Aspek Hukum Informed Consent Dalam Pelaksanaan Tindakan

advertisement
Aspek Hukum Informed Consent Dalam Pelaksanaan Tindakan Operasi Medik
Oleh : Firman Floranta Adonara S.H.,M.H.
I.Pendahuluan
Manusia dalam menjalankan kehidupannya selalu melakukan kegiatan-kegiatan yang
senantiasa berkembang. Kegiatan-kegiatan itu yang menjadikan kondisi kesehatan setiap
manusia tidak selalu dalam keadaan baik dan sehat, adakalanya manusia mengalami sakit,
oleh karena itu manusia berusaha memulihkan kesehatannya dengan cara berobat kedokter
yang bersangkutan. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka
semakin kompleks jenis-jenis penyakit yang ditemukan para ahli dibidang kedokteran.
Sehingga dalam perkembangannya tidak saja diperlukan tenaga kesehatan yang biasa akan
tetapi juga memerlukan perawatan khusus dari dokter ahli seperti operasi.
Sebelum dokter melakukan tindakan operasi medik, dokter berkewajiban untuk
memberikan informasi tentang jenis penyakit yang diderita pasien dan tindakan medik yang
akan dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien serta resiko-resiko yang mungkin timbul
dari tindakan medik tersebut kepada pasien dan keluarganya. Karena informed consent
merupakan perjanjian untuk melakukan tindakan operasi medik, maka keberadaan informed
consent sangat penting bagi para pihak yang melakukan perjanjian pelayanan kesehatan,
sehingga dapat diketahui bahwa keberadaan informed consent sangat penting dan diperlukan
dirumah sakit.
Informed consent adalah suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang
akan dilakukan oleh dokter terhadap dirinya, setelah pasien mendapatkan informasi dari
dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya, disertai
informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi. (Komalawati, 1989, 86).
Pentingnya informed consent bagi dokter dan pasien dalam pelayanan medis karena
informed consent merupakan suatu proses komunikasi antara dokter dan pasien untuk
menentukan terapi (penyembuhan) yang terbaik dan tepat bagi pasien. Dalam komunikasi
tersebut dokter akan menyampaikan informasi/penjelasan mengenai baik buruknya suatu
tindakan medis yang akan dilakukan dan didasarkan informasi/penjelasan yang disampaikan
dokter tersebut maka pasien akan menyampaikan kehendaknya yaitu menerima (menyetujui,
mengijinkan) atau menolak tindakan medis dari dokter.
Selanjutnya, berdasarkan pada persetujuan pasien tersebut maka pada gilirannya dapat
dilakukan pengambilan keputusan medis. Pengambilan keputusan medis pada prinsipnya
berkenaan dengan tindakan medis yang akan dilakukan pada pasien dan keputusan medis
akan mudah dilakukan jika segala sesuatu yang berkenaan dengan proses komunikasi
sebelum pengambilan keputusan sudah dilakukan dengan baik yaitu menyangkut
informasi/penjelasan yang disampaikan dokter dapat dipahami pasien dan pasien menyatakan
persetujuannya.
II.Rumusan Masalah
1. Bagaimana eksistensi formulir informed consent dalam pelaksanaan tindakan operasi
medik dipandang dari segi hukum perjanjian ?
2. Informed consent perlindungan pasien atau pernyataan kematian?
III.Pembahasan
3.1. Eksistensi Formulir Informed Consent Dalam Pelaksanaan Tindakan Operasi
Medik Dipandang Dari Segi Hukum Perjanjian
Hubungan antara dokter dengan pasien yang terjalin dalam transaksi terapeutik
menimbulkan hubungan timbal balik yaitu adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing
pihak yaitu pihak pemberi pelayanan (medical providers) dan pihak penerima pelayanan
(medical receivers) dan ini harus dihormati oleh para pihak.
