KLASIFIKASI ILMU PENGETAHUAN DALAM PENDIDIKAN

advertisement
KLASIFIKASI
ILMU PENGETAHUAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM
(Konsep Perbandingan Menurut Al-Ghozali Dan Muhammad Iqbal)
Diajukan Kepada IAIIG Cilacap Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Salah Satu
Syarat Guna Memperoleh Gelar Kesarjanaan Strata Satu (S-1) Sarjana Pendidikan
Agama Islam (S Pd. I) Dalam Ilmu Tarbiyah
Oleh
Nama
: Ahmad Sahreza
NIM
: 052321604
Fakultas
: Tarbiyah
Prodi
: Pendidikan Agama Islam
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM IMAM GHOZALI (IAIIG)
CILACAP JAWA TENGAH
2011
PENGESAHAN
Skripsi saudara
Nama
NIM
Fakultas
Program studi
Judul skripsi
: Ahmad Sahreza
: 052 321 604
: Tarbiyah
: Pendidikan Agama Islam
: Klaisfikasi Ilmu Pengetahuan Dalam Pendidikan Islam
{Konsep Perbandingan Islam Menurut Al Ghozali Dan
Muhammmad Iqbal}
Telah disidang munaqosahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Tarbiyah Institut
Agama Islam Imam Ghozali (IAIIG) Cilacap pada hari/tanggal:
Sabtu 15 januari 2011
Dan dapat diterima sebagai pemenuhan tugas akhir Mahasiswa Program Strata I (S.1)
fakultas tarbiyah prodi pendidikan agama islam (PAI) pada Institut Agama Islam
Imam Ghozali (IAIIG) Cilacap
Cilacap 15 januari 2011
Dewan Sidang
Ketua
Sekretaris
Lumaur Ridlo S.Psi
NIK. 951 011 116
Penguji I
Muniriyanto, S.Ag,MM.
NIK. 951 011 065
Penguji II
Drs.H M.muchdir ma’sum, Psi.
NIK 951 011 016
Pembimbing
Drs. Attabik, M.Ag
NIK 951 011 083
Ass.Pembimbing
Agus sutiyono, M.Ag.,MPd
NIK. 197 307 10200 5011 001
Mengetahui
Dekan Fakultas Tarbiyah
Drs. Musa Ahmad ,M.Si
NIK 951 011 038
Lumaur Ridlo S.Psi
NIK. 951 011 116
NOTA PEMBIMBING
Drs. Musa ahmad, M.Si
Dosen IAIIG Cilacap
Agus sutiyono M.Ag.M.Pd
Dosen IAIIG Cilacap
Hal
: Skripsi Saudara Ahmad Sahreza
Lamp :Kepada :
Yth. DEKAN FAKULTAS TARBIYAH
IAIIG Cilacap
Di –
Tempat
Asalamualaikum Wr.Wb
Kami selaku pembimbing skripsi ini, setelah membaca, mengoreksi dan
mengadakan perbaikan seperlunya, maka kami berpendapat bahwa skripsi saudara :
Nama
: Ahmad Sahreza
NIM
: 052 321 604
Fakultas
: Tarbiyah
Program studi
: Pendidikan Agama Islam
Judul skripsi
:Klaisfikasi Ilmu Pengetahuan Dalam Pendidikan
Islam {Konsep Perbandingan Islam Menurut Al
Ghozali Dan Muhammmad Iqbal}
Maka dari itu mohon agar skripsi saudara tersebut segera dimunaqosahkan.
Atas perhatian bapak, saya sampaikan terima kasih.
Cilacap 4 juli 2010
Dosen Pembimbing
Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. Musa Ahmad, M.Si
NIK 951 011 038
Agus sutiyono, M.Ag, MPd.
NIK. 197 307 10200 5011 001
SURAT PERNYATAAN KEORSINILAN SKRIPSI
Yang bertandang tangan dibawah ini, saya :
1. Nama
: Ahmad Sahreza
2. NIM
: 052 321 604
3. Fakultas
: Tarbiyah
4. Program studi
: Pendidikan Agama Islam
5. Judul skripsi
: Klasifikasi Ilmu Pengetahuan Dalam Pendidikan Islam
{Konsep Perbandingan Islam Menurut
Al Ghozali Dan
Muhammmad Iqbal}
Menyatakan bahwa skripsi saya benar-benar orsinil /asli buatan sendiri, tidak ada
unsur menjiplak atau dibuatkan.
Jika dikemudian hari ditemukan adanya indikasi salah satu dari dua unsur diatas,
maka saya bersedia dicabut gelar kesarjanaanya.
Demikian surat ini dibuat dengan penuh kesadaran dan tanpa unsur pemaksaan.
Cilacap, 4 juli 2010
Yang Menyatakan
AHMAD SAHREZA
NIM 052 321 604
MOTTO
Allah menguji hambanya dengan menimpahkan musibah sebagai mana seorang
menguji kemurnian emas dengan api (pembakaran). Ada yang keluar emas murni.
Itulah yang dilindungi allah dari keraguan-keraguan. Da yang keluar seperti emas
hitam dan itu memang ditimpa Fitnah (HR. Athabari)
PERSEMBAHAN
Untuk Kedua Orang Tuaku Kakak-Kakkku Dan Adikku
KATA PENGANTAR
Penulis panjatkan kehadiran Allah SWT, yang senantiasa melimpahkan
rahmat, hidayah dan fadhal-Nya, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Kendala dan
kesulitan yang ada selama penulisan skripsi ini menjadi tantangan dan ujian
tersendiri, demi mewujudkan harapan cit-cita penulis. Shalawat serta salam semoga
tercurahkan terhadap junjungan Nabi Agung Muhammad SAW, beserta Keluarga dan
Sahabatnya.
Seiring dengan rasa syukur, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu selama penulisan skripsi. Penghargaan serta rasa
terima kasih penulis sampaikan kepada yang tehormat :
1. Drs.kh.Nasrulloh Muhson Rector Institut Agama Islam Imam Ghozali (IAIIG)
Cilacap
2. Lumaur Ridlo, S.Psi Dekan Fakultas Tarbiyah Institute Agam Islam Imam
Ghozali (IAIIG) Cilacap
3. Segenap Dosen dan Civitas academika Institute Agama Islam Imam Ghozali
(IAIIG) Cilacap
4. Drs. Musa Ahmad, M.Si dan Agus Sutiyono,M.Ag,M.Pd selaku dosen dan
pembimbing I dan pembimbing II, yang dengan sabar beliau dalam membimbing
dan memberi arahan, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
5. Bocah-bocah sobat IGHOPALA, Salam Lestari!! Satu dalam diriku, KU- besar
karena-MU
6. Mas Tomi sudjiwo, terima kasih atas wangsitnya. Bung Aqil, mas Ghofur dan
Malik Ibrahim
7. Sahabat-sahabat mahasiswa dilingkungan Fakultas Tarbiyah IAIIG Cilacap yang
telah membantu dan mendorong terselesainya penulisan skripsi ini
8. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, yang telah penulis
dalam menyelesaikan study dan penulisan skripsi ini
Semoga seluruh amal baiknya akan menjadi amal soleh yang selalu mendapatkan
limpahan pahala dari Allah SWT..amin
Penulis menyadari, bahwa penyusunan skripsi ini mungkin masih banyak
kekurangan. Karena itu penulis berharap kritik dan saran dari berbagai pihak,
utamanya pembaca skripsi ini sangat penulis harapkan demi perbaikan dan
penyempurnaan skripsi
Akhirnya, semoga skripsi ini benar-benar dapat memberi sumbangsih dan
bermanfaat, baik bagi penulis sendiri maupun pada pembaca umumnya.
Kesugihan, 4 juli 2010
Penulis
AHMAD SAHREZA
NIM 052 321 604
LEMBAR ABSTRAKSI
Pendidikan islam telah menawarkan konsep filosofi yang baik sekali dalam system
pendidikan. Secara ideal, pendidikan islam berusaha mengantarkan manusia
menyampai keseimbangan pribadi yang menyeluruh.
Konsep pendidikan yang dibangun oleh Islam menuntut manusia untuk mengerahkan
berbagai potensi yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT kepadanya sebagai
mahluk yang sempurna dalam penciptaan. Melalui latihan-latihan kejiwaan, akal
pikiran, kecerdasan, perasaan ataupun panca indra yang diharapkan menjadi manusia
yang bertakwa, berilmu pengetahuan dan bertanggung jawb dalam beramal soleh.
Tetapi realitanya, pendidikan slam belum menjalankan konsep filosofi islam sendiri.
Fakta mengungkapkan adanya kesenjangan atara Islam disatu sisi dan Ilmu
Pengetahuan Teknologi di sisi lain.
Al Ghozali jauh hari menganjurkan terhadap ilmu yang berangkat pada akses
kedekatan pada tuhan. Menurutnya ilmu yang sempurna tanpa ada keraguan
bersumber dari instuisi (Dzauq). Al Ghozali memhami tentang Epistimologi ilmu
yang menurutnya dibagi dua, yaitu ilmu laduni dan ilmu muktasabah. Dalam
kewajiban menuntut ilmu Al Ghozali membagi du tingkatan pula, yaitu, ilmu fardu
‘ain yang berorentasi pada nilai-nilai ukhrowi dan ilmu fardu kifayah yang berkaitan
dengan profesi manusia dalam rangka memenuhi kebutuhannya.
Sedangkan Iqbal menganbil langkah strategis dengan menganjurkan intregasi antara
filsafat dan agama. Jurang pemisah tersebut harus dihilangkan, sehingga akan saling
menunjang. Ilmu menurutnya bersumber dari agama, sedangkan agama akan
menunjukan eksistensinya apabila ditopang menjadi ilmu pengetahuan. Sehingga apa
yang dicita-citakan oleh Islam tercapai yaitu terwujudnya komitmen pribadi yang
takwa, berilmu pengetahuan dan bertanggung jawab dan beramal soleh.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING ................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iii
SURAT PERNYATAAN KEORISINALAN SKRIPSI ................................. iv
HALAMAN MOTTO ...................................................................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... vi
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vii
LEMBAR ABSTRAKSI ................................................................................... ix
DAFTAR ISI
BAB I:
.................................................................................................. x
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Definisi Operasional ..................................................................... 8
C. Rumusan Masalah ....................................................................... 10
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 10
E. Telaah Pustaka ............................................................................. 11
F. Sistematika Penulisan Skripsi...................................................... 13
BAB II: LANDASAN TEORI
A. Pengertian Pendidikan Islam ....................................................... 16
B. Konsep Filosofi Pendidikan Islam............................................... 21
C. Realitas dan Masalah Paradigma Pendidikan Islam .................... 29
D. Cita-cita dan Tujuan Pendidikan Islam ....................................... 33
BAB III : METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Pendekatan Penelitian .......................................... 37
B. Sumber Data ........................................................................ 37
C. Metode Pengumpulan Data...................................................40
D. Metode Analisis Data .......................................................... 40
BAB IV:
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Al-Ghozali, Muhammada Iqbal dan Konsep Pemikiran
1. AL-Ghozali
a. Biografi Al-Ghozali....................................................... 42
b. Sejarah Pemikiran Al-Ghozali....................................... 48
c. Konsep Al-Ghozali Tentang Ilmu ................................. 57
2. Muhammad Iqbal
a. Biografi Muhammad Iqbal ............................................ 69
b. Kondisi Sosial Sejarah Pemikiran Muhammad Iqbal ... 73
c. Pandangan Muhammad Iqbal Tentang Filosofi
Pendidikan Islam ........................................................... 82
B. Analisis Konsep tentang Klasifikasi Ilmu Pengetahuan
1. Analisa Konsep Ilmu Menurut Al-Ghozali ........................ 87
2. Analisa Konsep Ilmu Menurut Muhmmad Iqbal ............... 92
3. Analisis tentang Perbedaan konsep Ilmu Pengetahuan
Al-Ghozali dan Muhammad Iqbal ..................................... 97
4. Pengaruh konsep Ilmu Pengetahuan Al-Ghozali
dan Muhammad Iqbal terhadap Pendidikan Islam
serta Implikasinya .............................................................. 98
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 103
B. Saran-saran ................................................................................ 105
C. Kata Penutup .............................................................................. 106
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam diturunkan sebagai agama mempunyai konsekuensi dasar
sebagai pedoman untuk keseluruhan umat manusia (rahmatal lil’alamin).
Bahwa jelas objek bidikannya disamping umat yang mengakui Islam sebagai
agamanya, juga untuk keseluruhan umat manusia. Sebagaimana Allah Swt
telah menciptakan manusia dalam bentuk fisik yang bagus dan seimbang.
Firman Allah Swt:
ִ " !"#$ Artinya: Sesungguhnya telah kami ciptakan manusia itu dalam bentuk yang
sebaik- baiknya (aAt-Tiin:4). 1
Manusia sempurna dalam penciptaannya karena manusia dilengkapi
tiga potensi kekuatan yang membedakannya dengan makhluk lain ciptaan
Allah Swt, yaitu 1).Akal dan perasaan, 2). Ilmu pengetahuan, 3).
Kebudayaan.2
Bukan tanpa alasan menempatkan posisi akal dan perasaan pada urutan
pertama. Akal dan perasaan adalah adalah dua dimensi utama untuk mencapai
ilmu pengetahuan. Akal yang bergerak dalam wilayah rasional lebih
cenderung pada penelitian fisika empirik, Sedangkan perasaan akan
1
Departemen Agama RI, Al-Qur'an-Qur”an dan terjemahnya (Bandung : CV Penerbit
Diponegoro, 2003), Hlm. 478
2
Zakiyah Daradjat dkk, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta :Bumi Aksara, 2006), Hlm. 4
1
2
mengungkap pengetahuan diluar jangkauan empirik dengan menggunakan
intuisi yang tujuannya tercapai ilmu pengetahuan yang untuk selanjutnya
diterapkan pada ranah kebudayaan dan peradaban. Maka tidak heran apabila
suatu bangsa memiliki tradisi intelektual tinggi, maka akan diiringi pula oleh
kemajuan budaya dan peradabannya.
Manusia yang dibekali akal akan selalu haus untuk melakukan
pengamatan sehingga hasil yang didapat diolah dan dikembangkan menjadi
kerangka sebuah ilmu pengetahuan. Ini terkait dengan kewajibannya untuk
selalu memenuhi kebutuhan dasar hidup.
Akal yang menjadi sebuah inspirasi untuk melakukan pengamatan
merupakan sebuah sumber ilmu. Kemuliaan akal ditunjukkan oleh sabda rasul
Saw, “Yang pertama kali diciptakan adalah akal” kemudian Allah berkata
kepadanya, “Datanglah kemari”.Maka akal itupun datang. Kemudian Allah
Swt berkata kepadanya, “pergilah”. Maka akal itupun pergi. Allah Swt
berkata, “Demi kemuliaan dan keagunganku, tidaklah aku ciptakan makhluk
yang lebih mulia bagi-Ku daripada kamu. Dengan engkau aku memberi.
Dengan engkau aku memberi pahala dan dengan engkau aku menghukum”,
Nabi Saw bersabda, “Aku bertanya kepada jibril apakah kepemimpinan
itu?”Jibril menjawab, “Akal.”. Hakikat akal adalah naluri yang digunakan
untuk memahami pengetahuan-pengetahuan teoritis.3
Dari pertama dimulainya peradaban, manusia sudah memikirkan
tentang
3
alam,
kejadiannya,
asal-muasal
sampai
kepada
bagaimana
Zaid Husein Al hamid, Mukhtashar Ihya Ulumuddin (Jakarta: Pustaka Amani, Oktober
1995), hlm.14
3
memanfaatkan
dan
mendayagunakan
alam
untuk
dieksplorasi
demi
kepentingan umat manusia. Dengan demikian banyak hasil yang telah dicapai
untuk kemajuan ilmu pengetahuan agar manusia dapat hidup.
Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin sangat antusias dalam
membicarakan tentang pentingnya ilmu pengetahuan bahkan ayat pertama
yang diturunkan dalam Alqur’an menerangkan tentang pentingnya membaca.
Firman Allah Swt:
ִ.
-/
* +,&'(֠
'4
ִ
5" '4
ִ 01֠23
9"
74
'8
16
8;'(<= ִ.:-/ &'(֠
?'@
01֠23
>"
?'@
"
* " BCD'! + '6 Artinya:”Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan-Mu yang menciptakan.
Dialah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan
Tuhan-Mu lah yang maha pemurah. Yang mengajar (manusia)
dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya.(Al-‘Alaq:1-5)4
Bahwa perintah Allah Swt yang pertama kali diturunkan tidak untuk
menyembahnya dengan beribadah menurut aturan formal syari’at, melainkan
Allah Swt ingin mengenalkan diri-nya terlebih dahulu dengan cara manusia itu
membaca dan belajar dengan segala kemampuan yang dimandatkan agar bisa
menjalankan
tugas
sebagai
khalifah.
Dengan
demikian
Allah
Swt
berkepentingan untuk menerangkan betapa pentingnya ilmu pengetahuan
untuk dipelajari dengan melalui perantaraan kalam yaitu membaca.
4
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung CV Penerbit
Diponegoro, 2003), hlm.479
4
Disini pendidikan mendapatkan tempatnya, bisa dikatakan bahwa
pendidikan merupakan penolong bagi manusia untuk menjalani kehidupan ini.
Tanpa pendidikan, manusia tidak akan mampu membuat terobosan-terobosan
dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya dan ia tidak akan jauh berbeda
dengan pendahulunya pada zaman purba. Sehingga tonggak kesejahteraan
suatu bangsa dipercayakan kepada majunya pendidikan bangsa tersebut.
Islam telah memberikan konsep teologis filosofis yang baik sekali
dalam sistem pendidikan. Secara ideal, Pendidikan Islam berusaha
mengantarkan manusia mencapai keseimbangan pribadi secara menyeluruh.
Hal ini dapat dilakukan melalui latihan-latihan
kejiwaan, akal pikiran,
kecerdasan, perasaan, ataupun pancaindera. Oleh karena itu, Pendidikan Islam
berupaya mengembangkan semua aspek dalam kehidupan manusia yang
meliputi spiritual, intelektual, imajinasi, keilmiahan, dan lain-lain, baik secara
individu ataupun berkelompok serta senantiasa memberikan dorongan bagi
kedinamisan
aspek-aspek
diatas
menuju
kebaikan
dan
pencapaian
kesempurnaan hidup baik dalam hubungannya dengan Al-khalik, dengan
sesama manusia dan dengan alam.5
Terlihat begitu menyeluruhnya konsep pendidikan yang dibangun oleh
Islam, manusia dituntun untuk mengerahkan berbagai potensi yang
dimilikinya yang telah dianugerahkan oleh Allah Swt sebagai makhluk yang
sempurna ciptaannya. Potensi-potensi tersebut harus bisa melangkah kedunia
nyata dengan konsepnya yang riil berupa intelektual pemikiran, ilmu
5
ed. Muslih Usa, Pendidikan Islam di Indonesia , Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta:
PT.Tiara wacana Yogya, Juli 1991), hlm.8
5
pengetahuan teknologi dan kesemuanya diorientasikan kepada dimensi
spiritual transendental.
Dengan format seperti ini, maka Pendidikan Islam telah merangkul
semua prinsip tujuan dan jika dibandingkan dengan pendidikan pada
umumnya, maka tugas-tugas Pendidikan Islam amatlah berat. Rumusan ini
merupakan acuan umum bagi Pendidikan Islam, karena akhir dari tujuan
adalah pencapaian kebahagiaan dunia dan akhirat. Hal ini akan berarti pula,
bahwa Pendidikan Islam mengandung konsep agama (dien), konsep manusia
(insan), konsep ilmu (ilmu dan ma’rifah), konsep kebijakan (hikmah), konsep
keadilan (‘adl), konsep amal (’amal sebagai adab) dan konsep perguruan
tinggi (kulliyatul jami’ah). Dengan perpaduan konsep-konsep inilah manusia
mampu meraih kebahagian dunia dan akhirat.6
Sampai potensi terkecilpun dibina oleh Pendidikan Islam dan
dikembangkan dalam tatanan terpadu untuk kemajuan umat manusia dalam
keseimbangannya antara dimensi duniawi dan ukhrawi.
Dalam pada itu hakikatnya Pendidikan Islam merupakan solusi pokok
dalam mengantarkan manusia untuk menjadi cerdas, tajam inderanya, jernih
hatinya, serta memiliki keterampilan yang handal dalam mewujudkan
kehidupan yang sejuk dan penuh kesejahteraan lahir dan batin. Dengan
demikian, terdapat dua dimensi yang ingin dicapai oleh Pendidikan Islam,
yaitu dimensi horizontal dan dimensi vertikal.
6
Ibid, hlm. 9.
6
Tetapi sampai disini penulis merasa sangsi atas Pendidikan Islam
selama ini. Pendidikan Islam belum menemukan formulasi yang jitu untuk
dapat mengoperasionalkan konsep-konsep yang telah diprogramkan. Penulis
melihat ini masih dalam tataran konsep yang sebagian belum dijalankan.
Disini penulis akan mengambil dua pandangan pikiran yang berbeda
dalam menyoroti epistimologi dan filosofi ilmu pengetahuan yang selanjutnya
akan ada dua konsep Pendidikan Islam yang berbeda pula, terlepas karena
memang berbedanya zaman serta sosio-kultur yang melingkupi keduanya.
Pertama adalah Al-Ghozali (1056-1111 M). Beliau adalah pemikir
ulung Islam yang menyandang gelar “pembela Islam”(hujjatul Islam). Masa
mudanya bertepatan dengan bermunculannya para cendikiawan, baik dari
kalangan bawah, menengah, sampai elit. Kehidupan pada saat itu
menunjukkan kemakmuran tanah airnya, keadilan para pemimpinnya, dan
kebenaran para ulamanya. Dunia tampak tegak disana. Sarana kehidupan
mudah didapatkan, masalah pendidikan sangat diperhatikan. Pendidikan dan
biaya hidup penuntut ilmu ditanggung oleh Pemerintah dan Pemuka
masyarakat.7
Sedangkan tokoh yang kedua yaitu Muhammad Iqbal (w.1938 M).
Muhammad Iqbal adalah seorang tokoh pembaharu pada zamannya.
Pengembaraan intelektualnya diwarnai politik kekuasaan yang tidak menentu
karena adanya politik kolonial penjajah. Setelah belajar keilmuan agama Islam
klasik, beliau Muhammad Iqbal melanjutkan pendidikannya di sekolah7
Ibnu Abidin, Pemikiran Al-Ghozali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,
Januari 2009), hlm. 9.
7
sekolah modern baik ditanah kelahirannya sendiri (India), maupun di luar
negeri (eropa). Selama pengembaraan intelektualnya, Muhammad Iqbal
menyadari akan kesenjangan yang tinggi antara Pendidikan Islam dan
Pendidikan Barat. Ini ditengarai karena umat Islam telah meninggalkan ruh
Islam itu sendiri.
Menurutnya umat Islam harus kembali kepada Alqur’an dan Hadits
bahwa konsep teologis filosofis ilmu harus ditempatkan pada posisinya yang
obyektif, bahwa memandang semua ilmu berasal dari Allah Swt semata. Maka
dalam realitasnya kemudian, semua ilmu harus diintegrasikan, tidak hanya
melebur secara fisik saja, tetapi lebih dari itu rumusan fiosofisnyapun kembali
kepada semula tentang keuniversalan Islam, sehingga tujuan akhir dari
Pendidikan Islam yang menyeluruh, mengakomodir urusan duniawi dan
ukhrawi akan tercapai.8
Dalam pembaharuannya Muhammad Iqbal tidak berpendapat bahwa
baratlah yang harus dijadikan sebagai model. Kapitalisme dan imperialisme
barat tidak dapat diterimanya. Barat menurutnya, amat banyak dipengaruhi
oleh materialisme dan telah meninggalkan agamanya. Yang harus diambil
adalah ilmu pengetahuannya.9
Bahwa barat memandang ilmu hanya untuk kemaslahatan duniawi saja
dengan melupakan konsekuensi dari sebuah ilmu yaitu pertanggungjawaban
8
ed. Muslih Usa, Pendidikan Islam di Indonesia, antara cita dan fakta (Yogyakarta:PT
Tiara Wacana Yogya, Juli 1991), hlm. 9.
