha membuat
dan memperbaiki alat tangkap yang mereka gunakan dan
keberadaannyapun tidak banyak. Hal ini disebabkan sebagian besar
masyarakat nelayan setempat dapat membuat dan memperbaiki sendiri
alat tangkap yang mereka gunakan sehari-hari dalam usaha
penangkapan ikan. Budidaya ikan belum berkembang di masyarakat
nelayan dan desa setempat. Hanya ada beberapa orang telah melakukan
pemeliharaan ikan dengan memanfaatkan ikan-ikan kecil sebagai pakan
utama yang mereka berikan kepada ikan yang dipelihara. Komoditas
ikan yang mereka pelihara adalah ikan haruan, betutu dan patin.
Mata pencaharian alternatif di luar sektor perikanan hanya berupa
usahatani padi sawah di sawah lebak dan berburuh jika ada pekerjaan
yang berlangsung dalam pembangunan di desa setempat. Hal ini
terutama mereka lakukan pada musim kemarau dimana saat itu usaha
penangkapan ikan dapat dikatakan tidak banyak terlaksana kecuali pada
perairan sungai dan kolam perangkap (beje) (Gambar 6). Namun
demikian, ada keinginan yang kuat dari masyarakat untuk melaksanakan
102
Gambar 6. Perahu bermotor sebagai sarana
penangkapan ikan di perairan pedalaman
di Kalimantan Selatan.
mata pencaharian alternatif yang ada. Sebagai contoh misalnya budidaya
ikan yang mereka laksanakan saat ini dibatasi oleh kondisi alam yang
hanya dapat dilaksanakan pada saat air besar dan pelaksanaannyapun
harus dipilih pada lokasi yang kualitas airnya cukup baik (tidak bangai).
Pembagian peran dalam kegiatan produksi dalam konsep
pemberdayaan harus memperhatikan spesialisasi dan keterampilan
fungsional yang ada di masyarakat. Pada masyarakat desa Danau
Bangkau terlihat bahwa secara umum ada pembagian peran di dalam
pekerjaan produksi dalam usaha perikanan. Masyarakat nelayan sejauh
ini terampil pada masing-masing alat tangkap yang sudah biasa mereka
terapkan sejak lama dan turun temurun dan mereka telah mengetahui
dimana di kawasan perairan mereka harus melaksanakan penangkapan
ikan dan kapan waktunya yang tepat untuk dilaksanakan. Begitu pula
untuk pekerjaan mengusahakan sawah yang mereka usahakan, kapan
harus memulai untuk membuat bibit dan kapan seharusnya mereka
menanam padi tersebut.
Jaminan sosial merupakan suatu bentuk pola adaptasi dari
masyarakat ketika dihadapkan pada permasalahan akan adanya
keterbatasan akses terhadap sumberdaya. Dengan kata lain masyarakat
akan menciptakan jaringan pengaman sosial yang dapat menjamin
103
keberlangsungan kehidupann mereka, seperti halnya kebutuhan akan
modal ketika saluran-saluran formal yang ada tidak mampu untuk
memberikan jaminan kepada masyarakat. Dalam hal ini, pada
masyarakat nelayan di desa ini secara umum terpola pada hubungan
sesama mereka masyarakat nelayan yang didasarkan pada kekerabatan
keluarga inti. Pengadaan alat tangkap misalnya telah mereka lakukan
menggunakan bahan yang ada di sekitar mereka seperti bambu dan
rotan.
Pada beberapa nelayan telah ada pula hubungan kerjasama dengan
pedagang yang bmembeli ikan hasil tangkapan mereka dan dalam hal
pengadaan benih ikan yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan
budidaya. Bentuk kerjasama yang bersifat formal diantara sesama
masyarakat nelayan di wilayah ini tidak ditemukan baik dalam
hubungannya dengan kegiatan ekonomi produksi maupun pemasaran
termasuk kegiatan di luar usaha penangkapan ikan. Juga, tidak
ditemukan bentuk-bentuk kerjasama yang ada di masyarakat di dalam
keseharian seperti contoh arisan ataupun pengajian ataupun sistem
bagi hasil.
Cara pengolahan hasil perikanan yang diasa terdapat pada
masyarakat nelayan di desa ini hádala dengan cara diasin dan diasap
atau diolah menjadi van makanan yang khas pada masyarakat setempat
yang mereka namakan ketupat. Ketupat dalam hal ini dimakan dan
diberi semacam bahan tambahan cair yang dicampur dengan ikan
haruan sehingga menjadi kuahnya. Makanan yang terakhir ini menjadi
kebiasaan sebagian besar masyarakat setempat, sedangkan pantangan
makan tidak ditemukan. Adapun tingkat konsumsi ikan masyakat
nelayan setempat berkisar 4-5 ons ikan per keluarga per hari dengan
jumlah anggota keluarga berkisar 4 hingga 8 orang termasuk kepala
keluarga.
104
Dimensi Kelembagaan
Pembentukan lembaga yang ada di masyarakat desa ini antara lain
lembaga sosial yang berfungsi sebagai sarana pengembangan hubungan
sosial diantara masyarakat yaitu berupa perkumpulan pengajian yang
dilakukan oleh masyarakat terutama dibentuk atas inisiatif
pembentukan berasal dari tokoh agama yang ada di masyarakat. Dasar
pembentukan lembaga tersebut hanya berdasarkan kebutuhan akan
pengembangan kegiatan beragama yang ada di masyarakat dengan
tujuan agar ajaran agama dapat berlangsung penerapannya di dalam
kehidupan bermasyarakat.
Dalam hubungannya dengan eksistensi lembaga yang dapat
dicirikan dengan adanya tiga hal yaitu batas kewenangan, aturan
representasi dan aturan main dari lembaga tersebut dapat
dikemukakan bahwa eksistensinya hanya bersifat sosial. Artinya dari
segi kewenangan tidak mempunyai kewenangan terhadap anggotanya,
siapa saja dapat menjadi anggota lembaga sosial tersebut. Tidak
terdapat hubungan atau bentuk-bentuk aturan yang tertulis atau tidak
tertulis kelembagaan tersebut yang berhubungan dengan kegiatan
pengelolaan dan pemanfaatan SDKP.
Dalam hubungannya dengan manajemen konflik terdapat fungsi
lembaga sosial yang ada di desa ini yaitu berusaha menjaga keutuhan
masyarakat dan memberikan pegangan kepada masyarakat untuk
mengadakan sistem pengendalian sosial (social control system) melalui
pendekatan ajaran agama. Dalam hal ini terlihat kemampuan pemimpin
atau seluruh anggota suatu lembaga sosial / kemasyarakatan dalam
penyelesaian konflik yang terjadi di masyarakat selalu diusahakan
melalui jalan musyawarah dan mufakat dengan mengambil peran tokoh
agama yang berpengaruh terhadap masyarakat secara umum meskipun
tidak terdapat mekanisme dan prosedur penyelesaian konflik secara
khusus dalam kelembagaan sosial tersebut.
105
Dimensi Politik
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari pendapat tokoh
masyarakat dan nelayan setempat beberapa tuntutan masyarakat saat
ini adalah diperlukan adanya peran pemerintah dalam pembangunan
perikanan khususnya masyarakat nelayan. Peran yang utama yang
diharapkan masyarakat adalah sebagai pembina dalam berusaha di
bidang perikanan terutama perikanan budidaya. Saat ini kegiatan
budidaya yang dilakukan oleh masyarakat hanya didasarkan kepada
informasi yang diperoleh dari sesama nelayan atau dari pedagang yang
menawarkan benih ikan yang berasal dari daera lainnya terutama
Banjarmasin.
Dalam hubungannya dengan kegiatan perikanan visi pemimpin
dalam hal ini diketahui dari dinas perikanan setempat bahwa
pembangunan perikanan di wilayah ini lebih kepada mengatur usaha
penangkapan ikan dan pengawasan terhadap hal-hal yang dapat
mengganggu kelestarian sumberdaya perikanan. Dalam hal ini belum
terlihat adanya daya empati pemimpin dan kemampuan komunikasi
pemimpin terhadap masyarakat nelayan baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Rasionalitas pemimpin dalam hal ini belum mencapai apa yang
sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat nelayan setempat. Hal ini
terlihat dengan adanya pendapat tokoh masyarakat dan nelayan yang
mengemukakan bahwa menurut mereka masyarakat saat ini
memerlukan tambahan modal untuk dapat melaksanakan usaha
penangkapan ikan dalam skala yang lebih menguntungkan. Dengan
demikian belum terlihat secara nyata adanya kemampuan pemimpin
dalam inspiring and directing yang lebih lanjut akan memperlihatkan
kurangnya integritas pemimpin.
Kesatuan dan keutuhan sistem politik didukung oleh konsep, yaitu
sistem, struktur dan fungsi. Sistem politik merupakan organisasi melalui
106
mana masyarakat merumuskan dan berusaha mencapai tujuan-tujuan
bersama dalam hal ini belum terlaksana sehingga belum terlihat adanya
transparansi yang lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa belum adanya
tahap akuntabel dan terbuka untuk diaudit (auditable). Artinya sistem
politik sebagai suatu konsep ekologis yang menunjukkan adanya suatu
organisasi yang berintegrasi dengan suatu lingkungan yang
mempengaruhinya dan dipengaruhinya belum terlihat, sedangkan
keputusan dan kebijakan terkait erat dengan fungsi yang dimiliki oleh
suatu sistem politik. Hal ini lebih lanjut memperlihatkan bahwa masih
terdapat conflict of interest antara masyarakat di satu pihak terhadap
pemerintahan di sistem yang lainnya.
5.2. Cianjur, Jawa Barat
Masyarakat nelayan di desa Kamurang tidak mengenal adanya batas
wilayah penangkapan termasuk daerah operasi penangkapan di
perairan Waduk Cirata. Mereka menganggap perairan tersebut bebas
bagi siapapun dan dimanapun untuk melakukan kegiatan penangkapan
ikan. Tidak adanya klaim wilayah dan pelarangan bagi orang lain untuk
menangkap ikan di suatu wilayah (sekitar desa tertentu) karena
tindakan atau aturan tersebut akan dialami pula oleh masyarakat desa
yang bersangkutan untuk wilayah lain (di sekitar desa lain). Pengaturan
wilayah penangkapan juga belum dilakukan oleh pihak pemerintah,
dalam hal ini Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai badan otorita
pengelola waduk.
Asal mula adanya kegiatan perikanan di daerah tersebut (baik KJA
maupun penangkapan) ditujukan bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat yang terkena dampak proyek pembangunan waduk.
Masyarakat di daerah yang pertama kali dianggap melakukan kegiatan
penangkapan adalah Desa Kamurang. Masyarakat setempat
107
memandang bahwa kepemilikan wilayah perairan adalah milik
pemerintah. Terkait dengan sifat access terhadap sumberdaya, dari hasil
wawancara dan pengamatan di lapang dapat dilihat bahwa siapapun
bebas untuk melakukan usaha penangkapan. Oleh karenanya bisa
dianggap masyarakat memandang sifat pengelolaan memenuhi asasasas open access. Dari hasil wawancara yang dilakukan kepada pihak
Dinas pun mengakui belum adanya peraturan-peraturan yang
mengatur usaha penangkapan ikan di perairan waduk Cirata di
Kabupaten Cianjur ini.
Tidak ada mekanisme pengelolaan dan pemanfaatan yang saat ini
berlaku di perairan waduk Cirata baik yang berasal masyarakat maupun
pemerintah daerah. Kalaupun ada sesuatu pengaturan yang dilakukan
oleh masyarakat, maka hal itu lebih didasarkan pada motif ekonomi saja.
Sebagai contoh, masyarakat nelayan jarang yang menggunakan mata
jaring di bawah 3 inchi. Tindakan ini sebenarnya dilatarbelakangi oleh
motif ekonomi yaitu tidak adanya pembeli (bandar ikan) yang
menampung ikan-ikan berukuran kecil (di bawah satu kilo berisi lima
ekor).
