BAB IV

advertisement
BAB IV
ANALISA KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK ANAK
DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZALI
A. Pendidikan Islam Menurut Imam Al-Ghazali
1. Definisi Pendidikan Islam
Dalam menjalani kehidupan, manusia tidak akan lepas dari kegiatan
pendidikan, baik pendidikan dalam bentuk fisik maupun pendidikan dalam
bentuk psikis. Pendidikan merupakan faktor yang sangat penting dalam
memperbaiki sosial, guna menjamin perkembangan dan kelangsungan hidup
masyarakat. Dalam berbagai aspek, pendidikan merupakan kebutuhan primer
setiap manusia yang sangat berperan dalam dinamika kehidupan.
Atas pemikiran di atas Ahmad Syaifuddin menyatakan lebih lanjut
bahwa untuk keperluan itu manusia menuntut adanya suatu sistem yang
dikenal dengan istilah “pendidikan”. Dengan demikian, diharapkan manusia
terutama muslim dapat menggunakan akalnya secara luas dan benar sesuai
dengan konstitusi Islam. Logikanya jika seorang muslin dapat berfikir sesuai
dengan tuntunan Al-Qur’an dan Al-Hadits, ia disebut Ulul Albab, yaitu
manusia yang selalu menggunakan fikiran dan hati.1
1
Ahmad Syaifuddin, Peranan Peran Pemikiran Imam Al-Ghazali, dalam Pengembangan
Pendidikan Islam Berdasrkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), 9
84
85
Dengan demikian, Ulul Albab merupakan suatu istilah Al-Qur’an
maupun Al-Hadits yang ditujukan kepada manusia muslim yang sudah belajar
banyak tentang ilmu-ilmu yang diturunkan oleh Allah SWT, baik dalam teksteks, kedua sumber ajaran Islam itu maupun “ayat-ayat” Allah SWT yang ada
di dalam alam semesta (kawniyah), dalam Al-Qur’an misalnya : dinyatakan
bahwa Ulul Albab ialah orang selalu mengingat Allah SWT dalam keadaan
berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, mereka memikirkan penciptaan
langit dan bumi.
Menyadari pentingnya pendidikan, pembinaan potensi manusia
menjadi tanggungjawab bersama. Tanggungjawab ini didasarkan atas
motivasi dan cinta kasih yang pada hakikatnya dijiwai oleh tanggungjawab
moral. Secara sadar seorang pendidik harus dapat mengembangkan kewajiban
untuk membina dan memelihara anak sampai ia mampu berdiri sendiri.
Sebagaimana yang diharapkan oleh pendidikan Islam yaitu menciptakan
manusia yang bertaqwa kepada Allah SWT.
Dalam hal ini, ilmu dan imam manjadi sumber orisinil pendidikan
Islam yang sejalan dengan tuntutan kehidupan modern sekarang ini.
Modernitas manusia zaman sekarang harus membuka diri kepada cita-cita
hidup yang berkembang, yang membawa ketinggian martabat hidup di dunia
dan yang membuka pintu yang luas untuk persiapan kehidupan akhirat.2
2
Ali Al-Jumbulati dan Abdul Futuh At-Tuwaanisi, Perbandinagan Pendidikan Islam,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1993), 3
86
Dalam kaitan antara pendidikan Islam dan hal-hal yang menyangkut
penerapan moral atau akhlak, dalam hal ini yang terangkum dalam Al-Qur’an
maupun sunnah Nabi Muhammad SAW, kita akan menemukan permasalahanpermasalahan itu dalam permasalahan atau pembahasan yang selalu digeluti
oleh Ulama Besar Hujjatul Islam, Abi Hamid Muhammad bin Muhammad
Al-Ghazali atau lebih kita kenal dengan nama Imam Al-Ghazali. Beliau
adalah contoh umat Islam yang tidak sedikit waktunya dicurahkan untuk
kegiatan-kegiatan dan penelaahan-penelaahan yang masih ada sangkut
pautnya dengan permasalahan yang ada di dalam Al-Qur’an, terutama dalam
bidang pendidikan. Wawasan keilmuannya yang sedemikian luas dan
mendalam serta sikap hidupnya sebagai hamba Allah SWT yang konsisten
terbaca dalam karangan-karangannya serta transparan dalam pola perilakunya
sehari-hari.3
Sistem pendidikan merupakan rangkaian dari sistem-sistem atau
unsur-unsur
pendidikan
yang
saling
terkait
dalam
mewujudkan
keberhasilannya. Ada tujuan, kurikulum, materi, metode, pendidik, peserta
didik, sarana, alat, pendekatan dan sebagainya. Keberadaan satu unsur
membutuhkan keberadaan unsur yang lain, tanpa keberadaan salah satu
diantara unsur-unsur, pross pendidikn menjadi terhalang, sehingga mengalami
kegagalan. Proses pendidikan tidak hanya ada tujuan pendidikannya, maka
pendidikan tidak bisa berjalan. Ketika satu unsur dominan mendapat pengaruh
3
Ibid., 134
87
tertentu, pada saat yang bersamaan unsur-unsur lain menjadi terpengaruh
karena suatu pengaruh tujuan pendidikan diarahkan pada suatu aksentuasi
tertentu. Maka materi, metode, sarana, pendidik, peserta didik dan unsur
lainnya menyesuaikan.4
Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa pendidikan dapat dilihat dari 2
sudut pandang, yaitu: sudut pandang individu dan sudut pandang masyarakat.
