dengan Leadless Pacemaker

advertisement
Edisi
III
17 April 2016
Daftar Isi
2
Standardisasi Keamanan
Cath-lab di Indonesia
Optimalkan Tata Laksana
Penyakit Jantung Koroner
pada Perempuan
Biomarker: Alat Deteksi
Dini Infark Miokard
dan Gagal Jantung yang
Esensial
3
Terobosan Baru dalam
Manajemen Hipertensi dan
Diabetes Melitus
Rheumatic Heart Disease,
Penyakit yang Dapat
Dicegah
The Role of Cardiac CT and
CMR in Cardiovascular
Disease
4
Galeri Foto
Testimoni
Sekilas Hari Ini
Dicky A. Hanafi, MD dalam Symposium 19 “Arrhythmia and Pacemaker: Current Update”
Implantasi Alat Pacu Jantung Semakin Mudah
dengan Leadless Pacemaker
Perkembangan teknologi berkaitan alat pacu jantung menjadi pembicaraan hangat manajemen aritmia saat
ini. Leadless pacemaker siap menjadi alternatif pilihan di Indonesia.
H
ingga saat ini, pemasangan alat
pacu jantung konvensional masih
diasosiasikan dengan berbagai
komplikasi, seperti kerusakan lead,
infeksi, pneumotoraks hingga regurgitasi
trikuspid. Dalam presentasinya yang
berjudul “Leadless Pacemakers: Where
Are We?”, dr. Dicky A. Hanafy, SpJP(K),
FIHA
menjelaskan
perkembangan
alat pacu jantung. Untuk mengurangi
prosedur invasif pada alat pacu
jantung konvensional, para ilmuwan
mengembangkan leadless pacemaker.
Terdapat dua jenis leadless pacemaker,
yaitu NanostimTM dan MICRATM leadless
pacemaker system. Implantasi dilakukan
secara perkutan melalui vena femoralis
seperti alat pacu jantung sementara,
kemudian dimasukkan menggunakan
kateter menuju ventrikel kanan untuk
diimplantasi di apeks atau septum dari
ventrikel kanan. Perbedaan dengan alat
pacu jantung sementara adalah saat
leadless pacemaker sudah tiba di tempat
yang diinginkan, fiksasi dilakukan dengan
memutarnya searah jarum jam seperti
sekrup. Jika ingin memindahkan posisi,
dilakukan pemutaran berlawanan arah
jarum jam untuk melepaskan fiksasi.
Tingkat keberhasilannya yang mencapai
lebih dari 95%, menjadikan leadless
pacemaker sebagai alternatif terapi di
masa depan. Tahun ini, RSPJN Harapan
Kita Jakarta sedang mempersiapkan
pemasangan leadless pacemaker pertama
yang membuka jalan bagi perkembangan
alat ini di Indonesia.
Dr. dr. Yoga Yuniadi, SpJP(K), FIHA
kemudian menyambung sesi dengan
materi “Paroxysmal Atrial Fibrillation
with Sinus Pauses, Ablate First or
Pacemaker First?”. Berbagai penelitian
yang dipaparkan dalam presentasi ini masih
menunjukkan kesimpulan yang tidak
pasti mengenai pertanyaan klasik: apakah
atrial fibrillation (AF) menyebabkan sinus
node dysfunction (SND) atau sebaliknya?
Mengenai terapi, Yoga menunjukkan
penelitian yang membandingkan terapi
ablasi dengan terapi alat pacu jantung.
Kedua kelompok menunjukkan risiko
terjadinya AF, namun lebih tinggi secara
signifikan pada kelompok pacu jantung.
Oleh karena itu, terapi ablasi memberikan
hasil jangka panjang yang lebih baik
dengan tetap mempertimbangkan faktor
klinis seperti dimensi atrium kiri dan
penyakit komorbid.
