BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Namru-2 merupakan unit kesehatan Angkatan Laut Amerika Serikat yang berada di Indonesia untuk mengadakan berbagai penelitian mengenai penyakit menular. Program Namru-2 melakukan pengembangan penyakit-penyakit tropis untuk kepentingan kesehatan dan keamanan anggota angkatan laut dan marinir AS. Program Namru-2 adalah percobaan vaksin malaria, demam berdarah dan Hepatitis E termasuk juga mengembangkan breeding colony nyamuk malaria dan demam berdarah. Namru-2 juga mendirikan laboratorium lapangan di Jayapura yang memfokuskan pengembangan nyamuk malaria. 1 Laboratorium Namru-2 sudah berada di Indonesia sejak 1975 berdasarkan perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan AS 16 Januari 1970.yang ditandatangani oleh Menteri Kesehatan RI saat itu, GA Siwabessy dengan Duta Besar Amerika Serikat saat itu, Francis Galbraith. Kemudian pejanjian itulah yang dijadikan landasan hukum bagi NAMRU 2 tetap berada di Indonesia sekalipun tidak ada lagi wabah penyakit menular ataupun Indonesia tidak lagi membutuhkan bantuannya. Kedudukan Namru-2 awalnya di Taipei pada tahun 1955 sedangkan Namru-1 berada di Brooklyn, AS, dan Namru-3 berada di Kairo, Mesir. Keberadaan 1 . http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=339856&kat_id=16, tanggal akses 1 November 2008, pukul 21.00 1 Namru-2 di Indonesia sebagai akibat terjadinya wabah penyakit pes di Boyolali 1968 dan karena pemerintah Indonesia belum mampu menanggulangi wabah tersebut maka pemerintah Indonesia meminta bantuan AS. 2 Unit riset Namru-2 di Jakarta adalah detasemen di bawah Komando Namru-2 yang berada di Taipei dan secara administrasi merupakan bagian dari Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta. Pada 1979 akibat konflik RRC dengan Taiwan sehingga terjadi perubahan hubungan diplomatik antara Amerika Serikat dengan Taiwan maka pusat Namru-2 dipindahkan ke Filipina. Pada 1992 dengan berakhirnya pangkalan militer AS di Filipina, pusat Namru-2 dipindahkan ke Jakarta dan unit riset berubah dari bentuk detasemen menjadi komando dan menangani penelitian di kawasan Asia seperti di Kamboja,Vietnam, Filipina,Laos,Singapura,Malaysia,Jepang dan Korea yang dipimpin oleh seorang Kolonel Angkatan Laut Amerika Serikat. 3 Dalam Konvensi Wina 1961 pasal 3 angka 1 disebutkan Tugas-tugas suatu perwakilan diplomatik antara lain adalah : a). Mewakili Negara pengirim di Negara penerima ; b). Melindungi kepentingan Negara pengirim dan kepentingan warga negaranya di Negara penerima dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh hukum internasional ; c). Melakukan perundingan dengan Pemerintah Negara penerima ; 2 Ibid 3 . Ibid 2 d). Memperoleh kepastian dengan semua cara yang sah tentang keadaan dan perkembangan di Negara penerima dan melaporkannya kepada Pemerintah Negara pengirim ; e). Meningkatkan hubungan persahabatan antara Negara pengirim dan Negara penerima serta mengembangkan hubungan ekonomi, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan. 4 Selain itu dalam Konvensi Wina 1961 juga mengatur tentang pemberian hak imunitas dan hak-hak istimewa yang lain bagi para pejabat diplomatik, hal tersebut diatur dalam pasal 29, yang berbunyi : 5 ” Pejabat diplomatik harus tidak boleh diganggu gugat. Ia tidak boleh ditangkap dan dikenakan penahanan. Negara penerima harus memperlakukannya dengan penuh hormat dan harus mengambil langkahlangkah yang layak untuk mencegah serangan atas diri, kemerdekaan dan martabatnya. ” Dalam Konvensi Wina 1961 pasal 30 juga mengatur