UNIVERSITAS INDONESIA TELAAH FILM SHAOLIN DENGAN MENGGUNAKAN KONSEP JACQUES LACAN MENGENAI FASE PERKEMBANGAN MANUSIA: THE REAL, THE IMAGINARY, DAN THE SYMBOLIC ESSAY Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial SISCA KOSASIH 0906524835 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI DEPOK Januari 2013 Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013 HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS Essay ini adalah hasil karya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar. Nama : Sisca Kosasih NPM : 0906524835 Tanda Tangan : Tanggal : 15 Januari 2013 i Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013 HALAMAN PENGESAHAN Karya ilmiah ini diajukan oleh Nama : Sisca Kosasih NPM : 0906524835 Program Studi : Ilmu Komunikasi Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jenis Karya : Makalah Non Seminar Nama Mata Kuliah : Pengantar Teori Kritis Judul Karya Ilmiah : Telaah Film Shaolin dengan menggunakanKonsep Jacques Lacan mengenai Fase Perkembangan Manusia: The Real, The Imaginary, dan The Symbolic telah disetujui oleh dosen pengajar mata kuliah untuk diunggah di lib.ui.ac.id/unggah dan dipublikasikan sebagai karya imiah sivitas akademika Universitas Indonesia Dosen Mata Kuliah: Dr. AG. Eka Wenats Wuryanta, M.Si Ditetapkan di :Depok Tanggal : 18 Februari 2013 ii Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013 UCAPAN TERIMA KASIH Pertama-tama, saya berterima kasih pada kedua orang tua saya, Lim Phek Thong dan Agim, yang menjadi kurus-gemuk karena membesarkan saya. Terima kasih pada kesempatan yang mereka berikan untuk mewujudkan impian mereka dan saya sendiri : mengenyam pendidikan tinggi. Kerelaan mereka atas kenekadan saya “minggat” ke Universitas Indonesia membuktikan besarnya cinta dan kasih mereka, sehingga saya terus mengingatkan diri sendiri untuk berbuat yang terbaik. Semoga saya bisa membanggakan Anda sampai seterusnya! Kemudian, terima kasih saya tujukan pada Buddha, Bodhisatva Guan Yin, Tuhan. Di saat saya merasa tak mampu menyelesaikan—bahkan memulai sesuatu—sampai pada titik depresi, mengingat kebijaksanaan-Mu membuatku tenang. Dan seringnya, saya terbangun dengan ide baru, senjata yang bagus untuk memulai, termasuk essay ini. Terima kasih juga pada dosen mata kuliah “Pengantar Teori Kritis”, mas AG Eka Wenats Wuryanta, yang telah membuka gerbang pengetahuan terhadap Critical Theory, sebagai yang pertama yang memberikan jawaban hampir tuntas—sama seperti halnya dengan guru agama Buddha favorit saya bapak Arya Chandra—terhadap Marxisme lewat kumpulan bacaan yang dia berikan. Terima kasih mau diganggu waktunya, padahal semester baru “Pengantar Teori Kritis” telah berlangsung. Terima kasih teman-teman sekampus, terutama Komunikasi angkatan 2009, terutama lagi Jurnalisme 2009. Bersama-sama kita lewati suka-duka, kita sama-sama nafsu makannya bertambah karena stres dengan tugas, sama-sama jingkrak-jingkrak-an di tempat karaoke saat UAS berakhir. Namun kita tahu ujian sesungguhnya tak pernah berakhir, kita hanya menjadi lebih siap untuk menghadapinya. Kepada pihak-pihak yang tak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih banyak dalam membentuk saya yang hari ini, dan oleh karena itu berkontribusi terhadap kelancaran penulisan essay ini. Sincerely, Sisca Kosasih iii Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013 HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Sisca Kosasih NPM : 0906524835 Program Studi : Jurnalisme Departemen : Ilmu Komunikasi Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jenis karya : Essay demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak BebasRoyalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : TELAAH FILM SHAOLIN DENGAN MENGGUNAKAN KONSEP JACQUES LACAN MENGENAI FASE PERKEMBANGAN MANUSIA: THE REAL, THE IMAGINARY, DAN THE SYMBOLIC beserta perangkat yang ada. Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di: Depok Pada tangal: 18 Februari 2013 Yang menyatakan (Sisca Kosasih) iv Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013 ABSTRAK Nama :Sisca Kosasih Program studi : Ilmu Komunikasi/ Jurnalisme Judul essay : Telaah Film Shaolin dengan menggunakanKonsep Jacques Lacan mengenai Fase Perkembangan Manusia: The Real, The Imaginary, dan The Symbolic Schopenhauer mengemukakan kesadaran hanya kulit permukaan dari sesuatu yang lebih dalam dan luas yakni dari kehendak yang buta, irasional, dan tidak sadar. Jacques Lacan, sang psikoanalis juga kurang lebih mendukung pernyataan tersebut. Adapun terbersit dalam pikiran penulis, hal ini identik dengan ajaran Buddha, maka penulis mencoba menganalisis film yang sarat Buddhisme, yaitu Shaolin (2011). Yang menjadi fokus perhatian penulis bukanlah simbol-simbol agama melainkan kaitan makna nasib para tokohnya, terutama tokoh antagonis yang kemudian menjadi protagonis—Hou Jie