perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ANTOLOGI PUISI O AMUK KAPAK KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRIE (Sebuah Kajian Stilistika) SKRIPSI Oleh: WAHYUNINGTYAS DEWI INTANSARI K1208051 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user Agustus 2012 i perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini Nama : Wahyuningtyas Dewi Intansari NIM : K1208051 Jurusan/Program Studi : PBS/Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia menyatakan bahwa skripsi saya berjudul ”ANTOLOGI PUISI O AMUK KAPAK KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRIE (SEBUAH KAJIAN STILISTIKA)” ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri. Selain itu, sumber informasi yang dikutip dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka. Apabila pada kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini hasil jiplakan, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan saya. Surakarta, Agustus 2012 Yang membuat pernyataan, Wahyuningtyas Dewi Intansari commit to user ii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ANTOLOGI PUISI O AMUK KAPAK KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRIE (Sebuah Kajian Stilistika) Oleh: WAHYUNINGTYAS DEWI INTANSARI K1208051 Skripsi diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA Agustus 2012 commit to user iii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PERSETUJUAN Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Surakarta, Agustus 2012 Pembimbing I, Pembimbing II, Dr. Budhi Setiawan, M. Pd. Dr. Nugraheni Eko Wardhani, M.Hum. NIP 196105241989011001 NIP 197007162002122001 commit to user iv perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PENGESAHAN Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi salah satu persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan. Hari : Jumat Tanggal : 10 Agustus 2012 Tim Penguji Skripsi Nama Terang Tanda Tangan Ketua : Dr. Saddhono, S.S., M. Hum. Kundharu _______________ Sekretaris : Swandono., M. Hum. Drs. _______________ Anggota I : Setiawan, M. Pd. Dr. Budhi _______________ Anggota II : Eko W., M. Hum. Dr. Nugraheni _______________ Disahkan oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret a.n. Dekan, Prof. Dr. rer.nat. Sajidan, M. Si. commit to user NIP 19660415 199103 1 002 v perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id OTTO Introspeksi diri merupakan cara yang tepat untuk memaksimalkan kelebihan dan meminimalkan kelemahan. Sahabat sejati tidak seperti bayangan. Ketika kita berada di tempat yang terang dia berdiri tegak di belakang kita, akan tetapi ketika kita berada dalam kegelapan dia hilang entah kemana. Menangis mungkin tidak akan pernah menyelesaikan sebuah permasalahan, tetapi itu lebih baik daripada kita mengeluarkan kemarahan yang justru akan memperburuk keadaan. Kadang-kadang sesuatu yang membuat kita tidak dihargai oleh orang lain adalah karena kita kurang atau tidak bisa menghargai diri sendiri. Keberhasilan berawal dari kepercayaan kita terhadap rahmat dan kebesaran Tuhan serta usaha yang kita lakukan. commit to user vi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PERSEMBAHAN Teriring syukurku pada-Mu, kupersembahkan karya ini untuk : ”Bapak Sutidjab, Ibu Sri Lestari serta Almarhumah Uti” Untuk doa yang tiada putus dalam setiap langkahku, kasih sayang serta pengorbanan yang tidak terbatas. Semuanya tidak akan pernah terganti bahkan jika seluruh hidupku ku abdikan pada kalian. Semoga karya ini mampu menjadi kebanggaan dan pengganti peluh serta cucuran air mata yang tertumpah untukku. “Mas Yudo, Mas Wawan, Mas Andung dan Mas Didit” Keempat kakak laki-laki yang selalu mendukung dan memberikan semangat sehingga aku mampu menyelesaikan setiap tantangan dalam hidupku. ”Mbak Naning, Mbak Dian, Mbak Loly dan Mbak Yuyun” Untuk nasihat dan pengalaman hidup yang telah dibagi. Terimakasih pula telah menjadi bagian dari Keluarga Sutidjab. ”Arya, Raya dan Raka” Untuk keceriaan dan celoteh riang yang mampu memberikan inspirasi untuk Bulik dalam menulis.:) ”seseorang yang mengisi salah satu sudut hati” Untuk kesabaran yang tidak pernah habis dan untuk hari-hari yang telah dilewati bersama. Selalu berharap kebahagiaan yang akan menjemput kita. commit to user vii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ABSTRAK Wahyuningtyas Dewi Intansari. ANTOLOGI PUISI O AMUK KAPAK KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRIE (SEBUAH KAJIAN STILISTIKA). Skripsi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.Juli 2012. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: 1) gaya bunyi, 2) gaya kata, 3) gaya kalimat dan 4) citraan dalam antologi puisi O Amuk Kapak karya Sutardji Calzoum Bachrie. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu metode yang memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan data, menganalisis dan menginterpretasikan hubungan kausal fenomena yang diteliti. Data yang diperoleh berupa dokumen yang terurai dalam bentuk kata-kata, bukan dalam bentuk angka. Objek penelitian adalah tujuh puisi yang terdapat dalam Antologi Puisi O Amuk Kapak karya Sutardji Calzoum Bachrie. Teknik pengumpulan data adalah dengan simak, catat dan studi pustaka. Validitas data menggunakan teknik triangulasi teori. Analisis data menggunakan teknik analisis mengalir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam puisi-puisi Sutardji: (1) gaya bunyi mendominasi, hal ini ditunjukkan dengan adanya aliterasi dan asonansi dalam setiap puisi; (2) gaya kata sederhana mendominasi keseluruhan puisi, majas yang digunakan adalah majas hiperbola, sinekdoke, personifikasi; (3) gaya kalimat yyang sederhana tampak dalam masing-masing puisi, sarana retorika yang terdapat dalam baris-baris puisi adalah repetisi atau pengulangan, erotesis atau pertanyaan retorika, gaya bahasa klimaks dan polisindeton; (4) citraan yang digunakan dalam puisi bervariasi, semua jenis citraan muncul dalam puisi tersebut. Simpulan penelitian ini adalah gaya bunyi yang terdapat dalam puisi-puisi tersebut meliputi asonansi, aliterasi, dan kakafoni. Gaya kata didominasi oleh kata sederhana yang bermakna denotatif. Bahasa figuratif yang digunakan antara lain sinekdoke, personifikasi, hiperbola dan metafora. Gaya kalimat yang muncul dalam puisi didominasi dengan kalimat sederhana. Gaya retorika yang terdapat dalam puisi adalah repetisi, erotesis, polisindeton, dan klimaks. Citraan merupakan aspek yang sangat mendominasi dalam puisi-puisi tersebut. Citraan yang tampak meliputi citraan perabaan, citraan penglihatan, citraan pendengaran, citraan gerak, citraan pencecapan dan citraan intelektual. Kata kunci: puisi kontemporer, gaya bahasa, pendekatan stilistika commit to user viii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang memberi ilmu pengetahuan, inspirasi, dan kemuliaan. Atas kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ”ANTOLOGI PUISI O AMUK KAPAK KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRIE (SEBUAH KAJIAN STILISTIKA)”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapat uluran tangan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan penuh kerendahan dan ketulusan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni. 3. Ketua Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. 4. Dr. Budhi Setiawan, M. Pd., selaku Pembimbing I, yang selalu memberikan motivasi dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini. 5. Dr. Nugraheni Eko W., S. S., M. Hum., selaku Pembimbing II, yang selalu memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini. 6. Drs. Swandono., M. Pd., selaku Pembimbing Akademik yang selalu memberikan semangat dan dukungan. 7. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah sudi membagi ilmu pengetahuan, wawasan dan pengalaman yang dimiliki sehingga menjadi bekal berharga bagi penulis. 8. Segenap staf Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan serta para petugas Perpustakaan Pusat UNS atas pelayanan yang telah diberikan. 9. Teman-teman P. Bastind khususnya angkatan 2008 atas kebersamaan, commit to user perhatian, dorongan dan kerjasamanya. ix perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 10. Bapak Ibu tercinta, serta keluarga besarku yang telah membantu doa dan berbagai pengorbanan serta kasih sayang di dalam penyelesaian skripsi ini. 11. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. Akhirnya, penulis sepenuhnya menyadari bahwa di dalam penelitian ini masih ada kekurangan karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan. Oleh karena itu, diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak untuk sempurnanya skripsi ini. Meskipun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya. Surakarta, Agustus 2012 Penulis commit to user x perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR ISI JUDUL.......................................................................................... i PERNYATAAN ........................................................................... ii PENGAJUAN ............................................................................... iii PERSETUJUAN ........................................................................... iv PENGESAHAN............................................................................ v ABSTRAK.................................................................................... vi MOTTO ........................................................................................ vii PERSEMBAHAN ........................................................................ viii KATA PENGANTAR .................................................................. ix DAFTAR ISI ................................................................................ xi DAFTAR TABEL ........................................................................ xiii DAFTAR GAMBAR .................................................................... xiv BAB I PENDAHULUAN ............................................................ 1 A. Latar Belakang Masalah .................................................. 1 B. Rumusan Masalah ........................................................... 5 C. Tujuan Penelitian ............................................................. 5 D. Manfaat Penelitian ........................................................... 5 BAB II ....................................................... KAJIAN PUSTAKA 7 A. Kajian Teori ..................................................................... 7 1. Puisi ............................................................................ 7 a. Hakikat Puisi .......................................................... 7 b. Unsur-unsur Pembangun Puisi............................... 9 1) Struktur Fisik Puisi........................................... 10 2) Struktur Batin Puisi .......................................... 14 c. Karakteristik Puisi-puisi Sutardji C. B. ................. 16 2. Stilistika ...................................................................... 18 a. Hakikat Stilistika.................................................... commit to user b. Bidang Kajian Stilistika ......................................... 18 xi 22 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id c. Tujuan Stilistika ..................................................... 49 B. Penelitian Relevan ........................................................... 50 C. Kerangka Berpikir ........................................................... 53 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ..................................... 56 A. Tempat danWaktu Penelitian .......................................... 56 B. Pendekatan dan Jenis Penelitian ...................................... 57 C. Data dan Sumber Data ..................................................... 57 D. Teknik Sampling ............................................................. 57 E. Pengumpulan Data........................................................... 58 F. Validitas Data .................................................................. 58 G. Analisis Data ................................................................... 58 H. Prosedur Penelitian .......................................................... 59 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............. 61 A. Deskripsi Data ................................................................. 61 B. Analisis Stilistika Puisi ................................................... 62 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN ..................... 104 A. Simpulan ......................................................................... 104 B. Implikasi .......................................................................... 105 C. Saran ................................................................................ 106 DAFTAR PUSTAKA ................................................................... 107 LAMPIRAN ................................................................................. 110 1. Sumber Data Penelitian ..................................................................... 110 commit to user xii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR TABEL Tabel 1. Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian ...................................... 56 Tabel 2. Hasil Analisis Stilistika ........................................................... 103 commit to user xiii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Kerangka Berpikir ............................................................... commit to user xiv 55 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan hasil cipta, karya dan karsa manusia. Sastra sebagai hasil kreasi manusia dapat pula diartikan sebagai buah pemikiran yang menunjukkan keluhuran budi, kepekaan terhadap keadaan sosial dan merupakan sarana bagi manusia untuk mengungkapkan pemikiran yang dibingkai dengan keindahan. Sastra sebagai hasil pekerjaan seni manusia tidak akan pernah lepas dari bahasa yang merupakan media utama dalam karya sastra. Bahasa dan manusia erat kaitannya karena pada dasarnya keberadaan sastra sering bermula dari persoalan dan permasalahan yang ada pada manusia dan lingkungannya, kemudian dengan adanya imajinasi yang tinggi seorang pengarang menuangkan masalah-masalah yang ada di sekitarnya menjadi sebuah karya sastra. Sastra sebagai sarana komunikasi memiliki beberapa kelebihan, yaitu mampu menyampaikan makna secara lugas dan tersirat. Kelebihan inilah yang membuat sastra tidak hanya dinikmati keindahannya akan tetapi juga dipergunakan sebagai sarana komunikasi antara penyair dengan penikmat karya sastra tersebut. Karya sastra merupakan sebuah fenomena dan produk sosial sehingga yang terlihat dalam karya sastra adalah sebuah entitas masyarakat yang bergerak, baik yang berkaitan dengan pola struktur, fungsi, maupun aktivitas dan kondisi sosial budaya sebagai latar belakang kehidupan masyarakat pada saat karya sastra itu diciptakan (Tarigan, 2011: 67). Selanjutnya Endraswara (2011: 6), mengatakan bahwa pada dasarnya antara sastra dan masyarakat terdapat hubungan yang hakiki. Hubungan-hubungan yang dimaksudkan disebabkan oleh: (a) karya sastra dihasilkan oleh pengarang, (b) pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat, (c) pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat, dan (d) hasil karya itu dapat dimanfaatkan kembali oleh masyarakat. Bahasa sebagai medium dalam karya sastra mempunyai peran sentral, selain sebagai sarana komunikasi juga harus memenuhi aspek estetika. Berbagai commit user efektifitas pengungkapan, yaitu cara dilakukan agar aspek estetika danto juga 1 2 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id disiasati, didayagunakan dan dimanipulasi sehingga tampil berbeda dengan bahasa dalam karya nonsastra. Meskipun demikian, bahasa sastra tidak secara mutlak menggunakan kalimat-kalimat konotatif. Kalimat denotatif tetap diperlukan selain juga didukung dengan adanya kalimat konotatif untuk mencapai aspek estetika. Salah satu karya sastra yang mempunyai keunikan, baik dari bentuk fisik maupun pilihan katanya adalah puisi. Sebuah puisi mampu mengungkapkan isi atau makna dari sebuah prosa yang terdiri dari ribuan kata. Puisi merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang terpenting, diekspresikan dan diubah dalam wujud yang berkesan (estetis). Kekuatan itulah yang menyebabkan sebuah puisi memiliki kekuatan komunikasi literer yaitu tindak komunikasi yang membutuhkan intensitas intelektual. Dengan demikian, akan dihasilkan puisi yang merupakan perwakilan perasaan penyair dan pendokumentasian peristiwaperistiwa yang terjadi di sekitar penyair. Puisi merupakan salah satu media dalam karya sastra yang menggambarkan kehidupan dengan mengangkat masalah sosial dalam masyarakat. Persoalan sosial tersebut merupakan tanggapan atau respon penulis terhadap fenomena permasalahan yang ada di sekelilingnya, sehingga dapat dikatakan bahwa seorang penyair tidak bisa lepas dari pengaruh sosial budaya masyarakatnya. Latar sosial budaya itu terwujud dalam tokoh-tokoh yang dikemukakan, sistem kemasyarakatan, adat-istiadat, pandangan masyarakat, kesenian dan benda-benda kebudayaan yang terungkap dalam karya sastra. Eksistensi puisi di nusantara merupakan bukti bahwa puisi adalah jenis karya sastra tertua. Perkembangan puisi dari masa ke masa menjadikan puisi berkembang menjadi beragam jenis dengan karakteristik yang menyertai dan membedakan masing-masing jenis. Jenis karya seni ini masing-masing mempunyai ciri untuk mengungkapkan tujuan. Puisi merupakan suatu karya sastra yang banyak digunakan untuk tujuan tersebut di samping karya seni lain. Puisi sebagai karya sastra menggunakan bahasa sebagai medium untuk mengungkapkan makna. Makna tersebut diungkapkan melalui sistem tanda yakni tanda-tanda yang punya arti. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 3 digilib.uns.ac.id Kepiawaian penyair dalam memilih kata dan menyusunnya mengambil peran yang sangat penting dalam tercapainya makna atau maksud dari penulisan puisi. Penulisan puisi bersifat khas yang membedakannya dengan bentuk prosa. Penyajian puisi umumnya lebih mengutamakan imajinasi yang ditimbulkan. Manipulasi bunyi dipergunakan untuk memperoleh keserasian bunyi dan irama sehingga aspek keindahan dapat terwujud dalam sebuah puisi. Kecermatan pengarang dalam mendayagunakan dan memanipulasi bunyi akan menghasilkan suatu ciri khas dalam karyanya, yang disebut dengan gaya bahasa. Gaya bahasa pada masing-masing periode penyair berbeda sebagai cerminan kedalaman intuisi dan pengalaman. Penggunaan gaya bahasa yang berbeda dalam mengunggapkan sebuah tema yang sama akan menghasilkan karya yang berbeda. Pada lingkupnya puisi diciptakan oleh seseorang dengan melukiskan dan mengekspresikan watak-watak yang penting si pengarang, bukan hanya menciptakan keindahan. Aminuddin (1997: 65) menyatakan dalam puisi misalnya membutuhkan efek-efek emotif yang mempengaruhi karya sastra. Efek-efek tersebut dapat diperoleh melalui aspek kebahasaan, paduan bunyi, penggunaan tanda baca, cara penulisan dan lain sebagainya. Kriteria tersebut membantu dalam menganalisis sebuah puisi. Seiring dengan perkembangan peradaban manusia puisi juga mengalami perkembangan, sehingga muncullah jenis puisi kontemporer. Puisi kontemporer merupakan puisi modern yang lepas dari aturan-aturan puisi lama dan mengembalikan puisi kepada bentuk asalnya yaitu sebagai mantra. Salah satu penyair yang terkenal melalui puisi kontemporer adalah Sutardji Calzoum Bachrie dengan antologi puisinya yang berjudul O Amuk Kapak. O Amuk Kapak merupakan antologi puisi kontemporer karya Sutardji dalam kurun tahun 1966-1979. Puisi-puisi yang terdapat didalamnya sebenarnya diterbitkan dalam tiga buku, yaitu O, Amuk, dan Kapak. Ketiga buku yang kemudian dijadikan sebuah antologi puisi ini berisikan 67 puisi yang sangat menarik dikaji karena susunan dan kata yang dipergunakan berbeda dengan karya commit to user penyair pada umumnya. 4 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Sutardji merupakan salah satu penyair fenomenal yang mengemukakan jenis puisi kontemporer ketika para penyair lain memfokuskan puisinya pada kedalaman makna. Sajak-sajaknya memperlihatkan seorang Sutardji sebagai pembaharu perpuisian Indonesia. Terutama karena konsepsinya tentang kata yang hendak dibebaskan dari kungkungan pengertian dan dikembalikannya pada fungsi kata seperti dalam mantra. Pemilihan kata, frasa, dan bunyi memegang peranan penting bagi puisi kontemporer. Selain itu tipografi juga mendapat perhatian yang besar dari penyair karena tata letak tiap kata menjadi penting dan mempengaruhi makna yang akan dicapai. Ciri yang khas dari puisi modern pada umumnya inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengkaji puisi kontemporer pada antologi Puisi O Amuk Kapak menggunakan sudut pandang stilistika yang mencoba menganalisis gaya yang ditimbulkan dari penggunaan bahasa yang khas oleh pengarang. Endraswara mengemukakan bahwa penelitian stilistika atau gaya bahasa memang masih jarang dilakukan. Kalaupun ada yang pernah melakukan, biasanya masih sepotong-potong dan kurang memadai (2011: 72). Bertolak dari pendapat tersebut peneliti berkeinginan untuk berusaha mengkaji puisi kontemporer menggunakan kajian stilistika. Puisi-puisi yang terdapat dalam antologi puisi O Amuk Kapak karya Sutardji Calzoum Bachrie mencerminkan gaya yang khas dari puisi kontemporer dan sesuai apabila dikaji menggunakan stilistika. Penelitian ini dimulai dengan pendeskripsian gaya bunyi, gaya kata, gaya kalimat, dan citraan sebagai wujud unsur kajian stilistika. Pengkajian terhadap empat aspek tersebut diharapkan mampu memberikan sebuah kajian stilistika yang memadai dan mampu mencapai tujuan penelitian stilistika, yaitu penilaian terhadap karya sastra secara objektif dan ilmiah.Berdasarkan latar belakang di atas peneliti melakukan penelitian yang dinyatakan dengan judul “Antologi Puisi O Amuk Kapak Karya Sutardji Calzoum Bachrie (Sebuah Kajian Stilistika)”. commit to user 5 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, dalam penelitian ini dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu: 1. bagaimana gaya bunyi dalam Antologi Puisi O Amuk Kapak? 2. bagaimana gaya kata dalam Antologi Puisi O Amuk Kapak? 3. bagaimana gaya kalimat dalam Antologi Puisi O Amuk Kapak? 4. bagaimana citraan dalam Antologi Puisi O Amuk Kapak? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian berdasarkan perumusan masalah di atas adalah: 1. mendeskripsikan gaya bunyi dalam Antologi Puisi O Amuk Kapak. 2. mendeskripsikan gaya kata dalam Antologi Puisi O Amuk Kapak. 3. mendeskripsikan gaya kalimat dalam Antologi Puisi O Amuk Kapak. 4. mendeskripsikan citraan dalam Antologi Puisi O Amuk Kapak. D. Manfaat Penelitian Penelitian mengenai Antologi Puisi O Amuk Kapak karya Sutardji Calzoum Bachrie ditinjau dari sudut pandang stilistika diharapkan dapat memberikan manfaat, baik teoretis maupun praktis. a. Manfaat Teoretis Meletakkan dasar bagi penelitian stilistika karya sastra yang lain. Hasil kajian stilistika ini memberikan kontribusi bagi pengembangan linguistik studi maupun terapan sekaligus dalam analisis karya sastra. b. Manfaat Praktis a. Bagi Pembaca Memberikan informasi kepada pembaca mengenai bentuk gaya bahasa yang digunakan dalam Antologi Puisi O Amuk Kapak karya Sutardji Calzoum Bachrie. b. Bagi Penulis Menambah pengetahuan mengenai pemakaian gaya bahasa dalam kata commit to user maupun kalimat. 6 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id c. Bagi Pendidik Menambah pengetahuan pendidik mengenai stilistika dan implikasinya terhadap materi pembelajaran bahasa Indonesia. d. Bagi Peserta Didik Menambah wawasan peserta didik tentang stilistika dan pemanfaatan gaya bahasa dalam penulisan sebuah puisi. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Puisi a. Hakikat Puisi Istilah puisi berasal dari Bahasa Yunani poeites, yang juga terdapat dalam Bahasa Latin poeta yang artinya pembangun, pembentuk, pembuat. Pengertian ini kemudian berkembang menjadi orang yang mencipta melalui imajinasinya, yang bisa menebak kebenaran yang tersembunyi (Situmorang, 1980: 10). Puisi adalah salah satu karya seni yang tua. Puisi hidup sejak manusia menemukan kesenangan dalam bahasa. Kesenangan inilah yang menciptakan keindahan dalam puisi baik melalui susunan kata maupun pada pilihan kata (diksi) yang digunakan. Puisi merupakan bahasa yang multidimensional, yang mampu menembus pikiran, perasaan dan imaji manusia yang memiliki sifat dan ciri tersendiri. Hal inilah yang membedakan puisi dengan karya sastra lainnya. Waluyo (1995: 22) mengemukakan bahwa dibanding karya sastra yang lain, puisi lebih bersifat konotatif. Hal inilah yang menyebabkan bahasa dalam puisi menjadi multitafsir (poliinterpretable). Sifat multitafsir yang terdapat dalam puisi ini justru menjadi kekuatan akibat pemadatan dan pengkonsentrasian kekuatan bahasa dalam puisi. Menurut Situmorang (1980: 7) puisi merupakan penghayatan kehidupan manusia yang dipantulkan oleh penciptanya dengan segala pribadinya, pikirannya, perasaannya, kemauannya dan lain-lain. Dengan demikian, puisi tidak hanya menjadi salah satu jenis karya sastra akan tetapi lebih dari itu melalui puisi kita bisa melihat pemikiran dan sudut pandang pengarang dalam menyikapi sebuah permasalahan. Richards (dalam Sumardjo dan Saini, 1986: 124-125) mengemukakan bahwa ada empat arti puisi. Pertama arti lugas, yaitu pendapat menyair mengenai pokok pembicarannya (tema puisi). Kedua arti yang berhubungan dengan to user yang dihadapinya. Ketiga arti perasaan penyair terhadap pokokcommit permasalahan 7 8 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id yang berhubungan dengan nada, bagaimana penyair mengungkapkan pikiran dan perasaannya, dalam hal ini ada dua faktor yang sangat mempengaruhi yaitu, pokok pembicaraan dan orang yang diajak bicara. Arti yang keempat berhubungan dengan apa yang diinginkan penyair terhadap pembaca, namun dalam hal ini tidak selalu penyair menginginkan agar ia dapat mempengaruhi pembaca. Seringkali penyair hanya ingin menuangkan pikiran dan perasaan pribadinya melalui karyanya. Berbeda dengan pendapat di atas, Blake dan Shelley (dalam Aminuddin, 1997: 13) mengemukakan bahwa puisi bukan dianggap sebagai imitasi kehidupan melainkan sebagai simbolisasi nilai yang terkandung dalam kehidupan. Makna yang terkandung dalam puisi bukan apa yang dilihat melainkan esensi dari apa yang terlihat. Kekuatan puisi tidak hanya diperoleh melalui pilihan kata yang dianggap mewakili pesan atau arti puisi, tipografi atau bentuk puisi ternyata juga mampu menyampaikan maksud yang ingin dicapai oleh penyair. Sehubungan dengan hal tersebut, Semi (1993: 137) mengemukakan bahwa puisi adalah penjelmaan pikiran dan perasaan serta pengalaman jiwa penyair dalam bentuk tertentu. Bentuk itu adalah lambang yang mewakili angan-angannya. Meskipun demikian, menurut Pradopo (1987: 3) orang tidak akan dapat memahami puisi secara sepenuhnya tanpa mengetahui dan menyadari bahwa puisi itu karya estetis yang bermakna, yang mempunyai arti, bukan hanya sesuatu yang kosong tanpa makna. Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa puisi merupakan jenis karya sastra yang memiliki ciri khas, antara lain: bahasanya padat tetapi kaya makna, dibangun oleh unsur intrinsik dan ekstrinsik yang merupakan seni menuangkan pikiran, gagasan, dan perasaan melalui medium kata yang terbatas. Tantangan dalam menghasilkan puisi yang indah bukan hanya terletak pada kecermatan merangkai kata akan tetapi juga ketercapaian irama musikal yang merdu, padu dan harmonis, sehingga hal yang diungkapkan melalui puisi tersebut tersaji dengan nuansa yang berbeda dan perspektif baru yang segar. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 9 digilib.uns.ac.id b. Unsur-unsur Pembangun Puisi Puisi merupakan sebuah struktur yang terdiri dari unsur-unsur pembangun yang bersifat padu, saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Unsur pembangun ini selanjutnya dibagi menjadi dua, yaitu struktur fisik dan struktur batin puisi. Struktur fisik puisi terdiri atas diksi, pengimajian, kata konkret, majas, versifikasi, dan tipografi puisi. Sedangkan unsur batin puisi terdiri atas tema, nada, perasaan dan amanat (Waluyo, 1995: 28). Pendapat yang senada juga dikemukakan oleh Richards. Berbeda dengan Waluyo, istilah yang digunakan adalah hakikat puisi yang terdiri atas tema, nada, perasaan dan amanat dan metode puisi yang terdiri atas diksi, pengimajian, kata konkret, majas, rima dan ritma. Menurut Semi (1993: 107-108) bahwa bentuk fisik dan mental sebuah puisi pada dasarnya dapat pula dilihat sebagai suatu kesatuan yang terdiri dari tiga lapisan. Pertama lapisan bunyi, yaitu lapisan lambang-lambang bahasa sastra yang sering juga kita sebut sebagai bentuk fisik puisi. Kedua, lapisan arti, yaitu sejumlah arti yang dilambangkan oleh struktur atau lapisan permukaan yang terdiri dari lapisan bunyi bahasa. Lapisan ketiga yaitu lapisan tema yang merupakan suatu “dunia” pengucapan karya sastra, sesuatu yang menjadi tujuan penyair, atau sesuatu efek tertentu yang didambakan penyair. Lapisan arti dan tema inilah yang dapat dianggap sebagai bentuk mental atau struktur batin sebuah puisi. Ada juga yang menyatakan bahwa unsur-unsur puisi secara bersamaan tanpa ada pemisahan antara struktur batin dan struktur fisik. Badrun (1989: 6) mengemukakan bahwa unsur puisi terdiri dari diksi, imajeri, sarana retorika, bunyi, irama, tipografi, dan tema atau makna. Senada dengan pendapat Badrun, Situmorang (1983: 27-36) juga menggabungkan unsur-unsur puisi menjadi judul, arti kata, imajeri, simbol, bahasa figuratif, bunyi, rima, ritme (irama) dan tema. Walaupun digabungkan antara struktur batin dan fisik sebenarnya apa yang disampaikan mempunyai banyak persamaan. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 10 digilib.uns.ac.id 1) Struktur Fisik Puisi Struktur fisik puisi membahas bagaimana kreatifitas penyair dalam menciptakan puisi. Oleh karena itu, Richards mengemukakan bahwa struktur fisik ini sebagai metode puisi. Hal ini dapat dilihat pada pilihan kata penyair (diksi), pengimajian, bagaimana kata-kata diperkonkret, penciptaan lambang dan kiasan (majas), bagaimana versifikasi, serta bagaimana penyair menyusun tata wajah puisi (tipografi) (Waluyo, 1995: 147). Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut: a) Diksi Pemilihan kata sangat erat kaitannya dengan hakikat puisi yang penuh pemadatan. Oleh karena itu, penyair harus pandai memilih kata-kata. Penyair harus cermat agar komposisi bunyi rima dan irama memiliki kedudukan yang sesuai dan indah. Menurut Waluyo (1995: 73) diksi dalam puisi memiliki peran yang sangat penting. Pemilihan kata mempertimbangkan berbagai aspek estetis sehingga bersifat absolut dan tidak bisa diganti dengan padan katanya sekalipun maknanya sama. Selain itu, Tarigan (2011: 29) mengemukakan diksi adalah pilihan kata yang digunakan oleh penyair. Pilihan kata yang tepat dapat mencerminkan ruang, waktu, falsafah, amanat, efek, dan nada dalam suatu puisi. Pemilihan kata yang tepat dapat menjelmakan pengalaman jiwa dengan setepat-tepatnya. Diksi juga merupakan kode budaya asal penyair, yang menjadi sebagian kunci untuk memahami puisi. b) Citraan Citraan atau pengimajian (imagery) merupakan penggunaan bahasa untuk menggambarkan objek-objek, tindakan, perasaan, pikiran, ide, pernyataan, pikiran dan setiap pengalaman indera atau pengalaman indera yang istimewa. Dalam hal ini yang dimaksud adalah citraan yang meliputi gambaran angan-angan dan pengguna bahasa yang menggambarkan angan-angan tersebut, sedangkan setiap gambar pikiran disebut citra atau imaji. commit to user 11 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Pengimajian ditandai dengan penggunaan kata konkret dan khas (Waluyo, 1995: 79). Secara spesifik menurut Tarigan (2011: 31) dalam menciptakan karya penyair berusaha membangkitkan pikiran dan perasaan para penikmat sehingga merekalah yang benar-benar mengalami peristiwa dan perasaan tersebut. Penyair berusaha agar penikmat dapat melihat, merasakan mendengar, dan menyentuh apa yang ia alami dan rasakan. Kajian citraan dalam rangka studi stilistika perlu dilakukan karena studi stilistika mengkhususkan pada pemakaian bahasa secara khusus (pemakaian gaya bahasa). Pradopo (1987: 81-87) membagi citraan menjadi beberapa jenis yaitu (1) visual imagery adalah citraan yang ditimbulkan oleh penglihatan, (2) auditory imagery adalah citraan yang ditimbulkan oleh pendengaran, (3) citraan gerak (movement imagery) yaitu citraan yang menggambarkan sesuatu yang secara nyata tidak bergerak tetapi digambarkan mampu bergerak, (4) citraan yang ditimbulkan oleh warna lokal (local colour). Imaji merupakan salah satu alat kepuitisan yang digunakan oleh penyair untuk menarik perhatian pembaca bahkan meyakinkannya terhadap realitas yang didendangkan melalui syairnya (Situmorang, 1980: 20). c) Kata-kata Konkret Kata konkret merupakan kata yang dapat melukiskan dengan tepat, membayangkan dengan jitu apa yang hendak dikemukakan oleh pengarang. Penggunaan kata yang diperkonkret erat kaitannya dengan penggunaan bahasa kiasan dan lambang. Kata konkret menurut Waluyo (1995: 81) merupakan syarat atau sebab terjadinya pengimajian atau citraan. Kepiawaian penyair dalam memperkonkret kata-kata maka pembaca seolah dapat melihat, mendengar atau merasakan seperti apa yang dilukiskan oleh penyair. Tarigan (2011: 32) mengungkapkan salah satu cara membangkitkan daya bayang imajinasi para penikmat puisi adalah menggunakan kata-kata yang tepat, kata yang dapat menyarankan suatu pengertian secara menyeluruh sehingga pembaca dapat memahami arti sebuah puisi. commit to user 12 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id d) Bahasa Figuratif Menurut Abrams (dalam Supriyanto, 2009: 55) bahasa figuratif adalah penyimpangan penggunaan bahasa oleh penutur dari pemahaman bahasa yang dipakai sehari-hari, penyimpangan dari bahasa standar, atau penyimpangan makna kata atau rangkaian kata untuk memperoleh beberapa arti khusus atau efek khusus. Adanya bahasa kiasan menurut Pradopo (1987: 62) menyebabkan sajak menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan gambar angan. Waluyo (1995: 83) mengemukakan bahwa bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna. Bahasa figuratif merupakan sarana bagi penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung mengungkapkan makna. Bahasa figuratif ialah cara yang dipergunakan penyair untuk membangkitkan dan menciptakan imagery dengan mempergunakan gaya bahasa, gaya perbandingan, gaya kiasan, gaya perlambang sehingga makin jelas makna atau lukisan yang hendak dikemukakannya (Situmorang, 1983: 22). Menurut Endraswara (2011: 73) terdapat dua macam bahasa kiasan atau stilistik kiasan, yaitu gaya retorik dan gaya kiasan. Gaya retorik meliputi eufemisme, paradoks, tautologi, pleonasme, sarkasme dan sebagainya. Gaya retorik menurut Kridalaksana (dalam Supriyanto, 2009: 55) merupakan alat untuk memperluas makna kata atau kelompok kata untuk memperoleh efek tertentu dengan membandingkan atau mengasosiasikan dua hal. Gaya kiasan menurut Abrams (dalam Supriyanto, 2009: 56) terdiri dari simile (perbandingan), metafora, metonimi, sinekdoke dan personifikasi. Sementara itu, Pradopo (1987: 62) membagi bahasa kias menjadi tujuh jenis yaitu perbandingan, metafora, perumpamaan, epos, personifikasi, metonimi, dan alegori. Menurut Ratna (2009: 164) majas (figure of speech) adalah pilihan kata tertentu sesuai dengan maksud penulis atau pembicara dalam rangka memperoleh aspek keindahan. e) Verifikasi Rima, ritme dan metrum mempunyai makna yang berkaitan yang kemudian disebut dengan verifikasi. Rima merupakan pengulangan bunyi dalam puisi yang commit to atau user orkestrasi (Waluyo, 1995: 90). bertujuan untuk membentuk musikalitas perpustakaan.uns.ac.id 13 digilib.uns.ac.id Dengan pengulangan bunyi tersebut, puisi menjadi merdu dan menarik bila dibaca. Rima memegang peranan penting dalam menciptakan keindahan sebuah puisi. Menurut Semi (1993: 121) pengaruh rima dalam puisi sangatlah besar, ia menyebabkan terjadinya rasa keindahan, timbulnya imajinasi, munculnya daya pukau, dan lebih dari itu ia dapat memperkuat pengertian. Bentuk-bentuk rima yang paling sering muncul adalah aliterasi, asonansi, dan rima akhir. Bunyi-bunyi yang berulang, kemudian menimbulkan suatu gerak yang teratur. Gerak yang teratur tersebut disebut ritme atau rhythm. Situmorang (1983: 22) mengemukakan bahwa irama atau ritme merupakan totalitas dari tinggi rendah suara, panjang pendek suara, cepat lambatnya suara waktu membaca atau mendeklamasikan sanjak. Masing-masing angkatan mempunyai perbedaan cara mengulang hal-hal yang dipandang membentuk ritme. Tarigan (2011: 35) mengatakan rima dan ritme memiliki pengaruh untuk memperjelas makna puisi. Dalam kepustakaan Indonesia, ritme atau irama adalah turun naiknya suara secara teratur. Sedangkan metrum adalah irama yang tetap, pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu (Pradopo, 1987: 40). Selanjutnya Short (1997: 127) mengemukakan bahwa metrum (metre) adalah lapisan ekstra dari struktur irama pada puisi sebagai ciri khas. Poetry has more marked, and more complex, rhythmic effecs than ordinary language because it has an extra layer of rhythmic structuring, which is usually called metre. Selanjutnya Short (1997: 131) menambahkan jenis-jenis metrum yang meliputi iamb (X/= „di dum‟), trochee (/X= „dum di‟), anapest (XX/= „di di dum‟), dactyl (/XX= „dum di di‟). f) Tata Wajah (tipografi) Tata wajah atau tipografi merupakan salah satu ciri yang membedakan puisi dengan karya sastra lain. Bentuk-bentuk puisi ini kemudian semakin berkembang tidak hanya berbentuk konvensional yaitu bait namun mengikuti pemikiran penyair yang semakin kreatif. Istilah tipografi secara harfiah berasal dari seni mencetak dengan desain khusus, susunan atau rupa (penampilan) commit tobarang user cetak. Tipografi berhubungan perpustakaan.uns.ac.id 14 digilib.uns.ac.id dengan unsur visual puisi yang mempunyai peranan cukup penting karena dapat menarik perhatian pembaca. Selain itu tipografi dapat juga membantu pembaca memahami makna atau situasi yang tergambar dalam puisi (1989: 87). Menurut Waluyo (1995: 97) cara penulisan sebuah teks sebagai larik-larik yang khas menciptakan makna tambahan. Makna tambahan itu diperkuat oleh penyajian tipografi puisi. Dalam puisi-puisi Sutardji C. B. tipografi dipandang begitu penting sehingga menggeser kedudukan makna kata-kata. 2) Struktur Batin Puisi Struktur batin berperan untuk menjiwai sebuah puisi. Dalam hal ini menurut Nurhayati (2008: 40-43) hakikat puisi terdiri atas beberapa komponen yang membangun sebuah puisi. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut: a) Tema (sense) Tema merupakan gagasan atau ide pokok dalam suatu kajian puisi. Hal yang menjadi pokok persoalan dalam puisi tersebut. Setiap puisi memiliki pokok persoalan yang hendak disampaikan kepada pembacanya. Pokok permasalahan dalam sebuah puisi mengacu pada penyair. Menurut Tarigan (2011: 10-11) dalam puisi memiliki subject matter yang hendak dikemukakan atau ditonjolkan. Hal ini dapat dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman penyair. Makna yang terkandung dalam subject matter adalah sense atau tema dalam puisi tersebut.Waluyo (1995: 107) mengemukakan bahwa tema puisi bersifat lugas, obyektif dan khusus. Puisi sebagai hasil cipta penyair merupakan media yang digunakan oleh penyair untuk berkomunikasi dengan pembacanya. Berbagai pengalaman, baik yang dialami langsung maupun yang disaksikan oleh penyair dituangkan dalam larik-larik puisi. b) Perasaan (feeling) Perasaan merupakan sikap penyair terhadap pokok persoalan yang terdapat dalam puisinya. Dalam hal ini pada umumnya setiap penyair tentunya akan memiliki pandangan yang berbeda terhadap suatu karya. Menurut Tarigan (2011: commit to user 15 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 12) rasa (feeling) yaitu merupakan sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang ada pada puisinya. Pada kenyataanya setiap manusia mempunyai sikap dan pandangan tertentu terhadap suatu permasalahan. Perasaan itulah yang kemudian dituangkan oleh penyair dalam puisinya dengan menggunakan ungkapan-ungkapan tertentu. Perasaan (feeling) adalah gambaran perasaan yang dialami oleh penyair dalam proses penciptaan puisinya. Perasaan yang diungkapkan penyair berpengaruh terhadap pemilihan bentuk fisik (metode) puisi (Waluyo, 1995: 124). c) Nada (tone) Tarigan (2011: 13) mengemukakan bahwa nada adalah sikap penyair terhadap pembaca puisi yang berkenaan dengan pokok permasalahan yang dikemukakan dalam puisinya. Nada merupakan refleksi sikap penyair terhadap pembacanya, baik suasana hati, dan pandangan moral, dan terkadang muncul pula karakter kepribadian pengarangnya tercemin dalam puisi. Penyair menunjukkan pula sikapnya kepada pembacanya, misalnya dengan sikap menggurui, menyindir atau bersifat lugas. Dengan adanya nada pada puisi, menurut Waluyo (1995: 130) menjadikan puisi bukan hanya ungkapan yang bersifat teknis, namun suatu ungkapan yang bersifat total karena seluruh aspek psikologis penyair turut terlibat. d) Amanat (intention) Amanat adalah hal yang dapat dipahami oleh pembaca setelah pembaca memahami tema dan nada dari puisi tersebut. Amanat merupakan hal yang mendorong penyair untuk menciptakan puisinya (Waluyo, 1995: 130). Dalam hal ini penyair menciptakan puisinya dan amanat secara tidak langsung muncul melalui tema yang diungkapkan. Amanat berhubungan dengan makna karya sastra dan bersifat interpretatif, yaitu setiap orang bisa mempunyai penafsiran yang berbeda terhadap karya sastra yang sama. commit to user 16 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id c. Karakteristik Puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachrie Periodisasi puisi terbagi manjadi beberapa angkatan. Pada masing-masing angkatan terdapat karakteristik yang menjadi pembeda dan menjadi ciri khas. Pada angkatan 1966, ciri yang dominan adalah puisi yang menggunakan kata-kata sebagai mantra. Bentuk fisik puisi ditempatkan dalam kedudukan terpenting. Untuk tujuan-tujuan tersebut, ada beberapa cara yang dilakukan oleh Sutardji dalam puisinya yang kemudian disebut dengan puisi kontemporer. Pada setiap puisi Sutardji terdapat penyimpangan-penyimpangan bahasa yang sengaja dilakukan untuk menciptakan “keanehan” yang pada masa itu belum pernah secara intensif dilakukan oleh penyair lain. Penyimpangan itu antara lain berupa penghapusan tanda baca, pemutusan kata, pembalikan kata, penggandengan dua kata atau lebih, penghilangan imbuhan, pembentukan jenis kata dari jenis kata lain tanpa mengubah bentuk morfologinya. Penyimpangan ini dapat ditemukan pada semua puisi ciptaan Sutardji (Pradopo, 1987: 106). Penghapusan tanda baca menciptakan efek kegandaan tafsir dan mengakibatkan bait-bait puisi sebagai mantra yang terdiri dari kata yang berulang, berderet tanpa koma. Puisi yang tidak menggunakan tanda baca ini menarik perhatian pembaca atau penikmatnya atas ucapan yang berturut-turut tersebut. Contoh puisi yang menggunakan sedikit tanda baca adalah puisi Mantera. MANTERA lima percik mawar tujuh sayap merpatu sesayat langit perih dicabik puncak gunung sebelas duri sepi dalam dupa rupa tiga menyan luka mengasapi duka puah! kau jadi Kau! Kasihku commit to user 17 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Tanda seru dalam puisi di atas digunakan untuk menegaskan serta menambah efek puitis. Puisi-puisi Sutardji juga mempunyai ciri kata yang digabungkan, sehingga seolah-olah kata-kata tersebut menjadi satu kata dan mempunyai satu pengertian yang tak terpisahkan. Penggabungan kata belum pernah dilakukan dalam dunia puisi Indonesia. Efek yang ditimbulkan dari penggabungan kata adalah penyangatan dan melebih-lebihkan. Penghilangan imbuhan merupakan salah satu ciri Sutardji dalam menciptakan puisinya. Tanpa imbuhan kata yang tersusun menjadi lebih berirama dan mendapatkan daya ekspresi yang penuh karena kepadatannya. Hal lain yang dilakukan Sutardji dalam puisinya yang kemudian menjadi ciri pembeda dengan penyair lain adalah pemutusan kata. Kata-kata diputus-putus menjadi suku kata atau dibalik suku katanya sehingga menarik perhatian dan memberikan makna baru atau malah sebaliknya, kata-kata tersebut menjadi kehilangan makna yang kemudian memunculkan sugesti kesia-siaan atau arti yang tidak sempurna lagi. Sajak yang sangat terkenal dan menggunakan pemenggalan kata adalah Tragedi Winka & Sihka. Dalam sajak tersebut kata “kawin” dan “kasih” dipenggal-penggal sedemikian rupa dan disusun secara zigzag. Kepiawaian Sutardji dalam membentuk kata-kata benda atau kata kerja langsung menjadi kata keadaan atau sifat juga menjadikan puisi-puisi kontemporer menjadi berbeda pada umumnya. Pada puisi yang berjudul Solitude dapat dilihat kreatifitas Sutardji mengubah kata kerja menjadi kata sifat. Solitude yang paling mawar yang paling duri yang paling sayap yang paling bumi yang paling pisau yang paling risau yang paling nancap yang paling dekap commit to user 18 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id samping yang paling Kau! Dengan ucapan seperti di atas semua kata menjadi baru, segar dan ekspresif. Selain itu bentuk yang berbeda dengan karya sastra, terutama puisi pada umumnya menjadi sebuah ciri khas bagi karya Sutardji Calzoum Bachrie. 