Sebuah Kaj

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ANTOLOGI PUISI O AMUK KAPAK
KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRIE
(Sebuah Kajian Stilistika)
SKRIPSI
Oleh:
WAHYUNINGTYAS DEWI INTANSARI
K1208051
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit
to user
Agustus
2012
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini
Nama
: Wahyuningtyas Dewi Intansari
NIM
: K1208051
Jurusan/Program Studi :
PBS/Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia
menyatakan bahwa skripsi saya berjudul ”ANTOLOGI PUISI O AMUK
KAPAK KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRIE (SEBUAH KAJIAN
STILISTIKA)” ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri. Selain itu,
sumber informasi yang dikutip dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam daftar pustaka.
Apabila pada kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini hasil
jiplakan, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan saya.
Surakarta,
Agustus
2012
Yang
membuat
pernyataan,
Wahyuningtyas Dewi Intansari
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ANTOLOGI PUISI O AMUK KAPAK
KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRIE
(Sebuah Kajian Stilistika)
Oleh:
WAHYUNINGTYAS DEWI INTANSARI
K1208051
Skripsi
diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan mendapatkan gelar
Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
Agustus 2012
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji
Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Surakarta, Agustus 2012
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr. Budhi Setiawan, M. Pd.
Dr. Nugraheni Eko Wardhani, M.Hum.
NIP 196105241989011001
NIP 197007162002122001
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima
untuk memenuhi salah satu persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Hari
:
Jumat
Tanggal :
10 Agustus 2012
Tim Penguji Skripsi
Nama Terang
Tanda Tangan
Ketua :
Dr.
Saddhono, S.S., M. Hum.
Kundharu
_______________
Sekretaris
:
Swandono., M. Hum.
Drs.
_______________
Anggota I
:
Setiawan, M. Pd.
Dr.
Budhi
_______________
Anggota II
:
Eko W., M. Hum.
Dr. Nugraheni
_______________
Disahkan oleh
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret
a.n. Dekan,
Prof. Dr. rer.nat. Sajidan, M. Si.
commit to user
NIP 19660415 199103 1 002
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
OTTO
Introspeksi diri merupakan cara yang tepat
untuk memaksimalkan kelebihan dan meminimalkan kelemahan.
Sahabat sejati tidak seperti bayangan. Ketika kita berada di tempat yang
terang dia berdiri tegak di belakang kita, akan tetapi ketika kita berada dalam
kegelapan dia hilang entah kemana.
Menangis mungkin tidak akan pernah menyelesaikan sebuah
permasalahan, tetapi itu lebih baik daripada kita mengeluarkan kemarahan yang
justru akan memperburuk keadaan.
Kadang-kadang sesuatu yang membuat kita tidak dihargai oleh orang lain
adalah karena kita kurang atau tidak bisa menghargai diri sendiri.
Keberhasilan berawal dari kepercayaan kita terhadap rahmat dan
kebesaran Tuhan serta usaha yang kita lakukan.
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Teriring syukurku pada-Mu, kupersembahkan karya ini untuk :
”Bapak Sutidjab, Ibu Sri Lestari serta Almarhumah Uti”
Untuk doa yang tiada putus dalam setiap langkahku, kasih sayang serta
pengorbanan yang tidak terbatas. Semuanya tidak akan pernah terganti bahkan
jika seluruh hidupku ku abdikan pada kalian. Semoga karya ini mampu menjadi
kebanggaan dan pengganti peluh serta cucuran air mata yang tertumpah untukku.
“Mas Yudo, Mas Wawan, Mas Andung dan Mas Didit”
Keempat kakak laki-laki yang selalu mendukung dan memberikan
semangat sehingga aku mampu menyelesaikan setiap tantangan dalam hidupku.
”Mbak Naning, Mbak Dian, Mbak Loly dan Mbak Yuyun”
Untuk nasihat dan pengalaman hidup yang telah dibagi. Terimakasih pula
telah menjadi bagian dari Keluarga Sutidjab.
”Arya, Raya dan Raka”
Untuk keceriaan dan celoteh riang yang mampu memberikan inspirasi
untuk Bulik dalam menulis.:)
”seseorang yang mengisi salah satu sudut hati”
Untuk kesabaran yang tidak pernah habis dan untuk hari-hari yang telah
dilewati bersama. Selalu berharap kebahagiaan yang akan menjemput kita.
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Wahyuningtyas Dewi Intansari. ANTOLOGI PUISI O AMUK KAPAK
KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRIE (SEBUAH KAJIAN
STILISTIKA). Skripsi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sebelas Maret Surakarta.Juli 2012.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: 1) gaya bunyi, 2)
gaya kata, 3) gaya kalimat dan 4) citraan dalam antologi puisi O Amuk Kapak
karya Sutardji Calzoum Bachrie.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu metode
yang memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan data, menganalisis dan
menginterpretasikan hubungan kausal fenomena yang diteliti. Data yang
diperoleh berupa dokumen yang terurai dalam bentuk kata-kata, bukan dalam
bentuk angka. Objek penelitian adalah tujuh puisi yang terdapat dalam Antologi
Puisi O Amuk Kapak karya Sutardji Calzoum Bachrie. Teknik pengumpulan data
adalah dengan simak, catat dan studi pustaka. Validitas data menggunakan teknik
triangulasi teori. Analisis data menggunakan teknik analisis mengalir.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam puisi-puisi Sutardji: (1) gaya
bunyi mendominasi, hal ini ditunjukkan dengan adanya aliterasi dan asonansi
dalam setiap puisi; (2) gaya kata sederhana mendominasi keseluruhan puisi, majas
yang digunakan adalah majas hiperbola, sinekdoke, personifikasi; (3) gaya
kalimat yyang sederhana tampak dalam masing-masing puisi, sarana retorika yang
terdapat dalam baris-baris puisi adalah repetisi atau pengulangan, erotesis atau
pertanyaan retorika, gaya bahasa klimaks dan polisindeton; (4) citraan yang
digunakan dalam puisi bervariasi, semua jenis citraan muncul dalam puisi
tersebut.
Simpulan penelitian ini adalah gaya bunyi yang terdapat dalam puisi-puisi
tersebut meliputi asonansi, aliterasi, dan kakafoni. Gaya kata didominasi oleh kata
sederhana yang bermakna denotatif. Bahasa figuratif yang digunakan antara lain
sinekdoke, personifikasi, hiperbola dan metafora. Gaya kalimat yang muncul
dalam puisi didominasi dengan kalimat sederhana. Gaya retorika yang terdapat
dalam puisi adalah repetisi, erotesis, polisindeton, dan klimaks. Citraan
merupakan aspek yang sangat mendominasi dalam puisi-puisi tersebut. Citraan
yang tampak meliputi citraan perabaan, citraan penglihatan, citraan pendengaran,
citraan gerak, citraan pencecapan dan citraan intelektual.
Kata kunci: puisi kontemporer, gaya bahasa, pendekatan stilistika
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang memberi
ilmu pengetahuan, inspirasi, dan kemuliaan. Atas kehendak-Nya penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul ”ANTOLOGI PUISI O AMUK KAPAK
KARYA
SUTARDJI
CALZOUM
BACHRIE
(SEBUAH
KAJIAN
STILISTIKA)”.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian dari persyaratan untuk
mendapatkan gelar Sarjana pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapat uluran tangan dan
bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan penuh kerendahan dan ketulusan
hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
2. Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni.
3. Ketua Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
4. Dr. Budhi Setiawan, M. Pd., selaku Pembimbing I, yang selalu memberikan
motivasi dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.
5. Dr. Nugraheni Eko W., S. S., M. Hum., selaku Pembimbing II, yang selalu
memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.
6. Drs. Swandono., M. Pd., selaku Pembimbing Akademik yang selalu
memberikan semangat dan dukungan.
7. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah
sudi membagi ilmu pengetahuan, wawasan dan pengalaman yang dimiliki
sehingga menjadi bekal berharga bagi penulis.
8. Segenap staf Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan serta para
petugas Perpustakaan Pusat UNS atas pelayanan yang telah diberikan.
9. Teman-teman P. Bastind khususnya angkatan 2008 atas kebersamaan,
commit to user
perhatian, dorongan dan kerjasamanya.
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
10. Bapak Ibu tercinta, serta keluarga besarku yang telah membantu doa dan
berbagai pengorbanan serta kasih sayang di dalam penyelesaian skripsi ini.
11. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak
mungkin disebutkan satu persatu.
Akhirnya, penulis sepenuhnya menyadari bahwa di dalam penelitian ini
masih ada kekurangan karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan. Oleh
karena itu, diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua
pihak untuk sempurnanya skripsi ini. Meskipun demikian, penulis berharap
semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya.
Surakarta,
Agustus 2012
Penulis
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
JUDUL..........................................................................................
i
PERNYATAAN ...........................................................................
ii
PENGAJUAN ...............................................................................
iii
PERSETUJUAN ...........................................................................
iv
PENGESAHAN............................................................................
v
ABSTRAK....................................................................................
vi
MOTTO ........................................................................................
vii
PERSEMBAHAN ........................................................................
viii
KATA PENGANTAR ..................................................................
ix
DAFTAR ISI ................................................................................
xi
DAFTAR TABEL ........................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................
xiv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................
1
B. Rumusan Masalah ...........................................................
5
C. Tujuan Penelitian .............................................................
5
D. Manfaat Penelitian ...........................................................
5
BAB II ....................................................... KAJIAN PUSTAKA
7
A. Kajian Teori .....................................................................
7
1. Puisi ............................................................................
7
a. Hakikat Puisi ..........................................................
7
b. Unsur-unsur Pembangun Puisi...............................
9
1) Struktur Fisik Puisi...........................................
10
2) Struktur Batin Puisi ..........................................
14
c. Karakteristik Puisi-puisi Sutardji C. B. .................
16
2. Stilistika ......................................................................
18
a. Hakikat Stilistika....................................................
commit
to user
b. Bidang Kajian
Stilistika
.........................................
18
xi
22
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Tujuan Stilistika .....................................................
49
B. Penelitian Relevan ...........................................................
50
C. Kerangka Berpikir ...........................................................
53
BAB III METODOLOGI PENELITIAN .....................................
56
A. Tempat danWaktu Penelitian ..........................................
56
B. Pendekatan dan Jenis Penelitian ......................................
57
C. Data dan Sumber Data .....................................................
57
D. Teknik Sampling .............................................................
57
E. Pengumpulan Data...........................................................
58
F. Validitas Data ..................................................................
58
G. Analisis Data ...................................................................
58
H. Prosedur Penelitian ..........................................................
59
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .............
61
A. Deskripsi Data .................................................................
61
B. Analisis Stilistika Puisi ...................................................
62
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN ..................... 104
A. Simpulan ......................................................................... 104
B. Implikasi .......................................................................... 105
C. Saran ................................................................................ 106
DAFTAR PUSTAKA ................................................................... 107
LAMPIRAN ................................................................................. 110
1. Sumber Data Penelitian ..................................................................... 110
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian ......................................
56
Tabel 2. Hasil Analisis Stilistika ........................................................... 103
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Berpikir ...............................................................
commit to user
xiv
55
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sastra merupakan hasil cipta, karya dan karsa manusia. Sastra sebagai hasil
kreasi manusia dapat pula diartikan sebagai buah pemikiran yang menunjukkan
keluhuran budi, kepekaan terhadap keadaan sosial dan merupakan sarana bagi
manusia untuk mengungkapkan pemikiran yang dibingkai dengan keindahan.
Sastra sebagai hasil pekerjaan seni manusia tidak akan pernah lepas dari bahasa
yang merupakan media utama dalam karya sastra. Bahasa dan manusia erat
kaitannya karena pada dasarnya keberadaan sastra sering bermula dari persoalan
dan permasalahan yang ada pada manusia dan lingkungannya, kemudian dengan
adanya imajinasi yang tinggi seorang pengarang menuangkan masalah-masalah
yang ada di sekitarnya menjadi sebuah karya sastra. Sastra sebagai sarana
komunikasi memiliki beberapa kelebihan, yaitu mampu menyampaikan makna
secara lugas dan tersirat. Kelebihan inilah yang membuat sastra tidak hanya
dinikmati keindahannya akan tetapi juga dipergunakan sebagai sarana komunikasi
antara penyair dengan penikmat karya sastra tersebut.
Karya sastra merupakan sebuah fenomena dan produk sosial sehingga yang
terlihat dalam karya sastra adalah sebuah entitas masyarakat yang bergerak, baik
yang berkaitan dengan pola struktur, fungsi, maupun aktivitas dan kondisi sosial
budaya sebagai latar belakang kehidupan masyarakat pada saat karya sastra itu
diciptakan (Tarigan, 2011: 67). Selanjutnya Endraswara (2011: 6), mengatakan
bahwa pada dasarnya antara sastra dan masyarakat terdapat hubungan yang
hakiki. Hubungan-hubungan yang dimaksudkan disebabkan oleh: (a) karya sastra
dihasilkan oleh pengarang, (b) pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat,
(c) pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat, dan (d) hasil
karya itu dapat dimanfaatkan kembali oleh masyarakat.
Bahasa sebagai medium dalam karya sastra mempunyai peran sentral,
selain sebagai sarana komunikasi juga harus memenuhi aspek estetika. Berbagai
commit
user efektifitas pengungkapan, yaitu
cara dilakukan agar aspek estetika
danto juga
1
2
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
disiasati, didayagunakan dan dimanipulasi sehingga tampil berbeda dengan bahasa
dalam karya nonsastra. Meskipun demikian, bahasa sastra tidak secara mutlak
menggunakan kalimat-kalimat konotatif. Kalimat denotatif tetap diperlukan selain
juga didukung dengan adanya kalimat konotatif untuk mencapai aspek estetika.
Salah satu karya sastra yang mempunyai keunikan, baik dari bentuk fisik
maupun pilihan katanya adalah puisi. Sebuah puisi mampu mengungkapkan isi
atau makna dari sebuah prosa yang terdiri dari ribuan kata. Puisi merupakan
rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang terpenting, diekspresikan dan
diubah dalam wujud yang berkesan (estetis). Kekuatan itulah yang menyebabkan
sebuah puisi memiliki kekuatan komunikasi literer yaitu tindak komunikasi yang
membutuhkan intensitas intelektual. Dengan demikian, akan dihasilkan puisi yang
merupakan perwakilan perasaan penyair dan pendokumentasian peristiwaperistiwa yang terjadi di sekitar penyair.
Puisi merupakan salah satu media dalam karya sastra yang menggambarkan
kehidupan dengan mengangkat masalah sosial dalam masyarakat. Persoalan sosial
tersebut merupakan tanggapan atau respon penulis terhadap fenomena
permasalahan yang ada di sekelilingnya, sehingga dapat dikatakan bahwa seorang
penyair tidak bisa lepas dari pengaruh sosial budaya masyarakatnya. Latar sosial
budaya
itu
terwujud
dalam
tokoh-tokoh
yang
dikemukakan,
sistem
kemasyarakatan, adat-istiadat, pandangan masyarakat, kesenian dan benda-benda
kebudayaan yang terungkap dalam karya sastra.
Eksistensi puisi di nusantara merupakan bukti bahwa puisi adalah jenis
karya sastra tertua. Perkembangan puisi dari masa ke masa menjadikan puisi
berkembang menjadi beragam jenis dengan karakteristik yang menyertai dan
membedakan masing-masing jenis. Jenis karya seni ini masing-masing
mempunyai ciri untuk mengungkapkan tujuan. Puisi merupakan suatu karya sastra
yang banyak digunakan untuk tujuan tersebut di samping karya seni lain. Puisi
sebagai karya sastra menggunakan bahasa sebagai medium untuk mengungkapkan
makna. Makna tersebut diungkapkan melalui sistem tanda yakni tanda-tanda yang
punya arti.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
3
digilib.uns.ac.id
Kepiawaian penyair dalam memilih kata dan menyusunnya mengambil
peran yang sangat penting dalam tercapainya makna atau maksud dari penulisan
puisi. Penulisan puisi bersifat khas yang membedakannya dengan bentuk prosa.
Penyajian puisi umumnya lebih mengutamakan imajinasi yang ditimbulkan.
Manipulasi bunyi dipergunakan untuk memperoleh keserasian bunyi dan irama
sehingga aspek keindahan dapat terwujud dalam sebuah puisi.
Kecermatan pengarang dalam mendayagunakan dan memanipulasi bunyi
akan menghasilkan suatu ciri khas dalam karyanya, yang disebut dengan gaya
bahasa. Gaya bahasa pada masing-masing periode penyair berbeda sebagai
cerminan kedalaman intuisi dan pengalaman. Penggunaan gaya bahasa yang
berbeda dalam mengunggapkan sebuah tema yang sama akan menghasilkan karya
yang berbeda.
Pada lingkupnya puisi diciptakan oleh seseorang dengan melukiskan dan
mengekspresikan watak-watak yang penting si pengarang, bukan hanya
menciptakan keindahan. Aminuddin (1997: 65) menyatakan dalam puisi misalnya
membutuhkan efek-efek emotif yang mempengaruhi karya sastra. Efek-efek
tersebut dapat diperoleh melalui aspek kebahasaan, paduan bunyi, penggunaan
tanda baca, cara penulisan dan lain sebagainya. Kriteria tersebut membantu dalam
menganalisis sebuah puisi.
Seiring dengan perkembangan peradaban manusia puisi juga mengalami
perkembangan, sehingga muncullah jenis puisi kontemporer. Puisi kontemporer
merupakan puisi modern yang lepas dari aturan-aturan puisi lama dan
mengembalikan puisi kepada bentuk asalnya yaitu sebagai mantra. Salah satu
penyair yang terkenal melalui puisi kontemporer adalah Sutardji Calzoum Bachrie
dengan antologi puisinya yang berjudul O Amuk Kapak.
O Amuk Kapak merupakan antologi puisi kontemporer karya Sutardji
dalam kurun tahun 1966-1979. Puisi-puisi yang terdapat didalamnya sebenarnya
diterbitkan dalam tiga buku, yaitu O, Amuk, dan Kapak. Ketiga buku yang
kemudian dijadikan sebuah antologi puisi ini berisikan 67 puisi yang sangat
menarik dikaji karena susunan dan kata yang dipergunakan berbeda dengan karya
commit to user
penyair pada umumnya.
4
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sutardji merupakan salah satu penyair fenomenal yang mengemukakan
jenis puisi kontemporer ketika para penyair lain memfokuskan puisinya pada
kedalaman makna. Sajak-sajaknya memperlihatkan seorang Sutardji sebagai
pembaharu perpuisian Indonesia. Terutama karena konsepsinya tentang kata yang
hendak dibebaskan dari kungkungan pengertian dan dikembalikannya pada fungsi
kata seperti dalam mantra.
Pemilihan kata, frasa, dan bunyi memegang peranan penting bagi puisi
kontemporer. Selain itu tipografi juga mendapat perhatian yang besar dari penyair
karena tata letak tiap kata menjadi penting dan mempengaruhi makna yang akan
dicapai. Ciri yang khas dari puisi modern pada umumnya inilah yang membuat
penulis tertarik untuk mengkaji puisi kontemporer pada antologi Puisi O Amuk
Kapak menggunakan sudut pandang stilistika yang mencoba menganalisis gaya
yang ditimbulkan dari penggunaan bahasa yang khas oleh pengarang.
Endraswara mengemukakan bahwa penelitian stilistika atau gaya bahasa
memang masih jarang dilakukan. Kalaupun ada yang pernah melakukan, biasanya
masih sepotong-potong dan kurang memadai (2011: 72). Bertolak dari pendapat
tersebut peneliti berkeinginan untuk berusaha mengkaji puisi kontemporer
menggunakan kajian stilistika. Puisi-puisi yang terdapat dalam antologi puisi O
Amuk Kapak karya Sutardji Calzoum Bachrie mencerminkan gaya yang khas dari
puisi kontemporer dan sesuai apabila dikaji menggunakan stilistika. Penelitian ini
dimulai dengan pendeskripsian gaya bunyi, gaya kata, gaya kalimat, dan citraan
sebagai wujud unsur kajian stilistika. Pengkajian terhadap empat aspek tersebut
diharapkan mampu memberikan sebuah kajian stilistika yang memadai dan
mampu mencapai tujuan penelitian stilistika, yaitu penilaian terhadap karya sastra
secara objektif dan ilmiah.Berdasarkan latar belakang di atas peneliti melakukan
penelitian yang dinyatakan dengan judul “Antologi Puisi O Amuk Kapak Karya
Sutardji Calzoum Bachrie (Sebuah Kajian Stilistika)”.
commit to user
5
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, dalam penelitian ini
dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu:
1. bagaimana gaya bunyi dalam Antologi Puisi O Amuk Kapak?
2. bagaimana gaya kata dalam Antologi Puisi O Amuk Kapak?
3. bagaimana gaya kalimat dalam Antologi Puisi O Amuk Kapak?
4. bagaimana citraan dalam Antologi Puisi O Amuk Kapak?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian berdasarkan perumusan masalah di atas adalah:
1. mendeskripsikan gaya bunyi dalam Antologi Puisi O Amuk Kapak.
2. mendeskripsikan gaya kata dalam Antologi Puisi O Amuk Kapak.
3. mendeskripsikan gaya kalimat dalam Antologi Puisi O Amuk Kapak.
4. mendeskripsikan citraan dalam Antologi Puisi O Amuk Kapak.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian mengenai Antologi Puisi O Amuk Kapak karya Sutardji Calzoum
Bachrie ditinjau dari sudut pandang stilistika diharapkan dapat memberikan
manfaat, baik teoretis maupun praktis.
a. Manfaat Teoretis
Meletakkan dasar bagi penelitian stilistika karya sastra yang lain. Hasil kajian
stilistika ini memberikan kontribusi bagi pengembangan linguistik studi
maupun terapan sekaligus dalam analisis karya sastra.
b. Manfaat Praktis
a. Bagi Pembaca
Memberikan informasi kepada pembaca mengenai bentuk gaya bahasa
yang digunakan dalam Antologi Puisi O Amuk Kapak karya Sutardji
Calzoum Bachrie.
b. Bagi Penulis
Menambah pengetahuan mengenai pemakaian gaya bahasa dalam kata
commit to user
maupun kalimat.
6
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Bagi Pendidik
Menambah pengetahuan pendidik mengenai stilistika dan implikasinya
terhadap materi pembelajaran bahasa Indonesia.
d. Bagi Peserta Didik
Menambah wawasan peserta didik tentang stilistika dan pemanfaatan gaya
bahasa dalam penulisan sebuah puisi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Puisi
a. Hakikat Puisi
Istilah puisi berasal dari Bahasa Yunani poeites, yang juga terdapat dalam
Bahasa Latin poeta yang artinya pembangun, pembentuk, pembuat. Pengertian ini
kemudian berkembang menjadi orang yang mencipta melalui imajinasinya, yang
bisa menebak kebenaran yang tersembunyi (Situmorang, 1980: 10).
Puisi adalah salah satu karya seni yang tua. Puisi hidup sejak manusia
menemukan kesenangan dalam bahasa. Kesenangan inilah yang menciptakan
keindahan dalam puisi baik melalui susunan kata maupun pada pilihan kata (diksi)
yang digunakan. Puisi merupakan bahasa yang multidimensional, yang mampu
menembus pikiran, perasaan dan imaji manusia yang memiliki sifat dan ciri
tersendiri. Hal inilah yang membedakan puisi dengan karya sastra lainnya.
Waluyo (1995: 22) mengemukakan bahwa dibanding karya sastra yang
lain, puisi lebih bersifat konotatif. Hal inilah yang menyebabkan bahasa dalam
puisi menjadi multitafsir (poliinterpretable). Sifat multitafsir yang terdapat dalam
puisi ini justru menjadi kekuatan akibat pemadatan dan pengkonsentrasian
kekuatan bahasa dalam puisi.
Menurut Situmorang (1980: 7) puisi merupakan penghayatan kehidupan
manusia yang dipantulkan oleh penciptanya dengan segala pribadinya, pikirannya,
perasaannya, kemauannya dan lain-lain. Dengan demikian, puisi tidak hanya
menjadi salah satu jenis karya sastra akan tetapi lebih dari itu melalui puisi kita
bisa melihat pemikiran dan sudut pandang pengarang dalam menyikapi sebuah
permasalahan.
Richards (dalam Sumardjo dan Saini, 1986: 124-125) mengemukakan
bahwa ada empat arti puisi. Pertama arti lugas, yaitu pendapat menyair mengenai
pokok pembicarannya (tema puisi). Kedua arti yang berhubungan dengan
to user yang dihadapinya. Ketiga arti
perasaan penyair terhadap pokokcommit
permasalahan
7
8
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang berhubungan dengan nada, bagaimana penyair mengungkapkan pikiran dan
perasaannya, dalam hal ini ada dua faktor yang sangat mempengaruhi yaitu,
pokok pembicaraan dan orang yang diajak bicara. Arti yang keempat berhubungan
dengan apa yang diinginkan penyair terhadap pembaca, namun dalam hal ini tidak
selalu penyair menginginkan agar ia dapat mempengaruhi pembaca. Seringkali
penyair hanya ingin menuangkan pikiran dan perasaan pribadinya melalui
karyanya.
Berbeda dengan pendapat di atas, Blake dan Shelley (dalam Aminuddin,
1997: 13) mengemukakan bahwa puisi bukan dianggap sebagai imitasi kehidupan
melainkan sebagai simbolisasi nilai yang terkandung dalam kehidupan. Makna
yang terkandung dalam puisi bukan apa yang dilihat melainkan esensi dari apa
yang terlihat.
