BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes Melitus (DM) dideskripsikan sebagai penyakit kronik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia), disertai kelainan metaolisme karbohidrat sebagai akibat defek sari sekresi insulin atau fungsi insulin atau kedua-duanya (Salistyaningsih et al., 2011). Diabetes merupakan penyakit tidak menular yang semakin meningkat keberadaannya di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Tahun 2013 ada sekitar 12 juta penderita diabetes di Indonesia, dan World Health Organization memperkirakan penderita diabetes tersebut akan meningkat hingga 21,3 juta orang di tahun 2030 yang akan menjadikan Indonesia peringkat ke-4 di dunia setelah Amerika Serikat, China, dan India (Yahya, 2013). Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, menunjukkan Diabetes Melitus (DM) termasuk kedalam sepuluh penyakit kronis yang tidak ditularkan dari orang ke orang (penyakit tidak menular/PTM). Diabetes melitus menempati posisi ke 4 setelah asma, penyakit paru obstruksi kronis (PPOK), dan kanker. Demikian juga untuk Diabetes melitus yang berdasarkan wawancara juga terjadi peningkatan dari 1,1 persen (2007) menjadi 2,1 persen (2013) (Riskesdas, 2013). Kepatuhan merupakan hal yang sangat penting terutama pada pengobatan jangka panjang. Sangatlah penting bagi farmasis memperhatikan pasien dalam hal kepatuhan dalam mengonsumsi obat agar tercapai target dari terapi. Apabila 1 2 pasien memiliki kepatuhan yang rendah, maka dapat berakibat tidak terkontrolnya kadar gula darah. Efek langsung dan tidak langsung pada gangguan vaskular manusia akibat tidak terkontrolnya gula darah adalah sumber utama morbiditas dan mortalitas pada diabetes tipe 1 dan tipe 2. Secara umum, efek merugikan dari hiperglikemia adalah komplikasi makrovaskular (penyakit arteri koroner, penyakit arteri perifer, dan stroke) dan komplikasi mikrovaskular (nefropati diabetik dan retinopati) (Fowler, 2008). Menurut laporan WHO pada tahun 2003, kepatuhan rata-rata pasien pada terapi jangka panjang terhadap penyakit kronis di negara maju hanya sebesar 50% sedangkan di negara berkembang, jumlah tersebut bahkan lebih rendah. Kepatuhan pasien sangat diperlukan untuk mencapai keberhasilan terapi utamanya pada terapi penyakit tidak menular (misalnya: diabetes, hipertensi, asma, kanker, dsb), gangguan mental, penyakit infeksi HIV/AIDS dan tuberkulosis. Adanya ketidakpatuhan pasien pada terapi penyakit ini dapat memberikan efek negatif yang sangat besar karena persentase kasus penyakit tersebut di seluruh dunia mencapai 54% dari seluruh penyakit pada tahun 2001. Angka ini bahkan diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari 65% pada tahun 2020 (WHO, 2003). Sebuah meta-analisis menunjukkan bahwa rata-rata kepatuhan pada pasien diabetes adalah 67,5%, lebih rendah daripada yang ditemukan diantara banyak kondisi (DiMetteo, 2004). Studi lain mengenai kepatuhan terhadap obat diabetes yang dilakukan Cramer (2004) menunjukkan kepatuhan rata-rata ADO berkisar 36-93%. 3 Masalah ketidakpatuhan terhadap penggunaan obat dapat menjadi masalah yang serius karena dapat mengakibatkan gagalnya terapi dan meningkatkan angka hospitalisasi. Menurut World Health Organization (2003), sebesar 5,5% pasien masuk rumah sakit akibat ketidakpatuhan terhadap terapi pengobatan. Kepatuhan (adherence) yang baik merupakan hal yang penting. Kepatuhan yang bermanfaat dalam terapi pengobatan berkaitan dengan mortalitas yang rendah dibanding kepatuhan yang rendah, dan kepatuhan yang baik terhadap terapi obat yang berbahaya berkaitan dengan meningkatnya mortalitas (Simpson et al., 2006). Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh New England Health Institute, sepertiga sampai setengah dari pasien Amerika tidak patuh terhadap pengobatan (Zieger, 2010). Diabetes melitus merupakan penyakit kronik yang tidak dapat disembuhkan, tetapi sangat potensial untuk dapat dicegah dan dikendalikan melalui pengelolaan diabetes melitus. Pengelolaan diabetes melitus meliputi penggunaan obat, diet, program olahraga, dan lain sebagainya. Berhasil tidaknya pengelolaan diabetes melitus sangat tergantung pada pasien dalam melaksanakan kepatuhan menjalankan terapi pengobatan pada penderita diabetes melitus. Meskipun memerlukan tingkat kepatuhan pengobatan yang tinggi, kenyataannya tingkat kepatuhan pengobatan pasien dalam menjalankan program pengobatan tidak cukup baik. Menurut data WHO (2003), rendahnya tingkat kepatuhan pengobatan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya karakteristik pengobatan dan penyakit (kompleksitas terapi, durasi penyakit dan delivery of care), faktor intrapersonal (umur, gender, self esteem, self efficacy, 4 stress, depresi dan penggunaan alkohol), faktor interpersonal (kualitas hubungan pasien dengan penyedia layanan kesehatan dan dukungan sosial), dan faktor lingkungan (situasi beresiko tinggi dan sistem lingkungan). Menurut Albrecht (2011), terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi compliance pasien terhadap pengobatan, seperti lupa, ketakutan terhadap efek samping obat, tingginya biaya pengobatan, regimen pemberian obat yang kompleks, jumlah obat, jenis penyakit dan efektifitas pengobatan, kurangnya dukungan sosial, depresi, dan stress. Ketidakpatuhan merupakan perilaku yang kompleks yang dapat dipengaruhi oleh lingkungan dimana pasien tinggal, praktek penyedia layanan kesehatan, dan sistem penyedia layanan kesehatan dalam memberikan perawatan. Beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi ketidakpatuhan seperti efek samping dari obat, biaya, keyakinan, budaya, dan lain-lain. Pada kenyataannya, pasien bukan