epistemologi immanuel kant

advertisement
EPISTEMOLOGI IMMANUEL KANT
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud)
Oleh:
Abdul Holik
NIM: 106033101127
PROGRAM STUDI AQIDAH-FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H / 2011 M
ABSTRAKSI
Epistemologi Immanuel Kant dinilai berhasil menemukan suatu sintesis
atas sistem-sistem sebelumnya dalam tradisi filsafat Barat. Melalui pengujian
sejumlah persoalan yang sudah dianggap taken for granted, Kant merumuskan
ulang validitas kebenaran pengetahuan secara lebih radikal. Sampai saat ini,
pemikiran Kant tetap menarik untuk dikaji.
Melalui proyek filosofis yang digagasnya, Kant telah merintis sesuatu
yang berharga bagi pengembangan dan penyelidikan selanjutnya. Dengan cukup
berani, Kant mendorong suatu kemajuan besar dalam tataran teoritis yang lebih
ketat, dan rasional.
Kant sendiri tidak menilai bahwa dirinya adalah seorang pioneer. Dalam
karyanya, Prolegomena zu einer jeden künftigen Metaphysik, Kant dengan rendah
hati mengaku bahwa dirinya dibangunkan dari tidur dogmatis oleh kritisisme
David Hume. Bahkan, dalam karya besarnya, Kritik der reinen Vernunft, Kant
tanpa malu-malu menyatakan bahwa pemikirannya mendapat stimulus dari para
tokoh-tokoh sebelumnya.
Dalam beberapa rumusan, semisal konsep kategori, pengertian substansi
dan ide, Kant justru meminjamnya dari pemikir Yunani Kuno, yakni Aristoteles,
dan Plato. Apa yang dilakukan Kant adalah berupaya mempertajam dan
menjelaskan secara lebih proporsional masalah-masalah tersebut.
Sayangnya, beberapa komentator akhirnya dengan “gegabah” menganggap
pemikiran Kant tidak asli dan sekedar kutipan. Umumnya pandangan semacam ini
dikarenakan mereka tidak melihat secara utuh apa yang coba dibangun Kant.
Dengan sistem yang disebutnya seperti revolusi Copernicus dalam ilmu alam,
Kant mengubah sebuah konsepsi yang selama ini diterima begitu saja dalam
tradisi filsafat Barat.
Para filsuf sebelum Kant, tidak ada yang mempersoalkan problem akut
dalam diri subjek ketika menerima sejumlah informasi. Alih-alih menyelidiki
substansi pengetahuan dalam pikiran manusia, Kant terlebih dahulu menelusuri
problem mendasar pada diri subjek, untuk ditempatkan pada kedudukan yang
sepantasnya.
Dengan usahanya itu, Kant mencari dasar-dasar yang lebih ketat,
mengenai proses hadirnya pengetahuan, untuk dapat diuji secara rasional dan
terhindar dari kesesatan. Pada kesimpulan akhirnya, Kant menganggap bahwa
pengetahuan selalu berkenaan dengan pengalaman, dan pengetahuan manusia
hanya bisa meluas berkenaan dengan pengalaman yang diraihnya. Bahkan,
kebenaran metematika yang diperoleh dengan dasar-dasar a priori, selalu dapat
dijelaskan dalam tatanan empiris. Meskipun demikian, pengalaman tetap harus
diuji secara rasional agar bisa mencapai kebenaran pengetahuan universal.
Dengan demikian, Kant menanggap bahwa segala sesuatu yang tidak
memiliki pijakan dalam tataran empiris adalah sesuatu yang tidak bisa dijadikan
pengetahuan—kendatipun “dinilai” memiliki kegunaan. Konsepsi tentang Tuhan,
jiwa, kebebasan, kehidupan setelah kematian, dan sebagainya, mungkin berharga
dan sangat penting bagi sebagian orang. Tapi, bagi Kant, hal-hal semacam itu
sama sekali bukan pengetahuan, karena berada di luar jangkauan pengalaman
manusia secara umum, alias tidak memiliki pijakan dalam tataran empiris.
v
KATA PENGANTAR
Skripsi yang ada di tangan pembaca, “Epistemologi Immanuel Kant”,
adalah penelitian saya guna mendapat gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud) di Jurusan
Aqidah-Filsafat, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah.
Perkenalan pertama dengan Kant, dimulai saat saya menjadi santri di
MTM Cirebon, tahun 2002. Waktu itu, bagi saya tulisan Kant agak sulit dipahami.
Bahasanya “bertele-tele”, susunan kalimatnya panjang-panjang, padat, rigorous,
dst. Susah memahami filsafat Kant. Yang paling mudah diingat adalah kisah
hidupnya; seorang penyendiri yang pandai bergaul dan berwawasan luas, tapi tak
pernah keluar melebihi jarak 48 km., dari rumahnya. Banyak hal yang membuat
saya penasaran untuk menekuni pemikiran tokoh yang sangat disiplin dalam
kehidupannya ini. Bahkan karena sangat disiplinnya, ia sampai lupa berkeluarga.
Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah Yang Kuddus, akhirnya
penelitian ini bisa selesai dengan mudah, meski tak luput dari berbagai kendala
yang harus saya hadapi. Ucapan terima kasih saya haturkan kepada H. Musthofa
dan Hj. Rofiah, atas kesabaran dan keikhlasannya, mendukung dan mendoakan
saya sehingga bisa menyelesaikan kuliah di UIN. Juga terima kasih kepada Ade
Nurhadi, S.Ag., dan Nurlaela S.Ag., atas segenap dukungannya yang tak ternilai.
Di samping itu, saya merasa berhutang budi kepada banyak pihak yang
telah membantu penyelesaian tugas ini. Saya ingin menyampaikan penghargaan
khusus kepada Dr. Fariz Pari, yang telah mengorbankan waktu untuk memberikan
bimbingan dan bantuan moralnya, serta referensi berharga kepada saya. Terima
kasih saya ucapkan kepada Drs. Agus Darmadji, M.Fils., selaku Ketua Jurusan
vi
AF., atas kebaikannya berkenan meminjamkan referensi yang saya butuhkan. Juga
saya ucapkan terima kasih kepada Drs. Fakhruddin, MA., atas saran-saran, dan
pinjaman bukunya yang sangat berarti bagi saya.
Yang tak kalah pentingnya, ucapan terima kasih saya sampaikan kepada
pengelola Perpustakaan UIN, Perpustakaan Freedom-Institute, Perpustakaan STF.
Driyarkara, atas kemudahan memperoleh sumber bacaan; kepada kawan-kawan
mahasiswi di FK Gigi Unisyah, terima kasih atas dukungan, dan motivasi selama
penelitian, serta informasi seputar kesehatan; kepada mahasiswa dan mahasiswi
UIN Syahida—yang tak mungkin disebutkan namanya satu persatu—terima kasih
atas segala informasi, dan “kritik”—kendati cenderung dekstruktif—kepada saya;
terima kasih kepada kawan-kawan di “Amateur Astronomical Society of Jakarta”,
atas dorongan semangat mempelajari fenomena alam semesta; kepada para aktivis
di PSU (Pos Solidaritas Umat), terima kasih telah melibatkan saya dalam upaya
penyediaan pendidikan agama bagi kaum subaltern di Ciputat; serta terima kasih
saya ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu dengan caranya masingmasing, selama saya berada di Ciputat dan Jakarta. Jazakumullâh ahsan al-jazâ`.
Semoga hasil penelitian ini bisa berkontribusi secara positif dalam
panorama diskursus filsafat di tanah air, khususnya tentang pemikiran Immanuel
Kant. The Last but not least, saya sangat mengapresiasi segala masukan, kritik
dan saran dari para pembaca sekalian atas hasil penelitian ini.
Jakarta, 27 Oktober 2010
Abdul Holik
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERYATAAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . i
PERNYATAAN PERSETUJUAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ii
LEMBAR PENGESAHAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .iii
TABEL TRANSLITERASI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iv
ABSTRAKSI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .v
KATA PENGANTAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . vi
DAFTAR ISI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . viii
BAB I PENDAHULUAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
A. Latar Belakang Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
Perumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8
B. Tujuan dan Manfaat Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .8
a). Tujuan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .8
b). Manfaat Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8
C. Metode Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 9
D. Sistematika Penulisan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .10
BAB II BIOGRAFI INTELEKTUAL IMMANUEL KANT . . . . . . . . . . . . . 12
A. Latar Belakang Sosial . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .12
B. Periodisasi Perkembangan Intelektual dan Karya-Karyanya . . . 22
BAB III EPISTEMOLOGI DALAM KAJIAN FILSAFAT BARAT . . . . . . 32
A. Sejarah Epistemologi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 32
B. Rasionalisme . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 40
C. Empirisme . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 49
BAB IV KONSEP TRANSENDENTALISME. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 59
viii
A. Kritik atas Rasionalisme dan Empirisme . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 59
B. Konsep Ruang dan Waktu . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 65
C. Konsep Dua Belas Kategori sebagai Turunan (Derivation) Dua
Belas Jenis Putusan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .72
C.1. Kuantitas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 88
C.2. Kualitas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 89
C.3. Relasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 90
C.4. Modalitas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 92
D. Deduksi Transendental . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .94
E. Konsep Transendental Akal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 104
F. Tiga Kecenderungan Akal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 115
F.1. Paralogisme . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 116
F.2. Antinomi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .117
F.3. Ideal Akal Murni . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 118
G. Tinjauan Pengetahuan Menurut al-Imâm al-Ghazâlî . . . . . . . . 120
BAB V PENUTUP . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 127
A. Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 127
B. Saran-Saran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .129
DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 131
ix
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada tahun 2009, publik Indonesia sempat digemparkan oleh sosok Ponari,
seorang bocah yang secara tiba-tiba mampu mengobati orang sakit. Kiprahnya
menuai kontroversi, karena metode penyembuhannya hanya bermodalkan sebuah
batu yang ditemukannya di saat hujan. Sejumlah umat Islam bahkan mengutuk
prakteknya, dengan alasan “menggelikan”: menuhankan batu. Kisah ini sempat
membuat resah dunia kedokteran. Pasalnya, Ponari menyalahi metode yang sah
dalam praktek pengobatan. Tapi, meskipun menuai protes dari banyak pihak,
sebagian masyarakat tetap percaya dan yakin pada keampuhan batu Ponari:
sebuah batu bertuah yang dapat menyembuhkan.
Kisah kehebohan dukun cilik dari Jombang di atas merupakan pelajaran
bahwa di saat ilmu pengetahuan dan teknologi sudah semakin maju, sebagian
masyarakat Indonesia masih larut ke dalam mitos-mitos. Penemuan penting di
bidang medis, tidak mampu membebaskan mentalitas bangsa ini dari perkara
klenik. Dalam hal ini, peristiwa di atas tidaklah terlalu mengherankan, karena pada
dasarnya setiap bangsa memiliki semangat filosofis tertentu. Nilai-nilai filosofis
ini mempengaruhi kehidupan suatu masyarakat. Setiap bangsa memiliki semangat
filosofis yang berbeda-beda pada masanya. Bertrand Russel menulis:
“To understand an age or nation, we must understand its philosophy, and
to understand its philosophy we must ourselves be in some degree
philosophers. There is here a reciprocal causation: the circumstances of
men’s lives do much to determine their philosophy, but, it conversely
their philosophy does much to determine their circumstances”.1
1
“Untuk memahami sebuah zaman atau bangsa, kita harus memahami filsafatnya, dan
untuk memahami filsafatnya, kita harus berada pada batas-batas tertentu menjadi filsuf. Di sini ada
sebuah hubungan kausal timbal balik: lingkungan kehidupan manusia banyak menentukan
2
Paparan Russel bahwa kehidupan sebuah zaman dipengaruhi oleh suatu
sistem filsafat, agaknya cukup beralasan. Zaman yang berubah menciptakan fase
baru dalam kehidupan. Perubahan itu hanya bisa terjadi di suatu masyarakat yang
mampu menerima kemajuan, sehingga ilmu pengetahuan bisa berkembang dan
menghasilkan banyak kemudahan. Jika ditelusuri ke belakang, gerakan revolusi
saintifik yang memuncak di Eropa abad ke-17,2 dan diikuti terjadinya pencerahan
(Aufklärung) abad ke-18, merupakan imbas dari ketekunan dan kerja keras orangorang Eropa pada beberapa abad sebelumnya. Sejak masa Renaissance abad ke-14
di Italia, telah dimulai kegiatan yang cukup serius dalam mengkaji kemegahan
warisan peradaban Yunani kuno.3 Dari hasil pembacaan serius dan kritis atas
tradisi klasik, para ahli mampu menghasilkan suatu kemajuan yang cukup
signifikan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan ini dapat
diperoleh lewat peran para sarjana, kalangan terdidik dan peran para pemikir pada
umumnya.
Immanuel Kant adalah salah satu pemikir yang muncul di abad ke-18 dan
memiliki kiprah dalam kemajuan zamannya, terutama lewat karya-karya yang
dihasilkannya. Salah satu karyanya, Kritik der Reinen Vernunft—sebuah paparan
argumentatif tentang epistemologi—menjadi sebuah mahakarya brilian pada
masanya. Kendati telah lama dibicarakan, upaya merumuskan kembali
pemikirannya tetap menjadi isu yang cukup menarik. Hal ini tidak berlebihan,
filsafatnya, tetapi sebaliknya filsafat mereka juga dapat menentukan lingkungan kehidupannya”.
Bertrand Russel, History of Western Philosophy and Its Connection with Political and Social
Circumstances from the Earliest Times to the Present Day (London: George Allen and Unwin
Ltd., 1961), h. 14
2
Robin Briggs, The Scientific Revolution of the Seventeenth Century (San Francisco:
Harper & Row Publishers, Inc., 1973), h. 3
3
F. Budi Hardiman, Filsafat Barat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta:
Gramedia, 2007), h. 9
3
karena Kant telah mempengaruhi, sekaligus menginspirasi banyak tokoh yang
muncul setelahnya. Bahkan Kant dianggap sebagai filsuf yang paling berpengaruh
dalam lima ratus tahun terakhir.4 Sampai saat ini, pemikiran Kant tetap menjadi
isu perdebatan yang tak kunjung habis dibahas. Apa yang dilakukan Kant adalah
menghadirkan suatu formula baru dalam perumusan sistem filsafat. Filsafat Kant
menjadi tonggak sejarah pencerahan Eropa, dan pembahasan epistemologinya
menjadi salah satu tema yang banyak diminati hingga sekarang.
Meskipun masalah epistemologi sudah lama dibicarakan sejak zaman
kuno, tetapi perumusannya masih dibutuhkan hingga saat ini. Pasalnya,
perumusan masalah epistemologi menjadi acuan kerangka berpikir dalam
pengkajian ilmu pengetahuan. Kedinamisan ilmu pengetahuan merupakan
pengaruh yang dibentuk dalam suatu struktur nalar tertentu. Struktur nalar
dimaksudkan sebagai cara kerja akal dalam bingkai suatu kerangka berpikir, yang
berkembang
dalam
suatu
masyarakat.5
Tidak
dapat
dipungkiri bahwa
perkembangan ilmu pengetahuan berhubungan sangat erat dengan alam pikiran
manusia, dalam sebuah komunitas masyarakat di zaman tertentu. Dalam suasana
kehidupan yang menganut kebebasan misalnya, kemajuan ilmu pengetahuan dapat
tercapai dengan mudah. Tapi sebaliknya, dalam masyarakat yang terkungkung
oleh misalnya tradisi, agama, atau kelompok, kemajuan ilmu pengetahuan akan
sedikit terhambat.6 Pengkajian epistemologi kiranya akan tetap memiliki dampak
4
Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx: dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan
Revisionisme (Jakarta: Gramedia, 2005), h. 4
5
Di abad ke-20, Michel Foucault menyebut struktur berpikir yang berada dalam suatu
masa dan lingkungan tertentu sebagai epistemé. Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of
Philosophy (London: Penguin Books Ltd., 2000), h. 174
6
Kita bisa merasakan misalnya, perbedaan yang amat jelas antara masa kegelapan dengan
peralihan menuju zaman modern. Pada abad kegelapan orang-orang cenderung mengikat diri
mereka dan berpikir menurut selera kelompok, ras, agama. Pada masa ini pula kegiatan intelektual
seolah mati, karena segala sesuatu harus disesuaikan dengan tuntutan gereja. Tapi hal itu sangat
4
siginifikan, terutama dalam arus kemajuan ilmu pengetahuan hingga dewasa ini.
Karena dengan pengkajian kembali epistemologi, kita akan menemukan beragam
corak pemikiran yang dihasilkan umat manusia sebagai ekspresi kehidupan
zamannya. Sistem epistemologi Kant sampai saat ini hadir sebagai salah satu
kemajuan dalam wacana filsafat, tanpa memungkiri kritik-kritik yang dialamatkan
pada beberapa kelemahannya. Berkat usahanyalah, sejumlah terobosan baru mulai
bermunculan.
Jika dipetakan, proyek filosofis Kant akan berpusat pada tiga persoalan
mendasar: 1) Menjelaskan batas-batas pengetahuan manusia; 2) Memberikan
ketentuan asas-asas moralitas; 3) Memberi kejelasan tentang batas-batas penilaian
estetis. Bagian pertama dijabarkan Kant dalam buku, Kritik der Reinen Vernunft
(terjemahan Inggris: Critique of Pure Reason). Bagian kedua dijelaskan dalam
karya, Kritik der Praktischen Vernunft (terjemahan Inggris: Critique of Practical
Reason). Bagian ketiga dijelaskan dalam karya, Kritik der Urteilkraft (terjemahan
Inggris: Critique of Judgment). Lewat ketiga karya tersebut, Kant bertujuan untuk
menguji kesahihan pengetahuan manusia. Pengujian kesahihan dilakukan dengan
mengupayakan pencarian struktur-struktur a priori dalam diri subjek.
Kant dikenal sebagai orang yang mampu membalik sudut pandang dalam
tradisi pemikiran. Hal-hal yang dulu selalu diterima begitu saja, ternyata
dijungkirbalikkan oleh Kant. Sistem epistemologi Kant berusaha merumuskan
masalah, yang lebih menitikberatkan pada kondisi subjek. Subjek yang dimaksud
adalah manusia sebagai individu yang sadar diri dalam kehidupannya di dunia saat
ini. Kant mempertanyakan peran dan fungsi a priori dalam diri subjek, terkait
berbeda ketika memasuki zaman renaissance berikut masa-masa setelahnya. F. Budi Hardiman,
Filsafat Barat Modern, h. 3-13
5
proses terciptanya pengetahuan. Alih-alih mempersoalkan isi pengetahuan, Kant
terlebih dahulu memeriksa fungsi dan mekanisme dalam diri subjek agar dapat
terciptanya pengetahuan. Dengan kata lain, validitas pengetahuan menjadi
permasalahan kemampuan manusia dalam mengolah informasi yang diterimanya.
Pencarian asas-asas a priori ini merupakan sesuatu yang baru dalam tradisi filsafat
Barat.
Sebelum Kant, para filsuf cenderung tidak mempersoalkan permasalahan
peranan subjek. Mereka menerima kemampuan subjek apa adanya. Mereka tidak
memeriksa terkait peranan subjek ini. Ini dilema bagi Kant. Pada suatu titik
tertentu, para filsuf menegaskan nilai-nilai keobjektifan. Namun, mereka tidak
menjelaskan bagaimana kinerja struktur dalam diri tiap-tiap individu bisa
menghasilkan pengetahuan objektif. Secara keseluruhan, Kant menelusuri jejakjejak subjektifitas ini untuk ditempatkan pada kedudukan yang sepantasnya. Di
samping tentunya, klaim universalitas masih layak untuk dipertahankan. Jika dulu
para filsuf menggeluti masalah tentang isi pengetahuan, maka proyek filosofis
Kant lebih dicurahkan untuk menguji seberapa jauh data dalam pikiran manusia
itu mungkin disebut sebagai pengetahuan. Pengujian-pengujian ini dilakukan Kant
dengan suatu perangkat yang berasal dari dalam diri manusia.
Dengan acuan pada kemampuan subjek, Kant menerima suatu kepastian
adanya dua hal a priori: ruang dan waktu. Dua hal ini menggiring pada
pemahaman bahwa data maupun informasi dari luar, yang diterima kemampuan
manusia, pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari unsur subjektifitas tiap-tiap
individu. Kant pada beberapa hal setuju dengan pandangan kaum empiris bahwa
pengetahuan diperoleh dari luar diri manusia, lewat kemampuan inderanya.
6
Manusia bisa mempelajari sesuatu dari pengalamannya, yang tentunya melibatkan
kemampuan indera. Tapi, dia berbeda dari beberapa pemikir sebelumnya yang
meyakini keotentikan dan objektifitas data maupun informasi yang menjadi objek
pemikiran. Kant justru menganggap bahwa itu semua tidaklah netral. Kedua
fungsi a priori dalam diri subjek mengatur mekanisme penerimaan informasi dari
luar. Oleh karena itu, beragam informasi yang diterima akan ditentukan batasbatasnya menurut kedua fungsi tersebut. Data yang diperoleh indera adalah
sesuatu yang sudah terpengaruhi oleh unsur subjek, sehingga bukan penampakan
utuh. Dengan begitu, benda-benda dalam dirinya sendiri, menurut Kant berada di
luar jangkauan manusia. Wilayah ini masih bersifat rahasia, dan tidak dapat
diketahui siapapun.
Data yang sudah diperoleh indera lewat intuisi, akan disampaikan kepada
fungsi a priori lain dalam diri subjek, yakni kemampuan untuk membentuk
beragam putusan. Putusan ini berupaya menentukan variabel-variabel tertentu,
serta menggolongkan data dalam beragam bentuk kategori dalam diri subjek.
Dengan adanya kemampuan untuk membuat putusan, informasi yang diperoleh
subjek dari kemampuan indera akan diteruskan ke dalam kategori yang menurut
Kant berjumlah dua belas. Konsep dua belas kategori ini merupakan fungsi a
priori, yang bekerja dalam tataran skema yang lebih luas dan rasional.
Selanjutnya, data yang sudah melewati tahap pengolongan kategori,
kemudian diangkat dan dilekatkan pada struktur lain. Struktur yang dimaksud
adalah fungsi a priori yang terakhir dalam diri subjek. Fungsi ini adalah
kemampuan intelek dalam menghasilkan proposisi-proposisi yang menyusun
sebuah kesimpulan. Peran intelek ini berbeda dari fungsi-fungsi a priori lainnya,
7
yang masih berkutat dengan data maupun informasi yang diperoleh dari
kemampuan indera. Peran intelek sama sekali lepas dari unsur-unsur a posteriori
dan benar-benar a priori, karena fungsinya sekedar bersifat regulatif: mengatur
proposisi-proposisi untuk menghasilkan argumentasi. Fungsi ini hanya akan
menentukan batas-batas validitas tentang penyusunan kesimpulan. Inilah mengapa
sistem Kant disebut transendental, karena dia melakukan penelitian atas kaidah
murni a priori dalam diri subjek, sebagai batas penetapan validitas pengetahuan.7
Secara garis besar, peneguhan struktur subjek merupakan hal yang tidak terdapat
pada pandangan kaum empiris, dan dalam detailnya begitu berbeda dari kalangan
rasionalis.
Kant menyetujui gagasan bahwa kemampuan indera dapat menambah
pengetahuan. Akan tetapi, data yang didapatkan oleh indera akan bisa menjadi
pengetahuan setelah melewati semacam pengujian dari dalam diri subjek. Kant
sendiri tidak mengakui semua pengetahuan berasal dari indera. Ada pengetahuan
tertentu yang berasal dari kemampuan a priori subjek an sich. Secara keseluruhan
dalam sistem
filsafatnya,
Kant
mengupayakan sintesis
atas dua arus
kecenderungan pemikiran yang berkembang pada masanya. Dua kecenderungan
pemikiran yang dimaksud adalah rasionalisme dan empirisme. Kant berusaha
menyajikan sisi kelebihan dari tiap aliran dan membuktikan klaim validitas
keunggulan keduanya. Namun, dengan tanpa malu-malu Kant juga menunjukkan
pelbagai kelemahan akut yang menyelimuti bentuk penalaran kedua sistem
tersebut.
7
F. Budi Hardiman, Filsafat Barat Modern, h, 132
8
Dengan demikian, skripsi ini bertujuan untuk mengulas pemikiran
Immanuel Kant dalam masalah epistemologi. Sebagai pemikir garda depan dalam
bidang filsafat, khususnya di masa pencerahan, Kant sangat layak untuk kembali
dibicarakan. Kiprah Kant cukup penting, mengingat dampak pemikirannya yang
masih dapat dirasakan sampai saat ini.
B. Perumusan Masalah
Dengan paparan di atas, maka pokok masalah yang akan digali dalam
penelitian ini adalah tentang persoalan paradigma pemikiran filosofis, yakni
sistem epistemologi Immanuel Kant.
Dengan demikian, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut: Bagaimana Konsep Epistemologi Immanuel Kant?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
a) Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pemahaman atas sistem
epistemologi Immanuel Kant, yang cukup berpengaruh dalam diskursus filsafat.
Dengan penelitian ini diharapkan akan didapat kejelasan pemikiran Immanuel
Kant, yang mampu menyintesakan dua arus kecenderungan epistemologi dalam
sejarah filsafat Barat.
b) Manfaat Penelitian
Dengan penelitian ini, akan didapat suatu gambaran umum bagaimana
sebenarnya struktur nalar yang berkembang pada masa pencerahan, khususnya
dengan melihat pemikiran Immanuel Kant.
9
D. Metode Penelitian
Penelitian
ini
bersifat
kepustakaan
(library
research)
dengan
menggunakan metode deskriptif dan analisis-kritis. karya filosofis Immanuel Kant
dalam epistemologi—Critique of Pure Reason—menjadi referensi utama, disertai
tulisan para komentator dan karya para filsuf sebelum Kant yang berbicara tentang
epistemologi. Refensi tersebut digunakan untuk menemukan suatu gambaran
umum tentang diskursus epistemologi dalam tradisi filsafat Barat.
Metode deskriptif digunakan untuk menjelaskan kerangka acuan
pemikiran Kant, dengan pemaparan ide dan gagasannya sesuai dengan tulisannya
secara verbatim atau literer. Langkah ini digunakan untuk mengetahui sejauh
mana landasan awal, kerangka pikir Kant terkait sistem epistemologinya. Selain
itu, metode ini akan dengan mudah menemukan gambaran setting sosial dan
masyarakat tempat di mana Kant hidup, mengingat suatu pemikiran tidak bisa
lepas begitu saja dari kontek historis masyarakatnya.
Metode analisis-kritis digunakan untuk menempatkan posisi Kant dalam
khazanah pemikiran Barat. Berkat pengaruhnya yang cukup besar, Kant justru
menjadi sasaran kritik tiada habisnya. Tapi, di sisi lain dia pun dikagumi dan
dikutip pendapatnya oleh para pemikir sepanjang masa. Dengan metode ini,
diharapkan dapat seobjektif mungkin menempatkan Immanuel Kant secara
proporsional, yang telah memberikan kontribusi berharga dalam diskursus filsafat
pada umumnya.
Teknik penulisan dalam penelitian ini mengikuti standar yang ditetapkan
dalam buku, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi),
yang diterbitkan CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
10
E. Sistematika Penulisan
Mengacu pada metode penelitian di atas, pembahasan dalam penelitian ini
disistematisasi sebagai berikut. Pembahasan bab satu diawali dengan menguraikan
latar belakang seputar studi ini. Dijelaskan pula beberapa hal terkait perubahan
zaman yang dipengaruhi oleh gerak pemikiran filsafat. Namun, begitu pula filsafat
dipengaruhi oleh kondisi zamannya. Kemudian dilanjutkan dengan merumuskan
masalah berkenaan dengan epistemologi Kant, menguraikan metode dilakukannya
pengkajian dan memaparkan tujuan dilakukannya pengkajian ini.
Bab dua menjelaskan latar belakang intelektual Immanuel Kant. Hal ini
menyangkut kondisi masyarakat di mana Kant hidup, periodisasi pemikirannya,
serta perkembangan dan karya-karyanya yang mempengaruhi banyak tokoh
hingga saat ini.
Bab tiga menjelaskan sejarah Epistemologi, yang tentunya tidak terlepas
dari konteks filsafat Barat sejak masa Yunani kuno, kemudian langsung
menjelaskan periode di masa modern di mana Kant hidup. Selanjutnya dipaparkan
pula penjelasan tentang aliran rasionalisme dan empirisme yang berpengaruh pada
suatu masa tertentu.
Bab empat menjelaskan sistem epistemologi Immanuel Kant. Dimulai dari
kritik yang dilancarkannya atas sistem-sistem yang ada, dalam upaya mengatasi
rasionalisme maupun empirisme. Kemudian penjelasan akan diteruskan dengan
paparan istilah-istilah teknis yang dibangun Kant. Di sini Kant memiliki rumusan
khas prinsip-prinsip a priori semisal konsep ruang dan waktu sebagai tahap
inderawi (Sinnlichkeit), hadirnya
pengetahuan. Lalu
dilanjutkan dengan
11
pembahasan tahap a priori lainnya, yakni tahap pemahaman (Verstand), dalam
bentuk analitik transendental. Dalam tahap ini, Kant mengajukan konsep dua
belas putusan, dua belas bentuk kategori, dan deduksi transendental. Kemudian
pembahasan dilanjutkan mengenai tahap terakhir, yakni tahap akal budi
(Vernunft), sebagai bentuk dialektika transendental. Tidak lupa juga diajukan
paparan Kant, tentang sikapnya dalam menghadapi kesalahan berpikir yang ia
rumuskan menjadi tiga: paralogisme, antinomi, dan ideal akal murni. Keseluruhan
gagasan ini (secara radikal) tidak lebih dari upaya mempermasalahkan batas-batas
validitas data, untuk bisa menjadi pengetahuan. Setelah itu, sebuah perbandingan
kritis tentang hakekat pengetahuan dalam Islam—yang diwakili oleh al-Imâm alGhazâlî—dihadirkan sebagai penutup bab. Pembandingan antara al-Ghazâlî dan
Kant dinilai penting, karena kedua tokoh ini memiliki kiprah yang cukup
signifikan dalam sejarah dua peradaban yang berbeda: Islam dan Barat. Meskipun
antara keduanya lebih banyak perbedaan, namun posisi mereka dalam hal kritik
terhadap sistem-sistem epistemologi sama-sama penting. Dengan menelisik
pandangan mereka terkait pengetahuan, akan didapat suatu struktur perbandingan
alam pikiran keduanya yang mempengaruhi zamannya.
Bab lima diisi dengan penutup, sekaligus saran-saran bagi penelitian
selanjutnya terhadap pemikiran Kant. Dalam penelitian ini memang diakui,
pemikiran Kant sebagai sumber wacana filsafat, belum seutuhnya dapat dibahas
oleh penulis. Dengan begitu, pengkajian dan pembahasannya masih perlu
dilakukan.
12
BAB II
BIOGRAFI INTELEKTUAL IMMANUEL KANT
A. Latar Belakang Sosial
Satu abad setelah terjadinya revolusi saintifik di abad ke-17, berupa
ditemukannya penemuan-penemuan penting dalam ilmu dan teknologi, muncul
suatu gelombang baru dalam babak sejarah Eropa, yakni periode pencerahan.8
Fase ini merupakan arus yang berpengaruh cukup signifikan dalam gerak sejarah
Eropa pada masa-masa berikutnya. Immanuel Kant merupakan figur yang cukup
diperhitungkan pada masa ini. Dalam majalah Berlinische Monatsschrift, terbit
Desember 1784, Kant sempat menuliskan maksud pencerahan yang terjadi di
masanya sebagai berikut:
“Enlightenment is man’s emergence from his self-imposed immaturity.
Immaturity is the inability to use one’s understanding without guidance
from another. This immaturity is self-imposed when its cause lies not in
lack of understanding, but in lack of resolve and courage to use it without
guidance from another. Sapere Aude! “have courage to use your own
understanding!”—that is the motto of enlightenment. ”9
Pencerahan telah menjadi gejala sosial yang melanda masyarakat Eropa
waktu itu. Mereka tersadar untuk mengejar kebahagiaan hidup, dengan keberanian
bertindak menurut pertimbangan rasionya sendiri. Sapere Aude! adalah slogan
bagi pencerahan. Pengejaran kepentingan diri sudah menjadi maklum bagi semua
8
Kata “pencerahan” dalam bahasa Jerman Aufklärung, Les Lumieres (bahasa Prancis),
Enlightenment (bahasa Inggris), Ilustracion (bahasa Spanyol), Iluminismo (bahasa Itali),
Enlightenment (bahasa Inggris). F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai
Nietzsche (Jakarta: Gramedia, 2007), h. 94
9
“Pencerahan adalah keluarnya manusia dari ketidakdewasaan akibat kesalahannya
sendiri. Ketidakdewasaan adalah ketidakmampuan untuk menggunakan pemahamannya sendiri
tanpa petunjuk dari pihak lain. Ketidakdewasaan ini adalah kesalahannya sendiri, ketika sebabnya
bukan karena kurangnya pemahaman, melainkan karena kurangnya ketetapan hati dan keberanian
untuk menggunakan akal tanpa petunjuk dari pihak lain. Sapere Aude! “beranilah menggunakan
pemahamanmu sendiri!”—adalah motto bagi pencerahan.” Immanuel Kant, Perpetual Peace and
Other Essays on Politics, History, and Morals, trans., Ted Humphrey (Indiana Polis: Hackett
Publishing Company Inc., 1983), h. 41
13
orang, demi terwujudnya kebahagiaan. Kebahagiaan dapat diperoleh di dunia,
tanpa perlu mempertimbangkan kehidupan setelah kematian, maupun ketakutan
terhadap takhayul dan klaim keselamatan agama. Pandangan demikian
mempertajam gagasan yang pernah dilontarkan di masa Renaissance, sekaligus
mempertegas penolakan terhadap segala tatanan sosial abad pertengahan. Semakin
lama, tanggungjawab pribadi dalam menggunakan rasio memainkan peranan
cukup penting dalam kehidupan. Kesadaran ini menjadi arah baru yang
menentukan sikap dan mentalitas zaman itu. Pada awalnya, gerakan pencerahan
tidak berkembang begitu massif di beberapa wilayah. Gerakan pencerahan mulai
lebih dahulu di Inggris dan Prancis. Kedua negara ini memainkan peranan
penting, dibandingkan negara-negara lain, seperti Jerman. Hal itu tidaklah
mengherankan, terutama berkat dukungan yang begitu intens dari pemerintah di
dua negara tersebut dalam menggalakkan pengembangan ilmu pengetahuan.
Sejak abad ke-17, di Prancis kalangan terpelajar mendapat hak istimewa
lewat dukungan pemerintah, dengan didirikannya Académie des Sciences: sebuah
komunitas yang memiliki perhatian pada upaya pengembangan ilmu pengetahuan.
Jumlah peserta dalam forum ini terbatas sebanyak 16 orang. Lembaga ini
menerbitkan jurnal Journal des Sçavans, sebagai media mempublikasikan
penelitiannya. Keadaan yang hampir sama juga terjadi di Inggris. Dengan
dukungan para bangsawan, didirikanlah Royal Society: sebuah komunitas yang
aktif dalam pengembangan sains. Lembaga ini memiliki anggota yang tak
terbatas,10 sehingga sedikit berbeda dengan lembaga di Prancis. Memang tidak
bisa dipungkiri bahwa tidak semua penguasa, raja dan pangeran di Eropa pada
10
Robin Briggs, The Scientific Revolution Revolution of the Seventeenth Century (San
Francisco: Harper & Row Publishers, Inc., 1973), h. 67
14
saat itu memiliki perhatian sama terhadap pengembangan ilmu pengetahuan.
Kedua wilayah tersebut hanya mewakili arus utama kemajuan ilmu yang
berlangsung pada abad ke-17, dan berpengaruh terciptanya fase pencerahan pada
abad ke-18. Berdasarkan letak geografisnya, terdapat sejumlah kecenderungan
tertentu dan sedikit berbeda, yang menandai terjadinya pencerahan di beberapa
wilayah.
