WHITEPAPER MEI 2017 BRAND MANAGEMENT SERIES The Brand is Back: Staying Relevant in an Accelerating Age through Brand-Driven Innovation By: Dr. Sandy Wahyudi (DSW) Banyak pebisnis bingung apa yang salah di manajemennya saat penjualan mulai drop. Banyak promosi dilakukan namun tidak kunjung ada peningkatan sales, apalagi sejak Trump jadi Presiden Amerika awal 2017 kemarin, lantas apa saja yang harus segera kita benahi? Sebenarnya banyak faktor penyebab mengapa usaha tidak mengalami perkembangan yang baik. Selain karena faktor kompetisi persaingan yang semakin tidak sehat untuk saling memperebutkan pelanggan yang sama, ada juga pengaruh internal yang sebenarnya kita sadari telah muncul sekian lama namun kita biarkan begitu saja, sedemikian saat keadaan ekonomi mulai kembali pulih, usaha kita terus mengalami penurunan. Edisi whitepaper kali ini lebih akan membahas topik terkait inovasi dalam Brand Management, yaitu bagaimana agar perusahaan tetap bisa bersaing di tengah kondisi apapun. Semisal terpaksa harus menjual brand layer 2 (re: KW 2) sekalipun, perusahaan ini tetap memiliki image yang baik di mata segmen pelanggan utamanya. Dan, di saat kondisi market sudah pulih, brand KW 2 ini pun ternyata masih dicari oleh segmen baru yang level-nya di bawah target segmen utama, sedemikian perkembangan omset semakin besar, karena tidak hanya berasal dari satu segmen saja. Oleh sebab itu, apa saja yang harus dipelajari agar perusahaan kita bisa terus eksis? Kata kuncinya adalah “brand-driven innovation”, sebuah pendekatan inovasi yang kaitannya erat dengan kekuatan posisi brand kita, baik di mata pelanggan, di mata pesaing, di mata media massa, maupun di mata karyawan. Artinya, setiap inovasi yang hendak kita lakukan, bukan sematamata karena tujuan menyikapi omset kita yang sedang menurun atau karena hendak meningkatkan omset saja, melainkan karena inovasi dilakukan agar brand kita semakin kuat dan sustainable di tengah kondisi apapun. Framework berikut ini bisa menjelaskan dengan baik arti brand management sebagai jembatan antara pihak eksternal (brand stakeholder system) dan pihak internal (chain of brand value creation). Konsep brand management sebagai jembatan penghubung persepsi antara pihak eksternal dan pihak internal disebut juga sebagai brand transfer system. Atau bisa dikatakan sebagai sistem fungsi di dalam perusahaan yang tugasnya adalah mencari informasi eksternal untuk disampaikan ke internal, dan sebaliknya mencari informasi internal agar bisa diramu dan disampaikan dengan baik ke pihak eksternal. Dalam manajemen, posisi staf yang berada di dalamnya untuk melakukan ini biasanya memiliki job desc seperti brand manager atau brand director, layaknya perusahaan besar yang sudah memiliki perangkat ini. Apabila perusahaan kita masih belum mampu meng-hire brand manager, setidaknya kita sebagai Owner atau CEO wajib melakukannya sendiri. Beberapa pekerjaan yang sering dilupakan oleh Marketing Manager umumnya adalah biasanya sekedar membuat janji promosi kepada pelanggan agar omset meningkat tapi belum pernah melakukan kajian studi internal, apakah tim karyawan admin, tim produksi, bahkan tim frontliners seperti operator, security, dll sudah siap atau belum untuk mewujudkan janji promosi tersebut, sedemikian tidak blunder sendiri di tengah jalan. Gambar 1. Brand Transfer System Ada 7 bagian utama dalam brand transfer system yang harus digarap dengan baik oleh brand management, di antaranya adalah informasi terkait komunikasi pemasaran, diferensiasi produk, diferensiasi layanan, informasi yang harus dihafal oleh tim sales, informasi yang harus diposting di dunia digital, baik website maupun socmed, lalu juga yang terpenting adalah rajin melakukan survei pasar agar mengetahui posisi perusahaan di mata pesaing dan di mata pelanggan. Sedangkan di dalam internal perusahaan sendiri, ada pula 7 bagian utama yang masuk ke dalam rantai brand value creation, di antaranya adalah tim sales, tim marketing, tim logistic/distribusi, tim produksi, tim riset pengembangan, tim customer service, dan tentu saja tim brand management sendiri. Lantas kenapa disebut sebagai rantai? Jawabannya simpel. Karena jika ada satu elemen yang terputus, maka kekuatan rantai itu akan hilang. Oleh sebab itu, agar fungsi rantai dapat berjalan dengan baik, maka ada 4 peran sosok manusia yang ada di dalam internal perusahaan untuk menjaga dinamika ini, diantaranya adalah General Manager