PROSIDING SEMINAR NASIONAL II HIMPUNAN ILMUWAN TUMBUHAN PAKAN INDONESIA (HITPI) BEKERJASAMA DENGAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN KEMENTAN RI HIJAUAN PAKAN LOKAL DALAM SISTEM INTEGRASI UNTUK KETAHANAN PAKAN DAN EKONOMI PETERNAKAN NASIONAL INNA BALI HOTEL DENPASAR, 28 – 29 JUNI 2013 Denpasar – Bali 2013 SEMINAR NASIONAL II HIMPUNAN ILMUWAN TUMBUHAN PAKAN INDONESIA (HITPI) Denpasar, 28 – 29 Juni 2013 PenyuntingPelaksana: W. Suarna N. Suryani G. Mahardika K. Budaarsa A. Trisnadewi Diterbitkan Oleh: Himpunan Ilmuwan Tumbuhan Pakan Indonesia (HITPI) Sekretariat: Laboratorium Ilmu Tumbuhan Pakan Fapet - Unud Denpasar – Bali 80232. Telp. (0361) 222096 Fax. (0361) 236180 e-mail: [email protected] Inna Bali Hotel Denpasar, 2013 ii Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Pakan Tropik Hak Cipta © 2013. Himpunan Ilmuwan Tumbuhan Pakan Indonesia (HITPI). Sekretariat:Laboratorium Ilmu Tumbuhan Pakan Fapet - Unud Denpasar – Bali 80232. Telp. (0361) 222096 Fax. (0361) 236180 e-mail: [email protected] Isi prosiding dapat disitasi dengan menyebutkan sumbernya. Penyunting: W. Suarna, N. Suryani, G. Mahardika, K. Budaarsa, dan A. Trisnadewi. Prosiding Seminar Nasional II Tumbuhan Pakan Tropik, diselenggarakan di Denpasar, 28 – 29 Juni 2013 vii + ...... halaman ISBN .................. Dicetak di Denpasar, Bali, Indonesia iii KATA PENGANTAR Sebuah pertemuan akbar ilmuwan tumbuhan pakan yang dikemas dalam sebuah semnas bertema “Hijauan Pakan Lokal dalam Sistem Integrasi untuk Ketahanan Pakan dan Ekonomi Peternakan Nasional” telah digelar dengan baik dan lancar pada tanggal 28 Juni 2013 dan dilanjutkan dengan kegiatan field trip pada tanggal 29 Juni 2013. Berbagai informasi dan pemikiran baru muncul selama kegiatan berlangsung. Suasana seminar yang hangat dan sangat kondusip diharapkan dapat terus ditumbuhkembangkan untuk kemajuan Ipteks tumbuhan pakan dan memberikan inspirasi untuk melahirkan pusat-pusat riset tumbuhan pakan. Semnas merupakan komitmen HITPI dalam rangka meramu dan mencermati pemikiran tentang keberagaman jenis dan manfaat tumbuhan pakan serta menggali potensi untuk menjadikan tumbuhan pakan sebagai komuditas yang memiliki keunggulan kompetitif. Seminar tumbuhan pakan tropik yang dilaksanakan bertujuan untuk saling tukar informasi tentang pengembangan Ipteks Tanaman Pakan Tropik di Indonesia antar para pakar, peneliti, dan pemangku kepentingan lainnya. Seminar telah membahas sekitar enam puluh makalah yang berasal dari berbagai perguruan tinggi serta institusi yang terkait dengan dunia peternakan di seluruh Indonesia. Seminar telah berhasil meningkatkan sinergisme berbagai stakeholders dalam pengembangan tumbuhan pakan dalam rangka membangun paradigma baru eksistensi tumbuhan pakan. Terimakasih kami sampaikan kepada Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan yang telah membantu pembiayaan semnas ini dan sebagai Keynote Speaker. Terimakasih juga kami sampaikan kepada para nara sumber (Direktur Pakan, Prof. David Hannaway, drh Patrianov MM, dan Dr. Ir. Bambang R. Prawiradiputra), Pemakalah, Peserta Seminar, dan semua pihak yang telah berkontribusi besar untuk keberhasilan pelaksanaan Seminar Nasional II Himpunan Ilmuwan Tumbuhan Pakan Indonesia (HITPI). Dr. Ir. Ni Nyoman Suryani, MSi. iv DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................ DAFTAR ISI .......................................................................................... RANGKUMAN HASIL DAN REKOMENDASI ................................. SAMBUTAN-SAMBUTAN LAPORAN KETUA PANITIA ...................................................... SAMBUTAN KETUA UMUM HITPI .......................................... SAMBUTAN DIRJEN PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN .......................................................................................... MAKALAH UTAMA ............................................................................ DIREKTUR PAKAN ...................................................................... OREGON STATE UNIVERSITY .................................................. STAF AHLI GUBERNUR RIAU ................................................... BALITNAK, CIAWI ...................................................................... KUMPULAN MAKALAH ORAL ........................................................ MAKALAH KELOMPOK I : PRODUKSI TANAMAN DAN HIJAUAN PAKAN Perubahan Nilai Nutrien Tanaman Sorgum (Sorghum Bicolor (L.) Moench) Varietas Lokal Rote sebagai Hijauan Pakan Ruminansia pada Berbagai Umur Panen dan Dosis Pupuk Urea Bernadete B Koten, R. D. Soetrisno, N Ngadiyono, B. Soewignyo .................................................................................. Nilai Nutrisi Panicum maximum cv. Riversdale yang Dipupuk dengan Air Belerang dan Pupuk Kandang Charles L. Kaunang & Endang Pudjihastuti ................................. Mekanisme Transfer Nutrisi dari Legum ke Rumput yang Diinokulasi FMA (Ifapet) Herryawan K.M ............................................................................. Pertumbuhan dan Hasil Hijauan Tanaman Rumput Setaria (Setaria splendid STAPF.) yang dipengaruhi Nitrogen, Fosfor, Mikoriza Vesikula Arbuskula (MVA), dan Azospirillum I Gusti Ngurah Alit Wiswasta ........................................................ Aplikasi FMA dan Pupuk Kandang terhadap Produksi dan Kualitas Rumput Gajah (Pennisetum purpureum Schum) Khalidin, Iskandar Mirza dan Abdul Azis ...................................... Pendugaan Produksi Biomassa Hijauan Rumput Brachiaria decumbens Berdasarkan Metode Non-Destruktif dengan Menggunakan Piringan Akrilik Sari Suryanah, Dudi, dan Mansyur .............................................. Pengaruh Pemberian Asap Cair Terhadap Pertumbuhan Rumput Raja (Pennisetum purpureophoides) Muhakka, A. Napoleon, Hidayatul Isti’adah ................................. Evaluation of Morphological Characters and Assesment of DNA Content Using Flowcytometry Analysis in Regenerants Dwarf Napiergrass from Embryogenic Calli Nafiatul Umami .............................................................................. iv v 1 3 5 7 12 13 26 53 88 100 101 111 118 132 139 147 155 164 v Peranan Fungi Mikoriza Arbuskula, Mikroorganisme Pelarut Fosfat, Rhizobium Sp dan Asam Humik untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan Produktivitas Legum Calopogonium mucunoides pada Tanah Latosol dan Tailing Tambang Emas di PT. Aneka Tambang Karti, P.D.M.H., N. R. Kumalasari, D. Setyorini .......................... Pupuk Phospho Kompos yang diperkaya dengan Mikroorganisme Pelarut P dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Setaria splendida Rahmi Dianita, A. Rahman, Sy., Ubaidillah .................................. MAKALAH KELOMPOK II : MODEL PRODUKSI PETERNAKAN BERBASIS PADANG PENGGEMBALAAN Produktivitas Padang Penggembalaan Sabana Timor Barat Arnold E. Manu .............................................................................. Pendugaan Daya Tampung Padang Rumput Mar di Taman Nasional Wasur Merauke terhadap Rusa Liar (Cervus timorensis) Bambang Tjahyono Hariadi dan Thimotius Sraun ........................ Pengaruh Cara Persiapan Lahan Terhadap Produksi Bahan Kering dan Kualitas Centrosema pubescent Benth. dan Calopogonium mucunoides Desv. di Padang Rumput Alami Luh Suariani, I Nyoman Kaca dan Ni Made Yudiastari ................ Profil Padang Rumput dan Perkembangannya di China Dwi Retno Lukiwati ........................................................................ Pemanfaatan Limbah dalam Sistem Integrasi Ternak untuk Memacu Ketahanan Pakan di Provinsi Aceh Nani Yunizar, Elviwirda dan Yenni Yusriani ................................. Keragaan Pastura Brachiaria humidicola (Rendle) Schweick pada Sistem Penggembalaan dan Stocking Rate Berbeda Selvie D. Anis, M.A. Chozin, M. Ghulamahdi dan Sudradjat, dan H. Soedarmadi ............................................................................... Perilaku Makan Ruminansia sebagai Bioindikator Fenologi Tumbuhan Pakan dan Dinamika Padang Penggembalaan Suhubdy Yasin ................................................................................ Potensi Hijauan di Perkebunan Kelapa Sawit sebagai Pakan Sapi Potong di Kabupaten Kutai Kartanegara Taufan P. Daru, Arliana Yulianti, dan Eko Widodo ...................... Prospektif Agronomi dan Ekofisiologi Indigofera zollingeriana sebagai Tanaman Penghasil Hijauan Pakan BerkualitasTinggi L. Abdullah ..................................................................................... Masalah Pengembangan Hijauan Makanan Ternak di Aceh M. Nur Husin, Didy Rachmadi ...................................................... Potensi Padang Penggembalaan Alam dan Prospek Pengembangan Sapi Bali dalam Mendukung Program Kecukupan Daging di Papua Barat Onesimus Yoku, Andoyo Supriyantono, Trisiwi Widayati dan Iriani Sumpe .................................................................................. 170 176 184 194 201 218 225 232 240 249 258 263 vi MAKALAH KELOMPOK III : PROSPEK BISNIS BENIH DAN HIJAUAN PAKAN Pertumbuhan Generatif Alfalfa (Medicago sativa L) Mutan Tropis, Respon terhadap PemupukanFosfat (Hasil Mutasi Induksi EMS) Widyati-Slamet. Sumarsono, S. Anwar dan D.W. Widjajanto ...... Uji Pengawetan Terhadap Daya Simpan Bahan Tanam Stek Rumput Gajah (Pennisetum purpureum Schummach) M. Agus Setiana ............................................................................. Analysis and Expression of Al-Tolerant Genes From Soybean [Glycine max (L.) Merryl] on Forage Crops and Escherichia coli S. Anwar, Sumarsono, Karno and F. Kusmiyati ............................ Evaluasi Produktivitas Tanaman Kerandang (Canavalia virosa ) sebagai Sumber Hijauan Pakan Ternak pada Lahan Pantai Sajimin dan B.R. Prawiradiputra .................................................. Inventarisasi Hijauan Pakan Kuda Pacuan di Nusa Tenggara Barat Sudirman, Gde Mertha & Suhubdy ................................................ Produktivitas Tenaga Pengarit Berdasarkan Moda Pengangkut di Peternakan Sapi Perah Pondok Ranggon, Jakarta Timur Iwan Prihantoro, M.A Setiana, Annisa Bahar ............................... Produktivitas dan Emisi Polutan Kambing Peranakan Etawah yang Diberi Wafer Ransum Berbasis Limbah Terfermentasi Inokulan Konsorsium Mikroba I M. Mudita, A. A. P. P. Wibawa, I W. Wirawan, I G L O Cakra, dan I.B.G. Partama ........................................................................ Inventarisasi Jenis Rumput dan Legum pada Lahan Perkebunan di Kabupaten Gianyar Provinsi Bali Suarna, W. dan N.N. Suryani ....................................................... Pengaruh Pemberian Hijuan dan Konsentrat Mengandung UreaKapur dan Ubi Kayu terhadap Penampilan Kambing PE I G. Mahardika, N.S. Dharmawan, K. Budaarsa, I G.L.O. Cakra, dan I P. Ariastawa ......................................................................... Eksplorasi Hijauan Pakan Babi dan Cara Penggunaannya pada Peternakan Babi Tradisional di Provinsi Bali Komang Budaarsa, N. Tirta A., Ketut Mangku Budiasa dan P.A. Astawa ............................................................................................ MAKALAH KELOMPOK IV : PEMANFAATAN HIJAUAN PAKAN DALAM SISTEM PRODUKSI PETERNAKAN Potensi Pengembangan Hijauan Pakan Ternak Sapi di Bawah Pohon Kelapa Kecamatan Lolayan Kabupaten Bolaang Mongondow Artise H.S. Salendu dan Femi H. Elly .......................................... Substitusi Gamal (Gliricidia sepium) dengan Kaliandra (Calliandra calothyrsus) pada Ransum terhadap Kecernaan InVitro A. A. Ayu Sri Trisnadewi, I G. L. O. Cakra, I W. Wirawan, I Made Mudita, dan N. L. G. Sumardani ..................................... 271 279 288 296 304 309 316 329 337 345 352 vii Pemanfaatan Daun Ketela Pohon (Manihot esculenta Crantz), Daun Pepaya (Carica papaya L), atau Daun Salam (Syzygium polyanthum Walp) sebagai Suplementasi Bumbu Terhadap Kualitas Daging Betutu Itik Andi Udin Saransi, Tjokorda Gede Belawa Yadnya, A.A.M.Semariyani, dan Ni Made A.Suardani ............................... Pemanfaatan Limbah Pengolahan Buah Merah pada Sistem Pemeliharaan Babi secara Pastura Diana Sawen, B.W. Irianti Rahayu dan Iriani Sumpe .................. Pemanfaatan Standinghay Rumput Kume Amoniasi dengan Penambahan Znso4 dan Zn-Cu Isoleusinat dalam Ransum untuk Mengoptimalkan Peningkatan Konsumsi, Kecernaan dan Kadar Glukosa Darah Sapi Bali Dara Erna Hartati, A. Saleh dan E.D. Sulistijo ...................................... Pengaruh Energi-Protein Ransum terhadap Karkas dan Organ Dalam Ayam Kampung Umur 35 Minggu G. A. M. Kristina Dewi, R. R. Indrawati, N. M. Laksmiwati, dan M. Dewantari ................................................................................. Pengaruh Penggunaan Indigofera falcata Sebagai Pengganti Konsentrat Dalam Ransum Sapi Perah Berbasis Jerami Padi Terhadap Produksi Asam Lemak Terbang Dan NH3 Gilang N. Ambisi, Tidi Dhalika, dan Mansyur .............................. Pemanfaatan Pelepah Sawit Sebagai Sumber Hijauan dalam Ransum Sapi Potong Nurhaita, Ruswendi , W. Rita, dan Robiyanto ............................... Pengaruh Pemberian Starbio Dan Pignox (Starpig) dalam Ransum yang Disuplementasi Daun Salam (Syzygium polyanthum Walp) terhadap Kualitas Daging dan Kolesterol Darah Ayam Kampung Tjokorda Gede Belawa Yadnya, I Wayan Wirawan, I Putu Tegik, dan Ni Putu Emi Suastini ............................................................... Pengaruh Pemanfaatan Inokulan yang Berbeda dalam Biofermentasi Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L) dalam Ransum terhadap Karkas dan Kualitas Daging Itik Bali Tjokorda Gede Belawa Yadnya, Ni Made Witariadi, Ni Made Suci Sukmawati, dan A.A.A. Sri Trisnadewi ................................. Efek Penggunaan Produk Fermentasi Limbah Agroindustri Lokal dalam Pakan Lengkap terhadap Performan Kelinci dan Income Over Feed Cost Usman Ali ....................................................................................... Introduksi Hijauan Makanan Ternak Sapi di Minahasa Selatan Femi H. Elly, P.O.V. Waleleng, Ingriet D.R. Lumenta, dan F.N.S. Oroh ................................................................................... Pengaruh Perbaikan Tanah Salin Terhadap Karakter Fisiologis Calopogonium mucunoides Kusmiyati,F,Sumarsono, and Karno .............................................. 359 369 375 385 393 402 410 419 430 439 446 viii KUMPULAN MAKALAH POSTER .................................................... Respons Rumput Gajah (Pennisetum purpureum Schumach) terhadap Pupuk Urea, Kotoran Ayam, dan Kotoran Sapi Sebagai Sumber Nitrogen (N) A. A. P. Putra Wibawa, I G. B. Adi Parwata, I W. Wirawan, N. L. G. Sumardani, dan I W. Suberata .............................................. Componential Analysis of Forages Lexemes in Kisah-Kisah Tantri (Tantri‟s Stories) I G. Ag. I. Aryani, I G.L.Oka and A.A.A. S. Trisnadewi ................ Pemanfaatan Bakteri Pelarut Fosfat Untuk Meningkatkan Produktivitas Kudzu Tropika (Puerariaphaseoloides Benth.) Roni NGK, NM Witariadi, NN Candraasih K, dan NW Siti .......... LAMPIRAN ........................................................................................... JADWAL ACARA SEMNAS II HITPI ......................................... DAFTAR JADWAL PRESENTASI .............................................. SUSUNAN PANITIA ..................................................................... BIDIKAN LENSA .......................................................................... PARTISIPAN SEMNAS II HITPI .................................................. 456 457 465 473 479 480 482 493 495 498 ix RANGKUMAN HASIL DAN REKOMENDASI SEMNAS II Hasil Seminar Terkait dengan tema seminar nasional berbagai informasi telah mengemuka dann dicoba untuk menghimpun informasi secara komprehensif mengenai sucsess story pengembangan hijauan pakan dan peternakan dalam sistem integrasi. Salah satu pembicara kunci yakni Drh. Askardiya R Patrianov,MP (Staf Ahli Gubernur Riau) telah memaparkanberbagai konsep dan strategi peningkatan produktivitas ternak pada sistem integrasi dengan tanaman perkebunan dan memanfaatkan tanaman pakan lokal. Integrasi ternak sapi dengan komuditas tanaman perkebunan juga diungkapkan oleh peneliti lain yang pada prinsipnya menyatakan bahwa tanaman perkebunan memiliki potensi yang sangat besar untuk pengembangan peternakan sapi dan kerbau. Sebuah model telah dikembangkan di Provinsi Riau dan mendapat tanggapan positif dari peserta Semnas adalah adanya sebuah sistem integrasi antara tanaman sawit denganbudidaya ternak sapi dengan produk dan limbah produksi sawit yang dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas ternak sapi. Ternak sapi meghasilkan feses selain dapat dimanfaatkan sebagai pupuk untuk meningkatkan produktivitas sawit juga dapat dimanfaatkan untuk memproduksi pupuk organik untuk masyarakat perdesaan. Sebuah solusi atas permasalahan tekno-sosial yang menghambat proses integrasi pengembangan hijauan pakan, telah disuguhkan oleh Prof. David Hannaway dan beliau menyatakan bahwa terdapat empat prinsip dasar yang tidak boleh diabaikan manakala kita mengembang hijauan pakan yakni: 1. Species and cultivar selection: foundational decision for successful forage production 2. Nutrient management: providing adequate levels of nutrients while reducing losses of nutrients and preventing water pollution 3. Livestock nutrient requirements: understanding the nutritional needs of the various classes of livestock 4. Defoliation management: to benefit the growth requirements of the plant Berbagai hal perlu mendapat petimbangan dalam pengembangan integrasi tanaman pakan pada perkebunan. Selain aspek ecofiologis tanaman pakan, ternak, dan perkebunan, juga aspek jenis tanaman pakan menjadi kunci keberhasilan pengembangan ternak terintegrasi. Dalam jangka pendek sangat diperlukan kegiatan riset untuk meningkatkan kapasitas tanaman pakan lokal melalui sentuhan dan pendekatan bioteknologi. Peningkatan potensi tanaman pakan lokal untuk meminimalisasi penggunaan konsentrat perlu mendapatkan perhatian yang serius. Terkait hal tersebut diperlukan data dan informasi spasial serta melakukan pemetaan sehingga dapat ditemukan peluang pengembangan produksi benih tanaman pakan nasional dalam upaya mensukseskan sistem produksi hijauan pakan terintegrasi yang gtepat dan berhasil guna. Dalam pengembangan ternak ruminansia, kebijakan dalam hal feed security diarahkan kepada penyediaan hijauan pakan ternak (HPT) dan dukungan pakan konsentrat dengan 4 (empat) buah strategi yakni (1) membangun sumber Prosiding Semnas II HITPI Page 1 benih dan bibit hijauan pakan ternak (HPT), (2) me ningkatkan pemanfaatan lahan melalui kegiatan integrasi ternak dan pemanfaatan lahan di kawasan hutan, serta (3) mengakselerasi pengembangan pastura dan “cut and carry system” dan (4) pengembangan teknologi pakan. Sedangkan kebijakan dalam feed safety dilaksanakan melalui pengembangan standard mutu pakan dan pengawasan pakan yang diproduksi dan yang beredar di masyarakat. Pemasalahan klasik dan selalu menjadi tantangan dalam pengembangan ternak adalah ketersediaan air sehingga produktivitas hijauan sangat rendah di musim kemarau dan diperlukan pengolahan pakan untuk dapat menyediakan di musim kemarau. Sebaliknya di musim hujan produksi hijauan menjadi sangat tinggi sehingga perlu diperhatikan sistem budidaya tanaman pakan (seperti STS) untuk penyediaan pakan secara berkesinambungan. Terkait dengan efisiensi pemanfaatan lahan maka dalam budidaya tanaman yang masih memberikan ruang kosong yang cukup luas sepert perkebunan, perlu dilaksanakan sistem integrasi ternak dengan sistem pertanian lainnya. Untuk mendukung keberhasilan sistem integrasi tersebut maka diperlukan sinergitas antar tiga komponen utama yakni akademisi, pemerintah, dan dunia usaha dalam meningkatkan produksi ternak. Mensinergikan hasil- hasil penelitian dengan kondisi di lapangan sehingga hasil- hasil penelitian memberikan manfaat bagi pengembangan ternak. Rekomendasi Rekomendasi yang dapat disampaikan untuk praktek integrasi terbaik yang sesuai dikembangkan adalah sebagai berikut: 1. Diharapkan ke depan pemberian pakan hijauan menjadi prioritas, untuk efisiensi biaya produksi ternak. Kualitas hijauan pakan perlu ditingkatkan terus dan bilamana memungkinkan hijauan pakan memiliki kualitas yang mendekati kualitas konsentrat. 2. Identifikasi dan inventarisasi tumbuhan pakan lokal yang potensial untuk dikembangkan pada sistem integrasi tanaman pakan-ternak-perkebunan sangat diperlukan untuk optimalisasi sistem integrasi. 3. Mencermati luasnya kawasan potensial untuk implementasi sistem integrasi maka diperlukan berbagai riset untuk mendapatkan berbagai model integrasi terbaik dan adaptif untuk meningkatkan produksi ternak dan kesejahteraan masyarakat. 4. Perlu dibangun sistem dengan berbagai pendekatan untuk menciptakan sinergitas antar pemangku kepentingan untuk peningkatan produktivitas, sustainabilitas, dan equitabilitas yang ramah dengan lingkungan. 5. Seminar nasional selanjutnya (tahun 2014) akan dilaksanakan di luar Bali, pada salah satu lokasi dari tiga plihan lokasi yakni di Bukit Tinggi, Menado, dan Kupang. Prosiding Semnas II HITPI Page 2 LAPORAN KETUA PANITIA Om Swastyastu, selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua Yang terhormat, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan RI, Direktur Pakan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Rektor Universitas Udayana atau yang mewakili, Para Dekan Fakultas Peternakan se-Indonesia yang berkesempatan hadir pagi ini, Para Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan atau yang mewakili, Ketua Himpunan Ilmuwan Tumbuhan Pakan Indonesia (HITPI), Ketua Pengurus Wilayah HITPI se Indonesia, Praktisi dan Pemerhati masalah Hijauan Pakan Ternak, Prof. David Hannaway forage specialistfrom Oregon State University USA dan, Bapak/Ibu peserta seminar dan hadirin sekalian yang saya hormati, Pertama-tama saya sampaikan selamat pagi dan selamat datang di pulau Bali, serta terimakasih telah berkesempatan hadir. Seminar hari ini merupakan seminar nasional ke 2 yang dilaksanakan oleh HITPI dengan tema “Hijauan Pakan Lokal Dalam Sistem Integrasi Untuk Ketahanan Pakan dan Ekonomi Peternakan Nasional”. Hijauan pakan lokal merupakan faktor produksi penting yang tak terpisahkan dan bahkan merupakan faktor penentu keberhasilan dalam sistem produksi ternak ruminansia di Indonesia. Penggunaan hijauan pakan lokal diperkirakan lebih dari 70% dan mencapai 39 juta ton Bahan Kering setiap tahunnya. Seminar hijauan pakan lokal yang dilaksanakan hari ini bertujuan untuk saling tukar informasi tentang pengembangan Ipteks Tanaman Pakan Tropik di Indonesia antar para pakar, peneliti, dan pemangku kepentingan lainnya. Bagaimanastrategi yang tepat untuk penangan hijauan pakan, sehingga kedepan masalah kecukupan pakan dalam arti jumlah dan kualitas bisa terpenuhi. Di samping itu seminar ini diharapkan dapat meningkatkan sinergisme berbagai stakeholders dalam pengembangan tumbuhan pakan serta memperluas cakrawala berpikir dalam rangka membangun paradigma baru eksistensi tumbuhan pakan. Temuan-temuan baru yang dihasilkan nantinya diharapkan bisa dimanfaatkan oleh praktisi dalam mengambil kebijakan2. Seminar kali ini membahas sekitar enam puluh makalah yang berasal dari berbagai perguruan tinggi serta institusi yang terkait dengan dunia peternakan di seluruh Indonesia. Terdiri dari 55 pemakalah oral dan 5 makalah poster. Sekitar 20 Universitas Negeri dan Swasta yang turut berpartisipasi dalam SEMNAS II ini yaitu: (UGM, Unpad, Unsrat, IPB, Undip, Univ. Negeri Papua Manokwari, Univ. Warmadewa, Univ. Mulawarman, Univ. Nusa Cendana Kupang, Univ. Jambi, Unram, Unisma, Univ. Muhammadiyah Bengkulu, Unv. Udayana, Univ. Jabal Gafur, Univ. Sriwijaya, Univ. Mulawarman, Univ. Mahasaraswati, Univ. Syah Kuala Banda Aceh, Univ. Dwijendra) ; Politeknik Pertanian Negeri Kupang, BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) Aceh, NTB dan Bengkulu, Balai Penelitian Ternak Ciawi, Pusat Kajian Sistem Produksi Ternak Gembala dan Padang Pengembalaan Kawasan Tropis NTB, Loka Penelitian Sapi Potong Sumut, Prosiding Semnas II HITPI Page 3 Loka Penelitian Kambing Sumut. Bapak/Ibu hadirin yang saya hormati, Seminar ini terselenggara berkat kerjasama dengan Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan Departemen Pertanian. Untuk itu terimakasih kami sampaikan kepada Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan yang telah membantu pembiayaan semnas ini dan kesediaan sebagai Keynote Speaker. Terimakasih juga kami sampaikan kepada para nara sumber (Direktur Pakan, Prof. David Hannaway dari Oregonstate University, drh Patrianov MM, dan Dr. Ir. Bambang R. Prawiradiputra), Pemakalah, Peserta Seminar, dan semua pihak yang telah berkontribusi besar untuk keberhasilan pelaksanaan Seminar Nasional II Himpunan Ilmuwan Tumbuhan Pakan Indonesia (HITPI). Tak lupa juga saya sampaikan terimakasih kepada segenap panitia pelaksana yang sudah bekerja begitu kompak untuk mempersiapkan seminar ini. To the honourable, Prof. David Hannaway Good morning and welcome to the island of God since Bali is well known as the island of majority temples. We are greatful that you would like to share your knowledge and experiences concerning on forages to us, eventhough with no payment received from the organizing commitee. We hope that with your expertise on forages could give benefit to the development of scientific technology of forages. Bapak2/Ibu2 hadirin sekalian yang saya hormati, Besar harapan kami seminar ini dapat menghasilkan pemikiran-pemikiran yang konstruktif dan bermanfaat bagi pengembangan Ipteks peternakan.Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru. Sekali lagi kami menyampaikan terimakasih atas peranserta bapak-bapak dan ibu-ibu, namun tak lupa kami segenap panitia mohon maaf apabila selama penyelenggaraan seminar ini ada halhal yang kurang berkenan di hati bapak- dan ibu-ibu. Om Santih Santih Santih Om Dr. Ir. Ni Nyoman Suryani, MSi. Prosiding Semnas II HITPI Page 4 SAMBUTAN KETUA UMUM HITPI Yang terhormat, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Direktur Pakan, Rektor Universitas Udayana, Dekan Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Para Pembicara Utama, Anggota HITPI dan Peserta Seminar Nasional II Hijauan Pakan, Assalamu‟alaikum ww.,Selamat pagi salam sejahtera untuk kita semua. Puji dan Syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah mempersatukan kita dalam acara Seminar Nasional II Hijauan Pakan. Sekilas saya sampaikan sejarah Seminar Nasional Hijauan Pakan dan Himpunan Ilmuwan Tumbuhan Pakan Indonesia (HIPTI). HITPI atau dalam IFSA (Indonesian Forage Scientist Association) awalnya di inisiasi pada Seminar Nasional tahun 1992 di Hotel Homan Bandung yang dihadiri oleh Prof. Soedarmadi (IPB), Prof Hasbi (Unpad), Prof. Soedomo (UGM), Dr. Siregar (Balitnak), Ir. Maemunah (Ditjen Peternakan). Dalam pertemuan 21 tahun lalu tersebut digagas untuk dibentuk semacam forum peneliti dan praktisi hijauan pakan, dan dibentuk dengan nama Asosiasi Ilmuwan Hijauan Makanan Ternak Indonesia. Namun asosiasi ini tidak berlanjut dan tidak sempat terbentuk kepengurusan yang berjalan efektif. Pada tahun 2010 bulan Nopember tanggal 5 HITPI kemudian dilanjutkan dan dideklarasikan. Setahun sebelum deklarasi telah dibentuk Jurnal PASTURA yang berdomisili pengelolaannya di Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Tanggal 18 September 2012 dibentuk Pengurus Pusat HITPI. Hadirin sekalian, pada Seminar Nasional II hari ini berbeda dengan seminar sebelumnya. Penyelenggaraan Semnas II hijauan Pakan sekarang dilaksanakan oleh HITPI bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Tentunya diharapkan kedepan secara rutin setiap tahun dukungan ini terus dapat berlanjut. Kita berharap bahwa setelah Seminar Nasional Ke- III, kita dapat menyelenggarakan kegiatan Seminar Hijauan Pakan Internasional. Saya menghimbau kepada para ahli tumbuhan pakan yang sudah menjadi anggota HITPI untuk menjalin jejaring satu sama lain agar memperkuat ilmu dan pengembangan teknologi bidang hijauan pakan. Akhirnya saya ingin mengapresiasi dan ucapan terimakasih kepada Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan cq Direktorat Pakan yang telah bekerjasama dengan HITPI untuk menyelenggarakan kegiatan Seminar Nasional II Hijauan Pakan, Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Para Pembicara Utama dan Para pemakalah. Secara khusus saya ingin mengapresiasi Panitia Prosiding Semnas II HITPI Page 5 Seminar Nasional II Hijauan Pakan yang telah mempersiapkan seminar ini sejak beberapa tahun lalu. Semoga pertemuan seminar hijauan pakan nasional ini dapat menjadi salah satu cara untuk membangun jejaring dan saling sharing informasi antar peneliti. Saya berharap hasil seminar ini dapat memberikan gambaran peta penguasaan keahlian hijauan pakan secara nasional, peta penelitian hijauan pakan nasional yang ke depan bisa menjadi dasar pembuatan roadmap penelitian hijauan pakan nasional. Sekian Terimakasih Luki Abdullah Prosiding Semnas II HITPI Page 6 KEYNOTE DIREKTUR JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN PADA SEMINAR NASIONAL II HIMPUNAN ILMUWAN TUMBUHAN PAKAN INDONESIA (HITPI) Denpasar, 28 Juni 2013 Yang terhormat, Sdr. Rektor Universitas Udayana, Para Dekan Fakultas Peternakan se-Indonesia, Seluruh Anggota Himpunan Ilmuwan Tumbuhan Pakan Indonesia (HITPI), Praktisi dan Pemerhati masalah Hijauan Pakan Ternak, Para Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan atau yang mewakili, Mr. David Hannaway from Oregon State University USA Bapak/Ibu dan hadirin sekalian, Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh, Pertama-tama mari kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, karena kita semua diberi berkah dan nikmat kesehatan untuk dapat hadir dan bertemu pada pagi hari ini pada acara Seminar Nasional ke-dua (II) Himpunan Ilmuwan Tumbuhan Pakan Indonesia (HITPI). Seminar yang ke-dua ini mengusung tema “Hijauan Pakan Lokal Dalam Sistem Integrasi Untuk Ketahanan Pakan dan Ekonomi Peternakan Nasional” saya kira sangat menarik untuk di diskusikan dan di bahas, karena kita mengetahui bahwa peran dari pakan, khususnya pakan hijauan sangat penting untuk meningkatkan kualitas pakan ternak ruminansia yang secara langsung akan mempengaruhi produktivitas dari ternak yang mengkonsumsinya. Kita tahu bahwa pada saat ini, dalam tataran global, dunia sedang mengalami fenomena perubahan iklim yang sangat mempengaruhi produksi dan ketersediaan pakan hijauan (rumput dan legum) serta bahan pakan yang dihasilkan dari limbah atau hasil samping pertanian dan perkebunan serta agro- industri lainnya. Gangguan dalam ketersediaan pakan ini tentu saja akan sangat mempengaruhi produksi dan reproduksi ternak. Oleh karenanya kita sebagai insan peternakan dan pihak-pihak yang berkaitan dengan masalah penyediaan pakan harus terus berfikir secara kreatif dan produktif bagaimana caranya agar hijauan pakan dapat tersedia setiap saat dan tidak terganggu dengan adanya fenomena tersebut. Belum lagi masalah mutu pakan yang kedepan akan menjadi perhatian setiap peternak dalam meningkatkan efisiensi biaya produksi, harus juga mendapat perhatian kita. Bapak, Ibu peserta Seminar yang saya hormati, Pada kesempatan ini saya akan menjelaskan mengenai kebijakan Pemerintah terkait dengan pencapaian program swasembada daging sapi dan kerbau (PSDSK) Prosiding Semnas II HITPI Page 7 dan bagaimana keterkaitannya dengan upaya pengembangan dan dukungan dari aspek pakan, yang tentu saja didalamnya ada peran dan kontribusi dari bapak/ibu dan Saudara sekalian sebagai ahli dalam bidang hijauan pakan. Penyediaan daging sapi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia yang terus bertambah, selama ini masih terkendala oleh produksi dalam negeri yang belum bisa mencukupi seluruh permintaan. Sehingga untuk menutup kesenjangan tersebut, dilakukan importasi, baik dalam bentuk ternak hidup maupun dalam bentuk produk daging sapi. Kesenjangan suplai-demand terus terjadi setiap tahun dan mengakibatkan pengurasan devisa negara untuk melakukan importasi. Kondisi ini yang melatarbelakangi Pemerintah melaksanakan program yang selama ini dikenal Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK). Orientasi dari PSDSK sebetulnya tidak semata- mata diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat dengan pengendalian importasi namun juga diarahkan dalam konteks peningkatan produksi daging dalam negeri, peningkatan kesejahteraan peternak dan kesinambungan usaha peternak serta peningkatan daya saing, sehingga secara langsung maupun tidak, dampaknya akan mengurangi ketergantungan importasi. Memperhatikan berbagai permasalahan yang dihadapi dan tantangan kedepan, maka PSDSK tahun 2014 diharapkan dapat dicapai melalui pelaksanakan 5 (lima) kegiatan pokok, yaitu : (1) penyediaan sapi bakalan/daging sapi lokal; (2) peningkatan produktivitas dan reproduktivitas ternak sapi lokal; (3) pencegahan pemotongan sapi betina produktif; (4) penyediaan bibit sapi da n (5) pengaturan stock daging sapi dalam negeri. Kegiatan pokok ini kemudian dioperasionalisasikan menjadi 13 langkah, dimana salah satu langkahnya adalah penyediaan pakan melalui berbagai kegiatan dan pengembangan mutu pakan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas ternak sapi dan kerbau. Hadirin yang saya hormati, Ada dua hal penting pada mandat yang diberikan oleh program PSDSK kepada bidang pakan yang kemudian diterjemahkan kedalam kebijakan dan program Pemerintah dalam pengembangan bidang pakan. Yang pertama adalah aspek penyediaan (feed security) untuk menjamin pakan tersedia dalam jumlah yang cukup serta aspek keamanan pakan (feed safety) untuk menjamin bahwa pakan yag tersedia itu bermutu baik dan layak dikonsumsi ternak. Dalam pengembangan ternak ruminansia, kebijakan dalam hal feed security diarahkan kepada penyediaan hijauan pakan ternak (HPT) dan dukungan pakan konsentrat dengan 4 (empat) buah strategi yakni (1) membangun sumber benih dan bibit hijauan pakan ternak (HPT), (2) meningkatkan pemanfaatan lahan melalui kegiatan integrasi ternak dan pemanfaatan lahan di kawasan hutan, serta (3) mengakselerasi pengembangan pastura dan “cut and carry system” dan (4) pengembangan teknologi pakan. Sedangkan kebijakan dalam feed safety dilaksanakan melalui pengembangan standard mutu pakan dan pengawasan pakan yang diproduksi dan yang beredar di masyarakat. Prosiding Semnas II HITPI Page 8 Bapak/ibu peserta Seminar yang saya hormati, Beberapa program telah dilakukan, terus dikembangkan dan selalu diperbaiki untuk mendukung kebijakan pakan tersebut diatas. Dapat saya sampaikan, bahwa Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian telah membangun satu ke-sisteman penyediaan pakan hijauan, dimulai dari : 1. Pengembangan sumber benih dan bibit HPT dari tingkat nasional sampai ke tingkat kelompok ternak : 1) Di tingkat pusat pengembangan sumber benih/bibit HPT dilakukan pada 10 (sepuluh) buah UPT Pusat, yaitu di 7 (tujuh) Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BPTU-HPT), 2 (dua) Balai Inseminasi Buatan (BIB) dan Balai Embrio Ternak (BET) 2) Pada tingkat provinsi dikembangkan di 32 UPTD Provinsi 3) Di kelompok penangkar juga dikembangkan untuk mendekatkan sumber benih/bibit HPT kepada peternak disekitarnya. 