yang diperankan Andy Lau—serta tokoh yang menjadi antagonis sepanjang cerita—Cao Man, diperankan Nicholas Tse. Apa yang memungkinkan jalan kehidupan mereka berubah (ubah) adalah tepat kiranya ditelaah dengan konsep Lacan mengenai tiga fase perkembangan manusia. Kata kunci: Lacan, the real, the imaginary, the symbolic, kajian film, kajian film Shaolin v Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013 ABSTRACT Name :Sisca Kosasih Study Programme : Communication Science/ Journalism Essay title : Shaolin Movie Review Using Jacques Lacan’s Concept about Human Development Phase: The Real, The Imaginary, dan The Symbolic Schopenhauer argued consciousness was only skin surface of something deeper and broader than the will of a blind, irrational, and unconscious. Jacques Lacan, the psychoanalyst is also about supporting the statement. As occurred in the mind of the writer, it is quite synonymous with Buddhism, so the author tries to analyze the film that loaded Buddhism, Shaolin (2011). Which became the focus of attention of the author are not religious symbols but the fate of the characters meaning of terms, especially the antagonist who later became the protagonist--Hou Jie, played by Andy Lau--as well as the antagonist character throughout the story--Cao Man, starring Nicholas Tse. What allows them to change their way of life is precisely would be reviewed with Lacan's concept of the three phases of human development. Key words: Lacan, the real, the imaginary, the symbolic, movie study, Shaolin movie study vi Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013 DAFTAR ISI Halaman Pernyataan Orisinilitas............................................................................................i Halaman Pengesahan...............................................................................................................ii Ucapan Terima Kasih.............................................................................................................iii Halaman Pernyataan Persetujuan Publikasi........................................................................iv Abstrak......................................................................................................................................v Daftar Isi.................................................................................................................................vii Pendahuluan.............................................................................................................................1 Analisis Film.............................................................................................................................2 Penutup................................................................................................................................. .15 Daftar Referensi.....................................................................................................................16 vii Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013 I. Pendahuluan Guru (agama) saya berkata Buddha bukanlah agama, ia lebih cocok disebut kepercayaan dan lebih tepat lagi bila disebut filsafat. Setelah menangkap inti ajaran Buddha sesuai kemampuan saya, maka perkataan guru saya itu bisa saya terima. Lalu hal ini dikuatkan dengan pandangan filsuf lainnya, seperti Schopenhauer—yang terkenal berpengaruh terhadap Horkheimer—mengemukakan bahwa kesadaran hanya kulit permukaan dari sesuatu yang lebih dalam dan luas yakni dari kehendak yang buta, irasional, dan tidak sadar1. Pemikiran ini jelas tertuang dalam ajaran Buddha. Setelah itu, Sigmund Freud muncul dengan hal yang kurang yang lebih sama, dengan mengatakan elemen ketaksadaran turut berpengaruh pada kesadaran manusia. Tapi Freud tua kemudian terjebak pada pandangan Cartesian “Cogito Ergo Sum”(aku berpikir, dan karena itu aku ada) karena akhirnya ia berkesimpulan ketaksadaran bisa diatasi dengan kesadaran. Adalah Jacques Lacan, psikoanalis yang mengatakan mustahil ego/diri/aku bisa mengendalikan ketaksadaran kalau ego sendiri adalah ciptaan ketaksadaran. Ilusi terhadap apa yang kita sebut “aku” sebenarnya sudah dipaparkan Buddha dalam Anatta (doktrin tanpa aku) dengan penjelasan yang menurut saya adalah mendekati percis. Maka untuk mengetahui formasi ego melalui tiga ranah perkembangan manusia menurut Lacan (the Real,the Imaginary, dan the Symbolic) saya kira tepat untuk menilik film Shaolin. Film Shaolin sarat akan Buddha Dhamma2 yang relevan dengan pemikiran Lacan. 