prosiding

advertisement
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL II
HIMPUNAN ILMUWAN TUMBUHAN PAKAN INDONESIA (HITPI)
BEKERJASAMA DENGAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN
DAN KESEHATAN HEWAN KEMENTAN RI
HIJAUAN PAKAN LOKAL DALAM SISTEM INTEGRASI
UNTUK KETAHANAN PAKAN DAN EKONOMI
PETERNAKAN NASIONAL
INNA BALI HOTEL
DENPASAR, 28 – 29 JUNI
2013
Denpasar – Bali
2013
SEMINAR NASIONAL II
HIMPUNAN ILMUWAN TUMBUHAN PAKAN INDONESIA
(HITPI)
Denpasar, 28 – 29 Juni 2013
PenyuntingPelaksana:
W. Suarna
N. Suryani
G. Mahardika
K. Budaarsa
A. Trisnadewi
Diterbitkan Oleh:
Himpunan Ilmuwan Tumbuhan Pakan Indonesia (HITPI)
Sekretariat:
Laboratorium Ilmu Tumbuhan Pakan Fapet - Unud
Denpasar – Bali 80232. Telp. (0361) 222096
Fax. (0361) 236180
e-mail: [email protected]
Inna Bali Hotel Denpasar, 2013
ii
Prosiding Seminar Nasional
Tumbuhan Pakan Tropik
Hak Cipta © 2013. Himpunan Ilmuwan Tumbuhan Pakan
Indonesia (HITPI). Sekretariat:Laboratorium Ilmu Tumbuhan
Pakan Fapet - Unud Denpasar – Bali 80232. Telp. (0361) 222096
Fax. (0361) 236180 e-mail: [email protected]
Isi prosiding dapat disitasi dengan menyebutkan sumbernya.
Penyunting: W. Suarna, N. Suryani, G. Mahardika, K.
Budaarsa, dan A. Trisnadewi.
Prosiding Seminar Nasional II Tumbuhan Pakan Tropik,
diselenggarakan di Denpasar, 28 – 29 Juni 2013
vii + ...... halaman
ISBN ..................
Dicetak di Denpasar, Bali, Indonesia
iii
KATA PENGANTAR
Sebuah pertemuan akbar ilmuwan tumbuhan pakan yang dikemas dalam
sebuah semnas bertema “Hijauan Pakan Lokal dalam Sistem Integrasi untuk
Ketahanan Pakan dan Ekonomi Peternakan Nasional” telah digelar dengan baik
dan lancar pada tanggal 28 Juni 2013 dan dilanjutkan dengan kegiatan field trip
pada tanggal 29 Juni 2013.
Berbagai informasi dan pemikiran baru muncul
selama kegiatan berlangsung. Suasana seminar yang hangat dan sangat kondusip
diharapkan dapat terus ditumbuhkembangkan untuk kemajuan Ipteks tumbuhan
pakan dan memberikan inspirasi untuk melahirkan pusat-pusat riset tumbuhan
pakan. Semnas merupakan komitmen HITPI dalam rangka meramu dan
mencermati pemikiran tentang keberagaman jenis dan manfaat tumbuhan pakan
serta menggali potensi untuk menjadikan tumbuhan pakan sebagai komuditas
yang memiliki keunggulan kompetitif.
Seminar tumbuhan pakan tropik yang dilaksanakan bertujuan untuk saling
tukar informasi tentang pengembangan Ipteks Tanaman Pakan Tropik di
Indonesia antar para pakar, peneliti, dan pemangku kepentingan lainnya. Seminar
telah membahas sekitar enam puluh makalah yang berasal dari berbagai perguruan
tinggi serta institusi yang terkait dengan dunia peternakan di seluruh Indonesia.
Seminar telah berhasil meningkatkan sinergisme berbagai stakeholders dalam
pengembangan tumbuhan pakan dalam rangka membangun paradigma baru
eksistensi tumbuhan pakan.
Terimakasih kami sampaikan kepada Direktur Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan yang telah membantu pembiayaan semnas ini dan sebagai
Keynote Speaker. Terimakasih juga kami sampaikan kepada para nara sumber
(Direktur Pakan, Prof. David Hannaway, drh Patrianov MM, dan Dr. Ir. Bambang
R. Prawiradiputra), Pemakalah, Peserta Seminar, dan semua pihak yang telah
berkontribusi besar untuk keberhasilan pelaksanaan Seminar Nasional II
Himpunan Ilmuwan Tumbuhan Pakan Indonesia (HITPI).
Dr. Ir. Ni Nyoman Suryani, MSi.
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................
DAFTAR ISI ..........................................................................................
RANGKUMAN HASIL DAN REKOMENDASI .................................
SAMBUTAN-SAMBUTAN
LAPORAN KETUA PANITIA ......................................................
SAMBUTAN KETUA UMUM HITPI ..........................................
SAMBUTAN DIRJEN PETERNAKAN DAN KESEHATAN
HEWAN ..........................................................................................
MAKALAH UTAMA ............................................................................
DIREKTUR PAKAN ......................................................................
OREGON STATE UNIVERSITY ..................................................
STAF AHLI GUBERNUR RIAU ...................................................
BALITNAK, CIAWI ......................................................................
KUMPULAN MAKALAH ORAL ........................................................
MAKALAH KELOMPOK I : PRODUKSI TANAMAN DAN
HIJAUAN PAKAN
Perubahan Nilai Nutrien Tanaman Sorgum (Sorghum Bicolor
(L.) Moench) Varietas Lokal Rote sebagai Hijauan Pakan
Ruminansia pada Berbagai Umur Panen dan Dosis Pupuk Urea
Bernadete B Koten, R. D. Soetrisno, N Ngadiyono,
B. Soewignyo ..................................................................................
Nilai Nutrisi Panicum maximum cv. Riversdale yang Dipupuk
dengan Air Belerang dan Pupuk Kandang
Charles L. Kaunang & Endang Pudjihastuti .................................
Mekanisme Transfer Nutrisi dari Legum ke Rumput yang
Diinokulasi FMA (Ifapet)
Herryawan K.M .............................................................................
Pertumbuhan dan Hasil Hijauan Tanaman Rumput Setaria
(Setaria splendid STAPF.) yang dipengaruhi Nitrogen, Fosfor,
Mikoriza Vesikula Arbuskula (MVA), dan Azospirillum
I Gusti Ngurah Alit Wiswasta ........................................................
Aplikasi FMA dan Pupuk Kandang terhadap Produksi dan
Kualitas Rumput Gajah (Pennisetum purpureum Schum)
Khalidin, Iskandar Mirza dan Abdul Azis ......................................
Pendugaan Produksi Biomassa Hijauan Rumput Brachiaria
decumbens Berdasarkan Metode Non-Destruktif dengan
Menggunakan Piringan Akrilik
Sari Suryanah, Dudi, dan Mansyur ..............................................
Pengaruh Pemberian Asap Cair Terhadap Pertumbuhan Rumput
Raja (Pennisetum purpureophoides)
Muhakka, A. Napoleon, Hidayatul Isti’adah .................................
Evaluation of Morphological Characters and Assesment of DNA
Content Using Flowcytometry Analysis in Regenerants Dwarf
Napiergrass from Embryogenic Calli
Nafiatul Umami ..............................................................................
iv
v
1
3
5
7
12
13
26
53
88
100
101
111
118
132
139
147
155
164
v
Peranan Fungi Mikoriza Arbuskula, Mikroorganisme Pelarut
Fosfat, Rhizobium Sp dan Asam Humik untuk Meningkatkan
Pertumbuhan dan Produktivitas Legum Calopogonium
mucunoides pada Tanah Latosol dan Tailing Tambang Emas di
PT. Aneka Tambang
Karti, P.D.M.H., N. R. Kumalasari, D. Setyorini ..........................
Pupuk
Phospho
Kompos
yang
diperkaya
dengan
Mikroorganisme Pelarut P dan Pengaruhnya terhadap
Pertumbuhan Setaria splendida
Rahmi Dianita, A. Rahman, Sy., Ubaidillah ..................................
MAKALAH KELOMPOK II : MODEL PRODUKSI
PETERNAKAN BERBASIS PADANG PENGGEMBALAAN
Produktivitas Padang Penggembalaan Sabana Timor Barat
Arnold E. Manu ..............................................................................
Pendugaan Daya Tampung Padang Rumput Mar di Taman
Nasional Wasur Merauke
terhadap Rusa Liar (Cervus
timorensis)
Bambang Tjahyono Hariadi dan Thimotius Sraun ........................
Pengaruh Cara Persiapan Lahan Terhadap Produksi Bahan
Kering dan Kualitas Centrosema pubescent Benth. dan
Calopogonium mucunoides Desv. di Padang Rumput Alami
Luh Suariani, I Nyoman Kaca dan Ni Made Yudiastari ................
Profil Padang Rumput dan Perkembangannya di China
Dwi Retno Lukiwati ........................................................................
Pemanfaatan Limbah dalam Sistem Integrasi Ternak untuk
Memacu Ketahanan Pakan di Provinsi Aceh
Nani Yunizar, Elviwirda dan Yenni Yusriani .................................
Keragaan Pastura Brachiaria humidicola (Rendle) Schweick
pada Sistem Penggembalaan dan Stocking Rate Berbeda
Selvie D. Anis, M.A. Chozin, M. Ghulamahdi dan Sudradjat, dan
H. Soedarmadi ...............................................................................
Perilaku Makan Ruminansia sebagai Bioindikator Fenologi
Tumbuhan Pakan dan Dinamika Padang Penggembalaan
Suhubdy Yasin ................................................................................
Potensi Hijauan di Perkebunan Kelapa Sawit sebagai Pakan Sapi
Potong di Kabupaten Kutai Kartanegara
Taufan P. Daru, Arliana Yulianti, dan Eko Widodo ......................
Prospektif Agronomi dan Ekofisiologi Indigofera zollingeriana
sebagai Tanaman Penghasil Hijauan Pakan BerkualitasTinggi
L. Abdullah .....................................................................................
Masalah Pengembangan Hijauan Makanan Ternak di Aceh
M. Nur Husin, Didy Rachmadi ......................................................
Potensi Padang Penggembalaan Alam dan Prospek
Pengembangan Sapi Bali dalam Mendukung Program
Kecukupan Daging di Papua Barat
Onesimus Yoku, Andoyo Supriyantono, Trisiwi Widayati dan
Iriani Sumpe ..................................................................................
170
176
184
194
201
218
225
232
240
249
258
263
vi
MAKALAH KELOMPOK III : PROSPEK BISNIS BENIH DAN
HIJAUAN PAKAN
Pertumbuhan Generatif Alfalfa (Medicago sativa L) Mutan
Tropis, Respon terhadap PemupukanFosfat (Hasil Mutasi Induksi
EMS)
Widyati-Slamet. Sumarsono, S. Anwar dan D.W. Widjajanto ......
Uji Pengawetan Terhadap Daya Simpan Bahan Tanam Stek
Rumput Gajah (Pennisetum purpureum Schummach)
M. Agus Setiana .............................................................................
Analysis and Expression of Al-Tolerant Genes From Soybean
[Glycine max (L.) Merryl] on Forage Crops and Escherichia coli
S. Anwar, Sumarsono, Karno and F. Kusmiyati ............................
Evaluasi Produktivitas Tanaman Kerandang (Canavalia virosa )
sebagai Sumber Hijauan Pakan Ternak pada Lahan Pantai
Sajimin dan B.R. Prawiradiputra ..................................................
Inventarisasi Hijauan Pakan Kuda Pacuan di Nusa Tenggara
Barat
Sudirman, Gde Mertha & Suhubdy ................................................
Produktivitas Tenaga Pengarit Berdasarkan Moda Pengangkut di
Peternakan Sapi Perah Pondok Ranggon, Jakarta Timur
Iwan Prihantoro, M.A Setiana, Annisa Bahar ...............................
Produktivitas dan Emisi Polutan Kambing Peranakan Etawah
yang Diberi Wafer Ransum Berbasis Limbah Terfermentasi
Inokulan Konsorsium Mikroba
I M. Mudita, A. A. P. P. Wibawa, I W. Wirawan, I G L O Cakra,
dan I.B.G. Partama ........................................................................
Inventarisasi Jenis Rumput dan Legum pada Lahan Perkebunan
di Kabupaten Gianyar Provinsi Bali
Suarna, W. dan N.N. Suryani .......................................................
Pengaruh Pemberian Hijuan dan Konsentrat Mengandung UreaKapur dan Ubi Kayu terhadap Penampilan Kambing PE
I G. Mahardika, N.S. Dharmawan, K. Budaarsa, I G.L.O. Cakra,
dan I P. Ariastawa .........................................................................
Eksplorasi Hijauan Pakan Babi dan Cara Penggunaannya pada
Peternakan Babi Tradisional di Provinsi Bali
Komang Budaarsa, N. Tirta A., Ketut Mangku Budiasa dan P.A.
Astawa ............................................................................................
MAKALAH KELOMPOK IV : PEMANFAATAN HIJAUAN
PAKAN DALAM SISTEM PRODUKSI PETERNAKAN
Potensi Pengembangan Hijauan Pakan Ternak Sapi di Bawah
Pohon Kelapa Kecamatan Lolayan Kabupaten Bolaang
Mongondow
Artise H.S. Salendu dan Femi H. Elly ..........................................
Substitusi Gamal (Gliricidia sepium) dengan Kaliandra
(Calliandra calothyrsus) pada Ransum terhadap Kecernaan InVitro
A. A. Ayu Sri Trisnadewi, I G. L. O. Cakra, I W. Wirawan,
I Made Mudita, dan N. L. G. Sumardani .....................................
271
279
288
296
304
309
316
329
337
345
352
vii
Pemanfaatan Daun Ketela Pohon (Manihot esculenta Crantz),
Daun Pepaya (Carica papaya L), atau Daun Salam (Syzygium
polyanthum Walp) sebagai Suplementasi Bumbu Terhadap
Kualitas Daging Betutu Itik
Andi Udin Saransi, Tjokorda Gede Belawa Yadnya,
A.A.M.Semariyani, dan Ni Made A.Suardani ...............................
Pemanfaatan Limbah Pengolahan Buah Merah pada Sistem
Pemeliharaan Babi secara Pastura
Diana Sawen, B.W. Irianti Rahayu dan Iriani Sumpe ..................
Pemanfaatan Standinghay Rumput Kume Amoniasi dengan
Penambahan Znso4 dan Zn-Cu Isoleusinat dalam Ransum untuk
Mengoptimalkan Peningkatan Konsumsi, Kecernaan dan Kadar
Glukosa Darah Sapi Bali Dara
Erna Hartati, A. Saleh dan E.D. Sulistijo ......................................
Pengaruh Energi-Protein Ransum terhadap Karkas dan Organ
Dalam Ayam Kampung Umur 35 Minggu
G. A. M. Kristina Dewi, R. R. Indrawati, N. M. Laksmiwati, dan
M. Dewantari .................................................................................
Pengaruh Penggunaan Indigofera falcata Sebagai Pengganti
Konsentrat Dalam Ransum Sapi Perah Berbasis Jerami Padi
Terhadap Produksi Asam Lemak Terbang Dan NH3
Gilang N. Ambisi, Tidi Dhalika, dan Mansyur ..............................
Pemanfaatan Pelepah Sawit Sebagai Sumber Hijauan dalam
Ransum Sapi Potong
Nurhaita, Ruswendi , W. Rita, dan Robiyanto ...............................
Pengaruh Pemberian Starbio Dan Pignox (Starpig) dalam
Ransum yang Disuplementasi Daun Salam (Syzygium
polyanthum Walp) terhadap Kualitas Daging dan Kolesterol
Darah Ayam Kampung
Tjokorda Gede Belawa Yadnya, I Wayan Wirawan, I Putu Tegik,
dan Ni Putu Emi Suastini ...............................................................
Pengaruh Pemanfaatan Inokulan yang Berbeda dalam
Biofermentasi Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L) dalam
Ransum terhadap Karkas dan Kualitas Daging Itik Bali
Tjokorda Gede Belawa Yadnya, Ni Made Witariadi, Ni Made
Suci Sukmawati, dan A.A.A. Sri Trisnadewi .................................
Efek Penggunaan Produk Fermentasi Limbah Agroindustri Lokal
dalam Pakan Lengkap terhadap Performan Kelinci dan Income
Over Feed Cost
Usman Ali .......................................................................................
Introduksi Hijauan Makanan Ternak Sapi di Minahasa Selatan
Femi H. Elly, P.O.V. Waleleng, Ingriet D.R. Lumenta, dan
F.N.S. Oroh ...................................................................................
Pengaruh Perbaikan Tanah Salin Terhadap Karakter Fisiologis
Calopogonium mucunoides
Kusmiyati,F,Sumarsono, and Karno ..............................................
359
369
375
385
393
402
410
419
430
439
446
viii
KUMPULAN MAKALAH POSTER ....................................................
Respons Rumput Gajah (Pennisetum purpureum Schumach)
terhadap Pupuk Urea, Kotoran Ayam, dan Kotoran Sapi Sebagai
Sumber Nitrogen (N)
A. A. P. Putra Wibawa, I G. B. Adi Parwata, I W. Wirawan, N.
L. G. Sumardani, dan I W. Suberata ..............................................
Componential Analysis of Forages Lexemes in Kisah-Kisah
Tantri (Tantri‟s Stories)
I G. Ag. I. Aryani, I G.L.Oka and A.A.A. S. Trisnadewi ................
Pemanfaatan Bakteri Pelarut Fosfat Untuk Meningkatkan
Produktivitas Kudzu Tropika (Puerariaphaseoloides Benth.)
Roni NGK, NM Witariadi, NN Candraasih K, dan NW Siti ..........
LAMPIRAN ...........................................................................................
JADWAL ACARA SEMNAS II HITPI .........................................
DAFTAR JADWAL PRESENTASI ..............................................
SUSUNAN PANITIA .....................................................................
BIDIKAN LENSA ..........................................................................
PARTISIPAN SEMNAS II HITPI ..................................................
456
457
465
473
479
480
482
493
495
498
ix
RANGKUMAN HASIL DAN REKOMENDASI SEMNAS II
Hasil Seminar
Terkait dengan tema seminar nasional berbagai informasi telah
mengemuka dann dicoba untuk menghimpun informasi secara komprehensif
mengenai sucsess story pengembangan hijauan pakan dan peternakan dalam
sistem integrasi. Salah satu pembicara kunci yakni Drh. Askardiya R
Patrianov,MP (Staf Ahli Gubernur Riau) telah memaparkanberbagai konsep dan
strategi peningkatan produktivitas ternak pada sistem integrasi dengan tanaman
perkebunan dan memanfaatkan tanaman pakan lokal. Integrasi ternak sapi dengan
komuditas tanaman perkebunan juga diungkapkan oleh peneliti lain yang pada
prinsipnya menyatakan bahwa tanaman perkebunan memiliki potensi yang sangat
besar untuk pengembangan peternakan sapi dan kerbau.
Sebuah model telah dikembangkan di Provinsi Riau dan mendapat
tanggapan positif dari peserta Semnas adalah adanya sebuah sistem integrasi
antara tanaman sawit denganbudidaya ternak sapi dengan produk dan limbah
produksi sawit yang dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas ternak sapi.
Ternak sapi meghasilkan feses selain dapat dimanfaatkan sebagai pupuk untuk
meningkatkan produktivitas sawit juga dapat dimanfaatkan untuk memproduksi
pupuk organik untuk masyarakat perdesaan.
Sebuah solusi atas permasalahan tekno-sosial yang menghambat proses
integrasi pengembangan hijauan pakan, telah disuguhkan oleh Prof. David
Hannaway dan beliau menyatakan bahwa terdapat empat prinsip dasar yang tidak
boleh diabaikan manakala kita mengembang hijauan pakan yakni:
1. Species and cultivar selection: foundational decision for successful forage
production
2. Nutrient management: providing adequate levels of nutrients while
reducing losses of nutrients and preventing water pollution
3. Livestock nutrient requirements: understanding the nutritional needs of the
various classes of livestock
4. Defoliation management: to benefit the growth requirements of the plant
Berbagai hal perlu mendapat petimbangan dalam pengembangan integrasi
tanaman pakan pada perkebunan. Selain aspek ecofiologis tanaman pakan, ternak,
dan perkebunan, juga aspek jenis tanaman pakan menjadi kunci keberhasilan
pengembangan ternak terintegrasi. Dalam jangka pendek sangat diperlukan
kegiatan riset untuk meningkatkan kapasitas tanaman pakan lokal melalui
sentuhan dan pendekatan bioteknologi. Peningkatan potensi tanaman pakan lokal
untuk meminimalisasi penggunaan konsentrat perlu mendapatkan perhatian yang
serius. Terkait hal tersebut diperlukan data dan informasi spasial serta melakukan
pemetaan sehingga dapat ditemukan peluang pengembangan produksi benih
tanaman pakan nasional dalam upaya mensukseskan sistem produksi hijauan
pakan terintegrasi yang gtepat dan berhasil guna.
Dalam pengembangan ternak ruminansia, kebijakan dalam hal feed
security diarahkan kepada penyediaan hijauan pakan ternak (HPT) dan dukungan
pakan konsentrat dengan 4 (empat) buah strategi yakni (1) membangun sumber
Prosiding Semnas II HITPI
Page 1
benih dan bibit hijauan pakan ternak (HPT), (2) me ningkatkan pemanfaatan lahan
melalui kegiatan integrasi ternak dan pemanfaatan lahan di kawasan hutan, serta
(3) mengakselerasi pengembangan pastura dan “cut and carry system” dan (4)
pengembangan teknologi pakan. Sedangkan kebijakan dalam feed safety
dilaksanakan melalui pengembangan standard mutu pakan dan pengawasan pakan
yang diproduksi dan yang beredar di masyarakat.
Pemasalahan klasik dan selalu menjadi tantangan dalam pengembangan
ternak adalah ketersediaan air sehingga produktivitas hijauan sangat rendah di
musim kemarau dan diperlukan pengolahan pakan untuk dapat menyediakan di
musim kemarau. Sebaliknya di musim hujan produksi hijauan menjadi sangat
tinggi sehingga perlu diperhatikan sistem budidaya tanaman pakan (seperti STS)
untuk penyediaan pakan secara berkesinambungan.
Terkait dengan efisiensi pemanfaatan lahan maka dalam budidaya tanaman
yang masih memberikan ruang kosong yang cukup luas sepert perkebunan, perlu
dilaksanakan sistem integrasi ternak dengan sistem pertanian lainnya. Untuk
mendukung keberhasilan sistem integrasi tersebut maka diperlukan sinergitas
antar tiga komponen utama yakni akademisi, pemerintah, dan dunia usaha dalam
meningkatkan produksi ternak. Mensinergikan hasil- hasil penelitian dengan
kondisi di lapangan sehingga hasil- hasil penelitian memberikan manfaat bagi
pengembangan ternak.
Rekomendasi
Rekomendasi yang dapat disampaikan untuk praktek integrasi terbaik yang
sesuai dikembangkan adalah sebagai berikut:
1. Diharapkan ke depan pemberian pakan hijauan menjadi prioritas, untuk
efisiensi biaya produksi ternak. Kualitas hijauan pakan perlu ditingkatkan
terus dan bilamana memungkinkan hijauan pakan memiliki kualitas yang
mendekati kualitas konsentrat.
2. Identifikasi dan inventarisasi tumbuhan pakan lokal yang potensial untuk
dikembangkan pada sistem integrasi tanaman pakan-ternak-perkebunan
sangat diperlukan untuk optimalisasi sistem integrasi.
3. Mencermati luasnya kawasan potensial untuk implementasi sistem
integrasi maka diperlukan berbagai riset untuk mendapatkan berbagai
model integrasi terbaik dan adaptif untuk meningkatkan produksi ternak
dan kesejahteraan masyarakat.
4. Perlu dibangun sistem dengan berbagai pendekatan untuk menciptakan
sinergitas antar pemangku kepentingan untuk peningkatan produktivitas,
sustainabilitas, dan equitabilitas yang ramah dengan lingkungan.
5. Seminar nasional selanjutnya (tahun 2014) akan dilaksanakan di luar Bali,
pada salah satu lokasi dari tiga plihan lokasi yakni di Bukit Tinggi,
Menado, dan Kupang.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 2
LAPORAN KETUA PANITIA
Om Swastyastu, selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua
Yang terhormat,
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan RI,
Direktur Pakan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan,
Rektor Universitas Udayana atau yang mewakili,
Para Dekan Fakultas Peternakan se-Indonesia yang berkesempatan hadir pagi
ini,
Para Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan atau yang mewakili,
Ketua Himpunan Ilmuwan Tumbuhan Pakan Indonesia (HITPI),
Ketua Pengurus Wilayah HITPI se Indonesia,
Praktisi dan Pemerhati masalah Hijauan Pakan Ternak,
Prof. David Hannaway forage specialistfrom Oregon State University USA
dan,
Bapak/Ibu peserta seminar dan hadirin sekalian yang saya hormati,
Pertama-tama saya sampaikan selamat pagi dan selamat datang di pulau
Bali, serta terimakasih telah berkesempatan hadir. Seminar hari ini merupakan
seminar nasional ke 2 yang dilaksanakan oleh HITPI dengan tema “Hijauan
Pakan Lokal Dalam Sistem Integrasi Untuk Ketahanan Pakan dan Ekonomi
Peternakan Nasional”. Hijauan pakan lokal merupakan faktor produksi penting
yang tak terpisahkan dan bahkan merupakan faktor penentu keberhasilan dalam
sistem produksi ternak ruminansia di Indonesia. Penggunaan hijauan pakan lokal
diperkirakan lebih dari 70% dan mencapai 39 juta ton Bahan Kering setiap
tahunnya.
Seminar hijauan pakan lokal yang dilaksanakan hari ini bertujuan untuk
saling tukar informasi tentang pengembangan Ipteks Tanaman Pakan Tropik di
Indonesia antar para pakar, peneliti, dan pemangku kepentingan lainnya.
Bagaimanastrategi yang tepat untuk penangan hijauan pakan, sehingga kedepan
masalah kecukupan pakan dalam arti jumlah dan kualitas bisa terpenuhi. Di
samping itu seminar ini diharapkan dapat meningkatkan sinergisme berbagai
stakeholders dalam pengembangan tumbuhan pakan serta memperluas cakrawala
berpikir dalam rangka membangun paradigma baru eksistensi tumbuhan pakan.
Temuan-temuan baru yang dihasilkan nantinya diharapkan bisa dimanfaatkan oleh
praktisi dalam mengambil kebijakan2.
Seminar kali ini membahas sekitar enam puluh makalah yang berasal dari
berbagai perguruan tinggi serta institusi yang terkait dengan dunia peternakan di
seluruh Indonesia. Terdiri dari 55 pemakalah oral dan 5 makalah poster. Sekitar
20 Universitas Negeri dan Swasta yang turut berpartisipasi dalam SEMNAS II ini
yaitu: (UGM, Unpad, Unsrat, IPB, Undip, Univ. Negeri Papua Manokwari, Univ.
Warmadewa, Univ. Mulawarman, Univ. Nusa Cendana Kupang, Univ. Jambi,
Unram, Unisma, Univ. Muhammadiyah Bengkulu, Unv. Udayana, Univ. Jabal
Gafur, Univ. Sriwijaya, Univ. Mulawarman, Univ. Mahasaraswati, Univ. Syah
Kuala Banda Aceh, Univ. Dwijendra) ; Politeknik Pertanian Negeri Kupang,
BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) Aceh, NTB dan Bengkulu, Balai
Penelitian Ternak Ciawi, Pusat Kajian Sistem Produksi Ternak Gembala dan
Padang Pengembalaan Kawasan Tropis NTB, Loka Penelitian Sapi Potong Sumut,
Prosiding Semnas II HITPI
Page 3
Loka Penelitian Kambing Sumut.
Bapak/Ibu hadirin yang saya hormati,
Seminar ini terselenggara berkat kerjasama dengan Direktorat Jendral
Peternakan dan Kesehatan Hewan Departemen Pertanian. Untuk itu terimakasih
kami sampaikan kepada Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan yang
telah membantu pembiayaan semnas ini dan kesediaan sebagai Keynote Speaker.
Terimakasih juga kami sampaikan kepada para nara sumber (Direktur Pakan, Prof.
David Hannaway dari Oregonstate University, drh Patrianov MM, dan Dr. Ir.
Bambang R. Prawiradiputra), Pemakalah, Peserta Seminar, dan semua pihak yang
telah berkontribusi besar untuk keberhasilan pelaksanaan Seminar Nasional II
Himpunan Ilmuwan Tumbuhan Pakan Indonesia (HITPI). Tak lupa juga saya
sampaikan terimakasih kepada segenap panitia pelaksana yang sudah bekerja
begitu kompak untuk mempersiapkan seminar ini.
To the honourable, Prof. David Hannaway
Good morning and welcome to the island of God since Bali is well known as the
island of majority temples. We are greatful that you would like to share your
knowledge and experiences concerning on forages to us, eventhough with no
payment received from the organizing commitee. We hope that with your
expertise on forages could give benefit to the development of scientific
technology of forages.
Bapak2/Ibu2 hadirin sekalian yang saya hormati,
Besar harapan kami seminar ini dapat menghasilkan pemikiran-pemikiran
yang konstruktif dan bermanfaat bagi pengembangan Ipteks peternakan.Semoga
pikiran yang baik datang dari segala penjuru. Sekali lagi kami menyampaikan
terimakasih atas peranserta bapak-bapak dan ibu-ibu, namun tak lupa kami
segenap panitia mohon maaf apabila selama penyelenggaraan seminar ini ada halhal yang kurang berkenan di hati bapak- dan ibu-ibu.
Om Santih Santih Santih Om
Dr. Ir. Ni Nyoman Suryani, MSi.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 4
SAMBUTAN KETUA UMUM HITPI
Yang terhormat,
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan,
Direktur Pakan,
Rektor Universitas Udayana,
Dekan Fakultas Peternakan Universitas Udayana,
Para Pembicara Utama,
Anggota HITPI dan Peserta Seminar Nasional II Hijauan Pakan,
Assalamu‟alaikum ww.,Selamat pagi salam sejahtera untuk kita semua.
Puji dan Syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
mempersatukan kita dalam acara Seminar Nasional II Hijauan Pakan.
Sekilas saya sampaikan sejarah Seminar Nasional Hijauan Pakan dan Himpunan
Ilmuwan Tumbuhan Pakan Indonesia (HIPTI). HITPI atau dalam IFSA
(Indonesian Forage Scientist Association) awalnya di inisiasi pada Seminar
Nasional tahun 1992 di Hotel Homan Bandung yang dihadiri oleh Prof.
Soedarmadi (IPB), Prof Hasbi (Unpad), Prof. Soedomo (UGM), Dr. Siregar
(Balitnak), Ir. Maemunah (Ditjen Peternakan). Dalam pertemuan 21 tahun lalu
tersebut digagas untuk dibentuk semacam forum peneliti dan praktisi hijauan
pakan, dan dibentuk dengan nama Asosiasi Ilmuwan Hijauan Makanan Ternak
Indonesia. Namun asosiasi ini tidak berlanjut dan tidak sempat terbentuk
kepengurusan yang berjalan efektif. Pada tahun 2010 bulan Nopember tanggal 5
HITPI kemudian dilanjutkan dan dideklarasikan. Setahun sebelum deklarasi telah
dibentuk Jurnal PASTURA yang berdomisili pengelolaannya di Fakultas
Peternakan Universitas Udayana. Tanggal 18 September 2012 dibentuk Pengurus
Pusat HITPI.
Hadirin sekalian, pada Seminar Nasional II hari ini berbeda dengan seminar
sebelumnya. Penyelenggaraan Semnas II hijauan Pakan sekarang dilaksanakan
oleh HITPI bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan. Tentunya diharapkan kedepan secara rutin setiap tahun dukungan ini terus
dapat berlanjut. Kita berharap bahwa setelah Seminar Nasional Ke- III, kita dapat
menyelenggarakan kegiatan Seminar Hijauan Pakan Internasional.
Saya menghimbau kepada para ahli tumbuhan pakan yang sudah menjadi anggota
HITPI untuk menjalin jejaring satu sama lain agar memperkuat ilmu dan
pengembangan teknologi bidang hijauan pakan.
Akhirnya saya ingin mengapresiasi dan ucapan terimakasih kepada Direktorat
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan cq Direktorat Pakan yang telah
bekerjasama dengan HITPI untuk menyelenggarakan kegiatan Seminar Nasional
II Hijauan Pakan, Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Para Pembicara
Utama dan Para pemakalah. Secara khusus saya ingin mengapresiasi Panitia
Prosiding Semnas II HITPI
Page 5
Seminar Nasional II Hijauan Pakan yang telah mempersiapkan seminar ini sejak
beberapa tahun lalu.
Semoga pertemuan seminar hijauan pakan nasional ini dapat menjadi salah satu
cara untuk membangun jejaring dan saling sharing informasi antar peneliti. Saya
berharap hasil seminar ini dapat memberikan gambaran peta penguasaan keahlian
hijauan pakan secara nasional, peta penelitian hijauan pakan nasional yang ke
depan bisa menjadi dasar pembuatan roadmap penelitian hijauan pakan nasional.
Sekian Terimakasih
Luki Abdullah
Prosiding Semnas II HITPI
Page 6
KEYNOTE
DIREKTUR JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN
PADA SEMINAR NASIONAL II
HIMPUNAN ILMUWAN TUMBUHAN PAKAN INDONESIA (HITPI)
Denpasar, 28 Juni 2013
Yang terhormat,
Sdr. Rektor Universitas Udayana,
Para Dekan Fakultas Peternakan se-Indonesia,
Seluruh Anggota Himpunan Ilmuwan Tumbuhan Pakan Indonesia (HITPI),
Praktisi dan Pemerhati masalah Hijauan Pakan Ternak,
Para Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan atau yang mewakili,
Mr. David Hannaway from Oregon State University USA
Bapak/Ibu dan hadirin sekalian,
Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh,
Pertama-tama mari kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, karena kita
semua diberi berkah dan nikmat kesehatan untuk dapat hadir dan bertemu pada
pagi hari ini pada acara Seminar Nasional ke-dua (II) Himpunan Ilmuwan
Tumbuhan Pakan Indonesia (HITPI).
Seminar yang ke-dua ini mengusung tema “Hijauan Pakan Lokal Dalam Sistem
Integrasi Untuk Ketahanan Pakan dan Ekonomi Peternakan Nasional” saya kira
sangat menarik untuk di diskusikan dan di bahas, karena kita mengetahui bahwa
peran dari pakan, khususnya pakan hijauan sangat penting untuk meningkatkan
kualitas pakan ternak ruminansia yang secara langsung akan mempengaruhi
produktivitas dari ternak yang mengkonsumsinya.
Kita tahu bahwa pada saat ini, dalam tataran global, dunia sedang mengalami
fenomena perubahan iklim yang sangat mempengaruhi produksi dan ketersediaan
pakan hijauan (rumput dan legum) serta bahan pakan yang dihasilkan dari limbah
atau hasil samping pertanian dan perkebunan serta agro- industri lainnya.
Gangguan dalam ketersediaan pakan ini tentu saja akan sangat mempengaruhi
produksi dan reproduksi ternak.
Oleh karenanya kita sebagai insan peternakan dan pihak-pihak yang berkaitan
dengan masalah penyediaan pakan harus terus berfikir secara kreatif dan produktif
bagaimana caranya agar hijauan pakan dapat tersedia setiap saat dan tidak
terganggu dengan adanya fenomena tersebut. Belum lagi masalah mutu pakan
yang kedepan akan menjadi perhatian setiap peternak dalam meningkatkan
efisiensi biaya produksi, harus juga mendapat perhatian kita.
Bapak, Ibu peserta Seminar yang saya hormati,
Pada kesempatan ini saya akan menjelaskan mengenai kebijakan Pemerintah
terkait dengan pencapaian program swasembada daging sapi dan kerbau (PSDSK)
Prosiding Semnas II HITPI
Page 7
dan bagaimana keterkaitannya dengan upaya pengembangan dan dukungan dari
aspek pakan, yang tentu saja didalamnya ada peran dan kontribusi dari bapak/ibu
dan Saudara sekalian sebagai ahli dalam bidang hijauan pakan.
Penyediaan daging sapi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia yang
terus bertambah, selama ini masih terkendala oleh produksi dalam negeri yang
belum bisa mencukupi seluruh permintaan. Sehingga untuk menutup kesenjangan
tersebut, dilakukan importasi, baik dalam bentuk ternak hidup maupun dalam
bentuk produk daging sapi. Kesenjangan suplai-demand terus terjadi setiap tahun
dan mengakibatkan pengurasan devisa negara untuk melakukan importasi.
Kondisi ini yang melatarbelakangi Pemerintah melaksanakan program yang
selama ini dikenal Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK).
Orientasi dari PSDSK sebetulnya tidak semata- mata diarahkan untuk pemenuhan
kebutuhan masyarakat dengan pengendalian importasi namun juga diarahkan
dalam konteks peningkatan produksi daging dalam negeri, peningkatan
kesejahteraan peternak dan kesinambungan usaha peternak serta peningkatan daya
saing, sehingga secara langsung maupun tidak, dampaknya akan mengurangi
ketergantungan importasi.
Memperhatikan berbagai permasalahan yang dihadapi dan tantangan kedepan,
maka PSDSK tahun 2014 diharapkan dapat dicapai melalui pelaksanakan 5
(lima) kegiatan pokok, yaitu : (1) penyediaan sapi bakalan/daging sapi lokal; (2)
peningkatan produktivitas dan reproduktivitas ternak sapi lokal; (3) pencegahan
pemotongan sapi betina produktif; (4) penyediaan bibit sapi da n (5) pengaturan
stock daging sapi dalam negeri. Kegiatan pokok ini kemudian
dioperasionalisasikan menjadi 13 langkah, dimana salah satu langkahnya adalah
penyediaan pakan melalui berbagai kegiatan dan pengembangan mutu pakan
untuk meningkatkan produksi dan produktivitas ternak sapi dan kerbau.
Hadirin yang saya hormati,
Ada dua hal penting pada mandat yang diberikan oleh program PSDSK kepada
bidang pakan yang kemudian diterjemahkan kedalam kebijakan dan program
Pemerintah dalam pengembangan bidang pakan. Yang pertama adalah aspek
penyediaan (feed security) untuk menjamin pakan tersedia dalam jumlah yang
cukup serta aspek keamanan pakan (feed safety) untuk menjamin bahwa pakan yag
tersedia itu bermutu baik dan layak dikonsumsi ternak.
Dalam pengembangan ternak ruminansia, kebijakan dalam hal feed security
diarahkan kepada penyediaan hijauan pakan ternak (HPT) dan dukungan pakan
konsentrat dengan 4 (empat) buah strategi yakni (1) membangun sumber benih
dan bibit hijauan pakan ternak (HPT), (2) meningkatkan pemanfaatan lahan
melalui kegiatan integrasi ternak dan pemanfaatan lahan di kawasan hutan, serta
(3) mengakselerasi pengembangan pastura dan “cut and carry system” dan (4)
pengembangan teknologi pakan. Sedangkan kebijakan dalam feed safety
dilaksanakan melalui pengembangan standard mutu pakan dan pengawasan pakan
yang diproduksi dan yang beredar di masyarakat.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 8
Bapak/ibu peserta Seminar yang saya hormati,
Beberapa program telah dilakukan, terus dikembangkan dan selalu diperbaiki
untuk mendukung kebijakan pakan tersebut diatas. Dapat saya sampaikan, bahwa
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian
telah membangun satu ke-sisteman penyediaan pakan hijauan, dimulai dari :
1. Pengembangan sumber benih dan bibit HPT dari tingkat nasional sampai ke
tingkat kelompok ternak :
1) Di tingkat pusat pengembangan sumber benih/bibit HPT dilakukan pada
10 (sepuluh) buah UPT Pusat, yaitu di 7 (tujuh) Balai Pembibitan Ternak
Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BPTU-HPT), 2 (dua) Balai Inseminasi
Buatan (BIB) dan Balai Embrio Ternak (BET)
2) Pada tingkat provinsi dikembangkan di 32 UPTD Provinsi
3) Di kelompok penangkar juga dikembangkan untuk mendekatkan sumber
benih/bibit HPT kepada peternak disekitarnya.
2. Selanjutnya kita juga memperkuat ketersediaan hijauan pakan ternak sampai
tingkat desa melalui kegiatan yang dinamakan ”GERBANG PATAS” atau
Gerakan Penanaman dan Pengembangan Hijauan Pakan Berkualitas. Dengan
kegiatan ini diharapkan tersedianya HPT unggul di kawasan potensial ternak
ruminansia yang juga didukung oleh kegiatan pengembangan lumbung pakan
dan konservasi air.
3. Untuk wilayah dengan sistem peternakan yang ekstensif dan mempunyai
potensi padang penggembalaan, Pemerintah memfasilitasi pengembangan dan
pemeliharaan kawasan penggembalaan, seperti di daerah NTT, NTB, Papua
Barat dan Sulawesi melalui pengembangan ”mini ranch” kelompok dan
pemantapan sarana pendukung padang penggembalaan seperti cattle yard,
holding ground dan puskeswan serta mencoba untuk membangun suatu s istem
dan struktur pengelola padang penggembalaan yang nantinya akan dilakukan
oleh masyarakat lokal.
Hadirin yang saya hormati
Bicara tentang HPT tidak bisa dilepaskan dari masalah lahan. Bicara lahan juga
berkaitan dengan tanaman pangan, tanaman perkebunan dan hortikultura. Bicara
lahan juga berkaitan dengan status kepemilikan, kesuburan dan alih fungsi.
Sehingga persaingan pemanfaatan lahan akan demikian ketat antara menanam
tanaman pangan, tanaman perkebunan, hortikultura dan tanaman pakan. Oleh
karenanya kita dituntut untuk berpikir kreatif, produktif dan efisien, sehingga kita
tetap bisa menyediakan pakan hijauan tanpa mengganggu produksi tanaman
pangan, tanaman perkebunan atau hortikultura. Bahkan sebaliknya kita bisa
mendukung usaha tersebut menjadi lebih menguntungkan yakni dengan penerapan
pola integrasi ternak dengan tanaman.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 9
Hal ini sangat berkaitan dengan tema Seminar hari ini yaitu ”Hijauan Pakan Lokal
dalam Sistem Integrasi untuk Ketahanan Pakan dan Ekonomi Peternakan
Nasional”, karena bagaimanapun bidang peternakan ruminansia akan lebih cepat
berkembang dengan terus meningkatkan ketersediaan pakan hijauan yang bermutu
tinggi. Salah satu lahan yang sangat bisa dan layak untuk kita manfaatkan sebagai
lumbung pakan hijauan adalah perkebunan sawit.
