KLASIFIKASI ILMU PENGETAHUAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM (Konsep Perbandingan Menurut Al-Ghozali Dan Muhammad Iqbal) Diajukan Kepada IAIIG Cilacap Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Kesarjanaan Strata Satu (S-1) Sarjana Pendidikan Agama Islam (S Pd. I) Dalam Ilmu Tarbiyah Oleh Nama : Ahmad Sahreza NIM : 052321604 Fakultas : Tarbiyah Prodi : Pendidikan Agama Islam FAKULTAS TARBIYAH INSTITUT AGAMA ISLAM IMAM GHOZALI (IAIIG) CILACAP JAWA TENGAH 2011 PENGESAHAN Skripsi saudara Nama NIM Fakultas Program studi Judul skripsi : Ahmad Sahreza : 052 321 604 : Tarbiyah : Pendidikan Agama Islam : Klaisfikasi Ilmu Pengetahuan Dalam Pendidikan Islam {Konsep Perbandingan Islam Menurut Al Ghozali Dan Muhammmad Iqbal} Telah disidang munaqosahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Imam Ghozali (IAIIG) Cilacap pada hari/tanggal: Sabtu 15 januari 2011 Dan dapat diterima sebagai pemenuhan tugas akhir Mahasiswa Program Strata I (S.1) fakultas tarbiyah prodi pendidikan agama islam (PAI) pada Institut Agama Islam Imam Ghozali (IAIIG) Cilacap Cilacap 15 januari 2011 Dewan Sidang Ketua Sekretaris Lumaur Ridlo S.Psi NIK. 951 011 116 Penguji I Muniriyanto, S.Ag,MM. NIK. 951 011 065 Penguji II Drs.H M.muchdir ma’sum, Psi. NIK 951 011 016 Pembimbing Drs. Attabik, M.Ag NIK 951 011 083 Ass.Pembimbing Agus sutiyono, M.Ag.,MPd NIK. 197 307 10200 5011 001 Mengetahui Dekan Fakultas Tarbiyah Drs. Musa Ahmad ,M.Si NIK 951 011 038 Lumaur Ridlo S.Psi NIK. 951 011 116 NOTA PEMBIMBING Drs. Musa ahmad, M.Si Dosen IAIIG Cilacap Agus sutiyono M.Ag.M.Pd Dosen IAIIG Cilacap Hal : Skripsi Saudara Ahmad Sahreza Lamp :Kepada : Yth. DEKAN FAKULTAS TARBIYAH IAIIG Cilacap Di – Tempat Asalamualaikum Wr.Wb Kami selaku pembimbing skripsi ini, setelah membaca, mengoreksi dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka kami berpendapat bahwa skripsi saudara : Nama : Ahmad Sahreza NIM : 052 321 604 Fakultas : Tarbiyah Program studi : Pendidikan Agama Islam Judul skripsi :Klaisfikasi Ilmu Pengetahuan Dalam Pendidikan Islam {Konsep Perbandingan Islam Menurut Al Ghozali Dan Muhammmad Iqbal} Maka dari itu mohon agar skripsi saudara tersebut segera dimunaqosahkan. Atas perhatian bapak, saya sampaikan terima kasih. Cilacap 4 juli 2010 Dosen Pembimbing Pembimbing I Pembimbing II Drs. Musa Ahmad, M.Si NIK 951 011 038 Agus sutiyono, M.Ag, MPd. NIK. 197 307 10200 5011 001 SURAT PERNYATAAN KEORSINILAN SKRIPSI Yang bertandang tangan dibawah ini, saya : 1. Nama : Ahmad Sahreza 2. NIM : 052 321 604 3. Fakultas : Tarbiyah 4. Program studi : Pendidikan Agama Islam 5. Judul skripsi : Klasifikasi Ilmu Pengetahuan Dalam Pendidikan Islam {Konsep Perbandingan Islam Menurut Al Ghozali Dan Muhammmad Iqbal} Menyatakan bahwa skripsi saya benar-benar orsinil /asli buatan sendiri, tidak ada unsur menjiplak atau dibuatkan. Jika dikemudian hari ditemukan adanya indikasi salah satu dari dua unsur diatas, maka saya bersedia dicabut gelar kesarjanaanya. Demikian surat ini dibuat dengan penuh kesadaran dan tanpa unsur pemaksaan. Cilacap, 4 juli 2010 Yang Menyatakan AHMAD SAHREZA NIM 052 321 604 MOTTO Allah menguji hambanya dengan menimpahkan musibah sebagai mana seorang menguji kemurnian emas dengan api (pembakaran). Ada yang keluar emas murni. Itulah yang dilindungi allah dari keraguan-keraguan. Da yang keluar seperti emas hitam dan itu memang ditimpa Fitnah (HR. Athabari) PERSEMBAHAN Untuk Kedua Orang Tuaku Kakak-Kakkku Dan Adikku KATA PENGANTAR Penulis panjatkan kehadiran Allah SWT, yang senantiasa melimpahkan rahmat, hidayah dan fadhal-Nya, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Kendala dan kesulitan yang ada selama penulisan skripsi ini menjadi tantangan dan ujian tersendiri, demi mewujudkan harapan cit-cita penulis. Shalawat serta salam semoga tercurahkan terhadap junjungan Nabi Agung Muhammad SAW, beserta Keluarga dan Sahabatnya. Seiring dengan rasa syukur, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu selama penulisan skripsi. Penghargaan serta rasa terima kasih penulis sampaikan kepada yang tehormat : 1. Drs.kh.Nasrulloh Muhson Rector Institut Agama Islam Imam Ghozali (IAIIG) Cilacap 2. Lumaur Ridlo, S.Psi Dekan Fakultas Tarbiyah Institute Agam Islam Imam Ghozali (IAIIG) Cilacap 3. Segenap Dosen dan Civitas academika Institute Agama Islam Imam Ghozali (IAIIG) Cilacap 4. Drs. Musa Ahmad, M.Si dan Agus Sutiyono,M.Ag,M.Pd selaku dosen dan pembimbing I dan pembimbing II, yang dengan sabar beliau dalam membimbing dan memberi arahan, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 5. Bocah-bocah sobat IGHOPALA, Salam Lestari!! Satu dalam diriku, KU- besar karena-MU 6. Mas Tomi sudjiwo, terima kasih atas wangsitnya. Bung Aqil, mas Ghofur dan Malik Ibrahim 7. Sahabat-sahabat mahasiswa dilingkungan Fakultas Tarbiyah IAIIG Cilacap yang telah membantu dan mendorong terselesainya penulisan skripsi ini 8. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, yang telah penulis dalam menyelesaikan study dan penulisan skripsi ini Semoga seluruh amal baiknya akan menjadi amal soleh yang selalu mendapatkan limpahan pahala dari Allah SWT..amin Penulis menyadari, bahwa penyusunan skripsi ini mungkin masih banyak kekurangan. Karena itu penulis berharap kritik dan saran dari berbagai pihak, utamanya pembaca skripsi ini sangat penulis harapkan demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi Akhirnya, semoga skripsi ini benar-benar dapat memberi sumbangsih dan bermanfaat, baik bagi penulis sendiri maupun pada pembaca umumnya. Kesugihan, 4 juli 2010 Penulis AHMAD SAHREZA NIM 052 321 604 LEMBAR ABSTRAKSI Pendidikan islam telah menawarkan konsep filosofi yang baik sekali dalam system pendidikan. Secara ideal, pendidikan islam berusaha mengantarkan manusia menyampai keseimbangan pribadi yang menyeluruh. Konsep pendidikan yang dibangun oleh Islam menuntut manusia untuk mengerahkan berbagai potensi yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT kepadanya sebagai mahluk yang sempurna dalam penciptaan. Melalui latihan-latihan kejiwaan, akal pikiran, kecerdasan, perasaan ataupun panca indra yang diharapkan menjadi manusia yang bertakwa, berilmu pengetahuan dan bertanggung jawb dalam beramal soleh. Tetapi realitanya, pendidikan slam belum menjalankan konsep filosofi islam sendiri. Fakta mengungkapkan adanya kesenjangan atara Islam disatu sisi dan Ilmu Pengetahuan Teknologi di sisi lain. Al Ghozali jauh hari menganjurkan terhadap ilmu yang berangkat pada akses kedekatan pada tuhan. Menurutnya ilmu yang sempurna tanpa ada keraguan bersumber dari instuisi (Dzauq). Al Ghozali memhami tentang Epistimologi ilmu yang menurutnya dibagi dua, yaitu ilmu laduni dan ilmu muktasabah. Dalam kewajiban menuntut ilmu Al Ghozali membagi du tingkatan pula, yaitu, ilmu fardu ‘ain yang berorentasi pada nilai-nilai ukhrowi dan ilmu fardu kifayah yang berkaitan dengan profesi manusia dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Sedangkan Iqbal menganbil langkah strategis dengan menganjurkan intregasi antara filsafat dan agama. Jurang pemisah tersebut harus dihilangkan, sehingga akan saling menunjang. Ilmu menurutnya bersumber dari agama, sedangkan agama akan menunjukan eksistensinya apabila ditopang menjadi ilmu pengetahuan. Sehingga apa yang dicita-citakan oleh Islam tercapai yaitu terwujudnya komitmen pribadi yang takwa, berilmu pengetahuan dan bertanggung jawab dan beramal soleh. DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i HALAMAN NOTA PEMBIMBING ................................................................ ii HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iii SURAT PERNYATAAN KEORISINALAN SKRIPSI ................................. iv HALAMAN MOTTO ...................................................................................... v HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... vi KATA PENGANTAR ..................................................................................... vii LEMBAR ABSTRAKSI ................................................................................... ix DAFTAR ISI BAB I: .................................................................................................. x PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1 B. Definisi Operasional ..................................................................... 8 C. Rumusan Masalah ....................................................................... 10 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 10 E. Telaah Pustaka ............................................................................. 11 F. Sistematika Penulisan Skripsi...................................................... 13 BAB II: LANDASAN TEORI A. Pengertian Pendidikan Islam ....................................................... 16 B. Konsep Filosofi Pendidikan Islam............................................... 21 C. Realitas dan Masalah Paradigma Pendidikan Islam .................... 29 D. Cita-cita dan Tujuan Pendidikan Islam ....................................... 33 BAB III : METODE PENELITIAN A. Jenis dan Pendekatan Penelitian .......................................... 37 B. Sumber Data ........................................................................ 37 C. Metode Pengumpulan Data...................................................40 D. Metode Analisis Data .......................................................... 40 BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Al-Ghozali, Muhammada Iqbal dan Konsep Pemikiran 1. AL-Ghozali a. Biografi Al-Ghozali....................................................... 42 b. Sejarah Pemikiran Al-Ghozali....................................... 48 c. Konsep Al-Ghozali Tentang Ilmu ................................. 57 2. Muhammad Iqbal a. Biografi Muhammad Iqbal ............................................ 69 b. Kondisi Sosial Sejarah Pemikiran Muhammad Iqbal ... 73 c. Pandangan Muhammad Iqbal Tentang Filosofi Pendidikan Islam ........................................................... 82 B. Analisis Konsep tentang Klasifikasi Ilmu Pengetahuan 1. Analisa Konsep Ilmu Menurut Al-Ghozali ........................ 87 2. Analisa Konsep Ilmu Menurut Muhmmad Iqbal ............... 92 3. Analisis tentang Perbedaan konsep Ilmu Pengetahuan Al-Ghozali dan Muhammad Iqbal ..................................... 97 4. Pengaruh konsep Ilmu Pengetahuan Al-Ghozali dan Muhammad Iqbal terhadap Pendidikan Islam serta Implikasinya .............................................................. 98 BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................. 103 B. Saran-saran ................................................................................ 105 C. Kata Penutup .............................................................................. 106 DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam diturunkan sebagai agama mempunyai konsekuensi dasar sebagai pedoman untuk keseluruhan umat manusia (rahmatal lil’alamin). Bahwa jelas objek bidikannya disamping umat yang mengakui Islam sebagai agamanya, juga untuk keseluruhan umat manusia. Sebagaimana Allah Swt telah menciptakan manusia dalam bentuk fisik yang bagus dan seimbang. Firman Allah Swt: ִ " !"#$ Artinya: Sesungguhnya telah kami ciptakan manusia itu dalam bentuk yang sebaik- baiknya (aAt-Tiin:4). 1 Manusia sempurna dalam penciptaannya karena manusia dilengkapi tiga potensi kekuatan yang membedakannya dengan makhluk lain ciptaan Allah Swt, yaitu 1).Akal dan perasaan, 2). Ilmu pengetahuan, 3). Kebudayaan.2 Bukan tanpa alasan menempatkan posisi akal dan perasaan pada urutan pertama. Akal dan perasaan adalah adalah dua dimensi utama untuk mencapai ilmu pengetahuan. Akal yang bergerak dalam wilayah rasional lebih cenderung pada penelitian fisika empirik, Sedangkan perasaan akan 1 Departemen Agama RI, Al-Qur'an-Qur”an dan terjemahnya (Bandung : CV Penerbit Diponegoro, 2003), Hlm. 478 2 Zakiyah Daradjat dkk, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta :Bumi Aksara, 2006), Hlm. 4 1 2 mengungkap pengetahuan diluar jangkauan empirik dengan menggunakan intuisi yang tujuannya tercapai ilmu pengetahuan yang untuk selanjutnya diterapkan pada ranah kebudayaan dan peradaban. Maka tidak heran apabila suatu bangsa memiliki tradisi intelektual tinggi, maka akan diiringi pula oleh kemajuan budaya dan peradabannya. Manusia yang dibekali akal akan selalu haus untuk melakukan pengamatan sehingga hasil yang didapat diolah dan dikembangkan menjadi kerangka sebuah ilmu pengetahuan. Ini terkait dengan kewajibannya untuk selalu memenuhi kebutuhan dasar hidup. Akal yang menjadi sebuah inspirasi untuk melakukan pengamatan merupakan sebuah sumber ilmu. Kemuliaan akal ditunjukkan oleh sabda rasul Saw, “Yang pertama kali diciptakan adalah akal” kemudian Allah berkata kepadanya, “Datanglah kemari”.Maka akal itupun datang. Kemudian Allah Swt berkata kepadanya, “pergilah”. Maka akal itupun pergi. Allah Swt berkata, “Demi kemuliaan dan keagunganku, tidaklah aku ciptakan makhluk yang lebih mulia bagi-Ku daripada kamu. Dengan engkau aku memberi. Dengan engkau aku memberi pahala dan dengan engkau aku menghukum”, Nabi Saw bersabda, “Aku bertanya kepada jibril apakah kepemimpinan itu?”Jibril menjawab, “Akal.”. Hakikat akal adalah naluri yang digunakan untuk memahami pengetahuan-pengetahuan teoritis.3 Dari pertama dimulainya peradaban, manusia sudah memikirkan tentang 3 alam, kejadiannya, asal-muasal sampai kepada bagaimana Zaid Husein Al hamid, Mukhtashar Ihya Ulumuddin (Jakarta: Pustaka Amani, Oktober 1995), hlm.14 3 memanfaatkan dan mendayagunakan alam untuk dieksplorasi demi kepentingan umat manusia. Dengan demikian banyak hasil yang telah dicapai untuk kemajuan ilmu pengetahuan agar manusia dapat hidup. Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin sangat antusias dalam membicarakan tentang pentingnya ilmu pengetahuan bahkan ayat pertama yang diturunkan dalam Alqur’an menerangkan tentang pentingnya membaca. Firman Allah Swt: ִ. -/ * +,&'(֠ '4 ִ 5" '4 ִ 01֠23 9" 74 '8 16 8;'(<= ִ.:-/ &'(֠ ?'@ 01֠23 >" ?'@ " * " BCD'! + '6 Artinya:”Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan-Mu yang menciptakan. Dialah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhan-Mu lah yang maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.(Al-‘Alaq:1-5)4 Bahwa perintah Allah Swt yang pertama kali diturunkan tidak untuk menyembahnya dengan beribadah menurut aturan formal syari’at, melainkan Allah Swt ingin mengenalkan diri-nya terlebih dahulu dengan cara manusia itu membaca dan belajar dengan segala kemampuan yang dimandatkan agar bisa menjalankan tugas sebagai khalifah. Dengan demikian Allah Swt berkepentingan untuk menerangkan betapa pentingnya ilmu pengetahuan untuk dipelajari dengan melalui perantaraan kalam yaitu membaca. 4 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung CV Penerbit Diponegoro, 2003), hlm.479 4 Disini pendidikan mendapatkan tempatnya, bisa dikatakan bahwa pendidikan merupakan penolong bagi manusia untuk menjalani kehidupan ini. Tanpa pendidikan, manusia tidak akan mampu membuat terobosan-terobosan dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya dan ia tidak akan jauh berbeda dengan pendahulunya pada zaman purba. Sehingga tonggak kesejahteraan suatu bangsa dipercayakan kepada majunya pendidikan bangsa tersebut. Islam telah memberikan konsep teologis filosofis yang baik sekali dalam sistem pendidikan. Secara ideal, Pendidikan Islam berusaha mengantarkan manusia mencapai keseimbangan pribadi secara menyeluruh. Hal ini dapat dilakukan melalui latihan-latihan kejiwaan, akal pikiran, kecerdasan, perasaan, ataupun pancaindera. Oleh karena itu, Pendidikan Islam berupaya mengembangkan semua aspek dalam kehidupan manusia yang meliputi spiritual, intelektual, imajinasi, keilmiahan, dan lain-lain, baik secara individu ataupun berkelompok serta senantiasa memberikan dorongan bagi kedinamisan aspek-aspek diatas menuju kebaikan dan pencapaian kesempurnaan hidup baik dalam hubungannya dengan Al-khalik, dengan sesama manusia dan dengan alam.5 Terlihat begitu menyeluruhnya konsep pendidikan yang dibangun oleh Islam, manusia dituntun untuk mengerahkan berbagai potensi yang dimilikinya yang telah dianugerahkan oleh Allah Swt sebagai makhluk yang sempurna ciptaannya. Potensi-potensi tersebut harus bisa melangkah kedunia nyata dengan konsepnya yang riil berupa intelektual pemikiran, ilmu 5 ed. Muslih Usa, Pendidikan Islam di Indonesia , Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta: PT.Tiara wacana Yogya, Juli 1991), hlm.8 5 pengetahuan teknologi dan kesemuanya diorientasikan kepada dimensi spiritual transendental. Dengan format seperti ini, maka Pendidikan Islam telah merangkul semua prinsip tujuan dan jika dibandingkan dengan pendidikan pada umumnya, maka tugas-tugas Pendidikan Islam amatlah berat. Rumusan ini merupakan acuan umum bagi Pendidikan Islam, karena akhir dari tujuan adalah pencapaian kebahagiaan dunia dan akhirat. Hal ini akan berarti pula, bahwa Pendidikan Islam mengandung konsep agama (dien), konsep manusia (insan), konsep ilmu (ilmu dan ma’rifah), konsep kebijakan (hikmah), konsep keadilan (‘adl), konsep amal (’amal sebagai adab) dan konsep perguruan tinggi (kulliyatul jami’ah). Dengan perpaduan konsep-konsep inilah manusia mampu meraih kebahagian dunia dan akhirat.6 Sampai potensi terkecilpun dibina oleh Pendidikan Islam dan dikembangkan dalam tatanan terpadu untuk kemajuan umat manusia dalam keseimbangannya antara dimensi duniawi dan ukhrawi. Dalam pada itu hakikatnya Pendidikan Islam merupakan solusi pokok dalam mengantarkan manusia untuk menjadi cerdas, tajam inderanya, jernih hatinya, serta memiliki keterampilan yang handal dalam mewujudkan kehidupan yang sejuk dan penuh kesejahteraan lahir dan batin. Dengan demikian, terdapat dua dimensi yang ingin dicapai oleh Pendidikan Islam, yaitu dimensi horizontal dan dimensi vertikal. 6 Ibid, hlm. 9. 6 Tetapi sampai disini penulis merasa sangsi atas Pendidikan Islam selama ini. Pendidikan Islam belum menemukan formulasi yang jitu untuk dapat mengoperasionalkan konsep-konsep yang telah diprogramkan. Penulis melihat ini masih dalam tataran konsep yang sebagian belum dijalankan. Disini penulis akan mengambil dua pandangan pikiran yang berbeda dalam menyoroti epistimologi dan filosofi ilmu pengetahuan yang selanjutnya akan ada dua konsep Pendidikan Islam yang berbeda pula, terlepas karena memang berbedanya zaman serta sosio-kultur yang melingkupi keduanya. Pertama adalah Al-Ghozali (1056-1111 M). Beliau adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar “pembela Islam”(hujjatul Islam). Masa mudanya bertepatan dengan bermunculannya para cendikiawan, baik dari kalangan bawah, menengah, sampai elit. Kehidupan pada saat itu menunjukkan kemakmuran tanah airnya, keadilan para pemimpinnya, dan kebenaran para ulamanya. Dunia tampak tegak disana. Sarana kehidupan mudah didapatkan, masalah pendidikan sangat diperhatikan. Pendidikan dan biaya hidup penuntut ilmu ditanggung oleh Pemerintah dan Pemuka masyarakat.7 Sedangkan tokoh yang kedua yaitu Muhammad Iqbal (w.1938 M). Muhammad Iqbal adalah seorang tokoh pembaharu pada zamannya. Pengembaraan intelektualnya diwarnai politik kekuasaan yang tidak menentu karena adanya politik kolonial penjajah. Setelah belajar keilmuan agama Islam klasik, beliau Muhammad Iqbal melanjutkan pendidikannya di sekolah7 Ibnu Abidin, Pemikiran Al-Ghozali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, Januari 2009), hlm. 9. 