merupakan satu-satunya faktor yang mempengaruhi kepatuhan. Penyedia layanan kesehatan, regimen pengobatan yang kompleks, akses dan sistem pelayanan kesehatan juga dapat mempengaruhi ketidakpatuhan (Anonim, 2006). Faktor demografik seperti minoritas etnik, rendahnya tingkat sosial ekonomi, dan rendahnya tingkat edukasi menunjukkan rendahnya kepatuhan. Faktor psikososial juga mempengaruhi kepatuhan pasien. Keyakinan kesehatan seperti keseriusan penyakit diabetes, kerentanan terhadap komplikasi, dan efikasi dari pengobatan dapat memprediksi kepatuhan dengan lebih baik. Pasien akan mematuhi pengobatan dengan baik ketika pengobatan masuk akal bagi mereka, 5 ketika mereka percaya manfaat pengobatan melebihi biayanya, ketika pasien merasa mampu mencapai kesuksesan dari pengobatan mereka, dan adanya dukungan dari lingkungan (Delamater, 2006). Secara umum, efek merugikan dari hiperglikemia adalah komplikasi makrovaskular (penyakit arteri koroner, penyakit arteri perifer, dan stroke) dan komplikasi mikrovaskular (nefropati diabetik dan retinopati) (Fowler, 2008). Berbagai komplikasi yang muncul seperti neuropati diabetik, nefropati diabetik, stroke, kebutaan, dan ulkus diabetik yang berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien DM (Salas et al., 2009). Pasien diabetes melitus yang mengalami komplikasi maupun penyakit penyerta mendapatkan jumlah item obat yang banyak atau polifarmasi. Secara khas, regimen multidrug diperlukan untuk mengontrol hiperglikemia dan faktor resiko yang berkaitan dengan metabolisme seperti hipertensi dan hiperlipidemia (Grant et al., 2002). Dailey et al. (2001) menyatakan bahwa pasien yang memperoleh terapi tunggal (satu jenis obat) memiliki kepatuhan jangka pendek maupun jangka panjang yang lebih baik dibandingkan mereka yang mendapat terapi ganda. Terdapat bukti bahwa kepatuhan lebih tinggi dengan satu obat daripada dua obat (Sheechan, 2003). Claxton et al. (2001) menemukan kepatuhan berbanding terbalik dengan frekuensi dosis pemberian. Tingkat kepatuhan yang tinggi dilaporkan oleh pasien yang memiliki frekuensi dosis kecil (sekali sehari) dibandingkan mereka dengan frekuensi dosis sering (tiga kali sehari) (WHO, 2003). Kepatuhan secara signifikan lebih tinggi di antara pasien yang menggunakan obat dengan jadwal 6 dosis sekali sehari dibandingkan untuk dosis tiga kali sehari atau lebih sering (Bosworth, 2010). Penelitian-penelitian mengenai kepatuhan penggunaan obat terutama pada pengobatan jangka panjang diharapkan dapat terus dikembangkan. Mengingat perilaku pasien dalam mengonsumsi obat sangatlah bervariasi. Dengan begitu kita bisa mengetahui penggunaan obat di kalangan masyarakat dan menentukan intervensi yang dapat meningkatkan kepatuhan dalam penggunaan obat. Pentingnya kepatuhan dalam mengonsumsi obat pada pengobatan jangka panjang, serta tingginya prevalensi diabetes melitus mendorong dilakukannya penelitian berjudul “Studi Kepatuhan Penggunaan Obat pada Pasien Diabetes Melitus di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit UGM Yogyakarta, sehingga dapat diketahui tingkat kepatuhan dan faktor-faktor yang menyebabkan ketidakpatuhan dalam menggunakan obat. Rumah Sakit UGM berada di Jalan Kabupaten (Ring Road), Kronggahan, Trihanggo, Gamping, Sleman, Yogyakarta dipilih karena merupakan rumah sakit rujukan untuk pasien Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Banyak pasien diabetes melitus yang memilih untuk memeriksakan diri di rumah sakit ini dengan alasan pelayanan yang cepat. Rumah Sakit UGM tidak hanya menjadi rujukan untuk masyarakat wilayah Yogyakarta namun juga daerah sekitar Yogyakarta, seperti Magelang. B. Rumusan Masalah Dari latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 7 1. Seperti apa tingkat kepatuhan pasien diabetes melitus terhadap penggunaan obat? 2. Apa saja faktor yang menyebabkan ketidakpatuhan penggunaan obat pada pasien diabetes melitus? 3. Apakah terdapat hubungan antara jumlah item obat yang diresepkan dengan tingkat kepatuhan? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui gambaran tingkat kepatuhan pasien diabetes melitus dalam penggunaan obat. 2. Mengidentifikasi faktor penyebab ketidakpatuhan penggunaan obat pada pasien diabetes melitus. 3. Mengetahui adanya hubungan jumlah item obat yang diresepkan dengan tingkat kepatuhan. D. Manfaat Penelitian Dengan adanya penelitian di bidang farmasi klinik ini dapat memberikan kontribusi dalam hal: 1. Bagi Farmasis: hasil penelitian ini mengeksplorasi permasalahan- permasalahan dimasyarakat yang berkaitan dengan kepatuhan penggunaan obat antidiabetes dan sedapat mungkin mengatasi permasalahan tersebut 8 sehingga farmasis menyiapkan solusi baru untuk meningkatkan kepatuhan pasien. 2. Bagi Rumah Sakit: dapat diketahui tingkat kepatuhan pasien diabetes mellitus di instalasi rawat jalan Rumah Sakit UGM Yogyakarta. Dengan demikian, dapat memberikan saran melalui data yang diperoleh untuk pemberian intervensi yang lebih tepat kepada pasien diabetes melitus sehingga meningkatkan kepatuhan pasien dalam menggunakan obat. 3. Bagi masyarakat: penelitian ini memberikan informasi mengenai penggunaan obat khususnya antidiabetes sehingga dapat menjadi umpan balik bagi pasien agar dapat meningkatkan kepatuhan penggunaan obat dan secara luas dapat meningkatkan derajat kesehatan dan kualitas hidup masyarakat. E. Tinjauan Pustaka 1. Diabetes Melitus a. Definisi Diabetes melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO, 1999). 9 Diabetes melitus adalah sekelompok gangguan metabolik yang dicirikan oleh hiperglikemia dan ketidaknormalan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, yang diakibatkan oleh kelainan dalam sekresi insulin, sensitivitas insulin, atau keduanya (Wells et al.