Terakhir, dr. Muzakkir, SpJP,
membawakan
presentasi
bertajuk
“Sick Sinus Syndrome: Single or Dual
Chamber Pacemaker”. Dalam presentasi
ini, Muzakkir mengutip panduan dari
European Society of Cardiology untuk
menjawab pertanyaan tersebut. Dari
enam randomized controlled trials
yang diperbandingkan, terlihat bahwa
tidak ada perbedaan bermakna untuk
mortalitas pada pasien sick sinus syndrome
(SSS) tanpa AV block dengan tata laksana
pacu jantung yang bersifat single chamber
atau dual chamber. Namun, terapi single
chamber diasosiasikan dengan risiko gagal
jantung, fibrilasi atrial, dan risiko reoperasi
yang signifikan akibat munculnya AV
block pada pasien. Risiko reoperasi yang
tinggi tersebut, baik pada pasien SSS
dengan, maupun tanpa AV block, menjadi
salah satu pertimbangan utama untuk
merekomendasikan penggunaan pacu
jantung dual chamber pada pasien dengan
SSS.
Sebagai penutup, Yoga sebagai
ketua Indonesian Heart Rhythm Society
mengajak dokter ahli jantung di seluruh
Indonesia untuk mengikuti Integrated
Implanter Crash Program di i2cp.inahrs.
or.id, di mana peserta yang lulus ujian
secara online akan diundang ke RSPJN
Harapan Kita untuk mengikuti workshop,
kuliah, dan simulasi, yang kemudian
dibimbing untuk menjadi pacemaker
implanter.
Better Diagnosis and Management of
Heart Failure
H
dr. Erwinanto, SpJP(K), Dr. dr. Muhammad Munawar, SpJP(K), dan Prof. Alan S. Maisel,
MD, PhD pada sesi diskusi.
eart failure is one of the most
prevalent heart disease with high
mortality. This disease was the
main topic for the 12th joint symposium of
25th ASMIHA. As one of its expert panels,
dr. Erwinanto, SpJP(K) talked about
the recent advances in management of
chronic heart failure (CHF). Drugs which
currently used to treat CHF are H-ISDN,
ACE-I, and β-blocker (BB). Recent
evidence proves the benefits of using
mineralocorticoid receptor antagonist
(MRA), ivabradine, and dual inhibitor
of angiotensin II receptor-neprilysin for
heart failure.
The second speaker, Dr. dr. Muhammad
Munawar, SpJP(K) explained about
management of heart failure and atrial
fibrillation. The main focus is to manage
the condition by using BB and digoxin,
and also to prevent the occurence of
stroke. Last topic about high sensitivity
troponin (hs-Troponin) as diagnostic
tool for MI was presented by Prof. Alan
S. Maisel, MD, PhD. ”High sensitivity
troponin (hs-Troponin) is used as target
biomarker for HF treatment”, said Alan.
By using hs-Troponin, MI can always be
diagnosed, but there may be false positive.
Edisi III
25th ASMIHA
1
S
Standardisasi Keamanan Cath Lab di
Indonesia
aat ini, rumah sakit di Indonesia
banyak yang membangun catheter
laboratory (cath lab). Jumlah
cath lab di Indonesia adalah 169 buah
dengan operator cath-lab berjumlah
130 orang untuk melayani penduduk
Indonesia yang saat ini berjumlah kirakira 325 juta jiwa. Namun, pertanyaan
yang muncul adalah, “Apakah cath lab
yang dibangun itu telah memenuhi
standar dan aman digunakan?”
Dalam simposium 10 yang
bertemakan
“Catheterization
Laboratory Standard and Safety”,
Prof. Drs. Eri Hiswara, M.Sc
menyatakan bahwa sebagian besar
klinisi tidak waspada terhadap
kerusakan fisik yang berpotensi timbul
dari penggunaan terapi intervensi ini.
Kabar baiknya, risiko kerusakan dapat
dikurangi dengan teknik penggunaan
radiasi yang benar dan alat-alat
proteksi yang baik.
Hal penting yang harus diingat
setiap klinisi adalah prosedur
menggunakan radiasi harus dipakai
seoptimal dan seefisien mungkin
karena penggunaan radiasi dengan
teknik yang baik pun akan tetap
menimbulkan efek samping. Tak
lupa, dosis radiasi yang diberikan
harus selalu dicantumkan pada rekam
medis pasien setiap selesai melakukan
tindakan.
