BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Iklan dibuat untuk mendekatkan produk dengan khalayak atau konsumen. Agar iklan dapat mudah diterima oleh khalayak maka sering kali iklan menggunakan budaya-budaya lokal. Seperti yang telah diungkapkan oleh Frith (dalam Kasiyan) bahwa iklan yang baik adalah yang mampu berkomunikasi dengan budaya1 dan Mulyana yang juga menyatakan bahwa penayangan iklan harus berlatar belakang budaya Indonesia.2 Dengan memasukan unsur budaya ke dalam iklan maka bermunculan pula budaya patriarki yang ikut diangkat ke dalam iklan Indonesia. Patriarki yang membatasi peran perempuan dan laki-laki turut hadir dalam penggambaran perempuan dan laki-laki dalam iklan, terutama pada produk-produk yang identik dengan gender tertentu. Pembagian peran perempuan dan laki-laki juga membentuk peran tradisional gender yang diangkat pula dalam iklan, seperti peran domestik dan publik. Pembagian peran tradisional pada masyarakat mengatur perempuan untuk mengambil peran domestik, mengurus pekerjaan rumah tangga dan melayani kebutuhan sehari-hari bagi suami dan anak.3 Akan tetapi di era modern sekarang ini dengan perjuangan kaum feminisme dalam mengadvokasi kesetaraan gender, di mana teori feminis berupaya menantang asumsi-asumsi gender yang hidup dalam masyarakat mencapai cara yang lebih membebaskan wanita dan pria untuk hidup di dunia.4 Oleh karena itu, kaum feminis merasa rasa tidak setuju dengan tetap hadirnya iklan-iklan yang menggunakan peran tradisional gender, khususnya peran perempuan dalam ide iklan tersebut. 1 Kasiyan. 2008. Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan Dalam Iklan. Yogyakarta: Ombak. Hal. 157. 2 Dedi Mulyana. 1999. Nuansa-Nuansa Komunikasi (Meneropong Politik dan Budaya Komunikasi Masyarakat Kontemporer). Bandung, PT. Remaja Rosdakarya. Hal. 155. 3 N Widyarini. 2009. Menuju Perkawinan Harmonis. Jakarta: Elex Media Komputindo. Hal. 66. 4 Eriyanto. 2001. Analisis Wacana, Pengantar Analisis Isi Media. Yogyakarta : LKIS. Perjuangan keras para aktivis feminisme dan orang-orang yang pro dengan pemahaman tersebut tidak berjalan dengan mulus, banyak orang yang kontra dengan feminisme, menganggap feminisme tidak baik atau tidak tepat bila dilakukan. Meskipun begitu, hadirnya feminisme memperngaruhi peran tradisional gender, yang kini sudah tidak digunakan oleh masyarakat dalam batasan berperan. Akan tetapi, mengapa tetap saja peran tradisional gender masih digunakan sebagai ide iklan. Alasan tersebut yang kemudian membuat peneliti tertarik dengan iklan Indonesia terutama televisi masih menggunakan hal tersebut sebagai representasi suatu produk. Seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Novita bahwa kategori mengasuh anak dan mengurus rumah tangga seperti menyuapi anak, bermain bersama anak, membereskan rumah, membeli perabotan rumah ditemukan sebanyak 33 (23,7%) model wanita dan hanya 1 (0,6%) model pria.5 Penggunaan model perempuan sebagai stereotip dalam iklan produk rumah tangga karena memang sebagian besar produk yang diiklankan adalah produk untuk perempuan, sehingga kemungkinan stereotip tersebut berkaitan dengan segmen pasar yang mengincar kaum perempuan. Perempuan diandaikan masih memegang peran penentu dalam konsumsi barang-barang dalam rumah tangga.6 Oleh karena itu, penelitian ini tertarik untuk mengulas untuk beberapa iklan yang hari gini atau di era modern dimana pergeseran peran antara perempuan dan laki-laki tidak dibatasi dengan kaku lagi, tetap ada saja iklan yang mereduksi peran tradisional perempuan dalam kehidupan sehari-hari sebatas peran domestik sebagai pengelola rumah tangga. Pekerjaan domestik yang diidentikkan dengan pekerjaan kaum perempuan hingga saat ini masih digunakan sebagai ide untuk iklan-iklan Indonesia terutama pada produk rumah tangga. Tidak dapat dipungkiri, produk kebutuhan rumah tangga memang distereotipkan dengan perempuan, lain halnya dengan iklan yang tidak termasuk dalam produk stereotip tersebut juga menggunakan perempuan 5 Irianti Novita. Perbedaan Peran Gender Dalam Iklan Televisi di Indonesia. FISIP, Universitas Brawijaya. Terarsip pada https://www.academia.edu/3563546/perbedaan_peran_gender_dalam_iklan_televisi_di_Indonesi a . Diakses pada 2 Maret 2016. 6 Idi Subandi. 1998. Wanita dan Media. Bandung: PT Rosdakarya. Hal. 325. dalam pengemasan iklan produk. Oleh karena itu, peneliti menggunakan iklan Aqua dan Vit yang belum lama muncul, sebagai objek penelitian. Aqua dan Vit adalah produk AMDK yang genderless tapi menggunakan perempuan sebagai ide iklan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan, rumusan masalah dalam penelitian ini ialah “Bagaimana representasi peran tradisional gender perempuan pada iklan televisi Indonesia (Aqua Selalu #PilihyangBaik untuk Keluarga dan Vit edisi Inspeksi Mertua)?” C. Tujuan Penelitian Berdasarkan atas latar belakang dan rumusan masalah yang telah disebutkan, tujuan penelitian ini yaitu : 1. Memahami pesan melalui bentuk visual yang terkandung dalam iklan. 2. Mengetahui simbol-simbol yang digunakan iklan Vit edisi Inspeksi Mertua (2015) dan Aqua Selalu #PilihyangBaik untuk Keluarga (2016) dalam merepresentasikan peran tradisional gender terhadap perempuan. 3. Memahami adanya hubungan peran tradisional gender terutama pada pekerjaan domestik perempuan dalam merepresentasikan suatu produk. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu komunikasi. Sebagai tambahan referensi bahan pustaka, terutama penelitian semiotik dalam membongkar iklan Indonesia hubungannya dengan peran tradisional gender perempuan dari kaca mata feminisme, yang kerap kali digunakan sebagai ide dalam sebuah iklan produk. E. Objek Penelitian Produk iklan Indonesia dipenuhi dengan stereotip gender masing-masing, seperti iklan produk rumah tangga yang distereotipkan dengan perempuan. Dikutip dari tulisan Sarah Spigelman Richter kolumnis Mashable, membingkai produk dengan budaya dan stereotip gender yang memang sudah berkembang lama di masyarakat.7 Dengan memanfaatkan isu gender terrsebut, diakui lebih mudah menyasar target audiens. Stereotip gender pada produk agar lebih mudah menyasar target audiensnya mengilhami iklan produk yang dibuat. Iklan banyak yang menggunakan penggambaran gender target audiens sebagai ide iklan, seperti iklan pembalut wanita biasanya akan menggunakan wanita dalam mengemas ide iklan produk tersebut. Target audiens produk menjadi acuan dalam pembuatan ide iklan di Indonesia. Oleh karena itu, objek dalam penelitian ini adalah iklan televisi Indonesia dengan produk yang genderless, bukan iklan produk yang biasa dikaitkan dengan stereotip gender tertentu. Genderless didefinisikan sebagai keadaan dimana tidak memiliki identitas gender, tanpa memandang jenis kelamin fisik.8 