universitas indonesia telaah film shaolin dengan menggunakan

advertisement
UNIVERSITAS INDONESIA
TELAAH FILM SHAOLIN DENGAN MENGGUNAKAN KONSEP JACQUES
LACAN MENGENAI FASE PERKEMBANGAN MANUSIA: THE REAL, THE
IMAGINARY, DAN THE SYMBOLIC
ESSAY
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial
SISCA KOSASIH
0906524835
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
DEPOK
Januari 2013
Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Essay ini adalah hasil karya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Sisca Kosasih
NPM
: 0906524835
Tanda Tangan :
Tanggal
: 15 Januari 2013
i
Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013
HALAMAN PENGESAHAN
Karya ilmiah ini diajukan oleh
Nama
: Sisca Kosasih
NPM
: 0906524835
Program Studi
: Ilmu Komunikasi
Fakultas
: Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jenis Karya
: Makalah Non Seminar
Nama Mata Kuliah
: Pengantar Teori Kritis
Judul Karya Ilmiah
:
Telaah Film Shaolin dengan menggunakanKonsep Jacques Lacan mengenai Fase
Perkembangan Manusia: The Real, The Imaginary, dan The Symbolic
telah disetujui oleh dosen pengajar mata kuliah untuk diunggah di lib.ui.ac.id/unggah
dan dipublikasikan sebagai karya imiah sivitas akademika Universitas Indonesia
Dosen Mata Kuliah: Dr. AG. Eka Wenats Wuryanta, M.Si
Ditetapkan di :Depok
Tanggal
: 18 Februari 2013
ii
Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama, saya berterima kasih pada kedua orang tua saya, Lim Phek Thong dan
Agim, yang menjadi kurus-gemuk karena membesarkan saya. Terima kasih pada kesempatan
yang mereka berikan untuk mewujudkan impian mereka dan saya sendiri : mengenyam
pendidikan tinggi. Kerelaan mereka atas kenekadan saya “minggat” ke Universitas Indonesia
membuktikan besarnya cinta dan kasih mereka, sehingga saya terus mengingatkan diri sendiri
untuk berbuat yang terbaik. Semoga saya bisa membanggakan Anda sampai seterusnya!
Kemudian, terima kasih saya tujukan pada Buddha, Bodhisatva Guan Yin, Tuhan. Di
saat saya merasa tak mampu menyelesaikan—bahkan memulai sesuatu—sampai pada titik
depresi, mengingat kebijaksanaan-Mu membuatku tenang. Dan seringnya, saya terbangun
dengan ide baru, senjata yang bagus untuk memulai, termasuk essay ini.
Terima kasih juga pada dosen mata kuliah “Pengantar Teori Kritis”, mas AG Eka
Wenats Wuryanta, yang telah membuka gerbang pengetahuan terhadap Critical Theory,
sebagai yang pertama yang memberikan jawaban hampir tuntas—sama seperti halnya dengan
guru agama Buddha favorit saya bapak Arya Chandra—terhadap Marxisme lewat kumpulan
bacaan yang dia berikan. Terima kasih mau diganggu waktunya, padahal semester baru
“Pengantar Teori Kritis” telah berlangsung.
Terima kasih teman-teman sekampus, terutama Komunikasi angkatan 2009, terutama
lagi Jurnalisme 2009. Bersama-sama kita lewati suka-duka, kita sama-sama nafsu makannya
bertambah karena stres dengan tugas, sama-sama jingkrak-jingkrak-an di tempat karaoke saat
UAS berakhir. Namun kita tahu ujian sesungguhnya tak pernah berakhir, kita hanya menjadi
lebih siap untuk menghadapinya.
Kepada pihak-pihak yang tak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih banyak
dalam membentuk saya yang hari ini, dan oleh karena itu berkontribusi terhadap kelancaran
penulisan essay ini.
Sincerely,
Sisca Kosasih
iii
Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Sisca Kosasih
NPM
: 0906524835
Program Studi : Jurnalisme
Departemen
: Ilmu Komunikasi
Fakultas
: Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jenis karya
: Essay
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas
Indonesia Hak BebasRoyalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya
ilmiah saya yang berjudul :
TELAAH FILM SHAOLIN DENGAN MENGGUNAKAN KONSEP JACQUES LACAN
MENGENAI FASE PERKEMBANGAN MANUSIA: THE REAL, THE IMAGINARY, DAN
THE SYMBOLIC
beserta perangkat yang ada. Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas
Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan
data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan
nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di: Depok
Pada tangal: 18 Februari 2013
Yang menyatakan
(Sisca Kosasih)
iv
Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013
ABSTRAK
Nama
:Sisca Kosasih
Program studi : Ilmu Komunikasi/ Jurnalisme
Judul essay
: Telaah Film Shaolin dengan menggunakanKonsep Jacques Lacan mengenai
Fase Perkembangan Manusia: The Real, The Imaginary, dan The Symbolic
Schopenhauer mengemukakan kesadaran hanya kulit permukaan dari sesuatu yang lebih
dalam dan luas yakni dari kehendak yang buta, irasional, dan tidak sadar. Jacques Lacan,
sang psikoanalis juga kurang lebih mendukung pernyataan tersebut. Adapun terbersit dalam
pikiran penulis, hal ini identik dengan ajaran Buddha, maka penulis mencoba menganalisis
film yang sarat Buddhisme, yaitu Shaolin (2011). Yang menjadi fokus perhatian penulis
bukanlah simbol-simbol agama melainkan kaitan makna nasib para tokohnya, terutama tokoh
antagonis yang kemudian menjadi protagonis—Hou Jie yang diperankan Andy Lau—serta
tokoh yang menjadi antagonis sepanjang cerita—Cao Man, diperankan Nicholas Tse. Apa
yang memungkinkan jalan kehidupan mereka berubah (ubah) adalah tepat kiranya ditelaah
dengan konsep Lacan mengenai tiga fase perkembangan manusia.
