1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Identitas

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Identitas bagi kebanyakan orang dipahami sebagai hal yang umum,
sekaligus bersifat pribadi karena terkait dengan identifikasi diri. Identitas etnis,
dalam hal ini identitas etnis Tionghoa1, ternyata tidak sesederhana yang
dibayangkan. Selain karena ia merupakan hasil proses „pelabelan politis‟ yang
mempunyai sejarah yang panjang, identitas Tionghoa sejak awal penciptaannya
juga berjalin berkelindan dengan konsep ras, kelas dan agama. Hal ini
menyebabkan identitas Tionghoa tidak saja unik, namun sekaligus kompleks.
Secara lebih spesifik, bisa dikatakan bahwa keunikan tersebut muncul
karena ia terbentuk dalam konteks sejarah Indonesia yang berbeda dengan sejarah
Negara-negara lain. Selain itu, kompleksitas etnis Tionghoa juga terjadi karena
terbentuk melalui proses dialogis yang panjang dengan kelompok-kelomok lain
(Eropa dan Pribumi) dalam konteks sosial ekonomi, politik dan kultutral. Karena
itu, “masalah Tionghoa” bukan merupakan semata-mata warisan kolonial, sebab
yang disebut “Etnis Tionghoa” dan “Pribumi” pada tahap selanjutnya juga
berperan menguatkan sekat-sekat rasial warisan kolonial itu.
Fenomena tersebut misalnya, bisa kita jumpai dalam konsep keindonesiaan
yang
sejak
awal
didefinisikan
sebagai
“kepribumian”
dan
bukan
1
Penggunaan kata “Cina” dan “Tionghoa” secara bergantian sepanjang tulisan ini digunakan secara semantik, tanpa ada
tendensi politik apapun. Karena walau bagaimanapun penulis menyadari bahwa penggunanaan kedua kata tersebut secara
politis, akan memberikan makna yang berbeda. Bagi sebagian orang Tionghoa, penggunaan kata “Cina”, alih-alih
“Tionghoa” bisa bermakna penghinaan.
1
“kewarganegaraan”. Akibatnya, tidak seorang (Tionghoa) pun bisa benar-benar
menjadi Indonesia tanpa terlebih dahulu meninggalkan ke-Tionghoa-annya,
sesuatu yang jelas mustahil. Karenanya, orang Tionghoa yang telah berstatus
warga negara Indonesia pun tetap dipandang sebagai “orang asing” atau
“pendatang” (Chang Yau Hoon, 2012). Di sisi lain, perilaku kultural orang
Tionghoa sendiri, dalam batas tertentu sebagaimana dikemukakan Chang,
mengentalkan streotip Tionghoa di mata pribumi sebagai “orang asing”. Mereka
distigmakan secara sosial sebagai eksklusif, asosial dan kaya. Menurut Araya dkk.
(2002), prasangka terhadap pihak lain, mudah muncul ketika invividu memiliki
referensi-referensi inisial yang sudah tertanam kuat dalam skema kognitifnya. Hal
inilah yang akan membentuk bank data yang tersusun dari ciri-ciri pihak terkait,
sehingga sewaktu-waktu ketika ada peristiwa yang mengaktifkannya, misalnya
kerusuhan massa, maka dalam sekejap semua ciri-ciri itu terlintas dalam kognisi.
Serangkaian tragedi sejarah yang menimpa orang-orang Tionghoa di
Indonesia, secara langsung memengaruhi proses pencarian identitas mereka
(Suryadinata, 2002: 32). Mereka merasa berada di persimpangan jalan,
kebingungan harus memilih jalan mana yang dapat mengantarkan mereka untuk
lebih bisa diterima sebagai bagian dari masyarakat Indonesia. Bachrun dan
Hartanto (2001) melihat krisis identitas di kalangan orang Tionghoa dikarenakan
segala upaya yang mereka lakukan untuk bisa diterima sebagai orang Indonesia
hancur berantakan dalam waktu singkat, seiring meletusnya tragedi Mei 1998.
Merespons situasi pasca-1998, Thung Ju Lan (1998) menemukan setidaknya ada
empat orientasi pembentukan identitas orang-orang Tionghoa di Indonesia.
2
Pertama, mereka menganggap bahwa dirinya adalah orang Tionghoa dan akan
selalu menjadi orang Tionghoa. Kedua, mereka yang merasa telah berhasil
berasimilasi ke dalam masyarakat Indonesia. Ketiga, mereka yang merasa telah
mampu melampaui batas-batas etnis, budaya dan negara. Keempat, mereka yang
menolak proses identifikasi diri berdasarkan motif-motif budaya dan politik.
Susetyo (2002), mencoba melihat proses pencarian identitas yang dilakukan
oleh orang-orang Tionghoa di Indonesia dan berusaha menariknya ke persoalan
yang lebih mendasar, yakni dalam hubungannya dengan kebijakan-kebijakan
tertentu yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pemerintah kolonial Belanda
berkuasa misalnya, perbedaan status etnis antarwarga diberlakukan secara tegas.
Orang-orang Eropa menempati kelas sosial tertinggi dan berhak mendapatkan
fasilitas publik yang paling baik. Orang Tionghoa yang digolongkan sebagai
“Timur Asing” (Vreemde Oosterlingen), berada di posisi kedua bersama orang
Arab dan India. Sementara orang pribumi (inlander) adalah pihak yang paling
dirugikan karena berada pada kelas sosial terendah. Sebagai kelas kedua di
masyarakat, orang-orang Tionghoa menunjukkan kecenderungan merapat kepada
penguasa, tentu dengan maksud mengamankan posisi sosial dan ekonomi mereka.
