BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN A. Penelitian Terdahulu Sependek pengetahuan peneliti, penelitian tentang komunikasi organisasi dan gender sudah banyak dilakukan sebelum peneliti kali ini, namun sebagian banyak dari mereka lebih memfokuskan pada penelitian yang mengkaji tentang komunikasi organisasi saja atau yang berkaitan dengannya. Penelitian genderpun banyak diteliti oleh para peneliti sebelumnya. Namun ada perbedaan mendasar yang terdapat pada penelitian kali ini yaitu peneliti meneliti tentang komunikasi organisasi dan menjadikan gender sebagai perspektif. Objek penelitian kali ini adalah organisasi intra senat mahasiswa IAIN Jember. Peneliti memfokuskan pada ketimpangan relasi yang terjadi di organisasi senat mahasiswa IAIN Jember. Adapun beberapa penelitian terdahulu yang mengarah pada gender dan komunikasi organisasi adalah sebagaimana berikut: Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Siti Zakiyatul Hasanah mahasiswa STAIN Jember angkatan 2004 dengan judul citra wanita dalam iklan di televisi perspektif gender. Penelitian tersebut dilakukan di jember untuk memenuhi tugas akhir perguruan tinggi untuk meraih gelar S1 dan telah disahkan pada bulan april tahun 2008. Penelitian tersebut menjadi cukup menarik karena menurut peneliti didalam penelitiannnya seorang wanita hanya menjadi bahan eksploitasi media. Segala hal yang berkaitan dengan alat-alat 13 14 kecantikan dan perabot rumah tangga sudah pasti mengunakan seorang wanita sebagai model iklan dengan menamppakkan auratnya, tanpa mereka sadari media telah memanfaatkan wanita sebagai bahan untuk menjual produk yang diiklankan. Penempatan posisi antara laki-laki dan perempuan pun yang dikonstruksi oleh media melalui iklan itu sangat terlihat tidak seimbang, sehingga terjadi ketimpangan gender dalam hal tersebut Hasil dari penelitian tersebut ditemukan bahwa penggambaran terhadap wanita masih membakukan penggambaran lama yaitu wanita hanya sebagai citra pigura, citra pilar rumah tangga, citra pergaulan, dan citra peraduan. Dalam penelitian ini juga ditemukan penggambaran secara stereotip yang terus menimpa para kaum wanita. Penelitian ini termasuk kategori penelitian analisis teks media, karena peneliti meneliti sebuah teks iklan yang kemudian gender dijadikan sebagai perspektif. Metodologi yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan semiotika komunikasi dan signifikasi. Adapun langkah penelitian yang dilakukan yaitu peneliti melihat keseluruhan teks dalam iklan yang dikaji secara khusus, kemudian dipaparkan dalam bentuk narasi. Sedangkan dalam menganalisa data peneliti menggunakan kualitatif interpretatif, dimana peneliti berusaha menafsirkan dan memahami makna dibalik tanda dan teks dalam iklan. Metode tersebut dianggap lebih relevan dan objektif dalam menemukan hasil penelitian. Penelitian tersebut hampir sama dengan penelitian kali ini namun perbedaanya adalah peneliti kali ini meneliti tentang komunikasi organisasi yang berada di 15 SEMA IAIN Jember dan dianalisis menggunakan Gender. Atau lebih tepatnya menjadikan Gender sebagai perspektif. Kedua, penelitian yang dilakukan pada bulan agustus tahun 2011 dengan judul “penerapan komunikasi organisasi dalam kegiatan pengajian muslimat NU dusun Darungan desa Seruni Jenggawah Jember”, fokus penelitiannya untuk mengetahui bagaiman penerapan serta proses komunikasi yang ada dalam organisasi muslimat NU dan bagaimana pula efek yang ditimbulkan dari penerapan komunikasi, apakah berdampak kognitif atau konatif ?. Tujuan penelitian tersebut untuk mendiskripsikan penerapan, proses, serta efek komunikasi organisasi dalam kegiatan pengajian Muslimat NU. Pengumpulan datanya menggunakan metode interview, observasi, dokumenter dan kepustakaan. Analisis data yang digunakan adalah analis kualitatif deskriptif, dilakukan untuk mempermudah peneliti dalam melakukan penelitian. Kemudian hasil penelitiannya yaitu penerapan komunikasi organisasi berjalan lancar, baik, komunikatif baik yang diorganisasi internal maupun eksternal yang meliputi komunikasi formal dan informal, yang bahasa verbal dan nonverbal. Proses komunikasi yang terjadi terlihat baik karena telah meliputi 5 unsur: komunikator, komunikan, peran, media dan ada efek dari komunikasi tersebut. Begitu juga efek yang terlihat dari penerapan proses meliputi efek kognitif, afektif dan konatif. penelitian tersebut memiliki kesamaan yaitu meneliti tentang komunikasi organisasi, namun terdapat perbedaan yang sangat mendasar pada objek penelitiannya. Objek penelitian 16 tersebut adalah pengajian muslimat NU sedangkan objek penelitian kali ini adalah SEMA IAIN Jember. Ketiga, penelitian yang pernah dilakukan oleh Mufida Ulfa mahasiswi STAIN Jember pada tahun 2009 dengan judul kesetaraan gender dalam tafsir al mishbah ( karya M Quraish Shihab ) penelitian ini dilakukan untuk mengkaji penafsiran M. Quraish Shihab terhadap ayat-ayat gender dalam kitab al mishbah. Metode yang digunakan adalah metode maudhu‟i deskriptif pendekatan historis, dalam pengumpulan data peneliti menggunakan metode dokumenter. Penelitian tersebut adalah penelitian pustaka ( library research ), dalam menganalisa data digunakan analisis isi ( content analisys ) dan menggunakan analisis gender. Hasil penelitian dari peneliti tersebut menunjukkan bahwa M.Quraish Shihab adalah seorang penafsir moderat yang berusaha berada ditengah-tengah antara dua penafsiran yang berbeda. Beliau mengartikan kesetaraan gender dengan makna kemitraan dan saling tolong menolong. Metode analisis data yang digunakan menata secara sistematis catatan hasil observasi dan wawancara. Penelitian tersebut dengan penelitian kali ini sama-sama berbicara tentang gender, namun ada perbedaan yang sangat mendasar yaitu penelitian tersebut adalah penelitian pustaka (library research) sedangkan penelitian ini penelitian lapangan yang menggunakan metode kualitatif deskriptif. Keempat, Penelitian yang pernah dilakukan oleh Wahyu Yogi Aprianto dan Prof. Dr. Farida Hanum dengan judul Peran Kesetaraan Gender Dalam Organisasi Islam: Studi Pada Pimpinan Daerah Aisyiyah Kota Yogyakarta 17 menyimpulkan bahwa peran kesetaraan gender Aisyiyah Kota Yogyakarta dalam organisasi Muhammadiyah yaitu sebagai mitra dalam setiap kegiatan dan pada rapat pleno pengambilan keputusan. Kesetaraan gender dalam pandangan Aisyiyah Kota Yogyakarta adalah bagaimana memberikan porsi yang sama antara laki-laki dengan perempuan dalam kepengurusan di Muhammadiyah. Program-program yang berkesetaraan gender yaitu pemberian pendidikan HAM, pendidikan kesetaraan gender, pendidikan politik kepada para anggota serta kader Aisyiyah untuk memberikan pemahaman agar mereka terakomodir dalam kepengurusan Muhammadiyah. Peneletian tersebut berbicara soal kesetaraan gender di organisasi ekstra sedangkan penelitian ini berbicara soal Gender dalam konteks organisasi intra mahasiswa. Kelima, Kesetaraan Gender dalam Organisasi Kemahasiswaan: Harapan dan Realita, penelitian ini dilakukan oleh Mahmudi Siwi, SP penelitian ini menitik beratkan pada tiga hal yaitu : (1) proses sosialisasi nilai dan peran gender pada mahasiswa di lingkungan sosialnya yang terbagi dalam tiga wilayah, yakni keluarga, tempat kost dan perkuliahan; (2) karakteristik organisasi kemahasiswaan dan peranannya dalam sosialisasi nilai dan peran gender terhadap mahasiswa; dan (3) perilaku mahasiswa dalam berorganisasi yang dilihat dengan pendekatan gender. Penelitian ini dilaksanakan di Institut Pertanian Bogor (IPB), Desa Darmaga, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat selama 2 (dua) bulan mulai bulan September 2003 sampai dengan Oktober 2003. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan strategi studi kasus. 18 Subyek penelitian dipilih berdasarkan tipologi organisasi yang telah ditentukan terlebih dahulu. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa : pertama, pada ketiga wilayah lingkungan sosial mahasiswa (keluarga, kost dan kampus) terjadi perbedaan dalam sosialisasi nilai peran dan gender mahasiswa dengan nilai dan peran gender yang berlaku di masyarakat. Hal tersebut disebabkan prosesnya yang lebih terbuka dan demokratis sehingga memunculkan pemahaman baru pada orang tua tentang relasi laki-laki dan perempuan. Kedua, sosialisasi nilai dan peran gender juga terjadi ketika mahasiswa telah masuk dalam organisasi. Sosialisasi nilai dan peran gender yang terjadi ketika masih aktif dalam organisasi justru lebih kuat dalam mempengaruhi perilaku mahasiswa dalam berorganisasi. Ketiga, pada tipologi organisasi yang berbeda dengan dicirikan oleh karakteristiknya, menyebabkan pembagian kerja gender yang berbeda pula. Organisasi seperti BKIM IPB, HMI Cabang Bogor dan AGRIASWARA pembagian kerja yang terjadi antara pengurus laki-laki dan perempuan tidak disandarkan pada jenis kelamin, melainkan berdasarkan diskripsi kerja jabatan. Namun, pada BEM KM IPB, DPM KM IPB dan MENWA pembagian kerjanya masih dilandasi stereotipe terhadap mahasiswa perempuan. Stereotipe bahwa mahasiswa perempuan adalah individu yang ulet, teliti, rajin, rapi, dan tekun menyebabkan pengurus perempuan dalam organisasi BEM KM IPB, DPM KM IPB dan MENWA masih menempati posisi yang merupakan kepanjangan dari peran domestik perempuan. Keempat, mahasiswa IPB baik laki-laki maupun perempuan memiliki akses yang sama untuk aktif di 19 kepengurusan dalam organisasi kemahasiswaan. Kesempatan tersebut terbuka dan berlaku untuk semua kasus organisasi yang dijadikan subyek penelitian. Namun, mahasiswa perempuan belum memiliki control yang sama seperti mahasiswa laki-laki seperti yang tergambar pada organisasi BEM KM IPB, DPM KM IPB dan MENWA. Kelima, berdasarkan alat analisa GAD (Gender and Development), yakni pembagian kerja gender, akses dan kontrol terhadap sumberdaya serta manfaat yang diperoleh, maka perilaku berorganisasi mahasiswa IPB dipengaruhi oleh permasalahan struktural dan sistem keorganisasian di IPB. Dalam penelitian tersebut hampir sama dengan penelitian ini yaitu sama-sama menjadikan Gender sebagai perspetif dalam komunikasi organisasi, namun hal itu tentulah berbeda konteks dengan penelitian kali ini. Karena peneliti kali ini berbicara Gender dalam konteks organisasi SEMA IAIN Jember yang belum pernah disentuh oleh orang lain. Artinya peneliti kali ini benar-benar meneliti sesuatu yang memang murni belum pernah dilakukan orang lain dan penelitian kali tidak ada unsur plagiasi terhadap penelitian orang lain. B. Kajian Teori 1. Komunikasi Organisasi Dan Kepemimpinan Pengertian Ruben dan Steward (1998: 16) mengenai komunikasi manusia yaitu: Human communication is the process through which individuals –in relationships, group, organizations and societies—respond to and create messages to adapt to the environment and one another. (Bahwa komunikasi manusia adalah proses yang melibatkan individu- 20 individu dalam suatu hubungan, kelompok, organisasi dan masyarakat yang merespon dan menciptakan pesan untuk beradaptasi dengan lingkungan satu sama lain). Berkomunikasi merupakan suatu kebutuhan hidup manusia. Dengan berkomunikasi manusia akan dapat berhubungan antara satu dengan yang lain, sehingga kehidupan manusia akan bermakna. Disisi lain ada sejumlah kebutuhan dalam diri manusia yang hal itu hanya dapat dipenuhi melalui komunikasi dengan sesama. Semakin banyak manusia itu melakukan aktivitas komunikasi antara satu dengan yang lainnya, maka akan semakin banyak pula informasi yang didapatnya, dan semakin besar peluang keberhasilan seseorang itu dalam kehidupannya. Komunikasi sebagai salah satu aspek terpenting namun juga kompleks dalam kehidupan manusia. Manusia sangat dipengaruhi oleh komunikasi yang dilakukannya dengan manusia lain, baik yang sudah dikenal maupun yang belum dikenal. Komunikasi memiliki peran yang sangat vital bagi kehidupan manusia, karena itu kita harus memberikan perhatian yang seksama terhadap komunikasi (Morissan, 2013: 1-2). Komunikasi bersifat sosial dalam masyarakat sehari-hari, dan sering berlangsung secara verbal, yaitu melalui percakapan dan atau bahasa tertulis, tetapi komunikasi nonverbal juga memainkan peran penting dalam komunikasi sehari-hari. Komunikasi nonverbal meliputi, ekspresi muka, bahasa tubuh atau gerak gerik, postur tubuh sampai kepada pakaian yang digunakan berkonstribusi terhadap pesan yang diterima. 21 Didalam melangsungkan hubungan antar manusia yang satu dengan yang lain maka komunikasi harus dilakukan secara continue karena dengan adanya komunikasi yang bersifat continue maka akan tercipta hubungan yang harmonis antara kmunikator dengan komunikan, seperti yang dikutip dalam buku yang berjudul ilmu komunikasi suatu pengantar: Komunikasi berlangsung secara terus menerus dan berkesinambungan, sengaja atau tidak sengaja tentang berbagai hal, misalnya, mengutarakan persepsi, pendapat, perasaan, dan identitas diri kepada orang lain. Diam atau tidak melakukan apapun adalah komunikasi. Tertawa terbahak-bahak atau memakai pakaian dengan warna menyala, seperti merah, sebagai perilaku non verbal yang wajar dalam suatu pesta, namun dipersepsi kurang beradab bila hal itu ditampakkan dalam acara pemakaman. Seorang tamu yang diterima penghuni dihalaman rumah menunjukkan tingkat penerimaan yang berbeda bila dibandingkan dengan penerimaan diteras, diruang tamu, ruang tengah, dan dikamar pribadi (Dedi Mulyana, 2012: 114). Dalam komunikasi diperlukan sedikitnya tiga unsur yaitu sumber (source), berita atau pesan (message), dan sasaran (destination). Sumber dapat berupa individu atau organisasi. Berita atau pesan dapat berupa tulisan, gelombang suara atau komunikasi arus listrik, lambaian tangan, bendera berkibar, atau benda lain yang mempunyai arti. Sasaran bisa berupa seorang pendengar, penonton, pembaca, anggota dari kelompok diskusi, mahasiswa, dan lain-lain. 22 Kemudian komunikasi terbagi menjadi beberapa bagian yaitu : komunikasi intra pribadi, komunikasi antar pribadi, komunikasi kelompok, komunikasi massa, dan komunikasi organisasi. Komunikasi organisasi dapat didefinisikan sebagai pertunjukan dan penafsiran pesan di antara unitunit komunikasi yang merupakan bagian dari suatu organisasi tertentu. Komunikasi organisasi adalah proses penciptaan makna atas interaksi yang menciptakan, memelihara, dan mengubah organisasi. Struktur organisasi cenderung mempengaruhi komunikasi, dengan demikian komunikasi dari bawahan kepada pimpinan sangat berbeda dengan komunikasi antar sesamanya. Tidak jauh beda dengan apa yang dikemukaan Morissan Dalam hubungannya antara komunikasi dengan organisasi, Morissan menyebutkan dalam bukunya “teori komunikasi dari individu hingga massa” bahwa kegiatan komunikasi dalam organisasi ialah pola-pola yang mempengaruhi kehidupan organisasi. Salah satu hasil komunikasi adalah struktur dalam pengertian adanya garis-gariskomunikasi. Namun demikian, garis organisasi hanya salah satu dari sekian banyak element struktur. Kita dapat melihat organisasi dari berbagai hal seperti siklus perilaku, identitas, identitas dan kontrol, budaya, iklim dan hubungan kekuasaan dan banyak juga yang lainnya. Ditinjau dari sisi negatifnya struktur dapat menciptakan bentukbentuk berdasarkan atas ras, gender dan faktor-faktor lainnya. (Morissan, 2013: 386-387). Organisasi merupakan sekumpulan beberapa orang yang memiliki tujuan yang sama, dalam suatu organisasi manegerial merupakan suatu hal 23 yang sangat mendasar karena dalam mewujudkan visi bersama diperlukan adanya management organisasi sebagai landasan dasar menjalankan tugas pokok dan fungsi dari semua element pengurus mulai dari atasan sampai bawahan. Di dalam sebuah organisasi pemimpin berfungsi sebagai komunikator. Pemimpin yang efektif pada umumnya memiliki kemampuan komunikasi yang efektif, sehingga sedikit banyak akan mampu merangsang partisipasi orang-orang yang dipimpinnya. Dia juga harus piawai dalam melakukan komunikasi baik komunikasi verbal maupun non verbal. Komunikasi verbal yang baik dapat dilakukan dengan menggunakan tutur kata yang ramah, sopan, dan lemah lembut. Komunikasi non verbal dapat dilakukan dengan mengkomunikasikan konsep-konsep yang abstrak misalnya kebenaran, keadilan, etika, dan agama secara non verbal yaitu menggunakan bahasa tubuh. Ada enam elemen penting yang perlu diperhatikan oleh para pemimpin ketika mereka mendesain struktur organisasi. Unsur-unsur tersebut meliputi spesialisasi pekerjaan, departementalisasi, rantai perintah, rentang kendali, sentralisasi dan desentralisasi, dan formalisasi. Burn dan Stalker (1979) juga menyatakan bahwa suatu organisasi tidak akan berfungsi dengan efektif apabila struktur organisasinya tidak disesuaikan dengan lingkungannya. Apabila kondisi lingkungan organisasi relatif stabil, maka struktur yang cocok adalah struktur yang mekanistik yaitu struktur yang diatur secara rinci, pembagian tugas, wewenang, tanggung jawab dan hubungan kerja antar unit-unit organisasi tersebut. 