IV. 4.1 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil 4.1.1 Uji Patogenitas Bakteri dengan Menghitung LD-50 Uji patogenitas bakteri digunakan untuk mengetahui konsentrasi bakteri Aeromonas hydrophila yang akan digunakan pada uji in vivo. LD-50 adalah nilai konsentrasi bakteri yang mampu menyebabkan kematian ikan uji sebanyak 50% pada waktu tertentu. Pada penelitian kali ini, isolat A. hydrophila yang digunakan berasal dari Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan. Isolat disimpan pada media agar miring yang kemudian dikultur pada media TSB (Tripticase Soy Broth) sebelum disuntikan pada ikan lele dumbo. Bakteri yang akan digunakan untuk LD-50 sebelumnya digunakan (diuji) untuk meningkatkan virulensi dari bakteri tersebut dalam menyebabkan penyakit. Ternyata diketahui bahwa bakteri isolat A. hydrophila ini berupa isolat virulen. Pengamatan LD-50 dilakukan selama 7 hari dengan menghitung jumlah ikan yang mati pascapenyuntikan bakteri A.hydrophila. Konsentrasi bakteri yang digunakan pada uji LD-50 ini adalah 109, 108, 107, 106 dan 105 cfu/ml, disuntikan pada 10 ekor ikan lele dumbo setiap konsentrasi bakteri. Selama 7 hari diamati tingkat mortalitas ikan. Penyuntikan bakteri dengan konsentrasi 109 cfu/ml menyebabkan kematian ikan uji sebanyak 7 ekor dari 10 ekor yang digunakan atau dengan kata lain konsentrasi bakteri tersebut dapat mematikan 81,25% ikan lele dumbo. Sedangkan konsentrasi bakteri 108 cfu/ml menyebabkan kematian ikan lele dumbo sebanyak 4 ekor dari 10 ekor yang disuntikan isolat A. hydrophila. Nilai ini menunjukkan tingkat kematian ikan lele dumbo sebesar 40%. Untuk penyuntikan bakteri menggunakan dengan konsentrasi 107 dan 106 cfu/ml menyebabkan kematian ikan lele dumbo sebanyak 1 ekor. Dan penyuntikan bakteri dengan konsentrasi 105 cfu/ml tidak menyebabkan kematian pada ikan lele dumbo selama pengamatan LD-50. 24 4.1.2 Uji In Vivo 4.1.2.1 Respon Makan Ikan Respon makan ikan pada awal perlakuan sedikit, namun selama perlakuan respon makan mulai mengalami peningkatan. Tabel 2. Respon makan ikan lele dumbo Clarias sp. selama perlakuan PERLAKUAN Hari Ke- A B C D E 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 2 1 1 1 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 2 3 2 1 1 3 3 2 2 1 2 2 2 1 2 2 3 4 2 2 2 3 3 3 2 2 2 2 2 2 2 3 3 5 2 2 2 3 3 3 3 3 2 2 2 2 3 3 3 6 3 2 2 3 4 3 3 3 3 3 2 2 3 3 3 7 3 3 2 4 4 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3 8 3 3 3 4 4 4 3 3 4 2 3 3 3 4 4 9 3 3 3 4 4 4 3 3 4 2 3 3 3 4 4 10 2 3 3 4 4 4 4 4 4 3 3 3 4 4 4 11 2 3 3 4 4 4 4 4 4 3 3 4 4 4 4 12 3 3 2 4 4 4 4 4 4 3 3 4 4 4 4 13 3 3 2 4 4 4 3 4 4 3 3 3 4 4 3 14 3 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 3 2 3 3 15 3 3 3 4 4 4 4 4 3 4 3 3 2 3 2 16 3 3 3 4 4 4 3 3 3 4 2 2 2 3 2 17 3 3 3 4 4 4 4 3 4 2 2 2 2 2 2 18 3 4 3 4 4 4 4 4 4 2 2 2 1 2 1 19 3 4 3 4 4 4 4 4 4 2 3 2 2 2 2 20 3 4 3 4 4 4 4 4 4 2 3 3 1 2 2 21 3 4 3 4 4 4 4 4 4 3 3 3 2 2 1 Keterangan: 0 = Tidak Nafsu Makan 1 = Kurang Respon Makan 2 = Respon Makan Cukup 3 = Respon Makan Baik 4 = Respon Makan Sangat Baik Hasil pengamatan respon makan saat uji in vivo dapat dilihat dari Tabel 2, respon makan ikan lele pada awal pemeliharaan menunjukkan respon makan yang sedikit. Bahkan pada perlakuan A (0 g/kg), C (1,0 g/kg), D (1,5 g/kg) dan E (2,0 g/kg) ikan uji tidak menunjukan respon makan sama sekali. Pada perlakuan A (0 25 g/kg), respon makan mulai baik pada hari ke-6 pemeliharaan. Respon makan ikan lele pada perlakuan A (0 g/kg) cenderung lebih stabil dengan respon makan baik. Sedangkan pada perlakuan B (0,5 g/kg), respon makan ikan lele telah terlihat mulai pada hari pertama terus meningkat sampai hari yang ke-5 dan respon makan sangat baik pada hari ke-7 sampai akhir perlakuan. Respon makan ikan lele pada perlakuan C (1,0 g/kg) menunjukkan peningkatan mulai hari ke-2 sampai ke-9 dengan respon makan ikan lele baik. Selanjutnya pada hari ke-10 sampai akhir perlakuan respon makan ikan lele sangat baik. Walaupun sempat terjadi penurunan respon makan pada hari ke-15 namun masih dalam respon makan yang baik. Pada perlakuan D (1,5 g/kg), hari pertama ikan lele tidak menunjukkan respon makan sampai pada hari ke-6 respon makan cukup. Dan mulai hari ke-7 sampai ke-13 ikan lele perlakuan D (1,5 g/kg) menunjukkan respon makan yang baik. Pada hari ke-14 dan ke-15 respon makan ikan lele sangat baik, namun pada hari ke-16 sampai akhir pemeliharaan respon makan kurang baik. Dengan kata lain, terjadi penurunan respon makan pada hari ke-16 sampai akhir perlakuan. Pada perlakuan E (2,0 g/kg), respon makan ikan lele hari ke-1 sampai ke-3 menunjukkan respon makan yang kurang baik. Selanjutnya dari hari ke-3 sampai ke-13 menunjukkan peningkatan respon makan menjadi sangat baik. Namun, pada hari ke-14 terjadi penurunan respon makan ikan lele menjadi kurang baik sampai pada akhir perlakuan. 4.1.2.2 Pertambahan Bobot Ikan Lele Dumbo Clarias sp. Pertambahan bobot harian individu ikan lele selama perlakuan menunjukkan nilai sebagai berikut (Tabel 3) Tabel 3. Data pertumbuhan harian (SGR) ikan lele dumbo selama perlakuan Perlakuan SGR (%) A (0 g/kg) 2,79 B (0,5 g/kg) 1,69 C (1,0 g/kg) 1,84 D (1,5 g/kg) 1,85 E (2,0 g/kg) 2,48 26 Pada perlakuan A (0 g/kg) bobot rata-rata ikan awal sebesar 22,23 g meningkat menjadi 39,95 g pada akhir perlakuan dengan pertumbuhan harian sebesar 2,79%. Perlakuan B (0,5 g/kg) bobot rata-rata ikan awal perlakuan sebesar 30,71 g dan pada akhir perlakuan bobot rata-rata ikan lele menjadi 43,80 g dengan pertumbuhan harian sebesar 1,69%. Perlakuan C (1,0 g/kg) menunjukkan peningkatan bobot rata-rata dari 33,38 g menjadi 49,14 g dengan pertumbuhan harian sebesar 1,84%. Perlakuan D (1,5 g/kg) menunjukkan peningkatan bobot rata-rata dari 25,10 g menjadi 37,01 g dengan pertumbuhan harian sebesar 1,85%. Perlakuan E (2,0 g/kg) menunjukkan nilai bobot rata-rata yang meningkat dari 30,42 g menjadi 51,22 g dengan pertumbuhan harian sebesar 2,48% (Tabel 3). 4.1.3 Parameter Hematologi Parameter hematologi meliputi total eritrosit, total leukosit, kadar hemoglobin, kadar hematokrit, diferensial leukosit dan indeks fagositik yang diamati setiap seminggu sekali. 4.1.3.1 Total Sel Darah Merah (Eritrosit) Total eritrosit (x 106 sel/mm3) selama perlakuan ditunjukkan pada gambar di bawah ini (Gambar 4) Gambar 4. Total eritrosit ikan lele dumbo Clarias sp. selama perlakuan Total sel darah merah selama perlakuan umumnya terus meningkat. Namun, pada perlakuan A (0 g/kg) nilai total eritrosit mengalami penurunan setiap sampling, dari mulai sampling H0 sampai H21 total eritrosit terus menurun, yaitu sebesar 4,91 x 106 sel/mm3 menjadi 3,37 x 106 sel/mm3 pada akhir perlakuan. Pada perlakuan B (0,5 g/kg) total eritrosit terus mengalami peningkatan sampai 27 sampling H21. Pada sampling H0 nilai total eritrosit sebesar 4,42 x 106 sel/mm3. Terus meningkat sampai pada sampling H21 menjadi 5,05 x 106 sel/mm3. Perlakuan C (1,0 g/kg) menunjukkan peningkatan total eritrosit yang sangat drastis pada sampling H14, yaitu sebesar 5,92 x 106 sel/mm3. Namun, pada sampling H21 total eritrosit mengalami penurunan menjadi 4,24 x 106 sel/mm3. Perlakuan D (1,5 g/kg) total eritrosit terus mengalami peningkatan mulai dari sampling H0 sampai sampling H21. Nilai total eritrosit pada sampling H0 sebesar 2,90 x 106 sel/mm3 dan meningkat menjadi 5,57 x 106 sel/mm3. Untuk perlakuan E (2,0 g/kg) total eritrosit terus mengalami penurunan namun tidak sampai menurun drastis. Penurunan terendah sebesar 3,98 x 106 sel/mm3. Pada sampling H14 peningkatan total eritrosit pada perlakuan E (2,0 g/kg) kembali terjadi pada sampling H21, yaitu sebesar 5,33 x 106 sel/mm3 (Gambar 4). 