ANALISIS WACANA ISU GENDER DALAM FILM “7 HATI 7 CINTA 7 WANITA” KARYA ROBBY ERTANTO Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Dakwah Dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I) Disusun Oleh: ASTUTI NIM : 1110051000150 JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H./2015 M. ANALISIS WACANA ISU GENDER DALAM FILM *7 HATI 7 CINTA 7 WAMTA" KARYA ROBBY ERTANTO Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah Dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I) Oleh: ASTUTI NIM : 1110051000150 bimbingarr, Dra. Rini 199s032003 JURUSAN KOMUNIKASI DAN PEI.IYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMIINIKASI UNTVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF IIIDAYATULLAH JAKARTA 1436H.t2015 M. PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul ANALISIS WACANA ISU GENDER DALAM FILM 7 IIATI 7 CINTA 7 WANITA KARYA ROBBY ERTANTO telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi IIIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Rabu, 24 Jvrr_ 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat mernperoleh gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I) pada Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam. Jakartq 24 Jvni20l5 Sidang Munaqasyah Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota MA Saprudin..S.Pd NIP. 195809101 98703200r NIP. 19680609199108 1 001 Anggot4 Penguji 19700903 199603 I 001 NIP.197108 7199s032003 II LEMBAR PERNIYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa 1. : Skripsi ini merupakan hasil karya asli -vang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar saska 1 (S.Kom.I) di IIIN Syarif Hidayatullah lakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan jiplakan dari orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 91p,pta1 t_o !9n1JQts ABSTRAK ASTUTI. 111005100150. ANALISIS WACANA ISU GENDER DALAM FILM “7 HATI 7 CINTA 7 WANITA” KARYA ROBBY ERTANTO. Di bawah bimbingan: Dra. Rini Laili Prihatini, M.Si. Film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” merupakan film yang bergendre drama, dengan tema perempuan. Film ini menarik untuk diteliti, karena telah mengangkat realitas permasalahan kehidupan perempuan Indonesia, yang tentu saja didalamnya terdapat masukan ideologi dan konstruksi yang dibuat oleh penulis skenario tersebut. Film ini juga memiliki tujuh cerita berbeda, yang masingmasing berdiri sendiri dengan latar belakang budaya, kelas sosial, dan karakter tokoh yang beragam. Teori analisis wacana yang dikembangkan oleh Teun A van Djik. Analisis wacana dimensi teks, kognisi sosial dan juga konteks sosial. Dimensi teks merupakan susunan struktur teks yang terdapat dalam teks. Kognisi sosial merupakan pandangan, pemahaman serta kesadaran mental pembuat teks yang membentuk teks, sedangkan konteks sosial merupakan pengetahuan mengenai situasi yang berkembang di masyarakat yang berkenaan atas suatu wacana . Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan desain pendekatan deskriptif. Metode penelitian yang digunakan adalah teori analisis wacana yang dikembangkan oleh Teun A. Van Djik. Tujuan dari penelitian ini adalah a. Untuk mengetahui bangunan wacana Teks dalam film tresebut, b. Untuk mengetahui Kognisi sosial yang melatarbelakangi penulisan skenario film tersebut, c. untuk mengetahui kognisi sosial menurut wacana yang berkembang tentang isu gender. Hasil penelitian menunjukan bahwa secara umum pembuatan film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” menyampaikan pesannya mengenai permasalahan yang menimpa sebagian besar perempuan di Indonesia. Ketidakadilan gender dalam film tersebut dikaitan diantaranya dengan permasalahan tentang hak-hak perempuan, kesehatan reproduksi perempuan dan kekerasaan terhadap perempuan. Kata kunci: Analisis Wacana, Isu Gender: Kekerasaan Terhadap Perempuan, Hak-hak Perempauan, Kesehatan Reproduksi Perempuan, Struktur Teks. i KATA PENGANTAR Puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik, hidayah dan inayah-Nya bagi kita semua, Shalawat teriring salam semoga sesantiasa tercurah kepada junjungan baginda Nabi Besar Muhammad SAW. Syukur Alhamdulillah akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Wacana Isu Gender dalam Film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” Karya Robby Ertanto. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar S1 di Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis secara khusus ingin mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis, yaitu ibunda Jamilah dan ayahanda Asip Ali yang telah memberikan semangat dan kasih sayang yang tak kunjung henti. Semoga mereka selalu diberkahi dan dalam lindungan Allah SWT. Selama masa penelitian, penyusunan, dan penulisan skripsi ini penulis mendapat banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Bapak Dr. H. Arief Subhan, MA, Wakil Dekan I Bidang Akademik Bapak H Suparto, M.Ed, Ph.d, Wakil Dekan II Bidang Administrasi Umum, Ibu Dr. Hj. ii Roudhonah, MA. Serta Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Bapak Dr. Suhaimi M. 2. Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Bapak Rachmat Baihaky, MA, yang selalu bersedia membantu penulisan memberikan informasi serta waktunya kepada penulis untuk berkonsultasi mengenai kegiatan kuliah. 3. Sekertaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Ibu Fita Fathurakhmah M.Si. yang telah banyak membantu penulis dalam kelancaran kuliah dan penulisan skripsi ini. 4. Dra. Rini Laili Prihatini, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah membimbing, mengarahkan, dan menyemangati penulis dengan sabar untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Terimakasih banyak atas semuanya. 5. Seluruh dosen pengajar dan staf akademik Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Terima kasih atas ilmu-ilmu yang telah diberikan. 6. Pimpinan dan karyawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah menyediakan buku dan fasilitas untuk mendapatkan referensi dan memperkaya isi skripsi ini. 7. Dosen pembimbing akademik Bapak Azwar Chatib yang telah banyak membantu membantu penulis dalam kelancaran kuliah dan penulisan skripsi ini. 8. Ibu Jajang C. Noer selaku narasumber yang juga telah membantu penulis dalam melengkapi skripsi ini. iii 9. Seluruh keluarga besar ayahanda Asip Ali dan ibunda Jamilah yang tak pernah putus kasih sayangnya untukku 10. Kakak tercinta Jen Anwar, S.Sos, kakak iparku Aisha Miadinar, S. Sains, serta adikku Mauliddiah Sopiana, yang telah menyemangati dengan ikhlas kepada penulis. 11. Hilman Wijaya, yang telah mendukung dan menghargai penulis serta tidak pernah bosan menyemangati penulis dalam menghadapi tantangan dalam penulisan skripsi ini. 12. Sahabat-sahabat tercinta : Mariana, Aulia, Firda, Lela, Sisi, Zahra, Zaida, Naziah, Binti, Syifa, Fauziah, dan Fadly, serta teman-teman Bahasa SMA N 111 Jakarta, Terimakasih sudah mewarnai kehidupan penulis dengan canda dan tawa disepanjang kehidupan ini. 13. Sahabat seperjuangan keluarga besar KPI E 2010 Hilyatul Aulia, Nurlela, Zaidatul Chairani, Zahrotunisa, Firda Apriyani, Naziah, Siti Sudusiah, Muhammad Iman, Robi Hakiardy, Taufik Nurrahman, Ahmad Fadhilah Rosyadi, Asep Syahroni, Tanto Fadly, Azan Leonardo, Andi Riski, Malik Saefudin, Ahmad Fadly, Ababil. Terimakasih atas keramahtamahan selama menjadi sahabat yang luar biasa hebatnya bagi penulis. 14. Teman-teman KKN Ceria 46 yang telah memberikan pengalaman tak terlupakan. Semoga persahabatan dan tali silaturahmi bisa kita jalin. Akhirnya hanya rasa syukur, ucapan terimakasih, dan permohonan maaf yang dapat penulis sampaikan jika selama ini banyak terjadi kesalahan iv serta kekhilafan yang pernah penulis lakukan. Semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi semua pihak tanpa terkecuali. Jakarta 17 Juni 2015 penulis v DAFTAR ISI ABSTRAK ...................................................................................................... i KATA PENGANTAR .................................................................................... ii DAFTAR ISI ................................................................................................... vi DAFTAR TABEL .......................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR……………………………………………………… .. ix BAB I BAB II PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................ 7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................ 8 D. Tinjauan Pustaka ...................................................................... 9 E. Sistematika Penulisan .............................................................. 11 LANDASAN TEORI A. Wacana Isu Gender .................................................................. 13 1. Pengertian Gender .............................................................. 13 2. Latar Belakang Munculnya Wacana Gender ..................... 15 3. Isu Gender Dalam Islam..................................................... 17 4. Faktor Penyebab Ketimpangan Gender ............................. 20 B. Media dan Gender ................................................................... 27 C. Wacana Film ........................................................................... 32 1. Pengertian Film .................................................................. 32 2. Unsur-Unsur dan Jenis-Jenis Film...................................... 35 D. Perkembangan Fim di Indonesia .............................................. 39 1. Awal Hadirnya Film di Indonesia ..................................... 39 2. Perkembangan Film di Indonesia setelah berdirinya NKRI .................................................................................. 41 E. Konsep Wacana ........................................................................ 44 1. Teori Wacana ..................................................................... 44 2. Kerangka Analisis Wacana Teun A. Van Dijk .................. 48 vi BAB III BAB IV BAB V METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian .................................................................. 61 B. Jenis Penelitian ....................................................................... 66 C. Subjek dan Objek Penelitian .................................................. 66 D. Teknik Pengumpulan Data ..................................................... 67 E. Triangulasi ............................................................................. 70 F. Teknik Analisis Data ............................................................. 71 G. Teknik Penulisan ................................................................... 72 GAMBARAN UMUM DAN ANALISIS DATA A. Gambaran film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” ............................... 73 B. Skenario “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” ....................................... 77 C. Kognisi Sosial Film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” ....................... 79 D. Konteks SosialFilm “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” ....................... 115 PENUTUP A. Kesimpulan .............................................................................. 119 B. Saran ......................................................................................... 120 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN vii DAFTAR TABEL Tabel 2.1 .................................................................................................. 48 Tabel 2.2 .................................................................................................. 50 Tabel 4.1 .................................................................................................. 82 Tabel 4.2 .................................................................................................. 83 Tabel 4.3 .................................................................................................. 87 Tabel 4.4 .................................................................................................. 88 Tabel 4.5 .................................................................................................. 89 Tabel 4.6 .................................................................................................. 93 Tabel 4.7 ……………………………………………………………….. 95 Tabel 4.8 ………………………………………………………………... 97 Tabel 4.9 ………………………………………………………………... 99 Tabel 4.10 ………………………………………………………………… 100 Tabel 4. 11 ………………………………………………………………… 101 Tabel 4.12 ………………………………………………………………… 103 Tabel 4.13 ………………………………………………………………… 107 Tabel 4.14 ………………………………………………………………… 109 viii TABEL GAMBAR Gambar 4.1-4.3............................................................................................ 82 Gambar 4.4- 4.5........................................................................................... 83 Gambar 4.6 .................................................................................................. 105 Gambar 4.7- 4.8........................................................................................... 106 Gambar 4.9 .................................................................................................. 107 Gambar 4.10- 4.11....................................................................................... 109 Gambar 4.12- 4.13....................................................................................... 110 Gambar 4.14- 4.17....................................................................................... 111 Gambar 4. 18- 4.20...................................................................................... 112 ix BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Komunikasi massa merupakan penyampaian pesan serentak. Salah satu penyampaiannya melalui film.1 Film merupakan media massa yang cukup efektif dalam menyampaikan pesan, daripada komunikasi massa yang lainnya. Oleh karena itu, film adalah media komunikasi yang ampuh, bukan saja untuk hiburan, tetapi juga untuk penerangan pendidikan (edukatif) secara penuh (media yang komplit).2 Sebuah film tidak akan lepas dengan unsur sinematik dan narasi. Aspek cerita dan tema sebuah film terdapat didalam narasi. Cerita dikemas dalam bentuk skenario, yang akan mengarahkan jalan cerita film. Didalam skenario kita dapat melihat unsur-unsur seperti tokoh, masalah, konflik, lokasi, dan waktu. Seluruh unsur-unsur tersebut membentuk sebuah jalinan peristiwa terikat oleh sebuah aturan yaitu hukum kausalitas.3 Sebagaimana diketahui, film merupakan salah satu media komunikasi massa.4Diantara beberapa media yang banyak diminati oleh masyarakat adalah film. Oleh karena itu, film bisa memadukan dua unsur yaitu suara dan gambar. 1 Elvinato Ardianto, Komunikasi Massa Suatu Pengantar. (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2004), h.35. 2 Onong Uchjana Effendy, Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi. (Bandung: Citra Aditia Bakti, 2003), h.206-207. 3 Himawan Pratista, Memahami Film, (Yogyakarta, Homerian Pustaka, 2008), h.2. 4 Adi Pranajaya, Film dan Masyarakat sebuah Pengantar,(Jakarta: BP SDM Citra Pusat Perfilman Haji Umar Ismail, 1999). h.11. 1 2 Selain itu film juga merupakan salah satu dari hasil kebudayaan yang kehadirannya saat ini akrab dengan keseharian manusia.5 Film dianggap sebagai media komunikasi yang ampuh terhadap massa yang menjadi sasarannya. Film bersifat audio visual yaitu gambar dan suara yang hidup. Melalui gambar dan suara, film mampu menceritakan banyak hal dalam waktu singkat. Ketika penonton menonton film tersebut seakan-akan menembus ruang dan waktu yang dapat menceritakan kehidupan dan bahkan dapat memengaruhi audiens. Film sama dengan media aristik lainnya memiliki sifat-sifat dari media lainnya yang terjalin dalam susunan yang beragam. Film memiliki kesanggupan untuk memainkan ruang dan waktu, mengembangkan dan mempersingkatnya, menggerak memajukan dan memundurkan secara bebas dalam batasan-batasan wilayah yang cukup lapang. Meski antara media film dan lainnya terdapat kesamaan-kesamaan, film adalah sesuatu yang unik.6 Kehadiran keberagaman media komunikasi adalah salah satu yang dapat dimanfaatkan oleh umat islam sebagai sarana peningkatan iman dan takwa, media komunikasi juga dapat digunakan untuk penyampaian pesan moral baik yang terkandung dalam islam maupun yang hanya disepakati oleh masyarakat. Oleh karena itu, praktis dakwah dituntut untuk bisa berinovasi 5 Mustafa Mansur, Jalan Dakwah,(Jakarta: Pustaka Ilmiah,1994). h.26. Adi Pranajaya, Film dan Masyarakat sebuah Pengantar,(Jakarta: BP SDM Citra Pusat Perfilman Haji Umar Ismail, 1999). h.6. 6 3 melalui media alternatif dalam menyampaikan nilai moral kepada masyarakat dan kebenaran islam.7 Menurut penulis perkembangan media massa di era globalisasi ini berdampak pula bagi peran gender dalam fakta sosialnya. Konsep gender dalam hal ini merupakan semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lainnya. Gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum perempuan dan laki-laki yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun, pada kenyataannya perbedaan gender tersebut telah melahirkan berbagai persoalan menyangkut ketidakadilan baik bagi kaum laki-laki dan terutama terhadap kaum perempuan (seringkali perempuan yang dirugikan). Gender dan media massa memang berkaitan erat antara satu dan yang lainnya. Sekarang ini, media massa secara tidak langsung telah memberikan “suguhan” yang sebenarnya bias gender. Bagaimana tidak? kaum perempuan seringkali dijadikan sebagai objek. Ironisnya, kaum perempuan yang menjadi objek dalam media massa tersebut sering tidak sadar jika sedang menjadi bahan eksploitasi dari pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya. Perbincangan masalah gender seringkali menimbulkan suasana yang “kurang nyaman” bahkan kontrotafif, baik dalam forum perempuan saja 7 Sean Mac Bried, Komunikasi dan Masyarakat Sekarang dan Massa Depan, Aneka Suara Satu Dunia, (Jakarta: PN Balai Pustaka Unesco,1983). h.120 4 maupun forum yang melibatkan laki-laki dan perempuan. Hal ini karena gender dianggap sebagai suatu yang barat-sentris. Bahkan seringkali terjadi kerancuan pandangan tentang konsep seks dan gender, baik laki-laki maupun perempuan itu sendiri. Gender identik dengan perempuan, karena itu persoalan gender juga adalah persoalan perempuan. Padahal sebenarnya, persoalan gender adalah problem bersama laki-laki dan perempuan, karena menyangkut peran, fungsi dan relasi antara laki-laki dan perempuan, baik kehidupan ranah domestik maupun publik.8 Gender sebagai persoalan sosial budaya, lebih berbicara mengenai ketimpangan, yakni masalah ketimpangan antara hak dan kewajiban. Hal ini bisa menjadi persoalan karena ada ketimpangan yang kadang-kadang berasal dari kategori superioritas (laki-laki) dan inferioritas (perempuan). Ketimpangan hak dan kewajiban dianggap menjadi persoalan, karena merugikan pihak-pihak tertentu. Ketimpangan hak dan kewajiban terkait dengan masalah sosial, bisa berupa bentuk-bentuk ketidakadilan yang harus dihilangkan dan diupayakan adanya keadilan (equality) dan kesetaraan (equity).9 Kekerasan terhadap perempuan adalah bentuk dari ketidakadilan gender.Fenomena ini merupakan akibat lebih lanjut dari stereotype masyarakat terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan terjadi dimana-mana. Di Indonesia kekerasan terhadap perempuan menunjukan peningkatan cukup berarti. Laporan Komnas perempuan dalam Catatan Tahunan tentang Kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2001 ada 3.169, pada tahun 2012 8 Umi Sumbulah,Spektrum Gender, (UIN-Malang Press, 2008), h.4 Heddy Shri Ahimsa, Berbagai Pendekatan, (Yogyakarta: Kepel Press, 2009), h.23 9 5 ada 216.156 dan tahun 2013 ada 279.688. Kekerasan tersebut mencakup fisik, psikis, ekonomi dan seksual. Konteks kekerasan seksual, selama 12 tahun (2001-2012 ), sedikitnya ada 35 perempuan korban kekerasan seksual setiap hari. Tahun 2012 tercatat 4.336 kasus kekerasan seksual, 2.920 diantaranya terjadi di ruang publik/komunitas. Mayoritas kekerasan seksual muncul dalam bentuk pemerkosaan dan pencabulan. Korban meliputi semua umur, dari balita hingga manula, rata-rata usia antara 13-18 tahun.10 Kekerasaan terhadap perempuan yang terjadi bisa secara verbal dan non verbal. Kekerasaan secara non verbal salah satunya bisa ditemui dalam karya-karya seni diantaranya film. Film sangat rentan cerjadi cerita tentang kekerasaan terhadap perempuan. Film yang bertemakan perempuan diantaranya: Film “Pasir Berbisik” karya Nan T. Achnas, Film “Eliana-Eliana” Karya Riri Riza, Film “Ca Bau Kan” dan “Berbagai Suami” Karya Nia Dinata, dan juga Film “Marsinah” karya Slamet Rahardjo. Dari beberapa film yang bertemakan perempuan, Film “7 Hati 7 Cinta 7 wanita” yang di liris pada tahun 2010 yang disutradarai oleh Robby Ertanto Soediskam dan dibintangi oleh Maecella Zalianty dan Jajang C. Noer serta dibintangi oleh artis ternama lainnya, menarik perhatian penulis untuk menganalisa secara mendalam, karena 7 kisah wanita yang berbeda. Film “7 Hati 7 Cinta 7 wanita” adalah film yang ditulis dengan pesan yang jelas tentang perempuan yang tidak layak diangkat oleh media massa kebanyakan, karena mungkin ironis kisahnya. Hal-hal tentang perempuan yang dianggap penting oleh media massa kebanyakan adalah sebatas urusan 10 Kekerasaan Seksual Terhadap Perempuan Perspektif Islam: KH. Husein Muhammad, http://www.komnasperempuan.or.id/2014/11. Diakses pada tanggal 17 Maret 2015 pada pukul 13.24 6 rambut, memutihkan kulit, dan menurunkan berat badan. Padalah persoalan perempuan tidak hanya itu masih banyak dan sangat kompleks yang justru sebenarnya harus diketahui dan mencari solusinya bersama. Film “7 Hati 7 Cinta 7 wanita”, tampak bahwa potret perempuan di Indonesia digambarkan dengan sosoknya yang lemah dan tertindas. Persoalan perempuan dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 wanita” memaparkan secara selintas tentang gambaran masalah perempuan yang terjadi di masyarakat, seperti masalah kesehatan reproduksi perempuan, kekerasaan terhadap perempuan, pekerja seks komersial, serta masalah hak-hak perempuan. Cerita dalam film 7 Hati 7 Cinta 7 wanita berporos di Rumah Sakit Fatmawati, bercerita tentang seorang dokter yang bernama Dokter Kartini, spesialis dokter kandungan dengan pasien-pasiennya yang tentu saja perempuan. Terdapat Yanti, seorang wanita tuna susila yang selalu riang. Rara siswi SMP, adik dari Ratna, yang telat dua minggu dari hasil berhubungan badan dengan Acin yang masih menjadi siswa SMA. Ratna adalah seorang penjahit yang sholehah dan taat kepada suaminya, namun Ratna menajdi korban poligami. Lili, yang selalu disiksa dan dipukuli setiap kali berhubungan dengan suaminya. Lastri, perempuan yang memiliki masalah dengan berat badan sehingga membuatnya susah hamil. Ningsih seorang wanita karier yang sukses namun bersikap diktaktor pada suaminya. Perempuan selanjutnya adalah dokter Rohana yaitu dokter baru spesialis kandungan. Film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” ini penulis akan mengupas berbagai masalah yang berkaitan erat dengan perempuan. Film ini menceritakan tentang realita kaum urban yang sering menjadi korban dan mendukung adanya 7 konsep Patriarki, konsep yang mengacu pada satu kondisi bahwa segala sesuatu diterima secara fundamental dan universal sebagai dominasi kaum laki-laki. Untuk memahami bagaimana perbedaan gender yang telah melahirkan ketidakadilan gender terutama terhadap perempuan yang ada dimasyarakat. Hal tersebut seperti adanya bentuk-bentuk stereotip feminitas, marginalisasi, dan subordinasi perempuan, beban kerja perempuan yang yang lebih berat, serta kekerasan dan pelecehan seksual. Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih dalam mengenai isu gender yang terdapat dalam film“7 Hati 7 Cinta 7 wanita” karya Robby Ertanto. Untuk membahas permasalahan di atas maka penulis mengangkatnya ke dalam bentuk skripsi dan memberi judul: “Analisis Wacana Isu Gender dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7 wanita karya Robby Ertanto” B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Untuk mempermudah penulisan dalam skripsi ini, maka perlu bagi penulis untuk membatasi ruang lingkup dari permasalahan yang akan dibahas pada kajian ini. a. Analisis Wacana Teun A. Van Djik, yang mempunyai kategori yaitu Dilihat secara teks, b. Analisis wacana Teun A. Van Djik kognisi sosial, melihat dari isi teks yang dapat menekankan pada isi dalam skenario film 8 tersebut, kemudian melihat dari kognisi sosial meneliti dan memahami bagaimana bentuk hasil peristiwa isu gender yang terjadi dalam film 7 Hati 7 cinta 7 Wanita c. Analisis wacana Teun A. Van Djik konteks sosial yang menunjukkan bahwa proses film tersebut diproduksi dan menggambarkan nilai-nilai masyarakat dan dijadikan objek oleh penulis skenario dalam membuat film ini. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan batasan masalah tersebut, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah wacana isu gender dalam film “7 Hati 7 cinta 7 Wanita” dilihat dari teks? 2. Bagaimanakah wacana isu gender dalam film ” 7 Hati 7 cinta 7 Wanita” dilihat dari kognisi sosial? 3. Bagaimanakah wacana isu gender dalam film ” 7 Hati 7 cinta 7 Wanita” dilihat dari konteks sosial? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Dengan mengacu kepada permasalahan sebagaimana penulis rumuskan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk memberikan kejelasan tentang wacana film 7 Hati 7 cinta 7 Wanita. 9 a. Untuk mengetahui bangunan wacana teks film 7 Hati 7 cinta 7 Wanita. b. Untuk mengetahui kognisi sosial yang melatarbelakangi penulis skenario dalam membuat naskah film film 7 Hati 7 cinta 7 Wanita c. Untuk mengetahui konteks sosial menurut wacana yang berkembang 2. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan untuk: a. Untuk pengembangan teori komunikasi, gender dan media, komunikasi media massa, dan pembelajaran komunikasi interpersonal. b. Melalui mengkajian permasalahan film yang terkait dengan gender, maka diharapkan pengembangan kurikulum jurusan memuat pembelajaran mengenai gender dan media. c. Sutradara khususnya Production House (PH) dalam membuat script diharapkan harus seimbang dengan teori dan realitas yang ada. D. Tinjauan Pustaka Sebelum peneliti penyusun skripsi ini lebih lanjut, maka terlebih dahulu Penulis menggunakan beberapa rujukan skripsi terdahulu dalam mendapatkan informasi tentang hal yang berkaitan dengan skripsi yang sedang ditulis, hal tersebut bertujuan agar tidak adanya kesalahan dalam mengolah data dan menganalisisnya. 10 Beberapa judul penelitian yang terdahulu, diantaranya: 1. “Analisis Wacana Pesan Moral dalam Film Naga Bonar Karya Asrul Sanioleh saudara Sukasih Nur tahun 2008”. Perbedaan skripsi ini terletak pada objek penelitiannya. Kelebihannya yaitu skripsi ini mengandung pesan-pesan moral yang terdapat dalam film tersebut dan juga lebih menekankan pada karakteristik berbangsa dan bernegara, dimana tokoh utamanya yang rela berkorban, berjuang demi bangsanya. Kekurangan dalam skripsi ini grafis nya kurang ditonjolkan sehingga pembaca kurang mengetahui bagian mana saja yang memiliki grafis sesuai dengan tema. 2. “Analisis Wacana Film Titian Serabut Dibelah Tujuh Karya Chaerul Umam, Zakka Abdul Malik Syam 2010”. Perbedaan skripsi ini terletak pada objek penelitiannya. Kelebihannya yaitu skripsi ini menekankan pada tema besar yakni tentang keikhlasan, kesabaran dan perjungan. Kelemahanya skripsi ini tidak menggunakan scene gambar. 3. “Analisis Wacana Teun A. Van Dijk Terhadap Skenario Film “Perempuan Punya Cerita, Haiatul Umam 2009”. Perbedaan skripsi ini terletak pada subjek penelitiannya. Kelebihan pada skripsi ini yaitu membahas tentang bias gender yang terdapat dalam film tersebut. Kekurangan skripsi ini yaitu Penelitian ini hanya meneliti skenario teks dalam film tersebut. 4. “Analisis Wacana Dakwah dalam Film Ayat-Ayat Cinta oleh Zeid Nuh tahun 2008”. Perbedaan skripsi ini terletak pada objek 11 penelitiannya. Kelebihannya yaitu skripsi ini memfokuskan pada teks yang mengandung nilai-nilai dakwah yang terdapat dalam film tersebut.Kekurangan skripsi ini yaitu kurangnya kelengkapan gambar yang dimunculkan dalam tabel. 5. “Analisis Wacana Pemberitaan film FITNA karya Geert Wilders di Harian Umum Republika (Edisi 29-4 April 2008), karya Sofwan Tamami tahun 2004. Skripsi ini berbeda karena skripsi ini meneliti pemberitaan flm Fitnakarya Geert Wilders. Kelebihan skripsi ini lebih menekankan pada wacan berita pada media cetak, sehingga skripsi ini berbeda subjeknya dan objeknya. Kekurangan nya yaitu skripsi ini tidak menggunakan grafis, dan gambar/metafora. Penelitian mengambil judul Analisis Wacana Isu Gender dalam Film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” Karya Robby Ertanto, berdasarkan kajian diatas yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah objek yang berbeda, meskipun sama- sama menggunakan analisis wacana namun skripsi ini dalam melakukan analisisnya berdasarkan pada perspektif gender. E. Sistematika Penulisan Adapun sistematika pembahasan skripsi ini terdiri dari lima bab yang terdiri dari beberapa sub bab. Secara sistematis bab-bab tersebut adalah sebagai berikut: BAB I : Diawali dengan pendahuluan yang menjadi alasan diangkatnya penelitian ini. Bagian ini terdiri dari latar belakang masalah, 12 pembatasan masalah dan perumusan masalah, manfaat penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan. BAB II : Pengertian Isu Gender, Media dan Gender, Wacana Film, Analisis Wacana Teun A. Van Dijk. BAB III : Metodelogi Penelitian. BAB IV : Merupakan inti persoalan yang diangkat dalam skripsi ini, yaitu gambaran mengenai Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita, berupaya menerangkan temuan dan analisis wacana yang dibangun dalam film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita dan korelasinya dengan konteks teks film, kognisi sosial, konteks sosial dalam film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita. BAB V : Merupakan akhir atau penutup daripenulisan skripsi ini, berisi kesimpulan dan saran-saran. Pada bagian penutup ini merupakan jawaban terhadap beberapa pertanyaan yang termuat dalam rumusan masalah. Lampiran-lampiran. Berisikan naskah wawancara, dokumentasigambar dalam film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita, foto-foto pembuatan film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita dan lain-lainnya. BAB II LANDASAN TEORI A. Wacana Isu Gender 1. Pengertian Gender Kata gender berasal dari bahasa latin “genus” yang artinya “jenis”. Dalam Webster’s New World Dictionary, istilah gender diartikan sebagai perbedan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Sementara dalam buku Women’s Studies Encyclopedia, gender dimaknai sebagai konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan dalam konteks peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di masyarakat. Secara istilah, gender berbeda dengan sex atau jenis kelamin yang merujuk kepada perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara biogolis (kodrat). Lain dengan gender, yang lebih dimaknai sebagai jenis kelamin dari sudut pandang sosial (intervensi sosial kultural), serta seperangkat peran tentang seperti apa yang seharusnya dilakukan perempuan dan laki-laki.1 Seks dan gender sebenarnya memiliki perbedaan makna yang signifikan. Barbara Reskin dan Irene Padavic (1994:2-3) menjelaskan bahwa seks merupakan pembedaan dua jenis kelamin secara biologis. Perbedaan ini tergantung pada kromosom dan diekspresikan dalam alat 1 Mansour Fakih, Posisi Perempuan Dalam Islam, Tinjauan Analisis Gender Dalam Membicangkan Feminism; Diskursus Gender Prespektif Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1996) 13 14 kelamin, alat-alat reproduktif internal, dan hormon. Perbedaan seks ini sudah mulai sejak lahir. Di masyarakat mana pun, setiap bayi yang dilahirkan pasti diasosiasikan hanya pada salah satu dari dua macam jenis kelamin, dan hanya berdasarkan pada satu indikator yaitu genital. Perbedaan seks itu permanen, atau dalam konteks teologis disebut dengan kodrat yang sudah ditentukan Tuhan.2 Sementara itu gender memiliki pemaknaan yang berbeda dengan seks. Para ahli kajian gender mendefinisikan istilah gender dengan pemaknaan yang beragam. Nicholas Abercrombie, Stephen Hill dan Bryan S. Turner (1984: 103) dalam Dictionary of Sosiology menyebutkan bahwa gender adalah kehidupan seseorang yang secara kultural dan sosial dikontruksikan oleh masyarakatnya. Definisi tentang gender yang lebih spesifik ditulis oleh Helen Tierney (1999:153) dalam Women’s Studies Encyclopedia yang menerangkan bahwa gender adalah konsep kultural yang membuat pembedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional yang berkembang didalam masyarakat.3 Berdasarkan pada definisi-definisi tersebut, gender dapat dimaknai sebagai konstruksi sosial tentang pembedaan sifat, peran, tanggung jawab, nilai, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan. Misalnya, konstruksi sosial bahwa perempuan lemah, cengeng,emosional, tidak percaya diri, kurang kreatif, tidak memiliki 2 Ida Rosyidah, Hermawati, Relasi Gender Dalam Agama-Agama, (Jakarta: UIN Press, 2013). h.12. 3 Ibid. h.13. 15 inisiatif, kurang bebas bergerak, kurang tegas, rapuh dan lain-lain. Sebaliknya laki-laki memiliki sifat-sifat berikut ini kuat, tidak mudah menangis, rasional, percaya diri, kreatif, banyak inisiatif, bebas bergerak, tahan banting, tidak cengeng dan lain-lain.4 2. Latar Belakang Munculnya Wacana Gender Munculnya diperkenalkan wacana oleh Robert atau Istilah Stoller „gender‟ (1968) untuk pertama kali memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendivinisian yang berasal dari cirri-ciri fisik. Dalam ilmu sosial orang yang berjasa besar dalam mengembangkan istilah dan pengertian gender ini adalah Ann Oakley (1972). Sebagai mana Stoller, Oakley mengartikan “Gender” sebagai konstruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan manusia.5 Namun wacana gender berkembang luas pada 1977 ketika sekelompok feminis di London tidak lagi memakai isu-isu lama seperti patriarchal atau exis. 6 Mereka memilih jargo baru, gender discourse. Menunjukan bahwa ada perkembangan yang sangat bagus. Karena sebenarnya masalah ketidaksetaraan gender merupakan hubungan perempuan dan laki-laki sebagian besar dibentuk oleh pembedaan 4 Ida Rosyidah, Hermawati, Relasi Gender Dalam Agama-Agama, (Jakarta: UIN Press, 2013), h.14. 5 Kantor menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Women Support Project II/CIDA, Gender dan Pembangunan ,2001, h. 15. 6 Nur Hasyim, Menggugat Harmoni, 1999, Yogyakarta: Rifka Annisa, h.7. 16 konstruksi “perempuan” dan “laki-laki” secara sosial- budaya dan bukan secara biologis (seks/kelamin). Memindahkan wacana ketidaksetaraan gender tersebut dari panggung biologis kepanggung sosial budaya secara teoritis kiranya lebih efektif. Namun, wacana gender tidak secara sangat eksplisit dijadikan sebagai ideologi perjuangan perempuan dunia dibawah payung organisasi bangsa-bangsa pada 1975 di meksiko yang melahirkan konsep “womens in development” atau biasa di sebut dengan “WID” (perempuan dalam pembangunan). Kemudian dilanjutkan di kopenhagen (1985), Nairobi (1995) dan Beijing (Cina) yang malah sempat merumus cetak biru konvensi penghapusan segala tindak diskriminasi terhadap perempuan“ Convention For Eliminating Discrimination Against Women” ( CEDAW). Indonesia mengadopsi konsep gender dalam perjuangan kesetaraan terhadap perempuan terhadap laki-laki ini sejak Kabinet Pembangunan V dalam bentuk embrio dan ditingkatkan dalam Kabinet pembangunan VI. Gender mendapat perhatian yang makin tingi di Kabinet Reformasi. Dimana pemerintah mengeluarkan Inpres No. 9/2000 tentang Pengarus utamaan Gender dalam Pembangunan Sosial. Terlebih, munculnya berbagi kegiatan berbasis gender, termasuk penyusunan statistik dan indikator gender yang pertama kali dirilis BPS bekerja sama dengan Uniform pada 2000 yang menunjukan antara rendahnya representasi perempuan dalam DPR (8,8%), MPR (9,1), angota DPA (2,7%), Hakim Agung (13,7%), di ranah kepala desa/lah(2,3%) dan berkedudukan dalam jabatan struktural 17 kepegawaiaan (15,2%). Padahal, rasio jumlah penduduk perempuan diatas rasio pendudul laki-laki yaitu 99% yang berarti dari 100 penduduk perempuan terdapat 99 penduduk laki-laki.7 3. Isu Gender Dalam Islam Jika kita mengaitkan isu gender dengan islam, maka kita bisa membicarakan soal ini dari dua sudut analisis dan pembacaan, a. Metodologi Feminisme Kelemahan paling mendasar dari teori feminisme adalah kecenderungan artifisialnya pada filsafat modern. Pemikiran modern memiliki logika tersendiri dalam memandang realitas. Filsafat modern membagi realitas dalam posisi dikotomis subyek–obyek, dimana rasionalisme dan empirisme merajai pandangan dikotomis atas realitas, dimana laki-laki (subyek) dan perempuan (objek) dan hubungan diantara keduanya adalah hubungan subyek–objek (yang satu mensubordinasi yang lain). Dengan begitu mereka menerapkan analisis Gender menurut ilmu-ilmu sosial terhadap teks-teks islam. Analisis gender seperti ini dilakukan oleh para feminis islam selama ini yang menafsirakan teks-teks islam terutama Al- Quran dan Hadis-hadis Nabi sesuai dengan visi baru tentang kesetaraan dan kemudian mengkonfrontasikanya denagan penafsiran yang telah mapan. Analsis gender yang seperti ini biasanya memakai sesuatu hermeneutik 7 Kantor menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Women Support Project II/CIDA, Gender dan Pembangunan ,2001, h. 15 18 interpretation as exercise of suspicion8 yaitu penafsiran sebagai latian kecurigaan. Demestifikasi dilakukan atas simbol-simbol keagamaan yang berkaitan dengan persoalan gender. Dicari suatu penjelasan mengapa ketidaksetaraan gender itu termuat dalam teks-teks islam dan mengapa, bahkan, ada teks-teks islam yang kelihatan seksis dan misigionis, maka dari itu mereka mereka (para feminis) membuat motede hermeneutika yang baru karena dianggap penafsiran-penafsiran terdahulu atas teks-teks islam cenderung kelihatan seksis dan misigonis yang menimbulkan bias gender. Berikut ini uraian secara singkat agenda kaum feminis, pertama, perempuan memiliki kebebasan memilih (freedom of choice) atas dasar haknya yang sama dengan lakilaki. Yang ini tidak ada atau sangat kurang dalam penafsiran islam selama ini. Kedua, perempuan tidak „dipaksa‟ selalu menjadi ibu rumah tangga, dimana ditekankan bahwa ini tugas utamanya bahkan kodratnya sebagai perempuan. Justru inilah yang paling mencolok dalam kitab-kitab fiqih. Ketiga, perempuan tidak didorong untuk menjalankan peran yang khas feminim atas dasar feminim modestinya. Upaya realisasi agenda ini berarti dengan sendirinya penolakan secara keras pengutuban laki-laki perempuan melalui stereotype yang ada dalam seluruh penafsiran islam yang berpusat pada laki-laki. Kesimpulannya, menurut kaum feminis postmodernis muslim, perlu pembokaran (dekonstruksi) atas seluruh pencitraan atau 8 Paul Ricoer, hermeneutics; Restoration of meaning or reduction of illusion. Dalam kritik sosiolog, h.194-202 19 represantasi perempuan yang memperlihatkan sudut pandang kepentingan laki-laki, yang terwujud dalam patriarki melalui diskursus tertentu. Pembongkaran dilakukan justru untuk mendapatkan sudut pandang dan kepentingan perempuan sebagai subyek yang otonom. b. Metodologi Keilmuan Islam Analisis gender seperti ini bukan dari sudut sosilogi tapi dari sudut agama islam yang mempunyai corak khas dan telah dipakai sejak berabad-abad secara tradisional. Analisis gender keilmuan ini banyak dilakukan khususnya oleh para sufi (pemikir islam). Pemakaian jenis hermeneutika dalam analisis gender ini adalah hermeneutika yang memberikan tekanan pada interpretasion as recollection of meaning yaitu penafsiran sebagai pengingatan kembali makna aslinya. Disini diterapkan suatu lingkaran hermeneutik yang disebut „believe in order to understand, understand in order to believe. Berkebalikan dari „kecurigaan‟ sebagai hal yang penting dalam jenis hermeneutic of suspicion iman adalah hal yang penting dalam keseluruhan proses recollection of meaning ini, karena iman merupakan pintu masuk kepada makna yang paling mendalam dari suatu visi tek-teks khususnya teks-teks sakral yang memang memuat makna yang paling batin. Jelas bahwa hermeneutik ini berdasarkan dengan adanya makna. Jika seseorang melakukan penafsiran atas teks-teks sakral itu dan melakukan peziarahan dalam lapisan-lapisan makna yang ada dalam 20 teks itu seseorang akan mendapatkan makna yang terdalam yang terbungkus lapisan luar dari teks. Dalam pemahaman suatu peziarahan atas makna yang hakiki seseorang pun akan tahu maksud illahi dalam pengaturan simbolik dari soal-soal relasi gender. Jika kita membaca teks tentang perempuan dalam Al-Qur‟an tentu saja kita akan berkesimpulan bahwa al Qur‟an telah memberikan penggambaran yang lebih baik tentang kehidupan, sebagai contoh perempuan telah menerima bagian warisan walaupun lebih kecil daripada laki-laki karena perempuan akan menerima kehidupan dan harta dari suaminya dan mas kawin merupakan miliknya sepenuhnya.9 4. Faktor Penyebab Ketimpangan Gender Dari uraian diatas sebelumnya dapat dengan jelas dibedakan antara perbedaan jenis kelamin (seks) dengan perbedaan gender. Dalam kondisi saat ini masih menunjukan bahwa perbedaan jenis kelamin dapat menimbulkan perbedaan gender (gender differences) dimana kaum perempuan itu tidak rasional, emosional dan lemah lembut. Sedangkan laki-laki memiliki sifat rasional, kuat atau perkasa. Perbedaan gender (Gender differences) sebenarnya bukan suatu masalah sepanjang tidak menimbukan ketidakadilan gender (gender inequalitas). Namun, yang menjadi masalah adalah ternyata perbedaan gender ini telah menimbulkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki9 Isu Gender Dalam Studi Islam, Dedi Rizkyan, https://djongdjepara23.wordpress.com/2011/12/30, diakses pada tanggal 6 maret 2014 pada pukul 13.15 21 laki dan utamanya terhadap kaum perempuan. Secara biologis, (kodrat) kaum perempuan dengan organ reproduksinya dapat hamil, melahirkan, dan menyusui. Setelah itu, muncul peran ( gender role) sebagai perawat , pengasuh dan pendidik anak. Dengan demikian gender role tidak dianggap menimbulkan masalah dan tidak perlu digugat. Namun yang menjadi masalah dan perlu di pertanyakan adalah struktur keadilan gender yang ditimbulkan oleh peran gender (gender role) dan perbedaan gender (gender differences). Ketidakadilan gender (Gender inequalitas) merupakan sistem dan struktur dimana kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Menurut Umi Sumbullah dalam buku Spektrum Gender, perbedaan gender yang menyebabkan ketidakadilan maka dapat dilihat dari berbagai manifestasinya, yaitu sebagai berikut :10 a. Marginalisasi Sesunguhnya, timbulnya kemiskinan yang terjadi dalam masyarakat dan Negara merupakan sebagai akibat dari proses marginalisasi yang menimpa kaum laki-laki dan perempuan yang disebabkan oleh berbagai kejadian antara lain, penggusuran, bencana alam, atau proses eksploitasi. Bentuk marginalisasi yang paling dominan terjadi terhadap kaum perempuan yang disebabkan oleh gender. 10 Umi Sumbullah, Spektrum Gender, (Malang: UIN Malang PRESS, 2008).h.14 22 Meskipun tidak setiap bentuk marginalisasi perempuan disebabkan oleh ketidakadilan gender (gender inequalitas). Namun yang dipermasalahkan disini adalah bentuk marginalisasi yang disebabkan oleh perbedaan gender (gender differences). Perbedaan gender ini sebagai akibat dari bebarapa perbedaan jenis dan bentuk, tempat, waktu, serta mekanisme dari proses marginalisasi kaum perempuan. Perbedaan gender ini bila ditinjau dari sumbernya dapat berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsir agama, keyakinan tradisi dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan. Misalnya, program pertanian revolusi hijau (green revolution) yang hanya memfokuskan terhadap petani laki-laki. Sehingga perempuan desa tersingkir dan menjadi miskin. Hal ini disebabkan karena ada asumsi bahwa petani itu identik dengan jenis kelamin laki-laki sehingga banyak petani kaum perempuan yang tersingkir dari sawah. Bentuk marginalisasi terhadap kaum perempuan juga terjadi dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur bahkan Negara. Jadi tidak hanya terjadi dalam ranah pekerjaan saja. Didalam rumah tangga, marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi dalam bentuk diskriminasi atas angota kelurga yang laki- laki dan perempuan. Timbulnya marginalisasi ini dikarenakan diperkuat oleh tafsir keagamaan maupun adat istiadat. Misalnya memberian hak waris 23 didalam sebagian tafsir keagamaan porsi untuk laki-laki lebih besar dari perempuan. b. Subordinasi Subordinasi timbul sebagai akibat pandangan gender terhadap kaum perempuan. Sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting muncul dari adanya anggapan bahwa perempuan itu emosional atau irasional. Sehingga posisi perempuan dipandang tidak layak menjadi pemimpin atau memimpin. Proses subordinasi yang disebabkan karena gender terjadi dalam segala macam bentuk mekanisme yang berbeda dari waktu kewaktu dan dari tempat ketempat. Dalam kehidupan dimasyarakat, rumah tangga dan bernegara banyak kebijakan yang dikeluarkan tanpa menganggap penting perempuan. Dalam rumah tangga misalnya dalam kondisi keuangan rumah tangga yang terbatas, masih sering terdengar adanya priorotas untuk bersekolah bagi laki-laki di banding perempuan. Karena ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, karena pada akhirnya kelak juga masuk dapur juga. Hal inilah sesunguhnya muncul dari kesadaran gender yang tidak adil. c. Stereotipe Stereotipe adalah Pelabelan atau penandaan negatif terhadap kelompok atau jenis kelamin tertentu. Akibat dari setereotip ini biasanya timbul diskriminasi dan berbagai ketidak adilan. Salah satu 24 bentuk dari stereotip ini salah satunya bersumber dari pandangan gender. Banyak sekali bentuk stereotype yang terjadi di masyarakat yang dilekatkan kepada umumnya kaum perempuan. Sehingga berakibatmenyulitkan, membatasi, memiskinkan, dan merugikan perempuan. Misalnya , ketika kaum perempuan pulang larut malam disini pada umumnya masyarakat mempunyai pelabelan yang negative. Misalkan lagi, adanya keyakinan bahwa laki-laki bertugas mencari nafkah, maka setiap pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan dianggap sebagi suatu tambahan saja sehingga pekerja perempuan dibayar lebih rendah dibanding laki-laki. d. Violence Kekerasan atau disebut Violence merupakan invasi (assoult) atau serangan terhadap fisik, maupun integralisasi mental psikologi seorang yang dilakukan terhadap jenis kelamin tertentu umumnya perempuan sebagai akibat dari perbedaan gender. Bentuk dari kekerasn ini seperti pemerkosaan, pemukulan hingga pada bentuk yang lebih halus lagi. Misalnya, pelecehan sexual (sexual harassmen) dan penciptaan ketergantungan. Violence terhadap perempuan banyak sekali terjadi karena stereotype gender. Pemerkosaan yang merupakan salah satu bentuk Violence yang sering kali terjadi sebenarnya disebabkan bukan karena unsur kecantikan melainkan karena kekuasaan dan streotipe gender yang dilekatkan kepada kaum perempuan. Gender violence pada dasarnya disebabkan karena ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Violence yang disebabkan oleh bias gender ini disebut 25 gender-relative violence. Adapun bentuk dan macam kejahatan yang masuk dalam kategori gender violence meliputi sebagai berikut11: 1) Bentuk pemerkosaan terhadap perempuan, perkosaan dalam perkawinan juga termasuk didalamnya. Artinya pemerkosaan yang terjadi jika seseorang untuk mendapatkan pelayanan seksual dilakukan secara paksa tanpa kerelaan dari yang bersangkutan. Munculnya terekspresikan ketidakrelaan ini seringkali tidak bisa yang disebabkan oleh faktor, misalnya malu, ketakutan, keterepaksan baik dari segi ekonomi, sosial maupun kultural sehingga tidak ada pilihan lain. 2) Serangan fisik dan tindakan pemukulan yang terjadi dalam rumah tangga (domestic Violence), termasuk diantaranya penyiksaan terhadap anak-anak (child abouse). 