24 Sebaliknya, apabila kondisi lingkungan tidak stabil, sehingga banyak faktorfaktor lingkungan yang tidak bisa diperkirakan situasi masa depannya, maka struktur organisasi yang sesuai adalah struktur yang organik yang pengaturannya tidak terlalu kaku, lebih fleksibel, dalam arti kata pembagian tugas, wewenang, tanggung jawab, dan hubungan kerja antar unit-unit, konsep tersebut dimaksudkan agar sebuah organisasi dapat mencapai Sasaran, Efisiensi dan Efektivitas dalam organisasi. Menurut Amitai Etzioni dalam Modern Organizations (dikutip Hari Lubis dan Martani Huseini, PAU-UI, 1987), bahwa sasaran (goal) organisasi adalah suatu keadaan atau kondisi yang akan dicapai oleh suatu organisasi. Dalam pengertian tersebut sasaran dapat diidentikkan sebagai tujuan organisasi, baik tujuan jangka panjang maupun jangka pendek, yang mencakup sasaran dari keseluruhan organisasi ataupun sasaran dari suatu bagian tertentu dari organisasi. Pemahaman tentang tujuan atau sasaran organisasi ini akan sangat berkaitan sekali dengan efisiensi dan efektifitas organisasi, karena mampu memberikan gambaran mengenai keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuan atau sasaran tersebut. Efisiensi merupakan sebuah konsep yang bersifat lebih terbatas dan menyangkut proses internal yang terjadi dalam organisasi. Efisiensi menunjukkan banyaknya input atau sumber yang diperlukan oleh organisasi untuk menghasilkan satu satuan output. Karena itu, efisiensi dapat diukur sebagai ratio atau sumber yang diperlukan oleh organisasi untuk 25 menghasilkan satu satuan output dengan menggunakan input atau masukan yang jumlahnya lebih sedikit dari yang digunakan oleh organisasi lainnya. Dapat dikatakan sebagai organisasi yang lebih efisien. Sementara itu konsep efektifitas organisasi dapat dinyatakan sebagai tingkat keberhasilan organisasi dalam usaha untuk mencapai tujuan atau sasarannya. Efektifitas ini sebenarnya merupakan suatu konsep yang sangat luas, mencakup berbagai faktor di dalam maupun di luar organisasi itu sendiri (Hari Lubis dan Martani Huseini, 1987). Efektifitas organisasi dapat diukur dengan berbagai macam cara, tapi tidak ada satupun ukuran yang benar-benar sempurna dan setiap ukuran yang digunakan pasti memiliki kelebihan ataupun kekurangan dibanding ukuran yang lainnya. Diantara pendekatan yang ada untuk mengukur efektifitas organisasi adalah pendekatan sasaran (goal approach) atau pendekatan pencapaian tujuan, pendekatan sumber (system Resources approach), pendekatan sistem (system approach), pendekatan Kontituensi dan pendekatan nilai-nilai bersaing. Pendekatan sasaran atau tujuan memiliki kelemahan antara lain ; Organisasi mencoba mencapai lebih dri satu tujuan, tetapi pencapaian satu tujuan acapkali menghalangi atau mengurangi kemampuan mereka mencapai tujuan yang lain, keberadaan tujuan resmi yang lazim dimana anggota menyatakan komitmen masih dipertanyakan, beberapa peneliti telah menemui kesulitan memperoleh konsesus diantara manajer, atas tujuan organisasi mereka (lihat James L Gibson at.al, edisi kedelapan, 1996). 26 Dalam pendekatan sistem untuk mengukur efektifitas organisasi juga mengandung kelemahan, yaitu pendekatan ini lebih terfokus pada cara-cara yang diperlukan untuk mencapai keefektifan daripada keefektifan organisasi itu sendiri, karena melihat variabel proses bagaimana organisasi berinterkasi dengan lingkungan yang terbuka dan mempengaruhinya, sehingga sulit dikembangkan alat ukur yang sah dan handal untuk memperoleh kuantitas atau intensitasnya (Stephen P. Robbins, 1994). Pendekatan konstituensi dalam pengukuran efektifitas organisasi adalah mencoba untuk memandang keseluruhan kegiatan yang dilakukan pada suatu organisasi dengan memusatkan perhatiannya pada berbagai komponen atau kelompok di dalam maupun di luar organisasi yang mempunyai kepentingan dengan performa organisasi, seperti karyawan, pemegang saham, leveransir bahan, pemilik dan sebagainya. Dengan demikian, efektifitas organisasi akan diukur dari tingkat kepuasan setiap elemen konstituensi terhadap organisasi itu (Hari Lubis dan Martaini Huseini, 1987). Pendekatan ini tentu memiliki kelemahan, bahwa tingkat kepuasan kelompok konstituensi atau pelanggan/konsumen bersifat relatif dan sulit diukur serta setiap elemen konstituensi tentu memiliki kriteria yang berbeda menilai organisasi sesuai dengan perbedaan kepentingan masing-masing. Guna memahami organisasi pengawasan sebagai wadah dan proses maka perlu menghayati lima pertanyaan sebagai berikut : (Siagian, 2002: 229) 27 a. Siapa yang melakukan, melakukan apa?. Karena dalam organisasi selalu terjadi pembagian tugas. b. Siapa yang bertanggung jawab, kepada siapa?. Perlu dikatakan dengan jelas sebab di dalam organisasi terdapat hierarki wewenang dan tanggung jawab. c. Siapa yang berinteraksi, dengan siapa?. Hal ini mengingat bahwa organisasi yang dikelola dengan baik berpedoman pada prinsip sinergi. d. Pola komunikasi yang bagaimana yang berlaku di dalam organisasi?. Berkaitan dengan kultur organisasi yang dianut. e. Jaringan informasi apa yang tersedia dan dapat dimanfaatkan oleh para anggota organisasi yang bersangkutan? Organisasi-organisasi pemerintah adalah salah satu bagian dari organisasi public, disamping itu terdapat juga apa yang disebut organisasi privat (korporat). Kedua bentuk organisasi tersebut memiliki perbedaan, diantaranya bahwa organisasi publik cenderung bertahan lama, sementara organisasi privat, daur hidupnya fluktuatif, terkadang mengalami kemajuan, terkadang mengalami kemunduran bahkan kemungkinan bubar sebagai organisasi. Mengapa demikian, organisasi publik memiliki kecenderungan bertahan terhadap berbagai perubahan lingkungan karena ditopang oleh kekuasaan, sementara organisasi privat, hidupnya banyak ditentukan oleh kemampuannya dalam merespon perubahan dan lingkungannya. Salah satu bagian bahasan dalam organisasi adalah yang menyangkut struktur organisasi. Struktur organisasi menunjukan bagaimana tugas akan 28 dibagi, siapa yang melapor kepada siapa, dan mekanisme koordinasi yang formal serta pola interaksi yang akan diikutip Robbins (1994:6) menyebutkan bahwa ada tiga komponen dari struktur organisasi, yaitu kompleksitas, formalisasi dan sentralisasi. Kompleksitas mempertimbangkan tingkat differensiasi yang ada dalam organisasi, termasuk didalamnya tingkat spesialisasi atau tingkat pembagian kerja, jumlah tingkatan didalam hirarki organisasi, serta tingkat sejauh mana unit-unit organisasi tersebar secara geografis. Sementara formalisasi menyangkut tingkat sejauh mana sebuah organisasi menyadarkan dirinya kepada peraturan dan prosedur untuk mengatur prilaku dari para pegawainya. Sentralisasi mempertimbangkan dimana letak dari pusat pengambilan keputusan. Dalam organisasi, kecenderungannya secara bergantian dipergunakan sentralisasi atau desentralisasi dalam proses pengambilan keputusan. Ketiga komponen diatas sangat menentukan berjalannya organisasi, struktur yang komplek dengan tingkat formalisasi aturan yang ketat serta pengambilan keputusan yang sangat sentralistik membuat organisasi menjadi sangat lamban dalam merespon perubahan lingkungan, begitu juga sebaliknya, tingkat kompleksitas yang rendah, dengan derajat formalisasi yang lentur serta pengambilan keputusan yang desentralistik menjadikan organisasi cepat merespon perubahan yang terjadi di lingkungannya. Persoalan organisasi publik terlalu kompleknya struktur dengan formalisasi aturan yang ketat dan sangat prosedural yang disertai oleh 29 minimnya perlimpahan kewenangan (desentralisasi) menjadikan organisasi publik dijangkiti penyakit birokrasi, seperti