Dari
sudut
pandang
pertama,
pendidikan
merupakan
usaha
untuk
mengembangkan potensi individu, sedangkan menurut pandangan kedua,
pendidikan adalah usaha untuk mewariskan nilai-nilai budaya dari generasi
tua kepada generasi muda, agar nilai-nilai budaya tersebut terus hidup dan
berlanjut di masyarakat. Karena itu pendidikan merupakan aktifitas yang
sudah terprogram dalam suatu sistem. Adapun perbedaan dalam setiap sistem
pendidikan, tampaknya ikut dipengaruhi oleh cara pandang dari setiap
masyarakat, kelompok atau bangsa masing-masing. Cara pandang ini erat
kaitannya dengan latar belakang filsafat atau pandangan hidup mereka.5
Gambaran tentang rangkaian pengertian dan ruang lingkup yang
mendasari konsep pendidikan Islam, secara garis besarnya Imam Al-Ghazali
dalam pendidikan Islam menyangkut 3 faktor utama, yaitu:
a. Hakikat penciptaan manusia, yaitu: agar manusia menjadi pengabdi Allah
SWT yang taat dan setia.
4
5
Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga, 2005), 218
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), 69
88
b. Peran dan tanggungjawab manusia sejalan dengan statusnya selaku abdi
Allah, al-Basyr, al-Insan, al-Nas, Bani Adam maupun khalifah Allah
SWT.
c. Tugas utama Rasul yaitu: membentuk akhlak yang mulia serta memberi
rahmad bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin).
Ketiga faktor di atas merupakan dasar berpijak bagi perumusan
pendidikan Islam secara umum. Dengan demikian, pendidikan Islam dapat
diartikan sebagai usaha pembinaan dan pengembangan potensi manusia secara
optimal sesuai dengan statusnya dengan berpedoman kepada syari’at Islam
yang disampaikan oleh Rasul Allah SWT agar supaya manusia dapat berperan
sebagai pengabdi Allah SWT yang setia dengan segala aktifitasnya guna
tercipta suatu kondisi kehidupan Islami yang adil, selamat, aman, sejahtera
dan berkualitas serta memperoleh jaminan hidup di dunia dan jaminan bagi
kehidupan yang baik di akhirat.6
Definisi pendidikan menurut Imam Al-Ghazali diperlukan, agaknya
rumusan ini dapat ditawarkan. Pendidikan adalah suatu usaha meningkatkan
diri dalam segala aspeknya. Kegiatan pendidikan yang melibatkan guru
maupun yang tidak melibatkan guru (pendidik) meliputi: pendidikan formal,
non formal dan informal. Segi yang dibina oleh pendidikan dalam definisi ini
adalah seluruh aspek kepribadian. Dalam Islam pada mulanya pendidikan
disebut dengan kata ”ta’dib”. Kata “ta’dib” mengacu pada pengertian yang
6
Jamaluddin Idris, Kompilasi Pemikiran Pendidikan, (Yogyakarta: Suluh Press, 2005), 150
89
lebih tinggi dan meliputi unsur-unsur pengetahuan (‘ilm), pengajaran (ta’lim)
dan pengasuhan yang lebih baik (tarbiyah). 7
Dengan demikian pandangan imam Al Ghazali mengenai pendidikan
islam adalah sarana bagi pembentukan manusia yang mampu mengenal
Tuhannya dan berbakti kepada-Nya. Pendidikan islam adalah sarana untuk
mengantarkan manusia menjadi khalifah di muka bumi untuk menjaga
keseimbangan kehidupan di dunia dan sebagai sarana untuk beribadah kepada
Allah.
2. Tujuan Pendidikan Islam
Konsep Imam Al-Ghazali tentang pendidikan ialah pendidikan
merupakan media atau sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan
untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak yang lebih abadi.
Beliau menekankan bahwa tugas pendidikan adalah mengarah kepada
realisasi tujuan keagamaan dan akhlak dimana fadilah / keutamaan taqarrub
kepada Allah SWT merupakan tujuan yang paling penting dalam pendidikan.