Pencerahan yang terjadi di Inggris ditandai dengan menyebarnya faham
Deisme.11 Istilah ini mengacu pada suatu pandangan bahwa alam semesta berjalan
dengan sendirinya, sesuai dengan kaidah hukum mekanis yang bisa diselidiki
secara ketat dan objektif. Kedudukan Tuhan sebagai pencipta, tidak memiliki
andil apapun dalam segala hal yang terjadi di alam semesta. Dunia terlepas dari
campur tangan Tuhan setelah diciptakan. Pandangan deisme sama sekali tidak
menghilangkan Tuhan, hanya pemahaman mereka tentang Tuhan diupayakan
lebih rasional. Pemahaman ini merupakan imbas dari penemuan besar filsafat
alam Newton tentang hukum-hukum fisika, serta terobosan baru filsafat empiris
John Locke. Namun, beberapa tokoh pencerahan kemudian, melangkah lebih jauh
dengan mengritik lembaga gereja, karena sikap agamawan tidak sejalan dengan
penemuan-penemuan ilmiah.
Gereja yang berfungsi sebagai sebuah pranata sosial, dalam pandangan
pemikir pencerahan sama sekali tidak memberikan andil pada kebahagiaan
manusia. Justru gereja yang selama ini melegitimasi kesengsaraan, karena tidak
memberi kebebasan mempergunakan akal. Manusia akhirnya harus tunduk di
bawah naungan iman dan otoritas keagamaan. Padahal manusia sebenarnya
11
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, h. 99
15
memiliki kemampuan untuk bertindak bebas, termasuk menjelajahi alam. Alam
beserta isinya, termasuk manusia, memiliki suatu kaidah hukum mekanis yang
dapat diselidiki dan dipelajari. Prasangka akan kemisterian alam yang
menakutkan, dipenuhi mitos-mitos dan takhayul, sebenarnya dapat disingkirkan.
Alam beserta dengan segala yang dikandungnya, dapat ditaklukkan dengan
seperangkat kaidah ilmiah. Gagasan kaum deisme, pada perkembangan
selanjutnya tidak saja mengkritik gereja, tetapi kekristenan itu sendiri. Agama
Kristen dipandang sebagai sumber malapetaka. Hal ini merupakan titik balik
pemberontakan atas hegemoni kaum agamawan di era sebelumnya, yakni abad
pertengahan. Para sarjana kemudian mulai meninggalkan adat-istiadat lama yang
sering disuarakan kaum agamawan. Puncak titik balik ini bisa diartikan sebagai
ucapan selamat tinggal pada agama, serta segala hal yang berhubungan
dengannya. Otoritas iman agama diganti dengan pertimbangan rasional.
Selain penentangan terhadap agama, pencerahan di Inggris juga ditandai
dengan munculnya semangat individualisme. Dalam kehidupan bermasyarakat,
jelas kelihatan adanya perubahan-perubahan ruang lingkup hubungan sosial. Hal
ini bisa dilihat, misalnya pada pembagian pekerjaan berdasarkan pertimbangan
rasional,
pengakuan
kepemilikan
pribadi,
kedaulatan
hukum,
keadilan,
kesejahteraan dan sebagainya. Gagasan kemandirian individualisme dalam bidang
ekonomi menyebar dan berpengaruh cukup signifikan.12 Upaya pengejaran
kepentingan pribadi dan meninggalkan semangat kolektif, ras, golongan, dan
12
Adam Smith (1723-1790) memiliki diktum ekonomi yang sampai saat ini masih sering
dikutip, “invisible hand”: tangan yang tidak kelihatan. Maksudnya bahwa setiap manusia
dikendalikan oleh dorongan nafsu egoistis, yang berusaha mengejar kepentingannya sendiri. Tapi,
pemenuhan kepentingan pribadi itu turut serta memainkan peranan pemenuhan kesejahteraan
umum. Elmer Sprague, “Adam Smith,” in Paul Edwards, ed., The Encyclopedia of Philosophy,
Vol. 7 (New York: Macmillan Publishing Co., Inc., and The Free Press, 1972), h. 463
16
agama, sebenarnya sudah muncul di masa Renaissance. Akan tetapi peneguhan
yang lebih tegas, baru kelihatan di masa pencerahan. Sikap individualisme ini
menjadi gejala umum di kalangan masyarakat saat itu.
Apa yang terjadi di Inggris, nampaknya terjadi pula di Prancis. Dalam
beberapa hal, pencerahan di Prancis nampaknya sedikit berbeda dan lebih ekstrem
daripada di Inggris. Gagasan para pemikir pencerahan Prancis dipengaruhi oleh
pandangan filsafat empiris Inggris, John Locke, dan hukum fisika Isaac Newton. 13
Sepakat dengan gagasan kedua tokoh tersebut, para pemikir Prancis lebih yakin
menggunakan metode dalam pengembangan ilmu pengetahuan lewat observasi
atas fenomena alam. Fakta-fakta yang berserakan menjadi sumber berharga untuk
merumuskan kaidah-kaidah ilmiah. Hukum fisika Newton menjadi landasan
utama bagi pandangan materialisme dan penolakan terhadap segala pemikiran
metafisika atas alam dan manusia. Kejadian-kejadian alamiah, yang diyakini
memuat seperangkat hukum kausalitas, dijadikan objek pengamatan dan
penelitian. Dengan begitu, penalaran spekulatif-deduktif lewat ide-ide bawaan
sama
sekali
ditinggalkan.
Sikap
demikian
tentunya
tidak
bermaksud
meminggirkan metode deduktif-matematis, dan hanya mengupayakan analisis
pelbagai peristiwa. Dengan penelitian yang ketat atas pelbagai fakta-fakta
partikular, selanjutnya akan dilakukan sintesis, guna didapat suatu kaidah umum
berupa hukum atas fenomena alamiah. Sintesis yang diperoleh lewat observasi
tersebut, kemudian dijadikan ketetapan standar sebagai kebenaran universal. Ideide pencerahan, pada gilirannya telah turut membantu menyiapkan pondasi
terjadinya gerakan positivisme di Prancis satu abad kemudian.
13
Frederick Copleston, A History of Philosophy, vol. 6, Wolff to Kant (Wellwood: Burn
& Oates, 1999), h. 3
17
Selain itu, para pemikir pencerahan Prancis kelihatan lebih berpikiran
dekstruktif daripada konstruktif terkait masalah agama. Mereka sama sekali tidak
mencoba menawarkan pandangan baru yang lebih rasional tentang permasalahan
ini. Sejak semula, para pemikir pencerahan Prancis berupaya menolak agama dan
segala “bualan” metafisika tradisional.14 Gereja menurut mereka tidak lebih
merupakan perwujudan penindasan atas nilai-nilai kemanusiaan, dan musuh bagi
kebebasan berpikir. Segala bentuk agama, baik Kristen, Yahudi, maupun agamaagama lainnya, merupakan produk dari kebodohan, ketakutan, dan sangat tidak
sesuai dengan semangat kemajuan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, sudah
selayaknya jika agama ditinggalkan, karena tidak membawa manfaat sama sekali.
Puncak kebencian terhadap agama dapat disaksikan, misalnya peristiwa pelucutan
gereja Notre Dame dari simbol-simbol keagamaan pada waktu terjadinya revolusi.
Di samping itu, para pemikir pencerahan Prancis kerap menujukkan sikap
bermusuhan terhadap sistem-sistem politik. Dalam tulisan-tulisannya, mereka
menyerang habis-habisan bentuk penindasan atas nama negara. Bahkan raja Louis
XVI, pemimpin negeri mereka sendiri, tak urung menjadi sasaran kritik.
Pemerintahan Louis XVI di Prancis, menurut mereka adalah rezim otoriter yang
kurang berpihak kepada rakyat. Kendati tidak semua tokoh sepakat tentang bentuk
sistem politik ideal, tapi kritik-kritik mereka jelas menampakkan sikap
bermusuhan dengan pemerintah Prancis. Gerakan pencerahan menunjukkan sikap
ofensif terhadap segala bentuk tirani, dan menemukan momentumnya yang riil
14
Tokoh yang dikenal menjadi pelopor terjadinya pencerahan di Prancis adalah Pierre
Bayle (1647-1706). Dia memiliki sebuah karya yang cukup terkenal, Dictionaire Historique et
Critique, yang berisi berbagai rumusan ilmu pengetahuan pada masanya, serta penyerangan yang
luar biasa terhadap agama. Dia juga berpendapat bahwa keyakinan terhadap Tuhan berada di luar
batas akal, dan bahwa persoalan etika sudah selayaknya dipisahkan dari masalah agama dan sistem
metafisika tradisional. Frederick Copleston, A History of Philosophy, h. 7-8
18
dalam terjadinya revolusi Prancis di tahun 1789.15 Revolusi Prancis yang
mengusung slogan liberté, égalité, dan fraternité, merupakan sebuah perjuangan
berdarah oleh rakyat dalam melawan ketidakadilan yang mereka alami. Karena
sikapnya yang kritis terhadap negaranya sendiri, beberapa tokoh pencerahan
mencari suaka di luar Prancis, misalnya ke Jerman.
Gelombang pencerahan di Jerman tidak seperti yang terjadi di Prancis atau
di Inggris. Di Jerman pencerahan berjalan lebih tenang dan damai. Pencerahan di
Jerman ditandai dengan minat yang besar terhadap studi kemanusiaan dan
kebudayaan. Banyak sastrawan besar yang bermunculan pada zaman ini, misalnya
J.W. von Goethe, Johann Gottfried von Herder, dan Gotthold Ephraim Lessing.
Begitu juga muncul tokoh pembaru estetika, Alexander Gottlieb Baumgarten. Di
kawasan ini tidak ditemukan adanya peristiwa-peristiwa dramatis, misalnya
penyerangan terhadap agama. Fenomena keagamaan di Prussia, tidak mendapat
serangan begitu tajam dari para filsuf. Kendati demikian, mereka tetap menjaga
jarak dari unsur-unsur relijius mainstream yang dikenal kaku dan membelenggu
kebebasan akal. Selain itu, para pemikir pencerahan Jerman pada umumnya
adalah guru besar di universitas. Hal ini merupakan kondisi yang sangat berbeda
dengan status tokoh-tokoh pencerahan Inggris maupun Prancis.
Keadaan di Jerman pada masa pencerahan, dapat dilihat dari kebijakan
politik pada masa itu. Paruh pertama abad ke-18, di kawasan Jerman penyebaran
kaum Puritan—sebuah gerakan keagamaan yang berasal dari gereja Kristen
Protestan Jerman—menuai kesuksesan. Kesuksesan itu berkaitan dengan
reformasi pemerintahan yang diterapkan Friedrich William I (1688-1740). Ia
15
Para filsuf Prancis sebenarnya tidak menghendaki terjadinya revolusi berdarah. Mereka
hanya menghendaki penyebaran pengetahuan, agar terjadi reformasi sosial yang dapat merubah
kondisi menjadi lebih baik. Frederick Copleston, A History of Philosophy, h. 58
19
meningkatkan kekuatan angkatan perang, kinerja birokrasi pemerintahan,
perbaikan perekonomian dan pendidikan bagi masyarakat miskin. Reformasi yang
dilakukannya banyak bermanfaat bagi kaum puritan, yang kebanyakan tergolong
kelas bawah. Keluarga Immanuel Kant termasuk dalam kelompok ini.
Kaum Puritan adalah sekelompok umat Kristen yang percaya pada
independensi pembacaan Bible, dengan penekanan pada penghayatan pribadi.
Kebanyakan dari mereka bukan termasuk kelas menengah ke atas. Puritanisme
adalah gerakan evangelis. Kelompok ini lebih menekankan peranan hati daripada
rasio, cenderung kepada nuansa mistik daripada intelektual dalam menjalani
kehidupan beragama. Sumber penting ajaran mereka dapat dilacak dalam karya
Philipp Jakob Spener, Pia Desideria (1675).16
Pada masa pemerintahan Friedrich William I, August Hermann Francke
(1663-1727)—seorang tokoh puritan Jerman—mendirikan sejumlah sekolah dan
tempat tinggal untuk para yatim piatu. Francke memiliki proyek pendidikan yang
awalnya hanya berkisar di kota Halle, tapi kemudian menyebar ke wilayah lain.
Raja mendukung apa yang dilakukan Francke. Di Königsberg, kota kelahiran
Immanuel Kant, tokoh Puritan yang cukup populer adalah Theodor Gehr dan
Johann Heinrich Lysius. Gehr mendirikan Collegium Pietatis di Königsberg, dan
belakangan menjadi sekolah untuk kaum miskin. Beberapa tahun kemudian,
sekolah itu mendapat perlindungan raja dan diresmikan menjadi Collegium
Friedericianum di tahun 1703.17 Pada usia delapan sampai enam belas tahun,
antara tahun 1732 sampai 1740, Kant melanjutkan sekolahnya di situ.
Kecondongan raja kepada kaum Puritan sebenarnya tidak lebih dari sekedar
16
Manfred Kuehn, Kant: A Biography (Cambridge: Cambridge University Press, 2002),
17
Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 36
h. 35
20
tujuan politik, agar membantunya mendorong terjadinya reformasi. Raja berupaya
membentuk pemerintahan yang absolut: sebuah sistem sentralistik di Berlin.18
Untuk memuluskan usahanya, raja memangkas kekuatan bangsawan
pemilik tanah. Ia memudahkan akses pendidikan bagi anak-anak miskin, yang
mengakibatkan mereka lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah. Dengan
begitu, tenaga kerja yang diperlukan untuk menggarap tanah para bangsawan
semakin berkurang. Pada akhirnya, keuntungan kalangan feodal pun menurun.
Situasi ini sangat tidak menguntungkan para tuan tanah, yang kebetulan lebih
dekat dengan Kristen Protestan non-Puritan. Perbaikan perekonomian dan
pendidikan, membuat anak-anak dari keluarga miskin dapat mengenyam
pendidikan dan memperoleh lapangan pekerjaan yang lebih baik dari orang tua
mereka. Posisi pemilik tanah mulai merosot di mata publik. Mereka tidak hanya
berhadapan dengan penguasa dan raja, tapi kelas masyarakat terdidik lainnya.
Situasi demikian ternyata tidak sampai menimbulkan kejadian yang memilukan.
Di Jerman tidak terjadi pemberontakan, pengusiran maupun peristiwa berdarah
lainnya. Reformasi yang dilakukan oleh raja berjalan tenang dan damai, karena
dukungan mayoritas masyarakat sipil.
Kehidupan intelektual di Jerman abad ke-18 mendapat sokongan penuh
pada masa pemerintahan Friedrich II atau Friedrich Agung (1712-1786). Ia
menjadi raja Prussia menggantikan ayahnya, Friedrich William I, yang wafat di
tahun 1740. Pada tahun yang sama, Kant mulai memasuki universitas Königsberg.
Friedrich II adalah penguasa yang pro-pencerahan, dan menjadi pelindung bagi
para pemikir Prancis yang dinilai subversif dan lari dari negerinya.19
18
19
Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 35
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, h. 122
21
Gelombang pencerahan di Jerman dipengaruhi pemikiran Inggris dan
Prancis. Tokoh yang pertama berjasa dalam menggerakkan pencerahan Jerman
adalah Christian Thomasius (1655-1728). Ia adalah filsuf yang lebih menyukai
sistem filsafat Prancis daripada Jerman. Baginya, filsafat tidak akan berarti
apapun selama tidak berhubungan dengan dunia riil. Sistem metafisika yang
dibangun para filsuf, sama sekali tidak berguna jika tidak memiliki kontribusi
berharga bagi kehidupan manusia. Nilai guna filsafat terletak pada perannya
sebagai instrumen kemajuan.20 Ia juga menyerang pandangan filsafat yang hanya
menekankan pencarian kebenaran lewat jalur kontemplatif. Upaya yang benar
dalam pengembangan ilmu pengetahuan adalah melalui observasi fenomena dan
pengalaman yang didapat lewat kemampuan indera. Dari sini dapat dilihat bahwa
Thomasius menyetujui empirisme.
Tokoh kedua yang berperan cukup penting adalah Christian Wolff (16791754). Dukungan Wolff terhadap konsep, keselarasan yang ditetapkan sebelum
terjadinya sesuatu (pre-establish harmony), tidak sejalan dengan Puritanisme
tentang kehendak bebas.21 Sistem filsafat Wolff sangat berbeda dari Thomasius,
karena penekanan pada metafisika. Perhatian utama Wolff dalam hal ini adalah
filsafat praktis, dan dukungan penyebaran kebijaksanaan di antara manusia. 22
Dengan sistem yang dibangunnya, Wolff tetap mempercayai Tuhan. Dia yakin,
dengan kemampuan rasionya, manusia dapat membuktikan keberadaan Tuhan.
Wolff berupaya menemukan asas yang sah tentang Tuhan, berdasarkan rasio.
Pengaruh Wolff cukup luas beredar di Jerman. Hal itu dirasakan saat Kant kuliah.
Bahkan ketika Kant menjadi dosen di Universitas Königsberg, di antara buku
20
Frederick Copleston, A History of Philosophy, h. 101
Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 76
22
Frederick Copleston, A History of Philosophy, h. 106
21
22
yang menjadi acuan mengajarnya adalah karya Wolff.23 Situasi ini memberikan
dampak tersendiri bagi pemikiran dan perjalanan karir Immanuel Kant.
B. Periodisasi Perkembangan Intelektual dan Karya-Karyanya
Immanuel Kant lahir pada 22 April 1724 di Königsberg, sebuah kota
tempat berlabuhnya perdagangan internasional Prussia. Terletak di sebelah timur
kerajaan Prussia, dekat dengan perbatasan Rusia, dan lebih dekat dengan Polandia
daripada dengan Prussia Barat. Banyak bangunan institusi-institusi resmi
didirikan di kota ini. Kota Königsberg24 berpenduduk sekitar 40.000 jiwa di tahun
1706, meningkat menjadi 50.000 jiwa di tahun 1770, dan terus meningkat menjadi
56.000 jiwa di tahun 1786.25 Kant terlahir dengan nama baptis “Emanuel”, dari
pasangan Johann Georg Kant (1683-1746) dan Anna Regina Kant (1697-1737). Ia
menjadi anak ke-4 dari sembilan bersaudara. Sebagai anak pembuat pelana kuda,
kehidupan Kant sangat jauh dari kemewahan. Kant dibesarkan dalam suasana
kehidupan yang dipenuhi dengan ketaatan Puritanisme. Kelak ia merasa sangat
berhutang budi atas didikan ibunya, yang selalu mengajarkannya nilai-nilai
kebaikan dan kejujuran. Ini bisa dilihat dalam cara berfilsafat Kant, khususnya
dalam wacana etika yang sangat menekankan kesadaran terhadap kewajiban. Bagi
Kant, dogma-dogma keagamaan sama sekali tidak bernilai, selama tidak
memberikan pelayanan moral.26
23
Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 109
Kota Königsberg telah berubah nama menjadi Kaliningrad. Sekarang kota itu termasuk
dalam wilayah Polandia. Paul Strathern, 90 Menit Bersama Kant, terj., Franz Kowa (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2001), h. 3
25
Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 56
26
Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 371
24
23
Setelah menyelesaikan sekolah menengahnya, Kant melanjutkan studi ke
universitas kota Königsberg pada tahun 1740. Selama kuliah, Kant menjadi
anggota masyarakat akademis (Akademischer Bürger), yang memungkinkannya
terbebas dari beban biaya menggunakan inventaris kampus dan beberapa
keuntungan lainnya.27 Minat awalnya selama kuliah adalah studi klasik, tapi Kant
ternyata lebih terobsesi menggeluti filsafat berkat pengaruh Martin Knutzen
(1713-1751) dan Johann Gottfried Teske (1704-1772). Meskipun demikian,
mereka berdua hanyalah dosen biasa dan tidak ada hubungan khusus dengan Kant.
Dalam catatan biografinya, Kant mengoreksi beberapa kesalahan penulisan yang
sempat ia baca.
Namun, tidak seluruh tulisan Ludwig Ernst Borowski (1740-1832)—salah
satu murid pertama dan penulis biografi Kant—sempat dikoreksinya. Borrowski
membuat kesalahan dengan menyebut Kant murid terbaik dan kebanggaan
Knutzen. Martin Knutzen bukanlah dosen yang mempunyai kedekatan dengannya,
bahkan tidak benar bahwa Kant diperkenankan meminjam buku-buku di
perpustakaan pribadi sang dosen. Hal ini bisa disaksikan bahwa dalam catatan
Martin Knutzen, Kant bukanlah salah seorang mahasiswa terbaiknya. Bahkan
Kant tidak pernah disebut sebagai mahasiswanya. Murid favorit Knutzen adalah
Friedrich Johann Buck (1722-1786). Kelak sepeninggal Knutzen, Buck menjadi
dosen menduduki posisi yang ditinggalkannya. Mahasiswa lain yang lebih penting
dari Kant adalah Johann Friedrich Weitenkampf (1726-1758). Bukti lain bahwa
Kant bukan mahasiswa favorit Knutzen, yakni tidak disebutnya nama Kant
sewaktu Knutzen berkirim surat dengan Euler.28
27
28
Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 61
Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 88-89
24
Selama kuliah, Kant bukanlah seorang mahasiswa yang menjadi idola bagi
gadis-gadis Jerman.29 Secara fisik, penampilan Kant kurang menarik. Kulit pucat,
dengan tinggi badannya 157 cm., sepanjang hayat menderita hypochondria,
dadanya tipis, dan sering kesulitan pernafasan.30 Ia terbiasa berangkat kuliah
mengenakan sebuah jaket kusam yang harganya kira-kira kurang dari satu
pfennig—satuan terkecil mata uang Jerman. Namun, Kant sama sekali tidak
mempedulikan hal itu. Baginya, belajar adalah lebih penting. Belajar adalah
segalanya. Hal-hal yang dapat menghambat belajarnya, ia tinggalkan. Kant
merasa bahwa selama kuliah, ia baru bisa bebas mempelajari banyak hal yang ia
kehendaki, dibandingkan selama di sekolah lanjutan. Ketika duduk di tingkat
akhir, Kant terbiasa menjadi tutor bagi beberapa orang mahasiswa yunior yang
kesulitan dengan materi kuliah. Dengan bimbingan itu, ia biasa mendapatkan
secangkir kopi dan roti putih gratis untuk makan siang.
Pada masa Kant, kuliah filsafat di Universitas Königsberg cenderung
mengikuti arah pemikiran Christian Wolff. Hal ini tanpa mengingkari beberapa
dosen yang menyukai sistem Aristotelian, seperti Johann Adam Gregorovious
(1681-1749). Pemikir seperti Descartes dan Locke adalah tokoh-tokoh yang lebih
banyak diserang.31 Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Kant pada awalnya
lebih diarahkan kepada sistem Wolffian, berkat dosen-dosennya. Tapi, terlalu
gegabah kiranya menganggap Kant adalah tokoh Wolffian semasa muda. Sejak
29
Pada zaman Kant, kehidupan antara laki-laki dan perempuan Jerman terpisahkan secara
gender. Itulah mengapa, ia seperti orang-orang di masanya, jarang bergaul dengan lawan jenis
mereka. Kehidupan perempuan Jerman saat itu, diarahkan pada tiga hal: Kinder, Küche, und
Kirche (anak-anak, dapur, dan gereja). Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 55
30
Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 151
31
Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 67
25
muda, Kant selalu menjaga jarak dari sistem manapun, dan berusaha independen
dengan pemikirannya sendiri.
Kant meninggalkan kuliahnya setelah Agustus 1748, karena ayahnya
meninggal dunia tanpa meninggalkan banyak dukungan finansial. Sebelas tahun
sebelumnya, ia telah kehilangan ibu yang dikasihinya. Kant terpaksa bekerja
sebagai guru privat (Hofmeister) bagi ketiga putra pastor Andersch, di kota
Judtschen.32 Kemudian ia menjadi guru bagi ketiga putra tertua von Hülsen,
seorang ksatria Prussia. Selama menjadi guru, Kant menghaluskan sikap dan
perilakunya ketika bergaul dengan keluarga kaya, serta tak lupa meningkatkan
kemampuan akademisnya. Ia masih berkeinginan meneruskan kembali kuliahnya.
Setelah enam tahun absen untuk menjadi guru, Kant kembali ke
universitas dengan mengajukan disertasinya berjudul, “Succinct Meditations on
Fire”, (Meditasi-meditasi Ringkas tentang Api).33 Pamannya, Richter, membayar
biaya promosi doktornya. Untuk mengajar di universitas, Kant harus menerima
“venia legendi”, dengan mempertahankan disertasi lain berjudul, “Principiorum
Primorum Cognitionis Metaphysicae Nove Diludatio”, (Penjelasan Baru tentang
Prisnsip-Prinsip Pertama Pengetahuan Metafisik). Kant akhirnya diperbolehkan
mengajar materi-materi kuliah di universitas. Sebagai Privatdozent, ia tak dibayar
dari kampus. Gajinya didapat dari mahasiswa yang menghadiri kuliahnya.
Besarnya pendapatan, tergantung pada banyaknya peserta yang ikut kuliah.
Pengaruh Kant cukup populer dalam atmosfer akademik Königsberg.
Selama menjadi Privatdozent, kuliah-kuliahnya selalu dipenuhi mahasiswa,
sehingga memicu kecemburuan sosial bagi dosen-dosen lainnya. Beberapa dari
32
33
Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 96
Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 100
26
mereka tidak menyukai Kant. 34 Untuk bisa bertahan hidup, Kant harus banyak
mengajar. Selama semester musim dingin 1755-1756, ia mengajar logika,
metafisika, matematika, dan fisika. Di semester musim panas, ia menambahkan
dengan kuliah geografi, dan berikutnya ditambahkan dengan etika. Kant mengajar
sebanyak enam belas sampai dua puluh empat jam seminggu. Buku acuan
mengajarnya semisal, Metaphisica, Ethica, karya Baumgarten, Auszug aus der
Vernunftlehre, karya Georg Friedrich Meier, keduanya merupakan pengikut
Wolff. Ia juga menggunakan, Erste Gründe der Naturlehre, karya Johann Peter
Eberhard. Dalam bidang matematika, Kant menggunakan karya-karya Wolff,
Auszug aus den Anfangsgründen aller Mathematischen Wissenschaften,
Ansfangsgründe aller Mathematischen Wissenschaften.
Meskipun diharuskan mengajar berdasarkan buku-buku acuan, tapi ia tidak
mengekor pada uraian yang diberikan buku tersebut. Kant hanya mengikuti urutan
materi di dalamnya. Ia bahkan memberi tambahan terhadap beberapa hal dalam
penjelasan yang tidak disebutkan di dalam buku, dan juga mengoreksi isinya. 35
Jika tidak setuju dengan isi buku tersebut, ia segera beralih pada pemahamannya
sendiri. Ketika mengajar, Kant selalu menekankan bahwa apa yang ia ajarkan
bukanlah filsafat, tapi bagaimana berfilsafat. Kant berkata:
“The true method of instruction in philosophy is zetetic, as it was called by
some of the ancients (derived from zetetin). It is searching, and it can
become dogmatic, that is decided through a more developed reason only in
some parts.”36
34
Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 107
Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 106; Lihat juga, Frederick Copleston, A History
of Philosophy, h. 181
36
“Metode instruksi yang benar dalam filsafat adalah zetetic, sebagaimana disebut oleh
tokoh-tokoh klasik (diturunkan dari kata zetetin). Hal itu adalah pencarian, dan bisa menjadi
dogmatis, yang diputuskan melalui sebuah pengembangan penalaran hanya di dalam beberapa
bagian-bagiannya.” Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 160
35
27
Periode pra-kritis Kant berakhir sejak 1769, memasuki tahun 1770. Dalam
masa pra-kritis itu, pemikiran Kant terbagi menjadi dua: pertama, berlangsung
sejak 1755-1762, dikenal sebagai periode rasionalis; kedua, antara tahun 17621769, dikategorikan sebagai periode empiris. Pembagian periode pra-kritis ini
tidak dimaksudkan sebagai pemetaan secara radikal. Tapi, sebagai sebuah
kecenderungan untuk lebih mudah memahami, meskipun sebenarnya tidak ada
kesepakatan dari pada pengkaji dalam masalah ini.37 Jika orang berbicara tentang
tiga kritik Kant, maka yang dituju adalah periode setelah tahun tersebut, yang
disebut periode kritis.
Sejak tahun 1770, Kant berusaha keras menghasilkan suatu pemikiran
orisinilnya. Ia mencari sistem filsafat, yang terbebas dan mengatasi, baik
rasionalisme maupun empirisme. Tapi, Kant bukan penganut eklektisisme.
Selama sebelas tahun, Kant berupaya merumuskan pemikirannya. Ia menggugat
pandangan Leibniz-Wolffian, dan semua sistem-sistem yang ada saat itu. Edisi
pertama Kritik der reinen Vernunft, terbit tahun 1781. Sejak saat itu, karya-karya
brilian Kant mulai bermunculan. Dengan tanpa malu-malu dalam karyanya,
Prolegomena zu einer jeden künftigen Metaphysik, terbit 1783, Kant mengakui
dirinya dibangunkan dari tidur filsafat dogmatik oleh David Hume:
“I openly confess, the suggestion of David Hume was the very thing, which
many years ago first interrupted my dogmatic slumber, and gave my
investigation in the field of speculative philosophy quite a new direction. I
was far from following him in the conclusion at which he arrived by
regarding, not the whole of his problem, but a part, which by itself can
give us no information. If we start from well-founded, but undeveloped,
thought, which another has bequeathed to us, we may well hope by
continued reflection to advance farther than acute man, to whom we owe
the first spark of light.”38
37
Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 176-179
“Saya secara terus terang mengakui anjuran David Hume, yang selama beberapa tahun
mengganggu tidur dogmatis saya dan memberi arah baru bagi penyelidikan saya dalam filsafat
38
28
Secara garis besar, karya-karya Kant adalah sebagai berikut:
a. Kritik der Reinen Vernunft, merupakan karya filsafat yang membahas
masalah epistemologi. Dalam karya ini Kant berupaya membongkar
masalah-masalah yang tidak selesai seputar pengetahuan. Ia merumuskan
sistem baru, dengan terlebih dahulu mengritik aliran rasionalisme dan
empirisme. Karya ini terbit tahun 1781.
b. Prolegomena zu einer jeden künftigen Metaphysik. Karya ini terbit 1783.
Dengan tulisan ini, Kant bermaksud menjadikannya sebagai sebuah
catatan singkat untuk bisa memahami pembahasan dalam Kritik der
Reinen Vernunft. Karena penjelasan yang sulit, dengan gaya bahasa yang
bertele-tele, karya tersebut dapat memudahkan para pembaca dalam
memahami isi Kritik der Reinen Vernunft, yang kerap mengundang banyak
keluhan.
c. Was ist Aufklärung?. Esai ini diterbitkan Berlinische Monatschrift, tahun
1784, ditulis untuk menjawab seputar pertanyaan tentang pencerahan yang
terjadi pada abad ke-18, di Eropa.
d. Grundlegung zur Metaphysik der Sitten, sebuah paparan argumentatif
tentang dasar-dasar hukum moral, yang terbit tahun 1785.
e. Metaphysik Anfangsgründe der Naturwissenschaften. Sebagai pengajar
fisika, Kant merasa perlu menjelaskan prinsip-prinsip kaidah ilmu
spekulatif. Saya sama sekali tidak mengikutinya pada kesimpulan yang ia dapatkan berkenaan
dengan keseluruhan masalahnya, tapi sebagian, yang tidak memberikan kita informasi. Jika kita
memulai dari penemuan-berharga, tapi pemikiran yang tidak dikembangkan, yang satu lagi telah
mewariskan kepada kita, kita mungkin berharap dengan baik berdasarkan refleksi berkelanjutan
untuk mengembangkan lebih jauh dari seorang yang teliti, kepadanya kita berhutang percikan
cahaya pertama.” Beryl Logan (ed.), Kant’s Prolegomena to Any Future Metaphysics in Focus
(New York: Routledge, 1996), h. 33
29
pengetahuan alam yang ia pegang. Lewat karya inilah, ia menjelaskan hal
itu. Tulisan ini terbit pada tahun 1786.
f. Was heisst: Sich im Denken orientiren? Ulasan dalam karya ini berisi
kontibusi Kant terkait persoalan paham panteisme yang melanda kalangan
sarjana abad ke-18, diterbitkan dalam Berlinische Monatschrift, terbit
bulan Oktober 1786.
g. Kritik der Practischen Vernunft. Lewat karya ini Kant berusaha
merumuskan bahwa kaidah moral tidak semata masalah agama dan hati,
melainkan termasuk bagian urusan pemahaman rasional. Karya ini terbit
tahun 1788.
h. Kritik der Urteilkraft. Karya ini adalah kritik ketiga Kant, terbit tahun
1790, yang berisi pembahasan seputar penilaian nilai estetika.
i.
Über das Mißlingen aller philosophischen Versuche in der Theodicee,
sebuah esai yang berisi paparan tentang masalah agama dalam batas-batas
rasional, diterbitkan dalam Berlinische Monatschrift, September 1791.
j.
Das Ende aller Dinge, berisi kritik filsafat politik Kant terhadap situasi
saat itu. Karya ini diterbitkan Berlinische Monatschrift, Juni 1794.
k. Zum ewigen Frieden, sebuah esai yang menjelaskan tentang basis moral,
melukiskan perkembangan sejarah dan politik, terbit 1795.
l.
Der Streit der Fakultäten. Esai ini ditulis Kant berkenaan dengan
pengekangan pemerintah terhadap kebebasan menyuarakan pendapat
tentang masalah agama. Esai ini terbit pada musim gugur 1798.
m. Metaphysische Anfangsgründe der Rechtslehre dan Metaphysische
Anfangsgründe der Tugendlehre, kedua esai ini berupa bagian karya
30
Metaphysik der Sitten, berisi penjelasan Kant tentang metafisika moral.
Yang pertama berbicara tentang elemen-elemen dalam pembahasan
metefisika moral yang seharusnya, sedangkan yang kedua menjelaskan
tentang kebijaksanaan dalam moral. Keduanya terbit di tahun 1797.
Selama masa hidupnya, Kant menghabiskan waktu dengan kegiatan yang
cukup padat dan disiplin. Kegiatan hariannya dilakukan tetap, termasuk jadwal
kunjungannya. Ia terbiasa tidur jam sepuluh malam, dan bangun sebelum jam lima
pagi. Kemudian melakukan refleksi filosofis, mengajar, dan setiap jam setengah
empat sore pergi berjalan-jalan. Kebiasaan jalan-jalan sore ini dimaksudkan
sebagai cara mencari inspirasi baru bagi pengembangan pemikirannya. Baik
ketika cuaca panas, maupun hujan, ia terbiasa melakukan itu. Konon karena
kedisiplinannya ini, warga Königsberg mencocokkan jam mereka ketika melihat
Kant berjalan-jalan. Mungkin sekali karena terlalu konsisten dan fokus pada
pekerjaan, sehingga membuatnya menangguhkan diri untuk menikah.39
Antara tahun 1796-1804 adalah masa-masa terakhir bagi kehidupan Kant.
Sejak 1797 ia sudah tidak bisa mengajar lagi, karena usia tua dan sakit. Pikirannya
masih tajam, tapi secara fisik ia sangat lemah. Sejak tahun 1800, Kant mulai
melupakan kejadian-kejadian yang baru saja dilakukannya, dan lupa apa yang
harus dilakukan. Pada periode ini banyak bermunculan kisah-kisah menggelikan
yang berkaitan dengan Kant, misalnya analisisnya tentang kematian kucingkucing karena sengatan listrik, orang negro Afrika yang sebenarnya berkulit putih,
dan sebagainya. Pada tanggal 12 Februari 1804, Kant menghembuskan nafasnya
39
Kant sebenarnya sama seperti laki-laki pada umumnya, memiliki keinginan untuk
berkeluarga. Namun, niat itu tidak bisa dilaksanakan. Setidaknya, ia pernah merencanakan hal itu
dengan seorang janda cantik, dan pernah pula berkeinginan menikahi gadis dari pinggiran
Westphalin. Namun, keduanya tidak terlaksana, karena Kant terlalu lama mengambil keputusan.
Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 117
31
yang terakhir, dua bulan sebelum ulang tahunnya yang ke-80. Nisannya sekarang
ada di kota Kaliningrad. Tapi, nisan itu sudah tidak berisi tulang-belulangnya lagi,
akibat rusak dan dicuri ketika perang.40 Di nisan itu tertulis dua hal yang
memenuhi pikirannya dengan kekaguman, penghormatan, dengan begitu sering
dan terus-menerus orang-orang merefleksikannya. Pengakuan tentang hal yang
paling membuatnya terkesan, seperti disebutkan dalam karyanya, Kritik der
practischen Vernunt: “langit yang bertabur bintang di atas saya, dan hukum moral
dalam diri saya”.41
40
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, h. 132
Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, trans., Mary Gregor (Cambridge:
Cambridge University Press, 2001), h. 133
41
32
BAB III
EPISTEMOLOGI DALAM KAJIAN FILSAFAT BARAT
A. Sejarah Epistemologi
Epistemologi adalah salah satu kajian filsafat, yang berkaitan dengan
pengetahuan. Secara sederhana, epistemologi berarti teori pengetahuan.42 Dilihat
dari segi bahasa, epistemologi merupakan istilah yang berasal dari dua bahasa
Yunani, έπιστήµη (dibaca epistēme), berarti pengetahuan, dan λόγος (dibaca
logos), berarti ilmu.43 Dengan demikian, epistemologi adalah ilmu yang
membahas tentang pengetahuan. Penekanan epistemologi adalah pengetahuan
manusia, sebagai makhluk berakal dan berperadaban. Kajian epistemologi
mencakup pembahasan dan penelusuran wilayah pengetahuan secara rasional.
Pembahasan dimaksudkan untuk membedah batas-batas pengetahuan, serta
bagaimana suatu pengetahuan diperoleh. Sedangkan proses penelusuran
pengetahuan diartikan sebagai upaya mencari akar permasalahan terkait ide, dan
gagasan yang berhubungan dengannya, seperti indera, memori, persepsi, buktibukti, kepercayaan dan kepastian. Dengan demikian, kajian epistemologi berbeda
dari kajian psikologi.
Epistemologi merupakan sebuah penelusuran rasional, berkaitan dengan
kemungkinan dan kepastian isi pengetahuan, menguji validitas, menentukan
batas-batas, dan memberikan kritik berkaitan dengan ciri-ciri umum yang hakiki
dari pengetahuan. Epistemologi juga menentukan aspek kesadaran manusia,
ketika berinteraksi dengan lingkungan, alam sekitar, dan terlebih dengan diri
pribadi manusia itu sendiri. Adapun psikologi adalah suatu cabang ilmu yang
42
Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy (London: Penguin
Books Ltd., 2000), h. 174
43
http://en.wikipedia.org/wiki/Epistemology, artikel diakses pada 30 April 2010
33
mengkaji tentang penyelidikan atau teori fenomena mental.44 Kajian psikologi
lebih menitikberatkan pada daya-daya kognisi manusia an sich. Titik tekan ini
yang membedakan kajian epistemologi dari psikologi. Dalam kajian psikologi,
proses kognisi menjadi inti pembahasan. Daya-daya kognitif manusia merupakan
tema bahasan utama dalam perolehan dan pengolahan informasi untuk
menghasilkan pengetahuan. Hal ini sangat berbeda dari epistemologi, sebagai
kerangka kajian yang mendudukkan ilmu dalam batas-batasnya yang ketat dan
tidak terbatas unsur kesadaran.
Dalam waktu yang cukup lama, masalah epistemologi menduduki porsi
signifikan dalam wacana filsafat Barat. Perdebatan sistem-sistem yang dimajukan
para filsuf, sejak zaman klasik ribuan tahun silam, seolah tidak menemukan
kepastian. Perdebatan itu kiranya menjadi ajang pertarungan ide dan gagasan yang
menandai nuansa zamannya. Kendati menjadi masalah yang cukup menguras
energi selama ribuan tahun, namun epistemologi bukanlah hal pertama yang dikaji
dalam kajian filsafat Barat. Dalam sejarahnya, epistemologi tidak menjadi
persoalan yang pertama kali diperbincangkan oleh bapak filsafat Barat.
Thales (645-545 SM.) sebagai tokoh pertama filsafat dalam tradisi Barat,
sama sekali tidak berbicara tentang masalah epistemologi. Fokus pemikiran
Thales adalah tentang pokok penyusun alam semesta.45 Ia berusaha menemukan
suatu realitas primordial,46 yang disebutnya αρχή (dibaca archē).47 Karena tidak
meninggalkan sebuah karya, pemikiran Thales akhirnya hanya dapat dijumpai
sebagai cuplikan dalam karya-karya para penulis yang hidup setelahnya. Perhatian
44
Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 458
W. Wildelband, History of Ancient Philosophy, trans., Herbert Ernest Cushman (New
York: Dover Publication Inc., 1956), h. 37
46
Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 37
47
http://en.wikipedia.org/wiki/Archē, artikel diakses pada 01 Mei 2010
45
34
Thales bukanlah epistemologi, melainkan ontologi. Ontologi diartikan sebagai
sebuah penalaran tentang yang ada. Konsep “ada” sebagai sebuah tema menjadi
tren dalam perdebatan pemikiran filosofis berikutnya. Rumusan yang terkenal dari
Thales yakni, “semua adalah air”.
Perkataan Thales di atas cukup dikenal para sarjana pengkaji filsafat Barat,
yang sebenarnya merupakan kutipan yang tidak utuh. Kalimat yang selengkapnya
berbunyi, “semua adalah air, dan dunia penuh dengan dewa-dewa”.48 Thales
berusaha memecahkan masalah tentang asas penyusun alam semesta, tapi tanpa
meninggalkan kepercayaan tentang adanya dzat adikodrati. Thales beranggapan
bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta terbentuk dari air. Air baginya
adalah sumber kehidupan, dan sumber terciptanya alam semesta. Bumi
menurutnya mengapung di atas air. Partikel-partikel air menjadi asal segala jenis
makhluk hidup, serta menjadi unsur yang menyusun segala sesuatu.49 Beberapa
muridnya, juga tidak menaruh minat untuk menggeluti masalah epistemologi. Di
belakang hari, gagasan Thales tersebut bahkan dikritik dengan pandangan yang
berbeda-beda.
Perdebatan dalam ranah epistemologi tidak dimulai sebelum abad ke-5
SM. Meskipun sebelum abad ke-5 SM., telah ada rumusan dari dua tokoh:
Parmenides dan Heraklitos, tapi penalaran mendalam terkait masalah ini belum
terbentuk secara utuh. Kendati demikian, mereka memainkan peranan yang cukup
signifikan dalam wacana filsafat di kemudian hari. Mereka kerap dianggap
mewakili dua kecenderungan yang saling berlawanan. Parmenides (lahir 540 SM.)
dikategorikan sebagai pioneer kelompok rasionalis, sedangkan Herakleitos (54048
Jerome R. Ravert, Filsafat Ilmu: Sejarah dan Ruang Lingkup Pembahasan, terj. Saut
Pasaribu. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 7
49
McKeon (ed.), Introduction to Aristotle (New York: Random House, Inc., 1947), h. 250
35
480 SM.), termasuk kelompok empiris. Dua arus inilah yang nantinya saling
bersitegang dalam tradisi filsafat Barat selanjutnya.
Parmenides menganggap pengetahuan manusia diperoleh dari kemampuan
akal. Adapun Heraklitos menganggap pengalaman sebagai sumber pengetahuan.
Akan tetapi baik Parmenides ataupun Heraklitos, tidak meragukan apakah
pengetahuan tentang realitas itu mungkin.50 Pengetahuan bagi mereka merupakan
keniscayaan. Siapapun dianggap dapat memperoleh pengetahuan. Tidak ada
upaya yang dilakukan oleh mereka untuk membuktikan apakah pengetahuan
manusia itu terbatas atas realitas di luar dirinya, atau tidak. Kedua belah pihak
tidak melakukan pengujian mendalam atas isi atau pun proses mendapatkan
pengetahuan. Selama berabad-abad berikutnya, pemahaman tentang pengetahuan
itu tetap terpelihara dan terjamin seutuhnya dalam pola pikir masyarakat Yunani.
Sampai akhirnya di abad ke-5 SM., kemapanan pandangan itu diserang oleh
kritikan tajam kaum Sofis.
Kaum Sofis adalah kalangan terpelajar yang memulai penyebarluasan
filsafat ke tengah-tengah masyarakat; keluar dari sekolah menuju pasar.51 Meraka
adalah para guru, dan teladan berilmu. Seni berdebat adalah salah satu yang
diajarkan Sofis,
dan menjadi mata pelajaran favorit. Meskipun tidak
memunculkan terobosan baru menyangkut pengembangan ilmu pengetahuan,
kaum Sofis berjasa menyebarluaskan dan memelihara ide-ide besar dalam bidang
saintifik yang sudah ada di Yunani. Mereka dianggap sebagai pembawa pertama
dan terutama terjadinya pencerahan Yunani.52 Kaum Sofis mempelopori
50
D.W. Hamlyn, “Epistemology,” in Paul Edwards, ed., The Encyclopedia of
Philosophy, vol., III (New York: Macmillan Publishing Co., Inc., and The Free Press, 1972), h. 9
51
W. Wildelband, History of Ancient Philosophy, h. 110
52
W. Wildelband, History of Ancient Philosophy, h, 111
36
perdebatan dan pengujian sejumlah tradisi yang sudah taken for granted oleh
masyarakat. Mereka juga tak luput mempersoalkan hakikat pengetahuan manusia.
Di kemudian hari, banyak orang yang merasa tertarik untuk mendapatkan
pendidikan dan bimbingan dari mereka. Kaum muda banyak yang tertarik dengan
ajaran Sofis. Fokus perhatian kaum Sofis adalah menjadikan masyarakat tersadar
akan kegunaan ilmu pengetahuan. Mereka yang mendapat didikan Sofis bisa
menjadi orator ulung, serta orang yang berbudaya. Hal ini sejalan dengan tugas
utama mereka yakni, menghadirkan sains dan instruksi retorika dalam kehidupan
publik.53 Kata Sofis sendiri dalam bahasa Yunani memiliki arti positif.
Secara etimologis, Sofisme berasal dari kata Yunani σόφισµα (dibaca
sophisma), dari kata σοφίζω (dibaca sophizo), berarti “saya bijaksana.” Kata
σοφιστής (dibaca sophistēs) berarti orang yang melakukan kebijaksanaan, dan kata
σοφός (dibaca sophόs) berarti orang bijak.54 Kaum Sofis di zaman Yunani kuno
adalah sekelompok guru filsafat yang dikenal bijak. Kritik kaum Sofis dalam
masalah pengetahuan, memainkan peranan cukup penting dalam wacana filsafat
setelahnya. Saat ini kata Sofisme telah mengalami perubahan arti menjadi:
argumentasi salah yang kelihatan valid,55 sebuah arti yang sangat berbeda dari
makna asalnya
Ajaran Sofis di belakang hari mendapat celaan dari masyarakat. Hal ini
disebabkan pola pengajaran yang mereka terapkan. Pendekatan pengajaran yang
dikembangkan Sofis, dibangun di atas kesadaran akan kebebasan dan demokrasi
dalam kehidupan polis. Kekuatan retorika adalah kuncinya. Kecenderungan
kebebasan yang mereka suarakan, akhirnya sampai pada titik ekstrem. Meraka
53
W. Wildelband, History of Ancient Philosophy, h. 113
http://en.wikipedia.org/wiki/Sophism, artikel diakses pada 01 Mei 2010
55
Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 530
54
37
alpa untuk memberikan sebuah batasan yang jelas, terkait dengan kebebasan. Apa
yang mereka ajarkan akhirnya hanya berupa kemampuan berdebat tanpa arah dan
tanpa tuntunan mencapai kehidupan yang bermartabat, kontras dengan gelar Sofis
yang mereka sandang.
Protagoras (481-411 SM.), tokoh Sofis yang paling berpengaruh misalnya,
memiliki diktum yang terkenal: “manusia adalah ukuran segala-galanya”.56
Manusia dijadikan sebagai titik pangkal dan inti segala hal. Kebenaran dan
kesalahan, baik dan buruk, dapat didefinisikan menurut kadar ukuran manusia.
Namun, ia tidak memberikan kejelasan terkait apa yang dimaksud manusia dalam
pemikirannya. Jika yang dikehendaki dari manusia adalah manusia secara umum,
maka cakupannya menjadi sangat luas. Setiap orang akan memiliki sudut pandang
berbeda dalam memahami arti manusia, sehingga ukuran manusia sebagai patokan
segala-galanya akan berbeda satu sama lain. Pandangan semacam ini jelas
menggiring pada relativisme.57 Implikasi yang sama berlaku dalam perdebatan
tentang pengetahuan.
Kaum Sofis tidak memberikan kaidah baku terkait masalah epistemologi,
sehingga apa yang diajukan terjerumus ke dalam relativisme. Inilah batu
sandungan kaum Sofis. Persoalan epistemologi yang menjadi perdebatan filosofis
berkepanjangan, dipelopori oleh perdebatan ini. Perdebatan antara yang universal
dan yang relatif. Salah satu contoh ekstrem terlihat misalnya dari Gorgias (483375 SM.), yang tidak mengakui bahwa manusia bisa mendapatkan pengetahuan.
Ia beranggapan tiadanya realitas, dan jika pun ada, manusia sama sekali tidak
56
Plato menjelaskan pandangan Protagoras dalam dialog antara Socrates dan Theatetus.
Irwin Edman, (ed.), The Works of Plato, trans., The Jowet Translation (New York: Simon and
Schuster Inc., 1928), h. 494
57
Irwin Edman, (ed.), The Works of Plato, h. 495
38
mampu memahami realitas; jika pun bisa, maka manusia tidak bisa membicarakan
pengetahuan tentang realitas itu.58 Namun, ia pun pada akhirnya tidak
memberikan penyelesaian terkait persoalan ini. Sebagai akibat dari diktum
terkenal Protagoras dan Grogias tersebut, sudah menjadi kebiasaan kaum Sofis
adalah sikap mereka yang cenderung tidak konsisten dalam berpendapat. Hari ini
mereka mengatakan bahwa “a” adalah baik, tapi esok ketika ditanya tentang “a”,
jawaban yang diberikan akan berbeda. Seseorang akhirnya tidak bisa memegang
perkataan dan pendirian Sofis, karena bagi mereka sesuatu dapat berubah sesuai
dengan keadaan. Sebagaimana kondisi manusia, yang selalu mengalami
perubahan sepanjang waktu. Kondisi fisik dan batin manusia yang berubah, turut
pula mempengaruhi segalanya. Apa yang didapat hari ini, dapat menjadi baik, tapi
dapat pula menjadi buruk di kemudian hari, tergantung bagaimana kondisi
seseorang. Yang terpenting adalah cara dalam pembuktian. Argumentasi yang
kuat, digunakan untuk meyakinkan orang dan memenangkan perdebatan.
Karena sikap dan pendirian kaum Sofis di atas, masyarakat Yunani
berangsur-angsur beralih memihak Socrates (470-399 SM.), dan para muridnya.
Sebuah perjuangan yang melelahkan dengan harga yang teramat mahal—bahkan
harus mengorbankan nyawa Socrates sendiri dengan meminum racun. Wacana
epistemologi pada babak berikutnya dirumuskan lebih jelas oleh Plato (428-347
SM.)—murid Socrates yang paling setia. Plato-lah orang yang pertama kali
mengajukan pertanyaan mendasar tentang epistemologi: “apa yang bisa kita
ketahui?”59 Pertanyaan sederhana ini menandai babak baru diskursus filosofis. Di
kemudian hari, pertanyaan akan jauh lebih kompleks dan rumit. Munculnya
58
D.W. Hamlyn, “Epistemology,” h. 9
Robert Ackermann, Theories of Knowledge: A Critical Introduction (New York:
McGraw-Hill Company, 1965), h. 14
59
39
beragam gagasan dan ide bermuara untuk memecahkan kerumitan seputar
pertanyaan tentang di manakah pengetahuan itu benar-benar dapat diperoleh, dan
sebanyak apa pengetahuan bisa kita pikirkan? Apakah indera menyediakan
pengetahuan? Bisakah akal memberikan pengetahuan? Apa hubungan antara
pengetahuan dan kepercayaan yang benar? Sederetan pertanyaan inilah yang
dibahas Plato dan para filsuf dalam diskursus filosofis di masa-masa berikutnya.
Paparan epistemologi dalam pembahasan selanjutnya, lebih diarahkan
kepada masa tertentu sejak perumusan awalnya, dan langsung dilarikan ke zaman
modern. Periodisasi ini dipilih, mengingat akar sejarah kemunculannya sangat
diperlukan guna memetakan perkembangannya dari awal, dan zaman di saat
perdebatan itu begitu ramai ketika Immanuel Kant hidup. Tidak dijelaskannya
perdebatan epistemologis di zaman pertengahan, karena perhatian pemikir pada
masa itu yang kurang memberi ruang pada pengembangan filsafat secara mandiri.
Sebagaimana disebutkan Bertrand Russel, filsafat pada masa itu berada di bawah
kendali agama Kristen. Filsafat digunakan untuk membentengi peran agama,
sebagai alat penalaran yang memperkokoh iman.60 Kebanyakan pemikir modern
kerapkali mengritik hal itu, karena reduksi filsafat sebagai kajian dogmatis tidak
membawa kebaikan sama sekali. Selain itu, alasan filsafat abad pertengahan tidak
dibahas, mengingat dampaknya tidak terlalu signifikan bagi ulasan epistemologi
Immanuel Kant. Sistem filsafat Kant, tidak menggali sumbernya dari filsafat abad
pertengahan. Tapi, jelas memiliki akar yang kuat dari semangat kebangkitan
Eropa pada masa modern.
60
Bertrand Russel, History of Western Philosophy and Its Connection with Political and
Social Circumstances from the Earliest Times to the Present Day (London: George Allen and
Unwin Ltd., 1961), h. 303-306
40
B. Rasionalisme
Istilah rasionalisme berasal dari bahasa Latin ratio, bermakna akal. 61
Dalam diskursus filsafat, rasionalisme merujuk pada suatu kecenderungan para
filsuf yang lebih menitikberatkan kemampuan akal sebagai kemampuan dalam
menggapai pengetahuan. Akal dijadikan sumber utama dalam memperoleh
pengetahuan. Sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya, Parmenides sempat
menyinggung pandangan semacam ini. Namun, gagasan yang paling jelas dan
luas baru bisa dilacak di zaman klasik pada pemikiran Plato.
Plato menganggap bahwa pengetahuan yang diperoleh manusia bersumber
dari dunia ide. Alam ide merupakan sumber segala sesuatu. Ia bersifat abadi,
kekal, dan tak dapat diubah. Alam ide bersifat transenden. Segala sesuatu yang
ada di alam semesta, merupakan perwujudan dari alam ide. Pengetahuan yang
dihasilkan manusia, pada dasarnya merupakan penyingkapan atas apa yang ada di
alam ide. Dunia ide adalah alam abadi, tempat segala sesuatu berasal. Ia menjadi
prototype sesuatu di dunia. Jika a disebut “rumah” misalnya, maka sebenarnya
konsep “rumah” sudah terdapat di dunia ide. Yang nampak di dunia adalah
bayang-bayang atas konsep rumah yang abadi di alam ide. Pengetahuan bersifat
universal. Ini berbeda dari keyakinan semata. Bagi Plato, pengetahuan berbeda
dari keyakinan yang benar. Mungkin suatu pengetahuan terdiri dari keyakinan
yang benar. Tapi keyakinan itu harus disertai dasar-dasar (logos),62 meskipun
dalam prakteknya baik pengetahuan maupun keyakinan yang benar mengandung
unsur kebaikan. Plato juga kurang memberikan penilaian positif pada indera.
61
Bernard Williams, “Rationalism,” in Paul Edwards, ed., The Encyclopedia of
Philosophy, vol., VII (New York: Macmillan Publishing Co., Inc., and The Free Press, 1972), h.
69
62
D.W. Hamlyn, “Epistemology,” h. 12
41
Bagi Plato, hasil pencerapan indera hanyalah objek dari opini.63 Opini
tidak dapat dianggap sebagai pengetahuan valid serta universal. Opini tidaklah
netral, dan karenanya perlu dilakukan pengujian. Pengujian dilakukan dengan
kontemplasi mendalam. Hasil kontemplasi merupakan bentuk pencitraan atas apa
yang ada di dunia ide. Untuk dapat mengetahui hakekat sesuatu, maka orang perlu
mengembangkan kemampuan penalarannya. Hal-hal yang dipikirkan manusia,
sebenarnya sudah terlebih dahulu diketahui jiwa. Sesuatu yang inderawi mampu
mengingatkan jiwa atas apa yang pernah diketahui, dan yang tidak diketahui oleh
pengalaman: hakikat benda-benda.
Manusia yang sudah terbebaskan dari unsur inderawi, mampu memahami
hakekat segala sesuatu. Plato mencontohkan hal ini dengan kisah para tawanan
yang berada di dalam gua, membelakangi api, menghadap ke dinding. Para
tawanan mengira realitas yang sebenarnya adalah apa yang ditangkap oleh indera.
Mereka pikir dunia adalah sejauh yang bisa dicerap indera; mereka tertipu dengan
informasi inderawi. Padahal, dunia yang sebenarnya berada di luar ruang tahanan.
Dunia yang sangat luas, tak terjangkau oleh indera. Plato mengisahkan bahwa
seorang tawanan berhasil kabur. Ia keluar, dan menemukan kelapangan dunia. Ia
kaget. Ia sadar bahwa dunia yang sebenarnya tidak seperti yang diyakini kawankawannya dalam tahanan. Karena tergerak kata hatinya, ia pun kembali untuk
menyadarkan mereka. Tapi di saat kembali dan menceritakan kebenaran, ia malah
dibenci. Mereka tak mempercayai apa yang dikatakannya. Akhirnya ia pergi
keluar seorang diri.64 Begitulah kisah orang yang berusaha memberikan
penjelasan tentang hakekat kebenaran. Ia akan menghadapi pelbagai macam
63
64
D.W. Hamlyn, “Epistemology”, h. 10
Bertrand Russel, History of Western Philosophy, h. 141
42
rintangan, misalnya masyarakat yang tidak mampu berpikir sejauh pengalaman
mereka. Mereka selalu mencela ketika dikabarkan kebenaran.
Di abad Modern, rasionalisme menemukan sentuhan baru dalam pemikiran
René Descartes (1596-1650). Bapak filsafat Modern ini menjadi pelopor
rasionalisme dalam perdebatan epistemologi. Bahkan, pengaruhnya masih
dirasakan sampai zaman Kant pada abad ke-18. Kelak kritik-kritik Kant terhadap
rasionalisme antara lain ditujukan untuk menjawab gagasan yang diajukan
olehnya.65 Sistem epistemologi Descartes dimulai dengan sikap keragu-raguan.
Pandangan semacam ini merupakan upaya sungguh-sungguh mencari akar yang
kuat dan pasti sebagai fondasi bagi ilmu pengetahuan. Sistem Descartes disebut
keraguan metodis (la doute methodique).66
Keraguan metodis adalah meragukan segala hal, termasuk prinsip-prinsip
matematika, Tuhan bahkan mencakup eksistensi manusia. Pribadi manusia
sebagai makhluk hidup, mungkin sekali tidak nyata. Mungkin kehidupan yang
dialami saat ini hanya mimpi. Mungkin manusia tertipu, misalnya oleh setan yang
sangat jahat.67 Tidak ada yang bisa menjamin bahwa apa yang dialami bebas dari
tipu muslihat. Keraguan Descartes pada titik ini tidak diarahkan menjadi sikap
skeptis terhadap realitas. Keraguan tersebut merupakan sesuatu yang berasal dari
dalam manusia itu sendiri, dan tidak berasal dari luar. Keraguan ini menemukan
legitimasinya dalam kerja pikiran manusia yang sadar. Kesadaran adalah hal
pokok yang mendasari filsafat Barat pada masa ini. Kesadaran dibentuk dalam
skema berpikir. Pikiran manusia diupayakan menemukan suatu asas yang pasti
65
Norman F. Cantor and Peter L. Klein (ed.), Seventeenth-Century Rationalism: Bacon
and Descartes (Waltham: Blaisdell Publishing Company, 1969), h. 20
66
F. Budi Hardiman, Filsafat Barat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche
(Jakarta: Gramedia, 2007), h. 38
67
Norman F. Cantor and Peter L. Klein (ed.), Seventeenth-Century Rationalism, h. 120
43
dan memiliki legitimasi ilmiah yang kokoh. Apa yang disadari adalah kenyataan
yang sebenarnya. Kesangsian adalah hal yang paling mungkin dialami manusia
yang sadar diri. Keraguan adalah hal yang paling tidak mungkin diragukan,
bahkan oleh orang yang paling ragu sekalipun. Keraguan itu dirumuskannya
dalam kalimat, “cogito ergo sum: saya berpikir, maka saya ada”. Dalam karyanya,
Discours de la Methode, Descartes berkata:
“Thus, as our senses deceive us at times, I was ready to suppose that
nothing was at all the way our senses represented them to be. As there are
men who make mistakes in reasoning even on the simplest topics in
geometry, I judge that I was as liable to error as any other, and rejected as
false all the reasoning which I had previously accepted as valid
demonstration. Finally, as the same percepts which we have when awake
may come to us when asleep without their being true, I decided to suppose
that nothing that had ever entered my mind was more real than the
illusions of my dreams. But I soon noticed that while I thus wished to think
everything false, it was necessarily true that I who thought so was
something. Since this truth, “I think, therefore I am”, was so firm and
assured that all the most extravagant suppositions of the skeptics were
unable to shake it, I judged that I could safely accept it as the first
principle of the philosophy I was seeking”.68
Descartes beranggapan bahwa manusia memiliki sebuah perangkat ide
dalam dirinya. Dari ide ini kelak muncul sejumlah pengetahuan. Ide tersebut
berjumlah tiga: ide bawaan (innate), ide yang didapat dari luar (adventitious), dan
ide yang diciptakan (factitious).69 Ide bawaan berfungsi membentuk seperangkat
68
“Jadi, karena indera menipu kita, saya telah mengira-ngira bahwa tak ada yang
dihadirkan sebagaimana adanya oleh indera. Sebagaimana orang-orang membuat kesalahankesalahan dalam penalaran bahkan tentang topik-topik paling sederhana dalam geometri, saya
memutuskan bahwa saya kemungkinan besar salah seperti yang lain dan menolak semua penalaran
palsu yang saya terima sebelumnya sebagai demonstrasi valid. Akhirnya, hal-hal yang dicerap
ketika kita sadar, mungkin hadir kepada kita sama seperti ketika kita tidur. Saya memutuskan
untuk mengira-ngira bahwa tak ada yang memasuki pikiran saya lebih daripada ilusi mimpi-mimpi
saya. Namun, saya segera melihat bahwa ketika saya bermaksud memikirkan segalanya salah, hal
itu cukup benar bahwa saya yang berpikir adalah sesuatu yang ada. Karena kebenaran ini, “saya
berpikir, maka saya ada,” sangat kokoh dan terjamin bahwa orang yang paling luarbiasa skeptis
pun tak mampu menggoyahkannya. Saya menilai bahwa saya dapat menerima hal ini secara aman
sebagai prinsip filsafat pertama yang saya cari.” René Descartes, Discourse on Method and
Meditations, trans., Laurence J. Lafleur (Indianapolis: Bobbs-Merrill Educational Publishing,
1982), h. 24
69
F. Cantor and Peter L. Klein (ed.), Seventeenth-Century Rationalism, h. 130
44
aturan dalam mendapatkan kepastian, kebenaran, yang berdasarkan asas-asas a
priori dalam diri subjek. Ide kedua merupakan bentuk kesadaran atas benda-benda
yang ada di luar diri subjek, semisal merasakan cuaca, mendengar kegaduhan,
melihat gambaran sesuatu, dan sebagainya. Ide ketiga adalah pemikiran yang
dihasilkan subjek.
Dari ide yang dipaparkan di atas, Descartes melanjutkan suatu pembagian
tentang substansi. Substansi tersebut terdiri dari Tuhan, pikiran, dan materi.70
Ketiga hal tersebut adalah klasifikasi tentang ide-ide bawaan, dan merupakan
substansi-substansi berbeda. Pikiran manusia diketahui sebagai wujud substansi
yang pasti dan melekat pada diri manusia sejak lahir. Materi dalam bentuk tubuh
manusia juga tidak dapat disangsikan keberadaannya, maka pendirian tentang
keberadaannya tidak dapat diragukan. Sedangkan ide Tuhan disebutnya pula
bagian dari ide bawaan, karena ide Tuhan juga tak terbantahkan. Tuhan adalah
titik tolak untuk mencapai kebenaran. Model pembagian seperti ini ditentang
keras oleh tokoh rasionalis lain, misalnya Baruch de Spinoza (1632-1677).
Spinoza menawarkan monisme71 yang mengatasi sistem Descartes. Ia
mengajukan satu prinsip tunggal, substansi. Substansi menjadi sumber segalanya.
Ide tentang Tuhan, materi, dan pikiran tidak lain adalah satu substansi. Mustahil
bahwa terdapat ketiga substansi yang berbeda-beda, karena segala sesuatunya
berada dalam kuasa Tuhan. Dengan begitu, semuanya adalah satu substansi.
Tuhan tak jauh berbeda dari substansi tunggal, begitu pula alam materi. Tuhan
yang menguasai alam, tidaklah berbeda dari alam yang dikuasainya. Oleh karena
70
Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy (Redland: American Book
Company, 1951), h. 115
71
Monisme diartikan sebagai pandangan yang meyakini adanya kesatuan tunggal, dan
menolak dualisme maupun pluralitas. Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of
Philosophy, h. 362
45
itu, yang ada adalah kesatuan dari substansi. Tuhan tidak lain dari alam, alam
tidak lain dari Tuhan. Spinoza menyebutnya, Deus sive Natura (Tuhan atau
alam).72 Tidak ada perbedaan yang jelas antara Tuhan dan alam. Kedua hal itu
hanya mewakili dua persfektif yang berbeda dalam melihat substansi tersebut.
Dengan ini Spinoza menggugat kemapanan pandangan agamawan ortodoks, dan
mengajukan konsep panteisme.
Dari kritikan panteismenya, Spinoza memiliki pandangan berbeda tentang
epistemologi. Pengetahuan manusia menurutnya memiliki tiga tahap. Pertama
tahap inderawi, tahap akal budi, dan tahap intuisi. Tahap inderawi memainkan
peranan sebagai penghasil beragam opini. Opini membentuk seperangkat
pandangan yang dihasilkan dari kemampuan inderawi. Namun, opini tidak bisa
dijadikan pegangan. Untuk itulah dibutuhkan kemampuan akal budi untuk
menentukan batas-batas sebuah informasi bisa dianggap sebagai pengetahuan.
Dengan daya akal budi, manusia dapat memilah apa yang dirasa sesuai dengan
penalaran rasionya. Rasio memainkan peran cukup signifikan sebagai pembentuk
arah yang benar, terutama karena rasio membentuk fondasi bagi kaidah
matematis; melalui akal manusia dapat mencapai pemahaman tentang keniscayaan
dunia. Setelah itu, taraf intuisi memberikan jaminan terhadap hasil penalaran yang
sudah mencapai tahap kepastian. Dalam taraf intuisi tidak ada kesalahan yang
kerap kali terjadi dalam penalaran. Taraf intuisi bersifat seketika, dan melalui ini
manusia mampu memahami keberadaan Tuhan. Namun, tahap intuisi ini jarang
dikenakan pada seperangkat pengetahuan. Spinoza menjelaskan bahwa sangat
sedikit sekali aspek-aspek dalam kehidupan yang bisa diketahui melalui tahap
72
F. Budi Hardiman, Filsafat Barat Modern, h. 48
46
yang terakhir ini. 73 Motif Spinoza sama seperti Descartes, mencoba menawarkan
fondasi kokoh dalam pengembangan pengetahuan.
Kedua pemikiran rasionalis di atas mendapat serangan dari Gottfried
Wilhelm von Leibniz (1646-1716). Leibniz menyempurnakan kedua sistem
sebelumnya. Bagi Leibniz, konsep tiga substansi yang digagas Descartes, maupun
kesatuan subtansi adalah kurang tepat. Yang terdapat di alam sebenarnya adalah
banyak substansi. Substansi-substansi itu tak terhingga, sebagai penyusun segala
sesuatu. Substansi di sini merupakan suatu kekuatan primitif, yang tidak dapat
diukur seperti halnya benda-benda fisik. Leibniz menyebutnya Monad. Monad
adalah substansi sederhana, yang menjadi penyusun segala sesuatu. Setiap benda
memiliki Monad. Ketika terjadi sesuatu, maka Monad benda-bendalah yang
berinteraksi satu sama lain. Monad tidak dapat dilihat dengan mata telanjang,
namun keberadaannya dapat dipahami secara rasional. Dalam karyanya, La
Monadologie, Leibniz berkata :
“Further, there is no way of explaining how a Monad can be altered in
quality or internally changed by any other created thing; since it is
impossible to change the place of anything in it or to conceive in it any
internal motion which could be produced, directed, increased or
diminished therein, although all this is possible in the case of coumpounds,
in which there are changes among the parts. The Monads have no
windows, through which anything could come in or go out. Accidents
cannot separate themselves from substances nor go about outside of them,
as the sensible species of the Scholastics used to do. Thus neither
substance nor accident can come into a Monad from outside.”74
73
Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy., h. 140
“Lebih jauh, tak ada cara menjelaskan bagaimana sebuah Monad dapat diubah dalam
kualitas atau secara internal diubah oleh suatu benda lainnya yang diciptakan; karena tidak
mungkin mengubah tempat sesuatu dalam Monad atau menerima dalam Monad gerakan internal
yang bisa dihasilkan, diarahkan, ditingkatkan atau dikurangi di dalamnya, meskipun semua ini
mungkin dalam kasus campuran, di mana terjadi perubahan di tiap-tiap bagiannya. Monad-monad
tidak memiliki jendela, yang melaluinya sesuatu dapat datang atau pergi. Sifat-sifat tidak dapat
memisahkan diri dari substansi-substansi, tidak juga keluar dari mereka, seperti konsep `spesies
yang diketahui secara inderawi`, yang digunakan kalangan Skolastik. Jadi, tidak substansi maupun
sifat, bisa datang dari luar masuk ke dalam Monad.” Leibniz, The Monadology and Other
Philosophical Writings, trans., Robert Latta (Oxford: Oxford University Press, 1968), h. 219-220
74
47
Leibniz mengajukan rumusan baru dalam masalah epistemologi. Bagi
Leibniz, konsep pengetahuan terbagi menjadi dua: pengetahuan tentang kebenaran
abadi, dan pengetahuan tentang kebenaran yang tergantung observasi indera
(based on sense observation).75 Meskipun melakukan pembagian pengetahuan,
kunci pemikiran Leibniz adalah deduksi rasional, dan bukan observasi empiris.
Pengetahuan model pertama memberikan kejelasan proposisi yang
dibentuk dari prinsip-prinsip kepastian, dan kontradiksi. Dua hal itu dapat
langsung diketahui dengan hanya melihat putusan yang membentuk suatu
pernyataan. Koherensi antar kalimat dengan kalimat menjadi tolok ukur benar
tidaknya suatu pernyataan. Kebenaran dihasilkan dengan menelusuri kesesuaian
premis-premis dalam susunan kalimat, dengan suatu pembuktian-diri (selfevident). Pengetahuan yang termasuk kategori pertama misalnya ilmu logika dan
matematika. Dalam logika dan matematika, segala kebenaran tidak didapatkan
dari hasil penelusuran di luar prinsip-prinsipnya. Tidak perlu mencari kesesuaian
antara teori dengan fakta. Yang dicari dalam menentukan benar tidaknya suatu
kesimpulan adalah dengan memeriksa susunan argumentasi, yang membuktikan
suatu rumusan ilmiah. Hasil akhir rumusan itu terlepas dari observasi atas fakta
alamiah. Dengan begitu, pengetahuan ini tidak memberikan masukan apapun atas
fenomena alamiah, tapi hanya bisa diterapkan secara sementara pada batas-batas
eksistensial.76
Sedangkan pengetahuan model kedua, didapatkan dengan meneliti dan
menelusuri sejumlah fakta. Kebenaran pengetahuan ini diperoleh melalui
observasi inderawi. Dengan begitu, pengetahuan model kedua ini sangat berbeda
75
76
Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy, h. 156
Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy, h. 155
48
dari yang pertama. Analisis fakta-fakta sangat diperlukan guna menghasilkan
kebenaran. Pengetahuan ini tidak hanya didapat dengan susunan proposisi
pembuktian diri, meskipun dituntun dengan suatu kaidah rasional. Leibniz
sependapat dengan para rasionalis pada umumnya, tentang ide-ide bawaan. Tapi,
baginya kemampuan indera bukan sama sekali tidak memiliki andil dalam
membentuk pengetahuan. Kemampuan indera bisa menyampaikan hal-hal
partikular, dan spesifik. Namun, indera menghadirkan penglihatan sekilas yang
suram tentang kebenaran intelektual. Sebaliknya rasio, lebih menjamin kejelasan
dan keselarasan. Bagi Leibniz, kebenaran tidak didapat melalui penelusuran dari
ketiadaan. Secara potensial, kebenaran telah tertanam dalam diri manusia. Kerja
pikiran adalah sebuah proses penyelidikan, yang sebenarnya merupakan
aktualisasi kapasitas sifat dasar manusia.77
Dari uraian di atas, pemikir kalangan rasionalis telah menanamkan
pengaruhnya secara signifikan terhadap proses berpikir induktif. Penalaran
semacam ini dimulai dari hal khusus, untuk kemudian dikembangkan kepada halhal yang bersifat umum. Model pemikiran seperti ini sangat menentukan dalam
pengembangan matematika. Namun, kerangka rasionalisme juga mencakup
bidang ilmu-ilmu lainnya, semisal teologi. Teologi sebagai sebuah keyakinan,
dijelaskan dalam kerangka berpikir rasional. Para agamawan berusaha
meneguhkan kebenaran agama mereka dengan pembuktian kepastian matematis.