bertele-tele, high cost dan tidak adaptif terhadap tuntutan atau dukungan publik. Kondisi tersebut menuntut dilakukannya evaluasi yang dilanjutkan dengan merancang kembali terhadap struktur organisasi pemerintah daerah agar lebih tanggap terhadap perubahan-perubahan lingkungan. Sementara itu Robbins (1994) membedakan kedalam tiga dimensi , masing-masing : (1) complexity or differentiation, (2) formalization, (3) centralization. Dari ketiga dimensi struktur sebagaimana diatas, complexity memiliki kaitan dengan kajian tentang rancangan struktur organisasi. Complexity adalah “degree of differentiation”, baik horizontal maupun vertikal. a. Diferensiasi Horizontal Diferensiasi secara horizontal adalah the degree of horizontal separation between units, diferensiasi horizontal dilakukan dalam bentuk spesialisasi atau departementasi. Diferensiasi ini dalam batas tertentu berkaitan dengan efisiensi dan produktivitas. Dalam batas tertentu, semakin spesial suatu tugas (full-specialized) atau pekerjaan, semakin efisien, tetapi diluar batas itu over specialized atau under specialized bahkan overlapped, efisiensi menjadi menurun. Dengan demikian maka struktur yang terdefrensiasi secara penuh spesialisasi berpengaruh pada pencapaian tingkat efisiensi dari 30 organisasi. Diferensiasi melalui spesialisasi fungsi-fungsi disamping menciptakan efisiensi dan meningkatkan produktifitas (karena tingkat kecakapan dari para spesialis-spesialis) juga mempersingkat waktu pencapaian tujuan organisasi. Spesialisasi pada organisasi privat biasanya terbentuk departementalisasi, yakni pengelompokkan pekerjaan dan orang-orang berdasarkan spesialisasinya, misalnya departemen purchasing, marketing, dan sebagainya. Diferensiasi horizontal berkaitan dengan bentuk struktur suatu organisasi. b. Diferensiasi Vertikal Sementara itu diferensiasi vertikal adalah Diferensiasi yang merujuk pada struktur organisasi, semakin tinggi tingkat hierarki organisasi semakin jauh hubungan antara top management dengan staf atau struktur bawahnya. Diferensiasi vertikal berkaitan dengan otoritas dan rentang kendali sebuah organisasi, semakin tinggi bentuk struktur organisasi, semakin tinggi rentang kendali dalam organisasi tersebut semakin besar (cost) birokrasi yang dibutuhkan. Ada dua model struktur dalam diferensiasi vertikal, yaitu model tall dan model flat. Model tall terdiri atas beberapa tingkatan dalam struktur organisasi (bentuk meninggi) sementara model flat lebih mendatar dengan sedikit tingkatan. Struktur tall memberikan supervisi dan kontrol yang berorientasi pada atasan yang lebih ketat, dan kordinasi serta komunikasi menjadi rumit, disebabkan oleh bertambahnya jumlah yang harus dilalui perintah- 31 perintah. Struktur flat mempunyai rantai komunikasi yang lebih singkat dan sederhana, peluang supervisi yang lebih sedikit karena para manajer (kepala bagian) mempunyai lebih banyak orang yang melapor kepadanya, dan mengurangi peluang kenaikan jabatan karena tingkat manajemen yang lebih sedikit (Robbins, 1990). Secara konseptual Henry Mintzberg dalam Structure-In-Five (1983) mengatakan bahwa organisasi formal setidaknya memiliki lima bagian dalam strukturnya, masing-masing : 1) Strategic Apex (unsur pimpinan, unsur kepala); 2) Middle Line (lini tengah); 3) Technostructure (unsur staf); 4) Support Staf (staf pendukung); 5) Operating Core (unsur pelaksana). Pada perkembangannya teori diatas selalu berinovasi untuk mencapai kesempurnaan dalam sebua h teori, teori organisasi pada mulanya menunjukan gejala “ menyebar”. Berbagai pendekatan muncul sering kali tidak ada hubungan satu dengan yang lainya, bahkan saling berlawanan. Pendekatan klasik dan Neo-klasik misalnya memberikan jelas gambaran tentang penyebaran tersebut. Pendekatan klasik memusatkan perhatian pada anatomi organisasi dan tidak memperhatikan aspek sosial. Sedangkan pendekatan neo klasik justru mementingkan aspek sosial tetapi kurang memperhatikan anatomi organisasi. 32 Selanjutnya muncul pendekatan modern dalam teori organisasi yang sering kali mampu menyatukan keseluruhan pandangan dalam analisa organisasi. Pendekatan ini muncul diawali oleh suatu penelitian yang dilakukan oleh Joan Woodward pada tahun 1950-an, terhadap 100 buah perusahaan industri di South Essex-Ingris. Penelitian Woodward ini diikuti oleh beberapa peneliti lainya menunjukan bahwa selain teknologi terdapat juga aspek-aspek lain yang berpengaruh terhadap karakteristik organisasi yaitu faktor-faktor lain yang terdapat dalam lingkungan organisasi. Hal ini menunjukan bahwa organisasi dipengaruhi oleh keadaan lingkungannya, dan hanya organisasi yang bisa beradaptasi secara tepat terhadap tuntutan lingkungan yang dapat mencapai keberhasilan. Karena itu bentuk dan cara pengelolaan organisasi haruslah disesuaikan dengan keadaan lingkungannya agar organisasi itu bisa mencapai keberhasilan. Pendekatan modern mempunyai beberapa perbedaan yang mendasar jika dibandingkan dengan pendekatan sebelumnya yaitu: 1) Pendekatan Modern memandang organisasi sebagai suatu sistem terbuka, yang berarti bahwa organisasi merupakan bagian (sub sistem) dari lingkunganya, sehingga organisasi bisa dipengaruhi maupun mempengaruhi lingkunganya. 2) Keterbukaan dan ketergantungan organisasi terhadap lingkunganya menyebabkan bentuk organisasi harus disesuaikan dengan lingkungan 33 dimana organisasi tersebut berada. (S.B. Hari Lubis dan Martani Husein, 1987 : 6) Bagian pertama dalam strukrur organisasi formal diatas (top manager/pemimpin) merupakan bagian terpenting untuk mewujudkan visi dan misi organisasi serta menjadi suatu kebenaran bahwa kepemimpinan yang baik itu merupakan hal yang penting dalam bisnis, pemeritahan, dan pada organisasi dan kelompok yang tak terhitung yang menciptakan pola hidup, bekerja, dan bermain. Kepemimpinan juga merupakan faktor yang penting, namun seorang pemimpin bisa menjadi pemimpin yang besar ketika mempunyai pengikut yang besar. Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok untuk pencapaian tujuan. Bentuk pengaruh tersebut dapat secara formal seperti tingkat managerial pada suatu organisasi. Karena posisi management terdiri atas tingkatan yang biasanya menggambarkan otoritas, seorang individu bisa mengasumsikan suatu peran kepeminpinan sebagai akibat dari posisi yang ia pegang pada organisasi tersebut. Namun, tidak semua pemimpin adalah manager, dan begitu juga sebaliknya, tidak semua manager merupakan pemimpin. Hanya karena hak tertentu diberikan oleh organisasi terhadap managerial tidak menjamin bahwa mereka mampu memimpin secar efektif. “Nonsanctioned leadership” merupakan kemampuan untuk memberi pengaruh diluar struktur formal organisasi yang kepentingannya sama atau bahkan melebihi pengaruh struktur formal. Dengan kata lain, 34 seorang pemimpin dapat saja muncul dalam suatu kelompok walaupun tidak diangkat secara formal (Robins, 2002: 163-164). Oteng Sutisna seperti dikutip dalam buku “ kepemimpinan kepala sekolah pertaruhan mutu pendidikan ” mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan mengambil inisiatif dalam situasi sosial untuk menciptakan bentuk dan prosedur baru, merancang dan mengatur perbuatan, dan dengan berbuat begitu membangkitkan kerjasama ke arah terciptanya tujuan. Senada dengan yang disampaikan Oteng Sutisna, J.M. Pfiffner mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah seni mengorganisasi dan memberi arah kepada individu atau kelompok untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Zaini, 2013: 24) Kepemimpinan (leadership) juga adalah proses dalam mengarahkan dan mempengaruhi para anggota dalam melakukan berbagai aktivitas di suatu organisasi. Tipe kepemimpinan dalam mempengaruhi para bawahannya dapat berbeda-beda seperti; kepemimpinan otoriter, kepemimpinan partisipatif dan kepemimpinan delegatif. Sedangkan komunikasi adalah proses penyampaian dan pertukaran informasi sekurang-kurangnya antara 2 pihak yang berperan sebagai pengirim (sender) dan penerima (receiver) dengan menggunakkan berbagai media yang ada. Tipe kepemimpinan dalam mempengaruhi para anggotanya dapat berbeda-beda. Hal ini disebabkan latar belakang pemimpin, budaya, organisasi, pengikut dan