Oleh karena itu, beliau merumuskan 2 tujuan pendidikan, yaitu:
1. Insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT
2. Insan purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di
akhirat.8
7
8
Achmad Patoni, Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Ilmu, 2004), 12
Ahmad Syaifuddin, Peranan Pemikiran…, 109
90
Oleh karena itu, bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai
pada sasaran-sasaran yang merupakan tujuan akhir dan maksud pendidikan itu
tampak bernuansa religius dan moral tanpa mengabaikan masalah duniawi. Al
Ghazali juga tidak melupakan masalah-masalah duniawi karena ia diberi
ruang dalam system pendidikannya bagi perkembangan duniawi. Akan tetapi
dalam pandangannya, mempersiapkan diri untuk masalah-masalah dunia itu
hanya dimaksudkan sebagai jalan menuju kebahagiaan hidup diakhirat yang
lebih utama dan kekal.
Al Ghazali menekankan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk
insan yang paripurna, yakni insan yang tahu kewajibannya, baik sebagai
hamba Allah maupun sabagai sesama manusia. Untuk mewujudkan insan
sempurna (insan kamil) seperti itulah tujuan pendidikan dalam pandangan Al
Ghazali yakni melalui pendidikan akal, pendidikan kejiwaan (afeksi) dan
pendidikan jasmani atau lebih dikenal dengan sebutan pendidikan
keterampilan. 9
3. Kurikulum Pendidikan Islam
Terdapat hal penting dalam mengkaji pemikiran Imam Al-Ghazali
dalam pendidikan ini, yaitu: pandangannya tentang hidup dan nilai-nilai
kehidupan yang sejalan dengan filsafat hidupnya, meletakkan dasar kurikulum
9
146
A. syaefuddin, Percikan Pemikiran Imam Al Ghazali, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), 143-
91
sesuai dengan proporsinya, serta minatnya yang besarnya terhadap ilmu
pengetahuan.
Dari konsep pendidikan yang dibuat oleh Imam Al-Ghazali tersebut
berarti bahwa pendidikan merupakan proses perencanaan moral religius, yakni
dengan pendidikan diharapkan manusia sebagai hamba Allah SWT dan
khalifah di muka bumi mengetahui tentang apa yang ia harus lakukan. Firman
Allah SWT dalam surat Az-Dzariyat: 56



   
Artinya: “Tidakklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka
menyembah-Ku”10
Dengan demikian, melalui pendidikan, manusia akan mempelajari dan
mengkaji banyak ilmu pengetahuan yang dirumuskan oleh Allah SWT yang
ada di dalam 2 sumber pokok ajaran Islam maupun tanda-tanda kebesaran
Allah SWT yang ada di dunia ini, sehingga apabila manusia banyak berfikir
akan ilmu dan ciptaan Alah SWT akan tumbuh rasa cintanya kepada khalik
yang akhirnya akan membawa dia lebih dekat kepada-Nya (taqarrub ilallah)
dan menjadikan ia manusia yang bertaqwa.
Selain itu konsep Imam Al-Ghazali juga menyebutkan bahwa melalui
pendidikan, manusia diharapkan mampu menjalani seluruh proses dinamika
kehidupannya. Karena dalam keadaan apapun, manusia selalu diharapkan
10
Zainuddin Hamidy fachruddin, Tafsir Qur’an, (Jakarta: Widjaya, 1979), 771
92
pada masalah-masalah yang tidak dapat terpisahkan dalam kehidupan, seperti:
ekonomi, sosial, politik dan agama., sehingga melalui ilmu yang didapatkan
dari pendidikan, manusia melaksanakan dan mengamalkan ilmu tersebut.11
Pemikiran Imam Al-Ghazali dalam pendidikan ada 2 alat pokok yang
dapat digunakan untuk mencapai setiap sasaran pendidikan. Pertama, aspek
pengetahuan yang harus dikuasai pelajaran atau dengan kata lain kurikulum
pelajaran yang harus dipelajarinya. Kedua, metode penyajian mata pelajaran
atau materi kurikulum. Sasaran pendidikan menurut Imam Al-Ghazali telah
dilukiskan sejalan dengan pandangannya tentang hidup dan nilai-nilai yang
terkandung didalamnya, artinya sejalan dengan filsafat, yang menggabungkan
antara potensi sukma dhulani dan sukma dzahiri.
Akal manusia karena merupakan alat untuk memperoleh ilmu, maka
Imam Al-Ghazali memberikan tempat yang terhormat baginya., akal ia
jadikan sebagai objek kajian khusus, (agama adalah akal, tiada beragama bagi
mereka yang tidak menggunakan akalnya), sebagaimana ia lakukan terhadap
tabiat dan kekuatan bawaan manusia.
4. Pendidik Dalam Pendidikan Islam
Al Ghazali berpandangan idealistik terhadp profesi guru. Idealisasi
guru menurutnya adalah orang yang berilmu, beramal dan mengajar. Orang
seperti ini merupakan gambaran orang yang terhormat di kolong langit.
11
M. Sholihin dan M. Rosihan Anwar, AkhlaqTasawuf, Etika, (Bandung: Nuansa, 2005), 15
93
Dari sini Al Ghazali menekankan perlunya keterpaduan ilmu dengan
amal. Ia menyerupakan guru sejati dengan matahari yang menyinari
sekelilingnya dan dengan minyak wangi yang membuat harum sekitarnya.
