BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Iklan dibuat

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Iklan dibuat untuk mendekatkan produk dengan khalayak atau konsumen.
Agar iklan dapat mudah diterima oleh khalayak maka sering kali iklan
menggunakan budaya-budaya lokal. Seperti yang telah diungkapkan oleh Frith
(dalam Kasiyan) bahwa iklan yang baik adalah yang mampu berkomunikasi dengan
budaya1 dan Mulyana yang juga menyatakan bahwa penayangan iklan harus
berlatar belakang budaya Indonesia.2
Dengan memasukan unsur budaya ke dalam iklan maka bermunculan pula
budaya patriarki yang ikut diangkat ke dalam iklan Indonesia. Patriarki yang
membatasi peran perempuan dan laki-laki turut hadir dalam penggambaran
perempuan dan laki-laki dalam iklan, terutama pada produk-produk yang identik
dengan gender tertentu. Pembagian peran perempuan dan laki-laki juga membentuk
peran tradisional gender yang diangkat pula dalam iklan, seperti peran domestik
dan publik. Pembagian peran tradisional pada masyarakat mengatur perempuan
untuk mengambil peran domestik, mengurus pekerjaan rumah tangga dan melayani
kebutuhan sehari-hari bagi suami dan anak.3
Akan tetapi di era modern sekarang ini dengan perjuangan kaum feminisme
dalam mengadvokasi kesetaraan gender, di mana teori feminis berupaya menantang
asumsi-asumsi gender yang hidup dalam masyarakat mencapai cara yang lebih
membebaskan wanita dan pria untuk hidup di dunia.4 Oleh karena itu, kaum
feminis merasa rasa tidak setuju dengan tetap hadirnya iklan-iklan yang
menggunakan peran tradisional gender, khususnya peran perempuan dalam ide
iklan tersebut.
1
Kasiyan. 2008. Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan Dalam Iklan. Yogyakarta: Ombak.
Hal. 157.
2
Dedi Mulyana. 1999. Nuansa-Nuansa Komunikasi (Meneropong Politik dan Budaya Komunikasi
Masyarakat Kontemporer). Bandung, PT. Remaja Rosdakarya. Hal. 155.
3
N Widyarini. 2009. Menuju Perkawinan Harmonis. Jakarta: Elex Media Komputindo. Hal. 66.
4
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana, Pengantar Analisis Isi Media. Yogyakarta : LKIS.
Perjuangan keras para aktivis feminisme dan orang-orang yang pro dengan
pemahaman tersebut tidak berjalan dengan mulus, banyak orang yang kontra
dengan feminisme, menganggap feminisme tidak baik atau tidak tepat bila
dilakukan. Meskipun begitu, hadirnya feminisme memperngaruhi peran tradisional
gender, yang kini sudah tidak digunakan oleh masyarakat dalam batasan berperan.
Akan tetapi, mengapa tetap saja peran tradisional gender masih digunakan sebagai
ide iklan. Alasan tersebut yang kemudian membuat peneliti tertarik dengan iklan
Indonesia terutama televisi masih menggunakan hal tersebut sebagai representasi
suatu produk. Seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Novita bahwa kategori
mengasuh anak dan mengurus rumah tangga seperti menyuapi anak, bermain
bersama anak, membereskan rumah, membeli perabotan rumah ditemukan
sebanyak 33 (23,7%) model wanita dan hanya 1 (0,6%) model pria.5
Penggunaan model perempuan sebagai stereotip dalam iklan produk rumah
tangga karena memang sebagian besar produk yang diiklankan adalah produk untuk
perempuan, sehingga kemungkinan stereotip tersebut berkaitan dengan segmen
pasar yang mengincar kaum perempuan. Perempuan diandaikan masih memegang
peran penentu dalam konsumsi barang-barang dalam rumah tangga.6
Oleh karena itu, penelitian ini tertarik untuk mengulas untuk beberapa iklan
yang hari gini atau di era modern dimana pergeseran peran antara perempuan dan
laki-laki tidak dibatasi dengan kaku lagi, tetap ada saja iklan yang mereduksi peran
tradisional perempuan dalam kehidupan sehari-hari sebatas peran domestik sebagai
pengelola rumah tangga.
Pekerjaan domestik yang diidentikkan dengan pekerjaan kaum perempuan
hingga saat ini masih digunakan sebagai ide untuk iklan-iklan Indonesia terutama
pada produk rumah tangga. Tidak dapat dipungkiri, produk kebutuhan rumah
tangga memang distereotipkan dengan perempuan, lain halnya dengan iklan yang
tidak termasuk dalam produk stereotip tersebut juga menggunakan perempuan
5
Irianti Novita. Perbedaan Peran Gender Dalam Iklan Televisi di Indonesia. FISIP, Universitas
Brawijaya. Terarsip pada
https://www.academia.edu/3563546/perbedaan_peran_gender_dalam_iklan_televisi_di_Indonesi
a . Diakses pada 2 Maret 2016.
6
Idi Subandi. 1998. Wanita dan Media. Bandung: PT Rosdakarya. Hal. 325.
dalam pengemasan iklan produk. Oleh karena itu, peneliti menggunakan iklan Aqua
dan Vit yang belum lama muncul, sebagai objek penelitian. Aqua dan Vit adalah
produk AMDK yang genderless tapi menggunakan perempuan sebagai ide iklan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan, rumusan masalah dalam
penelitian ini ialah “Bagaimana representasi peran tradisional gender perempuan
pada iklan televisi Indonesia (Aqua Selalu #PilihyangBaik untuk Keluarga dan Vit
edisi Inspeksi Mertua)?”
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan atas latar belakang dan rumusan masalah yang telah
disebutkan, tujuan penelitian ini yaitu :
1. Memahami pesan melalui bentuk visual yang terkandung dalam iklan.
2. Mengetahui simbol-simbol yang digunakan iklan Vit edisi Inspeksi Mertua
(2015) dan Aqua Selalu #PilihyangBaik untuk Keluarga (2016) dalam
merepresentasikan peran tradisional gender terhadap perempuan.
3. Memahami adanya hubungan peran tradisional gender terutama pada
pekerjaan domestik perempuan dalam merepresentasikan suatu produk.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan
ilmu komunikasi. Sebagai tambahan referensi bahan pustaka, terutama penelitian
semiotik dalam membongkar iklan Indonesia hubungannya dengan peran
tradisional gender
perempuan dari kaca mata feminisme, yang kerap kali
digunakan sebagai ide dalam sebuah iklan produk.
E. Objek Penelitian
Produk iklan Indonesia dipenuhi dengan stereotip gender masing-masing,
seperti iklan produk rumah tangga yang distereotipkan dengan perempuan. Dikutip
dari tulisan Sarah Spigelman Richter kolumnis Mashable, membingkai produk
dengan budaya dan stereotip gender yang memang sudah berkembang lama di
masyarakat.7 Dengan memanfaatkan isu gender terrsebut, diakui lebih mudah
menyasar target audiens.
Stereotip gender pada produk agar lebih mudah menyasar target audiensnya
mengilhami iklan produk yang dibuat. Iklan banyak yang menggunakan
penggambaran gender target audiens sebagai ide iklan, seperti iklan pembalut
wanita biasanya akan menggunakan wanita dalam mengemas ide iklan produk
tersebut. Target audiens produk menjadi acuan dalam pembuatan ide iklan di
Indonesia.