lingkungan. Bentuk komunikasi yang dilakukan pemimpin antar individu yang 35 memiliki perbedaan budaya akan menimbulkan perbedaan karakter, sehingga membutuhkan penyesuaian agar kegiatan komunikasi dapat berjalan secara efektif. Faktor yang memengaruhi pola komunikasi dalam organisasi karena adanya komunikasi vertikal yaitu berdasar struktur jabatan dan komunikasi horisontal yaitu antar anggota dalam organisasi (http://radenmasyonatanpandukristanto.blogspot.com/2013/05/perankomunikasi-dalam- organisasi.html). Berbicara soal komunikasi yang terjadi dalam organisasi maka terdapat Dimensi-Dimensi Komunikasi dalam Kehidupan Organisasi. dimensi didalamnya yaitu: a. Komunikasi internal. Komunikasi internal organisasi adalah proses penyampaian pesan antara anggota-anggota organisasi yang terjadi untuk kepentingan organisasi, seperti komunikasi antara pimpinan dengan bawahan, antara sesama bawahan, dsb. Proses komunikasi internal ini bisa berujud komunikasi antarpribadi ataupun komunikasi kelompok. Juga komunikasi bisa merupakan proses komunikasi primer maupun sekunder (menggunakan media nirmassa). Komunikasi internal ini lazim dibedakan menjadi dua, yaitu: 1) Komunikasi vertikal, yaitu komunikasi dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Komunikasi dari pimpinan kepada bawahan dan dari bawahan kepada pimpinan. Dalam komunikasi vertikal, pimpinan memberikan instruksi-instruksi, petunjuk-petunjuk, informasi-informasi, 36 dll kepada bawahannya. Sedangkan bawahan memberikan laporanlaporan, saran-saran, pengaduan-pengaduan, dsb. kepada pimpinan. 2) Komunikasi horizontal atau lateral, yaitu komunikasi antara sesama seperti dari karyawan kepada karyawan, manajer kepada manajer. Pesan dalam komunikasi ini bisa mengalir di bagian yang sama di dalam organisasi atau mengalir antarbagian. Komunikasi lateral ini memperlancar pertukaran pengetahuan, pengalaman, metode, dan masalah. Hal ini membantu organisasi untuk menghindari beberapa masalah dan memecahkan yang lainnya, serta membangun semangat kerja dan kepuasan kerja. b. Komunikasi eksternal. Komunikasi eksternal organisasi adalah komunikasi antara pimpinan organisasi dengan khalayak di luar organisasi. Pada organisasi besar, komunikasi ini lebih banyak dilakukan oleh kepala hubungan masyarakat dari pada pimpinan sendiri. Yang dilakukan sendiri oleh pimpinan hanyalah terbatas pada hal-hal yang dianggap sangat penting saja. Komunikasi eksternal terdiri dari jalur secara timbal balik: 1) Komunikasi dari organisasi kepada khalayak. Komunikasi ini dilaksanakan umumnya bersifat informatif, yang dilakukan sedemikian rupa sehingga khalayak merasa memiliki keterlibatan, setidaknya ada hubungan batin. Komunikasi ini dapat melalui berbagai bentuk, seperti: majalah organisasi; press release; artikel surat kabar atau majalah; pidato radio; film dokumenter; brosur; leaflet; poster; konferensi pers. 37 2) Komunikasi dari khalayak kepada organisasi. Komunikasi dari khalayak kepada organisasi merupakan umpan balik sebagai efek dari kegiatan dan komunikasi yang dilakukan oleh organisasi. 2. Gender Dan Budaya Patriarki Istilah Gender berasal dari bahasa inggris yang juga dipakai dalam bahasa ilmiah yang artinya jenis kelamin (Wojowasito, 2007:66). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Sedangkan konsep gender lainnya adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Fakih, 2007:8). Dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa “gender” adalah suatu konsep cultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakterisitik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Hillary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex & Gender: an Introduction mengartikan “gender” sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectation for Women and Men). Dalam memahami konsep gender harus dibedakan terlebih dahulu antara kata gender dan kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan penafsiran atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jakala (kala menjing) dan memproduksi sperma. Sementara perempuan memiliki 38 alat reproduksi, seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina dan mempunyai alat untuk menyusui. Alat-alat ini secara biologis atau sering disebut sebagai ketentuan Tuhan atau "kodrat". Sedangkan konsep gender yaitu suatu sifat yang melekat pada kaum lakilaki maupun perempuan yang direkonstruksi secara sosial maupun kultural (M. Fakih, 1996). Dengan kata lain gender adalah konstruksi sosial yang mengatur pembagian peran sosial menurut jenis kelamin (L. Margiyani, 1998). Untuk lebih jelas dapat dibandingkan pada peran sosial, sifat kegiatan dan jenis pekerjaan sebagaimana tabel di bawah ini: Tabel 1: Perbedaan Laki-laki dan Perempuan Perbedaan Laki-laki Perempuan Peran Sosial Organisasi politik, Pencari nafkah utama, Pelindung keluarga, Pengambil keputusan/kebijakan. Komunitas setempat (arisan, PKK, Keluarga, Pengajian) Pencari nafkah tambahan/pengganti, Perawat, pendidik anak. Sifat Kegiatan Publik, Produktif, Berupah lebih besar, Membutuhkan keterampilan terlatih/ terdidik, Membutuhkan manajemen modern, Melibatkan teknologi, Melibatkan aspek kekuasaan lebih besar Sektor formal Domestik, Bersifat produktif Tidak berupah/ rendah, Dianggap alamiah Manajemen sederhana, Penggunaan teknologi terbatas, Penerimaan kekuasaan Sektor informal Pekerjaan Dosen, Dokter, Pekerja rumah tangga, Buruh, Baby sitter, Guru Manager, Teknisi, 39 mekanik, Pilot, Atlet, Polisi, Direktur. TK, Publik relation Bidan/ Perawat Dokter anak Resepsionis. Sejak dua dasawarsa terakhir, konsep gender memasuki bahasan dalam berbagai seminar, diskusi maupun tulisan di seputar perubahan sosial dan pembangunan dunia ketiga. Istilah gender lazim dipergunakan dikantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan sejak beberapa tahun lalu. Sekalipun demikian kebanyakan orang masih belum memahami gender dengan pemahaman yang benar. Sebab, dalam kamus bahasa Indonesia antara gender dengan seks belum mempunyai perbedaan pengertian yang transparan. Kata “gender” banyak dipergunakan dengan kata yang lain, seperti ketidak adilan, kesetaraan dan sebagainya, keduanya sulit untuk diberi pengertian secara terpisah. Nasaruddin Umar memberikan pengertian gender sebagai suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya. Gender dalam arti tersebut mengidentifikasikan laki-laki dan perempuan dari sudut nonbiologis. Oleh karena itu, untuk memudahkan dalam memberikan pegertian gender tersebut, pengertian gender dibedakan dengan pengertian seks (Jenis Kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan penafsiran atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu, dengan (alat) tanda-tanda tertentu pula. Alat-alat tersebut selalu melekat pada manusia selamanya, tidak dapat dipertukarkan, bersifat permanen, dan dapat dikenali semenjak manusia 40 lahir. Itulah yang disebut dengan ketentuan Tuhan atau kodrat. Dari sini melahirkan istilah identitas jenis kelamin. sedangkan gender melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan, dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri dari sifat itu merupakan sifat-sifat yang dimiliki oleh kedua belah pihak. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, dan keibuan. Sementara itu juga, ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain. Perbedaan gender (gender differences) antara manusia laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang panjang. Pembentukan gender ditentukan oleh sejumlah faktor yang ikut membentuk, kemudian disosialisasikan, diperkuat, bahkan di konstruk melalui sosial atau kultural, dilanggengkan oleh interpretasi agama dan mitos-mitos, seolah-olah telah menjadi keyakinan. Proses selanjutnya perbedaan gender dianggap suatu ketentuan Tuhan yang tidak dapat diubah sehingga perbedaan tersebut dianggap kodrati. Gender merupakan konstruksi sosial budaya relasi laki-laki dan perempuan. Relasi tersebut dibangun atas pemahaman peranan yang akan dimainkan oleh laki-laki dan perempuan di masyarakat. Sifatnya yang merupakan konstruksi sosial budaya, maka sangat kontekstual berdasarkan setting sosial budaya di suatu masyarakat. Sifat tersebut juga menyebabkan konstruksi gender dapat mengalami perubahan dan dapat dipertukarkan satu 41 dengan yang lainnya. Namun, gender sebagai salah satu nilai sosial yang berlaku di masyarakat memiliki sifat yang cenderung untuk dipertahankan sebagaimana nilai sosial yang lainnya . Gender sebagai perbedaan perempuan dengan laki-laki berdasarkan sosial construction tercermin dalam kehidupan sosial yang berawal dari keluarga. Perempuan disosialisasi dan diasuh secara berbeda dengan lakilaki. Ini juga menunjukkan adanya sosial expectation (ekspektasi sosial) yang berbeda terhadap anak perempuan dengan anak laki-laki (Morrissan, 1089). Sejak dini anak perempuan disosialisai bertindak lembut, tidak agresif, halus, tergantung, pasif, dan bukan pengambil keputusan. Sebaliknya laki-laki disosialisasi, agresif, aktif, mandiri, pengambil keputusan, dan dominan. Kontrol sosial terhadap perempuan jauh lebih ketat dibandingkan dengan laki-laki. Karakteristik tersebut terinternalisasi begitu kuat sehingga dianggap sebagai sesuatu yang bersifat Taken for granted dan membawa implikasi luas yang mencerminkan posisi perempuan yang lebih subordinat, sedangkan laki-laki lebih superior. Karakteristik yang mengarah pada tindakan berkonotasi keras dan agresif itu diletakkan pada laki-laki, mereka juga diberi peluang menjadi kelompok penguasa publik sedangkan perempuan disektor domestik. Ini membuktikan adanya Gender role (peran gender) yang berbeda diantara mereka (Romany Sihite, 2007:230-231). Saptari (1997:43-105) mengungkapkan bahwa pada masyarakat Indonesia yang cenderung patriarkhis masih terdapat pendikotomian nilai 42 dan peran gender yang merupakan gambaran dari konstruksi sosial budaya relasi laki-laki dan perempuan. Pada dasarnya munculnya dikotomi tersebut tidak akan menjadi masalah selama dikotomi tersebut tidak menyebabkan merendahkan yang lain baik laki-laki maupun perempuan. Namun, pada masyarakat ditemukan pendikotomian yang merendahkan jenis kelamin tertentu dan yang lebih banyak menjadi korban adalah perempuan (Fakih, 1996; Saptari, 1997:43-105). Hal tersebut dapat dilihat dari pembagian peranan yang diterima oleh laki-laki dan perempuan. Peran publik adalah sesuatu yang dianggap sebagai peran laki-laki, sedangkan peran domestik adalah sesuatu yang dianggap sebagai peran perempuan. Penggambaran secara verbal tokoh wanita menjalankan fugsi reproduksi (sektor domestik) sebagai ibu/istri, mengurus rumah tangga, melahirkan dan mengasuh anak sekaligus juga menjalankan fungsi-fungsi reproduktif. Sedangkan laki-laki menjalankan fungsi publik (sektor publik) sebagai pencari nafkah untuk keluarga. Aktivitas pencarian nafkah ini lebih banyak bersifat mendukung aktivitas tokoh pria yang berperan sebagai suami. Presentase antara fungsi reproduksi dan produktif sama besar (sekitar 50 persen). Bagi tokoh wanita yang belum menikah, peran ini digambarkan melalui kegiatan dirumah tangga, misalnya memasak, mencuci, membersihkan rumah, serta kegiatan-kegiatan yang dimaksudkan untuk mencari pengetahuan atau keterampilan tertentu yang mempunyai potensi finansial dimasa depan, misalnya sekolah (Sunarto, 2000: 141). 43 Peran gender (gender role) tersebut kemudian diterima sebagai ketentuan sosial, bahkan oleh masyarakat diyakini sebagai kodrat. Ketimpangan sosial yang bersumber dari perbedaan gender itu sangat merugikan posisi perempuan dalam berbagai komunitas sosialnya. Akibatnya ketidakadilan gender tersebut antara lain : 1) marginalisasi perempuan, 2) penempatan perempuan pada subordinat, 3) stereotype perempuan, 4) kekerasan (violence) terhadap perempuan, dan 5) beban kerja tidak proposional. a. Marginalisasi Perempuan Proses marginalisasi terhadap perempuan dapat terjadi karena program industrialisasi. Program tersebut menyebabkan terpinggirkannya peran perempuan. Semula, mereka menjadi salah satu sumber daya manusia, akibat diterapkannya teknologi canggih, misalnya mengganti tenaga bagian linting rokok, pengepakan dan proses produksi dalam suatu perusahaan dengan mesin-mesin yang lebih praktis dan ekonomis, kemudian alat-alat produksi tersebut hanya diperankan oleh laki-laki. Selain itu, mesin-mesin potong padi menggantikan pekerjaan ani-ani yang semula diperankan oleh perempuan, kemudian diganti dengan sabit karena jenis padi yang ditanam harus menggunakan sabit, di mana sabit menjadi alat kerja laki-laki, maka mengetam padi berubah menjadi peran laki-laki sehingga perempuan kehilangan pekerjaan. Marginalisasi itu merupakan proses pemiskinan perempuan terutama pada masyarakat lapis bawah. Demikian pula marginalisasi dalam lingkungan keluarga 44 biasa terjadi di tengah masyarakat. Misalnya, anak laki-laki memperoleh fasilitas, kesempatan dan hak-hak yang lebih dari pada anak perempuan. b. Sub Ordinasi Perempuan Sebuah pandangan yang tidak adil terhadap perempuan dengan anggapan dasar bahwa perempuan itu irasional, emosional, lemah, dan lain-lainnya, menyebabkan penempatan perempuan dalam peran-peran yang dianggap kurang penting. Potensi perempuan sering dinilai tidak fair oleh sebagian besar masyarakat akibat sulitnya mereka menembus posisi-posisi strategis dalam komunitasnya, terutama yang berhubungan dengan peran pengambilan keputusan. c. Stereotype Perempuan Stereotype adalah pelabelan terhadap kelompok suku bangsa tertentu yang selalu berkonotasi negatif sehingga sering merugikan dan timbul ketidak adilan. Pelabelan atau penandaan yang terkait dengan perbedaan dengan jenis kelamin tertentu (perempuan) akan menimbulkan kesan yang negatif yang merupakan keharusan disandang oleh perempuan. d. Beban Kerja yang Tidak Proposional Budaya patriarki beranggapan bahwa perempuan tidak punya hak untuk menjadi pemimpin rumah tangga. Sebaliknya, ia berhak untuk diatur. Pekerjaan domestik yang dibebankan kepadanya menjadi identik dengan dirinya sehingga posisi perempuan sarat dengan pekerjaan yang beragam macamnya, dalam waktu yang tidak terbatas dan dengan beban 45 yang berlipat, misalnya: memasak, mencuci, menyetrika, menjaga kebersihan dan kerapian rumah, membimbing belajar anak-anak dan sebagainya. Pekerjaan domestik yang berat tersebut dilakukan bersamasama dengan fungsi reproduksi, haid, hamil, melahirkan, dan menyusui. Sementara laki-laki dengan peran publiknya menurut kebiasaan masyarakat (konstruk sosial) tidak bersentuhan dengan beban kerja domestik-reproduktif, karena pekerjaan ini dipandang hanya layak dikerjakan oleh perempuan. Pembagian kerja secara dikotomi publikdomestik, di mana pekerjaan di sektor publik mendapat imbalan secara ekonomis, sedangkan sektor domestik tidak mendapatkan. Hal itu menyebabkan hasil kerja perempuan yang terlalu berat dianggap pekerjaan rendah. Realitas tersebut memperkuat ketidak adilan gender yang telah melekat dalam kultur masyarakat. e. Kekerasan (Violence) Terhadap Perempuan Salah satu bentuk ketidakadilan gender adalah kekerasan terhadap perempuan baik yang berbentuk kekerasan fisik, psikis, ekonomi maupun seksual. Kekerasan itu timbul akibat beberapa faktor di atas, termasuk anggapan bahwa laki-laki pemegang supermasi dan dominasi terhadap berbagai sektor kehidupan. Fenomena itu oleh masyarakat dianggap sebagai sesuatu yang sangat wajar jika perempuan menerima perlakuan tersebut. Kekerasan fisik misalnya pemukulan, penganiayaan dan pembunuhan. Kekerasan psikis seperti penghinaan, sikap, ungkapan melalui verbal atau perkataan yang dapat menyebabkan sakit hati dan 46 hal-hal yang dapat menimbulkan rasa tidak nyaman. Kekerasan seksual seperti pelecehan seksual, pencabulan, pemerkosaan, eksploitasi seksual pada dunia kerja, pemaksaan penggunaan alat kontrasepsi dan pengrusakan organ reproduksi. Manifestasi ketidak adilan gender dalam bentuk marginalisasi ekonomi, subordinasi, kekerasan, stereotipe dan beban kerja tersebut terjadi ditingkat negara, yang dimaksud disini baik pada satu negara maupun organisasi antar negara PBB. Banyak kebijakan dan hukum negara, perundang-undangan serta program kegiatan yang masih mencerminkan sebagian dari manifestasi ketidak adilan gender. Manifestasi tersebut juga terjadi di tempat kerja, organisasi maupun dunia pendidikan. Banyak aturan kerja, manajemen, kebijakan