Pembicara terakhir, dr. Abdul
Hakim Alkatiri, SpJP dari RSUP
Wahidin Sudirohusodo Makassar,
menyampaikan kondisi standardisasi
cath lab di Indonesia. Di Indonesia
sendiri belum ada standar prosedur
pembentukan cath lab yang baku.
Hingga saat ini, pembentukan cath
lab disesuaikan dengan permintaan
sponsor. Hal ini mengundang banyak
pertanyaan terutama masalah patient
safety karena sebagian besar prosedur
yang dilaksanakan di cath lab berisiko
tinggi untuk pasien dan operatornya.
Saat ini, PERKI sedang menyusun
pedoman
nasional
pelayanan
kedokteran mengenai cath lab dan
pembuluh darah, mengacu pada
Society for Cadiac Angiography and
Interventions (SCAI), yang diharapkan
dapat diaplikasikan secara menyeluruh
di Indonesia. Pada panduan ini, setiap
tindakan harus aman, efektif, efisien,
memenuhi prinsip patient-centered,
dan dilaksanakan sesingkat mungkin.
Selain cath lab, sebagian besar
alat-alat
proteksi
radiologi
di
Indonesia seperti apron dan google
juga belum memiliki standar sehingga
penggunaan apron ringan atau tanpa
timbal masih patut dipertanyakan
keamanannya. Pada akhir presentasi,
Abdul
menyampaikan
bahwa
dalam melaksanakan prosedur yang
menggunakan radiasi berisiko tinggi,
perlu dipertimbangkan risk-benefit
ratio dari prosedur tersebut.
Sesi diskusi Symposium 10: Workshop Group Track - Intervention Cardiology Catheterization Laboratory Standard and Safety
Optimalkan Tata Laksana Penyakit
Jantung Koroner pada Perempuan
dr. Dyana Sarvasti, SpJP (K), FIHA
M
asalah penyakit jantung
koroner
(PJK)
pada
perempuan
kembali
mendapatkan
perhatian
khusus
pada ASMIHA ke-25. Hal ini
dilatarbelakangi oleh masih banyaknya
kalangan masyarakat dan dokter yang
menganggap remeh masalah ini.
Menurut dr. Dyana Sarvasti, SpJP (K),
FIHA, penanganan kardiovaskular
pada perempuan masih belum
semaksimal laki-laki. Padahal, tingkat
mortalitas dan morbiditas terkait
PJK lebih tinggi pada perempuan
dibandingkan dengan laki-laki.
Tingginya
mortalitas
dan
morbiditas PJK pada perempuan
disebabkan
karena
penegakkan
diagnosis pada perempuan lebih
sulit dilakukan. Gejala yang muncul
seringkali tidak khas, seperti lemas,
tidak enak badan, sesak, atau
keringat dingin. Sementara itu,
laki-laki menunjukkan gejala PJK
yang khas sehingga lebih mudah
didiagnosis. “Yang tidak khas pada
PJK itu perempuan, DM, dan lansia.
Itu harus hati-hati,” ujar Dyana yang
saat ini menjabat sebagai Wakil
Ketua Kelompok Kerja Prevensi dan
Rehabilitasi Kardiovaskular.
Dyana juga menekankan bahwa
mortalitas dan morbiditas PJK
pada perempuan dapat diturunkan
dengan
memaksimalkan
upaya
pencegahan primer dan sekunder.
Pencegahan primer dilakukan dengan
mengenali dan mencegah faktor risiko
berkembang menjadi PJK. Salah
satu faktor risiko PJK yang harus
diwaspadai pada perempuan adalah
menopause.
Pada perempuan yang sudah
menopause,
terjadi
penurunan
kadar estrogen. Estrogen memiliki
sifat protektif terhadap jantung dan
pembuluh darah, sehingga risiko
terjadinya penyakit kardiovaskular
meningkat saat menopause. Selain
itu, perempuan yang telah mengalami
menopause lebih mudah terkena
penyakit degeneratif lainnya, terutama
diabetes melitus dan hipertensi yang
dapat memperberat PJK.