Oleh karena itu, objek dalam penelitian ini adalah iklan televisi Indonesia
dengan produk yang genderless, bukan iklan produk yang biasa dikaitkan dengan
stereotip gender tertentu. Genderless didefinisikan sebagai keadaan dimana tidak
memiliki identitas gender, tanpa memandang jenis kelamin fisik.8 Iklan produk
genderless dirasa akan lebih menarik, karena seharusnya produk genderless
ditujukan untuk banyak target audiens. Produk yang bisa dipakai oleh siapa saja
tetapi ternyata ada pula produk genderless yang kemungkinan dapat diteliti dengan
kacamata feminisme dalam melihat peran perempuan dalam iklan
Iklan televisi yang dipilih yaitu Vit versi inspeksi mertua (2015) dan Aqua
Selalu #PilihyangBaik Untuk Keluarga (2016). Iklan genderless tersebut dipilih
karena sama-sama menampilkan sosok perempuan sebagai tokoh utama. Apabila
pada iklan Aqua hanya melihat peran ibu terhadap anaknya, sedangkan iklan VIT
melihat peran istri dan ibu mertua yang ditonjolkan dalam cerita pada iklan tersebut.
F. Kerangka Pemikiran
1.
Representasi
Pada The Shorter Oxford English Dictionary menawarkan dua
pengertian representasi yang relevan yaitu menggambarkan atau
7
Editor: Eko Adiwaluyo http://marketeers.com/article/strategi-merek-makanan-melalui-isugender-stereotip.html
8
http://www.urbandictionary.com/define.php?term=Genderless
mendeskripsikannya, untuk memunculkan gambaran dan imajinasi dalam
benak
kita;
menempatkan
kemiripan
dari
obyek
mencontohkan,
menempatkan sesuatu atau menggantikan sesuatu. 9
Representasi didefinisikan sebagai cara untuk memaknai sebuah
benda atau objek yang digambarkan atau dideskripsikan. Representasi ini
didasarkan pada konsep perbedaan pemaknaan dari perepresentasian sebuah
objek atau gambar antara orang yang satu dan lainnya bisa terjadi. Maka,
hasil makna tersebut diangap subjektif, karena makna yang dihasilkan
tergantung pada orang yang memaknai objek. Stuart Hall berargumentasi
bahwa representasi harus dipahami dari peran aktif dan kreatif orang
memaknai dunia.
“so the representation is the way in which meaning is
somehow given to the things which are depicted through the
images or whatever it is, on screens or the words on a page
which stand for what we’re talking about” 10
Dari kutipan tersebut Hall menunjukkan bahwa gambar atau objek
akan mempunyai makna yang berbeda dan tidak menjamin bahwa sebuah
penggambaran akan berfungsi atau menghasilkan makna sesuai dengan
makna saat diciptakan. Faktor yang membuat makna yang dihasilan
berbeda-beda, salah satunya dipengaruhi oleh budaya yang ada di sekeliling
orang yang melakukan representasi. Oleh karena tergantung orang yang
merepresentasikan, maka objek bisa memiliki representasi yang tak
terhingga.
Gagasan Hall mengenai representasi ini sangat penting untuk
memahami bagaimana media massa menyajikan gambaran tentang realitas
sosial ke hadapan khalayak. Representasi di sini khususnya merujuk pada
konektivitas di antara dua perangkat pembentuk wacana, yakni bahasa
(language) dan makna (meaning). Hall menjelaskan pula ada dua sistem
9
Hall, Stuart. 1997. Representation : Cultural Representation and Signifying Practises. London :
Sage. Hal. 16.
10
Ibid. Hal. 25.
representasi (system of representation) dan ini merupakan proses yang
cukup kompleks. Pertama, apa yang disebutnya sebagai mental
representations, dimana semua obyek, orang, dan kejadian dikorelasikan
dengan seperangkat konsep yang ada dalam benak/pikiran kita. Artinya,
proses interpretasi seseorang terhadap dunia/objek tertentu amat tergantung
pada sistem konseptual yang ada dalam benaknya. Kedua, bahasa
(language) yang merupakan komponen penting yang terlibat dalam proses
konstruksi makna. Peta konseptual yang tertanam dalam benak seseorang
harus diterjemahkan melalui bahasa-bahasa yang umum (common
language) sehingga konsep dan ide tersebut dapat dikorelasikan dengan
sistem tanda (signs) yang meliputi kata, suara, atau gambaran visual
tertentu. Hubungan di antara tiga elemen di atas (objek, konsep, dan
seperangkat tanda) adalah jantung dalam proses produksi makna dalam
bahasa. Sedangkan proses yang menghubungkan tiga elemen tersebut itulah
yang disebut sebagai “representasi”.11
Representasi seseorang terhadap gambaran atau objek, akhir-akhir ini
juga lekat dengan representasi tentang gender. Representasi tentang bias
gender di media massa yang lebih jelas terlihat. Beberapa penelitian
terdahulu merekam bagaimana penggambaran perempuan dalam kacamata
media, khususnya iklan. Menurut Rendra (dalam Widyatama) dalam
penelitiannya ingin melihat bagaimana sebenarnya representasi bias gender
dalam iklan televisi dan dalam hal apa sajakah sebenarnya representasi
tersebut diperlihatkan.
Dalam temuan penelitiannya menunjukkan ada beberapa
dikotomi dalam stereotipisasi laki-laki dan perempuan yang
mengindikasikan adanya praktik representasi yang bias gender
dalam iklan televisi, antara lain: (1) antara menguasai versus
dikuasai; (2) antara memimpin versus dipimpin; (3) antara
pelindung versus yang dilindungi; (4) antara majikan versus
pelayan; (5) antara pencari nafkah keluarga versus mengurus
11
Ibid. Hal. 19.
rumah tangga; (6) perempuan sebagai obyek seks laki-laki
dengan penonjolan sexual image (gambaran/imaji seksual).12
Dari penelitian representasi bias gender di media memang tidak dapat
dihindari, setiap saat kita diterpa oleh informasi atau gambaran dari media.
Dengan demikian, representasi objek melalui media membuat masyarakat
hidup dalam masyarakat yang di dalamnya persepsi kita diarahkan pada
representasi seolah-olah seperti “realitas”.13 Representasi-representasi ini
membentuk sebagian besar realitas yang diserap maka realitas semakin
banyak yang terbentuk menggunakan representasi.
2.
Iklan
Dalam KBBI iklan didefinisikan sebagai berita pesanan untuk
mendorong, membujuk khalayak ramai agar tertarik pada barang dan jasa
yang ditawarkan atau pemberitahuan kepada khalayak mengenai barang
atau jasa yang dijual, dipasang di dalam media massa atau di tempat
umum.14 Perlu diketahui iklan merupakan bagian dari reklame yang berasal
dari Prancis, re-clame yang berarti “meneriakan berulang-ulang”.15
Singkatnya iklan dapat didefinisikan sebagai publisitas melalui media
berbayar untuk barang dan jasa yang ditujukan pada konsumen.
Iklan memiliki tujuan untuk menciptakan awareness, membuat citra
brand, membuat asosiasi positif dan mendorong perilaku konsumen.
Menurut Bletch iklan mempunyai sifat dan tujuan yakni the nature and
purpose of advertising differ from one industry to another and/or across
situations. The targets of an organization’s advertising efforts often vary, as
do advertising’s role and function in the marketing program.16 Sifat, tujuan,
12
Widyatama, Rendra. 2007. Pengantar Periklanan. Pustaka Book Publisher, Yogyakarta. Hal.
Viii..
13
Lash, Schot. 2004. Pustaka Filsafat SOSIOLOGI POST MODERNISME. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius. Hal. 33.
14
Terarsip di http://kbbi.web.id/iklan diakses pada 13 Januari 2016.
15
Dendi Sudiana. 1995. Komunikasi Periklanan Cetak. Bandung: Penerbit Remdja Karya.
