DM - ETD UGM

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Diabetes Melitus (DM) dideskripsikan sebagai penyakit kronik yang
ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia), disertai
kelainan metaolisme karbohidrat sebagai akibat defek sari sekresi insulin atau
fungsi insulin atau kedua-duanya (Salistyaningsih et al., 2011). Diabetes
merupakan penyakit tidak menular yang semakin meningkat keberadaannya di
seluruh dunia, termasuk Indonesia. Tahun 2013 ada sekitar 12 juta penderita
diabetes di Indonesia, dan World Health Organization memperkirakan penderita
diabetes tersebut akan meningkat hingga 21,3 juta orang di tahun 2030 yang akan
menjadikan Indonesia peringkat ke-4 di dunia setelah Amerika Serikat, China, dan
India (Yahya, 2013).
Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, menunjukkan Diabetes Melitus
(DM) termasuk kedalam sepuluh penyakit kronis yang tidak ditularkan dari orang
ke orang (penyakit tidak menular/PTM). Diabetes melitus menempati posisi ke 4
setelah asma, penyakit paru obstruksi kronis (PPOK), dan kanker. Demikian juga
untuk Diabetes melitus yang berdasarkan wawancara juga terjadi peningkatan dari
1,1 persen (2007) menjadi 2,1 persen (2013) (Riskesdas, 2013).
Kepatuhan merupakan hal yang sangat penting terutama pada pengobatan
jangka panjang. Sangatlah penting bagi farmasis memperhatikan pasien dalam hal
kepatuhan dalam mengonsumsi obat agar tercapai target dari terapi. Apabila
1
2
pasien memiliki kepatuhan yang rendah, maka dapat berakibat tidak terkontrolnya
kadar gula darah. Efek langsung dan tidak langsung pada gangguan vaskular
manusia akibat tidak terkontrolnya gula darah adalah sumber utama morbiditas
dan mortalitas pada diabetes tipe 1 dan tipe 2. Secara umum, efek merugikan dari
hiperglikemia adalah komplikasi makrovaskular (penyakit arteri koroner, penyakit
arteri perifer, dan stroke) dan komplikasi mikrovaskular (nefropati diabetik dan
retinopati) (Fowler, 2008).
Menurut laporan WHO pada tahun 2003, kepatuhan rata-rata pasien pada
terapi jangka panjang terhadap penyakit kronis di negara maju hanya sebesar 50%
sedangkan di negara berkembang, jumlah tersebut bahkan lebih rendah.
Kepatuhan pasien sangat diperlukan untuk mencapai keberhasilan terapi utamanya
pada terapi penyakit tidak menular (misalnya: diabetes, hipertensi, asma, kanker,
dsb), gangguan mental, penyakit infeksi HIV/AIDS dan tuberkulosis. Adanya
ketidakpatuhan pasien pada terapi penyakit ini dapat memberikan efek negatif
yang sangat besar karena persentase kasus penyakit tersebut di seluruh dunia
mencapai 54% dari seluruh penyakit pada tahun 2001. Angka ini bahkan
diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari 65% pada tahun 2020 (WHO,
2003). Sebuah meta-analisis menunjukkan bahwa rata-rata kepatuhan pada pasien
diabetes adalah 67,5%, lebih rendah daripada yang ditemukan diantara banyak
kondisi (DiMetteo, 2004). Studi lain mengenai kepatuhan terhadap obat diabetes
yang dilakukan Cramer (2004) menunjukkan kepatuhan rata-rata ADO berkisar
36-93%.
3
Masalah ketidakpatuhan terhadap penggunaan obat dapat menjadi masalah
yang serius karena dapat mengakibatkan gagalnya terapi dan meningkatkan angka
hospitalisasi. Menurut World Health Organization (2003), sebesar 5,5% pasien
masuk rumah sakit akibat ketidakpatuhan terhadap terapi pengobatan. Kepatuhan
(adherence) yang baik merupakan hal yang penting. Kepatuhan yang bermanfaat
dalam terapi pengobatan berkaitan dengan mortalitas yang rendah dibanding
kepatuhan yang rendah, dan kepatuhan yang baik terhadap terapi obat yang
berbahaya berkaitan dengan meningkatnya mortalitas (Simpson et al., 2006).
Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh New England Health Institute,
sepertiga sampai setengah dari pasien Amerika tidak patuh terhadap pengobatan
(Zieger, 2010).
Diabetes
melitus
merupakan
penyakit
kronik
yang tidak
dapat
disembuhkan, tetapi sangat potensial untuk dapat dicegah dan dikendalikan
melalui pengelolaan diabetes melitus. Pengelolaan diabetes melitus meliputi
penggunaan obat, diet, program olahraga, dan lain sebagainya. Berhasil tidaknya
pengelolaan diabetes melitus sangat tergantung pada pasien dalam melaksanakan
kepatuhan menjalankan terapi pengobatan pada penderita diabetes melitus.
Meskipun memerlukan tingkat kepatuhan pengobatan yang tinggi,
kenyataannya tingkat kepatuhan pengobatan pasien dalam menjalankan program
pengobatan tidak cukup baik. Menurut data WHO (2003), rendahnya tingkat
kepatuhan pengobatan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
karakteristik pengobatan dan penyakit (kompleksitas terapi, durasi penyakit dan
delivery of care), faktor intrapersonal (umur, gender, self esteem, self efficacy,
4
stress, depresi dan penggunaan alkohol), faktor interpersonal (kualitas hubungan
pasien dengan penyedia layanan kesehatan dan dukungan sosial), dan faktor
lingkungan (situasi beresiko tinggi dan sistem lingkungan).
Menurut Albrecht (2011), terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi
compliance pasien terhadap pengobatan, seperti lupa, ketakutan terhadap efek
samping obat, tingginya biaya pengobatan, regimen pemberian obat yang
kompleks, jumlah obat, jenis penyakit dan efektifitas pengobatan, kurangnya
dukungan sosial, depresi, dan stress.
Ketidakpatuhan
merupakan
perilaku
yang
kompleks
yang
dapat
dipengaruhi oleh lingkungan dimana pasien tinggal, praktek penyedia layanan
kesehatan, dan sistem penyedia layanan kesehatan dalam memberikan perawatan.
Beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi ketidakpatuhan seperti efek
samping dari obat, biaya, keyakinan, budaya, dan lain-lain. Pada kenyataannya,
pasien bukan merupakan satu-satunya faktor yang mempengaruhi kepatuhan.
Penyedia layanan kesehatan, regimen pengobatan yang kompleks, akses dan
sistem pelayanan kesehatan juga dapat mempengaruhi ketidakpatuhan (Anonim,
2006).
Faktor demografik seperti minoritas etnik, rendahnya tingkat sosial
ekonomi, dan rendahnya tingkat edukasi menunjukkan rendahnya kepatuhan.