Kekuatan puisi tidak hanya diperoleh melalui pilihan kata yang dianggap
mewakili pesan atau arti puisi, tipografi atau bentuk puisi ternyata juga mampu
menyampaikan maksud yang ingin dicapai oleh penyair. Sehubungan dengan hal
tersebut, Semi (1993: 137) mengemukakan bahwa puisi adalah penjelmaan
pikiran dan perasaan serta pengalaman jiwa penyair dalam bentuk tertentu. Bentuk
itu adalah lambang yang mewakili angan-angannya. Meskipun demikian, menurut
Pradopo (1987: 3) orang tidak akan dapat memahami puisi secara sepenuhnya
tanpa mengetahui dan menyadari bahwa puisi itu karya estetis yang bermakna,
yang mempunyai arti, bukan hanya sesuatu yang kosong tanpa makna.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa puisi
merupakan jenis karya sastra yang memiliki ciri khas, antara lain: bahasanya
padat tetapi kaya makna, dibangun oleh unsur intrinsik dan ekstrinsik yang
merupakan seni menuangkan pikiran, gagasan, dan perasaan melalui medium kata
yang terbatas. Tantangan dalam menghasilkan puisi yang indah bukan hanya
terletak pada kecermatan merangkai kata akan tetapi juga ketercapaian irama
musikal yang merdu, padu dan harmonis, sehingga hal yang diungkapkan melalui
puisi tersebut tersaji dengan nuansa yang berbeda dan perspektif baru yang segar.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
9
digilib.uns.ac.id
b. Unsur-unsur Pembangun Puisi
Puisi merupakan sebuah struktur yang terdiri dari unsur-unsur pembangun
yang bersifat padu, saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang
lainnya. Unsur pembangun ini selanjutnya dibagi menjadi dua, yaitu struktur fisik
dan struktur batin puisi.
Struktur fisik puisi terdiri atas diksi, pengimajian, kata konkret, majas,
versifikasi, dan tipografi puisi. Sedangkan unsur batin puisi terdiri atas tema,
nada, perasaan dan amanat (Waluyo, 1995: 28).
Pendapat yang senada juga dikemukakan oleh Richards. Berbeda dengan
Waluyo, istilah yang digunakan adalah hakikat puisi yang terdiri atas tema, nada,
perasaan dan amanat dan metode puisi yang terdiri atas diksi, pengimajian, kata
konkret, majas, rima dan ritma.
Menurut Semi (1993: 107-108) bahwa bentuk fisik dan mental sebuah puisi
pada dasarnya dapat pula dilihat sebagai suatu kesatuan yang terdiri dari tiga
lapisan. Pertama lapisan bunyi, yaitu lapisan lambang-lambang bahasa sastra yang
sering juga kita sebut sebagai bentuk fisik puisi. Kedua, lapisan arti, yaitu
sejumlah arti yang dilambangkan oleh struktur atau lapisan permukaan yang
terdiri dari lapisan bunyi bahasa. Lapisan ketiga yaitu lapisan tema yang
merupakan suatu “dunia” pengucapan karya sastra, sesuatu yang menjadi tujuan
penyair, atau sesuatu efek tertentu yang didambakan penyair. Lapisan arti dan
tema inilah yang dapat dianggap sebagai bentuk mental atau struktur batin sebuah
puisi.
Ada juga yang menyatakan bahwa unsur-unsur puisi secara bersamaan
tanpa ada pemisahan antara struktur batin dan struktur fisik. Badrun (1989: 6)
mengemukakan bahwa unsur puisi terdiri dari diksi, imajeri, sarana retorika,
bunyi, irama, tipografi, dan tema atau makna. Senada dengan pendapat Badrun,
Situmorang (1983: 27-36) juga menggabungkan unsur-unsur puisi menjadi judul,
arti kata, imajeri, simbol, bahasa figuratif, bunyi, rima, ritme (irama) dan tema.
Walaupun digabungkan antara struktur batin dan fisik sebenarnya apa yang
disampaikan mempunyai banyak persamaan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
10
digilib.uns.ac.id
1) Struktur Fisik Puisi
Struktur fisik puisi membahas bagaimana kreatifitas penyair dalam
menciptakan puisi. Oleh karena itu, Richards mengemukakan bahwa struktur fisik
ini sebagai metode puisi. Hal ini dapat dilihat pada pilihan kata penyair (diksi),
pengimajian, bagaimana kata-kata diperkonkret, penciptaan lambang dan kiasan
(majas), bagaimana versifikasi, serta bagaimana penyair menyusun tata wajah
puisi (tipografi) (Waluyo, 1995: 147). Unsur-unsur tersebut adalah sebagai
berikut:
a) Diksi
Pemilihan kata sangat erat kaitannya dengan hakikat puisi yang penuh
pemadatan. Oleh karena itu, penyair harus pandai memilih kata-kata. Penyair
harus cermat agar komposisi bunyi rima dan irama memiliki kedudukan yang
sesuai dan indah.
Menurut Waluyo (1995: 73) diksi dalam puisi memiliki peran yang sangat
penting. Pemilihan kata mempertimbangkan berbagai aspek estetis sehingga
bersifat absolut dan tidak bisa diganti dengan padan katanya sekalipun maknanya
sama.
Selain itu, Tarigan (2011: 29) mengemukakan diksi adalah pilihan kata
yang digunakan oleh penyair. Pilihan kata yang tepat dapat mencerminkan ruang,
waktu, falsafah, amanat, efek, dan nada dalam suatu puisi. Pemilihan kata yang
tepat dapat menjelmakan pengalaman jiwa dengan setepat-tepatnya. Diksi juga
merupakan kode budaya asal penyair, yang menjadi sebagian kunci untuk
memahami puisi.
b) Citraan
Citraan atau pengimajian (imagery) merupakan penggunaan bahasa untuk
menggambarkan objek-objek, tindakan, perasaan, pikiran, ide, pernyataan, pikiran
dan setiap pengalaman indera atau pengalaman indera yang istimewa. Dalam hal
ini yang dimaksud adalah citraan yang meliputi gambaran angan-angan dan
pengguna bahasa yang menggambarkan angan-angan tersebut, sedangkan setiap
gambar pikiran disebut citra atau imaji.
commit to user
11
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pengimajian ditandai dengan penggunaan kata konkret dan khas (Waluyo,
1995: 79). Secara spesifik menurut Tarigan (2011: 31) dalam menciptakan karya
penyair berusaha membangkitkan pikiran dan perasaan para penikmat sehingga
merekalah yang benar-benar mengalami peristiwa dan perasaan tersebut. Penyair
berusaha agar penikmat dapat melihat, merasakan mendengar, dan menyentuh apa
yang ia alami dan rasakan. Kajian citraan dalam rangka studi stilistika perlu
dilakukan karena studi stilistika mengkhususkan pada pemakaian bahasa secara
khusus (pemakaian gaya bahasa).
Pradopo (1987: 81-87) membagi citraan menjadi beberapa jenis yaitu (1)
visual imagery adalah citraan yang ditimbulkan oleh penglihatan, (2) auditory
imagery adalah citraan yang ditimbulkan oleh pendengaran, (3) citraan gerak
(movement imagery) yaitu citraan yang menggambarkan sesuatu yang secara
nyata tidak bergerak tetapi digambarkan mampu bergerak, (4) citraan yang
ditimbulkan oleh warna lokal (local colour). Imaji merupakan salah satu alat
kepuitisan yang digunakan oleh penyair untuk menarik perhatian pembaca bahkan
meyakinkannya
terhadap
realitas
yang
didendangkan
melalui
syairnya
(Situmorang, 1980: 20).
c) Kata-kata Konkret
Kata konkret merupakan kata yang dapat melukiskan dengan tepat,
membayangkan dengan jitu apa yang hendak dikemukakan oleh pengarang.
Penggunaan kata yang diperkonkret erat kaitannya dengan penggunaan bahasa
kiasan dan lambang. Kata konkret menurut Waluyo (1995: 81) merupakan syarat
atau sebab terjadinya pengimajian atau citraan.
Kepiawaian penyair dalam memperkonkret kata-kata maka pembaca seolah
dapat melihat, mendengar atau merasakan seperti apa yang dilukiskan oleh
penyair. Tarigan (2011: 32) mengungkapkan salah satu cara membangkitkan daya
bayang imajinasi para penikmat puisi adalah menggunakan kata-kata yang tepat,
kata yang dapat menyarankan suatu pengertian secara menyeluruh sehingga
pembaca dapat memahami arti sebuah puisi.
commit to user
12
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d) Bahasa Figuratif
Menurut Abrams (dalam Supriyanto, 2009: 55) bahasa figuratif adalah
penyimpangan penggunaan bahasa oleh penutur dari pemahaman bahasa yang
dipakai sehari-hari, penyimpangan dari bahasa standar, atau penyimpangan makna
kata atau rangkaian kata untuk memperoleh beberapa arti khusus atau efek
khusus. Adanya bahasa kiasan menurut Pradopo (1987: 62) menyebabkan sajak
menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama
menimbulkan kejelasan gambar angan. Waluyo (1995: 83) mengemukakan bahwa
bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan
banyak makna. Bahasa figuratif merupakan sarana bagi penyair untuk mengatakan
sesuatu dengan
cara
yang tidak biasa,
yakni
secara tidak
langsung
mengungkapkan makna. Bahasa figuratif ialah cara yang dipergunakan penyair
untuk membangkitkan dan menciptakan imagery dengan mempergunakan gaya
bahasa, gaya perbandingan, gaya kiasan, gaya perlambang sehingga makin jelas
makna atau lukisan yang hendak dikemukakannya (Situmorang, 1983: 22).
Menurut Endraswara (2011: 73) terdapat dua macam bahasa kiasan atau
stilistik kiasan, yaitu gaya retorik dan gaya kiasan. Gaya retorik meliputi
eufemisme, paradoks, tautologi, pleonasme, sarkasme dan sebagainya. Gaya
retorik menurut Kridalaksana (dalam Supriyanto, 2009: 55) merupakan alat untuk
memperluas makna kata atau kelompok kata untuk memperoleh efek tertentu
dengan membandingkan atau mengasosiasikan dua hal. Gaya kiasan menurut
Abrams (dalam Supriyanto, 2009: 56) terdiri dari simile (perbandingan), metafora,
metonimi, sinekdoke dan personifikasi. Sementara itu, Pradopo (1987: 62)
membagi bahasa kias menjadi tujuh jenis yaitu perbandingan, metafora,
perumpamaan, epos, personifikasi, metonimi, dan alegori. Menurut Ratna (2009:
164) majas (figure of speech) adalah pilihan kata tertentu sesuai dengan maksud
penulis atau pembicara dalam rangka memperoleh aspek keindahan.
e) Verifikasi
Rima, ritme dan metrum mempunyai makna yang berkaitan yang kemudian
disebut dengan verifikasi. Rima merupakan pengulangan bunyi dalam puisi yang
commit to atau
user orkestrasi (Waluyo, 1995: 90).
bertujuan untuk membentuk musikalitas
perpustakaan.uns.ac.id
13
digilib.uns.ac.id
Dengan pengulangan bunyi tersebut, puisi menjadi merdu dan menarik bila
dibaca. Rima memegang peranan penting dalam menciptakan keindahan sebuah
puisi. Menurut Semi (1993: 121) pengaruh rima dalam puisi sangatlah besar, ia
menyebabkan terjadinya rasa keindahan, timbulnya imajinasi, munculnya daya
pukau, dan lebih dari itu ia dapat memperkuat pengertian. Bentuk-bentuk rima
yang paling sering muncul adalah aliterasi, asonansi, dan rima akhir.
Bunyi-bunyi yang berulang, kemudian menimbulkan suatu gerak yang
teratur. Gerak yang teratur tersebut disebut ritme atau rhythm. Situmorang (1983:
22) mengemukakan bahwa irama atau ritme merupakan totalitas dari tinggi rendah
suara, panjang pendek suara, cepat lambatnya suara waktu membaca atau
mendeklamasikan sanjak. Masing-masing angkatan mempunyai perbedaan cara
mengulang hal-hal yang dipandang membentuk ritme.
Tarigan (2011: 35) mengatakan rima dan ritme memiliki pengaruh untuk
memperjelas makna puisi. Dalam kepustakaan Indonesia, ritme atau irama adalah
turun naiknya suara secara teratur. Sedangkan metrum adalah irama yang tetap,
pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu (Pradopo, 1987: 40). Selanjutnya
Short (1997: 127) mengemukakan bahwa metrum (metre) adalah lapisan ekstra
dari struktur irama pada puisi sebagai ciri khas.
Poetry has more marked, and more complex, rhythmic effecs than ordinary
language because it has an extra layer of rhythmic structuring, which is usually
called metre.
Selanjutnya Short (1997: 131) menambahkan jenis-jenis metrum yang
meliputi iamb (X/= „di dum‟), trochee (/X= „dum di‟), anapest (XX/= „di di
dum‟), dactyl (/XX= „dum di di‟).
f) Tata Wajah (tipografi)
Tata wajah atau tipografi merupakan salah satu ciri yang membedakan puisi
dengan karya sastra lain. Bentuk-bentuk puisi ini kemudian semakin berkembang
tidak hanya berbentuk konvensional yaitu bait namun mengikuti pemikiran
penyair yang semakin kreatif.
Istilah tipografi secara harfiah berasal dari seni mencetak dengan desain
khusus, susunan atau rupa (penampilan)
commit tobarang
user cetak. Tipografi berhubungan
perpustakaan.uns.ac.id
14
digilib.uns.ac.id
dengan unsur visual puisi yang mempunyai peranan cukup penting karena dapat
menarik perhatian pembaca. Selain itu tipografi dapat juga membantu pembaca
memahami makna atau situasi yang tergambar dalam puisi (1989: 87).
Menurut Waluyo (1995: 97) cara penulisan sebuah teks sebagai larik-larik
yang khas menciptakan makna tambahan. Makna tambahan itu diperkuat oleh
penyajian tipografi puisi. Dalam puisi-puisi Sutardji C. B. tipografi dipandang
begitu penting sehingga menggeser kedudukan makna kata-kata.
2) Struktur Batin Puisi
Struktur batin berperan untuk menjiwai sebuah puisi. Dalam hal ini
menurut Nurhayati (2008: 40-43) hakikat puisi terdiri atas beberapa komponen
yang membangun sebuah puisi. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut:
a) Tema (sense)
Tema merupakan gagasan atau ide pokok dalam suatu kajian puisi. Hal
yang menjadi pokok persoalan dalam puisi tersebut. Setiap puisi memiliki pokok
persoalan yang hendak disampaikan kepada pembacanya. Pokok permasalahan
dalam sebuah puisi mengacu pada penyair.
Menurut Tarigan (2011: 10-11) dalam puisi memiliki subject matter yang
hendak dikemukakan atau ditonjolkan. Hal ini dapat dipengaruhi oleh
pengalaman-pengalaman penyair. Makna yang terkandung dalam subject
matter adalah sense atau tema dalam puisi tersebut.Waluyo (1995: 107)
mengemukakan bahwa tema puisi bersifat lugas, obyektif dan khusus.
Puisi sebagai hasil cipta penyair merupakan media yang digunakan oleh
penyair untuk berkomunikasi dengan pembacanya. Berbagai pengalaman, baik
yang dialami langsung maupun yang disaksikan oleh penyair dituangkan dalam
larik-larik puisi.
b) Perasaan (feeling)
Perasaan merupakan sikap penyair terhadap pokok persoalan yang terdapat
dalam puisinya. Dalam hal ini pada umumnya setiap penyair tentunya akan
memiliki pandangan yang berbeda terhadap suatu karya. Menurut Tarigan (2011:
commit to user
15
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
12) rasa (feeling) yaitu merupakan sikap penyair terhadap pokok permasalahan
yang ada pada puisinya.
Pada kenyataanya setiap manusia mempunyai sikap dan pandangan tertentu
terhadap suatu permasalahan. Perasaan itulah yang kemudian dituangkan oleh
penyair dalam puisinya dengan menggunakan ungkapan-ungkapan tertentu.
Perasaan (feeling) adalah gambaran perasaan yang dialami oleh penyair
dalam proses penciptaan puisinya. Perasaan yang diungkapkan penyair
berpengaruh terhadap pemilihan bentuk fisik (metode) puisi (Waluyo, 1995: 124).
c) Nada (tone)
Tarigan (2011: 13) mengemukakan bahwa nada adalah sikap penyair
terhadap pembaca puisi yang berkenaan dengan pokok permasalahan yang
dikemukakan dalam puisinya. Nada merupakan refleksi sikap penyair terhadap
pembacanya, baik suasana hati, dan pandangan moral, dan terkadang muncul pula
karakter kepribadian pengarangnya tercemin dalam puisi.
Penyair menunjukkan pula sikapnya kepada pembacanya, misalnya dengan
sikap menggurui, menyindir atau bersifat lugas. Dengan adanya nada pada puisi,
menurut Waluyo (1995: 130) menjadikan puisi bukan hanya ungkapan yang
bersifat teknis, namun suatu ungkapan yang bersifat total karena seluruh aspek
psikologis penyair turut terlibat.
d) Amanat (intention)
Amanat adalah hal yang dapat dipahami oleh pembaca setelah pembaca
memahami tema dan nada dari puisi tersebut. Amanat merupakan hal yang
mendorong penyair untuk menciptakan puisinya (Waluyo, 1995: 130). Dalam hal
ini penyair menciptakan puisinya dan amanat secara tidak langsung muncul
melalui tema yang diungkapkan. Amanat berhubungan dengan makna karya sastra
dan bersifat interpretatif, yaitu setiap orang bisa mempunyai penafsiran yang
berbeda terhadap karya sastra yang sama.
commit to user
16
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Karakteristik Puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachrie
Periodisasi puisi terbagi manjadi beberapa angkatan. Pada masing-masing
angkatan terdapat karakteristik yang menjadi pembeda dan menjadi ciri khas.
Pada angkatan 1966, ciri yang dominan adalah puisi yang menggunakan kata-kata
sebagai mantra. Bentuk fisik puisi ditempatkan dalam kedudukan terpenting.
Untuk tujuan-tujuan tersebut, ada beberapa cara yang dilakukan oleh Sutardji
dalam puisinya yang kemudian disebut dengan puisi kontemporer.
Pada setiap puisi Sutardji terdapat penyimpangan-penyimpangan bahasa
yang sengaja dilakukan untuk menciptakan “keanehan” yang pada masa itu belum
pernah secara intensif dilakukan oleh penyair lain. Penyimpangan itu antara lain
berupa
penghapusan
tanda
baca,
pemutusan
kata,
pembalikan
kata,
penggandengan dua kata atau lebih, penghilangan imbuhan, pembentukan jenis
kata dari jenis kata lain tanpa mengubah bentuk morfologinya. Penyimpangan ini
dapat ditemukan pada semua puisi ciptaan Sutardji (Pradopo, 1987: 106).
Penghapusan tanda baca menciptakan efek kegandaan tafsir dan
mengakibatkan bait-bait puisi sebagai mantra yang terdiri dari kata yang berulang,
berderet tanpa koma. Puisi yang tidak menggunakan tanda baca ini menarik
perhatian pembaca atau penikmatnya atas ucapan yang berturut-turut tersebut.
Contoh puisi yang menggunakan sedikit tanda baca adalah puisi Mantera.
MANTERA
lima percik mawar
tujuh sayap merpatu
sesayat langit perih
dicabik puncak gunung
sebelas duri sepi
dalam dupa rupa
tiga menyan luka
mengasapi duka
puah!
kau jadi Kau!
Kasihku
commit to user
17
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tanda seru dalam puisi di atas digunakan untuk menegaskan serta
menambah efek puitis.
Puisi-puisi Sutardji juga mempunyai ciri kata yang digabungkan, sehingga
seolah-olah kata-kata tersebut menjadi satu kata dan mempunyai satu pengertian
yang tak terpisahkan. Penggabungan kata belum pernah dilakukan dalam dunia
puisi Indonesia. Efek yang ditimbulkan dari penggabungan kata adalah
penyangatan dan melebih-lebihkan.
Penghilangan imbuhan merupakan salah satu ciri Sutardji dalam
menciptakan puisinya. Tanpa imbuhan kata yang tersusun menjadi lebih berirama
dan mendapatkan daya ekspresi yang penuh karena kepadatannya.
Hal lain yang dilakukan Sutardji dalam puisinya yang kemudian menjadi
ciri pembeda dengan penyair lain adalah pemutusan kata. Kata-kata diputus-putus
menjadi suku kata atau dibalik suku katanya sehingga menarik perhatian dan
memberikan makna baru atau malah sebaliknya, kata-kata tersebut menjadi
kehilangan makna yang kemudian memunculkan sugesti kesia-siaan atau arti yang
tidak sempurna lagi. Sajak yang sangat terkenal dan menggunakan pemenggalan
kata adalah Tragedi Winka & Sihka. Dalam sajak tersebut kata “kawin” dan
“kasih” dipenggal-penggal sedemikian rupa dan disusun secara zigzag.
Kepiawaian Sutardji dalam membentuk kata-kata benda atau kata kerja
langsung menjadi kata keadaan atau sifat juga menjadikan puisi-puisi
kontemporer menjadi berbeda pada umumnya. Pada puisi yang berjudul Solitude
dapat dilihat kreatifitas Sutardji mengubah kata kerja menjadi kata sifat.
Solitude
yang paling mawar
yang paling duri
yang paling sayap
yang paling bumi
yang paling pisau
yang paling risau
yang paling nancap
yang paling dekap
commit to user
18
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
samping yang paling
Kau!
Dengan ucapan seperti di atas semua kata menjadi baru, segar dan
ekspresif. Selain itu bentuk yang berbeda dengan karya sastra, terutama puisi pada
umumnya menjadi sebuah ciri khas bagi karya Sutardji Calzoum Bachrie.
2. Stilistika
a. Hakikat Stilistika
Stilistika (stylistic) dapat diterjemahkan sebagai ilmu tentang gaya. Secara
etimologis stylistic berhubungan dengan kata style yang berarti gaya. Aminuddin
(1997: 13) mengemukakan style dapat diartikan sebagai bentuk pengungkapan
ekspresi kebahasaan sesuai dengan kedalaman emosi dan sesuatu yang ingin
direfleksikan pengarang secara tidak langsung. Menurut Keraf (2000: 112) istilah
style yang berasal dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat tulis yang berkembang
maknanya menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan
kata-kata secara indah.
Dengan demikian stilistika adalah ilmu pemanfaatan gaya bahasa dalam
karya sastra, penggunaan gaya bahasa secara khusus dalam karya sastra, gaya
bahasa yang muncul ketika pengarang mengungkapkan idenya. Gaya bahasa ini
merupakan efek seni dan dipengaruhi oleh hati nurani. Melalui gaya bahasa itu
seorang penyair mengungkapkan idenya. Pengungkapan ide yang diciptakan
melalui keindahan dengan gaya bahasa pengarangnya (Endraswara, 2011: 72-73).
Atmazaki (1990: 93) mengemukakan stilistika sebagai ilmu mengenai
penggunaan bahasa dalam karya sastra yang berpusat kepada pemakaian bahasa.
Obyek kajiannya adalah karya sastra, karya yang sudah ada. Jadi kajian terhadap
suatu karya sastra dari sudut pandang stilistika tidak menyangkut bagaimana
proses penciptaan karya sastra tersebut.
Chvatik (dalam Aminuddin, 1997: 21) mengemukakan bahwa stilistik
sebagai studi bahasa dalam teks sastra merujuk pada bentuk penggunaan bahasa
sebagai kode estetik, sebagai hasil kreasi seni yang memiliki ciri semantis dan isi
commit to user
tertentu.
perpustakaan.uns.ac.id
19
digilib.uns.ac.id
Style is the aesthetic quality of the highest semantic and content synthesis of a
work which is realized in the aesthetic object throught the receptive activity of the
receiver. Whithout an understanding of the style of a work its specific artistic
semantic system, its over all artistic meaning, cannot be adequately interpreted.
Melalui ide dan pemikirannya pengarang membentuk konsep gagasannya
untuk menghasilkan karya sastra. Namun yang menjadi perhatian adalah
kompleksitas dari kekayaan unsur pembentuk karya sastra yang dijadikan sasaran
kajian adalah wujud penggunaan sistem tandanya.
Secara sederhana menurut Sudiman dikutip Nurhayati (2008: 8) “Stilistika
adalah ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya
sastra”. Konsep utamanya adalah penggunaan bahasa dan gaya bahasa.
Bagaimana seorang pengarang mengungkapkan karyanya dengan dasar dan
pemikirannya sendiri.
Dalam hal ini untuk memahami konsep stilistik secara seksama Nurhayati
(2008: 7) mengemukakan pada dasarnya stilistika memiliki dua pemahaman dan
jalan pemikiran yang berbeda. Pemikiran tersebut menekankan pada aspek
gramatikal dengan memberikan contoh-contoh analisis linguistik terhadap karya
sastra yang diamati. Selain itu pula stilistika mempunyai pertalian juga dengan
aspek-aspek sastra yang menjadi objek penelitiannya adalah wacana sastra.
Stilistika secara definitif adalah ilmu yang berkaitan dengan gaya dan gaya
bahasa. Tetapi pada umumnya lebih banyak mengacu pada gaya bahasa. Dalam
pengertiannya secara luas stilistika merupakan ilmu tentang gaya, meliputi
berbagai cara yang dilakukan dalam kegiatan manusia (Ratna, 2009: 167).
Menurut Situmorang (1980: 11) analisis stilistis berusaha memahami dan
menjelaskan lapis arti dengan kemungkinan gaya yang ditimbulkannya.
Ketatabahasaan memegang peranan penting dalam menimbulkan gaya.
Karya sastra pada analisis stilistika memiliki kaitan erat dengan bahasa
yang menjadi medium utamanya. Ratna (2009: 330) menyatakan bahwa analisis
yang baik adalah kajian yang memelihara keseimbangan antara prinsip linguistik
dan sastra kebudayaan atau yang mendasar pada pencapaian aspek estetis.
Dalam kajian stilistika hendaknya sampai pada dua hal yaitu makna dan
commit to user
fungsi. Makna dicari melalui penafsiran yang dikaitkan melalui totalitas karya,
20
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sedangkan fungsi terbesit dari peranan stilistika dalam membangun karya
(Endraswara, 2011: 76).
Bradford (1997: 35) mengemukakan bahwa kritik baru dari stilistika tidak
hanya berkaitan dengan identifikasi fitur linguistik yang membuat puisi berbeda
dengan wacana lain, tapi dengan puisi sebagai bentuk signifikasi yang misterius
yang mengubah hubungan akrab antara bahasa dan makna.
New Critical stylistics is concerned not only with the identification of linguistic
feature that make poetry different from other discourses, but with poetry as a form
of signification which mysteriously transforms the familiar relationship between
language and meaning.