Sikap seperti ini semakin terlihat terutama pasca tragedi 1740 di Batavia.2
Peristiwa tersebut telah meninggalkan trauma mendalam bagi mereka, sehingga
2
Dalam beberapa literatur, perisitiwa ini juga dikenal sebagai„Tragedi Kali Angke‟.Dalam tragedi ini, tidak kurang dari
10.000 orang Tionghoa yang tinggal di batavia dibantai secara sadis oleh penguasa VOC. Pembantaian dipicu oleh protes
yang dilakukan oleh warga Tionghoa atas pemberlakuan surat ijin tinggal berbatas bagi mereka yang menetap baik di
dalam dan di luar tembok Batavia. Aturan tersebut membuat warga Tionghoa mengalami kebangkrutan, bahkan banyak
diantara pedagang Tionghoa beralih profesi menjadi buruh kasar akibat tidak kuat membayar pajak yang diberlakukan
pemerintahan VOC Belanda. Kemudian muncul ketidakpuasan yang dilanjutkan dengan perlawan terhadap pemerintahan
VOC sehingga sejak September 1740 mulai terjadi kerusuhan-kerusuhan kecil di luar komplek tembok Batavia yang
dilakukan oleh warga Tionghoa. Aksi perlawanan akhirnya memuncak pada 7 Oktober 1740. Saat itu, lebih dari 500 orang
Tionghoa dari berbagai penjuru berkumpul guna melakukan penyerangan ke Kompleks Benteng Batavia. Setelah
sebelumnya menghancurkan pos-pos penjagaan VOC di wilayah Jatinegara, Tangerang dan Tanah Abang secara
bersamaan. Lalu, 8 Oktober 1740, kerusuhan terjadi disemua pintu masuk Benteng Batavia. Ratusan etnis Tionghoa yang
berusaha masuk dihadang pasukan VOC dibawah pimpinan Van Imhoff.
3
wajar saja jika sikap mereka di tahun-tahun setelahnya menjadi lebih lunak di
hadapan penguasa kolonial. Secara sistematis, mereka mulai melakukan mobilitas
sosial, misalnya dengan mengikuti pendidikan ala Eropa, mengenakan pakaian
yang biasa dipakai orang Eropa hingga memeluk agama Kristen atau Katolik yang
nota bene merupakan agama mayoritas orang Eropa.
Di era kemerdekaan, contoh lain dari mobilitas ini bisa dilihat pada
kelompok-kelompok yang memperjuangkan terwujudnya asimilasi menyeluruh
[total assimilation] dengan penduduk pribumi. Satu yang paling mengemuka
adalah anjuran untuk memeluk agama Islam di kalangan orang-orang Tionghoa
Indonesia. Menurut Junus Jahja, salah seorang tokoh utama asimilasi, kondisi
pasca peristiwa 1965 merupakan peluang bagi orang-orang Tionghoa untuk
melakukan pembauran. Pembauran yang lebih tepat untuk konteks Indonesia,
lanjut Jahja, adalah dengan memeluk agam Islam, karena tidak bisa dipungkiri,
Islam merupakan representasi paling nampak dari identitas golongan pribumi
Indonesia. Asumsinya, dengan memeluk Islam, orang-orang Tionghoa tentu akan
lebih mudah diterima oleh golongan pribumi, karena mereka telah memiliki
kesamaan identitas sebagai umat Islam (Jahja, 1982: 15).
Demi memperkuat pendapatnya, mereka kemudian merujuk data sejarah
yang mengungkapkan bahwa keberadaan orang-orang Tionghoa Muslim di
Indonesia, sebenarnya bukanlah fenomena baru. Jauh sebelum Belanda menjajah
negeri ini, orang-orang Tionghoa Muslim telah terlebih dahulu hadir dan lambat
laun membangun kawasan-kawasan koloni di sepanjang kota-kota pesisir di
Nusantara. Mereka umumnya para imigran laki-laki yang datang bergelombang
4
dalam kelompok-kelompok kecil, digerakkan oleh motif memperbaiki taraf hidup,
menyelamatkan diri dari ancaman bencana alam, atau menghindari konflik politik
di negeri mereka. Kebanyakan imigran ini datang dari daerah-daerah seperti
Guanzhou dan Guangdong. Kehadiran mereka umumnya disambut baik oleh
penduduk Nusantara. Bahkan dari interaksi tersebut, terjadi perkawinan campur
dengan perempuan-perempuan pribumi yang melahirkan keturunan yang disebut
generasi Tionghoa peranakan (Jacobson, 2003).
Sejarah di atas membuktikan bahwa orang-orang Tionghoa Muslim jaman
dulu sudah berhasil melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi. Kondisi
tersebut terus berlangsung hingga Belanda menginjakkan kakinya di Nusantara.
Hubungan harmonis antara orang-orang Tionghoa dan penduduk pribumi praktis
berakhir setelah Belanda menerapkan politik pecah belah (devide et impera) untuk
merusak hubungan keduanya. Kebijakan inilah yang berangsur-angsur membuat
etnis Tionghoa terpisah dengan penduduk pribumi (Susetyo, 2002).
Kebijakan
diskriminatif
tersebut
kemudian
ditindaklanjuti
dengan
dikeluarkannya peraturan yang memasukkan orang-orang Tionghoa ke dalam
kelompok pribumi (inlader) jika mereka ketahuan mempraktekkan hal-hal yang
berhubungan dengan masyarakat pribumi, baik itu tradisi, adat istiadat, maupun
memeluk agama (Islam) yang dianut oleh kelompok pribumi. Dengan demikian,
orang-orang Tionghoa yang memeluk Islam secara otomatis akan diturunkan
derajatnya menjadi sama dengan penduduk pribumi (The Siauw Giap, 1993: 7275).
5
Konsekwensi lanjutan dari peraturan tersebut adalah kecenderungan di
kalangan orang-orang Tionghoa non Muslim untuk tidak mengakui anggota
keluarga mereka yang memeluk Islam, karena Islam dianggap identik dengan
penduduk pribumi yang bodoh, miskin dan terbelakang (Ali, 2007). Kondisi inilah
yang dianggap sebagai awal dari merenggangnya hubungan antara masyarakat
pribumi dan golongan Tionghoa dan sekaligus membentuk pola yang cenderung
antagonistik.
Beragam stereotip negatif tentang islam yang dikaitkan dengan penduduk
pribumi hingga sekarang masih berkembang di kalangan orang-orang Tionghoa,
sebut saja terbelakang, miskin, bodoh, pemalas, tidak toleran dan sebagainya
(Jacobson, 2003). Karena faktor itu pula kebanyakan keluarga Tionghoa di
Indonesia kurang simpatik terhadap anggota keluarga mereka yang masuk Islambahkan sering kali berujung pada penolakan sebagai bagian dari keluarga sendiri
(The Siauw Giap, 1993: 83-84). Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa
sejarah keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia merupakan sejarah perjuangan
untuk mendapat pengakuan dan penerimaan dari masyarakat pribumi. Sebagai
kelompok pendatang, mereka dituntut mampu beradaptasi dengan kondisi-kondisi
yang berlaku di negara baru yang mereka diami agar kehadirannya bisa diterima
oleh masyarakat pribumi. Salah satunya adalah dengan memeluk agama Islam.