3) Penyiksaan yang mengarah pada organ alat kelamin (genital mutilation). Misalnya penyunatan terhadap anak perempuan. Penyunatan ini dilakukan berbagi alasan dan mitos dalam masyarakat tertentu. Namun sekarang sudah jarang didengar penyunatan terhadap perempuan. 4) Pelacuran (Prostitution) merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan denagan motif ekonomi. Dalam hal ini pelacur dianggap rendah oleh masyarakat namun tempat praktiknya selalu saja ramai dikunjungi. 11 Mansour fakih, Analisis Gender& Transformasi sosial, (Pustaka Pelajar, 1999), h. 17. 26 5) Pornografi merupakan jenis kekerasan lain terhadap perempuan. Jenis kekerasan ini termasuk kekerasan non fisik yakni berupa pelecehan terhadap kaum perempuan diman tubuh perempuan dijadikan objek demi keuntungan pribadi. 6) Kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam bentuk program keluarga berencana. Dalam rangka mengontrol pertumbuhan penduduk, perempuan seringkali dijadikan korban demi program tersebut. 7) Jenis kekerasan terselubung (molestation) yakni menyentuh/memegang bagian tertentu dari tubuh perempuan dengan berbagai cara dengan kesempatan tanpa kerelaan si pemilik tubuh. Jenis kekerasan ini sering terjadi ditempat pekerjaan atau ditempat angkutan umum seperti Bis. 8) Tindakan kejahatan terhadap perempuan dalam pelecehan seksual ada beberapa macam diantaranya: a) Menyampaikan lelucon jorok secara vulgar pada seseorang dengan cara yang dirasakan secara ovensif. b) Menyakiti atau membuat malu dengan omongan jorok. c) Menginterogasi seseorang tentang kegiatan seksualnya atau kehidupan pribadinya. d) Meminta imbalan seksual dalam rangka janji untuk mendapatkan sebuah pekerjaan. e) Menyentuh atau menyenggol bagian tubuh tanpa seizin dari yang bersangkutan. 27 e. Beban Kerja Peran gender perempuan dalam anggapan masyarakat luas adalah mengelola rumah tangga sehingga banyak perempuan yang menangung beban kerja domestik lebih banyak dibanding laki-laki. Pada umumnya kaum perempuan memiliki sifat memelihar dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga. Dalam hal ini, berakibat semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Bahkan, bagi kalangan keluarga miskin, beban yang harus ditanggung oleh perempuan sangat berat apalagi jika perempuan ini harus bekerja diluar sehingga harus memikul beban kerja yang ganda. Bagi kelompok masyarakat yang memiliki ekonomo cukup, beban kerja sering kali dilimpahkan kepada pembantu rumah tangga (domestic worker). Dengan demikian sebenarnya kaum perempuan ini merupakan korban dari bias gender di masyarakat.12 B. Media dan Gender Media dan gender adalah dua aspek yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Hampir tidak ada satu jenis media massa saat ini yang tidak mengangkat sosok perempuan dalam pemberitaannya. Dunia perempuan saat ini, memang telah mengalami perubahan yang luar biasa, hingga saat ini isu gender masih menghiasi wacana media massa.13 12 Umi Sumbullah, Spektrum Gender, (Malang: UIN Malang PRESS, 2008).h.15. Artkel: Observasi, http://jurnal.kominfo.go.id/index, diakses pada tanggal 20 maret 2015 pukul 15.39. 13 28 Media masa yang sering disebut juga sebagai agen budaya, memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap masyarakat. Konsumsi media massa pada masyarakat saat ini dalam jumlah dan intensitas yang cukup tinggi, dimungkinkan dapat menimbulkan interaksi antara media massa dan masyarakat yang signifikan.14 Budaya media (media culture), seperti yang dituturkan oleh Douglas Kellner, menunjuk pada suatu keadaan yang tampilan audio visual atau tontonan-tontonannya telah membantu merangkai kehidupan sehari-hari, mendominasi hiburan, membentuk opini politik dan perilaku sosial, bahkan memberikan suplai materi untuk membentuk identitas seseorang. 15 Media cetak, radio, televisi, film, internet, dan bentuk-bentuk akhir teknologi media lainnya telah menyediakan defenisi-defenisi untuk menjadi laki-laki atau perempuan, dan membedakan status-status seseorang berdasarkan kelas, ras, maupun seks.16 Media adalah salah satu instrumen utama dalam membentuk konstruksi gender pada masyarakat. Media yang memiliki karakteristik dengan jangkauannya yang luas, bisa menjadi alat yang efektif dalam menyebarluaskan konstruksi gender kepada masyarakat. Sebelum membahas lebih jauh mengenai prinsip dasar yang harus dimiliki pelaku media terhadap permasalahan perempuan, terlebih dulu harus diketahui pengertian gender dan perbedaan antara seks dan gender. Banyak yang keliru ketika mengartikan seks dan gender. Pengertian gender adalah pembagian peran serta tanggung 14 Umi Sumbullah, Spektrum Gender, (Malang: UIN Malang PRESS, 2008)., h.16 Douglas Kellner, Media culture: Cultural Studies, Identity and Politics between the Modern and the Post Modern (USA and UK: Westvie Press), 1996, h. 164. 16 Maria Hartiningsih, Gender dan Media Massa, Jakarta: 2003 15 29 jawab, baik lelaki maupun perempuan yang ditetapkan masyarakat maupun budaya. Misalnya, keyakinan bahwa lelaki itu kuat, kasar, dan rasional, sedangkan perempuan lemah, lembut, dan emosional. Hal ini bukanlah ketentuan kodrat Tuhan, melainkan hasil sosialisasi melalui sejarah yang panjang. Pembagian peran, sifat, maupun watak perempuan dan lelaki dapat dipertukarkan, berubah dari masa ke masa, dari tempat dan adat satu ke tempat dan adat yang lain, dan dari kelas kaya ke kelas miskin. Gender memang bukan kodrat atau ketentuan Tuhan, melainkan buatan manusia, buatan masyarakat atau konstruksi sosial.17 Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun, timbul persoalan bahwa perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan. Walaupun laki-laki tidak menutup kemungkinan akan menjadi korban ketidakadilan gender, tetapi perempuan masih tetap menduduki posisi tertinggi sebagai korban ketidakadilan gender. Lebih lanjut, menurut Mansour Fakih, ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, di antaranya marjinalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi, atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe, atau melalui pelabelan negatif, kekerasan, beban kerja lebih panjang, serta sosialisasi ideologi peran gender. Ketidakadilan gender inilah yang digugat ideologi feminis, yang berangkat dari suatu kesadaran akan suatu penindasan dan pemeresan terhadap wanita dalam masyarakat, baik itu di tempat kerja ataupun 17 Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Gender dalam Konstruksi Media 30 dalam konteks masyarakat secara makro, serta tindakan sadar, baik oleh perempuan atau pun laki-laki dalam mengubah keadaan tersebut.18 Pentingnya jurnalis dan institusi media mempunyai sensitif yang tinggi dalam permasalahan perempuan, dan untuk menghasilkan jurnalisme yang berperspektif gender, sepertinya profesional media massa harus bekerja keras. Setidaknya, ada beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan para pelaku media massa, yaitu: pertama, kemampuan profesional, etika dan perspektif pelaku media massa terhadap permasalahan gender masih rendah. Akibatnya, hasil penyiaran belum sepenuhnya mampu mengangkat permasalahan perempuan pada arus utama (main stream). Penumbuhan rasa empati terhadap ketidakadilan yang dialami perempuan, merupakan salah satu jalan bagi media untuk bertindak fair, proporsional, serta berimbang dalam memberitakan kasus-kasus yang melibatkan perempuan. Kedua, media massa belum mampu melepaskan diri dari perannya sebagai medium ekonomi kekuasaan, baik yang datang dari penguasa, otoritas intelektual, ideologi poitik, ataupun pemilik modal.19 Media massa yang seharusnya menjadi “watchdog” bagi kekuasaan, justru terjerumus menjadi pelestari kekuasaan hanya karena lemahnya kemampuan profesional dan etika media massa. Akibatnya, perempuan menjadi korban dari aroganisme pelanggengan kekuasaan. Ketiga, kurangnya peran aktif dan representasi perempuan dalam media massa menjadikan perempuan sulit untuk keluar dari posisi keterpurukannya saat ini. Debra 18 Mansour Fakih, Analisa Gender danTransformasi Sosial (Pustaka Pelajar: Yogyakarta,1996), h.12. 19 Ashadi Siregar, Rondang Pasaribu, Ismay Prihastuti, Eksplorasi Gender di Ranah Jurnalisme (Yogyakarta: LP3Y & Galang Printika, 2002), h.219. 31 Yatim mengungkapkan bahwa media massa Indonesia dikuasai oleh budaya patriarkhi dan kapitalisme dengan dominasi laki-laki didalamnya. Media seharusnya meningkatkan jumlah praktisi perempuan serta menempatkan perempuan tidak lagi sebagai objek, tetapi berperan aktif sebagai subjek. Keempat, perlu pengubahan paradigma pada media massa berkaitan dengan pencitraan perempuan yang selama ini dipakai. Pencitraan perempuan dalam media, yang selama ini cenderung seksis, objek iklan, objek pelecehan dan ratu dalam ruang publik, perlu diperluas wacananya menjadi perempuan yang mampu menjadi subjek dan mampu menjalankan peran–peran publik dalam ruang publik.20 Diskursus jurnalistik harus diubah agar jurnalis tidak terjerumus menjadi pengguna kekerasan, pengabsah ketertindasan pada perempuan, dan pelanggengan kultur ketidakadilan yang selama ini melingkupi perempuan. Kalau selama ini pendekatan jurnalisme yang dipakai media berpola konservatif, maka tidak menutup kemungkinan mengembangkannya menjadi jurnalisme progresif atau jurnalisme empati. Jurnalisme yang mengajarkan masyarakat mengembangkan sikapsikap yang emansipatoris, kritis, noneksploitatif, nondiskriminatif, demokratis, tetap proposional dengan tidak meninggalkan kaidah-kaidah dasar jurnalistik yang telah disepakati sebelumnya. Dalam menjalankan fungsinya sehari–hari, media setidaknya mempertimbangkan kepentingan praktis atau pun strategis perempuan. Terbentuknya pemahaman perspektif gender diharapkan tidak saja akan mengubah cara pandang masyarakat dalam menghadapi keberadaan kaum 20 Ashadi Siregar, Rondang Pasaribu, Ismay Prihastuti, Eksplorasi Gender di Ranah Jurnalisme (Yogyakarta: LP3Y & Galang Printika, 2002), h.220. 32 perempuan, tetapi juga diharapkan mampu menepis pandangan negatif yang cenderung diskriminatif dan berbias gender.6 Dimasukkannya media massa sebagai satu dari 12 landasan Aksi Deklarasi Beijing menunjukkan bahwa peran media massa menjadi sangat strategis untuk membantu perempuan lepas dari ketertindasannya selama ini. Media massa mampu menjadi kekuatan positif untuk mengangkat harkat dan status hukum perempuan dalam relasi gender. Hanya saja perlu diwaspadai karena pada peluang yang sama, media massa bisa sekaligus berubah menjadi virus yang justru semakin memperburuk posisi perempuan.21 C. Wacana Film 1. Pengertian Film Pengertian Film Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, film adalah selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dibuat potret) atau tempat gambar positif (yang akan dimainkan di bioskop).22 Namun secara sederhana film hanyalah susunan gambar yang ada dalam selluloid, kemudian diputar dengan mengunakan teknologi proyektor yang sebetulnya telah menawarkan nafas demokrasi, bisa ditafsirkan dalam berbagai makna. Ia menawarkan berbagai pesan dan bisa dimanfaatkan untuk berbagai kegunaan.23 21 Ashadi Siregar, Rondang Pasaribu, Ismay Prihastuti, Eksplorasi Gender di Ranah Jurnalisme (Yogyakarta: LP3Y & Galang Printika, 2002), h.223 22 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, (Jakarta : Balai Puataka, 2002), h. 316 23 Gatoto Prakoso, Film Pinggiran – Ontologi Film pendek, Eksperimental dan Dokumenter. FFTV – IKJ dengan YLP, (Fatma Press), h. 22 33 Menurut UU perfilman No 8 tahun 1992 karya cipta budaya yang merupakan media komunikasi massa dipandang, didengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita selluloid, pita video, piringan video dan bahan-bahan hasil temuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis dan ukuran melalui proses kimiawi elektronik atau proses lainnya.24 Banyak defenisi film yang dikemukakan oleh para ahli, menurut Alex Shobur (2003), bahwa film merupakan bayangan yang diangkat dari kenyataan hidup yang dialami dalam kehidupan sehari-hari yang menyebabkan selalu ada kecenderungan untuk mencari relevasi antara film dengan realitas kehidupan. Menurut Onong Uchana Effendy (2000), film merupakan media bukan saja sebagai hiburan tetapi juga sebagai penerangan dan pendidikan. Para ahli bahasa merumuskan film sebagai “gambaran hidup” (artinya, gambar yang dihidupi atau kehidupan yang dilayarkan dalam gambargambar/ citra-citra). Dalam gambaran hidup memuat 2 unsur penting, yaitu sisi visible (gambar) dan sisi invisible (yaitu, pesan dan nilai dibaliknya).25 Film adalah teknologi komunikasi massa yang menyebarluaskan informasi dan berbagai pesan secara luas selain radio, televisi, pers.26 Di samping itu film merupakan fenomena sosial, psikologi dan estetika yang komplek dan merupakan dekomentasi yang terdiri dari cerita dan gambar 24 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 32 Mudji Sutrisno, Oase Estetis – Estetika dalam Kata dan Sketza,(Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 2006), h. 78. 26 Sean Mac Bried, Komunikasi dan Masyarakat Sekarang dan Masa Depan, Aneka Suara Satu Dunia (Jakarta : PN Balai Pustaka Unesco, 1983), h. 120. 25 34 yang diiringi kata-kata dan musik. Film juga hasil produksi yang multidimensional dan sangat komplek. Sementara, Jakob Sumardjo dari pusat pendidikan film dan televisi, menyatakan bahwa film berperan sebagai pengalaman dan nilai. 27 Selain itu film juga dapat digunakan sebagai alat propaganda, karena film dianggap memiliki jangkauan, realisme dan popularitas yang hebat. Upaya pengembangan pesan dengan hiburan sudah lama diterapkan dalam kesastraaan dan drama. Namun, unsur film dalam mengembangkan pesan memiliki kelebihan karena dalam segi kemampuannya film dapat menjangkau sekian banyak orang dalam waktu yang cepat dan serentak dan kemampuan film mampu memanipulasi kenyataan yang cepat dan serentak dan kemampuan film mampu memanipulasi kenyataan yang tampak dengan pesan fotografis tanpa kehilangan kridebilitas. 28 Karena film diangkat dari bayangan kenyataan hidup yang dialami dalam kehidupan sehari-hari, itulah sebabnya selalu ada kecenderungan untuk mencari relevansi antara film dengan realitas kehidupan.29 Film dapat memberikan pengaruh bagi jiwa manusia, karena dalam suatu proses menonton film terjadi suatu gejala yang disebut oleh ilmu jiwa sosial sebagai identifikasi psikologi, karena sesuai dengan karakteristik dan keunikannya, film mempunyai kelebihan dibanding 27 Aep Kusnawan, Komunikasi dan Penyiaran Islam-Mengembangkan Tablig Melalui Media Mimbar, Media Cetak, Radio, Televisi, Film, Digital (Benang Merah Press: Bandung, 1994), h. 94. 28 Dennis Mc. Quail, Teori Komunikasi Massa: Suatu Pengantar,Edisi ke-2 (Penerbit Erlangga, 1987), h. 15. 29 Kusnawan,Komunikasi dan Penyiaran Islam, h. 94. 35 dengan media-media lainnya. Pesan yang disampaikan melalui media film akan disampaikan secara halus dan meyentuh relung hati sehingga tanpa sadar orang yang melihat film tersebut seolah-olah tidak merasa digurui. 2. Unsur-Unsur dan Jenis-Jenis Film Beberapa unsur yang terdapat dalam sebuah film. Unsur-unsur tersebut adalah: 1. Judul (Title) 2. Crident Title, meliputi : produser, karyawan, artis dll 3. Tema film 4. Intrik, yaitu usaha pemeranan film untuk mencapai tujuan 5. Klimaks, yaitu benturan antara kepentingan 6. Alur cerita (Plot) 7. Suspend atau keterangan, masalah yang masih terkatung-katung 8. Million Setting, latar belakang terjadinya peristiwa, masa waktu, bagi kota, perlengkapan, aksesoris. Dan 9. Sinopsis, yaitu untuk memberi ringkasan atau gambaran dengan cepat kepada orang yang berkepentingan. 10. Trailer, yaitu bagian film yang menarik 11. Character, yaitu karakteristik pelaku-pelaku. Adapun stuktur-struktur dalam film adalah sebagai berikut : 1. Pembagian cerita (scene) 2. Pembagian adegan (squence) 36 3. Jenis pengambilan gambar (shoot) 4. Pemilihan adegan pembuka (opening) 5. Alur cerita dan continuity 6. Intrique, meliputi jealousy, penghianatan, rahasia bocor, tipu muslihat, dll. 7. Anti Klimaks, penyelesaian masalah. 8. Ending, pemilihan penutup.30 Jenis-jenis film dibedakan menurut sifatnya, yaitu sebagai berikut : a. Film Cerita (story film) Film cerita adalah film yang menyajikan kepada publik sebuah cerita, sebagai cerita harus mengandung unsur-unsur yang dapat menyentuh rasa manusia. Cerita dalam film ini diambil dari kisahkisah sejarah, cerita nyata dari kehidupan sehari-hari, atau khayalan yang diolah untuk menjadi film. 31 Film cerita diartikan sebagai pengutaraan cerita atau ide, dengan pertolongan gambar-gambar, gerak dan dikemas yang memugkinkan pembuat film melahirkan realitas rekaan yang merupakan suatu alternatif dari realitas nyata bagi penikmatnya. Ide atau pesan cerita mengunakan pendekatan yang bersifat membujuk. Oleh karena itu film cerita dapat dipandang sebagai wahana penyebaran nilai-nilai. 30 Kusnawan, Komunikasi dan Penyiaran Islam, h. 94 Onong Uchjana Effendy, Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi, (Bandung : Cipta Aditya Bakti, 2003), h. 211. 31 37 b. Film Berita (newsreel) Film berita adalah film mengenai fakta, peristiwa yang benarbenar terjadi. Kamera sekedar merekam peristiwa, karena sifatnya berita, film ini disajikan kepada publik harus bernilai berita (newsvalue), film berita menitikberatkan pada segi pemberitaan kejadian aktual, misalnya dokumentasi peristiwa perang, dan dokumentasi upacara kenegaraan.32 c. Film Dokumenter (Documentary film) Istilah dokumentary awalnya digunakan oleh seorang sutradara (director) Inggris Jhon Grierson. Film dokumenter didefenisiskan oleh Grierson sebagai karya ciptaan mengenai kanyataan (creative treatment of actuality), Titik berat dalam film dokumenter adalah fakta atau peristiwa yang terjadi. Raymond Spottiswoode dalam bukunya A Grammar of the Film menyatakan “Film dokumenter dilihat dari segi subjek dan pendekatannya adalah penyajian hubungan manusia yang didramatis dengan kehidupan kelembagaannya, baik lembaga industri, sosial, maupun politik. Dan dilihat dari segi teknik merupakan bentuk yang kurang penting dibandingkan dengan isinya”.33 Film dokumenter, selain mengandung fakta ia juga mengandung subjektivitas pembuat. Subjektivitas diartikan sebagai 32 Sumarno, Dasar-Dasar Apresiasi Film, (Jakarta : PT Grasindo, 1996), h. 13. Onong Uchjana Effendy, Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung : Cipta Aditya Bakti, 2003), h.212-214. 33 38 sikap atau opini terhadap peristiwa. Jadi, ketika faktor manusia berperanan, persepsi tentang kenyataan akan sangat bergantung pada manusia pembuat film dokumenter itu. Dengan kata lain, film dokumenter bukan cerminan pasif dari kenyataan, melainkan ada proses penafsiran atas kenyataan yang dilakukan oleh si pembuat film dokumenter.34 d. Film Kartun (cartoon film) Film kartun adalah film yang berasal dari lukisan para seniman. Titik berat dalam pembuatan film karun adalah seni lukis. Film ini adalah hasil dari imajinatif para seniman lukis yang kemudian menghidupkan gambar-gambar seolah-olah hidup.35 Film kartun juga disebut sebagai film animasi film animasi memanfaatkan gambar (lukisan) maupun benda-benda mati yang lain, seperti; boneka, meja dan kursi yang bisa dihidupkan dengan teknik animasi seperti halnya Mickey Mouse, Donald Duck dan Sincan.36 Adapun jenis-jenis film yang telah beredar memiliki beberapa jenis, jenis tersebut dapat diklasifikasikan kepada : 1. Drama: adalah suatu kejadian atau peristiwa hidup yang hebat, mengandung konflik pergolakan, clash atau benturan antara dua orang atau lebih. Sifat drama : romance, tragedy dan komedi. 34 Sumarno, Dasar-Dasar Apresiasi Film, (Jakarta : PT Grasindo, 1996),, h.14. Onong Uchjana Effendy, Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi, (Bandung : Cipta Aditya Bakti, 2003), h. 216 36 Ibid, h. 17 35 39 2. Realisme: adalah film yang mengandung relevansi dengan kehidupan keseharian. 3. Film sejarah: melukiskan kehidupan tersohor dan peristiwanya. 4. Film perang: mengambarkan peperangan atau situasi di dalamnya atau setelahnya. 5. Film futuristik: mengambarkan masa depan secara khayali. 6. Film anak: mengupas kehidupan anak-anak. 7. Cartoon: cerita bergambar yang mulanya lahir dari media cetak yang diolah sebagai cerita bergambar, bukan saja sebagai story board melainkan gambar yang sangup bergerak dengan teknik animation atau single stroke operation. 8. Adventure: film pertarungan, tergolong film klasik. 9. Crime story: pada umumnya mengandung sifat-sifat heroik. 10. Film seks menampilkan erotisme. 11. Film misteri/horor : mengupas terjadinya fenomena supranatural yang menimbulkan rasa wonder, heran, takjub dan takut. 37 3. Perkembangan Film Di Indonesia a. Awal Hadirnya Film di Indonesia Sesungguhnya film di Indonesia mempunyai sejarah yang panjang, di Indonesia film dimulai sejak tahun 1926,38 oleh dua orang perintis orang-orang Eropa kebangsaan Belanda, yaitu F. Carli (1927), 37 Kusnawan, Komunikasi dan Penyiaran Islam, h. 101. Umar Kayam, Budaya Massa Indonesia, Prisma LP3ES, November 1981, h.13. 38 40 G. Kruger dan Haeuveldrop. Menurut sejarah perfilman Indonesia, film pertama di negeri ini berjudul “Lely dan Java” diproduksi di Bandung oleh David. 39 Pertama kali tercatat dalam surat kabar De Locomotief edisi september 1926, yaitu Loetoeng Kasaroeng oleh Haeuveldrop, menurut catatan De Prearger film ini merupakan film cerita yang pertama yang dibuat di Indonesia dan diputar di kota tempat pembuatnya, yaitu bioskop Elita dan Oriental, berikutnya mereka membuat Eulis Atjih, lalu Bung Amat Tangkap Kodok (kruger), karina (Carli), Lari Arab (kruger). Eulis Atjih membuka munculnya film Nyi Dasima yang mengambarkan kehidupan Indonesia dan Belanda. Setelah pembuatan film yang dilakukan oleh orang-orang Eropa, namun selanjutkan oleh orang-orang pedagang Tionghoa diperluas dan film dijadikan barang komersial yang menguntungkan, tidak heran karena orang Tionghoa sudah terjun dalam perdagangan film impor. Tetapi menurut Armijn Pane dalam produksi film Tjerita Indonesia, perusahaan peranakan ini terjun menjadi produser ketika seorang peranakan ikut main dalam film Naik Djadi Dewa. 40 Perusahaan film pada waktu itu yang terkenal berasal dari Tionghoa keluarga The, membentuk Jacarta Film Co yang dikenal dengan Wong Bersaudara. Kemudian terus berkembang hingga banyak 39 Onong Uchjana Effendy, Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung : Cipta Aditya Bakti, 2003), h.217. 40 Phil Bactiar, Sejarah Media Massa, (Jakarta : Pusat Penerbitan Universitas Terbuka, 2000), h.83. 