2. Selanjutnya kita juga memperkuat ketersediaan hijauan pakan ternak sampai tingkat desa melalui kegiatan yang dinamakan ”GERBANG PATAS” atau Gerakan Penanaman dan Pengembangan Hijauan Pakan Berkualitas. Dengan kegiatan ini diharapkan tersedianya HPT unggul di kawasan potensial ternak ruminansia yang juga didukung oleh kegiatan pengembangan lumbung pakan dan konservasi air. 3. Untuk wilayah dengan sistem peternakan yang ekstensif dan mempunyai potensi padang penggembalaan, Pemerintah memfasilitasi pengembangan dan pemeliharaan kawasan penggembalaan, seperti di daerah NTT, NTB, Papua Barat dan Sulawesi melalui pengembangan ”mini ranch” kelompok dan pemantapan sarana pendukung padang penggembalaan seperti cattle yard, holding ground dan puskeswan serta mencoba untuk membangun suatu s istem dan struktur pengelola padang penggembalaan yang nantinya akan dilakukan oleh masyarakat lokal. Hadirin yang saya hormati Bicara tentang HPT tidak bisa dilepaskan dari masalah lahan. Bicara lahan juga berkaitan dengan tanaman pangan, tanaman perkebunan dan hortikultura. Bicara lahan juga berkaitan dengan status kepemilikan, kesuburan dan alih fungsi. Sehingga persaingan pemanfaatan lahan akan demikian ketat antara menanam tanaman pangan, tanaman perkebunan, hortikultura dan tanaman pakan. Oleh karenanya kita dituntut untuk berpikir kreatif, produktif dan efisien, sehingga kita tetap bisa menyediakan pakan hijauan tanpa mengganggu produksi tanaman pangan, tanaman perkebunan atau hortikultura. Bahkan sebaliknya kita bisa mendukung usaha tersebut menjadi lebih menguntungkan yakni dengan penerapan pola integrasi ternak dengan tanaman. Prosiding Semnas II HITPI Page 9 Hal ini sangat berkaitan dengan tema Seminar hari ini yaitu ”Hijauan Pakan Lokal dalam Sistem Integrasi untuk Ketahanan Pakan dan Ekonomi Peternakan Nasional”, karena bagaimanapun bidang peternakan ruminansia akan lebih cepat berkembang dengan terus meningkatkan ketersediaan pakan hijauan yang bermutu tinggi. Salah satu lahan yang sangat bisa dan layak untuk kita manfaatkan sebagai lumbung pakan hijauan adalah perkebunan sawit. Dengan luas kebun sawit di negara ini sekitar 9 juta hektar, dan kapasitas tampung 2 hektar untuk 1 ekor sapi (PPKS 2013), secara kasar apabila kita manfaatkan 50% saja dari luasan yang tersedia, maka kita akan bisa menambah populasi sekitar 2,25 juta ekor sapi potong. Oleh karenanya saya ingin menekankan pentingnya kita dapat memanfaatkan lahan di perkebunan sawit dan juga komoditi lainnya seperti kopi dan kakao untuk dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan hijauan. Selain itu kita bisa memanfaatkan limbah kebun dan industri pengolahannya sebagai pakan ternak. Pada kebun sawit kita bisa manfaatkan pelepah dan daunnya serta rumput dan legum yang tumbuh dibawah pohon sawit. Limbah pengolahan biji sawit dapat kita ambil bungkilnya (palm kernel meal), limbah pengolahan tandan buah kosong (TBS) kita manfaatkan lumpurnya (sludge). Demikian juga hasil panen kakao, kita dapat manfaatkan kulit buah kakao sebagai bahan pakan dengan proses fermentasi sehingga meningkatkan nilai gizinya dan dapat disimpan lebih lama sebagai cadangan pakan. Bapak/ibu peserta Seminar yang saya hormati, Pada tahap awal diperkenalkannya konsep integrasi ternak dengan tanaman perkebunan pada tahun 2007, kita menghadapi kendala resistensi dan penolakan dari pihak perkebunan jika sapi masuk kebun sawit. Alasan keberatan tersebut utamanya adalah antisipasi kemungkinan masuknya jamur garnodema yang terbawa sapi pada saat merumput yang akan dapat mematikan pohon, sapi merusak daun pada saat kebun belum berproduksi, selain itu masuknya sapi tentu saja akan memberi beban tambahan bagi operasional kebun karena mereka harus menambah waktu, tenaga dan dana untuk mengelola peternakan, sehingga disosialisasikan bahwa sapi di kebun sawit adalah ”hama”. Namun dengan berkembangnya isu global tentang lingkungan, pemanasan global, kerusakan lahan dan semakin mahalnya harga pupuk kimia, maka penolakan tersebut semakin ”melunak” dan ternak semakin mudah masuk kedalam perkebunan dengan beberapa catatan. 1. Pertama yang perlu kita ingat adalah bahwa peternakan harus bersifat ”low profile”, artinya ternak masuk kebun sebagai pemberi solusi efisiensi biaya kebun karena mengurangi pembelian pupuk kimia, solusi untuk menyuburkan lahan dan meningkatkan produksi TBS dengan memanfaatkan kotoran dan urin sapi sebagai pupuk organik, solusi untuk menggantikan tenaga kerja manusia dengan gerobak sapi, serta untuk efisiensi energi listrik dengan memanfaatkan biogas dari kotoran ternak. Prosiding Semnas II HITPI Page 10 2. Kedua adalah pemanfaatan limbah industri pengolahan sawit, khususnya bungkil inti sawit (BIS) terus harus kita manfaatkan sebagai bahan pakan konsentrat. Produksi BIS diperkirakan sekitar 3 juta ton, namun saat ini kita masih menghadapi kendala dalam mengakses BIS akibat prosedur yang rumit di dalam industri pengolahan sawit serta sudah terikatnya kontrak ekspor BIS ke beberapa negara. Namun demikian kita harus percaya pasti ada jalan keluar dari permasalahan ini, karena menurut perhitungan Komisi Ahli Pakan kebutuhan BIS bagi ternak ruminansia di Indonesia sekitar 1 juta ton, sehingga sisa produksi BIS 2 juta ton tentu saja masih bisa di ekspor untuk meningkatkan devisa negara. 3. Ketiga yang perlu terus kita dukung adalah komitmen kuat bapak Menteri BUMN Dahlan Iskan yang sangat mendukung program integrasi sapi-sawit dengan menginstruksikan seluruh PTPN memelihara sapi potong dan menjadikan PT Berdikari sebagai BUMN Peternakan. Saya sangat berharap bapak/ibu para peserta Seminar dapat membantu Pemerintah dengan terus mensosialisasikan keuntungan memelihara sapi di kebun sawit dan terus melakukan penelitian tentang beragam formulasi pakan berbasis sawit. Bapak, Ibu peserta Seminar yang berbahagia, Saya sangat mengapresiasi HITPI dan Fakultas Peternakan Universitas Udayana serta Direktorat Pakan Ternak yang telah bekerjasama menyelenggarakan Seminar ini. Kegiatan semacam ini mempunyai arti penting bagi kita semua untuk terus membangun potensi pakan di dalam negeri, menyebarluaskan informasi terkini tentang hijauan pakan ternak, meningkatkan wawasan peserta Seminar, dan mencari solusi terhadap permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan pakan. Sekali lagi saya berharap, kita semua yang hadir disini, dapat ikut berperan dalam pengembangan pakan ternak, khususnya hijauan pakan ternak, sehingga mimpi mencapai swa sembada daging sapi dan kerbau dapat tercapai dan Indonesia tidak perlu lagi tergantung pada importasi daging dan ternak dari luar negeri. Demikian sambutan saya, terima kasih banyak atas kesempatan yang diberikan dan selamat melaksanakan Seminar, semoga sukses. Wassalammualaikum warahmatullahi wabarakatuh Denpasar, 28 Juni 2013 Ir. Syukur Iwantoro, MS, MBA Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Prosiding Semnas II HITPI Page 11 MAKALAH UTAMA Prosiding Semnas II HITPI Page 12 Prosiding Semnas II HITPI Page 13 Prosiding Semnas II HITPI Page 14 Prosiding Semnas II HITPI Page 15 Prosiding Semnas II HITPI Page 16 Prosiding Semnas II HITPI Page 17 Prosiding Semnas II HITPI Page 18 Prosiding Semnas II HITPI Page 19 Prosiding Semnas II HITPI Page 20 Prosiding Semnas II HITPI Page 21 Prosiding Semnas II HITPI Page 22 Prosiding Semnas II HITPI Page 23 Prosiding Semnas II HITPI Page 24 Prosiding Semnas II HITPI Page 25 Prosiding Semnas II HITPI Page 26 Prosiding Semnas II HITPI Page 27 Prosiding Semnas II HITPI Page 28 Prosiding Semnas II HITPI Page 29 Prosiding Semnas II HITPI Page 30 Prosiding Semnas II HITPI Page 31 Prosiding Semnas II HITPI Page 32 Prosiding Semnas II HITPI Page 33 Prosiding Semnas II HITPI Page 34 Prosiding Semnas II HITPI Page 35 Prosiding Semnas II HITPI Page 36 Prosiding Semnas II HITPI Page 37 Prosiding Semnas II HITPI Page 38 Prosiding Semnas II HITPI Page 39 Prosiding Semnas II HITPI Page 40 Prosiding Semnas II HITPI Page 41 Prosiding Semnas II HITPI Page 42 Prosiding Semnas II HITPI Page 43 Prosiding Semnas II HITPI Page 44 Prosiding Semnas II HITPI Page 45 Prosiding Semnas II HITPI Page 46 Prosiding Semnas II HITPI Page 47 Prosiding Semnas II HITPI Page 48 Prosiding Semnas II HITPI Page 49 Prosiding Semnas II HITPI Page 50 Prosiding Semnas II HITPI Page 51 Prosiding Semnas II HITPI Page 52 Prosiding Semnas II HITPI Page 53 Prosiding Semnas II HITPI Page 54 39,25 % PR PTPN 52,57 % Prosiding Semnas II HITPI SWASTA 8,18% Page 55 Prosiding Semnas II HITPI Page 56 Prosiding Semnas II HITPI Page 57 Prosiding Semnas II HITPI Page 58 Prosiding Semnas II HITPI Page 59 Prosiding Semnas II HITPI Page 60 Prosiding Semnas II HITPI Page 61 Prosiding Semnas II HITPI Page 62 Prosiding Semnas II HITPI Page 63 Prosiding Semnas II HITPI Page 64 Prosiding Semnas II HITPI Page 65 Prosiding Semnas II HITPI Page 66 Prosiding Semnas II HITPI Page 67 Prosiding Semnas II HITPI Page 68 Prosiding Semnas II HITPI Page 69 Prosiding Semnas II HITPI Page 70 Prosiding Semnas II HITPI Page 71 Prosiding Semnas II HITPI Page 72 Prosiding Semnas II HITPI Page 73 Prosiding Semnas II HITPI Page 74 Prosiding Semnas II HITPI Page 75 Prosiding Semnas II HITPI Page 76 Prosiding Semnas II HITPI Page 77 Prosiding Semnas II HITPI Page 78 Prosiding Semnas II HITPI Page 79 Prosiding Semnas II HITPI Page 80 Prosiding Semnas II HITPI Page 81 Prosiding Semnas II HITPI Page 82 Prosiding Semnas II HITPI Page 83 Prosiding Semnas II HITPI Page 84 Prosiding Semnas II HITPI Page 85 Prosiding Semnas II HITPI Page 86 Prosiding Semnas II HITPI Page 87 TANAMAN PAKAN TERNAK REKAYASA GENETIK DI INDONESIA: STATUS DAN KEMUNGKINAN PERKEMBANGANNYA Bambang R. Prawiradiputra Balai Penelitian Ternak, Ciawi Koordinator Tim Teknis Keamanan Pakan PRG, Komisi Keamanan Hayati ABSTRAK Cepat atau lambat tanaman pakan rekayasa genetik akan hadir di Indonesia. Tanda-tandanya sudah semakin jelas terlihat. Beberapa varietas jagung dan kedelai PRG sudah mendapat persetujuan aman pangan dan dua varietas jagung juga sudah dinyatakan aman pakan. Sebagian varietas yang dikaji oleh Komisi Keamanan Hayati (KKH) itu belum mendapat sertifikat aman lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup. Apabila sudah mendapat ijin dari Kementerian Lingkungan Hidup maka tanaman PRG tersebut sudah bisa ditanam di Indonesia, baik sebagai tanaman pangan maupun sebagai tanaman pakan ternak. Masalah yang dihadapi saat ini, tidak semua komponen masyarakat Indonesia bisa menerima kehadiran tanaman PRG dengan berbagai alasan. Pihak produsen PRG mengklaim adanya keuntungan dari tanaman PRG, antara la in mengurangi penggunaan pestisida, mengurangi biaya penyiangan, lebih tahan cekaman biotik dan abiotik dan meningkatkan produksi, yang tujuan akhirnya adalah meningkatkan pendapatan petani. Adapun keberatan dari beberapa pihak terutama menyangkut masalah lingkungan dan kekhawatiran timbulnya penyakit baik pada manusia maupun ternak yang memakannya. Posisi Komisi Keamanan Hayati (melalui Tim Teknis Keamanan Hayati) adalah sebagai “wasit” untuk menyatakan bahwa pangan atau pakan (dan tanamannya) produk rekayasa genetik itu bisa dinyatakan aman atau tidak aman untuk dkonsumsi dan ditanam di Indonesia. Keputusan aman atau tidak aman tersebut dinyatakan setelah melalui pengkajian. Sampai sejauh ini belum ada lembaga penelitian di Indonesia, termasuk perguruan tinggi, yang sudah menghasilkan tanaman PRG yang aman pakan. Proses untuk melewati uji keamanan dan mendapatkan ijin pelepasan varietas sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang ada masih terlalu panjang dan mahal bagi lembaga-lembaga riset publik di Indonesia. Kata kunci: PRG, tanaman pakan, keamanan ABSTRACT Sooner or later genetically modified (GM) feed crops will exist in Indonesia. So far some varieties of GM maize and soybean have already hold the certificate of food safety and in 2012 two varieties of maize have also been granted feed safety certificate. Soon after the crops are granted environmental safety from the Ministry of Environment of the Republic of Indonesia, the GM maize and soybean are eligible to be planted in Indonesia as food crops as well as feed crops.The problem faced recently is the GM crops not yet accepted by some Indonesian communities with some reasons. The GMO producers claimed many benefits from the GM crops such as reducing pesticide application, reducing cost Prosiding Semnas II HITPI Page 88 of weeding, increasing yield that will increase farmer’s income. On the othe hand, some opponent people do not agree, especially for environmental and ethic reasons, as well as for human and animals health. The position of Biosafety Commision of the Republic of Indonesia (through the Technical Teams) is as “a judge” to state that the GM food crops or feed crops are safe or unsafe to be consumed and to be planted in Indonesia. The decision of safe or unsafe of the GM crops is drawn after doing some assessment. So far there is no single research institute, including universities, in Indonesia producing GMO’s feed crops. The process to get Minister’s decree of feed safety and approval to release the new GM varieties is still too long and too expensive for public research institutes in Indonesia. Key words: GMO, feed crops, safety PENDAHULUAN Jumlah penduduk Indonesia setiap tahun terus meningkat. Dengan asumsi pertumbuhan penduduk sebesar 2,8% maka jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2015 akan menjadi 248 jiwa. Jumlah penduduk yang besar ini, dari sudut pengadaan pangan merupakan gambaran betapa besarnya tugas yang diemban oleh sektor pertanian, terutama dalam penyediaan bahan pangan. Yang dimaksud dengan pangan dalam hal ini bukan hanya beras sebagai sumber karbohidrat saja tetapi juga sumber protein seperti daging, telur dan susu. Pengadaan pangan sumber protein dan terjangkau oleh masyarakat harus mendapat perhatian dari semua pihak karena angka konsumsi protein penduduk Indonesia masih sangat rendah, yaitu 56 gram/orang/hari (BPS, 2012). Salah satu kendala mengapa sebagian besar masyarakat sulit menjangkau makanan asal ternak karena harganya yang tinggi. Tingginya harga pangan asal ternak ini akibat dari biaya produksi ternak yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh mahalnya harga pakan, baik pakan konsentrat maupun hijauan. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya menurunkan biaya produksi ternak dengan cara meningkatkan produktivitas pakan ternak, termasuk hijauan pakan. Dengan semakin banyaknya pakan tersedia diharapkan biaya produksi pangan asal ternak menurun. Apabila pemerintah akan meningkatkan konsumsi protein asal ternak, produksi daging ternak ruminansia harus meningkat yang berarti harus terjadi peningkatan populasi ternak ruminansia. Kenaikan populasi ternak ruminansia tersebut harus diimbangi dengan peningkatan ketersedian hijauan pakan yang bermutu, padahal sebagian besar ternak adalah milik petani kecil yang secara tradisional memanfaatkan hijauan pakan yang tumbuh liar, terutama rumputrumputan yang tumbuh di lahan-lahan sisa, pinggiran jalan, pematang sawah, pagar, padang penggembalaan masyarakat dan sisa-sisa tanaman pangan (Prawiradiputra, 2006). Sampai sekarang pun sumber hijauan ini tidak berubah, bahkan dari segi luas arealnya diperkirakan menurun, sejalan dengan beralih fungsinya secara drastis lahan- lahan pertanian ke fungsi lain, dengan tingkat pengurangan kurang lebih 50.000 ha/tahun, terutama di pulau Jawa (Isa, 2006). Selain itu, data menunjukkan bahwa dari sekitar 59 juta hektar lahan kering hanya 2 juta ha (3,4%) Prosiding Semnas II HITPI Page 89 yang merupakan padang rumput (Hidayat dan Mulyani, 2005). Penurunan luas lahan tersebut diperburuk dengan sumber hijauan pakan yang kualitasnya masih rendah. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk meningkatkan produktivitas pakan dan bahan pakan ternak dengan berbagai cara, termasuk sentuhan teknologi berupa rekayasa genetika disamping perbaikan budidaya, dan penggunaan bahan tanaman unggul yang bermutu. Dalam rangka memenuhi kebutuhan pakan, Indonesia harus mengimpor jagung dan kedele terutama dari Amerika Serikat, dimana produk jagung dan kedele yang masuk ke Indonesia tersebut sebagian besar adalah dari varietas PRG. Yang menjadi pertanyaan adalah apakan tanaman pakan PRG itu aman untuk dikonsumsi ternak? Kalau tidak aman tindakan apa yang bisa kita lakukan, apalagi kalau sudah terlanjur menyebar. STATUS TANAMAN PAKAN REKAYASA GENETIK DI INDONESIA Sampai sejauh ini belum ada laporan yang menyatakan bahwa Indonesia sudah menghasilkan tanaman pakan ternak PRG. Namun cepat atau lambat tidak tertutup kemungkinan peneliti-peneliti tanaman pakan tropika akan menghasilkan tanaman pakan PRG yang toleran kekeringan, sangat palatable, kandungan proteinnya tinggi dan berdaya-hasil tinggi pula. Pada tahun 2012 salah satu PTPN di Jawa Timur yang bekerjasama dengan Universitas Jember sudah mengajukan proposal untuk pengkajian keamanan pakan tebu PRG. Namun sampai 2013 baru dinyatakan aman pangan dan aman lingkungan, belum memperoleh status aman pakan. Masalahnya bukan pada produknya tetapi pada sistem birokrasi kelembagaan, karena pedoman untuk mengkaji keamanan pakan belum ada. Di lain pihak penelitian tanaman pangan PRG sudah relatif cukup lama. Menurut Herman (1999) penelitian perakitan tanaman PRG di Indonesia sudah dimulai pada tahun 1990-an. Penelitian tersebut dilakukan oleh berbagai lembaga penelitian, perguruan tinggi, badan usaha milik negara dan perusahaan swasta. Penelitian tanaman PRG di Indonesia sebagian besar ditujukan untuk memperoleh tanaman PRG yang tahan cekaman biotik dan toleran cekaman abiotik, khususnya kekeringan (Herman, 2008). Pada Tabel 1 ditunjukkan sebagian kegiatan penelitian tanaman PRG di berbagai lembaga penelitian, baik pemerintah maupun swasta di Indonesia. Data pada Tabel 1 adalah data tahun 2008 sehingga besar kemungkinan sampai tahun 2013 ini sebagian besar komoditas tersebut statusnya sudah berubah menjadi “varietas yang sudah dilepas”. Disamping itu Tabel 1 juga memperlihatkan bahwa sampai dengan 2008 tidak ada tanaman pakan yang sedang “direkayasa” secara genetis. Di Negara-negara maju sudah banyak dihasilkan tanaman pangan dan pakan yang hasilnya diekspor ke negara-negara berkembang termasuk ke Indonesia. Produk-produk rekayasa genetik yang sudah masuk ke Indonesia terutama kedelai dan jagung. Kedua komoditas penting ini sebagian besar digunakan sebagai pakan ternak baik untuk ruminansia maupun non ruminansia. Prosiding Semnas II HITPI Page 90 Tabel 1. Penelitian perakitan tanaman PRG pada tahap rumah kaca, rumah kasa, FUT dan LUT di berbagai lembaga penelitan di Indonesia. Komoditas Padi Perbaikan karakter tanaman Tahap kegiatan Lembaga penelitian Tahan hama penggerek batang kuning R Kaca, FUT, LUT BB Biogen, Kementan; Puslit Bioteknologi LIPI Tahan penyakit HDB dan blas R Kaca, FUT BB Biogen, Kementan Tahan penyakiy blas dan Rhizoctonia solanii R Kaca, FUT Puslit Bioteknologi, LIPI Toleran kekeringan Tahan hama penggerek polong R Kaca, FUT R Kaca, FUT Puslit Bioteknologi, LIPI BB Biogen Produktivitas tinggi Tahan penyakit bilur R Kaca R Kaca Unud BB Biogen, IPB Kandungan amilosa rendah LUT BB Biogen dengan Puslit Bioteknologi LIPI Tebu Rendemen tinggi LUT Sengon Toleran kekeringan Percepatan pertumbuhan, kandungan selulosa tinggi LUT R Kaca, FUT PTPN XI dengan Univ. Jember PTPN XI Puslit Bioteknologi LIPI Percepatan pertumbuhan, kandungan selulosa tinggi R Kaca, FUT Puslit Bioteknologi LIPI Kedelai Kacang tanah Ubi kayu Akasia Sumber: Herman (2008) Indonesia sudah lama mengimpor jagung dan kedele dari Amerika Serikat. Sebelum tahun 1990 Indonesia mengimpor kedelai tidak lebih dari 500.000 ton. Pada tahun 2011 impor kedelai sudah sekitar 1,6 juta ton. Sebagian besar kedelai impor ini adalah dari Amerika Serikat yang merupakan produsen kedelai PRG. Demikian pula halnya dengan jagung, sebagian besar jagung pakan ternak yang masuk dari Amerika Serikat adalah jagung PRG. Dengan demikian sebenarnya penduduk dan ternak di Indonesia ini sudah lama mengkonsumsi pangan dan pakan PRG. Jagung yang sudah masuk ke Indonesia dan cukup terkenal adalah jagung Bt yang merupakan jagung yang disisipi gen dari Bacillus thuringiensis. B. thuringiensis sendiri telah digunakan oleh petani di Negara maju sebagai pestisida hayati yang cukup aman sejak puluhan tahun yang lalu (Herman, 2008). Gen Bt sendiri terdiri dari beberapa generasi dan diperuntukkan bagi seranggaserangga tertentu. Secara umum cry (sebagai representasi gen dari strain Bt yang bekerja seperti insektisida) dapat mematikan serangga dari keluarga Lepidoptrera dan Coleoptra. Ada juga keluarga Diptera yang menjadi sasaran. Prosiding Semnas II HITPI Page 91 MANFAAT Bisnis PRG adalah bisnis besar yang nilainya milyaran dollar. Dapat dipahami apabila lembaga-lembaga penelitian dan perusahaan-perusahaan penghasil PRG, sebagai proponen, lebih menonjolkan manfaat PRG daripada sisi negatifnya. Sebaliknya para ilmuwan oponen lebih memperhatikan sisi negatif atau mudarat dari tanaman PRG. Tanaman pangan (dan pakan) PRG diproduksi karena berbagai alasan, sepertitahan terhadap berbagai cekaman, baik cekaman biotik maupun cekaman abiotik. Selain itu juga diproduksi tanaman yang toleran terhadap herbisida dan lebih efisien dalam penggunaan air dan pupuk. Ada juga tanaman yang dimodifikasi kualitasnya seperti penundaan kematangan buah dan perubahan pigmen warna bunga, perubahan komposisi lemak, perubahan komposisi asam amino, perubahan kandungan vitamin, perubahan kandungan gula, tanaman tanpa biji dan sebagainya. Yang termasuk dalam cekaman biotik adalah tahan serangga hama, tahan nematoda, tahan cendawan patogen tanaman, tahan bakteri patogen tanaman dan tahan virus patogen tanaman. Sedangkan yang tergolong cekaman abiotik antara lain toleran kekeringan, toleran salinitas, toleran oksidatif, toleran suhu rendah, toleran logam berat dan sebagainya. Beberapa manfaat dari tanaman PRG yang disampaikan oleh proponen di antaranya: (1) Peningkatan kandungan nutrisi dan antioksidan. Salah satu contoh yang sedang menjadi pembicaraan pada saat ini adalah “padi emas” yang awalnya dihasilkan oleh Institute for Plant Science di Swiss yang menghasilkan padi yang mengandung β-Carotene (Provitamin A) sebagaimana dilaporkan oleh Ye et al. (2000). Selain pada padi teknologi rekayasa genetik untuk peningkatan kandungan β-Carotene juga di lakukan pada tanaman jagung(Herman, 2008). Teknologi peningkatan kandungan nutrisi seperti pada padi dan jagung ini tentu bisa juga dilakukan pada tanaman pakan, baik untuk meningkatkan kandungan protein maupun nutrisi yang diperlukan oleh ternak. (2) Penambahan keanekaragaman hayati Teknologi rekayasa genetik yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati biasanya dilakukan pada tanaman hias. Dalam hal ini mengubah warna bunga seperti mawar berwarna biru atau carnation berwarna ungu gelap. Untuk tanaman pakan teknologinya tentu bukan mengubah warna, melainkan mungkin mengubah tingkat kekerasan atau kekasaran daun rumput raja menjadi lebih lunak atau lebih palatable. Atau mungkin juga menghasilkan alang-alang yang lebih palatable dan lebih kaya nutrisi. Karena menurut Abdullah (2005) saat ini sulit untuk memperoleh jenis dan benih/bibit tanaman pakan unggul yang daya adaptasinya terhadap lingkungan cukup baik. (3) Pemanfaatan untuk industri Pemanfaatan di bidang industri adalah mengaplikasikan teknologi rekayasa genetik untuk menghasilkan tanaman dengan kandungan amilosa rendah sehingga bermanfaat untuk industri tekstil. Herman (2000 ) mensitir beberapa laporan yang mengatakan bahwa plastik yang bisa terdegradasi Prosiding Semnas II HITPI Page 92 (biodegradable poly-β-hydroxybutyrate) bisa dihasilkan dari tanaman Arabidopsis thaliana PRG dan dari biji kanola (Brassica napus) PRG, daun alfalfa PRG, tembakau PRG dan kelapa sawit PRG. (4) Pemanfaatan untuk farmasi Menurut McGregor (Herman, 2008) Boyce Thompson Institute for Plant Research Inc. yang berafiliasi dengan Universitas Cornell telah berhasil mendapatkan kentang PRG yang mengandung vaksin untuk penyakit kolera. Selain itu juga telah dihasilkan pisang PRG yang mengandung vaksin hepatitis B. Dalam kaitannya dengan tanaman pakan ternak bukan tidak mungkin dihasilkan alfalfa PRG atau lamtoro PRG yang disisipi gen vaksin untuk penyakit ternak. (5) Pengurangan penggunaan insektisida Dengan dihasilkannya tanaman-tanaman PRG yang tahan serangga hama, maka petani tidak perlu lagi menggunakan insektisida. Hal ini berarti penggunaan insektisida menurun signifikan. Keuntungan dari penurunan penggunaan insektisida bukan hanya dalam hal biaya produksi saja tetapi juga dalam hal lingkungan hidup dan kesehatan. Sebagaimana dilaporkan oleh beberapa peneliti banyak pestisida yang mencemari tanah dan perairan yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia (Naik, 2001; Pray et al., 2001; Adiyoga, 2006). (6) Peningkatan pendapatan petani Menurut Herman (2008) keuntungan petani di berbagai Negara sebagai hasil menanam tanaman PRG sangat bervariasi, tergantung pada Negara dan komoditas yang ditanam. Namun peningkatannya pada tahun 2011 secara global diperkirakan senilai 10.8 milyar dolar. Keuntungan ini sebagian besar diterima negara berkembang. Dari sisi keuntungan petani, sejauh ini indikasinya tanaman GMO menguntungkan, karena luas tanamnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1996 luas tanaman pangan PRG sekitar 1,7 juta hektar, dan pada tahun 2008 sudah mencapai 125 juta hektar. Ini menunjukkan bahwa para petani yang pernah menanam menyukainya sehingga menanamnya kembali di musim tanam berikutnya. Di Indonesia, data mengenai keuntungan tanaman PRG dilaporkan oleh Lokollo et al. (2001) yang menyatakan bahwa keuntungan bersih petani kapas Bt di Sulawesi Selatan berkisar antara Rp. 3,1 – 5,6 juta per hektardibandingkan dengan kapas non Bt yang hasilnya Rp. 600 ribu. Walaupun banyak manfaat yang dilaporkan, menurut Gilbert dan VillaKomaroff (1980) dan Wright (1996) teknologi baru di sektor pertanian yang disebut-sebut sebagai revolusi hijauan jilid dua ini bukannya tidak mengandung bahaya bagi kehidupan umat manusia. Beberapa contoh aspek negatif dari tanaman PRG dikemukakan berikut ini. SISI NEGATIF Dari pembahasan di atas dapat diketahui bahwa teknologi transgenik pada tanaman pakan ternak dapat memberikan berbagai keuntungan, namun di samping Prosiding Semnas II HITPI Page 93 berbagai keuntungan yang akan diperoleh, penggunaan teknologi transgenik pada tanaman pakan ternak juga dapat menimbulkan kerugian dan masalah. Isu-isu yang sering dilontarkan mereka yang kontra antara lain mengganggu kesehatan manusia seperti toksik, alergi dan resistensi bakteri di dalam tubuh manusia (Pardee, 2005), menyebabkan ketergantungan petani dalam hal benih (Weiss, 2000), mengganggu lingkungan (termasuk resistensi gulma, perpindahan gen dari tanaman PRG ke tanaman non PRG atau erosi genetik, resistensi hama, berdampak negatif bagi organisme bukan sasaran seperti serangga bermanfaat dan ikan, dan sebagainya). Selain itu dikhawatirkan pula terjadinya masalah produk pakan yang berasal dari tanaman transgenik dari negara maju yang masuk ke Indonesia tidak terkontrol sehingga dampak negatifnya juga tidak diketahui. Flachowsky dan Wenk (2010) merangkum pandangan yang menganggap pakan PRG berdampak buruk terhadap ternak, seperti menyebabkan alergi, berpengaruh terhadap sistem pencernaan hewan, mengganggu sistem reproduksi dan fertilitas ternak, meningkatkan inti sel hati dan pancreas hewan dan sebagainya. Sisi negatif yang dirangkum oleh Flachowsky dan Wenk tersebut diperoleh dari penelitian di laboratorium yang menggunakan hewan pecobaan, bukan terhadap ternak di lapangan. Di Negara-negara dimana tanaman PRG sudah berkembang sangat luas seperti di Amerika Serikat, pandangan-pandangan yang kontra terhadap tanaman PRG juga masih banyak. Pada dasarnya keberatan mereka yang oponen terhadap tanaman PRG lebih banyak karena meragukan terhadap kea manan produk tersebut termasuk terhadap lingkungan, walaupun tidak sedikit juga yang meragukan manfaatnya serta adanya isu-isu etika, agama dan perdagangan. Dibandingkan dengan di Amerika Serikat, di Eropa lebih banyak yang berpandangan negatif, walaupun menurut Herman (2008) pandangannya sering berubah-ubah, dari negatif ke positif kemudian berubah lagi ke negatif dan seterusnya. Mereka yang tidak setuju dengan teknologi transgenik masih mempertanyakan ketidakjelasan apa yang akan terjadi dalam jangka panjang karena tidak ada yang bisa menduganya. Namun harus diakui bahwa penyebaran tanaman transgenik ternyata sangat cepat. Dimulai pada tahun 1980-an, dalam waktu kurang dari lima belas tahun produk pertama sudah dipasarkan, yaitu tomat yang tahan lama. Pada tahun 1996 kedele yang tahan herbisida sudah mulai masuk pasar dan pada tahun 2000 sudah 14 juta hektar sudah ditanam di Amerika. Demikian juga halnya pada jagung. Setelah diperkenalkan jagung transgenik (jagung Bt) pada tahun 1996, dalam waktu kurang dari tiga tahun, tanaman jagung transgenik sudah ditanam di Amerika seluas 11 juta hektar (Weiss, 2000). BEBERAPA KENDALA DI DALAM PENGEMBANGAN TANAMAN PAKAN PRG Pengembangan teknologi rekayasa genetik untuk meningkatkan produksi pakan ternak di Indonesia tidak terlepas dari kendala yang dihadapi. Sebelum diperkenalkan tanaman pakan PRG, pengembangan tanaman pakan konvensional juga sudah dihadang sejumlah kendala. Prawiradiputra (2005) mengungkapkan bahwa kendala yang dihadapi pada Prosiding Semnas II HITPI Page 94 pengembangan hijauan adalah sumber daya manusia, dana, fasilitas pendukung, kebijakan dan jaringan kerjasama. Pada sumber daya manusia misalnya, penelitian hijauan ternak kurang diminati oleh sarjana pertanian dan peternakan, karena hijauan dianggap bukan merupakan komod itas yang penting bagi kecukupan pangan maupun ketahanan pangan. Begitupun dengan fasilitas seperti kebun percobaan, laboratorium dan lainnya tidak dijadikan prioritas utama. Tanaman pakan PRG dihasilkan oleh serangkaian tahapan kegiatan penelitian mulai dari laboratorium, rumah kaca (atau kandang), kebun percobaan sampai lapangan dalam skala luas, dengan fasilitas yang lebih dari yang disediakan untuk penelitian non PRG. Untuk itu dibutuhkan biaya yang sangat besar sehingga dukungan pemerintah sangat diharapkan. Dari sisi tenaga peneliti, harus ada tim yang terdiri atas tenaga peneliti laboratorium, biologi, agronomi, pemuliaan tanaman, ahli-ahli hak kekayaan intelektual, spesialis di bidang hukum dan peraturan dan ahli-ahli komunikasi massa. Spesialis di bidang kultur jaringan dan toksikologi sangat diperlukan. Teknologi yang digunakan di laboratorium merupakan teknologi biologi molekuler dan seluler yang memerlukan fasilitas laboratorium dengan akurasi yang sangat tinggi. Dengan demikian dapat dipahami apabila serangkaian peralatan ini merupakan peralatan yang sangat mahal. Tidaklah mengherankan apabila yang bisa mengerjakan kegiatan ini adalah perusahaan-perusahaan multinasional yang bermodal besar. Selain itu, tingkat kesulitannya juga tergolong tinggi sehingga bukan hanya peralatan laboratorium yang canggih saja yang diperlukan, tetapi juga sumbardaya manusia yang benar-benar ahli dan sudah terlatih dengan baik di bidangnya. Sumber daya (manusia, dana, fasilitas) yang diperlukan di atas merupakan kendala utama bagi lembaga- lembaga penelitian Indonesia yang ingin menghasilkan tanaman pakan PRG. Kendala lain yang harus dihadapi peneliti PRG di Indonesia adalah proses untuk melewati uji keamanan dan mendapatkan ijin pelepasan komersial sesuai dengan regulasi yang ada masih terlalu panjang dan mahal bagi lembaga-lembaga riset publik. ASPEK ETIKA Selain aspek teknologi tingkat tinggi, PRG juga tidak terlepas dari aspek etika (dan agama). Aspek penting di dalam bioetika yang perlu diperhatikan adalah adanya prinsip-prinsip di dalam teori etika, yaitu kesejahteraan, otonomi dan adil. Jenie (2012) mengutip Ben Mepham menganalisis matriks etika tersebut yang harus dipenuhi oleh siapa saja yang terlibat di dalam rekayasa genetik. Ada empat sasaran yang diperhatikan di dalam matriks Ben Mepham, yaitu petani, konsumen, tanaman PRG dan biota (lingkungan). Dalam hal kesejahteraan petani harus mendapat penghasilan yang memadai dan tempat kerja yang baik, konsumen harus mendapat pangan yang aman dan mudah, tanamannya sendiri harus subur tidak merana dan lingkungan (biota) harus terjaga dengan baik. Dalam hal otonomi disebutkan bahwa petani harus mempunyai kebebasan untuk bertindak selaku manajer, konsumen harus mempunyai pilihan, tanaman PRG harus bisa beradaptasi dan lingkungan harus memiliki keanekaragaman hayati. Sementara itu dalam hal keadilan petani harus memperoleh keadilan hukum dalam Prosiding Semnas II HITPI Page 95 berusaha tani dan berdagang, konsumen harus mendapatkan pangan yang selalu tersedia, tanaman PRG harus mendapat nilai yang hakiki da n lingkungan harus lestari. Sebagai contoh, apabila di dalam mengusahakan tanaman PRG-nya petani tidak mendapat penghasilan yang lebih baik, maka PRG itu tidak memenuhi etika. Demikian juga apabila konsumen tidak mempunyai pilihan selain dari tanaman PRG yang tersedia. Apabila lingkungan menjadi rusak sebagai akibat dari adanya tanaman PRG maka PRG itu juga tidak memenuhi syarat etika. LANGKAH-LANGKAH PENGAMANAN Untuk menjamin pangan dan pakan PRG betul-betul aman, baik bagi manusia, ternak maupun lingkungan, pemerintah telah membentuk Komisi Keamanan Hayati (KKH) yang bertanggung-jawab langsung kepada Presiden. Di dalam kegiatannya sehari-hari KKH dibantu oleh tiga Tim Teknis, yatiu Tim Teknis Keamanan Pangan PRG (TTKH Pangan PRG), Tim Teknis Keamanan Pakan PRG (TTKH Pakan PRG) dan Tim Teknis Keamanan Lingkungan. Sebelum 2011 Tim Teknis Keamanan Pangan juga menangani keamanan pakan, namun pada November 2011 diterbitkan keputusan pembentukan TTKH Pakan PRG. Dengan dibentuknya KKH, produk pertanian rekayasa genetik yang telah dilepas ke pasar dijamin aman untuk konsumsi ternak maupun manusia, serta aman bagi lingkungan karena telah melewati proses pengkajian keamanan yang panjang. Pengkajian keamanan pakan biasanya difokuskan pada tiga aspek yaitu toksisitas pada mamalia, potensi alerginitas dan komposisi nutrisi. Dengan demikian maka dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengkaji aman tidaknya suatu tanaman PRG. Karena pengkajian PRG memerlukan waktu yang lama maka TTKH memerlukan tenaga yang mempunyai cukup waktu luang, disamping tugas utamanya sebagai peneliti atau tenaga pengajar di perguruan tinggi. Salah satu tugas KKH adalah menyusun suatu pedoman yang diperlukan untuk mengatur keamanan bahan pakan tersebut, khususnya dilihat dalam hal rekayasa genetiknya. Selain mengeluarkan peraturan dan undang-undang, Indonesia juga meratifikasi beberapa peraturan yang sudah disepakati oleh pemerintah bersama lembaga- lembaga internasional, khususnya Perserikatan bangsa-bangsa (PBB). Lembaga-lembaga internasional yang terlibat dalam proses pengkajian keamanan PRG pada umumnya terlibat di dalam pengambilan keputusan keamanan PRG. Mereka juga mempertimbangkan prinsip-prinsip keilmuan yang dikembangkan oleh para ahli. Lembaga-lembaga internasional tersebut adalah – Food &Agriculture Organization of the United Nations – World Health Organization of the United Nations – Organization of Economic Co-operation &Development – United Stated Food and Drug Administration – International Life Sciences Institute Selain itu ada juga komisi yang terlibat di dalam pembuatan peraturan seperti Codex Alimentarius Commission yang mengeluarkan Guidelines for the Prosiding Semnas II HITPI Page 96 conduct of food safety assessment of foods derived from recombinant-DNA plants Di dalam negeri, daftar peraturan perundang-undangan yang berkaitan dan dapat dijadikan dasar hukum bagi pengaturan materi hukum antara lain: a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 b. Undang-undang Republik Indonesia no. 7 tahun 2011 tentang Peternakan c. Keputusan Bersama Empat Menteri tahun 1999 tentang Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan Produk Pertanian Hasil Rekayasa Genetik d. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no. 21 tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik e. Peraturan Menteri Pertanian no 67/Permentan/OT.140/12/2006 tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Sumberdaya Genetik Tanaman f. Di Indonesia sudah ada undang- undang dan peraturan yang menjadi payung hukum penggunaan teknologi rekayasa genetik, di antaranya: (i) Undang-undang nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan yang mengatur peredaran produk pangan hasil rekayasa genetik (pasal 13); (ii) Undang-undang nomor 21 tahun 2004 tentang Pengesahan Protokol Cartagena yang mengatur perpindahan antar batas negara yang berbasis kepada hasil pengkajian keamanan hayati; (iii) Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengatur larangan pelepasan PRG ke lingkungan tanpa ijin (Pasal 69) dan sangsi pidana dan/atau denda atas pelanggaran (pasal 111); (iv) Peraturan Pemerintah nomor 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan yang mengatur wajib pelabelan pangan produk rekayasa genetik (Pasal 35) (v) Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 2005 Tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik yang mengatur tentang tatacara pengkajian keamanan hayati PRG; (vi) Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2010 tentang Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik yang mengatur pembentukan dan tupoksi Komisi dan perlengkapannya; (vii) Keputusan Bersama Empat Menteri Tentang Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan Produk Pertanian Hasil Rekayasa Genetik (1999) yang merupakan payung hukum kelembagaan yang saat ini mengimplementasi PP 21/2005 sebelum kelembagaan baru terbentuk. Keputusan ini dimungkinkan tetap jalan sebagaimana diatur pada PP 21/2005. PENUTUP Dari uraian tersebut di atas ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya kerugian sebagai akibat dari tanaman PRG baik bagi petani maupun konsumen. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah diperlukan kewaspadaan pada saat mengimpor pakan/benih tanaman pakan dari negara lain, khususnya negara maju, jangan sampai dimasukkan pakan atau benih tanaman pakan transgenik yang merugikan. Selain itu perlu mengantisipasi kemungkinan dampak negatif dari tanaman pangan dan tanaman pakan transgenik, baik terhadap ternak Prosiding Semnas II HITPI Page 97 maupun secara tidak langsung terhadap manusia, sehingga diperlukan penelitian atau pengkajian yang komprehensif. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, L., PDMH Karti, S. Hardjosoewignjo, 2005. Reposisi tanaman pakan dalam kurikulum Fakultas Peternakan. Pros. Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Adiyoga, W., 2006. An ex-ante assessment potential benefits for adopting transgenic late blight resistant potatoes in Indonesia. In Adiyoga et al. (eds). Projected Impacts of Biotechnology Products in Indonesia and the Philippines. Cornell University. Badan Pusat Statistik, 2012. Statistik Indonesia 2011. Flachowsky, G. and C. Wenk, 2010. The role of animal feeding trials for the nutritional and safety assessment of feed from genetically modified plants: Present stage and future challenges. J. of Animal and Feed Sciences 19. Gilbert, W. and L. Villa-Komaroff, 1980. Useful proteins from recombinant bacteria. Scientific America Inc. Herman, M., 1999. Tanaman hasil rekayasa genetic dan pengaturan keamanannya di Indonesia. Bulletin AgroBio 3(1):8-26. Herman, M., 2000. Kekhawatiran terhadap tanaman PRG: Antara isu dan fakta. Bio Tan 2(1):1-4 Herman, M., 2008. Tanaman Produk Rekayasa Genetik dan Kebijakan Pengembangannya. Vol 1. Teknologi Rekayasa Genetik dan Status Penelitiannya di Indonesia. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Herman, M., 2008. Tanaman Produk Rekayasa Genetik dan Kebijakan Pengembangannya. Vol 2. Status Global Tanaman Produk Rekayasa Genetik dan Regulasinya. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Hidayat, A. dan A. Mulyani, 2005. Lahan kering untuk pertanian. Dalam Adimihardja dan Mappaona (eds). Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Isa, I., 2006. Strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian. Pros. Seminar Multifungsi dan Revitalisasi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Jenie, U. A., 2012. Pertimbangan bioetika dalam pengambilan keputusan keamanan hayati produk rekayasa genetika. Makalah dipresentasikan pada Training dan Workshop Keamanan Hayati, Kementerian Lingkungan Hidup di Bogor 30-31 Juli 2012. Lokollo, E.M., A. Syam dan A.K. Zakaria, 2001. Kajian sosial ekonomi pengembangan kapas PRG di Sulawesi Selatan. Laporan Kajian Kapas Bt Sub Bidang Sosial Ekonomi. Makalah dipresentasikan dalam Diskusi Ilmiah tentang Evaluasi Pelepasan Terbatas Kapas Bt di Sulawesi Selatan. Prosiding Semnas II HITPI Page 98 Bogor 21 November 2001. Naik, G. 2001. An analysis of socio-economic impact of Bt technology on Indian cotton farmers. Center for management in Agriculture, Indian Institute of Management Pardee, W.D., 2005. New techniques. Encarta Reference Library. Prawiradiputra, B.R., 2005. Pasang surut penelitian dan pengembangan hijauan pakan ternak di Indonesia. Pros. Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Prawiradiputra, B. R., Sajimin, N. D. Purwantari dan I. Herdiawan, 2006. Hijauan Pakan Ternak di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembanagan Pertanian. Pray, 2001. C.E., D. Ma, J. Huang and F. Qiao, 2001. Impact of Bt cotton in China. World Development no 29 vol 5. Weiss, R., 2000. The controversy over genetically engineered food. Encarta Yearbook. Wright, S., 1996. Genetic engineering could be dangerous. In Wright, S. (ed). Down on the Animal Pharm. The Nation. Prosiding Semnas II HITPI Page 99 MAKALAH ORAL Prosiding Semnas II HITPI Page 100 PERUBAHAN NILAI NUTRIEN TANAMAN SORGUM (sorghum bicolor (L.) MOENCH) VARIETAS LOKAL ROTE SEBAGAI HIJAUAN PAKAN RUMINANSIA PADA BERBAGAI UMUR PANEN DAN DOSIS PUPUK UREA Bernadete B Koten 1), R. D. Soetrisno 2), N Ngadiyono 2), B. Soewignyo 2) 1) Program Studi Teknologi Pakan Ternak Ju rusan Peternakan Politekn ik Pertanian Negeri Kupang, Jalan Adisucipto Penfui Kupang – NTT. 2) Fakultas Peternakan Universitas Gad jah Mada Jalan Fauna No 3 Bu laksu mur Ko mpleks UGM Yogyakarta ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi perubahan nilai nutrien hijauan sorgum (Sorghum bicolor (L) Moench) varietas lokal Rote sebagai pakan ternak ruminansia pada umur panen dan dosis urea yang berbeda, telah dilaksanakan di rumah kaca Laboratorium Hijauan Makanan Ternak dan Pastura Fakultas Peternakan UGM selama 4 bulan dari tanggal 11 November 2011 hingga 27 Februari 2012. Penelitian ini dirancang dengan Rancangan Acak Lengkap pola faktorial dengan 2 faktor perlakuan yaitu umur panen (UP) sebagai faktor pertama (UP1= 50 hari, UP2 = 70 hari, dan UP3 = 90 hari) dan dosis pupuk urea (P0=tanpa urea sebagai kontrol, P1 = 50 kg/ha, dan P2 = 100 kg/ha) sebagai faktor kedua. Kombinasi perlakuan ini diulang 4 kali. Variabel yang diamati adalah kadar bahan organik (BO), protein kasar (PK), serat kasar (SK), ekstrak eter (EE), bahan ekstrak tanpa N, dan kadar abu hijauan sorgum (%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar BO pada UP3P2, UP3P1 dan UP3P0 lebih tinggi dari perlakuan lainnya. Kadar PK tertinggi terdapat pada UP1P2 dan kadar EE tertinggi pada UP3P2. Kadar SK pada UP3P2 dan UP3P0 lebih tinggi dan kadar BETN pada UP2P0 dan UP1P1 lebih tinggi dari perlakuan lainnya. UP1P0, UP1P1, dan UP1P2 menghasilkan kadar abu yang lebih tinggi dari perlakuan lainnya. Disimpulkan bahwa umur panen 90 hari yang dikombinasikan dengan dosis urea 100 kg/ha menghasilkan nilai nutrien hijauan sorgum terbaik sebagai pakan ruminansia dengan 93,69% kadar BO, 04,45% kadar PK, 08,41% EE, dan 33,14% SK, 47,21% kadar BETN, dan 06,79% kadar abu. Kata kunci : Sorghum bicolor (L) Moench, Hijauan Pakan, Umur panen, Dosis urea, Nilai nutrisi ABSTRACT The aim of this experiment was to evaluate the production of sorghum plant (Sorghum bicolor (L.) Moench) of Rote local variety as forage for ruminant feed at different combination of harvest time and urea level. The experiment conducted for 4 mounths (November 11 – February 27 2012) at the green house of forage and pasture laboratory, Faculty of Animal Science gadjah Mada University, and in 2 treatment factors with 4 replications. The first factor was various harvesting time e,i. 50,70, and 90 days and the second factor was various level of urea e,i. 0, 50, 100 kg/ha. Parameters measured were nutritive value e.i organic matter (OM), crude protein (CP), extract ether (EE), crude fiber (CF), nitrogen free extract Prosiding Semnas II HITPI Page 101 (NFE), and ash. The result showed that the OM value at UP3P2, UP3P1 and UP3P0 more high than other treatment. The higest CP value at UP1P2 and The higest EE value at UP3P2. Crude fiber value at UP3P2 and UP3P0 more high and NFE value at UP2P0, UP1P1 more high than other treatment. UP1P0, UP1P1, and UP1P2 resulted ash value more high than other treatment. It could be concluded that sorghum plant harvested at 90 days with 100 kg/ha level of urea had contain 93.69% OM, 04.45% CP, 08.41% EE, 33,14% CF, 47,21% NFE, and 06,79% of ash, and resulted the best forage as ruminant fed Key words: Sorghum bicolor (L) Moench, Harvesting time, Level of urea, Forage, Nutritive value. PENDAHULUAN Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) merupakan tanaman serealia yang potensial dan dapat diandalkan sebagai sumber pakan ternak ruminansia, khususnya pada daerah-daerah marginal dan kering di Indonesia seperti di Nusa Tenggara Timur (NTT). Sorgum tumbuh tegak dan mempunyai daya adaptasi agroekologi yang luas, tahan terhadap kekeringan, produksi tinggi, perlu input lebih sedikit serta lebih tahan terhadap hama dan penyakit dibanding tanaman pangan lain. Sorgum memiliki kandungan nutrisi yang tinggi (332 kal kalori dan 11,0 g protein/100 g biji) pada biji dan bagian vegetatifnya (12,8% protein kasar) sehingga dapat dibudidayakan secara intensif sebagai sumber pakan hijauan bagi ternak ruminansia terutama pada musim kemarau (OISAT, 2011).Sebagai pakan ternak ruminansia, hijauan sorgum biasanya dimanfaatkan sebagai sumber pakan bagi ternak sapi perah dan ternak sapi yang digemukkan (Sirappa, 2003). Hijauan sorghum ini sangat palatabel terutama tanaman yang masih muda dan yang sedang berbunga. Nilai nutrisi yang dikandung sorgum pada fase vegetatip adalah 13,76%-15,66% PK dengan 26,06%-31,85% kadar SK (Purnomohadi, 2006). Hijauan sorgum juga dimanfaatkan sebagai hay. Hay sorgum yang berasal dari hijauan yang dipanen pada umur 50 hari mengandung 16,2% PK dalam BK. Kandungan gula dan sari buah yang terdapat pada tangkainya menyebabkan sorgum menjadi salah satu dari tanaman yang terbaik untuk dijadikan silase (Miller dan Stroup, 2004). Sorgum lokal varietas Rote adalah salah satu jenis sorgum yang dibudidayakan oleh masyarakat NTT. Potensi yang ada pada sorgum varietas lokal ini, dapat dikembangkan untuk menjadi sumber pakan berkualitas terutama pada musim kemarau. Tingkat kedewasaan tanaman merupakan faktor terpenting yang mempengaruhi produksi dan nilai nutrisi hijauan (Budiman, 2012). Selama masa vegetatif, tanaman akan lebih banyak memproduksi daripada yang digunakan. Kelebihan hasil asimilasi ini akan disimpan pada bagian vegetatif sebagai senyawa cadangan. Senyawa cadangan tersebut sebagian besar tersusun dari karbohidrat tetapi sering juga mengandung cukup banyak lipid dan protein. Dengan meningkatnya umur tanaman, total karbohidrat non struktural pada tanaman rumput akan semakin tinggi (Budiman et al., 2011). Akan tetapi pada fase lebih lanjut saat tanaman berbuah, senyawa cadangan tersebut akan ditranslokasikan ke perkembangan biji (Gardner et al., 2008). Huston dan Pinchak (2008) menjelaskan lebih lanjut bahwa dengan meningkatnya umur tanaman terutama saat memasuki fase generatif maka ratio batang dan daun Prosiding Semnas II HITPI Page 102 meningkat yang mengakibatkan nilai makanan berkurang. Tanaman akan berkurang kandungan protein, mineral dan karbohidrat mudah larut dengan meningkatnya umur tanaman sedangkan kandungan serat kasar dan ligninnya bertambah karena secara umum daun mengandung protein kasar yang lebih tinggi. Umur panen merupakan aspek yang erat hubungannya dengan fase pertumbuhan tanaman, yang mempunyai relevansi yang akurat dengan produksi dan nilai nutrien dan kecernaan. Penentuan umur panen yang tepat sangat diperlukan untuk menjamin tingginya produksi tanaman dengan nilai nutrisi yang memadai sebagai pakan ternak. Kebutuhan tanaman pakan akan nitrogen (N) sangat tinggi terutama dari kelompok rumput-rumputan termasuk sorgum. Nitrogen ini berguna untuk meningkatkan pertumbuhan, produksi dan kualitas hijauan tanaman serta dapat memperlambat masaknya biji (memperpanjang masa vegetatip). Kondisi ini menyebabkan akumulasi hasil fotosintesis dalam tanaman dapat berlangsung lebih lama sehingga meningkatkan produktivitas tanaman sebagai pakan. Soetrisno (2002) menjelaskan bahwa di daerah tropik unsur N adalah unsur yang pertama terendah disusul P dan S, sedangkan yang mudah tercuci adalah Ca, Mg, K, dan S. Kebanyakan tanah terutama yang diperuntukkan bagi kebun pakan yang dieksploitasi berlebihan menyebabkan kemunduran kandungan unsur hara karena tingkat serapan nitrogen yang tinggi untuk membentuk bagian vegetatif tanaman dan kurangnya bahan organik dari tanaman itu yang kembali menjadi N tanah. Kekurangan unsur N akan menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat yang berdampak pada penampakannya yang kerdil, daun-daun tanaman berwarna kuning pucat, dan kualitas hasilnya rendah. Dengan demikian pemberian N tambahan seperti urea sangat diperlukan, karena peningkatan penyerapan unsur N menunjukkan hal yang sejalan dengan produksi bahan kering dan bahan organik hijauan rumput (Yoku, 2010). Akan tetapi Purbajanti (2013) menjelaskan bahwa N yang terlampau tinggi menyebabkan batang tanaman lemah, tanaman mudah rebah karena sistem perakaran relatif menjadi lebih sempit. Oleh karena itu penentuan dosis urea yang tepat sangat diperlukan untuk menghasilkan produksi tanaman sorgum yang tinggi sebagai pakan ternak ruminansia. Informasi mengenai produksi sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench)sebagai pakan ternak ruminansia pada berbagai umur panen dan dosis urea belum tersedia. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh berbagai umur panen dan dosis urea terhadap produksi sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench)sebagai pakan ruminansia. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kemampuan produksi bahan kering, bahan organik, dan protein kasar tanaman sorgum varietas lokal Rote sebagai pakan ternak pada umur panen dan dosis urea yang berbeda. MATERI DAN METODE Lokasi dan waktu Penelitian ini telah dilaksanakan di rumah kaca Laboratorium Hijauan Makanan Ternak dan Pastura Fakultas Peternakan UGM selama 4 bulan terhitung dari tanggal 11 November 2011-27 Februari 2012. Prosiding Semnas II HITPI Page 103 Bahan penelitian Bahan yang digunakan adalah biji sorgum varietas lokal rote, tanah, pupuk SP 36 (36% P2 O5 ), dan KCl (60% K 2 O) dan urea (45% N), polibag berukuran 18 × 23 cm dengan diameter 22 cm, kantong plastik, dan amplop besar. Peralatan penelitian Peralatan yangdigunakan adalah timbangan digital berkapasitas 200 g dengan skala terkecil 0,01 g untuk menimbang pupuk, dan timbangan pegas berkapasitas 5 kg dengan kepekaan 0,5 g untuk menimbang hijauan, oven pengering, seperangkat peralatan untuk menganalisis kadar protein kasar (Kjeldahl), dan tanur untuk menguji kadar abu dan kadar bahan organik. Prosedur penelitian Penelitian ini menggunakan metode eksperimen yang dirancang dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Pola Faktorial dengan 2 faktor perlakuan dan 4 ulangan. Faktor pertama yaitu umur panen (UP) yang terdiri atas UP1 = 50 hari, UP2 = 70 hari, dan UP3 = 90 hari.Faktor kedua adalah dosis pemupukan urea (P) yaitu P0 = Tanpa urea, P1 =pupuk urea 50 kg/ha, dan P2 = pupuk urea 100 kg/ha.Jadi dengan demikian terdapat 3 × 3 × 4 = 36 satuan percobaan dalam 36 polibag. Prosedur penelitian Persiapan tanah meliputi: Pembongkaran dan penghancuran tanah, kemudian dimasukkan ke dalam polibag sebanyak 10 kg/polibag. Polibag ditempatkan dengan jarak 0,5 × 0,5 m. Penentuan perlakuan pada polibag dilakukan secara acak berdasarkan pola RAL. Benih sorgum dipilih dari biji yang memenuhi syarat bibit yang baik. Penanaman dilakukan dengan membuat lubang tanam dalam polibag. Dalam 1 lubang tanam diisi 4 biji sorgum, kemudian ditutup kembali. Pemberian pupuk SP 36 (36% P 2 O5 ) dengan dosis 75 kg/ha dilakukan sekaligus pada saat tanam dan pupuk KCl (60% K 2 O) sebanyak 75 kg/ha diberikan sebanyak 2 kali yaitu 37,5 kg/ha diberikan saat penjarangan tanaman dan sisanya diberikan saat tanaman berumur satu bulan. Pupuk urea diberikan pada saat tanaman berumur 10 hari sesuai dengan perlakuan. Pupuk-pupuk ini diberikan dengan cara ditugal dengan jarak + 5 cm dari lubang tanam. Penjarangan tanaman dilakukan saat tanaman berumur 10 hari dengan hanya meninggalkan 2 tanaman terbaik di setiap lubang tanamnya. Penyiraman tanaman dilakukan setiap hari hingga mencapai kapasitas lapang. Penyiangan tanaman dilakukan jika ada gulma. Hama ditanggulangi dengan penyemprotan insektisida (Dursban). Pada saat panen dilakukan pengukuran terhadap produksi hijauannya. Pemotongan tanaman telah dilakukan pada batang dengan jarak + 5 cm dari atas tanah.Hijauan yang diperoleh dimasukkan dalam kantong koran yang telah diketahui beratnya kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 55 o C selama 3 hari hingga mencapai berat konstan. Sampel hijauan tersebut digiling dengan diameter lubang saringan 1 mm dan selanjutnya dilakukan analisis bahan kering, bahan organik, dan protein kasar (AOAC, 2005). Prosiding Semnas II HITPI Page 104 Variabel yang diamati Variabel yang diamati adalah komposisi kimia hijauan sorgum (% bahan kering) berupa kadar bahan organik (BO), kadar protein kasar (PK), kadar ekstrak eter (EE), kadar serat kasar (SK), kadar bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) dan kadar abu (AOAC, 2005). Analisis data Data yang diperoleh, dianalisis variansi menurut RAL Pola Faktorial. Uji Duncan (Duncan,s new multiple range test) dilakukan pada faktor perlakuan menunjukkan pengaruh yang signifikan (Gomez dan Gomez, 2010). HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar BO hijauan sorgum akibat perlakuan Data tentang rerata kadar BO hijauan sorgum akibat perlakuan tertera pada Tabel 1. Hasil sidik ragam memperlihatkan bahwa faktor umur panen memberikan pengaruh yang sangat nyata (P≤0,01) terhadap kadar BO hijauan sorgum, meskipun faktor dosis pemupukan urea tidak berpengaruh secara nyata (P≥0,05). Interaksi antara faktor umur panen dan faktor dosis pemupukan urea menunjukkan perbedaan yang nyata (P≤0,05) terhadap kadar BO hijauan sorgum. Pada faktor umur panen, P2 merupakan perlakuan dengan kadar BO tertinggi, yang berbeda dan diikuti oleh P1 dan P0. Pada interaksi kedua faktor ini, kadar BO tertinggi terdapat pada perlakuan UP3P2 yang tidak berbeda dengan UP3P1, UP3P0, dan UP2P2. Kadar BO hijauan sorgum ini berbeda dengan UP2P0. Kadar BO terendah terdapat pada perlakuan UP1P2 yang tidak berbeda dengan UP1P1 dan UP1P0. Kadar BO tertinggi pada UP3P2 ini makin menjelaskan bahwa dosis pupuk 100 kg/ha (P2) akan menyediakan nitrogen tersedia dalam jumlah cukup untuk memperlancar proses fotosintesis dan akumulasi BO pada hijauan sorgum. Kadar BO yang tinggi pada perlakuan tersebut juga didukung oleh produksi BK dan produksi BO yang juga tinggi pada perlakuan tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Yoku (2010) bahwa peningkatan produksi BO secara nyata berbentuk linier dengan peningkatan PK, SK dan BETN. Rerata kadar BO hijauan sorgum pada penelitian ini adalah 92,00%. Kadar BO ini lebih besar dari kadar BO hijauan rumput sudan yaitu 86,5887,74% seperti yang dilaporkan oleh Yoku (2010). Kadar PK hijauan sorgum akibat perlakuan Berdasarkan hasil sidik ragam, kadar PK hijauan sorgum ternyata sangat dipengaruhi (P≤0,01) oleh faktor tunggal umur panen, faktor dosis pemupukan urea, dan interaksi antara kedua faktor tersebut. Data tentang rerata kadar PK hijauan sorgum akibat perlakuan tertera pada Tabel 1. Pada faktor umur panen terlihat bahwa kadar PK hijauan sorgum menurun dengan sangat besar seiring dengan meningkatnya umur panen. Terlihat bahwa dengan bertambahnya usia tanaman sebanyak 20 hari, kadar protein berkurang hamp ir 50%. Kondisi ini sesuai dengan pendapat Barnes et al. (2007) bahwa konsentrasi nitrogen pada tanaman yang lebih muda lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang telah dewasa. Hal ini menyebabkan kadar PK lebih tinggi pada tanaman yang lebih Prosiding Semnas II HITPI Page 105 muda. Pada faktor dosis pemupukan urea, terlihat bahwa kadar PK tanaman sorgum semakin meningkat dengan penambahan dosis urea. Tabel 1. Rerata komposisi kimia hijauan sorgum akibat perlakuan (% BK) Perlakuan (treatment) Kadar BO Kadar PK Kadar EE UP1P0 89,60 d 89,64 d 89,25 d 92,88 b 92,83 c 93,25 ac 10,39 b 10,48 b 13,71 a 05,46 de 05,86 d 07,30 c 03,81 e 03,47 e 05,03 cd 03,41 e 04,35 d 05,49 bc 27,42 f 27,65 f 28,48 e 46,65 d 47,02 d 41,41 e 30,66 cd 31,07 c 52,96 a 51,17 a 30,00 d 49,75 c 93,33 ac 93,52 ac 93,69 a 03,01g 04,10f 04,45 ef 06,28 b 06,22 b 08,41 a 33,21 a 32,09 b 33,14 a 50,31 c 50,58 bc 11,52g 06,21h 03,86i 03,99g 04,42g 06,96f 91,94 06,29l 04,50i 91,99 k UP1P1 UP1P2 UP2P0 UP2P1 UP2P2 UP3P0 UP3P1 UP3P2 Summary Umur Panen (hari) UP1 (50) UP2 (70) UP3 (90) 89,50g 92,99f 93,51e Kadar SK 27,85i 30,58h 32,81g Kadar BETN Kadar abu 11,73 a 11,38 a 11,69 a 07,50 b 07,55 b 07,46 b 47,21 d 07,20 b 07,00 b 06,79 b 51,78f 44,85g 45,84g 11,60c 07,51d 07,00e Dosis Urea (kg/ha) P0 (0) P1 (50) 06,81 08,49 j 04,68 i 06,20 h 30,43 49,97h 08,81 30,27 h 08,65 i 08,65 P2 (100) 92,06 30,34 Rerata 92,00 07,20 05,16 30,41 Standar deviasi 0,32 0,44 0,47 0,34 49,59 46,12 48,56 0,87 08,70 0,34 Keterangan : a,b,c,d,e,f,g,h,i,j,k =Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) dan ns = tidak nyata (P>0,05). (a,b,c,d,e,f,g,h,i,j,k = same superscript in same colom showed significantly differnt (P<0,01) and ns = not significantly (P>0,05)) Pada interaksi antara kedua faktor ini, UP1 merupakan perlakuan yang menghasilkan kadar PK tertinggi dimana kadar PK pada UP1P2 adalah yang tertinggi yang diikuti dan berbeda oleh UP1P1 dan UP1P0. Pada UP2 kadar PK tanaman sorgum semakin menurun tetapi nilainya masih lebih tinggi dari UP3. Pada UP2, perlakuan UP2P2 menghasilkan kadar PK tertinggi yang berbeda dengan UP2P1 dan UP2P0. Begitu pula pada UP3, perlakuan UP3P2 menghasilkan kadar PK yang lebih tinggi daripada UP3P1 dan UP3P0. Kondisi ini menggambarkan bahwa tingginya nitrogen yang tersedia dari pemupukan urea, dimanfaatkan oleh tanaman membentuk nitrogen tubuh tanaman yang nantinya akan menjadi protein tanaman, akan tetapi meningkatnya umur Prosiding Semnas II HITPI Page 106 tanaman, kadar protein kasarnya semakin menurun. Hal ini dimungkinkan karena protein tanaman yang ada, dimanfaatkan untuk pembentukan bagian generatif tanaman. Gardner et al. (2008) menjelaskan bahwa nitrogen merupakan bahan penyusun asam amino, amida, basa bernitrogen seperti purin, dan protein serta nukleoprotein. Rerata kadar PK tanaman sorgum pada penelitian ini adalah 7,20%. Jumlah ini berada dalam kisaran kadar PK hijauan rumput sudan (Sorghum sudanense) 6,28-9,92% (Yoku et al., 2007). Rerata PK sorgum pada umur 50 hari adalah 11,52%, sedikit lebih tinggi dari kadar PK rumput gajah pada fase vegetatif seperti yang dilaporkan oleh Budiman (2012) dan pada umur 70 hari kadar proteinnya menurun menjadi 6,21% lebih rendah dari kadar protein rumput gajah pada fase generatif yaitu 7,06%. Kadar EE hijauan sorgum akibat perlakuan Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa faktor tunggal umur panen dan faktor dosis pemupukan urea ternyata sangat berpengaruh (P≤0,01) terhadap kadar ekstrak eter tanaman sorgum (Tabel 1). Pada faktor umur panen, kadar EE tertinggi pada UP3 dan yang terendah pada UP1. Pada faktor dosis pemupukan urea, kadar EE tertinggi terdapat pada P2 dan terendah pada P0 yang tidak berbeda nyata dengan P1. Walaupun tidak berbeda nyata, terlihat bahwa kadar EE pada kombinasi antara umur panen dan dosis pemupukan urea, tertinggi terdapat pada UP3P2. Perlakuan yang menghasilkan EE terendah terdapat pada UP1P0 yang tidak berbeda dengan UP1P1 dan UP2P0. Seperti halnya karbohidrat non sturktural dan protein, lemak juga merupakan bagian dari protoplas. Meningkatnya fase pertumbuhan tanaman dari vegetatip ke generatif, menyebabkan protoplas pada bagian vegetatip tanaman akan berkurang. Kondisi ini ikut berdampak pada kandungan lemak pada hijauan sorgum. Rerata kadar EE tanaman sorgum pada penelitian ini adalah 5,16%. Kadar ini lebih tinggi dari rerata kadar EE hijauan Sorghum bicolor L. yaitu 2,60% (Sirappa, 2003). Kadar SK hijauan sorgum akibat perlakuan Data tentang rerata kadar SK hijauan sorgum akibat perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil sidik ragam menggambarkan bahwa kadar SK hijauan sorgum sangat dipengaruhi (P≤0,01) oleh faktor umur panen dan kombinasi antara umur panen dan dosis pemupukan urea. Akan tetapi faktor tunggal dosis pemupukan urea tidak berpengaruh nyata (P≥0,05). Pada umur panen, kadar SK meningkat seiring dengan meningkatnya umur panen. Keadaan yang sama juga terjadi pada kombinasi perlakuan, kadar SK tertinggi terdapat pada perlakuan UP3P2 yang tidak berbeda dengan UP3P0, tetapi keduanya berbeda dengan UP3P1, yang selanjutnya diikuti oleh UP2P1, UP2P0, UP2P2, dan UP1P2. Kadar SK yang paling rendah terdapat pada perlakuan UP1P0 yang tidak berbeda dengan UP1P1. Pada umur panen yang tinggi dan dengan adanya peningkatan nitrogen dengan meningkatnya dosis pemupukan urea, maka peningkatan biomasa yang diakumulasikan pada jaringan tanaman menjadi meningkat. Bisa dikatakan bahwa makin berat biomasa yang dihasilkan, makin tinggi kadar serat kasarnya. Hal ini Prosiding Semnas II HITPI Page 107 bisa terlihat pada variabel produksi bahan kering, produksi bahan organik dan produksi protein kasar, dimana perlakuan UP3P2 merupakan perlakuan yang menghasilkan produksi tertinggi. Nugroho et al. (2010) mengemukakan bahwa makin dewasa tanaman maka akan semakin mengalami penebalan dinding selnya. Protoplas akan mensekresikan dinding sel sekunder setelah sel berhenti membesar. Jaringan xilem akan menjadi penopang bagi tanaman. Setelah dinding sekunder disekresikan, protoplas mati dan isinya hilang dari sel tersebut sehingga hanya dindingnya yang tertinggal. Kondisi ini sejalan dengan pendapat McQueen (1998) yang disitasi oleh Balabanli et al. (2011) dan hasil penelitian Yoku (2010) bahwa kadar SK dan NDF dari tanaman pakan meningkat dengan meningkatnya pemupukan nitrogen. Rerata kadar SK tanaman sorgum pada penelitian ini adalah 30,41%. Kadar serat kasar ini masih berada dalam kisaran kadar serat kasar rumput sudan (Sorghum sudanense) yang berkisar antara 23,32-31,28% (Yoku, 2010). Kadar BETNhijauan sorgum akibat perlakuan Hasil analisis variansi memperlihatkan bahwa kadar BETN hijauan sorgum sangat dipengaruhi (P≤0,01) oleh faktor umur panen dan faktor dosis pemupukan urea, sementara kombinasi antara faktor umur panen dan dosis pemupukan urea menunjukkan pengaruh nyata (P≤0,05) terhadap kadar BETN. Pada faktor umur panen, kadar BETN tertinggi justru terdapat pada UP1 dan menurun pada UP2 yang tidak berbeda nyata dengan UP3. Pada dosis pemupukan urea, kadar BETN tertinggi pada P0 diikuti oleh P1 dan yang terendah pada P2. Pada kombinasi antara kedua perlakuan ini, kadar BETN tertinggi terdapat pada perlakuan UP2P0 dan disusul oleh UP2P1. Kadar BETN ini berbeda dan diikuti oleh UP3P1, UP3P0 dan UP2P2. Selanjutnya diikuti oleh UP3P2, UP1P1 dan UP1P0. Kadar BETN hijauan sorgum yang terendah terdapat pada perlakuan UP1P2. Kadar BETN yang tinggi pada UP1 disebabkan adanya penimbunan gula pada bagian batang tanaman yang menimbulkan rasa manis jika dicicip. Karbohidrat ini akan meningkatkan kadar BETN hijauan sorgum. Pada umur panen UP2 dan UP3, tidak terlihat lagi timbunan cairan manis pada batang sorgum, karena sudah ditranslokasikan ke pembentukan bagian generatif tanaman. Berkurangnya kadar nitrogen tersebut berdampak pada meningkatkan kadar BETN tanaman. Begitu pula yang terjadi pada faktor dosis pemupukan urea, dimana pada tanaman yang tidak ditambahkan urea, lebih sedikit nitrogen tersedia yang digunakan untuk membentuk kadar nitrogen jaringan tanaman. Dengan demikian akan meningkatkan kadar BETN tanaman. Rerata kadar BETN tanaman arbila pada penelitian ini adalah 48,56%. Kadar BETN ini juga berada dalam kisaran kadar BETN tanaman rumput sudan seperti yang dilaporkan oleh Yoku (2010) yaitu 44,80-55,38%. Kadar abu hijauan sorgum akibat perlakuan Tabel 1 memaparkan tentang pengaruh perlakuan terhadap kadar abu hijauan sorgum akibat perlakuan. Hasil sidik ragam memperlihatkan bahwa kadar abu tanaman arbila sangat dipengaruhi (P≤0,01) oleh faktor umur panen dan kombinasi antara umur panen dan dosis pemupukan urea berpengaruh nyata (P≤0,05) akan tetapi faktor dosis pemupukan urea tidak berpengaruh terhadap Prosiding Semnas II HITPI Page 108 kadar abu hijauan sorgum (P≥0,05). Pada faktor umur panen, kadar abu tanaman menurun dengan meningkatnya umur panen. Dan pada kombinasi perlakuan, kadar abu tertinggi terdapat pada perlakuan yang merupakan kombinasi dosis pupuk urea dengan UP1 yaitu UP1P0, disusul oleh UP1P2 dan UP1P1. Kadar abu ini kemudian berkurang dan berbeda dengan perlakuan yang berkombinasi UP2 dan UP3 yaitu UP2P1, PU2P0,UP2P2, UP3P0, UP3P1, dan UP3P2. Kadar abu pada perlakuan yang berkombinasi dengan UP2 dan UP3 ini tidak saling berbeda nyata (P≥0,05). Pada umur panen yang tinggi maka semakin meningkat kadar bahan organik yang merupakan akumulasi hasil fotosintesa. Meningkatnya kadar bahan organik ini menyebabkan semakin berkurangnya kadar bahan anorganik pada jaringan tanaman. Kondisi ini didukung oleh data kadar bahan organik yang semakin tinggi dengan bertambahnya umur panen. Rerata kadar abu hijauan sorgum pada penelitian ini adalah 8,70%. Kadar abu ini ternyata lebih rendah dari rerata kadar abu tanaman natif pada padang penggembalaan yang berkisar antara 10,3-12,20% (Balabanli et al., 2011). Kondisi ini dapat disebabkan pada padang penggembalaan, bo tani yang ada merupakan campuran antara rumput dan legum. KESIMPULAN DAN SARAN Tanaman sorgum varietas lokal Rote yang dipanen pada umur 90 hari dengan dosis pupuk urea 100 kg/ha, memproduksi BK, BO dan PK tertinggi. Disarankan bahwa umur panen yang tepat bagi sorgum sebagai pakan ternak adalah 90 hari dengan dosis pupuk urea 100 kg/ha. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada beasiswa program pasca sarjana (BPPS – S3) yang telah membiayai penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA AOAC. 2005. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists. Published by the Association of Official Analytical Chemists. Maryland. Balabanli, C., S Albayrak and O. Yuksel. 2010. Effects of nitrogen, phosphorus and potassium fertilization on the quality and yield of native rangeland. Turkish Journal of Field Crops, 15(2):164 -168. Barnes, R. F., C. J. Nelson., K. J. Moore and M. Collins. 2007. Forages. The Science of Grassland Agriculture. Volume II. 6th Edition. Blackwell Publishing. USA. Budiman. 2012. Studi perkembangan morfologi pada fase vegetatif dan reproduktif tiga kultivar rumput gajah (Pennisetum purpureum Schum). Disertasi. Program Pascasarjana Fakultas Peternakan Universitas gadjah Mada. Yogyakarta. Budiman, R. D. Soetrisno, S. P. S. Budhi and A. Indrianto. 2011. Total non structural carbohydrate (TNC) of three cultivar of napier grass Prosiding Semnas II HITPI Page 109 (Pennisetum purpureum Schum) at vegetative and generative phase. Journal of The Indonesian Tropical Animal Agriculture, 36 (2) : 126-130. Gardner, F. P., R. B. Pearce dan R. L. Mitchell. 2008.Fisiologi Tanaman Budidaya. Terjemahan. UI Press. Jakarta. Gomez, K. A., dan A. A. Gomez. 2010. Prosedur Statistik Untuk Penelitian Pertanian. Terjemahan Edisi Kedua. UI Press. Jakarta. Huston, J.E. and W. E. Pinchak. 2008. Range Animal Nutrition. In: Grazing management a; An Ecological Perspective. http://cnrit.tamu.edu/riem/textbook/Chapter2.htm (diakses 15 September 2012). Miller, F. R and J. A. Stroup. 2004. Growth and management of sorghums for forage production. Proceedings National Alfalfa Symposium: 1 - 10. Nugroho, L. H., Purnomo, M.S., dan I. Sumardi. 2010. Struktur dan Perkembangan Tumbuhan. Penebar Swadaya. Jakarta. OISAT. 2011. Sorghum. PAN Germany Pestizid Aktions-Netzwerk e.V. PAN Germany. Pandutama, M. H., A. Mudjiharyati, Suyono, dan Wustamidin. 2003. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Jember. Purbajanti, E. D. 2013. Rumput dan Legum Sebagai Hijauan makanan Ternak. Graha Ilmu. Yogyakarta. Purnomohadi, M. 2006. Potensi penggunaan beberapa varietas sorgum manis (Sorghum bicolor (L.) Moench) sebagai tanaman pakan. Berkala Penelitian Hayati. 12: 41- 44. Salisbury, F.B. and C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan – Jilid 3. Terjemahan. Penerbit ITB. Bandung. Sinaga, R. 2005. Tanggap morfologi, anatomi dan fisiologi rumput gajah dan rumput raja akibat penurunan ketersediaan air. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Sirappa, M. P. 2003. Prospek pengembangan sorgum di Indonesia sebagai komoditas alternatif untuk pangan, pakan, dan industri. Jurnal Litbang Pertanian. 22 (4): 133 -140. Soetrisno, R. D. 2002. Potensi tanaman pakan untuk pengembangan ternak ruminansia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Yoku O., D. Soetrisno, R. Utomo dan S. A. Siradz. 2007. Pengaruh perlakuan jarak tanam dan pemupukan NPK terhadap produksi rumput sudan (Sorghum sudanense). Jurnal Agritek Volume 15 Edisi ulang tahun ke 15 Juli. Pp. 81- 87. Yoku O. 2010. Produksi Hijauan dan Nilai Nutrisi Wafer Rumput Sudan (Sorghum sudanense) Sebagai Pakan Ternak Ruminansia. Disertasi. Program Pascasajana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Prosiding Semnas II HITPI Page 110 NILAI NUTRISI Panicum maximum CV. RIVERSDALE YANG DIPUPUK DENGAN AIR BELERANG DAN PUPUK KANDANG Charles L. Kaunang & Endang Pudjihastuti Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi, Manado, 95115 ABSTRAK Penelitian adalah untuk mengetahui taraf pemberian air belerang dan pupuk kandang terhadap nilai nutrisi rumput benggala. Evaluasi nutrisi Panicum maximumkultivar Riversdaledilakukan dengan menggunakan metoda artificial rumen in vitro. Rancangan yang akan digunakan yaitu rancangan acak kelompok (RAK) pola factorial 2 × 5 dengan ulangan sebanyak 3 kali, dengan 2 faktor. Faktor pertama adalah pupuk kandang 0 ton/ha (A1 ) dan pupuk kandang 25 ton/ha (A2 ). Faktor kedua adalah air belerang 0% dan 100% air kran (B1 ), air belerang 25% dan 75% air kran (B2 ), air belerang 50% dan 50% air kran (B3 ), air belerang 75% dan 25% air kran (B4 ), air belerang 100% dan air kran (B5 ). Evaluasi nutrisi secara in vitro yang dilakukan dengan 4 parameter (NH3 , VFA total, KCBK, KCBO) menunjukkan bahwa kedua faktor tersebut memiliki perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) dan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap blok masing- masing parameter. Interaksi kedua faktor (air belerang dan pupuk kandang) berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap VFA total dan KCBO, berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap KCBK dan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap [}NH3 . Pemberian pupuk kandang dan air belerang yang menghasilkan nilai optimum terhadap keempat parameter tersebut yaitu pada pemberian air belerang 50% dan pupuk kandang 25 ton/ha. Kata kunci : Panicum maximum kultivar Riversdale, air belerang, pupuk kandang, ruminan , kecernaan in vitro ABSTRACT This research aimed at identifying the intensity of sulphuric solution and manure applications on nutrition value of Panicum maximum. The nutrition evaluation process of P. maximum CV. Riversdale is organized through artificial rumen/ in vitro method. The engineering method that has been implemented was the Group Random Design of 2 × 5 factorial pattern with 3 repetitions of 2 factors. The first factor is 0 ton/ha (A1) of manure and 25 ton/ha (A2) of manure. The second factor is 0% & 100% crane water (B1) of sulfuric solution, 25% and 75% tap water (B2) of sulfuric solution, 50% and 50% tap water (B3) of sulfuric solution, 75% and 25% tap water (B4) of sulfuric solution, 100% tap water (B5) of sulfuric solution. The in vitro nutrition evaluation that have been implemented with 4 parameters (NH3 , Volatile Fatty Acids, In Vitro Dry Matter Digestibility and In Vitro Organic Matter Digestibility) shows that the two factors have significant differences (P < 0.01) and do not have significant difference (P > 0.05) on black of each parameter. Interactions between the two factors (sulfuric solution and manure) have significant influence (P < 0.01) on total IVDMD and do not have significant influence (P > 0.05) on NH3 . The application of manure and sulfuric solution that resulted in optimum value on the four parameters is on the application of 50% Prosiding Semnas II HITPI Page 111 sulfuric solution and 25 ton/ha manure. Key words: Panicum maximum cultivar Riversdale, sulfuric solution, manure, ruminant, in vitro digestibility PENDAHULUAN Diketahui bahwa salah satu faktor yang dapat menurunkan tingkat konsumsi hijauan adalah level protein hijauan (<7%). Hijauan di daerah tropis relatif kurang mineral (terutama di musim kemarau), maka ruminant di daerah tropis cenderung defisien akan mineral. Pada umumnya hijauan biasanya hanya mengandung sejumlah kecil mineral sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan mineral domba, seperti P, S, Sodium dan lainnya (Kaunang, 2012). Ketersediaan mineral dalam tanah dipengaruhi oleh jenis tanah, kondisi tanah yang asam atau basa, dan tingkat kedewasaan hijauan itu sendiri. Oleh sebab itu aplikasi pemupukan dapat mempengaruhi konsentrasi mineral hijauan (Mac Pherson, 2000) Hijauan dapat tumbuh dengan sehat dan subur bila media tumbuhnya dapat menyediakan unsur hara dalam jumlah yang cukup dan berimbang (Anita et al., 2001). Pupuk kandang memiliki kandungan unsur hara yang tidak terlalu tinggi tetapi jenis pupuk ini memiliki keistimewaan yaitu dapat memperbaiki sifat-sifat fisik tanah. Pemupukan S dapat dilakukan dengan pemberian air belerang. Indonesia sebagian besar merupakan daerah gunung api yang menempati luas sekitar 350.000 km2 . Air belerang biasanya mengandung berbagai zat yaitu N, P, K, Ca, Mg, Fe, Al, Mn, Cu, Zn, S. (Kaunang, 2012). Bila hijauan kekurangan belerang, maka kebutuhan belerang pada ternak tidak dapat terpenuhi. Kekurangan belerang dapat dideskripsikan dengan turunnya berat badan, lemah, menekan nafsu makan bahkan kematian. Defisiensi S mengakibatkan sintesis mikroba protein akan berkurang. Belera ng adalah elemen esensial untuk ruminansia yang dapat mempengaruhi proses fermentasi dalam rumen (Kaunang, 2009). Rumput Benggala (P. maximum) adalah salah satu rumput golongan graminae yang disukai oleh ternak ruminan. Habitat tempat tumbuhnya yaitu di padang rumput, hutan terbuka, dan juga pada tempat yang ternaungi . Kadar protein, fosfor dan Ca rumput Panicum maximum CV. Riversdale adalah 12.13%, 0.03% dan 0.20% (Kaunang et al., 2006). Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui taraf pemberian air belerang dan pupuk kandang yang terbaik terhadap nilai nutrisi rumput P.maximum kultivar Riversdale secara in vitro. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilakukan di Desa Sawangan Kecamatan Airmadidi, Kabupaten Minahasa Utara, dan dilanjutkan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi. Rumput yang digunakan dalam penelitian ini adalah P. maximum cv. Riversdale. Pols rumput yang berasal dari semaian biji ini ditanam pada polybag sebanyak 50 buah. Masing-masing polybag 2 pols. Prosiding Semnas II HITPI Page 112 Unsur air belerang diambil dari daerah wisata air panas Lahendong, Kota Tomohon Sulawesi Utara.Pupuk kandang yang digunakan berupa manure sapi yang sudah matang.Cairan rumen berasal dari rumen kambing yang diambil di tempat pemotongan . Persiapan Media Tanam dan Pols Rumput Persiapan pertama dilakukan dengan pengumpulan tanah (koleksi) yaitu tanah yang diambil ± 20 cm dari atas permukaan tanah, kemudian dijemur dan disaring. Sebelum dilakukan penanaman. Dolomit sebanyak 5 ton/ha diberikan pada tanah kemudian dicampur sampai homogen. Pemberian air belerang dilakukan 3 hari sekali. Pemotongan penyeragaman pada hari yang ke-60, kemudian dilakukan pemotongan untuk produksi pertama yaitu 40 hari setelah penyeragaman. Pemotongan dilakukan kembali untuk produksi kedua setelah 40 hari. Rancangan yang akan digunakan yaitu Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola faktorial 2×5 dengan ulangan sebanyak 3 kali berdasarkan waktu pengambilan cairan rumen. Faktor pertama adalah pupuk kandang 0 ton/ha (A 1 ) dan pupuk kandang 25 ton/ha (A2 ). Faktor kedua adalah level air belerang 0% (B1 ), 25% (B2 ), 50% (B3 ), 75% (B4 ), 100% (B5 ). Data yang diperoleh selanjutnya akan diuji menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji kontras orthogonal. Peubah yang diamati adalah kecernaan bahan kering (KCBK) dan kecernaan bahan organic (KCBO)(metoda Tilley and Terry, 1996), NH3 (metoda Cohnway) dan VFA Total (metoda Steam destilasi). HASIL DAN PEMBAHASAN NH3 (Kadar Amonia) Hasil analisis ragam menunjukkan rataan NH3 berkisar dari 3.233±0.292 mM - 8.202±0.592 mM. Konsentrasi amonia tersebut masih berada dalam kisaran yang normal. Sutardi (1986) menyatakan bahwa kadar amonia yang dibutuhkan untuk mensintesa protein mikroba sekitar 4-12 mM. Amonia yang dibebaskan dalam rumen sebagian dimanfaatkan oleh mikroba untuk mensintesis protein mikroba (Kaunang, 2012). Rataan kadar ammonia dapat ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Rataan konsentrasi NH3 (mM) perlakuan secara in vitro Pupuk Kandang Air belerang Rataan + SE 0 ton/ha (A1 ) 25 ton/ha (A2 ) 0% (B1 ) 3.233±0.292e 4.373±0.465d 3.803±0.715d d b 25% (B2 ) 4.707±0.202 6.547±0.137 5.627±1.020c 50% (B3 ) 6.730±0.148b 8.202±0.592a 7.375±0.805c c b 75% (B4 ) 5.657±0.508 7.000±0.113 6.328±0.806b c b 100% (B5 ) 5.670±0.085 6.427±0.225 6.048±0.442b Rataan+SE 5.199±1.238b 6.473±1.269a Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa blok tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap rataan NH3 sedangkan pada faktor air belerang dan pupuk kandang berpengaruh sangat nyata (P < 0.01) terhadap rataan NH3 serta interaksi Prosiding Semnas II HITPI Page 113 antar air belerang dengan pupuk kandang tidak berpengaruh nyata (P > 0.05) terhadap rataan NH3 cairan rumen domba. Perlakuan pupuk kandang 25 ton/ha menghasilkan nilai rataan NH3 sebesar 6.4/3 ± 1.269 mM, lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan tanpa pupuk kandang yaitu sebesar 5.199±1.238 mM. Pupuk kandang memiliki unsur hara yang mengandung nitrogen (Hass, 2003). Pemupukan N dapat mempertinggi produksi dan kadar protein total dalam rumput. Penelitian Van Niekerk et al., (2002) menunjukkan adanya peningkatan NH3 pada rumput Panicum maximum cv. Gatton yang diberi pupuk nitrogen pada level 75 kg N/ha yaitu sebesar 14.2 ± 3.1 mg/100 ml dan level 150 kg N/ha yaitu 20.1 ± 4.7 mg/100 ml, nilai tersebut lebih tinggi daripada level 0 ton/ha yaitu 8.1 ± 2.5 mg/100 ml. Perlakuan air belerang menghasilkan nilai rataan NH3 tertinggi pada level 50% yaitu sebesar 7.375 ± 0.805 mM dan berpengaruh sangat nyata (P < 0.01) dengan level lainnya. Level air belerang 75% dan 100% tidak berbeda nyata dengan level air belerang 0% yang memiliki rataan NH3 terendah yaitu 3.803 ± 0.715 mM. Fungsi utama belerang ada hubungannya untuk sintesis asam amino yang mengandung belerang. Pemberian belerang akan meningkatkan produksi nitrogen mikroorganisme (Kaunang, 2012). Pemberian air belerang pada level 50% menghasilkan rataan NH3 yang paling tinggi, sesuai dengan Kaunanget al., (2006) yang meneliti rumput Benggala cv. Riversdale dengan menggunakan perlakuan yang sama dengan penelitian ini menunjukkan bahwa rataan kadar belerang tertinggi terdapat pada level 50% yaitu sebesar 0.18%. Semakin tinggi kadar belerang menunjukkan semakin tinggi pula konsentrasi amonia. Amonia dibutukan oleh sebagian besar mikroba sebagai sumber N, asam keto alfa dan VFA sebagai sumber kerangka C dan sumber energi untuk sintesa asam amino penyusun protein mikroba (Kaunang, 2012). Interaksi antara air belerang dengan pupuk kandang tidak berpengaruh nyata (P > 0.05). Analisa sidik ragam menunjukkan nilai rataan NH3 tertinggi pada perlakuan A2 B3 (pupuk kandang 25 ton/ha dan air belerang 50%) sebesar 8.020 ± 0.592 mM. Tingginya kadar amonia pada perlakuan A2 B3 menunjukkan bahwa protein dalam rumput cukup fermentabel. VFA (Asam Lemak Terbang) Total Rataan produksi VFA total sebagai tingkat fermentabilitas bahan dapat ditunjukkan pada tabel 2. Tabel 2. Rataan Produksi Asam Lemak Terbang (VFA) Total (mM) perlakuan secara in vitro Pupuk Kandang Air belerang Rataan + SE 0 ton/ha (A1 ) 25 ton/ha (A2 ) 0% (B1 ) 112.227±4.433t 119.287±0.806et 115.757±4.803d 25% (B2 ) 122.370±2.629e 139.790±8.965c 131.080±11.223c ab a 50% (B3 ) 147.827±3.990 154.590±3.839 151.208±5.098a d a 75% (B4 ) 130.377±0.304 149.800±1.325 140.088±10.673b 100% 122.617±5.399e 140.340±3.783bc 131.978±11.070c (B5 ) Rataan+SE 127.083±12.693b 140.961±13.172a Prosiding Semnas II HITPI Page 114 Hasil analisis sidik ragam menunjukkan rataan produksi VFA total berkisar dari 112.227 ± 4.433 mM - 154.590 ± 3.839 mM. Pada fermentasi normal kadar VFA total dalam cairam rumen sekitar 80-160 nM (Sutardi, 1986). Ini menunjukkan bahwa rataan produksi VFA total masih berada dalam kisaran normal. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan penelitian Suhartati (1997) yang menunjukkan nilai rataan produksi VFA total cairan rumen domba yang diberi rumput + air belerang sebesar 74.77 ± 0.38 mM. VFA merupakan salah satu hasil perombakan dari protein yang dilakukan oleh mikroba (bakteri dan protozoa) secara fermentatif (Kaunang, 2012) Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa blok tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap produksi VFA total. Interaksi antar pupuk kandang dengan air belerang berpengaruh nyata (P < 0.05) terhadap produksi VFA total cairan rumen domba. Perlakuan pupuk kandang 25 ton/ha menghasilkan nilai rataan produksi VFA total lebih tinggi sebesar 140.961 ± 13.172 mM dibandingkan dengan perlakuan pupuk kandang 0 ton/ha sebesar 127.083 ± 12.693 mM. Sesuai dengan penelitian Van Niekerk et al. (2002) rumput Panicum maximum cv. Gatton pada awal menunjukkan rataan konsentrasi VFA total yang lebih tinggi pada pemberian pupuk nitrogen pada level 75 kg N/ha (13.8) dan level 150 kg N/ha (14.1) daripada level 0 kg N/ha (13.5). Dengan menambah unsur N dalam tanaman berarti meningkatkan ketersediaan N sehingga meningkatkan nutrisi mikroba. Perlakuan air belerang menghasilkan nilai rataan produksi VFA total tertinggi pada level 50% yaitu sebesar 151.208 ± 5.098 mM dan berpengaruh sangat nyata dengan level lainnya (P < 0.01). Interaksi antar air belerang dan pupuk kandang berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap rataan produksi VFA total. KCBK (Kecernaan Bahan Kering) Rataan koefisien cerna bahan kering dengan pemberian pupuk kandang dan air belerang dapat ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Rataan Koefisien Cerna Bahan Kering/KCBK (%) vitro Pupuk Kandang Air belerang 0 ton/ha (A1 ) 25 ton/ha (A2 ) 0% (B1 ) 40.597±0.699f 47.370±0.931f 25% (B2 ) 49.950±0.795de 50.477±1.020cd 50% (B3 ) 53.660±1.000b 57.857±0.993a bc 75% (B4 ) 52.567±2.083 52.163±1.706bc 100% (B5 ) 48.310±0.705ef 52.297±1.322bc b Rataan+SE 49.017±4.879 52.033±3.680a perlakuan secara in Rataan + SE 43.983±3.782d 50.213±0.867c 55.758±2.465a 52.365±1.717b 50.303±2.380c Hasil analisis sidik ragam menunjukkan koefisien cerna bahan kering berkisar dari 40.597 ± 0.699 - 57.857 ± 0.993%.Perlakuan level pupuk kandang dan air belerang berpengaruh sangat nyata (P < 0.01) terhadap KCBK. Pemberian pupuk kandang 25 ton/ha menghasilkan nilai rataan KCBK sebesar 52.033±3.680%. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan tanpa pemberian pupuk kandang yairu sebesar 49.017±4.879%. Prosiding Semnas II HITPI Page 115 Perlakuan air belerang menghasilkan nilai rataan KCBK yang optimum pada level 50 % yaitu sebesar 55.758±2.465 % dan berpengaruh nyata pada level lainnya. Berkurangnya kadar belerang yang dapat menurunkan daya cerna in vivo dan in vitro bahan kering (Kaunang,2012). Interaksi antara air belerang dan pupuk kandang berpengaruh sangat nyata (P < 0.01). Hal ini menunjukkan bahwa air belerang dan pupuk kandang saling mempengaruhi. Analisa sidik ragam menunjukkan nilai rataan KCBK tertinggi terdapat pada perlakuan A2 B3 (pupuk kandang 25 ton/ha dan air belerang 50%) sebesar 57.857±0.993% dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. KCBO (Kecernaan Bahan Organik) Hasil analisa sidik ragam menunjukkan rataan koefisien cerna (KCBO) berkisar dari 47.767 ± 2.535 - 66.277 ± 1.041 %. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa blok tidak berpengaruh nyata (P > 0.05) terhadap KCBO. Perlakuan level pupuk kandang dan air belerang berpengaruh sangat nyata (P < 0.01) terhadap KCBO. Pemberian pupuk kandang 25 ton/ha menghasilkan nilai rataan KCBO sebesar 60.809 ± 4.359. Syafria (2000) melaporkan bahwa kecernaan bahan organik akan dipengaruhi oleh pemupukan nitrogen. Rataan koefisien cerna dengan pemberian pupuk kandang dan air belerang dapat ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4. Rataan Koefisien Cerna (%) perlakuan secara in vitro Pupuk Kandang Air belerang 0 ton/ha (A1 ) 25 ton/ha (A2 ) 0% (B1 ) 47.767±2.535e 55.810±1.811d 25% (B2 ) 58.183±1.263cd 56.563±2.143d 50% (B3 ) 61.333±2.319bc 66.277±1.041a cd 75% (B4 ) 58.593±1.500 62.423±1.779b 100% (B5 ) 58.717±1.573cd 62.973±0.767b b Rataan+SE 56.919±5.133 60.809±4.359a Rataan + SE 51.788±4.826d 57.373±1.806c 63.805±3.149a 60.508±2.562b 60.845±2.581c Perlakuan air belerang menghasilkan nilai rataan KCBO yang optimum pada level 50% yaitu sebesar 63.805 ± 3.149 % dan berpengaruh nyata pada level lainnya sedangkan antara level air belerang 75% dan 100% tidak berbeda nyata. Pemberian air belerang memberikan respon positif pada pencernaan bahan organic serta meningkatkan protein nitrogen mikroorganisme (Kaunang et al. 2006)). Interaksi antara air belerang dan pupuk kandang berpengaruh nyata (P<0.05). Hal ini menunjukkan bahwa air belerang dan pupuk kandang saling mempengaruhi. Analisa sidik ragam menunjukkan nilai rataan KCBO tertinggi terdapat pada perlakuan A2 B3 (pupuk kandang 25 ton/ha dan air belerang 50%) sebesar 66.277 ± 1.041% dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Sesuai dengan Kaunang (2012) produksi amonia, VFA, KCBK yang meningkat pada hijauan Stylosanthes maka KCBO pun meningkat. Prosiding Semnas II HITPI Page 116 KESIMPULAN Pemberian pupuk kandang 25 ton/ha dan air belerang 50 % yang menghasilkan nilai optimum terhadap keempat parameter yaitu VFA, NH 3 , KCBK dan KCBO. DAFTAR PUSTAKA Anita, Syamsudin, N dan Budiman, N. 2001. Pertumbuhan rumput Benggala (Panicum maximum Jacq.) yang diberi pupuk kandang dan konsentrat EM-4 yang berbeda. Bulletin Nutrisi dan Makanan Ternak. Vol 2 (1):29-37 Haas, M.D. 2003. Health World Online – Minerals – Sulfur. http//www.healthy.net/asp/templates/article.asp?pageType=article&ID=206 6. Kaunang, C.L., B. Bagau dan E. Puddjihastuti. 2006. Potensi Hijauan Pakan di Sulawesi . Utara. Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi Manado Kaunang,C.L. 2009. Penyediaan Hijauan Pakan Ruminan Di Sulawesi Utara. Orasi Ilmiah. Universitas Sam Ratulangi Kaunang,C.L.2012. Peranan Sulfur pada Tanaman Pakan dan Ternak Ruminan. Penerbit Waya Utama. Mac Pherson, A. 2000. Trace- mineral Status of Forages. Scottish Agricultural College. CAB International. USA. Suharti, F. M. 1997. Manfaat air belerang dalam ransum bagi domba muda. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sutardi, T. 1986. Ketahanan Protein bahan makanan terhadap degradasi oleh mikroba rumen dan manfaatnya bagi produktivitas ternak. Proceeding seminar dan penunjang peternakan. Lembaga Penelitian Peternakan. Lembang Syafria, H. 2000. Efek pemupukan nitrogen dan jarak tanam terhadap pertumbuhan dan kualitas rumpur lokal kumpai di tanah podsolik. J. Ilmuilmu Peternakan, Vol III (1). Tilley J. M. A and R. A. Terry. 1996. A Two-Stage Technique for the In Vitro digestion of forage Crops. J. British Grassland Soc. (1996). 18:104-111. Van Niekerk W. A., A. Taute and R. J. Coertze. 2002. An evaluation of nitrogen fertilized Panicum maximum cv. Gatton at different stages of maturity during autumn: 2. diet selection, intake, rumen fermentation and partial digestion by sheep. Department of Animal and Wildlife Sciences, University of Pretoria, Pretoria 2002. South Africa. Prosiding Semnas II HITPI Page 117 MEKANISME TRANSFER NUTRISI DARI LEGUM KE RUMPUT YANG DINOKULASI FMA Herryawan K.M Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Percobaan pengamatan Mekanisme Transfer Nutrisi dari Legum ke Rumput yang diinokulasi FMA dilaksanakan di Rumah Plastik selama 90 hari. Percobaan ini menggunakan modifikasi metode Zhu dkk., (1999) dan metode Marco dan Andre (1998). Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui: 1) Penyerapan hara nitrogen (N) dan fosfor (P) oleh akar rumput Benggala yang terinfeksi FMA, 2) Transfer nutrisi dari legum ke rumput, dengan cara membandingkan selisih kandungan nitrogen dan fosfor pada rumput Benggala yang di inokulasi FMA dengan yang tidak diinokulasi FMA dan 3) Pertumbuhan hifa pada akar tanaman rumput Benggala yang di inokulasi FMA dan menembus pembatas nilon (nylon screen).Metode Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan dua (2) faktor dan tiga (3) ulangan. Faktor pertama adalah jenis legum (L), terdiri atas 4 taraf yaitu:Tanpa Legum (l0 );Sentro (l1 );Kudzu (l2 ) ;Siratro (l3 ) sedangkan faktor kedua adalah dosis Ifapet (M) yang terdiri atas 3 taraf yaitu: 0 g (m0 );10g (m1 );20 g (m2 ). Variabel yang diukur adalah: Kandungan Nitrogen (N) tajuk rumput Benggala dan Kandungan Fosfor (P) tajuk rumput Benggala. Berdasarkan penelahaan hasil percobaan mengenai ”Mekanisme Transfer Nutrisi dari Legum ke Rumput yang diinokulasi FMA (Ifapet)” dapat disimpulkan bahwa Hifa yang tumbuh akibat infeksi FMA dari inokulum Ifapet meningkatkan kandungan N dan P rumput Benggala (Pannicum maximum Jacq) yang ditanam bersama legum. Kata kunci : Hifa, Ifapet, Nilon screen,tajuk rumput benggala,transfer nutrisi PENDAHULUAN Introduksi leguminosa adalah salah satu langkah untuk memperbaiki lahan marjinal dengan biaya yang murah. Beberapa tanaman legum yang tumbuh secara liar seperti, Kudzu, Sentro, Siratro dan Kalopo sudah banyak dikenal oleh masyarakat peternak di Jawa Barat. Tanaman legum ini selain mempunyai fungsi sebagai tanaman penutup tanah, mengurangi erosi juga dapat memperbaiki kualitas kimia tanah melalui penambahan sumber nitrogen tanah. Tanaman leguminosa mempunyai peran penting karena kemampuannya mengikat N dari udara yang dapat ditransfer kepada tanaman lain yang tumbuh disekitarnya, kemudian tanaman legum ini dapat berperan sebagai pengganti pupuk nitrogen yang harganya relatif mahal serta penggunaannya masih bersaing dengan kebutuhan untuk pupuk N untuk tanaman pangan dan tanPertanaman campuran (Mixed Cropping) rumput dan legum mempunyai potensi untuk dimanfaatkan sebagai sistim penyediaan hijauan pakan yang berkualitas. Untuk memenuhi kebutuhan akan hijauan pakan yang berkualitas dalam sistim pertanaman campuran perlu diseleksi kombinasi tanaman rumput dan leguminosa yang dapat meningkatkan produksi dan kualitas tanaman pakan. Rumput Benggala (Pannicum maximum Jacq) yang sudah banyak dikenal oleh masyarakat sebagai rumput yang dapat tumbuh baik bila ditanam bersama legum yang secara alami banyak tumbuh dan diberikan kepada ternak seperti legum Sentro (Centrocema pubescens), Kudzu (Pueraria phaseoloides (Robx) Benth) dan Siratro (Macroptilium atropurpureum (DC). Urb) karena mempunyai palatabilitas yang baik. Prosiding Semnas II HITPI Page 118 Zarea dkk, 2008 menjelaskan bahwa produktivitas hijauan dari hasil pertanaman campuran legum dengan rumput akan lebih baik, apabila sistim pertanaman tersebut dilengkapi dengan teknologi pemupukan yang memperhatikan kesinambungan kualitas tanah dan ramah lingkunganaman perkebunan (Mustofa,1995 ;Sierra dkk,2006) Aplikasi FMA pada sistim pertanaman campuran rumput dan legum dapat memberikan beberapa keuntungan yaitu dapat menunjang pertumbuhan tanaman legum dan rumput serta dapat memperkaya kehidupan mikroba dalam tanah yang selanjutnya akan berdampak kepada kesinambungan kondisi kualitas tanah yang baik. Dari uraian diatas perlu kiranya dipelajari bagaimana mekanisme penyerapan hara oleh FMA dalam pertanaman campuran rumput Benggala dan legum. TINJAUAN PUSTAKA Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) ditemukan pada berbagai jenis tanah, mulai dari tepi pantai sampai dengan ketinggian lebih dari 4500 m diatas permukaan laut (Chaurasia et al. 2005). Kemudian menurut Bonfante dan Bianciotto (1995) fase kontak dan proses infeksi FMA dengan akar tanaman dapat dijelaskan sebagai berikut Pada keadaan tidak ada tanaman inang , hifa yang terbentuk dari spora sebelum simbiosis (presymbiotic) berhenti tumbuh dan akhirnya akan mati. Bila ada akar tanaman inang, jamur melalui hifanya akan kontak dengan tanaman inang dan mulai proses simbiotik. Gambar 1. Mekanisme infeksi FMA (Brundrett dkk.,1996) Fase kontak didahului dengan kejadian seperti pertentangan pertumbuhan jamur dengan akar tanaman,pola percabangan akar baru dan pada akhirnya akan terbentuk apresorium. Apresorium merupakan struktur penting dalam siklus hidup FMA hal ini diinterpretasikan sebagai kejadian kunci bagi pengenalan interaksi yang berhasil dengan calon tanaman inang. Fase kontak akan diikuti dengan fase simbiotik. Sejak fase itu jamur menyempurnakan proses morfogenesis kompleks dengan memproduksi hifa inter dan intraseluler, vesikula dan arbuskula. Aspek morfologis itu dapat dilacak dengan menggunakan kombinasi mikroskop sinar dan elektron (Brundrett, 2004). Karakteristik hayati utama dari FMA adalah biotrof obligat, ini berarti setiap tahap daur hidupnya harus berasosiasi dengan tanaman hidup. Sebagaimana Prosiding Semnas II HITPI Page 119 halnya fungi berfilamen pada umumnya, perbanyakan FMA berlangsung melalui diferensiasi tanah dan akar. Diferensiasi spora terjadi melalui penggelembungan interkalar atau apikal pada hifa. Miselium fungi tumbuh melintasi partikel-partikel tanah dan kemudian bertemu dengan akar muda tanaman inang, hifa kemudian menjalar pada permukaan akar, membentuk entry point dan akhirnya menembus dan tumbuh diantara dan didalam sel-sel kortek. Luasnya penyebaran jaringan hifa fungi menjadikan akar tanaman bermikoriza mampu mengelola volume tanah yang lebih besar daripada yang dapat dilakukan oleh akar itu sendiri. Pembentukan jaringan hifa mikoriza dalam akar dan tanah membentuk sebuah continuum tanah-akar fungi, yang memang diperlukan untuk terjadinya simbiosis menguntungkan antara fungi dan tanaman. Maurice dkk (1985) mengemukakan bahwa tanaman campuran dalam padang pengembalaan membantu menjaga atau memperbaiki tingkat nitrogen organis dalam tanah dan secara tidak langsung menyebabkan kandungan nitrogen tanah menjadi meningkat. Rata-rata perpindahan N dari legum clover ke rumput ryegrass adalah sebesar 40% (Rasmussen dkk, 2006). Kemudian Whitehead (1970) dan Reksohadiprodjo (1985) melaporkan bahwa perpindahan nitrogen langsung dari legum ke rumput adalah sebesar 0-53% dari N yang difiksasi. Pendapat ini didukung oleh Jensen (1990) bahwa telah terjadi perpindahan N secara langsung dari legum clover ke rumput ryegrass setelah tanaman tumbuh berumur 129 hari. (menggunakan 15 N ). Secara normal hanya sedikit N yang ditransfer pada awal pertumbuhan dan kemudian jumlah maksimum yang dicapai sebelum umur padang rumput mencapai tiga tahun. Mekanisme utama pemindahan N dari leguminosa ke rumput menurut Crowder dan Chheda (1982) adalah melalui penanggalan dan pembusukan nodul, ataupun melalui daun yang jatuh. Sedangkan Cormack (1996) telah mengukur akumulasi N dari beberapa legum yang ditanaman sebagai tanaman penyubur yang dapat menyumbangkan pupuk dalam bentuk organik. N tersedia in kemudian diserap akar rumput, namun dapat juga diabsorpsi oleh akar leguminosa. Dekomposisi akar dan nodul adalah jalan utama pemindahan N (Whitehead, 1970) dan juga terbukti ada pemindahan melalui pelepasan senyawa organik dari akar-akar yang hidup. Pemberian Fungi Mikoriza Arbuskula adalah salah satu cara pemberian pupuk secara biologis kedalam tanah.Fungi Mikoriza Arbuskular mempunyai kemampuan untuk berasosiasi dengan hampir 90% jenis tanaman, serta telah banyak dibuktikan mampu memperbaiki nutrisi dan meningkatkan pertumbuhan tanaman (Setiadi. 2002). Menurut Jones, M.B dan Lazenby.A (1988) bahwa ada beberapa hal penting yang berkaitan dengan mikoriza dan rhizospere yang dapat mempengaruhi keseimbangan nutrisi dalam tanah dan tanaman rumput, seperti : (a) kondisi fisik tanah, (b) kondisi kimia tanah (c). melalui fiksasi Nitrogen, (d) memecah enzyme (e) membantu penyerapan hara. Kemudian juga dijelaskan oleh Marchener (1992) bahwa FMA yang menginfeksi sistim perakaran tanaman inang akan memproduksi jalinan hifa secara intensif sehingga tanaman bermikoriza akan mampu meningkatkan kapasitasnya dalam menyerap unsur hara dan air. Suhardi (1990), menjelaskan bahwa FMA mempunyai kemampuan untuk meningkatkan nutrisi P dalam tanaman, khususnya didalam menggunakan sumber P yang sangat rendah availabilitinya dan juga dapat meningkatkan kemampuan Prosiding Semnas II HITPI Page 120 sistim perakaran untuk penyerapan hara dari dalam tanah.Dilaporkan juga oleh (Setiadi, 2002) bahwa keberadaan FMA dapat berfungsi untuk meningkatkan biodiversitas mikroba potensial disekitar perakaran tanaman (rizosfir) yang pada gilirannya dapat membantu percepatan perbaikan status kesuburan tanah. Keberadaan legum yang mampu membantu menyediakan sumber nitrogen dari dalam tanah dan keberadaan FMA yang dapat meningkatkan kemampuan akar tanaman untuk menyerap unsur P, penyerapan air, dan unsur hara lainnya serta kombinasi legum dengan FMA dapat memperbaiki kualitas dan struktur tanah akan dapat membantu meningkatkan produktivitas tanaman rumput Benggala (Panicum maximum Jacq) yang ditanam diatas lahan marjinal. MATERI DAN METODE Mekanisme Transfer Nutrisi dari Legum keRumput yang diinokulasi FMA Percobaan ini dilaksanakan di Rumah Plastik selama 125 hari di Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran dengan menggunakan modifikasi metode Zhu dkk., (1999) dan metode Marco dan Andre(1998). Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui: 1. Penyerapan hara nitrogen (N) dan fosfor (P) oleh akar rumput Benggala yang terinfeksi FMA. 2. Transfer nutrisi dari legum ke rumput, dengan cara membandingkan selisih kandungan nitrogen dan fosfor pada rumput Benggala yang di inokulasi FMA dengan yang tidak diinokulasi FMA. 3. Pertumbuhan hifa pada akar tanaman rumput Benggala yang di inokulasi FMA dan menembus pembatas nilon (nylon screen). Alat dan Bahan Alat yang digunakan meliputi pot plastik ukuran 19 ×12×9cm (pot A) dan pot plastik ukuran 12×8×9cm(pot B) [Lampiran 6]; dan pembatas nilon ukuran diameter pori-pori 30 µm (Nytal Nylon Monofilament, Switzerland) [Lampiran 7]. Bahan yang digunakan adalah Inokulum Ifapet; bibit legum Sentro, Kudzu dan Siratro; bibit rumput Benggala; dan tanah Ultisols steril yang diambil secara komposit dari lahan percobaan. Metode Percobaan Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan dua(2) faktor dan tiga (3) ulangan. Faktor pertama adalah jenis legum (L), terdiri atas 4 taraf yaitu: 1. Tanpa Legum (l0 ) 2. Sentro (l1 ) 3. Kudzu (l2 ) 4. Siratro (l3 ) Sedangkan faktor kedua adalah dosis Ifapet (M) yang terdiri atas 3 taraf yaitu: 1. 0 g (m0 ) 2. 10 g (m1 ) 3. 20 g (m2 ) Prosiding Semnas II HITPI Page 121 Tabel 1. Kombinasi Perlakuan nl l1 m0 m0 l0 m0 l1 m1 m1 l0 m1 l1 m2 m2 l0 m2 l1 Keterangan : m 0 = 0 gram inokulum ifapet m 1 = 10 gram inokulum ifapet gram inokulum m 2 = 20 ifapet l2 m0 l2 m1 l2 m2 l2 l3 m0 l3 m1 l3 m2 l 3 l0 l1 l2 l3 = = = = Tanpa legum Sentro Kudzu Siratro Variabel yang diukur adalah: 1. Kandungan Nitrogen (N) tajuk rumput Benggala 2. KandunganFosfor (P) tajuk rumput Benggala Pelaksanaan Percobaan Persiapan Bibit Rumput, Persemaian Legum dan Inokulum Mikoriza Bibit rumput Benggala dan legum Sentro, Kudzu dan Siratro diperoleh dari Balai Percobaan Tanaman Hijauan Makanan Ternak (BPT HMT) Cikole Lembang. Bibit rumput Benggala dalam bentuk vegetatif sobekan rumpun (pols) ditanam dalam polibag berukuran volume 2 kg. Bibit rumput Benggala disiapkan sebanyak ± 30 bibit. Untuk persiapan bibit legum secara generatif (biji), dilakukan penanaman masing- masing jenis legum sebanyak ± 15 bibit di dalam polibag persemaian. Persiapan inokulum FMA dilakukan dengan melakukan penimbangan Inokulum Ifapet sesuai dosis perlakuan yaitu 10 dan 20 gram masing- masing sebanyak 12 buah. Persiapan Pot, Inokulasi Ifapet dan Penanaman Percobaan ini menggunakan dua tipe pot yaitu A (ukuran 19 ×12× 9 cm) dan B (ukuran12 × 8 × 9 cm). Pada salah satu bidang memanjang pot B dibuat lubang berukuran 10 × 7 cm yang kemudian ditutup dengan pembatas nilon (Lampiran 8, Gambar a). Pot B diisi dengan tanah dari lahan percobaan lapangan yang telah dipasteurisasi, kemudian dimasukan ke dalam pot A denga n bagian pembatas nilon menghadap ke dalam. Setelah pot B berada di dalam pot A, tanah pasteurisasi diisikan ke dalam pot A. Selanjutnya, pot A ditanami legum sesuai dengan perlakuan, yaitu tanpa legum, Sentro, Kudzu dan Siratro. Inokulasi Ifapet sesuai dengan perlakuan diberikan pada pot B dengan cara ditaburkan pada kedalaman 3 cm. Selanjutnya pot B ditanami dengan rumput Benggala. Pada percobaan ini tanaman tidak diberi pupuk anorganik. Prosiding Semnas II HITPI Page 122 Pot Plastik tempat tanaman pecobaan A B Tanaman siap panen Rumah plastik tempat Percobaan Persiapan pembuatan preparat Pemeliharaan Setelah tanaman rumput Benggala dan legum tumbuh, dilakukan pemeliharaan dengan penyiraman dan penyiangan gulma. Penyiraman dilakukan setiap hari sesuai dengan kapasitas lapang. Penyiangan dilakukan dengan mencabut gulma yang tumbuh dan mengganggu tanaman percobaan. Pemanenan Pemanenan dilakukan dengan cara: 1. Memotong tajuk tanaman rumput Benggala pada pot B untuk dianalisis kandungan N dan P tajuk. 2. Memisahkan pot B dari pot A, kemudian pembatas nilon pada pot B dijadikan preparat untuk pengamatan hifa FMA yang mampu menembus pembatas nilon. 3. Mengambil sampel akar tanaman rumput Benggala untuk pengamatan infeksi FMA. Analisis Data Data hasil percobaan dianalisis dengan sidik ragam univariat (ANOVA) pada taraf α0.05 . Untuk mengetahui apakah perlakuan memberikan efek interaksi bermakna terhadap variabel respon yang diamati, dilakukan pengujian lanjut Uji Jarak Berganda Duncan 5% (Gaspersz , 1995) dengan program SPSS Versi 15. Untuk menentukan urutan perlakuan terbaik digunakan metode Ranking Berlapis Wilcoxon (Hanafiah 1994). Prosiding Semnas II HITPI Page 123 HASIL DAN PEMBAHASAN Aktivitas Bakteri Penambat Nitrogen Keberadaan bakteri penambat N pada tanaman legum maupun rumput yang digunakan dalam percobaan ini telah diidentifikasi pada percobaan tahap I mengenai eksplorasi mikroba (Tabel 4). Pada tahap IV, keberadaan bakteri penambat N diukur aktivitas penambatannya melalui analisis reduksi asetilen (ARA). Hasil pengukuran ARA yang menunjukkan kemampuan masing- masing bakteri di dalam menambat N 2 disajikan pada tabel dibawah ini : Aktivitas Nitrogenase Mikroba Penambat N pada Tanaman Percobaan No Tanaman Bakteri Penambat N Aktivitas Nitrogenase (µmol g-1 jam-1 ) 1 Siratro Sinarhizobium 0.432 japonicus 2 Sentro Azospirillumsp. 0.442 3 Kudzu Azospirillum sp. 0.426 4 Benggala Azospirillum sp. 0.112 Tabel di atas menunjukkan bahwa bakteri yang terdapat pada tanaman legum menunjukkan telah terjadi pengikatan nitrogen melalui aktivitas bakteri Azospirillum danSinarhizobium Japonicus dibandingkan dengan bakteri pada rumput. Bakteri pada tanaman legum Sentro mempunyai kemampuan mengikat N tertinggi (0.442 µmol g-1 jam-1 ) diikuti oleh legum Siratro (0.432 µmol g-1 jam-1 ) dan Kudzu (0.426 µmol g-1 jam-1 ). Kemampuan untuk mengikat N 2 dari udara pada tanaman legum ini sesuai dengan pendapat Bashan dkk. (1990) yang menjelaskan bahwa keberadaan bakteri Azospirillum dalam sistim perakaran tanaman dapat membantu meningkatkan penyerapan N dalam tanah oleh akar tanam legum dan nitrogen tersebut akan terakumulasi pada tajuk tanaman yang terinfeksi. Selain pada tanaman legum, bakteri Azospirillum juga ditemukan pada akar rumput Benggala, hal ini sesuai dengan penemuan oleh Stewart (1982) dan Curl dkk. (1986) mengemukakan bahwa bakteri pada sistim perakaran rumputrumputan menempati daerah antara tanah dan akar, kadangka la bakteri tersebut bahkan masuk ke akar, sebagian dibuktikan oleh kemampuan akar yang permukaannya steril untuk menambat nitrogen. Bakteri yang paling lazim biasanya diindentifikasi dengan akar aktif rumputan adalah anggota genus Azospirillum. Kemampuan fiksasinya nitrogen oleh bakteri pada rumput Benggala lebih rendah daripada kemampuan fiksasi nitrogen pada tanaman legum Sentro, Siratro dan Kudzu. Pada rumput Benggala kemampuan fiksasi N- nya sebesar 0.112 µmol g-1 jam-1 . Keberadaan Azospirillumpada akar rumput Benggala ini akan membantu penyerapan hara mineral dari dalam tanah oleh sistim perakaran rumput Benggala sehingga selanjutnya akan berakibat kepada meningkatnya kandungan nutrisi pada tajuk tanaman rumput Benggala. Kondisi ini didukung oleh beberapa hasil percobaan Schank dkk (1983) bahwa inokulasi di lapangan dengan spesies Azospirillum dilaporkan telah meningkatkan hasil bobot kering berbagai tanaman di Israel, India, Bahama, Australia dan Florida. Selanjutnya Boddey dan Doboreiner (1988) menunjukan bahwa Azospirillum menyumbang Prosiding Semnas II HITPI Page 124 suatu senyawa pengatur tumbuh tak dikenal yang dapat menyebabkan bobot kering tanaman meningkat. Hasil percobaan Smith dkk. (1978) memperlihatkan bahwa inokulasi Azospirillum pada Pannicum maximum dan Digitaria decumbens memproduksi berturut-turut 80% dan 61% protein lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa inokulasi. Secara umum, hasil pengatan keberadaan bakteri penambat N beserta aktivitasnya menunjukkan bahwa: (1) Bakteri pengikat nitrogen yang terdapat di dalam tanaman percobaan didominasi oleh bakteri dari spesies Azospirillum; (2) baik tanaman legum maupun rumput Benggala mempunyai kemampuan secara mandiri melakukan proses fiksasi nitrogen; (3) dengan adanya fiksasi N akan mempengaruhi kandungan nutrisi tanaman, terutama kandungan N pada tajuk tanaman yang terinfeksi FMA; serta (4) proses fiksasi N oleh tanaman le gum (Sentro, Kudzu dan Siratro) memberikan peluang ketersediaan N dalam tanah menjadi lebih banyak sehingga dapat dimanfaatkan oleh tanaman rumput Benggala. Keberadaan dan Aktivitas Fungi Mikoriza Arbuskula Untuk melihat adanya aktivitas FMA pada sistim perakaran rumput Benggala telah dilakukan pengamatan infeksi akar metode Nusantara (2007). Hasil pengamatan menunjukkan terjadinya infeksi akar rumput Benggala oleh hifa FMA (Gambar dibawah). Gambar 2. Infeksi Akar Rumput Benggala oleh Hifa (H) FMA Tumbuhnya hifa- hifa ini karena terjadinya infeksi FMA yang berasal dari inokulum FMA yang diberikan pada akar rumput Benggala. Seperti yang disampaikan oleh Brundrett dkk. (1996) dan Varma (1998) bahwa perakaran tanaman yang terinfeksi FMA akan menghasilkan hifa- hifa yang mempunyai diameter lebih kecil dari akar tanaman terinfeksi. Selanjutnya hifa-hifa tersebut akan memperluas permukaan akar tanaman inang serta menjadi perpanjangan dari fungsi akar tanaman inang untuk menyerap hara dari dalam tanah di sekitarnya. Prosiding Semnas II HITPI Page 125 Gambar 3. Hifa-hifa FMA yang menembus pori-pori pembatas nilon(Nylon Screen) berdiameter 31 µm Gambar di atas menunjukkan hifa-hifa FMA yang mempunyai ukuran berdiameter kurang dari 31 µm menembus pembatas nilon yang memisahkan tanaman rumput Benggala dengan tanaman legum (Sentro, Kudzu dan Siratro). Hifa- hifa yang menembus pemisah nilon tersebut membuktikan adanya pergerakan hifa di dalam mencari nutrisi dari tanaman lainnya, dalam hal ini legum, serta menyerapnya untuk keperluan tanaman rumput Benggala. Perakaran tanaman rumput Benggala tidak menembus pembatas nilon tersebut, karena memiliki diameter yang lebih besar dari 31 µm. Kondisi ini sesuai dengan hasil percobaan yang mengemukakan bahwa adanya hifa yang tumbuh pada sistim perakaran suatu tanaman, akan memperluas permukaan akar untuk membantu penyerapan hara tanah dari tempat yang tidak dapat dijangkau oleh sistim perakaran tanaman inangnya (Marulanda, 2006). Uji Transfer Nutrisi dari Tanaman Legum ke Rumput Benggala Transfer Nitrogen Secara umum, perlakuan mikoriza, jenis legum atau kombinasi mikoriza dengan jenis legum dapat menghasilkan kandungan protein kasar tanaman rumput Benggala yang bervariasi (Tabel 1). Untuk mengetahui dan menguji adanya transfer nitrogen dari tanaman legum ke tanaman rumput Benggala dapat dibandingkan antara kandungan protein rumput Benggala yang tumbuh bersama legum dengan tanaman rumput Benggala yang tumbuh tunggal. Kandungan protein kasar rumput Benggala tertinggi dicapai oleh kombinasi perlakuan m2 l1 (9.13%), diikuti oleh perlakuan m1 l1 (9.02%), m2 l2 (8.58%), m1 l3 (8.31%), m2 l3 (8.28%), m1 l3 (8.08%), m0 l1 (7.77%), m0 l2 (7.52%), m0 l3 (6.63%) m2 l0 (6.45%), m1 l0 (5.94%) dan m0 l0 (4.77%). Tabel 2. Pengaruh FMA dan Legum terhadap Kandungan PK R. Benggala (%) Legum l0 l1 l2 l3 Non legum 5.56 Sentro 7.88 Kudzu 6.56 Siratro 6.31 4.56 4.19 4.77 6.00 8.56 6.88 7.77 8.63 8.63 7.38 7.52 8.25 7.31 6.25 6.63 7.69 5.63 6.19 