¸ 2009). Didefinisikan sebagai DM jika pernah didiagnosis menderita kencing manis oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita kencing manis oleh dokter tetapi dalam 1 bulan terakhir mengalami gejala: sering lapar dan sering haus dan sering buang air kecil dan jumlah banyak dan berat badan turun (Riskesdas, 2013). b. Epidemiologi Penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe 2 di berbagai penjuru dunia. Prevalensi diabetes untuk semua kelompok usia di seluruh dunia diperkirakan menkadi 2,8% pada tahun 2000 dan 4,4% pada tahun 2030. Jumlah kesuluruhan penderita diabetes diperkirakan meningkat dari 171 juta pada 2000 menjadi 366 juta pada tahun 2030. Prevalensi diabetes pada laki-laki lebih tinggi daripada pada wanita, namun jumlah penderita diabetes wanita lebih banyak daripada laki-laki (Wild, 2004). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, tingkat prevalensi DM di Indonesia yang terdiagnosis dokter sebesar 1,5%. Prevalensi DM yang berdasarkan wawancara sebesar 2,1%. Angka ini lebih tinggi dibanding dengan tahun 2007 (1,1%). DI Yogyakarta merupakan provinsi dengan prevalensi diabetes tertinggi (2,6%) (Riskesdas, 2013). 10 c. Tanda dan Gejala Deteksi dini dan pengobatan diabetes dapat menurunkan risiko terjadinya komplikasi diabetes. Berikut ini gejala diabetes yang khas menurut American Diabetes Association (ADA, 2014): 1) Sering buang air kecil 2) Merasa sangat haus 3) Merasa sangat lapar, meskipun telah makan 4) Merasa sangat kelelahan 5) Pandangan kabur 6) Luka/memar yang sukar sembuh 7) Berat badan menurun drastic, meskipun telah makan lebih banyak (tipe 1) Penegakan diagnosis pada diabetes melitus dilakukan jika pasien mulai mengalami gejala DM yang khas, seperti polifagia, polidipsia, dan poliuria (Well et al., 2009). Keluhan lain juga dapat terjadi pada beberapa penderita DM, seperti penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya, lemah, kesemutan, gatal, dan disfungsi ereksi pada pria (PERKENI, 2006). d. Klasifikasi Berdasarkan American Diabetes Association (ADA, 2008), klasifikasi berdasarkan etiologis DM adalah sebagai berikut: 11 Tabel I. Klasifikasi Etiologis DM (ADA, 2008) DM Tipe 1 DM Tipe 2 DM Tipe lain Destruksi sel β, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut Melalui proses imunologik Idiopatik Bervariasi, mulai dari predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai predominan gangguan sekresi insulin dengan resistensi insulin Defek genetik fungsi sel beta Defek genetik kerja insulin Penyakit eksokrin pankreas Endokrinopati Karena obat atau zat kimia Infeksi Sebab imunologi jarang Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM Diabetes Gestasional 1) Diabetes Melitus Tipe 1 Diabetes melitus tipe 1 disebut juga dengan istilah diabetes tergantung insulin atau diabetes yang muncul sejak kanak-kanak atau remaja (bahasa Inggris: childhood-onset diabetes, juvenile diabetes, insulin-dependent diabetes mellitus, IDDM) hanya terjadi pada sekitar 5-10 % dari total kejadian seluruh kasus diabetes. Lebih dari 95% penderita DM tipe 1 berkembang menjadi penyakit diabetes sebelum umur 25 tahun (ADA, 2008). Pada umumnya, terdiagnosa pada anak-anak atau dewasa muda yang diakibatkan oleh kerusakan imun dari sel β pankreas, yang menyebabkan kekurangan insulin secara absolut. Hiperglikemia timbul ketika 80% hingga 90% sel β telah rusak. Faktor yang menginisiasi proses autoimun masih belum diketahui, namun proses dimediasi oleh 12 makrofag dan limfosit T dengan autoantibodi yang bersirkulasi ke berbagai antigen sel β (Wells et al., 2009). Diabetes jenis ini dikarakterisasi oleh defisiensi produksi insulin absolut akibat detruksi sel β pankreas sehingga membutuhkan pemberian insulin eksogen setiap harinya (Well et al., 2009). Destruksi sel β pankreas dapat disebabkan karena reaksi autoimun, seperti autoantibodi sel islet, autoantibodi terhadap insulin, autoantibodi terhadap dekarboksilase asam glutamat, dan autoantibodi terhadap fosfatase tirosin IA-2 dan IA-2 β (ADA, 2008). 2) Diabetes Melitus Tipe 2 Diabetes melitus tipe 2 juga dikenal dengan istilah diabetes yang tidak tergantung insulin atau diabetes yang muncul setelah dewasa (bahasa Inggris: adult-onset diabetes, obesity-related diabetes, non-insulin-dependent diabetes mellitus, NIDDM). Penderita DM tipe 2 mencapai sekitar 90% dari seluruh populasi penderita diabetes (Depkes, 2005; ADA, 2008). Biasanya dicirikan dengan adanya resistensi insulin dan kekurangan insulin relatif. Resistensi insulin ditunjukkan oleh peningkatan lipolisis dan produksi asam lemak bebas, peningkatan produksi glukosa hepatik, dan penurunan uptake glukosa oleh otot skeletal. Disfungsi sel β ini progresif dan mengakibatkan semakin memburuknya kontrol gula darah. Diabetes melitus tipe 2 terjadi akibat diabetogenic lifestyle 13 (kalori yang berlebihan, kurangnya olahraga, obesitas) (Wells et al., 2009). Pada tahap awal kelainan yang muncul adalah berkurangnya sensitifitas terhadap insulin, yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di dalam darah. Hiperglikemia dapat diatasi dengan obat anti diabetes yang dapat meningkatkan sensitifitas terhadap insulin atau mengurangi produksi glukosa dari hepar, namun semakin parah penyakit, sekresi insulin pun semakin berkurang, dan terapi dengan insulin kadang dibutuhkan. Ada beberapa teori yang menyebutkan penyebab pasti dan mekanisme terjadinya resistensi ini, namun obesitas sentral diketahui sebagai faktor predisposisi terjadinya resistensi terhadap insulin, dalam kaitan dengan pengeluaran dari adipokinesnya (suatu kelompok hormon) itu merusak toleransi glukosa. Obesitas ditemukan di kira-kira 90% dari pasien dunia dikembangkan diagnosis dengan jenis 2 kencing manis. Faktor lain meliputi mengeram dan sejarah keluarga, walaupun di dekade yang terakhir telah terus meningkat mulai untuk memengaruhi anak remaja dan anak-anak (Anonim, 2013). Diabetes tipe 2 dapat terjadi tanpa ada gejala sebelum hasil diagnosis. Diabetes tipe 2 biasanya, awalnya, diobati dengan cara perubahan aktivitas fisik (olahraga), diet (umumnya pengurangan asupan karbohidrat), dan lewat pengurangan berat badan (Anonim, 2013). 