41 menghasilkan film-film seperti Pareh (Mannus Franken), Terang Bulan (1937), Fatimah (1938) dan lainnya. Di penghujung tahun 1941 Perang Asia Timur Raya pecah, dunia film pun berubah wajah perusahaan film, seperti Wong Brothers, South Pacific, dan Multi film diambil alih Jepang, ketika pemerintah Belanda sebagai penguasa di Indonesia menyerah kalah kapada balatentara Jepang. Pada massa itu film dikuasai oleh Jepang ia ingin mempropaganda kehebatan bangsanya melalui kesenian khusunya film. Pemerintahan Jepang mendirikan pusat kebudayaan Keiin Bunka Shidoso dengan maksud untuk merangkul empat bidang kesenian yaitu, kesustraan, kesenian, ukiran dan lukisan. Dan akhirnya didirikan organisasi khusus mengatur film pada oktober 1942 Jawa Eiga Kosha (perusahaan film jawa), Nippon Eiga Sha. b. Perkembangan Film di Indonesia setelah berdirinya NKRI 1. Priode 1950-1962 Sesudah negara NKRI berdiri, mulailah kehidupan baru dalam perfilman Indonesia, karena baru muncul perusahaan produksi film milik pribumi Indonesia sendiri, seperti Haji Usmar Ismail dan Jamaludin. Mereka mempuyai cita-cita untuk mempertinggi kesenian dan teknik film Indonesia agar mendapat penghargaan dari masyarakat. Beberapa film dan organisasi film yang berdiri pada saat itu adalah : PERFINI (Perusahaan Film 42 Nasional) dengan pemimpin Usmar Ismail, Soemanto, Djojokoesoemo. PERSARI (Persatuan Artis Republik Indonesia) di bawah pimpinan Djamaloedin Malik. Pada tahun 1952 berdiri Surya Film Tranding, dan pihak penguasa Tionghoa muncul Ksatrya Dharma Film. Sedangkan Banteng Film campuran dari orang Indonesia dengan Tionghoa. Dari segi finansial Tionghoa memiliki dan yang kuat sehingga mereka mampu membuat film dan memuternya di bioskop-bioskop. Namun di tengah persaingan produsen-produsen Indonesia mempuyai keberanian untuk menyewa studio yaitu: perusahaan Perfini dengan film pertama darah dan doa (The long march). PERSARI berhasil mambuat cerita pertamanya sedap malam. Namun perusahaan ini lebih memperhitungkan segi komersial saja dibandingkan dengan perusahaan film lainnya. Dunia perfilman akhirnya disemarakkan dengan adanya festival film Indonesia (FFI) yang pertama berlangsung dari tanggal 30 Maret - 5 april 1955 dari sini maka timbulnya berbagai organisasiorganisasi perfilman lainnya. 2. Periode 1962-1965 Zaman keemasan perfilman secara kuantitatif bermula pada tahun 1960 dengan 38 judul, dan secara kualitatif bermula pada film Usmar Ismail. Namun sebenarnya masa keemasan hanya sekejap saja, sebab tahun 1962 tercatat kemunduran dratis. 43 Kemunduran film ini tidak lepas dari ketegangan politik di tanah air, sehingga banyak orang-orang politik masuk dalam dunia perfilman. Maka jelas mereka lebih banyak keinginan politik dibandingkan membagun industri film. 3. Priode 1965-1970 Priode ini dengan munculnya pemerintahan Orde Baru yang masih memberlakukan hukum darurat perang. Dalam keadaan stabilitas politik yang sering berubah-ubah, maka hal ini sangat menentukan maju dan mundurnya dunia perfilman. Film nasional yang diproduksi tahun 1965 halnya 18 judul antar lain: Bergema, Liburan Seniman, Insane Bahari, Karma, Darah Nelayan dan lainnya. Di tahun ini bioskop mulai melirik bangunan fisik dan fasilitas yang bagus untuk menarik khalayak. 4. Priode 1970-Sekarang Pada periode ini teknologi canggih media visual mulai merambah ke Indonesia seperti Video Tape dan pada tahun 1980 menjadi persaingan dengan dunia film nasional maupun bioskop nasional. Persaingan ini merambah dengan adanya pembajakan film dalam bentuk kaset, sehingga masyarakat juga memiliki video dan hal ini menjadi penurunan terhadap pembioskopan. Dan mengatasi persaingan ini, para pengusaha film bergabung dalam persatuan perusahaan film Indonesia (PPFI). Persaingan ini semakin ketat dengan hadirnya teknologi HDTV (High devinition 44 television). Terus berkembang dengan mulai hadirnya Televisi swasta seperti: RCTI, SCTV, TPI, ANTV, dan TV yang berkembang sampai saat ini.41 D. Konsep Wacana 1. Teori Wacana Secara etimologi, istilah wacana seperti yang dikutip Dedy Mulyana berasal dari bahasa sansekerta wac/wak/vak, yang memiliki art “berkata” atau “berucap”. Kemudian kata tersebut mengalami perubahan menjadi wacana. Kata „ana‟ yang berada dibelakang adalah bentuk sufisk (akhiran) yang bermakna membedakan (nominalisasi). Dengan demikian, kata wacana dapat diartikan sebagai perkataan atau tuturan. Dalam kamus bahasa Jawa kuno Indonesia karangan Wojowasito terdapat kata waca berarti baca, wacaka berarti mengucapkan dan kata wacana berarti perkataan.42 Analisis wacana atau discourse analysis adalah suatu cara atau metode untuk mengkaji wacana yang terdapat atau terkandung didalam pesan-pesan komunikasi baik secara tekstual maupun kontekstual. Analisis wacana berkenaan dengan isi pesan komunikasi, yang sebagian diantaranya sebuah teks. 43 Disamping itu, analisis wacana juga dapat menungkinkan kita melacak variasi cara yang digunakan oleh komunikator 41 Phil Bactiar, Sejarah Media Massa, (Jakarta : Pusat Penerbitan Universitas Terbuka, 2000), h.813-821. 42 Mulyana, Kajian Wacana: Teori, Metode, dan Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis Wacana, (Yogyakarta: Tiara Wacana,2005), h.3. 43 Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif (Yogyakarta: LKiS, 2007), h.170. 45 (penulis, pembicara, sutradara) dalam upaya mencapai tujuan atau maksud-maksud tertentu melalui pesan-pesan tertentu berisi wacanawacana tertentu yang disampaikan. Analisis wacana adalah ilmu baru yang muncul beberapa puluh tahun belakangan ini. Aliran-aliran linguistik selama ini membatasi penganalisianya hanya kepada soal kalimat dan barulah belakangan ini sebagaian ahli bahasa memalingkan perhatiannya penganalisian wacana.44 Meskipun pendefinisian mengenai wacana kenyataannya memang berbeda-beda sesuai dengan perspektif teori yang digunakan, pada umumnya disepakati bahwa wacana sebenarnya adalah proses sosiokultural sekaligus juga proses linguistik. Seperti banyak yang dilakukan dalam penelitian mengenai organisasi pemberitaan selama dan sesudah tahun 1960-an, analisis wacana menekankan pada “How the ideological significance of new is part and parcel of the methods used to process new” (bagaimana signifikasi ideologis merupakan bagian dan menjadi paket metode yang digunakan untuk memproses media). Kata wacana adalah salah satu kata yang banyak disebut saat ini selain demokrasi, hak asasi manusia, masyarakat sipil, dan lingkungan hidup. Akan tetapi, seperti umumnya banyak kata, semakin tinggi disebut dan dipakai kadang bukan semakin jelas, tetapi semakin membingungkan 44 Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, (Yogyakarta: LKiS, 2007), h.171. 46 dan rancu. Ada yang mengartikan wacana sebagai unit bahasa yang lebih besar dari kalimat.45 Menurut Collins English Dictionary, wacana adalah komunikasi verbal, ucapan dan percakapan. Sedangkan menurut J.S. Badudu wacana merupakan rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi lainnya, membentuk satu kesatuan sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu. Van dijk menyatakan bahwa wacana itu sebenarnya adalah bangun teoritis yang abstrak (The abstract theoritical construct) dengan begitu wacana belum dapat dilihat sebagai perwujudan fisik bahas, adapun perwujudan wacana adalah teks.46 Secara ringkas dan sederhana, teori wacana mencoba menjelaskan terjadinya sebuah peristiwa seperti terbentuknya sebuah kalimat atau pernyataan. Oleh Karena itu dinamakan analisis wacana. Istilah wacana sekarang ini dipakai sebagai terjemahan dari perkataan bahasa inggris discouse. Kata discouse berasal dari bahasa Latin discursus yang berarti lari kian kemari, yang bisa diartikan komunikasi dengan pikiran, dengan kata-kata, ekspresi ide-ide atau gagasan-gagasan, konversasi atau percakapan.47 Ismail Muhaimin mengartikan wacana sebagai “kemampuan untuk maju (dalam pembahasan) menurut urutan-urutan yang teratur dan 45 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2008), h.1. 46 Abdul Rani, Analisis Wacana Sebuah Kajian (Malang: Batu Media, 2004), h.4. 47 Ibid, h.9. 47 ssemestinya”, dan komunikasi buah pikiran baik lisan maupun tulisan, yang resmi dan teratur. 48 Jika definisi dipakai sebagai pegangan, maka dengan sendirinya semua tulisan yang teratur, yang menurut urutan yang semestinya, atau logis, adalah wacana. Karena itu sebuah wacana harus punya dua unsur penting yaitu kesatuan (unity) dan kepaduan (coherence). Dalam pengertian yang lebih sederhana, wacana berarti cara objek atau ide yang diperbincangkan secara terbuka kepada publik sehingga menimbulkan pemahaman tertentu yang tersebar luas.49 Analisis wacana merupakan tindakan sosial yang didalamnya terdapat dialog yang bersifat sosial. Pernyataan yang dibuat. Dengan kata lain, analisis wacana dibentuk secara sosial dan secara historis, akibatnya akan terdapat diskursus yang berbeda-beda tergantung institusi dan praktek sosial yang membentuknya, dan dengan posisi siapa yang berbicara serta ditunjukan kepada siapa. Dengan memperhatikan pernyataan bahwa diskursus tidak pernah netral, maka implikasi penelitian dengan analisis diskursus berguna unuk menyimak permasalahan ketidakseimbangan yang terjadi dalam masyarakat (ketidakseimbangan yang mendasar yang mendasar tentang kelas, memaksakan ketidakseimbangan dalam hal ras, gender dan religi).50 48 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2008), h.10. 49 Ibid, h.11. 50 M.Antonisius, ed, Metode Penelitian Komunikasi: teori dan aplikasi (Yogyakarta:Gitanyali,2006), h.65. 48 2. Kerangka Analisis Wacana Teun A. Van Dijk Analisis wacana model Teun A. Van Dijk kerap disebut sebagai “kognisi sosial”. Istilah ini sebenarnya diadopsi dari pendekatan lapangan psikologi sosial, terutama untuk menjelaskan struktur dan proses terbentuknya suatu teks. Nama pendekatan semacam ini tidak dapat terlepas dari karakteristik pendekatan yang diperkenalkan oleh Van Dijk. Menurut Van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis atau teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati. Baik struktur teks, kognisi sosial, maupun konteks sosial adalah bagian yang integral dalam kerangkan Van Djik. Kalau digambarkan, maka skema penelitian dan metode yang bisa dilakukan dalam kerangka Van Dijk adalah sebagai berikut:51 Tabel 2.1 Skema Penelitian Teun A. Van Dijk STRUKTUR METODE Teks Critical Linguistics Menganalisis bagaimana strategi wacana yang dipakai untuk menggambarkan seseorang atau peristiwa tertentu. Bagaimana strategi tekstual yang dipakai untuk menyingkirkan atau memarginalkan suatu kelompok, gagasan atau peristiwa tertentu. 51 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2008), h.275. 49 Kognisi Sosial Wawancara Menganalisis bagaimana kognisis membuat teks mendalam dalam memahami seseorang atau peristiwa tertentu yang akan ditulis. Analisis Sosial Menganalisis Studi Pustaka, bagaimana wacana yang penelusuran sejarah. berkembang dalam masyarakat, proses produksi dan reproduksi peristiwa seseorang atau digambarkan. Melalui berbagai karyanya, Van Dijk membuat analisis wacananya yang dapat digunakan. Ia melihat bagian tekssuatu wacana terdiri atas berbagai struktur/tingkatan, yang masing-masing bagian saling mendukung. Van Dijk membaginya kedalam tiga tingkatan: a. Struktur Makro, ini merupakan makna umum dari suatu teksyang dapat dipahami dengan melihat topik dari suatu teks. Tema wacana ini bukan hanya isi, tetapi juga isi tertentu dari suatu peristiwa. b. Superstruktur adalah kerangka suatu teks, bagaimana struktur dan elemen wacana itu disusun dalam teks secara utuh. c. Struktur Mikro adalah makna wacana yang dapat diamati dengan menganalisis kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase yang dipakai dan sebagainya. Struktur wacana yang dikemukakan Van Dijk ini dapat digambarkan sebagai berikut:52 52 Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2006), h.74. 50 Tabel 2.2 ELEMEN WACANA TEUN A. VAN DIJK Struktur wacana Hal yang diamati Struktur makro Tematik Elemen Topik Tema/topik yang dikedepankan dalam berita Superstruktur Skematik Skema Bagaimana bagian dan urutan berita diskemakan dalam teks berita utuh Struktur mikro Semantik Latar, detil, maksud, Makna yang ingin ditekankan dalam pranggapan, teks berita. Misal dengan memberi nominalisasi detil pada satu sisi atau membuat eksplisi satu sisi dan mengurangi detil sisi lain. Struktur mikro Sintaksis Bentuk kalimat, Bagaimana kalimat (bentuk, susunan) koherensi, kata ganti yang dipilih. Struktur mikro Stilistik Leksikon Bagaimana pilihan kata yang dipakai dalam teks berita. Struktur mikro Retoris Grafis, metafora, Bagaimana cara penekanan dilakukan. ekspresi 51 Dalam pandangan Van Dijk segala teks dapat dianalisis dengan menggunakan elemen tersebut. Meski terdiri dari beberapa elemen. Semua elemenitu merupakan suatu kesatuan, saling berhubungan, dan mendukung satu sama lainnya. Untuk memperoleh gambaran elemen-elemen struktur wacana tersebut, berikut adalah penjelasan mengenai elemen-elemem tersebut: a. Struktur Makro (Tematik) Secara harfiah tema berarti “sesuatu yang telah diuraikan”atau”sesuatu yang ditempatkan”. Kata ini berasal dari yunani tithenai yang berarti meletakkan. Dilihat dari sudut sebuah tulisan yang telah selesai. Tema adalah suatu amanat utama yang disampaikan oleh penulis melalui tulisan. Tema sebuah wacana akan tampak dalam pengembangan wacana. Tema pun akan memadu alur pengembangan sebuah wacana lisan maupun tulisan.53 Kata tema kerap disandingkan dengan topik. Kata topik berasal dari bahasa yunani topoi yang berarti tempat. Topik secara teoritis dapat digambarkan sebagai proposisi, sebagai bagian dari informasi penting dari suatu wacana dan memainkan peranan penting sebagai pembentuk kesadaran sosial. Tematik juga sering disebut sebagai tema atau topik.54 53 ID Parera, Teori Sematik Erlangga, (Jakarta: Erlangga, 2004), h.233. Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2008), h.299. 54 52 Teun A. Van Dijk mendefinisikan topik sebagai struktur makro dari suatu wacana. Dari topic ini kita dapat mengetahui masalah dan tindakan yang diambil oleh komunikator dalam mengatasi suatu masalah. Tindakan, keputusan, atau pendapat dapat diamati pada struktur makro suatu wacana. b. Superstruktur (Skematik) Teks atau wacana umumnya menpunyai skema atau alur dari pendahuluan sampai akhir. Alur tersebut menunjukan bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga membentuk kesatuan arti. Skematik merupakan strategi penulis dalam mengemas pesannya dengan memberikan tekanan bagian mana yang didahulukan, dan bagian mana yang diakhirkan. Menururt Van Dijk, arti penting dari skematik adalah strategi wartawan untuk mendukung tema/topik tertentu yang ingin disampaikan dengan menyusun bagian-bagian tertentu dengan urutanurutan tertentu. Skematik memberikan tekanan mana yang didahulukanm dan bagian mana yang bisa kemudian sebagai strategi untuk menyembunyikan informasi penting.55 c. Struktur Mikro 1) Semantik Semantik Berasal dari bahasa Yunani yaitu sema dari kata benda, yang berarti tanda atau lambang.56 Dalam pengetian umum sematik adalah disiplinilmu bahsa yang menelaah makna satuan 55 Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2006), h.78. Abdul Chaer, Pengantar Sematik Bahasa Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 1989), h.3 56 53 lingual, baik makna leksikal, maupun makna gramatikal. Makna leksikal adalah makna unit semantic yang terkecil yang disebut leksem, Sedangkan makna Gramatikal adalah makna yang terbentuk dari penggabungan satuan kebahasaan. Skemantik dalam skema Van Djik dikatagorikan sebagai makna lokal yakni makna yang muncul dari hubungan antar kalimat, hubungan antar proposal yang membangun makna tertentu dalam suatu bangunan teks. Analisis wacana banyak memusatkan perhatian pada dimensi teks seperti makna yang eksplisist dan implicit, makna yang sengaja disembunyikan dan bagaimana orang menulis atau berbicara mengenai hal tersebut. Dengan kata lain, semantik tidak hanya mendefinisikan bagian mana yang penting dari sktruktur wacana, tetapi juga menggiring kearah sisi tertentu dari suatu peristiwa.57 Semantik digunakan untuk menggambarkan diri sendiri/ kelompok sendiri secara positif, sebaliknya menggambarkan pihak lain secara negatif. Berikut ini, elemen-elemen yang berpengaruh dalam semantik: a) Latar Latar merupakan bagian berita yang dapat memperngaruhi semantik (arti) yang ingin ditampilkan. Latar 57 Abdul Chaer, Pengantar Sematik Bahasa Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 1989), h.4 54 merupakan elemen wacana yang dapat menjadi alasan pembenar gagasan yang diajukan dalam suatu teks. Latar merupakan bagian dari berita atau skenario film yang dapat mempengaruhi semantik yang ingin ditampilkan. Latar yang menjadi alasan pembenaran yang diajukan dalam suatu teks. Oleh karena itu, latar teks merupakan elemen yang berguna karena dapat membongkar apa maksud yang ingin disampaikan oleh pembuat teks. Kadang isi utama tidak dibeberkan dalam teks, tetapi dengan melihat latar apa yang dtiampilkan dan bagaimana latar tersebut disajikan, kita dapat memganalisis apa maksud tersembunyi yang ingin dikemukakan oleh pembuat teks sesungguhnya.58 b) Detail Detail merupakan strategi bagaimana pembuat teks mengekspresikan sikapnya dengan cara yang implisit. Sikap atau wacana yang dikembangkan oleh penulis skenario tidak selalu disampaikan secara terbuka, tetapi dari pihak mana yang diceritakan dengan detail yang besar Elemen wacana detail berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan seseorang. Komunikator/ pembawa berita/ penulis skenario akan menampilkan secara berlebihan informasi yang menguntungkan dirinya atau citra yang baik. 58 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2008), h.237 55 Informasi yang menguntungkan komunikator, bukan hanya ditampilkan secara berlebihan tetapi juga lengkap, kalau perlu dengan data-data dan panjang lebar yang merupakan penonjolan yang dilakukansecara sengaja untuk menciptakan citra tertentu kepada khalayak.59 c) Maksud Elemen maksud melihat apakah teks itu disampaikan secara eksplisit ataukah tidak, apakah fakta disajikan secara telanjang atau tidak. Umumnya, informasi yang menguntungkan komunikator akan diuraikan secara eksplisit atau jelas, sebaliknya informasi yang merugikan akan diuraikan secara tersamar, implisit, dan tersembunyi, tujuan akhirnya adalah kepada publik hanya disajikan informasi yang menguntungkan komunikator. 2) Sintaksis Sintaksis adalah telaah-telaah mengenai pola-pola yang dipergunakan sebagai sarana untuk menggabungkan kata menjadi kalimat. Sintaksis juga merupakan bagian dari tata bahasa yang membicarakan struktur frase dan kalimat. 60 Secara etimologis, kata sintaksis berarti menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat. 59 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2008), h.238 60 Hery Guntur Taringan, Pengajaran Sintaksis , (Bandung: Angkasa, 1984), h.51. 56 Strategi untuk menampilkan diri sendiri secara positif dan lawan secara negatif, dapat dilakukan dengan menggunakan sintaksis (kalimat) pada pemakaian kata ganti, aturan tata kata, pemakaian katagori sintaksis yang spesifik, pemakaian kalimat yang aktif atau pasif, peletakan anak kalimat yang kompleks dan sebagainya. Salah satu strategi pada level semantik ini diantaranya dengan pemakaian: a) Koherensi Koherensi adalah penggunaan secara rapih kenyataan dan gagasan, fakta dan ide menjadi satu untaian yang logis sehingga mudah memahami pesan yang dikandungnya. Koherensi digunakan untuk menghubungkan informasi antara kalimat dalam wacana.61 b) Kata ganti Elemen kata ganti merupakan elemen untuk memanipulasi bahsa dengan menciptakan suatu komunitas imajenatif. Kata ganti merupakan alat yang dipakai oleh komunikator untuk menunjukan dimana posisi seseorang dalam wacana.62 61 Abdul Rani, Analisis Wacana Sebuah Kajia, (Malang: Batu Media, 2004), h.3. Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2008), h.253. 62 57 c) Bentuk kalimat Bentuk kalimat adalah segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berfikir logis, yaitu prinsip kausalitas. 63 Bentuk kalimat ini menentukan apakah subjek diekspresikan secara eksplisit atau implisit dalam teks. Kalimat aktif umumnya digunakan agar seseorang menjadi subjek dari tanggapannya, sebaliknya kalimat pasif menempatkan seseorang sebagai objek. Seseorang juga dapat ditampilkan diakhir, tetapi juga bisa ditempatkan diawal.64 3) Stalistik Pusat perhatian stalistik adalah style, yaitu cara yang digunakan seorang pembicara atau penulis untuk menyatukan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarananya. Apa yang disebut gaya bahasa itu sesunguhnya terdapat dalam segala ragam bahasa: ragam lisandan ragam tulis, ragam sastra dan garam non sastra, karena gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa dalam konteks tertentu oleh orang tertentu untuk maksud tertentu. Akan tetapi secara tradisional gaya bahasa selalu ditautkan dengan teks sastra, khususnya teks secara tertulis.65 63 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2008), h.251. 64 Ibid, h.252. 65 Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2006), h.82. 58 4) Retoris Strategi dalam level retoris adaah gaya yang diungkapkan ketika seseorang berbicara atau menulis. Retoris mempunyai fungsi persuasif dan berhubungan erat dengan bagaimana pesan itu ingin disampaikan kepada khalayak. Pemakaian retoris diantaranya dengan menggunakan gaya repetisi (pengulangan), aliterasi (pemakaian kata-kata yang permulaannya sama bunyinya seperti sajak), sebagai suatu strategi untuk menarik perhatian, atau untuk menekankan sisi tertentu agar diperhatikan oleh khalayak. Bentuk gaya retoris lainnya adalah ejekan (ironi). Tujuan retoris adalah melebihkan sesuatu yang positif mengenai diri sendiri dan melebihkan keburukan pihak lawan. Strategi ini juga muncul dalam bentuk interaksi, yakni bagaimana pembicara menempatkan dirinya di antara khalayak. Van Dijk membagi elemen ini ke dalam tiga bagian, yaitu: a) Grafis Elemen ini meerupakan bagian untuk memeriksa apa yang ditekankan atau ditonjolkan (yang berarti dianggap penting) oleh seseorang yang dapat diamati dari teks. Dalam wacana skenario, grafis ini biasanya muncul lewat bagian tulisan yang dibuat lain dibandingkan tulisan lain. Pemakaian huruf tebal, huruf miring, pemakaian garis bawah, huruf yang 59 dibuat dengan ukuran besar. Bagian-bagian yang ditonjolkan ini menekankan kepada khalayak pentingnya bagian tersebut. Bagian yang ditulis atau dicetak berbeda adalah bagian yang dipandang penting oleh komunikator, dimana yang diinginkan khalayak menaruh perhatian lebih pada bagian tersebut.66 b) Metafora Metafora yang dimaksud disini adalah sebagai bumbu dari suatu berita atau script film. Akan tetapi, pemakaian metafora tertentu bisa menjadi petunjuk utama untuk mengerti makna suatu teks. Metafora tertentu dipakai oleh pembuat teks secara strategis sebagai landasan berpikir, alasan pembenar atas pendapat atau gagasan tertentu kepada publik. Pembuat teks menggunakan kepercayaan masyarakat, uangkapan sehari-hari, peribahasa, pepatah, petuah, leluhur, kata-kata kuno yang semuanya dipakai untuk memperkuat pesan tertentu.67 c) Ekspresi Dimaksudkan untuk membantu menonjolkan atau menghilangkan bagian tertentu dari teks yang disampaikan. Elemen ini merupakan bagian untuk memeriksa apa yang ditekankan atau ditonjolkan oleh seseorang yang diamati dari 66 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2008),h.258. 67 Ibid ,h.259. 