atau Manajer Umum, Finance, Human Resource dan Business Planning. Keempat orang ini yang bisa menjadi “The Protector” dari brand value yang diciptakan perusahaan, yang menjaga konsisten dan kualitas produk dan layanan yang dijanjikan perusahaan, dan yang menjaga agar rantai koordinasi sesama tim bisa berjalan dengan baik. Bagaimana dengan brand stakeholder system? Walau pihak eksternal sifatnya, namun sebisa mungkin tetap diperhatikan, karena suara mereka mampu menjadi sumber ide inovasi agar perusahaan tetap bisa eksis dan punya daya saing. Ada 7 sumber suara yang bisa kita gali dan tampung, di antaranya adalah opini publik, media massa, dunia keuangan (kalau perusahaan kita sudah go public), asosiasi bisnis yang terkait industri kita, dan tentu saja suara pelanggan (baik pelanggan netral, pelanggan loyal/brand, maupun para pelanggan pesaing). Jika kita mampu terus update informasi dari apa yang dikatakan oleh brand stakeholder system, maka inovasi yang kita lakukan akan stay relevant. Kesulitan yang sering muncul adalah karena fungsi brand transfer system tidak berjalan dengan baik, maka perusahaan acapkali kebingungan saat omset mulai menurun secara drastis, walau promosi diberikan secara gencar rupanya tidak kunjung mampu meningkatkan omset. Hal ini disebabkan telah terjadi kegagalan sistemik yang proses kuratifnya tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. SLC MARKETING, INC, sering membantu perusahaan yang ada dalam kondisi seperti ini. Fokus kami bukan untuk secara langsung harus keluarkan bujet promosi gila-gilaan karena sesungguhnya ini adalah misi bunuh diri. Kami selalu sarankan agar melakukan audit kapasitas internal perusahaan dulu sebelum beranjak ke inovasi apa yang sebaiknya dilakukan. Gambar 2. Finding Back Brand DNA Setiap manusia punya susunan DNA yang berbeda, sedemikian menjadi blue-print yang tidak bisa diganti oleh siapapun, kapanpun, kecuali Tuhan yang menggantinya. Namun cukup berbeda dengan perusahaan. Saat founder pertama kali mendirikan perusahaan, sebenarnya secara tidak disadari olehnya, bahwa dia sedang mentransfer DNA ke dalam perusahaannya. Dari cara memimpin karyawan, cara dia melayani pelanggan, cara dia mengatur manajemen, dll. Masalahnya saat terjadi ganti kepempimpinan, entah diberikan ke anaknya sebagai generasi penerus family business, atau hire karyawan professional untuk menjadi pimpinan, jika brand DNA dari founder tidak dijaga, maka akan terjadi perubahan, dan ini sifatnya sistemik dan menjadi mengakar. Kalau perubahannya ke arah yang lebih baik, maka tidak apa-apa, namun jika perubahannya membuat perusahaan kehilangan jati dirinya dan tidak lagi menuai pujian, baik dari sisi internal maupun eksternal perusahaan, maka bisa dipastikan usia perusahaan tidak lagi akan bertahan lama. Sebagai contoh, semenjak Steve Jobs meninggal, apa yang terjadi dengan Apple sekarang? Sejak 1977 berdiri hingga 2013, Apple selalu melakukan re-investing keuntungan yang didapat untuk pengembangan, tidak pernah ada dividen yang dibagikan ke pemilik saham selama puluhan tahun berdiri, sedemikian valuasi nilai saham Apple di bursa selalu naik dan menjadi peringkat pertama hasil survei brand equity-nya oleh Interbrand. Namun sejak 2013, banyak yang bilang Apple terlalu profitoriented dan mulai kehilangan arah. Konsistensi implementasi dari Brand DNA sendiri harus diperhatikan dengan baik dalam 7 aspek terpenting dalam bisnis, diantaranya adalah : 1. Value proposition, untuk ditujukan ke Consumer, agar mereka terus bisa merasakan DNA perusahaan, sampai kapanpun sedemikian susah untuk selingkuh ke produk pesaing 2. Product roadmap, untuk tujuan pengembangan (R&D), produk-produk baru yang diciptakan haruslah sejalan dengan DNA perusahaan 3. Cultural beacons, untuk membangun teamwork dan mental kerja seluruh staf perusahaan berdasar DNA yang sudah diciptakan founder 4. Business result, agar mencapai profit yang diharapkan, namun tidak meninggalkan DNA perusahaan 5. Go to market strategy, bagaimana tim sales bisa menjiwai DNA perusahaan 6. Planning, dalam setiap perencanaan brand, harus dimasukkan DNA perusahaan 7. Positioning perusahaan, bagaimana pesan komunikasi pemasaran selalu mengacu pada DNA perusahaan Dari ketujuh aspek terpenting perusahaan di atas, masing-masing ada beberapa indikator yang perlu didetailkan bagaimana DNA perusahaan bisa terus mengakar dan menjiwai seluruh aktifitas kerja. Jika konsistensi dalam