14 3) Diabetes Melitus tipe spesifik lainnya (secondary diabetes) Diabetes yang disebabkan oleh faktor-faktor lain terjadi pada sekitar 1-2% dari semua kasus diabetes (ADA, 2011). Diabetes ini disebabkan oleh faktor spesifik lain, antara lain kerusakan genetik pada fungsi sel beta pankreas, kerusakan genetik pada aksi insulin, penyakit kelenjar eksokrin (misal sistik fibrosis), dan diabetes akibat pemakaian obat tertentu (Guyton & Hall, 2007). 4) Diabetes Melitus Gestasional (Gestational Diabetes Mellitus/ GDM) Diabetes melitus gestasional adalah hiperglikemia yang timbul selama masa kehamilan. Hiperglikemia timbul akibat intoleransi glukosa dan biasanya berlangsung hanya sementara. Sekitar 7% wanita hamil diketahui menderita GDM, dan umumnya terdeteksi pada atau setelah trimester kedua (ADA, 2003; ADA, 2011). Gestational Diabetes Mellitus mungkin dapat merusak kesehatan janin atau ibu, dan sekitar 20–50% dari wanita penderita GDM bertahan hidup (Anonim, 2013). e. Diagnosis Screening test yang direkomendasikan oleh Wells et al. (2009) adalah fasting plasma glucose (FPG). Nilai FPG normal adalah kurang dari 100 mg/dL (5,6 mmol/L). Penegakan diabetes dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu (Wells et al., 2009): 15 1) Ada keluhan klinis dan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dL 2) Dengan ada tanda klasik dan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL 3) Dengan Test Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban 75 gram glukosa dan puasa 10 jam. Akan ditemukan impaired glucose tolerance (IGT) apabila 2 jam 140-199 mg/dL atau impaired fasting glucose (IFG) apabila plasma puasa antara 100125 mg/dL. Diagnosis diabetes apabila glukosa 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dL. f. Penatalaksanaan Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah untuk meningkatkan kualitas hidup penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan jangka pendek adalah menghilankan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah. Tujuan penatalaksanaan jangka panjang adalah mencegah dan menghambat progesivitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati. Sedangkan tujuan akhir penatalaksanaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM (Perkeni, 2011). Penatalaksanaan non farmakologi diartikan sebagai penatalaksanaan tanpa obat, meliputi (Wells et al., 2009; Perkeni, 2011): 1) Pengaturan diet Fokus utama penatalaksanaan DM adalah diet seimbang untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal. Prinsip pengaturan 16 pola makan pada penderita diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penderita diabetes yang perlu ditekankan adalah pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Penerapan pengaturan diet yang baik pada penderita DM tipe 2 dapat membantu mengontrol glukosa darah sehingga dapat menurunkan kadar HbA1c, yang akhirnya dapat menurunkan resiko progesivitas berbagai komplikasi yang mungkin dapat timbul akibat penyakit DM. 2) Olahraga Olahraga dapat meningkatkan sensitivitas insulin, membantu mengontrol glukosa darah, menurunkan faktor resiko kardiovaskular, dan membantu menurunkan atau mempertahankan berat badan. Berikut adalah terapi farmakologi untuk diabetes melitus menurut Wells et al. (2009): 1) Insulin Mekanisme kerja insulin adalah menurunkan kadar gula darah dengan menstimulasi pengambilan glukosa perifer dan menghambat produksi glukosa hepatik. Insulin diindikasikan untuk DM tipe 1, DM tipe 2 yang gula darahnya tidak dapat dikendalikan dengan diet dan antidiabetik oral, DM dengan berat badan yang menurun cepat, DM dengan komplikasi akut, DM paska bedah pankreas, ketoasidosis dan 17 koma hiperosmolar, DM dengan kehamilan. Insulin memiliki efek samping hipoglikemia dan reaksi alergi. Tabel II. Sediaan Insulin Berdasarkan Onset dan Durasi (Well et al., 2009) Tipe Insulin Kerja cepat Aspart Lispro Glulisine Onset 15-30 menit 15-30 menit 15-30 menit Kerja pendek Regular 30-60 menit Kerja intermediet NPH 2-4 jam Kerja panjang Glargine 4-5 jam Detemir 2 jam Puncak (jam) Durasi (jam) Durasi Maksimum (jam) Penampilan 1-2 3-5 5-6 Jernih 1-2 3-4 4-6 Jernih 1-2 3-4 5-6 Jernih 2-3 3-6 6-8 Jernih 4-6 8-12 14-18 Keruh 6-9 22-24 14-24 24 24 Jernih Jernih 2) Sulfonilurea Obat golongan sulfonilurea bekerja merangsang sekresi insulin pada pankreas sehingga hanya efektif bila sel β pankreas masih dapat berproduksi. Obat golongan ini terutama diindikasikan untuk NIDDM ringan-sedang. Sulfonilurea dapat menurunkan kadar HbA1c hingga 0,82,0% dan menurunkan kadar glukosa puasa 60-70 mg/dl (3,3-3,9 mmol/l). Obat golongan sulfonilurea antara lain klorpropamid, glikazid, glibenklamid, glipizid, gliquidon, glimepirid, dan tolbutamid. 3) Biguanid Biguanid adalah obat antidiabetes oral yang tidak memiliki efek stimulasi sekresi insulin sehingga tidak memiliki efek hipoglikemia. 