7 sekolah modern baik ditanah kelahirannya sendiri (India), maupun di luar negeri (eropa). Selama pengembaraan intelektualnya, Muhammad Iqbal menyadari akan kesenjangan yang tinggi antara Pendidikan Islam dan Pendidikan Barat. Ini ditengarai karena umat Islam telah meninggalkan ruh Islam itu sendiri. Menurutnya umat Islam harus kembali kepada Alqur’an dan Hadits bahwa konsep teologis filosofis ilmu harus ditempatkan pada posisinya yang obyektif, bahwa memandang semua ilmu berasal dari Allah Swt semata. Maka dalam realitasnya kemudian, semua ilmu harus diintegrasikan, tidak hanya melebur secara fisik saja, tetapi lebih dari itu rumusan fiosofisnyapun kembali kepada semula tentang keuniversalan Islam, sehingga tujuan akhir dari Pendidikan Islam yang menyeluruh, mengakomodir urusan duniawi dan ukhrawi akan tercapai.8 Dalam pembaharuannya Muhammad Iqbal tidak berpendapat bahwa baratlah yang harus dijadikan sebagai model. Kapitalisme dan imperialisme barat tidak dapat diterimanya. Barat menurutnya, amat banyak dipengaruhi oleh materialisme dan telah meninggalkan agamanya. Yang harus diambil adalah ilmu pengetahuannya.9 Bahwa barat memandang ilmu hanya untuk kemaslahatan duniawi saja dengan melupakan konsekuensi dari sebuah ilmu yaitu pertanggungjawaban 8 ed. Muslih Usa, Pendidikan Islam di Indonesia, antara cita dan fakta (Yogyakarta:PT Tiara Wacana Yogya, Juli 1991), hlm. 9. 9 Prof. Dr. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam : sejarah pemikiran dan gerakan (Jakarta : Bulan Bintang, 1996), hlm. 193. 8 manusia yang berakal kepada Tuhannya, yang endingnya ilmu pengetahuan mempunyai misi transendental. Disini penulis akan melakukan pembandingan dua tokoh dalam pemikirannya tentang pengklasifikasian ilmu pengetahuan terhadap relevansinya dalam dunia Pendidikan Islam. Oleh karenanya penulis akan memformulasikan menjadi sebuah judul “Klasifikasi Ilmu Pengetahuan Dalam Pendidikan Islam (Konsep Perbandingan Menurut Al-Ghozali dan Muhammad Iqbal). Sebagai syarat Penulis untuk mendapatkan gelar dalam Ilmu Pendidikan. B. Definisi Operasional Untuk menghindari kesalahan pemahaman dalam judul tentang Klasifikasi Ilmu Pengetahuan Perbandingan Menurut Al-ghozali Dalam Pendidikan Islam (Konsep Dan Muhammad Iqbal), maka penulis membuat definisi judul. 1. Klasifikasi Diartikan pengelompokan; pembagian dalam jenis-jenis.10 2. Ilmu pengetahuan Adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu dibidang (pengetahuan) itu.11 10 Pius A Partanto dan M.Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiyah Populer, (Surabaya :Arkola, 1994), hlm. 340. 11 Depdinas, Kamus Besar Bahasa Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, … hlm. 864. 11 Pius A Partanto dan M.Dahlan Al Barry, Kamus Indonesia Edisi Ketiga,.., hlm. 423. 9 Jadi yang dimaksud Klasifikasi Ilmu Pengetahuan adalah pengelompokan,atau penjenisan ilmu pengetahuan dengan memberikan penilaian yang beragam terhadap bidang ilmu pengetahuan menurut bagian-bagiannya. 3. Pendidikan Diartikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.12 2. Islam Adalah agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw yang berpedoman pada kitab suci Alqur’an yang diturunkan melalui wahyu Allah Swt.13 Jadi Pendidikan Islam adalah proses, cara, usaha pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam rangka membentuk kepribadian muslim. Cirinya adalah perubahan sikap dan tingkah laku sesuai dengan petunjuk ajaran Islam.14 Jadi yang dimaksud dengan judul skripsi Klasifikasi Ilmu Pengetahuan Dalam Pendidikan Islam (Konsep Perbandingan Menurut Al-Ghozali Dan Muhammad Iqbal) adalah perbandingan pemikiran AlGhozali dan Muhammad Iqbal dalam konsep teologis filosofis tentang 12 Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi Ketiga, (Jakarta : Balai Pustaka, 2007), hlm. 263. 13 Ibid, hlm. 444. 14 Zakiyah Daradjat dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi aksara, 2006), hlm.28. 10 klasifikasi ilmu pengetahuan relevansi pemikiran keduanya dengan Pendidikan Islam universal yang mencerdaskan. C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas penulis mengambil permasalahan yang menjadi pokok pembahasan, adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana konsep Ilmu Pengetahuan menurut Al-Ghozali dan Muhammad Iqbal? 2. Apa perbedaan konsep Ilmu Pengetahuan menurut Al-Ghozali dan Muhammad Iqbal? 3. Bagaimana pengaruh klasifikasi Ilmu Pengetahuan menurut Al-Ghozali dan Muhammad Iqbal dalam Pendidikan Islam. D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian. a. Untuk mengetahui konsep Ilmu Pengetahuan menurut Al-Ghozali dan Muhammad Iqbal. b. Untuk mengetahui perbedaan konsep Ilmu Pengetahuan menurut AlGhozali dan Muhammad Iqbal c. Untuk mengetahui pengaruh klasifikasi Ilmu Pengetahuan Al-Ghozali dan Muhammad Iqbal dalam Pendidikan Islam. 11 2. Manfaat penelitian a. Menjadi dasar pijakan untuk memformulasikan konsep Pendidikan Islam yang universal. b. Untuk memperbaiki konsep Pendidikan Islam yang telah kehilangan kesimbangan pada dimensi duniawi dan ukhrawi. c. Sebagai sumbangsih pemikiran dalam dunia Pendidikan Islam. E. Telaah Pustaka Al-Ghozali dan Muhammad Iqbal adalah dua tokoh yang berbeda zaman dan sosio-kultur serta politik yang melatarbelakangi keduanya menjadikan perbedaan masing-masing dalam merumuskan konsep Pendidikan. Dalam kajian ini Penulis menggunakan referensi karya Al-Ghozali dan Muhammad Iqbal. Didalam karyanya Al-Ihya ’Ulumiddin, Al-Ghozali menempatkan Ilmu serta ahli ilmu pada hierarki yang paling tinggi. Menurutnya Ilmu bisa mengantarkan manusia pada derajat spritual transendental, pembuka bagi hijab atas manusia dengan Tuhan-Nya yang terbentuk dari proses akal. Ilmu yang merupakan konsekuensi akal menurutnya perlu dikelompokkan. Ada ilmu utama, ilmu tidak utama, bahkan ada ilmu tercela. Sebabnya bukan karena tercelanya ilmu itu sendiri, tetapi tercelanya terhadap hak manusia yaitu ilmu itu membawa kepada kemelaratan, baik bagi ahlinya maupun kepada orang lain,seperti tercelanya ilmu sihir dan mantera-mantera. 12 Adapun tentang filsafat, ilmu alam menurutnya pantas dimasukkan dalam kelompok Ilmu tercela. Sebab sebagian daripadanya menyalahi syari’at dan agama yang benar. Bahkan dalam karyanya yang lain yaitu Tahafut Falasifah, Al-Ghozali menentang keras apa yang didengungkan oleh para filsuf yang coba dilesakkan kepada umat. Dalam menelaah pikiran Muhammad Muhammad Iqbal yang terdapat dalam karyanya berjudul Rekonstruksi Pemikiran Agama Dalam Islam, Penulis melihat Muhammad Iqbal mencari celah solusi atas berseberangannya filsafat dan agama. Menurutnya filsafat mempunyai kekuasaan menilai agama. Tetapi apa yang dinilainya itu sudah sedemikian rupa, sehingga ia tak akan begitu saja takluk pada kekuasaan itu, kecuali atas syarat-ayaratnya sendiri. Sementara itu agama itu berada dalam penilaian, filsafat tidak dapat menempatkan agama lebih rendah daripada perangkat material perbandingan. Beliau menyitir pendapat Prof. Whitehead bahwa ”usia iman itu setua usia rasionalisme”. Tetapi katanya lagi, untuk memasukkan iman kedalam rasio tidaklah berarti mengakui keunggulan filsafat atas agama. Di sinilah Muhammad Iqbal dengan cerdas memberikan solusi bahwa tidak ada pertentangan antara filsafat dengan agama. Demikian juga sebaliknya, agama akan mudah diterima dan tuntutan rasionalisasi sintesa dalam Pendidikan Islam akan menunjukkan watak keuniversalan Islam itu sendiri. Lebih spesifik lagi dalam buku Ilmu Pendidikan Islam karya Prof. H. M. Arifin M.Ed bahwa pendidikan Islam harus memiliki pendekatan filosofis 13 yang mengandung konsep dalam rangka menyelesaikan permasalahan hidupnya. Penting untuk dicatat dalam penyelesaian permasalahan hidup, Pendidikan Islam seharusnya membekali out put dari lembaga Pendidikan Islam itu dengan kemampuan skill sesuai kapasitas yang dimiliki untuk diorientasikan pada tujuan duniawi dengan tidak mengesampingkan nilai-nilai yang dikembangkan oleh watak universal Islam. Referensi lain yaitu skripsi M. Sulaiman dari perguruan tinggi Institut Agama Islam Imam Ghozali yang dimunaqosahkan pada tahun 2004 dengan judul Epistimologi Ilmu Dalam Perspektif Al-Ghozali yang terfokus dalam cabang ilmu yang membahas tentang pendidikan, masalah epistimologi ilmu yang didalamnya melibatkan unsur panca indera, akal dan kalbu. Menurutnya unsur tersebut berpotensi untuk dapat menerima, merespon dan merefleksikan problematika yang berlaku dan berkembang dalam proses interaksi ilmu pengetahuan. Didalamnya berbeda dengan skripsi penulis karena tidak ada perbandingan dengan tokoh lain. Dan penting menurut Penulis menggunakan referensi skripsi ini karena berkaitan dengan wacana epistimologi Ilmu menurut Al-Ghozali. F. Sistematika Penulisan Skripsi Agar pemahaman skripsi ini lebih spesifik terarah dan mudah dipahami, maka penulis menyusun sistematika sebagai berikut: BAB I: Pendahuluan yang mengantarkan pembahasan sampai selesai, adapun isi dari bab pertama adalah: Latar Belakang Masalah, 14 Definisi Operasional, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Telaah Pustaka, sistematika Penulisan Skripsi. BAB II: Merupakan gambaran umum tentang pendidikan Islam dan realitasnya yang meliputi: Pengertian Pendidikan Islam, Konsep filosofi Pendidikan Islam, Realitas dan Masalah Paradigma Pendidikan Islam, Cita-cita dan Tujuan Pendidikan Islam. BAB III: Metode penelitian yang meliputi: jenis dan pendekatan penelitian, sumber data, metode pengumpulan data, dan metode analisis data BAB IV: Pembahasan tentang Al-Ghozali, Muhammad Muhammad Iqbal dan Konsep pemikirannya dalam Pendidikan Islam yang meliputi: Biografi Al-Ghozali, Sejarah Pemikiran Al-Ghozali, Konsep Al-Ghozali tentang ilmu. Biografi Muhammad Muhammad Iqbal, Kondisi sosial sejarah Pemikiran Muhammad Muhammad Iqbal, Pandangan Muhammad Muhammad Iqbal Tentang filosofi Pendidikan Islam. BAB IV: Merupakan pokok pembahasan tentang tema skripsi Pandangan Al-Ghozali dan Muhammad Muhammad Iqbal tentang Klasifikasi Ilmu Pengetahuan yang meliputi: Analisis Konsep tentang Klasifikasi Ilmu Pengetahuan Menurut Al-Ghozali dan Muhammad Muhammad Iqbal, Analisis tentang Perbedaan konsep Ilmu Pengetahuan Al-Ghozali dan Muhammad Iqbal, 15 Pengaruh konsep Ilmu Pengetahuan Al-Ghozali dan Muhammad Muhammad Iqbal terhadap Pendidikan Islam serta Implikasinya BAB V: Merupakan penutup yang meliputi: Kesimpulan, Saran-saran, dan Kata penutup. 16 BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Pendidikan Islam 1. Secara Bahasa Pendidikan Islam jika dilihat dari segi bahasa, maka harus dilihat dari bahasa Arab karena ajaran Islam diturunkan dari bahasa tersebut. Kata pendidikan yang umum kita gunakan sekarang dalam bahasa arabnya adalah tarbiyah dengan kata kerjanya rabbah, kata pengajaran dalam bahasa arabnya adalah ta’lim, dengan kata kerjanya allama. Sedangkan pendidikan Islam dalam bahasa arabnya adalah tarbiyah Islamiyah.1 Kata kerja rabba (mendidik sudah digunakan sejak zaman nabi Muhammad Saw seperti dalam al-Qur’an surat Al-Isra’ ayat 24 yang berbunyi: ִ☺ ֠ !" ִ☺ #$& Artinya: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil".2 Kata lain yang mengandung makna pendidikan adalah ta’dib, yang berasal dari kata kerja addaba. Menurut Attiyah Al-Abrasi, al-tarbiyah adalah upaya mempersiapkan individu untuk kehidupan yang lebih sempurna, 1 2 Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hlm. 25. Depag RI Al-Qur'an dan Terjemahannya, (Bandung; CV Penerbit Dipenogor, 2003), hlm. 227 16 17 kebahagiaan hidup, cinta tanah air, kekuatan raga, kesempurnaan etika, sistematika dalam berfikir, tajam berperasaan giat dalam berkreasi, toleransi kepada orang lain, berkompetensi dalam mengungkapkan bahasa tulis dan lisan, serta terampil berkreatifitas, Al-Qasimi menyatakan bahwa makna al-tarbiyah adalah penyampaian sesuatu sampai pada batas kesempurnaan yang dilakukan secara bertahap.3 Melihat pengertian al tarbiyah ini menunjukan konsep menyeluruh dalam segala lini kehidupan dengan mempersiapkan individu untuk kehidupan yang lebih sempurna; memberikan keterampilan yang sesuai dengan kapasitas kemampuan untuk menunjang karir kehidupan tanpa mengesampingkan etika yang memang menjadi sebuah tujuan pendidikan. Kompetensi yang terbenam dalam bakat individu, digali dan dikembangkan menurut etika menjadi sumber kekuatan individu untuk meniti kehidupan lebih lanjut. Lebih lanjut rabba yang juga memberikan pengertian Tuhan terlihat universal karena Tuhan juga bersifat mendidik dalam artian Tuhan mengenalkan dirinya untuk diketahui umat manusia sebagai pegangan untuk mengarungi kehidupan yang selaras di dunia dan akherat. Kata ta’lim dengan kata kerjanya ‘allama juga sudah digunakan zaman nabi tetapi ta’lim lebih sekedar pemberitahuan, tidak memberikan pengertian pembinaan kepribadian baik ketrampilan maupun etika moral,. Ini terlihat firman Allah Swt: 3 Abd. Aziz, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2009), hlm. 9. 18 +-ִ./ '()*+, (7 ִ)*/ /0123456 ;<+ (9ִ':+/ +F@G@H >?@AB)C;*ִ☺DE >/0ִ☺ MN /IJKL (5/ G >/OPQ@)CִR #WX& +TU>֠>VC!" Artinya: Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"4 Bahwa Allah hanya memberikan kepada Adam tentang nama-nama saja, tidak menjurus kepada substansi fungsi dan manfaat nama-nama tersebut. Dalam pandangan Ridha pendidikan Islam adalah al-ta’lim yang merupakan proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu. Sebagaimana Adam menyaksikan dan menganalisis nama nama sesuatu yang diajarkan Allah padanya. Lebih luas lagi pengertian al-ta’lim yang diberikan oleh abdul fatajalal, menurutnya pemahaman, pengertian, al-ta’lim makna doktrinasi tanggungjawab,dan pengetahuan, penanaman amanah. Sehingga terjadi tazkiyun nafs (penyucian diri) manusia dari segala kotoran dan menjadikan diri manusia itu berada dalam kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta mempelajari segala apa yang bermanfaat baginya dan yang tak diketahuinya.5 4 5 Depag RI Al-Qur'an dan Terjemahannya,…, hlm. 6. Abd. Aziz, Filsafat Pendidikan Islam, …, hlm. 8. 19 Istilah lainnya yaitu ta’dib, menurut penjelasan Naquib Al Attas, ta’dib berasal dari kata kerja adabun yang berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hierarkis sesuai dengan berbagai tingkat dan derajat mereka. Demikian juga tentang kedudukan seseorang yang tepat dalam hubunganya dengan hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmaniah, intelektual maupun rohaniah seseorang. Dengan demikian al attas mendefinisikan pendidikan menurut Islam sebagai pengenalan dan pengetahuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kedalam manusia. Tentang tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu dalam tatanan wujud tersebut. Pengertian singkat tersebut menjelaskan bahwa pendidikan Islam adalah usaha agar manusia mengenali kedudukan dalam kehidupan ini.6 Dalam komposisi ini sebenarnya apabila digabungkan akan diperoleh konsep metode pendidikan yang mengantarkan kemajuan pencapaian addin dan al-‘ilm. 2. Secara Istilah Dalam pandangan istilah pendidikan Islam dapat diartikan sebagai usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh Nabi dalam menyampaikan seruan agama dengan berdakwah, menyampaikan ajaran, memberi contoh melatih ketrampilan berbuat, memberi motivasi, dan menciptakan lingkungan sosial yang mendukung. 6 Abd. Aziz, Filsafat Pendidikan Islam, …, hlm. 7-8. 20 Pelaksanaan ide pembentukan pribadi muslim itu telah mencangkup arti pendidikan dalam pengertian sekarang. Orang Arab Mekkah yang tadinya menyembah berhala, musyrik, kafir, kasar, dan sombong maka dengan usaha dan kegiatan nabi mengislamkan mereka lalu tingkah laku mereka berubah menjadi penyembah Allah Swt. Mukmin yang sesuai dengan cita-cita ajaran Islam.7 Pendidikan mengarahkan manusia untuk memiliki tabiat yang selaras dengan prinsip keilahian. Nabi Muhammad Saw berhasil mengubah watak bangsa Arab karena fungsi pendidikan itu sendiri memberikan wacana pencerahan untuk bisa diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Bila pendidikan diartikan sebagai latihan mental, moral dan fisik yang bisa menghasilkan manusia berbudaya tinggi, maka pendidikan berarti menumbuhkan personalitas atau kepribadian serta menanamkan rasa tanggungjawab. Usaha kependidikan bagi manusia menyerupai makanan yang berfungsi memberikan vitamin bagi pertumbuhan manusia.8 Pendidikan Islam lebih banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan budi pekerti luhur; tidak hanya bersifat teoritis dihafal semata tetapi lebih kepada praktik kehidupan sehari-hari. Pendidikan Islam tidak memisahkan antara iman dan amal, maka bangsa arab yang tadinya berwatak keras bisa berubah menjadi 7 8 Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam,…, hlm 27. HM. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam , (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm. 7. 21 lembut karena adanya perpaduan dari pembelajaran Nabi yang bersifat teoritis dengan perbuatan Nabi yang menjadi suri tauladan. B. Konsep Filosofi Pendidikan Islam Ide dasar dari pembentukan pendidikan Islam adalah dalam rangka menyelesaikan permasalahan hidup manusia. Sebelum membahas konsep filosofis pendidikan Islam akan dikemukakan terlebih dahulu konsep ilmu yang mendasari pemikiran konsepsional dari pendidikan Islam. Ilmu merupakan sebuah materi yang tidak bisa dipisahkan dari pendidikan Islam . tanpa ilmu pendidikan Islam tidak bisa mewujud menjadi sebuah tataran konsepsional. Demikian pula ilmu yang dipisahkan dari pendidikan Islam akan kehilangan substansinya sebagai sebuah materi yang mengarahkan pendidikan Islam menuju ke universalan. Menurut pengertiannya dalam Webstar New Word Dictionary, ilmu berasal dari kata latin scire yang mempunyai arti mengetahui. Secara bahasa, science berarti keadaan atau fakta mengetahui dan sering diambil dalam arti pengetahuan (knowledge). Pada akhirnya, kata ini mengalami perkembangan dan perubahan pemaknaan sehingga mempunyai pengertian “pengetahuan yang sistematis yang didapatkan melalui observasi, kajian, dan percobaanpercobaan yang dilakukan dari apa yang dikaji”. Dari penelusuran makna 22 tersebut terjadi pergeseran makna sains dari “pengetahuan” menjadi pengetahuan yang sistematis berdasarkan observasi indrawi.9 Selanjutnya dalam pemahaman ilmu ini agar memperoleh pengakuan, maka harus dibuat sistem kerja ilmu yang dapat diukur dengan pola-pola seperti perumusan masalah, pengamatan dan deskripsi, penjelasan, ramalan, dan kontrol. Kata kerja tersebut menjadikan suatu pengetahuan dapat terukur dan teramati dengan baik. Melalui metode keilmuan tersebut, yang dihasilkan dari penggabungan yang baik antara data-data empiris dan pemikiran yang rasional, memungkinkan diperoleh teori-teori ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi umat manusia.10 Ilmu yang sudah tersistematis merupakan suatu rujukan untuk dieksplorasi secara maksimal dengan memanfaatkan materi yang ada tanpa adanya tumpang tindih antara satu bidang dengan bidang lainnya. Hal ini menunjukan bahwa sesuatu harus diklasifikasikan sesuai dengan bidangnya masing-masing menurut kitab Syarah Hadis Al-Kahfi, yang dikutip oleh M. Fatih Suryadi Laga dalam bukunya”Konsep Ilmu Dalam Kitab Hadis”, bahwa ilmu terbagi menjadi tiga: 1. Fiqh Al-Akhbar, yaitu ilmu teoritis didalamnya mencakup pengetahuan tentang Allah swt dan hakikat-hakikat ciptaannya serta buatannya, dan pengetahuan tentang nabinya, rasul-rasulnya, serta pengetahuan mengenai hakikat sesuatu asal mula darinya dan kembali kepadanya. 9 M. Fatih Suryadi Laga, Konsep Ilmu Dalam Kitab Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 94-95. 10 M. Fatih Suryadi Laga, Konsep Ilmu Dalam Kitab Hadis,…, hlm. 96. 23 2. Fiqh al-Ashghar, yaitu ilmu syara’ yang didalamnya mencakup pengetahuan tentang syariat-syariat, sunnah-sunnah dan hukum-hukum; halal dan haram. 