2. Stilistika a. Hakikat Stilistika Stilistika (stylistic) dapat diterjemahkan sebagai ilmu tentang gaya. Secara etimologis stylistic berhubungan dengan kata style yang berarti gaya. Aminuddin (1997: 13) mengemukakan style dapat diartikan sebagai bentuk pengungkapan ekspresi kebahasaan sesuai dengan kedalaman emosi dan sesuatu yang ingin direfleksikan pengarang secara tidak langsung. Menurut Keraf (2000: 112) istilah style yang berasal dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat tulis yang berkembang maknanya menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah. Dengan demikian stilistika adalah ilmu pemanfaatan gaya bahasa dalam karya sastra, penggunaan gaya bahasa secara khusus dalam karya sastra, gaya bahasa yang muncul ketika pengarang mengungkapkan idenya. Gaya bahasa ini merupakan efek seni dan dipengaruhi oleh hati nurani. Melalui gaya bahasa itu seorang penyair mengungkapkan idenya. Pengungkapan ide yang diciptakan melalui keindahan dengan gaya bahasa pengarangnya (Endraswara, 2011: 72-73). Atmazaki (1990: 93) mengemukakan stilistika sebagai ilmu mengenai penggunaan bahasa dalam karya sastra yang berpusat kepada pemakaian bahasa. Obyek kajiannya adalah karya sastra, karya yang sudah ada. Jadi kajian terhadap suatu karya sastra dari sudut pandang stilistika tidak menyangkut bagaimana proses penciptaan karya sastra tersebut. Chvatik (dalam Aminuddin, 1997: 21) mengemukakan bahwa stilistik sebagai studi bahasa dalam teks sastra merujuk pada bentuk penggunaan bahasa sebagai kode estetik, sebagai hasil kreasi seni yang memiliki ciri semantis dan isi commit to user tertentu. perpustakaan.uns.ac.id 19 digilib.uns.ac.id Style is the aesthetic quality of the highest semantic and content synthesis of a work which is realized in the aesthetic object throught the receptive activity of the receiver. Whithout an understanding of the style of a work its specific artistic semantic system, its over all artistic meaning, cannot be adequately interpreted. Melalui ide dan pemikirannya pengarang membentuk konsep gagasannya untuk menghasilkan karya sastra. Namun yang menjadi perhatian adalah kompleksitas dari kekayaan unsur pembentuk karya sastra yang dijadikan sasaran kajian adalah wujud penggunaan sistem tandanya. Secara sederhana menurut Sudiman dikutip Nurhayati (2008: 8) “Stilistika adalah ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra”. Konsep utamanya adalah penggunaan bahasa dan gaya bahasa. Bagaimana seorang pengarang mengungkapkan karyanya dengan dasar dan pemikirannya sendiri. Dalam hal ini untuk memahami konsep stilistik secara seksama Nurhayati (2008: 7) mengemukakan pada dasarnya stilistika memiliki dua pemahaman dan jalan pemikiran yang berbeda. Pemikiran tersebut menekankan pada aspek gramatikal dengan memberikan contoh-contoh analisis linguistik terhadap karya sastra yang diamati. Selain itu pula stilistika mempunyai pertalian juga dengan aspek-aspek sastra yang menjadi objek penelitiannya adalah wacana sastra. Stilistika secara definitif adalah ilmu yang berkaitan dengan gaya dan gaya bahasa. Tetapi pada umumnya lebih banyak mengacu pada gaya bahasa. Dalam pengertiannya secara luas stilistika merupakan ilmu tentang gaya, meliputi berbagai cara yang dilakukan dalam kegiatan manusia (Ratna, 2009: 167). Menurut Situmorang (1980: 11) analisis stilistis berusaha memahami dan menjelaskan lapis arti dengan kemungkinan gaya yang ditimbulkannya. Ketatabahasaan memegang peranan penting dalam menimbulkan gaya. Karya sastra pada analisis stilistika memiliki kaitan erat dengan bahasa yang menjadi medium utamanya. Ratna (2009: 330) menyatakan bahwa analisis yang baik adalah kajian yang memelihara keseimbangan antara prinsip linguistik dan sastra kebudayaan atau yang mendasar pada pencapaian aspek estetis. Dalam kajian stilistika hendaknya sampai pada dua hal yaitu makna dan commit to user fungsi. Makna dicari melalui penafsiran yang dikaitkan melalui totalitas karya, 20 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id sedangkan fungsi terbesit dari peranan stilistika dalam membangun karya (Endraswara, 2011: 76). Bradford (1997: 35) mengemukakan bahwa kritik baru dari stilistika tidak hanya berkaitan dengan identifikasi fitur linguistik yang membuat puisi berbeda dengan wacana lain, tapi dengan puisi sebagai bentuk signifikasi yang misterius yang mengubah hubungan akrab antara bahasa dan makna. New Critical stylistics is concerned not only with the identification of linguistic feature that make poetry different from other discourses, but with poetry as a form of signification which mysteriously transforms the familiar relationship between language and meaning. Studi stilistika hanya terfokus pada aspek gaya, bahwa aspek gaya secara esensial berkaitan dengan wujud pemaparan karya sastra sebagai bentuk penyampaian gagasan pengarangnya. Penggunaan stilistika sebagai metode analisis sastra adalah untuk menghindari kritik sastra yang bersifat impresionistis dan subjektif (Aminuddin, 1997: 42). Sejalan dengan pernyataan di atas dalam kajian stilistik dipengaruhi oleh karya sastra dan bentuk pendekatan yang digunakan. Nurhayati (2008: 13-20) mengemukakan lima pendekatan yang dapat digunakan yaitu, sebagai berikut: Pendekatan Halliday Dalam pendekatan ini Halliday mengilustrasikan bagaimana kategori-kategori dan metode-metode linguistik deskriptif dapat diaplikasikan ke dalam analisis teks-teks sastra seperti dalam materi analisis teks yang lainnya. Melalui hal ini analisis bukan hanya kepada interprestasi atau evaluasi estetika terhadap pesan-pesan sastra yang dianalisisnya tetapi hanya kepada deskripsi unsurunsur bahasa. Dalam kajiannya ia tidak mengungkapkan bagaimana bentukbentuk verbal tersebut disusun sehingga berhubungan dengan bentuk lainnya pada hubungan intratekstual. commit to user 21 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Pendekatan Sinclair Pendekatan ini searah dengan teori pendekatan Halliday. Ia menerapkan kategori-kategori deskripsi linguistik Halliday. Sinclair mengemukakan terdapat dua aspek yang berperan penting dalam pengungkapan pola-pola intratekstual karya sastra. Pendekatan Goeffrey Leech Leech mengemukakan bahwa karya sastra mengandung dimensi-dimensi makna tambahan yang beroperasi pula di dalam wacana lainnya. Leech mengungkapkan tiga gejala ekspresi sastra, yaitu cohesion, foregrounding, dan cohesion of foregrounding. Ketiga gejala ekspresi ini menghadirkan dimensi-dimensi makna yang berbeda yang tidak tercakup oleh deskripsi linguistik dengan kategori-kategori normalnya. Cohesion merupakan hubungan interatekstual antara unsur gramatikal dengan unsur leksikal yang jalin-menjalin dalam sebuah teks sehingga menjadi sebuah unit wacana yang lengkap. Foregrounding merupakan gejala khas yang hanya terdapat dalam karya sastra. Sedangkan cohesion of foregrounding adalah penyimpanganpenyimpangan dalam teks yang dihubungkan dengan bentuk lain untuk membentuk pola-pola intratekstual. Pendekatan Roman Jakobson Pendekatan ini menggolongkan fungsi puitik bahasa sebagai sebuah penggunaan bahasa yang berpusat kepada bentuk aktual dari pesan itu sendiri. Tulisan sastra tidak seperti bentuk-bentuk lainnya. Dalam tulisan sastra ditemukan pesan yang berpusat pada pesan itu sendiri. Pendekatan Samuel R. Levin Pendekatan Levin dalam analisis stilistika serupa dengan pendekatan Halliday dan Sinclair yang berpusat pada analisis butir-butir linguistik. Levin juga mengembangkan gagasan kesejajaran yang juga dikemukakan oleh Jakobson. Dalam hal ini kesejajaran tersebut berlaku pada level fonologi, sintaksis, dan semantik yang untuk menghasilkan ciri-ciri struktural. commit to user 22 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Sementara itu menurut Wellek dan Warren (dalam Sutejo, 2010: 7) paling tidak ada dua pendekatan yang dapat dipergunakan dalam mendekati dan menganalisis stilistika. Pertama, diawali dengan analisis sistematis tentang sistem linguistik karya sastra, dilanjutkan dengan interpretasi tentang ciri-cirinya dilihat dari tujuan estetis karya tersebut sebagai “makna total”. b. Bidang Kajian Stilistika Kajian stilistika dalam karya sastra terfokus pada bentuk dan tanda linguistik yang terdapat pada sebuah karya sastra. Menurut Aminuddin (1997: 44) karya sastra sebagai kajian stilistik antara lain terwujud sebagai tulisan, yang dapat berupa kata-kata, tanda baca, gambar, serta bentuk tanda lain yang dapat dianalogikan sebagai kata-kata. Sudjiman (dalam Asis, 2010: 103) mengemukakan bahwa pusat perhatian stilistika adalah style, yaitu cara yang digunakan seseorang pembicara atau penulis untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana. Selanjutnya Junus (dalam Asis, 2010: 103) berpendapat bahwa gaya sebagai penyimpangan dianggap sebagai pemakaian bahasa yang berbeda dari bahasa biasa. Hal ini dapat dipahami sebagai pemakaian bahasa yang lain atau sebagai pemakaian bahasa yang menyalahi tata bahasa. Dalam hal ini, penyimpangan dapat dihubungkan dengan konsep licentia poeitica „kebebasan penyair‟ yang dipahami sebagai kebebasan penyair atau penulis untuk melanggar hukum atau tata bahasa. Jadi cara penyair dalam menyatakan maksud dan gaya bahasa merupakan hal yang harus diperhatikan dalam kajian stilistika. Keraf (2000: 112) berpendapat bahwa persoalan gaya bahasa meliputi semua hierarki kebahasaan: pilihan kata secara individual, frasa, klausa dan kalimat, bahkan mencakup pula sebuah wacana secara keseluruhan. Unsur-unsur stilistika sebagai tanda dapat berupa gaya bunyi (fonem), gaya kata (diksi), gaya kalimat (sintaksis), gaya wacana (discourse), bahasa figuratif (figurative language) dan citraan (imagery). commit to user perpustakaan.uns.ac.id 23 digilib.uns.ac.id 1) Gaya Bunyi (fonem) Fonem merupakan unsur bahasa terkecil dalam satuan bahasa yang terbagi menjadi dua, yaitu vokal (bunyi hidup) dan konsonan (bunyi mati). Masingmasing fonem dapat menimbulkan atau membedakan arti tertentu. Misalnya “suka” dan “duka”, memiliki makna atau arti yang berbeda karena adanya fonem /s/ dan /d/. Fonem memegang peranan penting dalam penciptaan efek estetik pada sebuah karya sastra khususnya pada genre puisi. Pemanfaatan gaya bunyi pada sebuah karya sastra berhubungan erat dengan irama dan rima. Timbulnya irama dalam sebuah puisi karena adanya asonansi dan aliterasi yang menimbulkan orkestrasi bunyi yang menciptakan nada dan suasana tertentu. Asonansi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama, dipergunakan untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan. Misalnya: sepisau luka sepisau duri, sepikul dosa sepukau sepi. Aliterasi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud pengulangan konsonan yang sama. Misalnya: sepisau luka sepisau duri, sepikul dosa sepukau sepi (Keraf, 2000: 130). Masing-masing fonem dapat menciptakan suasana yang berbeda. Misalnya saja fonem /a/ menciptakan nada dan suasana gembira sedangkan fonem /u/ menciptakan nada dan suasana sendu. Dalam sebuah puisi, orkestrasi bunyi dapat menimbulkan apa yang disebut dengan efoni dan kakafoni. Efoni adalah bunyibunyi yang merdu dan menyenangkan yang menciptakan musikalisasi bunyi yang indah. Sedangkan kakafoni adalah bunyi-bunyi parau, aneh, berat, kasar, terkadang tidak menyenangkan dan tidak menimbulkan musikalisasi bunyi. Walaupun demikian kakafoni tetap dibutuhkan untuk mencapai efek makna tertentu. Gaya bunyi sebagai unsur kajian stilistika adalah pemanfaatan bunyi-bunyi tertentu sehingga menimbulkan orkestrasi bunyi yang indah. Menurut Aminuddin (1997: 147) penggunaan bunyi dalam karya sastra, khususnya puisi meliputi asonansi, mesodiplosis, konsonansi, aliterasi, rima, rima vokal dan bunyi commit to user perpustakaan.uns.ac.id 24 digilib.uns.ac.id suprasegmental. Dalam penelitian ini gaya bunyi meliputi rima (termasuk rima vokal), irama, asonansi, aliterasi, efoni dan kakafoni. 2) Gaya Kata (diksi) Diksi secara sederhana dapat dinyatakan sebagai pilihan kata yang digunakan oleh penyair dalam puisinya. Puisi adalah bentuk karya tulis yang tidak memakai banyak kata-kata, cendurung tidak deskriptif dan naratif, sehingga pemilihan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan maksud dan nuansa tulisan haruslah dicermati dengan seksama. Termasuk di dalamnya menghindari pengulangan kata yang sama terlampau sering, pemilihan sinonim yang mewakili, sampai ke penggunaan tanda baca dan susunan bahasa. Misalnya mengungkapkan rasa kesepian, kata mana yang akan digunakan; sunyi, diam, nelangsa, sendiri, sedih, sepi, senyap atau hening. Meski berkonotasi sama, tiap kata yang terpilih akan memberi warna yang berbeda apabila disandingkan dengan kata-kata lainnya dalam keseluruhan puisi. Selanjutnya Keraf (2000: 24) mengemukakan bahwa diksi atau pilihan kata mencakup tiga hal, yakni: (1) pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik dalam suatu situasi; (2) kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar; (3) penguasaan sejumlah besar kosa kata atau perbendaharaan kata bahasa itu. Berdasarkan pendapat di atas, makna diksi ternyata tidak hanya mencakup pilihan kata akan tetapi juga meliputi kemampuan penggunaan kata secara tepat, pengelompokkkan dan penyusunan kata serta penggunaan ungkapan dan gaya bahasa untuk menimbulkan efek estetis dalam karya sastra. Kata-kata yang digunakan dalam puisi umumnya sama saja dengan katakata yang digunakan untuk komunikasi sehari-hari. Hal yang membedakan commit to user perpustakaan.uns.ac.id 25 digilib.uns.ac.id penggunaan kata dalam puisi adalah penempatannya serta penggunaannya dilakukan secara hati-hati dan teliti serta lebih tepat. Menurut Nurgiyantoro (1995: 290) gaya kata harus dibedakan apakah kata tersebut kompleks atau sederhana, formal atau kolokial, denotasi atau konotasi. Sebuah kata termasuk dalam kelompok gaya kata kompleks apabila dalam melakukan pilihan kata mempertimbangkan bentuk dan makna, sehingga kata yang digunakan mampu mengkomunikasikan makna, pesan serta gagasan yang akan disampaikan. Selain itu pilihan kata yang digunakan tentu saja harus mampu mendukung tercapainya tujuan estetis yang diinginkan oleh pengarang. Sedangkan yang dimaksud dengan pilihan kata sederhana jika diksi yang digunakan hanya untuk mencapai keindahan tanpa mempertimbangkan kata serta bentuknya. Diksi formal adalah diksi yang mempertimbangkan aspek fonologis, misalnya untuk kepentingan aliterasi, irama, dan efek bunyi tertentu. Diksi dikatakan kolokial jika diksi yang digunakan mampu mewakili gagasan yang akan disampaikan. Makna kata denotatif dan konotatif merupakan aspek yang sangat penting yang tidak boleh diabaikan dalam penelitian ini. Makna denotatif atau biasa disebut makna lugas yaitu makna yang sesuai dengan kamus adalah makna kata yang sebenarnya. Suatu kata dikatakan memiliki makna denotatif apabila kata tersebut tidak mengandung makna atau perasaan-perasaan tambahan. Sedangkan konotasi atau makna konotatif merupakan makna kias. Sebuah kata mengandung makna konotatif apabila kata tersebut mengandung arti tambahan, perasaan tertentu atau nilai rasa tertentu disamping makna dasar yang umum. Oleh karena itu, pilihan kata atau diksi dalam karya sastra lebih banyak bertalian dengan pilihan kata yang bersifat konotatif. Kata sebagai unsur esensial dalam sebuah karya sastra mendapatkan perhatian khusus dari para sastrawan karena tersampainya pesan atau gagasan yang ingin disampaikan dipengaruhi oleh kata dan susunannya. Oleh karena itu, dalam proses penciptaan karyanya para sastrawan sangat berhati-hati dalam memilih kata dan menyusunnya. Sastrawan memilih kata dengan tepat agar kata commit to user yang dipilih bisa dengan tepat mengkomunikasikan pemikiran dan gagasannya. 26 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Apalagi dalam proses penciptaan terjadi pemadatan kata, sehingga kata-kata yang digunakan dalam puisi harus benar-benar dipilih secara cermat. Chaer (2007: 68) mengemukakan permasalahan yang termasuk dalam lingkup kajian mengenai diksi secara umum adalah: (a) kesamaan makna kata (sinonimi); (b) kebalikan makna kata (antonimi); (c) ketercakupan makna (hiponimi, hipernimi); (d) keberlainan makna (polisemi, homonimi). Menurut Keraf (2000: 25) kata sebagai satuan dari perbendaharaan kata sebuah bahasa mengandung dua aspek, yaitu aspek bentuk atau ekspresi dan aspek isi makna. Bentuk atau ekspresi adalah segi yang dapat diserap dengan pancaindera, yaitu dengan mendengar atau dengan melihat. Sebaliknya segi isi atau makna adalah segi yang menimbulkan reaksi dalam pikiran pendengar atau pembaca karena rangsangan aspek bentuk tadi. Reaksi yang timbul itu dapat berwujud “pengertian” atau “tindakan” atau kedua-duanya. Makna kata dapat dibatasi sebagai hubungan antara bentuk dengan hal atau barang yang diwakilinya. Dalam hal ini kata dalam kaitannya sebagai media komunikasi mengandung beberapa unsur yaitu: pengertian, perasaan, nada dan tujuan. Wellek (dalam Pradopo, 1987: 60) mengemukakan bahwa bahasa sastra itu penuh arti ganda, penuh homonim, kategori-kategori “arbitraire”, atau irrasional, menyerap peristiwa-peristiwa sejarah, ingatan-ingatan, dan asosiasi-asosiasi. Pendeknya bahasa sastra itu sangat konotatif. Selanjutnya menurut Pradopo (1987: 59) kumpulam asosiasi-asosiasi perasaan yang terkumpul dalam sebuah kata diperoleh dari setting yang dilukiskan itu disebut konotasi. Konotasi menyempurnakan denotasi dengan menunjukkan sikap-sikap dan nilai-nilai. Senada dengan pendapat Pradopo, Tarigan (1984: 29) juga menyatakan bahwa konotasi atau nilai kata inilah yang justru lebih banyak memberi efek bagi para penikmatnya. Sementara itu, Kridalaksana (1988: 91) mengemukakan bahwa kata konotatif adalah kata yang memiliki makna tambahan yang terlepas dari makna harfiahnya yang didasarkan pada perasaan atau pikiran yang timbul pada pengarang atau pembaca. commit to user 27 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Makna konotatif merupakan makna kata yang terlepas dari makna sebenarnya. Makna ini umumnya berbeda dengan makna kata dalam komunikasi pada umumnya. Perbedaan ini didasarkan pada perasaan, pikiran, maupun persepsi pengarang terhadap apa yang dibahasakan. Kata konkret (concrete words) merupakan kata yang dapat melukiskan dengan tepat pikiran atau gagasan yang akan disampaikan oleh pengarang. Penggunaan kata konkret bertujuan untuk mempermudah pembaca dan penikmat karya sastra dalam memahami sebuah karya sastra. Menurut Situmorang (1980: 26) tidak ada kata lain yang setepat dan sekonkrit kata-kata tersebut dalam melukiskan hal tersebut. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gaya kata (diksi) yang harus diperhatikan dalam kajian stilistika adalah kata yang digunakan dalam puisi sederhana atau kompleks, formal dan kolokial, makna denotasi dan konotasi katakata konkret, sinonimi, antonimi, hiponimi dan hipernimi, polisemi dan homonimi. 3) Gaya Kalimat (sintaksis) Kalimat merupakan wujud verbal karya sastra yang menentukan gaya pengarang, yakni cara pengarang menyusun kalimat-kalimat dalam karyanya. Dalam dunia sastra, pengarang mempunyai kebebasan penuh dalam mempergunakan dan mengkreasikan bahasa (licentia poetica) untuk mencapai efek yang diinginkan, sehingga adanya penyimpangan kebahasaan, termasuk penyimpangan struktur kalimat merupakan hal yang wajar. Gaya kalimat menurut Pradopo (2003: 11) ialah penggunaan suatu kalimat untuk memperoleh efek tertentu, misalnya inverse, gaya kalimat tanya, perintah dan elips; karakteristik, panjang pendek, struktur dan proporsi sederhanamajemuknya termasuk gaya kalimat. Demikian pula sarana retorika yang berupa kalimat hiperbola, paradoks, klimaks, antiklimaks, antitesis dan koreksio. Selanjutnya sarana retorika untuk tiap periode kesusastraan Indonesia berbeda-beda. Sarana retorika yang dominan dalam puisi-puisi Pujangga Baru commit to user perpustakaan.uns.ac.id 28 digilib.uns.ac.id adalah tautologi, pleonasme, keseimbangan, retorik retisense, paralelisme, dan penjumlahan (enumerasi) (Pradopo, 1987: 94). Dalam analisis gaya kalimat perlu diperhatikan struktur kalimat yang membentuk kalimat tersebut, sederhana atau kompleks, hubungan antar klausanya jika merupakan struktur kompleks, bentuk sintaksisnya, deklaratif, interogatif, imperatif, atau ekslamatif. Sebuah kalimat dikatakan kompleks jika dalam satu kalimat terdiri dari dua klausa atau lebih (Nurgiyantoro, 2005: 294). Penggunaan kalimat dalam karya sastra mempunyai tujuan yang sedikit berbeda dengan penggunaan kalimat dalam karya ilmiah. Kalimat dalam karya sastra disusun dengan pertimbangan tertentu dari pengarang untuk mencapai efek yang diinginkan. Dalam hal ini penyiasatan struktur kata menjadi hal yang diperbolehkan guna mencapai tujuan tersebut. Wujud penyiasatan tersebut bisa berupa pembalikan, pemendekan, pengulangan, penghilangan unsur tertentu dan sebagainya. Penggunaan konjungsi di awal kalimat mungkin dilakukan untuk memperoleh efisiensi dan menekankan unsur tertentu. Menurut Nurgiyantoro (2005: 302) ada bermacam-macam gaya bahasa yang terlahir dari penyiasatan struktur kalimat misalnya gaya repetisi, paralelisme, anafora, polisindeton, asindeton, antitesis, aliterasi, klimaks, antiklimaks, dan pertanyaan retoris. Selanjutnya Keraf (2000: 124-136) menyebutkan gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat dan retorika antara lain: klimaks, antiklimaks, paralelisme, antitesis, repetisi, aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis, apostrof, asindeton, polisindeton, kiasmus, elipsis, eufemisme, litotes, histeron, prosteron, pleonasme dan tautologi, perifrasis, prolepsis, erotesis, silepsis dan zeugma, koreksio, hiperbola, paradoks dan oksimoron. a) Klimaks Gaya bahasa klimaks adalah semacam gaya bahasa yang urutan penyampaiannya menunjukkan semakin meningkatnya kadar pentingnya gagasan itu (Nurgiyantoro, 2005: 303). Sejalan dengan pengertian tersebut Sutejo (2010: 29) mengemukakan bahwa klimaks termasuk jenis gaya bahasa penegasan dan menyatakan beberapa hal berturut-turut, makin lama makin memuncak tosampai user tua lelaki itu terus sengsara. intensitasnya. Contoh: Sejak kecil,commit dewasa, 29 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id b) Antiklimaks Bertolak belakang dengan gaya bahasa klimaks, gaya bahasa antiklimaks adalah gaya bahasa yang gagasan-gagasannya diuraikan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting (Keraf, 2000: 125). Antiklimaks membuat sebuah kalimat atau wacana menjadi kurang efektif. Contoh: Bahasa Indonesia diajarkan kepada mahasiswa, siswa SLTA, SLTP, dan SD. c) Paralelisme Paralelisme adalah gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama (Keraf, 2000: 126). Penggunaan gaya bahasa paralelisme tepat digunakan untuk menonjolkan kata atau kelompok kata yang sama fungsinya. Akan tetapi penggunaan yang terlalu banyak akan menyebabkan kalimat-kalimat tersebut menjadi kaku. Contoh: Ningrat atau jelata tetap sama di mata hukum. d) Antitesis Menurut Sutejo (2010: 28) antitesis termasuk dalam gaya bahasa pertentangan. Antitesis merupakan jenis gaya bahasa yang mempergunakan katakata secara berlawanan. Sejalan dengan pendapat tersebut Keraf (2000: 126) mengemukakan bahwa antitesis adalah sebuah gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan dengan mempergunakan kata-kata atau kelompok kata yang berlawanan. Contoh: Tua muda, besar kecil, miskin kaya menghadiri pengajian akbar di alunalun Pacitan. e) Repetisi Keraf (2000: 127) mengemukakan bahwa repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Repetisi lahir dari kalimat yang berimbang. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 30 digilib.uns.ac.id Sutejo (2010: 31) juga berpendapat bahwa repetisi adalah gaya bahasa penegasan dengan jalan mengulang sepatah kata berkali-kali dalam kalimat yang lain, biasanya dipergunakan oleh ahli retorika (orator). Contoh: Kita hidup butuh cinta, butuh kasih sayang, butuh sesama. f) Aliterasi Nurgiyantoro (2005: 303) berpendapat bahwa bentuk aliterasi adalah penggunaan kata-kata yang sengaja dipilih karena memiliki kesamaan fonemkonsonan, baik yang berada di awal maupun di tengah kata. Secara singkat pengertian mengenai aliterasi dikemukakan oleh Keraf (2000: 130) yaitu semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama. Tujuannya adalah untuk perhiasan atau untuk penekanan. Contoh: sepisau luka sepisau duri,sepikul dosa sepukau sepi g) Asonansi Asonansi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama (Keraf, 2000: 130). Sama halnya dengan asonansi, penggunaan gaya bahasa ini bertujuan untuk keindahan atau penekanan. Contoh: Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu. h) Anastrof Keraf (2000: 130) mengemukakan bahwa anastrof atau inversi adalah semacam gaya retoris yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat. Contoh: Pergilah Ia meninggalkan kami. i) Apofasis Apofasis atau disebut juga preterisio merupakan sebuah gaya dimana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi nampaknya menyangkal (Keraf, 2000: 130-131). Contoh: Saya tidak akan mengatakan sekarang bahwa anda telah memfitnah saya. j) Apostrof Apostrof menurut Keraf (2000: 131) adalah semacam gaya yang berbentuk commit to user pengalihan amanat dari para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir sehingga perpustakaan.uns.ac.id 31 digilib.uns.ac.id seolah-olah pengguna gaya bahasa ini tidak berbicara dengan lawan bicaranya. Cara ini biasanya dipergunakan oleh orator klasik. Contoh: Hai dewa-dewa, kutuklah mereka yang telah merusak bumi pijakan kami. k) Asindenton Sutejo (2010: 28) berpendapat bahwa asindenton adalah gaya bahasa yang menyatakan dari beberapa benda, hal, atau keadaan secara berturut-turut tanpa menggunakan kata konjungsi (penghubung). Gaya bahasa ini termasuk ke dalam gaya bahasa penegasan. Keraf (2000: 131) menambahkan bahwa bentuk-bentuk itu biasanya dipisahkan saja dengan koma. Contoh: Ia terperanjat, terduduk, berdiri, dari tempatnya. l) Polisindeton Polisindenton merupakan gaya bahasa yang berlawanan dengan asindenton. Beberapa kata, frasa, atau klausa yang berurutan dihubungkan satu sama lain dengan kata-kata sambung (Keraf, 2000: 131) Contoh: Ia terduduk, lalu berdiri, kemudian berjalan-jalan kecil sambil melepaskan amarah. m) Kiasmus Menurut Keraf (2000: 132) kiasmus adalah semacam acuan atau gaya bahasa yang terdiri dari dua bagian, baik frasa maupun klausa, yang sifatnya berimbang dan dipertentangkan satu sama lain, tetapi susunan frasa atau klausanya itu terbalik bila dibandingkan dengan frasa atau klausa lainnya. Kiasmus ialah gaya bahasa yang berisikan perulangan dan sekaligus merupakan inversi atau pembalikan susunan antara dua kata dalam satu kalimat (http://endonesa.wordpress.com/lentera-sastra/majas/). Contoh: Ia menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah. n) Elipsis Elipsis adalah suatu gaya yang berwujud menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau pendengar, sehingga struktur gramatikal atau kalimatnya memenuhi pola yang berlaku (Keraf, 2000: 132). Penghilangan ini tidak hanya satu unsur saja, tetapi commit to user unsur dihilangkan sekaligus. bisa saja dalam satu konstruksi kalimat beberapa perpustakaan.uns.ac.id 32 digilib.uns.ac.id Contoh: Pulangnya membawa oleh-oleh banyak sekali. (penghilangan subjek) Saya sekarang sudah mengerti. (penghilangan objek) Saya akan berangkat. (penghilangan unsur keterangan) Mari makan!