5.94 6.95 9.56 8.88 9.02 8.90 7.94 8.75 8.31 9.00 8.44 8.13 8.08 8.50 6.40 6.00 6.45 9.25 9.25 9.13 8.75 8.00 8.58 7.95 8.40 8.28 FMA m0 0g rataan m1 10 g rataan m2 20 g rataan Prosiding Semnas II HITPI Page 126 Untuk menguji pengaruh perlakuan terhadap kandungan protein kasar rumput Benggala telah dilakukan analisis statistik. Dapat dikatakan bahwa keberadaan mikoriza mempengaruhi kandungan N rumput Benggala karena Sig. 0.00 < 0.05. Kemudian keberadaan legum juga mempengaruhi kandungan N rumput Benggala karena Sig 0.00 < 0.05. Pengaruh mandiri mikoriza maupun jenis legum terhadap kandungan protein kasar rumput Benggala disajikan pada Tabel 3. Dari Tabel 3 terlihat bahwa inokulasi FMA meningkatkan kandungan protein kasar tanaman rumput Benggala secara nyata dibandingkan. Namun demikian, pemberian inokulum 10 g dengan pemberian inokulum 20 g tidak memberikan hasil yang berbeda nyata. Semakin banyak jumlah inokulum mikoriza yang diberikan kepada tanaman, peluang terjadinya infeksi mikoriza pada akar tanaman akan semakin besar, yang selanjutnya pertumbuhan hifa pada akar rumput Benggala akan semakin banyak. Dengan banyaknya hifa yang tumbuh, maka peluang akar tanaman rumput Benggala untuk menyerap hara dari dalam tanah akan semakin besar. Selanjutnya pengaruh jenis legum memperlihatkan bahwa keberadaan legum mempunyai pengaruh nyata di dalam meningkatkan kandungan protein kasar tajuk rumput Benggala (Tabel 3). Secara berurutan legum Sentro (8.64%) mempunyai pengaruh yang tertinggi, diikuti oleh legum Kudzu (8.14%) dan legum Siratro (7.67%). Dari kondisi ini maka dapat lihat perbedaan yang nyata antara kandungan protein kasar rumput Benggala yang tidak diberi perlakuan legum (5.72%) dengan kadar protein kasar rumput Benggala yang diberi perlakuan legum (Sentro, Kudzu dan Siratro). Dengan kata lain telah terjadi perpindahan nitrogen dari tanaman legum kepada tanaman rumput Benggala, yang salah satunya melalui penyerapan hara nitrogen yang dilakukan oleh hifa- hifa yang tumbuh pada akar tanaman rumput Benggala yang diinokulasi FMA. Tabel 3. Efek Mandiri Pengaruh FMA dan Legum terhadap Kandungan Protein Kasar Rumput Benggala Kandungan Perlakuan Protein Kasar (%) Dosis inokulum FMA : 0g 6.67a 10 g 7.84b 20 g 8.11b Jenis Legum: non legum 5.72a Siratro 7.66b Kudzu 8.14bc Sentro 8.64c Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 0.05 Kondisi ini diperkuat oleh hasil percobaan Daudin dkk. (2008) yang memberikan informasi bahwa dengan menggunakan indikator 15 N telah terjadi perpindahan N dari legum Gliricidia sepium (Jacq) kepada rumput Dichanthium aristatum (Poir) dengan total N yang diserap oleh rumput sebesar 57% termasuk di dalamnya 31% melalui proses fiksasi N. Selain itu kondisi hasil percobaan ini Prosiding Semnas II HITPI Page 127 sesuai dengan hasil percobaan Mustofa (1995) yang menunjukkan terjadinya perpindahan nitrogen dari white clover (Trifolium repens cv Huia) ke tanaman rumput ryegass (Lolium perenne cv). Perbedaan kandungan nitrogenterjadi ketika dibandingan antara kandungan nitrogen ryegass yang tumbuh sendiri dibandingkan dengan ryegass yang tumbuh bersama dengan white clover. Hifa-hifa yang tumbuh pada akar rumput Benggala menembus dinding penghalang yang terbuat dari nylon dengan ukuran lubang 31 µm 5), untuk selanjutnya hifa-hifa tersebut menyerap hara, terutama sumber nitrogen yang berada disekitar sistim perakaran legum. Percobaan yang dilakukan oleh Zhu dkk. (1999) juga memperlihatkan bahwa telah terjadi infeksi mikoriza pada perakaran white clover ( Trifolium repens cv Huia) yang hifa- hifanya menembus sekat pembatas yang mempunyai pori-pori 35 µm, kemudian hifa tersebut memasuki rizosfir dari tanaman rumput ryegass (Lolium perenne cv). Hifa-hifa berfungsi menjadi penghubung dan alat transfer nutrisi dari tanaman legum ke tanaman rumput Benggalaseperti dinyatakan oleh Hamel dkk. (1992) dan Rogers (1993) bahwa untuk terjadi transfer N di antara tanaman, diperlukan peran dari hifa mikoriza sebagai penghubung. Transfer Fosfor Selain transfer nitrogen, transfer fosfor juga terjadi pada percobaan ini. Untuk melihat adanya transfer fosfor diantara tanaman legum dan rumput dilakukan beberapa pengatan. Kandungan fosfor rumput Benggala akibat pengaruh FMA dan legum dapat dilihat pada Tabel 4, bahwa kandungan fosfor tertinggi dicapai pada kombinasi m2 l1 (0.41%), kemudian berurutan m1 l1 (0.39%), m2 l2 (0.37%), m2 l3 (0.36%), m1 l2 (0.35%), m1 l3 (0.34%), m0 l1 (0.30%), m2 l0 (0.26%), m1 l0 (0.26%), m0 l2 (0.25%), m0 l3 (0.24%) dan m0 l0 (0.22%). Tabel 4. Pengaruh FMA dan Legum terhadap Kandungan Fosfor (%) Rumput Benggala Legum l0 Non legum FM A l1 S entro l2 Kudzu l3 S iratro m0 0.22 0.33 0.23 0.23 0g 0.19 0.29 0.30 0.22 0.23 0.29 0.23 0.26 0.22 0.30 0.25 0.24 m1 0.25 0.37 0.40 0.36 10 g 0.27 0.38 0.35 0.32 0.24 0.41 0.31 0.35 rataan rataan 0.26 0.39 0.35 0.34 m2 0.24 0.42 0.38 0.38 20 g 0.26 0.39 0.37 0.36 0.28 0.41 0.37 0.33 0.26 0.41 0.37 0.36 rataan Dari Tabel 4 terlihat bahwa kandungan fosfor tertinggi dicapai pada kombinasi m2 l1 (0.41%), kemudian berurutan m1 l1 (0.39%), m2 l2 (0.37%), m2 l3 (0.36%), m1 l2 (0.35%), m1 l3 (0.34%), m0 l1 (0.30%), m2 l0 (0.26%), m1 l0 (0.26%), Prosiding Semnas II HITPI Page 128 m0 l2 (0.25%), m0 l3 (0.24%) dan m0 l0 (0.22%). Tabel 5. Efek Mandiri Pengaruh FMA dan Legum terhadap Kandungan Fosfor (%) Rumput Benggala Perlakuan Kandungan Fosfor (%) Dosis inokulum FMA : 0g 0.26 a 10 g 0.33 b 20 g 0.35 b Jenis Legum: non legum 0.24 a Siratro 0.31 b Kudzu 0.32 b Sentro 0.36 c Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 0.05 Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap kandungan fosfor rumput Benggala dilakukan uji statistik. Hasil analisis menunjukkan bahwa mikoriza memberikan pengaruh perbedaan yang nyata terhadap kandungan fosfor rumput Benggala (Sig.0.000 < 0.005). Demikian halnya dengan jenis legum (Sig.0.000 < 0.005) memberikan pengaruh yang nyata terhadap kandungan fosfor rumput Benggala. Pemberian 10 g inokulum (m1 ) dan 20 g inokulum (m2 ) memperlihatkan pengaruh perbedaan yang nyata bila dibandingkan dengan tanpa pemberian inokulum mikoriza (m0 ). Setiadi (2004) menyatakan bahwa akar tanaman yang terinfeksi oleh mikoriza, pada akar akarnya akan tumbuh hifa- hifa, dan hifa inilah yang selanjutnya akan membantu penyerapan hara dari dalam tanah, terutama unsur P. Dengan semakin banyaknya jumlah inokulum yang diberikan, maka semakin besar peluang tumbuhnya hifa dan selanjutnya akan berdampak kepada penyerapan hara yang lebih banyak. Menurut pendapat Wiwasta ( 2001) jumlah unsur P yang dapat diserap oleh akar tanaman yang bermikoriza lebih banyak bila dibandingkan dengan jumlah unsur P yang dapat diserap oleh tanaman yang tidak terinfeksi mikoriza. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap kandungan fosfor rumput Benggala dilakukan uji statistik. Hasil analisis menunjukkan bahwa mikoriza memberikan pengaruh perbedaan yang nyata terhadap kandungan fosfor rumput Benggala (Sig.0.000 < 0.005). Demikian halnya dengan jenis legum (Sig.0.000 < 0.005) memberikan pengaruh yang nyata terhadap kandungan fosfor rumput Benggala. Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa legum Sentro (0.36%) memberikan kontribusi yang tertinggi terhadap kandungan fosfor rumput Benggala dan berbeda nyata dengan kontribusi legum Kudzu (0.32%) dan legum Siratro (0.31%). Kemudian apabila dibandingkan dengan perlakuan tanpa legum, maka terjadi perbedaan yang nyata antara kandungan fosfor tanpa legum dengan mengunakan legum (Sentro, Kudzu dan Siratro). Kondisi ini memperlihatkan bahwa walaupun tidak secara langsung, keberadaan Rhizobium pada sistim perakaran legum memberikan pengaruh posistif terhadap proses penyerapan hara Prosiding Semnas II HITPI Page 129 dari dalam tanah oleh akar rumput Benggala. Menurut Peters dan Meeks (1989) aktivitas bakteri Rhizobium dapat merangsang kerja dari sistim perakaran tanaman dan berperan besar di dalam rantai makanan untuk tanaman. Oleh karena itu dengan adanya legum yang tumbuh bersama dengan rumput Benggala, maka sistim perakaran rumput Benggala akan mendapat keuntungan lebih mudah menyerap hara tanah yang tersedia terutama nitrogen, dan nitrogen yang cukup dapat mempengaruhi proses metabolisme dan pertumbuhan dari tanaman rumput Benggala. KESIMPULAN Dari hasil percobaan dan pembahasan dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Telah terjadi perpindahan nutrisi dari tanaman legum ke tanaman rumput melalui hifa yang meng infeksi sistim perakaran rumput. 2. Hifa yang terbentuk pada sistim perakaran rumput telah dapat menembus dinding pembatas nilon antara sistim perakaran tanaman rumput dengan legum. DAFTAR PUSTAKA Brundrett MC, Bougher N, Dell B, Grove T, Malajczuk N, 1996. Working with Mycorrhizas. in Forestry and Agriculture. ACIAR.Austral. Cen. Int. Agric.Res. Monograph Nr.32 Brundrett MC, 2004. Diversity and classification of mycorrhizal association. Biol.Rev. 78 :473-495 Brundrett, M.C. 2002. Coevolution of roots and mycorrhizas of land plants. New Phytologist 154: 275-304. Brundrett,M.F. Bougher, B.Dell, T.Grove, and N Malajczuk. 1996. Working with Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. Australian Cen.Int.Agric.Res Canberra Chaurasia B, Pandey A, Palni LMS . 2005. Distribution, colonization and diversity of arbuscular mycorrhizal fungi associated with central HimalayanrhododendronsForestEcol. Manage. 207 (3) : 315-324 Marschner,P and Zdenko Rengel.1995 Contribution of Rhizosphere Interactions to Soil Biological Fertility, chapter 5 in“Soil Biological Fertility” A Key to Sustainable Land Use in Agriculture edited by Lynette K Abbott and Daniel V Murphy. Printed. 2003 Kluwer Academic Publisher Netherlands. p 81-92 Marulanda A, Barea JM, AZson R. 2006. An Indigenous drought-tolerant strain of Glomus intraradices associated with a native bacterium improves water transport and root development in Retama spaerocarpa. Microbial Ecol.52 (4) : 670-678 Mustofa, H.K. 1995. The Role of Mycorrhiza and Level of Phosphorus on Forage Production of White Clover/ Rye Grass Mixed Crop, Thesis. GeorgAugust Universitat Gottingen. Germany Nikolau N , Karagiannidis N, Koundouras S, Fysarakis I. 2002. Effect of different P sources in soil on increasing growth and mineral uptake of Prosiding Semnas II HITPI Page 130 mucorrhizal Vitis vinifera L (cv Victoria)vines. J.Int.Sci. Vigne.Vin 36 (4) :195-204. Peters, G.A and J.C. Meeks 1989. The azolla anabaena symbyosis: Basic biology. Annal Review of Plant Physilogy and Plant Molecular Biology 40 :193210 Dalam Salisbury F.B dan C.W. Ross, 1992. Fiologi tumbuhan.Penerbit ITB Bandung. Hal. 114-115 Reksohadiprodjo,S 1981. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik. Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.; hal.3 -12 Satohardi , Junun (2004) Pemanfaatan Dta RePPProt Skal 1 : 250.000 Pulau Sumatera. Untuk identifikasi Tingkat Kekritisan Lahan . Direktorat Jendral Reboisasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Lam.3 Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis. Setiadi, Y. 2002 Peranan Mikoriza Arbuskula dalam Rehabilitasi Lahan Kritis ; dalam Prosiding Seminar Mikoriza, AMI Jawa Barat, UNPAD, BALITSA Lembang, PAU Bioteknologi IPB ; hal. 3 Setiadi, Y.2007. Bekerja dengan Mikoriza untuk daerah Tropik. Bahan Workshop Mikoriza : Percepatan Sosialisasi Teknologi Mikoriza untuk mendukung Revitalisasi Kehutanan, Pertanian dan Perkebunan, hal.2 Stewart, W.D1982. Nitrogen Fixation- its current relevance and future potential. Israel Botany 31 :5 -34 Suhardi, 1989. Mikoriza V.A, Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi Universitas Gadjah Mada, PAU- Bioteknologi Universitas Gadjah Mada . Wiwasta I.N.G.A 2001, Pertumbuhan dan hasil hijauan tanaman rumput Setaria ( Setaria splendida Stapf.) Disertasi. Program Pascam Sarjana Universitas Padjadjaran. Zaera M.J, A Ghalavand, E.M Goltapeh, F Rejali and M Zamaniyan , 2008. Effect of mixed cropping, earthworm( Pheretima sp) arbuscular mycorrhizal fungi ( Glomus mosseae) on plant yield,mycorhizal colonization rate, soil microbial biomass, and nitrogenase activity of free- living rhizosphere bacteria. Departement of Agronomy, Faculty of Agriculture, Tarbiat Modares University, Tehran Iran. Prosiding Semnas II HITPI Page 131 PERTUMBUHAN DAN HASIL HIJAUAN TANAMAN RUMPUT SETARIA (Setaria splendida STAPF.) YANG DI PENGARUHI NITROGEN, FOSFOR, MIKORIZA VESIKULA ARBUSKULA (MVA), DAN Azospirillum I Gusti Ngurah Alit Wiswasta Fakultas Pertanian Universitas Mahasaraswati Denpasar ABSTRAK Tanaman rumput Setaria sangat responsif terhadap pemupukan nitrogen dan fosfor. Untuk memperoleh hasil tanaman rumput Setaria, baik kualitas maupun kuantitas yang tinggi diperlukan upaya pemupukan. Pemupukan dapat dilakukan dengan pupuk kimia (buatan) dan pupuk biologis (biofertilisasi). Pupuk kimia berupa pupuk nitrogen (Urea) dan pupuk fosfor (SP36) serta pupuk biologis berupa jamur mikoriza dan bakteri Azospirillum. Percobaan yang telah dilakukan untuk mempelajari respon tanaman rumput Setaria (Setaria splendida Stapf) yang dipupuk N ( 0 kg ha-1 N; 45 kg ha-1 N; 90 Kg ha-1 N; 135 kg ha-1 N) dan P (0 kg ha1 P; 90 kg ha-1 P; 135 kg ha-1 P) serta diinokulasi jamur mikoriza (inokulasi dan tanpa inokulasi) dan inokulasi bakteri Azospirillum berbagai isolat (tanpa inokulasi/control; isolat ATCC-211445; isolateVS2.2; dan isolat local) ternyata dapat meningkatkan bobot kering hijauan tanaman rumput Setaria. Pengaruh pemupukan N dan P serta inokulasi jamur mikoriza dan bakteri Azospirillum berbagai isolat terhadap pertumbuhan dan hasil hijauan tanaman rumput Setaria telah dicoba pada tanah inceptisol di Dusun Blumbungan, Desa Gerih, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung, Bali. Hasil percobaan menunjukkan bahwa inokulasi mikoriza dan bakteri Azospirillum berbagai isolat hanya berpengaruh pada peningkatan serapan P tanaman rumput Setaria. Semakin tinggi taraf pemupukan N pada pemupukan P berbagai taraf serta inokulasi jamur mikoriza dan bakteri Azospirillum berbagai isolat, maka jumlah anakan, bobot kering hijauan, bobot kering akar, nisbah pucuk akar dan serapan N akan semakin meningkat. Semakin tinggi taraf pemupukan P sampai batas tertentu (90 kg ha -1 P) maka bobot kering hijauan dan serapan N akan meningkat. Semakin tinggi taraf pemupukan N maka persentase infeksi jamur mikoriza akan meningkat, tetapi semakin tinggi taraf pemupukan P ternyata persentase infeksi jamur mikoriza berkurang. Pemupukan N dan P serta inokulasi jamur mikoriza dan bakteri Azospirillum akan meningkatkan nilai-nilai Indeks Luas Daun (ILD), menurunkan nilai- nilai Laju Asimilasi Bersih (LAB) dan meningkatkan nilai- nilai Laju Tumbuh Tanaman (LTT) panen destruktif pertama sampai dengan kelima. Terdapat takaran optimum pupuk N pada setiap taraf pupuk P dan takaran optimum pupuk P pada setiap taraf pupuk N berturut-turut sebesar 114,536 kg ha1 N dan 99,455 kg ha-1 P pada inokulasi jamur mikoriza dan bakteri Azospirillum berbagai isolate terhadap bobot kering hijauan maksimum sebesar 6,734 t.ha -1 . Pemupukan N dan P disertai inokulasi jamur mikoriza dan bakteri Azospirillum akan meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman rumput Setaria. Kata kunci : pupuk N, pupuk P, jamur mikoriza, bakteri Azospirillum, rumput Setaria. Prosiding Semnas II HITPI Page 132 Growth and forage crop yield of Setaria grass (Setaria splendida Stapf) influenced by Nitrogen, Phosphorus Vesicular Arbuscular Mychorrizae (VAM), and Azosipirillum ABSTRACT Setaria grass is very responsive against Nitrogen and Phosphorus fertilizers, to obtained Setaria forage crop yield as a high quality and quantity be need efforts fertilized. Fertilized can conduct with chemical fertilizers and biological fertilizers (biofertilizers). Chemical fertilizers like Nitrogen fertilizers (as Urea) and Phosphorus fertilizers (as SP36) along with biofertilizers like Mychorrizae fungi and Azospirillium bacteria experiment was conducted to studied responses at fertilized setaria grass (Setaria splendida Stapf) as fertilized with Nitrogen (N)(0 kg ha¯1 N, 45 kg ha¯1 N, 90 kg ha¯1 N, 135 kg ha¯1 N) Phosphorus fertilized (0 kg ha¯1 P, 45 kg ha¯1 P, 90 kg ha¯1 P, 135 kg ha¯1 P) along with inoculated with Mychorrizae fungi (inoculated and uninoculated) various isolate of Azospirillum bacteria (controle/uninoculated, ATCC – 21145 isolate VS 2.2 isolate, and local/indigenous isolate) certainly can increased forage crop drymatter yield of setaria grass. Influenced of nitrogen (N), and phosphorus (P) infertilizers along inoculation with Mychorrizae fungi and various isolate of Azospirillum bacteria against growth and forage crop yield of Setaria grass was effort on inseptisol soil in Dusun Blumbungan Desa Gerih Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung Provinsi Bali. The result of the experiment pointed that inoculated with Mychorrizae fungi and various isolate of Azospirillum bacteria only influenced on increased of phosphorus (P) absorption of Setaria grass. Higher increased level of N fertilizers on various level of P fertilizers along inoculated with Mychorizae fungi and various isolate of Azospirillum bacteria, then number of tillers, forage crop drymatter weight, root drymatter weight, shoot and root ratio and N absorption should increased. Higher increased of P fertilizers level until fixed level 90 kg ha¯1 P then forage crop drymatter weight and N absorption should increased. Higher increased level of N fertilizers then infection percentage of Mychorrizae fungi should increased but higher level of P fertilizers certainly decreased of infection percentage Mychorrizae fungi. Fertilized with N and P along inoculated with Mychorrizae fungi and Azospirillum bacteria can increased values of leaf area index (LAT), decreased value of net assimilation rate (NAR) and increased value of plant growth rate (PGR) on destructive harvest from the first until fifth. There are optimum dose of N fertilizer on various levels of P fertilizers and optimum dose of P fertilizer on various levels of N fertilizer as 114,536 kg ha¯1 N and 99,455 kg ha¯1 P on inoculated with Mychorrizae fungi and various isolate Azospirillum bacteria against maximum forage crop drymatter weight as 6,734 ha¯1 . Fertilized with N and P along inoculated by Mychorrizae fungi and Azospirillum bacteria can increased growth and forage crop yield of setaria grass. Keyword: N and P fertilizer, Mychorrizae fungi, Azospirillum bacteria, growth and forage crop yield of Setaria grass. Prosiding Semnas II HITPI Page 133 PENDAHULUAN Produktivitas ternak di Indonesia khususnya di Bali masih rendah terutama disebabkan oleh belum teraturnya pasokan hijauan dan kualitas hijauan pakan ternak yang masih rendah yang disebabkan oleh jenis rumput yang kurang bermutu, daya adaptasi yang kurang baik, dan cara pengelolaan yang kurang tepat. Untuk menanggulangi hal tersebut menurut Rika et al., (1990) harus dilakukan penyebaran rumput dengan menanam rumput yang bermutu tinggi dan cara pengelolaan yang tepat sehingga produktivitas ternak dapat ditingkatkan. Hasil evaluasi 37 species rumput tropis yang telah dilakukan di Bali menunjukkan bahwa rumput Panicum maximum Jacq dan Setaria splendida Stafp merupakan species rumput yang tumbuh lebih cepat dan berpotensi besar sebagai pakan ternak dengan hasil hijauan yang tinggi. Tanaman rumput Setaria berasal dari daerah Afrika tropika memiliki beberapa unggulan seperti disukai oleh ternak, produksi hijauan yang tinggi, cukup adaptif ditanaman sebagai padang penggembalaan, periode vegetatifnya panjang dan bernilai gizi tinggi. Kadar protein kasarnya mencapai 18 persen dan kadar serat kasarnya 25 persen. Tanaman rumput Setaria sangat responsive terhadap pemupukan N dan telah dilaporkan bahwa bobot kering hijauan bertambah sebanyak 30 kg ha-1 N yang diberikan. Bobot kering hijauan rumput Setaria dalam satu tahun dapat mencapai 31 ton ha-1 yang telah dicatat di Indonesia dan 19 ton ha-1 dengan pemotongan secara regular di Malaysia (Hacker, 1992). Sebagian besar species tanaman di muka bumi berlangsung asosiasi simbiotik antara akar tanaman dengan jamur mikoriza. Terdapat beberapa kelompok mikoriza, namun kelompok yang paling besar jumlahnya adalah mikoriza vesikula arbuskula (MVA)yang terbentuk pada sebagian besar tanaman budidaya pertanian (Linderman, 1996). Menurut Smith (1995) mikoriza berperan sangat penting pada tanaman terutama pada tanah tanah dengan kandungan fosfor (P) yang rendah. Dua faktor yang jelas menunjukkan respons tanaman terhadap mikoriza karena bertambahnya serapan P adalah : (1) konsentrasi P tanaman bermikoriza pada umumnya lebih tinggi dari pada tanaman tidak bermikoriza, dan tanaman bermikoriza dan penambahan P berpengaruh sama terhadap pertumbuhan tanaman. MVA menurut Rao et al. (1985) kebanyakan meneyebar pada tanaman bernilai ekonomis tinggi seperti tanaman dari kelompok Gramineae dan Leguminoceae. Percobaan pada tanah yang kahat P menunjukkan bahwa tanaman yang akarnya bermikoriza dapat menyerap P seratus kali lebih besar walaupun akarnya hanya dua kali lebih berat dibandingkan dengan tanaman yang akarnya tidak bermikoriza. Bakteri pengikat nitrogen (N) yang hidup bebas di alam dari genus Azospirillum sp. Ditemukan berasosiasi dengan tanaman pertanian penting seperti jagung, gandum, padi dan rumput rumputan. Pertumbuhan tanaman yang menghasilkan biji dan bahan hijauan tanaman (forage crop) meningkat pada tanah yang diinokulasi bakteri tersebut (Katupitiya dan Vlassak, 1990). Melalui evaluasi pada percobaan inokulasi di lapangan dengan bakteri Azospirillum dari seluruh dunia yang dikumpulkan selama 20 tahun oleh Okon dan Gonzales (1994), dapat disimpulkan bahwa bakteri tersebut mampu memacu peningkatan hasil tanaman pertanian penting pada kondisi tanah dan iklim yang berbeda. Beberapa strain Prosiding Semnas II HITPI Page 134 Azospirillum brasilense dan Azospirillum lipoferum telah digunakan untuk menginokulasi kultivar dari species tanaman yang berbeda. Data menunjukan 6070 persen kejadian yang berhasil secara statistik nyata meningkatkan hasil sebesar 30-50 persen. Mikoriza berperan penting dalam penggunaan pupuk fosfat secara ekonomis dan efisien serta memperbaiki fiksasi nitrogen oleh bakteri. Terjadi interaksi antara mikoriza dengan bakteri fiksasi nitrogen yang ada dalam tanah. Adanya jamur mikoriza pada akar tanaman meningkatkan perkembangan bakteri fiksasi nitrogen di dalam tanah. Interaksi di antara kedua mikroorganisme tersebut yang berhubungan dengan siklus hara tanah ditemukan antara tanaman bermikoriza dengan bakteri nitrifikasi, bakteri pelarut fosfat dan banyak mikroorganisme lainnya. Produktivitas tanaman biasanya dibatasi oleh ketersediaan nitrogen dan fosfor, khususnya pada tanah tanah tropis. Asosiasi antara jamur mikoriza dengan bakteri fiksasi nitrogen menunjukkan bahwa endofita tersebut dapat menyediakan sejumlah fosfat dan nitrogen untuk meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman serealia pada lahan marginal. Efek sinergis terjadi antara jamur mikoriza dengan Azospirillum brasilense terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman dari berbagai jenis rumput yang berbeda (Tilak , 1992) Menurut Pacovsky (1988), efek sinergis jamur MVA Glomus vasciculatum dengan strain Azospirillum brasilense yang di inokulasi bersama sama menunjukkan bobot biomassa tanaman sorgum sebesar 37,14 g dengan nisbah pucuk akar 1,68. Sedangkan bobot biomassa pada inokulasi jamur MVA Glomus fasciculatum dan strain bakteri Azospirillum brasilense berturut turut sebesar 36,34 g dan 36,15 g dengan nisbah pucuk akar berturut turut sebesar 1,71 dan 1,56. Penekanan lebih banyak pada aspek biologis mikroorganisme biofertilisasi merupakan salah satu alternatif yang potensial untuk memecahkan masalah penyediaan hara di dalam tanah. Salah satu usaha untuk peningkatan sumber daya alam, perlindungan lingkungan, dan peningkatan produktifitas tanaman adalah memperbaiki kondisi di sekitar perakaran (rizosfer) tanaman dan proses proses yang terkait dengan penyerapan unsur hara (Elliot dan miyashita, 1990) Fungsi nitrogen dan fosfor sangat penting dalam meningkatkan pertumbuhan vegetatif tanaman. Nitrogen merupakan unsur penting penyusun sel tanaman termasuk inti sel. Adanya nitrogen yang cukup di dalam tubuh tanaman akan menyebabkan terjadinya pembesaran dan pemanjangan sel tanaman yang merupakan bagian intergral dari pertumbuhan vegetatif tanaman. Di samping itu nitrogen juga merupakan salah satu unsur penyusun klorofil tanaman yang berperan penting dalam proses fotosintesis. Sedangkan fosfor merupakan unsur penyusun inti sel dan sangat penting dalam proses pembelahan sel. Fosfor berperan mempercepat pertumbuhan tanaman muda menjadi tanaman dewasa pada umumnya , terutama mempercepat pertumbuhan akar. Di samping itu fosfor merupakan salah satu unsur penyusun energi kimia ATP dan NADPH di dalam tubuh tanaman yang berperan dalam berbagai proses fisiologi tanaman (Gardner et al., 1991). Prosiding Semnas II HITPI Page 135 MATERI DAN METODE Percobaan mengenai pertumbuhan dan hasil hijauan tanaman rumput setaria (Setaria splendida Stapf) yang dipupuk nitrogen dan fosfor serta diinokulasi mikoriza dan bakteri Azospirillum telah dilakukan. Percobaan dilakukan pada tanah inceptisol di dusun Blumbungan, Desa Gerih, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Percobaan yang telah dilaksanakan terdiri dari percobaan pot dan percobaan lapangan. Kedua percobaan tersebut berpola factorial empat faktor dengan rancangan acak lengkap (RAL) untuk percobaan pot dan rancangan acak kelompok (RAK) untuk percobaan lapangan. Faktor- faktor percobaan adalah sebagai berikut : faktor pertama pupuk nitrogen (N) n0 (0 kg ha -1 N) , n1 (45 kg ha-1 N), n2 (90 kg ha-1 N), n3 (135 kg ha-1 N), faktor kedua pupuk fosfor (P) p0 (0 kg ha-1 P), p1 (45 kg ha-1 P), p2 (90 kg ha-1 P) p3 (135 kg ha-1 P), faktor ketiga mikoriza (M) mo (tanpa inokulasi mikoriza) ml, (dengan inokulasi mikoriza), dan faktor keempat isolat bakteri Azospirillum (A) a0 (kontrol/tanpa bakteri), a1 (isolat ATCC 21445), a2 (isolat VS 2.2 ), a3 (isolat local). Berdasarkan faktorfaktor perlakuan tersebut diperoleh 128 kombinasi perlakuan yang masing- masing di ulang sebanyak 2 kali. Baik percobaan pot maupun percobaan lapangan bertujuan untuk menguji semua hipotesis yang dirumuskan yaitu : (1) untuk mengetahui adanya perbedaan respons tanaman hijauan rumput Setaria terhadap inokulasi mikoriza dan bakteri Azospirillum dengan isolat berbeda pada pemupukan N dan P berbagai taraf, dan (2) menentukan takaran optimum pupuk N dan P pada inokulasi mikoriza dan bakteri Azospirillum berbagai isolat untuk memperoleh bobot kering hijauan tanaman rumput setaria maksimum. Variabel respons pertumbuhan vegetatif tanaman rumput setaria dan persentase infeksi jamur mikoriza yang diamati dan diukur pada percobaan pot dan datanya dikumpulkan adalah (1) bobot kering hijauan (pucuk), (2) bobot kering akar, (3) nisbah pucuk akar, dan (4) persentase infeksi mikoriza. Pada percobaan lapangan, selain pengamatan terhadap sifat agronomis tanaman rumput Setaria, juga dikaji pertumbuhan tanaman melalui analisis tumbuh meliputi (1) jumlah anakan, (2) bobot kering hijauan, (3) serapan N, (4) serapan P, (5) indeks luas daun rata-rata (ILD), (6) laju asimilasi bersih rata-rata (LAB), (7) laju tumbuh tanaman rata-rata (LTT), dan (8) bobot kering hijauan efek residu. HASIL DAN PEMBAHASAN Efek pemupukan N dan P berbagai taraf serta inokulasi jamur mikoriza dan bakteri Azosipirillum berbagai isolat tidak berinteraksi satu sama lain. Efek pemupukan N dan P berbagai taraf serta inokulasi bakteri Azosipirillum berbagai isolate saling berinteraksi satu sama lain pada variabel respon bobot kering akar dan persentase infeksi mikoriza, sedangkan variabel respons jumlah anakan, bobot kering hijauan, nisbah pucuk aksr, serapan N, serapan P serta karakteristik tumbuh ILD, LAB, dan LTT pada semua panen destruktif efeknya tidak saling berinteraksi satu sama lain. Efek inokulasi jamur mikoriza dite mukan teruji nyata hanya pada serapan P, indeksi luas daun rata-rata (ILD) panen destruktif umur 28 hari setelah perlakuan (HSP), dan laju asimilasi bersih rata-rata (LAB) panen Prosiding Semnas II HITPI Page 136 destruktif umur 21-28 HSP, sedangkan pada variabel respon yang lain efeknya tidak teruji nyata. Efek atau nilai- nilai yang lebih tinggi diperoleh akibat pemupukan N dan P berbagai taraf serta inokulasi bakteri Azosipirillum berbagai isolat dibandingkan dengan control (tanpa pupuk N, tanpa pupuk P, dan tanpa inokulasi bakteri) pada semua variabel respons komponen hasil, karakteristik tumbuh dan bobot kering hijauan termasuk bobot kering hijauan panen efek residu. Inokulasi bakteri Azosipirillum berbagai isolat memberikan efek yang lebih baik dibandingkan dengan tanpa inokulasi bakteri pada semua variabel respons. Pemupukan N berbagai taraf memperlihatkan efek yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa pupuk N (kontrol), semakin tinggi taraf pemupukan N, efeknya akan semakin meningkat pada hampir semua variabel respons. Pemupukan P be rbagai taraf memperlihatkan efek yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa pupuk P (kontrol) pada hampir semua variabel respons. Semakin tinggi taraf pemupukan N maka persentase infeksi mikoriza akan semakin meningkat , tetapi semakin tinggi taraf pemupukan P maka persentase infeksi mikoriza akan semakin berkurang. Semakin tinggi taraf pemupukan N dan semakin tinggi taraf pemupukan P sampai batas tertentu (90kg ha-1 p) maka rata-rata ILD, LAB, dan LTT akan meningkat pada setiap panen destruktif. Pemupukan N dan P serta inokulasi jamur mikoriza dan bakteri Azosipirillum berbagai isolat akan meningkatkan rata-rata nilai ILD, menurunkan rata-rata nilai LAB, dan meningkatkan rata-rata nilai LTT dari panen destruktif pertama sampai dengan kelima (umur 14 HSP sampai 42 HSP). Bobot kering hijauan tanaman rumput Setaria rata-rata ha-1 akibat pemupukan N berbagai taraf rata-rata lebih tinggi 165,32 persen dibandingkan dengan tanpa pupuk N (kontrol) dengan hasil rata-rata 2,47 t. bobot kering hijauan tanaman rumput Setaria rata-rata ha-1 akibat pemupukan P berbagai taraf rata-rata lebih tinggi 28,44 persen dibandingkan dengan tanpa pupuk P (kontrol) dengan hasil rata-rata 4,56 t (Tabel 1). Terdapat takaran optimum pupuk N dan P berturut turut sebesar 114,536 kg ha-1 N dan 99,455 kg ha-1 P dengan bobot kering rata-rata maksimum 6,734 t ha-1 (Gambar 1). Efek residu pemupukan N dan P berbagai taraf serta inokulasi jamur mikoriza dan bakteri Azospirillum berbagai isolat terhadap bobot kering hijauan menunjukan adanya hasil bobot kering hijauan tanaman rumput Setaria dari panen pertama sampai panen keempat semakin menurun. KESIMPULAN 1. 2. 3. Efek pemupukan N dan P serta inokulasi jamur mikoriza dan bakteri Azospirillum tidak berinteraksi satu sama lain terhadap semua variabel respons. Semakin tinggi taraf pemupukan N dan semakin tinggi taraf pemupukan P sampai batas tertentu (90 kg ha-1 P) , maka rata-rata ILD , LAB , dan LTT akan meningkat pada setiap panen destruktif. Bobot kering hijauan tanaman rumput Setaria maksimum sebesar 6,734 t ha-1 diperoleh pada takaran optimum pupuk N dan P berturut turut sebesar 114,536 kg ha-1 N dan 99,455 kg ha-1 P. Prosiding Semnas II HITPI Page 137 4. Bobot kering hijauan panen efek residu pemupukan N dan P serta inokulasi jamur mikoriza dan bakteri Azospirillum semakin menurun dari panen pertama sampai keempat. DAFTAR PUSTAKA Bogdan,A.V.1977. Tropical Pasture and Fodder Plant. Longmans London. Elliot,L.F. and K. Miyashita.1990. Associative and Parasitic Microorganisms. Internasional Congres of Soil Science 23-26 july 1990 Gardner .F.P, R.B. Pearce and R.L. Michiell. 1991. Fisiologi tanaman budidaya. Terjemahan Herawati susilo. UI Press.jakarta Hacker,J.B, and T.R. Evans 1992. An evaluation of the production potential of six tropical grasses under grazing. Yield and yield components growth rate and phenology. Aust.J.Exp.Agric.32:19-27. Katupitya, S., and K. Vlassak. 1990. Colonization of wheat roots by Azospirillum brasilense . In 1990 Organic recycling in Asia and the Pasific. Rapa Bulletin. 6:18. Linderman,R.G.1996. Role of VAM Fungsi in Biocontrol. P 1-25 in F.L. Pfleger and R.G. Linderman (Eds) Mycorrhizae and Plant Health. APS Press St Paul MN. Okon,Y., and C.A.L. Gonzales. 1994. Agronomic applications of Azospirillum. An evaluation of 20 years worldwide field inoculation. Rev. Biol. Biochem. 26 (12):1591-1601. Pacovsky,R.S.1988. Influence of inoculation with Azospirillum brasilense and Glomus fasciculatum on sorgum nutrition. Plant Soil 110;283-287. Rao, N.S.S.,K.B.V.R. Tilak and C.S. Sngh. 1985 Effect of combined inoculation of VAM and Azospirillum brasilense on pearl millet (Pennisetum americanum). Plant soil.84:283-286 Rika,K.,I.k Mendra, I.G.M. oka, and oka Nurdjaya.1990 Progress Report on Species.Evalution Experiment at pulukan Bali. Faculty of Animal Husbandry Udayana University Denpasar Bali. Smith,S.E.,1995. Discoveries, discussion and directions in Mycorrhyzae research. P 3-24. In A Varma, and B. Hock (Eds.) Mycorrhyzae, Structure, Function, Molecular Biology, and Biotechnology. Springer-Verlag. Berlin. Tilak, K.B.V.R.1992. VAM-nitrogen fixing organisms. P 24-30. In Mycorrhyzae: an Asian Overview. Tata Energy Research institute (TERI). New Delhi. Prosiding Semnas II HITPI Page 138 APLIKASI FMA DAN PUPUK KANDANG TERHADAP PRODUKSI DAN KUALITAS RUMPUT GAJAH (Pennisetum purpureum Schum) 1 Khalidin1 , Iskandar Mirza2 , Abdul Azis 2 dan Trisnadewi 3 Dosen Fakultas Pertanian, Universitas Jabal Ghafur No HP.082367562488 email: [email protected] m 2 Peneliti BPTP Aceh, HP.081288863794/ HP.085260407202 email: [email protected]; email: [email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh fungi mikoriza arbuskular (FMA) dan pupuk kandang terhadap produksi dan kualitas rumput gajah. Metode yang digunakan adalah rancangan acak kelompok pola faktorial yang terdiri dari dua faktor yaitu FMA dan pupuk kandang dengan tiga ulangan. Perlakuan FMA terdiri dari dua taraf yaitu 0 g dan 10 g lubang-1 , sedangkan pupuk kandang terdiri dari 0, 15, 30, dan 45 ton ha-1 . Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi terbaik terhadap protein kasar dan serat kasar rumput gajah umur pemotongan 50 hari setelah tanam terdapat pada perlakuan tanpa FMA dengan dosis pupuk kandang 15 ton ha-1 . Perlakuan dosis pupuk kandang 45 ton ha -1 menghasilkan produksi rumput gajah lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan dosis 30 ton ha-1 , 15 ton ha-1 , dan tanpa pupuk kandang. Kata kunci: fungi mikoriza arbuskular, pupuk kandang, rumput gajah. ABSTRACT The objectives of the study were to evluate effects of arbuscular mycorrhiza fungi (AMF) and manure on production and quality of the elephant grass. The experiment used a factorial randomized complete block design, consisting of two factors: AMF and manure, with three replications. AMF consisted of two levels, i.e. without AMF and with AMF 10 g hole-1 , while manure consisted of 0, 15, 30, and 45 tons ha-1 . Results showed that the best combination for crude protein and crude fiber grass at age of 50days after planting was found at without AMF and 15 tons ha-1 of animal manure. Manure of45 tonsha-1 produced higher elephant grass production than that of30tons ha-1 , 15tons ha-1 , and without manure. Key words: arbuscular mycorrhizal fungi, manure, elephant grass. PENDAHULUAN Kegiatan pertanian akhir-akhir ini mulai dikembangkan dan digalakkan dengan meminimalisir penggunaan pupuk anorganik dan bahan kimia lainnya karena ternyata bahan-bahan tersebut dapat menyebabkan kerusakan fisika, kimia dan biologi tanah serta menyebabkan pencemaran lingkungan. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk mengurangi kerusakan tersebut adalah dengan memanfaatkan fungi mikoriza arbuskular (FMA) dan pupuk kandang. FMA dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif teknologi untuk membantu pertumbuhan, meningkatkan produktivitas dan kualitas tanaman yang ditanam pada lahan- lahan marjinal (Al-Karaki et al., 2003). Sedangkan pupuk kandang Prosiding Semnas II HITPI Page 139 adalah salah satu bahan organik yang dapat meningkatkan kesuburan tanah dan pemberiannya mempunyai manfaat ganda yaitu selain memperbaiki sifat fisik tanah juga merupakan sumber hara yang cukup potensial (Abdurrahman et al., 1999). Menurut Ifradi et al. (2003) pupuk kandang dapat mempertahankan bahan organik tanah, meningkatkan aktivitas biologis dan juga meningkatkan ketersediaan air tanah. Semakin tinggi kadar air tanah maka absorbsi dan transportasi unsur hara maupun air akan lebih baik, sehingga laju fotosintesis untuk dapat menghasilkan cadangan makanan bagi pertumbuhan tanaman lebih terjamin dan produksipun akan meningkat. Dengan demikian penggunaan FMA dan pupuk kandang untuk peningkatan produktivitas hijauan makanan ternak (HMT) merupakan upaya yang dapat dikembangkan guna mencukupi kebutuhan HMT hijauan bagi ternak. Jenis rumput yang sangat potensial untuk dikembangkan di antaranya adalah rumput gajah (Pennisetum purpureum Schum.). Menurut Reksohadiprodjo (1994) rumput gajah dapat tumbuh pada daerah dengan ketinggian 0 - 3000 m di atas permukaan laut (dpl.) dengan curah hujan 1000 mm tahun-1 . Produksi rumput gajah dapat mencapai 270 ton ha-1 tahun-1 . Pengembangan rumput gajah sebagai hijauan pakan ternak telah dilaksanakan namun pada kenyataannya produksinya belum maksimal. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan kesuburan tanah, diantaranya dengan pemberian FMA dan pupuk kandang. Takaran yang ideal antara FMA dan pupuk kandang belum diketahui, maka perlu dilakukan penelitian tentang takaran yang ideal antara FMA dan pupuk kandang terhadap kualitas dan kuantitas rumput gajah. MATERI DAN METODE Penelitian ini merupakan penelitian lapang (onfarm research) dilaksanakan di Balai Penyuluhan Pertanian Desa Ceurih Kupula Kecamatan Delima Kabupaten Pidie, dimulai pada Nopember 2011 sampai dengan Maret 2012. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan pola faktorial yang terdiri dari dua faktor yaitu FMA (M) dan pupuk kandang (P). Faktor FMA terdiri dari dua taraf yaitu tanpa FMA (M0 ) dan dengan pemberian FMA 10 g lubang-1 (M1 ) sedangkan faktor pupuk kandang terdiri dari empat taraf yaitu: tanpa pupuk kandang (M0 ), penggunaan 15 ton ha-1 pupuk kandang (M1 ), 30 ton ha-1 pupuk kandang (M2 ), dan 45 ton ha-1 pupuk kandang (M3 ). Data yang diperoleh dianalisis dengan uji F dan apabila terdapat pengaruh yang nyata dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil pada taraf 5% (BNT 0,05). Persiapan Lahan Pengolahan tanah dilakukan dengan menggunakan traktor tangan. Lahan yang sudah diolah kemudian dibuat plot yang berukuran 2 m × 2 m. Pupuk kandang diberikan seminggu sebelum tanam sesuai perlakuan dengan cara ditabur merata pada setiap plot sesuai perlakuan kemudian dicangkul dan digaru agar bercampur merata dengan tanah. Prosiding Semnas II HITPI Page 140 Penanaman dan Pemeliharaan Penanaman rumput gajah dilakukan dengan menggunakan stek yang masing- masing panjangnya 3 ruas. Stek yang dipergunakan mempunyai lingkar batang 5,5 sampai dengan 6 cm dengan panjang ruas 21 sampai dengan 26 cm. Sebelum dilakukan penanaman semua stek terlebih dahulu diletakkan ditempat yang teduh selama dua malam dan dilakukan penyiraman pagi dan sore. Stek yang telah terlihat bakal tunas dan akarnya ditanam dengan cara membenamkan sedalam 1 ruas sebanyak 1 stek di setiap lubangnya dengan posisi agak miring dengan jarak tanam 50 cm × 50 cm. Setiap plot percobaan terdapat 16 lubang tanaman yang terdiri dari empat tanaman di tengah sebagai sampel dan 12 tanaman pinggir. Sebelum dilakukan penanaman pada setiap lubang ditaburkan inokulan FMA sebanyak 10 g lubang-1 sesuai perlakuan. Penyiraman dilakukan setelah tanam sampai mencapai kapasitas lapang, selanjutnya selama penelitian berlangsung tidak dilakukan penyiraman karena bertepatan dengan musim hujan. Penyiangan terhadap gulma dilakukan secara manual dengan cara mencabut setiap gulma yang terdapat pada setiap plot penelitian. Pengamatan Pengamatan dilakukan terhadap empat tanaman sampel di setiap plot. Peubah yang diamati yaitu: Tinggi Tanaman Pengamatan tinggi tanaman dilakukan masing- masing pada umur 20, 30, 40, dan 50 HST dengan memilih batang rumput gajah tertinggi dalam satu rumpun setiap tanaman sampel kemudian diukur mulai dari permukaan tanah sampai ketiak daun tertinggi dalam satuan cm. Jumlah Anakan Jumlah anakan dihitung pada umur 20, 30, 40, dan 50 HST dengan menghitung jumlah anakan pada setiap rumpun tanaman sampel. Panjang Daun Panjang daun dihitung dengan mengukur dari tanaman tertinggi mulai dari ketiak daun hingga ujung daun pada umur 20, 30, 40, dan 50 HST dalam satuan cm. Produksi Untuk menghitung produksi dilakukan pemotongan rumput pada umur 50 hari setelah tanam (HST) menyisakan batang setinggi 10 cm dari permukaan tanah. Pemotongan dilakukan terhadap semua tanaman di dalam plot percobaan dan hasilnya ditimbang untuk mengetahui berat produksi hijauan segar. Analisis Kandungan Nutrisi Rumput Gajah Analisis kandungan nutrisi rumput gajah dilakukan dengan cara mengambil sebanyak setengah kilogram dari hasil cincangan (±1 cm) seluruh batang dan daun tanaman sampel dari setiap plot. Analisis dilakukan untuk mengetahui kandungan protein kasar (PK) dan serat kasar (SK) dengan menggunakan analisis proksimat. Prosiding Semnas II HITPI Page 141 Analisis Kolonisasi Akar oleh FMA Pengambilan sampel akar rumput gajah untuk analisis kolonisasi akar yaitu dengan cara memotong semua akar dari salah satu tanaman sampel yang telah dicabut dan diambil sebagiannya untuk dilakukan analisis dengan menggunakan metode Phillips dan Hayman (1970 dalam Nusantara, 2007). HASIL PEMBAHASAN Tinggi Rumput Gajah, Jumlah Anakan dan Panjang Daun Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi yang berpengaruh nyata akibat perlakuan FMA dan pupuk kandang terhadap tinggi rumput gajah, jumlah anakan dan panjang daun pada umur 20, 30, 40, dan 50 HST demikian juga secara faktor tunggal. Hal ini disebabkan karena rumput gajah memiliki akar-akar yang halus sehingga untuk tidak terlalu tergantung dengan keberadaan FMA. Ketergantungan tanaman terhadap FMA diartikan sebagai tingkat ketergantungan untuk menghasilkan pertumbuhan atau hasil pada tingkat kesuburan tanah tertentu (Gerdemann, 1975). Tanaman-tanaman yang ketergantungannya besar terhadap FMA memiliki akar yang besar atau memiliki rambut akar yang terbatas (Simanungkalit, 1986). Menurut Hanafiah (2005) secara fisik peranan FMA bagi tanaman inangnya adalah memperbesar areal serapan bulu-bulu akar melalui pembentukan miselium disekeliling akar. Oleh karena itu tingkat ketergantungan terhadap asosiasi FMA ini berkolerasi negatif dengan kerapatan akar halus atau bulu-bulu akar, makin sedikit jumlah akar maka tanaman semakin tergantung pada FMA. Produksi Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi yang berpengaruh nyata akibat perlakuan FMA dan pupuk kandang terhadap produksi rumput gajah pada umur pemotongan 50 HST. Secara faktor tunggal menunjukkan bahwa perlakuan FMA berpengaruh tidak nyata sedangkan pupuk kandang berpengaruh nyata. Rata-rata persentase kandungan SK rumput gajah hasil uji BNT (0,05) disajikan pada Tabel 1. Rata-rata produksi rumput gajah umur pemotongan 50 HST akibat perlakuan pupuk kandang menunjukkan bahwa produksi tertinggi (72,92 ton ha -1 ) terdapat pada perlakuan dosis pupuk kandang 45 ton ha -1 tidak berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan dosis pupuk kandang 30 ton ha -1 (55,79 ton ha-1 ) akan tetapi berbeda nyata dengan perlakuan dosis pupuk kandang 15 ton ha -1 dan perlakuan tanpa pupuk kandang yang masing- masing produksinya adalah 49,04 dan 60,42 ton ha-1 . Menurut Sumarsono (2005) pupuk kandang dapat mempertahankan bahan organik tanah, meningkatkan aktivitas biologis dan juga meningkatkan ketersediaan air tanah. Menurut Ifradi et al. (2003) semakin tinggi kadar air tanah maka absorbsi dan transportasi unsur hara maupun air akan lebih baik, sehingga laju fotosintesis untuk dapat menghasilkan cadangan makanan bagi pertumbuhan tanaman lebih terjamin dan produksipun akan meningkat. Prosiding Semnas II HITPI Page 142 Tabel 1. Rata-rata produksi rumput gajah pada umur pemotongan 50 HST akibat perlakuan FMA dan pupuk kandang Pupuk kandang (ton ha-1 ) FMA (g lubang-1 ) 0 15 30 45 -1 ………. .. ton ha …….… 0 32,83 54,50 53,08 64,33 10 60,42 43,58 58,50 81,50 BNT(0,05) = 19,32 (P) 46,63 a 49,04 a 55,79 ab 72,92 b Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT (0,05) Protein Kasar (PK) Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa terjadi interaksi yang berpengaruh nyata akibat perlakuan FMA dan pupuk kandang terhadap persentase PK rumput gajah pada umur pemotongan 50 HST sedangkan secara faktor tunggal tidak berpengaruh nyata. Rata-rata persentase kandungan PK rumput gajah hasil uji BNT (0,05) disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Rata-rata kandungan protein kasar rumput gajah pada umur pemotongan 50 HST akibat perlakuan FMA dan pupuk kandang Pupuk kandang (ton ha-1 ) FMA (g lubang-1 ) 0 15 30 45 ………. .. ton ha-1 …….… 0 8,78 ab A 100,0 b B 9,14 b A 7,82 a A 10 9,87 bA 8,11 ab A 8,98 ab A 8,78 ab A BNT(0,05) (MxP) = 1,16 Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT (0,05)Huruf kecil dibaca horizontal sedangkan huruf besar dibaca vertical Kandungan PK rumput gajah tertinggi terdapat pada perlakuan tanpa FMA dengan dosis pupuk kandang 15 ton ha-1 (10,00%). Peningkatan dosis pupuk kandang menjadi 30 dan 45 ton ha-1 menurunkan kandungan PK menjadi 9,14% (tidak berbeda nyata) dan 7,82% (berbeda nyata). Begitu juga bila dibandingkan dengan perlakuan FMA 10 g lubang-1 berbeda nyata (8,11%). Hal ini diduga karena tidak seimbangnya kandungan unsur hara dalam pupuk kandang sehingga berpengaruh terhadap kandungan PK rumput. Pupuk kandang merupakan sumber unsur hara N, P, K, dan lainnya yang dibutuhkan dalam proses pertumbuhan tanaman. Menurut Lingga (1998) unsur hara N berperan dalam membentuk protein, lemak dan berbagai persenyawaan organik lainnya, begitu juga P berperan sebagai bahan untuk pembentukan sejumlah protein tertentu. Peranan N dan P dalam fenomena ini menjelaskan bahwa keseimbangan pemberian N, P, dan K tampaknya lebih penting dibanding penambahan N, P, dan K. Kandungan PK tertinggi (10,00%) serta kandungan PK pada perlakuan FMA 10 g lubang dengan tanpa pupuk kandang (9,87%) lebih tinggi dari kandungan PK yang kemukakan oleh Hartadi et al. (1986) rumput gajah merupakan jenis rumput unggul yang mempunyai produktivitas dan kandungan Prosiding Semnas II HITPI Page 143 zat gizi yang cukup tinggi dengan rata-rata kandungan PK sebesar 9,66%. Serat Kasar (SK) Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat interaksi yang berpengaruh nyata akibat perlakuan FMA dan pupuk kandang terhadap persentase kandungan SK rumput gajah pada umur pemotongan 50 HST sedangkan secara faktor tunggal tidak berpengaruh nyata. Rata-rata persentase kandungan SK rumput gajah hasil uji BNT (0,05) disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Rata-rata kandungan serat kasar rumput gajah pada umur pemotongan 50 HST akibat perlakuan FMA dan pupuk kandang FMA Pupuk kandang (ton ha-1 ) (g lubang-1 ) 0 15 30 45 -1 ………. .. ton ha …….… 0 23,5 ab A 22,33 a A 24,83 b A 25,00 b A 10 23,5 ab A 25,33 b B 24,83 ab A 22,83 a A BNT(0,05) (MxP) = 2,31 Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT (0,05)Huruf kecil dibaca horizontal sedangkan huruf besar dibaca vertikal Kandungan SK rumput gajah terendah terdapat pada perlakuan tanpa FMA dengan dosis pupuk kandang 15 ton ha-1 (22,33%). Peningkatan dosis pupuk kandang menjadi 30 dan 45 ton ha-1 meningkatkan kandungan SK menjadi 24,83% (berbeda nyata) dan 25,00% (berbeda nyata). Bila dibandingkan dengan perlakuan FMA 10 g lubang-1 juga berbeda nyata (25,33%). Pemberian pupuk kandang akan menambah ketersediaan unsur hara karena pupuk kandang mengandung berbagai unsur hara diantaranya adalah N, P, dan K yang sangat dibutuhkan tanaman. Menurut Lingga (1998) keseimbangan pemberian unsur hara tampaknya lebih penting dibanding penambahan unsur hara karena interaksi unsur hara yang nantinya akan mempengaruhi proses penyerapan unsur hara lainnya oleh tanaman. Terganggunya proses penyerapan unsur hara akan berpengaruh terhadap kandungan unsur hara di dalam tanaman. Kandungan SK hasil penelitian lebih rendah dari kandungan serat kasar seperti yang kemukakan oleh Hartadi et al. (1986) rumput gajah merupakan jenis rumput unggul yang mempunyai produktivitas dan kandungan zat gizi yang cukup tinggi serta disukai oleh ternak ruminansia, dengan rata-rata kandungan SK sebesar 30,86%. Persentase Kolonisasi Akar oleh FMA Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat interaksi yang berpengaruh sangat nyata akibat perlakuan FMA dan pupuk kandang terhadap persentase kolonisasi akar oleh FMA pada akar rumput gajah, demikian juga secara faktor tunggal. Rata-rata persentase kolonisasi akar oleh FMA pada akar hasil uji BNT (0,05) disajikan pada Tabel 4. Prosiding Semnas II HITPI Page 144 Tabel 4. Rata-rata persentase kolonisasi akar oleh FMA pada akar rumput gajah umur 50 HST akibat perlakuan FMA dan pupuk kandang FMA Pupuk kandang (ton ha-1 ) (g lubang-1 ) 0 15 30 45 -1 ………. .. ton ha …….… 0 22,00 a A 37,00 b A 36,00 b A 26,33 ab A 10 57,67 b B 65,00 b B 36,33 a A 40,00 a A BNT(0,05) =(MxP) 11,95 Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT (0,05)Huruf kecil dibaca horizontal sedangkan huruf besar dibaca vertikal Rata-rata persentase kolonisasi FMA tertinggi (65,00%) terdapat pada perlakuan FMA 10 g lubang-1 dengan dosis pupuk kandang 15 ton ha-1 yang berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan dosis pupuk kandang 30 ton ha -1 (36,33%) dan 45 ton ha-1 (40,00%) namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanpa pupuk kandang (57,67%). Jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa FMA menunjukkan pebedaan yang nyata (37,00%). Pupuk kandang jua mempengaruhi persentase kolonisasi akar oleh FMA. Hal ini dikarenakan pupuk kandang mengandung unsur hara N dan P sehingga apabila pupuk kandang diberikan terlalu banyak maka akan menekan perkembangan FMA. Hal ini sesuai seperti dijelaskan oleh Islami dan Utomo (1995) dimana ketersediaan hara terutama N dan P yang rendah akan mendorong pertumbuhan FMA, sebaliknya ketersediaan hara yang terlalu rendah dan terlalu tinggi akan menghambat perkembangannya. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan - Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi terbaik terhadap kolonisasi akar pada perlakuan FMA 10 g lubang-1 dengan dosis pupuk kandang 15 ton ha-1 , sedangkan interaksi terbaik terhadap protein kasar dan serat kasar rumput gajah umur pemotongan 50 HST terdapat pada perlakuan tanpa FMA dengan dosis pupuk kandang 15 ton ha-1 . - FMA tidak berpengaruh nyata terhadap produksi rumput gajah sedangkan pupuk kandang berpengaruh tidak nyata. - Dosis pupuk kandang 45 ton ha-1 menghasilkan produksi rumput gajah tertinggi pada umur pemotongan 50 HST yaitu sebanyak 72,92 ton ha -1 . Saran Untuk memperbaiki kualitas lahan dan meningkatkan hasil dan kualitas rumput gajah disarankan menggunakan FMA 10 g lubang-1 dengan dosis pupuk kandang 15 ton ha-1 . DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, A., I. Juarsah, U. Kurnia. 1999. Pengaruh penggunaan berbagai jenis dan takaran pupuk kandang terhadap produktivitas tanah Ultisol terdegradasi di Desa Batin, Jambi. Prosiding. Seminar Nasional Prosiding Semnas II HITPI Page 145 Sumberdaya Tanah, Iklim dan Pupuk. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Al-Karaki, G., B. McMichael, J. Zak. 2003. Field response of wheat to arbuscular fungi and drought stress. Mycorrhiza.14 : 263-269. Gardemann, J. W. (1975). Vesicular-arbuscular mycorrhizae.In J. G. Torrey and D. T. Clarkson (Eds). The Development and Function of Root. Academic Press. London. Hanafiah, K. A. 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo, A. D. Tillman. 1986. Tabel Komposisi Pakan Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Ifradi, M. Peto, Elsifitriana. 2003. Pengaruh pemberian pupuk kandang dan mulsa jerami padi terhadap produksi dan nilai gizi rumput raja (Pennisetum purpuphoides) pada tanah Podzolik Merah Kuning. J. Peternakan dan Lingkungan. 10: 31- 40. Islami, T. dan W. H. Utomo 1995. Hubungan Tanah, Air dan Tanaman. IKIP. Semarang Press. Semarang. Kartini, N. L. 2008. Pertanian Organik Penyelamat Ibu Pertiwi. Bali Organic Assosiation. Bali. Lingga, P. 1998. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Jakarta. Nusantara, A. D. 2007. Baku mutu inokulum cendawan mikoriza arbuskula. Makalah Workshop Mikoriza. Kongres Nasional Mikoriza Indonesia II. Asosiasi Mikoriza Indonesia. Bogor. Reksohadiprodjo. 1994. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik. BPFE Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Sieverding, E. 1991. Vesicular-arbuscular Mycorrhiza Management in Tropical Agrosystems. GTZ. Eschborn. Germany. Simanungkalit, R. D. M. 2006. Cendawan mikoriza arbuskular. Dalam R. D. M. Simanungkalit, D. A. Suriadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini, W. Hartatik (Eds). Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Pertanian. Bogor. Sumarsono. 2005. Peranan pupuk organik untuk perbaikan penampilan dan produksi hijauan rumput gajah pada tanah cekaman salinitas dan kemasaman. Makalah disajikan pada seminar prospek pengembangan peternakan tampa limbah. Jurusan Produksi Ternak. Fakultas Pertanian. UNS. Surakarta. Prosiding Semnas II HITPI Page 146 PENDUGAAN PRODUKSI BIOMASSA HIJAUAN RUMPUT Brachiaria decumbens BERDASARKAN METODE NON-DESTRUKTIF DENGAN MENGGUNAKAN PIRINGAN AKRILIK Sari Suryanah, Dudi, dan Mansyur Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jawa Barat 40600 Email: [email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan antara tinggi rumput dengan produksi berat bahan keringnya dan juga bagaimana hubungan antara tinggi daya tolak rumput dengan produksi berat bahan keringnya. Metode penelitian yang dilakukanadalah berdasarkan metode non-destruktif dengan menggunakan piringan akrilik pada rumput Brachiaria decumbens umur 40 hari di lahan seluas 1500 m2 . Hasil penelitian menunjukkan bahwa tinggi rumput mempunyai pengaruh yang lemah terhadap produksi berat bahan keringnya (R2 =0,13-0,30) dan tinggi daya tolak rumput juga mempunyai pengaruh yang lemah terhadap produksi berat bahan kering rumput Brachiaria decumbens (R2 =0,20-0,37). Kata Kunci: RumputBrachiaria decumbens, metode non-destruktif,piringan akrilik, persamaan regresi Estimation of Forage Biomass in A Brachiaria Decumbens Grass based on Non-Destructive Method by Using Acrylic Plate ABSTRACT The aims of this research was to know the relation between forage height and its dry matter yield and also the relation between forage depressed height and its dry matter yield. The research method used was non-destructive method by using acrylic plate in a Brachiaria decumbens grass aged 40 days at area 1500 m2 . The results of this research indicatedthat forage height has a low influence to its dry matter yield (R2 =0,13-0,30)and forage depressed height also has a low influence to dry matter yield of Brachiaria decumbens (R2 =0,20-0,37). KeyWords: Brachiaria decumbens grass, non-destructive method,acrylicplate, regression equation PENDAHULUAN Hijauan merupakan pakan utama ternak ruminansia yang ketersediaannya harus tetap ada sepanjang tahun. Tinggirendahnya produktivitas ternaktergantung pada kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan. Agar produktivitas ternak optimal, maka kuantitas dan kualitaspakan khususnya hijauan yang akan diberikan pada ternak harus diperhatikan. Menurut BRIGGS dan COURTNEY (1985), kebutuhan konsumsi sapi setiap hari adalah 10-30 kg bahan segar, dan kambing 12 kg bahan kering. TILLMAN dkk. (1998), menyatakan bahwa kebutuhan ternak Prosiding Semnas II HITPI Page 147 akan bahan kering hijauan adalah 2,5-3% bobot badan. Bila dihitung maka setara dengan 7,5-9 kg bahan kering (BK). Bila BK hijauan adalah 20% dari berat segarnya maka kebutuhan pakan hijauan seekor sapi dengan bobot badan 300 kg adalah 37,5-45 kg hijauan segar. Secara umum,pola pemberian hijauan kepada ternak dapat dibedakan menjadi dua, yaitu melalui sistem penggembalaan (grazing) dan tebas angkut (cut and carry).Menurut CULLINSON (1975) dalamREKSOHADIPROJO (1994), padang penggembalaan adalah suatu daerah padangan di mana tumbuh tanaman makanan ternak yang tersedia bagi ternak yang merenggutnya menurut kebutuhan dalam waktu singkat. Oleh karena itu, pengetahuan tentang jumlah hijauan yang tersedia di suatu padang penggembalaan ternak adalah penting untuk menentukan stocking rate (COSGROVE dan UNDERSANDER, 2001). Selain itu, pengetahuan akan jumlah hijauan yang tersedia di padang penggembalaan juga berguna dalam menentukan manajemen serta sistem penggembalaan yang tepat sesuai dengan kondisi dan kebutuhan ternak. Menurut MANSKE (2003), manajemen padang penggembalaan yang baik akan meningkatkan pertumbuhan dan produksi rumput yang tinggi, kualitas rumput lebih baik dan produksi ternak lebih tinggi. Sedangkan pengaturan penggembalaan dapat menjamin pelestarian kondisi padang rumput. Pertumbuhan adalah proses dalam kehidupan tanaman yang mengakibatkan perubahan ukuran tanaman semakin besar dan juga yang menentukan hasil tanaman. Pengukuran biomassa total tanaman merupakan para meter yang digunakan sebagai indikator pertumbuhan tanaman. Alasan lain dalam penggunaan biomassa total tanaman adalah bahwa bahan kering tanaman dipandang sebagai manifestasi dari semua proses dan peristiwa yang terjadi dalam pertumbuhan tanaman (SITOMPUL dan GURITNO, 1995). Ada beberapa metode yang digunakan untuk menduga produksi biomassa rumput, yaitu metode destruktif dan metode non-destruktif. Metode destruktif memerlukan input yang tinggi berupa tenaga kerja dan peralatan. Metode ini juga membutuhkan biaya yang besar dan jumlah sampel yang tidak sedikit (MANNETJE, 1978). Pemotongan dan penimbangan berat hijauan dari suatu area merupakan metode paling akurat tetapi membutuhkan waktu, pengeringan dan penimbangan berat dari hijauan yang dipotong (COSGROVE dan UNDERSANDER, 2001; SANDERSON dkk., 2001). Kemudian telah dikembangkan metode non-destruktif yang terdiri atas tiga cara, yaitu 1) estimasi secara visual, 2) pengukuran ketinggian dan kepadatan rumput, dan 3) pengukuran faktor- faktor non-vegetatif yang berhubungan dengan jumlah produksi bahan kering (MANNETJE,1978). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh ASSAEED (1997), jumlah bahan kering dari setiap spesies hijauan mempunyai korelasi dengantinggi tanaman, diameter basal dan diameter kanopi. Selain itu, hasil penelitian RAYBURN dan LOZIER (2003), menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang tinggi antara ketinggian dan daya tolak rumput dengan produksi bahan keringnya. Penelitian dilakukan dengan menggunakan piringan akrilik untuk mengestimasi hijauan di pastura pada musim dingin dan diperoleh suatu persamaan regresi linear dengan koefisien determinasi (R2 ) sebesar 0,78 dan standar error 322 lb/a. Metode non-destruktif masih jarang dilakukan di Indonesia. Oleh karena itu, metode ini perlu dikembangkan di Indonesia dan penulis tertarik untuk meneliti Prosiding Semnas II HITPI Page 148 lebih lanjut bagaimana hubungan antara tinggi rumput dengan produksi berat bahan keringnya dan juga bagaimana hubungan antara tinggi daya tolak rumput dengan produksi berat bahan keringnya. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilakukan di Lahan Rumput Simmental Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Kabupaten Sumedang, dengan luas lahan 1500 m2 , ketinggian tempat antara 725-800 m dpl dengan curah hujan rata-rata per tahun mencapai 492,64 mm. Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2012Desember 2012. Bahan penelitian adalah rumput Brachiaria decumbens umur 40 hari. Tahapan dalam pengambilan sampel, antara lain adalah rumput yang akan dijadikan sampel diukur tingginya dengan menggunakan tongkat ukur, yaitu dari permukaan tanah sampai ujung daun tertinggi rumput. Kemudian Rumput diukur tinggi daya tolaknya dengan menggunakan piringan akrilik (ukuran 46 ×46 cm), kemudian diukur berapa ketinggian tekanannya dari atas tanah.Rumput yang telah diukur tinggi dan daya tolaknya, dipotong seluas bidang alas tekan rumput, dengan tinggi pemotongan 5 cm dari permukaan tanah, kemudian ditimbang berat segar yang dihasilkan. Selanjutnya rumput dikeringkan di dalam oven pada suhu 60o C selama 48 jam, kemudian berat bahan keringnya ditimbang. Gambar 1. Piringan akrilik Sumber : Rayburn dan Lozier (2003) Pengambilan sampel dilakukan dengan cara stratified random sampling. Lahan dibagi menjadi 3 strata yaitu strata atas, tengah dan bawah. Jumlah sampel yang diambil adalah sebanyak 102. Data yangdiperolehdianalisis menggunakan prosedur analisis regresi. Persamaan regresi yang dipilih berdasarkan nilai koefisien determinasi (R2 ) tertinggi dengan standar error terkecil. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Tinggi Rumput terhadap Produksi Berat Bahan Kering Berdasarkan model regresi yang diperoleh dari hasil analisis (Tabel 1), dapat dilihat bahwa tinggi rumput mempunyai pengaruh lemah terhadap produksi berat bahan kering yang dihasilkan dengan nilai koefisien determinasi (R2 ) sekitar 0,130,30. Kisaran nilai koefisien determinasi (R2 ) diambil berdasarkan persamaan Prosiding Semnas II HITPI Page 149 regresi dengan R2 tertinggi pada tiap strata dengan nilai F hitung > F tabel dan P<0.05. Model pendugaan dikatakan baik apabila nilaiR2 mendekati 1. Hasil analisis data menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tinggi rumput dengan produksi berat bahan kering yang dihasilkan. Namun semua model regresi yang diperoleh tidak dapat digunakan dalam pendugaan produksi berat bahan kering rumput Brachiaria decumbens, dikarenakan nilai R2 yang rendah yaitu sekitar 0,13-0,30 yang artinya bahwa tinggi rumput dapat menjelaskan pengaruh terhadap produksi berat bahan kering rumput sebesar 13-30%, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Tabel 1. Regresi antara tinggi rumput dengan produksi berat bahan kering Model Regresi R2 Strata Atas 1. Linear Y = 25,565 + 0,650X1 0,124 2 2. Kuadratik Y = 104,939 – 1,323X1 + 0,012X1 0,140 3. Eksponensial Y = 39,783e0,008X1 0,094 Strata Tengah 1. Linear Y = -33,115 + 2,257X1 0,295 2 2. Kuadratik Y = -143,311 + 5,271X1 - 0,020X1 0,298 3. Eksponensial Y = 33,988e0,018X1 0,297 Strata Bawah 1. Linear Y = 71,638 + 0,618X1 0,125 2 2. Kuadratik Y = 27,288 + 1,640X1 – 0,006X1 0,127 3. Eksponensial Y = 75,796e0,006X1 0,133 Semua Strata 1. Linear Y = 80,330 + 0,392X1 0,018 2 2. Kuadratik Y = -17,172 + 2,812X1 – 0,015X1 0,025 3. Eksponensial Y = 76,326e0,004X1 0,019 Keterangan : Y = Berat Bahan Kering X1 = Tinggi Rumput Hasil penelitianFRANCA dkk. (2003), yaitu menduga produksi berat bahan kering rumput berdasarkan tingginya dengan menggunakan alat grassmeter menunjukkan bahwa setiap spesies rumput memberikan hasil persamaan regresi yang berbeda.Hasil yang akurat dan signifikan diperoleh dari rumput Trifolium brachycalycinum “Osilo” (R2 = 0,88), Trifolium squarrosum “Chilivani” (R2 =0,81) dan Medicago polymorpha “Circle Valley” (R2 =0,81), sedangkan untuk Medicago rugosa “Sapo” diperoleh hasil yang tidak signifikan dengan R2 =0,22 dan “Paraponto” dengan R2 =0,26. Hal ini disebabkan variasi error yang cukup tinggi. Oleh karena itu, spesies rumput akan mempengaruhi hasil dan bentuk persamaan yang diperoleh. Menurut KISMONO dan SUSETYO (1977), rumput Brachiaria decumbens merupakan rumput yang membentuk hamparan lebat dan penyebarannya sangat cepat melalui stolon. Oleh karena itu penentuan tinggi rumput akan sulit karena tiap hamparan memiliki ketinggian yang tidak seragam dan jumlah anakan yang berbeda. SITOMPUL dan GURITNO (1995), menyatakan bahwa bagian batang Prosiding Semnas II HITPI Page 150 atau bagian lain tanaman sebagai batas teratas tanaman, tergantung pada jenis tanaman, relatif mudah ditetapkan. Sebaliknya batas terbawah relatif lebih sulit ditetapkan terutama apabila pengamatan dilakukan secara tidak merusak. Jika batas terbawah ditetapkan bagian batang yang tepat pada permukaan tanah, kesalahan pengamatan dapat terjadi karena batas ini dapat bervariasi dari satu ke lain individu tanaman tergantung pada kedalaman penanaman dan perkembangan ta na ma n ya ng da pa t b er va r ia s i d ia nta ra p r ak tik b ud id a ya ta na ma n. Lahan penelitian diduga merupakan salah satu faktor yangmempengaruhi pertumbuhan rumput. Diduga setiap ketinggian lahan mempunyai tingkat kesuburan yang berbeda, maka pertumbuhan rumput pun akan berbeda. Selain itu, efek naungan pohon-pohon berkayu yang terdapat pada strata atas juga diduga mempengaruhi rendahnya produksi berat bahan kering yang dihasilkan.Hasil penelitian MAPPAONA dkk. (1987), menunjukkan bahwa semakin tinggi intensitas naungan, maka akan menyebabkan semakin rendah produksi berat kering, banyaknya batang tiap rumpun dan bobot kering akar pada rumput Brachiaria decumbens. Pengaruh Tinggi Daya Tolak Rumput terhadap Produksi Berat Bahan Kering Beberapa model regresi yang diperoleh (Tabel 2) menunjukkan adanya pengaruh yang lemah antara tinggi daya tolak rumput dengan produksi berat bahan keringnya. Berdasarkan persamaan regresi yang diperoleh, kisaran nilai R2 adalah sekitar 0,20-0,37. Hal inimenunjukkan bahwa tinggi daya tolak rumput dapat menjelaskan pengaruh terhadap produksi berat bahan kering rumput sekitar 20-37%, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. DIAZ dkk. (2003), mengemukakan bahwa persamaan regresi antara kepadatan hijauan dengan produksi berat bahan kering yang dihasilkan biasanya bervariasi, khususnya antara musim, karakteristik tanah, phenology tanaman, manajemen pastura, dan spesies. Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi keakuratan data yang diperoleh antara lain kepadatan hijauan dan pertumbuhan tanaman (MOSQUERA dkk., 1991 dalam FRANCA dkk., 2003), komposisi spesies hijauan (CASTLE, 1976), dan lokasi penelitian (RAYBURN dan LOZIER, 2003). Faktor musim akan mempengaruhi produksi bahan kering rumput yang dihasilkan. Pada musim hujan, pertumbuhan rumput akan sangat cepat namun produksi berat bahan keringnya rendah. Hal ini dikarenakan kandungan air rumput yang sangat tinggi. Sedangkan musim kemarau pertumbuhan rumput akan lambat, namun produksi berat bahan keringnya tinggi karena kandungan air rumput yang rendah. Oleh karena itu, pendugaan produksi berat bahan kering rumput dengan menggunakan piringan akrilik ini akan menghasilkan nilai yang berbeda jika dilakukan pada musim yang berbeda. Prosiding Semnas II HITPI Page 151 Tabel 2. Regresi antara tinggi daya tolak rumput dengan produksi berat bahan kering rumput Model Regresi R2 Strata Atas 1. Linear Y = 33,073 + 1,041X2 0,155 2 2. Kuadratik Y = 151,001 – 4,428X2 + 0,061X2 0,204 3. Eksponensial Y = 43,872e0,012X2 0,115 Strata Tengah 1. Linear Y = 4,143 + 2,818X2 0,365 2 2. Kuadratik Y = -43,888 + 4,940X2 – 0,023X2 0,366 3. Eksponensial Y = 46,449e0,022X2 0,357 Strata Bawah 1. Linear Y = 45,082 + 1,476X2 0,253 2. Kuadratik Y = -120,627 + 7,979X2 – 0,063X2 2 0,300 0,014X2 3. Eksponensial Y = 57,437e 0,297 Semua Strata 1. Linear Y = 21,743 + 1,883X2 0,218 2. Kuadratik Y = -31,126 + 4,202X2 – 0,025X2 2 0,222 0,019X2 3. Eksponensial Y = 42,788e 0,217 Keterangan : Y = Berat Bahan Kering X2 = Tinggi Daya Tolak Rumput Data hasil pengamatan menunjukkan bahwa produksi rumput pada lahan di strata atas lebih rendah daripada produksi di strata tengah dan bawah. Jumlah rumpun yang terbentuk lebih sedikit sehingga produksi berat bahan keringnya rendah. Hal ini diduga karena pengaruh naungan pohon-pohon berkayu yang terdapat di strata atas. MAPPAONA dkk. (1987), menyatakan bahwa banyaknya batang (individu tanaman) tiap rumpun, merupakan pencerminan dari kemampuan rumput tersebut untuk membentuk anakan. Penurunan produksi bahan kering rumput Brachiaria decumbens dengan naiknya intensitas naungan merupakan akibat dari aktifitas fotosintesis pada tajuk tanaman semakin terbatas dengan naiknya intersitas naungan. Terbatasnya aktifitas fotosintesis tersebut menyebabkan perkembangan akar terganggu (tercermin dari penurunan bobot kering akar yang selanjutnya mengurangi jumlah anakan yang terbentuk). Rumput Brachiaria decumbens merupakan rumput penutup tanah yang pertumbuhannya menyebar melalui stolon (pertumbuhan horisontal). Setelah stolon saling bertemu baru akan terjadi pertumbuhan vertikal (MANNETJE dan JONES, 1992). Kesalahan pengambilan sampel bisa terjadi dikarenakan rumput yang ditekan dengan piringan tidak tepat pada bagian tempat tumbuh anakan utama, sehingga produksi yang diperoleh lebih rendah. Beberapa hasil penelitian telah menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara ketinggian hijauan dengan produksi berat bahan kering yang dihasilkan. Korelasi ini ternyata meningkat ketika tinggi hijauan ditekan dengan sebuah piringan pemberat (Rayburn dan Lozier, 2003). Ini terbukti dari hasil analisis yang telah diperoleh dari penelitian ini, bahwa penggunaan piringan dapat meningkatkan nilai pendugaan produksi berat bahan kering rumput, yaitu sebesar 7%. Namun demikian, semua persamaan regresi yang diperoleh tidak dapat digunakan untuk Prosiding Semnas II HITPI Page 152 menduga produksi berat bahan kering rumput yang dihasilkan karena nilai R2 rendah. Tabel 3. Regresi antara tinggi rumput dan tinggi daya tolak rumput terhadap produksi berat bahan kering Model Regresi R2 Strata Atas Y = -8,594 + 0,561X1 + 0,932X2 0,246 Strata Tengah Y = -12,283 + 0,537X1 + 2,315X2 0,370 Strata Bawah Y = 46,209 – 0,057X1 + 1,546X2 0,254 Semua Strata Y = 40,965 – 0,409X1 + 2,169X2 0,233 Keterangan : Y = Berat Bahan Kering X1 = Tinggi Rumput X2 = Tinggi Daya Tolak Rumput Pengaruh Tinggi Rumput dan Tinggi Daya Tolak Rumput te rhadap Produksi Berat Bahan Kering Beberapa model regresi berganda yang diperoleh (Tabel 3) menunjukkan adanya pengaruh yang lemah antara produksi berat bahan kering rumputdengan tinggi rumput dan tinggi daya tolak rumputyaitu dengan R2 sekitar 0,23-0,37.Oleh karena itu, semua model regresi yang diperoleh tidak disarankan untuk digunakan dalam pendugaan produksi berat bahan kering rumput Brachiaria decumbens. KESIMPULAN Tinggi rumput Brachiaria decumbens mempunyai pengaruh yang lemah terhadap produksi berat bahan kering rumput yang dihasilkan (sekitar 13-30%). Tinggi daya tolak rumput Brachiaria decumbens juga mempunyai pengaruh yang lemah terhadap produksi berat bahan keringnya (sekitar 20-37%). DAFTAR PUSTAKA ASSAEED, A. M. 1997. Estimation of Biomass and Utilization of Three Perennial Range Grasses in Saudi Arabia. Journal of Arid Environments. 36 : 103-111. BRIGGS, D. J. and F. M. COURTNEY. 1985. Agriculture and Environment. Longman Scientific and Technical, Singapore. CASTLE, M. E. 1976. A Simple Disc Instrument for Estimating Herbage Yield. Journal of the British Grassland Society. 31 : 37-40. COSGROVE, D. and UNDERSANDER. 2001. Evaluation of Simple Method for Measuring Pasture Yield. University of Wisconsin, Madison, US. DIAZ, L. and G. RODRIGUEZ. 2003. Measuring Grass Yield by Non-Destructive Methods : A Review. CIAM, Apdo, Spain. FRANCA, A., P. P. ROGGERO, C. PORQUEDDU and S. CAREDDA. 2003. The Use of the Grassmeter as a Simplified Method to Estimate Dry Matter Yield on Annual Self-Reseeding Medics and Clovers. Ital. J. Agron. 7 (2) : 103-110. Prosiding Semnas II HITPI Page 153 KISMONO, I dan S. SUSETYO. 1977. Pengenalan Jenis Hijauan Tropika Penting. Produksi Hijauan Makanan Ternak untuk Sapi Perah. BPLPP Lembang. Bandung. MANNETJE, L. „t. 1978. Measuring Biomass of Grassland Vegetation. Department of Plant Science, Wageningen University, The Netherlands. 151-177. MANNETJE, L. „t. and R. M. JONES. 1992. Plant Resources of South East Asia. No 4. Forages. PORSEA Bogor. Indonesia. MANSKE, L. L. 2003. Biologically Effective Grazing Management. Range Science, Dickinson Research Extension Center, North Dakota State University, Canada. [Serial Online] Available at: http://www.ag.ndsu.nodak.edu/ dickinso/research/2003/range03a.htm (diakses 22 Oktober 2012, jam 20:00 WIB). MAPPAONA,S.HARDJOSOEWIGNJO, S.BAHARSJAH dan I. KISMONO. 1987. Pengaruh Naungan dan Pemberian Nitrogen terhadap Produksi Bahan Kering Rumput Brachiaria decumbens, Stapf. Bul, Mater. IPB Bogor. 7 (2) : 36-45. RAYBURN, E. B. and J. LOZIER. 2003. A Falling Plate Meter for Estimating Pasture Forage Mass. West Virginia University, US. REKSOHADIPROJO, S. 1994. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik. BPFE UGM. Yogyakarta. SANDERSON, M. A., C. A. ROTZ, S. W. FULTZ, and E. B. RAYBURN. 