Faktor psikososial juga mempengaruhi kepatuhan pasien. Keyakinan kesehatan
seperti keseriusan penyakit diabetes, kerentanan terhadap komplikasi, dan efikasi
dari pengobatan dapat memprediksi kepatuhan dengan lebih baik. Pasien akan
mematuhi pengobatan dengan baik ketika pengobatan masuk akal bagi mereka,
5
ketika mereka percaya manfaat pengobatan melebihi biayanya, ketika pasien
merasa mampu mencapai kesuksesan dari pengobatan mereka, dan adanya
dukungan dari lingkungan (Delamater, 2006).
Secara umum, efek merugikan dari hiperglikemia adalah komplikasi
makrovaskular (penyakit arteri koroner, penyakit arteri perifer, dan stroke) dan
komplikasi mikrovaskular (nefropati diabetik dan retinopati) (Fowler, 2008).
Berbagai komplikasi yang muncul seperti neuropati diabetik, nefropati diabetik,
stroke, kebutaan, dan ulkus diabetik yang berpengaruh terhadap kualitas hidup
pasien DM (Salas et al., 2009). Pasien diabetes melitus yang mengalami
komplikasi maupun penyakit penyerta mendapatkan jumlah item obat yang
banyak atau polifarmasi. Secara khas, regimen multidrug diperlukan untuk
mengontrol hiperglikemia dan faktor resiko yang berkaitan dengan metabolisme
seperti hipertensi dan hiperlipidemia (Grant et al., 2002). Dailey et al. (2001)
menyatakan bahwa pasien yang memperoleh terapi tunggal (satu jenis obat)
memiliki kepatuhan jangka pendek maupun jangka panjang yang lebih baik
dibandingkan mereka yang mendapat terapi ganda. Terdapat bukti bahwa
kepatuhan lebih tinggi dengan satu obat daripada dua obat (Sheechan, 2003).
Claxton et al. (2001) menemukan kepatuhan berbanding terbalik dengan
frekuensi dosis pemberian. Tingkat kepatuhan yang tinggi dilaporkan oleh pasien
yang memiliki frekuensi dosis kecil (sekali sehari) dibandingkan mereka dengan
frekuensi dosis sering (tiga kali sehari) (WHO, 2003). Kepatuhan secara
signifikan lebih tinggi di antara pasien yang menggunakan obat dengan jadwal
6
dosis sekali sehari dibandingkan untuk dosis tiga kali sehari atau lebih sering
(Bosworth, 2010).
Penelitian-penelitian mengenai kepatuhan penggunaan obat terutama pada
pengobatan jangka panjang diharapkan dapat terus dikembangkan. Mengingat
perilaku pasien dalam mengonsumsi obat sangatlah bervariasi. Dengan begitu kita
bisa mengetahui penggunaan obat di kalangan masyarakat dan menentukan
intervensi yang dapat meningkatkan kepatuhan dalam penggunaan obat.
Pentingnya kepatuhan dalam mengonsumsi obat pada pengobatan jangka
panjang, serta tingginya prevalensi diabetes melitus mendorong dilakukannya
penelitian berjudul “Studi Kepatuhan Penggunaan Obat pada Pasien Diabetes
Melitus di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit UGM Yogyakarta, sehingga dapat
diketahui tingkat kepatuhan dan faktor-faktor yang menyebabkan ketidakpatuhan
dalam menggunakan obat. Rumah Sakit UGM berada di Jalan Kabupaten (Ring
Road), Kronggahan, Trihanggo, Gamping, Sleman, Yogyakarta dipilih karena
merupakan rumah sakit rujukan untuk pasien Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Banyak pasien diabetes melitus yang memilih untuk memeriksakan diri di rumah
sakit ini dengan alasan pelayanan yang cepat. Rumah Sakit UGM tidak hanya
menjadi rujukan untuk masyarakat wilayah Yogyakarta namun juga daerah sekitar
Yogyakarta, seperti Magelang.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut:
7
1. Seperti apa tingkat kepatuhan pasien diabetes melitus terhadap penggunaan
obat?
2. Apa saja faktor yang menyebabkan ketidakpatuhan penggunaan obat pada
pasien diabetes melitus?
3. Apakah terdapat hubungan antara jumlah item obat yang diresepkan dengan
tingkat kepatuhan?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui gambaran tingkat kepatuhan pasien diabetes melitus dalam
penggunaan obat.
2. Mengidentifikasi faktor penyebab ketidakpatuhan penggunaan obat pada
pasien diabetes melitus.
3. Mengetahui adanya hubungan jumlah item obat yang diresepkan dengan
tingkat kepatuhan.
D. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian di bidang farmasi klinik ini dapat memberikan
kontribusi dalam hal:
1. Bagi
Farmasis:
hasil
penelitian
ini
mengeksplorasi
permasalahan-
permasalahan dimasyarakat yang berkaitan dengan kepatuhan penggunaan
obat antidiabetes dan sedapat mungkin mengatasi permasalahan tersebut
8
sehingga farmasis menyiapkan solusi baru untuk meningkatkan kepatuhan
pasien.
2. Bagi Rumah Sakit: dapat diketahui tingkat kepatuhan pasien diabetes mellitus
di instalasi rawat jalan Rumah Sakit UGM Yogyakarta. Dengan demikian,
dapat memberikan saran melalui data yang diperoleh untuk pemberian
intervensi yang lebih tepat kepada pasien diabetes melitus sehingga
meningkatkan kepatuhan pasien dalam menggunakan obat.
3. Bagi masyarakat: penelitian ini memberikan informasi mengenai penggunaan
obat khususnya antidiabetes sehingga dapat menjadi umpan balik bagi pasien
agar dapat meningkatkan kepatuhan penggunaan obat dan secara luas dapat
meningkatkan derajat kesehatan dan kualitas hidup masyarakat.
E. Tinjauan Pustaka
1. Diabetes Melitus
a. Definisi
Diabetes melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau
gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai
dengan tingginya kadar glukosa darah disertai dengan gangguan
metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein sebagai akibat insufisiensi
fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh
gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel β Langerhans
kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel
tubuh terhadap insulin (WHO, 1999).
9
Diabetes melitus adalah sekelompok gangguan metabolik yang
dicirikan
oleh
hiperglikemia
dan
ketidaknormalan
metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein, yang diakibatkan oleh kelainan dalam
sekresi insulin, sensitivitas insulin, atau keduanya (Wells et al.¸ 2009).