Dengan luas kebun sawit di negara ini sekitar 9 juta hektar, dan kapasitas tampung
2 hektar untuk 1 ekor sapi (PPKS 2013), secara kasar apabila kita manfaatkan
50% saja dari luasan yang tersedia, maka kita akan bisa menambah populasi
sekitar 2,25 juta ekor sapi potong. Oleh karenanya saya ingin menekankan
pentingnya kita dapat memanfaatkan lahan di perkebunan sawit dan juga komoditi
lainnya seperti kopi dan kakao untuk dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan
hijauan.
Selain itu kita bisa memanfaatkan limbah kebun dan industri
pengolahannya sebagai pakan ternak.
Pada kebun sawit kita bisa manfaatkan pelepah dan daunnya serta rumput dan
legum yang tumbuh dibawah pohon sawit. Limbah pengolahan biji sawit dapat
kita ambil bungkilnya (palm kernel meal), limbah pengolahan tandan buah kosong
(TBS) kita manfaatkan lumpurnya (sludge). Demikian juga hasil panen kakao,
kita dapat manfaatkan kulit buah kakao sebagai bahan pakan dengan proses
fermentasi sehingga meningkatkan nilai gizinya dan dapat disimpan lebih lama
sebagai cadangan pakan.
Bapak/ibu peserta Seminar yang saya hormati,
Pada tahap awal diperkenalkannya konsep integrasi ternak dengan tanaman
perkebunan pada tahun 2007, kita menghadapi kendala resistensi dan penolakan
dari pihak perkebunan jika sapi masuk kebun sawit. Alasan keberatan tersebut
utamanya adalah antisipasi kemungkinan masuknya jamur garnodema yang
terbawa sapi pada saat merumput yang akan dapat mematikan pohon, sapi
merusak daun pada saat kebun belum berproduksi, selain itu masuknya sapi tentu
saja akan memberi beban tambahan bagi operasional kebun karena mereka harus
menambah waktu, tenaga dan dana untuk mengelola peternakan, sehingga
disosialisasikan bahwa sapi di kebun sawit adalah ”hama”.
Namun dengan berkembangnya isu global tentang lingkungan, pemanasan global,
kerusakan lahan dan semakin mahalnya harga pupuk kimia, maka penolakan
tersebut semakin ”melunak” dan ternak semakin mudah masuk kedalam
perkebunan dengan beberapa catatan.
1. Pertama yang perlu kita ingat adalah bahwa peternakan harus bersifat ”low
profile”, artinya ternak masuk kebun sebagai pemberi solusi efisiensi biaya
kebun karena mengurangi pembelian pupuk kimia, solusi untuk menyuburkan
lahan dan meningkatkan produksi TBS dengan memanfaatkan kotoran dan
urin sapi sebagai pupuk organik, solusi untuk menggantikan tenaga kerja
manusia dengan gerobak sapi, serta untuk efisiensi energi listrik dengan
memanfaatkan biogas dari kotoran ternak.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 10
2. Kedua adalah pemanfaatan limbah industri pengolahan sawit, khususnya
bungkil inti sawit (BIS) terus harus kita manfaatkan sebagai bahan pakan
konsentrat. Produksi BIS diperkirakan sekitar 3 juta ton, namun saat ini kita
masih menghadapi kendala dalam mengakses BIS akibat prosedur yang rumit
di dalam industri pengolahan sawit serta sudah terikatnya kontrak ekspor BIS
ke beberapa negara. Namun demikian kita harus percaya pasti ada jalan
keluar dari permasalahan ini, karena menurut perhitungan Komisi Ahli Pakan
kebutuhan BIS bagi ternak ruminansia di Indonesia sekitar 1 juta ton, sehingga
sisa produksi BIS 2 juta ton tentu saja masih bisa di ekspor untuk
meningkatkan devisa negara.
3. Ketiga yang perlu terus kita dukung adalah komitmen kuat bapak Menteri
BUMN Dahlan Iskan yang sangat mendukung program integrasi sapi-sawit
dengan menginstruksikan seluruh PTPN memelihara sapi potong dan
menjadikan PT Berdikari sebagai BUMN Peternakan. Saya sangat berharap
bapak/ibu para peserta Seminar dapat membantu Pemerintah dengan terus
mensosialisasikan keuntungan memelihara sapi di kebun sawit dan terus
melakukan penelitian tentang beragam formulasi pakan berbasis sawit.
Bapak, Ibu peserta Seminar yang berbahagia,
Saya sangat mengapresiasi HITPI dan Fakultas Peternakan Universitas Udayana
serta Direktorat Pakan Ternak yang telah bekerjasama menyelenggarakan Seminar
ini. Kegiatan semacam ini mempunyai arti penting bagi kita semua untuk terus
membangun potensi pakan di dalam negeri, menyebarluaskan informasi terkini
tentang hijauan pakan ternak, meningkatkan wawasan peserta Seminar, dan
mencari solusi terhadap permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan pakan.
Sekali lagi saya berharap, kita semua yang hadir disini, dapat ikut berperan dalam
pengembangan pakan ternak, khususnya hijauan pakan ternak, sehingga mimpi
mencapai swa sembada daging sapi dan kerbau dapat tercapai dan Indonesia tidak
perlu lagi tergantung pada importasi daging dan ternak dari luar negeri.
Demikian sambutan saya, terima kasih banyak atas kesempatan yang diberikan
dan selamat melaksanakan Seminar, semoga sukses.
Wassalammualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Denpasar, 28 Juni 2013
Ir. Syukur Iwantoro, MS, MBA
Direktur Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan
Prosiding Semnas II HITPI
Page 11
MAKALAH
UTAMA
Prosiding Semnas II HITPI
Page 12
Prosiding Semnas II HITPI
Page 13
Prosiding Semnas II HITPI
Page 14
Prosiding Semnas II HITPI
Page 15
Prosiding Semnas II HITPI
Page 16
Prosiding Semnas II HITPI
Page 17
Prosiding Semnas II HITPI
Page 18
Prosiding Semnas II HITPI
Page 19
Prosiding Semnas II HITPI
Page 20
Prosiding Semnas II HITPI
Page 21
Prosiding Semnas II HITPI
Page 22
Prosiding Semnas II HITPI
Page 23
Prosiding Semnas II HITPI
Page 24
Prosiding Semnas II HITPI
Page 25
Prosiding Semnas II HITPI
Page 26
Prosiding Semnas II HITPI
Page 27
Prosiding Semnas II HITPI
Page 28
Prosiding Semnas II HITPI
Page 29
Prosiding Semnas II HITPI
Page 30
Prosiding Semnas II HITPI
Page 31
Prosiding Semnas II HITPI
Page 32
Prosiding Semnas II HITPI
Page 33
Prosiding Semnas II HITPI
Page 34
Prosiding Semnas II HITPI
Page 35
Prosiding Semnas II HITPI
Page 36
Prosiding Semnas II HITPI
Page 37
Prosiding Semnas II HITPI
Page 38
Prosiding Semnas II HITPI
Page 39
Prosiding Semnas II HITPI
Page 40
Prosiding Semnas II HITPI
Page 41
Prosiding Semnas II HITPI
Page 42
Prosiding Semnas II HITPI
Page 43
Prosiding Semnas II HITPI
Page 44
Prosiding Semnas II HITPI
Page 45
Prosiding Semnas II HITPI
Page 46
Prosiding Semnas II HITPI
Page 47
Prosiding Semnas II HITPI
Page 48
Prosiding Semnas II HITPI
Page 49
Prosiding Semnas II HITPI
Page 50
Prosiding Semnas II HITPI
Page 51
Prosiding Semnas II HITPI
Page 52
Prosiding Semnas II HITPI
Page 53
Prosiding Semnas II HITPI
Page 54
39,25
%
PR
PTPN
52,57
%
Prosiding Semnas II HITPI
SWASTA
8,18%
Page 55
Prosiding Semnas II HITPI
Page 56
Prosiding Semnas II HITPI
Page 57
Prosiding Semnas II HITPI
Page 58
Prosiding Semnas II HITPI
Page 59
Prosiding Semnas II HITPI
Page 60
Prosiding Semnas II HITPI
Page 61
Prosiding Semnas II HITPI
Page 62
Prosiding Semnas II HITPI
Page 63
Prosiding Semnas II HITPI
Page 64
Prosiding Semnas II HITPI
Page 65
Prosiding Semnas II HITPI
Page 66
Prosiding Semnas II HITPI
Page 67
Prosiding Semnas II HITPI
Page 68
Prosiding Semnas II HITPI
Page 69
Prosiding Semnas II HITPI
Page 70
Prosiding Semnas II HITPI
Page 71
Prosiding Semnas II HITPI
Page 72
Prosiding Semnas II HITPI
Page 73
Prosiding Semnas II HITPI
Page 74
Prosiding Semnas II HITPI
Page 75
Prosiding Semnas II HITPI
Page 76
Prosiding Semnas II HITPI
Page 77
Prosiding Semnas II HITPI
Page 78
Prosiding Semnas II HITPI
Page 79
Prosiding Semnas II HITPI
Page 80
Prosiding Semnas II HITPI
Page 81
Prosiding Semnas II HITPI
Page 82
Prosiding Semnas II HITPI
Page 83
Prosiding Semnas II HITPI
Page 84
Prosiding Semnas II HITPI
Page 85
Prosiding Semnas II HITPI
Page 86
Prosiding Semnas II HITPI
Page 87
TANAMAN PAKAN TERNAK REKAYASA GENETIK DI INDONESIA:
STATUS DAN KEMUNGKINAN PERKEMBANGANNYA
Bambang R. Prawiradiputra
Balai Penelitian Ternak, Ciawi
Koordinator Tim Teknis Keamanan Pakan PRG, Komisi Keamanan Hayati
ABSTRAK
Cepat atau lambat tanaman pakan rekayasa genetik akan hadir di Indonesia.
Tanda-tandanya sudah semakin jelas terlihat. Beberapa varietas jagung dan
kedelai PRG sudah mendapat persetujuan aman pangan dan dua varietas jagung
juga sudah dinyatakan aman pakan. Sebagian varietas yang dikaji oleh Komisi
Keamanan Hayati (KKH) itu belum mendapat sertifikat aman lingkungan dari
Kementerian Lingkungan Hidup. Apabila sudah mendapat ijin dari Kementerian
Lingkungan Hidup maka tanaman PRG tersebut sudah bisa ditanam di Indonesia,
baik sebagai tanaman pangan maupun sebagai tanaman pakan ternak.
Masalah yang dihadapi saat ini, tidak semua komponen masyarakat
Indonesia bisa menerima kehadiran tanaman PRG dengan berbagai alasan. Pihak
produsen PRG mengklaim adanya keuntungan dari tanaman PRG, antara la in
mengurangi penggunaan pestisida, mengurangi biaya penyiangan, lebih tahan
cekaman biotik dan abiotik dan meningkatkan produksi, yang tujuan akhirnya
adalah meningkatkan pendapatan petani. Adapun keberatan dari beberapa pihak
terutama menyangkut masalah lingkungan dan kekhawatiran timbulnya penyakit
baik pada manusia maupun ternak yang memakannya.
Posisi Komisi Keamanan Hayati (melalui Tim Teknis Keamanan Hayati)
adalah sebagai “wasit” untuk menyatakan bahwa pangan atau pakan (dan
tanamannya) produk rekayasa genetik itu bisa dinyatakan aman atau tidak aman
untuk dkonsumsi dan ditanam di Indonesia. Keputusan aman atau tidak aman
tersebut dinyatakan setelah melalui pengkajian.
Sampai sejauh ini belum ada lembaga penelitian di Indonesia, termasuk
perguruan tinggi, yang sudah menghasilkan tanaman PRG yang aman pakan.
Proses untuk melewati uji keamanan dan mendapatkan ijin pelepasan varietas
sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang ada masih terlalu panjang dan
mahal bagi lembaga-lembaga riset publik di Indonesia.
Kata kunci: PRG, tanaman pakan, keamanan
ABSTRACT
Sooner or later genetically modified (GM) feed crops will exist in
Indonesia. So far some varieties of GM maize and soybean have already hold the
certificate of food safety and in 2012 two varieties of maize have also been
granted feed safety certificate. Soon after the crops are granted environmental
safety from the Ministry of Environment of the Republic of Indonesia, the GM
maize and soybean are eligible to be planted in Indonesia as food crops as well as
feed crops.The problem faced recently is the GM crops not yet accepted by some
Indonesian communities with some reasons. The GMO producers claimed many
benefits from the GM crops such as reducing pesticide application, reducing cost
Prosiding Semnas II HITPI
Page 88
of weeding, increasing yield that will increase farmer’s income. On the othe hand,
some opponent people do not agree, especially for environmental and ethic
reasons, as well as for human and animals health.
The position of Biosafety Commision of the Republic of Indonesia (through
the Technical Teams) is as “a judge” to state that the GM food crops or feed
crops are safe or unsafe to be consumed and to be planted in Indonesia. The
decision of safe or unsafe of the GM crops is drawn after doing some assessment.
So far there is no single research institute, including universities, in
Indonesia producing GMO’s feed crops. The process to get Minister’s decree of
feed safety and approval to release the new GM varieties is still too long and too
expensive for public research institutes in Indonesia.
Key words: GMO, feed crops, safety
PENDAHULUAN
Jumlah penduduk Indonesia setiap tahun terus meningkat. Dengan asumsi
pertumbuhan penduduk sebesar 2,8% maka jumlah penduduk Indonesia pada
tahun 2015 akan menjadi 248 jiwa. Jumlah penduduk yang besar ini, dari sudut
pengadaan pangan merupakan gambaran betapa besarnya tugas yang diemban
oleh sektor pertanian, terutama dalam penyediaan bahan pangan. Yang dimaksud
dengan pangan dalam hal ini bukan hanya beras sebagai sumber karbohidrat saja
tetapi juga sumber protein seperti daging, telur dan susu.
Pengadaan pangan sumber protein dan terjangkau oleh masyarakat harus
mendapat perhatian dari semua pihak karena angka konsumsi protein penduduk
Indonesia masih sangat rendah, yaitu 56 gram/orang/hari (BPS, 2012).
Salah satu kendala mengapa sebagian besar masyarakat sulit menjangkau
makanan asal ternak karena harganya yang tinggi. Tingginya harga pangan asal
ternak ini akibat dari biaya produksi ternak yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh
mahalnya harga pakan, baik pakan konsentrat maupun hijauan. Oleh karena itu
perlu dilakukan upaya menurunkan biaya produksi ternak dengan cara
meningkatkan produktivitas pakan ternak, termasuk hijauan pakan. Dengan
semakin banyaknya pakan tersedia diharapkan biaya produksi pangan asal ternak
menurun.
Apabila pemerintah akan meningkatkan konsumsi protein asal ternak,
produksi daging ternak ruminansia harus meningkat yang berarti harus terjadi
peningkatan populasi ternak ruminansia. Kenaikan populasi ternak ruminansia
tersebut harus diimbangi dengan peningkatan ketersedian hijauan pakan yang
bermutu, padahal sebagian besar ternak adalah milik petani kecil yang secara
tradisional memanfaatkan hijauan pakan yang tumbuh liar, terutama rumputrumputan yang tumbuh di lahan-lahan sisa, pinggiran jalan, pematang sawah,
pagar, padang penggembalaan masyarakat dan sisa-sisa tanaman pangan
(Prawiradiputra, 2006).
Sampai sekarang pun sumber hijauan ini tidak berubah, bahkan dari segi
luas arealnya diperkirakan menurun, sejalan dengan beralih fungsinya secara
drastis lahan- lahan pertanian ke fungsi lain, dengan tingkat pengurangan kurang
lebih 50.000 ha/tahun, terutama di pulau Jawa (Isa, 2006). Selain itu, data
menunjukkan bahwa dari sekitar 59 juta hektar lahan kering hanya 2 juta ha (3,4%)
Prosiding Semnas II HITPI
Page 89
yang merupakan padang rumput (Hidayat dan Mulyani, 2005).
Penurunan luas lahan tersebut diperburuk dengan sumber hijauan pakan
yang kualitasnya masih rendah. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk
meningkatkan produktivitas pakan dan bahan pakan ternak dengan berbagai cara,
termasuk sentuhan teknologi berupa rekayasa genetika disamping perbaikan
budidaya, dan penggunaan bahan tanaman unggul yang bermutu.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan pakan, Indonesia harus mengimpor
jagung dan kedele terutama dari Amerika Serikat, dimana produk jagung dan
kedele yang masuk ke Indonesia tersebut sebagian besar adalah dari varietas PRG.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakan tanaman pakan PRG itu aman
untuk dikonsumsi ternak? Kalau tidak aman tindakan apa yang bisa kita lakukan,
apalagi kalau sudah terlanjur menyebar.
STATUS TANAMAN PAKAN REKAYASA GENETIK DI INDONESIA
Sampai sejauh ini belum ada laporan yang menyatakan bahwa Indonesia
sudah menghasilkan tanaman pakan ternak PRG. Namun cepat atau lambat tidak
tertutup kemungkinan peneliti-peneliti tanaman pakan tropika akan menghasilkan
tanaman pakan PRG yang toleran kekeringan, sangat palatable, kandungan
proteinnya tinggi dan berdaya-hasil tinggi pula.
Pada tahun 2012 salah satu PTPN di Jawa Timur yang bekerjasama
dengan Universitas Jember sudah mengajukan proposal untuk pengkajian
keamanan pakan tebu PRG. Namun sampai 2013 baru dinyatakan aman pangan
dan aman lingkungan, belum memperoleh status aman pakan. Masalahnya bukan
pada produknya tetapi pada sistem birokrasi kelembagaan, karena pedoman untuk
mengkaji keamanan pakan belum ada.
Di lain pihak penelitian tanaman pangan PRG sudah relatif cukup lama.
Menurut Herman (1999) penelitian perakitan tanaman PRG di Indonesia sudah
dimulai pada tahun 1990-an. Penelitian tersebut dilakukan oleh berbagai lembaga
penelitian, perguruan tinggi, badan usaha milik negara dan perusahaan swasta.
Penelitian tanaman PRG di Indonesia sebagian besar ditujukan untuk memperoleh
tanaman PRG yang tahan cekaman biotik dan toleran cekaman abiotik, khususnya
kekeringan (Herman, 2008). Pada Tabel 1 ditunjukkan sebagian kegiatan
penelitian tanaman PRG di berbagai lembaga penelitian, baik pemerintah maupun
swasta di Indonesia. Data pada Tabel 1 adalah data tahun 2008 sehingga besar
kemungkinan sampai tahun 2013 ini sebagian besar komoditas tersebut statusnya
sudah berubah menjadi “varietas yang sudah dilepas”.
Disamping itu Tabel 1 juga memperlihatkan bahwa sampai dengan 2008
tidak ada tanaman pakan yang sedang “direkayasa” secara genetis.
Di Negara-negara maju sudah banyak dihasilkan tanaman pangan dan pakan
yang hasilnya diekspor ke negara-negara berkembang termasuk ke Indonesia.
Produk-produk rekayasa genetik yang sudah masuk ke Indonesia terutama kedelai
dan jagung. Kedua komoditas penting ini sebagian besar digunakan sebagai pakan
ternak baik untuk ruminansia maupun non ruminansia.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 90
Tabel 1. Penelitian perakitan tanaman PRG pada tahap rumah kaca, rumah kasa,
FUT dan LUT di berbagai lembaga penelitan di Indonesia.
Komoditas
Padi
Perbaikan karakter
tanaman
Tahap kegiatan
Lembaga penelitian
Tahan hama penggerek
batang kuning
R Kaca, FUT,
LUT
BB Biogen, Kementan; Puslit
Bioteknologi LIPI
Tahan penyakit HDB dan
blas
R Kaca, FUT
BB Biogen, Kementan
Tahan penyakiy blas dan
Rhizoctonia solanii
R Kaca, FUT
Puslit Bioteknologi, LIPI
Toleran kekeringan
Tahan hama penggerek
polong
R Kaca, FUT
R Kaca, FUT
Puslit Bioteknologi, LIPI
BB Biogen
Produktivitas tinggi
Tahan penyakit bilur
R Kaca
R Kaca
Unud
BB Biogen, IPB
Kandungan amilosa rendah
LUT
BB Biogen dengan Puslit
Bioteknologi LIPI
Tebu
Rendemen tinggi
LUT
Sengon
Toleran kekeringan
Percepatan pertumbuhan,
kandungan selulosa tinggi
LUT
R Kaca, FUT
PTPN XI dengan Univ.
Jember
PTPN XI
Puslit Bioteknologi LIPI
Percepatan pertumbuhan,
kandungan selulosa tinggi
R Kaca, FUT
Puslit Bioteknologi LIPI
Kedelai
Kacang
tanah
Ubi kayu
Akasia
Sumber: Herman (2008)
Indonesia sudah lama mengimpor jagung dan kedele dari Amerika Serikat.
Sebelum tahun 1990 Indonesia mengimpor kedelai tidak lebih dari 500.000 ton.
Pada tahun 2011 impor kedelai sudah sekitar 1,6 juta ton. Sebagian besar kedelai
impor ini adalah dari Amerika Serikat yang merupakan produsen kedelai PRG.
Demikian pula halnya dengan jagung, sebagian besar jagung pakan ternak yang
masuk dari Amerika Serikat adalah jagung PRG. Dengan demikian sebenarnya
penduduk dan ternak di Indonesia ini sudah lama mengkonsumsi pangan dan
pakan PRG.
Jagung yang sudah masuk ke Indonesia dan cukup terkenal adalah jagung Bt
yang merupakan jagung yang disisipi gen dari Bacillus thuringiensis. B.
thuringiensis sendiri telah digunakan oleh petani di Negara maju sebagai
pestisida hayati yang cukup aman sejak puluhan tahun yang lalu (Herman, 2008).
Gen Bt sendiri terdiri dari beberapa generasi dan diperuntukkan bagi seranggaserangga tertentu. Secara umum cry (sebagai representasi gen dari strain Bt yang
bekerja seperti insektisida) dapat mematikan serangga dari keluarga Lepidoptrera
dan Coleoptra. Ada juga keluarga Diptera yang menjadi sasaran.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 91
MANFAAT
Bisnis PRG adalah bisnis besar yang nilainya milyaran dollar. Dapat
dipahami apabila lembaga-lembaga penelitian dan perusahaan-perusahaan
penghasil PRG, sebagai proponen, lebih menonjolkan manfaat PRG daripada sisi
negatifnya. Sebaliknya para ilmuwan oponen lebih memperhatikan sisi negatif
atau mudarat dari tanaman PRG.
Tanaman pangan (dan pakan) PRG diproduksi karena berbagai alasan,
sepertitahan terhadap berbagai cekaman, baik cekaman biotik maupun cekaman
abiotik. Selain itu juga diproduksi tanaman yang toleran terhadap herbisida dan
lebih efisien dalam penggunaan air dan pupuk. Ada juga tanaman yang
dimodifikasi kualitasnya seperti penundaan kematangan buah dan perubahan
pigmen warna bunga, perubahan komposisi lemak, perubahan komposisi asam
amino, perubahan kandungan vitamin, perubahan kandungan gula, tanaman tanpa
biji dan sebagainya.
Yang termasuk dalam cekaman biotik adalah tahan serangga hama, tahan
nematoda, tahan cendawan patogen tanaman, tahan bakteri patogen tanaman dan
tahan virus patogen tanaman. Sedangkan yang tergolong cekaman abiotik antara
lain toleran kekeringan, toleran salinitas, toleran oksidatif, toleran suhu rendah,
toleran logam berat dan sebagainya.
Beberapa manfaat dari tanaman PRG yang disampaikan oleh proponen di
antaranya:
(1) Peningkatan kandungan nutrisi dan antioksidan.
Salah satu contoh yang sedang menjadi pembicaraan pada saat ini adalah
“padi emas” yang awalnya dihasilkan oleh Institute for Plant Science di
Swiss yang menghasilkan padi yang mengandung β-Carotene (Provitamin
A) sebagaimana dilaporkan oleh Ye et al. (2000). Selain pada padi
teknologi rekayasa genetik untuk peningkatan kandungan β-Carotene juga
di lakukan pada tanaman jagung(Herman, 2008). Teknologi peningkatan
kandungan nutrisi seperti pada padi dan jagung ini tentu bisa juga
dilakukan pada tanaman pakan, baik untuk meningkatkan kandungan
protein maupun nutrisi yang diperlukan oleh ternak.
(2) Penambahan keanekaragaman hayati
Teknologi rekayasa genetik yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati
biasanya dilakukan pada tanaman hias. Dalam hal ini mengubah warna
bunga seperti mawar berwarna biru atau carnation berwarna ungu gelap.
Untuk tanaman pakan teknologinya tentu bukan mengubah warna,
melainkan mungkin mengubah tingkat kekerasan atau kekasaran daun
rumput raja menjadi lebih lunak atau lebih palatable. Atau mungkin juga
menghasilkan alang-alang yang lebih palatable dan lebih kaya nutrisi.
Karena menurut Abdullah (2005) saat ini sulit untuk memperoleh jenis dan
benih/bibit tanaman pakan unggul yang daya adaptasinya terhadap
lingkungan cukup baik.
(3) Pemanfaatan untuk industri
Pemanfaatan di bidang industri adalah mengaplikasikan teknologi
rekayasa genetik untuk menghasilkan tanaman dengan kandungan amilosa
rendah sehingga bermanfaat untuk industri tekstil. Herman (2000 ) mensitir
beberapa laporan yang mengatakan bahwa plastik yang bisa terdegradasi
Prosiding Semnas II HITPI
Page 92
(biodegradable poly-β-hydroxybutyrate) bisa dihasilkan dari tanaman
Arabidopsis thaliana PRG dan dari biji kanola (Brassica napus) PRG,
daun alfalfa PRG, tembakau PRG dan kelapa sawit PRG.
(4) Pemanfaatan untuk farmasi
Menurut McGregor (Herman, 2008) Boyce Thompson Institute for Plant
Research Inc. yang berafiliasi dengan Universitas Cornell telah berhasil
mendapatkan kentang PRG yang mengandung vaksin untuk penyakit
kolera. Selain itu juga telah dihasilkan pisang PRG yang mengandung
vaksin hepatitis B. Dalam kaitannya dengan tanaman pakan ternak bukan
tidak mungkin dihasilkan alfalfa PRG atau lamtoro PRG yang disisipi gen
vaksin untuk penyakit ternak.
(5) Pengurangan penggunaan insektisida
Dengan dihasilkannya tanaman-tanaman PRG yang tahan serangga hama,
maka petani tidak perlu lagi menggunakan insektisida. Hal ini berarti
penggunaan insektisida menurun signifikan. Keuntungan dari penurunan
penggunaan insektisida bukan hanya dalam hal biaya produksi saja tetapi
juga dalam hal lingkungan hidup dan kesehatan. Sebagaimana dilaporkan
oleh beberapa peneliti banyak pestisida yang mencemari tanah dan
perairan yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia (Naik, 2001; Pray
et al., 2001; Adiyoga, 2006).
(6) Peningkatan pendapatan petani
Menurut Herman (2008) keuntungan petani di berbagai Negara sebagai
hasil menanam tanaman PRG sangat bervariasi, tergantung pada Negara
dan komoditas yang ditanam. Namun peningkatannya pada tahun 2011
secara global diperkirakan senilai 10.8 milyar dolar. Keuntungan ini
sebagian besar diterima negara berkembang.
Dari sisi keuntungan petani, sejauh ini indikasinya tanaman GMO
menguntungkan, karena luas tanamnya terus meningkat dari tahun ke
tahun. Pada tahun 1996 luas tanaman pangan PRG sekitar 1,7 juta hektar,
dan pada tahun 2008 sudah mencapai 125 juta hektar. Ini menunjukkan
bahwa para petani yang pernah menanam menyukainya sehingga
menanamnya kembali di musim tanam berikutnya.
Di Indonesia, data mengenai keuntungan tanaman PRG dilaporkan oleh
Lokollo et al. (2001) yang menyatakan bahwa keuntungan bersih petani
kapas Bt di Sulawesi Selatan berkisar antara Rp. 3,1 – 5,6 juta per
hektardibandingkan dengan kapas non Bt yang hasilnya Rp. 600 ribu.
Walaupun banyak manfaat yang dilaporkan, menurut Gilbert dan VillaKomaroff (1980) dan Wright (1996) teknologi baru di sektor pertanian yang
disebut-sebut sebagai revolusi hijauan jilid dua ini bukannya tidak mengandung
bahaya bagi kehidupan umat manusia. Beberapa contoh aspek negatif dari
tanaman PRG dikemukakan berikut ini.
SISI NEGATIF
Dari pembahasan di atas dapat diketahui bahwa teknologi transgenik pada
tanaman pakan ternak dapat memberikan berbagai keuntungan, namun di samping
Prosiding Semnas II HITPI
Page 93
berbagai keuntungan yang akan diperoleh, penggunaan teknologi transgenik pada
tanaman pakan ternak juga dapat menimbulkan kerugian dan masalah.
Isu-isu yang sering dilontarkan mereka yang kontra antara lain
mengganggu kesehatan manusia seperti toksik, alergi dan resistensi bakteri di
dalam tubuh manusia (Pardee, 2005), menyebabkan ketergantungan petani dalam
hal benih (Weiss, 2000), mengganggu lingkungan (termasuk resistensi gulma,
perpindahan gen dari tanaman PRG ke tanaman non PRG atau erosi genetik,
resistensi hama, berdampak negatif bagi organisme bukan sasaran seperti
serangga bermanfaat dan ikan, dan sebagainya).
Selain itu dikhawatirkan pula terjadinya masalah produk pakan yang
berasal dari tanaman transgenik dari negara maju yang masuk ke Indonesia tidak
terkontrol sehingga dampak negatifnya juga tidak diketahui.
Flachowsky dan Wenk (2010) merangkum pandangan yang menganggap
pakan PRG berdampak buruk terhadap ternak, seperti menyebabkan alergi,
berpengaruh terhadap sistem pencernaan hewan, mengganggu sistem reproduksi
dan fertilitas ternak, meningkatkan inti sel hati dan pancreas hewan dan
sebagainya. Sisi negatif yang dirangkum oleh Flachowsky dan Wenk tersebut
diperoleh dari penelitian di laboratorium yang menggunakan hewan pecobaan,
bukan terhadap ternak di lapangan.
Di Negara-negara dimana tanaman PRG sudah berkembang sangat luas
seperti di Amerika Serikat, pandangan-pandangan yang kontra terhadap tanaman
PRG juga masih banyak. Pada dasarnya keberatan mereka yang oponen terhadap
tanaman PRG lebih banyak karena meragukan terhadap kea manan produk tersebut
termasuk terhadap lingkungan, walaupun tidak sedikit juga yang meragukan
manfaatnya serta adanya isu-isu etika, agama dan perdagangan.
Dibandingkan dengan di Amerika Serikat, di Eropa lebih banyak yang
berpandangan negatif, walaupun menurut Herman (2008) pandangannya sering
berubah-ubah, dari negatif ke positif kemudian berubah lagi ke negatif dan
seterusnya.
Mereka yang tidak setuju dengan teknologi transgenik masih
mempertanyakan ketidakjelasan apa yang akan terjadi dalam jangka panjang
karena tidak ada yang bisa menduganya. Namun harus diakui bahwa penyebaran
tanaman transgenik ternyata sangat cepat. Dimulai pada tahun 1980-an, dalam
waktu kurang dari lima belas tahun produk pertama sudah dipasarkan, yaitu tomat
yang tahan lama. Pada tahun 1996 kedele yang tahan herbisida sudah mulai
masuk pasar dan pada tahun 2000 sudah 14 juta hektar sudah ditanam di Amerika.
Demikian juga halnya pada jagung. Setelah diperkenalkan jagung transgenik
(jagung Bt) pada tahun 1996, dalam waktu kurang dari tiga tahun, tanaman jagung
transgenik sudah ditanam di Amerika seluas 11 juta hektar (Weiss, 2000).
BEBERAPA KENDALA DI DALAM PENGEMBANGAN TANAMAN
PAKAN PRG
Pengembangan teknologi rekayasa genetik untuk meningkatkan produksi
pakan ternak di Indonesia tidak terlepas dari kendala yang dihadapi. Sebelum
diperkenalkan tanaman pakan PRG, pengembangan tanaman pakan konvensional
juga sudah dihadang sejumlah kendala.
Prawiradiputra (2005) mengungkapkan bahwa kendala yang dihadapi pada
Prosiding Semnas II HITPI
Page 94
pengembangan hijauan adalah sumber daya manusia, dana, fasilitas pendukung,
kebijakan dan jaringan kerjasama. Pada sumber daya manusia misalnya,
penelitian hijauan ternak kurang diminati oleh sarjana pertanian dan peternakan,
karena hijauan dianggap bukan merupakan komod itas yang penting bagi
kecukupan pangan maupun ketahanan pangan. Begitupun dengan fasilitas seperti
kebun percobaan, laboratorium dan lainnya tidak dijadikan prioritas utama.
Tanaman pakan PRG dihasilkan oleh serangkaian tahapan kegiatan
penelitian mulai dari laboratorium, rumah kaca (atau kandang), kebun percobaan
sampai lapangan dalam skala luas, dengan fasilitas yang lebih dari yang
disediakan untuk penelitian non PRG. Untuk itu dibutuhkan biaya yang sangat
besar sehingga dukungan pemerintah sangat diharapkan.
Dari sisi tenaga peneliti, harus ada tim yang terdiri atas tenaga peneliti
laboratorium, biologi, agronomi, pemuliaan tanaman, ahli-ahli hak kekayaan
intelektual, spesialis di bidang hukum dan peraturan dan ahli-ahli komunikasi
massa. Spesialis di bidang kultur jaringan dan toksikologi sangat diperlukan.
Teknologi yang digunakan di laboratorium merupakan teknologi biologi
molekuler dan seluler yang memerlukan fasilitas laboratorium dengan akurasi
yang sangat tinggi. Dengan demikian dapat dipahami apabila serangkaian
peralatan ini merupakan peralatan yang sangat mahal. Tidaklah mengherankan
apabila yang bisa mengerjakan kegiatan ini adalah perusahaan-perusahaan
multinasional yang bermodal besar.
Selain itu, tingkat kesulitannya juga tergolong tinggi sehingga bukan
hanya peralatan laboratorium yang canggih saja yang diperlukan, tetapi juga
sumbardaya manusia yang benar-benar ahli dan sudah terlatih dengan baik di
bidangnya.
Sumber daya (manusia, dana, fasilitas) yang diperlukan di atas merupakan
kendala utama bagi lembaga- lembaga penelitian Indonesia yang ingin
menghasilkan tanaman pakan PRG. Kendala lain yang harus dihadapi peneliti
PRG di Indonesia adalah proses untuk melewati uji keamanan dan mendapatkan
ijin pelepasan komersial sesuai dengan regulasi yang ada masih terlalu panjang
dan mahal bagi lembaga-lembaga riset publik.
ASPEK ETIKA
Selain aspek teknologi tingkat tinggi, PRG juga tidak terlepas dari aspek
etika (dan agama). Aspek penting di dalam bioetika yang perlu diperhatikan
adalah adanya prinsip-prinsip di dalam teori etika, yaitu kesejahteraan, otonomi
dan adil. Jenie (2012) mengutip Ben Mepham menganalisis matriks etika tersebut
yang harus dipenuhi oleh siapa saja yang terlibat di dalam rekayasa genetik.
Ada empat sasaran yang diperhatikan di dalam matriks Ben Mepham,
yaitu petani, konsumen, tanaman PRG dan biota (lingkungan). Dalam hal
kesejahteraan petani harus mendapat penghasilan yang memadai dan tempat kerja
yang baik, konsumen harus mendapat pangan yang aman dan mudah, tanamannya
sendiri harus subur tidak merana dan lingkungan (biota) harus terjaga dengan baik.
Dalam hal otonomi disebutkan bahwa petani harus mempunyai kebebasan untuk
bertindak selaku manajer, konsumen harus mempunyai pilihan, tanaman PRG
harus bisa beradaptasi dan lingkungan harus memiliki keanekaragaman hayati.
Sementara itu dalam hal keadilan petani harus memperoleh keadilan hukum dalam
Prosiding Semnas II HITPI
Page 95
berusaha tani dan berdagang, konsumen harus mendapatkan pangan yang selalu
tersedia, tanaman PRG harus mendapat nilai yang hakiki da n lingkungan harus
lestari.
Sebagai contoh, apabila di dalam mengusahakan tanaman PRG-nya petani
tidak mendapat penghasilan yang lebih baik, maka PRG itu tidak memenuhi etika.
Demikian juga apabila konsumen tidak mempunyai pilihan selain dari tanaman
PRG yang tersedia. Apabila lingkungan menjadi rusak sebagai akibat dari adanya
tanaman PRG maka PRG itu juga tidak memenuhi syarat etika.
LANGKAH-LANGKAH PENGAMANAN
Untuk menjamin pangan dan pakan PRG betul-betul aman, baik bagi
manusia, ternak maupun lingkungan, pemerintah telah membentuk Komisi
Keamanan Hayati (KKH) yang bertanggung-jawab langsung kepada Presiden. Di
dalam kegiatannya sehari-hari KKH dibantu oleh tiga Tim Teknis, yatiu Tim
Teknis Keamanan Pangan PRG (TTKH Pangan PRG), Tim Teknis Keamanan
Pakan PRG (TTKH Pakan PRG) dan Tim Teknis Keamanan Lingkungan.
Sebelum 2011 Tim Teknis Keamanan Pangan juga menangani keamanan pakan,
namun pada November 2011 diterbitkan keputusan pembentukan TTKH Pakan
PRG.
Dengan dibentuknya KKH, produk pertanian rekayasa genetik yang telah
dilepas ke pasar dijamin aman untuk konsumsi ternak maupun manusia, serta
aman bagi lingkungan karena telah melewati proses pengkajian keamanan yang
panjang.
Pengkajian keamanan pakan biasanya difokuskan pada tiga aspek yaitu
toksisitas pada mamalia, potensi alerginitas dan komposisi nutrisi. Dengan
demikian maka dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengkaji aman
tidaknya suatu tanaman PRG. Karena pengkajian PRG memerlukan waktu yang
lama maka TTKH memerlukan tenaga yang mempunyai cukup waktu luang,
disamping tugas utamanya sebagai peneliti atau tenaga pengajar di perguruan
tinggi.
Salah satu tugas KKH adalah menyusun suatu pedoman yang diperlukan
untuk mengatur keamanan bahan pakan tersebut, khususnya dilihat dalam hal
rekayasa genetiknya. Selain mengeluarkan peraturan dan undang-undang,
Indonesia juga meratifikasi beberapa peraturan yang sudah disepakati oleh
pemerintah bersama lembaga- lembaga internasional, khususnya Perserikatan
bangsa-bangsa (PBB).
Lembaga-lembaga internasional yang terlibat dalam proses pengkajian
keamanan PRG pada umumnya terlibat di dalam pengambilan keputusan
keamanan PRG. Mereka juga mempertimbangkan prinsip-prinsip keilmuan yang
dikembangkan oleh para ahli. Lembaga-lembaga internasional tersebut adalah
– Food &Agriculture Organization of the United Nations
– World Health Organization of the United Nations
– Organization of Economic Co-operation &Development
– United Stated Food and Drug Administration
– International Life Sciences Institute
Selain itu ada juga komisi yang terlibat di dalam pembuatan peraturan
seperti Codex Alimentarius Commission yang mengeluarkan Guidelines for the
Prosiding Semnas II HITPI
Page 96
conduct of food safety assessment of foods derived from recombinant-DNA plants
Di dalam negeri, daftar peraturan perundang-undangan yang berkaitan dan
dapat dijadikan dasar hukum bagi pengaturan materi hukum antara lain:
a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
b. Undang-undang Republik Indonesia no. 7 tahun 2011 tentang Peternakan
c. Keputusan Bersama Empat Menteri tahun 1999 tentang Keamanan Hayati dan
Keamanan Pangan Produk Pertanian Hasil Rekayasa Genetik
d. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no. 21 tahun 2005 tentang Keamanan
Hayati Produk Rekayasa Genetik
e. Peraturan Menteri Pertanian no 67/Permentan/OT.140/12/2006 tentang
Pelestarian dan Pemanfaatan Sumberdaya Genetik Tanaman
f. Di Indonesia sudah ada undang- undang dan peraturan yang menjadi payung
hukum penggunaan teknologi rekayasa genetik, di antaranya:
(i) Undang-undang nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan yang mengatur
peredaran produk pangan hasil rekayasa genetik (pasal 13);
(ii) Undang-undang nomor 21 tahun 2004 tentang Pengesahan Protokol
Cartagena yang mengatur perpindahan antar batas negara yang berbasis
kepada hasil pengkajian keamanan hayati;
(iii) Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengatur larangan pelepasan PRG
ke lingkungan tanpa ijin (Pasal 69) dan sangsi pidana dan/atau denda atas
pelanggaran (pasal 111);
(iv) Peraturan Pemerintah nomor 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan
Pangan yang mengatur wajib pelabelan pangan produk rekayasa genetik
(Pasal 35)
(v) Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 2005 Tentang Keamanan Hayati
Produk Rekayasa Genetik yang mengatur tentang tatacara pengkajian
keamanan hayati PRG;
(vi) Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2010 tentang Komisi Keamanan
Hayati Produk Rekayasa Genetik yang mengatur pembentukan dan tupoksi
Komisi dan perlengkapannya;
(vii) Keputusan Bersama Empat Menteri Tentang Keamanan Hayati dan
Keamanan Pangan Produk Pertanian Hasil Rekayasa Genetik (1999) yang
merupakan payung hukum kelembagaan yang saat ini mengimplementasi
PP 21/2005 sebelum kelembagaan baru terbentuk. Keputusan ini
dimungkinkan tetap jalan sebagaimana diatur pada PP 21/2005.
PENUTUP
Dari uraian tersebut di atas ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan
untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya kerugian sebagai akibat dari
tanaman PRG baik bagi petani maupun konsumen.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah diperlukan kewaspadaan
pada saat mengimpor pakan/benih tanaman pakan dari negara lain, khususnya
negara maju, jangan sampai dimasukkan pakan atau benih tanaman pakan
transgenik yang merugikan. Selain itu perlu mengantisipasi kemungkinan dampak
negatif dari tanaman pangan dan tanaman pakan transgenik, baik terhadap ternak
Prosiding Semnas II HITPI
Page 97
maupun secara tidak langsung terhadap manusia, sehingga diperlukan penelitian
atau pengkajian yang komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, L., PDMH Karti, S. Hardjosoewignjo, 2005. Reposisi tanaman pakan
dalam kurikulum Fakultas Peternakan. Pros. Lokakarya Nasional Tanaman
Pakan Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Adiyoga, W., 2006. An ex-ante assessment potential benefits for adopting
transgenic late blight resistant potatoes in Indonesia. In Adiyoga et al.