16
G. E. Belch & M. A. Belch. 2004. Advertising and promotion: An integrated marketing
communications perspective. Boston: McGraw-Hill. Hal.18.
sasaran dari iklan berbeda-beda, kemungkinan salah satu pengiklan
berusaha untuk menghasilkan tanggapan langsung atau tindakan dari
konsumen, pengiklan lain mungkin lebih ingin mengembangkan kesadaran
atau citra positif bagi produk atau jasa periode yang lebih lama.17 Sementara
itu, sangat penting untuk sebuah iklan memiliki daya tarik dalam makna atau
pesan untuk berkomunikasi dengan konsumen. Iklan juga menjadi
pendapatan untuk media-media besar dan sering kali membuat kontroversi.
Iklan sering dianggap berisi propaganda, penipuan, manipulasi, memiliki
efek distorsi terhadap hubungan media dan khalayak, banyak stereotip
masyarakat yang menyesatkan dan lain sebagainya.
Iklan juga mempunyai ideologi seperti yang diungkapkan Mills
(dalam Blech) yaitu the ideological work of advertising is essentially
achieved by constituting our environment for us and telling us who we are
and what we really want.18 Memberi tahu sebenarnya siapa dan apa yang
inginkan tetapi bila dilihat dari perspektif kritis, itu semua adalah ilusi dan
pengalihan saja. Sedangkan menurut Williamson yang tidak jauh beda
dengan Mills, ideologi iklan dicapai dengan mentransfer makna signifikan
dan ide-ide dari pengalaman, kebahagiaan, kesedihan, kesuksesan, dan ilmu
pengetahuan untuk mengkomersialkan sebuah produk dengan menyasar
pada diri sendiri. Dengan produk komersial tersebut kemudian menjadi cara
untuk mencapai dimana seolah-olah keadaan sosial dan budaya yang sesuai
dengan yang diinginkan dan menjadi seperti apakah sesuai yang diinginkan.
Sudah pasti dengan cara tersebut, menjadi larut dalam iklan, yang
sebenarnya hanya imajinasi dari diri sendiri dan dari hubungan dengan
kondisi nyata di kehidupan.
Iklan menjadi salah satu yang menciptakan berbagai pembatasan diri dan
pedoman pada khalayak, seperti pada iklan pembersih lantai “belum lima
menit” terus-menerus disebutkan apabila akan mengambil makanan yang
17
18
Ibid. Hal. 19
D. McQuail. 2005. McQuail's Mass Communication Theory. (5th edition). London: Sage
Publications. Hal. 288.
terjatuh. Iklan dianggap menjadi gambaran yang benar dalam masyarakat,
padahal bukanlah realitas sosial atau kenyataan sehari-hari masyarakat,
melainkan realitas sosial semu yang dianggap ideal oleh khalayak.
Didukung pula dengan yang dikemukakan oleh Leis William bahwa
Advertising “represent” our experieces, but in a distorted and artificial
manner. Its images come to replace reality; since they are composed pseudo
event and pseudo-ideals.19
Iklan pun melibatkan pengembangan karakter umum atau
kepribadian khalayak supaya dapat penyampaian pesan iklan produk dapat
mudah diidentifikasi oleh khalayak. Terutama dalam iklan televisi memiliki
banyak keunggulan dalam menyajikan pesan iklan. Interaksi dari pandangan
dan suara menawarkan fleksibilitas dan memungkinkan dramatisasi,
representasi manusia hidup dari produk dan jasa. Iklan TV dapat digunakan
untuk menyampaikan suasana hati atau gambar untuk sebuah merek serta
untuk mengembangkan strategi emosional atau menghibur yang membantu
membuat produk lebih menarik.
Dalam dunia kreatif periklanan bukanlah apakah untuk memilih
emosional atau daya tarik rasional, melainkan, menentukan bagaimana
menggabungkan dua pendekatan tersebut. Sebagai copywriter David Ogilvy
dan Joel Raphaelson menyatakan
“Few purchases of any kind are made for entirely
rational reasons. Even a purely functional product such as
laundry detergent may offer what is now called an emotional
benefit—say, the satisfaction of seeing one’s children in bright,
clean clothes. In some product categories the rational element
is small. These include soft drinks, beer, cosmetics, certain
personal care products, and most old-fashioned products. And
who hasn’t experienced the surge of joy that accompanies the
purchase of a new car?”20
19
William Leis, Stephen Kline and Shut Jhally. 1986. Social Communication in Advertising. Hal.
27.
20
D. McQuail. 2005. McQuail's Mass Communication Theory. (5th edition). London: Sage
Publications. Hal. 273.
bahwa beberapa pembelian dibuat untuk alasan yang rasional. Bahkan
produk fungsional seperti deterjen kini menawarkan apa yang disebut
dengan manfaat emosional, orang tua atau ibu yang mendapat kepuasan
melihat anak-anak mereka mengenakan pakaian bersih. Dalam produk
minuman ringan, bir, kosmetik, produk perawatan pribadi, dan produk kuno
atau antik memiliki elemen rasional yang kecil. Dengan iklan yang kreatif,
hubungan merek dengan konsumen terkadang menjadi tidak rasional.
Banyak ahli mengatakan seharusnya iklan mendidik konsumennya
agar lebih pintar dan tidak menjebak mereka dalam hal-hal imajiner yang
seolah-olah paling ideal. Begitu banyak kritik untuk iklan, maka kini mulai
banyak pula iklan terutama dalam bentuk kampanye yang menyuarakan
tentang isu-isu sosial dan edukasi.
3.
Peran Tradisional Gender
Adam dan hawa dipercaya sebagai manusia pertama di dunia. Sosok
laki-laki dan perempuan yang dianggap sebagai ayah dan ibu manusia.
Kemudian muncul istilah kaum adam atau yang dimaksud laki-laki atau
kaum hawa untuk perempuan. Laki-laki dan perempuan dengan sengaja
dibedakan untuk memudahkan pemahaman dalam mengkategorikan
seseorang. Kebanyakan orang menganggap laki-laki dan perempuan
dibedakan itu hanya berdasar pada jenis kelamin yang mereka miliki secara
biologis sejak lahir, dengan beracuan pada seks. Seks sebenarnya bukan
satu-satunya cara untuk mengkategorikan seseorang sebagai laki-laki,
perempuan, atau lainnya. Selain seks yang menjadi pembeda seseorang,
gender juga dapat dijadikan acuan dalam membedakan seseorang. Dengan
penemuan
seksiologis
John
Money
memperkenalkan
perbedaan
terminologis antara seks biologis dan gender sebagai peran pada tahun 1955.
Sebelum temuan tersebut, jarang sekali menggunakan kata gender untuk
merujuk kepada apa pun kecuali kategori gramatikal.21 Seks merupakan
21
Steven Seidman. 2007. Introducing the New Sexuality Studies: 2nd Edition. Routledge. Hal. 13.
“kenyataan biologis” yang alamiah, sedang gender merupakan perolehan
dari proses sosialisasi melalui kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.22
Pemahaman tentang gender mulai meningkat dengan penelitian
ilmiah dalam menjelajahi asal-usul gender untuk memperluas pengertian
masyarakat yang sebelumnya sederhana dan terbatas. Semakin banyak
masyarakat yang mengenal gender, membuat gender sering kali
menimbulkan perbedaan atau konflik, mungkin salah satunya karena
pemahaman masyarakat dengan masyarakat yang lain tentang gender itu
berbeda-beda. Sebagian masyarakat menggangap orang yang memutuskan
untuk tidak menggunakan identitas seksualnya sebagai identitas gendernya,
itu merupakan hal yang salah dan menyalahi kodrat. Akan tetapi, ada juga
masyarakat yang progresif dan cukup terbuka dengan menerima fenomena
tersebut.
Konflik yang muncul tersebut, dapat dibedakan menjadi kognisi,
afeksi, pengalaman aktif, perilaku, dan pengalaman ketidaksadaran.