Dengan begitu, mereka yakin dapat mensejajarkan agama dengan ilmu
pengtahuan lainnya. Kelak cara berpikir semacam ini ditentang oleh Kant. Kant
sama sekali tidak menganggap teologi menemukan klaim kebenarannya, untuk
77
Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy, h. 156
49
dianggap sejajar dengan ilmu pengetahuan, dengan cara seperti itu. Tapi, Kant
lebih jauh menempatkan agama berada di luar bingkai ilmu pengetahuan.
C. Empirisme
Empirisme berasal dari bahasa Yunani, έµπειρία (dibaca: empeiria),
diterjemahkan Latin menjadi experientia, yang darinya diturunkan kata dalam
bahasa Inggris experience (pengalaman).78 Dalam kajian filsafat, empirisme
adalah sebuah aliran filsafat yang meyakini bahwa pengetahuan manusia
diperoleh dari pengalaman. Pengalaman memainkan peranan penting dalam
proses terciptanya pemahaman; munculnya pengetahuan didapat dari hasil
observasi inderawi; kebenaran didapat dari analisis dan penelusuran fakta-fakta.
Di zaman klasik, pandangan semacam ini dijelaskan secara sistematis dalam
pemikiran Aristoteles (384-322 SM).
Kendati telah menjadi murid Plato selama 20 tahun, landasan berpikir
Aristoteles sangat berbeda dari gurunya. Filsuf kelahiran Stagira ini memiliki
pandangan yang justru sangat bertolak belakang dari Plato.79 Aristoteles lebih
meminati bidang biologi ketimbang matematika. Arsitoteles sama sekali tidak
terpengaruh—bahkan mengkritik—pemikiran Plato. Bagi Aristoteles, gagasan
Plato dengan alam ide yang transenden adalah sebuah kekeliruan. Konsep alam
ide hanyalah sebuah “omong kosong”. Tidak ada pembuktian memadai tentang
hal itu. Kekeliruan Plato sama persis dengan kekeliruan para pemikir sebelumnya.
78
D.W. Hamlyn, “Empiricism,” in Paul Edwards, ed., The Encyclopedia of Philosophy,
vol., II (New York: Macmillan Publishing Co., Inc., and The Free Press, 1972), h. 498
79
Secara umum karya Aristoteles terbagi menjadi tiga kategori: 1) fragmen-fragmen yang
tidak selesai. Karya-karya ini dihasilkan selama belajar di Akademia Plato; 2) Tulisan kompilasi,
merupakan kaya-karya saintifik ilmiahnya; 3) Karya-karya didaktik yang ditujukan untuk
pengajaran di Lyceum. Dalam kategori pertama, tulisan Aristoteles sangat bernuansa Platonisme,
berbentuk dialog. W. Wildelband, History of Ancient Philosophy, h. 238-244
50
Aristoteles menganggap bahwa pengetahuan bersifat universal,80 sama halnya
dengan kebenaran dan kesalahan. Pengetahuan manusia sama sekali tidak
berhubungan dengan sesuatu yang transenden. Ia dapat diperoleh siapa saja, tanpa
memandang status, dan lepas dari unsur-unsur adikodrati.
Bagi Aristoteles, pengetahun dirumuskan dalam suatu keputusan yang
berkaitan dengan penangkapan hubungan esensial. Mengetahui tentang sesuatu
berarti mengetahui sesuatu dapat dimasukkan dalam genus, dan secara lebih
spesifik dalam spesies tertentu, serta hal esensial darinya.81 Hal yang esensial ini
adalah sebuah tata tertib (order), yang menjadikannya berbeda dari sesuatu yang
bukan pengetahuan. Genus dan spesies merupakan istilah yang digunakan
Aristoteles, guna merujuk seperangkat dalam tata tertib tersebut.
Pengetahuan ilmiah meniscayakan adanya hubungan sebab akibat antara
suatu keadaan, dengan keadaan lainnya. Aristoteles membagi sebab dalam
penyelidikan ilmiah menjadi empat: 1) bentuk yang dapat didefinisikan; 2) bagian
yang mengharuskan adanya sebab akibat (bisa diartikan juga sebagai sebab
material); 3) sebab efisien; 4) tujuan.82 Keempat sebab ini menjadi dasar kokoh
suatu kaidah pengetahuan ilmiah, dalam berbagai macam disiplin keilmuan.
Bagi Aristoteles, pengetahuan diperoleh lewat daya tangkap jiwa terhadap
bentuk benda-benda partikular. Jiwa itu sendiri bukanlah sebuah entitas spiritual.
Tapi, sebuah subtansi dalam pengertian yang berkesesuian dengan formula
definitif esensi sesuatu.83 Jiwa adalah ke-apa-an yang paling esensial dari sesuatu.
Setiap makhluk bernyawa memiliki jiwa. Jiwa mengatur seperangkat aturan
80
McKeon (ed.), Introduction to Aristotle, h. 70
D.W. Hamlyn, “Epistemology,” h. 13
82
McKeon (ed.), Introduction to Aristotle, h. 88
83
McKeon (ed.), Introduction to Aristotle, h. 172
81
51
fakultas yang dimiliki tubuh, misalnya mata. Penglihatan adalah jiwanya, atau
esensi mata, sedangkan wujud mata adalah materi. Mata berkesesuaian dengan
formula yang mengaturnya. Jika tanpa jiwa, maka mata tidak dapat melihat.
Tanpa jiwa, mata hanya menjadi sebuah nama, tanpa kemampuan daya lihat.84
Tubuh memiliki organ-organ indera yang cukup beragam, tidak hanya
penglihatan. Dengan kemampuan indera, jiwa dapat memperoleh tangkapan
partikular atas bentuk beragam macam benda. Jiwa tidak mungkin berpikir tanpa
sebuah gambaran atau imajinasi.85 Aristoteles menjelaskan bahwa proses
munculnya imajinasi ibarat udara yang membatasi pergerakan pupil mata, dalam
suatu cara tertentu dalam penglihatan. Setelah itu pupil mentransmisikan hasil
modifikasi tersebut pada jiwa, di mana tujuan utamanya adalah mendapatkan
suatu makna tertentu. Hal yang hampir sama berlaku pada kemampuan indera
lainnya, dengan perangkatnya masing-masing.
Kemampuan indera adalah sebuah aksi potensial organ tubuh. Organ ini
bekerja dengan aturan yang ada dalam tubuh manusia. Setiap indera memiliki
objek dan kemampuannya sendiri. Indera tidak dapat diberlakukan layaknya
sebuah alat yang tidak memiliki perangkat dan objek yang jelas. Setiap indera
memiliki fungsi tertentu, dengan objek yang berbeda-beda dan pasti. Indera
penglihatan memiliki kemampuan khusus untuk dapat memperoleh pencerapan
terhadap objek warna, ukuran dan bentuk. Telinga memiliki kemampuan khusus
yang berkaitan dengan suara, dan begitu seterusnya setiap indera memiliki
kemampuan tersendiri dan objek yang berbeda. Namun, terdapat beberapa indera
84
85
McKeon (ed.), Introduction to Aristotle, h. 173
McKeon (ed.), Introduction to Aristotle, h. 223
52
yang memiliki objek bersama,86 misalnya indera peraba dan indera penglihatan
dapat memperoleh pengertian tentang bentuk dan ukuran. Ada kesamaan atas
kemampuan dan objek dari beberapa indera. Hal itu alamiah. Itu semua
menandakan bahwa setiap indera saling berkaitan satu sama lain.
Semua perangkat indera dapat berkerja bersama. Malahan Aristoteles
menegaskan ketika sebuah indera bekerja dalam batas-batasnya sendiri, dengan
seperangkat aturan yang terpisah dari yang lain, maka pada titik ini akan rentan
terjadinya kesalahan. Setiap susunan pengetahuan didapatkan lewat kombinasi
antar kemampuan beragam indera yang ada dalam tubuh manusia. Tentunya
dengan ketentuan status indera tertentu yang lebih dominan, dari yang lainnya.
Untuk menghasilkan bentuk pengetahuan yang pasti, hasil pencerapan indera
tersebut kemudian dipadukan dengan putusan dalam pikiran. Eksistensi manusia
berbeda dari binatang, dalam hal penguasaan seni dan penalaran.87 Penalaran
merupakan sesuatu yang sudah menjadi keutamanaan manusia. Pengetahuan
membutuhkan pemahaman utuh, dan dapat dipertanggungjawabkan. Keselarasan
antara kerja pikiran dengan fakta-fakta sangat diperlukan. Dengan begitu,
kemungkinan kesalahan indera dalam mendapatkan informasi, dapat dihindari.
Pikiran memberikan putusan atas apa yang diperoleh oleh indera terhadap
beragam bentuk objek. Aristoteles mengaitkan hubungan antara indera dan
pikiran. Ia membagi pikiran dalam dua bentuk: pikiran pasif dan pikiran aktif.
Pikiran pasif bekerja dalam batas-batas tertentu yang memungkinkannya bekerja
dalam tatanan potensialitas. Dalam hal ini, pikiran hanya dapat merasakan suatu
unsur tertentu yang dipahami, bukan sebagai entitas yang dapat dipisahkan,
86
87
McKeon (ed.), Introduction to Aristotle, h. 188
McKeon (ed.), Introduction to Aristotle, h. 324-325
53
misalnya tentang wujud air. Pikiran pasif tidak mampu membedakan antara
potensi air, dengan air yang sudah diaktualkan zatnya. Sedangkan pikiran aktif,
bekerja dalam batas-batas yang memungkinkan suatu pemahaman utuh tentang
objek. Pikiran dalam hal ini tidak tercampur, dan dapat dipisahkan, berada dalam
batas-batas aktivitas esensial alamiahnya.88 Informasi tentang entitas objek
didapat dari inderawi, yang bekerja dengan fungsi-fungsinya dalam batas-batas
penerimaan. Informasi lalu dirumuskan dalam skema pembagian yang jelas,
antara yang potensial dan aktual. Pengetahuan aktual identik dengan objeknya.
Dalam hal individual, pengetahuan potensial lebih dulu ada secara waktu dari
pengetahuan aktual. Namun, pengetahuan aktual bersifat universal, dan dalam
ruang lingkup alam semesta, sama sekali tidak yang lebih dulu atau pun
terkemudian secara waktu. Pikiran bebas dari unsur waktu. Pikiran menampakkan
sesuatu apa adanya, dan tidak lebih. Ia terus-menerus bekerja, dan tanpanya tak
ada yang bisa dipikirkan. 89
Tokoh empirisme yang berpengaruh cukup signifikan di abad modern
adalah John Locke (1632-1704). Locke tidak setuju dengan pandangan rasionalis,
misalnya tentang ide-ide bawaan dan daya inderawi yang kurang diperhatikan.
Bagi Locke, pikiran manusia ketika dilahirkan adalah dalam keadaan kosong,
tabula rasa. Ide bawaan mengandung sejumlah persoalan, semisal perbedaan
antara si cerdas dan si idiot yang keduanya sejak lahir memiliki kesempatan sama
dalam menggapai pengetahuan.90 Pengetahuan manusia berkembang seiring
88
McKeon (ed.), Introduction to Aristotle, h. 220
McKeon (ed.), Introduction to Aristotle, h. 221
90
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding in Focus, Garry Fuller, etc.,
ed., (London: Routledge, 2000), h. 50
89
54
dengan interaksi dan pendidikan yang diraih.91 Menurutnya, pikiran manusia
ketika lahir semacam kertas putih, kosong. Pikiran mendapat pengetahuan setelah
manusia mulai menggunakan inderanya. Locke menulis:
“The senses at first let in particular ides, and furnish the yet empty
cabinet: and the mind by degree growing familiar with some of them, they
are lodged in memory, and names got to them. Afterward the mind
proceeding farther, abstracts them, and by degree learns the use of
general names.”92
Locke memandang bahwa ruang adalah hasil penyusunan ide-ide abstrak
dari penginderaan yang sangat rumit, bersifat partikular, yang kemudian menjadi
sebuah bentuk kompleks. Ide dengan begitu di bentuk dalam ruang yang berasal
dari faktor eksternal. Menurut Locke, manusia mendapat ide lewat sensasi dan
refleksi. Dengan sensasi manusia bisa mengetahui hal-hal semacam warna, suara,
cuaca, dan sebagainya. Melalui refleksi, manusia dapat menjadi sadar terhadap
keadaan internalnya, semisal keinginan, keraguan, pemikiran, dan seterusnya. 93
Kedua hal itu menjalankan fungsi bersama membentuk pengetahuan; kombinasi
kedua unsur tersebut dapat menghasil pemahaman mendalam. Melalui penyatuan
itu, manusia dapat menerima ide-ide kesatuan, keteraturan, kesakitan, dan lainlain. Hal itu semuanya dibentuk dalam suatu susunan kerja pikiran.
Pikiran bekerja dalam hal menerima dan mengolah informasi apa adanya.
Hasil kerja pikiran disebut ide. Apa yang diterima pikiran, tetap tidak sama
dengan sesuatu yang sebenarnya. Hasil pencerapan indera, menjadi sumber utama
dalam proses pengetahuan. Ide dalam pandangan Locke, terbagi menjadi dua: ide
91
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding in Focus, h. 59-60
“Pertama, indera mengambil ide-ide tertentu, dan memenuhi susunan kosong: dan
pikiran meningkat sesuai derajatnya mengenali ide-ide tersebut, yang di tempatkan dalam memori,
dan menamai mereka. Pada kelanjutannya, pikiran berlanjut mengabstraksikan mereka, dan
dengan (sesuai peningkatan) derajat mempelajari kegunaan nama-nama umum tersebut.” John
Locke, An Essay Concerning Human Understanding in Focus, h. 51
93
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding in Focus, h. 67-68
92
55
sederhana dan ide kompleks.94 Ide sederhana adalah infromasi yang dihasilkan
pencerapan inderawi, atas fakta-fakta partikular. Data partikular ini kemudian
menjadi sumber bagi suatu skema yang lebih luas, yakni ide kompleks. Ide
kompleks berasal dari sejumlah kumpulan ide-ide partikular yang diangkat
menjadi skala luas,95 misalnya fakta-fakta tertentu tentang manusia. Manusia
terdiri dari kelompok-kelompok, dan tipe yang berbeda-beda. Ada tipe kurus,
gemuk, tinggi dan pendek. Ini disebut fakta-fakta partikular. Dari data itu
kemudian dirumuskan suatu benang merah, yang menggambarkan konsep
manusia secara umum. Hasil terakhir ini disebut ide kompleks. Dalam kinerja
untuk menghasilkan ide, pikiran didorong oleh suatu kekuatan tersembunyi yang
bersifat metafisik. Kekuatan ini disebut dengan kualitas.96
Locke membagi antara kualitas primer dan kualitas sekunder. Kualitas
primer merupakan sesuatu yang melekat pada objek, tidak bisa dipisahkan dan
diubah. Ia membentuk seperangkat aturan yang mengarahkan bagaimana objek
dapat ditangkap subjek. Kualitas primer adalah asas objek, misalnya gerakan,
perluasan, durasi waktu, dan kepadatan. Adapun kualitas sekunder adalah unsurunsur subjektif, yang tidak memiliki realitas metafisik. Ia tidak terdapat di dalam
objek. Kualitas sekunder adalah kekuatan yang muncul dalam diri manusia berupa
berbagai macam sensasi, yang dihasilkan oleh kualitas primer.97 Ia bersifat relatif,
misalnya warna, suara, rasa, dan sebagainya. Lewat kualitas sekunder, nyala api
dapat menghasilkan sensasi panas dan membakar. Sensasi ini muncul dalam diri
94
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding in Focus, h. 71
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding in Focus, h. 76
96
Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy, h. 185
97
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding in Focus, h. 144
95
56
manusia. Sensasi api tersebut dihasilkan dari kualitas primer yang berada dalam
api, yang kemudian diterima oleh subjek.
Pembagian Locke atas ide dan kualitas, tidak bisa diterima oleh George
Berkeley (1685-1753)—salah satu tokoh empiris. Bagi Berkeley, ide dan
pengalaman adalah sama. Tak ada perbedaan antara persepsi, kualitas, ide, dan
pengalaman. Objek-objek disebut ada, karena keberadaannya yang bisa dipersepsi
indera. Segala bentuk hal-hal metafisik, pada dasarnya tidak berwujud, karena
tidak bisa diketahui lewat indera. Terkenal diktum dari Berkeley: Esse est percipi
(to be is to be perceived).98 Maksud kalimat tersebut adalah sesuatu ada wujudnya
karena dapat diterima indera; objek-objek di luar manusia dianggap ada selama
dapat diterima indera. Objek-objek tersebut merupakan substansi material, yang
diterima keberadaannya berkat persepsi indera. Sehingga jika persepsi itu tidak
ada, maka objek material tidak ada sama sekali. Kesadaran subjek dalam
mempersepsi, menentukan batas-batas keberadaan benda-benda. Putusan rasional
tentang suatu objek, ditentukan berdasarkan pengetahuan atas objek tersebut.
Dengan begitu, dunia tidak lebih dari kesan-kesan. Namun, Berkeley menghadapi
sejumlah persoalan khususnya menyangkut mekanisme kerja indera, dan
ketergantungan terhadapnya. Oleh karena itu, ia kemudian memberi jalan keluar
dengan mengemukakan adanya pikiran atau roh tak terbatas, yang diidentifikasi
sebagai Tuhan. Tuhan tidak saja diartikan sebagai pencipta segala sesautu. Bagi
Berkeley, Tuhan yang membuat manusia memiliki indera dan mampu
mempergunakan inderanya.99
98
99
Robert Ackermann, Theories of Knowledge, h. 149
Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 66
57
Pandangan Berkeley di atas diradikalkan oleh tokoh empiris lainnya,
David Hume (1711-1776). Gaya pemikiran Hume menggambarkan sikap skeptik.
Ia sepakat dengan kedua tokoh empiris Inggris terkait tidak adanya ide-ide
bawaan. Namun, Hume mengarahkan kritik terhadap kecenderungan yang masih
menyelimuti pandangan empiris pada umumnya, semisal masalah substansi,
istilah-istilah metafisika, dan kausalitas. Mengenai masalah susbtansi yang masih
diyakini Locke, Hume memandangnya tidak lebih dari sekedar persepsi. Konsep
substansi yang diketahui manusia, sebenarnya hanyalah persepsi atas benda-benda
material. Yang mampu diketahui pikiran hanyalah persepsi-persepsi tersebut,100
dan tidak lebih. Objek di luar kesadaran manusia tidak termasuk yang dipikirkan.
Di samping itu, menurut Hume tidak ada hubungan yang jelas antara persepsi
dengan objek-objek yang diindera. Bukti-bukti keterkaitan antara objek dengan
persepsi subjek tidak bisa ditemukan secara jelas. Yang kemudian dijelaskan
Hume
adalah
bagaimana
sebenarnya
mekanisme
kerja
pikiran
dalam
menghasilkan keberadaan konsep-konsep substansi.
Bagi Hume, pemahaman tentang substansi didapat ketika terjadi interaksi
dengan benda-benda, misalnya bola billiard berbentuk bulat, merah, dan padat.
Dari situ pikiran menangkap kesatuan konsep tentang bola tersebut. Pada dasarnya
keberadaan substansi bola itu sebatas ada dalam pikiran. Persepsi yang dialami
subjek bersifat khayali. Substansi adalah kumpulan persepsi atas benda. Begitu
pula misalnya dengan kesadaan manusia. Ke-aku-an dipahami sebagai faktor
penunjang keberadaan manusia yang sadar. Kesadaran ini pada gilirannya
bermasalah. Kesadaran hanya dialami ketika keadaan tertentu, yakni saat persepsi-
100
Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy, h. 218
58
persepsi bekerja. Kesadaran hanya keadaan sementara. Ketika tidur, atau setelah
meninggal, orang tidak lagi menyadari keberadaannya, karena persepsi-persepsi
menghilang.101 Hume memandang bahwa kesadaran manusia pun termasuk
kumpulan dari persepsi, a bundle of perceptions.102
Serangan keras Hume berikutnya adalah tentang kausalitas. Hume
menolak adanya ketetapan standar hukum ini. Baginya mustahil dijelaskan secara
empiris saling ketergantungan suatu kejadian terhadap kejadian lain. Pemahaman
sebab-akibat pada dasarnya berasal dari kesan-kesan inderawi.103 Suatu peristiwa
yang terjadi diiringi peristiwa lainnya, tidak bisa langsung disimpulkan ketetapan
hukum universal. Yang justru terjadi adalah keberurutan peristiwa, misalnya api
membakar kertas. Pada peristiwa itu tidak bisa disimpulkan terdapat hukum
bahwa api membakar kertas yang niscaya. Hal itu hanya berada dalam batas
kemungkinan. Peristiwa terbakarnya kertas ketika bersentuhan dengan api, tidak
bisa dijadikan standar adanya kausalitas yang pasti.
101
David Hume, A Treatise of Human Nature (Middlesex: Penguin Book, 1985), h. 300
Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy, h. 220
103
David Hume, A Treatise of Human Nature, h. 131
102
59
BAB IV
KONSEP TRANSENDENTALISME
A. Kritik atas Rasionalisme dan Empirisme
Sistem epistemologis Immanuel Kant berupaya mengatasi persoalan yang
ditinggalkan dan tidak terselesaikan dari kedua kutub, baik rasionalisme maupun
empirisme. Ia berhasil memadukan unsur dari keduanya, menjadi sebuah sistem
yang lebih kuat. Dalam beberapa hal, sebagian kalangan menilainya hanya
sebagai eklektisis: orang yang hanya mengadopsi “sisa-sisa” pemikiran, kemudian
meramunya kembali dengan sedikit tambahan, sehingga terlihat lebih bagus.
Namun, pendapat itu kurang tepat. Kant menghasilkan pemikirannya dalam
proyek filosofis yang disebutnya “filsafat kritis”, yang menandai arah baru upaya
pencarian sistem epistemologi yang lebih jelas dan kokoh.104
Kritik dalam pemikiran Kant, dipahami sebagai sebuah cara berfilsafat
yang dipertentangkan dengan dogmatisme. Kalangan dogmatis adalah para filsuf
yang sudah mengandaikan begitu saja kemampuan rasio dalam mengolah
pengetahuan. Sedangkan kritisisme merupakan sebuah terobosan dalam filsafat
yang mempertanyakan fungsi rasio, atau syarat-syarat kemungkinan (die
Bedigung der Möglichkeit) pengetahuan.105 Selain membahas sistem filsafatnya,
Kant terlebih juga menguji sampai di mana batas-batas yang jelas dari akal, guna
menghasilkan pengetahuan. Ia tidak begitu saja menerima kemampuan akal. Tapi,
mencoba mendudukkannya lebih proporsional. Dengan begitu, sistem filsafat
Kant berbeda dari sistem manapun.
104
Georges Dicker, Kant’s Theory of Knowledge: An Analytical Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2004), h. 3
105
F. Budi Hardiman, Filsafat Barat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche
(Jakarta: Gramedia, 2007), h. 133
60
Dalam beberapa hal, Kant sependapat dengan kaum rasionalis. Tapi, tidak
seutuhnya menolak pandangan kaum empiris. Kant sepakat misalnya dengan
pengalaman yang memberi isi pada pengetahuan. Tidak diragukan bahwa
pengalaman adalah sumber pengetahuan. Namun, tidak semua unsur pengetahuan
muncul dari pengalaman.106 Kant juga mendukung aspek a priori dari subjek.
Kedudukan Kant dengan kaum rasionalis adalah menegaskan batas-batas a
priori pengetahuan. Kant menolak pandangan kaum rasionalis, yang meyakini
adanya pengetahuan bawaan: Tuhan, keabadian jiwa, dan kebebasan.107 Baginya,
klaim atas hal tersebut tidak bisa dibuktikan. Pengetahuan membutuhkan bukti
dan fakta, sehingga tidak hanya konsep abstrak. Pengetahuan berkaitan dengan
data empiris yang bisa diuji. Pengetahuan ilmiah tidak bersifat subjektif, atau
eksklusif, sehingga dapat diamati dengan kaidah tertentu oleh siapa pun.
Namun, Kant tidak menolak ketiga konsep metafisis tersebut. Secara
alamiah, manusia memiliki kecenderungan meyakini sesuatu yang abstrak. Halhal yang abstrak contohnya sangat banyak. Semisal klaim-klaim moralitas,
berguna untuk memberikan arah bagi kehidupan. Bisa jadi bagi sebagian orang,
moralitas menuntun orang mendapatkan kebahagiaan. Metafisika sendiri menurut
Kant disebut “natural predisposition” (kecenderungan alamiah).108 Kant tidak
menolak adanya konsep metafisis apapun. Tapi, ia menempatkannya dalam
bingkai di luar pengetahuan. Metafisika tidak bisa dikategorikan sebagai
pengetahuan. Bagi Kant, pengetahuan hanya meluas berdasarkan pengalaman
yang diraih. Sedangkan metafisika, berkaitan dengan sesuatu di luar hal fisik.
106
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans., Paul Guyer and Allen W. Wood
(Cambridge: Cambridge University Press, 2000), h. 127
107
Georges Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 4
108
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 147
61
Dalam posisi ini, kedudukan Kant lebih condong dengan kaum empiris. Kaum
empiris menganggap bahwa pengetahuan bisa didapat hanya lewat pengalaman.
Akan tetapi, Kant menolak prinsip utama kaum empiris bahwa
pengetahuan hanya berasal dari persepsi inderawi atau dari kesadaran introspektif.
Baginya, manusia memiliki unsur a priori yang bisa membentuk pemahaman,
untuk menghasilkan pengetahuan. Kant lebih jauh mempertahankan pengetahuan
dalam taraf “commonsense” sehari-hari.109 Dari sini dapat dikatakan bahwa
serangan tajam Hume terhadap pengetahuan dalam taraf “commonsense”,110
diangkat kembali oleh Kant. Konsep-konsep a priori tersebut bisa menghasilkan
pengetahuan, hanya jika diterapkan dalam pengalaman aktual. Konsep-konsep
tersebut tidak menghasilkan pengetahuan metafisis, dan sama sekali lepas dari
unsur-unsur abstrak. Dengan kata lain, konsep sebab akibat misalnya, tidak bisa
diberlakukan untuk pengujian atas keberadaan Tuhan. Tuhan adalah konsep
abstrak, yang mengacu pada sesuatu yang transenden. Tuhan berada di luar batas
pengalaman, sehingga tidak bisa diselidiki dengan perangkat a priori tersebut.
Menurut beberapa komentatornya, proyek epistemologis Kant dapat
diringkas dalam upaya menjawab pertanyaan: Bagaimana putusan sintetik a priori
itu mungkin?111 Kant menegaskan pernyataannya sebagai berikut:
“One has already gained a great deal if one can bring a multitude of
investigations under the formula of a single problem. For one thereby not
only lightens one’s own task, by determining it precisely, but also the
109
Georges Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 4
Istilah commonsense sebagai pemahaman yang berasal dari pikiran sehat sehari-hari
yang sudah menjadi kebiasaan, misalnya keniscayaan kausalitas. Hal itu yang mendapat serangan
Hume. Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy (London: Penguin Books
Ltd., 2000), h. 256
111
Salah seorang pengkaji Kant, P.F. Strawson, memiliki pandangan berbeda dari
beberapa komentator lainnya. Ia tidak mereduksi proyek epistemologis Kant pada upaya
menjawab putusan sintetik a priori, melainkan pada pertanyaan: Apa yang bisa kita ketahui
tentang struktur pengalaman yang bisa dipahami oleh kita sendiri? Georges Dicker, Kant’s Theory
of Knowledge, h. 45
110
62
judgment of anyone else who wants to examine whether we have satisfied
our plan or not. The real problem of pure reason is now contained in the
question: How are synthetic judgments a priori possible?”112
Para filsuf sebelum Kant, baik kalangan rasionalis, maupun empiris,
membantah kemungkinan adanya putusan sintetik a priori. Kalangan rasionalis
menganggapnya tidak mungkin. Sebaliknya, kalangan empiris menganggap hal itu
sebagai tidak bisa dipahami.113
Secara garis besar, kalangan rasionalis dan empiris setuju terdapat putusan
analitik a priori, dan sintetik a posteriori. Putusan analitik diartikan sebagai
putusan yang kebenaran dari putusan itu didapatkan dari analisis kata-kata yang
menyusun putusan tersebut. Putusan semacam ini hanya berkaitan dengan
kegunaan linguistik, dan atau menjelaskan konsep komponen yang sebenarnya
sudah berada di dalam subjek. Putusan ini tidak memberi nilai tambah apa-apa
terhadap realitas di luar subjek. Dengan kata lain, predikat dalam putusan itu
sudah berada dalam subjeknya. Putusan semacam ini disebut juga putusan
klarifikasi.114 Kant mencontohkan putusan ini dalam kalimat, “tubuh meluas”
(memiliki bentuk dan ukuran). Dalam kalimat ini, kebenaran infomasi sudah
didapat dalam subjeknya, dan bahkan tidak memerlukan observasi. Pasalnya,
setiap tubuh sudah menjadi keniscayaan memiliki ukuran dan bentuk. Bahkan jika
misalnya tidak ada tubuh sama sekali, putusan tersebut bisa diterima.115 Oleh
karena itu, putusan analitik bersifat a priori.
112
“Seseorang sudah mendapatkan kemajuan besar, jika ia bisa membawa keragaman
penyelidikan di bawah formula dalam sebuah masalah. Karena dengan begitu, ia tidak hanya
mencerahkan tugasnya sendiri, dengan menentukannya secara tepat, tapi juga putusan dari orang
lain yang menginginkan untuk menguji apakah ia telah memuaskan rencana kita atau tidak.
Problem yang sebenarnya dari akal murni, sekarang terdapat dalam pertanyaan berikut: Bagaimana
putusan sintetik a priori itu mungkin?” Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 146
113
Georges Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 16
114
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 141
115
Georges Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 13
63
Sedangkan putusan sintetik adalah sejenis putusan yang predikatnya
mampu menambah sesuatu kebenaran baru pada subjek. Putusan semacam ini
disebut juga putusan amplifikasi.116 Dalam putusan ini, predikat tidak berada
dalam subjeknya. Contohnya dalam kalimat, “semua tubuh berat” (memiliki
berat). Predikat putusan tersebut, berisi informasi baru yang sebelumnya tidak
terdapat di dalam subjek. Konsep berat, berhubungan dengan sesuatu di luar
subjek. Selain itu, putusan ini mencakup pula semua putusan yang berkaitan
dengan pengalaman. Karena berisi informasi baru, maka realitas empiris ikut
menentukan kebenaran putusan tersebut. Hal ini mengindikasikan, jika kalimat,
“semua tubuh berat”, dinyatakan dalam ruang yang tidak ada daya gravitasi, maka
putusan tersebut dapat dianggap tidak benar.117
Selanjutnya, antara kaum rasionalis dan empiris sepakat tidak adanya
putusan analitik a posteriori. Putusan analitik berkaitan dengan analisis konsep
komponen subjek, sehingga tidak menambah informasi baru. Putusan analitik
pada gilirannya selalu a priori. Sedangkan a posteriori merujuk pada pembuktian
kebenaran dengan menambah informasi baru di luar subjek, serta dikaitkan
dengan kenyataan empiris. Istilah a priori dan a posteriori merupakan dua bentuk
penalaran berbeda, yang sudah dimulai sejak masa Aristoteles.118
Kant sepakat dengan kaum rasionalis dan empiris mengenai ketiga putusan
di atas. Namun, ia menolak bahwa putusan sintetik a priori tidak mungkin. Kant
mencontohkan misalnya penalaran matematika, perhitungan 7+5 = 12. Jumlah 12
adalah hasil penalaran yang tidak diperoleh dari analisis angka 7 dan 5. Jumlah 12
adalah informasi baru. Selain itu, proposisi matematis selalu bersifat a priori,
116
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 141
Georges Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 13
118
Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 33
117
64
karena mereka membawa keniscayaan dalam dirinya, yang tidak didapat dari
aspek empiris.119 Proposisi aritmatika selalu sintetis. Oleh karena itu, selain
analisis atas konsep, Kant mengatakan bahwa jumlah 12 tersebut diperoleh
dengan bantuan intuisi.
Selain matematika, contoh lain misalnya, dalam penalaran pengetahuan
alam (Physica). Prinsip-prinsip fisika dalam dirinya berbentuk putusan sintetik a
priori. Misalnya, proposisi “semua perubahan dalam dunia fisik tidak merubah
kuantitas materi”, atau “semua hubungan efek yang bergerak dan efek yang
berlawanan selalu sama”. Kedua proposisi tersebut, menurut Kant adalah putusan
sintetik a priori. Pada proposisi pertama, konsep “berubah” tidak diperoleh dari
analisis atas konsep materi. Materi dapat dikenali dengan kehadirannya di dalam
ruang, sehingga perubahan berarti menambahkan sesuatu di luar subjek. Begitu
pula konsep “sama” dalam proposisi kedua, tidak diperoleh atas analisis semata,
tetapi, melampaui batas konsep yang dituju. Dengan begitu, kedua proposisi
tersebut adalah hasil sintesis. Selain itu, konsep berubah pada proposisi pertama
dan konsep sama dalam proposisi kedua, tidak diperoleh melalui penginderaan
secara langsung. Tapi, sudah merupakan hasil pemikiran. Dengan demikian,
berlaku a priori.120
Contoh lainnya adalah metafisika. Misalnya putusan, “dunia diciptakan
oleh Tuhan”, “manusia memiliki jiwa”, atau “di dunia ini terdapat kebebasan”.
Bagi Kant, konsep tentang Tuhan, keabadian jiwa, kebebasan, dan sebagainya
adalah sesuatu yang tidak bisa dibuktikan lewat pengalaman, karena abstrak. Kant
menyerang kaum rasionalis yang menyangkal ketidakmungkinan putusan hal
119
120
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 144
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 145
65
semacam itu, berdasarkan pertimbangan analitik. Ia juga sekaligus membantah
kalangan empiris, yang menentang ketidakmungkinannya dari sisi a posteriori.
Tapi, ketiga konsep: Tuhan, jiwa, dan kebebasan, merupakan informasi yang tidak
diperoleh dari pengalaman, dan mampu memberi informasi baru sehingga berupa
sintesis, atau lengkapnya berbentuk sintetik a priori.121
Di sini perlu dipahami bahwa a priori dalam pengertian Kant bukan
berarti sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan bukti-bukti empiris. Konsep
dalam matematika atau pun dalam ilmu alam, kendati a priori namun selalu bisa
diwujudkan dalam realitas empiris. Yang dimaksud a priori di sini adalah dapat
diketahui secara independen atau tidak tergantung pada pengalaman. Namun,
bukan berarti lepas sama sekali dari pengalaman. Mungkin seseorang mengetahui
konsep dalam ilmu alam, atau perhitungan bahwa 2+6 = 8 dari membacanya di
dalam buku, atau mungkin seseorang tahu dan paham pernyataan dalam kaidah
tertentu yang memerlukan pembelajaran, sehingga mencakup proses yang
melibatkan pengalaman. Oleh karena itu, maksud pengetahuan independen dari
pengalaman adalah bisa diketahui tanpa pengalaman, kecuali untuk pengalaman
yang diperlukan untuk mempelajari istilah-istilah penyusun konsep tertentu.122
B. Konsep Ruang dan Waktu
Kant menegaskan pentingnya kedudukan pengalaman, sebagai sebuah cara
agar konsep-konsep a priori bisa diwujudkan dalam dunia nyata. Bagi Kant,
pemikiran membutuhkan konsep, sekaligus sesuatu agar konsep itu bisa
diterapkan. Kant berkata bahwa pemikiran tanpa isi adalah kosong, dan intuisi
121
122
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 146
George Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 7-8
66
tanpa konsep adalah buta.123 Misalnya, seseorang berpikir tentang rumah. Rumah
dalam pikiran orang tersebut adalah sebuah konsep. Agar konsep bisa diketahui,
dan dipahami, harus mampu diwujudkan dalam tataran empiris. Sesuatu bisa
dinyatakan dalam tataran empiris, ketika seseorang sadar akan kehidupannya.