Kata kunci:
Lacan, the real, the imaginary, the symbolic, kajian film, kajian film Shaolin
v
Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013
ABSTRACT
Name
:Sisca Kosasih
Study Programme
: Communication Science/ Journalism
Essay title
: Shaolin Movie Review Using Jacques Lacan’s Concept about Human
Development Phase: The Real, The Imaginary, dan The Symbolic
Schopenhauer argued consciousness was only skin surface of something deeper and
broader than the will of a blind, irrational, and unconscious. Jacques Lacan, the
psychoanalyst is also about supporting the statement. As occurred in the mind of the
writer, it is quite synonymous with Buddhism, so the author tries to analyze the film
that loaded Buddhism, Shaolin (2011). Which became the focus of attention of the
author are not religious symbols but the fate of the characters meaning of terms,
especially the antagonist who later became the protagonist--Hou Jie, played by Andy
Lau--as well as the antagonist character throughout the story--Cao Man, starring
Nicholas Tse. What allows them to change their way of life is precisely would be
reviewed with Lacan's concept of the three phases of human development.
Key words: Lacan, the real, the imaginary, the symbolic, movie study, Shaolin movie
study
vi
Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013
DAFTAR ISI
Halaman Pernyataan Orisinilitas............................................................................................i
Halaman Pengesahan...............................................................................................................ii
Ucapan Terima Kasih.............................................................................................................iii
Halaman Pernyataan Persetujuan Publikasi........................................................................iv
Abstrak......................................................................................................................................v
Daftar Isi.................................................................................................................................vii
Pendahuluan.............................................................................................................................1
Analisis Film.............................................................................................................................2
Penutup................................................................................................................................. .15
Daftar Referensi.....................................................................................................................16
vii
Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013
I.
Pendahuluan
Guru (agama) saya berkata Buddha bukanlah agama, ia lebih cocok disebut
kepercayaan dan lebih tepat lagi bila disebut filsafat. Setelah menangkap inti ajaran Buddha
sesuai kemampuan saya, maka perkataan guru saya itu bisa saya terima. Lalu hal ini
dikuatkan dengan pandangan filsuf lainnya, seperti Schopenhauer—yang terkenal
berpengaruh terhadap
Horkheimer—mengemukakan
bahwa
kesadaran hanya
kulit
permukaan dari sesuatu yang lebih dalam dan luas yakni dari kehendak yang buta, irasional,
dan tidak sadar1. Pemikiran ini jelas tertuang dalam ajaran Buddha.
Setelah itu, Sigmund Freud muncul dengan hal yang kurang yang lebih sama,
dengan mengatakan elemen ketaksadaran turut berpengaruh pada kesadaran manusia.
Tapi Freud tua kemudian terjebak pada pandangan Cartesian “Cogito Ergo Sum”(aku
berpikir, dan karena itu aku ada) karena akhirnya ia berkesimpulan ketaksadaran bisa
diatasi dengan kesadaran. Adalah Jacques Lacan, psikoanalis yang mengatakan mustahil
ego/diri/aku bisa
mengendalikan ketaksadaran
kalau ego
sendiri adalah
ciptaan
ketaksadaran.
Ilusi terhadap apa yang kita sebut “aku” sebenarnya sudah dipaparkan Buddha
dalam Anatta (doktrin tanpa aku) dengan penjelasan yang menurut saya adalah mendekati
percis. Maka untuk mengetahui formasi ego melalui tiga ranah perkembangan manusia
menurut Lacan (the Real,the Imaginary, dan the Symbolic) saya kira tepat untuk menilik film
Shaolin. Film Shaolin sarat akan Buddha Dhamma2 yang relevan dengan pemikiran Lacan.
1
Latar Belakang Historis dan Teoritis Sekolah Frankfurt
boleh menganggapnya elemen agama ataupun filsafat, sesungguhnya merek “Buddha Dhamma” tidak terlalu
penting sama seperti mawar akan sama saja harumnya dengan nama apapun yang kita kenakan
2
1
Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013
II. Analisis Film
Film ini berfokus pada kehidupan Jenderal Hou Jie yang sudah dewasa, oleh karena
itu analisis dimulai dengan tahapan the Imaginary dan the Symbolic terlebih dahulu. Kedua
tatanan ini koeksis (tumpang-tindih) karena ilusi dalam the imaginaryperlu „dinyatakan‟
dalam struktur bahasa (kultur), oleh karena itu perlu memasuki wilayah the symbolic.
Proses The Imaginarydimulai dari pengetahuan tentang adanya liyan (oknum yang
tidak menyatu dengannya), tapi bayi belum mempunyai pemahaman akan „diri‟. Sampai
pada periode ketika bayi melihat cermin, ia akan membandingkan citraannya dengan citraan
orang lain, lalu me(mis)persepsikan citraanya sebagai „aku‟. Bisa dikatakan anak itu menjadi
teralienasi, tertawan dengan citraanya sendiri sebab dengan menganggap citraan sebagai
„aku‟ maka si anak menyembunyikan kekurangan; ketidak-utuhan; serta hasrat memiliki
identitas yang didorong ketidak-utuhan itu. Momen ini ialah momen primordial pembentukan
ego menurut Lacan, dan terus akan terjadi dalam rentang hidup manusia sesuai dengan
kecenderungannya untuk mengidentifikasi dengan diri-diri yang ideal.
Untuk mengukuhkan „diri‟ tersebut, seseorang harus memasuki tahap The Symbolic.