Studi stilistika hanya terfokus pada aspek gaya, bahwa aspek gaya secara
esensial berkaitan dengan wujud pemaparan karya sastra sebagai bentuk
penyampaian gagasan pengarangnya. Penggunaan stilistika sebagai metode
analisis sastra adalah untuk menghindari kritik sastra yang bersifat impresionistis
dan subjektif (Aminuddin, 1997: 42).
Sejalan dengan pernyataan di atas dalam kajian stilistik dipengaruhi oleh
karya sastra dan bentuk pendekatan yang digunakan. Nurhayati (2008: 13-20)
mengemukakan lima pendekatan yang dapat digunakan yaitu, sebagai berikut:
 Pendekatan Halliday
Dalam pendekatan ini Halliday mengilustrasikan bagaimana kategori-kategori
dan metode-metode linguistik deskriptif dapat diaplikasikan ke dalam analisis
teks-teks sastra seperti dalam materi analisis teks yang lainnya. Melalui hal ini
analisis bukan hanya kepada interprestasi atau evaluasi estetika terhadap
pesan-pesan sastra yang dianalisisnya tetapi hanya kepada deskripsi unsurunsur bahasa. Dalam kajiannya ia tidak mengungkapkan bagaimana bentukbentuk verbal tersebut disusun sehingga berhubungan dengan bentuk lainnya
pada hubungan intratekstual.
commit to user
21
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
 Pendekatan Sinclair
Pendekatan ini searah dengan teori pendekatan Halliday. Ia menerapkan
kategori-kategori deskripsi linguistik Halliday. Sinclair mengemukakan
terdapat dua aspek yang berperan penting dalam pengungkapan pola-pola
intratekstual karya sastra.
 Pendekatan Goeffrey Leech
Leech mengemukakan bahwa karya sastra mengandung dimensi-dimensi
makna tambahan yang beroperasi pula di dalam wacana lainnya. Leech
mengungkapkan tiga gejala ekspresi sastra, yaitu cohesion, foregrounding,
dan cohesion of foregrounding. Ketiga gejala ekspresi ini menghadirkan
dimensi-dimensi makna yang berbeda yang tidak tercakup oleh deskripsi
linguistik
dengan
kategori-kategori
normalnya. Cohesion
merupakan
hubungan interatekstual antara unsur gramatikal dengan unsur leksikal yang
jalin-menjalin dalam sebuah teks sehingga menjadi sebuah unit wacana yang
lengkap. Foregrounding merupakan gejala khas yang hanya terdapat dalam
karya sastra. Sedangkan cohesion of foregrounding adalah penyimpanganpenyimpangan dalam teks yang dihubungkan dengan bentuk lain untuk
membentuk pola-pola intratekstual.
 Pendekatan Roman Jakobson
Pendekatan ini menggolongkan fungsi puitik bahasa sebagai sebuah
penggunaan bahasa yang berpusat kepada bentuk aktual dari pesan itu sendiri.
Tulisan sastra tidak seperti bentuk-bentuk lainnya. Dalam tulisan sastra
ditemukan pesan yang berpusat pada pesan itu sendiri.
 Pendekatan Samuel R. Levin
Pendekatan Levin dalam analisis stilistika serupa dengan pendekatan Halliday
dan Sinclair yang berpusat pada analisis butir-butir linguistik. Levin juga
mengembangkan gagasan kesejajaran yang juga dikemukakan oleh Jakobson.
Dalam hal ini kesejajaran tersebut berlaku pada level fonologi, sintaksis, dan
semantik yang untuk menghasilkan ciri-ciri struktural.
commit to user
22
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sementara itu menurut Wellek dan Warren (dalam Sutejo, 2010: 7) paling
tidak ada dua pendekatan yang dapat dipergunakan dalam mendekati dan
menganalisis stilistika. Pertama, diawali dengan analisis sistematis tentang sistem
linguistik karya sastra, dilanjutkan dengan interpretasi tentang ciri-cirinya dilihat
dari tujuan estetis karya tersebut sebagai “makna total”.
b. Bidang Kajian Stilistika
Kajian stilistika dalam karya sastra terfokus pada bentuk dan tanda
linguistik yang terdapat pada sebuah karya sastra. Menurut Aminuddin (1997: 44)
karya sastra sebagai kajian stilistik antara lain terwujud sebagai tulisan, yang
dapat berupa kata-kata, tanda baca, gambar, serta bentuk tanda lain yang dapat
dianalogikan sebagai kata-kata.
Sudjiman (dalam Asis, 2010: 103) mengemukakan bahwa pusat perhatian
stilistika adalah style, yaitu cara yang digunakan seseorang pembicara atau penulis
untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana.
Selanjutnya Junus (dalam Asis, 2010: 103) berpendapat bahwa gaya sebagai
penyimpangan dianggap sebagai pemakaian bahasa yang berbeda dari bahasa
biasa. Hal ini dapat dipahami sebagai pemakaian bahasa yang lain atau sebagai
pemakaian bahasa yang menyalahi tata bahasa. Dalam hal ini, penyimpangan
dapat dihubungkan dengan konsep licentia poeitica „kebebasan penyair‟ yang
dipahami sebagai kebebasan penyair atau penulis untuk melanggar hukum atau
tata bahasa. Jadi cara penyair dalam menyatakan maksud dan gaya bahasa
merupakan hal yang harus diperhatikan dalam kajian stilistika.
Keraf (2000: 112) berpendapat bahwa persoalan gaya bahasa meliputi
semua hierarki kebahasaan: pilihan kata secara individual, frasa, klausa dan
kalimat, bahkan mencakup pula sebuah wacana secara keseluruhan.
Unsur-unsur stilistika sebagai tanda dapat berupa gaya bunyi (fonem), gaya
kata (diksi), gaya kalimat (sintaksis), gaya wacana (discourse), bahasa figuratif
(figurative language) dan citraan (imagery).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
23
digilib.uns.ac.id
1) Gaya Bunyi (fonem)
Fonem merupakan unsur bahasa terkecil dalam satuan bahasa yang terbagi
menjadi dua, yaitu vokal (bunyi hidup) dan konsonan (bunyi mati). Masingmasing fonem dapat menimbulkan atau membedakan arti tertentu. Misalnya
“suka” dan “duka”, memiliki makna atau arti yang berbeda karena adanya fonem
/s/ dan /d/. Fonem memegang peranan penting dalam penciptaan efek estetik pada
sebuah karya sastra khususnya pada genre puisi.
Pemanfaatan gaya bunyi pada sebuah karya sastra berhubungan erat dengan
irama dan rima. Timbulnya irama dalam sebuah puisi karena adanya asonansi dan
aliterasi yang menimbulkan orkestrasi bunyi yang menciptakan nada dan suasana
tertentu.
Asonansi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi
vokal yang sama, dipergunakan untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar
keindahan. Misalnya: sepisau luka sepisau duri, sepikul dosa sepukau sepi.
Aliterasi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud pengulangan konsonan
yang sama. Misalnya: sepisau luka sepisau duri, sepikul dosa sepukau sepi
(Keraf, 2000: 130).
Masing-masing fonem dapat menciptakan suasana yang berbeda. Misalnya
saja fonem /a/ menciptakan nada dan suasana gembira sedangkan fonem /u/
menciptakan nada dan suasana sendu. Dalam sebuah puisi, orkestrasi bunyi dapat
menimbulkan apa yang disebut dengan efoni dan kakafoni. Efoni adalah bunyibunyi yang merdu dan menyenangkan yang menciptakan musikalisasi bunyi yang
indah. Sedangkan kakafoni adalah bunyi-bunyi parau, aneh, berat, kasar,
terkadang tidak menyenangkan dan tidak menimbulkan musikalisasi bunyi.
Walaupun demikian kakafoni tetap dibutuhkan untuk mencapai efek makna
tertentu.
Gaya bunyi sebagai unsur kajian stilistika adalah pemanfaatan bunyi-bunyi
tertentu sehingga menimbulkan orkestrasi bunyi yang indah. Menurut Aminuddin
(1997: 147) penggunaan bunyi dalam karya sastra, khususnya puisi meliputi
asonansi, mesodiplosis, konsonansi, aliterasi, rima, rima vokal dan bunyi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
24
digilib.uns.ac.id
suprasegmental. Dalam penelitian ini gaya bunyi meliputi rima (termasuk rima
vokal), irama, asonansi, aliterasi, efoni dan kakafoni.
2) Gaya Kata (diksi)
Diksi secara sederhana dapat dinyatakan sebagai pilihan kata yang
digunakan oleh penyair dalam puisinya. Puisi adalah bentuk karya tulis yang tidak
memakai banyak kata-kata, cendurung tidak deskriptif dan naratif, sehingga
pemilihan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan maksud dan nuansa tulisan
haruslah dicermati dengan seksama. Termasuk di dalamnya menghindari
pengulangan kata yang sama terlampau sering, pemilihan sinonim yang mewakili,
sampai ke penggunaan tanda baca dan susunan bahasa. Misalnya mengungkapkan
rasa kesepian, kata mana yang akan digunakan; sunyi, diam, nelangsa, sendiri,
sedih, sepi, senyap atau hening. Meski berkonotasi sama, tiap kata yang terpilih
akan memberi warna yang berbeda apabila disandingkan dengan kata-kata lainnya
dalam keseluruhan puisi.
Selanjutnya Keraf (2000: 24) mengemukakan bahwa diksi atau pilihan kata
mencakup tiga hal, yakni: (1) pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk
menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata
yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana
yang paling baik dalam suatu situasi; (2) kemampuan membedakan secara tepat
nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan
untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang
dimiliki kelompok masyarakat pendengar; (3) penguasaan sejumlah besar kosa
kata atau perbendaharaan kata bahasa itu.
Berdasarkan pendapat di atas, makna diksi ternyata tidak hanya mencakup
pilihan kata akan tetapi juga meliputi kemampuan penggunaan kata secara tepat,
pengelompokkkan dan penyusunan kata serta penggunaan ungkapan dan gaya
bahasa untuk menimbulkan efek estetis dalam karya sastra.
Kata-kata yang digunakan dalam puisi umumnya sama saja dengan katakata yang digunakan untuk komunikasi sehari-hari. Hal yang membedakan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
25
digilib.uns.ac.id
penggunaan kata dalam puisi adalah penempatannya serta penggunaannya
dilakukan secara hati-hati dan teliti serta lebih tepat.
Menurut Nurgiyantoro (1995: 290) gaya kata harus dibedakan apakah kata
tersebut kompleks atau sederhana, formal atau kolokial, denotasi atau konotasi.
Sebuah kata termasuk dalam kelompok gaya kata kompleks apabila dalam
melakukan pilihan kata mempertimbangkan bentuk dan makna, sehingga kata
yang digunakan mampu mengkomunikasikan makna, pesan serta gagasan yang
akan disampaikan. Selain itu pilihan kata yang digunakan tentu saja harus mampu
mendukung tercapainya tujuan estetis yang diinginkan oleh pengarang. Sedangkan
yang dimaksud dengan pilihan kata sederhana jika diksi yang digunakan hanya
untuk mencapai keindahan tanpa mempertimbangkan kata serta bentuknya.
Diksi formal adalah diksi yang mempertimbangkan aspek fonologis,
misalnya untuk kepentingan aliterasi, irama, dan efek bunyi tertentu. Diksi
dikatakan kolokial jika diksi yang digunakan mampu mewakili gagasan yang akan
disampaikan.
Makna kata denotatif dan konotatif merupakan aspek yang sangat penting
yang tidak boleh diabaikan dalam penelitian ini. Makna denotatif atau biasa
disebut makna lugas yaitu makna yang sesuai dengan kamus adalah makna kata
yang sebenarnya. Suatu kata dikatakan memiliki makna denotatif apabila kata
tersebut tidak mengandung makna atau perasaan-perasaan tambahan. Sedangkan
konotasi atau makna konotatif merupakan makna kias. Sebuah kata mengandung
makna konotatif apabila kata tersebut mengandung arti tambahan, perasaan
tertentu atau nilai rasa tertentu disamping makna dasar yang umum. Oleh karena
itu, pilihan kata atau diksi dalam karya sastra lebih banyak bertalian dengan
pilihan kata yang bersifat konotatif.
Kata sebagai unsur esensial dalam sebuah karya sastra mendapatkan
perhatian khusus dari para sastrawan karena tersampainya pesan atau gagasan
yang ingin disampaikan dipengaruhi oleh kata dan susunannya. Oleh karena itu,
dalam proses penciptaan karyanya para sastrawan sangat berhati-hati dalam
memilih kata dan menyusunnya. Sastrawan memilih kata dengan tepat agar kata
commit to user
yang dipilih bisa dengan tepat mengkomunikasikan
pemikiran dan gagasannya.
26
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Apalagi dalam proses penciptaan terjadi pemadatan kata, sehingga kata-kata yang
digunakan dalam puisi harus benar-benar dipilih secara cermat.
Chaer (2007: 68) mengemukakan permasalahan yang termasuk dalam
lingkup kajian mengenai diksi secara umum adalah: (a) kesamaan makna kata
(sinonimi); (b) kebalikan makna kata (antonimi); (c) ketercakupan makna
(hiponimi, hipernimi); (d) keberlainan makna (polisemi, homonimi).
Menurut Keraf (2000: 25) kata sebagai satuan dari perbendaharaan kata
sebuah bahasa mengandung dua aspek, yaitu aspek bentuk atau ekspresi dan aspek
isi makna. Bentuk atau ekspresi adalah segi yang dapat diserap dengan
pancaindera, yaitu dengan mendengar atau dengan melihat. Sebaliknya segi isi
atau makna adalah segi yang menimbulkan reaksi dalam pikiran pendengar atau
pembaca karena rangsangan aspek bentuk tadi. Reaksi yang timbul itu dapat
berwujud “pengertian” atau “tindakan” atau kedua-duanya.
Makna kata dapat dibatasi sebagai hubungan antara bentuk dengan hal atau
barang yang diwakilinya. Dalam hal ini kata dalam kaitannya sebagai media
komunikasi mengandung beberapa unsur yaitu: pengertian, perasaan, nada dan
tujuan.
Wellek (dalam Pradopo, 1987: 60) mengemukakan bahwa bahasa sastra itu
penuh arti ganda, penuh homonim, kategori-kategori “arbitraire”, atau irrasional,
menyerap peristiwa-peristiwa sejarah, ingatan-ingatan, dan asosiasi-asosiasi.
Pendeknya bahasa sastra itu sangat konotatif. Selanjutnya menurut Pradopo
(1987: 59) kumpulam asosiasi-asosiasi perasaan yang terkumpul dalam sebuah
kata diperoleh dari setting yang dilukiskan itu disebut konotasi. Konotasi
menyempurnakan denotasi dengan menunjukkan sikap-sikap dan nilai-nilai.
Senada dengan pendapat Pradopo, Tarigan (1984: 29) juga menyatakan
bahwa konotasi atau nilai kata inilah yang justru lebih banyak memberi efek bagi
para penikmatnya. Sementara itu, Kridalaksana (1988: 91) mengemukakan bahwa
kata konotatif adalah kata yang memiliki makna tambahan yang terlepas dari
makna harfiahnya yang didasarkan pada perasaan atau pikiran yang timbul pada
pengarang atau pembaca.
commit to user
27
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Makna konotatif merupakan makna kata yang terlepas dari makna
sebenarnya. Makna ini umumnya berbeda dengan makna kata dalam komunikasi
pada umumnya. Perbedaan ini didasarkan pada perasaan, pikiran, maupun
persepsi pengarang terhadap apa yang dibahasakan.
Kata konkret (concrete words) merupakan kata yang dapat melukiskan
dengan tepat pikiran atau gagasan yang akan disampaikan oleh pengarang.
Penggunaan kata konkret bertujuan untuk mempermudah pembaca dan penikmat
karya sastra dalam memahami sebuah karya sastra. Menurut Situmorang (1980:
26) tidak ada kata lain yang setepat dan sekonkrit kata-kata tersebut dalam
melukiskan hal tersebut.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gaya kata (diksi) yang
harus diperhatikan dalam kajian stilistika adalah kata yang digunakan dalam puisi
sederhana atau kompleks, formal dan kolokial, makna denotasi dan konotasi katakata konkret, sinonimi, antonimi, hiponimi dan hipernimi, polisemi dan
homonimi.
3) Gaya Kalimat (sintaksis)
Kalimat merupakan wujud verbal karya sastra yang menentukan gaya
pengarang, yakni cara pengarang menyusun kalimat-kalimat dalam karyanya.
Dalam
dunia
sastra,
pengarang
mempunyai
kebebasan
penuh
dalam
mempergunakan dan mengkreasikan bahasa (licentia poetica) untuk mencapai
efek yang diinginkan, sehingga adanya penyimpangan kebahasaan, termasuk
penyimpangan struktur kalimat merupakan hal yang wajar.
Gaya kalimat menurut Pradopo (2003: 11) ialah penggunaan suatu kalimat
untuk memperoleh efek tertentu, misalnya inverse, gaya kalimat tanya, perintah
dan elips; karakteristik, panjang pendek, struktur dan proporsi sederhanamajemuknya termasuk gaya kalimat. Demikian pula sarana retorika yang berupa
kalimat hiperbola, paradoks, klimaks, antiklimaks, antitesis dan koreksio.
Selanjutnya sarana retorika untuk tiap periode kesusastraan Indonesia
berbeda-beda. Sarana retorika yang dominan dalam puisi-puisi Pujangga Baru
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
28
digilib.uns.ac.id
adalah tautologi, pleonasme, keseimbangan, retorik retisense, paralelisme, dan
penjumlahan (enumerasi) (Pradopo, 1987: 94).
Dalam analisis gaya kalimat perlu diperhatikan struktur kalimat yang
membentuk kalimat tersebut, sederhana atau kompleks, hubungan antar klausanya
jika merupakan struktur kompleks, bentuk sintaksisnya, deklaratif, interogatif,
imperatif, atau ekslamatif. Sebuah kalimat dikatakan kompleks jika dalam satu
kalimat terdiri dari dua klausa atau lebih (Nurgiyantoro, 2005: 294).
Penggunaan kalimat dalam karya sastra mempunyai tujuan yang sedikit
berbeda dengan penggunaan kalimat dalam karya ilmiah. Kalimat dalam karya
sastra disusun dengan pertimbangan tertentu dari pengarang untuk mencapai efek
yang diinginkan. Dalam hal ini penyiasatan struktur kata menjadi hal yang
diperbolehkan guna mencapai tujuan tersebut. Wujud penyiasatan tersebut bisa
berupa pembalikan, pemendekan, pengulangan, penghilangan unsur tertentu dan
sebagainya. Penggunaan konjungsi di awal kalimat mungkin dilakukan untuk
memperoleh efisiensi dan menekankan unsur tertentu. Menurut Nurgiyantoro
(2005: 302) ada bermacam-macam gaya bahasa yang terlahir dari penyiasatan
struktur kalimat misalnya gaya repetisi, paralelisme, anafora, polisindeton,
asindeton, antitesis, aliterasi, klimaks, antiklimaks, dan pertanyaan retoris.
Selanjutnya Keraf (2000: 124-136) menyebutkan gaya bahasa berdasarkan
struktur kalimat dan retorika antara lain: klimaks, antiklimaks, paralelisme,
antitesis, repetisi, aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis, apostrof, asindeton,
polisindeton, kiasmus, elipsis, eufemisme, litotes, histeron, prosteron, pleonasme
dan tautologi, perifrasis, prolepsis, erotesis, silepsis dan zeugma, koreksio,
hiperbola, paradoks dan oksimoron.
a) Klimaks
Gaya bahasa klimaks adalah semacam gaya bahasa yang urutan
penyampaiannya menunjukkan semakin meningkatnya kadar pentingnya gagasan
itu (Nurgiyantoro, 2005: 303). Sejalan dengan pengertian tersebut Sutejo (2010:
29) mengemukakan bahwa klimaks termasuk jenis gaya bahasa penegasan dan
menyatakan beberapa hal berturut-turut, makin lama makin memuncak
tosampai
user tua lelaki itu terus sengsara.
intensitasnya. Contoh: Sejak kecil,commit
dewasa,
29
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b) Antiklimaks
Bertolak belakang dengan gaya bahasa klimaks, gaya bahasa antiklimaks
adalah gaya bahasa yang gagasan-gagasannya diuraikan dari yang terpenting
berturut-turut ke gagasan yang kurang penting (Keraf, 2000: 125). Antiklimaks
membuat sebuah kalimat atau wacana menjadi kurang efektif.
Contoh: Bahasa Indonesia diajarkan kepada mahasiswa, siswa SLTA, SLTP, dan
SD.
c) Paralelisme
Paralelisme adalah gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam
pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi yang sama dalam
bentuk gramatikal yang sama (Keraf, 2000: 126). Penggunaan gaya bahasa
paralelisme tepat digunakan untuk menonjolkan kata atau kelompok kata yang
sama fungsinya. Akan tetapi penggunaan yang terlalu banyak akan menyebabkan
kalimat-kalimat tersebut menjadi kaku.
Contoh: Ningrat atau jelata tetap sama di mata hukum.
d) Antitesis
Menurut Sutejo (2010: 28) antitesis termasuk dalam gaya bahasa
pertentangan. Antitesis merupakan jenis gaya bahasa yang mempergunakan katakata secara berlawanan. Sejalan dengan pendapat tersebut Keraf (2000: 126)
mengemukakan bahwa antitesis adalah sebuah gaya bahasa yang mengandung
gagasan-gagasan yang bertentangan dengan mempergunakan kata-kata atau
kelompok kata yang berlawanan.
Contoh: Tua muda, besar kecil, miskin kaya menghadiri pengajian akbar di alunalun Pacitan.
e) Repetisi
Keraf (2000: 127) mengemukakan bahwa repetisi adalah perulangan bunyi,
suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi
tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Repetisi lahir dari kalimat yang
berimbang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
30
digilib.uns.ac.id
Sutejo (2010: 31) juga berpendapat bahwa repetisi adalah gaya bahasa
penegasan dengan jalan mengulang sepatah kata berkali-kali dalam kalimat yang
lain, biasanya dipergunakan oleh ahli retorika (orator).
Contoh: Kita hidup butuh cinta, butuh kasih sayang, butuh sesama.
f) Aliterasi
Nurgiyantoro (2005: 303) berpendapat bahwa bentuk aliterasi adalah
penggunaan kata-kata yang sengaja dipilih karena memiliki kesamaan fonemkonsonan, baik yang berada di awal maupun di tengah kata. Secara singkat
pengertian mengenai aliterasi dikemukakan oleh Keraf (2000: 130) yaitu semacam
gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama. Tujuannya adalah
untuk perhiasan atau untuk penekanan.
Contoh: sepisau luka sepisau duri,sepikul dosa sepukau sepi
g) Asonansi
Asonansi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi
vokal yang sama (Keraf, 2000: 130). Sama halnya dengan asonansi, penggunaan
gaya bahasa ini bertujuan untuk keindahan atau penekanan.
Contoh: Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu.
h) Anastrof
Keraf (2000: 130) mengemukakan bahwa anastrof atau inversi adalah
semacam gaya retoris yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa
dalam kalimat.
Contoh: Pergilah Ia meninggalkan kami.
i) Apofasis
Apofasis atau disebut juga preterisio merupakan sebuah gaya dimana
penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi nampaknya menyangkal
(Keraf, 2000: 130-131).
Contoh: Saya tidak akan mengatakan sekarang bahwa anda telah memfitnah
saya.
j) Apostrof
Apostrof menurut Keraf (2000: 131) adalah semacam gaya yang berbentuk
commit
to user
pengalihan amanat dari para hadirin
kepada
sesuatu yang tidak hadir sehingga
perpustakaan.uns.ac.id
31
digilib.uns.ac.id
seolah-olah pengguna gaya bahasa ini tidak berbicara dengan lawan bicaranya.
Cara ini biasanya dipergunakan oleh orator klasik.
Contoh: Hai dewa-dewa, kutuklah mereka yang telah merusak bumi pijakan kami.
k) Asindenton
Sutejo (2010: 28) berpendapat bahwa asindenton adalah gaya bahasa yang
menyatakan dari beberapa benda, hal, atau keadaan secara berturut-turut tanpa
menggunakan kata konjungsi (penghubung). Gaya bahasa ini termasuk ke dalam
gaya bahasa penegasan. Keraf (2000: 131) menambahkan bahwa bentuk-bentuk
itu biasanya dipisahkan saja dengan koma.
Contoh: Ia terperanjat, terduduk, berdiri, dari tempatnya.
l) Polisindeton
Polisindenton merupakan gaya bahasa yang berlawanan dengan asindenton.
Beberapa kata, frasa, atau klausa yang berurutan dihubungkan satu sama lain
dengan kata-kata sambung (Keraf, 2000: 131)
Contoh: Ia terduduk, lalu berdiri, kemudian berjalan-jalan kecil sambil
melepaskan amarah.
m) Kiasmus
Menurut Keraf (2000: 132) kiasmus adalah semacam acuan atau gaya
bahasa yang terdiri dari dua bagian, baik frasa maupun klausa, yang sifatnya
berimbang dan dipertentangkan satu sama lain, tetapi susunan frasa atau
klausanya itu terbalik bila dibandingkan dengan frasa atau klausa lainnya.
Kiasmus ialah gaya bahasa yang berisikan perulangan dan sekaligus merupakan
inversi atau pembalikan susunan antara dua kata dalam satu kalimat
(http://endonesa.wordpress.com/lentera-sastra/majas/).
Contoh: Ia menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah.
n) Elipsis
Elipsis adalah suatu gaya yang berwujud menghilangkan suatu unsur
kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau
pendengar, sehingga struktur gramatikal atau kalimatnya memenuhi pola yang
berlaku (Keraf, 2000: 132). Penghilangan ini tidak hanya satu unsur saja, tetapi
commit
to user unsur dihilangkan sekaligus.
bisa saja dalam satu konstruksi kalimat
beberapa
perpustakaan.uns.ac.id
32
digilib.uns.ac.id
Contoh: Pulangnya membawa oleh-oleh banyak sekali. (penghilangan subjek)
Saya sekarang sudah mengerti. (penghilangan objek)
Saya akan berangkat. (penghilangan unsur keterangan)
Mari makan!(penghilangan subyek dan objek)
o) Eufemisme
Eufemisme menurut Keraf (2000: 132) adalah semacam acuan berupa
ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapanungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan
menghina, menyinggung perasaan atau mensugestikan sesuatu yang tidak
menyenangkan. Secara singkat eufemisme adalah gaya bahasa yang bertujuan
untuk memperhalus sebuah ungkapan dengan ungkapan yang dianggap lebih
santun.