tentang 6 : 1. Kediaman pribadi pejabat diplomatik tidak boleh diganggu-gugat dan harus memperoleh perlindungan seperti halnya dengan wisma perwakilan ; 2. Surat-surat, surat-menyurat dan terkecuali sebagaimana yang dicantumkan 4 Konvensi Wina 1961, pasal 3 angka 1 5 Ibid, pasal 29 Ibid, pasal 30 6 3 dalam ayat 3, pasal 31, harta miliknya juga tidak boleh diganggu-gugat. Sedangkan pasal 31 Konvensi Wina 1961 mengatur tentang7 : 1. Pejabat Diplomatik harus kebal dari kekuasaan hukum pidana Negara penerima. Ia juga kebal dari kekuasaan hukum perdata dan acara, kecuali dalam hal : a). Suatu tindakan nyata yang berhubungan dengan harta milik pribadi tidak bergerak yang terletak di wilayah Negara penerima, kecuali harta milik tersebut ia kuasai atas nama Negara pengirim untuk keperluan perwakilan ; b). Suatu tindakan yang berhubungan dengan suksesi, dimana pejabat diplomatik tersebut terlibat sebagai penyita, pewaris atau ahli waris sebagai perorangan dan tidak atas nama Negara pengirim ; c). Suatu tindakan yang berhubungan dengan setiap kegiatan profesi dan niaga yang dilakukan oleh pejabat diplomatik di Negara penerima di luar kedudukan resminya. 2. Seorang pejabat diplomatik tidak diwajibkan untuk memberikan keterangan sebagai saksi ; 3. Tidak ada pelaksanaan hukuman yang dapat diambil terhadap seorang pejabat diplomatik kecuali dalam kasus sebagaimana tersebut dalam sub-sub 7 Ibid, pasal 31 4 ayat a), b) dan c) dari angka 1 pasal ini dan dengan syarat bahwa tindakan tersebut dapat dilaksanakan tanpa mengganggu-gugat baik diri maupun kediamannya ; 4. Kekebalan seorang pejabat diplomatik dari kekuasaan hukum Negara penerima tidak membebaskannya dari kekuasaan hukum Negara pengirim. Selain itu Pemerintah Indonesia juga memiliki peraturan perundanga-undangan yang mengatur tentang pemberian kekebalan dari kekuasaan hukum dan hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 37 Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri terutama pasal yang berkaitan dengan pemberian kekebalan kepada orang asing yaitu pasal 16 Undang-Undang No 37 Tahun 1999 yang berbunyi 8 : ” Pemberian kekebalan, hak istimewa, dan pembebasan dari kewajiban tertentu kepada perwakilan diplomatik dan konsuler, misi khusus, perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa, perwakilan badan-badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Organisasi Internasional lainnya, dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional serta hukum dan kebiasaan internasional.” Sedangkan pasal 17, Undang-undang No.37 Tahun 1999 mengatur tentang 9 : 8 Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, pasal 16 9 Ibid, pasal 17 5 1. Berdasarkan pertimbangan tertentu, Pemerintah Republik Indonesia dapat memberikan pembebasan dari kewajiban tertentu kepada pihakpihak yang tidak ditentukan dalam pasal 16 ; 2. Pemberian pembebasan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilaksanakan berdasar pada peraturan perundang-undangan nasional. Setelah kita mengetahui,tentang siapa saja yang berhak mendapatkan hak imunitas dalam Konvensi Wina 1961 serta berdasarkan fungsi Diplomatik menurut Konvensi Wina 1961 menarik kiranya untuk dikaji lebih mendalam tentang pemberian hak imunitas kepada staf Namru-2 dalam perspektif Konvensi Wina 1961. B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: 1. siapa saja yang berhak mendapatkan hak imunitas menurut Hukum Internasional ? 