ANALISIS WACANA ISU GENDER DALAM FILM “7 HATI 7 CINTA 7

advertisement
ANALISIS WACANA ISU GENDER DALAM FILM
“7 HATI 7 CINTA 7 WANITA” KARYA ROBBY ERTANTO
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Dakwah Dan Ilmu Komunikasi
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Disusun Oleh:
ASTUTI
NIM : 1110051000150
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H./2015 M.
ANALISIS WACANA ISU GENDER DALAM FILM *7 HATI 7 CINTA 7
WAMTA" KARYA ROBBY ERTANTO
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah Dan Ilmu Komunikasi
Untuk Memenuhi Persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh:
ASTUTI
NIM : 1110051000150
bimbingarr,
Dra. Rini
199s032003
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PEI.IYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMIINIKASI
UNTVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF IIIDAYATULLAH
JAKARTA
1436H.t2015 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul ANALISIS WACANA ISU GENDER DALAM FILM 7
IIATI 7 CINTA 7 WANITA KARYA ROBBY ERTANTO telah diujikan dalam
sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
IIIN
Syarif
Hidayatullah Jakarta pada Rabu, 24 Jvrr_ 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat mernperoleh gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I) pada
Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam.
Jakartq 24 Jvni20l5
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota
Sekretaris Merangkap Anggota
MA
Saprudin..S.Pd
NIP. 195809101 98703200r
NIP. 19680609199108 1 001
Anggot4
Penguji
19700903 199603 I 001
NIP.197108
7199s032003
II
LEMBAR PERNIYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa
1.
:
Skripsi ini merupakan hasil karya asli -vang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar saska 1 (S.Kom.I) di
IIIN Syarif
Hidayatullah lakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3.
Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan jiplakan dari orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
91p,pta1 t_o !9n1JQts
ABSTRAK
ASTUTI. 111005100150. ANALISIS WACANA ISU GENDER DALAM
FILM “7 HATI 7 CINTA 7 WANITA” KARYA ROBBY ERTANTO. Di
bawah bimbingan: Dra. Rini Laili Prihatini, M.Si.
Film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” merupakan film yang bergendre drama,
dengan tema perempuan. Film ini menarik untuk diteliti, karena telah mengangkat
realitas permasalahan kehidupan perempuan Indonesia, yang tentu saja
didalamnya terdapat masukan ideologi dan konstruksi yang dibuat oleh penulis
skenario tersebut. Film ini juga memiliki tujuh cerita berbeda, yang masingmasing berdiri sendiri dengan latar belakang budaya, kelas sosial, dan karakter
tokoh yang beragam.
Teori analisis wacana yang dikembangkan oleh Teun A van Djik. Analisis
wacana dimensi teks, kognisi sosial dan juga konteks sosial. Dimensi teks
merupakan susunan struktur teks yang terdapat dalam teks. Kognisi sosial
merupakan pandangan, pemahaman serta kesadaran mental pembuat teks yang
membentuk teks, sedangkan konteks sosial merupakan pengetahuan mengenai
situasi yang berkembang di masyarakat yang berkenaan atas suatu wacana .
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan desain
pendekatan deskriptif. Metode penelitian yang digunakan adalah teori analisis
wacana yang dikembangkan oleh Teun A. Van Djik. Tujuan dari penelitian ini
adalah a. Untuk mengetahui bangunan wacana Teks dalam film tresebut, b. Untuk
mengetahui Kognisi sosial yang melatarbelakangi penulisan skenario film
tersebut, c. untuk mengetahui kognisi sosial menurut wacana yang berkembang
tentang isu gender.
Hasil penelitian menunjukan bahwa secara umum pembuatan film “7 Hati
7 Cinta 7 Wanita” menyampaikan pesannya mengenai permasalahan yang
menimpa sebagian besar perempuan di Indonesia. Ketidakadilan gender dalam
film tersebut dikaitan diantaranya dengan permasalahan tentang hak-hak
perempuan, kesehatan reproduksi perempuan dan kekerasaan terhadap
perempuan.
Kata kunci: Analisis Wacana, Isu Gender: Kekerasaan Terhadap
Perempuan, Hak-hak Perempauan, Kesehatan Reproduksi Perempuan,
Struktur Teks.
i
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat, taufik, hidayah dan inayah-Nya bagi kita semua, Shalawat
teriring salam semoga sesantiasa tercurah kepada junjungan baginda Nabi Besar
Muhammad SAW.
Syukur Alhamdulillah akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Analisis Wacana Isu Gender dalam Film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”
Karya Robby Ertanto. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi persyaratan
memperoleh gelar S1 di Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis secara khusus ingin mengucapkan terima kasih kepada kedua
orang tua penulis, yaitu ibunda Jamilah dan ayahanda Asip Ali yang telah
memberikan semangat dan kasih sayang yang tak kunjung henti. Semoga mereka
selalu diberkahi dan dalam lindungan Allah SWT.
Selama masa penelitian, penyusunan, dan penulisan skripsi ini penulis
mendapat banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Bapak Dr. H. Arief
Subhan, MA, Wakil Dekan I Bidang Akademik Bapak H Suparto, M.Ed,
Ph.d, Wakil Dekan II Bidang Administrasi Umum, Ibu Dr. Hj.
ii
Roudhonah, MA. Serta Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Bapak Dr.
Suhaimi M.
2. Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Bapak Rachmat
Baihaky, MA, yang selalu bersedia membantu penulisan memberikan
informasi serta waktunya kepada penulis untuk berkonsultasi mengenai
kegiatan kuliah.
3. Sekertaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran
Islam,
Ibu Fita
Fathurakhmah M.Si. yang telah banyak membantu penulis dalam
kelancaran kuliah dan penulisan skripsi ini.
4.
Dra. Rini Laili Prihatini, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing, mengarahkan, dan menyemangati penulis dengan sabar
untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Terimakasih banyak
atas semuanya.
5.
Seluruh dosen pengajar dan staf akademik Fakultas Ilmu Dakwah dan
Ilmu Komunikasi. Terima kasih atas ilmu-ilmu yang telah diberikan.
6.
Pimpinan dan karyawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
yang telah menyediakan buku dan fasilitas untuk mendapatkan referensi
dan memperkaya isi skripsi ini.
7.
Dosen pembimbing akademik Bapak Azwar Chatib yang telah banyak
membantu membantu penulis dalam kelancaran kuliah dan penulisan
skripsi ini.
8.
Ibu Jajang C. Noer selaku narasumber yang juga telah membantu penulis
dalam melengkapi skripsi ini.
iii
9.
Seluruh keluarga besar ayahanda Asip Ali dan ibunda Jamilah yang tak
pernah putus kasih sayangnya untukku
10. Kakak tercinta Jen Anwar, S.Sos, kakak iparku Aisha Miadinar, S. Sains,
serta adikku Mauliddiah Sopiana, yang telah menyemangati dengan
ikhlas kepada penulis.
11. Hilman Wijaya, yang telah mendukung dan menghargai penulis serta
tidak pernah bosan menyemangati penulis dalam menghadapi tantangan
dalam penulisan skripsi ini.
12. Sahabat-sahabat tercinta : Mariana, Aulia, Firda, Lela, Sisi, Zahra, Zaida,
Naziah, Binti, Syifa, Fauziah, dan Fadly, serta teman-teman Bahasa SMA
N 111 Jakarta, Terimakasih sudah mewarnai kehidupan penulis dengan
canda dan tawa disepanjang kehidupan ini.
13. Sahabat seperjuangan keluarga besar KPI E 2010 Hilyatul Aulia, Nurlela,
Zaidatul Chairani, Zahrotunisa, Firda Apriyani, Naziah, Siti Sudusiah,
Muhammad Iman, Robi Hakiardy, Taufik Nurrahman, Ahmad Fadhilah
Rosyadi, Asep Syahroni, Tanto Fadly, Azan Leonardo, Andi Riski, Malik
Saefudin, Ahmad Fadly, Ababil. Terimakasih atas keramahtamahan
selama menjadi sahabat yang luar biasa hebatnya bagi penulis.
14. Teman-teman KKN Ceria 46 yang telah memberikan pengalaman tak
terlupakan. Semoga persahabatan dan tali silaturahmi bisa kita jalin.
Akhirnya hanya rasa syukur, ucapan terimakasih, dan permohonan maaf
yang dapat penulis sampaikan jika selama ini banyak terjadi kesalahan
iv
serta kekhilafan yang pernah penulis lakukan. Semoga skripsi ini bisa
bermanfaat bagi semua pihak tanpa terkecuali.
Jakarta 17 Juni 2015
penulis
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ......................................................................................................
i
KATA PENGANTAR ....................................................................................
ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................
vi
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………… ..
ix
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...........................................................
1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................
8
D. Tinjauan Pustaka ......................................................................
9
E. Sistematika Penulisan ..............................................................
11
LANDASAN TEORI
A. Wacana Isu Gender ..................................................................
13
1. Pengertian Gender ..............................................................
13
2. Latar Belakang Munculnya Wacana Gender .....................
15
3. Isu Gender Dalam Islam.....................................................
17
4. Faktor Penyebab Ketimpangan Gender .............................
20
B. Media dan Gender ...................................................................
27
C. Wacana Film ...........................................................................
32
1. Pengertian Film ..................................................................
32
2. Unsur-Unsur dan Jenis-Jenis Film......................................
35
D. Perkembangan Fim di Indonesia ..............................................
39
1. Awal Hadirnya Film di Indonesia .....................................
39
2. Perkembangan Film di Indonesia setelah berdirinya
NKRI ..................................................................................
41
E. Konsep Wacana ........................................................................
44
1. Teori Wacana .....................................................................
44
2. Kerangka Analisis Wacana Teun A. Van Dijk ..................
48
vi
BAB III
BAB IV
BAB V
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian ..................................................................
61
B. Jenis Penelitian .......................................................................
66
C. Subjek dan Objek Penelitian ..................................................
66
D. Teknik Pengumpulan Data .....................................................
67
E. Triangulasi .............................................................................
70
F. Teknik Analisis Data .............................................................
71
G. Teknik Penulisan ...................................................................
72
GAMBARAN UMUM DAN ANALISIS DATA
A. Gambaran film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” ...............................
73
B. Skenario “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” .......................................
77
C. Kognisi Sosial Film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” .......................
79
D. Konteks SosialFilm “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” .......................
115
PENUTUP
A. Kesimpulan ..............................................................................
119
B. Saran .........................................................................................
120
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1
..................................................................................................
48
Tabel 2.2
..................................................................................................
50
Tabel 4.1
..................................................................................................
82
Tabel 4.2
..................................................................................................
83
Tabel 4.3
..................................................................................................
87
Tabel 4.4
..................................................................................................
88
Tabel 4.5
..................................................................................................
89
Tabel 4.6
..................................................................................................
93
Tabel 4.7
………………………………………………………………..
95
Tabel 4.8
………………………………………………………………...
97
Tabel 4.9
………………………………………………………………...
99
Tabel 4.10
………………………………………………………………… 100
Tabel 4. 11
………………………………………………………………… 101
Tabel 4.12
………………………………………………………………… 103
Tabel 4.13
………………………………………………………………… 107
Tabel 4.14
………………………………………………………………… 109
viii
TABEL GAMBAR
Gambar
4.1-4.3............................................................................................
82
Gambar
4.4- 4.5...........................................................................................
83
Gambar
4.6 ..................................................................................................
105
Gambar
4.7- 4.8...........................................................................................
106
Gambar
4.9 ..................................................................................................
107
Gambar
4.10- 4.11.......................................................................................
109
Gambar
4.12- 4.13.......................................................................................
110
Gambar
4.14- 4.17.......................................................................................
111
Gambar
4. 18- 4.20......................................................................................
112
ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Komunikasi massa merupakan penyampaian pesan serentak. Salah
satu penyampaiannya melalui film.1 Film merupakan media massa yang cukup
efektif dalam menyampaikan pesan, daripada komunikasi massa yang lainnya.
Oleh karena itu, film adalah media komunikasi yang ampuh, bukan saja untuk
hiburan, tetapi juga untuk penerangan pendidikan (edukatif) secara penuh
(media yang komplit).2
Sebuah film tidak akan lepas dengan unsur sinematik dan narasi.
Aspek cerita dan tema sebuah film terdapat didalam narasi. Cerita dikemas
dalam bentuk skenario, yang akan mengarahkan jalan cerita film. Didalam
skenario kita dapat melihat unsur-unsur seperti tokoh, masalah, konflik,
lokasi, dan waktu. Seluruh unsur-unsur tersebut membentuk sebuah jalinan
peristiwa terikat oleh sebuah aturan yaitu hukum kausalitas.3
Sebagaimana diketahui, film merupakan salah satu media komunikasi
massa.4Diantara beberapa media yang banyak diminati oleh masyarakat adalah
film. Oleh karena itu, film bisa memadukan dua unsur yaitu suara dan gambar.
1
Elvinato Ardianto, Komunikasi Massa Suatu Pengantar. (Bandung: Simbiosa Rekatama
Media, 2004), h.35.
2
Onong Uchjana Effendy, Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi. (Bandung: Citra Aditia
Bakti, 2003), h.206-207.
3
Himawan Pratista, Memahami Film, (Yogyakarta, Homerian Pustaka, 2008), h.2.
4
Adi Pranajaya, Film dan Masyarakat sebuah Pengantar,(Jakarta: BP SDM Citra Pusat
Perfilman Haji Umar Ismail, 1999). h.11.
1
2
Selain itu film juga merupakan salah satu dari hasil kebudayaan yang
kehadirannya saat ini akrab dengan keseharian manusia.5
Film dianggap sebagai media komunikasi yang ampuh terhadap massa
yang menjadi sasarannya. Film bersifat audio visual yaitu gambar dan suara
yang hidup. Melalui gambar dan suara, film mampu menceritakan banyak hal
dalam waktu singkat. Ketika penonton menonton film tersebut seakan-akan
menembus ruang dan waktu yang dapat menceritakan kehidupan dan bahkan
dapat memengaruhi audiens.
Film sama dengan media aristik lainnya memiliki sifat-sifat dari
media lainnya yang terjalin dalam susunan yang beragam. Film memiliki
kesanggupan untuk memainkan ruang dan waktu, mengembangkan dan
mempersingkatnya, menggerak memajukan dan memundurkan secara bebas
dalam batasan-batasan wilayah yang cukup lapang. Meski antara media film
dan lainnya terdapat kesamaan-kesamaan, film adalah sesuatu yang unik.6
Kehadiran keberagaman media komunikasi adalah salah satu yang
dapat dimanfaatkan oleh umat islam sebagai sarana peningkatan iman dan
takwa, media komunikasi juga dapat digunakan untuk penyampaian pesan
moral baik yang terkandung dalam islam maupun yang hanya disepakati oleh
masyarakat. Oleh karena itu, praktis dakwah dituntut untuk bisa berinovasi
5
Mustafa Mansur, Jalan Dakwah,(Jakarta: Pustaka Ilmiah,1994). h.26.
Adi Pranajaya, Film dan Masyarakat sebuah Pengantar,(Jakarta: BP SDM Citra Pusat
Perfilman Haji Umar Ismail, 1999). h.6.
6
3
melalui media alternatif dalam menyampaikan nilai moral kepada masyarakat
dan kebenaran islam.7
Menurut penulis perkembangan media massa di era globalisasi ini
berdampak pula bagi peran gender dalam fakta sosialnya. Konsep gender
dalam hal ini merupakan semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat
perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda
dari satu tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas
yang lainnya. Gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum
perempuan dan laki-laki yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural.
Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak
melahirkan ketidakadilan gender. Namun, pada kenyataannya perbedaan
gender
tersebut
telah
melahirkan
berbagai
persoalan
menyangkut
ketidakadilan baik bagi kaum laki-laki dan terutama terhadap kaum
perempuan (seringkali perempuan yang dirugikan).
Gender dan media massa memang berkaitan erat antara satu dan yang
lainnya. Sekarang ini, media massa secara tidak langsung telah memberikan
“suguhan” yang sebenarnya bias gender. Bagaimana tidak? kaum perempuan
seringkali dijadikan sebagai objek. Ironisnya, kaum perempuan yang menjadi
objek dalam media massa tersebut sering tidak sadar jika sedang menjadi
bahan eksploitasi dari pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan
sebanyak-banyaknya.
Perbincangan masalah gender seringkali menimbulkan suasana yang
“kurang nyaman” bahkan kontrotafif, baik dalam forum perempuan saja
7
Sean Mac Bried, Komunikasi dan Masyarakat Sekarang dan Massa Depan, Aneka Suara
Satu Dunia, (Jakarta: PN Balai Pustaka Unesco,1983). h.120
4
maupun forum yang melibatkan laki-laki dan perempuan. Hal ini karena
gender dianggap sebagai suatu yang barat-sentris. Bahkan seringkali terjadi
kerancuan pandangan tentang konsep seks dan gender, baik laki-laki maupun
perempuan itu sendiri. Gender identik dengan perempuan, karena itu persoalan
gender juga adalah persoalan perempuan. Padahal sebenarnya, persoalan
gender adalah problem bersama laki-laki dan perempuan, karena menyangkut
peran, fungsi dan relasi antara laki-laki dan perempuan, baik kehidupan ranah
domestik maupun publik.8
Gender sebagai persoalan sosial budaya, lebih berbicara mengenai
ketimpangan, yakni masalah ketimpangan antara hak dan kewajiban. Hal ini
bisa menjadi persoalan karena ada ketimpangan yang kadang-kadang berasal
dari
kategori
superioritas
(laki-laki)
dan
inferioritas
(perempuan).
Ketimpangan hak dan kewajiban dianggap menjadi persoalan, karena
merugikan pihak-pihak tertentu. Ketimpangan hak dan kewajiban terkait
dengan masalah sosial, bisa berupa bentuk-bentuk ketidakadilan yang harus
dihilangkan dan diupayakan adanya keadilan (equality) dan
kesetaraan
(equity).9
Kekerasan terhadap perempuan adalah bentuk dari ketidakadilan
gender.Fenomena ini merupakan akibat lebih lanjut dari stereotype masyarakat
terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan terjadi dimana-mana. Di
Indonesia kekerasan terhadap perempuan menunjukan peningkatan cukup
berarti. Laporan Komnas perempuan dalam Catatan Tahunan tentang
Kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2001 ada 3.169, pada tahun 2012
8
Umi Sumbulah,Spektrum Gender, (UIN-Malang Press, 2008), h.4
Heddy Shri Ahimsa, Berbagai Pendekatan, (Yogyakarta: Kepel Press, 2009), h.23
9
5
ada 216.156 dan tahun 2013 ada 279.688. Kekerasan tersebut mencakup fisik,
psikis, ekonomi dan seksual. Konteks kekerasan seksual, selama 12 tahun
(2001-2012 ), sedikitnya ada 35 perempuan korban kekerasan seksual setiap
hari. Tahun 2012 tercatat 4.336 kasus kekerasan seksual, 2.920 diantaranya
terjadi di ruang publik/komunitas. Mayoritas kekerasan seksual muncul dalam
bentuk pemerkosaan dan pencabulan. Korban meliputi semua umur, dari balita
hingga manula, rata-rata usia antara 13-18 tahun.10
Kekerasaan terhadap perempuan yang terjadi bisa secara verbal dan
non verbal. Kekerasaan secara non verbal salah satunya bisa ditemui dalam
karya-karya seni diantaranya film. Film sangat rentan cerjadi cerita tentang
kekerasaan terhadap perempuan.
Film yang bertemakan perempuan diantaranya: Film “Pasir Berbisik”
karya Nan T. Achnas, Film “Eliana-Eliana” Karya Riri Riza, Film “Ca Bau
Kan” dan “Berbagai Suami” Karya Nia Dinata, dan juga Film “Marsinah”
karya Slamet Rahardjo. Dari beberapa film yang bertemakan perempuan, Film
“7 Hati 7 Cinta 7 wanita” yang di liris pada tahun 2010 yang disutradarai oleh
Robby Ertanto Soediskam dan dibintangi oleh Maecella Zalianty dan Jajang
C. Noer serta dibintangi oleh artis ternama lainnya, menarik perhatian penulis
untuk menganalisa secara mendalam, karena 7 kisah wanita yang berbeda.
Film “7 Hati 7 Cinta 7 wanita” adalah film yang ditulis dengan pesan
yang jelas tentang perempuan yang tidak layak diangkat oleh media massa
kebanyakan, karena mungkin ironis kisahnya. Hal-hal tentang perempuan
yang dianggap penting oleh media massa kebanyakan adalah sebatas urusan
10
Kekerasaan Seksual Terhadap Perempuan Perspektif Islam: KH. Husein Muhammad,
http://www.komnasperempuan.or.id/2014/11. Diakses pada tanggal 17 Maret 2015 pada pukul
13.24
6
rambut, memutihkan kulit, dan menurunkan berat badan. Padalah persoalan
perempuan tidak hanya itu masih banyak dan sangat kompleks yang justru
sebenarnya harus diketahui dan mencari solusinya bersama.
Film “7 Hati 7 Cinta 7 wanita”, tampak bahwa potret perempuan di
Indonesia digambarkan dengan sosoknya yang lemah dan tertindas. Persoalan
perempuan dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 wanita” memaparkan secara selintas
tentang gambaran masalah perempuan yang terjadi di masyarakat, seperti
masalah kesehatan reproduksi perempuan, kekerasaan terhadap perempuan,
pekerja seks komersial, serta masalah hak-hak perempuan.
Cerita dalam film 7 Hati 7 Cinta 7 wanita berporos di Rumah Sakit
Fatmawati, bercerita tentang seorang dokter yang bernama Dokter Kartini,
spesialis dokter kandungan dengan pasien-pasiennya yang tentu saja
perempuan. Terdapat Yanti, seorang wanita tuna susila yang selalu riang. Rara
siswi SMP, adik dari Ratna, yang telat dua minggu dari hasil berhubungan
badan dengan Acin yang masih menjadi siswa SMA. Ratna adalah seorang
penjahit yang sholehah dan taat kepada suaminya, namun Ratna menajdi
korban poligami. Lili, yang selalu disiksa dan dipukuli setiap kali
berhubungan dengan suaminya. Lastri, perempuan yang memiliki masalah
dengan berat badan sehingga membuatnya susah hamil. Ningsih seorang
wanita karier yang sukses namun bersikap diktaktor pada suaminya.
Perempuan selanjutnya adalah dokter Rohana yaitu dokter baru spesialis
kandungan.
Film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” ini penulis akan mengupas berbagai
masalah yang berkaitan erat dengan perempuan. Film ini menceritakan tentang
realita kaum urban yang sering menjadi korban dan mendukung adanya
7
konsep Patriarki, konsep yang mengacu pada satu kondisi bahwa segala
sesuatu diterima secara fundamental dan universal sebagai dominasi kaum
laki-laki. Untuk memahami bagaimana perbedaan gender yang telah
melahirkan ketidakadilan gender terutama terhadap perempuan yang ada
dimasyarakat. Hal tersebut seperti adanya bentuk-bentuk stereotip feminitas,
marginalisasi, dan subordinasi perempuan, beban kerja perempuan yang yang
lebih berat, serta kekerasan dan pelecehan seksual.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian lebih dalam mengenai isu gender yang terdapat dalam
film“7 Hati 7 Cinta 7 wanita” karya Robby Ertanto. Untuk membahas
permasalahan di atas maka penulis mengangkatnya ke dalam bentuk skripsi
dan memberi judul:
“Analisis Wacana Isu Gender dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7 wanita
karya Robby Ertanto”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah penulisan dalam skripsi ini, maka perlu bagi
penulis untuk membatasi ruang lingkup dari permasalahan yang akan
dibahas pada kajian ini.
a. Analisis Wacana Teun A. Van Djik, yang mempunyai kategori
yaitu Dilihat secara teks,
b. Analisis wacana Teun A. Van Djik kognisi sosial, melihat dari
isi teks yang dapat menekankan pada isi dalam skenario film
8
tersebut, kemudian melihat dari kognisi sosial meneliti dan
memahami bagaimana bentuk hasil peristiwa isu gender yang
terjadi dalam film 7 Hati 7 cinta 7 Wanita
c.
Analisis wacana Teun A. Van Djik konteks sosial yang
menunjukkan bahwa proses film tersebut diproduksi dan
menggambarkan nilai-nilai masyarakat dan dijadikan objek oleh
penulis skenario dalam membuat film ini.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah tersebut, penulis merumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah wacana isu gender dalam film “7 Hati 7 cinta 7
Wanita” dilihat dari teks?
2. Bagaimanakah wacana isu gender dalam film ” 7 Hati 7 cinta 7
Wanita” dilihat dari kognisi sosial?
3. Bagaimanakah wacana isu gender dalam film ” 7 Hati 7 cinta 7
Wanita” dilihat dari konteks sosial?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dengan mengacu kepada permasalahan sebagaimana penulis
rumuskan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah
untuk memberikan kejelasan tentang wacana film 7 Hati 7 cinta 7 Wanita.
9
a. Untuk
mengetahui bangunan wacana teks film 7 Hati 7 cinta 7
Wanita.
b. Untuk mengetahui kognisi sosial yang melatarbelakangi penulis
skenario dalam membuat naskah film film 7 Hati 7 cinta 7 Wanita
c. Untuk mengetahui konteks sosial menurut wacana yang berkembang
2. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan untuk:
a. Untuk
pengembangan
teori
komunikasi,
gender
dan
media,
komunikasi media massa, dan pembelajaran komunikasi interpersonal.
b. Melalui mengkajian permasalahan film yang terkait dengan gender,
maka
diharapkan
pengembangan
kurikulum
jurusan
memuat
pembelajaran mengenai gender dan media.
c. Sutradara khususnya Production House (PH) dalam membuat script
diharapkan harus seimbang dengan teori dan realitas yang ada.
D. Tinjauan Pustaka
Sebelum peneliti penyusun skripsi ini lebih lanjut, maka terlebih
dahulu Penulis menggunakan beberapa rujukan skripsi terdahulu dalam
mendapatkan informasi tentang hal yang berkaitan dengan skripsi yang sedang
ditulis, hal tersebut bertujuan agar tidak adanya kesalahan dalam mengolah
data dan menganalisisnya.
10
Beberapa judul penelitian yang terdahulu, diantaranya:
1. “Analisis Wacana Pesan Moral dalam Film Naga Bonar Karya Asrul
Sanioleh saudara Sukasih Nur tahun 2008”. Perbedaan skripsi ini
terletak pada objek penelitiannya. Kelebihannya yaitu skripsi ini
mengandung pesan-pesan moral yang terdapat dalam film tersebut dan
juga lebih menekankan pada karakteristik berbangsa dan bernegara,
dimana tokoh utamanya yang rela berkorban, berjuang demi
bangsanya. Kekurangan dalam skripsi ini grafis nya kurang
ditonjolkan sehingga pembaca kurang mengetahui bagian mana saja
yang memiliki grafis sesuai dengan tema.
2. “Analisis Wacana Film Titian Serabut Dibelah Tujuh Karya Chaerul
Umam, Zakka Abdul Malik Syam 2010”. Perbedaan skripsi ini
terletak pada objek penelitiannya. Kelebihannya yaitu skripsi ini
menekankan pada tema besar yakni tentang keikhlasan, kesabaran dan
perjungan. Kelemahanya skripsi ini tidak menggunakan scene gambar.
3. “Analisis Wacana Teun A. Van Dijk Terhadap Skenario Film
“Perempuan Punya Cerita, Haiatul Umam 2009”. Perbedaan skripsi
ini terletak pada subjek penelitiannya. Kelebihan pada skripsi ini yaitu
membahas tentang bias gender yang terdapat dalam film tersebut.
Kekurangan skripsi ini yaitu Penelitian ini hanya meneliti skenario
teks dalam film tersebut.
4. “Analisis Wacana Dakwah dalam Film Ayat-Ayat Cinta oleh Zeid
Nuh tahun 2008”. Perbedaan skripsi ini terletak pada objek
11
penelitiannya. Kelebihannya yaitu skripsi ini memfokuskan pada teks
yang mengandung nilai-nilai dakwah yang terdapat dalam film
tersebut.Kekurangan skripsi ini yaitu kurangnya kelengkapan gambar
yang dimunculkan dalam tabel.
5. “Analisis Wacana Pemberitaan film FITNA karya Geert Wilders di
Harian Umum Republika (Edisi 29-4 April 2008), karya Sofwan
Tamami tahun 2004. Skripsi ini berbeda karena skripsi ini meneliti