Contoh: Tunasusila di tempat prostitusi itu selalu mendapatkan penyuluhan,
layanan kesehatan dan imunisasi gratis dari pemerintah. (Tunasusila sebagai
pengganti kata pelacur)
p) Litotes
Litotes adalah semacam gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan
sesuatu dengan tujuan merendahkan diri (Keraf, 2000: 132). Litotes ialah majas
yang berupa pernyataan yang bersifat mengecilkan kenyataan yang sebenarnya.
Contoh: Apa yang kami berikan ini memang tak berarti buatmu.
q) Histeron-Proteron
Menurut Keraf (2000: 133) histeron proteron ialah gaya bahasa yang
merupakan kebalikan dari suatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang
wajar, misalnya menempatkan sesuatu yang terjadi kemudian pada awal peristiwa.
Dengan demikian apa yang disampaikan bertentangan dengan sesuatu yang ada
pada kenyatannya.
Contoh: Jika kau memenangkan pertandingan itu, kematianlah yang akan kau
dapatkan.
r) Pleonasme dan Tautologi
Pada dasarnya pleonasme dan tautologi adalah acuan yang mempergunakan
kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
33
digilib.uns.ac.id
atau gagasan (Keraf, 2000: 133). Pleonasme adalah penggunaan kata yang
mubazir yang sebesarnya tidak perlu.
Contoh: Capek mulut saya berbicara.
Tautologi adalah gaya bahasa yang menggunakan kata atau frase yang
searti dengan kata yang telah disebutkan terdahulu.
Contoh: Apa maksud dan tujuannya datang ke mari?
s) Perifrasis
Perifrasis ialah gaya bahasa yang dalam pernyataannya sengaja
menggunakan frase yang sebenarnya dapat diganti dengan sebuah kata saja. Gaya
bahasa ini termasuk dalam jenis perbandingan (Sutejo, 2010: 31). Menurut Keraf
(2000: 134) sebenarnya perifrasis adalah gaya yang mirip dengan pleonasme,
yaitu mempergunakan kata lebih banyak dari yang diperlukan. Perbedaannya
terletak dalam hal bahwa kata-kata yang berlebihan itu sebenarnya dapat diganti
dengan satu kata saja.
Contoh: Kami baru datang sore ini menjadi Kami baru datang ketika sinar
matahari sudah tenggelam di ufuk barat.
t) Prolepsis
Prolepsis atau antisipasi menurut Keraf (2000: 134) adalah semacam gaya
bahasa di mana orang mempergunakan lebih dahulu kata-kata atau sebuah kata
sebelum peristiwa atau gagasan yang sebenarnya terjadi. Prolepsis ialah gaya
bahasa yang dalam pernyataannya menggunakan frase pendahuluan yang isinya
sebenarnya masih akan dikerjakan atau akan terjadi.
Contoh: Aku melonjak kegirangan karena aku mendapatkan piala kemenangan.
u) Erotesis
Erotesis atau pertanyaan retoris adalah semacam pertanyaan yang
dipergunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang
lebih mendalam dan penekanan yang wajar, dan sama sekali tidak menghendaki
adanya suatu jawaban (Keraf, 2000: 134). Singkatnya erotesis ialah gaya bahasa
yang berupa pertanyaan yang tidak menuntut jawaban sama sekali.
Contoh: Tegakah membiarkan anak-anak dalam kesengsaraan?
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
34
digilib.uns.ac.id
v) Silepsis dan Zeugma
Silepsis dan zeugma adalah gaya di mana orang mempergunakan dua
konstruksi rapatan dengan menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang
sebenarnya hanya salah satu nya mempunyai hubungan dengan kata pertama
(Keraf, 2000: 135).
Dalam silepsis kata yang dipergunakannya itu secara gramatikal benar,
tetapi kata tadi diterapkan pada kata lain yang sebenarnya mempunyai makna lain.
Contoh: Ia sudah kehilangan topi dan semangatnya.
Zeugma ialah gaya bahasa yang menggunakan dua konstruksi rapatan
dengan cara menghubungkan sebuah kata dengan dua atau lebih kata lain. Dalam
zeugma kata yang dipakai untuk membawahkan kedua kata berikutnya sebenarnya
hanya cocok untuk salah satu dari padanya.
Contoh: Kami sudah mendengar berita itu dari radio dan surat kabar.
w) Koreksio (Epanortosis)
Koreksio menurut Sutejo (2010: 30) termasuk ke dalam gaya bahasa
penegasan, yang berupa pembetulan (koreksi) kembali atas kata-kata yang salah
atau sengaja dikemukakan sebelumnya. Koreksio ialah gaya bahasa yang
mengandung pembetulan (koreksi) terhadap hal yang telah dikemukakan.
Contoh: Kaki anak yang kecelakaan itu retak, ah tidak retak, tetapi sudah patah.
x) Oksimoron
Keraf (2000: 136) mengemukakan bahwa oksimoron adalah suatu acuan
yang berusaha untuk menggabungkan kata-kata untuk mencapai efek yang
bertentangan. Oksimoron ialah gaya bahasa yang berupa pernyataan yang di
dalamnya mengandung pertentangan dengan menggunakan kata-kata yang
berlawanan dalam frase atau dalam kalimat yang sama. Sifatnya lebih padat dan
tajam dari paradoks.
Contoh: Olahraga mendaki gunung memang menarik walupun sangat
membahayakan.
Penggunaan gaya bahasa di atas bertujuan untuk memperoleh efek estetis
yang dimaksud oleh pengarang. Hal ini merupakan salah satu ciri bahasa sastra
commit to user
yang dikenal sebagai foregrounding.
perpustakaan.uns.ac.id
35
digilib.uns.ac.id
Dalam kajian stilistika, gaya kalimat yang perlu diperhatikan antara lain
struktur kalimat yang membentuk kalimat tersebut. Selain itu unsur gaya bahasa
dan sarana retorika merupakan bagian yang paling penting dalam analisis terhadap
gaya kalimat.
4) Gaya Wacana (discourse)
Gaya wacana merupakan salah satu obyek dalam kajian stilistika. Wacana
sebagai satuan bahasa yang tertinggi dalam gramatika mempunyai gaya dan
karakteristik yang khas. Gaya wacana muncul akibat rangkaian kalimat baik
dalam prosa maupun puisi. Pada puisi, gaya wacana muncul dalam bait maupun
dalam keseluruhan puisi tersebut.
Wacana yang baik adalah wacana yang memiliki unsur kohesi dan
koherensi, seperti yang dikemukakan oleh Chaer (2007: 62) bahwa keutuhan
wacana dibangun oleh unsur kohesi dan unsur koherensi. Mulyana (2005: 30)
kohesi sendiri terbagi menjadi dua aspek yaitu kohesi leksikal dan kohesi
gramatikal. Kohesi leksikal meliputi sinonim, repetisi, kolokasi sedangkan kohesi
gramatikal meliputi referensi, subtitusi, elipsis, konjungsi. Sebuah wacana yang
koheren mempunyai ciri-ciri: susunannya teratur dan amanatnya terjalin rapi,
sehingga mudah diinterpretasikan. Koherensi suatu wacana sebenarnya ditentukan
oleh keserasian teks dan pemahaman pembaca. Kohesi mendukung keutuhan
wacana dari dalam sedangkan koherensi mendukung keutuhan wacana dari luar.
Pradopo (2003: 12) mengemukakan bahwa gaya wacana dalam karya sastra
adalah wacana dengan pemanfaatan sarana retorika seperti repetisi, paralelisme,
klimaks, antiklimaks, dan hiperbola, serta gaya wacana campur kode dan alih
kode. Penggunaan campur kode dan alih kode bertujuan untuk memperoleh efek
yang diinginkan selaras dengan unsur-unsur bahasa yang digunakan. Kedua gaya
ini secara tidak langsung menunjukkan corak budaya pengarang. Pencampuran
bahasa ataupun istilah dalam sebuah karya sastra kadang-kadang menjadi daya
tarik bagi pembaca terhadap karya sastra, akan tetapi bisa juga menjadi bumerang
karena menghambat pemahaman pembaca terhadap isi sebuah karya sastra
commit to user
terutama bagi pembaca dengan pengetahuan
bahasa terbatas.
perpustakaan.uns.ac.id
36
digilib.uns.ac.id
Sebuah wacana dikatakan utuh apabila memiliki kohesi dan koherensi serta
disusun dengan runtut, jelas dan bagian-bangiannya terjalin dengan baik, sehingga
dapat disampaikan secara lisan maupun tertulis.
5) Bahasa Figuratif (figurative language)
Bahasa figuratif disebut juga pigura bahasa atau bahasa kiasan. Menurut
Waluyo (1995: 83) bahasa figuratif ialah bahasa yang digunakan penyair untuk
mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung
mengungkapkan makna.
Yang dimaksud dengan figurative language ialah cara yang dipergunakan oleh
penyair untuk membangkitkan imagery dengan mengunakan gaya bahasa, gaya
perbandingan, gaya kiasan, gaya perlambang sehingga makin jelas makna atau
lukisan yang hendak dikemukakannya. (Situmorang, 1980: 26)
Penggunaan bahasa kias biasanya berhubungan dengan pengimajian, yaitu
untuk membangkitkan imajinasi pembaca. Hal ini disebabkan karena bahasa
figuratif mengiaskan sesuatu dengan hal yang lain sehingga muncul makna yang
semakin jelas.
Dalam penelitian stilistika karya sastra, bahasa figuratif mencakup tiga hal,
yaitu majas, idiom dan peribahasa. Pemilihan tiga hal tersebut didasarkan pada
kenyataan bahwa ketiga bentuk tersebut sering muncul dalam sebuah karya sastra.
a) Majas
Majas menurut Sudjiman (dalam Sutejo, 2010: 26) merupakan peristiwa
pemakaian kata yang melewati batas-batas maknanya yang lazim atau
menyimpang dari arti harfiahnya. Oleh karena itu Pradopo (1987: 61-62)
berpendapat bahwa majas bersifat prismatis, fungsi puitisnya adalah dapat
memperjelas, menjadikan sesuatu lebih menarik dan memberikan daya hidup
dalam karya sastra.
Sudjiman (dalam Sutejo, 2010: 27) mengemukakan bahwa pada umumnya
majas dikelompokkan menjadi tiga (1) majas perbandingan seperti metafora,
analogi; (2) majas pertentangan seperti ironi, hiperbola, litotes, dan (3) majas
pertautan seperti metonimia, sinekdoke, eufimisme dan seterusnya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
37
digilib.uns.ac.id
Majas sebagai salah satu bentuk figurasi bahasa menurut Pradopo (1987:
61-78) meliputi perbandingan (simile), metafora, personifikasi, metonimi dan
sinekdoke (pars pro toto dan totem pro parte). Selanjutnya gaya bahasa kiasan
menurut Keraf (2000: 136-145) meliputi persamaan (simile), metafora, alegori,
parabel, fabel, personifikasi (prososopoeia), alusi, eponim, epitet, sinekdoke,
metonimia, antonomasia, hipalase, ironi, sinisme, sarkasme, satire, innuendo,
antifrasis, paronomasia.
(1)
Simile
Simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit (Keraf, 2000: 138).
Perumpamaan ialah padanan kata atau simile yang berarti seperti. Jenis gaya
bahasa ini ditandai oleh pemakaian kata: seperti, sebagai, ibarat, umpama, bak,
laksana, serupa.
Contoh: Seperti air dengan minyak.
Simile and metaphor. What is the difference? In a simile you compare something
(a feeling, an object) to something else by using the word like or as (Ruurs, 2010:
1).
Yang membedakan majas simile dan metafora menurut Ruurs adalah
penggunaan kata tugas tertentu untuk pengungkapannya. Dalam majas simile atau
perbandingan dibutuhkan kata tugas tertentu, misalnya seperti dan bagaikan untuk
menyampaikan perbandingan yang dimaksud.
(2)
Metafora
Metafora ialah gaya bahasa yang membandingkan dua hal secara
implisit.Keraf (2000: 139) berpendapat metafora adalah semacam analogi yang
membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat. Hal
yang diperbandingkan seolah-olah menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama
atau seharga dengan yang lain, yang sesungguhnya tidaklah sama.
Contoh: Aku adalah angin yang kembara.
(3)
Personifikasi
Personifikasi atau prosopopoeia ialah gaya bahasa yang melekatkan sifatsifat insani pada barang atau benda yang tidak bernyawa ataupun pada ide yang
abstrak. Personifikasi (pengisanan) merupakan suatu corak khusus dari metafora,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
38
digilib.uns.ac.id
yang mengiaskan benda-benda mati bertindak, berbuat, berbicara, seperti manusia
(Keraf, 2000: 140).
Xiaoying Liu (2009: 160) menyatakan bahwa personifikasi adalah
representasi dari sesuatu ke dalam bentuk (wujud) manusia sebagai sebuah seni.
Ini adalah cara sederhana untuk mengkonkretkan gagasan.
Personification is the representation of a thing or abstraction in the form of a
person as in art. It is one of the simplest ways to make ideas concrete.
Contoh: Bunga ros menjaga dirinya dengan duri.
(4)
Metonimia
Metonimia ialah gaya bahasa yang menggunakan nama barang, orang, hal,
atau ciri sebagai pengganti barang itu sendiri. Gaya bahasa ini berupa penggunaan
sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat
berhubungan dengan objek untuk menggantikan objek (Sutejo, 2010: 30).
Hubungan tersebut menurut Keraf (2000: 142) dapat berupa penemuan, pemilik
untuk barang yang dimiliki, akibat untuk sebab, sebab untuk akibat, isi untuk
menyatakan kulitnya, dan sebagainya. Metonimia dengan demikian adalah suatu
bentuk dari sinekdoke.
Contoh: Parker jauh lebih mahal daripada Pilot. Parker dan Pilot menggantikan
kata pulpen.
(5)
Sinekdoke
Sinekdoke ialah gaya bahasa yang menyebutkan suatu bagian yang penting
sutu benda (hal) untuk benda atau hal itu sendiri (Altenbernd dalam Pradopo,
1987: 78). Sinekdoke terdiri dari dua macam, yaitu:
(a) Sinekdoke Pars Pro Toto (sebagian untuk semuanya)
Contoh Sinekdoke pars pro toto: Lima ekor kambing telah dipotong pada acara
itu.
(b) Sinekdoke Totem Pro Parte
Contoh Sinekdoke totem pro parte: Dalam pertandingan itu Indonesia menang
satu lawan Malaysia.
(6)
Alegori, Parabel dan Fabel
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
39
digilib.uns.ac.id
Pradopo (1987: 71) mengemukakan bahwa alegori ialah cerita kiasan
ataupun lukisan kiasan yang mengiaskan hal lain atau kejadian lain. Natawijaya
(dalam Sutejo, 2010: 27) berpendapat bahwa alegori merupakan jenis gaya bahasa
yang menyatakan sesuatu dengan perlambang. Selanjutnya menurut Keraf (2000:
140) dalam alegori, nama-nama pelakunya adalah sifat-sifat yang abstrak, serta
tujuannya selalu jelas tersurat.
Parabel (parabola) adalah suatu kisah singkat dengan tokoh-tokoh biasanya
manusia, yang selalu mengandung tema moral. Sedangkan fabel adalah suatu
metafora berbentuk cerita mengenai dunia binatang, dimana binatang-binatang
bahkan makhluk-makhluk yang tidak bernyawa bertindak seolah-olah sebagai
manusia (Keraf, 2000: 140).
(7)
Alusi
Alusi ialah gaya bahasa yang menunjuk secara tidak langsung ke suatu
peristiwa atau tokoh yang telah umum dikenal/ diketahui orang. Gaya bahasa ini
merupakan gaya bahasa perbandingan yang mempergunakan ungkapan atau
peribahasa yang sudah lazim diketahui orang (Sutejo, 2010: 27).
Selanjutnya Keraf (2000: 141) berpendapat bahwa alusi adalah acuan yang
berusaha mensugestikan kesamaan antar orang, tempat atau peristiwa.
Contoh: Apakah peristiwa Madiun akan terjadi lagi di sini?
(8)
Eponim
Eponim menurut Keraf (2000: 141) ialah gaya bahasa yang menyebut nama
seseorang yang begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu sehingga nama itu
dipakai untuk menyatakan sifat itu. Jadi eponim merupakan gaya bahasa yang
mempergunakan sifat yang melekat pada orang tersebut.
Contoh: Dengan latihan yang sungguh saya yakin Anda akan menjadi Mike
Tyson.
(9)
Epitet
Keraf (2000: 141) mengemukakan bahwa epitet adalah semacam acuan
yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus dari suatu hal. Keterangan itu
adalah suatu frasa deskriptif yang menjelaskan atau menggantikan nama
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
40
digilib.uns.ac.id
seseorang atau suatu barang. Contoh: Putri malam menyambut kedatangan remaja
yang sedang mabuk asmara. (putri malam=rembulan)
(10) Antonomasia
Antonomasia menurut Keraf (2000: 142) merupakan sebuah bentuk khusus
dari sinekdoke yang berwujud penggunaan sebuah epiteta untuk menggantikan
nama diri, atau gelar resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri.
Selanjutnya Sutejo (2010: 28) berpendapat bahwa gaya bahasa ini termasuk pada
gaya bahasa perbandingan dengan jalan menyebutkan nama lain terhadap
seseorang sesuai sifatnya.
Contoh: Kepala sekolah mengundang para orang tua murid.
(11) Hipalase
Hipalase ialah gaya bahasa yang berupa sebuah pernyataan yang
menggunakan kata untuk menerangkan suatu kata yang seharusnya lebih tepat
digunakan untuk menjelaskan kata yang lain. Secara singkat Keraf (2000: 142)
menyatakan bahwa hipalase adalah suatu kebalikan dari suatu relasi alamiah
antara dua komponen gagasan.
Contoh: Ia duduk pada bangku yang gelisah. (yang gelisah adalah “Ia”, bukan
“bangku”)
(12) Ironi, Sinisme, dan Sarkasme
Ironi sebagai bahasa kiasan menurut Keraf (2000: 143) adalah suatu acuan
yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa
yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Ironi dikatakan berhasil apabila
pendengar juga sadar akan maksud yang disembunyikan di balik rangkaian katakatanya. Menurut Sutejo (2010: 29) ironi adalah gaya bahasa sindiran yang
menyatakan sebaliknya. Maksud dari tuturan yang mengandung gaya bahasa ironi
adalah mengejek atau menyindir.
Contoh: Merdu benar suaramu, sampai telingaku sakit mendengar nyanyianmu.
Menurut Keraf (2000: 143) sinisme ialah gaya bahasa yang merupakan
sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan
atau ketulusan hati. Dengan kata lain, sinisme adalah bentuk ironi yang lebih
commit to user
41
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kasar sifatnya. Contoh: Anda benar-benar hebat sehingga pasir di gurun sahara
pun dapat Anda hitung.
Sarkasme menurut Waluyo (1995: 86) adalah penggunaan kata-kata yang
keras dan kasar untuk menyindir atau mengkritik. Menurut Keraf (2000: 143-144)
sarkasme bisa bersifat ironis maupun tidak, tetapi yang jelas adalah bahwa gaya
ini selalu akan menyakiti hati dan kurang enak didengar. Sarkasme ialah gaya
bahasa yang mengandung sindiran atau olok-olok yang pedas atau kasar.
Contoh: Kau memang benar-benar bajingan.
(13) Satire
Keraf (2000: 144) mengemukakan bahwa satire adalah ungkapan yang
menertawakan atau menolak sesuatu. Tujuan dari gaya bahasa ini adalah agar
diadakan perbaikan secara etis maupun estetis.
Contoh: Penampilannya memang seperti berandalan, tapi jangan menilai orang
dari penampilan luarnya saja.
(14) Innuendo
Inuendo ialah gaya bahasa yang berupa sindiran dengan mengecilkan
kenyataan yang sebenarnya. Keraf (2000: 144) mengemukakan bahwa innuendo
menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung, dan sering tampaknya
tidak menyakitkan hati kalau dilihat sambil lalu.
Contoh: Dia memang baik, cuma agak kurang jujur.
(15) Antifrasis
Antifrasis ialah gaya bahasa yang berupa pernyataan yang menggunakan
sebuah kata dengan makna kebalikannya. Antifrasis menurut Keraf (2000: 144)
adalah semacam ironi. Gaya bahasa ini akan diketahui dengan jelas, bila pembaca
atau pendengar mengetahui atau dihadapkan pada kenyataan bahwa apa yang
dikatakan itu adalah sebaliknya. Berbeda dengan ironi, yang berupa rangkaian
kata yang mengungkapkan sindiran dengan menyatakan kebalikan dari kenyataan,
sedangkan pada antifrasis hanya sebuah kata saja yang menyatakan kebalikan itu.
Contoh: Lihatlah sang raksasa telah tiba (maksudnya si cebol).
commit to user
42
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(16) Paronomasia
Paronomasia atau pun adalah kiasan dengan mempergunakan kemiripan
bunyi. Ia merupakan permainan kata yang didasarkan pada kemiripan bunyi,
tetapi terdapat perbedaan besar dalam maknanya (Keraf, 2000: 145).
Contoh: “Engkau orang kaya, Ya, kaya monyet!”
(17) Hiperbola
Hiperbola menurut Sutejo (2010: 29) merupakan gaya bahasa yang dipakai
untuk melukiskan sesuatu keadaan secara berlebihan daripada sesungguhnya.
Senada dengan pendapat tersebut Keraf (2000: 135) berpendapat bahwa hiperbola
adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang
berlebihan, dengan membesar-besarkan suatu hal. Sementara itu Nurgiyantoro
(2005: 300) menjelaskan bahwa hiperbola adalah gaya bahasa yang cara
penuturannya bertujuan menekankan maksud dengan sengaja melebih-lebihkan.
Jadi hiperbola adalah gaya bahasa yang mengungkapkan sesuatu secara berlebihan
dengan maksud menegaskan hal yang dibicarakan.
Contoh: Hatiku terbakar ketika melihat kau pergi dengannya.
(18) Paradoks
Paradoks menurut Nurgiyantoro (2005: 300) adalah cara penekanan
penuturan yang sengaja menampilkan unsur pertentangan di dalamnya.
Selanjutnya Keraf (2000: 136) berpendapat bahwa paradoks adalah semacam gaya
bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada.
Senada dengan dua pendapat di atas, Sutejo (2010: 31) menyatakan bahwa
paradoks adalah gaya bahasa pertentangan yang hanya kelihatan pada arti kata
yang berlawanan padahal sesungguhnya objeknya berlainan. Jadi paradoks ialah
gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang
ada.
Contoh: Teman akrab adakalanya merupakan musuh sejati.
Ia merasa kesepian di tengah keramaian ibukota.
commit to user
43
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b) Idiom
Menurut
Sudjiman
(dalam
Al-Ma‟ruf,
2009:
72)
idiom
adalah
pengungkapan bahasa yang bercorak khas, baik karena tata bahasanya maupun
karena mempunyai makna yang tidak dapat dijabarkan dari makna unsurunsurnya. Idiom bisa berupa kata, frase, maupun kalimat yang maknanya tidak
dapat
diramalkan dari
makna leksikal
unsur-unsurnya maupun
makna
gramatikalnya. Idiom mempunyai kekhasan dalam bentuk dan makna sehingga
tidak bisa dijabarkan atau diterjemahkan secara harfiah.
Contoh idiom adalah membanting tulang, meja hijau dan lain sebagainya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa makna idiomatikal adalah makna sebuah satuan
bahasa yang “menyimpang” dari makna leksikal atau makna gramatikal unsurunsur pembentuknya. Untuk mengetahui makna idiom sebuah kata (frase atau
kalimat) tidak ada jalan selain mencarinya dalam kamus.
c) Peribahasa
Kridalaksana (dalam Al-Ma‟ruf, 2009: 72-73) peribahasa adalah kalimat
atau penggalan kalimat yang telah membeku bentuk, makna, dan fungsinya dalam
masyarakat, bersifat turun-temurun, dipergunakan untuk penghias karangan atau
percakapan, penguat maksud karangan, pemberi nasihat, pengajaran atau pedoman
hidup. Selanjutnya peribahasa kemudian bermakna berbahasa dengan bahasa kias.
Penggunaan
peribahasa
mempunyai
tujuan
untuk
mempersingkat
pembicaraan. Hal ini terjadi karena sebuah peribahasa mampu mengantarkan
pembicaraan pada maksud dan tujuan yang ingin dicapai karena pada umunya
peribahasa yang digunakan sudah dipahami penutur dan mitra tutur. Efisiensi
komunikasi dengan menggunakan peribahasa juga didukung dengan karakteristik
peribahasa yang umumnya singkat dan hanya berisi kata-kata penting saja.
Peribahasa
mencakup
pepatah,
ibarat,
bidal,
perumpamaan,dan
pemeo
(Kridalaksana, dalam Al-Ma‟ruf, 2009: 74).
(1) Pepatah
Pepatah merupakan ungkapan yang mengandung unsur kiasan tepat
kalimatnya, sehingga tidak dapat disangkal lagi karena mengandung pernyataan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
44
digilib.uns.ac.id
yang benar. Fungsi pepatah adalah untuk mematahkan kata atau perbuatan orang
sehingga lawan bicara tidak bisa berkilah lagi. Contoh: Pagar makan tanaman.
(2) Ibarat (Simile)
Ibarat atau simile merupakan ungkapan yang membandingkan sesuatu, baik
orang maupun benda dengan hal lain menggunakan kata bagai, ibarat dan
sebagainya sebagai penghubung. Contoh: Bagai air di daun talas.
(3) Bidal
Bidal merupakan peribahasa yang berisi nasihat. Contoh: berakit-rakit
kehulu, berenang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.
(4) Perumpamaan
Perumpamaan adalah peribahasa yang berisi perbandingan antara hal yang
dimaksud (tidak diungkapkan) dengan perbandingan (diungkapkan). Penggunaan
perumpamaan dimanfaatkan untuk memperjelas gambaran dalam uraian, lazimnya
berkias sehingga biasanya terdiri dari dua kalimat. Contoh: Jangan berbicara
seperti ayam tanpa kepala.