Kesadaran tersebut berhubungan dengan objek di dalam pengalaman.
Menurut Kant, kesadaran diperoleh dari pengalaman, dan tidak ada
kesadaran yang mendahului pengalaman. Bahkan dengan pengalaman kesadaran
dimulai.124 Kesadaran itu selalu terarah kepada objek. Untuk dapat menangkap
realitas, dibutuhkan kemampuan sensibilitas. Daya sensibiltas ini mengumpulkan
sejumlah data dari luar, yang dengannya seseorang mampu mendapatkan
informasi, guna dipikirkan untuk mendapatkan pemahaman. Bagi Kant,
sensibilitas adalah kapasitas (penerimaan) untuk mencapai representasi atas objekobjek melalui suatu cara tertentu. Fungsi sensibiltas hanya menangkap dan tidak
memberi penilaian atas penampakkan.
Kant menjelaskan bagaimana sebuah objek dapat diketahui subjek. Para
filsuf sebelumnya berpendapat bahwa setiap bentuk penampakkan objek
merupakan suatu cara di mana subjek yang mengamati objek. Subjek dengan
susunan kesadaran tertentu, mendatangi objek untuk memperoleh pemahaman atas
objek. Dalam pandangan Kant, yang terjadi adalah sebaliknya. Justru objek yang
menampakkan dirinya kepada subjek. Subjek sebagai pengamat, menangkap
adanya representasi dari objek. Pandangan ini dianggapnya sebagai sebuah
terobosan baru dalam filsafat. Ia menyamakannya dengan revolusi Copernicus
dalam ilmu alam. Kant berkata:
123
124
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 193-194
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 136
67
“Hence let us once try whether we do not get farther with the problems of
metaphysics by assuming that the object must conform to our cognition,
which would agree better with the requested possibility of an a priori
cognition of them, which is to establish something about objects before
they are given to us. This would be just like the first thoughts of
Copernicus, who, when he did not make a good progress in the
explanation of the celestial motions if he assumed that the entire celestial
host revolves around the observer, tried to see if he might not have greater
success if he made the observer revolve and left the stars at rest. Now in
metaphysics we can try in a similar way regarding the intuition of objects.
If intuition has to conform to the constitution of objects, then I do not see
how we can know anything of them a priori; but if the object (as an object
of the senses) conforms to the constitution of our faculty of intuition, then I
can very well represent this possibility to myself.”125
Daya sensibilitas merupakan kemampuan subjektif setiap individu. Efek
dari objek atas kapasitas representasi yang dipengaruhi objek, oleh Kant disebut
sensasi (sensation). Sedangkan intuisi yang berhubungan dengan objek melalui
sensasi disebut empiris (empirical), dan objek-objek intuisi empiris yang sudah
ditentukan batas-batasnya disebut penampakkan (appearance).126 Dalam proses
hadirnya penampakkan, menurut Kant, terdapat dua bentuk fungsi murni intuisi
sebagai prinsip kesadaran a priori: ruang dan waktu.127 Dua hal ini dijelaskan
sebagai bagian dari estetika transendental. Dengan ini, posisi Kant cukup jelas. Ia
menolak rasionalisme yang mengutamakan aspek a priori, sekaligus tidak
125
“Oleh karena itu, mari kita upayakan apakah kita tidak melangkah lebih jauh dengan
problem metafisik dengan mengasumsikan bahwa objek harus menyesuaikan dengan kesadaran
kita, yang lebih baik dengan kemungkinan sebuah kesadaran a priori tentang mereka, yang harus
menyusun sesuatu tentang objek sebelum mereka hadir kepada kita. Ini akan menjadi seperti
pemikiran pertama Kopernikus, ketika ia tidak membuat kemajuan dalam pergerakan benda-benda
langit, jika ia mengasumsikan semua benda-benda langit berevolusi mengitari pengamat (manusia
di bumi), berusaha melihat apakah ia tidak memiliki keberhasilan besar jika membuat pengamat
berevolusi dan membiarkan bintang-bintang tetap diam. Sekarang, dalam metafisik kita bisa
mengusahakan hal yang sama berkenaan dengan intuisi objek. Jika intuisi harus berkesesuaian
dengan susunan objek, saya tidak mengerti bagaimana mengetahui mereka secara a priori; tapi
jika objek (sebagai objek inderawi) menyesuaikan dengan susunan fakultas intuisi kita, maka saya
bisa dengan sangat baik menghadirkan kemungkinan ini kepada diri saya sendiri. ” Immanuel
Kant, Critique of Pure Reason, h. 110
126
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 155, 172
127
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 174
68
sependapat dengan empirisme yang memutlakkan pengalaman. Bagi Kant, kedua
hal itu akan saling berpengaruh dalam terbentuknya pengetahuan.
Ruang bukan konsep empiris. Tapi, tempat segala bentuk penginderaan
ditentukan batas-batas keluasannya. Dalam ruang, objek dapat dihubungkan satu
dengan lainnya, dalam penampakkan dan bukan dalam benda pada dirinya. Ruang
tidak bersifat diskursif. Tapi, intuisi murni a priori, yang menjadi dasar semua
intuisi luar. Jika tidak ada ruang, maka tidak ada yang bisa hadir kepada subjek.128
Sama seperti ruang, waktu bukan konsep empiris yang didapat dari
pengalaman. Waktu adalah kondisi formal a priori penampakkan secara umum.
Secara tegas Kant menyatakan bahwa waktu adalah sesuatu yang riil, yakni
sebuah bentuk riil dari intuisi terdalam.129 Waktu mendasari kemungkinan prinsip
hubungan apodiktik waktu, atau aksioma secara umum. Dengan waktu, aktualisasi
setiap penampakkan menjadi mungkin. Waktu hanya satu, tidak simultan, tetapi
beruntut. Waktu tidak bisa menentukan batas penampakkan luar, atau bentuk dan
posisi. Tapi, hanya menyajikan hubungan representasi keadaan terdalam.130
Hubungan antara ruang dan waktu adalah sebagai berikut. Waktu adalah
kondisi a priori semua penampakkan secara umum. Waktu menentukan kondisi
terdalam, yang menengahi kondisi terdalam dengan penampakkan luar.
Sedangkan ruang, sebagai fungsi murni a priori intuisi luar, terbatas sebagai
sebuah kondisi murni dengan intuisi luar. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa
setiap penampakan luar berada di dalam ruang dan ditentukan secara a priori
batas-batasnya oleh ruang. Dalam kaitan ini, semua penampakkan secara umum,
yakni semua objek indera dalam keadaan terdalam berada di dalam waktu, dan
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 175
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 182
130
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 180
128
129
69
secara tepatnya berhubungan dengan waktu.131 Penegasan Kant tentang ruang dan
waktu merupakan upaya mengukuhkan validitas objektif semua objek
penampakkan.
Kant tidak sependapat dengan Newton yang menganggap ruang dan waktu
itu riil dan absolut. Bagi Newton, ruang dan waktu dianggap riil karena berada di
dunia nyata dan terlepas dari pikiran manapun, kecuali pikiran Tuhan. Disebut
absolut, karena ruang dan waktu ada secara independen dan melekat pada diri
subjek. Andaikata tidak ada hal-hal empiris pun, maka keduanya tetap ada. Kant
juga tidak sependapat dengan Leibniz yang berpendapat bahwa ruang dan waktu
keduanya adalah ideal dan relatif. Bagi Leibniz, ruang dan waktu hanya berkaitan
dengan penampakan monad, sehingga bersifat ideal dan tidak riil. Namun, Leibniz
tidak beranggapan bahwa ruang dan waktu tidak nyata. Ia hanya menganggap hal
itu relatif.132 Contoh yang biasa ia berikan adalah fenomena pelangi. Bagi Leibniz,
munculnya pelangi merupakan sebuah fenomena yang tidak bisa dikatakan riil.
Hal itu hanya penampakan monad yang bersifat ideal, karena berkaitan secara
relatif dengan sudut pandang tiap-tiap individu.
Menurut Kant, ruang dan waktu secara empiris riil dan secara
transendental ideal. 133 Disebut riil, karena ruang dan waktu berkaitan dengan
penampakan objek-objek luar. Meskipun kedudukan penampakan tersebut sudah
berupa sintesis antara unsur a posteriori dan a priori, namun penampakan adalah
hal yang nyata dan bukan ilusi. Dengan penampakan itu, subjek mendapat
informasi yang akan diteruskan ke dalam struktur a priori lain dalam dirinya.
131
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 181
Georges Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 28
133
Frederick Copleston, A History of Philosophy, vol. 6, Wolff to Kant (Wellwood: Burn
& Oates, 1999), h. 241
132
70
Disebut ideal, karena keduanya berada dalam tatanan a priori subjek. Ruang dan
waktu memberi validitas dan menentukan batas-batas tertentu sejumlah data yang
didapat dari luar. Salah seorang komentator Kant, H.J. Paton, menggambarkan
kedua hal itu seperti kaca mata biru yang dikenakan pada setiap orang.134 Dengan
kaca mata itu, apa pun yang dilihat subjek, akan terlihat dan disesuaikan dengan
kondisi kaca mata yang berwarna biru. Dengan demikian, penampakan sudah
merupakan sebuah sintesis atas unsur-unsur a posteriori dan a priori.
Menurut Kant, pandangan bahwa ruang dan waktu adalah absolut, tidak
bisa dibenarkan. Ia menjelaskan:
“Those, however, who assert the absolute reality of space and time,
whether they assume it to be subsisting or only inhering, must themselves
come into conflict with the principles of experience. For if they decide in
favor of the first (which is generally the position of the mathematical
investigators of nature), then they must assume two eternal and infinite
self-subsisting non-entities (space and time), which exist (yet without there
being anything real) only in order to comprehend everything real within
themselves. If they adopt the second position (as do some metaphysicians
of nature), and hold space and time to be relation of appearance (next to
or successive to one another) that are abstracted from experience though
confusedly represented in this abstraction, then they must dispute the
validity or at least the apodictic certainty of a priori mathematical
doctrines in regard to real things (e.g. in space), since this certainty does
not occur a posteriori, and on this view the a priori concepts of space and
time are only creatures of imagination, the origin of which must really be
sought in experience, out of whose abstracted relations imagination has
made something that, to be sure, contains what is general in them but that
cannot occur without the restrictions that nature has attached to them.”135
134
Georges Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 30
“Mereka, bagaimana pun, yang menetapkan realitas absolut tentang ruang dan waktu,
apakah mereka mengasumsikannya untuk menjadi ketetapan atau hanya sesuatu yang melekat,
menyebabkan mereka jatuh dalam konflik dengan prinsip-prinsip pengalaman. Karena jika mereka
memutuskan memilih yang pertama (yang secara umum posisi penyelidik alam matematika), maka
mereka harus mengasumsikan dua non-entitas yang mempertahankan diri, tak terbatas dan abadi
(ruang dan waktu), yang ada (namun tanpa sesuatu yang riil) hanya agar meliputi segala yang riil
dalam diri mereka sendiri. Namun, jika mereka mengadopsi pilihan kedua (sebagaimana yang
dilakukan metafisikus alam), dan menganggap ruang dan waktu menjadi hubungan dari
penampakan (berikut rangkaian dari satu ke yang lain) yang diabtraksikan dari pengalaman,
malahan dihadirkan secara membingungkan dalam abstraksi ini, maka mereka harus membantah
validitas atau setidaknya kepastian apodiktik dari doktrin-doktrin a priori matematika yang
menyesuaikan dengan hal-hal yang riil (misalnya di dalam ruang), karena kepastian ini tidak
terjadi secara aposteriori, dan dalam pandangan ini, konsep-konsep a priori ruang dan waktu
135
71
Penilaian absolut tentang ruang dan waktu tidak memberi penjelasan yang
memadai, karena hanya menimbulkan sejumlah kebingungan menyangkut prinsipprinsip pengalaman. Dengan alasan ini pula, Kant menentang pendapat idealisme
dogmatik. Misalnya, pandangan Berkeley tentang objek dalam ruang yang hanya
besifat imajinasi dan keberadaannya sangat ditentukan struktur subjek. Kant
dengan sangat tegas mengatakan bahwa realitas yang ditangkap subjek adalah
nyata, bukan ilusi, dan dapat menambah informasi kepada subjek menyangkut
realitas terluar. Penolakan Kant terhadap Berkeley seperti penolakannya terhadap
anggapan ruang dan waktu adalah relatif. Argumentasi yang diajukannya semisal
dalam perhitungan geometri. Kant mencontohkan misalnya perhitungan, “garis
lurus adalah jarak terpendek antara dua titik”.136
Geometri adalah ilmu yang menentukan sifat-sifat ruang secara sintetik
dan a priori. Dalam perhitungan di atas, predikat “jarak terpendek antara dua
titik”, tidak diperoleh dari data inderawi, melainkan a priori. Tidak juga predikat
itu berisi di dalam subjeknya; tidak didapat dari analisis atas subjek. Tapi,
predikat tersebut mampu memberikan informasi baru atas subjeknya, sehingga
bersifat sintetik. Oleh karena itu, tidak benar bahwa perhitungan geometri didapat
dari pandangan relatif. Tapi, berdasarkan pemikiran objektif tiap-tiap individu.
Dengan demikian Kant mampu menghadirkan bukti kokoh bahwa ruang begitu
ideal, dalam arti ia tidak didapat dari objek empiris, dan hanya diperoleh melalui
intuisi subjek.137
hanya bentuk-bentuk majinasi. Asal usul tentangnya harus dicari dalam pengalaman, keluar dari
imajinasi hubungan yang diabstrasikan membuat sesuatu, yakin, berisi apa yang umum dalam
mereka. Tapi, itu tidak bisa terjadi tanpa pembatasan yang secara alamiah telah melekat kepada
mereka. ” Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 184
136
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 145
137
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 176
72
Dengan ruang dan waktu, Kant menganggap segala sesuatu yang diperoleh
daya sensibiltas dari luar, sudah ditentukan batas-batasnya oleh kedua fungsi a
priori tersebut. Dengan begitu, penampakan menjadi sesuatu yang sudah tidak
murni benda pada dirinya. Kant menganggap penampakkan hanya sebuah
fenomena, bukan noumena. Fenomena berarti penampakkan, sejauh yang bisa
ditangkap subjek.138 Noumena adalah wujud benda pada dirinya sendiri.139
Fenomena berbeda dari noumena. Wujud benda pada dirinya sendiri adalah
sesuatu yang masih bersifat misteri, dan berada di luar jangkauan manusia.
Selanjutnya, setelah penampakan objek berada dalam ruang lingkup a priori
tersebut, ada hal lain yang harus dipenuhi sebelum bisa menghasilkan
pengetahuan. Kant menyebutnya dengan istilah kategori sebagai turunan dari
putusan-putusan.
C. Konsep Dua Belas Kategori sebagai Turunan (Derivation) Dua Belas
Jenis Putusan
Menurut para pengkajinya, sistem filsafat Kant disebut juga filsafat
transendental.140
Transendental
di
sini
diartikan
sebagai
sistem,
yang
menghendaki upaya pencarian a priori dalam menjelaskan proses terjadinya
pengetahuan. Unsur-unsur a priori tersebut menandai sebuah penelusuran
menyeluruh terkait hakikat subjek atas pengetahuan yang diperolehnya. Pada
tahap ini, Kant menggunakan kata Verstand atau pemahaman—sebagai tahap
kedua yang harus dilalui untuk munculnya pengetahuan setelah tahap indera
(Sinnlichkeit).
138
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 360
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 362
140
F. Budi Hardiman, Filsafat Barat Modern, h. I32
139
73
Kant memberikan batas yang jelas tentang kedudukan kesadaran a priori
subjek atas kehidupannya. Kesadaran a priori itu disebut transendental, karena
lepas dari objek empiris. Namun, tidak setiap kesadaran a priori disebut
transendental. Hanya kesadaran yang memberikan arah bagaimana representasi,
baik intuisi atau konsep, dapat diterapkan secara keseluruhan a priori. Bukan
ruang, waktu, atau penentuan-penentuan geometri yang disebut representasi
transendental. Melainkan hanya kesadaran terhadap representasi-representasi halhal tersebut, yang hakikat asal-usulnya tidak diperoleh dari pengalaman, dan
kemungkinan mereka dapat dihubungkan secara a priori terhadap objek-objek
empiris. Oleh karena itu, objek-objek sensibiltas yang berada di dalam ruang
maupun waktu, tidak bisa disebut transendental, melainkan empiris. Tapi, fungsi
ruang dan waktu yang memberi batas terhadap objek-objek tersebut, disebut
transendental. Singkat kata, yang membedakan antara yang transendental dan
yang empiris berkaitan dengan kritik kesadaran, dan tidak berkaitan dengan
hubungan mereka dengan objek-objeknya.141 Dari sini dengan jelas bahwa filsafat
transendental Kant, mengupas aspek-aspek a priori subjek secara lebih tajam dan
dalam.
Bagi Kant, hal terpenting bagi munculnya kesadaran terletak pada:
Pertama, penerimaan representasi objek-objek. Kedua, fakultas yang bekerja
memahami sebuah objek melalui representasi tersebut. Melalui yang pertama,
segala objek hadir dan diterima oleh daya sensibilitas. Melalui yang kedua, segala
representasi itu dipikirkan dalam skala luas hubungan-hubungannya yang
disesuaikan dengan pikiran. Intuisi dan konsep adalah dua hal yang menyusun
141
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 196
74
elemen-elemen
terciptanya
kesadaran.
Objek-objek
yang
berada
dalam
representasi, disebut empiris jika masih tercampur dengan sensasi. Sedangkan jika
sensasi sudah disisihkan dari representasi, maka disebut murni. Hal terakhir ini
disebut
materi
kesadaran.142
Untuk
terciptanya
kesadaran,
tidak
saja
membutuhkan intuisi, tapi juga adanya konsep. Intuisi murni hanya berisi bentukbentuk sesuatu yang diintuisikan. Sedangkan konsep murni adalah bentuk
pemikiran dari objek secara umum. Kedua hal ini bersifat a priori.
Fakultas yang bekerja untuk pemikiran objek intuisi adalah pemahaman.
Bagi Kant, jika tidak ada sensibilitas, maka tak ada objek yang bisa hadir.
Sebaliknya, tanpa pemahaman, tidak ada objek yang bisa dipikirkan. Kedua hal
tersebut tidak bisa disamakan, dengan fungsinya masing-masing yang tetap dan
tidak berubah. Pemahaman tidak bisa mengintuisi sesuatu, dan indera tidak bisa
memikirkan objek-objek yang diperolehnya. Hanya melalui perpaduan keduanya,
kesadaran bisa muncul.143 Lebih jauh Kant menganggap bahwa fungsi a priori
kedua hal tersebut begitu jelas, tapi perlu kehati-hatian agar tidak bercampur satu
sama lain. Ia menganalogikan kedua hal tersebut dengan pengetahuan tentang
aturan sensibiltas secara umum, yakni estetika, dan pengetahuan tentang aturanaturan pemahaman secara umum, yakni logika. Perhatian Kant selanjutnya
berkaitan dengan logika kesadaran subjek. Logika kesadaran subjek merupakan
proses pemikiran dalam mengolah data untuk menghasilkan pengetahuan.
Jika kita mengikuti penjelasan Kant secara menyeluruh, akan didapati
bahwa ia membagi logika menjadi tiga bentuk: logika umum, logika sebagai
kegunaan khusus dari pemahaman, dan logika transendental. Yang pertama
142
143
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 193
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 194
75
disebut logika dasar. Pengetahuan ini berisi aturan-aturan pemikiran secara
absolut, tanpa memperhatikan perbedaan perhatian tentang objeknya. Logika
umum bisa berbentuk logika murni dan terapan. Melalui yang pertama, kondisi
empiris diuji oleh pemahaman, dari hal-hal seperti pengaruh inderawi, imajinasi,
hukum memori, kebiasaan, kecenderungan, dan sebagainya. Logika murni
berkaitan dengan prinsip-prinsip a priori yang diberlakukan secara ketat, dan
menjadi canon (hukum) pemahaman serta nalar.144
Namun, perhatiannya hanya tertuju pada formalitas kegunaan mereka
dengan data empiris atau transendental. Logika umum disebut terapan, jika
diarahkan pada seperangkat aturan atas kegunaan kondisi empiris subjektif
seseorang. Logika ini memiliki seperangkat prinsip empiris, meskipun
perhatiannya menyangkut kegunaan pemahaman tanpa memperhatikan perbedaan
objeknya. Singkat kata, logika ini bukan canon pemahaman, bukan juga organon
bagi suatu pengetahuan, melainkan hanya berupa chatartic (pembersih)145
pemahaman umum.146
Logika yang kedua disebut juga organon, atau logika sebagai alat bagi
sebuah pengetahuan. Logika ini berisi aturan pemikiran, terkait kebenaran
mengenai objek perhatiannya. Dengan logika ini, pengetahuan seseorang bisa
mengalami peningkatan: menemukan terobosan berharga untuk kesempurnaan
dalam penyelidikan dan pengembangan ilmu. Perhatian Kant kemudian lebih
tertuju pada bentuk logika yang terakhir, yakni logika transendental, sebagai
bagian tertinggi dari logika kesadaran.
144
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 194
Kata cathartic merujuk pada kalimat catharsis yang pernah digunakan Aristoteles
mengenai efek emosional yang dihasilkan alunan musik dalam upacara keagamaan. Thomas
Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 89-90
146
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 194-195
145
76
Logika transendental menjadi arah bagi penjelasan kenapa munculnya
konsep a priori dalam diri subjek. Logika transendental adalah pengetahuan yang
menentukan asal-usul, wilayah, dan validitas objektif kesadaran. Logika
transendental hanya berurusan dengan hukum-hukum pemahaman dan akal,
sejauh kedua hal ini berkaitan dengan objek-objek secara a priori. Logika
transendental tidak seperti halnya logika umum, atau tipe logika kedua yang
berfungsi sebagai alat. Logika transendental berhubungan, baik dengan hal
empiris maupun kesadaran akal dengan tanpa perbedaan,147 serta bukan menjadi
alat semata. Secara keseluruhan, logika transendental terbagi menjadi dua: analitik
transendental dan dialektik transendental.
Analitik transendental merupakan bagian dari logika transendental yang
menguraikan elemen-elemen kesadaran murni pemahaman dan prinsip-prinsip,
yang tanpanya tak ada objek yang bisa dipikirkan.148 Objek dalam hal ini sudah
terlepas dari unsur luar dan berada dalam wilayah a priori. Kant membandingkan
logika transendental ini dengan estetika transendental. Yang pertama berurusan
dengan upaya memisahkan pemahaman dari unsur-unsur luar, dan yang kedua
mengisolasi data inderawi dalam ruang dan waktu dari sensibilitas. Kegunaan
analitik transendental adalah menemukan suatu hukum dan prinsip murni,
mengenai kesadaran subjek atas pemahaman yang telah diisolasi dari aspek
empirisnya. Dengan begitu, pemahaman akan menemukan legitimasi keabsahan
informasi mengenai hubungan antara objeknya secara a priori.
Adapun dialektik transendental berkaitan dengan kritik dialektik ilusi
pemahaman. Di sini kritik diarahkan kepada pemahaman dan akal, yang kerap kali
147
148
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 196-197
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 199
77
mendasarkan perkiraan pada ilusi. Kritik ini bertujuan agar pemahaman lepas dari
pengaruh cara berpikir yang keliru, dengan menemukan kesalahan perkiraan yang
didapat tanpa penelusuran memadai terkait klaim kebenarannya. Kritik diakhiri
pada titik kulminasinya, guna mencapai prinsip-prinsip transendental yang
memberi penilaian dan mengevaluasi pemahaman murni, menuntun pemahaman
melawan tipu muslihat yang menyesatkan.149 Dialektika transendental adalah
proses terakhir setelah analitik transendental. Pada tahap ini, semua yang sudah
dimurnikan pada wilayah analitik, disatukan guna mencapai kesatuan menyeluruh.
Dalam analitik transendetal, analisis ditujukan pada kesadaran murni a
priori ke dalam elemen-elemen kesadaran pemahaman murni. Kant menjelaskan
beberapa poin terkait analisis tersebut sebagai berikut: 1) konsep-konsep yang
digunakan bersifat murni dan tidak empiris; 2) konsep tersebut bukan berasal dari
intuisi, ataupun sensibilitas, melainkan pemikiran dan pemahaman; 3) merupakan
konsep elementer dan bisa secara jelas dibedakan dari turunannya, atau dari
percampurannya; 4) skema konsep tersebut bersifat sempurna dan secara
keseluruhan menghabiskan keseluruhan pemahaman murni. 150 Dari kejelasan
konsep ini, pemahaman murni tidak saja memisahkan dirinya dari sesuatu yang
empiris, tapi bahkan dari sensibilitas. Melalui konsep murni, akan didapatkan
keseluruhan kesadaran pemahaman. Pembahasan berikutnya akan menguraikan
seputar konsep pemahaman murni, dan setelahnya dijelaskan prinsip-prinsip yang
mengatur konsep tersebut.
Antara konsep pemahaman murni dan prinsip-prinsipnya harus ada
hubungan yang memadai. Hubungan itu berjalan timbal-balik, dan menandai
149
150
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 200
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 201
78
kejelasan antara kesempurnaan keseluruhannya secara a priori. Bagi Kant,
munculnya kesadaran diperoleh lewat pemahaman tentang sesuatu yang sudah
terbentuk dalam konsep-konsep. Munculnya konsep tersebut, terjadi setelah
adanya penelusuran secara mendalam terkait beragam hal. Dengan begitu,
kesadaran diperoleh melalui diskursif, bukan intuitif.151 Ia hadir diupayakan
dengan kemampuan akal, bukan seketika dari luar.
Setiap konsep dalam pemahaman bekerja dengan fungsinya masingmasing. Melalui fungsi tersebut, pemahaman bekerja di bawah kesatuan aksi
terhadap representasi yang berbeda-beda di bawah satu kesamaan (a common
one).152 Konsep-konsep tersebut berjalan sebagai pemikiran yang spontan, dan
seketika. Perbedaannya dengan intuisi, yakni intuisi bekerja dalam tahap
penerimaan kesan-kesan dari luar secara seketika. Sedangkan konsep, merupakan
pemikiran secara langsung terhadap data yang sudah diserap indera. Pemikiran
membuat putusan terhadap data yang sudah didapat dari luar. Selain itu, yang
membedakan intuisi dari konsep a priori, yakni intuisi hanya berhubungan dengan
objek yang diintuisikan. Adapun konsep, selain berhubungan dengan objek yang
dipikirkan, juga berhubungan dengan sejumlah representasi yang lain dalam
konsep-konsep yang beragam. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya penghubung
antara konsep dengan objek-objek representasi tersebut. Kesadaran terhadap
objek, tidak serta merta datang secara langsung, tapi diupayakan lewat pemikiran,
berupa putusan. Putusan menengahi antara konsep dan objek representasi.
Menurut Kant, dalam setiap putusan terdapat konsep yang berkaitan
dengan banyak hal, termasuk yang hadir tanpa diupayakan (given). Misalnya
151
152
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 205
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 205
79
putusan, “semua tubuh bisa dibagi”. Menurut Kant, konsep bisa dibagi
berhubungan dengan konsep-konsep yang lain, misalnya dengan tubuh, bentuk,
berat, atau penampakan—sesuatu yang hadir tanpa diupayakan. Objek dalam
putusan tersebut, dihadirkan melalui konsep dalam keterbagian. Semua putusan
pada dasarnya sama seperti itu. Contoh lain seperti konsep, “kuda”. Untuk bisa
mengerti tentang kuda, contoh empiris bisa dengan mudah dihadirkan, yakni
berupa bentuk fisik dari kuda, dan penjelasan bahwa kuda adalah hewan
herbivora. Namun, fakta empiris saja tidak cukup. Putusan mengarahkan sejumlah
penyelidikan abstrak, yang mengikat setiap jenis hewan yang menyerupai konsep
kuda. Dalam hal ini, diperlukan penyelidikan secara logis, bahwa jika A adalah B,
dan B adalah C, maka A adalah C. Penjelasan silogistik semacam ini, menurut
Kant tidak didapatkan dari fakta empiris, melainkan murni a priori.153
Putusan apapun selalu merupakan fungsi-fungsi kesatuan di antara
representasi, yang memungkinkan adanya representasi hal yang lebih luas atas
hal-hal yang bersifat partikular. Karena kesadaran terhadap objek dimediasi oleh
putusan, sehingga bisa dikatakan bahwa pemahaman adalah fakultas untuk
memutuskan (faculty for judging).154 Dengan demikian, segala bentuk pemikiran
pada dasarnya tidak bisa lepas dari putusan-putusan.
Putusan berada dalam skala rasional, yang bekerja dalam memberikan
informasi terkait objek yang hadir melalui intuisi. Menurut Kant, jika kita
mengabstraksikan isi semua putusan secara umum, dan sampai pada bentuk
pemahaman
153
154
murni,
akan
ditemukan
bahwa
Georges Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 52
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 205
fungsi
pemikiran
dapat
80
dikelompokkan ke dalam empat jenis putusan. Tiap jenis putusan membawahi tiga
keadaan (moment). Daftar putusan tersebut dijelaskan berikut ini155:
1.
Putusan Kuantitas
Universal
Partikular
Singular
2.
Putusan Kualitas
Affirmative
Negative
Ketidakterbatasan (infinite)
3.
Putusan Relasi
Kategoris
Hipotetis
Disjunktif
4.
Putusan Modalitas
Problematis
Penegasan (Assertotic)
Keniscayaan (Apodictic)
Putusan yang pertama adalah kuantitas. Putusan ini berkaitan dengan
jumlah sesuatu. Sudah diketahui secara umum bahwa bilangan sesuatu
berhubungan dengan sifat keumuman, kekhususan, atau kesatuan. Kant menyebut
yang pertama putusan universal. Yang kedua disebut partikular. Yang ketiga
disebut singular. Ketiganya saling berkaitan, dan menentukan jumlah sesuatu
sebagai tujuannya. Contoh putusan universal semisal, “semua makhluk hidup
pasti mati”. Dalam putusan ini, subjek makhluk mencakup segala sesuatu yang
bernyawa, tanpa pengecualian. Hal ini dapat dipahami secara sederhana. Tapi,
perlu diperhatikan bahwa tiap-tiap putusan tidak bekerja sendiri-sendiri,
melainkan bersamaan dengan putusan-putusan lainnya.156 Misalnya dalam contoh
di atas, “semua makhluk hidup pasti mati”. Proposisi ini tidak saja merupakan
155
156
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 206
Paul Guyer, Kant (New York: Routledge, 2007), h. 73
81
contoh putusan universal, tapi juga mengandung maksud putusan affirmatif,
kategorikal, dan apodiktif.
Selanjutnya adalah putusan partikular. Misalnya jika bentuk subjek dalam
contoh di atas diubah menjadi, “manusia pasti mati”. Maksud dalam kalimat ini
hanya berlaku pada jenis makhluk hidup yang disebut manusia, sehingga
mengecualikan makhluk lainnya. Putusan jenis ini disebut partikular, karena
bersifat khusus. Selain itu, juga berisi maksud putusan affirmatif, kategoris, dan
apodiktif. Kemudian, ketika subjek putusan itu diubah menjadi nama pribadi
seperti, “Budi pasti mati”, maka predikat dalam putusan ini hanya mencakup
sosok tertentu. Kalimat ini termasuk dalam putusan singular, affrimatif, kategoris,
dan apodiktif.
Bagian kedua adalah putusan kualitas. Putusan ini memiliki tiga bentuk.157
Yang pertama adalah affirmatif, atau pengakuan. Pengakuan dimaksud
pencakupan terhadap sesuatu. Misalnya putusan, “jiwa adalah elemen bagi
makhluk hidup”. Dalam putusan ini, predikatnya memberi pengakuan tentang
suatu hal, yakni makhluk hidup. Putusan ini dikategorikan affirmatif, karena
mengandung makna penyetujuan. Selain itu, juga mengandung maksud putusan
singular, kategoris, dan apodiktif.
Namun, jika contoh tersebut diubah dalam bentuk penolakan menjadi,
“jiwa bukan elemen bagi makhluk hidup”, maka menjadi contoh putusan negatif,
singular, kategoris, dan problematik. Tapi, Kant tidak berhenti dalam wilayah ini.
Baginya, jika suatu kalimat ditarik lebih jauh, maka dapat diketahui bahwa
maknanya berada dalam bentuk yang lebih luas tak terbatas. Misalnya dikatakan,
157
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 207-208
82
“itu bukan makhluk hidup”. Kalimat ini mencakup segala hal yang bukan
makhluk hidup, dan tidak terbatas (infinite). Kalimat tersebut, juga berisi maksud
putusan singular, kategoris, dan apodiktif.
Sejak awal, Kant menyadari adanya hubungan yang mengikat antara
berbagai proposisi. Hubungan tersebut juga turut menandai kejelasan makna. Hal
ini disebutnya putusan relasi. Kant membaginya menjadi: kategoris, hipotetis, dan
disjunktif. 158 Yang pertama adalah putusan yang terdiri dari subjek dan predikat.
Dua komponen ini membentuk sebuah putusan, tanpa disertai unsur lain dari luar.
Contohnya seperti kalimat yang sudah disebutkan di atas, “manusia pasti mati”.
Putusan ini dibentuk dalam susunan subjek-predikat, dalam bentuk satu proposisi,
serta dapat memberi makna tanpa mengaitkan unsur-unsur lain dari luar. Selain
itu, juga berisi makna putusan singular, affirmatif, dan apodiktik.
Yang kedua adalah putusan yang dibentuk oleh dua proposisi. Jika yang
ada hanya satu, maka tidak bisa memberi makna secara sempurna. Artinya,
keniscayaan hubungan kedua proposisi, menjadi unsur luar yang harus ada agar
terbentuknya keseluruhan makna. Misalnya putusan, “air mendidih, karena
dipanaskan sampai 100 derajat celcius”. Putusan ini terdiri dari dua proposisi,
yang bermakna secara sempurna dengan susunan dua proposisi. Meskipun
demikian, tiap-tiap proposisi sudah mengandung putusan sendiri, yakni singular,
dan problematis. Yang ketiga adalah putusan yang dibentuk dari banyak proposisi.
Misalnya putusan, “dunia ada, apakah melalui kesempatan buta, atau melalui
keniscayaan terdalam, atau karena sebab abadi”. Susunan kalimat ini secara
keseluruhan termasuk putusan disjunktif. Artinya, jika dunia terwujud tidak
158
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 208-209
83
menurut proposisi pertama, atau menurut proposisi kedua, atau ketiga, tidak ada
kejelasan. Dalam putusan itu, tidak ada kontradiksi, sehingga termasuk jenis
putusan disjunktif tidak sempurna. Ketiga proposisi tersebut menempati putusanputusan tertentu, yakni yang pertama singular, affrimatif, dan apodiktif; yang
kedua dan seterusnya adalah bentuk putusan singular, affirmatif, dan problematis.