pemberitaan flm Fitnakarya Geert Wilders. Kelebihan skripsi ini lebih
menekankan pada wacan berita pada media cetak, sehingga skripsi ini
berbeda subjeknya dan objeknya. Kekurangan nya yaitu skripsi ini
tidak menggunakan grafis, dan gambar/metafora.
Penelitian mengambil judul Analisis Wacana Isu Gender dalam Film
“7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” Karya Robby Ertanto, berdasarkan kajian diatas
yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah objek
yang berbeda, meskipun sama- sama menggunakan analisis wacana namun
skripsi ini dalam melakukan analisisnya berdasarkan pada perspektif gender.
E. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika pembahasan skripsi ini terdiri dari lima bab yang
terdiri dari beberapa sub bab. Secara sistematis bab-bab tersebut adalah
sebagai berikut:
BAB I
: Diawali dengan pendahuluan yang menjadi alasan diangkatnya
penelitian ini. Bagian ini terdiri dari latar belakang masalah,
12
pembatasan
masalah
dan
perumusan
masalah,
manfaat
penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.
BAB II
: Pengertian Isu Gender, Media dan Gender, Wacana Film,
Analisis Wacana Teun A. Van Dijk.
BAB III
: Metodelogi Penelitian.
BAB IV
: Merupakan inti persoalan yang diangkat dalam skripsi ini, yaitu
gambaran mengenai Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita, berupaya
menerangkan temuan dan analisis wacana yang dibangun dalam
film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita dan korelasinya dengan konteks
teks film, kognisi sosial, konteks sosial dalam film 7 Hati 7
Cinta 7 Wanita.
BAB V
: Merupakan akhir atau penutup daripenulisan skripsi ini, berisi
kesimpulan dan saran-saran. Pada bagian penutup ini merupakan
jawaban terhadap beberapa pertanyaan yang termuat dalam
rumusan
masalah.
Lampiran-lampiran.
Berisikan
naskah
wawancara, dokumentasigambar dalam film 7 Hati 7 Cinta 7
Wanita, foto-foto pembuatan film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita dan
lain-lainnya.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Wacana Isu Gender
1. Pengertian Gender
Kata gender berasal dari bahasa latin “genus” yang artinya “jenis”.
Dalam Webster’s New World Dictionary, istilah gender diartikan sebagai
perbedan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi
nilai dan tingkah laku. Sementara dalam buku Women’s Studies
Encyclopedia, gender dimaknai sebagai konsep kultural yang berupaya
membuat pembedaan dalam konteks peran, perilaku, mentalitas, dan
karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang
di masyarakat. Secara istilah, gender berbeda dengan sex atau jenis
kelamin yang merujuk kepada perbedaan antara laki-laki dan perempuan
secara biogolis (kodrat). Lain dengan gender, yang lebih dimaknai sebagai
jenis kelamin dari sudut pandang sosial (intervensi sosial kultural), serta
seperangkat peran tentang seperti apa yang seharusnya dilakukan
perempuan dan laki-laki.1
Seks dan gender sebenarnya memiliki perbedaan makna yang
signifikan. Barbara Reskin dan Irene Padavic (1994:2-3) menjelaskan
bahwa seks merupakan pembedaan dua jenis kelamin secara biologis.
Perbedaan ini tergantung pada kromosom dan diekspresikan dalam alat
1
Mansour Fakih, Posisi Perempuan Dalam Islam, Tinjauan Analisis Gender Dalam
Membicangkan Feminism; Diskursus Gender Prespektif Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1996)
13
14
kelamin, alat-alat reproduktif internal, dan hormon. Perbedaan seks ini
sudah mulai sejak lahir. Di masyarakat mana pun, setiap bayi yang
dilahirkan pasti diasosiasikan hanya pada salah satu dari dua macam jenis
kelamin, dan hanya berdasarkan pada satu indikator yaitu genital.
Perbedaan seks itu permanen, atau dalam konteks teologis disebut dengan
kodrat yang sudah ditentukan Tuhan.2
Sementara itu gender memiliki pemaknaan yang berbeda dengan
seks. Para ahli kajian gender mendefinisikan istilah gender dengan
pemaknaan yang beragam. Nicholas Abercrombie, Stephen Hill dan Bryan
S. Turner (1984: 103) dalam Dictionary of Sosiology menyebutkan bahwa
gender adalah kehidupan seseorang yang secara kultural dan sosial
dikontruksikan oleh masyarakatnya. Definisi tentang gender yang lebih
spesifik ditulis oleh Helen Tierney (1999:153) dalam Women’s Studies
Encyclopedia yang menerangkan bahwa gender adalah konsep kultural
yang membuat pembedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal
peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional yang berkembang
didalam masyarakat.3
Berdasarkan pada definisi-definisi tersebut, gender dapat dimaknai
sebagai konstruksi sosial tentang pembedaan sifat, peran, tanggung jawab,
nilai, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan
perempuan. Misalnya, konstruksi sosial bahwa perempuan lemah,
cengeng,emosional, tidak percaya diri, kurang kreatif, tidak memiliki
2
Ida Rosyidah, Hermawati, Relasi Gender Dalam Agama-Agama, (Jakarta: UIN Press,
2013). h.12.
3
Ibid. h.13.
15
inisiatif, kurang bebas bergerak, kurang tegas, rapuh dan lain-lain.
Sebaliknya laki-laki memiliki sifat-sifat berikut ini kuat, tidak mudah
menangis, rasional, percaya diri, kreatif, banyak inisiatif, bebas bergerak,
tahan banting, tidak cengeng dan lain-lain.4
2. Latar Belakang Munculnya Wacana Gender
Munculnya
diperkenalkan
wacana
oleh
Robert
atau
Istilah
Stoller
„gender‟
(1968)
untuk
pertama
kali
memisahkan
pencirian manusia yang didasarkan pada pendivinisian yang berasal dari
cirri-ciri fisik. Dalam ilmu sosial orang yang berjasa besar dalam
mengembangkan istilah dan pengertian gender ini adalah Ann Oakley
(1972). Sebagai mana Stoller, Oakley mengartikan “Gender” sebagai
konstruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia yang
dibangun oleh kebudayaan manusia.5
Namun wacana gender berkembang luas pada 1977 ketika
sekelompok feminis di London tidak lagi memakai isu-isu lama seperti
patriarchal atau exis. 6 Mereka memilih jargo baru, gender discourse.
Menunjukan bahwa ada perkembangan yang sangat bagus. Karena
sebenarnya
masalah
ketidaksetaraan
gender
merupakan hubungan
perempuan dan laki-laki sebagian besar dibentuk oleh pembedaan
4
Ida Rosyidah, Hermawati, Relasi Gender Dalam Agama-Agama, (Jakarta: UIN Press,
2013), h.14.
5
Kantor menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Women
Support Project II/CIDA, Gender dan Pembangunan ,2001, h. 15.
6
Nur Hasyim, Menggugat Harmoni, 1999, Yogyakarta: Rifka Annisa, h.7.
16
konstruksi “perempuan” dan “laki-laki” secara sosial- budaya dan bukan
secara biologis (seks/kelamin).
Memindahkan wacana ketidaksetaraan gender tersebut dari
panggung biologis kepanggung sosial budaya secara teoritis kiranya lebih
efektif. Namun, wacana gender tidak secara sangat eksplisit dijadikan
sebagai ideologi perjuangan perempuan dunia dibawah payung organisasi
bangsa-bangsa pada 1975 di meksiko yang melahirkan konsep “womens in
development” atau biasa di sebut dengan “WID” (perempuan dalam
pembangunan). Kemudian dilanjutkan di kopenhagen (1985), Nairobi
(1995) dan Beijing (Cina) yang malah sempat merumus cetak biru
konvensi penghapusan segala tindak diskriminasi terhadap perempuan“
Convention For Eliminating Discrimination Against Women” ( CEDAW).
Indonesia mengadopsi konsep gender dalam perjuangan kesetaraan
terhadap perempuan terhadap laki-laki ini sejak Kabinet Pembangunan V
dalam bentuk embrio dan ditingkatkan dalam Kabinet pembangunan VI.
Gender mendapat perhatian yang makin tingi di Kabinet Reformasi.
Dimana pemerintah mengeluarkan Inpres No. 9/2000 tentang Pengarus
utamaan Gender dalam Pembangunan Sosial. Terlebih, munculnya berbagi
kegiatan berbasis gender, termasuk penyusunan statistik dan indikator
gender yang pertama kali dirilis BPS bekerja sama dengan Uniform pada
2000 yang menunjukan antara rendahnya representasi perempuan dalam
DPR (8,8%), MPR (9,1), angota DPA (2,7%), Hakim Agung (13,7%), di
ranah kepala desa/lah(2,3%) dan berkedudukan dalam jabatan struktural
17
kepegawaiaan (15,2%). Padahal, rasio jumlah penduduk perempuan diatas
rasio pendudul laki-laki yaitu 99% yang berarti dari 100 penduduk
perempuan terdapat 99 penduduk laki-laki.7
3. Isu Gender Dalam Islam
Jika kita mengaitkan isu gender dengan islam, maka kita bisa
membicarakan soal ini dari dua sudut analisis dan pembacaan,
a. Metodologi Feminisme
Kelemahan paling mendasar dari teori feminisme adalah
kecenderungan artifisialnya pada filsafat modern. Pemikiran modern
memiliki logika tersendiri dalam memandang realitas. Filsafat modern
membagi realitas dalam posisi dikotomis subyek–obyek, dimana
rasionalisme dan empirisme merajai pandangan dikotomis atas realitas,
dimana laki-laki (subyek) dan perempuan (objek) dan hubungan
diantara keduanya adalah hubungan subyek–objek (yang satu
mensubordinasi yang lain). Dengan begitu mereka menerapkan analisis
Gender menurut ilmu-ilmu sosial terhadap teks-teks islam. Analisis
gender seperti ini dilakukan oleh para feminis islam selama ini yang
menafsirakan teks-teks islam terutama Al- Quran dan Hadis-hadis Nabi
sesuai
dengan
visi
baru
tentang
kesetaraan
dan
kemudian
mengkonfrontasikanya denagan penafsiran yang telah mapan. Analsis
gender yang seperti ini biasanya memakai sesuatu hermeneutik
7
Kantor menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Women
Support Project II/CIDA, Gender dan Pembangunan ,2001, h. 15
18
interpretation as exercise of suspicion8 yaitu penafsiran sebagai latian
kecurigaan. Demestifikasi dilakukan atas simbol-simbol keagamaan
yang berkaitan dengan persoalan gender. Dicari suatu penjelasan
mengapa ketidaksetaraan gender itu termuat dalam teks-teks islam dan
mengapa, bahkan, ada teks-teks islam yang kelihatan seksis dan
misigionis, maka dari itu mereka mereka (para feminis) membuat
motede hermeneutika yang baru karena dianggap penafsiran-penafsiran
terdahulu atas teks-teks islam cenderung kelihatan seksis dan misigonis
yang menimbulkan bias gender. Berikut ini uraian secara singkat
agenda kaum feminis, pertama, perempuan memiliki kebebasan
memilih (freedom of choice) atas dasar haknya yang sama dengan lakilaki. Yang ini tidak ada atau sangat kurang dalam penafsiran islam
selama ini. Kedua, perempuan tidak „dipaksa‟ selalu menjadi ibu
rumah tangga, dimana ditekankan bahwa ini tugas utamanya bahkan
kodratnya sebagai perempuan. Justru inilah yang paling mencolok
dalam kitab-kitab fiqih. Ketiga, perempuan tidak didorong untuk
menjalankan peran yang khas feminim atas dasar feminim modestinya.
Upaya realisasi agenda ini berarti dengan sendirinya penolakan secara
keras pengutuban laki-laki perempuan melalui stereotype yang ada
dalam seluruh penafsiran islam yang berpusat pada laki-laki.
Kesimpulannya, menurut kaum feminis postmodernis muslim,
perlu pembokaran (dekonstruksi) atas seluruh pencitraan atau
8
Paul Ricoer, hermeneutics; Restoration of meaning or reduction of illusion. Dalam kritik
sosiolog, h.194-202
19
represantasi
perempuan
yang
memperlihatkan
sudut
pandang
kepentingan laki-laki, yang terwujud dalam patriarki melalui diskursus
tertentu. Pembongkaran dilakukan justru untuk mendapatkan sudut
pandang dan kepentingan perempuan sebagai subyek yang otonom.
b. Metodologi Keilmuan Islam
Analisis gender seperti ini bukan dari sudut sosilogi tapi dari
sudut agama islam yang mempunyai corak khas dan telah dipakai sejak
berabad-abad secara tradisional. Analisis gender keilmuan ini banyak
dilakukan khususnya oleh para sufi (pemikir islam). Pemakaian jenis
hermeneutika dalam analisis gender ini adalah hermeneutika yang
memberikan tekanan pada interpretasion as recollection of meaning
yaitu penafsiran sebagai pengingatan kembali makna aslinya. Disini
diterapkan suatu lingkaran hermeneutik yang disebut „believe in order
to understand, understand in order to believe. Berkebalikan dari
„kecurigaan‟ sebagai hal yang penting dalam jenis hermeneutic of
suspicion iman adalah hal yang penting dalam keseluruhan proses
recollection of meaning ini, karena iman merupakan pintu masuk
kepada makna yang paling mendalam dari suatu visi tek-teks
khususnya teks-teks sakral yang memang memuat makna yang paling
batin.
Jelas bahwa hermeneutik ini berdasarkan dengan adanya makna.
Jika seseorang melakukan penafsiran atas teks-teks sakral itu dan
melakukan peziarahan dalam lapisan-lapisan makna yang ada dalam
20
teks itu seseorang akan mendapatkan makna yang terdalam yang
terbungkus lapisan luar dari teks. Dalam pemahaman suatu peziarahan
atas makna yang hakiki seseorang pun akan tahu maksud illahi dalam
pengaturan simbolik dari soal-soal relasi gender. Jika kita membaca
teks tentang perempuan dalam Al-Qur‟an tentu saja kita akan
berkesimpulan bahwa al Qur‟an telah memberikan penggambaran yang
lebih baik tentang kehidupan, sebagai contoh perempuan telah
menerima bagian warisan walaupun lebih kecil daripada laki-laki
karena perempuan akan menerima kehidupan dan harta dari suaminya
dan mas kawin merupakan miliknya sepenuhnya.9
4. Faktor Penyebab Ketimpangan Gender
Dari uraian diatas sebelumnya dapat dengan jelas dibedakan antara
perbedaan jenis kelamin (seks) dengan perbedaan gender. Dalam kondisi
saat ini masih menunjukan bahwa perbedaan jenis kelamin dapat
menimbulkan perbedaan gender (gender differences) dimana kaum
perempuan itu tidak rasional, emosional dan lemah lembut. Sedangkan
laki-laki memiliki sifat rasional, kuat atau perkasa.
Perbedaan gender (Gender differences) sebenarnya bukan suatu
masalah sepanjang tidak menimbukan ketidakadilan gender (gender
inequalitas). Namun, yang menjadi masalah adalah ternyata perbedaan
gender ini telah menimbulkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki9
Isu Gender Dalam Studi Islam, Dedi Rizkyan,
https://djongdjepara23.wordpress.com/2011/12/30, diakses pada tanggal 6 maret 2014 pada pukul
13.15
21
laki dan utamanya terhadap kaum perempuan. Secara biologis, (kodrat)
kaum perempuan dengan organ reproduksinya dapat hamil, melahirkan,
dan menyusui. Setelah itu, muncul peran ( gender role) sebagai perawat ,
pengasuh dan pendidik anak. Dengan demikian gender role tidak
dianggap menimbulkan masalah dan tidak perlu digugat.
Namun yang menjadi masalah dan perlu di pertanyakan adalah
struktur keadilan gender yang ditimbulkan oleh peran gender (gender
role) dan perbedaan gender (gender differences).
Ketidakadilan gender (Gender inequalitas) merupakan sistem dan
struktur dimana kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem
tersebut. Menurut Umi Sumbullah dalam buku Spektrum Gender,
perbedaan gender yang menyebabkan ketidakadilan maka dapat dilihat
dari berbagai manifestasinya, yaitu sebagai berikut :10
a. Marginalisasi
Sesunguhnya, timbulnya kemiskinan yang terjadi dalam
masyarakat dan Negara merupakan sebagai akibat dari proses
marginalisasi yang menimpa kaum laki-laki dan perempuan yang
disebabkan oleh berbagai kejadian antara lain, penggusuran, bencana
alam, atau proses eksploitasi. Bentuk marginalisasi yang paling
dominan terjadi terhadap kaum perempuan yang disebabkan oleh
gender.
10
Umi Sumbullah, Spektrum Gender, (Malang: UIN Malang PRESS, 2008).h.14
22
Meskipun tidak setiap bentuk marginalisasi perempuan
disebabkan oleh ketidakadilan gender (gender inequalitas). Namun
yang dipermasalahkan disini adalah bentuk marginalisasi yang
disebabkan oleh perbedaan gender (gender differences).
Perbedaan gender ini sebagai akibat dari bebarapa perbedaan
jenis dan bentuk, tempat, waktu, serta mekanisme dari proses
marginalisasi kaum perempuan. Perbedaan gender ini bila ditinjau
dari sumbernya dapat berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan,
tafsir agama, keyakinan tradisi dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu
pengetahuan. Misalnya, program pertanian revolusi hijau (green
revolution) yang hanya memfokuskan terhadap petani laki-laki.
Sehingga perempuan desa tersingkir dan menjadi miskin. Hal ini
disebabkan karena ada asumsi bahwa petani itu identik dengan jenis
kelamin laki-laki sehingga banyak petani kaum perempuan yang
tersingkir dari sawah.
Bentuk marginalisasi terhadap kaum perempuan juga terjadi
dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur bahkan Negara. Jadi
tidak hanya terjadi dalam ranah pekerjaan saja. Didalam rumah
tangga, marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi dalam bentuk
diskriminasi atas angota kelurga yang laki- laki dan perempuan.
Timbulnya marginalisasi ini dikarenakan diperkuat oleh tafsir
keagamaan maupun adat istiadat. Misalnya memberian hak waris
23
didalam sebagian tafsir keagamaan porsi untuk laki-laki lebih besar
dari perempuan.
b. Subordinasi
Subordinasi timbul sebagai akibat pandangan gender terhadap
kaum perempuan. Sikap yang menempatkan perempuan pada posisi
yang tidak penting muncul dari adanya anggapan bahwa perempuan
itu emosional atau irasional. Sehingga posisi perempuan dipandang
tidak layak menjadi pemimpin atau memimpin.
Proses subordinasi yang disebabkan karena gender terjadi
dalam segala macam bentuk mekanisme yang berbeda dari waktu
kewaktu dan dari tempat ketempat. Dalam kehidupan dimasyarakat,
rumah tangga dan bernegara banyak kebijakan yang dikeluarkan tanpa
menganggap penting perempuan. Dalam rumah tangga misalnya
dalam kondisi keuangan rumah tangga yang terbatas, masih sering
terdengar adanya priorotas untuk bersekolah bagi laki-laki di banding
perempuan. Karena ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu
sekolah tinggi-tinggi, karena pada akhirnya kelak juga masuk dapur
juga. Hal inilah sesunguhnya muncul dari kesadaran gender yang tidak
adil.
c. Stereotipe
Stereotipe adalah Pelabelan atau penandaan negatif terhadap
kelompok atau jenis kelamin tertentu. Akibat dari setereotip ini
biasanya timbul diskriminasi dan berbagai ketidak adilan. Salah satu
24
bentuk dari stereotip ini salah satunya bersumber dari pandangan
gender. Banyak sekali bentuk stereotype yang terjadi di masyarakat
yang dilekatkan kepada umumnya kaum perempuan. Sehingga
berakibatmenyulitkan, membatasi, memiskinkan, dan merugikan
perempuan. Misalnya , ketika kaum perempuan pulang larut malam
disini pada umumnya masyarakat
mempunyai pelabelan yang
negative. Misalkan lagi, adanya keyakinan bahwa laki-laki bertugas
mencari nafkah, maka setiap pekerjaan yang dilakukan oleh
perempuan dianggap sebagi suatu tambahan saja sehingga pekerja
perempuan dibayar lebih rendah dibanding laki-laki.
d. Violence
Kekerasan atau disebut Violence merupakan invasi (assoult) atau
serangan terhadap fisik, maupun integralisasi mental psikologi seorang
yang dilakukan terhadap jenis kelamin tertentu umumnya perempuan
sebagai akibat dari perbedaan gender. Bentuk dari kekerasn ini seperti
pemerkosaan, pemukulan hingga pada bentuk yang lebih halus lagi.
Misalnya, pelecehan sexual (sexual harassmen) dan penciptaan
ketergantungan. Violence terhadap perempuan banyak sekali terjadi
karena stereotype gender. Pemerkosaan yang merupakan salah satu
bentuk Violence yang sering kali terjadi sebenarnya disebabkan bukan
karena unsur kecantikan melainkan karena kekuasaan dan streotipe
gender yang dilekatkan kepada kaum perempuan. Gender violence pada
dasarnya disebabkan karena ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam
masyarakat. Violence yang disebabkan oleh bias gender ini disebut
25
gender-relative violence. Adapun bentuk dan macam kejahatan yang
masuk dalam kategori gender violence meliputi sebagai berikut11:
1) Bentuk pemerkosaan terhadap perempuan, perkosaan dalam
perkawinan juga termasuk didalamnya. Artinya pemerkosaan yang
terjadi jika seseorang untuk mendapatkan pelayanan seksual
dilakukan secara paksa tanpa kerelaan dari yang bersangkutan.
Munculnya
terekspresikan
ketidakrelaan
ini
seringkali
tidak
bisa
yang disebabkan oleh faktor, misalnya malu,
ketakutan, keterepaksan baik dari segi ekonomi, sosial maupun
kultural sehingga tidak ada pilihan lain.
2) Serangan fisik dan tindakan pemukulan yang terjadi dalam rumah
tangga (domestic Violence), termasuk diantaranya penyiksaan
terhadap anak-anak (child abouse).
3) Penyiksaan yang mengarah pada organ alat kelamin (genital
mutilation). Misalnya penyunatan terhadap anak perempuan.
Penyunatan ini dilakukan berbagi alasan dan mitos dalam
masyarakat tertentu. Namun sekarang sudah jarang didengar
penyunatan terhadap perempuan.
4) Pelacuran (Prostitution) merupakan bentuk kekerasan terhadap
perempuan yang dilakukan denagan motif ekonomi. Dalam hal ini
pelacur dianggap rendah oleh masyarakat namun tempat praktiknya
selalu saja ramai dikunjungi.
11
Mansour fakih, Analisis Gender& Transformasi sosial, (Pustaka Pelajar, 1999), h. 17.
26
5) Pornografi merupakan jenis kekerasan lain terhadap perempuan.
Jenis kekerasan ini termasuk kekerasan non fisik yakni berupa
pelecehan terhadap kaum perempuan diman tubuh perempuan
dijadikan objek demi keuntungan pribadi.
6) Kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam bentuk
program
keluarga
berencana.
Dalam
rangka
mengontrol
pertumbuhan penduduk, perempuan seringkali dijadikan korban
demi program tersebut.
7) Jenis
kekerasan
terselubung
(molestation)
yakni
menyentuh/memegang bagian tertentu dari tubuh perempuan
dengan berbagai cara dengan kesempatan tanpa kerelaan si pemilik
tubuh. Jenis kekerasan ini sering terjadi ditempat pekerjaan atau
ditempat angkutan umum seperti Bis.
8) Tindakan kejahatan terhadap perempuan dalam pelecehan seksual
ada beberapa macam diantaranya:
a) Menyampaikan lelucon jorok secara vulgar pada seseorang
dengan cara yang dirasakan secara ovensif.
b) Menyakiti atau membuat malu dengan omongan jorok.
c) Menginterogasi seseorang tentang kegiatan seksualnya atau
kehidupan pribadinya.
d) Meminta
imbalan
seksual
dalam
rangka
janji
untuk
mendapatkan sebuah pekerjaan.
e) Menyentuh atau menyenggol bagian tubuh tanpa seizin dari
yang bersangkutan.
27
e. Beban Kerja
Peran gender perempuan dalam anggapan masyarakat luas
adalah mengelola rumah tangga sehingga banyak perempuan yang
menangung beban kerja domestik lebih banyak dibanding laki-laki.
Pada umumnya kaum perempuan memiliki sifat memelihar dan rajin,
serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga. Dalam hal ini,
berakibat semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung
jawab kaum perempuan. Bahkan, bagi kalangan keluarga miskin, beban
yang harus ditanggung oleh perempuan sangat berat apalagi jika
perempuan ini harus bekerja diluar sehingga harus memikul beban kerja
yang ganda.
Bagi kelompok masyarakat yang memiliki ekonomo cukup,
beban kerja sering kali dilimpahkan kepada pembantu rumah tangga
(domestic worker). Dengan demikian sebenarnya kaum perempuan ini
merupakan korban dari bias gender di masyarakat.12
B. Media dan Gender
Media dan gender adalah dua aspek yang tidak dapat dipisahkan satu
dengan lainnya. Hampir tidak ada satu jenis media massa saat ini yang tidak
mengangkat sosok perempuan dalam pemberitaannya. Dunia perempuan saat
ini, memang telah mengalami perubahan yang luar biasa, hingga saat ini isu
gender masih menghiasi wacana media massa.13
12
Umi Sumbullah, Spektrum Gender, (Malang: UIN Malang PRESS, 2008).h.15.
Artkel: Observasi, http://jurnal.kominfo.go.id/index, diakses pada tanggal 20 maret
2015 pukul 15.39.
13
28
Media masa yang sering disebut juga sebagai agen budaya, memiliki
pengaruh yang cukup besar terhadap masyarakat. Konsumsi media massa pada
masyarakat saat ini dalam jumlah dan intensitas yang cukup tinggi,
dimungkinkan dapat menimbulkan interaksi antara media massa dan
masyarakat yang signifikan.14
Budaya media (media culture), seperti yang dituturkan oleh Douglas
Kellner, menunjuk pada suatu keadaan yang tampilan audio visual atau
tontonan-tontonannya telah membantu merangkai kehidupan sehari-hari,
mendominasi hiburan, membentuk opini politik dan perilaku sosial, bahkan
memberikan suplai materi untuk membentuk identitas seseorang. 15 Media
cetak, radio, televisi, film, internet, dan bentuk-bentuk akhir teknologi media
lainnya telah menyediakan defenisi-defenisi untuk menjadi laki-laki atau
perempuan, dan membedakan status-status seseorang berdasarkan kelas, ras,
maupun seks.16
Media adalah salah satu instrumen utama dalam membentuk
konstruksi gender pada masyarakat. Media yang memiliki karakteristik dengan
jangkauannya
yang
luas,
bisa
menjadi
alat
yang
efektif
dalam
menyebarluaskan konstruksi gender kepada masyarakat. Sebelum membahas
lebih jauh mengenai prinsip dasar yang harus dimiliki pelaku media terhadap
permasalahan perempuan, terlebih dulu harus diketahui pengertian gender dan
perbedaan antara seks dan gender. Banyak yang keliru ketika mengartikan
seks dan gender. Pengertian gender adalah pembagian peran serta tanggung
14
Umi Sumbullah, Spektrum Gender, (Malang: UIN Malang PRESS, 2008)., h.16
Douglas Kellner, Media culture: Cultural Studies, Identity and Politics between the
Modern and the Post Modern (USA and UK: Westvie Press), 1996, h. 164.
16
Maria Hartiningsih, Gender dan Media Massa, Jakarta: 2003
15
29
jawab, baik lelaki maupun perempuan yang ditetapkan masyarakat maupun
budaya. Misalnya, keyakinan bahwa lelaki itu kuat, kasar, dan rasional,
sedangkan perempuan lemah, lembut, dan emosional. Hal ini bukanlah
ketentuan kodrat Tuhan, melainkan hasil sosialisasi melalui sejarah yang
panjang. Pembagian peran, sifat, maupun watak perempuan dan lelaki dapat
dipertukarkan, berubah dari masa ke masa, dari tempat dan adat satu ke tempat
dan adat yang lain, dan dari kelas kaya ke kelas miskin. Gender memang
bukan kodrat atau ketentuan Tuhan, melainkan buatan manusia, buatan
masyarakat atau konstruksi sosial.17
Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang
tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun, timbul persoalan bahwa
perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan. Walaupun laki-laki
tidak menutup kemungkinan akan menjadi korban ketidakadilan gender, tetapi
perempuan masih tetap menduduki posisi tertinggi sebagai korban
ketidakadilan gender. Lebih lanjut, menurut Mansour Fakih, ketidakadilan
gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, di antaranya
marjinalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi, atau anggapan
tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe, atau melalui
pelabelan negatif, kekerasan, beban kerja lebih panjang, serta sosialisasi
ideologi peran gender. Ketidakadilan gender inilah yang digugat ideologi
feminis, yang berangkat dari suatu kesadaran akan suatu penindasan dan
pemeresan terhadap wanita dalam masyarakat, baik itu di tempat kerja ataupun
17
Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Gender dalam Konstruksi Media
30
dalam konteks masyarakat secara makro, serta tindakan sadar, baik oleh
perempuan atau pun laki-laki dalam mengubah keadaan tersebut.18
Pentingnya jurnalis dan institusi media mempunyai sensitif yang
tinggi dalam permasalahan perempuan, dan untuk menghasilkan jurnalisme
yang berperspektif gender, sepertinya profesional media massa harus bekerja
keras. Setidaknya, ada beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan para
pelaku media massa, yaitu: pertama, kemampuan profesional, etika dan
perspektif pelaku media massa terhadap permasalahan gender masih rendah.
Akibatnya,
hasil
penyiaran
belum
sepenuhnya
mampu
mengangkat
permasalahan perempuan pada arus utama (main stream). Penumbuhan rasa
empati terhadap ketidakadilan yang dialami perempuan, merupakan salah satu
jalan bagi media untuk bertindak fair, proporsional, serta berimbang dalam
memberitakan kasus-kasus yang melibatkan perempuan. Kedua, media massa
belum mampu melepaskan diri dari perannya sebagai medium ekonomi
kekuasaan, baik yang datang dari penguasa, otoritas intelektual, ideologi
poitik, ataupun pemilik modal.19
Media massa yang seharusnya menjadi “watchdog” bagi kekuasaan,
justru terjerumus menjadi pelestari kekuasaan hanya karena lemahnya
kemampuan profesional dan etika media massa. Akibatnya, perempuan
menjadi korban dari aroganisme pelanggengan kekuasaan. Ketiga, kurangnya
peran aktif dan representasi perempuan dalam media massa menjadikan
perempuan sulit untuk keluar dari posisi keterpurukannya saat ini. Debra
18
Mansour Fakih, Analisa Gender danTransformasi Sosial (Pustaka Pelajar:
Yogyakarta,1996), h.12.
19
Ashadi Siregar, Rondang Pasaribu, Ismay Prihastuti, Eksplorasi Gender di Ranah
Jurnalisme (Yogyakarta: LP3Y & Galang Printika, 2002), h.219.
31
Yatim mengungkapkan bahwa media massa Indonesia dikuasai oleh budaya
patriarkhi dan kapitalisme dengan dominasi laki-laki didalamnya. Media
seharusnya meningkatkan jumlah praktisi perempuan serta menempatkan
perempuan tidak lagi sebagai objek, tetapi berperan aktif sebagai subjek.
Keempat, perlu pengubahan paradigma pada media massa berkaitan dengan
pencitraan perempuan yang selama ini dipakai. Pencitraan perempuan dalam
media, yang selama ini cenderung seksis, objek iklan, objek pelecehan dan