Akan tetapi, menopause tidak
melulu terjadi karena faktor usia.
Menopause bisa dipercepat maupun
diperlambat. Percepatan menopause
dapat terjadi pada kebiasaan tertentu,
seperti merokok ataupun riwayat
operasi ovarium dan kemoterapi. Di
sisi lain, menopause dapat diperlambat
dengan melakukan aktivitas fisik secara
rutin. Selain memengaruhi menopause,
olahraga juga dapat meningkatkan
antioksidan dan mencegah myocardial
aging sehingga faktor risiko PJK pun
semakin berkurang.
Dyana berharap kewaspadaan
kasus PJK terhadap perempuan di
Indonesia dapat meningkat. Tidak
terbatas pada kewaspadaan saja, dokter
juga harus berperan lebih dalam
pencegahan primer dan sekunder PJK
pada perempuan. Dyana juga berpesan
kepada para dokter untuk mendukung
perempuan dalam mendapatkan
pelayanan maksimal, sama seperti
laki-laki.
Biomarker: Alat Deteksi Dini Infark Miokard dan Gagal Jantung yang
Esensial
N
yeri dada merupakan salah
satu gejala sindrom koroner
akut (acute coronary syndrome;
ACS) yang sering ditemukan sebagai
kasus gawat darurat. Nyeri dada juga
merupakan pertanda adanya kerusakan
pada miokardium yang jika segera
dideteksi dapat memperlambat progresi
penyakit dan mempercepat pemberian
tatalakasana.
“EKG merupakan salah satu
pemeriksaan
penunjang
untuk
mendeteksi kerusakan miokardium,”
terang dr.Bambang Budiono, SpJP,
FIHA, FSCAI dalam presentasinya di
Simposium 18 pada ASMIHA ke-25.
Sayangnya, EKG tidak terlalu spesifik.
Sekitar 10% elevasi ST tidak disebabkan
oleh STEMI dan 50% EKG pada pasien
infark miokardium memberikan hasil
2
Edisi III
25th ASMIHA
normal atau inkonklusif. Oleh sebab
itu, dibutuhkan penunjang lainnya
yang lebih spesifik.
Saat ini, sebagian besar guideline
menyebutkan bahwa troponin T
dan I merupakan biomarker infark
miokardium. Dalam presentasinya,
Prof.
Nicholas
Mills,
MD
menyebutkan bahwa biomarker high
sensitivity troponin (hs-Troponin) T
dan I memiliki sensitivitas yang tinggi
dan sangat direkomendasikan sebagai
alat deteksi infark miokardium. Jika
troponin hanya dapat dideteksi dengan
kadar minimal tertentu, hs-Troponin
dapat dideteksi pada kadar berapapun.
Ambang kadar hs-Troponin spesifik
terhadap pria adalah 34 ng/L dan
wanita 16 ng/L. Dengan diagnosis
sedini mungkin, tata laksana dapat
dilakukan lebih efisien dan terfokus.
Selain biomarker dan EKG,
pencitraan dapat digunakan untuk
mendeteksi infark miokardium
bila hasil EKG dan biomarker
inkonklusif. Pemeriksaan pencitraan
lini pertama untuk pasien yang
dicurigai mengidap ACS adalah
bedside echocardiography. Selain itu,
dapat pula dilakukan myocardial
contrast echocardiography using
power harmonic doppler imaging. Tak
hanya ekokardiografi, MRI jantung
juga berguna untuk pemeriksaan
pasien ACS dengan mendeteksi
kelainan perfusi. Multi-sliced CT
dapat mempresentasikan adanya lesi
atherosklerotik di pembuluh koroner.
ACS
dapat
berkembang
menjadi gagal jantung jika tidak
diobati. Dalam presentasinya, dr.