60 teks. Dalam teks tertulis, ekspresi ini muncul misalnya dalam bentuk grafis, gambar atau foto. Sedangkan dalam film, ekspresi biasanya muncul dari wajah pemain atau biasanya kalimat yang dilontarkan yang berasal dari teks skenario. BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian analisis wacana yang dikembangkan oleh Teun A. Van Djik. Pendekatan kualitatif memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan sebuah makna dari gejala-gejala sosial didalam masyarakat. Objek analisis dalam pendekatan kualitatif adalah makna dari gejala-gejala sosial dan budaya dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai katagori tertentu.1 Peneliti memilih pendekatan secara kualitataif karena kedudukan teori dalam penelitian ini serta pola pemikiran penelitian yang bersifat induktif. Penelitian ini tidak bersifat menguji kebenaran suatu teori melainkan untuk menarik kesimpulan gejala yang terjadi sehingga dapat disimpulkan bahwa penelitian ini bersifat induktif, yang juga merupakan ciri lain pendekatan kualitatif. Metode analisis wacana berbeda dengan analisis isi kuantitatif yang lebih menekankan pada pertanyaan ’Apa’ (what), analisis wacana lebih melihat kepada ’Bagaimana’ (how) dari sebuah wacana (cerita, teks, kata) disusun atau dikemas dan diatur sedemikian rupa sehingga menghasilkan 1 Burhan Bungin, sosiologi komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2007) h.23 61 62 sebuah kalimat atau paragraf. Analisis wacana tidak hanya mengetahui isi teks, tetapi bagaimana juga pesan itu disampaikan lewat kata, frase, kalimat, metafora macam apa yang disampaikan. Analisis wacana bisa melihat makna yang tersembunyi dari suatu teks. Analisis wacana lebih melihat kepada bagaimana isi pesan yang akan diteliti.2 Metode yang digunakan oleh peneliti adalah model Teun A. Van Djik, menurutnya penelitian wacana tidak hanya pada teks semata, tetapi juga bagaimana suatu teks diproduksi. Inti analisis Van Djik menggabungkan tiga dimensi wacana ke dalam satu kesatuan analisis. Ada empat perbedaan antara analisis wacana dengan analisis isi (kuantitatif) menurut Eriyanto yaitu: 3 1. Analisis Wacana lebih bersifat kualitatif dibandingkan dengan analisis isi yang umumnya kuantitatif, analisis wacana menekankan pada pemaknaan teks ketimbang penjumlahan unit katagori seperti yg terdapat dalam analisis isi. Sehingga dalam menentukan analisis datanya, analisis wacana tidak memerlukan lembaran koding. 2. Analisis isi kuantitatif pada umumnya hanya dapat digunakan untuk membedah muatan teks komunikasi yang bersifat manifest (nyata), atau dengan kata lain yang dipentingkan adalah “objektivitas”, “Validitas” (keakuratan data), dan realibitas. Sedangkan dalam analisis wacana, unsur terpenting dalam analisisnya adalah penafsiran dari teks yang latent (tersembunyi). 2 Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2006),h.68. Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2008), h.46. 3 63 3. Analisis isi kuantitatif lebih menekankan kepada “apa’’ (what) yang dikatakan oleh media, dan hanya bergerak pada level makro isi media saja. Sedangkan analisis wacana menekankan kepada “bagaimana” (how) dan dengan cara apa pesan dikatakan oleh media. Selain meneliti level makro isi media, analisis wacana juga meneliti pada level mikro yang menyusun suatu teks, seperti kata, kalimat, ekspresi, dan retoris. 4. Analisis isi bertujuan melakukan generalisasi dalam penyimpulan hasil penelitiannya, dan bahkan melakukan prediksi. Hal ini karena dalam unit atau perangkat penelitiannya mengunakan sample, angket dan sebagainya, yang secara tidak langsung bertujuan untuk menggambarkan fenomena dari suatu isu atau peristiwa. Sedangkan analisis wacana tidak bertujuan untuk melakukan generalisasi dengan menggunakan beberapa asumsi. Hal ini karena analisis wacana melihat bahwa setiap peristiwa pada dasarnya selalu bersifat unik, karena tidak diperlukan prosedur yang sama yang diterapkan untuk isu dan kasus yang berbeda.4 Kelebihan analisis wacana dari model Van Dijk adalah bahwa penelitian wacana tidak semata-mata dengan menganalisis teks saja, tetapi juga melihat bagaimana struktur sosial, dominasi dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan bagaimana kognisi atau 4 Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2006), h.70-71 64 pikiran serta kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap teks tertentu.5 Wacana dalam model Teun A. Van Dijk mengutamakan tiga hal atau dimensi yaitu teks sosial, kognisi sosial, dan konteks sosial, dan inti dari model ini adalah menggabungkan ketiga dimensi tadi menjadi sebuah kesatuan (Unity). a. Kerangka Analisis Wacana dalam Dimensi Teks Kerangka analisis wacana dalam dimensi teks yang dipaparkan oleh Van Dijk dibedakan menjadi tiga struktur atau tingkatan, dimana struktur satu dengan yang lainnya memiliki hubungan yang saling mendukung yaitu: 1) Struktur makro, yaitu makna atau global dari suatu teks yang dapat diamati dari topik atau tema yang diangkat oleh suatu teks. 2) Superstruktur, yaitu kerangka suatu teks, maksudnya struktur dan elemen wacana itu disusun dalam teks secara utuh. 3) Struktur mikro, yaitu makna lokal dari suatu teks yang dapat diamati dari pilihan kata, kalimat, dan gaya bahasa yang dipakai oleh suatu teks.6 Banyak model analisis wacana yang dikembangkan oleh para ahli. Eriyanto dalam buku analisis wacananya, menyajikan 5 Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKIS, 2006), h.224. 6 Ibid, h. 227. 65 model-model wacana diantaranya: wacana model Fairclough, Theo Van Leewen dan Sara Mills. Menurut Michel Fairclough, wacana tidaklah dipahami sebagai serangkaian kata atau preposisi dalam teks, tetapi menurut Fairclough adalah sesuatu yang memproduksi yang lain (sebuah gagasan, konsep atau efek). Wacana tidak dapat dideteksi karena secara sistematis suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup untuk dibentuk dalam suatu teks tertentu sehingga memperngaruhi cara berpikir dan bertindak sesuatu.7 Analisis wacana Fairclough didasarkan pada pertanyaan besar, bagaimana menghubungkan teks yang makro dengan konteks masyarakat yang makro. Titik perhatian besar dari Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan.8 Menurut Theo Van Leewen analisis wacana diperuntukan mendeteksi dan meneliti bagaimana suatu kelompok atau seseorang dimarginalkan posisinya dalam suatu wacana.9 Sedangkan Sara Mills, memberikan titik perhatian pada wacana mengenai feminism, yaitu bagaimana wanita ditampilkan dalam teks. Menurutnya, wanita cenderung ditampilkan dalam teks sebagai pihak yang salah.10 7 Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKIS, 2006), h.65. 8 Ibid, h.285. Ibid, h.171. 10 Ibid, h.199. 9 66 Dari sekian banyak model analisis wacana, penulis menggunakan analisis wacana model Teun A. Van Dijk, karena model ini adalah model yang paling banyak digunakan. Hal ini dikarenakan Van Dijk mengelaborasi elemen-elemen wacana sehingga bisa didayagunakan dan dapat digunakan secara praktis. B. Jenis Penelitian Jenis penelitian berdasarkan tujuannya ini menggunakan jenis penelitian deskriptif. Jenis penelitian ini bertujuan untuk membuat desktiptif secara sistematis, faktual, dan akurat tentang fakta-fakta dan objek tertentu. Peneliti sudah mempunyai konsep (biasanya satu konsep) dan kerangka konseptual, melalui kerangka konseptual (landasan teori) peneliti melakukan operasionalisasi konsep yang akan menghasilkan variabel beserta indikatornya. Penelitian ini menggambarkan realitas yang sedang terjadi tanpa menjelaskan hubungan antar variabel.11 C. Subjek dan Objek Penelitian Subjek penelitian ini adalah film ”7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”, film ini menggambarkan realitas mengenai berbagai permasalahan yang dialami perempuan di Indonesia. Sampai saat ini film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” adalah satu-satunya film yang mendapatkan total nominasi enam belas 11 Rachmat Kriyantono, Teknis Praktis Riset Komunikasi, Pengantar Burhan Bungin (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 69. 67 Sedangkan objek penelitiannya adalah pesan tekstual dalam script yang terdapat pada film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”. D. Teknik Pengumpulan Data Adapun Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. Observasi Observasi merupakan sebuah kegiatan yang berhubungan dengan pengawasan, peninjauan, penyelidikan, dan penelitian. Metode pengumpulan data dalam sebuah observasi, dilakukan secara sistematis dan sengaja melalui pengamatan dan pencatatan terhadap gejala atau fenomena objek yang akan diteliti. Penelitian ini yang dilakukan adalah observasi mengenai teks dalam skenario film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”, kemudian diadakan pengamatan analisis terhadap isi makna pesan yang terkandung didalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”. 2. Wawancara Wawancara adalah merupakan suatu alat pengumpulan informasi yang langsung tentang beberapa jenis data. Penulis menggunakan teknik wawancara terpimpin, yaitu penulis mengajukan beberapa pertanyaan yang telah penulis persiapkan, kemudian setelah itu dijawab oleh pemberi sumber data dengan jelas dan terbuka, 68 dengan menggunakan alat panduan wawancara yaitu tape recorder. Narasumber yang diwawancarai yaitu Sutradara Robby Ertanto. Adapun beberapa pertanyaan wawancara sebagai berikut: a. What 1. Apa tujuan dibuatnya film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita? 2. Hal apa yang mendasari dibuatnya film ini? 3. Apa manfaat yang akan diperoleh penonton apabila meonton film ini? 4. Apa kendala yang dialami selama pembuatan film? Scene mana yang paling sulit dan yang paling mudah? 5. Apa pesan yang ingin disampaikan kepada penonton? 6. Menurut anda, seberapa besar keberhasilan pemain dalam memvisualkan bahasa verbal sehingga mampu menyampaikan pesan yang ingin disampaikan dalam film ini? 7. Apakah ada unsur isu gender dalam film ini? Tolong sebutkan. Scene mana yang memperlihatkan tentang isu gender? 8. Berapa persen presentasi antara fakta dan fiktif yang terdapat dalam film ini? 9. Scene mana yang menurut anda paling penting dalam film ini? 10. Jika film ini dirangkum dalam satu scene,maka scene mana yang akan anda ambil? b. When 1. Kapan film ini mulai diproduksi, berapa lama proses produksinya? 69 c. Who 1. Siapa Sutradara film ini? 2. Siapa target penonton film ini? 3. Siapa tokoh utama dalam film ini, dan mengapa menjadi tokoh utama? d. Where 1. Dimana saja lokasi film ini dibuat? 2. Lokasi mana yang paling utama dalam pembuatan film ini?, mengapa dipilih lokasi di tempat tersebut? 3. Dimana saja film ini diputar? e. Why 1. Kenapa film ini harus mengangkat kisah tentang perempuan? 2. Kenapa film ini menyudutkan kaum laki-laki? 3. Kenapa film ini harus diproduksi? 4. Kenapa film inii harus ditonton? f. How 1. Bagaimana Ratna dapat mengatasi masalahnya ketika ia dihadapi pada 2 masalah, yaitu mengetahui Rara hamil dan mengetahui bahwa Marwan mempunyai istri lagi? 2. Bagaimana cara Yanti tetap bertahan ketika ia mengetahui adanya kanker rahim pada tubuhnya? 70 3. Bagaimana Lili tetap bertahan dengan suami yang selalu saja melakukan kekerasan seksual padanya? 4. Bagaimana cara dr. Kartini melihat berbagai kasus yang dialami oleh pasiennya? 3. Dokumentasi Metode ini digunakan untuk memperoleh data yang diperoleh dengan cara mencatat dokumen-dokumen berupa catatan tertulis atau literatur yang koheren dan yang berhubungan dengan penelitian. E. Triangulasi Triangulasi adalah istilah yang diperkenalkan oleh Denzie (1978) dengan meminjam peristilahan dari dunia navigasi dan militer, yang merujuk pada penggabungan berbagai metode dalam suatu kajian tentang satu gejala tertentu. Keandalan dan kesahihan data dijamin dengan membandingkan data yang diperoleh dari satu sumber atau metode tertentu, dengan data yang didapat dari sumber atau metode lain. Konsep ini dilandasi asumsi bahwa setiap bias yang interen dalam setiap data, peneliti, atau metode lainnya. Tringulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data.12 Triangulasi disini untuk melihat hasil keabsahan hasil wawancara dengan hasil wawancara dan teori yang digunakan dalam penelitian. 12 Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan praktik, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2013) cet 1, h. 217-218 71 F. Teknik Analisis Data Analisis wacana lebih melihat kepadagagasan yang akan diteliti. Unsur penting dalam analisis wacana adalah kepaduan dan kesatuan serta penafsiran penulis skenario berupa analisa. Untuk penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat Deskriptif Analisis, yaitu penelitian yang memberikan gambaran secara objektif, dengan menggambarkan pesan-pesan dalam film7 Hati 7 Cinta 7 Wanita. Analisis wacana Teun Van A. Dijk disini menghubungkan analisis tekstual yang memusatkan perhatian melalui teks kearah analisis yang komperhensif, bagaimana teks itu diproduksi, baik dalam hubungannya dengan individu, pembuatan film maupun dari masyarakat. Model yang digunakan oleh peneliti adalah model Teun A. Van Dijk, menurutnya penelitian wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisi atas teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktek produksi yang harus juga diamati.13 Inti analisis Van Dijk adalah menggabungkan ketiga dimensi wacana ke dalam satu kesatuan analisis. Dimensi tersebut adalah dimensi teks, kognisi sosial, dan konteks sosial.14 Wacana film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita meliputi konteks sosial, kognisi sosial dan teks skenario. Menganalisis superstruktur yang mencakup skematik yang ada dalam film tersebut. Terakhir adalah struktur mikro yang meliputi semantik, sintaksis, stalistik, retoris yang terdapat dalam film 7 Hati 7 Cinta 7 13 Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKIS, 2006), h.221. 14 Ibid, h.224. 72 Wanita. Dalam melaksanakan analisis ini,perlu dilakukan penyajian data yang merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penulis menggunakan pola pemikiran deduktif, dan induktif dalam menganalisa data. Deduktif yaitu menarik kesimpulan dan dalil-dalil yang sifatnya umum kemudian dijadikan kesimpulan khusus, sedangkan induktif adalah menarik kesimpulan dari bersifat khusus untuk kemudian dijleaskan secara luas. Kesimpulan yang akan diambil oleh peniliti berdasarkan semua data yang diperoleh dalam kegiatan penelitian. Kesimpulan merupakan jawaban berdasarkan data yang terkumpul, dan kesimpulan merupakan solusi yang akan diberikan kepada objek penelitian.15 G. Teknik Penulisan Teknik penulisan dalam penelitian ini mengacu kepada Buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) karya Hamid Nasuhi dkk, yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 15 Suharsini Arikunto, Produser Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Revisi IV, (Jakarta: Renita Cipta, 1998), h.384. BAB IV ANALISIS DATA A. Gambaran Film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” 1. Sinopsis Film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” Film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” bercerita tentang Kartini (Jajang C. Noer), seorang wanita berumur 45 tahun yang berprofesi sebagai dokter kandungan. Kartini sendiri belum menikah karena pengalaman masa lalunya yang membuatnya ragu untuk menikah. Kartini sebagai seorang dokter kandungan, menghadapi berbagai macam pasien dengan latar belakang yang berbeda. Bahkan terkadang Kartini mengetahui cerita lain wanita-wanita yang menjadi pasiennya. Ada 6 wanita yang menjadi pasien Kartini dan film ini menceritakan latar belakang masalah masing-masing secara flashback dan dinarasikan sendiri oleh Kartini. Wanita pertama adalah Ningsih (Patty Sandya) yang mengharapkan kehadiran seorang anak laki-laki yang kuat dan berpendirian tidak seperti suaminya selama ini yang lemah dan tak berpendirian. Wanita kedua adalah Yanti (Happy Salma) yang bekerja sebagai penjaja seks. Yanti ditemani oleh Bambang (Rangga Djoned) yang menjadi anjelonya (antar jemput lonte). Yanti sendiri bermasalah dengan kanker rahimnya yang membuatnya putus harapan untuk hidup, namun dibalik itu Bambang sebenarnya ingin membantunya agar ia terbebas dari penyakitnya tersebut. Wanita ketiga adalah Rara (Tamara Tyasmara) yang masih berumur 14 tahun. Rara 73 74 masih duduk di bangku kelas 2 SMP dan kini ia hamil akibat perbuatannya dengan Acin (Albert Halim). Wanita keempat adalah Lastri (Tizza Radia) yang sampai saat ini belum hamil, tapi Lastri memiliki Hadi (Verdi Solaiman), suaminya yang sangat setia. Wanita kelima adalah Lili (Olga Lidya), wanita hamil satu ini selalu mendapatkan perlakuan kasar dari suaminya namun Lili selalu menyangkal suaminya melakukan ini dengan sengaja. Wanita keenam adalah Ratna (Intan Kieflie), seorang wanita yang bekerja keras demi mendapatkan uang untuk kelahiran anaknya nanti. Ratna memiliki Marwan (Achmad Zaki) sebagai suaminya yang seringkali pulang larut karena harus lembur dengan pekerjaannya. 75 Film ini tak hanya bercerita hanya tentang masalah yang dialami keenam wanita tersebut, tetapi juga kehidupan pribadi Kartini. Kartini sebagai seorang dokter tentunya mempunyai rekan kerja. Dokter Anton (Henky Solaiman), seorang dokter kandungan lain di rumah sakit itu memiliki kedekatan dengan Kartini. Anton selalu mencoba agar Kartini bisa menerimanya, tetapi karena masa lalunya tersebutlah Kartini masih belum bisa menerima Anton. Rumah sakit tempat Kartini dan Anton bekerja pun kedatangan dokter kandungan baru yaitu dokter Rohana (Marcella Zalianty), dokter baru ini kemudian hadir di antara kehidupan Kartini dan Anton. Kartini mempunyai pandangan tersendiri tentang wanita dan pria dan Rohana pun juga memiliki pandangan lain tentang wanita dan hubungannya dengan pria, siapa yang harus dipersalahkan dalam hubungan pria dan wanita. Dari sinilah mulai memicu konflik baru antara Kartini dan Rohana ketika dua wanita dengan pendapat yang berbeda ini harus bertemu Film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” menceritakan tentangpermasalahan perempuan tidak dapat dilepaskan dari tautan kelas sosial. Tidak hanya menonjolkan lelaki secara garang pada enam karakter perempuan (disakiti secara seksual, dihamili, kanker rahim, dimadu diam-diam dan diselingkuhi), dokter Rohana tetap berpandangan bahwa tidak semua perempuan adalah korban. Dokter Kartini, ia membela kaum perempuan (disebutnya sebagai “kaumku”) atas asas kesadaran intelektual yang ia anut. Kelas atas dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita tak didera penindasan 76 langsung dari laki-laki sebab mereka tak punya laki-laki, karakter kelas atas ini (terutama dokter Kartini) justru dirundung kecemasan sebab tak ada laki-laki sebagai partner kehidupan mereka. 2. Profil Robby Ertanto Nama: Robby Ertanto Soediskam Tempat & Tanggal lahir: Jakarta, 20-04-1983 Alamat: Jabodetabek, Indonesia Pendidikan: Institut Kesenian Jakarta Pengalaman Bekerja: 2009-2010: ANAK NEGERI FILM 2009-2010: ASEAN-ROK (Republic of Korea) 2011-2012: WGE Pictures & 87 Films 2011-Sekarang: PT. Khatulistiwa Cipta Nusantara 2014-Sekarang: Pengurus Badan Perfilman Indonesia Filmografi Dilema (2012)- Sutradara Dilema (2012)- Cerita 7 Hati 7 Wanita 7 Cinta (2011)- Sutradara 7 Hati 7 Wanita 7 Cinta (2011)- Penulis skenario Takut: Face of Fear (2008)- Sutradara Nyawa-nyawa Mendamaikan Persada(2008)- Sutradara 77 Indonesiaku (2008) – Penulis Skenario Kinantan (2007)- Sutradara Kinantan (2007)- Produser B. Skenario Film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” 1. Teks Film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” Sesuai dengan skema Teun A. Van Djik, dalam analisis teks ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu struktur makro, superstruktur, dan sktruktur makro yang semuanya saling berhubungan dan saling melengkapi satu sama lainnya.1 a. Struktur Makro/ Tematik Tema atau topik menggambarkan apa gagasan inti atau pesan inti, yang menunjukan informasi penting, yang ingin dikedepankan atau diungkap oleh penulis skenario dalam Film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”. Dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” topik atau tema umum yang diambil penulis yaitu tentang kisah realitas perempuan yang berisi mengenai: 1) Tentang Hak-Hak Perempuan Mengenai hak-hak perempuan dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” terlihat pada kisah Rara, yang digambarkan oleh Rara (Tamara Tyasmara) siswi kelas 2 SMP yang haknya sebagai 1 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2008), h.226. 78 perempuan terabaikan, pada saat itu ia hamil namun kekasihnya tidak mau bertanggung jawab untuk menikahinya. Isi cerita dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” yaitu tentang hak-hak perempuan. Pemikiran tentang hak-hak perempuan merupakan perkembangan dan konsep hak-hak asasi manusia, konsep itu sendiri dibagi dalam du ide dasar yaitu bahwa manusia lahir dengan hak-hak individu yang terus melekat dengannya , dan bahwa hak-hak setiap manusia hanya dapat dijamin dengan ditekannya kewajiban masyarakat dan negara untuk memastikan kebebasan dan kesempatan dari anggota-anggotanya (manusia) untuk memperoleh dan melaksanakan kebebasan hak asasi tersebut.2 2) Kesehatan Reproduksi Perempuan Mengenai kesehatan reproduksi perempuan terlihat dalam skenario film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”, pada kisah Rara (Tamara Tyasmara). Topik mengenai persoalan kesehatan reproduksi pada cerita ini disebabkan karena tingkat pengetahuan tentang seksualitas terbatas, terbatasnya informasi tentang kesehatan reproduksi dan ketidakjangkauan remaja terhadap akses pelayanan kesehatan reproduksi, sehingga membuat Rara terjerumus dalam pergaulan bebas, hingga terjadi kehamilan yang tidak dikehendaki, 2 Tapi Omas Irhomi, Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, (Bandung: IKAPI, 2002), h.306. 79 dalam hal ini perempuanlah yang paling dirugikan karena harus menanggung malu akibat kehamilannya. Mengenai kesehatan reproduksi perempuan juga terlihat pada kisah Yanti, yang digambarkan oleh Yanti (Happy Salma) ia seorang pekerja seks komersial (PSK) yang divonis menderita kanker rahim dan tidak bisa mempunyai keturunan. Kesehatan reproduksi juga terdapat pada kisah Lastri, yang digambarkan oleh Lastri (Tizza Radia) ia sulit mempunyai keturunan dikarenakan berat badannya berlebihan. Mengenai kesehatan reproduksi terlihat pada kisah Ningsih, yang digambarkan oleh Ningsih (Patty Sandya), ia hanya ingin mempunyai anak laki-laki, karena ia akan mendidik anaknya agar tidak seperti ayahnya yang tidak tegas. Jika ia mengetahui anaknya adalah perempuan maka ia akan menggugurkan kandungannya. Mengenai kesehatan reproduksi juga terlihat pada kisah Ratna (Intan Kiefli), ia melakukan proses persalinan tanpa didampingi oleh suaminya yang bernama Marwan (Achmad Zacky). Definisi kesehatan reproduksi dari konfrensi internasional Kependudukan dan Pembangunan di Kairo tahun 1994 bahwa, kesehatan reproduksi adalah keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial yang utuh, dan bukan hanya tidak adanya penyakit atau 80 kelemahan, dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi dan fungsi-fungsi serta prosesnya.3 3) Kekerasan pada Perempuan Kekerasan terhadap perempuan terlihat pada film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”, pada kisah Lili yang di gambarkan Lili (Olga Lidya), ia mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh suaminya. Wanita hamil satu ini selalu mendapatkan perlakuan kasar dari suaminya namun Lili selalu menyangkal suaminya melakukan ini dengan sengaja.Kekerasan seksual dan penganiayaan yang dialami Lili menyebabkan ia tidaksadarkan diri dan akhirnya ia meninggal dunia. Salah satu bentuk ketidakadilan gender adalah tindak kekerasan terhadap perempuan, baik yang berbentuk kekerasan fisik maupun psikis. Kekerasan karena anggapan bahwa laki-laki pemegang supermasi dan dominasi terhadap berbagai sektor kehidupan. Kekerasan terhadap perempuan mempunyai beberapa tingkatan, yaitu: a. Pemerkosaan b. Pemukulan, Penganiayaan, dan Pembunuhan c. Prostitusi sebagai bentuk eksploitasi perempuan d. Pornografi sebagai bentuk pelecehan 3 Tapi Omas Irhomi, Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, (Bandung: IKAPI, 2002), h.305. 