4.1.3.2 Total Sel Darah Putih (Leukosit) Perhitungan total leukosit (x 105 sel/mm3) dilakukan setiap satu minggu sekali dengan hasil sebagai berikut (Gambar 5) Gambar 5. Total leukosit ikan lele dumbo Clarias sp. selama perlakuan Total leukosit selama perlakuan umumnya meningkat setiap sampling. Pada perlakuan A (0 g/kg) total leukosit terus meningkat namum peningkatan yang terjadi tidak terlalu besar. Sedangkan total leukosit pada perlakuan B (0,5 g/kg) menunjukkan peningkatan yang lebih besar pada perlakuan A, yaitu meningkat dari 2,94 x 105 sel/mm3 menjadi 6,56 x 105 sel/mm3. Perlakuan C (1,0 g/kg) menunjukkan peningkatan leukosit pada sampling H0 sampai H14, yaitu sebesar 3,09 x 105 sel/mm3 menjadi 5,83 x 105 sel/mm3. 28 Pada perlakuan D (1,5 g/kg) peningkatan terjadi pada sampling H0 sampai H14, yaitu sebesar 2,90 x 105 sel/mm3 menjadi 6,59 x 105 sel/mm3. Namun, pada sampling H21 total leukosit mengalami penurunan menjadi 4,77 x 105 sel/mm3. Pada perlakuan E (2,0 g/kg) total leukosit terus meningkat dari 3,40 x 105 sel/mm3 pada sampling H0 menjadi 5,71 x 105 sel/mm3 pada sampling H14. Sedangkan pada sampling H21 terjadi penurunan total leukosit namun tidak terlalu tinggi (Gambar 5). 4.1.3.3 Kadar Hemoglobin Kadar hemoglobin (g %) berhubungan dengan nilai total eritrosit dan kadar hematokrit dalam darah. Berikut ini adalah gambar mengenai hasil perhitungan kadar hemoglobin selama perlakuan (Gambar 6) Gambar 6. Kadar hemoglobin ikan lele dumbo Clarias sp. selama perlakuan Kadar hemoglobin dalam darah pada perlakuan A cenderung lebih stabil walaupun sempat mengalami peningkatan menjadi 12,53 g% pada sampling H14. Namun seperti halnya nilai total eritrosit dan kadar hematokrit peningkatan yang terjadi tidak begitu tinggi demikian pula peningkatan kadar hemoglobin pada perlakuan A (0 g/kg). Pada perlakuan B (0,5 g/kg) peningkatan kadar hemoglobin terjadi dari sampling H7 sampai H14, yaitu 10,21 g% menjadi 12,13 g% dan mengalami penurunan yang tidak terlalu tinggi pada sampling H21. Perlakuan C (1,0 g/kg) mengalami peningkatan kadar hemoglobin dari 9,63 g% menjadi 10,93 g% dan mengalami penurunan pada sampling H21 menjadi 8,60 g%. Untuk perlakuan D (1,5 g%) nilai kadar hemoglobin adalah sebesar 8,67 g% dan terus mengalami peningkatan sampai pada sampling H21 menjadi 10,10 29 g%. Namun pada H7 nilai kadar hemoglobin sempat mengalami penurunan menjadi 6,00 g%. Pada perlakuan E (2,0 g%) kadar hemoglobin berkisar antara 9,50 – 10,00 g% (Gambar 6). 4.1.3.4 Kadar Hematokrit Kadar hematokrit dinyatakan dalam % dan diukur setiap sampling. Nilai kadar hematokrit adalah sebagai berikut (Gambar 7): Gambar 7. Kadar hematokrit ikan lele dumbo Clarias sp. selama perlakuan Kadar hematokrit ikan lele dumbo berhubungan dengan nilai total sel darah merah. Pada penelitian ini, kadar hematokrit yang terhitung umumnya mengalami peningkatan setiap sampling seiring dengan meningkatnya total sel darah merah. Pada perlakuan A (0 g/kg) nilai hematokrit meningkat dari 29,77% menjadi 32,30% pada sampling ke-14. Sedangkan pada sampling ke-21 kadar hematokrit mengalami penurunan menjadi 30,07%. Peningkatan kadar hematokrit yang terjadi pada perlakuan A (0 g/kg) tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan perlakuan B (0,5 g/kg) dan C (1,0 g/kg). Pada perlakuan B (0,5 g/kg) kadar hematokrit terus meningkat. Dari awal sampling sebesar 28,13% menjadi 32,38% pada akhir sampling (H21). Kadar hematokrit pada perlakuan C (1,0 g/kg) terus mengalami peningkatan pada sampling H7, yaitu sebesar 33,75%. Pada sampling H14 sampai H21 terjadi penurunan. Perlakuan D (1,5 g/kg) menunjukkan peningkatan kadar hematokrit sampai pada sampling H14, yaitu sebesar 29,09% dan mengalami sedikit penurunan menjadi 28,32% pada sampling H21. Pada sampling H7 perlakuan E (2,0 g/kg) nilai kadar hematokrit sebesar 29,51% terus meningkat sampai 30 sampling H14 dan terjadi sedikit penurunan pada sampling H21, nilainya menjadi 27,57% (Gambar 7). 4.1.3.5 Diferensial Leukosit Pengamatan diferensial leukosit meliputi kadar monosit, limfosit, trombosit dan neutrofil. Keempatnya berperan dalam sistem imun ikan lele dumbo selama perlakuan. Gambar 8. Total monosit ikan lele dumbo Clarias sp. selama perlakuan Pada perlakuan A (0 g/kg) nilai monosit meningkat pada sampling H7, yaitu dengan nilai 32,0% dan pada saat sampling H14 menjadi 29,7%. Sedangkan pada perlakuan B (0,5 g/kg) terjadi peningkatan nilai monosit dari 19,7% pada sampling H0 menjadi 42,7% pada sampling H7. Walaupun sempat mengalami penurunan nilai monosit pada sampling H14, namun pada sampling H21 nilai monosit kembali mengalami peningkatan menjadi 45,0%. Pada perlakuan C (1,0 g/kg) nilai monosit meningkat pada sampling H7 menjadi 49,5% dan mengalami penurunan pada sampling H21 menjadi 38,0%. Pada perlakuan D (1,5 g/kg) nilai monosit terus meningkat dari awal perlakuan sampai pada sampling H21 (akhir). Peningkatan terjadi pada nilai 14,7% menjadi 40,3% pada sampling H21. Sedangkan pada perlakuan E (2,0 g/kg) terjadi peningkatan nilai monosit saat sampling H7 sebesar 41,3%. Dan pada sampling H14 dan H21 nilai monosit mengalami penurunan hingga mencapai nilai 22,5% (Gambar 8). 31 Gambar 9. Total limfosit ikan lele dumbo Clarias sp. selama perlakuan Nilai limfosit pada perlakuan A (0 g/kg) mengalami penurunan dari 56,0% pada sampling H0 menjadi 54,0% pada sampling H21. Pada perlakuan B (0,5 g/kg) nilai limfosit terus mengalami penurunan dari 48,7% pada sampling H0 menjadi 34,0% pada sampling H21. Untuk perlakuan C (1,0 g/kg) juga terjadi penurunan nilai limfosit dari 51,0% pada sampling H0 menjadi 40,5% pada sampling H21. Perlakuan D (1,5 g/kg) menunjukkan nilai limfosit yang tinggi pada sampling H0, yaitu sebesar 53,0% dan mengalami penurunan pada sampling H7 menjadi 24,5%. Selanjutnya, pada sampling H21 nilai limfosit menjadi 40,0%. Untuk perlakuan E (2,0 g/kg) limfosit meningkat dari sampling H7 sampai sampling H21, yaitu dari 37,3% menjadi 41,5% (Gambar 9). Gambar 10. Total trombosit ikan lele dumbo Clarias sp. selama perlakuan Nilai trombosit pada perlakuan A (0 g/kg) terus mengalami penurunan setiap sampling. Tercatat pada sampling H0 nilai trombosit sebesar 17,0% 32 menurun menjadi 14,0% pada sampling