ratu dalam ruang publik, perlu diperluas wacananya menjadi perempuan yang
mampu menjadi subjek dan mampu menjalankan peran–peran publik dalam
ruang publik.20
Diskursus jurnalistik harus diubah agar jurnalis tidak terjerumus
menjadi pengguna kekerasan, pengabsah ketertindasan pada perempuan, dan
pelanggengan kultur ketidakadilan yang selama ini melingkupi perempuan.
Kalau selama ini pendekatan jurnalisme yang dipakai media berpola
konservatif, maka tidak menutup kemungkinan mengembangkannya menjadi
jurnalisme progresif atau jurnalisme empati. Jurnalisme yang mengajarkan
masyarakat
mengembangkan
sikapsikap
yang
emansipatoris,
kritis,
noneksploitatif, nondiskriminatif, demokratis, tetap proposional dengan tidak
meninggalkan
kaidah-kaidah
dasar
jurnalistik
yang
telah
disepakati
sebelumnya. Dalam menjalankan fungsinya sehari–hari, media setidaknya
mempertimbangkan kepentingan praktis atau pun strategis perempuan.
Terbentuknya pemahaman perspektif gender diharapkan tidak saja akan
mengubah cara pandang masyarakat dalam menghadapi keberadaan kaum
20
Ashadi Siregar, Rondang Pasaribu, Ismay Prihastuti, Eksplorasi Gender di Ranah
Jurnalisme (Yogyakarta: LP3Y & Galang Printika, 2002), h.220.
32
perempuan, tetapi juga diharapkan mampu menepis pandangan negatif yang
cenderung diskriminatif dan berbias gender.6 Dimasukkannya media massa
sebagai satu dari 12 landasan Aksi Deklarasi Beijing menunjukkan bahwa
peran media massa menjadi sangat strategis untuk membantu perempuan lepas
dari ketertindasannya selama ini. Media massa mampu menjadi kekuatan
positif untuk mengangkat harkat dan status hukum perempuan dalam relasi
gender. Hanya saja perlu diwaspadai karena pada peluang yang sama, media
massa bisa sekaligus berubah menjadi virus yang justru semakin
memperburuk posisi perempuan.21
C. Wacana Film
1. Pengertian Film
Pengertian Film Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, film
adalah selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif
(yang akan dibuat potret) atau tempat gambar positif (yang akan
dimainkan di bioskop).22 Namun secara sederhana film hanyalah susunan
gambar yang ada dalam selluloid, kemudian diputar dengan mengunakan
teknologi proyektor yang sebetulnya telah menawarkan nafas demokrasi,
bisa ditafsirkan dalam berbagai makna. Ia menawarkan berbagai pesan dan
bisa dimanfaatkan untuk berbagai kegunaan.23
21
Ashadi Siregar, Rondang Pasaribu, Ismay Prihastuti, Eksplorasi Gender di Ranah
Jurnalisme (Yogyakarta: LP3Y & Galang Printika, 2002), h.223
22
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,
(Jakarta : Balai Puataka, 2002), h. 316
23
Gatoto Prakoso, Film Pinggiran – Ontologi Film pendek, Eksperimental dan
Dokumenter. FFTV – IKJ dengan YLP, (Fatma Press), h. 22
33
Menurut UU perfilman No 8 tahun 1992 karya cipta budaya yang
merupakan media komunikasi massa dipandang, didengar yang dibuat
berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita selluloid, pita
video, piringan video dan bahan-bahan hasil temuan teknologi lainnya
dalam segala bentuk, jenis dan ukuran melalui proses kimiawi elektronik
atau proses lainnya.24
Banyak defenisi film yang dikemukakan oleh para ahli, menurut
Alex Shobur (2003), bahwa film merupakan bayangan yang diangkat dari
kenyataan hidup yang dialami dalam kehidupan sehari-hari yang
menyebabkan selalu ada kecenderungan untuk mencari relevasi antara film
dengan realitas kehidupan.
Menurut Onong Uchana Effendy (2000), film merupakan media
bukan saja sebagai hiburan tetapi juga sebagai penerangan dan pendidikan.
Para ahli bahasa merumuskan film sebagai “gambaran hidup” (artinya,
gambar yang dihidupi atau kehidupan yang dilayarkan dalam gambargambar/ citra-citra). Dalam gambaran hidup memuat 2 unsur penting, yaitu
sisi visible (gambar) dan sisi invisible (yaitu, pesan dan nilai dibaliknya).25
Film adalah teknologi komunikasi massa yang menyebarluaskan
informasi dan berbagai pesan secara luas selain radio, televisi, pers.26 Di
samping itu film merupakan fenomena sosial, psikologi dan estetika yang
komplek dan merupakan dekomentasi yang terdiri dari cerita dan gambar
24
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 32
Mudji Sutrisno, Oase Estetis – Estetika dalam Kata dan Sketza,(Yogyakarta : Penerbit
Kanisius, 2006), h. 78.
26
Sean Mac Bried, Komunikasi dan Masyarakat Sekarang dan Masa Depan, Aneka Suara
Satu Dunia (Jakarta : PN Balai Pustaka Unesco, 1983), h. 120.
25
34
yang diiringi kata-kata dan musik. Film juga hasil produksi yang
multidimensional dan sangat komplek. Sementara, Jakob Sumardjo dari
pusat pendidikan film dan televisi, menyatakan bahwa film berperan
sebagai pengalaman dan nilai. 27 Selain itu film juga dapat digunakan
sebagai alat propaganda, karena film dianggap memiliki jangkauan,
realisme dan popularitas yang hebat. Upaya pengembangan pesan dengan
hiburan sudah lama diterapkan dalam kesastraaan dan drama.
Namun, unsur film dalam mengembangkan pesan memiliki
kelebihan karena dalam segi kemampuannya film dapat menjangkau
sekian banyak orang dalam waktu yang cepat dan serentak dan
kemampuan film mampu memanipulasi kenyataan yang cepat dan serentak
dan kemampuan film mampu memanipulasi kenyataan yang tampak
dengan pesan fotografis tanpa kehilangan kridebilitas. 28 Karena film
diangkat dari bayangan kenyataan hidup yang dialami dalam kehidupan
sehari-hari, itulah sebabnya selalu ada kecenderungan untuk mencari
relevansi antara film dengan realitas kehidupan.29
Film dapat memberikan pengaruh bagi jiwa manusia, karena dalam
suatu proses menonton film terjadi suatu gejala yang disebut oleh ilmu
jiwa sosial sebagai identifikasi psikologi, karena sesuai dengan
karakteristik dan keunikannya, film mempunyai kelebihan dibanding
27
Aep Kusnawan, Komunikasi dan Penyiaran Islam-Mengembangkan Tablig Melalui
Media Mimbar, Media Cetak, Radio, Televisi, Film, Digital (Benang Merah Press: Bandung,
1994), h. 94.
28
Dennis Mc. Quail, Teori Komunikasi Massa: Suatu Pengantar,Edisi ke-2 (Penerbit
Erlangga, 1987), h. 15.
29
Kusnawan,Komunikasi dan Penyiaran Islam, h. 94.
35
dengan media-media lainnya. Pesan yang disampaikan melalui media film
akan disampaikan secara halus dan meyentuh relung hati sehingga tanpa
sadar orang yang melihat film tersebut seolah-olah tidak merasa digurui.
2. Unsur-Unsur dan Jenis-Jenis Film
Beberapa unsur yang terdapat dalam sebuah film. Unsur-unsur
tersebut adalah:
1. Judul (Title)
2. Crident Title, meliputi : produser, karyawan, artis dll
3. Tema film
4. Intrik, yaitu usaha pemeranan film untuk mencapai tujuan
5. Klimaks, yaitu benturan antara kepentingan
6. Alur cerita (Plot)
7. Suspend atau keterangan, masalah yang masih terkatung-katung
8. Million Setting, latar belakang terjadinya peristiwa, masa waktu,
bagi kota, perlengkapan, aksesoris. Dan
9. Sinopsis, yaitu untuk memberi ringkasan atau gambaran dengan
cepat kepada orang yang berkepentingan.
10. Trailer, yaitu bagian film yang menarik
11. Character, yaitu karakteristik pelaku-pelaku.
Adapun stuktur-struktur dalam film adalah sebagai berikut :
1. Pembagian cerita (scene)
2. Pembagian adegan (squence)
36
3. Jenis pengambilan gambar (shoot)
4. Pemilihan adegan pembuka (opening)
5. Alur cerita dan continuity
6. Intrique, meliputi jealousy, penghianatan, rahasia bocor, tipu
muslihat, dll.
7. Anti Klimaks, penyelesaian masalah.
8. Ending, pemilihan penutup.30
Jenis-jenis film dibedakan menurut sifatnya, yaitu sebagai berikut :
a. Film Cerita (story film)
Film cerita adalah film yang menyajikan kepada publik sebuah
cerita, sebagai cerita harus mengandung unsur-unsur yang dapat
menyentuh rasa manusia. Cerita dalam film ini diambil dari kisahkisah sejarah, cerita nyata dari kehidupan sehari-hari, atau khayalan
yang diolah untuk menjadi film. 31 Film cerita diartikan sebagai
pengutaraan cerita atau ide, dengan pertolongan gambar-gambar, gerak
dan dikemas yang memugkinkan pembuat film melahirkan realitas
rekaan yang merupakan suatu alternatif dari realitas nyata bagi
penikmatnya. Ide atau pesan cerita mengunakan pendekatan yang
bersifat membujuk. Oleh karena itu film cerita dapat dipandang
sebagai wahana penyebaran nilai-nilai.
30
Kusnawan, Komunikasi dan Penyiaran Islam, h. 94
Onong Uchjana Effendy, Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi, (Bandung : Cipta Aditya
Bakti, 2003), h. 211.
31
37
b. Film Berita (newsreel)
Film berita adalah film mengenai fakta, peristiwa yang benarbenar terjadi. Kamera sekedar merekam peristiwa, karena sifatnya
berita, film ini disajikan kepada publik harus bernilai berita
(newsvalue), film berita menitikberatkan pada segi pemberitaan
kejadian aktual, misalnya dokumentasi peristiwa perang, dan
dokumentasi upacara kenegaraan.32
c. Film Dokumenter (Documentary film)
Istilah
dokumentary
awalnya
digunakan
oleh
seorang
sutradara (director) Inggris Jhon Grierson. Film dokumenter
didefenisiskan oleh Grierson sebagai karya ciptaan mengenai
kanyataan (creative treatment of actuality), Titik berat dalam film
dokumenter adalah fakta atau peristiwa yang terjadi. Raymond
Spottiswoode dalam bukunya A Grammar of the Film menyatakan
“Film dokumenter dilihat dari segi subjek dan pendekatannya adalah
penyajian hubungan manusia yang didramatis dengan kehidupan
kelembagaannya, baik lembaga industri, sosial, maupun politik. Dan
dilihat dari segi teknik merupakan bentuk yang kurang penting
dibandingkan dengan isinya”.33
Film
dokumenter,
selain
mengandung
fakta
ia
juga
mengandung subjektivitas pembuat. Subjektivitas diartikan sebagai
32
Sumarno, Dasar-Dasar Apresiasi Film, (Jakarta : PT Grasindo, 1996), h. 13.
Onong Uchjana Effendy, Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung : Cipta Aditya
Bakti, 2003), h.212-214.
33
38
sikap atau opini terhadap peristiwa. Jadi, ketika faktor manusia
berperanan, persepsi tentang kenyataan akan sangat bergantung pada
manusia pembuat film dokumenter itu. Dengan kata lain, film
dokumenter bukan cerminan pasif dari kenyataan, melainkan ada
proses penafsiran atas kenyataan yang dilakukan oleh si pembuat film
dokumenter.34
d. Film Kartun (cartoon film)
Film kartun adalah film yang berasal dari lukisan para
seniman. Titik berat dalam pembuatan film karun adalah seni lukis.
Film ini adalah hasil dari imajinatif para seniman lukis yang kemudian
menghidupkan gambar-gambar seolah-olah hidup.35 Film kartun juga
disebut sebagai film animasi film animasi memanfaatkan gambar
(lukisan) maupun benda-benda mati yang lain, seperti; boneka, meja
dan kursi yang bisa dihidupkan dengan teknik animasi seperti halnya
Mickey Mouse, Donald Duck dan Sincan.36
Adapun jenis-jenis film yang telah beredar memiliki beberapa
jenis, jenis tersebut dapat diklasifikasikan kepada :
1. Drama: adalah suatu kejadian atau peristiwa hidup yang hebat,
mengandung konflik pergolakan, clash atau benturan antara dua
orang atau lebih. Sifat drama : romance, tragedy dan komedi.
34
Sumarno, Dasar-Dasar Apresiasi Film, (Jakarta : PT Grasindo, 1996),, h.14.
Onong Uchjana Effendy, Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi, (Bandung : Cipta Aditya
Bakti, 2003), h. 216
36
Ibid, h. 17
35
39
2. Realisme: adalah film yang mengandung relevansi dengan
kehidupan keseharian.
3. Film sejarah: melukiskan kehidupan tersohor dan peristiwanya.
4. Film perang: mengambarkan peperangan atau situasi di dalamnya
atau setelahnya.
5. Film futuristik: mengambarkan masa depan secara khayali.
6. Film anak: mengupas kehidupan anak-anak.
7. Cartoon: cerita bergambar yang mulanya lahir dari media cetak
yang diolah sebagai cerita bergambar, bukan saja sebagai story
board melainkan gambar yang sangup bergerak dengan teknik
animation atau single stroke operation.
8. Adventure: film pertarungan, tergolong film klasik.
9. Crime story: pada umumnya mengandung sifat-sifat heroik.
10. Film seks menampilkan erotisme.
11. Film misteri/horor : mengupas terjadinya fenomena supranatural
yang menimbulkan rasa wonder, heran, takjub dan takut. 37
3. Perkembangan Film Di Indonesia
a. Awal Hadirnya Film di Indonesia
Sesungguhnya film di Indonesia mempunyai sejarah yang
panjang, di Indonesia film dimulai sejak tahun 1926,38 oleh dua orang
perintis orang-orang Eropa kebangsaan Belanda, yaitu F. Carli (1927),
37
Kusnawan, Komunikasi dan Penyiaran Islam, h. 101.
Umar Kayam, Budaya Massa Indonesia, Prisma LP3ES, November 1981, h.13.
38
40
G. Kruger dan Haeuveldrop. Menurut sejarah perfilman Indonesia,
film pertama di negeri ini berjudul “Lely dan Java” diproduksi di
Bandung oleh David. 39 Pertama kali tercatat dalam surat kabar De
Locomotief edisi september 1926, yaitu Loetoeng Kasaroeng oleh
Haeuveldrop, menurut catatan De Prearger film ini merupakan film
cerita yang pertama yang dibuat di Indonesia dan diputar di kota
tempat pembuatnya, yaitu bioskop Elita dan Oriental,
berikutnya
mereka membuat Eulis Atjih, lalu Bung Amat Tangkap Kodok
(kruger), karina (Carli), Lari Arab (kruger). Eulis Atjih membuka
munculnya film Nyi Dasima yang mengambarkan kehidupan
Indonesia dan Belanda.
Setelah pembuatan film yang dilakukan oleh orang-orang Eropa,
namun selanjutkan oleh orang-orang pedagang Tionghoa diperluas
dan film dijadikan barang komersial yang menguntungkan, tidak heran
karena orang Tionghoa sudah terjun dalam perdagangan film impor.
Tetapi menurut Armijn Pane dalam produksi film Tjerita Indonesia,
perusahaan peranakan ini terjun menjadi produser ketika seorang
peranakan ikut main dalam film Naik Djadi Dewa. 40
Perusahaan film pada waktu itu yang terkenal berasal dari
Tionghoa keluarga The, membentuk Jacarta Film Co yang dikenal
dengan Wong Bersaudara. Kemudian terus berkembang hingga banyak
39
Onong Uchjana Effendy, Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung : Cipta Aditya
Bakti, 2003), h.217.
40
Phil Bactiar, Sejarah Media Massa, (Jakarta : Pusat Penerbitan Universitas Terbuka,
2000), h.83.
41
menghasilkan film-film seperti Pareh
(Mannus Franken), Terang
Bulan (1937), Fatimah (1938) dan lainnya. Di penghujung tahun 1941
Perang Asia Timur Raya pecah, dunia film pun berubah wajah
perusahaan film, seperti Wong Brothers, South Pacific, dan Multi film
diambil alih Jepang, ketika pemerintah Belanda sebagai penguasa di
Indonesia menyerah kalah kapada balatentara Jepang.
Pada
massa
itu
film
dikuasai
oleh
Jepang
ia
ingin
mempropaganda kehebatan bangsanya melalui kesenian khusunya
film. Pemerintahan Jepang mendirikan pusat kebudayaan Keiin Bunka
Shidoso dengan maksud untuk merangkul empat bidang kesenian
yaitu, kesustraan, kesenian, ukiran dan lukisan. Dan akhirnya didirikan
organisasi khusus mengatur film pada oktober 1942 Jawa Eiga Kosha
(perusahaan film jawa), Nippon Eiga Sha.
b. Perkembangan Film di Indonesia setelah berdirinya NKRI
1. Priode 1950-1962
Sesudah negara NKRI berdiri, mulailah kehidupan baru
dalam perfilman Indonesia, karena baru muncul perusahaan
produksi film milik pribumi Indonesia sendiri, seperti Haji Usmar
Ismail
dan
Jamaludin.
Mereka mempuyai
cita-cita untuk
mempertinggi kesenian dan teknik film Indonesia agar mendapat
penghargaan dari masyarakat. Beberapa film dan organisasi film
yang berdiri pada saat itu adalah : PERFINI (Perusahaan Film
42
Nasional)
dengan
pemimpin
Usmar
Ismail,
Soemanto,
Djojokoesoemo.
PERSARI (Persatuan Artis Republik Indonesia) di bawah
pimpinan Djamaloedin Malik. Pada tahun 1952 berdiri Surya Film
Tranding, dan pihak penguasa Tionghoa muncul Ksatrya Dharma
Film. Sedangkan Banteng Film campuran dari orang Indonesia
dengan Tionghoa. Dari segi finansial Tionghoa memiliki dan yang
kuat sehingga mereka mampu membuat film dan memuternya di
bioskop-bioskop. Namun di tengah persaingan produsen-produsen
Indonesia mempuyai keberanian untuk menyewa studio yaitu:
perusahaan Perfini dengan film pertama darah dan doa (The long
march). PERSARI
berhasil mambuat cerita pertamanya sedap
malam. Namun perusahaan ini lebih memperhitungkan segi
komersial saja dibandingkan dengan perusahaan film lainnya.
Dunia perfilman akhirnya disemarakkan dengan adanya festival
film Indonesia (FFI) yang pertama berlangsung dari tanggal 30
Maret - 5 april 1955 dari sini maka timbulnya berbagai organisasiorganisasi perfilman lainnya.
2. Periode 1962-1965
Zaman keemasan perfilman secara kuantitatif bermula pada
tahun 1960 dengan 38 judul, dan secara kualitatif bermula pada
film Usmar Ismail. Namun sebenarnya masa keemasan hanya
sekejap saja, sebab tahun 1962 tercatat kemunduran dratis.
43
Kemunduran film ini tidak lepas dari ketegangan politik di tanah
air, sehingga banyak orang-orang politik masuk dalam dunia
perfilman. Maka jelas mereka lebih banyak keinginan politik
dibandingkan membagun industri film.
3. Priode 1965-1970
Priode ini dengan munculnya pemerintahan Orde Baru yang
masih memberlakukan hukum darurat perang.
Dalam keadaan
stabilitas politik yang sering berubah-ubah, maka hal ini sangat
menentukan maju dan mundurnya dunia perfilman. Film nasional
yang diproduksi tahun 1965 halnya 18 judul antar lain: Bergema,
Liburan Seniman, Insane Bahari, Karma, Darah Nelayan dan
lainnya. Di tahun ini bioskop mulai melirik bangunan fisik dan
fasilitas yang bagus untuk menarik khalayak.
4. Priode 1970-Sekarang
Pada periode ini teknologi canggih media visual mulai
merambah ke Indonesia seperti Video Tape dan pada tahun 1980
menjadi persaingan dengan dunia film nasional maupun bioskop
nasional. Persaingan ini merambah dengan adanya pembajakan
film dalam bentuk kaset, sehingga masyarakat juga memiliki video
dan hal ini menjadi penurunan terhadap pembioskopan. Dan
mengatasi persaingan ini, para pengusaha film bergabung dalam
persatuan perusahaan film Indonesia (PPFI). Persaingan ini
semakin ketat dengan hadirnya teknologi HDTV (High devinition
44
television). Terus berkembang dengan mulai hadirnya Televisi
swasta seperti: RCTI, SCTV, TPI, ANTV, dan TV yang
berkembang sampai saat ini.41
D. Konsep Wacana
1. Teori Wacana
Secara etimologi, istilah wacana seperti yang dikutip Dedy
Mulyana berasal dari bahasa sansekerta wac/wak/vak, yang memiliki art
“berkata” atau “berucap”. Kemudian kata tersebut mengalami perubahan
menjadi wacana. Kata „ana‟ yang berada dibelakang adalah bentuk sufisk
(akhiran) yang bermakna membedakan (nominalisasi).
Dengan demikian, kata wacana dapat diartikan sebagai perkataan
atau tuturan. Dalam kamus bahasa Jawa kuno Indonesia karangan
Wojowasito terdapat kata waca berarti baca, wacaka berarti mengucapkan
dan kata wacana berarti perkataan.42
Analisis wacana atau discourse analysis adalah suatu cara atau
metode untuk mengkaji wacana yang terdapat atau terkandung didalam
pesan-pesan komunikasi baik secara tekstual maupun kontekstual. Analisis
wacana berkenaan dengan isi pesan komunikasi, yang sebagian
diantaranya sebuah teks. 43 Disamping itu, analisis wacana juga dapat
menungkinkan kita melacak variasi cara yang digunakan oleh komunikator
41
Phil Bactiar, Sejarah Media Massa, (Jakarta : Pusat Penerbitan Universitas Terbuka,
2000), h.813-821.
42
Mulyana, Kajian Wacana: Teori, Metode, dan Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis
Wacana, (Yogyakarta: Tiara Wacana,2005), h.3.
43
Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif (Yogyakarta: LKiS, 2007), h.170.
45
(penulis, pembicara, sutradara) dalam upaya mencapai tujuan atau
maksud-maksud tertentu melalui pesan-pesan tertentu berisi wacanawacana tertentu yang disampaikan.
Analisis wacana adalah ilmu baru yang muncul beberapa puluh
tahun belakangan ini. Aliran-aliran linguistik selama ini membatasi
penganalisianya hanya kepada soal kalimat dan barulah belakangan ini
sebagaian ahli bahasa memalingkan perhatiannya penganalisian wacana.44
Meskipun pendefinisian mengenai wacana kenyataannya memang
berbeda-beda sesuai dengan perspektif teori yang digunakan, pada
umumnya
disepakati
bahwa
wacana
sebenarnya
adalah
proses
sosiokultural sekaligus juga proses linguistik.
Seperti banyak yang dilakukan dalam penelitian mengenai
organisasi pemberitaan selama dan sesudah tahun 1960-an, analisis
wacana menekankan pada “How the ideological significance of new is
part and parcel of the methods used to process new” (bagaimana
signifikasi ideologis merupakan bagian dan menjadi paket metode yang
digunakan untuk memproses media).
Kata wacana adalah salah satu kata yang banyak disebut saat ini
selain demokrasi, hak asasi manusia, masyarakat sipil, dan lingkungan
hidup. Akan tetapi, seperti umumnya banyak kata, semakin tinggi disebut
dan dipakai kadang bukan semakin jelas, tetapi semakin membingungkan
44
Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, (Yogyakarta: LKiS, 2007), h.171.
46
dan rancu. Ada yang mengartikan wacana sebagai unit bahasa yang lebih
besar dari kalimat.45
Menurut Collins English Dictionary, wacana adalah komunikasi
verbal, ucapan dan percakapan. Sedangkan menurut J.S. Badudu wacana
merupakan rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan
proposisi yang satu dengan proposisi lainnya, membentuk satu kesatuan
sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu.
Van dijk menyatakan bahwa wacana itu sebenarnya adalah bangun
teoritis yang abstrak (The abstract theoritical construct) dengan begitu
wacana belum dapat dilihat sebagai perwujudan fisik bahas, adapun
perwujudan wacana adalah teks.46
Secara ringkas dan sederhana, teori wacana mencoba menjelaskan
terjadinya sebuah peristiwa seperti terbentuknya sebuah kalimat atau
pernyataan. Oleh Karena itu dinamakan analisis wacana.
Istilah wacana sekarang ini dipakai sebagai terjemahan dari
perkataan bahasa inggris discouse. Kata discouse berasal dari bahasa Latin
discursus yang berarti lari kian kemari, yang bisa diartikan komunikasi
dengan pikiran, dengan kata-kata, ekspresi ide-ide atau gagasan-gagasan,
konversasi atau percakapan.47
Ismail Muhaimin mengartikan wacana sebagai “kemampuan untuk
maju (dalam pembahasan) menurut urutan-urutan yang teratur dan
45
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: PT. LKiS
Pelangi Aksara, 2008), h.1.
46
Abdul Rani, Analisis Wacana Sebuah Kajian (Malang: Batu Media, 2004), h.4.
47
Ibid, h.9.
47
ssemestinya”, dan komunikasi buah pikiran baik lisan maupun tulisan,
yang resmi dan teratur. 48 Jika definisi dipakai sebagai pegangan, maka
dengan sendirinya semua tulisan yang teratur, yang menurut urutan yang
semestinya, atau logis, adalah wacana. Karena itu sebuah wacana harus
punya dua unsur penting yaitu kesatuan (unity) dan kepaduan (coherence).
Dalam pengertian yang lebih sederhana, wacana berarti cara objek
atau ide yang diperbincangkan secara terbuka kepada publik sehingga
menimbulkan pemahaman tertentu yang tersebar luas.49
Analisis wacana merupakan tindakan sosial yang didalamnya
terdapat dialog yang bersifat sosial. Pernyataan yang dibuat. Dengan kata
lain, analisis wacana dibentuk secara sosial dan secara historis, akibatnya
akan terdapat diskursus yang berbeda-beda tergantung institusi dan
praktek sosial yang membentuknya, dan dengan posisi siapa yang
berbicara serta ditunjukan kepada siapa.
Dengan memperhatikan pernyataan bahwa diskursus tidak pernah
netral, maka implikasi penelitian dengan analisis diskursus berguna unuk
menyimak
permasalahan
ketidakseimbangan
yang
terjadi
dalam
masyarakat (ketidakseimbangan yang mendasar yang mendasar tentang
kelas, memaksakan ketidakseimbangan dalam hal ras, gender dan religi).50
48
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: PT. LKiS
Pelangi Aksara, 2008), h.10.
49
Ibid, h.11.
50
M.Antonisius, ed, Metode Penelitian Komunikasi: teori dan aplikasi
(Yogyakarta:Gitanyali,2006), h.65.
48
2. Kerangka Analisis Wacana Teun A. Van Dijk
Analisis wacana model Teun A. Van Dijk kerap disebut sebagai
“kognisi sosial”. Istilah ini sebenarnya diadopsi dari pendekatan lapangan
psikologi sosial, terutama untuk menjelaskan struktur dan proses
terbentuknya suatu teks. Nama pendekatan semacam ini tidak dapat
terlepas dari karakteristik pendekatan yang diperkenalkan oleh Van Dijk.
Menurut Van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan
pada analisis atau teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik
produksi yang harus juga diamati.
Baik struktur teks, kognisi sosial, maupun konteks sosial adalah
bagian yang integral dalam kerangkan Van Djik. Kalau digambarkan,
maka skema penelitian dan metode yang bisa dilakukan dalam kerangka
Van Dijk adalah sebagai berikut:51
Tabel 2.1
Skema Penelitian Teun A. Van Dijk
STRUKTUR
METODE
Teks
Critical Linguistics
Menganalisis bagaimana strategi wacana yang
dipakai untuk menggambarkan seseorang atau
peristiwa tertentu. Bagaimana strategi tekstual
yang
dipakai
untuk
menyingkirkan
atau
memarginalkan suatu kelompok, gagasan atau
peristiwa tertentu.
51
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: PT. LKiS
Pelangi Aksara, 2008), h.275.
49
Kognisi Sosial
Wawancara
Menganalisis bagaimana kognisis membuat teks mendalam
dalam memahami seseorang atau peristiwa
tertentu yang akan ditulis.
Analisis Sosial
Menganalisis
Studi Pustaka,
bagaimana
wacana
yang penelusuran sejarah.
berkembang dalam masyarakat, proses produksi
dan
reproduksi
peristiwa
seseorang
atau
digambarkan.
Melalui berbagai karyanya, Van Dijk membuat analisis wacananya
yang dapat digunakan. Ia melihat bagian tekssuatu wacana terdiri atas
berbagai
struktur/tingkatan,
yang
masing-masing
bagian
saling
mendukung. Van Dijk membaginya kedalam tiga tingkatan:
a. Struktur Makro, ini merupakan makna umum dari suatu teksyang dapat
dipahami dengan melihat topik dari suatu teks. Tema wacana ini bukan
hanya isi, tetapi juga isi tertentu dari suatu peristiwa.
b. Superstruktur adalah kerangka suatu teks, bagaimana struktur dan
elemen wacana itu disusun dalam teks secara utuh.
c. Struktur Mikro adalah makna wacana yang dapat diamati dengan
menganalisis kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase yang
dipakai dan sebagainya.
Struktur wacana
yang dikemukakan Van Dijk ini dapat
digambarkan sebagai berikut:52
52
Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2006), h.74.
50
Tabel 2.2
ELEMEN WACANA TEUN A. VAN DIJK
Struktur wacana
Hal yang diamati
Struktur makro
Tematik
Elemen
Topik
Tema/topik yang dikedepankan dalam
berita
Superstruktur
Skematik
Skema
Bagaimana bagian dan urutan berita
diskemakan dalam teks berita utuh
Struktur mikro
Semantik
Latar, detil, maksud,
Makna yang ingin ditekankan dalam
pranggapan,
teks berita. Misal dengan memberi
nominalisasi
detil pada satu sisi atau membuat
eksplisi satu sisi dan mengurangi detil
sisi lain.
Struktur mikro
Sintaksis
Bentuk kalimat,
Bagaimana kalimat (bentuk, susunan) koherensi, kata ganti
yang dipilih.
Struktur mikro
Stilistik
Leksikon
Bagaimana pilihan kata yang dipakai
dalam teks berita.
Struktur mikro
Retoris
Grafis, metafora,
Bagaimana cara penekanan dilakukan.
ekspresi
51
Dalam pandangan Van Dijk segala teks dapat dianalisis dengan
menggunakan elemen tersebut. Meski terdiri dari beberapa elemen. Semua
elemenitu merupakan suatu kesatuan, saling berhubungan, dan mendukung
satu sama lainnya.
Untuk memperoleh gambaran elemen-elemen struktur wacana
tersebut, berikut adalah penjelasan mengenai elemen-elemem tersebut:
a. Struktur Makro (Tematik)
Secara
harfiah
tema
berarti
“sesuatu
yang
telah
diuraikan”atau”sesuatu yang ditempatkan”. Kata ini berasal dari
yunani tithenai yang berarti meletakkan. Dilihat dari sudut sebuah
tulisan yang telah selesai. Tema adalah suatu amanat utama yang
disampaikan oleh penulis melalui tulisan.
Tema sebuah wacana akan tampak dalam pengembangan
wacana. Tema pun akan memadu alur pengembangan sebuah wacana
lisan maupun tulisan.53
Kata tema kerap disandingkan dengan topik. Kata topik berasal
dari bahasa yunani topoi yang berarti tempat. Topik secara teoritis
dapat digambarkan sebagai proposisi, sebagai bagian dari informasi
penting dari suatu wacana dan memainkan peranan penting sebagai
pembentuk kesadaran sosial. Tematik juga sering disebut sebagai tema
atau topik.54
53
ID Parera, Teori Sematik Erlangga, (Jakarta: Erlangga, 2004), h.233.
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: PT. LKiS
Pelangi Aksara, 2008), h.299.
54
52
Teun A. Van Dijk mendefinisikan topik sebagai struktur makro
dari suatu wacana. Dari topic ini kita dapat mengetahui masalah dan
tindakan yang diambil oleh komunikator dalam mengatasi suatu
masalah. Tindakan, keputusan, atau pendapat dapat diamati pada
struktur makro suatu wacana.
b. Superstruktur (Skematik)
Teks atau wacana umumnya menpunyai skema atau alur dari
pendahuluan sampai akhir. Alur tersebut menunjukan bagaimana
bagian-bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga membentuk
kesatuan arti. Skematik merupakan strategi penulis dalam mengemas
pesannya dengan memberikan tekanan bagian mana yang didahulukan,
dan bagian mana yang diakhirkan.
Menururt Van Dijk, arti penting dari skematik adalah strategi
wartawan
untuk
mendukung
tema/topik