81 e. Pemaksaan sterilisasi f. Pelecehan seksual dengan sentuhan maupun uangkapan yang merendahkan martabat perempuan.4 Kekerasan terhadap perempuan tersebut dapat melahirkan berbagai ketidakharmonisan sosial yang menghambat perkembangan psikis perempuan, sehingga menjadi tidak berdaya. Kekerasan terhadap perempuan juga menimbulkan rasa malu dan mengintimidasi perempuan, ketakutan akan kekerasan menghalangi banyak perempuan mengambil inisiatif dan mengatur hidup yang akan dipilihnya.5 b. Superstruktur/Skematik Pada film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”, sutradara mengemas pesannya dalam 5 tahap: 1) Opening Bill Board (OBB) dan Sound Effect Menampilkan potongan-potongan dari gambar-gambar yang ada dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” disertai visual effect, instrumen musik juga dikombinasikan sebagai sound effect. 4 Astriati Jamil dan Amani Lubis, dkk, Pengantar Kajian Gender: Seks dan Gender, (Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan McGiII-ICIHEP, 2003), h.78 5 Julia Cleves Mosse, Gender dan Pembangunan, (Yogyakarta: Rifka Annisa Women’s Crisis Centre dengan Pustaka Pelajar, 2003), h.76. 82 2) Opening Shot Tabel 4.1 OPENING SHOT Menampilkan Lili (Olga Lidya) yang sedang tidaksadarkan dan dilarikan ke ruangan ICU dengan ditemani oleh suami, adik dan para perawat rumah sakit. Gambar 4.1 Menampilkan kekerasan seksual yang dilakukan oleh suami Lili. Gambar 4.2 Menampilkan dr.Rohana (Marcella Zalianty) menghampiri Lili dan membawa Lili ke ruangan ICU Gambar 4.3 berlari 83 Menampilkan dr.Kartini (Jajang C. Noer) menghubungi pihak kepolisian untuk melaporkan kasus kekerasan yang dilakukan oleh suami Lili. Gambar 4.4 Menampilkan dr. Kartini dan dr. Rohana keluar dari ruangan ICU dan memberikan kabar mengenai keadaan Lili. Gambar 4.5 3) Klimaks (Conflict Scene) Pada bagian ketiga ini, barulah masuk kedalam bagian-bagian adegan. Pada bagian ini sudah terlihat klimaks, yakni benturan kepentingan para tokoh yang berujung pada konflik. SCENE Scene 2 Tabel 4.2 KLIMAKS (CONFLICT SCENE) Conflict scene terlihat pada kisah Lili (Olga Lidya) yang menjadi korban kekerasan seksual oleh suaminya. SUAMI LILI: Gua juga hamil, tapi gak manja kaya lo.. 84 (suami Lili melepar bantal ke hadapan Lili). Gua pengen lo yang ngelayanin gua , bukan gua yang ngelayanin lo.. (suami Lili menampar Lili berulang kali). Scene 1 Conflict scene ini terlihat pada kisah Yanti (Happy Salma), dimana yanti mengetahui bahwa dirinya mengidap kanker rahim. YANTI: Dok, hasil test kemarin gimana? (dr.Kartini memberikan surat hasil test dan Yanti pun membukanya kemudian Yanti dan Bambang terkejut dan merasa sedih melihat hasil test sementara yang menunjukan bahwa ia mengidap kanker rahim) dr. KARTINI: Kita masih bisa melakukan beberapa test lagi…(dr.Kartini berusaha memberikan semangat agar Yanti tidak terpuruk dan bangkit dari kanker rahimnya). Scene 15 Conflict scene ini terlihat pada kisah Rara (Tamara Tyasmara) siswi kelas 2 SMP yang hamil hasil berhubungan dengan Acin (Albert Halim) kekasihnya. ACIN: Yaudah kita putus!!! RARA: Aku hamil tau (Rara melempar hasil test), dokter bilang aku hamil.. ACIN: Yaudah kalau gitu kita gugurin aja RARA: Enggak… aku punya anak, kamu harus kawinin aku ACIN: Enggak, gua belum siap. 85 Scene 22 Conflict scene terlihat pada kisah Ratna (Intan Kieflie) yang mengetahui bahwa Marwan (Achmad Zaki) suaminya mempunyai istri lagi. Ratna tiba dirumah terkejut saat melihat seorang perempuan dan seorang anak. RATNA: Mas, boleh kita bicara di kamar? Aku gak mau dimadu Mas, lebih baik aku hidup sendiri daripada dimadu… MARWAN: Aku sayang kamu Rat…. RATNA: Mas… tolong jangan munafik MARWAN: Aku gak munafik RATNA: Diam!!!!! Kamu emang bajingan sejak pertama kita menikah, aku udah tau kalo kamu bajingan!!! MARWAN: Ratna….. RATNA: Dengar, aku mungkin bisa menerima dengan posisi yang sudah ditakdirkan oleh Allah untuk aku Mas… tapi aku bukan barang yang tidak bernyawa, aku hidup aku manusia, bukan anjing yang bisa ditendang begitu saja pada saat majikannya sedang bersenangsenang dengan lonte diluar sana. Kamu kira aku pembantu, itu kewajibanku sebagai istri bukan banting tulang untuk mencukupi kebutuhan di rumah ini, itu tugas kamu Mas… tugas kamu!!!!.. sekarang kamu datang bawa istri baru dan anak, sepertinya aku bersalah besar, kamu emang gak tau diri beraniberaninya kamu hina aku orang yang udah kasih kamu makan. 86 Scene 26 Conflict scene terlihat pada kisah Ningsih (Patty Sandra) dan Lastri (Tizza Radia), yang mengetahui bahwa suaminya Hadi (Verdi Sulaiman) memiliki istri lagi. Ningsih datang bersama Hadi ke Rumah sakit, kemudian bertemu dengan Lastri. LASTRI: Hadi… kok kamu bisa disini? HADI: Sweetheart Lastri I’m so sorry (sayang, maaf…) LASTRI: Oh don’t touch me (jangan sentuh aku) NINGSIH: Berhenti!!!!! Hadi itu siapa? LASTRI: He is my husband (ini suami saya) NINGSIH: Pake bahasa Indonesia!!! LASTRI: Iya dia suami saya NINGSIH: Sejak kapan? LASTRI: Since… NINGSIH: Pake bahasa Indonesia!!! LASTRI: Sejak 8 bulan yang lalu NINGSIH: Pantesan ya…. pantesan keterlaluan HADI: Lastri.. I’m so sorry (memeluk Lastri) NINGSIH: Hadi sini siapa dia? Gendut, jelek buta kamu!!! Lastri menghampiri Ningsih kemudian mereka bertengkar. 4) Solusi (Anti Klimaks) Setelah conflict scene, scene beralih pada solusi dari permasalahan yang ada. 87 SCENE Scene 24 Tabel 4.3 ANTI KLIMAKS Anti klimaks terdapat pada scene 24, pada saat Lili dilarikan ke ruangan ICU dan tidaksadarkan diri akibat kekerasan yang dilakukan oleh suaminya, dr. Kartini mencoba menghubungi pihak kepolisian agar menindak lanjuti kasus kekerasan yang dialami Lili. Scene 22 Anti klimaks terdapat pada scene 22, pada saat Rara tiba di rumah dan mendengar semua pertengkaran yang terjadi antara Ratna dan Marwan. RATNA: Ra, kenapa kamu gak masuk? RARA: Mba lagi berantem, Rara ga berani masuk… RATNA: kamu dengar semuanya? RARA: Iya Mba… RATNA: Ayo Ra kita pergi..(akhirnya Ratna dan Rara Pergi meninggalkan rumah). Scene 25 Anti Klimaks terdapat pada scene 25, pada saat yang mengetahui dirinya mengidap penyakit kanker, ia mencoba mencari pekerjaan yang halal dan berusaha meninggalkan pekerjaannya sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK). YANTI: Gua gak mungkin gini terus Bang… BAMBANG: Terus lo mau ngapain? YANTI:Gua mau mati!! BAMBANG: Masih bisa kok diobatin… YANTI: Duitnya dari mana? BAMBANG: Makanya jangan malas!!! YANTI: Lo gak dengar ya??? Gua bilang guagak mungkin gini terus!!! 88 5) Penutup (Ending) Tabel 4.4 SCENE ENDING Scene 24 Pada kisah Lili, cerita ini berakhir ketika Lili dinyatakan meninggal dunia dan pihak kepolisian menangkap suami Lili. Scene 24 Pada kisah dr.Kartini, cerita ini berakhir ketika dr.Anton melamar dr.Kartini dan menerima lamaran dr.Anton. Scene 26 Pada kisah Ningsih dan Lastri, cerita ini berakhir ketika Ningsih mengetahui suaminya mempunya istri lagi dan Ningsih dan Lastri berkelahi di rumah sakit. Scene 26 Pada kisah Yanti, cerita ini berakhir ketika Yanti memutuskan untuk berhenti menjadi PSK (Pekerja Seks Komersial). Scene 26 Pada kisah Rara dan Ratna, cerita ini berakhir ketika Ratna tiba di Rumah sakit dan menceritakan permasalahan hidupnya kepada dr.Kartini. 6) Theme song Lagu tema Film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”, dilanjutkan dengan credite title yang menayangkan nama para pemain Film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”. 89 c. Struktur Mikro 1) Semantik Makna yang ingin ditekankan dalam skema Van Djik, disebut hubungan antar kalimat, hubungan antar preposisi yang membangun makna tertentu dalam struktur wacana.6 Beberapa strategi semantik, diantaranya: a) Latar Latar peristiwa yang dipilih akan menentukan ke arah mana pandangan khalayak akan dibawa.7 Dalam film“7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”, penulis membagi latar film menjadi tujuh bagian, karena film ini terdiri tujuh kisah, yaitu: kisah Yanti, kisah Rara, kisah Ningsih, kisah Ratna, kisah Lastri, kisah Lili, dan kisah dr. Kartini. Tabel 4.5 LATAR Kisah Yanti Latar pada kisah Yanti, penulis skenario Robby Ertanto mengarahkan penonton pada sosok perempuan yang menjadi seorang PSK (Pekerja Seks Komersial) yang divonis mengidap penyakit kanker rahim oleh dokter. Sosok perempuan ini merasa tersudutkan terlihat pada scene 20, ketika Yanti melihat hasil test sementara yang menyatakan ia mengidap kanker rahim. dr. Kartini berusaha memberikan semangat agar Yanti tidak merasa terpuruk dan bangkit dari kankernya. 6 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2008), h.232. 7 Ibid, h.235. 90 Kisah Rara Latar pada kisah Rara, penulis skenario Robby Ertanto mengarahkan penonton pada pandangan tentang pergaulan bebas yang dilakukan oleh pelajar, yang terdapat pada scene 4, ketika Acin mengajak Rara masuk ke dalam sebuah kamar kost. Pada saat Rara ke Rumah sakit untuk memeriksa kandunganya, Yanti menanyakan kepada Rara. YANTI: Pacarnya satu sekolah? RARA: Gak dia SMA.. YANTI: Kalau kamu kelas berapa? RARA: Kelas 2 SMP.. YANTI: Tokcer ya… Dari awal cerita, pandangan penonton akan mengarah pada pergaulan bebas dikalangan para remaja. Rara dan Acin, sepertinya sudah terbiasa pada pergaulan bebas tanpa memperdulikan akibatnya. Kisah Ratna Latar pada kisah Ratna, mengarahkan pandangan penonton pda sosok perempuan berhijab nan sholehah, sabar dan selalu kuat dalam menghadapi segala persoalan hidup. Menikah selama 5 tahun namun belum dikarunia anak, sampai pada akhirnya ia hamil. Namun malang, ketika ia hamil ia tetap harus bekerja keras demi keperluan untuk melahirkan. Marwan sebagai suami nya tidak memperlihatkan perhatian dankebahagiaannya, justru saat usia kandungannya sudah tua, Ratna mengetahui bahwa suaminya selingkuh dan memiliki anak berusia 3 tahun. 91 Kisah Lili Latar pada kisah Lili, mengarahkan penonton pada seorang perempuan Tionghoa dengan sifatnya yang pendiam dan tertutup. Lili sangat mencintai suaminya, namun ia sering mendapat kekerasaan seksual dari suaminya, karena suaminya mempunyai memiliki kelainan seksual. Lili selalu menutupi semua yang terjadi padanya. dr. Kartini melihat ada memar dibagian tubuhnya, terdapat pada scene 14. dr. KARTINI: Lili, saya harus bagaimana supaya kamu mau bercerita? LILI: Saya gak ngerti maksud Dokter? dr. KARTINI: Kamu masih juga melindungi dia? LILI: Dokter, saya….. dr. KARTINI: Kita bisa sama-sama lapor polisi… LILI: Jangan Dok!!!! Saya cinta sama Dia… dr. KARTINI: Karena itu kamu siap disiksa begini? LILI: Dia gak siksa saya, dia sengaja Dok,…. dr. KARTINI: Kalau ini terus terjadi ini bisa berbahaya bagi kamu. Lili saya punya kewajiban untuk melaporkan kepada polisi kalau ada apa-apa yang tidak benar dengan pasien saya. Kisah Ningsih Latar pada kisah Ningsih, Robby sebagai penulis skenario mengarahkan penonton pada sosok wanita karir yang memiliki peran dominan dalam keluarga, mengurus segala keperluan rumah tangga dan menanggung semua kebutuhan. Inilah yang menyebabkan Ningsih terobsesi ingin memiliki anak laki-laki dikarenakan suaminya yang bernama Hadi yang dianggap nya tidak tegas dan hanya 92 bisa diam, perlakuan tersebut yang menyebabkan hadi memiliki istri yang mampu menghargai keberadaannya. Kisah Lastri Latar pada kisah Lastri, penulis mengarahkan penonton pada sosok perempuan yang periang dan selalu bahagia. Perempuan gendut yang seolah mempunyai pasangan yang ideal. Namun selama pernikahan mereka belum dikaruniai seorang anak, dan suaminya pun yang bernama Hadi yang merupakan suami dari Ningsih selalu setia mendampinginya. Disisi lain Hadi yang seolah menjadi suami yang sempurna ternyata ia sudah memiliki istri sebelumnya. Kisah dr. Kartini Latar pada kisah dr. Kartini ini penulis mengarahkan penonton pada seorang dokter yang mempunyai sifat penyayang, sabar, bijaksana, bertanggung jawab dan tegas. Disetiap masalah dari semua pasiennya, ia selalu bersikap tenang dan bijak dalam membantu menangani pasiennya. dr. Kartini selalu merasa bahwa sebagian besar wanita sering ditindas oleh kaum pria. b) Detil Dalam detil, hal yang menguntungkan pembuat teks akan diuraikan secara detil dan terperinci, sebaliknya fakta yang tidak menguntungkan , detil informasi akan dikurangi. Dibawah ini merupakan element detil yang terdapat pada film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita. 93 SCENE Scene 2 Tabel 4.6 DETIL Elemen detil yang terdapat pada scene 2, ketika Lili sedang membuat minuman untuk suaminya, kemudian suaminya menarik rambut Lili. RANDY (suami Lili): Gua juga hamil, tapi gak manja kaya lo (Randy melempar bantal ke wajah Lili), gua pengen lo yang ngelayanin gua bukan gua yang ngelayanin lo (Randy menampar Lili). Teks skenario diatas, menggambarkan dengan detil dan rinci, kekerasan yang dilakukan suaminya terhadap Lili. Pola penulisan seperti kalimat diatas, menunjukkan bahwa Randy melakukan kekerasaan seksual terhadap Lili. Scene 1 Elemendetil yang tedapat pada scene 1, ketika Yanti bertemu dengan dr. Kartini untu mengambil hasil testnya. dr.KARTINI: Dalam satu malam tiga laki-laki dan satu perempuan? Semuanya melakukan hubungan seks? YANTI: Enggalah Dok, saya cuma embat duitnya aja, yailahlah Dok (Yanti tertawa). Teks skenario diatas, menguraikan dengan detil tentang pekerjaan yang dilakukan oleh Yanti dalam satu malam. Pola penulisan seperti diatas, menonjolkan bahwa Yanti adalah seorang PSK (Pekerja Seks Komersial). Scene 1 Elemen detil yang terdapat pada scene 1, ketika Rara datang ke rumah sakit untuk mengetahui kehamilannya. dr. KARTINI: Ada yang bisa saya bantu? RARA: Gini Dok, saya telat dua minggu, mungkin saya hamil? dr. KARTINI: Memangnya kamu sudah pernah melakukan hubungan intim? Scene 1 Pada teks skenario diatas, menggambarkan detil tentang pergaulan bebas yang dilakukan Rara dan Acin. Dengan teks tersebut terlihat bahwa pergaulan bebas yang dilakukan para remaja sudah tidak asing lagi. Element detil pada scene 1, ketika Ratna tiba di rumah 94 sakit dan bertemu dengan dr. Kartini, kemudian mereka duduk berbincang. dr. KARTINI: Kamu sudah ambil cuti? RATNA: Belum Dok, nanti saja uangnya lumayan untuk bayi ini… Teks skenario diatas, menggambarkan keadaan keuangan Ratna. Dengan teks tersebut terlihat bahwa ia harus bekerja keras demi anak yang dikandungnya. Scene 9 Elemen detil yang terdapat pada scene 9, ketika Ningsih sedang memeriksa kandungannya di rumah sakit. NINGSIH: Kapan saya bisa tahu Dok anak saya laki-laki atau perempuan? dr. KARTINI: Sekitar enam bulan lagi.. NINGSIH: Apa saya bisa gugurin kandungan saya pada saat itu? dr. KARTINI: Kenapa? NINGSIH: Kalau bukan laki-laki saya ga mau, saya mau ada pengganti suami saya Dok! Teks diatas, mengguraikan dengan detil bahwa Ningsih hanya menginginkan anak laki-laki. Penulisan seperti itu, menggambarkan keadaan suami Ningsih yang tidak tegas, dan ia akan mendidik anaknya tidak seperti ayahnya. c) Maksud Elemen maksud melihat informasi yang menguntungkan yang akan diuraikan secara eksplisit, tegas dan jelas, serta menunjuk langsung pada fakta.8 Dalam scenario yang penulis amati, elemen maksud terlihat jelas terdapat pada film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”. 8 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2008), h.240. 95 SCENE Scene 1 Tabel 4.7 MAKSUD Elemen maksud terdapat pada scene 1, ketika Lili memeriksa kandungannya, kemudian dr. Kartini melihat luka memar dibagian tubuh Lili. dr. KARTINI: Lili utamakan kandungan kamu itu, saya tahu itu bukan jatuh. Teks diatas merupakan elemen maksud, karena terdapat informasi yang jelas, mengenai luka akibat kekerasan rumah tangga yang terjadi pada Lili. Scene 9 Elemen maksud terdapat pada scene 9, ketika Rara memeriksa kandungannya, kemudian Rara berbincangbincang dengan dr. Kartini. RARA: Gimana Dok, saya belum ngerti apa-apa, apalagi ngurus anak. Pada teks diatas, merupakan elemen maksud karena penulis skenario bertujuan menyampaikan informasi dengan menuliskan secara ekspilisit dan jelas mengenai dampak pergaulan bebas. Scene 18 Elemen maksud yang terdapat pada scene 18, ketika Ningsih dan Hadi sedang berada di rumahnya. NINGSIH: Pokoknya kalau anak saya laki-laki, saya tidak akan didik seperti kamu!. 96 Pada teks diatas, merupakan elemen maksud karena penulis skenario bertujuan menyampaikan informasi dengan menuliskan secara ekspilisit dan jelas mengenai keinginan untuk mempunyai anak laki-laki agar bisa lebih baik tidak seperti ayahnya. Scene 21 Elemen maksud yang terdapat pada scene 21, ketika Bambang datang ke Rumah sakit dan bertemu dengan dr. Kartini untuk membicarakan mengenai penyakit yang diderita Yanti. dr. KARTINI: Kita Harus melakukan beberapa test lagi, dia belum divonis. BAMBANG: Dia ketakutan Dok… dr. KARTINI: Iya saya paham, kamu harus meyakinkan dia bahawa dia belum divonis. Kanker di mulut rahimnya memang bisa membunuhnya, tapi pada saat ini stadiumnya masih dini. Dia harusnya berhenti jadi….. ehmm maksud saya karena berganti-ganti pasanganlah yang menyebabkan dia HIV. BAMBANG: Dok, saya gak ngerti, yang penting saya mau bantu dia. Pada teks diatas, merupakan elemen maksud karena penulis skenario bertujuan menyampaikan informasi dengan menuliskan secara ekspilisit dan jelas mengenai solusi yang diberikan dr. Kartini agar Yanti berhenti menjadi PSK (Pekerja Seks Komersial), dan Bambang bertujuan untuk membantu Yanti dengan berbagai cara. Scene 24 Pada scene 24 ini terdapat elemen maksud, ketika Ratna 97 mengetahui bahwa Marwan mempunyai istri kedua dan seorang anak. Istri kedua Marwan meminta maaf kepada Ratna. RATNA: Harusnya kamu cek dulu siapa dia! Pada teks diatas, merupakan elemen maksud karena penulis skenario bertujuan menyampaikan informasi dengan menuliskan secara ekspilisit dan jelas bahwa sebelum menikah dengan Marwan terlebih dahulu mencari tahu siapa Marwan. d. Sintaksis 1) Koherensi Koherensi adalah pertalian atau jalinan antar kata, atau kalimat dalam teks. Dua buah kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan sehingga tampak koheren. 9 Dalam skenario yang penulis amati, koherensi dapat dilihat dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”. Tabel 4.8 KOHERENSI SCENE Scene 9 Pada scene 9 terdapat kalimat koherensi, ketika Ningsih memeriksa kandungannya, kemudian dr. Kartini memberikan saran agar mengajak suaminya pada saat memeriksa kembali kandungannya. dr. KARTINI: Ada baiknya kalau periksa kembali diajak ya suami Ibu.. NINGSIH: Mungkin, tapi saya gak tahu apa gunanya. 9 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2008), h.235. 98 Koherensi pada teks diatas ditunjukan pada kata “tapi”. Kata “tapi” atau “tetapi”, menghubungkan kalimat Mungkin dan kalimat saya gak tahu apa gunanya. Sehingga kalimat tersebut menjadi koheren. Scene 14 Pada scene 14, terdapat kalimat yang menunjukan koherensi. Ketika Lili memasuki ruangan dr. Kartini untuk memeriksa kandungannya. Kemudian dr. Kartini melihat luka memar dibagian wajah Lili. dr. KARTINI: Kita bisa sama-sama lapor polisi. LILI: Jangan Dok, saya cinta sama dia! dr. KARTINI: Karena itu kamu siap disiksa begini? Koherensi pada teks diatas ditunjukan pada kata “Karena”. Kata “Karena itu”, menghubungkan kalimat Saya cinta sama dia dan kalimat kamu siap disiksa begini?. Sehingga kalimat tersebut menjadi koheren. Scene 21 Kalimat koherensi terdapat pada scene 21, ketika Bambang mendatangi dr. Kartini untuk membantu Yanti agar sembuh dari kanker rahimnya. dr. KARTINI: Iya saya paham, kamu harus meyakinkan dia bahwa dia belum divonis. Kanker di mulut rahimnya memang bisa membunuhnya, tapi pada saat ini stadiumnya masih dini. Dia harusnya berhenti jadi….. ehmm maksud saya karena berganti-ganti pasanganlah yang menyebabkan dia HIV. BAMBANG: Dok, saya ga ngerti, yang penting saya mau bantu dia. 99 Koherensi pada teks diatas ditunjukan pada kata “Karena”. Kata “Karena”, menghubungkan kalimat Maksud saya dan kalimat berganti-ganti pasanganlah yang menyebabkan dia HIV . Sehingga kalimat tersebut menjadi koheren 2) Kata Ganti kata ganti merupakan alat yang dipakai oleh penulis skenario untuk menunjukan dimana seseorang ditempatkan dalam wawancara. Berbagai kata ganti yang berlainan digunakan secara strategis sesuai dengan kondisi yang ada.10 Dalam teks yang terdapat pada skenario film ini, kata ganti yang digunakan yaitu: Tabel 4.9 KATA GANTI Penulis skenario film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” menggunakan kata ganti “mas”, kepada tokoh Marwan dan Hadi, kemudia kata “mbak” pada tokoh Ratna. Kedua kata ganti tersebut merupakan panggilan dari daerah jawa. Kata ganti “mbak” terlihat dalam scene 16, 22, 24, Dan kata ganti “mas” terlihat pada scene 6, 14, dan 22. RATNA: Rara, kamu gak sekolah? RARA: Gak enak badan Mbak, mual-mual dari tadi pagi. RATNA: Kalau gitu ke dokter dong, ayo.. RARA: Gakusah Mbak gak usah udah enakan kok. RATNA: Ya sudah kalau gitu kamu sekolah. RARA: Saya mau istirahat aja Mbak! 10 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2008), h.253. 100 ISTRI KEDUA MARWAN: Mbak maaf… RARA: Mbak lagi berantem, Rara gak berani masuk. RATNA: Kamu dengar semuanya? RARA: Iya Mbak RARA: Mbak udah cukup!!! MARWAN: Assalamualaikum.. RATNA: Waalaikumsalam, baru pulang Mas, kok gak ada kabar?, nanti sore aku akan cek ke Rumah sakit lagi, Mas ada waktu kan temenin aku? NINGSIH: Makanya saya bilang kan dok, gak ada gunanya bawa dia kesini semua keputusan rumah tangga saya yang urus semuanya, enak kan Mas Hadi, iya gak? ISTRI KEDUA MARWAN: Mas… Mas Marwan iki lo Rangga loro… RATNA: Mas boleh kita bicara dikamar? RATNA: Mas tolong jangan munafik!!! RATNA: Dengar aku mememang menerima dengan posisi yang sudah ditakdirkan untuk aku Mas, tapi aku bukan barang yang tidak bernyawa Mas Penulis skenario menggunakan kata ganti “Cece” pada tokoh Lili. Kata ganti tersebut merupakan panggilan yang digunakan orang Thionghoa. Kata ganti “Cece” terlihat pada scene 12. ACIN: Sudah waktunya Ce…. LILI: Ini Cuma sariawan ACIN: Emang Ce, tapi Acin tahu itu 101 Penulis skenario menggunakan kata ganti “Ayah” kepada ayah dr. Rohanamerupakan sebuahpanggilan bagi seorang bapak dan Ibu kepada Ningsih yang merupakan sebuah panggilan untuk seseorang perempuan yang mempunyai anak. Kata ganti “Ayah” terlihat pada scene 19 dan kata ganti Ibu terlihat pada scene 9. dr. ROHANA: Ayah belum tidur? dr. KARTINI: Ada baiknya kalau periksa kembali diajak ya suami Ibu.. 3) Bentuk Kalimat Bentuk kalimat adalah segi sintaksis yang berhubungan dengan prinsip kausalitas. 11 Dalam skenario yang penulis amati, bentuk kalimat yang dapat dilihat pada film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”, diantaranya yaitu: SCENE Scene 7 Tabel 4.10 BENTUK KALIMAT Bentuk kalimat terlihat pada scene 7, ketika Yanti sedang memikirkan menyakit yang dialaminya. BAMBANG: Yan lo harus lawan penyakit lo, gua yakin lo bisa sembuh. Pada teks diatas merupakan kalimat induktif yaitu, inti kalimat terdapat pada akhir kalimat. Bentuk kalimat tersebut memperlihatkan bahwa, Bambang yakin akan kesembuhan Yanti, karena Yanti harus berusaha melawan penyakitnya, yang terdapat pada 11 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2008), h.251. 102 awal kalimat. Scene 9 Bentuk kalimat terlihat pada scene 9, ketika Ningsih sedang memeriksa kandungannya. NINGSIH: Saya gak peduli doktre, yang penting bayi saya laki-laki. Pada teks diatas merupakan kalimat induktif, yaitu inti kalimat terdapat diakhir kalimat. Bentuk kalimat tersebut memperlihatkan bahwa Ningsih tidak mempedulikan apapun resikonya karena Ningsih ingin mempunyai bayi laki-laki. Scene 14 Bentuk kalimat terlihat pada scene 14, ketika dr. Kartini melihat ada luka memar ditubuh Lili. dr. KARTINI: Kalau ini terus terjadi bisa berbahaya untuk bayi kamu. Lili saya punya kewajiban untuk melaporkan kepada polisi kalau ada apa-apa yang tidak wajar dengan pasien saya. Teks diatas merupakan bentuk kalimat deduktif, yaitu inti kalimat terdapat pada awal kalimat. Kalimat kalau ini terus terjadi bisa berbahaya bagi bayi kamu, merupakan inti kalimat yang diletakan diawal kalimat. Scene 22 Bentuk kalimat terlihat pada scene 22, ketika Ratna mengetahui bahwa Marwan memiliki istri dan anak. RATNA: Aku gak mau dimadu mas, lebih baik aku hidup sendiri daripada dimadu. 