Terkait dengan konsepsi upaya konservasi sumberdaya kelautan
dan perikanan bisa dilihat dari beberapa hal. Nelayan setempat
menyadari bahwa kondisi sumberdaya ikan pada saat ini telah cukup
jauh berkurang dari tahun-tahun sebelumnya. Namun mereka
menolak anggapan bahwa ikan suatu saat akan habis. Menurut mereka
penyebab dari semakin sedikitnya ikan (terutama ikan nila) adalah
karena semakin tidak menentunya waktu surut dan pasangnya
permukaan air. Waktu air sedang naik maka dianggap oleh masyarakat
bahwa saat itu adalah musim panen. Sebaliknya, ketika air sedang surut
dianggap oleh masyarakat bahwa saat itu adalah musim sulit
mendapatkan ikan.
Tidak ada mekanisme penerapan upaya konservasi yang perlu
108
dilakukan oleh masyarakat nelayan di perairan waduk Cirata ini.
Penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan (ukuran mata jaring > 3
inchi) lebih disebabkan karena alasan-alasan ekonomi dibandingkan
dengan upaya konservasi. Penggunaan mata jaring berukuran besar
lebih bukan bertujuan agar benih-benih ikan tidak ikut terjerat dengan
alasan konservasi, tetapi dengan alasan tidak adanya bandar ikan yang
mau membeli ikan tersebut.
Bentuk sanksi dan mekanismenya atas pelanggaran pengaturan
pemanfaatan, pengelolaan dan konservasi sumberdaya kelautan dan
perikanan lebih mengacu kepada hukum positif sesuai dengan yang
berlaku secara formal. Belum ada aturan-aturan yang muncul dari dan
berlaku di masyarakat setempat. Penegakan hukum formal juga belum
didukung sepenuhnya oleh masyarakat. Sebagai contoh, untuk kasus
penangkapan benih-benih ikan, masyarakat menganggapnya sebagai
urusan pribadi si pelaku yang umumnya bermotifkan kesulitan ekonomi.
Dimensi Sistem Religi
Masyarakat nelayan di waduk Cirata umumnya memeluk Agama
Islam dalam kesehariannya, namun hal tersebut tidak menjadikannya
sebagai sebuah pedoman hidup keseharian. Banyak dari mereka yang
beranggapan bahwa permasalahan ibadah adalah masalah
perseorangan. Walaupun sering mereka tidak melaksanakan ibadah
agama namun sifat tunduk dan pasrah mereka terhadap Allah SWT
sangat kental terasa. Pandangan bahwa perairan tersebut merupakan
hidayah dari Allah bagi semua orang dan rejeki sudah ada yang mengatur
bagi setiap orang sangat mewarnai kehidupan keseharian.
Hasil wawancara yang dilakukan menunjukkan bahwa tidak ada
kegiatan-kegiatan yang bersifat ritualisme. Dan jika seandainya pun ada
yang melakukan, maka masyarakat nelayan di desa Kamurang ini tidak
turut campur. Tokoh agama tidak berperan di dalam kegiatan
109
kemasyarakatan. Mereka hanya dianggap sebagai imam masjid atau
mushollah saja.
Dimensi Ekonomi
Dari pengamatan dan hasil wawancara didapatkan bahwa sudah
sangat jarang sekali ditemui nelayan yang menangkap ikan hanya
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri (subsisten). Ikan hasil
tangkapan biasanya hanya disisihkan sedikit saja untuk konsumsi seharihari ketika ingin dan sebagian besar dijual. Dengan demikian sudah
dapat dikatakan bahwa orientasi mereka di dalam melakukan kegiatan
penangkapan adalah berorientasi ekonomi (uang).
Untuk penangkapan secara umum belum ditemukan teknologi
baru yang dapat berimplikasi terhadap perbaikan kinerja usaha
perikanan. Pernah ada nelayan pendatang yang membawa jaring
kantong (purse seine), namun setelah dioperasikan jaring tersebut
cepat kotor dan rusak walaupun dari hasil tangkapan dapat menangkap
semua jenis dan berbagai ukuran ikan. Selain itu nelayan menganggap
jaring tersebut tidak praktis digunakan. Untuk itu, masyarakat setempat
menganggap teknologi yang bisa memperbaiki usaha mereka adalah
motor tempel dengan kekuatan yang cukup besar. Dari hasil
pengamatan masih banyak nelayan yang menggunakan armada
penangkapan berupa kapal dayung, layar dan rakit. Permasalahan yang
muncul sehingga masyarakat terlihat kurang adaptif adalah karena
kurang kuatnya modal. Alat tangkap yang dominan digunakan adalah
berupa pancing, jala dan jaring (gill net) dengan hasil tangkapan
umumnya berupa ikan nila, mas dan jambal. Masyarakat setempat
secara umum hanya menggunakan satu jenis alat tangkap saja.
Keterampilan fungsional yang ada di masyarakat sangat terkait
dengan keahlian dan faktor modal serta ada atau tidaknya alternatif
pekerjaan. Dari hasil wawancara dan observasi didapatkan bahwa jenis
110
pekerjaan yang ada dan berhubungan dengan penangkapan adalah
sebagai nelayan dan bandar ikan. Menurut penuturan informan,
pekerjaan sebagai seorang nelayan tidak membutuhkan keahlian yang
tinggi tetapi lebih kepada kemauan dan keberanian saja. Selain itu
pekerjaan sebagai nelayan dianggap sebagai alternatif pekerjaan
terakhir. Keterampilan fungsional juga didasarkan atas faktor modal,
seperti halnya seorang bandar ikan.
Kemampuan masyarakat dalam membangun kerjasama dalam
proses produksi tidaklah terlalu terlihat. Hal yang sering terjadi justru
bukan di dalam bidang produksi tetapi di dalam hal kemasyarakatan.
Seperti halnya akan membantu ketika salah seorang dari mereka
mendapatkan musibah tenggelam di waduk. Selain itu mereka masih
melakukan kerjasama di dalam membantu memperbaiki perahu. Hal ini
terjadi dalam lingkup yang kecil, bertetangga atau masih dalam hitungan
kerabat.
Upaya berinvestasi diawali dengan keinginan dan seberapa jauh
mereka menerapkan budaya menabung. Informan yang diwawancara
mengungkapkan bahwa kebiasaan menabung dilakukan hanya ketika
mendapatkan hasil tangkapan yang cukup banyak. Umumnya hasil
menabung tersebut digunakan untuk membeli emas yang akan bisa
dijual kembali dengan cepat ketika mereka memerlukan uang,
kemudian membeli alat tangkap baru untuk mengganti yang rusak atau
menambah jaring yang sudah dimiliki.
Mata pencaharian alternatif (MPA) yang ada adalah upaya
pengolahan ikan asin dan pertanian sawah surutan. Untuk pengolahan
ikan asin, tidak ditemukan industri pengolahan ikan asin. Kegiatan
pengasinan masih terbatas pada sifat konsumsi rumah tangga saja.
Bahan baku yang digunakan adalah ikan nila yang mati dari KJA. Untuk
pertanian sawah surutan masyarakat biasa menanam padi ketika
111
permukaan air surut. Menurut penuturan informan bahwa lahan di
daerah ini termasuk ke dalam kategori sangat subur. Satu petak sawah
bisa menghasilkan minimal 500 kwintal gabah kering, bahkan ada
penggarap yang bisa panen mencapai dua ton gabah kering.
Aturan yang berlaku di dalam klaim kepemilikan sawah surutan
adalah siapa yang dahulu pertama kali membuat petak sawah maka
orang lain tidak boleh menggarapnya. Walaupun demikian, mereka
menyadari bahwa tanah surutan tersebut adalah milik pemerintah.
Untuk setiap petak tanah tidak dikenakan biaya apapun oleh pihak
pemerintah. Sayangnya pihak pengelola waduk tidak menginformasikan
waktu air akan pasang, sehingga seringkali sebelum panen air sudah
kembali menggenangi sawah yang telah ditanami masyarakat. Hanya
sikap pasrah saja yang dapat dilakukan oleh pihak nelayan yang
menggarap sawah tersebut.
Jaminan subsistensi terhadap nelayan kecil diberikan oleh bandar ikan.
Setiap bandar ikan memberikan bantuan modal kepada masing-masing
nelayan langganannya jika mereka membutuhkan. Bentuk pinjaman
yang umum diberikan adalah berupa uang bukan barang. Sifat hubungan
yang terjalin adalah mengikat, yaitu nelayan tersebut harus menjual ikan
kepada bandar yang memberikan pinjaman dengan harga jual yang
berlaku umum di daerah tersebut. Hubungan antara bandar ikan
dengan nelayan tidak menyentuh kepada permasalahan selain masalah
operasional. Mereka tidak menjamin permasalahan ekonomi keluarga
nelayan secara cuma-cuma sebagai bentuk ikatan.
Hubungan interdependensi yang terjalin di masyarakat lebih dilihat
pada pola-pola hubungan bandar ikan dengan nelayan. Sebenarnya baik
bandar ikan maupun nelayan menguasai sumberdaya yang berbeda,
bandar ikan menguasai sumberdaya modal sementara nelayan
menguasai sumberdaya manusianya. Artinya, pola interdependensi
mensyaratkan adanya dua pihak yang menguasai sumberdaya yang
112
berbeda dan saling bekerjasama. Hubungan ini didasari atas tingkat
kebutuhan yang sama, bandar ikan membutuhkan supply ikan yang
terus-menerus dari nelayan.
Sebaliknya, nelayan membutuhkan bandar ikan untuk
mendapatkan bantuan modal dalam keberlangsungan usahanya. Dari
hasil penuturan informan didapatkan informasi asal-muasalnya terjadi
karena adanya bentuk-bentuk pinjaman yang mengikat para nelayan.
Dahulu ketika bandar ikan masih sedikit maka pola-pola pinjaman
mengikat belum terlalu terlihat dan terasa manfaatnya bagi bandar ikan.
Sekarang ketika bandar ikan semakin banyak, maka usaha-usaha
pemenuhan stok ikan bagi bandar ikan menjadi sebuah keperluan yang
mendesak. Oleh karena itu, kemudian muncul pola-pola pinjaman
mengikat kepada nelayan yang bertujuan untuk menjaga
keberlangsungan stok ikan bagi bandar ikan.
Dimensi Kelembagaan
Tidak ada kelembagaan di masyarakat nelayan (dalam hal ini yang
disoroti adalah kelompok nelayan) baik itu yang muncul dari inisiatif
pemerintah maupun masyarakat sendiri. Kelembagaan yang ada
hanyalah pola-pola hubungan seorang bandar ikan dengan nelayan.
Dengan bahasa lain, bahwa kelompok nelayan yang terbentuk lebih erat
kaitannya dengan pola hubungan patron-klien dengan berdasarkan
kepada kepentingan ekonomi patron. Peranan kelembagaan yang ada di
dalam hal meredakan konflik yang terjadi tidak teridentifikasi. Hal ini
disebabkan karena berdasarkan penuturan seorang informan
didapatkan bahwa penyelesaian konflik yang terjadi umumnya
dilakukan secara musyawarah oleh kedua belah pihak yang bersengketa.
Jarang sekali masyarakat yang terlibat konflik penangkapan meminta
bantuan penyelesaian kepada pihak ketiga.
113
Dimensi Politik
Kepemimpinan yang ada di masyarakat berlandaskan kepada
faktor kepemilikan modal. Seperti telah disebutkan di atas bahwa peran
tokoh-tokoh agama tidak terlihat di dalam kehidupan keseharian, tetapi
seorang bandar ikan sangat berperan. Dari hasil wawancara, diketahui
bahwa persepsi para anggota terhadap tokoh berpihak kepada
permasalahan yang mereka hadapi, seperti permasalahan modal. Dalam
hal ini bandar ikan yang dianggap mempunyai visi yang berpandangan
jauh ke depan untuk mengusahakan keberlangsungan usahanya.