(penghilangan subyek dan objek) o) Eufemisme Eufemisme menurut Keraf (2000: 132) adalah semacam acuan berupa ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapanungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau mensugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan. Secara singkat eufemisme adalah gaya bahasa yang bertujuan untuk memperhalus sebuah ungkapan dengan ungkapan yang dianggap lebih santun. Contoh: Tunasusila di tempat prostitusi itu selalu mendapatkan penyuluhan, layanan kesehatan dan imunisasi gratis dari pemerintah. (Tunasusila sebagai pengganti kata pelacur) p) Litotes Litotes adalah semacam gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri (Keraf, 2000: 132). Litotes ialah majas yang berupa pernyataan yang bersifat mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Contoh: Apa yang kami berikan ini memang tak berarti buatmu. q) Histeron-Proteron Menurut Keraf (2000: 133) histeron proteron ialah gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari suatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar, misalnya menempatkan sesuatu yang terjadi kemudian pada awal peristiwa. Dengan demikian apa yang disampaikan bertentangan dengan sesuatu yang ada pada kenyatannya. Contoh: Jika kau memenangkan pertandingan itu, kematianlah yang akan kau dapatkan. r) Pleonasme dan Tautologi Pada dasarnya pleonasme dan tautologi adalah acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran commit to user perpustakaan.uns.ac.id 33 digilib.uns.ac.id atau gagasan (Keraf, 2000: 133). Pleonasme adalah penggunaan kata yang mubazir yang sebesarnya tidak perlu. Contoh: Capek mulut saya berbicara. Tautologi adalah gaya bahasa yang menggunakan kata atau frase yang searti dengan kata yang telah disebutkan terdahulu. Contoh: Apa maksud dan tujuannya datang ke mari? s) Perifrasis Perifrasis ialah gaya bahasa yang dalam pernyataannya sengaja menggunakan frase yang sebenarnya dapat diganti dengan sebuah kata saja. Gaya bahasa ini termasuk dalam jenis perbandingan (Sutejo, 2010: 31). Menurut Keraf (2000: 134) sebenarnya perifrasis adalah gaya yang mirip dengan pleonasme, yaitu mempergunakan kata lebih banyak dari yang diperlukan. Perbedaannya terletak dalam hal bahwa kata-kata yang berlebihan itu sebenarnya dapat diganti dengan satu kata saja. Contoh: Kami baru datang sore ini menjadi Kami baru datang ketika sinar matahari sudah tenggelam di ufuk barat. t) Prolepsis Prolepsis atau antisipasi menurut Keraf (2000: 134) adalah semacam gaya bahasa di mana orang mempergunakan lebih dahulu kata-kata atau sebuah kata sebelum peristiwa atau gagasan yang sebenarnya terjadi. Prolepsis ialah gaya bahasa yang dalam pernyataannya menggunakan frase pendahuluan yang isinya sebenarnya masih akan dikerjakan atau akan terjadi. Contoh: Aku melonjak kegirangan karena aku mendapatkan piala kemenangan. u) Erotesis Erotesis atau pertanyaan retoris adalah semacam pertanyaan yang dipergunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar, dan sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban (Keraf, 2000: 134). Singkatnya erotesis ialah gaya bahasa yang berupa pertanyaan yang tidak menuntut jawaban sama sekali. Contoh: Tegakah membiarkan anak-anak dalam kesengsaraan? commit to user perpustakaan.uns.ac.id 34 digilib.uns.ac.id v) Silepsis dan Zeugma Silepsis dan zeugma adalah gaya di mana orang mempergunakan dua konstruksi rapatan dengan menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang sebenarnya hanya salah satu nya mempunyai hubungan dengan kata pertama (Keraf, 2000: 135). Dalam silepsis kata yang dipergunakannya itu secara gramatikal benar, tetapi kata tadi diterapkan pada kata lain yang sebenarnya mempunyai makna lain. Contoh: Ia sudah kehilangan topi dan semangatnya. Zeugma ialah gaya bahasa yang menggunakan dua konstruksi rapatan dengan cara menghubungkan sebuah kata dengan dua atau lebih kata lain. Dalam zeugma kata yang dipakai untuk membawahkan kedua kata berikutnya sebenarnya hanya cocok untuk salah satu dari padanya. Contoh: Kami sudah mendengar berita itu dari radio dan surat kabar. w) Koreksio (Epanortosis) Koreksio menurut Sutejo (2010: 30) termasuk ke dalam gaya bahasa penegasan, yang berupa pembetulan (koreksi) kembali atas kata-kata yang salah atau sengaja dikemukakan sebelumnya. Koreksio ialah gaya bahasa yang mengandung pembetulan (koreksi) terhadap hal yang telah dikemukakan. Contoh: Kaki anak yang kecelakaan itu retak, ah tidak retak, tetapi sudah patah. x) Oksimoron Keraf (2000: 136) mengemukakan bahwa oksimoron adalah suatu acuan yang berusaha untuk menggabungkan kata-kata untuk mencapai efek yang bertentangan. Oksimoron ialah gaya bahasa yang berupa pernyataan yang di dalamnya mengandung pertentangan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan dalam frase atau dalam kalimat yang sama. Sifatnya lebih padat dan tajam dari paradoks. Contoh: Olahraga mendaki gunung memang menarik walupun sangat membahayakan. Penggunaan gaya bahasa di atas bertujuan untuk memperoleh efek estetis yang dimaksud oleh pengarang. Hal ini merupakan salah satu ciri bahasa sastra commit to user yang dikenal sebagai foregrounding. perpustakaan.uns.ac.id 35 digilib.uns.ac.id Dalam kajian stilistika, gaya kalimat yang perlu diperhatikan antara lain struktur kalimat yang membentuk kalimat tersebut. Selain itu unsur gaya bahasa dan sarana retorika merupakan bagian yang paling penting dalam analisis terhadap gaya kalimat. 4) Gaya Wacana (discourse) Gaya wacana merupakan salah satu obyek dalam kajian stilistika. Wacana sebagai satuan bahasa yang tertinggi dalam gramatika mempunyai gaya dan karakteristik yang khas. Gaya wacana muncul akibat rangkaian kalimat baik dalam prosa maupun puisi. Pada puisi, gaya wacana muncul dalam bait maupun dalam keseluruhan puisi tersebut. Wacana yang baik adalah wacana yang memiliki unsur kohesi dan koherensi, seperti yang dikemukakan oleh Chaer (2007: 62) bahwa keutuhan wacana dibangun oleh unsur kohesi dan unsur koherensi. Mulyana (2005: 30) kohesi sendiri terbagi menjadi dua aspek yaitu kohesi leksikal dan kohesi gramatikal. Kohesi leksikal meliputi sinonim, repetisi, kolokasi sedangkan kohesi gramatikal meliputi referensi, subtitusi, elipsis, konjungsi. Sebuah wacana yang koheren mempunyai ciri-ciri: susunannya teratur dan amanatnya terjalin rapi, sehingga mudah diinterpretasikan. Koherensi suatu wacana sebenarnya ditentukan oleh keserasian teks dan pemahaman pembaca. Kohesi mendukung keutuhan wacana dari dalam sedangkan koherensi mendukung keutuhan wacana dari luar. Pradopo (2003: 12) mengemukakan bahwa gaya wacana dalam karya sastra adalah wacana dengan pemanfaatan sarana retorika seperti repetisi, paralelisme, klimaks, antiklimaks, dan hiperbola, serta gaya wacana campur kode dan alih kode. Penggunaan campur kode dan alih kode bertujuan untuk memperoleh efek yang diinginkan selaras dengan unsur-unsur bahasa yang digunakan. Kedua gaya ini secara tidak langsung menunjukkan corak budaya pengarang. Pencampuran bahasa ataupun istilah dalam sebuah karya sastra kadang-kadang menjadi daya tarik bagi pembaca terhadap karya sastra, akan tetapi bisa juga menjadi bumerang karena menghambat pemahaman pembaca terhadap isi sebuah karya sastra commit to user terutama bagi pembaca dengan pengetahuan bahasa terbatas. perpustakaan.uns.ac.id 36 digilib.uns.ac.id Sebuah wacana dikatakan utuh apabila memiliki kohesi dan koherensi serta disusun dengan runtut, jelas dan bagian-bangiannya terjalin dengan baik, sehingga dapat disampaikan secara lisan maupun tertulis. 5) Bahasa Figuratif (figurative language) Bahasa figuratif disebut juga pigura bahasa atau bahasa kiasan. Menurut Waluyo (1995: 83) bahasa figuratif ialah bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung mengungkapkan makna. Yang dimaksud dengan figurative language ialah cara yang dipergunakan oleh penyair untuk membangkitkan imagery dengan mengunakan gaya bahasa, gaya perbandingan, gaya kiasan, gaya perlambang sehingga makin jelas makna atau lukisan yang hendak dikemukakannya. (Situmorang, 1980: 26) Penggunaan bahasa kias biasanya berhubungan dengan pengimajian, yaitu untuk membangkitkan imajinasi pembaca. Hal ini disebabkan karena bahasa figuratif mengiaskan sesuatu dengan hal yang lain sehingga muncul makna yang semakin jelas. Dalam penelitian stilistika karya sastra, bahasa figuratif mencakup tiga hal, yaitu majas, idiom dan peribahasa. Pemilihan tiga hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa ketiga bentuk tersebut sering muncul dalam sebuah karya sastra. a) Majas Majas menurut Sudjiman (dalam Sutejo, 2010: 26) merupakan peristiwa pemakaian kata yang melewati batas-batas maknanya yang lazim atau menyimpang dari arti harfiahnya. Oleh karena itu Pradopo (1987: 61-62) berpendapat bahwa majas bersifat prismatis, fungsi puitisnya adalah dapat memperjelas, menjadikan sesuatu lebih menarik dan memberikan daya hidup dalam karya sastra. Sudjiman (dalam Sutejo, 2010: 27) mengemukakan bahwa pada umumnya majas dikelompokkan menjadi tiga (1) majas perbandingan seperti metafora, analogi; (2) majas pertentangan seperti ironi, hiperbola, litotes, dan (3) majas pertautan seperti metonimia, sinekdoke, eufimisme dan seterusnya commit to user perpustakaan.uns.ac.id 37 digilib.uns.ac.id Majas sebagai salah satu bentuk figurasi bahasa menurut Pradopo (1987: 61-78) meliputi perbandingan (simile), metafora, personifikasi, metonimi dan sinekdoke (pars pro toto dan totem pro parte). Selanjutnya gaya bahasa kiasan menurut Keraf (2000: 136-145) meliputi persamaan (simile), metafora, alegori, parabel, fabel, personifikasi (prososopoeia), alusi, eponim, epitet, sinekdoke, metonimia, antonomasia, hipalase, ironi, sinisme, sarkasme, satire, innuendo, antifrasis, paronomasia. (1) Simile Simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit (Keraf, 2000: 138). Perumpamaan ialah padanan kata atau simile yang berarti seperti. Jenis gaya bahasa ini ditandai oleh pemakaian kata: seperti, sebagai, ibarat, umpama, bak, laksana, serupa. Contoh: Seperti air dengan minyak. Simile and metaphor. What is the difference? In a simile you compare something (a feeling, an object) to something else by using the word like or as (Ruurs, 2010: 1). Yang membedakan majas simile dan metafora menurut Ruurs adalah penggunaan kata tugas tertentu untuk pengungkapannya. Dalam majas simile atau perbandingan dibutuhkan kata tugas tertentu, misalnya seperti dan bagaikan untuk menyampaikan perbandingan yang dimaksud. (2) Metafora Metafora ialah gaya bahasa yang membandingkan dua hal secara implisit.Keraf (2000: 139) berpendapat metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat. Hal yang diperbandingkan seolah-olah menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau seharga dengan yang lain, yang sesungguhnya tidaklah sama. Contoh: Aku adalah angin yang kembara. (3) Personifikasi Personifikasi atau prosopopoeia ialah gaya bahasa yang melekatkan sifatsifat insani pada barang atau benda yang tidak bernyawa ataupun pada ide yang abstrak. Personifikasi (pengisanan) merupakan suatu corak khusus dari metafora, commit to user perpustakaan.uns.ac.id 38 digilib.uns.ac.id yang mengiaskan benda-benda mati bertindak, berbuat, berbicara, seperti manusia (Keraf, 2000: 140). Xiaoying Liu (2009: 160) menyatakan bahwa personifikasi adalah representasi dari sesuatu ke dalam bentuk (wujud) manusia sebagai sebuah seni. Ini adalah cara sederhana untuk mengkonkretkan gagasan. Personification is the representation of a thing or abstraction in the form of a person as in art. It is one of the simplest ways to make ideas concrete. Contoh: Bunga ros menjaga dirinya dengan duri. (4) Metonimia Metonimia ialah gaya bahasa yang menggunakan nama barang, orang, hal, atau ciri sebagai pengganti barang itu sendiri. Gaya bahasa ini berupa penggunaan sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengan objek untuk menggantikan objek (Sutejo, 2010: 30). Hubungan tersebut menurut Keraf (2000: 142) dapat berupa penemuan, pemilik untuk barang yang dimiliki, akibat untuk sebab, sebab untuk akibat, isi untuk menyatakan kulitnya, dan sebagainya. Metonimia dengan demikian adalah suatu bentuk dari sinekdoke. Contoh: Parker jauh lebih mahal daripada Pilot. Parker dan Pilot menggantikan kata pulpen. (5) Sinekdoke Sinekdoke ialah gaya bahasa yang menyebutkan suatu bagian yang penting sutu benda (hal) untuk benda atau hal itu sendiri (Altenbernd dalam Pradopo, 1987: 78). Sinekdoke terdiri dari dua macam, yaitu: (a) Sinekdoke Pars Pro Toto (sebagian untuk semuanya) Contoh Sinekdoke pars pro toto: Lima ekor kambing telah dipotong pada acara itu. (b) Sinekdoke Totem Pro Parte Contoh Sinekdoke totem pro parte: Dalam pertandingan itu Indonesia menang satu lawan Malaysia. (6) Alegori, Parabel dan Fabel commit to user perpustakaan.uns.ac.id 39 digilib.uns.ac.id Pradopo (1987: 71) mengemukakan bahwa alegori ialah cerita kiasan ataupun lukisan kiasan yang mengiaskan hal lain atau kejadian lain. Natawijaya (dalam Sutejo, 2010: 27) berpendapat bahwa alegori merupakan jenis gaya bahasa yang menyatakan sesuatu dengan perlambang. Selanjutnya menurut Keraf (2000: 140) dalam alegori, nama-nama pelakunya adalah sifat-sifat yang abstrak, serta tujuannya selalu jelas tersurat. Parabel (parabola) adalah suatu kisah singkat dengan tokoh-tokoh biasanya manusia, yang selalu mengandung tema moral. Sedangkan fabel adalah suatu metafora berbentuk cerita mengenai dunia binatang, dimana binatang-binatang bahkan makhluk-makhluk yang tidak bernyawa bertindak seolah-olah sebagai manusia (Keraf, 2000: 140). (7) Alusi Alusi ialah gaya bahasa yang menunjuk secara tidak langsung ke suatu peristiwa atau tokoh yang telah umum dikenal/ diketahui orang. Gaya bahasa ini merupakan gaya bahasa perbandingan yang mempergunakan ungkapan atau peribahasa yang sudah lazim diketahui orang (Sutejo, 2010: 27). Selanjutnya Keraf (2000: 141) berpendapat bahwa alusi adalah acuan yang berusaha mensugestikan kesamaan antar orang, tempat atau peristiwa. Contoh: Apakah peristiwa Madiun akan terjadi lagi di sini? (8) Eponim Eponim menurut Keraf (2000: 141) ialah gaya bahasa yang menyebut nama seseorang yang begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu. Jadi eponim merupakan gaya bahasa yang mempergunakan sifat yang melekat pada orang tersebut. Contoh: Dengan latihan yang sungguh saya yakin Anda akan menjadi Mike Tyson. (9) Epitet Keraf (2000: 141) mengemukakan bahwa epitet adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus dari suatu hal. Keterangan itu adalah suatu frasa deskriptif yang menjelaskan atau menggantikan nama commit to user perpustakaan.uns.ac.id 40 digilib.uns.ac.id seseorang atau suatu barang. Contoh: Putri malam menyambut kedatangan remaja yang sedang mabuk asmara. (putri malam=rembulan) (10) Antonomasia Antonomasia menurut Keraf (2000: 142) merupakan sebuah bentuk khusus dari sinekdoke yang berwujud penggunaan sebuah epiteta untuk menggantikan nama diri, atau gelar resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri. Selanjutnya Sutejo (2010: 28) berpendapat bahwa gaya bahasa ini termasuk pada gaya bahasa perbandingan dengan jalan menyebutkan nama lain terhadap seseorang sesuai sifatnya. Contoh: Kepala sekolah mengundang para orang tua murid. (11) Hipalase Hipalase ialah gaya bahasa yang berupa sebuah pernyataan yang menggunakan kata untuk menerangkan suatu kata yang seharusnya lebih tepat digunakan untuk menjelaskan kata yang lain. Secara singkat Keraf (2000: 142) menyatakan bahwa hipalase adalah suatu kebalikan dari suatu relasi alamiah antara dua komponen gagasan. Contoh: Ia duduk pada bangku yang gelisah. (yang gelisah adalah “Ia”, bukan “bangku”) (12) Ironi, Sinisme, dan Sarkasme Ironi sebagai bahasa kiasan menurut Keraf (2000: 143) adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Ironi dikatakan berhasil apabila pendengar juga sadar akan maksud yang disembunyikan di balik rangkaian katakatanya. Menurut Sutejo (2010: 29) ironi adalah gaya bahasa sindiran yang menyatakan sebaliknya. Maksud dari tuturan yang mengandung gaya bahasa ironi adalah mengejek atau menyindir. Contoh: Merdu benar suaramu, sampai telingaku sakit mendengar nyanyianmu. Menurut Keraf (2000: 143) sinisme ialah gaya bahasa yang merupakan sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan atau ketulusan hati. Dengan kata lain, sinisme adalah bentuk ironi yang lebih commit to user 41 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id kasar sifatnya. Contoh: Anda benar-benar hebat sehingga pasir di gurun sahara pun dapat Anda hitung. Sarkasme menurut Waluyo (1995: 86) adalah penggunaan kata-kata yang keras dan kasar untuk menyindir atau mengkritik. Menurut Keraf (2000: 143-144) sarkasme bisa bersifat ironis maupun tidak, tetapi yang jelas adalah bahwa gaya ini selalu akan menyakiti hati dan kurang enak didengar. Sarkasme ialah gaya bahasa yang mengandung sindiran atau olok-olok yang pedas atau kasar. Contoh: Kau memang benar-benar bajingan. (13) Satire Keraf (2000: 144) mengemukakan bahwa satire adalah ungkapan yang menertawakan atau menolak sesuatu. Tujuan dari gaya bahasa ini adalah agar diadakan perbaikan secara etis maupun estetis. Contoh: Penampilannya memang seperti berandalan, tapi jangan menilai orang dari penampilan luarnya saja. (14) Innuendo Inuendo ialah gaya bahasa yang berupa sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Keraf (2000: 144) mengemukakan bahwa innuendo menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung, dan sering tampaknya tidak menyakitkan hati kalau dilihat sambil lalu. Contoh: Dia memang baik, cuma agak kurang jujur. (15) Antifrasis Antifrasis ialah gaya bahasa yang berupa pernyataan yang menggunakan sebuah kata dengan makna kebalikannya. Antifrasis menurut Keraf (2000: 144) adalah semacam ironi. Gaya bahasa ini akan diketahui dengan jelas, bila pembaca atau pendengar mengetahui atau dihadapkan pada kenyataan bahwa apa yang dikatakan itu adalah sebaliknya. Berbeda dengan ironi, yang berupa rangkaian kata yang mengungkapkan sindiran dengan menyatakan kebalikan dari kenyataan, sedangkan pada antifrasis hanya sebuah kata saja yang menyatakan kebalikan itu. Contoh: Lihatlah sang raksasa telah tiba (maksudnya si cebol). commit to user 42 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id (16) Paronomasia Paronomasia atau pun adalah kiasan dengan mempergunakan kemiripan bunyi. Ia merupakan permainan kata yang didasarkan pada kemiripan bunyi, tetapi terdapat perbedaan besar dalam maknanya (Keraf, 2000: 145). Contoh: “Engkau orang kaya, Ya, kaya monyet!” (17) Hiperbola Hiperbola menurut Sutejo (2010: 29) merupakan gaya bahasa yang dipakai untuk melukiskan sesuatu keadaan secara berlebihan daripada sesungguhnya. Senada dengan pendapat tersebut Keraf (2000: 135) berpendapat bahwa hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan suatu hal. Sementara itu Nurgiyantoro (2005: 300) menjelaskan bahwa hiperbola adalah gaya bahasa yang cara penuturannya bertujuan menekankan maksud dengan sengaja melebih-lebihkan. Jadi hiperbola adalah gaya bahasa yang mengungkapkan sesuatu secara berlebihan dengan maksud menegaskan hal yang dibicarakan. Contoh: Hatiku terbakar ketika melihat kau pergi dengannya. (18) Paradoks Paradoks menurut Nurgiyantoro (2005: 300) adalah cara penekanan penuturan yang sengaja menampilkan unsur pertentangan di dalamnya. Selanjutnya Keraf (2000: 136) berpendapat bahwa paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Senada dengan dua pendapat di atas, Sutejo (2010: 31) menyatakan bahwa paradoks adalah gaya bahasa pertentangan yang hanya kelihatan pada arti kata yang berlawanan padahal sesungguhnya objeknya berlainan. Jadi paradoks ialah gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Contoh: Teman akrab adakalanya merupakan musuh sejati. Ia merasa kesepian di tengah keramaian ibukota. commit to user 43 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id b) Idiom Menurut Sudjiman (dalam Al-Ma‟ruf, 2009: 72) idiom adalah pengungkapan bahasa yang bercorak khas, baik karena tata bahasanya maupun karena mempunyai makna yang tidak dapat dijabarkan dari makna unsurunsurnya. Idiom bisa berupa kata, frase, maupun kalimat yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna leksikal unsur-unsurnya maupun makna gramatikalnya. Idiom mempunyai kekhasan dalam bentuk dan makna sehingga tidak bisa dijabarkan atau diterjemahkan secara harfiah. Contoh idiom adalah membanting tulang, meja hijau dan lain sebagainya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa makna idiomatikal adalah makna sebuah satuan bahasa yang “menyimpang” dari makna leksikal atau makna gramatikal unsurunsur pembentuknya. Untuk mengetahui makna idiom sebuah kata (frase atau kalimat) tidak ada jalan selain mencarinya dalam kamus. c) Peribahasa Kridalaksana (dalam Al-Ma‟ruf, 2009: 72-73) peribahasa adalah kalimat atau penggalan kalimat yang telah membeku bentuk, makna, dan fungsinya dalam masyarakat, bersifat turun-temurun, dipergunakan untuk penghias karangan atau percakapan, penguat maksud karangan, pemberi nasihat, pengajaran atau pedoman hidup. Selanjutnya peribahasa kemudian bermakna berbahasa dengan bahasa kias. Penggunaan peribahasa mempunyai tujuan untuk mempersingkat pembicaraan. Hal ini terjadi karena sebuah peribahasa mampu mengantarkan pembicaraan pada maksud dan tujuan yang ingin dicapai karena pada umunya peribahasa yang digunakan sudah dipahami penutur dan mitra tutur. Efisiensi komunikasi dengan menggunakan peribahasa juga didukung dengan karakteristik peribahasa yang umumnya singkat dan hanya berisi kata-kata penting saja. Peribahasa mencakup pepatah, ibarat, bidal, perumpamaan,dan pemeo (Kridalaksana, dalam Al-Ma‟ruf, 2009: 74). (1) Pepatah Pepatah merupakan ungkapan yang mengandung unsur kiasan tepat kalimatnya, sehingga tidak dapat disangkal lagi karena mengandung pernyataan commit to user perpustakaan.uns.ac.id 44 digilib.uns.ac.id yang benar. Fungsi pepatah adalah untuk mematahkan kata atau perbuatan orang sehingga lawan bicara tidak bisa berkilah lagi. Contoh: Pagar makan tanaman. (2) Ibarat (Simile) Ibarat atau simile merupakan ungkapan yang membandingkan sesuatu, baik orang maupun benda dengan hal lain menggunakan kata bagai, ibarat dan sebagainya sebagai penghubung. Contoh: Bagai air di daun talas. (3) Bidal Bidal merupakan peribahasa yang berisi nasihat. Contoh: berakit-rakit kehulu, berenang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. (4) Perumpamaan Perumpamaan adalah peribahasa yang berisi perbandingan antara hal yang dimaksud (tidak diungkapkan) dengan perbandingan (diungkapkan). Penggunaan perumpamaan dimanfaatkan untuk memperjelas gambaran dalam uraian, lazimnya berkias sehingga biasanya terdiri dari dua kalimat. Contoh: Jangan berbicara seperti ayam tanpa kepala. (5) Pemeo Pemeo merupakan ungkapan yang asal-muasalnya tidak diketahui yang akhirnya diketahui dan dipergunakan oleh masyarakat umum. Selain itu, pemeo juga bisa berarti sindiran, ejekan dan sebagainya. Contoh: sarwo edi=sarafe keno edane ndadi. Kamseupay=kampungan sekali, udik, payah. 