Ketertarikan saya untuk meneliti keberadaan etnis Tionghoa muslim di
Makassar juga didasarkan pada asumsi awal bahwa etnis Tionghoa muslim telah
mengalami stereotip berlapis. Pertama, sebagai entitas yang tidak terpisahkan dari
kebudayaan Tionghoa, mereka tetap akan dianggap sebagai “orang asing” atau
6
“pendatang” oleh Pribumi. Akibatnya, meskipun mereka telah menjadi “anggota”
kelompok etnis pribumi dengan memeluk agama Islam sebagai agama mayoritas,
mereka belum benar-benar dipandang menjadi Indonesia. Kedua, dengan
berpindah keyakinan [agama], mereka telah dianggap bukan merupakan bagian
dari keluarga besar etnis Tionghoa. Dengan kata lain, mereka dianggap telah
menanggalkan identitas Tionghoa, terutama yang berkaitan dengan agama dan
budaya leluhur. Ali (2007) menyebut mereka ini sebagai “minoritas” dari yang
“minoritas” (a minority’s minority). Sebagai orang Tionghoa mereka adalah
minoritas di hadapan mayoritas penduduk pribumi. Sementara sebagai Muslim
mereka menjadi minoritas di tengah-tengah golonga mereka yang umumnya nonmuslim.
1.2. Rumusan Masalah
Bertitiktolak dari paparan latar belakang di atas, maka problematisasi yang
diajukan dalam penelitian ini akan dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut:
Bagaimana etnis Tionghoa muslim mengonstruksi identitas mereka di
hadapan orang Tionghoa non muslim dan orang muslim non Tionghoa?
Selanjutnya untuk mempertajam rumusan masalah tersebut, peneliti akan
menguraikannya menjadi sub-sub pertanyaan sebagai berikut:
 Sejak kapan komunitas Tionghoa Muslim ada di Makassar? Apa saja
yang mendorong munculnya komunitas muslim tersebut?
 Bagaimana orang Tionghoa muslim di Makassar menampilkan identitas
keislamannya dalam kehidupan sehari-hari?
7
 Bagaimana interaksi Tionghoa muslim dengan sesama Tionghoa non
muslim dan dengan sesama muslim non Tionghoa?
1.3. Tujuan Penelitian
Sebagaimana pernyataan dalam rumusan masalah di atas, maka tujuan
penelitian ini adalah untuk menjawab rumusan pertanyaan tersebut, yakni dengan
mengurai ekspresi identitas keislaman etnis Tionghoa muslim yang ada di
Makassar.
1.3.1 Manfaat Penelitian
 Manfaat teoritis (akademis)
Riset ini diharapkan dapat mengungkap sekaligus menjelaskan bentuk
akulturasi antara Tionghoa Muslim dan Muslim non Tionghoa, di mana
akulturasi yang terjadi merupakan bentuk akulturasi dua lapis. Pada lapis
pertama, Tionghoa Muslim mengakulturasikan antara keislaman dengan
ketionghoaan. Pada lapis kedua, keislaman dan ketionghoaan yang telah
terakulutrasi itu, diakulturasi kembali dengan budaya masyarakat
setempat. Manfaat lain kajian ini adalah sebagai wacana yang diharapkan
akan memperkaya perspektif dengan warna yang lebih dekat pada ranah
cultural studies.
 Manfaat Praktis
Selama ini, kajian mengenai keberadaan etnis Tionghoa muslim, belum
banyak menarik minat para peneliti. Padahal peran dan keberadaan mereka
8
bisa menjembatani terbangunnya harmonisasi yang terkait dengan isu
rasial. Tentunya dengan riset ini, diharapkan akan membuka wacana bagi
para pemangku kebijakan dan pihak terkait lainnya.
1.4. Tinjauan Pustaka
Kajian tentang etnis Tionghoa di Makassar sudah banyak dilakukan baik
oleh kalangan akademisi maupun praktisi. Namun sejauh pengamatan penulis,
sangat sedikit penelitian yang benar-benar fokus mengkaji keberadaan etnis
Tionghoa Muslim dalam perspektif cultural studies. Penelitian yang mengambil
topik etnis Tionghoa Muslim itu diantaranya, dilakukan oleh Aminuddin Ram
yang berjudul: Alih Agama di Kalangan Etnik Tionghoa: Studi Kasus Mualaf
Tionghoa di Makassar. Penelitian
ini mengeksplorasi proses alih agama di
kalangan etnik Tionghoa dengan berfokus pada aspek tahapan, motif, tipe alih
agama, dan orientasi nilai budaya mualaf Tionghoa serta konformitasnya dengan
nilai budaya Islam.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konteks makro dan konteks mikro
sangat besar pengaruhnya terhadap proses alih agama di kalangan mualaf
Tionghoa. Pengaruh tersebut bisa bersifat mendorong, namun bisa pula bersifat
menghambat. Penelitian ini juga mengungkap bahwa mayoritas mualaf Tionghoa
dapat digolongkan sebagai pencari agama aktif, yang didorong oleh motif
intelektual. Penelitian ini juga mengkonfirmasi bahwa pertimbangan rasional juga
mempengaruhi para mualaf dalam menentukan sikap. Hampir semua mualaf
tersebut termasuk dalam kategori tipe transisi tradisi dan pada tahap pasca
9
komitmen terjadi transformasi ke tipe intensifikasi. Kajian ini pun menunjukkan
tingkat konformitas orientasi nilai budaya mualaf Tionghoa dan nilai budaya
Islam, yang berada pada kedudukan tinggi.
Penelitian lain yang mengangkat topik serupa dilakukan oleh Afthonul Afif
berjudul Identitas Tionghoa Muslim Indonesia:Pergulatan Mencari Jati Diri.
Dengan pendekatan psikologis, hasil kajian ini menunjukkan bahwa komnuitas
Tionghoa muslim tidak homogen. Studi Afif ini menegaskan bahwa dalam
komunitas muslim Tionghoa, berbagai variasi muncul dan berkembang
sedemikian massifnya, sehingga mereka tidak bisa dikatakan monolitik. Sebagai
entitas yang tidak homogen, dalam kehidupan sehari-hari, mereka tersegragasi ke
dalam kategori-kategori yang beragam, berdasarkan latar belakang ekonomi,
sosial-budaya, rentang usia, gender, pendidikan, tempat tinggal dan sebagainya.
Dengan demikian, sungguh gegabah jika kemudian mereka dipandang sebagai
kelompok yang membawa beban sosial dan ekspresi identitas yang sama. Dengan
begitu, cara pandang ini, sekaligus telah berkontribusi membongkar prasangka tak
berdasar tentang etnis Tionghoa di Indonesia.