9
Prof. Dr. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam : sejarah pemikiran dan gerakan
(Jakarta : Bulan Bintang, 1996), hlm. 193.
8
manusia yang berakal kepada Tuhannya, yang endingnya ilmu pengetahuan
mempunyai misi transendental.
Disini penulis akan melakukan pembandingan dua tokoh dalam
pemikirannya
tentang
pengklasifikasian
ilmu
pengetahuan
terhadap
relevansinya dalam dunia Pendidikan Islam. Oleh karenanya penulis akan
memformulasikan menjadi sebuah judul “Klasifikasi Ilmu Pengetahuan Dalam
Pendidikan
Islam
(Konsep
Perbandingan
Menurut
Al-Ghozali
dan
Muhammad Iqbal). Sebagai syarat Penulis untuk mendapatkan gelar dalam
Ilmu Pendidikan.
B. Definisi Operasional
Untuk menghindari kesalahan pemahaman dalam judul tentang
Klasifikasi
Ilmu
Pengetahuan
Perbandingan Menurut Al-ghozali
Dalam
Pendidikan
Islam
(Konsep
Dan Muhammad Iqbal), maka penulis
membuat definisi judul.
1. Klasifikasi
Diartikan pengelompokan; pembagian dalam jenis-jenis.10
2. Ilmu pengetahuan
Adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara
bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala tertentu dibidang (pengetahuan) itu.11
10
Pius A Partanto dan M.Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiyah Populer, (Surabaya :Arkola,
1994), hlm. 340.
11
Depdinas, Kamus Besar Bahasa Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, … hlm. 864.
11
Pius A Partanto dan M.Dahlan Al Barry, Kamus Indonesia Edisi Ketiga,.., hlm. 423.
9
Jadi yang dimaksud Klasifikasi Ilmu Pengetahuan adalah
pengelompokan,atau penjenisan ilmu pengetahuan dengan memberikan
penilaian yang beragam terhadap bidang ilmu pengetahuan menurut
bagian-bagiannya.
3. Pendidikan
Diartikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang
atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan.12
2. Islam
Adalah agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw yang
berpedoman pada kitab suci Alqur’an yang diturunkan melalui wahyu
Allah Swt.13
Jadi Pendidikan Islam adalah proses, cara, usaha pengubahan sikap
dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam rangka membentuk
kepribadian muslim. Cirinya adalah perubahan sikap dan tingkah laku
sesuai dengan petunjuk ajaran Islam.14
Jadi yang dimaksud dengan judul skripsi Klasifikasi Ilmu
Pengetahuan Dalam Pendidikan Islam (Konsep Perbandingan Menurut
Al-Ghozali Dan Muhammad Iqbal) adalah perbandingan pemikiran AlGhozali dan Muhammad Iqbal dalam konsep teologis filosofis tentang
12
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi Ketiga, (Jakarta : Balai Pustaka,
2007), hlm. 263.
13
Ibid, hlm. 444.
14
Zakiyah Daradjat dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi aksara, 2006), hlm.28.
10
klasifikasi ilmu pengetahuan relevansi pemikiran keduanya dengan
Pendidikan Islam universal yang mencerdaskan.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas penulis mengambil
permasalahan yang menjadi pokok pembahasan, adapun rumusan masalahnya
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
konsep
Ilmu
Pengetahuan
menurut
Al-Ghozali
dan
Muhammad Iqbal?
2. Apa perbedaan konsep Ilmu Pengetahuan menurut Al-Ghozali dan
Muhammad Iqbal?
3. Bagaimana pengaruh klasifikasi Ilmu Pengetahuan menurut Al-Ghozali
dan Muhammad Iqbal dalam Pendidikan Islam.
D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian.
a. Untuk mengetahui konsep Ilmu Pengetahuan menurut Al-Ghozali dan
Muhammad Iqbal.
b. Untuk mengetahui perbedaan konsep Ilmu Pengetahuan menurut AlGhozali dan Muhammad Iqbal
c. Untuk mengetahui pengaruh klasifikasi Ilmu Pengetahuan Al-Ghozali
dan Muhammad Iqbal dalam Pendidikan Islam.
11
2. Manfaat penelitian
a. Menjadi dasar pijakan untuk memformulasikan konsep Pendidikan
Islam yang universal.
b. Untuk memperbaiki konsep Pendidikan Islam yang telah kehilangan
kesimbangan pada dimensi duniawi dan ukhrawi.
c. Sebagai sumbangsih pemikiran dalam dunia Pendidikan Islam.
E. Telaah Pustaka
Al-Ghozali dan Muhammad Iqbal adalah dua tokoh yang berbeda
zaman dan sosio-kultur serta politik yang melatarbelakangi keduanya
menjadikan
perbedaan
masing-masing
dalam
merumuskan
konsep
Pendidikan.
Dalam kajian ini Penulis menggunakan referensi karya Al-Ghozali dan
Muhammad Iqbal. Didalam karyanya Al-Ihya ’Ulumiddin, Al-Ghozali
menempatkan Ilmu serta ahli ilmu pada hierarki yang paling tinggi.
Menurutnya Ilmu bisa mengantarkan manusia pada derajat spritual
transendental, pembuka bagi hijab atas manusia dengan Tuhan-Nya yang
terbentuk dari proses akal. Ilmu yang merupakan konsekuensi akal
menurutnya perlu dikelompokkan. Ada ilmu utama, ilmu tidak utama, bahkan
ada ilmu tercela. Sebabnya bukan karena tercelanya ilmu itu sendiri, tetapi
tercelanya terhadap hak manusia yaitu ilmu itu membawa kepada kemelaratan,
baik bagi ahlinya maupun kepada orang lain,seperti tercelanya ilmu sihir dan
mantera-mantera.
12
Adapun tentang filsafat, ilmu alam menurutnya pantas dimasukkan
dalam kelompok Ilmu tercela. Sebab sebagian daripadanya menyalahi syari’at
dan agama yang benar. Bahkan dalam karyanya yang lain yaitu Tahafut
Falasifah, Al-Ghozali menentang keras apa yang didengungkan oleh para
filsuf yang coba dilesakkan kepada umat.
Dalam menelaah pikiran Muhammad Muhammad Iqbal yang terdapat
dalam karyanya berjudul Rekonstruksi Pemikiran Agama Dalam Islam,
Penulis melihat Muhammad Iqbal mencari celah solusi atas berseberangannya
filsafat dan agama. Menurutnya filsafat mempunyai kekuasaan menilai agama.
Tetapi apa yang dinilainya itu sudah sedemikian rupa, sehingga ia tak akan
begitu saja takluk pada kekuasaan itu, kecuali atas syarat-ayaratnya sendiri.
Sementara itu agama itu berada dalam penilaian, filsafat tidak dapat
menempatkan agama lebih rendah daripada perangkat material perbandingan.
Beliau menyitir pendapat Prof. Whitehead bahwa ”usia iman itu setua usia
rasionalisme”. Tetapi katanya lagi, untuk memasukkan iman kedalam rasio
tidaklah berarti mengakui keunggulan filsafat atas agama.
Di sinilah Muhammad Iqbal dengan cerdas memberikan solusi bahwa
tidak ada pertentangan antara filsafat dengan agama. Demikian juga
sebaliknya, agama akan mudah diterima dan tuntutan rasionalisasi sintesa
dalam Pendidikan Islam akan menunjukkan watak keuniversalan Islam itu
sendiri.
Lebih spesifik lagi dalam buku Ilmu Pendidikan Islam karya Prof. H.
M. Arifin M.Ed bahwa pendidikan Islam harus memiliki pendekatan filosofis
13
yang mengandung konsep dalam rangka menyelesaikan permasalahan
hidupnya. Penting untuk dicatat dalam penyelesaian permasalahan hidup,
Pendidikan Islam seharusnya membekali out put dari lembaga Pendidikan
Islam itu dengan kemampuan skill sesuai kapasitas yang dimiliki untuk
diorientasikan pada tujuan duniawi dengan tidak mengesampingkan nilai-nilai
yang dikembangkan oleh watak universal Islam.
Referensi lain yaitu skripsi M. Sulaiman dari perguruan tinggi Institut
Agama Islam Imam Ghozali yang dimunaqosahkan pada tahun 2004 dengan
judul Epistimologi Ilmu Dalam Perspektif Al-Ghozali yang terfokus dalam
cabang ilmu yang membahas tentang pendidikan, masalah epistimologi ilmu
yang didalamnya melibatkan unsur panca indera, akal dan kalbu. Menurutnya
unsur tersebut berpotensi untuk dapat menerima, merespon dan merefleksikan
problematika yang berlaku dan berkembang dalam proses interaksi ilmu
pengetahuan. Didalamnya berbeda dengan skripsi penulis karena tidak ada
perbandingan dengan tokoh lain. Dan penting menurut Penulis menggunakan
referensi skripsi ini karena berkaitan dengan wacana epistimologi Ilmu
menurut Al-Ghozali.
F. Sistematika Penulisan Skripsi
Agar pemahaman skripsi ini lebih spesifik terarah dan mudah
dipahami, maka penulis menyusun sistematika sebagai berikut:
BAB I:
Pendahuluan yang mengantarkan pembahasan sampai selesai,
adapun isi dari bab pertama adalah: Latar Belakang Masalah,
14
Definisi Operasional, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penelitian, Telaah Pustaka, sistematika Penulisan Skripsi.
BAB II:
Merupakan gambaran umum tentang pendidikan Islam dan
realitasnya yang meliputi: Pengertian Pendidikan Islam, Konsep
filosofi Pendidikan Islam, Realitas dan Masalah Paradigma
Pendidikan Islam, Cita-cita dan Tujuan Pendidikan Islam.
BAB III:
Metode penelitian
yang meliputi: jenis dan pendekatan
penelitian, sumber data, metode pengumpulan data, dan metode
analisis data
BAB IV:
Pembahasan tentang Al-Ghozali, Muhammad Muhammad Iqbal
dan Konsep pemikirannya dalam Pendidikan Islam yang
meliputi: Biografi Al-Ghozali, Sejarah Pemikiran Al-Ghozali,
Konsep
Al-Ghozali
tentang
ilmu.
Biografi
Muhammad
Muhammad Iqbal, Kondisi sosial sejarah Pemikiran Muhammad
Muhammad Iqbal, Pandangan Muhammad Muhammad Iqbal
Tentang filosofi Pendidikan Islam.
BAB IV:
Merupakan pokok pembahasan tentang tema skripsi Pandangan
Al-Ghozali
dan
Muhammad
Muhammad
Iqbal
tentang
Klasifikasi Ilmu Pengetahuan yang meliputi: Analisis Konsep
tentang Klasifikasi Ilmu Pengetahuan Menurut Al-Ghozali dan
Muhammad Muhammad Iqbal, Analisis tentang Perbedaan
konsep Ilmu Pengetahuan Al-Ghozali dan Muhammad Iqbal,
15
Pengaruh konsep Ilmu Pengetahuan Al-Ghozali dan Muhammad
Muhammad Iqbal terhadap Pendidikan Islam serta Implikasinya
BAB V:
Merupakan penutup yang meliputi: Kesimpulan, Saran-saran,
dan Kata penutup.
16
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Pendidikan Islam
1. Secara Bahasa
Pendidikan Islam jika dilihat dari segi bahasa, maka harus dilihat
dari bahasa Arab karena ajaran Islam diturunkan dari bahasa tersebut. Kata
pendidikan yang umum kita gunakan sekarang dalam bahasa arabnya
adalah tarbiyah dengan kata kerjanya rabbah, kata pengajaran dalam
bahasa arabnya adalah ta’lim, dengan kata kerjanya allama. Sedangkan
pendidikan Islam dalam bahasa arabnya adalah tarbiyah Islamiyah.1
Kata kerja rabba (mendidik sudah digunakan sejak zaman nabi
Muhammad Saw seperti dalam al-Qur’an surat Al-Isra’ ayat 24 yang
berbunyi:
ִ☺
֠
!" ִ☺
#$&
Artinya: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana
mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil".2
Kata lain yang mengandung makna pendidikan adalah ta’dib, yang
berasal dari kata kerja addaba.
Menurut
Attiyah
Al-Abrasi,
al-tarbiyah
adalah
upaya
mempersiapkan individu untuk kehidupan yang lebih sempurna,
1
2
Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hlm. 25.
Depag RI Al-Qur'an dan Terjemahannya, (Bandung; CV Penerbit Dipenogor, 2003),
hlm. 227
16
17
kebahagiaan hidup, cinta tanah air, kekuatan raga, kesempurnaan etika,
sistematika dalam berfikir, tajam berperasaan giat dalam berkreasi,
toleransi kepada orang lain, berkompetensi dalam mengungkapkan bahasa
tulis dan lisan, serta terampil berkreatifitas, Al-Qasimi menyatakan bahwa
makna al-tarbiyah adalah penyampaian sesuatu sampai pada batas
kesempurnaan yang dilakukan secara bertahap.3
Melihat pengertian al tarbiyah ini menunjukan konsep menyeluruh
dalam segala lini kehidupan dengan mempersiapkan individu untuk
kehidupan yang lebih sempurna; memberikan keterampilan yang sesuai
dengan kapasitas kemampuan untuk menunjang karir kehidupan tanpa
mengesampingkan etika yang memang menjadi sebuah tujuan pendidikan.
Kompetensi
yang
terbenam
dalam
bakat
individu,
digali
dan
dikembangkan menurut etika menjadi sumber kekuatan individu untuk
meniti kehidupan lebih lanjut.
Lebih lanjut rabba yang juga memberikan pengertian Tuhan
terlihat universal karena Tuhan juga bersifat mendidik dalam artian Tuhan
mengenalkan dirinya untuk diketahui umat manusia sebagai pegangan
untuk mengarungi kehidupan yang selaras di dunia dan akherat.
Kata ta’lim dengan kata kerjanya ‘allama juga sudah digunakan
zaman nabi tetapi ta’lim lebih sekedar pemberitahuan, tidak memberikan
pengertian pembinaan kepribadian baik ketrampilan maupun etika moral,.
Ini terlihat firman Allah Swt:
3
Abd. Aziz, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2009), hlm. 9.
18
+-ִ./
'()*+,
(7 ִ)*/ /0123456
;<+
(9ִ':+/
+F@G@H
>?@AB)C;*ִ☺DE
>/0ִ☺ MN
/IJKL
(5/
G
>/OPQ@)CִR
#WX& +TU>֠>VC!"
Artinya: Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat
lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu
jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"4
Bahwa Allah hanya memberikan kepada Adam tentang nama-nama
saja, tidak menjurus kepada substansi fungsi dan manfaat nama-nama
tersebut.
Dalam pandangan Ridha pendidikan Islam adalah al-ta’lim yang
merupakan proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu
tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu. Sebagaimana Adam
menyaksikan dan menganalisis nama nama sesuatu yang diajarkan Allah
padanya. Lebih luas lagi pengertian al-ta’lim yang diberikan oleh abdul
fatajalal,
menurutnya
pemahaman,
pengertian,
al-ta’lim
makna
doktrinasi
tanggungjawab,dan
pengetahuan,
penanaman
amanah.
Sehingga terjadi tazkiyun nafs (penyucian diri) manusia dari segala
kotoran dan menjadikan diri manusia itu berada dalam kondisi yang
memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta mempelajari segala apa
yang bermanfaat baginya dan yang tak diketahuinya.5
4
5
Depag RI Al-Qur'an dan Terjemahannya,…, hlm. 6.
Abd. Aziz, Filsafat Pendidikan Islam, …, hlm. 8.
19
Istilah lainnya yaitu ta’dib, menurut penjelasan Naquib Al Attas,
ta’dib berasal dari kata kerja adabun yang berarti pengenalan dan
pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur
secara hierarkis sesuai dengan berbagai tingkat dan derajat mereka.
Demikian juga tentang kedudukan seseorang yang tepat dalam
hubunganya dengan hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi
jasmaniah, intelektual maupun rohaniah seseorang. Dengan demikian al
attas mendefinisikan pendidikan menurut Islam sebagai pengenalan dan
pengetahuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kedalam manusia.
Tentang
tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu dalam tatanan
wujud tersebut. Pengertian singkat tersebut menjelaskan bahwa pendidikan
Islam adalah usaha agar manusia mengenali kedudukan dalam kehidupan
ini.6
Dalam komposisi ini sebenarnya apabila digabungkan akan
diperoleh konsep metode pendidikan yang mengantarkan kemajuan
pencapaian addin dan al-‘ilm.
2. Secara Istilah
Dalam pandangan istilah pendidikan Islam dapat diartikan sebagai
usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh Nabi dalam menyampaikan seruan
agama dengan berdakwah, menyampaikan ajaran, memberi contoh melatih
ketrampilan berbuat, memberi motivasi, dan menciptakan lingkungan
sosial yang mendukung.
6
Abd. Aziz, Filsafat Pendidikan Islam, …, hlm. 7-8.
20
Pelaksanaan
ide
pembentukan
pribadi
muslim
itu
telah
mencangkup arti pendidikan dalam pengertian sekarang. Orang Arab
Mekkah yang tadinya menyembah berhala, musyrik, kafir, kasar, dan
sombong maka dengan usaha dan kegiatan nabi mengislamkan mereka lalu
tingkah laku mereka berubah menjadi penyembah Allah Swt. Mukmin
yang sesuai dengan cita-cita ajaran Islam.7
Pendidikan mengarahkan manusia untuk memiliki tabiat yang
selaras dengan prinsip keilahian. Nabi Muhammad Saw berhasil
mengubah watak bangsa Arab karena fungsi pendidikan itu sendiri
memberikan wacana pencerahan untuk bisa diamalkan dalam kehidupan
sehari-hari.
Bila pendidikan diartikan sebagai latihan mental, moral dan fisik
yang bisa menghasilkan manusia berbudaya tinggi, maka pendidikan
berarti menumbuhkan personalitas atau kepribadian serta menanamkan
rasa tanggungjawab. Usaha kependidikan bagi manusia menyerupai
makanan yang berfungsi memberikan vitamin bagi pertumbuhan manusia.8
Pendidikan Islam lebih banyak ditujukan kepada perbaikan sikap
mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan budi pekerti luhur; tidak
hanya bersifat teoritis dihafal semata tetapi lebih kepada praktik kehidupan
sehari-hari. Pendidikan Islam tidak memisahkan antara iman dan amal,
maka bangsa arab yang tadinya berwatak keras bisa berubah menjadi
7
8
Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam,…, hlm 27.
HM. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam , (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm. 7.
21
lembut karena adanya perpaduan dari pembelajaran Nabi yang bersifat
teoritis dengan perbuatan Nabi yang menjadi suri tauladan.
B. Konsep Filosofi Pendidikan Islam
Ide dasar dari pembentukan pendidikan Islam adalah dalam rangka
menyelesaikan permasalahan hidup manusia. Sebelum membahas konsep
filosofis pendidikan Islam akan dikemukakan terlebih dahulu konsep ilmu
yang mendasari pemikiran konsepsional dari pendidikan Islam.
Ilmu merupakan sebuah materi yang tidak bisa dipisahkan dari
pendidikan Islam . tanpa ilmu pendidikan Islam tidak bisa mewujud menjadi
sebuah tataran konsepsional. Demikian pula ilmu yang dipisahkan dari
pendidikan Islam akan kehilangan substansinya sebagai sebuah materi yang
mengarahkan pendidikan Islam menuju ke universalan.
Menurut pengertiannya dalam Webstar New Word Dictionary, ilmu
berasal dari kata latin scire yang mempunyai arti mengetahui. Secara bahasa,
science berarti keadaan atau fakta mengetahui dan sering diambil dalam arti
pengetahuan (knowledge). Pada akhirnya, kata ini mengalami perkembangan
dan perubahan pemaknaan sehingga mempunyai pengertian “pengetahuan
yang sistematis yang didapatkan melalui observasi, kajian, dan percobaanpercobaan yang dilakukan dari apa yang dikaji”. Dari penelusuran makna
22
tersebut terjadi pergeseran makna sains dari “pengetahuan” menjadi
pengetahuan yang sistematis berdasarkan observasi indrawi.9
Selanjutnya dalam pemahaman ilmu ini agar memperoleh pengakuan,
maka harus dibuat sistem kerja ilmu yang dapat diukur dengan pola-pola
seperti perumusan masalah, pengamatan dan deskripsi, penjelasan, ramalan,
dan kontrol. Kata kerja tersebut menjadikan suatu pengetahuan dapat terukur
dan teramati dengan baik. Melalui metode keilmuan tersebut, yang dihasilkan
dari penggabungan yang baik antara data-data empiris dan pemikiran yang
rasional, memungkinkan diperoleh teori-teori ilmu pengetahuan yang sangat
bermanfaat bagi umat manusia.10
Ilmu yang sudah tersistematis merupakan suatu rujukan untuk
dieksplorasi secara maksimal dengan memanfaatkan materi yang ada tanpa
adanya tumpang tindih antara satu bidang dengan bidang lainnya. Hal ini
menunjukan bahwa sesuatu harus diklasifikasikan sesuai dengan bidangnya
masing-masing menurut kitab Syarah Hadis Al-Kahfi, yang dikutip oleh M.
Fatih Suryadi Laga dalam bukunya”Konsep Ilmu Dalam Kitab Hadis”, bahwa
ilmu terbagi menjadi tiga:
1. Fiqh Al-Akhbar, yaitu ilmu teoritis didalamnya mencakup pengetahuan
tentang Allah swt dan hakikat-hakikat ciptaannya serta buatannya, dan
pengetahuan tentang nabinya, rasul-rasulnya, serta pengetahuan mengenai
hakikat sesuatu asal mula darinya dan kembali kepadanya.
9
M. Fatih Suryadi Laga, Konsep Ilmu Dalam Kitab Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2009),
hlm. 94-95.
10
M. Fatih Suryadi Laga, Konsep Ilmu Dalam Kitab Hadis,…, hlm. 96.
23
2. Fiqh al-Ashghar, yaitu ilmu syara’ yang didalamnya mencakup
pengetahuan tentang syariat-syariat, sunnah-sunnah dan hukum-hukum;
halal dan haram.
3. Ilmu menyucikan akhlak dan menyempurnakan adab dalam perjalanan
menuju Allah Swt, dan mengetahui manzilah-manzilah serta maqomat dan
memahami segala sesuatu yang akan menjerumuskan dan mengantarkan
kepada kebahagiaan.11
Kompleksitas Islam seharusnya mencakup berbagai ilmu yang
diperlukan sebagai dasar kebutuhan dalam penciptaannya atas situasi yang
selalu berubah. Ilmu dalam pendidikan Islam seharusnya mencakup atas
kepentingan manusia dalam hidupnya. Bahkan pembatasan-pembatasan ini
akan mengkerdilkan serta mengebiri tantangan lebih lanjut dalam pendidikan.
Al-Qur'an sangat menjunjung ilmu pengetahuan. Dengan total
penyebutan ayat yang menyinggung masalah ilmu atau derivatif dan kata-kata
yang berhubungan dengannya disebut sebanyak 704 kali. Media ilmu
pengetahuan semisal buku (al-Kitab), pena (kalam), tinta (midad) dan
sebagainya disebutkan dalam Al-Qur’an hampir sebanyak term ilmu.
Sementara telah diketahui bahwa dalam rangka pencapaian ilmu pengetahuan,
media buku dan pena sangat esensial dan wahyu yang mula-mula diturunkan
berisi titah ilahi untuk membaca. Terbukti terma iqra (bacalah!), atau perintah
membaca sebagai wahyu pertama kepada rasulullah Saw.12
11
12
M. Fatih Suryadi Laga, Konsep Ilmu Dalam Kitab Hadis,…, hlm. 114.
Ibid, hlm. 102.