Didefinisikan sebagai DM jika pernah didiagnosis menderita
kencing manis oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita
kencing manis oleh dokter tetapi dalam 1 bulan terakhir mengalami
gejala: sering lapar dan sering haus dan sering buang air kecil dan jumlah
banyak dan berat badan turun (Riskesdas, 2013).
b. Epidemiologi
Penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan
peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe 2 di berbagai
penjuru dunia. Prevalensi diabetes untuk semua kelompok usia di seluruh
dunia diperkirakan menkadi 2,8% pada tahun 2000 dan 4,4% pada tahun
2030. Jumlah kesuluruhan penderita diabetes diperkirakan meningkat
dari 171 juta pada 2000 menjadi 366 juta pada tahun 2030. Prevalensi
diabetes pada laki-laki lebih tinggi daripada pada wanita, namun jumlah
penderita diabetes wanita lebih banyak daripada laki-laki (Wild, 2004).
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013,
tingkat prevalensi DM di Indonesia yang terdiagnosis dokter sebesar
1,5%. Prevalensi DM yang berdasarkan wawancara sebesar 2,1%. Angka
ini lebih tinggi dibanding dengan tahun 2007 (1,1%). DI Yogyakarta
merupakan provinsi dengan prevalensi diabetes tertinggi (2,6%)
(Riskesdas, 2013).
10
c. Tanda dan Gejala
Deteksi dini dan pengobatan diabetes dapat menurunkan risiko
terjadinya komplikasi diabetes. Berikut ini gejala diabetes yang khas
menurut American Diabetes Association (ADA, 2014):
1) Sering buang air kecil
2) Merasa sangat haus
3) Merasa sangat lapar, meskipun telah makan
4) Merasa sangat kelelahan
5) Pandangan kabur
6) Luka/memar yang sukar sembuh
7) Berat badan menurun drastic, meskipun telah makan lebih banyak
(tipe 1)
Penegakan diagnosis pada diabetes melitus dilakukan jika pasien
mulai mengalami gejala DM yang khas, seperti polifagia, polidipsia, dan
poliuria (Well et al., 2009). Keluhan lain juga dapat terjadi pada
beberapa penderita DM, seperti penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya, lemah, kesemutan, gatal, dan disfungsi ereksi pada
pria (PERKENI, 2006).
d. Klasifikasi
Berdasarkan American Diabetes Association (ADA, 2008),
klasifikasi berdasarkan etiologis DM adalah sebagai berikut:
11
Tabel I. Klasifikasi Etiologis DM (ADA, 2008)
DM Tipe 1
DM Tipe 2
DM Tipe lain
Destruksi sel β, umumnya menjurus ke defisiensi insulin
absolut
 Melalui proses imunologik
 Idiopatik
Bervariasi, mulai dari predominan resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relatif sampai predominan gangguan sekresi
insulin dengan resistensi insulin
 Defek genetik fungsi sel beta
 Defek genetik kerja insulin
 Penyakit eksokrin pankreas
 Endokrinopati
 Karena obat atau zat kimia
 Infeksi
 Sebab imunologi jarang
 Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM
Diabetes
Gestasional
1) Diabetes Melitus Tipe 1
Diabetes melitus tipe 1 disebut juga dengan istilah diabetes
tergantung insulin atau diabetes yang muncul sejak kanak-kanak
atau remaja (bahasa Inggris: childhood-onset diabetes, juvenile
diabetes, insulin-dependent diabetes mellitus, IDDM) hanya terjadi
pada sekitar 5-10 % dari total kejadian seluruh kasus diabetes.
Lebih dari 95% penderita DM tipe 1 berkembang menjadi penyakit
diabetes sebelum umur 25 tahun (ADA, 2008). Pada umumnya,
terdiagnosa pada anak-anak atau dewasa muda yang diakibatkan
oleh kerusakan imun dari sel β pankreas, yang menyebabkan
kekurangan insulin secara absolut. Hiperglikemia timbul ketika
80% hingga 90% sel β telah rusak. Faktor yang menginisiasi proses
autoimun masih belum diketahui, namun proses dimediasi oleh
12
makrofag dan limfosit T dengan autoantibodi yang bersirkulasi ke
berbagai antigen sel β (Wells et al., 2009).
Diabetes jenis ini dikarakterisasi oleh defisiensi produksi
insulin
absolut
akibat
detruksi
sel
β
pankreas
sehingga
membutuhkan pemberian insulin eksogen setiap harinya (Well et
al., 2009). Destruksi sel β pankreas dapat disebabkan karena reaksi
autoimun, seperti autoantibodi sel islet, autoantibodi terhadap
insulin, autoantibodi terhadap dekarboksilase asam glutamat, dan
autoantibodi terhadap fosfatase tirosin IA-2 dan IA-2 β (ADA,
2008).
2) Diabetes Melitus Tipe 2
Diabetes melitus tipe 2 juga dikenal dengan istilah diabetes
yang tidak tergantung insulin atau diabetes yang muncul setelah
dewasa (bahasa Inggris: adult-onset diabetes, obesity-related
diabetes, non-insulin-dependent diabetes mellitus, NIDDM).
Penderita DM tipe 2 mencapai sekitar 90% dari seluruh populasi
penderita diabetes (Depkes, 2005; ADA, 2008). Biasanya dicirikan
dengan adanya resistensi insulin dan kekurangan insulin relatif.
Resistensi insulin ditunjukkan oleh peningkatan lipolisis dan
produksi asam lemak bebas, peningkatan produksi glukosa hepatik,
dan penurunan uptake glukosa oleh otot skeletal. Disfungsi sel β ini
progresif dan mengakibatkan semakin memburuknya kontrol gula
darah. Diabetes melitus tipe 2 terjadi akibat diabetogenic lifestyle
13
(kalori yang berlebihan, kurangnya olahraga, obesitas) (Wells et
al., 2009).
Pada tahap awal kelainan yang muncul adalah berkurangnya
sensitifitas terhadap insulin, yang ditandai dengan meningkatnya
kadar insulin di dalam darah. Hiperglikemia dapat diatasi dengan
obat anti diabetes yang dapat meningkatkan sensitifitas terhadap
insulin atau mengurangi produksi glukosa dari hepar, namun
semakin parah penyakit, sekresi insulin pun semakin berkurang,
dan terapi dengan insulin kadang dibutuhkan. Ada beberapa teori
yang menyebutkan penyebab pasti dan mekanisme terjadinya
resistensi ini, namun obesitas sentral diketahui sebagai faktor
predisposisi terjadinya resistensi terhadap insulin, dalam kaitan
dengan pengeluaran dari adipokinesnya (suatu kelompok hormon)
itu merusak toleransi glukosa. Obesitas ditemukan di kira-kira 90%
dari pasien dunia dikembangkan diagnosis dengan jenis 2 kencing
manis. Faktor lain meliputi mengeram dan sejarah keluarga,
walaupun di dekade yang terakhir telah terus meningkat mulai
untuk memengaruhi anak remaja dan anak-anak (Anonim, 2013).