(eds). Projected Impacts of Biotechnology Products in Indonesia and the
Philippines. Cornell University.
Badan Pusat Statistik, 2012. Statistik Indonesia 2011.
Flachowsky, G. and C. Wenk, 2010. The role of animal feeding trials for the
nutritional and safety assessment of feed from genetically modified plants:
Present stage and future challenges. J. of Animal and Feed Sciences 19.
Gilbert, W. and L. Villa-Komaroff, 1980. Useful proteins from recombinant
bacteria. Scientific America Inc.
Herman, M., 1999. Tanaman hasil rekayasa genetic dan pengaturan keamanannya
di Indonesia. Bulletin AgroBio 3(1):8-26.
Herman, M., 2000. Kekhawatiran terhadap tanaman PRG: Antara isu dan fakta.
Bio Tan 2(1):1-4
Herman, M., 2008. Tanaman Produk Rekayasa Genetik dan Kebijakan
Pengembangannya. Vol 1. Teknologi Rekayasa Genetik dan Status
Penelitiannya di Indonesia. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.
Herman, M., 2008. Tanaman Produk Rekayasa Genetik dan Kebijakan
Pengembangannya. Vol 2. Status Global Tanaman Produk Rekayasa
Genetik dan Regulasinya. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian
Hidayat, A. dan A. Mulyani, 2005. Lahan kering untuk pertanian. Dalam
Adimihardja dan Mappaona (eds). Teknologi Pengelolaan Lahan Kering.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Isa, I., 2006. Strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian. Pros. Seminar
Multifungsi dan Revitalisasi Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Jenie, U. A., 2012. Pertimbangan bioetika dalam pengambilan keputusan
keamanan hayati produk rekayasa genetika. Makalah dipresentasikan pada
Training dan Workshop Keamanan Hayati, Kementerian Lingkungan
Hidup di Bogor 30-31 Juli 2012.
Lokollo, E.M., A. Syam dan A.K. Zakaria, 2001. Kajian sosial ekonomi
pengembangan kapas PRG di Sulawesi Selatan. Laporan Kajian Kapas Bt
Sub Bidang Sosial Ekonomi. Makalah dipresentasikan dalam Diskusi
Ilmiah tentang Evaluasi Pelepasan Terbatas Kapas Bt di Sulawesi Selatan.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 98
Bogor 21 November 2001.
Naik, G. 2001. An analysis of socio-economic impact of Bt technology on Indian
cotton farmers. Center for management in Agriculture, Indian Institute of
Management
Pardee, W.D., 2005. New techniques. Encarta Reference Library.
Prawiradiputra, B.R., 2005. Pasang surut penelitian dan pengembangan hijauan
pakan ternak di Indonesia. Pros. Lokakarya Nasional Tanaman Pakan
Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Prawiradiputra, B. R., Sajimin, N. D. Purwantari dan I. Herdiawan, 2006. Hijauan
Pakan Ternak di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembanagan
Pertanian.
Pray, 2001. C.E., D. Ma, J. Huang and F. Qiao, 2001. Impact of Bt cotton in
China. World Development no 29 vol 5.
Weiss, R., 2000. The controversy over genetically engineered food. Encarta
Yearbook.
Wright, S., 1996. Genetic engineering could be dangerous. In Wright, S. (ed).
Down on the Animal Pharm. The Nation.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 99
MAKALAH
ORAL
Prosiding Semnas II HITPI
Page 100
PERUBAHAN NILAI NUTRIEN TANAMAN SORGUM
(sorghum bicolor (L.) MOENCH) VARIETAS LOKAL ROTE
SEBAGAI HIJAUAN PAKAN RUMINANSIA PADA BERBAGAI
UMUR PANEN DAN DOSIS PUPUK UREA
Bernadete B Koten 1), R. D. Soetrisno 2), N Ngadiyono 2), B. Soewignyo 2)
1) Program Studi Teknologi Pakan Ternak Ju rusan Peternakan Politekn ik Pertanian Negeri
Kupang, Jalan Adisucipto Penfui Kupang – NTT.
2) Fakultas Peternakan Universitas Gad jah Mada Jalan Fauna No 3 Bu laksu mur Ko mpleks
UGM Yogyakarta
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi perubahan nilai nutrien hijauan sorgum
(Sorghum bicolor (L) Moench) varietas lokal Rote sebagai pakan ternak
ruminansia pada umur panen dan dosis urea yang berbeda, telah dilaksanakan di
rumah kaca Laboratorium Hijauan Makanan Ternak dan Pastura Fakultas
Peternakan UGM selama 4 bulan dari tanggal 11 November 2011 hingga 27
Februari 2012. Penelitian ini dirancang dengan Rancangan Acak Lengkap pola
faktorial dengan 2 faktor perlakuan yaitu umur panen (UP) sebagai faktor pertama
(UP1= 50 hari, UP2 = 70 hari, dan UP3 = 90 hari) dan dosis pupuk urea
(P0=tanpa urea sebagai kontrol, P1 = 50 kg/ha, dan P2 = 100 kg/ha) sebagai
faktor kedua. Kombinasi perlakuan ini diulang 4 kali. Variabel yang diamati
adalah kadar bahan organik (BO), protein kasar (PK), serat kasar (SK), ekstrak
eter (EE), bahan ekstrak tanpa N, dan kadar abu hijauan sorgum (%). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kadar BO pada UP3P2, UP3P1 dan UP3P0 lebih
tinggi dari perlakuan lainnya. Kadar PK tertinggi terdapat pada UP1P2 dan kadar
EE tertinggi pada UP3P2. Kadar SK pada UP3P2 dan UP3P0 lebih tinggi dan
kadar BETN pada UP2P0 dan UP1P1 lebih tinggi dari perlakuan lainnya. UP1P0,
UP1P1, dan UP1P2 menghasilkan kadar abu yang lebih tinggi dari perlakuan
lainnya. Disimpulkan bahwa umur panen 90 hari yang dikombinasikan dengan
dosis urea 100 kg/ha menghasilkan nilai nutrien hijauan sorgum terbaik sebagai
pakan ruminansia dengan 93,69% kadar BO, 04,45% kadar PK, 08,41% EE, dan
33,14% SK, 47,21% kadar BETN, dan 06,79% kadar abu.
Kata kunci : Sorghum bicolor (L) Moench, Hijauan Pakan, Umur panen, Dosis
urea, Nilai nutrisi
ABSTRACT
The aim of this experiment was to evaluate the production of sorghum plant
(Sorghum bicolor (L.) Moench) of Rote local variety as forage for ruminant feed
at different combination of harvest time and urea level. The experiment conducted
for 4 mounths (November 11 – February 27 2012) at the green house of forage
and pasture laboratory, Faculty of Animal Science gadjah Mada University, and
in 2 treatment factors with 4 replications. The first factor was various harvesting
time e,i. 50,70, and 90 days and the second factor was various level of urea e,i. 0,
50, 100 kg/ha. Parameters measured were nutritive value e.i organic matter (OM),
crude protein (CP), extract ether (EE), crude fiber (CF), nitrogen free extract
Prosiding Semnas II HITPI
Page 101
(NFE), and ash. The result showed that the OM value at UP3P2, UP3P1 and
UP3P0 more high than other treatment. The higest CP value at UP1P2 and The
higest EE value at UP3P2. Crude fiber value at UP3P2 and UP3P0 more high and
NFE value at UP2P0, UP1P1 more high than other treatment. UP1P0, UP1P1,
and UP1P2 resulted ash value more high than other treatment. It could be
concluded that sorghum plant harvested at 90 days with 100 kg/ha level of urea
had contain 93.69% OM, 04.45% CP, 08.41% EE, 33,14% CF, 47,21% NFE,
and 06,79% of ash, and resulted the best forage as ruminant fed
Key words: Sorghum bicolor (L) Moench, Harvesting time, Level of urea, Forage,
Nutritive value.
PENDAHULUAN
Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) merupakan tanaman serealia yang
potensial dan dapat diandalkan sebagai sumber pakan ternak ruminansia,
khususnya pada daerah-daerah marginal dan kering di Indonesia seperti di Nusa
Tenggara Timur (NTT). Sorgum tumbuh tegak dan mempunyai daya adaptasi
agroekologi yang luas, tahan terhadap kekeringan, produksi tinggi, perlu input
lebih sedikit serta lebih tahan terhadap hama dan penyakit dibanding tanaman
pangan lain. Sorgum memiliki kandungan nutrisi yang tinggi (332 kal kalori dan
11,0 g protein/100 g biji) pada biji dan bagian vegetatifnya (12,8% protein kasar)
sehingga dapat dibudidayakan secara intensif sebagai sumber pakan hijauan bagi
ternak ruminansia terutama pada musim kemarau (OISAT, 2011).Sebagai pakan
ternak ruminansia, hijauan sorgum biasanya dimanfaatkan sebagai sumber pakan
bagi ternak sapi perah dan ternak sapi yang digemukkan (Sirappa, 2003). Hijauan
sorghum ini sangat palatabel terutama tanaman yang masih muda dan yang
sedang berbunga. Nilai nutrisi yang dikandung sorgum pada fase vegetatip adalah
13,76%-15,66% PK dengan 26,06%-31,85% kadar SK (Purnomohadi, 2006).
Hijauan sorgum juga dimanfaatkan sebagai hay. Hay sorgum yang berasal dari
hijauan yang dipanen pada umur 50 hari mengandung 16,2% PK dalam BK.
Kandungan gula dan sari buah yang terdapat pada tangkainya menyebabkan
sorgum menjadi salah satu dari tanaman yang terbaik untuk dijadikan silase
(Miller dan Stroup, 2004). Sorgum lokal varietas Rote adalah salah satu jenis
sorgum yang dibudidayakan oleh masyarakat NTT. Potensi yang ada pada
sorgum varietas lokal ini, dapat dikembangkan untuk menjadi sumber pakan
berkualitas terutama pada musim kemarau.
Tingkat kedewasaan tanaman merupakan faktor terpenting yang
mempengaruhi produksi dan nilai nutrisi hijauan (Budiman, 2012). Selama masa
vegetatif, tanaman akan lebih banyak memproduksi daripada yang digunakan.
Kelebihan hasil asimilasi ini akan disimpan pada bagian vegetatif sebagai
senyawa cadangan. Senyawa cadangan tersebut sebagian besar tersusun dari
karbohidrat tetapi sering juga mengandung cukup banyak lipid dan protein.
Dengan meningkatnya umur tanaman, total karbohidrat non struktural pada
tanaman rumput akan semakin tinggi (Budiman et al., 2011). Akan tetapi pada
fase lebih lanjut saat tanaman berbuah, senyawa cadangan tersebut akan
ditranslokasikan ke perkembangan biji (Gardner et al., 2008). Huston dan
Pinchak (2008) menjelaskan lebih lanjut bahwa dengan meningkatnya umur
tanaman terutama saat memasuki fase generatif maka ratio batang dan daun
Prosiding Semnas II HITPI
Page 102
meningkat yang mengakibatkan nilai makanan berkurang. Tanaman akan
berkurang kandungan protein, mineral dan karbohidrat mudah larut dengan
meningkatnya umur tanaman sedangkan kandungan serat kasar dan ligninnya
bertambah karena secara umum daun mengandung protein kasar yang lebih tinggi.
Umur panen merupakan aspek yang erat hubungannya dengan fase pertumbuhan
tanaman, yang mempunyai relevansi yang akurat dengan produksi dan nilai
nutrien dan kecernaan. Penentuan umur panen yang tepat sangat diperlukan untuk
menjamin tingginya produksi tanaman dengan nilai nutrisi yang memadai sebagai
pakan ternak.
Kebutuhan tanaman pakan akan nitrogen (N) sangat tinggi terutama dari
kelompok rumput-rumputan termasuk sorgum. Nitrogen ini berguna untuk
meningkatkan pertumbuhan, produksi dan kualitas hijauan tanaman serta dapat
memperlambat masaknya biji (memperpanjang masa vegetatip). Kondisi ini
menyebabkan akumulasi hasil fotosintesis dalam tanaman dapat berlangsung lebih
lama sehingga meningkatkan produktivitas tanaman sebagai pakan. Soetrisno
(2002) menjelaskan bahwa di daerah tropik unsur N adalah unsur yang pertama
terendah disusul P dan S, sedangkan yang mudah tercuci adalah Ca, Mg, K, dan S.
Kebanyakan tanah terutama yang diperuntukkan bagi kebun pakan yang
dieksploitasi berlebihan menyebabkan kemunduran kandungan unsur hara karena
tingkat serapan nitrogen yang tinggi untuk membentuk bagian vegetatif tanaman
dan kurangnya bahan organik dari tanaman itu yang kembali menjadi N tanah.
Kekurangan unsur N akan menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat yang
berdampak pada penampakannya yang kerdil, daun-daun tanaman berwarna
kuning pucat, dan kualitas hasilnya rendah. Dengan demikian pemberian N
tambahan seperti urea sangat diperlukan, karena peningkatan penyerapan unsur N
menunjukkan hal yang sejalan dengan produksi bahan kering dan bahan organik
hijauan rumput (Yoku, 2010). Akan tetapi Purbajanti (2013) menjelaskan bahwa
N yang terlampau tinggi menyebabkan batang tanaman lemah, tanaman mudah
rebah karena sistem perakaran relatif menjadi lebih sempit. Oleh karena itu
penentuan dosis urea yang tepat sangat diperlukan untuk menghasilkan produksi
tanaman sorgum yang tinggi sebagai pakan ternak ruminansia.
Informasi mengenai produksi sorgum (Sorghum bicolor (L.)
Moench)sebagai pakan ternak ruminansia pada berbagai umur panen dan dosis
urea belum tersedia. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh
berbagai umur panen dan dosis urea terhadap produksi sorgum (Sorghum bicolor
(L.) Moench)sebagai pakan ruminansia. Penelitian ini bertujuan untuk
mengevaluasi kemampuan produksi bahan kering, bahan organik, dan protein
kasar tanaman sorgum varietas lokal Rote sebagai pakan ternak pada umur panen
dan dosis urea yang berbeda.
MATERI DAN METODE
Lokasi dan waktu
Penelitian ini telah dilaksanakan di rumah kaca Laboratorium Hijauan
Makanan Ternak dan Pastura Fakultas Peternakan UGM selama 4 bulan terhitung
dari tanggal 11 November 2011-27 Februari 2012.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 103
Bahan penelitian
Bahan yang digunakan adalah biji sorgum varietas lokal rote, tanah, pupuk
SP 36 (36% P2 O5 ), dan KCl (60% K 2 O) dan urea (45% N), polibag berukuran 18
× 23 cm dengan diameter 22 cm, kantong plastik, dan amplop besar.
Peralatan penelitian
Peralatan yangdigunakan adalah timbangan digital berkapasitas 200 g
dengan skala terkecil 0,01 g untuk menimbang pupuk, dan timbangan pegas
berkapasitas 5 kg dengan kepekaan 0,5 g untuk menimbang hijauan, oven
pengering, seperangkat peralatan untuk menganalisis kadar protein kasar
(Kjeldahl), dan tanur untuk menguji kadar abu dan kadar bahan organik.
Prosedur penelitian
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen yang dirancang dengan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) Pola Faktorial dengan 2 faktor perlakuan dan 4
ulangan. Faktor pertama yaitu umur panen (UP) yang terdiri atas UP1 = 50 hari,
UP2 = 70 hari, dan UP3 = 90 hari.Faktor kedua adalah dosis pemupukan urea (P)
yaitu P0 = Tanpa urea, P1 =pupuk urea 50 kg/ha, dan P2 = pupuk urea 100
kg/ha.Jadi dengan demikian terdapat 3 × 3 × 4 = 36 satuan percobaan dalam 36
polibag.
Prosedur penelitian
Persiapan tanah meliputi: Pembongkaran dan penghancuran tanah,
kemudian dimasukkan ke dalam polibag sebanyak 10 kg/polibag. Polibag
ditempatkan dengan jarak 0,5 × 0,5 m. Penentuan perlakuan pada polibag
dilakukan secara acak berdasarkan pola RAL. Benih sorgum dipilih dari biji yang
memenuhi syarat bibit yang baik. Penanaman dilakukan dengan membuat lubang
tanam dalam polibag. Dalam 1 lubang tanam diisi 4 biji sorgum, kemudian ditutup
kembali.
Pemberian pupuk SP 36 (36% P 2 O5 ) dengan dosis 75 kg/ha dilakukan
sekaligus pada saat tanam dan pupuk KCl (60% K 2 O) sebanyak 75 kg/ha
diberikan sebanyak 2 kali yaitu 37,5 kg/ha diberikan saat penjarangan tanaman
dan sisanya diberikan saat tanaman berumur satu bulan. Pupuk urea diberikan
pada saat tanaman berumur 10 hari sesuai dengan perlakuan. Pupuk-pupuk ini
diberikan dengan cara ditugal dengan jarak + 5 cm dari lubang tanam.
Penjarangan tanaman dilakukan saat tanaman berumur 10 hari dengan hanya
meninggalkan 2 tanaman terbaik di setiap lubang tanamnya. Penyiraman tanaman
dilakukan setiap hari hingga mencapai kapasitas lapang. Penyiangan tanaman
dilakukan jika ada gulma. Hama
ditanggulangi dengan penyemprotan
insektisida (Dursban).
Pada saat panen dilakukan pengukuran terhadap produksi hijauannya.
Pemotongan tanaman telah dilakukan pada batang dengan jarak + 5 cm dari atas
tanah.Hijauan yang diperoleh dimasukkan dalam kantong koran yang telah
diketahui beratnya kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 55 o C selama
3 hari hingga mencapai berat konstan. Sampel hijauan tersebut digiling dengan
diameter lubang saringan 1 mm dan selanjutnya dilakukan analisis bahan kering,
bahan organik, dan protein kasar (AOAC, 2005).
Prosiding Semnas II HITPI
Page 104
Variabel yang diamati
Variabel yang diamati adalah komposisi kimia hijauan sorgum (% bahan
kering) berupa kadar bahan organik (BO), kadar protein kasar (PK), kadar ekstrak
eter (EE), kadar serat kasar (SK), kadar bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) dan
kadar abu (AOAC, 2005).
Analisis data
Data yang diperoleh, dianalisis variansi menurut RAL Pola Faktorial. Uji
Duncan (Duncan,s new multiple range test) dilakukan pada faktor perlakuan
menunjukkan pengaruh yang signifikan (Gomez dan Gomez, 2010).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar BO hijauan sorgum akibat perlakuan
Data tentang rerata kadar BO hijauan sorgum akibat perlakuan tertera
pada Tabel 1. Hasil sidik ragam memperlihatkan bahwa faktor umur panen
memberikan pengaruh yang sangat nyata (P≤0,01) terhadap kadar BO hijauan
sorgum, meskipun faktor dosis pemupukan urea tidak berpengaruh secara nyata
(P≥0,05). Interaksi antara faktor umur panen dan faktor dosis pemupukan urea
menunjukkan perbedaan yang nyata (P≤0,05) terhadap kadar BO hijauan sorgum.
Pada faktor umur panen, P2 merupakan perlakuan dengan kadar BO
tertinggi, yang berbeda dan diikuti oleh P1 dan P0. Pada interaksi kedua faktor ini,
kadar BO tertinggi terdapat pada perlakuan UP3P2 yang tidak berbeda dengan
UP3P1, UP3P0, dan UP2P2. Kadar BO hijauan sorgum ini berbeda dengan
UP2P0. Kadar BO terendah terdapat pada perlakuan UP1P2 yang tidak berbeda
dengan UP1P1 dan UP1P0.
Kadar BO tertinggi pada UP3P2 ini makin menjelaskan bahwa dosis
pupuk 100 kg/ha (P2) akan menyediakan nitrogen tersedia dalam jumlah cukup
untuk memperlancar proses fotosintesis dan akumulasi BO pada hijauan sorgum.
Kadar BO yang tinggi pada perlakuan tersebut juga didukung oleh produksi BK
dan produksi BO yang juga tinggi pada perlakuan tersebut. Hal ini sesuai dengan
pendapat Yoku (2010) bahwa peningkatan produksi BO secara nyata berbentuk
linier dengan peningkatan PK, SK dan BETN.
Rerata kadar BO hijauan sorgum pada penelitian ini adalah 92,00%.
Kadar BO ini lebih besar dari kadar BO hijauan rumput sudan yaitu 86,5887,74% seperti yang dilaporkan oleh Yoku (2010).
Kadar PK hijauan sorgum akibat perlakuan
Berdasarkan hasil sidik ragam, kadar PK hijauan sorgum ternyata sangat
dipengaruhi (P≤0,01) oleh faktor tunggal umur panen, faktor dosis pemupukan
urea, dan interaksi antara kedua faktor tersebut. Data tentang rerata kadar PK
hijauan sorgum akibat perlakuan tertera pada Tabel 1. Pada faktor umur panen
terlihat bahwa kadar PK hijauan sorgum menurun dengan sangat besar seiring
dengan meningkatnya umur panen. Terlihat bahwa dengan bertambahnya usia
tanaman sebanyak 20 hari, kadar protein berkurang hamp ir 50%. Kondisi ini
sesuai dengan pendapat Barnes et al. (2007) bahwa konsentrasi nitrogen pada
tanaman yang lebih muda lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang telah
dewasa. Hal ini menyebabkan kadar PK lebih tinggi pada tanaman yang lebih
Prosiding Semnas II HITPI
Page 105
muda. Pada faktor dosis pemupukan urea, terlihat bahwa kadar PK tanaman
sorgum semakin meningkat dengan penambahan dosis urea.
Tabel 1. Rerata komposisi kimia hijauan sorgum akibat perlakuan (% BK)
Perlakuan
(treatment)
Kadar BO
Kadar PK
Kadar
EE
UP1P0
89,60 d
89,64 d
89,25 d
92,88 b
92,83 c
93,25 ac
10,39 b
10,48 b
13,71 a
05,46 de
05,86 d
07,30 c
03,81 e
03,47 e
05,03 cd
03,41 e
04,35 d
05,49 bc
27,42 f
27,65 f
28,48 e
46,65 d
47,02 d
41,41 e
30,66 cd
31,07 c
52,96 a
51,17 a
30,00 d
49,75 c
93,33 ac
93,52 ac
93,69 a
03,01g
04,10f
04,45 ef
06,28 b
06,22 b
08,41 a
33,21 a
32,09 b
33,14 a
50,31 c
50,58 bc
11,52g
06,21h
03,86i
03,99g
04,42g
06,96f
91,94
06,29l
04,50i
91,99
k
UP1P1
UP1P2
UP2P0
UP2P1
UP2P2
UP3P0
UP3P1
UP3P2
Summary
Umur Panen (hari)
UP1 (50)
UP2 (70)
UP3 (90)
89,50g
92,99f
93,51e
Kadar SK
27,85i
30,58h
32,81g
Kadar
BETN
Kadar abu
11,73 a
11,38 a
11,69 a
07,50 b
07,55 b
07,46 b
47,21 d
07,20 b
07,00 b
06,79 b
51,78f
44,85g
45,84g
11,60c
07,51d
07,00e
Dosis Urea (kg/ha)
P0 (0)
P1 (50)
06,81
08,49
j
04,68
i
06,20
h
30,43
49,97h
08,81
30,27
h
08,65
i
08,65
P2 (100)
92,06
30,34
Rerata
92,00
07,20
05,16
30,41
Standar
deviasi
0,32
0,44
0,47
0,34
49,59
46,12
48,56
0,87
08,70
0,34
Keterangan : a,b,c,d,e,f,g,h,i,j,k =Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama
menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) dan ns = tidak nyata
(P>0,05). (a,b,c,d,e,f,g,h,i,j,k = same superscript in same colom showed
significantly differnt (P<0,01) and ns = not significantly (P>0,05))
Pada interaksi antara kedua faktor ini, UP1 merupakan perlakuan yang
menghasilkan kadar PK tertinggi dimana kadar PK pada UP1P2 adalah yang
tertinggi yang diikuti dan berbeda oleh UP1P1 dan UP1P0. Pada UP2 kadar PK
tanaman sorgum semakin menurun tetapi nilainya masih lebih tinggi dari UP3.
Pada UP2, perlakuan UP2P2 menghasilkan kadar PK tertinggi yang berbeda
dengan UP2P1 dan UP2P0.
Begitu pula pada UP3, perlakuan UP3P2
menghasilkan kadar PK yang lebih tinggi daripada UP3P1 dan UP3P0.
Kondisi ini menggambarkan bahwa tingginya nitrogen yang tersedia dari
pemupukan urea, dimanfaatkan oleh tanaman membentuk nitrogen tubuh tanaman
yang nantinya akan menjadi protein tanaman, akan tetapi meningkatnya umur
Prosiding Semnas II HITPI
Page 106
tanaman, kadar protein kasarnya semakin menurun. Hal ini dimungkinkan karena
protein tanaman yang ada, dimanfaatkan untuk pembentukan bagian generatif
tanaman. Gardner et al. (2008) menjelaskan bahwa nitrogen merupakan bahan
penyusun asam amino, amida, basa bernitrogen seperti purin, dan protein serta
nukleoprotein.
Rerata kadar PK tanaman sorgum pada penelitian ini adalah 7,20%.
Jumlah ini berada dalam kisaran kadar PK hijauan rumput sudan (Sorghum
sudanense) 6,28-9,92% (Yoku et al., 2007). Rerata PK sorgum pada umur 50 hari
adalah 11,52%, sedikit lebih tinggi dari kadar PK rumput gajah pada fase
vegetatif seperti yang dilaporkan oleh Budiman (2012) dan pada umur 70 hari
kadar proteinnya menurun menjadi 6,21% lebih rendah dari kadar protein rumput
gajah pada fase generatif yaitu 7,06%.
Kadar EE hijauan sorgum akibat perlakuan
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa faktor tunggal umur panen dan
faktor dosis pemupukan urea ternyata sangat berpengaruh (P≤0,01) terhadap kadar
ekstrak eter tanaman sorgum (Tabel 1). Pada faktor umur panen, kadar EE
tertinggi pada UP3 dan yang terendah pada UP1. Pada faktor dosis pemupukan
urea, kadar EE tertinggi terdapat pada P2 dan terendah pada P0 yang tidak
berbeda nyata dengan P1. Walaupun tidak berbeda nyata, terlihat bahwa kadar EE
pada kombinasi antara umur panen dan dosis pemupukan urea, tertinggi terdapat
pada UP3P2. Perlakuan yang menghasilkan EE terendah terdapat pada UP1P0
yang tidak berbeda dengan UP1P1 dan UP2P0.
Seperti halnya karbohidrat non sturktural dan protein, lemak juga
merupakan bagian dari protoplas. Meningkatnya fase pertumbuhan tanaman dari
vegetatip ke generatif, menyebabkan protoplas pada bagian vegetatip tanaman
akan berkurang. Kondisi ini ikut berdampak pada kandungan lemak pada hijauan
sorgum.
Rerata kadar EE tanaman sorgum pada penelitian ini adalah 5,16%. Kadar
ini lebih tinggi dari rerata kadar EE hijauan Sorghum bicolor L. yaitu 2,60%
(Sirappa, 2003).
Kadar SK hijauan sorgum akibat perlakuan
Data tentang rerata kadar SK hijauan sorgum akibat perlakuan dapat
dilihat pada Tabel 1. Hasil sidik ragam menggambarkan bahwa kadar SK hijauan
sorgum sangat dipengaruhi (P≤0,01) oleh faktor umur panen dan kombinasi
antara umur panen dan dosis pemupukan urea. Akan tetapi faktor tunggal dosis
pemupukan urea tidak berpengaruh nyata (P≥0,05). Pada umur panen, kadar SK
meningkat seiring dengan meningkatnya umur panen. Keadaan yang sama juga
terjadi pada kombinasi perlakuan, kadar SK tertinggi terdapat pada perlakuan
UP3P2 yang tidak berbeda dengan UP3P0, tetapi keduanya berbeda dengan
UP3P1, yang selanjutnya diikuti oleh UP2P1, UP2P0, UP2P2, dan UP1P2. Kadar
SK yang paling rendah terdapat pada perlakuan UP1P0 yang tidak berbeda
dengan UP1P1.
Pada umur panen yang tinggi dan dengan adanya peningkatan nitrogen
dengan meningkatnya dosis pemupukan urea, maka peningkatan biomasa yang
diakumulasikan pada jaringan tanaman menjadi meningkat. Bisa dikatakan bahwa
makin berat biomasa yang dihasilkan, makin tinggi kadar serat kasarnya. Hal ini
Prosiding Semnas II HITPI
Page 107
bisa terlihat pada variabel produksi bahan kering, produksi bahan organik dan
produksi protein kasar, dimana perlakuan UP3P2 merupakan perlakuan yang
menghasilkan produksi tertinggi. Nugroho et al. (2010) mengemukakan bahwa
makin dewasa tanaman maka akan semakin mengalami penebalan dinding selnya.
Protoplas akan mensekresikan dinding sel sekunder setelah sel berhenti membesar.
Jaringan xilem akan menjadi penopang bagi tanaman. Setelah dinding sekunder
disekresikan, protoplas mati dan isinya hilang dari sel tersebut sehingga hanya
dindingnya yang tertinggal. Kondisi ini sejalan dengan pendapat McQueen (1998)
yang disitasi oleh Balabanli et al. (2011) dan hasil penelitian Yoku (2010) bahwa
kadar SK dan NDF dari tanaman pakan meningkat dengan meningkatnya
pemupukan nitrogen.
Rerata kadar SK tanaman sorgum pada penelitian ini adalah 30,41%.
Kadar serat kasar ini masih berada dalam kisaran kadar serat kasar rumput sudan
(Sorghum sudanense) yang berkisar antara 23,32-31,28% (Yoku, 2010).
Kadar BETNhijauan sorgum akibat perlakuan
Hasil analisis variansi memperlihatkan bahwa kadar BETN hijauan
sorgum sangat dipengaruhi (P≤0,01) oleh faktor umur panen dan faktor dosis
pemupukan urea, sementara kombinasi antara faktor umur panen dan dosis
pemupukan urea menunjukkan pengaruh nyata (P≤0,05) terhadap kadar BETN.
Pada faktor umur panen, kadar BETN tertinggi justru terdapat pada UP1
dan menurun pada UP2 yang tidak berbeda nyata dengan UP3. Pada dosis
pemupukan urea, kadar BETN tertinggi pada P0 diikuti oleh P1 dan yang terendah
pada P2. Pada kombinasi antara kedua perlakuan ini, kadar BETN tertinggi
terdapat pada perlakuan UP2P0 dan disusul oleh UP2P1. Kadar BETN ini
berbeda dan diikuti oleh UP3P1, UP3P0 dan UP2P2. Selanjutnya diikuti oleh
UP3P2, UP1P1 dan UP1P0. Kadar BETN hijauan sorgum yang terendah terdapat
pada perlakuan UP1P2.
Kadar BETN yang tinggi pada UP1 disebabkan adanya penimbunan gula
pada bagian batang tanaman yang menimbulkan rasa manis jika dicicip.
Karbohidrat ini akan meningkatkan kadar BETN hijauan sorgum. Pada umur
panen UP2 dan UP3, tidak terlihat lagi timbunan cairan manis pada batang
sorgum, karena sudah ditranslokasikan ke pembentukan bagian generatif tanaman.
Berkurangnya kadar nitrogen tersebut berdampak pada meningkatkan kadar
BETN tanaman. Begitu pula yang terjadi pada faktor dosis pemupukan urea,
dimana pada tanaman yang tidak ditambahkan urea, lebih sedikit nitrogen tersedia
yang digunakan untuk membentuk kadar nitrogen jaringan tanaman. Dengan
demikian akan meningkatkan kadar BETN tanaman.
Rerata kadar BETN tanaman arbila pada penelitian ini adalah 48,56%.
Kadar BETN ini juga berada dalam kisaran kadar BETN tanaman rumput sudan
seperti yang dilaporkan oleh Yoku (2010) yaitu 44,80-55,38%.
Kadar abu hijauan sorgum akibat perlakuan
Tabel 1 memaparkan tentang pengaruh perlakuan terhadap kadar abu
hijauan sorgum akibat perlakuan. Hasil sidik ragam memperlihatkan bahwa kadar
abu tanaman arbila sangat dipengaruhi (P≤0,01) oleh faktor umur panen dan
kombinasi antara umur panen dan dosis pemupukan urea berpengaruh nyata
(P≤0,05) akan tetapi faktor dosis pemupukan urea tidak berpengaruh terhadap
Prosiding Semnas II HITPI
Page 108
kadar abu hijauan sorgum (P≥0,05).
Pada faktor umur panen, kadar abu tanaman menurun dengan
meningkatnya umur panen. Dan pada kombinasi perlakuan, kadar abu tertinggi
terdapat pada perlakuan yang merupakan kombinasi dosis pupuk urea dengan
UP1 yaitu UP1P0, disusul oleh UP1P2 dan UP1P1. Kadar abu ini kemudian
berkurang dan berbeda dengan perlakuan yang berkombinasi UP2 dan UP3 yaitu
UP2P1, PU2P0,UP2P2, UP3P0, UP3P1, dan UP3P2. Kadar abu pada perlakuan
yang berkombinasi dengan UP2 dan UP3 ini tidak saling berbeda nyata (P≥0,05).
Pada umur panen yang tinggi maka semakin meningkat kadar bahan
organik yang merupakan akumulasi hasil fotosintesa. Meningkatnya kadar bahan
organik ini menyebabkan semakin berkurangnya kadar bahan anorganik pada
jaringan tanaman. Kondisi ini didukung oleh data kadar bahan organik yang
semakin tinggi dengan bertambahnya umur panen.
Rerata kadar abu hijauan sorgum pada penelitian ini adalah 8,70%.
Kadar abu ini ternyata lebih rendah dari rerata kadar abu tanaman natif pada
padang penggembalaan yang berkisar antara 10,3-12,20% (Balabanli et al., 2011).
Kondisi ini dapat disebabkan pada padang penggembalaan, bo tani yang ada
merupakan campuran antara rumput dan legum.
KESIMPULAN DAN SARAN
Tanaman sorgum varietas lokal Rote yang dipanen pada umur 90 hari
dengan dosis pupuk urea 100 kg/ha, memproduksi BK, BO dan PK tertinggi.
Disarankan bahwa umur panen yang tepat bagi sorgum sebagai pakan ternak
adalah 90 hari dengan dosis pupuk urea 100 kg/ha.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada beasiswa program pasca sarjana
(BPPS – S3) yang telah membiayai penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 2005. Official Methods of Analysis of the Association of Official
Analytical Chemists. Published by the Association of Official Analytical
Chemists. Maryland.
Balabanli, C., S Albayrak and O. Yuksel. 2010. Effects of nitrogen, phosphorus
and potassium fertilization on the quality and yield of native rangeland.
Turkish Journal of Field Crops, 15(2):164 -168.
Barnes, R. F., C. J. Nelson., K. J. Moore and M. Collins. 2007. Forages. The
Science of Grassland Agriculture. Volume II. 6th Edition. Blackwell
Publishing. USA.
Budiman. 2012. Studi perkembangan morfologi pada fase vegetatif dan
reproduktif tiga kultivar rumput gajah (Pennisetum purpureum Schum).
Disertasi. Program Pascasarjana Fakultas Peternakan Universitas gadjah
Mada. Yogyakarta.
Budiman, R. D. Soetrisno, S. P. S. Budhi and A. Indrianto. 2011. Total non
structural carbohydrate (TNC) of three cultivar of napier grass
Prosiding Semnas II HITPI
Page 109
(Pennisetum purpureum Schum) at vegetative and generative phase.
Journal of The Indonesian Tropical Animal Agriculture, 36 (2) : 126-130.
Gardner, F. P., R. B. Pearce dan R. L. Mitchell. 2008.Fisiologi Tanaman
Budidaya. Terjemahan. UI Press. Jakarta.
Gomez, K. A., dan A. A. Gomez. 2010. Prosedur Statistik Untuk Penelitian
Pertanian. Terjemahan Edisi Kedua. UI Press. Jakarta.
Huston, J.E. and W. E. Pinchak. 2008. Range Animal Nutrition. In: Grazing
management
a;
An
Ecological
Perspective.
http://cnrit.tamu.edu/riem/textbook/Chapter2.htm (diakses 15 September
2012).
Miller, F. R and J. A. Stroup. 2004. Growth and management of sorghums for
forage production. Proceedings National Alfalfa Symposium: 1 - 10.
Nugroho, L. H., Purnomo, M.S., dan I. Sumardi. 2010. Struktur dan
Perkembangan Tumbuhan. Penebar Swadaya. Jakarta.
OISAT. 2011. Sorghum. PAN Germany Pestizid Aktions-Netzwerk e.V. PAN
Germany.
Pandutama, M. H., A. Mudjiharyati, Suyono, dan Wustamidin. 2003. Dasar-Dasar
Ilmu Tanah. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Jember.
Purbajanti, E. D. 2013. Rumput dan Legum Sebagai Hijauan makanan Ternak.
Graha Ilmu. Yogyakarta.
Purnomohadi, M. 2006. Potensi penggunaan beberapa varietas sorgum manis
(Sorghum bicolor (L.) Moench) sebagai tanaman pakan. Berkala
Penelitian Hayati. 12: 41- 44.
Salisbury, F.B. and C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan – Jilid 3. Terjemahan.
Penerbit ITB. Bandung.
Sinaga, R. 2005. Tanggap morfologi, anatomi dan fisiologi rumput gajah dan
rumput raja akibat penurunan ketersediaan air. Tesis. Sekolah
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Sirappa, M. P. 2003. Prospek pengembangan sorgum di Indonesia sebagai
komoditas alternatif untuk pangan, pakan, dan industri. Jurnal Litbang
Pertanian. 22 (4): 133 -140.
Soetrisno, R. D. 2002. Potensi tanaman pakan untuk pengembangan ternak
ruminansia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas
Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Yoku O., D. Soetrisno, R. Utomo dan S. A. Siradz. 2007. Pengaruh perlakuan
jarak tanam dan pemupukan NPK terhadap produksi rumput sudan
(Sorghum sudanense). Jurnal Agritek Volume 15 Edisi ulang tahun ke 15
Juli. Pp. 81- 87.
Yoku O. 2010. Produksi Hijauan dan Nilai Nutrisi Wafer Rumput Sudan
(Sorghum sudanense) Sebagai Pakan Ternak Ruminansia. Disertasi.
Program Pascasajana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 110
NILAI NUTRISI Panicum maximum CV. RIVERSDALE YANG DIPUPUK
DENGAN AIR BELERANG DAN PUPUK KANDANG
Charles L. Kaunang & Endang Pudjihastuti
Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi, Manado, 95115
ABSTRAK
Penelitian adalah untuk mengetahui taraf pemberian air belerang dan pupuk
kandang terhadap nilai nutrisi rumput benggala. Evaluasi nutrisi Panicum
maximumkultivar Riversdaledilakukan dengan menggunakan metoda artificial
rumen in vitro. Rancangan yang akan digunakan yaitu rancangan acak kelompok
(RAK) pola factorial 2 × 5 dengan ulangan sebanyak 3 kali, dengan 2 faktor.
Faktor pertama adalah pupuk kandang 0 ton/ha (A1 ) dan pupuk kandang 25 ton/ha
(A2 ). Faktor kedua adalah air belerang 0% dan 100% air kran (B1 ), air belerang
25% dan 75% air kran (B2 ), air belerang 50% dan 50% air kran (B3 ), air belerang
75% dan 25% air kran (B4 ), air belerang 100% dan air kran (B5 ). Evaluasi nutrisi
secara in vitro yang dilakukan dengan 4 parameter (NH3 , VFA total, KCBK,
KCBO) menunjukkan bahwa kedua faktor tersebut memiliki perbedaan yang
sangat nyata (P<0,01) dan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap blok
masing- masing parameter. Interaksi kedua faktor (air belerang dan pupuk
kandang) berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap VFA total dan KCBO,
berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap KCBK dan tidak berpengaruh nyata
(P>0,05) terhadap [}NH3 . Pemberian pupuk kandang dan air belerang yang
menghasilkan nilai optimum terhadap keempat parameter tersebut yaitu pada
pemberian air belerang 50% dan pupuk kandang 25 ton/ha.
Kata kunci : Panicum maximum kultivar Riversdale, air belerang, pupuk kandang,
ruminan , kecernaan in vitro
ABSTRACT
This research aimed at identifying the intensity of sulphuric solution and manure
applications on nutrition value of Panicum maximum. The nutrition evaluation
process of P. maximum CV. Riversdale is organized through artificial rumen/ in
vitro method. The engineering method that has been implemented was the Group
Random Design of 2 × 5 factorial pattern with 3 repetitions of 2 factors. The first
factor is 0 ton/ha (A1) of manure and 25 ton/ha (A2) of manure. The second factor
is 0% & 100% crane water (B1) of sulfuric solution, 25% and 75% tap water (B2)
of sulfuric solution, 50% and 50% tap water (B3) of sulfuric solution, 75% and
25% tap water (B4) of sulfuric solution, 100% tap water (B5) of sulfuric solution.
The in vitro nutrition evaluation that have been implemented with 4 parameters
(NH3 , Volatile Fatty Acids, In Vitro Dry Matter Digestibility and In Vitro Organic
Matter Digestibility) shows that the two factors have significant differences (P <
0.01) and do not have significant difference (P > 0.05) on black of each parameter.
Interactions between the two factors (sulfuric solution and manure) have
significant influence (P < 0.01) on total IVDMD and do not have significant
influence (P > 0.05) on NH3 . The application of manure and sulfuric solution that
resulted in optimum value on the four parameters is on the application of 50%
Prosiding Semnas II HITPI
Page 111
sulfuric solution and 25 ton/ha manure.
Key words: Panicum maximum cultivar Riversdale, sulfuric solution, manure,
ruminant, in vitro digestibility
PENDAHULUAN
Diketahui bahwa salah satu faktor yang dapat menurunkan tingkat
konsumsi hijauan adalah level protein hijauan (<7%). Hijauan di daerah tropis
relatif kurang mineral (terutama di musim kemarau), maka ruminant di daerah
tropis cenderung defisien akan mineral. Pada umumnya hijauan biasanya hanya
mengandung sejumlah kecil mineral sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan
mineral domba, seperti P, S, Sodium dan lainnya (Kaunang, 2012). Ketersediaan
mineral dalam tanah dipengaruhi oleh jenis tanah, kondisi tanah yang asam atau
basa, dan tingkat kedewasaan hijauan itu sendiri. Oleh sebab itu aplikasi
pemupukan dapat mempengaruhi konsentrasi mineral hijauan (Mac Pherson,
2000)
Hijauan dapat tumbuh dengan sehat dan subur bila media tumbuhnya
dapat menyediakan unsur hara dalam jumlah yang cukup dan berimbang (Anita et
al., 2001). Pupuk kandang memiliki kandungan unsur hara yang tidak terlalu
tinggi tetapi jenis pupuk ini memiliki keistimewaan yaitu dapat memperbaiki
sifat-sifat fisik tanah.