2. Apakah pemberian imunitas kepada staf NAMRU- 2 sudah tepat menurut Hukum Internasional? C. MAKSUD DAN TUJUAN Berdasarkan uraian latar belakang masalah dan rumusan permasalahan yang telah disebutkan di atas, maka maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui dan memahami siapa saja yang berhak mendapatkan imunitas menurut Hukum Internasional. 6 2. Mengetahui dan memahami apakah pemberian imunitas staf NAMRU-2 sudah tepat menurut Hukum Internasional. D. TINJAUAN PUSTAKA Dalam Hukum Internasional, hubungan antar bangsa terbukti sudah ada sejak zaman purbakala. Hal ini dapat ditelusuri lewat peninggalan sejarah, baik berupa tulisan, bangunan, petilasan, baik yang tersimpan dalam museum maupun yang terhampar di beberapa bagian dunia. Hubungan antar bangsa tersebut, dilihat dari perspektif kesejarahan, sudah cukup tua. Hubungan tersebut terkait antar bangsa, kelompok, suku, individu, yang bersifat kesepakatan longgar dan kebanyakan non formal. 10 Sejak abad pertengahan, kecenderungan hubungan yang bersifat internasional semakin nyata, benih dan asas hukum internasional semakin berkembang, terutama di bidang perdagangan dan maritim. 11 Hubungan antar kelompok, suku maupun negara, waktu itu, sering menggunakan cara kekuatan maupun penekanan dari satu suku kepada suku yang lain, satu negara ke negara yang lainnya. Hal ini masih merupakan bagian dari proses historik, yang berlangsung cukup lama. Masuknya pemikiran di bidang sosial kemasyarakatan serta penemuan-penemuan baru, menyebabkan tata nilai/susunan dan hubungan 10 A.Masyhur Effendi,SH.MS., Hukum Diplomatik Internasional ( Hubungan Politik Bebas Aktif Asas Hukum Diplomatik Dalam Era Ketergantungan Antar Bangsa ), Usaha Nasional,Surabaya, 1992, hlm 11 11 A. Masyhur Effendi. SH.MS, Op.cit, hlm 12 7 kemasyarakatan, sikap maupun pemikiran mengalami perkembangan, perubahan serta kemajuan. Dalam proses yang cukup panjang pula, ketentuan ketentuan yang ada kaitannya dengan hubungan antar negara mengalami banyak kemajuan dan perbaikan. Dalam proses menuju hubungan antar bangsa yang lebih berkeadilan/bersamaan, sering terjadi konflik/ perang besar antar negara-negara yang ada. 12 Sedangkan proses perkembangan hukum internasional khusus bidang diplomatik, embrio pembentukan perwakilan konsuler/diplomatik sejak berakhirnya perang salib, pada waktu itu banyak sekali orang-orang Eropa berada di Timur Tengah. Dalam melakukan hubungan dengan bangsa-bangsa lain, diangkatlah seorang pemimpin/ketua. Semakin banyak orang-orang Eropa berada di Timur Tengah dalam wilayah yang dikuasai Kesultanan Turki dengan sistem hukum dan budaya yang berbeda pula, peranan seorang atau beberapa orang sebagai perantara atau pemimpin, semakin penting, banyak perjanjian-perjanjian yang dihasilkan terutama di bidang perdagangan. Dalam abad ke 17, selain konsul, perkembangan bidang diplomatik semaikin pesat, terutama sesudah perdamaian West Phalia.13 Proses hubungan antar negara nasional di Eropa semakin berkembang, sehingga hukum internasional semakin penting. Hal ini merupakan salah satu indikasi awal tumbuhnya abad modern, terutama setelah penemuan Amerika pada tahun 1492 dan reformasi, khususnya dalam tata hubungan dan aturan di gereja. Dalam banyak hal, 12 13 A.Masyhur Effendi. SH.MS, Op.cit, hlm 13 A.Masyhur Effendi. SH.MS, Op.cit,hlm 14 8 dalam hubungan internasional, hukum gereja menjadi semakin lemah dan hukum internasional semakin kuat. Proses sekularisasi hukum internasional dan hubungan antar negara tersebut tampak pula pada beberapa pemikir di bidang hukum internasional pada abad pertengahan, antara lain : 1. Fransisco Suarez ( 1548-1617 ), menekankan, hukum internasional adalah hukum yang berlaku adalah hukum yang berlaku untuk seluruh manusia atas dasar ”hukum manusia” demi kesejahteraan bersama. Lewat pandangan tersebut akan tercipta hubungan antar negara yang harmonis. Hal ini dapat tercapai hanya lewat kesepakatan bersama antar negara dan sekaligus merupakan dasar hukum internasional itu sendiri. 