Iklan produk genderless dirasa akan lebih menarik, karena seharusnya produk genderless ditujukan untuk banyak target audiens. Produk yang bisa dipakai oleh siapa saja tetapi ternyata ada pula produk genderless yang kemungkinan dapat diteliti dengan kacamata feminisme dalam melihat peran perempuan dalam iklan Iklan televisi yang dipilih yaitu Vit versi inspeksi mertua (2015) dan Aqua Selalu #PilihyangBaik Untuk Keluarga (2016). Iklan genderless tersebut dipilih karena sama-sama menampilkan sosok perempuan sebagai tokoh utama. Apabila pada iklan Aqua hanya melihat peran ibu terhadap anaknya, sedangkan iklan VIT melihat peran istri dan ibu mertua yang ditonjolkan dalam cerita pada iklan tersebut. F. Kerangka Pemikiran 1. Representasi Pada The Shorter Oxford English Dictionary menawarkan dua pengertian representasi yang relevan yaitu menggambarkan atau 7 Editor: Eko Adiwaluyo http://marketeers.com/article/strategi-merek-makanan-melalui-isugender-stereotip.html 8 http://www.urbandictionary.com/define.php?term=Genderless mendeskripsikannya, untuk memunculkan gambaran dan imajinasi dalam benak kita; menempatkan kemiripan dari obyek mencontohkan, menempatkan sesuatu atau menggantikan sesuatu. 9 Representasi didefinisikan sebagai cara untuk memaknai sebuah benda atau objek yang digambarkan atau dideskripsikan. Representasi ini didasarkan pada konsep perbedaan pemaknaan dari perepresentasian sebuah objek atau gambar antara orang yang satu dan lainnya bisa terjadi. Maka, hasil makna tersebut diangap subjektif, karena makna yang dihasilkan tergantung pada orang yang memaknai objek. Stuart Hall berargumentasi bahwa representasi harus dipahami dari peran aktif dan kreatif orang memaknai dunia. “so the representation is the way in which meaning is somehow given to the things which are depicted through the images or whatever it is, on screens or the words on a page which stand for what we’re talking about” 10 Dari kutipan tersebut Hall menunjukkan bahwa gambar atau objek akan mempunyai makna yang berbeda dan tidak menjamin bahwa sebuah penggambaran akan berfungsi atau menghasilkan makna sesuai dengan makna saat diciptakan. Faktor yang membuat makna yang dihasilan berbeda-beda, salah satunya dipengaruhi oleh budaya yang ada di sekeliling orang yang melakukan representasi. Oleh karena tergantung orang yang merepresentasikan, maka objek bisa memiliki representasi yang tak terhingga. Gagasan Hall mengenai representasi ini sangat penting untuk memahami bagaimana media massa menyajikan gambaran tentang realitas sosial ke hadapan khalayak. Representasi di sini khususnya merujuk pada konektivitas di antara dua perangkat pembentuk wacana, yakni bahasa (language) dan makna (meaning). Hall menjelaskan pula ada dua sistem 9 Hall, Stuart. 1997. Representation : Cultural Representation and Signifying Practises. London : Sage. Hal. 16. 10 Ibid. Hal. 25. representasi (system of representation) dan ini merupakan proses yang cukup kompleks. Pertama, apa yang disebutnya sebagai mental representations, dimana semua obyek, orang, dan kejadian dikorelasikan dengan seperangkat konsep yang ada dalam benak/pikiran kita. Artinya, proses interpretasi seseorang terhadap dunia/objek tertentu amat tergantung pada sistem konseptual yang ada dalam benaknya. Kedua, bahasa (language) yang merupakan komponen penting yang terlibat dalam proses konstruksi makna. Peta konseptual yang tertanam dalam benak seseorang harus diterjemahkan melalui bahasa-bahasa yang umum (common language) sehingga konsep dan ide tersebut dapat dikorelasikan dengan sistem tanda (signs) yang meliputi kata, suara, atau gambaran visual tertentu. Hubungan di antara tiga elemen di atas (objek, konsep, dan seperangkat tanda) adalah jantung dalam proses produksi makna dalam bahasa. Sedangkan proses yang menghubungkan tiga elemen tersebut itulah yang disebut sebagai “representasi”.11 Representasi seseorang terhadap gambaran atau objek, akhir-akhir ini juga lekat dengan representasi tentang gender. Representasi tentang bias gender di media massa yang lebih jelas terlihat. Beberapa penelitian terdahulu merekam bagaimana penggambaran perempuan dalam kacamata media, khususnya iklan. Menurut Rendra (dalam Widyatama) dalam penelitiannya ingin melihat bagaimana sebenarnya representasi bias gender dalam iklan televisi dan dalam hal apa sajakah sebenarnya representasi tersebut diperlihatkan. Dalam temuan penelitiannya menunjukkan ada beberapa dikotomi dalam stereotipisasi laki-laki dan perempuan yang mengindikasikan adanya praktik representasi yang bias gender dalam iklan televisi, antara lain: (1) antara menguasai versus dikuasai; (2) antara memimpin versus dipimpin; (3) antara pelindung versus yang dilindungi; (4) antara majikan versus pelayan; (5) antara pencari nafkah keluarga versus mengurus 11 Ibid. Hal. 19. rumah tangga; (6) perempuan sebagai obyek seks laki-laki dengan penonjolan sexual image (gambaran/imaji seksual).12 Dari penelitian representasi bias gender di media memang tidak dapat dihindari, setiap saat kita diterpa oleh informasi atau gambaran dari media. Dengan demikian, representasi objek melalui media membuat masyarakat hidup dalam masyarakat yang di dalamnya persepsi kita diarahkan pada representasi seolah-olah seperti “realitas”.13 Representasi-representasi ini membentuk sebagian besar realitas yang diserap maka realitas semakin banyak yang terbentuk menggunakan representasi. 2. Iklan Dalam KBBI iklan didefinisikan sebagai berita pesanan untuk mendorong, membujuk khalayak ramai agar tertarik pada barang dan jasa yang ditawarkan atau pemberitahuan kepada khalayak mengenai barang atau jasa yang dijual, dipasang di dalam media massa atau di tempat umum.14 Perlu diketahui iklan merupakan bagian dari reklame yang berasal dari Prancis, re-clame yang berarti “meneriakan berulang-ulang”.15 Singkatnya iklan dapat didefinisikan sebagai publisitas melalui media berbayar untuk barang dan jasa yang ditujukan pada konsumen. Iklan memiliki tujuan untuk menciptakan awareness, membuat citra brand, membuat asosiasi positif dan mendorong perilaku konsumen. Menurut Bletch iklan mempunyai sifat dan tujuan yakni the nature and purpose of advertising differ from one industry to another and/or across situations. The targets of an organization’s advertising efforts often vary, as do advertising’s role and function in the marketing program.16 Sifat, tujuan, 12 Widyatama, Rendra. 2007. Pengantar Periklanan. Pustaka Book Publisher, Yogyakarta. Hal. Viii.. 13 Lash, Schot. 2004. Pustaka Filsafat SOSIOLOGI POST MODERNISME. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Hal. 33. 14 Terarsip di http://kbbi.web.id/iklan diakses pada 13 Januari 2016. 15 Dendi Sudiana. 1995. Komunikasi Periklanan Cetak. Bandung: Penerbit Remdja Karya. 