Namun demikian, penentuan konteks situasi dan pelibatan pihak yang
diteliti dengan sendirinya ikut memberikan batasan-batasan tertentu, sehingga
tidak merepresentasikan kondisi golongan Etnis Tionghoa Muslim Indonesia
secara keseluruhan. Dengan kata lain, kajian tersebut belum memberikan
pemahaman dan penjelasan yang memadai mengenai proses dan dinamika
pembentukan identitas golongan Tionghoa Muslim secara menyeluruh. Begitu
pun penggunaan perspektif teoretis dan metode tertentu yang pada kenyataannya
10
juga telah menghasilkan jenis temuan yang lebih spesifik yang kurang mampu
menjelaskan fenomena di luar kerangka tersebut.
Studi lain tentang etnis Tionghoa muslim juga dilakukan oleh Rezza
Maulana. Dengan menyorot keberadaan Tionghoa muslim di Yogyakarta, studi
Rezza ini menunjukkan munculnya fenomena “Tionghoa Muslim” yang
signifikan, dalam arti orang Tionghoa yang memeluk islam, namun pada saat yang
sama, mempertahankan bahkan menonjolkan identitas ke-Tionghoa-annya. Fakta
unik yang ditemukan dalam penelitian ini adalah perayaan Imlek di masjid yang
dimulai pada 2005 (Maulana: 2010), disertai tanggapan beragam muslim nonTionghoa, ikhwal ritual “hibrid” tersebut. Spirit dari fenomena seperti ini bisa
pula ditemui pada beberapa masjid yang didirikan oleh beberapa pengurus
Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) di beberapa wilayah di Indonesia.
Alih-alih memberinya nama yang berbau Arab, masjid tersebut malah diberi nama
“Muhammad Cheng Ho”, nama yang mengacu pada tokoh muslim Tiongkok yang
melakukan muhibah ke Nusantara beberapa abad silam. Pemilihan nama sekaligus
arsitektur masjid yang mengacu pada masjid di Beijing ini, seolah hendak
menegaskan identitas ke-Tionghoa-an para pendirinya (Kwartanada dalam
Maulana, 2010: 19).
Studi ini juga mengkonfirmasi bahwa situasi dan perkembangan sosial
masyarakat Cina di tanah leluhur mempengaruhi situasi orang-orang Cina
(Huaren) yang sudah menetap di tanah rantau, dalam batas tertentu3. Meskipun
3
Hua-jin (Hokkian) atau Hua-ren(Mandarin) adalah istilah untuk menyebut seluruh orang keturunan Cina dimanapun
mereka berada, tanpa memandang kewarganegaraan. Sebelum Tiongkok mengubah kebijakannya terkait kewarganegaraan,
seluruh warga keturunan Tionghoa di seluruh dunia, diklaim sebagai warga negaranya. Orang-orang Tionghoa di Indonesia
yang telah melepas kewarganegaraan RRT mereka dapat disebut Huaren, Huayi atau Waiji Huaren, namun tidak dapat
lagi disebut Hua-kiao atau Hua-qiao. Dalam bukunya “Hoakiau di Indonesia”, Prammoedya Ananta Toer menggunakan
11
responnya bisa sangat berlainan sesuai dengan situasi dan kondisi sosial politik
setempat. Secara umum, kajian ini juga menjelaskan beberapa momentum penting
bagi hubungan dan perkembangan orang Tionghoa pada umumnya dan khususnya
Tionghoa muslim di Yogyakarta. Aspek kehidupan orang Tionghoa muslim,
seperti profesi, aktivitas sosial, organisasi dan pendidikan, juga dibahas dalam
kajian ini, yang berbasis pada pengalaman individu dan kecenderungan orang
Tionghoha muslim dalam menyikapi hidup. Berbagai pengalaman subjektif yang
muncul, setidaknya membentuk pengalaman intersubjektif yang pada gilirannya
bergerak menuju sebuah tataran sosiohistoris faktual dan kontekstual, khas
Yogyakarta.
Penelitian yang dilakukan oleh Sumanto Al Qurtubi tentang Cina dan
Proses Islamisasi Jawa, juga menarik untuk dicermati. Dengan menggunakan
pendekatan sejarah, Sumanto menunjukkan upaya sistematis rejim penguasa yang
berusaha membungkam fakta historis Cina Islam nusantara, di jawa khususnya.
Sumanto menyebut pembungkaman terhadap sejarah dan peran Cina Islam begitu
efektif, sehingga memunculkan semacam anomali bahwa keberadaan Cina Islam
merupakan fenomena asing, aneh dan berasal dari dunia lain (Al Qurtubi, 2003).
Selain penelitian yang dilakukan oleh para sarjana non-Tionghoa di atas,
ada pula beberapa penelitian tentang Tionghoa muslim yang dilakukan oleh
sarjana Tionghoa, diantaranya adalah penelitian Wai Weng Hew yakni,
“Negotiating Etnicity and Religiosity: Chinese Muslim Identities in Post New
kata “Hoakiau”secara inovatif, yang berasal dari sitilah Tionghoa yang muncul pada masa itu. Menurut Pram, Hoakiau di
Indonesia adalah semua warga keturunan yang lahir di Indonesia. Adapun Benny G Setiono menyebut bahwa Hoakiau
adalah semua warga Negara Tiongkok yang tinggal di Negara-negara di luar daratan Tiongkok. Sedangkan Huaren adalah
orang-orang yang nenek moyangnya berasal dari daratan Tiongkok, tetapi telah menjadi warga Negara di Negara-negara
tempat mereka tinggal. Khusus untuk orang-orang Tionghoa di Indonesia, Benny menybutnya sebagai Huayi.
12
Order Indonesia, (2011)” dan “Expressing Chinese, Marketing Islam (2012)”.
Dalam penelitian pertamanya, Hew menguraikan dan menganalisis munculnya
identitas budaya Cina Muslim pasca Orde Baru di Indonesia. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa meskipun secara kuantitas, jumlah Tionghoa Muslim relatif
kecil, namun dengan mengkaji identitas mereka dapat membantu kita untuk lebih
memahami „kebangkitan Islam‟ dan „euforia Cina‟ di Indonesia saat ini,
setidaknya pasca era Orde Baru. Hal yang akan memperluas wawasan dan
pemahaman kita di tengah keterbatasan kosmopolitanisme etnis dan agama.
