Aspek Hukum Informed Consent Dalam Pelaksanaan Tindakan Operasi Medik Oleh : Firman Floranta Adonara S.H.,M.H. I.Pendahuluan Manusia dalam menjalankan kehidupannya selalu melakukan kegiatan-kegiatan yang senantiasa berkembang. Kegiatan-kegiatan itu yang menjadikan kondisi kesehatan setiap manusia tidak selalu dalam keadaan baik dan sehat, adakalanya manusia mengalami sakit, oleh karena itu manusia berusaha memulihkan kesehatannya dengan cara berobat kedokter yang bersangkutan. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka semakin kompleks jenis-jenis penyakit yang ditemukan para ahli dibidang kedokteran. Sehingga dalam perkembangannya tidak saja diperlukan tenaga kesehatan yang biasa akan tetapi juga memerlukan perawatan khusus dari dokter ahli seperti operasi. Sebelum dokter melakukan tindakan operasi medik, dokter berkewajiban untuk memberikan informasi tentang jenis penyakit yang diderita pasien dan tindakan medik yang akan dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien serta resiko-resiko yang mungkin timbul dari tindakan medik tersebut kepada pasien dan keluarganya. Karena informed consent merupakan perjanjian untuk melakukan tindakan operasi medik, maka keberadaan informed consent sangat penting bagi para pihak yang melakukan perjanjian pelayanan kesehatan, sehingga dapat diketahui bahwa keberadaan informed consent sangat penting dan diperlukan dirumah sakit. Informed consent adalah suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan oleh dokter terhadap dirinya, setelah pasien mendapatkan informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya, disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi. (Komalawati, 1989, 86). Pentingnya informed consent bagi dokter dan pasien dalam pelayanan medis karena informed consent merupakan suatu proses komunikasi antara dokter dan pasien untuk menentukan terapi (penyembuhan) yang terbaik dan tepat bagi pasien. Dalam komunikasi tersebut dokter akan menyampaikan informasi/penjelasan mengenai baik buruknya suatu tindakan medis yang akan dilakukan dan didasarkan informasi/penjelasan yang disampaikan dokter tersebut maka pasien akan menyampaikan kehendaknya yaitu menerima (menyetujui, mengijinkan) atau menolak tindakan medis dari dokter. Selanjutnya, berdasarkan pada persetujuan pasien tersebut maka pada gilirannya dapat dilakukan pengambilan keputusan medis. Pengambilan keputusan medis pada prinsipnya berkenaan dengan tindakan medis yang akan dilakukan pada pasien dan keputusan medis akan mudah dilakukan jika segala sesuatu yang berkenaan dengan proses komunikasi sebelum pengambilan keputusan sudah dilakukan dengan baik yaitu menyangkut informasi/penjelasan yang disampaikan dokter dapat dipahami pasien dan pasien menyatakan persetujuannya. II.Rumusan Masalah 1. Bagaimana eksistensi formulir informed consent dalam pelaksanaan tindakan operasi medik dipandang dari segi hukum perjanjian ? 2. Informed consent perlindungan pasien atau pernyataan kematian? III.Pembahasan 3.1. Eksistensi Formulir Informed Consent Dalam Pelaksanaan Tindakan Operasi Medik Dipandang Dari Segi Hukum Perjanjian Hubungan antara dokter dengan pasien yang terjalin dalam transaksi terapeutik menimbulkan hubungan timbal balik yaitu adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak yaitu pihak pemberi pelayanan (medical providers) dan pihak penerima pelayanan (medical receivers) dan ini harus dihormati oleh para pihak. Tim dokter sebagai medical providers mempunyai kewajiban untuk melakukan diagnosis, pengobatan dan tindakan medik yang terbaik menurut pengetahuan, jalan pikiran dan pertimbangannya, sedangkan pasien atau keluarganya sebagai medical receivers mempunyai hak untuk menentukan pengobatan atau tindakan medik yang akan dilakukan terhadap dirinya. Dalam kerangka inilah diperlukan suatu persetujuan tindakan medis atau informed consent. Yang menjadi permasalahan adalah apakah isi dari formulir informed consent itu sudah memenuhi asas konsensualisme dan asas kebebasan berkontrak serta asas mengikat sebagai undang-undang. Bahwa formulir informed consent merupakan suatu perjanjian pelaksanaan tindakan medik antara dokter dengan pasien atau keluarganya. Oleh karena itu, isi dari formulir informed consent harus memenuhi syarat sahnya perjanjian secara umum yang diatur di dalam Pasal 1320 KUHPerd dan juga asas kebebasan berkontrak. Informed Consent secara teoritis yuridis tidak memenuhi pasal 1320 KUHPerdata jo pasal 1338 KUHPerdata. Informed Consent telah melanggar ketentuan yang terdapat dalam pasal 1320 KUHPerdata jo pasal 1338 KUHPerdata yang merupakan asas konsensualisme dan asas kebebasan berkontrak serta asas mengikat sebagai Undang-undang. Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya”. Kata “semua” mengandung arti meliputi seluruh perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata ataupun yang diluar KUHPerdata, atau perjanjian yang dikenal maupun yang tidak dikenal. Asas Konsensualisme yang diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata berkaitan dengan adanya kesepakatan antara para pihak yang diberikan atas dasar kehendak yang bebas mengenai pokok yang diatur dalam perjanjian yang dibuat tersebut, hal yang dikehendaki pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain Pasal 1338 KUHPerd yang menetapkan bahwa ”Setiap persetujuan/perjanjian yang dibuat secara sah berlaku mengikat seperti undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Pada intinya meyatakan bahwa terdapat kebebasan membuat kontrak apapun sejauh tidak bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan kesusilaan. Artinya jika ada pelanggaran ada sanksinya. Wujud sanksinya berupa ganti kerugian. Konsekwensinya pihak ketiga atau hakim tidak boleh intervensi untuk menambah, mengurangi atau menghilangkan isi perjanjian. Asas ini dipandang dari segi isi perjanjian. Secara histroris asas kebebasan berkontrak sebenarnya meliputi lima macam kebebasan, yaitu: 1) Kebebasan para pihak menutup atau tidak menutup kontrak; 2) Kebebasan menentukan dengan siapa para pihak akan menutup kontrak; 3) Kebebasan para pihak menentukan bentuk kontrak; 4) Kebebasan para pihak menentukan isi kontrak; 5)Kebebasan para pihak menentukan cara penutupan kontrak (Johannes Gunawan, 1987,49) Berhubung Informed Consent sudah pasti berbentuk tertulis, disamping isi dan cara penutupan kontrak tersebut ditetapkan secara sepihak oleh pembuat kontrak, di dalam Informed Consent tidak terdapat lagi kebebasan para pihak (khususnya pihak penutup kontrak) untuk menentukan isi, bentuk dan cara penutupan kontrak. Adapun kebebasan yang masih ada di dalam standar kontrak hanyalah 2 (dua) macam kebebasan, yaitu kebebasan menutup atau tidak menutup kontrak serta kebebasan menentukan dengan siapa akan menutup kontrak. Kesepakatan yang terjadi di dalam Informed Consent merupakan kesepakatan yang tidak sempurna atau cacat dan bertentangan dengan asas konsensualisme. Asas konsensualisme yang tersirat di dalam Pasal 1320 KUHPerd berarti bahwa sebuah kontrak sudah terjadi dan karenanya mengikat para pihak di dalam kontrak sejak terjadi kata sepakat tentang unsur pokok dari kontrak tersebut.Dengan perkataan lain, kontrak sudah sah apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai unsur pokok kontrak dan tidak diperlukan formalitas tertentu. Asas ini dilihat dari segi terbentuknya perjanjian. Selanjutnya, Pasal 1321 KUHPerd menetapkan bahwa: ”Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan dengan kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Dengan perkataan lain bahwa apabila di dalam kontrak terdapat antara lain unsur paksaan, maka kesepakatan yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerd dianggap tidak ada. Apabila kesepakatan tidak terjadi, maka kontrak dinyatakan tidak memenuhi syarat keabsahan sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerd. Pasal 1321 KUHPerd merupakan pasal yang mengandung kata sepakat yang tidak sempurna atau bercacat, karena kata sepakat itu didasarkan atas adanya paksaan. Paksaan bisa terjadi secara: 1).Paksaan jasmaniah/mental/berdiri secara fisik. 