(5) Pemeo
Pemeo merupakan ungkapan yang asal-muasalnya tidak diketahui yang
akhirnya diketahui dan dipergunakan oleh masyarakat umum. Selain itu, pemeo
juga bisa berarti sindiran, ejekan dan sebagainya. Contoh: sarwo edi=sarafe keno
edane ndadi. Kamseupay=kampungan sekali, udik, payah.
6) Citraan (imagery)
Citraan merupakan salah satu unsur puisi yang membawa pembaca atau
penikmat puisi masuk ke dalam pikiran penyair. Gambaran angan yang timbul
pada saat menikmati sebuah puisi ini berperan penting untuk menimbulkan
bayangan imajinatif, membentuk gambaran mental dan dapat membangkitkan
pengalaman tertentu pada pembaca.
Citraan adalah penggambaran mengenai objek berupa kata, frase, atau
kalimat yang tertuang di dalam puisi atau prosa. Penggunaan citraan dalam karya
sastra dimaksudkan agar pembaca dapat memperoleh gambaran konkret tentang
commit
to useratau penyair.
hal-hal yang ingin disampaikan oleh
pengarang
perpustakaan.uns.ac.id
45
digilib.uns.ac.id
Menurut Abriza (2011) kebanyakan kiasan (majas) memberikan sebuah
gambaran dalam pikiran pembaca. Gambar yang dibuat atau disarankan oleh
penyair disebut „imaji‟. Untuk berpartisipasi sepenuhnya dalam dunia puisi, kita
harus memahami bagaimana penyair menggunakan citra untuk menyampaikan
lebih dari apa yang sebenarnya dikatakan atau diartikan secara harfiah.
Most figures of speech cast up a picture in your mind. These pictures created or
suggested by the poet are called 'images'. To participate fully in the world of
poem, we must understand how the poet uses image to convey more than what is
actually said or literally meant.
Gambar pikiran yang muncul, yang timbul akibat kerja pancaindera akan
memberikan efek dalam pikiran. Efek tersebut dihasilkan dari penangkapan
pembaca terhadap suatu objek yang disajikan oleh penyair. Coombes (dalam
Pradopo, 1987: 80) mengemukakan bahwa dalam tangan seorang penyair yang
bagus, imaji itu segar dan hidup, berada dalam puncak keindahannya untuk
mengintensifkan, menjernihkan, memperkaya; sebuah imaji yang berhasil
menolong orang merasakan pengalaman penulis terhadap objek dan situasi yang
dialaminya, memberi gambaran yang setepatnya, hidup, kuat, ekonomis dan
segera dapat kita rasakan dan dekat dengan hidup kita sendiri.
Citraan dalam dunia fiksi dibedakan menjadi dua, yaitu citraan literal dan
citraan figuratif. Citraan literal adalah citraan yang tidak menimbulkan perubahan
atau perluasan arti kata-kata sedangkan citraan figuratif (majas) merupakan
citraan yang harus dipahami dalam beberapa arti. Oleh karena itu, dalam
menanggapi citraan figuratif sebuah karya sastra akan menjadi lebih mudah ketika
pembaca juga mempunyai pengalaman terhadap apa yang disajikan. Dalam hal ini
citraan biasanya bersifat mengingatkan kembali daripada membuat kesan pikiran
yang baru, sehingga pembaca terlibat dalam kreasi puisi tersebut.
Genre puisi umumnya dibatasi jumlah katanya dan tidak sebebas prosa atau
karya sastra lainnya. Hal inilah yang melatarbelakangi adanya citraan dalam
sebuah karya sastra, khususnya puisi. Adanya citraan diharapkan mampu
menggantikan jumlah kata yang minimal agar tetap mampu menyajikan gagasan
secara maksimal. Munculnya citraan dalam karya sastra tidak bisa dilepaskan dari
commit to user
adanya bahasa kias. Pemilihan kata juga memiliki keterkaitan yang sangat erat
46
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dalam menimbulkan citraan. Citraan juga bisa menjadi ciri khas pengarang yang
membedakan pengarang satu dengan pengarang lainnya.
Menurut Pradopo (1987: 81-87) dan Nurgiyantoro (2005: 304) citraan
dibagi menjadi tujuh jenis yaitu: (a) citraan penglihatan (visual imagery), (b)
citraan pendengaran (auditory imagery), (c) citraan penciuman (olfactory/smell
imagery), (d) citraan pengecapan (gustatory/taste imagery), (e) citraan gerak
(kinesthetic imagery), (f) citraan intelektual (intellectual imagery), dan (g) citraan
perabaan (tactile thermal imagery). Selain itu Situmorang (1983: 20-21) juga
menjelaskan adanya imajinasi organik.
(a) Citraan Penglihatan
Citraan penglihatan adalah gambaran yang ditimbulkan oleh penglihatan.
Menurut Situmorang (1983: 20) imajinasi visual ini menyebabkan pembaca
seolah-olah melihat sendiri apa yang dikemukakan atau diceritakan oleh penyair.
Citraan inilah yang sering muncul dalam sebuah karya sastra karena pengarang
umumnya mengemukakan ciri fisik dan karakter tokoh melalui citraan visual.
Selain itu perlukisan suasana biasanya juga memanfaatkan imaji visual ini.
Citraan penglihatan mampu memberi rangsangan kepada indera penglihatan
sehingga hal-hal yang tidak terlihat menjadi seolah-olah terlihat.
Contoh:
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara dibalik tirai
(Amir Hamzah, Padamu Jua)
(b) Citraan Pendengaran
Citraan pendengaran adalah citraan yang dihasilkan dengan menyebutkan
atau menguraikan bunyi suara, misalnya dengan munculnya diksi sunyi, tembang,
dendang, dentum, dan sebagainya. Citraan pendengaran berhubungan dengan
kesan dan gambaran yang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga).
Menurut Situmorang (1983: 20) imaji ini menyebabkan pembaca seperti
mendengar sendiri apa yang dikemukakan penyair. Imaji ini sering menggunakan
commit
user dari tiruan bunyi.
kata-kata onomatope yaitu kata-kata
yangto
berasal
47
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Contoh:
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
(Chairil Anwar, Sajak Putih)
Cit, cit, cit suara anak tikus yang bergumul dengan debu di kolong
ranjang usang.
(c) Citraan Penciuman
Citraan penciuman adalah citraan yang berhubungan dengan kesan atau
gambaran yang dihasilkan oleh indera penciuman. Citraan ini tampak saat kita
membaca atau mendengar kata-kata tertentu, kita seperti mencium sesuatu.
Walaupun imaji ini termasuk jenis imaji yang jarang dipergunakan dalam sebuah
karya sastra akan tetapi imaji ini memegang peran yang cukup penting dalam
menggiring imajinasi pembaca menuju gambaran yang disajikan oleh penyair.
Contoh:
Dua puluh tiga matahari
Bangkit dari pundakmu
Tubuhmu menguapkan bau tanah
(WS Rendra, Nyanyian Suto untuk Fatima)
(d) Citraan Pengecapan
Citraan pengecapan adalah citraan yang berhubungan dengan kesan atau
gambaran yang dihasilkan oleh indera pengecap. Citraan ini juga termasuk jarang
dipergunakan dalam sebuah karya sastra. Pembaca seolah-olah mencicipi sesuatu
yang menimbulkan rasa tertentu, pahit, manis, asin, pedas, enak, nikmat, dan
sebagainya. Dengan citraan ini sesuatu yang ditangkap oleh lidah menjadi mudah
dibayangkan oleh pembaca.
Contoh:
Dan kini ia lari kerna bini bau melati
Lezat ludahnya air kelapa
(WS Rendra, Ballada Kasan dan Patima)
commit to user
48
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(e) Citraan Gerak
Citraan gerak adalah gambaran tentang sesuatu yang seolah-olah dapat
bergerak, dapat juga merupakan gambaran gerak pada umumnya. Citraan gerak
termasuk jenis citraan yang sering dipergunakan dalam sebuah karya sastra karena
dianggap mampu membuat suatu hal terasa lebih hidup dan dinamis.
Contoh:
Pohon-pohon cemara di kaki gunung
pohon-pohon cemara
menyerbu kampung-kampung
bulan di atasnya
menceburkan dirinya ke kolam
membasuh luka-lukanya
(Abdulhadi, Sarangan)
(f) Citraan Intelektual
Citraan intelektual adalah citraan yang dihasilkan oleh/ dengan asosiasiasosiasi intelektual. Citraan ini dipengaruhi oleh pengalaman intelektual dari
pengarang yang kemudian dihidupkan kembali melalui karya sastranya. Imajinasi
pembaca dibangkitkan melalui asosiasi-asosiasi logika dan pemikiran.
Contoh:
Bumi ini perempuan jalang
yang menarik laki-laki jantan dan pertapa
ke rawa-rawa mesum ini
dan membunuhnya pagi hari
(Subagio Sastrowardoyo, Dewa Telah Mati)
(g) Citraan Perabaan
Citraan perabaan atau citraan yang berhubungan dengan kulit sebagai
indera peraba. Produktifitas citraan ini dalam sebuah karya sastra umumnya lebih
sedikit daripada imajinasi pendengaran dan penglihatan. Situmorang (1983: 21)
mengemukakan bahwa imaji ini menyebabkan kita seperti merasakan di bagian
kulit badan kita rasa nyeri, rasa dingin atau panas.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
49
digilib.uns.ac.id
(h) Imajinasi Organik
Imajinasi organik menurut Situmorang (1983: 21) merupakan imajinasi
badan, yang menyebabkan kita seperti melihat atau merasakan badan yang lelah,
lesu, loyo, ngantuk, lapar, lemas, mual, pusing dan lain-lain. Imajinasi ini
membuat pendengar seolah-olah merasakan kondisi atau keadaan badan yang
diceritakan oleh penyair.
c. Tujuan Stilistika
Stilistika sebagai salah satu kajian untuk menganalisis karya sastra.
Endraswara (2011: 72) mengemukakan bahasa sastra memiliki tugas mulia.
Bahasa memiliki pesan keindahan dan sekaligus pembawa makna. Tanpa
keindahan bahasa, karya sastra menjadi hambar. Keindahan suatu sastra
dipengaruhi oleh kemampuan penulis mengolah kata. Keindahan karya sastra juga
memberikan bobot penilaian pada karya sastra itu. Selain itu, menurut Sudjiman
dikutip Nurhayati (2008: 11) mengemukakan titik berat pengkajian stilistik adalah
terletak pada penggunaan bahasa dan gaya bahasa suatu sastra, tetapi tujuan
utamanya adalah meneliti efek estetika bahasa. Keindahan juga merupakan bagian
pengukur dan penentu dari sebuah sastra yang bernilai.
Penelitian stilistika menuju kepada bahasa, dalam hal ini merupakan bahasa
yang khas. Menurut Ratna (2009: 14) bahasa yang khas bukan pengertian bahwa
bahasa dan sastra berbeda dengan bahasa sehari-hari dan bahasa karya ilmiah. Ciri
khasnya yaitu pada proses pemilihan dan penyusunan kembali. Hal tersebut
merupakan analog dengan kehidupan sehari-hari dan merupakan proses seleksi,
manipulasi dan mengombinasikan kata-kata. Bahasa yang memiliki unsur estetis,
berbagai fungsi mediasi, dan emonsionalitas. Berkaitan dengan hal tersebut
Atmazaki (1990: 94) mengungkapkan bahwa tujuan stilistika adalah untuk
menerangkan bagaimana seorang sastrawan memanipulasi penggunaan bahasa di
dalam karya sastra untuk menghasilkan efek tertentu sesuai dengan prinsip
licentia poetica.
Dalam hal ini kekuatan dalam karya seni adalah kekuatan untuk
commit
to user
menciptakan kombinasi baru, bukan
objek
baru. Dengan demikian seperti yang
50
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
telah dikemukan sebelumnya jenis sastra puisilah yang dianggap sebagai objek
utama stilistika. Puisi memiliki medium yang terbatas sehingga keterbatasannya
sebagai totalitas puisi yang hanya terdiri dari beberapa baris harus mampu
menyampaikan pesan sama dengan sebuah cerpen, bahkan juga novel yang terdiri
dari banyak jumlah halaman.
Melalui stilistika dapat dijabarkan ciri-ciri khusus karya sastra. Berdasarkan
hal itu, Wellek dan Warren (1993: 226) menyatakan ada dua kemungkinan
pendekatan analisis stilistika dengan cara semacam itu. Yang pertama dianalisis
secara sistematis tentang sistem linguistik karya sastra, kemudian membahas
interprestasi tentang ciri-cirinya dilihat berdasarkan makna total atau makna
keseluruhan. Melalui hal ini akan muncul sistem linguistik yang khas dari karya
atau sekelompok karya. Pendekatan yang kedua yaitu mempelajari sejumlah ciri
khas yang membedakan sistem satu dengan yang lainnya. Analisis stilistika
dilakukan dengan mengamati deviasi-deviasi seperti pengulangan bunyi, inversi
susunan kata, susunan hierarki klausa yang semuanya mempunyai fungsi estetis
penekanan, atau membuat kejelasan, atau justru kebalikannya yang membuat
makna menjadi tidak jelas.
B. Penelitian Relevan
Eko Marini (2010), dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Stilistika
Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata” menganalisis pemakaian bahasa di
dalam novel tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan keunikan
pemilihan dan pemakaian kosakata, kekhususan aspek morfologis dan sintaksis,
pemakaian gaya bahasa figuratif yang meliputi idiom, arti kiasan, konotasi,
metafora, metonimia, simile, personifikasi, hiperbola, yang terdapat dalam novel
Laskar Pelangi. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa penulis mampu
menonjolkan keunikan pemilihan dan pemakaian kosakata yang spesifik dan lain
dari yang lain. Keunikan tersebut dilatarbelakangi oleh faktor sosial budaya dan
pendidikan penulis. Hal itu menghasilkan style tersendiri yang menjadi ciri khusus
Andrea Hirata dalam menuangkan gagasannya melalui novel Laskar Pelangi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
51
digilib.uns.ac.id
Persamaannya dengan penelitian Antologi Puisi O Amuk Kapak karya
Sutardji C. B. (Sebuah Kajian Stilistika) adalah kedua penelitian ini menggunakan
kajian yang sama yaitu kajian stilistika. Pada penelitian Analisis Stilistika Novel
Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata objek kajian yang dipilih adalah novel
Laskar Pelangi sedangkan pada penelitian ini objek yang dikaji adalah antologi
puisi O Amuk Kapak karya Sutardji C. B.
Penelitian yang dilakukan oleh Endah Wahyu Retno (2010) yang berjudul
“Lirik Lagu Religi Grup Band Ungu dalam Album Aku dan Tuhanku: Sebuah
Pendekatan Stilistika” berusaha menganalisis lirik lagu dari sudut pandang
stilistika. Dari hasil analisis Lirik Lagu Ungu dalam album Aku dan Tuhanku
dengan menggunakan pendekatan stilistika diperoleh simpulan sebagai berikut:
(1) Stilistika yang terdapat dalam masing-masing lirik lagu merupakan sarana dan
pengungkapan makna lirik lagu. Stilistika yang terwujud dalam struktur fisik
kelima lirik lagu mengungkapkan makna dengan bahasa yang mengandung efek
estetis dan disesuaikan dengan musik yang mengiringinya, (2) Tema, perasaan,
nada dan suasana, dan amanat merupakan bentuk makna yang terdapat dalam lirik
lagu Dengan NafasMu, Hidup Hanya Sementara, Syukur, CahayaMu, dan Doa
Yang Terlupakan. Kelima lagu tersebut mempunyai tema yang sama, yaitu tema
ketuhanan. Perasaan yang dimunculkan oleh penyair pada lirik lagu satu dengan
yang lainnya berbeda-beda. Nada religi yang penuh perenungan terdapat pada
semua lirik lagu. Nada tersebut menimbulkan suasana penuh kekhusyukan untuk
beribadah kepada Tuhan lebih baik lagi. Amanat yang disampaikan kelima lirik
lagu adalah sebagai manusia hendaknya selalu berusaha menjadi yang terbaik di
hadapan Tuhan. Caranya dengan memperbanyak amalan ibadah dengan selalu
beriman dan bertakwa kepada Tuhan. Menjalankan segala perintah-Nya dan
menjauhi segala larangan Tuhan. Selain itu, salah satu bentuk rasa terimakasih
kita pada Tuhan, hendaknya kita selalu bersyukur.
Sudut pandang dalam penelitian di atas yang digunakan mengkaji objek
penelitian sama dengan penelitian yang dilakukan peneliti yaitu kajian stilistika.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah
commititu
to penelitian
user
objek kajiannya yaitu lirik lagu. Selain
ini hanya mengkaji struktur
perpustakaan.uns.ac.id
52
digilib.uns.ac.id
batin dan kurang terfokus pada bidang kajian stilistika yang meliputi gaya bunyi,
gaya kata, gaya kalimat dan citraan.
Anggrarani Cahya (2009) dalam penelitiannya yang berjudul, “Kajian
Stilistika Parikan dalam Acara Guyon Maton Radio Swiba (Swara Intan Pari
Membangun) Karanganyar” menganalisis parikan dan gaya bahasa yang
dipergunakan. Hasil analisis data adalah sebagai berikut: 1) Parikan dalam GM
Radio Swiba terdiri dari parikan camboran atau parikan empat baris dan parikan
lamba atau parikan dua baris. 2) Gaya Bahasa ini dapat dilihat dari bunyi yang
membingkai keindahan, didapat pada penggunaan pola rima dan purwakanthi.
Dipandang dari kata yaitu dalam pilihan kata dipergunakan ragam informal karena
merupakan bentuk lisan terdapat penggunaan bahasa Indonesia, tingkat tutur
bahasa Jawa, kata sapaan, penyingkatan kata, dan partikel. Gaya penyusunan
kalimatnya terdapat variasi kalimat padat dengan pelesapan dan pengulanganpengulangan atau GB repetisi. Serta penggunaan bahasa kias atau majas meliputi
GB metafora dan Simile. 3) Sebagai bentuk kebahasaan parikan juga memiliki
fungsinya meliputi fungsi emotif untuk menciptakan humor dan menyampaikan
sindiran, fungsi fatis meningkatkan relasi dengan sesama dan fungsi konatif untuk
menasehati.
Penelitian di atas terfokus pada bentuk kebahasaan parikan dan gaya bahasa
yang terkandung di dalamnya. Parikan sebagai objek kajian merupakan bentuk
komunikasi lisan, sedangkan antologi puisi Sutardji C.B. yang menjadi objek
kajian penelitian ini berbentuk tertulis. Selain itu pengkajian lebih sederhana
mengingat hanya ragam gaya bahasa, variasi kalimat dan diksi atau pilihan kata
yang mendapatkan perhatian.
Dani Wiryanti (2009), dalam penelitiannya yang berjudul Syiir Ngudi
Susila Karya Kiai Bisri Mustofa (Suatu Kajian Stilistika) memperoleh simpulan:
(1) pilihan kata yang terdapat dalam Syiir Ngudi Susila yaitu sinonim, antonim,
tembung saroja, tembung plutan (aferesis), kosakata Kawi dan Arab, serta struktur
morfologi yang berupa afiksasi dan reduplikasi. Afiksasi yang terdapat dalam syiir
Ngudi Susila antara lain infiks {-um-/-em-}, infiks {in-}, sufiks {-e/-ne}, sufiks {commit
to user hanya ada 3 yakni dwilingga
an}, dan sufiks {-ana}. Sedangkan
reduplikasi
perpustakaan.uns.ac.id
53
digilib.uns.ac.id
wutuh, dwilingga salin swara, dan dwipurwa. (2) Gaya bahasa yang ditemukan
ada 6 macam yaitu (a) aliterasi ditandai dengan pengulangan konsonan /k/, /l/, /b/,
/w/, /p/, /h/, /c/, /s/, /n/, /r/, /j/, /t/; (b) asonansi ditandai dengan pengulangan huruf
vokal /a/, /i/, /u/, /e/, /o/; (c) repetisi epizeuksis, yaitu pengulangan kata berkalikali yang berfungsi untuk menunjukkan bahwa kata-kata tersebut penting; (d)
repetisi anafora, pengulangan kata pada awal kalimat berfungsi untuk
menyelaraskan bunyi; (e) repetisi mesodiplosis (pengulangan kata pada tengahtengah kalimat); dan (f) simile yang ditandai dengan kata „kaya‟. (3) Isi yang
terkandung dalam syiir Ngudi Susila merupakan ajaran-ajaran penting dan
bermanfaat. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan oleh
peneliti adalah penelitian di atas tidak menganalisis citraan yang digunakan dalam
syiir tersebut.
Eny Puspitosari (2011) menganalisis ritual panyandra penganten dari sudut
pandang stilistika dalam penelitiannya yang berjudul “Kajian Stilistika Panyandra
Penganten Adat Jawa Surakarta”, Berdasarkan hasil analisis data dapat
disimpulkan sebagai berikut: (1) Pemanfaatan atau pemilihan bunyi-bunyi bahasa
yang dipergunakan dalam PPJAS ditemukan adanya purwakanthi yaitu
purwakanthi swara “asonansi”, purwakanthi sastra “aliterasi”, purwakanthi
lumaksita. (2) Pemilihan kata atau diksi dalam PPJAS yaitu digunakannya (a)
tembung rangkep yang meliputi dwipurwa, dwilingga, dwilingga salin swara, (b)
tembung garba “sandi”, (c) antonim, (d) sinonim, (e) kata-kata kawi, (f) afiksasi
arkhais. (3) Pemakaian gaya bahasa dalam PPJAS adalah gaya bahasa berdasarkan
langsung tidaknya makna yaitu (a). gaya bahasa retoris: anastrof, asidenton,
pleonasme, erotesis, hiperbola, (b). gaya bahasa kiasan: simile, metafora,
personifikasi, eponim. Pemakaian gaya bahasa memberikan kesan yang lebih
indah dan estetis.
Perbedaan penelitian yang dilakukan peneliti dengan penelitian yang
berjudul Kajian Stilistika Panyandra Penganten Adat Jawa Surakarta adalah pada
penelitian tersebut lebih menitikberatkan pada aspek diksi dan gaya bahasa (gaya
kata dan gaya kalimat), sehingga untuk gaya bunyi dan citraan belum dibahas.
commit to user
54
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. Kerangka Berpikir
Karya sastra mempunyai beragam jenis dan genre. Keanekaragaman ini
memberikan keleluasaan bagi sastrawan untuk menuangkan ekspresinya. Antologi
puisi O Amuk Kapak karya Sutardji Calzoum Bachrie merupakan salah satu karya
sastra yang menarik untuk dikaji karena keunikannya. Keunikan ini muncul
karena jenis puisi yang ditampilkan adalah jenis puisi kontemporer, sehingga dari
semua aspek sangat menarik untuk dikaji dari sudut pandang stilistika. Hal ini
terjadi karena antologi puisi Sutardji ini menggunakan pilihan kata dengan gaya
bahasa yang khas. Dari tujuh judul puisi pilihan peneliti, ditengarai mengandung
aneka gaya bahasa yang beragam. Penerapan kajian stilistika dalam penelitian ini
dimaksudkan untuk memfokuskan penelitian pada aspek gaya bahasa yang
digunakan penyair. Langkah kerja dalam penelitian ini sebagai berikut:
1.
memahami tujuh puisi yang menjadi objek penelitian. Pemahaman bertujuan
untuk menemukan gaya bahasa yang digunakan oleh penyair.
2.
mengemukakan dan mengindentifikasi serta mengelompokkan data pada
masing-masing aspek kajian stilistika karya sastra. Dalam kajian stilistika,
pemilihan aspek itu meliputi: (1) gaya bunyi (fonem), (2) gaya kata (diksi),
(3) gaya kalimat (sintaksis), dan (4) citraan (imagery)
Langkah-langkah di atas menghasilkan simpulan yang merupakan hasil
akhir dari penelitian ini. Rumusan kerangka berpikir dapat dilihat dari diagram
berikut ini:
commit to user
55
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Karya Sastra
Antologi Puisi O Amuk Kapak karya Sutardji C.B.
Pendekatan Stilistika
Gaya Bunyi
Gaya Kalimat
Gaya Kata
Simpulan
Gambar 1. Kerangka Berpikir
commit to user
Citraan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan yaitu bulan Maret sampai Agustus
2012, dengan Antologi O Amuk Kapak karya Sutardji C.B. sebagai objek
penelitian. Dengan demikian, aktivitas penelitian terfokus untuk menganalisis
gaya bahasa dalam antologi puisi tersebut.
Rincian waktu dan jenis kegiatan dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian
Jenis Kegiatan
Bulan
Maret
2012
Rincian Waktu
1. Pengajuan judul
2. Penyusunan
proposal
3. Pengajuan proposal
4. Revisi proposal
5. Penyusunan izin
penelitian
6. Penyusunan Bab
1, 2, 3
7. Pengajuan Bab
1, 2, 3
8. Penyusunan
Bab 4, 5
9. Pengajuan Bab 4, 5
10. Penyusunan laporan
x
-
-
April
2012
-
x
x
-
-
x
-
Mei
2012
Juni
2012
Juli
2012
Agust
2012
X x
x
-
x
-
x
-
x
x
-
-
-
-
-
x
x
x
-
-
-
-
x
x
x
-
-
-
x
x
x
-
-
-
-
x
x
x
-
-
x
commit to user
56
x
x
-
57
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu metode yang
memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan data, menganalisis dan
menginterpretasikan hubungan kausal fenomena yang diteliti. Data yang diperoleh
berupa dokumen yang terurai dalam bentuk kata-kata, bukan dalam bentuk angka.
Sesuai dengan teori, kajian sastra khususnya puisi, bisa menggunakan
berbagai teknik pendekatan dalam penelitiannya. Teknik pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan stilistika, suatu pendekatan
yang menganalisis karya sastra dari aspek gaya bahasa yang digunakan oleh
pengarangnya.
C. Data dan Sumber Data
Menurut Ratna (2007: 47) sumber data penelitian kualitatif dalam ilmu
sastra adalah karya, naskah, data penelitian, sebagai data formal adalah kata,
kalimat dan wacana. Data yang digunakan dalam penulisan ini bersumber dari
antologi puisi Antologi Puisi O Amuk Kapak karya Sutardji Calzoum Bahrie
sebagai fokus utama kajian yang selanjutnya disebut sebagai data primer dan
buku-buku yang relevan dengan masalah yang ingin dipecahkan yang menjadi
sumber data sekunder.