Ada tiga poin penting yang menjadi titik tekan penelitian ini. Pertama,
kemunculan budaya Tionghoa Muslim mencerminkan penerimaan budaya
Tionghoa dalam masyarakat Indonesia, dan toleransi Islam terhadap ekspresi
budaya yang berbeda. Kedua, meskipun dicakup oleh stereotip etnis dan
konservatisme agama, budaya Tionghoa Muslim merangkul semacam bentuk
keterbatasan ketionghoaan yang inklusif dan Islam kosmopolitan, di mana
penegasan identitas Tionghoa dan religiusitas Islam tidak selalu berarti pemisahan
rasial dan pengucilan agama. Ketiga, budaya Tionghoa Muslim mendamaikan
ketidaksesuaian yang dirasakan antara Islam dan ke-tionghoa-an, serta membuka
lebih banyak ruang untuk kontestasi identitas, meskipun tidak selalu ditempatkan
dalam konteks wacana islam yang pluralis.
Kendati demikian, temuan lain dari penelitian ini juga mengungkap adanya
paradoks dalam proses negosiasi etnisitas dan religiusitas di kalangan Tionghoa
Muslim. Di satu sisi, terjadi peningkatan penerimaan keragaman budaya dan
agama di antara banyak pemimpin muslim, namun di sisi lain, ada juga
13
peningkatan intoleransi dari proses pembauran agama dan perbedaan intra-agama
dalam beberapa bagian dari masyarakat muslim Indonesia. Secara umum,
penelitian ini menggunakan konsep kesalehan fleksibel untuk memeriksa
mencairnya
religiusitas
Islam
dan
beberapa
konsep
identifikasi
untuk
mengungkap pergeseran nilai-nilai etnisitas di kalangan mualaf Tionghoa Muslim,
sesuai dengan konteks kehidupan mereka.
Sedangkan dalam “Expressing Chinese, Marketing Islam”, Hew lebih
menyorot
perihal
penggunaan
simbol-simbol
ke-tionghoa-an
oleh
para
penceramah yang nota bene adalah etnis Tionghoa yang berpindah agama ke
Islam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada korelasi antara proses
komodifikasi dalam hal penampilan identitas di ruang publik dan penampilan
identitas keseharian para penceramah tersebut. Dengan kata lain, mereka
(penceramah/ulama) telah “menjual” ketionghoaan, namun tidak hidup dengan
cara-cara yang lazim dipakai oleh orang Tionghoa pada umumnya. Sebagaimana
yang digambarakan oleh Hew dalam penelitian ini bahwa tiga dari lima
penceramah, yakni Koko Lim, Tan Mei Hwa dan Anton Medan, secara sadar
menggunakan identitas ketionghoaan dan keislaman secara bersamaan demi
menarik minat penonton. Kombinasi elemen Tionghoa dan Islam dalam
berceramah, menurut Hew, bisa dibaca sebagai sebuah bentuk “penampilan
hybrid” antara ke-tionghoa-an dan keislaman yang merupakan bentuk
penggabungan yang disengaja, meski tidak selalu mencerminkan identitas
keseharian mereka.
14
Dalam hal membangun citra pemberitaan terkait keulamaan, mereka
memilih untuk menunjukkan keseharian mereka sebagai figur yang “lebih muslim
dibanding muslim Indonesia yang lain” dan “lebih cina dibanding cina non
muslim yang lain”. Alih-alih menunjukkan jati diri, mereka malah menampilkan
sebuah pesona publik dengan simbol-simbol atau atribut yang berhubungan
dengan ke-cinaa-an, semisal pakaian tradisional cina. Denga kata lain, mereka
selalu belajar untuk menampilkan kecinaan seotentik mungkin dan di saat
bersamaan juga menampilkan kesalehan sebagai muslim. Tanpa disadari, proses
inilah yang kerap bermuara pada esensialisasi idenitas budaya (Tionghoa) dan
berkontribusi pula terhadap sebuah pemahaman kritis islam.
Sarjana Tionghoa lain yang penelitiannya berkaitan dengan wacana
Tionghoa muslim adalah Syuan-yuan Chiou. Dalam “A Controversy surrounding
Chinese Indonesian Muslim: Practice of Imlek Salat in Central Java”, Chiou
menemukan bahwa ekspresi keislaman bagi para Tionghoa Muslim ini, terbagi
dalam dua bentuk. Pertama, penggunaan argumen historis untuk menemukan
warisan sejarah dari Tiongoha Muslim dalam narasi sejarah makro islamisasi di
Jawa. Hal ini dilakukan dengan menghubungkan sejarah muslim Cina pada abad
kelima belas dan abad keenam belas. Kedua, Tionghoa Muslim di Indonesia mulai
mempraktekkan islam dalam contoh yang konkrit. Hal ini mislanya mereka
lakukan dengan membangun masjid yang bergaya khas "Cina". Mereka juga
memainkan musik populer islami, nashid, dengan lirik mandarin dan berpakaian
khas Cina. Mereka juga mulai mewacanakan ritual baru dalam ibadah agam Islam
dengan ritual yang berhubungan dengan terapi kesehatan yang ada di daratan
15
Cina serta penggunaan salat sebagai ritual umum untuk merayakan tahun baru
Cina, yang dikenal secara lokal di Indonesia sebagai Imlek. Praktik salat sebagai
bagian dari perayaan selama tahun baru Cina inilah yang disebut sebagai “salat
imlek”.
Penelitian ini juga mengkonfirmasi bahwa perdebatan seputar salat imlek,
menyebabkan
kalangan
Tionghoa
Muslim
mengalami
kesulitan
untuk
menentukan pandangan mana yang pantas untuk diadopsi, mengingat begitu
banyak kontroversi yang terlibat di dalam perdebatan perihal salat imlek. Selain
itu, kalangan Tionghoa Muslim sendiri harus menghadapi tekanan, di mana
mereka benar-benar “di-liyankan” oleh kalangan Islam mayoritas (pribumi). Hal
ini dikarenakan meningkatnya protes kalangan Islam pribumi untuk beberapa
aspek dari perayaan Imlek yang didasarkan pada ide-ide keagamaan Khong Hu
Chu. Sebagai sebuah etnik minoritas yang menganut agama mayoritas, cina
muslim indonesia harus menghadapi kritik, bahkan lebih parah ketika ritual
mereka semisal „salat imlek‟ tersebut berlangsung dalam masyarakat mayoritas
muslim yang tidak toleran terhadap praktik ritual sinkretis di dalam agama Islam.