1 Latar Belakang Historis dan Teoritis Sekolah Frankfurt boleh menganggapnya elemen agama ataupun filsafat, sesungguhnya merek “Buddha Dhamma” tidak terlalu penting sama seperti mawar akan sama saja harumnya dengan nama apapun yang kita kenakan 2 1 Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013 II. Analisis Film Film ini berfokus pada kehidupan Jenderal Hou Jie yang sudah dewasa, oleh karena itu analisis dimulai dengan tahapan the Imaginary dan the Symbolic terlebih dahulu. Kedua tatanan ini koeksis (tumpang-tindih) karena ilusi dalam the imaginaryperlu „dinyatakan‟ dalam struktur bahasa (kultur), oleh karena itu perlu memasuki wilayah the symbolic. Proses The Imaginarydimulai dari pengetahuan tentang adanya liyan (oknum yang tidak menyatu dengannya), tapi bayi belum mempunyai pemahaman akan „diri‟. Sampai pada periode ketika bayi melihat cermin, ia akan membandingkan citraannya dengan citraan orang lain, lalu me(mis)persepsikan citraanya sebagai „aku‟. Bisa dikatakan anak itu menjadi teralienasi, tertawan dengan citraanya sendiri sebab dengan menganggap citraan sebagai „aku‟ maka si anak menyembunyikan kekurangan; ketidak-utuhan; serta hasrat memiliki identitas yang didorong ketidak-utuhan itu. Momen ini ialah momen primordial pembentukan ego menurut Lacan, dan terus akan terjadi dalam rentang hidup manusia sesuai dengan kecenderungannya untuk mengidentifikasi dengan diri-diri yang ideal. Untuk mengukuhkan „diri‟ tersebut, seseorang harus memasuki tahap The Symbolic. Bagaimana seseorang dapat menyebut dirinya „aku‟ atau bahkan manusia? Ia harus masuk ke tatanan budaya yang sudah ada. Dalam pengertian Lacan, The Symbolic ini sama dengan struktur bahasa yang mencoba menstabilkan makna-makna yang sebetulnya tak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Dengan demikian bahasa/kata sebetulnya tidak pernah secara tuntas atau penuh menjelaskan pengertian sesuatu. Ibaratnya kultur/aturan/tata adat yang mengikat kehidupan kita adalah struktur bahasa itu. Meski mereka tidak secara riil menjelaskan makna suatu kata atau makna „aku‟, kita tetap membutuhkannya sebagai objek yang memberi rasa kepastian atau kemantapan. Dalam film Shaolin, Hou Jie memahami „diri‟-nya sebagai jenderal besar yang berjasa memenangkan pertempuran, jenderal yang disayangi anak buahnya, orang yang sepatutnya menguasai kota Deng Feng, bapak dan suami yang baik karena nafkah uang 2 Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013 ataupun batin sudah dipenuhinya dengan baik, hidupnya mendekati sempurna. Pemahaman itu ia peroleh dari kemenangan-kemenangan dalam perang, dari kemenangan itu namanya harum di kalangan prajurit dan khalayak. Ia juga disegani oleh anak buahnya. Anak-istri Hou Jie hidup dalam kenyamanan. Kemenangan dan pujian itu ibarat pantulan cermin yang membentuk „diri‟ Hou Jie. Ia tak menyadari kemenangan yang menjadi kegembiraanya, adalah penderitaan bagi sebagian orang. Bisa jadi ia dianggap pendosa oleh sebagian orang, termasuk biarawan Shaolin. Ia pun tak tahu apakah prajurit bawahannya seratus persen loyal kepadanya. Ia mengabaikan fakta bahwa dunia yang dijalaninya sangat riskan bagi keluarganya. Yang ia tahu adalah ia mempunyai nama besar, semua orang mengagungkannya, dan siap menyerbu wilayah lainnya, siap mengalahkan siapa saja. Lacan menjelaskan „diri ideal‟ yang diciptakan dalam the Imaginaryadalah karena subjek merasa tidak utuh dan mengalami kekurangan, oleh karena itu pula mempunyai “hasrat untuk memiliki” demi melengkapi yang kurang tersebut. Secara psikologis juga dijelaskan bahwa dalam diri tiap manusia ada pandangan mengenai perlindungan diri (selfprotection) dan pandangan mengenai kelangsungan diri (self-preservation). Untuk kelangsungan diri, manusia menggambarkan dalam pikirannya tentang satu inti yang kekal abadi dalam manusia dan di luarnya yang disebut Roh/Atma/Diri/Ego. Manusia memerlukan self-protection dan self-preservation untuk menghibur dirinya dan kemudian melekat erat secara fanatik padanya3. Kekurangan yang dirasakan Hou Jie bisa diartikulasikan sebagai kekurangan akan kebutuhan sebagai manusia yang berkedudukan tinggi dan hidup sejahtera. Kekurangan ini hadir pada suatu periode hidupnya, kemudian ia menciptakan „diri ideal‟, entah itu dari pandangan masyarakat secara umum, dari buku yang dibacanya, atau sumber lainnya. Ia lalu berketetapan harus menjadi perwira yang berjaya. Sampai di sini, ia telah mempunyai 3 Widyadharma, MP. Sumedha. Dhamma-Sari. 1999. Jakarta. 