Tingkatan kognitif berasal dari cara-cara seseorang yang berfikir terbatas
(restrictive) tentang peran-peran maskulin dan feminin.23 Pada tingkatan
afektif berasal dari gangguan emosional yang mendalam tentang peranperan maskulin dan feminin. Pada tingkatan perilaku berasal dari
pengalaman konflik yang nyata dengan maskulinitas dan femininitas
sebagai mana berperilaku, bereaksi dan berinteraksi dengan diri sendiri dan
orang lain. Konflik peran gender sebagai fenomena ketidaksadaran
merepresentasikan konflik intrapsikis dan konflik-konflik yang direpresi ke
bawah kesadaran mengenai maskulinitas dan femininitas.24 Konflik gender
juga makin memuncak dengan adanya pro kontra masyarakat terhadap
keterbukaan kaum LGBT. Berbagai istilah kemudian banyak bermunculan
dengan kaum LGBT yang terbuka dengan identitas gender mereka.
22
A.Nunuk.P Murniati. 2004. Getar Gender edisi pertama. Magelang: Indonesiatera. Hal. 60.
Meutia Nauly. 2002. Konflik Peran Gender pada Pria : Teori dan Pendekatan Empirik. Terarsip
dalam http://library.usu.ac.id/download/fk/psikologi-Meutia.pdf.
24
Ibid.
23
Dengan muncul konflik kognisi hingga LBGT, perlu diingat bahwa
gender itu lentur. Gender Fluidity memang tidak bisa dipaksakan atau diatur
dengan ketat, ada berbagai aspek yang menghasilkan gender pada seseorang
dan peran dalam masyarakat, seperti agama, kultur, ras, dan dari diri sendiri.
Oleh karena itu gender tidak kaku, semakin lama gender semakin lentur.
Fluiditas gender lebih fleksibel dari pada ekspresi gender, bahkan
kepentingan dan perilaku seseorang dapat berubah dari hari kehari. Jenis
kelamin yang berasal dari lahir sudah tidak lagi menjadi batasan-batasan
dalam stereotip sebagai laki-laki maupun perempuan saja. Bagi sebagian
orang, fluiditas gender melampaui perilaku dan minat, dan benar-benar
berfungsi untuk khusus mendefinisikan identitas gender mereka.25
Sebelum gender lentur terhadap nilai, norma dan kultur yang ada di
masyarakat, seseorang mau tidak mau harus hidup tengah masyarakat yang
berpatokan dengan norma, dalam masyarakat. Individu yang tergabung di
dalamnya harus berpatokan dengan norma. Akan tetapi, norma di suatu
masyarakat berbeda satu dengan yang lain. Norma tersebut mengikat
individu yang ada di dalamnya, kemudian mempengaruhi masyarakat satu
dengan masyarakat yang lain, dan juga memperngaruhi peran-peran
individu. Salah satu peran yang paling mendasar adalah peran laki-laki dan
perempuan dalam masyarakat. Peran normatif tersebut itu sering kali
membentuk atau mendesak terbentuknya peran tradisional gender.
Peran tradisional gender sangat kuat di Indonesia karena kehidupan
patriarki yang telah mengakar.
Dalam masyarakat patrial, perempuan ditempatkan
dalam posisi sub-ordinasi terhadap pria. Sistem patrilenieal
dalam masyarakat Indonesia masih tumbuh subur, karena masih
berkembang warna sisa-sisa feodalistik. Paham yang
menempatkan hubungan perempuan dan laki-laki bersifat
hierarki. Pria lebih dominan dan menentukan sementara
25
Education and suport service of gender diversity. Terarsip di
www.genderdiversity.org/resources/terminology/. Diakses pada tanggal 3 Januari 2016.
perempuan sub-ordinat, daripada memberikan andil penguasaan
pada perempuan26.
Sistem patriarki membedakan peran perempuan dan laki-laki dalam
sebuah masyarakat. Patriarki tersebut yang kemudian juga membentuk
peran tradisional gender. Meskipun tidak semua masyarakat di dunia
menganut patriarki atau patriarki pada daerah satu dengan yang lain-lain
berbeda, namun apabila digeneralisasikan dengan lingkup seluruh
masyarakat dunia adalah masyarakat penganut paham patriarki.
Masyarakat patriarki kebanyakan juga menganut peran tradisional
gender dalam kehidupan sehari-hari, memposisikan laki-laki superior
daripada perempuan. Peran gender tradisional dalam masyarakat patriarki
membuat pembagian dan batasan yang berlaku luas di dalam masyarakat,
bahkan perempuan ditempatkan pada sektor domestik dan laki-laki
memonopoli ranah publik. Pada sektor publik perempuan diposisikan
sebagai subordinat laki-laki dimana perempuan pada porsi hak milik rumah
tangga dan distribusi pekerjaan rumah tangga dengan melayani kebutuhan
sehari-hari untuk suami dan anak, serta mengurus pekerjaan rumah tangga.
Status “kepala keluarga” yang pada umumnya
dilekatkan pada suami mempunyai konotasi “kekuasaan”,
sementara kata “ibu rumah tangga” bahkan “ratu rumah
tangga,” yang melekat pada istri lebih dikonotasi “pengabdian”
atau pelayan” daripada “kekuasaan”.27
Perempuan sebagai pengabdian atau pelayan dalam keluarga maka
perempuan dalam rumah tangga bertugas melayani keluarga terutama pada
suami, tidak setara dan tidak saling melayani, hanya dari istri untuk suami.
Perempuan sebagai istri memiliki kewajiban untuk tunduk kepada suami
sebagai kepala keluarga. Sebaliknya, sebagai kepala rumah tangga, pria
diharapkan melindungi anggota keluarga dan mengambil peran publik,
26
Priyono Soemardoyo. 1999. Wacana Gender dan Layar Televisi. Yogyakarta:Penerbit FF
Foundation dan LP3Y. Hal.63.
27
Muhadjir Darwin dan Tukiran. 2001. Menggugat Budaya Patriarki. Yogyakarta: Perpustakaan
Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT). Hal. 4.
mencari nafkah melakukan urusan diluar rumah tangga.28 Sedangkan, pada
hubungan seksual, perempuan sering kali dijadikan objek seksual bukan
seorang rekan.
Tidak hanya itu saja dalam dalam buku menggugat budaya patriarki,
dijelaskan pula bahwa budaya patriarki juga terlihat pada perilaku yang
berhubungan dnegan proses produksi. Perempuan memang orang yang akan
hamil, melahirkan dan menyusui, itu tidak dapat dialami oleh laki-laki akan
tetapi proses konsekuansi dan tanggung jawab saat kehamilan maupun
mengasuh anak adalah kepentingan dua pasangan, tidak hanya perempuan
atau ibu.
Oleh karena itu, peran perempuan sebagai ibu rumah tangga di
tempatkan sebagai posisi subordinat dipandangan masyarakat. Dia adalah
peran pendukung bagi laki-laki, mengasuh anak, mengurus keluarga,
memasak, dan membersihkan rumah. Pada kultur Jawa patrilineal,
perempuan masih dipandang sebagai “konco wingking” atau orang
belakang. Dimana kaum perempuan kerap kali diperlakukan sebagai
subordinat dari kaum laki-laki.29 Perempuan yang mengurusi urusan
belakang dan hanya pelengkap kebutuhan laki-laki.
Tidak hanya suku Jawa saja, penggunakan budaya patriarki pada
suku Batak sangat jelas terlihat, dalam potret tradisional digambarkan lakilaki sebagai pengangguran yang seharian menghabiskan waktu di warung
kopi, sementara isterinya sejak pagi hari membanting tulang di ladang, di
pasar, dan masih bekerja di rumah. Fenomena ini oleh perempuan batak
seakan diterima sebagai realitas budaya dan bagi laki-laki batak, ini
dianggap previllage yang memang datang dari "sononya".30 Anggapan
bahwa perempuan ialah orang yang seharusnya mengurus kebutuhan
domestik masih sangat kental.