D. Teknik Sampling
Sebagian dari populasi yang diharapkan dapat menggambarkan atau
mewakili sifat populasi disebut sampel (Semi dalam Sangidu, 2004: 62). Oleh
karena itu pengambilan sampel penelitian harus memperhatikan beberapa hal,
diantaranya sampel yang dipilih harus mampu mencerminkan sifat populasi secara
keseluruhan.
Pengambilan sampel dilakukan secara selektif
atau yang biasa disebut
purposive sampling atau internal sampling, yakni pengambilan sampel karena
pertimbangan tertentu. Purposive sampling adalah pengambilan data yang
dilakukan dengan cara memilih dokumen yang dianggap dapat menjadi sumber
commit
to user pengambilan sampel yaitu jenis
data yang tepat. Pertimbangan yang
mendasari
58
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan jumlah gaya bahasa yang dipergunakan dalam objek yang akan dikaji, karena
penelitian ini terpusat pada penggunaan gaya bahasa.
E. Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah analisis isi (content
analysis). Langkah pertama yang dilakukan dalam proses pengumpulan data ialah
melakukan pembacaan dan penghayatan sumber data utama yakni tujuh puisi
terpilih dalam Antologi Puisi O Amuk Kapak. Selanjutnya, pengumpulan data
dilakukan dengan analisis isi yang meliputi teknik simak dan catat serta teknik
pustaka. Dasar pelaksanaan metode analisis isi adalah penfsiran yang memberikan
perhatian kepada isi pesan (Ratna, 2007: 49).
F. Validitas Data
Validitas data menggunakan dilakukan dengan menggunakan teknik
triangulasi. Teknik triangulasi adalah teknik validitas data dengan memanfaatkan
sarana di luar data itu (Moleong, 2000: 178). Teknik ini terdiri dari empat macam,
yaitu triangulasi sumber, metode, penyidik dan teori. Dalam penelitian ini teknik
yang digunakan adalah teknik triangulasi teori.
Teknik trianggulasi teori dilakukan ketika proses analisis dilakukan dengan
beberapa teori yang relevan. Trianggulasi teori adalah pemeriksaan kebenaran
data hasil analisis dengan menggunakan teori yang berbeda akan tetapi membahas
masalah yang sama. Menurut Patton (dalam Moleong, 2000: 179) triangulasi teori
dinamakan dengan penjelasan banding (rival explanation).
G. Analisis Data
Analisis data bertujuan menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih
mudah dibaca dan diinterpretasikan (Sangidu, 2004: 73). Dalam penelitian ini
teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis mengalir (flow model of
analysis) yang bergerak dalam tiga komponen yaitu reduksi data, penyajian data
dan penarikan simpulan.
commit to user
59
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Analisis ini dimulai dengan pengumpulan data. Setelah data terkumpul,
penulis mengidentifikasi masalah yang terkandung dalam data. Data kemudian
diolah melalui proses yang dimulai dengan pengumpulan data, lalu dilakukan
reduksi data, selanjutnya penyajian data dan penarikan simpulan dan verifikasi.
1. Pengumpulan Data
Data yang telah terkumpul kemudian diklasifikasikan untuk mempermudah
proses analisis.
2. Reduksi Data
Data yang telah diperoleh kemudian dipilih untuk memfokuskan penelitian.
3. Penyajian Data
Data yang telah dipilih kemudian diorganisasikan sehingga memungkinkan
penarikan kesimpulan.
4. Simpulan
Tahap ini merupakan tahap yang paling penting dalam penelitian. Penarikan
simpulan ini dilakukan berdasarkan informasi yang diperoleh dalam analisis
data yang selanjutnya dilakukan penafsiran terhadap simpulan yang diperoleh.
(Al-Ma‟ruf, 2010: 89-90)
H. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian merupakan proses yang melukiskan kegiatan sejak awal
persiapan sampai penyusunan laporan penelitian. Adapun prosedur penelitian
yang dilakukan meliputi tahap-tahap sebagai berikut:
1. Persiapan
Pada tahap persiapan dilakukan kegiatan sebagai berikut:
a. Menentukan antologi puisi yang hendak dianalisis yang dirasa mampu
memberikan gambaran tentang gaya bahasa yang khas yang
dipergunakan oleh penyair.
b. Mengurus surat perijinan
2. Pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan dilakukan kegiatan sebagai berikut:
commit to user
a. Menentukan gaya bahasa dari puisi yang dianalisis.
60
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Mengelompokkan data berdasarkan kajian stilistika yang digunakan.
c. Penarikan simpulan.
3. Penyajian hasil penelitian
Penulisan atau penyajian hasil penelitian dilakukan dalam bentuk skripsi
lengkap dengan aturan penulisan skripsi yang telah ditentukan.
.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV
TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data
Gaya Bahasa dalam Antologi Puisi O Amuk Kapak
Sebagai salah satu bentuk karya sastra, puisi menggunakan bahasa sebagai
media
pengungkapannya.
Penggunaan
bahasa
dalam
puisi
mempunyai
karakteristik tersendiri yaitu dengan bentuk yang padat tetapi mampu
mengungkapkan sesuatu secara intensif daripada bahasa yang digunakan dalam
komunikasi pada umumnya. Pemadatan bahasa dalam puisi dilakukan dengan
teknik tertentu dengan memperhatikan unsur artistik sebagai bagian dari karya
sastra. Sebagai salah satu wujud karya seni, keindahan menjadi sesuatu yang
mutlak sifatnya yang harus dimiliki oleh sebuah puisi.
Masing-masing penyair memiliki kekhasan yang dapat dilihat melalui gaya
bahasa yang digunakan maupun bentuk puisi yang membedakan dengan karya
penyair lainnya. Dengan ciri khas tersebut, walaupun sebuah karya diilhami oleh
ide yang sama maka akan muncul bentuk karya yang berbeda. Keanekaragaman
gaya bahasa mengakibatkan banyaknya variasi dan jenis karya sastra dari penyair.
Dengan demikian, gaya bahasa memegang peranan penting dalam proses
penyampaian gagasan serta pengekspresian gagasan oleh penyair.
Sebuah karya sastra terbentuk dari kata yang memiliki beberapa macam
makna, antara lain makna emotif, ekspresif maupun makna sebenarnya atau
makna netral. Kata dapat diolah dan digunakan sesuai dengan kemauan penyair
sehingga menunjukkan bagaimana kepribadian dan cara penyair dalam menyikapi
sebuah fenomena atau persoalan. Dalam pemanfaatannya, kata dan gaya bahasa
bersifat individual, bergantung pada penyair dan pengalamannya. Oleh karena itu,
pemanfaatan
kata
dan
gaya
bahasa
mencerminkan
sastrawan
yang
menggunakannya.
Salah satu karya sastra yang sangat berbeda dan mampu mencerminkan
penyairnya adalah antologi puisi O Amuk Kapak. Penggunaan bahasa yang
commit to
user
berbeda dengan jenis puisi konvensional
menjadikan
puisi-puisi tersebut semakin
61
62
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menarik. Kepiawaian penyair dalam menyusun bunyi bahasa dan kata-kata dalam
tiap baris menjadikan puisi-puisi tersebut mengandung gaya bahasa yang kuat
serta mampu mencerminkan kepribadian pengarang. Dalam satu puisi terdapat
beberapa gaya bahasa yang digunakan secara bersama-sama, misalnya hiperbola,
ironi, aliterasi, asonansi, dan sebagainya.
Dalam puisi DapatKau? Sutardji bermain dengan pemenggalan dan
penggabungan kata dan menyusunnya dengan tipografi yang unik, yaitu disusun
menurun membentuk garis miring. Selain itu dalam setiap puisinya Sutardji
menggunakan gaya bahasa yang sangat khas dan kental. Hal ini sangat mudah
diketahui walaupun penikmat hanya membaca secara sepintas lalu.
Antologi puisi O Amuk Kapak terdiri dari 67 puisi yang kemudian dipilih
tujuh buah puisi yang selanjutnya menjadi objek kajian dalam penelitian stilistika.
Pemilihan tujuh judul tersebut didasari pertimbangan bahwa dalam puisi tersebut
tedapat gaya bahasa yang dianggap mampu mewakili keseluruhan puisi yang
terdapat dalam antologi puisi tersebut.
Dengan mempertimbangkan dasar pemikiran tersebut maka ditentukan
puisi yang dipilih sebagai objek dalam penelitian ini adalah: Mantera, Batu, O,
Perjalanan Kubur, Kapak, Daging dan Sejak.
B. Analisis Stilistika Puisi
Pada bagian ini, objek penelitian akan dikaji berdasakan aspek stilistikanya.
Antologi puisi O Amuk Kapak akan dianalisis dalam empat aspek kajian yaitu
gaya bunyi, gaya kata, gaya kalimat dan citraannya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
63
digilib.uns.ac.id
PUISI PERTAMA: MANTERA
lima percik mawar
tujuh sayap merpati
sesayat langit perih
dicabik puncak gunung
sebelas duri sepi
dalam dupa rupa
tiga menyan luka
mengasapi duka
puah!
kau jadi Kau
Kasihku
1. Gaya Bunyi
Unsur bunyi merupakan unsur yang penting untuk menghasilkan irama
guna mencapai aspek estetika sebuah puisi. Selain itu menurut Pradopo (1993: 22)
adalah untuk memperdalam ucapan, menimbulkan bayangan angan yang jelas,
menimbulkan suasana khusus dan sebagainya.
Bunyi dalam bahasa dibagi menjadi dua jenis yaitu bunyi vokal dan
konsonan. Kedua jenis bunyi inilah yang dimanfaatkan oleh penyair untuk
menciptakan efek tertentu. Kepiawaian penyair dalam menyusun bunyi vokal dan
konsonan akan menimbulkan irama yang mirip seperti bunyi musik. Bunyi yang
merdu ini akan menggiring perasaan serta imaji-imaji dalam pikiran dan
pengalaman dalam jiwa pendengarnya, mengikuti apa yang disampaikan oleh
penyair.
Puisi di atas mengandung aliterasi dan asonansi yang menimbulkan nada
dan irama yang merdu dan indah. Dalam puisi tersebut juga terdapat pola-pola
yang dibentuk oleh susunan bunyi konsonan dan vokal. Puisi ini termasuk pada
commit
usertiap baitnya tidak sama dan tidak
puisi bebas yang sehingga jumlah
larik to
pada
perpustakaan.uns.ac.id
64
digilib.uns.ac.id
terikat oleh rima. Puisi Mantera terdiri dari dua bait. pada bait pertama terdapat 8
larik, kemudian pada bait kedua terdapat 3 larik.
Asonansi merupakan paduan bunyi vokal dari kata yang berbeda, baik
diikuti oleh konsonan yang sama maupun berbeda dalam larik yang sama
(Aminuddin, 1995: 147). Dalam puisi Mantera ini terdapat berbagai jenis
asonansi dengan bunyi vokal yang berbeda-beda. Asonansi yang ditemukan antara
lain:
//lima percik mawar//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /i/ dan /a/.
// tujuh sayap merpati//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/.
//sesayat langit perih//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /e/, /a/ dan
/i/.
//dicabik puncak gunung//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan
/u/.
//sebelas duri sepi//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /e/ dan /i/.
//dalam dupa rupa//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /u/.
//tiga menyan luka//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/.
//mengasapi duka//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/.
Sedangkan pada bait kedua asonansi terdapat dalam baris kedua yaitu:
//kau jadi Kau//asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /au/
Sementara itu aliterasi, yang merupakan pengulangan bunyi konsonan
yang sama yang dapat menimbulkan irama untuk memperoleh efek estetis juga
ditemukan di beberapa baris. Misalnya:
//lima percik mawar//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /m/.
//tujuh sayap merpati//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /t/.
//sesayat langit perih//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /t/.
//dicabik puncak gunung//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /c/,
/k/, dan /n/.
//sebelas duri sepi//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /s/.
//dalam dupa rupa//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /d/ dan p/.
Dalam bait kedua hanya ada satu baris yang mengandung aliterasi, yaitu:
commit
user bunyi konsonan /k/.
//kau jadi Kau//, aliterasi ditemukan
pada to
paduan
perpustakaan.uns.ac.id
65
digilib.uns.ac.id
Puisi Mantera merupakan puisi dengan tema religius yang mengandung
gaya bunyi yang bervariasi. Asonansi dan aliterasi muncul pada hampir setiap
larik sehingga menimbulkan keindahan yang memikat. Keberadaan asonansi dan
aliterasi merupakan sarana bagi penyair dalam menciptakan penguatan suasana.
Secara keseluruhan dalam puisi ini muncul kakafoni yang timbul dari paduan
vokal /p/, /d/, /s/, /k/, /t/ dan sebagainya sehingga suasana yang tercipta adalah
suasana yang kurang menyenangkan, mencekam dan sebagainya.
2. Gaya Kata
Pilihan kata yang cermat akan membuat sebuah karya sastra menjadi lebih
menarik sekaligus mampu mencapai kedalaman makna. Mantera dibentuk dari
kata-kata yang biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari yang disusun
dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu sehingga menghasilkan baris dengan
rangkaian kata yang indah dan penuh makna. Untuk memperoleh makna yang
dibawa penyair dalam puisinya, pembaca harus mencerna tiap kata yang disusun
secara unik.
Kata yang digunakan dalam puisi Mantera sebenarnya adalah kata-kata
yang sederhana, namun dengan penyusunan yang unik maka kata yang sederhana
tersebut terlihat kompleks. Kata-kata diwujudkan sebagai simbol dan mengandung
makna konotatif sehingga membuat puisi ini semakin menarik. Selain pilihan kata
yang cermat, penempatan tiap kata juga mendapatkan perhatian dari pengarang.
Dalam puisi ini terdapat kata serapan dari bahasa daerah Jawa yaitu “menyan”,
dalam bahasa Indonesia adalah kemenyan yang berarti dupa dari tumbuhan yang
harum baunya ketika dibakar.
Kata-kata yang bernilai denotatif tetap digunakan untuk membantu
pembaca dalam memahami puisi Sutardji ini, namun konotasi yang merupakan
bahasa figuratif lebih banyak digunakan dalam puisi ini. Penggunaan konotasi
atau kata yang bernilai kias menyebabkan baris atau larik dalam puisi menjadi
lebih padat. Dalam baris //lima percik mawar//, kata percik yang dirangkaikan
dengan mawar menimbulkan berbagai penafsiran. Lima, percik dan mawar samauser
sama merupakan kata benda. commit
Percikto sendiri
berarti titik-titik air yang
perpustakaan.uns.ac.id
66
digilib.uns.ac.id
berhamburan, sehingga dapat dimaknai sebagai lima kali percikan dari mawar
yang dicelupkan ke air.
Demikian juga dengan baris //tujuh sayap merpati//, yang kemudian
memunculkan adanya majas sinekdoke pars pro toto. Munculnya majas ini
didasarkan pada pemikiran bahwa tujuh sayap merpati yang mengacu pada tujuh
ekor burung merpati.
Beberapa kata bilangan juga digunakan dalam puisi, yaitu kata lima, tujuh,
sebelas dan tiga. Penggunaan kata bilangan selain menambah unsur keindahan
juga dapat merangsang citraan pembaca terhadap obyek yang dimaksud.
Secara keseluruhan, diksi yang digunakan dalam puisi tersebut adalah
kata-kata sederhana yang biasa digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Sutardji
sengaja membiarkan kata-kata muncul apa adanya, sehingga imbuhan pun
kadang-kadang tidak dipergunakan. Rangkaian kata yang tidak lazim menjadikan
kata-kata yang sebenarnya sangat sederhana menjadi lebih bermakna. Bahkan
makna yang dihasilkan lebih dalam dan luas. Majas yang digunakan dalam puisi
ini adalah sinekdoke pars pro toto dan penggunaan kata bilangan.
3. Gaya Kalimat
Kalimat merupakan wujud verbal karya sastra yang menentukan gaya
pengarang. Penyiasatan stuktur kalimat sering dipergunakan untuk menciptakan
baris-baris yang padat dan penuh makna. Puisi Mantera kental dengan
penyiasatan struktur kalimat, sehingga puisi yang menggunakan kata sederhana
mampu memikat dan menyampaikan makna yang luas.
Kalimat sederhana mendominasi setiap baris. Pada baris //lima percik
mawar// dan //tujuh sayap merpati// sebenarnya merupakan frase yang menduduki
fungsi obyek. Pada dua baris selanjutnya yaitu //sesayat langit perih//dicabik
puncak gunung// muncul kalimat yang mempunyai subyek, predikat dan obyek.
Kalimat tersebut termasuk dalam kalimat lengkap. Kalimat lengkap juga terdapat
dalam baris //tiga menyan luka //mengasapi duka//. Pada bait terakhir terdapat
baris yang berisi kalimat imperatif atau kalimat perintah. Kalimat tersebut terdapat
commit to user
67
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dalam baris //puah!//kau jadi Kau!//, yang ditandai dengan akhir kalimat yang
ditutup dengan tanda seru (!).
Puisi ini merupakan puisi dengan susunan kalimat yang sederhana dengan
hubungan antara kalimat yang terkesan lepas atau terpisah. Akan tetapi
sebenarnya kalimat-kalimatnya mempunyai gagasan yang utuh.
4. Citraan
Dalam menciptakan puisi, gambaran yang jelas mengenai isi puisi tersebut
harus muncul dengan jelas dalam benak pembaca. Gambar angan atau citraan
tersebut akan menimbulkan suasana yang ingin dihadirkan pengarang untuk
pembacanya. Demikian pula pada puisi Mantera ini, penyair menggunakan citraan
untuk menggiring pembaca pada efek atau suasana yang diinginkan.
//lima percik mawar//
//tujuh sayap merpati//
Pada baris pertama dan kedua, citraan yang muncul adalah citraan
penglihatan.
//sesayat langit perih//
//dicabik puncak gunung//
Kemudian pada baris ketiga dan keempat muncul citraan perabaan yang
muncul melalui kata perih dan dicabik.
//sebelas duri sepi//
//dalam dupa rupa//
//tiga menyan luka//
//mengasapi duka/
Pada baris selanjutnya citraan penglihatan lebih kental. Penggunaan kata
bilangan yaitu sebelas dan tiga semakin memperjelas gambar angan pembaca
mengenai obyek yang dimaksud.
//puah!//
//kau jadi Kau!//
//Kasihku//
commit to user
68
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Bait terakhir didominasi oleh citraan pendengaran. Baris dalam bait
terakhir ini hadir sebagai bentuk dialog sehingga citraan yang muncul adalah
citraan pendengaran.
Secara keseluruhan, citraan yang menonjol dalam puisi ini adalah citraan
penglihatan dan pendengaran karena puisi ini berisi gambaran tentang penggunaan
mantera dengan suasana magis yang melingkupinya. Citraan penglihatan dan
pendengaran dirasa mampu memberikan gambar angan yang kuat bagi
pembacanya. Sedangkan citraan perabaan digunakan untuk melengkapi kekuatan
gambar angan yang ingin diciptakan oleh penyair.
commit to user
69
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
PUISI KEDUA: BATU
batu mawar
batu langit
batu duka
batu rindu
batu jarum
batu bisu
kaukah itu
teka
teki
yang
tak menepati janji?
Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan
hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan
seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh?
Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampai mengapa
gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk
diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai sedang
lambai tak sampai. Kau tahu?
batu risau
batu pukau
batu Kau-ku
batu sepi
batu ngilu
batu bisu
kaukah itu
teka
commit
teki to user
70
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang
tak menepati
janji?
1. Gaya Bunyi
Puisi Batu adalah puisi yang bercerita tentang pencarian seseorang
mengenai hakikat kehidupan. Kehidupan yang penuh dengan teka-teki ini akan
dilalui dengan ketegaran serta sikap yang keras dan teguh pendirian layaknya
sebuah batu. Keberadaan asonansi dan aliterasi dimanfaatkan dengan baik oleh
penyair untuk memperoleh efek musikalisasi yang menambah nilai estetika
sebuah puisi.
Adapun asonansi yang ditemukan pada bait pertama adalah:
/batu mawar//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/.
//batu langit//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/.
//batu duka//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /u/.
//batu rindu//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/.
//batu jarum//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /u/.
//batu bisu//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/.
//kaukah itu//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/.
//tak menepati janji?//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /i/
Pada bait kedua asonansi yang muncul antara lain:
//Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan//, asonansi
ditemukan pada paduan bunyi vokal /e/, /a/, /i/ dan /u/.
//hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan//, asonansi ditemukan
pada paduan bunyi vokal /a/, /i/, /u/ dan /e/.
//seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh?//, asonansi
ditemukan pada paduan bunyi vokal /e/, /i/, /u/ dan /a/.
//Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampai mengapa//, asonansi
ditemukan pada paduan bunyi vokal /e/, /a/ dan /u/.
//gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk//, asonansi
commit
to user
ditemukan pada paduan bunyi vokal
/u/, /a/,
/e/ dan /ai/.
71
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
//diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai sedang//, asonansi
ditemukan pada paduan bunyi vokal /i/, /e/, /a/ dan /ai/.
//lambai tak sampai. Kau tahu?//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal
/a/ dan /ai/.
Penyair juga menggunakan aliterasi dalam puisi ini. Penggunaan alitersi
pada bait pertama, yaitu pada baris:
//batu langit//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /t/.
//batu bisu//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /b/.
//tak menepati janji?//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /t/ dan
/n/.
Selanjutnya pada bait kedua, aliterasi terdapat dalam baris:
//Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan//, aliterasi
ditemukan pada fonem /d/, /ng/, /s/, /r/, /n/, /t/, /b/ yang dipakai secara berulang
pada satu baris.
//hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan//, aliterasi ditemukan
pada paduan bunyi konsonan /h/, /t/, /k/, /s/, /b/, /ng/ dan /d/.
//seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh?//, aliterasi
ditemukan pada paduan bunyi konsonan /s/, /r/, /b/, /ng/, /t/, /d/, /h/dan /k/.
//Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampai mengapa//, aliterasi
ditemukan pada paduan bunyi konsonan /m/, /ng/, /h/, /s/, /t/, /r/, /p/, dan /d/.
//gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk//, aliterasi
ditemukan pada paduan bunyi konsonan /ng/, /s/, /t/, /m/ dan /k/.
//diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai sedang//,
aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /d/, /k/, /t/, /s/, /m/ dan /ng/.
//lambai tak sampai. Kau tahu?/, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi
konsonan /m/, /t/ dan /k/.
Penggunaan aliterasi dan asonansi yang bervariasi menimbulkan adanya
efoni dan kakafoni. Dalam puisi ini, kakafoni jauh mendominasi. Hal ini sesuai
dengan isi puisi yang penuh kegetiran, pesimisme dan kekalutan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
72
digilib.uns.ac.id
2. Gaya Kata
Pemilihan kata menunjukkan individu pengarangnya. Hal inilah yang tetap
dipertahankan Sutardji dengan memilih kata yang sederhana kemudian
menyusunnya dengan susunan yang kurang lazim untuk memunculkan makna
tersirat. Dengan penyusunan yang kurang lazim, maka kata yang sebenarnya
bermakna denotatif kemudian menjadi memiliki makna kias atau makna yang
tersirat.
Keunikan diksi dalam puisi ini dapat dilihat pada bait pertama dan ketiga.
Kata batu dirangkai dengan berbagai kata sehingga menghasilkan makna baru
yang lebih dalam dan luas. Gaya bahasa yang menonjol dalam bait pertama dan
ketiga adalah personifikasi, yaitu pada baris //batu duka//batu rindu//batu
bisu//batu risau//batu pukau//batu sepi//batu ngilu//batu bisu//. Pada baris-baris di
atas, batu dikiaskan mempunyai sifat-sifat seperti manusia.
Gaya bahasa hiperbola digunakan pada bait kedua, yaitu pada baris:
//Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan//hati tak jatuh
dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan//seribu beringin ingin tak teduh//.
Bahasa kiasan personifikasi juga dipergunakan pada baris keempat bait kedua
//mengapa jam harus berdenyut//. Dalam baris tersebut jam dikiaskan berdenyut
layaknya jantung manusia. Pemilihan kata berdenyut dimaksudkan agar pembaca
mengasosiasikan jam sebagai simbol kehidupan manusia.
Kata yang dipergunakan dalam Puisi Batu merupakan kata-kata sederhana.
Bahkan beberapa kata dibiarkan tanpa imbuhan. Puisi Batu didominasi dengan
kata denotasi meskipun dengan rangkaian yang tidak biasa menghasilkan makna
yang lebih luas dan dalam. Majas yang terdapat dalam puisi ini adalah
personifikasi dan hiperbola. Pilihan kata yang sederhana tetap mampu membuat
puisi ini menjadi menarik tanpa meninggalkan unsur estetika.
3. Gaya Kalimat
Struktur kalimat yang dipergunakan dalam puisi Batu merupakan kalimat
yang sederhana. Penghilangan tanda baca yang merupakan ciri khas dari Sutardji
commitkarena
to userdibaca secara berturut-turut tanpa
menjadikan puisi ini seperti mantera,
perpustakaan.uns.ac.id
73
digilib.uns.ac.id
jeda. Dilihat dari bentuk kalimatnya, kalimat dalam bait pertama dan ketiga
merupakan kalimat minor, namun pada bait kedua didominasi dengan kalimat
dasar, yang terdiri dari unsur S+P dan keterangan.
Bahasa kias yang digunakan antara lain adalah repetisi. Hal ini dapat
dilihat pada bait pertama dan terakhir.
//batu mawar//
//batu langit//
//batu duka//
//batu rindu//
//batu jarum//
//batu bisu//
//batu risau//
//batu pukau//
//batu Kau-ku//
//batu sepi//
//batu ngilu//
//batu bisu//
Pengulangan terjadi pada kata batu. Kata batu yang dirangkai dengan
berbagai jenis kata, baik kata benda maupun kata sifat menimbulkan keindahan
tersendiri. Selain itu, repetisi atau pengulangan kembali digunakan dalam bait
kedua. Kata yang diulang adalah dengan seribu dan mengapa.
Pada bait kedua terdapat gaya bahasa polisindeton yang ditandai dengan
kata sambung dengan.
//Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan//
//hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan//
//seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh?//
Beberapa klausa yang sederajat digabungkan dengan kata sambung
dengan. Selanjutnya penyair juga menggunakan pertanyaan retoris untuk
menekankan makna yang ingin disampaikan. Terdapat delapan erotesis atau
pertanyaan retoris dalam puisi ini, yaitu:
commit to user
74
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
//kaukah itu//teka//teki//yang//tak menepati//janji?//
//Dengan siapa aku mengeluh?//
//Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampai mengapa//
//gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk//
//diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai sedang//
//lambai tak sampai.//
//Kau tahu?//
//kaukah itu//teka//teki//yang//tak menepati//janji?//
Dalam baris-baris di atas, empat pertanyaan menggunakan tanda tanya dan
empat lainnya hanya menggunakan kata tanya tanpa tanda tanya.
Secara keseluruhan, susunan kalimat dalam puisi ini merupakan susunan
kalimat yang sederhana sehingga hubungan antarbaitnya kurang diperhatikan
walaupun tetap saja ada alur puisi yang membingkai. Gaya kalimat yang terdapat
di dalamnya antara lain adalah repetisi, polisindetondan erotesis atau pertanyaan
retoris.
4. Citraan
Citraan sebagai media pengarang dalam menyampaikan isi puisinya sangat
disadari oleh Sutardji, sehingga dalam puisinya gambar angan atau imajery
merupakan unsur penting yang tidak pernah diabaikan. Seperti dalam puisi Batu
ini, citraan yang muncul didominasi oleh citraan penglihatan, terutama pada bait
pertama.
//batu mawar//
//batu langit//
//batu duka//
//batu rindu//
//batu jarum//
//batu bisu//
//kaukah itu//
commit to user
75
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kata “batu” yang dirangkai dengan kata mawar, langit, duka, rindu, jarum
dan bisu mengacu pada wujud atau benda yang dapat dilihat. Akan tetapi muncul
pula citraan perabaan yang terdapat dalam baris kedua, bait kedua, yaitu:
//hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan//, kata-kata yang
menunjukkan adanya citraan perabaan adalah dengan seribu sibuk sepi tak mati.
Baris tersebut menunjukkan bagaimana kosongnya perasaan penyair sehingga
“seribu sibuk” yang dapat dimaknai dengan kesibukan apapun tidak akan
membuat “sepi” yang dirasakannya “mati”.
Kemudian citraan gerak pada baris keempat bait kedua //Mengapa jam
harus berdenyut sedang darah tak sampai mengapa//, kata yang menunjukkan
citraan gerak adalah “berdenyut” yang menunjukkan adanya gerakan dari sebuah
jam. Kata “berdenyut” yang biasanya mengacu pada gerakan jantung digunakan
untuk menyatakan gerakan jam merupakan salah satu kepiawaian penyair untuk
menggambarkan kehidupan.
Citraan pendengaran juga digunakan pada puisi di atas, yaitu pada baris
kelima bait kedua //gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa
peluk//, kata kunci yang menunjukkan adanya citraan pendengaran adalah kata
“meletus” yang mengasosiasikan adanya bunyi letusan.
Dalam puisi Batu, beberapa citraan digunakan penyair. Citraan yang
mendominasi adalah citraan penglihatan. Penyair ingin menghadirkan wujud batu
menjadi beberapa bentuk dan sifat. Citraan lain yang digunakan adalah citraan
perabaan, gerak dan pendengaran.
commit to user
76
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
PUISI KETIGA: O
dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukaungiau
resahku resahkau resahrisau resahbalai resahkalian
raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian
mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai
siasiaku siasiakau siasiasia siabalau siarisau siakalian siasiasia
duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai
oku okau okosong orindu okalian obolong orisau oKau o……
daun
burung
sungai
kelepak
mau sampai
langit
siapa
buah
tahu
rumput
dada
selimut
biru
langit
dadu
mari!
rumput
kau
kau
kau
kau
kau
kau
kau
kau
kau
pisau
kau
KAU
kau
batu
kau
kau
kau
kau
commit to user
kau
kau
kau
kau
kau
kau
kau
perpustakaan.uns.ac.id
77
digilib.uns.ac.id
1. Gaya Bunyi
Puisi O merupakan puisi dengan tema duka atau kepedihan. Sebagai puisi
kontemporer, puisi ini sama sekali tidak terikat dengan keharusan adanya rima.
Akan tetapi, untuk memperoleh orkestrasi bunyi dan efek musikalisasi yang
menambah estetika puisi maka penyair tetap memperhatikan penggunaan kata
yang dapat menghasilkan asonansi dan aliterasi. Asonansi muncul pada hampir
semua baris.
Bait pertama:
//dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukaungiau//, asonansi ditemukan pada
paduan bunyi vokal /u/, /a/, /au/ dan /i/.
//resahku resahkau resahrisau resahbalai resahkalian//, asonansi ditemukan pada
paduan bunyi vokal /e/, /a/ dan /au/.
//raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian//, asonansi ditemukan pada
paduan bunyi vokal /a/ dan /u/.
//mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai//,
asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /au/, /a/, /u/ dan /ai/.
//siasiaku siasiakau siasiasia siabalau siarisau siakalian siasiasia//, asonansi
ditemukan pada paduan bunyi vokal /ia/ dan /au/.
//duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai//, asonansi
ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/, /ai/ dan /a/.
//oku okau okosong orindu okalian obolong orisauoKau o……//, asonansi
ditemukan pada paduan bunyi vokal /o/, /au/ dan /i/.
Bait kedua:
//mau sampai langit//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/.
//siapa tahu//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/.
//buah rumput selimut//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/.
//langit dadu//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/.
//rumput pisau batu kau//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/ dan
/au/.
//kau kau kau kau kau kau kau//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal
commit to user
/au/.
perpustakaan.uns.ac.id
78
digilib.uns.ac.id
//kau kau kau KAU kau kau kau//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal
/au/.
//kau kau kau kau kau kau kau//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal
/au/.
Puisi ini juga diciptakan dengan pemilihan kata yang cermat sehingga
menghasilkan aliterasi hampir di seluruh barisnya.
Bait pertama:
//dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukaungiau//, aliterasi ditemukan pada
paduan bunyi konsonan /d/ dan /k/.
//resahku resahkau resah risau resahbalai resahkalian//, aliterasi ditemukan
pada paduan bunyi konsonan /r/, /s/, /h/ dan /k/.
//raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian//, aliterasi ditemukan pada
paduan bunyi konsonan /r/, /g/ dan /k/
//mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai//, aliterasi
ditemukan pada paduan bunyi konsonan /m/, /k/ dan /p/.
//siasiaku siasiakau siasiasia siabalau siarisau siakalian siasiasia//, aliterasi
ditemukan pada paduan bunyi konsonan /s/, /k/ dan /l/.
//duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalianduhaisangsai//, aliterasi
ditemukan pada paduan bunyi konsonan /d/, /h/, /k/, /n/, /ng/ dan /l/.
//oku okau okosong orindu okalian obolong orisau oKau o……//, aliterasi
ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/, /ng/, /r/, /n/, /l/ dan /s/.
Pada bait kedua:
//mau sampai langit//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /m/.
//buah rumput selimut//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /m/ dan
/t/.
//rumput pisau batu kau//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /p/
dan /t/.
//kau kau kau kau kau kau kau//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi
konsonan /k/.
// kau kau kau KAU kau kau kau//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi
commit to user
konsonan /k/.
79
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
// kau kau
kau
kau
kau
kau
kau//,
aliterasi
ditemukan
pada
paduan bunyi konsonan /k/.
Munculnya asonansi dan aliterasi secara seimbang pada puisi di atas
menimbulkan irama yang dapat menimbulkan keindahan. Akan tetapi keindahan
yang dihasilkan tetap menimbulkan efek kakafoni, yaitu suasana yang kacaubalau, tidak menyenangkan dan sebagainya. Irama yang muncul menjadi terkesan
biasa saja karena terdengar datar tanpa emosi yang mempengaruhinya.
2. Gaya Kata
Puisi O merupakan puisi yang menggunakan pilihan kata yang cermat.
Selain itu, kepiawaian Sutardji dalam mengolah kata membuat kata yang biasa
saja menjadi unik dan menghasilkan bentuk kata baru yang lebih segar. Dalam
puisi ini terdapat penggabungan kata yang mendominasi baris-barisnya.
Penggabungan kata dapat menekankan makna dan mempertegas maksud
pengarang.
Penggunaan kata yang bernilai denotatif mendominasi diksi dalam puisi
ini. Hal ini selaras dengan kredo Sutardji yang mengembalikan kata sebagai kata,
yang tidak harus dibebani ide atau makna. Secara harfiah, kata yang digabung
tersebut tidak mempunyai arti, sehingga pembaca harus membaca dengan cermat
untuk menangkap makna puisi tersebut. Dalam puisi ini juga terdapat kata bolong
yang berasal dari bahasa Jawa. Bolong dalam bahasa Indonesia sama artinya
dengan kata berlubang.
Secara keseluruhan, diksi dalam puisi ini cukup unik dan tidak lazim
digunakan dalam percakapan maupun dalam karya sastra yang lain. Penyair
mampu menciptakan kata-kata baru yang belum pernah ada sebelumnya yang
justru mampu menambah nilai keindahan dari puisi tersebut.
3. Gaya Kalimat
Susunan kata dalam puisi O sangat unik dan mungkin tidak bisa disebut
sebagai sebuah kalimat. Sekilas seperti tidak ada hubungan antara lariknya akan
to user hubungan yang mendukung
tetapi sebenarnya setiap larikcommit
mempunyai
perpustakaan.uns.ac.id
80
digilib.uns.ac.id
tersampainya makna dari puisi tersebut. Pembaca harus mencerna kata per kata
dalam tiap baris supaya bisa memahami isi puisi dengan baik.
Terdapat beberapa bahasa kias yang dipilih dalam puisi O. Repetisi atau
pengulangan kata mendominasi baris-baris puisi tersebut. Kata duka, resah, ragu,
mau, siasia, waswas, duhai, o dan kau diulang beberapa kali dalam satu baris.
Pemakaian kata secara berulang dalam satu baris semakin menekankan
makna yang ingin disampaikan. Misalnya saja pada baris pertama //dukaku
dukakau dukarisau dukakalian dukaungiau//, penggunaan kata duka yang diulang
sebanyak lima kali menyatakan bahwa duka yang dirasakan begitu dalam.
Sehingga untuk menyampaikan rasa duka yang sangat tersebut, penyair harus
mengulangnya hingga lima kali dalam satu baris.
Selanjutnya terdapat pertanyaan retoris dalam baris //siapa tahu//,
walaupun tidak menggunakan tanda tanya di akhir baris kata siapa sudah
menunjukkan bahwa baris itu merupakan kalimat tanya. Selain itu terdapat
kalimat imperatif atau kalimat perintah pada kata //mari!//.
Secara keseluruhan baris dalam puisi O seperti barisan kata yang tidak
berstruktur. Pasalnya, kata-kata dalam puisi tersebut seperti kumpulan kata yang
terserak, kemudian disusun seadanya. Perlu pemahaman lebih untuk bisa
memahami makna yang terkandung dalam puisi tesebut.
4. Citraan
Pemahaman terhadap sebuah karya sastra khususnya puisi, membutuhkan
sebuah media yang tepat sehingga dapat mengantarkan maksud atau hal yang akan
disampaikan pengarang kepada pembacanya. Selain pemilihan kata yang cermat,
penggunaan gambar angan akan sangat membantu pembaca dalam memahami
sebuah karya sastra.
Puisi O merupakan puisi dengan rangkaian kata yang tidak biasa.
Penggunaan dan penggabungan kata yang tidak lazim inilah yang menciptakan
citraan pendengaran. Bait pertama bahkan terdengar seperti mantera. Selain itu
citraan pendengaran juga muncul pada kata kelepak yang mengacu pada bunyi
commit to user
81
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
akibat gerakan sayap burung. Selanjutnya kata dukangiau juga merujuk pada
citraan pendengaran karena ngiau merupakan tiruan suara kucing.
Selain citraan pendengaran yang mendominasi, ada juga citraan
penglihatan. Misalnya pada baris //dada biru// dan //langit dadu//. Keberadaan
kata biru dan dadu merupakan kata kunci bahwa baris tersebut mengandung
citraan penglihatan. Hal ini dapat disimpulkan karena biru dan dadu tergolong
dalam kata benda yang menyatakan warna. Kata okosong dan obolong juga
merangsang indera penglihatan untuk menanggapinya karena kosong dan bolong
bisa diketahui dengan melihat keadaannya secara langsung.
Citraan perabaan juga dihadirkan dalam puisi ini. Hal itu terlihat dari
adanya kata duhaingilu yang mengajak pembaca membangkitkan imajinasi
tentang rasa ngilu yang menyerang. Kata mausampai dan maugapai merupakan
kata kunci adanya citraan gerak, yaitu adanya gerakan untuk menggapai sesuatu
yang dimaksud oleh penyair.
Dalam puisi ini citraan pendengaran lebih banyak digunakan oleh penyair.
Penggunaan kata yang unik ternyata menghasilkan bunyi yang mampu
merangsang indera pendengaran untuk menanggapinya. Selain itu muncul pula
citraan penglihatan dan perabaan juga dihadirkan dalam puisi tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
82
digilib.uns.ac.id
PUISI KEEMPAT: PERJALANAN KUBUR
luka ngucap dalam badan
kau telah membawaku ke atas bukit ke atas karang ke atas gunung
ke bintang bintang
lalat-lalat menggali perigi dalam dagingku
untuk kuburmu alina
untuk kuburmu alina
aku menggaligali dalam diri
raja dalam darah mengaliri sungaisungai mengibarkan bendera hitam
menyeka matari membujuk bulan
teguk tangismu alina
sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur
laut pergi ke awan membawa kubur-kubur
awan pergi ke hujan membawa kubur-kubur
hujan pergi ke akar ke pohon ke bunga-bunga
membawa kuburmu alina
1. Gaya Bunyi
Puisi Perjalanan Kubur adalah puisi yang mengkisahkan tentang hakikat
kelahiran yang diikuti oleh kematian. Dalam puisi ini asonansi dan aliterasi tetap
dihadirkan untuk mencapai efek keindahan.
Asonansi pada bait pertama:
//luka ngucap dalam badan//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/
dan /a/
//kau telah membawaku ke atas bukit ke atas karang ke atas gunung//, asonansi
ditemukan pada paduan bunyi vokal /e/, /a/ dan /u/
//ke bintang bintang//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /i/ dan /a/.
commit to user
83
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
//lalat-lalat menggali perigi dalam dagingku//, asonansi ditemukan pada paduan
bunyi vokal /a/ dan /i/.
//untuk kuburmu alina//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/.
Bait kedua:
//untuk kuburmu alina//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/.
//aku menggaligali dalam diri//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/
dan /i/.
//raja dalam darah mengaliri sungaisungai mengibarkan bendera hitam//,
asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/, /i/ dan /e/.
//menyeka matari membujuk bulan//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi
vokal /e/, /a/ dan /u/.
//teguk tangismu alina//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/, /a/ dan
/i/.
Bait ketiga:
//sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur//, asonansi ditemukan pada paduan
bunyi vokal /u/ dan /e/.
//laut pergi ke awan membawa kubur-kubur//, asonansi ditemukan pada paduan
bunyi vokal /e/ dan /a/.
//awan pergi ke hujan membawa kubur-kubur//, asonansi ditemukan pada paduan
bunyi vokal /a/, /e/ dan /u/.
//hujan pergi ke akar ke pohon ke bunga-bunga//, asonansi ditemukan pada
paduan bunyi vokal /u/, /e/ dan /a/.
//membawa kuburmu alina//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/.
Pemanfaatan
bunyi
konsonan
yang
teratur
dan
berulang
akan
menghasilkan irama yang indah. Hal itu sangat disadari oleh Sutardji sehingga
pada Perjalanan Kubur terdapat berbagai aliterasi dalam tiap baitnya.
Bait pertama:
//luka ngucap dalam badan//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /l/
dan /d/.
//kau telah membawaku ke atas bukit ke atas karang ke atas gunung//, aliterasi
commit/k/,
to user
ditemukan pada paduan bunyi konsonan
/t/, /b/, /s/ dan /ng/.
84
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
//ke bintang bintang//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /b/, /n/, /t/
dan /ng/.
//lalat-lalat menggali perigi dalam dagingku//, aliterasi ditemukan pada paduan
bunyi konsonan /l/, /m/, /d/ dan /g/.
//untuk kuburmu alina//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/.
Bait kedua:
//untuk kuburmu alina//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/.
//aku menggaligali dalam diri//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan
/m/ dan /l/.
//raja dalam darah mengaliri sungaisungai mengibarkan bendera hitam//,
aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /r/, /d/, /l/, /m/, /ng/, /b/ dan /h/.
//menyeka matari membujuk bulan/, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi
konsonan /m/, /k/ dan /b/.
//teguk tangismu alina//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /t/.
Bait ketiga:
//sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur//, aliterasi ditemukan pada paduan
bunyi konsonan /r/, /k/ dan /b/.
//laut pergi ke awan membawa kubur-kubur//, aliterasi ditemukan pada paduan
bunyi konsonan /r/, /k/, /w/ dan /b/.
//awan pergi ke hujan membawa kubur- kubur//, aliterasi ditemukan pada paduan
bunyi konsonan /w/, /n/, /r/, /k/ dan /b/.
//hujan pergi ke akarke pohon ke bunga-bunga//, aliterasi ditemukan pada
paduan bunyi konsonan /h/, /r/ dan /k/.
//membawa kuburmu alina//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /m/
dan /b/.
Perpaduan asonansi dan aliterasi menimbulkan irama yang terdengar
indah. Meskipun demikian bunyi /k/ yang mendominasi menimbulkan kakafoni,
yaitu bunyi-bunyi parau, kasar dan tidak menyenangkan. Hal ini diperlukan untuk
menekankan makna dari puisi Perjalanan Kubur yang berisi tentang hakikat
kelahiran yang diikuti kematian.
commit to user
85
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Gaya Kata
Pilihan kata merupakan salah satu aspek yang menjadikan sebuah karya
sastra, khususnya puisi memperoleh efek keindahan tanpa meninggalkan makna
yang ingin disampaikan. Dalam puisi Perjalanan Kubur kata yang dipergunakan
merupakan kata-kata sederhana. Kata-kata yang sering dipergunakan dalam
percakapan sehari-hari dan bermakna denotatif diolah sedemikian rupa sehingga
menjadi menghasilkan makna baru.
Penghilangan imbuhan yang menjadi salah satu ciri puisi Sutardji, muncul
dalam puisi ini, yaitu pada baris pertama //luka ngucap dalam badan//. Kata
ngucap seharusnya mendapat imbuhan me- sehingga menjadi mengucap.
Majas yang digunakan dalam puisi ini adalah majas personifikasi yang
terdapat dalam baris keempat bait kedua //menyeka matari membujuk bulan//.
Dalam larik tersebut, “matari” dan “bulan” dikiaskan memiliki sifat seperti
manusia sehingga bisa diseka atau diusap dan dibujuk.
Secara keseluruhan dalam puisi ini hanya ditemukan majas personifikasi.
Akan tetapi penggunaan susunan kata yang tidak biasa serta pembentukan kata
baru yang menjadi ciri khas Sutardji, membuat puisi ini tetap menarik untuk
dinikmati dan dipahami maknanya.
3. Gaya Kalimat
Kalimat yang digunakan dalam puisi Perjalanan Kubur merupakan
kalimat yang sederhana. Kata-kata disusun dengan struktur yang sederhana dan
didominasi oleh kalimat deklaratif.
Gaya bahasa yang digunakan antara lain adalah gaya bahasa repetisi atau
pengulangan yang terdapat dalam bait terakhir.
//sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur//
//laut pergi ke awan membawa kubur-kubur//
//awan pergi ke hujan membawa kubur-kubur//
Kata membawa kubur-kubur diulang sebanyak tiga kali pada tiap akhir baris.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
86
digilib.uns.ac.id
Selanjutnya adalah gaya bahasa klimaks.
//sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur//
//laut pergi ke awan membawa kubur-kubur//
//awan pergi ke hujan membawa kubur-kubur//
//hujan pergi ke akar ke pohon ke bunga-bunga//
Dalam bait di atas terdapat urut-urutan pikiran yang meningkat
kepentingannya. Kata sungai, laut, awan, hujan kemudian ke akar menunjukkan
adanya urutan yang menujukkan adanya peningkatan dari gagasan yang
disampaikan.
Puisi ini merupakan puisi bebas dengan struktur kalimat yang sederhana
dan didominasi oleh kalimat deklaratif. Sarana retorika yang digunakan hanya
berupa pengulangan atau repetisi dan gaya bahasa klimaks.
4. Citraan
Penafsiran seseorang terhadap sebuah karya sastra khususnya puisi, dapat
diuji melalui pemahamannya terhadap aspek citraan yang terkandung dalam puisi
tersebut. Gambar angan yang terbentuk dalam jiwa pembacanya tergantung pada
kuat tidaknya citraan yang dihadirkan oleh penyair. Puisi Perjalanan Kubur
adalah salah satu puisi Sutardji yang mempunyai citraan yang kuat.
Pada bait pertama didominasi dengan citraan penglihatan.
//luka ngucap dalam badan//
//kau telah membawaku ke atas bukit ke atas karang ke atas gunung//
//ke bintang bintang//
//lalat-lalat menggali perigi dalam dagingku//
//untuk kuburmu alina//
Tiap baris puisi di atas menggambarkan bagaimana seseorang meninggal, yaitu
karena luka yang telah ngucap dalam badan, luka itu kemudian membawanya ke
atas bukit ke atas karang ke atas gunung// ke bintang bintang. Selanjutnya dalam
kubur lalat-lalat menggali perigi dalam dagingku.
Selain itu terdapat juga citraan gerak pada baris kedua //kau telah
commit
to user
membawaku ke atas bukit ke atas
karang
ke atas gunung//. Citraan gerak ini
87
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ditandai dengan adanya kata membawaku. Selanjutnya pada baris keempat yaitu
//lalat-lalat menggali perigi dalam dagingku// juga terdapat citraan gerak yang
ditandai dengan kata menggali.
Bait kedua juga didominasi dengan citraan penglihatan.
//untuk kuburmu alina//
//aku menggaligali dalam diri//
//raja dalam darah mengaliri sungaisungai mengibarkan bendera hitam//
//menyeka matari membujuk bulan//
//teguk tangismu alina//
Citraan gerak juga muncul pada baris kedua, ketiga dan keempat.Kata
pergi merupakan kata kunci adanya citraan gerak dalam bait di bawah ini.
//sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur//
//laut pergi ke awan membawa kubur-kubur//
//awan pergi ke hujan membawa kubur-kubur//
//hujan pergi ke akar ke pohon ke bunga-bunga//
Secara keseluruhan puisi Perjalanan Kubur didominasi oleh citraan
penglihatan dan citraan gerak. Adanya citraan dalam sebuah karya sastra akan
membantu penikmat karya tersebut untuk menyelami dan masuk ke dalam dunia
yang diciptakan oleh penyair.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
88
digilib.uns.ac.id
PUISI KELIMA: KAPAK
semua orang membawa kapak
semua orang bergerak pergi
menuju langit
semua orang bersiapsiap nekat
kalau tak sampai langit
mengapa tak ditebang saja
mereka bilang
langkahlangkah mereka menggeram
dan bersamasama bergegar pula
kapakkapak mereka
pukimak aku tak bisa tidur
mimpi tertakik
dan ranjang betah
1. Gaya Bunyi
Puisi Kapak merupakan puisi bebas yang terdiri dari satu bait. Sebagai
puisi bebas maka puisi ini tidak terikat oleh rima. Namun demikian, bunyi yang
dihasilkan dari susunan kata dalam tiap baris tetap diperhatikan sehingga
dihasilkan aliterasi dan asonansi yang menciptakan irama dalam puisi.
Asonansi yang terdapat dalam puisi Kapak adalah:
//semua orang membawa kapak//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal
/e/ dan /a/.
//semua orang bergerak pergi//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /e/
dan /a/.
//semua orang bersiapsiap nekat//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal
/e/ dan /a/.
//kalau tak sampai langit//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/.
//mengapa tak ditebang saja//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /e/
commit to user
dan /a/.
89
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
//mereka bilang//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/.
//langkahlangkah mereka menggeram//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi
vokal /a/ dan /e/.
//dan bersamasama bergegar pula//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal
/a/ dan /e/.
//kapakkapak mereka//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/.
//pukimak aku tak bisa tidur//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/,
/i/ dan /a/.
//mimpi tertakik//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /i/.
//dan ranjang betah//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/.
Paduan bunyi konsonan atau aliterasi yang terdapat dalam puisi tersebut adalah:
//semua orang membawa kapak//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi
konsonan /m/.
//semua orang bergerak pergi//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan
/r/.
//semua orang bersiapsiap nekat//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi
konsonan /s/ dan /r/.
//kalau tak sampai langit//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/,
/l/ dan /t/.
//mengapa tak ditebang saja//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan
/t/.
//langkahlangkah mereka menggeram//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi
konsonan /k/, /m/ dan /r/.
//dan bersamasama bergegar pula//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi
konsonan /b/ dan /r/.
//kapakkapak mereka//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/.
//pukimak aku tak bisa tidur//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan
/k/ dan /t/.
//dan ranjang betah//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /n/.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
90
digilib.uns.ac.id
Puisi ini didominasi dengan bunyi vokal /a/ sehingga menghasilkan puisi
dengan irama yang penuh semangat. Bunyi vokal /a/ juga memberikan penekanan
suasana tertentu yang terjadi dalam puisi.
2. Gaya Kata
Kata-kata yang digunakan dalam puisi di atas merupakan kata yang biasa
digunakan dalam percakapan sehari-hari. Makna yang terkandung dalam kata-kata
tersebut didominasi oleh makna denotatif. Namun demikian kejelian pembaca
dalam mencerna dan menilai kata dengan sudut pandang yang lain turut
menentukan kedalaman makna dari puisi tersebut.
