BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Nama Yogyakarta digunakan untuk sebuah kota, ibu kota dan daerah setingkat provinsi yang mem iliki status istimewa, yaitu Daerah Istim ewa Yogyakarta (DIY). DIY terletak di bagian tengah-selatan pulau Jawa. Y ogyakarta sebagai kota dan ibu kota yang namanya sama dengan daerah istimewa itu terletak di tengah -tengah (provinsi) DIY (Soemardjan, 2009: 6). Kota ini merupakan satu -satunya kota di DIY karena empat daerah lainnya berbentuk kabupaten yaitu Sleman, Bantul, Kulonprogo, dan Gunungkidul. Penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berdasarkan sensus penduduk 2010 adalah 3.457.491 jiwa (BPS, 2011). Suku bangsa Jawa adalah penduduk mayoritas DIY dengan jumlah 3.331.355 jiwa, atau 96,35%. Selain suku bangsa Jawa penduduk DIY terdiri lebih dari 30 suku bangsa yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Suku bangsa selain Jawa yang tergolong besar ada 6 (enam) yaitu Sunda (0,68%), M elayu (0,44%), Cina (0,33%), Batak (0,28%), M adura (0,15%), dan M inangkabau ( 0,15%). Dengan demikian DIY memiliki masyarakat majemuk dan bercorak multikultur. DIY merupakan miniatur Indonesia yang terdiri dari 1340 suku bangsa (BPS, 2015). Koentjaraningrat (1993: 15) membagi suku bangsa di Indonesia menjadi tiga golongan yaitu (1) suku bangsa, (2) golongan keturunan asing, dan (3) masyarakat terasing. Golongan pertama adalah suku bangsa yang memiliki daerah asal dalam wilayah Indonesia. Golongan kedua, keturunan asing, adalah suku bangsa yang tidak 1 memiliki daerah asal di Indones ia melainkan di luar negeri (Cina, Arab atau India), atau karena keturunan percampuran (Indo-Eropa). M asyarakat terasing dianggap sebagai penduduk yang masih hidup dalam tahap kebudayaan sederhana, dan biasanya masih tinggal dalam lingkungan yang terisolasi atau tertingal. M enurut Koentjaraningrat (2009:214-215) istilah suku bangsa adalah terjemahan dari ethnic group (dalam bahasa Inggris) atau secara singkat disebut etnik. Konsep yang tercakup dalam istilah suku bangsa atau etnik adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan “kesatuan kebudayaan”, sedangkan kesadaran dan identitas tadi seringkali (tetapi tidak selalu) dikuatkan kesatuan bahasa juga. Jadi “kesatuan kebudayaan” bukan ditentukan oleh orang luar melainkan oleh warga kebudayaan bersangkutan itu sendiri. Sebagai suku bangsa keturunan asing penduduk Cina atau Tionghoa sudah bermukim di Yogyakarta sejak terbentuknya Kasultanan Yogyakarta yang merupakan pecahan kerajaan M ataram. Kerajaan M ataram pecah berdasark an Perjanjian G ianti 1755 (peristiwa ini dikenal dengan Palihan Negari) menjadi Kasultanan Y ogyakarta dan Kasunanan Surakarta (Ricklefs, 2001; Drakeley, 2005; Carey, 2008; Surjomihardjo, 2008; Sabdacarakatama, 2009; Soemardjan, 2009; Soenaryo dan Baskoro, 2011; Soekanto, 2012; Daradjadi, 2013; Carey, 2015). Sebagai ibu kota kerajaan, Yogyakarta berkembang pesat dengan kraton sebagai pusat pertumbuhan. Sementara itu, orang-orang asing terutama Belanda dan Cina mulai datang dan bermukim di Yogyakarta (Adrisijanti, 2007). Orang-orang Cina tinggal di daerah Pecinan yaitu tempat bermukim orang -orang Cina yang terletak di sebelah utara Fort Vredeburg dan pasar besar atau Beringharjo (Surjomihardjo, 2 2008: 21). Selain tinggal di Pecinan, mereka juga ter sebar di sepanjang jalan kecil dan jalan utama sebagai pemilik toko eceran (Soemardjan, 2009: 42). Orang-orang Tionghoa datang dan bermukim di Jawa jauh lebih dahulu dari pada orang Belanda. Orang Tionghoa mulai berimigrasi ke Indonesia pada abad IX dengan tujuan berdagang dan mencari kehidupan baru (Setiono, 2004:14; Haryono, 2006: 5; M ulyana, 2013: 82). Kebudayaan Tionghoa berbaur dan beradaptasi dengan kebudayaan lokal dalam berbagai aspek kehidupan yang meliputi makanan, pakaian, kesenian, bahasa, pertanian, pertukangan, arsitektur, agama dan lain -lain. Thee Kian Wie dalam Liem Twan Djie (1995: xiii) mengatakan bahwa perdagangan merupakan kegiatan ekonom i utama dari golongan Cina di Indonesia, khususnya Jawa. Pada umumnya orang-orang Cina adalah pedagang perantara distribusi, kendatipun banyak juga yang menjadi pedagang perantara koleksi (Djie, 1995: 4). Oleh Belanda orang Cina diberi keleluasaan sebagai pedagang perantara dan berhasil membuat jaringan hingga ke pelosok-pelosok pedesaan (Poerwanto, 2014: 55). Pemerintah kolonial Belanda juga memanfaatkan orang -orang Cina untuk dijadikan pachter (bandar) candu dan pengelola rumah candu, rumah judi dan tempat bordil, serta rumah gadai maupun penarik pajak atau bandar tol; dan meminjamkan uang (Q urtuby, 2003; Carey, 2008; Vermeulen, 2010; M ulyana, 2013; Setiono, 2003; Poerwanto, 2014). Belanda selama berkuasa di N usantara mengelompokkan penduduk menjadi tiga golongan yaitu (1) Eropa atau Belanda, (2) Timur Asing, termasuk Cina, Arab, India, dan (3) pribumi (Onghokham, 2008: 3). Relasi etnis Tionghoa-Jawa sejak masa penjajahan mengalami pasang surut dan rawan konflik. Konflik terjadi dalam frekuensi dan intensitas tinggi di berbagai daerah dan berlangsung hingga terbentuknya Republik Indonesia, bahkan terjadi 3 juga pada awal era Reformasi di penghujung abad XX yang terkenal sebagai Kerusuhan M ei 1998. Setiap kali terjadi pergantian rezim yang berkuasa, atau kevakuman pemerintahan, umumnya simultan dengan meletusnya konflik besar yang melibatkan orang Cina, termasuk pada awal era Reformasi 1998 tersebut (Kwartanada dalam Carey, 2008: xi). Berbagai peristiwa meletusnya konflik yang melibatkan etnis Tionghoa di pulau Jawa adalah sebagai berikut (Wijayakusuma, 2005; Hariyono, 2006; U sman, 2009). Tahun 1740 terjadi pembantaian massal oleh Belanda terhadap orang Cina di Batavia dengan korban 10.000 orang tewas, Geger Pacinan 1742 yang berakibat hancurnya kraton M ataram di Kartasura, perang Jawa tahun 1825-1830, peristiwa Solo 1912, kerusuhan K udus 1918, peristiwa Tangerang pasca Jatuhnya Jepang 1946, peristiwa 10 M ei 1963 di Jawa Barat, peristiwa 31 Desember 1972 di Pekalongan, peristiwa 5 Agustus 1973 di Bandung, peristiwa Solo dan Semarang 20 November 1980, peristiwa Tanjung Priok 1984, peristiwa 16 September 1986 di Surabaya, peristiwa Pekalongan 1989, peristiwa 1 November 1985 di Purwak arta, peristiwa 24 N ovember 1985 di Pekalongan, peristiwa 14 Januari 1996 di Bandung, peristiwa 30 Januari 1997 di Rengasdengklok, dan puncaknya tragedi 12 -13 M ei 1998 terutama di Jakarta dan Surakarta. Pasca Perang Jawa 1825-1830 di Yogyakarta tidak pernah terjadi peristiwa berarti yang melibatkan masyarakat Tionghoa (Susanto dalam Wibowo, 2001: 63). Andreas Susanto (2008) dalam disertasinya yang berjudul “ Under the Umbrella of the Sultan, Accommodation of the Chinese in Yogyakarta D uring Indonesia’s New Order” mengungkapkan, pada umumnya orang Cina Yogyakarta memiliki gaya hidup yang sederhana (low profile) dan merasa terayomi oleh kepemimpinan Sri Sultan 4 Hamengku B uwono IX sejak zaman kolonial, utamanya karena terlindungi sehingga luput dari aksi kekerasan fisik dan perampokan pada zaman Jepang. Ungkapan hormat dan terima kasih masyarakat Cina kepada Sultan Hamengku Buw ono IX diwujudkan dalam bentuk Prasasti Jawa-China di Keraton Y ogyakarta. Prasasti itu diresmikan 18 M aret 1952 (Julius Pour dalam Pour dan Aji, 2012: 32). Pada masa kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono X, ketika tragedi M ei 1998 membakar Jakarta dan menghanguskan Solo, di Yogyakarta huru -hara seperti itu tidak terjadi (Pour, 2012; 33) dan massa rakyat Tionghoa tetap bisa merasakan keamanan dan hubungan baik dengan massa rakyat pribum i (Wahid, 2003: 79). Kehidupan komunitas