implementasi sudah diperoleh, maka perusahaan akan mempunyai fundamental yang kuat, dan sesungguhnya tidak perlu khawatir akan kondisi market yang terjadi. Karena jika setiap fungsi aspek berjalan dengan baik, maka mekanisme growth, defense dan survival akan tercipta dengan sendirinya saat ada perubahan yang baik, jelek, atau bahkan jelek sekali. Inilah intisari whitepaper kali ini, kenapa saya berikan judul “Brand is Back” dan ada kata “Staying Relevant” di dalamnya. SLC MARKETING, INC. sendiri menangani klien-klien bisnis keluarga yang acapkali ternyata tidak berlaku pepatah “like father, like son”, sebab gaya kepemimpinan bapak dan anaknya tidak sama persis. Oleh karenanya, kami membantu kembali merumuskan DNA perusahaan yang selama ini tanpa disadari founder sudah berjalan dengan baik, tapi tidak pernah dipahami khususnya oleh karyawan-karyawan baru. Oleh sebab itu, kami lalu mendokumentasikannya dan menjadikan panduan bisnis agar bisa diteruskan ke generasi berikutnya. Sebagai konkritnya, kami membuat KPI (key performance indicator) untuk seluruh karyawan sedemikian ada aspek penilaian kinerja yang didalamnya sudah dimasukkan unsur DNA perusahaan. Sebagai contoh, DNA perusahaan yang ingin diwujudkan owner/founder adalah rasa kerjasama tim / tepasalira yang kuat antar sesama karyawan. Maka dari itu, contoh untuk pilar penilaian kinerja pemasaran, kami masukkan Omset Perusahaan sebagai salah satu indikator yang harus dicapai oleh seluruh karyawan, baik tim sales khususnya, maupun tim non-sales/admin umumnya. Sedemikian jika omset tidak tercapai, maka bukan melulu kesalahan tim sales, karena bisa jadi pelanggan membatalkan sepihak pesanannya karena proses adminitrasi dan pengiriman barangnya yang lama, sehingga omset perusahaan tidak tercapai (hal ini ditelurusi ternyata ada kesalahan staf bagian Gudang yang lemah dalam komunikasi). Nah ini, masih contoh dari satu pilar penilaian saja, karena SLC MARKETING, INC, menggunakan pendekatan 4 pilar balanced-score card (marketing/sales, operational, financial, dan learning & growth). Gambar 3. Brand Implementation & Brand Activation Setelah mempelajari Brand DNA, selanjutnya sebagai penutup whitepaper kali ini, saya akan membagikan konsep brand implementation dan brand activation. Keduanya punya makna yang berbeda, namun saling memperlengkapi satu sama lain. Sebab tanpa brand implementation dan activation, maka memiliki brand DNA saja tidak artinya, terlebih dalam era digital seperti sekarang. Gambar di atas menunjukkan kepada kita bahwa diperlukan proses yang runut, yaitu step demi step saat hendak melakukan brand management yang baik. Dari proses brand creation, proses brand implementation dan proses brand activation, semuanya ada keterkaitannya dan rantai yang tidak boleh terputus. Sebagai contoh sederhana, jangan terlalu terburu membuat mobile apps jika kita sendiri belum kuat dan berpengalaman dalam sisi pengelolaan website, karena basis operasional apps semua berasal dari web-based akses sumber datanya. Brand central station sebagai sentral jembatan penghubung antara proses di kiri dan di kanan adalah lagi-lagi fungsi terpenting dari seorang brand manager / brand director suatu perusahaan. Bahkan perusahaan yang sudah skala besar sekalipun, walau sudah punya internal tim desain sendiri, masih saja menggunakan jasa outsourcing agency desain yang eksklusif (tidak melayani klien lain yang berasal dari industri yang sama) agar bekerja untuk dirinya, karena perusahaan ini butuh kreatifitas yang baru dan up-to-date, namun tetap tidak bisa membocorkan kepada para pesaingpesaingnya akan rahasia strategi marketing yang hendak dijalankan, Itulah sekilas pemaparan konsep whitepaper berjudul “The Brand is Back: Staying Relevant in an Accelerating Age through Brand-Driven Innovation”. Bahwa setiap bisnis pada dasarnya harus bisa terus berinovasi untuk meremajakan dirinya, tanpa harus mengorbankan nilainilai luhur perusahaan (brand DNA) yang telah dibangun oleh generasi pendiri sejak puluhan tahun lamanya. Untuk konsultasi lebih lanjut mengenai aplikasi konsep ini di perusahaan Anda, segera kontak tim kami di kantor untuk mendapatkan penjelasan lebih detail akan layanan yang ada di SLC MARKETING, INC.! ONLY MARKETING CAN DRIVE INNOVATION! By: Dr. Sandy Wahyudi (DSW) Praktisi & Pakar Marketing dan Inovasi Consultant, Trainer, Business Coach, Writer, Speaker Business Development Director SLC MARKETING, INC.