Berdasarkan hasil wawancara, ifat berkorban untuk kepentingan
orang banyak atau yang dikenal sebagai altruisme merupakan suatu hal
yang dianggap mutlak ada pada diri seorang tokoh masyarakat. Selain
itu, informan menganggap bahwa seorang tokoh masyarakat setidaknya
dapat diterima dan didengar oleh masyarakat. Hal ini menandakan
bahwa perlunya seorang pemimpin memiliki kemampuan
berkomunikasi. Dari hasil wawancara maka prinsip-prinsip rasionalitas,
transparansi dan akuntabilitas belum terlihat apakah telah dilakukan
atau belum mengingat tidak ada kelembagaan yang jelas terbentuk
dalam hubungannya dengan pembinaan nelayan terkait dengan
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di perairan
waduk ini.
5.3. Purwakarta, Jawa Barat.
Perairan Waduk Jatiluhur merupakan perairan yang dikelola oleh
Perum Jasa Tirta II (PJT II) dan berfungsi serbaguna. Masalah pokok
dalam pengelolaan perairan di daerah ini adalah karena adanya interaksi
antara aktifitas ekonomi dan daya dukung lingkungan yang semakin
terbatas, baik karena pengaruh alam (cuaca dan musim) maupun yang
timbul akibat kegiatan budidaya keramba jaring apung (KJA) dan
114
Gambar 7. Areal penangkapan ikan di perairan
Waduk Jatiluhur, Purwakarta - Jawa Barat.
penangkapan. Dalam hal ini telah dilakukan upaya-upaya yang dilakukan
oleh PJT II bekerjasama dengan lembaga terkait (Dinas Peternakan dan
Perikanan Kabupaten Purwakarta, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten
Purwakarta dan Loka Riset Pemacuan Stock Ikan Jatiluhur,
Departemen Kelautan dan Perikanan). Upaya-upaya tersebut
mencakup penetapan tata ruang wilayah perairan waduk (zonasi),
pemantauan dan pengendalian pengembangan budidaya KJA dan
perikanan tangkap (Gambar 7).
Dimensi Pengetahuan Lokal
Masyarakat nelayan di daerah ini tidak mengenal adanya batas
wilayah penangkapan. Bahkan dari hasil wawancara diketahui bahwa
perihal mengenai zonasi yang ditetapkan oleh PJT II pun tidak banyak
diketahui oleh nelayan. Kalaupun ada pembatasan wilayah yang
diketahui nelayan hanya berupa wilayah berbahaya yang berada di dekat
turbin. Sedangkan yang terkait dengan daerah operasi penangkapan,
mereka menganggapnya bebas bagi siapapun dan dimanapun. Oleh
karenanya masyarakat setempat pun tidak melakukan klaim atas
wilayah perairan yang ada di tempat mereka tinggal. Alasan ini dapat
diketahui dari hasil wawancara dengan para nelayan yang ditemui.
115
Umumnya mereka menyatakan bahwa jika seandainya mereka
melakukan klaim wilayah dan melarang orang lain untuk menangkap di
daerah tersebut, maka secara otomatis mereka pun akan dilarang
untuk menangkap di daerah lain. Sedangkan ikan tidak dapat dilarang
untuk berpindah tempat dari satu lokasi ke lokasi lain. Secara otomatis
tidak ada yang berperan sebagai pemegang wewenang daerah
penangkapan selain pihak PJT II sebagai otorita pengelola waduk.
Sayangnya pihak PJT II tidak memberikan perhatian kepada nelayan
tangkap menyangkut peraturan-peraturan ataupun pemberian
distribusi hak pemanfaatan seperti halnya kepada pembudidaya KJA.
Sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan
perikanan yang berlaku di daerah waduk Jatiluhur dapat dilihat dari sifat
kepemilikan, akses terhadap sumberdaya dan aturan-aturan yang ada di
daerah tersebut. Asal muasal adanya kegiatan perikanan di daerah
tersebut (baik KJA maupun penangkapan) adalah ditujukan bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat yang terkena dampak proyek
pembangunan waduk. Masyarakat setempat memandang bahwa
kepemilikan wilayah perairan adalah milik pemerintah melalui pihak PJT
II.
Terkait dengan sifat akses terhadap sumberdaya, dari hasil
wawancara dan pengamatan di lapang dapat dilihat bahwa siapapun
bebas untuk melakukan usaha penangkapan. Walaupun dari pihak
pemerintah (Dinas Peternakan dan Perikanan) menerbitkan semacam
surat izin usaha perikanan, namun lebih banyak nelayan yang tidak
memilikinya. Dengan demikian walaupun berdasarkan yuridisnya sifat
pengelolaan waduk Jatiluhur adalah bersifat state management, namun
pada kenyataannya masyarakat memandang sifat pengelolaan tersebut
bersifat open access.
Mekanisme pengelolaan dan pemanfaatan yang saat ini berjalan di
waduk Jatiluhur dapat dibagi menjadi dua. Pertama, dari pihak
116
pemerintah dan otorita pengelola waduk, telah menetapkan beberapa
peraturan.Aturan-aturan tersebut antara lain adanya penetapan zonasi
(kawasan bahaya, kawasan perlindungan, kawasan penangkapan,
kawasan budidaya, kawasan perhubungan air dan kawasan wisata dan
olah raga air), pembatasan mata jaring, pelarangan penggunaan alat
tangkap yang merugikan (bom, dan racun), dan surat izin (SIUP) bagi
nelayan tangkap. Namun sayangnya berdasarkan pengakuan para
nelayan banyak dari mereka yang tidak mengetahui aturan-aturan
tersebut.
Mekanisme yang kedua adalah mekanisme yang berjalan di
masyarakat. Seperti telah disebutkan di atas, bahwa tidak ada aturanaturan pengelolaan yang berasal dan berjalan di masyarakat. Kalaupun
ada sesuatu yang dilakukan oleh masyarakat dan sesuai dengan aturan
dari pemerintah, maka hal itu didasarkan pada motif ekonomi saja.
Sebagai contoh, masyarakat nelayan jarang yang menggunakan mata
jaring di bawah 3,5 inchi dan sesuai dengan peraturan pemerintah
setempat. Tindakan ini sebenarnya dilatarbelakangi oleh karena tidak
adanya pembeli (bandar ikan) yang menampung ikan-ikan berukuran
kecil (di bawah satu kilo berisi lima ekor). Pelarangan penggunaan bom
atau racun juga dicermati karena umumnya setelah melakukan kegiatan
tersebut ikan tidak lagi muncul untuk waktu yang cukup lama di daerah
tersebut.
Terkait dengan konsepsi upaya konservasi sumberdaya kelautan
dan perikanan bisa dilihat dari beberapa hal. Nelayan setempat
menyadari bahwa kondisi sumberdaya ikan pada saat ini telah cukup
jauh berkurang dari tahun-tahun sebelumnya. Namun mereka menolak
anggapan bahwa ikan suatu saat akan habis. Menurut mereka penyebab
dari semakin sedikitnya ikan (terutama ikan nila) adalah karena anakanak ikan tersebut dimakan oleh ikan-ikan predator (ikan oscar merah)
yang sekarang ini semakin banyak. Masyarakat juga secara aktif
117
menghindari kegiatan-kegiatan penangkapan yang dianggap merugikan
oleh mereka sendiri.
Penggunaan mata jaring berukuran besar ditujukan agar benihbenih ikan tidak ikut terjerat. Selain karena tidak adanya bandar ikan
yang membeli, tetapi secara tidak disadari mereka berupaya untuk
melindungi benih-benih ikan. Pelarangan penggunaan racun dan bom
juga didasari karena setelah kegiatan tersebut ikan-ikan tidak lagi di
tempat itu. Hal ini berarti menambah biaya produksi (ongkos bensin
dan bekal) jika harus mencari di tempat lain yang lebih jauh. Untuk
wilayah Pasir Astana yang merupakan kawasan perlindungan sampai
dengan sekarang masih banyak dihindari oleh nelayan. Alasan untuk
menghindari bukan karena mengetahui daerah tersebut merupakan
daerah larangan, tetapi karena di daerah tersebut banyak akar-akar
ataupun ranting pohon yang tenggelam di air. Jika mereka memasang
jaring di tempat tersebut, maka seringkali tersangkut dan rusak.
Mekanisme penerapan upaya konservasi tidak dilakukan secara
sistematis dan disadari oleh masyarakat. Seperti yang telah disebutkan
di atas bahwa penggunaan alat tangkap merugikan lebih disebabkan
pada awalnya karena alasan-alasan ekonomi dibandingkan dengan
alasan konservasi. Upaya yang dilakukan oleh pihak pemerintah belum
juga secara utuh menyentuh kepada nelayan penangkap. Hal-hal yang
dilakukan adalah berupa penerbitan izin usaha penangkapan dan
melakukan restocking ikan. Sayangnya penerbitan SIUP bukan atau
belum ditujukan untuk pengaturan pengelolaan namun hanya lebih
ditekankan kepada pendataan dan retribusi.
Bentuk sanksi dan mekanismenya atas pelanggaran pengaturan
pemanfaatan, pengelolaan dan konservasi sumberdaya kelautan dan
perikanan lebih mengacu kepada hukum formal. Hal ini disebabkan
karena tildak adanya aturan-aturan yang muncul dan berlaku di
masyarakat setempat. Dari beberapa kasus yang pernah terjadi,
118
masyarakat cenderung untuk membela diri ketika menghadapi sesuatu
yang dianggap membahayakan keberlangsungan usahanya. Sebagai
contoh pernah terjadi seorang nelayan pendatang yang berasal dari
Karawang menggunakan alat tangkap pukat. Setelah dirasakan oleh
nelayan setempat ikan-ikan semakin berkurang dan ikan-ikan yang
kecil-kecil (benih ikan) ikut tertangkap oleh nelayan pendatang
tersebut, maka mereka bersama-sama melarang dan membakar alat
tangkap pukat tersebut. Nelayan pemilik pukat diusir dan dilarang
kembali ke daerah tersebut. Kasus penggunaan racun juga pernah
terjadi yang melibatkan seorang mantan anggota TNI. Masyarakat
melalui seorang tokohnya kemudian melapor kepada pihak yang
berwajib untuk menangkap nelayan tersebut. Hal ini dilakukan karena
mereka telah berulangkali mengingatkan namun tidak digubris
melainkan mendapatkan ancaman dan tantangan dari mantan anggota
TNI tersebut.
Dimensi Sistem Religi
Masyarakat umumnya memeluk Agama Islam dalam kesehariannya,
namun hal tersebut tidak menjadikannya sebagai sebuah pedoman
hidup keseharian. Banyak dari mereka yang beranggapan bahwa
permasalahan ibadah adalah masalah perseorangan. Walaupun sering
mereka tidak melaksanakan ibadah agama namun sifat tunduk dan
pasrah mereka terhadap Allah SWT sangat kental terasa. Pandangan
bahwa perairan tersebut merupakan hidayah dari Allah bagi semua
orang dan rejeki sudah ada yang mengatur bagi setiap orang sangat
mewarnai kehidupan keseharian.
Hal-hal yang bersifat ritual seperti semacam acara syukuran,
selametan tidak begitu membudaya di masyarakat setempat.Walaupun
dari hasil wawancara, mereka tidak mengelak ada orang-orang yang
melakukan kegiatan ”suguhan” dengan tujuan agar mendapatkan hasil
119
tangkapan yang banyak. Dari hasil wawancara didapatkan bahwa
kegiatan tersebut bersifat pribadi dan cenderung bertentangan dengan
norma agama yang mereka anut. Masyarakat tidak turut campur
terhadap orang-orang yang melakukan kegiatan tersebut. Kegiatan yang
biasa dilakukan adalah hanya dengan berdoa saja kepada Allah ketika
mereka akan menangkap ikan. Tokoh agama pun tidak berperan di
dalam kegiatan kemasyarakatan. Mereka hanya dianggap sebagai imam
masjid atau mushollah saja. Bahkan untuk kegiatan ”suguhan” pun
mereka tidak mengambil peran apapun untuk melarang walaupun
kegiatan tersebut diketahui cenderung bertentangan dengan aturan
agama Islam.
