Meninjau Peran Muhammadiyah Pasca Reformasi

advertisement
Meninjau Peran Muhammadiyah Pasca Reformasi Joko Arizal “Hidup-­‐hiduplah Muhammadiyah dan jangan mencari penghidupan dalam Muhammadiyah.” -­‐ KH. Ahmad Dahlan Berakhirnya kekuasaan Orde Baru pada 1998 memberikan angin segar dan kebebasan ruang gerak rakyat Indonesia dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Wujud dari kebebasan ruang gerak itu adalah menjamurnya berbagai organisasi, LSM, komunitas, paguyuban, dan partai-­‐partai politik. Pun dengan organisasi-­‐organisasi lama yang tumbuh pada era Orde Baru, Orde Lama, bahkan pra-­‐kemerdekaan turut merasa lega dari selimut beracun azas tunggal Pancasila ala Orde Baru. Hal itu merupakan bentuk euforia sosial-­‐politik yang tak terelakkan dari proses reformasi. Semua organisasi, komunitas, perhimpunan dan LSM—baik yang lama, maupun yang baru—begitu antusias dalam mengawal proses demokratisasi di Indonesia pasca tergulingnya Orde baru. Masing-­‐
masing organisasi atau perhimpunan menentukan peran sosialnya sendiri. Ada yang bergerak di bidang hukum, politik, sosial, pendidikan, kesehatan, gender dan keagamaan. Peran dari masing-­‐
masing organisasi itu berupaya menciptakan iklim demokrasi yang sehat dan terkonsolidasi dengan baik, sehingga amanat konstitusi untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, dapat terealisasi dan membumi di segala lini kehidupan masyarakat. Organisasi ataupun perhimpunan yang mengambil peran dalam kehidupan berdemokrasi ini kerap juga disebut sebagai civil society (masyarakat sipil). Civil society menurut Leslie Fox, sebagaimana dikutip oleh Goran Hyden dalam Beyond Prince and Merchant: Citizen Participation and the Rise of Civil Society (1997), adalah suatu kekuatan politik aktor non-­‐negara yang berpartisipasi dalam menentukan dan atau mempengaruhi keputusan politik yang menguntungkan hajat hidup orang banyak. Aktor non-­‐negara tersebut biasanya mengacu pada individu-­‐individu warga yang saling terintegrasi dan terhubung yang secara bersama mengawal proses demokratitasi pada suatu negara. Dalam tulisan singkat ini, kita hendak melihat peran salah satu civil society tertua di Indonesia, yaitu Muhammadiyah, yang telah—tepatnya 18 November lalu—memasuki usia ke-­‐103 tahun. Peran yang kita maksudkan di sini adalah kiprah Muhammadiyah dalam proses konsolidasi demokrasi Indonesia pasca reformasi. Setidaknya ada 2 hal yang akan kita diskursuskan, yaitu relasi Muhammadiyah dengan politik dan gender. 1 Muhammadiyah dan Politik Sungguhpun Muhammadiyah pernah terlibat dalam politik praktis, seperti ketergabungannya di Partai Masyumi dan pendirian Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), melalui putusan Mukhtamar ke-­‐
38 Makassar 1971 Muhammadiyah menyatakan netralitasnya terhadap partai politik. Sikap netral itu, hingga saat ini, tetap dan akan selalu dipertahankan. Prinsip netral terhadap partai sebagai upaya menghindari benturan kepentingan antar umat dalam kekuasaan. Partai cenderung berorientasi kepentingan praktis dan bersifat duniwiyah, sedangkan Muhammadiyah memiliki visi membangun umat dan bangsa dalam arti luas. Menurut Amien Rais, sikap Muhammadiyah yang netral dari partai dan menjalankan visinya tersebut menunjukkan bahwa Muhammadiyah memakai high politics. High politics bukan berarti memainkan politik tingkat tinggi, tetapi politik yang berdimensi moral-­‐etis, serta mengutamakan kepentingan publik. Sedangkan low politics adalah praktek politik sebagaimana yang dilakukan oleh partai politik atau dikenal dengan istilah politik praktis yang cenderung mengedepankan vested interest. Kendati bersikap netral terhadap partai, Muhammadiyah tetap memiliki perhatian pada proses politik seperti proses legislasi di parlemen dan pengambilan kebijakan pemerintah. Prinsip netral itu juga bukan berarti Muhammadiyah mencegah dan melarang warga Muhammadiyah terlibat dalam partai politik. Memasuki partai politik adalah hak pribadi tapi tidak memiliki kaitan dengan organisasi. Maka