16 G. E. Belch & M. A. Belch. 2004. Advertising and promotion: An integrated marketing communications perspective. Boston: McGraw-Hill. Hal.18. sasaran dari iklan berbeda-beda, kemungkinan salah satu pengiklan berusaha untuk menghasilkan tanggapan langsung atau tindakan dari konsumen, pengiklan lain mungkin lebih ingin mengembangkan kesadaran atau citra positif bagi produk atau jasa periode yang lebih lama.17 Sementara itu, sangat penting untuk sebuah iklan memiliki daya tarik dalam makna atau pesan untuk berkomunikasi dengan konsumen. Iklan juga menjadi pendapatan untuk media-media besar dan sering kali membuat kontroversi. Iklan sering dianggap berisi propaganda, penipuan, manipulasi, memiliki efek distorsi terhadap hubungan media dan khalayak, banyak stereotip masyarakat yang menyesatkan dan lain sebagainya. Iklan juga mempunyai ideologi seperti yang diungkapkan Mills (dalam Blech) yaitu the ideological work of advertising is essentially achieved by constituting our environment for us and telling us who we are and what we really want.18 Memberi tahu sebenarnya siapa dan apa yang inginkan tetapi bila dilihat dari perspektif kritis, itu semua adalah ilusi dan pengalihan saja. Sedangkan menurut Williamson yang tidak jauh beda dengan Mills, ideologi iklan dicapai dengan mentransfer makna signifikan dan ide-ide dari pengalaman, kebahagiaan, kesedihan, kesuksesan, dan ilmu pengetahuan untuk mengkomersialkan sebuah produk dengan menyasar pada diri sendiri. Dengan produk komersial tersebut kemudian menjadi cara untuk mencapai dimana seolah-olah keadaan sosial dan budaya yang sesuai dengan yang diinginkan dan menjadi seperti apakah sesuai yang diinginkan. Sudah pasti dengan cara tersebut, menjadi larut dalam iklan, yang sebenarnya hanya imajinasi dari diri sendiri dan dari hubungan dengan kondisi nyata di kehidupan. Iklan menjadi salah satu yang menciptakan berbagai pembatasan diri dan pedoman pada khalayak, seperti pada iklan pembersih lantai “belum lima menit” terus-menerus disebutkan apabila akan mengambil makanan yang 17 18 Ibid. Hal. 19 D. McQuail. 2005. McQuail's Mass Communication Theory. (5th edition). London: Sage Publications. Hal. 288. terjatuh. Iklan dianggap menjadi gambaran yang benar dalam masyarakat, padahal bukanlah realitas sosial atau kenyataan sehari-hari masyarakat, melainkan realitas sosial semu yang dianggap ideal oleh khalayak. Didukung pula dengan yang dikemukakan oleh Leis William bahwa Advertising “represent” our experieces, but in a distorted and artificial manner. Its images come to replace reality; since they are composed pseudo event and pseudo-ideals.19 Iklan pun melibatkan pengembangan karakter umum atau kepribadian khalayak supaya dapat penyampaian pesan iklan produk dapat mudah diidentifikasi oleh khalayak. Terutama dalam iklan televisi memiliki banyak keunggulan dalam menyajikan pesan iklan. Interaksi dari pandangan dan suara menawarkan fleksibilitas dan memungkinkan dramatisasi, representasi manusia hidup dari produk dan jasa. Iklan TV dapat digunakan untuk menyampaikan suasana hati atau gambar untuk sebuah merek serta untuk mengembangkan strategi emosional atau menghibur yang membantu membuat produk lebih menarik. Dalam dunia kreatif periklanan bukanlah apakah untuk memilih emosional atau daya tarik rasional, melainkan, menentukan bagaimana menggabungkan dua pendekatan tersebut. Sebagai copywriter David Ogilvy dan Joel Raphaelson menyatakan “Few purchases of any kind are made for entirely rational reasons. Even a purely functional product such as laundry detergent may offer what is now called an emotional benefit—say, the satisfaction of seeing one’s children in bright, clean clothes. In some product categories the rational element is small. These include soft drinks, beer, cosmetics, certain personal care products, and most old-fashioned products. And who hasn’t experienced the surge of joy that accompanies the purchase of a new car?”20 19 William Leis, Stephen Kline and Shut Jhally. 1986. Social Communication in Advertising. Hal. 27. 20 D. McQuail. 2005. McQuail's Mass Communication Theory. (5th edition). London: Sage Publications. Hal. 273. bahwa beberapa pembelian dibuat untuk alasan yang rasional. Bahkan produk fungsional seperti deterjen kini menawarkan apa yang disebut dengan manfaat emosional, orang tua atau ibu yang mendapat kepuasan melihat anak-anak mereka mengenakan pakaian bersih. Dalam produk minuman ringan, bir, kosmetik, produk perawatan pribadi, dan produk kuno atau antik memiliki elemen rasional yang kecil. Dengan iklan yang kreatif, hubungan merek dengan konsumen terkadang menjadi tidak rasional. Banyak ahli mengatakan seharusnya iklan mendidik konsumennya agar lebih pintar dan tidak menjebak mereka dalam hal-hal imajiner yang seolah-olah paling ideal. Begitu banyak kritik untuk iklan, maka kini mulai banyak pula iklan terutama dalam bentuk kampanye yang menyuarakan tentang isu-isu sosial dan edukasi. 3. Peran Tradisional Gender Adam dan hawa dipercaya sebagai manusia pertama di dunia. Sosok laki-laki dan perempuan yang dianggap sebagai ayah dan ibu manusia. Kemudian muncul istilah kaum adam atau yang dimaksud laki-laki atau kaum hawa untuk perempuan. Laki-laki dan perempuan dengan sengaja dibedakan untuk memudahkan pemahaman dalam mengkategorikan seseorang. Kebanyakan orang menganggap laki-laki dan perempuan dibedakan itu hanya berdasar pada jenis kelamin yang mereka miliki secara biologis sejak lahir, dengan beracuan pada seks. Seks sebenarnya bukan satu-satunya cara untuk mengkategorikan seseorang sebagai laki-laki, perempuan, atau lainnya. Selain seks yang menjadi pembeda seseorang, gender juga dapat dijadikan acuan dalam membedakan seseorang. Dengan penemuan seksiologis John Money memperkenalkan perbedaan terminologis antara seks biologis dan gender sebagai peran pada tahun 1955. Sebelum temuan tersebut, jarang sekali menggunakan kata gender untuk merujuk kepada apa pun kecuali kategori gramatikal.21 Seks merupakan 21 Steven Seidman. 