H21. Sedangkan pada sampling H7 trombosit menurun drastis dengan nilai mencapai 8,7%. Pada perlakuan B (0,5 g/kg) nilai trombosit pada sampling H7 mengalami penurunan, namun pada sampling H14 dan H21 nilai trombosit kembali meningkat menjadi 11,5%. Pada perlakuan C (1,0 g/kg) nilai trombosit mengalami penurunan dari 20,3% menjadi 12,3% pada akhir sampling. Untuk perlakuan D (1,5 g/kg) nilai trombosit juga mengalami penurunan dari 21,3% menjadi 11,0% pada sampling H21. Pada perlakuan E (2,0 g/kg) terjadi perbedaan pola peningkatan trombosit. Perlakuan E (2,0 g/kg) menunjukkan peningkatan nilai trombosit dari 14,0% pada sampling H0 menjadi 18,0% pada sampling H21 (Gambar 10). Gambar 11. Total neutrofil ikan lele dumbo Clarias sp. selama perlakuan Total neutrofil ditunjukkan pada Gambar 11 di atas. Dari gambar terlihat secara umum nilai neutrofil meningkat pada sampling H7 sampai H21. Pada perlakuan A (2,0 g/kg) peningkatan terjadi dari 7,3% pada sampling H0 menjadi 9,5% pada sampling H21. Sedangkan untuk perlakuan B (0,5 g/kg) nilai neutrofil mengalami peningkatan pada setiap sampling, yaitu sebesar 8,0% pada sampling H0 menjadi 10,5 % pada sampling H21. Pada perlakuan C (1,0 g/kg) peningkatan terjadi dari 7,3% menjadi 10,0% pada akhir sampling. Perlakuan D (1,5 g/kg) menunjukkan nilai neutrofil yang tidak stabil. Sempat mengalami peningkatan pada sampling H14 ke H7 dan terjadi penurunan pada sampling H21 menjadi 8,5%. Untuk perlakuan E (2,0 g/kg) terjadi penurunan kadar neutrofil dari 11,3% pada sampling H0 menjadi 6,5% pada sampling H21 (Gambar 11). 33 4.1.3.6 Indeks Fagositik Nilai indeks fagositik menunjukkan kemampuan sel yang berperan dalam sistem imun untuk melawan serangan bakteri. Gambar 12 menunjukkan nilai indeks fagositik selama penelitian. Gambar 12. Indeks fagositik ikan lele dumbo Clarias sp. selama perlakuan Nilai indeks fagositik pada perlakuan A (0 g/kg) lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Dapat dilihat kisaran nilai indeks fagositik berkisar antara 2,67 – 5,00%. Pada perlakuan B (0,5 g/kg) terjadi peningkatan nilai indeks fagositik yang sangat besar. Sampling H0 sebesar 3,33% meningkat menjadi 14,00% pada sampling H21. Hal serupa juga terjadi pada perlakuan C (1,0 g/kg) nilai indeks fagositik terus meningkat dari 2,67% pada sampling H0 menjadi 13,00% pada sampling H21. Perlakuan D (1,5 g/kg) menunjukkan nilai indeks fagositik sebesar 4,33% pada sampling H0. Peningkatan ini terus terjadi sampai pada sampling H21, yaitu menjadi 10,50%. Pada perlakuan E (2,0 g/kg) nilai indeks fagositik cenderung tidak stabil. Namun pada sampling H0 sampai H14 nilai indeks fagositik terus mengalami peningkatan hingga mencapai nilai 10,33%. Namun, pada hari H21 nilai indeks fagositik mengalami penurunan menjadi 9,00% (Gambar 12). 4.1.3.7 Gejala Klinis Pengamatan gejala klinis dilakukan sejak ikan lele dumbo disuntikan bakteri Aeromonas hydrophila. Pengamatan dilakukan selama 7 hari pasca penyuntikan. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, ikan lele dumbo yang telah disuntikan bakteri A.hydrophila hanya menunjukkan sedikit gejala klinis seperti radang, 34 hemoragi dan tukak yang umumnya muncul saat terjadi serangan A.hydrophila. Diameter luka dari 3 gejala klinis di atas tidak terlalu besar. Namun, serangan A.hydrophila pada penelitian ini langsung menyebabkan kematian pada ikan lele dumbo disertai dengan sedikit atau tanpa gejala klinis (Gambar 13). Gambar 13. Skor gejala klinis yang terjadi selama perlakuan Perlakuan A (0 g/kg) tidak menunjukkan gejala klinis akibat serangan A.hydrophila namun langsung terjadi kematian sebanyak 3 ekor dari 15 ekor ikan uji di hari pertama pasca penyuntikan bakteri. Dari pengamatan ikan lele dumbo yang mati pada perlakuan A (0 g/kg) menunjukkan bercak-bercak putih disekujur tubuhnya, perut membesar dan terjadi kerusakan pada sirip ekor (Gambar 14 dan 15). Gambar 14. Ikan lele dumbo Clarias sp. yang mengalami bercak-bercak putih disekujur tubuhnya pasca penyuntikan A.hydrophila Gambar 15. Ekor ikan lele dumbo Clarias sp. yang mengalami kerusakan pasca penyuntikan A.hydrophila 35 Gambar 16. Ikan lele dumbo Clarias sp. yang mengalami radang pasca penyuntikan A.hydrophila pada hari ke-1 Gambar 17. Ikan lele dumbo Clarias sp. yang mengalami hemoragi pasca penyuntikan A.hydrophila pada hari ke-1 Gambar 18. Ikan lele dumbo Clarias sp. yang mengalami tukak pasca penyuntikan A.hydrophila pada hari ke-2 Gejala klinis hanya nampak pada perlakuan C (1,0 g/kg) dan D (1,5 g/kg), yaitu berupa radang, hemoragi dan tukak. Pada perlakuan C (1,0 g/kg) terjadi radang dengan diameter 0,8 cm yang terus berkembang menjadi hemoragi (Gambar 17) dan tukak sebesar 0,6 cm sampai pada hari ke-3. Selanjutnya pada hari ke-4 tukak mulai mengecil dengan diameter 0,5 cm dan terus mengalami pengecilan tukak mencapai diameter 0,3 cm pada akhir pengamatan. Pada perlakuan D (1,5 g/kg) radang terjadi 1 hari setelah penyuntikan, yaitu sebesar 0,8 cm (Gambar 16). Selanjutnya, gejala klinis berkembang menjadi tukak pada hari ke-2 dan ke-3 dengan diameter sebesar 0,6 cm. Tukak mulai mengecil pada hari ke-4 sampai akhir pengamatan dengan diameter 0,1 cm (Gambar 18). 36 Perlakuan B (0,5 g/kg) dan E (2,0 g/kg) tidak menunjukkan gejala klinis akibat serangan bakteri A.hydrophila namun, langsung menunjukkan kematian pada hari yang ke-3 (perlakuan B) sebanyak 2 ekor (Gambar 13). Sedangkan pada perlakuan E (2,0 g/kg) kematian langsung terjadi 1 hari pasca penyuntikan sebanyak 3 ekor dengan disertai tanda bercak-bercak putih disekujur tubuh (Gambar 14). Gambar 19. Ikan lele dumbo Clarias sp. yang mulai menunjukkan gejala kesembuhan luka pada hari ke-6 Ikan lele dumbo mengalami pengecilan diameter luka atau dengan kata lain mengalami kesembuhan pada hari ke-6 pasca penyuntikan (Gambar 19). Gejala penyembuhan luka ini paling terlihat jelas pada perlakuan D (1,5 g/kg) dengan diameter tukak sebesar 0,1 cm. Penyembuhan luka ini tidak hanya terjadi pada perlakuan D (1,5 g/kg) namun juga terjadi pada perlakuan C (1,0 g/kg) ulangan ke-3 pasca penyuntikan A. hydrophila. Ikan lele dumbo yang mengalami radang dalam waktu 1 hari menunjukkan kesembuhan hingga radang hilang dan ikan tubuh ikan kembali normal. 4.1.3.8 Pemeriksaan Organ Dalam Ikan Lele Dumbo (Clarias sp.) Pemeriksaan organ dalam ikan lele dumbo dilakukan dengan membedah ikan uji, yaitu sebanyak 1 ekor pada setiap perlakuan. Pemeriksaan organ dalam dilakukan dengan mengamati perubahan pada organ ginjal, usus, lambung, hati, empedu dan gonad. Semua ikan yang dibedah dalam keadaan hidup pada akhir perlakuan dan untuk perlakuan C (1,0 g/kg) serta D (1,5 g/kg) pemeriksaan organ dalam dilakukan pada ikan yang mengalami gejala klinis berupa tukak. 