Diabetes tipe 2 dapat terjadi tanpa ada gejala sebelum hasil
diagnosis. Diabetes tipe 2 biasanya, awalnya, diobati dengan cara
perubahan aktivitas fisik (olahraga), diet (umumnya pengurangan
asupan karbohidrat), dan lewat pengurangan berat badan (Anonim,
2013).
14
3) Diabetes Melitus tipe spesifik lainnya (secondary diabetes)
Diabetes yang disebabkan oleh faktor-faktor lain terjadi pada
sekitar 1-2% dari semua kasus diabetes (ADA, 2011). Diabetes ini
disebabkan oleh faktor spesifik lain, antara lain kerusakan genetik
pada fungsi sel beta pankreas, kerusakan genetik pada aksi insulin,
penyakit kelenjar eksokrin (misal sistik fibrosis), dan diabetes
akibat pemakaian obat tertentu (Guyton & Hall, 2007).
4) Diabetes Melitus Gestasional (Gestational Diabetes Mellitus/
GDM)
Diabetes melitus gestasional adalah hiperglikemia yang
timbul selama masa kehamilan. Hiperglikemia timbul akibat
intoleransi glukosa dan biasanya berlangsung hanya sementara.
Sekitar 7% wanita hamil diketahui menderita GDM, dan umumnya
terdeteksi pada atau setelah trimester kedua (ADA, 2003; ADA,
2011). Gestational Diabetes Mellitus mungkin dapat merusak
kesehatan janin atau ibu, dan sekitar 20–50% dari wanita penderita
GDM bertahan hidup (Anonim, 2013).
e. Diagnosis
Screening test yang direkomendasikan oleh Wells et al. (2009)
adalah fasting plasma glucose (FPG). Nilai FPG normal adalah kurang
dari 100 mg/dL (5,6 mmol/L). Penegakan diabetes dapat dilakukan
dengan tiga cara, yaitu (Wells et al., 2009):
15
1) Ada keluhan klinis dan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dL
2) Dengan ada tanda klasik dan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL
3) Dengan Test Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban 75
gram glukosa dan puasa 10 jam. Akan ditemukan impaired
glucose tolerance (IGT) apabila 2 jam 140-199 mg/dL atau
impaired fasting glucose (IFG) apabila plasma puasa antara 100125 mg/dL. Diagnosis diabetes apabila glukosa 2 jam pada TTGO
≥200 mg/dL.
f. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah untuk meningkatkan
kualitas hidup penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan jangka
pendek adalah menghilankan keluhan dan tanda DM, mempertahankan
rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah. Tujuan
penatalaksanaan jangka panjang adalah mencegah dan menghambat
progesivitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati.
Sedangkan tujuan akhir penatalaksanaan adalah turunnya morbiditas dan
mortalitas DM (Perkeni, 2011).
Penatalaksanaan
non
farmakologi
diartikan
sebagai
penatalaksanaan tanpa obat, meliputi (Wells et al., 2009; Perkeni, 2011):
1) Pengaturan diet
Fokus utama penatalaksanaan DM adalah diet seimbang untuk
mencapai dan mempertahankan berat badan ideal. Prinsip pengaturan
16
pola makan pada penderita diabetes hampir sama dengan anjuran makan
untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai
dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada
penderita diabetes yang perlu ditekankan adalah pentingnya keteraturan
jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Penerapan
pengaturan diet yang baik pada penderita DM tipe 2 dapat membantu
mengontrol glukosa darah sehingga dapat menurunkan kadar HbA1c,
yang akhirnya dapat menurunkan resiko progesivitas berbagai komplikasi
yang mungkin dapat timbul akibat penyakit DM.
2) Olahraga
Olahraga dapat meningkatkan sensitivitas insulin, membantu
mengontrol glukosa darah, menurunkan faktor resiko kardiovaskular, dan
membantu menurunkan atau mempertahankan berat badan.
Berikut adalah terapi farmakologi untuk diabetes melitus menurut
Wells et al. (2009):
1) Insulin
Mekanisme kerja insulin adalah menurunkan kadar gula darah
dengan menstimulasi pengambilan glukosa perifer dan menghambat
produksi glukosa hepatik. Insulin diindikasikan untuk DM tipe 1, DM
tipe 2 yang gula darahnya tidak dapat dikendalikan dengan diet dan
antidiabetik oral, DM dengan berat badan yang menurun cepat, DM
dengan komplikasi akut, DM paska bedah pankreas, ketoasidosis dan
17
koma hiperosmolar, DM dengan kehamilan. Insulin memiliki efek
samping hipoglikemia dan reaksi alergi.
Tabel II. Sediaan Insulin Berdasarkan Onset dan Durasi (Well et al., 2009)
Tipe
Insulin
Kerja cepat
Aspart
Lispro
Glulisine
Onset
15-30
menit
15-30
menit
15-30
menit
Kerja pendek
Regular
30-60
menit
Kerja intermediet
NPH
2-4 jam
Kerja panjang
Glargine
4-5 jam
Detemir
2 jam
Puncak
(jam)
Durasi
(jam)
Durasi
Maksimum
(jam)
Penampilan
1-2
3-5
5-6
Jernih
1-2
3-4
4-6
Jernih
1-2
3-4
5-6
Jernih
2-3
3-6
6-8
Jernih
4-6
8-12
14-18
Keruh
6-9
22-24
14-24
24
24
Jernih
Jernih
2) Sulfonilurea
Obat golongan sulfonilurea bekerja merangsang sekresi insulin
pada pankreas sehingga hanya efektif bila sel β pankreas masih dapat
berproduksi. Obat golongan ini terutama diindikasikan untuk NIDDM
ringan-sedang. Sulfonilurea dapat menurunkan kadar HbA1c hingga 0,82,0% dan menurunkan kadar glukosa puasa 60-70 mg/dl (3,3-3,9
mmol/l). Obat golongan sulfonilurea antara lain klorpropamid, glikazid,
glibenklamid, glipizid, gliquidon, glimepirid, dan tolbutamid.
3) Biguanid
Biguanid adalah obat antidiabetes oral yang tidak memiliki efek
stimulasi sekresi insulin sehingga tidak memiliki efek hipoglikemia.
18
Biguanid bekerja menghambat glukoneogenesis dan meningkatkan
penggunaan glukosa di jaringan. Salah satu golongan biguanid adalah
metformin HCl. Metformin diindikasikan untuk NIDDM yang gagal
dikendalikan dengan diet dan sulfonilurea, terutama pada pasien yang
gemuk. Metformin memiliki efek samping mual, muntah, anoreksia, dan
diare yang selintas; asidosis laktat; gangguan penyerapan vitamin B12.