18 Biguanid bekerja menghambat glukoneogenesis dan meningkatkan penggunaan glukosa di jaringan. Salah satu golongan biguanid adalah metformin HCl. Metformin diindikasikan untuk NIDDM yang gagal dikendalikan dengan diet dan sulfonilurea, terutama pada pasien yang gemuk. Metformin memiliki efek samping mual, muntah, anoreksia, dan diare yang selintas; asidosis laktat; gangguan penyerapan vitamin B12. 4) Tiazolidindion Mekanisme golongan obat ini adalah dengan meningkatkan sensitivitas insulin pada otot dan jaringan adipose dan menghambat glukoneogenesis hepatik. Contoh obat golongan tiazolidindion adalah pioglitazon dan rosiglitazon. Penggunaan tiazolidin menurunkan HbA1C sekitar 0,5-1,5% dan kadar glukosa puasa 25-50 mg/dl (1,4-2,8 mmol/l). Efek samping yang sering timbul akibat penggunaan tiazolidindion yaitu peningkatan berat badan dan penignkatan kadar transaminase. 5) Penghambat α-glukosidase Salah satu contoh obat golongan ini adalah akarbose. Akarbose bekerja menghambat α-glukosidase sehingga mencegah penguraian sukrosa dan karbohidrat kompleks dalam usus halus dengan demikian memperlambat dan menghambat penyerapan karbohidrat. Akarbose digunakan sebagai tambahan terhadap sulfonilurea atau biguanid pada DM yang tidak dapat dikenadlikan dengan obat dan diet. Penggunaan penghambat α-glukosidase dapat menurnkan kadar HbA1C sekitar 0,3- 19 1,0% dan kadar glukosan darah puasa 40-50 mg/dl (1,9-2,2 mmol/l). Efek samping obat golongan ini umumnya berupa flatulensi, mual, diare. Kadar glukosa rata-rata untuk pasien diabetes tipe 1 harus sedekat mungkin ke angka normal (80-120 mg/dl, 4-6 mmol/l). Beberapa dokter menyarankan sampai ke 140-150 mg/dl (7-7.5 mmol/l) untuk mereka yang bermasalah dengan angka yang lebih rendah, seperti "frequent hypoglycemic events". Kadar glukosa darah di atas 200 mg/dl (10 mmol/l) seringkali diikuti dengan rasa tidak nyaman dan buang air kecil yang terlalu sering sehingga menyebabkan dehidrasi. Kadar glukosa darah di atas 300 mg/dl (15 mmol/l) biasanya membutuhkan perawatan secepatnya dan dapat mengarah ke ketoasidosis. Kadar glukosa darah yang rendah, yang disebut hipoglisemia, dapat menyebabkan kehilangan kesadaran (Anonim, 2013). Manajemen terapi untuk pasien diatas usia 18 tahun dengan prediabetes atau DM tipe 2 yang dikutip dari Diagnosis and Management of Type 2 Diabetes Melitus in Adults (2014), meliputi: 1) Terapi farmakologi i. Manajemen glikemik, termasuk terapi insulin, agen non-insulin, dan kombinasi. ii. Kontrol tekanan darah, termasuk angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors dan angiotensin II receptor blockers (ARBs), diuretic thiazid 20 iii. Statin 2) Edukasi dan self-management i. Program terapi nutrisi ii. Program aktivitas fisik (didahului oleh assessment medis dari kondisi fisik, keterbatasan, resiko penyakit kardiovaskuler, cardiac stress testing, dan kontrol glukosa darah) iii. Manajemen berat badan iv. Perawatan kaki v. Community resource 3) Tindakan lain untuk mengurangi resiko kardiovaskuler: penggunaan aspirin, program penghentian merokok 4) Penilaian berkelanjutan untuk komplikasi; terapi dan/atau rujukan untuk komplikasi yang sesuai. Risiko hipoglikemi pada pemberian OAD dan insulin harus selalu diingat, demikian pula risiko hiponatremia. Penggunaan OAD generasi 2 (glipizid dan gliburid) dianjurkan sebab resorbsinya lebih cepat, karena adanya non-ionic-binding dengan albumin, sehingga risiko interaksi obat berkurang, demikian pula risiko hiponatremia dan hipoglikemia lebih rendah (Goldberg, 1987). g. Evaluasi outcome therapy Berikut merupakan evaluasi keberhasilan diabetes melitus dikutip dari Wells et al. (2009): penatalaksanaan 21 A1C merupakan standar yang digunakan saat ini untuk mengevaluasi kontrol glikemik jangka panjang untuk 3 bulan sebelumnya. Ini harus diukur setidaknya dua kali setahun pada pasien untuk memenuhi tujuan pengobatan pada rejimen terapi yang stabil. Terlepas dari rejimen insulin yang dipilih, penyesuaian total dosis harian insulin dapat dibuat berdasarkan pengukuran A1C dan gejala seperti sebagai poliuria, polidipsia, dan peningkatan atau penurunan berat badan. Pasien yang menerima insulin harus ditanya tentang mengenali hipoglikemia setidaknya setiap tahun. Dokumentasi frekuensi hipoglikemia dan pengobatan yang diperlukan harus dicatat. Pasien yang menerima insulin sebelum tidur harus dipantau terhadap gejala hipoglikemia dengan menanyakan tentang berkeringat di malam hari, jantung berdebar, dan mimpi buruk. Pasien dengan DM tipe 2 harus memiliki urinalisis rutin pada diagnosis sebagai tes skrining awal untuk albuminuria. Jika positif, 24 jam urin untuk penilaian kuantitatif akan membantu dalam mengembangkan rencana pengobatan. Jika urinalisis negatif protein, dianjurkan tes untuk mengevaluasi kehadiran mikroalbuminuria. Profil lipid saat puasa harus diperoleh pada setiap kunjungan tindak lanjut jika stabil dan tidak menjadi tujuan terapi dilakukan per tahun atau setiap 2 tahun jika profil menunjukkan risiko rendah. 22 Frekuensi teratur tes penilaian kaki (setiap kunjungan), penilaian albumin urin (per tahun), dan ujian pelebaran ophthalmologic (tahunan atau lebih sering bila terjadi kelainan) juga harus didokumentasikan. Penilaian untuk influenza dan pemberian vaksin pneumokokus dan penilaian serta manajemen faktor risiko kardiovaskular lainnya (misalnya, merokok dan terapi antiplatelet) adalah komponen suara preventif strategi pengobatan. 