2. Alberico Gentili ( 1552-1608 ), membahas tentang peranan dan tugas seorang duta. Duta dalam porsinya sebagai wakil resmi negara pengirim harus ditempatkan secara benar sebagai wakil dan tidak usah sebagai mata-mata. Karenanya seorang duta perlu mempunyai hak kekebalan dan istimewa. Hakhak tersebut merupakan alat atau sarana untuk memperlancar tugas-tugasnya dan memperbesar rasa tanggung jawabnya. 14 Sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang banyak mempunyai dampak terhadap peri-hubungan antar negara dan perkembangan anggota masyarakat internasional dengan laju pertumbuhan negara-negara yang baru merdeka maka dirasakan adanya tantangan untuk mengembangkan lagi kodifikasi Hukum 14 A. Masyhur Effendi. SH.MS, Op.cit, hlm 15 9 Diplomatik secara luas. Pengembangan itu bukan saja ditujukan untuk memperbaharui tetapi juga dalam rangka melengkapi prinsip-prinsip dan ketentuan Hukum Diplomatik yang ada. Memang sebelum didirikannya Perserikatan BangsaBangsa perkembangan kodifikasi hukum diplomatik tidak begitu pesat. 15 Pada abad ke-16 dan 17 dalam pergaulan masyarakat, negara sudah dikenal semacam misi-misi konsuler dan diplomatik dalam arti yang sangat umum seperti yang dikenal sekarang. Praktik dan kebiasaan itu kemudian oleh para pakar hukum seperti Grentilis,Grotius sampai kepada Bynkershoek dan Vattel telah dirumuskan dalam sejumlah peraturan yang lambat laun menjadi norma-norma dalam hukum diplomatik dan konsuler. Bahkan beberapa peraturan diantaranya sudah mulai diundangkan sebagai hukum nasional seperti halnya yang terjadi di Inggris dimana telah ditetapkan Undang-Undang tentang Kekebalan dan Keistimewaan melalui Queen Ann tahun 1708. Beberapa peraturan lainnya juga telah dimasukan dalam perjanjian internasional, khususnya peraturan-peraturan yang berhubungan dengan konsuler yang sudah dilakukan sejak akhir abad ke-18. Sejak Kongres Wina 1815, para anggota diplomatik telah diberikan penggolongan dan beberapa tata cara sementara telah pula dibicarakan, namun tidak ada suatu usaha untuk merumuskan prinsip-prinsip hukum diplomatik dalam suatu kodifikasi yang dapat diterima secara luas oleh masyarakat internasional. Peraturan yang telah disetujui oleh Kongres 15 .Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik Teori dan Kasus, Alumni, Bandung, 1992, hlm 6 10 hanyalah didasarkan atas hukum kebiasaan internasional dan juga diambil dari prakrik-praktik yang kemudian diberlakukan dikalangan negara-negara. 16 Sampai dengan tahun 1815, peraturan-peraturan yang mengatur tentang pergaulan diplomatik terutama didasarkan hukum kebiasaan internasional dengan didukung oleh praktik-praktik yang ditemukan dalam hubungan antarnegara. Penggolongan pangkat diplomatik yang telah disetujui dalam Kongres Wina 1815 yang kemudian mengalami perubahan dengan disetujuinya suatu protokol Aix-laChapelle tahun 1818 kenyataannya tidaklah menambah aturan-aturan yang sudah ada. 17 Kongres Wina 1815 telah dapat meletakan dasar dalam diplomasi modern seperti penggolongan Kepala Perwakilan Diplomatik serta aturan-aturan lainnya yang telah dianut secara umum oleh negara-negara dengan sedikit perubahan. Penggolongan tersebut telah ditetapkan menurut kedudukan dan fungsinya. Dalam