2007. Introducing the New Sexuality Studies: 2nd Edition. Routledge. Hal. 13. “kenyataan biologis” yang alamiah, sedang gender merupakan perolehan dari proses sosialisasi melalui kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.22 Pemahaman tentang gender mulai meningkat dengan penelitian ilmiah dalam menjelajahi asal-usul gender untuk memperluas pengertian masyarakat yang sebelumnya sederhana dan terbatas. Semakin banyak masyarakat yang mengenal gender, membuat gender sering kali menimbulkan perbedaan atau konflik, mungkin salah satunya karena pemahaman masyarakat dengan masyarakat yang lain tentang gender itu berbeda-beda. Sebagian masyarakat menggangap orang yang memutuskan untuk tidak menggunakan identitas seksualnya sebagai identitas gendernya, itu merupakan hal yang salah dan menyalahi kodrat. Akan tetapi, ada juga masyarakat yang progresif dan cukup terbuka dengan menerima fenomena tersebut. Konflik yang muncul tersebut, dapat dibedakan menjadi kognisi, afeksi, pengalaman aktif, perilaku, dan pengalaman ketidaksadaran. Tingkatan kognitif berasal dari cara-cara seseorang yang berfikir terbatas (restrictive) tentang peran-peran maskulin dan feminin.23 Pada tingkatan afektif berasal dari gangguan emosional yang mendalam tentang peranperan maskulin dan feminin. Pada tingkatan perilaku berasal dari pengalaman konflik yang nyata dengan maskulinitas dan femininitas sebagai mana berperilaku, bereaksi dan berinteraksi dengan diri sendiri dan orang lain. Konflik peran gender sebagai fenomena ketidaksadaran merepresentasikan konflik intrapsikis dan konflik-konflik yang direpresi ke bawah kesadaran mengenai maskulinitas dan femininitas.24 Konflik gender juga makin memuncak dengan adanya pro kontra masyarakat terhadap keterbukaan kaum LGBT. Berbagai istilah kemudian banyak bermunculan dengan kaum LGBT yang terbuka dengan identitas gender mereka. 22 A.Nunuk.P Murniati. 2004. Getar Gender edisi pertama. Magelang: Indonesiatera. Hal. 60. Meutia Nauly. 2002. Konflik Peran Gender pada Pria : Teori dan Pendekatan Empirik. Terarsip dalam http://library.usu.ac.id/download/fk/psikologi-Meutia.pdf. 24 Ibid. 23 Dengan muncul konflik kognisi hingga LBGT, perlu diingat bahwa gender itu lentur. Gender Fluidity memang tidak bisa dipaksakan atau diatur dengan ketat, ada berbagai aspek yang menghasilkan gender pada seseorang dan peran dalam masyarakat, seperti agama, kultur, ras, dan dari diri sendiri. Oleh karena itu gender tidak kaku, semakin lama gender semakin lentur. Fluiditas gender lebih fleksibel dari pada ekspresi gender, bahkan kepentingan dan perilaku seseorang dapat berubah dari hari kehari. Jenis kelamin yang berasal dari lahir sudah tidak lagi menjadi batasan-batasan dalam stereotip sebagai laki-laki maupun perempuan saja. Bagi sebagian orang, fluiditas gender melampaui perilaku dan minat, dan benar-benar berfungsi untuk khusus mendefinisikan identitas gender mereka.25 Sebelum gender lentur terhadap nilai, norma dan kultur yang ada di masyarakat, seseorang mau tidak mau harus hidup tengah masyarakat yang berpatokan dengan norma, dalam masyarakat. Individu yang tergabung di dalamnya harus berpatokan dengan norma. Akan tetapi, norma di suatu masyarakat berbeda satu dengan yang lain. Norma tersebut mengikat individu yang ada di dalamnya, kemudian mempengaruhi masyarakat satu dengan masyarakat yang lain, dan juga memperngaruhi peran-peran individu. Salah satu peran yang paling mendasar adalah peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Peran normatif tersebut itu sering kali membentuk atau mendesak terbentuknya peran tradisional gender. Peran tradisional gender sangat kuat di Indonesia karena kehidupan patriarki yang telah mengakar. Dalam masyarakat patrial, perempuan ditempatkan dalam posisi sub-ordinasi terhadap pria. Sistem patrilenieal dalam masyarakat Indonesia masih tumbuh subur, karena masih berkembang warna sisa-sisa feodalistik. Paham yang menempatkan hubungan perempuan dan laki-laki bersifat hierarki. Pria lebih dominan dan menentukan sementara 25 Education and suport service of gender diversity. Terarsip di www.genderdiversity.org/resources/terminology/. Diakses pada tanggal 3 Januari 2016. perempuan sub-ordinat, daripada memberikan andil penguasaan pada perempuan26. Sistem patriarki membedakan peran perempuan dan laki-laki dalam sebuah masyarakat. Patriarki tersebut yang kemudian juga membentuk peran tradisional gender. Meskipun tidak semua masyarakat di dunia menganut patriarki atau patriarki pada daerah satu dengan yang lain-lain berbeda, namun apabila digeneralisasikan dengan lingkup seluruh masyarakat dunia adalah masyarakat penganut paham patriarki. Masyarakat patriarki kebanyakan juga menganut peran tradisional gender dalam kehidupan sehari-hari, memposisikan laki-laki superior daripada perempuan. Peran gender tradisional dalam masyarakat patriarki membuat pembagian dan batasan yang berlaku luas di dalam masyarakat, bahkan perempuan ditempatkan pada sektor domestik dan laki-laki memonopoli ranah publik. Pada sektor publik perempuan diposisikan sebagai subordinat laki-laki dimana perempuan pada porsi hak milik rumah tangga dan distribusi pekerjaan rumah tangga dengan melayani kebutuhan sehari-hari untuk suami dan anak, serta mengurus pekerjaan rumah tangga. Status “kepala keluarga” yang pada umumnya dilekatkan pada suami mempunyai konotasi “kekuasaan”, sementara kata “ibu rumah tangga” bahkan “ratu rumah tangga,” yang melekat pada istri lebih dikonotasi “pengabdian” atau pelayan” daripada “kekuasaan”.27 Perempuan sebagai pengabdian atau pelayan dalam keluarga maka perempuan dalam rumah tangga bertugas melayani keluarga terutama pada suami, tidak setara dan tidak saling melayani, hanya dari istri untuk suami. Perempuan sebagai istri memiliki kewajiban untuk tunduk kepada suami sebagai kepala keluarga. Sebaliknya, sebagai kepala rumah tangga, pria diharapkan melindungi anggota keluarga dan mengambil peran publik, 26 Priyono Soemardoyo. 1999. Wacana Gender dan Layar Televisi. Yogyakarta:Penerbit FF Foundation dan LP3Y. Hal.63. 27 Muhadjir Darwin dan Tukiran. 2001. Menggugat Budaya Patriarki. Yogyakarta: Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT). Hal. 4. mencari nafkah melakukan urusan diluar rumah tangga.28 Sedangkan, pada hubungan seksual, perempuan sering kali dijadikan objek seksual bukan seorang rekan. Tidak hanya itu saja dalam dalam buku menggugat budaya patriarki, dijelaskan pula bahwa budaya patriarki juga terlihat pada perilaku yang berhubungan dnegan proses produksi. Perempuan memang orang yang akan hamil, melahirkan dan menyusui, itu tidak dapat dialami oleh laki-laki akan tetapi proses konsekuansi dan tanggung jawab saat kehamilan maupun mengasuh anak adalah kepentingan dua pasangan, tidak hanya perempuan atau ibu. Oleh karena itu, peran perempuan sebagai ibu rumah tangga di tempatkan sebagai posisi subordinat dipandangan masyarakat. Dia adalah peran pendukung bagi laki-laki, mengasuh anak, mengurus keluarga, memasak, dan membersihkan rumah. Pada kultur Jawa patrilineal, perempuan masih dipandang sebagai “konco wingking” atau orang belakang. Dimana kaum perempuan kerap kali diperlakukan sebagai subordinat dari kaum laki-laki.29 Perempuan yang mengurusi urusan belakang dan hanya pelengkap kebutuhan laki-laki. Tidak hanya suku Jawa saja, penggunakan budaya patriarki pada suku Batak sangat jelas terlihat, dalam potret tradisional digambarkan lakilaki sebagai pengangguran yang seharian menghabiskan waktu di warung kopi, sementara isterinya sejak pagi hari membanting tulang di ladang, di pasar, dan masih bekerja di rumah. Fenomena ini oleh perempuan batak seakan diterima sebagai realitas budaya dan bagi laki-laki batak, ini dianggap previllage yang memang datang dari "sononya".30 Anggapan bahwa perempuan ialah orang yang seharusnya mengurus kebutuhan domestik masih sangat kental. 