Pemupukan S dapat dilakukan dengan pemberian air belerang. Indonesia
sebagian besar merupakan daerah gunung api yang menempati luas sekitar
350.000 km2 . Air belerang biasanya mengandung berbagai zat yaitu N, P, K, Ca,
Mg, Fe, Al, Mn, Cu, Zn, S. (Kaunang, 2012).
Bila hijauan kekurangan belerang, maka kebutuhan belerang pada ternak
tidak dapat terpenuhi. Kekurangan belerang dapat dideskripsikan dengan turunnya
berat badan, lemah, menekan nafsu makan bahkan kematian. Defisiensi S
mengakibatkan sintesis mikroba protein akan berkurang. Belera ng adalah elemen
esensial untuk ruminansia yang dapat mempengaruhi proses fermentasi dalam
rumen (Kaunang, 2009).
Rumput Benggala (P. maximum) adalah salah satu rumput golongan
graminae yang disukai oleh ternak ruminan. Habitat tempat tumbuhnya yaitu di
padang rumput, hutan terbuka, dan juga pada tempat yang ternaungi . Kadar
protein, fosfor dan Ca rumput Panicum maximum CV. Riversdale adalah 12.13%,
0.03% dan 0.20% (Kaunang et al., 2006).
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui taraf pemberian air
belerang dan pupuk kandang yang terbaik terhadap nilai nutrisi rumput
P.maximum kultivar Riversdale secara in vitro.
MATERI DAN METODE
Penelitian ini dilakukan di Desa Sawangan Kecamatan Airmadidi,
Kabupaten Minahasa Utara, dan dilanjutkan di Laboratorium Nutrisi dan
Makanan Ternak Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi. Rumput yang
digunakan dalam penelitian ini adalah P. maximum cv. Riversdale. Pols rumput
yang berasal dari semaian biji ini ditanam pada polybag sebanyak 50 buah.
Masing-masing polybag 2 pols.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 112
Unsur air belerang diambil dari daerah wisata air panas Lahendong, Kota
Tomohon Sulawesi Utara.Pupuk kandang yang digunakan berupa manure sapi
yang sudah matang.Cairan rumen berasal dari rumen kambing yang diambil di
tempat pemotongan .
Persiapan Media Tanam dan Pols Rumput
Persiapan pertama dilakukan dengan pengumpulan tanah (koleksi) yaitu
tanah yang diambil ± 20 cm dari atas permukaan tanah, kemudian dijemur dan
disaring. Sebelum dilakukan penanaman. Dolomit sebanyak 5 ton/ha diberikan
pada tanah kemudian dicampur sampai homogen. Pemberian air belerang
dilakukan 3 hari sekali. Pemotongan penyeragaman pada hari yang ke-60,
kemudian dilakukan pemotongan untuk produksi pertama yaitu 40 hari setelah
penyeragaman. Pemotongan dilakukan kembali untuk produksi kedua setelah 40
hari.
Rancangan yang akan digunakan yaitu Rancangan Acak Kelompok (RAK)
pola faktorial 2×5 dengan ulangan sebanyak 3 kali berdasarkan waktu
pengambilan cairan rumen. Faktor pertama adalah pupuk kandang 0 ton/ha (A 1 )
dan pupuk kandang 25 ton/ha (A2 ). Faktor kedua adalah level air belerang 0%
(B1 ), 25% (B2 ), 50% (B3 ), 75% (B4 ), 100% (B5 ).
Data yang diperoleh selanjutnya akan diuji menggunakan Analysis of
Variance (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji kontras orthogonal. Peubah yang
diamati adalah kecernaan bahan kering (KCBK) dan kecernaan bahan organic
(KCBO)(metoda Tilley and Terry, 1996), NH3 (metoda Cohnway) dan VFA Total
(metoda Steam destilasi).
HASIL DAN PEMBAHASAN
NH3 (Kadar Amonia)
Hasil analisis ragam menunjukkan rataan NH3 berkisar dari 3.233±0.292
mM - 8.202±0.592 mM. Konsentrasi amonia tersebut masih berada dalam kisaran
yang normal. Sutardi (1986) menyatakan bahwa kadar amonia yang dibutuhkan
untuk mensintesa protein mikroba sekitar 4-12 mM. Amonia yang dibebaskan
dalam rumen sebagian dimanfaatkan oleh mikroba untuk mensintesis protein
mikroba (Kaunang, 2012). Rataan kadar ammonia dapat ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Rataan konsentrasi NH3 (mM) perlakuan secara in vitro
Pupuk Kandang
Air belerang
Rataan + SE
0 ton/ha (A1 )
25 ton/ha (A2 )
0% (B1 )
3.233±0.292e
4.373±0.465d
3.803±0.715d
d
b
25% (B2 )
4.707±0.202
6.547±0.137
5.627±1.020c
50% (B3 )
6.730±0.148b
8.202±0.592a
7.375±0.805c
c
b
75% (B4 )
5.657±0.508
7.000±0.113
6.328±0.806b
c
b
100% (B5 )
5.670±0.085
6.427±0.225
6.048±0.442b
Rataan+SE
5.199±1.238b
6.473±1.269a
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa blok tidak berpengaruh nyata
(P>0.05) terhadap rataan NH3 sedangkan pada faktor air belerang dan pupuk
kandang berpengaruh sangat nyata (P < 0.01) terhadap rataan NH3 serta interaksi
Prosiding Semnas II HITPI
Page 113
antar air belerang dengan pupuk kandang tidak berpengaruh nyata (P > 0.05)
terhadap rataan NH3 cairan rumen domba.
Perlakuan pupuk kandang 25 ton/ha menghasilkan nilai rataan NH3
sebesar 6.4/3 ± 1.269 mM, lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan tanpa pupuk
kandang yaitu sebesar 5.199±1.238 mM. Pupuk kandang memiliki unsur hara
yang mengandung nitrogen (Hass, 2003). Pemupukan N dapat mempertinggi
produksi dan kadar protein total dalam rumput. Penelitian Van Niekerk et al.,
(2002) menunjukkan adanya peningkatan NH3 pada rumput Panicum maximum cv.
Gatton yang diberi pupuk nitrogen pada level 75 kg N/ha yaitu sebesar 14.2 ± 3.1
mg/100 ml dan level 150 kg N/ha yaitu 20.1 ± 4.7 mg/100 ml, nilai tersebut lebih
tinggi daripada level 0 ton/ha yaitu 8.1 ± 2.5 mg/100 ml.
Perlakuan air belerang menghasilkan nilai rataan NH3 tertinggi pada level
50% yaitu sebesar 7.375 ± 0.805 mM dan berpengaruh sangat nyata (P < 0.01)
dengan level lainnya. Level air belerang 75% dan 100% tidak berbeda nyata
dengan level air belerang 0% yang memiliki rataan NH3 terendah yaitu 3.803 ±
0.715 mM. Fungsi utama belerang ada hubungannya untuk sintesis asam amino
yang mengandung belerang. Pemberian belerang akan meningkatkan produksi
nitrogen mikroorganisme (Kaunang, 2012). Pemberian air belerang pada level
50% menghasilkan rataan NH3 yang paling tinggi, sesuai dengan Kaunanget al.,
(2006) yang meneliti rumput Benggala cv. Riversdale dengan menggunakan
perlakuan yang sama dengan penelitian ini menunjukkan bahwa rataan kadar
belerang tertinggi terdapat pada level 50% yaitu sebesar 0.18%. Semakin tinggi
kadar belerang menunjukkan semakin tinggi pula konsentrasi amonia. Amonia
dibutukan oleh sebagian besar mikroba sebagai sumber N, asam keto alfa dan
VFA sebagai sumber kerangka C dan sumber energi untuk sintesa asam amino
penyusun protein mikroba (Kaunang, 2012).
Interaksi antara air belerang dengan pupuk kandang tidak berpengaruh
nyata (P > 0.05). Analisa sidik ragam menunjukkan nilai rataan NH3 tertinggi
pada perlakuan A2 B3 (pupuk kandang 25 ton/ha dan air belerang 50%) sebesar
8.020 ± 0.592 mM. Tingginya kadar amonia pada perlakuan A2 B3 menunjukkan
bahwa protein dalam rumput cukup fermentabel.
VFA (Asam Lemak Terbang) Total
Rataan produksi VFA total sebagai tingkat fermentabilitas bahan dapat
ditunjukkan pada tabel 2.
Tabel 2. Rataan Produksi Asam Lemak Terbang (VFA) Total (mM) perlakuan
secara in vitro
Pupuk Kandang
Air belerang
Rataan + SE
0 ton/ha (A1 )
25 ton/ha (A2 )
0% (B1 )
112.227±4.433t
119.287±0.806et
115.757±4.803d
25% (B2 ) 122.370±2.629e
139.790±8.965c
131.080±11.223c
ab
a
50% (B3 ) 147.827±3.990
154.590±3.839
151.208±5.098a
d
a
75% (B4 ) 130.377±0.304
149.800±1.325
140.088±10.673b
100%
122.617±5.399e
140.340±3.783bc
131.978±11.070c
(B5 )
Rataan+SE
127.083±12.693b
140.961±13.172a
Prosiding Semnas II HITPI
Page 114
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan rataan produksi VFA total
berkisar dari 112.227 ± 4.433 mM - 154.590 ± 3.839 mM. Pada fermentasi normal
kadar VFA total dalam cairam rumen sekitar 80-160 nM (Sutardi, 1986). Ini
menunjukkan bahwa rataan produksi VFA total masih berada dalam kisaran
normal. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan penelitian Suhartati (1997) yang
menunjukkan nilai rataan produksi VFA total cairan rumen domba yang diberi
rumput + air belerang sebesar 74.77 ± 0.38 mM. VFA merupakan salah satu hasil
perombakan dari protein yang dilakukan oleh mikroba (bakteri dan protozoa)
secara fermentatif (Kaunang, 2012)
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa blok tidak berpengaruh nyata
(P>0.05) terhadap produksi VFA total. Interaksi antar pupuk kandang dengan air
belerang berpengaruh nyata (P < 0.05) terhadap produksi VFA total cairan rumen
domba.
Perlakuan pupuk kandang 25 ton/ha menghasilkan nilai rataan produksi
VFA total lebih tinggi sebesar 140.961 ± 13.172 mM dibandingkan dengan
perlakuan pupuk kandang 0 ton/ha sebesar 127.083 ± 12.693 mM. Sesuai dengan
penelitian Van Niekerk et al. (2002) rumput Panicum maximum cv. Gatton pada
awal menunjukkan rataan konsentrasi VFA total yang lebih tinggi pada pemberian
pupuk nitrogen pada level 75 kg N/ha (13.8) dan level 150 kg N/ha (14.1)
daripada level 0 kg N/ha (13.5). Dengan menambah unsur N dalam tanaman
berarti meningkatkan ketersediaan N sehingga meningkatkan nutrisi mikroba.
Perlakuan air belerang menghasilkan nilai rataan produksi VFA total
tertinggi pada level 50% yaitu sebesar 151.208 ± 5.098 mM dan berpengaruh
sangat nyata dengan level lainnya (P < 0.01).
Interaksi antar air belerang dan pupuk kandang berpengaruh nyata (P<0.05)
terhadap rataan produksi VFA total.
KCBK (Kecernaan Bahan Kering)
Rataan koefisien cerna bahan kering dengan pemberian pupuk kandang
dan air belerang dapat ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Rataan Koefisien Cerna Bahan Kering/KCBK (%)
vitro
Pupuk Kandang
Air belerang
0 ton/ha (A1 )
25 ton/ha (A2 )
0% (B1 )
40.597±0.699f
47.370±0.931f
25% (B2 )
49.950±0.795de
50.477±1.020cd
50% (B3 )
53.660±1.000b
57.857±0.993a
bc
75% (B4 )
52.567±2.083
52.163±1.706bc
100% (B5 )
48.310±0.705ef
52.297±1.322bc
b
Rataan+SE
49.017±4.879
52.033±3.680a
perlakuan secara in
Rataan + SE
43.983±3.782d
50.213±0.867c
55.758±2.465a
52.365±1.717b
50.303±2.380c
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan koefisien cerna bahan kering
berkisar dari 40.597 ± 0.699 - 57.857 ± 0.993%.Perlakuan level pupuk kandang
dan air belerang berpengaruh sangat nyata (P < 0.01) terhadap KCBK. Pemberian
pupuk kandang 25 ton/ha menghasilkan nilai rataan KCBK sebesar
52.033±3.680%. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan tanpa
pemberian pupuk kandang yairu sebesar 49.017±4.879%.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 115
Perlakuan air belerang menghasilkan nilai rataan KCBK yang optimum
pada level 50 % yaitu sebesar 55.758±2.465 % dan berpengaruh nyata pada level
lainnya. Berkurangnya kadar belerang yang dapat menurunkan daya cerna in vivo
dan in vitro bahan kering (Kaunang,2012).
Interaksi antara air belerang dan pupuk kandang berpengaruh sangat nyata
(P < 0.01). Hal ini menunjukkan bahwa air belerang dan pupuk kandang saling
mempengaruhi. Analisa sidik ragam menunjukkan nilai rataan KCBK tertinggi
terdapat pada perlakuan A2 B3 (pupuk kandang 25 ton/ha dan air belerang 50%)
sebesar 57.857±0.993% dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.
KCBO (Kecernaan Bahan Organik)
Hasil analisa sidik ragam menunjukkan rataan koefisien cerna (KCBO)
berkisar dari 47.767 ± 2.535 - 66.277 ± 1.041 %. Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa blok tidak berpengaruh nyata (P > 0.05) terhadap KCBO.
Perlakuan level pupuk kandang dan air belerang berpengaruh sangat nyata (P <
0.01) terhadap KCBO. Pemberian pupuk kandang 25 ton/ha menghasilkan nilai
rataan KCBO sebesar 60.809 ± 4.359. Syafria (2000) melaporkan bahwa
kecernaan bahan organik akan dipengaruhi oleh pemupukan nitrogen. Rataan
koefisien cerna dengan pemberian pupuk kandang dan air belerang dapat
ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Rataan Koefisien Cerna (%) perlakuan secara in vitro
Pupuk Kandang
Air belerang
0 ton/ha (A1 )
25 ton/ha (A2 )
0% (B1 )
47.767±2.535e
55.810±1.811d
25% (B2 )
58.183±1.263cd
56.563±2.143d
50% (B3 )
61.333±2.319bc
66.277±1.041a
cd
75% (B4 )
58.593±1.500
62.423±1.779b
100% (B5 ) 58.717±1.573cd
62.973±0.767b
b
Rataan+SE
56.919±5.133
60.809±4.359a
Rataan + SE
51.788±4.826d
57.373±1.806c
63.805±3.149a
60.508±2.562b
60.845±2.581c
Perlakuan air belerang menghasilkan nilai rataan KCBO yang optimum
pada level 50% yaitu sebesar 63.805 ± 3.149 % dan berpengaruh nyata pada level
lainnya sedangkan antara level air belerang 75% dan 100% tidak berbeda nyata.
Pemberian air belerang memberikan respon positif pada pencernaan bahan organic
serta meningkatkan protein nitrogen mikroorganisme (Kaunang et al. 2006)).
Interaksi antara air belerang dan pupuk kandang berpengaruh nyata
(P<0.05). Hal ini menunjukkan bahwa air belerang dan pupuk kandang saling
mempengaruhi. Analisa sidik ragam menunjukkan nilai rataan KCBO tertinggi
terdapat pada perlakuan A2 B3 (pupuk kandang 25 ton/ha dan air belerang 50%)
sebesar 66.277 ± 1.041% dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Sesuai
dengan Kaunang (2012) produksi amonia, VFA, KCBK yang meningkat pada
hijauan Stylosanthes maka KCBO pun meningkat.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 116
KESIMPULAN
Pemberian pupuk kandang 25 ton/ha dan air belerang 50 % yang
menghasilkan nilai optimum terhadap keempat parameter yaitu VFA, NH 3 ,
KCBK dan KCBO.
DAFTAR PUSTAKA
Anita, Syamsudin, N dan Budiman, N. 2001. Pertumbuhan rumput Benggala
(Panicum maximum Jacq.) yang diberi pupuk kandang dan konsentrat EM-4
yang berbeda. Bulletin Nutrisi dan Makanan Ternak. Vol 2 (1):29-37
Haas, M.D. 2003. Health World Online – Minerals – Sulfur.
http//www.healthy.net/asp/templates/article.asp?pageType=article&ID=206
6.
Kaunang, C.L., B. Bagau dan E. Puddjihastuti. 2006. Potensi Hijauan Pakan di
Sulawesi . Utara.
Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi Manado
Kaunang,C.L. 2009. Penyediaan Hijauan Pakan Ruminan Di Sulawesi Utara.
Orasi Ilmiah. Universitas Sam Ratulangi
Kaunang,C.L.2012. Peranan Sulfur pada Tanaman Pakan dan Ternak Ruminan.
Penerbit Waya Utama.
Mac Pherson, A. 2000. Trace- mineral Status of Forages. Scottish Agricultural
College. CAB International. USA.
Suharti, F. M. 1997. Manfaat air belerang dalam ransum bagi domba muda.
Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sutardi, T. 1986. Ketahanan Protein bahan makanan terhadap degradasi oleh
mikroba rumen dan manfaatnya bagi produktivitas ternak. Proceeding
seminar dan penunjang peternakan. Lembaga Penelitian Peternakan.
Lembang
Syafria, H. 2000. Efek pemupukan nitrogen dan jarak tanam terhadap
pertumbuhan dan kualitas rumpur lokal kumpai di tanah podsolik. J. Ilmuilmu Peternakan, Vol III (1).
Tilley J. M. A and R. A. Terry. 1996. A Two-Stage Technique for the In Vitro
digestion of forage Crops. J. British Grassland Soc. (1996). 18:104-111.
Van Niekerk W. A., A. Taute and R. J. Coertze. 2002. An evaluation of nitrogen
fertilized Panicum maximum cv. Gatton at different stages of maturity
during autumn: 2. diet selection, intake, rumen fermentation and partial
digestion by sheep. Department of Animal and Wildlife Sciences, University
of Pretoria, Pretoria 2002. South Africa.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 117
MEKANISME TRANSFER NUTRISI DARI LEGUM KE RUMPUT
YANG DINOKULASI FMA
Herryawan K.M
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
Percobaan pengamatan Mekanisme Transfer Nutrisi dari Legum ke Rumput yang
diinokulasi FMA dilaksanakan di Rumah Plastik selama 90 hari. Percobaan ini
menggunakan modifikasi metode Zhu dkk., (1999) dan metode Marco dan Andre (1998).
Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui: 1) Penyerapan hara nitrogen (N) dan fosfor
(P) oleh akar rumput Benggala yang terinfeksi FMA, 2) Transfer nutrisi dari legum ke
rumput, dengan cara membandingkan selisih kandungan nitrogen dan fosfor pada rumput
Benggala yang di inokulasi FMA dengan yang tidak diinokulasi FMA dan 3)
Pertumbuhan hifa pada akar tanaman rumput Benggala yang di inokulasi FMA dan
menembus pembatas nilon (nylon screen).Metode Percobaan menggunakan Rancangan
Acak Kelompok (RAK) dengan dua (2) faktor dan tiga (3) ulangan. Faktor pertama
adalah jenis legum (L), terdiri atas 4 taraf yaitu:Tanpa Legum (l0 );Sentro (l1 );Kudzu (l2 )
;Siratro (l3 ) sedangkan faktor kedua adalah dosis Ifapet (M) yang terdiri atas 3 taraf yaitu:
0 g (m0 );10g (m1 );20 g (m2 ). Variabel yang diukur adalah: Kandungan Nitrogen (N) tajuk
rumput Benggala dan Kandungan Fosfor (P) tajuk rumput Benggala. Berdasarkan
penelahaan hasil percobaan mengenai ”Mekanisme Transfer Nutrisi dari Legum ke
Rumput yang diinokulasi FMA (Ifapet)” dapat disimpulkan bahwa Hifa yang tumbuh
akibat infeksi FMA dari inokulum Ifapet meningkatkan kandungan N dan P rumput
Benggala (Pannicum maximum Jacq) yang ditanam bersama legum.
Kata kunci : Hifa, Ifapet, Nilon screen,tajuk rumput benggala,transfer nutrisi
PENDAHULUAN
Introduksi leguminosa adalah salah satu langkah untuk memperbaiki lahan
marjinal dengan biaya yang murah. Beberapa tanaman legum yang tumbuh secara
liar seperti, Kudzu, Sentro, Siratro dan Kalopo sudah banyak dikenal oleh
masyarakat peternak di Jawa Barat. Tanaman legum ini selain mempunyai fungsi
sebagai tanaman penutup tanah, mengurangi erosi juga dapat memperbaiki
kualitas kimia tanah melalui penambahan sumber nitrogen tanah. Tanaman
leguminosa mempunyai peran penting karena kemampuannya mengikat N dari
udara yang dapat ditransfer kepada tanaman lain yang tumbuh disekitarnya,
kemudian tanaman legum ini dapat berperan sebagai pengganti pupuk nitrogen
yang harganya relatif mahal serta penggunaannya masih bersaing dengan
kebutuhan untuk pupuk N untuk tanaman pangan dan tanPertanaman campuran
(Mixed Cropping) rumput dan legum mempunyai potensi untuk dimanfaatkan
sebagai sistim penyediaan hijauan pakan yang berkualitas.
Untuk memenuhi kebutuhan akan hijauan pakan yang berkualitas dalam
sistim pertanaman campuran perlu diseleksi kombinasi tanaman rumput dan
leguminosa yang dapat meningkatkan produksi dan kualitas tanaman pakan.
Rumput Benggala (Pannicum maximum Jacq) yang sudah banyak dikenal oleh
masyarakat sebagai rumput yang dapat tumbuh baik bila ditanam bersama legum
yang secara alami banyak tumbuh dan diberikan kepada ternak seperti legum
Sentro (Centrocema pubescens), Kudzu (Pueraria phaseoloides (Robx) Benth)
dan Siratro (Macroptilium atropurpureum (DC). Urb) karena mempunyai
palatabilitas yang baik.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 118
Zarea dkk, 2008 menjelaskan bahwa produktivitas hijauan dari hasil
pertanaman campuran legum dengan rumput akan lebih baik, apabila sistim
pertanaman tersebut dilengkapi dengan teknologi pemupukan yang
memperhatikan kesinambungan kualitas tanah dan ramah lingkunganaman
perkebunan (Mustofa,1995 ;Sierra dkk,2006)
Aplikasi FMA pada sistim pertanaman campuran rumput dan legum dapat
memberikan beberapa keuntungan yaitu dapat menunjang pertumbuhan tanaman
legum dan rumput serta dapat memperkaya kehidupan mikroba dalam tanah yang
selanjutnya akan berdampak kepada kesinambungan kondisi kualitas tanah yang
baik.
Dari uraian diatas perlu kiranya dipelajari bagaimana mekanisme
penyerapan hara oleh FMA dalam pertanaman campuran rumput Benggala dan
legum.
TINJAUAN PUSTAKA
Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) ditemukan pada berbagai jenis tanah,
mulai dari tepi pantai sampai dengan ketinggian lebih dari 4500 m diatas
permukaan laut (Chaurasia et al. 2005). Kemudian menurut Bonfante dan
Bianciotto (1995) fase kontak dan proses infeksi FMA dengan akar tanaman dapat
dijelaskan sebagai berikut Pada keadaan tidak ada tanaman inang , hifa yang
terbentuk dari spora sebelum simbiosis (presymbiotic) berhenti tumbuh dan
akhirnya akan mati. Bila ada akar tanaman inang, jamur melalui hifanya akan
kontak dengan tanaman inang dan mulai proses simbiotik.
Gambar 1. Mekanisme infeksi FMA (Brundrett dkk.,1996)
Fase kontak didahului dengan kejadian seperti pertentangan pertumbuhan
jamur dengan akar tanaman,pola percabangan akar baru dan pada akhirnya akan
terbentuk apresorium. Apresorium merupakan struktur penting dalam siklus hidup
FMA hal ini diinterpretasikan sebagai kejadian kunci bagi pengenalan interaksi
yang berhasil dengan calon tanaman inang. Fase kontak akan diikuti dengan fase
simbiotik. Sejak fase itu jamur menyempurnakan proses morfogenesis kompleks
dengan memproduksi hifa inter dan intraseluler, vesikula dan arbuskula. Aspek
morfologis itu dapat dilacak dengan menggunakan kombinasi mikroskop sinar
dan elektron (Brundrett, 2004).
Karakteristik hayati utama dari FMA adalah biotrof obligat, ini berarti setiap
tahap daur hidupnya harus berasosiasi dengan tanaman hidup. Sebagaimana
Prosiding Semnas II HITPI
Page 119
halnya fungi berfilamen pada umumnya, perbanyakan FMA berlangsung melalui
diferensiasi tanah dan akar. Diferensiasi spora terjadi melalui penggelembungan
interkalar atau apikal pada hifa. Miselium fungi tumbuh melintasi partikel-partikel
tanah dan kemudian bertemu dengan akar muda tanaman inang, hifa kemudian
menjalar pada permukaan akar, membentuk entry point dan akhirnya menembus
dan tumbuh diantara dan didalam sel-sel kortek. Luasnya penyebaran jaringan
hifa fungi menjadikan akar tanaman bermikoriza mampu mengelola volume tanah
yang lebih besar daripada yang dapat dilakukan oleh akar itu sendiri.
Pembentukan jaringan hifa mikoriza dalam akar dan tanah membentuk sebuah
continuum tanah-akar fungi, yang memang diperlukan untuk terjadinya simbiosis
menguntungkan antara fungi dan tanaman.
Maurice dkk (1985) mengemukakan bahwa tanaman campuran dalam
padang pengembalaan membantu menjaga atau memperbaiki tingkat nitrogen
organis dalam tanah dan secara tidak langsung menyebabkan kandungan nitrogen
tanah menjadi meningkat.
Rata-rata perpindahan N dari legum clover ke rumput ryegrass adalah
sebesar 40% (Rasmussen dkk, 2006). Kemudian Whitehead (1970) dan
Reksohadiprodjo (1985) melaporkan bahwa perpindahan nitrogen langsung dari
legum ke rumput adalah sebesar 0-53% dari N yang difiksasi. Pendapat ini
didukung oleh Jensen (1990) bahwa telah terjadi perpindahan N secara langsung
dari legum clover ke rumput ryegrass setelah tanaman tumbuh berumur 129 hari.
(menggunakan 15 N ). Secara normal hanya sedikit N yang ditransfer pada awal
pertumbuhan dan kemudian jumlah maksimum yang dicapai sebelum umur
padang rumput mencapai tiga tahun. Mekanisme utama pemindahan N dari
leguminosa ke rumput menurut Crowder dan Chheda (1982) adalah melalui
penanggalan dan pembusukan nodul, ataupun melalui daun yang jatuh. Sedangkan
Cormack (1996) telah mengukur akumulasi N dari beberapa legum yang
ditanaman sebagai tanaman penyubur yang dapat menyumbangkan pupuk dalam
bentuk organik. N tersedia in kemudian diserap akar rumput, namun dapat juga
diabsorpsi oleh akar leguminosa. Dekomposisi akar dan nodul adalah jalan utama
pemindahan N (Whitehead, 1970) dan juga terbukti ada pemindahan melalui
pelepasan senyawa organik dari akar-akar yang hidup.
Pemberian Fungi Mikoriza Arbuskula adalah salah satu cara pemberian
pupuk secara biologis kedalam tanah.Fungi Mikoriza Arbuskular mempunyai
kemampuan untuk berasosiasi dengan hampir 90% jenis tanaman, serta telah
banyak dibuktikan mampu memperbaiki nutrisi dan meningkatkan pertumbuhan
tanaman (Setiadi. 2002). Menurut Jones, M.B dan Lazenby.A (1988) bahwa ada
beberapa hal penting yang berkaitan dengan mikoriza dan rhizospere yang dapat
mempengaruhi keseimbangan nutrisi dalam tanah dan tanaman rumput, seperti :
(a) kondisi fisik tanah, (b) kondisi kimia tanah (c). melalui fiksasi Nitrogen, (d)
memecah enzyme (e) membantu penyerapan hara.
Kemudian juga dijelaskan oleh Marchener (1992) bahwa FMA yang
menginfeksi sistim perakaran tanaman inang akan memproduksi jalinan hifa
secara intensif sehingga tanaman bermikoriza akan mampu meningkatkan
kapasitasnya dalam menyerap unsur hara dan air.
Suhardi (1990), menjelaskan bahwa FMA mempunyai kemampuan untuk
meningkatkan nutrisi P dalam tanaman, khususnya didalam menggunakan sumber
P yang sangat rendah availabilitinya dan juga dapat meningkatkan kemampuan
Prosiding Semnas II HITPI
Page 120
sistim perakaran untuk penyerapan hara dari dalam tanah.Dilaporkan juga oleh
(Setiadi, 2002) bahwa keberadaan FMA dapat berfungsi untuk meningkatkan
biodiversitas mikroba potensial disekitar perakaran tanaman (rizosfir) yang pada
gilirannya dapat membantu percepatan perbaikan status kesuburan tanah.
Keberadaan legum yang mampu membantu menyediakan sumber nitrogen
dari dalam tanah dan keberadaan FMA yang dapat meningkatkan kemampuan
akar tanaman untuk menyerap unsur P, penyerapan air, dan unsur hara lainnya
serta kombinasi legum dengan FMA dapat memperbaiki kualitas dan struktur
tanah akan dapat membantu meningkatkan produktivitas tanaman rumput
Benggala (Panicum maximum Jacq) yang ditanam diatas lahan marjinal.
MATERI DAN METODE
Mekanisme Transfer Nutrisi dari Legum keRumput yang diinokulasi FMA
Percobaan ini dilaksanakan di Rumah Plastik selama 125 hari di Fakultas
Peternakan Universitas Padjadjaran dengan menggunakan modifikasi metode Zhu
dkk., (1999) dan metode Marco dan Andre(1998). Percobaan ini dilakukan untuk
mengetahui:
1. Penyerapan hara nitrogen (N) dan fosfor (P) oleh akar rumput Benggala yang
terinfeksi FMA.
2. Transfer nutrisi dari legum ke rumput, dengan cara membandingkan selisih
kandungan nitrogen dan fosfor pada rumput Benggala yang di inokulasi FMA
dengan yang tidak diinokulasi FMA.
3. Pertumbuhan hifa pada akar tanaman rumput Benggala yang di inokulasi
FMA dan menembus pembatas nilon (nylon screen).
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan meliputi pot plastik ukuran 19 ×12×9cm (pot A) dan
pot plastik ukuran 12×8×9cm(pot B) [Lampiran 6]; dan pembatas nilon ukuran
diameter pori-pori 30 µm (Nytal Nylon Monofilament, Switzerland) [Lampiran
7].
Bahan yang digunakan adalah Inokulum Ifapet; bibit legum Sentro, Kudzu
dan Siratro; bibit rumput Benggala; dan tanah Ultisols steril yang diambil secara
komposit dari lahan percobaan.
Metode Percobaan
Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan
dua(2) faktor dan tiga (3) ulangan.
Faktor pertama adalah jenis legum (L), terdiri atas 4 taraf yaitu:
1. Tanpa Legum
(l0 )
2. Sentro
(l1 )
3. Kudzu
(l2 )
4. Siratro
(l3 )
Sedangkan faktor kedua adalah dosis Ifapet (M) yang terdiri atas 3 taraf yaitu:
1. 0 g (m0 )
2. 10 g (m1 )
3. 20 g (m2 )
Prosiding Semnas II HITPI
Page 121
Tabel 1. Kombinasi Perlakuan
nl
l1
m0
m0 l0
m0 l1
m1
m1 l0
m1 l1
m2
m2 l0
m2 l1
Keterangan :
m 0 = 0 gram inokulum ifapet
m 1 = 10
gram inokulum
ifapet gram inokulum
m 2 = 20
ifapet
l2
m0 l2
m1 l2
m2 l2
l3
m0 l3
m1 l3
m2 l 3
l0
l1
l2
l3
=
=
=
=
Tanpa legum
Sentro
Kudzu
Siratro
Variabel yang diukur adalah:
1. Kandungan Nitrogen (N) tajuk rumput Benggala
2. KandunganFosfor (P) tajuk rumput Benggala
Pelaksanaan Percobaan
Persiapan Bibit Rumput, Persemaian Legum dan Inokulum Mikoriza
Bibit rumput Benggala dan legum Sentro, Kudzu dan Siratro diperoleh dari
Balai Percobaan Tanaman Hijauan Makanan Ternak (BPT HMT) Cikole
Lembang. Bibit rumput Benggala dalam bentuk vegetatif sobekan rumpun (pols)
ditanam dalam polibag berukuran volume 2 kg. Bibit rumput Benggala disiapkan
sebanyak ± 30 bibit. Untuk persiapan bibit legum secara generatif (biji),
dilakukan penanaman masing- masing jenis legum sebanyak ± 15 bibit di dalam
polibag persemaian.
Persiapan inokulum FMA dilakukan dengan melakukan penimbangan
Inokulum Ifapet sesuai dosis perlakuan yaitu 10 dan 20 gram masing- masing
sebanyak 12 buah.
Persiapan Pot, Inokulasi Ifapet dan Penanaman
Percobaan ini menggunakan dua tipe pot yaitu A (ukuran 19 ×12× 9 cm)
dan B (ukuran12 × 8 × 9 cm). Pada salah satu bidang memanjang pot B dibuat
lubang berukuran 10 × 7 cm yang kemudian ditutup dengan pembatas nilon
(Lampiran 8, Gambar a). Pot B diisi dengan tanah dari lahan percobaan lapangan
yang telah dipasteurisasi, kemudian dimasukan ke dalam pot A denga n bagian
pembatas nilon menghadap ke dalam. Setelah pot B berada di dalam pot A, tanah
pasteurisasi diisikan ke dalam pot A. Selanjutnya, pot A ditanami legum sesuai
dengan perlakuan, yaitu tanpa legum, Sentro, Kudzu dan Siratro.
Inokulasi Ifapet sesuai dengan perlakuan diberikan pada pot B dengan cara
ditaburkan pada kedalaman 3 cm. Selanjutnya pot B ditanami dengan rumput
Benggala. Pada percobaan ini tanaman tidak diberi pupuk anorganik.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 122
Pot Plastik tempat tanaman pecobaan
A
B
Tanaman siap panen
Rumah plastik tempat Percobaan
Persiapan pembuatan preparat
Pemeliharaan
Setelah tanaman rumput Benggala dan legum tumbuh, dilakukan
pemeliharaan dengan penyiraman dan penyiangan gulma. Penyiraman dilakukan
setiap hari sesuai dengan kapasitas lapang. Penyiangan dilakukan dengan
mencabut gulma yang tumbuh dan mengganggu tanaman percobaan.
Pemanenan
Pemanenan dilakukan dengan cara:
1. Memotong tajuk tanaman rumput Benggala pada pot B untuk dianalisis
kandungan N dan P tajuk.
2. Memisahkan pot B dari pot A, kemudian pembatas nilon pada pot B dijadikan
preparat untuk pengamatan hifa FMA yang mampu menembus pembatas
nilon.
3. Mengambil sampel akar tanaman rumput Benggala untuk pengamatan infeksi
FMA.
Analisis Data
Data hasil percobaan dianalisis dengan sidik ragam univariat (ANOVA) pada taraf
α0.05 . Untuk mengetahui apakah perlakuan memberikan efek interaksi bermakna
terhadap variabel respon yang diamati, dilakukan pengujian lanjut Uji Jarak
Berganda Duncan 5% (Gaspersz , 1995) dengan program SPSS Versi 15.
Untuk menentukan urutan perlakuan terbaik digunakan metode Ranking Berlapis
Wilcoxon (Hanafiah 1994).
Prosiding Semnas II HITPI
Page 123
HASIL DAN PEMBAHASAN
Aktivitas Bakteri Penambat Nitrogen
Keberadaan bakteri penambat N pada tanaman legum maupun rumput
yang digunakan dalam percobaan ini telah diidentifikasi pada percobaan tahap I
mengenai eksplorasi mikroba (Tabel 4). Pada tahap IV, keberadaan bakteri
penambat N diukur aktivitas penambatannya melalui analisis reduksi asetilen
(ARA). Hasil pengukuran ARA yang menunjukkan kemampuan masing- masing
bakteri di dalam menambat N 2 disajikan pada tabel dibawah ini :
Aktivitas Nitrogenase Mikroba Penambat N pada Tanaman Percobaan
No Tanaman
Bakteri Penambat N
Aktivitas Nitrogenase
(µmol g-1 jam-1 )
1
Siratro
Sinarhizobium
0.432
japonicus
2
Sentro
Azospirillumsp.
0.442
3
Kudzu
Azospirillum sp.
0.426
4
Benggala
Azospirillum sp.
0.112
Tabel di atas menunjukkan bahwa bakteri yang terdapat pada tanaman
legum menunjukkan telah terjadi pengikatan nitrogen melalui aktivitas bakteri
Azospirillum danSinarhizobium Japonicus dibandingkan dengan bakteri pada
rumput. Bakteri pada tanaman legum Sentro mempunyai kemampuan mengikat N
tertinggi (0.442 µmol g-1 jam-1 ) diikuti oleh legum Siratro (0.432 µmol g-1 jam-1 )
dan Kudzu (0.426 µmol g-1 jam-1 ). Kemampuan untuk mengikat N 2 dari udara
pada tanaman legum ini sesuai dengan pendapat Bashan dkk. (1990) yang
menjelaskan bahwa keberadaan bakteri Azospirillum dalam sistim perakaran
tanaman dapat membantu meningkatkan penyerapan N dalam tanah oleh akar
tanam legum dan nitrogen tersebut akan terakumulasi pada tajuk tanaman yang
terinfeksi.
Selain pada tanaman legum, bakteri Azospirillum juga ditemukan pada
akar rumput Benggala, hal ini sesuai dengan penemuan oleh Stewart (1982) dan
Curl dkk. (1986) mengemukakan bahwa bakteri pada sistim perakaran rumputrumputan menempati daerah antara tanah dan akar, kadangka la bakteri tersebut
bahkan masuk ke akar, sebagian dibuktikan oleh kemampuan akar yang
permukaannya steril untuk menambat nitrogen. Bakteri yang paling lazim
biasanya diindentifikasi dengan akar aktif rumputan adalah anggota genus
Azospirillum. Kemampuan fiksasinya nitrogen oleh bakteri pada rumput Benggala
lebih rendah daripada kemampuan fiksasi nitrogen pada tanaman legum Sentro,
Siratro dan Kudzu. Pada rumput Benggala kemampuan fiksasi N- nya sebesar
0.112 µmol g-1 jam-1 . Keberadaan Azospirillumpada akar rumput Benggala ini
akan membantu penyerapan hara mineral dari dalam tanah oleh sistim perakaran
rumput Benggala sehingga selanjutnya akan berakibat kepada meningkatnya
kandungan nutrisi pada tajuk tanaman rumput Benggala. Kondisi ini didukung
oleh beberapa hasil percobaan Schank dkk (1983) bahwa inokulasi di lapangan
dengan spesies Azospirillum dilaporkan telah meningkatkan hasil bobot kering
berbagai tanaman di Israel, India, Bahama, Australia dan Florida. Selanjutnya
Boddey dan Doboreiner (1988) menunjukan bahwa Azospirillum menyumbang
Prosiding Semnas II HITPI
Page 124
suatu senyawa pengatur tumbuh tak dikenal yang dapat menyebabkan bobot
kering tanaman meningkat. Hasil percobaan Smith dkk. (1978) memperlihatkan
bahwa inokulasi Azospirillum pada Pannicum maximum dan Digitaria decumbens
memproduksi berturut-turut 80% dan 61% protein lebih tinggi dibandingkan
dengan tanpa inokulasi.
Secara umum, hasil pengatan keberadaan bakteri penambat N beserta
aktivitasnya menunjukkan bahwa: (1) Bakteri pengikat nitrogen yang terdapat di
dalam tanaman percobaan didominasi oleh bakteri dari spesies Azospirillum; (2)
baik tanaman legum maupun rumput Benggala mempunyai kemampuan secara
mandiri melakukan proses fiksasi nitrogen; (3) dengan adanya fiksasi N akan
mempengaruhi kandungan nutrisi tanaman, terutama kandungan N pada tajuk
tanaman yang terinfeksi FMA; serta (4) proses fiksasi N oleh tanaman le gum
(Sentro, Kudzu dan Siratro) memberikan peluang ketersediaan N dalam tanah
menjadi lebih banyak sehingga dapat dimanfaatkan oleh tanaman rumput
Benggala.
Keberadaan dan Aktivitas Fungi Mikoriza Arbuskula
Untuk melihat adanya aktivitas FMA pada sistim perakaran rumput
Benggala telah dilakukan pengamatan infeksi akar metode Nusantara (2007).
Hasil pengamatan menunjukkan terjadinya infeksi akar rumput Benggala oleh hifa
FMA (Gambar dibawah).
Gambar 2. Infeksi Akar Rumput Benggala oleh Hifa (H) FMA
Tumbuhnya hifa- hifa ini karena terjadinya infeksi FMA yang berasal dari
inokulum FMA yang diberikan pada akar rumput Benggala. Seperti yang
disampaikan oleh Brundrett dkk. (1996) dan Varma (1998) bahwa perakaran
tanaman yang terinfeksi FMA akan menghasilkan hifa- hifa yang mempunyai
diameter lebih kecil dari akar tanaman terinfeksi. Selanjutnya hifa-hifa tersebut
akan memperluas permukaan akar tanaman inang serta menjadi perpanjangan dari
fungsi akar tanaman inang untuk menyerap hara dari dalam tanah di sekitarnya.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 125
Gambar 3. Hifa-hifa FMA yang menembus pori-pori pembatas nilon(Nylon
Screen) berdiameter 31 µm
Gambar di atas menunjukkan hifa-hifa FMA yang mempunyai ukuran
berdiameter kurang dari 31 µm menembus pembatas nilon yang memisahkan
tanaman rumput Benggala dengan tanaman legum (Sentro, Kudzu dan Siratro).
Hifa- hifa yang menembus pemisah nilon tersebut membuktikan adanya
pergerakan hifa di dalam mencari nutrisi dari tanaman lainnya, dalam hal ini
legum, serta menyerapnya untuk keperluan tanaman rumput Benggala. Perakaran
tanaman rumput Benggala tidak menembus pembatas nilon tersebut, karena
memiliki diameter yang lebih besar dari 31 µm. Kondisi ini sesuai dengan hasil
percobaan yang mengemukakan bahwa adanya hifa yang tumbuh pada sistim
perakaran suatu tanaman, akan memperluas permukaan akar untuk membantu
penyerapan hara tanah dari tempat yang tidak dapat dijangkau oleh sistim
perakaran tanaman inangnya (Marulanda, 2006).