Bagian yang terakhir, yakni putusan modalitas, tidak memberikan
penjelasan tentang isi dari putusan. Putusan modalitas hanya berkenaan dengan
masalah nilai copula159 (pengikat), dalam hubungan dengan pemikiran secara
umum.160 Kant mengakui bahwa putusan modalitas tidak selalu dinyatakan dalam
ungkapan linguistik secara eksplisit.161 Putusan ini terbagi menjadi tiga:
problematik, assertotik, dan apodiktik. Misalnya dapat dilihat dalam kalimat, “jika
ada keadilan sejati, maka iblis jahat harus dihukum”. Dalam putusan ini, informasi
yang dijelaskan berisi suatu maksud yang dikaitkan dengan kondisi subjek. Dalam
putusan problematis, analisis diarahkan pada kemungkinan dan ketidakmungkinan
informasi. Perlu ditegaskan di sini bahwa semua putusan modalitas selalu
arbitrary. Artinya, memberi ruang terjadinya kemungkinan pemahaman menurut
selera tertentu dari subjek. Putusan ini hanya berkesesuaian dengan sikap subjek,
daripada isi putusan itu sendiri.162 Sehingga munculnya pemahaman berbeda,
tetap bisa diterima. Dalam hal ini, kemungkinan terciptanya keadilan sejati
sehingga iblis jahat bisa dihukum, atau justru sebaliknya tidak ada keadilan sejati,
menjadi wilayah persoalan bagaimana sikap subjek ketika menyatakan putusan.
159
Copula adalah ekspresi dalam kalimat, yang mengikat antara subjek dengan predikat.
Tapi, jika predikat sudah melekat dengan subjeknya, maka copula tidak dibutuhkan lagi. Thomas
Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 113
160
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 209
161
Paul Guyer, Kant (New York: Routledge, 2007), h. 74; Lihat juga, A.C. Ewing, A
Short Commentary on Kant’s Critique of Pure Reason (Chicago: Chicago University Press, 1984),
h. 142
162
Georges Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 57
84
Kemungkinan apapun bisa terjadi, sejauh dipahami dalam ruang lingkup subjek.
Meskipun demikian, masing-masing dari dua proposisi tersebut, merupakan
bentuk putusan tersendiri. Yang pertama adalah singular, affirmatif, dan
problematik. Sedangkan bagian kedua adalah putusan singular, affirmatif, dan
assertotik.
Putusan modalitas kedua, yakni assertotik, berhubungan dengan informasi
penegasan atau pun fakta aktual.163 Misalnya dicontohkan berikut, “Immanuel
Kant lahir di Königsberg”. Putusan ini membatasi informasi yang berisi fakta
dalam kenyataan. Selain itu, kalimat ini juga termasuk putusan singular, dan
affirmatif. Sedangkan bagian ketiga, yakni apodiktik, adalah putusan yang berisi
keniscayaan. Misalnya dalam kalimat, “manusia pasti mati”. Putusan ini berkaitan
dengan informasi yang bersifat niscaya bahwa manusia pasti mati. Kendati
putusan modalitas terkait dengan kehendak subjek, isi putusan apodiktif diarahkan
untuk menjelaskan sesuatu yang bersifat niscaya berdasarkan pada pertimbangan
rasional. Selain itu berisi apodiktif, kalimat tersebut juga berisi putusan partikular,
affirmatif, dan kategorikal.
Dengan ketiga bentuk putusan modalitas, proses pemikiran dapat
dijelaskan dalam bentuk problematis, kepastian, dan keniscayaan. Ketiganya
berada dalam bentuk pemikiran rasional secara umum.164
Kesemua putusan yang memiliki fungsi a priori tersebut, bekerja dalam
upaya menjembatani antara objek dan kesadaran. Tanpa itu, kesadaran terhadap
data yang sudah ditempatkan dalam ruang dan waktu tidak bisa muncul. Dalam
kerjanya, putusan mengarahkan sejumlah representasi objek dari ruang dan waktu
163
164
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 209
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 210
85
dalam satu kesadaran. Keragaman objek diolah dan ditempatkan ke dalam skala
yang lebih sederhana. Fungsi ini menimbulkan sebuah sintesis, antara pelbagai
bentuk objek. Sintesis tersebut bersifat murni. 165
Sintesis murni tersebut mengumpulkan elemen-elemen dasar kesadaran,
dan menyatukan mereka dalam bentuk-bentuk tertentu. Bentuk tersebut adalah hal
pertama yang menandai asal-usul munculnya kesadaran. Kesadaran dibentuk atas
dasar informasi menyeluruh yang diperoleh dari penyelidikan terhadap objek.
Sintesis murni atas objek kemudian menghasilkan konsep-konsep pemahaman
murni. Konsep-konsep pemahaman murni ini adalah hasil terjadinya sintesis
murni.166 Di dalam konsep-konsep murni, secara analitis segala jenis representasi
yang berbeda disatukan. Logika transendental mengarahkan sintesis murni
representasi di bawah satu konsep pemahaman.
Ketika konsep pemahaman sudah didapatkan, hal pertama yang hadir
secara a priori bagi kesadaran atas semua objek adalah keragaman intuisi murni.
Setelah itu, muncul sintesis keragaman, yang diperoleh melalui imajinasi. Namun,
kedua hal itu belum bisa menghasilkan kesadaran secara utuh. Dibutuhkan hal lain
agar kesadaran bisa muncul, yakni konsep yang memberikan kesatuan sintesis
murni, yang terdiri hanya dalam representasi kesatuan sintetis.167 Kant
menjelaskan bahwa konsep murni pemahaman diterapkan pada objek intuisi
secara umum dan bersifat a priori.168 Kant menyebut konsep-konsep murni
pemahaman sebagai kategori. Berikut bagan keseluruhan kategori tersebut:
165
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 210
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 211
167
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 211
168
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 212
166
86
1.
Kategori Kuantitas
Kesatuan (Unity)
Pluralitas (Plurality)
Totalitas (Totality)
2.
Kategori Kualitas
Realitas
Negasi
Limitasi
3.
Kategori Relasi
Substansi dan Aksidensi (Substantia et Accident)
Kausalitas dan Ketergantungan
Komunitas
4.
Kategori Modalitas
Kemungkinan-Kemustahilan
Eksistensi-Non-Eksistensi
Keniscayaan-Kontingensi
Meskipun istilah kategori sudah digunakan Aristoteles, pengertian dan
jumlah kategori menurut Kant, berbeda sama sekali. Kategori dalam pengertian
Kant diartikan sebagai elemen dalam semua pengetahuan, dan berjumlah dua
belas. Sedangkan Aristoteles mengartikan kategori sebagai kind of predication
(sejenis predikat), atau kind of being (sejenis wujud), dan berjumlah sepuluh buah,
yakni: substansi, kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, posisi, kepemilikan,
aktivitas, dan kepasifan.169 Kant mengakui bahwa Aristoteles sudah membuka
jalan penyelidikan luar biasa dalam masalah ini.
Namun, karena tidak memiliki prinsip secara menyeluruh, Aristoteles
hanya mengumpulkan dan mendatanya secara tidak sempurna. Penjelasannya
masih mengandung sejumlah celah, karena tidak mencakup keseluruhan konsepkonsep pemahaman murni. Bagi Kant, semua kategori adalah konsep-konsep
leluhur pemahaman murni (ancestral concepts of pure understanding) yang
memiliki sejumlah konsep turunan (derivative concepts), sebagai kesempurnaan
169
Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 89
87
sistem filsafat transendental. Bisa dikatakan bahwa kategori tersebut adalah
predicables170 pemahaman murni.171
Kedua belas kategori dalam penjelasan Kant, dikelompokkan menjadi
empat tema utama, bekerja dalam tatanan rasional, dan merupakan turunan
(derivation) dari empat jenis putusan. Sehingga dalam penjelasan fungsinya
masing-masing, tidak bisa mengesampingkan bagaimana sebuah putusan bekerja.
Kategori merupakan konsep pemahaman murni, yang diterapkan pada semua
elemen objek. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kategori tersebut, dalam
skala ketat, memberi legitimasi pertimbangan rasional yang terlepas dari unsur a
posteriori. Menurut Kant, segala pertimbangan subjek terhadap penampakkan
objek selalu berkesuaian dengan kategori-kategori tersebut. Kant berkata:
“Categories are concepts that describe laws a priori to appearances, thus
to nature as the sum total of all appearances (nature materialiter
spectata)…”
Ia melanjutkan,
“…thus on the categories, all possible perceptions, hence everything that
can ever reach empirical counsciousness, i.e., all appearances of nature,
as far as their combination is concerned, stand under the categories, on
which nature (considered merely as nature in general) depends, as the
original ground of its necessary lawfulness (as natura formaliter
spectata)”172
170
Istilah umum dalam logika yang menunjuk pada predikat. Penggunaannya sudah
digunakan sejak Aristoteles dalam lima bentuk: horos, idiom, genos, diaphora, symbebēkos.
Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 442-443
171
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 213
172
“Kategori-kategori adalah konsep-konsep yang menggambarkan hukum a priori
terhadap penampakkan, demikian pula terhadap alam sebagai jumlah total semua penampakkan
(nature materialiter spectata)…” Ia melanjutkan, “…jadi, pada kategori, semua persepsi yang
mungkin, karena segala hal yang bisa mencapai kesadaran empiris, yakni semua penampakkan
alam sejauh perhatian kombinasi mereka, berdiri di bawah kategori-kategori, di mana alam
(dipertimbangkan hanya sebagai alam secara umum) bergantung, sebagai dasar yang asli bagi
keabsahan hukum yang mungkin (sebagai natura formaliter spectata)”. Immanuel Kant, Critique
of Pure Reason, h. 263
88
Kategori-kategori itu ditempatkan dan diterapkan dalam memahami
keberadaan
objek,
dengan
menggambarkan
hukum
a
priori
terhadap
penampakkan, sekaligus terhadap alam sebagai jumlah total penampakkan.
Kategori-kategori tersebut bekerja bersama-sama. Sehingga dalam satu proposisi
diketemukan beberapa bentuk kategori. Berikut ini penjelasan satu persatu kedua
belas kategori tersebut.
C.1. Kuantitas
Kategori kuantitas bekerja di bawah turunan putusan kuantitas. Kategori
kuantitas disebut Kant, Aksioma Intuisi (Axioms of Intuition).173 Kategori
kuantitas terdiri dari: kesatuan, pluralitas atau kejamakan, dan totalitas. Hubungan
antara kategori dan putusannya dijelaskan dalam contoh berikut. Kategori
kuantitas-kesatuan misalnya, “semua binatang adalah makhluk hidup”. Ungkapan
ini, mengindikasikan sebuah kesatuan semua binatang. Banyaknya binatang
dipahami dalam kesatuan yang tidak dibatasi, tidak beberapa, tapi semua.
Meskipun demikian, kalimat tersebut juga berisi kategori realitas, substansiaksidensi, dan eksistensi-non-eksistensi. Jadi, tidak hanya kategori kesatuan.
Contoh itu digunakan hanya untuk mempermudah pemahaman. Kategori kesatuan
merupakan turunan putusan universal, dan berbeda dari bentuk pluralitas.
Bentuk pluralitas dapat dilihat misalnya dalam kalimat, “sebagian batu
adalah marmer”. Dari kalimat tersebut, yang muncul bukanlah kesatuan, tapi
kejamakan. Makna pluralitas hanya mencakup sebagian dari sesuatu hal, dan tidak
melingkupi keseluruhan. Oleh karena itu, objek hanya berkenaan dengan maksud
tertentu. Selain kategori pluralitas, kalimat itu juga berisi kategori realitas,
173
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 286
89
substansi-aksidensi, dan eksistensi-non-eksistensi. Ketiganya ada bersamaan.
Kategori pluralitas adalah turunan dari putusan partikular, yang mengarahkan
maksudnya pada objek-objek tertentu saja.
Bagian yang ketiga adalah totalitas (totality). Misalnya kalimat, “batu ini
adalah batu apung”. Kategori totalitas menunjukkan makna pada suatu objek
khusus, yang meliputi keseluruhan aspeknya. Yang dimaksud dengan kalimat,
“batu ini”, adalah tertuju pada batu tertentu, dan meliputi keseluruhan dari aspek
batu tersebut. Tidak hanya mencakup sisi atau ujung tertentu dari batu. Tapi,
menyeluruh meliputi bagian terluar, dan terdalam, serta elemen-elemen penting
yang menjadi penyusunnya. Selain mengandung kategori totalitas, contoh tersebut
juga berisi kategori realitas, substansi-aksidensi dan eksistensi-non-eksistensi.
Kategori totalitas adalah turunan dari putusan singular, yang mengarahkan
maksudnya pada satu objek khusus. Menurut Kant, penjelasan ketiga kategori
tersebut berikut maksud yang dituju didapatkan secara a priori, dan lepas dari
unsur a posteriori.
C.2. Kualitas
Kategori kualitas diturunkan dari putusan kualitas, dan disebut Antisipasi
Persepsi (Anticipation of Perception).174 Kategori ini terdiri dari: realitas, negasi,
dan limitasi. Misalnya dikatakan, “ini meja“. Kalimat tersebut mengarahkan
maksud pada sesuatu yang disebut meja. Sebuah penjelasan atas benda yang
menjadi objek, dengan mengakui keberadaannya. Hal tersebut menggambarkan
sebuah realitas yang dijelaskan sebagai meja. Realitas meja diakui sebagai objek.
Selain kategori realitas, kalimat tersebut juga berisi kategori totalitas, dan kategori
174
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 290
90
eksistensi-non-eksistensi.
Kategori
realitas
adalah
turunan
dari putusan
Affirmatif . Maksud dalam kategori realitas, terlihat sangat bertentangan dengan
makna dalam kategori negasi.
Kategori negasi misalnya dicontohkan berikut, “ini bukan meja”. Kalimat
tersebut menunjukan pada penyangkalan (negation). Dalam arti, menyangkal
keberadaan meja sebagai realitas. Penyangkalan ini berarti menunjukkan maksud
negatif bahwa objek itu bukan meja. Objek yang dituju tidak diakui sebagai meja.
Selain itu, kalimat tersebut juga berisi kategori totalitas, dan eksistensi-noneksistensi. Kategori negasi adalah turunan dari putusan negatif.
Jika dalam bentuk pernyataan negatif “ini bukan meja” meniscayakan
adanya kekosongan realitas meja, maka dalam kategori limitasi, perinciannya
akan lebih luas. Misalnya dicontohkan berikut, “itu kawasan non-manusia”.
Kalimat tersebut, meskipun memberikan penjelasan tentang selain manusia, juga
membatasi objek yang disebut manusia. Jadi, yang dimaksud, “non-manusia”,
adalah objek yang bukan manusia. Objek-objek selain manusia jumlahnya sangat
banyak, mungkin tidak terbatas. Tapi, justru hal tersebut merupakan pembatasan
pada manusia. Memasukkan sesuatu selain manusia, secara tidak langsung telah
membatasi objek-objek yang termasuk jenis manusia. Selain berisi kategori
limitasi, contoh tersebut juga mengandung kategori totalitas, dan eksistensi-noneksistensi.
C.3. Relasi
Kategori relasi merupakan turunan dari putusan relasi. Kant menyebutnya,
Analogi Pengalaman (Analogies of Experience).175 Kategori relasi terdiri dari
175
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 295
91
substansi-aksidensi, sebab-akibat, dan komunitas. Contoh kategori substansiaksidensi dapat dilihat seperti dalam kalimat, “batu itu hitam”. Kata batu
menunjukkan sebuah benda (substansi), dan hitam menunjukkan warna
(aksidensi). Pola hubungan ini sangat erat, karena warna sebagai aksiden, melekat
pada substansi dan tidak dapat berdiri dengan sendirinya. Begitu pula benda yang
diwarnai, merupakan jenis tersendiri yang membedakannya dengan benda-benda
lain, dari jenisnya yang sama. Kalimat tersebut menunjukkan makna suatu
kekhususan objek tertentu. Di samping itu, juga mengandung kategori realitas,
totalitas, dan eksistensi-non-eksistensi. Kategori substansi-aksidensi adalah
turunan dari putusan kategoris.
Bagian kedua adalah kategori kausalitas. Contohnya seperti dalam kalimat,
“jalanan basah, karena hujan turun”. Pernyataan tersebut menunjukkan adanya
pola hubungan sebab-akibat. Kategori kausalitas diturunkan dari putusan
hipotetis. Dalam kategori ini, informasi menyeluruh ditopang oleh susunan dua
proposisi yang satu sama lain sudah menghasilkan makna. Kedua proposisi itu
saling melengkapi untuk membentuk kebenaran yang utuh dalam pola hubungan
sebab akibat. Selain berupa kategori kausalitas, contoh tersebut juga berisi
kategori totalitas, realitas—yakni realitas jalan dan hujan—dan kategori
keniscayaan-kemustahilan. Karena sejak awal sudah memiliki makna, tiap-tiap
proposisi dalam contoh tersebut, jika dipisahkan memiliki perincian sendirisendiri. Proposisi pertama berisi kategori totalitas, realitas, substansi-aksidensi
dan kemungkinan-kemustahilan. Proposisi kedua berisi kategori totalitas, realitas,
dan kemungkinan-kemustahilan.
92
Dengan menetapkan kategori kausalitas, Kant membantah kritik Hume
atas kepastian hukum sebab-akibat. Menurut Hume, kaidah kausalitas adalah fakta
empiris, yang berasal dari kondisi mental subjektif dan tidak bisa dipastikan.
Sebaliknya bagi Kant, kausalitas adalah ketetapan logis yang bersifat a priori,
karena tidak didapat dari pengalaman, melainkan dari konsep pemahaman murni.
Hukum kausalitas bersifat tetap, dan dapat dibuktikan kebenarannya, sehingga
berlaku objektif.
Jenis kategori ketiga adalah komunitas. Misalnya dicontohkan dalam
pernyataan, “jalanan menjadi basah, karena turun hujan, atau truk pengangkut air
meneteskan muatannya di jalanan”. Dalam kalimat tersebut, terdapat sebuah
informasi yang tidak menjelaskan kepastian mengenai sebab terjadinya sesuatu.
Apakah sumber terjadinya jalanan basah didapat dari proposisi pertama atau yang
kedua, hanya bersifat kemungkinan. Jika diperinci, tiap-tiap proposisinya
mengandung beberapa kategori. Proposisi pertama berisi kategori totalitas,
realitas, substansi-aksidensi, dan kemungkinan-kemustahilan. Proposisi kedua
berisi kategori totalitas, realitas, dan kemungkinan-kemustahilan. Proposisi ketiga
berisi kategori totalitas, realitas, dan kemungkinan-kemustahilan. Namun, secara
keseluruhan, ketiga proposisi tersebut membentuk kategori komunitas. Kategori
komunitas adalah turunan dari putusan disjunktif.
C.4. Modalitas
Kategori modalitas diturunkan dari putusan modalitas. Kant menyebutnya,
Postulat Pemikiran Empiris secara Umum (Postulates of Empirical Thinking in
General).176 Kategori modalitas terdiri dari: kemungkinan-ketidakmungkinan,
176
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 321
93
eksistensi-non-eksistensi, dan keniscayaan-kemustahilan. Sama seperti putusan
modalitas, kategori modalitas tidak memberi apa-apa pada isi putusan. Tapi,
prinsip-prinsipnya sekedar menjelaskan hubungan kemungkinan, aktualitas, dan
keniscayaan dalam penerapan empiris.177 Tidak ada contoh khusus mengenai
kategori ini. Namun, untuk lebih jelasnya bisa dicontohkan seperti proposisi,
“pengusaha itu untung besar”. Kalimat ini berisi kategori kemungkinankemusthilan, berupa informasi yang menjelaskan kemungkinan sekaligus
ketidakmungkinan terjadinya suatu hal. Dari sudut pandang tertentu, informasi itu
tidak bisa dianggap aktual atau niscaya, kecuali dengan standar penerapannya
secara empiris. Selain itu, kalimat tersebut juga berisi kategori totalitas, dan
realitas. Kategori kemungkinan-kemustahilan turunan dari putusan problematis.
Kategori modalitas kedua, yakni eksistensi-non-eksistensi, contohnya
seperti, “Aritoteles adalah orang Stageira”. Kalimat ini berisi kategori eksistensinon-eksistensi, yakni suatu informasi yang berisi fakta atau kenyataan. Informasi
tersebut memiliki sejumlah bukti yang tidak bisa disangkal kebenarannya,
termasuk dari sudut pandang manapun. Selain itu, kalimat tersebut juga berisi
kategori totalitas, dan realitas. Kategori eksistensi-non-eksistensi adalah turunan
dari putusan assertotik atau penegasan.
Bagian kategori modalitas ketiga adalah keniscayaan-kontingensi.
Misalnya dalam kalimat, “deforestation berdampak buruk pada kelangsungan
kehidupan di bumi”. Keseluruhan kalimat ini berisi kategori keniscayaankontingensi, yakni kejadian yang bersifat niscaya dan bergantung. Informasi
bahwa deforestation dapat berdampak buruk pada kelangsungan hidup di bumi
177
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 322
94
bisa dibuktikan secara ilmiah, dan bergantung pada sikap manusia itu sendiri.
Selain itu, kalimat tersebut berisi kategori totalitas, dan realitas. Kategori
keniscayaan-kontingensi diturunkan dari putusan apodiktik.
Pada dasarnya, keseluruhan dua belas kategori yang sudah dijelaskan di
atas, dapat dikelompokkan menjadi dua. Yang pertama adalah kategori matematis,
yakni kategori kuantitas dan kualitas. Sedangkan yang kedua disebut kategori
dinamik, yakni kategori relasi dan modalitas. Kategori matematik berhubungan
dengan objek-objek intuisi. Sedangkan kategori dinamik memainkan peranan
dalam mengarahkan eksistensi objek-objek tersebut satu sama lain, atau terhadap
pemahaman.178
D. Deduksi Transendental
Sub-bab deduksi transendental dalam Critique of Pure Reason, berisi
argumentasi yang menguatkan prinsip dua belas kategori.179 Kant menyatakan
bahwa fungsi a priori, semisal dua belas kategori memiliki validitas objektif yang
tidak terbantahkan.180 Keduabelas kategori tersebut pada dasarnya dapat
disimpulkan menjadi lima, sebagai basis pemikiran: keluasan, realitas, subjek,
dasar, dan keseluruhan.181 Kategori tersebut menghasilkan pengetahuan a priori,
yakni pengetahuan yang berisi komponen a priori atas beragam objek, ketika
menampakkan dirinya kepada subjek. Oleh karena itu, tugas dari kategori tidak
178
179
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 215
Sebastian Gardner, Kant and the Critique of Pure Reason (London: Routledge, 2003),
h.130
180
Georges Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 84
Paul Guyer, “The Transcendental Deduction of Categories,” in Paul Guyer, ed., The
Cambridge Companion to Kant (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), h. 131
181
95
lain adalah menghasilkan pengetahuan a priori tentang struktur dasar pengalaman
manusia.182
Menurut George Dicker—salah satu komentator Kant—fokus utama subbab tersebut ingin menegaskan dua konsep: substansi dan sebab-akibat.183 Subbab tersebut adalah cara untuk menunjukkan bahwa pengalaman harus bisa
dikonseptualisasikan dalam bingkai substansi, agar segala perubahannya bisa
dijelaskan oleh hukum sebab-akibat. Dari paparannya, Kant menyimpulkan
konsep dasar pemahaman sebagai kategori sintesis, menjadi tiga: konsep
substansi, kausalitas, dan komposisi atau keseluruhan. Kant menyimpulkan bahwa
konsep transendental pengalaman mencakup dalam tiga hal: sesuatu sebagai
substansi, setiap kondisi dunia sebagai sebuah akibat, dan semua penampakkan
membuat satu keseluruhan.184 Di dalamnya, ia mengritik pandangan Hume atas
subjektivisme dan ketidakmungkinan adanya hukum kausalitas. Bagi Kant,
pengalaman adalah hal yang mungkin, dan pengetahuan selalu berkenaan dengan
pengalaman.
Agar bisa diamati secara utuh, pengalaman harus dikonseptualisasikan
sebagai objek-objek yang tetap (enduring objects). Pengalaman harus memiliki
sejumlah atribut yang memungkinkan subjek mengamatinya. Di sini Kant
menawarkan rumusan bahwa pengalaman harus bisa diamati, dan diidentifikasi
sebagai sesuatu yang bersifat tetap dengan ciri yang tidak pernah berubah-ubah.
Terlebih struktur pengalaman yang bermacam-macam dalam suatu keadaan
tertentu, harus bisa dijelaskan dalam skala rasional, yang secara signifikan
182
George Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 85
George Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 85
184
Paul Guyer, “The Transcendental Deduction”, h. 135
183
96
memiliki pengaruh pada kebiasaan dan atau pengulangan-pengulangan.185
Sejumlah penyelidikan mengenai objek pengalaman bisa terus dilakukan.
Mungkin hasilnya akan berbeda-beda, karena selalu terjadi perubahan. Tapi, objek
yang diamati, pada dirinya, bersifat tetap. Hal ini sebagaimana rumusan Kant
tentang substansi.
Menurut Kant, setiap substansi bersifat tetap, kekal (permanent). Dengan
tegas, ia mengatakan bahwa semua penampakkan berisi sesuatu permanen (the
permanent) sebagaimana sebuah objek pada dirinya, dan perubahan (the
transitory) hanya sebagai penentuannya, yang merupakan cara bagaimana sebuah
objek berada.186 Substansi objek pada dirinya adalah tetap. Perubahan yang
nampak terjadi pada objek sebenarnya hanya atribut yang dikenakan padanya.
Semua penampakkan berisi sesuatu yang tetap (substansi), dan segala perubahan
berada pada wilayah penentuan hukum.187 Jadi, yang berubah adalah sifat objek,
bukan substansi pada dirinya.
Kant masih mengikuti pengertian substansi dalam istilah klasik, yakni
Aristoteles. Substansi adalah sesuatu yang bisa menjadi subjek, tapi tidak bisa
menjadi predikat.188 Dengan kata lain, substansi bagi Kant adalah pembawa sifat
(a property-bearer), yang tidak bisa menjadi sifat. 189 Perubahan pada sifat
substansi terjadi terus-menerus. Perubahan tersebut berada di dalam waktu, yang
meliputi objek pada dirinya, bukan waktu dalam pengertian a priori subjek.
Perubahan pada sifat, bisa menyebabkan objek menjadi bentuk yang lain dari
asalnya, atau hanya merubah segelintir saja dari sifatnya. Tapi, menurut Kant,
185
George Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 144
George Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 145
187
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 299
188
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 334
189
George Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 151
186
97
apapun yang terjadi, perubahan itu tidak akan pernah merusak tatanan kesatuan
waktu.190 Waktu berjalan tetap, seiring dengan kesadaran manusia atas
pengalamannya.
Dengan
pengalaman,
manusia
menjadi
sadar.
Kesadaran
selalu
berhubungan dengan objek. Bagi Kant, kesadaran tidak hanya tertuju pada satu
objek, melainkan banyak objek.191 Kesadaran seseorang selalu terarah kepada
objek-objek yang dihadapinya. Kesadaran atas beragam objek tersebut, berada di
bawah kendali kesadaran diri yang sama, yakni pribadi yang menyadari.
Misalnya, seseorang sadar telah melihat beberapa pohon A, B, C, D, dan
seterusnya. Kesadaran orang tersebut atas pohon A, berbeda dari kesadarannya
atas pohon B, C, D, dan seterusnya. Tapi, kesadaran itu tetap berada di bawah
kendali kesadaran diri yang sama. Orang yang sadar tersebut tahu bahwa dirinya
telah melihat pohon A, B, C, D, dan seterusnya, dan tidak mungkin
menyangkalnya. Jadi, kesadaran atas beragam objek adalah hal yang mungkin.
Kant menyebut hal ini dengan istilah, “ synthetic unity of consciousness”.192
Kesadaran atas beragam hal dapat disatukan di bawah satu kendali, karena
diatur oleh suatu hukum universal yang tidak sewenang-wenang (non-arbitrary).
Hukum tersebut mengatur dan menghubungkan tiap-tiap objek satu sama lain
dengan konsep-konsep a priori. Dengan begitu, kesadaran individu atas data
inderawi tidak semata bersifat subjektif. Tapi, objektif, karena disusun
berdasarkan perangkat hukum yang tetap dan disesuaikan dengan konsep a priori
dalam diri subjek.193 Misalnya orang melihat kursi. Ia pertama melihat bagian
190
George Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 162
George Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 91
192
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 249
193
George Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h.103
191
98
tempat duduk atasnya dengan bagian depan penyangga punggung. Kemudian
melihat kaki kursi, lalu mengalihkan perhatian ke bagian belakang penyangga.
Kesadaran atas bagian kursi itu berbeda-beda, khususnya antara depan, dan
belakang. Tapi, keseluruhan informasi tersebut bisa disatukan di bawah satu
kendali kesadaran diri, karena diatur dan dihubungkan oleh hukum tetap, tak
sewenang-wenang (non-arbitrary). Adanya hukum tersebut bisa diketahui dengan
mengamati setiap kejadian, yang membawa implikasi pada struktur perubahan
objek, dan bisa diamati oleh siapa saja yang ingin mengetahuinya.
Lebih jauh Kant mengatakan, agar kesadaran atas beragam objek itu
mungkin terjadi, subjek harus menganggap semua penampakkan objek berasal
dari diri mereka sendiri. Jadi, segala representasi harus bisa dipahami berasal dari
diri subjek (self-ascribable).194 Dengan kata lain, Kant menekankan pentingnya
kesadaran pribadi bahwa segala representasi yang beragam berasal dari dirinya.
Kesadaran tersebut selalu berkesesuaian dengan waktu. Tidak ada kesadaran yang
bersifat tetap, abadi, dan lepas dari temporalitas. Kesadaran terhadap pengalaman
yang berurutan adalah mungkin di dalam waktu-waktu berbeda. Dengan begitu,
kesadaran dapat dijelaskan kaitannya dengan penyatuan beragam penampakkan
objek secara umum.195
Namun, untuk terciptanya kesadaran melalui waktu, dibutuhkan adanya
memori.196 Memori menyimpan sejumlah informasi seputar pengalaman yang
dialami seseorang. Dengannya, segala pengalaman yang diraih bisa dipahami dan
dipikirkan kembali di saat-saat yang berbeda. Di dalam memori tersebut, segala
194
George Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 130
Gilles Deleuze, Kant’s Critical Philosophy, trans., Hugh Tomlinson and Barbara
Habberjam (London: The Athlone Press, 1995), h. 15
196
George Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 106
195
99
bentuk pengalaman hadir dan saling memiliki keterkaitan. Semua kemungkinan
yang dialami kemudian mengalami sintesis.
Kant membagi sintesis tersebut menjadi tiga bentuk: pertama, sintesis
penangkapan dalam intuisi (synthesis apprehension in intuition); kedua, sintesis
reproduksi di dalam imajinasi; ketiga, sintesis pengenalan dalam sebuah konsep.
Ketiganya merupakan aspek yang terjadi dalam satu proses, bukan rangkaian
tahapan berjenjang yang harus dilewati. Ketiga sintesis tersebut ada bersama,
ketika seseorang sadar atas sesuatu hal. Sintesis pertama adalah suatu kondisi di
mana intuisi menangkap segala macam penampakkan objek, dan kemudian
menempatkannya di bawah satu representasi.197 Terjadinya sintesis pada tahap ini
berkesesuaian dengan fungsi a priori ruang dan waktu, yang menentukan batasbatas tertentu dari penampakkan objek. Objek yang bermacam-macam tersebut
hadir di dalam intuisi secara berurutan.
Sintesis kedua adalah reproduksi sejumlah data yang sudah didapat secara
berurutan pada masa lalu, untuk diingat dan dipikirkan pada saat ini. Data lama
yang ada di dalam pikiran dihadirkan kembali sebagai bahan pemikiran. Dari sini
dapat diketahui bahwa sintesis kedua mengaitkan sejumlah objek yang hadir
secara berurutan dalam kurun waktu tertentu, dalam hubungan yang sudah
ditentukan pula dalam masa lalu. Sintesis ini memungkinkan hadirnya objek
sebagai gambaran di dalam pikiran. 198
Sintesis ketiga adalah keadaan dimana seseorang sadar bahwa ketika
menghadirkan data lama dalam pikirannya, data tersebut sama seperti bentuknya
semula. Karena jika tidak demikian, maka data tersebut kemungkinan besar akan
197
198
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 229
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 229-230
100
berubah. Perubahan itu bisa menjadikan data tersebut tidak berguna; tidak valid
sebagai sumber informasi. Sintesis ini merupakan penjelasan Kant, dalam upaya
menjawab keraguan tentang berubah-ubahnya gambaran objek dalam pikiran.199
Objek yang berada dalam pikiran, merupakan landasan munculnya konsep.
Aktivitas mental dalam mengolah data, selalu bekerja dengan aturan yang nonarbitrary. Aturan tersebut adalah hukum yang mengatur hubungan setiap
representasi satu sama lain. Hukum yang mengatur bersifat tetap, sehingga bisa
menerapkan konsep-konsep a priori terhadap beragam data. Meskipun diatur oleh
hukum tetap, Kant menganggap bahwa representasi di dalam waktu selalu
bersitegang dengan subjektivitas individu. Di sini, ia menawarkan dua macam
cara dalam memandang waktu. Yang pertama, waktu sebagaimana dipahami dari
sudut pandang subjek. Waktu di sini sangat terkait erat dengan keberadaan subjek
dalam memandang objek. Bisa diartikan jika waktu dalam pengertian ini sangat
subjektif. Yang kedua adalah waktu dalam kaitannya dengan keberadaan objek.
Waktu ini yang menyelimuti objek, dan lepas sama sekali dari unsur subjek.
Kant tidak bermaksud menyalahi pendapatnya pada estetika transendental
bahwa waktu itu satu dan hadir secara beruntut. Pada dasarnya, waktu tidak bisa
diterima indera (perceived), karena ia bukan objek. Pembagian atas waktu dinilai
sebagai upaya menjelaskan sudut pandang antara sisi objek dengan subjek. Secara
ontologis, keberadaan waktu bersifat a priori, tetap satu dan tidak terbagi. Namun,
pembagian itu ditujukan untuk mempermudah penjelasan. Oleh karena itu, secara
epistemologis pembagian waktu dapat dimungkinkan. Waktu dari sudut pandang
199
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 230-231
101
subjek adalah sesuatu yang hadir begitu saja (given) pada diri subjek. Sedangkan
waktu dari sudut pandang objek adalah kesesuaian objek dengan aturan a priori.
Dalam analisisnya mengenai aturan a priori, Kant sangat mengutamakan
kedudukan kausalitas. Ia menentang keras pandangan Hume bahwa kausalitas
hanya berupa aktivitas mental yang bersifat subjektif, karena hanya didapat dari
kesan-kesan inderawi.200 Namun, sebenarnya terdapat suatu persamaan pendapat
antara Hume dan Kant mengenai masalah ini.
Meskipun menentang Hume, Kant sepakat mengenai ketentuan hukum
kausalitas yang tidak hanya dalam hubungan konseptual, atau tataran kebenaran
kata-kata. Dalam penjelasan mengenai kategori kausalitas, Kant dengan tegas
mengatakan bahwa pemahaman kausalitas tidak diperoleh dari analisis fakta
semata, tapi sudah merupakan sintesis. Selain itu, Kant sepakat dengan Hume
bahwa kausalitas tidak bisa ditunjukkan dengan menerapkan konsep umum seperti
eksistensi, kejadian, permulaan eksistensi, dan sebagainya. Tapi, kausalitas dapat
dibuktikan kebenarannya dengan argumen transendental—argumen yang bersifat
a priori, dan tidak berhubungan secara langsung dengan pengalaman empiris.
Kritik Hume atas kausalitas, sebenarnya diarahkan pada pemikiran bahwa setiap
kejadian pasti memiliki sebab. Sebaliknya, Kant meringkas pernyataannya bahwa
bukti hukum kausalitas hanya bisa diterapkan pada peristiwa yang bisa nampak
(observable events)201 pada indera. Dengan begitu, setiap kejadian di luar batasbatas pengalaman tidak bisa dikatakan memiliki kaitan dengan kausalitas.
Penjelasan tentang kausalitas dimulai dari penelusuran kaidah berikut.
Misalnya, objek kejadian A menyebabkan kejadian B, karena dalam kasus yang
200
201
David Hume, A Treatise of Human Nature, h. 131
George Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 163
102
diteliti, peristiwa A selalu diikuti peristiwa B. Informasi tersebut berdasarkan
fakta yang diperoleh pengalaman. Namun, Kant mempermasalahkan jika
kausalitas hanya diperoleh dengan analisis atas fakta-fakta, terutama menyangkut
cara subjek menerima kejadian dalam tempo berurutan, dan perbedaannya dengan
ketetapan yang tidak berubah. Ia mempertanyakan bagaimana seseorang bisa
mengetahui kejadian A, diikuti kejadian B, kemudian menyebabkan munculnya C,
di dalam durasi waktu tertentu secara berurutan, padahal waktu sendiri tidak bisa
dicerap indera. Selain itu, ia mempertanyakan pula kedudukan benda pada dirinya
sendiri, yang tidak bisa diketahui subjek. Di sini, Kant mempermasalahkan cara
memandang suatu peristiwa yang terkait dengan kausalitas.