3. Ilmu menyucikan akhlak dan menyempurnakan adab dalam perjalanan menuju Allah Swt, dan mengetahui manzilah-manzilah serta maqomat dan memahami segala sesuatu yang akan menjerumuskan dan mengantarkan kepada kebahagiaan.11 Kompleksitas Islam seharusnya mencakup berbagai ilmu yang diperlukan sebagai dasar kebutuhan dalam penciptaannya atas situasi yang selalu berubah. Ilmu dalam pendidikan Islam seharusnya mencakup atas kepentingan manusia dalam hidupnya. Bahkan pembatasan-pembatasan ini akan mengkerdilkan serta mengebiri tantangan lebih lanjut dalam pendidikan. Al-Qur'an sangat menjunjung ilmu pengetahuan. Dengan total penyebutan ayat yang menyinggung masalah ilmu atau derivatif dan kata-kata yang berhubungan dengannya disebut sebanyak 704 kali. Media ilmu pengetahuan semisal buku (al-Kitab), pena (kalam), tinta (midad) dan sebagainya disebutkan dalam Al-Qur’an hampir sebanyak term ilmu. Sementara telah diketahui bahwa dalam rangka pencapaian ilmu pengetahuan, media buku dan pena sangat esensial dan wahyu yang mula-mula diturunkan berisi titah ilahi untuk membaca. Terbukti terma iqra (bacalah!), atau perintah membaca sebagai wahyu pertama kepada rasulullah Saw.12 11 12 M. Fatih Suryadi Laga, Konsep Ilmu Dalam Kitab Hadis,…, hlm. 114. Ibid, hlm. 102. 24 Bahkan Al-Qur’an mendorong manusia untuk menggali atau untuk menguasai ilmu-ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang seperti dalam surat Ar-Rahman ayat 19, yang berbunyi: #[\+ @+]DE ִY++Z #X_& &G+^H*+\ Artinya: “Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya Kemudian bertemu,”13 Hal ini berhubungan dengan ilmu kelautan dan maritim. Lautan yang memang lebih luas dari daratan memberikan upaya tersendiri dari manusia untuk menaklukannya dengan berbagai penguasaan ilmu kelautan seperti navigasi, berenang dan sebagainya. Selain itu masih dalam surat yang sama dalam ayat 33 menegaskan tentang pengetahuan yang berbunyi: #R[aDb !`ִ☺C+\ (5@f+^ M &G Kde @fD֠L 3[>Z g/Q2@< L #j 56 >(hCִ☺iiE mn/Q2@< lP k g/Q2K@H #WW& E[C@fH*piq oPG Artinya “Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, Maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan.”14 13 14 Depag RI Al-Qur'an dan Terjemahannya,…, hlm. 425. Ibid, hlm. 425. 25 Kekuatan yang dimasud adalah sains dan teknologi. Umat manusia harus mengusai atau menembus antariksa untuk dieksplorasi manfaatnya, tapi kesemuanya harus dengan kekuatan yaitu telnologi. Konsep ilmu dalam Islam yang tertuang dalam Al-Qur'an merupakan gagasan yang paling canggih dan komprehensip. Tingkat kepentingan ilmu hanya berada di bawah konsep tauhid, yang menjadi tema sentral Al-Qur'an. Pandangan Islam berbeda dengan ideologi lainnya tentang ilmu. Selain itu, tidak ada pandangan dunia lain yang menjadikan pencarian ilmu sebagai kewajiban individual dan sosial yang mempunyai dimensi moral dan religius sebagai suatu ibadah. Oleh karena itu, dalam Islam cakupan ilmu tidak hanya sekumpulan pengetahuan secara material an sich. Ilmu identik dengan ibadah hikmah, khilafah dan akherat.15 Kalau kembali merunut ke belakang pada zaman filsafat Helenisme sebenarnya ada dua teori yang memberikan pandangan berbeda tentang obyek ilmu. Teori yang pertama yaitu realisme. Menurut teori ini sesuatu pengetahuan adalah yang tampak ilmu merupakan gambaran yang benar dari alam nyata. Jadi gambaran pengetahuan yang ada dalam pikiran merupakan salinan asli dari realitas yang ada di luar alam pikiran. Sesuatu dianggap benar apabila sesuai dengan kenyataan. Selanjutnya ukuran kebenaran suatu gagasan mengenai barang yaitu menentukan apakah gagasan itu benar-benar memberikan pengetahuan kepada 15 M. Fatih Suryadi Laga, Konsep Ilmu Dalam Kitab Hadis,…, hlm. 183. 26 kita mengenai barang sesuatu sendiri ataukah tidak.16 Jadi sesuatu di luar sikap empirisme akan di tolak karena tidak sesuai dengan realitas yang menghubungkan pengetahuan. Teori yang ke dua yaitu idealisme. Teori ini berseberangan dengan realisme, karena teori idealisme mengakui pengetahuan di balik realitas. Pengetahuan bagi penganut idealisme bukan hanya merupakan gambaran subyektif, bukan gambaran obyektif tentang kenyataan. Dengan demikian, pengetahuan menurut teori idealistik tidak memberikan gambaran yang tepat tentang kenyataan di luar alam pikiran manusia.17 Istilah-istilah terpokok yang dipergunakan oleh penganut idialisme meliputi roh, akal, nilai dan kepribadian.18 Idealisme sejalan dengan Islam yang memikirkan tentang nilainilai. Bagaimanapun suatu ilmu pengetahuan harus ada penyeimbang yang bersifat rohani. Lain dengan realisme, sesuatu yang tidak sesuai dengan objek kajian empiris maka dianggap bukanlah suatu pengetahuan. Sehingga yang nyata hanyalah empirisme atau yang hanya dipikirkan oleh akal. Apabila pandangan tersebut diarahkan dalam pendidikan Islam, maka terjadi kesalahan besar. Islam tidak pernah membedakan ilmu dan agama. Sebagaimana yang telah disebutkan tentang konsep ilmu dalam alquran bahwa hukum Allah swt meliputi alam shahadah (empirical world) dan alam gaib (non-empirical world). Islam tidak pernah menolak kajian empirisme. Tetapi 16 Lowis D. Katsoff, Pengantar filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1996), hlm. 111. 17 Mujia Raharjo, Qoa Vadis Pendidikan Islam, Pembacaan Realitas Pendidikan Islam, Sosial, dan Keagamaan, (Malang: Cendekia Para Mulya, 2006), hlm. 202. 18 Depag RI Al-Qur'an dan Terjemahannya,…, hlm. 323. 27 Islam memandang bahwa kajian empirisme bukan satu-satunya kajian objek ilmu, tetapi ada yang lain lagi yaitu alam gaib yang memang tidak bisa diteliti dan dieksplorasi secara empirik. Walaupun begitu, bukan berarti Islam menghalalkan animisme dan naturalisme. Animisme mengembangkan metafisik bahwa alam dan semesta ini dikendalikan oleh wujud-wujud yang bersifat gaib dan magis. Demikian pula naturalisme memandang alam semesta berjalan sesuai dengan adanya tanpa ada campur tangan wujud lain, jadi semata-mata realitas alam. Jadi pada intinya Islam menolak realisme dan empirisme juga menolak aliran animisme, naturalisme dan materialisme. Sebagaimana ditegaskan dalam surat ar-Ruum ayat 7. +☺;*3+\ '[>tZ sC@ K VE 1k.?+Db u 1+a'5ִ #[+ (R #w& +*>2Cv Artinya: “Mereka Hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.19 Islam berada pada wilayah tengah-tengah, antara empirisme yang mengesampingkan nilai-nilai dengan animisme yang jelas tidak masuk akal. Maka pendekatan filosofisnya Islam memberikan objek kajian ilmu seluasluasnya tanpa adanya pemisahan antara iman dan ilmu. Tidak dikatakan beriman atau meyakini apabila tidak dilakukan dengan kajian empiris, juga 19 Depag RI Al-Qur'an dan Terjemahannya,…, hlm. 323. 28 akan timpang bahkan cenderung tersesat kajian objek ilmu rasional tanpa adanya suatu nilai transendental yang melingkupinya. Pendidikan Islam telah nyata memberikan makanan baik fisik maupun ruhani yang bersifat dinamis. Pengetahuan Islam dituntun sepenuhnya oleh alquran, alhadits dan sejarah islam, khususnya sejarah rasulullah saw karena hanya dengan tiga hal itu seseorang akan dapat merumuskan pengetahuannya dengan cara yang benar dan tepat. Semua aspek kehidupan dalam batasan itu, secara keseluruhan (sistematik, organik, dan fungsional) sudah terkandung dalam tiga sumber paradigma tersebut.20 Pendidikan Islam secara teoritis memberikan konsep filosofis yang seimbang yaitu, manusia selaku hamba tuhan telah diberi kemampuan dasar atau fitrah yang bersifat dinamis dan berkecenderungan bersosial-religius dalam struktur psiko-fisik (jasmaniah-ruhaniah) patuh dan menyerahkan diri kepada maha penciptanya secara total pada tingkat perkembangan yang optimal.21 Oleh karena itu pendidikan Islam berupaya mengembangkan semua aspek dalam kehidupan manusia yang meliputi spiritual, intelektual, imajinasi, keilmiyahan dan lain-lain. Serta memberikan dorongan yang bersifat dinamis untuk menuju kebaikan dan pencapaian kesempurnaan hidupdalam hubungannya dengan pencipta,sesama maupun dengan alam semesta. 20 21 Muslih Usa, Pendidikan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm. 62. HM. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam ,…, hlm. 89. 29 Pendidikan Islam memberikan watak universalnya untuk keseimbangan kehidupan dunia dengan berbagai problemnya, setiap masa memerlukan solusi yang berbeda untuk dapat bertahan hidup. Dengan berbagai modal potensi yang telah dianugerahkan Tuhan untuk mengelola alam dan seisinya yang ke semua potensi itu diorientasikan kepada nilai-nilai spiritual transendental. Jadi jelas perbedaan antara pendidikan Islam dengan pendidikan lainnya. Pendidikan Barat yang memiliki filosofi aliran realisme justru banyak kekurangan, karena melihat fenomena hanya pada realitasnya saja dengan menghubungkan konsep kausalitas. Jadi pengetahuan hanya sebuah materi mekanik. Sedangkan pendidikan Islam memberikan solusi cerah yang akan dihadapi oleh umat manusia dengan konsep filosofisnya yang universal tanpa ada ketimpangan. Potensi-potensi yang ada dimanfaatkan baik fisik maupun ruhani yang berupa nilai-nilai untuk diorentasikan pada sang pencipta. C. Realitas Dan Masalah Paradigma Dalam Pendidikan Islam Pendidikan Islam berupaya memberikan konsep terbaik dalam mengelola dan mengakomodir arus intelektual dengan memberikan konsep yang seimbang antara kehidupan duniawi dan ukhrawi. Ini sebenarnya agar tercapai ilmu yang bisa memberikan pencerahan atas solusi masalah yang dihadapi agar manusia tetap jalan koridornya menjalani kehidupan. Realita memang tidak bisa dipisahkan dari masalah yang membelit pendidikan Islam itu sendiri. Upaya untuk menghadirkan sistem pendidikan yang seimbang belum optimal, dalam tataran konsep memang sudah baik 30 sekali. Konsep pendidikan Islam yang mengandung konsep agama, konsep manusia, konsep ilmu, konsep kebijakan, konsep keadilan, konsep amal, dan konsep perguruan tinggi. Dengan perpaduan konsep-konsep ini sebenarnya pendidikan Islam menjadi solusi atas ketimpangan output yang dihasilkan oleh suatu sistem pendidikan. Realitas pendidikan Islam memang tidak bisa dipisahkan dari sumber pendidikan Islam itu sendiri, yaitu Al-Qur'an, hadis, dan sejarah rasulullah. Pemahaman akan masalah dalm pendidikan Islam harus dikembalikan kembali kepada tiga unsur penting di atas mestinya pendidikan Islam tetap dalam kerangka memecahkan permasalahan umat dan dakwah Islam. Tetapi saat ini pendidikan Islam belum menunjukan kiprahnya yang optimal. Pendidikan Islam mengajarkan hukum normatif akhlak dan moral dengan mengesampingkan ilmu pengetahuan yang mendasari pemecahan masalah yang timbul akibat evolusi alam. Amrullah Ahmad secara terprinci menjelaskan tentang masalah yang dihadapi pendidikan Islam, yaitu: Pertama, kegagalan dalam merumuskan tauhid dan bertauhid. Kedua, kegagalan butir pertama di atas menyebabkan lahirnya syirik yang berakibat adanya dikotomi fikrah Islami. Ketiga, dikotomi fikrah Islami menyebabkan adanya dikotomi kurikulum. Keempat, dikotomi kurikulum menyebabkan terjadinya dikotomi dalam proses pencapaian tujuan pendidikan. Kelima, dikotomi pencapaian tujuan pendidikan dalam interaksi sehari-hari di lembaga pendidikan menyebabkan dikotomi abituren pendidikan dalam bentuk split 31 personality ganda dalam kemusyrikan, kemunafikan yang melembaga dalam sistem keyakinan, sistem pemikiran, sikap, cita-cita dan perilaku yang sering disebut sekularisme. Keenam, suasana dikotomik ini melembaga dalam sistem pengelolaan lembaga pendidikan Islam yang ditandai dengan tradisi “mengulurkan tangan” keluar untuk meminta bantuan dana atau fasilitas tertentu dan dukungan secara politis dengan alasan obyektif atau subyektif; bahwa terjadinya krisis dalam penyelenggaraan pendidikan. Ketujuh lembaga pendidikan akan melahirkan manusia yang berkepribadian ganda, yang justru melahirkan dan memperkokoh sistem kehidupan umat yang sekularistik, rasionalistik-empiristik-intuitif dan materialistik. Kedelapan, tata kehidupan umat yang seperti itu hanya mampu melahirkan peradaban Barat sekuler yang dipoles dengan nama Islam. Kesembilan, dalam proses regenerasi umat, maka tampillah dai yang berusaha merealisir Islam dalam bentuknya yang memisahkan kehidupan sosial – politik – ekonomi - ilmu pengetahuan – teknologi dengan ajaran Islam agama urusan akherat dan ilmu teknologi untuk urusan dunia.22 Akar universal Islam telah tercerabut dalam bentuknya yang timpang dengan memisahkan materi-materi ilmu menjadi ilmu umum dengan dikomandoi sains dan teknologi dan ilmu agama yang tetap pada tradisinya mengajarkan ilmu keagamaan klasik seperti fiqh, akhlak, dan sebagainya. Ini yang harus diselesaikan dalam masalah paradigma pendidikan Islam. 22 Muslih Usa, Pendidikan Islam Di Indonesia, …, hlm. 52-53. 32 Pendidikan Islam tidak akan bangkit seperti abad pertengahan apabila hal yang tidak selaras untuk memajukan Islam dilanggengkan. Bahkan menurut Muhammad Abduh, yang menyebabkan masalah dalam pendidikan Islam adalah paham jumud. Paham tasawuf yang mempunyai tempat tersendiri dalam Islam . diselewengkan menjadi paham fatalisme. Maka menurutnya pendidikan Islam harus bisa menjadi lembaga solutif dengan memberikan pelajaran ilmu pengetahuan dan sains.23 Maka upaya perbaikan pendidikan Islam dalam rangka menyiapkan diri ke depan harus meliputi bebrapa hal berikut: Pertama, agama yang disajikan dalam proses pendidikan haruslah agama yang lebih menekankan kepada “kesalehan aktual” bukan semata-mata “kesalehan ritual”. Karena sebagaimana tersebut dalam sabda nabi bahwa kehidupan harus tercipta secara seimbang. Kedua pendidikan tersebut harus mampu menyiapkan generasi terdidik yang pluralis yang siap menghadapi dan mengatasi kemajemukan baik internal maupun eksternal. Konteks ini harus dilihat sebagai modal pendidikan Islam memberikan wacana yang solutif untuk menghadapi kemajuan zaman. Ke tiga pengembangan sifat pluraris sifat tersebut harus merupakan bagian yang tak terpisahkan dari upaya besar mewujudkan masyarakat madani yang demokratif terbuka dan beradab yang menghargai pendapat. Keempat masyarakat madani yang diharapkan adalah masyarakat yang penuh percaya diri, memiki kemandirian dan kreatifitas yang tinggi dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. Ke lima, pendidikan 23 Mujia Raharjo, Qoa Vadis Pendidikan Islam, Pembacaan Realitas Pendidikan Islam, Sosial, dan Keagamaan,…, hlm. 35-36. 33 yang dilakukan harus menyiapkan generasi yang siap untuk berpartisipasi secara aktif dalam interaksi global. Hal ini pendidikan harus menyiapkan pula ketrampilan dan pengetahuan yang mempunyai relevansi terhadap kebutuhan saat ini. 24 Hal ini tidak bisa diabaikan karena akan memberi pengaruh positif terhadap keberlangsungan pendidikan Islam di masa yang akan datang. D. Cita-Cita dan tujuan Pendidikan Islam 1. Citi-Cita Pendidikan Islam Pendidikan Islam ingin membentuk dan mempersiapkan manusiamanusia yang menyadari akan tugas kekhalifahannya, namun juga menyadari bahwa hakekat tugasnya sebagai pengelola alam juga hakekat hidup dan pemilikan ilmu pengetahuan hanyalah milik Allah Swt semata. Jadi dengan ini tidak terbentur semata-mata mengeksplorasi ilmu pengetahuan untuk kepentingan dunia, melainkan juga tetap hikmat kepada Tuhan yang telah menciptakan bumi dan se-isinya. Hal ini akan melahirkan manusia manusia beriman dan ber pengetahuan yang satu sama lainnya saling menunjang. Melahirkan manusia beriman dan ber ilmu pengetahuan merupakan salah satu langkah pokok dalam menjaga keseimbangan dalam pribadi manusia. Hal tersebut 24 Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 66-67. 34 dimungkinkan karena iman senantiasa berorentasi pada ketaqwaan kepada Allah Swt dan mampu menghindarkan manusia dari kesesatan dalam mengembangkan ilmu pendidikan Islam, pengetahuan juga berarti iman sebenarnya adalah pengontrol terhadap nafsu yang menumpangi pikiran dalam mengolah ilmu pengetahuan yang dimaksudkan untuk kesejahteraan agar tidak terjebak dalam kesesatan. Seterusnya beban yang dipikulkan kepada pendidikan Islam sebenarnya berat dibandingkan dengan sistem pendidikan lainnya. Selain melahirkan manusia yang beriman, juga harus berpengetahuan dengan tetap menyesuaikan arah perkembangan kemajuan zaman. Untuk mencapai misi pendidikan Islam yang sedemikian itu tidak semudah membalik telapak tangan. Ia jauh lebih sulit dari tugas pewarisan pengetahuan dan pelatihan ketrampilan, karena setiap upaya pendidikan moral atau pendidikan nilai senantiasa berurusan dengan usaha pembentukan kesadaran dan prilaku moral yang di dalamnya melibatkan proses pembentukan kepercayaan, sikap, nilai, standar moral, dan komitmen moral.25 Untuk menunjang cita-cita pendidikan Islam harus diperhatikan pula aspek lain, selain watak universal Islam menjadi sebuah keniscayaan. Ada juga aspek yang mendukung, yaitu kebebasan akademi. Aspek ini sangat penting karena memberikan kebebasan dalam berfikir dan 25 Muslih Usa, Pendidikan Islam Di Indonesia, …, hlm. 10. 35 berimajinasi.26 Penting karena kemajuan Islam pada abad pertengahan bukan hanya konsep filosofi masyarakatnya yang masih memegang AlQur'an, hadis, dan sejarah sebagai petunjuk pokok, tetapi juga karena kebebasan berfikir tanpa adanya sekap yang membatasi, media pengetahuan yaitu Al-Qur'an menjadi sebuah rujukan untuk selalu menimba ilmunya. Bahkan Allah Swt menyatakan ilmunya tidak akan pernah habis dituliskan walau laut menjadi tintanya, inilah pendorong akan kemajuan apa yang di cita-citakan melalui kebebasan akademik. Jadi aspek kebebasan akademi melalui kebebasan berfikir dan berimajinasi merupakan penunjang utama dalam pencapaian cita-cita pendidikan Islam. Di lain itu pula cita-cita pendidikan sangat berkaitan dengan tanggungjawab intlektual. Karena pendidikan mempunyai tanggungjawab terhadap tranformasi pengetahuan dan intlektual mempunyai kelaziman untuk menjadikan orang terdidik tidak terhenti pada tranformasi pengetahuan saja, namun pendidikan mempunyai tanggungjawab yang lebih universal yakni mengantarkan manusia mempunyai kesadaran moral.27 Apabila kesadaran moral dalam intlektual sudah terbentuk maka seorang muslim yang menjadi output pendidikan Islam akan memperoleh pengakuan sebagai umat kaffah (umat yang sempurna). 26 Mujia Raharjo, Qoa Vadis Pendidikan Islam, Pembacaan Realitas Pendidikan Islam, Sosial, dan Keagamaan,…, hlm. 42. 27 Ahmed Oalwaijri, Islam, Barat dan Kebebasan Akademi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press), hlm. 43. 36 2. Tujuan Pendidikan Islam Apabila akan merunut tujuan pendidikan Islam, maka harus menyikapi kembali ayat Al-Qur'an yang telah memberikan landasan dan pandangan bahwa: I0 ִV|> Artinya: “Sesungguhnya Islam”.28 myz>{0 xG }7C;* Mde agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Manusia yang bergelar muslim harus menjadi penganut agama yang baik dengan menjaga kualitas iman, menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya dengan sempurna. Untuk tujuan itu, manusia harus di didik melalui proses pendidikan Islam yang berarti pendidikan Islam dapat memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilai Islam yang telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya. Dengan kata lain manusia yang mendapatkan pendidikan Islam harus mampu hidup dalam kedamaian dan kesejahteraan sebagaimana diharapkan oleh cita-cita Islam.29 Tujuan pendidikan diselaraskan dengan ketaqwaan yang menjadi muara dalam proses tranformasi pengetahuan yang dalam operasionalnya selalu diimbangi dengan dasar moral dan nilainilai yang dianut dari ide dasar Islam. Tujuan pendidikan Islam dalam operasionalnya menuntut manusia memiliki suatu kemampuan dan 28 29 Depag RI Al-Qur'an dan Terjemahannya,…, hlm. 40. HM. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam ,…, hlm. 7-8. 37 keterampilan tertentu dengan menonjolkan sifat penghayatan dan kepribadian menuju insan kamil yang semakin sempurna. 