Uji Transfer Nutrisi dari Tanaman Legum ke Rumput Benggala
Transfer Nitrogen
Secara umum, perlakuan mikoriza, jenis legum atau kombinasi mikoriza
dengan jenis legum dapat menghasilkan kandungan protein kasar tanaman rumput
Benggala yang bervariasi (Tabel 1). Untuk mengetahui dan menguji adanya
transfer nitrogen dari tanaman legum ke tanaman rumput Benggala dapat
dibandingkan antara kandungan protein rumput Benggala yang tumbuh bersama
legum dengan tanaman rumput Benggala yang tumbuh tunggal. Kandungan
protein kasar rumput Benggala tertinggi dicapai oleh kombinasi perlakuan m2 l1
(9.13%), diikuti oleh perlakuan m1 l1 (9.02%), m2 l2 (8.58%), m1 l3 (8.31%),
m2 l3 (8.28%), m1 l3 (8.08%), m0 l1 (7.77%), m0 l2 (7.52%), m0 l3 (6.63%) m2 l0
(6.45%), m1 l0 (5.94%) dan m0 l0 (4.77%).
Tabel 2. Pengaruh FMA dan Legum terhadap Kandungan PK R. Benggala (%)
Legum
l0
l1
l2
l3
Non legum
5.56
Sentro
7.88
Kudzu
6.56
Siratro
6.31
4.56
4.19
4.77
6.00
8.56
6.88
7.77
8.63
8.63
7.38
7.52
8.25
7.31
6.25
6.63
7.69
5.63
6.19
5.94
6.95
9.56
8.88
9.02
8.90
7.94
8.75
8.31
9.00
8.44
8.13
8.08
8.50
6.40
6.00
6.45
9.25
9.25
9.13
8.75
8.00
8.58
7.95
8.40
8.28
FMA
m0
0g
rataan
m1
10 g
rataan
m2
20 g
rataan
Prosiding Semnas II HITPI
Page 126
Untuk menguji pengaruh perlakuan terhadap kandungan protein kasar
rumput Benggala telah dilakukan analisis statistik. Dapat dikatakan bahwa
keberadaan mikoriza mempengaruhi kandungan N rumput Benggala karena Sig.
0.00 < 0.05. Kemudian keberadaan legum juga mempengaruhi kandungan N
rumput Benggala karena Sig 0.00 < 0.05. Pengaruh mandiri mikoriza maupun
jenis legum terhadap kandungan protein kasar rumput Benggala disajikan pada
Tabel 3. Dari Tabel 3 terlihat bahwa inokulasi FMA meningkatkan kandungan
protein kasar tanaman rumput Benggala secara nyata dibandingkan. Namun
demikian, pemberian inokulum 10 g dengan pemberian inokulum 20 g tidak
memberikan hasil yang berbeda nyata. Semakin banyak jumlah inokulum
mikoriza yang diberikan kepada tanaman, peluang terjadinya infeksi mikoriza
pada akar tanaman akan semakin besar, yang selanjutnya pertumbuhan hifa pada
akar rumput Benggala akan semakin banyak. Dengan banyaknya hifa yang
tumbuh, maka peluang akar tanaman rumput Benggala untuk menyerap hara dari
dalam tanah akan semakin besar.
Selanjutnya pengaruh jenis legum memperlihatkan bahwa keberadaan
legum mempunyai pengaruh nyata di dalam meningkatkan kandungan protein
kasar tajuk rumput Benggala (Tabel 3). Secara berurutan legum Sentro (8.64%)
mempunyai pengaruh yang tertinggi, diikuti oleh legum Kudzu (8.14%) dan
legum Siratro (7.67%). Dari kondisi ini maka dapat lihat perbedaan yang nyata
antara kandungan protein kasar rumput Benggala yang tidak diberi perlakuan
legum (5.72%) dengan kadar protein kasar rumput Benggala yang diberi
perlakuan legum (Sentro, Kudzu dan Siratro). Dengan kata lain telah terjadi
perpindahan nitrogen dari tanaman legum kepada tanaman rumput Benggala, yang
salah satunya melalui penyerapan hara nitrogen yang dilakukan oleh hifa- hifa
yang tumbuh pada akar tanaman rumput Benggala yang diinokulasi FMA.
Tabel 3. Efek Mandiri Pengaruh FMA dan Legum terhadap Kandungan Protein
Kasar Rumput Benggala
Kandungan
Perlakuan
Protein Kasar (%)
Dosis inokulum FMA :
0g
6.67a
10 g
7.84b
20 g
8.11b
Jenis Legum:
non legum
5.72a
Siratro
7.66b
Kudzu
8.14bc
Sentro
8.64c
Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 0.05
Kondisi ini diperkuat oleh hasil percobaan Daudin dkk. (2008) yang
memberikan informasi bahwa dengan menggunakan indikator 15 N telah terjadi
perpindahan N dari legum Gliricidia sepium (Jacq) kepada rumput Dichanthium
aristatum (Poir) dengan total N yang diserap oleh rumput sebesar 57% termasuk
di dalamnya 31% melalui proses fiksasi N. Selain itu kondisi hasil percobaan ini
Prosiding Semnas II HITPI
Page 127
sesuai dengan hasil percobaan Mustofa (1995) yang menunjukkan terjadinya
perpindahan nitrogen dari white clover (Trifolium repens cv Huia) ke tanaman
rumput ryegass (Lolium perenne cv).
Perbedaan kandungan nitrogenterjadi ketika dibandingan antara
kandungan nitrogen ryegass yang tumbuh sendiri dibandingkan dengan ryegass
yang tumbuh bersama dengan white clover. Hifa-hifa yang tumbuh pada akar
rumput Benggala menembus dinding penghalang yang terbuat dari nylon dengan
ukuran lubang 31 µm 5), untuk selanjutnya hifa-hifa tersebut menyerap hara,
terutama sumber nitrogen yang berada disekitar sistim perakaran legum.
Percobaan yang dilakukan oleh Zhu dkk. (1999) juga memperlihatkan
bahwa telah terjadi infeksi mikoriza pada perakaran white clover ( Trifolium
repens cv Huia) yang hifa- hifanya menembus sekat pembatas yang mempunyai
pori-pori 35 µm, kemudian hifa tersebut memasuki rizosfir dari tanaman rumput
ryegass (Lolium perenne cv). Hifa-hifa berfungsi menjadi penghubung dan alat
transfer nutrisi dari tanaman legum ke tanaman rumput Benggalaseperti
dinyatakan oleh Hamel dkk. (1992) dan Rogers (1993) bahwa untuk terjadi
transfer N di antara tanaman, diperlukan peran dari hifa mikoriza sebagai
penghubung.
Transfer Fosfor
Selain transfer nitrogen, transfer fosfor juga terjadi pada percobaan ini.
Untuk melihat adanya transfer fosfor diantara tanaman legum dan rumput
dilakukan beberapa pengatan. Kandungan fosfor rumput Benggala akibat
pengaruh FMA dan legum dapat dilihat pada Tabel 4, bahwa kandungan fosfor
tertinggi dicapai pada kombinasi m2 l1 (0.41%), kemudian berurutan m1 l1 (0.39%),
m2 l2 (0.37%), m2 l3 (0.36%), m1 l2 (0.35%), m1 l3 (0.34%), m0 l1 (0.30%), m2 l0
(0.26%), m1 l0 (0.26%), m0 l2 (0.25%), m0 l3 (0.24%) dan m0 l0 (0.22%).
Tabel 4. Pengaruh FMA dan Legum terhadap Kandungan Fosfor (%) Rumput
Benggala
Legum
l0
Non legum
FM A
l1
S entro
l2
Kudzu
l3
S iratro
m0
0.22
0.33
0.23
0.23
0g
0.19
0.29
0.30
0.22
0.23
0.29
0.23
0.26
0.22
0.30
0.25
0.24
m1
0.25
0.37
0.40
0.36
10 g
0.27
0.38
0.35
0.32
0.24
0.41
0.31
0.35
rataan
rataan
0.26
0.39
0.35
0.34
m2
0.24
0.42
0.38
0.38
20 g
0.26
0.39
0.37
0.36
0.28
0.41
0.37
0.33
0.26
0.41
0.37
0.36
rataan
Dari Tabel 4 terlihat bahwa kandungan fosfor tertinggi dicapai pada
kombinasi m2 l1 (0.41%), kemudian berurutan m1 l1 (0.39%), m2 l2 (0.37%), m2 l3
(0.36%), m1 l2 (0.35%), m1 l3 (0.34%), m0 l1 (0.30%), m2 l0 (0.26%), m1 l0 (0.26%),
Prosiding Semnas II HITPI
Page 128
m0 l2 (0.25%), m0 l3 (0.24%) dan m0 l0 (0.22%).
Tabel 5. Efek Mandiri Pengaruh FMA dan Legum terhadap Kandungan Fosfor
(%) Rumput Benggala
Perlakuan
Kandungan Fosfor (%)
Dosis inokulum FMA :
0g
0.26 a
10 g
0.33 b
20 g
0.35 b
Jenis Legum:
non legum
0.24 a
Siratro
0.31 b
Kudzu
0.32 b
Sentro
0.36 c
Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 0.05
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap kandungan fosfor rumput
Benggala dilakukan uji statistik. Hasil analisis menunjukkan bahwa mikoriza
memberikan pengaruh perbedaan yang nyata terhadap kandungan fosfor rumput
Benggala (Sig.0.000 < 0.005). Demikian halnya dengan jenis legum (Sig.0.000 <
0.005) memberikan pengaruh yang nyata terhadap kandungan fosfor rumput
Benggala.
Pemberian 10 g inokulum (m1 ) dan 20 g inokulum (m2 ) memperlihatkan
pengaruh perbedaan yang nyata bila dibandingkan dengan tanpa pemberian
inokulum mikoriza (m0 ). Setiadi (2004) menyatakan bahwa akar tanaman yang
terinfeksi oleh mikoriza, pada akar akarnya akan tumbuh hifa- hifa, dan hifa inilah
yang selanjutnya akan membantu penyerapan hara dari dalam tanah, terutama
unsur P. Dengan semakin banyaknya jumlah inokulum yang diberikan, maka
semakin besar peluang tumbuhnya hifa dan selanjutnya akan berdampak kepada
penyerapan hara yang lebih banyak. Menurut pendapat Wiwasta ( 2001) jumlah
unsur P yang dapat diserap oleh akar tanaman yang bermikoriza lebih banyak bila
dibandingkan dengan jumlah unsur P yang dapat diserap oleh tanaman yang tidak
terinfeksi mikoriza.
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap kandungan fosfor rumput
Benggala dilakukan uji statistik. Hasil analisis menunjukkan bahwa mikoriza
memberikan pengaruh perbedaan yang nyata terhadap kandungan fosfor rumput
Benggala (Sig.0.000 < 0.005). Demikian halnya dengan jenis legum (Sig.0.000 <
0.005) memberikan pengaruh yang nyata terhadap kandungan fosfor rumput
Benggala.
Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa legum Sentro (0.36%) memberikan
kontribusi yang tertinggi terhadap kandungan fosfor rumput Benggala dan
berbeda nyata dengan kontribusi legum Kudzu (0.32%) dan legum Siratro
(0.31%). Kemudian apabila dibandingkan dengan perlakuan tanpa legum, maka
terjadi perbedaan yang nyata antara kandungan fosfor tanpa legum dengan
mengunakan legum (Sentro, Kudzu dan Siratro). Kondisi ini memperlihatkan
bahwa walaupun tidak secara langsung, keberadaan Rhizobium pada sistim
perakaran legum memberikan pengaruh posistif terhadap proses penyerapan hara
Prosiding Semnas II HITPI
Page 129
dari dalam tanah oleh akar rumput Benggala. Menurut Peters dan Meeks (1989)
aktivitas bakteri Rhizobium dapat merangsang kerja dari sistim perakaran tanaman
dan berperan besar di dalam rantai makanan untuk tanaman. Oleh karena itu
dengan adanya legum yang tumbuh bersama dengan rumput Benggala, maka
sistim perakaran rumput Benggala akan mendapat keuntungan lebih mudah
menyerap hara tanah yang tersedia terutama nitrogen, dan nitrogen yang cukup
dapat mempengaruhi proses metabolisme dan pertumbuhan dari tanaman rumput
Benggala.
KESIMPULAN
Dari hasil percobaan dan pembahasan dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut :
1. Telah terjadi perpindahan nutrisi dari tanaman legum ke tanaman rumput
melalui hifa yang meng infeksi sistim perakaran rumput.
2. Hifa yang terbentuk pada sistim perakaran rumput telah dapat menembus
dinding pembatas nilon antara sistim perakaran tanaman rumput dengan
legum.
DAFTAR PUSTAKA
Brundrett MC, Bougher N, Dell B, Grove T, Malajczuk N, 1996. Working with
Mycorrhizas. in Forestry and Agriculture. ACIAR.Austral. Cen. Int.
Agric.Res. Monograph Nr.32
Brundrett MC, 2004. Diversity and classification of mycorrhizal association.
Biol.Rev. 78 :473-495
Brundrett, M.C. 2002. Coevolution of roots and mycorrhizas of land plants. New
Phytologist 154: 275-304.
Brundrett,M.F. Bougher, B.Dell, T.Grove, and N Malajczuk. 1996. Working with
Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. Australian Cen.Int.Agric.Res
Canberra
Chaurasia B, Pandey A, Palni LMS . 2005. Distribution, colonization and
diversity of arbuscular mycorrhizal fungi associated with central
HimalayanrhododendronsForestEcol. Manage. 207 (3) : 315-324
Marschner,P and Zdenko Rengel.1995 Contribution of Rhizosphere Interactions
to Soil Biological Fertility, chapter 5 in“Soil Biological Fertility” A Key to
Sustainable Land Use in Agriculture edited by Lynette K Abbott and
Daniel V Murphy. Printed. 2003 Kluwer Academic Publisher Netherlands.
p 81-92
Marulanda A, Barea JM, AZson R. 2006. An Indigenous drought-tolerant strain
of Glomus intraradices associated with a native bacterium improves water
transport and root development in Retama spaerocarpa. Microbial Ecol.52
(4) : 670-678
Mustofa, H.K. 1995. The Role of Mycorrhiza and Level of Phosphorus on Forage
Production of White Clover/ Rye Grass Mixed Crop, Thesis. GeorgAugust Universitat Gottingen. Germany
Nikolau N , Karagiannidis N, Koundouras S, Fysarakis I. 2002. Effect of
different P sources in soil on increasing growth and mineral uptake of
Prosiding Semnas II HITPI
Page 130
mucorrhizal Vitis vinifera L (cv Victoria)vines. J.Int.Sci. Vigne.Vin 36 (4)
:195-204.
Peters, G.A and J.C. Meeks 1989. The azolla anabaena symbyosis: Basic biology.
Annal Review of Plant Physilogy and Plant Molecular Biology 40 :193210 Dalam Salisbury F.B dan C.W. Ross, 1992. Fiologi
tumbuhan.Penerbit ITB Bandung. Hal. 114-115
Reksohadiprodjo,S 1981. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik.
Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.;
hal.3 -12
Satohardi , Junun (2004) Pemanfaatan Dta RePPProt Skal 1 : 250.000 Pulau
Sumatera. Untuk identifikasi Tingkat Kekritisan Lahan . Direktorat
Jendral Reboisasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Lam.3 Penyusunan Data
Spasial Lahan Kritis.
Setiadi, Y. 2002 Peranan Mikoriza Arbuskula dalam Rehabilitasi Lahan Kritis ;
dalam Prosiding Seminar Mikoriza, AMI Jawa Barat, UNPAD, BALITSA
Lembang, PAU Bioteknologi IPB ; hal. 3
Setiadi, Y.2007. Bekerja dengan Mikoriza untuk daerah Tropik. Bahan Workshop
Mikoriza : Percepatan Sosialisasi Teknologi Mikoriza untuk mendukung
Revitalisasi Kehutanan, Pertanian dan Perkebunan, hal.2
Stewart, W.D1982. Nitrogen Fixation- its current relevance and future potential.
Israel Botany 31 :5 -34
Suhardi, 1989. Mikoriza V.A, Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi Universitas
Gadjah Mada, PAU- Bioteknologi Universitas Gadjah Mada .
Wiwasta I.N.G.A 2001, Pertumbuhan dan hasil hijauan tanaman rumput Setaria (
Setaria splendida Stapf.) Disertasi. Program Pascam Sarjana Universitas
Padjadjaran.
Zaera M.J, A Ghalavand, E.M Goltapeh, F Rejali and M Zamaniyan , 2008. Effect
of mixed cropping, earthworm( Pheretima sp) arbuscular mycorrhizal
fungi ( Glomus mosseae) on plant yield,mycorhizal colonization rate, soil
microbial biomass, and nitrogenase activity of free- living rhizosphere
bacteria. Departement of Agronomy, Faculty of Agriculture, Tarbiat
Modares University, Tehran Iran.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 131
PERTUMBUHAN DAN HASIL HIJAUAN TANAMAN RUMPUT
SETARIA (Setaria splendida STAPF.) YANG DI PENGARUHI NITROGEN,
FOSFOR, MIKORIZA VESIKULA ARBUSKULA (MVA), DAN
Azospirillum
I Gusti Ngurah Alit Wiswasta
Fakultas Pertanian Universitas Mahasaraswati Denpasar
ABSTRAK
Tanaman rumput Setaria sangat responsif terhadap pemupukan nitrogen dan
fosfor. Untuk memperoleh hasil tanaman rumput Setaria, baik kualitas maupun
kuantitas yang tinggi diperlukan upaya pemupukan. Pemupukan dapat dilakukan
dengan pupuk kimia (buatan) dan pupuk biologis (biofertilisasi). Pupuk kimia
berupa pupuk nitrogen (Urea) dan pupuk fosfor (SP36) serta pupuk biologis
berupa jamur mikoriza dan bakteri Azospirillum. Percobaan yang telah dilakukan
untuk mempelajari respon tanaman rumput Setaria (Setaria splendida Stapf) yang
dipupuk N ( 0 kg ha-1 N; 45 kg ha-1 N; 90 Kg ha-1 N; 135 kg ha-1 N) dan P (0 kg ha1
P; 90 kg ha-1 P; 135 kg ha-1 P) serta diinokulasi jamur mikoriza (inokulasi dan
tanpa inokulasi) dan inokulasi bakteri Azospirillum berbagai isolat (tanpa
inokulasi/control; isolat ATCC-211445; isolateVS2.2; dan isolat local) ternyata
dapat meningkatkan bobot kering hijauan tanaman rumput Setaria. Pengaruh
pemupukan N dan P serta inokulasi jamur mikoriza dan bakteri Azospirillum
berbagai isolat terhadap pertumbuhan dan hasil hijauan tanaman rumput Setaria
telah dicoba pada tanah inceptisol di Dusun Blumbungan, Desa Gerih, Kecamatan
Abiansemal, Kabupaten Badung, Bali. Hasil percobaan menunjukkan bahwa
inokulasi mikoriza dan bakteri Azospirillum berbagai isolat hanya berpengaruh
pada peningkatan serapan P tanaman rumput Setaria. Semakin tinggi taraf
pemupukan N pada pemupukan P berbagai taraf serta inokulasi jamur mikoriza
dan bakteri Azospirillum berbagai isolat, maka jumlah anakan, bobot kering
hijauan, bobot kering akar, nisbah pucuk akar dan serapan N akan semakin
meningkat. Semakin tinggi taraf pemupukan P sampai batas tertentu (90 kg ha -1 P)
maka bobot kering hijauan dan serapan N akan meningkat. Semakin tinggi taraf
pemupukan N maka persentase infeksi jamur mikoriza akan meningkat, tetapi
semakin tinggi taraf pemupukan P ternyata persentase infeksi jamur mikoriza
berkurang. Pemupukan N dan P serta inokulasi jamur mikoriza dan bakteri
Azospirillum akan meningkatkan nilai-nilai Indeks Luas Daun (ILD), menurunkan
nilai- nilai Laju Asimilasi Bersih (LAB) dan meningkatkan nilai- nilai Laju
Tumbuh Tanaman (LTT) panen destruktif pertama sampai dengan kelima.
Terdapat takaran optimum pupuk N pada setiap taraf pupuk P dan takaran
optimum pupuk P pada setiap taraf pupuk N berturut-turut sebesar 114,536 kg ha1
N dan 99,455 kg ha-1 P pada inokulasi jamur mikoriza dan bakteri Azospirillum
berbagai isolate terhadap bobot kering hijauan maksimum sebesar 6,734 t.ha -1 .
Pemupukan N dan P disertai inokulasi jamur mikoriza dan bakteri Azospirillum
akan meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman rumput Setaria.
Kata kunci : pupuk N, pupuk P, jamur mikoriza, bakteri Azospirillum, rumput
Setaria.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 132
Growth and forage crop yield of Setaria grass (Setaria splendida Stapf)
influenced by Nitrogen, Phosphorus Vesicular Arbuscular Mychorrizae
(VAM), and Azosipirillum
ABSTRACT
Setaria grass is very responsive against Nitrogen and Phosphorus fertilizers, to
obtained Setaria forage crop yield as a high quality and quantity be need efforts
fertilized. Fertilized can conduct with chemical fertilizers and biological fertilizers
(biofertilizers). Chemical fertilizers like Nitrogen fertilizers (as Urea) and
Phosphorus fertilizers (as SP36) along with biofertilizers like Mychorrizae fungi
and Azospirillium bacteria experiment was conducted to studied responses at
fertilized setaria grass (Setaria splendida Stapf) as fertilized with Nitrogen (N)(0
kg ha¯1 N, 45 kg ha¯1 N, 90 kg ha¯1 N, 135 kg ha¯1 N) Phosphorus fertilized (0 kg
ha¯1 P, 45 kg ha¯1 P, 90 kg ha¯1 P, 135 kg ha¯1 P) along with inoculated with
Mychorrizae fungi (inoculated and uninoculated) various isolate of Azospirillum
bacteria (controle/uninoculated, ATCC – 21145 isolate VS 2.2 isolate, and
local/indigenous isolate) certainly can increased forage crop drymatter yield of
setaria grass. Influenced of nitrogen (N), and phosphorus (P) infertilizers along
inoculation with Mychorrizae fungi and various isolate of Azospirillum bacteria
against growth and forage crop yield of Setaria grass was effort on inseptisol soil
in Dusun Blumbungan Desa Gerih Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung
Provinsi Bali. The result of the experiment pointed that inoculated with
Mychorrizae fungi and various isolate of Azospirillum bacteria only influenced on
increased of phosphorus (P) absorption of Setaria grass. Higher increased level of
N fertilizers on various level of P fertilizers along inoculated with Mychorizae
fungi and various isolate of Azospirillum bacteria, then number of tillers, forage
crop drymatter weight, root drymatter weight, shoot and root ratio and N
absorption should increased. Higher increased of P fertilizers level until fixed
level 90 kg ha¯1 P then forage crop drymatter weight and N absorption should
increased. Higher increased level of N fertilizers then infection percentage of
Mychorrizae fungi should increased but higher level of P fertilizers certainly
decreased of infection percentage Mychorrizae fungi. Fertilized with N and P
along inoculated with Mychorrizae fungi and Azospirillum bacteria can increased
values of leaf area index (LAT), decreased value of net assimilation rate (NAR)
and increased value of plant growth rate (PGR) on destructive harvest from the
first until fifth. There are optimum dose of N fertilizer on various levels of P
fertilizers and optimum dose of P fertilizer on various levels of N fertilizer as
114,536 kg ha¯1 N and 99,455 kg ha¯1 P on inoculated with Mychorrizae fungi and
various isolate Azospirillum bacteria against maximum forage crop drymatter
weight as 6,734 ha¯1 . Fertilized with N and P along inoculated by Mychorrizae
fungi and Azospirillum bacteria can increased growth and forage crop yield of
setaria grass.
Keyword: N and P fertilizer, Mychorrizae fungi, Azospirillum bacteria, growth
and forage crop yield of Setaria grass.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 133
PENDAHULUAN
Produktivitas ternak di Indonesia khususnya di Bali masih rendah terutama
disebabkan oleh belum teraturnya pasokan hijauan dan kualitas hijauan pakan
ternak yang masih rendah yang disebabkan oleh jenis rumput yang kurang
bermutu, daya adaptasi yang kurang baik, dan cara pengelolaan yang kurang tepat.
Untuk menanggulangi hal tersebut menurut Rika et al., (1990) harus dilakukan
penyebaran rumput dengan menanam rumput yang bermutu tinggi dan cara
pengelolaan yang tepat sehingga produktivitas ternak dapat ditingkatkan. Hasil
evaluasi 37 species rumput tropis yang telah dilakukan di Bali menunjukkan
bahwa rumput Panicum maximum Jacq dan Setaria splendida Stafp merupakan
species rumput yang tumbuh lebih cepat dan berpotensi besar sebagai pakan
ternak dengan hasil hijauan yang tinggi.
Tanaman rumput Setaria berasal dari daerah Afrika tropika memiliki
beberapa unggulan seperti disukai oleh ternak, produksi hijauan yang tinggi,
cukup adaptif ditanaman sebagai padang penggembalaan, periode vegetatifnya
panjang dan bernilai gizi tinggi. Kadar protein kasarnya mencapai 18 persen dan
kadar serat kasarnya 25 persen. Tanaman rumput Setaria sangat responsive
terhadap pemupukan N dan telah dilaporkan bahwa bobot kering hijauan
bertambah sebanyak 30 kg ha-1 N yang diberikan. Bobot kering hijauan rumput
Setaria dalam satu tahun dapat mencapai 31 ton ha-1 yang telah dicatat di
Indonesia dan 19 ton ha-1 dengan pemotongan secara regular di Malaysia (Hacker,
1992).
Sebagian besar species tanaman di muka bumi berlangsung asosiasi
simbiotik antara akar tanaman dengan jamur mikoriza. Terdapat beberapa
kelompok mikoriza, namun kelompok yang paling besar jumlahnya adalah
mikoriza vesikula arbuskula (MVA)yang terbentuk pada sebagian besar tanaman
budidaya pertanian (Linderman, 1996). Menurut Smith (1995) mikoriza berperan
sangat penting pada tanaman terutama pada tanah tanah dengan kandungan fosfor
(P) yang rendah. Dua faktor yang jelas menunjukkan respons tanaman terhadap
mikoriza karena bertambahnya serapan P adalah : (1) konsentrasi P tanaman
bermikoriza pada umumnya lebih tinggi dari pada tanaman tidak bermikoriza, dan
tanaman bermikoriza dan penambahan P berpengaruh sama terhadap pertumbuhan
tanaman. MVA menurut Rao et al. (1985) kebanyakan meneyebar pada tanaman
bernilai ekonomis tinggi seperti tanaman dari kelompok Gramineae dan
Leguminoceae. Percobaan pada tanah yang kahat P menunjukkan bahwa tanaman
yang akarnya bermikoriza dapat menyerap P seratus kali lebih besar walaupun
akarnya hanya dua kali lebih berat dibandingkan dengan tanaman yang akarnya
tidak bermikoriza.
Bakteri pengikat nitrogen (N) yang hidup bebas di alam dari genus
Azospirillum sp. Ditemukan berasosiasi dengan tanaman pertanian penting seperti
jagung, gandum, padi dan rumput rumputan. Pertumbuhan tanaman yang
menghasilkan biji dan bahan hijauan tanaman (forage crop) meningkat pada tanah
yang diinokulasi bakteri tersebut (Katupitiya dan Vlassak, 1990). Melalui evaluasi
pada percobaan inokulasi di lapangan dengan bakteri Azospirillum dari seluruh
dunia yang dikumpulkan selama 20 tahun oleh Okon dan Gonzales (1994), dapat
disimpulkan bahwa bakteri tersebut mampu memacu peningkatan hasil tanaman
pertanian penting pada kondisi tanah dan iklim yang berbeda. Beberapa strain
Prosiding Semnas II HITPI
Page 134
Azospirillum brasilense dan Azospirillum lipoferum telah digunakan untuk
menginokulasi kultivar dari species tanaman yang berbeda. Data menunjukan 6070 persen kejadian yang berhasil secara statistik nyata meningkatkan hasil sebesar
30-50 persen.
Mikoriza berperan penting dalam penggunaan pupuk fosfat secara
ekonomis dan efisien serta memperbaiki fiksasi nitrogen oleh bakteri. Terjadi
interaksi antara mikoriza dengan bakteri fiksasi nitrogen yang ada dalam tanah.
Adanya jamur mikoriza pada akar tanaman meningkatkan perkembangan bakteri
fiksasi nitrogen di dalam tanah. Interaksi di antara kedua mikroorganisme tersebut
yang berhubungan dengan siklus hara tanah ditemukan antara tanaman
bermikoriza dengan bakteri nitrifikasi, bakteri pelarut fosfat dan banyak
mikroorganisme lainnya. Produktivitas tanaman biasanya dibatasi oleh
ketersediaan nitrogen dan fosfor, khususnya pada tanah tanah tropis. Asosiasi
antara jamur mikoriza dengan bakteri fiksasi nitrogen menunjukkan bahwa
endofita tersebut dapat menyediakan sejumlah fosfat dan nitrogen untuk
meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman serealia pada lahan marginal. Efek
sinergis terjadi antara jamur mikoriza dengan Azospirillum brasilense terhadap
pertumbuhan dan hasil tanaman dari berbagai jenis rumput yang berbeda (Tilak ,
1992) Menurut Pacovsky (1988), efek sinergis jamur MVA Glomus vasciculatum
dengan strain Azospirillum brasilense yang di inokulasi bersama sama
menunjukkan bobot biomassa tanaman sorgum sebesar 37,14 g dengan nisbah
pucuk akar 1,68. Sedangkan bobot biomassa pada inokulasi jamur MVA Glomus
fasciculatum dan strain bakteri Azospirillum brasilense berturut turut sebesar
36,34 g dan 36,15 g dengan nisbah pucuk akar berturut turut sebesar 1,71 dan 1,56.
Penekanan lebih banyak pada aspek biologis mikroorganisme biofertilisasi
merupakan salah satu alternatif yang potensial untuk memecahkan masalah
penyediaan hara di dalam tanah. Salah satu usaha untuk peningkatan sumber daya
alam, perlindungan lingkungan, dan peningkatan produktifitas tanaman adalah
memperbaiki kondisi di sekitar perakaran (rizosfer) tanaman dan proses proses
yang terkait dengan penyerapan unsur hara (Elliot dan miyashita, 1990)
Fungsi nitrogen dan fosfor sangat penting dalam meningkatkan
pertumbuhan vegetatif tanaman. Nitrogen merupakan unsur penting penyusun sel
tanaman termasuk inti sel. Adanya nitrogen yang cukup di dalam tubuh tanaman
akan menyebabkan terjadinya pembesaran dan pemanjangan sel tanaman yang
merupakan bagian intergral dari pertumbuhan vegetatif tanaman. Di samping itu
nitrogen juga merupakan salah satu unsur penyusun klorofil tanaman yang
berperan penting dalam proses fotosintesis. Sedangkan fosfor merupakan unsur
penyusun inti sel dan sangat penting dalam proses pembelahan sel. Fosfor
berperan mempercepat pertumbuhan tanaman muda menjadi tanaman dewasa
pada umumnya , terutama mempercepat pertumbuhan akar. Di samping itu fosfor
merupakan salah satu unsur penyusun energi kimia ATP dan NADPH di dalam
tubuh tanaman yang berperan dalam berbagai proses fisiologi tanaman (Gardner
et al., 1991).
Prosiding Semnas II HITPI
Page 135
MATERI DAN METODE
Percobaan mengenai pertumbuhan dan hasil hijauan tanaman rumput
setaria (Setaria splendida Stapf) yang dipupuk nitrogen dan fosfor serta
diinokulasi mikoriza dan bakteri Azospirillum telah dilakukan. Percobaan
dilakukan pada tanah inceptisol di dusun Blumbungan, Desa Gerih, Kecamatan
Abiansemal, Kabupaten Badung, Provinsi Bali.
Percobaan yang telah dilaksanakan terdiri dari percobaan pot dan
percobaan lapangan. Kedua percobaan tersebut berpola factorial empat faktor
dengan rancangan acak lengkap (RAL) untuk percobaan pot dan rancangan acak
kelompok (RAK) untuk percobaan lapangan. Faktor- faktor percobaan adalah
sebagai berikut : faktor pertama pupuk nitrogen (N) n0 (0 kg ha -1 N) , n1 (45 kg
ha-1 N), n2 (90 kg ha-1 N), n3 (135 kg ha-1 N), faktor kedua pupuk fosfor (P) p0 (0
kg ha-1 P), p1 (45 kg ha-1 P), p2 (90 kg ha-1 P) p3 (135 kg ha-1 P), faktor ketiga
mikoriza (M) mo (tanpa inokulasi mikoriza) ml, (dengan inokulasi mikoriza), dan
faktor keempat isolat bakteri Azospirillum (A) a0 (kontrol/tanpa bakteri), a1
(isolat ATCC 21445), a2 (isolat VS 2.2 ), a3 (isolat local). Berdasarkan faktorfaktor perlakuan tersebut diperoleh 128 kombinasi perlakuan yang masing- masing
di ulang sebanyak 2 kali.
Baik percobaan pot maupun percobaan lapangan bertujuan untuk menguji
semua hipotesis yang dirumuskan yaitu : (1) untuk mengetahui adanya perbedaan
respons tanaman hijauan rumput Setaria terhadap inokulasi mikoriza dan bakteri
Azospirillum dengan isolat berbeda pada pemupukan N dan P berbagai taraf, dan
(2) menentukan takaran optimum pupuk N dan P pada inokulasi mikoriza dan
bakteri Azospirillum berbagai isolat untuk memperoleh bobot kering hijauan
tanaman rumput setaria maksimum.
Variabel respons pertumbuhan vegetatif tanaman rumput setaria dan
persentase infeksi jamur mikoriza yang diamati dan diukur pada percobaan pot
dan datanya dikumpulkan adalah (1) bobot kering hijauan (pucuk), (2) bobot
kering akar, (3) nisbah pucuk akar, dan (4) persentase infeksi mikoriza. Pada
percobaan lapangan, selain pengamatan terhadap sifat agronomis tanaman rumput
Setaria, juga dikaji pertumbuhan tanaman melalui analisis tumbuh meliputi (1)
jumlah anakan, (2) bobot kering hijauan, (3) serapan N, (4) serapan P, (5) indeks
luas daun rata-rata (ILD), (6) laju asimilasi bersih rata-rata (LAB), (7) laju
tumbuh tanaman rata-rata (LTT), dan (8) bobot kering hijauan efek residu.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Efek pemupukan N dan P berbagai taraf serta inokulasi jamur mikoriza dan
bakteri Azosipirillum berbagai isolat tidak berinteraksi satu sama lain. Efek
pemupukan N dan P berbagai taraf serta inokulasi bakteri Azosipirillum berbagai
isolate saling berinteraksi satu sama lain pada variabel respon bobot kering akar
dan persentase infeksi mikoriza, sedangkan variabel respons jumlah anakan, bobot
kering hijauan, nisbah pucuk aksr, serapan N, serapan P serta karakteristik tumbuh
ILD, LAB, dan LTT pada semua panen destruktif efeknya tidak saling
berinteraksi satu sama lain. Efek inokulasi jamur mikoriza dite mukan teruji nyata
hanya pada serapan P, indeksi luas daun rata-rata (ILD) panen destruktif umur 28
hari setelah perlakuan (HSP), dan laju asimilasi bersih rata-rata (LAB) panen
Prosiding Semnas II HITPI
Page 136
destruktif umur 21-28 HSP, sedangkan pada variabel respon yang lain efeknya
tidak teruji nyata. Efek atau nilai- nilai yang lebih tinggi diperoleh akibat
pemupukan N dan P berbagai taraf serta inokulasi bakteri Azosipirillum berbagai
isolat dibandingkan dengan control (tanpa pupuk N, tanpa pupuk P, dan tanpa
inokulasi bakteri) pada semua variabel respons komponen hasil, karakteristik
tumbuh dan bobot kering hijauan termasuk bobot kering hijauan panen efek residu.
Inokulasi bakteri Azosipirillum berbagai isolat memberikan efek yang lebih baik
dibandingkan dengan tanpa inokulasi bakteri pada semua variabel respons.
Pemupukan N berbagai taraf memperlihatkan efek yang lebih tinggi dibandingkan
dengan tanpa pupuk N (kontrol), semakin tinggi taraf pemupukan N, efeknya akan
semakin meningkat pada hampir semua variabel respons. Pemupukan P be rbagai
taraf memperlihatkan efek yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa pupuk P
(kontrol) pada hampir semua variabel respons. Semakin tinggi taraf pemupukan N
maka persentase infeksi mikoriza akan semakin meningkat , tetapi semakin tinggi
taraf pemupukan P maka persentase infeksi mikoriza akan semakin berkurang.
Semakin tinggi taraf pemupukan N dan semakin tinggi taraf pemupukan P sampai
batas tertentu (90kg ha-1 p) maka rata-rata ILD, LAB, dan LTT akan meningkat
pada setiap panen destruktif. Pemupukan N dan P serta inokulasi jamur mikoriza
dan bakteri Azosipirillum berbagai isolat akan meningkatkan rata-rata nilai ILD,
menurunkan rata-rata nilai LAB, dan meningkatkan rata-rata nilai LTT dari panen
destruktif pertama sampai dengan kelima (umur 14 HSP sampai 42 HSP).
Bobot kering hijauan tanaman rumput Setaria rata-rata ha-1 akibat pemupukan
N berbagai taraf rata-rata lebih tinggi 165,32 persen dibandingkan dengan tanpa
pupuk N (kontrol) dengan hasil rata-rata 2,47 t. bobot kering hijauan tanaman
rumput Setaria rata-rata ha-1 akibat pemupukan P berbagai taraf rata-rata lebih
tinggi 28,44 persen dibandingkan dengan tanpa pupuk P (kontrol) dengan hasil
rata-rata 4,56 t (Tabel 1). Terdapat takaran optimum pupuk N dan P berturut turut
sebesar 114,536 kg ha-1 N dan 99,455 kg ha-1 P dengan bobot kering rata-rata
maksimum 6,734 t ha-1 (Gambar 1). Efek residu pemupukan N dan P berbagai
taraf serta inokulasi jamur mikoriza dan bakteri Azospirillum berbagai isolat
terhadap bobot kering hijauan menunjukan adanya hasil bobot kering hijauan
tanaman rumput Setaria dari panen pertama sampai panen keempat semakin
menurun.
KESIMPULAN
1.
2.
3.
Efek pemupukan N dan P serta inokulasi jamur mikoriza dan bakteri
Azospirillum tidak berinteraksi satu sama lain terhadap semua variabel
respons.
Semakin tinggi taraf pemupukan N dan semakin tinggi taraf pemupukan P
sampai batas tertentu (90 kg ha-1 P) , maka rata-rata ILD , LAB , dan LTT
akan meningkat pada setiap panen destruktif.
Bobot kering hijauan tanaman rumput Setaria maksimum sebesar 6,734 t ha-1
diperoleh pada takaran optimum pupuk N dan P berturut turut sebesar
114,536 kg ha-1 N dan 99,455 kg ha-1 P.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 137
4.
Bobot kering hijauan panen efek residu pemupukan N dan P serta inokulasi
jamur mikoriza dan bakteri Azospirillum semakin menurun dari panen
pertama sampai keempat.
DAFTAR PUSTAKA
Bogdan,A.V.1977. Tropical Pasture and Fodder Plant. Longmans London.
Elliot,L.F. and K. Miyashita.1990. Associative and Parasitic Microorganisms.
Internasional Congres of Soil Science 23-26 july 1990
Gardner .F.P, R.B. Pearce and R.L. Michiell. 1991. Fisiologi tanaman budidaya.
Terjemahan Herawati susilo. UI Press.jakarta
Hacker,J.B, and T.R. Evans 1992. An evaluation of the production potential of six
tropical grasses under grazing. Yield and yield components growth rate
and phenology. Aust.J.Exp.Agric.32:19-27.
Katupitya, S., and K. Vlassak. 1990. Colonization of wheat roots by Azospirillum
brasilense . In 1990 Organic recycling in Asia and the Pasific. Rapa
Bulletin. 6:18.
Linderman,R.G.1996. Role of VAM Fungsi in Biocontrol. P 1-25 in F.L. Pfleger
and R.G. Linderman (Eds) Mycorrhizae and Plant Health. APS Press St
Paul MN.
Okon,Y., and C.A.L. Gonzales. 1994. Agronomic applications of Azospirillum.
An evaluation of 20 years worldwide field inoculation. Rev. Biol.
Biochem. 26 (12):1591-1601.
Pacovsky,R.S.1988. Influence of inoculation with Azospirillum brasilense and
Glomus fasciculatum on sorgum nutrition. Plant Soil 110;283-287.
Rao, N.S.S.,K.B.V.R. Tilak and C.S. Sngh. 1985 Effect of combined inoculation
of VAM and Azospirillum brasilense on pearl millet (Pennisetum
americanum). Plant soil.84:283-286
Rika,K.,I.k Mendra, I.G.M. oka, and oka Nurdjaya.1990 Progress Report on
Species.Evalution Experiment at pulukan Bali. Faculty of Animal
Husbandry Udayana University Denpasar Bali.
Smith,S.E.,1995. Discoveries, discussion and directions in Mycorrhyzae research.
P 3-24. In A Varma, and B. Hock (Eds.) Mycorrhyzae, Structure,
Function, Molecular Biology, and Biotechnology. Springer-Verlag.
Berlin.
Tilak, K.B.V.R.1992. VAM-nitrogen fixing organisms. P 24-30. In Mycorrhyzae:
an Asian Overview. Tata Energy Research institute (TERI). New Delhi.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 138
APLIKASI FMA DAN PUPUK KANDANG TERHADAP PRODUKSI DAN
KUALITAS RUMPUT GAJAH
(Pennisetum purpureum Schum)
1
Khalidin1 , Iskandar Mirza2 , Abdul Azis 2 dan Trisnadewi 3
Dosen Fakultas Pertanian, Universitas Jabal Ghafur No HP.082367562488
email: [email protected] m
2
Peneliti BPTP Aceh, HP.081288863794/ HP.085260407202
email: [email protected]; email: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh fungi mikoriza arbuskular
(FMA) dan pupuk kandang terhadap produksi dan kualitas rumput gajah. Metode
yang digunakan adalah rancangan acak kelompok pola faktorial yang terdiri dari
dua faktor yaitu FMA dan pupuk kandang dengan tiga ulangan. Perlakuan FMA
terdiri dari dua taraf yaitu 0 g dan 10 g lubang-1 , sedangkan pupuk kandang terdiri
dari 0, 15, 30, dan 45 ton ha-1 . Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi
terbaik terhadap protein kasar dan serat kasar rumput gajah umur pemotongan 50
hari setelah tanam terdapat pada perlakuan tanpa FMA dengan dosis pupuk
kandang 15 ton ha-1 . Perlakuan dosis pupuk kandang 45 ton ha -1 menghasilkan
produksi rumput gajah lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan dosis 30 ton
ha-1 , 15 ton ha-1 , dan tanpa pupuk kandang.