4) Tiazolidindion
Mekanisme golongan obat ini adalah dengan meningkatkan
sensitivitas insulin pada otot dan jaringan adipose dan menghambat
glukoneogenesis hepatik. Contoh obat golongan tiazolidindion adalah
pioglitazon dan rosiglitazon. Penggunaan tiazolidin menurunkan HbA1C
sekitar 0,5-1,5% dan kadar glukosa puasa 25-50 mg/dl (1,4-2,8 mmol/l).
Efek samping yang sering timbul akibat penggunaan tiazolidindion yaitu
peningkatan berat badan dan penignkatan kadar transaminase.
5) Penghambat α-glukosidase
Salah satu contoh obat golongan ini adalah akarbose. Akarbose
bekerja menghambat α-glukosidase sehingga mencegah penguraian
sukrosa dan karbohidrat kompleks dalam usus halus dengan demikian
memperlambat dan menghambat penyerapan karbohidrat. Akarbose
digunakan sebagai tambahan terhadap sulfonilurea atau biguanid pada
DM yang tidak dapat dikenadlikan dengan obat dan diet. Penggunaan
penghambat α-glukosidase dapat menurnkan kadar HbA1C sekitar 0,3-
19
1,0% dan kadar glukosan darah puasa 40-50 mg/dl (1,9-2,2 mmol/l).
Efek samping obat golongan ini umumnya berupa flatulensi, mual, diare.
Kadar glukosa rata-rata untuk pasien diabetes tipe 1 harus sedekat
mungkin ke angka normal (80-120 mg/dl, 4-6 mmol/l). Beberapa dokter
menyarankan sampai ke 140-150 mg/dl (7-7.5 mmol/l) untuk mereka
yang bermasalah dengan angka yang lebih rendah, seperti "frequent
hypoglycemic events". Kadar glukosa darah di atas 200 mg/dl (10
mmol/l) seringkali diikuti dengan rasa tidak nyaman dan buang air kecil
yang terlalu sering sehingga menyebabkan dehidrasi. Kadar glukosa
darah di atas 300 mg/dl (15 mmol/l) biasanya membutuhkan perawatan
secepatnya dan dapat mengarah ke ketoasidosis. Kadar glukosa darah
yang rendah, yang disebut hipoglisemia, dapat menyebabkan kehilangan
kesadaran (Anonim, 2013).
Manajemen terapi untuk pasien diatas usia 18 tahun dengan
prediabetes atau DM tipe 2 yang dikutip dari Diagnosis and Management
of Type 2 Diabetes Melitus in Adults (2014), meliputi:
1) Terapi farmakologi
i. Manajemen glikemik, termasuk terapi insulin, agen non-insulin,
dan kombinasi.
ii. Kontrol tekanan darah, termasuk angiotensin-converting enzyme
(ACE) inhibitors dan angiotensin II receptor blockers (ARBs),
diuretic thiazid
20
iii. Statin
2) Edukasi dan self-management
i. Program terapi nutrisi
ii. Program aktivitas fisik (didahului oleh assessment medis dari
kondisi fisik, keterbatasan, resiko penyakit kardiovaskuler,
cardiac stress testing, dan kontrol glukosa darah)
iii. Manajemen berat badan
iv. Perawatan kaki
v. Community resource
3) Tindakan lain untuk mengurangi resiko kardiovaskuler: penggunaan
aspirin, program penghentian merokok
4) Penilaian berkelanjutan untuk komplikasi; terapi dan/atau rujukan
untuk komplikasi yang sesuai.
Risiko hipoglikemi pada pemberian OAD dan insulin harus selalu
diingat, demikian pula risiko hiponatremia. Penggunaan OAD generasi 2
(glipizid dan gliburid) dianjurkan sebab resorbsinya lebih cepat, karena
adanya non-ionic-binding dengan albumin, sehingga risiko interaksi obat
berkurang, demikian pula risiko hiponatremia dan hipoglikemia lebih
rendah (Goldberg, 1987).
g. Evaluasi outcome therapy
Berikut
merupakan
evaluasi
keberhasilan
diabetes melitus dikutip dari Wells et al. (2009):
penatalaksanaan
21
 A1C merupakan standar yang digunakan saat ini untuk mengevaluasi
kontrol glikemik jangka panjang untuk 3 bulan sebelumnya. Ini
harus diukur setidaknya dua kali setahun pada pasien untuk
memenuhi tujuan pengobatan pada rejimen terapi yang stabil.
 Terlepas dari rejimen insulin yang dipilih, penyesuaian total dosis
harian insulin dapat dibuat berdasarkan pengukuran A1C dan gejala
seperti sebagai poliuria, polidipsia, dan peningkatan atau penurunan
berat badan.
 Pasien yang menerima insulin harus ditanya tentang mengenali
hipoglikemia setidaknya setiap tahun. Dokumentasi frekuensi
hipoglikemia dan pengobatan yang diperlukan harus dicatat.
 Pasien yang menerima insulin sebelum tidur harus dipantau terhadap
gejala hipoglikemia dengan menanyakan tentang berkeringat di
malam hari, jantung berdebar, dan mimpi buruk.
 Pasien dengan DM tipe 2 harus memiliki urinalisis rutin pada
diagnosis sebagai tes skrining awal untuk albuminuria. Jika positif,
24 jam urin untuk penilaian kuantitatif akan membantu dalam
mengembangkan rencana pengobatan. Jika urinalisis negatif protein,
dianjurkan tes untuk mengevaluasi kehadiran mikroalbuminuria.
 Profil lipid saat puasa harus diperoleh pada setiap kunjungan tindak
lanjut jika stabil dan tidak menjadi tujuan terapi dilakukan per tahun
atau setiap 2 tahun jika profil menunjukkan risiko rendah.
22
 Frekuensi teratur tes penilaian kaki (setiap kunjungan), penilaian
albumin urin (per tahun), dan ujian pelebaran ophthalmologic
(tahunan atau lebih sering bila terjadi kelainan) juga harus
didokumentasikan.
 Penilaian untuk influenza dan pemberian vaksin pneumokokus dan
penilaian serta manajemen faktor risiko kardiovaskular lainnya
(misalnya, merokok dan terapi antiplatelet) adalah komponen suara
preventif strategi pengobatan.
2. Kepatuhan
a. Definisi kepatuhan
Kepatuhan adalah tingkat perilaku pasien yang tertuju terhadap
instruksi atau petunjuk yang diberikan dalam bentuk terapi apapun yang
ditentukan, baik diet, latihan, pengobatan atau menepati janji pertemuan
dengan dokter (Stanley, 2007). Kepatuhan terhadap pengobatan
didefinisikan sebagai sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan
instruksi yang diberikan oleh tenaga medis mengenai penyakit dan
pengobatannya. Tingkat kepatuhan untuk setiap pasien biasanya
digambarkan sebagai persentase jumlah obat yang diminum setiap
harinya dan waktu minum obat dalam jangka waktu tertentu (Osterberg
& Terrence, 2005).