28
N Widyarini. 2009. Menuju Perkawinan Harmonis. Jakarta: Elex Media Komputindo. Hal. 66.
Sulistyowati Irianto. 2006. Perempuan dan hukum : menuju hukum yang berperspektif
kesetaraan dan keadilan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hal. 176.
30
Meutia Nauly. 2002. Konflik Peran Gender pada Pria : Teori dan Pendekatan Empirik. Terarsip
dalam http://library.usu.ac.id/download/fk/psikologi-Meutia.pdf.
29
Perempuan yang dianggap sebagai orang yang mengurus rumah
tangga dibagi menjadi tiga hal utama yang harus dilakukan menurut
Tomagola (dalam Subandi);31
a. Keapikan fisik dari rumah suaminya.
b. Sebagai pengelola dari sumberdaya rumah tangga yang berupa: tenaga
kerja yang tersedia dan keuangan rumah tangga.
c. Sebagai istri dan ibu yang baik dan bijaksana, seorang wanita juga
diharapkan dapat mengelola anak-anaknya mulai dari kesehatan fisik
mereka, keapikan kamar dan pakaian, serta kemajuan pendidikan
sekolah anak-anaknya.
Apabila tiga hal tersebut tidak dilakukan atau dipenuhi dengan baik
maka seorang perempuan akan dianggap seolah-olah gagal dalam
melaksanakan tugasnya. Selain itu juga perempuan diharuskan selalu tampil
memikat, objek pemuas laki-laki, meskipun mempunyai pendidikan tinggi
ataupun gaji tinggi tetap harus mengurus keluarga.
Kultur yang membentuk peran tradisional gender didukung dengan
Indonesia yang mayoritas masyarakatnya beragama islam, membuat agama
menjadi patokan perempuan dalam berperan. Perempuan dirasa tepat dalam
memerankan peran domestik. Tetapi, salah satu faktor yang sangat
signifikan dalam memposisikan perempuan sebagai makhluk domestik
adalah fiqh.32 Terlihat dari ketentuan fiqh yang salah satunya tidak
memperbolehkan istri pergi tanpa izin suami dan batasan dalam berkegiatan
politik.
Peran domestik pada perempuan yang melekat pada segala aspek di
masyarakat mulai menemui perubahan. Terjadi perubahan peran tradisional
gender sejak tahun 1960-an sampai sekarang, kaum perempuan pertamatama berjuang untuk mengidentifikasi diri mereka di tempat kerja lalu
31
32
Idi Subandi. 1998. Wanita dan media. Bandung: PT Rosdakarya. Hal. 337.
Ismatu Ropi Jamhari. 2003. Citra Perempuan Dalam Islam; Pandangan Ormas Keagamaan.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hal. 47.
mendefinisikan ulang peran mereka dalam rumah tangga.33 Terjadinya
perubahan peran tradisional gender tersebut didorong dengan munculnya
feminisme, yang mendukung untuk menuju peran gender modern. Scanzoni
(dalam jurnal Sri) membedakan pandangan peran gender menjadi dua
bagian yaitu peran gender tradisional dan peran gender modern.34
a.
Peran gender tradisional membagi tugas secara kaku berdasarkan jenis
kelamin. Laki-laki yang mempunyai pandangan peran gender
tradisional, tidak ingin perempuan menyamakan kepentingan dan minat
diri sendiri dengan kepentingan keluarga secara keseluruhan,
sedangkan isteri diharapkan mengakui kepentingan dan minat suami
adalah untuk kepentingan bersama. Kekuasaan kepemimpinan dalam
keluarga berada ditangan suami. Perempuan secara tradisional tinggal
di rumah, setelah menikah perempuan mencurahkan tenaga untuk
suami dan keluarga.
b.
Dalam peran gender modern tidak ada lagi pembagian tugas yang
berdasarkan jenis kelamin secara kaku, kedua jenis kelamin
diperlakukan sejajar atau sederajat. Laki-laki mengakui minat dan
kepentingan perempuan sama pentingnya dengan minat laki-laki,
menghargai kepentingan pasangannya dalam setiap masalah rumah
tangga dan memutuskan masalah yang dihadapi secara bersama-sama.
Dengan kehadiran feminisme yang mendukung peran gender
tradisional menuju modern, feminisme bertujuan untuk meningkatkan
kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan
serta derajat laki-laki.
Feminisme berasal dari bahasa Prancis tahun 1880-an
sebagai perjuangan perempuan menuntut hak politiknya. Pada
abad ke-20 berkembang merambah pada bidang ekonomi.
Istilah feminisme masuk ke Indonesia sejak awal 1970-an
33
Fara Warner. 2007. The Power Of The Purse. Jakarta: Penerbit Pt Gramedia Pustaka Utama.
Hal. 61.
34
S Supriyantini. 2002. Hubungan Antara Pandangan Peran Gender dengan Keterlibatan Suami
dalam Kegiatan Rumah Tangga. Jurnal Psikologi http://library.usu.ac.id/download/fk/psikosri.pdf.
dengan mulai bermunculan feminisme di jurnal dan surat
kabar.35
Perjuangan perempuan untuk mendapatkan hak dan kesetaraan di
dukung dengan dibentuknya Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan untuk penegakan hak asasi manusia perempuan Indonesia.
Komnas Perempuan dibentuk melalui Keputusan Presiden No. 181 Tahun
1998, pada tanggal 9 Oktober 1998, yang diperkuat dengan Peraturan
Presiden No. 65 Tahun 2005 serta bedasar pada Undang-Undang No. 7
Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).
Apabila membandingkan di Amerika, peran tradisional gender mulai
berubah ketika muncul new woman atau perempuan baru pada abad 19.
Dengan hadirnya new woman maka meruntuhkan stereotip model Victorian
yang kuno dengan menolak peran tradisional perempuan. New woman
identik dengan kecerdasan, lawan dari emosional, sangat publik lawan dari
domestik atau privat, aktif lawan dari pasif, dan dalam banyak kasus, tidak
reproduktif, lawan dari bersifat keibuan.36
Akan tetapi, mengingat kembali apabila di Indonesia yang
masyarakatnya mayoritas beragama islam, feminisme mempunyai
tantangan tersendiri dalam perjuangannya. Feminisme menurut islam adalah
alat analisis maupun gerakan yang bersifat historis dan kontekstual sesuai
kesadaran baru yang berkembang dalam menjawab masalah-masalah
perempuan yang aktual menyangkut ketidakadilan dan ketidaksejajaran.
Peran feminis muslim ini menuduh adanya
kecenderungan misoginis (kebencian terhadap perempuan) dan
patriarki (dominasi laki-laki) di dalam penafsiran teks-teks
keagamaan klasik, sehingga menghasilkan tafsir-tafsir
35
Siti Muslikhati. 2004. Feminisme dan pemberdayaan perempuan dalam timbangan Islam.
Jakarta: Gema Insani Press. Hal. 43.
36
Dewi Ulya Mailasari. 2010. Pembagian Peran Dalam Rumah Tangga Amerika. Jurnal
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010. Terarsip dalam
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=252069&val=6786&title=PEMBAGIAN%
20PERAN%20DALAM%20RUMAH%20TANGGA%20AMERIKA. Diakses pada 10 April
2016.Hal. 371.
keagamaan klasik, sehingga menghasilkan tafsir-tafsir yang bias
kepentingan laki-laki.37
Tafsir-tafsir tersebut lebih banyak condong pada laki-laki seperti
harta waris, kepemimpinan, dan lain-lain. Sehingga, pergeseran peran
tradisional gender terbentur dengan kultur dan agama yang ada di Indonesia.