Tim dokter sebagai medical providers mempunyai kewajiban untuk melakukan
diagnosis, pengobatan dan tindakan medik yang terbaik menurut pengetahuan, jalan pikiran
dan pertimbangannya, sedangkan pasien atau keluarganya sebagai medical receivers
mempunyai hak untuk menentukan pengobatan atau tindakan medik yang akan dilakukan
terhadap dirinya. Dalam kerangka inilah diperlukan suatu persetujuan tindakan medis atau
informed consent.
Yang menjadi permasalahan adalah apakah isi dari formulir informed consent itu
sudah memenuhi asas konsensualisme dan asas kebebasan berkontrak serta asas mengikat
sebagai undang-undang. Bahwa formulir informed consent merupakan suatu perjanjian
pelaksanaan tindakan medik antara dokter dengan pasien atau keluarganya. Oleh karena itu,
isi dari formulir informed consent harus memenuhi syarat sahnya perjanjian secara umum
yang diatur di dalam Pasal 1320 KUHPerd dan juga asas kebebasan berkontrak.
Informed Consent secara teoritis yuridis tidak memenuhi pasal 1320 KUHPerdata jo
pasal 1338 KUHPerdata. Informed Consent telah melanggar ketentuan yang terdapat dalam
pasal 1320 KUHPerdata jo pasal 1338 KUHPerdata yang merupakan asas konsensualisme
dan asas kebebasan berkontrak serta asas mengikat sebagai Undang-undang. Pasal 1338
KUHPerdata menyatakan “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya”. Kata “semua” mengandung arti meliputi seluruh
perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata ataupun yang diluar KUHPerdata, atau perjanjian
yang dikenal maupun yang tidak dikenal. Asas Konsensualisme yang diatur dalam pasal 1320
KUHPerdata berkaitan dengan adanya kesepakatan antara para pihak yang diberikan atas
dasar kehendak yang bebas mengenai pokok yang diatur dalam perjanjian yang dibuat
tersebut, hal yang dikehendaki pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain
Pasal 1338 KUHPerd yang menetapkan bahwa ”Setiap persetujuan/perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku mengikat seperti undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Pada intinya meyatakan bahwa terdapat kebebasan membuat kontrak apapun sejauh tidak
bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan kesusilaan. Artinya jika ada pelanggaran
ada sanksinya. Wujud sanksinya berupa ganti kerugian. Konsekwensinya pihak ketiga atau
hakim tidak boleh intervensi untuk menambah, mengurangi atau menghilangkan isi
perjanjian. Asas ini dipandang dari segi isi perjanjian. Secara histroris asas kebebasan
berkontrak sebenarnya meliputi lima macam kebebasan, yaitu:
1) Kebebasan para pihak menutup atau tidak menutup kontrak;
2) Kebebasan menentukan dengan siapa para pihak akan menutup kontrak;
3) Kebebasan para pihak menentukan bentuk kontrak;
4) Kebebasan para pihak menentukan isi kontrak;
5)Kebebasan para pihak menentukan cara penutupan kontrak (Johannes Gunawan,
1987,49)
Berhubung Informed Consent sudah pasti berbentuk tertulis, disamping isi dan cara
penutupan kontrak tersebut ditetapkan secara sepihak oleh pembuat kontrak, di dalam
Informed Consent tidak terdapat lagi kebebasan para pihak (khususnya pihak penutup
kontrak) untuk menentukan isi, bentuk dan cara penutupan kontrak. Adapun kebebasan yang
masih ada di dalam standar kontrak hanyalah 2 (dua) macam kebebasan, yaitu kebebasan
menutup atau tidak menutup kontrak serta kebebasan menentukan dengan siapa akan
menutup kontrak.