Kant menguraikan kerumitan di atas dengan paparan sebagai berikut.
Terjadinya peristiwa A diikuti peristiwa B, kemudian memunculkan C, dalam
waktu tertentu dan dapat dilakukan berulang-ulang, menandai adanya sebuah
hukum yang tetap. Hukum tersebut bekerja pada setiap peristiwa yang nampak
pada subjek, dalam waktu objektif. Waktu objektif yang dituju Kant adalah waktu
yang meliputi keberadaan objek, sekaligus subjek. Namun, karena subjek
memiliki struktur kesadaran a priori dalam dirinya, sehingga ada keterbatasan
kemampuan subjek dalam menangkap objek. Yang dapat ditangkap subjek justru
hanya penampakkannya saja, dan bukan objek pada dirinya. Terlebih karena Kant
mengkonseptualisasikan pengalaman sebagai substansi, maka yang diterima
subjek adalah sifat-sifat objek dan bukan pengalaman sebagai substansi yang
permanen. Sampai di sini, Kant menganggap bahwa subjek bisa menerapkan
kaidah a priori, untuk bisa menghasilkan sintesis atas segala hal yang bisa
menampakkan diri kepada subjek. Sintesis itu bersifat a priori, karena lepas dari
103
unsur-unsur a posteriori. Rangkaian peristiwa tersebut adalah gambaran singkat
proses yang harus dilewati suatu peristiwa, untuk mencapai keadaan tertentu.
Meskipun sistemnya disebut transendental, Kant dengan menunjukkan
penolakan atas idealisme—suatu teori yang menurut Kant mendeklarasikan bahwa
eksistensi objek dalam ruang di luar diri manusia, diragukan dan tidak mampu
dibuktikan, atau palsu dan tidak mungkin. Idealisme dibagi Kant menjadi dua:
pertama, idealisme problematik; kedua, idealisme dogmatik.202 Yang pertama
diwakili oleh Descartes, dengan ketetapan hanya satu kepastian empiris, yakni,
“aku berpikir”. Kelompok kedua diwakili Berkeley, yang menganggap segala
sesuatu di dalam ruang hanyalah imajinasi, dan baik ruang maupun objek-objek di
dalamnya tidak terpisahkan dalam dirinya. Idealisme dogmatik sudah dikaji dalam
pembahasan sebelumnya mengenai ruang dan waktu. Berikutnya, kritik
dialamatkan pada idealisme problematik.
Kelompok idealisme problematik menganggap sumber utama pengetahuan
tentang objek fisik menyangkut kausalitas, hanya didasarkan pada kesadaran
subjektif. Menurut Kant, kesadaran selalu berhubungan dengan sesuatu di luar.
Objek luar memiliki kaitan mendalam, dan bisa dijelaskan kedudukannya secara
objektif. Misalnya, kesadaran tentang masa lalu, yang bisa hadir kembali
sekarang. Kesadaran tersebut merujuk pada sesuatu yang dialami. Objek
kesadaran tetap berbeda dari subjek. Meskipun Kant mengajukan bahwa ruang
dan waktu bersifat a apriori, tetapi objek di luar diri subjek tetap dianggap nyata.
Kant tidak meragukan sama sekali realitas di luar subjek.
202
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 326
104
E. Konsep Transendental Akal
Bagian kedua dari logika transendental adalah dialektik transendental.
Pada paparan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa analitik transendental berperan
dalam menguji beragam penampakkan. Pada tahap ini, fungsi a priori subjek
berupa putusan dan kategori merupakan cara subjek memahami penampakkan
objek. Penampakkan tidak berkaitan dengan benar atau salah, sebagaimana intuisi
bekerja dalam tahap penerimaan, karena intuisi tidak memberi penilaian. Penilaian
benar atau salah berada pada tahap putusan.203 Kesalahan terjadi dalam hubungan
pemahaman subjek atas objek yang dipikirkan. Namun, selama cara berpikir
subjek sesuai dengan hukum-hukum pemahaman, maka kesalahan tidak akan
terjadi. Hukum tersebut adalah aturan logika kesadaran subjek.
Setelah semua penampakkan luar mendapat pengujian dan pemurnian pada
tahap analitik transendental, lalu hasilnya masuk pada tahap terakhir: dialektik
transendental. Pada tahap ini, semua jenis penampakkan yang sudah ditentukan
batas-batasnya secara rasional, disatukan di bawah satu kendali hukum. Hukum
tersebut menandai keseluruhan makna yang dihasilkan dari penelusuran
menyeluruh atas penampakkan objek. Di sini, fungsi a priori subjek tidak lagi
berhubungan secara langsung dengan realitas empiris. Tapi, hanya berkenaan
dengan pemahaman. Transendental dialektik berupaya melindungi pemikiran dari
ilusi putusan transendental.204 Dialektik transendental berperan memberi arah atas
hasil terakhir pemikiran. Karena tidak berhubungan langsung dengan realitas
empiris, tahap ini tidak menambah apapun pada isi pengetahuan.
203
204
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 384
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 386
105
Kant dengan jelas membedakan dua kata: Verstand dan Vernunft. Verstand
digunakan untuk menunjukkan fakultas pemahaman, yang masih berhubungan
dengan realitas empiris. Adapun Vernunft merujuk pada fakultas pemikiran, yang
tidak berhubungan langsung dengan realitas empiris. Jadi, Vernunft berbeda dari
Verstand.205 Vernunft adalah fakultas yang berfungsi mengatur (regulative) semua
data hasil pemurnian tahap Verstand; semacam kemampuan dalam mengolah
susunan argumentasi. Fakultas ini memproduksi sejumlah ide transendental, yang
tidak bisa memperluas pengetahuan, tapi hanya berfungsi mengatur dan
mengarahkan pemahaman. 206
Bagi Kant, proses singkat hadirnya pengetahuan adalah sebagai berikut:
sejumlah objek muncul dan menampakkan diri pada subjek. Lalu penampakkan
objek diolah dalam pemahaman (understanding). Kemudian berakhir pada
pertimbangan akal yang membawahi kesatuan tertinggi pemikiran. Kant menilai
bahwa kesatuan itu merupakan kegunaan logis dari akal, yang meliputi seperangkat
aturan yang tidak diturunkan dari indera atau pun pemahaman.207 Kant mengatakan
bahwa logika transendental yang pertama (the transcendental analytic) adalah
205
Kata Vernunft dalam bahasa Jerman diterjemahkan menjadi akal budi atau intelek, dan
dibedakan dari Verstand (rasio). Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani
Sampai Abad ke-19 (Yogyakarta: Kanisius, 1997), h. 142; Di salah satu kamus, makna dua kata itu
tidak dibedakan. Lih. Adolf Heuken, SJ., Deutsch-Indonesisches Wörterbuch: Kamus Jerman
Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 565, 571; Namun, di kamus yang lain,
Verstand berarti mind (pikiran), dan Vernunft bermakna reason, common sense (akal sehat). Lih.
Veronika Schorr, dkk. (eds.), Collins Gem: German Dictionary (Glasgow: HarperCollins
Publishers, 2003), h. 209, 211; Dua penerjemah Kritik der Reinen Vernunft, Paul Guyer dan Allen
W. Wood, menerjemahkan Vernunft menjadi reason, dan Verstand menjadi understanding. Lih.
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans., Paul Guyer dan Allen W. Wood (Cambridge:
Cambridge University Press, 2000) h. 764
206
Frederick Copleston, A History of Philosophy, vol. 6, Wolff to Kant (Wellwood: Burn
& Oates, 1999), h. 278
207
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 387
106
proses pemahaman, yang ia sebut fakultas aturan-aturan. Adapun yang kedua (the
transcendental dialectic) adalah tahap akal yang ia sebut fakultas prinsip-prinsip.208
Prinsip-prinsip tersebut adalah kesatuan menyeluruh dari kesadaran
universal sebagai premis mayor yang berbentuk konsep sesuatu, disertai premis
minor, dan kesimpulan menurut aturan silogisme.209 Kesadaran atas prinsip-prinsip
merupakan kesadaran saat subjek menyadari hal partikular dalam universal melalui
konsep. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemahaman adalah fakultas
penyatuan penampakkan melalui aturan-aturan, sedangkan akal adalah fakultas
penyatuan aturan pemahaman di bawah prinsip-prinsip. Namun, akal tidak pernah
menerapkan prinsip tersebut pada pengalaman secara langsung. Tapi, hanya
diterapkan pada pemahaman, dengan tujuan menghasilkan kesatuan a priori
melalui konsep terhadap keragaman kesadaran dalam pemahaman. Kant
menyebutnya sebagai kesatuan akal (the unity of reason).210
Secara umum, di setiap penalaran logis, kesimpulan bisa didapat melalui
tiga rangkaian sederhana berikut: sebuah proposisi umum sebagai dasar, dan
proposisi lain sebagai konklusi yang didapat dari proposisi sebelumnya, kemudian
kesimpulan (inference) yang berkaitan dan sesuai dengan proposisi pertama. Yang
membedakan antara kesimpulan pemahaman dengan kesimpulan akal adalah jika
putusan yang disimpulkan ada pada proposisi pertama, maka konklusi dapat
diturunkan tanpa menghadirkan representasi ketiga. Hal ini disebut kesimpulan
langsung (immediate inference: consequentia immediata), atau kesimpulan
pemahaman.
208
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 387
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 388
210
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 389
209
107
Namun, jika selain kesadaran sebagai dasar pemikiran, terdapat putusan
lain yang mempengaruhi munculnya konklusi, maka kesimpulan (inference) yang
dihasilkan disebut kesimpulan akal. Dalam susunan silogisme, kesimpulan terakhir
didapat dari turunan putusan-putusan sebelumnya. Kesimpulan langsung (an
immediate inference), disebut kesimpulan pemahaman (the inference of
understanding). Kesimpulan itu diturunkan secara langsung, tanpa bantuan
kesimpulan yang lain. Kesimpulan semacam itu mencakup hal-hal yang affirmatif
universal ke affirmatif partikular, penyangkalan dari pertentangan, pertentangan,
subcontrary, konversi (conversion), dan kontraposisi (contraprosition). Sedangkan
kesimpulan yang menengahi pendapat dan menyimpulkan berbagai proposisi
sebelumnya—terkadang muncul sebagai kesimpulan ketiga atau lebih—disebut
kesimpulan akal.211 Misalnya, proposisi, “semua manusia adalah makhluk hidup
(mortal),” sebagai premis mayor. Dalam putusan itu, terkandung makna, “beberapa
manusia adalah makhluk hidup”, “beberapa makhluk hidup adalah manusia”, “
manusia adalah makhluk yang tidak abadi”, dan seterusnya.
Dari situ kemudian dibuat susunan silogisme: “semua manusia adalah
makhluk hidup”. Kemudian dari konsep umum bisa dibuat premis minor: “semua
sarjana adalah manusia”. Sarjana adalah predikat yang melekat pada sebagian
manusia yang berpendidikan. Selanjutnya, dapat dibuat kesimpulan, “semua sarjana
adalah makhluk hidup”. Proposisi, “semua sarjana adalah makhluk hidup”, tidak
didapat secara langsung dari kesimpulan pemahaman pada premis mayor. Tapi,
diperoleh lewat premis minor. Dengan begitu, kesimpulan akal hanya bisa
didapatkan melalui perantara adanya putusan langsung (an immediate judgment).212
211
212
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 736
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 390
108
Pada contoh tersebut, didapat adanya kesadaran hal partikular, yakni sarjana, dalam
konsep universal, yakni makhluk hidup.
Singkatnya, proses dalam setiap sillogisme213 dapat dijelaskan menjadi:
pertama, proposisi pertama diletakkan sebagai premis mayor, melalui pemahaman
yang menghimpun keragaman dalam sebuah konsep tertentu. Kedua, menghadirkan
kesadaran tertentu di bawah kondisi aturan-aturan pemahaman, dan dijadikan
premis minor melalui kekuatan putusan. Ketiga, menentukan kesadaran a priori
yang menyeluruh mencakup prinsip pemahaman untuk mencapai kesimpulan
(inference) partikular. Proses yang ketiga dihasilkan oleh fungsi a priori akal, dan
tidak berhubungan secara langsung dengan objek empiris.
Menurut Kant, akal murni (der reinen Vernunft) bukan hanya berisi
konsep-konsep yang direfleksikan. Tapi, juga konsep-konsep yang disimpulkan. Ini
dibedakan dari konsep pemahaman, yang merupakan hasil pemikiran a priori,
tetapi tidak menyatukan atau menyimpulkan prinsip pemahaman. Konsep akal
murni meliputi banyak putusan, seperti halnya konsep pemahaman yang berfungsi
menghasilkan pemahaman atas segala penampakkan objek. Konsep akal memiliki
validitas objektif. Kant menyebutnya konsep-konsep yang disimpulkan secara
benar (conceptus ratiocinati). Namun, bisa juga menghasilkan kesimpulan yang
salah atau sekedar ilusi. Kant menamakannya konsep yang mengelabui (conceptus
ratiocinantes).214
Konsep akal murni berbeda dari pemahaman. Konsep pemahaman adalah
susunan kategori. Adapun konsep akal murni adalah ide-ide transendental.215 Ide
213
Kant menyebut silogisme sebagai Vernunftschluß, yang secara bahasa berarti an
inference reason. Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 390
214
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 394
215
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 395
109
menurut Kant adalah sesuatu yang merujuk pada konsep non-empiris, tidak dari
pengalaman, melainkan dihasilkan rasio.216 Ide tersebut mengikat semua bentuk
penalaran, dalam sebuah kesatuan.
Namun, Kant menolak ide menurut Plato. Bagi Kant, Plato telah
memperlakukan konsep ide sebagai sesuatu yang abstrak: semacam pola dasar
(archetype) bagi segala sesuatu di dunia, yang tidak memiliki kaitan dengan realitas
empiris, bahkan melewati batas-batas pemahaman—bagian terakhir ini yang sangat
ditentang oleh Aristoteles. 217 Ide tersebut mengalir dari akal tertinggi, dan akal
manusia bekerja dengan mengingat segala sesuatu yang sudah ada sebelumnya,
sehingga tidak menemukan keaslian pemikirannya.
Meskipun cukup abstrak, menurut Kant, Plato tetap berpegang bahwa hasil
konkret ide berada pada tataran praktis (practical).218 Seperti ide kebebasan,
kebaikan, termasuk kesadaran matematis, dapat diketahui dan dijelaskan dengan
paparan pengalaman seseorang. Di sisi lain, Kant menolak pandangan Plato bahwa
alam ide adalah bentuk yang sempurna, abadi, dan tidak berubah. Bagi Kant ide
merupakan susunan pemikiran manusia.
Tetapi, Plato tidak selalu salah. Kant sepakat dengannya terkait bukti-bukti
ide yang tidak hanya berada dalam tataran akal manusia, melainkan sebagai sebab
yang cukup jelas atas beragam aksi dan objeknya di alam.219 Dalam kehidupan
sehari-hari, ide bisa menjadi sebab terjadinya interaksi antara manusia dengan
manusia, dan manusia dengan alam sekitarnya. Interaksi tersebut terjadi karena
pemikiran yang menuntun manusia untuk bertindak. Pikiran sendiri dapat berisi
216
Thomas W. Wartenberg, “Reason and The Practice of Science”, in Paul Guyer, ed.,
The Cambridge Companion to Kant (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), h. 229
217
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 395
218
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 396
219
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 397
110
gambar-gambar atas fenomena alam. Namun, itu hanya sekedar gambar. Untuk bisa
mengetahui bentuk riil objek, caranya dengan melihat bentuk aslinya di dunia,
tempat manusia itu hidup, melalui sensibiltas. Cara ini tidak terlepas dari ketentuan
hukum alam yang melingkupi kehidupan manusia, begitu pula susunan akal pikiran
subjek sebagai pengamat.
Bagi Kant, ide atau konsep akal (Jerman: der Vernunftbegriff)220 adalah
konsep yang dibentuk oleh gagasan atau pemikiran, yang melewati kemungkinan
pengalaman. Dengan begitu, bersifat murni a priori. Ide teoretis berlaku seperti
konsep empiris, yakni sebagai penyatu,221 meskipun keduanya memiliki objek
berbeda. Objek penyatuan yang dimaksud adalah pengetahuan empiris, yang sudah
mengalami pengujian pada tahap rasio. Konsep yang membentuk ide, selama tidak
berada dalam kerangka sensibilitas disebut notio. Kant tidak memungkiri bahwa
sumber data pikiran berasal dari luar, dan tidak menolak bahwa akal memiliki
sejumlah kecenderungan alamiah a priori, meskipun yang terakhir itu tidak
digolongkan sebagai pengetahuan. Baginya, selama persepsi merujuk pada subjek
sebagai sebuah modifikasi keadaan, maka disebut sensasi (sensatio). Jika persepsi
tersebut lepas dari pandangan subjektifitas, atau objektif, maka disebut kesadaran
(cognitio). Kesadaran dapat berbentuk hasil pencerapan intuisi, atau konsep
(intuitus vel conceptus). Intuisi berkaitan dengan objek secara langsung, dan
bersifat singular. Sedangkan konsep ditengahi oleh catatan yang berskala umum
pada semua jenis penampakkan.222 Semua struktur dasar ini, akhirnya berperan
dalam menghasilkan kesimpulan final pada tahap akal.
220
Immanuel Kant, Kritik der reinen Vernunft, nach der ersten und zweiten OriginalAusgabe herausgegeben von Raymund Schimdt (Felix Meiner Verlag: Hamburg, 1990), h. 354
221
Thomas W. Wartenberg, “Reason and The Practice of Science”, h. 230
222
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 398-399
111
Menurut Kant, kesimpulan akal tercapai karena universalitas kesadaran
menurut konsep. Sifat universalitas tersebut berkesesuaian dengan susunan
silogisme, yang membentuk putusan secara a priori di keseluruhan kondisinya.223
Universalitas yang dimaksud adalah jarak wilayah yang sempurna dalam suatu
kondisi, ketika kesimpulan akhir silogisme diperoleh. Objek dalam kesimpulan
tersebut sebelumnya sudah termasuk bagian premis mayor, di bawah kondisi yang
lebih luas. Kant mencontohkan bahwa kalimat, “Caius adalah makhluk hidup”,
didapatkan dari pengolahan pemahaman sebagai kesimpulan akal. Sebelumnya,
pemahaman sudah mencoba menelusuri secara lebih detail dan luas, paparan yang
berkenaan dengan objek yang dibicarakan, yakni Caius, dengan sesuatu yang lebih
universal, maka didapatlah kata, “manusia”. Lalu dibuat susunan silogisme, “semua
manusia adalah makhluk hidup”, “Caius adalah manusia”, maka “Caius adalah
makhluk hidup”. Susunan silogisme tersebut adalah hasil kinerja fungsi a priori
subjek, dalam mengolah sejumlah data guna menghasilkan kesimpulan.
Dalam penalaran silogisme, premis mayor membuat gambaran umum dan
menyeluruh atas objek yang berada dalam suatu kondisi. Setelah itu, baru
kesimpulannya yang diarahkan berbentuk objek tertentu. Objek tersebut berupa hal
partikular, yang dijelaskan secara menyeluruh dalam totalitas kondisinya. Konsep
transendental akal tidak lain adalah menemukan totalitas kondisi atas sesuatu yang
hadir dikondisikan (totality of conditions to a given conditioned thing).224
Kerja akal selanjutnya semakin memperbanyak kesatuan totalitas tersebut.
Totalitas tersebut adalah konsep akal yang selaras dengan kinerja pemahaman
melalui kategori-kategori. Penelusuran konsep akal tersebut bisa dijelaskan sebagai
223
224
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 399
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 400
112
penemuan pengetahuan yang terkondisikan (a conditioned knowledge),225 yang
selalu terarah pada keadaan yang tidak dikondisikan (an unconditioned).
Penelusuran itu dilakukan dalam tiga bentuk: Pertama, sintesis kategoris di dalam
subjek; kedua, sintesis hipotesis dari sekumpulan rangkaian; ketiga, sintesis
disjunktif dari bagian-bagian dalam sebuah sistem.226 Ketiga bentuk sintesis itu
selaras dengan susunan kategori relasi: substansi, sebab akibat, dan komunitas.
Kant tidak bermaksud menganggap bahwa pengetahuan yang tidak dikondisikan itu
ada. Hal itu hanya sebagai cara menjelaskan bahwa akal selalu bekerja mencari
sintesis atas segala macam pemahaman dalam bentuk kesimpulan tiga macam
susunan: silogisme kategoris, silogisme hipotesis, dan silogisme disjunktif. 227
Sintesis atas apa yang tidak dikondisikan sebenarnya tidak pernah dianggap sebagai
pengetahuan.
Dengan tiga bentuk silogisme tersebut, Kant tidak bermaksud menjelaskan
hal abstrak. Kendati tidak berhubungan secara langsung dengan objek, tetapi
konsep akal berisi informasi yang berkenaan dengan realitas empiris. Rumusan ini
terkait dengan kegunaan dasar-dasar kerangka teoretis sains. Terkadang
rumusannya dianggap sebagai upaya untuk menyediakan fondasi metafisika bagi
sains Newtonian.228
Menurut Kant, selama subjek menggunakan kekuatan pemahaman dan
akalnya, maka akan banyak kesimpulan akal yang bermunculan. Hal tersebut
225
Sebenarnya Kant tidak menjelaskan secara eksplisit maksud a conditioned dan an
unconditioned. Tapi, jika menelusuri secara detail, kita bisa mengasumsikan bahwa yang pertama
adalah sesuatu yang memiliki kaitan dengan realitas empiris, kendati sudah dimurnikan.
Sedangkan yang kedua merujuk pada sesuatu yang tidak memiliki dasar empiris. Bandingkan
misalnya, Frederick Copleston, A History of Philosophy, h. 280
226
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 400
227
Frederick Copleston, A History of Philosophy, h. 281
228
Thomas W. Wartenberg, “Reason and The Practice of Science”, in Paul Guyer, ed.,
The Cambridge Companion to Kant (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), h. 228
113
menandai perwujudan pemahaman yang luas, menuju kepada totalitas yang
semakin mengerucut. Misalnya pada penalaran, “semua manusia adalah makhluk
hidup”, “semua sarjana adalah manusia”, maka “semua sarjana adalah makhluk
hidup”. Susunan silogisme ini sebenarnya sudah merupakan totalisasi kesimpulan
yang diperoleh akal. Premis mayor, “semua manusia adalah makhluk hidup”,
merupakan kesimpulan dari silogisme yang mencakup objek yang lebih luas:
“semua hewan adalah makhluk hidup”, “manusia adalah hewan,” maka, “semua
manusia adalah makhluk hidup”. Dari sini dapat dipahami bahwa kesimpulan
terakhir silogisme bisa dibentuk kembali menjadi premis mayor, yang mampu
membawahi konsep-konsep secara lebih spesifik, dengan kapasitas yang
sebelumnya diperoleh dari data yang lebih luas. Akal mampu membuat penyatuan
menyeluruh atas beragam kesimpulan yang sudah diperoleh sebelumnya, guna
mendapatkan kesimpulan baru. Penyatuan tersebut menurut Kant, dianggap absolut.
Absolut ditujukan untuk menandai bahwa sesuatu adalah valid secara
internal, dan juga valid dalam setiap hubungannya.229 Dengan kata lain, Kant
bermaksud menunjukkan bahwa penyatuan beragam kesimpulan akal sebagai
sesuatu yang tetap dan mungkin pada dirinya. Di sisi lain, setiap kesimpulan itu
memiliki keterkaitan, sehingga bisa dihubungkan satu dengan yang lain. Oleh
karena itu, konsep transendental akal selalu menuntun pada totalitas absolut dalam
sintesis atas kondisi-kondisi objek. Totalitas absolut tersebut bukan konsep yang
digunakan dalam pengalaman. Tapi, berhubungan hanya dengan pemahaman yang
memberi dasar-dasar aturan pengalaman. Kant menyebut totalitas absolut sebagai
kesatuan akal dalam penampakkan (the unity of reason in appearances), dan
229
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 401
114
dibedakan dengan bentuk-bentuk kategori sebagai kesatuan pemahaman (the unity
of understanding).230
Selama terjadi penyatuan dalam penampakkan, akal juga berupaya
menghadirkan sesuatu yang universal dalam setiap hubungan penampakkan, yang
terkait dengan: 1) relasi terhadap subjek; 2) hubungan dengan objek-objeknya, baik
sebagai penampakkan, atau objek dalam pemikiran secara umum. Kant mengatakan
bahwa dua hal tersebut dapat diperinci dengan mempertimbangkan ide atas
representasi, yang berkaitan dengan: 1) hubungannya dengan subjek; 2) hubungan
dengan keragaman objek dalam penampakkan; 3) hubungan dengan semua hal
secara umum.231
Dari ketiga pembagian di atas, akal membuat kesatuan sintetis atas segala
representasi. Akal bahkan membuat kesatuan sintesis yang tidak dikondisikan.
Kendati ujung dari sintetis ini adalah semacam klaim metafisik, Kant tetap
mengakuinya sebagai bagian dari kerja akal. Bagi Kant, ketiga hal tersebut
membawahi ide transendental dalam tiga perincian yang berisi kesatuan absolut
yang tidak dikondisikan: 1) kesatuan absolut pemikiran subjek; 2) kesatuan absolut
rangkaian kondisi penampakkan; 3) kesatuan absolut kondisi semua objek
pemikiran secara umum.232 Yang pertama adalah objek psikologi. Akal
menyediakan ruang bagi penjelajahan ide tentang jiwa rasional (psychologia
rasionalis), dalam bentuk sintesis kesatuan yang tidak dikondisikan, yakni ego
permanen yang dipahami sebagai substansi. Yang kedua adalah objek kosmologi.
Di sini akal berperan mendukung sains transendental dunia atau kosmologi rasional
(cosmologia rasionalis). Akal membuat sintesis atas keragaman objek, yang terarah
230
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 402
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 405
232
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 406
231
115
pada kesatuan kausalitas yang tidak dikondisikan, sehingga berupa kosmologi
spekulatif. Yang ketiga adalah objek teologi, sebagai basis rasional penalaran
teologi (theologia rasionalis). Pada bagian terakhir ini, akal mencari kesatuan yang
tidak dikondisikan dalam bentuk wujud tertinggi atas segala kemungkinan yang
bisa dipikirkan. Di sini konsep Tuhan hadir sebagai penyatu segala sesuatu.
Namun, ketiga ide tersebut tidak ditunjang oleh pemahaman dengan objek
dalam tatanan empiris. Ketiganya menjadi problem akal murni, karena tidak
memiliki deduksi objektif atas penampakkan.233 Ketiganya hanya merupakan
pengenalan subjektif setiap individu, atas dasar kemampuan alamiah akal.234 Hal
seperti ini tidak bisa dihindari. Dengan ini Kant menjawab seseorang yang
terpelajar sekalipun, bisa memiliki kecenderungan membuat totalisasi kesimpulan
akal tanpa bukti empiris. Kant mengakui kecenderungan semacam ini.
Kant mengakui banyak kemungkinan jalur yang ditempuh guna
menghasilkan kesimpulan akal. Pada dasarnya, akal menyediakan dasar teoritis,
baik bagi pemikiran ilmiah yang berbasis pada premis-premis yang tepat dan akurat
sesuai fakta, sekaligus juga struktur pemikiran yang tidak berpijak pada
pengalaman empiris. Keduanya diakui bersumber dari akal. Susunan silogisme
terakhir, disebut Kant kesimpulan yang menyesatkan (sophistical). Ini dibedakan
dari yang pertama, yang disebutnya kesimpulan rasional (rational inferences).235
F. Tiga Kecenderungan Akal
Sejalan dengan fungsi akal yang bersifat regulatif, pada sisi lain akal juga
memberi fondasi bagi sejumlah kecenderungan alamiah yang menghasilkan
233
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 406
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 407
235
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 409
234
116
kesimpulan, tetapi berada di luar pengetahuan. Kant membaginya menjadi tiga:
paralogisme, antinomi, dan ideal akal murni.236
F.1. Paralogisme
Paralogisme adalah bentuk penalaran, yang susunannya menyalahi kaidah
silogisme, tanpa perlu melihat lebih jauh informasi yang dikandungnya apakah
salah atau benar.237 Paralogisme hanya berisi sesuatu yang bersifat abstrak, tidak
riil. Kant membagi kecenderungan ini menjadi empat: pertama, ide tentang
substansi (substantiality); kedua, jiwa terdiri dari hal-hal sederhana (simplicity);
ketiga, kesadaran identitas numerik tentang diri dalam waktu-waktu berbeda
(personality); keempat, eksistensi yang hanya dianggap sebagai sebab menurut
persepsi (ideality).238
Keempat hal tersebut adalah problem akal. Problem di sini diartikan
sebagai kemustahilan membuktikan data empiris, berkaitan dengan kebenaran halhal tersebut. Pertama, substansi239 adalah sesuatu yang abstrak, dan tidak ada
dalam realitas.240 Kedua, kendati pemikiran dapat dikaitkan dan dipisah dengan
beragam hal, tetapi jiwa tidak bisa didistribusikan atau dibagi-bagi. Jiwa meliputi
kedudukan subjek yang berpikir secara menyeluruh.241 Ketiga, identitas kesadaran
dalam waktu-waktu berbeda hanyalah kondisi formal pemikiran, tidak
menunjukkan identitas numerik subjek. Perubahan hanya terjadi berkenaan
dengan kesadaran subjek dengan penampakkan objek, dan bukan subjek pada
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 410
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 411
238
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 413
239
Lewat karya-karyanya, proyek filosofis Kant berhasil mereduksi semua fakultas atau
kapasitas jiwa menjadi tiga hal: fakultas untuk mengetahui, fakultas kesenangan dan kesakitan,
dan fakultas keinginan (desire). Immanuel Kant, Critique of Judgment, trans., J.H. Bernard
(Promoteus Books: New York, 2000), h. 14
240
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 417
241
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 419
236
237
117
dirinya yang ditentukan secara numerik.242 Keempat, kesadaran atas objek di luar
secara langsung membuktikan bahwa sesuatu di luar subjek adalah nyata berada di
dalam ruang.243 Kedudukannya yang terikat hukum sebab akibat adalah nyata, dan
tidak hanya ketika menampakkan diri pada persepsi subjek. Di sini, Kant secara
tegas menentang pandangan kaum idealis, yang tidak mengakui hukum sebab
akibat pada realitas di luar subjek, selama tidak diketahui persepsi langsung
melalui pengalaman.
F.2. Antinomi
Bagian kedua dari kecenderungan alamiah akal adalah antinomi.
Penjelasannya berkaitan dengan ketiga konsep: Tuhan, jiwa, dan kebebasan. Bagi
Kant, antinomi (antinomy)244 tidak berisi informasi yang bersumber dari data
empiris. Kant mengajukan empat pasang antinomi, berupa tesis sekaligus antitesisnya. Tesis pertama berisi pernyataan bahwa dunia memiliki permulaan di
dalam waktu dan terbatas secara ruang. Anti-tesisnya berupa penyangkalan dunia
memiliki permulaan waktu, dan tidak terbatas secara ruang. Tesis kedua berupa
pernyataan bahwa semua bentuk benda-benda yang tersusun, berasal dari subtansi
sederhana. Anti-tesisnya adalah pendapat bahwa tidak ada substansi sederhana.
Tesis ketiga berupa pernyataan bahwa segala sesuatu di alam semesta ditentukan
oleh hukum, yang mengikat dan berlaku secara objektif. Anti-tesisnya adalah
pendapat bahwa segala sesuatu memiliki kebebasan, tidak terikat hukum apapun.
Tesis keempat berupa pernyataan bahwa terdapat realitas tertinggi (an absolutely
necessary being) sebagai pengatur. Anti-tesisnya menyatakan bahwa tidak ada
242
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 423
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 429
244
Dalam logika Modern, istilah ini merujuk pada kesimpulan yang tidak mungkin. Tapi,
disusun berdasarkan bukti (proposisi) yang benar. Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary
of Philosophy (London: Penguin Books Ltd., 2000), h. 29
243
118
realitas tertinggi, baik di dalam maupun di luar dunia. Segala sesuatu ada dengan
sendirinya, dan pada dasarnya saling bergantung satu sama lain.
Dalam kesimpulan mengenai keempat antinomy di atas, Kant berpendapat
bahwa semua tesis adalah pendapat milik kaum rasionalis dogmatik, sedangkan
anti-tesisnya milik kaum empiris.245 Kant tidak sepakat dengan semua tesis,
karena metafisika tidak bisa menjadi pengetahuan. Isi dari pengetahuan hanya bisa
meluas berkenaan dengan pengalaman. Begitu pula ia tak sependapat dengan antitesisnya, karena dengan begitu telah mempersempit perspektif seseorang. Bagi
Kant, akal manusia memiliki kecenderungan untuk berpikir bebas, bahkan keluar
dari batas-batas pengalaman. Di sini, posisi Kant cukup jelas, yakni menjadikan
persoalan di atas sebagai bukan bagian pengetahuan.
F.3. Ideal Akal Murni
Bagian terakhir dari kecenderungan alamiah akal adalah ideal akal murni.
Bagian ini masih memiliki kaitan dengan dua bentuk kecenderungan sebelumnya.
Kant menjelaskan bahwa ideal akal murni berupaya mencari asas-asas rasional
atas problem wujud tertinggi (the highest being, ens summum), sebagai objek di
dalam akal.246 Wujud tertinggi adalah Tuhan, sebagai penguasa alam semesta.
Menurut Kant, selama ini terdapat tiga cara pembuktian mengenai Tuhan:
pertama, bukti teologis (the phsyco-theological proof); kedua, bukti kosmologis
(the cosmological proof); ketiga, bukti ontologis (the ontological proof).247 Tapi,
kesemua pembuktian itu tidak menguatkan kebenaran adanya Tuhan. Tuhan tetap
sesuatu yang abstrak, dan tidak bisa dianalisis. Tuhan tidak bisa dijadikan alasan
245
Frederick Copleston, A History of Philosophy, vol. 6, Wolff to Kant (Wellwood: Burn
& Oates, 1999), h. 293
246
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 557
247
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 563
119
adanya alam, beserta segala isinya. Hukum-hukum alam jelas menunjukkan arah
yang harus diselidiki akal. Menempatkan kebesaran Tuhan sebagai sumber segala
sebab adalah alasan malas (a lazy reason) untuk berpikir.248
Guna menghindari kekeliruan pemahaman terhadap beberapa persoalan di
atas, Kant menjelaskan bahwa hal-hal metafisika selalu berhubungan dengan
wilayah noumena. Noumena adalah benda pada dirinya, atau bisa diartikan
sebagai objek kesadaran yang tidak diproduksi oleh pengalaman inderawi.249 Ini
dikontraskan dengan fenomena. Siapa pun tidak bisa mengetahui noumena.
Misalnya, ide tentang kebebasan. Kebebasan hanya berada di wilayah noumena,
bukan sebagai fenomena. Segala fenomena di dunia dikendalikan oleh hukum
yang mengatur dan bersifat niscaya, yakni hukum sebab akibat. Oleh karena itu,
kedua wilayah tersebut sebaiknya tetap dipisahkan. Metafisika sebagai
kecenderungan alamiah akal (natural disposition of reason), bisa dianggap aktual.
Tapi, kedudukannya tetap hanya sebuah ilusi. Jika kita meneliti alam dengan
berpegang pada metafisika, maka yang didapat adalah kesia-siaan. 250 Begitu pula
misalnya, ide tentang Tuhan.