Dengan munculnya feminisme, peran domestik perempuan mulai
berkurang. Perempuan harus selalu berkutat dengan pekerjaan rumah tangga
dan mengasuh anak, laki-laki pun dapat mulai masuk ke dalam peran
domestik. Laki-laki sebagai seorang ayah pun dapat ikut mengasuh anak
mereka. Peranan ayah sebagai pengasuh yang aktif merupakan hal yang
penting untuk mendefinisikan kembali maskulinitas. Dengan semakin
banyaknya perempuan yang memasuki dunia kerja (termasuk di Indonesia),
perempuan telah diasumsikan dengan peran pencari nafkah.38 Sehingga
banyak dari karakteristik-karakteristik yang tadinya secara eksklusif
dikaitkan dengan pria seperti ambisi, asertif, dan kompeten di dunia publik,
kini dalam proses yang diterima sebagai bagian dari peran gender feminin.39
Penggambaran peran gender pria dan perempuan modern kini menjadi
tumpang tindih apabila kedekatan emosi dan pengasuhan merupakan bagian
dari definisi maskulin.
Peran gender modern juga telah menginspirasi tontonan yang
ditampilkan pada media. Seperti pada media asing cukup banyak
menampilan peran gender modern, seperti program televisi Return of
Superman (Korea), ayah yang mengasuh anaknya tanpa bantuan ibu.
Sayang sekali itu tidak banyak terjadi di Indonesia, media-media di
Indonesia tidak sepenuhnya mengalami pergeseran. Sinetron Indonesia
masih banyak menggunakan peran tradisional gender sebagai pedoman
dalam membuat cerita yang menarik, seperti diceritakan seorang ibu rumah
37
Ibid. Hal. 47.
Meutia Nauly. 2002. Konflik Peran Gender pada Pria : Teori dan Pendekatan Empirik. Terarsip
dalam http://library.usu.ac.id/download/fk/psikologi-Meutia.pdf.
39
Ibid.
38
tangga yang terlihat lemah pada sinetron Cinta Fitri. Tidak hanya pada
sinetron saja, masih terdapat sisa-sisa peran tradisional gender di film dan
iklan Indonesia.
Di dukung pula dengan Tomagola yang mengemukakan bahwa iklan
yang dimuat dalam majalah wanita Indonesia kontemporer ini lebih
cenderung untuk “mendorong” wanita-wanita kelas menengah dan atas
kembali ke dalam kerangkeng domestik mereka daripada menyejajarkan
para wanita itu dengan laki-laki Indonesia.40 Berbagai media memang masih
menggunakan tradisional gender untuk merepresentasikan perempuan .
4.
Gender dan Media
Kehidupan bermedia menjadi suatu yang tidak mungkin dihindari,
adanya ketergantungan antara penyedia media maupun masyarakat yang
menikmatinya, media juga merupakan salah satu alat utama dalam
membentuk konstruksi gender pada masyarakat. Media yang ada saat ini
memiliki jangkauannya yang luas, bisa menjadi alat yang efektif dalam
menyelundupkan konstruksi gender kepada masyarakat.
Media semakin merambah berbagai bentuk untuk terus berinovasi
dan mendapatkan loyalitas masyarakat, hingga pertengahan tahun 1970-an
pemerhati film, media dan kajian budaya terutama yang mempunyai
ideologi feminisme, sangat memperhatikan citra perempuan di dalamnya.
Figur perempuan dalam film terutama dalam film dengan genre perempuan
semakin menarik para feminis, karena lebih mengedepankan yang secara
tradisional dipandang sebagai sesuatu yang feminin. Begitu juga menurut
Mulvey (dalam Hollows), perempuan sebagai citra dalam sinema
mainstream dihasilkan sebagai tontonan untuk pandangan laki-laki.
Perempuan hanya bisa berfungsi sebagai objek narasi dan menandakan
kepasifan, sedangkan laki-laki adalah subjek aktif narasi.41 Bahkan dalam
40
41
Idi Subandi. 1998. Wanita dan media. Bandung: PT Rosdakarya. Hal. 331.
Joanne Hollows. 2010. Feminisme, Feminitas, dan Budaya Populer. Yogyakarta: Jalasutra. Hal.
64.
berita kriminal sering kali perempuan yang menjadi korban tidak
sepenuhnya menjadi korban, seperti contohnya berita “anak perempuan
diperkosa Ayah tiri karena memakai baju mini” sang anak perempuan tetap
disalahkan, padahal yang bertindak kejahatan sudah jelas sang ayah tiri.
Di Indonesia, masyarakat dalam melihat media lebih cenderung
tidak kritis terhadap fakta maupun opini yang disampaikan oleh media.
Wacana media massa mengenai perempuan lebih menunjukan intervensi
ideologi patriarki, sehingga masyarakat pun ditambahi dengan media yang
sebenarnya hanya mengangkat tentang dapur dan kamar, seperti apa yang
dikatakan Ann Ferguson dalam karyanya Sexual Democracy (dalam
Subandi), hanya memindahkan family based patriarchy ke public
patriarchy.42
Memindahkan privasi kamar membuat perempuan pusat dimana
seks menjadi yang utama, begitu pula dengan dapur para perempuan yang
merumpikan sesuatu kemudian diangkat dalam media massa. Perempuan
yang kini malah terpenjara dalam rumah tangga berdasarkan dari tekanan
media yang masih menanamkan benih-benih ideologi patriarki.
Di dalam cerita sinetron, telenovela, teledrama, novel, dan radio,
perempuan masih di representasikan sebagai makhluk yang lemah, berada
di rumah, pasif, bergantung pada laki-laki, melihat dirinya sebagai simbol
seks. Oleh karena itu cukup masuk akal apabila ada salah satu kesimpulan
dari seminar kampus pada tahun 1994 (dalam Subandi) bahwa ‘‘citra wanita
dan media massa” menyatakan bahwa “cita wanita masih jalan di tempat”
alias status quo tidak mengalami banyak perubahan, meskipun masyarakat
kota telah hidup dalam “budaya laki-laki (male dominated culture)”.43
Media dengan sengaja merepresentasikan perempuan di iklan,
tabloid, majalah, dan di televisi masih merepresentasikan perempuan hanya
dengan memakai wajah dan tubuh saja padahal tidak hanya memiliki tubuh,
rambut, dan paras yang indah tapi kini perempuan dilihat sebagai makhluk
42
43
Idi Subandi. 1998. Wanita dan media. Bandung: PT Rosdakarya. Hal. xLiii.
Idi Subandi. 1998. Wanita dan media. Bandung: PT Rosdakarya. Hal. 95.
utuh yang juga memiliki kemampuan untuk memimpin, berkarya, berilmu,
dan sebagainya. Tetapi media belum sepenuhnya merepresentasikan
perempuan yang lebih modern, masih banyak yang setia menampilkan
perempuan dan laki-laki dengan peran tradisional.
G. Metodologi Penelitian
1.
Metode penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan jenis penelitian
kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan nama yang diberikan bagi
paradigma penelitian yang terutama berkepentingan dengan makna dan
penafsiran.44 Kualitatif lebih banyak digunakan untuk mengemukakan
gambaran atau pemahaman mengenai bagaimana dan suatu gejala atau
realitas komunikasi terjadi. Bukan dimaksudkan untuk memberikan
penjelasan, mengontrol gejala, menjelaskan prediksi maupun menguji teori.
Paradigma yang digunakan yaitu paradigma kritis. Menurut Hall
(dalam Eriyanto) paradigma kritis adalah adanya kekuatan-kekuatan yang
berbeda dalam masyarakat yang mengontrol proses komunikasi.45 Oleh
karena itu, paradigma ini percaya bahwa media adalah sarana di mana
kelompok dominan dapat mengontrol kelompok yang tidak dominan bahkan
memarjinalkan mereka dengan menguasai dan mengontrol media. Salah
satu sifat dasar dari teori kritis adalah selalu curiga dan mempertanyakan
kondisi masyarakat dewasa ini.