tertentu
yang
ingin
disampaikan dengan menyusun bagian-bagian tertentu dengan urutanurutan
tertentu.
Skematik
memberikan
tekanan
mana
yang
didahulukanm dan bagian mana yang bisa kemudian sebagai strategi
untuk menyembunyikan informasi penting.55
c. Struktur Mikro
1) Semantik
Semantik Berasal dari bahasa Yunani yaitu sema dari kata
benda, yang berarti tanda atau lambang.56 Dalam pengetian umum
sematik adalah disiplinilmu bahsa yang menelaah makna satuan
55
Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2006), h.78.
Abdul Chaer, Pengantar Sematik Bahasa Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 1989), h.3
56
53
lingual, baik makna leksikal, maupun makna gramatikal. Makna
leksikal adalah makna unit semantic yang terkecil yang disebut
leksem, Sedangkan makna Gramatikal adalah makna yang
terbentuk dari penggabungan satuan kebahasaan.
Skemantik dalam skema Van Djik dikatagorikan sebagai
makna lokal yakni makna yang muncul dari hubungan antar
kalimat, hubungan antar proposal yang membangun makna tertentu
dalam suatu bangunan teks. Analisis wacana banyak memusatkan
perhatian pada dimensi teks seperti makna yang eksplisist dan
implicit, makna yang sengaja disembunyikan dan bagaimana orang
menulis atau berbicara mengenai hal tersebut. Dengan kata lain,
semantik tidak hanya mendefinisikan bagian mana yang penting
dari sktruktur wacana, tetapi juga menggiring kearah sisi tertentu
dari suatu peristiwa.57
Semantik digunakan untuk menggambarkan diri sendiri/
kelompok sendiri secara positif, sebaliknya menggambarkan pihak
lain secara negatif.
Berikut ini, elemen-elemen yang berpengaruh dalam
semantik:
a) Latar
Latar
merupakan
bagian
berita
yang
dapat
memperngaruhi semantik (arti) yang ingin ditampilkan. Latar
57
Abdul Chaer, Pengantar Sematik Bahasa Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 1989), h.4
54
merupakan elemen wacana yang dapat menjadi alasan
pembenar gagasan yang diajukan dalam suatu teks. Latar
merupakan bagian dari berita atau skenario film yang dapat
mempengaruhi semantik yang ingin ditampilkan.
Latar yang menjadi alasan pembenaran yang diajukan
dalam suatu teks. Oleh karena itu, latar teks merupakan elemen
yang berguna karena dapat membongkar apa maksud yang
ingin disampaikan oleh pembuat teks. Kadang isi utama tidak
dibeberkan dalam teks, tetapi dengan melihat latar apa yang
dtiampilkan dan bagaimana latar tersebut disajikan, kita dapat
memganalisis
apa
maksud
tersembunyi
yang
ingin
dikemukakan oleh pembuat teks sesungguhnya.58
b) Detail
Detail merupakan strategi bagaimana pembuat teks
mengekspresikan sikapnya dengan cara yang implisit. Sikap
atau wacana yang dikembangkan oleh penulis skenario tidak
selalu disampaikan secara terbuka, tetapi dari pihak mana yang
diceritakan dengan detail yang besar
Elemen wacana detail berhubungan dengan kontrol
informasi yang ditampilkan seseorang. Komunikator/ pembawa
berita/ penulis skenario akan menampilkan secara berlebihan
informasi yang menguntungkan dirinya atau citra yang baik.
58
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: PT. LKiS
Pelangi Aksara, 2008), h.237
55
Informasi yang menguntungkan komunikator, bukan hanya
ditampilkan secara berlebihan tetapi juga lengkap, kalau perlu
dengan
data-data
dan
panjang lebar
yang
merupakan
penonjolan yang dilakukansecara sengaja untuk menciptakan
citra tertentu kepada khalayak.59
c) Maksud
Elemen maksud melihat apakah teks itu disampaikan
secara eksplisit ataukah tidak, apakah fakta disajikan secara
telanjang
atau
tidak.
Umumnya,
informasi
yang
menguntungkan komunikator akan diuraikan secara eksplisit
atau jelas, sebaliknya informasi yang merugikan akan diuraikan
secara tersamar, implisit, dan tersembunyi, tujuan akhirnya
adalah kepada publik hanya disajikan informasi yang
menguntungkan komunikator.
2) Sintaksis
Sintaksis adalah telaah-telaah mengenai pola-pola yang
dipergunakan sebagai sarana untuk menggabungkan kata menjadi
kalimat. Sintaksis juga merupakan bagian dari tata bahasa yang
membicarakan struktur frase dan kalimat. 60 Secara etimologis,
kata sintaksis berarti menempatkan bersama-sama kata-kata
menjadi kelompok kata atau kalimat.
59
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: PT. LKiS
Pelangi Aksara, 2008), h.238
60
Hery Guntur Taringan, Pengajaran Sintaksis , (Bandung: Angkasa, 1984), h.51.
56
Strategi untuk menampilkan diri sendiri secara positif dan
lawan secara negatif, dapat dilakukan dengan menggunakan
sintaksis (kalimat) pada pemakaian kata ganti, aturan tata kata,
pemakaian katagori sintaksis yang spesifik, pemakaian kalimat
yang aktif atau pasif, peletakan anak kalimat yang kompleks dan
sebagainya.
Salah satu strategi pada level semantik ini diantaranya
dengan pemakaian:
a) Koherensi
Koherensi adalah penggunaan secara rapih kenyataan
dan gagasan, fakta dan ide menjadi satu untaian yang logis
sehingga mudah memahami pesan yang dikandungnya.
Koherensi digunakan untuk menghubungkan informasi antara
kalimat dalam wacana.61
b) Kata ganti
Elemen
kata
ganti
merupakan
elemen
untuk
memanipulasi bahsa dengan menciptakan suatu komunitas
imajenatif. Kata ganti merupakan alat yang dipakai oleh
komunikator untuk menunjukan dimana posisi seseorang
dalam wacana.62
61
Abdul Rani, Analisis Wacana Sebuah Kajia, (Malang: Batu Media, 2004), h.3.
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: PT. LKiS
Pelangi Aksara, 2008), h.253.
62
57
c) Bentuk kalimat
Bentuk kalimat adalah segi sintaksis yang berhubungan
dengan cara berfikir logis, yaitu prinsip kausalitas. 63 Bentuk
kalimat ini menentukan apakah subjek diekspresikan secara
eksplisit atau implisit dalam teks. Kalimat aktif umumnya
digunakan agar seseorang menjadi subjek dari tanggapannya,
sebaliknya kalimat pasif menempatkan seseorang sebagai
objek. Seseorang juga dapat ditampilkan diakhir, tetapi juga
bisa ditempatkan diawal.64
3) Stalistik
Pusat perhatian stalistik adalah style, yaitu cara yang
digunakan seorang pembicara atau penulis untuk menyatukan
maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarananya.
Apa yang disebut gaya bahasa itu sesunguhnya
terdapat dalam segala ragam bahasa: ragam lisandan ragam
tulis, ragam sastra dan garam non sastra, karena gaya bahasa
adalah cara menggunakan bahasa dalam konteks tertentu oleh
orang tertentu untuk maksud tertentu. Akan tetapi secara
tradisional gaya bahasa selalu ditautkan dengan teks sastra,
khususnya teks secara tertulis.65
63
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: PT. LKiS
Pelangi Aksara, 2008), h.251.
64
Ibid, h.252.
65
Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2006), h.82.
58
4) Retoris
Strategi dalam level retoris adaah gaya yang diungkapkan
ketika seseorang berbicara atau menulis. Retoris mempunyai
fungsi persuasif dan berhubungan erat dengan bagaimana pesan
itu ingin disampaikan kepada khalayak.
Pemakaian retoris diantaranya dengan menggunakan
gaya repetisi (pengulangan), aliterasi (pemakaian kata-kata yang
permulaannya sama bunyinya seperti sajak), sebagai suatu strategi
untuk menarik perhatian, atau untuk menekankan sisi tertentu
agar diperhatikan oleh khalayak. Bentuk gaya retoris lainnya
adalah ejekan (ironi).
Tujuan retoris adalah melebihkan sesuatu yang positif
mengenai diri sendiri dan melebihkan keburukan pihak lawan.
Strategi ini juga muncul dalam bentuk interaksi, yakni bagaimana
pembicara menempatkan dirinya di antara khalayak. Van Dijk
membagi elemen ini ke dalam tiga bagian, yaitu:
a) Grafis
Elemen ini meerupakan bagian untuk memeriksa apa
yang ditekankan atau ditonjolkan (yang berarti dianggap
penting) oleh seseorang yang dapat diamati dari teks. Dalam
wacana skenario, grafis ini biasanya muncul lewat bagian
tulisan yang dibuat lain dibandingkan tulisan lain. Pemakaian
huruf tebal, huruf miring, pemakaian garis bawah, huruf yang
59
dibuat dengan ukuran besar. Bagian-bagian yang ditonjolkan
ini menekankan kepada khalayak pentingnya bagian tersebut.
Bagian yang ditulis atau dicetak berbeda adalah bagian yang
dipandang penting oleh komunikator, dimana yang diinginkan
khalayak menaruh perhatian lebih pada bagian tersebut.66
b) Metafora
Metafora yang dimaksud disini adalah sebagai bumbu
dari suatu berita atau script film. Akan tetapi, pemakaian
metafora tertentu bisa menjadi petunjuk utama untuk mengerti
makna suatu teks. Metafora tertentu dipakai oleh pembuat
teks secara strategis sebagai landasan berpikir, alasan
pembenar atas pendapat atau gagasan tertentu kepada publik.
Pembuat
teks
menggunakan
kepercayaan
masyarakat,
uangkapan sehari-hari, peribahasa, pepatah, petuah, leluhur,
kata-kata kuno yang semuanya dipakai untuk memperkuat
pesan tertentu.67
c) Ekspresi
Dimaksudkan untuk membantu menonjolkan atau
menghilangkan bagian tertentu dari teks yang disampaikan.
Elemen ini merupakan bagian untuk memeriksa apa yang
ditekankan atau ditonjolkan oleh seseorang yang diamati dari
66
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: PT. LKiS
Pelangi Aksara, 2008),h.258.
67
Ibid ,h.259.
60
teks. Dalam teks tertulis, ekspresi ini muncul misalnya dalam
bentuk grafis, gambar atau foto. Sedangkan dalam film,
ekspresi biasanya muncul dari wajah pemain atau biasanya
kalimat yang dilontarkan yang berasal dari teks skenario.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif dengan
metode penelitian analisis wacana yang dikembangkan oleh Teun A. Van
Djik. Pendekatan kualitatif memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum
yang mendasari perwujudan sebuah makna dari gejala-gejala sosial didalam
masyarakat. Objek analisis dalam pendekatan kualitatif adalah makna dari
gejala-gejala sosial dan budaya dengan menggunakan kebudayaan dari
masyarakat bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai katagori
tertentu.1
Peneliti memilih pendekatan secara kualitataif karena kedudukan teori
dalam penelitian ini serta pola pemikiran penelitian yang bersifat induktif.
Penelitian ini tidak bersifat menguji kebenaran suatu teori melainkan untuk
menarik kesimpulan gejala yang terjadi sehingga dapat disimpulkan bahwa
penelitian ini bersifat induktif, yang juga merupakan ciri lain pendekatan
kualitatif.
Metode analisis wacana berbeda dengan analisis isi kuantitatif yang
lebih menekankan pada pertanyaan ’Apa’ (what), analisis wacana lebih
melihat kepada ’Bagaimana’ (how) dari sebuah wacana (cerita, teks, kata)
disusun atau dikemas dan diatur sedemikian rupa sehingga menghasilkan
1
Burhan Bungin, sosiologi komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2007) h.23
61
62
sebuah kalimat atau paragraf. Analisis wacana tidak hanya mengetahui isi
teks, tetapi bagaimana juga pesan itu disampaikan lewat kata, frase, kalimat,
metafora macam apa yang disampaikan. Analisis wacana bisa melihat makna
yang tersembunyi dari suatu teks. Analisis wacana lebih melihat kepada
bagaimana isi pesan yang akan diteliti.2
Metode yang digunakan oleh peneliti adalah model Teun A. Van Djik,
menurutnya penelitian wacana tidak hanya pada teks semata, tetapi juga
bagaimana suatu teks diproduksi. Inti analisis Van Djik menggabungkan tiga
dimensi wacana ke dalam satu kesatuan analisis. Ada empat perbedaan antara
analisis wacana dengan analisis isi (kuantitatif) menurut Eriyanto yaitu: 3
1. Analisis Wacana lebih bersifat kualitatif dibandingkan dengan analisis
isi yang umumnya kuantitatif, analisis wacana menekankan pada
pemaknaan teks ketimbang penjumlahan unit katagori seperti yg
terdapat dalam analisis isi. Sehingga dalam menentukan analisis
datanya, analisis wacana tidak memerlukan lembaran koding.
2. Analisis isi kuantitatif pada umumnya hanya dapat digunakan untuk
membedah muatan teks komunikasi yang bersifat manifest (nyata),
atau dengan kata lain yang dipentingkan adalah “objektivitas”,
“Validitas” (keakuratan data), dan realibitas. Sedangkan dalam analisis
wacana, unsur terpenting dalam analisisnya adalah penafsiran dari teks
yang latent (tersembunyi).
2
Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2006),h.68.
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: PT. LKiS
Pelangi Aksara, 2008), h.46.
3
63
3. Analisis isi kuantitatif lebih menekankan kepada “apa’’ (what) yang
dikatakan oleh media, dan hanya bergerak pada level makro isi media
saja.
Sedangkan analisis wacana menekankan kepada “bagaimana”
(how) dan dengan cara apa pesan dikatakan oleh media. Selain meneliti
level makro isi media, analisis wacana juga meneliti pada level mikro
yang menyusun suatu teks, seperti kata, kalimat, ekspresi, dan retoris.
4. Analisis isi bertujuan melakukan generalisasi dalam penyimpulan hasil
penelitiannya, dan bahkan melakukan prediksi. Hal ini karena dalam
unit atau perangkat penelitiannya mengunakan sample, angket dan
sebagainya,
yang
secara
tidak
langsung
bertujuan
untuk
menggambarkan fenomena dari suatu isu atau peristiwa. Sedangkan
analisis wacana tidak bertujuan untuk melakukan generalisasi dengan
menggunakan beberapa asumsi. Hal ini karena analisis wacana melihat
bahwa setiap peristiwa pada dasarnya selalu bersifat unik, karena tidak
diperlukan prosedur yang sama yang diterapkan untuk isu dan kasus
yang berbeda.4
Kelebihan analisis wacana dari model Van Dijk adalah bahwa
penelitian wacana tidak semata-mata dengan menganalisis teks saja,
tetapi juga melihat bagaimana struktur sosial, dominasi dan kelompok
kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan bagaimana kognisi atau
4
Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2006), h.70-71
64
pikiran serta kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap
teks tertentu.5
Wacana dalam model Teun A. Van Dijk mengutamakan tiga
hal atau dimensi yaitu teks sosial, kognisi sosial, dan konteks sosial,
dan inti dari model ini adalah menggabungkan ketiga dimensi tadi
menjadi sebuah kesatuan (Unity).
a. Kerangka Analisis Wacana dalam Dimensi Teks
Kerangka analisis wacana dalam dimensi teks yang
dipaparkan oleh Van Dijk dibedakan menjadi tiga struktur atau
tingkatan, dimana struktur satu dengan yang lainnya memiliki
hubungan yang saling mendukung yaitu:
1) Struktur makro, yaitu makna atau global dari suatu teks
yang dapat diamati dari topik atau tema yang diangkat oleh
suatu teks.
2) Superstruktur, yaitu kerangka suatu teks, maksudnya
struktur dan elemen wacana itu disusun dalam teks secara
utuh.
3) Struktur mikro, yaitu makna lokal dari suatu teks yang
dapat diamati dari pilihan kata, kalimat, dan gaya bahasa
yang dipakai oleh suatu teks.6
Banyak model analisis wacana yang dikembangkan oleh
para ahli. Eriyanto dalam buku analisis wacananya, menyajikan
5
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKIS, 2006),
h.224.
6
Ibid, h. 227.
65
model-model wacana diantaranya: wacana model Fairclough, Theo
Van Leewen dan Sara Mills.
Menurut Michel Fairclough, wacana tidaklah dipahami
sebagai serangkaian kata atau preposisi dalam teks, tetapi menurut
Fairclough adalah sesuatu yang memproduksi yang lain (sebuah
gagasan, konsep atau efek). Wacana tidak dapat dideteksi karena
secara sistematis suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup
untuk dibentuk dalam suatu teks tertentu sehingga memperngaruhi
cara berpikir dan bertindak sesuatu.7 Analisis wacana Fairclough
didasarkan pada pertanyaan besar, bagaimana menghubungkan teks
yang makro dengan konteks masyarakat yang makro. Titik
perhatian besar dari Fairclough adalah melihat bahasa sebagai
praktik kekuasaan.8
Menurut Theo Van Leewen analisis wacana diperuntukan
mendeteksi dan meneliti bagaimana suatu kelompok atau seseorang
dimarginalkan posisinya dalam suatu wacana.9
Sedangkan Sara Mills, memberikan titik perhatian pada
wacana mengenai feminism, yaitu bagaimana wanita ditampilkan
dalam teks. Menurutnya, wanita cenderung ditampilkan dalam teks
sebagai pihak yang salah.10
7
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKIS, 2006),
h.65.
8
Ibid, h.285.
Ibid, h.171.
10
Ibid, h.199.
9
66
Dari sekian banyak model analisis wacana, penulis
menggunakan analisis wacana model Teun A. Van Dijk, karena
model ini adalah model yang paling banyak digunakan. Hal ini
dikarenakan Van Dijk mengelaborasi elemen-elemen wacana
sehingga bisa didayagunakan dan dapat digunakan secara praktis.
B. Jenis Penelitian
Jenis penelitian berdasarkan tujuannya ini menggunakan jenis
penelitian deskriptif. Jenis penelitian ini bertujuan untuk membuat desktiptif
secara sistematis, faktual, dan akurat tentang fakta-fakta dan objek tertentu.
Peneliti sudah mempunyai konsep (biasanya satu konsep) dan kerangka
konseptual, melalui kerangka konseptual (landasan teori) peneliti melakukan
operasionalisasi
konsep
yang
akan
menghasilkan
variabel
beserta
indikatornya. Penelitian ini menggambarkan realitas yang sedang terjadi tanpa
menjelaskan hubungan antar variabel.11
C. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah film ”7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”, film ini
menggambarkan realitas mengenai berbagai permasalahan yang dialami
perempuan di Indonesia. Sampai saat ini film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”
adalah satu-satunya film yang mendapatkan total nominasi enam belas
11
Rachmat Kriyantono, Teknis Praktis Riset Komunikasi, Pengantar Burhan Bungin
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 69.
67
Sedangkan objek penelitiannya adalah pesan tekstual dalam script yang
terdapat pada film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”.
D. Teknik Pengumpulan Data
Adapun Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Observasi
Observasi merupakan sebuah kegiatan yang berhubungan
dengan pengawasan, peninjauan, penyelidikan, dan penelitian. Metode
pengumpulan data dalam sebuah observasi, dilakukan secara sistematis
dan sengaja melalui pengamatan dan pencatatan terhadap gejala atau
fenomena objek yang akan diteliti.
Penelitian ini yang dilakukan adalah observasi mengenai teks
dalam skenario film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”, kemudian diadakan
pengamatan
analisis terhadap isi makna pesan yang terkandung
didalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”.
2. Wawancara
Wawancara adalah merupakan suatu alat pengumpulan
informasi yang langsung tentang beberapa jenis data. Penulis
menggunakan teknik wawancara terpimpin, yaitu penulis mengajukan
beberapa pertanyaan yang telah penulis persiapkan, kemudian setelah
itu dijawab oleh pemberi sumber data dengan jelas dan terbuka,
68
dengan menggunakan alat panduan wawancara yaitu tape recorder.
Narasumber yang diwawancarai yaitu Sutradara Robby Ertanto.
Adapun beberapa pertanyaan wawancara sebagai berikut:
a. What
1. Apa tujuan dibuatnya film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita?
2. Hal apa yang mendasari dibuatnya film ini?
3. Apa manfaat yang akan diperoleh penonton apabila meonton film ini?
4. Apa kendala yang dialami selama pembuatan film? Scene mana yang
paling sulit dan yang paling mudah?
5. Apa pesan yang ingin disampaikan kepada penonton?
6. Menurut
anda,
seberapa
besar
keberhasilan
pemain
dalam
memvisualkan bahasa verbal sehingga mampu menyampaikan pesan
yang ingin disampaikan dalam film ini?
7. Apakah ada unsur isu gender dalam film ini? Tolong sebutkan. Scene
mana yang memperlihatkan tentang isu gender?
8. Berapa persen presentasi antara fakta dan fiktif yang terdapat dalam
film ini?
9. Scene mana yang menurut anda paling penting dalam film ini?
10. Jika film ini dirangkum dalam satu scene,maka scene mana yang akan
anda ambil?
b. When
1. Kapan film ini mulai diproduksi, berapa lama proses produksinya?
69
c. Who
1. Siapa Sutradara film ini?
2. Siapa target penonton film ini?
3. Siapa tokoh utama dalam film ini, dan mengapa menjadi tokoh utama?
d. Where
1. Dimana saja lokasi film ini dibuat?
2. Lokasi mana yang paling utama dalam pembuatan film ini?, mengapa
dipilih lokasi di tempat tersebut?
3. Dimana saja film ini diputar?
e. Why
1. Kenapa film ini harus mengangkat kisah tentang perempuan?
2. Kenapa film ini menyudutkan kaum laki-laki?
3. Kenapa film ini harus diproduksi?
4. Kenapa film inii harus ditonton?
f. How
1. Bagaimana Ratna dapat mengatasi masalahnya ketika ia dihadapi pada
2 masalah,
yaitu mengetahui Rara hamil dan mengetahui bahwa
Marwan mempunyai istri lagi?
2. Bagaimana cara Yanti tetap bertahan ketika ia mengetahui adanya
kanker rahim pada tubuhnya?
70
3. Bagaimana Lili tetap bertahan dengan suami yang selalu saja
melakukan kekerasan seksual padanya?
4. Bagaimana cara dr. Kartini melihat berbagai kasus yang dialami oleh
pasiennya?
3. Dokumentasi
Metode ini digunakan untuk memperoleh data yang diperoleh
dengan cara mencatat dokumen-dokumen berupa catatan tertulis atau
literatur yang koheren dan yang berhubungan dengan penelitian.
E. Triangulasi
Triangulasi adalah istilah yang diperkenalkan oleh Denzie (1978)
dengan meminjam peristilahan dari dunia navigasi dan militer, yang merujuk
pada penggabungan berbagai metode dalam suatu kajian tentang satu gejala
tertentu. Keandalan dan kesahihan data dijamin dengan membandingkan data
yang diperoleh dari satu sumber atau metode tertentu, dengan data yang
didapat dari sumber atau metode lain. Konsep ini dilandasi asumsi bahwa
setiap bias yang interen dalam setiap data, peneliti, atau metode lainnya.
Tringulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data.12
Triangulasi disini untuk melihat hasil keabsahan hasil wawancara
dengan hasil wawancara dan teori yang digunakan dalam penelitian.
12
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan praktik, (Jakarta: PT. Bumi
Aksara, 2013) cet 1, h. 217-218
71
F. Teknik Analisis Data
Analisis wacana lebih melihat kepadagagasan yang akan diteliti. Unsur
penting dalam analisis wacana adalah kepaduan dan kesatuan serta penafsiran
penulis skenario berupa analisa.
Untuk penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif yang
bersifat Deskriptif Analisis, yaitu penelitian yang memberikan gambaran
secara objektif, dengan menggambarkan pesan-pesan dalam film7 Hati 7 Cinta
7 Wanita.
Analisis wacana Teun Van A. Dijk disini menghubungkan analisis
tekstual yang memusatkan perhatian melalui teks kearah analisis yang
komperhensif, bagaimana teks itu diproduksi, baik dalam hubungannya
dengan individu, pembuatan film maupun dari masyarakat.
Model yang digunakan oleh peneliti adalah model Teun A. Van Dijk,
menurutnya penelitian wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisi atas
teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktek produksi yang harus
juga diamati.13 Inti analisis Van Dijk adalah menggabungkan ketiga dimensi
wacana ke dalam satu kesatuan analisis. Dimensi tersebut adalah dimensi teks,
kognisi sosial, dan konteks sosial.14
Wacana film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita meliputi konteks sosial, kognisi
sosial dan teks skenario. Menganalisis superstruktur yang mencakup skematik
yang ada dalam film tersebut. Terakhir adalah struktur mikro yang meliputi
semantik, sintaksis, stalistik, retoris yang terdapat dalam film 7 Hati 7 Cinta 7
13
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKIS, 2006),
h.221.
14
Ibid, h.224.
72
Wanita. Dalam melaksanakan analisis ini,perlu dilakukan penyajian data yang
merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan
adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
Penulis menggunakan pola pemikiran deduktif, dan induktif dalam
menganalisa data. Deduktif yaitu menarik kesimpulan dan dalil-dalil yang
sifatnya umum kemudian dijadikan kesimpulan khusus, sedangkan induktif
adalah menarik kesimpulan dari bersifat khusus untuk kemudian dijleaskan
secara luas.
Kesimpulan yang akan diambil oleh peniliti berdasarkan semua data
yang diperoleh dalam kegiatan penelitian. Kesimpulan merupakan jawaban
berdasarkan data yang terkumpul, dan kesimpulan merupakan solusi yang
akan diberikan kepada objek penelitian.15
G. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dalam penelitian ini mengacu kepada Buku Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) karya Hamid Nasuhi
dkk, yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Development and
Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
15
Suharsini Arikunto, Produser Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Revisi IV,
(Jakarta: Renita Cipta, 1998), h.384.
BAB IV
ANALISIS DATA
A. Gambaran Film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”
1. Sinopsis Film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”
Film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” bercerita tentang Kartini (Jajang C.
Noer), seorang wanita berumur 45 tahun yang berprofesi sebagai dokter
kandungan. Kartini sendiri belum menikah karena pengalaman masa
lalunya yang membuatnya ragu untuk menikah. Kartini sebagai seorang
dokter kandungan, menghadapi berbagai macam pasien dengan latar
belakang yang berbeda. Bahkan terkadang Kartini mengetahui cerita lain
wanita-wanita yang menjadi pasiennya. Ada 6 wanita yang menjadi pasien
Kartini dan film ini menceritakan latar belakang masalah masing-masing
secara flashback dan dinarasikan sendiri oleh Kartini. Wanita pertama
adalah Ningsih (Patty Sandya) yang mengharapkan kehadiran seorang
anak laki-laki yang kuat dan berpendirian tidak seperti suaminya selama
ini yang lemah dan tak berpendirian. Wanita kedua adalah Yanti (Happy
Salma) yang bekerja sebagai penjaja seks. Yanti ditemani oleh Bambang
(Rangga Djoned) yang menjadi anjelonya (antar jemput lonte). Yanti
sendiri bermasalah dengan kanker rahimnya yang membuatnya putus
harapan untuk hidup, namun dibalik itu Bambang sebenarnya ingin
membantunya agar ia terbebas dari penyakitnya tersebut. Wanita ketiga
adalah Rara (Tamara Tyasmara) yang masih berumur 14 tahun. Rara
73
74
masih duduk di bangku kelas 2 SMP dan kini ia hamil akibat perbuatannya
dengan Acin (Albert Halim). Wanita keempat adalah Lastri (Tizza Radia)
yang sampai saat ini belum hamil, tapi Lastri memiliki Hadi (Verdi
Solaiman), suaminya yang sangat setia. Wanita kelima adalah Lili (Olga
Lidya), wanita hamil satu ini selalu mendapatkan perlakuan kasar dari
suaminya namun Lili selalu menyangkal suaminya melakukan ini dengan
sengaja. Wanita keenam adalah Ratna (Intan Kieflie), seorang wanita yang
bekerja keras demi mendapatkan uang untuk kelahiran anaknya nanti.
Ratna memiliki Marwan (Achmad Zaki) sebagai suaminya yang seringkali
pulang larut karena harus lembur dengan pekerjaannya.
75
Film ini tak hanya bercerita hanya tentang masalah yang dialami
keenam wanita tersebut, tetapi juga kehidupan pribadi Kartini. Kartini
sebagai seorang dokter tentunya mempunyai rekan kerja. Dokter Anton
(Henky Solaiman), seorang dokter kandungan lain di rumah sakit itu
memiliki kedekatan dengan Kartini. Anton selalu mencoba agar Kartini
bisa menerimanya, tetapi karena masa lalunya tersebutlah Kartini masih
belum bisa menerima Anton. Rumah sakit tempat Kartini dan Anton
bekerja pun kedatangan dokter kandungan baru yaitu dokter Rohana
(Marcella Zalianty), dokter baru ini kemudian hadir di antara kehidupan
Kartini dan Anton. Kartini mempunyai pandangan tersendiri tentang
wanita dan pria dan Rohana pun juga memiliki pandangan lain tentang
wanita dan hubungannya dengan pria, siapa yang harus dipersalahkan
dalam hubungan pria dan wanita. Dari sinilah mulai memicu konflik baru
antara Kartini dan Rohana ketika dua wanita dengan pendapat yang
berbeda ini harus bertemu
Film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” menceritakan tentangpermasalahan
perempuan tidak dapat dilepaskan dari tautan kelas sosial. Tidak hanya
menonjolkan lelaki secara garang pada enam karakter perempuan (disakiti
secara seksual, dihamili, kanker rahim, dimadu diam-diam dan
diselingkuhi), dokter Rohana tetap berpandangan bahwa tidak semua
perempuan adalah korban. Dokter Kartini, ia membela kaum perempuan
(disebutnya sebagai “kaumku”) atas asas kesadaran intelektual yang ia
anut. Kelas atas dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita tak didera penindasan
76
langsung dari laki-laki sebab mereka tak punya laki-laki, karakter kelas
atas ini (terutama dokter Kartini) justru dirundung kecemasan sebab tak
ada laki-laki sebagai partner kehidupan mereka.
2. Profil Robby Ertanto
Nama: Robby Ertanto Soediskam
Tempat & Tanggal lahir: Jakarta, 20-04-1983
Alamat: Jabodetabek, Indonesia
Pendidikan: Institut Kesenian Jakarta
Pengalaman Bekerja:
2009-2010: ANAK NEGERI FILM
2009-2010: ASEAN-ROK (Republic of Korea)
2011-2012: WGE Pictures & 87 Films
2011-Sekarang: PT. Khatulistiwa Cipta Nusantara
2014-Sekarang: Pengurus Badan Perfilman Indonesia
Filmografi
Dilema (2012)- Sutradara
Dilema (2012)- Cerita
7 Hati 7 Wanita 7 Cinta (2011)- Sutradara
7 Hati 7 Wanita 7 Cinta (2011)- Penulis skenario
Takut: Face of Fear (2008)- Sutradara
Nyawa-nyawa Mendamaikan Persada(2008)- Sutradara
77
Indonesiaku (2008) – Penulis Skenario
Kinantan (2007)- Sutradara