Bagaimana seseorang dapat menyebut dirinya „aku‟ atau bahkan manusia? Ia harus masuk
ke tatanan budaya yang sudah ada. Dalam pengertian Lacan, The Symbolic ini sama
dengan struktur bahasa yang mencoba menstabilkan makna-makna yang sebetulnya tak
dapat dijelaskan dengan kata-kata. Dengan demikian bahasa/kata sebetulnya tidak pernah
secara tuntas atau penuh menjelaskan pengertian sesuatu. Ibaratnya kultur/aturan/tata adat
yang mengikat kehidupan kita adalah struktur bahasa itu. Meski mereka tidak secara riil
menjelaskan makna suatu kata atau makna „aku‟, kita tetap membutuhkannya sebagai objek
yang memberi rasa kepastian atau kemantapan.
Dalam film Shaolin, Hou Jie memahami „diri‟-nya sebagai jenderal besar yang
berjasa memenangkan pertempuran, jenderal yang disayangi anak buahnya, orang yang
sepatutnya menguasai kota Deng Feng, bapak dan suami yang baik karena nafkah uang
2
Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013
ataupun batin sudah dipenuhinya dengan baik, hidupnya mendekati sempurna. Pemahaman
itu ia peroleh dari kemenangan-kemenangan dalam perang, dari kemenangan itu namanya
harum di kalangan prajurit dan khalayak. Ia juga disegani oleh anak buahnya. Anak-istri Hou
Jie hidup dalam kenyamanan. Kemenangan dan pujian itu ibarat pantulan cermin yang
membentuk „diri‟ Hou Jie.
Ia tak menyadari kemenangan yang menjadi kegembiraanya, adalah penderitaan
bagi sebagian orang. Bisa jadi ia dianggap pendosa oleh sebagian orang, termasuk
biarawan Shaolin. Ia pun tak tahu apakah prajurit bawahannya seratus persen loyal
kepadanya. Ia mengabaikan fakta bahwa dunia yang dijalaninya sangat riskan bagi
keluarganya.
Yang
ia
tahu
adalah
ia
mempunyai
nama
besar,
semua
orang
mengagungkannya, dan siap menyerbu wilayah lainnya, siap mengalahkan siapa saja.
Lacan menjelaskan „diri ideal‟ yang diciptakan dalam the Imaginaryadalah karena
subjek merasa tidak utuh dan mengalami kekurangan, oleh karena itu pula mempunyai
“hasrat untuk memiliki” demi melengkapi yang kurang tersebut. Secara psikologis juga
dijelaskan bahwa dalam diri tiap manusia ada pandangan mengenai perlindungan diri (selfprotection) dan pandangan mengenai kelangsungan diri (self-preservation). Untuk
kelangsungan diri, manusia menggambarkan dalam pikirannya tentang satu inti yang kekal
abadi dalam manusia dan di luarnya yang disebut Roh/Atma/Diri/Ego. Manusia memerlukan
self-protection dan self-preservation untuk menghibur dirinya dan kemudian melekat erat
secara fanatik padanya3.
Kekurangan yang dirasakan Hou Jie bisa diartikulasikan sebagai kekurangan akan
kebutuhan sebagai manusia yang berkedudukan tinggi dan hidup sejahtera. Kekurangan ini
hadir pada suatu periode hidupnya, kemudian ia menciptakan „diri ideal‟, entah itu dari
pandangan masyarakat secara umum, dari buku yang dibacanya, atau sumber lainnya. Ia
lalu berketetapan harus menjadi perwira yang berjaya. Sampai di sini, ia telah mempunyai
3
Widyadharma, MP. Sumedha. Dhamma-Sari. 1999. Jakarta.
3
Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013
“hasrat memiliki (identitas)”. Ketika ia telah berhasil menjadi seorang jenderal, ia semakin
melekat dengan „diri ideal‟ yang telah dibangunnya.
Hou Jie pun hidup dalam aturan kekuasaan yang agaknya barbar—kalau tidak mau
dibunuh,maka harus membunuhatau sebaliknya. Ia kerap menasehati Cao Man, anak buah
kesayangannya, “Bila engkau dalam kondisi menguntungkan, pertahankanlah..Kalau silap,
bisa jadi yang sekarat adalah engkau.” Ia bahkan mewaspadai Jenderal Song Fu—yang
sudah dianggapnya sebagai kakak—karena dicurigai akan merebut kota Deng Feng
darinya. Ia tunduk dalam wilayah simbolik, di mana nom-du-pére/ name-of-thefathermengatur untuk tidak lengah serta untuk menghancurkan s etiap
musuh
yang
muncul. Saat Hou Jie mendapatkan rampasan perang berupa tambang emas, ia bertanya
mengapa kakaknya Song Fu tidak bertanya apapun mengenai tambang emas itu. Ia
berkesimpulan Song Fu ingin merampas tambang tersebut beserta kota Deng Feng, Song
Fu juga mungkin sedang merencanakan membunuh Hou Jie. Hou Jie akhirnya memutuskan
untuk menyerang dulu dengan merencanakan pembunuhan pada saat putrinya ditunangkan
dengan putra Song Fu. Tindakan Hou Jie ini dapat dipahami sebagi The Symbolic—yang
dibutuhkan untuk mengukuhkan The Imaginary—sekaligus timbul untuk mengatasi
Kekurangan. Oleh sebab itu, jelaslah posibilitas Kekurangan yang dirasakan Hou Jie adalah
rasa tidak aman terhadap kedudukannya, terhadap segala kemapanan yang telah diraihnya.