Sebagian penyedia layanan kesehatan menggunakan istilah
kesesuaian (compliance) bukan kepatuhan (adherence). Kesesuaian
23
didefinisikan sebagai sejauh mana perilaku seseorang bertepatan dengan
saran medis. Non compliance kemudian pada dasarnya berarti bahwa
pasien tidak mematuhi saran dari penyedia layanan kesehatan.
Ketidaksesuaian pasien dipengaruhi oleh kualitas pribadi dari pasien,
seperti lupa, kurangnya kemauan atau sikap disiplin, atau rendahnya
tingkat pendidikan. Kepatuhan (adherence) didefinisikan sebagai sikap
aktif, sukarela, keterlibatan kolaborasi pasien dalam menerima perilaku
untuk menghasilkan outcome therapy. Konsep dari kepatuhan adalah
pilihan
dalam
penetapan
tujuan,
perencanaan
perawatan,
dan
implementasi dari regimen (Delamater, 2006).
Menurut WHO (2003), kepatuhan (adherence) didefinisikan
sebagai tingkat perilaku seseorang dalam menjalankan pengobatan,
mengikuti diet, dan/atau melaksanakan perubahan gaya hidup, sesuai
dengan rekomendasi yang telah disepakati dengan penyedia layanan
kesehatan. Sedangkan compliance merupakan tingkat perilaku seseorang
dalam menjalankan pengobatan sesuai dengan petunjuk atau perintah
yang diberikan oleh petugas kesehatan. Disini pasien berperan pasif
dalam proses pengobatan, mengikuti perintah dokter dan rencana terapi
tidak didasarkan pada therapeutic alliance atau kesepakatan antara
pasien dan dokter, sehingga penggunaan istilah ini sudah tidak begitu
disukai.
Kepatuhan (adherence) didefinisikan sebagai mengikuti instruksi
yang telah diberikan, hal ini melibatkan pilihan konsumen dan tidak
24
bersifat menghakimi, tidak seperti compliance yang menuntut pasien
bersifat pasif. Ketidakpatuhan terapi meliputi penundaan pengambilan
resep, tidak mengambil obat yang diresepkan, tidak mematuhi dosis, dan
mengurangi frekuensi penggunaan obat (Bosworth, 2010). Menurut
George dan Shalansky (2007), adherence juga mempengaruhi persepsi
pasien terhadap hambatan dari adherence dan pentingnya untuk membuat
perubahan gaya hidup menyesuaikan dengan regimen terapi yang
direkomendasikan.
Istilah lain untuk kepatuhan adalah concordance. Concordance
sendiri bukan merupakan sinonim dari compliance atau adherence.
Concordance bukan merupakan perilaku pasien dalam menggunakan
obatnya, namun lebih berdasar dari interaksi antara dokter dan pasien.
Hal tersebut berdasarkan gagasan bahwa konsultasi antara dokter dan
pasien merupakan negosiasi yang seimbang. Dokter harus menghargai
hak-hak pasien memutuskan untuk mengambil obat yang diresepkan atau
tidak (Bell et al., 2007). Bell et al. (2007) menyatakan bahwa tujuan dari
concordance adalah pembentukan hubungan terapeutik anatara dokter
dan pasien. Concordance dikaitkan dengan patient-centred care.
Nonconcordance dapat terjadi apabila hubungan tersebut tidak terbentuk
dan oleh karena itu merupakan kegagalan dari interaksi tersebut (Bell et
al., 2007).
25
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan
Kepatuhan pasien dalam pengobatannya dapat diperngaruhi oleh
berbagai faktor. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan
pasien dalam pengobatannya antara lain (Osterberg & Terrence, 2005;
Delamater, 2006; Kocurek, 2009):
1) Faktor demografi
Faktor demografi, seperti suku, status sosio-ekonomi yang
rendah, dan tingkat pendidikan yang rendah dikaitkan dengan
kepatuhan yang rendah terhadap pengobatan.
2) Faktor psikologi
Faktor psikologi juga dikaitkan dengan kepatuhan terhadap
regimen pengobatan. Kepercayaan terhadap pengobatan dapat
meningkatkan kepatuhan. Sedangkan faktor psikologi, seperti
depresi, cemas, dan gangguan makan yang dialami pasien dikaitkan
dengan ketidakpatuhan.
3) Faktor sosial
Hubungan antara anggota keluarga dan masyarakat juga
berperan
penting
dalam
pengelolaan
diabetes.
Penelitian
menunjukkan bahwa pasien dengan tingkat masalah atau konflik
yang rendah dan pasien yang mendapat dukungan dan memiliki
komunikasi yang baik antara keluarga atau masyarakatnya
cenderung memiliki tingkat kepatuhan yang lebih baik. Dukungan
26
sosial juga dapat menurunkan rasa depresi atau stres penderita
terhadap pengelolaan diabetes.
4) Faktor yang berhubungan dengan penyakit dan medikasi
Penyakit kronik yang diderita pasien, regimen obat yang
kompleks, dan efek samping obat yang terjadi pada pasien dapat
meningkatkan ketidakpatuhan pada pasien. Penelitian pada pasien
diabetes menunjukkan kepatuhan yang lebih tinggi pada pasien
dengan regimen pengobatan yang sederhana dibandingkan dengan
regimen pengobatan yang kompleks.
5) Faktor yang berhubungan dengan tenaga kesehatan
Komunikasi yang rendah dan kurangnya waktu yang dimiliki
tenaga kesehatan, seperti dokter menyebabkan informasi menjadi
kurang sehingga pasien tidak cukup mengerti dan paham akan
pentingnya pengobatan. Keterbatasan tenaga kesehatan lain, seperti
apoteker, waktu dan keahlian yang dimiliki apoteker juga
berpengaruh terhadap pemahaman pasien mengenai penggunaan
obat sehingga cenderung meningkatkan ketidakpatuhan pasien.
c. Metode Pengukuran Tingkat Kepatuhan
Sebagai sebuah perilaku, aspek-aspek kepatuhan pasien dalam
mengkonsumsi obat dapat diketahui dari metode yang digunakan untuk
mengukurnya.