Kinantan (2007)- Produser
B. Skenario Film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”
1. Teks Film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”
Sesuai dengan skema Teun A. Van Djik, dalam analisis teks ini terbagi
menjadi tiga bagian, yaitu struktur makro, superstruktur, dan sktruktur
makro yang semuanya saling berhubungan dan saling melengkapi satu
sama lainnya.1
a. Struktur Makro/ Tematik
Tema atau topik menggambarkan apa gagasan inti atau pesan inti,
yang menunjukan informasi penting, yang ingin dikedepankan atau
diungkap oleh penulis skenario dalam Film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”.
Dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” topik atau tema umum yang
diambil penulis yaitu tentang kisah realitas perempuan yang berisi
mengenai:
1) Tentang Hak-Hak Perempuan
Mengenai hak-hak perempuan dalam film “7 Hati 7 Cinta 7
Wanita” terlihat pada kisah Rara, yang digambarkan oleh Rara
(Tamara Tyasmara) siswi kelas 2 SMP yang haknya sebagai
1
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: PT. LKiS
Pelangi Aksara, 2008), h.226.
78
perempuan terabaikan, pada saat itu ia hamil namun kekasihnya
tidak mau bertanggung jawab untuk menikahinya.
Isi cerita dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” yaitu tentang
hak-hak perempuan. Pemikiran tentang hak-hak perempuan
merupakan perkembangan dan konsep hak-hak asasi manusia,
konsep itu sendiri dibagi dalam du ide dasar yaitu bahwa manusia
lahir dengan hak-hak individu yang terus melekat dengannya , dan
bahwa hak-hak setiap manusia hanya dapat dijamin dengan
ditekannya kewajiban masyarakat dan negara untuk memastikan
kebebasan dan kesempatan dari anggota-anggotanya (manusia)
untuk memperoleh dan melaksanakan kebebasan hak asasi
tersebut.2
2) Kesehatan Reproduksi Perempuan
Mengenai kesehatan reproduksi perempuan terlihat dalam
skenario film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”, pada kisah Rara (Tamara
Tyasmara). Topik mengenai persoalan kesehatan reproduksi pada
cerita ini disebabkan karena tingkat pengetahuan tentang
seksualitas terbatas, terbatasnya informasi tentang kesehatan
reproduksi dan ketidakjangkauan remaja terhadap akses pelayanan
kesehatan reproduksi, sehingga membuat Rara terjerumus dalam
pergaulan bebas, hingga terjadi kehamilan yang tidak dikehendaki,
2
Tapi Omas Irhomi, Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, (Bandung: IKAPI,
2002), h.306.
79
dalam hal ini perempuanlah yang paling dirugikan karena harus
menanggung malu akibat kehamilannya.
Mengenai kesehatan reproduksi perempuan juga terlihat
pada kisah Yanti, yang digambarkan oleh Yanti (Happy Salma) ia
seorang pekerja seks komersial (PSK) yang divonis menderita
kanker rahim dan tidak bisa mempunyai keturunan. Kesehatan
reproduksi juga terdapat pada kisah Lastri, yang digambarkan oleh
Lastri (Tizza Radia) ia sulit mempunyai keturunan dikarenakan
berat badannya berlebihan.
Mengenai kesehatan reproduksi terlihat pada kisah Ningsih,
yang digambarkan oleh Ningsih (Patty Sandya), ia hanya ingin
mempunyai anak laki-laki, karena ia akan mendidik anaknya agar
tidak seperti ayahnya yang tidak tegas. Jika ia mengetahui anaknya
adalah perempuan maka ia akan menggugurkan kandungannya.
Mengenai kesehatan reproduksi juga terlihat pada kisah
Ratna (Intan Kiefli), ia melakukan proses persalinan tanpa
didampingi oleh suaminya yang bernama Marwan (Achmad
Zacky).
Definisi kesehatan reproduksi dari konfrensi internasional
Kependudukan dan Pembangunan di Kairo tahun 1994 bahwa,
kesehatan reproduksi adalah keadaan sejahtera fisik, mental dan
sosial yang utuh, dan bukan hanya tidak adanya penyakit atau
80
kelemahan, dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem
reproduksi dan fungsi-fungsi serta prosesnya.3
3) Kekerasan pada Perempuan
Kekerasan terhadap perempuan terlihat pada film “7 Hati 7
Cinta 7 Wanita”, pada kisah Lili yang di gambarkan Lili (Olga
Lidya), ia mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh
suaminya. Wanita hamil satu ini selalu mendapatkan perlakuan
kasar dari suaminya namun Lili selalu menyangkal suaminya
melakukan
ini
dengan
sengaja.Kekerasan
seksual
dan
penganiayaan yang dialami Lili menyebabkan ia tidaksadarkan diri
dan akhirnya ia meninggal dunia.
Salah satu bentuk ketidakadilan gender adalah tindak
kekerasan terhadap perempuan, baik yang berbentuk kekerasan
fisik maupun psikis. Kekerasan karena anggapan bahwa laki-laki
pemegang supermasi dan dominasi terhadap berbagai sektor
kehidupan. Kekerasan terhadap perempuan mempunyai beberapa
tingkatan, yaitu:
a. Pemerkosaan
b. Pemukulan, Penganiayaan, dan Pembunuhan
c. Prostitusi sebagai bentuk eksploitasi perempuan
d. Pornografi sebagai bentuk pelecehan
3
Tapi Omas Irhomi, Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, (Bandung: IKAPI,
2002), h.305.
81
e. Pemaksaan sterilisasi
f. Pelecehan seksual dengan sentuhan maupun uangkapan yang
merendahkan martabat perempuan.4
Kekerasan terhadap perempuan tersebut dapat melahirkan
berbagai
ketidakharmonisan
sosial
yang
menghambat
perkembangan psikis perempuan, sehingga menjadi tidak berdaya.
Kekerasan terhadap perempuan juga menimbulkan rasa malu dan
mengintimidasi
perempuan,
ketakutan
akan
kekerasan
menghalangi banyak perempuan mengambil inisiatif dan mengatur
hidup yang akan dipilihnya.5
b. Superstruktur/Skematik
Pada film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”, sutradara mengemas pesannya
dalam 5 tahap:
1) Opening Bill Board (OBB) dan Sound Effect
Menampilkan potongan-potongan dari gambar-gambar yang ada
dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” disertai visual effect,
instrumen musik juga dikombinasikan sebagai sound effect.
4
Astriati Jamil dan Amani Lubis, dkk, Pengantar Kajian Gender: Seks dan Gender,
(Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan McGiII-ICIHEP, 2003), h.78
5
Julia Cleves Mosse, Gender dan Pembangunan, (Yogyakarta: Rifka Annisa Women’s
Crisis Centre dengan Pustaka Pelajar, 2003), h.76.
82
2) Opening Shot
Tabel 4.1
OPENING SHOT
Menampilkan Lili (Olga Lidya) yang sedang tidaksadarkan dan
dilarikan ke ruangan ICU dengan ditemani oleh suami, adik dan
para perawat rumah sakit.
Gambar 4.1
Menampilkan kekerasan seksual yang dilakukan oleh suami Lili.
Gambar 4.2
Menampilkan
dr.Rohana
(Marcella
Zalianty)
menghampiri Lili dan membawa Lili ke ruangan ICU
Gambar 4.3
berlari
83
Menampilkan dr.Kartini (Jajang C. Noer) menghubungi pihak
kepolisian untuk melaporkan kasus kekerasan yang dilakukan
oleh suami Lili.
Gambar 4.4
Menampilkan dr. Kartini dan dr. Rohana keluar dari ruangan
ICU dan memberikan kabar mengenai keadaan Lili.
Gambar 4.5
3) Klimaks (Conflict Scene)
Pada bagian ketiga ini, barulah masuk kedalam bagian-bagian
adegan. Pada bagian ini sudah terlihat klimaks, yakni benturan
kepentingan para tokoh yang berujung pada konflik.
SCENE
Scene 2
Tabel 4.2
KLIMAKS (CONFLICT SCENE)
Conflict scene terlihat pada kisah Lili (Olga Lidya)
yang menjadi korban kekerasan seksual oleh suaminya.
SUAMI LILI: Gua juga hamil, tapi gak manja kaya lo..
84
(suami Lili melepar bantal ke hadapan Lili). Gua
pengen lo yang ngelayanin gua , bukan gua yang
ngelayanin lo.. (suami Lili menampar Lili berulang
kali).
Scene 1
Conflict scene ini terlihat pada kisah Yanti (Happy
Salma), dimana yanti mengetahui bahwa dirinya
mengidap kanker rahim.
YANTI: Dok, hasil test kemarin gimana?
(dr.Kartini memberikan surat hasil test dan Yanti pun
membukanya kemudian Yanti dan Bambang terkejut
dan merasa sedih melihat hasil test sementara yang
menunjukan bahwa ia mengidap kanker rahim)
dr. KARTINI: Kita masih bisa melakukan beberapa test
lagi…(dr.Kartini berusaha memberikan semangat agar
Yanti
tidak
terpuruk
dan
bangkit
dari
kanker
rahimnya).
Scene 15
Conflict scene ini terlihat pada kisah Rara (Tamara
Tyasmara) siswi kelas 2 SMP yang hamil hasil
berhubungan dengan Acin (Albert Halim) kekasihnya.
ACIN: Yaudah kita putus!!!
RARA: Aku hamil tau (Rara melempar hasil test),
dokter bilang aku hamil..
ACIN: Yaudah kalau gitu kita gugurin aja
RARA: Enggak… aku punya anak, kamu harus
kawinin aku
ACIN: Enggak, gua belum siap.
85
Scene 22
Conflict scene terlihat pada kisah Ratna (Intan Kieflie)
yang mengetahui bahwa Marwan (Achmad Zaki)
suaminya mempunyai istri lagi. Ratna tiba dirumah
terkejut saat melihat seorang perempuan dan seorang
anak.
RATNA: Mas, boleh kita bicara di kamar? Aku gak
mau dimadu Mas, lebih baik aku hidup sendiri daripada
dimadu…
MARWAN: Aku sayang kamu Rat….
RATNA: Mas… tolong jangan munafik
MARWAN: Aku gak munafik
RATNA: Diam!!!!! Kamu emang bajingan sejak
pertama kita menikah, aku udah tau kalo kamu
bajingan!!!
MARWAN: Ratna…..
RATNA: Dengar, aku mungkin bisa menerima dengan
posisi yang sudah ditakdirkan oleh Allah untuk aku
Mas… tapi aku bukan barang yang tidak bernyawa, aku
hidup aku manusia, bukan anjing yang bisa ditendang
begitu saja pada saat majikannya sedang bersenangsenang dengan lonte diluar sana. Kamu kira aku
pembantu, itu kewajibanku sebagai istri bukan banting
tulang untuk mencukupi kebutuhan di rumah ini, itu
tugas kamu Mas… tugas kamu!!!!.. sekarang kamu
datang bawa istri baru dan anak, sepertinya aku
bersalah besar, kamu emang gak tau diri beraniberaninya kamu hina aku orang yang udah kasih kamu
makan.
86
Scene 26
Conflict scene terlihat pada kisah Ningsih (Patty
Sandra) dan Lastri (Tizza Radia), yang mengetahui
bahwa suaminya Hadi (Verdi Sulaiman) memiliki istri
lagi.
Ningsih datang bersama Hadi ke Rumah sakit,
kemudian bertemu dengan Lastri.
LASTRI: Hadi… kok kamu bisa disini?
HADI: Sweetheart Lastri I’m so sorry
(sayang,
maaf…)
LASTRI: Oh don’t touch me (jangan sentuh aku)
NINGSIH: Berhenti!!!!! Hadi itu siapa?
LASTRI: He is my husband (ini suami saya)
NINGSIH: Pake bahasa Indonesia!!!
LASTRI: Iya dia suami saya
NINGSIH: Sejak kapan?
LASTRI: Since…
NINGSIH: Pake bahasa Indonesia!!!
LASTRI: Sejak 8 bulan yang lalu
NINGSIH: Pantesan ya…. pantesan keterlaluan
HADI: Lastri.. I’m so sorry (memeluk Lastri)
NINGSIH: Hadi sini siapa dia? Gendut, jelek buta
kamu!!!
Lastri
menghampiri
Ningsih
kemudian
mereka
bertengkar.
4) Solusi (Anti Klimaks)
Setelah conflict scene, scene beralih pada solusi dari permasalahan yang
ada.
87
SCENE
Scene 24
Tabel 4.3
ANTI KLIMAKS
Anti klimaks terdapat pada scene 24, pada saat Lili
dilarikan ke ruangan ICU dan tidaksadarkan diri akibat
kekerasan yang dilakukan oleh suaminya, dr. Kartini
mencoba menghubungi pihak kepolisian agar menindak
lanjuti kasus kekerasan yang dialami Lili.
Scene 22
Anti klimaks terdapat pada scene 22, pada saat Rara
tiba di rumah dan mendengar semua pertengkaran yang
terjadi antara Ratna dan Marwan.
RATNA: Ra, kenapa kamu gak masuk?
RARA: Mba lagi berantem, Rara ga berani masuk…
RATNA: kamu dengar semuanya?
RARA: Iya Mba…
RATNA: Ayo Ra kita pergi..(akhirnya Ratna dan Rara
Pergi meninggalkan rumah).
Scene 25
Anti Klimaks terdapat pada scene 25, pada saat yang
mengetahui dirinya mengidap penyakit kanker, ia
mencoba mencari pekerjaan yang halal dan berusaha
meninggalkan pekerjaannya sebagai Pekerja Seks
Komersial (PSK).
YANTI: Gua gak mungkin gini terus Bang…
BAMBANG: Terus lo mau ngapain?
YANTI:Gua mau mati!!
BAMBANG: Masih bisa kok diobatin…
YANTI: Duitnya dari mana?
BAMBANG: Makanya jangan malas!!!
YANTI: Lo gak dengar ya??? Gua bilang guagak
mungkin gini terus!!!
88
5) Penutup (Ending)
Tabel 4.4
SCENE
ENDING
Scene 24
Pada kisah Lili, cerita ini berakhir ketika Lili
dinyatakan meninggal dunia dan pihak kepolisian
menangkap suami Lili.
Scene 24
Pada kisah dr.Kartini, cerita ini berakhir ketika
dr.Anton melamar dr.Kartini dan menerima lamaran
dr.Anton.
Scene 26
Pada kisah Ningsih dan Lastri, cerita ini berakhir ketika
Ningsih mengetahui suaminya mempunya istri lagi dan
Ningsih dan Lastri berkelahi di rumah sakit.
Scene 26
Pada kisah Yanti, cerita ini berakhir ketika Yanti
memutuskan untuk berhenti menjadi PSK (Pekerja
Seks Komersial).
Scene 26
Pada kisah Rara dan Ratna, cerita ini berakhir ketika
Ratna
tiba
di
Rumah
sakit
dan
menceritakan
permasalahan hidupnya kepada dr.Kartini.
6) Theme song
Lagu tema Film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”, dilanjutkan dengan credite title
yang menayangkan nama para pemain Film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”.
89
c. Struktur Mikro
1) Semantik
Makna yang ingin ditekankan dalam skema Van Djik, disebut hubungan
antar kalimat, hubungan antar preposisi yang membangun makna tertentu
dalam struktur wacana.6 Beberapa strategi semantik, diantaranya:
a) Latar
Latar peristiwa yang dipilih akan menentukan ke arah mana pandangan
khalayak akan dibawa.7 Dalam film“7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”, penulis
membagi latar film menjadi tujuh bagian, karena film ini terdiri tujuh
kisah, yaitu: kisah Yanti, kisah Rara, kisah Ningsih, kisah Ratna, kisah
Lastri, kisah Lili, dan kisah dr. Kartini.
Tabel 4.5
LATAR
Kisah Yanti
Latar pada kisah Yanti, penulis skenario Robby Ertanto
mengarahkan penonton pada sosok perempuan yang
menjadi seorang PSK (Pekerja Seks Komersial) yang
divonis mengidap penyakit kanker rahim oleh dokter.
Sosok perempuan ini merasa tersudutkan terlihat pada
scene 20, ketika Yanti melihat hasil test sementara yang
menyatakan ia mengidap kanker rahim. dr. Kartini
berusaha memberikan semangat agar Yanti tidak merasa
terpuruk dan bangkit dari kankernya.
6
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: PT. LKiS
Pelangi Aksara, 2008), h.232.
7
Ibid, h.235.
90
Kisah Rara
Latar pada kisah Rara, penulis skenario Robby Ertanto
mengarahkan
penonton
pada
pandangan
tentang
pergaulan bebas yang dilakukan oleh pelajar, yang
terdapat pada scene 4, ketika Acin mengajak Rara masuk
ke dalam sebuah kamar kost.
Pada saat Rara ke Rumah sakit untuk memeriksa
kandunganya, Yanti menanyakan kepada Rara.
YANTI: Pacarnya satu sekolah?
RARA: Gak dia SMA..
YANTI: Kalau kamu kelas berapa?
RARA: Kelas 2 SMP..
YANTI: Tokcer ya…
Dari awal cerita, pandangan penonton akan mengarah
pada pergaulan bebas dikalangan para remaja. Rara dan
Acin, sepertinya sudah terbiasa pada pergaulan bebas
tanpa memperdulikan akibatnya.
Kisah Ratna
Latar pada kisah Ratna, mengarahkan pandangan
penonton pda sosok perempuan berhijab nan sholehah,
sabar dan selalu kuat dalam menghadapi segala persoalan
hidup. Menikah selama 5 tahun namun belum dikarunia
anak, sampai pada akhirnya ia hamil. Namun malang,
ketika ia hamil ia tetap harus bekerja keras demi
keperluan untuk melahirkan. Marwan sebagai suami nya
tidak memperlihatkan perhatian dankebahagiaannya,
justru saat usia kandungannya sudah tua, Ratna
mengetahui bahwa suaminya selingkuh dan memiliki
anak berusia 3 tahun.
91
Kisah Lili
Latar pada kisah Lili, mengarahkan penonton pada
seorang perempuan Tionghoa dengan sifatnya yang
pendiam dan tertutup. Lili sangat mencintai suaminya,
namun ia sering mendapat kekerasaan seksual dari
suaminya,
karena
suaminya
mempunyai
memiliki
kelainan seksual. Lili selalu menutupi semua yang terjadi
padanya.
dr. Kartini melihat ada memar dibagian tubuhnya,
terdapat pada scene 14.
dr. KARTINI: Lili, saya harus bagaimana supaya kamu
mau bercerita?
LILI: Saya gak ngerti maksud Dokter?
dr. KARTINI: Kamu masih juga melindungi dia?
LILI: Dokter, saya…..
dr. KARTINI: Kita bisa sama-sama lapor polisi…
LILI: Jangan Dok!!!! Saya cinta sama Dia…
dr. KARTINI: Karena itu kamu siap disiksa begini?
LILI: Dia gak siksa saya, dia sengaja Dok,….
dr. KARTINI: Kalau ini terus terjadi ini bisa berbahaya
bagi kamu. Lili saya punya kewajiban untuk melaporkan
kepada polisi kalau ada apa-apa yang tidak benar dengan
pasien saya.
Kisah Ningsih
Latar pada kisah Ningsih, Robby sebagai penulis
skenario mengarahkan penonton pada sosok wanita karir
yang memiliki peran dominan dalam keluarga, mengurus
segala keperluan rumah tangga dan menanggung semua
kebutuhan. Inilah yang menyebabkan Ningsih terobsesi
ingin memiliki anak laki-laki dikarenakan suaminya yang
bernama Hadi yang dianggap nya tidak tegas dan hanya
92
bisa diam, perlakuan tersebut yang menyebabkan hadi
memiliki istri yang mampu menghargai keberadaannya.
Kisah Lastri
Latar pada kisah Lastri, penulis mengarahkan penonton
pada sosok perempuan yang periang dan selalu bahagia.
Perempuan gendut yang seolah mempunyai pasangan
yang ideal. Namun selama pernikahan mereka belum
dikaruniai seorang anak, dan suaminya pun yang
bernama Hadi yang merupakan suami dari Ningsih selalu
setia mendampinginya. Disisi lain Hadi yang seolah
menjadi suami yang sempurna ternyata ia sudah
memiliki istri sebelumnya.
Kisah dr. Kartini
Latar pada kisah dr. Kartini ini penulis mengarahkan
penonton pada seorang dokter yang mempunyai sifat
penyayang, sabar, bijaksana, bertanggung jawab dan
tegas. Disetiap masalah dari semua pasiennya, ia selalu
bersikap tenang dan bijak dalam membantu menangani
pasiennya. dr. Kartini selalu merasa bahwa sebagian
besar wanita sering ditindas oleh kaum pria.
b) Detil
Dalam detil, hal yang menguntungkan pembuat teks akan diuraikan
secara detil dan terperinci, sebaliknya fakta yang tidak menguntungkan ,
detil informasi akan dikurangi. Dibawah ini merupakan element detil
yang terdapat pada film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita.
93
SCENE
Scene 2
Tabel 4.6
DETIL
Elemen detil yang terdapat pada scene 2, ketika Lili
sedang membuat minuman untuk suaminya, kemudian
suaminya menarik rambut Lili.
RANDY (suami Lili): Gua juga hamil, tapi gak manja
kaya lo (Randy melempar bantal ke wajah Lili), gua
pengen lo yang ngelayanin gua bukan gua yang
ngelayanin lo (Randy menampar Lili).
Teks skenario diatas, menggambarkan dengan detil dan
rinci, kekerasan yang dilakukan suaminya terhadap Lili.
Pola penulisan seperti kalimat diatas, menunjukkan
bahwa Randy melakukan kekerasaan seksual terhadap
Lili.
Scene 1
Elemendetil yang tedapat pada scene 1, ketika Yanti
bertemu dengan dr. Kartini untu mengambil hasil
testnya.
dr.KARTINI: Dalam satu malam tiga laki-laki dan satu
perempuan? Semuanya melakukan hubungan seks?
YANTI: Enggalah Dok, saya cuma embat duitnya aja,
yailahlah Dok (Yanti tertawa).
Teks skenario diatas, menguraikan dengan detil tentang
pekerjaan yang dilakukan oleh Yanti dalam satu malam.
Pola penulisan seperti diatas, menonjolkan bahwa Yanti
adalah seorang PSK (Pekerja Seks Komersial).
Scene 1
Elemen detil yang terdapat pada scene 1, ketika Rara
datang ke rumah sakit untuk mengetahui kehamilannya.
dr. KARTINI: Ada yang bisa saya bantu?
RARA: Gini Dok, saya telat dua minggu, mungkin saya
hamil?
dr. KARTINI: Memangnya kamu sudah pernah
melakukan hubungan intim?
Scene 1
Pada teks skenario diatas, menggambarkan detil tentang
pergaulan bebas yang dilakukan Rara dan Acin. Dengan
teks tersebut terlihat bahwa pergaulan bebas yang
dilakukan para remaja sudah tidak asing lagi.
Element detil pada scene 1, ketika Ratna tiba di rumah
94
sakit dan bertemu dengan dr. Kartini, kemudian mereka
duduk berbincang.
dr. KARTINI: Kamu sudah ambil cuti?
RATNA: Belum Dok, nanti saja uangnya lumayan untuk
bayi ini…
Teks skenario diatas, menggambarkan keadaan keuangan
Ratna. Dengan teks tersebut terlihat bahwa ia harus
bekerja keras demi anak yang dikandungnya.
Scene 9
Elemen detil yang terdapat pada scene 9, ketika Ningsih
sedang memeriksa kandungannya di rumah sakit.
NINGSIH: Kapan saya bisa tahu Dok anak saya laki-laki
atau perempuan?
dr. KARTINI: Sekitar enam bulan lagi..
NINGSIH: Apa saya bisa gugurin kandungan saya pada
saat itu?
dr. KARTINI: Kenapa?
NINGSIH: Kalau bukan laki-laki saya ga mau, saya mau
ada pengganti suami saya Dok!
Teks diatas, mengguraikan dengan detil bahwa Ningsih
hanya menginginkan anak laki-laki.
Penulisan seperti itu, menggambarkan keadaan suami
Ningsih yang tidak tegas, dan ia akan mendidik anaknya
tidak seperti ayahnya.
c) Maksud
Elemen maksud melihat informasi yang menguntungkan yang akan
diuraikan secara eksplisit, tegas dan jelas, serta menunjuk langsung pada
fakta.8 Dalam scenario yang penulis amati, elemen maksud terlihat jelas
terdapat pada film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”.
8
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: PT. LKiS
Pelangi Aksara, 2008), h.240.
95
SCENE
Scene 1
Tabel 4.7
MAKSUD
Elemen maksud terdapat pada scene 1, ketika Lili
memeriksa kandungannya, kemudian dr. Kartini melihat
luka memar dibagian tubuh Lili.
dr. KARTINI: Lili utamakan kandungan kamu itu, saya
tahu itu bukan jatuh.
Teks diatas merupakan elemen maksud, karena terdapat
informasi yang jelas, mengenai luka akibat kekerasan
rumah tangga yang terjadi pada Lili.
Scene 9
Elemen maksud terdapat pada scene 9, ketika Rara
memeriksa kandungannya, kemudian Rara berbincangbincang dengan dr. Kartini.
RARA: Gimana Dok, saya belum ngerti apa-apa,
apalagi ngurus anak.
Pada teks diatas, merupakan elemen maksud karena
penulis skenario bertujuan menyampaikan informasi
dengan menuliskan secara ekspilisit dan jelas mengenai
dampak pergaulan bebas.
Scene 18
Elemen maksud yang terdapat pada scene 18, ketika
Ningsih dan Hadi sedang berada di rumahnya.
NINGSIH: Pokoknya kalau anak saya laki-laki, saya
tidak akan didik seperti kamu!.
96
Pada teks diatas, merupakan elemen maksud karena
penulis skenario bertujuan menyampaikan informasi
dengan menuliskan secara ekspilisit dan jelas mengenai
keinginan untuk mempunyai anak laki-laki agar bisa
lebih baik tidak seperti ayahnya.
Scene 21
Elemen maksud yang terdapat pada scene 21, ketika
Bambang datang ke Rumah sakit dan bertemu dengan
dr. Kartini untuk membicarakan mengenai penyakit
yang diderita Yanti.
dr. KARTINI: Kita Harus melakukan beberapa test lagi,
dia belum divonis.
BAMBANG: Dia ketakutan Dok…
dr. KARTINI: Iya saya paham, kamu harus meyakinkan
dia bahawa dia belum divonis. Kanker di mulut
rahimnya memang bisa membunuhnya, tapi pada saat
ini stadiumnya masih dini. Dia harusnya berhenti
jadi….. ehmm maksud saya karena berganti-ganti
pasanganlah yang menyebabkan dia HIV.
BAMBANG: Dok, saya gak ngerti, yang penting saya
mau bantu dia.
Pada teks diatas, merupakan elemen maksud karena
penulis skenario bertujuan menyampaikan informasi
dengan menuliskan secara ekspilisit dan jelas mengenai
solusi yang diberikan dr. Kartini agar Yanti berhenti
menjadi PSK (Pekerja Seks Komersial), dan Bambang
bertujuan untuk membantu Yanti dengan berbagai cara.
Scene 24
Pada scene 24 ini terdapat elemen maksud, ketika Ratna
97
mengetahui bahwa Marwan mempunyai istri kedua dan
seorang anak. Istri kedua Marwan meminta maaf kepada
Ratna.
RATNA: Harusnya kamu cek dulu siapa dia!
Pada teks diatas, merupakan elemen maksud karena
penulis skenario bertujuan menyampaikan informasi
dengan menuliskan secara ekspilisit dan jelas bahwa
sebelum menikah dengan Marwan terlebih dahulu
mencari tahu siapa Marwan.
d. Sintaksis
1) Koherensi
Koherensi adalah pertalian atau jalinan antar kata, atau kalimat dalam
teks. Dua buah kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat
dihubungkan sehingga tampak koheren. 9 Dalam skenario yang penulis
amati, koherensi dapat dilihat dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”.
Tabel 4.8
KOHERENSI
SCENE
Scene 9
Pada scene 9 terdapat kalimat koherensi, ketika Ningsih
memeriksa
kandungannya,
kemudian
dr.
Kartini
memberikan saran agar mengajak suaminya pada saat
memeriksa kembali kandungannya.
dr. KARTINI: Ada baiknya kalau periksa kembali
diajak ya suami Ibu..
NINGSIH: Mungkin, tapi saya gak tahu apa gunanya.
9
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: PT. LKiS
Pelangi Aksara, 2008), h.235.
98
Koherensi pada teks diatas ditunjukan pada kata “tapi”.
Kata “tapi” atau “tetapi”, menghubungkan kalimat
Mungkin dan kalimat saya gak tahu apa gunanya.
Sehingga kalimat tersebut menjadi koheren.
Scene 14
Pada scene 14, terdapat kalimat yang menunjukan
koherensi. Ketika Lili memasuki ruangan dr. Kartini
untuk memeriksa kandungannya. Kemudian dr. Kartini
melihat luka memar dibagian wajah Lili.
dr. KARTINI: Kita bisa sama-sama lapor polisi.
LILI: Jangan Dok, saya cinta sama dia!
dr. KARTINI: Karena itu kamu siap disiksa begini?
Koherensi pada teks diatas ditunjukan pada kata
“Karena”. Kata “Karena itu”, menghubungkan kalimat
Saya cinta sama dia dan kalimat kamu siap disiksa
begini?. Sehingga kalimat tersebut menjadi koheren.
Scene 21
Kalimat koherensi terdapat pada scene 21, ketika
Bambang mendatangi dr. Kartini untuk membantu Yanti
agar sembuh dari kanker rahimnya.
dr. KARTINI: Iya saya paham, kamu harus meyakinkan
dia bahwa dia belum divonis. Kanker di mulut rahimnya
memang bisa membunuhnya, tapi pada saat ini
stadiumnya masih dini. Dia harusnya berhenti jadi…..
ehmm maksud saya karena berganti-ganti pasanganlah
yang menyebabkan dia HIV.
BAMBANG: Dok, saya ga ngerti, yang penting saya
mau bantu dia.
99
Koherensi pada teks diatas ditunjukan pada kata
“Karena”. Kata “Karena”, menghubungkan kalimat
Maksud saya dan kalimat berganti-ganti pasanganlah
yang menyebabkan dia HIV . Sehingga kalimat tersebut
menjadi koheren
2) Kata Ganti
kata ganti merupakan alat yang dipakai oleh penulis skenario untuk
menunjukan dimana seseorang ditempatkan dalam wawancara. Berbagai
kata ganti yang berlainan digunakan secara strategis sesuai dengan
kondisi yang ada.10 Dalam teks yang terdapat pada skenario film ini, kata
ganti yang digunakan yaitu:
Tabel 4.9
KATA GANTI
Penulis skenario film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” menggunakan kata ganti
“mas”, kepada tokoh Marwan dan Hadi, kemudia kata “mbak” pada tokoh
Ratna. Kedua kata ganti tersebut merupakan panggilan dari daerah jawa. Kata
ganti “mbak” terlihat dalam scene 16, 22, 24, Dan kata ganti “mas” terlihat
pada scene 6, 14, dan 22.
RATNA: Rara, kamu gak sekolah?
RARA: Gak enak badan Mbak, mual-mual dari tadi pagi.
RATNA: Kalau gitu ke dokter dong, ayo..
RARA: Gakusah Mbak gak usah udah enakan kok.
RATNA: Ya sudah kalau gitu kamu sekolah.
RARA: Saya mau istirahat aja Mbak!
10
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: PT. LKiS
Pelangi Aksara, 2008), h.253.
100
ISTRI KEDUA MARWAN: Mbak maaf…
RARA: Mbak lagi berantem, Rara gak berani masuk.
RATNA: Kamu dengar semuanya?
RARA: Iya Mbak
RARA: Mbak udah cukup!!!
MARWAN: Assalamualaikum..
RATNA: Waalaikumsalam, baru pulang Mas, kok gak ada kabar?, nanti sore
aku akan cek ke Rumah sakit lagi, Mas ada waktu kan temenin aku?
NINGSIH: Makanya saya bilang kan dok, gak ada gunanya bawa dia kesini
semua keputusan rumah tangga saya yang urus semuanya, enak kan Mas Hadi,
iya gak?
ISTRI KEDUA MARWAN: Mas… Mas Marwan iki lo Rangga loro…
RATNA: Mas boleh kita bicara dikamar?
RATNA: Mas tolong jangan munafik!!!
RATNA: Dengar aku mememang menerima dengan posisi yang sudah
ditakdirkan untuk aku Mas, tapi aku bukan barang yang tidak bernyawa Mas
Penulis skenario menggunakan kata ganti “Cece” pada tokoh Lili. Kata ganti
tersebut merupakan panggilan yang digunakan orang Thionghoa. Kata ganti
“Cece” terlihat pada scene 12.
ACIN: Sudah waktunya Ce….
LILI: Ini Cuma sariawan
ACIN: Emang Ce, tapi Acin tahu itu
101
Penulis skenario menggunakan kata ganti “Ayah” kepada ayah dr.
Rohanamerupakan sebuahpanggilan bagi seorang bapak dan Ibu kepada
Ningsih yang merupakan sebuah panggilan untuk seseorang perempuan yang
mempunyai anak. Kata ganti “Ayah” terlihat pada scene 19 dan kata ganti Ibu
terlihat pada scene 9.
dr. ROHANA: Ayah belum tidur?
dr. KARTINI: Ada baiknya kalau periksa kembali diajak ya suami Ibu..
3) Bentuk Kalimat
Bentuk kalimat adalah segi sintaksis yang berhubungan dengan prinsip
kausalitas. 11 Dalam skenario yang penulis amati, bentuk kalimat yang
dapat dilihat pada film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”, diantaranya yaitu:
SCENE
Scene 7
Tabel 4.10
BENTUK KALIMAT
Bentuk kalimat terlihat pada scene 7, ketika Yanti
sedang memikirkan menyakit yang dialaminya.
BAMBANG: Yan lo harus lawan penyakit lo, gua
yakin lo bisa sembuh.
Pada teks diatas merupakan kalimat induktif yaitu,
inti kalimat terdapat pada akhir kalimat. Bentuk
kalimat tersebut memperlihatkan bahwa, Bambang
yakin akan kesembuhan Yanti, karena Yanti harus
berusaha melawan penyakitnya, yang terdapat pada
11
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: PT. LKiS
Pelangi Aksara, 2008), h.251.
102
awal kalimat.
Scene 9
Bentuk kalimat terlihat pada scene 9, ketika Ningsih
sedang memeriksa kandungannya.
NINGSIH: Saya gak peduli doktre, yang penting
bayi saya laki-laki.
Pada teks diatas merupakan kalimat induktif, yaitu
inti kalimat terdapat diakhir kalimat. Bentuk kalimat
tersebut memperlihatkan bahwa Ningsih tidak
mempedulikan apapun resikonya karena Ningsih
ingin mempunyai bayi laki-laki.
Scene 14
Bentuk kalimat terlihat pada scene 14, ketika dr.
Kartini melihat ada luka memar ditubuh Lili.
dr. KARTINI: Kalau ini terus terjadi bisa berbahaya
untuk bayi kamu. Lili saya punya kewajiban untuk
melaporkan kepada polisi kalau ada apa-apa yang