37 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Pendekatan Penelitian Metode adalah suatu istilah yang digunakan untuk mengungkapkan pengertian “cara yang paling tepat dan cepat dalam melakukan sesuatu.”1Atau suatu cara yang ditempuh oleh seseorang sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Bila metode yang dipakai tepat maka suatu kegiatan atau aktivitas apapun akan sesuai dengan rencana. Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan cara mengambil atau mencari buku-buku yang berkaitan langsung dengan pembahasan yang selanjutnya Penulis mentelaah permasalahan dan tema yang ada kaitan langsung dengan pembahasan skripsi ini. B. Sumber Data Dalam pengambilan data; penulis membaginya menjadi dua data yaitu: 1. Data Primer Yaitu data pokok yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, dalam hal ini digunakan pemikiran-pemikiran karya Al-Ghozali dan Muhammad Iqbal serta karya penulis lain yang menulis tentang Muhammad Iqbal , diantaranya adalah sebagai berikut: a. Al-Ghozali, Ihya Ulumiddin,Terjemah TK.H. Ismail Ya’kub MA. SH, CV Faizan,Surabaya, 1966. 1 Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 9 37 38 b. ------------, Tahafut Al-Falasifah, Terjemah Ahmad Maimun, Penerbit Islamika, Yogyakarta, 2003 c. ------------, Fatihatul Ulum, Terjemah oleh Ma’ruf Asrori, Pustaka Progresif, Surabaya, 2002. d. M. Muhammad Iqbal, The Reconstruction Of Thought In Islam dengan judul Rekonstruksi Pemikiran Agama Dalam Islam (alih bahasa oleh Ali Audah dkk ), Jalasutra, Yogyakarta, 2008. e. Abul Hasan Ali Al-Husni An-Nadwi, The Glory Of Iqbal alih bahasa dengan judul Percikan Kegeniusan Dr. Muhammad Muhammad Iqbal (penerjemah Suyibno Hz. M),Integrita Press, 1985. f. K. G Saiyidain, BA, M. Ed, Iqbal’s Educational Philosophy alih bahasa dengan judul Percikan Filsafat Muhammad Iqbal Mengenai Pendidikan (Alih Bahasa M. I. Soelaeman, C. V Diponegoro, Bandung, 1981). 2. Data Sekunder Yaitu data yang digunakan sebagai data pelengkap dalam penulisan skripsi ini, yang Penulis jadikan sebagai data sekunder adalah sebagai berikut: a. Abd. Aziz, M. Pdi, Filsafat Pendidkan Islam, Sebuah Gagasan Membangun Pendidikan Islam, Teras, Yogyakarta, Juni 2009. b. Abu Bakar Abdurrozak, Matahari Didalam Diri, Muhasabah AlGhozali Untuk Para Muridnya, Hikmah, Jakarta, Juli 2003. 39 c. Ahmed O. Alwajri, Islam, Barat, dan Kebebasan Akademik, Titian Ilahi, Yogyakarta, 1997. d. Dr. Ahmad Munir,, Tafsir Tarbawi, Mengungkap Pesan Al-Qur'an Tentang Pendidikan, Teras, Yogyakarta, 2008. e. Dr. Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Islam, Reemaja Rosdakarya, Bandung, 2000. f. Dr. M. Alfatih Suryadilaga M.Ag, Konsep Ilmu Dalam Kitab Hadits, Studi Atas Kitab Alkafi Karya Kulaini, Teras, Yogyakarta, April, 2009. g. Dr. Hasyimsyah Nasution M.A, Filsafat Islam, Radar Jaya, Jakarta, 2002. h. Dr. Zakiyah Daradjat dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Depag, 2006. i. Drs. Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghozali Tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009 j. ed, Dr. Ahmad Daudy M.A, Segi-Segi Pemikiran Falsafi Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1984. k. ed, Dr. H. Mudji Rahardjo M.Si, Quo Vadis Pendidikan Islam, Realitas Pembacaan Pendidikan Islam, Sosial dan Keagamaan, Cendikia Paramulya, Malang, Juni 2006. l. ed, Muslih Usa, Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita Dan Fakta, Tiara Wacana, Yogyakarta, Juli 1991. m. Prof. Dr. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran Dan Gerakan, Bulan Bintang, Jakarta, 1996. 40 n. Prof. Dr. Ali Shafique Khan, Fisafat Pendidikan Al-Ghozali (terjemah), CV. Pustaka Setia, Bandung, 2005. C. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam kegiatan penelitian mempunyai tujuan mengungkap fakta mengenai variabel yang diteliti. Tujuan untuk mengetahui (goal of knowing) haruslah dicapai dengan menggunakan metode dan cara-cara yang efisien dan akurat. Data tangan pertama biasanya diperoleh melalui observasi (dalam arti luas) yang bersifat langsung sehingga akurasinya lebih tinggi akan tetapi seringkali untuk memperolehnya diperlukan sumber daya yang lebih besar. Sebaliknya data tangan kedua yang biasanya diperoleh dari otorita atau pihak yang berwenang, mempunyai efisiensi yang tinggi tetapi kadang-kadang kurang akurat.2 D. Metode Analisis Data Dalam menganalisis penulis menggunakan metode Content Analisys menurut dari data primer dan data sekunder.3 Content Analisys berangkat dari aksioma bahwa studi proses dan komunikasi yang merupakan dasar bagi ilmu sosial. Pembentukan dan pengalihan prilaku dan polanya berlangsung melalui komunikasi verbal. Dalam hal ini komunikasi verbal dapat membantu menyelesaikan kepentingan-kepentingan yang berbeda yang sukar dipecahkan untuk 2 3 Syaifudin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 91-92. Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: Rajawali, 1994), hlm. 85 41 memahaminya. Content Analisys adalah merupakan analisis ilmiah tentang isi pesan atau komunikasi. Secara teknis content analisys mencakup upaya: a. Klasifikasi tanda tanda yang dipakai dalam komunikasi. b. Menggunakan kriteria sebagai klasifikasi. c. Menggunakan teknik analisis sebagai pembuat prediksi.4 Adapun penulis skripsi ini menggunakan empat metode dari Content Analisys yaitu sebagai berikut. a. Teks perlu diproses dengan aturan dan prosedur yang telah direncanakan. b. Teks perlu diproses secara sistematis, mana yang termasuk dalam suatu kategori, dan mana yang tidak termasuk ditetapkan berdasarkan aturan yang telah ditetapkan. c. Proses menganalisis teks tersebut haruslah mengarah kepada pemberian sumbangan teori, ada relevansi teoritiknya. d. Proses analisis tersebut berdasarkan pada deskripsi yang dimanifestasikan. 4 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif edisi IV, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2002), hlm.68. 42 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Al Ghozali , Muhammad Iqbal Dan Konsep Pemikiran 1. Al Ghozali a. Biografi Al-Ghozali Imam Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad, Al-Ghazali, Ath-Thusi AnNaysaburi, Al-Faqih, Ash-Shufi, Asy-Syafi’i, Al-Asy’ari. Ia adalah Zaenuddin, Hujjatul Islam.1 Beliau dilahirkan di daerah Thus termasuk wilayah Khurosan Persia pada awal tahun 450 H. atau 1059 M. Ayah Al-Ghazali adalah orang yang fakir harta tetapi kaya spiritual. Ayah Al-Ghazali bekerja keras memproduksi tenun dan selalu berhidmat kepada tokoh-tokoh agama dan ahli fiqh di berbagai majlis dan khalwat mereka.2 Al-Ghazali bukan anak tunggal. Beliau mempunyai seorang saudara laki-laki yaitu Ahmad. Menjelang akhir hayatnya, ayah Al-Ghazali menitipkan kedua anaknya kepada salah seorang kawan karibnya dengan satu pesan agar kedua anak tersebut untuk dididik sampai habis harta peninggalannya. Sesuai dengan pesan, kawan karib tadi melakukan apa yang diinginkan oleh ayah Al- 1 Al-Ghazali, Mukhtasar Ihya ‘Ulumuddin, Terjemahan oleh Irawan Kurniawan, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 9. 2 Thaha Abd. Al-Baqi Surur, Al-Ghazali Hujjatul Islam Terjemah oleh LPMI, (Solo: Pustaka Mantiq, 1988), hlm. 20. 42 43 Ghazali. Kedua anak tersebut dididik hingga habis harta peninggalan ayahnya. Setelah itu, mereka disarankan agar tetap mencari ilmu sebisa mungkin.3 Al-Ghazali sejak kecil dikenal sebagai orang anak pecinta ilmu pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran yang hakiki, sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa duka nestapa dan sengsara.4 Dalam usia muda, beliau berguru kepada Ahmad ibn Muhammad Al-Radzikani di Thus , kemudian beliau belajar kepada Abu Nasir Al-Isma’ily di Jurdan. Setelah itu itu beliau kembali ke Thus.5 I’tiqad yang kuat sebagai pencari kebenaran dan ilmu tersebut dalam pernyatan Al-Ghazali sendiri dalam bukunya yang berjudul AlMunqidh Min Al-Dlalal. Sesungguhnya kehausan untuk menyelami hakekat segala sesuatu merupakan kebiasaanku sejak dini. Sifat ini merupakan fitrah yang dikaruniakan oleh Allah SWT kepadaku, bukan pilihan atau usahaku sendiri, sehingga aku terbebas dari belenggu taqlid dan kepercayaan-kepercayaan warisan, sementara disaat itu usiaku masih belia.6 3 Fathiyah Hasan Sulaiman, Basths Fi-‘L-Mazhab Al-Tarbawi ‘Inda al-Ghazali Terjemah oleh Ahmad Hakim dan M. Imam Aziz, (Jakarta: P3M, 1990), hlm. 6. 4 Abuddin Nata, H. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), hlm. 82. 5 Fathiyah Hasan Sulaiman, Basths Fi-‘L-Mazhab Al-Tarbawi, Op. Cit. hlm. 7. 6 Al-Ghazali, Al-Munqidh Min Al-Dlalal, Terjemah Oleh Masyhur Abadi, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2001), hlm. 107. 44 Di tanah kelahirannya, (Thus) Al-Ghazali belajar sejumlah ilmu pengetahuan. Setelah itu, beliau pergi ke Jurjan, lalu ke Naysaburi, pada saat Imam Al-Haramayn “Cahaya Agama” AlJuwayni menjabat sebagai kepala madrasah Nizamiyyah. Di bawah asuhan Al-Juwayni, Al-Ghazali belajar ilmu fiqh, ushul, mantiq, dan kalam. Al-Ghazali memang orang yang cerdas dan sanggup mendapat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan penalaran yang jernih hingga Imam Al-Juwayni sempat memberi predikat beliau itu sebagai orang yang memiliki ilmu yang sangat luas bagaikan “laut” dalam nan menenggelamkan (bahrun maghriq)”.7 Kemashuran nama Al-Ghazali dalam dunia Islam di samping karena pemikiran-pemikirannya yang bersifat monumental, juga karena kisah petualangannya yang panjang dalam upaya mengkaji, menilai, dan merumuskan ilmu pengetahuan dalam beberapa aspeknya. Kemampuannya untuk merefleksikan ilmu pengetahuan dengan berbagai aspeknya, menunjukan kelebihan pada diri AlGhazali yang berbeda dengan para ulama dan pemikir yang lain. Penguasaan dalam berbagai cabang dan aspek ilmu pengetahuan dari filsafat berikut penyelesaian permasalahan sampai dengan tasawuf yang begitu mendasar. Tinjauan yang digunakam Al-Ghazali bukan mutlak hanya pada indera secara belaka namun penekanan rasio serta pengembalian suatu permasalahan dengan kaca mata akal dan agama. 7 Abuddin Nata, H. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Seri Kajian Filsafat Pendidika, Op. Cit. hlm. 83 45 Al-Ghazali keluar dari Naysabur menuju mu’askar. Beliau menetap di sana sampai diangkat menjadi tenaga pengajar di Madrasah Nidzamiyyah di Baghdad pada tahun 484 H. di sini AlGhazali mencapai puncak prestisius karir keilmuannya, sehingga kuliahnya dihadiri oleh tiga ratus ulama terkemuka8 setelah AlJuwaini meninggal dunia maka Al-Ghazali diangkat sebagai Rektor untuk menggantikan Al-Juwaini. Sekalipun Al-Ghazali menduduki jabatan puncak dalam perguruan tinggi, tetapi sikap jiwa tasawufnya dan ketinggian ilmunya makin berkembang, bahkan tinggkat pengetahuannya mencapai tingkat hakekat. 9 Sambil mengajar di Baghdad, beliau menulis banyak buku. Di antaranra, Al-Basith,Al-Wasith, Al-Wajiz, Al-Khulashah Fi ‘Ilm AlFiqh, Al-Munqidz Fi ‘Ilm Jidal, Ma’akhad Al-Khilaf, Lubab AlNashar, Takhsin Al-Mâkhid dan Al-Mawadi’ Wa-Al-Khilaf. Akan tetapi kesibukan mengarang buku ini tidak mengurangi perenungan dan kontemplasi serta pergumulannya membahas sesuatu di balik hakekat serta keraguannya pada kebenaran tradisi warisan yang tidak seorangpun berfikir untuk membuktikan kebenaran dan meneliti sumbernya. Dalam kesempatan ini, beliau juga mempelajari berbagai pengetahuan, filsafat Yunani kuno, dan berbagai aliran keagamaan 8 Sulaiman Dunya (Pengantar), Tahafut Al-Falasifah, Terjemah Oleh Achmad Maimun, (Yogyakarta: Islamika, 2003), hlm. Xxix. 9 Muhsin Manaf, Psyconalisa Al-Ghazali Sufisme Holistic, (Surabaya: Al-Ikhlas, 2001), hlm. 19. 46 yang muncul pada saat itu dengan tujuan agar dapat membantu mencapai pengetahuan yang benar. Dan di antara sekian banyak karya Al-Ghazali, yang paling besar dan yang terkenal adalah Ihya ‘Ulumuddin, yang artinya adalah “menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama”. yang memuat berbagai segi permasalahan kehidupan beragama dan kemasyarakatan. Pada kitab tersebut orang harus mempelajari dan menilai dengan jeli agar dapat memahami betul dengan seksama. Karena bagaimanapun juga menusia mempunyai kecendrungan berpikir yang berlainan, karena kitab tersebut sampai sekarang masih dijadikan sebagai rujukan dalam berbagai macam aspek ilmu pengetahuan dari filsafat, fiqh, sampai dengan tasawuf, terutama dalam kajian-kajian di pondok pesantren. Al-Ghazali yang menyandang gelar hujjat al-Islam (pembela Islam) dan zainu al-din (hiasan agama) memiliki popularitas yang sukar dicari bandingannya. Wawasan ilmu keIslaman yang dimilikinya meliputi empat aspek ilmu yaitu, teologi, hukum Islam, filsafat dan tasawuf. Keahliannya dalam bidang keempat bidang ilmu itu tidak dimiliki sekaligus oleh pemikir Islam lainnya. Oleh karena itu, Al-Ghazali bukan saja ahli bidang ilmu teologi, hukum Islam, tasawuf tapi juga memiliki ilmu yang mendalam bidang filsafat.10 Beliau mempelajari filsafat, untuk menyelidiki apakah pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para filosof-filosof itu 10 hlm, 43. Syamsul Rijal, Memahami Filosofi Alam, (Yogyakarta: Arruz Book Gallery, 2003), 47 merupakan suatu kebenaran, namun akhirnya ketidak yakinan AlGhazali menampakan bahwa akal bukanlah satu perangkat mutlak untuk meyakinkan kebenaran. Al-Ghazali memegang teguh akal dengan penuh suka dan mencampakkan perangkat lainnya. Selama akal atau yang disebutnya “kapasitas kepastian rasional” bisa dipercaya akan mendatangkan kepercayaan sempurna (al wasuq at tam), ia bisa dijadikan perantara menuju al’ilm al yaqini yang didambakannya.11 Al-Ghazali dianggap sebagai kritikus pengetahuan, pemikir yang brilian dan berpandangan jauh. Tujuan hidup menurutnya adalah kesempurnaan manusia yang puncaknya adalah dekat dengan Allah SWT serta kebahagian akherat. Karena ia antusias sekali untuk mengajar orang lain tentang pengetahuan-pengetahuan yang biasa mengantarkan mereka pada tujuan ini. Harapan yang diajukan adalah agar dapat memperbaiki individu dan menyebarkan keutamaan diantara manusia. Karena itu, ia adalah pendidik dan juga reformer sosial.12 Kepuasan pengembaraan telah selesai dan beliau ingin mencari ketenangan di lingkungan keluarga. Rupanya ketenangan hidup di tengah keluarga inilah yang menyertai akhir kehidupannya, maka pada 11 Sulaiman Dunya (Pengantar), Tahafut Al-Falasifah, Terjemah Oleh Acmad Maimu, Op. Cit. hlm xxxvi-xxxvii. 12 Fathiyah Hasan Sulaiman, Bahts Fi’l-Madzhab Al-Tarbawi, Op. Cit. hlm. 6 48 tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H atau tahun 1111 M dalam usia 55 tahun beliau diipanggil oleh Allah SWT untuk selamanya.13 b. Sejarah Pemikiran Al-Ghozali Jika kita menelaah karya-karya alghozali, terutama karya besarnya ihya ‘ulumiddin dapatlah dia disebut sebagai seorang teolog, filsuf, guru, sekaligus sufi. Berbagai disiplin ilmu ini dikuasainya dengan baik.ada dari sekian disiplin ilmu itu niatan awalnya bukan untuk menguasai ilmu itu lalu akan mendapatkan predikat sebagai ahlinya, tetapi sengaja agar ia bisa mematahkan argumen lawan yang menguasai disiplin ilmu tersebut yang telah melenceng dari kaidah utama. Disiplin ilmu filsafat layak dijadikan sebagai contohnya. Pertentangan dan kesesatan yag telah marak ditengah-tengah umat memaksa alghozali untuk menguasai disiplin ilmu tertentu agar ia bias meluruskan kembali kebenaran yang telah diselewengkan. Maka al Ghozali terkenal dengan julukannya “Hujjatul Islam”. Dengan menjadi seorang tokoh intelektual yang besar, alghozali meninggalkan berbagai kesan dan pengaruh abadinya dalam otak dan hati jutaan manusia yang berfikir di dunia. Hal tersebut akan terus menerus seperti itu hingga sampai keabadian. Falsafahnya tentang ilmu pengetahuan dan belajar merupakan sebagian pandangan umumnya mengenai dunia dan kebijaksanaan dan kecerdasannya, telah dituangkan dalam bukunya yag sangat banyak. Untuk 13 Muhsin Manaf, Psyconalisa Al-Ghazali Sufisme Holistic, Op. Cit. hlm. 23. 49 kepentingan meguraikan falsafah ilmu pengetahuannya, kita perlu menelusuri latar belakang, budaya, agama dan pendidikan pada masa hidupnya karena dia merupakan sebagian produk dari masa tersebut. Hal tersebut bertujuan agar berbagai kecenderungan dan kemungkinan yang membantu pencatatan atas pandangan dan wawasannya dapat dipahami secara sempurna.14 Sebenarnya yang terjadi pada masa Al-Ghozali adalah krisis moral. Secara politis sebelum masa kelahiran Al-Ghozali sampai pada masa perjuangannya, Bani Umayah dan Bani Abbas, dengan berturutturut telah membangun rezim diktator yang sewenang-wenang dengan keemasan Islam yang sangat tipis. Dimana perang intrik tipu daya, komplotan rahasia, persaingan pribadi dan perseteruan keluarga mengikuti masa-masanya hampir tanpa sela. Setelah bani Abbas, dunia muslim diubah menjadi bagian-bagian kecil dan banyak pihak penuntut atas mahkota telah menaikkan bagian mereka yang amat besar. Rezim diktator yang sangat sewenang-wenang bukannya menjadikan khalifah kuat, karena akibat krisis moral internal keluarga khalifah menjadikan kebencian rakyat, sehingga dengan mudahdihancurkan oeh kekuatan dari luar. Raja-raja Saljuk memperluas kekaisaran sampai ketitik terjauh dari benua Asia, Eropa, dan Afrika dan banyak raja besar bersikap 14 hlm. 15 Shafique Ali Khan, Filsafat Pendidikan Al-Ghazali, (Bandung: Pustaka Setia, 2005, 50 tunduk pada raja muslim. Akan tetapi ironinya ketika orang-orang Islam berada diarus tertinggi dalam kemegahan materi mereka, Islam sebuah ideology justru diperas dan menyusut hingga ke batas yang sangat sempit. Akibatnya pengamalan Islam berkurang hingga menjadi buku saku (bawaan yang amat kecil), baik para elit maupun kelompok massa.15 Tidak sedikit kerugian yang dialami oleh Islam akibat lemahnya pemimpin Islam, timbulnya kerusuhan akibat adanya persaingan pribadi keluarga istana serta yang paling menyedihkan adalah penyerangan dari luar yang didalangi oleh Bangsa Mongol dengan menghancurkan berbagai fasilitas perpustakaan dan membakar buku-bukunya yang merupakan simbol kejayaan Islam. Al Ghozali ingin membangun kembali kejayaan Islam dengan memulai pembangunan dari sisi moral, dimana pemikiran-pemikiran sempalan yang telah melenceng dikembalikan kembali kepada jalannya yang benar. Lebih lanjut pendidikan dengan basis alquran dan sunnah yang telah banyak ditinggalkan umat kini digalakkannya kembali. Hal ini karena keseimbangan yang diperlukan antara kekuatan duniawi dan kekuatan yang bukan duniawilah menghilang. Dua hal yang telah bertolak belakang, yaitu desakan menuju rasionalisme dan kebahagiaan tasawuf yang tidak sehat yang mengarah pada amalan 15 Shafique Ali Khan, Filsafat Pendidikan Al-Ghazali,…, hlm. 16. 51 dan kepercayaan yag tidak berdasar, telah melemahkan energi kreativitas dari semua orang. Demikian pula pertentangan pada sisi sosial keagamaan. Factor ini lebih menyebabkan Al-Ghozali begitu cerdik untuk menumpas kesesatan-kesesatan yang dilancarkan oleh orang-orang yang sengaja ingin menghancurkan Islam. Dengan munculnya mu’tazilah, suatu aliran agama filosofis yang menegaskan rasionalisme dalam menafsirkan ajaran-ajaran Islam, masa perbid’ahan dan kebohongan membuka permulaan yang pasti. Orang-orang yang baru meningkat dalam fisafat dan intelektual telah mengalihkan perhatian khalayak dari ajaran dan amalan yang pokok pada ha-hal yang sekunder, bahkan tersier.16 Paham orang-orang rasionalisme yang diimpor dari yunani sengaja dimasukkan kepada umat untuk memperlemah Islam itu sendiri. Dialog-dialog mengenai hal-hal yang tidak dianjurkan mereka adakan. Pembicaraan-pembicaraan mereka malah menjurus kepada kemusyrikan dan kesesatan tentang abadinya alam, tidak kekalnya jiwa, debat apakah alquran makhluk apa bukan. Pembicaraanpembicaraan ini hanya menghabiskan tenaga tanpa ada sesuatu yang didapat. Padahal alquran telah menjelaskan semua yang mereka perdebatkan. 