Kongres Wina 1815 penggolongan Kepala Perwakilan Diplomatik tersebut telah ditetapkan sebagai berikut : (i) Duta-duta Besar dan para Utusan ( Ambassadors and Legates ) (ii) Menteri Berkuasa Penuh dan Duta Luar Biasa ( Minister Plenipotentiary and Envoys Extraordinary ) 16 G.VG. Krishnamurty, Modern Diplomacy, Dialectic and Dimensions, First Edition, Bhupender Sagar, New Delhi ( 1980 ), hlm.89 17 Gerhard von Glahn, Law Among Nations, An Introduction to Public International Law, Second Edition, Mac Millan Publishing Co, Inc, New York, 1970, hlm. 376 11 (iii) Kuasa Usaha ( Charge d’ affaires ) 18 Dalam Kongres Aix-la-Chapelle 1818, penggolongan itu telah ditambahkan lagi dengan Minister Resident sebagai golongan ketiga. Dengan demikian, telah disusun suatu penggolongan baru sebagai berikut : (i) Ambassadors and Legates ; golongan pertama ini merupakan penggolongan pertama dalam wakil-wakil diplomatik dan mereka ini adalah para wakil dari negara-negara yang sepenuhnya berdaulat. Mereka diangkat sebagai Duta Besar dari negara masing-masing, sedangkan wakil yang diangkat oleh Pope disebut Legates. (ii) Minister Plenipotentiary and Envoys Extraordinary ; keduanya merupakan wakil diplomatik tingkat dua dan jika dibandingkan dengan golongan pertama, mereka menikmati kekebalan dan keistimewaan diplomatik yang agak berkurang. (iii) Minister Residents ; golongan ketiga ini yang ditambahkan dalam Kongres Aix-la-Chapelle 1818 dan dalam Konvensi Wina 1961 golongan ini tidak dimasukan lagi. (iv) Charge d’ affaires ; wakil dalam golongan ini tidaklah diangkat oleh Kepala Negara melainkan oleh Menteri Luar Negeri dari negaranya. 19 Untuk mengadakan kodifikasi prinsip-prinsip hukum diplomatik selanjutnya dilakukan pada tahun 1927 tatkala Liga Bangsa-Bangsa membentuk suatu komite ahli 18 19 Kongres Wina 1815, Peraturan Mengenai Penggolongan Wakil-wakil Diplomatik S.K. Kapoor, International Law, Fifth Edition Central Law Agency, India, 1982,hlm 373-374 12 yang bertugas untuk membahas kodifikasi kemajuan hukum internasional termasuk hukum diplomatik. Kemudian komite ahli melaporkan kepada Dewan Liga BangsaBangsa tentang perlunya masalah yang berkaitan dengan hukum diplomatik yang meliputi berbagai aspek dalam pergaulan diplomatik antarnegara diatur secara internasional. Namun kemudian, Dewan tidak dapat menerima rekomendasi yang diajukan oleh komite ahli tersebut dan karena itu diputuskan untuk tidak memasukkan masalah yang sama dalam agenda Konferensi Den Haag yang diadakan pada tahun 1930 untuk membahas kodifikasi hukum internasional. Di lain pihak , Konferensi Keenam Negara-negara Amerika yang diadakan di Havana tahun 1928 justru telah membahas masalah yang berkaitan dengan hukum diplomatik sebagai masalah penting. Konferensi Havana kemudian menyetujui dua konvensi, pertama ; Convention on Diplomatic Officers , dan yang kedua Convention on Consular Agents. Konvensi pertama kemudian diratifikasi oleh 14 negara Amerika, sedangkan Amerika Serikat walaupun telah menandatangani tetapi tidak meratifikasinya, karena tidak setuju dengan diamsukannya ketentuan-ketentuan tentang pemberian suaka diplomatik. Dengan demikian Konferensi Havana itu dianggap bukan hanya sebagai perintis tetapi juga telah berhasil dalam mengadakan usaha-usaha pendahuluan yang sangat penting dalam rangka kodifikasi hukum diplomatik. 20 Pada tahun 1932 telah pula dikeluarkan Harvard Research Draft Convention on Diplomatic Privileges and Immunities. Walaupun dokumen Harvard ini mempunyai 20 G.V.G Krishnamurty, Op.Cit, hlm 89-90 13 pengaruh yang besar dan cukup menyakinkan, tetapi kurang mendorong Negaranegara untuk menyesuaikan ketentuan dalam perundang-undangan nasional masingmasing karena masih terdapat beberapa perbedaan. 