Kesepakatan yang terjadi di dalam Informed Consent merupakan kesepakatan yang
tidak sempurna atau cacat dan bertentangan dengan asas konsensualisme. Asas
konsensualisme yang tersirat di dalam Pasal 1320 KUHPerd berarti bahwa sebuah kontrak
sudah terjadi dan karenanya mengikat para pihak di dalam kontrak sejak terjadi kata sepakat
tentang unsur pokok dari kontrak tersebut.Dengan perkataan lain, kontrak sudah sah apabila
sudah tercapai kesepakatan mengenai unsur pokok kontrak dan tidak diperlukan formalitas
tertentu. Asas ini dilihat dari segi terbentuknya perjanjian. Selanjutnya, Pasal 1321 KUHPerd
menetapkan bahwa: ”Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan dengan kekhilafan,
atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Dengan perkataan lain bahwa apabila di
dalam kontrak terdapat antara lain unsur paksaan, maka kesepakatan yang dimaksud dalam
Pasal 1320 KUHPerd dianggap tidak ada. Apabila kesepakatan tidak terjadi, maka kontrak
dinyatakan tidak memenuhi syarat keabsahan sebagaimana diatur dalam Pasal 1320
KUHPerd. Pasal 1321 KUHPerd merupakan pasal yang mengandung kata sepakat yang tidak
sempurna atau bercacat, karena kata sepakat itu didasarkan atas adanya paksaan. Paksaan bisa
terjadi secara:
1).Paksaan jasmaniah/mental/berdiri secara fisik.
2).Paksaan moril pshikis.
Dalam hal Informed Consent paksaan yang terjadi adalah paksaan pshikis terhadap
pasien atau keluarga pasien. Jadi kata sepakat harus didasarkan atas kemauan bebas, dan
perjanjian baru dapat dikatakan sah jika didasarkan atas kata sepakat yang sempurna. Adapun
pengertian paksaan menurut Pasal 1323 KUHPerd adalah perbuatan yang menyebabkan
pihak yang berpikiran sehat menjadi tidak bebas dalam mengambil keputusan, dan
menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya kerugian yang nyata.
Selain asas kebebasan berkontrak dan asas konsensualisme terdapat pula asas
mengikat sebagai undang-undang. Asas mengikat sebagai undang-undang secara tersurat
tercantum di dalam pasal yang sama dengan pasal yang berisi asas kebebasan berkontrak,
yaitu Pasal 1338 KUHPerd. Pasal tersebut menyatakan bahwa semua kontrak yang dibuat
secara sah akan mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak di dalam kontrak tersebut.
Artinya, para pihak di dalam sebuah kontrak harus menaati kontrak yang mereka buat
sebagaimana menaati undang-undang. Dengan demikian, terhadap pihak yang melanggar
ketentuan dan persyaratan di dalam kontrak dapat dikenakan sanksi seperti juga pelanggaran
terhadap undang-undang. Konsekwensinya pihak ketiga atau hakim tidak boleh intervensi
untuk menambah, mengurangi, atau menghilangkan isi perjanjian. Asas ini dipandang dari
segi akibat hukumnya. (Johannes Gunawan, 2003, hal.47).
Pemuatan dua asas hukum, yaitu asas kebebasan berkontrak dan asas mengikat
sebagai undang-undang, di dalam satu pasal yang sama, menurut logika hukum berarti:
1 Kedua asas hukum tersebut tidak boleh bertentangan satu sama lainnya;
2 Kontrak baru akan mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak di dalam kontrak
tersebut, apabila di dalam pembuatannya terpenuhi asas kebebasan berkontrak yang
terdiri atas lima macam kebebasan.
Informed Consent tidak memenuhi lima macam kebebasan yang terkandung di dalam
asas kebebasan berkontrak, menurut persyaratan asas mengikat sebagai undang-undang,
Informed Consent tersebut tidak dapat dinyatakan mengikat para pihak di dalamnya.
Informed Consent mengandung unsur penyalahgunaan keadaan (undue influence) oleh pihak
pembuat kontrak tersebut. Hal ini menimbulkan kelemahan, keraguan, atau keadaan tertekan
pada pihak penutup kontrak, sehingga perilaku atau keputusan pihak tersebut berubah secara
tidak bebas demi keuntungan pihak pembuat kontrak. Kondisi ini sesuai dengan kondisi
paksaan sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 1323 KUHPerd, sehingga sebenarnya dapat
dikemukakan bahwa Informed Consent tidak memenuhi unsur kesepakatan seperti yang
disyaratkan bagi sebuah kontrak yang sah oleh Pasal 1320 KUHPerd. Dengan perkataan lain,
berdasarkan Pasal 1320 jo 1321 jo 1323 KUHPerd dan 1338 KUHPerd, Informed Consent
tidak memenuhi asas konsensualisme dan asas kebebasan berkontrak serta asas mengikat
seperti undang-undang.