keorganisasian, serta kurikulum pendidikan yang masih melanggengkan ketidak adilan gender tersebut. Manifestasi ketidak adilan gender juga terjadi dalam adat istiadat masyarakat di banyak kelompok etnik, dalam kultur suku-suku atau dalam tafsiran keagamaan. Bagaimanapun mekanisme interaksi dan pengambilan keputusan di masyarakat masih banyak mencerminkan ketidak adilan gender tersebut. Bahkan manifestasi ketidakadilan gender itu juga terjadi di lingkungan rumah tangga, dimana proses pengambilan keputusan, pembagian kerja, dan interaksi antar anggota keluarga dalam banyak rumah tangga sehai-hari masih dilaksanakan dengan menggunakan asumsi bias gender. Hal yang menjadi masalah yaitu sulitnya mengubah ketidak adilan gender yang mana hal tersebut telah mengakar didalam keyakinan dan menjadi ideologi kaum 47 perempuan maupun laki-laki dari tingkat rumah tangga hingga tingkat negara. Subordinasi perempuan yang eksplisit secara seksual, dan grafis melalui gambar atau kata-kata yang juga melingkupi perempuan, yang didehumanisasi sebagai objek seksual, benda, atau komoditi yang menikmati rasa sakit, rasa malu, atau perkosaan; diikat, dipotong, dimutilasi, dipukuli hingga memar, atau disiksa secara fisik; dalam sikap penyerahan, perbudakan, atau pertunjukkan seksual; direduksi menjadi bagian tubuh, dibenetrasi oleh objek atau binatang, atau ditampilkan dalam skenario yang merendahkan, melukai, dan menyiksa; dipertunjukkan sebagai kotor dan inferior; berdarah, memar, atau terluka didalam konteks yang membuat semua itu seksual ( Tong, 2004: 99). Superioritas laki-laki atas perempuan terjadi dimana saja, dan dikalangan siapa saja. Lebih naif lagi hal tersebut juga meresap dalam tradisi islam didasarkan kepada hadis-hadis israilliyat (penyusupan ide-ide israel dalam muatan hadis) dan juga pada interpretasi-interpretasi ayat-ayat al-Qur‟an. Riwayat israilliyat adalah cerita-cerita yang bersumber dari agama-agama samawi sebelum islam, seperti dari yahudi dan nasrani. Cerita-cerita ini muncul dalam kitab-kitab tafsir dan dalam kitab-kitab syarh Hadist. Bisa jadi cerita tersebut dimasukkan oleh para mantan pengikut kedua agama itu yang sudah masuk islam. Seperti yang sudah diketahui dalam ajaran nasrani maupun yahudi terdapat pandangan yang merendahkan derajat wanita. Semakin banyak mengintrodusir kisah-kisah israilliyat dalam 48 penafsiran al-Qur‟an maupun Hadist, semakin besar pula peluang terjadinya bias ketidakadilan gender. Padahal Al-Qur‟an sendiri sebagai pegangan umat Islam, di samping al-Hadits, menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kapasitas yang sama, baik kapasitas moral, spiritual, maupun intelektual. Dalam penyampaian pesannya, al-Qur‟an seringkali menggunakan ungkapan “lakilaki dan perempuan beriman” sebagai bukti pengakuannya terhadap kesetaraan hak dan kewajiban mereka. Dalam hal kewajiban agama pun alQur‟an tidak menunjukkan beban yang berbeda kepada keduanya. Prinsip kesetaraan tersebut dimaksudkan untuk membentuk hubungan yang harmonis antara keduanya (Ali Munhanif, 2002: 26). Dalam Al-Qur‟an juga telah banyak ayat-ayat yang menerangkan tentang kesetaraan gender . AlQur‟an dengan sangat gamblang menyebutkan bahwa hubungan laki-laki dan perempuan merupakan hubungan mitra sejajar dalam berbagai hal. Sudah tidak pada tempatnya lagi manakala perempuan diharuskan untuk mengikuti dan memerankan peran seperti era yang dulu padahal telah terjadi perubahan waktu dan tempt yang sangat jauh berbeda (An-nisa‟, 2009: 6768). Senada dengan pendapat diatas, Quraish Shihab mengemukakan hak-hak yang dimiliki oleh perempuan baik dalam lingkup keluarga, masyarakat maupun bangsa dan negara, dengan mengutip sebuah ayat yang seringkali dikemukakan oleh para pemikir islam dalam kaitannya dengan hak-hak politik kaum perempuan (QS. At-Taubah ayat 71) yang berbunyi: 49 Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Pandangan seorang perempuan itu selalu diposisi rendah tak lain juga dikarenakan ayat “ ar-rijalu qawwamuna „alan-nisai ” ( QS.an-nisa‟: 34 ) Ayat tersebut diartikan begitu saja, yakni seorang laki-laki adalah pemimpin bagi seorang perempuan. Padahal seharusnya dalam memahami ayat, “laki-laki adalah pengelola atas perempuan”, hendaknya dipahami sebagai deskripsi keadaan struktur dan norma sosial masyarakat pada saat itu, dan bukanlah suatu norma ajaran yang harus dipraktekkan. Demikian pula, kata “qawwam” dari masa kemasa dipahami berbeda. Pada masa itu atas dasar ayat itu, perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki, dan implikasinya adalah perempuan harus mengabdi kepada laki-lakinya 50 sebagian dari tugasnya. Namun al-Qur‟an menegaskan, bahwa kedudukan suami dan Istri adalah sejajar (M. Fakih, 1996: 53). Segala bentuk ketimpangan gender sudah mengendap dalam setiap pemikiran manusia, bahkan seorang wanitapun hanya mampu menyadari tanpa melakukan pemberontakan atau yang lainnya. Padahal perempuan bukanlah “ sekedar alat ” atau instrumen, untuk kebahagiaan atau kesempurnaan orang lain. Sebaliknya, perempuan adalah suatu “ tujuan ”, suatu agen bernalar, yang harga dirinya ada dalam kemampuannya untuk menentukan nasibnya sendiri ( Tong, 1998: 22). Jika seorang perempuan membiarkan dirinya diperlakukan sebagai sekadar objek, berarti ia membiarkan dirinya diperlakukan dengan cara yang tidak sesuai dengan statusnya sebagai manusia yang utuh. Segala bentuk ketimpangangender itu disebabkan oleh adanya budaya patriarki dalam masyarakat, struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral dari segalagalanya. Jadi budaya Patriarki adalah budaya yang dibangun di atas dasar struktur dominasi dan sub ordinasi yang mengharuskan suatu hirarki dimana laki-laki dan pandangan laki-laki menjadi suatu norma. Pandangan dengan pedekatan socio antropologi, juga meramaikan kajian tentang posisi lakilaki (https://phierda.wordpress.com/2012/12/18/budaya-patriarki-dalam- pendidikan-gender-di-masyarakat/ ). 51 Rueda mengatakan bahwa patriarki adalah penyebab penindasan terhadap perempuan (2007:120). Masyarakat yang menganut sistem patriarki meletakkan laki-laki pada posisi dan kekuasaan yang dominan dibandingkan perempuan. Laki-laki dianggap memiliki kekuatan lebih dibandingkan perempuan. Di semua lini kehidupan, masyarakat memandang perempuan sebagai seorang yang lemah dan tidak berdaya. Menurut Masudi seperti yang dikutip Faturochman, sejarah masyarakat patriarki sejak awal membentuk peradaban manusia yang menganggap bahwa laki-laki lebih kuat (superior) dibandingkan perempuan baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun bernegara. Kultur patriarki ini secara turuntemurun membentuk perbedaan perilaku, status, dan otoritas antara laki-laki dan perempuan di masyarakat yang kemudian menjadi hirarki gender (2002: 16). Perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai awal pembentukan budaya patriarki. Masyarakat memandang perbedaan biologis antara keduanya merupakan status yang tidak setara. Perempuan yang tidak memiliki otot dipercayai sebagai alasan mengapa masyarakat meletakkan perempuan pada posisi lemah (inferior). Ideologi patriarki dikenalkan kepada setiap anggota keluarga, terutama kepada anak. Anak laki-laki maupun perempuan belajar dari perilaku kedua orang tuanya mengenai bagaimana bersikap, karakter, hobi, status, dan nilai-nilai lain yang tepat dalam masyarakat. Perilaku yang diajarkan kepada anak 52 dibedakan antara bagaimana bersikap sebagai seorang laki-laki dan perempuan. Ideologi patriarki sangat sulit untuk dihilangkan dari masyarakat karena masyarakat tetap memeliharanya. Stereotip yang melekat kepada perempuan sebagai pekerja domestik membuatnya lemah karena dia tidak mendapatkan uang dari hasil kerjanya mengurus rumah tangga. Pekerjaan domestik tersebut dianggap remeh dan menjadi kewajibannya sebagai perempuan. Dengan mengakarnya budaya patriarki maka lahirlah gerakan feminisme, Lahirnya gerakan feminisme merupakan awal kebangkitan perempuan untuk menggeser status sebagai makhluk kedua setelah laki-laki di dunia ini. Feminisme merupakan gerakan perjuangan para kaum hawa untuk mendapatkan kesetaraan dan persamaan derajat dengan para laki-laki. Inti dari