21 Setelah PBB didirikan dalam tahun 1945, dua tahun kemudian telah dibentuk Komisi Hukum Internasional. Dari tahun 1949 hingga 1979 Komisi telah menangani 27 topik dan subtopik hokum internasional, 7 diantaranya menyangkut hokum diplomatik, yaitu : (i) Pergaulan dan Kekebalan Diplomatik; (ii) Pergaulan dan Kekebalan Konsuler; (iii) Misi-misi Khusus; (iv) Hubungan antara Negara dengan Organisasi Internasional ( Bagian I ); (v) Masalah Perlindungan dan diganggu gugatnya para Pejabat Diplomatik dan orang-orang lainnya yang berhak memperoleh Perlindungan Khusus menurut Hukum Internasional; (vi) Status Kurir Diplomatik dan Kantong Diplomatik yang tidak diikutsertakan pada Kurir Diplomatik; (vii) Hubungan antara Negara dengan Organisasi Internasional. 22 Dan untuk pertama kalinya, pengembangan kodifikasi hukum internasional termasuk hukum diplomatik telah dimulai tahun 1949 secara intensif oleh Komisi Hukum Internasional khususnya ketentuan-ketentuan yang menyangkut kekebalan 21 . Sumaryo Suryokusumo, Op.cit, hlm 10-11 . Sumaryo Suryokusumo, Op.Cit, hlm 12 22 14 dan pergaulan diplomatik telah digariskan secara rinci. Akhirnya setelah melalui perjalanan panjang selama 12 tahun, Konferensi berkuasa penuh (Plenipotentiary Conference) yang diadakan di Wina, Austria pada tanggal 2 Maret-14 April 1961 telah mengesahkan suatu konvensi dengan judul ” Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik pada tanggal 18 April 1961. 23 E. DEFINISI OPERASIONAL Guna memberikan arah pada penelitian ini terdapat beberapa definisi operasional lain sebagai berikut: 1. Imunitas adalah kekebalan dari kekuasaan hukum Negara dimana Duta Besar atau seorang Diplomat tersebut ditugaskan hal tersebut ditegaskan dalam Konvensi Wina 1961 pasal 29 yaitu : “ Pejabat diplomatik tidak boleh diganggu gugat. Ia tidak boleh ditangkap dan dikenakan penahanan. Negara penerima harus memperlakukannya dengan penuh hormat dan harus mengambil langkah-langkah yang layak untuk mencegah serangan atas diri, kemerdekaan dan martabatnya.” 24 Dengan kata lain para pejabat diplomatik tidak boleh diganggu gugat dan harus mendapat perlindungan sepenuhnya dari Negara penerima. Perlindungan terhadap para pejabat diplomatik terutama kepala perwakilan adalah praktek yang telah berlaku semenjak dulu. Negara- negara selalu melindungi utusan-utusan asing dari serangan atau gangguan terhadap seorang duta besar yang dapat merusak hubungan 23 . Sumaryo Suryokusumo, Op.cit,hlm 14 24 Konvensi Wina 1961, pasal 29 15 kedua Negara dan bahkan dapat berakibat perang. Duta besar beserta stafnya bukan merupakan orang-orang asing biasa, tetapi mewakili Negara mereka dan oleh karena itu Negara penerima berkewajiban memberikan segala macam kemudahan dan perlindungan fisik kepada mereka. Negara penerima mempunyai kewajiban membuat peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan untuk melindungi para diplomat asing. 25 2. Namru-2 atau Naval Medical Research Unit (NAMRU) 2 merupakan unit kesehatan Angkatan Laut Amerika Serikat yang berada di Indonesia untuk mengadakan berbagai penelitian mengenai penyakit menular. Program Namru-2 melakukan pengembangan penyakit-penyakit tropis untuk kepentingan kesehatan dan keamanan anggota angkatan Laut dan Marinir Amerika Serikat. Program Namru-2 adalah percobaan vaksin malaria, demam berdarah dan mengembangkan breeding colony hepatitis E termasuk juga nyamuk malaria dan demam berdarah. Namru-2 juga mendirikan laboratorium lapangan di Jayapura yang memfokuskan pada pengembangan nyamuk malaria. Laboratorium Namru-2 sudah berada di Indonesia 1975 berdasarkan perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan Amerika Serikat 16 Januari 1970. 