Dimensi Ekonomi
Dari pengamatan dan hasil wawancara yang dilakukan di lapang,
didapatkan bahwa sudah sangat jarang sekali ditemui nelayan yang
hanya bertujuan untuk subsistensi diri. Ikan hasil tangkapan biasanya
hanya disisihkan sedikit saja untuk konsumsi sehari-hari dan sebagian
besar dijual. Hal ini berlaku walaupun hasil tangkapan mereka sangat
sedikit, terkadang dijual keseluruhannya. Dengan demikian sudah bisa
dikatakan bahwa orientasi mereka di dalam melakukan kegiatan
penangkapan adalah berorientasi ekonomi (uang).
Untuk penangkapan secara umum belum ditemukan teknologi
baru yang dapat berimplikasi terhadap perbaikan kinerja usaha
perikanan. Masyarakat setempat menganggap teknologi yang bisa
memperbaiki usaha mereka adalah motor tempel dengan kekuatan
yang cukup besar. Dari hasil pengamatan masih banyak nelayan yang
menggunakan armada penangkapan berupa kapal dayung, layar dan
rakit. Alasan dari keinginan penggunaan motor tempel adalah dengan
alat tersebut mereka dapat berada cepat dan menghemat tenaga di
suatu daerah yang fishing ground-nya jauh. Permasalahan yang muncul
120
sehingga masyarakat terlihat kurang adaptif adalah karena kurang
kuatnya modal. Sedangkan alat tangkap yang dominan digunakan adalah
berupa pancing, jala dan gill net dengan hasil tangkapan umumnya
berupa ikan nila, mas, oscar dan jambal.
Keterampilan fungsional yang ada di masyarakat sangat terkait
dengan keahlian dan faktor modal serta ada atau tidaknya alternatif
pekerjaan. Dari hasil wawancara dan observasi didapatkan bahwa jenis
pekerjaan yang ada adalah sebagai nelayan, bandar ikan besar dan
bandar ikan keliling. Pekerjaan sebagai seorang nelayan tidak
membutuhkan keahlian yang tinggi tetapi lebih kepada kemauan dan
keberanian saja. Seorang nelayan, sebelumnya bekerja sebagai petani
penggarap di Sumatera Selatan dan tidak memiliki pengetahuan apapun
tentang penangkapan. Setelah bermukim di daerah ini, mulai
mempelajari penangkapan dengan melihat dan bertanya kepada orangorang yang lebih dahulu melakukan kegiatan ini.
Keterampilan fungsional juga didasarkan atas faktor modal, banyak
yang berkeinginan untuk tidak menjadi nelayan tangkap tetapi menjadi
seperti bandar ikan besar dan keliling namun mereka tidak memiliki
kemampuan modal. Walaupun kemudian tidak dipungkiri dari hasil
wawancara bahwa pekerjaan sebagai seorang bandar ikan haruslah
memiliki kemampuan untuk membuka jaringan pemasaran hasil
tangkapan. Kemampuan masyarakat dalam membangun kerjasama
dalam proses produksi tidak terlihat. Hal yang sering terjadi justru
bukan di dalam bidang produksi tetapi di dalam hal kemasyarakatan.
Sebagai contoh, misalnya seseorang akan membantu ketika salah
seorang dari mereka mendapatkan musibah tenggelam di perairan
waduk.
Upaya berinvestasi diawali dengan keinginan dan seberapa jauh
mereka menerapkan budaya menabung. Informan yang di wawancara
mengungkapkan bahwa kebiasaan menabung sebenarnya kerap
121
dilakukan ketika mendapatkan hasil tangkapan yang cukup banyak.
Umumnya hasil menabung tersebut digunakan untuk membeli emas
yang akan bisa dijual kembali dengan cepat ketika mereka memerlukan
uang, kemudian membeli alat tangkap baru untuk mengganti yang rusak
atau menambah jaring yang sudah dimiliki. Sedangkan umumnya
mereka memiliki ikatan hutang-piutang kepada bandar ikan, tetapi hal
ini tidak dianggap memberatkan karena pemotongan pinjaman
dilakukan ketika mendapatkan ikan banyak dan tanpa batas waktu
pengembalian.
Mata pencaharia alternatif (MPA) yang ada adalah upaya
pengolahan ikan asin. Kegiatan yang dilakukan masih bersifat skala
rumah tangga dan sampingan. Bahan baku yang digunakan adalah ikan
nila yang mati dari KJA atau ikan oscar (karena harga ikan segar dengan
olahannya berbeda Rp.2.000,-). Seperti yang dituturkan oleh salah
seorang informan, bahwa tujuan pengasinan ikan oscar adalah untuk
meningkatkan nilai jualnya.
Jaminan subsistensi terhadap nelayan kecil diberikan oleh bandar
ikan besar dan bandar ikan keliling. Umumnya setiap bandar ikan keliling
memiliki langganan tetap beberapa nelayan (bisa mencapai 20-50 orang
per bandar keliling). Setiap bandar keliling memberikan bantuan modal
kepada masing-masing nelayan langganannya jika mereka
membutuhkan. Bentuk yang umum diberikan adalah barang bukan
berupa uang. Sifat hubungan yang terjalin adalah mengikat, yaitu
nelayan harus menjual ikan kepada bandar keliling yang memberikan
pinjaman dengan harga jual yang berlaku umum di daerah tersebut.
Setiap bandar keliling pun memiliki ikatan kepada satu orang bandar
ikan besar tempat mereka menjual hasil tangkapan dengan mengambil
keuntungan sebesar Rp 500,00 per kilogram ikan. Namun hubungan
antara bandar ikan dengan nelayan tidak menyentuh kepada
permasalahan selain masalah operasional. Mereka tidak menjamin
122
permasalahan ekonomi keluarga nelayan secara cuma-cuma sebagai
bentuk ikatan, tetapi seandainya pun meminjamkan bantuan maka hal
tersebut terhitung sebagai hutang.
Hubungan interdependensi yang terjalin di masyarakat lebih dilihat
pada pola-pola hubungan bandar ikan dengan nelayan. Sebenarnya baik
bandar ikan maupun nelayan menguasai sumberdaya yang berbeda,
bandar ikan menguasai sumberdaya modal sementara nelayan
menguasai sumberdaya manusianya. Artinya, pola interdependensi
mensyaratkan adanya dua pihak yang menguasai sumberdaya yang
berbeda dan saling bekerja sama. Hubungan ini didasari atas tingkat
kebutuhan yang sama, bandar ikan membutuhkan supply ikan yang
terus-menerus dari nelayan. Sedangkan nelayan membutuhkan bandar
ikan untuk mendapatkan bantuan modal dalam keberlangsungan
usahanya. Dari hasil penuturan informan didapatkan informasi asalmuasalnya terjadi bentuk-bentuk pinjaman mengikat kepada para
nelayan. Dahulu ketika masih sedikit bandar ikan maka pola-pola
pinjaman mengikat belum terlalu terlihat dan terasa manfaatnya.
Sedangkan sekarang ketika semakin banyak bandar ikan, maka usahausaha pemenuhan stok ikan menjadi sebuah keperluan yang mendesak.
Kemudian muncul pola-pola pinjaman mengikat kepada nelayan yang
bertujuan untuk menjaga keberlangsungan stok ikan bagi para bandar
ikan.
Dimensi Kelembagaan
Kelembagaan yang ada di masyarakat nelayan (dalam hal ini yang
disoroti adalah kelompok nelayan) awalnya berasal dari insiatif
pemerintah daerah. Kelompok nelayan yang berdiri bersifat informal
dan berdasarkan penuturan informan bahwa terdapat empat kelompok
besar nelayan. Kelompok nelayan tersebut berdiri pada sekitar tahun
2003. Ketika itu nelayan dianjurkan untuk membuat kelompok-
123
kelompok dan bertujuan agar memudahkan di dalam masalah
pembinaan, penyuluhan dan penyaluran bantuan.
Mekanisme yang berjalan di kelompok nelayan adalah seorang
bandar ikan besar dengan beberapa orang bandar ikan keliling serta
ditambah dengan nelayan. Kelompok nelayan yang terbentuk lebih erat
kaitannya dengan pola hubungan patron-klien dengan berdasarkan
kepada kepentingan ekonomi dan sosial. Dari hasil wawancara yang
dilakukan, diperoleh informasi bahwa kelompok-kelompok nelayan
tersebut tidak memiliki aturan-aturan tertulis tentang operasionalisasi
kelembagaan (tidak terdapat AD/ART). Namun demikian pada
kelompok nelayan yang menamakan diri Himpunan Nelayan Perairan
Umum Jatiluhur (HIMPUJAT) telah memiliki sebuah koperasi nelayan
yang bernama Koperasi Nelayan Sawarga. Koperasi nelayan ini juga
berdiri pada tahun 2003 dan telah memiliki badan hukum. Sifat dari
koperasi ini adalah formal dengan unit usaha berupa simpan pinjam.
Anggotanya adalah seluruh anggota yang menjadi anggota kelompok
nelayan tersebut.
Tidak ada peranan kelembagaan yang ada di dalam hal meredakan
konflik yang terjadi diantara masyarakat nelayan. Hal ini disebabkan
karena berdasarkan penuturan seorang informan didapatkan bahwa
penyelesaian konflik yang terjadi umumnya dilakukan secara
musyawarah oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Jarang sekali
masyarakat yang terlibat konflik penangkapan meminta bantuan
penyelesaian kepada pihak ketiga. Selain itu karena keberadaan
kelompok ini masih baru maka belum begitu jelas peranannya di dalam
kehidupan keseharian nelayan. Namun demikian, kelompok nelayan
memiliki peran di dalam pengurusan permasalahan perizinan. Melalui
kelompok nelayan, pemerintah daerah mulai berusaha menertibkan
dengan cara bekerjasama di dalam pengurusan perizinan sebesar Rp
15.000,- per tahun. Selain itu, mulai tahun ini mereka mendapatkan
satu piece gill net setiap mengurus surat izin.
124
Dimensi Politik
Kepemimpinan yang ada di masyarakat berlandaskan kepada
faktor kepemilikan modal. Seperti telah disebutkan di atas bahwa
peran tokoh-tokoh agama tidak terlihat di dalam kehidupan keseharian.
Peran seorang bandar ikan besar sangat berperan dalam keseharian,
yang umumnya juga merupakan ketua kelompok nelayan. Karena sifat
kelompok nelayan ini adalah informal, maka tidaklah terlalu terlihat
sesuatu yang dianggap menjadi visi dari ketua kelompok. Dari hasil
wawancara yang dilakukan, diketahui bahwa persepsi para anggota
terhadap ketuanya adalah ketua kelompok haruslah berpihak kepada
permasalahan yang mereka hadapi, seperti permasalahan modal.
Seorang ketua kelompok haruslah bisa memberikan jaminan
keberlangsungan usaha kepada anggotanya. Hal ini terjadi karena
kelompok nelayan yang ada walaupun hasil bentukan pemerintah
namun memiliki struktur patron-klien.
Berdasarkan hasil wawancara, maka sifat berkorban untuk
kepentingan orang banyak atau yang dikenal sebagai altruisme
merupakan suatu hal yang dianggap mutlak ada pada diri seorang ketua
kelompok. Seperti halnya yang dilakukan oleh ketua kelompok nelayan
HIMPUJAT yang harus berkorban secara materi untuk melunasi
hutang-hutang kepada pemerintah terkait dengan pengurusan surat
izin penangkapan. Selain itu, informan menganggap bahwa seorang
ketua kelompok setidaknya dapat diterima dan didengar oleh
anggotanya. Hal ini menandakan bahwa perlunya seorang pemimpin
memiliki kemampuan berkomunikasi. Berdasarkan pengakuan anggota
kelompok nelayan tersebut, maka secara umum mereka mengakui
kepemimpinan ketua kelompoknya karena memiliki kemampuan
manajerial dan permodalan.