6) Citraan (imagery) Citraan merupakan salah satu unsur puisi yang membawa pembaca atau penikmat puisi masuk ke dalam pikiran penyair. Gambaran angan yang timbul pada saat menikmati sebuah puisi ini berperan penting untuk menimbulkan bayangan imajinatif, membentuk gambaran mental dan dapat membangkitkan pengalaman tertentu pada pembaca. Citraan adalah penggambaran mengenai objek berupa kata, frase, atau kalimat yang tertuang di dalam puisi atau prosa. Penggunaan citraan dalam karya sastra dimaksudkan agar pembaca dapat memperoleh gambaran konkret tentang commit to useratau penyair. hal-hal yang ingin disampaikan oleh pengarang perpustakaan.uns.ac.id 45 digilib.uns.ac.id Menurut Abriza (2011) kebanyakan kiasan (majas) memberikan sebuah gambaran dalam pikiran pembaca. Gambar yang dibuat atau disarankan oleh penyair disebut „imaji‟. Untuk berpartisipasi sepenuhnya dalam dunia puisi, kita harus memahami bagaimana penyair menggunakan citra untuk menyampaikan lebih dari apa yang sebenarnya dikatakan atau diartikan secara harfiah. Most figures of speech cast up a picture in your mind. These pictures created or suggested by the poet are called 'images'. To participate fully in the world of poem, we must understand how the poet uses image to convey more than what is actually said or literally meant. Gambar pikiran yang muncul, yang timbul akibat kerja pancaindera akan memberikan efek dalam pikiran. Efek tersebut dihasilkan dari penangkapan pembaca terhadap suatu objek yang disajikan oleh penyair. Coombes (dalam Pradopo, 1987: 80) mengemukakan bahwa dalam tangan seorang penyair yang bagus, imaji itu segar dan hidup, berada dalam puncak keindahannya untuk mengintensifkan, menjernihkan, memperkaya; sebuah imaji yang berhasil menolong orang merasakan pengalaman penulis terhadap objek dan situasi yang dialaminya, memberi gambaran yang setepatnya, hidup, kuat, ekonomis dan segera dapat kita rasakan dan dekat dengan hidup kita sendiri. Citraan dalam dunia fiksi dibedakan menjadi dua, yaitu citraan literal dan citraan figuratif. Citraan literal adalah citraan yang tidak menimbulkan perubahan atau perluasan arti kata-kata sedangkan citraan figuratif (majas) merupakan citraan yang harus dipahami dalam beberapa arti. Oleh karena itu, dalam menanggapi citraan figuratif sebuah karya sastra akan menjadi lebih mudah ketika pembaca juga mempunyai pengalaman terhadap apa yang disajikan. Dalam hal ini citraan biasanya bersifat mengingatkan kembali daripada membuat kesan pikiran yang baru, sehingga pembaca terlibat dalam kreasi puisi tersebut. Genre puisi umumnya dibatasi jumlah katanya dan tidak sebebas prosa atau karya sastra lainnya. Hal inilah yang melatarbelakangi adanya citraan dalam sebuah karya sastra, khususnya puisi. Adanya citraan diharapkan mampu menggantikan jumlah kata yang minimal agar tetap mampu menyajikan gagasan secara maksimal. Munculnya citraan dalam karya sastra tidak bisa dilepaskan dari commit to user adanya bahasa kias. Pemilihan kata juga memiliki keterkaitan yang sangat erat 46 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dalam menimbulkan citraan. Citraan juga bisa menjadi ciri khas pengarang yang membedakan pengarang satu dengan pengarang lainnya. Menurut Pradopo (1987: 81-87) dan Nurgiyantoro (2005: 304) citraan dibagi menjadi tujuh jenis yaitu: (a) citraan penglihatan (visual imagery), (b) citraan pendengaran (auditory imagery), (c) citraan penciuman (olfactory/smell imagery), (d) citraan pengecapan (gustatory/taste imagery), (e) citraan gerak (kinesthetic imagery), (f) citraan intelektual (intellectual imagery), dan (g) citraan perabaan (tactile thermal imagery). Selain itu Situmorang (1983: 20-21) juga menjelaskan adanya imajinasi organik. (a) Citraan Penglihatan Citraan penglihatan adalah gambaran yang ditimbulkan oleh penglihatan. Menurut Situmorang (1983: 20) imajinasi visual ini menyebabkan pembaca seolah-olah melihat sendiri apa yang dikemukakan atau diceritakan oleh penyair. Citraan inilah yang sering muncul dalam sebuah karya sastra karena pengarang umumnya mengemukakan ciri fisik dan karakter tokoh melalui citraan visual. Selain itu perlukisan suasana biasanya juga memanfaatkan imaji visual ini. Citraan penglihatan mampu memberi rangsangan kepada indera penglihatan sehingga hal-hal yang tidak terlihat menjadi seolah-olah terlihat. Contoh: Engkau pelik menarik ingin Serupa dara dibalik tirai (Amir Hamzah, Padamu Jua) (b) Citraan Pendengaran Citraan pendengaran adalah citraan yang dihasilkan dengan menyebutkan atau menguraikan bunyi suara, misalnya dengan munculnya diksi sunyi, tembang, dendang, dentum, dan sebagainya. Citraan pendengaran berhubungan dengan kesan dan gambaran yang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga). Menurut Situmorang (1983: 20) imaji ini menyebabkan pembaca seperti mendengar sendiri apa yang dikemukakan penyair. Imaji ini sering menggunakan commit user dari tiruan bunyi. kata-kata onomatope yaitu kata-kata yangto berasal 47 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Contoh: Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba Meriak muka air kolam jiwa Dan dalam dadaku memerdu lagu Menarik menari seluruh aku (Chairil Anwar, Sajak Putih) Cit, cit, cit suara anak tikus yang bergumul dengan debu di kolong ranjang usang. (c) Citraan Penciuman Citraan penciuman adalah citraan yang berhubungan dengan kesan atau gambaran yang dihasilkan oleh indera penciuman. Citraan ini tampak saat kita membaca atau mendengar kata-kata tertentu, kita seperti mencium sesuatu. Walaupun imaji ini termasuk jenis imaji yang jarang dipergunakan dalam sebuah karya sastra akan tetapi imaji ini memegang peran yang cukup penting dalam menggiring imajinasi pembaca menuju gambaran yang disajikan oleh penyair. Contoh: Dua puluh tiga matahari Bangkit dari pundakmu Tubuhmu menguapkan bau tanah (WS Rendra, Nyanyian Suto untuk Fatima) (d) Citraan Pengecapan Citraan pengecapan adalah citraan yang berhubungan dengan kesan atau gambaran yang dihasilkan oleh indera pengecap. Citraan ini juga termasuk jarang dipergunakan dalam sebuah karya sastra. Pembaca seolah-olah mencicipi sesuatu yang menimbulkan rasa tertentu, pahit, manis, asin, pedas, enak, nikmat, dan sebagainya. Dengan citraan ini sesuatu yang ditangkap oleh lidah menjadi mudah dibayangkan oleh pembaca. Contoh: Dan kini ia lari kerna bini bau melati Lezat ludahnya air kelapa (WS Rendra, Ballada Kasan dan Patima) commit to user 48 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id (e) Citraan Gerak Citraan gerak adalah gambaran tentang sesuatu yang seolah-olah dapat bergerak, dapat juga merupakan gambaran gerak pada umumnya. Citraan gerak termasuk jenis citraan yang sering dipergunakan dalam sebuah karya sastra karena dianggap mampu membuat suatu hal terasa lebih hidup dan dinamis. Contoh: Pohon-pohon cemara di kaki gunung pohon-pohon cemara menyerbu kampung-kampung bulan di atasnya menceburkan dirinya ke kolam membasuh luka-lukanya (Abdulhadi, Sarangan) (f) Citraan Intelektual Citraan intelektual adalah citraan yang dihasilkan oleh/ dengan asosiasiasosiasi intelektual. Citraan ini dipengaruhi oleh pengalaman intelektual dari pengarang yang kemudian dihidupkan kembali melalui karya sastranya. Imajinasi pembaca dibangkitkan melalui asosiasi-asosiasi logika dan pemikiran. Contoh: Bumi ini perempuan jalang yang menarik laki-laki jantan dan pertapa ke rawa-rawa mesum ini dan membunuhnya pagi hari (Subagio Sastrowardoyo, Dewa Telah Mati) (g) Citraan Perabaan Citraan perabaan atau citraan yang berhubungan dengan kulit sebagai indera peraba. Produktifitas citraan ini dalam sebuah karya sastra umumnya lebih sedikit daripada imajinasi pendengaran dan penglihatan. Situmorang (1983: 21) mengemukakan bahwa imaji ini menyebabkan kita seperti merasakan di bagian kulit badan kita rasa nyeri, rasa dingin atau panas. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 49 digilib.uns.ac.id (h) Imajinasi Organik Imajinasi organik menurut Situmorang (1983: 21) merupakan imajinasi badan, yang menyebabkan kita seperti melihat atau merasakan badan yang lelah, lesu, loyo, ngantuk, lapar, lemas, mual, pusing dan lain-lain. Imajinasi ini membuat pendengar seolah-olah merasakan kondisi atau keadaan badan yang diceritakan oleh penyair. c. Tujuan Stilistika Stilistika sebagai salah satu kajian untuk menganalisis karya sastra. Endraswara (2011: 72) mengemukakan bahasa sastra memiliki tugas mulia. Bahasa memiliki pesan keindahan dan sekaligus pembawa makna. Tanpa keindahan bahasa, karya sastra menjadi hambar. Keindahan suatu sastra dipengaruhi oleh kemampuan penulis mengolah kata. Keindahan karya sastra juga memberikan bobot penilaian pada karya sastra itu. Selain itu, menurut Sudjiman dikutip Nurhayati (2008: 11) mengemukakan titik berat pengkajian stilistik adalah terletak pada penggunaan bahasa dan gaya bahasa suatu sastra, tetapi tujuan utamanya adalah meneliti efek estetika bahasa. Keindahan juga merupakan bagian pengukur dan penentu dari sebuah sastra yang bernilai. Penelitian stilistika menuju kepada bahasa, dalam hal ini merupakan bahasa yang khas. Menurut Ratna (2009: 14) bahasa yang khas bukan pengertian bahwa bahasa dan sastra berbeda dengan bahasa sehari-hari dan bahasa karya ilmiah. Ciri khasnya yaitu pada proses pemilihan dan penyusunan kembali. Hal tersebut merupakan analog dengan kehidupan sehari-hari dan merupakan proses seleksi, manipulasi dan mengombinasikan kata-kata. Bahasa yang memiliki unsur estetis, berbagai fungsi mediasi, dan emonsionalitas. Berkaitan dengan hal tersebut Atmazaki (1990: 94) mengungkapkan bahwa tujuan stilistika adalah untuk menerangkan bagaimana seorang sastrawan memanipulasi penggunaan bahasa di dalam karya sastra untuk menghasilkan efek tertentu sesuai dengan prinsip licentia poetica. Dalam hal ini kekuatan dalam karya seni adalah kekuatan untuk commit to user menciptakan kombinasi baru, bukan objek baru. Dengan demikian seperti yang 50 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id telah dikemukan sebelumnya jenis sastra puisilah yang dianggap sebagai objek utama stilistika. Puisi memiliki medium yang terbatas sehingga keterbatasannya sebagai totalitas puisi yang hanya terdiri dari beberapa baris harus mampu menyampaikan pesan sama dengan sebuah cerpen, bahkan juga novel yang terdiri dari banyak jumlah halaman. Melalui stilistika dapat dijabarkan ciri-ciri khusus karya sastra. Berdasarkan hal itu, Wellek dan Warren (1993: 226) menyatakan ada dua kemungkinan pendekatan analisis stilistika dengan cara semacam itu. Yang pertama dianalisis secara sistematis tentang sistem linguistik karya sastra, kemudian membahas interprestasi tentang ciri-cirinya dilihat berdasarkan makna total atau makna keseluruhan. Melalui hal ini akan muncul sistem linguistik yang khas dari karya atau sekelompok karya. Pendekatan yang kedua yaitu mempelajari sejumlah ciri khas yang membedakan sistem satu dengan yang lainnya. Analisis stilistika dilakukan dengan mengamati deviasi-deviasi seperti pengulangan bunyi, inversi susunan kata, susunan hierarki klausa yang semuanya mempunyai fungsi estetis penekanan, atau membuat kejelasan, atau justru kebalikannya yang membuat makna menjadi tidak jelas. B. Penelitian Relevan Eko Marini (2010), dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Stilistika Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata” menganalisis pemakaian bahasa di dalam novel tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan keunikan pemilihan dan pemakaian kosakata, kekhususan aspek morfologis dan sintaksis, pemakaian gaya bahasa figuratif yang meliputi idiom, arti kiasan, konotasi, metafora, metonimia, simile, personifikasi, hiperbola, yang terdapat dalam novel Laskar Pelangi. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa penulis mampu menonjolkan keunikan pemilihan dan pemakaian kosakata yang spesifik dan lain dari yang lain. Keunikan tersebut dilatarbelakangi oleh faktor sosial budaya dan pendidikan penulis. Hal itu menghasilkan style tersendiri yang menjadi ciri khusus Andrea Hirata dalam menuangkan gagasannya melalui novel Laskar Pelangi. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 51 digilib.uns.ac.id Persamaannya dengan penelitian Antologi Puisi O Amuk Kapak karya Sutardji C. B. (Sebuah Kajian Stilistika) adalah kedua penelitian ini menggunakan kajian yang sama yaitu kajian stilistika. Pada penelitian Analisis Stilistika Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata objek kajian yang dipilih adalah novel Laskar Pelangi sedangkan pada penelitian ini objek yang dikaji adalah antologi puisi O Amuk Kapak karya Sutardji C. B. Penelitian yang dilakukan oleh Endah Wahyu Retno (2010) yang berjudul “Lirik Lagu Religi Grup Band Ungu dalam Album Aku dan Tuhanku: Sebuah Pendekatan Stilistika” berusaha menganalisis lirik lagu dari sudut pandang stilistika. Dari hasil analisis Lirik Lagu Ungu dalam album Aku dan Tuhanku dengan menggunakan pendekatan stilistika diperoleh simpulan sebagai berikut: (1) Stilistika yang terdapat dalam masing-masing lirik lagu merupakan sarana dan pengungkapan makna lirik lagu. Stilistika yang terwujud dalam struktur fisik kelima lirik lagu mengungkapkan makna dengan bahasa yang mengandung efek estetis dan disesuaikan dengan musik yang mengiringinya, (2) Tema, perasaan, nada dan suasana, dan amanat merupakan bentuk makna yang terdapat dalam lirik lagu Dengan NafasMu, Hidup Hanya Sementara, Syukur, CahayaMu, dan Doa Yang Terlupakan. Kelima lagu tersebut mempunyai tema yang sama, yaitu tema ketuhanan. Perasaan yang dimunculkan oleh penyair pada lirik lagu satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Nada religi yang penuh perenungan terdapat pada semua lirik lagu. Nada tersebut menimbulkan suasana penuh kekhusyukan untuk beribadah kepada Tuhan lebih baik lagi. Amanat yang disampaikan kelima lirik lagu adalah sebagai manusia hendaknya selalu berusaha menjadi yang terbaik di hadapan Tuhan. Caranya dengan memperbanyak amalan ibadah dengan selalu beriman dan bertakwa kepada Tuhan. Menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan Tuhan. Selain itu, salah satu bentuk rasa terimakasih kita pada Tuhan, hendaknya kita selalu bersyukur. Sudut pandang dalam penelitian di atas yang digunakan mengkaji objek penelitian sama dengan penelitian yang dilakukan peneliti yaitu kajian stilistika. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah commititu to penelitian user objek kajiannya yaitu lirik lagu. Selain ini hanya mengkaji struktur perpustakaan.uns.ac.id 52 digilib.uns.ac.id batin dan kurang terfokus pada bidang kajian stilistika yang meliputi gaya bunyi, gaya kata, gaya kalimat dan citraan. Anggrarani Cahya (2009) dalam penelitiannya yang berjudul, “Kajian Stilistika Parikan dalam Acara Guyon Maton Radio Swiba (Swara Intan Pari Membangun) Karanganyar” menganalisis parikan dan gaya bahasa yang dipergunakan. Hasil analisis data adalah sebagai berikut: 1) Parikan dalam GM Radio Swiba terdiri dari parikan camboran atau parikan empat baris dan parikan lamba atau parikan dua baris. 2) Gaya Bahasa ini dapat dilihat dari bunyi yang membingkai keindahan, didapat pada penggunaan pola rima dan purwakanthi. Dipandang dari kata yaitu dalam pilihan kata dipergunakan ragam informal karena merupakan bentuk lisan terdapat penggunaan bahasa Indonesia, tingkat tutur bahasa Jawa, kata sapaan, penyingkatan kata, dan partikel. Gaya penyusunan kalimatnya terdapat variasi kalimat padat dengan pelesapan dan pengulanganpengulangan atau GB repetisi. Serta penggunaan bahasa kias atau majas meliputi GB metafora dan Simile. 3) Sebagai bentuk kebahasaan parikan juga memiliki fungsinya meliputi fungsi emotif untuk menciptakan humor dan menyampaikan sindiran, fungsi fatis meningkatkan relasi dengan sesama dan fungsi konatif untuk menasehati. Penelitian di atas terfokus pada bentuk kebahasaan parikan dan gaya bahasa yang terkandung di dalamnya. Parikan sebagai objek kajian merupakan bentuk komunikasi lisan, sedangkan antologi puisi Sutardji C.B. yang menjadi objek kajian penelitian ini berbentuk tertulis. Selain itu pengkajian lebih sederhana mengingat hanya ragam gaya bahasa, variasi kalimat dan diksi atau pilihan kata yang mendapatkan perhatian. Dani Wiryanti (2009), dalam penelitiannya yang berjudul Syiir Ngudi Susila Karya Kiai Bisri Mustofa (Suatu Kajian Stilistika) memperoleh simpulan: (1) pilihan kata yang terdapat dalam Syiir Ngudi Susila yaitu sinonim, antonim, tembung saroja, tembung plutan (aferesis), kosakata Kawi dan Arab, serta struktur morfologi yang berupa afiksasi dan reduplikasi. Afiksasi yang terdapat dalam syiir Ngudi Susila antara lain infiks {-um-/-em-}, infiks {in-}, sufiks {-e/-ne}, sufiks {commit to user hanya ada 3 yakni dwilingga an}, dan sufiks {-ana}. Sedangkan reduplikasi perpustakaan.uns.ac.id 53 digilib.uns.ac.id wutuh, dwilingga salin swara, dan dwipurwa. (2) Gaya bahasa yang ditemukan ada 6 macam yaitu (a) aliterasi ditandai dengan pengulangan konsonan /k/, /l/, /b/, /w/, /p/, /h/, /c/, /s/, /n/, /r/, /j/, /t/; (b) asonansi ditandai dengan pengulangan huruf vokal /a/, /i/, /u/, /e/, /o/; (c) repetisi epizeuksis, yaitu pengulangan kata berkalikali yang berfungsi untuk menunjukkan bahwa kata-kata tersebut penting; (d) repetisi anafora, pengulangan kata pada awal kalimat berfungsi untuk menyelaraskan bunyi; (e) repetisi mesodiplosis (pengulangan kata pada tengahtengah kalimat); dan (f) simile yang ditandai dengan kata „kaya‟. (3) Isi yang terkandung dalam syiir Ngudi Susila merupakan ajaran-ajaran penting dan bermanfaat. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah penelitian di atas tidak menganalisis citraan yang digunakan dalam syiir tersebut. Eny Puspitosari (2011) menganalisis ritual panyandra penganten dari sudut pandang stilistika dalam penelitiannya yang berjudul “Kajian Stilistika Panyandra Penganten Adat Jawa Surakarta”, Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Pemanfaatan atau pemilihan bunyi-bunyi bahasa yang dipergunakan dalam PPJAS ditemukan adanya purwakanthi yaitu purwakanthi swara “asonansi”, purwakanthi sastra “aliterasi”, purwakanthi lumaksita. (2) Pemilihan kata atau diksi dalam PPJAS yaitu digunakannya (a) tembung rangkep yang meliputi dwipurwa, dwilingga, dwilingga salin swara, (b) tembung garba “sandi”, (c) antonim, (d) sinonim, (e) kata-kata kawi, (f) afiksasi arkhais. (3) Pemakaian gaya bahasa dalam PPJAS adalah gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna yaitu (a). gaya bahasa retoris: anastrof, asidenton, pleonasme, erotesis, hiperbola, (b). gaya bahasa kiasan: simile, metafora, personifikasi, eponim. Pemakaian gaya bahasa memberikan kesan yang lebih indah dan estetis. Perbedaan penelitian yang dilakukan peneliti dengan penelitian yang berjudul Kajian Stilistika Panyandra Penganten Adat Jawa Surakarta adalah pada penelitian tersebut lebih menitikberatkan pada aspek diksi dan gaya bahasa (gaya kata dan gaya kalimat), sehingga untuk gaya bunyi dan citraan belum dibahas. commit to user 54 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id C. Kerangka Berpikir Karya sastra mempunyai beragam jenis dan genre. Keanekaragaman ini memberikan keleluasaan bagi sastrawan untuk menuangkan ekspresinya. Antologi puisi O Amuk Kapak karya Sutardji Calzoum Bachrie merupakan salah satu karya sastra yang menarik untuk dikaji karena keunikannya. Keunikan ini muncul karena jenis puisi yang ditampilkan adalah jenis puisi kontemporer, sehingga dari semua aspek sangat menarik untuk dikaji dari sudut pandang stilistika. Hal ini terjadi karena antologi puisi Sutardji ini menggunakan pilihan kata dengan gaya bahasa yang khas. Dari tujuh judul puisi pilihan peneliti, ditengarai mengandung aneka gaya bahasa yang beragam. Penerapan kajian stilistika dalam penelitian ini dimaksudkan untuk memfokuskan penelitian pada aspek gaya bahasa yang digunakan penyair. Langkah kerja dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. memahami tujuh puisi yang menjadi objek penelitian. Pemahaman bertujuan untuk menemukan gaya bahasa yang digunakan oleh penyair. 2. mengemukakan dan mengindentifikasi serta mengelompokkan data pada masing-masing aspek kajian stilistika karya sastra. Dalam kajian stilistika, pemilihan aspek itu meliputi: (1) gaya bunyi (fonem), (2) gaya kata (diksi), (3) gaya kalimat (sintaksis), dan (4) citraan (imagery) Langkah-langkah di atas menghasilkan simpulan yang merupakan hasil akhir dari penelitian ini. Rumusan kerangka berpikir dapat dilihat dari diagram berikut ini: commit to user 55 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Karya Sastra Antologi Puisi O Amuk Kapak karya Sutardji C.B. Pendekatan Stilistika Gaya Bunyi Gaya Kalimat Gaya Kata Simpulan Gambar 1. Kerangka Berpikir commit to user Citraan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan yaitu bulan Maret sampai Agustus 2012, dengan Antologi O Amuk Kapak karya Sutardji C.B. sebagai objek penelitian. Dengan demikian, aktivitas penelitian terfokus untuk menganalisis gaya bahasa dalam antologi puisi tersebut. Rincian waktu dan jenis kegiatan dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1. Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian Jenis Kegiatan Bulan Maret 2012 Rincian Waktu 1. Pengajuan judul 2. Penyusunan proposal 3. Pengajuan proposal 4. Revisi proposal 5. Penyusunan izin penelitian 6. Penyusunan Bab 1, 2, 3 7. Pengajuan Bab 1, 2, 3 8. Penyusunan Bab 4, 5 9. Pengajuan Bab 4, 5 10. Penyusunan laporan x - - April 2012 - x x - - x - Mei 2012 Juni 2012 Juli 2012 Agust 2012 X x x - x - x - x x - - - - - x x x - - - - x x x - - - x x x - - - - x x x - - x commit to user 56 x x - 57 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id B. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu metode yang memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan data, menganalisis dan menginterpretasikan hubungan kausal fenomena yang diteliti. Data yang diperoleh berupa dokumen yang terurai dalam bentuk kata-kata, bukan dalam bentuk angka. Sesuai dengan teori, kajian sastra khususnya puisi, bisa menggunakan berbagai teknik pendekatan dalam penelitiannya. Teknik pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan stilistika, suatu pendekatan yang menganalisis karya sastra dari aspek gaya bahasa yang digunakan oleh pengarangnya. C. Data dan Sumber Data Menurut Ratna (2007: 47) sumber data penelitian kualitatif dalam ilmu sastra adalah karya, naskah, data penelitian, sebagai data formal adalah kata, kalimat dan wacana. Data yang digunakan dalam penulisan ini bersumber dari antologi puisi Antologi Puisi O Amuk Kapak karya Sutardji Calzoum Bahrie sebagai fokus utama kajian yang selanjutnya disebut sebagai data primer dan buku-buku yang relevan dengan masalah yang ingin dipecahkan yang menjadi sumber data sekunder. D. Teknik Sampling Sebagian dari populasi yang diharapkan dapat menggambarkan atau mewakili sifat populasi disebut sampel (Semi dalam Sangidu, 2004: 62). Oleh karena itu pengambilan sampel penelitian harus memperhatikan beberapa hal, diantaranya sampel yang dipilih harus mampu mencerminkan sifat populasi secara keseluruhan. Pengambilan sampel dilakukan secara selektif atau yang biasa disebut purposive sampling atau internal sampling, yakni pengambilan sampel karena pertimbangan tertentu. Purposive sampling adalah pengambilan data yang dilakukan dengan cara memilih dokumen yang dianggap dapat menjadi sumber commit to user pengambilan sampel yaitu jenis data yang tepat. Pertimbangan yang mendasari 58 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dan jumlah gaya bahasa yang dipergunakan dalam objek yang akan dikaji, karena penelitian ini terpusat pada penggunaan gaya bahasa. E. Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah analisis isi (content analysis). Langkah pertama yang dilakukan dalam proses pengumpulan data ialah melakukan pembacaan dan penghayatan sumber data utama yakni tujuh puisi terpilih dalam Antologi Puisi O Amuk Kapak. Selanjutnya, pengumpulan data dilakukan dengan analisis isi yang meliputi teknik simak dan catat serta teknik pustaka. Dasar pelaksanaan metode analisis isi adalah penfsiran yang memberikan perhatian kepada isi pesan (Ratna, 2007: 49). F. Validitas Data Validitas data menggunakan dilakukan dengan menggunakan teknik triangulasi. Teknik triangulasi adalah teknik validitas data dengan memanfaatkan sarana di luar data itu (Moleong, 2000: 178). Teknik ini terdiri dari empat macam, yaitu triangulasi sumber, metode, penyidik dan teori. Dalam penelitian ini teknik yang digunakan adalah teknik triangulasi teori. Teknik trianggulasi teori dilakukan ketika proses analisis dilakukan dengan beberapa teori yang relevan. Trianggulasi teori adalah pemeriksaan kebenaran data hasil analisis dengan menggunakan teori yang berbeda akan tetapi membahas masalah yang sama. Menurut Patton (dalam Moleong, 2000: 179) triangulasi teori dinamakan dengan penjelasan banding (rival explanation). G. Analisis Data Analisis data bertujuan menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan (Sangidu, 2004: 73). Dalam penelitian ini teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis mengalir (flow model of analysis) yang bergerak dalam tiga komponen yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan simpulan. commit to user 59 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Analisis ini dimulai dengan pengumpulan data. Setelah data terkumpul, penulis mengidentifikasi masalah yang terkandung dalam data. Data kemudian diolah melalui proses yang dimulai dengan pengumpulan data, lalu dilakukan reduksi data, selanjutnya penyajian data dan penarikan simpulan dan verifikasi. 1. Pengumpulan Data Data yang telah terkumpul kemudian diklasifikasikan untuk mempermudah proses analisis. 2. Reduksi Data Data yang telah diperoleh kemudian dipilih untuk memfokuskan penelitian. 3. Penyajian Data Data yang telah dipilih kemudian diorganisasikan sehingga memungkinkan penarikan kesimpulan. 4. Simpulan Tahap ini merupakan tahap yang paling penting dalam penelitian. Penarikan simpulan ini dilakukan berdasarkan informasi yang diperoleh dalam analisis data yang selanjutnya dilakukan penafsiran terhadap simpulan yang diperoleh. (Al-Ma‟ruf, 2010: 89-90) H. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian merupakan proses yang melukiskan kegiatan sejak awal persiapan sampai penyusunan laporan penelitian. Adapun prosedur penelitian yang dilakukan meliputi tahap-tahap sebagai berikut: 1. Persiapan Pada tahap persiapan dilakukan kegiatan sebagai berikut: a. Menentukan antologi puisi yang hendak dianalisis yang dirasa mampu memberikan gambaran tentang gaya bahasa yang khas yang dipergunakan oleh penyair. b. Mengurus surat perijinan 2. Pelaksanaan Pada tahap pelaksanaan dilakukan kegiatan sebagai berikut: commit to user a. Menentukan gaya bahasa dari puisi yang dianalisis. 60 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id b. Mengelompokkan data berdasarkan kajian stilistika yang digunakan. c. Penarikan simpulan. 3. Penyajian hasil penelitian Penulisan atau penyajian hasil penelitian dilakukan dalam bentuk skripsi lengkap dengan aturan penulisan skripsi yang telah ditentukan. . commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data Gaya Bahasa dalam Antologi Puisi O Amuk Kapak Sebagai salah satu bentuk karya sastra, puisi menggunakan bahasa sebagai media pengungkapannya. Penggunaan bahasa dalam puisi mempunyai karakteristik tersendiri yaitu dengan bentuk yang padat tetapi mampu mengungkapkan sesuatu secara intensif daripada bahasa yang digunakan dalam komunikasi pada umumnya. Pemadatan bahasa dalam puisi dilakukan dengan teknik tertentu dengan memperhatikan unsur artistik sebagai bagian dari karya sastra. Sebagai salah satu wujud karya seni, keindahan menjadi sesuatu yang mutlak sifatnya yang harus dimiliki oleh sebuah puisi. Masing-masing penyair memiliki kekhasan yang dapat dilihat melalui gaya bahasa yang digunakan maupun bentuk puisi yang membedakan dengan karya penyair lainnya. Dengan ciri khas tersebut, walaupun sebuah karya diilhami oleh ide yang sama maka akan muncul bentuk karya yang berbeda. Keanekaragaman gaya bahasa mengakibatkan banyaknya variasi dan jenis karya sastra dari penyair. Dengan demikian, gaya bahasa memegang peranan penting dalam proses penyampaian gagasan serta pengekspresian gagasan oleh penyair. Sebuah karya sastra terbentuk dari kata yang memiliki beberapa macam makna, antara lain makna emotif, ekspresif maupun makna sebenarnya atau makna netral. Kata dapat diolah dan digunakan sesuai dengan kemauan penyair sehingga menunjukkan bagaimana kepribadian dan cara penyair dalam menyikapi sebuah fenomena atau persoalan. Dalam pemanfaatannya, kata dan gaya bahasa bersifat individual, bergantung pada penyair dan pengalamannya. Oleh karena itu, pemanfaatan kata dan gaya bahasa mencerminkan sastrawan yang menggunakannya. Salah satu karya sastra yang sangat berbeda dan mampu mencerminkan penyairnya adalah antologi puisi O Amuk Kapak. Penggunaan bahasa yang commit to user berbeda dengan jenis puisi konvensional menjadikan puisi-puisi tersebut semakin 61 62 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id menarik. Kepiawaian penyair dalam menyusun bunyi bahasa dan kata-kata dalam tiap baris menjadikan puisi-puisi tersebut mengandung gaya bahasa yang kuat serta mampu mencerminkan kepribadian pengarang. Dalam satu puisi terdapat beberapa gaya bahasa yang digunakan secara bersama-sama, misalnya hiperbola, ironi, aliterasi, asonansi, dan sebagainya. Dalam puisi DapatKau? Sutardji bermain dengan pemenggalan dan penggabungan kata dan menyusunnya dengan tipografi yang unik, yaitu disusun menurun membentuk garis miring. Selain itu dalam setiap puisinya Sutardji menggunakan gaya bahasa yang sangat khas dan kental. Hal ini sangat mudah diketahui walaupun penikmat hanya membaca secara sepintas lalu. Antologi puisi O Amuk Kapak terdiri dari 67 puisi yang kemudian dipilih tujuh buah puisi yang selanjutnya menjadi objek kajian dalam penelitian stilistika. Pemilihan tujuh judul tersebut didasari pertimbangan bahwa dalam puisi tersebut tedapat gaya bahasa yang dianggap mampu mewakili keseluruhan puisi yang terdapat dalam antologi puisi tersebut. Dengan mempertimbangkan dasar pemikiran tersebut maka ditentukan puisi yang dipilih sebagai objek dalam penelitian ini adalah: Mantera, Batu, O, Perjalanan Kubur, Kapak, Daging dan Sejak. B. Analisis Stilistika Puisi Pada bagian ini, objek penelitian akan dikaji berdasakan aspek stilistikanya. Antologi puisi O Amuk Kapak akan dianalisis dalam empat aspek kajian yaitu gaya bunyi, gaya kata, gaya kalimat dan citraannya. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 63 digilib.uns.ac.id PUISI PERTAMA: MANTERA lima percik mawar tujuh sayap merpati sesayat langit perih dicabik puncak gunung sebelas duri sepi dalam dupa rupa tiga menyan luka mengasapi duka puah! kau jadi Kau Kasihku 1. Gaya Bunyi Unsur bunyi merupakan unsur yang penting untuk menghasilkan irama guna mencapai aspek estetika sebuah puisi. Selain itu menurut Pradopo (1993: 22) adalah untuk memperdalam ucapan, menimbulkan bayangan angan yang jelas, menimbulkan suasana khusus dan sebagainya. Bunyi dalam bahasa dibagi menjadi dua jenis yaitu bunyi vokal dan konsonan. Kedua jenis bunyi inilah yang dimanfaatkan oleh penyair untuk menciptakan efek tertentu. Kepiawaian penyair dalam menyusun bunyi vokal dan konsonan akan menimbulkan irama yang mirip seperti bunyi musik. Bunyi yang merdu ini akan menggiring perasaan serta imaji-imaji dalam pikiran dan pengalaman dalam jiwa pendengarnya, mengikuti apa yang disampaikan oleh penyair. Puisi di atas mengandung aliterasi dan asonansi yang menimbulkan nada dan irama yang merdu dan indah. Dalam puisi tersebut juga terdapat pola-pola yang dibentuk oleh susunan bunyi konsonan dan vokal. Puisi ini termasuk pada commit usertiap baitnya tidak sama dan tidak puisi bebas yang sehingga jumlah larik to pada perpustakaan.uns.ac.id 64 digilib.uns.ac.id terikat oleh rima. Puisi Mantera terdiri dari dua bait. pada bait pertama terdapat 8 larik, kemudian pada bait kedua terdapat 3 larik. Asonansi merupakan paduan bunyi vokal dari kata yang berbeda, baik diikuti oleh konsonan yang sama maupun berbeda dalam larik yang sama (Aminuddin, 1995: 147). Dalam puisi Mantera ini terdapat berbagai jenis asonansi dengan bunyi vokal yang berbeda-beda. Asonansi yang ditemukan antara lain: //lima percik mawar//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /i/ dan /a/. // tujuh sayap merpati//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. //sesayat langit perih//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /e/, /a/ dan /i/. //dicabik puncak gunung//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /u/. //sebelas duri sepi//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /e/ dan /i/. //dalam dupa rupa//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /u/. //tiga menyan luka//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. //mengasapi duka//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. Sedangkan pada bait kedua asonansi terdapat dalam baris kedua yaitu: //kau jadi Kau//asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /au/ Sementara itu aliterasi, yang merupakan pengulangan bunyi konsonan yang sama yang dapat menimbulkan irama untuk memperoleh efek estetis juga ditemukan di beberapa baris. Misalnya: //lima percik mawar//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /m/. //tujuh sayap merpati//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /t/. //sesayat langit perih//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /t/. //dicabik puncak gunung//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /c/, /k/, dan /n/. //sebelas duri sepi//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /s/. //dalam dupa rupa//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /d/ dan p/. Dalam bait kedua hanya ada satu baris yang mengandung aliterasi, yaitu: commit user bunyi konsonan /k/. //kau jadi Kau//, aliterasi ditemukan pada to paduan perpustakaan.uns.ac.id 65 digilib.uns.ac.id Puisi Mantera merupakan puisi dengan tema religius yang mengandung gaya bunyi yang bervariasi. Asonansi dan aliterasi muncul pada hampir setiap larik sehingga menimbulkan keindahan yang memikat. Keberadaan asonansi dan aliterasi merupakan sarana bagi penyair dalam menciptakan penguatan suasana. Secara keseluruhan dalam puisi ini muncul kakafoni yang timbul dari paduan vokal /p/, /d/, /s/, /k/, /t/ dan sebagainya sehingga suasana yang tercipta adalah suasana yang kurang menyenangkan, mencekam dan sebagainya. 2. Gaya Kata Pilihan kata yang cermat akan membuat sebuah karya sastra menjadi lebih menarik sekaligus mampu mencapai kedalaman makna. Mantera dibentuk dari kata-kata yang biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari yang disusun dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu sehingga menghasilkan baris dengan rangkaian kata yang indah dan penuh makna. Untuk memperoleh makna yang dibawa penyair dalam puisinya, pembaca harus mencerna tiap kata yang disusun secara unik. Kata yang digunakan dalam puisi Mantera sebenarnya adalah kata-kata yang sederhana, namun dengan penyusunan yang unik maka kata yang sederhana tersebut terlihat kompleks. Kata-kata diwujudkan sebagai simbol dan mengandung makna konotatif sehingga membuat puisi ini semakin menarik. Selain pilihan kata yang cermat, penempatan tiap kata juga mendapatkan perhatian dari pengarang. Dalam puisi ini terdapat kata serapan dari bahasa daerah Jawa yaitu “menyan”, dalam bahasa Indonesia adalah kemenyan yang berarti dupa dari tumbuhan yang harum baunya ketika dibakar. Kata-kata yang bernilai denotatif tetap digunakan untuk membantu pembaca dalam memahami puisi Sutardji ini, namun konotasi yang merupakan bahasa figuratif lebih banyak digunakan dalam puisi ini. Penggunaan konotasi atau kata yang bernilai kias menyebabkan baris atau larik dalam puisi menjadi lebih padat. Dalam baris //lima percik mawar//, kata percik yang dirangkaikan dengan mawar menimbulkan berbagai penafsiran. Lima, percik dan mawar samauser sama merupakan kata benda. commit Percikto sendiri berarti titik-titik air yang perpustakaan.uns.ac.id 66 digilib.uns.ac.id berhamburan, sehingga dapat dimaknai sebagai lima kali percikan dari mawar yang dicelupkan ke air. Demikian juga dengan baris //tujuh sayap merpati//, yang kemudian memunculkan adanya majas sinekdoke pars pro toto. Munculnya majas ini didasarkan pada pemikiran bahwa tujuh sayap merpati yang mengacu pada tujuh ekor burung merpati. Beberapa kata bilangan juga digunakan dalam puisi, yaitu kata lima, tujuh, sebelas dan tiga. Penggunaan kata bilangan selain menambah unsur keindahan juga dapat merangsang citraan pembaca terhadap obyek yang dimaksud. Secara keseluruhan, diksi yang digunakan dalam puisi tersebut adalah kata-kata sederhana yang biasa digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Sutardji sengaja membiarkan kata-kata muncul apa adanya, sehingga imbuhan pun kadang-kadang tidak dipergunakan. Rangkaian kata yang tidak lazim menjadikan kata-kata yang sebenarnya sangat sederhana menjadi lebih bermakna. Bahkan makna yang dihasilkan lebih dalam dan luas. Majas yang digunakan dalam puisi ini adalah sinekdoke pars pro toto dan penggunaan kata bilangan. 3. Gaya Kalimat Kalimat merupakan wujud verbal karya sastra yang menentukan gaya pengarang. Penyiasatan stuktur kalimat sering dipergunakan untuk menciptakan baris-baris yang padat dan penuh makna. Puisi Mantera kental dengan penyiasatan struktur kalimat, sehingga puisi yang menggunakan kata sederhana mampu memikat dan menyampaikan makna yang luas. Kalimat sederhana mendominasi setiap baris. Pada baris //lima percik mawar// dan //tujuh sayap merpati// sebenarnya merupakan frase yang menduduki fungsi obyek. Pada dua baris selanjutnya yaitu //sesayat langit perih//dicabik puncak gunung// muncul kalimat yang mempunyai subyek, predikat dan obyek. Kalimat tersebut termasuk dalam kalimat lengkap. Kalimat lengkap juga terdapat dalam baris //tiga menyan luka //mengasapi duka//. Pada bait terakhir terdapat baris yang berisi kalimat imperatif atau kalimat perintah. Kalimat tersebut terdapat commit to user 67 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dalam baris //puah!//kau jadi Kau!//, yang ditandai dengan akhir kalimat yang ditutup dengan tanda seru (!). Puisi ini merupakan puisi dengan susunan kalimat yang sederhana dengan hubungan antara kalimat yang terkesan lepas atau terpisah. Akan tetapi sebenarnya kalimat-kalimatnya mempunyai gagasan yang utuh. 4. Citraan Dalam menciptakan puisi, gambaran yang jelas mengenai isi puisi tersebut harus muncul dengan jelas dalam benak pembaca. Gambar angan atau citraan tersebut akan menimbulkan suasana yang ingin dihadirkan pengarang untuk pembacanya. Demikian pula pada puisi Mantera ini, penyair menggunakan citraan untuk menggiring pembaca pada efek atau suasana yang diinginkan. //lima percik mawar// //tujuh sayap merpati// Pada baris pertama dan kedua, citraan yang muncul adalah citraan penglihatan. //sesayat langit perih// //dicabik puncak gunung// Kemudian pada baris ketiga dan keempat muncul citraan perabaan yang muncul melalui kata perih dan dicabik. //sebelas duri sepi// //dalam dupa rupa// //tiga menyan luka// //mengasapi duka/ Pada baris selanjutnya citraan penglihatan lebih kental. Penggunaan kata bilangan yaitu sebelas dan tiga semakin memperjelas gambar angan pembaca mengenai obyek yang dimaksud. //puah!// //kau jadi Kau!// //Kasihku// commit to user 68 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Bait terakhir didominasi oleh citraan pendengaran. Baris dalam bait terakhir ini hadir sebagai bentuk dialog sehingga citraan yang muncul adalah citraan pendengaran. Secara keseluruhan, citraan yang menonjol dalam puisi ini adalah citraan penglihatan dan pendengaran karena puisi ini berisi gambaran tentang penggunaan mantera dengan suasana magis yang melingkupinya. Citraan penglihatan dan pendengaran dirasa mampu memberikan gambar angan yang kuat bagi pembacanya. Sedangkan citraan perabaan digunakan untuk melengkapi kekuatan gambar angan yang ingin diciptakan oleh penyair. commit to user 69 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id PUISI KEDUA: BATU batu mawar batu langit batu duka batu rindu batu jarum batu bisu kaukah itu teka teki yang tak menepati janji? Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh? Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampai mengapa gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai sedang lambai tak sampai. Kau tahu? batu risau batu pukau batu Kau-ku batu sepi batu ngilu batu bisu kaukah itu teka commit teki to user 70 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id yang tak menepati janji? 1. Gaya Bunyi Puisi Batu adalah puisi yang bercerita tentang pencarian seseorang mengenai hakikat kehidupan. Kehidupan yang penuh dengan teka-teki ini akan dilalui dengan ketegaran serta sikap yang keras dan teguh pendirian layaknya sebuah batu. Keberadaan asonansi dan aliterasi dimanfaatkan dengan baik oleh penyair untuk memperoleh efek musikalisasi yang menambah nilai estetika sebuah puisi. Adapun asonansi yang ditemukan pada bait pertama adalah: /batu mawar//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. //batu langit//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. //batu duka//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /u/. //batu rindu//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/. //batu jarum//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /u/. //batu bisu//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/. //kaukah itu//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/. //tak menepati janji?//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /i/ Pada bait kedua asonansi yang muncul antara lain: //Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /e/, /a/, /i/ dan /u/. //hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/, /i/, /u/ dan /e/. //seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh?//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /e/, /i/, /u/ dan /a/. //Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampai mengapa//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /e/, /a/ dan /u/. //gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk//, asonansi commit to user ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/, /a/, /e/ dan /ai/. 71 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id //diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai sedang//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /i/, /e/, /a/ dan /ai/. //lambai tak sampai. Kau tahu?//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /ai/. Penyair juga menggunakan aliterasi dalam puisi ini. Penggunaan alitersi pada bait pertama, yaitu pada baris: //batu langit//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /t/. //batu bisu//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /b/. //tak menepati janji?//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /t/ dan /n/. Selanjutnya pada bait kedua, aliterasi terdapat dalam baris: //Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan//, aliterasi ditemukan pada fonem /d/, /ng/, /s/, /r/, /n/, /t/, /b/ yang dipakai secara berulang pada satu baris. //hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /h/, /t/, /k/, /s/, /b/, /ng/ dan /d/. //seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh?//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /s/, /r/, /b/, /ng/, /t/, /d/, /h/dan /k/. //Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampai mengapa//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /m/, /ng/, /h/, /s/, /t/, /r/, /p/, dan /d/. //gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /ng/, /s/, /t/, /m/ dan /k/. //diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai sedang//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /d/, /k/, /t/, /s/, /m/ dan /ng/. //lambai tak sampai. Kau tahu?/, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /m/, /t/ dan /k/. Penggunaan aliterasi dan asonansi yang bervariasi menimbulkan adanya efoni dan kakafoni. Dalam puisi ini, kakafoni jauh mendominasi. Hal ini sesuai dengan isi puisi yang penuh kegetiran, pesimisme dan kekalutan. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 72 digilib.uns.ac.id 2. Gaya Kata Pemilihan kata menunjukkan individu pengarangnya. Hal inilah yang tetap dipertahankan Sutardji dengan memilih kata yang sederhana kemudian menyusunnya dengan susunan yang kurang lazim untuk memunculkan makna tersirat. Dengan penyusunan yang kurang lazim, maka kata yang sebenarnya bermakna denotatif kemudian menjadi memiliki makna kias atau makna yang tersirat. Keunikan diksi dalam puisi ini dapat dilihat pada bait pertama dan ketiga. Kata batu dirangkai dengan berbagai kata sehingga menghasilkan makna baru yang lebih dalam dan luas. Gaya bahasa yang menonjol dalam bait pertama dan ketiga adalah personifikasi, yaitu pada baris //batu duka//batu rindu//batu bisu//batu risau//batu pukau//batu sepi//batu ngilu//batu bisu//. Pada baris-baris di atas, batu dikiaskan mempunyai sifat-sifat seperti manusia. Gaya bahasa hiperbola digunakan pada bait kedua, yaitu pada baris: //Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan//hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan//seribu beringin ingin tak teduh//. Bahasa kiasan personifikasi juga dipergunakan pada baris keempat bait kedua //mengapa jam harus berdenyut//. Dalam baris tersebut jam dikiaskan berdenyut layaknya jantung manusia. Pemilihan kata berdenyut dimaksudkan agar pembaca mengasosiasikan jam sebagai simbol kehidupan manusia. Kata yang dipergunakan dalam Puisi Batu merupakan kata-kata sederhana. Bahkan beberapa kata dibiarkan tanpa imbuhan. Puisi Batu didominasi dengan kata denotasi meskipun dengan rangkaian yang tidak biasa menghasilkan makna yang lebih luas dan dalam. Majas yang terdapat dalam puisi ini adalah personifikasi dan hiperbola. Pilihan kata yang sederhana tetap mampu membuat puisi ini menjadi menarik tanpa meninggalkan unsur estetika. 3. Gaya Kalimat Struktur kalimat yang dipergunakan dalam puisi Batu merupakan kalimat yang sederhana. Penghilangan tanda baca yang merupakan ciri khas dari Sutardji commitkarena to userdibaca secara berturut-turut tanpa menjadikan puisi ini seperti mantera, perpustakaan.uns.ac.id 73 digilib.uns.ac.id jeda. Dilihat dari bentuk kalimatnya, kalimat dalam bait pertama dan ketiga merupakan kalimat minor, namun pada bait kedua didominasi dengan kalimat dasar, yang terdiri dari unsur S+P dan keterangan. Bahasa kias yang digunakan antara lain adalah repetisi. Hal ini dapat dilihat pada bait pertama dan terakhir. //batu mawar// //batu langit// //batu duka// //batu rindu// //batu jarum// //batu bisu// //batu risau// //batu pukau// //batu Kau-ku// //batu sepi// //batu ngilu// //batu bisu// Pengulangan terjadi pada kata batu. Kata batu yang dirangkai dengan berbagai jenis kata, baik kata benda maupun kata sifat menimbulkan keindahan tersendiri. Selain itu, repetisi atau pengulangan kembali digunakan dalam bait kedua. Kata yang diulang adalah dengan seribu dan mengapa. Pada bait kedua terdapat gaya bahasa polisindeton yang ditandai dengan kata sambung dengan. //Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan// //hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan// //seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh?// Beberapa klausa yang sederajat digabungkan dengan kata sambung dengan. Selanjutnya penyair juga menggunakan pertanyaan retoris untuk menekankan makna yang ingin disampaikan. Terdapat delapan erotesis atau pertanyaan retoris dalam puisi ini, yaitu: commit to user 74 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id //kaukah itu//teka//teki//yang//tak menepati//janji?// //Dengan siapa aku mengeluh?// //Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampai mengapa// //gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk// //diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai sedang// //lambai tak sampai.// //Kau tahu?// //kaukah itu//teka//teki//yang//tak menepati//janji?// Dalam baris-baris di atas, empat pertanyaan menggunakan tanda tanya dan empat lainnya hanya menggunakan kata tanya tanpa tanda tanya. Secara keseluruhan, susunan kalimat dalam puisi ini merupakan susunan kalimat yang sederhana sehingga hubungan antarbaitnya kurang diperhatikan walaupun tetap saja ada alur puisi yang membingkai. Gaya kalimat yang terdapat di dalamnya antara lain adalah repetisi, polisindetondan erotesis atau pertanyaan retoris. 