Jaganathan Sickan menyatakan
bahwa terdapat dua jenis biomarker
gagal jantung, yaitu NTpro-BNP
dan BNP. Namun, penggunaan BNP
lebih direkomendasikan karena
terdapat kondisi lain yang dapat
sangat meningkatkan kadar NTproBNP, seperti gagal ginjal. Hingga
saat ini, penggunaan BNP sangat
penting untuk mendiagnosis dan
menetapkan prognosis gagal jantung.
Selain itu, BNP juga digunakan
untuk menentukan tata laksana
pasien dispnea akut, mendiagnosis
gagal jantung sistolik atau diastolik,
menstratifikasi besar risiko pasien
ACS, serta monitoring progresi
penyakit pasien.
Terobosan Baru Manajemen Hipertensi dan Diabetes Melitus
H
ipertensi
didefinisikan
sebagai tekanan darah yang
melebihi batas normal dan
menyebabkan
kondisi
patologis,
terutama terkait dengan sistem
kardiovaskular. Kaitan erat hipertensi
dan
kejadian
kardiovaskular
mengindikasikan kebutuhan akan
manajemen tepat dalam pengendalian
tekanan darah. Masalah ini diangkat
oleh Dr. dr. Chandramin, SpJP(K),
FIHA, dalam lunch symposium
ASMIHA ke-25.
Chandramin
mengungkapkan
bahwa dua hal penting dalam
manajemen
hipertensi
adalah
stratifikasi
risiko
kejadian
kardiovaskular dan pemilihan terapi
yang tepat. Manajemen hipertensi
diawali dengan upaya modifikasi gaya
hidup. Selain itu, terapi farmakologis
dapat diberikan untuk mendukung
keberhasilan terapi. Penggunaan
obat
tunggal
terbukti
kurang
efektif dalam menurunkan tekanan
darah dibandingkan dengan terapi
kombinasi. Kombinasi dari golongan
Sesi diskusi Lunch Symposium 3: New Frontiers in the Management of Hypertension and Metabolic
Diseases
calcium channel blocker (CCB) dan
golongan angiotensin receptor blocker
(ARB) menunjukkan efikasi paling
tinggi
dibandingkan
kombinasi
lainnya. Di samping itu, kombinasi ini
juga menurunkan efek samping seperti
edema tungkai yang kerap ditemui
pada penggunaan CCB tunggal.
Terlepas dari keunggulan yang
dimiliki terapi kombinasi, masalah
kepatuhan dalam meminum obat
kombinasi dapat menjadi penyebab
tidak tercapainya target tekanan
darah. Terapi obat kombinasi dalam
pil tunggal dapat menjadi solusinya,
contohnya pil kombinasi telmisartan
dan amlodipine. Meskipun demikian,
penggunaan kombinasi pil tunggal
memiliki kendala dalam penentuan
dosis, terutama pada pasien dengan
tekanan darah terkendali yang
menunjukkan gejala efek samping obat.
Sesi
berikutnya
membahas
mengenai manajemen diabetes melitus
(DM) dalam mencegah penyakit
kardiovaskular yang dibawakan oleh
dr. Roy P. Sibarani, SpPD-KEMD,
FES-RS. Menurut Roy, pasien DM
memiliki risiko dua kali lebih besar
mengalami kejadian kardiovaskular.
Roy menjabarkan bahwa keadaan
hipoglikemia pada pasien DM ternyata
dapat meningkatkan mortalitas akibat
kejadian kardiovaskular. Berbagai
obat antidiabetes baru seperti DPP-IV
inhibitor menunjukkan efikasi yang
baik dalam menurunkan gula darah
tanpa menyebabkan hipoglikemia
sehingga aman digunakan oleh pasien
dengan penyakit kardiovaskular.
Sebagai kesimpulan, hipertensi dan
DM adalah dua kondisi yang berkaitan
erat dengan kejadian kardiovaskular.
Manajemen yang tepat diperlukan
untuk menurunkan risiko kejadian
kardiovaskular. Dengan demikian,
terapi baru dapat diimplementasikan
untuk mengendalikan tekanan darah
atau gula darah, tetapi perbedaan
karakteristik masing-masing pasien
juga perlu diperhatikan.