Ada pun penelitian yang dilakukan oleh Darwin Darmawan (2012) dengan
topik “Identitas Hibrid Orang Cina” bisa dikatakan lebih memiliki kedekatan
dengan ranah cultural studies, meski fokusnya mengkaji keberadaan komunitas
Cina Kristen. Dengan menggunakan perspektif non esensialis tentang identitas,
serta sejumlah konsep dalam teori-teori poskolonial, misalnya seperti „hibriditas‟,
„ruang ketiga‟ dan „ambivalensi‟, Darwin menjelaskan pokok perkara yang
menjadi fokus penelitiannya. Identitas dalam kajian Darwin, tidak hanya dipahami
16
sebagai suatu “sense of self” yang terberi, alami dan diterima begitu saja; namun
di sisi lain, identitas juga tidak dipahami sebagai sesuatu yang sepenuhnya
dikonstruksikan
secara
sosial
(socially
constructed),
sebagaimana
yang
ditawarkan dalam perspektif anti esensialis yang juga merupakan roh dari
perspektif cultural studies. Perspektif non-esensialis berupaya melampaui
keduanya; atau bermain secara kreatif di antara kedua perspektif ekstrem tersebut.
Artinya, bahwa identitas itu terberi memang diakui, tapi tidak sepenuhnya. Begitu
pula bahwa identitas merupakan hasil konstruksi sosial, jelas juga diakui, namun
tidak bisa pula diterima secara total.
Berdasarkan paparan penelitian terdahulu yang mengangkat topik tentang
etnis Tionghoa Muslim, perlu ditekankan bahwa penelitian yang saya lakukan
memiliki
perbedaan
dengan
penelitian-penelitian
sebelumnya,
terutama
menyangkut problematisasi identitas etnis Tionghoa Muslim di Makassar.
Problematisasi itu menyangkut upaya-upaya yang dilakukan oleh orang-orang
Tionghoa Muslim dalam mengonstruksi identitas, baik di hadapan orang-orang
Tionghoa non Muslim maupun di hadapan orang-orang Muslim non Tionghoa.
Perbedaan lain dalam penelitian saya adalah upaya untuk menguraikan
keberagaman interaksi yang dibangun oleh orang-orang Tionghoa Muslim baik
secara
invidu
maupun
kelompok.
Terakhir,
penelitian
ini
juga
akan
mengungkapkan bentuk akulturasi yang muncul dari interaksi dua kebudayaan
yang berbeda.
17
1.5. Landasan Teori
Untuk menjawab pertanyaan pada rumusan masalah penelitian ini, penulis
akan menggunakan konsepsi Stuart Hall mengenai identitas. Menurutnya,
identitas tidak pernah tunggal tetapi berbentuk secara bergelombang lintas
wacana, praktik dan posisi yang berbeda-beda. Kesemuanya itu merupakan
produk perkembangan sejarah, dan terus menerus berproses, yang diwarnai
perubahan dan transformasi. Hall mendefinisikan identitas sebagai proses yang
terbentuk melalui sistem bawah sadar. Sistem bawah sadar berjalan melalui waktu
dan membentuk bayangan imajiner yang tidak pernah menemui titik akhir. Dalam
kaitan ini, Hall lebih menilai identitas sebagai proses menjadi (becoming)
daripada nilai baku atau taken for granted.
1.5.1. Identitas Budaya
Dalam buku, Identity, Community, Culture, Difference, Stuart Hall
berpendapat bahwa identitas budaya bukanlah sesuatu yang jelas dan tanpa
masalah karena identitas budaya adalah suatu produk yang tidak pernah selesai,
selalu dalam proses pembentukan dan terbentuk dalam suatu representasi.
Representasi ini pun berada dalam proses yang terus menerus dan bersifat
personal dan lebih nyata dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Hall, ada dua cara
untuk memikirkan tentang identitas budaya.
Pertama, dengan memosisikan identitas budaya dalam satu budaya yang
sama, secara kolektif dengan menyembunyikan hal lain secara paksa dengan
orang-orang yang mempunyai sejarah dan keturunan yang sama. Identitas budaya
18
di sini memaksakan orang-orang tersebut sebagai one people yang stabil dan tidak
berubah. Identitas di sini adalah identitas yang bersifat esensialis. Kathryn
Woodward menjelaskan bahwa identitas yang bersifat esensialis: suggest there is
one clear, authentic set of characteristics which all share and which do not alter
across time (Woodward, 1997: 11). Dengan demikian, identitas esensialis adalah
identitas yang mempunyai satu karakteristik yang sama seperti sejarah dalam satu
budaya.
Kedua, memosisikan identitas budaya dengan mengakui adanya persamaan
dan perbedaan. Identitas di sini adalah identitas yang non esensialis yang fokus
kepada perbedaan dan juga persamaan karakteristik. Dalam pengertian yang
kedua ini, Hall menjelaskan bahwa identitas budaya adalah persoalan bagaimana
seseorang membentuk dirinya seperti sebagai becoming dan being (Cultural
Identity dan Diasporan dalam Identity, Community, Cultural Difference, 53).
Identitas budaya masuk ke dalam dunia masa depan sekaligus dunia masa
lalu. Di sini dijelaskan bahwa identitas budaya sangat bergantung kepada
bagaimana seseorang menjadikan identitas budaya itu sebagai sebuah posisi dan
bukan esensi, sehingga orang itu dapat menjadi “siapa saja” di mana pun ia
berada. Hall menjelaskan mengenai identitas budaya yang masalah identifikasinya
bersifat tidak tetap. Identitas adalah sesuatu yang tidak pernah berhenti
pembentukannya, bukan hanya sesuatu yang „ada‟, namun sesuatu yang terus
„menjadi‟. Lebih jauh, Hall menunjukkan posisinya dalam pengertian identitas
sebagai sesuatu yang cair dan terus mengalami pembentukan,
“Cultural identity is not a fixed essence at all, lying unchanged out side
history and culture. It is not some universal and transcendental spirit
19
inside us on which history has made no fundamental mark… it has its
histories –and histories have their real, material and simbolyc effects”
(Stuart Hall, 1990: 227).
Hall menegaskan bahwa identitas bukan sesuatu yang kaku dengan
karakteristik tetap yang tidak berubah dari zaman ke zaman. Identitas adalah
sesuatu yang terus menerus dibentuk dalam kerangka sejarah dan budaya, sesuatu
yang diposisikan pada suatu tempat dan waktu, sesuai dengan konteks. Pencarian
identitas seseorang selalu terkait dengan permasalahan bagaimana orang tersebut
berusaha menempatkan dirinya (positioning) dalam suatu lingkup masyarakat
yang telah menempatkan dirinya dengan lingkup lain (being positioned). Hal ini
juga berkaitan erat dengan persamaan dan perbedaan dalam identitas budaya.
Perbedaan dan persamaan inilah yang ada dalam cakupan identitas budaya.