3.2. Informed Consent Perlindungan Pasien atau Pernyataan Kematian
Profesi kesehatan merupakan profesi khusus yang mengandalkan pengetahuan yang
juga sangat spesial, sehingga tidak banyak orang mengetahui seluk beluknya. Kekhususan
inilah yang menjadikan profesi kesehatan seakan tidak tersentuh oleh hukum. Hal ini
diperparah lagi dengan adanya ketentuan-ketentuan yang ada yang menempatkan profesi ini
pada privelegi tertentu. Contoh nyata adalah . Informed Consent yang merupakan tameng
para profesi kesehatan untuk melepaskan diri dari tanggungjawab profesi.
Ada 3 (tiga) peraturan perundang-undangan yang mengatur informed consent di
Indonesia yang merupakan landasan atau dasar hukum bagi praktik pelayanan medis, yaitu :
1. UU No.29 Tahun 2004 tentang Paktik Kedokteran pasal 45 ayat (1) sampai dengan (6);
2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1419/Menkes/Per/X/2005 tentang
Penyelenggaraan Praktik Kedokteran;
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.585/ Menkes/Per/IX/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medik.
Informed consent merupakan pernyataan persetujuan untuk melakukan tindakan
medis yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarganya. Penandatanganan ini melalui
prosedur penjelasan terlebih dahulu mengenai tindakan apa saja yang akan diambil, tingkat
keberhasilannya, kemungkinan risiko dan biaya yang harus ditanggung. Proses penjelasan ini
dilakukan secara lisan, karena untuk teknis pelaksanaannya akan dilaporkan atau
dicantumkan di dalam rekam medik pasien. Setelah penjelasan diberikan oleh petugas medis,
pasien atau keluarganya harus menandatangani pernyataan yang berisi kesediaan untuk
melakukan tindakan medis, menyadari resikonya dan tidak akan menuntut dokter yang
merawatnya. Setelah pasien siap untuk melakukan tindakan yang berisiko tersebut, dimana
seorang dokter atau petugas kesehatanpun tidak berani menjamin hasilnya, dengan alasan
seorang dokter atau petugas medis bukan garantor keberhasilan atau kesembuhan pasien.
Informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal 3 (tiga)
unsur sebagai berikut :
1. Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokter;
2. Kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan;
3. Kesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan persetujuan.
(Fuady,2005,48-50)
Yang dimaksud dengan kompetensi pasien ialah jika memenuhi syarat ebagai orang yang
cakap bebuat (cukup umur, tidak berpenyakit jiwa). Dalam hal pasien tidak kompeten, maka
informed consent dapt dimintakan kepada pihak yang berwenang, yaitu :
1. Pihak wali atau kuratornya;
2. Pihak suami/istri;
3. Pihak yang telah diberikan surat kuasa;
4. Ayah/ibu;
5. Anaknya yang sudah dewasa;
4. Kakak/adik yang telah dewasa. (Fuady,2005,48-50)
Tentang informasi yang harus diberikan kepada pasien, Fuady mengemukakan bahwa semua
informasi yang bersifat “material” yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan pasien
yang bersangkutan, harus dijelaskan sejelas-jelasnya dan dimengerti oleh pasien.