Berangkat dari perspektif idealistik profesi guru tersebut, Al Ghazali
menandaskan bahwa orang yang sibuk mengajar merupakan orang yang
bergelut dengan sesuatu yang aat penting sehingga ia perlu menjaga etiket dan
kode etik profesinya.
Kode etik atau tugas profesi yang harus diptuhi oleh guru (pendidik)
meliputi delapan (8) hal, yaitu:
1. Menyayangi para peserta didiknya bahkan memperlakukan mereka seperti
memperlakukan kepada anaknya sendiri.
2. Guru bersedia sungguh-sungguh mengikuti tuntunan Rasulullah SAW
sehingga ia tidak mengajar untuk mencari upah atau untuk mendapatkan
penghargaan dan tanda jasa, akan tetapi mengajar semata-mata mencari
keridhaan Allah dan mendekatkan diri kapada-Nya.
3. Guru tidak boleh mengabaikan tugas memberi nasehat kepada anak
didiknya. Guru juga perlu mengingatkan anak didiknya bahwa tujuan
menuntut ilmu adalah mendekatkan diri kepada Allah, bukan mencari
kedudukan, kekayaan dan popularitas.
4. Mencegah peserta didik jatuh terjerembab ke dalam akhlak tercela melalui
car sepersuasif mungkin dan melalui cara penuh kasih sayang, tidak
dengan cara mencemooh dan bersikap kasar.
94
5. Kepakaran
guru
dalam
spesialisasi
keilmuan
tertentu
tidak
menyebabkannya memandang remeh disiplin keilmuan lainnya. Guru
harus memberi kelonggaran pada peserta didiknya untuk menekuni
disiplin ilmu lain yang tidak ia ajarkan.
6. Guru menyampaikan materi pengajarannya sesuai dengan tingkat
pemahaman peserta didiknya. Ia tidak mengajarkan materi yang berada di
luar jangkauan pemahaman peserta didiknya karena dapat mengakibatkan
keputusasasaan atau apatisme terhadap materi yang diajarkan.
7. Terhadap peserta didik yang berkemampuan rendah, guru menyampaikan
materi yang jelas, konkret dan sesuai dengan tingkat kemampuannya
dalam mencernanya.
8. Guru bersedia mengamalkan ilmunya, sehingga yang ada adalah
menyatunya ucapan dan tindakan. Hal ini penting, sebab bagaimanapun
ilmu hanya diketahui dengan mata hati (bash’ir) sedangkan perbuatan
diketahui dengan mata kepala (abshar). 12
5. Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam
Dalam upaya mencapai tujuan pendidikan Islam, peserta didik
hendaknya memiliki dan menanamkan sifat-sifat yang baik dalam diri dan
kepribadiannya. Diantara sifat-sifat ideal yang perlu dimiliki peserta didik
misalnya: berkemauan keras atau pantang menyerah, memiliki motivasi yang
tinggi, sabar, tabah, dan tidak mudah putus asa. Berkenaan dengan sifat-sifat
12
A. Syaefuddin, Percikan Pemikiran……, 124-127
95
ideal tersebut, Imam Al-Ghazali merumuskan sifat-sifat yang patut dan harus
dimiliki peserta didik yaitu:
1) Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah SWT,
sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik senantiasa mensucikan
jiwanya dengan akhlak karimah.
2) Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi.
3) Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik ukhrawi maupun duniawi.
4) Belajar dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang
mudah menuju pelajaran yang sukar.
5) Mengenai ilmu-ilmu ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.
6) Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.13
Jika diperhatikan seksama, tampak bahwa pandangan Imam AlGhazali terhadap akhlak pelajar bersifat sufistik, seperti terlihat pada
keharusan berniat mencari ilmu semata-mata untuk beribadah kepada Allah
SWT, bersikap zuhud dan memuliakan ilmu akhirat.14
6. Metode Dan Media Pendidikan Islam
Metode pendidikan agama Islam, menurut Imam Al-Ghazali pada
prinsipnya dimulai dengan hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan
dengan keyakinan dan pembenaran, setelah itu penegakan dalil-dalil dan
keterangan yang menunjang penguatan aqidah. Hal ini merupakan pantulan
13
14
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam…, 52-53
Ibid., 108
96
dan sikap hidupnya yang sufi dan tekun beribadah. Dari pengalaman
pribadinya, Imam Al-Ghazali menemukan cara untuk mencegah manusia dari
keraguan terhadap persoalan agama ialah adanya keimanan terhadap Allah
SWT, menerima dengan jiwa yang jernih dan aqidah yang pasti pada usia
sedini mungkin.15
Imam
Al-Ghazali
dalam
masalah
pendidikan
beliau
sangat
menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Misalnya dalam kitab
”Ihya’ Ulum ad-Din” juz III, beliau menguraikan antara lain: ”...metode
untuk melatih anak adalah salah satu hal-hal yang amat penting. Anak adalah
amanat yang dipercayakan kepada orang tuanya. Hatinya bersih, murni,
laksana permata yang sangat berharga, sederhana, bersih ukiran yang
digoreskan kepadanya dan ia akan cenderung kearah manapun yang kita
kehendaki. Oleh karena itu bila ia dibiasakan dengan sifat-sifat yang baik,
maka akan berkembanglah sifat-sifat yang baik itu pada dirinya dan akan
memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Orang tua dan guru juga
akan turut berbahagia bersamanya, sebaliknya jika kita biarkan begitu saja,
maka akan celaka dan binasa. Semua tanggungjawab tersebut terletak pada
pundak pengasuh atau walinya. Wali wajib menjaga anak tersebut dari segala
dosa mendidik mengajarkannya dengan budi pekerti yang luhur serta
menjaganya jangan sampai bergaul dengan teman-teman yang nakal.16
15
16
A, Syaifuddin, Percikan Pemikiran…, 153
Munardji, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Ilmu, 2004), 107
97
Metode mujahadah dan riyadhoh-nafsiyah (ketekunan dan latihan
kejiwaan) menurut Imam Al-Ghazali adalah membebani jiwa dengan cara
mengulang-ulangi amal perbuatan yang difokuskan pada khuluk yang baik.