103 Teks diatas merupakan bentuk kalimat deduktif, yaitu inti kalimat terdapat diawal kalimat. Kalimat aku gak mau dimadu, merupakan inti kalimat yang terdapat diawal kalimat. e. Stalistik Stalistik atau style dapat diterjemahkan sebagai gaya bahasa. 12 Didalam stalistik, tentu saja yang menjadi pusat perhatiannya adalah gaya bahasa. Gaya bahasa digunakan oleh orang tertentu untuk maksud tertentu maka, gaya bahasa dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” yang digunakan oleh penulis skenario bertujuan untuk menyampaikan maksudnya. Pada teks yang terdapat dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”, gaya bahasa yang digunakan yaitu bahasa daerah (bahasa jawa) dan bahasa asing (bahasa inggris). SCENE Scene 5 Tabel 4.11 GAYA BAHASA Gaya bahasa yang terdapat pada scene 5, yaitu menggunakan gaya bahasa inggis. HADI: Honey, I”m home…… Where are you sweet heart? LASTRI: I’m here….. HADI: Whats cooked? LASTRI: Your favourite HADI: Oh I try I try. LASTRI: Carefull HADI: Oh It’s good LASTRI: Really? 12 Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), h. 81. 104 Scene 10 Gaya bahasa yang terdapat pada scene 10, yaitu menggunakan gaya bahasa daerah atau bahasa jawa. ISTRI MARWAN: Mas apik yo rumah e, ndak kaya rumahku sing ngontrak. MARWAN: Ah sing iri-irian, wis bodo wae. ISTRI MARWAN: Rangga wis Play Group. MARWAN: Mangkane wis seregep sholat kaya Ratna sing rezekine akeh. ISTRI MARWAN: Mangkane ndak usah bojo loro kalau ndak iso bandane. MARWAN: Wis, nengkono Ratna wis mule. ISTRI MARWAN: Bilang Bapak, ya wis dah bapak mule. Scene 22 Gaya bahasa yang terdapat pada scene 22, yaitu menggunakan gaya bahasa daerah atau bahasa jawa. ISTRI MARWAN: Mas… Mas iki loh Rangga loro MARWAN: Kok dibawa nengkono, bawa ke Rumah Sakit opo. ISTRI MARWAN: Aku ndak ada duit Mas.. MARWAN: Kalau Ratna mule gimana? ISTRI MARWAN: Aku binggung yo, sampean tanggung jawab. Scene 26 Gaya bahsa yang terdapat pada scene 26 yaitu menggunakan gaya bahasa inggis. HADI: Sweet heart Lastri I’m sorry.. LASTRI: Oh, don’t touch me!!! HADI: Lastri oh Lastri 105 NINGSIH: Berhenti… time out!!! Hadi ini siapa? LASTRI: He is my husband. f. Retoris Elemen yang terkhir diamati dalam teks adalah retoris yang mempunyai fungsi persuasif atau mempengaruhi.13 Dalam hal ini Van Dijk membagi retiris menjadi tiga elemen, yaitu: 1) Grafis Elemen pertama dalam retoris adalah grafis. Grafis menampilkan bagian yang menonjol dari sebuah film yang dilihat dari pengambilan gambar. Grafis yang terdapat dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”, diantaranya yaitu: Tabel 4.12 GRAFIS Elemen grafis terlihat pada scene 1, ketika dr. Kartini memasuki ruang prakteknya di Rumah sakit. Gambar 4.6 13 Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), h. 84. 106 Grafis yang terlihat yaitu papan nama dr. Kartini yang berada disamping pintu ruangannya. Dalam sinematografi film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”, gambar diatas diambil dengan menggunakan zoom in, yaitu lensa kamera mendekati gambar, sehingga gambar tersebut menjadi lebih menonjol dan fokus serta memberikan kesan atau makna dari gambar tersebut. Elemen grafis terlihat pada scene 1, ketika Lili memasuki ruangan dr. Kartini dan dr. Karini terkejut luka memar dibagian wajah Lili. Gambar 4.7 Grafis yang terlihat yaitu luka memar pada bagian wajah Lili akibat kekerasan yang dilakukan oleh suaminya. Dalam sinematografi film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”, gambar diatas diambil dengan menggunakan zoom in, yaitu lensa kamera mendekati gambar, sehingga gambar tersebut menjadi lebih menonjol dan fokus serta memberikan kesan atau makna dari gambar tersebut. Elemen grafis telihat pada scene 1, ketika Lili memeriksa kandungannya dan dr. Kartini menemukan luka memar dibagian perut Lili. Gambar 4.8 Grafis yang terlihat yaitu luka memar pada bagian perut Lili akibat kekerasan yang dilakukan oleh suaminya. Dalam sinematografi film “7 107 Hati 7 Cinta 7 Wanita”, gambar diatas diambil dengan menggunakan zoom in, yaitu lensa kamera mendekati gambar, sehingga gambar tersebut menjadi lebih menonjol dan fokus serta memberikan kesan atau makna dari gambar tersebut. Elemen grafis terlihat pada scene 19, ketika dr. Rohana tiba di rumah dan bertemu dengan ayahnya, kemudian mereka membicarakan tentang ibu dr. Rohana. Gambar 4.9 Pada scene ini, grafis terlihat pada foto Ibu dan Ayah dr. Rohana menggambarkan bahwa dr. Rohana memiliki keluarga yang bahagia. 2) Metafora Metafora merupakan kiasan atau ungkapan yang dapat dijadikan sebagai landasar berpikir, alasan pembenar atau pendapat kepada publik. Metafora yang terdapat dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”, yaitu: SCENE Scene 7 Tabel 4.13 METAFORA Metafora terdapat pada scene 7, ketika Yanti sedang memikirkan penyakit kanker rahimnya. BAMBANG: Yan lo harus lawan penyakit lo. Pada teks diatas kalimat yang mengandung metafora, merupakan kalimat yang menguatkan Yanti agar dia tetap 108 bertahan dengan kanker rahim yang dideritanya. Scene 22 Metafora terdapat pada scene 22, ketika Ratna mengetahui bahwa Marwan mempunyai istri lagi. RATNA: Dengar! aku menerima dengan posisi yang sudah ditakdirkan Allah untuk aku mas, tapi aku bukan barang yang tidak bernyawaaku hidup aku manusia, bukan anjing yang bisa ditendang begitu saja apda saat majikannya sedang bersenangsenang dengan lonte diluar sana. Kamu kira aku pembantu, itu kewajibanku sebagai istri bukan banting tulang untuk mencukupi kebutuhan di rumah ini, itu tugas kamu mas.. tugas kamu!!! Pada teks diatas, metafora yang terlihat pada kalimat tersebut merupakan uangkapan yang mengandung arti atau makna kerja keras. Scene 25 Metafora yang terdapat pada scene 25, ketika Yanti ingin berhenti menjadi PSK (Pekerja Seks Komersial) BAMBANG: Yan… Yan dengerin… Yan gua seneng kalau lo bilang asal lo tau ya Bang. Gua selalu jawab dalam hati iya Yan cuma lo doing yang pinter. Iya saying gua tahu lo doing yang pinter, gua kaget pas denger lo bisa bahasa inggris. Yan gua seneng banget kalau lo mau kerja yang halal, gua juga cape nganter lo pulang pagi mulu. Asal lo tau ya tadi malam udah gua cek tabungan gua udah banyak dari ngojek dan komisi dari lo dan udah cukup buat lo berobat, biasa aja deh muka lo. Makanya gua seneng banget kalau lo lagi bilang “lo pengen banget ya jadi suami gua” , hati gua sering jerit karena emang gua pengen banget jadi suami lo. Cuma gua sadar dirilah gak mungkin orang kaya gua jadi suami cewek cakep kaya lo, apalagi gua cuma anjelo. Kalimat yang mengandung metafora seperti diatas, merupakan kalimat yang mengandung arti atau makna mendalam. 109 3) Ekspresi Elemen ekspresi merupakan bagian untuk memeriksa apa yang ditekankan atau ditonjolkan oleh seseorang yang diamati dari teks.14 Misalnya ekspresi wajah marah, sedih, terkejut, senang, bahagia,sinis, tertawa, dan menangis. Tabel 4.14 EKSPRESI SCENE Berikut ini, elemen ekspresi yang terdapat pada scene 1. Scene 1 Ekspresi Yanti terkejut melihat hasil test yang menyatakan bahwa ia mengidap kanker rahim. Gambar 4.10 LASTRI: Dok, kemarin malam berat badan saya turun satu kilo, eh malamnya naik dua kilo (ekspresi tertawa). Gambar 4.11 Pada scene 7 terdapat ekpresi menangis, ketika Yanti sedang Scene 7 memikirkan penyakit kanker rahimnya. 14 Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), h. 84 110 YANTI: Lo gak tau Bang, rasanya perempuan gak punya rahim, lo gak tau kan (ekspresi menangis) Gambar 4.12 Scene 17 Pada scene ini terdapat elemen ekspresi sedih, ketika Rara meminta pertanggungjawaban kepada acin. RARA: Kita harus nikah (ekspresi sedih) Gambar 4.13 Scene 14 Elemen ekspresi pada scene 14 terlihat ekspresi senang dan marah, ketika Ratna merasakan gerakan dari bayi yang ada dikandungannya, dan ekspresi marah ketika Ningsih mengajak menemaninya untuk memeriksa kandungannya. RATNA: Dok, bayinya bergerak (ekspresi senang) Hadi untuk 111 Gambar 4.14 NINGSIH: Makanya saya bilang kan Dok, gak ada gunanya bawa dia kesini semua keputusan rumah tangga saya yang urus semuannya. Enak kan Mas Hadi, iya gak? (ekspresi sinis) Gambar 4.15 Scene 23 Elemen ekspresi marah dan sedih terlihat pada scene 23, ketika Ratna mengetahui kehamilan Rara dan mengetahui Marwan mempunyai istri dan anak. Gambar 4,16 Scene 26 Elemen ekspresi tersenyum terlihat pada scene 26, ketika dr. Kartini memberikan motivasi kepada Yanti untuk melawan penyakitnya. Gambar 4.17 112 Scene 24 Elemen ekspresi panik dan marah terlihat pada scene 24, ketika Lili tidak sadarkan diri dan dilarikan ke ruang ICU Gambar 4.18 Gambar 4.19 scene 22 Elemen ekspsresi menangis trlihat pada scene 22, ketika Ratna mengetahui bahwa Marwan mempunyai istri lagi. Gambar 4.20 2. Kognisi Sosial Film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” Dalam kerangka analisis wacana Teun A. Van Dijk, perlu adanya penelitian mengenai kognisi sosial, yaitu kesadaran mental penulis skenario 113 yang membentuk teks tersebut.15Dalam hal ini adalah analisis wacana film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”. selain analisis teks, yang terdapat dalam skenario film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”, perlu dilakukan penelitian atas kesadaran mental penulis skenario dalam permasalahan perempuan. Bagaimana kepercayaan, pengetahuan, dan prasangka penulis skenario terhadap masalah yang menimpa perempuan. Kognisi sosial ini penting dan menjadi kerangka yang tidak terpisahkan untuk memahami teks. Dalam pandangan Van Dijk, analisis wacana tidak dibatasi hanya pada struktur teks, karena wacana itu sendiri menunjukan atau menandakan sejumlah makna, pendapat dan ideology, untuk membongkar bagaimana makna tersembunyi dari teks, kita membutuhkan suatu analisis kognisi sosial. Pendekatan kognitif didasarkan pada asumsi bahwa teks tidak mempunyai makna itu diberikan oelh pemakai bahasa atau kesadaran mental pemakai bahasa. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu penelitian atas representasi kognisi dan strategi penulis skenario dalam memproduksi skenario, karena setiap teks pada dasarnya dihasilkan lewat kesadaran, pengetahuan, prasangka tertentu terhadap suatu peristiwa.16 Dalam hal ini, penulis menemukan beberapa jawaban tentang pandangan penulis skenario film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” terhadap masalah perempuan yang terjadi di Indonesia. 15 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2008), h.260. 16 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2008), h.260. 114 Menurut Jajang C. Noer, salah satu pemain film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” yang berperan sebagai dr. Kartini, film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” terinspirasi dari berbagai masalah yang menyelimuti kehidupan perempuan di Indonesia. Melihat fenomena tersebut Robby ertanto sebagai sutradara dan penulis skenario ingin mengangkatnya kedalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”, dengan harapan masyarakat dapat merenungkan dan peduli. Menurut Jajang C. Noer, film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” mengungkapkan “bahwa manusia dalam hal ini perempuan, perempuan dalam hal ini manusia itu punya bermacam-macam persoalan jadi ya bagaimana kita menyingkapinya dan itu terjadi dimasyarakat kita Bahwa manusia dalam hal ini perempuan, perempuan dalam hal ini manusia itu punya bermacam-macam persoalan jadi ya bagaimana kita menyingkapinya dan itu terjadi dimasyarakat kita”.17 Film ini dipandang sebagai hasil dari representasi mental dari penulis skenario dalam memandang masalah perempuan. Pandangan, kepercayaan, stereotip dan kepercayaan Robby Ertanto selaku penulis skenario, bahwa perempuan memiliki hak yang sama, keberadaan mereka juga patutnya diperhitungkan. Disinilah penulis skenario tidak dianggap sebagai individu yang netral, tetapi individu yang mempunyai berbagai nilai, pengalaman dan pengaruh ideologi yang didapatkan dari kehidupannya dan pandangan inilah yang menentukan fakta yang dipilih untuk membuat film tersebut. Sentuhan ideologi, kesadaran serta pengetahuan penulis skenario terlihat dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”. Lewat kisah tujuh perempuan ini menunjukan bahwa permasalahan perempuan lebih kompleks. 17 Wawancara Pribadi dengan Jajang C. Noer, Sabtu, 11 April 2015. 115 3. Konteks Sosial Film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” Analisis sosial terlihat bagaimana teks itu dihubungkan lebih jauh dengan struktur sosial dan pengetahuan yang berkembang dalam masyarakat atas suatu wacana. 18 Oleh karena itu, konteks sosial dalam hal ini adalah menjawab pernyataan bagaimana wacana yang berkembang dimasyarakat mengenai isu gender. Permasalahan mengenai ketidakadilan gender, didalamnya termasuk permasalahan mengenai perempuan. Permasalahan tersebut dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”, meliputi masalah hak-hak perempuan, kesehatan reproduksi perempuan, dan kekerasan terhadap perempuan. a. Kesehatan Reproduksi Perempuan. Kesehatan reproduksi perempuan yang ditampilkan dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” terdapat pada kisah Rara, yaitu mengenai hubungan seks diluar nikah yang dilakukan para remaja. Hasil penelitian menunjukkan pengalaman berhubungan seks dimulai sejak usia 16-18 tahun sebanyak 44%, sementara 16% melakukan hubungan seks pada usia 13-15 tahun. Selain itu, rumah menjadi tempat favorit (40%) untuk melakukan hubungan seks. Sisanya mereka memilih hubungan seks di kos (26%), dan hotel (26%).19Diduga berdasarkan hasil penelitian yang ditemukan 18 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2008), h.225. 19 Perilaku Seks Bebas dikalangan Pelajar, artikel diakses pada tanggal 12 April 2015, pada pukul 11.03 dari http://litbang.patikab.go.id/index,php/jurnal/203. 116 dilapangan, pergaulan bebas yang dilakukan oleh para pelajar di Indonesia menjadi inspirasi pembuatan film ini. b. Kekerasaan Terhadap Perempuan. Permasalahan lainnya yang berkembang di masyarakat adalah permasalahan mengenai kekerasaan terhadap perempuan. Pada film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” kekerasan terhadap perempuan dialami oleh Lili, yang menerima kekerasan seksual dari suaminya. Lili menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh suaminya. Kekerasan terhadap perempuan merupakan bagian integral dari fenomena kekerasan secara umum. Hal ini berkaitan dengan posisi perempuan yang serba di nomor duakan yang penuh dengan tabu dan stereotip. Tabu dan stereotip membuat perempuan bungkam atas kekerasan yang dialaminya, sedangkan bias gender masyarakat membuat perempuan korban kekerasan, terkadang dituding bersalah atas musibah yang menimpa dirinya sendiri.20 Di Indonesia kekerasan terhadap perempuan menunjukan peningkatan cukup berarti. Laporan Komnas perempuan dalam Catatan Tahunan tentang Kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2001 ada 3.169, pada tahun 2012 ada 216.156 dan tahun 2013 ada 279.688. Kekerasan tersebut mencakup fisik, psikis, ekonomi dan seksual. Konteks kekerasan seksual, selama 12 tahun 20 “Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan” Artikel diakses pada tanggal 11 April 2015 pada pukul 11.20 dari http://www.kolompakar.com/pI.htm 117 (2001-2012 ), sedikitnya ada 35 perempuan korban kekerasan seksual setiap hari. Tahun 2012 tercatat 4.336 kasus kekerasan seksual, 2.920 diantaranya terjadi di ruang publik/komunitas. Mayoritas kekerasan seksual muncul dalam bentuk pemerkosaan dan pencabulan. Korban meliputi semua umur, dari balita hingga manula, rata-rata usia antara 13-18 tahun.21 Diduga hasil penelitian yang dilakukan mengenai kekerasan terhadap perempuan menjadi inspirasi pembuatan film ini. Kekerasan yang diterima korban tidak hanya secara fisik, namun juga psikis, seksual, dan penelantaran, di antara korban lebih banyak mengalami depresi ataupun efek psikologis yang membuat mereka sulit untuk bangkit dan menjalani hidup normal.22 Peningkatan jumlah terhadap kasus tersebut disebabkan belum adanya komitmen dari penegak hukum untuk membebaskan perempuan dari kekerasan. Selain itu, tingginya kesadaran dari korban untuk melaporkan juga menjadi faktor lainnya. Namun, yang mengkhawatirkan penegak hukum di Indonesia masih belum berperspektif gender, sehingga tidak ada efek jera bagi pelaku kekerasan terhadap perempuan. Indonesia telah memiliki hokum untuk melindungi perempuan dari kekerasan, seperti UndangUndang Nomor 27 Tahun 1984 tentang pengesahan konvensi 21 Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan: KH. Husein Muhammad, diakses pada tanggal 17 maret 2015 pada pukul 13.24 dari http://www.komnasperempuan.or.id/2014/11. 22 “Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan” Artikel diakses pada tanggal 11 April 2015 pada pukul dari http://www.kolompakar.com/pI.htm 118 mengenai pernghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, dan UU Nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban. Kendati sudah terdapat UU yang melindungi perempuan, jika tidak diikuti implementasi oleh aparat kepolisian dan pemerintahan maka penegakan hukum tidak akan berjalan. Oleh Karena itu, permasalahan perempuan yang terjadi di masyarakat bukanlah hanya sekedar permasalahan biasa, tetapi permasalahan yang kompleks dan harus dicari jalan keluarnya bersama, agar terciptanya kehidupan masyarakat Indonesia yang lebih baik. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan terhadap teks, konteks dan kognisi sosial yang terdapat dalam skenario film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”. Maka hasil dari penelitian yang dilakukan oleh penulis menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Dari Segi Teks/ Naskah Skenario Dilihat dari segi teks penulis menyimpulkan bahwa: a. Struktur Makro Struktur makro merupakan tematik/ tema dari skenario atau naskah film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”. Tema umum yang terdapat dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” adalah mengenai masalah yang menimpa perempuan, diantaranya masalah hak-hak perempuan, kekerasan terhadap perempuan dan kesehatan reproduksi perempuan. b. Superstruktur Superstruktur merupakan skematik/ skema atau alur. Skema dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” adalah membahas mengenai alur cerita dari pendahuluan sampai akhir. Diawali dengan Opening Bill Board (OBB) dan Sound Effect lalu Opening Shot, barulah memasuki bagian-bagian scene, yang menggambarkan keadaan diri masing-masing ketujuh cerita dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”. 119 120 c. Struktur Mikro Struktur yang paling rendah tingkatannya yaitu struktur mikro. Struktur mikro didalamnya terdiri dari sintaksis, stalistik, dan retoristik. Pada struktur mikro dijumpai pemaknaan kata-kata yang menunjuk dan memperkuat pesan bahwa, film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” merupakan film tentang permasalahan yang dialami oleh perempuan. 2. Dari Segi Kognisi Sosial Selain analisis teks, yang terdapat dalam dialog film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”, dilakukan penelitian atas kesadaran mental penulis skenario dalam memandang permasalahan perempuan. Bagaimana kepercayaan, pengetahuan, dan prasangka penulis skenario terhadap masalah yang menimpa perempuan. 3. Dari Segi Konteks Sosial Dalam konteks sosial, titik penting dari analisis ini adalah bagaimana makna dihayati bersama. Sesuai dengan film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”, yang bertemakan permasalahan perempuan. Dalam konteks realitas yang berkembang di masyarakat melalui suvei, artikel dan pemberitaan yang terdapat di korandan televisi, penulis menyimpulkan bahwa, realita sosial yang terjadi di masyarakat mengenai perempuan, yaitu banyaknya perempuan di Indonesia yang telah menjadi korban kekerasan, pelecehan seksual, woman trafficking, bahkan masalah ini meningkat setiap tahunnya. 121 B. Saran Berdasarkan hasil pengamatan dan penelitian penulis terhadapa skenario film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”, penulis ingin memberikan saran diantaranya: 1. Untuk pengembangan teori komunikasi, gender dan media, komunikasi media massa, dan pembelajaran komunikasi interpersonal. 2. Melalui mengkajian permasalahan film yang terkait dengan gender, maka diharapkan pengembangan kurikulum jurusan memuat pembelajaran mengenai gender dan media. 3. Sutradara khususnya Production House (PH) dalam membuat script diharapkan harus seimbang dengan teori dan realitas yang ada. 4. Gender merupakan isu yang sensitif, oleh karena itu diharapkan untuk menjadikan pelajaran kepada KPI agar melahirkan para jurnalis-jurnalis muda yang kemungkinan berkecimpung bekerja disini. DAFTAR PUSTAKA Antonisius ed, M. Metode Penelitian Komunikasi: teori dan aplikasi. Yogyakarta: Gitanyali. 2006. Ardianto, Elvinato. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. 2004 Arikunto, Suharsini. Produser Penelitian Suatu Pendekatan Praktek: Edisi Revisi IV. Jakarta: Renita Cipta. 1998 Bactiar, Phil. Sejarah Media Massa. Jakarta : Pusat Penerbitan Universitas Terbuka. 2000 Bungin,Burhan. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana. 2007 Chaer, Abdul. Pengantar Sematik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. 1989 Eriyanto. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara. 2008 Fakih, Mansour. Posisi Perempuan Dalam Islam, Tinjauan Analisis Gender Dalam Membicangkan Feminism; Diskursus Gender Prespektif Islam. Surabaya: Risalah Gusti. 1996 Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan praktik. Jakarta: PT. Bumi Aksara. 2013 Guntur Taringan, Hery. Pengajaran Sintaksis . Bandung: Angkasa. 1984 Hartiningsih, Maria. Gender dan Media Massa. Jakarta: 2003 Hasyim, Nur. Menggugat Harmoni. Yogyakarta: Rifka Annisa. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,. Jakarta: Balai Puataka. 2002 Kantor menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Women Support Project II/CIDA. Gender dan Pembangunan. 2001 Kayam, Umar Budaya Massa Indonesia. Prisma LP3ES. 1981 Kellner, Douglas. Media culture: Cultural Studies, Identity and Politics between the Modern and the Post Modern . USA and UK: Westvie Press. 1996. Kriyantono, Rachmat. Teknis Praktis Riset Komunikasi: Pengantar Burhan Bungin. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2006 Kusnawan, Aep Komunikasi dan Penyiaran Islam: Mengembangkan Tablig Melalui Media Mimbar, Media Cetak, Radio, Televisi, Film, Digital. Benang Merah Press: Bandung. 1994 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 32 Mac Bried, Sean. Komunikasi dan Masyarakat Sekarang dan Massa Depan. Jakarta: PN Balai. 1983 Mansur, Mustafa. Jalan Dakwah. Jakarta: Pustaka Ilmiah. 1994 Mulyana, Dedi. Kajian Wacana: Teori, Metode, dan Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2005 Parera, ID. Teori Sematik Erlangga. Jakarta: Erlangga. 2004 Pawito. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LkiS. 2007 Prakoso,Gatoto. Film Pinggiran – Ontologi Film pendek, Eksperimental dan Dokumenter. FFTV – IKJ dengan YLP. Fatma Press Pranajaya, Adi. Film dan Masyarakat sebuah Pengantar. Jakarta: BP SDM Citra Pusat Perfilman Haji Umar Ismail. 1999 Pratista, Himawa. Memahami Film.Yogyakarta: Homerian Pustaka. 2008 Rani, Abdul. Analisis Wacana Sebuah Kajian. Malang: Batu Media. 2004 Rosyidah Hermawati, Ida. Relasi Gender Dalam Agama-Agama. Jakarta: UIN Press. 2013 Shri Ahimsa, Heddy. Berbagai Pendekatan. Yogyakarta: Kepel Press. 