Bagi Kant, ide tentang Tuhan sebenarnya berguna mengarahkan kehidupan
manusia. Ia sendiri tidak diragukan sangat percaya adanya Tuhan, kebebasan, dan
keabadian.251 Kendati demikian, Kant menegaskan bahwa persoalan agama sama
sekali tidak memiliki kesadaran secara ilmiah pada diri subjek.252 Kepercayaan
248
Immanuel Kant, Religion and Rational Theology, trans., ed., Allen W. Wood and
George Di Giovanni (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), h. 344
249
Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 391
250
Beryl Logan (ed.), Kant’s Prolegomena to Any Future Metaphysics in Focus (New
York: Routledge, 1996), h. 122
251
A.C. Ewing, A Short Commentary on Kant’s Critique of Pure Reason (Chicago:
Chicago University Press, 1984), h. 246
252
Allen W. Wood, “Rational Theology, Moral Faithful, and Religion”, in Paul Guyer,
ed., The Cambridge Companion to Kant (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), h. 406
120
pada realitas absolut, memungkinkan seseorang mengikuti anjuran moralitas,
untuk mencapai kebahagiaan hidup.
Klaim-kalim moralitas agama, memiliki alur pemikirannya pada
kepercayaan kepada Tuhan. Tuhan dipandang sebagai wujud paling sempurna
(Ens perfectissimum), atau wujud paling nyata (Ens realissimum),253 sebagai
pencipta alam semesta. Namun, Kant tetap yakin bahwa tidak ada bukti empiris
yang meyakinkan mengenai hal-hal metafisika semacam itu.254 Kant menjelaskan
lebih lanjut permasalahan moralitas dalam karyanya, Kritik der praktischen
Vernunft.255
G. Tinjauan Pengetahuan Menurut al-Imâm al-Ghazâlî
Paparan tentang al-Ghazâlî pada bagian ini, bertujuan menghadirkan
sebuah pandangan dalam tradisi intelektual Islam. Al-Ghazâlî termasuk yang
dikenal sebagai perumus epistemologi Islam.256 Meskipun antara pemikiran alGhazâlî dan Kant sangat berbeda, tapi yang dituju di sini adalah kritik dari
keduanya terhadap hal-hal empiris sekaligus klaim rasionalis. Keduanya berhasil
meruntuhkan dan membangun kembali rumusan dari dua bentuk kecenderungan
penalaran tersebut.
253
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans., Paul Guyer dan Allen W. Wood,
(Cambridge: Cambridge University Press, 2000) h. 570
254
A.C. Ewing, A Short Commentary on Kant’s Critique of Pure Reason, h. 198
255
Dalam karya ini, Kant berusaha menjelaskan bahwa klaim moralitas terkait erat
dengan akal praktis. Yang menarik dari Kant adalah ia sangat mengutamakan aspek kewajiban
sebagai basis kesadaran moral seseorang, yang bertumpu pada maxim-nya. Immanuel Kant,
Critique of Practical Reason, h. 40
256
Pemikiran brilian mengenainya dapat dilihat berkenaan dengan klasifikasi ilmu. Bagi
al-Ghazâlî dan beberapa sarjana Islam lainnya, ilmu bersifat hierarkis; ada yang di atas dan ada
yang di bawah. Namun, dalam rentang sejarah umat Islam, klasifikasi al-Ghazâlî adalah yang
paling bertahan hingga sekarang. Osman Bakar, Hierarki Ilmu: Membangun Rangka Pikir
Islamisasi Ilmu, terj. Purwanto (Bandung: Mizan, 1997), h. 235
121
Al-Ghazâlî menjelaskan bagaimana ia sampai pada keyakinan tentang
kebenaran hakiki, melewati fase keragu-raguan. Ia menganggap daya inderawi
tidak bisa memuaskan pencariannya tentang kebenaran hakiki. Hal ini karena
keterbatasan fungsi inderawi dalam menggapai sesuatu. Ia jelaskan berikut ini:
‫"ا! وا‬# $%
‫ إ
& ا‬%() *‫ وأاه ﺡ ا
؟ وه‬,‫ أ ا
ا
ت‬..."
‫ "ك‬-
/‫ "ك وأﻥ‬/‫ف أﻥ‬2) 3 42 ‫ة‬4‫ه‬6
‫ وا‬7"
‫ ا‬-‫ ﺙ‬,‫ ( * ا
آ‬-.)‫ و‬,‫ك‬
!‫"ا‬# ?‫آ‬.
‫ إ
& ا‬%()‫ و‬.‫ ﺡ
ا
ف‬.) -
&"‫ ﺡ‬,‫ر= ذرة ذرة‬4"
‫>& ا‬3 $ ,"9 2#‫د‬
‫ا‬E‫ ه‬.‫ار‬4
‫& ا‬# ‫رض‬C‫ أآ ا‬/‫>& أﻥ‬3 ‫ل‬4) 4(B
‫د
ا‬C‫ ا‬-‫ ﺙ‬,‫(ر‬4
‫ار ا‬4 &# ‫ا‬9‫ﺹ‬
I E.) ,/‫ﻥ‬H‫ و‬$2
‫ ا‬-‫ ﺡآ‬/E.‫ و‬,/.‫ﺡ‬F G
‫ ا‬-‫ ﺡآ‬B# -. ‫ ا
ت‬/
‫وأ‬
257
"./"2#‫ا‬4 I‫ إ‬$
Kelemahan daya inderawi, merupakan alasan al-Ghazâlî tidak menerima
secara penuh kebenaran informasi dari hasil tangkapannya. Kelemahan itu bisa
berakibat fatal. Siapapun dapat keliru jika hanya berpegang pada aspek lahiriah
pengalaman. Namun, tidak sampai di sini. Pada kelanjutannya, keragu-raguan alGhazâlî juga menyerang daya kognitif akal, dan segala bentuk pertimbangan
rasional. Misalnya, menyerang cara berpikir ahli fiqh karena menggunakan konsep
analogi, serta terhadap Mutakallimûn yang rasional, meskipun ia masih
menganggap bahwa kalâm adalah ilmu yang luhur, karena mengupas hal-hal
pokok dalam agama.258
Al-Ghazâlî juga menganggap bahwa rasio pada dirinya bermasalah.
Kapasitasnya sebagai sumber pengetahuan memiliki sejumlah persoalan. Akal
257
“Darimana kepercayaan kepada indera (muncul), sedangkan yang paling kuat adalah
indera penglihatan? Penglihatan melihat bayang-bayang, maka terlihat bayang-bayang itu diam tak
bergerak. Mata memutuskan tiadanya gerakan. Kemudian dengan pengujian dan penyaksian
sesaat, diketahui bahwa bayang-bayang itu bergerak, dengan pergerakan yang tidak langsung
seketika. Tapi, berangsur-angsur, sehingga tiada waktu untuk diam. Mata melihat pada bintang,
terlihat kecil seukuran dinar. Namun, bukti-bukti ilmu ukur menunjukkan bahwa ukuran bintang
lebih besar dari bumi. Ini dan contoh-contoh semisalnya merupakan hasil penemuan fungsi
inderawi. Hal itu ditolak dan diragukan oleh fungsi akal, sebagai kebohongan yang tidak ada jalan
lain kecuali membantahnya.” Abû Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâlî, Majmû‘
Rasâ`il al-Imam al-Ghazâlî, al-Juz` 7, tahqîq oleh Ahmad Syamsuddîn (Bairût: Dâr Kutub al‘Ilmiyyah, 1409 H.,/ 1988 M.), h. 27- 28
258
Abû Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâlî, Majmû‘ Rasâ`il al-Imam alGhazâlî, al-Juz` 3 (Bairût: Dâr Kutub al-‘Ilmiyyah, 1414 H.,/ 1994 M.), h. 58
122
hampir sama seperti halnya kemampuan inderawi; tidak bisa secara total dijadikan
pegangan kebenaran hakiki. Dalam bentuk penalaran rasional, kebenaran
diperoleh dengan mengambil sejumlah bukti-bukti melalui premis-premis yang
tersusun secara sistematis. Namun, kebenaran itu justru tidak bersifat final. Jika
terdapat argumentasi dengan alur berpikir yang lebih kokoh, maka kebenaran itu
tidak lagi dapat dipertahankan.259 Yang menarik, al-Ghazâlî membandingkan
penalaran seseorang saat terjaga dengan keadaannya saat tertidur. Ia berkata:
K>) &# K‫ ﺵ‬I‫ ﺙ) وا"ارا و‬B
4"2)‫ و‬,I‫ أﺡا‬$H")‫ و‬,‫& ا
(م أرا‬# 4"2) ‫"…أ )اك‬
‫ أن‬F) -# :$MN‫ و‬$‫ أﺹ‬K)‫ا‬4"2‫ و‬K)OH" P7
. -
/‫ أﻥ‬->2"# Q") -‫ ﺙ‬,B# ‫ا‬
.
,B# T‫ ا
"& أﻥ‬K"
‫ إ
& ﺡ‬#UV W‫ ه ﺡ‬$3 ‫ أو‬G K"% &# !4"2) P‫ن ﺝ‬.
‫ ﻥ‬K"% ‫ن‬.) ,K( &
‫ إ‬K"% (‫ آ‬K"% &
‫ إ‬B"‫ن ﻥ‬.) ‫ ﺡ‬K>3 ‫أ‬Y) ‫ أن‬.
$‫ ﺡﺹ‬I ‫ت‬I‫ ﺥ‬K>2 T‫ )ه‬P‫ أن ﺝ‬T() ‫ ا‬K>) ‫\ذا وردت‬# !B
‫ ا‬#UV
260
".B
Al-Ghazâlî mengandaikan bahwa dalam keadaan mimpi, segala sesuatu
terlihat begitu nyata. Segala sesuatu seolah hadir dan dapat dirasakan, termasuk
kegiatan berpikir. Al-Ghazâlî mempertanyakan batas yang jelas antara daya
rasional yang hadir pada saat terjaga dan ketika bermimpi. Ia menyimpulkan
bahwa kedua keadaan itu tidak bisa dibuktikan jika berpijak pada posisi subjek.
Oleh karena itu, diperlukan hal lain sebagai basis penguat kebenaran hakiki.
Pada kelanjutannya, keragu-raguan al-Ghazâlî bahkan mendekati titik
klimaks. Ia akhirnya menyerang hukum kausalitas. Serangan itu ia tujukan secara
khusus kepada para filosof Muslim, seperti al-Fârâbî dan Ibn Sînâ. Al-Ghazâlî
259
Al-Ghazâlî, Majmû‘ Rasâ`il al-Imam al-Ghazâlî, al-Juz` 7, h. 28
“….adapun ketika jiwa melihatmu
meyakini banyak hal di dalam tidur,
membayangkan keadaan, dan menganggap semua itu tetap dan stabil, sehingga tidak ada keraguan
mengenai keadaan di dalamnya, kemudian kamu terbangun, dan tahu bahwa semua khayalan dan
anggapanmu tidak memiliki dasar serta kemampuan: dengan apa kamu meyakini ketika terbangun,
baik melalui indera maupun akal bahwa hal itu adalah benar (haqq), dengan mengaitkannya pada
keadaanmu di dalamnya? Padahal mungkin sekali keadaan sadarmu datang seketika, sama seperti
keadaan ketika tidur. Dengan begitu, maka sadarmu dinilai tidur dengan mempertimbangkan pada
keadaan tersebut. Maka ketika telah mengetahui keadaan itu, kamu yakin bahwa semua yang di
bayangkan akal adalah khayalan dan tidak ada manfaat darinya.” Al-Ghazâlî, Majmû‘ Rasâ`il alImam al-Ghazâlî, al-Juz` 7, h. 28
260
123
menawarkan pembacaan berbeda atas hukum kausalitas. Baginya, selama ini
proses yang terjadi adalah persepsi inderawi menangkap adanya suatu kejadian.
Lalu secara tergesa-gesa, akal menjustifikasi bahwa terdapat keniscayaan sebabakibat (sababiyyah) di dalamnya. Al-Ghazâlî berkata:
]‫ ﺵ‬$‫ آ‬$ ,‫ﻥ‬4(3 ‫ور‬U G
, 4"2 ‫ و‬, ‫دة‬2
‫& ا‬# 4"2 ‫"ان‬V‫"ا‬
* (
(^" / ‫ ﻥ‬I‫ و‬,‫ﺥ‬C‫ﺙت ا‬V (^" ‫ه‬4‫ إﺙت أﺡ‬I‫ و‬,‫ا‬E‫ ذاك ه‬I‫ و‬,‫ا ذاك‬E‫ ه‬G
,‫ﺥ‬C‫م ا‬43 ‫ه‬4‫م أﺡ‬43 ‫ورة‬U I‫ و‬,‫ﺥ‬C‫ه وﺝد ا‬4‫ورة وﺝد أﺡ‬U G>#,‫ﺥ‬C‫ا‬
‫ وا
ت‬,c6
‫>ع ا‬N‫ وا
(ر و‬,‫ﺡ"اق و
ء ا
(ر‬V‫ وا‬,$‫آ‬C‫ وا‬P6
‫ وا‬,‫ب‬6
‫ ا
ي وا‬$
261
"f
‫ا‬....‫واء‬4
‫ ء وﺵب ا‬6
‫ وا‬,
‫ ا‬e‫وﺝ‬
Bagi al-Ghazâlî semua peristiwa alamiah, kejadian-kejadian di dunia fisik,
tidak menunjukkan adanya kepastian kausalitas. Misalnya, kejadian terbakarnya
kayu ketika bertemu api. Pada dasarnya, bukan karena api yang bisa membakar.
Terbakarnya kayu ketika bertemu api, hanya sebuah fenomena alamiah. Hal itu
tidak menunjukkan ketetapan hukum, karena api pada dirinya adalah benda mati
(jamâd). Api tidak bisa berbuat apa-apa pada kayu. Al-Ghazâlî menanggap bahwa
semua sebab kembali pada Allah.262 Dalam setiap kejadian, selalu terdapat
penyebab utama (Allah), dan penyebab perantara yang menengahi rangkaian
peristiwa alamiah. Kedua hal ini ada bersamaan. Tapi, sebab utama menjadi
penentu dalam setiap peristiwa. Sebab utama berbeda dari sebab perantara. Oleh
karena itu, sebab perantara semisal api, tidak memegang peranan primer.
261
“Pertalian antara sesuatu yang diyakini sebagai sebab, dan sesuatu yang diyakini
sebagai musabab, bukan kepastian bagi saya. Bahkan, dari keduanya bukanlah ini sebab, dan itu
musabab. Adapun ketetapan salah satunya, tidak mengindikasikan ketetapan yang lain. Begitu
pula, ketiadaan salah satunya, tidak mengindikasikan ketiadaan yang lain. Maka tak ada kepastian,
adanya salah satunya, menetapkan adanya yang lain. Begitu juga ketiadaan salah satunya, tidak
memastikan ketiadaan yang lain. Misalnya, (munculnya) rasa segar dengan minum; kenyang
dengan makan; terbakar dengan bertemu api; keluarnya cahaya dengan munculnya mathari;
kematian dengan terputusnya leher; sehat dengan minum obat, dan sebagainya.” Abû Hamid
Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah (Qâhirah: Dâr al-Ma‘ârif, 1392 H.,/
1972 M.), h. 293
262
Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah, h. 240
124
Sebagai catatan pembanding, al-Ghazâlî menawarkan sistem epistemologi
yang bertitik tolak pada pengalaman mistis. Bagi al-Ghazâlî, pengetahuan
tertinggi adalah berupa penyingkapan (kasyf), atau dengan penyaksian misteri
ilahi (musyâhadah). Ia berupa cahaya yang diturunkan Allah kepada manusia
yang hatinya bersih. Pengetahun ini ia sebut ‘ilm ladunî (ilmu yang halus). Ilmu
ini tidak didapat dari penjelajahan pemikiran, sehingga terbebas dari kesalahan.
Objek di dalamnya menyangkut hal-hal lahiriah bersifat inderawi, maupun hasil
refleksi pemikiran rasional. Kehalusan ilmu ini sangat menancap di dalam hati
sanubari, sehingga tidak meninggalkan sedikit pun ruang keragu-raguan. Sehingga
andaikata ada orang yang dapat mengatakan bahwa tiga lebih besar dari sepuluh,
dengan segala argumentasi yang ia miliki, hal itu tidak akan menggoyahkan
keyakinan bahwa sepuluh lebih besar daripada tiga. Yang tersisa di dalam pikiran
tidak lebih dari perasaan takjub dengan kemampuan orang tersebut. Ia berkata:
‫ و ر إن‬,‫"!م إ ر‬#$‫)ي ' & ا‬$‫ ه! ا‬+,&&$‫ ا‬-"$‫ أن ا‬+$ 012"
"...7$‫ ذ‬09:$ "$‫<; ا‬: ‫ و‬,-‫!ه‬$‫ وا‬5"6$‫ا‬
Ia melanjutkan,
"I‫ أ‬+‫ أ‬G&$9‫@?>= ﺏ‬$‫ ا‬G‫ ﺏ‬, :GHI +$ ‫ل‬I !" ,=>?@$‫ ا‬A 0@‫ة أآ‬0$‫ أن ا‬D#"E ‫ إذا‬F…"
‫ إ‬, +$ GMP -$‫ و‬,+:0 + <‫ ﺏ‬7‫ أﺵ‬-$ ,, 7$‫ت ذ‬9‫ وﺵه‬,1"I‫ > و‬M$‫ه)ا ا‬
263
".? :#"E #& 7$‫ ا‬T ,&"E ‫رﺕ‬9I =&R&‫ آ‬A S:$‫ا‬
Secara umum, al-Ghazâlî membedakan antara ‘ilm husûlî dengan ‘ilm
hudûrî. Yang pertama merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan cara
belajar, sedangkan yang kedua didapatkan dari kehadiran. Menurut al-Ghazâlî,
263
“Maka jelaslah bagi saya bahwa ilmu yakin adalah ilmu yang menyingkap objek yang
diketahuinya (al-ma‘lûm), dengan penyingkapan yang tidak meninggalkan keraguan bersamanya,
dan tidak memungkinkan terjadinya kesalahan dan prasangka di dalam hati…”, ia melanjutkan,
“…Maka ketika saya tahu bahwa sepuluh lebih besar dari tiga, ketika ada orang yang berucap:
tidak, tetapi tiga lebih besar dengan bukti kemampuan saya bisa mengubah tongkat menjadi ular
dan mengembalikannya lagi, dan saya menyaksikan kejadian itu, maka saya tidak meragukan
pengetahuan saya dengan sebab itu, dan tiada yang tersisa selain perasaan takjub dengan
kemampuannya. Adapun keraguan dengan apa yang telah saya ketahui, maka hal itu tidak terjadi.”
Al-Ghazâlî, Majmû‘ Rasâ`il al-Imam al-Ghazâlî, al-Juz` 7, h. 26
125
jenis pengetahuan yang terakhir terbagi dua macam: pertama, berupa wahyu dari
Allah; kedua, berupa pelimpahan ilham. Proses yang pertama hanya berlaku
kepada para Nabi. Mereka menerima ilmu itu tanpa perlu mengamati fakta atau
mengembangkan penalaran. Tapi, sudah merupakan pemberian (given) dari Allah.
Adapun proses yang kedua dapat berlaku pada manusia secara umum.264 Siapa
pun bisa mendapatkannya, dengan catatan memiliki kapasitas tertentu menjalani
kehidupan sebagai pribadi yang bertakwa.
Dari paparan dalam karya-karyanya, dapat dikatakan bahwa sejak semula
al-Ghazâlî tidak pernah meminggirkan penalaran rasional dan etika tasawuf.265
Peranan akal dan indera tetap dianggap penting sebagai basis penyelidikan ilmiah.
Yang hendak ditentang al-Ghazâlî adalah klaim kemutlakan kedua fungsi tersebut
sebagai sumber segala kebenaran. Untuk mendapatkan kepastian mutlak, tidak
hanya dibutuhkan observasi atas fakta-fakta dan penalaran rasional, melainkan
adanya petunjuk dari Allah sebagai pemilik segala kebenaran hakiki. Buku Tahâfut
al-Falâsifah, sebenarnya adalah kritiknya terhadap dua filsuf Muslim—al-Farâbî dan
Ibn Sînâ—yang dinilai sangat arogan, karena memutlakkan peranan rasio. Tapi,
al-Ghazâlî sendiri tidak bermaksud mengritik filsafat sebagai ilmu. Jika yang
dimaksud al-Ghazâlî adalah kerancuan filsafat, maka semestinya karya itu
berjudul Tahâfut al-Falsafah (kerancuan filsafat), dan bukan Tahâfut al-Falâsifah
(kerancuan para filsuf). Dengan tegas al-Ghazâlî sendiri berkata bahwa filsafat
sangat diperlukan, semisal dalam pengembangan ilmu hitung (hisâb).266
264
Al-Ghazâlî, Majmû‘ Rasâ`il al-Imam al-Ghazâlî, al-Juz` 3, h. 6970
Seyyed H. Nasr dan O. Leaman (ed.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Buku
Pertama (Bandung: Mizan, 1997), h. 331; lihat juga. M.M. Sharif, History of Muslim Philosophy,
vol. I (New Delhi: Low Publication, 1995), h. 622-623
266
Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Ghazâlî,
Mukhtasar Ihyâ` ‘Ulûmuddîn (Bairût : Dâr al-Fikr, 1993 M / 1414 H), h. 24
265
126
Al-Ghazâlî berhasil menjelaskan posisi yang tepat dalam pengkajian ilmu
dari sudut pandang objeknya. Hal ini karena setiap ilmu memiliki objek
penyelidikan yang berbeda-beda. Pembedaan tersebut adalah sebuah cara untuk
mempermudah, dalam sistem yang berbentuk hierarkis. Misalnya, antara ilmuilmu keagamaan dan ilmu alam, sangat berbeda kaitannya dengan penyelidikan
dan pembuktian masalah dalam kedua ilmu tersebut. Bagi al-Ghazâlî, ilmu agama
berada di atas ilmu alam dan semua yang tidak berkaitan langsung dengan
problem keagamaan. Oleh karena itu, tidak heran mengapa basis klasifikasi ilmu
yang disusun al-Ghazâlî terbagi antara ilmu sebagai fard kifâyah dan fard ‘ain.267
Pembagian semacam itu hingga saat ini cukup diterima dalam tradisi intelektual
Islam.
267
Osman Bakar, Hierarki Ilmu, h. 234
127
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Epistemologi Immanuel Kant merupakan sistem yang menyatukan, baik
unsur a priori, maupun a posteriori. Namun, Kant selalu menegaskan bahwa
pengetahuan harus memiliki pijakan pada tataran empiris. Dengan sistem tersebut,
rumusan filosofis Kant berbeda dari para pendahulunya. Diawali dengan
pembuktian bahwa putusan sintetik a priori adalah mungkin, Kant merambah
lebih jauh dengan menunjukkan bahwa proposisi-proposisi pada setiap wacana
pemikiran merupakan bentuk dari putusan sintetik a priori. Kant membuktikannya
dalam tiga bidang: matematika, fisika, dan teologi—kendati yang terakhir tidak
dianggap sebagai pengetahuan. Kant menolak segala bentuk klaim metafisika
sebagai bagian dari pengetahuan, termasuk konsep Tuhan, jiwa dan sebagainya.
Selain itu, Kant juga berhasil meruntuhkan klaim-klaim keliru dan berhasil
mengubah konsepsi yang selama ini dianggap valid, yakni menjadikan manusia
sebagai pengamat yang “diam”. Sebelum Kant, para filsuf menganggap subjek
mendatangi objek. Bagi Kant, yang terjadi adalah sebaliknya: justru objek yang
menampakkan diri kepada subjek. Hal ini bagi Kant, seperti revolusi Copernicus
dalam ilmu alam, yakni mengubah sistem geosentris menjadi heliosentris.
Di samping itu, alih-alih membicarakan isi pengetahuan, Kant terlebih
dahulu meneliti struktur kapasitas subjek dalam menerima informasi. Kant
mengajukan rumusan a priori subjek: konsep ruang dan waktu. Keduanya berada
dan mengatur segala bentuk hasil penerimaan inderawi, posisi di mana objek
menampakkan diri kepada subjek. Kant menyebut tahap ini sebagai tahap indera
128
(Sinnlichkeit). Selanjutnya hasil penampakkan itu masuk ke tahap kedua, yakni
proses di mana data diolah dan dimurnikan dalam skala rasional.
Pada tahap kedua, Kant menyebut adanya fungsi a priori lain, yakni
putusan dan kategori. Keduanya disebut sebagai unsur a priori yang sangat
berperan dalam proses berpikir. Proses ini disebut tahap analitik transendental,
terkadang diartikan sebagai proses pengolahan data empiris menjadi pemahaman
utuh. Kant menyebut tahap ini sebagai tahap pemahaman (Verstand). Pemahaman
subjek atas objek, menandai kesadaran subjek sebagai pengamat. Kesadaran
mengarahkan subjek untuk mengetahui realitas di luar dirinya.
Setelah itu, data yang sudah dimurnikan pada tahap analitik masuk ke
tahap terakhir, yakni dialektik transendental. Ini adalah tahap final, sebagai bagian
dari proses munculnya pengetahuan. Kant menyebutnya tahap akal (Vernunft).
Akal tidak berhubungan dengan data empiris secara langsung. Tapi, hanya
mengarahkan pemahaman. Dengan begitu, pengetahuan merupakan perpaduan
antara unsur a posteriori dan a priori.
Meskipun melakukan kritik, Kant tidak lantas membuang hasil pemikiran
tokoh-tokoh sebelumnya. Tapi, ia menambahkan hal baru. Misalnya, paparan
tentang kategori. Rumusan kategori sudah dimulai Aristoteles di zaman Yunani
Kuno. Kant mengubah dan menambahnya dengan argumentasi yang lebih kuat.
Selain itu, Kant juga berhasil membuktikan kesalahan klaim rasionalisme
dogmatik maupun empirisme radikal. Kant menjelaskan ketidakmungkinan
sejumlah kesalahan pemikiran yang hanya berbasis akal tanpa pijakan empiris,
sekaligus bantahan atas mereka yang menolak adanya pemikiran semacam itu.
Kant menyimpulkannya menjadi tiga: paralogisme, antinomi, dan ideal akal
129
murni. Titik sentral penolakan Kant adalah ketidakmungkinan membuktikan hasil
penalaran tersebut secara empiris. Namun, Kant tidak menolak bentuk pemikiran
semacam itu memiliki dasar pada akal. Kant dengan tegas menyebut metafisika
sebagai kecenderungan alamiah (natural predisposition). Sebagai solusinya, ia
mengaitkan sejumlah persoalan metafisika dengan noumena—benda pada dirinya.
Pengetahuan hanya berhubungan dengan fenomena, sedangkan noumena adalah
wilayah metafisika yang misterius, karena di luar batas kemampuan manusia.
Sampai sekarang, pemikiran Kant masih tetap menarik untuk dikaji.
Menurut Franz Magnis-Suseno, figur Kant dalam wacana filsafat Barat masih
mendapat sorotan tajam dalam lima ratus tahun terakhir. Paling tidak, satu abad
sepeninggalnya pun sudah muncul aliran filsafat yang secara terus terang
“mengikuti” Kant. Mereka disebut Neo-Kantian. Kelompok ini terbagi dua: aliran
Baden dan aliran Marburg. Dalam diskursus filsafat Jerman kontemporer, Jürgen
Habermas, termasuk sosok yang menemukan pijakan kritisnya pada pemikiran
Kant. Hal ini mengindikasikan bahwa wacana dan perdebatan pemikiran Kant
tidak lekang oleh waktu, dan tetap relevan, bahkan hingga saat ini.
B. Saran-Saran
Penulis menyadari hasil penelitian dalam skripsi ini masih memiliki
sejumlah kekurangan. Oleh karena itu, untuk penelitian lanjutan disarankan halhal sebagai berikut:
a) Meneliti secara lebih komprehensif kata-kata kunci dalam filsafat
Immanuel Kant, terlebih istilah itu merupakan pokok dalam pemikiran
seorang filsuf.
130
b) Menggunakan referensi berbahasa Jerman, guna menghindari kesalahan
istilah. Jika tidak bisa, gunakan teks yang diterjemahkan oleh pihak yang
memiliki otoritas di bidangnya. Jadikan keduanya sebagai perbandingan.
c) Membaca paparan argumentasi Kant secara menyeluruh. Hal ini sangat
penting, mengingat pembacaan yang serampangan dapat mengaburkan
penjelasan poin-poin inti dalam satu masalah. Oleh karena itu, dibutuhkan
kesabaran dan ketekunan luar biasa untuk mendapatkan pemahaman yang
benar, runtut, jelas, agar tidak menyesatkan.
d) Tidak mengikuti paparan para komentator secara keseluruhan, dan
berusaha mengembangkan analisis sendiri atas penjelasan Immanuel Kant.
131
DAFTAR PUSTAKA
Ackermann, Robert, Theories of Knowledge: A Critical Introduction, New York:
McGraw-Hill Company, 1965
Al-Ghazâlî, Abû Hâmid Muhammad, Majmû‘ Rasâ`il al-Imam al-Ghazâlî, al-Juz`
3, Bairût: Dâr Kutub al-‘Ilmiyyah, 1414 H/ 1994 M
--------------------, Majmû‘ Rasâ`il al-Imam al-Ghazâlî, al-Juz` 7, tahqîq oleh
Ahmad Syamsuddîn, Bairût: Dâr Kutub al-‘Ilmiyyah, 1409 H/
1988 M
-------------------, Mukhtasar Ihyâ` ‘Ulûmuddîn, Bairût : Dâr al-Fikr, 1993 M /
1414 H
-------------------, Tahâfut al-Falâsifah, Cairo: Dâr al-Ma‘arif, 1972 M/ 1392 H
Bakar, Osman, Hierarki Ilmu: Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, terj.,
Purwanto, Bandung: Mizan, 1997
Briggs, Robin, The Scientific Revolution of the Seventeenth Century, San
Francisco: Harper & Row Publishers, Inc., 1973
Cantor, Norman F., dan Peter L. Klein (ed.), Seventeenth-Century Rationalism:
Bacon and Descartes, Waltham: Blaisdell Publishing Company,
1969
Copleston, Frederick, A History of Philosophy, vol. 6, Wolff to Kant, Wellwood:
Burn & Oates, 1999
Deleuze, Gilles, Kant’s Critical Philosophy, trans., Hugh Tomlinson and Barbara
Habberjam, London: The Athlone Press, 1995
Descartes, René, Discourse on Method and Meditations, trans., Laurence J.
Lafleur, Indianapolis: Bobbs-Merrill Educational Publishing,
1982
Dicker, Georges, Kant’s Theory of Knowledge: An Analytical Introduction,
Oxford: Oxford University Press, 2004
Edman, Irwin (ed.), The Works of Plato, trans., The Jowet Translation, New York:
Simon and Schuster Inc., 1928
Ewing, A.C., A Short Commentary on Kant’s Critique of Pure Reason, Chicago:
Chicago University Press, 1984
Gardner, Sebastian, Kant and the Critique of Pure Reason, London: Routledge,
2003
132
Guyer, Paul, Kant, New York: Routledge, 2007
---------------, “The Transcendental Deduction of Categories,” in Paul Guyer, ed.,
The Cambridge Companion to Kant, Cambridge: Cambridge
University Press, 2006
Hamlyn, D.W. , “Empiricism,” in Paul Edwards, ed., The Encyclopedia of
Philosophy, vol., II, New York: Macmillan Publishing Co., Inc.,
and The Free Press, 1972
----------------------, “Epistemology,” in Paul Edwards, ed., The Encyclopedia of
Philosophy, vol., III, New York: Macmillan Publishing Co.,
Inc., and The Free Press, 1972
Hardiman, F. Budi, Filsafat Barat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche,
Jakarta: Gramedia, 2007
Heuken, SJ., Adolf, Deutsch-Indonesisches Wörterbuch: Kamus Jerman
Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006
Hume, David, A Treatise of Human Nature, London: Penguin Books, 1969
Kant, Immanuel, Critique of Judgment, trans., J.H. Bernard, Prometheus Books:
New York, 2000
---------------------, Critique of Practical Reason, trans., Mary Gregor, Cambridge:
Cambridge University Press, 2001
---------------------, Critique of Pure Reason, trans., Paul Guyer and Allen Wood,
Cambridge: Cambridge University Press, 2000
--------------------, Kritik der reinen Vernunft, nach der ersten und zweiten
Original-Ausgabe herausgegeben von Raymund Schimdt, Felix
Meiner Verlag: Hamburg, 1990
---------------------, Perpetual Peace and Other Essays on Politics, History, and
Morals, trans., Ted Humphrey, Indiana Polis: Hackett
Publishing Company Inc., 1983
---------------------, Religion and Rational Theology, trans., ed., Allen W. Wood
and George Di Giovanni, Cambridge: Cambridge University
Press, 2005
Kuehn, Manfred, Kant: A Biography, Cambridge: Cambridge University Press,
2002
133
Leibniz, The Monadology and Other Philosophical Writings, trans., Robert Latta,
Oxford: Oxford University Press, 1968
Locke, John, An Essay Concerning Human Understanding in Focus, Garry Fuller,
etc., (ed.), London: Routledge, 2000
Logan, Beryl (ed.), Kant’s Prolegomena to Any Future Metaphysics, New York:
Routledge, 1996
Magnis-Suseno, Franz, Pemikiran Karl Marx: dari Sosialisme Utopis ke
Perselisihan Revisionisme, Jakarta: Gramedia, 2005
--------------------, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19,
Yogyakarta: Kanisius, 1997
Mautner, Thomas (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy, London: Penguin
Books Ltd., 2000
Mayer, Frederick, A History of Modern Philosophy, Redland: American Book
Company, 1951
McKeon (ed.), Introduction to Aristotle, New York: Random House, Inc., 1947
Nasr, Seyyed H. dan O. Leaman (ed.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Buku
Pertama, Bandung: Mizan, 1997
Ravert, Jerome R., Filsafat Ilmu: Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan, terj., Saut
Pasaribu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
Russel, Bertrand, History of Western Philosophy and Its Connection with Political
and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present
Day, London: George Allen and Unwin Ltd., 1961
Schorr, Veronika, dkk. (eds.), Collins Gem: German Dictionary, Glasgow:
HarperCollins Publishers, 2003
Sharif, M.M., History of Muslim Philosophy, vol. I, New Delhi: Low Publication,
1995
Strathern, Paul, 90 Menit Bersama Kant, terj., Franz Kowa, Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2001
Wartenberg, Thomas W., “Reason and The Practice of Science”, in Paul Guyer,
ed., The Cambridge Companion to Kant, Cambridge:
Cambridge University Press, 2006
Wildelband, W., History of Ancient Philosophy, trans., Herbert Ernest Cushman,
New York: Dover Publication Inc., 1956
134
Williams, Bernard, “Rationalism,” in Paul Edwards, ed., The Encyclopedia of
Philosophy, vol., VII, New York: Macmillan Publishing Co.,
Inc., and The Free Press, 1972
Wood, Allen W., “Rational Theology, Moral Faithful, and Religion”, in Paul
Guyer, ed., The Cambridge Companion to Kant, Cambridge:
Cambridge University Press, 2006
http://en.wikipedia.org/wiki/Archē, artikel diakses pada 01 Mei 2010
http://en.wikipedia.org/wiki/Epistemology, artikel diakses pada 30 April 2010
http://en.wikipedia.org/wiki/Sophism, artikel diakses pada 01 Mei 2010
TABEL TRANSLITERASI
Huruf Arab
Huruf Latin
Keterangan
‫ا‬
‫ب‬
‫ت‬
‫ث‬
‫ج‬
‫ح‬
‫خ‬
‫د‬
‫ذ‬
‫ر‬
‫ز‬
‫س‬
‫ش‬
‫ص‬
‫ض‬
‫ط‬
‫ظ‬
‫ع‬
b
t
ts
j
h
kh
d
dz
r
z
s
sy
s
d
t
z
‘
‫غ‬
‫ف‬
‫ق‬
‫ك‬
‫ل‬
‫م‬
‫ن‬
‫و‬
‫ء‬
‫ي‬
gh
f
q
k
l
m
n
w
h
`
y
tidak dilambangkan
be
te
te dan es
je
h dengan garis bawah
ka dan ha
de
de dan zet
er
zet
es
es dan ye
es dengan garis di bawah
de dengan garis di bawah
te dengan garis di bawah
zet dengan garis di bawah
koma terbalik di atas,
menghadap ke atas
ge dan ha
ef
ki
ka
el
em
en
we
ha
apostrof
ye
a
i
u
ai
au
â
î
û
fathah
kasrah
dammah
a dan i
a dan u
a dengan topi di atas
i dengan topi di atas
u dengan topi di atas
Vokal Dalam Bahasa Arab
َ
ِ
ُ
‫َ ي‬
‫َو‬
‫َ ا‬
ْ‫ِ ي‬
‫ُ ْو‬
iv
Download