24
Bahkan Al-Qur’an mendorong manusia untuk menggali atau untuk
menguasai ilmu-ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang seperti dalam surat
Ar-Rahman ayat 19, yang berbunyi:
#[\+
@+]DE
ִY++Z
#X_& &G+^H*+\
Artinya: “Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya Kemudian
bertemu,”13
Hal ini berhubungan dengan ilmu kelautan dan maritim. Lautan yang
memang lebih luas dari daratan memberikan upaya tersendiri dari manusia
untuk menaklukannya dengan berbagai penguasaan ilmu kelautan seperti
navigasi, berenang dan sebagainya. Selain itu masih dalam surat yang sama
dalam ayat 33 menegaskan tentang pengetahuan yang berbunyi:
#R[aDb
!`ִ☺C+\
(5@f+^ M &G Kde

@fD֠L 3[>Z g/Q2@< L
#j
56
>(hCִ☺iiE
mn/Q2@< lP k g/Q2K@H
#WW& E[C@fH*piq oPG
Artinya “Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus
(melintasi) penjuru langit dan bumi, Maka lintasilah, kamu tidak
dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan.”14
13
14
Depag RI Al-Qur'an dan Terjemahannya,…, hlm. 425.
Ibid, hlm. 425.
25
Kekuatan yang dimasud adalah sains dan teknologi. Umat manusia
harus mengusai atau menembus antariksa untuk dieksplorasi manfaatnya, tapi
kesemuanya harus dengan kekuatan yaitu telnologi.
Konsep ilmu dalam Islam yang tertuang dalam Al-Qur'an merupakan
gagasan yang paling canggih dan komprehensip. Tingkat kepentingan ilmu
hanya berada di bawah konsep tauhid, yang menjadi tema sentral Al-Qur'an.
Pandangan Islam berbeda dengan ideologi lainnya tentang ilmu. Selain itu,
tidak ada pandangan dunia lain yang menjadikan pencarian ilmu sebagai
kewajiban individual dan sosial yang mempunyai dimensi moral dan religius
sebagai suatu ibadah. Oleh karena itu, dalam Islam cakupan ilmu tidak hanya
sekumpulan pengetahuan secara material an sich. Ilmu identik dengan ibadah
hikmah, khilafah dan akherat.15
Kalau kembali merunut ke belakang pada zaman filsafat Helenisme
sebenarnya ada dua teori yang memberikan pandangan berbeda tentang obyek
ilmu.
Teori yang pertama yaitu realisme. Menurut teori ini sesuatu
pengetahuan adalah yang tampak ilmu merupakan gambaran yang benar dari
alam nyata. Jadi gambaran pengetahuan yang ada dalam pikiran merupakan
salinan asli dari realitas yang ada di luar alam pikiran. Sesuatu dianggap benar
apabila sesuai dengan kenyataan.
Selanjutnya ukuran kebenaran suatu gagasan mengenai barang yaitu
menentukan apakah gagasan itu benar-benar memberikan pengetahuan kepada
15
M. Fatih Suryadi Laga, Konsep Ilmu Dalam Kitab Hadis,…, hlm. 183.
26
kita mengenai barang sesuatu sendiri ataukah tidak.16 Jadi sesuatu di luar sikap
empirisme akan di tolak karena tidak sesuai dengan realitas yang
menghubungkan pengetahuan.
Teori yang ke dua yaitu idealisme. Teori ini berseberangan dengan
realisme, karena teori idealisme mengakui pengetahuan di balik realitas.
Pengetahuan bagi penganut idealisme bukan hanya merupakan gambaran
subyektif, bukan gambaran obyektif tentang kenyataan. Dengan demikian,
pengetahuan menurut teori idealistik tidak memberikan gambaran yang tepat
tentang kenyataan di luar alam pikiran manusia.17 Istilah-istilah terpokok yang
dipergunakan oleh penganut idialisme meliputi roh, akal, nilai dan
kepribadian.18 Idealisme sejalan dengan Islam yang memikirkan tentang nilainilai. Bagaimanapun suatu ilmu pengetahuan harus ada penyeimbang yang
bersifat rohani.
Lain dengan realisme, sesuatu yang tidak sesuai dengan objek kajian
empiris maka dianggap bukanlah suatu pengetahuan. Sehingga yang nyata
hanyalah empirisme atau yang hanya dipikirkan oleh akal.
Apabila pandangan tersebut diarahkan dalam pendidikan Islam, maka
terjadi kesalahan besar. Islam tidak pernah membedakan ilmu dan agama.
Sebagaimana yang telah disebutkan tentang konsep ilmu dalam alquran bahwa
hukum Allah swt meliputi alam shahadah (empirical world) dan alam gaib
(non-empirical world). Islam tidak pernah menolak kajian empirisme. Tetapi
16
Lowis D. Katsoff, Pengantar filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1996), hlm.
111.
17
Mujia Raharjo, Qoa Vadis Pendidikan Islam, Pembacaan Realitas Pendidikan Islam,
Sosial, dan Keagamaan, (Malang: Cendekia Para Mulya, 2006), hlm. 202.
18
Depag RI Al-Qur'an dan Terjemahannya,…, hlm. 323.
27
Islam memandang bahwa kajian empirisme bukan satu-satunya kajian objek
ilmu, tetapi ada yang lain lagi yaitu alam gaib yang memang tidak bisa diteliti
dan dieksplorasi secara empirik.
Walaupun begitu, bukan berarti Islam menghalalkan animisme dan
naturalisme. Animisme mengembangkan metafisik bahwa alam dan semesta
ini dikendalikan oleh wujud-wujud yang bersifat gaib dan magis. Demikian
pula naturalisme memandang alam semesta berjalan sesuai dengan adanya
tanpa ada campur tangan wujud lain, jadi semata-mata realitas alam.
Jadi pada intinya Islam menolak realisme dan empirisme juga menolak
aliran animisme, naturalisme dan materialisme. Sebagaimana ditegaskan
dalam surat ar-Ruum ayat 7.
+☺;*3+\
'[>tZ
sC@
K
VE
1k.?+Db
u 1+a'5ִ #[+ (R
#w& +*>2Cv
Artinya: “Mereka Hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia;
sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.19
Islam berada pada wilayah tengah-tengah, antara empirisme yang
mengesampingkan nilai-nilai dengan animisme yang jelas tidak masuk akal.
Maka pendekatan filosofisnya Islam memberikan objek kajian ilmu seluasluasnya tanpa adanya pemisahan antara iman dan ilmu. Tidak dikatakan
beriman atau meyakini apabila tidak dilakukan dengan kajian empiris, juga
19
Depag RI Al-Qur'an dan Terjemahannya,…, hlm. 323.
28
akan timpang bahkan cenderung tersesat kajian objek ilmu rasional tanpa
adanya suatu nilai transendental yang melingkupinya.
Pendidikan Islam telah nyata memberikan makanan baik fisik maupun
ruhani yang bersifat dinamis.
Pengetahuan Islam dituntun sepenuhnya oleh alquran, alhadits dan
sejarah islam, khususnya sejarah rasulullah saw karena hanya dengan tiga hal
itu seseorang akan dapat merumuskan pengetahuannya dengan cara yang
benar dan tepat. Semua aspek kehidupan dalam batasan itu, secara
keseluruhan (sistematik, organik, dan fungsional) sudah terkandung dalam tiga
sumber paradigma tersebut.20
Pendidikan Islam secara teoritis memberikan konsep filosofis yang
seimbang yaitu, manusia selaku hamba tuhan telah diberi kemampuan dasar
atau fitrah yang bersifat dinamis dan berkecenderungan bersosial-religius
dalam struktur psiko-fisik (jasmaniah-ruhaniah) patuh dan menyerahkan diri
kepada maha penciptanya secara total pada tingkat perkembangan yang
optimal.21
Oleh karena itu pendidikan Islam berupaya mengembangkan semua
aspek dalam kehidupan manusia yang meliputi spiritual, intelektual, imajinasi,
keilmiyahan dan lain-lain. Serta memberikan dorongan yang bersifat dinamis
untuk
menuju
kebaikan
dan
pencapaian
kesempurnaan
hidupdalam
hubungannya dengan pencipta,sesama maupun dengan alam semesta.
20
21
Muslih Usa, Pendidikan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm. 62.
HM. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam ,…, hlm. 89.
29
Pendidikan
Islam
memberikan
watak
universalnya
untuk
keseimbangan kehidupan dunia dengan berbagai problemnya, setiap masa
memerlukan solusi yang berbeda untuk dapat bertahan hidup. Dengan
berbagai modal potensi yang telah dianugerahkan Tuhan untuk mengelola
alam dan seisinya yang ke semua potensi itu diorientasikan kepada nilai-nilai
spiritual transendental.
Jadi jelas perbedaan antara pendidikan Islam dengan pendidikan
lainnya. Pendidikan Barat yang memiliki filosofi aliran realisme justru banyak
kekurangan, karena melihat fenomena hanya pada realitasnya saja dengan
menghubungkan konsep kausalitas. Jadi pengetahuan hanya sebuah materi
mekanik. Sedangkan pendidikan Islam memberikan solusi cerah yang akan
dihadapi oleh umat manusia dengan konsep filosofisnya yang universal tanpa
ada ketimpangan. Potensi-potensi yang ada dimanfaatkan baik fisik maupun
ruhani yang berupa nilai-nilai untuk diorentasikan pada sang pencipta.
C. Realitas Dan Masalah Paradigma Dalam Pendidikan Islam
Pendidikan Islam berupaya memberikan konsep terbaik dalam
mengelola dan mengakomodir arus intelektual dengan memberikan konsep
yang seimbang antara kehidupan duniawi dan ukhrawi. Ini sebenarnya agar
tercapai ilmu yang bisa memberikan pencerahan atas solusi masalah yang
dihadapi agar manusia tetap jalan koridornya menjalani kehidupan.
Realita memang tidak bisa dipisahkan dari masalah yang membelit
pendidikan Islam itu sendiri. Upaya untuk menghadirkan sistem pendidikan
yang seimbang belum optimal, dalam tataran konsep memang sudah baik
30
sekali. Konsep pendidikan Islam yang mengandung konsep agama, konsep
manusia, konsep ilmu, konsep kebijakan, konsep keadilan, konsep amal, dan
konsep perguruan tinggi. Dengan perpaduan konsep-konsep ini sebenarnya
pendidikan Islam menjadi solusi atas ketimpangan output yang dihasilkan oleh
suatu sistem pendidikan.
Realitas pendidikan Islam memang tidak bisa dipisahkan dari sumber
pendidikan Islam itu sendiri, yaitu Al-Qur'an, hadis, dan sejarah rasulullah.
Pemahaman akan masalah dalm pendidikan Islam harus dikembalikan kembali
kepada tiga unsur penting di atas mestinya pendidikan Islam tetap dalam
kerangka memecahkan permasalahan umat dan dakwah Islam.
Tetapi saat ini pendidikan Islam belum menunjukan kiprahnya yang
optimal. Pendidikan Islam mengajarkan hukum normatif akhlak dan moral
dengan mengesampingkan ilmu pengetahuan yang mendasari pemecahan
masalah yang timbul akibat evolusi alam.
Amrullah Ahmad secara terprinci menjelaskan tentang masalah yang
dihadapi pendidikan Islam, yaitu:
Pertama, kegagalan dalam merumuskan tauhid dan bertauhid. Kedua,
kegagalan butir pertama di atas menyebabkan lahirnya syirik yang berakibat
adanya dikotomi fikrah Islami. Ketiga, dikotomi fikrah Islami menyebabkan
adanya dikotomi kurikulum. Keempat, dikotomi kurikulum menyebabkan
terjadinya dikotomi dalam proses pencapaian tujuan pendidikan. Kelima,
dikotomi pencapaian tujuan pendidikan dalam interaksi sehari-hari di lembaga
pendidikan menyebabkan dikotomi abituren pendidikan dalam bentuk split
31
personality ganda dalam kemusyrikan, kemunafikan yang melembaga dalam
sistem keyakinan, sistem pemikiran, sikap, cita-cita dan perilaku yang sering
disebut sekularisme. Keenam, suasana dikotomik ini melembaga dalam sistem
pengelolaan lembaga pendidikan Islam yang ditandai dengan tradisi
“mengulurkan tangan” keluar untuk meminta bantuan dana atau fasilitas
tertentu dan dukungan secara politis dengan alasan obyektif atau subyektif;
bahwa terjadinya krisis dalam penyelenggaraan pendidikan. Ketujuh lembaga
pendidikan akan melahirkan manusia yang berkepribadian ganda, yang justru
melahirkan dan memperkokoh sistem kehidupan umat yang sekularistik,
rasionalistik-empiristik-intuitif dan materialistik. Kedelapan, tata kehidupan
umat yang seperti itu hanya mampu melahirkan peradaban Barat sekuler yang
dipoles dengan nama Islam. Kesembilan, dalam proses regenerasi umat, maka
tampillah dai yang berusaha merealisir Islam dalam bentuknya yang
memisahkan kehidupan sosial – politik – ekonomi - ilmu pengetahuan –
teknologi dengan ajaran Islam agama urusan akherat dan ilmu teknologi untuk
urusan dunia.22
Akar universal Islam telah tercerabut dalam bentuknya yang timpang
dengan memisahkan materi-materi ilmu menjadi ilmu umum dengan
dikomandoi sains dan teknologi dan ilmu agama yang tetap pada tradisinya
mengajarkan ilmu keagamaan klasik seperti fiqh, akhlak, dan sebagainya. Ini
yang harus diselesaikan dalam masalah paradigma pendidikan Islam.
22
Muslih Usa, Pendidikan Islam Di Indonesia, …, hlm. 52-53.
32
Pendidikan Islam tidak akan bangkit seperti abad pertengahan apabila hal
yang tidak selaras untuk memajukan Islam dilanggengkan.
Bahkan menurut Muhammad Abduh, yang menyebabkan masalah
dalam pendidikan Islam adalah paham jumud. Paham tasawuf yang
mempunyai tempat tersendiri dalam Islam . diselewengkan menjadi paham
fatalisme. Maka menurutnya pendidikan Islam harus bisa menjadi lembaga
solutif dengan memberikan pelajaran ilmu pengetahuan dan sains.23
Maka upaya perbaikan pendidikan Islam dalam rangka menyiapkan
diri ke depan harus meliputi bebrapa hal berikut:
Pertama, agama yang disajikan dalam proses pendidikan haruslah
agama yang lebih menekankan kepada “kesalehan aktual” bukan semata-mata
“kesalehan ritual”. Karena sebagaimana tersebut dalam sabda nabi bahwa
kehidupan harus tercipta secara seimbang. Kedua pendidikan tersebut harus
mampu menyiapkan generasi terdidik yang pluralis yang siap menghadapi dan
mengatasi kemajemukan baik internal maupun eksternal. Konteks ini harus
dilihat sebagai modal pendidikan Islam memberikan wacana yang solutif
untuk menghadapi kemajuan zaman. Ke tiga pengembangan sifat pluraris sifat
tersebut harus merupakan bagian yang tak terpisahkan dari upaya besar
mewujudkan masyarakat madani yang demokratif terbuka dan beradab yang
menghargai pendapat. Keempat masyarakat madani yang diharapkan adalah
masyarakat yang penuh percaya diri, memiki kemandirian dan kreatifitas yang
tinggi dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. Ke lima, pendidikan
23
Mujia Raharjo, Qoa Vadis Pendidikan Islam, Pembacaan Realitas Pendidikan Islam,
Sosial, dan Keagamaan,…, hlm. 35-36.
33
yang dilakukan harus menyiapkan generasi yang siap untuk berpartisipasi
secara aktif dalam interaksi global. Hal ini pendidikan harus menyiapkan pula
ketrampilan dan pengetahuan yang mempunyai relevansi terhadap kebutuhan
saat ini. 24
Hal ini tidak bisa diabaikan karena akan memberi pengaruh positif
terhadap keberlangsungan pendidikan Islam di masa yang akan datang.
D. Cita-Cita dan tujuan Pendidikan Islam
1. Citi-Cita Pendidikan Islam
Pendidikan Islam ingin membentuk dan mempersiapkan manusiamanusia yang menyadari akan tugas kekhalifahannya, namun juga
menyadari bahwa hakekat tugasnya sebagai pengelola alam juga hakekat
hidup dan pemilikan ilmu pengetahuan hanyalah milik Allah Swt semata.
Jadi dengan ini tidak terbentur semata-mata mengeksplorasi ilmu
pengetahuan untuk kepentingan dunia, melainkan juga tetap hikmat
kepada Tuhan yang telah menciptakan bumi dan se-isinya.
Hal ini akan melahirkan manusia manusia beriman dan ber
pengetahuan yang satu sama lainnya saling menunjang. Melahirkan
manusia beriman dan ber ilmu pengetahuan merupakan salah satu langkah
pokok dalam menjaga keseimbangan dalam pribadi manusia. Hal tersebut
24
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 66-67.
34
dimungkinkan karena iman senantiasa berorentasi pada ketaqwaan kepada
Allah Swt dan mampu menghindarkan manusia dari kesesatan dalam
mengembangkan ilmu pendidikan Islam, pengetahuan juga berarti iman
sebenarnya adalah pengontrol terhadap nafsu yang menumpangi pikiran
dalam mengolah ilmu pengetahuan yang dimaksudkan untuk kesejahteraan
agar tidak terjebak dalam kesesatan.
Seterusnya beban yang dipikulkan kepada pendidikan Islam
sebenarnya berat dibandingkan dengan sistem pendidikan lainnya. Selain
melahirkan manusia yang beriman, juga harus berpengetahuan dengan
tetap menyesuaikan arah perkembangan kemajuan zaman.
Untuk mencapai misi pendidikan Islam yang sedemikian itu tidak
semudah membalik telapak tangan. Ia jauh lebih sulit dari tugas pewarisan
pengetahuan dan pelatihan ketrampilan, karena setiap upaya pendidikan
moral atau pendidikan nilai senantiasa berurusan dengan usaha
pembentukan kesadaran dan prilaku moral yang di dalamnya melibatkan
proses pembentukan kepercayaan, sikap, nilai, standar moral, dan
komitmen moral.25
Untuk menunjang cita-cita pendidikan Islam harus diperhatikan
pula aspek lain, selain watak universal Islam menjadi sebuah keniscayaan.
Ada juga aspek yang mendukung, yaitu kebebasan akademi. Aspek ini
sangat penting karena memberikan kebebasan dalam berfikir dan
25
Muslih Usa, Pendidikan Islam Di Indonesia, …, hlm. 10.
35
berimajinasi.26 Penting karena kemajuan Islam pada abad pertengahan
bukan hanya konsep filosofi masyarakatnya yang masih memegang AlQur'an, hadis, dan sejarah sebagai petunjuk pokok, tetapi juga karena
kebebasan berfikir tanpa adanya sekap yang membatasi, media
pengetahuan yaitu Al-Qur'an
menjadi sebuah rujukan untuk selalu
menimba ilmunya.
Bahkan Allah Swt menyatakan ilmunya tidak akan pernah habis
dituliskan walau laut menjadi tintanya, inilah pendorong akan kemajuan
apa yang di cita-citakan melalui kebebasan akademik.
Jadi aspek kebebasan akademi melalui kebebasan berfikir dan berimajinasi
merupakan penunjang utama dalam pencapaian cita-cita pendidikan Islam.
Di lain itu pula cita-cita pendidikan sangat berkaitan dengan
tanggungjawab intlektual. Karena pendidikan mempunyai tanggungjawab
terhadap tranformasi pengetahuan dan intlektual mempunyai kelaziman
untuk menjadikan orang terdidik tidak terhenti pada tranformasi
pengetahuan saja, namun pendidikan mempunyai tanggungjawab yang
lebih universal yakni mengantarkan manusia mempunyai kesadaran
moral.27
Apabila kesadaran moral dalam intlektual sudah terbentuk maka
seorang muslim yang menjadi output pendidikan Islam akan memperoleh
pengakuan sebagai umat kaffah (umat yang sempurna).
26
Mujia Raharjo, Qoa Vadis Pendidikan Islam, Pembacaan Realitas Pendidikan Islam,
Sosial, dan Keagamaan,…, hlm. 42.
27
Ahmed Oalwaijri, Islam, Barat dan Kebebasan Akademi, (Yogyakarta: Titian Ilahi
Press), hlm. 43.
36
2. Tujuan Pendidikan Islam
Apabila akan merunut tujuan pendidikan Islam, maka harus
menyikapi kembali ayat Al-Qur'an yang telah memberikan landasan dan
pandangan bahwa:
I0
ִV|>
Artinya:
“Sesungguhnya
Islam”.28
myz>{0
xG
}7C;* Mde
agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah
Manusia yang bergelar muslim harus menjadi penganut agama
yang baik dengan menjaga kualitas iman, menghayati dan mengamalkan
ajaran agamanya dengan sempurna.
Untuk tujuan itu, manusia harus di didik melalui proses pendidikan
Islam yang berarti pendidikan Islam dapat memberikan kemampuan
seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita dan
nilai-nilai Islam yang telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya.
Dengan kata lain manusia yang mendapatkan pendidikan Islam harus
mampu
hidup
dalam kedamaian
dan
kesejahteraan
sebagaimana
diharapkan oleh cita-cita Islam.29 Tujuan pendidikan diselaraskan dengan
ketaqwaan yang menjadi muara dalam proses tranformasi pengetahuan
yang dalam operasionalnya selalu diimbangi dengan dasar moral dan nilainilai yang dianut dari ide dasar Islam. Tujuan pendidikan Islam dalam
operasionalnya menuntut manusia memiliki suatu kemampuan dan
28
29
Depag RI Al-Qur'an dan Terjemahannya,…, hlm. 40.
HM. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam ,…, hlm. 7-8.
37
keterampilan tertentu dengan menonjolkan sifat penghayatan dan
kepribadian menuju insan kamil yang semakin sempurna.
37
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Metode adalah suatu istilah yang digunakan untuk mengungkapkan
pengertian “cara yang paling tepat dan cepat dalam melakukan sesuatu.”1Atau
suatu cara yang ditempuh oleh seseorang sehingga dapat mencapai tujuan
yang diharapkan. Bila metode yang dipakai tepat maka suatu kegiatan atau
aktivitas apapun akan sesuai dengan rencana. Penelitian ini adalah penelitian
kepustakaan (library research) yaitu dengan cara mengambil atau mencari
buku-buku yang berkaitan langsung dengan pembahasan yang selanjutnya
Penulis mentelaah permasalahan dan tema yang ada kaitan langsung dengan
pembahasan skripsi ini.
B. Sumber Data
Dalam pengambilan data; penulis membaginya menjadi dua data yaitu:
1. Data Primer
Yaitu data pokok yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, dalam
hal ini digunakan pemikiran-pemikiran karya Al-Ghozali dan Muhammad
Iqbal serta karya penulis lain yang menulis tentang Muhammad Iqbal ,
diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Al-Ghozali, Ihya Ulumiddin,Terjemah TK.H. Ismail Ya’kub MA. SH,
CV Faizan,Surabaya, 1966.
1
Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2000), hlm. 9
37
38
b. ------------, Tahafut Al-Falasifah, Terjemah Ahmad Maimun, Penerbit
Islamika, Yogyakarta, 2003
c. ------------, Fatihatul Ulum, Terjemah oleh Ma’ruf Asrori, Pustaka
Progresif, Surabaya, 2002.
d. M. Muhammad Iqbal, The Reconstruction Of Thought In Islam dengan
judul Rekonstruksi Pemikiran Agama Dalam Islam (alih bahasa oleh
Ali Audah dkk ), Jalasutra, Yogyakarta, 2008.
e. Abul Hasan Ali Al-Husni An-Nadwi, The Glory Of Iqbal alih bahasa
dengan judul Percikan Kegeniusan Dr. Muhammad Muhammad Iqbal
(penerjemah Suyibno Hz. M),Integrita Press, 1985.
f.