Cina di Yogyakarta yang relatif aman dan damai merupakan hasil dari sebuah hidup yang bertanggung jawab dan berhati-hati agar tidak melukai hati penduduk lokal sehingga mereka mempelajari bahasa Jawa, aktif dalam kegiatan lokal, tidak memamerkan kekayaan dan hidup sederhana (Susanto, dalam Wibowo, 2001: 62). Hal ini didukung proses asimilasi yang berjalan baik (Susanto dalam Dielman, Koning dan Post, 2011: 64-84). Namun demikian dalam kenyataannya, eksistensi orang -orang Tionghoa di Yogyakarta belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat Jawa. Perasaan saling curiga satu sama lain masih cukup tebal dan dengan mudah hal itu dike nali. Yogyakarta dikenal dengan berbaga i predikat yaitu city of tolerance, dan memiliki masyarakat berkarakter multikultur yang menjunjung tinggi kebhinekaan sehingga dikatakan sebagai Indonesia mini. Yogyakarta juga sebagai pusat budaya (Jawa), kota pendidikan dan perjuangan. Oleh karena itu sesungguhnya Yogyakarta memiliki modal sosial yang cukup mem adai guna membangun kesadaran 5 masyarakatnya agar bersikap terbuka dan menerima eksistensi masyarakat dari etnis lain. Dalam hal ini interaksi antara orang T ionghoa dengan orang Jawa. Di Yogyakarta orang Cina sangat beragam selain berdagang dan menjalan kan industri ukuran menengah, banyak yang masuk dalam kelompok profesional seperti pengacara, dokter, manajer, ahli kecantikan, guru dan dosen. Hanya segelintir saja orang Cina Yogyakarta yang bisa disebut pengusaha besar (tycoon) itu pun usahanya pada umumnya di luar DIY. M asyarakat terbentuklah Tionghoa Yogyakarta bermacam -macam terlanda organisasi eforia reformasi, kemasyarakatan (Ormas) sehingga berbasis ketionghoaan. Ormas Tionghoa tersebut dibentuk berdasarkan suku, marga, aktivitas sosial, olah raga, budaya, religi dan agama. Jumlah Ormas Tionghoa yang cukup banyak tersebut memang mencerminkan demokrasi dan dinamika yang tinggi, tetapi pada sisi yang lain menunjukkan bahwa dalam masyarakat Tionghoa Yogyakarta dijum pai keterserakan. Sadar akan terjadinya keterserakan dalam masyarakat Tionghoa Yogyakarta tersebut, para pemukanya merasa terpanggil mem bangun kebersamaan, yaitu kebersamaan untuk berhimpun dalam untuk satu paguyuban Jogja Chinese Art and Culture Centre (JCACC). Jogja Chinese Art and Culture Centre (JCACC) adalah sebuah paguyuban masyarakat Tionghoa di Yogyakarta yang terbentuk pada bulan Juni 2009 dan merupakan himpunan dari 14 Ormas Tionghoa yang ada di Yogyaka rta. JCACC dirancang sebagai penyelenggara 3 (tiga) peristiwa seni budaya Tionghoa yaitu Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY), Peh Cun ( 扒 船 - 端 午節), dan Tiong Chiu (中 秋節). 6 PBTY dan Peh Cun oleh Pemerintah Daerah baik provinsi DIY, kota Yogyakarta dan kabupaten Bantul dijadikan calendar of events pariwisata. Ketiga peristiwa budaya masyarakat Tionghoa Yogyakarta tersebut setiap penyelenggaraannya senantiasa melibatkan dan mengundang masyarakat dari etnis lain. Keterlibatan masyarakat dari etnis lain yaitu dalam kepanitiaan, pengisi acara atau peserta lomba dan tentunya yang paling banyak sebagai pengunjung atau penonton. Para pengunjung menikmati penampilan seni budaya Tionghoa yang dari tahun ke tahun semakin popular. JCACC berhasil mempertemukan masyarakat Tionghoa dan Jawa pada khususnya, sehingga terjadi interaksi sosial secara alamiah. Penyelenggaraan perayaan seni budaya yang terorganisasi dengan baik dan berkesinambungan memberikan dampak signifikan terhadap bertambah baiknya pemahaman akan seni budaya dari masing-masing etnis, khususnya seni budaya Jawa dan Tionghoa di Yogyakarta. Dengan dasar saling memahami seni budaya satu sama lain maka relasi antaretnis Tionghoa-Jawa di Yogyakarta dapat berjalan secara natural. Setelah berjalan lebih satu dasa warsa, baik masyarakat etnis Tionghoa maupun etnis Jawa di Yogyakarta dapat memahami nilai-nilai seni budaya satu sama lain, yang sebelum era reformasi sangat mustahil. Dengan demikian Jogja Chinese Art and Culture Centre (JC ACC) melalui aktivitas seni budaya telah mew ujudkan wahana yang mempertemukan warga masyarakat etnis Tionghoa dan etnis Jawa di Yogyakarta, sehingga terjadi interaksi secara natural dan dari waktu ke waktu makin erat relasinya. Artinya, JCACC berkontribusi signifikan dalam mempererat relasi etnis Tionghoa-Jawa melalui aktivitas seni budaya di Yogyakarta. 7 B Rumusan Masalah. Bagaimana peranan paguyuban paguyuban masyarakat Tionghoa Jogja Chinese Art and Culture Centre (JCACC) dalam mempererat relasi etnis Tionghoa-Jawa di Yogyakarta melalui komunikasi antarbudaya? C Tujuan Penelitian. Temuan berupa informasi dan data yang diolah dan diinterpretasikan secara ilmiah digunakan untuk menjawab permasalahan sebagaimana dirumuskan di atas. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1.Untuk mengetahui peranan paguyuban masyarakat Tionghoa Jogja Chinese Art and Culture Centre (JCACC) dalam mempererat relasi etnis Tionghoa -Jawa di Yogyakarta. Dalam hal ini untuk mengetahui bagaimana struktur paguyuban masyarakat Tionghoa Jogja Chinese Art and Culture Centre (JCACC) , siapa tokohtokoh yang berperanan, apa isu yang dianggap penting, apa aktivitas yang dilaksanakan, dan apa hambatan yang dihadapi? 2.Untuk mengidentifikasi dan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi JCACC dalam melaksanakan fungsinya yang meliputi struktur paguyuban, tokoh, isu, aktivitas, dan hambatan. 3.M embuat pemahaman komprehensif tentang relasi etnis Tionghoa-Jawa di Yogyakarta pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya. D Manfaat Penelitian. 1. Manfaat Akademis Penelitian tentang peranan paguyupan masyarakat Tionghoa Jogja Chinese Art and Culture Centre (JCACC) dalam mempererat relasi etnis Tionghoa -Jawa di 8 Yogyakarta ini, hasilnya diharapkan mampu dijadikan sebagai bahan masukan bagi pengembangan kajian komunikasi, terutama dalam ranah komunikasi antar budaya. Dengan makin banyak dan intensif kajian tentang komunikasi antarbudaya yang melibatkan berbagai etnis dalam kehidupan masyarakat, tentu akan signifikan kontribusinya terhadap interaksi dan pergaulan hidup antar suku bangsa da lam masyarakat di Y ogyakarta, Daerah Istimewa Y ogyakarta (DIY) yang m ultikultur. Sehingga, perbedaan-perbedaan yang timbul sebagai konsekuensi kebhinekaan justru menjadi berkah atau potensi. Sebab di balik perbedaan yang di dalamnya terselubung energi potensial yang eksplosif dapat diaktualisasikan secara konstruktif dan didayagunakan untuk mendinamisasikan relasi anta r etnis atau suku bangsa dalam masyarakat Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. 2. Manfaat Praktis Adapun manfaat praktis dari penelitian tentang peranan paguyuban masyarakat Tionghoa Jogja Chinese Art and Culture Centre (JCACC) dalam mempererat relasi etnis Tionghoa-Jawa di Yogyakarta ini adalah: a. Untuk digunakan sebagai bahan masukan bagi berbaga i kalangan yang berkepentingan terutama aparatur pemerintah daerah dan masyarakat Yogyakarta pada umumnya, tentang relasi etnis Tionghoa-Jawa. b. Untuk memberi pemahaman kom prehensif kepada pembaca tentang relasi etnis Tionghoa-Jawa di Y ogyakarta sehingga relasi etnis yang terban gun kondusif makin berkualitas, sebagai pengejahwantahan masyarakat multikultur di Y ogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), 9 c. Untuk mengetahui berbagai faktor yang berpengaruh dalam pelaksanaan fungsi paguyuban masyarakat Tionghoa Jogja Chinese Art and Culture Centre (JCACC) dalam mempererat relasi etnis Tionghoa-Jawa di Yogyakarta. Hal ini sangatlah penting karena Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), merupakan rujukan bagi perkembangan dunia pendidikan dan pusat budaya di Indonesia. E Kerangka Pemikiran. 