2. Kepatuhan a. Definisi kepatuhan Kepatuhan adalah tingkat perilaku pasien yang tertuju terhadap instruksi atau petunjuk yang diberikan dalam bentuk terapi apapun yang ditentukan, baik diet, latihan, pengobatan atau menepati janji pertemuan dengan dokter (Stanley, 2007). Kepatuhan terhadap pengobatan didefinisikan sebagai sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan instruksi yang diberikan oleh tenaga medis mengenai penyakit dan pengobatannya. Tingkat kepatuhan untuk setiap pasien biasanya digambarkan sebagai persentase jumlah obat yang diminum setiap harinya dan waktu minum obat dalam jangka waktu tertentu (Osterberg & Terrence, 2005). Sebagian penyedia layanan kesehatan menggunakan istilah kesesuaian (compliance) bukan kepatuhan (adherence). Kesesuaian 23 didefinisikan sebagai sejauh mana perilaku seseorang bertepatan dengan saran medis. Non compliance kemudian pada dasarnya berarti bahwa pasien tidak mematuhi saran dari penyedia layanan kesehatan. Ketidaksesuaian pasien dipengaruhi oleh kualitas pribadi dari pasien, seperti lupa, kurangnya kemauan atau sikap disiplin, atau rendahnya tingkat pendidikan. Kepatuhan (adherence) didefinisikan sebagai sikap aktif, sukarela, keterlibatan kolaborasi pasien dalam menerima perilaku untuk menghasilkan outcome therapy. Konsep dari kepatuhan adalah pilihan dalam penetapan tujuan, perencanaan perawatan, dan implementasi dari regimen (Delamater, 2006). Menurut WHO (2003), kepatuhan (adherence) didefinisikan sebagai tingkat perilaku seseorang dalam menjalankan pengobatan, mengikuti diet, dan/atau melaksanakan perubahan gaya hidup, sesuai dengan rekomendasi yang telah disepakati dengan penyedia layanan kesehatan. Sedangkan compliance merupakan tingkat perilaku seseorang dalam menjalankan pengobatan sesuai dengan petunjuk atau perintah yang diberikan oleh petugas kesehatan. Disini pasien berperan pasif dalam proses pengobatan, mengikuti perintah dokter dan rencana terapi tidak didasarkan pada therapeutic alliance atau kesepakatan antara pasien dan dokter, sehingga penggunaan istilah ini sudah tidak begitu disukai. Kepatuhan (adherence) didefinisikan sebagai mengikuti instruksi yang telah diberikan, hal ini melibatkan pilihan konsumen dan tidak 24 bersifat menghakimi, tidak seperti compliance yang menuntut pasien bersifat pasif. Ketidakpatuhan terapi meliputi penundaan pengambilan resep, tidak mengambil obat yang diresepkan, tidak mematuhi dosis, dan mengurangi frekuensi penggunaan obat (Bosworth, 2010). Menurut George dan Shalansky (2007), adherence juga mempengaruhi persepsi pasien terhadap hambatan dari adherence dan pentingnya untuk membuat perubahan gaya hidup menyesuaikan dengan regimen terapi yang direkomendasikan. Istilah lain untuk kepatuhan adalah concordance. Concordance sendiri bukan merupakan sinonim dari compliance atau adherence. Concordance bukan merupakan perilaku pasien dalam menggunakan obatnya, namun lebih berdasar dari interaksi antara dokter dan pasien. Hal tersebut berdasarkan gagasan bahwa konsultasi antara dokter dan pasien merupakan negosiasi yang seimbang. Dokter harus menghargai hak-hak pasien memutuskan untuk mengambil obat yang diresepkan atau tidak (Bell et al., 2007). Bell et al. (2007) menyatakan bahwa tujuan dari concordance adalah pembentukan hubungan terapeutik anatara dokter dan pasien. Concordance dikaitkan dengan patient-centred care. Nonconcordance dapat terjadi apabila hubungan tersebut tidak terbentuk dan oleh karena itu merupakan kegagalan dari interaksi tersebut (Bell et al., 2007). 25 b. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan Kepatuhan pasien dalam pengobatannya dapat diperngaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan pasien dalam pengobatannya antara lain (Osterberg & Terrence, 2005; Delamater, 2006; Kocurek, 2009): 1) Faktor demografi Faktor demografi, seperti suku, status sosio-ekonomi yang rendah, dan tingkat pendidikan yang rendah dikaitkan dengan kepatuhan yang rendah terhadap pengobatan. 2) Faktor psikologi Faktor psikologi juga dikaitkan dengan kepatuhan terhadap regimen pengobatan. Kepercayaan terhadap pengobatan dapat meningkatkan kepatuhan. Sedangkan faktor psikologi, seperti depresi, cemas, dan gangguan makan yang dialami pasien dikaitkan dengan ketidakpatuhan. 3) Faktor sosial Hubungan antara anggota keluarga dan masyarakat juga berperan penting dalam pengelolaan diabetes. Penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan tingkat masalah atau konflik yang rendah dan pasien yang mendapat dukungan dan memiliki komunikasi yang baik antara keluarga atau masyarakatnya cenderung memiliki tingkat kepatuhan yang lebih baik. Dukungan 26 sosial juga dapat menurunkan rasa depresi atau stres penderita terhadap pengelolaan diabetes. 4) Faktor yang berhubungan dengan penyakit dan medikasi Penyakit kronik yang diderita pasien, regimen obat yang kompleks, dan efek samping obat yang terjadi pada pasien dapat meningkatkan ketidakpatuhan pada pasien. Penelitian pada pasien diabetes menunjukkan kepatuhan yang lebih tinggi pada pasien dengan regimen pengobatan yang sederhana dibandingkan dengan regimen pengobatan yang kompleks. 5) Faktor yang berhubungan dengan tenaga kesehatan Komunikasi yang rendah dan kurangnya waktu yang dimiliki tenaga kesehatan, seperti dokter menyebabkan informasi menjadi kurang sehingga pasien tidak cukup mengerti dan paham akan pentingnya pengobatan. Keterbatasan tenaga kesehatan lain, seperti apoteker, waktu dan keahlian yang dimiliki apoteker juga berpengaruh terhadap pemahaman pasien mengenai penggunaan obat sehingga cenderung meningkatkan ketidakpatuhan pasien. c. Metode Pengukuran Tingkat Kepatuhan Sebagai sebuah perilaku, aspek-aspek kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat dapat diketahui dari metode yang digunakan untuk mengukurnya. 