K. G Saiyidain, BA, M. Ed, Iqbal’s Educational Philosophy alih
bahasa dengan judul Percikan Filsafat Muhammad Iqbal Mengenai
Pendidikan (Alih Bahasa M. I. Soelaeman, C. V Diponegoro,
Bandung, 1981).
2.
Data Sekunder
Yaitu data yang digunakan sebagai data pelengkap dalam penulisan
skripsi ini, yang Penulis jadikan sebagai data sekunder adalah sebagai
berikut:
a. Abd. Aziz, M. Pdi, Filsafat Pendidkan Islam, Sebuah Gagasan
Membangun Pendidikan Islam, Teras, Yogyakarta, Juni 2009.
b. Abu Bakar Abdurrozak, Matahari Didalam Diri, Muhasabah AlGhozali Untuk Para Muridnya, Hikmah, Jakarta, Juli 2003.
39
c. Ahmed O. Alwajri, Islam, Barat, dan Kebebasan Akademik, Titian
Ilahi, Yogyakarta, 1997.
d. Dr. Ahmad Munir,, Tafsir Tarbawi, Mengungkap Pesan Al-Qur'an
Tentang Pendidikan, Teras, Yogyakarta, 2008.
e. Dr.
Ahmad
Tafsir,
Metodologi
Pengajaran
Islam,
Reemaja
Rosdakarya, Bandung, 2000.
f. Dr. M. Alfatih Suryadilaga M.Ag, Konsep Ilmu Dalam Kitab Hadits,
Studi Atas Kitab Alkafi Karya Kulaini, Teras, Yogyakarta, April, 2009.
g. Dr. Hasyimsyah Nasution M.A, Filsafat Islam, Radar Jaya, Jakarta,
2002.
h. Dr. Zakiyah Daradjat dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara,
Depag, 2006.
i. Drs. Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghozali Tentang Pendidikan,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009
j. ed, Dr. Ahmad Daudy M.A, Segi-Segi Pemikiran Falsafi Dalam Islam,
Bulan Bintang, Jakarta, 1984.
k. ed, Dr. H. Mudji Rahardjo M.Si, Quo Vadis Pendidikan Islam,
Realitas Pembacaan Pendidikan Islam, Sosial dan Keagamaan,
Cendikia Paramulya, Malang, Juni 2006.
l. ed, Muslih Usa, Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita Dan
Fakta, Tiara Wacana, Yogyakarta, Juli 1991.
m. Prof. Dr. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah
Pemikiran Dan Gerakan, Bulan Bintang, Jakarta, 1996.
40
n. Prof. Dr. Ali Shafique Khan, Fisafat Pendidikan Al-Ghozali
(terjemah), CV. Pustaka Setia, Bandung, 2005.
C. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam kegiatan penelitian mempunyai
tujuan mengungkap fakta mengenai variabel yang diteliti. Tujuan untuk
mengetahui (goal of knowing) haruslah dicapai dengan menggunakan metode
dan cara-cara yang efisien dan akurat. Data tangan pertama biasanya diperoleh
melalui observasi (dalam arti luas) yang bersifat langsung sehingga akurasinya
lebih tinggi akan tetapi seringkali untuk memperolehnya diperlukan sumber
daya yang lebih besar. Sebaliknya data tangan kedua yang biasanya diperoleh
dari otorita atau pihak yang berwenang, mempunyai efisiensi yang tinggi
tetapi kadang-kadang kurang akurat.2
D. Metode Analisis Data
Dalam menganalisis penulis menggunakan metode Content Analisys
menurut dari data primer dan data sekunder.3
Content Analisys berangkat dari aksioma bahwa studi proses dan
komunikasi yang merupakan dasar bagi ilmu sosial. Pembentukan dan
pengalihan prilaku dan polanya berlangsung melalui komunikasi verbal.
Dalam
hal
ini
komunikasi
verbal
dapat
membantu
menyelesaikan
kepentingan-kepentingan yang berbeda yang sukar dipecahkan untuk
2
3
Syaifudin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 91-92.
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: Rajawali, 1994), hlm. 85
41
memahaminya. Content Analisys adalah merupakan analisis ilmiah tentang isi
pesan atau komunikasi.
Secara teknis content analisys mencakup upaya:
a.
Klasifikasi tanda tanda yang dipakai dalam komunikasi.
b.
Menggunakan kriteria sebagai klasifikasi.
c.
Menggunakan teknik analisis sebagai pembuat prediksi.4
Adapun penulis skripsi ini menggunakan empat metode dari Content
Analisys yaitu sebagai berikut.
a. Teks perlu diproses dengan aturan dan prosedur yang telah direncanakan.
b. Teks perlu diproses secara sistematis, mana yang termasuk dalam suatu
kategori, dan mana yang tidak termasuk ditetapkan berdasarkan aturan
yang telah ditetapkan.
c. Proses menganalisis teks tersebut haruslah mengarah kepada pemberian
sumbangan teori, ada relevansi teoritiknya.
d. Proses analisis tersebut berdasarkan pada deskripsi yang dimanifestasikan.
4
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif edisi IV, (Yogyakarta: Rake Sarasin,
2002), hlm.68.
42
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Al Ghozali , Muhammad Iqbal Dan Konsep Pemikiran
1. Al Ghozali
a. Biografi Al-Ghozali
Imam Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid bin
Muhammad bin Muhammad bin Ahmad, Al-Ghazali, Ath-Thusi AnNaysaburi, Al-Faqih, Ash-Shufi, Asy-Syafi’i, Al-Asy’ari. Ia adalah
Zaenuddin, Hujjatul Islam.1 Beliau dilahirkan di daerah Thus
termasuk wilayah Khurosan Persia pada awal tahun 450 H. atau 1059
M.
Ayah Al-Ghazali adalah orang yang fakir harta tetapi kaya
spiritual. Ayah Al-Ghazali bekerja keras memproduksi tenun dan
selalu berhidmat kepada tokoh-tokoh agama dan ahli fiqh di berbagai
majlis dan khalwat mereka.2 Al-Ghazali bukan anak tunggal. Beliau
mempunyai seorang saudara laki-laki yaitu Ahmad. Menjelang akhir
hayatnya, ayah Al-Ghazali menitipkan kedua anaknya kepada salah
seorang kawan karibnya dengan satu pesan agar kedua anak tersebut
untuk dididik sampai habis harta peninggalannya. Sesuai dengan
pesan, kawan karib tadi melakukan apa yang diinginkan oleh ayah Al-
1
Al-Ghazali, Mukhtasar Ihya ‘Ulumuddin, Terjemahan oleh Irawan Kurniawan,
(Bandung: Mizan, 2002), hlm. 9.
2
Thaha Abd. Al-Baqi Surur, Al-Ghazali Hujjatul Islam Terjemah oleh LPMI, (Solo:
Pustaka Mantiq, 1988), hlm. 20.
42
43
Ghazali. Kedua anak tersebut dididik hingga habis harta peninggalan
ayahnya. Setelah itu, mereka disarankan agar tetap mencari ilmu
sebisa mungkin.3
Al-Ghazali sejak kecil dikenal sebagai orang anak pecinta ilmu
pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran yang hakiki,
sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa duka nestapa dan
sengsara.4
Dalam usia muda, beliau berguru kepada Ahmad ibn
Muhammad Al-Radzikani di Thus , kemudian beliau belajar kepada
Abu Nasir Al-Isma’ily di Jurdan. Setelah itu itu beliau kembali ke
Thus.5
I’tiqad yang kuat sebagai pencari kebenaran dan ilmu tersebut
dalam pernyatan Al-Ghazali sendiri dalam bukunya yang berjudul AlMunqidh Min Al-Dlalal. Sesungguhnya kehausan untuk menyelami
hakekat segala sesuatu merupakan kebiasaanku sejak dini. Sifat ini
merupakan fitrah yang dikaruniakan oleh Allah SWT kepadaku,
bukan pilihan atau usahaku sendiri, sehingga aku terbebas dari
belenggu taqlid dan kepercayaan-kepercayaan warisan, sementara
disaat itu usiaku masih belia.6
3
Fathiyah Hasan Sulaiman, Basths Fi-‘L-Mazhab Al-Tarbawi ‘Inda al-Ghazali Terjemah
oleh Ahmad Hakim dan M. Imam Aziz, (Jakarta: P3M, 1990), hlm. 6.
4 Abuddin Nata, H. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Seri Kajian Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), hlm. 82.
5 Fathiyah Hasan Sulaiman, Basths Fi-‘L-Mazhab Al-Tarbawi, Op. Cit. hlm. 7.
6 Al-Ghazali, Al-Munqidh Min Al-Dlalal, Terjemah Oleh Masyhur Abadi, (Surabaya:
Pustaka Progresif, 2001), hlm. 107.
44
Di tanah kelahirannya, (Thus) Al-Ghazali belajar sejumlah
ilmu pengetahuan. Setelah itu, beliau pergi ke Jurjan, lalu ke
Naysaburi, pada saat Imam Al-Haramayn “Cahaya Agama” AlJuwayni menjabat sebagai kepala madrasah Nizamiyyah. Di bawah
asuhan Al-Juwayni, Al-Ghazali belajar ilmu fiqh, ushul, mantiq, dan
kalam. Al-Ghazali memang orang yang cerdas dan sanggup mendapat
segala sesuatu yang tidak sesuai dengan penalaran yang jernih hingga
Imam Al-Juwayni sempat memberi predikat beliau itu sebagai orang
yang memiliki ilmu yang sangat luas bagaikan “laut” dalam nan
menenggelamkan (bahrun maghriq)”.7
Kemashuran nama Al-Ghazali dalam dunia Islam di samping
karena pemikiran-pemikirannya yang bersifat monumental, juga
karena kisah petualangannya yang panjang dalam upaya mengkaji,
menilai, dan merumuskan ilmu pengetahuan dalam beberapa
aspeknya. Kemampuannya untuk merefleksikan ilmu pengetahuan
dengan berbagai aspeknya, menunjukan kelebihan pada diri AlGhazali yang berbeda dengan para ulama dan pemikir yang lain.
Penguasaan dalam berbagai cabang dan aspek ilmu pengetahuan dari
filsafat berikut penyelesaian permasalahan sampai dengan tasawuf
yang begitu mendasar. Tinjauan yang digunakam Al-Ghazali bukan
mutlak hanya pada indera secara belaka namun penekanan rasio serta
pengembalian suatu permasalahan dengan kaca mata akal dan agama.
7
Abuddin Nata, H. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Seri Kajian Filsafat
Pendidika, Op. Cit. hlm. 83
45
Al-Ghazali keluar dari Naysabur menuju mu’askar. Beliau
menetap di sana sampai diangkat menjadi tenaga pengajar di
Madrasah Nidzamiyyah di Baghdad pada tahun 484 H. di sini AlGhazali mencapai puncak prestisius karir keilmuannya, sehingga
kuliahnya dihadiri oleh tiga ratus ulama terkemuka8 setelah AlJuwaini meninggal dunia maka Al-Ghazali diangkat sebagai Rektor
untuk menggantikan Al-Juwaini. Sekalipun Al-Ghazali menduduki
jabatan puncak dalam perguruan tinggi, tetapi sikap jiwa tasawufnya
dan ketinggian ilmunya makin berkembang, bahkan tinggkat
pengetahuannya mencapai tingkat hakekat. 9
Sambil mengajar di Baghdad, beliau menulis banyak buku. Di
antaranra, Al-Basith,Al-Wasith, Al-Wajiz, Al-Khulashah Fi ‘Ilm AlFiqh, Al-Munqidz Fi ‘Ilm Jidal, Ma’akhad Al-Khilaf, Lubab AlNashar, Takhsin Al-Mâkhid dan Al-Mawadi’ Wa-Al-Khilaf. Akan
tetapi kesibukan mengarang buku ini tidak mengurangi perenungan
dan kontemplasi serta pergumulannya membahas sesuatu di balik
hakekat serta keraguannya pada kebenaran tradisi warisan yang tidak
seorangpun berfikir untuk membuktikan kebenaran dan meneliti
sumbernya. Dalam kesempatan ini, beliau juga mempelajari berbagai
pengetahuan, filsafat Yunani kuno, dan berbagai aliran keagamaan
8
Sulaiman Dunya (Pengantar), Tahafut Al-Falasifah, Terjemah Oleh Achmad Maimun,
(Yogyakarta: Islamika, 2003), hlm. Xxix.
9
Muhsin Manaf, Psyconalisa Al-Ghazali Sufisme Holistic, (Surabaya: Al-Ikhlas, 2001),
hlm. 19.
46
yang muncul pada saat itu dengan tujuan agar dapat membantu
mencapai pengetahuan yang benar.
Dan di antara sekian banyak karya Al-Ghazali, yang paling
besar dan yang terkenal adalah Ihya ‘Ulumuddin, yang artinya adalah
“menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama”. yang memuat berbagai
segi permasalahan kehidupan beragama dan kemasyarakatan. Pada
kitab tersebut orang harus mempelajari dan menilai dengan jeli agar
dapat memahami betul dengan seksama. Karena bagaimanapun juga
menusia mempunyai kecendrungan berpikir yang berlainan, karena
kitab tersebut sampai sekarang masih dijadikan sebagai rujukan dalam
berbagai macam aspek ilmu pengetahuan dari filsafat, fiqh, sampai
dengan tasawuf, terutama dalam kajian-kajian di pondok pesantren.
Al-Ghazali yang menyandang gelar hujjat al-Islam (pembela
Islam) dan zainu al-din (hiasan agama) memiliki popularitas yang
sukar
dicari
bandingannya.
Wawasan
ilmu
keIslaman
yang
dimilikinya meliputi empat aspek ilmu yaitu, teologi, hukum Islam,
filsafat dan tasawuf. Keahliannya dalam bidang keempat bidang ilmu
itu tidak dimiliki sekaligus oleh pemikir Islam lainnya. Oleh karena
itu, Al-Ghazali bukan saja ahli bidang ilmu teologi, hukum Islam,
tasawuf tapi juga memiliki ilmu yang mendalam bidang filsafat.10
Beliau mempelajari filsafat, untuk menyelidiki apakah
pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para filosof-filosof itu
10
hlm, 43.
Syamsul Rijal, Memahami Filosofi Alam, (Yogyakarta: Arruz Book Gallery, 2003),
47
merupakan suatu kebenaran, namun akhirnya ketidak yakinan AlGhazali menampakan bahwa akal bukanlah satu perangkat mutlak
untuk meyakinkan kebenaran.
Al-Ghazali memegang teguh akal dengan penuh suka dan
mencampakkan perangkat lainnya. Selama akal atau yang disebutnya
“kapasitas kepastian rasional” bisa dipercaya akan mendatangkan
kepercayaan sempurna (al wasuq at tam), ia bisa dijadikan perantara
menuju al’ilm al yaqini yang didambakannya.11
Al-Ghazali dianggap sebagai kritikus pengetahuan, pemikir
yang brilian dan berpandangan jauh. Tujuan hidup menurutnya adalah
kesempurnaan manusia yang puncaknya adalah dekat dengan Allah
SWT serta kebahagian akherat. Karena ia antusias sekali untuk
mengajar orang lain tentang pengetahuan-pengetahuan yang biasa
mengantarkan mereka pada tujuan ini. Harapan yang diajukan adalah
agar dapat memperbaiki individu dan menyebarkan keutamaan
diantara manusia. Karena itu, ia adalah pendidik dan juga reformer
sosial.12
Kepuasan pengembaraan telah selesai dan beliau ingin mencari
ketenangan di lingkungan keluarga. Rupanya ketenangan hidup di
tengah keluarga inilah yang menyertai akhir kehidupannya, maka pada
11
Sulaiman Dunya (Pengantar), Tahafut Al-Falasifah, Terjemah Oleh Acmad Maimu, Op.
Cit. hlm xxxvi-xxxvii.
12
Fathiyah Hasan Sulaiman, Bahts Fi’l-Madzhab Al-Tarbawi, Op. Cit. hlm. 6
48
tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H atau tahun 1111 M dalam usia
55 tahun beliau diipanggil oleh Allah SWT untuk selamanya.13
b. Sejarah Pemikiran Al-Ghozali
Jika kita menelaah karya-karya alghozali, terutama karya
besarnya ihya ‘ulumiddin dapatlah dia disebut sebagai seorang teolog,
filsuf, guru, sekaligus sufi. Berbagai disiplin ilmu ini dikuasainya
dengan baik.ada dari sekian disiplin ilmu itu niatan awalnya bukan
untuk menguasai ilmu itu lalu akan mendapatkan predikat sebagai
ahlinya, tetapi sengaja agar ia bisa mematahkan argumen lawan yang
menguasai disiplin ilmu tersebut yang telah melenceng dari kaidah
utama. Disiplin ilmu filsafat layak dijadikan sebagai contohnya.
Pertentangan dan kesesatan yag telah marak ditengah-tengah umat
memaksa alghozali untuk menguasai disiplin ilmu tertentu agar ia bias
meluruskan kembali kebenaran yang telah diselewengkan. Maka al
Ghozali terkenal dengan julukannya “Hujjatul Islam”.
Dengan menjadi seorang tokoh intelektual yang besar,
alghozali meninggalkan berbagai kesan dan pengaruh abadinya dalam
otak dan hati jutaan manusia yang berfikir di dunia. Hal tersebut akan
terus menerus seperti itu hingga sampai keabadian. Falsafahnya
tentang ilmu pengetahuan dan belajar merupakan sebagian pandangan
umumnya mengenai dunia dan kebijaksanaan dan kecerdasannya,
telah dituangkan dalam bukunya yag sangat banyak. Untuk
13
Muhsin Manaf, Psyconalisa Al-Ghazali Sufisme Holistic, Op. Cit. hlm. 23.
49
kepentingan meguraikan falsafah ilmu pengetahuannya, kita perlu
menelusuri latar belakang, budaya, agama dan pendidikan pada masa
hidupnya karena dia merupakan sebagian produk dari masa tersebut.
Hal tersebut bertujuan agar berbagai kecenderungan dan kemungkinan
yang membantu pencatatan atas pandangan dan wawasannya dapat
dipahami secara sempurna.14
Sebenarnya yang terjadi pada masa Al-Ghozali adalah krisis
moral. Secara politis sebelum masa kelahiran Al-Ghozali sampai pada
masa perjuangannya, Bani Umayah dan Bani Abbas, dengan berturutturut telah membangun rezim diktator yang sewenang-wenang dengan
keemasan Islam yang sangat tipis. Dimana perang intrik tipu daya,
komplotan rahasia, persaingan pribadi dan perseteruan keluarga
mengikuti masa-masanya hampir tanpa sela. Setelah bani Abbas,
dunia muslim diubah menjadi bagian-bagian kecil dan banyak pihak
penuntut atas mahkota telah menaikkan bagian mereka yang amat
besar.
Rezim diktator yang sangat sewenang-wenang bukannya
menjadikan khalifah kuat, karena akibat krisis moral internal keluarga
khalifah
menjadikan
kebencian
rakyat,
sehingga
dengan
mudahdihancurkan oeh kekuatan dari luar.
Raja-raja Saljuk memperluas kekaisaran sampai ketitik terjauh
dari benua Asia, Eropa, dan Afrika dan banyak raja besar bersikap
14
hlm. 15
Shafique Ali Khan, Filsafat Pendidikan Al-Ghazali, (Bandung: Pustaka Setia, 2005,
50
tunduk pada raja muslim. Akan tetapi ironinya ketika orang-orang
Islam berada diarus tertinggi dalam kemegahan materi mereka, Islam
sebuah ideology justru diperas dan menyusut hingga ke batas yang
sangat sempit. Akibatnya pengamalan Islam
berkurang hingga
menjadi buku saku (bawaan yang amat kecil), baik para elit maupun
kelompok massa.15
Tidak sedikit kerugian yang dialami oleh Islam akibat
lemahnya pemimpin Islam, timbulnya kerusuhan akibat adanya
persaingan pribadi keluarga istana serta yang paling menyedihkan
adalah penyerangan dari luar yang didalangi oleh Bangsa Mongol
dengan menghancurkan berbagai fasilitas perpustakaan dan membakar
buku-bukunya yang merupakan simbol kejayaan Islam.
Al Ghozali ingin membangun kembali kejayaan Islam dengan
memulai pembangunan dari sisi moral, dimana pemikiran-pemikiran
sempalan yang telah melenceng dikembalikan kembali kepada
jalannya yang benar. Lebih lanjut pendidikan dengan basis alquran
dan sunnah yang telah banyak ditinggalkan umat kini digalakkannya
kembali.
Hal ini karena keseimbangan yang diperlukan antara kekuatan
duniawi dan kekuatan yang bukan duniawilah menghilang. Dua hal
yang telah bertolak belakang, yaitu desakan menuju rasionalisme dan
kebahagiaan tasawuf yang tidak sehat yang mengarah pada amalan
15
Shafique Ali Khan, Filsafat Pendidikan Al-Ghazali,…, hlm. 16.
51
dan kepercayaan yag tidak berdasar, telah melemahkan energi
kreativitas dari semua orang.
Demikian pula pertentangan pada sisi sosial keagamaan.
Factor ini lebih menyebabkan Al-Ghozali begitu cerdik untuk
menumpas kesesatan-kesesatan yang dilancarkan oleh orang-orang
yang sengaja ingin menghancurkan Islam.
Dengan munculnya mu’tazilah, suatu aliran agama filosofis
yang menegaskan rasionalisme
dalam menafsirkan ajaran-ajaran
Islam, masa perbid’ahan dan kebohongan membuka permulaan yang
pasti. Orang-orang yang baru meningkat dalam fisafat dan intelektual
telah mengalihkan perhatian khalayak dari ajaran dan amalan yang
pokok pada ha-hal yang sekunder, bahkan tersier.16
Paham orang-orang rasionalisme yang diimpor dari yunani
sengaja dimasukkan kepada umat untuk memperlemah Islam itu
sendiri. Dialog-dialog mengenai hal-hal yang tidak dianjurkan mereka
adakan. Pembicaraan-pembicaraan mereka malah menjurus kepada
kemusyrikan dan kesesatan tentang abadinya alam, tidak kekalnya
jiwa, debat apakah alquran makhluk apa bukan. Pembicaraanpembicaraan ini hanya menghabiskan tenaga tanpa ada sesuatu yang
didapat. Padahal alquran telah menjelaskan semua yang mereka
perdebatkan.
16
Shafique Ali Khan, Filsafat Pendidikan Al-Ghazali,…, hlm 17.
52
Al-Ghozali
tampil
ditengah-tengah
untuk
meluruskan
pemahaman mereka agar sesuai dengan ajaran allah swt dan nabinya.
Sekte batiniah adalah sekte yang paling banyak kebohongannya. Ada
dua hal yang paling penting untuk sengaja dilesakkan kepada umat.
Pertama, mereka (sekte Batiniah) biasa mengkhutbahkan bahwa
alquran dan sunnah mempunyai arti dan aspek yang lahir dan
tersembunyi, kedua corak itu saling bertentangan. Kedua, tentang
imam yang ma’shum (pemimpin rohani umat yang tidak pernah
berdosa) adalah satu-satunya manusia yag benar benar mengerti atas
realitas yang tersembunyi atau bersifat rohani dalam alquran dan
assunnah dan tentu tugas khalayaklah untuk menemukan dan taat
kepadanya.17
Mula-mula
Al-Ghozali
melakukan
penelitian
terhadap
literature-literatur yag dijadikan dasar kaum kebatinan. Hasil
penelitiannya disusun kemudian dijadikan bahan untuk menyanggah
keyakinan yang salah, sebagai usaha unuk menyanggah keyakinan
yang salah, sebagai usaha untuk mengembalikan keyakinan umat
kepada ajaran yang hak dan dalam rangka memperoleh ilmu yang hak
juga. Setelah itu beliau menanyakan dimana tempat imam ma’shum
itu dan kapan ia bisa dijumpai. Ternyata tidak ada satupun pengikut
aliran kebatinan yang mampu menunjukkannya. Ketidakmampuan
pengikut aliran kebatinan untuk mengemukakan argumentasi dan
17
Shafique Ali Khan, Filsafat Pendidikan Al-Ghazali,…, hlm 19-20.