Di sisi lain, tokoh (yang kemudian menjadi antagonis) Cao Man memahami dirinya
sebagai anak buah kesayangan Hou Jie. Sebab ia telah memenangkan begitu banyak
pertempuran untuk Hou Jie, Jenderal Hou sendiri „mengakui‟ hal tersebut dengan
menempatkannya dalam posisi penting--layaknya kaki tangan Hou Jie sendiri. Ini adalah
bayangan Cao Man tentang dirinya sendiri (The Imaginary), dengan mengandaikan „diri
ideal‟ seperti itu Cao Man bisa „mengatasi‟ kekurangan yang tak disadarinya, yaitu takut
kehilangan self-preservation (dan self-protection) di bawah patronageJenderal Hou.
Cao Man pergi ke mana-mana, berperang untuk Hou Jie agar „diri‟-nya semakin utuh
sebagai perwira kesayangan Hou Jie. Cao Man sampai berpikiran ingin membeli senjata
4
Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013
baru dari Barat, agar kekuasaan Jenderal Hou semakin mantap. Dengan demikian ia masuk
dalam tahapan the Symbolic. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kata (penanda)
dalam struktur bahasa tak pernah ada makna stabilnya, yang ada malahan satu penanda
menunjuk pada penanda lainnya, begitu pula adanya wilayah Simbolik. Ketika Cao Man
berusaha keras membujuk Hou Jie membeli 80 senjata secara gratis—asalkan orang Barat
itu diperkenankan membuat jalur kereta api di Deng Feng—ia tidak bisa membuat Hou Jie
paham kalau ia bertindak demikian karena rasa „sayang‟nya pada Sang Jenderal, ia ingin
agar Sang Jenderal mempunyai daya gentar. Begitulah efek penanda yang tak dapat secara
akurat menunjuk pada makna yang definitif, namun dapat „distabilkan‟ dengan nom-du-pére/
name-of-the-father/Phallus.
Phallusmerupakan elemen yang menyetop ketergelinciran efek penanda, yang
membatasi permainan. Dalam hal ini, yang lebih dekat ke Phallusialah Hou Jie—selaku
atasan Cao Man. Sehingga tindakan Cao Man berani membujuk Hou Jie dua kali dianggap
Hou sebagai tindakan yang lancang, tidak tahu posisi, dan tidak berpikir pada tempatnya.
Hou menjelaskan dengan kasarnya pada Cao Man, membuka jalur kereta api untuk orang
asing sama dengan membuka pintu penjajahan bagi rakyat Cina.
Cao Man kaget saat dicekik Sang Jenderal, seketika „diri ideal‟ yang sudah dibangun
dalam imajinasinya runtuh. Selama ini, ia membayangkan Sang Jenderal sebagai panglima
yang bijaksana, yang menyayangi dirinya karena ia memiliki kelebihan dibanding prajurit
yang lain. Citraan baru yang dilihatnya melalui tindakan kasar Hou Jie, melalui tatapan mata
Hou Jie yang seolah merendahkannya, kini membentuk „diri‟ Cao Man sebagai orang yang
tak disukai, tak pernah dianggap penting oleh Sang Jenderal dan oleh sebab itu „diri‟ yang
sekarang adalah musuh Hou Jie. Ini adalah fase imajiner baru, membuktikan manusia
cenderung mengubah-ubah konsep „diri ideal‟-nya sepanjang hayatnya.
Tapi Cao Man masih memiliki identitas sebagai prajurit (hanya saja kini ia beroposisi
secara diam-diam dengan Jenderal Hou) sehingga ia masih mengikuti aturan Phallus—
dalam tahapan Simbolik sebelumnya—bahwa prinsip penghancuran musuh masih sama,
5
Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013
yaitu tidak pandang bulu. Nasihat yang sering diberikan Hou Jie bahwa “Posisi keuntungan
harus dipertahankan, bila tidak, bisa jadi yang mati berikutnya adalah diri sendiri.” mungkin
tidak akan pernah dapat diduga Hou bakal menjadi senjata yang berbalik arah melawannya.
Begitu juga dengan ucapan yang suka dilontarkan Hou Jie, “Dia tidak mati, aku tak bisa
tidur.” merupakan kalimat yang kini menggema di pikiran Cao Man. Kini Cao Man berusaha
menjadi yang terdekat dengan Phallus, menggantikan Hou Jie.
Pada adegan selanjutnya, Hou Jie masih tetap pada rencana untuk membunuh Song
Fu saat pesta pertunangan kedua anak mereka. Ketegangan terjadi saat Song Fu
menanyakan bagaimana mereka—sesama kakak-beradik—membagi kota Deng Feng. Hou
Jie menjawab untuk membaginya setengah-tengah dan semakin yakin untuk membunuh
Song Fu. Tapi Song Fu sambil tertawa mengatakan semuanya kini milik Hou Jie, dengan
berpikir kalau putri Hou Jie akan dinikahi putranya kelak, ia tak merasa kehilangan apa-apa.
Jawaban yang seharusnya merekatkan kembali semangat persaudaraan masih dicurigai
Hou Jie sebagai decoySong Fu. Dalam hatinya, ia sangat yakin Song Fu tak akan rela
melepaskan dengan mudah, yang tertanam di pikirannya banyak orang yang sedang
mengincar jabatan dan kekuasaannya.
Kalaupun Hou Jie berubah pikiran, sekarang sudah terlambat. Intel Song Fu
mengirimkan pesan bahwa Hou Jie akan membunuhnya. Song Fu marah dan meminta para
istri dan anak meninggalkan ruangan, dalam pandangan saya ia hendak menyelesaikan
persoalan secara kekeluargaan—kalau tidak begitu, ia bisa saja langsung menembak Hou
Jie di tempat. Song Fu meluapkan emosinya, tak habis pikir orang yang selama ini ia
anggap adik selama 20 tahun akan mengkhiantinya. Hou Jie bukannya sadar dan meminta
maaf, malah menembak Song Fu tepat di dadanya. Suara tembakan itu menjadi pertanda
bagi pasukan Cao Man untuk beraksi, bukan untuk membantu Hou Jie tapi untuk
membunuhnya.
Situasi menjadi tidak terkendali, muncul banyak pasukan yang hendak melukai Hou
Jie. Di saat itulah dengan sisa-sisa tenaganya, Song Fu menembakkan pistol membantu
6
Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013
Hou Jie. Hou Jie pun sadar, pasukan yang sedang mengincarnya bukan pasukan Song Fu,
melainkan pihak ketiga yang memancing di kolam keruh. Alas, walau sudah berusaha
semaksimal mungkin melarikan diri dari mara-bahaya (yang dilancarkan Cao Man), putri
tunggal Hou Jie, Sheng Nan yang berusia sekitar 10 tahun mengalami luka parah.
Pada saat ini wilayah the Imagianary Hou Jie mengalami keruntuhan, tapi belum
sepenuhnya. Ia bahkan hendak membunuh semua bhiksu di Shaolin kalau tak mau
menolong anaknya—yang sebenarnya telah meninggal. Agaknya terkesan ilogis ketika ia
meyakinkan istrinya bahwa Sheng Nan tidak apa-apa, dan akan tetap hidup. Istrinya yang
sedang menangis menyalahkan Hou Jie sebagi penyebab kematian Sheng Nan dan
menampar Hou Jie sewaktu mendengar ia mau membunuh bhiksu. Hou Jie memberontak,
tak mau menerima kenyataan putrinya sudah meninggal, marah dengan keadaan yang
tadinya normal menjadi seperti demikian. Bhikshu Shaolin mau tak mau harus meladeni
kemarahan Hou Jie dengan kung fu, toh akhirnya ia lelah sendiri kemudian pingsan.
Diceritakan istri Hou Jie telah pergi dari Shaolin dan berpisah dengan suaminya.
Hou Jie sadar kemudian berjalan ke sebuah ladang, tapi terjatuh di lubang yang
dibuat untuk menjebak babi. Bhikshu Shaolin yang berada di lokasi tersebut buru-buru
mendekati lubang, berkata, “Lubang yang dibuat untuk babi kok malah yang tertangkap
manusia, berdarah pula? Manusia saat sedang kacau bahkan tak sepintar babi. Melihat
kondisimu sekarang, apakah engkau masih ingin membunuh orang? Kulihat dengan
kondisimu, sebaiknya berdiam diri sejenak di sana.” Terjebak dalam lubang babi
semalaman, membuat Hou Jie merenung. Ia melihat angkasa di malam hari dan berkata
dengan pelan: mengapa bisa jadi seperti ini?
Saat inilah the Imaginary dan the Symbolic runtuh sepenuhnya. Hou Jie berhadapan
dengan kekosongan, citraan atau apa yang dianggapnya “aku” mulai terasa asing. Penjara
simbolik yang mengatur dirinya selama ini hancur, mungkin ia mempertanyakan apakah
tata-cara yang ia ikuti selama ini berfaedah, memberi kebahagiaan, ataukah tidak.
Setidaknya kini ia sadar profesinya selama ini membahayakan nyawa anak-istrinya.
7
Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013
Pengalaman ini disebut Lacan sebagai pengalaman the Real. The Realadalah sesuatu yang
sepenuhnya resisten terhadap realitas Simbolik; ditandai dengan pengalaman janggal,
traumatis, tak ternamakan, serta dijumpai dalam bentuk bahaya, katastrofi, dan kematian.
Selanjutnya pengalaman The Realmembuat kita sadar baik identitas Imajiner maupun
Simbolik hanyalah ilusi4.
Saya ingin menjelaskan sedikit dari perspektif Buddhis mengenai kesadaran. Sang
Buddha menjelaskan kesadaran itu timbul karena suatu kondisi. Kesadaran diberi nama dari
kondisi yang menimbulkannya; oleh karena ada mata dan benda-benda yang terlihat oleh
mata, maka timbullah kesadaran yang diberi nama kesadaran mata, dst. Kesadaran
memerlukan benda, pencerapan, perasaan, dan bentuk-bentuk pikiran. Inilah Lima
Kelompok Kegemaran yang secara populer disebut “aku”. Tak ada sesuatu di belakang
Lima Kelompok Kegemaran yang dapat disebut sebagai “aku” yang menggerakkan segala
sesuatunya. Yang ada hanyalah: satu materi lenyap dan menciptakan kondisi untuk
timbulnya materi yang berikut dan seterusnya dalam satu rangkai sebab akibat. Dengan
pendekatan secara analisa, bila kita menggambar Lima Kelompok Kegemaran sebagai
lingkaran sebab-musabab, tak ada salah satunya yang dapat disebut aku/ego karena setiap
elemen saling terkait satu sama lain. Juga tak ada subtansi kekal yang ke-6 di
belakanganya.
Ide tentang adanya “aku” yang berkesadaran penuh tanpa kondisi, yang kekal, yang
mutlak ada, adalah palsu. Ibaratnya kurang tepat mengatakan penghidupan itu bergerak,
sebab penghidupan itu sendiri adalah pergerakan. Sama seperti tidak adanya pemikir di
belakang pemikiran, sebab pemikiran itu sendirilah pemikirnya. Kalau kita menyingkirkan
pemikiran, si pemikir tidak dapat kita jumpai. Dalam hal ini paham Buddhis bertentangan
4
Bracher, Mark. Jacques Lacan, Diskursus dan Perubahan Sosial: Pengantar Kritik-Budaya Psikoanalisis. 2009.
Yogyakarta: Jalasutra. Dalam bagian Pesona Hasrat dalam Psikoanalisis-Struktural Jacques Lacan oleh Donny
Gahral Adian.
8
Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013
sekali dengan paham Descartes “cogito ergo sum” yang berarti “aku berpikir, dan karena itu
aku ada.”5
Secara sederhana, tanpa mengurangi rasa hormat pada Lacan, „hasrat untuk
memiliki‟ ialah salah satu elemen dari Lima Kelompok Kegemaran, yaitu bentuk-bentuk
pikiran. Tapi bentuk-bentuk pikiran itu bukannya ada begitu saja, tanpa kondisi yang
menciptakannya, dimulai dari kontak dengan kelima indra, reaksi atau respons terhadap
kontak tadi, megenali/mencerap objek fisik ataupun mental, perasaan yang timbul
(bahagia/tidak bahagia/ netral), dan yang terakhir kegemaran akan bentuk-bentuk pikiran di
mana sifat pikiran berproses—kalau suka kita mau dan mau lagi (ingin mengulang), kalau
tidak suka, maka akan timbul penolakan.
Lacan menceritakan ilusi “aku” terbentuk akibat adanya “hasrat untuk memiliki
(identitas). Hasrat ini timbul sebagai konsekuensi ketidakutuhan, ketidakpenuhan yang
dirasakan setelah kita kehilangan “yang dicintai”— bayi kehilangan Liyan yang paling
dicintainya, yaitu ibu. Formasi ego dalam the Imaginary dan the Symbolicini terjadi dalam
wilayah ketidaksadaran. Kalau dikaitkan dengan nilai spiritual Buddhis, maka inilah keadaan
yang menyebabkan manusia awam (fana) memiliki hasrat dan keinginan yang tak terhingga
di bawah kendali “aku” yang sebenarnya tak nyata.
Di sisi lain, The Realbagi Lacan adalah wilayah yang psikis, tempat penyatuan asal
dengan matriachal state of nature, di mana tidak ada ketiadaan (absence), kehilangan, atau
kekurangan; ia adalah seluruh kepenuhan dan kelengkapan. The Real akan timbul bila ilusi
dalam The Imaginary dan The Symbolic habis sempurna, dan oleh sebab itu selalu
mengingkari “hasrat untuk memiliki (identitas)”. Menurut saya, The Real inilah yang juga
disebut Nibbāna dalam Buddha Dhamma, yang merupakan tujuan akhir para umat Buddha.
Untuk mencapai Nibbāna memang tidak mudah, manusia harus menyadari:
5
Widyadharma, MP. Sumedha. Dhamma-Sari. 1999. Jakarta.
9
Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013
1) hakikat segala sesuatu adalah dukkha, retak, tidak pernah utuh, selalu berubah-ubah
(dalam bahasa orang awam: hidup penuh penderitaan), secara singkat Lima
Kelompok Kegemaran yang disebut “aku” adalah dukkha
2) mengetahui sumber dari masalah/dukkha ada dalam masalah/dukkha itu sendiri,
bahwa bentuk-bentuk pikiran dalam Lima Kelompok Kegemaran menciptakan ilusi
tentang “aku” dan keinginan yang tiada habis-habisnya
3) terhentinya dukkha atau Nibbāna itu sendiri. Menurut MP. Sumedha Widyadharma,
pengertian Nibbāna tidak mungkin dapat diterangkan dengan kata-kata. Baginya,
kata-kata merupakan lambang yang mewakili benda-benda dan bentuk-bentuk
pikiran
yang
kita
kenal,
dan
lambang-lambang
ini
tidak
mungkin
dapat
mengungkapkan hakekat sesungguhnya dari benda atau bentuk pikiran. Namun agar
tidak terjadi efek penanda yang tak berkesudahan—dalam istilah Lacan—Nibbāna
dalam ajaran Buddha diartikan sebagai akhir dukkha di saat „lenyapnya/lepasnya
nafsu keinginan dan Lima Kelompok Kegemaran („aku‟)
4) Jalan terhentinya dukkha, berisi ajaran Buddha yang lebih praktikal ketimbang ajaran
lain-Nya yang lebih filosofis. Jalan ini terdiri dari delapan bagian: pengertian benar,
pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, daya upaya
benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar.
Pernah ada siswa yang bertanya pada Buddha, “Bhante, pernahkah terjadi bahwa
orang akan merasa tersiksa apabila ia tidak lagi menemukan sesuatu yang kekal di dalam
dirinya?” Buddha menjawab, “Ya, bhikkhu, memang ada. Seseorang mempunyai pandangan
seperti berikut: alam semesta ini Atma, dan aku, akan menjadi satu dengannya kalau aku
meninggal dunia, kekal, abadi, tidak berubah, dan aku akan hidup seperti itu untuk
selamanya.
Ia
kemudian
mendengar
Sang
Tathāgata
atau
seorang
siswa-Nya
mengkhotbahkan ajaran yang bertujuan menghancurkan secara total semua pandangan
yang diragu-ragukan itu dan bertujuan untuk memadamkan tanhā (nafsu), bertujuan untuk
tidak melekat, terbebas, dan Nibbāna. Setelah mendengar khotbah, orang itu berpikir: aku
akan dimusnahkan, aku akan dihancurkan, aku akan tidak ada lagi. Dengan demikian, ia
10
Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013
menjadi sedih hatinya, kesal, meratap, menangis, memukuli dadanya dan menjadi kalap.
Begitulah bhikkhu, memang pernah terjadi, bahwa orang akan merasa tersiksa kalau
sesuatu yang kekal dalam dirinya tidak lagi ditemukan.” (Majjhima Nikāya 22:
Alagaddupama Sutta).
Retaknya
identitas
memang
pengalaman
yang
membingungkan
sekaligus
menyakitkan, kata Donny Gahral Adian. Slavoj Zizek menyebut xenophobia sebagai salah
satu bentuk patologi alternatif untuk meredakannya. Bagi saya, alih-alih memilih alternatif
patologi, seseorang bisa mempelajari ajaran Sang Buddha dengan serius, seperti yang
dilakukan bhiksu-bhiksuni. Alih-alih menjadi murung dan tersiksa, siswa-siswa Buddha
selalu penuh kebahagiaan dan kedamaian, sebab mereka telah mengetahui Kesunyataan
Alam, mengetahui segala sesuatu adalah tidak kekal sebagai kodratnya, selalu sabar dan
tak terpengaruh rasa kesal oleh suatu perubahan. Inilah jalan yang dipilih Hou Jie, dengan
menetap di Shaolin, mendalami ajaran Buddha, bermeditasi (lewat kung fu), dan akhirnya
ditahbiskan menjadi bhikshu—yang harus rela meninggalkan segala perkara masa lalu,
termasuk identitasnya.
Kalau boleh sedikit menyinggung pemikiran tokoh lain selain Lacan, tapi masih
termasuk Lacanian, maka pemikiran Zizek juga memungkinkan kehidupan yang dialami Hou
Jie berubah seratus delapan puluh derajat. Berikut kutipan pemikiran Zizek yang diambil dari
esai Donny Gahral Adian.
“Menurut Zizek, subjek yang kehilangan keutuhan dalam tatanan imajiner
selamanya berlubang dan menghabiskan seluruh hidupnya untuk menambal lubang
tersebut lewat pencarian makna dan keutuhan.
Kompensasi atas diri yang selalu
berkekurangan itu adalah fantasi.
Fantasi adalag bentuk penikmatan libidinal yang
menutup ruang
hampa
diri subjek. Penikmatan adalah apa yang tergeletak di
lantai dasar ideologi, mendorong imajinasi sang subjek dalam kerangkakerangka
sosial terberi...Namun penikmatan pada saat yang sama juga
bekerja
pada
ranah
praideologis, ruang hampa makna tempat resistensi
dan
runtuhnya
berbagai
pemaknaan sosial. Penikmatan itu tak
sepenuhnya ditelan oleh ranah Simbolik...Ini
yang saya sebut sebagai
hasrat untuk menjadi; dinamika subversif yang selalu
menggugat setiap
upaya penanaman identitas.”
11
Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013
Dengan demikian berdasarkan analisis Zizek, ketika Hou Jie kehilangan keutuhan
dalam tatanan Imajiner dan Simbolik, ia berusaha menambal ketidakutuhannya itu lewat
„fantasi‟ yang memberikan penikmatan tipe kedua. Maksudnya ialah penikmatan yang
dirasakan dalam tempat hampa makna, yang di dalamnya resisten terhadap pemaknaan
sosial. Penikmatan ini ia temukan dalam ajaran Buddha yang memang bertujuan
melenyapkan keinginan dan keakuan.
Berbeda dengan Hou Jie, Cao Man memilih penikmatan tipe pertama, penikmatan
yang masih didasari kerangka sosial (the Symbolic). Oleh sebab itu, Cao Man tidak ingin
melenyapkan identitas, malah sebaliknya ingin merebut identitas Hou Jie. Dengan demikian,
kekurangan/kepahitan/kebolongan yang ia rasakan dapat teratasi untuk sementara. Cao
Man merealisasikan penikmatannya dengan melakukan hal-hal esktrim yang tidak mungkin
dilakukan Hou Jie, seperti negosiasi dengan orang asing/ barat di mana orang barat dapat
membangun jalur kereta api sambil mengekskavasi harta karun kuno dan Cao Man
memperoleh senjata sebagai imbalannya. Semua ini dilakukan Cao Man, agar ia dapat
mengungguli Hou Jie yang ia anggap serba takut dan selama ini hanya memanfaatkannya.
Cao Man pun tetap berusaha memburu Hou Jie ke Shaolin.
Selain mengkaji tokoh Hou Jie dan Cao Man, menurut saya yang menarik adalah
adegan di mana Hou Jie meminta masyarakat dengan ikhlas meninggalkan Shaolin (demi
keselamatan mereka sendiri). Mereka terharu, menangis, bersujud—pada pada biarawan
yang selama ini telah membantu mereka—, bahkan masyarakat enggan meninggalkan
Shaolin pada awalnya. Meski bukan bayi lagi, menurut saya mereka memasuki pengalaman
yang mirip the Real ketika bayi memasuki tahapan ini.
Saat tinggal di penampungan sementara di Shaolin, masyarakat itu hanya memiliki
kebutuhan yang dapat dipuaskan dan tidak dapat membedakan antara dirinya dan objek
yang memuaskannya. Kebutuhan akan makan, pakaian, dan tempat tinggal, dibantu oleh
biarawan Shaolin. Bahkan ada beberapa biarawan yang melanggar ajaran Buddha yang
pantang mencuri. Biarawan itu beraksi sebagai pahlawan bertopeng, yang mirip dengan
12
Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013
Robin Hood, yakni mencuri dari yang kaya (korup) dan membagikannya pada yang miskin.
Masyarakat pun merasa menyatu dengan objek yang memuaskannya, maksudnya mereka
menganggap diri sebagai bagian dari Shaolin—yang selain memuaskan kebutuhan hidup,
juga memberikan ketenangan dan kedamaian. Namun ini bukanlah pengalaman the Real
sesungguhnya, masyarakat masih mengikuti aturan bermasyarakat dalam penampungan
dan yang terpenting mereka semua masih memiliki pengertian tentang aku/ego/diri.
Ketika masyarakat harus berpisah dari Shaolin yang kondisinya sudah tidak aman,
mereka merasa enggan. Sebab, mereka tahu: sekali meninggalkan Shaolin mereka tak akan
bisa kembali seperti dulu lagi. Seperti inilah konsekuensi dan elemen ketragisan dalam teori
Lacanian, bahwa untuk memasuki ranah Simbolik—yang hanya dengannya manusia dapat
menjadi dewasa—seseorang harus rela berpisah dengan penyatuan asalnya. Adalah Hou
Jie yang memberikan penguatan pada masyarakat, memberi sepatah-dua kata agar mereka
dapat dengan tenang memasuki The Symbolic (peradaban) di mana mereka harus bisa
memenuhi kebutuhan hidup sendiri, tanpa ditopang Shaolin.
Mendekati adegan terakhir, Hou Jie berhadapan dengan Cao Man, berkali-kali dia
meminta Cao Man untuk sadar, untuk tidak melakukan kesalahan seperti dirinya, untuk
merasa puas karena apa yang dimiliki Cao Man kini telah melampaui yang dibutuhkannya.
Cao Man tidak mau mendengar dan hendak melakukan perkelahian sampai salah satu di
antara mereka mati. Di sisi lain, pasukan barat telah bersiap dengan meriamnya, hendak
menggempur Shaolin. Rupanya pihak barat geram terhadap Cao Man yang masih belum
bisa mengatasi Shaolin.
Saat bangunan Shaolin digempur bom, Hou Jie dan Cao Man masih berkelahi, lantai
menjadi tidak stabil dan hampir saja Cao Man jatuh dari lantai dua. Hou Jie meraih tangan
Cao Man, dan membantunya ke atas. Saat ini, dunia Imajiner yang dibangun Cao Man—
atas kekecewaanya pada Hou Jie—hancur. Dengan sorotan mata berbeda, ia seakan
hendak berdamai dengan Hou Jie.
13
Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013
Sayangnya bom yang menghujani Shaolin membuat salah satu balok kayu dari atap
jatuh ke bawah dan dari posisinya, akan menimpa Cao Man. Hou Jie mendorong Cao Man
sehingga dirinya yang tertimpa kayu berat itu. Hou Jie mengalami pendarahan hebat.
Dengan masih sedikit kebingungan bercampur sedih, Cao Man berusaha mengangkat kayu
tapi tak berhasil. Tindakan Hou Jie menyelamatkan Cao Man saya tafsirkan karena tidak
ada lagi keinginan egoistik, tidak ada lagi “aku”, tidak lagi memikirkan kepentingan sendiri.
Tapi perlu diingat, ini bukanlah tindakan bunuh diri atau penghancuran diri sendiri karena
dorongan agama, melainkan perbuatan refleks yang didasari cinta kasih.
Pada adegan terakhir, Cao Man adalah satu-satunya orang yang selamat dari
penggempuran Shaolin. Ia berjalan keluar, melihat kehancuran di sana-sini, kemudian
meratap. Ia menyesali perbuatannya, terutama perbuatan jahatnya pada Hou Jie, tindakan
memusuhi Shaolin dan biarawannya yang mulia, menyebabkan kematian banyak orang, dan
membantu orang asing menjajah negerinya. Ia memasuki ranah the Real, percis seperti Hou
Jie melalui pengalaman itu sebelumnya. Cao Man menghadapi lautan kekosongan, penjara
Imajiner dan Simbolik-nya runtuh, habis.
14
Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013
III. Penutup
Demikianlah kajian film Shaolin yang dihubungkan dengan konsep Lacanian mengenai the
Real, the Imaginary, dan the Symbolic, ditambah dengan Buddha Dhamma. Kemiripan
antara konsep Lacanian dengan Buddha Dhamma hanyalah interpretasi subjektif saya, yang
mungkin tertanam pada wilayah Imajiner saya. Namun bagaimanapun juga, interpretasi ini
telah distabilkan/direalisasikan dalam ranah Simbolik melalui paper ini. Sedangkan
mengenai the Real,apakah interpretasi keseluruhan paper ini menyatu dengan state of
nature, adalah tergantung pada para pembaca, apakah mereka dapat menangkap makna
dibalik penjelasan simbolik ini, apakah mereka merasa terpuaskan tanpa merasa ada yang
kurang. Rasa-rasanya memang tidak Real, sebab penjelasan simbolik ini merupakan efek
penanda dari ide-ide saya. Apalagi tulisan ini tentunya memiliki kekurangan. Namun saya
berharap penjelasan simbolik ini, setidaknya dapat membantu beberapa orang untuk
terhindar dari ketergelinciran efek penanda yang tanpa jangkar, tanpa pusat—menurut
istilah Derrida.
15
Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013
DAFTAR REFERENSI
Ahmad Qazi, Khursheed. Lacanian concepts – Their Relevance to Literary
Analysis
and Interpretation: A Post Structural Reading. The Criterion: An International Journal
in English ISSN-0976-8165.
Bracher, Mark. Jacques Lacan, Diskursus dan Perubahan Sosial: Pengantar Kritik-Budaya
Psikoanalisis. 2009. Yogyakarta: Jalasutra.
Clarke, Richard L. W. Jacques Lacan ―The Mirror Stage as Formative of the
Function of
the I as Revealed in Psychoanalytic Experience‖ (1936/49). LITS3304 Notes 06B 1
Widyadharma, MP. Sumedha. Dhamma-Sari. 1999. Jakarta.
http://csmt.uchicago.edu/glossary2004/symbolicrealimaginary.htm
http://www.kristien.be/docs/schrijfsels/lacanintro.pdf
16
Telaah film ..., Sisca Kosasih, FISIP UI, 2013
Download