37 b d a c e Gambar 20. Organ dalam ikan lele dumbo Clarias sp. perlakuan A (0 g/kg) b c a d e Gambar 21. Organ dalam ikan lele dumbo Clarias sp. perlakuan B (0,5 g/kg) b a d c e Gambar 22. Organ dalam ikan lele dumbo Clarias sp. perlakuan C (1,0 g/kg) b c d a e Gambar 23. Organ dalam ikan lele dumbo Clarias sp. perlakuan D (1,5 g/kg) 38 b c d a e Gambar 24. Organ dalam ikan lele dumbo Clarias sp. perlakuan E (2,0 g/kg) Keterangan: a. Ginjal; b. Hati; c. Empedu; d. Lambung; e. Usus a Perlakuan A (0 g/kg) adalah perlakuan yang tidak menunjukkan gejala klinis seperti radang, hemoragi dan tukak. Namun, kelainan akibat serangan A.hydrophila dapat dilihat pada organ internal ikan lele dumbo yang dibedah. Ginjal ikan lele nampak berwarna merah tua. Organ hati menunjukkan warna merah pucat dengan ukuran normal. Empedu ikan lele berwarna hijau tua kekuningan. Sedangkan untuk lambung dan usus nampak kosong, tidak terdapat pakan. Pada sekitar usus terdapat lendir dan sangat terlihat jelas pada saat organ diurai (Gambar 20). Untuk organ gonad pada perlakuan A (0 g/kg) tidak mengalami perubahan. Organ ginjal pada perlakuan B (0,5 g/kg) menunjukkan warna merah segar dan pada ukuran yang normal. Organ hati menunjukkan warna merah pucat dan empedu menunjukkan warna hijau kekuning-kuningan. Sedangkan untuk lambung dan usus terlihat kosong, tidak terdapat pakan. Gonad pada perlakuan B (0,5 g/kg) berkembang dengan baik (Gambar 21). Ikan lele dumbo pada perlakuan C (1,0 g/kg) menunjukkan perubahan organ internal terutama pada bagian ginjal dan empedu. Organ ginjal pada perlakuan ini menunjukkan warna merah tua (pucat) dan agak bengkak. Sedangkan bagian empedu, menunjukkan perubahan berwarna hijau kekuning-kuningan. Untuk organ hati, berwarna merah pucat dan nampak agak membesar. Sedangkan untuk lambung penuh dengan pakan. Namun, tidak demikian pada organ usus. Nampak usus ikan perlakuan C (1,0 g/kg) kosong tidak dipenuhi oleh pakan dan ukurannya agak besar. Untuk gonad, berkembang dengan baik atau tidak terjadi perubahan (Gambar 22). Perlakuan D (1,5 g/kg) menunjukkan perubahan organ internal yang paling drastis. Terdapat lendir di rongga perut ikan lele. Organ ginjal dari perlakuan ini 39 menunjukkan warna merah tua dengan ukuran yang agak membesar. Organ hati menunjukkan warna merah pucat dan membesar. Sedangkan empedu, menunjukkan warna hijau tua. Lambung ikan perlakuan D (1,5 g/kg) terlihat kosong tanpa pakan begitu pula yang terjadi pada organ usus. Sedangkan organ gonad tidak terjadi perubahan (Gambar 23). Perlakuan E (2,0 g/kg) menunjukkan perubahan organ internal pada organ ginjal, yaitu warna organ ini menjadi merah tua. Untuk organ hati berwarna merah pucat dengan ukuran normal. Empedu berwarna hijau. Lambung ikan perlakuan E (2,0 g/kg) nampak terisi dengan pakan. Namun, hal ini tidak terjadi pada organ usus ikan perlakuan. Sedangkan organ gonad berkembang seperti umumnya (Gambar 24). Tabel 4. Perbedaan organ dalam ikan lele dumbo Clarias sp. pada setiap perlakuan Perubahan B(0,5 g/kg) C(1,0 g/kg) merah merah tua, segar ukuran membesar Hati merah merah pucat pucat dan membesar Empedu hijau tua hijau hijau kekuningan kekuningkekuningkuningan kuningan Lambung kosong kosong penuh pakan Organ dalam Ginjal Usus Gonad A(0 g/kg) merah tua, ukuran membesar merah pucat kosong dan berlendir putih kosong hijau kosong dan membesar putih D(1,5 g/kg) merah tua, ukuran membesar merah pucat dan membesar hijau tua E(2,0 g/kg) merah tua kosong kosong penuh pakan kosong hijau putih merah pucat hijau tua 40 4.1.3.9 Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan Lele Dumbo Clarias sp. Data tingkat kelangsungan hidup (SR) dapat dilihat pada gambar di bawah ini (Gambar 25) Gambar 25. Tingkat kelangsungan hidup ikan lele dumbo Perlakuan A (0 g/kg) menunjukkan nilai tingkat kelangsungan hidup sebesar 73,33%. Nilai ini lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat kelangsungan hidup perlakuan B (0,5 g/kg), C (1,0 g/kg), perlakuan D (1,5 g/kg) dan perlakuan E (2,0 g/kg) dengan nilai tingkat kelangsungan hidup sebesar 86,67%, 93,33% dan 80,00%. Pada perlakuan A (0 g/kg) ikan lele langsung mengalami kematian tanpa diawali dengan timbulnya gejala klinis pada bagian eksternal tubuh. Kematian ikan lele terjadi sehari setelah penyuntikan A.hydrophila sebanyak 3 ekor dari 15 ekor ikan. Dan pada hari ke-4 sebanyak 1 ekor. Sedangkan pada perlakuan B (0,5 g/kg) kematian ikan terjadi pada hari ke-5 sebanyak 2 ekor dari 15 ekor ikan pasca penyuntikan bakteri A. hydrophila. Pada perlakuan C (1,0 g/kg) kematian ikan lele dumbo terjadi pada hari ke-4 sebanyak 1 ekor dari 15 ekor ikan pasca penyuntikan A.hydrophila. Kematian ikan lele dumbo perlakuan D (1,5 g/kg) terjadi pada hari ke-4 sebanyak 1 ekor pasca penyuntikan. Dan kematian ikan lele dumbo pada perlakuan E (2,0 g/kg) terjadi pada hari ke-2 pasca penyuntikan sebanyak 3 ekor dari 15 ekor ikan. 41 4.1.4 Kualitas Air Pada pengukuran kualitas air ada 4 parameter yang diamati, yaitu suhu, DO, pH dan TAN (Tabel 5). Keempat parameter tersebut diukur pada awal, tengah dan akhir penelitian. Data kualitas air tersebut disajikan pada tabel berikut ini: Tabel 5. Data kualitas air ikan lele dumbo Clarias sp. selama perlakuan Perlakuan A B C D E Suhu (⁰C) 28 - 30 28 - 30 28 - 30 28 - 30 28 - 30 DO (mg/l) 6,2 - 6,9 5,9 - 6,7 5,2 - 6,6 6,2 - 6,8 6,3 - 6,7 pH 5,53 - 6,22 5,47 - 6,24 5,63 - 6,56 5,62 - 6,89 5,42 - 6,71 TAN (mg/l) 0,26 - 0,48 0,22 - 0,47 0,24 - 0,57 0,33 - 0,56 0,24 - 0,54 Dari hasil yang telah diperoleh (Tabel 5) menunjukkan kisaran kualitas air yang masih dapat ditolerir oleh ikan lele dumbo. Kisaran suhu yang terukur selama penelitian adalah 28 – 30 °C. Sedangkan nilai DO berkisar antara 5,2 – 6,9 mg/l. Nilai pH berkisar antara 5,42 – 6,89. Dan nilai TAN berkisar antara 0,22 – 0,57 mg/l. Kisaran-kisaran ini masih berada pada kisaran normal kualitas air yang dibutuhkan dalam pemeliharaan ikan lele dumbo. 42 4.2 Pembahasan 4.2.1 Konsentrasi Bakteri untuk Uji Tantang (LD-50) Konsentrasi bakteri pada uji LD-50 yang diperoleh dari penelitian ini adalah bakteri dengan konsentrasi 108 cfu/ml. Konsentrasi bakteri ini memang menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan pernyataan Angka (2000) yang menyatakan bahwa pada galur virulen A.hydrophila mampu menyebabkan kematian sebanyak 50% pada konsentrasi bakteri < 106 cfu/ml. Hal ini diduga terjadi karena bakteri yang digunakan dalam penelitian hanya mampu menyebabkan kematian dalam konsentrasi bakteri yang tinggi. 4.2.2 Respon Makan dan Pertambahan Bobot Tubuh Respon makan ikan lele dumbo akan secara langsung berhubungan dengan pertambahan bobot tubuh. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa perlakuan A (0 g/kg), C (1,0 g/kg), D (1,5 g/kg) dan E (2,0 g/kg) pada awal pemeliharaan tidak memiliki respon makan sama sekali. Pada 7 hari pertama respon makan ikan perlakuan menunjukkan hasil yang relatif sama, yaitu dengan respon makan pada kondisi cukup dan baik. Perbedaan respon makan ikan terlihat pada perlakuan B (0,5 g/kg) dan C (1,0 g/kg) dari mulai hari ke-7 sampai dengan hari ke-21, respon makan ikan menjadi sangat baik (Tabel 2). Pertumbuhan ikan lele dumbo perlakuan A terjadi sebesar 2,79 %, perlakuan B sebesar 1,69 %, perlakuan C sebesar 1,84 %, perlakuan D sebesar 1,85 % dan perlakuan E sebesar 2,48 %. Pertumbuhan harian tertinggi terdapat pada perlakuan A (tanpa penambahan bahan imunostimulan) sedangkan pertumbuhan harian ikan lele dumbo yang diberi pakan dengan penambahan bahan imunostimulan relatif sama, kecuali pada perlakuan E dengan penambahan bahan imunostimulan sebesar 2,0 g/kg pakan terjadi pertumbuhan harian yang lebih tinggi. Pertumbuhan harian ikan perlakuan A yang lebih baik disebabkan oleh respon makan ikan perlakuan A yang baik. Selain itu, tidak adanya penambahan imunostimulan menyebabkan ikan mudah beradaptasi dengan pakan yang diberikan. Dengan kata lain, ikan perlakuan A tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menyesuaikan diri dengan pakan yang diberikan sehingga komponen 43 pertumbuhan dalam pakan dapat dimanfaatkan secara optimal untuk pertumbuhan. Sedangkan pertumbuhan harian yang lebih rendah pada perlakuan dengan penambahan bahan imnostimulan diduga disebabkan oleh adanya waktu adaptasi ikan lele dumbo terhadap pakan yang diberikan. Menurut Treves-Brown (2000) penambahan bahan imunostimulan melalui pakan dilakukan dalam kurun waktu 2-6 minggu. Artinya, dalam kurun waktu ini terjadi proses penyesuaian diri ikan terhadap pakan yang diberikan. Pertumbuhan harian yang tinggi juga ditunjukkan pada perlakuan E (dengan penambahan bahan imunostimulan). Hal ini dapat terjadi karena penambahan bahan imunostimulan pada perlakuan E lebih besar daripada perlakuan B, C dan D. Rumput laut mengandung senyawa-senyawa seperti karbohidrat, protein, sedikit lemak, vitamin-vitamin, betakarotein dan mineral-mineral yang berperan dalam pertumbuhan (Anggadiredja et al., 2006). Dengan penambahan bahan imunostimulan berupa ekstrak G. verrucosa yang tinggi dapat meningkatkan pertumbuhan. Hal ini diduga karena kandungan senyawa-senyawa pertumbuhan dalam pakan yang tinggi sehingga pertumbuhan dapat terjadi secara optimal (Gambar 3). 4.2.3 Gambaran Darah 4.2.3.1 Total Eritrosit, Kadar Hematokrit dan Kadar Hemoglobin Sel darah merah (eritrosit) berkaitan erat dengan kadar hemoglobin dan hematokrit. Hematokrit adalah presentase jumlah sel darah merah dalam plasma darah. Sedangkan hemoglobin adalah pigmen dalam darah yang memberi warna merah pada darah (Brown, 1987). Dari hasil penelitian yang dilakukan, pada perlakuan A (0 g/kg) dapat dilihat bahwa ketika total eritrosit menurun di setiap sampling, diikuti dengan terjadinya penurunan kadar hematokrit dan hemoglobin. Walaupun terjadi penyimpangan kadar hemoglobin pada sampling H14. Penyimpangan ini berupa peningkatan kadar hemoglobin disaat terjadi penurunan total eritrosit. Hal ini diduga terjadi akibat pecahnya eritrosit karena telah habis masa hidupnya, pecahan eritrosit ini menyebabkan hemoglobin menjadi fraksi yang mengandung Fe (Affandi dan Tang, 2002) sehingga pada saat pengukuran hemoglobin nilainya tetap tinggi sedangkan total eritrosit yang terhitung rendah. 44 Pada perlakuan B (0,5 g/kg) ketiga parameter ini menunjukkan nilai yang saling berhubungan. Peningkatan total eritrosit diikuti dengan peningkatan kadar hemoglobin dan hematokrit. Menurut Brown (1987) sel-sel jaringan tubuh tergantung pada eritrosit untuk memperoleh suplai oksigen. Sel dalam eritrosit yang berperan dalam proses ini adalah hemoglobin. Hemoglobin memiliki kemampuan mengikat oksigen secara maksimal. Dengan adanya peningkatan kadar hemoglobin dalam darah pada perlakuan B menandakan bahwa darah dalam kondisi yang baik dan mampu mengikat oksigen dengan baik. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh perlakuan C (1,0 g/kg) peningkatan total eritrosit diikuti dengan peningkatan kadar hemoglobin dan hematokrit pada sampling H0 sampai H14. Sedangkan pada sampling H21, ketiga parameter tersebut mengalami penurunan. Penurunan total eritrosit, kadar hemoglobin dan hematokrit pada perlakuan C menandakan bahwa terjadi penurunan produksi sel darah merah di dalam ginjal. Pada perlakuan D (1,5 g/kg) dan E (2,0 g/kg) umumnya terbentuk pola yang sama. Terjadi peningkatan total eritrosit, kadar hemoglobin dan kadar hematokrit pada sampling H0 dan H14. Namun penyimpangan terjadi pada perlakuan D sampling H7, kadar hemoglobin ikan tercatat dibawah kondisi normal. Artinya, pada perlakuan D sampling H7 ikan sedang mengalami anemia atau kekurangan darah (Gambar 6). Penurunan total eritrosit, kadar hemoglobin dan hematokrit yang kadang terjadi diduga disebabkan oleh proses adaptasi penerimaan bahan baru berupa ekstrak G.verrucosa dalam darah. Bahan ini beradaptasi dengan komponenkomponen darah yang selanjutnya akan memberikan reaksi terhadap bahan tersebut. Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat dikatakan bahwa nilai total eritrosit, kadar hemoglobin dan hematokrit masih dalam batas yang optimum walaupun ada beberapa keadaan dimana nilai total eritrosit, hemoglobin dan hematokrit berada di bawah kondisi normal. Tingginya jumlah eritrosit menandakan ikan dalam kondisi stres dan rendahnya jumlah eritrosit menandakan ikan menderita anemia dan kerusakan ginjal (Snieszko, 1972; Wedemeyer dan Yasutake, 1977; Nabib dan Pasaribu, 1989). Sedangkan menurut Angka et al., (1985) kadar hemoglobin sebesar 10,3 – 13,5 g% dan kadar hematokrit untuk ikan lele normal berkisar antara 30,8 – 45,5%. 45 4.2.3.2 Total Leukosit, Diferensial Leukosit dan Indeks Fagositik Total leukosit, diferensial leukosit dan indeks fagositik merupakan parameter yang saling berhubungan sama halnya dengan total eritrosit, kadar hemoglobin dan hematokrit. Leukosit merupakan sel yang berperan penting dalam sistem pertahanan tubuh. Sehingga peningkatan total leukosit yang terjadi pada ikan lele dumbo perlakuan menandakan bahwa sistem pertahanan tubuh meningkat. Pada perlakuan A (0 g/kg) dapat dilihat terjadi peningkatan total leukosit (Gambar 5). Namun, peningkatan ini tidak terjadi secara drastis seperti perlakuan lainnya pada H14 dan H21. Dengan kata lain peningkatan ini terjadi secara umum seiring dengan pemulihan proses adaptasi ikan pada lingkungan yang baru. Peningkatan juga terjadi pada jumlah sel monosit perlakuan A di sampling H7 (Gambar 8). Peningkatan jumlah monosit ini hanya terjadi pada minggu pertama. Selanjunya, terjadi penurunan sampai pada akhir pemeliharaan. Nilai limfosit pada perlakuan A menurun pada sampling H7 (Gambar 9) dan meningkat kembali pada H14 dan H21. Limfosit tidak bersifat fagositik tetapi memegang peranan penting dalam pembentukan antibodi. Peningkatan limfosit digunakan sebagai indikator dari meningkatnya pembentukan antibodi pada perlakuan A. Nilai trombosit yang ditunjukkan pada perlakuan A menurun drastic pada H7 setiap sampling (Gambar 10). Sel ini berperan dalam proses pembekuan darah. Terjadinya penurunan trombosit pada perlakuan A diduga sebagai akibat dari tidak adanya penggunaan