3 Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013 “hasrat memiliki (identitas)”. Ketika ia telah berhasil menjadi seorang jenderal, ia semakin melekat dengan „diri ideal‟ yang telah dibangunnya. Hou Jie pun hidup dalam aturan kekuasaan yang agaknya barbar—kalau tidak mau dibunuh,maka harus membunuhatau sebaliknya. Ia kerap menasehati Cao Man, anak buah kesayangannya, “Bila engkau dalam kondisi menguntungkan, pertahankanlah..Kalau silap, bisa jadi yang sekarat adalah engkau.” Ia bahkan mewaspadai Jenderal Song Fu—yang sudah dianggapnya sebagai kakak—karena dicurigai akan merebut kota Deng Feng darinya. Ia tunduk dalam wilayah simbolik, di mana nom-du-pére/ name-of-thefathermengatur untuk tidak lengah serta untuk menghancurkan s etiap musuh yang muncul. Saat Hou Jie mendapatkan rampasan perang berupa tambang emas, ia bertanya mengapa kakaknya Song Fu tidak bertanya apapun mengenai tambang emas itu. Ia berkesimpulan Song Fu ingin merampas tambang tersebut beserta kota Deng Feng, Song Fu juga mungkin sedang merencanakan membunuh Hou Jie. Hou Jie akhirnya memutuskan untuk menyerang dulu dengan merencanakan pembunuhan pada saat putrinya ditunangkan dengan putra Song Fu. Tindakan Hou Jie ini dapat dipahami sebagi The Symbolic—yang dibutuhkan untuk mengukuhkan The Imaginary—sekaligus timbul untuk mengatasi Kekurangan. Oleh sebab itu, jelaslah posibilitas Kekurangan yang dirasakan Hou Jie adalah rasa tidak aman terhadap kedudukannya, terhadap segala kemapanan yang telah diraihnya. Di sisi lain, tokoh (yang kemudian menjadi antagonis) Cao Man memahami dirinya sebagai anak buah kesayangan Hou Jie. Sebab ia telah memenangkan begitu banyak pertempuran untuk Hou Jie, Jenderal Hou sendiri „mengakui‟ hal tersebut dengan menempatkannya dalam posisi penting--layaknya kaki tangan Hou Jie sendiri. Ini adalah bayangan Cao Man tentang dirinya sendiri (The Imaginary), dengan mengandaikan „diri ideal‟ seperti itu Cao Man bisa „mengatasi‟ kekurangan yang tak disadarinya, yaitu takut kehilangan self-preservation (dan self-protection) di bawah patronageJenderal Hou. Cao Man pergi ke mana-mana, berperang untuk Hou Jie agar „diri‟-nya semakin utuh sebagai perwira kesayangan Hou Jie. Cao Man sampai berpikiran ingin membeli senjata 4 Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013 baru dari Barat, agar kekuasaan Jenderal Hou semakin mantap. Dengan demikian ia masuk dalam tahapan the Symbolic. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kata (penanda) dalam struktur bahasa tak pernah ada makna stabilnya, yang ada malahan satu penanda menunjuk pada penanda lainnya, begitu pula adanya wilayah Simbolik. Ketika Cao Man berusaha keras membujuk Hou Jie membeli 80 senjata secara gratis—asalkan orang Barat itu diperkenankan membuat jalur kereta api di Deng Feng—ia tidak bisa membuat Hou Jie paham kalau ia bertindak demikian karena rasa „sayang‟nya pada Sang Jenderal, ia ingin agar Sang Jenderal mempunyai daya gentar. Begitulah efek penanda yang tak dapat secara akurat menunjuk pada makna yang definitif, namun dapat „distabilkan‟ dengan nom-du-pére/ name-of-the-father/Phallus. Phallusmerupakan elemen yang menyetop ketergelinciran efek penanda, yang membatasi permainan. Dalam hal ini, yang lebih dekat ke Phallusialah Hou Jie—selaku atasan Cao Man. Sehingga tindakan Cao Man berani membujuk Hou Jie dua kali dianggap Hou sebagai tindakan yang lancang, tidak tahu posisi, dan tidak berpikir pada tempatnya. Hou menjelaskan dengan kasarnya pada Cao Man, membuka jalur kereta api untuk orang asing sama dengan membuka pintu penjajahan bagi rakyat Cina. Cao Man kaget saat dicekik Sang Jenderal, seketika „diri ideal‟ yang sudah dibangun dalam imajinasinya runtuh. Selama ini, ia membayangkan Sang Jenderal sebagai panglima yang bijaksana, yang menyayangi dirinya karena ia memiliki kelebihan dibanding prajurit yang lain. Citraan baru yang dilihatnya melalui tindakan kasar Hou Jie, melalui tatapan mata Hou Jie yang seolah merendahkannya, kini membentuk „diri‟ Cao Man sebagai orang yang tak disukai, tak pernah dianggap penting oleh Sang Jenderal dan oleh sebab itu „diri‟ yang sekarang adalah musuh Hou Jie. Ini adalah fase imajiner baru, membuktikan manusia cenderung mengubah-ubah konsep „diri ideal‟-nya sepanjang hayatnya. Tapi Cao Man masih memiliki identitas sebagai prajurit (hanya saja kini ia beroposisi secara diam-diam dengan Jenderal Hou) sehingga ia masih mengikuti aturan Phallus— dalam tahapan Simbolik sebelumnya—bahwa prinsip penghancuran musuh masih sama, 5 Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013 yaitu tidak pandang bulu. Nasihat yang sering diberikan Hou Jie bahwa “Posisi keuntungan harus dipertahankan, bila tidak, bisa jadi yang mati berikutnya adalah diri sendiri.” mungkin tidak akan pernah dapat diduga Hou bakal menjadi senjata yang berbalik arah melawannya. Begitu juga dengan ucapan yang suka dilontarkan Hou Jie, “Dia tidak mati, aku tak bisa tidur.” merupakan kalimat yang kini menggema di pikiran Cao Man. Kini Cao Man berusaha menjadi yang terdekat dengan Phallus, menggantikan Hou Jie. Pada adegan selanjutnya, Hou Jie masih tetap pada rencana untuk membunuh Song Fu saat pesta pertunangan kedua anak mereka. Ketegangan terjadi saat Song Fu menanyakan bagaimana mereka—sesama kakak-beradik—membagi kota Deng Feng. Hou Jie menjawab untuk membaginya setengah-tengah dan semakin yakin untuk membunuh Song Fu. Tapi Song Fu sambil tertawa mengatakan semuanya kini milik Hou Jie, dengan berpikir kalau putri Hou Jie akan dinikahi putranya