Ketua kelompok nelayan yang juga berprofesi sebagai seorang
bandar ikan besar membina anggotanya dengan cara tidak membeli
125
hasil tangkapan yang berupa ikan-ikan kecil (benih ikan). Hal ini
ditujukan untuk membina atau menginspirasikan anggota agar tidak
menggunakan mata jaring yang berukuran kurang dari 3,5 inchi. Selain
itu, perihal pemberian satu piece gill net kepada anggota yang mengurus
surat izin penangkapan juga ditujukan agar seluruh anggota kelompok
memiliki surat izin tersebut. Terkait dengan pengambilan keputusan,
dari hasil wawancara terhadap ketua kelompok nelayan mengaku
melakukannya secara bermusyawarah. Walaupun kemudian
pengambilan keputusan dilakukan oleh beberapa orang, tetapi hal
tersebut diketahui oleh seluruh anggota. Terkait dengan permasalahan
anggaran, ketua kelompok secara terus terang mengakui belum
melakukan pelaporan kepada anggota secara terbuka. Hal ini
disebabkan karena masih sederhananya organisasi yang dipimpinnya.
Namun jika ada anggota kelompok yang menanyakan tentang
permasalahan keuangan, maka dengan cepat dia akan memberikan
catatan keuangannya. Dari uraian tersebut maka prinsip-prinsip
rasionalitas, transparansi dan akuntabilitas sudah dilakukan walaupun
hanya dalam batas-batas tertentu saja.
5.4. Musi Banyuasin, Sumatera Selatan
Pemukiman yang bersifat menetap pada masyarakat nelayan di
Sumatera Selatan secara umum terpusat pada masing-masing lokasi
desa dengan ciri didominasi oleh etnis lokal. Di lain pihak masingmasing keluarga nelayan juga mempunyai tempat tinggal sementara
pada wilayah perairan dimana mereka melaksanakan penangkapan ikan.
Pada dua desa contoh yaitu Desa Kayu Ara dan Desa Danau Cala,
Kabupaten Musi Banyuasin, sebagian besar masyartakat nelayan
berprofesi sebagai nelayan penangkap ikan yang melaksanakan
penangkapan ikan di perairan rawa banjiran (lebak lebung). Sementara
126
profesi sebagai pedagang pengumpul ikan lebih banyak dilakukan oleh
para pemilik modal yang mendapatkan hak penangkapan ikan. Lokasi
desa terletak kurang lebih 120 km dari kota Palembang dengan lama
waktu tempuh sekitar 120-130 menit.
Dimensi Pengetahuan Lokal
Pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan
di perairan pedalaman di wilayah Sumatera Selatan terutama diatur
melalui peraturan daerah (perda) tingkat kabupaten. Dalam perda
tersebut diatur terutama pada sumberdaya perikanan yang terdapat
pada perairan pedalaman berupa perairan sungai dan rawa banjiran
(lebak lebung) di kiri kanan sungai tersebut. Berdasarkan hasil
wawancara dengan nelayan diketahui bahwa persepsi masyarakat
terhadap konsepsi hak kepemilikan dalam pengaturan pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya perikanan di perairan pedalaman pada
prinsipnya mereka menyatakan bahwa sumberdaya perikanan adalah
anugrah Tuhan Yang Maha Kuasa yang pengaturannya dilakukan oleh
pemerintah setempat.
Sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang
berlaku tidak bersifat open access, melainkan ada property right system,
baik menyangkut fishing ground, pengaturan alat tangkap, musim
penangkapan atau fishing right lainnya. Hak kepemilikan terhadap
sumberdaya perikanan yang berada di perairan pedalaman tersebut
dapat diperoleh seseorang atau anggota masyarakat setempat melalui
proses ”lelang” yang diadakan oleh pemerintah setempat.
Mekanisme pengelolaan dilakukan melalui lelang umum yang
dihadiri oleh masyarakat nelayan dan pelelangan dilaksanakan oleh
panitia lelang yang dibentuk oleh pemerintah setempat. Lelang
dilakukan dengan mekanisme harga naik-naik dengan harga pertama
ditetapkan oleh panitia lelang (sebagai harga standar). Mekanisme
127
Gambar 8. Contoh sarana penangkapan ikan di
perairan umum sungai dan rawa di Sumatera
Selatan.
pemanfaatan baik menyangkut fishing ground, pengaturan alat tangkap,
musim penangkapan atau fishing right lainnya pada perairan yang
dimenangkan oleh seseorang diatur oleh pemenang lelang tersebut.
Pemenang lelang memiliki hak penuh dalam mengatur siapa saja yang
berhak melaksanakan kegiatan penangkapan ikan, menggunakan alat
tangkap apa saja, kapan saja dan lokasi dimana saja seseorang nelayan
lainnya dapat melaksanakan kegiatan penangkapan ikan. Dalam hal
pemanfaatan, suatu hal yang biasa terjadi pada perairan pedalaman yang
dilelangkan dimanfaatkan sepanjang tahun meskipun menggunakan
teknologi yang sederhana (Gambar 8). Teknologi penangkapan ikan
yang dilaksanakan secara sederhana tersebut telah memperhatikan
hal-hal yang berhubungan dengan tingkah laku ikan dan penangkapan
dilakukan dengan berbagai jenis dan tipe alat tangkap.
Konsepsi upaya konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan
dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan perairan pedalaman
termasuk dalam peraturan daerah yang mengatur lelang lebak lebung.
Dalam pengaturan tersebut misalnya terdapat pelarangan penggunaan
hempang dengan jarak antar bilah bambu lebih kecil dari 1 cm. Begitu
pula dengan pelarangan penggunaan mata jaring yang lebih kecil dari 1
cm.Tambahan pula, penetapan kawasan reservat (daerah perlindungan)
128
perikanan yang berfungsi sebagai daerah yang terlarang sama sekali
dalam melaksanakan kegiatan penangkapan ikan.
Mekanisme penerapan upaya konservasi sumberdaya kelautan dan
perikanan yang telah ada antara lain dengan menetapkan suatu perairan
sebagai suatu perairan konservasi melalui suatu surat keputusan bupati.
Selanjutnya keputusan bupati tersebut disampaikan kepada dinas
perikanan dan kelautan setempat untuk selanjutnya dilakukan tindak
lanjut baik berupa upaya pengawasan dan atau upaya pemeliharaannya.
Mekanisme penegakan peraturan tentang pemanfaatan,
pengelolaan dan konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan
dilakukan dengan cara menetapkan batas-batas perairan yang berfungsi
sebagai reservat, menetapkan penjaga dan pembuatan rumah jaga di
perairan reservat. Namun demikian, hingga sejauh ini belum ada
ditemukan pelanggaran penangkapan ikan di wilayah konservasi.
Bentuk sanksi atas pelanggaran pengaturan pemanfaatan, pengelolaan
dan konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan berupa peringatan,
perampasan terhadap alat tangkap yang digunakan dan denda sesuai
dengan pengaturan yang disepakati antara pemilik perairan dan
penyewa. Disamping itu, juga dilakukan pengawasan dan larangan
melaksanakan penangkapan ikan menggunakan bahan dan alat yang
dapat merusak sumberdaya perikanan seperti penggunaan arus listrik,
penggunaan tuba dan racun. Mekanisme dan bentuk sanksi atas
pelanggaran pengaturan sumberdaya kelautan dan perikanan tersebut
tampaknya belum efektif dalam pelaksanaannya di lapangan. Hal ini
terlihat dengan banyaknya penggunaan alat tangkap baik hempang
maupun jaring dengan mata jaring lebih kecil dari 1 cm.
Dimensi Sistem Religi
Sebagian besar masyarakat nelayan di dua desa ini menganut agama
Islam, yang juga berfungsi sebagai dasar dalam menjalani kehidupan.
129
Belum ditemui adanya suatu aliran kepercayaan tertentu yang dianut
masyarakat tersebut.Agama Islam tersebut digunakan masyarakat tidak
saja terbatas untuk hubungan antara manusia dan pencipta-Nya tetapi
juga termasuk hubungan antar manusia.
Terdapat kepercayaan-kepercayaan (berdasarkan agama dan aliran
kepercayaan yang dianut) dalam hal-hal tertentu yang berhubungan
dengan kegiatan ekonomi sektor kelautan dan perikanan yaitu berupa
kepercayaan bahwa ikan yang ada di sungai atau perairan tidak akan
habis karena ikan tersebut merupakan anugrah Tuhan. Terkait dengan
perairan atau sungai sebagai tempat mencari nafkah atau penghidupan
khususnya nelayan maka rasa syukur terhadap sang pencipta
disimbolkan oleh kegiatan berdoa sebelum melaksanakan panen ikan.
Hal ini dilakukan misalnya pada saat melaksanakan panen ikan pada
kegiatan penangkapan ikan menggunakan hempang bambu, tetapi tanpa
adanya sesajian yang dibuang ke perairan atau disediakan di perairan.
Artinya, belum ditemukan adanya kepercayaan tertentu dalam
hubungannya dengan kegiatan ekonomi masyarakat dalam pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya perikanan.
Dalam pengambilan keputusan pada kegiatan sosial politik
masyarakat tidak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh agama dan atau aliran
kepercayaan tertentu yang terdapat dalam masyarakat yang
bersangkutan. Hal ini dapat dilihat dari tokoh-tokoh yang diakui
masyarakat tidak merupakan pemuka agama setempat. Oleh karena itu
belum terdapat penggunaan konsepsi atau paham agama atau aliran
kepercayaan tertentu dalam mendukung atau menolak suatu program
pembangunan yang disampaikan oleh pemerintah setempat.
Dimensi Ekonomi
Sebagian besar produksi perikanan di desa contoh ditujukan untuk
dijual, hanya sedikit saja yang digunakan untuk dikonsumsi atau
130
diberikan kepada keluarga dan atau kerabat. Produksi tersebut baik
yang berupa ikan segar hasil tangkapan maupun ikan olahan (ikan asap
dan ikan asin). Berdasarkan saluran pemasarannya, hasil tangkapan
nelayan perairan umum sebagian besar dijual kepada pedagang yang
sekaligus merupakan pemilik perairan (pemenang lelang). Beberapa
alasan terjadinya mekanisme penjualan seperti ini antara lain adalah
adanya keterikatan dalam perjanjian awal pada saat akan melaksanakan
penangkapan ikan. Artinya nelayan menjual ikan hasil tangkapannya
harus kepada pedagang tersebut karena keterikatan hutang (sewa
perairan diperhitungkan dari sebagian nilai ikan hasil tangkapan).
Dalam hal ini dapat dikatakan terjadi pola hubungan patron-klien,
meskipun harga ikan ditentukan atas kesepakatan yang berlaku di
pasaran.
Adanya pola patron-klien dalam hal ini menyebabkan hanya
sebagian kecil masyarakat nelayan yang mampu memanfaatkan dan
mengubah (merekayasa) hasil temuan baru dari luar maupun dalam
yang berimplikasi terhadap perbaikan kinerja usaha perikanan
setempat. Dapat dilihat pada peralatan penangkapan ikan yang
digunakan oleh masyarakat nelayan telah mempertimbangkan tingkah
laku ikan meskipun alat tangkap yang digunakan sederhana dan
tradisional. Keterampilan fungsional yang dimiliki oleh masyarakat
nelayan dapat dikelompokkan berdasarkan mata pencaharian. Mata
pencaharian yang terkait dalam hal ini adalah nelayan, petani kebun dan
pembuat alat tangkap perikanan.
Keberadaan kemampuan masyarakat nelayan dalam membangun
kerjasama secara nyata untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu yang
memerlukan tenaga kerja lebih dari satu orang dalam proses produksi
dapat dilihat dari kegiatan gotong royong di dalam melaksanakan
penangkapan ikan menggunakan drive and push net (ngesar sungai). Hal
ini dikarenakan kegiatan ekonomi sangat didominasi oleh perikanan
131
tangkap yang menggunakan alat tangkap tradisional yang sederhana
tetapi dapat menangkap ikan dengan produktivitas yang tinggi.