16 Shafique Ali Khan, Filsafat Pendidikan Al-Ghazali,…, hlm 17. 52 Al-Ghozali tampil ditengah-tengah untuk meluruskan pemahaman mereka agar sesuai dengan ajaran allah swt dan nabinya. Sekte batiniah adalah sekte yang paling banyak kebohongannya. Ada dua hal yang paling penting untuk sengaja dilesakkan kepada umat. Pertama, mereka (sekte Batiniah) biasa mengkhutbahkan bahwa alquran dan sunnah mempunyai arti dan aspek yang lahir dan tersembunyi, kedua corak itu saling bertentangan. Kedua, tentang imam yang ma’shum (pemimpin rohani umat yang tidak pernah berdosa) adalah satu-satunya manusia yag benar benar mengerti atas realitas yang tersembunyi atau bersifat rohani dalam alquran dan assunnah dan tentu tugas khalayaklah untuk menemukan dan taat kepadanya.17 Mula-mula Al-Ghozali melakukan penelitian terhadap literature-literatur yag dijadikan dasar kaum kebatinan. Hasil penelitiannya disusun kemudian dijadikan bahan untuk menyanggah keyakinan yang salah, sebagai usaha unuk menyanggah keyakinan yang salah, sebagai usaha untuk mengembalikan keyakinan umat kepada ajaran yang hak dan dalam rangka memperoleh ilmu yang hak juga. Setelah itu beliau menanyakan dimana tempat imam ma’shum itu dan kapan ia bisa dijumpai. Ternyata tidak ada satupun pengikut aliran kebatinan yang mampu menunjukkannya. Ketidakmampuan pengikut aliran kebatinan untuk mengemukakan argumentasi dan 17 Shafique Ali Khan, Filsafat Pendidikan Al-Ghazali,…, hlm 19-20. 53 menunjukan bukti dimana dan siapa imam yang ma’shum itu, maka alghozali berkesimpulan bahwa imam ma’shum kaum kebatinan itu hanyalah tokoh ideal saja, hanya ada dalam anggapan dan tidak ada dalam kenyataan.18 Mereka spekulasi saja tanpa dalil yang kuat sehingga sangat mudah paham mereka dipatahkan. Terlihat kesesatan mereka ini hanya dalam rangka mengaburkan ajaran Islam yang telah jelas. Ghozali setelah menjadi orang yang fundamental dan salaf yang terbina dan tercerahkan, tidak yakin atas argumentasi para penghianat ketika itu. Dia menolak untuk merasakan, melihat, memikirkan, mendengarkan, berhujjah, bertindak dan berkata diluar isi pokok Islam. Dia berpendapat bahwa apabila dasar-dasar Islam tidak dipahami dengan jujur sebagaimana adanya dan tidak benabenar diamalkan atas dasar dari alQuran dan assunnah ada penyimpangan aspek sekunder atau tersier sama saja dengan tidak melaksanakan Islam. Kekokohan alghozali ini karena berbagai disiplin ilmu serta keahlian yang dimilikinya yang saling melengkapi sehingga prmasalahan apapun akan dikembalikan kepada prinsip Islam sebagai dasar dari disiplin ilmunya. Tak diragukan bahwa mengikuti satu golongan tertentu tanpamelakukan penelitian mendalam adalah tindakan serampangan dan merupakan sikap taklid. Sementara 18 Abidin Ibn Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 20-21 54 kemantapan hati menuntut kajian lebih jauh mendalam dengan disertai kritisisme yang tajam dan benar sebab persoalannya menyangkut kebahagian abadi atau penderitaan tanpa akhir. Inilah yang dilakukan oleh alghozali, ia menegaskan: “perbedaan manusia mengenai agama dan aliran juga keragaman para imam mahzhab adalah samudera yang sangat dalam yang telah menenggelamkan banyak orang dan hanya sedikit orang yang bisa selamat”.19 Al Ghozali menekankan pentingnya pengetahuan kebenaran tanpa ditunggangi taklid buta. Kejelian dan perhitungan yang mendalam mengambil sikap harus didasari oleh pengetahuan tentang kebenaran. Sehingga diistilahkannya tidak “penderitaan menyesal tanpa dikemudian akhir” sebab hari, yang minimnya pengetahuan kebenaran yang menjadi pokok dasar dalam mengambil sikap. Sebagaimana dijelaskan alghozali dalam bukunya Al-munqidz min dhalal, ia ingin mencari kebenaran sejati, yaitu kebenaran yang diyakininya betul-betul merupakan kebenaran, seperti kebenaran sepuluh lebih dari tiga. Pada mulanya alghozali baranggapan bahwa pengetahuan itu adalah hal-hal yang dapat ditangkap panca indera. Tetapi kemudian ternyata baginya bahwa panca indera juga berdusta. Seumpama bayangan rumah, kelihatannya tidak bergerak, padahal 19 Sulaiman Dunya, Pengantar , Tahafut Falasifah, …., hlm. xxx. 55 terbukti kemudian, bayangan itu berpindah tempat . Demikian pula bintang-bintang di langit, kelihatannya kecil, tetapi perhitungan menyatakan bahwa bintang-bintang itulebih besar dari bumi. Karena tidak percaya pada panca indra Al-Ghazali kemudian meletakkan kepercayaan kepada akal. Pada priode ini Al-Ghazali berkenalan dengan filsafat. Al-Ghazali kagum karena filfasat baginya merupakan alat mengasah otak terutama dalam hal ilmu pasti dan ilmu alam. Tetapi setelah sampai soal-soal ke Tuhanan nyatalah filsafat hanya terawang akal manusia yang tidak senantiasa dapat dipegang, sepintas lalu kelihatan Aristoteles telah menemukan Tuhan. Kemudian diikuti oleh AL-Farabi dan Ibnu Sina setelah dengan pikiran bebas AlGhazali menyelaminya dan dia mendapati bahwa keTuhanan Aristoteles itu bertentangan dengan agama.20 Suatu waktu bermimpi demikian menurut Al-Ghazali orang melihat hal-hal yang kebenarannya betul-betul namun setelah bangun ia sadar bahwa apa yang ia lihat benar itu sebetulnya tidaklah benar. Alasan lain yang membuat kepercayaan Al-Ghazali goncang, karena ia melihat aliran-aliran yang menggunakan akal sebagai sumber pengetahuan ternyata menghasilkan pandangan-pandangan yang bertentangan, yang sulit diselesaikan dengan akal. Sebenarnya AlGhazali tidak konsekuen dalam melihat bidang apa pengetahuan itu ditempatkan. Seperti pengetahuan indrawi akan cocok bila wilayah 20 123-124. Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Panji Mas, 1994), hlm. 56 kerjanya bersifat empiris dan tidak akan sesuai apabila menempatkan pengetahuan akal pada misalnya gesekan lempeng bumi akan menyebabkan gempa bumi. Padahal wilayah bidang ini bersifat fisika empirik yang seharusnya merupakan proyek pengetahuan indrawi. Akibatnya Al-Ghazali mengalami puncak kesangsian, karena ia tidak menemukan sumber pengetahuan yang tidak dipercayai. Ketika Al-Ghazali mempelajari ilmu kalam ternyata hanya memadai tujuannya sendiri. Demikian juga saat ia kagum dengan filsafat ternyata setelah di dalaminya banyak pertentangan yang sulit diselesaikan dengan akal dan itu juga tidak memenuhi tujuannya setelah filsafat, Al-Ghazali pun mempelajari ajaran batiniyyah untuk membuktikan kebenaran yang diyakini oleh para penganutnya, ternyata ajaran batiniyah pun telah melenceng jauh dari ajaran agama, bahkan ajaran ini tidak mengakui peranan akal. 21 Tetapi dua bulan kemudian kesangsian Al-Ghazali mulai menumbuhkan keyakinan karena dengan cara tiba-tiba Tuhan memberikan nur yang disebut juga oleh Al-Ghazali sebagai kunci ma’rifat ke dalam hatinya sehingga ia merasa sehat dan dapat menerima kebenaran pengetahuan a priori yang bersifat aksiomatis. Dengan demikian bagi Al-Ghazali bahwa al-Dzauq (intuisi) lebih tinggi dan lebih dipercaya dari pada akal untuk menangkap pengetahuan yang betul-betul diyakini kebenarannya. Sumber 21 Hasimsyah Nasutiaon, Filsafat Islam, (Jakarta: Radar Jaya, 2002), hlm. 80. 57 pengetahuan tertinggi tersebut dinamakan dengan an-nubuwat yang pada nabi-nabi berbentuk wahyu dan pada manusia biasa berbentuk ilham. Tidak bisa dipungkiri untuk bisa mendapatkan al-Dzauq (intuisi) ini yang bersifat sakral, manusia harus membersihkan diri baik jasmani maupun ruhani melalui jalan sufi (tasawuf), maka AlGhazali melabuhkan pilihan terakhirnya pada jalan sufi. c. Konsep Ilmu Menurut Al-Ghozali Al-Ghazali dalam kehidupannya sangat inten dengan ilmu pengetahuan. Selama pengembaraan intlektualnya ia mendalami dan menguasai begitu banyak disiplin ilmu ia tidak menyediakan diri untuk berspealisasi dalam bidang disiplin tertentu tetapi dirinya ingin menjadi pemikir karena terodorng rasa untuk meluruskan keyakinan umat yang telah melenceng dari ajaran. Oleh sebab itu, harus menguasai berbagai disiplin ilmu. Nabi Muhammad Saw telah bersabda “bahwa orang bodoh adalah musuhnya sedangkan orang terpelajar adalah sahabatnya. Beliau Saw bersabda bahwa kebodohan dan buta huruf adalah jauh lebih jelek dari pada kematian dan ilmu pengetahuan, serta sifat terpelajar adalah lebih baik daripada hidup.22 Beberapa hadis Nabi telah dikutip oleh Al-Ghazali seperti sebagai berikut: 22 Shafique Ali Khan, filsafat Pendidikan Al-Ghazali, …., hlm. 46. 58 “Manusia yang terbaik adalah mukmin yang berilmu, jika diperlukan ia berguna. Dan jika tidak diperlukan maka ia dapat mengurusi dirinya sendiri”. “Apabila datanglah kepadaku hari yang tidak bertambah ilmuku kepadanya yang mendekatkan aku kepada Allah, maka tidak adalah berkatnya padaku pada terbit matahari itu.” “Orang yang berilmu itu adalah kepercayaan Allah Swt di bumi”.23 Bahwa orang yang berilmu mendapat tempat yang tinggi di sisi Allah yang berguna, menjadikan benteng yang kuat dalam menjaga eksistensi agama. Maka apa yang dikutip Al-Ghazali “merugilah ia apabila pada hari itu tidak bertambah ilmunya” karena persoalan yang dihadapi oleh umat semakin beragam dan mengikuti pola arus jalan, maka hendaknya ilmu yang solutif seakan senantiasa menjadi jawaban. Dalam keutamaan-keutamaan yang berelemen tiga; ibadah, kesahidan, dan ilmu pengetahuan maka elemen terakhirlah yang menduduki kekuasaan tertinggi daripada yang lainnya. Di hari kiamat, wasilah dengan perantara ulama akan menjamin kesalamatan bagi beberapa orang yang berdosa. Kesyahidan merupakan upaya pengorbanan jiwa dan harta untuk mempertahankan keberadaan agama atas rongrongan kaum kafir sedangkan masanyapun hanya waktu tertentu saja sedang mempertahankan agama melalui ilmu pengetahuan ia akan selalu ada 23 TK. H. Ismail Yakub, Ihya ‘Ulumuddin Terjemah, (Surabaya: Faizan, 1966), hlm. 32. 59 sepanjang keberadaan agama itu dimuka bumi. Al-Ghazali mengutip sabda nabi: “Ditimbang pada hari kiamat dawat ulama dan dengan darah syuhada (orang-orang syahid mempertahankan agama Allah). Bahwa kemuliaan ilmu pengetahuan yang dibawa oleh ulama akan menjaga dan mempertahankan kebenaran sepanjang masa. Dengan pilihan ibadahpun Al-Ghazali mempunyai alas an: Pertama, hanya ilmu pengetahuan lah yang menjadi sarana untuk mengungkapkan cara ibadah yang benar sehingga harus diikuti; kedua, kesadaran akan diri dan Tuhan hanya mungkin ada melalui ibadah. Apabila manusia tidak mencari puncak kebenaran dengan sarana belajar, dia tidak akan pernah dapt menyembah Tuhan secara benar, ketiga, ilmu pengetahuan memungkinkan kita untuk membedakan antara benar dan salah, baik dan buruk, indah dan jelek, dan yang benar dan kepalsuan. Menurut Al-Ghazali puncak ilmu yang dihasilkan dimanifestasikan dalam bentuk kedekatan Allah Swt. Itu bisa hanya dengan ilmu al-yakin, yaitu ketersingkapan kebenaran tanpa ada kesangsian yang harus dipertanyakan. Al-Ghazali menyebutkan dua sumber utama bagi ilmu pengetahuan, yaitu sumber subyektif dan sumber obyektif. Jenis ilmu pengetahuan yang dihasilkan berbeda pula di antara kedua sumber ini. Sumber subyektif dikatakan oleh Al-Ghazali terdiri atas wahyu dan intuisi, tiba-tiba tanpa ada bantuan tersikaplah pengetahuan yang ada 60 dalam hati seseorang. Di contohkan oleh Al-Ghazali berupa wahyu yang diberikan Tuhan kepada nabi dan ilham untuk manusia biasa selain nabi, sedangkan sumber yang kedua yaitu sumber obyektif, manusia harus berusaha dengan bantuan panca indranya yang terbatas, sehingga tingkatan ilmu pengetahuannyapun kurang sempurna karena tidak dapat diandalkan. Dicontohkan pula oleh Al-Ghazali berupa pengetahuan indrawi, material, masuk akal, dan logis yag terdapat di dalamnya keraguan yang saling bertentangan dengan keaslian dan kesempurnaannya. Dalam bagian lain Al-Ghazali memberikan pengelompokan terhadap orang-orang yang mengambil sumber ilmu di atas dalam empat kelompok: pertama kelompok rasionalis, yang mengaku melihat fenomena tertentu sehingga menghasilkan pengetahuan dengan bantuan kemampuan akal pikiran. Kedua, kelompok kebatinan, yaitu kelompok yang mengklaim diri sebagai pemegang pengajaran (ta’lim) dan yang mengkhususkan diri kepada adopsi ajaran imam yang suci (al-imam al-ma’sum), ketiga kelompok filsuf yaitu kelompok yang mengklaim diri sebaigai pemiliki logika dan penalaran demonstratif. Keempat kelompok sufi yaitu mereka yang mengaku sebagai kelompok elit yang terhormat (khawas al-khadrah) 61 dan biasa menyaksikan dan menyikap kebenaran hakiki.( ahlul almusahadah wal mukasyafah).24 Al-Ghazali mengelompokkan golongan rasionalis, kebatinan, filsuf mendapatkan pengetahuan dari sumber obyektif karena mengambil segala sumber informasi dan pengetahuan melalui pengetahuan indrawi, akal, material yang kemudian disebut oleh AlGhazali di dalamnya terdapat keraguan dan pertentangan. Menurut AlGhazali sumber yang kedua ini tidak dapat menyikap kebenaran hakiki yang hanya melalui kaca mata materialis dengan mengunggulkan rasio. Dalam padangan Al-Ghazali selanjutnya, ilmu yang riil adalah yang sepenuhnya harus bisa memastikan jalan dihadapan semua keraguan. Dalam hal ini ia mencoba mendefinisikannya, “ilmu yakin adalah ilmu yang menyingkap sesuatu yang diketahui dengan secara jelas, sehingga tidak ada ruangan lagi untuk ragu salah, atau keliru”. Tapi ini bukan berarti setiap ilmu yang dapat menimbulkan keraguan sejak pertama harus dipandang keliru. Tapi ia pada saat sedang dilakukannya kontemplasi filosofis ini, hendaknya dipandang belum memiliki landasan yang cukup. Dari sini Al-Ghazali selalu beralih, pengetahuan indrawi yang bersifat tanpa penelitian yang sementara diyakininya kemudian tidak memuaskan dahaga pengetahuannya. Lalu menuju pengetahuan yang 24 Sulaiman Dunya, (Pengantar Tahafut Falasifah, Terjemahannya) Ahmad Maimun, (Yogyakarta: Islamika, 2003), hlm. xxxvii. 62 bersandar pada akal, tapi malah menyebabkan banyak sekali pertentangan dan kesesatan. Mengenai hal ini Al-Ghazali berkata: “mungkin seperti halnya hukum akal dapat mendustakan hukum panca indra, di belakang hukum akal, muncul hukum lainnya pada waktu hukum akal tampak keliru. Ketaktampakan hukum itu tidak menunjukan kemustahilannya. Oleh karena itu Al-Ghazali mengalami sakit dan skeptis yang panjang, sehingga ia menemukan kembali permata yang hilang berupa pengetahuan intuisi yang menurutnya ilmu yakin bisa menyingkap kebenaran Al-Ghazali telah berhasil dan berupaya melepaskan ikatanikatan tradisi-tradisi dan pendapat-pendapat yang membelenggu kebebasan berfikirnya. 25 Maka Al-Ghazali membangun sebuah konsep ilmu serta kriterianya yang harus diperhatikan agar tujuan utama hakikat kebenaran tercapai sehingga menuju apa yang disebutnya “ilmu yang mendekatkan diri kepada Allah.” Dalam hal ini Al-Ghazali membagi ilmu dalam dua bagian yang global spesifikasi yang dijelaskan Al-Ghazali ilmu terbagi menjadi dua macam, yaitu, ilmu yang di dalamnya adalah fadu ‘ain dan fardu kifayah. 1) Ilmu fardhu ‘ain, yakni ilmu yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas akhirat dengan baik. Ilmu ini terdiri atas: ilmu tauhid, 25 Ma’ruf Asrori, Pengantar Fatiatul ‘Ulum (Terjemah), (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), hlm. ix. 63 ilmu syariat dan ilmu sirri. Dalam hal difardhukannya ilmu itu terdapat perbedaan. Masing-masing golongan itu menempatkan fardhu ‘ain pada ilmu yang dipilihnya. Berkata ulama ilmu kalam yang fardhu ‘ain karena dengan ilmu kalam diketahui keesaan tuhan, zat, dan sifatnya. Berkata ulama ilmu fiqh, yaitu ilmu fiqh yang fardhu ‘ain karena dengannya diketahui cara beribadat, halal haram. Berkata ulama tafsir dan hadits, yaitu ilmu kitab dan sunnah yang fardhu ‘ain karena dengan perantaan keduanya bisa sampai kepada ilmu-ilmu lain seluruhnya. Berkata pula ulama tasawuf, yaitu ilmu tasawuf yang fardhu ‘ain karena dengan ilmu ini dapat dapat mengetahui keikhlasan dan penyakit-penyakit yang membahayakan bagi diri dan untuk membedakan antara langkah malaikat dan langkah syetan. Perbedaan-perbedaan diatas karena masing-masing pemiliknya menguasai ilmu tersebut serta terasa manfaatnya dalam mendekatkan diri kepada allah, sehingga mengklaim bahwa bidangnya lah yang fardhu ‘ain. Tak dipungkiri bahwa bidang-bidang ilmu diatas mengantarkan orang yang mengerjakannya untuk melaksanakan tugas-tugas akhirat, seyogyanya diyakinia dan dikerjakan 2) Ilmu fardhu kifayah, yakni ilmu-ilmu yang berkaitan dengan urusan keduniawian, yang perlu diketahui manusia . ilmu-ilmu ini berkaitan dengan profesi manusia , oleh karena itu tidak setiap manusia memiliki semua jenis yang ada, tetapi cukup 64 dikembangkan melalui orang-orang tertentu yang telah memiliki kemampuan khusus untuk mewujudkan kehidupan di dunia ini. Seumpama ilmu kedokteran, karena pentingnya dalam pemeliharaan tubuh manusia dan seumpama ilmu berhitung, karena pentingnya dalam masyarakat jual-beli, pembagian harta warisan, pusaka dan lain-lain. Inilah pengetahuan-pengetahuan, dimana apabila kosonglah suatu negeri daripada orang-orang menegakkannya niscaya berdosalah penduduk negeri itu. Tetapi apabila ada seorang saja yang menegakkan ilmu itu, maka mencukupilah dan terlepaslah yang lain dari kewajiban tersebut.26 Al-Ghazali sangat perhatian dengan masalah itu, begitu urgennya karena hanya dengan ilmu yang bisa mengantarkan manusia kepada Tuhannya. firman Allah: ִ ִ % $ !"# * &'()ִ / ,-. 8"9 4$5☺!#7 023 Artinya: “Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akherat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (AlAnkabut: 64).27 Untuk mencapai ilmu kejalan akherat itu Al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua macam, ilmu mukasyafah dan ilmu mu’amalah. 26 27 TK. H. Ismail Yakub, Ihya ‘Ulumuddin Terjemah,…, hlm. 51-52. Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, (Bandung: Dipenogoro, 2000), hlm 322. 65 Yang dimaksud dengan ilmu mukasyah adalah ilmu batin. Dan ini merupakan puncak dari segala ilmu. Bahwa terangkat dinding yang menutupnya sehingga jelaslah kenyataan kebenaran kebenaran Allah pada semuanya itu dengan sejelas-jelasnya laksana mata memandang yang tak syak wasangka lagi. Sesungguhnya yang dimaksud dengan ilmu jalan ke akherat, ialah ilmu mengenai cara membersihkan kaca dari kotoran-kotoran, yang menjadi dinding atau hijab kepada Allah dari mengenal sifatsifat dan af’alnya. Membersihkan dan mensucikannya dengan mencegah diri dari menuruti hawa nafsu dan berpegang teguh dalam segala hal kepada ajaran nabi-nabi a.s. Ilmu mukasyah ini bersifat esoteris (batini) dan sangat samar. Ia puncak dari setiap ilmu, bahkan tujuan dari segala ilmu yang ada karena semua ilmu dipelajari tujuannya adalah untuk dijadikan sebagai jalan tawasul dan tadarru’ (tunduk kepada Allah Swt). Lalu yang dimaksud dengan ilmu mu’amalah yaitu ilmu yang dipelajari dengan tujuan untuk diamalkan dalam amal perbuatan. Ilmu ini membahas perihal hati (jiwa). Apa yang terpuji dari padanya seperti sabar, syukur, takut, harap, rela, syuhud, taqwa, sederhana, pemurah, mengenal nikmat Allah Swt dalam segala keadaan, ihsan, baik sangka, baik budi, bagus pergaulan, benar dan ikhlas. Untuk menempuh ilmu mukasyafah harus menyempurnakan dahulu ilmu mu’amalah. Ilmu mu’amalah saja tidak cukup, jika tanpa 66 disertai amalan, yaitu membisikkan hati dari segala kotoran sifat rendah dan tercela, dari kegelapan syahwat yang menjadi penghalang utama dari ma’rifatullah. Al-Ghazali membagi pula ilmu menjadi dua bagian, yaitu ilmu terpuji dan ilmu tercela. Yang dimasukan dalam ilmu terpuji yaitu ilmu syariat yang berjumlah empat. Pertama pokok (Ushul)yaitu ilmu yang diperoleh para nabi dan tidak ditunjukkan oleh akal manusia kepadanya. Hal ini ada empat: kitabullah ‘aza wajalla (Al-Qur'an), sunnah rasul Saw, ijmak, dan peninggalan-peninggalan sahabat. Kedua cabang (furu’) yaitu apa yang dipahamkan dari pokok (usul) di atas. Ilmu furu’ ini terbagi menjadi dua. Pertama, menyangkut dengan kepentingan duniawi. Ilmu ini terdapat dalam kitab-kitab fiqh, yang bertanggungjawab terhadapnya ialah ulama fiqh. Yang kedua menyangkut kepentingan akherat seperti ilmu mukasyafah dan ilmu mu’amalah yang telah dijelaskan di atas. Ke tiga muqadimah (ilmu pengantar), yaitu ilmu pengetahuan yang merupakan alat seumpama ilmu bahasa dan tata bahasa. Keduanya adalah merupakan alat untuk mengetahui isi kitabullah dan sunnah rasul. Ke empat pelengkap yaitu mengenai ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur'an. Dan terbagi kepada: yang berhubungan dengan kata-katanya seperti qiraah dan bunyi hurufnya; dan yang berhubungan dengan pengertiannya seperti tafsir.28 28 TK. H. Ismail Yakub, Ihya ‘Ulumuddin, (Terjemah), …., hlm. 52-53. 