kelak, ia tak merasa kehilangan apa-apa. Jawaban yang seharusnya merekatkan kembali semangat persaudaraan masih dicurigai Hou Jie sebagai decoySong Fu. Dalam hatinya, ia sangat yakin Song Fu tak akan rela melepaskan dengan mudah, yang tertanam di pikirannya banyak orang yang sedang mengincar jabatan dan kekuasaannya. Kalaupun Hou Jie berubah pikiran, sekarang sudah terlambat. Intel Song Fu mengirimkan pesan bahwa Hou Jie akan membunuhnya. Song Fu marah dan meminta para istri dan anak meninggalkan ruangan, dalam pandangan saya ia hendak menyelesaikan persoalan secara kekeluargaan—kalau tidak begitu, ia bisa saja langsung menembak Hou Jie di tempat. Song Fu meluapkan emosinya, tak habis pikir orang yang selama ini ia anggap adik selama 20 tahun akan mengkhiantinya. Hou Jie bukannya sadar dan meminta maaf, malah menembak Song Fu tepat di dadanya. Suara tembakan itu menjadi pertanda bagi pasukan Cao Man untuk beraksi, bukan untuk membantu Hou Jie tapi untuk membunuhnya. Situasi menjadi tidak terkendali, muncul banyak pasukan yang hendak melukai Hou Jie. Di saat itulah dengan sisa-sisa tenaganya, Song Fu menembakkan pistol membantu 6 Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013 Hou Jie. Hou Jie pun sadar, pasukan yang sedang mengincarnya bukan pasukan Song Fu, melainkan pihak ketiga yang memancing di kolam keruh. Alas, walau sudah berusaha semaksimal mungkin melarikan diri dari mara-bahaya (yang dilancarkan Cao Man), putri tunggal Hou Jie, Sheng Nan yang berusia sekitar 10 tahun mengalami luka parah. Pada saat ini wilayah the Imagianary Hou Jie mengalami keruntuhan, tapi belum sepenuhnya. Ia bahkan hendak membunuh semua bhiksu di Shaolin kalau tak mau menolong anaknya—yang sebenarnya telah meninggal. Agaknya terkesan ilogis ketika ia meyakinkan istrinya bahwa Sheng Nan tidak apa-apa, dan akan tetap hidup. Istrinya yang sedang menangis menyalahkan Hou Jie sebagi penyebab kematian Sheng Nan dan menampar Hou Jie sewaktu mendengar ia mau membunuh bhiksu. Hou Jie memberontak, tak mau menerima kenyataan putrinya sudah meninggal, marah dengan keadaan yang tadinya normal menjadi seperti demikian. Bhikshu Shaolin mau tak mau harus meladeni kemarahan Hou Jie dengan kung fu, toh akhirnya ia lelah sendiri kemudian pingsan. Diceritakan istri Hou Jie telah pergi dari Shaolin dan berpisah dengan suaminya. Hou Jie sadar kemudian berjalan ke sebuah ladang, tapi terjatuh di lubang yang dibuat untuk menjebak babi. Bhikshu Shaolin yang berada di lokasi tersebut buru-buru mendekati lubang, berkata, “Lubang yang dibuat untuk babi kok malah yang tertangkap manusia, berdarah pula? Manusia saat sedang kacau bahkan tak sepintar babi. Melihat kondisimu sekarang, apakah engkau masih ingin membunuh orang? Kulihat dengan kondisimu, sebaiknya berdiam diri sejenak di sana.” Terjebak dalam lubang babi semalaman, membuat Hou Jie merenung. Ia melihat angkasa di malam hari dan berkata dengan pelan: mengapa bisa jadi seperti ini? Saat inilah the Imaginary dan the Symbolic runtuh sepenuhnya. Hou Jie berhadapan dengan kekosongan, citraan atau apa yang dianggapnya “aku” mulai terasa asing. Penjara simbolik yang mengatur dirinya selama ini hancur, mungkin ia mempertanyakan apakah tata-cara yang ia ikuti selama ini berfaedah, memberi kebahagiaan, ataukah tidak. Setidaknya kini ia sadar profesinya selama ini membahayakan nyawa anak-istrinya. 7 Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013 Pengalaman ini disebut Lacan sebagai pengalaman the Real. The Realadalah sesuatu yang sepenuhnya resisten terhadap realitas Simbolik; ditandai dengan pengalaman janggal, traumatis, tak ternamakan, serta dijumpai dalam bentuk bahaya, katastrofi, dan kematian. Selanjutnya pengalaman The Realmembuat kita sadar baik identitas Imajiner maupun Simbolik hanyalah ilusi4. Saya ingin menjelaskan sedikit dari perspektif Buddhis mengenai kesadaran. Sang Buddha menjelaskan kesadaran itu timbul karena suatu kondisi. Kesadaran diberi nama dari kondisi yang menimbulkannya; oleh karena ada mata dan benda-benda yang terlihat oleh mata, maka timbullah kesadaran yang diberi nama kesadaran mata, dst. Kesadaran memerlukan benda, pencerapan, perasaan, dan bentuk-bentuk pikiran. Inilah Lima Kelompok Kegemaran yang secara populer disebut “aku”. Tak ada sesuatu di belakang Lima Kelompok Kegemaran yang dapat disebut sebagai “aku” yang menggerakkan segala sesuatunya. Yang ada hanyalah: satu materi lenyap dan menciptakan kondisi untuk timbulnya materi yang berikut dan seterusnya dalam satu rangkai sebab akibat. Dengan pendekatan secara analisa, bila kita menggambar Lima Kelompok Kegemaran sebagai lingkaran sebab-musabab, tak ada salah satunya yang dapat disebut aku/ego karena setiap elemen saling terkait satu sama lain. Juga tak ada subtansi kekal yang ke-6 di belakanganya. Ide tentang adanya “aku” yang berkesadaran penuh tanpa kondisi, yang kekal, yang mutlak ada, adalah palsu. Ibaratnya kurang tepat mengatakan penghidupan itu bergerak, sebab penghidupan itu sendiri adalah pergerakan. Sama seperti tidak adanya pemikir di belakang pemikiran, sebab pemikiran itu sendirilah pemikirnya. Kalau kita menyingkirkan pemikiran, si pemikir tidak dapat kita jumpai. Dalam hal ini paham Buddhis bertentangan 4 Bracher, Mark. Jacques Lacan, Diskursus dan Perubahan Sosial: Pengantar Kritik-Budaya Psikoanalisis. 