Menyimak kehidupan sosial budaya di desa contoh, dapat dikatakan
gotong royong yang ada di dalam proses produksi tidak lagi bersifat
bantu membantu atau sosial. Tenaga kerja yang diperlukan dalam
pelaksanaan penangkapan ikan menggunakan alat tangkap apapun
sudah merupakan tenaga upahan meskipun ada hubungan kekerabatan.
Kerabat dalam hal ini hanya berfungsi sebagai sarana menjadi pelaksana
kegiatan penangkapan ikan pada perairan yang dimiliki seseorang.
Gotong royong yang bersifat sosial hanya terjadi pada saat ada anggota
masyarakat yang tertimpa musibah misalnya kematian.
Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa ada upaya nelayan
dalam melakukan investasi pada usaha penangkapan ikan sesuai dengan
keahlian yang dimilikinya. Hal ini tercermin dari adanya simpanan
nelayan yang berupa ikan olahan (ikan asin atau ikan asap). Untuk
masyarakat nelayan (penangkapan) mereka akan menambah jumlah alat
tangkap (terutama menggunakan hempang bambu). Lebih lanjut
fenomena yang terjadi saat ini adalah keinginan para pelaksana
penangkapan ikan untuk memenuhi pembayaran sewa perairan dan
biaya pengadaan sarana dan prasarana penangkapan ikan. Perilaku ini
muncul karena tidak adanya posisi tawar dari nelayan terhadap harga
jual yang ditentukan oleh pedagang yang membeli ikan mereka.
Fenomena ini juga dapat menjelaskan bahwa tidak ada faktor di luar
ekonomi yang berpengaruh terhadap terjadinya transaksi.
Ketersediaan mata pencaharian alternatif dapat dikatakan sangat
terbatas yaitu hanya berupa lahan sawah dan kebun yang memerlukan
modal untuk mendapatkannya.Tambahan pula, bagi masyarakat nelayan
penangkapan hal ini selain karena rendahnya tingkat pendidikan dan
keterampilan mereka. Sementara itu kemauan yang tinggi, meskipun
belum dikatakan mata pencaharian alternatif, lebih dapat ditemukan
132
pada masyarakat yang berprofesi sebagai pedagang ikan. Sebagai
contoh pedagang ikan tidak hanya membeli ikan pada perairan yang
dikuasainya tetapi juga pada perairan dan nelayan lainnya dengan cara
memperluas jaringan pelayanan mereka baik dalam pengadaan modal
dan ataupun kebutuhan masyarakat nelayan sehari-hari.
Di desa contoh telah pula terjadi spesialisasi pekerjaan di sektor
kelautan dan perikanan, baik dalam perikanan tangkap maupun non
perikanan. Dalam masyarakat desa tersebut dapat diketahui adanya
kelompok masyarakat nelayan penangkap, pekebun dan petani sawah
serta pedagang ikan. Namun demikian belum dapat ditelusuri adanya
suatu hubungan yang bersifat positif antar kelompok tersebut.
Hubungan yang positif dapat terjadi manakala keberadaan kelompokkelompok itu menjadikan saling ketergantungan yang seimbang dan
menjamin keberlanjutan usaha perikanan di daerah tersebut.
Jaringan Kerjasama Kolektif (JKK) akan terwujud apabila terjalin
hubungan yang memberi jaminan subsistensi (kehidupan) terhadap
buruh atau nelayan yang paling bawah. Di desa contoh, JKK ini lebih
terlihat dalam wujud sistem kekerabatan. Sistem kekerabatan dalam hal
ini adalah kepercayaan dari pemenang lelang perairan terhadap sanak
saudaranya untuk melaksanakan kegiatan penangkapan ikan pada
perairan miliknya. Sistem kekerabatan yang berlaku tidak hanya pada
keluarga inti namun melingkupi keluarga besar (keluarga suami dan
keluarga istri serta anak dan cucu). Namun demikian pembagian insentif
berlaku selalu akan menggambarkan sebaran kontribusi dari masingmasing pelaku kegiatan ekonomi sektor kelautan dan perikanan. Hal ini
tercermin dari bagi hasil yang diterapkan tidak terjadi perbedaan antara
yang kerabat dengan non-kerabat dalam suatu kegiatan penangkapan
yang sifatnya berkelompok (membutuhkan tenaga lebih dari satu
orang).
133
Kemampuan masyarakat nelayan dalam memahami akan
pentingnya melakukan pekerjaan secara terencana, logis dan terukur
dapat dilihat dari rutinitas kegiatan atau pekerjaan sehari-hari. Hal ini
tergambar secara nyata dalam perencanaan pembangunan alat tangkap
(berupa corong, filtering device), mulai dari penentuan lokasi, waktu
pembuatan dan ukuran dan bahan-bahan (jenis kayu dan bambu) yang
digunakan. Hal ini misalnya tergambar dari adanya pendapat nelayan
yang mengemukakan bahwa lokasi yang dipilih umumnya harus tepat
dalam arti memiliki produktivitas tinggi, relatif aman dari gelombang
sehingga alat tangkap yang dipasang dapat bertahan lebih lama karena
pembuatan dan perancangannya yang benar.
Dimensi Kelembagaan
Lembaga yang terbentuk dalam masyarakat nelayan di desa contoh
saat ini hanya berupa kelompok-kelompok informal yang terdiri dari
kelompok nelayan pelaksana penangkapan ikan. Terbentuknya
kelompok-kelompok ini dikarenakan oleh hubungan kekerabatan
sebagaimana diuraikan diatas. Lembaga-lembaga informal tersebut
berfungsi di dalam meredakan dan atau menyelesaikan konflik yang
terjadi dalam masyarakat nelayan melalui tokoh-tokohnya.
Penguasaan pemerintahan desa tidak banyak berpengaruh
terhadap kehidupan masyarakat desa tersebut. Dalam hal ini, terdapat
kebersamaan masyarakat melalui lembaga informal nelayan secara
sukarela untuk mencapai win-win solution melalui tokoh-tokohnya. Oleh
karena itu, lembaga-lembaga yang ada masih bersifat pasif dalam
kaintannya dalam memenuhi kebutuhan masyarakat nelayan.
Pemimpin atau beberapa anggota suatu lembaga sosial /
kemasyarakatan yang ditokohkan di desa contoh memiliki kemampuan
dalam pemecahan konflik yang terjadi di masyarakat dan menggalang
kebersamaan secara sukarela untuk mencapai win-win solution. Hal ini
134
antara lain karena Kepala Desa merupakan pilihan masyarakat
setempat. Pada umumnya masyarakat nelayan taat terhadap aturanaturan yang ditetapkan dan diberlakukan dalam kelompoknya. Hal ini
tergambar dari adanya ketaatan nelayan dalam transaksi ikan hasil
tangkapan mereka yang tertuju pada pedagang tertentu yang menjadi
bos-nya.
Keberadaan dan penerapan sanksi atas pelanggaran terhadap
norma-norma yang berlaku atau diterapkan didalam suatu lembaga
sosial/kemasyarakatan tidak saja hanya berupa sanksi moral tetapi juga
berupa denda jika terdapat kerusakan pada salah satu pihak yang
bertikai. Hal ini tampaknya berlaku efektif untuk mengurangi
pelanggaran-pelanggaran atas aturan-aturan yang diberlakukan.
Dimensi Politik
Hinggga saat ini diketahui bahwa secara umum pemimpin yang ada
di desa contoh tampaknya masih lebih cenderung berorientasi kepada
kepentingan kelompok masyarakat nelayan jika dibandingkan dengan
kepentingan masyarakat pedagang atau petani atau pekebun. Tidak
didapatkan informasi yang menyatakan bahwa adanya isu-isu negatif
yang berhubungan dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pimpinan di
kedua desa contoh tersebut. Ada beberapa informasi yang mengarah
kepada isu negatif yang muncul dari kelompok yang memiliki
kepentingan yang berseberangan dengan kelompok masyarakat
nelayan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa visi pimpinan yang ada
di desa tersebut sebagian besar telah dapat dipahami oleh sebagian
masyarakat terutama masyarakat nelayan. Disamping itu, sebagian
besar visi yang ada telah mencerminkan terpenuhinya aspirasi dan
kebutuhan masyarakat dalam visi yang dimiliki pimpinan tersebut.
Pimpinan yang ada umumnya telah memiliki kemampuan dalam
memahami dan menempatkan diri pada kondisi/persepsi pihak lain
135
untuk mendapatkan manfaat bersama. Pimpinan juga, cukup mampu
berkorban untuk memperoleh kepercayaan masyarakat jika diperlukan
sehingga dapat digunakan untuk menggerakkan kemajuan ekonomi
masyarakat nelayan setempat secara lebih cepat dan terarah. Pimpinan
telah pula memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan
anggota masyarakat yang dipimpinnya. Pemimpin cukup memiliki
kemampuan memberi inspirasi dan mengarahkan anggota masyarakat
yang dipimpinnya di dalam kelompok masyarakat dimana ia berasal.
Anggota masyarakat setempat secara umum dapat memberikan
penilaian terhadap tokoh pemimpin (pimpinan) di lihat dari aspek
kejujuran, mengemban kepercayaan dan menerapkan prinsip keadilan
serta memiliki kematangan emosional. Meskipun belum sepenuhnya
terjadi transparansi di dalam pengambilan keputusan tetapi isu-isu
negatif hanya timbul pada sebagian kecil masyarakat, terutama dari
kelompok masyarakat yang bukan merupakan daerah asal pemimpin
tersebut. Tambahan pula bahwa faktor-faktor yang di nilai sebagian
besar telah cukup mencerminkan alur logika/pemikiran yg dapat di
terima secara kolektif oleh setiap kelompok masyarakat. Namun
demikian, masih terdapat beberapa kelemahan pada penerapan azas
rasionalitas dan akuntabilitas, tetapi keputusan yang telah diambil dapat
dikaji kembali dan diputuskan ulang sehingga diusahakan akan terjalin
kesamaan kepentingan antara pemegang kekuasaan dan masyarakat
secara luas.
137
VI. CIRI-CIRI UMUM
MASYARAKAT NELAYAN
Data kualitatif yang bersumber dari wawancara dan observasi
diolah dengan pernyataan-pernyataan deskriptif, sebagaimana
dikemukakan pada bagian 4 dan 5. Informasi seluruh kondisi sosial
budaya masyarakat nelayan diolah dan ditentukan ciri-ciri umumnya
berdasarkan pengelompokan perairan laut dan perairan pedalaman.
Ciri-ciri umum kondisi sosial budaya pada masyarakat nelayan dengan
tipologi ekosistem perairan laut disajikan dalam Tabel 7. Kemudian, ciriciri umum untuk masyarakat nelayan perairan pedalaman dikemukakan
pada Tabel 8.
Tabel 7. Ciri-ciri Umum Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Nelayan Perairan
Laut.
No.
1.1.
Dimensi dan Faktor
Pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya
kelautan dan perikanan
(SDKP)
Atribut/Verifier
Persepsi dan konsepsi
terhadap sistem dan
mekanisme pengelolaan dan
pemanfaatan SDKP
Sistem pengelolaan dan
pemanfaatan
1.2.
Konservasi sumberdaya
kelautan dan perikanan
Kondisi Sosial Budaya
Masyarakat Nelayan di
Perairan Laut
·
Perairan di daerah ini bebas
bagi siapapun untuk
mengakses dan
memanfaatkan. Persepsi ini
muncul didorong atas pola
hubungan manusia dengan
Tuhan.
·
Tidak ada penetapan batas
wilayah dan atau wilayah
penangkapan
·
Tidak ada Hak kepemilikan
·
Tidak ada pemegang
wewenang dan
pendistribusian hak
kepemilikan
Mekanisme pengelolaan dan
pemanfaatan SDP
Open access
Persepsi dan konsepsi upaya
konservasi
Tidak ada persepsi dan
konsepsi upaya konservasi SDP.