gerakan feminisme adalah bagaimana cara meningkatkan status perempuan melalui tema-tema seperti kesetaraan gender dan emansipasi wanita. Gerakan feminisme sendiri memulai perkembangannya pada abad pertengahan Eropa. Kala itu gereja menjadi sentral kekuasaan di Eropa dan mengeluarkan kebijakan-kebijakan hukum yang mendiskriminasi sebagian besar masyarakat di Eropa. Perempuan sendiri tidak luput dari diskriminasi yang dilakukan oleh gereja. Setelah wacana feminisme, yang merupakan gerakan kepedulian terhadap ketidakadilan, ketidaksetaraan, penindasan atau diskriminasi terhadap kaum perempuan, serta merupakan gerakan yang berusaha untuk 53 menghentikan segala bentuk ketidakadilan dan diskriminasi (Mansour Fakih, 1996) menggelinding, gerakan mahasiswa pun segera menangkap dan meresponnya dengan positif. Hal ini tidaklah sulit untuk melihatnya, karena gerakan feminisme tampaknya mempunyai kesamaan orientasi dengan gerakan mahasiswa yang pada intinya memperjuangkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Fakta yang ada membuktikan bahwa di berbagai kampus wacana feminisme banyak didiskusikan baik dalam perkuliahan maupun oleh berbagai organisasi kemahasiswaan. Misalnya, gerakan mereka dalam bidang hukum adalah mempolulerkan gerakan minoritas. Gerakan anti rasial dan feminisme pun diangkat ke permukaan melawan dominasi mayoritas (Dawam Raharjo dalam Denny J.A., 2006: 77). Wacana ini telah menjadi bagian dari gerakan bahkan program organisasi di tingkat kemahasiswaan. Bahkan mereka juga tidak asing lagi dengan berbagai gerakan feminisme yang mengusung kesetaraan gender, meskipun pemahaman mengenai feminisme ini masih sangat beragam. Terkait dengan beberapa hal tersebut, maka perlu dilihat apakah gerakan mereka telah mengaplikasikan kesetaraan gender di tingkat organisasi mereka sendiri atau selama ini sekedar wacana yang sering didiskusikan. Meskipun demikian, pada kenyataannya sebagian mahasiswa ada yang berpendapat bahwa kemampuan laki-laki lebih unggul dibandingkan wanita, padahal banyak sekali wanita-wanita yang mempunyai potensi yang tidak kalah dengan laki-laki. Akan tetapi citra wanita sebagai “kanca wingking” masih saja melekat dalam citra wanita di Indonesia. Seiring 54 dengan perkembangan jaman, seharusnya citra wanita yang hanya sebagai “kanca wingking” sudah mulai memudar karena sudah banyak wanita yang mempunyai jabatan dan kedudukan yang sejajar dengan laki-laki baik itu dibidang pemerintahan, akademisi, kemasyarakatan dan sebagainya. Asumsi bahwa perempuan berada diposisi atas pada dasarnya sah saja, oleh karena itu berdasarkan pasal 28 UUD 1945 kebebasan mengemukakan pendapat dijamin oleh undang-undang. Apalagi mereka mendasarkan argumentasinya pada alasan-alasan tertentu yang menurut keyakinan mereka hal yang demikian adalah benar. Persoalannya, seperti dikemukakan lebih lanjut oleh Maman Rachman (1999:176) bahwa “Ketidak setaraan kepemilikan hak asasi antara pria dan wanita diluar konteks seks sangatlah tidak sesuai dan tidak dibenarkan oleh konsep gender”. Menengok pada perspektif realisme yang mengatakan bahwa negara merupakan aktor dominan dan memiliki peran utama dalam sistem politik internasional, hingga negara rela meluncurkan perang untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Hubungan internasional yang konfliktual tersebut seringkali diasosiasikan dengan dominasi dunia laki-laki dan membuat peran dan posisi wanita termarginalkan. Hal inilah yang memunculkan feminisme sebagai perspektif yang mencoba mendobrak dominasi laki-laki dengan melibatkan peran wanita dalam politik internasional. Feminisme muncul dengan membawa persoalan gender dalam studi hubungan internasional. Pada hakikatnya ada perbedaan mendasar antara sex dan 55 gender. Sex atau jenis kelamin merupakan suatu hal kodrat atau given yang tidak bisa diubah dan bersifaf biologis dengan disertai simbol-simbol tertentu untuk mengenalinya. Sementara gender bersifat sosiologis, tidak ada simbol, serta membahas tentang femaleness dan maleness (Wardhani, 2013). Feminisme adalah satu dari kajian emancipatory dalam studi Hubungan Internasional, selain posmodernisme dan teori kritis. Dikatakan emancipatory karena feminisme merupakan teori yang menuntut kebebasan akan hal-hal yang telah terkonstruksi oleh teori-teori sebelumnya dan mempertanyakan aspek-aspek ontologi dan epistemologi ilmu pengetahuan yang sebelumnya didominasi oleh teori-teori positivis, rasionalis, dan materialis. Feminisme berkembang didorong oleh munculnya perempuanperempuan modern dan kontemporer yang mulai mengintervensi segala aspek kehidupan, mulai dari keterlibatan mereka dalam kegiatan militer dan ekonomi global. Hal ini menggeser perspektif tradisional dan mengancam dasar-dasar ontologis dan epistemologis Hubungan Internasional. Permasalahan gender dalam HI merupakan perdebatan mendasar antara laki-laki dan perempuan dan dampak dari perbedaan tersebut dalam politik dunia. Gender mengacu pada perilaku dan harapan yang dipelajari secara sosial yang membedakan antara maskulinitas dan feminitas, dimana kualitas yang dikaitkan dengan maskulinitas (seperti rasionalitas, ambisi, dan kekuatan) diberi nilai dan status tinggi dibanding kualitas yang dikaitkan dengan feminitas (seperti 56 emosionalitas, kapasitas, kelemahan) yang pada akhirnya menyebabkan hirarki gender (Jackson & Sorensen 1999: 332). Meskipun sebenarnya peran perempuan dalam politik internasional telah ada sejak zaman lampau, seperti keterlibatan perempuan sebagai wanita “penghibur” bagi anggota militer dalam masa perang, adanya jugunianfu, dan sebagainya, namun teori feminisme masuk dalam disiplin ilmu HI pada akhir tahun 1980-an atau awal tahun 1990-an (Tickner & Sjoberg 2007:186). Kaum feminis HI tidak lagi mempertanyakan konteks kedaulatan, negara, dan kemanan dalam hubungan internasional namun mulai mempertanyakan mengapa perempuan lemah dan memiliki peran yang tidak penting dalam pengambilan keputusan atau kebijakan luar negeri, personel militer dan keterlibatannya dalam perusahaan-perusahaan internasional yang notabene didominasi oleh laki-laki. HI tradisional memang terfokus pada bahasan negara, politik, perang, dan hal-hal yang erat kaitannya dengan dunia laki-laki. Di sinilah feminisme juga lahir untuk menantang apabila teori-teori HI direformulasi dan pemahaman akan politik diperbaiki dengan melibatkan gender sebagai kategori empiris dan analitis yang relevan untuk memahami hubungan kekuatan global dalam politik internasional. Kaum feminis mengklaim bahwa memperkenalkan analisis gender bisa memberikan dampak yang beda atas sistem negara dan ekonomi global dalam kehidupan perempuan dan laki-laki sehingga bisa dipahami sepenuhnya. 57 Kaum feminis beranggapan bahwa meletakkan lensa gender dalam kajian politik internasional itu penting dan akan memberikan pandangan dari sudut yang berbeda. Lensa feminis melihat HI dengan tiga cara; (1) secara konseptual, feminisme memberi arti dalam global politik dari kacamata feminis, tidak hanya maskulin. (2) Secara empiris, pendekatan feminis perlu melihat realitas yang terjadi di sekitar untuk memahami sebab-akibat kejadian tertentu dan memprediksi hasilnya. (3) Secara normatif, untuk mengupayakan perubahan yang positif dalam studi HI dan politik internasional (Wardhani, 2013). Dalam HI ada banyak macam perspektif teori feminis. Sebenarnya tidak ada satu feminisme, tidak ada pendekatan tunggal dalam mengkonstruksi teori feminis, namun ada banyak macam feminisme yang diliputi kontradiksi dan tumpang tindih mengenai posisi, kajian, dan praktiknya (Burchill & Linklater, 1996: 283). Dewasa ini banyak kelompokkelompok feminis yang berkembang, seperti feminisme konservatif, feminisme liberal, feminisme marxis dan feminisme sosialis yang berupaya masuk ke dalam teori-teori universal arus laki-laki. Ada pula feminisme radikal, eko-feminisme, feminisme kultural yang memperjuangkan status perempuan yang khas. Muncul juga kelompok kompleks dari teori feminis posmodern kritis seperti feminisme lesbian, feminisme perempuan Dunia Ketiga, dan lain sebagainya. (http://andraina_af-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-79370Theory%20of%20IR).