4. Citraan Citraan sebagai media pengarang dalam menyampaikan isi puisinya sangat disadari oleh Sutardji, sehingga dalam puisinya gambar angan atau imajery merupakan unsur penting yang tidak pernah diabaikan. Seperti dalam puisi Batu ini, citraan yang muncul didominasi oleh citraan penglihatan, terutama pada bait pertama. //batu mawar// //batu langit// //batu duka// //batu rindu// //batu jarum// //batu bisu// //kaukah itu// commit to user 75 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Kata “batu” yang dirangkai dengan kata mawar, langit, duka, rindu, jarum dan bisu mengacu pada wujud atau benda yang dapat dilihat. Akan tetapi muncul pula citraan perabaan yang terdapat dalam baris kedua, bait kedua, yaitu: //hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan//, kata-kata yang menunjukkan adanya citraan perabaan adalah dengan seribu sibuk sepi tak mati. Baris tersebut menunjukkan bagaimana kosongnya perasaan penyair sehingga “seribu sibuk” yang dapat dimaknai dengan kesibukan apapun tidak akan membuat “sepi” yang dirasakannya “mati”. Kemudian citraan gerak pada baris keempat bait kedua //Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampai mengapa//, kata yang menunjukkan citraan gerak adalah “berdenyut” yang menunjukkan adanya gerakan dari sebuah jam. Kata “berdenyut” yang biasanya mengacu pada gerakan jantung digunakan untuk menyatakan gerakan jam merupakan salah satu kepiawaian penyair untuk menggambarkan kehidupan. Citraan pendengaran juga digunakan pada puisi di atas, yaitu pada baris kelima bait kedua //gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk//, kata kunci yang menunjukkan adanya citraan pendengaran adalah kata “meletus” yang mengasosiasikan adanya bunyi letusan. Dalam puisi Batu, beberapa citraan digunakan penyair. Citraan yang mendominasi adalah citraan penglihatan. Penyair ingin menghadirkan wujud batu menjadi beberapa bentuk dan sifat. Citraan lain yang digunakan adalah citraan perabaan, gerak dan pendengaran. commit to user 76 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id PUISI KETIGA: O dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukaungiau resahku resahkau resahrisau resahbalai resahkalian raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai siasiaku siasiakau siasiasia siabalau siarisau siakalian siasiasia duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai oku okau okosong orindu okalian obolong orisau oKau o…… daun burung sungai kelepak mau sampai langit siapa buah tahu rumput dada selimut biru langit dadu mari! rumput kau kau kau kau kau kau kau kau kau pisau kau KAU kau batu kau kau kau kau commit to user kau kau kau kau kau kau kau perpustakaan.uns.ac.id 77 digilib.uns.ac.id 1. Gaya Bunyi Puisi O merupakan puisi dengan tema duka atau kepedihan. Sebagai puisi kontemporer, puisi ini sama sekali tidak terikat dengan keharusan adanya rima. Akan tetapi, untuk memperoleh orkestrasi bunyi dan efek musikalisasi yang menambah estetika puisi maka penyair tetap memperhatikan penggunaan kata yang dapat menghasilkan asonansi dan aliterasi. Asonansi muncul pada hampir semua baris. Bait pertama: //dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukaungiau//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/, /a/, /au/ dan /i/. //resahku resahkau resahrisau resahbalai resahkalian//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /e/, /a/ dan /au/. //raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /u/. //mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /au/, /a/, /u/ dan /ai/. //siasiaku siasiakau siasiasia siabalau siarisau siakalian siasiasia//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /ia/ dan /au/. //duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/, /ai/ dan /a/. //oku okau okosong orindu okalian obolong orisauoKau o……//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /o/, /au/ dan /i/. Bait kedua: //mau sampai langit//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. //siapa tahu//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. //buah rumput selimut//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/. //langit dadu//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. //rumput pisau batu kau//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/ dan /au/. //kau kau kau kau kau kau kau//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal commit to user /au/. perpustakaan.uns.ac.id 78 digilib.uns.ac.id //kau kau kau KAU kau kau kau//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /au/. //kau kau kau kau kau kau kau//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /au/. Puisi ini juga diciptakan dengan pemilihan kata yang cermat sehingga menghasilkan aliterasi hampir di seluruh barisnya. Bait pertama: //dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukaungiau//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /d/ dan /k/. //resahku resahkau resah risau resahbalai resahkalian//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /r/, /s/, /h/ dan /k/. //raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /r/, /g/ dan /k/ //mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /m/, /k/ dan /p/. //siasiaku siasiakau siasiasia siabalau siarisau siakalian siasiasia//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /s/, /k/ dan /l/. //duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalianduhaisangsai//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /d/, /h/, /k/, /n/, /ng/ dan /l/. //oku okau okosong orindu okalian obolong orisau oKau o……//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/, /ng/, /r/, /n/, /l/ dan /s/. Pada bait kedua: //mau sampai langit//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /m/. //buah rumput selimut//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /m/ dan /t/. //rumput pisau batu kau//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /p/ dan /t/. //kau kau kau kau kau kau kau//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/. // kau kau kau KAU kau kau kau//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi commit to user konsonan /k/. 79 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id // kau kau kau kau kau kau kau//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/. Munculnya asonansi dan aliterasi secara seimbang pada puisi di atas menimbulkan irama yang dapat menimbulkan keindahan. Akan tetapi keindahan yang dihasilkan tetap menimbulkan efek kakafoni, yaitu suasana yang kacaubalau, tidak menyenangkan dan sebagainya. Irama yang muncul menjadi terkesan biasa saja karena terdengar datar tanpa emosi yang mempengaruhinya. 2. Gaya Kata Puisi O merupakan puisi yang menggunakan pilihan kata yang cermat. Selain itu, kepiawaian Sutardji dalam mengolah kata membuat kata yang biasa saja menjadi unik dan menghasilkan bentuk kata baru yang lebih segar. Dalam puisi ini terdapat penggabungan kata yang mendominasi baris-barisnya. Penggabungan kata dapat menekankan makna dan mempertegas maksud pengarang. Penggunaan kata yang bernilai denotatif mendominasi diksi dalam puisi ini. Hal ini selaras dengan kredo Sutardji yang mengembalikan kata sebagai kata, yang tidak harus dibebani ide atau makna. Secara harfiah, kata yang digabung tersebut tidak mempunyai arti, sehingga pembaca harus membaca dengan cermat untuk menangkap makna puisi tersebut. Dalam puisi ini juga terdapat kata bolong yang berasal dari bahasa Jawa. Bolong dalam bahasa Indonesia sama artinya dengan kata berlubang. Secara keseluruhan, diksi dalam puisi ini cukup unik dan tidak lazim digunakan dalam percakapan maupun dalam karya sastra yang lain. Penyair mampu menciptakan kata-kata baru yang belum pernah ada sebelumnya yang justru mampu menambah nilai keindahan dari puisi tersebut. 3. Gaya Kalimat Susunan kata dalam puisi O sangat unik dan mungkin tidak bisa disebut sebagai sebuah kalimat. Sekilas seperti tidak ada hubungan antara lariknya akan to user hubungan yang mendukung tetapi sebenarnya setiap larikcommit mempunyai perpustakaan.uns.ac.id 80 digilib.uns.ac.id tersampainya makna dari puisi tersebut. Pembaca harus mencerna kata per kata dalam tiap baris supaya bisa memahami isi puisi dengan baik. Terdapat beberapa bahasa kias yang dipilih dalam puisi O. Repetisi atau pengulangan kata mendominasi baris-baris puisi tersebut. Kata duka, resah, ragu, mau, siasia, waswas, duhai, o dan kau diulang beberapa kali dalam satu baris. Pemakaian kata secara berulang dalam satu baris semakin menekankan makna yang ingin disampaikan. Misalnya saja pada baris pertama //dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukaungiau//, penggunaan kata duka yang diulang sebanyak lima kali menyatakan bahwa duka yang dirasakan begitu dalam. Sehingga untuk menyampaikan rasa duka yang sangat tersebut, penyair harus mengulangnya hingga lima kali dalam satu baris. Selanjutnya terdapat pertanyaan retoris dalam baris //siapa tahu//, walaupun tidak menggunakan tanda tanya di akhir baris kata siapa sudah menunjukkan bahwa baris itu merupakan kalimat tanya. Selain itu terdapat kalimat imperatif atau kalimat perintah pada kata //mari!//. Secara keseluruhan baris dalam puisi O seperti barisan kata yang tidak berstruktur. Pasalnya, kata-kata dalam puisi tersebut seperti kumpulan kata yang terserak, kemudian disusun seadanya. Perlu pemahaman lebih untuk bisa memahami makna yang terkandung dalam puisi tesebut. 4. Citraan Pemahaman terhadap sebuah karya sastra khususnya puisi, membutuhkan sebuah media yang tepat sehingga dapat mengantarkan maksud atau hal yang akan disampaikan pengarang kepada pembacanya. Selain pemilihan kata yang cermat, penggunaan gambar angan akan sangat membantu pembaca dalam memahami sebuah karya sastra. Puisi O merupakan puisi dengan rangkaian kata yang tidak biasa. Penggunaan dan penggabungan kata yang tidak lazim inilah yang menciptakan citraan pendengaran. Bait pertama bahkan terdengar seperti mantera. Selain itu citraan pendengaran juga muncul pada kata kelepak yang mengacu pada bunyi commit to user 81 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id akibat gerakan sayap burung. Selanjutnya kata dukangiau juga merujuk pada citraan pendengaran karena ngiau merupakan tiruan suara kucing. Selain citraan pendengaran yang mendominasi, ada juga citraan penglihatan. Misalnya pada baris //dada biru// dan //langit dadu//. Keberadaan kata biru dan dadu merupakan kata kunci bahwa baris tersebut mengandung citraan penglihatan. Hal ini dapat disimpulkan karena biru dan dadu tergolong dalam kata benda yang menyatakan warna. Kata okosong dan obolong juga merangsang indera penglihatan untuk menanggapinya karena kosong dan bolong bisa diketahui dengan melihat keadaannya secara langsung. Citraan perabaan juga dihadirkan dalam puisi ini. Hal itu terlihat dari adanya kata duhaingilu yang mengajak pembaca membangkitkan imajinasi tentang rasa ngilu yang menyerang. Kata mausampai dan maugapai merupakan kata kunci adanya citraan gerak, yaitu adanya gerakan untuk menggapai sesuatu yang dimaksud oleh penyair. Dalam puisi ini citraan pendengaran lebih banyak digunakan oleh penyair. Penggunaan kata yang unik ternyata menghasilkan bunyi yang mampu merangsang indera pendengaran untuk menanggapinya. Selain itu muncul pula citraan penglihatan dan perabaan juga dihadirkan dalam puisi tersebut. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 82 digilib.uns.ac.id PUISI KEEMPAT: PERJALANAN KUBUR luka ngucap dalam badan kau telah membawaku ke atas bukit ke atas karang ke atas gunung ke bintang bintang lalat-lalat menggali perigi dalam dagingku untuk kuburmu alina untuk kuburmu alina aku menggaligali dalam diri raja dalam darah mengaliri sungaisungai mengibarkan bendera hitam menyeka matari membujuk bulan teguk tangismu alina sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur laut pergi ke awan membawa kubur-kubur awan pergi ke hujan membawa kubur-kubur hujan pergi ke akar ke pohon ke bunga-bunga membawa kuburmu alina 1. Gaya Bunyi Puisi Perjalanan Kubur adalah puisi yang mengkisahkan tentang hakikat kelahiran yang diikuti oleh kematian. Dalam puisi ini asonansi dan aliterasi tetap dihadirkan untuk mencapai efek keindahan. Asonansi pada bait pertama: //luka ngucap dalam badan//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/ dan /a/ //kau telah membawaku ke atas bukit ke atas karang ke atas gunung//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /e/, /a/ dan /u/ //ke bintang bintang//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /i/ dan /a/. commit to user 83 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id //lalat-lalat menggali perigi dalam dagingku//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /i/. //untuk kuburmu alina//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/. Bait kedua: //untuk kuburmu alina//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/. //aku menggaligali dalam diri//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /i/. //raja dalam darah mengaliri sungaisungai mengibarkan bendera hitam//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/, /i/ dan /e/. //menyeka matari membujuk bulan//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /e/, /a/ dan /u/. //teguk tangismu alina//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/, /a/ dan /i/. Bait ketiga: //sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/ dan /e/. //laut pergi ke awan membawa kubur-kubur//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /e/ dan /a/. //awan pergi ke hujan membawa kubur-kubur//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/, /e/ dan /u/. //hujan pergi ke akar ke pohon ke bunga-bunga//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/, /e/ dan /a/. //membawa kuburmu alina//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. Pemanfaatan bunyi konsonan yang teratur dan berulang akan menghasilkan irama yang indah. Hal itu sangat disadari oleh Sutardji sehingga pada Perjalanan Kubur terdapat berbagai aliterasi dalam tiap baitnya. Bait pertama: //luka ngucap dalam badan//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /l/ dan /d/. //kau telah membawaku ke atas bukit ke atas karang ke atas gunung//, aliterasi commit/k/, to user ditemukan pada paduan bunyi konsonan /t/, /b/, /s/ dan /ng/. 84 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id //ke bintang bintang//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /b/, /n/, /t/ dan /ng/. //lalat-lalat menggali perigi dalam dagingku//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /l/, /m/, /d/ dan /g/. //untuk kuburmu alina//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/. Bait kedua: //untuk kuburmu alina//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/. //aku menggaligali dalam diri//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /m/ dan /l/. //raja dalam darah mengaliri sungaisungai mengibarkan bendera hitam//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /r/, /d/, /l/, /m/, /ng/, /b/ dan /h/. //menyeka matari membujuk bulan/, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /m/, /k/ dan /b/. //teguk tangismu alina//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /t/. Bait ketiga: //sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /r/, /k/ dan /b/. //laut pergi ke awan membawa kubur-kubur//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /r/, /k/, /w/ dan /b/. //awan pergi ke hujan membawa kubur- kubur//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /w/, /n/, /r/, /k/ dan /b/. //hujan pergi ke akarke pohon ke bunga-bunga//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /h/, /r/ dan /k/. //membawa kuburmu alina//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /m/ dan /b/. Perpaduan asonansi dan aliterasi menimbulkan irama yang terdengar indah. Meskipun demikian bunyi /k/ yang mendominasi menimbulkan kakafoni, yaitu bunyi-bunyi parau, kasar dan tidak menyenangkan. Hal ini diperlukan untuk menekankan makna dari puisi Perjalanan Kubur yang berisi tentang hakikat kelahiran yang diikuti kematian. commit to user 85 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 2. Gaya Kata Pilihan kata merupakan salah satu aspek yang menjadikan sebuah karya sastra, khususnya puisi memperoleh efek keindahan tanpa meninggalkan makna yang ingin disampaikan. Dalam puisi Perjalanan Kubur kata yang dipergunakan merupakan kata-kata sederhana. Kata-kata yang sering dipergunakan dalam percakapan sehari-hari dan bermakna denotatif diolah sedemikian rupa sehingga menjadi menghasilkan makna baru. Penghilangan imbuhan yang menjadi salah satu ciri puisi Sutardji, muncul dalam puisi ini, yaitu pada baris pertama //luka ngucap dalam badan//. Kata ngucap seharusnya mendapat imbuhan me- sehingga menjadi mengucap. Majas yang digunakan dalam puisi ini adalah majas personifikasi yang terdapat dalam baris keempat bait kedua //menyeka matari membujuk bulan//. Dalam larik tersebut, “matari” dan “bulan” dikiaskan memiliki sifat seperti manusia sehingga bisa diseka atau diusap dan dibujuk. Secara keseluruhan dalam puisi ini hanya ditemukan majas personifikasi. Akan tetapi penggunaan susunan kata yang tidak biasa serta pembentukan kata baru yang menjadi ciri khas Sutardji, membuat puisi ini tetap menarik untuk dinikmati dan dipahami maknanya. 3. Gaya Kalimat Kalimat yang digunakan dalam puisi Perjalanan Kubur merupakan kalimat yang sederhana. Kata-kata disusun dengan struktur yang sederhana dan didominasi oleh kalimat deklaratif. Gaya bahasa yang digunakan antara lain adalah gaya bahasa repetisi atau pengulangan yang terdapat dalam bait terakhir. //sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur// //laut pergi ke awan membawa kubur-kubur// //awan pergi ke hujan membawa kubur-kubur// Kata membawa kubur-kubur diulang sebanyak tiga kali pada tiap akhir baris. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 86 digilib.uns.ac.id Selanjutnya adalah gaya bahasa klimaks. //sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur// //laut pergi ke awan membawa kubur-kubur// //awan pergi ke hujan membawa kubur-kubur// //hujan pergi ke akar ke pohon ke bunga-bunga// Dalam bait di atas terdapat urut-urutan pikiran yang meningkat kepentingannya. Kata sungai, laut, awan, hujan kemudian ke akar menunjukkan adanya urutan yang menujukkan adanya peningkatan dari gagasan yang disampaikan. Puisi ini merupakan puisi bebas dengan struktur kalimat yang sederhana dan didominasi oleh kalimat deklaratif. Sarana retorika yang digunakan hanya berupa pengulangan atau repetisi dan gaya bahasa klimaks. 4. Citraan Penafsiran seseorang terhadap sebuah karya sastra khususnya puisi, dapat diuji melalui pemahamannya terhadap aspek citraan yang terkandung dalam puisi tersebut. Gambar angan yang terbentuk dalam jiwa pembacanya tergantung pada kuat tidaknya citraan yang dihadirkan oleh penyair. Puisi Perjalanan Kubur adalah salah satu puisi Sutardji yang mempunyai citraan yang kuat. Pada bait pertama didominasi dengan citraan penglihatan. //luka ngucap dalam badan// //kau telah membawaku ke atas bukit ke atas karang ke atas gunung// //ke bintang bintang// //lalat-lalat menggali perigi dalam dagingku// //untuk kuburmu alina// Tiap baris puisi di atas menggambarkan bagaimana seseorang meninggal, yaitu karena luka yang telah ngucap dalam badan, luka itu kemudian membawanya ke atas bukit ke atas karang ke atas gunung// ke bintang bintang. Selanjutnya dalam kubur lalat-lalat menggali perigi dalam dagingku. Selain itu terdapat juga citraan gerak pada baris kedua //kau telah commit to user membawaku ke atas bukit ke atas karang ke atas gunung//. Citraan gerak ini 87 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id ditandai dengan adanya kata membawaku. Selanjutnya pada baris keempat yaitu //lalat-lalat menggali perigi dalam dagingku// juga terdapat citraan gerak yang ditandai dengan kata menggali. Bait kedua juga didominasi dengan citraan penglihatan. //untuk kuburmu alina// //aku menggaligali dalam diri// //raja dalam darah mengaliri sungaisungai mengibarkan bendera hitam// //menyeka matari membujuk bulan// //teguk tangismu alina// Citraan gerak juga muncul pada baris kedua, ketiga dan keempat.Kata pergi merupakan kata kunci adanya citraan gerak dalam bait di bawah ini. //sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur// //laut pergi ke awan membawa kubur-kubur// //awan pergi ke hujan membawa kubur-kubur// //hujan pergi ke akar ke pohon ke bunga-bunga// Secara keseluruhan puisi Perjalanan Kubur didominasi oleh citraan penglihatan dan citraan gerak. Adanya citraan dalam sebuah karya sastra akan membantu penikmat karya tersebut untuk menyelami dan masuk ke dalam dunia yang diciptakan oleh penyair. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 88 digilib.uns.ac.id PUISI KELIMA: KAPAK semua orang membawa kapak semua orang bergerak pergi menuju langit semua orang bersiapsiap nekat kalau tak sampai langit mengapa tak ditebang saja mereka bilang langkahlangkah mereka menggeram dan bersamasama bergegar pula kapakkapak mereka pukimak aku tak bisa tidur mimpi tertakik dan ranjang betah 1. Gaya Bunyi Puisi Kapak merupakan puisi bebas yang terdiri dari satu bait. Sebagai puisi bebas maka puisi ini tidak terikat oleh rima. Namun demikian, bunyi yang dihasilkan dari susunan kata dalam tiap baris tetap diperhatikan sehingga dihasilkan aliterasi dan asonansi yang menciptakan irama dalam puisi. Asonansi yang terdapat dalam puisi Kapak adalah: //semua orang membawa kapak//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /e/ dan /a/. //semua orang bergerak pergi//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /e/ dan /a/. //semua orang bersiapsiap nekat//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /e/ dan /a/. //kalau tak sampai langit//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. //mengapa tak ditebang saja//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /e/ commit to user dan /a/. 89 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id //mereka bilang//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. //langkahlangkah mereka menggeram//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /e/. //dan bersamasama bergegar pula//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /e/. //kapakkapak mereka//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. //pukimak aku tak bisa tidur//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/, /i/ dan /a/. //mimpi tertakik//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /i/. //dan ranjang betah//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. Paduan bunyi konsonan atau aliterasi yang terdapat dalam puisi tersebut adalah: //semua orang membawa kapak//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /m/. //semua orang bergerak pergi//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /r/. //semua orang bersiapsiap nekat//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /s/ dan /r/. //kalau tak sampai langit//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/, /l/ dan /t/. //mengapa tak ditebang saja//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /t/. //langkahlangkah mereka menggeram//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/, /m/ dan /r/. //dan bersamasama bergegar pula//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /b/ dan /r/. //kapakkapak mereka//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/. //pukimak aku tak bisa tidur//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/ dan /t/. //dan ranjang betah//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /n/. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 90 digilib.uns.ac.id Puisi ini didominasi dengan bunyi vokal /a/ sehingga menghasilkan puisi dengan irama yang penuh semangat. Bunyi vokal /a/ juga memberikan penekanan suasana tertentu yang terjadi dalam puisi. 