Rheumatic Heart Disease, Penyakit yang Dapat Dicegah
A
Dr.dr. Iridawanto S. Atmosudigdo, SpJP(K) membawakan materi “prophylaxis and prevention of
rheumatic heart disease”
R
cute rheumatic fever (ARF)
merupakan respons imun
terhadap infeksi streptokokus
grup A (GAS) yang diawali dengan
infeksi saluran napas atas. Infeksi ini
dapat berkembang menjadi penyakit
jantung rematik atau rheumatic heart
disease (RHD) serta menimbulkan
gejala seperti korea, monoartritis,
karditis, nodul subkutan, dan eritema
subkutan. Kriteria yang dipakai
untuk mendiagnosis RHD adalah
kriteria Jones. “Ekokardiografi dan
monoartritis dapat diterima sebagai
kriteria mayor pada populasi berisiko
tinggi,” ujar dr. Heny Martini,
SpJP(K).
Menurut Dr. dr. Iridawanto S.
Atmosudigdo, SpJP(K), pencegahan
RHD dapat dibagi menjadi dua
tahap, yaitu pencegahan primer
dan sekunder. Pencegahan primer
dilakukan
dengan
pemberian
antibiotik pada infeksi GAS agar
tidak berkembang menjadi ARF.
Antibiotik yang disarankan adalah
penisillin, sefalosporin, klindamisin,
atau azitromisin. Sementara itu,
pencegahan sekunder bertujuan
untuk mencegah rekurensi ARF,
munculnya RHD, dan peningkatan
derajat keparahan RHD. Pencegahan
ini dilakukan dengan pemberian
penisilin seumur hidup.
The Role of Cardiac CT and CMR in Cardiovascular Disease
adiologic
imaging
has
increasingly important role in
cardiovascular disease. In Joint
Symposium Session Indonesian Heart
Association-Asian Pacific Society of
Cardiology, three speakers elaborated
three different topics on imaging in
cardiovascular disease.
The first speaker, dr. Oktavia
Lilyasari,
SpJP(K),
elaborated
the use of CT-scan (Computed
Tomography scan) and CMR (Cardiac
Magnetic Resonance) imaging in
management of congenital heart
diseases. Echocardiography is used
as the primary diagnostic tool.
However, when echocardiography
is not representative for the patient’s
condition, alternative procedure such as
CT and CMR are necessary to support
the diagnosis and management of the
patient. These imaging modalities are
superior in some settings, such as post-
operative evaluation on patients with
transposition of great arteries, fibrosis,
myocardial
mass,
arteriovenous
malformation, and quantification of
shunt and volume.
On second session, Dr. Ping
Chai from National University Heart
Center, Singapore, explained about
CT scan use to evaluate coronary
artery calcium (CAC) as one of CVD
risk factors. Smoking, hypertension,
obesity, diabetes mellitus, and
hypercholesterolemia are traditional
CVD risk factors. However, these risk
factors are not the best predictors
of 10-year risk. Adjunct formulas
for refining risk estimates by CAC
scoring, gender and race are provided.
Ping Chai presented a case of a patient
who had high risk of developing CVD
according to the Framingham scoring,
but had very low CAC score based on
arterial age using Multi-Ethic Study
of Atherosclerosis (MESA) scoring.
Therefore, Framingham scoring can
either overestimate or underestimate
the risk of developing CVD. The
addition of CAC to the traditional risk
factors has higher prognostic value in
predicting CV events.
The session was closed by
presentation about imaging in
pulmonary embolism by Dr. dr. J.
Nugroho E. P., SpJP(K), FIHA, FAsCC,
FICA, FESC. Pulmonary embolism
(PE) is a cardiovascular emergency with
high mortality rate. Additional imaging
modalities are necessary for diagnosis
of PE. Patients need to be stratified
based on clinical probability using Wells
criteria and Revised Geneva Criteria
(low/intermediate or high clinical
probability) for further imaging follow
up. Imaging modalities for PE consist
of chest X-ray, echocardiography,
CT pulmonary angiography (CTPA),
CT venography, V/Q scanning,
pulmonary angiography, and MR
angiography. CTPA is the first-line
diagnostic procedure, but may not
be available in some centers, while
echocardiography can be used in
hemodynamically stable patient by
assessing right ventricle dysfunction
as the independent factor. Other
modalities, although easier to perform,
present some limitations. Therefore,
the use of clinical assessment and
D-dimer test combined with imaging
can stratify the probability and
management of PE patients.