dari sel trombosit oleh ikan lele dumbo dalam proses pembekuan darah. Nilai neutrofil pada perlakuan A meningkat setiap sampling (Gambar 11). Peningkatan ini dapat terjadi karena adanya peningkatan produksi neutrofil oleh sumsum tulang merah. Peningkatan produksi neutrofil akan terjadi bersamaan dengan kerja neutrofil menuju jaringan daerah infeksi (Brown, 1987). Nilai total sel darah putih pada perlakuan B (0,5 g/kg) mengalami peningkatan setiap samplingnya (Gambar 5). Peningkatan ini terjadi sebagai akibat dari meningkatnya sistem pertahanan tubuh ikan lele dumbo. Penambahan ekstrak G.verrucosa ternyata mampu memberikan pengaruh pada peningkatan sistem kekebalan tubuh. Penambahan bahan imunostimulan mampu meningkatkan 46 produksi sel-sel imun untuk menjaga diri dari serangan bakteri karena imunostimulan merupakan substansi yang dapat mengaktifkan sistem sel imun dan sistem pertahanan tubuh. Total monosit dalam darah pada perlakuan B juga meningkat walaupun tercatat sempat mengalami penurunan pada sampling H14 (Gambar 8). Jumlah limfosit pada perlakuan B mengalami penurunan. Penurunan ini terjadi sebagai indikator minimnya pembentukan antibodi. Hal ini mungkin saja terjadi karena tubuh tidak mendapat serangan bakteri patogen selama perlakuan, jadi produksi sel limfosit menurun. Nilai yang tidak stabil ditunjukkan oleh nilai trombosit yang nampak pada perlakuan B (Gambar 10). Sel neutrofil adalah sel pertahanan alamiah dan berperan dalam proses fagositik dalam darah. Maka sel ini memiliki hubungan dengan peningkatan indeks fagositik dalam darah. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diketahui nilai neutrofil dan indeks fagositik pada perlakuan B (0,5 g/kg) terus meningkat setiap sampling. Peningkatan ini terjadi karena adanya peningkatan produksi sitokin oleh neutrofil dan monosit untuk meningkatkan sistem imun (Shoemaker et al., 2001). Pada perlakuan C (1,0 g/kg) dan D (1,5 g/kg) menunjukkan adanya peningkatan total sel darah putih sampai pada sampling H14 (Gambar 5). Peningkatan ini terjadi sebagai akibat dari meningkatnya sistem pertahanan tubuh ikan lele dumbo. Penambahan bahan imunostimulan sebanyak 1,0 g/kg dan 1,5 g/kg mampu meningkatkan sistem imun dari ikan. Kandungan polisakarida pada rumput laut dapat digunakan sebagai imunostimulan untuk meningkatkan produksi sel-sel imun dalam tubuh ikan (Anggadiredja et al., 2006). Peningkatan yang sama juga terjadi pada peningkatan sel monosit perlakuan C dan D. Peningkatan sel monosit digunakan sebagai indikator adanya peningkatan respon imun pada ikan (Shoemaker et al., 2001). Sel monosit bukan hanya penting karena kemampuannya memproduksi sitokin namun, sel ini merupakan sel utama yang berperan dalam proses fagositosis dan membunuh bakteri patogen yang menyebabkan infeksi (Shoemaker dan Plump, 1997). Pada jumlah limfosit yang dihasilkan dalam penelitian ini, perlakuan C dan D menunjukkan nilai limfosit yang berfluktuasi (Gambar 9). Keadaan ini bukan hanya terjadi pada jumlah sel limfosit, namun juga terjadi pada penurunan jumlah 47 trombosit pada perlakuan C dan D. Penurunan ini terjadi karena diduga ikan dalam kondisi normal. Menurut Fujaya (2002) trombosit tidak umum terdapat di dalam darah pada situasi normal, tetapi bila terjadi serangan jumlah trombosit dapat meningkat tajam. Peningkatan nilai neutrofil terjadi pada perlakuan C dan D (Gambar 11). Namun, pada perlakuan D sempat terjadi penurunan jumlah neutrofil pada akhir perlakuan. Penambahan ekstrak G.verrucosa sebanyak 1,0 dan 1,5 g/kg pakan ternyata mampu merangsang pembentukan sel imun sehingga produksi neutrofil, monosit dan proses fagositosis meningkat. Gambar 5 menunjukkan bahwa total leukosit perlakuan E (2,0 g/kg) meningkat setiap sampling. Walaupun sempat terjadi penurunan leukosit pada sampling H21. Peningkatan leukosit yang terjadi pada selang waktu 2 – 3 minggu membuktikan bahwa penggunaan bahan imunostimulan dalam pakan dapat digunakan dalam kisaran waktu 2 – 6 minggu untuk meningkatkan respon imun (Treves-Brown, 2000). Peningkatan juga terjadi pada jumlah monosit sampling H7 dan penurunan terjadi pada sampling H14 dan H21. Penurunan jumlah monosit ini mengindikasikan tidak adanya pembentukan sitokin untuk melawan luka. Sedangkan peningkatan sel monosit membuktikan bahwa sel ini banyak diproduksi untuk melakukan perannya sebagai makrofag dan imunologi (Brown, 1987). Gambar 9 menunjukkan jumlah limfosit yang terdapat dalam perlakuan E. Jumlah limfosit cenderung menurun dan meningkat kembali pada H21. Peningkatan ini mungkin terjadi karena adanya meningkatnya aktifitas pembelahan (proliferasi) sel-sel limfosit. Pembelahan ini dirangsang oleh adanya bahan berupa ekstrak G.verrucosa yang ditambahkan ke dalam pakan. Nilai trombosit dalam darah ikan lele dumbo perlakuan E meningkat setiap samplingnya (Gambar 10). Pada Gambar 12 menunjukkan nilai jumlah neutrofil yang menurun pada perlakuan E. Namun disisi lain terjadi peningkatan indeks fagositik (Gambar 12). Hal ini mungkin saja terjadi. Diduga produksi sel neutrofil dalam jumlah kecil belum tentu memperkecil efektifitas dari sel tersebut dalam proses fagositosis serta adanya sel monosit yang juga berperan dalam proses fagositosis menyebabkan tingginya nilai indeks fagositik dari perlakuan E. 48 4.2.4 Gejala Klinis Pengamatan gejala klinis adalah pengamatan kondisi eksternal dari tubuh ikan lele dumbo setelah dilakukan penyuntikan bakteri A.hydrophila. Gejala klinis ini dapat muncul pasca serangan bakteri patogen. Namun, dalam beberapa kasus bakteri A.hydrophila dapat menyerang ikan lele dumbo tanpa disertai gejala klinis terlebih dahulu atau serangan bakteri ini langsung menyebabkan kematian pada ikan (Suyanto, 1983; Winton 2001). Hal ini disebabkan oleh kerusakan yang mungkin terjadi sebagai infeksi lokal di tempat luka atau tempat serangan penyakit (Stevenson, 1988). Pada perlakuan A (0 g/kg), B (0,5 g/kg) dan E (2,0 g/kg) tidak menunjukkan adanya gejala klinis ikan lele dumbo pasca penyuntikan bakteri A.hydrophila. Namun, serangan A.hydrophila langsung menyebabkan kematian ikan lele dumbo. Pada ikan yang terserang bakteri ini (perlakuan A) ditandai dengan munculnya sedikit gejala klinis seperti, bercak-bercak putih pada tubuh dan kerusakan bagian sirip ekor (Gambar 14 dan 15). Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Suyanto (1983) bahwa gejala penyakit akibat serangan A.hydrophila adalah terjadinya pembengkakkan karena terkumpulnya cairan dalam jaringan tubuh sehingga sisik tidak dapat merapat dan mengembang (rusak) serta timbulnya bisul-bisul yang merusak permukaan kulit sampai daging. Hal yang berbeda terjadi pada perlakuan C (1,0 g/kg) dan D (1,5 g/kg). Jika pada perlakuan A, B, dan E serangan A.hydrophila tidak menyebabkan gejala klinis, pada perlakuan C dan D serangan bakteri ini menyebabkan timbulnya gejala klinis berupa radang, hemoragi dan tukak. Pasca penyuntikan bakteri dengan konsentrasi 108 cfu/ml di bagian intramuscular, timbul adanya radang pada daerah penyuntikan setelah 1 hari (Gambar 16). Radang ini kemungkinan disebabkan oleh kerusakan jaringan limfomieloid sehingga ikan lele dumbo tidak mampu meningkatkan mekanisme respon imunitasnya, baik seluler maupun humoral. Selain menimbulkan radang pada hari pertama pasca penyuntikan, pada beberapa ikan perlakuan C dan D timbul gejala klinis berupa hemoragi (Gambar 17). Hemoragi adalah pendarahan atau keluarnya darah dari batas sistem kardiovaskular dan keluarnya darah yang sebenarnya dari tubuh (Fabian, 1997). 