2009. Yogyakarta: Jalasutra. Dalam bagian Pesona Hasrat dalam Psikoanalisis-Struktural Jacques Lacan oleh Donny Gahral Adian. 8 Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013 sekali dengan paham Descartes “cogito ergo sum” yang berarti “aku berpikir, dan karena itu aku ada.”5 Secara sederhana, tanpa mengurangi rasa hormat pada Lacan, „hasrat untuk memiliki‟ ialah salah satu elemen dari Lima Kelompok Kegemaran, yaitu bentuk-bentuk pikiran. Tapi bentuk-bentuk pikiran itu bukannya ada begitu saja, tanpa kondisi yang menciptakannya, dimulai dari kontak dengan kelima indra, reaksi atau respons terhadap kontak tadi, megenali/mencerap objek fisik ataupun mental, perasaan yang timbul (bahagia/tidak bahagia/ netral), dan yang terakhir kegemaran akan bentuk-bentuk pikiran di mana sifat pikiran berproses—kalau suka kita mau dan mau lagi (ingin mengulang), kalau tidak suka, maka akan timbul penolakan. Lacan menceritakan ilusi “aku” terbentuk akibat adanya “hasrat untuk memiliki (identitas). Hasrat ini timbul sebagai konsekuensi ketidakutuhan, ketidakpenuhan yang dirasakan setelah kita kehilangan “yang dicintai”— bayi kehilangan Liyan yang paling dicintainya, yaitu ibu. Formasi ego dalam the Imaginary dan the Symbolicini terjadi dalam wilayah ketidaksadaran. Kalau dikaitkan dengan nilai spiritual Buddhis, maka inilah keadaan yang menyebabkan manusia awam (fana) memiliki hasrat dan keinginan yang tak terhingga di bawah kendali “aku” yang sebenarnya tak nyata. Di sisi lain, The Realbagi Lacan adalah wilayah yang psikis, tempat penyatuan asal dengan matriachal state of nature, di mana tidak ada ketiadaan (absence), kehilangan, atau kekurangan; ia adalah seluruh kepenuhan dan kelengkapan. The Real akan timbul bila ilusi dalam The Imaginary dan The Symbolic habis sempurna, dan oleh sebab itu selalu mengingkari “hasrat untuk memiliki (identitas)”. Menurut saya, The Real inilah yang juga disebut Nibbāna dalam Buddha Dhamma, yang merupakan tujuan akhir para umat Buddha. Untuk mencapai Nibbāna memang tidak mudah, manusia harus menyadari: 5 Widyadharma, MP. Sumedha. Dhamma-Sari. 1999. Jakarta. 9 Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013 1) hakikat segala sesuatu adalah dukkha, retak, tidak pernah utuh, selalu berubah-ubah (dalam bahasa orang awam: hidup penuh penderitaan), secara singkat Lima Kelompok Kegemaran yang disebut “aku” adalah dukkha 2) mengetahui sumber dari masalah/dukkha ada dalam masalah/dukkha itu sendiri, bahwa bentuk-bentuk pikiran dalam Lima Kelompok Kegemaran menciptakan ilusi tentang “aku” dan keinginan yang tiada habis-habisnya 3) terhentinya dukkha atau Nibbāna itu sendiri. Menurut MP. Sumedha Widyadharma, pengertian Nibbāna tidak mungkin dapat diterangkan dengan kata-kata. Baginya, kata-kata merupakan lambang yang mewakili benda-benda dan bentuk-bentuk pikiran yang kita kenal, dan lambang-lambang ini tidak mungkin dapat mengungkapkan hakekat sesungguhnya dari benda atau bentuk pikiran. Namun agar tidak terjadi efek penanda yang tak berkesudahan—dalam istilah Lacan—Nibbāna dalam ajaran Buddha diartikan sebagai akhir dukkha di saat „lenyapnya/lepasnya nafsu keinginan dan Lima Kelompok Kegemaran („aku‟) 4) Jalan terhentinya dukkha, berisi ajaran Buddha yang lebih praktikal ketimbang ajaran lain-Nya yang lebih filosofis. Jalan ini terdiri dari delapan bagian: pengertian benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, daya upaya benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Pernah ada siswa yang bertanya pada Buddha, “Bhante, pernahkah terjadi bahwa orang akan merasa tersiksa apabila ia tidak lagi menemukan sesuatu yang kekal di dalam dirinya?” Buddha menjawab, “Ya, bhikkhu, memang ada. Seseorang mempunyai pandangan seperti berikut: alam semesta ini Atma, dan aku, akan menjadi satu dengannya kalau aku meninggal dunia, kekal, abadi, tidak berubah, dan aku akan hidup seperti itu untuk selamanya. Ia kemudian mendengar Sang Tathāgata atau seorang siswa-Nya mengkhotbahkan ajaran yang bertujuan menghancurkan secara total semua pandangan yang diragu-ragukan itu dan bertujuan untuk memadamkan tanhā (nafsu), bertujuan untuk tidak melekat, terbebas, dan Nibbāna. Setelah mendengar khotbah, orang itu berpikir: aku akan dimusnahkan, aku akan dihancurkan, aku akan tidak ada lagi. Dengan demikian, ia 10 Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013 