Overall, cardiac CT and CMR
poses great relevance in cardiovascular
disease. The use of these modalities
should be explored and utilized in
aiding diagnosis and management of
cardiovascular disease.
Edisi III
25th ASMIHA
3
Galeri Foto
Editor-In-Chief
dr. Sony Hilal Wicaksono,
SpJP, FIHA
Sub-Editors
Hiradipta Ardining
Jihaan Hafirain
Nabila Al-Jufri
Patria Wardana Yuswar
Paulina Livia Tandijono
2
Medical Writers
Andreas Michael
Clara Gunawan
Dewi Anggraeni
Vanya Utami Tedhy
Tommy Toar
1
3
4
Graphic Design
Anyta Pinasthika
Robby Hertanto
Photography
Anyta Pinasthika
Arlinda Eraria Hemasari
Bagus Radityo Amien
Muhammad Idzhar
5
6
1. Dr. Ping Chai menyampaikan presentasi tentang perhitungan skor kalsium dalam kardiologi preventif
2. Lulusan program pendidikan dokter spesialis jantung dan pembuluh tahun 2016 sedang mengucapkan janji profesi dokter spesialis jantung
dan pembuluh, yang dipandu oleh Presiden PERKI.
3. Sesi diskusi dalam Symposium 10: Workshop Group Track - Intervention Cardiology Catheterization Laboratory Standard and Safety
4. Presiden PERKI, dr.Anwar Santoso, PhD, SpJP(K), FIHA sedang memberikan sambutan dalam acara konvokasi ASMIHA ke-25.
5. Anggota kehormatan pada acara konvokasi ASMIHA ke-25.
6. Anggota kehormatan konvokasi ASMIHA ke-25 beserta seluruh fellow of International Heart Association yang telah resmi dilantik.
Testimoni
Senang bisa dapat banyak ilmu baru, bisa
ketemu dengan teman-teman juga, jadi bisa
sekalian reuni.
- dr. Margaretha Syane - RSUD Sungai Liat,
Bangka
Sangat informatif. Informasi untuk audience sangat sesuai
dengan pekerjaan profesi. Kritik, ASMIHA ini sudah berjalan
sudah sangat lama, jadi menurut saya sudah sangat bagus.
Saya berharap para dokter spesialis maupun para ahli di Indonesia bisa melakukan penelitian sendiri untuk orang Indonesia yang kemudian dibuat dalam suatu makalah yang bisa
dipublikasikan di majalah-majalah dunia.
- Perwakilan PT Ethica Industri Farmasi
Sekilas Hari Ini
PLENARY SESSION 5
Ballroom 2 (09.30 - 10.00)
How do we reduce vascular mortality
by half in a generation globally?
Salim Yusuf
SYMPOSIUM 25
Ballroom 2 (11.40 - 13.00)
Primary prevention with lowering
blood pressure and low density
lipoprotein: In whom and how?
Results of the HOPE 3 trials
Salim Yusuf
4
Edisi III
25th ASMIHA
Overview of cardiovascular problem
in Indonesia
Anwar Santoso
BREAKFAST SYMPOSIUM 4
Ballroom 1 (08.00 - 08.40)
Optimizing heart failure treatment
PLENARY SESSION 4
Ballroom 1 (09.00 - 10.00)
The role of cardiac MRI in coronary
heart disease in Indonesia
Manoefris Kasim
Project Management
Media Aesculapius
(medaesculapius@gmail.
com)
Chronic thromboembolic pulmonary
hypertension: New science, new treatment
Noriaki Emoto
SYMPOSIUM 23
Mutiara Ballroom (11.00 - 11.20)
National formularium for hypertension treatment in Indonesia
Download