28 N Widyarini. 2009. Menuju Perkawinan Harmonis. Jakarta: Elex Media Komputindo. Hal. 66. Sulistyowati Irianto. 2006. Perempuan dan hukum : menuju hukum yang berperspektif kesetaraan dan keadilan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hal. 176. 30 Meutia Nauly. 2002. Konflik Peran Gender pada Pria : Teori dan Pendekatan Empirik. Terarsip dalam http://library.usu.ac.id/download/fk/psikologi-Meutia.pdf. 29 Perempuan yang dianggap sebagai orang yang mengurus rumah tangga dibagi menjadi tiga hal utama yang harus dilakukan menurut Tomagola (dalam Subandi);31 a. Keapikan fisik dari rumah suaminya. b. Sebagai pengelola dari sumberdaya rumah tangga yang berupa: tenaga kerja yang tersedia dan keuangan rumah tangga. c. Sebagai istri dan ibu yang baik dan bijaksana, seorang wanita juga diharapkan dapat mengelola anak-anaknya mulai dari kesehatan fisik mereka, keapikan kamar dan pakaian, serta kemajuan pendidikan sekolah anak-anaknya. Apabila tiga hal tersebut tidak dilakukan atau dipenuhi dengan baik maka seorang perempuan akan dianggap seolah-olah gagal dalam melaksanakan tugasnya. Selain itu juga perempuan diharuskan selalu tampil memikat, objek pemuas laki-laki, meskipun mempunyai pendidikan tinggi ataupun gaji tinggi tetap harus mengurus keluarga. Kultur yang membentuk peran tradisional gender didukung dengan Indonesia yang mayoritas masyarakatnya beragama islam, membuat agama menjadi patokan perempuan dalam berperan. Perempuan dirasa tepat dalam memerankan peran domestik. Tetapi, salah satu faktor yang sangat signifikan dalam memposisikan perempuan sebagai makhluk domestik adalah fiqh.32 Terlihat dari ketentuan fiqh yang salah satunya tidak memperbolehkan istri pergi tanpa izin suami dan batasan dalam berkegiatan politik. Peran domestik pada perempuan yang melekat pada segala aspek di masyarakat mulai menemui perubahan. Terjadi perubahan peran tradisional gender sejak tahun 1960-an sampai sekarang, kaum perempuan pertamatama berjuang untuk mengidentifikasi diri mereka di tempat kerja lalu 31 32 Idi Subandi. 1998. Wanita dan media. Bandung: PT Rosdakarya. Hal. 337. Ismatu Ropi Jamhari. 2003. Citra Perempuan Dalam Islam; Pandangan Ormas Keagamaan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hal. 47. mendefinisikan ulang peran mereka dalam rumah tangga.33 Terjadinya perubahan peran tradisional gender tersebut didorong dengan munculnya feminisme, yang mendukung untuk menuju peran gender modern. Scanzoni (dalam jurnal Sri) membedakan pandangan peran gender menjadi dua bagian yaitu peran gender tradisional dan peran gender modern.34 a. Peran gender tradisional membagi tugas secara kaku berdasarkan jenis kelamin. Laki-laki yang mempunyai pandangan peran gender tradisional, tidak ingin perempuan menyamakan kepentingan dan minat diri sendiri dengan kepentingan keluarga secara keseluruhan, sedangkan isteri diharapkan mengakui kepentingan dan minat suami adalah untuk kepentingan bersama. Kekuasaan kepemimpinan dalam keluarga berada ditangan suami. Perempuan secara tradisional tinggal di rumah, setelah menikah perempuan mencurahkan tenaga untuk suami dan keluarga. b. Dalam peran gender modern tidak ada lagi pembagian tugas yang berdasarkan jenis kelamin secara kaku, kedua jenis kelamin diperlakukan sejajar atau sederajat. Laki-laki mengakui minat dan kepentingan perempuan sama pentingnya dengan minat laki-laki, menghargai kepentingan pasangannya dalam setiap masalah rumah tangga dan memutuskan masalah yang dihadapi secara bersama-sama. Dengan kehadiran feminisme yang mendukung peran gender tradisional menuju modern, feminisme bertujuan untuk meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajat laki-laki. Feminisme berasal dari bahasa Prancis tahun 1880-an sebagai perjuangan perempuan menuntut hak politiknya. Pada abad ke-20 berkembang merambah pada bidang ekonomi. Istilah feminisme masuk ke Indonesia sejak awal 1970-an 33 Fara Warner. 2007. The Power Of The Purse. Jakarta: Penerbit Pt Gramedia Pustaka Utama. Hal. 61. 34 S Supriyantini. 2002. Hubungan Antara Pandangan Peran Gender dengan Keterlibatan Suami dalam Kegiatan Rumah Tangga. Jurnal Psikologi http://library.usu.ac.id/download/fk/psikosri.pdf. dengan mulai bermunculan feminisme di jurnal dan surat kabar.35 Perjuangan perempuan untuk mendapatkan hak dan kesetaraan di dukung dengan dibentuknya Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan untuk penegakan hak asasi manusia perempuan Indonesia. Komnas Perempuan dibentuk melalui Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998, pada tanggal 9 Oktober 1998, yang diperkuat dengan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 serta bedasar pada Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW). Apabila membandingkan di Amerika, peran tradisional gender mulai berubah ketika muncul new woman atau perempuan baru pada abad 19. Dengan hadirnya new woman maka meruntuhkan stereotip model Victorian yang kuno dengan menolak peran tradisional perempuan. New woman identik dengan kecerdasan, lawan dari emosional, sangat publik lawan dari domestik atau privat, aktif lawan dari pasif, dan dalam banyak kasus, tidak reproduktif, lawan dari bersifat keibuan.36 Akan tetapi, mengingat kembali apabila di Indonesia yang masyarakatnya mayoritas beragama islam, feminisme mempunyai tantangan tersendiri dalam perjuangannya. Feminisme menurut islam adalah alat analisis maupun gerakan yang bersifat historis dan kontekstual sesuai kesadaran baru yang berkembang dalam menjawab masalah-masalah perempuan yang aktual menyangkut ketidakadilan dan ketidaksejajaran. Peran feminis muslim ini menuduh adanya kecenderungan misoginis (kebencian terhadap perempuan) dan patriarki (dominasi laki-laki) di dalam penafsiran teks-teks keagamaan klasik, sehingga menghasilkan tafsir-tafsir 35 Siti Muslikhati. 2004. Feminisme dan pemberdayaan perempuan dalam timbangan Islam. Jakarta: Gema Insani Press. Hal. 43. 36 Dewi Ulya Mailasari. 