2001. Estimating Forage Mass with a Commercial Capacitance Meter, Rising Plate Meter and Pasture Ruler. Agronomy Journal. 93 : 1281-1286. SITOMPUL, M. S. dan B. GURITNO. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. TILLMAN, A. D., H. HARTADI, S. REKSOHADIPROJO, S. PRAWIROKUSUMO dan S. LEBDOSOEKOJO. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan kedua. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Prosiding Semnas II HITPI Page 154 PENGARUH PEMBERIAN ASAP CAIR TERHADAP PERTUMBUHAN RUMPUT RAJA ( Pennisetum purpureophoides)¹) Muhakka²), A. Napoleon³) dan Hidayatul Isti’adah4) email: [email protected] d, HP: 08153808409, 081367755499 ABSTRAK Pengaruh pemberian asap cair terhadap pertumbuhan rumput raja (Pennisetum purpureophoides). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian asap cair dan untuk menentukan dosis asap cair yang optimal terhadap pertumbuhan rumput raja (Pennisetum purpureophoides). Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan Program Studi Peternakan dan Laboratorium Kimia, Biologi dan Kesuburan Tanah Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. Selama 4 bulan yaitu dari bulan Nopember sampai dengan bulan Februari 2013. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan dan setiap perlakuan terdiri dari 3 kelompok sebagai ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah asap cair, dengan dosis sebagai berikut : A 0 = 0% asap cair, A1 = 2% asap cair, A2 = 4% asap cair, A3 = 6% asap cair dan A4 = 8% asap cair. Parameter yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah anakan dan jumlah helai daun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian asap cair terbaik pada tinggi tanaman rumput raja pada perlakuan A2 (4% asap cair) yaitu 382,50cm dan pada jumlah anakan dan helai daun terdapat pada A1 (2% asap cair) yaitu 13,67 batang dan 140,42 helai. Kesimpulan pemberian asap cair berpengaruh tidak nyata terhadap pertumbuhan rumput raja, namun jika dilihat dari pertumbuhan jumlah anakan dan jumlah helai daun pemberian asap cair yang optimal yaitu pada dosis 2%. Kata kunci: Asap cair, pertumbuhan dan rumput raja. 1. 2. 3. 4. Disampaikan pada acara Seminar Nasional II” Hijauan Pakan Lokal dalam Sistem Integrasi untuk Ketahanan Pangan dan Ekonomi Peternakan Nasional, Bali, 28 -29 Juni 2013. Staf Pengajar Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. Staf Pengajar Program Studi Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. Alumni Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. The Effect of Liquid Smoke on The Growth of King Grass (Pennisetum purpureophoides). ABSTRACT This research aimed to determine the effect of liquid smoke and to determine the optimal dose of liquid smoke to the growth of king grass (Pennisetum purpureophoides). The research was conducted at the experimental farm Livestock and Laboratory of Chemistry, Biology and Soil Fertility, Soil Department, Faculty of Agriculture, SriwijayaUniversity, for 4 months that was from November until February 2013. This research used randomized block design Prosiding Semnas II HITPI Page 155 (RBD) with 5 treatments and each treatment consisted of 3 block as replicates. The treatment used was liquid smoke, with doses A0=0% liquid smoke, A1=2% liquid smoke, A2=4% liquid smoke, A3=6% liquid smoke and A4=8% liquid smoke. The parameters observed were height plant, number of tillers and number of leaves. The results showed that giving liquid smoke on the best high of king grass on treatment A2 (4% liquid smoke) was 382.50 cm and the number of tillers and leaves found on the A1 (2% liquid smoke) was 13.67 rods and 140,42 strands. The conclusions that giving liquid smoke have not significant effecton the growth of the king grass, but seen from the growth, number of tillers and number of leaves, the optimal giving liquid smoke at a dose 2%. Key words: liquid smoke, growth and king grass. PENDAHULUAN Hijauan merupakan sumber pakan utama bagi ternak ruminansia, baik untuk hidup pokok, pertumbuhan, produksi dan reproduksinya karena hijauan mengandung za- zat makanan yang dibutuhkan oleh ternak ruminansia. Untuk mencapai produktivitas ternak ruminansia yang optimal harus ditunjang dengan peningkatan penyediaan hijauan pakan yang cukup baik kuantitas, kualitas maupun kontinuitasnya. Sinaga (2005) menyatakan pada dasarnya ada dua faktor yang mempengaruhi produktivitas rumput yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan yang mencakup keadaan tanah dan kesuburannya, pengaruh iklim termasuk cuaca dan perlakuan manusia atau manajemen. Ketersediaan hijauan yang semakin terbatas dapat diatasi dengan optimalisasi pemanfaatan hijauan unggul seperti rumput raja (Pennisetum purpureophoides). Rumput raja (Pennisetum purpureophoides) adalah salah satu jenis rumput unggul yang mempunyai pruduksi tinggi, berkualitas baik dan sangat disukai ternak. Sebagian besar lahan yang tersedia untuk pengembangan produksi hijauan merupakan lahan- lahan marginal, seperti lahan kering pada jenis tanah ultisol dengan tingkat kesuburan yang rendah (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Salah satu upaya peningkatan produksi hijauan pada lahan-lahan marginal yang memiliki tingkat kesuburan rendah dapat dicapai dengan memperhatikan syaratsyarat tumbuh tanaman dengan melakukan pemeliharaan yang baik, serta penggunaan bahan yang dapat mempercepat pertumbuhan tanaman. Bahan yang berfungsi sebagai hormon atau zat pemicu pertumbuhan tanaman yaitu asap cair. Asap cair merupakan hasil kondensasi asap pada proses pembakaran dari kayu atau bahan-bahan yang banyak mengandung karbon serta senyawa-senyawa lain seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin. Menurut Yatagai (2002), komponen kimia asap cair seperti asam asetat berfungsi untuk mempercepat pertumbuhan tanaman, pencegah penyakit tanaman. Metanol berfungsi untuk mempercepat pertumbuhan tanaman, sedangkan phenol dan turunannya berfungsi untuk mencegah serangan hama dan penyakit tanaman. Pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya asap cair mempunyai peranan sebagai pemercepat pertumbuhan tanaman, karena asap cair mengandung asam asetat. Hasil penelitian lainnya menyebutkan bahwa asap cair dengan konsentrasi2% dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman padi dan dapat meningkatkan produksi gabah kering panen sebesar 33% (Nurhayati 2007). Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dilakukan Prosiding Semnas II HITPI Page 156 penelitian untuk mengetahui pengaruh pemberian asap cair terhadap pertumbuhan rumput raja (Pennisetum purpureophoides). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian asap cair dan untuk menentukan dosis asap cair yang optimal terhadap pertumbuhan rumput raja (Pennisetum purpureophoides). MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di kebun percobaan Program Studi Peternakan dan Laboratorium Kimia, Biologi dan Kesuburan Tanah Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya Indralaya Ogan Ilir Sumatera Selatan, dari bulan Nopember 2012 sampai dengan bulan Februari 2013. Bahan yang digunakan antara lain : 1) bibit rumput raja berupa stek, 2) pupuk urea, 3) SP-36, 4) KCL, 5) pupuk kandang, 6) asap cair. Lokasi lahan yang digunakan untuk penelitian seluas 223,2 m2 dengan jenis tanah Podzolik Merah Kuning (Ultisol). Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan dan setiap perlakuan terdiri dari 3 kelompok seba gai ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah asap cair, dengan dosis sebagai berikut : A 0 = 0% Asap cair, A1 = 2%Asap cair, A2 = 4% Asap cair, A3 = 6% Asap cair,dan A4 = 8% Asap cair, Lahan penelitian dibuat 5 petak percobaan dengan ukuran 2,8 × 2,8 m, dan setiap petak terdiri dari 16 rumpun rumput raja. Pada sisi-sisi petak percobaan dibuat saluran drainase. Jarak antara blok adalah 1 m dan jarak antara petak percobaan 0,5 meter. Pengacakan blok dan unit percobaan dilakukan setelah pembuatan blok-blok. Bibit rumput raja berupa stek, cara penanamannya yaitu bibit dimasukan di dalam lubang tanam yang telah terlebih dahulu di beri pupuk dasar berupa pupuk kandang, SP-36 dan KCL. Pemupukan dilakukan dengan sistem larikan pada tiap petak, pupuk yang diberikan setengah dari anjuran berupa pupuk urea, SP-36, KCL dengan dosis masing- masing 50 kg ha-1 dan pupuk kandang 5 ton ha1 sebagai pupuk dasar, yang diberikan satu minggu sebelum penanaman, kecuali pupuk urea diberikan pada saat tanaman berumur dua minggu dengan sistem larikan pada sisi kiri dan kanan tanaman. Perlakuan yang diberikan adalah asap cair dengan cara disemprotkan pada bagian tanah dekat batang bagian bawah dengan dosis A0 = 0% Asap cair, A1 = 2% Asap cair, A2 = 4% Asap cair, A3 = 6% Asap cair, A4 = 8% Asap cair. Peubah yang diamati (1) Tinggi Tanaman, dilakukan 10 hari sekali dengan cara mengukur tinggi tanaman mulai dari permukaan tanah sampai pada ujung tertinggi daun dengan cara menguncupkan daun ke atas, (2) Jumlah Anakan, dilakukan pada saat tanaman berumur 30, 60 dan 90 HST dengan cara menghitung jumlah anakan yang muncul dari permukaan tanah dan ruas tanaman dan (3) Jumlah Helai Daun, dilakukan pada saat tanaman berumur 30, 60 dan 90 HST dengan cara menghitung jumlah daun yang menempati ruas batang. Analisis data dilakukan sesuai dengan rancangan yang digunakan (Hanafiah, 2011). Prosiding Semnas II HITPI Page 157 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Berdasarkan analisa tanah (Tabel 1) menunjukkan bahwa lokasi penelitian memiliki tingkat kesuburan tanah yang digolongkan rendah dengan reaksi tanah sangat masam, N 0,30% dan P 22,80 ppm yang tergolong sedang, KTK 15,25 me/100g, Ca 0,73 me/100 g dan Mg 0,10 me/100 g yang tergolong rendah. Jenis tanah ultisol memiliki tingkat kesuburan yang rendah tetapi C-organiknya tinggi. Rendahnya tingkat kesuburan tanah maka akan berakibat pada rendahnya unsur hara yang ada didalamnya sehingga mengakibatkan lambatnya pertumbuhan tanaman. Tabel 1. Hasil Analisis Tanah Jenis analisis Satuan pH H2 O C-Organik % N-Total % P-Bray I Ppm K-dd me/100 g Na me/100 g Ca me/100 g Mg me/100 g KTK me/100 g Al-dd me/100 g H-dd me/100 g Fraksi Pasir Debu Liat % % % Hasil analisis 4,12 4,21 0,30 22,80 0,19 0,22 0,73 0,10 15,23 1,08 0,24 Kriteria Sangat Masam Tinggi Sedang Sedang Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Lempung Liat Berpasir 52,05 17,03 30,92 Sumber : Laboratorium Kimia, Biologi dan Kesuburan Tanah, 2013 Keadaan tanah yang demikian dimasukkan dalam kategori marjinal untuk kesuburan tanaman sehingga dapat memperlambat pertumbuhan tanaman, maka diperlukan penggunaan bahan yang dapat memicu pertumbuhan tanaman yaitu dengan menggunakan asap cair. Tinggi Tanaman Rumput Raja Nilai rata-rata tinggi tanaman rumput raja pada umur 20 hingga 90 hari setelah tanam berkisar antara 40,25 cm-382,50 cm (Gambar 1). Berdasarkan Gambar 2 menunjukkan bahwa nilai rata-rata tinggi tanaman rumput raja yang tertinggi terdapat pada perlakuan A2 (4% asap cair) umur tanaman 90 HST yaitu 382,50 cm dan nilai rerata tinggi tanaman terendah terdapat pada perlakuan A0 (0% tanpa asap cair/kontrol) yaitu 326,75 cm. Prosiding Semnas II HITPI Page 158 Gambar 1. Rata-rata tinggi tanaman rumput raja umur 20-90 HST Rata-rata pertambahan pertumbuhan tinggi tanaman rumput raja yaitu 42,55 cm atau 4,25 cm per hari. Nilai rata-rata petambahan tinggi tanaman per 10 hari menunjukkan bahwa nilai rata-rata pertambahan tinggi tanaman rumput raja yang tertinggi hingga umur 90 HST pada perlakuan A3 (6% asap cair) yaitu 42,55 cm. Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Muhakka et al., (2006) yang melaporkan bahwa rata-rata pertambahan tinggi tanaman rumput raja per 10 hari pada defoliasi pertama dengan berbagai pupuk organik dan sulfur yaitu 39,12 cm (sulfur 60 Kg/ha-1 ). Pemberian asap cair pada tanaman rumput raja memiliki tinggi yang lebih rendah terhadap pertambahan tinggi tanaman bila dibandingkan dengan penggunanan sulfur pada tanaman rumput raja, hal ini dikarenakan asap cair tidak mampu berperan secara optimal dalam pertambahan tinggi tanaman. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian asap cair berpengaruh tidak nyata terhadap tinggi tanaman rumput raja. Hal ini diduga asap cair tidak dapat diserap dengan sempurna oleh tanaman serta tidak mampu memenuhi kebutuhan unsur hara dalam tanah sehingga tidak memberikan pengaruh terhadap tinggi tanaman rumput raja. Penggunaan asap cair harus dikombinasikan dengan pupuk yang dapat memenuhi unsur hara agar mendapatkan hasil yang terbaik. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Komarayati et al., (2011) sebaiknya aplikasi asap cair pada tanaman,dilakukan bersamaan dengan penambahan unsur hara makro N, P dan K karena asap cair inibukan pupuk, sehingga tidak bisa digunakan sebagai penyubur tanah ataupun menambah unsur hara tanah. Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa pemberian asap cair tidak banyak mempengaruhi pertambahan tinggi tanaman rumput raja. Hal inidisebabkan karena penggunaan asap cair harus dikombinasikan dengan bahan lainnya yang dapat membantu dalam penyediaan unsur hara dalam tanah. Pernyataan ini sesuai dengan hasil penelitian Nurhayati et al. (2006) menyatakan bahwa penggunaan asap cair destilat 2,5% pada perlakuan penambahan pupuk NPK menghasilkan tinggi tanaman yang paling tinggi (62,1 cm) dibandingkan Prosiding Semnas II HITPI Page 159 dengan kontrol (57,4 cm) sebaliknya dengan perlakuan tanpa NPK penggunaan asap cair ini menunjukkan hasil paling rendah (54,7 cm). Pernyatan diatas sejalan dengan hasil penelitian Sridjono dan Supari (2012) menyatakan bahwa pemberian larutan mikro organisme lokal (MOL) dan larutan asap cair tidak berpengaruh pada tinggi tanaman, tinggi tanaman lebih dipengaruhi oleh pupuk yang diberikan.Karena hanya penggunaan asap cair saja belum dapat memenuhi unsur hara. Penyebabnya yaitu tempat lokasi percobaan yang digunakan merupakan jenis tanah ultisol yang memiliki tingkat kesuburan tanah rendah. Pernyataan di atas sejalan dengan Rosmarkam dan Yuwono (2002) bahwa jenis tanah berpengaruh dalam menentukan jumlah dan perimbangan unsur hara. Jumlah Anakan Tanaman Rumput Raja Nilai rerata jumlah anakan rumput raja dalam penelitian ini berkisar antara 5,42 batang-13,67 batang. Nilai rerata jumlah anakan rumput raja dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 Rata-rata jumlah anakan tanaman rumput raja Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian asap cair berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah anakan rumput raja. Berdasarkan Gambar 2 menunjukkan bahwa pemberian asap cair pada masing- masing perlakuan mengalami peningkatan jumlah anakan tertinggi pada umur 90 HST. Nilai tertinggi yaitu pada perlakuan A1 (2% asap cair) 13,67 batang, sedangkan untuk A2 (4% asap cair) yaitu 12,25 batang, A3 (6% asap cair) yaitu 12,08 dan A4 (8% asap cair) yaitu 12,08 batang. Nilai rata-rata jumlah anakan tanaman rumput raja pada umur 90 HST dengan penggunaan asap cair mendapatkan jumlah anakan lebih banyak bila dibandingkan denga n kontrol yang memiliki jumlah anakan tidak jauh berbeda dengan A0 (0% asap cair) yaitu 11,83 batang. Rata-rata jumlah anakan tanaman rumput raja yaitu berkisar antara 6,16 batang-7,75 batang. Jumlah anakan rumput raja yang tertinggi hingga umur 90 HST pada perlakuan A1 (2% asap cair) yaitu 7,75 batang dan terendah terdapat pada perlakuan A0 (kontrol) dan A6 yaitu 6,16 batang. Penggunaan asap cair mengalami peningkatan jumlah anakan pada perlakuan A1, A2 dan A4, sedangkan untuk A0 dan A4 tidak mengalami peningkatan jumlah anakan. Menurut Bidwell dalam Muhakka et al., (2006) bila ruang tumbuh tanaman dan Prosiding Semnas II HITPI Page 160 unsur hara cukup tersedia dalam tanah sesuai dengan kebutuhan tanaman, maka akan semakin banyak terbentuk individu baru. Rata-rata jumlah anakan tertinggi dapat dilihat pada perlakuan A1 (2% asap cair) yaitu 13,67 batang. Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan penelitian Muhakka et al., (2006) yang menyatakan bahwa rata-rata pertambahan jumlah anakan rumput raja pada defoliasi pertama dengan pupuk organik dan sulfur yaitu 9,78 batang. Berdasarkan hasil di atas menunjukkan bahwa jumlah anakan pada perlakuan pemberian asap cair cenderung tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan jumlah anakan. Hal ini diduga komposisi kimia yang terdapat pada asap cair tidak mampu meningkatkan pertumbuhan jumlah anakan tanaman rumput raja. Asap cair tidak mampu memenuhi ketersediaan unsur hara dalam tanah, sehingga perlu memenuhi kebutuhan unsur hara pada tanah dengan melakukan pemupukan agar pertumbuhan jumlah anakan menjadi lebih baik. Menurut Muhakka et al., (2006) pertumbuhan tanaman yang baik akan mempengaruhi lebih banyak fotosintat yang dapat ditransfer ke akar, sehingga memperbesar sel dan aktifitas jaringan meristematik ujung akar meningkat yang menyebabkan banyaknya terbentuk anakan. Jumlah Helai Daun Tanaman Rumput Raja Nilai rerata helai daun rumput raja dapat dilihat pada Gambar 3. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian asap cair berpengaruh tidak nyata terhadap pertumbuhan jumlah helai daun. Berdasarkan Gambar 3 menunjukkan bahwa nilai rata-rata jumlah helai daun tertinggi terdapat pada perlakuan A1 (2% asap cair) yaitu 152,58 helai daun pada saat tanaman berumur 90 HST dan nilai rerata jumlah anakan terendah terdapat pada perlakuan A0 (kontrol) yaitu 113, sedangkan untuk A2 (4% asap cair) yaitu 133,67 helai, A3 (6% asap cair) yaitu 143,08 helai dan A4 (8% asap cair) yaitu 137,42 helai. Gambar 3. Rata-rata jumlah helai daun rumput raja umur 30, 60 dan 90 HST Prosiding Semnas II HITPI Page 161 Rata-rata jumlah helai daun yaitu antara 86,42 helai-115,5 helai. Jumlah helai daun dengan penggunaan asap cair cenderung lebih baik bila di bandingkan dengan penelitian Muhakka et al., (2006) rata-rata jumlah helai daun tanaman rumput raja pada defoliasi pertama dengan berbagai pupuk organik dan sulfur yaitu 86,61 helai-90,44 helai. Hal ini berkaitan dengan pemberian asap cair pada rumput raja dapat dimanfaatkan oleh tanaman sehingga pertambahan jumlah helai daun dapat lebih baik. Hasil tersebut ada kecenderungan bahwa konsentrasi asap cair yang optimal dapat meningkatkan jumlah helai daun rumput raja. Penggunaan asap cair pada tanaman rumput raja cenderung meningkatkan jumlah helai daun. Hal ini sesuai pernyataan Nurhayati et al., (2006) bahwa selain berpengaruh positif pada pertumbuhan, pemberian larutan mol dan asap cair berpengaruh positif yakni meningkatnya komponen hasil seperti panjang malai, berat gabah kering panen, jumlah butir isi, dan berat 100 butir. Pemberian asap cair mengindikasikan dapat memenuhi kebutuhan helai daun tanaman. Secara statistik asap cair tidak berpengaruh nyata pada pertumbuahan helai daun, akan tetapi karena ada kecenderungan peningkatan jumlah helai daun berarti asap cair berperan positif dalam meningkatkan jumlah helai daun rumput raja. Hal ini dapat di analisa berdasarkan pengamatan secara visual bahwa daun dan batang rumput raja yang diperlakukan dengan asap cair nampak lebih hijau dibandingkan dengan tanpa perlakuan atau tanaman kontrolnya. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilak ukan menunjukkan bahwa pemberian asap cair berpengaruh tidak nyata terhadap pertumbuhan rumput raja, namun jika dilihat dari pertumbuhan jumlah anakan dan jumlah helai daun pemberian asap cair yang optimal yaitu pada dosis 2%. Saran Berdasarkan hasil penelitian maka disarankan perlakuan kombinasi asap cair dengan pupuk agar dapat meningkatkan pertumbuhan rumput raja. DAFTAR PUSTAKA Hanafiah, K. A. 2011. Rancangan Percobaan Aplikatif : aplikasi kondisional bidang pertanaman, peternakan, perikanan, industri dan hayati. Edisi ketiga -1,-2,- Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Komarayati, S., Gusmailina dan G. Pari. 2011 Produksi asap cair hasil modifikasitungku arang terpadu.Pusat Penelitian Dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan Dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor. Muhakka., D. Budianto., Munandar dan Abubakar. 2006. Optimalisasi pemberian pupuk organik dan sulfur terhadap produksi rumput raja (Pennisetum purpureophoides). J. Tanaman tropika. 9(1):30-41. Prosiding Semnas II HITPI Page 162 Nurhayati, T., A. R. Pasaribu dan D. Mulyadi. 2006. Produksi dan pemanfaatan arang dan asap cair dari serbuk gergaji kayu campuran. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. Nurhayati, T. 2007. Produksi arang terpadu dengan asap cair dan pemanfaatan asap cair pada tanaman pertanian. Makalah disampaikan pada Pelatihan pembuatanarang terpadu dan produk turunannya. Di Dinas Kehutanan KabupatenBulungan, Kalimantan Timur, tanggal 17-26 Juli, 2007. Prasetyo, B. H dan D. A, Suriadikarta. 2006. Karakteristik, potensi, dan teknologi pengelolaan tanah ultisol untuk pengembangan pertanian lahan kering di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. 25(2). Rosmarkam, A dan Yuwono. 2002. Ilmu kesuburan tanah. Kanisius,Yogyakarta. Sinaga, R, 2005. Tanggap morfologi, anatomi dan fisiologi rumput gajah dan raja akibat penurunan kertersediaan air tanah. Tesis S2. Institut Pertanian Bogor. (tidak dipublikasikan) Sridjono, H dan Supari, 2012. Dampak pemberian larutan mikro organisme lokal (MOL) dan asap cair (Liquid Smoke) pada pertumbuhan dan hasil tanaman padi (Oryza Sativa.L) [Laporan Penelitian] Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Muria Kudus. Yatagai. 2002. Utilization of charcoal and wood vinegar in Japan. Graduate School of Agricultural and Life Sciences,The University of Tokyo. Prosiding Semnas II HITPI Page 163 EVALUATION OF MORPHOLOGICAL CHARACTERS AND ASSESMENT OF DNA CONTENT USING FLOWCYTOMETRY ANALYSIS IN REGENERANTS DWARF NAPIERGRASS FROM EMBRYOGENIC CALLI Nafiatul Umami* *Lab. Hijauan Makanan Ternak dan Pastura, Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mad a, Jl. Fauna No 3 Kampus Bulaksumur UGM, Yogyakarta, 62 274 513 363, [email protected] ABSTRACT Callus is an excellent source for in vitro plant regeneration, but plants regenerated from callus sometimes show phenotypic and genotypic variation from the initial plants. In this study, there was no variations between regenerated plants and dwarf napiergrass as control. Research result on six morphological characters did not show differences between regenerated plants and control plants. There were not either significant differences of DNA content between control and regenerated plants. The method established by this research was a stable and efficient method that can be applied for supplying transformation materials using callus. INTRODUCTION The major goal of plant breeding is to improve existing cultiva rs and to develop new or elite bud by in vitro culture. The genetic variability induced by in vitro culture has been exploited to serve such breeding purpose due to the fact that the plants obtained from in vitro culture sometimes show phenotypic and genotypic variations from initial plant. This phenomenon is called “somaclonal variation”, which refers to the variation arising in cell culture, regenerated plants and their progenies (Larkin and Scowcort 1981). The genetic basis of somaclonal variation is not fully understood yet. However, it is postulated that the events such as large scale deletions and gross changes in chromosome structure/ number and directed and undirected point mutations, transposon activation and epigenetic changes such as DNA methylation, hystone acetylation and chromatin remodeling, contribution to the in vitro variations. A wide range of altered phenotypic expression in regenerated plants can be found, such as chlorophyll deficiency, dwarfs, seed characteristics, reproductive structures and necrotic leaves (Phillips et al., 1994). However in contrast, somaclonal variants are undesired when the tissue culture protocols applied for developing transgenic plants since the occurence of somaclonal variants will complicate the evaluation of the effects of inserted gene (s), thus constitutes a major problems (Lutts et al., 2001).The resulting genetic variability can be consequential; therefore it is imperative to check for genome stability of in vitro regenerated plants. The stability of plant genomes can be affected by the in vitro conditions to which the plants are subjected during the propagation process. With each plant species responds differently. Chromosomal/ genome size changes occuring during the in vitro propagation have been reported in several gramineae. Flow cytometry has been described as one of the most reliable technique to estimate nuclear DNA contents in plants. In comparison with other methods, as Prosiding Semnas II HITPI Page 164 feulgen microdensitometry and chromosome counting, flowcytometry provides unsurpassed easy, speed and accuracy (Dolezel and Bartos, 2005). In recent study, this technique has been succesfully applied in the analysis of genom size of brachiaria (Ishigaki et al., 2010). The present report, we reported an evaluation of morphological characters from plant regeneration through inducing somatic embryogenesis from apical meristem of shoot-tillers of regenerated plant and initiated plant and assess DNA content stability of its in vitro regenerated plant compared to initiated native plants using FCM analysis MATERIALS AND METHODS Regenerated plant from embryogenic calli culture Regenerated plants from somatic embryogenesis were produced using established method of embryogenic calli induction, grown well with the some condition in the green house. The aclimated somatic plantlets were maintained in green house for one year. After this preliminary phase aiming at describing and asesing the egenerants population, all somatic embryogenesis regenerated plants transfer to the field for examine the morphological trait of regenerated plants. On all regenerated plant from embryogenic calli, and respective control plants normal management practices including fertilizer applications were followed during the cultivation in the field. Initiated plant as control origin from stem nod cut of tiller from the field. Morphological analysis Rooted tillers of the dwarf napiergrass were transplanted into Wagner‟s pot (size 1/2000a; diameter 25 cm depth 30 cm) (1 plant pot–1 ) filled with commercial heated soil. Each plant was planted at 50 cm × 50 cm of spacing. 9 gr of N, P 2 O5 and K 2 O per pot of chemical compound fertilizer were applied as dressing in transplanting time. In the greenhouse, plants were gave water at 2-3 d intervals for maintaining the water availability by direct watering to the pots. Field location shows in Figure 4.3.1 P 1-3 RP 3-1 Cont 1-1 RP 6-1 Cont 2-3 RP 2-3 Cont 3-2 RP 5-1 RP 5-3 RP 7-2 RP 4-2 RP 7-3 RP 6-2 RP 4-1 Cont 1-3 RP 2-1 RP 3-3 RP 6-3 Cont 3-1 RP 7-1 RP 4-3 RP 1.1 Cont 3-3 RP 2-3 Cont 2-1 Cont 1-2 RP 7-2 RP 3-2 Cont 5-2 Cont 2-2 Figure 4.3.1 Field design for morphological traits evaluation of regenerated plant (RP) from embryogenic calli and control dwarf napiergrass (Cont). All observations and measurements (plant heights, internode distance, main stem diameter, number of internode, flag leave blade length, flag leave blade width, panicle length, spikelet number in a panicle and fertile tiller number were Prosiding Semnas II HITPI Page 165 done in the second year of the study. Estimation genome size stability using flow cytometry analysis Plant materials Regenerated plants were analized genome size stability using flow cytometry analysis. Oryza sativa cv Nipponbare (2C=0.91 pg Uozu et al. (1997)) was used as internal references standard. Oryza sativa seedlings were grown in a greenhouse. Native plant dwarf napier grass were collected from Kibana Field, University of Miyazaki and from in vitro propagated planted initiated from embryogenic callus of dwarf napiergrass. The cultures were transferred every 14 days to fresh medium and regenerated shoots were used for subsequent subculturing for shoot multiplication and were maintained in culture for more than 12 months prior to this study.The regenerants were compared to the control plants for six morphological characteristics. The measurements were taken for a) plant length; b) plant height; c) leaf blade length and d) leaf blade width taken from trifoliate leaf of the longest stem; e) number of tiller and f) yield. Each measurement except the yield, was repeated ten times. The mean of the ten measurements was used to define the six morphological characteristics. Flow cytometry analysis Flow cytometry was conducted to estimate genome size in this study according to Galbraith et al. (1983) with few modification. Approximately 0.5 cm2 of young leaves of Oryza sativa cv Nipponbare and 1.0 cm2 of young leaves of native, plant regenerated from embryogenic callus or multiple-shoot clumps of dwarf napiergrass were excised and placed in 90 mm petridishes. The excisates were soaked with 1.0 ml of an extraction buffer containing 50 mM Tris HCl, 0.5% polyninylpyrrolidione, 0.01 % triton-X and 0.63 % sodium sulfite for 5 min and chopped with a razor blade. The suspension including nuclei was filtered through a 50 µm nylon. To stain nuclei completely, 50 µl propodium iodide (PI) and 50 µg ml–1 RNase was added and the sustension was kept at room temperature for at least 5 min.For estimation of DNA content, the FCM was performed using Beckman Cell Lab QuantaT M SC Flowcytometer machine (Beckman Coulter, Inc., Tokyo, Japan) following the method of Ishigaki et al.(2010). The analysis was replicated three times for each sample. DNA content of dwarf napiergrass and regenerated plant were estimated by comparing the fluorescence intensities of the samples derived from the cultivars to that of samples from Oryza sativa cv Nipponbare. RESULTS AND DISCUSSION Analysis of morphological characteristics to assess the somaclonal variation in regenerated plants from embryogenic calli shows in Figure 4.3.2 Prosiding Semnas II HITPI Page 166 Figure 4.3.2. Morphological characteristics and dry matter yield of regenerants from embryogenic calli of dwarf napiergrass and control plants (native dwarf napiergrass) cutting 60 days after transplanting. : control plants and :regenerated plants Plant height of the regenerants ranged from 110 to 149.3 cm, compared with 128.6 cm in average for the control plants. Plant length of the regenerants varied from 112.1 to 151.5 cm, whereas those of the control plants 134.04 cm in average. Leaf blade length of the regenerants ranged from 52.9 to 80.2 cm compared with 77.4 cm for the control plants. Leaf blade width varied from 2.0 to 3.8 cm compared with 2.9 cm for the control plants. Number of tillers of the regenerants varied from 12 to 25, compared with 21.6 for the control plants. Fresh yields of the regenerants varied from 449 to 972 g/pot compared with 731.6 g/pot for the control plants. Statistical analysis shows no significant different in morphological characters between regenerants and control plants. Prosiding Semnas II HITPI Page 167 4.3.3. Fluorescent intensity measures of dwarf napiergrass (Pennisetum purpureum Schum) and Oryza sativa cv Nipponbare by flow cytometry. (A) Peak 1 corresponds to O. sativa cv Nipponbare, peak 2 corresponds to the control plant (native dwarf napiergrass). (B) Peak 1 corresponds to O. sativa cv. Nipponbare, peak 2 corresponds to regenerant plant from embryogenic calli of dwarf napiergrass. From FCM analysis, the difference between mean peak position of standar plant prepared in different time, by co-chooping with regenerated plant and control dwarf napiergrass was not significant. This implies that either addition of sample into isolation buffer was able to give respon and do not inhibit PI staining of napiergrass DNA. The 2C nuclear DNA content of napiergrass was estimated to be 4.72±0.33 pg 2C–1 there was no significant difference (P<0.05) in nuclear DNA content between control dwarf napiergrass and in vitro plant regenerated (4.69±0.28 pg 2C–1 ). This implies that the genome size of regenerated plants produced in vitro remained stable even after long-term culture (>1 years) with repeated sub culturing every 2 weeks. From this study it is inferred that regenerated plant of dwarf napiergrass produced in vitro using this methods maintains the same genom size. The mean of plant height of regenerated plants and control plants was not significant different, neither was that of the five other observed characters. This means that using this method for EC induction does not promote phenotypic variation. In another research on Paspalum notatum (Akashi et al. 1992) reported that variations existed in embryogenic calli induction using 2,4-D and BAP, Prosiding Semnas II HITPI Page 168 whereas Gondoet al. 2007 andIshigaki et al., 2009, in line with the result of this research, reported the absence of phenotypic variations on the regenerated plants. FCM analysis was conducted to test the DNA content. This analysis was chosen because it was relatively inexpensive, easy and did not require plentiful samples. The result showed that the DNA content of control plant and regenerated plant were similar. Thus, there were no d ifferences nor somaclonal variation between regenerated and control plants. This study points out that the establishment method on embryogenic calli induction of dwarf napiergrass, proliferation and regeneration resulted from this research can be applied for producing embryogenic calli as transformation materials because the regenerated plants are stable and similar wih the control plants. REFERENCES Akashi R, Adachi T (1992) Somatic embryogenesis and plant regeneration from cultured immature inflorescences of apomictic dallisgrass (Paspalum dilatatum Poir). Plant Sci 82: 213–218. Gondo T, Matsumoto J, Yamakawa K, Tsuruta SI, Ebina M, Akashi R (2007) Somatic embryogenesis and multiple-shoot formation from seed-derived shoot apical meristems of rhodes grass (Chloris gayana Kunth). Grassl Sci 53:138–142. Dolezel J, Bartos J. 2005. Plant DNA flow cytometry and estimation of nuclear genome size. Annals of Botany 95: 99–110. Galbraith DW, Harkins KR, Maddox JM (1983) Rapid flow cytometric analysis of the cell cycle in intact plant tissue. Science 220: 1049–1051. Ishigaki G, Gondo T, Suenaga K, Akashi R (2009) Multiple shoot formation, somatic embryogenesis and plant regeneration from seed-derived shoot apical meristems in ruzigrass (Brachiaria ruziziensis). Grassl Sci 55:46–51. Ishigaki G, Gondo T, Ebina M, Suenaga K, Akashi R (2010) Estimation of genome size of Brachiaria species. Grassl Sci: 56: 240–242. Larkin PJ, Scowcroft WR (1981) Somaclonal variation-a novel source of variability from cell culture for plant improvement. Theoretical and applied genetics 60: 197–214. Lutts S, Kinet JM, Bourharmont J (2001) Somaclonal variation in rice after two successive cycles of mature embryo derived callus culture in the presence of NaCl. Biol Planta 44: 489–495. Phillips RL,Kaeppler SM and Olhoft P (1994) Genetic instability of plant tissue culture. Proc. Natl. Acad Sci. USA 91: 5222–5226. Uozu S, Ikehashi H, Ohmido N, Ohtsubo H, Ohtsubo E, Fukui K (1997) Repetitive sequences: Cause for variation in genome size and c hromosome morphology in the genus Oryza. Plant Molecular Biology 35: 791–799. Prosiding Semnas II HITPI Page 169 PERANAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA, MIKROORGANISME PELARUT FOSFAT, RHIZOBIUM SP DAN ASAM HUMIK UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKTIVITAS LEGUM CALOPOGONIUM MUCUNOIDES PADA TANAH LATOSOL DAN TAILING TAMBANG EMAS DI PT. ANEKA TAMBANG Karti, P.D.M.H., N. R. Kumalasari, D. Setyorini 1) Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Jawa Barat Hp. 081314227713/ Email : [email protected] 1) ABSTRACT Latosols soil conditions are poor in nutrients and tailing of gold mine contain heavy metal causes low productivity of forage. The objective of this research to study the best combination of soil potential microorganisms and soil conditioner that can promote the growth and production of legume crops Calopogonium mucunoides Desv. Seven treatments used were A: control, B: arbuscular mycorrhizal fungi (AMF), C: AMF + Rhizobium, D: AMF + Phosphate Solubilizing Bacteria (BPF), E: AMF + Humic Acid, F: AMF + BPF + Rhizobium, G: AMF + BPF + Humic Acid + Rhizobium. Variables measured were the root dry weight, shoot dry weight, spread length, number of trifoliate leaves, the number of active root nodules, the percentage of root infection. Augmentation of soil microorganisms and soil conditioner not effective enough to improve plant growth of Calopogonium mucunoides Desv because plants can still adapt and grow well on latosols. Plants grown on tailings provide the best response is G (AMF+ Humic Acid + Rhizobium), although the rate of growth is not as good as plants grown in latosols. Keywords: Arbuscular Mycorrhizal Fungi, Phosphate Solubilizing Bacteria, Rhizobium, humic acid, Calopogonium mucunoides ABSTRAK Kondisi tanah latosol yang miskin unsur hara dan tailing tambang emas yang tinggi kandungan logam berat menyebabkan produktivitas tanaman pakan rendah. Tujuan penelitian untuk mempelajari kombinasi terbaik dari mikroorganisme potensial dan pembenah tanah yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman leguminosa Calopogonium mucunoides Desv yang tumbuh pada tanah latosol dan tailing. Tujuh perlakuan yang digunakan adalah A: kontrol, B : Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA), C : FMA + Rhizobium, D: FMA + Bakteri Pelarut Fosfat (BPF), E: FMA + Asam Humik, F: FMA + BPF + Rhizobium, G: FMA + BPF + Rhizobium + Asam Humik. Peubah yang diamati adalah adalah berat kering akar, berat kering tajuk, panjang penyebaran, jumlah daun trifoliate, jumlah bintil akar aktif, persentase infeksi akar. Pemberian mikroorganisme dan pembenah tanah pada tanah latosol belum cukup efektif untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman Calopogonium mucunoides Desv karena tanaman masih dapat beradaptasi dan tumbuh dengan baik pada tanah latosol. Tanaman yang ditanam pada tailing memberikan respon terbaik adalah perlakuan G (FMA + BPF + Rhizobium + Asam Humik), meskipun tingkat pertumbuhannya tidak sebaik tanaman yang ditanam pada tanah latosol. Prosiding Semnas II HITPI Page 170 Kata kunci : Fungi Arbuskula Mikoriza, Bakteri Pelarut Fosfat, Rhizobium, Asam humik, Calopogonium mucunoides PENDAHULUAN Lahan marginal dan terdegradasi di Indonesia cukup banyak, antara lain lahan masam dan lahan pasca penambangan. Keberadaan lahan masam di Indonesia cukup tinggi meliputi 30% atau 0.51 juta km2 dari luasan daratan Indonesia yang tersebar di daerah Jawa Barat, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya. Masalah utama yang dihadapi pada tanah masam adalah (1) penurunan kelarutan P dan Mo sehingga terjadi defisiensi P dan Mo. (2) penurunan konsentrasi unsur makro N, Mg, Ca dan K. (3) peningkatan konsentrasi Al, Mn dan Fe yang dapat menimbulkan keracunan (4) menghambat pertumbuhan akar dan penyerapan air sehingga menyebabkan kekurangan unsur hara, stress kekeringan dan peningkatan pencucian unsur hara (Maschner, 1995).Usaha untuk mengurangi ketidakefisienan penggunaan pupuk fosfat tersebut yaitu dengan memanfaatkan mikroorganisme pelarut fosfat yang ditambahkan ke dalam tanah. Dengan adanya mikroba tersebut dinilai efektif dalam pemecahan kompleks dengan senyawa Al atau Fe hidroksi yang mengikat fosfat. Pengikatan Fe dan Al oleh asam organik yang dihasilkan mikroorganisme pelarut fosfat akan mengurangi fiksasi fosfat anorganik. Fosfat adalah unsur hara utama yang dapat diserap oleh tanaman bermikoriza (Bolan, 1991), selain itu N (NH4 + atau NO 3 -), K dan Mg yang bersifat mobil (Sieverding, 1991) dan juga unsur mikro seperti : Cu, Zn, Mn, B dan Mo (Smith dan Read, 2008). Kemampuan cendawan mikoriza arbuskula dalam memperbaiki status hara tanaman tersebut pada saat ini dapat dijadikan alternatif strategi untuk menggantikan sebagian kebutuhan pupuk yang diperlukan oleh tanaman yang ditanam pada tanah-tanah bermasalah. Berbeda dengan Lahan pasca tambang emas, permasalahan yang dapat ditimbulkan adalah kontaminasi logam berat. Fungi mikoriza arbuskula(FMA) memiliki berbagai pengaruh yang memberikan kontribusi pada perbaikan dari berbagai eekaman yang dialami oleh tanaman, misalnya toksisitas logam berat, cekaman oksidatif, cekaman air, dan tanah masam (FINLAY, 2004). Penambahan asam humik menyebabkan peningkatan kandungan Ca, Mg, K, Na, KTK dan penurunan kandungan P2 05 , AI3+, Fe, Mo, Cu, AI-P. Penurunan P2 05 yang merupakan P potensial, dengan adanya asam humat P 2 05 yang terikat tersebut menurun sehingga P yang tersedia akan meningkat (Karti dan Setiadi, 2011). MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca di laboratorium Agrostologi, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Tanah latosol diambil di kecamatan Dramaga di lokasi kandang B Laboratorium lapang Fakultas Peternakan IPB. Tailing diperoleh dari tambang emas PT. Aneka Tambang Pongkor, Kabupaten Bogor. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL). Penelitian ini terdiri dari 7 perlakuan dengan 5 ulangan. Tujuh perlakuan yang digunakan adalah : Prosiding Semnas II HITPI Page 171 A B C D E F G : kontrol (tanpa perlakuan) : Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) : FMA + Rhizobium : FMA + Bakteri Pelarut Fosfat (BPF) : FMA + Asam Humik : FMA + BPF + Rhizobium : FMA + BPF + Rhizobium + Asam Humik Asam humik diberikan sebanyak 80 ml per polybag yang diperoleh dari hasil pengenceran 125 ml “Humega” per 20 liter air. Rhizobium dan bakteri pelarut fosfat yang terdapat dalam arang sekam masing- masing diberikan 1 gram per polybag. Bakteri pelarut fosfat yang terdiri dari 3 isolat. FMA menggunakan carrier zeolit dan diberikan sebanyak 10 gram per pot polybag. Masing- masing tanaman diberikan pupuk NPK mutiara dengan dosis 500 kg per ha tanah, yaitu setara dengan 1,25 gram per polybag. Peubah yang diamati adalah berat kering akar, berat kering tajuk, panjang penyebaran, jumlah daun trifoliate, jumlah bintil akar aktif, persentase infeksi akar. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakter tanah latosol di Dramaga dan tailing tambang emas di Pongkor, Kabupaten Bogor dapat di lihat pada Tabel 1. Pada tanah latosol terdapat beberapa kendala yang dihadapi yaitu pH sangat masam, kapasitas tukar kation (KTK), Mg dan K rendah, P dan Ca sangat rendah, dengan kejenuhan Almunium sangat tinggi mencapai 94%. Pada limbah tailing tambang emas memiliki pH netral, nilai KTK, C organik, Mg dan N total sangat rendah, dan K rendah. Kadar unsur mikro terlarut seperti Fe, Cu, Zn sangat tinggi dan logam berat Pb yang sangat tinggi. Pertumbuhan dan produksi tanaman pakan dengan beberapa kenda la di atas pada tanah latosol dan lahan pasca tambang emas akan mengalami masalah karena kesuburannya rendah. Pada Tabel 2 terlihat penggaruh perlakuan terhadap rataan laju pertambahan panjang penyebaran periode pertama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) dan jumlah bintil akar menunjukkan perbedaaan yang sangat nyata (P<0.01), sedangkan LPPP periode kedua, jumlah daun trifoliate pada periode kesatu dan kedua, berat kering tajuk periode kesatu dan kedua, berat kering akar, berat kering bintil akar serta infeksi akar tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Pada tanah latosol tanaman Calopogonium mucunoides masih dapat tumbuh dengan baik karena tanpa pemberian pupuk hayati masih menunjukkan pertumbuhan dan produksi yang baik, hal ini menunjukkan Calopogonium mucunoides termasuk jenis tanaman yang toleran terhadaptanah masam. Menurut Karti et. al., (2011), toleransi tanaman Setaria splendida terhadap toksisitas Almunium dengan pH yang masam dengan cara mensekresikan asam oksalat dan asam sitrat dari akar ke larutan eksternal, dan mengakumulasikan asam asam oksalat dan asam malat pada akar dan tajuk. Asam Prosiding Semnas II HITPI Page 172 organik tersebut akan mengikat Almunium sehingga tidak menyebabkan penurunan pH dan dapat melepaskan fosfat yang dibutuhkan tanaman. Tabel 1. Karakteristik Tanah Latosol dan Tailing Tambang Emas Limbah T ailinga Kriteria Latosolb Kriteria Ph H2 O (pH 1 :1) 7.10 netral 4.33 Sangat masam 2 Ph KCl (pH 1 :1) 5.80 3 KT K N NH4 O Ac pH 7.0 3.03 Sangat rendah 16.64 4 KB(%) 100 5 C-org (%) Walkley & Black 0.39 Sangat rendah 2.13 Sedang 6 N-total (%) Kjeldhal 0.05 Sangat rendah 0.30 Sedang 7 P (ppm) Bray I 11.7 tinggi 8 P (ppm) HCl 25% 119.9 9 Ca (me/100gr) N NH4 OAc pH 7.0 30.75 10 Mg (me/100gr) N NH4 Oac pH 7.0 0.38 11 K (me/100gr) N NH4 Oac pH 7.0 0.20 12 Na (me/100gr) N NH4 Oac pH 7.0 0.60 13 Al (me/100gr) N KCl 14 15 16 17 No Sifat T anah 1 Rendah 52 3.8 Sangat rendah 195.4 - Sangat tinggi 1.25 Sangat rendah Sangat rendah 0.50 Rendah rendah 0.12 Rendah sedang 0.30 Rendah tr - 2.02 Sangat tinggi Fe (ppm) N HCl 25% 1520.20 Sangat tinggi - Cu (ppm) N HCl 25% 49.60 Sangat tinggi - Zn (ppm) N HCl 25% 37.40 Sangat tinggi - Pb (ppm) N HCl 25% 172.00 Sangat tinggi - Tabel 2. Pengaruh Penambahan Fungi Mikoriza Arbuskula, Mikroorganisme Pelarut Fosfat, Rhizobium dan Asam Humik pada Tanah Latosol. Perla kuan A B C D E F G Rataan LPPP I Rataan LPPP II (cm/minggu) ab 29.13 21.25b 27.44ab 36.00a 35.78a 28.90ab 34.45a 14.84 13.56 13.78 16.98 17.59 14.51 15.15 JDT I JDT II (helai) 23 21 27 27 25 29 26 25 21 22 24 26 26 25 BKT I BKT II BKA (gram/pot) 2.85 2.47 3.03 2.79 2.84 3.23 3.62 2.28 1.79 2.09 1.82 2.36 2.22 1.93 JBA aktif (butir) 0.60 0.53 0.30 0.64 0.51 0.81 0.80 A 9.9 8.2A 9A 4.7B 3.6B 7.8A 9.2A BKBA aktif (gram /pot) 0.033 0.064 0.052 0.026 0.023 0.043 0.039 IA (%) 12.5 23.4 20.5 24.7 15.8 28 24.7 Keterangan : Rataan dengan huruf besar pada kolom yang sama menunjukkan sang at berbeda nyata (p<0,01). Rataan dengan huruf kecil pada kolo m yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0,05). A (kontrol) ; B (FMA) ; C (FMA + Rh izob iu m); D (FMA + Bakteri Pelarut Fosfat) ; E ( FMA + Asam Hu mik); F ( FMA + Bakteri Pelarut Fosfat + Rhizobium) ; G (FMA + Bakteri Pelarut Fosfat + Rhizobium + Asam Hu mik) ; LPPP Idan II : Laju Pertambahan Panjang Penyebaran Panen I dan II ; J DT I dan II : Ju mlah Daun Trifo leat Panen I dan II ; B KT I dan II : Berat Kering Taju k Panen I dan II ; B KA : Berat Kering Akar ; JBA aktif : Ju mlah Bintil Akar Aktif ; BKBA Aktif : Berat Kering Bintil Akar Aktif ; IA : Infeksi Akar. Pada Tabel 3 dapat dilihat pengaruh perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) terhadapBerat kering tajuk dan infeksi akar, sedangkan laju pertambahan panjang penyebaran, jumlah daun trifoliate, berat kering akar tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Perlakuan G memberikan hasil yang terbaik Prosiding Semnas II HITPI Page 173 dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya, karena adanya penambahan mikroorganisme secara lengkap yaitu : Fungi Mikoriza Arbuskula, Bakteri Pelarut Fosfat, Rhizobium dan Asam Humik. Pada perlakuan yang menggunakan FMA, tanaman mampu memanfaatkan sumber P melalui peningkatan laju pelarutan P anorganik atau hidrolisis P organik (CUMMING dan NING, 2003), sehingga konsentrasi ion- ion fosfat pada larutan tanah meningkat (NING dan CUMMING, 2001). Menurut pendapat SMITH dan READ (2008) dan KARTI (2004) tanaman bermikoriza dapat meningkatkan penyerapan unsur hara seperti P, N, K, Ca dan Mg. Pada perlakuan yang tidak mendapatkan FMA terlihat bahwa perkembangan akar terhambat karena tingginya kandungan aluminium. Menurut Karti dan Setiadi (2012), pemberian FMA dan asam humat pada rumput Setaria splendida tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi, tetapi berpengaruh terhadap peningkatan kualitas yaitu serapan P dan N total. Pemberian FMA mampu meningkatkan pertumbuhan, produksi dan kualitas rumput Chloris gayana. Penggunaan asam humat 180 ppm dapat meningkatkan kualitas rumput Setaria splendida dan Chloris gayana. Hasil penelitian Karti et al. (2012) mikroorganisme pelarut fosfat dapat meningkatkan kadar dan serapan P pada Setaria splendida, sedangkan pada C. gayana telah menunjukkan peningkatan produksi berat kering tajuk dan akar dan peningkatan kadar dan serapan P. Mekanisme pelarutan fosfat dengan mengeluarkan eksudat asam oksalat dan asetat. Calopogonium mucunoides yang tumbuh pada tanah latosol menunjukkan respon pertumbuhan yang lebih baik bila dibandingkan dengan tanaman yang tumbuh ditanah tailing. Pada perlakuan kontrol pada tanah tailing menunjukkan pertumbuhan tanaman yang sangat jelek. Tabel 3. Rataan Nilai Setiap Peubah dengan Pemberian Mikroorganisme dan Pembenah Tanah pada Tanah Tailing Perlakuan LPPP JDT BKT BKA IA (%) (cm/minggu) (helai) (g/pot) (g/pot) A 0.07 2 0.00C 0.00 1.8D B 4.61 6 0.60BC 0.33 23BCD C 0.78 3 0.03C 0.24 17.4CD AB D 2.45 10 0.87 0.23 28.6ABC E 2.78 9 0.61BC 0.24 10.7CD BC F 3.59 12 0.72 0.43 37.9AB G 5.92 12 1.50A 0.23 43.7A Keterangan : Rataan dengan huruf besar pada kolom yang sama menunjukkan sang at berbeda nyata (p<0,01). Rataan dengan huruf kecil pada kolo m yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0,05). A (kontrol) ; B (FMA) ; C (FMA + Rh izob iu m); D (FMA + Bakteri Pelarut Fosfat) ; E ( FMA + Asam Hu mik); F ( FMA + Bakteri Pelarut Fosfat + Rhizobium) ; G (FMA + Bakteri Pelarut Fosfat + Rhizobium + Asam Hu mik) ; LPPP: Laju Pertambahan Panjang Penyebaran ; JDT : Ju mlah Daun Trifo leat ; B KT: Berat Kering Tajuk ; B KA : Berat Kering Akar ; IA : Infeksi Akar. Hal tersebut disebabkan tailing mengandung kadar Pb, Fe, Cu, Zn dan kejenuhan basa yang tinggi, sedangkan KTK, N, C organik nya rendah. Hasil penelitian Karti (2009) secara umum, empat jenis tanaman rumput dan legum memerlukan sebuah konsorsium mikroorganisme untuk pertumbuhannya pada Prosiding Semnas II HITPI Page 174 tanah pasca tambang emas dan hasilnya akan lebih baik bila ditambahkan dengan asam humik karena dapat mengikat logam berat KESIMPULAN Pemberian Fungi Mikoriza Arbuskula, mikroorganisme pelarut fosfat, Rhizobium Sp dan asam Hhumikpada tanah latosol belum cukup efektif untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman Calopogonium mucunoides Desv. Tanaman yang ditanam pada tanah tailing pasca tambang emas me mberikan respon terbaik adalah perlakuan G (FMA + BPF + Rhizobium + Asam Humik), meskipun tingkat pertumbuhannya tidak sebaik tanaman yang ditanam pada tanah latosol. DAFTAR PUSTAKA Bolan, N.S. 1991. A critical review on the role of mycorrhizal fungi in the uptake of phosphorus by plants. Plant and Soil 134 : 189-209. Cumming, R.l. and l. Nlng. 2003. Arbuscular mycorrhizal fungi enhance aluminium resistance of brooms edge (Andropogon virginicusL.). J.Exp. Bot. 54: 1447-1459. Finlay, R.D. 2004. Mycorrhizal fungi and their multifunctional roles. Mycologist 18: 91-96 Karti, P.D.M.H. 2004. Pengaruh penggunaan bakteri penambat nitrogen, cendawan mikoriza arbuskula dan penambahan bahan organik pada Stylosanthes guyanensis. Med. Pet. 27: 63-68. Karti, P.D.M.H. 2009. Utilizing Potential Soil Microorganisms, Humic Acid, Grasses and Legumes Forages in Marginal and Degraded Lands in Indonesia. Proceeding The First International Seminar on Animal Industry (ISAI). Bogor. Jawa Barat. Karti, P.D.M.H. 2011. Mekanisme Toleransi Aluminium pada Rumput Pakan (Selaria splendida).J. Agron. Indonesia 39 (2) : 144 - 148 Karti, P.D.M.H dan Y. Setiadi. 2011. Respon pertumbuhan, produksi dan kualitas rumput terhadap penambahan fungi mikoriza arbusk ula dan asam humat padatanah masam dengan aluminium tinggi. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 16(2) : 104-111. Karti, P.D.M.H., S. Yahya, D. Sopandie, S. Hardjosuwignyo and Y. Setiadi. 2012. Isolation and Effect of AI-Tolerant Phosphate Solubilizing Microorganism for Production and Phosphate Absorbtion of Grasses and Phosphour Dissolution Mechanism. Animal Production 14 (1) : 13-22. Marschner H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plants. 2 nd Edition. Academic Press Limited. London Ning, J. and J.R. Cumming. 2001. Arbuscular mycorrhizal fungi alter phosphorus relations of broomsedge (Andropogon virginicus L.) plants . .J. bpI. Bot. 52: 1883-1891. Sieverding E. 1991. Vesicular Arbuscular Mycorrhiza Management in Tropical Agrosystems. Deutsche GTZ. Gmbh. Eschborn. Smith S.E. and D.J. Read. 2008 Mycorrhizal Symbiosis. Academic Press.UK. 3rd Ed. Prosiding Semnas II HITPI Page 175 PUPUK PHOSPHO-KOMPOS ORGANIK YANG DIPERKAYA DENGAN MIKROORGANISME PELARUT P DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN RUMPUT SETARIASPLENDIDA Rahmi Dianita 1 , A. Rahman, Sy 1 ., Ubaidillah 1 1 Fakultas Peternakan, Universitas Jambi Jl. Jambi-Ma. Bulian KM.15 Mendalo Darat Jamb i36361 Telp/HP. 0741-61965 / 081385047600 E-mail: [email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pupuk phospho-kompos organik yang diperkaya dengan mikroorganisme yang mampu melarutkan P terhadap pertumbuhan Setariasplendida. Penelitian ini didesain dalam suatu rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri atas 4 perlakuan yaitu: R0 = Rock Fosfat, R1 = Rock Fosfat + Jerami padi + Kotoran ternak ayam, R2 = Rock Fosfat + Jerami padi + Kotoran ternak ayam + Trichoderma harzianum. R3 = Rock Fosfat + Jerami padi + Kotoran ternak ayam + Aspergillus niger. Cara pembuatan phospho-kompos organik merupakan modifikasi dari Bangar et al. (1989); Biswas (2008) dengan dosis pemberian mengikuti Apniyarni, (2003) dan Dewi (2002). Karakteristik fisik dan kimia dari kompos dan pertumbuhan tanaman S. splendida diamati dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa phospho-kompos organik dengan dan tanpa mikroorganisme yang mampu melarutkan P menghasilkan karakteristik fisik dan kimia yang baik. Perlakuan phospho-kompos tanpa mikroorganisme menghasilkan pertumbuhan yang tidak nyata berbeda dengan phospho-kompos yang diperkaya dengan mikroorganisme yang mampu melarutkan P. Aplikasi pupuk phospho-kompos organik dengan dan tanpa tambahan mikroorganisme yang mampu melarutkan P menghasilkan pertumbuhan S. splendida yang nyata meningkat dibandingkan dengan kontrol (rock fosfat). Kata Kunci: Aspergillus niger, phospho-kompos organik, S. splendida, Trichoderma harzianum Phosphorus-enriched compost with P Solubilizing Microorganisms and Its Effect on the Growth of Setaria splendida ABSTRACT The aimed of this experiment was to investigate the effect phosphorusenriched compost fertilizer with P solubilizing microorganisms on the growth of Setaria splendida. The experiment was designed in completely randomized designed with 4 treatments, consisted of R0 = Rock phosphate, R1 = Rock phosphate + rice straw + chicken manure, R2 = Rock phosphate + rice straw + chicken manure + Trichoderma harzianum. R3 = Rock phosphate + rice straw+ chicken manure + Aspergillus niger. Preparation of phosphorus-enriched compost was modified from Bangar et al. (1989); Biswas (2008) with the dosage of aplication based on Apniyarni, (2003) and Dewi (2002). Physical and chemical characteristics of phosphorus-enriched compost fertilizer and the growth of S. Prosiding Semnas II HITPI Page 176 splendida were observed in this experiments. The results showed that phosphorusenriched compost fertilizer with and without P solubilizing microorganisms resulted good physical and chemical characteristics. The growth of S. splendida did not significantly different for phosphorus-enriched compost with and without P solubilizing microorganism treatments. Application of enriched phosphocompost fertilizer with and without P solubilizing microorganisms significantly increased the growth of S. splendida compared to control (rock phosphate). Keywords: Aspergillus niger, enriched phospho-compost organic,S. splendida, Trichoderma harzianum PENDAHULUAN Ketersediaan pakan yang berkelanjutan khususnya pakan hijauan perlu dipertimbangkan dalam pengembangan dan peningkatan populasi ternak ruminansia. Pertumbuhan dan produksi tanaman pakan salah satunya dipengaruhi oleh unsur hara yang ada di dalam tanah. Pemupukan baik dengan menggunakan pupuk organik maupun anorganik merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kandungan hara tanah. Pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari sisa tanaman dan atau hewan yang mengalami rekayasa berbentuk padat atau cair yang digunakan untuk memasok bahan organik, memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Peraturan Mentan, No.2/Pert/HK060/2/2006). Pupuk organik seperti kompos yang berasal dari sisa limbah pertanian seperti jerami padi maupun kotoran ternak sering digunakan petani/peternak untuk meningkatkan produksi usahatani. Namun, pembuatan kompos secara tradisional dari bahan organik sisa hasil pertanian membutuhkan waktu sekitar 6 bulan untuk menjadi kompos yang siap pakai. Selain itu, kandungan hara seperti N, P dan K dalam pupuk organik relatif lebih rendah dibandingkan dengan pupuk anorganik. Pupuk kompos dapat diperbaiki kandungan haranya melalui penambahan unsur hara tertentu seperti P maupun dengan penambahan mikroorganisme yang dapat membantu memperbaiki kualitas kompos dari limbah usahatani. Sumber P seperti rock fosfat (fosfat alam) dapat digunakan untuk memperbaiki kandungan hara kompos. Fosfat alam merupakan pupuk organik yang murah, namun sangat lambat tersedia bagi tanaman. Oleh karena itu, penggunaan bakteri pelarut P diperlukan untuk membantu pelarutan ion P 2 O 5 yang berasal dari fosfat alam, sehingga menjadi tersedia bagi tanaman. Beberapa jenis fungi telah diketa hui mampu meningkatkan ketersediaan fosfat terlarut yang bisa diserap langsung oleh tanaman, seperti fungi mikoriza (Dupponois et al., 2005; Dianita, 2012). Jenis fungi lain yang mempunyai kemampuan sama dengan fungi mikoriza yang juga diketahui mampu membantu pelarutan fosfat seperti Actynomyces, Bacillus sp (Hamdali et al., 2010; Banik & Ninawe, 1988), Trichoderma spp (Kapri & Tewari, 2010; Rudresh et al., 2005), dan A. niger (Sastro et al., 2005). Penggunaan T. harzianum dan A. niger dalam proses pengomposan akan mempercepat proses penguraian bahan organik dan sekaligus membantu pelarutan fosfat sehingga menjadi tersedia bagi tanaman. Pengomposan dengan menggunakan rock fosfat sebagai sumber P organik dan ditambah dengan kotoran ayam dan jerami padi sebagai sumber N dan K yang diperkaya dengan fungi Prosiding Semnas II HITPI Page 177 tersebut akan menjadikan produk phospho-kompos organik sebagai pupuk yang lengkap. Pupuk kompos lengkap yang kaya akan unsur P ini dapat diaplikasikan pada tanaman pakan seperti pada Setariasplendida yang mempunyai produktivitas tinggi, sangat responsif terhadap pemupukan, dan palatabel untuk ternak. Selain itu, S. Splendida juga mempunyai protein kasar yang cukup tinggi yaitu 11,4%, dan 27,8% serat kasar dengan kecernaan protein kasar dan serat kasar masingmasing 65,2% dan 75,2% pada ternak domba (FAO, 1991). Penerapan pupuk phospho kompos organik ini diharapkan akan meghasilkan pertumbuhan S. splendida yang lebih tinggi. MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini telah dilaksanakan di laboratorium rumah kaca Fakultas Peternakan, Universitas Jambi dari bulan September sampai dengan November 2012. Bahan dan Alat Penelitian ini menggunakan rumput S.splendida yang diperoleh dari kebun Farm Fakultas Peternakan, Universitas Jambi sebagai objek pengamatan dari perlakuan pupuk phospho-kompos organik. Bahan yang digunakan antara lain rumput S.splendida berasal dari sobekan rumpun (pols) sepanjang 20 cm, dengan sedikit akar ikutannya, rock fosfat (fosfat alam), jerami padi, dan pupuk kotoran ayam yang diperoleh dari Farm Fakultas Peternakan Universitas Jambi. Kapang T. harzianum diperoleh dari Balai Penelitian Pertanian Jambi dan A. niger diperoleh dari Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor. Rancangan Penelitian Penelitian aplikasi pupuk phospho-kompos organik pada rumput S. splendida didesain dalam suatu rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri atas 4 perlakuan yaitu: R0 = Rock Fosfat, R1 = Rock Fosfat + Jerami padi + Kotoran ternak ayam, R2 = Rock Fosfat + Jerami padi + Kotoran ternak ayam + T. harzianum, R3 = Rock Fosfat + Jerami padi + Kotoran ternak ayam + A. niger. Setiap perlakuan diulang 5 kali dan setiap unit percobaan terdapat 2 polibag sehingga jumlah keseluruhan unit percobaan sebanyak 40 unit percobaan. Prosedur Penelitian Penelitian ini diawali dengan persiapan pembuatan pupuk phospho-kompos organik. Bahan-bahan utama dicampurkan dengan perbandingan 1 : 1 (jerami padi : kototan ayam). Fosfat alam yang digunakan sebesar 25 % dari total bahan utama (jerami padi dan kotoran ayam). Mikroorganisme pelarut P diberikan sebesar 2,5% dari total bahan utama. Kemudian seluruh bahan diaduk merata dan campuran pupuk dibiarkan selama 45 hari (modifikasi dari Bangar et al. 1989; Biswas, 2008). Kandungan kimia pupuk setelah menjadi kompos matang dianalisis sebelum penelitian aplikasi ke tanaman S. splendida dimulai (Tabel 1). Prosiding Semnas II HITPI Page 178 Polibag kapasitas 5 kg diisi dengan tanah yang telah dikeringanginkan dan disaring. Kandungan kimia tanah dianalisis sebelum penelitian dimulai (Tabel 2). Pemupukan dilakukan pada saat tanam dengan meletakan pupuk di sekeliling bahan tanam dengan cara membuat larikan dan membenamkannya. Setiap polibag terdiri atas 2 sobekan rumpun. Pupuk phospho-kompos organik diterapkan sebanyak 7,5 ton per hektar sesuai dengan Apniyarni, (2003) dan Dewi (2002). Tabel 1. Analisis kandungan kimia pupuk phospho kompos organik*) C-org Ratio P-tersedia P 2 O5 K2 O KTK Kadar Air (%) N (%) C/N (%) (%) (%) (me/100g) (%) 27,65 1,29 21,43 5,97 15,30 2,24 40,76 22,42 R1 25,24 1,43 17,65 6,02 17,21 2,40 36,46 15,82 R2 23,49 1,49 15,76 6,72 18,16 2,84 36,85 18,46 R3 Keterangan: *) Hasil analisis Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian IPB (2012) Tabel 2. Analisis kandungan tanah*) sebelum penelitian PH 1:1 (H2 O) P-ters (ppm) P-HCl 25% (ppm) N(%) 4,80 3,5 34,6 0,08 Ca Mg K KTK (me/100g) 0,39 0,24 0,10 4,90 Keterangan: *) Hasil analisis Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian IPB (2012) Prengamatan terhadap karakteristik fisik pupuk phospho-kompos organik yang digunakan dalam penelitian, meliputi warna, pH, dan kadar air serta kandungan haranya meliputi N, P, K, KTK, dan rasio C/N. Pengamatan pertumbuhan tanaman meliputi: tinggi tanaman (cm/mgg/tanaman); jumlah anakan (anakan/tanaman) dan bobot kering tanaman (g/tanaman). Data yang diperoleh dari pembuatan pupuk phospho kompos yang meliputi karakteristik fisik dan kimia pupuk dianalisis secara deskriptif sebagai informasi umum kondisi perlakuan, sedangkan data pengamatan terhadap tanaman S. splendida dianalisis sidik ragam berdasarkan RAL. Perbedaan antar perlakuan dianalisis dengan Uji Duncan (Steel dan Torrie, 1989). HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik dan Kimia Pupuk Phospho-Kompos Organik Dari ketiga perlakuan pupuk kompos R1, R2,dan R3, terlihat bahwa pupuk R2 lebih halus teskturnya dan warna lebih coklat gelap dibandingkan dengan R1 dan R3 (Gambar 1). pH, kadar air, C-organik dan C/N rasio dari pupuk. R1 R2 R3 Gambar 1 Penampilan fisik pupuk Phospho-Kompos Organik Prosiding Semnas II HITPI Page 179 Phospho-kompos organik (Tabel 3) yang dihasilkan masih dalam standar yang ditetapkan oleh Balit Tanah dalam Suriadikarta et al (2004), yaitu berkisar ≥ 4 - ≤ 8 untuk pH dan maks 35% untuk kandungan air, min 15 C-organik, dan 1225% C/N rasionya. Temperatur pada akhir proses dekomposisi kompos (hari ke 25-30) berkisar antara 25-32°C dan pH berkisar antara 6-8 (Karagiannidis et al., 2010). Tabel 3. pH, temperatur dan kandungan kimia pupuk phospho-kompos organik setelah 45 hari pengomposan Pengamatan Perlakuan R1 R2 R3 pH 7 7 7,1 Temperatur 29 28 28 Kadar air (%) 22,42 15,82 18,46 C-org (%) 27,65 25,24 23,49 N (%) 1,29 1,43 1,49 C/N 21,43 17,65 15,76 P-tersedia (%) 5,97 6,02 6,72 P2 O5 (%) 15,30 17,21 18,16 K 2 O (%) 2,24 2,40 2,84 KTK (me/100g) 40,76 36,46 36,85 Dari Tabel 3 menunjukkan kandungan hara pupuk phospho-kompos organik mempunyai kecenderungan meningkat dari R1, R2 dan R3. Hal yang sama juga terjadi untuk kandungan N pupuk yang cenderung meningkat. Penggunaan mikrorganisme pelarut P mampu meningkatkan P-tersedia dan P total (P2 O5 ) dari pupuk. A. niger mampu melarutkan P lebih banyak dibandingkan dengan T. harzianum. A. niger merupakan organisme penghasil asam organik dalam kondisi aerobik. Jumlah P yang dilepaskan setelah diinokulasi dengan A. niger dan T. viride adalah 47, 60, 330 dan 810 ppm setelah pengomposan bagasse selama masing- masing 30, 45, 60 dan 75 hari. Hal ini berhubungan dengan penuruan pH dari awalnya 8 menjadi 7.26, 6.11, 5.88 dan 4.8 (Zayed & Motaal, 2005). Hal ini mengakibatkan kandungan P dari perlakuan A. niger lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan dengan menggunakan T. harzianum dan kontrol. Rasio C/N kompos menunjukkan kecenderungan yang menurun dari R1, R2 dan R3. Pada perlakuan R1, kotoran ayam merupakan sumber karbon dan mikroorganisme yang baik untuk proses dekomposisi, sehingga mampu mencapai C/N rasio 21:1. Proses dekomposisi kompos yang terbaik terjadi pada pengomposan dengan menggunakan A. niger. Rasio C/N nya mencapai nilai terendah (15:1) dibandingkan yang lainnya, yang menunjukkan bahwa proses dekomposisi selesai pada 45 hari. Penambahan A. niger mengakibatkan proses aktif dari pelarutan P (Zayed & Motaal, 2004) Pertumbuhan S. splendida yang diberi Pupuk Phospho-Kompos Organik Pupuk phospho-kompos organik yang dihasilkan kemudian diaplikasikan dalam penanaman rumput S. splendida dengan kontrol (R0) adalah rock fosfat. Tabel 4 menunjukkan pengaruh pupuk phospho-kompos terhadap peubah pertumbuhan yang diamati selama penelitian. Prosiding Semnas II HITPI Page 180 Tabel 4. Rataan tinggi tanaman, jumlah anakan, dan bobot kering S. splendida selama penelitian. Peubah Perlakuan R0 R1 R2 R3 Tinggi tanaman (cm/mgg/tanaman) 47,76+8,13a 53,69+2,69ab 56,49+3,25b 56,72+2,69b Jumlah anakan (anakan/tanaman) 2,60+0,88a 3,80+1,9bab 4,65+0,95b 4,50+1,33b Bobot kering tanaman (g/tanaman) 2,36+1,11a 5,45+1,55b 4,35+0,36b 4,15+0,87b Keterangan: tanda superskrip (a, b) pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P< 0,05) Dalam penelitian ini, pupuk phospho-kompos organik mampu memperbaiki kandungan hara tanah menjadi lebih baik (dari kandungan tanah awal – Tabel 1) bagi pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan S. splendida dalam hal ini tinggi tanaman, jumlah anakan dan bobot kering tanaman meningkat nyata pada perlakuan R1, R2 dan R3 dibandingkan dengan kontrol (R0). Kompos tanpa dan dengan mikroorganisme yang mampu melarutkan P mengandung unsur hara yang tersedia bagi tanaman, sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman. Selain itu, seluruh kompos memperoleh proporsi kotoran ayam yang sama. Kotoran ayam merupakan sumber berbagai mikroorganisme. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan S. splendida pada perlakuan phospho-kompos tanpa mikroorganisme berbeda tidak nyata dengan phospho-kompos yang diperkaya dengan mikroorganisme yang mampu melarutkan P. Zayed & Abdel-Motaal (2005) dalam penelitiannya menemukan bahwa kompos yang dihasilkan dari inokulasi dengan A. niger + T. viride dengan atau tanpa farm manure jauh lebih baik sebagai sumber P terlarut dibandingkan dengan yang diinokulasi dengan farm manure saja. P tidak terlarut menjadi terlarut dengan jumlah yang nyata dari kedua sumber rock fosfat (Mussoorie rock phosphate (MP) dan Hyper rock phosphate (HP)) dan dikonversi menjadi terlarut dalam air, organik dan fraksi P terlarut asam format selama pengomposan (Singh & Amberger, 1995). Roy et al. (2001) menyatakan bahwa mineralisasi bentuk P tidak terlarut oleh asam or ganik merupakan keuntungan utama dari pengomposan rock fosfat. Sementara, input organik seperti feses sapi memberikan keuntungan sendiri termasuk P tambahan yang mampu menghasilkan produksi selevel dengan pupuk anorganik. KESIMPULAN DAN SARAN Dari penelitian ini disimpulkan bahwa phospho-kompos organik dengan dan tanpa mikroorganisme yang mampu melarutkan P menghasilkan karakteristik fisik dan kimia yang baik. Perlakuan phospho-kompos tanpa mikroorganisme menghasilkan pertumbuhan S. splendida yang tidak nyata berbeda dengan phospho-kompos yang diperkaya dengan mikroorganisme yang mampu melarutkan P. Aplikasi pupuk phospho-kompos organik dengan dan tanpa Prosiding Semnas II HITPI Page 181 tambahan mikroorganisme yang mampu melarutkan P menghasilkan pertumbuhan S. splendida yang nyata meningkat dibandingkan dengan kontrol (rock fosfat). Penelitian terhadap kesehatan tanah sangat perlu dilakukan untuk melihat keberlanjutan dari aplikasi teknologi ini terhadap lingkungan dan kesehatan tanaman. DAFTAR PUSTAKA Apniyarni. 2003. Pengaruh pemberian kotoran ayam dan EM-4 terhadap pertumbuhan dan bobot bahan kering rumput Kolonjono (Brachiaria mutica Stapf) di tanah Ultisol. Skripsi. Fakultas Peternakan, Universitas Jambi, Jambi. Bangar, K. C., S. Shanker,S., Kapoor, K. K., Kukreja, K., Mishra, M. M. 1989. Preparation of nitrogen and phosphorus-enriched paddy straw compost and its effect on yield and nutrient uptake by wheat ( Triticum aestivum L.). Biol Fertil Soils, 8:339-342 Banik, S., Ninawe, A., 1988. Phosphate solubilising microorganism in water and sediments of a tropical estuary and the adjacent coastal Arabian Sea, in relation to there physicochemical properties. J. Indian Soc. Coast. Agric. Res. 6, 75–83. Biswas. 2008. Production of enriched compost. ICAR, A Science and Technology Newsletter 14:3, 1-2. Dewi, M., 2003. Pengaruh pemberian kotoran ayam dan EM-4 terhadap produksi kumulatif bahan keringhijauan, berat bahan kering akar dan bahan organik rumput Kolonjono (Brachiaria mutica Stapf) di tanah Ultisol. Skripsi. Fakultas Peternakan, Universitas Jambi, Jambi. Dianita, R., 2012. Kajian penggunaan unsur nitrogen dan fosfor pada tanaman legum dan non legum dalam sistem integrasi. Disertasi. Fakultas Peternakan, IPB, Bogor. Duponnoisa, R., Colombet, A., Hien, V., Thioulouse, J., 2005. The mycorrhizal fungus Glomusintraradices and rock fosfat amendment influence plant growth and microbial activity in the rhizosphere of Acacia holosericea, Soil Biology & Biochemistry 37, 1460–1468. FAO. 1991. Setaria splendida. http://www.fao.org/ag/aGa/agap/FRG/afris/Data/ 151.htm. Diunduh 19 Juli 2012 Hamdali, H., Smirnov, A., Esnault, C., Ouhdouch, Y., Virolle, M. J. .I., 2010. Physiological studies and comparative analysis of rock phosphate solubilization abilities of Actinomycetales originating from Moroccan phosphate mines and of Streptomyces lividans. Applied Soil Ecology 44. P 24–31 Kapri, A., & Tewari, L., 2010. Phosphate solubilization potential and phosphatase activity of rhizospheric Trichoderma spp. Braz. J. Microbiol. vol.41 no.3 Karagiannidis, A., Theodoseli, M., Malamakis, A., Bilitewski, B., Reichenbach, J., Nguyen, T., Galang, A., Parayno, P., 2010. Decentralized aerobic composting of urban solid wastes: some lessons learned from asian-eu cooperative research.Global NEST Journal, Vol 12, No 4, pp 343-351 Prosiding Semnas II HITPI Page 182 Roy, S. K, Sharma, R. C., Trehan, S. P ., 2001. Integrated nutrient management by using farmyard manure and fertilizers in potato-sunflower-paddy rice rotation in the Punjab. Journal of Agricultural Science 137: 271-278. Rudresh D.L., Shivaprakash M.K., Prasad R.D. 2005. Tricalcium phosphate solubilizing abilities of Trichoderma spp. in relation to P uptake and growth and yield parameters of chickpea (Cicer arietinum L.). Can J Microbiol. 51(3), p 217-22. Sastro, Y., Widianto, D., dan Prijambada, I. D.. 2005. Pengaruh batuan fosfat dan kerapatan inokulum terhadap ketahanan hidup Aspergillus niger dan kemampuannya melarutkan fosfat setelah dipeletkan dengan batua n fosfat. Jurnal Tanah dan Lingkungan, Vol. 7 No.2, Oktober 2005: 77-80 Singh, C.P.,& Amberger, A., 1995. The effect of rock phosphate-enriched compost on the yield and phosphorus nutrition of rye grass. American ournal of Alternative Agriculture10: 02, pp 82-87 Steel R. G. D., Torrie, J. H., 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika: suatu pendekatan biometrik. Sumantri B. penterjemah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Principles and Procedures of Satistics. Suriadikarta, D. A., Setyorini, D., Hartatik, W., 2004. Petunjuk Teknis Uji Mutu Dan Efektivitas Pupuk Alternatif Anorganik. Balai Penelitian Tanah, Puslitbangtanak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Zayed, G., & Abdel-Motaal, H., 2005. Bio-production of compost with low pH and high soluble phosphorus from sugar cane bagasse enriched with rock phosphate. World Journal of Microbiology & Biotechnology. 21:747– 752 Zayed, G., & Abdel Motaal, H., 2004. Bio-active composts from rice straw enriched with rock phosphate and their effect on the phosphorus nutrition and microbial community in rhizosphere of cowpea. Bioresource Technology (in press). Prosiding Semnas II HITPI Page 183