Mekanisme upaya konservasi
Tidak ada upaya konservasi baik
langsung maupun tidak langsung
(seperti motif ekonomi)
138
Lanjutan Tabel 7
Kondisi Sosial Budaya
Masyarakat Nelayan di
Perairan Laut
No.
Dimensi dan Faktor
Atribut/Verifier
1.3.
Penegakan peraturan (law
enforcement)
Bentuk sanksi atas
pelanggaran pengaturan.
Belum ada sanksi yang
bersumber dari masyarakat
Mekanisme penegakan sanksi
atas pelanggaran peraturan.
Tidak ada mekanisme yang
berjalan di masyarakat
Efektivitas penegakan
peraturan.
Tidak ada
Agama dan atau kepercayaan
yang dianut
Pandangan dan kepercayaan
tentang hubungan antara
agama dan atau kepercayaan
dengan kegiatan ekonomi
masyarakat.
Simbolik hubungan antara
agama dan atau kepercayaan
dengan kegiatan ekonomi
masyarakat.
Agama menjadi panduan dalam
aktivitas keseharian
Prinsip agama tidak digunakan
dalam kegiatan ekonomi antar
anggota masyarakat.
2.1.
2.2
Agama dan atau
kepercayaan yang dianut
Hubungan antara agama dan
atau kepercaya an dengan
kegiatan ekonomi
masyarakat
Ada dengan melibatkan
interaksi sesama manusia,
karena sekedar ritual sifatnya
menjadi sesuatu yang tidak
kondusif.
2.3
Peranan agama dan atau
kepercayaan dalam kegiatan
sosial-politik masyarakat
Peranan tokoh-tokoh agama
dan atau kepercayaan.
Kurang Berperan
3.1.
Tingkat ketergantungan
terhadap sumberdaya
Orientasi kegiatan produksi
Berorientasi pasar
Pandangan terhadap inovasi
teknologi yang digunakan
(termasuk pemahaman akan
teknologi ramah lingkungan)
Besar dan laju investasi dalam
kegiatan produksi
Ada keinginan berinovasi
Diversifikasi MPA
Keinginan melakukan
diversifikasi MPA rendah
(terbatas pada sektor
perikanan) namun peluang
terbatas
Spesialisasi pekerjaan
Pembagian peran sangat
terbatas
Keterampilan fungsional
yang dimiliki nelayan
Mayoritas tidak ada
keterampilan fungsional
Perbedaan keterampilan
fungsional terlihat pada
kelompok pengolah ikan
3.2
Pembagian Peran dalam
Kegiatan produksi
Investasi kecil dan lamban
139
Lanjutan Tabel 7
No.
3.3.
Dimensi dan Faktor
Sistem Jaminan Sosial
Atribut/Verifier
Kemampuan kerjasama
Interdependensi
Struktur hubungan
Sharing system
Kondisi Sosial Budaya
Masyarakat Nelayan di
Perairan Laut
Kerjasama hanya terjadi di luar
aspek produksi
Tingkat ketergantungan intra
(mis. juragan/bakul – nelayan)
dan inter- kelompok
(mis.nelayan dgn pengolah ikan)
tinggi.
Struktur hubungan asimetris.
Pendistribusian hasil tidak
berimbang antara juragan/bakul
– nelayan.
3.4.
Tingkat konsumsi ikan
Tingkat konsumsi ikan
Tingkat konsumsi ikan tinggi.
4.1
Asal usul lembaga
Proses pembentukan
Masyarakat dengan berdasarkan
kesukuan (kelompok nelayan)
serta pemerintah (KUD).
Baik lembaga formal maupun
non formal tidak berpengaruh.
Terbatas pada anggota
Sifat lembaga
4.2
Eksistensi lembaga
Batas kewenangan
Aturan representasi
Aturan main dari lembaga
4.3
5.1
Manajemen konflik
Tuntutan dan Dukungan
terhadap sistem politik
Conflict resolution
Penilaian kepemimpinan oleh
masyarakat
Dukungan terhadap
kepemimpinan oleh
masyarakat
5.2
Sistem Politik
Proses pengambilan
keputusan / aturan
representasi publik
5.3
Keputusan dan Kebijakan
Hubungan pemegang
kekuasaan lokal dengan luar
Tidak dapat mewakili dan
memenuhi kebutuhan anggota
Ada aturan main yang jelas dan
dipatuhi
Tidak ada manajemen konflik.
Penilaian berdasarkan
kemampuan yang dimiliki dan
etnis serta diakui oleh anggota.
Dukungan tinggi untuk (lembaga
non formal), sedangkan untuk
lembaga formal dukungan
rendah, cenderung menentang.
Sangat sepihak, tidak
mencerminkan representasi
anggota.
Tidak selaras.
140
Tabel 8. Ciri-ciri Umum Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Nelayan Perairan
Pedalaman.
No.
1.1.
1.2.
Dimensi dan
Faktor
Pengelolaan dan
pemanfaatan
sumberdaya
kelautan dan
perikanan (SDKP)
Konservasi
sumberdaya
kelautan dan
perikanan
Atribut/Verifier
Sungai-Rawa
Penegakan
peraturan (law
enforcement)
2.1.
Agama dan atau
kepercayaan yang
dianut
2.2
Hubungan antara
agama dan atau
kepercayaan dengan
kegiatan ekonomi
masyarakat
Waduk
Persepsi dan
konsepsi terhadap
sistem dan
mekanisme
pengelolaan dan
pemanfaatan SDKP
Perairan di daerah ini tidak
secara bebas untuk diakses
oleh setiap orang. Persepsi
ini muncul didorong oleh
sifat ekosistem dan sifat
teknologi yang digunakan.
Perairan di daerah ini bebas
bagi siapapun untuk
mengakses dan
memanfaatkan. Persepsi ini
muncul didorong atas pola
hubungan sesama manusia.
Sistem pengelolaan
dan pemanfaatan
·
Ada penetapan wilayah
penangkapan
·
Hak kepemilikan
berdasarkan interval
waktu tertentu
·
Pemegang wewenang dan
pendistribusian hak
berada ditangan
pemerintah daerah
Mekanisme
pengelolaan dan
pemanfaatan SDP
Persepsi dan
konsepsi upaya
konservasi
Regulated fisheries
·
Tidak ada penetapan batas
wilayah dan atau wilayah
penangkapan
·
Hak kepemilikan berada di
tangan pemerintah melalui
badan atau institusi atau
otorita pengelola waduk.
·
Tidak ada pemegang
wewenang dan
pendistribusian hak
kepemilikan.
Open access
Sebagian masyarakat
memiliki persepsi dan
konsepsi upaya konservasi
SDP.
Upaya konservasi yang
diinisiasi dan dilaksanakan
oleh pemerintah dan
masyarakat.
Tidak ada persepsi dan
konsepsi upaya konservasi
SDP.
Bentuk sanksi atas
pelanggaran
pengaturan.
Sanksi bersumber dari
masyarakat berupa denda
Mekanisme
penegakan sanksi
atas pelanggaran
peraturan.
Ada, diselesaikan secara
musyawarah dengan hukum
normatif
Efektivitas
penegakan
peraturan.
Agama dan atau
kepercayaan yang
dianut
Ada, belum efektif untuk
seluruh wilayah perairan
Ada sanksi yang bersumber
dari masyarakat berupa
pelarangan beroperasi
kembali
Ada, Penegakan dilakukan
aparat pemerintah.
Masyarakat hanya sebagai
sumber informasi
pelanggaran peraturan.
Ada dan berjalan efektif
Mekanisme upaya
konservasi
1.3.
Kondisi Sosial Budaya Berdasarkan Tipologi
Ekosistem Daerah Penangkapan
Pandangan dan
kepercayaan tentang
hubungan antara
agama dan atau
kepercayaan dengan
kegiatan ekonomi
masyarakat.
Simbolik hubungan
antara agama dan
atau kepercayaan
dengan kegiatan
ekonomi
masyarakat.
Upaya konservasi hanya
merupakan dampak dari
motif ekonomi
Agama menjadi panduan
dalam aktivitas keseharian,
belum diterapkan
sepenuhnya
Prinsip-prinsip agama
digunakan juga dalam
kegiatan ekonomi antar
anggota masyarakat, belum
diterapkan sepenuhnya.
Agama hanya terbatas
hubungan ibadah dengan
Tuhan
Ada dengan melibatkan
interaksi sesama manusia,
walaupun sekedar ritual.
Tidak ada melibatkan
interaksi sesama manusia.
Prinsip agama tidak
digunakan dalam kegiatan
ekonomi antar anggota
masyarakat.
141
Lanjutan Tabel 8
No.
2.3
3.1.
3.2
3.3.
Dimensi dan
Faktor
Peranan agama dan
atau kepercayaan
dalam kegiatan
sosial-politik
masyarakat
Tingkat
ketergantungan
terhadap
sumberdaya
Pembagian Peran
dalam Kegiatan
produksi
Sistem Jaminan
Sosial
Atribut/Verifier
Sungai-Rawa
4.1
Tingkat konsumsi
ikan
Asal usul lembaga
Waduk
Peranan tokohtokoh agama dan
atau kepercayaan.
Kurang berperan
Tidak berperan
Orientasi kegiatan
produksi
Berorientasi pada pasar
Berorientasi pasar
Pandangan terhadap
inovasi teknologi
yang digunakan
(termasuk
pemahaman akan
teknologi ramah
lingkungan)
Tidak ada keinginan
berinovasi
Tidak ada keinginan
berinovasi
Besar dan laju
investasi dalam
kegiatan produksi
Diversifikasi MPA
Investasi kecil dan lamban
Investasi kecil dan lamban
Keinginan melakukan
diversifikasi MPA tinggi
namun peluang terbatas
Keinginan melakukan
diversifikasi MPA rendah
walau peluang terbuka.
Spesialisasi
pekerjaan
Ada pembagian peran dalam
kegiatan produksi.
Tidak ada pembagian peran
Keterampilan
fungsional yang
dimiliki nelayan
Mayoritas ada keterampilan
fungsional pada setiap
nelayan.
Perbedaan keterampilan
fungsional berdasarkan jenis
pekerjaan yang dilakukan
(nelayan, petani, pembuat
alat tangkap, peladang dan
penebang kayu).
Kerjasama terjadi di hampir
seluruh aspek
Tidak ada keterampilan
fungsional
Kemampuan
kerjasama
Interdependensi
Interdependensi tinggi yang
disebabkan faktor
kekerabatan.
Struktur hubungan
Struktur hubungan bersifat
simetris.
Pendistribusian hasil
berimbang.
Sharing system
3.4.
Kondisi Sosial Budaya Berdasarkan Tipologi
Ekosistem Daerah Penangkapan
Tingkat konsumsi
ikan
Proses
pembentukan
Sifat lembaga
Tingkat konsumsi ikan tinggi.
Bentukan masyarakat
berdasarkan hubungan
kekerabatan dan pengaruh
agama.
Informal
Kerjasama lebih banyak
terjadi di luar aspek
produksi
Interdependensi (tingkat
ketergantungan) tinggi antara
bandar ikan besar, bandar
ikan keliling dan nelayan.
Struktur hubungan asimetris.
Pendistribusian hasil tidak
berimbang antara bandar
ikan dengan nelayan.
Tingkat konsumsi ikan
sedang.
Bentukan pemerintah dari
lembaga yang sudah ada hasil
inisiatif masyarakat.
Lembaga non formal lebih
berpengaruh dibanding
lembaga formal.
142
Lanjutan Tabel 8
No.
4.2
Dimensi dan
Faktor
Eksistensi lembaga
Atribut/Verifier
Kondisi Sosial Budaya Berdasarkan Tipologi
Ekosistem Daerah Penangkapan
Sungai-Rawa
Batas kewenangan
Terbatas pada anggota
kelompok tersebut
Aturan representasi
Belum mewakili keseluruhan
kepentingan anggota
Ada aturan main yang jelas
dan dipatuhi
Manajemen konflik berjalan
untuk seluruh masyarakat.