53
menunjukan bukti dimana dan siapa imam yang ma’shum itu, maka
alghozali berkesimpulan bahwa imam ma’shum kaum kebatinan itu
hanyalah tokoh ideal saja, hanya ada dalam anggapan dan tidak ada
dalam kenyataan.18
Mereka spekulasi saja tanpa dalil yang kuat sehingga sangat
mudah paham mereka dipatahkan. Terlihat kesesatan mereka ini hanya
dalam rangka mengaburkan ajaran Islam yang telah jelas.
Ghozali setelah menjadi orang yang fundamental dan salaf
yang terbina dan tercerahkan, tidak yakin atas argumentasi para
penghianat ketika itu. Dia menolak untuk merasakan, melihat,
memikirkan, mendengarkan, berhujjah, bertindak dan berkata diluar
isi pokok Islam. Dia berpendapat bahwa apabila dasar-dasar Islam
tidak dipahami dengan jujur sebagaimana adanya dan tidak benabenar diamalkan atas dasar dari alQuran dan assunnah ada
penyimpangan aspek sekunder atau tersier sama saja dengan tidak
melaksanakan Islam.
Kekokohan alghozali ini karena berbagai disiplin ilmu serta
keahlian yang dimilikinya yang saling melengkapi sehingga
prmasalahan apapun akan dikembalikan kepada prinsip Islam sebagai
dasar dari disiplin ilmunya. Tak diragukan bahwa mengikuti satu
golongan tertentu tanpamelakukan penelitian mendalam adalah
tindakan serampangan dan merupakan sikap taklid. Sementara
18
Abidin Ibn Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009), hlm. 20-21
54
kemantapan hati menuntut kajian lebih jauh mendalam dengan disertai
kritisisme yang tajam dan benar sebab persoalannya menyangkut
kebahagian abadi atau penderitaan tanpa akhir. Inilah yang dilakukan
oleh alghozali, ia menegaskan:
“perbedaan manusia mengenai agama dan aliran juga
keragaman para imam mahzhab adalah samudera yang sangat dalam
yang telah menenggelamkan banyak orang dan hanya sedikit orang
yang bisa selamat”.19
Al Ghozali menekankan pentingnya pengetahuan kebenaran
tanpa ditunggangi taklid buta. Kejelian dan perhitungan yang
mendalam mengambil sikap harus didasari oleh pengetahuan tentang
kebenaran.
Sehingga
diistilahkannya
tidak
“penderitaan
menyesal
tanpa
dikemudian
akhir”
sebab
hari,
yang
minimnya
pengetahuan kebenaran yang menjadi pokok dasar dalam mengambil
sikap.
Sebagaimana dijelaskan alghozali dalam bukunya Al-munqidz
min dhalal, ia ingin mencari kebenaran sejati, yaitu kebenaran yang
diyakininya betul-betul merupakan kebenaran, seperti kebenaran
sepuluh lebih dari tiga. Pada mulanya alghozali baranggapan bahwa
pengetahuan itu adalah hal-hal yang dapat ditangkap panca indera.
Tetapi kemudian ternyata baginya bahwa panca indera juga berdusta.
Seumpama bayangan rumah, kelihatannya tidak bergerak, padahal
19
Sulaiman Dunya, Pengantar , Tahafut Falasifah, …., hlm. xxx.
55
terbukti kemudian, bayangan itu berpindah tempat . Demikian pula
bintang-bintang di langit, kelihatannya kecil, tetapi perhitungan
menyatakan bahwa bintang-bintang itulebih besar dari bumi.
Karena tidak percaya pada panca indra Al-Ghazali kemudian
meletakkan kepercayaan kepada akal. Pada priode ini Al-Ghazali
berkenalan dengan filsafat. Al-Ghazali kagum karena filfasat baginya
merupakan alat mengasah otak terutama dalam hal ilmu pasti dan ilmu
alam. Tetapi setelah sampai soal-soal ke Tuhanan nyatalah filsafat
hanya terawang akal manusia yang tidak senantiasa dapat dipegang,
sepintas lalu kelihatan Aristoteles telah menemukan Tuhan. Kemudian
diikuti oleh AL-Farabi dan Ibnu Sina setelah dengan pikiran bebas AlGhazali menyelaminya dan dia mendapati bahwa keTuhanan
Aristoteles itu bertentangan dengan agama.20
Suatu waktu bermimpi demikian menurut Al-Ghazali orang
melihat hal-hal yang kebenarannya betul-betul namun setelah bangun
ia sadar bahwa apa yang ia lihat benar itu sebetulnya tidaklah benar.
Alasan lain yang membuat kepercayaan Al-Ghazali goncang, karena
ia melihat aliran-aliran yang menggunakan akal sebagai sumber
pengetahuan ternyata menghasilkan pandangan-pandangan yang
bertentangan, yang sulit diselesaikan dengan akal. Sebenarnya AlGhazali tidak konsekuen dalam melihat bidang apa pengetahuan itu
ditempatkan. Seperti pengetahuan indrawi akan cocok bila wilayah
20
123-124.
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Panji Mas, 1994), hlm.
56
kerjanya bersifat empiris dan tidak akan sesuai apabila menempatkan
pengetahuan akal pada misalnya gesekan lempeng bumi akan
menyebabkan gempa bumi. Padahal wilayah bidang ini bersifat fisika
empirik yang seharusnya merupakan proyek pengetahuan indrawi.
Akibatnya Al-Ghazali mengalami puncak kesangsian, karena
ia tidak menemukan sumber pengetahuan yang tidak dipercayai.
Ketika Al-Ghazali mempelajari ilmu kalam ternyata hanya memadai
tujuannya sendiri. Demikian juga saat ia kagum dengan filsafat
ternyata setelah di dalaminya banyak pertentangan yang sulit
diselesaikan dengan akal dan itu juga tidak memenuhi tujuannya
setelah filsafat, Al-Ghazali pun mempelajari ajaran batiniyyah untuk
membuktikan kebenaran yang diyakini oleh para penganutnya,
ternyata ajaran batiniyah pun telah melenceng jauh dari ajaran agama,
bahkan ajaran ini tidak mengakui peranan akal. 21
Tetapi dua bulan kemudian kesangsian Al-Ghazali mulai
menumbuhkan keyakinan karena dengan cara tiba-tiba Tuhan
memberikan nur yang disebut juga oleh Al-Ghazali sebagai kunci
ma’rifat ke dalam hatinya sehingga ia merasa sehat dan dapat
menerima kebenaran pengetahuan a priori yang bersifat aksiomatis.
Dengan demikian bagi Al-Ghazali bahwa al-Dzauq (intuisi) lebih
tinggi dan lebih dipercaya dari pada akal untuk menangkap
pengetahuan yang betul-betul diyakini kebenarannya. Sumber
21
Hasimsyah Nasutiaon, Filsafat Islam, (Jakarta: Radar Jaya, 2002), hlm. 80.
57
pengetahuan tertinggi tersebut dinamakan dengan an-nubuwat yang
pada nabi-nabi berbentuk wahyu dan pada manusia biasa berbentuk
ilham. Tidak bisa dipungkiri untuk bisa mendapatkan al-Dzauq
(intuisi) ini yang bersifat sakral, manusia harus membersihkan diri
baik jasmani maupun ruhani melalui jalan sufi (tasawuf), maka AlGhazali melabuhkan pilihan terakhirnya pada jalan sufi.
c. Konsep Ilmu Menurut Al-Ghozali
Al-Ghazali dalam kehidupannya sangat inten dengan ilmu
pengetahuan. Selama pengembaraan intlektualnya ia mendalami dan
menguasai begitu banyak disiplin ilmu ia tidak menyediakan diri
untuk berspealisasi dalam bidang disiplin tertentu tetapi dirinya ingin
menjadi pemikir karena terodorng rasa untuk meluruskan keyakinan
umat yang telah melenceng dari ajaran. Oleh sebab itu, harus
menguasai berbagai disiplin ilmu.
Nabi Muhammad Saw telah bersabda “bahwa orang bodoh
adalah musuhnya sedangkan orang terpelajar adalah sahabatnya.
Beliau Saw bersabda bahwa kebodohan dan buta huruf adalah jauh
lebih jelek dari pada kematian dan ilmu pengetahuan, serta sifat
terpelajar adalah lebih baik daripada hidup.22
Beberapa hadis Nabi telah dikutip oleh Al-Ghazali seperti
sebagai berikut:
22
Shafique Ali Khan, filsafat Pendidikan Al-Ghazali, …., hlm. 46.
58
“Manusia yang terbaik adalah mukmin yang berilmu, jika diperlukan
ia berguna. Dan jika tidak diperlukan maka ia dapat mengurusi dirinya
sendiri”.
“Apabila datanglah kepadaku hari yang tidak bertambah ilmuku
kepadanya yang mendekatkan aku kepada Allah, maka tidak adalah
berkatnya padaku pada terbit matahari itu.”
“Orang yang berilmu itu adalah kepercayaan Allah Swt di bumi”.23
Bahwa orang yang berilmu mendapat tempat yang tinggi di
sisi Allah yang berguna, menjadikan benteng yang kuat dalam
menjaga eksistensi agama. Maka apa yang dikutip Al-Ghazali
“merugilah ia apabila pada hari itu tidak bertambah ilmunya” karena
persoalan yang dihadapi oleh umat semakin beragam dan mengikuti
pola arus jalan, maka hendaknya ilmu yang solutif seakan senantiasa
menjadi jawaban.
Dalam keutamaan-keutamaan yang berelemen tiga; ibadah,
kesahidan, dan ilmu pengetahuan maka elemen terakhirlah yang
menduduki kekuasaan tertinggi daripada yang lainnya. Di hari
kiamat, wasilah dengan perantara ulama akan menjamin kesalamatan
bagi beberapa orang yang berdosa.
Kesyahidan merupakan upaya pengorbanan jiwa dan harta
untuk mempertahankan keberadaan agama atas rongrongan kaum kafir
sedangkan
masanyapun
hanya
waktu
tertentu
saja
sedang
mempertahankan agama melalui ilmu pengetahuan ia akan selalu ada
23
TK. H. Ismail Yakub, Ihya ‘Ulumuddin Terjemah, (Surabaya: Faizan, 1966), hlm. 32.
59
sepanjang keberadaan agama itu dimuka bumi. Al-Ghazali mengutip
sabda nabi:
“Ditimbang pada hari kiamat dawat ulama dan dengan darah syuhada
(orang-orang syahid mempertahankan agama Allah).
Bahwa kemuliaan ilmu pengetahuan yang dibawa oleh ulama
akan menjaga dan mempertahankan kebenaran sepanjang masa.
Dengan pilihan ibadahpun Al-Ghazali mempunyai alas an:
Pertama, hanya ilmu pengetahuan lah yang menjadi sarana
untuk mengungkapkan cara ibadah yang benar sehingga harus diikuti;
kedua, kesadaran akan diri dan Tuhan hanya mungkin ada melalui
ibadah. Apabila manusia tidak mencari puncak kebenaran dengan
sarana belajar, dia tidak akan pernah dapt menyembah Tuhan secara
benar,
ketiga,
ilmu
pengetahuan
memungkinkan
kita
untuk
membedakan antara benar dan salah, baik dan buruk, indah dan jelek,
dan yang benar dan kepalsuan.
Menurut
Al-Ghazali
puncak
ilmu
yang
dihasilkan
dimanifestasikan dalam bentuk kedekatan Allah Swt. Itu bisa hanya
dengan ilmu al-yakin, yaitu ketersingkapan kebenaran tanpa ada
kesangsian yang harus dipertanyakan.
Al-Ghazali menyebutkan dua sumber utama bagi ilmu
pengetahuan, yaitu sumber subyektif dan sumber obyektif. Jenis ilmu
pengetahuan yang dihasilkan berbeda pula di antara kedua sumber ini.
Sumber subyektif dikatakan oleh Al-Ghazali terdiri atas wahyu dan
intuisi, tiba-tiba tanpa ada bantuan tersikaplah pengetahuan yang ada
60
dalam hati seseorang. Di contohkan oleh Al-Ghazali berupa wahyu
yang diberikan Tuhan kepada nabi dan ilham untuk manusia biasa
selain nabi, sedangkan sumber yang kedua yaitu sumber obyektif,
manusia harus berusaha dengan bantuan panca indranya yang terbatas,
sehingga tingkatan ilmu pengetahuannyapun kurang sempurna karena
tidak dapat diandalkan. Dicontohkan pula oleh Al-Ghazali berupa
pengetahuan indrawi, material, masuk akal, dan logis yag terdapat di
dalamnya keraguan yang saling bertentangan dengan keaslian dan
kesempurnaannya.
Dalam bagian lain Al-Ghazali memberikan pengelompokan
terhadap orang-orang yang mengambil sumber ilmu di atas dalam
empat kelompok: pertama kelompok rasionalis, yang mengaku
melihat fenomena tertentu sehingga menghasilkan pengetahuan
dengan bantuan kemampuan akal pikiran. Kedua, kelompok
kebatinan, yaitu kelompok yang mengklaim diri sebagai pemegang
pengajaran (ta’lim) dan yang mengkhususkan diri kepada adopsi
ajaran imam yang suci (al-imam al-ma’sum), ketiga kelompok filsuf
yaitu kelompok yang mengklaim diri sebaigai pemiliki logika dan
penalaran demonstratif. Keempat kelompok sufi yaitu mereka yang
mengaku sebagai kelompok elit yang terhormat (khawas al-khadrah)
61
dan biasa menyaksikan dan menyikap kebenaran hakiki.( ahlul almusahadah wal mukasyafah).24
Al-Ghazali mengelompokkan golongan rasionalis, kebatinan,
filsuf mendapatkan pengetahuan dari sumber obyektif karena
mengambil segala sumber informasi dan pengetahuan melalui
pengetahuan indrawi, akal, material yang kemudian disebut oleh AlGhazali di dalamnya terdapat keraguan dan pertentangan. Menurut AlGhazali sumber yang kedua ini tidak dapat menyikap kebenaran
hakiki
yang
hanya
melalui
kaca
mata
materialis
dengan
mengunggulkan rasio.
Dalam padangan Al-Ghazali selanjutnya, ilmu yang riil adalah
yang sepenuhnya harus bisa memastikan jalan dihadapan semua
keraguan. Dalam hal ini ia mencoba mendefinisikannya, “ilmu yakin
adalah ilmu yang menyingkap sesuatu yang diketahui dengan secara
jelas, sehingga tidak ada ruangan lagi untuk ragu salah, atau keliru”.
Tapi ini bukan berarti setiap ilmu yang dapat menimbulkan keraguan
sejak pertama harus dipandang keliru. Tapi ia pada saat sedang
dilakukannya kontemplasi filosofis ini, hendaknya dipandang belum
memiliki landasan yang cukup.
Dari sini Al-Ghazali selalu beralih, pengetahuan indrawi yang
bersifat tanpa penelitian yang sementara diyakininya kemudian tidak
memuaskan dahaga pengetahuannya. Lalu menuju pengetahuan yang
24
Sulaiman Dunya, (Pengantar Tahafut Falasifah, Terjemahannya) Ahmad Maimun,
(Yogyakarta: Islamika, 2003), hlm. xxxvii.
62
bersandar pada akal, tapi malah menyebabkan banyak sekali
pertentangan dan kesesatan.
Mengenai hal ini Al-Ghazali berkata: “mungkin seperti halnya
hukum akal dapat mendustakan hukum panca indra, di belakang
hukum akal, muncul hukum lainnya pada waktu hukum akal tampak
keliru. Ketaktampakan hukum itu tidak menunjukan kemustahilannya.
Oleh karena itu Al-Ghazali mengalami sakit dan skeptis yang panjang,
sehingga ia menemukan kembali permata yang hilang berupa
pengetahuan intuisi yang menurutnya ilmu yakin bisa menyingkap
kebenaran Al-Ghazali telah berhasil dan berupaya melepaskan ikatanikatan tradisi-tradisi dan pendapat-pendapat yang membelenggu
kebebasan berfikirnya. 25
Maka Al-Ghazali membangun sebuah konsep ilmu serta
kriterianya yang harus diperhatikan agar tujuan utama hakikat
kebenaran tercapai sehingga menuju apa yang disebutnya “ilmu yang
mendekatkan diri kepada Allah.”
Dalam hal ini Al-Ghazali membagi ilmu dalam dua bagian
yang global spesifikasi yang dijelaskan Al-Ghazali ilmu terbagi
menjadi dua macam, yaitu, ilmu yang di dalamnya adalah fadu ‘ain
dan fardu kifayah.
1) Ilmu fardhu ‘ain, yakni ilmu yang dibutuhkan untuk melaksanakan
tugas-tugas akhirat dengan baik. Ilmu ini terdiri atas: ilmu tauhid,
25
Ma’ruf Asrori, Pengantar Fatiatul ‘Ulum (Terjemah), (Surabaya: Pustaka Progresif,
2002), hlm. ix.
63
ilmu syariat dan ilmu sirri. Dalam hal difardhukannya ilmu itu
terdapat perbedaan. Masing-masing golongan itu menempatkan
fardhu ‘ain pada ilmu yang dipilihnya. Berkata ulama ilmu kalam
yang fardhu ‘ain karena dengan ilmu kalam diketahui keesaan
tuhan, zat, dan sifatnya. Berkata ulama ilmu fiqh, yaitu ilmu fiqh
yang fardhu ‘ain karena dengannya diketahui cara beribadat, halal
haram. Berkata ulama tafsir dan hadits, yaitu ilmu kitab dan sunnah
yang fardhu ‘ain karena dengan perantaan keduanya bisa sampai
kepada ilmu-ilmu lain seluruhnya. Berkata pula ulama tasawuf,
yaitu ilmu tasawuf yang fardhu ‘ain karena dengan ilmu ini dapat
dapat
mengetahui
keikhlasan
dan
penyakit-penyakit
yang
membahayakan bagi diri dan untuk membedakan antara langkah
malaikat dan langkah syetan. Perbedaan-perbedaan diatas karena
masing-masing pemiliknya menguasai ilmu tersebut serta terasa
manfaatnya dalam mendekatkan diri kepada allah, sehingga
mengklaim bahwa bidangnya lah yang fardhu ‘ain. Tak dipungkiri
bahwa bidang-bidang ilmu diatas mengantarkan orang yang
mengerjakannya
untuk
melaksanakan
tugas-tugas
akhirat,
seyogyanya diyakinia dan dikerjakan
2) Ilmu fardhu kifayah, yakni ilmu-ilmu yang berkaitan dengan
urusan keduniawian, yang perlu diketahui manusia . ilmu-ilmu ini
berkaitan dengan profesi manusia , oleh karena itu tidak setiap
manusia
memiliki
semua
jenis
yang
ada,
tetapi
cukup
64
dikembangkan melalui orang-orang tertentu yang telah memiliki
kemampuan khusus untuk mewujudkan kehidupan di dunia ini.
Seumpama
ilmu
kedokteran,
karena
pentingnya
dalam
pemeliharaan tubuh manusia dan seumpama ilmu berhitung, karena
pentingnya dalam masyarakat jual-beli, pembagian harta warisan,
pusaka dan lain-lain. Inilah pengetahuan-pengetahuan, dimana
apabila
kosonglah
suatu
negeri
daripada
orang-orang
menegakkannya niscaya berdosalah penduduk negeri itu. Tetapi
apabila ada seorang saja yang menegakkan ilmu itu, maka
mencukupilah dan terlepaslah yang lain dari kewajiban tersebut.26
Al-Ghazali sangat perhatian dengan masalah itu, begitu
urgennya karena hanya dengan ilmu yang bisa mengantarkan manusia
kepada Tuhannya. firman Allah:
ִ ִ 
% $ !"#
*
&'()ִ
/
,-.
8"9 4$5☺!#7 023
Artinya: “Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau
dan main-main. Dan sesungguhnya akherat itulah yang
sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (AlAnkabut: 64).27
Untuk mencapai ilmu kejalan akherat itu Al-Ghazali membagi
ilmu menjadi dua macam, ilmu mukasyafah dan ilmu mu’amalah.
26
27
TK. H. Ismail Yakub, Ihya ‘Ulumuddin Terjemah,…, hlm. 51-52.
Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, (Bandung: Dipenogoro, 2000), hlm 322.
65
Yang dimaksud dengan ilmu mukasyah adalah ilmu batin. Dan ini
merupakan puncak dari segala ilmu.
Bahwa terangkat dinding yang menutupnya sehingga jelaslah
kenyataan kebenaran kebenaran Allah pada semuanya itu dengan
sejelas-jelasnya laksana mata memandang yang tak syak wasangka
lagi. Sesungguhnya yang dimaksud dengan ilmu jalan ke akherat,
ialah ilmu mengenai cara membersihkan kaca dari kotoran-kotoran,
yang menjadi dinding atau hijab kepada Allah dari mengenal sifatsifat dan af’alnya. Membersihkan dan mensucikannya dengan
mencegah diri dari menuruti hawa nafsu dan berpegang teguh dalam
segala hal kepada ajaran nabi-nabi a.s.
Ilmu mukasyah ini bersifat esoteris (batini) dan sangat samar.
Ia puncak dari setiap ilmu, bahkan tujuan dari segala ilmu yang ada
karena semua ilmu dipelajari tujuannya adalah untuk dijadikan
sebagai jalan tawasul dan tadarru’ (tunduk kepada Allah Swt).
Lalu yang dimaksud dengan ilmu mu’amalah yaitu ilmu yang
dipelajari dengan tujuan untuk diamalkan dalam amal perbuatan. Ilmu
ini membahas perihal hati (jiwa). Apa yang terpuji dari padanya
seperti sabar, syukur, takut, harap, rela, syuhud, taqwa, sederhana,
pemurah, mengenal nikmat Allah Swt dalam segala keadaan, ihsan,
baik sangka, baik budi, bagus pergaulan, benar dan ikhlas.
Untuk menempuh ilmu mukasyafah harus menyempurnakan
dahulu ilmu mu’amalah. Ilmu mu’amalah saja tidak cukup, jika tanpa
66
disertai amalan, yaitu membisikkan hati dari segala kotoran sifat
rendah dan tercela, dari kegelapan syahwat yang menjadi penghalang
utama dari ma’rifatullah.
Al-Ghazali membagi pula ilmu menjadi dua bagian, yaitu ilmu
terpuji dan ilmu tercela. Yang dimasukan dalam ilmu terpuji yaitu
ilmu syariat yang berjumlah empat. Pertama pokok (Ushul)yaitu ilmu
yang diperoleh para nabi dan tidak ditunjukkan oleh akal manusia
kepadanya. Hal ini ada empat: kitabullah ‘aza wajalla (Al-Qur'an),
sunnah rasul Saw, ijmak, dan peninggalan-peninggalan sahabat.
Kedua cabang (furu’) yaitu apa yang dipahamkan dari pokok (usul) di
atas. Ilmu furu’ ini terbagi menjadi dua. Pertama, menyangkut dengan
kepentingan duniawi. Ilmu ini terdapat dalam kitab-kitab fiqh, yang
bertanggungjawab terhadapnya ialah ulama fiqh. Yang kedua
menyangkut kepentingan akherat seperti ilmu mukasyafah dan ilmu
mu’amalah yang telah dijelaskan di atas. Ke tiga muqadimah (ilmu
pengantar), yaitu ilmu pengetahuan yang merupakan alat seumpama
ilmu bahasa dan tata bahasa. Keduanya adalah merupakan alat untuk
mengetahui isi kitabullah dan sunnah rasul. Ke empat pelengkap yaitu
mengenai ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur'an. Dan terbagi
kepada: yang berhubungan dengan kata-katanya seperti qiraah dan
bunyi hurufnya; dan yang berhubungan dengan pengertiannya seperti
tafsir.28
28
TK. H. Ismail Yakub, Ihya ‘Ulumuddin, (Terjemah), …., hlm. 52-53.