Hal ini akan meninggalkan kesan yang baik dalam jiwa anak didik dan benarbenar akan menekuninya. Seperti bermurah hati dan tawadhu’, untuk
merealisasikan khuluk seperti itu perlu adanya mujahadah (menekuninya)
sehingga hal itu akan menjadi watak dan akhlaknya.
Dari uraian tentang proses pembelajaran dan metode pendidikan Islam
menurut Imam Al-Ghazali dapat difahami bahwa makna sebenarnya dari
metode pendidikan Islam lebih luas dari apa yang telah dikemukakan.
Aplikasi metode ini secara tepat guna tidak hanya dilakukan pada saat
berlangsungnya proses pendidikan saja, melainkan lebih dari itu membina dan
melatih fisik dan psikis guru sebagai pelaksana untuk menjadi uswatun
khasanah bagi peserta didiknya. Hal ini dengan pendapat Hasan Langgulung
yang menjelaskan bahwa proses pembelajaran dan metode pendidikan Islam
yang dikemukakan oleh Imam Al-Ghazali tidak hanya bersifat sebagai metode
mengajar an-sich, tetapi juga meliputi pendidikan dan latihan guru. Dengan
demikian prinsip-prinsip penggunaan metode yang tepat sebagaimana
diungkapkan oleh Imam Al-Ghazali memiliki relevansi dan koherensi dengan
pemikiran nilai-nilai kontemporer pada masa kini. Hal ini berarti bahwa nilai-
98
nilai kependidikan yang digunakan oleh Imam Al-Ghazali dapat diterapkan
dalam dunia pendidikan secara global.17
B. Pendidikan Akhlak Menurut Imam Al-Ghazali
1. Definisi Pendidikan Akhlak
Di dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din, Al-Ghazali memberikan pengertian
akhlak sebagai berikut: “Suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dapat
memunculkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan
pertimbangan pemikiran”.18
Pemikiran Imam Al-Ghazali tentang pendidikan lebih cenderung pada
pendidikan moral dengan pembinaan budi pekerti dan penanaman sifat-sifat
keutamaan pada anak didik. Sebagaimana rumusannya tentang akhlak sebagai
sifat yang mengakar dalam hati yang mendorong munculnya perbuatan tanpa
pertimbangan dan pemikiran, sehingga sifat yang seperti itulah yang telah
mewujud menjadi karakter seseorang. Konsep pendidikan ini erat sekali
hubungannya dengan tujuan pendidikan untuk membentuk karakter positif
dalam perilaku anak didik dimana karakter positif ini tiada lain adalah
penjelmaan sifat-sifat mulia Tuhan dalam kehidupan manusia.19
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam…, 14
Amunuddin, Pendidikan Agama Islam, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), 152
19
http://blog.beswandjarum.com/thantienhidayati/2009/10/02/kebijaksanaan-dari-timurpendidikan-akhlak-ala-al-ghazali/comment-page-1/
17
18
99
2. Obyek Pendidikan Akhlak
Adapun obyek pendidikan akhlak ialah semua perbuatan manusia
untuk ditetapkan apakah perbuatan itu termasuk baik atau buruk, atau semua
perbuatan yang timbul dari orang yang melakukannya dengan sengaja dan
ikhtiar dan dia mengetahui sewaktu melakukan apa yang diperbuat. Inilah
yang dapat diberi hukum baik dan buruk. Demikian juga segala perbuatan
yang timbul tidak menurut kehendaknya tetapi mungkin dapat dijaganya pada
waktu sadar dan ikhtiar.20
Gagasan Imam Al-Ghazali mengenai akhlak adalah bahwa akhlak itu
adalah ibarat perilaku yang tetap dan meresap dalam jiwa, daripadanya
tumbuh perbuatan-perbuatan dengan wajar dan mudah, tanpa memerlukan
fikiran dan pertimbangan. Maka apabila keadaan yang muncul itu perbuatan
baik-baik dan terpuji secara akal dan syara’, maka itu disebut budi pekerti
yang baik. Dan apabila perbuatan-perbuatan yang muncul dari keadaan yang
buruk, maka menjadi tempat munculnya perbuatan-perbuatan buruk itu
disebut budi pekerti buruk. Kemudian Imam Al-Ghazali juga mengemukakan
norma-norma kebaikan dan keburukan akhlak dilihat dari pandangan akal
pikiran dan syari’at agama Islam. Akhlak yang sesuai dengan akal pikiran dan
syari’at dinamakan akhlak mulia dan baik, sebaliknya akhlak yang tidak
sesuai dengan akal pikiran dan syari’at dinamakan akhlak tercela dan buruk,
yang hanya menyesatkan manusia.