Sedangkan untuk metode penelitian, peneliti menggunakan
semiotik. Semiotik adalah ilmu mengenai tanda, kata semiotika itu sendiri
berasal dari bahasa Yunani, semeion berarti tanda atau seme berarti penafsir
tanda. Semiotika dikatakan kajian yang berakar dari studi klasik dan
skolastik atas seni logika, retorika dan poetrika. Seperti yang diungkapkan
44
Jane Stokes. 2006. How To Do Media And Cultural Studies: Panduan Untuk Melaksanakan
Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya (Santi Indra Astuti, Penerjemah.) Yogyakarta:
Bentang. Hal. Xi.
45
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana, Pengantar Analisis Isi Media. Yogyakarta : LKIS. Hal. 23.
Saussure (dalam Sobur) bahwa semiotika yakni ilmu yang mengkaji tentang
peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial.46 Begitu pula dalam
penjelasan Little John (dalam Sobur) bahwa tanda-tanda (signs) adalah basis
dari seluruh komunikasi.47 Dengan tanda lebih mempermudah manusia
dalam berkomunikasi, memahami tanda membuat komunikasi lebih mudah
dipahami maksud dan tujuan serta kandungan makna yang ada di dalamnya.
Banyak para ahli seperti Pierce, Saussure, Eco dan Barthes yang
mencoba menjelaskan bermacam-macam tanda yang digunakan dan
menarik untuk dikaji, yakni bagaimana tanda menimbulkan arti, bagaimana
tanda berhubungan, apa yang tanda pancarkan tentang masyarakat kita dan
kebudayaannya serta masalah-masalah yang mereka tunjukkan bagi ahli
pembaca tanda-tanda (semiologis) atau interpretasi tanda-tanda yang lain.
Bila menurut Barthes (dalam Sobur) yaitu “pada dasarnya hendak
mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal
(things).”48 Memaknai tanda berarti objek-objek itu hendak berkomunikasi
tidak hanya membawa informasi saja.
Para ahli banyak menjelaskan bagaimana semiotik dibedakan atau
jenisnya. Dapat disimpulkan dari para ahli bahwa studi semiotika disusun
dalam tiga poros yaitu horizontal, vertikal, sarana informasi.
 Poros horizontal : murni, deskriptif, dan terapan.
 Poros vertikal : sintaktik, sematik, dan pragmatik.
 Poros sarana informasi : signals, sign, dan simbol.
Dengan penjelasan semiotika yang mempelajari tentang tanda untuk
membongkar makna dan tafsiran dalam tanda tersebut, maka dirasa sesuai
untuk
meneliti
objek
penelitian
yaitu,
iklan
televisi
merepresentasikan peran tradisional gender perempuan.
2.
46
Pengumpulan Data
Alex Sobur. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya. Hal. Vii.
Ibid. Hal. 15.
48
Ibid. Hal. 15.
47
dalam
Pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan secara cermat
terhadap Vit edisi Inspeksi Mertua (2015) dan Aqua Selalu #PilihyangBaik
untuk Keluarga (2016). Selain melakukan pengamatan terhadap video iklan,
peneliti juga melakukan studi pustaka untuk menambah informasi dan
pemahaman mengenai representasi peran tradisional gender, feminisme,
dan periklanan. Informasi tersebut bersumber dari buku, penelitian
terdahulu, jurnal, web serta artikel yang sudah ada baik dalam bentuk fisik
maupun online.
3.
Analisis data
Untuk mengungkap atau menafsirkan tanda-tanda yang ada dalam
video iklan Vit edisi Inspeksi Mertua dan Aqua Selalu #PilihyangBaik untuk
Keluarga perlu adanya teknik analisis untuk menafsirkan tanda dalam iklan
tersebut. Peneliti menggunakan semiotik Roland Barthes, ia banyak
menggunakan analisisnya untuk meneliti produk budaya media seperti
iklan, film, drama, dan lain sebagainya. Barthes menghasilkan berbagai esai
berhubungan dengan segala bidang kehidupan yang mengkaji berbagai hal
dari mulai televisi, iklan, produk-produk yang digunakan sehari-hari, sastra,
fotografi bahkan fashion.
Sebenarnya semiologi Barthes mengacu pada Saussure atau juga
dapat dikatakan penerus pemikiran Sausurre yang mempelajari hubungan
antara penanda dan petanda dengan mengembangkannya. Barthes fokus
terhadap interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural
penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang
dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Barthes juga banyak
mengahabiskan
banyak
waktunya
untuk
menguraikan
konotasi
pemikirannya yang dikenal dengan “order of signification”, mencakup
denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang
lahir dari pengalaman kultural dan personal). Ada pula tabel untuk
mempermudah pemahaman dari gagasan Barthes tersebut tentang
signifikasi dua tahap (two order of signification) sebagai berikut;
1. Signifier
2. Signified
(penanda)
(petanda)
3. Denotative sign (tanda denotatif)
4. CONNOTATIVE SIGNIFIER
(PENANDA KONOTATIF)
5. CONNOTATIVE
SIGNIFIED
(PETANDA KONOTATIF)
6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)
1.1 Tabel peta tanda Roland Barthes
Dari tabel diatas bahwa tanda denotatif terdiri atas penanda dan petanda,
jadi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified
didalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal atau disebut sebagai
denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Denotasi merupakan
penandaan primer (sistem penandaan tingkat pertama) yang merupakan
penunjukan arti literatur atau yang eksplisit dari gambar, kata-kata dan
fenomena yang lain. Akan tetapi, dalam waktu yang bersamaan tanda
denotatif adalah juga tanda konotatif. Konotasi menggambarkan hubungan
yang terjadi saat suatu tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari
pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi melibatkan simbolsimbol, sejarah dan hal-hal yang berhubungan dengan emosional. Konotasi
mempunyai makna yang subyektif atau paling tidak inter-subyektif. Dapat
disimpulkan bahwa denotasi adalah apa yang telah digambarkan tanda
terhadap
sebuah
obyek,
sedangkan
konotasi
adalah
bagaimana
menggambarkannya. Seperti halnya yang dikemukakan Cobley dan Jansz
(dalam Sobur) hal tersebut merupakan unsur material: hanya jika anda
mengenal tanda “sign”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan dan
keberanian menjadi mungkin.49
49
Ibid. Hal. 69.
Selain itu, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya
sebagai “mitos”, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan
pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode
tertentu.50 Mitos menurut Barthes terletak pada tataran kedua penandaan,
jadi setelah terbentuk sistem tanda-penanda-petanda maka tanda tersebut
akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan
membentuk tanda baru. Jadi setelah terbentuk sistem tanda-penandapetanda, tanda tersebut akan menjadi petanda baru yang kemudian memiliki
petanda kedua dan membentuk tanda baru.
Mitos merupakan cara berpikir dari suatu kebudayaan tentang
sesuatu,
atau
juga
dapat
dimaksud
dengan
suatu
cara
untuk
mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu hal tertentu. Mitos adalah
cerita yang digunakan suatu kebudayaan untuk menjelaskan atau memahami
beberapa aspek dari realitas atau alam.51 Pada dasarnya semua hal dapat
menjadi mitos, satu mitos timbul untuk sementara waktu dan tenggelam
untuk waktu yang lain karena digantikan oleh berbagai mitos lain. Mitos
menjadi pegangan atas tanda-tanda yang hadir dan menciptakan fungsinya
menjadi penanda untuk memainkan pesan-pesan tertentu yang boleh jadi
berbeda sama sekali dengan makna asalnya. “Mitos” menurut Barthes
terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem signsignifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang
kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika
suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi
makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.