tidak wajar dengan pasien saya.
Teks diatas merupakan bentuk kalimat deduktif,
yaitu inti kalimat terdapat pada awal kalimat.
Kalimat kalau ini terus terjadi bisa berbahaya bagi
bayi kamu, merupakan inti kalimat yang diletakan
diawal kalimat.
Scene 22
Bentuk kalimat terlihat pada scene 22, ketika Ratna
mengetahui bahwa Marwan memiliki istri dan anak.
RATNA: Aku gak mau dimadu mas, lebih baik aku
hidup sendiri daripada dimadu.
103
Teks diatas merupakan bentuk kalimat deduktif,
yaitu inti kalimat terdapat diawal kalimat. Kalimat
aku gak mau dimadu, merupakan inti kalimat yang
terdapat diawal kalimat.
e. Stalistik
Stalistik atau style dapat diterjemahkan sebagai gaya bahasa. 12 Didalam
stalistik, tentu saja yang menjadi pusat perhatiannya adalah gaya bahasa.
Gaya bahasa digunakan oleh orang tertentu untuk maksud tertentu maka,
gaya bahasa dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” yang digunakan oleh
penulis skenario bertujuan untuk menyampaikan maksudnya. Pada teks yang
terdapat dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”, gaya bahasa yang digunakan
yaitu bahasa daerah (bahasa jawa) dan bahasa asing (bahasa inggris).
SCENE
Scene 5
Tabel 4.11
GAYA BAHASA
Gaya bahasa yang terdapat pada scene 5, yaitu
menggunakan gaya bahasa inggis.
HADI: Honey, I”m home……
Where are you sweet heart?
LASTRI: I’m here…..
HADI: Whats cooked?
LASTRI: Your favourite
HADI: Oh I try I try.
LASTRI: Carefull
HADI: Oh It’s good
LASTRI: Really?
12
Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), h. 81.
104
Scene 10
Gaya bahasa yang terdapat pada scene 10, yaitu
menggunakan gaya bahasa daerah atau bahasa jawa.
ISTRI MARWAN: Mas apik yo rumah e, ndak kaya
rumahku sing ngontrak.
MARWAN: Ah sing iri-irian, wis bodo wae.
ISTRI MARWAN: Rangga wis Play Group.
MARWAN: Mangkane wis seregep sholat kaya
Ratna sing rezekine akeh.
ISTRI MARWAN: Mangkane ndak usah bojo loro
kalau ndak iso bandane.
MARWAN: Wis, nengkono Ratna wis mule.
ISTRI MARWAN: Bilang Bapak, ya wis dah bapak
mule.
Scene 22
Gaya bahasa yang terdapat pada scene 22, yaitu
menggunakan gaya bahasa daerah atau bahasa jawa.
ISTRI MARWAN: Mas… Mas iki loh Rangga loro
MARWAN: Kok dibawa nengkono, bawa ke Rumah
Sakit opo.
ISTRI MARWAN: Aku ndak ada duit Mas..
MARWAN: Kalau Ratna mule gimana?
ISTRI MARWAN: Aku binggung yo, sampean
tanggung jawab.
Scene 26
Gaya bahsa yang terdapat pada scene 26 yaitu
menggunakan gaya bahasa inggis.
HADI: Sweet heart Lastri I’m sorry..
LASTRI: Oh, don’t touch me!!!
HADI: Lastri oh Lastri
105
NINGSIH: Berhenti… time out!!! Hadi ini siapa?
LASTRI: He is my husband.
f. Retoris
Elemen yang terkhir diamati dalam teks adalah retoris yang
mempunyai fungsi persuasif atau mempengaruhi.13 Dalam hal ini Van Dijk
membagi retiris menjadi tiga elemen, yaitu:
1) Grafis
Elemen
pertama
dalam
retoris
adalah
grafis.
Grafis
menampilkan bagian yang menonjol dari sebuah film yang dilihat dari
pengambilan gambar. Grafis yang terdapat dalam film “7 Hati 7 Cinta
7 Wanita”, diantaranya yaitu:
Tabel 4.12
GRAFIS
Elemen grafis terlihat pada scene 1, ketika dr. Kartini memasuki ruang
prakteknya di Rumah sakit.
Gambar 4.6
13
Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), h. 84.
106
Grafis yang terlihat yaitu papan nama dr. Kartini yang berada disamping
pintu ruangannya. Dalam sinematografi film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”,
gambar diatas diambil dengan menggunakan zoom in, yaitu lensa kamera
mendekati gambar, sehingga gambar tersebut menjadi lebih menonjol dan
fokus serta memberikan kesan atau makna dari gambar tersebut.
Elemen grafis terlihat pada scene 1, ketika Lili memasuki ruangan dr.
Kartini dan dr. Karini terkejut luka memar dibagian wajah Lili.
Gambar 4.7
Grafis yang terlihat yaitu luka memar pada bagian wajah Lili akibat
kekerasan yang dilakukan oleh suaminya. Dalam sinematografi film “7
Hati 7 Cinta 7 Wanita”, gambar diatas diambil dengan menggunakan zoom
in, yaitu lensa kamera mendekati gambar, sehingga gambar tersebut
menjadi lebih menonjol dan fokus serta memberikan kesan atau makna dari
gambar tersebut.
Elemen grafis telihat pada scene 1, ketika Lili memeriksa kandungannya
dan dr. Kartini menemukan luka memar dibagian perut Lili.
Gambar 4.8
Grafis yang terlihat yaitu luka memar pada bagian perut Lili akibat
kekerasan yang dilakukan oleh suaminya. Dalam sinematografi film “7
107
Hati 7 Cinta 7 Wanita”, gambar diatas diambil dengan menggunakan zoom
in, yaitu lensa kamera mendekati gambar, sehingga gambar tersebut
menjadi lebih menonjol dan fokus serta memberikan kesan atau makna dari
gambar tersebut.
Elemen grafis terlihat pada scene 19, ketika dr. Rohana tiba di rumah dan
bertemu dengan ayahnya, kemudian mereka membicarakan tentang ibu dr.
Rohana.
Gambar 4.9
Pada scene ini, grafis terlihat pada foto Ibu dan Ayah dr. Rohana
menggambarkan bahwa dr. Rohana memiliki keluarga yang bahagia.
2) Metafora
Metafora merupakan kiasan atau ungkapan yang dapat dijadikan
sebagai landasar berpikir,
alasan pembenar atau pendapat kepada
publik. Metafora yang terdapat dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”,
yaitu:
SCENE
Scene 7
Tabel 4.13
METAFORA
Metafora terdapat pada scene 7, ketika Yanti sedang
memikirkan penyakit kanker rahimnya.
BAMBANG: Yan lo harus lawan penyakit lo.
Pada teks diatas kalimat yang mengandung metafora,
merupakan kalimat yang menguatkan Yanti agar dia tetap
108
bertahan dengan kanker rahim yang dideritanya.
Scene 22
Metafora terdapat pada scene 22, ketika Ratna mengetahui
bahwa Marwan mempunyai istri lagi.
RATNA: Dengar! aku menerima dengan posisi yang sudah
ditakdirkan Allah untuk aku mas, tapi aku bukan barang yang
tidak bernyawaaku hidup aku manusia, bukan anjing yang bisa
ditendang begitu saja apda saat majikannya sedang bersenangsenang dengan lonte diluar sana. Kamu kira aku pembantu, itu
kewajibanku sebagai istri bukan banting tulang untuk
mencukupi kebutuhan di rumah ini, itu tugas kamu mas.. tugas
kamu!!!
Pada teks diatas, metafora yang terlihat pada kalimat tersebut
merupakan uangkapan yang mengandung arti atau makna
kerja keras.
Scene 25
Metafora yang terdapat pada scene 25, ketika Yanti ingin
berhenti menjadi PSK (Pekerja Seks Komersial)
BAMBANG: Yan… Yan dengerin… Yan gua seneng kalau lo
bilang asal lo tau ya Bang. Gua selalu jawab dalam hati iya
Yan cuma lo doing yang pinter. Iya saying gua tahu lo doing
yang pinter, gua kaget pas denger lo bisa bahasa inggris. Yan
gua seneng banget kalau lo mau kerja yang halal, gua juga
cape nganter lo pulang pagi mulu. Asal lo tau ya tadi malam
udah gua cek tabungan gua udah banyak dari ngojek dan
komisi dari lo dan udah cukup buat lo berobat, biasa aja deh
muka lo. Makanya gua seneng banget kalau lo lagi bilang “lo
pengen banget ya jadi suami gua” , hati gua sering jerit karena
emang gua pengen banget jadi suami lo. Cuma gua sadar
dirilah gak mungkin orang kaya gua jadi suami cewek cakep
kaya lo, apalagi gua cuma anjelo.
Kalimat yang mengandung metafora seperti diatas, merupakan
kalimat yang mengandung arti atau makna mendalam.
109
3) Ekspresi
Elemen ekspresi merupakan bagian untuk memeriksa apa yang
ditekankan atau ditonjolkan oleh seseorang yang diamati dari teks.14
Misalnya ekspresi wajah marah, sedih, terkejut, senang, bahagia,sinis,
tertawa, dan menangis.
Tabel 4.14
EKSPRESI
SCENE
Berikut ini, elemen ekspresi yang terdapat pada scene 1.
Scene 1
Ekspresi Yanti terkejut melihat hasil test yang menyatakan bahwa ia
mengidap kanker rahim.
Gambar 4.10
LASTRI: Dok, kemarin malam berat badan saya turun satu kilo, eh
malamnya naik dua kilo (ekspresi tertawa).
Gambar 4.11
Pada scene 7 terdapat ekpresi menangis, ketika Yanti sedang
Scene 7
memikirkan penyakit kanker rahimnya.
14
Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), h. 84
110
YANTI: Lo gak tau Bang, rasanya perempuan gak punya rahim, lo
gak tau kan (ekspresi menangis)
Gambar 4.12
Scene 17
Pada scene ini terdapat elemen ekspresi sedih, ketika Rara meminta
pertanggungjawaban kepada acin.
RARA: Kita harus nikah (ekspresi sedih)
Gambar 4.13
Scene 14
Elemen ekspresi pada scene 14 terlihat ekspresi senang dan marah,
ketika Ratna merasakan gerakan dari bayi yang ada dikandungannya,
dan
ekspresi
marah
ketika
Ningsih
mengajak
menemaninya untuk memeriksa kandungannya.
RATNA: Dok, bayinya bergerak (ekspresi senang)
Hadi
untuk
111
Gambar 4.14
NINGSIH: Makanya saya bilang kan Dok, gak ada gunanya bawa dia
kesini semua keputusan rumah tangga saya yang urus semuannya.
Enak kan Mas Hadi, iya gak? (ekspresi sinis)
Gambar 4.15
Scene 23
Elemen ekspresi marah dan sedih terlihat pada scene 23, ketika Ratna
mengetahui kehamilan Rara dan mengetahui Marwan mempunyai
istri dan anak.
Gambar 4,16
Scene 26
Elemen ekspresi tersenyum terlihat pada scene 26, ketika dr. Kartini
memberikan motivasi kepada Yanti untuk melawan penyakitnya.
Gambar 4.17
112
Scene 24
Elemen ekspresi panik dan marah terlihat pada scene 24, ketika Lili
tidak sadarkan diri dan dilarikan ke ruang ICU
Gambar 4.18
Gambar 4.19
scene 22
Elemen ekspsresi menangis trlihat pada scene 22, ketika Ratna
mengetahui bahwa Marwan mempunyai istri lagi.
Gambar 4.20
2. Kognisi Sosial Film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”
Dalam kerangka analisis wacana Teun A. Van Dijk, perlu adanya
penelitian mengenai kognisi sosial, yaitu kesadaran mental penulis skenario
113
yang membentuk teks tersebut.15Dalam hal ini adalah analisis wacana film
“7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”. selain analisis teks, yang terdapat dalam skenario
film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”, perlu dilakukan penelitian atas kesadaran
mental penulis skenario dalam permasalahan perempuan. Bagaimana
kepercayaan, pengetahuan, dan prasangka penulis skenario terhadap masalah
yang menimpa perempuan. Kognisi sosial ini penting dan menjadi kerangka
yang tidak terpisahkan untuk memahami teks.
Dalam pandangan Van Dijk, analisis wacana tidak dibatasi hanya pada
struktur teks, karena wacana itu sendiri menunjukan atau menandakan
sejumlah makna, pendapat dan ideology, untuk membongkar bagaimana
makna tersembunyi dari teks, kita membutuhkan suatu analisis kognisi
sosial. Pendekatan kognitif didasarkan pada asumsi bahwa teks tidak
mempunyai makna itu diberikan oelh pemakai bahasa atau kesadaran mental
pemakai bahasa. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu penelitian atas
representasi kognisi dan strategi penulis skenario dalam memproduksi
skenario, karena setiap teks pada dasarnya dihasilkan lewat kesadaran,
pengetahuan, prasangka tertentu terhadap suatu peristiwa.16
Dalam hal ini, penulis menemukan beberapa jawaban tentang
pandangan penulis skenario film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” terhadap
masalah perempuan yang terjadi di Indonesia.
15
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: PT. LKiS
Pelangi Aksara, 2008), h.260.
16
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: PT. LKiS
Pelangi Aksara, 2008), h.260.
114
Menurut Jajang C. Noer, salah satu pemain film “7 Hati 7 Cinta 7
Wanita” yang berperan sebagai dr. Kartini, film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”
terinspirasi dari berbagai masalah yang menyelimuti kehidupan perempuan
di Indonesia. Melihat fenomena tersebut Robby ertanto sebagai sutradara
dan penulis skenario ingin mengangkatnya kedalam film “7 Hati 7 Cinta 7
Wanita”, dengan harapan masyarakat dapat merenungkan dan peduli.
Menurut Jajang C. Noer, film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”
mengungkapkan “bahwa manusia dalam hal ini perempuan, perempuan
dalam hal ini manusia itu punya bermacam-macam persoalan jadi ya
bagaimana kita menyingkapinya dan itu terjadi dimasyarakat kita Bahwa
manusia dalam hal ini perempuan, perempuan dalam hal ini manusia itu
punya bermacam-macam persoalan jadi ya bagaimana kita menyingkapinya
dan itu terjadi dimasyarakat kita”.17
Film ini dipandang sebagai hasil dari representasi mental dari penulis
skenario dalam memandang masalah perempuan. Pandangan, kepercayaan,
stereotip dan kepercayaan Robby Ertanto selaku penulis skenario, bahwa
perempuan memiliki hak yang sama, keberadaan mereka juga patutnya
diperhitungkan. Disinilah penulis skenario tidak dianggap sebagai individu
yang netral, tetapi individu yang mempunyai berbagai nilai, pengalaman dan
pengaruh ideologi yang didapatkan dari kehidupannya dan pandangan inilah
yang menentukan fakta yang dipilih untuk membuat film tersebut.
Sentuhan ideologi, kesadaran serta pengetahuan penulis skenario
terlihat dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”. Lewat kisah tujuh perempuan
ini menunjukan bahwa permasalahan perempuan lebih kompleks.
17
Wawancara Pribadi dengan Jajang C. Noer, Sabtu, 11 April 2015.
115
3. Konteks Sosial Film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”
Analisis sosial terlihat bagaimana teks itu dihubungkan lebih jauh
dengan struktur sosial dan pengetahuan yang berkembang dalam masyarakat
atas suatu wacana. 18 Oleh karena itu, konteks sosial dalam hal ini adalah
menjawab pernyataan bagaimana wacana yang berkembang dimasyarakat
mengenai isu gender.
Permasalahan mengenai ketidakadilan gender, didalamnya termasuk
permasalahan mengenai perempuan. Permasalahan tersebut dalam film “7
Hati 7 Cinta 7 Wanita”, meliputi masalah hak-hak perempuan, kesehatan
reproduksi perempuan, dan kekerasan terhadap perempuan.
a. Kesehatan Reproduksi Perempuan.
Kesehatan reproduksi perempuan yang ditampilkan dalam film “7
Hati 7 Cinta 7 Wanita” terdapat pada kisah Rara, yaitu mengenai
hubungan seks diluar nikah yang dilakukan para remaja.
Hasil penelitian menunjukkan pengalaman berhubungan seks
dimulai sejak usia 16-18 tahun sebanyak 44%, sementara 16%
melakukan hubungan seks
pada usia 13-15 tahun. Selain itu,
rumah menjadi tempat favorit (40%) untuk melakukan hubungan
seks. Sisanya mereka memilih hubungan seks di kos (26%), dan
hotel (26%).19Diduga berdasarkan hasil penelitian yang ditemukan
18
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: PT. LKiS
Pelangi Aksara, 2008), h.225.
19
Perilaku Seks Bebas dikalangan Pelajar, artikel diakses pada tanggal 12 April 2015,
pada pukul 11.03 dari http://litbang.patikab.go.id/index,php/jurnal/203.
116
dilapangan, pergaulan bebas yang dilakukan oleh para pelajar di
Indonesia menjadi inspirasi pembuatan film ini.
b. Kekerasaan Terhadap Perempuan.
Permasalahan lainnya yang berkembang di masyarakat adalah
permasalahan mengenai kekerasaan terhadap perempuan. Pada film
“7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” kekerasan terhadap perempuan dialami
oleh Lili, yang menerima kekerasan seksual dari suaminya. Lili
menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh suaminya.
Kekerasan terhadap perempuan merupakan bagian integral dari
fenomena kekerasan secara umum. Hal ini berkaitan dengan posisi
perempuan yang serba di nomor duakan yang penuh dengan tabu
dan stereotip. Tabu dan stereotip membuat perempuan bungkam
atas kekerasan yang dialaminya, sedangkan bias gender masyarakat
membuat perempuan korban kekerasan, terkadang dituding
bersalah atas musibah yang menimpa dirinya sendiri.20
Di Indonesia kekerasan terhadap perempuan menunjukan
peningkatan cukup berarti. Laporan Komnas perempuan dalam
Catatan Tahunan tentang Kekerasan terhadap perempuan pada
tahun 2001 ada 3.169, pada tahun 2012 ada 216.156 dan tahun
2013 ada 279.688. Kekerasan tersebut mencakup fisik, psikis,
ekonomi dan seksual. Konteks kekerasan seksual, selama 12 tahun
20
“Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan” Artikel diakses pada tanggal
11 April 2015 pada pukul 11.20 dari http://www.kolompakar.com/pI.htm
117
(2001-2012 ), sedikitnya ada 35 perempuan korban kekerasan
seksual setiap hari. Tahun 2012 tercatat 4.336 kasus kekerasan
seksual, 2.920 diantaranya terjadi di ruang publik/komunitas.
Mayoritas kekerasan seksual muncul dalam bentuk pemerkosaan
dan pencabulan. Korban meliputi semua umur, dari balita hingga
manula, rata-rata usia antara 13-18 tahun.21 Diduga hasil penelitian
yang dilakukan mengenai kekerasan terhadap perempuan menjadi
inspirasi pembuatan film ini.
Kekerasan yang diterima korban tidak hanya secara fisik,
namun juga psikis, seksual, dan penelantaran, di antara korban
lebih banyak mengalami depresi ataupun efek psikologis yang
membuat mereka sulit untuk bangkit dan menjalani hidup
normal.22
Peningkatan jumlah terhadap kasus tersebut disebabkan
belum adanya komitmen dari penegak hukum untuk membebaskan
perempuan dari kekerasan. Selain itu, tingginya kesadaran dari
korban untuk melaporkan juga menjadi faktor lainnya. Namun,
yang mengkhawatirkan penegak hukum di Indonesia masih belum
berperspektif gender, sehingga tidak ada efek jera bagi pelaku
kekerasan terhadap perempuan. Indonesia telah memiliki hokum
untuk melindungi perempuan dari kekerasan, seperti UndangUndang Nomor 27 Tahun 1984 tentang pengesahan konvensi
21
Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan: KH. Husein Muhammad, diakses pada
tanggal 17 maret 2015 pada pukul 13.24 dari http://www.komnasperempuan.or.id/2014/11.
22
“Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan” Artikel diakses pada tanggal
11 April 2015 pada pukul dari http://www.kolompakar.com/pI.htm
118
mengenai pernghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan, UU Nomor 23 Tahun
2004 tentang penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga, UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang
pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, dan UU Nomor
13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban. Kendati
sudah terdapat UU yang melindungi perempuan, jika tidak diikuti
implementasi oleh aparat kepolisian dan pemerintahan maka
penegakan hukum tidak akan berjalan.
Oleh Karena itu, permasalahan perempuan yang terjadi di masyarakat
bukanlah hanya sekedar permasalahan biasa, tetapi permasalahan yang
kompleks dan harus dicari jalan keluarnya bersama, agar terciptanya
kehidupan masyarakat Indonesia yang lebih baik.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan terhadap teks, konteks dan
kognisi sosial yang terdapat dalam skenario film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”.
Maka hasil dari penelitian yang dilakukan oleh penulis menghasilkan
kesimpulan sebagai berikut:
1. Dari Segi Teks/ Naskah Skenario
Dilihat dari segi teks penulis menyimpulkan bahwa:
a.
Struktur Makro
Struktur makro merupakan tematik/ tema dari skenario atau
naskah film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”. Tema umum yang terdapat
dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” adalah mengenai masalah yang
menimpa perempuan, diantaranya masalah hak-hak perempuan,
kekerasan terhadap perempuan dan kesehatan reproduksi perempuan.
b.
Superstruktur
Superstruktur merupakan skematik/ skema atau alur.
Skema dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” adalah membahas
mengenai alur cerita dari pendahuluan sampai akhir. Diawali
dengan Opening Bill Board (OBB) dan Sound Effect lalu Opening
Shot, barulah memasuki bagian-bagian scene, yang menggambarkan
keadaan diri masing-masing ketujuh cerita dalam film “7 Hati 7
Cinta 7 Wanita”.
119
120
c. Struktur Mikro
Struktur yang paling rendah tingkatannya yaitu struktur mikro.
Struktur mikro didalamnya terdiri dari sintaksis, stalistik, dan
retoristik. Pada struktur mikro dijumpai pemaknaan kata-kata yang
menunjuk dan memperkuat pesan bahwa, film “7 Hati 7 Cinta 7
Wanita” merupakan film tentang permasalahan yang dialami oleh
perempuan.
2. Dari Segi Kognisi Sosial
Selain analisis teks, yang terdapat dalam dialog film “7 Hati 7 Cinta 7
Wanita”, dilakukan penelitian atas kesadaran mental penulis skenario
dalam memandang permasalahan perempuan. Bagaimana kepercayaan,
pengetahuan, dan prasangka penulis skenario terhadap masalah yang
menimpa perempuan.
3. Dari Segi Konteks Sosial
Dalam konteks sosial, titik penting dari analisis ini adalah bagaimana
makna dihayati bersama. Sesuai dengan film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”,
yang bertemakan permasalahan perempuan. Dalam konteks realitas yang
berkembang di masyarakat melalui suvei, artikel dan pemberitaan yang
terdapat di korandan televisi, penulis menyimpulkan bahwa, realita sosial
yang terjadi di masyarakat mengenai perempuan, yaitu banyaknya
perempuan di Indonesia yang telah menjadi korban kekerasan, pelecehan
seksual, woman trafficking, bahkan masalah ini meningkat setiap
tahunnya.
121
B. Saran
Berdasarkan hasil pengamatan dan penelitian penulis terhadapa skenario
film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”, penulis ingin memberikan saran diantaranya:
1. Untuk pengembangan teori komunikasi, gender dan media, komunikasi
media massa, dan pembelajaran komunikasi interpersonal.
2. Melalui mengkajian permasalahan film yang terkait dengan gender, maka
diharapkan pengembangan kurikulum jurusan memuat pembelajaran
mengenai gender dan media.
3. Sutradara khususnya Production House (PH) dalam membuat script
diharapkan harus seimbang dengan teori dan realitas yang ada.
4. Gender merupakan isu yang sensitif, oleh karena itu diharapkan untuk
menjadikan pelajaran kepada KPI agar melahirkan para jurnalis-jurnalis
muda yang kemungkinan berkecimpung bekerja disini.
DAFTAR PUSTAKA
Antonisius ed, M. Metode Penelitian Komunikasi: teori dan aplikasi. Yogyakarta:
Gitanyali. 2006.
Ardianto, Elvinato. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa
Rekatama Media. 2004
Arikunto, Suharsini. Produser Penelitian Suatu Pendekatan Praktek: Edisi Revisi
IV. Jakarta: Renita Cipta. 1998
Bactiar, Phil. Sejarah Media Massa. Jakarta : Pusat Penerbitan Universitas
Terbuka. 2000
Bungin,Burhan. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana. 2007
Chaer, Abdul. Pengantar Sematik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. 1989
Eriyanto. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: PT.
LKiS Pelangi Aksara. 2008
Fakih, Mansour. Posisi Perempuan Dalam Islam, Tinjauan Analisis Gender
Dalam Membicangkan Feminism; Diskursus Gender Prespektif Islam.
Surabaya: Risalah Gusti. 1996
Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan praktik. Jakarta: PT.
Bumi Aksara. 2013
Guntur Taringan, Hery. Pengajaran Sintaksis . Bandung: Angkasa. 1984
Hartiningsih, Maria. Gender dan Media Massa. Jakarta: 2003
Hasyim, Nur. Menggugat Harmoni. Yogyakarta: Rifka Annisa. 1999.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,.
Jakarta: Balai Puataka. 2002
Kantor menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan
Women Support Project II/CIDA. Gender dan Pembangunan. 2001
Kayam, Umar Budaya Massa Indonesia. Prisma LP3ES. 1981
Kellner, Douglas. Media culture: Cultural Studies, Identity and Politics between
the Modern and the Post Modern . USA and UK: Westvie Press. 1996.
Kriyantono, Rachmat. Teknis Praktis Riset Komunikasi: Pengantar Burhan
Bungin. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2006
Kusnawan, Aep Komunikasi dan Penyiaran Islam: Mengembangkan Tablig
Melalui Media Mimbar, Media Cetak, Radio, Televisi, Film, Digital.
Benang Merah Press: Bandung. 1994
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 32
Mac Bried, Sean. Komunikasi dan Masyarakat Sekarang dan Massa Depan.
Jakarta: PN Balai. 1983
Mansur, Mustafa. Jalan Dakwah. Jakarta: Pustaka Ilmiah. 1994
Mulyana, Dedi. Kajian Wacana: Teori, Metode, dan Aplikasi Prinsip-Prinsip
Analisis Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2005
Parera, ID. Teori Sematik Erlangga. Jakarta: Erlangga. 2004
Pawito. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LkiS. 2007
Prakoso,Gatoto. Film Pinggiran – Ontologi Film pendek, Eksperimental dan
Dokumenter. FFTV – IKJ dengan YLP. Fatma Press
Pranajaya, Adi. Film dan Masyarakat sebuah Pengantar. Jakarta: BP SDM Citra
Pusat Perfilman Haji Umar Ismail. 1999
Pratista, Himawa. Memahami Film.Yogyakarta: Homerian Pustaka. 2008
Rani, Abdul. Analisis Wacana Sebuah Kajian. Malang: Batu Media. 2004
Rosyidah Hermawati, Ida. Relasi Gender Dalam Agama-Agama. Jakarta: UIN
Press. 2013
Shri Ahimsa, Heddy. Berbagai Pendekatan. Yogyakarta: Kepel Press. 2009
Siregar, Ashadi. Pasaribu, Rondang. dan Prihastuti, Ismay. Eksplorasi Gender di
Ranah Jurnalisme. Yogyakarta: LP3Y & Galang Printika. 2002
Sutrisno, Mudji. Oase Estetis – Estetika dalam Kata dan Sketza.Yogyakarta:
Penerbit Kanisius. 2006
Sumbulah, Umi. Spektrum Gender. UIN-Malang Press. 2008
Sumarno, Dasar-Dasar Apresiasi Film. Jakarta : PT Grasindo. 1996
Sobur, Alex. Analisis Teks Media. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya. 2006
Uchjana Effendy, Onong. Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Citra
Aditia Bakti. 2003
JURNAL
Artkel: Observasi, http://jurnal.kominfo.go.id/index,
Jurnal Dakwah dan Komunikasi. Gender dalam Konstruksi Media.
Kekerasaan Seksual Terhadap Perempuan Perspektif Islam: KH. Husein
Muhammad, http://www.komnasperempuan.or.id/2014/11.
Rizkyan,
Dedi.
Isu
Gender
https://djongdjepara23.wordpress.com/2011/12/30,
Dalam
Studi
Islam.
HASIL WAWANCARA
Hari/ Tanggal : Sabtu/ 11-April- 2015
Tempat
: Kediaman Jajang C. Noer
Narasumber
: Jajang C. Noer
1. Pertanyaan: Menurut ibu Jajang sebagai pemain di film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” apa
yang melatarbelakangi dibuatnya film ini?
Jawaban : Yang saya tau awalnya film ini film pendek yang berjudul Aku Perempuan,
kemudian film ini dibuatlah karena ada permintaan dari teman-teman yang ada di
Australia.
2. Pertanyaan : Apa saja kendala ketika syuting film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” ?
Jawaban : Waktu itu saya baru sembuh dari flu jadi suara saya hampir hilang, dalam
keadaan serak saya paksakan ada beberapa bagian yang serak suara saya karena baru
sembuh dari flu. Padahal syuting itu mesti hari itu gak bisa engga, dia udah sewa alat
segala macam udah ngejadwalin yang lain jadi mesti hari itu, jadinya hilang suara saya
udah sih itu aja.
3. Pertanyaan: Menurut ibu Jajang scene mana yang paling sulit?
Jawaban : Engga ada… sebab saya bermain mengikuti lawan main saya jadi ga ada satu
patokan. Saya kan jadi dokter nih, apa patokannya jadi dokter ya saya ga bisa jawab juga,
bagaimana saya mencari tokoh karakter dokter gimana saya ga tau juga artinya saya
ambil kesimpulan bagaimana saya mengupload menyingkapi, menghadapi pasien yang
ini gitu, pasien yang ini dengan persoalan yang ini gitu jadi lain-lain bagaimana kita aja.
4. Pertanyaan: Inti dari film ini apa?
Jawaban : Bahwa manusia dalam hal ini perempuan, perempuan dalam hal ini manusia
itu punya bermacam-macam persoalan jadi ya bagaimana kita menyingkapinya dan itu
terjadi dimasyarakat kita.
5. Pertanyaan: Dalam film ini terdapat unsur gender atau tidak?
Jawaban : ada
6. Pertanyaan: Discene mana saja yang terdapat unsur gender?
Jawaban : Dimana-mana ada istri yang teraniaya, ada dilecehkan, ada pelacur juga iya
dia mau survive dengan caranya dia akhirnya dia bisa keluar dari situ ya padahal dia
pelacur tapi dia dilecehkan. Mestinya sih ada ya tapi saya gak tau apalagi.
7. Pertanyaan: Menurut anda scene mana yang paling penting?
Jawaban : Yang paling penting semua.
8. Pertanyaan: Lokasi pembuatan film ini dimana saja?
Jawaban : Rumah Sakit Fatmawati tapi itu adengan yang di Rumah sakit ya, yang lain
saya gak tahu deh macam-macam.
9. Pertanyaan: Berarti Rumah sakit itu lokasi utama?
Jawaban: Iya kalau saya saja juga soalnya saya gak ada lokasi diluar itu.
10. Pertanyaan: Film ini diputar dimana saja?
Jawaban: Di luar negeri yang saya tahu jelas di Australi, di Melbourne, Sidney untuk
komunitas mahasiswa Indonesia yang disana ya.
11. Pertanyaan: Berapa Lama proses syuting film ini?
Jawaban : Waktu itu saya seminggu tapi itu saya ya, gak tahu kalau yang lain mungkin
kalau keseluruhannya 14 hari ya mungkin.
12. Pertanyaan: Anda di film ini kan berperan sebagai dr. Kartini apa pandangan ada
mengenai permasalahan yang terjadi pada pasien anda?
Jawaban: Ya bisa terjadi sih semua masalah-masalah yang digambarkan bisa terjadi itu
realitas dan memang itu semua realitas itu Robby dapat dari tetangganya, saudaranya jadi
dia tahu itu kasus-kasus itu benar bukan rekayasa.
PROSES TRIANGULASI DATA
Nama : Jajang C. Noer
Jabatan: Pemeran Utama
No.
Butir
1.
Pertanyaan/ Jawaban
Kata Kunci
Menurut
ibu
Jajang 
sebagai pemain di film “7
Hati 7 Cinta 7 Wanita” 
apa
yang 
melatarbelakangi
dibuatnya film ini?
Jawaban : Yang saya tau
awalnya film ini film
pendek yang berjudul
Aku
Perempuan,
kemudian
film
ini
dibuatlah karena ada
permintaan dari temanteman yang ada di
Australia.
Latar belakang
pembuatan film
Film pendek
Perempuam
Hubungan Antar Kata
Kunci
 Butir ke 1, Ibu
Jajang
menjelaskan
tentang awal
pembuatan film
ini, berdasarkan
permintaan
komunitas temanteman yang berada
di Australia.
Teori
Refleksi