menjadi sedih hatinya, kesal, meratap, menangis, memukuli dadanya dan menjadi kalap. Begitulah bhikkhu, memang pernah terjadi, bahwa orang akan merasa tersiksa kalau sesuatu yang kekal dalam dirinya tidak lagi ditemukan.” (Majjhima Nikāya 22: Alagaddupama Sutta). Retaknya identitas memang pengalaman yang membingungkan sekaligus menyakitkan, kata Donny Gahral Adian. Slavoj Zizek menyebut xenophobia sebagai salah satu bentuk patologi alternatif untuk meredakannya. Bagi saya, alih-alih memilih alternatif patologi, seseorang bisa mempelajari ajaran Sang Buddha dengan serius, seperti yang dilakukan bhiksu-bhiksuni. Alih-alih menjadi murung dan tersiksa, siswa-siswa Buddha selalu penuh kebahagiaan dan kedamaian, sebab mereka telah mengetahui Kesunyataan Alam, mengetahui segala sesuatu adalah tidak kekal sebagai kodratnya, selalu sabar dan tak terpengaruh rasa kesal oleh suatu perubahan. Inilah jalan yang dipilih Hou Jie, dengan menetap di Shaolin, mendalami ajaran Buddha, bermeditasi (lewat kung fu), dan akhirnya ditahbiskan menjadi bhikshu—yang harus rela meninggalkan segala perkara masa lalu, termasuk identitasnya. Kalau boleh sedikit menyinggung pemikiran tokoh lain selain Lacan, tapi masih termasuk Lacanian, maka pemikiran Zizek juga memungkinkan kehidupan yang dialami Hou Jie berubah seratus delapan puluh derajat. Berikut kutipan pemikiran Zizek yang diambil dari esai Donny Gahral Adian. “Menurut Zizek, subjek yang kehilangan keutuhan dalam tatanan imajiner selamanya berlubang dan menghabiskan seluruh hidupnya untuk menambal lubang tersebut lewat pencarian makna dan keutuhan. Kompensasi atas diri yang selalu berkekurangan itu adalah fantasi. Fantasi adalag bentuk penikmatan libidinal yang menutup ruang hampa diri subjek. Penikmatan adalah apa yang tergeletak di lantai dasar ideologi, mendorong imajinasi sang subjek dalam kerangkakerangka sosial terberi...Namun penikmatan pada saat yang sama juga bekerja pada ranah praideologis, ruang hampa makna tempat resistensi dan runtuhnya berbagai pemaknaan sosial. Penikmatan itu tak sepenuhnya ditelan oleh ranah Simbolik...Ini yang saya sebut sebagai hasrat untuk menjadi; dinamika subversif yang selalu menggugat setiap upaya penanaman identitas.” 11 Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013 Dengan demikian berdasarkan analisis Zizek, ketika Hou Jie kehilangan keutuhan dalam tatanan Imajiner dan Simbolik, ia berusaha menambal ketidakutuhannya itu lewat „fantasi‟ yang memberikan penikmatan tipe kedua. Maksudnya ialah penikmatan yang dirasakan dalam tempat hampa makna, yang di dalamnya resisten terhadap pemaknaan sosial. Penikmatan ini ia temukan dalam ajaran Buddha yang memang bertujuan melenyapkan keinginan dan keakuan. Berbeda dengan Hou Jie, Cao Man memilih penikmatan tipe pertama, penikmatan yang masih didasari kerangka sosial (the Symbolic). Oleh sebab itu, Cao Man tidak ingin melenyapkan identitas, malah sebaliknya ingin merebut identitas Hou Jie. Dengan demikian, kekurangan/kepahitan/kebolongan yang ia rasakan dapat teratasi untuk sementara. Cao Man merealisasikan penikmatannya dengan melakukan hal-hal esktrim yang tidak mungkin dilakukan Hou Jie, seperti negosiasi dengan orang asing/ barat di mana orang barat dapat membangun jalur kereta api sambil mengekskavasi harta karun kuno dan Cao Man memperoleh senjata sebagai imbalannya. Semua ini dilakukan Cao Man, agar ia dapat mengungguli Hou Jie yang ia anggap serba takut dan selama ini hanya memanfaatkannya. Cao Man pun tetap berusaha memburu Hou Jie ke Shaolin. Selain mengkaji tokoh Hou Jie dan Cao Man, menurut saya yang menarik adalah adegan di mana Hou Jie meminta masyarakat dengan ikhlas meninggalkan Shaolin (demi keselamatan mereka sendiri). Mereka terharu, menangis, bersujud—pada pada biarawan yang selama ini telah membantu mereka—, bahkan masyarakat enggan meninggalkan Shaolin pada awalnya. Meski bukan bayi lagi, menurut saya mereka memasuki pengalaman yang mirip the Real ketika bayi memasuki tahapan ini. Saat tinggal di penampungan sementara di Shaolin, masyarakat itu hanya memiliki kebutuhan yang dapat dipuaskan dan tidak dapat membedakan antara dirinya dan objek yang memuaskannya. Kebutuhan akan makan, pakaian, dan tempat tinggal, dibantu oleh biarawan Shaolin. Bahkan ada beberapa biarawan yang melanggar ajaran Buddha yang pantang mencuri. Biarawan itu beraksi sebagai pahlawan bertopeng, yang mirip dengan 12 Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013 Robin Hood, yakni mencuri dari yang kaya (korup) dan membagikannya pada yang miskin. Masyarakat pun merasa menyatu dengan objek yang memuaskannya, maksudnya mereka menganggap diri sebagai bagian dari Shaolin—yang selain memuaskan kebutuhan hidup, juga memberikan ketenangan dan kedamaian. Namun ini bukanlah pengalaman the Real sesungguhnya, masyarakat