27
Tabel III. Metode Pengukuran Kepatuhan Pasien (Horne, 2006)
Metode
Metode Langsung
Obsevasi langsung
Kekuatan
Kelemahan
Paling akurat
Pasien dapat menyembunyikan pil
dalam
mulut,
kemudian
membuangnya, kurang praktis
untuk penggunaan rutin
Mengukur tingkat Objektif
Variasi-variasi
dalam
metabolisme
metabolisme
bisa
membuat
dalam tubuh
impresi yang salah, mahal
Mengukur aspek Objektif, dalam penelitian Memerlukan
penghitungan
biologis
dalam klinis,
dapat
juga kuantitatif yang mahal
darah
digunakan
untuk
mengukur placebo
Metode Tidak Langsung
Kuesioner kepada Simpel, tidak mahal, Sangat mungkin terjadi kesalahan,
pasien/pelaporan
paling banyak dipakai dalam waktu antar kunjungan
diri pasien
dalam seting klinis
dapat terjadi distorsi
Jumlah
pil/obat Objektif, kuantitatif dan Data dapat dengan mudah
yang dikonsumsi
mudah dilakukan
diselewengkan oleh pasien
Rate beli ulang Objektif, mudah untuk Kurang ekuivalen dengan perilaku
resep (kontinuitas) mengumpulkan data
minum
obat,
memerlukan
sistemfarmasi yang tertutup
Assessment
Simpel, umumnya mudah Faktor-faktor
lain
selain
terhadap
respon digunakan
oengobatan
tidak
dapat
klinis pasien
dikendalikan
Monitoring
Sangat
akurat,
hasil Mahal
pengobatan secara mudah dikuantifikasi, pola
elektronik
minum
obat
dapat
diketahui
Mengukur ciri-ciri Sering
mudah
untuk Ciri-ciri fisiologis mungkin tidak
fisiologis
(misal dilakukan
Nampak karena alasan-alasan
detak jantung)
tertentu
Catatan
harian Membantu
untuk Sangat
mudah
dipengaruhi
pasien
mengoreksi ingatan yang kondisi pasien
rendah
Kuesioner
Simpel, objektif
Terjadi distorsi
terhadap
orangorang
terdekat
pasien
Tingkat kepatuhan terhadap pengobatan dapat diukur melalui dua
metode, yaitu (Osterberg & Terrence, 2005):
28
1) Metode langsung
Pengukuran
kepatuhan
melalui
metode
langsung
dapat
dilakukan dengan beberapa cara, seperti mengukur konsentrasi obat
atau metabolit obat di dalam darah atau urin, mengukur atau mendeteksi
petanda biologi di dalam. Metode ini umumnya mahal, memberatkan
tenaga kesehatan, dan rentan terhadapa penolakan pasien.
2) Metode tidak langsung
Pengukuran kepatuhan melalui metode tidak langsung dapat
dilakukan dengan bertanya kepada pasien tentang penggunaan obat,
menggunakan kuesioner, menilai respon klinik pasien, menghitung
jumlah pil obat, dan menghitung tingkat pengambilan kembali resep
obat.
d. Morisky’s Medication Adherence Scale (MMAS-8)
Morisky et al. mengembangkan MMAS untuk mengetahui
kepatuhan pasien berupa kuesioner. MMAS pertama kali diaplikasikan
untuk mengetahui compliance pada pasien hipertensi pada pre dan post
interview. Morisky et al. mempublikasikan versi terbaru pada tahun 2008
yaitu MMAS-8 dengan reliabilitas yang lebih tinggi yaitu 0,83 serta
sensitivitas dan spesifitas yang lebih tinggi pula.
Morisky secara khusus membuat skala untuk mengukur
kepatuhan
dalam
mengonsumsi
obat
yang
dinamakan
Morisky
Medication Adherence Scale (MMAS), dengan delapan item yang berisi
29
pernyataan-pernyataan yang menunjukkan frekuensi kelupaan dalam
minum obat, kesengajaan berhenti minum obat tanpa sepengetahuan
dokter, kemampuan untuk mengendalikan dirinya untuk tetap minum
obat (Morisky & Muntner, 2009).
MMAS-8 terdiri dari delapan sebagai berikut:
1. Do you sometimes forget to take your high BP-pills?
2. Over the past 2 weeks, were there any days that you did not take
yaour high-BP medication?
3. Have you ever cut back or stopped taking your medication without
telling your doctor because you felt worse when you took it?
4. When you travel or leave home do you sometimes forget to bring
your drug?
5. Did you take your high-BP medication yesterday?
6. When you feel that your BP is under control, do you sometimes stop
taking your medication?
7. Taking medication everyday is real inconvenience for some people.
Do you ever feel hassled about slicking to your BP medication plan?
8. How often do you have difficulty remembering to take your BP
medication?
Kuesioner MMAS-8 adalah alat penilaian dari WHO yang sudah
divalidasi dan sering digunakan untuk menilai kepatuhan pengobatan
pasien dengan penyakit kronik, seperti diabetes melitus. MMAS-8
berisi delapan pertanyaan tentang penggunaan obat dengan jawaban ya
30
dan tidak. Nilai MMAS-8 yang tinggi menunjukkan tingkat kepatuhan
pasien terhadap pengobatan rendah (Krapek, 2004; Coppel et al., 2008).
e. Pharmacy Refill
Metode ini dapat mengukur kepatuhan dengan melihat tanggal
ketika obat diambil. Tanggal dapat diperoleh dari apotek atau penyedia
layanan obat lain. Pada metode ini pasien dinyatakan telah melewatkan
pengobatan ketika pengambilan obat tidak sesuai dengan tanggal yang
ditentukan (Machtinger & Bangsberg, 2006). Seberapa cepat menebus
resep/mengambil obat untuk periode pengobatan selanjutnya adalah alat
ukur yang akurat untuk keseluruhan tingkat kepatuhan dalam sistem
farmasi tertutup (Steiner & Prochazka, 1997).
3. Rumah Sakit
Berdasarkan Undang Undang nomor 44 tahun 2009, Rumah Sakit
adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat
inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Rumah Sakit mempunyai tugas
memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna (Depkes RI,
2009).
Pengaturan penyelenggaraan Rumah Sakit bertujuan (Depkes RI,
2009):
31
a. mempermudah
akses
masyarakat
untuk
mendapatkan
pelayanan
kesehatan;
b. memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat,
lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit;
c. meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit;
dan
d. memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya
manusia rumah sakit, dan Rumah Sakit.
Rumah
Sakit
pendidikan
merupakan
Rumah
Sakit
yang
menyelenggarakan pendidikan dan penelitian secara terpadu dalam bidang
pendidikan profesi kedokteran, pendidikan kedokteran berkelanjutan, dan
pendidikan tenaga kesehatan lainnya (Depkes RI, 2009).