Kata kunci: fungi mikoriza arbuskular, pupuk kandang, rumput gajah.
ABSTRACT
The objectives of the study were to evluate effects of arbuscular mycorrhiza fungi
(AMF) and manure on production and quality of the elephant grass. The
experiment used a factorial randomized complete block design, consisting of two
factors: AMF and manure, with three replications. AMF consisted of two levels,
i.e. without AMF and with AMF 10 g hole-1 , while manure consisted of 0, 15, 30,
and 45 tons ha-1 . Results showed that the best combination for crude protein and
crude fiber grass at age of 50days after planting was found at without AMF and
15 tons ha-1 of animal manure. Manure of45 tonsha-1 produced higher elephant
grass production than that of30tons ha-1 , 15tons ha-1 , and without manure.
Key words: arbuscular mycorrhizal fungi, manure, elephant grass.
PENDAHULUAN
Kegiatan pertanian akhir-akhir ini mulai dikembangkan dan digalakkan
dengan meminimalisir penggunaan pupuk anorganik dan bahan kimia lainnya
karena ternyata bahan-bahan tersebut dapat menyebabkan kerusakan fisika, kimia
dan biologi tanah serta menyebabkan pencemaran lingkungan. Salah satu
alternatif yang dapat dilakukan untuk mengurangi kerusakan tersebut adalah
dengan memanfaatkan fungi mikoriza arbuskular (FMA) dan pupuk kandang.
FMA dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif teknologi untuk membantu
pertumbuhan, meningkatkan produktivitas dan kualitas tanaman yang ditanam
pada lahan- lahan marjinal (Al-Karaki et al., 2003). Sedangkan pupuk kandang
Prosiding Semnas II HITPI
Page 139
adalah salah satu bahan organik yang dapat meningkatkan kesuburan tanah dan
pemberiannya mempunyai manfaat ganda yaitu selain memperbaiki sifat fisik
tanah juga merupakan sumber hara yang cukup potensial (Abdurrahman et al.,
1999). Menurut Ifradi et al. (2003) pupuk kandang dapat mempertahankan bahan
organik tanah, meningkatkan aktivitas biologis dan juga meningkatkan
ketersediaan air tanah. Semakin tinggi kadar air tanah maka absorbsi dan
transportasi unsur hara maupun air akan lebih baik, sehingga laju fotosintesis
untuk dapat menghasilkan cadangan makanan bagi pertumbuhan tanaman lebih
terjamin dan produksipun akan meningkat. Dengan demikian penggunaan FMA
dan pupuk kandang untuk peningkatan produktivitas hijauan makanan ternak
(HMT) merupakan upaya yang dapat dikembangkan guna mencukupi kebutuhan
HMT hijauan bagi ternak.
Jenis rumput yang sangat potensial untuk dikembangkan di antaranya adalah
rumput gajah (Pennisetum purpureum Schum.). Menurut Reksohadiprodjo (1994)
rumput gajah dapat tumbuh pada daerah dengan ketinggian 0 - 3000 m di atas
permukaan laut (dpl.) dengan curah hujan 1000 mm tahun-1 . Produksi rumput
gajah dapat mencapai 270 ton ha-1 tahun-1 . Pengembangan rumput gajah sebagai
hijauan pakan ternak telah dilaksanakan namun pada kenyataannya produksinya
belum maksimal. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan
kesuburan tanah, diantaranya dengan pemberian FMA dan pupuk kandang.
Takaran yang ideal antara FMA dan pupuk kandang belum diketahui, maka perlu
dilakukan penelitian tentang takaran yang ideal antara FMA dan pupuk kandang
terhadap kualitas dan kuantitas rumput gajah.
MATERI DAN METODE
Penelitian ini merupakan penelitian lapang (onfarm research) dilaksanakan di
Balai Penyuluhan Pertanian Desa Ceurih Kupula Kecamatan Delima Kabupaten
Pidie, dimulai pada Nopember 2011 sampai dengan Maret 2012. Rancangan yang
digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan pola faktorial yang
terdiri dari dua faktor yaitu FMA (M) dan pupuk kandang (P).
Faktor FMA terdiri dari dua taraf yaitu tanpa FMA (M0 ) dan dengan
pemberian FMA 10 g lubang-1 (M1 ) sedangkan faktor pupuk kandang terdiri dari
empat taraf yaitu: tanpa pupuk kandang (M0 ), penggunaan 15 ton ha-1 pupuk
kandang (M1 ), 30 ton ha-1 pupuk kandang (M2 ), dan 45 ton ha-1 pupuk kandang
(M3 ).
Data yang diperoleh dianalisis dengan uji F dan apabila terdapat pengaruh
yang nyata dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil pada taraf 5% (BNT 0,05).
Persiapan Lahan
Pengolahan tanah dilakukan dengan menggunakan traktor tangan. Lahan yang
sudah diolah kemudian dibuat plot yang berukuran 2 m × 2 m. Pupuk kandang
diberikan seminggu sebelum tanam sesuai perlakuan dengan cara ditabur merata
pada setiap plot sesuai perlakuan kemudian dicangkul dan digaru agar bercampur
merata dengan tanah.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 140
Penanaman dan Pemeliharaan
Penanaman rumput gajah dilakukan dengan menggunakan stek yang
masing- masing panjangnya 3 ruas. Stek yang dipergunakan mempunyai lingkar
batang 5,5 sampai dengan 6 cm dengan panjang ruas 21 sampai dengan 26 cm.
Sebelum dilakukan penanaman semua stek terlebih dahulu diletakkan ditempat
yang teduh selama dua malam dan dilakukan penyiraman pagi dan sore. Stek yang
telah terlihat bakal tunas dan akarnya ditanam dengan cara membenamkan
sedalam 1 ruas sebanyak 1 stek di setiap lubangnya dengan posisi agak miring
dengan jarak tanam 50 cm × 50 cm. Setiap plot percobaan terdapat 16 lubang
tanaman yang terdiri dari empat tanaman di tengah sebagai sampel dan 12
tanaman pinggir. Sebelum dilakukan penanaman pada setiap lubang ditaburkan
inokulan FMA sebanyak 10 g lubang-1 sesuai perlakuan.
Penyiraman dilakukan setelah tanam sampai mencapai kapasitas lapang,
selanjutnya selama penelitian berlangsung tidak dilakukan penyiraman karena
bertepatan dengan musim hujan. Penyiangan terhadap gulma dilakukan secara
manual dengan cara mencabut setiap gulma yang terdapat pada setiap plot
penelitian.
Pengamatan
Pengamatan dilakukan terhadap empat tanaman sampel di setiap plot.
Peubah yang diamati yaitu:
Tinggi Tanaman
Pengamatan tinggi tanaman dilakukan masing- masing pada umur 20, 30, 40,
dan 50 HST dengan memilih batang rumput gajah tertinggi dalam satu rumpun
setiap tanaman sampel kemudian diukur mulai dari permukaan tanah sampai
ketiak daun tertinggi dalam satuan cm.
Jumlah Anakan
Jumlah anakan dihitung pada umur 20, 30, 40, dan 50 HST dengan
menghitung jumlah anakan pada setiap rumpun tanaman sampel.
Panjang Daun
Panjang daun dihitung dengan mengukur dari tanaman tertinggi mulai dari
ketiak daun hingga ujung daun pada umur 20, 30, 40, dan 50 HST dalam satuan
cm.
Produksi
Untuk menghitung produksi dilakukan pemotongan rumput pada umur 50
hari setelah tanam (HST) menyisakan batang setinggi 10 cm dari permukaan
tanah. Pemotongan dilakukan terhadap semua tanaman di dalam plot percobaan
dan hasilnya ditimbang untuk mengetahui berat produksi hijauan segar.
Analisis Kandungan Nutrisi Rumput Gajah
Analisis kandungan nutrisi rumput gajah dilakukan dengan cara mengambil
sebanyak setengah kilogram dari hasil cincangan (±1 cm) seluruh batang dan daun
tanaman sampel dari setiap plot. Analisis dilakukan untuk mengetahui kandungan
protein kasar (PK) dan serat kasar (SK) dengan menggunakan analisis proksimat.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 141
Analisis Kolonisasi Akar oleh FMA
Pengambilan sampel akar rumput gajah untuk analisis kolonisasi akar yaitu
dengan cara memotong semua akar dari salah satu tanaman sampel yang telah
dicabut dan diambil sebagiannya untuk dilakukan analisis dengan menggunakan
metode Phillips dan Hayman (1970 dalam Nusantara, 2007).
HASIL PEMBAHASAN
Tinggi Rumput Gajah, Jumlah Anakan dan Panjang Daun
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi yang berpengaruh
nyata akibat perlakuan FMA dan pupuk kandang terhadap tinggi rumput gajah, jumlah
anakan dan panjang daun pada umur 20, 30, 40, dan 50 HST demikian juga secara
faktor tunggal. Hal ini disebabkan karena rumput gajah memiliki akar-akar yang halus
sehingga untuk tidak terlalu tergantung dengan keberadaan FMA. Ketergantungan
tanaman terhadap FMA diartikan sebagai tingkat ketergantungan untuk menghasilkan
pertumbuhan atau hasil pada tingkat kesuburan tanah tertentu (Gerdemann, 1975).
Tanaman-tanaman yang ketergantungannya besar terhadap FMA memiliki akar yang
besar atau memiliki rambut akar yang terbatas (Simanungkalit, 1986). Menurut
Hanafiah (2005) secara fisik peranan FMA bagi tanaman inangnya adalah memperbesar
areal serapan bulu-bulu akar melalui pembentukan miselium disekeliling akar. Oleh
karena itu tingkat ketergantungan terhadap asosiasi FMA ini berkolerasi negatif dengan
kerapatan akar halus atau bulu-bulu akar, makin sedikit jumlah akar maka tanaman
semakin tergantung pada FMA.
Produksi
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi yang berpengaruh
nyata akibat perlakuan FMA dan pupuk kandang terhadap produksi rumput gajah pada
umur pemotongan 50 HST. Secara faktor tunggal menunjukkan bahwa perlakuan FMA
berpengaruh tidak nyata sedangkan pupuk kandang berpengaruh nyata. Rata-rata
persentase kandungan SK rumput gajah hasil uji BNT (0,05) disajikan pada Tabel 1.
Rata-rata produksi rumput gajah umur pemotongan 50 HST akibat
perlakuan pupuk kandang menunjukkan bahwa produksi tertinggi (72,92 ton ha -1 )
terdapat pada perlakuan dosis pupuk kandang 45 ton ha -1 tidak berbeda nyata
dibandingkan dengan perlakuan dosis pupuk kandang 30 ton ha -1 (55,79 ton ha-1 )
akan tetapi berbeda nyata dengan perlakuan dosis pupuk kandang 15 ton ha -1 dan
perlakuan tanpa pupuk kandang yang masing- masing produksinya adalah
49,04 dan 60,42 ton ha-1 .
Menurut Sumarsono (2005) pupuk kandang dapat mempertahankan bahan
organik tanah, meningkatkan aktivitas biologis dan juga meningkatkan ketersediaan
air tanah. Menurut Ifradi et al. (2003) semakin tinggi kadar air tanah maka absorbsi dan
transportasi unsur hara maupun air akan lebih baik, sehingga laju fotosintesis untuk
dapat menghasilkan cadangan makanan bagi pertumbuhan tanaman lebih terjamin dan
produksipun akan meningkat.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 142
Tabel 1.
Rata-rata produksi rumput gajah pada umur pemotongan 50 HST akibat
perlakuan FMA dan pupuk kandang
Pupuk kandang (ton ha-1 )
FMA
(g lubang-1 )
0
15
30
45
-1
………. .. ton ha …….…
0
32,83
54,50
53,08
64,33
10
60,42
43,58
58,50
81,50
BNT(0,05) = 19,32 (P) 46,63 a
49,04 a
55,79 ab
72,92 b
Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT (0,05)
Protein Kasar (PK)
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa terjadi interaksi yang berpengaruh
nyata akibat perlakuan FMA dan pupuk kandang terhadap persentase PK rumput
gajah pada umur pemotongan 50 HST sedangkan secara faktor tunggal tidak
berpengaruh nyata. Rata-rata persentase kandungan PK rumput gajah hasil uji
BNT (0,05) disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Rata-rata kandungan protein kasar rumput gajah pada umur pemotongan 50
HST akibat perlakuan FMA dan pupuk kandang
Pupuk kandang (ton ha-1 )
FMA
(g lubang-1 )
0
15
30
45
………. .. ton ha-1 …….…
0
8,78 ab A
100,0 b B
9,14 b A
7,82 a A
10
9,87 bA
8,11 ab A
8,98 ab A
8,78 ab A
BNT(0,05) (MxP) = 1,16
Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT
(0,05)Huruf kecil dibaca horizontal sedangkan huruf besar dibaca vertical
Kandungan PK rumput gajah tertinggi terdapat pada perlakuan tanpa FMA
dengan dosis pupuk kandang 15 ton ha-1 (10,00%). Peningkatan dosis pupuk
kandang menjadi 30 dan 45 ton ha-1 menurunkan kandungan PK menjadi 9,14%
(tidak berbeda nyata) dan 7,82% (berbeda nyata). Begitu juga bila dibandingkan
dengan perlakuan FMA 10 g lubang-1 berbeda nyata (8,11%).
Hal ini diduga karena tidak seimbangnya kandungan unsur hara dalam
pupuk kandang sehingga berpengaruh terhadap kandungan PK rumput. Pupuk
kandang merupakan sumber unsur hara N, P, K, dan lainnya yang dibutuhkan
dalam proses pertumbuhan tanaman. Menurut Lingga (1998) unsur hara N
berperan dalam membentuk protein, lemak dan berbagai persenyawaan organik
lainnya, begitu juga P berperan sebagai bahan untuk pembentukan sejumlah
protein tertentu. Peranan N dan P dalam fenomena ini menjelaskan bahwa
keseimbangan pemberian N, P, dan K tampaknya lebih penting dibanding
penambahan N, P, dan K.
Kandungan PK tertinggi (10,00%) serta kandungan PK pada perlakuan
FMA 10 g lubang dengan tanpa pupuk kandang (9,87%) lebih tinggi dari
kandungan PK yang kemukakan oleh Hartadi et al. (1986) rumput gajah
merupakan jenis rumput unggul yang mempunyai produktivitas dan kandungan
Prosiding Semnas II HITPI
Page 143
zat gizi yang cukup tinggi dengan rata-rata kandungan PK sebesar 9,66%.
Serat Kasar (SK)
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat interaksi yang
berpengaruh nyata akibat perlakuan FMA dan pupuk kandang terhadap persentase
kandungan SK rumput gajah pada umur pemotongan 50 HST sedangkan secara
faktor tunggal tidak berpengaruh nyata. Rata-rata persentase kandungan SK
rumput gajah hasil uji BNT (0,05) disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Rata-rata kandungan serat kasar rumput gajah pada umur pemotongan 50 HST
akibat perlakuan FMA dan pupuk kandang
FMA
Pupuk kandang (ton ha-1 )
(g lubang-1 )
0
15
30
45
-1
………. .. ton ha …….…
0
23,5 ab A
22,33 a A
24,83 b A
25,00 b A
10
23,5 ab A
25,33 b B
24,83 ab A
22,83 a A
BNT(0,05) (MxP) = 2,31
Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT
(0,05)Huruf kecil dibaca horizontal sedangkan huruf besar dibaca vertikal
Kandungan SK rumput gajah terendah terdapat pada perlakuan tanpa FMA
dengan dosis pupuk kandang 15 ton ha-1 (22,33%). Peningkatan dosis pupuk
kandang menjadi 30 dan 45 ton ha-1 meningkatkan kandungan SK menjadi
24,83% (berbeda nyata) dan 25,00% (berbeda nyata). Bila dibandingkan dengan
perlakuan FMA 10 g lubang-1 juga berbeda nyata (25,33%).
Pemberian pupuk kandang akan menambah ketersediaan unsur hara karena
pupuk kandang mengandung berbagai unsur hara diantaranya adalah N, P, dan K
yang sangat dibutuhkan tanaman. Menurut Lingga (1998) keseimbangan
pemberian unsur hara tampaknya lebih penting dibanding penambahan unsur hara
karena interaksi unsur hara yang nantinya akan mempengaruhi proses penyerapan
unsur hara lainnya oleh tanaman. Terganggunya proses penyerapan unsur hara
akan berpengaruh terhadap kandungan unsur hara di dalam tanaman.
Kandungan SK hasil penelitian lebih rendah dari kandungan serat kasar
seperti yang kemukakan oleh Hartadi et al. (1986) rumput gajah merupakan jenis
rumput unggul yang mempunyai produktivitas dan kandungan zat gizi yang cukup
tinggi serta disukai oleh ternak ruminansia, dengan rata-rata kandungan SK
sebesar 30,86%.
Persentase Kolonisasi Akar oleh FMA
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat interaksi yang
berpengaruh sangat nyata akibat perlakuan FMA dan pupuk kandang terhadap
persentase kolonisasi akar oleh FMA pada akar rumput gajah, demikian juga
secara faktor tunggal. Rata-rata persentase kolonisasi akar oleh FMA pada akar
hasil uji BNT (0,05) disajikan pada Tabel 4.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 144
Tabel 4. Rata-rata persentase kolonisasi akar oleh FMA pada akar rumput gajah umur
50 HST akibat perlakuan FMA dan pupuk kandang
FMA
Pupuk kandang (ton ha-1 )
(g lubang-1 )
0
15
30
45
-1
………. .. ton ha …….…
0
22,00 a A
37,00 b A
36,00 b A
26,33 ab A
10
57,67 b B
65,00 b B
36,33 a A
40,00 a A
BNT(0,05) =(MxP) 11,95
Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT
(0,05)Huruf kecil dibaca horizontal sedangkan huruf besar dibaca vertikal
Rata-rata persentase kolonisasi FMA tertinggi (65,00%) terdapat pada
perlakuan FMA 10 g lubang-1 dengan dosis pupuk kandang 15 ton ha-1 yang
berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan dosis pupuk kandang 30 ton ha -1
(36,33%) dan 45 ton ha-1 (40,00%) namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan
tanpa pupuk kandang (57,67%). Jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa FMA
menunjukkan pebedaan yang nyata (37,00%).
Pupuk kandang jua mempengaruhi persentase kolonisasi akar oleh FMA. Hal ini
dikarenakan pupuk kandang mengandung unsur hara N dan P sehingga apabila pupuk
kandang diberikan terlalu banyak maka akan menekan perkembangan FMA. Hal ini
sesuai seperti dijelaskan oleh Islami dan Utomo (1995) dimana ketersediaan hara
terutama N dan P yang rendah akan mendorong pertumbuhan FMA, sebaliknya
ketersediaan hara yang terlalu rendah dan terlalu tinggi akan menghambat
perkembangannya.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
- Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi terbaik terhadap kolonisasi akar
pada perlakuan FMA 10 g lubang-1 dengan dosis pupuk kandang 15 ton ha-1 ,
sedangkan interaksi terbaik terhadap protein kasar dan serat kasar rumput gajah
umur pemotongan 50 HST terdapat pada perlakuan tanpa FMA dengan dosis
pupuk kandang 15 ton ha-1 .
- FMA tidak berpengaruh nyata terhadap produksi rumput gajah sedangkan
pupuk kandang berpengaruh tidak nyata.
- Dosis pupuk kandang 45 ton ha-1 menghasilkan produksi rumput gajah
tertinggi pada umur pemotongan 50 HST yaitu sebanyak 72,92 ton ha -1 .
Saran
Untuk memperbaiki kualitas lahan dan meningkatkan hasil dan kualitas
rumput gajah disarankan menggunakan FMA 10 g lubang-1 dengan dosis pupuk
kandang 15 ton ha-1 .
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, A., I. Juarsah, U. Kurnia. 1999. Pengaruh penggunaan berbagai
jenis dan takaran pupuk kandang terhadap produktivitas tanah Ultisol
terdegradasi di Desa Batin, Jambi. Prosiding. Seminar Nasional
Prosiding Semnas II HITPI
Page 145
Sumberdaya Tanah, Iklim dan Pupuk. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen
Pertanian. Jakarta.
Al-Karaki, G., B. McMichael, J. Zak. 2003. Field response of wheat to arbuscular
fungi and drought stress. Mycorrhiza.14 : 263-269.
Gardemann, J. W. (1975). Vesicular-arbuscular mycorrhizae.In J. G. Torrey and
D. T. Clarkson (Eds). The Development and Function of Root. Academic
Press. London.
Hanafiah, K. A. 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo, A. D. Tillman. 1986. Tabel Komposisi Pakan
Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Ifradi, M. Peto, Elsifitriana. 2003. Pengaruh pemberian pupuk kandang dan
mulsa jerami padi terhadap produksi dan nilai gizi rumput raja
(Pennisetum purpuphoides) pada tanah Podzolik Merah Kuning. J.
Peternakan dan Lingkungan. 10: 31- 40.
Islami, T. dan W. H. Utomo 1995. Hubungan Tanah, Air dan Tanaman. IKIP.
Semarang Press. Semarang.
Kartini, N. L. 2008. Pertanian Organik Penyelamat Ibu Pertiwi. Bali Organic
Assosiation. Bali.
Lingga, P. 1998. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Jakarta.
Nusantara, A. D. 2007. Baku mutu inokulum cendawan mikoriza arbuskula.
Makalah Workshop Mikoriza. Kongres Nasional Mikoriza Indonesia II.
Asosiasi Mikoriza Indonesia. Bogor.
Reksohadiprodjo. 1994. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik.
BPFE Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Sieverding, E. 1991. Vesicular-arbuscular Mycorrhiza Management in Tropical
Agrosystems. GTZ. Eschborn. Germany.
Simanungkalit, R. D. M. 2006. Cendawan mikoriza arbuskular. Dalam R. D. M.
Simanungkalit, D. A. Suriadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini, W. Hartatik
(Eds). Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Pertanian. Bogor.
Sumarsono. 2005. Peranan pupuk organik untuk perbaikan penampilan dan
produksi hijauan rumput gajah pada tanah cekaman salinitas dan
kemasaman. Makalah disajikan pada seminar prospek pengembangan
peternakan tampa limbah. Jurusan Produksi Ternak. Fakultas Pertanian.
UNS. Surakarta.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 146
PENDUGAAN PRODUKSI BIOMASSA HIJAUAN RUMPUT Brachiaria
decumbens BERDASARKAN METODE NON-DESTRUKTIF DENGAN
MENGGUNAKAN PIRINGAN AKRILIK
Sari Suryanah, Dudi, dan Mansyur
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jawa Barat 40600
Email: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan antara tinggi
rumput dengan produksi berat bahan keringnya dan juga bagaimana hubungan
antara tinggi daya tolak rumput dengan produksi berat bahan keringnya. Metode
penelitian yang dilakukanadalah berdasarkan metode non-destruktif dengan
menggunakan piringan akrilik pada rumput Brachiaria decumbens umur 40 hari
di lahan seluas 1500 m2 . Hasil penelitian menunjukkan bahwa tinggi rumput
mempunyai pengaruh yang lemah terhadap produksi berat bahan keringnya
(R2 =0,13-0,30) dan tinggi daya tolak rumput juga mempunyai pengaruh yang
lemah terhadap produksi berat bahan kering rumput Brachiaria decumbens
(R2 =0,20-0,37).
Kata Kunci: RumputBrachiaria decumbens, metode non-destruktif,piringan
akrilik, persamaan regresi
Estimation of Forage Biomass in A Brachiaria Decumbens Grass based on
Non-Destructive Method by Using Acrylic Plate
ABSTRACT
The aims of this research was to know the relation between forage height and its
dry matter yield and also the relation between forage depressed height and its dry
matter yield. The research method used was non-destructive method by using
acrylic plate in a Brachiaria decumbens grass aged 40 days at area 1500 m2 . The
results of this research indicatedthat forage height has a low influence to its dry
matter yield (R2 =0,13-0,30)and forage depressed height also has a low influence
to dry matter yield of Brachiaria decumbens (R2 =0,20-0,37).
KeyWords: Brachiaria decumbens grass, non-destructive method,acrylicplate,
regression equation
PENDAHULUAN
Hijauan merupakan pakan utama ternak ruminansia yang ketersediaannya
harus tetap ada sepanjang tahun. Tinggirendahnya produktivitas ternaktergantung
pada kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan. Agar produktivitas ternak
optimal, maka kuantitas dan kualitaspakan khususnya hijauan yang akan diberikan
pada ternak harus diperhatikan. Menurut BRIGGS dan COURTNEY (1985),
kebutuhan konsumsi sapi setiap hari adalah 10-30 kg bahan segar, dan kambing 12 kg bahan kering. TILLMAN dkk. (1998), menyatakan bahwa kebutuhan ternak
Prosiding Semnas II HITPI
Page 147
akan bahan kering hijauan adalah 2,5-3% bobot badan. Bila dihitung maka setara
dengan 7,5-9 kg bahan kering (BK). Bila BK hijauan adalah 20% dari berat
segarnya maka kebutuhan pakan hijauan seekor sapi dengan bobot badan 300 kg
adalah 37,5-45 kg hijauan segar.
Secara umum,pola pemberian hijauan kepada ternak dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu melalui sistem penggembalaan (grazing) dan tebas angkut (cut and
carry).Menurut CULLINSON (1975) dalamREKSOHADIPROJO (1994), padang
penggembalaan adalah suatu daerah padangan di mana tumbuh tanaman makanan
ternak yang tersedia bagi ternak yang merenggutnya menurut kebutuhan dalam
waktu singkat. Oleh karena itu, pengetahuan tentang jumlah hijauan yang tersedia
di suatu padang penggembalaan ternak adalah penting untuk menentukan stocking
rate (COSGROVE dan UNDERSANDER, 2001). Selain itu, pengetahuan akan
jumlah hijauan yang tersedia di padang penggembalaan juga berguna dalam
menentukan manajemen serta sistem penggembalaan yang tepat sesuai dengan
kondisi dan kebutuhan ternak. Menurut MANSKE (2003), manajemen padang
penggembalaan yang baik akan meningkatkan pertumbuhan dan produksi rumput
yang tinggi, kualitas rumput lebih baik dan produksi ternak lebih tinggi.
Sedangkan pengaturan penggembalaan dapat menjamin pelestarian kondisi
padang rumput.
Pertumbuhan adalah proses dalam kehidupan tanaman yang mengakibatkan
perubahan ukuran tanaman semakin besar dan juga yang menentukan hasil
tanaman. Pengukuran biomassa total tanaman merupakan para meter yang
digunakan sebagai indikator pertumbuhan tanaman. Alasan lain dalam
penggunaan biomassa total tanaman adalah bahwa bahan kering tanaman
dipandang sebagai manifestasi dari semua proses dan peristiwa yang terjadi dalam
pertumbuhan tanaman (SITOMPUL dan GURITNO, 1995).
Ada beberapa metode yang digunakan untuk menduga produksi biomassa
rumput, yaitu metode destruktif dan metode non-destruktif. Metode destruktif
memerlukan input yang tinggi berupa tenaga kerja dan peralatan. Metode ini juga
membutuhkan biaya yang besar dan jumlah sampel yang tidak sedikit
(MANNETJE, 1978). Pemotongan dan penimbangan berat hijauan dari suatu area
merupakan metode paling akurat tetapi membutuhkan waktu, pengeringan dan
penimbangan berat dari hijauan yang dipotong (COSGROVE dan
UNDERSANDER, 2001; SANDERSON dkk., 2001). Kemudian telah
dikembangkan metode non-destruktif yang terdiri atas tiga cara, yaitu 1) estimasi
secara visual, 2) pengukuran ketinggian dan kepadatan rumput, dan 3) pengukuran
faktor- faktor non-vegetatif yang berhubungan dengan jumlah produksi bahan
kering (MANNETJE,1978). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
ASSAEED (1997), jumlah bahan kering dari setiap spesies hijauan mempunyai
korelasi dengantinggi tanaman, diameter basal dan diameter kanopi. Selain itu,
hasil penelitian RAYBURN dan LOZIER (2003), menunjukkan bahwa terdapat
korelasi yang tinggi antara ketinggian dan daya tolak rumput dengan produksi
bahan keringnya. Penelitian dilakukan dengan menggunakan piringan akrilik
untuk mengestimasi hijauan di pastura pada musim dingin dan diperoleh suatu
persamaan regresi linear dengan koefisien determinasi (R2 ) sebesar 0,78 dan
standar error 322 lb/a.
Metode non-destruktif masih jarang dilakukan di Indonesia. Oleh karena itu,
metode ini perlu dikembangkan di Indonesia dan penulis tertarik untuk meneliti
Prosiding Semnas II HITPI
Page 148
lebih lanjut bagaimana hubungan antara tinggi rumput dengan produksi berat
bahan keringnya dan juga bagaimana hubungan antara tinggi daya tolak rumput
dengan produksi berat bahan keringnya.
MATERI DAN METODE
Penelitian ini dilakukan di Lahan Rumput Simmental Universitas
Padjadjaran, Jatinangor, Kabupaten Sumedang, dengan luas lahan 1500 m2 ,
ketinggian tempat antara 725-800 m dpl dengan curah hujan rata-rata per tahun
mencapai 492,64 mm. Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2012Desember 2012. Bahan penelitian adalah rumput Brachiaria decumbens umur 40
hari.
Tahapan dalam pengambilan sampel, antara lain adalah rumput yang akan
dijadikan sampel diukur tingginya dengan menggunakan tongkat ukur, yaitu dari
permukaan tanah sampai ujung daun tertinggi rumput. Kemudian Rumput diukur
tinggi daya tolaknya dengan menggunakan piringan akrilik (ukuran 46 ×46 cm),
kemudian diukur berapa ketinggian tekanannya dari atas tanah.Rumput yang telah
diukur tinggi dan daya tolaknya, dipotong seluas bidang alas tekan rumput,
dengan tinggi pemotongan 5 cm dari permukaan tanah, kemudian ditimbang berat
segar yang dihasilkan. Selanjutnya rumput dikeringkan di dalam oven pada suhu
60o C selama 48 jam, kemudian berat bahan keringnya ditimbang.
Gambar 1. Piringan akrilik
Sumber : Rayburn dan Lozier (2003)
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara stratified random sampling.
Lahan dibagi menjadi 3 strata yaitu strata atas, tengah dan bawah. Jumlah sampel
yang diambil adalah sebanyak 102. Data yangdiperolehdianalisis menggunakan
prosedur analisis regresi. Persamaan regresi yang dipilih berdasarkan nilai
koefisien determinasi (R2 ) tertinggi dengan standar error terkecil.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Tinggi Rumput terhadap Produksi Berat Bahan Kering
Berdasarkan model regresi yang diperoleh dari hasil analisis (Tabel 1), dapat
dilihat bahwa tinggi rumput mempunyai pengaruh lemah terhadap produksi berat
bahan kering yang dihasilkan dengan nilai koefisien determinasi (R2 ) sekitar 0,130,30. Kisaran nilai koefisien determinasi (R2 ) diambil berdasarkan persamaan
Prosiding Semnas II HITPI
Page 149
regresi dengan R2 tertinggi pada tiap strata dengan nilai F hitung > F tabel dan
P<0.05.
Model pendugaan dikatakan baik apabila nilaiR2 mendekati 1. Hasil analisis
data menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tinggi rumput dengan
produksi berat bahan kering yang dihasilkan. Namun semua model regresi yang
diperoleh tidak dapat digunakan dalam pendugaan produksi berat bahan kering
rumput Brachiaria decumbens, dikarenakan nilai R2 yang rendah yaitu sekitar
0,13-0,30 yang artinya bahwa tinggi rumput dapat menjelaskan pengaruh terhadap
produksi berat bahan kering rumput sebesar 13-30%, sedangkan sisanya
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.
Tabel 1. Regresi antara tinggi rumput dengan produksi berat bahan kering
Model Regresi
R2
Strata Atas
1. Linear
Y = 25,565 + 0,650X1
0,124
2
2. Kuadratik
Y = 104,939 – 1,323X1 + 0,012X1
0,140
3. Eksponensial
Y = 39,783e0,008X1
0,094
Strata Tengah
1. Linear
Y = -33,115 + 2,257X1
0,295
2
2. Kuadratik
Y = -143,311 + 5,271X1 - 0,020X1
0,298
3. Eksponensial
Y = 33,988e0,018X1
0,297
Strata Bawah
1. Linear
Y = 71,638 + 0,618X1
0,125
2
2. Kuadratik
Y = 27,288 + 1,640X1 – 0,006X1
0,127
3. Eksponensial
Y = 75,796e0,006X1
0,133
Semua Strata
1. Linear
Y = 80,330 + 0,392X1
0,018
2
2. Kuadratik
Y = -17,172 + 2,812X1 – 0,015X1
0,025
3. Eksponensial
Y = 76,326e0,004X1
0,019
Keterangan :
Y = Berat Bahan Kering
X1 = Tinggi Rumput
Hasil penelitianFRANCA dkk. (2003), yaitu menduga produksi berat bahan
kering rumput berdasarkan tingginya dengan menggunakan alat grassmeter
menunjukkan bahwa setiap spesies rumput memberikan hasil persamaan regresi
yang berbeda.Hasil yang akurat dan signifikan diperoleh dari rumput Trifolium
brachycalycinum “Osilo” (R2 = 0,88), Trifolium squarrosum “Chilivani” (R2 =0,81)
dan Medicago polymorpha “Circle Valley” (R2 =0,81), sedangkan untuk Medicago
rugosa “Sapo” diperoleh hasil yang tidak signifikan dengan R2 =0,22 dan
“Paraponto” dengan R2 =0,26. Hal ini disebabkan variasi error yang cukup tinggi.
Oleh karena itu, spesies rumput akan mempengaruhi hasil dan bentuk persamaan
yang diperoleh.
Menurut KISMONO dan SUSETYO (1977), rumput Brachiaria decumbens
merupakan rumput yang membentuk hamparan lebat dan penyebarannya sangat
cepat melalui stolon. Oleh karena itu penentuan tinggi rumput akan sulit karena
tiap hamparan memiliki ketinggian yang tidak seragam dan jumlah anakan yang
berbeda. SITOMPUL dan GURITNO (1995), menyatakan bahwa bagian batang
Prosiding Semnas II HITPI
Page 150
atau bagian lain tanaman sebagai batas teratas tanaman, tergantung pada jenis
tanaman, relatif mudah ditetapkan. Sebaliknya batas terbawah relatif lebih sulit
ditetapkan terutama apabila pengamatan dilakukan secara tidak merusak. Jika
batas terbawah ditetapkan bagian batang yang tepat pada permukaan tanah,
kesalahan pengamatan dapat terjadi karena batas ini dapat bervariasi dari satu ke
lain individu tanaman tergantung pada kedalaman penanaman dan perkembangan
ta na ma n ya ng da pa t b er va r ia s i d ia nta ra p r ak tik b ud id a ya ta na ma n.
Lahan penelitian diduga merupakan salah satu faktor yangmempengaruhi
pertumbuhan rumput. Diduga setiap ketinggian lahan mempunyai tingkat
kesuburan yang berbeda, maka pertumbuhan rumput pun akan berbeda. Selain itu,
efek naungan pohon-pohon berkayu yang terdapat pada strata atas juga diduga
mempengaruhi rendahnya produksi berat bahan kering yang dihasilkan.Hasil
penelitian MAPPAONA dkk. (1987), menunjukkan bahwa semakin tinggi
intensitas naungan, maka akan menyebabkan semakin rendah produksi berat
kering, banyaknya batang tiap rumpun dan bobot kering akar pada rumput
Brachiaria decumbens.
Pengaruh Tinggi Daya Tolak Rumput terhadap Produksi Berat Bahan
Kering
Beberapa model regresi yang diperoleh (Tabel 2) menunjukkan adanya
pengaruh yang lemah antara tinggi daya tolak rumput dengan produksi berat
bahan keringnya. Berdasarkan persamaan regresi yang diperoleh, kisaran nilai R2
adalah sekitar 0,20-0,37. Hal inimenunjukkan bahwa tinggi daya tolak rumput
dapat menjelaskan pengaruh terhadap produksi berat bahan kering rumput sekitar
20-37%, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.
DIAZ dkk. (2003), mengemukakan bahwa persamaan regresi antara
kepadatan hijauan dengan produksi berat bahan kering yang dihasilkan biasanya
bervariasi, khususnya antara musim, karakteristik tanah, phenology tanaman,
manajemen pastura, dan spesies. Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi
keakuratan data yang diperoleh antara lain kepadatan hijauan dan pertumbuhan
tanaman (MOSQUERA dkk., 1991 dalam FRANCA dkk., 2003), komposisi
spesies hijauan (CASTLE, 1976), dan lokasi penelitian (RAYBURN dan
LOZIER, 2003).
Faktor musim akan mempengaruhi produksi bahan kering rumput yang
dihasilkan. Pada musim hujan, pertumbuhan rumput akan sangat cepat namun
produksi berat bahan keringnya rendah. Hal ini dikarenakan kandungan air
rumput yang sangat tinggi. Sedangkan musim kemarau pertumbuhan rumput akan
lambat, namun produksi berat bahan keringnya tinggi karena kandungan air
rumput yang rendah. Oleh karena itu, pendugaan produksi berat bahan kering
rumput dengan menggunakan piringan akrilik ini akan menghasilkan nilai yang
berbeda jika dilakukan pada musim yang berbeda.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 151
Tabel 2. Regresi antara tinggi daya tolak rumput dengan produksi berat bahan
kering rumput
Model Regresi
R2
Strata Atas
1. Linear
Y = 33,073 + 1,041X2
0,155
2
2. Kuadratik
Y = 151,001 – 4,428X2 + 0,061X2
0,204
3. Eksponensial
Y = 43,872e0,012X2
0,115
Strata Tengah
1. Linear
Y = 4,143 + 2,818X2
0,365
2
2. Kuadratik
Y = -43,888 + 4,940X2 – 0,023X2
0,366
3. Eksponensial
Y = 46,449e0,022X2
0,357
Strata Bawah
1. Linear
Y = 45,082 + 1,476X2
0,253
2. Kuadratik
Y = -120,627 + 7,979X2 – 0,063X2 2
0,300
0,014X2
3. Eksponensial
Y = 57,437e
0,297
Semua Strata
1. Linear
Y = 21,743 + 1,883X2
0,218
2. Kuadratik
Y = -31,126 + 4,202X2 – 0,025X2 2
0,222
0,019X2
3. Eksponensial
Y = 42,788e
0,217
Keterangan :
Y = Berat Bahan Kering
X2 = Tinggi Daya Tolak Rumput
Data hasil pengamatan menunjukkan bahwa produksi rumput pada lahan di
strata atas lebih rendah daripada produksi di strata tengah dan bawah. Jumlah
rumpun yang terbentuk lebih sedikit sehingga produksi berat bahan keringnya
rendah. Hal ini diduga karena pengaruh naungan pohon-pohon berkayu yang
terdapat di strata atas. MAPPAONA dkk. (1987), menyatakan bahwa banyaknya
batang (individu tanaman) tiap rumpun, merupakan pencerminan dari kemampuan
rumput tersebut untuk membentuk anakan. Penurunan produksi bahan kering
rumput Brachiaria decumbens dengan naiknya intensitas naungan merupakan
akibat dari aktifitas fotosintesis pada tajuk tanaman semakin terbatas dengan
naiknya intersitas naungan. Terbatasnya aktifitas fotosintesis tersebut
menyebabkan perkembangan akar terganggu (tercermin dari penurunan bobot
kering akar yang selanjutnya mengurangi jumlah anakan yang terbentuk).
Rumput Brachiaria decumbens merupakan rumput penutup tanah yang
pertumbuhannya menyebar melalui stolon (pertumbuhan horisontal). Setelah
stolon saling bertemu baru akan terjadi pertumbuhan vertikal (MANNETJE dan
JONES, 1992). Kesalahan pengambilan sampel bisa terjadi dikarenakan rumput
yang ditekan dengan piringan tidak tepat pada bagian tempat tumbuh anakan
utama, sehingga produksi yang diperoleh lebih rendah.
Beberapa hasil penelitian telah menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara
ketinggian hijauan dengan produksi berat bahan kering yang dihasilkan. Korelasi
ini ternyata meningkat ketika tinggi hijauan ditekan dengan sebuah piringan
pemberat (Rayburn dan Lozier, 2003). Ini terbukti dari hasil analisis yang telah
diperoleh dari penelitian ini, bahwa penggunaan piringan dapat meningkatkan
nilai pendugaan produksi berat bahan kering rumput, yaitu sebesar 7%. Namun
demikian, semua persamaan regresi yang diperoleh tidak dapat digunakan untuk
Prosiding Semnas II HITPI
Page 152
menduga produksi berat bahan kering rumput yang dihasilkan karena nilai
R2 rendah.
Tabel 3. Regresi antara tinggi rumput dan tinggi daya tolak rumput terhadap
produksi berat bahan kering
Model Regresi
R2
Strata Atas
Y = -8,594 + 0,561X1 + 0,932X2
0,246
Strata Tengah
Y = -12,283 + 0,537X1 + 2,315X2
0,370
Strata Bawah
Y = 46,209 – 0,057X1 + 1,546X2
0,254
Semua Strata
Y = 40,965 – 0,409X1 + 2,169X2
0,233
Keterangan :
Y = Berat Bahan Kering
X1 = Tinggi Rumput
X2 = Tinggi Daya Tolak Rumput
Pengaruh Tinggi Rumput dan Tinggi Daya Tolak Rumput te rhadap
Produksi Berat Bahan Kering
Beberapa model regresi berganda yang diperoleh (Tabel 3) menunjukkan
adanya pengaruh yang lemah antara produksi berat bahan kering rumputdengan
tinggi rumput dan tinggi daya tolak rumputyaitu dengan R2 sekitar 0,23-0,37.Oleh
karena itu, semua model regresi yang diperoleh tidak disarankan untuk digunakan
dalam pendugaan produksi berat bahan kering rumput Brachiaria decumbens.
KESIMPULAN
Tinggi rumput Brachiaria decumbens mempunyai pengaruh yang lemah
terhadap produksi berat bahan kering rumput yang dihasilkan (sekitar 13-30%).
Tinggi daya tolak rumput Brachiaria decumbens juga mempunyai pengaruh yang
lemah terhadap produksi berat bahan keringnya (sekitar 20-37%).
