1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karsinoma nasofaring s (KNF) merupakan keganasan yang memliliki keunikkan pada perilaku klinis, epidemiologi, dan histopatologi yang berbeda dari karsinoma sel skuamosa kepala dan leher lainnya. KNF menyumbang sekitar 0,25% dari seluruh keganasan di Amerika dan sekitar 15 -18% keganasan di C ina Selatan (Thabuchi et al., 2011). Insidensi KNF berbeda secara goegrafis dan etnik serta berhubungan dengan infeksi Epstein-Barr Virus (EBV). Di beberapa negara insidens i kanker ini hanya 0,6% dari semua keganasan. Di Amerika, insidensi K NF 1-2 kasus per 100.000 lakilaki dan 0,4 kasus per 100.000 perempuan. Namun di negara lain pada kelom pok etnik tertentu, seperti Cina, Asia Tenggara, Afrika Utara, tumor ganas ini banyak ditemukan. Insidensi KNF tertinggi di dunia dijumpai pada penduduk daratan Cina bagian selatan, khususnya suku Kanton di propinsi G uang Dong dan daerah Guangxi dengan angka mencapai lebih dari 50 per 100.000 penduduk pertahun (Feng, 2013). Indonesia termasuk salah satu negara dengan prevalensi penderita K NF yang tinggi di luar Cina, dimana KNF termasuk dalam lima besar tumor ganas dengan frekuensi tinggi (bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit), sedangkan d i daerah kepala dan leher menduduki tempat 2 pertama. KNF mendapat persentase hampir 60 % dari tumor di daerah kepala dan leher, diikuti tumor ganas h idung dan sinus paranasal 18 %, laring 16 %, dan tumor ganas rongga mulut, tonsil dan hipofaring dalam persentase rendah (Hulu, 1999; Hadi, 1999). M enurut survei Departement Kesehatan 1987, angka prevalensi K NF di Indonesia adalah 4,7 per 100.000 penduduk per tahun (Soetjipto, 2003). Berdasarkan data rumah sakit di propinsi D.I. Yogyakarta, KNF menduduki peringkat pertama keganasan pada laki- laki dan peringkat ketiga keganasan perempuan. Keganasan ini cenderung lebih sering terjadi pada pria dibanding dengan wanita dengan rasio 2:1 dan angka kejadiannya meningkat pada usia sekitar 50-60 tahun, tetapi dapat juga terjadi pada anak – anak dan usia remaja (Fachiroh et al., 2006). Penanggulangan KNF sampai saat ini masih merupakan suatu problem, hal in i dikarenakan etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak nasofarings yang tersembunyi sehingga diagnosis sering terlambat (Soetjipto, 2003; Jia et al., 2003). Pemeriksaan klinis, pemeriksaan nasoendokopi rigid atau fleksibel, CT-Scan nasofarings, M RI (magnetic resonance imaging) serta pemeriksaan histopatologi sebagai standar baku emas dalam penegakkan diagnosis KNF. USG abdomen dan bone survey diperlukan dalam penentuan stadium dari KNF (Chen et al.,2007). Biopsi sendiri sampai saat ini masih merupakan alat diagnostik utama, nam un pemeriksaan nasoendoskopi dapat menjadi salah satu pemeriksaan awal untuk menilai bila dicurigai adanya tumor terutama tumor eksofitik. Tum or endofitik kadang sulit untuk dideteksi sehingga diperlukan teknik tambahan agar dapat ditemukan sedini mungkin (Comorreto, 2008). 3 KNF merupakan kanker kepala leher yang unik karena bersifat radiosensitif. Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan KNF. M odalitas utama untuk KNF adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi. Radioterapi sebagai standar baku emas untuk K NF sudah dimulai sejak lama (sekitar tahun 1930-an). Hasil radioterapi untuk K NF dini sebenarnya cukup baik, respon lengkap sekitar 80-100%. Sedangkan untuk K NF stadium lanjut loko-regional, respon radioterapi menurun tajam dengan angka ketahanan hidup 5 tahun yang kurang dari 40% (Tan et al., 1997; Prasad, 200 2). Respon tum or terhadap radioterapi secara keseluruhan sebesar 25-65%. Kegagalan radioterapi konvensional dalam memberantas sel kanker di nasofarings maupun anak sebarnya di kelenjar leher mencapai 40-80%. D i samping angka kegagalan kontrol loko-regional yang tinggi dan kegagalan sistemik, radioterapi tidak dapat digunakan untuk membunuh sel-sel ganas yang tersebar diberbagai organ tubuh (Kentjono, 2003) . Narrow-band imaging (NBI) merupakan teknik optikal yang mampu meningkatkan sensifitas diagnostik pemeriksaan nasoendoskopik untuk menilai karateristik jaringan dengan menggunakan narrow bandwith filter terhadap sistem sinar biru – hijau – merah. Sinar biru yang diberikan pada nasoendoskopi akan mencapai spektrum penyerapan oleh hemoglobin dan mena mpilkan gambaran vaskularisasi permukaan mukosa nasofarings sehingga lesi keganasan dini pada mukosa dapat teridentifikasi dengan baik (Lin, 2009). Telah banyak laporan mengenai penggunaan NBI di berbagai bagian anatomi di dunia medis seperti terhadap traktus aerodigestif, esofagus, lambung, duodenum 4 dan kolorektal. Pada esofagus, penggunaan