67
Adapun ilmu ghairu syar’iyah ialah ilmu yang bersumber dari
akal, baik yang diperoleh secara daruri maupun iktisabi. Yang daruri
ialah diperoleh dari insting akal itu sendiri tanpa melalui taklid atau
indra. Misal pengetahuan manusia bahwa seseorang tidak ada pada
dua tempat dalam waktu yang sama sedangkan yang iktisabi ialah
yang diperoleh melalui kegiatan belajar dan berfikir yang bersifat
duniawi seperti ilmu kedokteran, matematika, geografi, astronomi,
teknik, politik, social, ilmu ilmu ketrampilan dan lain-lain. Dan yang
bersifat ukhrawi seperti ilmu tentang hal ihwal hati, bahaya-bahaya
amal ilmu tentang Allah termasuk sifat dan af’al-Nya.
Semua ilmu ghairi syar’iyah di atas digolongkan Al-Ghazali
dalam ilmu terpuji pula walaupun ilmu berhitung ilmu kedokteran
termasuk tidak diperlukan begitu penting tetapi menambah kekuatan
sekedar yang diperlukan. Ilmu ghairu syar’iyah sangat mendukung
kehidupan manusia di dunia dalam prosesnya sebagai khalifatullah,
yang dalam hal ini ilmu ghairu syar’iyah penyeimbang urusan akherat.
Terhadap ilmu tercela Al-Ghazali mencontohkan yaitu ilmu
sihir, mantra-mantra, ilmu tenung, dan ilmu balik mata, sedangkan
ilmu yang dibolehkan atau mubah yaitu pengetahuan tentang pantunpantun yang tak cabul, berita-berita sejarah dan sebagainya. Ketika
dipertanyakan kepada Al-Ghazali tentang ilmu kalam dan filsafat,
apakah keduanya dalam bagian ilmu tercela atau terpuji. Al-Ghazali
menjelaskan, bahwa hasil yang melengkapi padanya ilmu kalam ialah
68
dalil-dalil yang bermanfaat maka Al-Qur'an dan hadis itu melengkapi
kepadanya. Apabila sudah ada campuran dari luar maka termasuk
bid’ah mutlak yang hanya menampakkan pertengkaran tercela.29
Adapun filsafat, Al-Ghazali membaginya menjadi empat
macam; Pertama ilmu ukur dan ilmu berhitung. Keduanya mubah atau
dibolehkan. Dan tidak terlarang dari kedua ilmu itu, kecuali terhadap
orang yang takut akan terseleweng kepada ilmu yang tercela. Kedua
ilmu mantik (ilmu logika) yaitu membahas tentang cara membuat
batas dalil dan syart-syaratnya. Keduanya masuk dalam ilmu kalam.
Ketiga ilmu ketuhanan. Yaitu ilmu yang membahas dzat Allah Swt,
dan sifatnya. Inipun termasuk juga dalam ilmu kalam. Keempat ilmu
alam sebagian daripadanya menyalahi syariat dan agama yang benar.
Seperti dicontohkan ilmu biologi karena hanya menjelaskan kejadian
manusia yang bersifat teknis muda, tua, lalu mati dan tidak
menjelaskan
kebangkitannya
seolah-olah
manusia
tidak
ada
pertanggungjawaban kepada Tuhannya.
Tampaknya Al-Ghazali dalam memberikan klasifikasi dan
penilaian terhadap ilmu mengutamakan ilmu yang memiliki akses
kedekatan dengan Tuhan, karena memang itulah tujuan dari sebuah
ilmu dengan memberikan kontribusi kemanfatan kehidupan duniawi
dan yang lebih penting lagi meraih tujuan abadi akherat.
29
TK. H. Ismail Yakub, Ihya ‘Ulumuddin, (Terjemah), …., hlm. 63.
69
2. Muhammad Iqbal
a. Biografi Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal lahir pada tanggal 9 Nopember 1877 di
Sialkat Punjab, sebuah kota industri, yang sekarang berada di wilayah
Pakistan. Iqbal adalah keturunan Brahmana dari Sub katsa Sapru yang
leluhurnya berasal dari Kasmir, yang disekitar abad ke-13 dan awal
abad ke-19 mereka pindah ke Sialkat.30 Dan telah memeluk Islam tiga
abad sebelum kelahirannya.
Ayahnya bernama Nur Muhammad yang bekerja sebagai
penjahit dan penyelam. Sebagai seorang muslim yang taat dan sufi,
ayahnya banyak mendorong Muhammad Iqbal untuk menghafal Al
Qur’an secara teratur dan memang sangat mempengaruhi perjalanan
spiritual Muhammad Iqbal selajutnya.
Awalnya Muhammad Iqbal belajar disebuah maktab ( setingkat
madrasah) kemudian belajar di sekolah misi, Scoth Mission School.
Setelah tamat pada tahun 1895 M, Muhammad Iqbal melanjutkan
pendidikannya
Muhammad
di
Iqbal
Government
pernah
Collage.
merasakan
Lahore.31
Kendatipun
ketidakbahagiaan
dalam
kehidupan pribadinya ketika menikahi putri seorang dokter yang telah
memberinya dua orang anak yang bernama Javid Muhammad Iqbal dan
Muniroh Banu, namun ketika mendapat beasiswa untuk menempuh
pendidikan master di bidang filsafat pada Government Collage di
30
31
M. Iqbal , recountruktsion of thought in islam, (Yogyakarta: Jalasutra,2008), hlm. VIII.
M.Iqbal, recountruksion of thought in islam,…., hlm. VII
70
Lahore ia mampu menyelesaikannya dalam tempo dua tahun dengan
peredikat Cum laude. Masa pendidikannya inilah yang
memberi
kesempatan pertemuannya dengan Sir Thomas Arnold , seorang
orientalis yang mengarang buku The Preaching of Islam ( 1896)32
Muhammad Iqbal banyak dipengaruhi oleh gurunya, seoarang
ulama masyhur Maulana Mir Hasan yang kemudian lebih dikenal
dengan sebutan Syam al-Ulama untuk memperdalam
kajian dalam
bidang kebudayaan dan sastra Islam. Maulana Mir Hasan yang tidak
lain adalah seorang sahabat orang tuanya adalah seorang penyair dan
ahli bahasa urdu dan Persia. Pertemuan dengan Mir Hasan inilah
kemudian menjadikan Muhammad Iqbal banyak belajar syair-syair
yang menjadi semakin kukuh setelah ia menemukan seorang ahli syair
urdu Mirza Khan (1831-1950 M). Dari Syam al ulama inilah Iqbal
terkesan akan cita-cita dan jiwa keIslamannya. Pada 1899 Muhammad
Iqbal memperoleh MA.
Pertemuannya dengan Thomas Arnold, seorang orientalis yang
menurut keterangan, mendorong pemuda Muhammad Iqbal untuk
melanjutkan study di Inggris. Di tahun 1905 dia pergi ke Negara ini dan
masuk ke Universitas Cambridge untuk mempelajari Filsafat.
Muhammad Iqbal dalam mempelajari filsafat dibawah bimbingan
McTaggart. Dua tahun kemudian ia pindah ke Munich Jerman, dan
disinilah ia memperoleh gelar Ph.D dalam tasawuf. Tesis doktoralnya
32
hlm. 4
Muhyidayeli, Epistimologi Pendidikan M. Iqbal, (E-mail [email protected],
71
yang dimasukkannya berjudul “The development Of Metaphysich
Intelektual Persia (Perkembangan Metafisika di Persia). Pada tahun
1907, di bawah bimbingan Prof. F. Hammel
Sebelum Muhammad Iqbal ke Eropa ia pernah mengajar di
Oriental College dan Government, Lahore. Kariernya dalam dunia
Pendidikan ia lanjutkan sekembalinya dari Eropa.
Pada tahun 1908 Muhammad Iqbal berada kembali di Lahore
dan disamping pekerjaannya sebagai pengacara ia menjadi dosen
Filsafat. Bukunya The Religious Though in Islam adalah hasil ceramahceramah yang diberikannya di beberapa Universitas di India.33
Iqbal termasuk dalam kelompok orang atau pemuda yang haus
dengan ilmu pengetahuan. Menurutnya mutlak umat Islam untuk
memperdalam
ilmu
pengetahuan
sebagai
sarana
menciptakan
kesejahteraan hidup. Ilmu yang tak terbatas pada ilmu agama saja,
tetapi harus dilengkapi pula oleh ilmu-ilmu umum. Pengembaraan
intelektualnya yang dimulai sejak dini dengan mempelajari ilmu-ilmu
keIslaman klasik sebagai pondasi dalam menjembatani niatnya untuk
mempelajari ilmu umum. Dimulai dari sekolah madrasah dalam
negerinya hingga ke Eropa, menunjukkan semangatnya yang tinggi
hingga kembali ke negerinya untuk dikembangkan. Bahkan syahwat
belajarnya belum terpuaskan dan dituntaskannya di Universitas Punjab
33
hlm. 190.
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah pemikiran, dan Gerakan, …,
72
pada tahun 1935 dengan meraih gelar doktor dalam bidang
kesusasteraan
Pada tahun 1927 ia pernah dipilih menjadi angota majelis
legislatife Punjab. Dan ditahun 1930 dipilih menjadi presiden liga
muslimin. Di dalam perundingan meja di London ia ikut dua kali
mengambil bagian. Ia juga menghadiri konfrensi Islam yang diadakan
di Yerussalem. Pada waktu menjadi Presiden Liga Muslim inilah Iqbal
berkenalan dengan Muhammad Ali Jinnah dan mencetuskan gagasan
tentang pembentukan Negara sendiri bagi kaum muslim di anak benua
India. Dalam perkembangannya kemudian gagasan itu terwujud
menjadi Negara Pakistan sekarang.
Di tahun 1933 Muhammad Iqbal diundang ke Afghanistan
untuk membicarakan pembentukan Universitas Kabul. Muhammad
Iqbal meninggal dunia pada usia 60 tahun Masehi, 1 bulan 26 hari; atau
63 tahun Hijriyyah, 1 bulan 29 hari.
Beberapa hari sebelum meninggal, ia mendapat kunjungan
seorang kawan lama semasa sama-sama belajar di Jerman dulu, Baro
Van Voltheim. Dengan kawannya itu Muhammad Iqbal bicara tentang
kenangan lama, tatkala mereka sama-sama tinggal di Munich, bicara
tentang puisi, filsafat, tentang politik. Orang yang melihat mereka
demikian intim berbincang tak menduga, bahwa saat terakhir
Muhammad Iqbal sudah dekat.
73
Tatkala sakitnya telah merenggut suaranya dan mencapai
puncak kritisnya pada 19 April 1938, seperti diceritakan raja hasan
yang mengunjungi Muhammad Iqbal pada malam hari sebelum
meninggal, Muhammad Iqbal sempat membacakan sajaknya:
“Melodi perpisahan kau menggema kembali atau tidak, angin
Hijaz kau berembus kembali atau tidak, saat-saat hidupku kau berakhir,
entah Pujangga lain kau, kembali atau tidak, selanjutnya, kukatakan
kepadamu ciri seorang mukmin, bila maut datang, akan merekah
senyum di bibir.
Muhammad Iqbal sang filsuf dan Penyair telah mewariskan
karya yang begitu berharga kepada dunia antara lain: The Development
Of Metaphisich In Persia; Bang i-Dara; Asror Al-Qur'an-Khudi;
Rumuz-i-Bekhudi; chidr-i-Rah; Thulu’-i-Islam; The reconstruction Of
Riligious Thought In Islam; Payam-i-Mashriq; Zabur-i-‘ajam; Javed
Namah; dan The Reconstruction Of Muslim Jurisprudence (tidak
terselesaikan).34
b. Kondisi Sosial Sejarah Pemikiran Muhammad Iqbal
Seorang pemikir dalam memberikan penilaian terhadap produk
karyanya tidak terlepas dari sisi sosial kultural yang melingkupi dan
akan berpengaruh serta mempunyai nilai yang berarti apabila produk
pemikirannya
memberikan
sumbangan
terhadap
ekses
yang
ditimbulkan. Iqbal lahir dalam pergulatan dalam sisi keilmuan klasik
34
M. Iqbal , Recountruksion of thought in Islam, …, ix.
74
yang menjembatani oleh pergolakan pemikiran modern. Bagaimana
posisi pendidikan dan keilmuan Islam yang dituduhkan oleh masyarakat
barat sebagai sistem pendidikan yang jumud dan kaku. Ini kontras atas
universalnya Islam itu sendiri maupun produk-produk yang dihasilkan
Islam sebagai sebuah tujuan ideal untuk mengolah, memahami serta
diwujudkan dalam bentuk Islam sebagai Rahmatal Lil’alamin.
Pemikiran Iqbal pun lahir dan merupakan reaksi dari seorang
anak manusia yang prihatin atas kondisi umat Islam yang terus-terusan
terlena dan menerima terhadap kondisi yang ada. Tidak disadari bahwa
kondisi tersebut mengancam stabilitas Islam yang cenderung menurun.
Iqbal menyatakan bahwa Islam menumbuhkan jiwa berjuang
dan cinta kebenaran di hati para pemeluknya. Dia menyatakan bahwa
ilmu-ilmu pengetahuan positif berpadu dengan Islam dalam bentuk etos
kerja dan lebih banyak menolak pembahasan-pembahasan filosofis
yang spekulatif. Selama dua abad umat Islam mempertahankan tradisi
tersebut tetapi dengan tetap memegang akidah, moralitas dan kerja aktif
hingga kemudian di bawah pengaruh pemikiran sesat, khususnya
filsafat yunani, keseluruhan timur pincang secara intelektual.35
Awalnya kemajuan dan kejayaan Islam yang ditopang dengan
kekuatan spiritual yang mapan menjadikan Islam sebagai garda
terdepan dalam membawa gerbang ilmu pengetahuan. Ilmu-ilmu
pengetahuan positif murni dari Al Qur’an sebagai pedoman tidak hanya
35
Abu Hasan Ali al-Khusni An-Naduwi, Percikan Ke-Jeniusan Doktor Muhammad
Iqbal, (t.k, Integrita Press, 1985), hlm. 5.
75
tujuan akhirat tetapi kemanfaatan duniawi jelas terasa dari keagungan
Al Qur’an. Selama itu sikap Islam yang universal menjadi pincang
dengan adanya pengaruh-pengaruh khurafat baik karena asimilasi Islam
dengan budaya lokal yang kurang diperhitungkan. Malah menjadikan
Islam sebagai simbol saja maupun dikarenakan pengaruh dari luar yaitu
filsafat Yunani. Sehingga kehilangan amunisi ruh Islam.
Muhammad Iqbal menyebutkan bahwa Renaissance Eropa
terjadi hanya karena mencampakkan metafisika Yunani dan memulai
diri bersibuk dengan cabang-cabang ilmu pengetahuan alam yang
kreatif.
Kelihatannya Muhammad Iqbal kagum dengan kemajuan ilmu
pengetahuan di barat khususnya Eropa. Mereka dengan cepat, demikian
iqbal, bisa mengambil intisari dari pengetahuan Islam. Karena
menurutnya metafisika dan teori idea Yunani tidak bisa memberikan
kontribusi yang berarti dalam pengaruhnya untuk memudahkan dan
membantu kehidupan manusia.
Namun Muhammad Iqbal dikenal oleh kalangan-kalangan
kritikus barat. Barat hanya memahami materialistik dan nasionalisme
congkak
yang
mendasari
kesadaran
kolektifnya.
Aspek-aspek
pandangan hidup barat lainnya yang lebih lemah dan tanda-tanda krisis
batin dan degenarasi spiritualnya. Juga nampak jelas pada mereka,
seraya menyadari bahwa tidak hanya kualitas-kualitas paling baik
76
daripada pikiran dan karakter manusia yang merosot, tetapi dengan
sengaja telah dilalaikan oleh pemimpin-pemimpinnya.36
Kesadaran Muhammad Iqbal terhadap kemunduran Islam ingin
direhabilitasi dengan sistem kemajuan yang ada di barat. Namun harus
dapat memilah mana untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan mana
peradaban kebudayaan barat. Karena keduanya menurut Muhammad
Iqbal berbeda. Ketimpangan di barat sangat nyata berupa khayalan
materialistik dengan tidak memberikan orientasi ruang transendental.
Muhammad Iqbal secara mendetail mampu menyingkap tiraitirai kelemahan pemikiran dan kebudayaan barat yang inheren, featurfeaturnya yang cacat dan tidak sempurna, dan kegoncangan rencananya
yang elemental. Dia menyadari bagaimana pemikiran barat yang
dengan rendahnya melangkahi kebenaran-kebenaran transendental dan
merasa bahwa pada ghalibnya, keburukan-keburukannya akibat
keburukan jiwa.
Pada tahun 1910, perang Balkan dan Tripoli meletus. Tak ada
hari yang menggembirakan. Keadaan yang menyedihkan ini benarbenar membekas pada kejiwaan penyair Iqbal. Hati dan perasaannya
terluka. Jiwanya kemudian tergerak dan berontak. Perang itu membuat
Iqbal menjadi musuh bebuyutan peradaban barat dan imperium Eropa.
Kesedihannya pun mewarnai sajak-sajaknya. Diantara sajak-sajaknya
ini
36
adalah:
Balad-I-Islamiyah
(Negara
Islam),
Wathaniyat
Abu Hasan Ali al-Khusni An-Naduwi, Percikan Ke-Jeniusan Doktor Muhammad
Iqbal,…, hlm. 37.
77
(Nasionalisme), suatu penolakan terhadap nasionalisme dan berisi suatu
ajakan menuju universal Islami.
Islam menurut Iqbal merupakan agama yang mempunyai faham
dinamis dan mengakui adanya gerak dan perubahan dalam hidup sosial
manusia. Dan prinsip yang dipakai dalam soal gerak dan perubahan itu
ialah Ijtihad. Ijtihad mempunyai kedudukan yang penting dalam
pembaharuan Islam.
Islam
berjaya
pada
kurun
abad
pertengahan
menurut
Muhammad Iqbal karena melestarikan budaya Ijtihad. Sebagaimana
sabda Nabi “Perbedaan adalah rahmat”, “Muslim yang baik adalah
berijtihad, walaupun salah tetap mendapat satu pahala”. Begitulah
Islam, karena ilmu pengetahuan dengan menggali sumbernya dari Al
Qur’an
dibuka
selebar-lebarnya
bahkan
kalaupun
salah
tetap
mendapatkan manfaat. Sehingga Islam bisa beroleh kemajuan.
Namun
kontribusinya
Islam
lagi
menjadi
lantaran
kecil
karena
dan
sebagian
tidak
memberikan
umatnya
sendiri.
Muhammad Iqbal menyebutkan penyesalannya terhadap sikap sebagian
sufi yang tenggelam dalam khayal dan perenungan secara berlebihan.
Dia lukiskan kenyataan bahwa para sufi lebih senang kepada Ama’
(musik) dan Wajd (hiburan). Padahal para sahabat Nabi SAW lebih
menyukai ketangkasan menaiki kuda dan mati syahid di medan jihad.37
37
Abu Hasan Ali al-Khusni An-Naduwi, Percikan Ke-Jeniusan Doktor Muhammad
Iqbal,…, hlm. 5.
78
Muhammad Iqbal memberikan lampu hijau bahwa hanya Islam
yang kaffah tanpa ada bau khurafat yang bisa memunculkan kembali
kejayaannya dengan mengulang masa silam. Kelihatannya nostalgia
karena melihat kemajuan peradaban barat. Tetapi tidak bagi
Muhammad Iqbal Islamlah yang mempunyai benih kemajuan berfikir,
karena Islam menganjurkan Ijtihad bagi para pemeluknya. Dan satu
perbaikan yang tampak didengungkan oleh Iqbal yaitu sifat jumud dan
kaku dalam memandang artikulasi mempertahankan akidah dan untuk
kemajuan Islam. Selaras antara usaha memajukan kejayaan Islam
dengan sikap menguatkan pondasi iman. Kekuatan keimanan dan
mempertahankan akidah memberikan stimulasi untuk selalu melakukan
yang terbaik dan tepat. Sehingga membawa kemajuan Islam. Maka
Muhammad Iqbal mengkritik keras sebagian golongan sufi yang malah
meninggalkan aktivitas kewajibannya sebagai umat dengan tetap
berperilaku kaku dan jumud.
Di lain pihak dalam pembaharuannya, Muhammad Iqbal juga
tidak berpendapat bahwa baratlah yang harus dijadikan model.
Kapitalisme dan imperialisme barat tak dapat diterimanya. Barat
menurutnya, amat banyak dipengaruhi oleh materialisme dan telah
mulai meninggalkan agama. Yang harus diambil oleh umat Islam
hanyalah ilmu pengetahuannya.38
38
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran Dan Gerakan,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm 193.
79
Bahwa jelas barat pun bukan pilihan Muhammad Iqbal, karena
dalam penelitiannya barat telah kekeringan spiritual dan hanya
mengagungkan materialisme. Maka yang ada di benak mereka
bagaimana mendapatkan sesuatu tanpa ada kerugian yang sebanding,
maka tindakan imperialisme dan kolonialisme menjadi sebuah pilihan.
Berkat kemajuan tekhnologinya mereka mampu mencapai tujuannya,
yang sebenarnya hanya semu belaka. Maka menurut Iqbal, ilmu
pengetahuanlah yang harus diambil, dan sangat sempurna apabila
disintesakan dengan ruh Islam.
Dalam semua wilayah itu, Muhammad Iqbal telah mengerahkan
hampir seluruh energinya dengan tujuan tunggal: reorientasi nilai-nilai
kemanusiaan, timur dan barat, sekalipun dalam beberapa segi
dikaguminya. Dalam perspektif moral transendental sudah sangat jauh
meluncur ke jurang berbahaya. Sementara timur yang terpasung dalam
spiritualisme, telah lama dalam keadaan steril tanpa dinamika. Lalu
untuk membangun sebuah peradaban baru yang anggun dan segar
diusulkannya agar barat dan timur dipertautkan dengan mengawinkan
penalaran (ziraki) dan cinta (‘isyq).
Intelektualisme Iqbal dapat ditinjau dari pelbagai jurusan: puisi,
filsafat, hukum, pemikiran Islam dan kebudayaan dalam makna yang
sempit.
80
Ada banyak faktor yang menjadikan Iqbal dan kepribadiannya
begitu luhur mencintai Islam dan menguasai lapangan disiplin keilmuan
di atas.
Keuletan, kehebatan, rasa persaudaraan dan ketulusan hatinya,
terpancar dari mental, moral, jiwa sosial dan susunan emosionalnya.
Namun demikian, tidak lepas dari iman dan taqwa sebagai aspek pokok
dan asas pola hidup manusia.39
Terdapat lima unsur pokok yang mengasuh dan mencipta
kepribadian Iqbal:
Pertama: tertancapnya iman dan keyakinan yang menjadi
penuntun dan pendorong utama daripada kekuatan dan kearifan Iqbal.
Akan tetapi keimanan Iqbal bukan suatu dogma yang tak berjiwa atau
rumus penegasan yang seperti mesin. Ia mempertahankan campuran tak
ternilai antara iman dengan cinta yang menyelubungi seluruh
eksistensinya.
Kedua: Al Qur’an. Kitab inilah yang paling berpengaruh
terhadap kehidupan dan filsafat Iqbal.
Ketiga: realisasi diri atau ego. Iqbal telah membentangkan titik
pokok terbesar mengenai pemeliharaan dan pengembangan ke-diri-an.
Melalui ini Iqbal menitik beratkan dua prinsip dasar manusia dalam
menunjukkan dirinya ke dunia melalui dua sifat esensialnya, yaitu
kebebasan kreatifitas. Dalam konteks ini Iqbal menggambarkan dengan
39
Muhyidayeli, Epistimologi Pendidikan Iqbal, (E-mail [email protected].
81
kalimat: Hancurkan dunia sampai berkeping-keping bila tak sesuai
denganmu. Dan ciptakan dunia yang lain dari kedalaman wujudmu.
Betapa pedihnya manusia merdeka yang hidup di dunia yang diciptakan
oleh manusia lain.