20
Sahilun A. Nasir, Tinjauan Akhlak, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1991), 20
100
3. Sumber dan Dasar Pendidikan Akhlak
Akhlak ada yang bersumber dari agama dan ada pula yang bersumber
dari selain agama (sekuler). Secara umum, akhlak yang bersumber dari agama
akan menyangkut dua hal penting yaitu :
1) Akhlak merupakan bukti dari keyakinan seseorang kepada yang ghaib
(merupakan pelaksanaan aturan kemasyarakatan sesuai dengan tuntutan
agama).
2) Dan sanksi dari masyarakat apabila seseorang tidak melaksanakan
perbuatan sesuai dengan aturan yang ditetapkan dalam agama.
Islam sebagai agama yang bersumber pada wahyu memiliki
seperangkat bimbingan bagi umat manusia untuk mencapai keselamatan
perjalanan hidup di dunia dan di akhirat. Akhlak dalam kehidupan manusia
merupakan faktor yang sangat penting dalam Islam. Oleh karena itu sumber
ajaran Islam tidak luput memuat akhlak sebagai sisi penting dalam kehidupan
manusia. Dalam Islam telah nyata-nyata diterangkan secara jelas bahwa
akhlak pada hakiktnya bersumber pada Al-Qur’an dan as-Sunnah.
Sedangkan sumber akhlak yang bukan pada agama itu pada dasarnya
dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu: insting dan pengalaman. Sumber
akhlak berdasarkan penghasilan ini pada garis besarnya dapat dibedakan
menjadi: adat istiadat, mazhab hedonisme dan mazhab evolusi.
101
4. Tujuan Pendidikan Akhlak
Tidak ada tujuan lebih penting bagi pendidikan akhlak Islam dari pada
membimbing umat manusia diatas prinsip kebenaran dan jalan lurus, jalan
Allah yang dapat mewujudkan kebahagiaan dunia-akhirat mereka. Akhlak
yang baik ialah tujuan pokok pendidikan ini dan akhlak tidak disebut kecuali
jika sesuai dengan ajaran Al-Qur’an.
Diantara aspek pendidikan yang terpenting menurut Ihwanul Muslimin
ialah aspek kejiwaan atau akhlak. Mereka sangat mementingkan dan
mengutamakan serta menganggapnya sebagai tonggak pertama untuk
perubahan masyarakat.21 Sebab akhlak memberi norma-norma baik dan buruk
yang menentukan kualitas pribadi manusia. Dalam akhlak Islam, normanorma baik dan buruk telah ditentukan oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits. Oleh
karena itu, Islam tidak merekomendasi kebebasan manusia untuk menentukan
norma-norma akhlak secara otonom. Islam menegaskan bahwa hati nurani
senantiasa mengajak manusia mengikuti yang baik dan menjauhkan yang
buruk.22
5. Hikmah atau Faedah Pendidikan Akhlak
Dalam Islam akhlak sangat penting bagi manusia, bahkan merupakan
bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia. Kepentingan
21
Yusuf Al-Qardhawy, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al- Banna, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1980), 47
22
Zulkarnain, Transformasi Nilai-nilai Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008), 29
102
akhlak ini tidak saja dirasakan oleh manusia itu sendiri dalam kehidupan
berkeluarga dan bermasyarakat bahkan dalam kehidupan bernegara.
Pentingnya akhlak tidak terbatas pada perseorangan saja, tetapi
penting untuk masyarakat, umat dan kemanusiaan seluruhnya. Atau dengan
kata lain akhlak itu penting bagi perseorangan dan masyarakat sekaligus.