(Fuady,2005,75)
Jika dilihat dengan cermat semua yang tertera di dalam informed consent tersebut
hanya mengatur kewajiban-kewajiban pasien saja termasuk kesediaan untuk menerima resiko
tanpa menuntut dokter yang merawatnya. Informed consent sendiri membebankan kewajiban
pada dokter untuk memberikan keterangan mengenai segala hal berkait dengan tindakan
medis sebelum persetujuan diberikan. Namun keterangan ini sifatnya lisan sehingga tidak
bisa menjadi bukti otentik di pengadilan apabila terjadi kesalahan atau pun kelalaian. (Pasal 5
Permenkes No.585/Menkes/Per/IX/1989). Dengan kata lain, informed consent seolah menjadi
tameng yang membebaskan seorang dokter dari pertanggungjawaban tindakannya. Sungguh
suatu hal yang menyedihkan karena tidak terdapat keseimbangan antara kepercayaan yang
diberikan dengan hasil serta jaminan, bahwa dokter akan melakukan tindakan medisnya
dengan sungguh-sungguh dan hati-hati. Apabila terjadi kegagalan, apakah kemudian hanya
cukup dengan kata “Maaf, kami sudah berusaha sekuat tenaga tetapi Tuhan menentukan
lain”. Seperti yang biasa diucapkan di film-film atau sinetron-sinetron kemudian selesai.
Sementara keluarga pasien masih harus menanggung biaya kegagalan tindakan medis
tersebut, pemakaman keluarganya dan kesedihan yang hanya diganti dengan kata maaf.
Secara hukum informed consent merupakan perjanjian sepihak, karena hanya berisi
pernyataan kehendak dari pihak pasien saja dan tidak dari petugas medis, sehingga tidak bisa
disebut perjanjian karena beban kewajibannya hanya ditanggung satu orang, atau satu pihak
saja.
Perjanjian umum memang memperbolehkan pembebanan resiko pada satu pihak saja
jika para pihak di dalam kedudukan yang sederajat dan sepakat melakukannya. Asumsinya,
bahwa masing-masing pihak memiliki pilihan lain untuk melakukan tindakan atau tidak
melakukan kesepakatan tersebut. Contohnya, perjanjian jual beli (Pasal 1457 KUHPerd) yang
menanggungkan resiko kerusakan barang pada pembeli, namun pembeli tidak di dalam
kondisi yang tidak berdaya. Misalnya, toko telah membuat klausul di dalam nota pembelian
bahwa barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan. Jika ada kerusakan, pihak pembeli
dapat menuntut toko tersebut dengan apa yang sering disebut sebagai cacat tersembunyi dan
itikad tidak baik, yaitu menjual barang yang telah rusak. Klausul di dalam nota bisa saja
diabaikan atas dasar cacat tersembunyi (pasal 1504 KUHPerd), karena pembeli berasumsi
bahwa barang yang dibeli di dalam kondisi yang baik. Tingkat kepercayaan konsumen ini
membatalkan klausul sepihak dari toko atas dasar bahwa toko menyalahgunakan kepercayaan
konsumen dan beritikad tidak baik.
Contoh di atas ini jelas berbeda dengan kesepakatan di dalam informed consent.
Pasien yang karena sakitnya sebenarnya tidak dalam kapasitas yang normal untuk
memberikan kesepakatan, atau dengan kata lain pasien tidak mempunyai pilihan untuk
melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan medis karena peluang yang ada mungkin
hanya 50%, atau lebih kecil dari itu. Siapakah yang memperkirakan peluang tersebut, petugas
medis tentunya. Dengan persetujuan yang diberikan pasien maka pasien tentu saja
mempunyai harapan bahwa peluangnya untuk hidup dan sembuh lebih tinggi. Sehingga ia
mempercayakan hidupnya pada petugas medis. Namun, ada klausul yang hampir sama
dengan klausul pada nota pembelian yang dikeluarkan toko seperti yang dicontohkan di atas,
yaitu klausul pembebasan atas resiko atau kemungkinan tersembunyi yang berbunyi
demikian, “Saya menyakini dokter beserta tim akan berusaha sebaik mungkin dan saya
memahami tidak ada jaminan bahwa operasi akan selalu berhasil dengan baik, dan saya tidak
akan menuntut apabila segalanya telah dilaksanakan sesuai dengan standar profesi”.