Dari data analisis,
observasi dan
wawancara dengan
pemeran utama film
“ 7 Hati 7 Cinta 7
Wanita” yaitu
Jajang C. Noer
mengungkapkan
bahwa hal yang
melatarbelakangi
pembuatan fim ini
yaitu berdasarkan
permintaan
komunitas
mahasiswa
Indonesia yang
berada di Australia.
Awalnya film ini
hanya berupa film
pendek yang
bertemakan
perempuan. Proses
pembutan film ini
berjalan selama
kurang lebih 14 hari
yang sebagian besar
lokasinya adalah
Sebuah film tidak akan lepas dengan
unsur sinematik dan narasi. Aspek cerita
dan tema sebuah film terdapat didalam
narasi. Cerita dikemas dalam bentuk
skenario, yang akan mengarahkan jalan
cerita film. Didalam skenario kita dapat
melihat unsur-unsur seperti tokoh,
masalah, konflik, lokasi, dan waktu.
Seluruh unsur-unsur tersebut membentuk
sebuah jalinan peristiwa terikat oleh
sebuah aturan yaitu hukum kausalitas
Rumah sakit
Fatmawati. Semua
scene dalam film ini
mengandur unsur
gender karena film
ini mengangkat
permasalahan yang
terjadi pada
perempuan di
Indonesia. Film ini
diangkat
berdasarkan realitas
yang ada yang
terjadi disekitar
lingkungan Robby
Ertanto sebagai
penulis skenario
film ini.
2.
Apa saja kendala ketika 
syuting film “7 Hati 7 
Cinta 7 Wanita” ?
Jawaban : Waktu itu
saya baru sembuh dari flu
jadi suara saya hampir
hilang, dalam keadaan
serak saya paksakan ada
beberapa bagian yang
serak suara saya karena
baru sembuh dari flu.
Padahal syuting itu mesti
hari itu gak bisa engga,
dia udah sewa alat segala
macam udah ngejadwalin
yang lain jadi mesti hari
Kendala syuting
Flu