Analisis semiotik untuk iklan membutuhkan alat untuk meneliti
audio dan visual, salah satunya dijelaskan oleh Kress dan Leeuwen yang
menyatakan bahwa dalam kajian semiotik visual melalui warna juga tidak
terlepas dari hal-hal yang berhubung kait dengan mitos dan budaya yang
50
51
Ibid. Hal. 71.
Ibid. Hal. 126.
berlaku kerana ia akan mengandungi makna yang berbeda-beda tergantung
budaya yang berlaku di suatu negara. 52
Tidak hanya itu saja, dalam analisis semiotik terdapat bahasa yang
di analisis latar belakangnya, bagaimana penggunaan bahasa itu, maka
usaha untuk memaknai teks yang dihubungkan dengan aspek diluar bahasa
yang biasa disebut dengan konteks. Teks dan konteks tersebut akan
membentuk makna, yang kemudian dalam teks dan konteks tersebut
terdapat intratekstualitas dan intertekstualitas. Intratekstualitas berfokus
tanda dalam teks, sedangkan intertekstualitas lebih fokus pada hubungan
antar teks. Oleh karena itu untuk memahami harus menghubungkan teks
satu dengan teks-teks lainnya yang mendahuluinya, dan teks hanya
melanjutkan, melengkapi, mengubah, ataupun mengalihkannya. Tidak ada
teks yang berdiri sendiri dengan kata lain penciptaan dan pembacaannya
tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks lain.
Intertekstualitas menarik perhatian pada teks terdahulu yang
memiliki makna bila suatu hal telah ditulis terlebih dahulu. Selain itu
intertekstualitas juga menuntun untuk mengetahui teks dengan mnagrtikan
kode dengan kemungkinan arti yang sangat bervariasi, seperti variasi bahasa
atau makna budaya yang berkaitan dengan kode dari suatu kebudayaan.
Sebenarnya
pemikiran
tentang
intertekstualitas
dimulai
karena
ketidakpuasan para kritikus sastra terhadap gagasan kaum strukturalis
tentang otonomi sebuah karya, sehingga muncullah pemikiran tentang
intertekstualitas.
Tokoh
yang
mengemukakan
atau
menggagas
intertekstualiatas antara lain oleh Roland Barthes, Todorov, Rifatterre, dan
Julia Kristeva.
Julia Kristeva dengan pemikiran feminis prancis yang disebut-sebut
memperkenalkan proses pemasukan bentu atau kata lain dengan sebutan
intekstualitas tentang beragamnya suara sebuah teks: polifoni, dialogisme
52
Gunther Kress & Van Leeuwen. 2002. Colour as a semiotic mode: Notes for a grammar of
colour. Journal of Visual Communication. Jurnal visual communication Vol 1(3): 343–368.
Terarsip pada http://vcj.sagepub.com/content/1/3/343. Diakses pada 9 Maret 2016
dan heteroglosia. Menurut kristeva intertekstualitas adalah pluralitas teks
yang tak tereduksi di dalam dan di balik setiap teks, di mana fokus
pembicaraan tidak lagi pada subjek (pegarang) tapi pada produktivitas
tekstual.53
Barthes juga dalam esainya The Death of the Author (1968) maka
kesadaran seorang pembaca akan konteks dimana teks diproduksi, dialusi,
diparodi,
dan
sebagainya,
merupakan
kerangka
utama
dalam
menginterpretasi teks. Barthes mengingatkan bahwa dari perspektif
intertekstualitas, ‘jumlah-jumlah yang telah membuat sebuah teks adalah
anonim, tak dapat dilacak, dan akhirnya tidak selalu dapat dibaca; fungsinya
ini adalah sesuatu yang sukar- sebagai ‘siap baca’.54 Intertekstualitas juga
dapat disebut sebagai pengulangan bukan representasi.
Dengan demikian maka teks yang ada dalam iklan dapat dianalisis
hibungannya dengan teks lain untuk menghasilkan makna dalam iklan Aqua
Selalu #PilihyangBaik untuk Keluarga dan Vit edisi Inspeksi Mertua. Selain
itu, untuk memudahkan penelitian maka perlu adanya instrumen analisis
iklan terdiri dari camera shot, pergerakan kamera, audio, bahasa, dan lain
sebagainya. Perlu adanya tabel yang dipergunakan untuk penelitian audio
visual iklan Aqua dan Vit. Tabel dibawah merupakan unit penelitian yang
dibuat oleh FX Darwanto yang disesuaikan dengan kebutuhan peneliti.
Unit Penelitian55
53
No
Unit Terteliti
Unsur
Sub Unsur
1.
Bahasa Verbal
Dialog
Gaya Bahasa,
voice quality
Dra. Indiyah Prana Amertawengrum, M.Hum. 2010. TEKS DAN INTERTEKSTUALITAS.
Terarsip pada
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=253156&val=6820&title=TEKS%20DAN
%20INTERTEKSTUALITAS . Diakses pada 28 Juni 2016.
54
Tim Boemiputra. 2012. Djoernal Sastra: Edisi Lengkap: 2007-2011. Tangerang: Boemiputra.
55
FX Darwanto. 1992. How Non-Verbal Behaviour is Used In The Structure of Conversation.
Jurnal Atma nan Jaya: Majalah Ilmiah Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya No.2. Thn V.
Hal 137-146.
2.
3.
Bahasa NonVerbal/Visual
Audio
Karakteristik
Pilihan kata
Warna
Jenis warna
Subjek/Objek iklan
Aktor
(Penampilan dan
identitas yang di
bawa) benda
Ekspresi subjek
dan objek iklan
Facial Expression
Setting
Tempat, waktu,
dan suasana
Action
Posture, gesture,
the eye, touch,
personal space
Teknik
pengambilan
gambar
Camera shot dan
gerakan kamera
Jenis musik
Irama musik dan
sound efect
Unsur
Subunsur
Keterangan
Kesan
Teknik
Pengambilan
Gambar
Extreme long
shot
Pengambilan
gambar dari
jarak sangat
jauh
Luas
berhubungan
dengan view
Long shot
Pengambilan
gambar dari
jarak jauh
Memperhatikan
setting objek
yang lebih
signifikan
Medium long
shot
Pengambilan
gambar dari
jarak jauh
Memperlihatkan
profil objek
Medium shot
Pengambilan
gambar dari
jarak sedang
Memperlihatkan
profile dan
aktivitas objek
Medium
close up
Pengambilan
gambar dari
Memperlihatkan
profile objek
secara lebih detail
jarak cukup
dekat
lens and camera
movement
Transformations
Close up
Pengambilan
gambar dari
dekat, terlihat
wajah
keseluruhan
Memperlihatkan
ekpresi objek
Extreme
close up
Pengambilan
gambar sangat
dekat ke objek
Keintiman
Till down
Kamera
mengarah ke
bawah
Kekuasaan,
kesewenangan
Till up
Kamera
mengarah ke
atas
Kelemahan,
pengecilan
Dolly in
Kamera
bergerak ke
dalam
Observasi, fokus
Zoom in
Pergerakan
fokus kamera
mendekati objek
Memperkecil
view
Zoom out
Pergerakan
fokus kamera
mendekati objek
Memperbesar
view
Pan right
Kamera
bergerak ke
kanan
Menunjukan
lebih detail
Pan left
Kamera
bergerak ke kiri
Menunjukan
lebih detail
Follow
Kamera
mengikuti objek
Menunjukan
aktivitas
framing
Objek berada
dalam framing
shot
Fokus pada objek
dalam bingkai
Fade in
Gambar
kelihatan pada
Permulaan
layar yang
kosong
fade out
Gambar dilayar
jadi hilang
Penutupan
Cut
Pergantian
gambar secara
mendadak dari
gambar satu ke
gambar lainnya
Keseimbangan
adegan, menarik
wipe
Pergantian
adegan secara
perlahan dengan
mendorong satu
adegan dengan
adegan lain
“penentuan”
kesimpulan
Tabel 1.2
Download