27 Tabel III. Metode Pengukuran Kepatuhan Pasien (Horne, 2006) Metode Metode Langsung Obsevasi langsung Kekuatan Kelemahan Paling akurat Pasien dapat menyembunyikan pil dalam mulut, kemudian membuangnya, kurang praktis untuk penggunaan rutin Mengukur tingkat Objektif Variasi-variasi dalam metabolisme metabolisme bisa membuat dalam tubuh impresi yang salah, mahal Mengukur aspek Objektif, dalam penelitian Memerlukan penghitungan biologis dalam klinis, dapat juga kuantitatif yang mahal darah digunakan untuk mengukur placebo Metode Tidak Langsung Kuesioner kepada Simpel, tidak mahal, Sangat mungkin terjadi kesalahan, pasien/pelaporan paling banyak dipakai dalam waktu antar kunjungan diri pasien dalam seting klinis dapat terjadi distorsi Jumlah pil/obat Objektif, kuantitatif dan Data dapat dengan mudah yang dikonsumsi mudah dilakukan diselewengkan oleh pasien Rate beli ulang Objektif, mudah untuk Kurang ekuivalen dengan perilaku resep (kontinuitas) mengumpulkan data minum obat, memerlukan sistemfarmasi yang tertutup Assessment Simpel, umumnya mudah Faktor-faktor lain selain terhadap respon digunakan oengobatan tidak dapat klinis pasien dikendalikan Monitoring Sangat akurat, hasil Mahal pengobatan secara mudah dikuantifikasi, pola elektronik minum obat dapat diketahui Mengukur ciri-ciri Sering mudah untuk Ciri-ciri fisiologis mungkin tidak fisiologis (misal dilakukan Nampak karena alasan-alasan detak jantung) tertentu Catatan harian Membantu untuk Sangat mudah dipengaruhi pasien mengoreksi ingatan yang kondisi pasien rendah Kuesioner Simpel, objektif Terjadi distorsi terhadap orangorang terdekat pasien Tingkat kepatuhan terhadap pengobatan dapat diukur melalui dua metode, yaitu (Osterberg & Terrence, 2005): 28 1) Metode langsung Pengukuran kepatuhan melalui metode langsung dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti mengukur konsentrasi obat atau metabolit obat di dalam darah atau urin, mengukur atau mendeteksi petanda biologi di dalam. Metode ini umumnya mahal, memberatkan tenaga kesehatan, dan rentan terhadapa penolakan pasien. 2) Metode tidak langsung Pengukuran kepatuhan melalui metode tidak langsung dapat dilakukan dengan bertanya kepada pasien tentang penggunaan obat, menggunakan kuesioner, menilai respon klinik pasien, menghitung jumlah pil obat, dan menghitung tingkat pengambilan kembali resep obat. d. Morisky’s Medication Adherence Scale (MMAS-8) Morisky et al. mengembangkan MMAS untuk mengetahui kepatuhan pasien berupa kuesioner. MMAS pertama kali diaplikasikan untuk mengetahui compliance pada pasien hipertensi pada pre dan post interview. Morisky et al. mempublikasikan versi terbaru pada tahun 2008 yaitu MMAS-8 dengan reliabilitas yang lebih tinggi yaitu 0,83 serta sensitivitas dan spesifitas yang lebih tinggi pula. Morisky secara khusus membuat skala untuk mengukur kepatuhan dalam mengonsumsi obat yang dinamakan Morisky Medication Adherence Scale (MMAS), dengan delapan item yang berisi 29 pernyataan-pernyataan yang menunjukkan frekuensi kelupaan dalam minum obat, kesengajaan berhenti minum obat tanpa sepengetahuan dokter, kemampuan untuk mengendalikan dirinya untuk tetap minum obat (Morisky & Muntner, 2009). MMAS-8 terdiri dari delapan sebagai berikut: 1. Do you sometimes forget to take your high BP-pills? 2. Over the past 2 weeks, were there any days that you did not take yaour high-BP medication? 3. Have you ever cut back or stopped taking your medication without telling your doctor because you felt worse when you took it? 4. When you travel or leave home do you sometimes forget to bring your drug? 5. Did you take your high-BP medication yesterday? 6. When you feel that your BP is under control, do you sometimes stop taking your medication? 7. Taking medication everyday is real inconvenience for some people. Do you ever feel hassled about slicking to your BP medication plan? 8. How often do you have difficulty remembering to take your BP medication? Kuesioner MMAS-8 adalah alat penilaian dari WHO yang sudah divalidasi dan sering digunakan untuk menilai kepatuhan pengobatan pasien dengan penyakit kronik, seperti diabetes melitus. MMAS-8 berisi delapan pertanyaan tentang penggunaan obat dengan jawaban ya 30 dan tidak. Nilai MMAS-8 yang tinggi menunjukkan tingkat kepatuhan pasien terhadap pengobatan rendah (Krapek, 2004; Coppel et al., 2008). e. Pharmacy Refill Metode ini dapat mengukur kepatuhan dengan melihat tanggal ketika obat diambil. Tanggal dapat diperoleh dari apotek atau penyedia layanan obat lain. Pada metode ini pasien dinyatakan telah melewatkan pengobatan ketika pengambilan obat tidak sesuai dengan tanggal yang ditentukan (Machtinger & Bangsberg, 2006). Seberapa cepat menebus resep/mengambil obat untuk periode pengobatan selanjutnya adalah alat ukur yang akurat untuk keseluruhan tingkat kepatuhan dalam sistem farmasi tertutup (Steiner & Prochazka, 1997). 3. Rumah Sakit Berdasarkan Undang Undang nomor 44 tahun 2009, Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Rumah Sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna (Depkes RI, 2009). Pengaturan penyelenggaraan Rumah Sakit bertujuan (Depkes RI, 2009): 31 a. mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan; b. memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit; c. meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit; dan d. memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit, dan Rumah Sakit. Rumah Sakit pendidikan merupakan Rumah Sakit yang menyelenggarakan pendidikan dan penelitian secara terpadu dalam bidang pendidikan profesi kedokteran, pendidikan kedokteran berkelanjutan, dan pendidikan tenaga kesehatan lainnya (Depkes RI, 2009). Pada awalnya rumah sakit pendidikan bagi Fakultas Kedokteran UGM adalah Rumah Sakit Umum Pusat dr. Sardjito yang berlokasi di daerah Sekip di dalam kampus UGM, dekat dengan Fakultas Kedokteran UGM. Beberapa tahun belakangan, tenaga pendidik dan peserta didik yang menempuh pendidikan profesi di rumah sakit ini merasa bahwa RSUP dr. Sardjito sudah tidak mencukupi lagi sebagai tempat memperoleh keterampilan klinis terutama bagi calon dokter (mahasiswa profesi kedokteran). Atas latar belakang tersebut maka dibangun rumah Rumah Sakit Akademik UGM yang berada di Jalan Kabupaten (Ring Road), Kronggahan, Trihanggo, Gamping, Sleman, Yogyakarta. (Anonima, 2012). 