26 Salah satu klausul perjanjian tersebut dijelaskan, kerjasama tersebut bertujuan 25 . Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global. PT. Alumni, Bandung.2003 hlm 503 26 http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/message/11049, tanggal akses 1 November 2008, pukul 21.00 16 untuk mencegah, mengawasi dan diagnosis berbagai penyakit menular di Indonesia. Dalam menjalankan perannya ini, Namru-2 diberikan banyak kelonggaran,salah satunya kekebalan diplomatic untuk stafnya dan dapat digunakan untuk memasuki seluruh wilayah Indonesia. 27 3. Konvensi Wina 1961 adalah Konvensi tentang Hubungan Diplomatik yang disahkan pada tanggal 18 April 1961. 28 Konvensi Wina 1961 terdiri dari 53 pasal yang meliputi hampir semua aspek penting dari hubungan diplomatik secara permanent antarnegara. F. METODE PENELITIAN 1. Fokus penelitian Pemberian kekebalan diplomatik kepada staf Namru-2 menurut Konvensi Wina 1961 2. Bahan Hukum a). Bahan hukum primer Untuk bahan hukum primer diperoleh dari peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan penelitian ini. Bahan hukum primer yang diambil berasal dari; konvensi wina 1961 dan undang-undang yang berkaitan dengan penelitian ini. b). Bahan hukum sekunder 27 http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/04/24/1/103395/mengenal-lebih-dekat-dengan-namru-2, tanggal akses 1 November 2008, pukul 21.00 28 Official Records, U.N. Conference on Diplomatic Interecourse anda Immunities, Vienna, 2 Maret14 April 1961, Vol. 1, U.N. Publication, 1961. 17 Untuk bahan hukum sekunder diperoleh dari bahan-bahan pendukung yang menjelaskan bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder diperoleh dari buku-buku,jurnal, dan hasil penelitian dari sarjana hukum terdahulu yang berkaitan dengan perjanjian internasional dan hukum diplomatik dan konsuler, berita-berita yang didapatkan dari surat kabar, jurnal hukum dan internet. c) Bahan hukum tersier Untuk bahan hukum tersier diperoleh dari bahan-bahan pendukung yang menjelaskan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier diperoleh dari ensiklopedia dan kamus. Pengumpulan bahan hukum Teknik pengambilan bahan hukum didalam penelitian ini dilakukan dengan library research atau penelitian-penelitian terhadap bahan kepustakaan dan study dokumen. 3. Metode pendekatan Untuk menganalisa permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini metode pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dan pemahaman terhadap kasus-kasus merupakan pendekatan utama dalam penelitian ini.dilakukan dengan jalan mengkaji pemberian kekebalan diplomatik bagi staf Namru-2 dalam kaitannya dengan konvensi wina 1961. 18 4. Analisa Analisa adalah sebagai suatu proses penguraian secara sistematis dan konsisten terhadap gejala tertentu. Bertitik tolak dari pengertian yang demikian,maka erat kaitannya antara metode analisa dengan pendekatan masalah dalam penelitian ini. Penguraian secara sistematis terhadap bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian ini dilakukan dengan cara deskriptif analitis, yaitu menggali asas atau prinsip dan norma atau kaidah dalam hukum internasional dan dijelaskan secara sistematis melalui fakta yang diangkat dalam penelitian ini 19