kita tidak heran melihat warga Muhammadiyah yang terlibat dalam politik praktis tersebar di berbagai partai, baik partai berasaskan agama maupun nasionalisme. Salah satu contohnya adalah ijtihad politik Amien Rais untuk mendirikan partai politik. Saat itu, ia tengah menjabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah. Maka dengan rela hati ia melepaskan jabatan tersebut. Kemudian, setelah mendapat restu melalui Tanwir Semarang, Amien mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN) bukan atas nama Muhammadiyah, melainkan pribadi. Dalam rangka menegaskan ketidakterkaitan Muhammadiyah dengan PAN atau partai politik manapun, Amien memberikan prinsip-­‐prinsip yang harus dipegang bagi warga Muhammadiyah berkeinginan terlibat dalam politik praktis dan mengingatkan bahwa Muhammadiyah tidak mendirikan partai politik. Hal ini tertuang dalam keputusan sidang pleno PP Muhammadiyah pada tahun 1998: “Pertama, sampai kapanpun Muhammadiyah tidak akan menjadi partai politik. Kedua secara kelembagaan, Muhammadiyah tidak akan mendirikan partai politik. Ketiga, jika ada warga Muhammadiyah yang hendak memimpin sebuah partai politik hendaknya tidak mengatasnamakan Muhammadiyah, tetapi dalam kapasitas pribadi.” 2 Karena tidak terlibat dalam low politics, Muhammadiyah—sebagaimana dikategorikan Syaifullah dalam opini Syaiful Bakhri, Genealogi Jihad Konstitusi (2015)—menggunakan empat jalur dalam memperjuangan aspirasinya, yaitu: demonstrasi dan kekerasan, hubungan pribadi, perwakilan langsung (formal Institusional), dan saluran formal institusi lain. Realitanya Muhammadiyah menggunakan saluran hubungan pribadi seperti lobi, perwakilan langsung melalui judicial review dan media massa, tapi yang paling dominan adalah lobi. Sedangkan langkah judicial review atau di lingkungan Muhammadiyah dikenal dengan jihad konstitusi baru mulai belakangan ini baru dilaksanakan, yaitu pada masa kepemimpinan Din Syamsuddin. Upaya korektif dilakukan melalui jalur formal dengan mengaju judicial review terhadap UU yang bertentangan dengan UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi (MK). Jihad konstitusi ini merupakan posisi strategis Muhammadiyah untuk mengembangkan gerakan pencerahannya dalam dimensi high politics. Muhammadiyah dan Gender Salah satu badan otonom yang mewadahi pengembangan dan aktualisasi perempuan Muhammadiyah adalah Aisyiyah. Keberadaan Aisyiyah di dalam tubuh Muhammadiyah menunjukkan bahwa Muhammadiyah memiliki kepedulian yang tingga pada perempuan. Badan otonom ini pada awalnya hanyalah kelompok pengajian perempuan (namanya Sopo Tresno) yang dibentuk oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan pada 1914. Kemudian kelompok pengajian ini berkembang dan diresmikan sebagai organisasi perempuan pertama dalam Muhammadiyah pada 1917. Di organisasi ini, perempuan-­‐perempuan Muhammadiyah berkarya dan mengaktualisasikan dirinya, serta terlibat dalam aktivitas sosial-­‐keagamaan, seperti di masa pra-­‐kemerdekaan, Aisyiyah juga terlibat aktif dalam kongres wanita Indonesia (Kowani) pertama pada tahun 1928 di Yogyakarta. Melihat kiprah perempuan dalam Muhammadiyah yang makin aktif, sekiranya perlu kita mengetahui bagaimana pandangan Muhammadiyah tentang perempuan. Perempuan dalam Muhammadiyah tidak identik dengan urusan pengasuhan anak, mengurus dapur dan urusa rumah tangga lainnya, tetapi memiliki tugas dan tanggungjawab yang sama seperti laki-­‐laki. Hal ini dipertegas Yunahar Ilyas, Ketua PP Muhammadiyah periode 2015-­‐2020, dalam Tajdid Muhammadiyah dalam Persoalan Perempuan, bahwa nilai dan kualitas manusia tidaklah ditentukan oleh jenis kelamin, warna kulit, asal-­‐usul penciptaan, tetapi ditentukan oleh prestasinya. Oleh karena itu, laki-­‐laki dan perempuan memiliki peluang yang sama untuk berperan dalam berbagai aspek kehidupan, baik domestik maupun publik, tentu sesuai dengan pilihan masing-­‐masing. Posisi perempuan dalam Muhammadiyah mengalami kemajuan pasca reformasi ketika adanya desakan dari beberapa