32 RS Akademik UGM ini dibangun secara bertahap sesuai dengan strategi pertumbuhan dalam pembangunan dan pengembangannya dengan dana APBN Kemendikbud. RS Akademik UGM didesain dengan konsep mendasar pelavanan kesehatan terpadu dan terintegrasi dalam klaster-klaster dengan multiprofessional team work dan sistem pendidikan klinik “interprofessional and transprofessional“. Pada akhir tahun 2014 RS Akademik UGM berganti nama menjadi Rumah Sakit UGM Yogyakarta. Rumah Sakit UGM memliki visi, misi dan motto dalam beroperasi untuk memberikan pelayanan kesehatan yang optimal kepada masyarakat. Rumah Sakit UGM dengan tipe B ini memiliki visi menjadi rumah sakit akademik yang melaksanakan pelayanan, pendidikan dan riset yang unggul, berkelas dunia, mandiri, bermartabat dan mengabdi kepada kepentingan masyarakat. Untuk mencapai visi tersebut maka misi dari Rumah Sakit UGM adalah sebagai berikut: a. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan terpadu yang bermutu dengan mengutamakan aspek pendidikan berbasis riset, b. Melaksanakan pelayanan kesehatan paripurna berdasarkan evidence dan riset IPTEKDOK, c. Menyelenggarakan riset klinik dan non klinik yang berwawasan global, d. Melaksanakan pengabdian kepada kepentingan kesehatan masyarakat, e. Meningkatkan kemandirian Rumah Sakit Akademik dan kesejahteraan karyawan. (Anonimb, 2012) 33 F. Landasan Teori Diabetes melitus adalah penyakit kronik yang tidak menyebabkan kematian secara langsung tetapi dapat berakibat fatal apabila pengelolaanya tidak tepat (Kocurek, 2009). Penatalaksanaan DM yang tidak tepat menyebabkan glukosa darah pasien menjadi sulit terkontrol sehingga dapat meningkatkan biaya terapi pasien dan menimbulkan munculnya berbagai komplikasi, seperti neuropati diabetik, nefropati diabetik, stroke, kebutaan, dan ulkus diabetik yang berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien DM (Salas et al., 2009). Salah satu faktor yang berperan dalam kegagalan pengontrolan glukosa darah pasien DM adalah kepatuhan pasien terhadap pengobatan (Suppapitiporn, 2005). Ketidakpatuhan terhadap pengobatan DM saat ini masih menjadi masalah yang cukup penting dalam pengelolaan DM. Beberapa studi melaporkan bahwa tingkat kepatuhan penderita DM tipe 1 berkisar antara 70-83% sedangkan DM tipe 2 sekitar 64-78%. Tingkat kepatuhan pasien DM tipe 2 yang lebih rendah dibandingkan DM tipe 1 dapat disebabkan oleh regimen terapi yang umumnya lebih bersifat kompleks dan polifarmasi, serta efek samping obat yang timbul selama pengobatan (Delamater, 2006). Selain faktor yang berhubungan dengan medikasi, status sosial ekonomi, tingkat pendidikan, dan pengetahuan yang rendah serta depresi yang dialami pasien juga dikaitkan dengan kepatuhan yang rendah dan tingkat morbiditas yang tinggi pada pasien DM (Delamater, 2006; Kocurek, 2009). Perilaku lupa minum obat juga menjadi salah satu penyebab ketidakpatuhan pada pasien terutama pasien geriatri (Selzman, 1995). 34 Instrumen yang digunakan untuk mengetahui kepatuhan pasien dalam penggunaan obat pada penelitian ini yaitu menggunakan kuesioner Morisky’s Medication Adherence Scale (MMAS)-8 dan refill obat untuk melihat ketepatan waktu kontrol. Tujuan penggunaan kedua metode tersebut adalah untuk mengatasi kelemahan dari masing-masing metode. Hambatan dalam kepatuhan terhadap terapi pengobatan meliputi kompleksitas dari regimen (jumlah obat yang diterima pasien dan frekuensi pemakaian obat) dan kegagalan pasien dalam memahami pentingnya kepatuhan, dimana akan meningkat akibat komunikasi dokter yang buruk (Aronson, 2007). Dailey et al. (2001) menyatakan bahwa pasien yang memperoleh terapi tunggal (satu jenis obat) memiliki kepatuhan jangka pendek maupun jangka panjang yang lebih baik dibandingkan mereka yang mendapat terapi ganda. Terdapat bukti bahwa kepatuhan lebih tinggi dengan satu obat daripada dua obat (Sheechan, 2003). Claxton et al. (2001) menemukan kepatuhan berbanding terbalik dengan frekuensi dosis pemberian. Tingkat kepatuhan yang tinggi dilaporkan oleh pasien yang memiliki frekuensi dosis kecil (sekali sehari) dibandingkan mereka dengan frekuensi dosis sering (tiga kali sehari) (WHO, 2003). Kepatuhan secara signifikan lebih tinggi di antara pasien yang menggunakan obat dengan jadwal dosis sekali sehari dibandingkan untuk dosis tiga kali sehari atau lebih sering (Bosworth, 2010). 35 G. Keterangan Empiris Peneltian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran tingkat kepatuhan pasien diabetes melitus rawat jalan di Rumah Sakit UGM dalam penggunaan obat antidiabetesnya, mengidentifikasi faktor penyebab ketidakpatuhan kaitannya dengan penggunaan obat pada pasien diabetes melitus rawat jalan, dan mengetahui adanya hubungan jumlah item obat yang diresepkan dengan tingkat kepatuhan. Kepatuhan pasien diukur berdasarkan Morisky Medication Adherence Scale (MMAS)-8 dan ketepatan waktu kontrol. Harapannya dengan gambaran tingkat kepatuhan pasien, mengetahui penyebab ketidakpatuhan, dan adanya hubungan antara jumlah item obat dengan tingkat kepatuhan maka dapat bermanfaat bagi penyedia layanan kesehatan untuk membuat solusi dalam meningkatkan kepatuhan pengobatan.