2010. Pembagian Peran Dalam Rumah Tangga Amerika. Jurnal PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010. Terarsip dalam http://download.portalgaruda.org/article.php?article=252069&val=6786&title=PEMBAGIAN% 20PERAN%20DALAM%20RUMAH%20TANGGA%20AMERIKA. Diakses pada 10 April 2016.Hal. 371. keagamaan klasik, sehingga menghasilkan tafsir-tafsir yang bias kepentingan laki-laki.37 Tafsir-tafsir tersebut lebih banyak condong pada laki-laki seperti harta waris, kepemimpinan, dan lain-lain. Sehingga, pergeseran peran tradisional gender terbentur dengan kultur dan agama yang ada di Indonesia. Dengan munculnya feminisme, peran domestik perempuan mulai berkurang. Perempuan harus selalu berkutat dengan pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak, laki-laki pun dapat mulai masuk ke dalam peran domestik. Laki-laki sebagai seorang ayah pun dapat ikut mengasuh anak mereka. Peranan ayah sebagai pengasuh yang aktif merupakan hal yang penting untuk mendefinisikan kembali maskulinitas. Dengan semakin banyaknya perempuan yang memasuki dunia kerja (termasuk di Indonesia), perempuan telah diasumsikan dengan peran pencari nafkah.38 Sehingga banyak dari karakteristik-karakteristik yang tadinya secara eksklusif dikaitkan dengan pria seperti ambisi, asertif, dan kompeten di dunia publik, kini dalam proses yang diterima sebagai bagian dari peran gender feminin.39 Penggambaran peran gender pria dan perempuan modern kini menjadi tumpang tindih apabila kedekatan emosi dan pengasuhan merupakan bagian dari definisi maskulin. Peran gender modern juga telah menginspirasi tontonan yang ditampilkan pada media. Seperti pada media asing cukup banyak menampilan peran gender modern, seperti program televisi Return of Superman (Korea), ayah yang mengasuh anaknya tanpa bantuan ibu. Sayang sekali itu tidak banyak terjadi di Indonesia, media-media di Indonesia tidak sepenuhnya mengalami pergeseran. Sinetron Indonesia masih banyak menggunakan peran tradisional gender sebagai pedoman dalam membuat cerita yang menarik, seperti diceritakan seorang ibu rumah 37 Ibid. Hal. 47. Meutia Nauly. 2002. Konflik Peran Gender pada Pria : Teori dan Pendekatan Empirik. Terarsip dalam http://library.usu.ac.id/download/fk/psikologi-Meutia.pdf. 39 Ibid. 38 tangga yang terlihat lemah pada sinetron Cinta Fitri. Tidak hanya pada sinetron saja, masih terdapat sisa-sisa peran tradisional gender di film dan iklan Indonesia. Di dukung pula dengan Tomagola yang mengemukakan bahwa iklan yang dimuat dalam majalah wanita Indonesia kontemporer ini lebih cenderung untuk “mendorong” wanita-wanita kelas menengah dan atas kembali ke dalam kerangkeng domestik mereka daripada menyejajarkan para wanita itu dengan laki-laki Indonesia.40 Berbagai media memang masih menggunakan tradisional gender untuk merepresentasikan perempuan . 4. Gender dan Media Kehidupan bermedia menjadi suatu yang tidak mungkin dihindari, adanya ketergantungan antara penyedia media maupun masyarakat yang menikmatinya, media juga merupakan salah satu alat utama dalam membentuk konstruksi gender pada masyarakat. Media yang ada saat ini memiliki jangkauannya yang luas, bisa menjadi alat yang efektif dalam menyelundupkan konstruksi gender kepada masyarakat. Media semakin merambah berbagai bentuk untuk terus berinovasi dan mendapatkan loyalitas masyarakat, hingga pertengahan tahun 1970-an pemerhati film, media dan kajian budaya terutama yang mempunyai ideologi feminisme, sangat memperhatikan citra perempuan di dalamnya. Figur perempuan dalam film terutama dalam film dengan genre perempuan semakin menarik para feminis, karena lebih mengedepankan yang secara tradisional dipandang sebagai sesuatu yang feminin. Begitu juga menurut Mulvey (dalam Hollows), perempuan sebagai citra dalam sinema mainstream dihasilkan sebagai tontonan untuk pandangan laki-laki. Perempuan hanya bisa berfungsi sebagai objek narasi dan menandakan kepasifan, sedangkan laki-laki adalah subjek aktif narasi.41 Bahkan dalam 40 41 Idi Subandi. 1998. Wanita dan media. Bandung: PT Rosdakarya. Hal. 331. Joanne Hollows. 2010. Feminisme, Feminitas, dan Budaya Populer. Yogyakarta: Jalasutra. Hal. 64. berita kriminal sering kali perempuan yang menjadi korban tidak sepenuhnya menjadi korban, seperti contohnya berita “anak perempuan diperkosa Ayah tiri karena memakai baju mini” sang anak perempuan tetap disalahkan, padahal yang bertindak kejahatan sudah jelas sang ayah tiri. Di Indonesia, masyarakat dalam melihat media lebih cenderung tidak kritis terhadap fakta maupun opini yang disampaikan oleh media. Wacana media massa mengenai perempuan lebih menunjukan intervensi ideologi patriarki, sehingga masyarakat pun ditambahi dengan media yang sebenarnya hanya mengangkat tentang dapur dan kamar, seperti apa yang dikatakan Ann Ferguson dalam karyanya Sexual Democracy (dalam Subandi), hanya memindahkan family based patriarchy ke public patriarchy.42 Memindahkan privasi kamar membuat perempuan pusat dimana seks menjadi yang utama, begitu pula dengan dapur para perempuan yang merumpikan sesuatu kemudian diangkat dalam media massa. Perempuan yang kini malah terpenjara dalam rumah tangga berdasarkan dari tekanan media yang masih menanamkan benih-benih ideologi patriarki. Di dalam cerita sinetron, telenovela, teledrama, novel, dan radio, perempuan masih di representasikan sebagai makhluk yang lemah, berada di rumah, pasif, bergantung pada laki-laki, melihat dirinya sebagai simbol seks. Oleh karena itu cukup masuk akal apabila ada salah satu kesimpulan dari seminar kampus pada tahun 1994 (dalam Subandi) bahwa ‘‘citra wanita dan media massa” menyatakan bahwa “cita wanita masih jalan di tempat” alias status quo tidak mengalami banyak perubahan, meskipun masyarakat kota telah hidup dalam “budaya laki-laki (male dominated culture)”.43 Media dengan sengaja merepresentasikan perempuan di iklan, tabloid, majalah, dan di televisi masih merepresentasikan perempuan hanya dengan memakai wajah dan tubuh saja padahal tidak hanya memiliki tubuh, rambut, dan paras yang indah tapi kini perempuan dilihat sebagai makhluk 42 43 Idi Subandi. 1998. Wanita dan media. Bandung: PT Rosdakarya. Hal. xLiii. Idi Subandi. 1998. Wanita dan media. Bandung: PT Rosdakarya. Hal. 95. utuh yang juga memiliki kemampuan untuk memimpin, berkarya, berilmu, dan sebagainya. Tetapi media belum sepenuhnya merepresentasikan perempuan yang lebih modern, masih banyak yang setia menampilkan perempuan dan laki-laki dengan peran tradisional. G. Metodologi Penelitian 1. Metode penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan nama yang diberikan bagi paradigma penelitian yang terutama berkepentingan dengan makna dan penafsiran.44 Kualitatif lebih banyak digunakan untuk mengemukakan gambaran atau pemahaman mengenai bagaimana dan suatu gejala atau realitas komunikasi terjadi. Bukan dimaksudkan untuk memberikan penjelasan, mengontrol gejala, menjelaskan prediksi maupun menguji teori. Paradigma yang digunakan yaitu paradigma kritis. Menurut Hall (dalam Eriyanto) paradigma kritis adalah adanya kekuatan-kekuatan yang berbeda dalam masyarakat yang mengontrol proses komunikasi.45 Oleh karena itu, paradigma ini percaya bahwa media adalah sarana di mana kelompok dominan dapat mengontrol kelompok yang tidak dominan bahkan memarjinalkan mereka dengan menguasai dan mengontrol media. Salah satu sifat dasar dari teori kritis adalah selalu curiga dan mempertanyakan kondisi masyarakat dewasa ini. Sedangkan untuk metode penelitian, peneliti menggunakan semiotik. Semiotik adalah ilmu mengenai tanda, kata semiotika itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, semeion berarti tanda atau seme berarti penafsir tanda. Semiotika dikatakan kajian yang berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika dan poetrika. Seperti yang diungkapkan 44 Jane Stokes. 