Sebagaimana persorangan tidak sempurna kemanusiaannya tanpa akhlak,
begitu juga masyarakat dalam segala tahapnya tidak baik keadaannya, tidak
lurus keadaannya tanpa akhlak dan hidup tidak ada makna tanpa akhlak yang
mulia. Jadi akhlak yang mulia adalah dasar pokok untuk menjaga bangsabangsa, negara-negara, rakyat, dan masyarakat-masyarakat dan oleh sebab
akhlak itulah timbunya amal shaleh yang berguna untuk kebaikan umat dan
masyarakat.23
Untuk memotivasi tersebarnya akhlak mulia dalam Islam ada dua hal
pokok yang berfungsi mengatasi kejahatan dan memotivasi kebaikan para
pelakunya. Kedua hal tersebut adalah :
a) Adanya nash-nash yang menjelaskan bahwa orang yang berakhlak mulia,
berbuat baik, menyuruh kebajikan dan melarang kemungkaran akan
mendapat pahala dari Allah SWT.
b) Adanya nash-nash yang menjelaskan bahwa orang yang berperilaku buruk
ketika di dunia dihukum dengan siksaan badan yang membuatnya jera,
23
Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta:Bulan
Bintang, 1979), 318
103
yaitu dengan hudud, seperti had zina, had menuduh orang lain berzina,
had mencuri, had melakukan kerusakan, had minum khamr, dan lain-lain.
Kedua hal pokok di atas adalah bagian dari pembinaan akhlak yang
berfungsi mendorong tersebarnya akhlak mulia dan ditinggalkannya perilaku
buruk. Nash-nash agama dengan tegas menyebutkan bahwa orang-orang yang
berakhlak mulia dijanjikan dengan ganjaran setimpal, sedangkan orang-orang
yang berperilaku buruk diancam dengan hukuman dan siksa yang pedih.
Apabila lolos dari hukuman di dunia maka tidak akan lolos dari hukuman di
akhirat.24
Akhlak dalam diri manusia timbul dan tumbuh dari dalam jiwa,
kemudian berbuah ke segenap anggota yang menggerakkan amal-amal serta
menghasilkan sifat-sifat yang baik serta menjauhi segala larangan terhadap
sesuatu yang buruk yang membawa manusia kedalam kesesatan. Puncak dari
akhlak itu adalah pencapaian prestasi berupa:
a) Irsyad, yakni kemampuan membedakan antara amal yang baik dan buruk
b) Taufiq, yakni perbuatan yang sesuai dengan tuntutan Rasulullah dengan
akal sehat
c) Hidayah, yakni gemar melakukan perbuatan baik dan terpuji serta
menghindari yang buruk dan tercela.25
24
25
Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia, (Jakarta: Gema Insani, 2004), 141
Zulkarnain, Transformasi Nilai-nilai Pendidikan Islam…, 29
104
Jadi pendidikan akhlak dalam Islam bukan sekedar objek kajian yang
jauh dari realitas. Akan tetapi akhlak Islam ini dapat diaplikasikan dan dapat
ditiru oleh setiap manusia. Sehingga jika setiap individu konsisten dengannya
maka akan tercipta keamanan dan ketentraman dalam masyarakat. Sedangkan
jika akhlak Islami ini tidak diterapkan dalam kehidupan, maka tidak ada
kestabilan dan ketenangan dalam diri setiap individu dan masyarakat secara
umum. Orang-orang yang tidak mengaplikasikan akhlak Islam ini dalam
kehidupan, di akhirat kelak akan mendapatkan siksa yang amat pedih.
C. Pendidikan Akhlak Anak Menurut Imam Al-Ghazali
1. Pendidikan Akhlak bagi Anak-anak
Tugas yang pertama dan utama yang terpikul atas pundak alim ulama’,
guru-guru agama dan pemimpin-pemimpin Islam ialah mendidik anak-anak,
pemuda-pemuda,
putera-puteri,
orang-orang
dewasa
dan
masyarakat
umumnya, supaya semuanya itu berakhlak yang mulia dan berbudi pekerti
yang halus.26 Akhlak merupakan cerminan dari iman yang mencakup dalam
segala bentuk perilaku. Pendidikan akhlak juga harus diberikan kepada anakanak sejak dini agar mereka kelak menjadi manusia yang diridhoi oleh Allah
swt dan dapat menghargai semua orang.
26
Mahmud Yunus, Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta: Hidakarya Agung, 2006), 12
105
2. Metode Mendidik Akhlak Anak-anak
Imam Al-Ghazali mengemukakan metode mendidik anak dengan
memberi contoh, latihan dan pembiasaan (drill) kemudin nasihat dan anjuran
sebagai alat pendidikan dalam rangka membina kepribadian anak sesuai
dengan ajaran Islam. Pembentukan kepribadian itu berlangsung secara
berangsur-angsur dan berkembang sehingga merupakan proses menuju
kesempurnaan.