49 Dengan kata lain, bakteri masuk dan menempel pada dinding pembuluh darah kemudian merusaknya sehingga pembuluh darah pecah dan darah keluar. Selanjutnya, hemoragi akan berkembang menjadi nekrosis, zona berwarna merah dan lebih rapuh (Abdullah, 2008). Nekrosis akan berkembang menjadi tukak pada hari ke-2 pasca penyuntikan A.hydrophila (Gambar 18). Menurut Runnels et al. (1965) tukak terjadi karena matinya sel-sel luar lebih cepat daripada regenerasi dan pergantian sel baru. Infeksi A.hydrophila menghasilkan toksin yang dapat merusak jaringan kulit. Pada jaringan kulit inilah tempat infeksi pertama terjadi sebelum bakteri menyebar ke seluruh jaringan yang lain (Bratawidjaja, 2006). Ketiga gejala akibat infeksi A.hydrophila diatas sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Suyanto (1983) bahwa gejala timbulnya penyakit Motile Aeromonas Septicemia (MAS) adalah pendarahan pada berbagai organ, terjadinya kerusakan pada pangkal sirip, timbulnya bisul-bisul dan rusaknya permukaan kulit dan darah. Kerusakan-kerusakan ini dapat terjadi akibat bakteri A. hydrophila memproduksi eksoenzim, seperti amilase, protease phospolipase, dan DNase (Abeyta et al., 2001 ). Menurut Hidayat (2005) Aeromonas sp. memproduksi berbagai produk, salah satunya adalah toksin yang dikeluarkan dalam bentuk soluble sehingga dapat langsung menginfeksi sel. Selain itu, senyawa ini dapat bertahan dipermukaan sel dan akan masuk ketika sel sudah mati. Aerolisin, GCAT (glycerophospholipid: cholesterol acyltransferase) dan satu serine protease merupakan tiga protein ekstraseluler yang erat kaitannya dengan patogenitas A. hydrophila (Hayes, 2000 dalam Hidayat, 2005; Angka, 2001). Pada ikan perlakuan B (0,5 g/kg) dan E (2,0 g/kg) sempat mengalami peradangan pasca penyuntikan bakteri A.hydrophila. Namun peradangan yang terjadi tidak terlalu besar. Keesokan harinya, radang tidak berkembang menjadi hemoragi namun menunjukkan kesembuhan pada bagian radang. Selain itu, hal ini juga terjadi pada perlakuan C (1,0 g/kg) dan D (1,5 g/kg) yang menunjukkan adanya luka berupa tukak, pada hari ke-6 pengamatan mulai menunjukkan kesembuhan (Gambar 19). Kesembuhan yang terjadi disebabkan oleh adanya peningkatan aktivitas antibodi dalam melawan serangan bakteri A.hydrophila sehingga bakteri yang 50 ada dalam tubuh ikan lele dumbo tidak mampu berkembang lebih lanjut. Peningkatan aktivitas sistem imun ini dirangsang oleh adanya bahan tambahan (imunostimulan) yang dihasilkan oleh G.verrucosa berupa senyawa polisakarida dan sumber komponen bioaktif yang mampu meningkatkan komponen sistem imun pada ikan dan meningkatkan proteksi terhadap infeksi bakteri (Castro et al., 2006; Winarno, 1996). Peningkatan sistem imun dengan menggunakan imunostimulan dapat dilihat dari aktivitas fagositik yang terjadi pada darah. Kesembuhan yang terjadi pasca penyuntikan A.hydrophila diduga akibat dari meningkatnya aktivitas sel fagosit dalam proses fagositosis bakteri yang terjadi dalam tubuh ikan lele dumbo. Peningkatan proses fagositosis ini membuktikan bahwa sistem imun ikan lele dumbo dengan penambahan ekstrak G.verrucosa berkembang dan bekerja dengan baik sehingga sel-sel bakteri mampu dijerat dan dihancurkan melalui proses tersebut (Tizard, 1988; Winton, 2001). Selain itu, penyembuhan ini juga terkait dengan peranan trombosit dan fibrinogen yang berperan dalam proses penggumpalan darah dan penutupan luka (Fujaya, 2002). 4.2.5 Organ Dalam Ikan Lele Dumbo Pengamatan organ dalam dilakukan pasca penyuntikan bakteri A.hydrophila yang menginfeksi ikan lele dumbo. Kematian secara akut, umumnya tidak didahului oleh timbulnya gejala klinis. Namun, langsung menyebabkan kematian secara masal dengan adanya kerusakan organ dalam. Bakteri A.hydrophila secara akut menyerang organ dalam ikan sehingga gejala klinis tidak muncul. Kerusakan organ dalam yang disebabkan oleh A.hydrophila terjadi pada hati, limpa dan saluran pencernaan (Suyanto, 1983). Pada perlakuan A (0 g/kg) kerusakan organ dalam terjadi sangat parah dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Gambar 20). Ginjal ikan lele dumbo nampak membesar dan berwarna merah tua. Hati berwarna merah pucat dengan empedu berubah warna menjadi hijau kekuning-kuningan. Perubahan juga terlihat pada saluran pencernaan. Lambung dan usus ikan lele dumbo nampak kosong dan berlendir. Rongga perut dipenuhi cairan putih (lendir). Kerusakan ini akibat dari adanya serangan bakteri A.hydrophila yang begitu cepat dan tidak diimbangi 51 dengan peningkatan sistem imun atau aktifitas fagositik oleh organ-organ tersebut. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya rangsangan berupa bahan imunostimulan yang mampu meningkatkan respon kekebalan tubuh (sistem imun). Sehingga bakteri yang ada terus berkembang pesat menyerang organ tersebut, aktivitas dari organ terganggu dan akhirnya menyebabkan kematian. Kerusakan organ yang terjadi pada perlakuan B (0,5 g/kg) tidak begitu besar (Gambar 21). Ginjal masih berwarna merah segar. Hal ini menandakan bahwa ginjal mampu mengadakan perlawanan terhadap serangan A.hydrophila. Ginjal merupakan organ yang berperan penting dalam pembentukan sistem imun. Pada ikan, bagian anterior ginjal merupakan bagian yang terpenting dalam formasi sel darah dan fungsi sistem imun. Suplai darah ke ginjal terjadi secara perlahan, melalui sistem katup ginjal (renal portal system) sampai terjadi pembentukan antigen (Shoemaker et al., 2001). Selain itu, proses ini menghasilkan konsentrasi melanomakrofag atau sel imun sebagai pusat dari pembentukan makrofag, limfosit dan plasma sel. Karena hal inilah ginjal ikan perlakuan B tidak menunjukkan perubahan warna dan bentuk. Diduga ginjal aktif memproduksi sel imun yang dapat menghancurkan atau melindungi dari serangan bakteri A.hydrophila. Aktivitas yang terjadi pada ginjal untuk meningkakan pembentukan sel imun dirangsang oleh adanya bahan imunostimulan dari ekstrak G.verrucosa. Hati ikan perlakuan B menunjukkan warna merah pucat dan empedu ikan tersebut menunjukkan warna hijau kekuningkuningan. Lambung dan usus ikan nampak kosong namun tidak berlendir (Gambar 21). Pada perlakuan C (1,0 g/kg) warna dan bentuk ginjal mengalami perubahan (Gambar 22 dan Tabel 4), yaitu menjadi merah tua dan ukuran membesar untuk ginjal serta merah pucat dan membesar untuk hati. Organ hati bertanggung jawab dalam produksi komponen fase akut protein (acute-phase proteins) contohnya Creactive protein, yang berperan penting dalam resistensi alami hewan (Shoemaker et al., 2001). Warna empedu berubah menjadi hijau kekuning-kuningan pada perlakuan C. Namun, pada saluran pencernaan hanya sedikit terjadi perubahan. Lambung ikan lele dumbo masih dalam keadaan penuh pakan. Sedikit kerusakan terjadi pada usus, pada organ ini tidak ditemukan pakan namun justru terjadi 52 pembengkakan. Diduga hal ini dapat terjadi karena serangan A.hydrophila menghambat kerja saluran pencernaan. Sehingga pakan yang masuk ke dalam tubuh tidak dapat dicerna di usus. Sedangkan organ reproduksi (gonad) tidak mengalami perubahan. Kerusakan organ yang terjadi pada perlakuan D (1,5 g/kg) umumnya sama dengan kerusakan yang terjadi pada perlakuan C. Perbedaannya dapat dilihat pada organ empedu dan lambung. Organ empedu berwarna hijau dan lambung ikan lele dumbo nampak kosong. Sedangkan organ gonad nampak normal. Terganggunya fungsi organ hati dan empedu setelah infeksi terjadi akibat meningkatnya kerja hati untuk mengumpulkan, mengubah, menimbun metabolik-metabolik dan menetralkan serta menghilangkan zat-zat toksin (Dharma, 1982). Hal ini membuktikan bahwa pasca penyuntikan bakteri terjadi kerusakan organ dalam hati dan empedu yang ditandai dengan adanya perubahan warna dan bentuk. Perubahan warna cairan empedu menjadi kuning atau hijau kekuningkuningan pada ikan lele dumbo diduga karena zat warna bilirubin, yaitu suatu pigmen empedu (Brown, 1987) dan biliverdin cepat dioksidasi menjadi urobilin (berwarna kuning) atau disebabkan oleh gangguan pada organ hati yang menghambat pembongkaran hemoglobin eritrosit menjadi hemin, Fe dan globin sehingga produksi hemin sebagai zat asal warna empedu menurun (Hafsah, 1994 dalam Abdulah, 2008). Kerusakan yang terjadi pada perlakuan E (2,0 g/kg) umumnya sama dengan kerusakan yang terjadi pada perlakuan lainnya. Ginjal berwarna merah tua, hati merah pucat dan empedu berwarna hijau. Saluran pencernaan berupa lambung penuh dengan pakan dan usus kosong. Organ gonad terjadi terlihat normal, yaitu berwarna putih. Kerusakan pada organ dalam terjadi akibat infeksi lokal (Stevenson, 1988), serangan bakteri menyebabkan adanya perubahan atau kerusakan dari kerja organ tersebut sehingga organ tersebut tidak bekerja pada batas yang normal. Terganggunya kerja organ berpengaruh terhadap fungsi dari organ tersebut. Organ dalam tidak dapat melakukan fungsinya dengan baik sehingga serangan bakteri mampu melumpuhkan (merusak) organ tersebut yang pada akhirnya menyebabkan kematian ikan lele dumbo. 53 4.2.6 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup (Gambar 25) tertinggi terdapat pada perlakuan C (1,0 g/kg) dan D (1,5 g/kg) sedangkan tingkat kelangsungan hidup terendah terdapat pada perlakuan A (0 g/kg). Pengamatan tingkat kelangsungan hidup (SR) dilakukan selama 7 hari pasca penyuntikan bakteri A.hydrophila. Nilai SR berhubungan dengan serangan bakteri A.hydrophila yang mampu menginfeksi ikan lele dumbo selama perlakuan (kemampuan bakteri untuk menyebabkan kematian ikan). Nilai SR yang tinggi pada perlakuan C dan D, yaitu sebesar 93,33% menunjukkan bahwa ikan mampu melakukan perlawanan terhadap serangan bakteri A.hydrophila. Menurut Bratawidjaja (2006) imunostimulan adalah suatu bahan yang dapat meningkatkan kekebalan organisme terhadap infeksi patogen, dengan meningkatkan mekanisme respon imun non spesifik seperti sistem fagositik. Dalam hal ini ekstrak G.verrucosa dimanfaatkan sebagai bahan imunostimulan yang berperan dalam sistem imun ikan lele dumbo (Anggadiredja et al., 2006; Zatnika, 1988; Guangce W, 2002; Widiastuti, 2001). Dalam ekstrak G.verrucosa terdapat komponen agar dan karaginan yang di dalamnya mengandung senyawa polisakarida yang dibentuk oleh gula netral dan gula asam yang dapat dimanfaatkan sebagai imunostimulan (Anggadiredja, 2006). Tingkat kelangsungan hidup ikan yang tinggi pada perlakuan C dan D disebabkan oleh pemanfaatan bahan imunostimulan yang baik (optimal) dalam tubuh ikan lele dumbo. Sehingga proses biologis meningkat seiring dengan peningkatan sistem imun terhadap infeksi bakteri sehingga kematian ikan dapat ditekan karena terjadi perlawanan terhadap infeksi bakteri. Selain berperan dalam peningkatan sistem imun, rumput laut G.verrucosa juga berperan dalam metabolisme dan aktivitas biologis karena memiliki komponen bioaktif (Winarno, 1996). Dengan kata lain, bahan imunostimulan dari ekstrak G.verrucosa mampu memperbaiki metabolisme dan aktivitas biologis pada ikan lele dumbo. Perlakuan A (0 g/kg) menunjukkan nilai SR yang rendah dibandingkan dengan perlakuan B, C, D dan E. Perlakuan A merupakan perlakuan tanpa penambahan bahan imunostimulan (ekstrak G.verrucosa). Dari fenomena ini dapat dibuktikan bahwa penambahan bahan imunostimulan dapat memberikan 54 atau meningkatkan kekebalan tubuh terhadap infeksi bakteri. Selain itu, SR perlakuan tanpa penambahan bahan imunostimulan yang rendah dapat membuktikan bahwa tidak terjadi proses metabolisme dan aktivitas biologi yang baik dalam tubuh ikan lele dumbo sehingga serangan bakteri penyebab kematian tidak dapat ditekan. 4.2.7 Kualitas Air Kualitas air dapat mempengaruhi ketahanan tubuh ikan dan tumbuh atau tidaknya suatu penyakit (Taufik, 1984). Kualitas air juga merupakan suatu komponen yang berperan dalam penyebab stres pada ikan. Kondisi lingkungan yang tidak sesuai dengan kebutuhan ikan uji dapat menyebabkan stres yang akan mempermudah serangan (perkembangan) bakteri A.hydrophila (Plump, 2001). Kisaran suhu yang diukur pada penelitian ini berkisar antara 28 – 30 °C. kisaran ini masih termasuk dalam kisaran optimum bagi pemeliharaan ikan lele dumbo, yaitu antara 25 – 30 °C (Soetomo, 1989). Menurut Nabib dan Pasaribu (1989) perubahan suhu akan mempengaruhi mekanisme pertahanan dan pembentukan antibodi, dapat menyebabkan stres pada ikan yang akan mempengaruhi kesehatan ikan. Suhu berperan dalam pertumbuhan ikan, semakin rendah suhu maka metabolisme semakin rendah sehingga berdampak pada rendahnya pertumbuhan ikan (Suyanto, 1995). Kandungan oksigen terlarut yang diukur selama penelitian menunjukkan kisaran 5,2 – 6,9 mg/l. Kisaran ini masih dapat ditolerir karena masih dalam batas yang optimum. Menurut Taufik (1984) kadar oksigen yang optimum bagi pemeliharaan harus berada pada kisaran 6,5 - 12,5 mg/l. Kisaran pH yang terukur selama penelitian berkisar antara 5,42 – 6,89. Kisaran pH optimum bagi pemeliharaan ikan lele dumbo adalah 5 – 9 (Najiyati, 2002). Terbukti bahwa nilai pH selama penelitian masih berada pada kisaran optimum bagi ikan lele dumbo. Kandungan amoniak nitrogen selama penelitian berkisar antara 0,22 – 0,57 mg/l. Kisaran ini dinilai masih berada pada kisaran optimum bagi kelangsungan hidup ikan lele dumbo. Konsentrasi amoniak antara 1,2 – 2 ppm dapat menyebabkan kematian pada ikan. Boyd (1982) menyatakan proporsi amoniak total akan meningkat dengan meningkatnya suhu dan pH. 55