DAFTAR PUSTAKA
ASSAEED, A. M. 1997. Estimation of Biomass and Utilization of Three
Perennial Range Grasses in Saudi Arabia. Journal of Arid Environments.
36 : 103-111.
BRIGGS, D. J. and F. M. COURTNEY. 1985. Agriculture and Environment.
Longman Scientific and Technical, Singapore.
CASTLE, M. E. 1976. A Simple Disc Instrument for Estimating Herbage Yield.
Journal of the British Grassland Society. 31 : 37-40.
COSGROVE, D. and UNDERSANDER. 2001. Evaluation of Simple Method for
Measuring Pasture Yield. University of Wisconsin, Madison, US.
DIAZ, L. and G. RODRIGUEZ. 2003. Measuring Grass Yield by Non-Destructive
Methods : A Review. CIAM, Apdo, Spain.
FRANCA, A., P. P. ROGGERO, C. PORQUEDDU and S. CAREDDA. 2003.
The Use of the Grassmeter as a Simplified Method to Estimate Dry Matter
Yield on Annual Self-Reseeding Medics and Clovers. Ital. J. Agron. 7 (2) :
103-110.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 153
KISMONO, I dan S. SUSETYO. 1977. Pengenalan Jenis Hijauan Tropika
Penting. Produksi Hijauan Makanan Ternak untuk Sapi Perah. BPLPP
Lembang. Bandung.
MANNETJE, L. „t. 1978. Measuring Biomass of Grassland Vegetation.
Department of Plant Science, Wageningen University, The Netherlands.
151-177.
MANNETJE, L. „t. and R. M. JONES. 1992. Plant Resources of South East Asia.
No 4. Forages. PORSEA Bogor. Indonesia.
MANSKE, L. L. 2003. Biologically Effective Grazing Management. Range
Science, Dickinson Research Extension Center, North Dakota State
University,
Canada.
[Serial
Online]
Available
at:
http://www.ag.ndsu.nodak.edu/
dickinso/research/2003/range03a.htm
(diakses 22 Oktober 2012, jam 20:00 WIB).
MAPPAONA,S.HARDJOSOEWIGNJO, S.BAHARSJAH dan I. KISMONO.
1987. Pengaruh Naungan dan Pemberian Nitrogen terhadap Produksi
Bahan Kering Rumput Brachiaria decumbens, Stapf. Bul, Mater. IPB
Bogor. 7 (2) : 36-45.
RAYBURN, E. B. and J. LOZIER. 2003. A Falling Plate Meter for Estimating
Pasture Forage Mass. West Virginia University, US.
REKSOHADIPROJO, S. 1994. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak
Tropik. BPFE UGM. Yogyakarta.
SANDERSON, M. A., C. A. ROTZ, S. W. FULTZ, and E. B. RAYBURN. 2001.
Estimating Forage Mass with a Commercial Capacitance Meter, Rising
Plate Meter and Pasture Ruler. Agronomy Journal. 93 : 1281-1286.
SITOMPUL, M. S. dan B. GURITNO. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
TILLMAN, A. D., H. HARTADI, S. REKSOHADIPROJO, S.
PRAWIROKUSUMO dan S. LEBDOSOEKOJO. 1998. Ilmu Makanan
Ternak Dasar. Cetakan kedua. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 154
PENGARUH PEMBERIAN ASAP CAIR TERHADAP PERTUMBUHAN
RUMPUT RAJA ( Pennisetum purpureophoides)¹)
Muhakka²), A. Napoleon³) dan Hidayatul Isti’adah4)
email: [email protected] d, HP: 08153808409, 081367755499
ABSTRAK
Pengaruh pemberian asap cair terhadap pertumbuhan rumput raja (Pennisetum
purpureophoides). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian
asap cair dan untuk menentukan dosis asap cair yang optimal terhadap
pertumbuhan rumput raja (Pennisetum purpureophoides). Penelitian dilaksanakan
di kebun percobaan Program Studi Peternakan dan Laboratorium Kimia, Biologi
dan Kesuburan Tanah Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya.
Selama 4 bulan yaitu dari bulan Nopember sampai dengan bulan Februari 2013.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5
perlakuan dan setiap perlakuan terdiri dari 3 kelompok sebagai ulangan.
Perlakuan yang digunakan adalah asap cair, dengan dosis sebagai berikut : A 0 =
0% asap cair, A1 = 2% asap cair, A2 = 4% asap cair, A3 = 6% asap cair dan A4
= 8% asap cair. Parameter yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah anakan
dan jumlah helai daun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian asap cair
terbaik pada tinggi tanaman rumput raja pada perlakuan A2 (4% asap cair) yaitu
382,50cm dan pada jumlah anakan dan helai daun terdapat pada A1 (2% asap cair)
yaitu 13,67 batang dan 140,42 helai. Kesimpulan pemberian asap cair
berpengaruh tidak nyata terhadap pertumbuhan rumput raja, namun jika dilihat
dari pertumbuhan jumlah anakan dan jumlah helai daun pemberian asap cair yang
optimal yaitu pada dosis 2%.
Kata kunci: Asap cair, pertumbuhan dan rumput raja.
1.
2.
3.
4.
Disampaikan pada acara Seminar Nasional II” Hijauan Pakan Lokal dalam Sistem
Integrasi untuk Ketahanan Pangan dan Ekonomi Peternakan Nasional, Bali, 28 -29 Juni
2013.
Staf Pengajar Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya.
Staf Pengajar Program Studi Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya.
Alumni Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya.
The Effect of Liquid Smoke on The Growth of King Grass (Pennisetum
purpureophoides).
ABSTRACT
This research aimed to determine the effect of liquid smoke and to determine the
optimal dose of liquid smoke to the growth of king grass (Pennisetum
purpureophoides). The research was conducted at the experimental farm
Livestock and Laboratory of Chemistry, Biology and Soil Fertility, Soil
Department, Faculty of Agriculture, SriwijayaUniversity, for 4 months that was
from November until February 2013. This research used randomized block design
Prosiding Semnas II HITPI
Page 155
(RBD) with 5 treatments and each treatment consisted of 3 block as replicates.
The treatment used was liquid smoke, with doses A0=0% liquid smoke, A1=2%
liquid smoke, A2=4% liquid smoke, A3=6% liquid smoke and A4=8% liquid
smoke. The parameters observed were height plant, number of tillers and number
of leaves. The results showed that giving liquid smoke on the best high of king
grass on treatment A2 (4% liquid smoke) was 382.50 cm and the number of tillers
and leaves found on the A1 (2% liquid smoke) was 13.67 rods and 140,42 strands.
The conclusions that giving liquid smoke have not significant effecton the growth
of the king grass, but seen from the growth, number of tillers and number of
leaves, the optimal giving liquid smoke at a dose 2%.
Key words: liquid smoke, growth and king grass.
PENDAHULUAN
Hijauan merupakan sumber pakan utama bagi ternak ruminansia, baik
untuk hidup pokok, pertumbuhan, produksi dan reproduksinya karena hijauan
mengandung za- zat makanan yang dibutuhkan oleh ternak ruminansia. Untuk
mencapai produktivitas ternak ruminansia yang optimal harus ditunjang dengan
peningkatan penyediaan hijauan pakan yang cukup baik kuantitas, kualitas
maupun kontinuitasnya. Sinaga (2005) menyatakan pada dasarnya ada dua faktor
yang mempengaruhi produktivitas rumput yaitu faktor genetik dan faktor
lingkungan yang mencakup keadaan tanah dan kesuburannya, pengaruh iklim
termasuk cuaca dan perlakuan manusia atau manajemen. Ketersediaan hijauan
yang semakin terbatas dapat diatasi dengan optimalisasi pemanfaatan hijauan
unggul seperti rumput raja (Pennisetum purpureophoides).
Rumput raja (Pennisetum purpureophoides) adalah salah satu jenis rumput
unggul yang mempunyai pruduksi tinggi, berkualitas baik dan sangat disukai
ternak. Sebagian besar lahan yang tersedia untuk pengembangan produksi hijauan
merupakan lahan- lahan marginal, seperti lahan kering pada jenis tanah ultisol
dengan tingkat kesuburan yang rendah (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Salah
satu upaya peningkatan produksi hijauan pada lahan-lahan marginal yang
memiliki tingkat kesuburan rendah dapat dicapai dengan memperhatikan syaratsyarat tumbuh tanaman dengan melakukan pemeliharaan yang baik, serta
penggunaan bahan yang dapat mempercepat pertumbuhan tanaman. Bahan yang
berfungsi sebagai hormon atau zat pemicu pertumbuhan tanaman yaitu asap cair.
Asap cair merupakan hasil kondensasi asap pada proses pembakaran dari
kayu atau bahan-bahan yang banyak mengandung karbon serta senyawa-senyawa
lain seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin. Menurut Yatagai (2002), komponen
kimia asap cair seperti asam asetat berfungsi untuk mempercepat pertumbuhan
tanaman, pencegah penyakit tanaman. Metanol berfungsi untuk mempercepat
pertumbuhan tanaman, sedangkan phenol dan turunannya berfungsi untuk
mencegah serangan hama dan penyakit tanaman. Pada penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya asap cair mempunyai peranan sebagai pemercepat
pertumbuhan tanaman, karena asap cair mengandung asam asetat. Hasil penelitian
lainnya menyebutkan bahwa asap cair dengan konsentrasi2% dapat meningkatkan
pertumbuhan tanaman padi dan dapat meningkatkan produksi gabah kering panen
sebesar 33% (Nurhayati 2007). Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dilakukan
Prosiding Semnas II HITPI
Page 156
penelitian untuk mengetahui pengaruh pemberian asap cair terhadap pertumbuhan
rumput raja (Pennisetum purpureophoides).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian asap cair
dan untuk menentukan dosis asap cair yang optimal terhadap pertumbuhan rumput
raja (Pennisetum purpureophoides).
MATERI DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di kebun percobaan Program Studi Peternakan
dan Laboratorium Kimia, Biologi dan Kesuburan Tanah Jurusan Tanah, Fakultas
Pertanian Universitas Sriwijaya Indralaya Ogan Ilir Sumatera Selatan, dari bulan
Nopember 2012 sampai dengan bulan Februari 2013.
Bahan yang digunakan antara lain : 1) bibit rumput raja berupa stek, 2)
pupuk urea, 3) SP-36, 4) KCL, 5) pupuk kandang, 6) asap cair. Lokasi lahan yang
digunakan untuk penelitian seluas 223,2 m2 dengan jenis tanah Podzolik Merah
Kuning (Ultisol).
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5
perlakuan dan setiap perlakuan terdiri dari 3 kelompok seba gai ulangan.
Perlakuan yang digunakan adalah asap cair, dengan dosis sebagai berikut : A 0 =
0% Asap cair, A1 = 2%Asap cair, A2 = 4% Asap cair, A3 = 6% Asap cair,dan
A4 = 8% Asap cair,
Lahan penelitian dibuat 5 petak percobaan dengan ukuran 2,8 × 2,8 m, dan
setiap petak terdiri dari 16 rumpun rumput raja. Pada sisi-sisi petak percobaan
dibuat saluran drainase. Jarak antara blok adalah 1 m dan jarak antara petak
percobaan 0,5 meter. Pengacakan blok dan unit percobaan dilakukan setelah
pembuatan blok-blok.
Bibit rumput raja berupa stek, cara penanamannya yaitu bibit dimasukan
di dalam lubang tanam yang telah terlebih dahulu di beri pupuk dasar berupa
pupuk kandang, SP-36 dan KCL. Pemupukan dilakukan dengan sistem larikan
pada tiap petak, pupuk yang diberikan setengah dari anjuran berupa pupuk urea,
SP-36, KCL dengan dosis masing- masing 50 kg ha-1 dan pupuk kandang 5 ton ha1
sebagai pupuk dasar, yang diberikan satu minggu sebelum penanaman, kecuali
pupuk urea diberikan pada saat tanaman berumur dua minggu dengan sistem
larikan pada sisi kiri dan kanan tanaman. Perlakuan yang diberikan adalah asap
cair dengan cara disemprotkan pada bagian tanah dekat batang bagian bawah
dengan dosis A0 = 0% Asap cair, A1 = 2% Asap cair, A2 = 4% Asap cair, A3 =
6% Asap cair, A4 = 8% Asap cair.
Peubah yang diamati (1) Tinggi Tanaman, dilakukan 10 hari sekali dengan
cara mengukur tinggi tanaman mulai dari permukaan tanah sampai pada ujung
tertinggi daun dengan cara menguncupkan daun ke atas, (2) Jumlah Anakan,
dilakukan pada saat tanaman berumur 30, 60 dan 90 HST dengan cara
menghitung jumlah anakan yang muncul dari permukaan tanah dan ruas tanaman
dan (3) Jumlah Helai Daun, dilakukan pada saat tanaman berumur 30, 60 dan 90
HST dengan cara menghitung jumlah daun yang menempati ruas batang. Analisis
data dilakukan sesuai dengan rancangan yang digunakan (Hanafiah, 2011).
Prosiding Semnas II HITPI
Page 157
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Berdasarkan analisa tanah (Tabel 1) menunjukkan bahwa lokasi penelitian
memiliki tingkat kesuburan tanah yang digolongkan rendah dengan reaksi tanah
sangat masam, N 0,30% dan P 22,80 ppm yang tergolong sedang, KTK 15,25
me/100g, Ca 0,73 me/100 g dan Mg 0,10 me/100 g yang tergolong rendah. Jenis
tanah ultisol memiliki tingkat kesuburan yang rendah tetapi C-organiknya tinggi.
Rendahnya tingkat kesuburan tanah maka akan berakibat pada rendahnya unsur
hara yang ada didalamnya sehingga mengakibatkan lambatnya pertumbuhan
tanaman.
Tabel 1. Hasil Analisis Tanah
Jenis analisis
Satuan
pH H2 O
C-Organik
%
N-Total
%
P-Bray I
Ppm
K-dd
me/100 g
Na
me/100 g
Ca
me/100 g
Mg
me/100 g
KTK
me/100 g
Al-dd
me/100 g
H-dd
me/100 g
Fraksi
Pasir
Debu
Liat
%
%
%
Hasil analisis
4,12
4,21
0,30
22,80
0,19
0,22
0,73
0,10
15,23
1,08
0,24
Kriteria
Sangat Masam
Tinggi
Sedang
Sedang
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Lempung Liat
Berpasir
52,05
17,03
30,92
Sumber : Laboratorium Kimia, Biologi dan Kesuburan Tanah, 2013
Keadaan tanah yang demikian dimasukkan dalam kategori marjinal untuk
kesuburan tanaman sehingga dapat memperlambat pertumbuhan tanaman, maka
diperlukan penggunaan bahan yang dapat memicu pertumbuhan tanaman yaitu
dengan menggunakan asap cair.
Tinggi Tanaman Rumput Raja
Nilai rata-rata tinggi tanaman rumput raja pada umur 20 hingga 90 hari
setelah tanam berkisar antara 40,25 cm-382,50 cm (Gambar 1).
Berdasarkan Gambar 2 menunjukkan bahwa nilai rata-rata tinggi tanaman
rumput raja yang tertinggi terdapat pada perlakuan A2 (4% asap cair) umur
tanaman 90 HST yaitu 382,50 cm dan nilai rerata tinggi tanaman terendah
terdapat pada perlakuan A0 (0% tanpa asap cair/kontrol) yaitu 326,75 cm.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 158
Gambar 1. Rata-rata tinggi tanaman rumput raja umur 20-90 HST
Rata-rata pertambahan pertumbuhan tinggi tanaman rumput raja yaitu
42,55 cm atau 4,25 cm per hari. Nilai rata-rata petambahan tinggi tanaman per 10
hari menunjukkan bahwa nilai rata-rata pertambahan tinggi tanaman rumput raja
yang tertinggi hingga umur 90 HST pada perlakuan A3 (6% asap cair) yaitu 42,55
cm. Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Muhakka et al.,
(2006) yang melaporkan bahwa rata-rata pertambahan tinggi tanaman rumput raja
per 10 hari pada defoliasi pertama dengan berbagai pupuk organik dan sulfur yaitu
39,12 cm (sulfur 60 Kg/ha-1 ). Pemberian asap cair pada tanaman rumput raja
memiliki tinggi yang lebih rendah terhadap pertambahan tinggi tanaman bila
dibandingkan dengan penggunanan sulfur pada tanaman rumput raja, hal ini
dikarenakan asap cair tidak mampu berperan secara optimal dalam pertambahan
tinggi tanaman.
Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian asap cair
berpengaruh tidak nyata terhadap tinggi tanaman rumput raja. Hal ini diduga asap
cair tidak dapat diserap dengan sempurna oleh tanaman serta tidak mampu
memenuhi kebutuhan unsur hara dalam tanah sehingga tidak memberikan
pengaruh terhadap tinggi tanaman rumput raja. Penggunaan asap cair harus
dikombinasikan dengan pupuk yang dapat memenuhi unsur hara agar
mendapatkan hasil yang terbaik. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat
Komarayati et al., (2011) sebaiknya aplikasi asap cair pada tanaman,dilakukan
bersamaan dengan penambahan unsur hara makro N, P dan K karena asap cair
inibukan pupuk, sehingga tidak bisa digunakan sebagai penyubur tanah ataupun
menambah unsur hara tanah.
Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa pemberian asap cair tidak
banyak mempengaruhi pertambahan tinggi tanaman rumput raja.
Hal
inidisebabkan karena penggunaan asap cair harus dikombinasikan dengan bahan
lainnya yang dapat membantu dalam penyediaan unsur hara dalam tanah.
Pernyataan ini sesuai dengan hasil penelitian Nurhayati et al. (2006) menyatakan
bahwa penggunaan asap cair destilat 2,5% pada perlakuan penambahan pupuk
NPK menghasilkan tinggi tanaman yang paling tinggi (62,1 cm) dibandingkan
Prosiding Semnas II HITPI
Page 159
dengan kontrol (57,4 cm) sebaliknya dengan perlakuan tanpa NPK penggunaan
asap cair ini menunjukkan hasil paling rendah (54,7 cm).
Pernyatan diatas sejalan dengan hasil penelitian Sridjono dan Supari
(2012) menyatakan bahwa pemberian larutan mikro organisme lokal (MOL) dan
larutan asap cair tidak berpengaruh pada tinggi tanaman, tinggi tanaman lebih
dipengaruhi oleh pupuk yang diberikan.Karena hanya penggunaan asap cair saja
belum dapat memenuhi unsur hara. Penyebabnya yaitu tempat lokasi percobaan
yang digunakan merupakan jenis tanah ultisol yang memiliki tingkat kesuburan
tanah rendah. Pernyataan di atas sejalan dengan Rosmarkam dan Yuwono (2002)
bahwa jenis tanah berpengaruh dalam menentukan jumlah dan perimbangan unsur
hara.
Jumlah Anakan Tanaman Rumput Raja
Nilai rerata jumlah anakan rumput raja dalam penelitian ini berkisar antara
5,42 batang-13,67 batang. Nilai rerata jumlah anakan rumput raja dapat dilihat
pada Gambar 2.
Gambar 2 Rata-rata jumlah anakan tanaman rumput raja
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian asap cair
berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah anakan rumput raja. Berdasarkan
Gambar 2 menunjukkan bahwa pemberian asap cair pada masing- masing
perlakuan mengalami peningkatan jumlah anakan tertinggi pada umur 90 HST.
Nilai tertinggi yaitu pada perlakuan A1 (2% asap cair) 13,67 batang, sedangkan
untuk A2 (4% asap cair) yaitu 12,25 batang, A3 (6% asap cair) yaitu 12,08 dan
A4 (8% asap cair) yaitu 12,08 batang. Nilai rata-rata jumlah anakan tanaman
rumput raja pada umur 90 HST dengan penggunaan asap cair mendapatkan
jumlah anakan lebih banyak bila dibandingkan denga n kontrol yang memiliki
jumlah anakan tidak jauh berbeda dengan A0 (0% asap cair) yaitu 11,83 batang.
Rata-rata jumlah anakan tanaman rumput raja yaitu berkisar antara 6,16
batang-7,75 batang. Jumlah anakan rumput raja yang tertinggi hingga umur 90
HST pada perlakuan A1 (2% asap cair) yaitu 7,75 batang dan terendah terdapat
pada perlakuan A0 (kontrol) dan A6 yaitu 6,16 batang. Penggunaan asap cair
mengalami peningkatan jumlah anakan pada perlakuan A1, A2 dan A4,
sedangkan untuk A0 dan A4 tidak mengalami peningkatan jumlah anakan.
Menurut Bidwell dalam Muhakka et al., (2006) bila ruang tumbuh tanaman dan
Prosiding Semnas II HITPI
Page 160
unsur hara cukup tersedia dalam tanah sesuai dengan kebutuhan tanaman, maka
akan semakin banyak terbentuk individu baru. Rata-rata jumlah anakan tertinggi
dapat dilihat pada perlakuan A1 (2% asap cair) yaitu 13,67 batang. Hasil tersebut
tidak jauh berbeda dengan penelitian Muhakka et al., (2006) yang menyatakan
bahwa rata-rata pertambahan jumlah anakan rumput raja pada defoliasi pertama
dengan pupuk organik dan sulfur yaitu 9,78 batang.
Berdasarkan hasil di atas menunjukkan bahwa jumlah anakan pada
perlakuan pemberian asap cair cenderung tidak memberikan pengaruh terhadap
pertumbuhan jumlah anakan. Hal ini diduga komposisi kimia yang terdapat pada
asap cair tidak mampu meningkatkan pertumbuhan jumlah anakan tanaman
rumput raja. Asap cair tidak mampu memenuhi ketersediaan unsur hara dalam
tanah, sehingga perlu memenuhi kebutuhan unsur hara pada tanah dengan
melakukan pemupukan agar pertumbuhan jumlah anakan menjadi lebih baik.
Menurut Muhakka et al., (2006) pertumbuhan tanaman yang baik akan
mempengaruhi lebih banyak fotosintat yang dapat ditransfer ke akar, sehingga
memperbesar sel dan aktifitas jaringan meristematik ujung akar meningkat yang
menyebabkan banyaknya terbentuk anakan.
Jumlah Helai Daun Tanaman Rumput Raja
Nilai rerata helai daun rumput raja dapat dilihat pada Gambar 3. Hasil
analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian asap cair berpengaruh tidak
nyata terhadap pertumbuhan jumlah helai daun.
Berdasarkan Gambar 3 menunjukkan bahwa nilai rata-rata jumlah helai
daun tertinggi terdapat pada perlakuan A1 (2% asap cair) yaitu 152,58 helai daun
pada saat tanaman berumur 90 HST dan nilai rerata jumlah anakan terendah
terdapat pada perlakuan A0 (kontrol) yaitu 113, sedangkan untuk A2 (4% asap
cair) yaitu 133,67 helai, A3 (6% asap cair) yaitu 143,08 helai dan A4 (8% asap
cair) yaitu 137,42 helai.
Gambar 3. Rata-rata jumlah helai daun rumput raja umur 30, 60 dan 90 HST
Prosiding Semnas II HITPI
Page 161
Rata-rata jumlah helai daun yaitu antara 86,42 helai-115,5 helai. Jumlah
helai daun dengan penggunaan asap cair cenderung lebih baik bila di bandingkan
dengan penelitian Muhakka et al., (2006) rata-rata jumlah helai daun tanaman
rumput raja pada defoliasi pertama dengan berbagai pupuk organik dan sulfur
yaitu 86,61 helai-90,44 helai. Hal ini berkaitan dengan pemberian asap cair pada
rumput raja dapat dimanfaatkan oleh tanaman sehingga pertambahan jumlah helai
daun dapat lebih baik.
Hasil tersebut ada kecenderungan bahwa konsentrasi asap cair yang
optimal dapat meningkatkan jumlah helai daun rumput raja. Penggunaan asap
cair pada tanaman rumput raja cenderung meningkatkan jumlah helai daun. Hal
ini sesuai pernyataan Nurhayati et al., (2006) bahwa selain berpengaruh positif
pada pertumbuhan, pemberian larutan mol dan asap cair berpengaruh positif yakni
meningkatnya komponen hasil seperti panjang malai, berat gabah kering panen,
jumlah butir isi, dan berat 100 butir.
Pemberian asap cair mengindikasikan dapat memenuhi kebutuhan helai
daun tanaman. Secara statistik asap cair tidak berpengaruh nyata pada
pertumbuahan helai daun, akan tetapi karena ada kecenderungan peningkatan
jumlah helai daun berarti asap cair berperan positif dalam meningkatkan jumlah
helai daun rumput raja. Hal ini dapat di analisa berdasarkan pengamatan secara
visual bahwa daun dan batang rumput raja yang diperlakukan dengan asap cair
nampak lebih hijau dibandingkan dengan tanpa perlakuan atau tanaman
kontrolnya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilak ukan menunjukkan bahwa
pemberian asap cair berpengaruh tidak nyata terhadap pertumbuhan rumput raja,
namun jika dilihat dari pertumbuhan jumlah anakan dan jumlah helai daun
pemberian asap cair yang optimal yaitu pada dosis 2%.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian maka disarankan perlakuan kombinasi asap
cair dengan pupuk agar dapat meningkatkan pertumbuhan rumput raja.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafiah, K. A. 2011. Rancangan Percobaan Aplikatif : aplikasi kondisional
bidang pertanaman, peternakan, perikanan, industri dan hayati. Edisi
ketiga -1,-2,- Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Komarayati, S., Gusmailina dan G. Pari. 2011 Produksi asap cair hasil
modifikasitungku arang terpadu.Pusat Penelitian Dan Pengembangan
Keteknikan Kehutanan Dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor.
Muhakka., D. Budianto., Munandar dan Abubakar. 2006. Optimalisasi pemberian
pupuk organik dan sulfur terhadap produksi rumput raja (Pennisetum
purpureophoides). J. Tanaman tropika. 9(1):30-41.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 162
Nurhayati, T., A. R. Pasaribu dan D. Mulyadi. 2006. Produksi dan pemanfaatan
arang dan asap cair dari serbuk gergaji kayu campuran. Jurnal Penelitian
Hasil Hutan.
Nurhayati, T. 2007. Produksi arang terpadu dengan asap cair dan pemanfaatan
asap cair pada tanaman pertanian. Makalah disampaikan pada Pelatihan
pembuatanarang terpadu dan produk turunannya. Di Dinas Kehutanan
KabupatenBulungan, Kalimantan Timur, tanggal 17-26 Juli, 2007.
Prasetyo, B. H dan D. A, Suriadikarta. 2006. Karakteristik, potensi, dan teknologi
pengelolaan tanah ultisol untuk pengembangan pertanian lahan kering di
Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. 25(2).
Rosmarkam, A dan Yuwono. 2002. Ilmu kesuburan tanah. Kanisius,Yogyakarta.
Sinaga, R, 2005. Tanggap morfologi, anatomi dan fisiologi rumput gajah dan raja
akibat penurunan kertersediaan air tanah. Tesis S2. Institut Pertanian
Bogor. (tidak dipublikasikan)
Sridjono, H dan Supari, 2012. Dampak pemberian larutan mikro organisme lokal
(MOL) dan asap cair (Liquid Smoke) pada pertumbuhan dan hasil tanaman
padi (Oryza Sativa.L) [Laporan Penelitian] Program Studi Agroteknologi
Fakultas Pertanian Universitas Muria Kudus.
Yatagai. 2002. Utilization of charcoal and wood vinegar in Japan. Graduate
School of Agricultural and Life Sciences,The University of Tokyo.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 163
EVALUATION OF MORPHOLOGICAL CHARACTERS
AND ASSESMENT OF DNA CONTENT USING FLOWCYTOMETRY
ANALYSIS IN REGENERANTS DWARF NAPIERGRASS FROM
EMBRYOGENIC CALLI
Nafiatul Umami*
*Lab. Hijauan Makanan Ternak dan Pastura, Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mad a, Jl.
Fauna No 3 Kampus Bulaksumur UGM, Yogyakarta, 62 274 513 363, [email protected]
ABSTRACT
Callus is an excellent source for in vitro plant regeneration, but plants regenerated
from callus sometimes show phenotypic and genotypic variation from the initial
plants. In this study, there was no variations between regenerated plants and dwarf
napiergrass as control. Research result on six morphological characters did not
show differences between regenerated plants and control plants. There were not
either significant differences of DNA content between control and regenerated
plants. The method established by this research was a stable and efficient method
that can be applied for supplying transformation materials using callus.
INTRODUCTION
The major goal of plant breeding is to improve existing cultiva rs and to
develop new or elite bud by in vitro culture. The genetic variability induced by in
vitro culture has been exploited to serve such breeding purpose due to the fact
that the plants obtained from in vitro culture sometimes show phenotypic and
genotypic variations from initial plant. This phenomenon is called “somaclonal
variation”, which refers to the variation arising in cell culture, regenerated plants
and their progenies (Larkin and Scowcort 1981).
The genetic basis of somaclonal variation is not fully understood yet.
However, it is postulated that the events such as large scale deletions and gross
changes in chromosome structure/ number and directed and undirected point
mutations, transposon activation and epigenetic changes such as DNA
methylation, hystone acetylation and chromatin remodeling, contribution to the in
vitro variations.
A wide range of altered phenotypic expression in regenerated plants can
be found, such as chlorophyll deficiency, dwarfs, seed characteristics,
reproductive structures and necrotic leaves (Phillips et al., 1994). However in
contrast, somaclonal variants are undesired when the tissue culture protocols
applied for developing transgenic plants since the occurence of somaclonal
variants will complicate the evaluation of the effects of inserted gene (s), thus
constitutes a major problems (Lutts et al., 2001).The resulting genetic variability
can be consequential; therefore it is imperative to check for genome stability of in
vitro regenerated plants. The stability of plant genomes can be affected by the in
vitro conditions to which the plants are subjected during the propagation process.
With each plant species responds differently. Chromosomal/ genome size changes
occuring during the in vitro propagation have been reported in several gramineae.
Flow cytometry has been described as one of the most reliable technique to
estimate nuclear DNA contents in plants. In comparison with other methods, as
Prosiding Semnas II HITPI
Page 164
feulgen microdensitometry and chromosome counting, flowcytometry provides
unsurpassed easy, speed and accuracy (Dolezel and Bartos, 2005). In recent study,
this technique has been succesfully applied in the analysis of genom size of
brachiaria (Ishigaki et al., 2010).
The present report, we reported an evaluation of morphological characters
from plant regeneration through inducing somatic embryogenesis from apical
meristem of shoot-tillers of regenerated plant and initiated plant and assess DNA
content stability of its in vitro regenerated plant compared to initiated native
plants using FCM analysis
MATERIALS AND METHODS
Regenerated plant from embryogenic calli culture
Regenerated plants from somatic embryogenesis were produced using
established method of embryogenic calli induction, grown well with the some
condition in the green house. The aclimated somatic plantlets were maintained in
green house for one year. After this preliminary phase aiming at describing and
asesing the egenerants population, all somatic embryogenesis regenerated plants
transfer to the field for examine the morphological trait of regenerated plants.
On all regenerated plant from embryogenic calli, and respective control
plants normal management practices including fertilizer applications were
followed during the cultivation in the field. Initiated plant as control origin from
stem nod cut of tiller from the field.
Morphological analysis
Rooted tillers of the dwarf napiergrass were transplanted into Wagner‟s pot (size
1/2000a; diameter 25 cm depth 30 cm) (1 plant pot–1 ) filled with commercial
heated soil. Each plant was planted at 50 cm × 50 cm of spacing. 9 gr of N, P 2 O5
and K 2 O per pot of chemical compound fertilizer were applied as dressing in
transplanting time. In the greenhouse, plants were gave water at 2-3 d intervals
for maintaining the water availability by direct watering to the pots. Field location
shows in Figure 4.3.1
P 1-3
RP 3-1
Cont 1-1
RP 6-1
Cont 2-3
RP 2-3
Cont 3-2
RP 5-1
RP 5-3
RP 7-2
RP 4-2
RP 7-3
RP 6-2
RP 4-1
Cont 1-3
RP 2-1
RP 3-3
RP 6-3
Cont 3-1
RP 7-1
RP 4-3
RP 1.1
Cont 3-3
RP 2-3
Cont 2-1
Cont 1-2
RP 7-2
RP 3-2
Cont 5-2
Cont 2-2
Figure 4.3.1 Field design for morphological traits evaluation of regenerated plant
(RP) from embryogenic calli and control dwarf napiergrass (Cont).
All observations and measurements (plant heights, internode distance,
main stem diameter, number of internode, flag leave blade length, flag leave blade
width, panicle length, spikelet number in a panicle and fertile tiller number were
Prosiding Semnas II HITPI
Page 165
done in the second year of the study.
Estimation genome size stability using flow cytometry analysis
Plant materials
Regenerated plants were analized genome size stability using flow
cytometry analysis. Oryza sativa cv Nipponbare (2C=0.91 pg Uozu et al. (1997))
was used as internal references standard. Oryza sativa seedlings were grown in a
greenhouse. Native plant dwarf napier grass were collected from Kibana Field,
University of Miyazaki and from in vitro propagated planted initiated from
embryogenic callus of dwarf napiergrass. The cultures were transferred every 14
days to fresh medium and regenerated shoots were used for subsequent
subculturing for shoot multiplication and were maintained in culture for more than
12 months prior to this study.The regenerants were compared to the control plants
for six morphological characteristics. The measurements were taken for a) plant
length; b) plant height; c) leaf blade length and d) leaf blade width taken from
trifoliate leaf of the longest stem; e) number of tiller and f) yield. Each
measurement except the yield, was repeated ten times. The mean of the ten
measurements was used to define the six morphological characteristics.
Flow cytometry analysis
Flow cytometry was conducted to estimate genome size in this study according to
Galbraith et al. (1983) with few modification. Approximately 0.5 cm2 of young
leaves of Oryza sativa cv Nipponbare and 1.0 cm2 of young leaves of native, plant
regenerated from embryogenic callus or multiple-shoot clumps of dwarf
napiergrass were excised and placed in 90 mm petridishes. The excisates were
soaked with 1.0 ml of an extraction buffer containing 50 mM Tris HCl, 0.5%
polyninylpyrrolidione, 0.01 % triton-X and 0.63 % sodium sulfite for 5 min and
chopped with a razor blade. The suspension including nuclei was filtered through
a 50 µm nylon. To stain nuclei completely, 50 µl propodium iodide (PI) and 50 µg
ml–1 RNase was added and the sustension was kept at room temperature for at
least 5 min.For estimation of DNA content, the FCM was performed using
Beckman Cell Lab QuantaT M SC Flowcytometer machine (Beckman Coulter, Inc.,
Tokyo, Japan) following the method of Ishigaki et al.(2010). The analysis was
replicated three times for each sample. DNA content of dwarf napiergrass and
regenerated plant were estimated by comparing the fluorescence intensities of the
samples derived from the cultivars to that of samples from Oryza sativa cv
Nipponbare.
RESULTS AND DISCUSSION
Analysis of morphological characteristics to assess the somaclonal variation in
regenerated plants from embryogenic calli shows in Figure 4.3.2
Prosiding Semnas II HITPI
Page 166
Figure 4.3.2. Morphological characteristics and dry matter yield of regenerants
from embryogenic calli of dwarf napiergrass and control plants (native dwarf
napiergrass) cutting 60 days after transplanting.
: control plants and
:regenerated plants
Plant height of the regenerants ranged from 110 to 149.3 cm, compared
with 128.6 cm in average for the control plants. Plant length of the regenerants
varied from 112.1 to 151.5 cm, whereas those of the control plants 134.04 cm in
average. Leaf blade length of the regenerants ranged from 52.9 to 80.2 cm
compared with 77.4 cm for the control plants. Leaf blade width varied from 2.0 to
3.8 cm compared with 2.9 cm for the control plants. Number of tillers of the
regenerants varied from 12 to 25, compared with 21.6 for the control plants. Fresh
yields of the regenerants varied from 449 to 972 g/pot compared with 731.6 g/pot
for the control plants. Statistical analysis shows no significant different in
morphological characters between regenerants and control plants.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 167
4.3.3. Fluorescent intensity measures of dwarf napiergrass (Pennisetum
purpureum Schum) and Oryza sativa cv Nipponbare by flow cytometry. (A) Peak
1 corresponds to O. sativa cv Nipponbare, peak 2 corresponds to the control plant
(native dwarf napiergrass). (B) Peak 1 corresponds to O. sativa cv. Nipponbare,
peak 2 corresponds to regenerant plant from embryogenic calli of dwarf
napiergrass.
From FCM analysis, the difference between mean peak position of standar
plant prepared in different time, by co-chooping with regenerated plant and
control dwarf napiergrass was not significant. This implies that either addition of
sample into isolation buffer was able to give respon and do not inhibit PI staining
of napiergrass DNA.
The 2C nuclear DNA content of napiergrass was estimated to be 4.72±0.33
pg 2C–1 there was no significant difference (P<0.05) in nuclear DNA content
between control dwarf napiergrass and in vitro plant regenerated (4.69±0.28 pg
2C–1 ). This implies that the genome size of regenerated plants produced in vitro
remained stable even after long-term culture (>1 years) with repeated sub
culturing every 2 weeks. From this study it is inferred that regenerated plant of
dwarf napiergrass produced in vitro using this methods maintains the same genom
size.
The mean of plant height of regenerated plants and control plants was not
significant different, neither was that of the five other observed characters. This
means that using this method for EC induction does not promote phenotypic
variation. In another research on Paspalum notatum (Akashi et al. 1992) reported
that variations existed in embryogenic calli induction using 2,4-D and BAP,
Prosiding Semnas II HITPI
Page 168
whereas Gondoet al. 2007 andIshigaki et al., 2009, in line with the result of this
research, reported the absence of phenotypic variations on the regenerated plants.
FCM analysis was conducted to test the DNA content. This analysis was
chosen because it was relatively inexpensive, easy and did not require plentiful
samples. The result showed that the DNA content of control plant and regenerated
plant were similar. Thus, there were no d ifferences nor somaclonal variation
between regenerated and control plants.
This study points out that the establishment method on embryogenic calli
induction of dwarf napiergrass, proliferation and regeneration resulted from this
research can be applied for producing embryogenic calli as transformation
materials because the regenerated plants are stable and similar wih the control
plants.
REFERENCES
Akashi R, Adachi T (1992) Somatic embryogenesis and plant regeneration from
cultured immature inflorescences of apomictic dallisgrass (Paspalum
dilatatum Poir). Plant Sci 82: 213–218.
Gondo T, Matsumoto J, Yamakawa K, Tsuruta SI, Ebina M, Akashi R (2007)
Somatic embryogenesis and multiple-shoot formation from seed-derived
shoot apical meristems of rhodes grass (Chloris gayana Kunth). Grassl Sci
53:138–142.
Dolezel J, Bartos J. 2005. Plant DNA flow cytometry and estimation of nuclear
genome size. Annals of Botany 95: 99–110.
Galbraith DW, Harkins KR, Maddox JM (1983) Rapid flow cytometric analysis
of the cell cycle in intact plant tissue. Science 220: 1049–1051.
Ishigaki G, Gondo T, Suenaga K, Akashi R (2009) Multiple shoot formation,
somatic embryogenesis and plant regeneration from seed-derived shoot
apical meristems in ruzigrass (Brachiaria ruziziensis). Grassl Sci 55:46–51.
Ishigaki G, Gondo T, Ebina M, Suenaga K, Akashi R (2010) Estimation of
genome size of Brachiaria species. Grassl Sci: 56: 240–242.
Larkin PJ, Scowcroft WR (1981) Somaclonal variation-a novel source of
variability from cell culture for plant improvement. Theoretical and
applied genetics 60: 197–214.
Lutts S, Kinet JM, Bourharmont J (2001) Somaclonal variation in rice after two
successive cycles of mature embryo derived callus culture in the presence
of NaCl. Biol Planta 44: 489–495.
Phillips RL,Kaeppler SM and Olhoft P (1994) Genetic instability of plant tissue
culture. Proc. Natl. Acad Sci. USA 91: 5222–5226.
Uozu S, Ikehashi H, Ohmido N, Ohtsubo H, Ohtsubo E, Fukui K (1997)
Repetitive sequences: Cause for variation in genome size and c hromosome
morphology in the genus Oryza. Plant Molecular Biology 35: 791–799.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 169
PERANAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA, MIKROORGANISME
PELARUT FOSFAT, RHIZOBIUM SP DAN ASAM HUMIK UNTUK
MENINGKATKAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKTIVITAS LEGUM
CALOPOGONIUM MUCUNOIDES PADA TANAH LATOSOL DAN
TAILING TAMBANG EMAS DI PT. ANEKA TAMBANG
Karti, P.D.M.H., N. R. Kumalasari, D. Setyorini 1)
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Jawa Barat
Hp. 081314227713/ Email : [email protected]
1)
ABSTRACT
Latosols soil conditions are poor in nutrients and tailing of gold mine contain
heavy metal causes low productivity of forage. The objective of this research to
study the best combination of soil potential microorganisms and soil conditioner
that can promote the growth and production of legume crops Calopogonium
mucunoides Desv. Seven treatments used were A: control, B: arbuscular
mycorrhizal fungi (AMF), C: AMF + Rhizobium, D: AMF + Phosphate
Solubilizing Bacteria (BPF), E: AMF + Humic Acid, F: AMF + BPF +
Rhizobium, G: AMF + BPF + Humic Acid + Rhizobium. Variables measured
were the root dry weight, shoot dry weight, spread length, number of trifoliate
leaves, the number of active root nodules, the percentage of root infection.
Augmentation of soil microorganisms and soil conditioner not effective enough to
improve plant growth of Calopogonium mucunoides Desv because plants can still
adapt and grow well on latosols. Plants grown on tailings provide the best
response is G (AMF+ Humic Acid + Rhizobium), although the rate of growth is
not as good as plants grown in latosols.