NBI dapat menilai terjadinya Barret’s disease dan bahkan mendeteksi secara dini proses displasi, karsinoma in situ serta karsinoma sel skuamosa (Ide, 2011). Penelitian lainnya memperlihatkan kemampuan NBI dalam mendiagnosis dan membedakan lesi jinak dengan lesi ganas pada tumor ampula duodenum. Demikian juga, NBI terbukti dapat mengevaluasi secara akurat lesi kolorektal bila dibandingkan dengan kolonoskopi konvensional dan khromoendoskopi (Piazza, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa NBI berperan penting dalam mendeteksi secara dini lesi displasia. B. Perumusan M asalah M asalah yang dapat diidentifikasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. KNF merupakan suatu keganasan epitelial dengan frekuensi kejadian yang cukup tinggi dan berada dalam urutan lima besar kanker di Indonesia. 2. Keterlambatan dalam deteksi dini dan diagnosis K NF akan mempengaruhi keberhasilan terapi KNF. 3. Perlu adanya m odalitas pemeriksaan tambahan untuk mendeteksi dini terjadinya KNF ataupun rekurensi pasca terapi sebelum dilakukannya tindakan biopsi sebagai standar baku emas dalam penegakan diagnos is K NF, sehingga keputusan untuk biopsi dilakukan pada saat yang tepat. 4. Nasoendoskopi fleksibel umumnya menjadi pilihan saat kunju ngan rutin dipoliklinik, namun untuk tum or dengan sifat pertumbuhan endofitik terkadang sulit memutuskan apakah terdapat kecurigaan KNF sehingga terkadang terlalu 5 dini dilakukan biopsi atau sebaliknya terlambat memutuskan biopsi sehingga telah terjadi pertumbuhan karsinoma yang disertai komplikasi. 5. Narrow-Band Imaging (NBI) lebih baik dibandingkan dengan endoskopi biasa yang menggunakan cahaya putih untuk mendeteksi tumor yang berdiameter lebih kecil dari 1 cm, perubahan mukosa yang khas untuk lesi neoplasti k seperti displasia, karsinoma insitu dan karsinoma invasif maupun abnormalitas epitelial seperti penebala n mukosa dan perubahan lapisan mukosa serta perubahan vaskularisasi mukosa. 6. Perlu dilakukan penelitian mengenai sensitivitas dan spesifisitas serta ketepatan hasil biopsi KNF menggunakan nasoendoskopi NBI dibandingkan dengan nasoendokopi tanpa NBI. C. Pertanyaan Penelitian Apakah sensitivitas dan spesifitas hasil biopsi karsinoma nasofarings menggunakan nasoendoskopi NBI lebih tinggi dibandingkan nasoendoskopi konvensional. D. Tujuan Penelitian M enentukan sensitivitas dan spesifitas hasil biopsi karsinoma nasofarings menggunakan nasoendoskopi NBI dibandingkan nasoendoskopi konvensional. 6 E. M anfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan akan memperoleh manfaat sebagai berikut: 1. M engetahui sensitivitas dan spesifisitas hasil biopsi KNF menggunakan nasoendoskopi NBI dibandingan nasoendoskopi tanpa NBI. 2. M enentukan ketepatan area biopsi pada keganasan dini terutama KNF. 3. Dapat digunakan sebagai alat pemeriksaan penunjang rutin di poliklinik. F. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan, terdapat beberapa artikel atau jurnal penelitian mengenai validitas pemeriksaan NBI pada deteksi dini diagnosis K NF dan penggunaan NB I pada deteksi dini kanker esofagus dan kanker pencernaan atas dan yang dapat digunakan sebagai acuan. Wang et al. (2011) melakukan penelitian tentang perbandingan penggunaan endoskopi dengan dan tanpa NBI pada skrining NPC. Pada penelitian ini didapatkan hasil false positive, false negative, sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif dan akurasi sebesar 6,7%, 2,9%, 97,1%, 93,3%, 91,7%, 97,7% dan 94,9%. Penelitian tersebut dilakukan terhadap 211 pasien dengan risiko tinggi menderita karsinoma nasofarings dengan tujuan skrining yang kemudian dibuktikan melalui pemeriksaan patologi anatom i. Sedangkan pada penelitian ini dilakukan terhadap pasien-pasien dengan kecurigaan karsinoma nasofarings dan atau memiliki gejala klinis khas untuk karsinoma nasofarings dengan tujuan diagnostik. Pada penelitian yang membandingkan evaluasi endoskopi NBI dan H DTV dengan endoskopi konvesinal (W L) pada kanker saluran penceraan atas yang 7 dilakukan oleh Piazza et al. (2010) pada April 2007 dan Januari 2010 didapatkan sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif dan akurasi untuk NBI dan HDTV sebesar 97%, 84%, 88%, 96%, dan 92%, sedangkan endoskopi konvesional didapatkan hasil sebesar 41%, 92%, 87%, 82%, dan 67%. Penelitian yang dilakukan Watanabe et al. (2008) untuk mengevaluasi nilai diagnostik rhinolaryngoscopy menggunakan NBI dalam mendeteksi karsinoma sel skuamosa kepala dan leher (SCCHN) pada pasien pada kanker eso fagus (EC), dengan hasil endoskopi NBI secara signifikan meningkatkan diagnostik, akurasi, sensitivitas, dan nilai duga negatif dalam mendeteksi SCCHN pada pasien EC.