Butir ke 2
menjelaskan
tentang kendala
yang terjadi pada
saat proses
pembuatan film.

Film berperan sebagai pengalaman dan
nilai.
itu, jadinya hilang suara
saya udah sih itu aja.
3.
4.
Menurut ibu Jajang scene
mana yang paling sulit?
Jawaban : Engga ada…
sebab
saya
bermain
mengikuti lawan main
saya jadi ga ada satu
patokan. Saya kan jadi
dokter
nih,
apa
patokannya jadi dokter ya
saya ga bisa jawab juga,
bagaimana saya mencari
tokoh karakter dokter
gimana saya ga tau juga
artinya
saya
ambil
kesimpulan
bagaimana
saya
mengupload
menyingkapi,
menghadapi pasien yang
ini gitu, pasien yang ini
dengan persoalan yang ini
gitu
jadi
lain-lain
bagaimana kita aja.
Inti dari film ini apa?
Jawaban :
Bahwa
manusia dalam hal ini
perempuan, perempuan
dalam hal ini manusia itu
punya bermacam-macam
persoalan
jadi
ya
bagaimana
kita
menyingkapinya dan itu



Tokoh
Karakter
Scene

Butir ke 3,
menurut informan
tidak ada scene
yang sulit karena
bermain mengikuti
lawan mainnya.

Film dapat digunakan sebagai alat
propaganda, karena film dianggap
memiliki
jangkauan,
realism
dan
popularitas
yang
hebat.
Upaya
pengembangan pesan dengan hiburan
sudah lama diterapkan dalam kesastraan
dan drama.


Film
Permasalahan
perempuan

Butir ke 4,
menjelaskan inti
dari film ini adalah
perempuan dengan
berbagai
permasalahanya.

Media massa yang seharusnya menjadi
“watchdog” bagi kekuasaan, justru
terjerumus menjadi pelestari kekuasaan
hanya karena lemahnya kemampuan
profesional dan etika media massa.
Akibatnya, perempuan menjadi korban
dari aroganisme pelanggengan kekuasaan.
Ketiga, kurangnya peran aktif dan
representasi perempuan dalam media
terjadi dimasyarakat kita.
5.
Dalam film ini terdapat 
unsur gender atau tidak?

Jawaban : ada
Unsur
Gender

Butir ke 5,
menjelaskan
bahwa film ini
mengandun unsur
gender.

massa menjadikan perempuan sulit untuk
keluar dari posisi keterpurukannya saat
ini. Debra Yatim mengungkapkan bahwa
media massa Indonesia dikuasai oleh
budaya patriarkhi dan kapitalisme dengan
dominasi laki-laki di dalamnya. Media
seharusnya meningkatkan jumlah praktisi
perempuan
serta
menempatkan
perempuan tidak lagi sebagai objek, tetapi
berperan aktif sebagai subjek. Keempat,
perlu pengubahan paradigma pada media
massa berkaitan dengan pencitraan
perempuan yang selama ini dipakai.
Pencitraan perempuan dalam media, yang
selama ini cenderung seksis, objek iklan,
objek pelecehan dan ratu dalam ruang
publik, perlu diperluas wacananya
menjadi perempuan yang mampu menjadi
subjek dan mampu menjalankan peran–
peran publik dalam ruang publik.
Gender adalah seperangkat sikap, peran,
tanggung jawab, fungsi, hak, dan perilaku
yang melekat pada diri laki-laki dan
perempuan akibat bentukan suatu budaya
atau lingkungan masyarakat dimana
manusia itu tumbuh dan dibesarkan , yang
bisa berbeda antara satu masyarakat lain.
Artinya perbedaan sikap, sidat dan
perilaku yang dianggap khas perempuan
atau khas laki-laki atau lebih popular
dengan
sebutan
feminitas
dan
maskulinitas yang dibentuk, dibuat dan
dikonstruksi masyarakat diberbagai sektor
kehidupan manusia.
6.
Discene mana saja yang
terdapat unsur gender?
Jawaban : Dimana-mana
ada istri yang teraniaya,
ada
dilecehkan,
ada
pelacur juga iya dia mau
survive dengan caranya
dia akhirnya dia bisa
keluar dari situ ya
padahal dia pelacur tapi
dia dilecehkan. Mestinya
sih ada ya tapi saya gak
tau apalagi.




Scene
Gender
Dilecehkan
Teraniaya

Butir ke 6,
menjelaskan
scene-scene mana
saja yang terdapat
unsur gender.

Ketidakadilan
gender
(Gender
inequalitas) merupakan sistem dan
struktur dimana kaum laki-laki dan
perempuan menjadi korban dari sistem
tersebut. Menurut Umi Sumbullah dalam
buku Spektrum Gender, perbedaan gender
yang menyebabkan ketidakadilan maka
dapat dilihat dari berbagai manifestasinya,
yaitu sebagai berikut :
a. Marginalisasi
Sesunguhnya,
timbulnya
kemiskinan yang terjadi dalam
masyarakat dan Negara merupakan
sebagai
akibat
dari
proses
marginalisasi yang menimpa kaum
laki-laki dan perempuan yang
disebabkan oleh berbagai kejadian
antara lain, penggusuran, bencana
alam, atau proses eksploitasi. Bentuk
marginalisasi yang paling dominan
terjadi terhadap kaum perempuan
yang disebabkan oleh gender.
Meskipun tidak setiap bentuk
marginalisasi perempuan disebabkan
oleh ketidakadilan gender (gender
inequalitas).
Namun
yang
dipermasalahkan disini adalah bentuk
marginalisasi yang disebabkan oleh
perbedaan
gender
(gender
differences).
Perbedaan gender ini sebagai
akibat dari bebarapa perbedaan jenis
dan bentuk, tempat, waktu, serta
mekanisme dari proses marginalisasi
kaum perempuan. Perbedaan gender
ini bila ditinjau dari sumbernya dapat
berasal dari kebijakan pemerintah,
keyakinan, tafsir agama, keyakinan
tradisi dan kebiasaan atau bahkan
asumsi ilmu pengetahuan. Misalnya,
program pertanian revolusi hijau
(green revolution) yang hanya
memfokuskan terhadap petani lakilaki. Sehingga perempuan desa
tersingkir dan menjadi miskin. Hal ini
disebabkan karena ada asumsi bahwa
petani itu identik dengan jenis
kelamin laki-laki sehingga banyak
petani kaum perempuan yang
tersingkir dari sawah.
Bentuk marginalisasi terhadap
kaum perempuan juga terjadi dalam
rumah tangga, masyarakat atau kultur
bahkan Negara. Jadi tidak hanya
terjadi dalam ranah pekerjaan saja.
Didalam rumah tangga, marginalisasi
terhadap perempuan sudah terjadi
dalam bentuk diskriminasi atas angota
kelurga yang laki- laki dan
perempuan. Timbulnya marginalisasi
ini dikarenakan diperkuat oleh tafsir
keagamaan maupun adat istiadat.
Misalnya memberian hak waris
didalam sebagian tafsir keagamaan
porsi untuk laki-laki lebih besar dari
perempuan.
b. Subordinasi
Subordinasi timbul sebagai
akibat pandangan gender terhadap
kaum perempuan. Sikap yang
menempatkan perempuan pada posisi
yang tidak penting muncul dari
adanya anggapan bahwa perempuan
itu emosional atau irasional. Sehingga
posisi perempuan dipandang tidak
layak menjadi pemimpin atau
memimpin.
Proses
subordinasi
yang
disebabkan karena gender terjadi
dalam
segala
macam
bentuk
mekanisme yang berbeda dari waktu
kewaktu dan dari tempat ketempat.
Dalam kehidupan dimasyarakat,
rumah tangga dan bernegara banyak
kebijakan yang dikeluarkan tanpa
menganggap penting perempuan.
Dalam rumah tangga misalnya dalam
kondisi keuangan rumah tangga yang
terbatas, masih sering terdengar
adanya priorotas untuk bersekolah
bagi laki-laki di banding perempuan.
Karena
ada
anggapan
bahwa
perempuan tidak perlu sekolah tinggitinggi, karena pada akhirnya kelak
juga masuk dapur juga. Hal inilah
sesunguhnya muncul dari kesadaran
gender yang tidak adil.
c. Stereotipe
Stereotipe adalah Pelabelan
atau penandaan negatif terhadap
kelompok atau jenis kelamin tertentu.
Akibat dari setereotip ini biasanya
timbul diskriminasi dan berbagai
ketidak adilan. Salah satu bentuk dari
stereotip ini salah satunya bersumber
dari pandangan gender. Banyak sekali
bentuk stereotype yang terjadi di
masyarakat yang dilekatkan kepada
umumnya
kaum
perempuan.
Sehingga
berakibatmenyulitkan,
membatasi,
memiskinkan,
dan
merugikan perempuan. Misalnya ,
ketika kaum perempuan pulang larut
malam
disini
pada
umumnya
masyarakat mempunyai pelabelan
yang negative. Misalkan lagi, adanya
keyakinan bahwa laki-laki bertugas
mencari
nafkah,
maka
setiap
pekerjaan yang dilakukan oleh
perempuan dianggap sebagi suatu
tambahan saja sehingga pekerja
perempuan dibayar lebih rendah
disbanding laki-laki.
d. Violence
Kekerasan
atau
disebut
Violence merupakan invasi (assoult)
atau serangan terhadap fisik, maupun
integralisasi mental psikologi seorang
yang dilakukan terhadap jenis
kelamin
tertentu
umumnya
perempuan sebagai akibat dari
perbedaan gender. Bentuk dari
kekerasn ini seperti pemerkosaan,
pemukulan hingga pada bentuk yang
lebih halus lagi. Misalkan, pelecehan
sexual ( sexual harassmen) dan
penciptaan ketergantungan. Violence
terhadap perempuan banyak sekali
terjadi karena stereotype gender.
Pemerkosaan yang merupakan salah
satu bentuk Violence yang sering kali
terjadi sebenarnya disebabkan bukan
karena unsur kecantikan melainkan
karena kekuasaan dan streotipe
gender yang dilekatkan kepada kaum
perempuan. Gender violence pada
dasarnya disebabkan karena ketidak
setaraan kekuatan yang ada dalam
masyarakat.
Violence
yang
disebabkan oleh bias gender ini
disebut gender-relative violence.
Adapun bentuk dan macam kejahatan
yang masuk dalam kategori gender
violence meliputi sebagai berikut:
1) Bentuk pemerkosaan terhadap
perempuan, perkosaan dalam
perkawinan
juga
termasuk
didalamnya. Artinya pemerkosaan
yang terjadi jika seseorang untuk
mendapatkan pelayanan seksual
dilakukan secara paksa tanpa
kerelaan dari yang bersangkutan.
Munculnya ketidakrelaan ini
seringkali
tidak
bisa
terekspresikan yang disebabkan
oleh faktor, misalnya malu,
ketakutan, keterepaksan baik dari
segi ekonomi, sosial maupun
cultural sehingga tidak ada pilihan
lain.
2) Serangan fisik dan tindakan
pemukulan yang terjadi dalam
rumah
tangga
(domestic
Violence), termasuk diantaranya
penyiksaan terhadap anak-anak
(child abouse).
3) Penyiksaan yang mengarah pada
organ alat kelamin (genital
mutilation). Misalnya penyunatan
terhadap
anak
perempuan.
Penyunatan ini dilakukan berbagi
alasan dan mitos dalam masyrakat
tertentu. Namun sekarang sudah
jarang
didengar
penyunatan
terhadap perempuan.
4) Pelacuran
(Prostitution)
merupakan bentuk kekerasan
terhadap
perempuan
yang
dilakukan
denagan
motif
ekonomi. Dalam hal ini pelacur
dianggap rendah oleh masyarakat
namun tempat praktiknya selalu
saja ramai dikunjungi.
5) Pornografi
merupakan
jenis
kekerasan
lain
terhadap
perempuan. Jenis kekerasan ini
termasuk kekerasan non fisik
yakni berupa pelecehan terhadap
kaum perempuan diman tubuh
perempuan dijadikan objek demi
keuntungan pribadi.
6) Kekerasan
dalam
bentuk
pemaksaan
sterilisasi
dalam
bentuk
program
keluarga
berencana.
Dalam
rangka
mengontrol
pertumbuhan
penduduk, perempuan seringkali
dijadikan korban demi program
tersebut.
7) Jenis
kekerasan
terselubung
(molestation)
yakni
menyentuh/memegang
bagian
tertentu dari tubuh perempuan
dengan berbagai cara dengan
kesempatan tanpa kerelaan si
pemilik tubuh. Jenis kekerasan ini
sering terjadi ditempat pekerjaan
atau ditempat angkutan umum
seperti Bis.
8) Tindakan kejahatan terhadap
perempuan dalam
pelecehan
seksual ada beberapa macam
diantaranya:
a) Menyampaikan lelucon jorok
secara vulgar pada seseorang
dengan cara yang dirasakan
secara ovensif.
b) Menyakiti atau membuat malu
dengan omongan jorok.
c) Menginterogasi
seseorang
tentang kegiatan seksualnya
atau kehidupan pribadinya.
d) Meminta imbalan seksual
dalam rangka janji untuk
mendapatkan
sebuah
pekerjaan.
e) Menyentuh atau menyenggol
bagian tubuh tanpa seizin dari
yang bersangkutan.
e. Beban Kerja
Peran gender perempuan
dalam anggapan masyarakat luas
adalah mengelola rumah tangga
sehingga banyak perempuan yang
menangung beban kerja domestik
lebih banyak dibanding laki-laki.
Pada umumnya kaum perempuan
memiliki sifat memelihar dan rajin,
serta tidak cocok untuk menjadi
kepala rumah tangga. Dalam hal
ini, berakibat semua pekerjaan
domestik rumah tangga menjadi
tanggung jawab kaum perempuan.
Bahkan, bagi kalangan keluarga
miskin,
beban
yang
harus
ditanggung oleh perempuan sangat
berat apalagi jika si perempuan ini
harus bekerja diluar sehingga harus
memikul beban kerja yang ganda.
Bagi kelompok masyarakat yang
memiliki ekonomo cukup, beban
kerja sering kali dilimpahkan
kepada pembantu rumah tangga
(domestic worker). Dengan
demikian sebenarnya kaum
perempuan ini merupakan korban
dari bias gender di masyarakat.
7.
Menurut anda scene mana 
yang paling penting?
Jawaban : Yang paling
penting semua.
Scene

Butir ke 7,
menurut informan
bahwa semua
scene yang
terdapat pada film
ini merupakn scene
penting.
8.
9.
10.
Lokasi pembuatan film 
ini dimana saja?
Jawaban : Rumah Sakit
Fatmawati tapi itu
adengan yang di Rumah
sakit ya, yang lain saya
gak tahu deh macammacam
Berarti Rumah sakit itu 
lokasi utama?

Jawaban: Iya kalau saya
saja juga soalnya saya
gak ada lokasi diluar itu.
Lokasi syuting
Lokasi utama
Rumah sakit

Film ini diputar dimana 
saja?

Jawaban: Di luar negeri
yang saya tahu jelas di
Australi, di Melbourne,
Sidney untuk komunitas
mahasiswa
Indonesia
yang disana ya.
Pemutaran film
Di luar negeri

Butir ke 8 dan 9,
menjelaskan
bahwa lokasi
utama proses
pembuatan film ini
adalah rumah
sakit.
Butir ke 10,
menjelaskan
bahwa pemutaran
film ini tidak
hanya di Indonesia
namun juga di
Australia.
11.
12.
Berapa Lama proses 
syuting film ini?
Jawaban : Waktu itu
saya seminggu tapi itu
saya ya, gak tahu kalau
yang lain mungkin kalau
keseluruhannya 14 hari
ya mungkin
Anda di film ini kan 
berperan sebagai dr.
Kartini apa pandangan 
ada
mengenai
permasalahan yang terjadi
pada pasien anda?
Jawaban: Ya bisa terjadi
sih semua masalahmasalah yang
digambarkan bisa terjadi
itu realitas dan memang
itu semua realitas itu
Robby dapat dari
tetangganya, saudaranya
jadi dia tahu itu kasuskasus itu benar bukan
rekayasa
Proses syuting

Butir ke 11
menurut informan
proses syuting
berjalan secara
keseluruhan 14
hari.
Permasalahan
perempuan
Realitas

Butir ke 12

menurut informan
permasalah
terhadapa
perempuan bisa
terjadi dimana saja
dan menimpa siapa
saja, film ini
berdasarkan
realitas yang
terjadi
dilingkungan
sekitar Robby
pembuat scenario
film ini.
Kekerasan terhadap perempuan adalah
bentuk dari ketidakadilan
gender.
Fenomena ini merupakan akibat lebih
lanjut dari stereotype masyarakat terhadap
perempuan.Kekerasan
terhadap
perempuan terjadi dimana-mana. Di
Indonesia kekerasan terhadap perempuan
menunjukan
peningkatan
cukup
berarti.Laporan
Komnas
perempuan
dalam
Catatan
Tahunan
tentang
Kekerasan terhadap perempuan pada
tahun 2001 ada 3.169, pada tahun 2012
ada 216.156 dan tahun 2013 ada 279.688.
Kekerasan tersebut mencakup fisik, psikis,
ekonomi dan seksual. Konteks kekerasan
seksual, selama 12 tahun (2001-2012 ),
sedikitnya ada 35 perempuan korban
kekerasan seksual setiap hari. Tahun 2012
tercatat 4.336 kasus kekerasan seksual,
2.920 diantaranya terjadi di ruang
publik/komunitas. Mayoritas kekerasan
seksual
muncul
dalam
bentuk
pemerkosaan dan pencabulan. Korban
meliputi semua umur, dari balita hingga
manula, rata-rata usia antara 13-18 tahun.
,/KEMENTERIAN AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
w wwew
w333:
Telepon/Fax . (021) 1 432728 I 7 47 03580
Jl. Ir. H. JuandaNo. 95 Ciputat 15412 lndonesia website:
Nomor
Lampiran
Hal
un.ot/F5/Pr
:
oo.oz
f0L
11r1y ldkuiniakarta ac.id. E-rnail :r.lakrvahr'rllllli.uir1,1!.4Lic.iLl
.lakartaf
12015
Februari 2015
Izin Penelitian (Skripsi)
I(epada Yth,
Robby Ertanto (Sutradara)
di
Tempat
Assa I unt u'
a I ai
kum
Llt r. W b.
Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta menerangkan bahwa :
Nama
Astuti
Nomor Pokok
10051000150
Jakarta, 2l Juli 1992
Tempat/Tanggal Lahir
Semester
.lurusan /Konsentrasi
Alamat
Telp.
11
X (Sepuluh)
Komunikasi dan Penyiaran lslam
Jl. Utan.lati RT 009/011 No. 70
089637804799
adalah benar mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang akan melaksanakan penelitian/mencari data daiam
rangka penulisan skripsi berjudul Analisis Wacanq Isu Gencler tlulqrn Filnt 7 Hati 7
Cinta 7 Wanita Karya Robby Ertanto.
Sehubungan dengan
itu, dimohon kiranya Bapak/lbu/Sdr.
menerima./mengizir-rkan mahasiswa
dimalisud.
kami tersebut dalam
dapat
pelaksanaan kegiatan
Dernikian, atas kerjasama dan bantuannya kami mer"rgr-rcapkan terinta ltasih.
Was sal aruu'
alaikum Wr. Wb.
Dekan,
;':
'l:,.?
f Subhan, MArf
601 10 199303 1 1004
Tembusan :
1. Wakil Dekan Bidang Akademik
2. Ketua JurusarVProdi, Kornunikasi dan Penyiaran Islam
KEMENTEII,IAN AGAMA
UNIVIIRSITAS ISLAM NEGERI (UTN)
SYAIIIF HIDAYATT/LLAH JAKAITTA
FAKULTAS ILMU DAKWAI] DAN ILMU KOMUN{IKASI
I
Nonror
: L.ln.O1/F5/PP.00.9/4;B
D015
Larrp : I ( satu) br"rndel
elepon/Far t()l I r l:lllll8 r rl7(r-li8t)
I,).lanLrari 20 I 5
.Takar1a,
Ha1 : Birnbingan Skripsi
I(epacia Yth.
Rini Laili Prihatini, M.Si
Dosen lrakuitas Ilr-nu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
UIN Sl arifll idayatul lah Jakarta
As'.s'oIamu' olui
kum Wr.
Wb.
Bersat'tta irti kami sampaikan or-rtline dan naskah proposal skripsi yang dia.jLrkan oleh
mahasiswa [raliultas llnru Dal'*'ah clan llurLr l(onrLrnikasi UIN Syaril' FIicla_v-atullah Jakarra
sebagai berikr"rt.
Nama
Nonror Poholt
.l tr lLr
saii/Ko n seitt ra s i
Sentester
Telp.
Judul Sklipsi
AstLrti
I I r005 1000 t -r0
i(on'ii,rnikir:;i dan Pent,iaiiln Islant
lX (Serrbilan)
08e63 7804799
Analisis Wacana Isu Gender dalant Irilm T f lati 7 Cinta 7
Wanita
Kar-ni ttrohott ltesediaarlrl'a untult nrenrbirlbing r-nahasiswa tersebLrt clalant
pellyustlnalt dan penyelesaiitn skripsirr\,'a selanra 6 (enant) bulan dari tanggal l4.lanLrari
201 5 s.d 14 .luli 201-5.
Demikian. atas perhatian clarr kesediaannva kami srimperilian terinra kasih,
L[/u.s'sal unu.r'
ula i ku nt I,Vr
141b.
itn.Dekan,
Waliil
t3iclang i\ltaclemik
,1.::.
I
Ternbusan
1. Dekan
:
2. I(etua.lunrsan l(omuniliasi dan Penyiaran Islam (Kpl)
6.tr
fq980i
I
00rl
/t4
ANALISIS WACANA ISU GENDER DA
FILM 7 HATI
7
CINTA
WANITA
SKRIPSI
Islarn
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Komunikasi drrn Penyiaran
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sa4ana K.omurikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh:
ASTUTI
NIM:1I100510001s0
PROCRAN,ISTUDIKOI\'IUNIKASIPEiYYIARANISLAI\I
FAKULTAS ILMU DAI(WAII DAN KOMUNIKASI
UNIVIIRSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF T'IIDAYATULLAH
JAKARTA
r436H/2014M.
7
J,, -
Download