Setiap pendidik menyadari bahwa dalam pembinaan pribadi anak
sangat diperlukan pembiasaan-pembiasaan dan latihan-latihan yang cocok dan
sesuai dengan perkembangan jiwanya. Karena pembiasaan dan latihan
tersebut akan membentuk sikap tertentu pada anak, yang lambat laun sikap itu
akan bertambah jelas dan kuat, akhirnya tidak tergoyahkan lagi, karena telah
masuk menjadi bagian pribadinya. Untuk membina anak agar mmpunyai sifatsifat terpuji, tidaklah mungkin dengan penjelasan pengertian saja, akan tetapi
perlu membiasakannya untuk melakukan yang baik yang diharapkan nanti dia
akan mempunyai sifat-sifat itu, dan menjauhi sifat tercela. Kebiasaan dan
latihan itulah yang membuat dia cenderung kepada melakukan yang baik dan
meninggalkan yang kurang baik.27
Dengan demikian Imam Al-Ghazali sangat menganjurkan agar
mendidik anak dan membina akhlaknya dengan cara latihan-latihan dan
pembiasaan-pembiasaan
27
yang
sesuai
dengan
perkembangan
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), 73
jiwanya
106
walaupun seakan-akan dipaksakan, agar anak dapat terhindar
dari
keterlanjuran yang menyesatkan. Oleh karena pembiasaan dan latihan tersebut
akan membentuk sikap tertentu pada anak, yang lambat laun sikap itu akan
bertambah jelas dan kuat, akhirnya tidak tergoyahkan lagi karena telah masuk
menjadi bagian dari kepribadiannya.
3. Cara Mengajar Akhlak kepada Anak-anak
Pendidikan akhlak adalah proses pembinaan budi pekerti anak
sehingga menjadi budi pekerti yang mulia (akhlaqul karimah). Dalam hal ini
orangtua sangat berperan dalam memberikan pendidikan agama secara
menyeluruh. Selain itu, akhlak anak-anak bergantung pada kebiasaan dan
perilaku orangtua dan saudara-saudaranya di rumah. Anak-anak akan
mencontoh ayah dan ibunya dalam berperilaku. Anak-anak akan meniru
kebiasaan dan tingkah laku orangtua dan saudara-saudaranya. Bila anak sering
melihat orang tuanya saling menolong dan bergaul dengan baik, maka anak
dengan mudah berperilaku seperti itu pula. Begitupun dengan ucapan-ucapan
yang sering didengar oleh anak-anak, akan mudah ditiru oleh mereka. Oleh
karena itu, sudah semestinya orangtua dapat menjadi contoh teladan bagianak-anaknya, seperti sopan santun dalam bertutur maupun berprilaku seharihari. Dalam mengajarkan pendidikan akhlak di rumah, orangtua dapat
mengajarkan dari hal-hal yang kecil terlebih dahulu seperti berbakti pada
107
orangtua, menuruti kata-kata orangtua, sopan kepada orangtua dan saudarasaudara, dan sebagainya.28
4. Peran Keluarga dalam Pendidikan Akhlak bagi Anak
Peran dan tanggung jawab orang tua mendidik anak dalam keluarga
sangat dominan, sebab ditangan orang tuanyalah baik dan buruknya akhlak
anak. Pendidikan dan pembinaan akhlak merupakan hal yang paling penting
dan sangat mendesak untuk dilakukan dalam rangka menjaga stabilitas hidup.
Dalam ajaran agama Islam masalah akhlak mendapat perhatian yang sangat
besar, mengingat masalah akhlak adalah masalah yang penting. Maka dalam
mendidik dan membina akhlak anak orang tua dituntut untuk dapat berperan
aktif karena masa anak-anak adalah kesempatan pertama yang sangat baik
untuk membina pribadi anak.29
Orang tua wajib mendidik anaknya dengan pendidikan yang baik agar
anaknya nanti mendapatkan keuntungan dan menjadi cahaya matanya dan
pahala bagi keduanya. Jika orang tua tidak memberikan pendidikan kepada
anaknya maka anak itu akan menjadi jahat, lebih-lebih jika bercampur dengan
anak-anak yang berakhlak buruk. Bahkan anak yang tiadak mendapatkan
pendidikan dari orang tuanya maka akan meminta tanggung jawab kepada
orang tuanya besok dihari kiamat.30
Orang tua adalah pembina pribadi yang pertama dalam hidup anak.
Kepribadian orang tua, sikap dan cara hidup mereka merupakan unsur-unsur
28
http://cahyaislami.wordpress.com/2009/05/07/mendidik-akidah-dan-akhlak-anak/
http://uniga.ac.id/cetak.php?id=51
30
Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dlam Islam…, 271
29
108
pendidikan yang tidak langsung, yang dengan sendirinya akan masuk ke
dalam pribadi anak yang sedang bertumbuh itu. Sikap anak terhadap guru
agama dan pendidikan agama di sekolah sangat dipengaruhi oleh sikap orang
tuanya terhadap agama dan guru agama khususnya.31
Jadi perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan keluarga
terutama pihak orang tuanya. Oleh karena itu, orang tua haruslah mengajarkan
nilai dengan berpegang teguh pada akhlak di dalam hidup, memberikan
contoh dan tauladan serta membiasakan anak berakhlak yang baik semenjak
usia dini.
31
Zakiah Daradjat, Ilmu jiwa Agama…, 67
Download