1.Pengertian Peranan. Kamus Bahasa Indonesia (2008: 1155) mencantumkan pengertian peranan adalah fungsi seseorang atau sesuatu dalam kehidupan. Selain itu menurut Shadily (1989, 285) peranan adalah sikap dan tindakan seseorang menurut kedudukan dalam masyarakat atau golongannya. Horton dan H orton (1977; 17) mengatakan bahwa peranan adalah perilaku yang diharapkan dari seseorang sesuai dengan kedudukannya; sedangkan Prosojo dan Pandjaitan (2015; 195) berpendapat bahwa peranan lebih menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri dan sebagai suatu proses. Peranan adalah apa yang seharusnya dilakukan seseorang d alam masyarakat sesuai dengan kedudukannya. Peranan adalah perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat. Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat dirumuskan pengertian peranan adalah sikap dan tindakan atau perilaku individu atau sesuatu yang menjalankan fungsinya sesuai dengan kedudukannya dalam kehidupan masyarakat. Penelitian yang penulis lakukan berjudul Peranan Paguyuban M asyarakat Tionghoa Jogja C hinese Art and Culture Centre (JCACC) dalam M empererat Relasi Etnis Tionghoa-Jawa di Yogyakarta M elalui Kom unikasi Antarbudaya. Paguyuban pada dasarnya merupakan kumpulan beberapa orang atau individu. Dengan 10 demikian maka peranan JCACC dalam hal ini adalah sikap dan tindakan atau perilaku individu-individu anggota maupun pimpinan yang merupakan personifikasi JCACC sesuai dengan kedudukan JCACC sebagai paguyuban seni budaya Tionghoa, sehingga terjalin komunikasi antarbudaya yang mempererat relasi etnis Tionghoa-Jawa di Yogyakarta. 2. JCACC sebagai Organisasi a) Pengertian organisasi Di dalam hidupnya manusia memiliki banyak kebutuhan dan tujuan dan karena keterbatasan yang dimilikinya, manusia tidak dapat hidup sendiri. Hampir sebagian besar kebutuhan dan tujuan hidup manusia dapat terpenuhi apabila yang bersangkutan berhubungan dengan orang lain atau bergabung dalam kelompok atau organisasi (Soetarto, 1981: 2). Soetarto mengatakan bahwa organisasi adalah sistem saling pengaruh antar orang dalam kelompok yang bekerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan Kolopaking (2015) menyebutkan bahwa organisasi adalah unit sosial (pengelompokan manusia) yang sengaja dibentuk dan/atau mungkin dibentuk kembali dengan mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan tertentu. Berdasarkan beberapa difinisi di atas, pengertian organisasi dirumuskan sebagai suatu sistem yang terbentuk berdasarkan pengelompkkan manusia yang saling mempengaruhi dan bekerjasama untuk mencapau tujuan secara efisien dan efektif. Jogja Chinese Art and C ulture Centre (JCACC) pada dasarnya adalah suatu kesatuan yang sengaja dibentuk oleh kumpulan dari banyak orang Tionghoa Yogyakarta yang bersepakat bekerjasama untuk menyelenggarakan aktivitas dalam bidang seni budaya Tionghoa di Yo gyakarta secara efisien dan efektif. 11 b) Asas-asas organisasi Setiap organisasi memiliki asas-asas organisasi yang meliputi : perumusan tujuan dengan jelas, departemenisasi, pembagian kerja, koordinasi, pelimpahan wewenang, rentangan kontrol, jenjang organisasi, kesatuan perintah, fleksibilitas, keberlangsungan, dan keseimbangan. Jogja Chinese Art and Culture Centre (JCACC) sebagai organisasi dapat memnuhi asas-asas organisasi tersebut di atas. 1) Tujuan. Tujuan dibentuknya JCACC adalah sebagai pe nyelenggara perayaan tahun baru Imlek dengan mengadakan Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY) sejak 2006, m engadakan perayaan Peh Cun atau festival Duan Wu, dan m engadakan perayaan Tiong Jiu atau festival kue bulan. Ketiga perayaan tersebut dilaksanakan secara terorganisasi dan teratur setiap tahun. 2) Departemenisasi. JCACC memiliki struktur organisasi yang menunjukkan adanya bagian-bagian atau bidang-bidang pekerjaan. 3) Pembagian kerja. Struktur organisasi yang menunjukkan bagian, bidang atau departemen adalah mencerminkan bagian pekerjaan masing-masing. 4) Koordinasi. Jalinan koordinasi sudah jelas di atur mengikuti bagan organisasi JCACC. 5) Pelimpahan wewenang. Setiap kali mengadakan kegiatan JCACC membentuk panitia paelaksana yang diberi mandat menyelenggarakan kegiatan. 6) Rentang kontrol. Panitia menjalankan fungsi sesuai dengan tanggungjawabnya, di bawah koordinasi pimpinan bidang masing-masing. 12 7) Jenjang organisasi. Struktur organisasi JCACC jelas menggambarkan jenjang setiap unit dari yang tertinggi hingga terendah. 8) Kesatuan perintah. Semua unit dalam organisasi hanya menjalankan fungsinya sesuai keputusan dan bertanggungjawab kepada kepada ketua bidang masing masing. 9) Fleksibilitas, keberlangsungan dan keseimbangan. Dalam menyelenggarakan program nya pengurus JCACC senantiasa memperhatikan kondisi internal maupun ekternal, agar tetap berada dalam keseimbangan dalam menjaga keberlangsungan hidup organisasi. c) Karakteristik organisasi Setiap organisasi memiliki karakteristik yaitu dinami s, memerlukan informasi, mempunyai tujuan, dan terstruktur (M uhammad, 1995: 29). Sebagai sebuah organisasi JCACC tentu memiliki karakteristik seperti tersebut di atas. Sejak terbentuk pada tahun 2009, JCACC mengalami beberapa kali perubahan struktur maupun pergantian pengurus, serta menyesuaikan program -program maupun kegiatannya dengan situasi baik internal maupun eksternal. Dalam menyusun dan melaksanakan program, pengurus JCACC selalu berusaha secara maksimal memperhatikan aspirasi yang muncul dan berkembang, terutama dari masyarakat dan pemerintah, karena melaksanakan program -programnya pada dasarnya adalah untuk merealisasikan tujuan yang telah dirumuskan. Sebagai organisasi JCACC memiliki struktur yang jelas dan setiap kali mengadakan kegiatan selalu membentuk penitia pelaksana. 13 d) Paguyuban M asyarakat Tionghoa JCACC sebagai Organisasi Istilah paguyuban dalam Kamus Bahasa Indonesia (2008: 1102) diuraikan maknanya yaitu perkumpulan orang yang sepaham untuk membina kerukunan dan persatuan anggotanya. Paguyuban bersinonim dengan organisasi, asosiasi, ikatan, kekerabatan, perkumpulan, persatuan (Tesaurus Bahasa Indonesia, 2008: 179). Pada dasarnya Jogja Chinese Art and Culture Centre (JCACC) merupakan federasi atau gabungan dari beberapa paguyuban, perkumpulan, yayasan, perhim punan, dan persatuan dari organisasi masyarakat Tionghoa di Yogyakarta. Sebagai paguyuban JCACC adalah suatu kelompok atau organisasi yang di dalamnya pertalian sosial antar anggota dan antar pengurusnya terjalin oleh ikatan perseorangan yang kuat, kendatipun JCACC memiliki karakteristik dan asas-asas organaisasi pada umumnya. Ketua Umum JCACC adalah seorang Toako, yang dalam budaya Tionghoa merupakan sosok seseorang yang paling dituakan dan paling disegani. 3.Paguyupan Warga Tionghoa Hubungan Nusantara-Tiongkok sudah berlangsung sejak 3000-4000 tahun yang lalu (Liji,2012: 25) sehingga keberadaan warga Tionghoa di Indonesia tergolong un ik. Liem Twan Djie (1995) dalam disertasi yang ditulis tahun 1947 membagi sejarah Indonesia dalam tiga rentang waktu pokok, yaitu (1) Indonesia sebelum kedatangan Belanda, (2) Indonesia di bawah Kompeni Hindia Tim ur (VOC), dan (3) Indonesia pasca jatuhnya VOC. M engadaptasi penggolongan tersebut dengan menambahkan perkembangan kontemporer di Indonesia, maka penggolongannya menjadi (1) Indonesia sebelum kedatangan Belanda, (2) Indonesia di bawah kolonialisme Belanda, Inggris, Belanda dan Jepang, dan (3) Terbe ntuknya Republik Indonesia 14 yang meliputi masa revolusi kemerdekaan, era Orde Lama, era Orde Baru, dan era Reformasi. Keunikan sejarah warga Tionghoa di Indonesia karena mereka senantiasa terkait atau dikait-kaitkan dan bahkan dijadikan prisai atau kambi ng hitam saat terjadi kerusuhan menentang penguasa atau kevakuman pemerintahan (Kwartanada dalam Carey, 2008: xi). Satu-satunya suku bangsa yang namanya diatur secara khusus oleh pemerintah adalah warga Tionghoa melalui Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. SE-06/Pres.