2).Paksaan moril pshikis. Dalam hal Informed Consent paksaan yang terjadi adalah paksaan pshikis terhadap pasien atau keluarga pasien. Jadi kata sepakat harus didasarkan atas kemauan bebas, dan perjanjian baru dapat dikatakan sah jika didasarkan atas kata sepakat yang sempurna. Adapun pengertian paksaan menurut Pasal 1323 KUHPerd adalah perbuatan yang menyebabkan pihak yang berpikiran sehat menjadi tidak bebas dalam mengambil keputusan, dan menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya kerugian yang nyata. Selain asas kebebasan berkontrak dan asas konsensualisme terdapat pula asas mengikat sebagai undang-undang. Asas mengikat sebagai undang-undang secara tersurat tercantum di dalam pasal yang sama dengan pasal yang berisi asas kebebasan berkontrak, yaitu Pasal 1338 KUHPerd. Pasal tersebut menyatakan bahwa semua kontrak yang dibuat secara sah akan mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak di dalam kontrak tersebut. Artinya, para pihak di dalam sebuah kontrak harus menaati kontrak yang mereka buat sebagaimana menaati undang-undang. Dengan demikian, terhadap pihak yang melanggar ketentuan dan persyaratan di dalam kontrak dapat dikenakan sanksi seperti juga pelanggaran terhadap undang-undang. Konsekwensinya pihak ketiga atau hakim tidak boleh intervensi untuk menambah, mengurangi, atau menghilangkan isi perjanjian. Asas ini dipandang dari segi akibat hukumnya. (Johannes Gunawan, 2003, hal.47). Pemuatan dua asas hukum, yaitu asas kebebasan berkontrak dan asas mengikat sebagai undang-undang, di dalam satu pasal yang sama, menurut logika hukum berarti: 1 Kedua asas hukum tersebut tidak boleh bertentangan satu sama lainnya; 2 Kontrak baru akan mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak di dalam kontrak tersebut, apabila di dalam pembuatannya terpenuhi asas kebebasan berkontrak yang terdiri atas lima macam kebebasan. Informed Consent tidak memenuhi lima macam kebebasan yang terkandung di dalam asas kebebasan berkontrak, menurut persyaratan asas mengikat sebagai undang-undang, Informed Consent tersebut tidak dapat dinyatakan mengikat para pihak di dalamnya. Informed Consent mengandung unsur penyalahgunaan keadaan (undue influence) oleh pihak pembuat kontrak tersebut. Hal ini menimbulkan kelemahan, keraguan, atau keadaan tertekan pada pihak penutup kontrak, sehingga perilaku atau keputusan pihak tersebut berubah secara tidak bebas demi keuntungan pihak pembuat kontrak. Kondisi ini sesuai dengan kondisi paksaan sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 1323 KUHPerd, sehingga sebenarnya dapat dikemukakan bahwa Informed Consent tidak memenuhi unsur kesepakatan seperti yang disyaratkan bagi sebuah kontrak yang sah oleh Pasal 1320 KUHPerd. Dengan perkataan lain, berdasarkan Pasal 1320 jo 1321 jo 1323 KUHPerd dan 1338 KUHPerd, Informed Consent tidak memenuhi asas konsensualisme dan asas kebebasan berkontrak serta asas mengikat seperti undang-undang. 3.2. Informed Consent Perlindungan Pasien atau Pernyataan Kematian Profesi kesehatan merupakan profesi khusus yang mengandalkan pengetahuan yang juga sangat spesial, sehingga tidak banyak orang mengetahui seluk beluknya. Kekhususan inilah yang menjadikan profesi kesehatan seakan tidak tersentuh oleh hukum. Hal ini diperparah lagi dengan adanya ketentuan-ketentuan yang ada yang menempatkan profesi ini pada privelegi tertentu. Contoh nyata adalah . Informed Consent yang merupakan tameng para profesi kesehatan untuk melepaskan diri dari tanggungjawab profesi. Ada 3 (tiga) peraturan perundang-undangan yang mengatur informed consent di Indonesia yang merupakan landasan atau dasar hukum bagi praktik pelayanan medis, yaitu : 1. UU No.29 Tahun 2004 tentang Paktik Kedokteran pasal 45 ayat (1) sampai dengan (6); 2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1419/Menkes/Per/X/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Kedokteran; 3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.585/ Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik. Informed consent merupakan pernyataan persetujuan untuk melakukan tindakan medis yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarganya. Penandatanganan ini melalui prosedur penjelasan terlebih dahulu mengenai tindakan apa saja yang akan diambil, tingkat keberhasilannya, kemungkinan risiko dan biaya yang harus ditanggung. Proses penjelasan ini dilakukan secara lisan, karena untuk teknis pelaksanaannya akan dilaporkan atau dicantumkan di dalam rekam medik pasien. Setelah penjelasan diberikan oleh petugas medis, pasien atau keluarganya harus menandatangani pernyataan yang berisi kesediaan untuk melakukan tindakan medis, menyadari resikonya dan tidak akan menuntut dokter yang merawatnya. Setelah pasien siap untuk melakukan tindakan yang berisiko tersebut, dimana seorang dokter atau petugas kesehatanpun tidak berani menjamin hasilnya, dengan alasan seorang dokter atau petugas medis bukan garantor keberhasilan atau kesembuhan pasien. Informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal 3 (tiga) unsur sebagai berikut : 1. Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokter; 2. Kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan; 3. Kesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan persetujuan. (Fuady,2005,48-50) Yang dimaksud dengan kompetensi pasien ialah jika memenuhi syarat ebagai orang yang cakap bebuat (cukup umur, tidak berpenyakit jiwa). Dalam hal pasien tidak kompeten, maka informed consent dapt dimintakan kepada pihak yang berwenang, yaitu : 1. Pihak wali atau kuratornya; 2. Pihak suami/istri; 3. Pihak yang telah diberikan surat kuasa; 4. Ayah/ibu; 5. Anaknya yang sudah dewasa; 4. Kakak/adik yang telah dewasa. (Fuady,2005,48-50) Tentang informasi yang harus diberikan kepada pasien, Fuady mengemukakan bahwa semua informasi yang bersifat “material” yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan pasien yang bersangkutan, harus dijelaskan sejelas-jelasnya dan dimengerti oleh pasien. (Fuady,2005,75) Jika dilihat dengan cermat semua yang tertera di dalam informed consent tersebut hanya mengatur kewajiban-kewajiban pasien saja termasuk kesediaan untuk menerima resiko tanpa menuntut dokter yang merawatnya. Informed consent sendiri membebankan kewajiban pada dokter untuk memberikan keterangan mengenai segala hal berkait dengan tindakan medis sebelum persetujuan diberikan. Namun keterangan ini sifatnya lisan sehingga tidak bisa menjadi bukti otentik di pengadilan apabila terjadi kesalahan atau pun kelalaian. (Pasal 5 Permenkes No.585/Menkes/Per/IX/1989). Dengan kata lain, informed consent seolah menjadi tameng yang membebaskan seorang dokter dari pertanggungjawaban tindakannya. Sungguh suatu hal yang menyedihkan karena tidak terdapat keseimbangan antara kepercayaan yang diberikan dengan hasil serta jaminan, bahwa dokter akan melakukan tindakan medisnya dengan sungguh-sungguh dan hati-hati. Apabila terjadi kegagalan, apakah kemudian hanya cukup dengan kata “Maaf, kami sudah berusaha sekuat tenaga tetapi Tuhan menentukan lain”. Seperti yang biasa diucapkan di film-film atau sinetron-sinetron kemudian selesai. Sementara keluarga pasien masih harus menanggung biaya kegagalan tindakan medis tersebut, pemakaman keluarganya dan kesedihan yang hanya diganti dengan kata maaf. Secara hukum informed consent merupakan perjanjian sepihak, karena hanya berisi pernyataan kehendak dari pihak pasien saja dan tidak dari petugas medis, sehingga tidak bisa disebut perjanjian karena beban kewajibannya hanya ditanggung satu orang, atau satu pihak saja. Perjanjian umum memang memperbolehkan pembebanan resiko pada satu pihak saja jika para pihak di dalam kedudukan yang sederajat dan sepakat melakukannya. Asumsinya, bahwa masing-masing pihak memiliki pilihan lain untuk melakukan tindakan atau tidak melakukan kesepakatan tersebut. Contohnya, perjanjian jual beli (Pasal 1457 KUHPerd) yang menanggungkan resiko kerusakan barang pada pembeli, namun pembeli tidak di dalam kondisi yang tidak berdaya. Misalnya, toko telah membuat klausul di dalam nota pembelian bahwa barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan. Jika ada kerusakan, pihak pembeli dapat menuntut toko tersebut dengan apa yang sering disebut sebagai cacat tersembunyi dan itikad tidak baik, yaitu menjual barang yang telah rusak. Klausul di dalam nota bisa saja diabaikan atas dasar cacat tersembunyi (pasal 1504 KUHPerd), karena pembeli berasumsi bahwa barang yang dibeli di dalam kondisi yang baik. Tingkat kepercayaan konsumen ini membatalkan klausul sepihak dari toko atas dasar bahwa toko menyalahgunakan kepercayaan konsumen dan beritikad tidak baik. Contoh di atas ini jelas berbeda dengan kesepakatan di dalam informed consent. Pasien yang karena sakitnya sebenarnya tidak dalam kapasitas yang normal untuk memberikan kesepakatan, atau dengan kata lain pasien tidak mempunyai pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan medis karena peluang yang ada mungkin hanya 50%, atau lebih kecil dari itu. Siapakah yang memperkirakan peluang tersebut, petugas medis tentunya. Dengan persetujuan yang diberikan pasien maka pasien tentu saja mempunyai harapan bahwa peluangnya untuk hidup dan sembuh lebih