Inisiatif dari pemerintah dan
masyarakat.
Penilaian berdasarkan
kemampuan dalam mewakili
aspirasi anggotanya.
4.3
Manajemen konflik
Aturan main dari
lembaga
Conflict resolution
5.1
Tuntutan dan
Dukungan terhadap
sistem politik
Penilaian
kepemimpinan oleh
masyarakat
Waduk
Terba tas pada anggota
kelompok nelayan dan KUD
terdaftar
Belum mewakili keseluruhan
kepentingan anggota
Ada aturan main untuk KUD
dan Kelompok Nelayan
Manajemen konflik berjalan
untuk seluruh masyarakat.
Inisiatif dari masyarakat.
Penilaian berdasarkan
kemampuan yang dimiliki
dan diakui oleh anggota.
Dukungan terhadap
kepemimpinan oleh
masyarakat
Dukungan oleh anggota
tinggi.
Dukungan oleh anggota
tinggi.
5.2
Sistem Politik
Proses pengambilan
keputusan / aturan
representasi publik
Belum merepresentasikan
keseluruhan anggota.
Belum merepresentasikan
keseluruhan anggota.
5.3
Keputusan dan
Kebijakan
Hubungan
pemegang
kekuasaan lokal
dengan luar
Belum berjalan selaras.
Cukup baik dan terjadi
komunikasi efektif dan
berlanjut antara kelompok
dengan pemerintah.
Berdasarkan uraian tentang pandangan atas berbagai hal serta
kehidupan masyarakat di dimensi-dimensi yang dianalisis, maka dapat
disimpulkan bahwa pada beberapa dimensi atau kondisi sosial budaya
yang dikaitkan dengan upaya pemberdayaan masyarakat nelayan,
tampaknya masih memiliki ciri-ciri umum masyarakat pedesaan.
Namun demikian, sebagian kondisi sosial budaya juga telah terjadi
proses transisi dari masyarakat yang berkarakter masyarakat pedesaan
menjadi masyarakat dengan karakter masyarakat urban (perkotaan).
Karakter masyarakat pedesaan di antaranya adalah tingkat konflik dan
persaingan yang tinggi, kegiatan bekerja merupakan syarat penting
untuk dapat bertahan hidup, masih kentalnya sistem tolong menolong
dan jiwa gotong-royong serta masih berjalannya sistem musyawarah
yang diteladani oleh tokoh-tokoh masyarakat. Sebaliknya, masyarakat
143
perkotaan pada umumnya tidak lagi memiliki karakter masyarakat
pedesaan sebagaimana yang dimaksud.
Sebagai contoh, misalnya, pada dimensi ekonomi, kehidupan
masyarakat nelayan di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya masih
sangat dicirikan oleh aktivitas ekonomi dengan teknologi (alat tangkap)
sederhana dan minimnya ketersediaan mata pencaharian alternatif.
Disamping itu, kelembagaan ekonomi dan aturan-aturan ekonomi yang
mampu dipahami juga belum dijalankan dan cenderung belum
mengarah pada efisiensi kegiatan ekonomi (penangkapan ikan) serta
pemerataan distribusi hasilnya.
Masih kuatnya ikatan patron-klien dan belum menyentuhnya
saluran atau lembaga keuangan formal merupakan penyebab utama
bentuk kehidupan ekonomi masyarakat nelayan pada saat ini. Lebih
lanjut, tidak ditemukannya ikatan patron-klien di beberapa masyarakat,
lebih mencirikan masyarakat bersangkutan masih belum mencapai
tingkat budaya industri yang kuat atau bahkan belum memiliki budaya
industri. Dengan demikian karakter masyarakat pedesaan dalam hal ini
masih sangat kental sebagai ciri sosial budaya masyarakat nelayan.
Hasil penggalian kondisi ekonomi dari segi gotong-royong dan
kekayaan juga mendapatkan suatu ciri umum masyarakat nelayan yang
diteliti. Dari sisi pandangan dan kebiasaan melakukan kegiatan gotong
royong, tampak bahwa masyarakat nelayan sedang mengalami transisi
dari masyarakat pedesaan menuju masyarakat urban. Pandangan
tentang kekayaan menunjukkan ciri umum masyarakat pedesaan di
Indonesia, bahwa orang yang bisa bekerja keras dan akhirnya berhasil
seminimal mungkin mendapat bantuan dari orang lain sangat dinilai
tinggi dalam masyarakat (Koentjaraningrat, 1994).
Kemudian, juga kajian atas dimensi politik, mendapatkan bahwa
penanganan konflik yang telah melibatkan pihak luar juga merupakan
ciri dari suatu masyarakat yang sedang mengalami transisi sosial budaya.
144
Masuknya pihak luar ke dalam penyelesaian konflik dan terkadang
menentukan kehidupan masyarakat secara umum menunjukkan ciri
lemahnya akses dan kepedulian masyarakat nelayan terhadap upaya
mendapatkan ”kekuasaan” dalam mengelola kehidupannya sendiri.
Kondisi ini juga menunjukkan tidak adanya kekuatan atau tokoh-tokoh
yang sanggup mengarahkan masyarakat untuk berdaya serta di sisi lain
juga mendukung kecenderungan telah lemahnya sistem gotong royong
pada saat ini di masyarakat nelayan.
145
VII. PENUTUP
PENUTUP
Kondisi sosial budaya merupakan syarat yang perlu diketahui
dalam rangka pemberdayaan masyarakat. Kondisi sosial budaya yang
dikembangkan didasarkan unsur-unsur kebudayaan yang dikaitkan
dengan makna pemberdayaan masyarakat. Setiap unsur kebudayaan
tersebut mengandung wujud kebudayaan, baik berupa nilai-nilai budaya,
sistem budaya, maupun sistem sosial. Keberdayaan masyarakat terletak
pada proses pengambilan keputusan sendiri untuk mengembangkan
pilihan-pilihan adaptasi terhadap perubahan lingkungan ekologis dan
sosial.
Berdasarkan konsep kebudayaan dan makna yang terkandung
dalam pemberdayaan masyarakat, maka ditetapkan lima dimensi
kehidupan sosial budaya masyarakat nelayan. Kelima dimensi tersebut
adalah dimensi pengetahuan lokal, sistem religi, ekonomi, kelembagaan
dan politik. Pada setiap dimensi terdiri atas faktor-faktor yang dikaji
terkait dengan upaya pemberdayaan masyarakat nelayan dalam rangka
pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan (SDKP).
Dimensi pengetahuan lokal merupakan pengkajian terhadap tiga
faktor, yaitu pemanfaatan dan pengelolaan SDKP, konservasi SDKP
serta penegakan peraturan (law enforcement). Dimensi sistem religi
memiliki tiga faktor penjelas, yaitu agama dan atau kepercayaan yang
dianut, hubungan antara agama dan atau kepercayaan dengan kegiatan
ekonomi masyarakat, peranan agama dan atau kepercayaan dalam
kegiatan sosial-politik masyarakat.
Dimensi ekonomi ini terdiri dari tiga faktor, yaitu tingkat
ketergantungan terhadap sumberdaya, pembagian peran dalam
kegiatan produksi, sistem jaminan sosial dan tingkat konsumsi ikan.
146
Sementara dimensi kelembagaan dikaji berbagai lembaga sosial yang
terdapat dalam suatu masyarakat nelayan yang kajiannya mencakup
proses pembentukan serta aturan main, kewenangan dan aturan
representasi dalam setiap organisasi sosial yang teridentifikasi dan
teramati.Terakhir, pada dimensi politik dikaji mata rantai antara politik
dan masyarakat, antara struktur-struktur sosial dan struktur-struktur
politik dan antara tingkah laku sosial dan tingkah laku politik, yang
kesemuanya terkait dengan kebijaksanaan pembangunan.
Berdasarkan kelima dimensi tersebut, maka dapat terlihat apakah
masyarakat yang dikaji masih memiliki ciri-ciri umum masyarakat
pedesaan, atau sudah ke arah transisi atau berkarakter masyarakat kota
(urban). Dengan mengetahui ciri-ciri inilah kita dapat menentukan
bagaimana upaya pemberdayaan yang harus dilakukan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pada masyarakat nelayan perairan laut, selain
dimensi kelembagaan, program pemberdayaan dapat mengintegrasikan
dimensi ekonomi dan dimensi pengetahuan lokal.
Namun demikian, dalam pelaksanaan teknisnya terdapat dua
dimensi lainnya yang berlaku secara khusus sesuai dengan masingmasing lokasi yaitu dimensi sistem religi dan dimensi politik. Perbedaan
ini mengandung pengertian bahwa perencanaan ataupun pelaksanaan
program pemberdayaan masyarakat yang terintegrasi tetap harus
mempertimbangkan kondisi sosial budaya yang ada di setiap lokasi,
khususnya terhadap dimensi sistem religi dan dimensi politik. Pada
masyarakat nelayan perairan pedalaman, selain kelembagaan,
pengintegrasian dimensi politik dan dimensi sistem religi juga dapat
dilakukan secara bersamaan di seluruh lokasi. Dimensi ekonomi dan
dimensi pengetahuan lokal secara khusus harus pula dimasukkan dalam
perencanaan dan pelaksanaan program pemberdayaan.
147
VIII. DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Cernea, M.M. 1988. Sosiologi Untuk Proyek-Proyek Pembangunan. dalam M.M.
Cernea (Ed). Mengutamakan Manusia Dalam Pembangunan;Variabel-Variabel
Sosiologi di dalam Pembangunan Pedesaan. pp. 3-26. Publikasi Bank Dunia.
Penerjemah; B.B.Teku. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Dahuri, R. 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan Untuk Kesejahteraan Rakyat.
Lembaga Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia, LISPI, Jakarta. 146 p.
Hikmat, R. H. 2001. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Humaniora Utama Press.
Bandung. Cetakan Pertama. 260 p.
Koentjaraningrat. 2003. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta. Bandung. 391p.
Koentjaraningrat. 1994. Bunga Rampai Kebudayaan, Mentalitas dan Kebudayaan. PT
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 149 p.
Kusnadi. 2000. Nelayan: Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Humaniora Utama
Press. Bandung. 244 p.
Kusnadi. 2002. Konflik Sosial Nelayan: Kemiskinan dan Perebutan Sumberdaya
Perikanan. Penerbit LkiS.Yogyakarta. 190 p.
Masinambouw, E.K.M (Ed.). 1997. Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia.
Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. 389 p.
Nasution, Z, Sastrawidjaja, Hartono, T.T, Mursidin, Priyatna, F.N, Pranadji, T, Aji, G.B,
Koeshendrajana, S, Suherman, M. 2004. Riset Sosio-Antropologi dan
Kelembagaan dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat Kelautan dan
Perikanan. Laporan Teknis. Bagian Proyek Pusat Riset Pengolahan Produk dan
Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. BRKP. Departemen Kelautan dan
Perikanan. Jakarta
Ridley, M and Low, B.S. 1993. Can Selfishness Save The Environnment?. The Atlantic
Monthly.
Taryoto, A. 1999. Internalisasi Aspek-Aspek Sosial Budaya dalam Proses
Industrialisasi Pertanian. dalam I.W.Rusastra dkk (Eds.). Dinamika Inovasi
Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Pertanian. Hal. 7575-582. Pusat Penelitian
Sosek Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Wahyono, A., I.G.P. Antariksa, M. Imron, R. Indrawasih, dan Sudiyono. 2001.
Pemberdayaan Masyarakat Nelayan. Penerbit Media Pressindo bekerjasama
dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan Ford Foundation. Cetakan Pertama.
Jakarta. 226 p.
Wiradi, Gunawan. 1997. Rekayasa Sosial Dalam Menghadapi Era Industrialisasi
Pertanian. dalam T. Sudaryanto dkk (Penyunting). Prosiding Industrialisasi,
Rekayasa Sosial dan Peranan Pemerintah Dalam Pembangunan Pertanian.
Hal.63-70. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang
Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Download