Inilah yang disebut filsafat khudinya Iqbal, ego manusia dapat
membayangkan sebuah dunia baru yang lebih baik dan lebih sempurna
dari upayanya membaca masa lalu dan mengaitkan masa sekarang.40
Keempat: keluhuran, kekuatan dan daya hidup. Iqbal sangat
disiplin mengatur waktu. Dalam syairnya:
Aththar atau Rumi, Razi atau Ghazali,
Siapapun saja,
Tak ada yang berhasil tanpa ratapan tangis di waktu fajar.
Kelima: faktor terakhir yaitu Matsnawi Maulana Jalaluddin
Rumi. Ini merupakan karya Rumi untuk membuka pemikiran baru dan
menolak kebiasaan penggunaan dalil teoritis filsafat Yunani skolastik
serta mencari-cari kesalahan spekulatif. Ketika Iqbal berada dalam
kotak dengan doktrin-doktrin materialistik barat yang biadab dan tak
bertuhan, serta konflik antara materi dan jiwa semakin memuncak
dalam dirinya, dia berpaling ke arah Matsnawi sebagai pijakan dan
pembantu.
40
Muhyidayeli, Epistimologi Pendidikan Iqbal, (E-mail [email protected].
82
c. Pandangan Iqbal Tentang Filosofi Pendidikan Islam
Islam sebagai agama universal, sudah tentu menghasilkan
produk-produk bermutu dan bernilai guna tinggi sebagai sebuah
keseimbangan atas tuntutan universal. Demikian pula pendidikan Islam
yang mengantarkan pada kemajuan pengetahuan, tidak terlepas dari
Islam yang mempunyai konsep universal.
Iqbal prihatin terhadap keadaan umat Islam atas pengetahuan
yang hanya berorientasi pada pembangunan mental spritual dengan
mengesampingkan telaah eksprimen untuk kemajuan umat manusia
dimuka bumi. Melalui suatu dialog imajiner dengan guru spritualnya
Rumi, Iqbal mengadu: “Pikiran-pikiranku yang menerawang tinggi
telah mencapai langit. Tapi di Bumi terhina, kecewa dan sekarat aku
tidak mampu menangani persoalan-persoalan di dunia ini. Dan aku
senantiasa menghadapi batu-batu penarung dijalan ini. Mengapa urusan
dunia terlepas dari kontrolku? Mengapa si Alim dalam agama ternyata
dungu dalam persoalan dunia? Tanpa berpikir panjang Bumi menjawab:
Seseorang yang (mengaku dapat) berjalan di Langit, mengapa sukar
baginya untuk melangkah di Bumi?41
Ungkapan di atas mempunyai arti kritik terhadap pendidikan
Islam yang sudah tidak mempunyai pijakan utama sehingga membawa
kemunduran Islam. Pendidikan Islam membawa konsep yang pincang
41
Ed. Muslih Usa, Pendidikan Islam Di Indonesia, Antara Cita Dan Fakta, (Yogtakarta:
Tiara Wacana Yogya, 1991), hlm. 149
83
antara pendidikan spiritual, dan hanya memberikan ulasan-ulasan yang
sedikit tentang pelajaran-pelajaran keduniawian.
Sistem pendidikan seperti itu tidak pernah akan mengangkat
persoalan-persoalan
duniawi
selalu
berubah,
dikatakan
oleh
Muhammad Iqbal “Si Alim dalam agama ternyata dungu dalam
prsoalan dunia”, sehingga yang terjadi kemunduran-kemunduran yang
secara tidak disadari Islam akhirnya tidak dapat menolak penjajahan
disegala lini oleh pihak asing.
Muhammad Iqbal telah mencontohkan Barat telah berhasil
membuat terobosan-terobosan keilmuwan terapan, walaupun disitu
Muhammad Iqbal menolak Barat karena memperhatikan mental
spiritual yang akhirnya hanya membuat kerusakan saja.
Iqbal menegaskan bahwa Pendidikan Modern itu jahat, oleh
karena ia melalaikan mental, moral, dan perkembangan spiritual
generasi-generasi muda. Akibatnya, krisis moral dan karakter melanda
para generasi muda itu.
Kausa lain mengenai degenerasi moral dan intelektual adalah
materialisme yang berlebihan dan kepercayaan yang keterlaluan
terhadap bermacam-macam cara dan sumberduniawi dan pemusatan
yang menyedihkan terhadap pencaharian tempat dan kedudukan yang
menjadi tujuan akhir dari pendidikan itu.
Ketidakseimbangan dan disorientasi dalam pendidikan Barat ini
mengakibatkan tidak bertemunya antara cita-cita yang ideal terhadap
84
tujuan akhir dari pendidikan, teori ilmu pengetahuan yang bermoral
spiritual.
Ini
terjadi
karena
kurangnya
pemahaman
terhadap
individualitas atau diri.
Secara langsung diri dapat dipahami dan ditegaskan realitasnya
melalui intuisi secara langsung. Intuisi ini bagaimanapun juga muncul
pada saat mengambil keputusan-keputusan besar, tindakan, dan
perasaan-perasaan yang dalam. Tindakan, usaha dan perjuangan
membukakan kepada kita lubuk hati terdalam akan wujud diri. Diri
tersebut Nampak sebagai pusat seluruh aktivitas dan tindakan kita.
Pusat ini pada dasarnya merupakan inti dari kepribadian kita.
Kepribadian itu dinamakan ego.42 Konsepsi diri yang telah dicanangkan
oleh pujangga Muhammad Iqbal merupakan esensi wujudnya.
Eksistensinya merupakan misal berseri-seri dari cita-citanya akan
realisasi diri. Terwujudnya kemuliaan diri, kepercayaan terhadap diri
sendiri, dan pengembangan diri merupakan hal-hal paling menarik
perhatian dan paling memikat disetiap coretan perjalanan hidupnya.43
Muhammad Iqbal berusaha menganalisis diri dan aktivitasnya
dengan mendasarkan kepada apa yang dinamakannya ego. Tanpa
pemahaman yang jelas terhadap ego, menurut Muhammad Iqbal hanya
akan menghampakan realisasi dalam penentuan tujuan pendidikan. Ini
oleh Iqbal dinamakan Filsafat Khudi.
42
Ishrat Hasan Enver, Metafisika Iqbal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 52
Abu Hasan Al- Husni An- Nadwi, Percikan Kejeniusan Doktor Muhammad Iqbal, (t.k,
Integrita Press, 1985), hlm. 31
43
85
Dengan Khudi Muhammad Iqbal dapat mengetahui dirinya
dengan seksama dan telah pula memberikan penilaian yang benar
terhadap individualitasnya. Dengan pengetahuannya yang mendalam
mengenai sikap dan personalitasnya itu, dia mempergunakan nikmat
hati dan akalnya untuk mengguncangkan kaum muslimin dalam
perjuangan dan menggerakkan bunga api kesetiaan yang terbentang
didalam diri mereka.
Falsafah Khudi yang dibincangkannya menawarkan beragam
prinsip dasar pengembangan watak insani yang memiliki implikasi pada
penataan kependidikan yang akan bermuara pada pembentukan
masyarakat yang penuh dengan makna-makna kemajuan dalam
berbagai lini kehidupan dalam konteks keseluruhan kebutuhan manusia.
Hal ini menjadi sebuah terobosan utama dalam mengangkat kembali
pendidikan Islam yang tanpa kesenjangan dengan pendidikan lainnya
memberikan wahana baru yang lebih sempurna, karena dimulai dari
aspek diri dan hati. Naluri diri melihat kenyataan atau realitas dalam
persepsi universal. Karena apa yang ada dimuka bumi memang
ditundukkan dan untuk kesejahteraan.
Dalam Al-Qur'an allah Swt menjelaskan:
5>?!ִ(
;"<"=
7
:"
8C/)D
"@
ִ☺BB
5
!"=(
/@EF"=G'BH
LM K, /IJ"H
PQ
7Rִ
ִN"O
8UU9 MS"☺!
ִ#?!"T
86
Artinya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu
dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
Mengetahui..”
LX
,&WEG7
2?H
Q!(
ִ23
9YIQ*
"\BB LX 8Z[9
LX 8Z^9 Qִ#"?] ִ23
QF'a ִ` _F'.
8C/)D
LX
8Z 9
8U9 Qִ"b5c ִ`
Artinya: Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana
dia diciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan
gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi
bagaimana ia dihamparkan?44
Allah bahkan memberikan kebebasan secara nyata , untuk
meneliti dan mempergunakan hasil ciptaannya, sehingga apabila
pengetahuan-pengetahuan yang tersembunyi tersingkap itu akan
dipergunakan oleh manusia.
Kedudukan Al-Qur'an yang empiris hendak membentuk mereka
(manusia) pencipta-pencipta ilmu modern. Usaha pikiran mengatasi
rintangan yang disebabkan oleh alam, disamping memperkaya dan
memperkuat jiwa, juga mempertajam pandangan.
Menurut pandangannya, bumi merupakan tahapan dalam
kelangsungan kehidupan manusia. Manusia telah dibekali dengan akal
44
Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahanya, …hlm. 324.
87
dan pikiran. Dengan perlengkapan itulah ia dibumi harus secara
kelanjutan dan terus menerus bereksperimen dalam kehidupannya.45
Muhammad Iqbal tidak secara a-priori menolak apa yang datang
dari Barat. Semangat Barat untuk mengadakan penjelajahan dan
penelitian, ilmu pengetahuan yang telah maju dengan pesat, diterimanya
dengan senang hati . Akan tetapi dengan tegas ia menolak untuk
menerima peradabannya yang dangkal dan sensasional, karena
cenderung melemahkan diri kita, bertentangan secara diametral dengan
nilai-nilai budaya. Karena sebenarnya menurut Iqbal, perkembangan
intelektual Barat, hanyalah perkembangan lanjutan dari beberapa fase
yang sangat penting dari kebudayaan Islam.46
Oleh
karena
itu
konsep
filosofis
Muhammad
Iqbal,
menghendaki adanya terciptanya keseimbangan universal dalam
pendidikan yaitu keseimbangan ilmu pengetahuan dan spiritual agama.
Sikap ini bisa mengambil mutiara Islam yang telah hilang terpendam
didalam dasar kejumudan dan kekakuan dalam menginterpretasi ajaranajaran Islam.
B. Analisis Konsep Tentang Klasifikasi Ilmu Pengetahuan
1. Analisa Konsep Ilmu menurut Al-Ghazali
Dalam proses penyempurnaan pengembaraan intelektualnya AlGhazali menemui banyak persoalan yang menyangkut keyakinan tanpa
45
K. G Saiyidain, Percikan Filsafat Iqbal Mengenai Pendidikan, Alih Bahasa M. I
Soelaeman, (Bandung: C. V Diponegoro, 1981), hlm. 43
46
Iqbal, Rekontruktion Of tough In Islam, …., 10.
88
adanya keraguan yang ada dalam hatinya. Setidaknya Al-Ghazali melewati
tiga kali perpindahan dalam memenuhi gejolak pengetahuannya diawali
dengan komitmennya pada panca indera, tetapi minim akan kebenaran
rasionalis sehingga tidak mampu menjelaskan hasrat pengetahuannya dan
kebenaran akalpun mengganti kebenaran inderawi. Namun akalpun belum
mampu menjawab keyakinan kebenaran hakiki karena akal mempunyai
kemampuan yang sama dengan panca indera. Ketakmampuan akal ini
menyebabkan Al-Ghazali dalam posisi skeptis sampai kebenaran itu
muncul karena anugerah allah semata yang diyakini Al-Ghazali sebagai
kebenaran yang telah menghapus dahaga pengetahuannya yaitu kebenaran
intuisi.
Setelah Al-Ghazali mengalami berbagai perubahan akibat keraguan
hati yang menyelimutinya, akhirnya Al-Ghazali sampai pada tataran ilmu
yakin yang tidak ada keraguan didalamnya; menyingkapi tabir yang selalu
menutupi hati manusia.
Pengembaraannya dengan melewati berbagai halangan dan skeptis
tidak menyurutkan langkahnya dalam mengambil benang merah
pengalaman yang selama ini dilakoninya. Timbulnya keyakinan-keyakinan
merupakan inspirasi besar yang kemudian meletakkan bangunan metode
dan konsep ilmu yang mengiringi karir keilmuan Al-Ghazali.
Al-Ghazali merumuskan metodenya dalam proses pencarian ilmu
pengetahuan . dalam filsafat Islam , ilmu dapat diperoleh dengan dua jalan
yaitu jalan kasbi dan jalan ladunni. Jalan kasbi atau husnuli adalah cara
89
berfikir sistematik dan metodik yang dilakukan secara konsisten dan
bertahap melalui proses pengamatan, penelitian, percobaan dan penemuan.
Ilmu ini bisa diperoleh oleh manusia pada umumnya, sehingga seseorang
yang menempuh proses itu, dengan sendirinya ia akan memperoleh ilmu
tersebut. Sedangkan ilmu laduni atau khuduri, diperoleh orang-orang
tertentu, dengan tidak melalui proses ilmu pada umumnya tetapi oleh
proses pencerahan oleh hadirnya cahaya ilahi dalam kalbu. Dengan
hadirnya cahaya ilahi itu semua pintu ilmu terbuka menerangi kebenaran,
terbaca dengan jelas dan terserat dalam kesadaran intelektual, seakan-akan
orang tersebut memperoleh ilmu dari tuhan secara langsung.47
Al-Ghazali pada awalnya menempuh jalan kasbi, Jalan ini sebagai
usaha manusia untuk menemukan kebenaran dengan memaksimalkan
potensi yang dimiliki. Akal yang telah dianugerahkan oleh Allah Swt bagi
orang yang berfikir pasti mempunyai konsekuensi akan adanya
pertanggungjawaban
kelak
dikemudian
hari.
Dalam
memperoleh
keyakinan indrawi dan akal Al-Ghazali menggunakan metode kasbi.
Tetapi setelah keyakinannya pudar akan indrawi dan akal, Al-Ghazali
mengalami skeptis berat, di sini Allah memberikan petunjuk nur dalam
menerangi keraguannya. Al-Ghazali mengalami jalan laduni berkat
pertolongan Allah. Harus diakui mengapa Al-Ghazali begitu yakin akan
intuisi yang menurutnya bisa menyingkap kebenaran hakiki. Ini tidak
terlepas karena sebelumnya Al-Ghazali tidak pernah membayangkan akan
47
Musa As’ari, Filsafat Islam Sunnah Nabi Dalam Berfikir, (TK Lesfi, 2002), hlm. 72.
90
tentang
keyakinan
intuisi,
namun
semata-mata
Allah
yang
menganugerahkan.
Demikian pula klasifikasi ilmu dan konsepnya yang ditetapkan AlGhazali tidak terlepas karena
pengaruh asas kemanfatan dan untuk
keterbukan hijab (penghalang) karena yang menjadi dasar dari hidayah dan
ma’rifat yaitu konsep bahwa gemerlap perhiasan duniawi adalah mata’ul
ghurur (penipu), dan hanya akherat tempat kehidupan yang kekal.
Pengetahuan semacam ini hanya dimiliki orang-orang ‘alim, karena untuk
memperolehnya hanya dapat digali langsung dari ayat-ayat Al-Qur'an yang
menunjukannya, dan itu hanya dapat dipahami oleh mereka.48
Demikian Al-Ghazali memberikan pengertian ilmu dan konsepnya
atas ilmu terpuji dan ilmu tercela, ilmu fardu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah
dalam bagian besarnya.
Ilmu terpuji yang dikelompokannya menjadi empat, yaitu: pertama,
pokok yang menjadi pelajaran Al-Qur'an, hadis, ijmak dan peninggalanpeninggalan sahabat (atsar). Kedua, cabang atau furu’ yaitu cabang-cabang
sebagai penjelas pokok di atas. Kitab-kitab fiqh di antaranya. Ketiga,
muqaddimah (ilmu pengantar) contoh ilmu bahasa dan tata bahasa. Ke
empat pelengkap, yaitu ilmu tafsir. Sedangkan ilmu tercela, yaitu ilmu
sihir, mantera-mantera, ilmu tenung, dan ilmu balik mata.49
Di
sini
Al-Ghazali dalam
hal
ilmu
terpuji
dan
tercela
mengedepankan asas manfaat dan akibat yang akan ditimbulkan suatu
48
Ma’ruf Asrori, Fatiatul ‘Ulum (Terjemah), (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), hlm. 4.
TK. H. Ismail Yakub, Ihya ‘Ulumuddin Terjemah, (Surabaya: Faizan, 1966), hlm.
49 49
52-53.
91
ilmu. Al-Ghazali menempatkan ilmu-ilmu yang selayaknya dipelajari
untuk kemaslahatan, di sisi lain pula Al-Ghazali memberikan peringatan
untuk menjauhi ilmu-ilmu, seperti ilmu sihir, mantra-mantra, tenung, dan
ilmu balik mata, karena lebih banyak madharatnya di bandingkan dengan
kemaslahatan yang ditimbulkan daripadanya.
Di sisi lain perlu mengelompokan ilmu di atas agar dapat menjadi
acuan kepada murid untuk tidak sembarangan menuntut suatu ilmu dengan
melihat kemanfaatannya, sedangkan pengelompokan yang lain dari AlGhazali yaitu berupa ilmu fardu ‘ain dan ilmu fardu kifayah.
Ilmu fardu ‘ain yang terdiri dari ilmu tauhid, ilmu syariat, dan ilmu
sirri. Ilmu fardu kifayah yang terdiri dari ilmu kedokteran dan ilmu
berhitung. Kalau bisa diidentifikasi terlihat ilmu fardhu ‘ain tertuju pada
materi pelajaran agama klasik. Sedangkan ilmu fardhu kifayah disamakan
dengan ilmu-ilmu umum. Karena sebagaimana ilmu agama yang fardhu
‘ain untuk menguatkan sendi-sendi dalam agama, yang pada waktu itu
sosio kultur menuntut adanya keinginan untuk membentengi agama.
Sedangkan ilmu umum ditempatkan pada hirarki kelas dua dengan diberi
hirarki kifayah, yaitu kewajiban kelompok yang apabila sebagian telah
melaksanakannya maka terlepaslah yang lain dalam kewajiban ini, hal ini
sebenarnya penggelompokan ilmu fardu ‘ain dan fardu kifayah mewujud
dalam konteks kewajiban dalam mencari ilmu.
Semua ini dalam hal pengelompokan ilmu adanya ilmu terpuji,
ilmu tercela, ilmu fardu ‘ain dan kifayah, karena apa yang disebut dalam
92
epistimologis Al-Ghazali pendidikan Islam mempunyai corak yang
spesifik yaitu adanya kesan agama dan etika yang nyata.
Pada sasaran-sasaran dan sarananya, begitupun tidak mengabaikan
terhadap
permasalahan-permasalahan
keduniawian.
Dunia
adalah
mazra’atul akherah (media penghubung) dengan Allah bagi yang
berkeyakinan demikian, karena ia bukan tujuan dan tempat tinggal.50
Al-Qur'an ingin menegaskan bahwa ilmu-ilmu yang dipelajari ada
tanggungjawab moral dengan tuhan, maka oleh Al-Ghazali ilmu-ilmu
diklasifikasikan seperti di atas agar seseorang murid tidak melenceng
dalam tata aturan akademis.
2. Analisa Konsep Ilmu Menurut Muhammad Iqbal
Latar belakang sosio kultur Islam yang mewarnai perjalanan
pemikiran yang menghasilkan usaha untuk bangkit kembali terhadap
keterpurukan Islam , memaksa Muhammad Iqbal untuk merumuskan
sistem dan konsep Pendidikan Islam yang tidak timpang.
Menurut Iqbal Islam harus bisa merebut kembali ilmu pengetahuan
Barat sebagai fase dari kelanjutan kejayaan Islam yang telah runtuh. Maka
Iqbal menampik adanya berseberangnya filsafat dan agama. Ilmu
pengetahuan sangat bisa tidak mengenal arti metafisika secara rasional,
dan memang selama ini ia tidak mengenalnya. Maka sangat sukar bagi
agama untuk menutup mata dalam mencari suatu penyelesaian tentang
pertentangan-pertentangan pengalaman serta alasannya tentang lingkungan
50
Al-Ghazali, Fatihatul ‘Ulum, Terjemah Manusia’ruf Asori, (Surabaya: Pustaka
Progresif, 2003), hlm. 13.
93
tempat kemanusiaan menemui dirinya,.51 Maka oleh Muhammad Iqbal bila
perlu dilakukan rekontruksi terhadap pemikiran agama.52
Pemikiran agama yang karenanya menutup diri atas perkembangan
ilmu pengetahuan menurut Muhammad Iqbal harus dibuka kembali, tiada
pertentangan yang umum antara keduanya, karena saling mendukung.
Dogma-dogma yang tidak memberi wawasan rasional tentu akan ditolak
walaupun sebagian dogma tidak harus diterima. Dogma-dogma keyakinan
ditunjukan dan didentifikasikan dengan kebutuhan. Demikian pula ilmu
pengetahuan membutuhkan akan dalil-dalil ilahi karena tidak akan
melenceng dalam kegiatan utamanya dalam mengimplementasikan hasil
dalam kerangka kemaslahatan duniawi dan ukhrawi.
Al-Qur'an mengakui bahwa sikap empiris adalah tingkat yang tak
dapat dipisahkan dalam kehidupan ruhaniyah manusia, menganggap sama
pentingnya semua bagian dari pengalaman manusia sebagai suatu yang
membuahkan pengetahuan tentang kenyataan terakhir, yang menampakkan
tandanya lahir dan batin. Satu bulan tidak langsung dalam mengadakan
hubungan dengan kenyataan yang dihadapkan kepada kita kala itu ialah
penyelidikan dan penguasaan tentang teliti adanya tanda-tanda itu setelah
menampakkan diri pada tanggapan pengindraan. Jalan lain ialah langsung
berhubungan dengan kenyataan setelah ia menampakkan diri dalam
batin.53
51
Iqbal, The Recountruksion Of Tough In Islam, (Yogyakarta: Jala Sutra, 2008), hlm. 4.
Ibid, hlm. 11.
53
Iqbal, The Recountruksion Of Tough In Islam, …, hlm. 20.
52
94
Naturalisme Al-Qur'an hanya sebuah pengakuan tentang fakta,
bahwa manusia bertalian dengan alam, dan pertalian ini dipandang dari
segi kemungkinannya sebagai suatu cara mengawasi tenaga-tenaga alam
itu; yang harus dikerahkan untuk mengambil manfaatnya, bukan dengan
nafsu jahat hendak menguasainya, melainkan untuk mendatangkan
keuntungan dengan adanya suatu visi kenyataan yang sempurna, serapan
pengindraan (sense perception) haruslah dilengkapi dengan persepsi yang
oleh Al-Qur'an disebut sebagai Fuad atau qolb, yaitu hati.54
Yang telah memperindah segala yang diciptakan, dan memulai
penciptaan manusia dari tanah, lalu diturunkannya dijadikannya dari mani
lemah.
“Lalu disempurnakan, dan dari ruh-Nya itu, sebagian ditiupkan
kedalamnya; engkau dilengkapi dengan pendengaran, penglihatan dan
hati. Tapi sedikit sekali dari kalian mau berfikir”. (Q.S. 32: 7-9)
Ahli ilmu alam mempelajari dunia materi, artinya dunia yang
diedarkan oleh alat-alat indera. Proses pula pengalaman-pengalaman
religius dan estetisnya, meskipun merupakan bagian dari zona pengalaman
seluruhnya, kesemuanya dikesampingkan dari tujuan alam, sebab ilmu
tersebut membatasi dari dalam menelaah dunia materi yang artinya duniadunia yang kita persepsikan.55
Dunia yang dipersepsikan menurutnya benda-benda alam yang
terwujud dari kualitas-kualitasnya. Muhammad Iqbal menjembatani
54
55
Ibid, hlm. 20.
Iqbal, The Recountruksion Of Tough In Islam, …, hlm. 40.
95
kreatifitas-kreatifitas
dalam
ilmu
pengetahuan
yang
mempunyai
pandangan kebenaran dan hikmah.