2009 Siregar, Ashadi. Pasaribu, Rondang. dan Prihastuti, Ismay. Eksplorasi Gender di Ranah Jurnalisme. Yogyakarta: LP3Y & Galang Printika. 2002 Sutrisno, Mudji. Oase Estetis – Estetika dalam Kata dan Sketza.Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 2006 Sumbulah, Umi. Spektrum Gender. UIN-Malang Press. 2008 Sumarno, Dasar-Dasar Apresiasi Film. Jakarta : PT Grasindo. 1996 Sobur, Alex. Analisis Teks Media. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya. 2006 Uchjana Effendy, Onong. Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Citra Aditia Bakti. 2003 JURNAL Artkel: Observasi, http://jurnal.kominfo.go.id/index, Jurnal Dakwah dan Komunikasi. Gender dalam Konstruksi Media. Kekerasaan Seksual Terhadap Perempuan Perspektif Islam: KH. Husein Muhammad, http://www.komnasperempuan.or.id/2014/11. Rizkyan, Dedi. Isu Gender https://djongdjepara23.wordpress.com/2011/12/30, Dalam Studi Islam. HASIL WAWANCARA Hari/ Tanggal : Sabtu/ 11-April- 2015 Tempat : Kediaman Jajang C. Noer Narasumber : Jajang C. Noer 1. Pertanyaan: Menurut ibu Jajang sebagai pemain di film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” apa yang melatarbelakangi dibuatnya film ini? Jawaban : Yang saya tau awalnya film ini film pendek yang berjudul Aku Perempuan, kemudian film ini dibuatlah karena ada permintaan dari teman-teman yang ada di Australia. 2. Pertanyaan : Apa saja kendala ketika syuting film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” ? Jawaban : Waktu itu saya baru sembuh dari flu jadi suara saya hampir hilang, dalam keadaan serak saya paksakan ada beberapa bagian yang serak suara saya karena baru sembuh dari flu. Padahal syuting itu mesti hari itu gak bisa engga, dia udah sewa alat segala macam udah ngejadwalin yang lain jadi mesti hari itu, jadinya hilang suara saya udah sih itu aja. 3. Pertanyaan: Menurut ibu Jajang scene mana yang paling sulit? Jawaban : Engga ada… sebab saya bermain mengikuti lawan main saya jadi ga ada satu patokan. Saya kan jadi dokter nih, apa patokannya jadi dokter ya saya ga bisa jawab juga, bagaimana saya mencari tokoh karakter dokter gimana saya ga tau juga artinya saya ambil kesimpulan bagaimana saya mengupload menyingkapi, menghadapi pasien yang ini gitu, pasien yang ini dengan persoalan yang ini gitu jadi lain-lain bagaimana kita aja. 4. Pertanyaan: Inti dari film ini apa? Jawaban : Bahwa manusia dalam hal ini perempuan, perempuan dalam hal ini manusia itu punya bermacam-macam persoalan jadi ya bagaimana kita menyingkapinya dan itu terjadi dimasyarakat kita. 5. Pertanyaan: Dalam film ini terdapat unsur gender atau tidak? Jawaban : ada 6. Pertanyaan: Discene mana saja yang terdapat unsur gender? Jawaban : Dimana-mana ada istri yang teraniaya, ada dilecehkan, ada pelacur juga iya dia mau survive dengan caranya dia akhirnya dia bisa keluar dari situ ya padahal dia pelacur tapi dia dilecehkan. Mestinya sih ada ya tapi saya gak tau apalagi. 7. Pertanyaan: Menurut anda scene mana yang paling penting? Jawaban : Yang paling penting semua. 8. Pertanyaan: Lokasi pembuatan film ini dimana saja? Jawaban : Rumah Sakit Fatmawati tapi itu adengan yang di Rumah sakit ya, yang lain saya gak tahu deh macam-macam. 9. Pertanyaan: Berarti Rumah sakit itu lokasi utama? Jawaban: Iya kalau saya saja juga soalnya saya gak ada lokasi diluar itu. 10. Pertanyaan: Film ini diputar dimana saja? Jawaban: Di luar negeri yang saya tahu jelas di Australi, di Melbourne, Sidney untuk komunitas mahasiswa Indonesia yang disana ya. 11. Pertanyaan: Berapa Lama proses syuting film ini? Jawaban : Waktu itu saya seminggu tapi itu saya ya, gak tahu kalau yang lain mungkin kalau keseluruhannya 14 hari ya mungkin. 12. Pertanyaan: Anda di film ini kan berperan sebagai dr. Kartini apa pandangan ada mengenai permasalahan yang terjadi pada pasien anda? Jawaban: Ya bisa terjadi sih semua masalah-masalah yang digambarkan bisa terjadi itu realitas dan memang itu semua realitas itu Robby dapat dari tetangganya, saudaranya jadi dia tahu itu kasus-kasus itu benar bukan rekayasa. PROSES TRIANGULASI DATA Nama : Jajang C. Noer Jabatan: Pemeran Utama No. Butir 1. Pertanyaan/ Jawaban Kata Kunci Menurut ibu Jajang sebagai pemain di film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” apa yang melatarbelakangi dibuatnya film ini? Jawaban : Yang saya tau awalnya film ini film pendek yang berjudul Aku Perempuan, kemudian film ini dibuatlah karena ada permintaan dari temanteman yang ada di Australia. Latar belakang pembuatan film Film pendek Perempuam Hubungan Antar Kata Kunci Butir ke 1, Ibu Jajang menjelaskan tentang awal pembuatan film ini, berdasarkan permintaan komunitas temanteman yang berada di Australia. Teori Refleksi Dari data analisis, observasi dan wawancara dengan pemeran utama film “ 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” yaitu Jajang C. Noer mengungkapkan bahwa hal yang melatarbelakangi pembuatan fim ini yaitu berdasarkan permintaan komunitas mahasiswa Indonesia yang berada di Australia. Awalnya film ini hanya berupa film pendek yang bertemakan perempuan. Proses pembutan film ini berjalan selama kurang lebih 14 hari yang sebagian besar lokasinya adalah Sebuah film tidak akan lepas dengan unsur sinematik dan narasi. Aspek cerita dan tema sebuah film terdapat didalam narasi. Cerita dikemas dalam bentuk skenario, yang akan mengarahkan jalan cerita film. Didalam skenario kita dapat melihat unsur-unsur seperti tokoh, masalah, konflik, lokasi, dan waktu. Seluruh unsur-unsur tersebut membentuk sebuah jalinan peristiwa terikat oleh sebuah aturan yaitu hukum kausalitas Rumah sakit Fatmawati. Semua scene dalam film ini mengandur unsur gender karena film ini mengangkat permasalahan yang terjadi pada perempuan di Indonesia. Film ini diangkat berdasarkan realitas yang ada yang terjadi disekitar lingkungan Robby Ertanto sebagai penulis skenario film ini. 2. Apa saja kendala ketika syuting film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” ? Jawaban : Waktu itu saya baru sembuh dari flu jadi suara saya hampir hilang, dalam keadaan serak saya paksakan ada beberapa bagian yang serak suara saya karena baru sembuh dari flu. Padahal syuting itu mesti hari itu gak bisa engga, dia udah sewa alat segala macam udah ngejadwalin yang lain jadi mesti hari Kendala syuting Flu Butir ke 2 menjelaskan tentang kendala yang terjadi pada saat proses pembuatan film. Film berperan sebagai pengalaman dan nilai. itu, jadinya hilang suara saya udah sih itu aja. 3. 4. Menurut ibu Jajang scene mana yang paling sulit? Jawaban : Engga ada… sebab saya bermain mengikuti lawan main saya jadi ga ada satu patokan. Saya kan jadi dokter nih, apa patokannya jadi dokter ya saya ga bisa jawab juga, bagaimana saya mencari tokoh karakter dokter gimana saya ga tau juga artinya saya ambil kesimpulan bagaimana saya mengupload menyingkapi, menghadapi pasien yang ini gitu, pasien yang ini dengan persoalan yang ini gitu jadi lain-lain bagaimana kita aja. Inti dari film ini apa? Jawaban : Bahwa manusia dalam hal ini perempuan, perempuan dalam hal ini manusia itu punya bermacam-macam persoalan jadi ya bagaimana kita menyingkapinya dan itu Tokoh Karakter Scene Butir ke 3, menurut informan tidak ada scene yang sulit karena bermain mengikuti lawan mainnya. Film dapat digunakan sebagai alat propaganda, karena film dianggap memiliki jangkauan, realism dan popularitas yang hebat. Upaya pengembangan pesan dengan hiburan sudah lama diterapkan dalam kesastraan dan drama. Film Permasalahan perempuan Butir ke 4, menjelaskan inti dari film ini adalah perempuan dengan berbagai permasalahanya. Media massa yang seharusnya menjadi “watchdog” bagi kekuasaan, justru terjerumus menjadi pelestari kekuasaan hanya karena lemahnya kemampuan profesional dan etika media massa. Akibatnya, perempuan menjadi korban dari aroganisme pelanggengan kekuasaan. Ketiga, kurangnya peran aktif dan representasi perempuan dalam media terjadi dimasyarakat kita. 5. Dalam film ini terdapat unsur gender atau tidak? Jawaban : ada Unsur Gender Butir ke 5, menjelaskan bahwa film ini mengandun unsur gender. massa menjadikan perempuan sulit untuk keluar dari posisi keterpurukannya saat ini. Debra Yatim mengungkapkan bahwa media massa Indonesia dikuasai oleh budaya patriarkhi dan kapitalisme dengan dominasi laki-laki di dalamnya. Media seharusnya meningkatkan jumlah praktisi perempuan serta menempatkan perempuan tidak lagi sebagai objek, tetapi berperan aktif sebagai subjek. Keempat, perlu pengubahan paradigma pada media massa berkaitan dengan pencitraan perempuan yang selama ini dipakai. Pencitraan perempuan dalam media, yang selama ini cenderung seksis, objek iklan, objek pelecehan dan ratu dalam ruang publik, perlu diperluas wacananya menjadi perempuan yang mampu menjadi subjek dan mampu menjalankan peran– peran publik dalam ruang publik. Gender adalah seperangkat sikap, peran, tanggung jawab, fungsi, hak, dan perilaku yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan akibat bentukan suatu budaya atau lingkungan masyarakat dimana manusia itu tumbuh dan dibesarkan , yang bisa berbeda antara satu masyarakat lain. Artinya perbedaan sikap, sidat dan perilaku yang dianggap khas perempuan atau khas laki-laki atau lebih popular dengan sebutan feminitas dan maskulinitas yang dibentuk, dibuat dan dikonstruksi masyarakat diberbagai sektor kehidupan manusia. 6. Discene mana saja yang terdapat unsur gender? Jawaban : Dimana-mana ada istri yang teraniaya, ada dilecehkan, ada pelacur juga iya dia mau survive dengan caranya dia akhirnya dia bisa keluar dari situ ya padahal dia pelacur tapi dia dilecehkan. Mestinya sih ada ya tapi saya gak tau apalagi. Scene Gender Dilecehkan Teraniaya Butir ke 6, menjelaskan scene-scene mana saja yang terdapat unsur gender. Ketidakadilan gender (Gender inequalitas) merupakan sistem dan struktur dimana kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Menurut Umi Sumbullah dalam buku Spektrum Gender, perbedaan gender yang menyebabkan ketidakadilan maka dapat dilihat dari berbagai manifestasinya, yaitu sebagai berikut : a. Marginalisasi Sesunguhnya, timbulnya kemiskinan yang terjadi dalam masyarakat dan Negara merupakan sebagai akibat dari proses marginalisasi yang menimpa kaum laki-laki dan perempuan yang disebabkan oleh berbagai kejadian antara lain, penggusuran, bencana alam, atau proses eksploitasi. Bentuk marginalisasi yang paling dominan terjadi terhadap kaum perempuan yang disebabkan oleh gender. Meskipun tidak setiap bentuk marginalisasi perempuan disebabkan oleh ketidakadilan gender (gender inequalitas). Namun yang dipermasalahkan disini adalah bentuk marginalisasi yang disebabkan oleh perbedaan gender (gender differences). Perbedaan gender ini sebagai akibat dari bebarapa perbedaan jenis dan bentuk, tempat, waktu, serta mekanisme dari proses marginalisasi kaum perempuan. Perbedaan gender ini bila ditinjau dari sumbernya dapat berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsir agama, keyakinan tradisi dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan. Misalnya, program pertanian revolusi hijau (green revolution) yang hanya memfokuskan terhadap petani lakilaki. Sehingga perempuan desa tersingkir dan menjadi miskin. Hal ini disebabkan karena ada asumsi bahwa petani itu identik dengan jenis kelamin laki-laki sehingga banyak petani kaum perempuan yang tersingkir dari sawah. Bentuk marginalisasi terhadap kaum perempuan juga terjadi dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur bahkan Negara. Jadi tidak hanya terjadi dalam ranah pekerjaan saja. Didalam rumah tangga, marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi dalam bentuk diskriminasi atas angota kelurga yang laki- laki dan perempuan. Timbulnya marginalisasi ini dikarenakan diperkuat oleh tafsir keagamaan maupun adat istiadat. Misalnya memberian hak waris didalam sebagian tafsir keagamaan porsi untuk laki-laki lebih besar dari perempuan. b. Subordinasi Subordinasi timbul sebagai akibat pandangan gender terhadap kaum perempuan. Sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting muncul dari adanya anggapan bahwa perempuan itu emosional atau irasional. Sehingga posisi perempuan dipandang tidak layak menjadi pemimpin atau memimpin. Proses subordinasi yang disebabkan karena gender terjadi dalam segala macam bentuk mekanisme yang berbeda dari waktu kewaktu dan dari tempat ketempat. Dalam kehidupan dimasyarakat, rumah tangga dan bernegara banyak kebijakan yang dikeluarkan tanpa menganggap penting perempuan. Dalam rumah tangga misalnya dalam kondisi keuangan rumah tangga yang terbatas, masih sering terdengar adanya priorotas untuk bersekolah bagi laki-laki di banding perempuan. Karena ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggitinggi, karena pada akhirnya kelak juga masuk dapur juga. Hal inilah sesunguhnya muncul dari kesadaran gender yang tidak adil. c. Stereotipe Stereotipe adalah Pelabelan atau penandaan negatif terhadap kelompok atau jenis kelamin tertentu. Akibat dari setereotip ini biasanya timbul diskriminasi dan berbagai ketidak adilan. Salah satu bentuk dari stereotip ini salah satunya bersumber dari pandangan gender. Banyak sekali bentuk stereotype yang terjadi di masyarakat yang dilekatkan kepada umumnya kaum perempuan. Sehingga berakibatmenyulitkan, membatasi, memiskinkan, dan merugikan perempuan. Misalnya , ketika kaum perempuan pulang larut malam disini pada umumnya masyarakat mempunyai pelabelan yang negative. Misalkan lagi, adanya keyakinan bahwa laki-laki bertugas mencari nafkah, maka setiap pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan dianggap sebagi suatu tambahan saja sehingga pekerja perempuan dibayar lebih rendah disbanding laki-laki. d. Violence Kekerasan atau disebut Violence merupakan invasi (assoult) atau serangan terhadap fisik, maupun integralisasi mental psikologi seorang yang dilakukan terhadap jenis kelamin tertentu umumnya perempuan sebagai akibat dari perbedaan gender. Bentuk dari kekerasn ini seperti pemerkosaan, pemukulan hingga pada bentuk yang lebih halus lagi. Misalkan, pelecehan sexual ( sexual harassmen) dan penciptaan ketergantungan. Violence terhadap perempuan banyak sekali terjadi karena stereotype gender. Pemerkosaan yang merupakan salah satu bentuk Violence yang sering kali terjadi sebenarnya disebabkan bukan karena unsur kecantikan melainkan karena kekuasaan dan streotipe gender yang dilekatkan kepada kaum perempuan. Gender violence pada dasarnya disebabkan karena ketidak setaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Violence yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender-relative violence. Adapun bentuk dan macam kejahatan yang masuk dalam kategori gender violence meliputi sebagai berikut: 1) Bentuk pemerkosaan terhadap perempuan, perkosaan dalam perkawinan juga termasuk didalamnya. Artinya pemerkosaan yang terjadi jika seseorang untuk mendapatkan pelayanan seksual dilakukan secara paksa tanpa kerelaan dari yang bersangkutan. Munculnya ketidakrelaan ini seringkali tidak bisa terekspresikan yang disebabkan oleh faktor, misalnya malu, ketakutan, keterepaksan baik dari segi ekonomi, sosial maupun cultural sehingga tidak ada pilihan lain. 2) Serangan fisik dan tindakan pemukulan yang terjadi dalam rumah tangga (domestic Violence), termasuk diantaranya penyiksaan terhadap anak-anak (child abouse). 3) Penyiksaan yang mengarah pada organ alat kelamin (genital mutilation). Misalnya penyunatan terhadap anak perempuan. Penyunatan ini dilakukan berbagi alasan dan mitos dalam masyrakat tertentu. Namun sekarang sudah jarang didengar penyunatan terhadap perempuan. 4) Pelacuran (Prostitution) merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan denagan motif ekonomi. Dalam hal ini pelacur dianggap rendah oleh masyarakat namun tempat praktiknya selalu saja ramai dikunjungi. 5) Pornografi merupakan jenis kekerasan lain terhadap perempuan. Jenis kekerasan ini termasuk kekerasan non fisik yakni berupa pelecehan terhadap kaum perempuan diman tubuh perempuan dijadikan objek demi keuntungan pribadi. 6) Kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam bentuk program keluarga berencana. Dalam rangka mengontrol pertumbuhan penduduk, perempuan seringkali dijadikan korban demi program tersebut. 7) Jenis kekerasan terselubung (molestation) yakni menyentuh/memegang bagian tertentu dari tubuh perempuan dengan berbagai cara dengan kesempatan tanpa kerelaan si pemilik tubuh. Jenis kekerasan ini sering terjadi ditempat pekerjaan atau ditempat angkutan umum seperti Bis. 8) Tindakan kejahatan terhadap perempuan dalam pelecehan seksual ada beberapa macam diantaranya: a) Menyampaikan lelucon jorok secara vulgar pada seseorang dengan cara yang dirasakan secara ovensif. b) Menyakiti atau membuat malu dengan omongan jorok. c) Menginterogasi seseorang tentang kegiatan seksualnya atau kehidupan pribadinya. d) Meminta imbalan seksual dalam rangka janji untuk mendapatkan sebuah pekerjaan. e) Menyentuh atau menyenggol bagian tubuh tanpa seizin dari yang bersangkutan. e. Beban Kerja Peran gender perempuan dalam anggapan masyarakat luas adalah mengelola rumah tangga sehingga banyak perempuan yang menangung beban kerja domestik lebih banyak dibanding laki-laki. Pada umumnya kaum perempuan memiliki sifat memelihar dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga. Dalam hal ini, berakibat semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Bahkan, bagi kalangan keluarga miskin, beban yang harus ditanggung oleh perempuan sangat berat apalagi jika si perempuan ini harus bekerja diluar sehingga harus memikul beban kerja yang ganda. Bagi kelompok masyarakat yang memiliki ekonomo cukup, beban kerja sering kali dilimpahkan kepada pembantu rumah tangga (domestic worker). Dengan demikian sebenarnya kaum perempuan ini merupakan korban dari bias gender di masyarakat. 7. Menurut anda scene mana yang paling penting? Jawaban : Yang paling penting semua. Scene Butir ke 7, menurut informan bahwa semua scene yang terdapat pada film ini merupakn scene penting. 8. 9. 10. Lokasi pembuatan film ini dimana saja? Jawaban : Rumah Sakit Fatmawati tapi itu adengan yang di Rumah sakit ya, yang lain saya gak tahu deh macammacam Berarti Rumah sakit itu lokasi utama? Jawaban: Iya kalau saya saja juga soalnya saya gak ada lokasi diluar itu. Lokasi syuting Lokasi utama Rumah sakit Film ini diputar dimana saja? Jawaban: Di luar negeri yang saya tahu jelas di Australi, di Melbourne, Sidney untuk komunitas mahasiswa Indonesia yang disana ya. Pemutaran film Di luar negeri Butir ke 8 dan 9, menjelaskan bahwa lokasi utama proses pembuatan film ini adalah rumah sakit. Butir ke 10, menjelaskan bahwa pemutaran film ini tidak hanya di Indonesia namun juga di Australia. 11. 12. Berapa Lama proses syuting film ini? Jawaban : Waktu itu saya seminggu tapi itu saya ya, gak tahu kalau yang lain mungkin kalau keseluruhannya 14 hari ya mungkin Anda di film ini kan berperan sebagai dr. Kartini apa pandangan ada mengenai permasalahan yang terjadi pada pasien anda? Jawaban: Ya bisa terjadi sih semua masalahmasalah yang digambarkan bisa terjadi itu realitas dan memang itu semua realitas itu Robby dapat dari tetangganya, saudaranya jadi dia tahu itu kasuskasus itu benar bukan rekayasa Proses syuting Butir ke 11 menurut informan proses syuting berjalan secara keseluruhan 14 hari. Permasalahan perempuan Realitas Butir ke 12 menurut informan permasalah terhadapa perempuan bisa terjadi dimana saja dan menimpa siapa saja, film ini berdasarkan realitas yang terjadi dilingkungan sekitar Robby pembuat scenario film ini. Kekerasan terhadap perempuan adalah bentuk dari ketidakadilan gender. Fenomena ini merupakan akibat lebih lanjut dari stereotype masyarakat terhadap perempuan.Kekerasan terhadap perempuan terjadi dimana-mana. Di Indonesia kekerasan terhadap perempuan menunjukan peningkatan cukup berarti.Laporan Komnas perempuan dalam Catatan Tahunan tentang Kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2001 ada 3.169, pada tahun 2012 ada 216.156 dan tahun 2013 ada 279.688. Kekerasan tersebut mencakup fisik, psikis, ekonomi dan seksual. Konteks kekerasan seksual, selama 12 tahun (2001-2012 ), sedikitnya ada 35 perempuan korban kekerasan seksual setiap hari. Tahun 2012 tercatat 4.336 kasus kekerasan seksual, 2.920 diantaranya terjadi di ruang publik/komunitas. Mayoritas kekerasan seksual muncul dalam bentuk pemerkosaan dan pencabulan. Korban meliputi semua umur, dari balita hingga manula, rata-rata usia antara 13-18 tahun. ,/KEMENTERIAN AGAMA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI w wwew w333: Telepon/Fax . (021) 1 432728 I 7 47 03580 Jl. Ir. H. JuandaNo. 95 Ciputat 15412 lndonesia website: Nomor Lampiran Hal un.ot/F5/Pr : oo.oz f0L 11r1y ldkuiniakarta ac.id. E-rnail :r.lakrvahr'rllllli.uir1,1!.4Lic.iLl .lakartaf 12015 Februari 2015 Izin Penelitian (Skripsi) I(epada Yth, Robby Ertanto (Sutradara) di Tempat Assa I unt u' a I ai kum Llt r. W b. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menerangkan bahwa : Nama Astuti Nomor Pokok 10051000150 Jakarta, 2l Juli 1992 Tempat/Tanggal Lahir Semester .lurusan /Konsentrasi Alamat Telp. 11 X (Sepuluh) Komunikasi dan Penyiaran lslam Jl. Utan.lati RT 009/011 No. 70 089637804799 adalah benar mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang akan melaksanakan penelitian/mencari data daiam rangka penulisan skripsi berjudul Analisis Wacanq Isu Gencler tlulqrn Filnt 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita Karya Robby Ertanto. Sehubungan dengan itu, dimohon kiranya Bapak/lbu/Sdr. menerima./mengizir-rkan mahasiswa dimalisud. kami tersebut dalam dapat pelaksanaan kegiatan Dernikian, atas kerjasama dan bantuannya kami mer"rgr-rcapkan terinta ltasih. Was sal aruu' alaikum Wr. Wb. Dekan, ;': 'l:,.? f Subhan, MArf 601 10 199303 1 1004 Tembusan : 1. Wakil Dekan Bidang Akademik 2. Ketua JurusarVProdi, Kornunikasi dan Penyiaran Islam KEMENTEII,IAN AGAMA UNIVIIRSITAS ISLAM NEGERI (UTN) SYAIIIF HIDAYATT/LLAH JAKAITTA FAKULTAS ILMU DAKWAI] DAN ILMU KOMUN{IKASI I Nonror : L.ln.O1/F5/PP.00.9/4;B D015 Larrp : I ( satu) br"rndel elepon/Far t()l I r l:lllll8 r rl7(r-li8t) I,).lanLrari 20 I 5 .Takar1a, Ha1 : Birnbingan Skripsi I(epacia Yth. Rini Laili Prihatini, M.Si Dosen lrakuitas Ilr-nu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Sl arifll idayatul lah Jakarta As'.s'oIamu' olui kum Wr. Wb. Bersat'tta irti kami sampaikan or-rtline dan naskah proposal skripsi yang dia.jLrkan oleh mahasiswa [raliultas llnru Dal'*'ah clan llurLr l(onrLrnikasi UIN Syaril' FIicla_v-atullah Jakarra sebagai berikr"rt. Nama Nonror Poholt .l tr lLr saii/Ko n seitt ra s i Sentester Telp. Judul Sklipsi AstLrti I I r005 1000 t -r0 i(on'ii,rnikir:;i dan Pent,iaiiln Islant lX (Serrbilan) 08e63 7804799 Analisis Wacana Isu Gender dalant Irilm T f lati 7 Cinta 7 Wanita Kar-ni ttrohott ltesediaarlrl'a untult nrenrbirlbing r-nahasiswa tersebLrt clalant pellyustlnalt dan penyelesaiitn skripsirr\,'a selanra 6 (enant) bulan dari tanggal l4.lanLrari 201 5 s.d 14 .luli 201-5. Demikian. atas perhatian clarr kesediaannva kami srimperilian terinra kasih, L[/u.s'sal unu.r' ula i ku nt I,Vr 141b. itn.Dekan, Waliil t3iclang i\ltaclemik ,1.::. I Ternbusan 1. Dekan : 2. I(etua.lunrsan l(omuniliasi dan Penyiaran Islam (Kpl) 6.tr fq980i I 00rl /t4 ANALISIS WACANA ISU GENDER DA FILM 7 HATI 7 CINTA WANITA SKRIPSI Islarn Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Komunikasi drrn Penyiaran Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sa4ana K.omurikasi Islam (S.Kom.I) Oleh: ASTUTI NIM:1I100510001s0 PROCRAN,ISTUDIKOI\'IUNIKASIPEiYYIARANISLAI\I FAKULTAS ILMU DAI(WAII DAN KOMUNIKASI UNIVIIRSITAS ISLAM NEGERI SYARIF T'IIDAYATULLAH JAKARTA r436H/2014M. 7 J,, -