2. Gaya Kata Kata-kata yang digunakan dalam puisi di atas merupakan kata yang biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari. Makna yang terkandung dalam kata-kata tersebut didominasi oleh makna denotatif. Namun demikian kejelian pembaca dalam mencerna dan menilai kata dengan sudut pandang yang lain turut menentukan kedalaman makna dari puisi tersebut. Majas yang dipergunakan dalam puisi Kapak antara lain majas sinekdoke totum pro parte yang terdapat dalam baris pertama, kedua dan keempat. //semua orang membawa kapak//semua orang bergerak pergi//semua orang bersiapsiap nekat//, kata “semua” merupakan kata kunci adanya majas sinekdoke totum pro parte. Selanjutnya terdapat majas metafora pada baris //mimpi tertakik//. Mimpi dalam larik tersebut diibaratkan seperti benda nyata yang bisa tertoreh dalam ingatan seseorang. Majas personifikasi juga ditemukan dalam puisi ini. Pada baris //dan ranjang betah//, ranjang dikiaskan mempunyai sifat seperti manusia yaitu “betah” yang berarti nyaman dengan keadaan yang sedang dialami. Kata betah juga merupakan kata serapan yang diambil dari bahasa Jawa. Secara keseluruhan majas yang terdapat dalam puisi ini adalah sinekdoke totum pro parte, metafora dan personifikasi. Penggunaan majas yang minimal jumlahnya dimungkinkan karena kata yang digunakan juga sederhana dan bermakna denotatif. 3. Gaya Kalimat Struktur kalimat yang digunakan dalam puisi Kapak didominasi oleh struktur kalimat yang sederhana. Bentuk kalimat yang terdapat dalam larik-larik puisi ini merupakan kalimat deklaratif. Larik dalam puisi ini menceritakan tentang commit to user perpustakaan.uns.ac.id 91 digilib.uns.ac.id keinginan untuk menghilangkan angkara murka. Kapak dikiaskan sebagai alat yang mampu menebang segala angkara murka tersebut. Sarana retorika yang terdapat dalam puisi Kapak antara lain adalah gaya bahasa repetisi atau pengulangan, yaitu pada baris pertama, kedua dan keempat. Kata yang diulang adalah semua orang. Pengulangan merupakan salah satu ciri khas puisi-puisi Sutardji. Selain sebagai penegas makna, pengulangan kata juga akan menimbulkan efek mantera pada puisi. Selanjutnya adalah pertanyaan retoris pada baris keenam //mengapa tak ditebang saja//. Kata tanya mengapa menunjukkan adanya sarana retorika yang berupa erotesis atau pertanyaan retoris dalam baris tersebut. Dalam puisi ini, sarana retorika yang digunakan sangat terbatas. Hal ini disebabkan karena struktur kalimatnya yang sederhana. Meskipun demikian, sarana retorika yang menjadi ciri khas Sutardji yaitu repetisi dan pertanyaan retoris tetap digunakan. 4. Citraan Pemahaman terhadap sebuah karya sastra akan menjadi lebih mudah dilakukan apabila pembaca mampu menangkap dan menginterpretasikan citraan atau gambar angan yang dihadirkan oleh penyair. Pengarang mengeksploitasi segenap potensi bahasa melalui citraan untuk menggambarkan objek, tindakan, pikiran dan pengalaman indera untuk menimbulkan daya pikat bagi pembaca. Puisi Kapak diciptakan dengan beberapa citraan yang dihadirkan di dalamnya, yaitu: //semua orang membawa kapak// Baris pertama membangkitkan citraan penglihatan. Pembaca akan dibawa pada suasana dimana banyak orang membawa kapak. //semua orang bergerak pergi// //menuju langit// Dalam dua baris di atas muncul citraan gerak yang dapat ditangkap melalui kata kunci bergerak pergi dan menuju. commit to user 92 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id //langkahlangkah mereka menggeram// //dan bersamasama bergegar pula// //kapakkapak mereka// Baris-baris di atas mengandung citraan pendengaran. Kata menggeram dan bergegar membangkitkan tanggapan indera pendengaran. Baris di atas menggambarkan suasana banyak orang berjalan dengan geram sehingga derap langkahnya terdengar jelas serta kapak yang dibawanya juga berbunyi karena langkah yang cepat. //pukimak aku tak bisa tidur// //mimpi tertakik// //dan ranjang betah// Citraan perabaan muncul dalam tiga baris di atas. Kata pukimak yang mengacu pada ungkapan kekesalan yang dirasakan penyair akibat pikirannya yang mengembara sehingga mimpinya “tertakik”. commit to user 93 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id PUISI KEENAM: DAGING daging coba bilang bagaimana arwah masuk badan bagaimana tuhan dalam denyutmu jangan diam nanti aku marah kalau kulahap kau aku enak sekejap aku sedih kau jadi taik daging kau kawan di bumi di tanah di resah di babi babi daging ging ging kugali gali kau buat kubur dari hari ke hari commit to user perpustakaan.uns.ac.id 94 digilib.uns.ac.id 1. Gaya Bunyi Puisi Daging merupakan puisi yang bertema pencarian Tuhan oleh hambanya. Pertanyaan tentang Tuhan ditujukan pada daging yang merupakan simbol jasmani. Puisi ini diungkapkan secara bebas dan tidak terikat rima. Namun demikian aspek asonansi dan aliterasi tetap diperhatikan oleh pengarangnya. Asonansi yang terdapat dalam puisi Daging. //coba bilang//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. //bagaimana arwah masuk badan//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. //bagaimana tuhan//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. //nanti aku marah//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. //kalau kulahap kau//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /au/. //aku enak sekejap//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /e/. //kau kawan di bumi di tanah di resah dibabi babi//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /i/. //ging ging//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /i/. //kugali gali kau//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /i/. //buat kubur//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /u/. //dari hari//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /i/. Selanjutnya aliterasi yang digunakan oleh penyair terdapat dalam baris: //coba bilang//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /b/. //bagaimana arwah masuk badan//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /b/, /m/ dan /n/. //bagaimana tuhan//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /n/. //dalam denyutmu//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /d/ dan /m/. //kalau kulahap kau//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/ dan /l/. //aku enak sekejap//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/. //kau jadi taik//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/. //kau kawan di bumi di tanah di resah di babi babi//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/, /d/, /b/ dan /h/. commit to user //ging ging//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /g/ dan /ng/. perpustakaan.uns.ac.id 95 digilib.uns.ac.id //kugali gali kau//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/, /g/ dan /l/. //buat kubur//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /b/. //dari hari//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /r/. Bunyi vokal /a/ yang mendominasi menimbulkan irama riang. Walaupun demikian, secara keseluruhan yang muncul adalah kakafoni. Adapun kata-kata yang menimbulkan suasana sedih, parau dan aneh adalah kata marah, sedih dan resah. 2. Gaya Kata Kepiawaian Sutardji dalam mengolah kata dan membuat kata yang biasa saja menjadi unik dan menghasilkan bentuk kata baru yang lebih segar tidak perlu diragukan lagi. Dalam puisi ini, kata-kata yang digunakan merupakan kata dengan makna denotatif. Akan tetapi kata yang sederhana tersebut mampu menjadi kata dengan makna yang lebih dalam dan luas dari makna asalnya. Penggunaan kata yang bernilai denotatif mendominasi diksi dalam puisi ini. Kata denotatif yang dipilih menjadikan puisi ini tidak diperkaya dengan bahasa figuratif yang biasanya digunakan sebagai salah satu pendukung tercapainya aspek estetika sebuah puisi. Bahasa kias atau majas bahkan tidak terdapat dalam puisi Daging. Setiap kata dibiarkan bebas seakan-akan hanya bermakna denotatif. Keindahan dan kedalaman makna hanya dapat diperoleh apabila pembaca menikmati dan mengkaji puisi tersebut secara mendalam. Secara keseluruhan, diksi dalam puisi ini terlihat biasa dan tidak ada yang istimewa. Keistimewaan kata dalam puisi ini dapat dilihat apabila pembaca mampu masuk ke dalam dunia pemikiran penyairnya. 3. Gaya Kalimat Struktur kalimat sederhana mendominasi puisi ini. Kalimat yang terdapat dalam larik-larik puisi ini lebih menyerupai dialog satu arah antara penyair dengan to user seseorang. Seseorang tersebut bisacommit merupakan pembaca atau yang lain. perpustakaan.uns.ac.id 96 digilib.uns.ac.id Puisi ini juga menggunakan sarana retorika yang berupa pengulangan atau repetisi dan erotesis atau pertanyaan retoris. Repetisi terdapat pada kata “daging” yang diulang sampai tiga kali. Daging dalam puisi ini merupakan tokoh sentral yang dipilih oleh penyair. Selanjutnya adalah pertanyaan retoris atau erotesis yang terdapat pada baris //bagaimana arwah masuk badan//dan//bagaimana tuhan dalam denyutmu//. Penggunaan gaya bahasa erotesis ditandai dengan adanya kata tanya bagaimana. Larik dalam puisi ini didominasi oleh kalimat tanya. Tema dalam puisi ini adalah Ketuhanan. Dalam puisi ini, penyair seolah-olah berdialog dengan daging, yang bisa dimaknai sebagai wujud jasmani seseorang. Penyair mengajak pembacanya untuk kembali ke fitrahnya sebagai makhluk Tuhan melalui pertanyaan bagaimana Tuhan meniupkan arwah ke dalam tubuh, menghidupkan makhluk ciptaannya. Pertanyaan tersebut membangkitkan kesadaran manusia bahwa dia adalah makhluk lemah. 4. Citraan Citraan atau gambar angan dalam sebuah karya sastra berperan dalam membentuk gambaran mental, menimbulkan pembayangan imajinatif, serta yang paling penting untuk membangkitkan pengalaman tertentu dalam diri pembaca. Citraan melukiskan kualitas indera yang digunakan dalam karya sastra. Dalam puisi Daging ini, Sutardji menggunakan beberapa citraan untuk mendukung kekuatan puisi agar mampu membangkitkan daya imajinasi pembaca. //daging// //coba bilang// //bagaimana arwah masuk badan// //bagaimana tuhan// //dalam denyutmu// Bait pertama dan kedua di atas mengandung citraan intelektual. Penggunaan kalimat tanya akan merangsang pemikiran pembaca untuk membayangkan jawabannya. Pertanyaan yang diajukan merupakan pertanyaan commit to user 97 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id yang sulit untuk dijawab, sehingga mengajak pembaca untuk berpikir dari sudut pandang yang lain. //jangan diam// //nanti aku marah// Dua baris di atas membangkitkan citraan pendengaran. Hal ini dapat ditangkap karena baris tersebut menyerupai dialog, sehingga pembaca seolah-olah diajak berbicara oleh penyair. //kalau kulahap kau// //aku enak sekejap// Dalam baris di atas muncul citraan pengecapan. Kata kulahap dan enak merupakan kata kunci yang dapat membangkitkan imajinasi pembaca terhadap rasa “enak” yang biasanya diterima oleh lidah (indera pengecapan). //kau jadi taik// Citraan yang muncul adalah citraan penglihatan. Asosiasi yang timbul adalah bayangan mengenai wujud taik atau kotoran yang dihasilkan dari proses pencernaan. //daging// //ging ging// //kugali gali kau// //buat kubur// //dari hari// //ke hari// Citraan yang muncul dalam bait di atas adalah citraan gerak. Gerakan yang dimaksud adalah gerakan yang ditimbulkan akibat proses menggali dalam baris //kugali gali kau//. commit to user 98 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id PUISI KETUJUH: SEJAK sejak kapan sungai dipanggil sungai sejak kapan tanah dipanggil tanah sejak kapan derai dipanggil derai sejak kapan resah dipanggil resah sejak kapan kapan dipanggil kapan sejak kapan kapan dipanggil lalu sejak kapan akan dipanggil akan sejak kapan akan dipanggil rindu sejak kapan ya dipanggil tak sejak kapan tak dipanggil mau sejak kapan tuhan dipanggil tak sejak kapan tak dipanggil rindu? 1. Gaya Bunyi Sejak merupakan puisi dengan tema pencarian seseorang terhadap Tuhan. Pencarian itu dilakukan dengan mengajukan pertanyaan yang jawabannya bermuara pada asal mula segala sesuatu. Puisi ini terdiri dari satu bait yang terdiri dari 12 baris. Seperti pada puisi-puisi sebelumnya, puisi ini juga menonjolkan asonansi dan aliterasi dalam baris-barisnya. Asonansi yang terdapat dalam puisi ini adalah: //sejak kapan sungai dipanggil sungai//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /i/. //sejak kapan tanah dipanggil tanah//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. //sejak kapan derai dipanggil derai//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /e/, /a/ dan /ai/. //sejak kapan resah dipanggil resah//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /e/ dan /a/. commit to user 99 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id //sejak kapan kapan dipanggil kapan//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. //sejak kapankapan dipanggil lalu//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. //sejak kapan akan dipanggil akan//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. //sejak kapan akan dipanggil rindu//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /i/. //sejak kapan ya dipanggil tak//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. //sejak kapan tak dipanggil mau//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. //sejak kapan tuhan dipanggil tak//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/. //sejak kapan tak dipanggil rindu?//, asonansi ditemukan pada paduan bunyi vokal /a/ dan /i/. Aliterasi yang digunakan dalam puisi Sejak ini adalah: //sejak kapan sungai dipanggil sungai//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /s/, /k/, /p/ dan /ng/. //sejak kapan tanah dipanggil tanah//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/, /p/, /t/, /n/ dan /h/. //sejak kapan derai dipanggil derai//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/, /p/, /d/ dan /r/. //sejak kapan resah dipanggil resah//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /s/, /k/, /p/, /r/ dan /h/. //sejak kapan kapan dipanggil kapan//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/, /p/ dan /r/. //sejak kapan kapan dipanggil lalu//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/, /p/, /n/ dan /l/. //sejak kapan akan dipanggil akan//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/, /p/ dan /n/. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 100 digilib.uns.ac.id //sejak kapan akan dipanggil rindu//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/, /p/, /n/ dan /d/. //sejak kapan ya dipanggil tak//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/ dan /p/. //sejak kapan tak dipanggil mau//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/. //sejak kapan tuhan dipanggil tak//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/, /n/ dan /t/. //sejak kapan tak dipanggil rindu?//, aliterasi ditemukan pada paduan bunyi konsonan /k/ dan /n/. Pada puisi ini bunyi vokal /a/ mendominasi. Selain menambah nilai estetik, bunyi vokal /a/ juga digunakan penyair untuk memperoleh efek suasana tertentu. Akan tetapi bunyi konsonan /k/ yang lebih dominan menimbulkan efek kakafoni. Dalam hal ini suasana yang ditimbulkan adalah suasana kacau, bingung dan risau terhadap pencarian tersebut. 2. Gaya Kata Diksi atau pilihan kata yang dipergunakan pengarang dalam karyanya akan menentukan kedalaman makna dan efek-efek tertentu. Oleh karena itu, para penyair biasanya akan menyeleksi kata dengan cermat, sehingga kata yang digunakan dalam karyanya selain dapat menyampaikan makna dengan tepat juga mampu menciptakan efek keindahan. Dalam puisi Sejak, diksi yang dipergunakan pengarang terdiri dari katakata yang lazim dipergunakan dalam percakapan sehari-hari dan bermakna denotatif. Misalnya saja kata sungai, tanah, resah, rindu, dan sebagainya. Katakata yang bermakna denotatif tersebut dipilih dan dirangkai dengan pertimbangan tertentu dari penyair. Walaupun puisi ini didominasi oleh kata yang bermakna denotatif, akan tetapi setiap bait mampu menyampaikan gagasan pengarangnya. Penggunaan kata denotatif yang lebih dominan menjadikan puisi ini tidak diperkaya dengan bahasa figuratif. Majas yang biasanya menjadi kekuatan dalam commit to user sebuah puisi sama sekali tidak dipergunakan oleh Sutardji. Sebagai gantinya, dia perpustakaan.uns.ac.id 101 digilib.uns.ac.id menggunakan rangkaian kata yang tidak biasa sehingga tetap tercipta keindahan dalam puisi tersebut. 3. Gaya Kalimat Kalimat yang menjadi baris-baris puisi Sejak merupakan kalimat dengan struktur sederhana. Ditinjau dari bentuknya, larik-larik dalam puisi ini merupakan kalimat tanya. Secara keseluruhan sarana retorika yang digunakan dalam puisi ini sama dengan puisi sebelumnya. Gaya bahasa yang paling mendominasi adalah gaya bahasa repetisi atau pengulangan. Kata sejak kapan digunakan pada semua baris dan diletakkan pada awal tiap baris. Selanjutnya kata dipanggil juga muncul pada setiap baris. Pengulangan menjadi ciri khas puisi-puisi Sutardji. Selain sebagai penegas makna, pengulangan kata juga akan menimbulkan efek mantera pada puisi. Erotesis atau pertanyaan retoris juga digunakan pada setiap baris Puisi Sejak. Penggunaan gaya bahasa ini ditandai dengan adanya kata tanya kapan pada setiap lariknya dan penggunaan tanda tanya sebagai penutup baris terakhir. Dalam puisi ini timbul kesatuan makna antar larik. Kohesi leksikal terjalin melalui penggunaan gaya bahasa repetisi atau pengulangan. Kepaduan antar larik membuat puisi ini lebih mudah diinterpretasikan oleh pembacanya. 4. Citraan Kehadiran gambar angan dalam sebuah karya sastra merupakan salah satu sarana pendukung diterimanya pesan dengan baik oleh pembacanya. Pemilihan kata-kata yang mampu membangkitkan tanggapan indera inilah yang disebut dengan gambar angan atau citraan. Dalam puisi Sejak penyair juga menggunakan beberapa citraan untuk membangkitkan daya bayang pembaca. Puisi Sejak didominasi dengan citraan intelektual, hal ini dapat dilihat dari pemilihan kata serta bentuk kalimat yang merupakan kalimat tanya. Baris-baris puisi yang berisi pertanyaan yang tidak biasa, yaitu pertanyaan yang mengarah pada asal mula kehidupan. Penggunaan kalimat tanya mampu merangsang commit to userdari pertanyaan yang diajukan. pemikiran pembaca untuk menafsirkan jawaban 102 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Citraan penglihatan juga dihadirkan dalam puisi ini yaitu pada baris pertama dan kedua. //sejak kapan sungai dipanggil sungai//sejak kapan tanah dipanggil tanah// Selain membangkitkan citraan intelektual yang mengasosiasikan asal mula sungai dan tanah, kedua baris tersebut akan membangkitkan daya bayang pembaca mengenai wujud sungai dan tanah. Selanjutnya ada citraan pendengaran pada baris //sejak kapan derai dipanggil derai//. Kata derai merupakan tiruan bunyi titik-titik air hujan yang menjadi kata kunci adanya citraan pendengaran. commit to user 103 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Tabel 2. Hasil Analisis Stilistika No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Judul Aspek Stilistika Gaya Bunyi Gaya Kata Temuan Asonansi, aliterasi Denotatif, bahasa daerah, kata bilangan, sinekdoke pars pro toto Gaya Kalimat Sederhana, imperatif (kalimat perintah) Penglihatan, perabaan, Citraan pendengaran Asonansi, aliterasi, kakafoni Batu Gaya Bunyi Denotatif, personifikasi, hiperbola Gaya Kata Gaya Kalimat Sederhana, repetisi, polisindeton, erotesis (pertanyaan retoris) Penglihatan, perabaan, gerak, Citraan pendengaran Asonansi, aliterasi, kakafoni O Gaya Bunyi Denotatif, bahasa daerah Gaya Kata Gaya Kalimat Sederhana, penggabungan kata Pendengaran, penglihatan, Citraan perabaan Asonansi, aliterasi, kakafoni Perjalanan Kubur Gaya Bunyi Denotatif, penghilangan imbuhan, Gaya Kata personifikasi Gaya Kalimat Sederhana, deklaratif, repetisi, klimaks Penglihatan, gerak Citraan Asonansi, aliterasi Kapak Gaya Bunyi Denotatif, sinekdoke totum pro Gaya Kata parte, metafora, personifikasi Gaya Kalimat Sederhana, erotesis (pertanyaan retoris), repetisi Penglihatan, gerak, pendengaran, Citraan perabaan. Asonansi, aliterasi, kakafoni Daging Gaya Bunyi Denotatif Gaya Kata Gaya Kalimat Sederhana, erotesis (pertanyaan retoris), repetisi Intelektual, pendengaran, Citraan pengecapan, penglihatan, gerak. Asonansi, aliterasi, kakafoni Sejak Gaya Bunyi Denotatif Gaya Kata commit to user Gaya Kalimat Sederhana, erotesis (pertanyaan Mantera 104 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Citraan retoris), repetisi Intelektual, pendengaran commit to user penglihatan, perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan analisis yang telah dilakukan terhadap aspek stilistika pada tujuh puisi dalam Antologi Puisi O Amuk Kapak karya Sutardji Calzoum Bachrie, maka diperoleh simpulan sebagai berikut: 1. Gaya bunyi yang terdapat dalam puisi meliputi asonansi, aliterasi dan kakafoni. Ketujuh puisi merupakan puisi bebas sehingga tidak terikat rima. 2. Gaya kata yang terdapat dalam puisi didominasi oleh kata sederhana yang bermakna denotatif, yang biasanya dipergunakan dalam percakapan sehari-hari. Penggunaan kata sederhana sesuai dengan kredo kepenyairan Sutardji yang ingin membebaskan kata dari penjara pengertian. Bahasa figuratif yang dipergunakan antara lain: sinekdoke, personifikasi, hiperbola dan metafora. Terdapat juga beberapa kata serapan yang diambil dari bahasa Jawa. 3. Gaya kalimat yang muncul dalam puisi didominasi dengan kalimat yang sederhana. Bentuk kalimat yang sering dipergunakan adalah kalimat tanya. Selanjutnya gaya retorika yang terdapat dalam puisi adalah repetisi, erotesis, polisindeton, dan klimaks. Selain itu, terdapat pula ciri khas kepenyairan Sutardji, yaitu penggabungan kata dan penghilangan imbuhan. 4. Citraan merupakan aspek stilistika yang mendominasi. Dalam setiap puisi paling tidak ditemukan dua citraan. Citraan yang muncul dalam puisi-puisi tersebut adalah: citraan perabaan, citraan penglihatan, citraan pendengaran, citraan gerak, citraan pencecapan dan citraan intelektual. commit to user 105 106 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id B. Implikasi Penelitian ini merupakan penelitian sastra, yaitu kajian stilistika Antologi Puisi O Amuk Kapak karya Sutardji Calzoum Bachrie. Hasil pembahasan terhadap objek kajian memberikan deskripsi mengenai aspek-aspek stilistika dalam sebuah puisi. Hasil penelitian memiliki implikasi terhadap aspek lain yang relevan, yaitu: 1. Implikasi Teoretis Penelitian dengan menggunakan kajian stilistika berusaha mengkaji sebuah karya sastra secara objektif sehingga hasil penelitian bisa menampilkan data-data yang terlepas dari sifat subjektif peneliti. Hasil penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan pijakan awal bagi penelitian sastra, khususnya puisi yang terfokus pada aspek kajian stilistika. 2. Implikasi Pedagogis Kajian stilistika pada puisi ini memiliki kaitan dengan pembelajaran mengenai kajian dan apresiasi puisi. Kajian stilistika pada karya sastra dapat menjadi salah satu obyek belajar, baik di Sekolah Menengah Atas maupun di perguruan tinggi. Pendekatan stilistika mampu memberikan pemahaman mengenai gaya bahasa secara lebih mendalam dibandingkan model pembelajaran yang sudah ada. Selain itu penelitian ini diharapkan mampu menambah referensi puisi yang dapat digunakan dalam pembelajaran mengapresiasi maupun menganalisis puisi. 3. Implikasi Praktis Stilistika sebagai ilmu mengenai gaya bahasa kurang dikenal dan dipahami oleh mahasiswa. Padahal sebenarnya stilistika sangat dekat dan seharusnya tidak menjadi sesuatu yang asing karena sebagai mahasiswa sastra dan bahasa Indonesia, khususnya fakultas pendidikan gaya bahasa sudah sering muncul dalam pembelajaran apresiasi karya sastra. Oleh karena itu, penelitian ini berimplikasi dengan pembelajaran bahasa terutama mengenai stilistika serta mampu menjadi cambuk bagi mahasiswa untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai stilistika. commit to user 107 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id C. Saran Melalui skripsi ini, beberapa saran yang dapat disampaikan antara lain: 1. Kepada peserta didik Penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan peserta didik mengenai stilistika. Selain itu, setelah penelitian ini diharapkan munculnya pengkajian mengenai stilistika, khususnya pada puisi. 2. Kepada pendidik Pengetahuan mengenai stilistika seharusnya mendapat perhatian lebih dari pendidik, sehingga peserta didik tidak lagi berpikir bahwa gaya bahasa hanya terdiri dari majas saja. Selanjutnya penelitian ini diharapkan menjadi inspirasi bagi pendidik untuk melakukan penelitian yang serupa sehingga muncul penelitian-penelitian yang lebih baik dari penelitian yang pernah ada sebelumnya. commit to user