67 Adapun ilmu ghairu syar’iyah ialah ilmu yang bersumber dari akal, baik yang diperoleh secara daruri maupun iktisabi. Yang daruri ialah diperoleh dari insting akal itu sendiri tanpa melalui taklid atau indra. Misal pengetahuan manusia bahwa seseorang tidak ada pada dua tempat dalam waktu yang sama sedangkan yang iktisabi ialah yang diperoleh melalui kegiatan belajar dan berfikir yang bersifat duniawi seperti ilmu kedokteran, matematika, geografi, astronomi, teknik, politik, social, ilmu ilmu ketrampilan dan lain-lain. Dan yang bersifat ukhrawi seperti ilmu tentang hal ihwal hati, bahaya-bahaya amal ilmu tentang Allah termasuk sifat dan af’al-Nya. Semua ilmu ghairi syar’iyah di atas digolongkan Al-Ghazali dalam ilmu terpuji pula walaupun ilmu berhitung ilmu kedokteran termasuk tidak diperlukan begitu penting tetapi menambah kekuatan sekedar yang diperlukan. Ilmu ghairu syar’iyah sangat mendukung kehidupan manusia di dunia dalam prosesnya sebagai khalifatullah, yang dalam hal ini ilmu ghairu syar’iyah penyeimbang urusan akherat. Terhadap ilmu tercela Al-Ghazali mencontohkan yaitu ilmu sihir, mantra-mantra, ilmu tenung, dan ilmu balik mata, sedangkan ilmu yang dibolehkan atau mubah yaitu pengetahuan tentang pantunpantun yang tak cabul, berita-berita sejarah dan sebagainya. Ketika dipertanyakan kepada Al-Ghazali tentang ilmu kalam dan filsafat, apakah keduanya dalam bagian ilmu tercela atau terpuji. Al-Ghazali menjelaskan, bahwa hasil yang melengkapi padanya ilmu kalam ialah 68 dalil-dalil yang bermanfaat maka Al-Qur'an dan hadis itu melengkapi kepadanya. Apabila sudah ada campuran dari luar maka termasuk bid’ah mutlak yang hanya menampakkan pertengkaran tercela.29 Adapun filsafat, Al-Ghazali membaginya menjadi empat macam; Pertama ilmu ukur dan ilmu berhitung. Keduanya mubah atau dibolehkan. Dan tidak terlarang dari kedua ilmu itu, kecuali terhadap orang yang takut akan terseleweng kepada ilmu yang tercela. Kedua ilmu mantik (ilmu logika) yaitu membahas tentang cara membuat batas dalil dan syart-syaratnya. Keduanya masuk dalam ilmu kalam. Ketiga ilmu ketuhanan. Yaitu ilmu yang membahas dzat Allah Swt, dan sifatnya. Inipun termasuk juga dalam ilmu kalam. Keempat ilmu alam sebagian daripadanya menyalahi syariat dan agama yang benar. Seperti dicontohkan ilmu biologi karena hanya menjelaskan kejadian manusia yang bersifat teknis muda, tua, lalu mati dan tidak menjelaskan kebangkitannya seolah-olah manusia tidak ada pertanggungjawaban kepada Tuhannya. Tampaknya Al-Ghazali dalam memberikan klasifikasi dan penilaian terhadap ilmu mengutamakan ilmu yang memiliki akses kedekatan dengan Tuhan, karena memang itulah tujuan dari sebuah ilmu dengan memberikan kontribusi kemanfatan kehidupan duniawi dan yang lebih penting lagi meraih tujuan abadi akherat. 29 TK. H. Ismail Yakub, Ihya ‘Ulumuddin, (Terjemah), …., hlm. 63. 69 2. Muhammad Iqbal a. Biografi Muhammad Iqbal Muhammad Iqbal lahir pada tanggal 9 Nopember 1877 di Sialkat Punjab, sebuah kota industri, yang sekarang berada di wilayah Pakistan. Iqbal adalah keturunan Brahmana dari Sub katsa Sapru yang leluhurnya berasal dari Kasmir, yang disekitar abad ke-13 dan awal abad ke-19 mereka pindah ke Sialkat.30 Dan telah memeluk Islam tiga abad sebelum kelahirannya. Ayahnya bernama Nur Muhammad yang bekerja sebagai penjahit dan penyelam. Sebagai seorang muslim yang taat dan sufi, ayahnya banyak mendorong Muhammad Iqbal untuk menghafal Al Qur’an secara teratur dan memang sangat mempengaruhi perjalanan spiritual Muhammad Iqbal selajutnya. Awalnya Muhammad Iqbal belajar disebuah maktab ( setingkat madrasah) kemudian belajar di sekolah misi, Scoth Mission School. Setelah tamat pada tahun 1895 M, Muhammad Iqbal melanjutkan pendidikannya Muhammad di Iqbal Government pernah Collage. merasakan Lahore.31 Kendatipun ketidakbahagiaan dalam kehidupan pribadinya ketika menikahi putri seorang dokter yang telah memberinya dua orang anak yang bernama Javid Muhammad Iqbal dan Muniroh Banu, namun ketika mendapat beasiswa untuk menempuh pendidikan master di bidang filsafat pada Government Collage di 30 31 M. Iqbal , recountruktsion of thought in islam, (Yogyakarta: Jalasutra,2008), hlm. VIII. M.Iqbal, recountruksion of thought in islam,…., hlm. VII 70 Lahore ia mampu menyelesaikannya dalam tempo dua tahun dengan peredikat Cum laude. Masa pendidikannya inilah yang memberi kesempatan pertemuannya dengan Sir Thomas Arnold , seorang orientalis yang mengarang buku The Preaching of Islam ( 1896)32 Muhammad Iqbal banyak dipengaruhi oleh gurunya, seoarang ulama masyhur Maulana Mir Hasan yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Syam al-Ulama untuk memperdalam kajian dalam bidang kebudayaan dan sastra Islam. Maulana Mir Hasan yang tidak lain adalah seorang sahabat orang tuanya adalah seorang penyair dan ahli bahasa urdu dan Persia. Pertemuan dengan Mir Hasan inilah kemudian menjadikan Muhammad Iqbal banyak belajar syair-syair yang menjadi semakin kukuh setelah ia menemukan seorang ahli syair urdu Mirza Khan (1831-1950 M). Dari Syam al ulama inilah Iqbal terkesan akan cita-cita dan jiwa keIslamannya. Pada 1899 Muhammad Iqbal memperoleh MA. Pertemuannya dengan Thomas Arnold, seorang orientalis yang menurut keterangan, mendorong pemuda Muhammad Iqbal untuk melanjutkan study di Inggris. Di tahun 1905 dia pergi ke Negara ini dan masuk ke Universitas Cambridge untuk mempelajari Filsafat. Muhammad Iqbal dalam mempelajari filsafat dibawah bimbingan McTaggart. Dua tahun kemudian ia pindah ke Munich Jerman, dan disinilah ia memperoleh gelar Ph.D dalam tasawuf. Tesis doktoralnya 32 hlm. 4 Muhyidayeli, Epistimologi Pendidikan M. Iqbal, (E-mail [email protected], 71 yang dimasukkannya berjudul “The development Of Metaphysich Intelektual Persia (Perkembangan Metafisika di Persia). Pada tahun 1907, di bawah bimbingan Prof. F. Hammel Sebelum Muhammad Iqbal ke Eropa ia pernah mengajar di Oriental College dan Government, Lahore. Kariernya dalam dunia Pendidikan ia lanjutkan sekembalinya dari Eropa. Pada tahun 1908 Muhammad Iqbal berada kembali di Lahore dan disamping pekerjaannya sebagai pengacara ia menjadi dosen Filsafat. Bukunya The Religious Though in Islam adalah hasil ceramahceramah yang diberikannya di beberapa Universitas di India.33 Iqbal termasuk dalam kelompok orang atau pemuda yang haus dengan ilmu pengetahuan. Menurutnya mutlak umat Islam untuk memperdalam ilmu pengetahuan sebagai sarana menciptakan kesejahteraan hidup. Ilmu yang tak terbatas pada ilmu agama saja, tetapi harus dilengkapi pula oleh ilmu-ilmu umum. Pengembaraan intelektualnya yang dimulai sejak dini dengan mempelajari ilmu-ilmu keIslaman klasik sebagai pondasi dalam menjembatani niatnya untuk mempelajari ilmu umum. Dimulai dari sekolah madrasah dalam negerinya hingga ke Eropa, menunjukkan semangatnya yang tinggi hingga kembali ke negerinya untuk dikembangkan. Bahkan syahwat belajarnya belum terpuaskan dan dituntaskannya di Universitas Punjab 33 hlm. 190. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah pemikiran, dan Gerakan, …, 72 pada tahun 1935 dengan meraih gelar doktor dalam bidang kesusasteraan Pada tahun 1927 ia pernah dipilih menjadi angota majelis legislatife Punjab. Dan ditahun 1930 dipilih menjadi presiden liga muslimin. Di dalam perundingan meja di London ia ikut dua kali mengambil bagian. Ia juga menghadiri konfrensi Islam yang diadakan di Yerussalem. Pada waktu menjadi Presiden Liga Muslim inilah Iqbal berkenalan dengan Muhammad Ali Jinnah dan mencetuskan gagasan tentang pembentukan Negara sendiri bagi kaum muslim di anak benua India. Dalam perkembangannya kemudian gagasan itu terwujud menjadi Negara Pakistan sekarang. Di tahun 1933 Muhammad Iqbal diundang ke Afghanistan untuk membicarakan pembentukan Universitas Kabul. Muhammad Iqbal meninggal dunia pada usia 60 tahun Masehi, 1 bulan 26 hari; atau 63 tahun Hijriyyah, 1 bulan 29 hari. Beberapa hari sebelum meninggal, ia mendapat kunjungan seorang kawan lama semasa sama-sama belajar di Jerman dulu, Baro Van Voltheim. Dengan kawannya itu Muhammad Iqbal bicara tentang kenangan lama, tatkala mereka sama-sama tinggal di Munich, bicara tentang puisi, filsafat, tentang politik. Orang yang melihat mereka demikian intim berbincang tak menduga, bahwa saat terakhir Muhammad Iqbal sudah dekat. 73 Tatkala sakitnya telah merenggut suaranya dan mencapai puncak kritisnya pada 19 April 1938, seperti diceritakan raja hasan yang mengunjungi Muhammad Iqbal pada malam hari sebelum meninggal, Muhammad Iqbal sempat membacakan sajaknya: “Melodi perpisahan kau menggema kembali atau tidak, angin Hijaz kau berembus kembali atau tidak, saat-saat hidupku kau berakhir, entah Pujangga lain kau, kembali atau tidak, selanjutnya, kukatakan kepadamu ciri seorang mukmin, bila maut datang, akan merekah senyum di bibir. Muhammad Iqbal sang filsuf dan Penyair telah mewariskan karya yang begitu berharga kepada dunia antara lain: The Development Of Metaphisich In Persia; Bang i-Dara; Asror Al-Qur'an-Khudi; Rumuz-i-Bekhudi; chidr-i-Rah; Thulu’-i-Islam; The reconstruction Of Riligious Thought In Islam; Payam-i-Mashriq; Zabur-i-‘ajam; Javed Namah; dan The Reconstruction Of Muslim Jurisprudence (tidak terselesaikan).34 b. Kondisi Sosial Sejarah Pemikiran Muhammad Iqbal Seorang pemikir dalam memberikan penilaian terhadap produk karyanya tidak terlepas dari sisi sosial kultural yang melingkupi dan akan berpengaruh serta mempunyai nilai yang berarti apabila produk pemikirannya memberikan sumbangan terhadap ekses yang ditimbulkan. Iqbal lahir dalam pergulatan dalam sisi keilmuan klasik 34 M. Iqbal , Recountruksion of thought in Islam, …, ix. 74 yang menjembatani oleh pergolakan pemikiran modern. Bagaimana posisi pendidikan dan keilmuan Islam yang dituduhkan oleh masyarakat barat sebagai sistem pendidikan yang jumud dan kaku. Ini kontras atas universalnya Islam itu sendiri maupun produk-produk yang dihasilkan Islam sebagai sebuah tujuan ideal untuk mengolah, memahami serta diwujudkan dalam bentuk Islam sebagai Rahmatal Lil’alamin. Pemikiran Iqbal pun lahir dan merupakan reaksi dari seorang anak manusia yang prihatin atas kondisi umat Islam yang terus-terusan terlena dan menerima terhadap kondisi yang ada. Tidak disadari bahwa kondisi tersebut mengancam stabilitas Islam yang cenderung menurun. Iqbal menyatakan bahwa Islam menumbuhkan jiwa berjuang dan cinta kebenaran di hati para pemeluknya. Dia menyatakan bahwa ilmu-ilmu pengetahuan positif berpadu dengan Islam dalam bentuk etos kerja dan lebih banyak menolak pembahasan-pembahasan filosofis yang spekulatif. Selama dua abad umat Islam mempertahankan tradisi tersebut tetapi dengan tetap memegang akidah, moralitas dan kerja aktif hingga kemudian di bawah pengaruh pemikiran sesat, khususnya filsafat yunani, keseluruhan timur pincang secara intelektual.35 Awalnya kemajuan dan kejayaan Islam yang ditopang dengan kekuatan spiritual yang mapan menjadikan Islam sebagai garda terdepan dalam membawa gerbang ilmu pengetahuan. Ilmu-ilmu pengetahuan positif murni dari Al Qur’an sebagai pedoman tidak hanya 35 Abu Hasan Ali al-Khusni An-Naduwi, Percikan Ke-Jeniusan Doktor Muhammad Iqbal, (t.k, Integrita Press, 1985), hlm. 5. 75 tujuan akhirat tetapi kemanfaatan duniawi jelas terasa dari keagungan Al Qur’an. Selama itu sikap Islam yang universal menjadi pincang dengan adanya pengaruh-pengaruh khurafat baik karena asimilasi Islam dengan budaya lokal yang kurang diperhitungkan. Malah menjadikan Islam sebagai simbol saja maupun dikarenakan pengaruh dari luar yaitu filsafat Yunani. Sehingga kehilangan amunisi ruh Islam. Muhammad Iqbal menyebutkan bahwa Renaissance Eropa terjadi hanya karena mencampakkan metafisika Yunani dan memulai diri bersibuk dengan cabang-cabang ilmu pengetahuan alam yang kreatif. Kelihatannya Muhammad Iqbal kagum dengan kemajuan ilmu pengetahuan di barat khususnya Eropa. Mereka dengan cepat, demikian iqbal, bisa mengambil intisari dari pengetahuan Islam. Karena menurutnya metafisika dan teori idea Yunani tidak bisa memberikan kontribusi yang berarti dalam pengaruhnya untuk memudahkan dan membantu kehidupan manusia. Namun Muhammad Iqbal dikenal oleh kalangan-kalangan kritikus barat. Barat hanya memahami materialistik dan nasionalisme congkak yang mendasari kesadaran kolektifnya. Aspek-aspek pandangan hidup barat lainnya yang lebih lemah dan tanda-tanda krisis batin dan degenarasi spiritualnya. Juga nampak jelas pada mereka, seraya menyadari bahwa tidak hanya kualitas-kualitas paling baik 76 daripada pikiran dan karakter manusia yang merosot, tetapi dengan sengaja telah dilalaikan oleh pemimpin-pemimpinnya.36 Kesadaran Muhammad Iqbal terhadap kemunduran Islam ingin direhabilitasi dengan sistem kemajuan yang ada di barat. Namun harus dapat memilah mana untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan mana peradaban kebudayaan barat. Karena keduanya menurut Muhammad Iqbal berbeda. Ketimpangan di barat sangat nyata berupa khayalan materialistik dengan tidak memberikan orientasi ruang transendental. Muhammad Iqbal secara mendetail mampu menyingkap tiraitirai kelemahan pemikiran dan kebudayaan barat yang inheren, featurfeaturnya yang cacat dan tidak sempurna, dan kegoncangan rencananya yang elemental. Dia menyadari bagaimana pemikiran barat yang dengan rendahnya melangkahi kebenaran-kebenaran transendental dan merasa bahwa pada ghalibnya, keburukan-keburukannya akibat keburukan jiwa. Pada tahun 1910, perang Balkan dan Tripoli meletus. Tak ada hari yang menggembirakan. Keadaan yang menyedihkan ini benarbenar membekas pada kejiwaan penyair Iqbal. Hati dan perasaannya terluka. Jiwanya kemudian tergerak dan berontak. Perang itu membuat Iqbal menjadi musuh bebuyutan peradaban barat dan imperium Eropa. Kesedihannya pun mewarnai sajak-sajaknya. Diantara sajak-sajaknya ini 36 adalah: Balad-I-Islamiyah (Negara Islam), Wathaniyat Abu Hasan Ali al-Khusni An-Naduwi, Percikan Ke-Jeniusan Doktor Muhammad Iqbal,…, hlm. 37. 77 (Nasionalisme), suatu penolakan terhadap nasionalisme dan berisi suatu ajakan menuju universal Islami. Islam menurut Iqbal merupakan agama yang mempunyai faham dinamis dan mengakui adanya gerak dan perubahan dalam hidup sosial manusia. Dan prinsip yang dipakai dalam soal gerak dan perubahan itu ialah Ijtihad. Ijtihad mempunyai kedudukan yang penting dalam pembaharuan Islam. Islam berjaya pada kurun abad pertengahan menurut Muhammad Iqbal karena melestarikan budaya Ijtihad. Sebagaimana sabda Nabi “Perbedaan adalah rahmat”, “Muslim yang baik adalah berijtihad, walaupun salah tetap mendapat satu pahala”. Begitulah Islam, karena ilmu pengetahuan dengan menggali sumbernya dari Al Qur’an dibuka selebar-lebarnya bahkan kalaupun salah tetap mendapatkan manfaat. Sehingga Islam bisa beroleh kemajuan. Namun kontribusinya Islam lagi menjadi lantaran kecil karena dan sebagian tidak memberikan umatnya sendiri. Muhammad Iqbal menyebutkan penyesalannya terhadap sikap sebagian sufi yang tenggelam dalam khayal dan perenungan secara berlebihan. Dia lukiskan kenyataan bahwa para sufi lebih senang kepada Ama’ (musik) dan Wajd (hiburan). Padahal para sahabat Nabi SAW lebih menyukai ketangkasan menaiki kuda dan mati syahid di medan jihad.37 37 Abu Hasan Ali al-Khusni An-Naduwi, Percikan Ke-Jeniusan Doktor Muhammad Iqbal,…, hlm. 5. 78 Muhammad Iqbal memberikan lampu hijau bahwa hanya Islam yang kaffah tanpa ada bau khurafat yang bisa memunculkan kembali kejayaannya dengan mengulang masa silam. Kelihatannya nostalgia karena melihat kemajuan peradaban barat. Tetapi tidak bagi Muhammad Iqbal Islamlah yang mempunyai benih kemajuan berfikir, karena Islam menganjurkan Ijtihad bagi para pemeluknya. Dan satu perbaikan yang tampak didengungkan oleh Iqbal yaitu sifat jumud dan kaku dalam memandang artikulasi mempertahankan akidah dan untuk kemajuan Islam. Selaras antara usaha memajukan kejayaan Islam dengan sikap menguatkan pondasi iman. Kekuatan keimanan dan mempertahankan akidah memberikan stimulasi untuk selalu melakukan yang terbaik dan tepat. Sehingga membawa kemajuan Islam. Maka Muhammad Iqbal mengkritik keras sebagian golongan sufi yang malah meninggalkan aktivitas kewajibannya sebagai umat dengan tetap berperilaku kaku dan jumud. Di lain pihak dalam pembaharuannya, Muhammad Iqbal juga tidak berpendapat bahwa baratlah yang harus dijadikan model. Kapitalisme dan imperialisme barat tak dapat diterimanya. Barat menurutnya, amat banyak dipengaruhi oleh materialisme dan telah mulai meninggalkan agama. Yang harus diambil oleh umat Islam hanyalah ilmu pengetahuannya.38 38 Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran Dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm 193. 79 Bahwa jelas barat pun bukan pilihan Muhammad Iqbal, karena dalam penelitiannya barat telah kekeringan spiritual dan hanya mengagungkan materialisme. Maka yang ada di benak mereka bagaimana mendapatkan sesuatu tanpa ada kerugian yang sebanding, maka tindakan imperialisme dan kolonialisme menjadi sebuah pilihan. Berkat kemajuan tekhnologinya mereka mampu mencapai tujuannya, yang sebenarnya hanya semu belaka. Maka menurut Iqbal, ilmu pengetahuanlah yang harus diambil, dan sangat sempurna apabila disintesakan dengan ruh Islam. Dalam semua wilayah itu, Muhammad Iqbal telah mengerahkan hampir seluruh energinya dengan tujuan tunggal: reorientasi nilai-nilai kemanusiaan, timur dan barat, sekalipun dalam beberapa segi dikaguminya. Dalam perspektif moral transendental sudah sangat jauh meluncur ke jurang berbahaya. Sementara timur yang terpasung dalam spiritualisme, telah lama dalam keadaan steril tanpa dinamika. Lalu untuk membangun sebuah peradaban baru yang anggun dan segar diusulkannya agar barat dan timur dipertautkan dengan mengawinkan penalaran (ziraki) dan cinta (‘isyq). Intelektualisme Iqbal dapat ditinjau dari pelbagai jurusan: puisi, filsafat, hukum, pemikiran Islam dan kebudayaan dalam makna yang sempit. 80 Ada banyak faktor yang menjadikan Iqbal dan kepribadiannya begitu luhur mencintai Islam dan menguasai lapangan disiplin keilmuan di atas. Keuletan, kehebatan, rasa persaudaraan dan ketulusan hatinya, terpancar dari mental, moral, jiwa sosial dan susunan emosionalnya. Namun demikian, tidak lepas dari iman dan taqwa sebagai aspek pokok dan asas pola hidup manusia.39 Terdapat lima unsur pokok yang mengasuh dan mencipta kepribadian Iqbal: Pertama: tertancapnya iman dan keyakinan yang menjadi penuntun dan pendorong utama daripada kekuatan dan kearifan Iqbal. Akan tetapi keimanan Iqbal bukan suatu dogma yang tak berjiwa atau rumus penegasan yang seperti mesin. Ia mempertahankan campuran tak ternilai antara iman dengan cinta yang menyelubungi seluruh eksistensinya. Kedua: Al Qur’an. Kitab inilah yang paling berpengaruh terhadap kehidupan dan filsafat Iqbal. Ketiga: realisasi diri atau ego. Iqbal telah membentangkan titik pokok terbesar mengenai pemeliharaan dan pengembangan ke-diri-an. Melalui ini Iqbal menitik beratkan dua prinsip dasar manusia dalam menunjukkan dirinya ke dunia melalui dua sifat esensialnya, yaitu kebebasan kreatifitas. Dalam konteks ini Iqbal menggambarkan dengan 39 Muhyidayeli, Epistimologi Pendidikan Iqbal, (E-mail [email protected]. 