Identitas juga dipaparkan oleh Hall sebagai suatu hal yang selalu berubah dan
tidak pernah tetap. Oleh karena itu, seseorang dapat mengalami perubahan
identitas seiring dengan kehidupannya.
1.5.2. Dramaturgi
Kemudian untuk menganalisis interaksi yang terjadi antara etnis Tionghoa
Muslim dengan komunitas di luar mereka, penulis juga akan menggunakan teori
Dramaturgi dari Ervin Goffman. Dalam bukunya yang kemudian terkenal sebagai
salah satu sumbangan besar bagi teori ilmu sosial The Presentation of Self in
Every Day Life, Goffman yang mendalami fenomena interaksi simbolik
mengemukakan kajian mendalam mengenai konsep Dramaturgi.
20
Teori dramaturgi menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil
dan merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri, dari setiap identitas
tersebut. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi
dengan orang lain. Disinilah dramaturgi masuk dan menguasai interaksi tersebut.
Dalam dramaturgi, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater.
Manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal
dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”.
Untuk mencapai tujuannya, menurut konsep dramaturgi, manusia akan
mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung peran tersebut. Layaknya
pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan juga harus mempersiapkan
kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting,
kostum, penggunaan kata (dialog) dan tindakan non-verbal lain. Hal ini tentunya
bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan
memuluskan jalan mencapai tujuan. Dengan konsep dramaturgis dan permainan
peran yang dilakukan oleh manusia, terciptalah suasana-suasana dan kondisi
interaksi yang kemudian memberikan makna tersendiri.
Ketika seorang Tionghoa Muslim menjalin interaksi dengan komunitas di
luar mereka, segala bentuk tindakan atau penampilan akan dibatasi sebagai pola
yang telah ditetapkan sebelumnya. Ini terungkap pada saat seorang Tionghoa
Muslim melakukan tindakan atau penampilan (performance) yang diungkapkan
pada kesempatan lain. Ia dapat saja menyajikan suatu „pertunjukan‟ bagi orang
lain, namun kesan (impression) orang lain terhadap „pertunjukan‟ tersebut dapat
berbeda-beda. Seseorang dapat bertindak sangat meyakinkan atas tindakan yang
21
diperlihatkannya, walaupun pada kenyatannya perilaku keseharian orang tersebut
tidak mencerminkan tindakan atau perilaku yang demikian.
Segala tindakan atau penampilan seorang Tionghoa Muslim akan berbeda
ketika ia berhadapan secara fisik baik dengan sesama Tionghoa non-muslim dan
muslim non-Tionghoa. Ia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang
mendukung perannya tersebut. Dalam mengembangkan perilaku tersebut, perlu di
bedakan antara panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back
stage).
Panggung depan ini merupakan bagian penampilan individu yang secara
teratur berfungsi sebagai metode umum untuk tampil di depan publik sebagai
sosok yang ideal, sebagaimana yang dikatakan Goffman (dalam Supardan, 2011:
158), sebagai tindakan yang bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada
lawan interaksi demi memuluskan jalan mencapai tujuan. Dengan kata lain,
panggung depan ini adalah kesempatan sosial atau perjumpaan ketika individu
memainkan peran formalnya. Adapun panggung belakang terdapat sejenis
„masyarakat rahasia‟ yang tidak sepenuhnya dapat dilihat di atas permukaan.
Panggung belakang ini benar-benar mirip dengan wilayah belakang panggung
(baca: teater). Tradisi dan karakter yang ditampilkan dalam wilayah ini sangat
berbeda dengan apa yang ditampilkan di panggung depan.
1.5.3. Liminalitas
Sebagai upaya memahami objek kajian sekaligus menguraikan dinamika
yang terjadi, peneliti juga menggunakan konsep yang relevan dalam pembahasan
22
dan diskusi teoritis. Dalam kaitan ini, konsep “liminalitas” yang diungkapkan
Homi K Bhabha dalam The Location of Culture, sangat membantu dalam
menjelaskan proses „interaksi‟ yang terjadi antara kebudayaan Islam dan
Tionghoa. Menurut Bhabha, identitas budaya bukanlah identitas bawaan yang
dibawa sejak lahir (given) dari kekosongan. Identitas kultural bukan pula entitas
yang ditakdirkan, tidak bisa direduksi atau ciri historis yang menetapkan konvensi
kultural. Pandangan oposisi biner “penjajah” dan “terjajah” tidak lagi dipahami
sebagai sesuatu yang terpisah satu dari yang lainnya dan masing-masing berdiri
sendiri. Bhabha mengungkapkan bahwa negosiasi kultural mencakup perjumpaan
dan pertukaran tampilan budaya yang terus menerus yang pada saatnya akan
menghasilkan pengalaman timbal balik akan perbedaan budaya (Bhabha, 2007).
Bahwa bukan hanya yang terjajah yang mengambil atau meniru kaum penjajah,
dalam beberapa hal, kaum penjajah pun mengambil atau meniru dari kaum
terjajah, meskipun dalam porsi yang lebih sedikit.
Bhabha mengaskan bahwa baik penjajah maupun terjajah tidak independen
satu sama lain. Relasi-relasi kolonial distrukturkan oleh bentuk-bentuk
kepercayaan yang beraneka dan kontradiktif. Menurut Bhabha, antara penjajah
dan terjajah terdapat “ruang antara” yang memungkinkan keduanya untuk
berinteraksi. Diantara keduanya terdapat ruang yang longgar untuk suatu
resistensi (Bhabaha, 2007: 4). Konsep liminalitas Bhabha digunakan untuk
mendeskripsikan suatu “ruang antara” di mana perubahan budaya dapat
berlangsung, yaitu ruang antar-budaya di mana strategi-strategi kedirian personal
maupun komunal dapat dikembangkan. Dapat pula dilihat sebagai suatu proses
23
gerak dan pertukaran antara status yang berbeda-beda dan berlangsung secara
terus menerus.
Teori liminalitas Bhabha ini memang terkesan menghindari oposisi biner
yang konfrontatif atau saling menaklukkan. Sebaliknya, yang hendak ditawarkan
Bhabha adalah bahwa ruang itu mampu berperan sebagai ruang untuk sebuah
interaksi simbolik. Dengan demikian, ruang ketiga Bhabha mampu memberikan
kontribusi penting bagi pemahaman perbedaan budaya (Bhabha, 2007: 34). Teori
liminalitas Bhabha menempatkan orang Tionghoa Muslim pada posisi ruang
ketiga atau ruang antara, yang mempertemukan budaya Tionghoa dengan budaya
Islam. Konstruksi identitas berlangsung atau terus beroperasi tanpa ada ujung
yang jelas. Sebagaimana yang diungkapkan Bhabha bahwa dalam proses tersebut
tidak ada konfrontasi yang saling menaklukkan diantara dua budaya, yang ada
justru interaksi yang sangat indah di „ruang ketiga‟.