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967 tentang penggantian istilah Tiongkok/Tionghoa menjadi Tjina. Surat Edaran ini dibatalkan melalui Keppres RI No. 12 Tahun 2014 tanggal 12 M aret 2014 oleh Susilo Bambang Yudoyono, sehingga istilah Tjina/China/ Cina diganti menjadi Tionghoa dan Republik Rakyat China diganti Republik Rakyat Tiongkok. Selain nama, juga agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina diatur lewat Instruksi Presiden N o. 14 Tahun 1967 yang telah dicabut melalui Keppres No.6 Tahun 2000 yang ditandatangani Abdurrahman Wahid tanggal 17 Januari 2000. Presiden M egawati Soekarnoputri mengeluarkan Keputusan Presiden No . 19 Tahun 2002 tertanggal 9 April 2002 yang meresmikan tahun baru Im lek sebagai hari libur nasional mulai tahun 2003. Selama era Orde Baru kegiatan adat istiadat, budaya dan agama warga Tionghoa (Tao dan Khong Hu Cu) hanya boleh dilaksanakan dalam lingkungan keluarga dan tempat ibadah secara terbatas. Pada era Reformasi maka kegiatan tersebut boleh dilakukan secara terbuka. Euforia reformasi juga melanda warga Tionghoa di Yogyakarta dengan membentuk berbagai perkumpulan atau organisasi kemasyarakatan (Ormas). Sebanyak 14 Ormas dibentuk oleh warga masyarakat 15 Tionghoa di Yogyakarta, dan selanjutnya semua Ormas tersebut s epakat bergabung untuk membentuk paguyuban Jogja Chinese Art and Culture Centre (JCACC). Tabel 1.1 Daftar Nama Organisasi yang Tergabung dalam Paguyuban M asyarakat Tionghoa Jogja Chinese Art and Culture centre JCACC No. 1 Nama Organisasi Ketua Alam at Paguyuban W arga Tionghoa Bhakti Putera Yogyakarta (PW TBPY). Perhim punan Warga Cantonese Yogyakarta (PERW ACY). Perkum pulan Urusan Kem atian Jogjakarta (PUKJ). Muwardi Gunawan Jalan Magelang No. 106, Yogyakarta. Frananto Hidayat Tam an Perwacy, Jln. Ringroad Selatan, Yogyakarta. KMT. A. Tirtodiprojo Perkum pulan Budi Abadi (PBA) / Hoo Hap Hwee Paguyuban M itra Masyarakat Yogyakarta (PAMITRA). Drs. T. Harry Setio S. Tjia Eddy Susanto 6 Yayasan Bhakti Loka. 7 Paguyuban HAKKA (Via)Ariyanto Tirtowinoto Soekeno 8 Perhim punan Fu Qing. Jimm y Sutanto 9 Paguyuban Alum ni Sekolah Tionghoa Indonesia (PASTI) DIY. Yayasan Persaudaraan Masyarakat Jogja (YPMJ). Ellyn Subiyanti Jalan IKIP PGRI, Sonopakis Lor, Yogyakarta. Telp. (0274) 377071 / 385622, Fax: (0274) 379651 Jalan Bintaran W etan No. 19, Yogyakarta. via Hidajat Judoprajitno, Toko Singer, Jalan Jend. Ahmad Yani No. 102, Yogyakarta. Jalan Poncowinatan (Klentheng Tjen Ling Kiong), Yogyakarta. Rum ah Hakka, Jln. Soragan No. 43, Yogyakarta. Jalan Gandekan (Pajeksan) No. 63, Yogyakarta. Toko Gardena, Jl. Urip Sum oharjo, Yogyakarta. Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) DIY. Perhim punan Indonesia Tionghoa (INTI) DIY. Hj.Lie Sioe Fen 2 3 4 5 10 11 12 13 Hin An Hwee Koan. dr. Arif Haliman, M.P.H. K.S. Pinniawati Gedung Bhakti Loka, Jalan.Poncowinatan.No.20 Yogyakarta. Jalan Gandekan Lor No. 25 A, Yogyakarta. Jalan Merak No.3, Dem angan Baru, Yogyakarta. Star Hudson Motor, Jalan Godean, Yogyakarta. Jalan Johar Nur Hadi No. 5A, Yogyakarta. Thom as Santoso W idjaya Gunawan, S.H. Sumber: Dokumen JCACC dan wawancara dengan pengurus Ormas masing-masing dalam berbagai kesempatan. 14 Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI). Antonius Sim on 16 Ormas warga Tionghoa juga berdiri ham pir di seluruh w ilayah Indonesia dan beberapa di antaranya memiliki cabang atau unit di Yogyakarta yaitu Perkumpulan Budi Abadi/H oo Hap Hwee, Paguyuban H akka, Perhimpunan Fu Qing, Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) DIY, Perhimpunan Indonesia Tiongho a (INTI) DIY, Hin An Hwee K oan dan Paguyuban Sosial M arga Tionghoa Indonesia (PSM TI). Namun perhimpunan seperti JCACC hanya ada di Y ogyakarta, yang berfungsi sebagai penyelenggara kegiatan seni budaya Tionghoa secara terorganisasi dan periodik yaitu Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY), Peh Cun dan Tiong Chiu. Selain Ormas tersebut di atas warga Tionghoa Yogyakarta banyak tergabung dalam klub Hash House Harriers (HHH) yaitu olah raga lintas atau jelajah alam. Jumlahnya mencapai 6 (enam) klub yaitu Jogjakarta HHH berdiri 1979, M ataram Yogyakarta HHH beridir 19 90, M alioboro HHH berdiri 1996, Prambanan HHH berdiri 2006, The Real Jogjakarta HHH (1999), dan Borobudur HHH berdiri 2010. Klub H HH ini terdapat di hampir semua kota besar di Indonesia dan rutin mengadakan kegiatan berskala nasional, bahkan internasional. Seperti halnya klub HHH di Indonesia klub HHH di Asia juga didominasi warga Tionghoa. Perihal keanggotaan baik dalam Ormas maupun klub H HH, seseorang bisa terlibat dalam berbagai Ormas maupun klub H HH secara bersamaan. Berdasarkan pengamatan dan data dokumen teridentifikasi beberapa orang penggiat yang aktif memiliki basis di berbagai Ormas sekaligus klub HHH. M elalui paguyuban JCACC, Ormas maupun klub HH H warga Tionghoa sering mengadakan kegiatan sosial kemasyarakatan berupa bhakti sosial, pengobatan gratis, memberi bantuan dalam musibah atau bencana alam, mendirikan posko dan dapur 17 umum, pasar murah, penghijauan lahan kritis, dan banyak lainnya. Aktivitas klub HHH yang menjadikan kawasan pelosok pedesaan terutama yang memiliki topografi pegunungan sebagai medan lintas dan jelajah alam membuat warga Tionghoa itu rutin dan terbiasa berinteraksi dengan penduduk desa. Pengalaman terlibat dalam beberapa klub H HH menunjukkan bahwa masyarakat desa di kawasan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan luar DIY te rlihat familiar dan menanggapi dengan ramah ketika desanya dijelajahi para hasher. Pada umumnya berbagai kegiatan paguyuban, Ormas maupun klub HHH yang dominan dilakukan oleh warga Tionghoa Yogyakarta disambut dan didukung dengan baik oleh masyarakat. Hal itu memberi indikasi bahwa interaksi sosial warga Tionghoa-Jawa di Y ogyakarta berlangsung secara wajar, dan alamiah. Interaksi sosial yang baik, familiar dan ramah pada dasarnya merupakan aktualisasi eratnya relasi etnis yang terjalin alamiah. 4. Relasi Etnis Tionghoa-Jawa Pengertian etnis menurut Liliweri (2009: 13) ada dua macam yaitu secara sempit dan luas. Secara luas pengertian etnis berkaitan dengan kehadiran suatu kelom pok tertentu yang terikat dengan karakteristik tertentu dari fisik, so sial budaya, sampai teknologi. Dalam pengertian sempit etnis sering kali dikaitkan dengan suku bangsa, yaitu konsep untuk menerangkan suatu kelompok yang secara sosial dianggap berada, dan telah mengembangkan subkultur sendiri sehingga memiliki kebuda yaan yang sama. Pengertian etnis yang demikian ini juga dikemukakan oleh Koentjaraningrat dengan istilah suku bangsa (2009: 214). M enurut K oentjaraningrat suku bangsa atau etnis adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan 18 “kesatuan kebudayaan”, sedangkan identitas tadi sering kali dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga. Kesatuan kebudayaan tersebut ditentukan oleh warga kebudayaan bersangkutan itu sendiri. Etnis atau suku bangsa yang dijadikan subjek dalam penelitian ini a dalah Tionghoa dan Jawa. Relasi antar etnis terjadi manakala ada interaksi sosial, sebab interaksi sosial adalah awal dari relasi sosial dan komunikasi sosial antar manusia (Liliweri, 2009: 125). Interaksi sosial merupakan hubungan -hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang perorangan, antara kelompok kelompok manusia, maupun hubungan antara orang-perorangan dengan kelom pok manusia (Sumarti dalam Nasdian, 2015: 42). Dalam psikologi interaksi sosial adalah hubungan individu yang satu dengan yang lain, individu yang satu dapat mempengaruhi individu yang lain, dan sebaliknya sehingga dalam interaksi sosial terjadi hubungan yang saling timbal balik (Walgito, 1983: 34; Prajarto, 2010: 6). Faktor-faktor yang sesungguhnya terlibat interaksi sosial adalah imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati. Jika orang dengan latar belakang budaya berbeda berinteraksi, maka akan terjadi proses akulturasi. Akulturasi adalah proses sosial yang timbul bila suatu kelom pok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing, sehingga unsur-unsur dari kebudayaan asing itu dari lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri (Koentjaraningrat, 2009: 202). Pendapat lain dikemukan oleh K im (dalam M ulyana dan Rakhmat, 20 01: 139), akulturasi adalah suatu proses yang dilakukan oleh imigran untuk menyesuaikan diri dengan dan memperoleh budaya pribumi. Pada akhirnya tidak hanya sistem sosio -budaya 19 imigran, tapi juga sistem sosio-budaya pribum i yang mengalami perubahan sebagai akibat kontak antarbudaya yang lama. Proses komunikasi mendasari proses akulturasi. O leh karena itu proses akulturasi adalah suatu proses yang interaktif dan berkesinambungan yang berkembang dalam dan melalui komunikasi. Dalam hal ini orang-orang yang terlibat dalam proses akulturasi, melakukan interaksi dengan lingkungannya melalui komunikasi persona atau interpersonal dan komunikasi sosial. Komunikasi interpersonal dapat dianggap sebagai merasakan, memahami, dan berprilaku terhadap objek-objek dan orang-orang dalam suatu lingkungan dan merupakan proses yang dilakukan oleh individu untuk menyesua ikan diri dengan lingkungannya. Komunikasi interpersonal berkaitan dengan komunikasi sosial ketika dua atau lebih individu berinteraksi, baik dengan sengaja atau tidak. M elalui komunikasi sosial individu-individu yang terlibat mengatur perasaan, pikiran, dan prilaku antara yang satu dengan yang lain. Komunikasi sosial dapat pula terjadi dalam bentuk kom unikasi massa karena individu-individu berinteraksi dengan lingkungan sosio-budayanya tanpa kontak personal secara langsung dengan individu lainnya, tetapi melalui media seperti radio, televisi, surat kabar, majalah, dan lain lain. M edia massa dalam komunikasi massa memiliki berbagai fungsi yaitu informasi, korelasi, kesinambungan, hiburan dan mobilisasi (M cQuail, 1989: 70 -71) sedangkan Liliweri (2001: 301) mengatakan fungsi komunikasi massa adalah memberi informasi, mengajarkan, membujuk, dan memenuhi atau memuaskan. 5. Komunikasi antarbudaya a) Komunikasi 20 Komunikasi itu sangat luas dan sangat banyak definisi yang dibuat untuk memahaminya. Pada dasarnya komunikasi adalah proses yang dilakukan untuk mencapai pengertian yang sama atas makna setiap isi pesan yang dipertukarkan (Prajarto, 2010: 2). Pertukaran isi pesan agar tercapai pengertian yang sama itu dimungkinkan terjadi karena para pelakunya menjalani proses berbagi pengalaman (Tubbs dan M oss, 1996: 4; M ulyana, 2001: 42). Proses tersebut oleh Harold Laswell (dalam DeVito, 1980: 4; M ulyana, 2001: 136) dirumuskan lewat sebuah rumusan yaitu W ho, Says what, In what channel, To whom, With what effects. Sebagai suatu proses komunikasi terdiri atas beberapa unsur. M cDaniel, Samovar dan Porter (2012: 9-10) mencatat sebanyak 7 (tujuh) unsur yaitu: (1) sender, (2) message, (3) channel, (4) receiver(s), (5) response, (6) feedback, (7) noise. Sedangkan Porter dan Samovar (dalam M ulyana dan Rakhmat, 2001: 14 -15) merinci ada 8 (delapan) unsur komunikasi yaitu: (1) sumber, (2) penyandian (encoding), (3) pesa n, (4) saluran, (5) penerima, (6) penyandian balik (decoding), (7) respon penerima, (8) umpan balik. Selanjutnya Porter dan Samovar mengatakan bahwa sebagai suatu proses komunikasi memiliki karakter sebagai berikut. Pertama, komunikasi itu dinamik; kedua, kom unikasi itu interaktif; ketiga, komunikasi itu tak dapat balik (irreversible), dan keempat, komunikasi berlangsung dalam konteks fisik dan konteks sosial. Setiap kali berkomunikasi menurut M cDaniel, Samovar dan Porter (2012: 8) orang sebenarnya sedang mencoba untuk persuade, inform dan entertain. Berdasarkan fungsinya M ulyana (2001) mengelompokkan kom unikasi menjadi 4 (empat) macam yaitu komunikasi sosial, komunikasi ekspresif, komunikasi ritual, 21 dan komunikasi instrumental. Komunikasi sosial dilakukan penting untuk membangun konsep diri, untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagian, terhindar dari tekanan dan ketegangan, antara lain lewat kom unikasi yang bersifat menghibur dan memupuk hubungan dengan orang lain. M elalui komunik asi (sosial) orang bisa bekerja sama dengan anggota masyarakat untuk mencapai tujuan bersama. Komunikasi ekspresif dapat dilakukan baik sendirian maupun dalam kelompok. Walaupun tidak otomatis untuk mempengaruhi orang lain, komunikasi dapat menjadi instrumen menyampaikan perasaan-perasaan atau emosi yang terutama dikom unikasikan secara nonverbal. Berbagai emosi dapat disalurkan dengan baik lewat seni seperti puisi, musik, tari, atau lukisan. Komunikasi ritual biasanya dilakukan secara kolektif dalam bentuk upacara yang terdapat dalam semua budaya, sepanjang hidup manusia. Dalam acara -acara itu orang mengucapkan kata-kata atau menampilkan prilaku tertentu yang bersifat simbolik. Dengan komunikasi ritual orang pada dasarnya menegaskan kembali komitmennya kepada tradisi, keluarga, suku bangsa, negara, ideologi, atau agama yang dianutnya. Komunikasi ritual sering juga bersifat ekspresif guna menyatakan perasaan terdalam seseorang. K omunikasi juga memungkinkan para pesertanya berbagi komitmen emosional dan menjadi perekat bagi kepaduan masyarakat, dan sebagai pengabdian kepada kelompoknya. Komunikasi instrumental mempunyai beberapa tujuan umum yaitu menginformasikan, mengajar, mendorong, mengubah sikap dan keyakinan, dan mengubah prilaku atau menggerakkan tindakan, dan juga untuk menghibur. 22 Komunikasi keberlangsungannya mengikuti prinsip-prinsip berikut ini: Prinsip 1: Komunikasi adalah suatu proses simbolik. Prinsip 2; Setiap prilaku mempunyai potensi komunikasi. Prinsip 3: Komunikasi punya dimensi isi dan dimensi hubungan. Prinsip 4: Komunikasi itu berlangsung dalam berbagai tingkat kesengajaan. Prinsip 5: Komunikasi terjadi dalam konteks ruang dan waktu. Prinsip 6: Komunikasi melibatkan prediksi peserta komunikasi. Prinsip 7; Komunikasi itu bersifat sistemik. Prinsip 8: Semakin mirip latar belakang social budaya semakin efektiflah komunikasi. Prinsip 9: Komunikasi bersifat nonsekuensial. Prinsip 10: K omunikasi bersifat prosesual, dinamis, dan transaksional. Prinsip 11: K omunikasi bersifat irreversible. Prinsip 12: K omunikasi bukan panasea untuk menyelesaikan berbagai masalah. b) Budaya M enurut Koentjaraningrat, dalam Antropogi Budaya kata “budaya” tidak dibedakan dari “kebudayaan” dan digunakan sebagai singkatan denga n arti yang sama. Koentjaraningrat (2009: 144) mendefinisikan kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Sedangkan Tylor seperti dikutip oleh M cDaniel, Samovar dan Porter (2012: 10) culture is “that complex w hole w hich includes know ledge, belief, art, m orals, law, custom, and any others capabilities and habits acquired by man as a member of society . Secara sederhana McDaniel, 23 Samovar dan Porter (2012: 11) merumuskan “culture is the rules for living and functioning in society”. Honigmann membedakan adanya tiga gejala kebudayaan yaitu (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifacts; sedangkan K oentjaraningrat (2009: 150) menyebutkan tiga wujud kebudayaan dan tujuh isi pokok atau unsur kebudayaan, sebagai berikut: 1) Wujud kebudayaan sebagai suatu kom pleks dari ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya. 2) Wujud kebudayaan sebagai suatu kom pleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. 3) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Secara universal kebudayaan memiliki tujuh unsur atau isi pokok yaitu: (1) bahasa, (2) sistem pengetahuan, (3) organisasi sosial, (4) sistem peralatan hidup dan teknologi, (5) sistem mata pencaharian hidup, (6) sistem religi, (7) kesenian. M cDaniel, Samovar dan Porter (2012) menjelaskan bagaimana komunikasi dipengaruhi oleh kebudayaan, yaitu: 1) Culture Is Learned. 2) Culture Is Transmitted Intergenerationally. 3) Culture Is Symbolic. 4) Culture Is Dynamic. 5) Culture Is Ethnocentric. Selain itu, M cDaniel, Samovar dan Porter (2012) juga mengintegrasikan komunikasi dengan kebudayaan, yang meliputi : 24 1) Perception, sebagai proses seleksi, mengorganisasi dan memberi penilaian terhadap stimuli yang diterima dengan melibatkan beberapa fak tor yaitu Beliefs, Values, Attitudes System, and Worldview. 2) Cognitive Patterns. 3) Verbal Behaviors (language). 4) Nonverbal Behavior (gestures, fac ial expressions, eye contact and gaze, posture and movement, touch, dress, silence, the use of space a nd time, objects and artifacts, and parala nguage). 5) Contextual Influences. Pada dasarnya kebudayaan merupakan suatu sistem untuk mengorganisasikan simbol-simbol hasil ciptaan manusia secara bersama -sama. Kelak simbol-simbol tersebut digunakan bersama-sama pula untuk memenuhi kebutuhan anggota kelompok masyarakat melalui proses komunikasi (Liliweri, 2001: 5). c) Komunikasi antarbudaya Komunikasi antarbudaya terjadi dalam komunikasi antara orang-orang yang berlatar belakang budaya yang berbeda (Gudykunst dalam Gudykunst dan M ody, 2002: 19; Tubbs dan M oss, 1996: 236). M cDaniel, Samovar dan Porter (2012: 8) merumuskan definisi komunikasi antarbudaya yaitu Intercultural comm unication occurs when ever a person from one culture sends a message to be processed by a person from a different culture. Seperti halnya G udykunst, Liliweri (2001: 13) menyebutkan bahwa selain komunikator dan komunikan yang latar belakang kebudayaannya komunikasi antarbudaya lebih menekankan aspek utama berbeda, yaitu komunikasi antarpribadi. DeV ito (1980:5) memberi definisi komunikasi antarpribadi atau 25 interpersonal communication is-namely, the process of sending and receiving messages between two persons, or among a sm all group of persons, with some sort of effect and some sort of im mediate feedback. Lebih lanjut Liliweri (2001:6) menyebutkan sifat utama dari komunikasi antarpribadi, yaitu: Pertama, komunikasi antarpribadi merupakan proses yang bersifat dinamis. Kedua, komunikasi antarpribadi menampilkan prilaku sim b olis. Ketiga, komunikasi antarpribadi mendatangkan tanggapan. Keempat, komunikasi antarpribadi menampilkan gejala tentang adanya penerima. Kelima, komunikasi antarpribadi bersifat kompleks. Tujuan dilakukannya komunikasi antarpribadi (DeVito, 1980: 15) adalah: 1) To discover oneself. 2) To discover the external world. 3) To establish and m aintain meaningful relationship. 4) To change attitudes and behaviors. Supaya tujuan dalam komunikasi antarpribadi dapat tercapai maka komunikasi antarpribadi yang dijalankan haruslah efektif. K omunikasi antarpribadi dinilai efektif bila rangsangan yang disampaikan dan yang dimaksudkan oleh pengirim atau sumber, berkaitan erat dengan rangsangan yang ditangkap dan dipahami oleh penerima (Tubbs dan M oss,1996: 22). Jika S adalah pengirim atau sumber pesan dan R adalah penerima pesan, maka komunikasi antarpribadi efektif bila respon yang diinginkan S identik dengan respon yang diberikan R, atau R/S=1. Komunikasi antarpribadi efektif adalah yang memenuhi syarat (DeVito, 1980: 40) yaitu: openness, emphaty, supportiveness, positiveness, dan equality. Adapun ciri 26 atau indikasi tercapainya komunikasi antarpribadi yang efektif ada lah (Tubbs dan M oss, 1996: 23): pemahaman, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang makin baik, dan tindakan. Selain komunikasi interpersonal, komunikasi antarbudaya juga terjadi melalui komunikasi massa. Komunikasi massa memiliki ciri (Liliweri, 2001; 200) yaitu mampu menjangkau khalayak sasaran yang majemuk dalam jumlah besar dan tersebar, mengirimkn pesan secara serempak sehingga dapat diterima oleh khalayak yang majemuk dan tersebar dalam jumlah besar dalam tempo yang sama, komunikator dalam komunikasi massa berbentuk organisasi yang kompleks. F. Konsep Penelitian Dalam penelitian peranan paguyuban masyarakat Tionghoa Jogja Chinese Art and Culture Center (JCACC) dalam mempererat relasi etnis Tionghoa -Jawa di Yogyakarta ini, kajian dibatasi pada beberapa hal yaitu struktur organisasi paguyuban JCACC, tokoh, isu, dan aktivitas yang dijalankan oleh JCACC, serta hambatan yang dihadapi. V isualisasi dari skema penelitian ini dapat dilihat dalam Gambar I.1 di bawah ini. Tokoh adalah person atau orang yang keberadaannya berpengaruh secara signifikan terhadap paguyuban masyarakat Tionghoa Jogja Chinese Art and Culture Center (JCACC). Sebagai konsekuensinya pengaruh tersebut menentukan keberlangsungan paguyuban, serta hasil kegiatan yang dikelola oleh JCACC. Tokoh dalam hal ini meliputi tokoh formal maupun informal. Tokoh formal berasal dari institusi pemerintah atau pejabat pemerintahan, baik di tingkat provinsi Daerah istimewa Yogyakarta (DIY) maupun pemerintah kota Y og yakarta dan kabupaten Bantul. Terkait dengn keberadaan JCACC dan kegiatan yang dilaksana- 27 SKEMA PENELITIAN Jogja Chinese Art And Culture Centre (JCACC) Isu Etnis Tionghoa Aktivitas Etnis Jawa Gambar 1.1 Skema Penelitian. kan oleh JCACC, maka tokoh formal yang dimaksud adalah G ubernur Daerah Istimewa Y ogyakarta (DIY), berserta jajaran pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta khususnya Dinas atau lembaga yang relevan dengan keberadaan dan pelaksanaan kegiatan JCACC yaitu Dinas Kebudayaan dan Pariwisata DIY. Untuk tingkat kota maka tokoh formalnya adalah Wali kota Yogyakarta beserta Wakil Wali Kota beserta jajaran pemerintah kota Yogyakarta, Kapoltabes Yogyakarta, Camat Gondoman hingga Kelurahan Suryatmajan. 28 Sedangkan tokoh informal adalah orang dari kalangan masyarakat yang berpengaruh baik dalam masyarakat Tionghoa maupun masyarakat Jawa atau kedua duanya. Tokoh informal adalah pimpinan organisasi masyarakat Tionghoa, seniman, budayawan, penggiat lembaga swadaya masyarakat, sesepuh agama, adat, kepercayaan, kebatinan, dan pengusaha. Para tokoh tersebut pada dasarnya adalah komunikator yang menyadari bahwa relasi antar etnis Tionghoa -Jawa di Yogyakarta merupakan salah satu unsur penting yang turut memben tuk pluralitas masyarakat Yogyakarta sehingga Y ogyakarta mendapat berbagai predikat antara alain City of Tolerance, Indonesia M ini, daerah dengan keragaman budaya, dan barometer sosial politik Indonesia. Atas dasar itu maka relasi etnis Tionghoa -Jawa perlu dipelihara dengan berbagai upaya supaya makin erat. Upaya yang perlu dilakukan yang tergolong penting adalah dengan menangkap isu yang berkembang dalam masyarakat. Isu adalah permasalahan yang muncul dalam pembicaraan masyarakat dan perlu untuk ditang gapi sebagaimana mestinya. Isu-isu tersebut memiliki keterkaitan dalam kehidupan bermasyarakat yang melibatkan masyarakat Tionghoa dan masyarakat Jawa. M asyarakat Tionghoa dan masyarakat Jawa kendatipun dalam kesehariannya berinteraksi secara langsung dalam berbagai bidang atau aktivitas, sesungguhnya masing -masing memiliki latar belakang budayanya masing-masing, sehingga disebut sebagai suku bangsa atau etnik. Sebagaimana mengutip Koentjaraningrat, bahwa konsep yang tercakup dalam istilah suku bangsa atau etnik adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan “kesatuan kebudayaan”, sedangkan kesadaran dan identitas tadi seringkali (tetapi tidak selalu) dikuatkan kesatuan bahasa juga. 29 Etnik Tionghoa mempunyai nilai-nilai budayanya sendiri juga bahasa, demikian pula dengan etnik Jawa. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa interaksi sosial yang berjalan baik karena antara etnis Tionghoa dan etnis Jawa dalam hal -hal tertentu dapat dipertemukan. Antara lain dalam seni budaya, sosial kemasyarakatan dan bencana alam. Para tokoh tentu memiliki kemampuan menangkap, merumuskan dan menggulirkan isu-isu tersebut untuk diaktualisasikan dalam suatu aktivitas. Aktivitas yang dapat dijalankan ada dua macam yaitu yang periodik dan tere ncana, serta yang sifatnya insidental. Aktivitas dalam hal seni budaya sudah berjalan dengan pengelolaan yang baik sehingga menjadi aktivitas periodik yaitu perayaan tradisional masyarakat Tionghoa yang meliputi perayaan tahun baru Imlek, Peh Cun, dan Tiong Jiu. Pada perayaan tersebut seni budaya tradisional masyarakat Tionghoa ditampilkan sebagaimana mestinya sehingga warga masyarakat etnis Jawa bisa menyaksikan dan mengapresiasi seni budaya tersebut. Pada perayaan tahun baru Imlek bahkan aneka seni budaya lokal dari masyarakat Jawa turut ditampilkan. Sehingga kedua belah pihak masyarakat baik Tionghoa maupun Jawa dapat saling mengapresiasi seni budaya masing-masing. Aktivitas yang terencana dan berkesinambungan terwujud dalam Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY) yang tahun 2016 sudah mencapai penyelenggaraan ke-XI. Perayaan Peh Cun bahkan sudah sejak tahun 2000 digelar di Pantai Parangtritis, kabupaten Bantul (hanya pada tahun 2006 terpaksa dibatalkan akibat bencana Gempa Bumi 26 M ei 2006). Perayaan Tiong Jiu digelar secara teratur setiap tahun dan sifatnya terbuka bagi masyarakat manapun untuk menghadirinya. Tentu saja bagi masyarakat Jawa walaupun bisa menghadiri perayaan Tiong Jiu di Klenteng Poncow inatan, tidak perlu sampai mengikuti ritual tradisionalnya. 30 Semua aktivitas yang dijalankan rupanya dapat memikat perhatian warga masyarakat baik masyarakat Tionghoa maupun msyarakat Jawa serta warga masyarakat lainnya, apalagi oleh Pemerintah Daerah baik provinsi maupun kota Yogyakarta dan kabupaten Bantul, aktivitas seni budaya tersebut dijadikan Calender of events bagi dunia pariwisata Yogyakarta. Sehingga setiap kali digelar sambutan dan kunjungan masyarakat dari tahun ke tahun makin meningkat. Sambutan dan kunjungan masyarakat terhadap berba gai perayaan tradisional seni budaya Tionghoa yang dari tahun ke tahun makin meningkat, rupanya semakin memacu semangat pengelola paguyuban masyarakat Tionghoa Jogja Chinese Art and Culture Center (JCACC). Setiap kali PBTY digelar ratusan kelompok seni budaya baik yang berasal dari komunitas warga Tionghoa maupun masyarakat Jawa dan daerah lain yang ada di Yogyakarta, bisa tampil di atas panggung. Namun demikian cukup banyak pula yang terpaksa ditolak karena keterbatasan waktu maupun biaya. Setiap kali kegiatan seni budaya itu digelar tentu menelan biaya yang tergolong besar, selain itu berbagai kendala juga dihadapi oleh panitia penyelanggara yang dibentuk oleh paguyuban masyarakat Tionghoa Jogja Chinese Art and Culture Center (JCACC). Dalam Tabel I.2 berikut ini ditampilkan tentang konsep, makna konsep dan indikator penelitian peranan paguyuban masyarakat Tionghoa Jogja Chinese Art and Culture Center (JCACC) dalam mempererat relasi etnis Tionghoa -Jawa di Yogyakarta. 31 Tabel 1.2 Konsep, M akna Konsep dan Indikator Penelitian No. Konsep Makna Konsep Indikator 1 Paguyupan Jogja Chinese Art and Culture Centre (JCACC). JCACC adalah sebuah paguyuban yang menghimpun 14 organisasi masyarakat (Ormas) Tionghoa di Yogyakarta, dibentuk berdasarkan kesepakatan para pimpinan Ormas dengan tugas sebagai penyelenggara kegiatan seni budaya Tionghoa yaitu Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY), perayaan Peh Cun, dan Thio Chiu secara terorganir dan periodik, dan berbagai acara pendukung yang bersifat sosial kemasyarakatan. Struktur orgnisasi JCACC dan daftar nama 14 Ormas Tionghoa di Yogyakarta yang bersepakat mendirikan paguyupan JCACC. 2 Tokoh Tokoh adalah orang atau personalia yang karena kemampuan atau kekuasaan yang dimilikinya dipercaya untuk mengambil keputusan, dan dapat mempengaruhi orang atau lembaga untuk melaksanakan keputusannya itu, serta mengarahkan dan mengendalikan orang atau suatu kegiatan.Tokoh ada yang formal maupun informa l. Tokoh formal: Pejabat pemerintah dari tingkat provinsi (Gubernur DIY, Kepala Dinas) dan kabupaten /kota (W alikota Yogyakarta, Bupati Bantul)Kepala Dinas, Kapoltabes Yogyakarta, Kapolres Bantul), kecamatan (Camat Gondomanan, Yogyakarta;Camat Kretek, Bantul) dan kelurahan. Kepala Dinas: Provinsi DIY, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Bantul. Tokoh informal: Ketua dari 14 Ormas Tionghoa Pemimpin informal dalam masyarakat Jawa dan Tionghoa. Pemuka agama Islam, Kristen, Katolik,Budha, Hindu, Khong Hu Cu, Klenteng, Kejawen, Kepercayaan. Pengusaha yang menyumbang atau sponsor/penyandang dana. Volunter, Budayawan, artis, seniman. 3 Isu-Isu M asalah-masalah yang dibicarakan dalam masyarakat dan dianggap penting sehingga perlu ditanggapi sebagaimana mestinya. Khususnya dalam bidang seni budaya dan terkait dengan pariwisata. Perayaan tahun baru Imlek melalui PBTY, peringatan Peh Cun, perayaan Kue Bulan/Tiong Chiu /Tiong Jiu. Sosial kemasyarakatan. Bakti sosial, bantuan prasarana fisik, lingkungan, material dan dana. Pasar murah, pembagian sembako. Beasiswa. 32 4 5 Aktivitas Hambatan Bencana alam. Posko sukarelawan, dapur umum, akomodasi darurat, pengobatan gratis. Kegiatan yang dilaksanakan dengan terencana, periodik dan terjadwal. Tahun baru Imlek. Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY) dilaksanakan bertepatan bulan Februari/M a ret terpusat di pecinan, kampung Ketandan, Yogyakarta Festival Twan Yang/Peh Cun Perayaan Peh Cun setiap tanggal 5 bulan 5 tahun Imlek, bertepatan bulan M ei/Juni di pantai Parangtritis, Bantul. Selain ritual, ada tradisi mendirikan telur, diadakan pula lomba perahu naga dan festval barongsai. Festival Kue Bulan/Tiong Jiu Dilaksanakan setiap tanggal 15 bulan 8 (delapan) tahun imlek, di pusatkan di Klenteng T jen Ling Kiong, Poncowinatan, Yogyakarta, terbuka untuk umum. Tradisi santap kue bulan bersama, dan dilengkapi pertunjukkan seni budaya Tionghoa. Insidental. M elakukan kegiatan sosial kemasyarakatan dan budaya, berdasarkan undangan atau untuk berpartisipasi pada suatu kegiatan/perayaan. Faktor-faktor yang menjadi kendala bagi terlaksananya suatu kegiatan dan mengancam keberhasilannya. Pembiayaan yang mahal. Dana besar sulit dikumpulkan. Terbatasnya personalia yang paham akan tradisi, seni dan budaya Tionghoa. Orang atau personalia yang paham akan tradisi, seni dan budaya Tionghoa, tinggal sedikit dan umumnya berusia lanjut. Semangat kebersamaan. Tidak semua Ormas siap mendukung kegiatan yang secara teratur dilaksanakan dan dalam waktu yang berdekatan. M onoton. Setiap tahun acaranya relatif sama. 33 Kesan eksklusif. Kesan ketionghoaan sangat menonjol sehingga mengundang pro-kontra internal, dan