tinggi. Sehingga ia mempercayakan hidupnya pada petugas medis. Namun, ada klausul yang hampir sama dengan klausul pada nota pembelian yang dikeluarkan toko seperti yang dicontohkan di atas, yaitu klausul pembebasan atas resiko atau kemungkinan tersembunyi yang berbunyi demikian, “Saya menyakini dokter beserta tim akan berusaha sebaik mungkin dan saya memahami tidak ada jaminan bahwa operasi akan selalu berhasil dengan baik, dan saya tidak akan menuntut apabila segalanya telah dilaksanakan sesuai dengan standar profesi”. Bagaimana seorang pasien yang dalam kondisi dibius, dalam kondisi sakit yang luar biasa mungkin, di ruang operasi tanpa saksi yang mengerti ilmu kedikteran, paham bahwa operasi tersebut telah dilaksanakan sesuai prosedur dan memenuhi standar profesi kedokteran. Klausul tersebut menurut penulis merupakan itikad tidak baik dan penghianatan atas kepercayaan pasien. Jaminan apa yang diberikan yang diberikan petugas medis untuk seluruh kepercayaan yang diberikan pasien. Untuk itu seharusnya pengadilan mengabaikan klausul di dalam informed consent tersebut, karena tidak sepadan antara kepercayaan yang diberikan pasien dengan pertangungjawaban yang seharusnya dipikul petugas medis. Pasien atau keluarganya harus memiliki alas hak yang kuat untuk menuntut petugas kesehatan atas dasar kelalaian, ataupun kesalahan yang lebih dikenal dengan malpraktek. Padahal di dalam proses pengadilan, hakim sama sekali tidak tahu menahu menganai prosedur tindakan medis sudah dilakukan dengan benar atau tidak. Di dalam persidangan kasus-kasus kesehatan, tidak jarang dihadapkan saksi ahli yang biasanya juga dari kalangan medis, sehingga hakim dapat bertanya dan meminta pendapat dari saksi ahli tersebut. Masalahnya saksi ahli ini biasanya merupakan anggota suatu organisasi profesi yang sama dengan petugas medis yang tengah dituntut. Di mana kode etik profesi tersebut mewajibkan semua anggota untuk menghargai dan menghormati sejawatnya. Adakah jaminan saksi ahli tersebut akan bersaksi dengan jujur melawan sejawatnya? Butuh ketetapan hati dan jiwa yang besar untuk menyatakan kebenaran yang mungkin mencoreng korps profesinya. Kondisi ini menjadi semacam lingkaran setan yang mebuat profesi kedokteran sangat kuat dan tidak tersentuh hukum. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan antara kasus malpraktek di lapangan, berapa yang diajukan di pengadilan, berapa yang menang dan berapa yang di peti-es-kan? informed consent sangat efektif untuk membatalkan, atau menggugurkan berbagai gugatan atau tuntutan, sehingga pasien seakan-akan menandatangani persetujuan kematiannya sendiri. IV.Penutup 4.1. Kesimpulan 1. Berdasarkan Pasal 1320 jo 1321 jo 1323 KUHPerd dan 1338 KUHPerd, Informed Consent tidak memenuhi asas konsensualisme dan asas kebebasan berkontrak serta asas mengikat seperti undang-undang. 2. Secara hukum informed consent merupakan perjanjian sepihak, karena hanya berisi pernyataan kehendak dari pihak pasien saja dan tidak dari petugas medis. Informed consent tidak mengatur kewajiban dan hak masing-masing pihak, sehingga informed consent sangat efektif untuk membatalkan, atau menggugurkan berbagai gugatan atau tuntutan. 4.2. Saran 1. Informed consent seharusnya tidak mengandung unsur penyalahgunaan keadaan (undue influence) oleh pihak pembuatnya. Informed consent haruslah memenuhi asas konsensualisme dan asas kebebasan berkontrak serta asas mengikat seperti undangundang. 2. Diperlukan pembaharuan dalam ketentuan Informed consent yang lebih berpihak pada pasien. Daftar Pustaka Munir Fuady.Sumpah Hipocrates : Aspek Hukum Malpraktek Dokter, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. D. Veronika Komalawati. Hukum dan Etika Dalam Praktik Kedokteran,PT.Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1989. Johannes Gunawan, Penggunaan Perjanjian Standar dan Implikasinya Pada Azas Kebebasan Berkontrak, Majalah Fakultas Hukum Universitas Padjajaran No. 3-4,1987 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerd) UU No.29 Tahun 2004 tentang Paktik Kedokteran pasal 45 ayat (1) sampai dengan (6); Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1419/Menkes/Per/X/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Kedokteran; Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.585/ Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik.