24 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1

advertisement
IV.
4.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
4.1.1 Uji Patogenitas Bakteri dengan Menghitung LD-50
Uji patogenitas bakteri digunakan untuk mengetahui konsentrasi bakteri
Aeromonas hydrophila yang akan digunakan pada uji in vivo. LD-50 adalah nilai
konsentrasi bakteri yang mampu menyebabkan kematian ikan uji sebanyak 50%
pada waktu tertentu. Pada penelitian kali ini, isolat A. hydrophila yang digunakan
berasal dari Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan. Isolat
disimpan pada media agar miring yang kemudian dikultur pada media TSB
(Tripticase Soy Broth) sebelum disuntikan pada ikan lele dumbo.
Bakteri yang akan digunakan untuk LD-50 sebelumnya digunakan (diuji)
untuk meningkatkan virulensi dari bakteri tersebut dalam menyebabkan penyakit.
Ternyata diketahui bahwa bakteri isolat A. hydrophila ini berupa isolat virulen.
Pengamatan LD-50 dilakukan selama 7 hari dengan menghitung jumlah ikan yang
mati pascapenyuntikan bakteri A.hydrophila. Konsentrasi bakteri yang digunakan
pada uji LD-50 ini adalah 109, 108, 107, 106 dan 105 cfu/ml, disuntikan pada 10
ekor ikan lele dumbo setiap konsentrasi bakteri. Selama 7 hari diamati tingkat
mortalitas ikan.
Penyuntikan bakteri dengan konsentrasi 109 cfu/ml menyebabkan kematian
ikan uji sebanyak 7 ekor dari 10 ekor yang digunakan atau dengan kata lain
konsentrasi bakteri tersebut dapat mematikan 81,25% ikan lele dumbo. Sedangkan
konsentrasi bakteri 108 cfu/ml menyebabkan kematian ikan lele dumbo sebanyak
4 ekor dari 10 ekor yang disuntikan isolat A. hydrophila. Nilai ini menunjukkan
tingkat kematian ikan lele dumbo sebesar 40%. Untuk penyuntikan bakteri
menggunakan dengan konsentrasi 107 dan 106 cfu/ml menyebabkan kematian ikan
lele dumbo sebanyak 1 ekor. Dan penyuntikan bakteri dengan konsentrasi 105
cfu/ml tidak menyebabkan kematian pada ikan lele dumbo selama pengamatan
LD-50.
24
4.1.2 Uji In Vivo
4.1.2.1 Respon Makan Ikan
Respon makan ikan pada awal perlakuan sedikit, namun selama perlakuan
respon makan mulai mengalami peningkatan.
Tabel 2. Respon makan ikan lele dumbo Clarias sp. selama perlakuan
PERLAKUAN
Hari Ke-
A
B
C
D
E
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
0
0
0
1
1
1
1
0
0
0
0
0
0
0
1
2
1
1
1
2
2
2
2
1
1
1
1
1
1
1
2
3
2
1
1
3
3
2
2
1
2
2
2
1
2
2
3
4
2
2
2
3
3
3
2
2
2
2
2
2
2
3
3
5
2
2
2
3
3
3
3
3
2
2
2
2
3
3
3
6
3
2
2
3
4
3
3
3
3
3
2
2
3
3
3
7
3
3
2
4
4
3
3
3
3
3
3
2
3
3
3
8
3
3
3
4
4
4
3
3
4
2
3
3
3
4
4
9
3
3
3
4
4
4
3
3
4
2
3
3
3
4
4
10
2
3
3
4
4
4
4
4
4
3
3
3
4
4
4
11
2
3
3
4
4
4
4
4
4
3
3
4
4
4
4
12
3
3
2
4
4
4
4
4
4
3
3
4
4
4
4
13
3
3
2
4
4
4
3
4
4
3
3
3
4
4
3
14
3
3
3
4
4
4
4
4
4
4
4
3
2
3
3
15
3
3
3
4
4
4
4
4
3
4
3
3
2
3
2
16
3
3
3
4
4
4
3
3
3
4
2
2
2
3
2
17
3
3
3
4
4
4
4
3
4
2
2
2
2
2
2
18
3
4
3
4
4
4
4
4
4
2
2
2
1
2
1
19
3
4
3
4
4
4
4
4
4
2
3
2
2
2
2
20
3
4
3
4
4
4
4
4
4
2
3
3
1
2
2
21
3
4
3
4
4
4
4
4
4
3
3
3
2
2
1
Keterangan:
0 = Tidak Nafsu Makan
1 = Kurang Respon Makan
2 = Respon Makan Cukup
3 = Respon Makan Baik
4 = Respon Makan Sangat Baik
Hasil pengamatan respon makan saat uji in vivo dapat dilihat dari Tabel 2,
respon makan ikan lele pada awal pemeliharaan menunjukkan respon makan yang
sedikit. Bahkan pada perlakuan A (0 g/kg), C (1,0 g/kg), D (1,5 g/kg) dan E (2,0
g/kg) ikan uji tidak menunjukan respon makan sama sekali. Pada perlakuan A (0
25
g/kg), respon makan mulai baik pada hari ke-6 pemeliharaan. Respon makan ikan
lele pada perlakuan A (0 g/kg) cenderung lebih stabil dengan respon makan baik.
Sedangkan pada perlakuan B (0,5 g/kg), respon makan ikan lele telah terlihat
mulai pada hari pertama terus meningkat sampai hari yang ke-5 dan respon makan
sangat baik pada hari ke-7 sampai akhir perlakuan.
Respon makan ikan lele pada perlakuan C (1,0 g/kg) menunjukkan
peningkatan mulai hari ke-2 sampai ke-9 dengan respon makan ikan lele baik.
Selanjutnya pada hari ke-10 sampai akhir perlakuan respon makan ikan lele
sangat baik. Walaupun sempat terjadi penurunan respon makan pada hari ke-15
namun masih dalam respon makan yang baik. Pada perlakuan D (1,5 g/kg), hari
pertama ikan lele tidak menunjukkan respon makan sampai pada hari ke-6 respon
makan cukup. Dan mulai hari ke-7 sampai ke-13 ikan lele perlakuan D (1,5 g/kg)
menunjukkan respon makan yang baik. Pada hari ke-14 dan ke-15 respon makan
ikan lele sangat baik, namun pada hari ke-16 sampai akhir pemeliharaan respon
makan kurang baik. Dengan kata lain, terjadi penurunan respon makan pada hari
ke-16 sampai akhir perlakuan.
Pada perlakuan E (2,0 g/kg), respon makan ikan lele hari ke-1 sampai ke-3
menunjukkan respon makan yang kurang baik. Selanjutnya dari hari ke-3 sampai
ke-13 menunjukkan peningkatan respon makan menjadi sangat baik. Namun, pada
hari ke-14 terjadi penurunan respon makan ikan lele menjadi kurang baik sampai
pada akhir perlakuan.
4.1.2.2 Pertambahan Bobot Ikan Lele Dumbo Clarias sp.
Pertambahan bobot harian individu ikan lele selama perlakuan menunjukkan
nilai sebagai berikut (Tabel 3)
Tabel 3. Data pertumbuhan harian (SGR) ikan lele dumbo selama perlakuan
Perlakuan
SGR (%)
A (0 g/kg)
2,79
B (0,5 g/kg)
1,69
C (1,0 g/kg)
1,84
D (1,5 g/kg)
1,85
E (2,0 g/kg)
2,48
26
Pada perlakuan A (0 g/kg) bobot rata-rata ikan awal sebesar 22,23 g
meningkat menjadi 39,95 g pada akhir perlakuan dengan pertumbuhan harian
sebesar 2,79%. Perlakuan B (0,5 g/kg) bobot rata-rata ikan awal perlakuan sebesar
30,71 g dan pada akhir perlakuan bobot rata-rata ikan lele menjadi 43,80 g dengan
pertumbuhan harian sebesar 1,69%. Perlakuan C (1,0 g/kg) menunjukkan
peningkatan bobot rata-rata dari 33,38 g menjadi 49,14 g dengan pertumbuhan
harian sebesar 1,84%. Perlakuan D (1,5 g/kg) menunjukkan peningkatan bobot
rata-rata dari 25,10 g menjadi 37,01 g dengan pertumbuhan harian sebesar 1,85%.
Perlakuan E (2,0 g/kg) menunjukkan nilai bobot rata-rata yang meningkat dari
30,42 g menjadi 51,22 g dengan pertumbuhan harian sebesar 2,48% (Tabel 3).
4.1.3 Parameter Hematologi
Parameter hematologi meliputi total eritrosit, total leukosit, kadar
hemoglobin, kadar hematokrit, diferensial leukosit dan indeks fagositik yang
diamati setiap seminggu sekali.
4.1.3.1 Total Sel Darah Merah (Eritrosit)
Total eritrosit (x 106 sel/mm3) selama perlakuan ditunjukkan pada gambar di
bawah ini (Gambar 4)
Gambar 4. Total eritrosit ikan lele dumbo Clarias sp. selama perlakuan
Total sel darah merah selama perlakuan umumnya terus meningkat. Namun,
pada perlakuan A (0 g/kg) nilai total eritrosit mengalami penurunan setiap
sampling, dari mulai sampling H0 sampai H21 total eritrosit terus menurun, yaitu
sebesar 4,91 x 106 sel/mm3 menjadi 3,37 x 106 sel/mm3 pada akhir perlakuan.
Pada perlakuan B (0,5 g/kg) total eritrosit terus mengalami peningkatan sampai
27
sampling H21. Pada sampling H0 nilai total eritrosit sebesar 4,42 x 106 sel/mm3.
Terus meningkat sampai pada sampling H21 menjadi 5,05 x 106 sel/mm3.
Perlakuan C (1,0 g/kg) menunjukkan peningkatan total eritrosit yang sangat
drastis pada sampling H14, yaitu sebesar 5,92 x 106 sel/mm3. Namun, pada
sampling H21 total eritrosit mengalami penurunan menjadi 4,24 x 106 sel/mm3.
Perlakuan D (1,5 g/kg) total eritrosit terus mengalami peningkatan mulai dari
sampling H0 sampai sampling H21. Nilai total eritrosit pada sampling H0 sebesar
2,90 x 106 sel/mm3 dan meningkat menjadi 5,57 x 106 sel/mm3. Untuk perlakuan
E (2,0 g/kg) total eritrosit terus mengalami penurunan namun tidak sampai
menurun drastis. Penurunan terendah sebesar 3,98 x 106 sel/mm3. Pada sampling
H14 peningkatan total eritrosit pada perlakuan E (2,0 g/kg) kembali terjadi pada
sampling H21, yaitu sebesar 5,33 x 106 sel/mm3 (Gambar 4).
4.1.3.2 Total Sel Darah Putih (Leukosit)
Perhitungan total leukosit (x 105 sel/mm3) dilakukan setiap satu minggu
sekali dengan hasil sebagai berikut (Gambar 5)
Gambar 5. Total leukosit ikan lele dumbo Clarias sp. selama perlakuan
Total leukosit selama perlakuan umumnya meningkat setiap sampling. Pada
perlakuan A (0 g/kg) total leukosit terus meningkat namum peningkatan yang
terjadi tidak terlalu besar. Sedangkan total leukosit pada perlakuan B (0,5 g/kg)
menunjukkan peningkatan yang lebih besar pada perlakuan A, yaitu meningkat
dari 2,94 x 105 sel/mm3 menjadi 6,56 x 105 sel/mm3.
Perlakuan C (1,0 g/kg) menunjukkan peningkatan leukosit pada sampling
H0 sampai H14, yaitu sebesar 3,09 x 105 sel/mm3 menjadi 5,83 x 105 sel/mm3.
28
Pada perlakuan D (1,5 g/kg) peningkatan terjadi pada sampling H0 sampai H14,
yaitu sebesar 2,90 x 105 sel/mm3 menjadi 6,59 x 105 sel/mm3. Namun, pada
sampling H21 total leukosit mengalami penurunan menjadi 4,77 x 105 sel/mm3.
Pada perlakuan E (2,0 g/kg) total leukosit terus meningkat dari 3,40 x 105 sel/mm3
pada sampling H0 menjadi 5,71 x 105 sel/mm3 pada sampling H14. Sedangkan
pada sampling H21 terjadi penurunan total leukosit namun tidak terlalu tinggi
(Gambar 5).
4.1.3.3 Kadar Hemoglobin
Kadar hemoglobin (g %) berhubungan dengan nilai total eritrosit dan kadar
hematokrit dalam darah. Berikut ini adalah gambar mengenai hasil perhitungan
kadar hemoglobin selama perlakuan (Gambar 6)
Gambar 6. Kadar hemoglobin ikan lele dumbo Clarias sp. selama perlakuan
Kadar hemoglobin dalam darah pada perlakuan A cenderung lebih stabil
walaupun sempat mengalami peningkatan menjadi 12,53 g% pada sampling H14.
Namun seperti halnya nilai total eritrosit dan kadar hematokrit peningkatan yang
terjadi tidak begitu tinggi demikian pula peningkatan kadar hemoglobin pada
perlakuan A (0 g/kg). Pada perlakuan B (0,5 g/kg) peningkatan kadar hemoglobin
terjadi dari sampling H7 sampai H14, yaitu 10,21 g% menjadi 12,13 g% dan
mengalami penurunan yang tidak terlalu tinggi pada sampling H21.
Perlakuan C (1,0 g/kg) mengalami peningkatan kadar hemoglobin dari 9,63
g% menjadi 10,93 g% dan mengalami penurunan pada sampling H21 menjadi
8,60 g%. Untuk perlakuan D (1,5 g%) nilai kadar hemoglobin adalah sebesar 8,67
g% dan terus mengalami peningkatan sampai pada sampling H21 menjadi 10,10
29
g%. Namun pada H7 nilai kadar hemoglobin sempat mengalami penurunan
menjadi 6,00 g%. Pada perlakuan E (2,0 g%) kadar hemoglobin berkisar antara
9,50 – 10,00 g% (Gambar 6).
4.1.3.4 Kadar Hematokrit
Kadar hematokrit dinyatakan dalam % dan diukur setiap sampling. Nilai
kadar hematokrit adalah sebagai berikut (Gambar 7):
Gambar 7. Kadar hematokrit ikan lele dumbo Clarias sp. selama perlakuan
Kadar hematokrit ikan lele dumbo berhubungan dengan nilai total sel darah
merah. Pada penelitian ini, kadar hematokrit yang terhitung umumnya mengalami
peningkatan setiap sampling seiring dengan meningkatnya total sel darah merah.
Pada perlakuan A (0 g/kg) nilai hematokrit meningkat dari 29,77% menjadi
32,30% pada sampling ke-14. Sedangkan pada sampling ke-21 kadar hematokrit
mengalami penurunan menjadi 30,07%. Peningkatan kadar hematokrit yang
terjadi pada perlakuan A (0 g/kg) tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan
perlakuan B (0,5 g/kg) dan C (1,0 g/kg). Pada perlakuan B (0,5 g/kg) kadar
hematokrit terus meningkat. Dari awal sampling sebesar 28,13% menjadi 32,38%
pada akhir sampling (H21).
Kadar hematokrit pada perlakuan C (1,0 g/kg) terus mengalami peningkatan
pada sampling H7, yaitu sebesar 33,75%. Pada sampling H14 sampai H21 terjadi
penurunan. Perlakuan D (1,5 g/kg) menunjukkan peningkatan kadar hematokrit
sampai pada sampling H14, yaitu sebesar 29,09% dan mengalami sedikit
penurunan menjadi 28,32% pada sampling H21. Pada sampling H7 perlakuan E
(2,0 g/kg) nilai kadar hematokrit sebesar 29,51% terus meningkat sampai
30
sampling H14 dan terjadi sedikit penurunan pada sampling H21, nilainya menjadi
27,57% (Gambar 7).
4.1.3.5 Diferensial Leukosit
Pengamatan diferensial leukosit meliputi kadar monosit, limfosit, trombosit
dan neutrofil. Keempatnya berperan dalam sistem imun ikan lele dumbo selama
perlakuan.
Gambar 8. Total monosit ikan lele dumbo Clarias sp. selama perlakuan
Pada perlakuan A (0 g/kg) nilai monosit meningkat pada sampling H7, yaitu
dengan nilai 32,0% dan pada saat sampling H14 menjadi 29,7%. Sedangkan pada
perlakuan B (0,5 g/kg) terjadi peningkatan nilai monosit dari 19,7% pada
sampling H0 menjadi 42,7% pada sampling H7. Walaupun sempat mengalami
penurunan nilai monosit pada sampling H14, namun pada sampling H21 nilai
monosit kembali mengalami peningkatan menjadi 45,0%.
Pada perlakuan C (1,0 g/kg) nilai monosit meningkat pada sampling H7
menjadi 49,5% dan mengalami penurunan pada sampling H21 menjadi 38,0%.
Pada perlakuan D (1,5 g/kg) nilai monosit terus meningkat dari awal perlakuan
sampai pada sampling H21 (akhir). Peningkatan terjadi pada nilai 14,7% menjadi
40,3% pada sampling H21. Sedangkan pada perlakuan E (2,0 g/kg) terjadi
peningkatan nilai monosit saat sampling H7 sebesar 41,3%. Dan pada sampling
H14 dan H21 nilai monosit mengalami penurunan hingga mencapai nilai 22,5%
(Gambar 8).
31
Gambar 9. Total limfosit ikan lele dumbo Clarias sp. selama perlakuan
Nilai limfosit pada perlakuan A (0 g/kg) mengalami penurunan dari 56,0%
pada sampling H0 menjadi 54,0% pada sampling H21. Pada perlakuan B (0,5
g/kg) nilai limfosit terus mengalami penurunan dari 48,7% pada sampling H0
menjadi 34,0% pada sampling H21. Untuk perlakuan C (1,0 g/kg) juga terjadi
penurunan nilai limfosit dari 51,0% pada sampling H0 menjadi 40,5% pada
sampling H21.
Perlakuan D (1,5 g/kg) menunjukkan nilai limfosit yang tinggi pada
sampling H0, yaitu sebesar 53,0% dan mengalami penurunan pada sampling H7
menjadi 24,5%. Selanjutnya, pada sampling H21 nilai limfosit menjadi 40,0%.
Untuk perlakuan E (2,0 g/kg) limfosit meningkat dari sampling H7 sampai
sampling H21, yaitu dari 37,3% menjadi 41,5% (Gambar 9).
Gambar 10. Total trombosit ikan lele dumbo Clarias sp. selama perlakuan
Nilai trombosit pada perlakuan A (0 g/kg) terus mengalami penurunan
setiap sampling. Tercatat pada sampling H0 nilai trombosit sebesar 17,0%
32
menurun menjadi 14,0% pada sampling H21. Sedangkan pada sampling H7
trombosit menurun drastis dengan nilai mencapai 8,7%. Pada perlakuan B (0,5
g/kg) nilai trombosit pada sampling H7 mengalami penurunan, namun pada
sampling H14 dan H21 nilai trombosit kembali meningkat menjadi 11,5%.
Pada perlakuan C (1,0 g/kg) nilai trombosit mengalami penurunan dari
20,3% menjadi 12,3% pada akhir sampling. Untuk perlakuan D (1,5 g/kg) nilai
trombosit juga mengalami penurunan dari 21,3% menjadi 11,0% pada sampling
H21. Pada perlakuan E (2,0 g/kg) terjadi perbedaan pola peningkatan trombosit.
Perlakuan E (2,0 g/kg) menunjukkan peningkatan nilai trombosit dari 14,0% pada
sampling H0 menjadi 18,0% pada sampling H21 (Gambar 10).
Gambar 11. Total neutrofil ikan lele dumbo Clarias sp. selama perlakuan
Total neutrofil ditunjukkan pada Gambar 11 di atas. Dari gambar terlihat
secara umum nilai neutrofil meningkat pada sampling H7 sampai H21. Pada
perlakuan A (2,0 g/kg) peningkatan terjadi dari 7,3% pada sampling H0 menjadi
9,5% pada sampling H21. Sedangkan untuk perlakuan B (0,5 g/kg) nilai neutrofil
mengalami peningkatan pada setiap sampling, yaitu sebesar 8,0% pada sampling
H0 menjadi 10,5 % pada sampling H21.
Pada perlakuan C (1,0 g/kg) peningkatan terjadi dari 7,3% menjadi 10,0%
pada akhir sampling. Perlakuan D (1,5 g/kg) menunjukkan nilai neutrofil yang
tidak stabil. Sempat mengalami peningkatan pada sampling H14 ke H7 dan terjadi
penurunan pada sampling H21 menjadi 8,5%. Untuk perlakuan E (2,0 g/kg)
terjadi penurunan kadar neutrofil dari 11,3% pada sampling H0 menjadi 6,5%
pada sampling H21 (Gambar 11).
33
4.1.3.6 Indeks Fagositik
Nilai indeks fagositik menunjukkan kemampuan sel yang berperan dalam
sistem imun untuk melawan serangan bakteri. Gambar 12 menunjukkan nilai
indeks fagositik selama penelitian.
Gambar 12. Indeks fagositik ikan lele dumbo Clarias sp. selama perlakuan
Nilai indeks fagositik pada perlakuan A (0 g/kg) lebih rendah dibandingkan
dengan perlakuan lainnya. Dapat dilihat kisaran nilai indeks fagositik berkisar
antara 2,67 – 5,00%. Pada perlakuan B (0,5 g/kg) terjadi peningkatan nilai indeks
fagositik yang sangat besar. Sampling H0 sebesar 3,33% meningkat menjadi
14,00% pada sampling H21. Hal serupa juga terjadi pada perlakuan C (1,0 g/kg)
nilai indeks fagositik terus meningkat dari 2,67% pada sampling H0 menjadi
13,00% pada sampling H21.
Perlakuan D (1,5 g/kg) menunjukkan nilai indeks fagositik sebesar 4,33%
pada sampling H0. Peningkatan ini terus terjadi sampai pada sampling H21, yaitu
menjadi 10,50%. Pada perlakuan E (2,0 g/kg) nilai indeks fagositik cenderung
tidak stabil. Namun pada sampling H0 sampai H14 nilai indeks fagositik terus
mengalami peningkatan hingga mencapai nilai 10,33%. Namun, pada hari H21
nilai indeks fagositik mengalami penurunan menjadi 9,00% (Gambar 12).
4.1.3.7 Gejala Klinis
Pengamatan gejala klinis dilakukan sejak ikan lele dumbo disuntikan bakteri
Aeromonas hydrophila. Pengamatan dilakukan selama 7 hari pasca penyuntikan.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, ikan lele dumbo yang telah disuntikan
bakteri A.hydrophila hanya menunjukkan sedikit gejala klinis seperti radang,
34
hemoragi dan tukak yang umumnya muncul saat terjadi serangan A.hydrophila.
Diameter luka dari 3 gejala klinis di atas tidak terlalu besar. Namun, serangan
A.hydrophila pada penelitian ini langsung menyebabkan kematian pada ikan lele
dumbo disertai dengan sedikit atau tanpa gejala klinis (Gambar 13).
Gambar 13. Skor gejala klinis yang terjadi selama perlakuan
Perlakuan A (0 g/kg) tidak menunjukkan gejala klinis akibat serangan
A.hydrophila namun langsung terjadi kematian sebanyak 3 ekor dari 15 ekor ikan
uji di hari pertama pasca penyuntikan bakteri. Dari pengamatan ikan lele dumbo
yang mati pada perlakuan A (0 g/kg) menunjukkan bercak-bercak putih disekujur
tubuhnya, perut membesar dan terjadi kerusakan pada sirip ekor (Gambar 14 dan
15).
Gambar 14. Ikan lele dumbo Clarias sp. yang mengalami bercak-bercak putih
disekujur tubuhnya pasca penyuntikan A.hydrophila
Gambar 15. Ekor ikan lele dumbo Clarias sp. yang mengalami
kerusakan pasca penyuntikan A.hydrophila
35
Gambar 16. Ikan lele dumbo Clarias sp. yang mengalami radang pasca
penyuntikan A.hydrophila pada hari ke-1
Gambar 17. Ikan lele dumbo Clarias sp. yang mengalami hemoragi pasca
penyuntikan A.hydrophila pada hari ke-1
Gambar 18. Ikan lele dumbo Clarias sp. yang mengalami tukak
pasca penyuntikan A.hydrophila pada hari ke-2
Gejala klinis hanya nampak pada perlakuan C (1,0 g/kg) dan D (1,5 g/kg),
yaitu berupa radang, hemoragi dan tukak. Pada perlakuan C (1,0 g/kg) terjadi
radang dengan diameter 0,8 cm yang terus berkembang menjadi hemoragi
(Gambar 17) dan tukak sebesar 0,6 cm sampai pada hari ke-3. Selanjutnya pada
hari ke-4 tukak mulai mengecil dengan diameter 0,5 cm dan terus mengalami
pengecilan tukak mencapai diameter 0,3 cm pada akhir pengamatan. Pada
perlakuan D (1,5 g/kg) radang terjadi 1 hari setelah penyuntikan, yaitu sebesar 0,8
cm (Gambar 16). Selanjutnya, gejala klinis berkembang menjadi tukak pada hari
ke-2 dan ke-3 dengan diameter sebesar 0,6 cm. Tukak mulai mengecil pada hari
ke-4 sampai akhir pengamatan dengan diameter 0,1 cm (Gambar 18).
36
Perlakuan B (0,5 g/kg) dan E (2,0 g/kg) tidak menunjukkan gejala klinis
akibat serangan bakteri A.hydrophila namun, langsung menunjukkan kematian
pada hari yang ke-3 (perlakuan B) sebanyak 2 ekor (Gambar 13). Sedangkan pada
perlakuan E (2,0 g/kg) kematian langsung terjadi 1 hari pasca penyuntikan
sebanyak 3 ekor dengan disertai tanda bercak-bercak putih disekujur tubuh
(Gambar 14).
Gambar 19. Ikan lele dumbo Clarias sp. yang mulai menunjukkan gejala
kesembuhan luka pada hari ke-6
Ikan lele dumbo mengalami pengecilan diameter luka atau dengan kata lain
mengalami kesembuhan pada hari ke-6 pasca penyuntikan (Gambar 19). Gejala
penyembuhan luka ini paling terlihat jelas pada perlakuan D (1,5 g/kg) dengan
diameter tukak sebesar 0,1 cm. Penyembuhan luka ini tidak hanya terjadi pada
perlakuan D (1,5 g/kg) namun juga terjadi pada perlakuan C (1,0 g/kg) ulangan
ke-3 pasca penyuntikan A. hydrophila. Ikan lele dumbo yang mengalami radang
dalam waktu 1 hari menunjukkan kesembuhan hingga radang hilang dan ikan
tubuh ikan kembali normal.
4.1.3.8 Pemeriksaan Organ Dalam Ikan Lele Dumbo (Clarias sp.)
Pemeriksaan organ dalam ikan lele dumbo dilakukan dengan membedah
ikan uji, yaitu sebanyak 1 ekor pada setiap perlakuan. Pemeriksaan organ dalam
dilakukan dengan mengamati perubahan pada organ ginjal, usus, lambung, hati,
empedu dan gonad. Semua ikan yang dibedah dalam keadaan hidup pada akhir
perlakuan dan untuk perlakuan C (1,0 g/kg) serta D (1,5 g/kg) pemeriksaan organ
dalam dilakukan pada ikan yang mengalami gejala klinis berupa tukak.
37
b
d a
c
e
Gambar 20. Organ dalam ikan lele dumbo Clarias sp. perlakuan A (0 g/kg)
b
c
a
d
e
Gambar 21. Organ dalam ikan lele dumbo Clarias sp. perlakuan B (0,5 g/kg)
b
a
d
c
e
Gambar 22. Organ dalam ikan lele dumbo Clarias sp. perlakuan C (1,0 g/kg)
b
c
d a
e
Gambar 23. Organ dalam ikan lele dumbo Clarias sp. perlakuan D (1,5 g/kg)
38
b c
d
a
e
Gambar 24. Organ dalam ikan lele dumbo Clarias sp. perlakuan E (2,0 g/kg)
Keterangan: a. Ginjal; b. Hati; c. Empedu; d. Lambung; e. Usus
a
Perlakuan A (0 g/kg) adalah perlakuan yang tidak menunjukkan gejala
klinis seperti radang, hemoragi dan tukak. Namun, kelainan akibat serangan
A.hydrophila dapat dilihat pada organ internal ikan lele dumbo yang dibedah.
Ginjal ikan lele nampak berwarna merah tua. Organ hati menunjukkan warna
merah pucat dengan ukuran normal. Empedu ikan lele berwarna hijau tua
kekuningan. Sedangkan untuk lambung dan usus nampak kosong, tidak terdapat
pakan. Pada sekitar usus terdapat lendir dan sangat terlihat jelas pada saat organ
diurai (Gambar 20). Untuk organ gonad pada perlakuan A (0 g/kg) tidak
mengalami perubahan.
Organ ginjal pada perlakuan B (0,5 g/kg) menunjukkan warna merah segar
dan pada ukuran yang normal. Organ hati menunjukkan warna merah pucat dan
empedu menunjukkan warna hijau kekuning-kuningan. Sedangkan untuk lambung
dan usus terlihat kosong, tidak terdapat pakan. Gonad pada perlakuan B (0,5 g/kg)
berkembang dengan baik (Gambar 21). Ikan lele dumbo pada perlakuan C (1,0
g/kg) menunjukkan perubahan organ internal terutama pada bagian ginjal dan
empedu. Organ ginjal pada perlakuan ini menunjukkan warna merah tua (pucat)
dan agak bengkak. Sedangkan bagian empedu, menunjukkan perubahan berwarna
hijau kekuning-kuningan. Untuk organ hati, berwarna merah pucat dan nampak
agak membesar. Sedangkan untuk lambung penuh dengan pakan. Namun, tidak
demikian pada organ usus. Nampak usus ikan perlakuan C (1,0 g/kg) kosong tidak
dipenuhi oleh pakan dan ukurannya agak besar. Untuk gonad, berkembang dengan
baik atau tidak terjadi perubahan (Gambar 22).
Perlakuan D (1,5 g/kg) menunjukkan perubahan organ internal yang paling
drastis. Terdapat lendir di rongga perut ikan lele. Organ ginjal dari perlakuan ini
39
menunjukkan warna merah tua dengan ukuran yang agak membesar. Organ hati
menunjukkan warna merah pucat dan membesar. Sedangkan empedu,
menunjukkan warna hijau tua. Lambung ikan perlakuan D (1,5 g/kg) terlihat
kosong tanpa pakan begitu pula yang terjadi pada organ usus. Sedangkan organ
gonad tidak terjadi perubahan (Gambar 23). Perlakuan E (2,0 g/kg) menunjukkan
perubahan organ internal pada organ ginjal, yaitu warna organ ini menjadi merah
tua. Untuk organ hati berwarna merah pucat dengan ukuran normal. Empedu
berwarna hijau. Lambung ikan perlakuan E (2,0 g/kg) nampak terisi dengan
pakan. Namun, hal ini tidak terjadi pada organ usus ikan perlakuan. Sedangkan
organ gonad berkembang seperti umumnya (Gambar 24).
Tabel 4. Perbedaan organ dalam ikan lele dumbo Clarias sp. pada setiap
perlakuan
Perubahan
B(0,5 g/kg) C(1,0 g/kg)
merah
merah tua,
segar
ukuran
membesar
Hati
merah
merah pucat
pucat
dan
membesar
Empedu hijau tua
hijau
hijau
kekuningan kekuningkekuningkuningan
kuningan
Lambung kosong
kosong
penuh pakan
Organ
dalam
Ginjal
Usus
Gonad
A(0 g/kg)
merah tua,
ukuran
membesar
merah
pucat
kosong dan
berlendir
putih
kosong
hijau
kosong dan
membesar
putih
D(1,5 g/kg)
merah tua,
ukuran
membesar
merah pucat
dan
membesar
hijau tua
E(2,0 g/kg)
merah tua
kosong
kosong
penuh
pakan
kosong
hijau
putih
merah
pucat
hijau tua
40
4.1.3.9 Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan Lele Dumbo Clarias sp.
Data tingkat kelangsungan hidup (SR) dapat dilihat pada gambar di bawah
ini (Gambar 25)
Gambar 25. Tingkat kelangsungan hidup ikan lele dumbo
Perlakuan A (0 g/kg) menunjukkan nilai tingkat kelangsungan hidup sebesar
73,33%. Nilai ini lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat kelangsungan
hidup perlakuan B (0,5 g/kg), C (1,0 g/kg), perlakuan D (1,5 g/kg) dan perlakuan
E (2,0 g/kg) dengan nilai tingkat kelangsungan hidup sebesar 86,67%, 93,33%
dan 80,00%.
Pada perlakuan A (0 g/kg) ikan lele langsung mengalami kematian tanpa
diawali dengan timbulnya gejala klinis pada bagian eksternal tubuh. Kematian
ikan lele terjadi sehari setelah penyuntikan A.hydrophila sebanyak 3 ekor dari 15
ekor ikan. Dan pada hari ke-4 sebanyak 1 ekor. Sedangkan pada perlakuan B (0,5
g/kg) kematian ikan terjadi pada hari ke-5 sebanyak 2 ekor dari 15 ekor ikan pasca
penyuntikan bakteri A. hydrophila. Pada perlakuan C (1,0 g/kg) kematian ikan lele
dumbo terjadi pada hari ke-4 sebanyak 1 ekor dari 15 ekor ikan pasca penyuntikan
A.hydrophila. Kematian ikan lele dumbo perlakuan D (1,5 g/kg) terjadi pada hari
ke-4 sebanyak 1 ekor pasca penyuntikan. Dan kematian ikan lele dumbo pada
perlakuan E (2,0 g/kg) terjadi pada hari ke-2 pasca penyuntikan sebanyak 3 ekor
dari 15 ekor ikan.
41
4.1.4 Kualitas Air
Pada pengukuran kualitas air ada 4 parameter yang diamati, yaitu suhu, DO,
pH dan TAN (Tabel 5). Keempat parameter tersebut diukur pada awal, tengah dan
akhir penelitian. Data kualitas air tersebut disajikan pada tabel berikut ini:
Tabel 5. Data kualitas air ikan lele dumbo Clarias sp. selama perlakuan
Perlakuan
A
B
C
D
E
Suhu (⁰C)
28 - 30
28 - 30
28 - 30
28 - 30
28 - 30
DO (mg/l)
6,2 - 6,9
5,9 - 6,7
5,2 - 6,6
6,2 - 6,8
6,3 - 6,7
pH
5,53 - 6,22
5,47 - 6,24
5,63 - 6,56
5,62 - 6,89
5,42 - 6,71
TAN (mg/l)
0,26 - 0,48
0,22 - 0,47
0,24 - 0,57
0,33 - 0,56
0,24 - 0,54
Dari hasil yang telah diperoleh (Tabel 5) menunjukkan kisaran kualitas air
yang masih dapat ditolerir oleh ikan lele dumbo. Kisaran suhu yang terukur
selama penelitian adalah 28 – 30 °C. Sedangkan nilai DO berkisar antara 5,2 – 6,9
mg/l. Nilai pH berkisar antara 5,42 – 6,89. Dan nilai TAN berkisar antara 0,22 –
0,57 mg/l. Kisaran-kisaran ini masih berada pada kisaran normal kualitas air yang
dibutuhkan dalam pemeliharaan ikan lele dumbo.
42
4.2
Pembahasan
4.2.1
Konsentrasi Bakteri untuk Uji Tantang (LD-50)
Konsentrasi bakteri pada uji LD-50 yang diperoleh dari penelitian ini adalah
bakteri dengan konsentrasi 108 cfu/ml. Konsentrasi bakteri ini memang
menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan pernyataan Angka
(2000) yang menyatakan bahwa pada galur virulen A.hydrophila mampu
menyebabkan kematian sebanyak 50% pada konsentrasi bakteri < 106 cfu/ml. Hal
ini diduga terjadi karena bakteri yang digunakan dalam penelitian hanya mampu
menyebabkan kematian dalam konsentrasi bakteri yang tinggi.
4.2.2
Respon Makan dan Pertambahan Bobot Tubuh
Respon makan ikan lele dumbo akan secara langsung berhubungan dengan
pertambahan bobot tubuh. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan
menunjukkan bahwa perlakuan A (0 g/kg), C (1,0 g/kg), D (1,5 g/kg) dan E (2,0
g/kg) pada awal pemeliharaan tidak memiliki respon makan sama sekali. Pada 7
hari pertama respon makan ikan perlakuan menunjukkan hasil yang relatif sama,
yaitu dengan respon makan pada kondisi cukup dan baik. Perbedaan respon
makan ikan terlihat pada perlakuan B (0,5 g/kg) dan C (1,0 g/kg) dari mulai hari
ke-7 sampai dengan hari ke-21, respon makan ikan menjadi sangat baik (Tabel 2).
Pertumbuhan ikan lele dumbo perlakuan A terjadi sebesar 2,79 %,
perlakuan B sebesar 1,69 %, perlakuan C sebesar 1,84 %, perlakuan D sebesar
1,85 % dan perlakuan E sebesar 2,48 %. Pertumbuhan harian tertinggi terdapat
pada perlakuan A (tanpa penambahan bahan imunostimulan) sedangkan
pertumbuhan harian ikan lele dumbo yang diberi pakan dengan penambahan
bahan imunostimulan relatif sama, kecuali pada perlakuan E dengan penambahan
bahan imunostimulan sebesar 2,0 g/kg pakan terjadi pertumbuhan harian yang
lebih tinggi.
Pertumbuhan harian ikan perlakuan A yang lebih baik disebabkan oleh
respon makan ikan perlakuan A yang baik. Selain itu, tidak adanya penambahan
imunostimulan menyebabkan ikan mudah beradaptasi dengan pakan yang
diberikan. Dengan kata lain, ikan perlakuan A tidak membutuhkan waktu yang
lama untuk menyesuaikan diri dengan pakan yang diberikan sehingga komponen
43
pertumbuhan
dalam
pakan
dapat
dimanfaatkan
secara
optimal
untuk
pertumbuhan. Sedangkan pertumbuhan harian yang lebih rendah pada perlakuan
dengan penambahan bahan imnostimulan diduga disebabkan oleh adanya waktu
adaptasi ikan lele dumbo terhadap pakan yang diberikan. Menurut Treves-Brown
(2000) penambahan bahan imunostimulan melalui pakan dilakukan dalam kurun
waktu 2-6 minggu. Artinya, dalam kurun waktu ini terjadi proses penyesuaian diri
ikan terhadap pakan yang diberikan.
Pertumbuhan harian yang tinggi juga ditunjukkan pada perlakuan E (dengan
penambahan bahan imunostimulan). Hal ini dapat terjadi karena penambahan
bahan imunostimulan pada perlakuan E lebih besar daripada perlakuan B, C dan
D. Rumput laut mengandung senyawa-senyawa seperti karbohidrat, protein,
sedikit lemak, vitamin-vitamin, betakarotein dan mineral-mineral yang berperan
dalam pertumbuhan (Anggadiredja et al., 2006). Dengan penambahan bahan
imunostimulan berupa ekstrak G. verrucosa yang tinggi dapat meningkatkan
pertumbuhan. Hal ini diduga karena kandungan senyawa-senyawa pertumbuhan
dalam pakan yang tinggi sehingga pertumbuhan dapat terjadi secara optimal
(Gambar 3).
4.2.3
Gambaran Darah
4.2.3.1 Total Eritrosit, Kadar Hematokrit dan Kadar Hemoglobin
Sel darah merah (eritrosit) berkaitan erat dengan kadar hemoglobin dan
hematokrit. Hematokrit adalah presentase jumlah sel darah merah dalam plasma
darah. Sedangkan hemoglobin adalah pigmen dalam darah yang memberi warna
merah pada darah (Brown, 1987). Dari hasil penelitian yang dilakukan, pada
perlakuan A (0 g/kg) dapat dilihat bahwa ketika total eritrosit menurun di setiap
sampling, diikuti dengan terjadinya penurunan kadar hematokrit dan hemoglobin.
Walaupun terjadi penyimpangan kadar hemoglobin pada sampling H14.
Penyimpangan ini berupa peningkatan kadar hemoglobin disaat terjadi penurunan
total eritrosit. Hal ini diduga terjadi akibat pecahnya eritrosit karena telah habis
masa hidupnya, pecahan eritrosit ini menyebabkan hemoglobin menjadi fraksi
yang mengandung Fe (Affandi dan Tang, 2002) sehingga pada saat pengukuran
hemoglobin nilainya tetap tinggi sedangkan total eritrosit yang terhitung rendah.
44
Pada perlakuan B (0,5 g/kg) ketiga parameter ini menunjukkan nilai yang
saling berhubungan. Peningkatan total eritrosit diikuti dengan peningkatan kadar
hemoglobin dan hematokrit. Menurut Brown (1987) sel-sel jaringan tubuh
tergantung pada eritrosit untuk memperoleh suplai oksigen. Sel dalam eritrosit
yang berperan dalam proses ini adalah hemoglobin. Hemoglobin memiliki
kemampuan mengikat oksigen secara maksimal. Dengan adanya peningkatan
kadar hemoglobin dalam darah pada perlakuan B menandakan bahwa darah dalam
kondisi yang baik dan mampu mengikat oksigen dengan baik.
Hal yang sama juga ditunjukkan oleh perlakuan C (1,0 g/kg) peningkatan
total eritrosit diikuti dengan peningkatan kadar hemoglobin dan hematokrit pada
sampling H0 sampai H14. Sedangkan pada sampling H21, ketiga parameter
tersebut mengalami penurunan. Penurunan total eritrosit, kadar hemoglobin dan
hematokrit pada perlakuan C menandakan bahwa terjadi penurunan produksi sel
darah merah di dalam ginjal. Pada perlakuan D (1,5 g/kg) dan E (2,0 g/kg)
umumnya terbentuk pola yang sama. Terjadi peningkatan total eritrosit, kadar
hemoglobin dan kadar hematokrit pada sampling H0 dan H14. Namun
penyimpangan terjadi pada perlakuan D sampling H7, kadar hemoglobin ikan
tercatat dibawah kondisi normal. Artinya, pada perlakuan D sampling H7 ikan
sedang mengalami anemia atau kekurangan darah (Gambar 6).
Penurunan total eritrosit, kadar hemoglobin dan hematokrit yang kadang
terjadi diduga disebabkan oleh proses adaptasi penerimaan bahan baru berupa
ekstrak G.verrucosa dalam darah. Bahan ini beradaptasi dengan komponenkomponen darah yang selanjutnya akan memberikan reaksi terhadap bahan
tersebut. Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat dikatakan bahwa nilai total
eritrosit, kadar hemoglobin dan hematokrit masih dalam batas yang optimum
walaupun ada beberapa keadaan dimana nilai total eritrosit, hemoglobin dan
hematokrit berada di bawah kondisi normal. Tingginya jumlah eritrosit
menandakan ikan dalam kondisi stres dan rendahnya jumlah eritrosit menandakan
ikan menderita anemia dan kerusakan ginjal (Snieszko, 1972; Wedemeyer dan
Yasutake, 1977; Nabib dan Pasaribu, 1989). Sedangkan menurut Angka et al.,
(1985) kadar hemoglobin sebesar 10,3 – 13,5 g% dan kadar hematokrit untuk ikan
lele normal berkisar antara 30,8 – 45,5%.
45
4.2.3.2 Total Leukosit, Diferensial Leukosit dan Indeks Fagositik
Total leukosit, diferensial leukosit dan indeks fagositik merupakan
parameter yang saling berhubungan sama halnya dengan total eritrosit, kadar
hemoglobin dan hematokrit. Leukosit merupakan sel yang berperan penting dalam
sistem pertahanan tubuh. Sehingga peningkatan total leukosit yang terjadi pada
ikan lele dumbo perlakuan menandakan bahwa sistem pertahanan tubuh
meningkat.
Pada perlakuan A (0 g/kg) dapat dilihat terjadi peningkatan total leukosit
(Gambar 5). Namun, peningkatan ini tidak terjadi secara drastis seperti perlakuan
lainnya pada H14 dan H21. Dengan kata lain peningkatan ini terjadi secara umum
seiring dengan pemulihan proses adaptasi ikan pada lingkungan yang baru.
Peningkatan juga terjadi pada jumlah sel monosit perlakuan A di sampling H7
(Gambar 8). Peningkatan jumlah monosit ini hanya terjadi pada minggu pertama.
Selanjunya, terjadi penurunan sampai pada akhir pemeliharaan.
Nilai limfosit pada perlakuan A menurun pada sampling H7 (Gambar 9) dan
meningkat kembali pada H14 dan H21. Limfosit tidak bersifat fagositik tetapi
memegang peranan penting dalam pembentukan antibodi. Peningkatan limfosit
digunakan sebagai indikator dari meningkatnya pembentukan antibodi pada
perlakuan A. Nilai trombosit yang ditunjukkan pada perlakuan A menurun drastic
pada H7 setiap sampling (Gambar 10). Sel ini berperan dalam proses pembekuan
darah. Terjadinya penurunan trombosit pada perlakuan A diduga sebagai akibat
dari tidak adanya penggunaan dari sel trombosit oleh ikan lele dumbo dalam
proses pembekuan darah. Nilai neutrofil pada perlakuan A meningkat setiap
sampling (Gambar 11). Peningkatan ini dapat terjadi karena adanya peningkatan
produksi neutrofil oleh sumsum tulang merah. Peningkatan produksi neutrofil
akan terjadi bersamaan dengan kerja neutrofil menuju jaringan daerah infeksi
(Brown, 1987).
Nilai total sel darah putih pada perlakuan B (0,5 g/kg) mengalami
peningkatan setiap samplingnya (Gambar 5). Peningkatan ini terjadi sebagai
akibat dari meningkatnya sistem pertahanan tubuh ikan lele dumbo. Penambahan
ekstrak G.verrucosa ternyata mampu memberikan pengaruh pada peningkatan
sistem kekebalan tubuh. Penambahan bahan imunostimulan mampu meningkatkan
46
produksi sel-sel imun untuk menjaga diri dari serangan bakteri karena
imunostimulan merupakan substansi yang dapat mengaktifkan sistem sel imun
dan sistem pertahanan tubuh.
Total monosit dalam darah pada perlakuan B juga meningkat walaupun
tercatat sempat mengalami penurunan pada sampling H14 (Gambar 8). Jumlah
limfosit pada perlakuan B mengalami penurunan. Penurunan ini terjadi sebagai
indikator minimnya pembentukan antibodi. Hal ini mungkin saja terjadi karena
tubuh tidak mendapat serangan bakteri patogen selama perlakuan, jadi produksi
sel limfosit menurun. Nilai yang tidak stabil ditunjukkan oleh nilai trombosit yang
nampak pada perlakuan B (Gambar 10). Sel neutrofil adalah sel pertahanan
alamiah dan berperan dalam proses fagositik dalam darah. Maka sel ini memiliki
hubungan dengan peningkatan indeks fagositik dalam darah. Dari hasil penelitian
yang telah dilakukan diketahui nilai neutrofil dan indeks fagositik pada perlakuan
B (0,5 g/kg) terus meningkat setiap sampling. Peningkatan ini terjadi karena
adanya peningkatan produksi sitokin oleh neutrofil dan monosit untuk
meningkatkan sistem imun (Shoemaker et al., 2001).
Pada perlakuan C (1,0 g/kg) dan D (1,5 g/kg) menunjukkan adanya
peningkatan total sel darah putih sampai pada sampling H14 (Gambar 5).
Peningkatan ini terjadi sebagai akibat dari meningkatnya sistem pertahanan tubuh
ikan lele dumbo. Penambahan bahan imunostimulan sebanyak 1,0 g/kg dan 1,5
g/kg mampu meningkatkan sistem imun dari ikan. Kandungan polisakarida pada
rumput laut dapat digunakan sebagai imunostimulan untuk meningkatkan
produksi sel-sel imun dalam tubuh ikan (Anggadiredja et al., 2006). Peningkatan
yang sama juga terjadi pada peningkatan sel monosit perlakuan C dan D.
Peningkatan sel monosit digunakan sebagai indikator adanya peningkatan respon
imun pada ikan (Shoemaker et al., 2001). Sel monosit bukan hanya penting
karena kemampuannya memproduksi sitokin namun, sel ini merupakan sel utama
yang berperan dalam proses fagositosis dan membunuh bakteri patogen yang
menyebabkan infeksi (Shoemaker dan Plump, 1997).
Pada jumlah limfosit yang dihasilkan dalam penelitian ini, perlakuan C dan
D menunjukkan nilai limfosit yang berfluktuasi (Gambar 9). Keadaan ini bukan
hanya terjadi pada jumlah sel limfosit, namun juga terjadi pada penurunan jumlah
47
trombosit pada perlakuan C dan D. Penurunan ini terjadi karena diduga ikan
dalam kondisi normal. Menurut Fujaya (2002) trombosit tidak umum terdapat di
dalam darah pada situasi normal, tetapi bila terjadi serangan jumlah trombosit
dapat meningkat tajam. Peningkatan nilai neutrofil terjadi pada perlakuan C dan D
(Gambar 11). Namun, pada perlakuan D sempat terjadi penurunan jumlah
neutrofil pada akhir perlakuan. Penambahan ekstrak G.verrucosa sebanyak 1,0
dan 1,5 g/kg pakan ternyata mampu merangsang pembentukan sel imun sehingga
produksi neutrofil, monosit dan proses fagositosis meningkat.
Gambar 5 menunjukkan bahwa total leukosit perlakuan E (2,0 g/kg)
meningkat setiap sampling. Walaupun sempat terjadi penurunan leukosit pada
sampling H21. Peningkatan leukosit yang terjadi pada selang waktu 2 – 3 minggu
membuktikan bahwa penggunaan bahan imunostimulan dalam pakan dapat
digunakan dalam kisaran waktu 2 – 6 minggu untuk meningkatkan respon imun
(Treves-Brown, 2000). Peningkatan juga terjadi pada jumlah monosit sampling
H7 dan penurunan terjadi pada sampling H14 dan H21. Penurunan jumlah
monosit ini mengindikasikan tidak adanya pembentukan sitokin untuk melawan
luka. Sedangkan peningkatan sel monosit membuktikan bahwa sel ini banyak
diproduksi untuk melakukan perannya sebagai makrofag dan imunologi (Brown,
1987).
Gambar 9 menunjukkan jumlah limfosit yang terdapat dalam perlakuan E.
Jumlah limfosit cenderung menurun dan meningkat kembali pada H21.
Peningkatan ini mungkin terjadi karena adanya meningkatnya aktifitas
pembelahan (proliferasi) sel-sel limfosit. Pembelahan ini dirangsang oleh adanya
bahan berupa ekstrak G.verrucosa yang ditambahkan ke dalam pakan. Nilai
trombosit dalam darah ikan lele dumbo perlakuan E meningkat setiap
samplingnya (Gambar 10). Pada Gambar 12 menunjukkan nilai jumlah neutrofil
yang menurun pada perlakuan E. Namun disisi lain terjadi peningkatan indeks
fagositik (Gambar 12). Hal ini mungkin saja terjadi. Diduga produksi sel neutrofil
dalam jumlah kecil belum tentu memperkecil efektifitas dari sel tersebut dalam
proses fagositosis serta adanya sel monosit yang juga berperan dalam proses
fagositosis menyebabkan tingginya nilai indeks fagositik dari perlakuan E.
48
4.2.4 Gejala Klinis
Pengamatan gejala klinis adalah pengamatan kondisi eksternal dari tubuh
ikan lele dumbo setelah dilakukan penyuntikan bakteri A.hydrophila. Gejala klinis
ini dapat muncul pasca serangan bakteri patogen. Namun, dalam beberapa kasus
bakteri A.hydrophila dapat menyerang ikan lele dumbo tanpa disertai gejala klinis
terlebih dahulu atau serangan bakteri ini langsung menyebabkan kematian pada
ikan (Suyanto, 1983; Winton 2001). Hal ini disebabkan oleh kerusakan yang
mungkin terjadi sebagai infeksi lokal di tempat luka atau tempat serangan
penyakit (Stevenson, 1988).
Pada perlakuan A (0 g/kg), B (0,5 g/kg) dan E (2,0 g/kg) tidak menunjukkan
adanya gejala klinis ikan lele dumbo pasca penyuntikan bakteri A.hydrophila.
Namun, serangan A.hydrophila langsung menyebabkan kematian ikan lele dumbo.
Pada ikan yang terserang bakteri ini (perlakuan A) ditandai dengan munculnya
sedikit gejala klinis seperti, bercak-bercak putih pada tubuh dan kerusakan bagian
sirip ekor (Gambar 14 dan 15). Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh
Suyanto (1983) bahwa gejala penyakit akibat serangan A.hydrophila adalah
terjadinya pembengkakkan karena terkumpulnya cairan dalam jaringan tubuh
sehingga sisik tidak dapat merapat dan mengembang (rusak) serta timbulnya
bisul-bisul yang merusak permukaan kulit sampai daging.
Hal yang berbeda terjadi pada perlakuan C (1,0 g/kg) dan D (1,5 g/kg).
Jika pada perlakuan A, B, dan E serangan A.hydrophila tidak menyebabkan gejala
klinis, pada perlakuan C dan D serangan bakteri ini menyebabkan timbulnya
gejala klinis berupa radang, hemoragi dan tukak. Pasca penyuntikan bakteri
dengan konsentrasi 108 cfu/ml di bagian intramuscular, timbul adanya radang
pada daerah penyuntikan setelah 1 hari (Gambar 16). Radang ini kemungkinan
disebabkan oleh kerusakan jaringan limfomieloid sehingga ikan lele dumbo tidak
mampu meningkatkan mekanisme respon imunitasnya, baik seluler maupun
humoral.
Selain menimbulkan radang pada hari pertama pasca penyuntikan, pada
beberapa ikan perlakuan C dan D timbul gejala klinis berupa hemoragi (Gambar
17). Hemoragi adalah pendarahan atau keluarnya darah dari batas sistem
kardiovaskular dan keluarnya darah yang sebenarnya dari tubuh (Fabian, 1997).
49
Dengan kata lain, bakteri masuk dan menempel pada dinding pembuluh darah
kemudian merusaknya sehingga pembuluh darah pecah dan darah keluar.
Selanjutnya, hemoragi akan berkembang menjadi nekrosis, zona berwarna merah
dan lebih rapuh (Abdullah, 2008).
Nekrosis akan berkembang menjadi tukak pada hari ke-2 pasca penyuntikan
A.hydrophila (Gambar 18). Menurut Runnels et al. (1965) tukak terjadi karena
matinya sel-sel luar lebih cepat daripada regenerasi dan pergantian sel baru.
Infeksi A.hydrophila menghasilkan toksin yang dapat merusak jaringan kulit.
Pada jaringan kulit inilah tempat infeksi pertama terjadi sebelum bakteri
menyebar ke seluruh jaringan yang lain (Bratawidjaja, 2006).
Ketiga gejala akibat infeksi A.hydrophila diatas sesuai dengan apa yang
diungkapkan oleh Suyanto (1983) bahwa gejala timbulnya penyakit Motile
Aeromonas Septicemia (MAS) adalah pendarahan pada berbagai organ, terjadinya
kerusakan pada pangkal sirip, timbulnya bisul-bisul dan rusaknya permukaan kulit
dan darah. Kerusakan-kerusakan ini dapat terjadi akibat bakteri A. hydrophila
memproduksi eksoenzim, seperti amilase, protease phospolipase, dan DNase
(Abeyta et al., 2001 ). Menurut Hidayat (2005) Aeromonas sp. memproduksi
berbagai produk, salah satunya adalah toksin yang dikeluarkan dalam bentuk
soluble sehingga dapat langsung menginfeksi sel. Selain itu, senyawa ini dapat
bertahan dipermukaan sel dan akan masuk ketika sel sudah mati. Aerolisin,
GCAT (glycerophospholipid: cholesterol acyltransferase) dan satu serine protease
merupakan tiga protein ekstraseluler yang erat kaitannya dengan patogenitas A.
hydrophila (Hayes, 2000 dalam Hidayat, 2005; Angka, 2001).
Pada ikan perlakuan B (0,5 g/kg) dan E (2,0 g/kg) sempat mengalami
peradangan pasca penyuntikan bakteri A.hydrophila. Namun peradangan yang
terjadi tidak terlalu besar. Keesokan harinya, radang tidak berkembang menjadi
hemoragi namun menunjukkan kesembuhan pada bagian radang. Selain itu, hal ini
juga terjadi pada perlakuan C (1,0 g/kg) dan D (1,5 g/kg) yang menunjukkan
adanya luka berupa tukak, pada hari ke-6 pengamatan mulai menunjukkan
kesembuhan (Gambar 19).
Kesembuhan yang terjadi disebabkan oleh adanya peningkatan aktivitas
antibodi dalam melawan serangan bakteri A.hydrophila sehingga bakteri yang
50
ada dalam tubuh ikan lele dumbo tidak mampu berkembang lebih lanjut.
Peningkatan aktivitas sistem imun ini dirangsang oleh adanya bahan tambahan
(imunostimulan) yang dihasilkan oleh G.verrucosa berupa senyawa polisakarida
dan sumber komponen bioaktif yang mampu meningkatkan komponen sistem
imun pada ikan dan meningkatkan proteksi terhadap infeksi bakteri (Castro et al.,
2006; Winarno, 1996).
Peningkatan sistem imun dengan menggunakan imunostimulan dapat
dilihat dari aktivitas fagositik yang terjadi pada darah. Kesembuhan yang terjadi
pasca penyuntikan A.hydrophila diduga akibat dari meningkatnya aktivitas sel
fagosit dalam proses fagositosis bakteri yang terjadi dalam tubuh ikan lele dumbo.
Peningkatan proses fagositosis ini membuktikan bahwa sistem imun ikan lele
dumbo dengan penambahan ekstrak G.verrucosa berkembang dan bekerja dengan
baik sehingga sel-sel bakteri mampu dijerat dan dihancurkan melalui proses
tersebut (Tizard, 1988; Winton, 2001). Selain itu, penyembuhan ini juga terkait
dengan peranan trombosit dan fibrinogen yang berperan dalam proses
penggumpalan darah dan penutupan luka (Fujaya, 2002).
4.2.5
Organ Dalam Ikan Lele Dumbo
Pengamatan organ dalam dilakukan pasca penyuntikan bakteri A.hydrophila
yang menginfeksi ikan lele dumbo. Kematian secara akut, umumnya tidak
didahului oleh timbulnya gejala klinis. Namun, langsung menyebabkan kematian
secara masal dengan adanya kerusakan organ dalam. Bakteri A.hydrophila secara
akut menyerang organ dalam ikan sehingga gejala klinis tidak muncul. Kerusakan
organ dalam yang disebabkan oleh A.hydrophila terjadi pada hati, limpa dan
saluran pencernaan (Suyanto, 1983).
Pada perlakuan A (0 g/kg) kerusakan organ dalam terjadi sangat parah
dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Gambar 20). Ginjal ikan lele dumbo
nampak membesar dan berwarna merah tua. Hati berwarna merah pucat dengan
empedu berubah warna menjadi hijau kekuning-kuningan. Perubahan juga terlihat
pada saluran pencernaan. Lambung dan usus ikan lele dumbo nampak kosong dan
berlendir. Rongga perut dipenuhi cairan putih (lendir). Kerusakan ini akibat dari
adanya serangan bakteri A.hydrophila yang begitu cepat dan tidak diimbangi
51
dengan peningkatan sistem imun atau aktifitas fagositik oleh organ-organ tersebut.
Hal ini disebabkan oleh tidak adanya rangsangan berupa bahan imunostimulan
yang mampu meningkatkan respon kekebalan tubuh (sistem imun). Sehingga
bakteri yang ada terus berkembang pesat menyerang organ tersebut, aktivitas dari
organ terganggu dan akhirnya menyebabkan kematian.
Kerusakan organ yang terjadi pada perlakuan B (0,5 g/kg) tidak begitu besar
(Gambar 21). Ginjal masih berwarna merah segar. Hal ini menandakan bahwa
ginjal mampu mengadakan perlawanan terhadap serangan A.hydrophila. Ginjal
merupakan organ yang berperan penting dalam pembentukan sistem imun. Pada
ikan, bagian anterior ginjal merupakan bagian yang terpenting dalam formasi sel
darah dan fungsi sistem imun. Suplai darah ke ginjal terjadi secara perlahan,
melalui sistem katup ginjal (renal portal system) sampai terjadi pembentukan
antigen (Shoemaker et al., 2001).
Selain itu, proses ini menghasilkan konsentrasi melanomakrofag atau sel
imun sebagai pusat dari pembentukan makrofag, limfosit dan plasma sel. Karena
hal inilah ginjal ikan perlakuan B tidak menunjukkan perubahan warna dan
bentuk. Diduga ginjal aktif memproduksi sel imun yang dapat menghancurkan
atau melindungi dari serangan bakteri A.hydrophila. Aktivitas yang terjadi pada
ginjal untuk meningkakan pembentukan sel imun dirangsang oleh adanya bahan
imunostimulan dari ekstrak G.verrucosa. Hati ikan perlakuan B menunjukkan
warna merah pucat dan empedu ikan tersebut menunjukkan warna hijau kekuningkuningan. Lambung dan usus ikan nampak kosong namun tidak berlendir
(Gambar 21).
Pada perlakuan C (1,0 g/kg) warna dan bentuk ginjal mengalami perubahan
(Gambar 22 dan Tabel 4), yaitu menjadi merah tua dan ukuran membesar untuk
ginjal serta merah pucat dan membesar untuk hati. Organ hati bertanggung jawab
dalam produksi komponen fase akut protein (acute-phase proteins) contohnya Creactive protein, yang berperan penting dalam resistensi alami hewan (Shoemaker
et al., 2001). Warna empedu berubah menjadi hijau kekuning-kuningan pada
perlakuan C. Namun, pada saluran pencernaan hanya sedikit terjadi perubahan.
Lambung ikan lele dumbo masih dalam keadaan penuh pakan. Sedikit kerusakan
terjadi pada usus, pada organ ini tidak ditemukan pakan namun justru terjadi
52
pembengkakan. Diduga hal ini dapat terjadi karena serangan A.hydrophila
menghambat kerja saluran pencernaan. Sehingga pakan yang masuk ke dalam
tubuh tidak dapat dicerna di usus. Sedangkan organ reproduksi (gonad) tidak
mengalami perubahan.
Kerusakan organ yang terjadi pada perlakuan D (1,5 g/kg) umumnya sama
dengan kerusakan yang terjadi pada perlakuan C. Perbedaannya dapat dilihat pada
organ empedu dan lambung. Organ empedu berwarna hijau dan lambung ikan lele
dumbo nampak kosong. Sedangkan organ gonad nampak normal. Terganggunya
fungsi organ hati dan empedu setelah infeksi terjadi akibat meningkatnya kerja
hati untuk mengumpulkan, mengubah, menimbun metabolik-metabolik dan
menetralkan serta menghilangkan zat-zat toksin (Dharma, 1982). Hal ini
membuktikan bahwa pasca penyuntikan bakteri terjadi kerusakan organ dalam
hati dan empedu yang ditandai dengan adanya perubahan warna dan bentuk.
Perubahan warna cairan empedu menjadi kuning atau hijau kekuningkuningan pada ikan lele dumbo diduga karena zat warna bilirubin, yaitu suatu
pigmen empedu (Brown, 1987) dan biliverdin cepat dioksidasi menjadi urobilin
(berwarna kuning) atau disebabkan oleh gangguan pada organ hati yang
menghambat pembongkaran hemoglobin eritrosit menjadi hemin, Fe dan globin
sehingga produksi hemin sebagai zat asal warna empedu menurun (Hafsah, 1994
dalam Abdulah, 2008). Kerusakan yang terjadi pada perlakuan E (2,0 g/kg)
umumnya sama dengan kerusakan yang terjadi pada perlakuan lainnya. Ginjal
berwarna merah tua, hati merah pucat dan empedu berwarna hijau. Saluran
pencernaan berupa lambung penuh dengan pakan dan usus kosong. Organ gonad
terjadi terlihat normal, yaitu berwarna putih.
Kerusakan pada organ dalam terjadi akibat infeksi lokal (Stevenson, 1988),
serangan bakteri menyebabkan adanya perubahan atau kerusakan dari kerja organ
tersebut sehingga organ tersebut tidak bekerja pada batas yang normal.
Terganggunya kerja organ berpengaruh terhadap fungsi dari organ tersebut. Organ
dalam tidak dapat melakukan fungsinya dengan baik sehingga serangan bakteri
mampu
melumpuhkan
(merusak)
organ
tersebut
yang
pada
akhirnya
menyebabkan kematian ikan lele dumbo.
53
4.2.6 Tingkat Kelangsungan Hidup
Tingkat kelangsungan hidup (Gambar 25) tertinggi terdapat pada perlakuan
C (1,0 g/kg) dan D (1,5 g/kg) sedangkan tingkat kelangsungan hidup terendah
terdapat pada perlakuan A (0 g/kg). Pengamatan tingkat kelangsungan hidup (SR)
dilakukan selama 7 hari pasca penyuntikan bakteri A.hydrophila. Nilai SR
berhubungan dengan serangan bakteri A.hydrophila yang mampu menginfeksi
ikan lele dumbo selama perlakuan (kemampuan bakteri untuk menyebabkan
kematian ikan). Nilai SR yang tinggi pada perlakuan C dan D, yaitu sebesar
93,33% menunjukkan bahwa ikan mampu melakukan perlawanan terhadap
serangan bakteri A.hydrophila.
Menurut Bratawidjaja (2006) imunostimulan adalah suatu bahan yang dapat
meningkatkan
kekebalan
organisme
terhadap
infeksi
patogen,
dengan
meningkatkan mekanisme respon imun non spesifik seperti sistem fagositik.
Dalam hal ini ekstrak G.verrucosa dimanfaatkan sebagai bahan imunostimulan
yang berperan dalam sistem imun ikan lele dumbo (Anggadiredja et al., 2006;
Zatnika, 1988; Guangce W, 2002; Widiastuti, 2001). Dalam ekstrak G.verrucosa
terdapat komponen agar dan karaginan yang di dalamnya mengandung senyawa
polisakarida yang dibentuk oleh gula netral dan gula asam yang dapat
dimanfaatkan sebagai imunostimulan (Anggadiredja, 2006).
Tingkat kelangsungan hidup ikan yang tinggi pada perlakuan C dan D
disebabkan oleh pemanfaatan bahan imunostimulan yang baik (optimal) dalam
tubuh ikan lele dumbo. Sehingga proses biologis meningkat seiring dengan
peningkatan sistem imun terhadap infeksi bakteri sehingga kematian ikan dapat
ditekan karena terjadi perlawanan terhadap infeksi bakteri. Selain berperan dalam
peningkatan sistem imun, rumput laut G.verrucosa juga berperan dalam
metabolisme dan aktivitas biologis karena memiliki komponen bioaktif (Winarno,
1996). Dengan kata lain, bahan imunostimulan dari ekstrak G.verrucosa mampu
memperbaiki metabolisme dan aktivitas biologis pada ikan lele dumbo.
Perlakuan A (0 g/kg) menunjukkan nilai SR yang rendah dibandingkan
dengan perlakuan B, C, D dan E. Perlakuan A merupakan perlakuan tanpa
penambahan bahan imunostimulan (ekstrak G.verrucosa). Dari fenomena ini
dapat dibuktikan bahwa penambahan bahan imunostimulan dapat memberikan
54
atau meningkatkan kekebalan tubuh terhadap infeksi bakteri. Selain itu, SR
perlakuan tanpa penambahan bahan imunostimulan yang rendah dapat
membuktikan bahwa tidak terjadi proses metabolisme dan aktivitas biologi yang
baik dalam tubuh ikan lele dumbo sehingga serangan bakteri penyebab kematian
tidak dapat ditekan.
4.2.7
Kualitas Air
Kualitas air dapat mempengaruhi ketahanan tubuh ikan dan tumbuh atau
tidaknya suatu penyakit (Taufik, 1984). Kualitas air juga merupakan suatu
komponen yang berperan dalam penyebab stres pada ikan. Kondisi lingkungan
yang tidak sesuai dengan kebutuhan ikan uji dapat menyebabkan stres yang akan
mempermudah serangan (perkembangan) bakteri A.hydrophila (Plump, 2001).
Kisaran suhu yang diukur pada penelitian ini berkisar antara 28 – 30 °C.
kisaran ini masih termasuk dalam kisaran optimum bagi pemeliharaan ikan lele
dumbo, yaitu antara 25 – 30 °C (Soetomo, 1989). Menurut Nabib dan Pasaribu
(1989) perubahan suhu akan mempengaruhi mekanisme pertahanan dan
pembentukan antibodi, dapat menyebabkan stres pada ikan yang akan
mempengaruhi kesehatan ikan. Suhu berperan dalam pertumbuhan ikan, semakin
rendah suhu maka metabolisme semakin rendah sehingga berdampak pada
rendahnya pertumbuhan ikan (Suyanto, 1995).
Kandungan oksigen terlarut yang diukur selama penelitian menunjukkan
kisaran 5,2 – 6,9 mg/l. Kisaran ini masih dapat ditolerir karena masih dalam batas
yang optimum. Menurut Taufik (1984) kadar oksigen yang optimum bagi
pemeliharaan harus berada pada kisaran 6,5 - 12,5 mg/l. Kisaran pH yang terukur
selama penelitian berkisar antara 5,42 – 6,89. Kisaran pH optimum bagi
pemeliharaan ikan lele dumbo adalah 5 – 9 (Najiyati, 2002). Terbukti bahwa nilai
pH selama penelitian masih berada pada kisaran optimum bagi ikan lele dumbo.
Kandungan amoniak nitrogen selama penelitian berkisar antara 0,22 – 0,57
mg/l. Kisaran ini dinilai masih berada pada kisaran optimum bagi kelangsungan
hidup ikan lele dumbo. Konsentrasi amoniak antara 1,2 – 2 ppm dapat
menyebabkan kematian pada ikan. Boyd (1982) menyatakan proporsi amoniak
total akan meningkat dengan meningkatnya suhu dan pH.
55
Download