Pada awalnya rumah sakit pendidikan bagi Fakultas Kedokteran UGM
adalah Rumah Sakit Umum Pusat dr. Sardjito yang berlokasi di daerah Sekip
di dalam kampus UGM, dekat dengan Fakultas Kedokteran UGM. Beberapa
tahun belakangan, tenaga pendidik dan peserta didik yang menempuh
pendidikan profesi di rumah sakit ini merasa bahwa RSUP dr. Sardjito sudah
tidak mencukupi lagi sebagai tempat memperoleh keterampilan klinis
terutama bagi calon dokter (mahasiswa profesi kedokteran). Atas latar
belakang tersebut maka dibangun rumah Rumah Sakit Akademik UGM yang
berada di Jalan Kabupaten (Ring Road), Kronggahan, Trihanggo, Gamping,
Sleman, Yogyakarta. (Anonima, 2012).
32
RS Akademik UGM ini dibangun secara bertahap sesuai dengan
strategi pertumbuhan dalam pembangunan dan pengembangannya dengan
dana APBN Kemendikbud. RS Akademik UGM didesain dengan konsep
mendasar pelavanan kesehatan terpadu dan terintegrasi dalam klaster-klaster
dengan multiprofessional
team
work dan
sistem
pendidikan
klinik
“interprofessional and transprofessional“.
Pada akhir tahun 2014 RS Akademik UGM berganti nama menjadi
Rumah Sakit UGM Yogyakarta. Rumah Sakit UGM memliki visi, misi dan
motto dalam beroperasi untuk memberikan pelayanan kesehatan yang optimal
kepada masyarakat. Rumah Sakit UGM dengan tipe B ini memiliki visi
menjadi rumah sakit akademik yang melaksanakan pelayanan, pendidikan
dan riset yang unggul, berkelas dunia, mandiri, bermartabat dan mengabdi
kepada kepentingan masyarakat. Untuk mencapai visi tersebut maka misi dari
Rumah Sakit UGM adalah sebagai berikut:
a. Menyelenggarakan
pelayanan
kesehatan
terpadu
yang
bermutu
dengan mengutamakan aspek pendidikan berbasis riset,
b. Melaksanakan pelayanan kesehatan paripurna berdasarkan evidence dan
riset IPTEKDOK,
c. Menyelenggarakan riset klinik dan non klinik yang berwawasan global,
d. Melaksanakan pengabdian kepada kepentingan kesehatan masyarakat,
e. Meningkatkan kemandirian Rumah Sakit Akademik dan kesejahteraan
karyawan.
(Anonimb, 2012)
33
F. Landasan Teori
Diabetes melitus adalah penyakit kronik yang tidak menyebabkan
kematian secara langsung tetapi dapat berakibat fatal apabila pengelolaanya tidak
tepat (Kocurek, 2009). Penatalaksanaan DM yang tidak tepat menyebabkan
glukosa darah pasien menjadi sulit terkontrol sehingga dapat meningkatkan biaya
terapi pasien dan menimbulkan munculnya berbagai komplikasi, seperti neuropati
diabetik, nefropati diabetik, stroke, kebutaan, dan ulkus diabetik yang
berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien DM (Salas et al., 2009).
Salah satu faktor yang berperan dalam kegagalan pengontrolan glukosa
darah pasien DM adalah kepatuhan pasien terhadap pengobatan (Suppapitiporn,
2005). Ketidakpatuhan terhadap pengobatan DM saat ini masih menjadi masalah
yang cukup penting dalam pengelolaan DM. Beberapa studi melaporkan bahwa
tingkat kepatuhan penderita DM tipe 1 berkisar antara 70-83% sedangkan DM
tipe 2 sekitar 64-78%. Tingkat kepatuhan pasien DM tipe 2 yang lebih rendah
dibandingkan DM tipe 1 dapat disebabkan oleh regimen terapi yang umumnya
lebih bersifat kompleks dan polifarmasi, serta efek samping obat yang timbul
selama pengobatan (Delamater, 2006). Selain faktor yang berhubungan dengan
medikasi, status sosial ekonomi, tingkat pendidikan, dan pengetahuan yang rendah
serta depresi yang dialami pasien juga dikaitkan dengan kepatuhan yang rendah
dan tingkat morbiditas yang tinggi pada pasien DM (Delamater, 2006; Kocurek,
2009). Perilaku lupa minum obat juga menjadi salah satu penyebab
ketidakpatuhan pada pasien terutama pasien geriatri (Selzman, 1995).
34
Instrumen yang digunakan untuk mengetahui kepatuhan pasien dalam
penggunaan obat pada penelitian ini yaitu menggunakan kuesioner Morisky’s
Medication Adherence Scale (MMAS)-8 dan refill obat untuk melihat ketepatan
waktu kontrol. Tujuan penggunaan kedua metode tersebut adalah untuk mengatasi
kelemahan dari masing-masing metode.
Hambatan dalam kepatuhan terhadap terapi pengobatan meliputi
kompleksitas dari regimen (jumlah obat yang diterima pasien dan frekuensi
pemakaian obat) dan kegagalan pasien dalam memahami pentingnya kepatuhan,
dimana akan meningkat akibat komunikasi dokter yang buruk (Aronson, 2007).
Dailey et al. (2001) menyatakan bahwa pasien yang memperoleh terapi tunggal
(satu jenis obat) memiliki kepatuhan jangka pendek maupun jangka panjang yang
lebih baik dibandingkan mereka yang mendapat terapi ganda. Terdapat bukti
bahwa kepatuhan lebih tinggi dengan satu obat daripada dua obat (Sheechan,
2003).
Claxton et al. (2001) menemukan kepatuhan berbanding terbalik dengan
frekuensi dosis pemberian. Tingkat kepatuhan yang tinggi dilaporkan oleh pasien
yang memiliki frekuensi dosis kecil (sekali sehari) dibandingkan mereka dengan
frekuensi dosis sering (tiga kali sehari) (WHO, 2003). Kepatuhan secara
signifikan lebih tinggi di antara pasien yang menggunakan obat dengan jadwal
dosis sekali sehari dibandingkan untuk dosis tiga kali sehari atau lebih sering
(Bosworth, 2010).
35
G. Keterangan Empiris
Peneltian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran tingkat kepatuhan
pasien diabetes melitus rawat jalan di Rumah Sakit UGM dalam penggunaan obat
antidiabetesnya, mengidentifikasi faktor penyebab ketidakpatuhan kaitannya
dengan penggunaan obat pada pasien diabetes melitus rawat jalan, dan
mengetahui adanya hubungan jumlah item obat yang diresepkan dengan tingkat
kepatuhan. Kepatuhan pasien diukur berdasarkan Morisky Medication Adherence
Scale (MMAS)-8 dan ketepatan waktu kontrol. Harapannya dengan gambaran
tingkat kepatuhan pasien, mengetahui penyebab ketidakpatuhan, dan adanya
hubungan antara jumlah item obat dengan tingkat kepatuhan maka dapat
bermanfaat bagi penyedia layanan kesehatan untuk membuat solusi dalam
meningkatkan kepatuhan pengobatan.
Download