1.6. Metode Penelitian
1.6.1. Korpus Penelitian
Korpus, penelitian ini adalah kajian tentang keberadaan identitas Tionghoa
Muslim, dengan dasar petimbangan sebagai berikut:
1. Sebagai salah satu identitas, agama masih merupakan isu yang menarik
untuk dikaji. Hal ini dibuktikan dengan terus bermunculannya kajiankajian tentang identitas dari beragam perspektif keilmuan.
24
2. Kajian tentang identitas, terutama yang terkait dengan ke-tiongho-an
telah mendapat tempat tersendiri di kalangan peneliti ilmu-ilmu sosial,
setidaknya setelah era Orde Baru.
3. Islam dalam wacana ke-tionghoa-an masih dianggap sebagai suatu hal
yang asing, tidak lazim bahkan tidak sedikit kalangan yang menempatkan
keduanya pada posisi yang antagonisitik.
1.6.2. Fokus Penelitian
Penelitian ini akan mengurai narasi dari etnis Tionghoa muslim yang tidak
hanya dibatasi pada keaktifan dalam kegiatan keagamaan (baca: Islam) semata.
Aktivitas kelompok etnis Tionghoa Muslim dalam berinteraksi dengan lingkungan
sosial juga akan menjadi fokus kajian ini.
1.6.3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan mengambil lokasi di Makassar, dengan pertimbangan
sebagai berikut:
1. Makassar merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang memiliki
sejarah panjang dengan keberadaan etnis Tionghoa.
2. Makassar sebagai salah satu kota multi etnis, yang mana Tionghoa Muslim
merupakan salah satu etnis yang ada.
3. Makassar sebagai kota yang dihuni oleh beragam etnis, tentu telah
mengalami banyak dinamika yang melibatkan komunita etnis Tionghoa,
baik secara langsung maupun tidak langsung.
25
1.6.4. Teknik Pemilihan Informan
Subjek yang akan menjadi informan dalam penelitian ini terdiri atas tiga
jenis. Pertama, adalah pengurus Perhimpunan Islam Tionghoa [PITI] Makassar
yang akan dipilih secara terstruktur. Kedua adalah anggota PITI yang selanjutnya
akan menggunakan metode bola salju (snow ball sampling). Ketiga, adalah
individu, lembaga atau organisasi sosial kemasyarakatan di luar komunitas non
Tionghoa Muslim yang memiliki interaksi cukup tinggi dengan komunitas etnis
Tionghoa Muslim di Makassar.
1.6.5. Teknik Pengumpulan Data
Sebagai teknik dalam pengumpulan data, penelitian ini akan menggunakan
metode wawancara mendalam dan observasi partisipatoris. Wawancara mendalam
akan dilakukan kepada beberapa pihak yang telah dipilih sebagai nara sumber
utama. Ada pun observasi partisipatoris dilakukan melalui pengamatan dan
interaksi secara langsung dengan komunitas etnis Tionghoa Muslim, baik melalui
organisasi resmi mereka (Perhimpunan Islam Tionghoa Indonesia), maupun
secara non formal, yakni pihak-pihak di luar komunitas Tionghoa Muslim yang
ada di Makassar.
1.6.6. Teknik Analisis Data
Metode analisis data umum yang digunakan adalah metode interaktif,
yakni analisis yang dilakukan secara terus menerus selama pengumpulan data di
lapangan hingga pengumpulan data selesai dilakukan. Analisis data model
26
interaktif
terdiri
dari
reduksi
data,
penyajian
data
dan
penarikan
kesimpulan/verifikasi.
1.7. Sistematika Penulisan
BAB I:
PENDAHULUAN
BAB II:
GAMBARAN UMUM PENELITIAN.
Pada bab ini penulis akan menarasikan sejarah dan dinamika
keberadaan Tionghoa muslim di Makassar melalui: 1) Asal muasal
munculnya komunitas Tionghoa Muslim. 2) Uraian mengenai
wacana keislaman dalam masyarakat Tionghoa. 3) Penjelasan
tentang sebab-sebab munculnya pemisahan antara Islam dan etnis
Tionghoa. 4) Peninjauan kembali wacana “pengislaman” etnis
Tionghoa sebagai sebuah bentuk asimilasi, sebagaimana yang
pernah disarankan oleh pemerintahan Orde Baru.
BAB III:
PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis akan mendeskripsikan bagaimana interaksi
orang Tionghoa Muslim dalam kehidupan sehari-hari, baik dengan
sesama orang Tionghoa non muslim maupun terhadap orang
muslim non- Tionghoa? Apakah konstruksi identitas yang
dibangun oleh komunitas etnis Tionghoa muslim bersifat tunggal?
atau ada ruang yang memungkinkan mereka untuk menyesuaikan
diri dengan kondisi dan konteks lingkungan dalam kehidupan
sehari-hari. Melalui perangkat analisis data di lapangan, berupa
27
wawancara mendalam dan observasi, bagian ini akan mengungkap
perihal tersebut.
BAB IV:
ANALISIS SERTA PEMBAHASAN TEORITIS TENTANG
HUBUNGAN ETNISITAS (BUDAYA), KELAS DAN AGAMA
Pada bab ini, penulis akan melalukan analisis dan pembahasan
teoritis mengenai relasi etnisitas, kelas dan agama. Bagaimana
ketiga entitas tersebut (etnisitas, kelas dan agama) berjalin
berkelindan dan ikut membentuk identitas orang Tionghoa Muslim
di Makassar. Penulis juga akan mengulas mengenai interpretasi
sosial konteks, di mana ke-Tionghoa-an dan ke-Islam-an hadir dan
diperbincangkan, serta penjelasan mengenai“keislaman” sebagai
salah satu agensi yang berperan dalam proses negosiasi identitas
komunitas Tionghoa muslim di Makassar.
BAB V:
PENUTUP
Sebagai penutup, pada bab ini, penulis akan memeriksa sekaligus
memproblematisasikan,
dengan
mempertanyakan
apakah
konstruksi identitas yang dibangun oleh komunitas Tionghoa
muslim di Makassar merupakan bentuk negosiasi? Jika benar
demikian, faktor apa saja yang mempengaruhinya?
28
Download