Maka, katanya lagi, ahli ilmu hayat dengan mencari penjelasan
mekanik tentang kehidupan terdorong berbuat demikian karena ia
membatasi studinya hanya mengenai soal-soal bentuk kehidupan yang
lebih rendah, yang tata lakunya menunjukan persamaan-persamaan dengan
kegiatan mekanik. Apabila ia mempelajari kehidupan yang ada dalam
dirinya, yakni kesadarannya sendiri yang bebas memilih, menolak,
merenungkan, menyelidiki masa lalu dan masa sekarang, serta secara
dinamis membahayakan masa depannya, pastilah ia akan yakin bahwa
pengertian - pengertian mekaniknya tak memadai.56
Iqbal ingin menunjukan bahwa potensi ego atau ke-diri-an dalam
jiwa manusia apabila ditampilkan serta ditumbuhkan maka akan terpancar
nilai-nilai dinamis yang menembus ruang-ruang mekanik kreativitas
manusia yang akan mampu menjangkau soal-soal yang lebih tinggi
tersebut dalam kebenaran dan hikmah. Bahwa hal semacam ini perlu
dilakukan dalam pendidikan Islam yang semata untuk menjaga
keseimbangan universal agama.
Iqbal yang berpegangan pada dua dasar pengetahuan, yang pertama
disebutkan “‘Isyq” (cinta) dan yang kedua yaitu penalaran. Bagaimana
sebuah ‘Isyq (cinta) kepada tuhan memberikan kreativitas untuk
melaksanakan firmannya sebagai khalifah tuhan di bumi dengan potensi
56
Iqbal, The Recountruksion Of Tough In Islam, …, hlm. 61.
96
yang dimiliki melalui olah fikir yang diejawantahkan dengan kreativitas
produksi ilmu. Karya ilmu ini didasarkan atas cinta kepada tuhan dalam
mensejahterahkan
berkesinambungan
kehidupan
tanpa
yang
adanya
harmonis,
ketimpangan
mapan
dalam
dan
menghayati
kehidupan dunia dan ukhrawi.
Sisi ilmu pengetahuan dan filsafat dengan agama akan menunjukan
watak universal Islam . Muhammad iqbal menyebutkan bahwa
pengembangan ke-diri-an (ego) merupakan sebuah embrio untuk
membutuhkan kreativitas diri tanpa mengeliminasi sebagai pengetahuan
yang selama ini dianggap menghambat keberadaan dogma agama, karena
ego akan terpacu sesuai dengan jalannya ‘Isyq dan nalar yang akan mampu
memberikan nilai positif atas eksitensi agama. Yang pada intinya menurut
iqbal, Pendidikan Islam mampu menjadi sebuah wahana untuk mencetak
manusia beriman, cerdas, dan berilmu pengetahuan keseimbangan
universal pendidikan Islam sebagai wadah dalam menggapai cita-cita
tersebut didasarkan dengan ‘Isyq dan nalar. Isyq akan tetap menjadi
Pembina nalar yang begitu tanpa batas, sehingga kemajuan manusia tidak
akan timpang dengan adanya korelasi.
97
3. Analisis Perbedaan Konsep Ilmu Pengetahuan Al-Ghazali dan Muhammad
Iqbal
Di satu sisi dalam mengamati konsep ilmu pengetahuan Al-Ghazali
dan Muhammad Iqbal bahwa karena keduanya lahir dari rahim sosial yang
hampir sama, yaitu pergolakan pemikiran keilmuwan pada zamannya.
Bedanya bila Al-Ghazali lebih membela kepentingan agama, karena pada
waktu itu aliran-aliran rasionalis memberikan pemahaman yang berbeda
yang menurut Al-Ghazali apabila tidak dihentikan maka akan mengancam
eksistensi agama. Akhirnya Al-Ghazali menekankan pentingnya belajar
ilmu agama sebagai fardhu ‘ain dengan memilah dan memilih ilmu-ilmu
terapan yang cocok untuk memperkuat agama sebagai fardhu kifayah.
Sedangkan
banyak
ilmu-ilmu
terapan
menjadi
terbengkalai
dan
menjadikan kemunduran Islam di satu sisi, pembelaan Al-Ghazali terhadap
agama dengan demikian penilaian terhadap ilmu-ilmu pengetahuan, agar
umat Islam tetap memperkuat benteng keimanan dengan diwajibkannya
belajar ilmu agama sebagai kewajiban fardhu ‘ain.
Keberlangsungan Islam sesuai dengan cita-citakan Al-Ghazali
memang tercapai, tapi disisi lain terjadi ketimpangan yang sangat, takkala
Islam hanya menjadi agama teologis.
Sedangkan Muhammad Iqbal tertuntut untuk meluruskan kembali
konsep keuniversalan Islam apabila Al-Ghazali dalam melakukan
pendekatannya dengan model intuisi, setelah lama bergulat dengan
inderawi dan akal. Iqbal menggunakan ‘Isyq (cinta) dan penalaran cinta
98
atau ‘Isyq di sini merupakan satu istilah, yaitu pendekatan batiniyah, persis
pendekatan intuisi yang dilakukan oleh Al-Ghazali. Dengan pendekatan
‘Isyq landasan keagamaan tanpa pernah akan tergerus, seperti yang terjadi
di Barat.
Dalam perspektif ini, suatu peradaban yang hanya ditegakkan atas
landasan penalaran (akal) tanpa cinta (‘Isyq) akan membuahkan
sekularisme-sekularisme.
Di sini letak perbedaan keduanya yang lebih mendasar, yaitu Iqbal
menambahkan pendekatan penalaran (akal) sebagai konsekuensi dari
perlakuan integrasi pengetahuan dan agama. Menjadi sebuah kemungkinan
yang
positif
akal
dengan
berbagai
kelebihan
yang
dimilikinya
dikembangkan untuk menopang keberadaannya manusia secara jasmani
dan ruhani.
4. Pengaruh Konsep Ilmu Pengetahuan Al-Ghazali dan Muhammad Iqbal
Terhadap Pendidikan Islam Serta Implikasinya.
Sejatinya pendidikan Islam telah memberikan sumbangsih begitu
besar dalam percaturan peradaban dunia. Penafsiran akan pentingnya
peradaban yang berperi-kemajuan dalam langkahnya menuju pendidikan
Islam yang universal mendapat tantangan yang terpenting baik dari aspek
pemikiran, ideologi, fragmentasi arah tujuan yang dicapai dengan selalu
memberikan pertimbangan yang jelas untuk bisa dikatakan mengorganisir
kepentingan jasmaniyah-ruhaniyah, keberimbangan naluri aspek kognitif,
afektif dan psikomotorik
99
Begitu besar tantangan yang dihadapi oleh pendidikan Islam saat
ini sehingga dikatakan oleh At-Attas secara diam-diam dihadapi oleh umat
Islam pada zaman ini adalah tantangan pengetahuan, bukan dalam bentuk
sebagai kebodohan, tetapi pengetahuan yang dipahamkan dan disebarkan
ke seluruh dunia oleh peradaban Barat.
Kembali bahwa Al-Ghazali dalam meletakkan dasar-dasar
pemikirannya tentang pengetahuan mendapat porsi yang lumrah.
Mengingat bahwa pengembaraan intlektual Al-Ghazali di tengah
keberagamaan pola pemikiran yang sarat akan pertentangan. Dengan
memastikan kecenderungan modal indrawi, lalu digantikan dengan
keputusan akal, maka mau tidak mau sebenarnya Al-Ghazali telah
mempercayainya terlebih karena Allah menganugerahkan akal yang
menjadi satu modal dalam perjuangan manusia untuk menjadi khalifah di
bumi.
Penerapan model ini sebenarnya karena latar belakang sosial pada
waktu itu. Di mana ilmu begitu pesatnya dilapangan, tapi menyebabkan
jauhnya manusia itu dari substansi awalnya. Manusia karena begitu
dominannya dalam mempergunakan akal, sehingga menurut Al-Ghazali
mengarahkan kepada kecendrungan tersesat, maka Al-Ghazali membantah
model akal, untuk mengarahkan manusia kembali pada substansi murni,
yaitu memakai dalil intuisi.
Pengetahuan filsafat dan pengetahuan terapan pada waktu itu mulai
bergeliat menunjukkan eksistensinya memang mengandung filsafat
100
skolastik ala yunani. Sedikit tidaknya mempengaruhi cara berfikir orang
Islam. Maka menimbulkan gelagat yang tidak baik, yang pada awalnya
mengolah ilmu pengetahuan untuk menjadi ilmu terapan cenderung
mengarah mempersoalkan eksistensi tuhan.
Maka tepat juga apa yang dilakukan oleh Al-Ghazali dengan
mengklasifikasikan ilmu menjadi berbagai macam. Untuk mencounter
pemikiran–pemikiran yang menjadi duri dalam daging. Demikian pula apa
yang dilakukan Iqbal. Karena beliau lahir dan besar di tengah-tengah
keruntuhan peradaban Islam khususnya ilmu pengetahuan, maka oleh
sebab menyetir kembali begitu banyak ilmuwan penting, Muhammad
Iqbal merekonstruksi kembali sembari menyegarkan pemikiran-pemikiran
jumud yang sebenarnya harus ditinggalkan.
Memang pada waktu itu klasifikasi ini mungkin populer dan
relevan karena situasi yang cendreng kondusif, sehingga Islam tetap jaya
dalam pengetahuan, bahkan mungkin akan tercapai integritas dan
penghargaan ilmu yang sama tanpa kelas sudah sewajarnya. Akal yang
menetapkan sumber ilmu pengetahuan harus ditempatkan pada kedudukan
yang lebih bijak.
Wacana Al-Ghazali tentang klasifikasi ilmu memberikan warna
tersendiri dalam pendidikan masa itu, sehingga tidak menyebabkan
kegagalan dalam proses penetrasi keilmuwan wacana integritas dan
rekonsiliasi sudah seharusnya. Wacana integrasi dan rekonsiliasi filsafat
dan agama mendesak untuk dilaksanakan dalam implementasi kurikulum
101
yang nyata. Islam sangat universal dalam mengimbangi antara produk
skill, ketrampilan, pengetahuan dan nilai-nilai moral. Sehingga pada saat
pendidikan Islam mengejawantahkan keseluruhan materi yang berdimensi
jasmani dan ruhani tanpa memberikan ruang kesengajaan.
Wacana Al-Ghazali sangat mempengaruhi gerak dari pendidikan
Islam saat ini. Bagaimana doktrin pemisahan ilmu dalam definisinya
masing-masing menjerat dan sulit untuk diurai. Pendidikan Islam dalam
statusnya hanya mengajarkan ilmu materi keagamaan klasik-perimbangan
materi terapan belum terpenuhi.
Sebab pemisahan ini karena sosio kulturalnya melingkupi AlGhazali pada waktu itu, yang memang ilmu filsafat disalahgunakan untuk
mengutak atik eksistensi yang maha tinggi. Sedang masalahnya pada saat
ini sungguh sangat berbeda. Kepercayan doktrin tentang manusia yang
menjadi khalifah di bumi belum bisa terwujud apabila Pendidikan Islam
belum memberikan kontribusi penerapan ilmu-ilmu sosial dan alam.
Demikian pula wacana yang dipaparkan Muhammad Iqbal karena
berawal dari keprihatinan atas pendidikan Islam. Konsep ‘Isyq dan
penalaran menjadi embrio wacana integrasi pengetahuan dan agama.
Pendidikan Islam sebagainya telah mulai membuktikan diri dalam
bidang-bidang pengetahuan terapan. Sebagaimana pengaruh dari integrasi
pengetahuan agama. Timbulnya dalam kurikulum pendidikan Islam
menjadi sebuah akibat adanya dikotomi dalam ilmu. Dalam pendidikan
Islam saat ini mengenal adanya prinsip ilmu agama dan ilmu umum. Ilmu
102
agama dengan melakukan pendekatan sumber utama Al-Qur'an dan hadist.
Semua materi ilmu ini diganti dari kedua sumber tersebut. Sedangkan ilmu
umum tidak memakai kedua unsur tersebut di atas dengan hanya
mengedepankan rasionalitas semata atas nama akal.
Maka sebenarnya ada pengaruh dari konsep Al-Ghazali tentang
berbagai klasifikasi ilmu yang pada akhirnya berkembang menjadi ilmu
agama dan ilmu umum. Pendidikan Islam dengan berbagai kelemahan
penganutnya memasukan prinsip ilmu agama sebagai kurikulum wajibuntuk dengan berbagai alasan sebagai bekal di akherat kelak, sedangkan
ilmu umum ditolak secara halus karena predikat yang disandarkannya.
Pada
sisi
lainpun
sebagian
pendidikan
Islam
ingin
mengintegrasikan pemahaman antara ilmu agama dan ilmu umum belum
berhasil. Karena pijakan awal dari sumber idiologi dicakupannya berbeda.
Sehingga tetap pemahaman ini tidak bisa menyatukan kedua ilmu tersebut
dalam satu naungan, yaitu ilmu yang berasal dari Allah Swt yang tercakup
didalam Al-Qur’an. Imbasnyapun pendidikan Islam tidak pernah
menemukan kecocokan dalam membaurkan kesamaan visi kedua ilmu
tersebut.
103
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
hasil
pembahasan
mengenai
Klasifikasi
Ilmu
Pengetahuan Dalam Pendidikan Islam (Konsep Perbandingan Menurut ALGhazali dan Muhammad Iqbal) maka dalam penelitian ini dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Konsep Al-Ghozali dan Muhammad Iqbal tentang klasifikasi ilmu
pengetahuan dalam pendidikan Islam yaitu:
Dalam membangun sebuah konsep ilmu, Al-Ghozali mengharapkan agar
tujuan hakikat kebenaran tercapai serta memiliki akses kedekatan dengan
Tuhan. Dari itu sumber kebenarannya adalah intuisi (dzauq), sedangkan
sumber lain selain dari intuisi adalah kebenaran semu. Demikian halnya
Al-Ghozali memilah proses perolehan ilmu pengetahuan (epistimologi)
dalam dua tingkatan metode yaitu dharuri (laduni) dan kasbi (muktasabah).
Menurutnya ilmu dharuri (laduni) adalah ketersingkapan pengetahuan
dalam hati tanpa ada bantuan, dicontohkannya dalam hal ini adalah wahyu.
Sedangkan metode kasbi (muktasabah) merupakan pengetahuan yang
dihasilkan melalui usaha dengan bantuan panca indra dan terkadang
menurutnya
kurang
sempurna
karena
tidak
dapat
diandalkan.
Dicontohkannya berupa pengetahuan inderawi, material dan sebagainya.
Oleh karena itu dalam kaitannya kewajiban menuntut ilmu, menurutnya
ilmu dibagi dua yaitu ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah.
103
104
Sedangkan menurut Muhammad Iqbal dalam filosofi ilmu pengetahuan
mendefinisikan ilmu dalam kerangka universal Islam antara Agama dan
Pengetahuan saling menunjang, pengetahuan tanpa agama maka akan
cenderung
materialisme
rasionalisme,
sedangkan
agama
tanpa
pengetahuan maka akan terjadi fatalisme. Filsafat ego tentang kreatifitas
diri dalam jiwa seorang muslim senantiasa harus dikembangkan sebagai
upaya membaca masa lalu dan dengan mengaitkan masa sekarang.
2. Perbedaan konsep Al-Ghozali dan Muhammad Iqbal tentang klasifikasi
ilmu pengetahuan dalam Pendidikan Islam.
Karena kedua tokoh tersebut berbeda zaman dan sosio kultur yang
melatarbelakangi juga berbeda, maka ada beberapa hal perlu disebutkan
perbedaannya:
a. Ruang lingkup Al-Ghozali dalam interaksinya lebih pada wilayah lokal
karena
akses
teknologi
informasi
belum
tercapai.
Sedangkan
Muhammad Iqbal lahir pada saat situasi kompetisi barat yang begitu
cepat, maka ruang interaksinya pun begitu luas.
b. Dampak dari hal tersebut diatas erat kaitannya dengan sumber
perumusan filosofi antara keduanya. Al-Ghozali mengambil sumber
ilmu yang menjadi keyakinan baginya yaitu intuisi murni yang
korelasinya
lebih
tepat
tercapainya
kedekatan
kepada
Tuhan.
Sedangkan Muhammad Iqbal bersumberkan pada ‘isyq (cinta) dan
penalaran yang pada hakekatnya memacu kepada kreatifitas diri.
105
c. Oleh karenanya Al-Ghozali memisahkan materi ilmu agama dan materi
ilmu pengetahuan umum dalam kriteria apa yang dimaksudnya ilmu
fardhu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah. Sedangkan Muhammad Iqbal lebih
memilih pengintegrasian materi ilmu agama dengan ilmu pengetahuan
umum. Dengan catatan dalam materi ilmu pengetahuan umum tersebut
dilebur dengan hakikat-hakikat dari materi ilmu agama, sehingga akan
selalu memacu pada kualitas kreatifitas diri untuk memajukan Islam.
3. Pengaruh konsep Al-Ghozali dan Muhammad Iqbal tentang klasifikasi
ilmu pengetahuan dalam Pendidikan Islam yaitu terciptanya kurikulum
madrasah disatu sisi yang didalamnya cenderung ada dikotomi Ilmu
Agama dan Ilmu Umum. Disisi lain timbulnya kurikulum yang berbasis
pada kemampuan dalam memahami materi agama dengan integrasi pada
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan sasaran mencapai
manusia yang bertaqwa dan berilmu pengetahuan serta bertanggungjawab
dalam beramal soleh.
B. Saran-saran
1. Hendaknya mengubah paradigma ilmu agama dan ilmu umum di bawah
satu naungan universal ilmu, karena hanya akan mengkerdilkan watak
keuniversalan Islam itu sendiri.
2. Hendaknya konsep-konsep ilmu yang diajarkan oleh al-Ghazali dan
Muhammad Iqbal harus dilihat dulu latar belakang munculnya pemikiranpemikirannya tersebut, tidak ditelan secara serampangan, karena
106
sebenarnya niat baik keduanya perlu diperhitungkan untuk agar Islam
lebih kuat.
3. Hendaknya para tokoh pendidikan untuk merancang segera pengintegrasian dan menghilangkan dikotomi antara ilmu agama dan ilmu
umum, tidak semata melebur secara fisik, tetapi secara filosofis dan
pengambilan sumbernya pun tanpa ada perbedaan.
C. Kata Penutup
Dengan mengucap syukur, Alhamdulillahi Rabbil’allamin, yang
hanya dengan hidayah, rahmat dan inayah-Nya segala kehendak dan tujuan
serta cita-cita seorang insan dapat terwujud, sehingga penulis telah dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Klasifikasi Ilmu Pengetahuan dalam
Pendidikan
Islam
(Konsep
Perbandingan
Menurut
Al-Ghozali
dan
Muhammad Iqbal)”.
Penulis yakin sepenuhnya bahwa masih banyak kelemahan dan
kekurangan dalam penulisan ini semata-mata karena persiapan dan khazanah
pengetahuan serta pengalaman penulis yang masih teramat dangkal. Untuk
itu tegur sapa, kritik, dan saran-saran demi sempurnanya penelitian ini sangat
diperlukan.
Sebagai kata penutup, penulis hanya dapat berharap semoga skripsi ini
dapat membawa manfaat terutama bagi penulis dan masyarakat pada
umumnya. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah bersedia membantu terlaksanannya penulisan
107
skripsi ini, semoga Allah Swt berkenan melimpahkan pahala yang setimpal
amin.
Kesugihan, 18 Januari 2011
Penyusun
AHMAD SAHREZA
NIM : 052321604
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumiddin, Terjemah TK. H. Ismail Ya’kub. Surabaya. CV.
Faizan. 1966.
________, Tahafut Al-Falasifah. Terjemah Ahmad Maimun. Yogyakarta.
Islamika. 2003.
------------, Fatihatul Ulum, Terjemah oleh Ma’ruf Asrori, Pustaka Progresif,
Surabaya, 2002.
Abdurrozak, Abu Bakar. Matahari Didalam Diri, Muhasabah Al-Ghozali Untuk
Para Muridnya, Jakarta: Hikmah, 2003.
Ali Al-Husni An-Nadwi, Abul Hasan. The Glory Of Iqbal Alih Bahasa Suyibno
dengan judul Percikan Kegeniusan Dr. Muhammad Muhammad Iqbal,
t.k.: Integrita Press, 1985.
Ali, Al- Shafique Khan. Filsafat Pendidikan Ghozali(terjemahan). Bandung: CV
Pustaka Setia. 2005.
Alwajri, Ahmed O. Islam, Barat, dan Kebebasan Akademik, Yogyakarta: Titian
Ilahi, 1997.
Aziz, Abd. Filsafat Pendidkan Islam, Sebuah Gagasan Membangun Pendidikan
Islam Yogyakarta: Teras, 2009.
Azwar, Syaifudin. Reliadibitas dan Validitas. Yogyakarta:Pustaka Pelajar. 2006.
--------------------.Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2003.
Daradjat, Zakiyah dkk. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2006.
Daudy, Ahmad. Segi-Segi Pemikiran Falsafi Dalam Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1984.
Depag RI. Al Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: CV Penerbit Diponegoro.
2003.
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka .
2007.
D. Katsoff, Lowis. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 1996
Husein Alhamid, Zaid. Mukhtashar Ihya Ulumiddin. Jakarta:Pustaka Amani.
1995.
Ibnu Rusn, Abidin. Pemikiran Al-Ghozali Tentang Pendidikan, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009.
Iqbal, Muhammad. The Recountruksion Of Tought In Islam Alih Bahasa Ali
Audah, Dkk. Dengan Judul Rekonstruksi Pemikiran Agama Dalam Islam,
Yogyakarta: Jalasutra, 2008.
Muhadjir, Noeng. Metodologi penelitian Kualitatif edisi IV. Yogyakarta: Rake
Sarasin. 2002.
Munir, Ahmad. Tafsir Tarbawi, Mengungkap Pesan Al-Qur'an
Pendidikan, Yogyakarta: Teras, 2008.
Tentang
Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran Dan Gerakan,
Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam, Jakarta: Radar Jaya, 2002.
Pius A Partanto dan M Dahlan Al Barry. Kamus Ilmiyah Populer.
Surabaya: Arkola. 1994.
Rahardjo, Mudji. Quo Vadis Pendidikan Islam, Realitas Pembacaan Pendidikan
Islam, Sosial dan Keagamaan, Malang: Cendikia Paramulya, 2006.
Saiyidain, K. G. Iqbal’s Educational Philosophy Alih Bahasa M. I. Soelaeman,
dengan judul Percikan Filsafat Muhammad Iqbal Mengenai Pendidikan
Bandung: C. V Diponegoro,. 1981.
Suryadilaga, M. Alfatih. Konsep Ilmu Dalam Kitab Hadits, Studi Atas Kitab
Alkafi Karya Kulaini, Yogyakarta: Teras, 2009.
Tafsir, Ahmad. Metodologi Pengajaran Islam, Bandung, Remaja Rosdakarya,
2000.
Usa, Muslih. Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita Dan Fakta, Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1991.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1. NAMA
: Ahmad Sahreza
2. Tempat tanggal lahir ; Negeri Ngarip, 04 September 1985
3. Jenis kelamin
: Laki-Laki
4. Status
: Belum Menikah
5. Agama/Bangsa
: Islam/Indonesia
6. Alamat rumah
: jl. Lintas Barat Negeri Ngarip Kecamatan
Wonosobo Kabupaten Tanggamus Lampung
7. Nama orang tua:
a. Ayah
: Halimi
b. Ibu
: Nur Diana
8. Pendidikan Formal
a. Sd Negeri 01 Negeri Ngarip
b. SLTP N 01 Wonosobo Lampung
c. SMU N 01 Kota Agung Lampung
d. IAIIG Kesugihan 01 Cilacap
Demikian riwayat hidup ini penulis buat denagn sebenar-benarnya.
Cilacap 18 Januari 2011
AHMAD SAHREZA
NIM 052 321 604
Download