2006. How To Do Media And Cultural Studies: Panduan Untuk Melaksanakan Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya (Santi Indra Astuti, Penerjemah.) Yogyakarta: Bentang. Hal. Xi. 45 Eriyanto. 2001. Analisis Wacana, Pengantar Analisis Isi Media. Yogyakarta : LKIS. Hal. 23. Saussure (dalam Sobur) bahwa semiotika yakni ilmu yang mengkaji tentang peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial.46 Begitu pula dalam penjelasan Little John (dalam Sobur) bahwa tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi.47 Dengan tanda lebih mempermudah manusia dalam berkomunikasi, memahami tanda membuat komunikasi lebih mudah dipahami maksud dan tujuan serta kandungan makna yang ada di dalamnya. Banyak para ahli seperti Pierce, Saussure, Eco dan Barthes yang mencoba menjelaskan bermacam-macam tanda yang digunakan dan menarik untuk dikaji, yakni bagaimana tanda menimbulkan arti, bagaimana tanda berhubungan, apa yang tanda pancarkan tentang masyarakat kita dan kebudayaannya serta masalah-masalah yang mereka tunjukkan bagi ahli pembaca tanda-tanda (semiologis) atau interpretasi tanda-tanda yang lain. Bila menurut Barthes (dalam Sobur) yaitu “pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things).”48 Memaknai tanda berarti objek-objek itu hendak berkomunikasi tidak hanya membawa informasi saja. Para ahli banyak menjelaskan bagaimana semiotik dibedakan atau jenisnya. Dapat disimpulkan dari para ahli bahwa studi semiotika disusun dalam tiga poros yaitu horizontal, vertikal, sarana informasi. Poros horizontal : murni, deskriptif, dan terapan. Poros vertikal : sintaktik, sematik, dan pragmatik. Poros sarana informasi : signals, sign, dan simbol. Dengan penjelasan semiotika yang mempelajari tentang tanda untuk membongkar makna dan tafsiran dalam tanda tersebut, maka dirasa sesuai untuk meneliti objek penelitian yaitu, iklan televisi merepresentasikan peran tradisional gender perempuan. 2. 46 Pengumpulan Data Alex Sobur. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya. Hal. Vii. Ibid. Hal. 15. 48 Ibid. Hal. 15. 47 dalam Pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan secara cermat terhadap Vit edisi Inspeksi Mertua (2015) dan Aqua Selalu #PilihyangBaik untuk Keluarga (2016). Selain melakukan pengamatan terhadap video iklan, peneliti juga melakukan studi pustaka untuk menambah informasi dan pemahaman mengenai representasi peran tradisional gender, feminisme, dan periklanan. Informasi tersebut bersumber dari buku, penelitian terdahulu, jurnal, web serta artikel yang sudah ada baik dalam bentuk fisik maupun online. 3. Analisis data Untuk mengungkap atau menafsirkan tanda-tanda yang ada dalam video iklan Vit edisi Inspeksi Mertua dan Aqua Selalu #PilihyangBaik untuk Keluarga perlu adanya teknik analisis untuk menafsirkan tanda dalam iklan tersebut. Peneliti menggunakan semiotik Roland Barthes, ia banyak menggunakan analisisnya untuk meneliti produk budaya media seperti iklan, film, drama, dan lain sebagainya. Barthes menghasilkan berbagai esai berhubungan dengan segala bidang kehidupan yang mengkaji berbagai hal dari mulai televisi, iklan, produk-produk yang digunakan sehari-hari, sastra, fotografi bahkan fashion. Sebenarnya semiologi Barthes mengacu pada Saussure atau juga dapat dikatakan penerus pemikiran Sausurre yang mempelajari hubungan antara penanda dan petanda dengan mengembangkannya. Barthes fokus terhadap interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Barthes juga banyak mengahabiskan banyak waktunya untuk menguraikan konotasi pemikirannya yang dikenal dengan “order of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Ada pula tabel untuk mempermudah pemahaman dari gagasan Barthes tersebut tentang signifikasi dua tahap (two order of signification) sebagai berikut; 1. Signifier 2. Signified (penanda) (petanda) 3. Denotative sign (tanda denotatif) 4. CONNOTATIVE SIGNIFIER (PENANDA KONOTATIF) 5. CONNOTATIVE SIGNIFIED (PETANDA KONOTATIF) 6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF) 1.1 Tabel peta tanda Roland Barthes Dari tabel diatas bahwa tanda denotatif terdiri atas penanda dan petanda, jadi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified didalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal atau disebut sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Denotasi merupakan penandaan primer (sistem penandaan tingkat pertama) yang merupakan penunjukan arti literatur atau yang eksplisit dari gambar, kata-kata dan fenomena yang lain. Akan tetapi, dalam waktu yang bersamaan tanda denotatif adalah juga tanda konotatif. Konotasi menggambarkan hubungan yang terjadi saat suatu tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi melibatkan simbolsimbol, sejarah dan hal-hal yang berhubungan dengan emosional. Konotasi mempunyai makna yang subyektif atau paling tidak inter-subyektif. Dapat disimpulkan bahwa denotasi adalah apa yang telah digambarkan tanda terhadap sebuah obyek, sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya. Seperti halnya yang dikemukakan Cobley dan Jansz (dalam Sobur) hal tersebut merupakan unsur material: hanya jika anda mengenal tanda “sign”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan dan keberanian menjadi mungkin.49 49 Ibid. Hal. 69. Selain itu, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai “mitos”, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.50 Mitos menurut Barthes terletak pada tataran kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem tanda-penanda-petanda maka tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi setelah terbentuk sistem tanda-penandapetanda, tanda tersebut akan menjadi petanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Mitos merupakan cara berpikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu, atau juga dapat dimaksud dengan suatu cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu hal tertentu. Mitos adalah cerita yang digunakan suatu kebudayaan untuk menjelaskan atau memahami beberapa aspek dari realitas atau alam.51 Pada dasarnya semua hal dapat menjadi mitos, satu mitos timbul untuk sementara waktu dan tenggelam untuk waktu yang lain karena digantikan oleh berbagai mitos lain. Mitos menjadi pegangan atas tanda-tanda yang hadir dan menciptakan fungsinya menjadi penanda untuk memainkan pesan-pesan tertentu yang boleh jadi berbeda sama sekali dengan makna asalnya. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem signsignifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. Analisis semiotik untuk iklan membutuhkan alat untuk meneliti audio dan visual, salah satunya dijelaskan oleh Kress dan Leeuwen yang menyatakan bahwa dalam kajian semiotik visual melalui warna juga tidak terlepas dari hal-hal yang berhubung kait dengan mitos dan budaya yang 50 51 Ibid. Hal. 71. Ibid. Hal. 126. berlaku kerana ia akan mengandungi makna yang berbeda-beda tergantung budaya yang berlaku di suatu negara. 52 Tidak hanya itu saja, dalam analisis semiotik terdapat bahasa yang di analisis latar belakangnya, bagaimana penggunaan bahasa itu, maka usaha untuk memaknai teks yang dihubungkan dengan aspek diluar bahasa yang biasa disebut dengan konteks. Teks dan konteks tersebut akan membentuk makna, yang kemudian dalam teks dan konteks tersebut terdapat intratekstualitas dan intertekstualitas. Intratekstualitas berfokus tanda dalam teks, sedangkan intertekstualitas lebih fokus pada hubungan antar teks. Oleh karena itu untuk memahami harus menghubungkan teks satu dengan teks-teks lainnya yang mendahuluinya, dan teks hanya melanjutkan, melengkapi, mengubah, ataupun mengalihkannya. Tidak ada teks yang berdiri sendiri dengan kata lain penciptaan dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks lain. Intertekstualitas menarik perhatian pada teks terdahulu yang memiliki makna bila suatu hal telah ditulis terlebih dahulu. Selain itu intertekstualitas juga menuntun untuk mengetahui teks dengan mnagrtikan kode dengan kemungkinan arti yang sangat bervariasi, seperti variasi bahasa atau makna budaya yang berkaitan dengan kode dari suatu kebudayaan. Sebenarnya pemikiran tentang intertekstualitas dimulai karena ketidakpuasan para kritikus sastra terhadap gagasan kaum strukturalis tentang otonomi sebuah karya, sehingga muncullah pemikiran tentang intertekstualitas. Tokoh yang mengemukakan atau menggagas intertekstualiatas antara lain oleh Roland Barthes, Todorov, Rifatterre, dan Julia Kristeva. Julia Kristeva dengan pemikiran feminis prancis yang disebut-sebut memperkenalkan proses pemasukan bentu atau kata lain dengan sebutan intekstualitas tentang beragamnya suara sebuah teks: polifoni, dialogisme 52 Gunther Kress & Van Leeuwen. 2002. Colour as a semiotic mode: Notes for a grammar of colour. Journal of Visual Communication. Jurnal visual communication Vol 1(3): 343–368. Terarsip pada http://vcj.sagepub.com/content/1/3/343. Diakses pada 9 Maret 2016 dan heteroglosia. Menurut kristeva intertekstualitas adalah pluralitas teks yang tak tereduksi di dalam dan di balik setiap teks, di mana fokus pembicaraan tidak lagi pada subjek (pegarang) tapi pada produktivitas tekstual.53 Barthes juga dalam esainya The Death of the Author (1968) maka kesadaran seorang pembaca akan konteks dimana teks diproduksi, dialusi, diparodi, dan sebagainya, merupakan kerangka utama dalam menginterpretasi teks. Barthes mengingatkan bahwa dari perspektif intertekstualitas, ‘jumlah-jumlah yang telah membuat sebuah teks adalah anonim, tak dapat dilacak, dan akhirnya tidak selalu dapat dibaca; fungsinya ini adalah sesuatu yang sukar- sebagai ‘siap baca’.54 Intertekstualitas juga dapat disebut sebagai pengulangan bukan representasi. Dengan demikian maka teks yang ada dalam iklan dapat dianalisis hibungannya dengan teks lain untuk menghasilkan makna dalam iklan Aqua Selalu #PilihyangBaik untuk Keluarga dan Vit edisi Inspeksi Mertua. Selain itu, untuk memudahkan penelitian maka perlu adanya instrumen analisis iklan terdiri dari camera shot, pergerakan kamera, audio, bahasa, dan lain sebagainya. Perlu adanya tabel yang dipergunakan untuk penelitian audio visual iklan Aqua dan Vit. Tabel dibawah merupakan unit penelitian yang dibuat oleh FX Darwanto yang disesuaikan dengan kebutuhan peneliti. Unit Penelitian55 53 No Unit Terteliti Unsur Sub Unsur 1. Bahasa Verbal Dialog Gaya Bahasa, voice quality Dra. Indiyah Prana Amertawengrum, M.Hum. 2010. TEKS DAN INTERTEKSTUALITAS. Terarsip pada http://download.portalgaruda.org/article.php?article=253156&val=6820&title=TEKS%20DAN %20INTERTEKSTUALITAS . Diakses pada 28 Juni 2016. 54 Tim Boemiputra. 2012. Djoernal Sastra: Edisi Lengkap: 2007-2011. Tangerang: Boemiputra. 55 FX Darwanto. 1992. How Non-Verbal Behaviour is Used In The Structure of Conversation. Jurnal Atma nan Jaya: Majalah Ilmiah Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya No.2. Thn V. Hal 137-146. 2. 3. Bahasa NonVerbal/Visual Audio Karakteristik Pilihan kata Warna Jenis warna Subjek/Objek iklan Aktor (Penampilan dan identitas yang di bawa) benda Ekspresi subjek dan objek iklan Facial Expression Setting Tempat, waktu, dan suasana Action Posture, gesture, the eye, touch, personal space Teknik pengambilan gambar Camera shot dan gerakan kamera Jenis musik Irama musik dan sound efect Unsur Subunsur Keterangan Kesan Teknik Pengambilan Gambar Extreme long shot Pengambilan gambar dari jarak sangat jauh Luas berhubungan dengan view Long shot Pengambilan gambar dari jarak jauh Memperhatikan setting objek yang lebih signifikan Medium long shot Pengambilan gambar dari jarak jauh Memperlihatkan profil objek Medium shot Pengambilan gambar dari jarak sedang Memperlihatkan profile dan aktivitas objek Medium close up Pengambilan gambar dari Memperlihatkan profile objek secara lebih detail jarak cukup dekat lens and camera movement Transformations Close up Pengambilan gambar dari dekat, terlihat wajah keseluruhan Memperlihatkan ekpresi objek Extreme close up Pengambilan gambar sangat dekat ke objek Keintiman Till down Kamera mengarah ke bawah Kekuasaan, kesewenangan Till up Kamera mengarah ke atas Kelemahan, pengecilan Dolly in Kamera bergerak ke dalam Observasi, fokus Zoom in Pergerakan fokus kamera mendekati objek Memperkecil view Zoom out Pergerakan fokus kamera mendekati objek Memperbesar view Pan right Kamera bergerak ke kanan Menunjukan lebih detail Pan left Kamera bergerak ke kiri Menunjukan lebih detail Follow Kamera mengikuti objek Menunjukan aktivitas framing Objek berada dalam framing shot Fokus pada objek dalam bingkai Fade in Gambar kelihatan pada Permulaan layar yang kosong fade out Gambar dilayar jadi hilang Penutupan Cut Pergantian gambar secara mendadak dari gambar satu ke gambar lainnya Keseimbangan adegan, menarik wipe Pergantian adegan secara perlahan dengan mendorong satu adegan dengan adegan lain “penentuan” kesimpulan Tabel 1.2