Keywords: Arbuscular Mycorrhizal Fungi, Phosphate Solubilizing Bacteria,
Rhizobium, humic acid, Calopogonium mucunoides
ABSTRAK
Kondisi tanah latosol yang miskin unsur hara dan tailing tambang emas
yang tinggi kandungan logam berat menyebabkan produktivitas tanaman pakan
rendah. Tujuan penelitian untuk mempelajari kombinasi terbaik dari
mikroorganisme potensial dan pembenah tanah yang dapat meningkatkan
pertumbuhan dan produksi tanaman leguminosa Calopogonium mucunoides Desv
yang tumbuh pada tanah latosol dan tailing. Tujuh perlakuan yang digunakan
adalah A: kontrol, B : Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA), C : FMA + Rhizobium,
D: FMA + Bakteri Pelarut Fosfat (BPF), E: FMA + Asam Humik, F: FMA + BPF
+ Rhizobium, G: FMA + BPF + Rhizobium + Asam Humik. Peubah yang diamati
adalah adalah berat kering akar, berat kering tajuk, panjang penyebaran, jumlah
daun trifoliate, jumlah bintil akar aktif, persentase infeksi akar. Pemberian
mikroorganisme dan pembenah tanah pada tanah latosol belum cukup efektif
untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman Calopogonium mucunoides Desv
karena tanaman masih dapat beradaptasi dan tumbuh dengan baik pada tanah
latosol. Tanaman yang ditanam pada tailing memberikan respon terbaik adalah
perlakuan G (FMA + BPF + Rhizobium + Asam Humik), meskipun tingkat
pertumbuhannya tidak sebaik tanaman yang ditanam pada tanah latosol.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 170
Kata kunci : Fungi Arbuskula Mikoriza, Bakteri Pelarut Fosfat, Rhizobium, Asam
humik, Calopogonium mucunoides
PENDAHULUAN
Lahan marginal dan terdegradasi di Indonesia cukup banyak, antara lain
lahan masam dan lahan pasca penambangan. Keberadaan lahan masam di
Indonesia cukup tinggi meliputi 30% atau 0.51 juta km2 dari luasan daratan
Indonesia yang tersebar di daerah Jawa Barat, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi
dan Irian Jaya. Masalah utama yang dihadapi pada tanah masam adalah (1)
penurunan kelarutan P dan Mo sehingga terjadi defisiensi P dan Mo. (2)
penurunan konsentrasi unsur makro N, Mg, Ca dan K. (3) peningkatan konsentrasi
Al, Mn dan Fe yang dapat menimbulkan keracunan (4) menghambat pertumbuhan
akar dan penyerapan air sehingga menyebabkan kekurangan unsur hara, stress
kekeringan dan peningkatan pencucian unsur hara (Maschner, 1995).Usaha untuk
mengurangi ketidakefisienan penggunaan pupuk fosfat tersebut yaitu dengan
memanfaatkan mikroorganisme pelarut fosfat yang ditambahkan ke dalam tanah.
Dengan adanya mikroba tersebut dinilai efektif dalam pemecahan kompleks
dengan senyawa Al atau Fe hidroksi yang mengikat fosfat. Pengikatan Fe dan Al
oleh asam organik yang dihasilkan mikroorganisme pelarut fosfat akan
mengurangi fiksasi fosfat anorganik. Fosfat adalah unsur hara utama yang dapat
diserap oleh tanaman bermikoriza (Bolan, 1991), selain itu N (NH4 + atau NO 3 -),
K dan Mg yang bersifat mobil (Sieverding, 1991) dan juga unsur mikro seperti :
Cu, Zn, Mn, B dan Mo (Smith dan Read, 2008). Kemampuan cendawan mikoriza
arbuskula dalam memperbaiki status hara tanaman tersebut pada saat ini dapat
dijadikan alternatif strategi untuk menggantikan sebagian kebutuhan pupuk yang
diperlukan oleh tanaman yang ditanam pada tanah-tanah bermasalah.
Berbeda dengan Lahan pasca tambang emas, permasalahan yang dapat
ditimbulkan adalah kontaminasi logam berat. Fungi mikoriza arbuskula(FMA)
memiliki berbagai pengaruh yang memberikan kontribusi pada perbaikan dari
berbagai eekaman yang dialami oleh tanaman, misalnya toksisitas logam berat,
cekaman oksidatif, cekaman air, dan tanah masam (FINLAY, 2004). Penambahan
asam humik menyebabkan peningkatan kandungan Ca, Mg, K, Na, KTK dan
penurunan kandungan P2 05 , AI3+, Fe, Mo, Cu, AI-P. Penurunan P2 05 yang
merupakan P potensial, dengan adanya asam humat P 2 05 yang terikat tersebut
menurun sehingga P yang tersedia akan meningkat (Karti dan Setiadi, 2011).
MATERI DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca di laboratorium Agrostologi,
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Tanah latosol diambil di kecamatan
Dramaga di lokasi kandang B Laboratorium lapang Fakultas Peternakan IPB.
Tailing diperoleh dari tambang emas PT. Aneka Tambang Pongkor, Kabupaten
Bogor.
Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL).
Penelitian ini terdiri dari 7 perlakuan dengan 5 ulangan. Tujuh perlakuan yang
digunakan adalah :
Prosiding Semnas II HITPI
Page 171
A
B
C
D
E
F
G
: kontrol (tanpa perlakuan)
: Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)
: FMA + Rhizobium
: FMA + Bakteri Pelarut Fosfat (BPF)
: FMA + Asam Humik
: FMA + BPF + Rhizobium
: FMA + BPF + Rhizobium + Asam Humik
Asam humik diberikan sebanyak 80 ml per polybag yang diperoleh dari
hasil pengenceran 125 ml “Humega” per 20 liter air. Rhizobium dan bakteri
pelarut fosfat yang terdapat dalam arang sekam masing- masing diberikan 1 gram
per polybag. Bakteri pelarut fosfat yang terdiri dari 3 isolat. FMA menggunakan
carrier zeolit dan diberikan sebanyak 10 gram per pot polybag. Masing- masing
tanaman diberikan pupuk NPK mutiara dengan dosis 500 kg per ha tanah, yaitu
setara dengan 1,25 gram per polybag. Peubah yang diamati adalah berat kering
akar, berat kering tajuk, panjang penyebaran, jumlah daun trifoliate, jumlah bintil
akar aktif, persentase infeksi akar.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakter tanah latosol di Dramaga dan tailing tambang emas di Pongkor,
Kabupaten Bogor dapat di lihat pada Tabel 1. Pada tanah latosol terdapat beberapa
kendala yang dihadapi yaitu pH sangat masam, kapasitas tukar kation (KTK), Mg
dan K rendah, P dan Ca sangat rendah, dengan kejenuhan Almunium sangat
tinggi mencapai 94%. Pada limbah tailing tambang emas memiliki pH netral, nilai
KTK, C organik, Mg dan N total sangat rendah, dan K rendah. Kadar unsur
mikro terlarut seperti Fe, Cu, Zn sangat tinggi dan logam berat Pb yang sangat
tinggi. Pertumbuhan dan produksi tanaman pakan dengan beberapa kenda la di
atas pada tanah latosol dan lahan pasca tambang emas akan mengalami masalah
karena kesuburannya rendah.
Pada Tabel 2 terlihat penggaruh perlakuan terhadap rataan laju
pertambahan panjang penyebaran periode pertama menunjukkan perbedaan yang
nyata (P<0.05) dan jumlah bintil akar menunjukkan perbedaaan yang sangat
nyata (P<0.01), sedangkan LPPP periode kedua, jumlah daun trifoliate pada
periode kesatu dan kedua, berat kering tajuk periode kesatu dan kedua, berat
kering akar, berat kering bintil akar serta infeksi akar tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata. Pada tanah latosol tanaman Calopogonium mucunoides
masih dapat tumbuh dengan baik karena tanpa pemberian pupuk hayati masih
menunjukkan pertumbuhan dan produksi yang baik, hal ini menunjukkan
Calopogonium mucunoides termasuk jenis tanaman yang toleran terhadaptanah
masam. Menurut Karti et. al., (2011), toleransi tanaman Setaria splendida
terhadap toksisitas Almunium dengan pH yang masam dengan cara
mensekresikan asam oksalat dan asam sitrat dari akar ke larutan eksternal, dan
mengakumulasikan asam asam oksalat dan asam malat pada akar dan tajuk. Asam
Prosiding Semnas II HITPI
Page 172
organik tersebut akan mengikat Almunium sehingga tidak menyebabkan
penurunan pH dan dapat melepaskan fosfat yang dibutuhkan tanaman.
Tabel 1. Karakteristik Tanah Latosol dan Tailing Tambang Emas
Limbah T ailinga
Kriteria
Latosolb
Kriteria
Ph H2 O (pH 1 :1)
7.10
netral
4.33
Sangat masam
2
Ph KCl (pH 1 :1)
5.80
3
KT K N NH4 O Ac pH 7.0
3.03
Sangat rendah
16.64
4
KB(%)
100
5
C-org (%) Walkley & Black
0.39
Sangat rendah
2.13
Sedang
6
N-total (%) Kjeldhal
0.05
Sangat rendah
0.30
Sedang
7
P (ppm) Bray I
11.7
tinggi
8
P (ppm) HCl 25%
119.9
9
Ca (me/100gr) N NH4 OAc pH 7.0
30.75
10
Mg (me/100gr) N NH4 Oac pH 7.0
0.38
11
K (me/100gr) N NH4 Oac pH 7.0
0.20
12
Na (me/100gr) N NH4 Oac pH 7.0
0.60
13
Al (me/100gr) N KCl
14
15
16
17
No
Sifat T anah
1
Rendah
52
3.8
Sangat rendah
195.4
-
Sangat tinggi
1.25
Sangat rendah
Sangat rendah
0.50
Rendah
rendah
0.12
Rendah
sedang
0.30
Rendah
tr
-
2.02
Sangat tinggi
Fe (ppm) N HCl 25%
1520.20
Sangat tinggi
-
Cu (ppm) N HCl 25%
49.60
Sangat tinggi
-
Zn (ppm) N HCl 25%
37.40
Sangat tinggi
-
Pb (ppm) N HCl 25%
172.00
Sangat tinggi
-
Tabel 2. Pengaruh Penambahan Fungi Mikoriza Arbuskula, Mikroorganisme
Pelarut Fosfat, Rhizobium dan Asam Humik pada Tanah Latosol.
Perla
kuan
A
B
C
D
E
F
G
Rataan
LPPP I
Rataan
LPPP II
(cm/minggu)
ab
29.13
21.25b
27.44ab
36.00a
35.78a
28.90ab
34.45a
14.84
13.56
13.78
16.98
17.59
14.51
15.15
JDT
I
JDT
II
(helai)
23
21
27
27
25
29
26
25
21
22
24
26
26
25
BKT
I
BKT
II
BKA
(gram/pot)
2.85
2.47
3.03
2.79
2.84
3.23
3.62
2.28
1.79
2.09
1.82
2.36
2.22
1.93
JBA
aktif
(butir)
0.60
0.53
0.30
0.64
0.51
0.81
0.80
A
9.9
8.2A
9A
4.7B
3.6B
7.8A
9.2A
BKBA
aktif
(gram
/pot)
0.033
0.064
0.052
0.026
0.023
0.043
0.039
IA
(%)
12.5
23.4
20.5
24.7
15.8
28
24.7
Keterangan : Rataan dengan huruf besar pada kolom yang sama menunjukkan sang at berbeda
nyata (p<0,01). Rataan dengan huruf kecil pada kolo m yang sama menunjukkan berbeda nyata
(p<0,05). A (kontrol) ; B (FMA) ; C (FMA + Rh izob iu m); D (FMA + Bakteri Pelarut Fosfat) ; E (
FMA + Asam Hu mik); F ( FMA + Bakteri Pelarut Fosfat + Rhizobium) ; G (FMA + Bakteri
Pelarut Fosfat + Rhizobium + Asam Hu mik) ; LPPP Idan II : Laju Pertambahan Panjang
Penyebaran Panen I dan II ; J DT I dan II : Ju mlah Daun Trifo leat Panen I dan II ; B KT I dan II :
Berat Kering Taju k Panen I dan II ; B KA : Berat Kering Akar ; JBA aktif : Ju mlah Bintil Akar
Aktif ; BKBA Aktif : Berat Kering Bintil Akar Aktif ; IA : Infeksi Akar.
Pada Tabel 3 dapat dilihat pengaruh perlakuan menunjukkan perbedaan
yang nyata (P<0.05) terhadapBerat kering tajuk dan infeksi akar, sedangkan laju
pertambahan panjang penyebaran, jumlah daun trifoliate, berat kering akar tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata. Perlakuan G memberikan hasil yang terbaik
Prosiding Semnas II HITPI
Page 173
dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya, karena adanya penambahan
mikroorganisme secara lengkap yaitu : Fungi Mikoriza Arbuskula, Bakteri Pelarut
Fosfat, Rhizobium dan Asam Humik. Pada perlakuan yang menggunakan FMA,
tanaman mampu memanfaatkan sumber P melalui peningkatan laju pelarutan P
anorganik atau hidrolisis P organik (CUMMING dan NING, 2003), sehingga
konsentrasi ion- ion fosfat pada larutan tanah meningkat (NING dan CUMMING,
2001). Menurut pendapat SMITH dan READ (2008) dan KARTI (2004) tanaman
bermikoriza dapat meningkatkan penyerapan unsur hara seperti P, N, K, Ca dan
Mg. Pada perlakuan yang tidak mendapatkan FMA terlihat bahwa perkembangan
akar terhambat karena tingginya kandungan aluminium. Menurut Karti dan
Setiadi (2012), pemberian FMA dan asam humat pada rumput Setaria splendida
tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi, tetapi berpengaruh
terhadap peningkatan kualitas yaitu serapan P dan N total. Pemberian FMA
mampu meningkatkan pertumbuhan, produksi dan kualitas rumput Chloris
gayana. Penggunaan asam humat 180 ppm dapat meningkatkan kualitas rumput
Setaria splendida dan Chloris gayana. Hasil penelitian Karti et al. (2012)
mikroorganisme pelarut fosfat dapat meningkatkan kadar dan serapan P pada
Setaria splendida, sedangkan pada C. gayana telah menunjukkan peningkatan
produksi berat kering tajuk dan akar dan peningkatan kadar dan serapan P.
Mekanisme pelarutan fosfat dengan mengeluarkan eksudat asam oksalat dan
asetat. Calopogonium mucunoides yang tumbuh pada tanah latosol menunjukkan
respon pertumbuhan yang lebih baik bila dibandingkan dengan tanaman yang
tumbuh ditanah tailing. Pada perlakuan kontrol pada tanah tailing menunjukkan
pertumbuhan tanaman yang sangat jelek.
Tabel 3. Rataan Nilai Setiap Peubah dengan Pemberian Mikroorganisme dan
Pembenah Tanah pada Tanah Tailing
Perlakuan
LPPP
JDT
BKT
BKA
IA (%)
(cm/minggu)
(helai)
(g/pot)
(g/pot)
A
0.07
2
0.00C
0.00
1.8D
B
4.61
6
0.60BC
0.33
23BCD
C
0.78
3
0.03C
0.24
17.4CD
AB
D
2.45
10
0.87
0.23
28.6ABC
E
2.78
9
0.61BC
0.24
10.7CD
BC
F
3.59
12
0.72
0.43
37.9AB
G
5.92
12
1.50A
0.23
43.7A
Keterangan : Rataan dengan huruf besar pada kolom yang sama menunjukkan sang at berbeda
nyata (p<0,01). Rataan dengan huruf kecil pada kolo m yang sama menunjukkan berbeda nyata
(p<0,05). A (kontrol) ; B (FMA) ; C (FMA + Rh izob iu m); D (FMA + Bakteri Pelarut Fosfat) ; E (
FMA + Asam Hu mik); F ( FMA + Bakteri Pelarut Fosfat + Rhizobium) ; G (FMA + Bakteri
Pelarut Fosfat + Rhizobium + Asam Hu mik) ; LPPP: Laju Pertambahan Panjang Penyebaran ;
JDT : Ju mlah Daun Trifo leat ; B KT: Berat Kering Tajuk ; B KA : Berat Kering Akar ; IA : Infeksi
Akar.
Hal tersebut disebabkan tailing mengandung kadar Pb, Fe, Cu, Zn dan
kejenuhan basa yang tinggi, sedangkan KTK, N, C organik nya rendah. Hasil
penelitian Karti (2009) secara umum, empat jenis tanaman rumput dan legum
memerlukan sebuah konsorsium mikroorganisme untuk pertumbuhannya pada
Prosiding Semnas II HITPI
Page 174
tanah pasca tambang emas dan hasilnya akan lebih baik bila ditambahkan dengan
asam humik karena dapat mengikat logam berat
KESIMPULAN
Pemberian Fungi Mikoriza Arbuskula, mikroorganisme pelarut fosfat,
Rhizobium Sp dan asam Hhumikpada tanah latosol belum cukup efektif untuk
meningkatkan pertumbuhan tanaman Calopogonium mucunoides Desv. Tanaman
yang ditanam pada tanah tailing pasca tambang emas me mberikan respon terbaik
adalah perlakuan G (FMA + BPF + Rhizobium + Asam Humik), meskipun tingkat
pertumbuhannya tidak sebaik tanaman yang ditanam pada tanah latosol.
DAFTAR PUSTAKA
Bolan, N.S. 1991. A critical review on the role of mycorrhizal fungi in the
uptake of phosphorus by plants. Plant and Soil 134 : 189-209.
Cumming, R.l. and l. Nlng. 2003. Arbuscular mycorrhizal fungi enhance
aluminium resistance of brooms edge (Andropogon virginicusL.). J.Exp.
Bot. 54: 1447-1459.
Finlay, R.D. 2004. Mycorrhizal fungi and their multifunctional roles. Mycologist
18: 91-96
Karti, P.D.M.H. 2004. Pengaruh penggunaan bakteri penambat nitrogen,
cendawan mikoriza arbuskula dan penambahan bahan organik pada
Stylosanthes guyanensis. Med. Pet. 27: 63-68.
Karti, P.D.M.H. 2009. Utilizing Potential Soil Microorganisms, Humic Acid,
Grasses and Legumes Forages in Marginal and Degraded Lands in
Indonesia.
Proceeding The First International Seminar on Animal Industry (ISAI). Bogor.
Jawa Barat.
Karti, P.D.M.H. 2011. Mekanisme Toleransi Aluminium pada Rumput Pakan
(Selaria splendida).J. Agron. Indonesia 39 (2) : 144 - 148
Karti, P.D.M.H dan Y. Setiadi. 2011. Respon pertumbuhan, produksi dan kualitas
rumput terhadap penambahan fungi mikoriza arbusk ula dan asam humat
padatanah masam dengan aluminium tinggi. Jurnal Ilmu Ternak dan
Veteriner. 16(2) : 104-111.
Karti, P.D.M.H., S. Yahya, D. Sopandie, S. Hardjosuwignyo and Y. Setiadi. 2012.
Isolation and Effect of AI-Tolerant Phosphate Solubilizing Microorganism
for Production and Phosphate Absorbtion of Grasses and Phosphour
Dissolution Mechanism. Animal Production 14 (1) : 13-22.
Marschner H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plants. 2 nd Edition. Academic
Press Limited. London
Ning, J. and J.R. Cumming. 2001. Arbuscular mycorrhizal fungi alter phosphorus
relations of broomsedge (Andropogon virginicus L.) plants . .J. bpI. Bot.
52: 1883-1891.
Sieverding E. 1991. Vesicular Arbuscular Mycorrhiza Management in Tropical
Agrosystems. Deutsche GTZ. Gmbh. Eschborn.
Smith S.E. and D.J. Read. 2008 Mycorrhizal Symbiosis. Academic Press.UK. 3rd
Ed.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 175
PUPUK PHOSPHO-KOMPOS ORGANIK YANG DIPERKAYA DENGAN
MIKROORGANISME PELARUT P DAN PENGARUHNYA TERHADAP
PERTUMBUHAN RUMPUT SETARIASPLENDIDA
Rahmi Dianita 1 , A. Rahman, Sy 1 ., Ubaidillah 1
1
Fakultas Peternakan, Universitas Jambi
Jl. Jambi-Ma. Bulian KM.15 Mendalo Darat Jamb i36361
Telp/HP. 0741-61965 / 081385047600
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pupuk phospho-kompos
organik yang diperkaya dengan mikroorganisme yang mampu melarutkan P
terhadap pertumbuhan Setariasplendida. Penelitian ini didesain dalam suatu
rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri atas 4 perlakuan yaitu: R0 = Rock
Fosfat, R1 = Rock Fosfat + Jerami padi + Kotoran ternak ayam, R2 = Rock
Fosfat + Jerami padi + Kotoran ternak ayam + Trichoderma harzianum. R3 =
Rock Fosfat + Jerami padi + Kotoran ternak ayam + Aspergillus niger. Cara
pembuatan phospho-kompos organik merupakan modifikasi dari Bangar et al.
(1989); Biswas (2008) dengan dosis pemberian mengikuti Apniyarni, (2003) dan
Dewi (2002). Karakteristik fisik dan kimia dari kompos dan pertumbuhan
tanaman S. splendida diamati dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa phospho-kompos organik dengan dan tanpa mikroorganisme yang mampu
melarutkan P menghasilkan karakteristik fisik dan kimia yang baik. Perlakuan
phospho-kompos tanpa mikroorganisme menghasilkan pertumbuhan yang tidak
nyata berbeda dengan phospho-kompos yang diperkaya dengan mikroorganisme
yang mampu melarutkan P. Aplikasi pupuk phospho-kompos organik dengan dan
tanpa tambahan mikroorganisme yang mampu melarutkan P menghasilkan
pertumbuhan S. splendida yang nyata meningkat dibandingkan dengan kontrol
(rock fosfat).
Kata Kunci: Aspergillus niger, phospho-kompos organik, S. splendida,
Trichoderma harzianum
Phosphorus-enriched compost with P Solubilizing Microorganisms and Its
Effect on the Growth of Setaria splendida
ABSTRACT
The aimed of this experiment was to investigate the effect phosphorusenriched compost fertilizer with P solubilizing microorganisms on the growth of
Setaria splendida. The experiment was designed in completely randomized
designed with 4 treatments, consisted of R0 = Rock phosphate, R1 = Rock
phosphate + rice straw + chicken manure, R2 = Rock phosphate + rice straw +
chicken manure + Trichoderma harzianum. R3 = Rock phosphate + rice straw+
chicken manure + Aspergillus niger. Preparation of phosphorus-enriched compost
was modified from Bangar et al. (1989); Biswas (2008) with the dosage of
aplication based on Apniyarni, (2003) and Dewi (2002). Physical and chemical
characteristics of phosphorus-enriched compost fertilizer and the growth of S.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 176
splendida were observed in this experiments. The results showed that phosphorusenriched compost fertilizer with and without P solubilizing microorganisms
resulted good physical and chemical characteristics. The growth of S. splendida
did not significantly different for phosphorus-enriched compost with and without
P solubilizing microorganism treatments. Application of enriched phosphocompost fertilizer with and without P solubilizing microorganisms significantly
increased the growth of S. splendida compared to control (rock phosphate).
Keywords: Aspergillus niger, enriched phospho-compost organic,S. splendida,
Trichoderma harzianum
PENDAHULUAN
Ketersediaan pakan yang berkelanjutan khususnya pakan hijauan perlu
dipertimbangkan dalam pengembangan dan peningkatan populasi ternak
ruminansia. Pertumbuhan dan produksi tanaman pakan salah satunya dipengaruhi
oleh unsur hara yang ada di dalam tanah. Pemupukan baik dengan menggunakan
pupuk organik maupun anorganik merupakan salah satu cara untuk meningkatkan
kandungan hara tanah. Pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau
seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari sisa tanaman dan atau
hewan yang mengalami rekayasa berbentuk padat atau cair yang digunakan untuk
memasok bahan organik, memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah
(Peraturan Mentan, No.2/Pert/HK060/2/2006). Pupuk organik seperti kompos
yang berasal dari sisa limbah pertanian seperti jerami padi maupun kotoran ternak
sering digunakan petani/peternak untuk meningkatkan produksi usahatani.
Namun, pembuatan kompos secara tradisional dari bahan organik sisa hasil
pertanian membutuhkan waktu sekitar 6 bulan untuk menjadi kompos yang siap
pakai. Selain itu, kandungan hara seperti N, P dan K dalam pupuk organik relatif
lebih rendah dibandingkan dengan pupuk anorganik.
Pupuk kompos dapat diperbaiki kandungan haranya melalui penambahan
unsur hara tertentu seperti P maupun dengan penambahan mikroorganisme yang
dapat membantu memperbaiki kualitas kompos dari limbah usahatani. Sumber P
seperti rock fosfat (fosfat alam) dapat digunakan untuk memperbaiki kandungan
hara kompos. Fosfat alam merupakan pupuk organik yang murah, namun sangat
lambat tersedia bagi tanaman. Oleh karena itu, penggunaan bakteri pelarut P
diperlukan untuk membantu pelarutan ion P 2 O 5 yang berasal dari fosfat alam,
sehingga menjadi tersedia bagi tanaman. Beberapa jenis fungi telah diketa hui
mampu meningkatkan ketersediaan fosfat terlarut yang bisa diserap langsung oleh
tanaman, seperti fungi mikoriza (Dupponois et al., 2005; Dianita, 2012). Jenis
fungi lain yang mempunyai kemampuan sama dengan fungi mikoriza yang juga
diketahui mampu membantu pelarutan fosfat seperti Actynomyces, Bacillus sp
(Hamdali et al., 2010; Banik & Ninawe, 1988), Trichoderma spp (Kapri &
Tewari, 2010; Rudresh et al., 2005), dan A. niger (Sastro et al., 2005).
Penggunaan T. harzianum dan A. niger dalam proses pengomposan akan
mempercepat proses penguraian bahan organik dan sekaligus membantu pelarutan
fosfat sehingga menjadi tersedia bagi tanaman. Pengomposan dengan
menggunakan rock fosfat sebagai sumber P organik dan ditambah dengan kotoran
ayam dan jerami padi sebagai sumber N dan K yang diperkaya dengan fungi
Prosiding Semnas II HITPI
Page 177
tersebut akan menjadikan produk phospho-kompos organik sebagai pupuk yang
lengkap.
Pupuk kompos lengkap yang kaya akan unsur P ini dapat diaplikasikan pada
tanaman pakan seperti pada Setariasplendida yang mempunyai produktivitas
tinggi, sangat responsif terhadap pemupukan, dan palatabel untuk ternak. Selain
itu, S. Splendida juga mempunyai protein kasar yang cukup tinggi yaitu 11,4%,
dan 27,8% serat kasar dengan kecernaan protein kasar dan serat kasar masingmasing 65,2% dan 75,2% pada ternak domba (FAO, 1991). Penerapan pupuk
phospho kompos organik ini diharapkan akan meghasilkan pertumbuhan S.
splendida yang lebih tinggi.
MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini telah dilaksanakan di laboratorium rumah kaca Fakultas
Peternakan, Universitas Jambi dari bulan September sampai dengan November
2012.
Bahan dan Alat
Penelitian ini menggunakan rumput S.splendida yang diperoleh dari kebun
Farm Fakultas Peternakan, Universitas Jambi sebagai objek pengamatan dari
perlakuan pupuk phospho-kompos organik. Bahan yang digunakan antara lain
rumput S.splendida berasal dari sobekan rumpun (pols) sepanjang 20 cm, dengan
sedikit akar ikutannya, rock fosfat (fosfat alam), jerami padi, dan pupuk kotoran
ayam yang diperoleh dari Farm Fakultas Peternakan Universitas Jambi. Kapang
T. harzianum diperoleh dari Balai Penelitian Pertanian Jambi dan A. niger
diperoleh dari Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor.
Rancangan Penelitian
Penelitian aplikasi pupuk phospho-kompos organik pada rumput S.
splendida didesain dalam suatu rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri atas 4
perlakuan yaitu:
R0 = Rock Fosfat,
R1 = Rock Fosfat + Jerami padi + Kotoran ternak ayam,
R2 = Rock Fosfat + Jerami padi + Kotoran ternak ayam + T. harzianum,
R3 = Rock Fosfat + Jerami padi + Kotoran ternak ayam + A. niger.
Setiap perlakuan diulang 5 kali dan setiap unit percobaan terdapat 2 polibag
sehingga jumlah keseluruhan unit percobaan sebanyak 40 unit percobaan.
Prosedur Penelitian
Penelitian ini diawali dengan persiapan pembuatan pupuk phospho-kompos
organik. Bahan-bahan utama dicampurkan dengan perbandingan 1 : 1 (jerami
padi : kototan ayam). Fosfat alam yang digunakan sebesar 25 % dari total bahan
utama (jerami padi dan kotoran ayam). Mikroorganisme pelarut P diberikan
sebesar 2,5% dari total bahan utama. Kemudian seluruh bahan diaduk merata dan
campuran pupuk dibiarkan selama 45 hari (modifikasi dari Bangar et al. 1989;
Biswas, 2008). Kandungan kimia pupuk setelah menjadi kompos matang
dianalisis sebelum penelitian aplikasi ke tanaman S. splendida dimulai (Tabel 1).
Prosiding Semnas II HITPI
Page 178
Polibag kapasitas 5 kg diisi dengan tanah yang telah dikeringanginkan dan
disaring. Kandungan kimia tanah dianalisis sebelum penelitian dimulai (Tabel 2).
Pemupukan dilakukan pada saat tanam dengan meletakan pupuk di sekeliling
bahan tanam dengan cara membuat larikan dan membenamkannya. Setiap polibag
terdiri atas 2 sobekan rumpun. Pupuk phospho-kompos organik diterapkan
sebanyak 7,5 ton per hektar sesuai dengan Apniyarni, (2003) dan Dewi (2002).
Tabel 1. Analisis kandungan kimia pupuk phospho kompos organik*)
C-org
Ratio P-tersedia P 2 O5 K2 O
KTK
Kadar Air
(%)
N (%)
C/N
(%)
(%)
(%) (me/100g)
(%)
27,65
1,29
21,43
5,97
15,30 2,24
40,76
22,42
R1
25,24
1,43
17,65
6,02
17,21 2,40
36,46
15,82
R2
23,49
1,49
15,76
6,72
18,16
2,84
36,85
18,46
R3
Keterangan: *) Hasil analisis Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian IPB (2012)
Tabel 2. Analisis kandungan tanah*) sebelum penelitian
PH 1:1
(H2 O)
P-ters
(ppm)
P-HCl 25%
(ppm)
N(%)
4,80
3,5
34,6
0,08
Ca
Mg
K
KTK
(me/100g)
0,39
0,24
0,10
4,90
Keterangan: *) Hasil analisis Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian IPB (2012)
Prengamatan terhadap karakteristik fisik pupuk phospho-kompos organik
yang digunakan dalam penelitian, meliputi warna, pH, dan kadar air serta
kandungan haranya meliputi N, P, K, KTK, dan rasio C/N. Pengamatan
pertumbuhan tanaman meliputi: tinggi tanaman (cm/mgg/tanaman); jumlah
anakan (anakan/tanaman) dan bobot kering tanaman (g/tanaman).
Data yang diperoleh dari pembuatan pupuk phospho kompos yang meliputi
karakteristik fisik dan kimia pupuk dianalisis secara deskriptif sebagai informasi
umum kondisi perlakuan, sedangkan data pengamatan terhadap tanaman S.
splendida dianalisis sidik ragam berdasarkan RAL. Perbedaan antar perlakuan
dianalisis dengan Uji Duncan (Steel dan Torrie, 1989).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Fisik dan Kimia Pupuk Phospho-Kompos Organik
Dari ketiga perlakuan pupuk kompos R1, R2,dan R3, terlihat bahwa pupuk
R2 lebih halus teskturnya dan warna lebih coklat gelap dibandingkan dengan R1
dan R3 (Gambar 1). pH, kadar air, C-organik dan C/N rasio dari pupuk.
R1
R2
R3
Gambar 1 Penampilan fisik pupuk Phospho-Kompos Organik
Prosiding Semnas II HITPI
Page 179
Phospho-kompos organik (Tabel 3) yang dihasilkan masih dalam standar
yang ditetapkan oleh Balit Tanah dalam Suriadikarta et al (2004), yaitu berkisar ≥
4 - ≤ 8 untuk pH dan maks 35% untuk kandungan air, min 15 C-organik, dan 1225% C/N rasionya. Temperatur pada akhir proses dekomposisi kompos (hari ke
25-30) berkisar antara 25-32°C dan pH berkisar antara 6-8 (Karagiannidis et al.,
2010).
Tabel 3. pH, temperatur dan kandungan kimia pupuk phospho-kompos organik
setelah 45 hari pengomposan
Pengamatan
Perlakuan
R1
R2
R3
pH
7
7
7,1
Temperatur
29
28
28
Kadar air (%)
22,42
15,82
18,46
C-org (%)
27,65
25,24
23,49
N (%)
1,29
1,43
1,49
C/N
21,43
17,65
15,76
P-tersedia (%)
5,97
6,02
6,72
P2 O5 (%)
15,30
17,21
18,16
K 2 O (%)
2,24
2,40
2,84
KTK (me/100g)
40,76
36,46
36,85
Dari Tabel 3 menunjukkan kandungan hara pupuk phospho-kompos organik
mempunyai kecenderungan meningkat dari R1, R2 dan R3. Hal yang sama juga
terjadi untuk kandungan N pupuk yang cenderung meningkat. Penggunaan
mikrorganisme pelarut P mampu meningkatkan P-tersedia dan P total (P2 O5 ) dari
pupuk. A. niger mampu melarutkan P lebih banyak dibandingkan dengan T.
harzianum. A. niger merupakan organisme penghasil asam organik dalam kondisi
aerobik. Jumlah P yang dilepaskan setelah diinokulasi dengan A. niger dan T.
viride adalah 47, 60, 330 dan 810 ppm setelah pengomposan bagasse selama
masing- masing 30, 45, 60 dan 75 hari. Hal ini berhubungan dengan penuruan pH
dari awalnya 8 menjadi 7.26, 6.11, 5.88 dan 4.8 (Zayed & Motaal, 2005). Hal ini
mengakibatkan kandungan P dari perlakuan A. niger lebih tinggi dibandingkan
dengan perlakuan dengan menggunakan T. harzianum dan kontrol.
Rasio C/N kompos menunjukkan kecenderungan yang menurun dari R1, R2
dan R3. Pada perlakuan R1, kotoran ayam merupakan sumber karbon dan
mikroorganisme yang baik untuk proses dekomposisi, sehingga mampu mencapai
C/N rasio 21:1. Proses dekomposisi kompos yang terbaik terjadi pada
pengomposan dengan menggunakan A. niger. Rasio C/N nya mencapai nilai
terendah (15:1) dibandingkan yang lainnya, yang menunjukkan bahwa proses
dekomposisi selesai pada 45 hari. Penambahan A. niger mengakibatkan proses
aktif dari pelarutan P (Zayed & Motaal, 2004)
Pertumbuhan S. splendida yang diberi Pupuk Phospho-Kompos Organik
Pupuk phospho-kompos organik yang dihasilkan kemudian diaplikasikan
dalam penanaman rumput S. splendida dengan kontrol (R0) adalah rock fosfat.
Tabel 4 menunjukkan pengaruh pupuk phospho-kompos terhadap peubah
pertumbuhan yang diamati selama penelitian.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 180
Tabel 4. Rataan tinggi tanaman, jumlah anakan, dan bobot kering S. splendida
selama penelitian.
Peubah
Perlakuan
R0
R1
R2
R3
Tinggi
tanaman
(cm/mgg/tanaman) 47,76+8,13a 53,69+2,69ab 56,49+3,25b 56,72+2,69b
Jumlah
anakan
(anakan/tanaman)
2,60+0,88a
3,80+1,9bab
4,65+0,95b
4,50+1,33b
Bobot
kering
tanaman
(g/tanaman)
2,36+1,11a
5,45+1,55b
4,35+0,36b
4,15+0,87b
Keterangan: tanda superskrip (a, b) pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
(P< 0,05)
Dalam penelitian ini, pupuk phospho-kompos organik mampu memperbaiki
kandungan hara tanah menjadi lebih baik (dari kandungan tanah awal – Tabel 1)
bagi pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan S. splendida dalam hal ini tinggi
tanaman, jumlah anakan dan bobot kering tanaman meningkat nyata pada
perlakuan R1, R2 dan R3 dibandingkan dengan kontrol (R0). Kompos tanpa dan
dengan mikroorganisme yang mampu melarutkan P mengandung unsur hara yang
tersedia bagi tanaman, sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman.
Selain itu, seluruh kompos memperoleh proporsi kotoran ayam yang sama.
Kotoran ayam merupakan sumber berbagai mikroorganisme. Hal ini
mengakibatkan pertumbuhan S. splendida pada perlakuan phospho-kompos tanpa
mikroorganisme berbeda tidak nyata dengan phospho-kompos yang diperkaya
dengan mikroorganisme yang mampu melarutkan P. Zayed & Abdel-Motaal
(2005) dalam penelitiannya menemukan bahwa kompos yang dihasilkan dari
inokulasi dengan A. niger + T. viride dengan atau tanpa farm manure jauh lebih
baik sebagai sumber P terlarut dibandingkan dengan yang diinokulasi dengan
farm manure saja. P tidak terlarut menjadi terlarut dengan jumlah yang nyata dari
kedua sumber rock fosfat (Mussoorie rock phosphate (MP) dan Hyper rock
phosphate (HP)) dan dikonversi menjadi terlarut dalam air, organik dan fraksi P
terlarut asam format selama pengomposan (Singh & Amberger, 1995). Roy et al.
(2001) menyatakan bahwa mineralisasi bentuk P tidak terlarut oleh asam or ganik
merupakan keuntungan utama dari pengomposan rock fosfat. Sementara, input
organik seperti feses sapi memberikan keuntungan sendiri termasuk P tambahan
yang mampu menghasilkan produksi selevel dengan pupuk anorganik.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari penelitian ini disimpulkan bahwa phospho-kompos organik dengan dan
tanpa mikroorganisme yang mampu melarutkan P menghasilkan karakteristik fisik
dan kimia yang baik. Perlakuan phospho-kompos tanpa mikroorganisme
menghasilkan pertumbuhan S. splendida yang tidak nyata berbeda dengan
phospho-kompos yang diperkaya dengan mikroorganisme yang mampu
melarutkan P. Aplikasi pupuk phospho-kompos organik dengan dan tanpa
Prosiding Semnas II HITPI
Page 181
tambahan mikroorganisme yang mampu melarutkan P menghasilkan pertumbuhan
S. splendida yang nyata meningkat dibandingkan dengan kontrol (rock fosfat).
Penelitian terhadap kesehatan tanah sangat perlu dilakukan untuk melihat
keberlanjutan dari aplikasi teknologi ini terhadap lingkungan dan kesehatan
tanaman.
DAFTAR PUSTAKA
Apniyarni. 2003. Pengaruh pemberian kotoran ayam dan EM-4 terhadap
pertumbuhan dan bobot bahan kering rumput Kolonjono (Brachiaria
mutica Stapf) di tanah Ultisol. Skripsi. Fakultas Peternakan, Universitas
Jambi, Jambi.
Bangar, K. C., S. Shanker,S., Kapoor, K. K., Kukreja, K., Mishra, M. M. 1989.
Preparation of nitrogen and phosphorus-enriched paddy straw compost
and its effect on yield and nutrient uptake by wheat ( Triticum aestivum
L.). Biol Fertil Soils, 8:339-342
Banik, S., Ninawe, A., 1988. Phosphate solubilising microorganism in water and
sediments of a tropical estuary and the adjacent coastal Arabian Sea, in
relation to there physicochemical properties. J. Indian Soc. Coast. Agric.
Res. 6, 75–83.
Biswas. 2008. Production of enriched compost. ICAR, A Science and Technology
Newsletter 14:3, 1-2.
Dewi, M., 2003. Pengaruh pemberian kotoran ayam dan EM-4 terhadap produksi
kumulatif bahan keringhijauan, berat bahan kering akar dan bahan
organik rumput Kolonjono (Brachiaria mutica Stapf) di tanah Ultisol.
Skripsi. Fakultas Peternakan, Universitas Jambi, Jambi.
Dianita, R., 2012. Kajian penggunaan unsur nitrogen dan fosfor pada tanaman
legum dan non legum dalam sistem integrasi. Disertasi. Fakultas
Peternakan, IPB, Bogor.
Duponnoisa, R., Colombet, A., Hien, V., Thioulouse, J., 2005. The mycorrhizal
fungus Glomusintraradices and rock fosfat amendment influence plant
growth and microbial activity in the rhizosphere of Acacia holosericea,
Soil Biology & Biochemistry 37, 1460–1468.
FAO. 1991. Setaria splendida. http://www.fao.org/ag/aGa/agap/FRG/afris/Data/
151.htm. Diunduh 19 Juli 2012
Hamdali, H., Smirnov, A., Esnault, C., Ouhdouch, Y., Virolle, M. J. .I., 2010.
Physiological studies and comparative analysis of rock phosphate
solubilization abilities of Actinomycetales originating from Moroccan
phosphate mines and of Streptomyces lividans. Applied Soil Ecology 44.
P 24–31
Kapri, A., & Tewari, L., 2010. Phosphate solubilization potential and phosphatase
activity of rhizospheric Trichoderma spp. Braz. J. Microbiol. vol.41 no.3
Karagiannidis, A., Theodoseli, M., Malamakis, A., Bilitewski, B., Reichenbach,
J., Nguyen, T., Galang, A., Parayno, P., 2010. Decentralized aerobic
composting of urban solid wastes: some lessons learned from asian-eu
cooperative research.Global NEST Journal, Vol 12, No 4, pp 343-351
Prosiding Semnas II HITPI
Page 182
Roy, S. K, Sharma, R. C., Trehan, S. P ., 2001. Integrated nutrient management by
using farmyard manure and fertilizers in potato-sunflower-paddy rice
rotation in the Punjab. Journal of Agricultural Science 137: 271-278.
Rudresh D.L., Shivaprakash M.K., Prasad R.D. 2005. Tricalcium phosphate
solubilizing abilities of Trichoderma spp. in relation to P uptake and
growth and yield parameters of chickpea (Cicer arietinum L.). Can J
Microbiol. 51(3), p 217-22.
Sastro, Y., Widianto, D., dan Prijambada, I. D.. 2005. Pengaruh batuan fosfat dan
kerapatan inokulum terhadap ketahanan hidup Aspergillus niger dan
kemampuannya melarutkan fosfat setelah dipeletkan dengan batua n
fosfat. Jurnal Tanah dan Lingkungan, Vol. 7 No.2, Oktober 2005: 77-80
Singh, C.P.,& Amberger, A., 1995. The effect of rock phosphate-enriched
compost on the yield and phosphorus nutrition of rye grass. American
ournal of Alternative Agriculture10: 02, pp 82-87
Steel R. G. D., Torrie, J. H., 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika: suatu
pendekatan biometrik. Sumantri B. penterjemah. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama. Terjemahan dari: Principles and Procedures of Satistics.
Suriadikarta, D. A., Setyorini, D., Hartatik, W., 2004. Petunjuk Teknis Uji Mutu
Dan Efektivitas Pupuk Alternatif Anorganik. Balai Penelitian Tanah,
Puslitbangtanak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.
Zayed, G., & Abdel-Motaal, H., 2005. Bio-production of compost with low pH
and high soluble phosphorus from sugar cane bagasse enriched with rock
phosphate. World Journal of Microbiology & Biotechnology. 21:747–
752
Zayed, G., & Abdel Motaal, H., 2004. Bio-active composts from rice straw
enriched with rock phosphate and their effect on the phosphorus nutrition
and microbial community in rhizosphere of cowpea. Bioresource
Technology (in press).
Prosiding Semnas II HITPI
Page 183
Download