81 kalimat: Hancurkan dunia sampai berkeping-keping bila tak sesuai denganmu. Dan ciptakan dunia yang lain dari kedalaman wujudmu. Betapa pedihnya manusia merdeka yang hidup di dunia yang diciptakan oleh manusia lain. Inilah yang disebut filsafat khudinya Iqbal, ego manusia dapat membayangkan sebuah dunia baru yang lebih baik dan lebih sempurna dari upayanya membaca masa lalu dan mengaitkan masa sekarang.40 Keempat: keluhuran, kekuatan dan daya hidup. Iqbal sangat disiplin mengatur waktu. Dalam syairnya: Aththar atau Rumi, Razi atau Ghazali, Siapapun saja, Tak ada yang berhasil tanpa ratapan tangis di waktu fajar. Kelima: faktor terakhir yaitu Matsnawi Maulana Jalaluddin Rumi. Ini merupakan karya Rumi untuk membuka pemikiran baru dan menolak kebiasaan penggunaan dalil teoritis filsafat Yunani skolastik serta mencari-cari kesalahan spekulatif. Ketika Iqbal berada dalam kotak dengan doktrin-doktrin materialistik barat yang biadab dan tak bertuhan, serta konflik antara materi dan jiwa semakin memuncak dalam dirinya, dia berpaling ke arah Matsnawi sebagai pijakan dan pembantu. 40 Muhyidayeli, Epistimologi Pendidikan Iqbal, (E-mail [email protected]. 82 c. Pandangan Iqbal Tentang Filosofi Pendidikan Islam Islam sebagai agama universal, sudah tentu menghasilkan produk-produk bermutu dan bernilai guna tinggi sebagai sebuah keseimbangan atas tuntutan universal. Demikian pula pendidikan Islam yang mengantarkan pada kemajuan pengetahuan, tidak terlepas dari Islam yang mempunyai konsep universal. Iqbal prihatin terhadap keadaan umat Islam atas pengetahuan yang hanya berorientasi pada pembangunan mental spritual dengan mengesampingkan telaah eksprimen untuk kemajuan umat manusia dimuka bumi. Melalui suatu dialog imajiner dengan guru spritualnya Rumi, Iqbal mengadu: “Pikiran-pikiranku yang menerawang tinggi telah mencapai langit. Tapi di Bumi terhina, kecewa dan sekarat aku tidak mampu menangani persoalan-persoalan di dunia ini. Dan aku senantiasa menghadapi batu-batu penarung dijalan ini. Mengapa urusan dunia terlepas dari kontrolku? Mengapa si Alim dalam agama ternyata dungu dalam persoalan dunia? Tanpa berpikir panjang Bumi menjawab: Seseorang yang (mengaku dapat) berjalan di Langit, mengapa sukar baginya untuk melangkah di Bumi?41 Ungkapan di atas mempunyai arti kritik terhadap pendidikan Islam yang sudah tidak mempunyai pijakan utama sehingga membawa kemunduran Islam. Pendidikan Islam membawa konsep yang pincang 41 Ed. Muslih Usa, Pendidikan Islam Di Indonesia, Antara Cita Dan Fakta, (Yogtakarta: Tiara Wacana Yogya, 1991), hlm. 149 83 antara pendidikan spiritual, dan hanya memberikan ulasan-ulasan yang sedikit tentang pelajaran-pelajaran keduniawian. Sistem pendidikan seperti itu tidak pernah akan mengangkat persoalan-persoalan duniawi selalu berubah, dikatakan oleh Muhammad Iqbal “Si Alim dalam agama ternyata dungu dalam prsoalan dunia”, sehingga yang terjadi kemunduran-kemunduran yang secara tidak disadari Islam akhirnya tidak dapat menolak penjajahan disegala lini oleh pihak asing. Muhammad Iqbal telah mencontohkan Barat telah berhasil membuat terobosan-terobosan keilmuwan terapan, walaupun disitu Muhammad Iqbal menolak Barat karena memperhatikan mental spiritual yang akhirnya hanya membuat kerusakan saja. Iqbal menegaskan bahwa Pendidikan Modern itu jahat, oleh karena ia melalaikan mental, moral, dan perkembangan spiritual generasi-generasi muda. Akibatnya, krisis moral dan karakter melanda para generasi muda itu. Kausa lain mengenai degenerasi moral dan intelektual adalah materialisme yang berlebihan dan kepercayaan yang keterlaluan terhadap bermacam-macam cara dan sumberduniawi dan pemusatan yang menyedihkan terhadap pencaharian tempat dan kedudukan yang menjadi tujuan akhir dari pendidikan itu. Ketidakseimbangan dan disorientasi dalam pendidikan Barat ini mengakibatkan tidak bertemunya antara cita-cita yang ideal terhadap 84 tujuan akhir dari pendidikan, teori ilmu pengetahuan yang bermoral spiritual. Ini terjadi karena kurangnya pemahaman terhadap individualitas atau diri. Secara langsung diri dapat dipahami dan ditegaskan realitasnya melalui intuisi secara langsung. Intuisi ini bagaimanapun juga muncul pada saat mengambil keputusan-keputusan besar, tindakan, dan perasaan-perasaan yang dalam. Tindakan, usaha dan perjuangan membukakan kepada kita lubuk hati terdalam akan wujud diri. Diri tersebut Nampak sebagai pusat seluruh aktivitas dan tindakan kita. Pusat ini pada dasarnya merupakan inti dari kepribadian kita. Kepribadian itu dinamakan ego.42 Konsepsi diri yang telah dicanangkan oleh pujangga Muhammad Iqbal merupakan esensi wujudnya. Eksistensinya merupakan misal berseri-seri dari cita-citanya akan realisasi diri. Terwujudnya kemuliaan diri, kepercayaan terhadap diri sendiri, dan pengembangan diri merupakan hal-hal paling menarik perhatian dan paling memikat disetiap coretan perjalanan hidupnya.43 Muhammad Iqbal berusaha menganalisis diri dan aktivitasnya dengan mendasarkan kepada apa yang dinamakannya ego. Tanpa pemahaman yang jelas terhadap ego, menurut Muhammad Iqbal hanya akan menghampakan realisasi dalam penentuan tujuan pendidikan. Ini oleh Iqbal dinamakan Filsafat Khudi. 42 Ishrat Hasan Enver, Metafisika Iqbal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 52 Abu Hasan Al- Husni An- Nadwi, Percikan Kejeniusan Doktor Muhammad Iqbal, (t.k, Integrita Press, 1985), hlm. 31 43 85 Dengan Khudi Muhammad Iqbal dapat mengetahui dirinya dengan seksama dan telah pula memberikan penilaian yang benar terhadap individualitasnya. Dengan pengetahuannya yang mendalam mengenai sikap dan personalitasnya itu, dia mempergunakan nikmat hati dan akalnya untuk mengguncangkan kaum muslimin dalam perjuangan dan menggerakkan bunga api kesetiaan yang terbentang didalam diri mereka. Falsafah Khudi yang dibincangkannya menawarkan beragam prinsip dasar pengembangan watak insani yang memiliki implikasi pada penataan kependidikan yang akan bermuara pada pembentukan masyarakat yang penuh dengan makna-makna kemajuan dalam berbagai lini kehidupan dalam konteks keseluruhan kebutuhan manusia. Hal ini menjadi sebuah terobosan utama dalam mengangkat kembali pendidikan Islam yang tanpa kesenjangan dengan pendidikan lainnya memberikan wahana baru yang lebih sempurna, karena dimulai dari aspek diri dan hati. Naluri diri melihat kenyataan atau realitas dalam persepsi universal. Karena apa yang ada dimuka bumi memang ditundukkan dan untuk kesejahteraan. Dalam Al-Qur'an allah Swt menjelaskan: 5>?!ִ( ;"<"= 7 :" 8C/)D "@ ִ☺BB 5 !"=( /@EF"=G'BH LM K, /IJ"H PQ 7Rִ ִN"O 8UU9 MS"☺! ִ#?!"T 86 Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang Mengetahui..” LX ,&WEG7 2?H Q!( ִ23 9YIQ* "\BB LX 8Z[9 LX 8Z^9 Qִ#"?] ִ23 QF'a ִ` _F'. 8C/)D LX 8Z 9 8U9 Qִ"b5c ִ` Artinya: Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?44 Allah bahkan memberikan kebebasan secara nyata , untuk meneliti dan mempergunakan hasil ciptaannya, sehingga apabila pengetahuan-pengetahuan yang tersembunyi tersingkap itu akan dipergunakan oleh manusia. Kedudukan Al-Qur'an yang empiris hendak membentuk mereka (manusia) pencipta-pencipta ilmu modern. Usaha pikiran mengatasi rintangan yang disebabkan oleh alam, disamping memperkaya dan memperkuat jiwa, juga mempertajam pandangan. Menurut pandangannya, bumi merupakan tahapan dalam kelangsungan kehidupan manusia. Manusia telah dibekali dengan akal 44 Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahanya, …hlm. 324. 87 dan pikiran. Dengan perlengkapan itulah ia dibumi harus secara kelanjutan dan terus menerus bereksperimen dalam kehidupannya.45 Muhammad Iqbal tidak secara a-priori menolak apa yang datang dari Barat. Semangat Barat untuk mengadakan penjelajahan dan penelitian, ilmu pengetahuan yang telah maju dengan pesat, diterimanya dengan senang hati . Akan tetapi dengan tegas ia menolak untuk menerima peradabannya yang dangkal dan sensasional, karena cenderung melemahkan diri kita, bertentangan secara diametral dengan nilai-nilai budaya. Karena sebenarnya menurut Iqbal, perkembangan intelektual Barat, hanyalah perkembangan lanjutan dari beberapa fase yang sangat penting dari kebudayaan Islam.46 Oleh karena itu konsep filosofis Muhammad Iqbal, menghendaki adanya terciptanya keseimbangan universal dalam pendidikan yaitu keseimbangan ilmu pengetahuan dan spiritual agama. Sikap ini bisa mengambil mutiara Islam yang telah hilang terpendam didalam dasar kejumudan dan kekakuan dalam menginterpretasi ajaranajaran Islam. B. Analisis Konsep Tentang Klasifikasi Ilmu Pengetahuan 1. Analisa Konsep Ilmu menurut Al-Ghazali Dalam proses penyempurnaan pengembaraan intelektualnya AlGhazali menemui banyak persoalan yang menyangkut keyakinan tanpa 45 K. G Saiyidain, Percikan Filsafat Iqbal Mengenai Pendidikan, Alih Bahasa M. I Soelaeman, (Bandung: C. V Diponegoro, 1981), hlm. 43 46 Iqbal, Rekontruktion Of tough In Islam, …., 10. 88 adanya keraguan yang ada dalam hatinya. Setidaknya Al-Ghazali melewati tiga kali perpindahan dalam memenuhi gejolak pengetahuannya diawali dengan komitmennya pada panca indera, tetapi minim akan kebenaran rasionalis sehingga tidak mampu menjelaskan hasrat pengetahuannya dan kebenaran akalpun mengganti kebenaran inderawi. Namun akalpun belum mampu menjawab keyakinan kebenaran hakiki karena akal mempunyai kemampuan yang sama dengan panca indera. Ketakmampuan akal ini menyebabkan Al-Ghazali dalam posisi skeptis sampai kebenaran itu muncul karena anugerah allah semata yang diyakini Al-Ghazali sebagai kebenaran yang telah menghapus dahaga pengetahuannya yaitu kebenaran intuisi. Setelah Al-Ghazali mengalami berbagai perubahan akibat keraguan hati yang menyelimutinya, akhirnya Al-Ghazali sampai pada tataran ilmu yakin yang tidak ada keraguan didalamnya; menyingkapi tabir yang selalu menutupi hati manusia. Pengembaraannya dengan melewati berbagai halangan dan skeptis tidak menyurutkan langkahnya dalam mengambil benang merah pengalaman yang selama ini dilakoninya. Timbulnya keyakinan-keyakinan merupakan inspirasi besar yang kemudian meletakkan bangunan metode dan konsep ilmu yang mengiringi karir keilmuan Al-Ghazali. Al-Ghazali merumuskan metodenya dalam proses pencarian ilmu pengetahuan . dalam filsafat Islam , ilmu dapat diperoleh dengan dua jalan yaitu jalan kasbi dan jalan ladunni. Jalan kasbi atau husnuli adalah cara 89 berfikir sistematik dan metodik yang dilakukan secara konsisten dan bertahap melalui proses pengamatan, penelitian, percobaan dan penemuan. Ilmu ini bisa diperoleh oleh manusia pada umumnya, sehingga seseorang yang menempuh proses itu, dengan sendirinya ia akan memperoleh ilmu tersebut. Sedangkan ilmu laduni atau khuduri, diperoleh orang-orang tertentu, dengan tidak melalui proses ilmu pada umumnya tetapi oleh proses pencerahan oleh hadirnya cahaya ilahi dalam kalbu. Dengan hadirnya cahaya ilahi itu semua pintu ilmu terbuka menerangi kebenaran, terbaca dengan jelas dan terserat dalam kesadaran intelektual, seakan-akan orang tersebut memperoleh ilmu dari tuhan secara langsung.47 Al-Ghazali pada awalnya menempuh jalan kasbi, Jalan ini sebagai usaha manusia untuk menemukan kebenaran dengan memaksimalkan potensi yang dimiliki. Akal yang telah dianugerahkan oleh Allah Swt bagi orang yang berfikir pasti mempunyai konsekuensi akan adanya pertanggungjawaban kelak dikemudian hari. Dalam memperoleh keyakinan indrawi dan akal Al-Ghazali menggunakan metode kasbi. Tetapi setelah keyakinannya pudar akan indrawi dan akal, Al-Ghazali mengalami skeptis berat, di sini Allah memberikan petunjuk nur dalam menerangi keraguannya. Al-Ghazali mengalami jalan laduni berkat pertolongan Allah. Harus diakui mengapa Al-Ghazali begitu yakin akan intuisi yang menurutnya bisa menyingkap kebenaran hakiki. Ini tidak terlepas karena sebelumnya Al-Ghazali tidak pernah membayangkan akan 47 Musa As’ari, Filsafat Islam Sunnah Nabi Dalam Berfikir, (TK Lesfi, 2002), hlm. 72. 90 tentang keyakinan intuisi, namun semata-mata Allah yang menganugerahkan. Demikian pula klasifikasi ilmu dan konsepnya yang ditetapkan AlGhazali tidak terlepas karena pengaruh asas kemanfatan dan untuk keterbukan hijab (penghalang) karena yang menjadi dasar dari hidayah dan ma’rifat yaitu konsep bahwa gemerlap perhiasan duniawi adalah mata’ul ghurur (penipu), dan hanya akherat tempat kehidupan yang kekal. Pengetahuan semacam ini hanya dimiliki orang-orang ‘alim, karena untuk memperolehnya hanya dapat digali langsung dari ayat-ayat Al-Qur'an yang menunjukannya, dan itu hanya dapat dipahami oleh mereka.48 Demikian Al-Ghazali memberikan pengertian ilmu dan konsepnya atas ilmu terpuji dan ilmu tercela, ilmu fardu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah dalam bagian besarnya. Ilmu terpuji yang dikelompokannya menjadi empat, yaitu: pertama, pokok yang menjadi pelajaran Al-Qur'an, hadis, ijmak dan peninggalanpeninggalan sahabat (atsar). Kedua, cabang atau furu’ yaitu cabang-cabang sebagai penjelas pokok di atas. Kitab-kitab fiqh di antaranya. Ketiga, muqaddimah (ilmu pengantar) contoh ilmu bahasa dan tata bahasa. Ke empat pelengkap, yaitu ilmu tafsir. Sedangkan ilmu tercela, yaitu ilmu sihir, mantera-mantera, ilmu tenung, dan ilmu balik mata.49 Di sini Al-Ghazali dalam hal ilmu terpuji dan tercela mengedepankan asas manfaat dan akibat yang akan ditimbulkan suatu 48 Ma’ruf Asrori, Fatiatul ‘Ulum (Terjemah), (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), hlm. 4. TK. H. Ismail Yakub, Ihya ‘Ulumuddin Terjemah, (Surabaya: Faizan, 1966), hlm. 49 49 52-53. 91 ilmu. Al-Ghazali menempatkan ilmu-ilmu yang selayaknya dipelajari untuk kemaslahatan, di sisi lain pula Al-Ghazali memberikan peringatan untuk menjauhi ilmu-ilmu, seperti ilmu sihir, mantra-mantra, tenung, dan ilmu balik mata, karena lebih banyak madharatnya di bandingkan dengan kemaslahatan yang ditimbulkan daripadanya. Di sisi lain perlu mengelompokan ilmu di atas agar dapat menjadi acuan kepada murid untuk tidak sembarangan menuntut suatu ilmu dengan melihat kemanfaatannya, sedangkan pengelompokan yang lain dari AlGhazali yaitu berupa ilmu fardu ‘ain dan ilmu fardu kifayah. Ilmu fardu ‘ain yang terdiri dari ilmu tauhid, ilmu syariat, dan ilmu sirri. Ilmu fardu kifayah yang terdiri dari ilmu kedokteran dan ilmu berhitung. Kalau bisa diidentifikasi terlihat ilmu fardhu ‘ain tertuju pada materi pelajaran agama klasik. Sedangkan ilmu fardhu kifayah disamakan dengan ilmu-ilmu umum. Karena sebagaimana ilmu agama yang fardhu ‘ain untuk menguatkan sendi-sendi dalam agama, yang pada waktu itu sosio kultur menuntut adanya keinginan untuk membentengi agama. Sedangkan ilmu umum ditempatkan pada hirarki kelas dua dengan diberi hirarki kifayah, yaitu kewajiban kelompok yang apabila sebagian telah melaksanakannya maka terlepaslah yang lain dalam kewajiban ini, hal ini sebenarnya penggelompokan ilmu fardu ‘ain dan fardu kifayah mewujud dalam konteks kewajiban dalam mencari ilmu. Semua ini dalam hal pengelompokan ilmu adanya ilmu terpuji, ilmu tercela, ilmu fardu ‘ain dan kifayah, karena apa yang disebut dalam 92 epistimologis Al-Ghazali pendidikan Islam mempunyai corak yang spesifik yaitu adanya kesan agama dan etika yang nyata. Pada sasaran-sasaran dan sarananya, begitupun tidak mengabaikan terhadap permasalahan-permasalahan keduniawian. Dunia adalah mazra’atul akherah (media penghubung) dengan Allah bagi yang berkeyakinan demikian, karena ia bukan tujuan dan tempat tinggal.50 Al-Qur'an ingin menegaskan bahwa ilmu-ilmu yang dipelajari ada tanggungjawab moral dengan tuhan, maka oleh Al-Ghazali ilmu-ilmu diklasifikasikan seperti di atas agar seseorang murid tidak melenceng dalam tata aturan akademis. 2. Analisa Konsep Ilmu Menurut Muhammad Iqbal Latar belakang sosio kultur Islam yang mewarnai perjalanan pemikiran yang menghasilkan usaha untuk bangkit kembali terhadap keterpurukan Islam , memaksa Muhammad Iqbal untuk merumuskan sistem dan konsep Pendidikan Islam yang tidak timpang. Menurut Iqbal Islam harus bisa merebut kembali ilmu pengetahuan Barat sebagai fase dari kelanjutan kejayaan Islam yang telah runtuh. Maka Iqbal menampik adanya berseberangnya filsafat dan agama. Ilmu pengetahuan sangat bisa tidak mengenal arti metafisika secara rasional, dan memang selama ini ia tidak mengenalnya. Maka sangat sukar bagi agama untuk menutup mata dalam mencari suatu penyelesaian tentang pertentangan-pertentangan pengalaman serta alasannya tentang lingkungan 50 Al-Ghazali, Fatihatul ‘Ulum, Terjemah Manusia’ruf Asori, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2003), hlm. 13. 93 tempat kemanusiaan menemui dirinya,.51 Maka oleh Muhammad Iqbal bila perlu dilakukan rekontruksi terhadap pemikiran agama.52 Pemikiran agama yang karenanya menutup diri atas perkembangan ilmu pengetahuan menurut Muhammad Iqbal harus dibuka kembali, tiada pertentangan yang umum antara keduanya, karena saling mendukung. Dogma-dogma yang tidak memberi wawasan rasional tentu akan ditolak walaupun sebagian dogma tidak harus diterima. Dogma-dogma keyakinan ditunjukan dan didentifikasikan dengan kebutuhan. Demikian pula ilmu pengetahuan membutuhkan akan dalil-dalil ilahi karena tidak akan melenceng dalam kegiatan utamanya dalam mengimplementasikan hasil dalam kerangka kemaslahatan duniawi dan ukhrawi. Al-Qur'an mengakui bahwa sikap empiris adalah tingkat yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan ruhaniyah manusia, menganggap sama pentingnya semua bagian dari pengalaman manusia sebagai suatu yang membuahkan pengetahuan tentang kenyataan terakhir, yang menampakkan tandanya lahir dan batin. Satu bulan tidak langsung dalam mengadakan hubungan dengan kenyataan yang dihadapkan kepada kita kala itu ialah penyelidikan dan penguasaan tentang teliti adanya tanda-tanda itu setelah menampakkan diri pada tanggapan pengindraan. Jalan lain ialah langsung berhubungan dengan kenyataan setelah ia menampakkan diri dalam batin.53 51 Iqbal, The Recountruksion Of Tough In Islam, (Yogyakarta: Jala Sutra, 2008), hlm. 4. Ibid, hlm. 11. 53 Iqbal, The Recountruksion Of Tough In Islam, …, hlm. 20. 52 94 Naturalisme Al-Qur'an hanya sebuah pengakuan tentang fakta, bahwa manusia bertalian dengan alam, dan pertalian ini dipandang dari segi kemungkinannya sebagai suatu cara mengawasi tenaga-tenaga alam itu; yang harus dikerahkan untuk mengambil manfaatnya, bukan dengan nafsu jahat hendak menguasainya, melainkan untuk mendatangkan keuntungan dengan adanya suatu visi kenyataan yang sempurna, serapan pengindraan (sense perception) haruslah dilengkapi dengan persepsi yang oleh Al-Qur'an disebut sebagai Fuad atau qolb, yaitu hati.54 Yang telah memperindah segala yang diciptakan, dan memulai penciptaan manusia dari tanah, lalu diturunkannya dijadikannya dari mani lemah. “Lalu disempurnakan, dan dari ruh-Nya itu, sebagian ditiupkan kedalamnya; engkau dilengkapi dengan pendengaran, penglihatan dan hati. Tapi sedikit sekali dari kalian mau berfikir”. (Q.S. 32: 7-9) Ahli ilmu alam mempelajari dunia materi, artinya dunia yang diedarkan oleh alat-alat indera. Proses pula pengalaman-pengalaman religius dan estetisnya, meskipun merupakan bagian dari zona pengalaman seluruhnya, kesemuanya dikesampingkan dari tujuan alam, sebab ilmu tersebut membatasi dari dalam menelaah dunia materi yang artinya duniadunia yang kita persepsikan.55 Dunia yang dipersepsikan menurutnya benda-benda alam yang terwujud dari kualitas-kualitasnya. Muhammad Iqbal menjembatani 54 55 Ibid, hlm. 20. Iqbal, The Recountruksion Of Tough In Islam, …, hlm. 40. 