Majas yang dipergunakan dalam puisi Kapak antara lain majas sinekdoke
totum pro parte yang terdapat dalam baris pertama, kedua dan keempat. //semua
orang membawa kapak//semua orang bergerak pergi//semua orang bersiapsiap
nekat//, kata “semua” merupakan kata kunci adanya majas sinekdoke totum pro
parte.
Selanjutnya terdapat majas metafora pada baris //mimpi tertakik//. Mimpi
dalam larik tersebut diibaratkan seperti benda nyata yang bisa tertoreh dalam
ingatan seseorang. Majas personifikasi juga ditemukan dalam puisi ini. Pada baris
//dan ranjang betah//, ranjang dikiaskan mempunyai sifat seperti manusia yaitu
“betah” yang berarti nyaman dengan keadaan yang sedang dialami. Kata betah
juga merupakan kata serapan yang diambil dari bahasa Jawa.
Secara keseluruhan majas yang terdapat dalam puisi ini adalah sinekdoke
totum pro parte, metafora dan personifikasi. Penggunaan majas yang minimal
jumlahnya dimungkinkan karena kata yang digunakan juga sederhana dan
bermakna denotatif.
3. Gaya Kalimat
Struktur kalimat yang digunakan dalam puisi Kapak didominasi oleh
struktur kalimat yang sederhana. Bentuk kalimat yang terdapat dalam larik-larik
puisi ini merupakan kalimat deklaratif. Larik dalam puisi ini menceritakan tentang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
91
digilib.uns.ac.id
keinginan untuk menghilangkan angkara murka. Kapak dikiaskan sebagai alat
yang mampu menebang segala angkara murka tersebut.
Sarana retorika yang terdapat dalam puisi Kapak antara lain adalah gaya
bahasa repetisi atau pengulangan, yaitu pada baris pertama, kedua dan keempat.
Kata yang diulang adalah semua orang. Pengulangan merupakan salah satu ciri
khas puisi-puisi Sutardji. Selain sebagai penegas makna, pengulangan kata juga
akan menimbulkan efek mantera pada puisi.
Selanjutnya adalah pertanyaan retoris pada baris keenam //mengapa tak
ditebang saja//. Kata tanya mengapa menunjukkan adanya sarana retorika yang
berupa erotesis atau pertanyaan retoris dalam baris tersebut.
Dalam puisi ini, sarana retorika yang digunakan sangat terbatas. Hal ini
disebabkan karena struktur kalimatnya yang sederhana. Meskipun demikian,
sarana retorika yang menjadi ciri khas Sutardji yaitu repetisi dan pertanyaan
retoris tetap digunakan.
4. Citraan
Pemahaman terhadap sebuah karya sastra akan menjadi lebih mudah
dilakukan apabila pembaca mampu menangkap dan menginterpretasikan citraan
atau gambar angan yang dihadirkan oleh penyair. Pengarang mengeksploitasi
segenap potensi bahasa melalui citraan untuk menggambarkan objek, tindakan,
pikiran dan pengalaman indera untuk menimbulkan daya pikat bagi pembaca.
Puisi Kapak diciptakan dengan beberapa citraan yang dihadirkan di
dalamnya, yaitu:
//semua orang membawa kapak//
Baris pertama membangkitkan citraan penglihatan. Pembaca akan dibawa pada
suasana dimana banyak orang membawa kapak.
//semua orang bergerak pergi//
//menuju langit//
Dalam dua baris di atas muncul citraan gerak yang dapat ditangkap
melalui kata kunci bergerak pergi dan menuju.
commit to user
92
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
//langkahlangkah mereka menggeram//
//dan bersamasama bergegar pula//
//kapakkapak mereka//
Baris-baris di atas mengandung citraan pendengaran. Kata menggeram dan
bergegar membangkitkan tanggapan indera pendengaran. Baris di atas
menggambarkan suasana banyak orang berjalan dengan geram sehingga derap
langkahnya terdengar jelas serta kapak yang dibawanya juga berbunyi karena
langkah yang cepat.
//pukimak aku tak bisa tidur//
//mimpi tertakik//
//dan ranjang betah//
Citraan perabaan muncul dalam tiga baris di atas. Kata pukimak yang
mengacu pada ungkapan kekesalan yang dirasakan penyair akibat pikirannya yang
mengembara sehingga mimpinya “tertakik”.
commit to user
93
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
PUISI KEENAM: DAGING
daging
coba bilang
bagaimana arwah masuk badan
bagaimana tuhan
dalam denyutmu
jangan diam
nanti aku marah
kalau kulahap kau
aku enak sekejap
aku sedih
kau jadi taik
daging
kau kawan di bumi di tanah di resah di babi babi
daging
ging ging
kugali gali kau
buat kubur
dari hari
ke hari
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
94
digilib.uns.ac.id
1. Gaya Bunyi
Puisi Daging merupakan puisi yang bertema pencarian Tuhan oleh
hambanya. Pertanyaan tentang Tuhan ditujukan pada daging yang merupakan
simbol jasmani. Puisi ini diungkapkan secara bebas dan tidak terikat rima. Namun
demikian aspek asonansi dan aliterasi tetap diperhatikan oleh pengarangnya.
Asonansi yang terdapat dalam puisi Daging.
//coba bilang//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/.
//bagaimana arwah masuk badan//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal
/a/.
//bagaimana tuhan//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/.
//nanti aku marah//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/.
//kalau kulahap kau//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /au/.
//aku enak sekejap//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /e/.
//kau kawan di bumi di tanah di resah dibabi babi//, asonansi ditemukan pada
paduan bunyi vokal /a/ dan /i/.
//ging ging//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /i/.
//kugali gali kau//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /i/.
//buat kubur//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/.
//dari hari//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /i/.
Selanjutnya aliterasi yang digunakan oleh penyair terdapat dalam baris:
//coba bilang//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /b/.
//bagaimana arwah masuk badan//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi
konsonan /b/, /m/ dan /n/.
//bagaimana tuhan//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /n/.
//dalam denyutmu//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /d/ dan /m/.
//kalau kulahap kau//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/ dan /l/.
//aku enak sekejap//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/.
//kau jadi taik//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/.
//kau kawan di bumi di tanah di resah di babi babi//, aliterasi ditemukan pada
paduan bunyi konsonan /k/, /d/, /b/ dan /h/.
commit
to user
//ging ging//, aliterasi ditemukan pada
paduan
bunyi konsonan /g/ dan /ng/.
perpustakaan.uns.ac.id
95
digilib.uns.ac.id
//kugali gali kau//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/, /g/ dan
/l/.
//buat kubur//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /b/.
//dari hari//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /r/.
Bunyi vokal /a/ yang mendominasi menimbulkan irama riang. Walaupun
demikian, secara keseluruhan yang muncul adalah kakafoni. Adapun kata-kata
yang menimbulkan suasana sedih, parau dan aneh adalah kata marah, sedih dan
resah.
2. Gaya Kata
Kepiawaian Sutardji dalam mengolah kata dan membuat kata yang biasa
saja menjadi unik dan menghasilkan bentuk kata baru yang lebih segar tidak perlu
diragukan lagi. Dalam puisi ini, kata-kata yang digunakan merupakan kata dengan
makna denotatif. Akan tetapi kata yang sederhana tersebut mampu menjadi kata
dengan makna yang lebih dalam dan luas dari makna asalnya.
Penggunaan kata yang bernilai denotatif mendominasi diksi dalam puisi
ini. Kata denotatif yang dipilih menjadikan puisi ini tidak diperkaya dengan
bahasa figuratif yang biasanya digunakan sebagai salah satu pendukung
tercapainya aspek estetika sebuah puisi.
Bahasa kias atau majas bahkan tidak terdapat dalam puisi Daging. Setiap
kata dibiarkan bebas seakan-akan hanya bermakna denotatif. Keindahan dan
kedalaman makna hanya dapat diperoleh apabila pembaca menikmati dan
mengkaji puisi tersebut secara mendalam. Secara keseluruhan, diksi dalam puisi
ini terlihat biasa dan tidak ada yang istimewa. Keistimewaan kata dalam puisi ini
dapat dilihat apabila pembaca mampu masuk ke dalam dunia pemikiran
penyairnya.
3. Gaya Kalimat
Struktur kalimat sederhana mendominasi puisi ini. Kalimat yang terdapat
dalam larik-larik puisi ini lebih menyerupai dialog satu arah antara penyair dengan
to user
seseorang. Seseorang tersebut bisacommit
merupakan
pembaca atau yang lain.
perpustakaan.uns.ac.id
96
digilib.uns.ac.id
Puisi ini juga menggunakan sarana retorika yang berupa pengulangan atau
repetisi dan erotesis atau pertanyaan retoris. Repetisi terdapat pada kata “daging”
yang diulang sampai tiga kali. Daging dalam puisi ini merupakan tokoh sentral
yang dipilih oleh penyair.
Selanjutnya adalah pertanyaan retoris atau erotesis yang terdapat pada
baris //bagaimana arwah masuk badan//dan//bagaimana tuhan dalam denyutmu//.
Penggunaan gaya bahasa erotesis ditandai dengan adanya kata tanya bagaimana.
Larik dalam puisi ini didominasi oleh kalimat tanya. Tema dalam puisi ini
adalah Ketuhanan. Dalam puisi ini, penyair seolah-olah berdialog dengan daging,
yang bisa dimaknai sebagai wujud jasmani seseorang. Penyair mengajak
pembacanya untuk kembali ke fitrahnya sebagai makhluk Tuhan melalui
pertanyaan bagaimana Tuhan meniupkan arwah ke dalam tubuh, menghidupkan
makhluk ciptaannya. Pertanyaan tersebut membangkitkan kesadaran manusia
bahwa dia adalah makhluk lemah.
4. Citraan
Citraan atau gambar angan dalam sebuah karya sastra berperan dalam
membentuk gambaran mental, menimbulkan pembayangan imajinatif, serta yang
paling penting untuk membangkitkan pengalaman tertentu dalam diri pembaca.
Citraan melukiskan kualitas indera yang digunakan dalam karya sastra.
Dalam puisi Daging ini, Sutardji menggunakan beberapa citraan untuk
mendukung kekuatan puisi agar mampu membangkitkan daya imajinasi pembaca.
//daging//
//coba bilang//
//bagaimana arwah masuk badan//
//bagaimana tuhan//
//dalam denyutmu//
Bait pertama dan kedua di atas mengandung citraan intelektual.
Penggunaan kalimat tanya akan merangsang pemikiran pembaca untuk
membayangkan jawabannya. Pertanyaan yang diajukan merupakan pertanyaan
commit to user
97
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang sulit untuk dijawab, sehingga mengajak pembaca untuk berpikir dari sudut
pandang yang lain.
//jangan diam//
//nanti aku marah//
Dua baris di atas membangkitkan citraan pendengaran. Hal ini dapat
ditangkap karena baris tersebut menyerupai dialog, sehingga pembaca seolah-olah
diajak berbicara oleh penyair.
//kalau kulahap kau//
//aku enak sekejap//
Dalam baris di atas muncul citraan pengecapan. Kata kulahap dan enak
merupakan kata kunci yang dapat membangkitkan imajinasi pembaca terhadap
rasa “enak” yang biasanya diterima oleh lidah (indera pengecapan).
//kau jadi taik//
Citraan yang muncul adalah citraan penglihatan. Asosiasi yang timbul
adalah bayangan mengenai wujud taik atau kotoran yang dihasilkan dari proses
pencernaan.
//daging//
//ging ging//
//kugali gali kau//
//buat kubur//
//dari hari//
//ke hari//
Citraan yang muncul dalam bait di atas adalah citraan gerak. Gerakan yang
dimaksud adalah gerakan yang ditimbulkan akibat proses menggali dalam baris
//kugali gali kau//.
commit to user
98
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
PUISI KETUJUH: SEJAK
sejak kapan sungai dipanggil sungai
sejak kapan tanah dipanggil tanah
sejak kapan derai dipanggil derai
sejak kapan resah dipanggil resah
sejak kapan kapan dipanggil kapan
sejak kapan kapan dipanggil lalu
sejak kapan akan dipanggil akan
sejak kapan akan dipanggil rindu
sejak kapan ya dipanggil tak
sejak kapan tak dipanggil mau
sejak kapan tuhan dipanggil tak
sejak kapan tak dipanggil rindu?
1. Gaya Bunyi
Sejak merupakan puisi dengan tema pencarian seseorang terhadap Tuhan.
Pencarian itu dilakukan dengan mengajukan pertanyaan yang jawabannya
bermuara pada asal mula segala sesuatu. Puisi ini terdiri dari satu bait yang terdiri
dari 12 baris. Seperti pada puisi-puisi sebelumnya, puisi ini juga menonjolkan
asonansi dan aliterasi dalam baris-barisnya.
Asonansi yang terdapat dalam puisi ini adalah:
//sejak kapan sungai dipanggil sungai//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi
vokal /a/ dan /i/.
//sejak kapan tanah dipanggil tanah//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi
vokal /a/.
//sejak kapan derai dipanggil derai//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi
vokal /e/, /a/ dan /ai/.
//sejak kapan resah dipanggil resah//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi
vokal /e/ dan /a/.
commit to user
99
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
//sejak kapan kapan dipanggil kapan//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi
vokal /a/.
//sejak kapankapan dipanggil lalu//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal
/a/.
//sejak kapan akan dipanggil akan//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal
/a/.
//sejak kapan akan dipanggil rindu//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi
vokal /a/ dan /i/.
//sejak kapan ya dipanggil tak//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/.
//sejak kapan tak dipanggil mau//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal
/a/.
//sejak kapan tuhan dipanggil tak//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal
/a/.
//sejak kapan tak dipanggil rindu?//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal
/a/ dan /i/.
Aliterasi yang digunakan dalam puisi Sejak ini adalah:
//sejak kapan sungai dipanggil sungai//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi
konsonan /s/, /k/, /p/ dan /ng/.
//sejak kapan tanah dipanggil tanah//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi
konsonan /k/, /p/, /t/, /n/ dan /h/.
//sejak kapan derai dipanggil derai//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi
konsonan /k/, /p/, /d/ dan /r/.
//sejak kapan resah dipanggil resah//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi
konsonan /s/, /k/, /p/, /r/ dan /h/.
//sejak kapan kapan dipanggil kapan//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi
konsonan /k/, /p/ dan /r/.
//sejak kapan kapan dipanggil lalu//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi
konsonan /k/, /p/, /n/ dan /l/.
//sejak kapan akan dipanggil akan//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi
konsonan /k/, /p/ dan /n/.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
100
digilib.uns.ac.id
//sejak kapan akan dipanggil rindu//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi
konsonan /k/, /p/, /n/ dan /d/.
//sejak kapan ya dipanggil tak//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan
/k/ dan /p/.
//sejak kapan tak dipanggil mau//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi
konsonan /k/.
//sejak kapan tuhan dipanggil tak//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi
konsonan /k/, /n/ dan /t/.
//sejak kapan tak dipanggil rindu?//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi
konsonan /k/ dan /n/.
Pada puisi ini bunyi vokal /a/ mendominasi. Selain menambah nilai
estetik, bunyi vokal /a/ juga digunakan penyair untuk memperoleh efek suasana
tertentu. Akan tetapi bunyi konsonan /k/ yang lebih dominan menimbulkan efek
kakafoni. Dalam hal ini suasana yang ditimbulkan adalah suasana kacau, bingung
dan risau terhadap pencarian tersebut.
2. Gaya Kata
Diksi atau pilihan kata yang dipergunakan pengarang dalam karyanya akan
menentukan kedalaman makna dan efek-efek tertentu. Oleh karena itu, para
penyair biasanya akan menyeleksi kata dengan cermat, sehingga kata yang
digunakan dalam karyanya selain dapat menyampaikan makna dengan tepat juga
mampu menciptakan efek keindahan.
Dalam puisi Sejak, diksi yang dipergunakan pengarang terdiri dari katakata yang lazim dipergunakan dalam percakapan sehari-hari dan bermakna
denotatif. Misalnya saja kata sungai, tanah, resah, rindu, dan sebagainya. Katakata yang bermakna denotatif tersebut dipilih dan dirangkai dengan pertimbangan
tertentu dari penyair. Walaupun puisi ini didominasi oleh kata yang bermakna
denotatif, akan tetapi setiap bait mampu menyampaikan gagasan pengarangnya.
Penggunaan kata denotatif yang lebih dominan menjadikan puisi ini tidak
diperkaya dengan bahasa figuratif. Majas yang biasanya menjadi kekuatan dalam
commit to user
sebuah puisi sama sekali tidak dipergunakan
oleh Sutardji. Sebagai gantinya, dia
perpustakaan.uns.ac.id
101
digilib.uns.ac.id
menggunakan rangkaian kata yang tidak biasa sehingga tetap tercipta keindahan
dalam puisi tersebut.
3. Gaya Kalimat
Kalimat yang menjadi baris-baris puisi Sejak merupakan kalimat dengan
struktur sederhana. Ditinjau dari bentuknya, larik-larik dalam puisi ini merupakan
kalimat tanya. Secara keseluruhan sarana retorika yang digunakan dalam puisi ini
sama dengan puisi sebelumnya.
Gaya bahasa yang paling mendominasi adalah gaya bahasa repetisi atau
pengulangan. Kata sejak kapan digunakan pada semua baris dan diletakkan pada
awal tiap baris. Selanjutnya kata dipanggil juga muncul pada setiap baris.
Pengulangan menjadi ciri khas puisi-puisi Sutardji. Selain sebagai penegas
makna, pengulangan kata juga akan menimbulkan efek mantera pada puisi.
Erotesis atau pertanyaan retoris juga digunakan pada setiap baris Puisi
Sejak. Penggunaan gaya bahasa ini ditandai dengan adanya kata tanya kapan pada
setiap lariknya dan penggunaan tanda tanya sebagai penutup baris terakhir.
Dalam puisi ini timbul kesatuan makna antar larik. Kohesi leksikal terjalin
melalui penggunaan gaya bahasa repetisi atau pengulangan. Kepaduan antar larik
membuat puisi ini lebih mudah diinterpretasikan oleh pembacanya.
4. Citraan
Kehadiran gambar angan dalam sebuah karya sastra merupakan salah satu
sarana pendukung diterimanya pesan dengan baik oleh pembacanya. Pemilihan
kata-kata yang mampu membangkitkan tanggapan indera inilah yang disebut
dengan gambar angan atau citraan. Dalam puisi Sejak penyair juga menggunakan
beberapa citraan untuk membangkitkan daya bayang pembaca.
Puisi Sejak didominasi dengan citraan intelektual, hal ini dapat dilihat dari
pemilihan kata serta bentuk kalimat yang merupakan kalimat tanya. Baris-baris
puisi yang berisi pertanyaan yang tidak biasa, yaitu pertanyaan yang mengarah
pada asal mula kehidupan. Penggunaan kalimat tanya mampu merangsang
commit
to userdari pertanyaan yang diajukan.
pemikiran pembaca untuk menafsirkan
jawaban
102
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Citraan penglihatan juga dihadirkan dalam puisi ini yaitu pada baris
pertama dan kedua.
//sejak kapan sungai dipanggil sungai//sejak kapan tanah dipanggil tanah//
Selain membangkitkan citraan intelektual yang mengasosiasikan asal mula sungai
dan tanah, kedua baris tersebut akan membangkitkan daya bayang pembaca
mengenai wujud sungai dan tanah.
Selanjutnya ada citraan pendengaran pada baris //sejak kapan derai
dipanggil derai//. Kata derai merupakan tiruan bunyi titik-titik air hujan yang
menjadi kata kunci adanya citraan pendengaran.
commit to user
103
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 2. Hasil Analisis Stilistika
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Judul
Aspek
Stilistika
Gaya Bunyi
Gaya Kata
Temuan
Asonansi, aliterasi
Denotatif, bahasa daerah, kata
bilangan, sinekdoke pars pro toto
Gaya Kalimat Sederhana, imperatif (kalimat
perintah)
Penglihatan,
perabaan,
Citraan
pendengaran
Asonansi, aliterasi, kakafoni
Batu
Gaya Bunyi
Denotatif, personifikasi, hiperbola
Gaya Kata
Gaya Kalimat Sederhana, repetisi, polisindeton,
erotesis (pertanyaan retoris)
Penglihatan, perabaan, gerak,
Citraan
pendengaran
Asonansi, aliterasi, kakafoni
O
Gaya Bunyi
Denotatif, bahasa daerah
Gaya Kata
Gaya Kalimat Sederhana, penggabungan kata
Pendengaran,
penglihatan,
Citraan
perabaan
Asonansi, aliterasi, kakafoni
Perjalanan Kubur Gaya Bunyi
Denotatif, penghilangan imbuhan,
Gaya Kata
personifikasi
Gaya Kalimat Sederhana, deklaratif, repetisi,
klimaks
Penglihatan, gerak
Citraan
Asonansi, aliterasi
Kapak
Gaya Bunyi
Denotatif, sinekdoke totum pro
Gaya Kata
parte, metafora, personifikasi
Gaya Kalimat Sederhana, erotesis (pertanyaan
retoris), repetisi
Penglihatan, gerak, pendengaran,
Citraan
perabaan.
Asonansi, aliterasi, kakafoni
Daging
Gaya Bunyi
Denotatif
Gaya Kata
Gaya Kalimat Sederhana, erotesis (pertanyaan
retoris), repetisi
Intelektual,
pendengaran,
Citraan
pengecapan, penglihatan, gerak.
Asonansi, aliterasi, kakafoni
Sejak
Gaya Bunyi
Denotatif
Gaya Kata
commit
to
user
Gaya Kalimat Sederhana, erotesis (pertanyaan
Mantera
104
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Citraan
retoris), repetisi
Intelektual,
pendengaran
commit to user
penglihatan,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan terhadap aspek stilistika pada
tujuh puisi dalam Antologi Puisi O Amuk Kapak karya Sutardji Calzoum Bachrie,
maka diperoleh simpulan sebagai berikut:
1. Gaya bunyi yang terdapat dalam puisi meliputi asonansi, aliterasi dan
kakafoni. Ketujuh puisi merupakan puisi bebas sehingga tidak terikat
rima.
2. Gaya kata yang terdapat dalam puisi didominasi oleh kata sederhana
yang bermakna denotatif, yang biasanya dipergunakan dalam
percakapan sehari-hari. Penggunaan kata sederhana sesuai dengan
kredo kepenyairan Sutardji yang ingin membebaskan kata dari penjara
pengertian. Bahasa figuratif yang dipergunakan antara lain: sinekdoke,
personifikasi, hiperbola dan metafora. Terdapat juga beberapa kata
serapan yang diambil dari bahasa Jawa.
3. Gaya kalimat yang muncul dalam puisi didominasi dengan kalimat
yang sederhana. Bentuk kalimat yang sering dipergunakan adalah
kalimat tanya. Selanjutnya gaya retorika yang terdapat dalam puisi
adalah repetisi, erotesis, polisindeton, dan klimaks. Selain itu, terdapat
pula ciri khas kepenyairan Sutardji, yaitu penggabungan kata dan
penghilangan imbuhan.
4. Citraan merupakan aspek stilistika yang mendominasi. Dalam setiap
puisi paling tidak ditemukan dua citraan. Citraan yang muncul dalam
puisi-puisi tersebut adalah: citraan perabaan, citraan penglihatan,
citraan pendengaran, citraan gerak, citraan pencecapan dan citraan
intelektual.
commit to user
105
106
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Implikasi
Penelitian ini merupakan penelitian sastra, yaitu kajian stilistika Antologi
Puisi O Amuk Kapak karya Sutardji Calzoum Bachrie. Hasil pembahasan
terhadap objek kajian memberikan deskripsi mengenai aspek-aspek stilistika
dalam sebuah puisi. Hasil penelitian memiliki implikasi terhadap aspek lain yang
relevan, yaitu:
1. Implikasi Teoretis
Penelitian dengan menggunakan kajian stilistika berusaha mengkaji
sebuah karya sastra secara objektif sehingga hasil penelitian bisa menampilkan
data-data yang terlepas dari sifat subjektif peneliti. Hasil penelitian ini juga
diharapkan mampu memberikan pijakan awal bagi penelitian sastra, khususnya
puisi yang terfokus pada aspek kajian stilistika.
2. Implikasi Pedagogis
Kajian stilistika pada puisi ini memiliki kaitan dengan pembelajaran
mengenai kajian dan apresiasi puisi. Kajian stilistika pada karya sastra dapat
menjadi salah satu obyek belajar, baik di Sekolah Menengah Atas maupun di
perguruan tinggi. Pendekatan stilistika mampu memberikan pemahaman
mengenai gaya bahasa secara lebih mendalam dibandingkan model pembelajaran
yang sudah ada. Selain itu penelitian ini diharapkan mampu menambah referensi
puisi yang dapat digunakan dalam pembelajaran mengapresiasi maupun
menganalisis puisi.
3. Implikasi Praktis
Stilistika sebagai ilmu mengenai gaya bahasa kurang dikenal dan
dipahami oleh mahasiswa. Padahal sebenarnya stilistika sangat dekat dan
seharusnya tidak menjadi sesuatu yang asing karena sebagai mahasiswa sastra dan
bahasa Indonesia, khususnya fakultas pendidikan gaya bahasa sudah sering
muncul dalam pembelajaran apresiasi karya sastra. Oleh karena itu, penelitian ini
berimplikasi dengan pembelajaran bahasa terutama mengenai stilistika serta
mampu menjadi cambuk bagi mahasiswa untuk melakukan penelitian yang lebih
mendalam mengenai stilistika.
commit to user
107
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. Saran
Melalui skripsi ini, beberapa saran yang dapat disampaikan antara lain:
1. Kepada peserta didik
Penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan peserta didik
mengenai stilistika. Selain itu, setelah penelitian ini diharapkan munculnya
pengkajian mengenai stilistika, khususnya pada puisi.
2. Kepada pendidik
Pengetahuan mengenai stilistika seharusnya mendapat perhatian lebih dari
pendidik, sehingga peserta didik tidak lagi berpikir bahwa gaya bahasa hanya
terdiri dari majas saja. Selanjutnya penelitian ini diharapkan menjadi inspirasi
bagi pendidik untuk melakukan penelitian yang serupa sehingga muncul
penelitian-penelitian yang lebih baik dari penelitian yang pernah ada
sebelumnya.
commit to user
Download