pihak untuk memasukkan unsur perempuan dalam pimpinan 3 Muhammadiyah. Hal ini tampak pada sidang tanwir Muhammadiyah tahun 2002 di Bali dan tahun 2003 di Makassar dengan menguatnya wacana perempuan dalam struktur pimpinan Muhammadiyah. Wacana itu kemudian berhasil dimusyawarkan dengan keputusan memberi ruang bagi perempuan masuk dalam struktur. Dalam perubahan ART pasal 3, disebutkan bahwa anggota Pimpinan Pusat terdiri dari laki-­‐laki dan perempuan. Pada pasal 5, dikatakan bahwa Pimpinan Pusat dapat mengusulkan tambahan anggota kepada Tanwir, paling banyak separuh dari jumlah Pimpinan Pusat terpilih. Apabila anggota pimpinan pusat terpilih tidak terdapat perempuan, maka calon anggota pimpinan dari perempuan dimasukkan dalam usulan tambahan anggota Pimpinan Pusat. Upaya ini dilakukan untuk menghindari Muhammadiyah menempatkan perempuan pada posisi subordinasi laki-­‐laki dan bagian dari peningkatkan peran strategis perempuan di ruang publik. Setelah menetapkan posisi perempuan dalam struktur pimpinan Muhammadiyah, pada Muktamar ke-­‐46 tahun 2010 di Yogyakarta, Muhammadiyah mengeluarkan keputusan progresif yaitu: pertama, perempuan boleh menjadi Presiden; kedua, dalam keadaan tertentu perempuan diperbolehkan mengimami laki-­‐laki dewasa dalam shalat; dan ketiga, bagi laki-­‐laki sangat tidak dianjurkan berpoligami. Pada bagian ketiga ini, Yunahar Ilyas menekankan pada pimpinan atau pengurus Muhammadiyah mulai dari pusat hingga ranting hendaknya memberi tauladan dengan tidak berpoligami. Keputusan muktamar ini juga ditegaskan Siti Ruhaini dalam disertasi, bahwa Muktamar Muhammadiyah ke 46 tahun 2010 dapat dimaknai sebagai langkah Muhammadiyah melintas zaman, karena pergeseran isu gender yang telah mendekati ideologi kemitra-­‐setaraan (equal partnership) yang terjadi pada ranah teologis dan praksis secara bersamaan. Pada ranah teologis, pengakuan imam shalat perempuan (dengan catatan terbatas pada konteks tertentu) telah mampu meruntuhkan superioritas laki-­‐laki yang absolut dan omnipresent. Pada ranah praksis, masuknya perempuan dalam pimpinan pusat Muhammadiyah, artinya ideologi gender Muhammadiyah telah mampu mendobrak eksklusivitas maskulin perserikatan yang sudah bertahan selama seratus tahun. Keputusan muktamar menunjukkan bahwa Muhammadiyah sudah tidak lagi mempersoalkan kepemimpinan perempuan, baik ranah domestik maupun publik. Selama perempuan memenuhi kriteria-­‐kriteria yang ditetapkan untuk jabatan tersebut, maka tidak ada alasan untuk mempermasalahkan atau mempertentangkannya. Marginalisasi perempuan dari ruang publik yang berlangsung selama ini disebabkan oleh kendala struktur dan kultur yang telah lama dipelihara. Untuk mengatasi kendala itu, diperlukan formulasi kebijakan sosial, ekonomi, politik dan hukum yang sadar gender. 4 Terobosan-­‐terobosan tersebut menunjukkan kepiawaian Muhammadiyah dalam memahami spirit zaman (zeitgeist). Sebab, hanya dengan memahami spirit zaman, lalu mempertautkan dengan visi-­‐
misi organisasi serta mengatur strategi dan taktis itulah yang menentukan eksistensi organisasi. Dengan demikian, keberadaan Muhammadiyah sebagai civil society (masyarakat madani) akan memperkuat konsolidasi demokrasi Indonesia dan menjadi jangkar etik bagi segenap elemen bangsa. Joko Arizal adalah Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sebelumnya, ia menyelesaikan S1 Program Studi Filsafat dan Agama, Universitas Paramadina melalui program Paramadina Fellowship dengan donatur Indika Energy Tbk. Selama mahasiswa, ia terlibat aktif di berbagai organisasi baik intra-­‐kampus maupun ekstra-­‐kampus. Ia juga mengikuti berbagai seminar/training/workshop yang berkaitan dengan diskursus filsafat, kebudayaan, agama, sosial-­‐politik, sastra, sejarah, leadership, dan jurnalisme. Ia sempat mengikuti program internship di Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina dan Majalah Indonesia 2014. Di samping itu, ia menjadi narasumber di berbagai forum diskusi mahasiswa. Email: [email protected] 5 
Download