eksternal. G. Metodologi Penelitian 1. Metode penelitian Dalam hal ini penelitian bertujuan untuk mengetahui, memaparkan dan menganalisis peranan paguyuban masyarakat Tionghoa JCACC dalam mempererat relasi Tionghoa-Jawa di Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dengan demikian jenis penelitian yang dipilih adalah kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif deskriptif ini untuk menjawab pertanyaan apa dan bagaimana, bukan pertanyaan mengapa (Vaus, 2002: 22). Dalam hal ini adalah peranan paguyupan masyarakat Tionghoa JCACC dalam mempererat relasi Tionghoa -Jawa di Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). M etode yang digunakan adalah etnografi komunikasi. Saville -Troike (2003: 1) menyebutkan, etnografi merupakan studi yang berkonsentrasi pada deskripsi dan analisis budaya dan bahasa. Dalam hal ini cara-cara berkomunikasi yang di dalamnya terkandung pola dan terorganisasi sebagai suatu sistem peristiwa komunikatif, serta cara berinteraksi yang melibatkan keseluruhan sistem budaya. Pada dasarnya etnografi komunikasi bertujuan untuk memahami sistem b udaya bahasa, hubungan bahasa dengan organisasi sosial, hubungan peranan, nilai dan kepercayaan, pola pengetahuan dan prilaku terutama dalam proses sosialisasi dan akulturasi. 34 Dalam hal ini dilakukan pula observasi, wawancara, studi kepustakaan dan dokumentasi. O bservasi dilakukan untuk melihat secara langsung berbagai tindakan atau prilaku dalam kondisi alamiah, menangkap dinamika dan situasi yang mendasari terjadinya suatu pristiwa (Black dan Champion, 1976: 329) . Wawancara personal juga dilakukan terhadap informan dan nara sum ber yang kredibel dan relevan. Wawancara diperlukan untuk mengum pulkan informasi tentang suatu proses yang tidak dapat diamati dengan efektif, memberikan keterangan tentang kejadian masa lampau dan menjelaskan prilaku sosial (Lindlof dan Taylor, 2002: 73). Kepustakaan dan dokumentasi juga diperlukan untuk dijadikan sumber data dan bahan analisis, dan penulisan. Kepustakaan membantu peneliti melalui penelusuran literatur, jurnal, dan berbagai sumber karya ilmiah lainnya yang relevan untuk dijadikan rujukan, dan dapat belajar dari penelitian terdahulu, termasuk juga kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam penelitian tersebut (Berger, 2001: 30). Dokumen digunakan karena menurut Lindlof dan Taylor (2002: 117) dapat memberi manfaat bagi banyak hal, yaitu menghubungkan peneliti dengan konteks wacana dan tindakan sosial yang diamati, membantu peneliti membuat rekonstruksi atas peristiwa masa lampau, dan dokumen merefleksikan alasan rasional aktivitas institusi. 2. Lokasi Penelitian Penelitian berlokasi di Y ogyakarta, khususnya w ilayah pecinan dan wilayah lain yang relevan, sebagai lokasi pelaksanaan kegiatan seni budaya yang dikelola oleh Jogja Chinese Art and Culture Center (JCACC). Lokasi tersebut adalah kawasan Poncowinatan yang merupakan kantor JCACC dan beberapa Ormas warga Tionghoa 35 dan klenteng Tjen Ling K iong. Kawasan pecinan kampung Ketandan tempat berlangsungnya PBTY dan merupakan domisili beberapa nara sumber penelitian. Juga kawasan pantai selatan Parangtritis, Bantul tempat berlangsungnya Peh Cun. 3. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian etnografi komunikasi ini ada beberapa tahap yang dilakukan untuk mengumpulkan data yaitu: Tahap pertama: Peneliti melakukan penelusuran dokumen. Data dan informasi yang diperoleh menjadi bahan masukan penting untuk melakukan pendalaman . Tabel 1.3 Daftar Nara Sumber Penelitian No. Nama L/P Usia Thn Pekerjaan Organisasi Keterangan 1 Drs.T.Harry Setio S L 50 W iraswasta Ketua JCACC 2 Jimmy Sutanto P 71 W iraswasta 3 Tjundaka Prabawa L 47 W iraswasta 4 H. Budi Satyagraha L 73 W iraswasta 5 Hj. Lie Sioe Feng P 59 Dagang 6 L 68 W iraswasta 7 M organ Onggowijaya Yenny Yeung PBA/Hoo Hap Hwee Fu Qing/Bhakti Putera PBA/Hoo Hap Hwee PITI/Bhakti Butera PITI/Bhakti Butera Fu Qing/Bhakti Putera/Pe rwacy P 68 W iraswasta 8 Boaz L 70 W iraswasta Fu Qing/Bhakti Putera/Pe rwacy ----------------- 9 Thomas SW G, S.H L 50 Profesional PSM TI 10 Feny W iendrayati,S.E. Oei Liong Ho P 38 YPM J/INTI L 30 W iraswasta/S taf JCACC Staf JCACC 11 ----------------- Ketua I JCACC Bendahara JCACC Sekjen PITI Pusat Pembina JCACC Panitia JCACC Panitia JCACC Pemilik Rekor M URI Sekretaris JCACC Panitia JCACC Panitia JCACC Tahap kedua: menentukan informan/nara sumber penelitian terdiri para tokoh maupun pengurus Ormas warga Tionghoa yang tergabung dalam paguyuban JCACC, serta personal yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan seni budaya PBTY, 36 Peh Cun dan Tiong Chiu yang representatif dari kelompok generasi muda, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, budayawan, professional dan warga masyarakat. Tahap ketiga: melakukan observasi, khususnya terhadap kawasan dan lingkungan masyarakat pecinan kampung Ketandan, serta Poncowinatan Y ogyakarta. Juga beberapa kegiatan PBTY di Ketandan dan Tiong Chiu di Poncowinatan. Tujuannya untuk mengetahui dan memahami semangat serta ekspresi warga masyarakat Tionghoa dalam menjalani aktivitas seni budaya tradisional mereka, dan suasana interaksi sosial dengan warga masyarakat untuk menemukan indikasi intensifnya relasi Tionghoa-Jawa di Y ogyakarta. Tahap keempat: wawancara mendalam dengan informan/narasumber. Tahap kelima: menelaah dokumentasi pasca terlaksananya kegiatan seni budaya tradisional warga Tionghoa yang diselenggarakan oleh JCACC yang relevan dengan obyek penelitian, untuk dijadikan data pendukung dalam melakukan analisis dan menulis hasil penelitian. Tahap keenam: mengumpulkan sumber data yang lain seper ti foto, fakta sejarah (monumen) benda/karya seni, penin ggalan budaya, maupun kliping/dokumentasi berita media massa yang relevan dengan objek penelitian. Tahap ketujuh: mengolah dan menganalisis data, interpretasi dan menguji keabsahan data serta menyusun laporan penelitian. 4. Analisa D ata Analisis data merupakan analisis data deskriptif, dengan langkah -langkah yaitu klasifikasi data, penyajian data dan verifikasi data selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan. Dalam penelitian ini dilakukan tahapan sebagai be rikut: 37 1) M engumpulkan data secara manual diikuti pengecekan, agar data yang tidak jelas dapat dicek ulang kebenarannya. 2) M engelompokan jawaban informan/narasum ber sesuai dengan kategorinya masing-masing. 3) M enyusun hasil temuan lapangan dan memberik an deskripsi serta telaah atas berbagai temuan yang diperoleh. 4) M enyusun dan melakukan analisis data melalui berbagai arsip, baik arsip formal maupun non formal mengenai paguyuban JCACC serta berbagai hasil pelaksanaan kegiatan seni budaya PBTY, Peh Cun dan Tiong Chiu, maupun kiprah berbagai Ormas yang tergabung dalam JCACC dan kelom pok lain yang di dalamnya warga Tionghoa banyak terlibat dan berkiprah dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Selanjutnya diadakan penilaian serta perbandingan dengan data yang diperoleh secara langsung di lapangan. 5. Sistematika Tesis Penulisan dan penyajian tesis ini dilakukan dalam lima b ab. Bab I berisi pendahuluan dan desain penelitian yang mencakup latar belakang m asalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka pemikiran, dan metodologi penelitian. Bab II, berisi deskripsi objek penelitian yaitu tentang profil paguyuban masyarakat Tionghoa JCACC di Y ogyakarta. Bab III berisi pelaksanaan kegiatan yang dikelola oleh paguyuban masyarakat Tionghoa JCACC. Bab IV tentang temuan atau hasil penelitian dan hasil analisis data. Bab V merupakan penutup dan kesimpulan dan rekomendasi untuk penelitian selanjutnya. 38