masih mengikuti aturan bermasyarakat dalam penampungan dan yang terpenting mereka semua masih memiliki pengertian tentang aku/ego/diri. Ketika masyarakat harus berpisah dari Shaolin yang kondisinya sudah tidak aman, mereka merasa enggan. Sebab, mereka tahu: sekali meninggalkan Shaolin mereka tak akan bisa kembali seperti dulu lagi. Seperti inilah konsekuensi dan elemen ketragisan dalam teori Lacanian, bahwa untuk memasuki ranah Simbolik—yang hanya dengannya manusia dapat menjadi dewasa—seseorang harus rela berpisah dengan penyatuan asalnya. Adalah Hou Jie yang memberikan penguatan pada masyarakat, memberi sepatah-dua kata agar mereka dapat dengan tenang memasuki The Symbolic (peradaban) di mana mereka harus bisa memenuhi kebutuhan hidup sendiri, tanpa ditopang Shaolin. Mendekati adegan terakhir, Hou Jie berhadapan dengan Cao Man, berkali-kali dia meminta Cao Man untuk sadar, untuk tidak melakukan kesalahan seperti dirinya, untuk merasa puas karena apa yang dimiliki Cao Man kini telah melampaui yang dibutuhkannya. Cao Man tidak mau mendengar dan hendak melakukan perkelahian sampai salah satu di antara mereka mati. Di sisi lain, pasukan barat telah bersiap dengan meriamnya, hendak menggempur Shaolin. Rupanya pihak barat geram terhadap Cao Man yang masih belum bisa mengatasi Shaolin. Saat bangunan Shaolin digempur bom, Hou Jie dan Cao Man masih berkelahi, lantai menjadi tidak stabil dan hampir saja Cao Man jatuh dari lantai dua. Hou Jie meraih tangan Cao Man, dan membantunya ke atas. Saat ini, dunia Imajiner yang dibangun Cao Man— atas kekecewaanya pada Hou Jie—hancur. Dengan sorotan mata berbeda, ia seakan hendak berdamai dengan Hou Jie. 13 Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013 Sayangnya bom yang menghujani Shaolin membuat salah satu balok kayu dari atap jatuh ke bawah dan dari posisinya, akan menimpa Cao Man. Hou Jie mendorong Cao Man sehingga dirinya yang tertimpa kayu berat itu. Hou Jie mengalami pendarahan hebat. Dengan masih sedikit kebingungan bercampur sedih, Cao Man berusaha mengangkat kayu tapi tak berhasil. Tindakan Hou Jie menyelamatkan Cao Man saya tafsirkan karena tidak ada lagi keinginan egoistik, tidak ada lagi “aku”, tidak lagi memikirkan kepentingan sendiri. Tapi perlu diingat, ini bukanlah tindakan bunuh diri atau penghancuran diri sendiri karena dorongan agama, melainkan perbuatan refleks yang didasari cinta kasih. Pada adegan terakhir, Cao Man adalah satu-satunya orang yang selamat dari penggempuran Shaolin. Ia berjalan keluar, melihat kehancuran di sana-sini, kemudian meratap. Ia menyesali perbuatannya, terutama perbuatan jahatnya pada Hou Jie, tindakan memusuhi Shaolin dan biarawannya yang mulia, menyebabkan kematian banyak orang, dan membantu orang asing menjajah negerinya. Ia memasuki ranah the Real, percis seperti Hou Jie melalui pengalaman itu sebelumnya. Cao Man menghadapi lautan kekosongan, penjara Imajiner dan Simbolik-nya runtuh, habis. 14 Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013 III. Penutup Demikianlah kajian film Shaolin yang dihubungkan dengan konsep Lacanian mengenai the Real, the Imaginary, dan the Symbolic, ditambah dengan Buddha Dhamma. Kemiripan antara konsep Lacanian dengan Buddha Dhamma hanyalah interpretasi subjektif saya, yang mungkin tertanam pada wilayah Imajiner saya. Namun bagaimanapun juga, interpretasi ini telah distabilkan/direalisasikan dalam ranah Simbolik melalui paper ini. Sedangkan mengenai the Real,apakah interpretasi keseluruhan paper ini menyatu dengan state of nature, adalah tergantung pada para pembaca, apakah mereka dapat menangkap makna dibalik penjelasan simbolik ini, apakah mereka merasa terpuaskan tanpa merasa ada yang kurang. Rasa-rasanya memang tidak Real, sebab penjelasan simbolik ini merupakan efek penanda dari ide-ide saya. Apalagi tulisan ini tentunya memiliki kekurangan. Namun saya berharap penjelasan simbolik ini, setidaknya dapat membantu beberapa orang untuk terhindar dari ketergelinciran efek penanda yang tanpa jangkar, tanpa pusat—menurut istilah Derrida. 15 Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013 DAFTAR REFERENSI Ahmad Qazi, Khursheed. Lacanian concepts – Their Relevance to Literary Analysis and Interpretation: A Post Structural Reading. The Criterion: An International Journal in English ISSN-0976-8165. Bracher, Mark. Jacques Lacan, Diskursus dan Perubahan Sosial: Pengantar Kritik-Budaya Psikoanalisis. 2009. Yogyakarta: Jalasutra. Clarke, Richard L. W. Jacques Lacan ―The Mirror Stage as Formative of the Function of the I as Revealed in Psychoanalytic Experience‖ (1936/49). LITS3304 Notes 06B 1 Widyadharma, MP. Sumedha. Dhamma-Sari. 1999. Jakarta. http://csmt.uchicago.edu/glossary2004/symbolicrealimaginary.htm http://www.kristien.be/docs/schrijfsels/lacanintro.pdf 16 Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013