Bagaimana seorang pasien yang dalam kondisi dibius, dalam kondisi sakit yang luar
biasa mungkin, di ruang operasi tanpa saksi yang mengerti ilmu kedikteran, paham bahwa
operasi tersebut telah dilaksanakan sesuai prosedur dan memenuhi standar profesi
kedokteran. Klausul tersebut menurut penulis merupakan itikad tidak baik dan penghianatan
atas kepercayaan pasien. Jaminan apa yang diberikan yang diberikan petugas medis untuk
seluruh kepercayaan yang diberikan pasien. Untuk itu seharusnya pengadilan mengabaikan
klausul di dalam informed consent tersebut, karena tidak sepadan antara kepercayaan yang
diberikan pasien dengan pertangungjawaban yang seharusnya dipikul petugas medis.
Pasien atau keluarganya harus memiliki alas hak yang kuat untuk menuntut petugas
kesehatan atas dasar kelalaian, ataupun kesalahan yang lebih dikenal dengan malpraktek.
Padahal di dalam proses pengadilan, hakim sama sekali tidak tahu menahu menganai
prosedur tindakan medis sudah dilakukan dengan benar atau tidak. Di dalam persidangan
kasus-kasus kesehatan, tidak jarang dihadapkan saksi ahli yang biasanya juga dari kalangan
medis, sehingga hakim dapat bertanya dan meminta pendapat dari saksi ahli tersebut.
Masalahnya saksi ahli ini biasanya merupakan anggota suatu organisasi profesi yang sama
dengan petugas medis yang tengah dituntut. Di mana kode etik profesi tersebut mewajibkan
semua anggota untuk menghargai dan menghormati sejawatnya. Adakah jaminan saksi ahli
tersebut akan bersaksi dengan jujur melawan sejawatnya? Butuh ketetapan hati dan jiwa yang
besar untuk menyatakan kebenaran yang mungkin mencoreng korps profesinya.
Kondisi ini menjadi semacam lingkaran setan yang mebuat profesi kedokteran sangat
kuat dan tidak tersentuh hukum. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan antara kasus
malpraktek di lapangan, berapa yang diajukan di pengadilan, berapa yang menang dan berapa
yang di peti-es-kan? informed consent sangat efektif untuk membatalkan, atau menggugurkan
berbagai gugatan atau tuntutan, sehingga pasien seakan-akan menandatangani persetujuan
kematiannya sendiri.
IV.Penutup
4.1. Kesimpulan
1. Berdasarkan Pasal 1320 jo 1321 jo 1323 KUHPerd dan 1338 KUHPerd, Informed Consent
tidak memenuhi asas konsensualisme dan asas kebebasan berkontrak serta asas mengikat
seperti undang-undang.
2. Secara hukum informed consent merupakan perjanjian sepihak, karena hanya berisi
pernyataan kehendak dari pihak pasien saja dan tidak dari petugas medis. Informed
consent tidak mengatur kewajiban dan hak masing-masing pihak, sehingga informed
consent sangat efektif untuk membatalkan, atau menggugurkan berbagai gugatan atau
tuntutan.
4.2. Saran
1. Informed consent seharusnya tidak mengandung unsur penyalahgunaan keadaan (undue
influence) oleh pihak pembuatnya. Informed consent haruslah memenuhi asas
konsensualisme dan asas kebebasan berkontrak serta asas mengikat seperti undangundang.
2. Diperlukan pembaharuan dalam ketentuan Informed consent yang lebih berpihak pada
pasien.
Daftar Pustaka
Munir Fuady.Sumpah Hipocrates : Aspek Hukum Malpraktek Dokter, PT.Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2005.
D. Veronika Komalawati. Hukum dan Etika Dalam Praktik Kedokteran,PT.Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1989.
Johannes Gunawan, Penggunaan Perjanjian Standar dan Implikasinya Pada Azas Kebebasan
Berkontrak, Majalah Fakultas Hukum Universitas Padjajaran No. 3-4,1987
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerd)
UU No.29 Tahun 2004 tentang Paktik Kedokteran pasal 45 ayat (1) sampai dengan (6);
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1419/Menkes/Per/X/2005 tentang
Penyelenggaraan Praktik Kedokteran;
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.585/ Menkes/Per/IX/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medik.
Download