95 kreatifitas-kreatifitas dalam ilmu pengetahuan yang mempunyai pandangan kebenaran dan hikmah. Maka, katanya lagi, ahli ilmu hayat dengan mencari penjelasan mekanik tentang kehidupan terdorong berbuat demikian karena ia membatasi studinya hanya mengenai soal-soal bentuk kehidupan yang lebih rendah, yang tata lakunya menunjukan persamaan-persamaan dengan kegiatan mekanik. Apabila ia mempelajari kehidupan yang ada dalam dirinya, yakni kesadarannya sendiri yang bebas memilih, menolak, merenungkan, menyelidiki masa lalu dan masa sekarang, serta secara dinamis membahayakan masa depannya, pastilah ia akan yakin bahwa pengertian - pengertian mekaniknya tak memadai.56 Iqbal ingin menunjukan bahwa potensi ego atau ke-diri-an dalam jiwa manusia apabila ditampilkan serta ditumbuhkan maka akan terpancar nilai-nilai dinamis yang menembus ruang-ruang mekanik kreativitas manusia yang akan mampu menjangkau soal-soal yang lebih tinggi tersebut dalam kebenaran dan hikmah. Bahwa hal semacam ini perlu dilakukan dalam pendidikan Islam yang semata untuk menjaga keseimbangan universal agama. Iqbal yang berpegangan pada dua dasar pengetahuan, yang pertama disebutkan “‘Isyq” (cinta) dan yang kedua yaitu penalaran. Bagaimana sebuah ‘Isyq (cinta) kepada tuhan memberikan kreativitas untuk melaksanakan firmannya sebagai khalifah tuhan di bumi dengan potensi 56 Iqbal, The Recountruksion Of Tough In Islam, …, hlm. 61. 96 yang dimiliki melalui olah fikir yang diejawantahkan dengan kreativitas produksi ilmu. Karya ilmu ini didasarkan atas cinta kepada tuhan dalam mensejahterahkan berkesinambungan kehidupan tanpa yang adanya harmonis, ketimpangan mapan dalam dan menghayati kehidupan dunia dan ukhrawi. Sisi ilmu pengetahuan dan filsafat dengan agama akan menunjukan watak universal Islam . Muhammad iqbal menyebutkan bahwa pengembangan ke-diri-an (ego) merupakan sebuah embrio untuk membutuhkan kreativitas diri tanpa mengeliminasi sebagai pengetahuan yang selama ini dianggap menghambat keberadaan dogma agama, karena ego akan terpacu sesuai dengan jalannya ‘Isyq dan nalar yang akan mampu memberikan nilai positif atas eksitensi agama. Yang pada intinya menurut iqbal, Pendidikan Islam mampu menjadi sebuah wahana untuk mencetak manusia beriman, cerdas, dan berilmu pengetahuan keseimbangan universal pendidikan Islam sebagai wadah dalam menggapai cita-cita tersebut didasarkan dengan ‘Isyq dan nalar. Isyq akan tetap menjadi Pembina nalar yang begitu tanpa batas, sehingga kemajuan manusia tidak akan timpang dengan adanya korelasi. 97 3. Analisis Perbedaan Konsep Ilmu Pengetahuan Al-Ghazali dan Muhammad Iqbal Di satu sisi dalam mengamati konsep ilmu pengetahuan Al-Ghazali dan Muhammad Iqbal bahwa karena keduanya lahir dari rahim sosial yang hampir sama, yaitu pergolakan pemikiran keilmuwan pada zamannya. Bedanya bila Al-Ghazali lebih membela kepentingan agama, karena pada waktu itu aliran-aliran rasionalis memberikan pemahaman yang berbeda yang menurut Al-Ghazali apabila tidak dihentikan maka akan mengancam eksistensi agama. Akhirnya Al-Ghazali menekankan pentingnya belajar ilmu agama sebagai fardhu ‘ain dengan memilah dan memilih ilmu-ilmu terapan yang cocok untuk memperkuat agama sebagai fardhu kifayah. Sedangkan banyak ilmu-ilmu terapan menjadi terbengkalai dan menjadikan kemunduran Islam di satu sisi, pembelaan Al-Ghazali terhadap agama dengan demikian penilaian terhadap ilmu-ilmu pengetahuan, agar umat Islam tetap memperkuat benteng keimanan dengan diwajibkannya belajar ilmu agama sebagai kewajiban fardhu ‘ain. Keberlangsungan Islam sesuai dengan cita-citakan Al-Ghazali memang tercapai, tapi disisi lain terjadi ketimpangan yang sangat, takkala Islam hanya menjadi agama teologis. Sedangkan Muhammad Iqbal tertuntut untuk meluruskan kembali konsep keuniversalan Islam apabila Al-Ghazali dalam melakukan pendekatannya dengan model intuisi, setelah lama bergulat dengan inderawi dan akal. Iqbal menggunakan ‘Isyq (cinta) dan penalaran cinta 98 atau ‘Isyq di sini merupakan satu istilah, yaitu pendekatan batiniyah, persis pendekatan intuisi yang dilakukan oleh Al-Ghazali. Dengan pendekatan ‘Isyq landasan keagamaan tanpa pernah akan tergerus, seperti yang terjadi di Barat. Dalam perspektif ini, suatu peradaban yang hanya ditegakkan atas landasan penalaran (akal) tanpa cinta (‘Isyq) akan membuahkan sekularisme-sekularisme. Di sini letak perbedaan keduanya yang lebih mendasar, yaitu Iqbal menambahkan pendekatan penalaran (akal) sebagai konsekuensi dari perlakuan integrasi pengetahuan dan agama. Menjadi sebuah kemungkinan yang positif akal dengan berbagai kelebihan yang dimilikinya dikembangkan untuk menopang keberadaannya manusia secara jasmani dan ruhani. 4. Pengaruh Konsep Ilmu Pengetahuan Al-Ghazali dan Muhammad Iqbal Terhadap Pendidikan Islam Serta Implikasinya. Sejatinya pendidikan Islam telah memberikan sumbangsih begitu besar dalam percaturan peradaban dunia. Penafsiran akan pentingnya peradaban yang berperi-kemajuan dalam langkahnya menuju pendidikan Islam yang universal mendapat tantangan yang terpenting baik dari aspek pemikiran, ideologi, fragmentasi arah tujuan yang dicapai dengan selalu memberikan pertimbangan yang jelas untuk bisa dikatakan mengorganisir kepentingan jasmaniyah-ruhaniyah, keberimbangan naluri aspek kognitif, afektif dan psikomotorik 99 Begitu besar tantangan yang dihadapi oleh pendidikan Islam saat ini sehingga dikatakan oleh At-Attas secara diam-diam dihadapi oleh umat Islam pada zaman ini adalah tantangan pengetahuan, bukan dalam bentuk sebagai kebodohan, tetapi pengetahuan yang dipahamkan dan disebarkan ke seluruh dunia oleh peradaban Barat. Kembali bahwa Al-Ghazali dalam meletakkan dasar-dasar pemikirannya tentang pengetahuan mendapat porsi yang lumrah. Mengingat bahwa pengembaraan intlektual Al-Ghazali di tengah keberagamaan pola pemikiran yang sarat akan pertentangan. Dengan memastikan kecenderungan modal indrawi, lalu digantikan dengan keputusan akal, maka mau tidak mau sebenarnya Al-Ghazali telah mempercayainya terlebih karena Allah menganugerahkan akal yang menjadi satu modal dalam perjuangan manusia untuk menjadi khalifah di bumi. Penerapan model ini sebenarnya karena latar belakang sosial pada waktu itu. Di mana ilmu begitu pesatnya dilapangan, tapi menyebabkan jauhnya manusia itu dari substansi awalnya. Manusia karena begitu dominannya dalam mempergunakan akal, sehingga menurut Al-Ghazali mengarahkan kepada kecendrungan tersesat, maka Al-Ghazali membantah model akal, untuk mengarahkan manusia kembali pada substansi murni, yaitu memakai dalil intuisi. Pengetahuan filsafat dan pengetahuan terapan pada waktu itu mulai bergeliat menunjukkan eksistensinya memang mengandung filsafat 100 skolastik ala yunani. Sedikit tidaknya mempengaruhi cara berfikir orang Islam. Maka menimbulkan gelagat yang tidak baik, yang pada awalnya mengolah ilmu pengetahuan untuk menjadi ilmu terapan cenderung mengarah mempersoalkan eksistensi tuhan. Maka tepat juga apa yang dilakukan oleh Al-Ghazali dengan mengklasifikasikan ilmu menjadi berbagai macam. Untuk mencounter pemikiran–pemikiran yang menjadi duri dalam daging. Demikian pula apa yang dilakukan Iqbal. Karena beliau lahir dan besar di tengah-tengah keruntuhan peradaban Islam khususnya ilmu pengetahuan, maka oleh sebab menyetir kembali begitu banyak ilmuwan penting, Muhammad Iqbal merekonstruksi kembali sembari menyegarkan pemikiran-pemikiran jumud yang sebenarnya harus ditinggalkan. Memang pada waktu itu klasifikasi ini mungkin populer dan relevan karena situasi yang cendreng kondusif, sehingga Islam tetap jaya dalam pengetahuan, bahkan mungkin akan tercapai integritas dan penghargaan ilmu yang sama tanpa kelas sudah sewajarnya. Akal yang menetapkan sumber ilmu pengetahuan harus ditempatkan pada kedudukan yang lebih bijak. Wacana Al-Ghazali tentang klasifikasi ilmu memberikan warna tersendiri dalam pendidikan masa itu, sehingga tidak menyebabkan kegagalan dalam proses penetrasi keilmuwan wacana integritas dan rekonsiliasi sudah seharusnya. Wacana integrasi dan rekonsiliasi filsafat dan agama mendesak untuk dilaksanakan dalam implementasi kurikulum 101 yang nyata. Islam sangat universal dalam mengimbangi antara produk skill, ketrampilan, pengetahuan dan nilai-nilai moral. Sehingga pada saat pendidikan Islam mengejawantahkan keseluruhan materi yang berdimensi jasmani dan ruhani tanpa memberikan ruang kesengajaan. Wacana Al-Ghazali sangat mempengaruhi gerak dari pendidikan Islam saat ini. Bagaimana doktrin pemisahan ilmu dalam definisinya masing-masing menjerat dan sulit untuk diurai. Pendidikan Islam dalam statusnya hanya mengajarkan ilmu materi keagamaan klasik-perimbangan materi terapan belum terpenuhi. Sebab pemisahan ini karena sosio kulturalnya melingkupi AlGhazali pada waktu itu, yang memang ilmu filsafat disalahgunakan untuk mengutak atik eksistensi yang maha tinggi. Sedang masalahnya pada saat ini sungguh sangat berbeda. Kepercayan doktrin tentang manusia yang menjadi khalifah di bumi belum bisa terwujud apabila Pendidikan Islam belum memberikan kontribusi penerapan ilmu-ilmu sosial dan alam. Demikian pula wacana yang dipaparkan Muhammad Iqbal karena berawal dari keprihatinan atas pendidikan Islam. Konsep ‘Isyq dan penalaran menjadi embrio wacana integrasi pengetahuan dan agama. Pendidikan Islam sebagainya telah mulai membuktikan diri dalam bidang-bidang pengetahuan terapan. Sebagaimana pengaruh dari integrasi pengetahuan agama. Timbulnya dalam kurikulum pendidikan Islam menjadi sebuah akibat adanya dikotomi dalam ilmu. Dalam pendidikan Islam saat ini mengenal adanya prinsip ilmu agama dan ilmu umum. Ilmu 102 agama dengan melakukan pendekatan sumber utama Al-Qur'an dan hadist. Semua materi ilmu ini diganti dari kedua sumber tersebut. Sedangkan ilmu umum tidak memakai kedua unsur tersebut di atas dengan hanya mengedepankan rasionalitas semata atas nama akal. Maka sebenarnya ada pengaruh dari konsep Al-Ghazali tentang berbagai klasifikasi ilmu yang pada akhirnya berkembang menjadi ilmu agama dan ilmu umum. Pendidikan Islam dengan berbagai kelemahan penganutnya memasukan prinsip ilmu agama sebagai kurikulum wajibuntuk dengan berbagai alasan sebagai bekal di akherat kelak, sedangkan ilmu umum ditolak secara halus karena predikat yang disandarkannya. Pada sisi lainpun sebagian pendidikan Islam ingin mengintegrasikan pemahaman antara ilmu agama dan ilmu umum belum berhasil. Karena pijakan awal dari sumber idiologi dicakupannya berbeda. Sehingga tetap pemahaman ini tidak bisa menyatukan kedua ilmu tersebut dalam satu naungan, yaitu ilmu yang berasal dari Allah Swt yang tercakup didalam Al-Qur’an. Imbasnyapun pendidikan Islam tidak pernah menemukan kecocokan dalam membaurkan kesamaan visi kedua ilmu tersebut. 103 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan mengenai Klasifikasi Ilmu Pengetahuan Dalam Pendidikan Islam (Konsep Perbandingan Menurut ALGhazali dan Muhammad Iqbal) maka dalam penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Konsep Al-Ghozali dan Muhammad Iqbal tentang klasifikasi ilmu pengetahuan dalam pendidikan Islam yaitu: Dalam membangun sebuah konsep ilmu, Al-Ghozali mengharapkan agar tujuan hakikat kebenaran tercapai serta memiliki akses kedekatan dengan Tuhan. Dari itu sumber kebenarannya adalah intuisi (dzauq), sedangkan sumber lain selain dari intuisi adalah kebenaran semu. Demikian halnya Al-Ghozali memilah proses perolehan ilmu pengetahuan (epistimologi) dalam dua tingkatan metode yaitu dharuri (laduni) dan kasbi (muktasabah). Menurutnya ilmu dharuri (laduni) adalah ketersingkapan pengetahuan dalam hati tanpa ada bantuan, dicontohkannya dalam hal ini adalah wahyu. Sedangkan metode kasbi (muktasabah) merupakan pengetahuan yang dihasilkan melalui usaha dengan bantuan panca indra dan terkadang menurutnya kurang sempurna karena tidak dapat diandalkan. Dicontohkannya berupa pengetahuan inderawi, material dan sebagainya. Oleh karena itu dalam kaitannya kewajiban menuntut ilmu, menurutnya ilmu dibagi dua yaitu ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah. 103 104 Sedangkan menurut Muhammad Iqbal dalam filosofi ilmu pengetahuan mendefinisikan ilmu dalam kerangka universal Islam antara Agama dan Pengetahuan saling menunjang, pengetahuan tanpa agama maka akan cenderung materialisme rasionalisme, sedangkan agama tanpa pengetahuan maka akan terjadi fatalisme. Filsafat ego tentang kreatifitas diri dalam jiwa seorang muslim senantiasa harus dikembangkan sebagai upaya membaca masa lalu dan dengan mengaitkan masa sekarang. 2. Perbedaan konsep Al-Ghozali dan Muhammad Iqbal tentang klasifikasi ilmu pengetahuan dalam Pendidikan Islam. Karena kedua tokoh tersebut berbeda zaman dan sosio kultur yang melatarbelakangi juga berbeda, maka ada beberapa hal perlu disebutkan perbedaannya: a. Ruang lingkup Al-Ghozali dalam interaksinya lebih pada wilayah lokal karena akses teknologi informasi belum tercapai. Sedangkan Muhammad Iqbal lahir pada saat situasi kompetisi barat yang begitu cepat, maka ruang interaksinya pun begitu luas. b. Dampak dari hal tersebut diatas erat kaitannya dengan sumber perumusan filosofi antara keduanya. Al-Ghozali mengambil sumber ilmu yang menjadi keyakinan baginya yaitu intuisi murni yang korelasinya lebih tepat tercapainya kedekatan kepada Tuhan. Sedangkan Muhammad Iqbal bersumberkan pada ‘isyq (cinta) dan penalaran yang pada hakekatnya memacu kepada kreatifitas diri. 105 c. Oleh karenanya Al-Ghozali memisahkan materi ilmu agama dan materi ilmu pengetahuan umum dalam kriteria apa yang dimaksudnya ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah. Sedangkan Muhammad Iqbal lebih memilih pengintegrasian materi ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum. Dengan catatan dalam materi ilmu pengetahuan umum tersebut dilebur dengan hakikat-hakikat dari materi ilmu agama, sehingga akan selalu memacu pada kualitas kreatifitas diri untuk memajukan Islam. 3. Pengaruh konsep Al-Ghozali dan Muhammad Iqbal tentang klasifikasi ilmu pengetahuan dalam Pendidikan Islam yaitu terciptanya kurikulum madrasah disatu sisi yang didalamnya cenderung ada dikotomi Ilmu Agama dan Ilmu Umum. Disisi lain timbulnya kurikulum yang berbasis pada kemampuan dalam memahami materi agama dengan integrasi pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan sasaran mencapai manusia yang bertaqwa dan berilmu pengetahuan serta bertanggungjawab dalam beramal soleh. B. Saran-saran 1. Hendaknya mengubah paradigma ilmu agama dan ilmu umum di bawah satu naungan universal ilmu, karena hanya akan mengkerdilkan watak keuniversalan Islam itu sendiri. 2. Hendaknya konsep-konsep ilmu yang diajarkan oleh al-Ghazali dan Muhammad Iqbal harus dilihat dulu latar belakang munculnya pemikiranpemikirannya tersebut, tidak ditelan secara serampangan, karena 106 sebenarnya niat baik keduanya perlu diperhitungkan untuk agar Islam lebih kuat. 3. Hendaknya para tokoh pendidikan untuk merancang segera pengintegrasian dan menghilangkan dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, tidak semata melebur secara fisik, tetapi secara filosofis dan pengambilan sumbernya pun tanpa ada perbedaan. C. Kata Penutup Dengan mengucap syukur, Alhamdulillahi Rabbil’allamin, yang hanya dengan hidayah, rahmat dan inayah-Nya segala kehendak dan tujuan serta cita-cita seorang insan dapat terwujud, sehingga penulis telah dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Klasifikasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan Islam (Konsep Perbandingan Menurut Al-Ghozali dan Muhammad Iqbal)”. Penulis yakin sepenuhnya bahwa masih banyak kelemahan dan kekurangan dalam penulisan ini semata-mata karena persiapan dan khazanah pengetahuan serta pengalaman penulis yang masih teramat dangkal. Untuk itu tegur sapa, kritik, dan saran-saran demi sempurnanya penelitian ini sangat diperlukan. Sebagai kata penutup, penulis hanya dapat berharap semoga skripsi ini dapat membawa manfaat terutama bagi penulis dan masyarakat pada umumnya. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah bersedia membantu terlaksanannya penulisan 107 skripsi ini, semoga Allah Swt berkenan melimpahkan pahala yang setimpal amin. Kesugihan, 18 Januari 2011 Penyusun AHMAD SAHREZA NIM : 052321604 DAFTAR PUSTAKA Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumiddin, Terjemah TK. H. Ismail Ya’kub. Surabaya. CV. Faizan. 1966. ________, Tahafut Al-Falasifah. Terjemah Ahmad Maimun. Yogyakarta. Islamika. 2003. ------------, Fatihatul Ulum, Terjemah oleh Ma’ruf Asrori, Pustaka Progresif, Surabaya, 2002. Abdurrozak, Abu Bakar. Matahari Didalam Diri, Muhasabah Al-Ghozali Untuk Para Muridnya, Jakarta: Hikmah, 2003. Ali Al-Husni An-Nadwi, Abul Hasan. The Glory Of Iqbal Alih Bahasa Suyibno dengan judul Percikan Kegeniusan Dr. Muhammad Muhammad Iqbal, t.k.: Integrita Press, 1985. Ali, Al- Shafique Khan. Filsafat Pendidikan Ghozali(terjemahan). Bandung: CV Pustaka Setia. 2005. Alwajri, Ahmed O. Islam, Barat, dan Kebebasan Akademik, Yogyakarta: Titian Ilahi, 1997. Aziz, Abd. Filsafat Pendidkan Islam, Sebuah Gagasan Membangun Pendidikan Islam Yogyakarta: Teras, 2009. Azwar, Syaifudin. Reliadibitas dan Validitas. Yogyakarta:Pustaka Pelajar. 2006. --------------------.Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2003. Daradjat, Zakiyah dkk. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2006. Daudy, Ahmad. Segi-Segi Pemikiran Falsafi Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984. Depag RI. Al Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: CV Penerbit Diponegoro. 2003. Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka . 2007. D. Katsoff, Lowis. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 1996 Husein Alhamid, Zaid. Mukhtashar Ihya Ulumiddin. Jakarta:Pustaka Amani. 1995. Ibnu Rusn, Abidin. Pemikiran Al-Ghozali Tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Iqbal, Muhammad. The Recountruksion Of Tought In Islam Alih Bahasa Ali Audah, Dkk. Dengan Judul Rekonstruksi Pemikiran Agama Dalam Islam, Yogyakarta: Jalasutra, 2008. Muhadjir, Noeng. Metodologi penelitian Kualitatif edisi IV. Yogyakarta: Rake Sarasin. 2002. Munir, Ahmad. Tafsir Tarbawi, Mengungkap Pesan Al-Qur'an Pendidikan, Yogyakarta: Teras, 2008. Tentang Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran Dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1996. Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam, Jakarta: Radar Jaya, 2002. Pius A Partanto dan M Dahlan Al Barry. Kamus Ilmiyah Populer. Surabaya: Arkola. 1994. Rahardjo, Mudji. Quo Vadis Pendidikan Islam, Realitas Pembacaan Pendidikan Islam, Sosial dan Keagamaan, Malang: Cendikia Paramulya, 2006. Saiyidain, K. G. Iqbal’s Educational Philosophy Alih Bahasa M. I. Soelaeman, dengan judul Percikan Filsafat Muhammad Iqbal Mengenai Pendidikan Bandung: C. V Diponegoro,. 1981. Suryadilaga, M. Alfatih. Konsep Ilmu Dalam Kitab Hadits, Studi Atas Kitab Alkafi Karya Kulaini, Yogyakarta: Teras, 2009. Tafsir, Ahmad. Metodologi Pengajaran Islam, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2000. Usa, Muslih. Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita Dan Fakta, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991. DAFTAR RIWAYAT HIDUP 1. NAMA : Ahmad Sahreza 2. Tempat tanggal lahir ; Negeri Ngarip, 04 September 1985 3. Jenis kelamin : Laki-Laki 4. Status : Belum Menikah 5. Agama/Bangsa : Islam/Indonesia 6. Alamat rumah : jl. Lintas Barat Negeri Ngarip Kecamatan Wonosobo Kabupaten Tanggamus Lampung 7. Nama orang tua: a. Ayah : Halimi b. Ibu : Nur Diana 8. Pendidikan Formal a. Sd Negeri 01 Negeri Ngarip b. SLTP N 01 Wonosobo Lampung c. SMU N 01 Kota Agung Lampung d. IAIIG Kesugihan 01 Cilacap Demikian riwayat hidup ini penulis buat denagn sebenar-benarnya. Cilacap 18 Januari 2011 AHMAD SAHREZA NIM 052 321 604