EPISTEMOLOGI IMMANUEL KANT Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud) Oleh: Abdul Holik NIM: 106033101127 PROGRAM STUDI AQIDAH-FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H / 2011 M ABSTRAKSI Epistemologi Immanuel Kant dinilai berhasil menemukan suatu sintesis atas sistem-sistem sebelumnya dalam tradisi filsafat Barat. Melalui pengujian sejumlah persoalan yang sudah dianggap taken for granted, Kant merumuskan ulang validitas kebenaran pengetahuan secara lebih radikal. Sampai saat ini, pemikiran Kant tetap menarik untuk dikaji. Melalui proyek filosofis yang digagasnya, Kant telah merintis sesuatu yang berharga bagi pengembangan dan penyelidikan selanjutnya. Dengan cukup berani, Kant mendorong suatu kemajuan besar dalam tataran teoritis yang lebih ketat, dan rasional. Kant sendiri tidak menilai bahwa dirinya adalah seorang pioneer. Dalam karyanya, Prolegomena zu einer jeden künftigen Metaphysik, Kant dengan rendah hati mengaku bahwa dirinya dibangunkan dari tidur dogmatis oleh kritisisme David Hume. Bahkan, dalam karya besarnya, Kritik der reinen Vernunft, Kant tanpa malu-malu menyatakan bahwa pemikirannya mendapat stimulus dari para tokoh-tokoh sebelumnya. Dalam beberapa rumusan, semisal konsep kategori, pengertian substansi dan ide, Kant justru meminjamnya dari pemikir Yunani Kuno, yakni Aristoteles, dan Plato. Apa yang dilakukan Kant adalah berupaya mempertajam dan menjelaskan secara lebih proporsional masalah-masalah tersebut. Sayangnya, beberapa komentator akhirnya dengan “gegabah” menganggap pemikiran Kant tidak asli dan sekedar kutipan. Umumnya pandangan semacam ini dikarenakan mereka tidak melihat secara utuh apa yang coba dibangun Kant. Dengan sistem yang disebutnya seperti revolusi Copernicus dalam ilmu alam, Kant mengubah sebuah konsepsi yang selama ini diterima begitu saja dalam tradisi filsafat Barat. Para filsuf sebelum Kant, tidak ada yang mempersoalkan problem akut dalam diri subjek ketika menerima sejumlah informasi. Alih-alih menyelidiki substansi pengetahuan dalam pikiran manusia, Kant terlebih dahulu menelusuri problem mendasar pada diri subjek, untuk ditempatkan pada kedudukan yang sepantasnya. Dengan usahanya itu, Kant mencari dasar-dasar yang lebih ketat, mengenai proses hadirnya pengetahuan, untuk dapat diuji secara rasional dan terhindar dari kesesatan. Pada kesimpulan akhirnya, Kant menganggap bahwa pengetahuan selalu berkenaan dengan pengalaman, dan pengetahuan manusia hanya bisa meluas berkenaan dengan pengalaman yang diraihnya. Bahkan, kebenaran metematika yang diperoleh dengan dasar-dasar a priori, selalu dapat dijelaskan dalam tatanan empiris. Meskipun demikian, pengalaman tetap harus diuji secara rasional agar bisa mencapai kebenaran pengetahuan universal. Dengan demikian, Kant menanggap bahwa segala sesuatu yang tidak memiliki pijakan dalam tataran empiris adalah sesuatu yang tidak bisa dijadikan pengetahuan—kendatipun “dinilai” memiliki kegunaan. Konsepsi tentang Tuhan, jiwa, kebebasan, kehidupan setelah kematian, dan sebagainya, mungkin berharga dan sangat penting bagi sebagian orang. Tapi, bagi Kant, hal-hal semacam itu sama sekali bukan pengetahuan, karena berada di luar jangkauan pengalaman manusia secara umum, alias tidak memiliki pijakan dalam tataran empiris. v KATA PENGANTAR Skripsi yang ada di tangan pembaca, “Epistemologi Immanuel Kant”, adalah penelitian saya guna mendapat gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud) di Jurusan Aqidah-Filsafat, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah. Perkenalan pertama dengan Kant, dimulai saat saya menjadi santri di MTM Cirebon, tahun 2002. Waktu itu, bagi saya tulisan Kant agak sulit dipahami. Bahasanya “bertele-tele”, susunan kalimatnya panjang-panjang, padat, rigorous, dst. Susah memahami filsafat Kant. Yang paling mudah diingat adalah kisah hidupnya; seorang penyendiri yang pandai bergaul dan berwawasan luas, tapi tak pernah keluar melebihi jarak 48 km., dari rumahnya. Banyak hal yang membuat saya penasaran untuk menekuni pemikiran tokoh yang sangat disiplin dalam kehidupannya ini. Bahkan karena sangat disiplinnya, ia sampai lupa berkeluarga. Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah Yang Kuddus, akhirnya penelitian ini bisa selesai dengan mudah, meski tak luput dari berbagai kendala yang harus saya hadapi. Ucapan terima kasih saya haturkan kepada H. Musthofa dan Hj. Rofiah, atas kesabaran dan keikhlasannya, mendukung dan mendoakan saya sehingga bisa menyelesaikan kuliah di UIN. Juga terima kasih kepada Ade Nurhadi, S.Ag., dan Nurlaela S.Ag., atas segenap dukungannya yang tak ternilai. Di samping itu, saya merasa berhutang budi kepada banyak pihak yang telah membantu penyelesaian tugas ini. Saya ingin menyampaikan penghargaan khusus kepada Dr. Fariz Pari, yang telah mengorbankan waktu untuk memberikan bimbingan dan bantuan moralnya, serta referensi berharga kepada saya. Terima kasih saya ucapkan kepada Drs. Agus Darmadji, M.Fils., selaku Ketua Jurusan vi AF., atas kebaikannya berkenan meminjamkan referensi yang saya butuhkan. Juga saya ucapkan terima kasih kepada Drs. Fakhruddin, MA., atas saran-saran, dan pinjaman bukunya yang sangat berarti bagi saya. Yang tak kalah pentingnya, ucapan terima kasih saya sampaikan kepada pengelola Perpustakaan UIN, Perpustakaan Freedom-Institute, Perpustakaan STF. Driyarkara, atas kemudahan memperoleh sumber bacaan; kepada kawan-kawan mahasiswi di FK Gigi Unisyah, terima kasih atas dukungan, dan motivasi selama penelitian, serta informasi seputar kesehatan; kepada mahasiswa dan mahasiswi UIN Syahida—yang tak mungkin disebutkan namanya satu persatu—terima kasih atas segala informasi, dan “kritik”—kendati cenderung dekstruktif—kepada saya; terima kasih kepada kawan-kawan di “Amateur Astronomical Society of Jakarta”, atas dorongan semangat mempelajari fenomena alam semesta; kepada para aktivis di PSU (Pos Solidaritas Umat), terima kasih telah melibatkan saya dalam upaya penyediaan pendidikan agama bagi kaum subaltern di Ciputat; serta terima kasih saya ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu dengan caranya masingmasing, selama saya berada di Ciputat dan Jakarta. Jazakumullâh ahsan al-jazâ`. Semoga hasil penelitian ini bisa berkontribusi secara positif dalam panorama diskursus filsafat di tanah air, khususnya tentang pemikiran Immanuel Kant. The Last but not least, saya sangat mengapresiasi segala masukan, kritik dan saran dari para pembaca sekalian atas hasil penelitian ini. Jakarta, 27 Oktober 2010 Abdul Holik vii DAFTAR ISI LEMBAR PERYATAAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . i PERNYATAAN PERSETUJUAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ii LEMBAR PENGESAHAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .iii TABEL TRANSLITERASI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iv ABSTRAKSI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .v KATA PENGANTAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . vi DAFTAR ISI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . viii BAB I PENDAHULUAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 A. Latar Belakang Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 Perumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8 B. Tujuan dan Manfaat Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .8 a). Tujuan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .8 b). Manfaat Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8 C. Metode Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 9 D. Sistematika Penulisan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .10 BAB II BIOGRAFI INTELEKTUAL IMMANUEL KANT . . . . . . . . . . . . . 12 A. Latar Belakang Sosial . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .12 B. Periodisasi Perkembangan Intelektual dan Karya-Karyanya . . . 22 BAB III EPISTEMOLOGI DALAM KAJIAN FILSAFAT BARAT . . . . . . 32 A. Sejarah Epistemologi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 32 B. Rasionalisme . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 40 C. Empirisme . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 49 BAB IV KONSEP TRANSENDENTALISME. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 59 viii A. Kritik atas Rasionalisme dan Empirisme . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 59 B. Konsep Ruang dan Waktu . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 65 C. Konsep Dua Belas Kategori sebagai Turunan (Derivation) Dua Belas Jenis Putusan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .72 C.1. Kuantitas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 88 C.2. Kualitas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 89 C.3. Relasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 90 C.4. Modalitas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 92 D. Deduksi Transendental . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .94 E. Konsep Transendental Akal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 104 F. Tiga Kecenderungan Akal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 115 F.1. Paralogisme . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 116 F.2. Antinomi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .117 F.3. Ideal Akal Murni . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 118 G. Tinjauan Pengetahuan Menurut al-Imâm al-Ghazâlî . . . . . . . . 120 BAB V PENUTUP . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 127 A. Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 127 B. Saran-Saran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .129 DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 131 ix 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada tahun 2009, publik Indonesia sempat digemparkan oleh sosok Ponari, seorang bocah yang secara tiba-tiba mampu mengobati orang sakit. Kiprahnya menuai kontroversi, karena metode penyembuhannya hanya bermodalkan sebuah batu yang ditemukannya di saat hujan. Sejumlah umat Islam bahkan mengutuk prakteknya, dengan alasan “menggelikan”: menuhankan batu. Kisah ini sempat membuat resah dunia kedokteran. Pasalnya, Ponari menyalahi metode yang sah dalam praktek pengobatan. Tapi, meskipun menuai protes dari banyak pihak, sebagian masyarakat tetap percaya dan yakin pada keampuhan batu Ponari: sebuah batu bertuah yang dapat menyembuhkan. Kisah kehebohan dukun cilik dari Jombang di atas merupakan pelajaran bahwa di saat ilmu pengetahuan dan teknologi sudah semakin maju, sebagian masyarakat Indonesia masih larut ke dalam mitos-mitos. Penemuan penting di bidang medis, tidak mampu membebaskan mentalitas bangsa ini dari perkara klenik. Dalam hal ini, peristiwa di atas tidaklah terlalu mengherankan, karena pada dasarnya setiap bangsa memiliki semangat filosofis tertentu. Nilai-nilai filosofis ini mempengaruhi kehidupan suatu masyarakat. Setiap bangsa memiliki semangat filosofis yang berbeda-beda pada masanya. Bertrand Russel menulis: “To understand an age or nation, we must understand its philosophy, and to understand its philosophy we must ourselves be in some degree philosophers. There is here a reciprocal causation: the circumstances of men’s lives do much to determine their philosophy, but, it conversely their philosophy does much to determine their circumstances”.1 1 “Untuk memahami sebuah zaman atau bangsa, kita harus memahami filsafatnya, dan untuk memahami filsafatnya, kita harus berada pada batas-batas tertentu menjadi filsuf. Di sini ada sebuah hubungan kausal timbal balik: lingkungan kehidupan manusia banyak menentukan 2 Paparan Russel bahwa kehidupan sebuah zaman dipengaruhi oleh suatu sistem filsafat, agaknya cukup beralasan. Zaman yang berubah menciptakan fase baru dalam kehidupan. Perubahan itu hanya bisa terjadi di suatu masyarakat yang mampu menerima kemajuan, sehingga ilmu pengetahuan bisa berkembang dan menghasilkan banyak kemudahan. Jika ditelusuri ke belakang, gerakan revolusi saintifik yang memuncak di Eropa abad ke-17,2 dan diikuti terjadinya pencerahan (Aufklärung) abad ke-18, merupakan imbas dari ketekunan dan kerja keras orangorang Eropa pada beberapa abad sebelumnya. Sejak masa Renaissance abad ke-14 di Italia, telah dimulai kegiatan yang cukup serius dalam mengkaji kemegahan warisan peradaban Yunani kuno.3 Dari hasil pembacaan serius dan kritis atas tradisi klasik, para ahli mampu menghasilkan suatu kemajuan yang cukup signifikan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan ini dapat diperoleh lewat peran para sarjana, kalangan terdidik dan peran para pemikir pada umumnya. Immanuel Kant adalah salah satu pemikir yang muncul di abad ke-18 dan memiliki kiprah dalam kemajuan zamannya, terutama lewat karya-karya yang dihasilkannya. Salah satu karyanya, Kritik der Reinen Vernunft—sebuah paparan argumentatif tentang epistemologi—menjadi sebuah mahakarya brilian pada masanya. Kendati telah lama dibicarakan, upaya merumuskan kembali pemikirannya tetap menjadi isu yang cukup menarik. Hal ini tidak berlebihan, filsafatnya, tetapi sebaliknya filsafat mereka juga dapat menentukan lingkungan kehidupannya”. Bertrand Russel, History of Western Philosophy and Its Connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present Day (London: George Allen and Unwin Ltd., 1961), h. 14 2 Robin Briggs, The Scientific Revolution of the Seventeenth Century (San Francisco: Harper & Row Publishers, Inc., 1973), h. 3 3 F. Budi Hardiman, Filsafat Barat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: Gramedia, 2007), h. 9 3 karena Kant telah mempengaruhi, sekaligus menginspirasi banyak tokoh yang muncul setelahnya. Bahkan Kant dianggap sebagai filsuf yang paling berpengaruh dalam lima ratus tahun terakhir.4 Sampai saat ini, pemikiran Kant tetap menjadi isu perdebatan yang tak kunjung habis dibahas. Apa yang dilakukan Kant adalah menghadirkan suatu formula baru dalam perumusan sistem filsafat. Filsafat Kant menjadi tonggak sejarah pencerahan Eropa, dan pembahasan epistemologinya menjadi salah satu tema yang banyak diminati hingga sekarang. Meskipun masalah epistemologi sudah lama dibicarakan sejak zaman kuno, tetapi perumusannya masih dibutuhkan hingga saat ini. Pasalnya, perumusan masalah epistemologi menjadi acuan kerangka berpikir dalam pengkajian ilmu pengetahuan. Kedinamisan ilmu pengetahuan merupakan pengaruh yang dibentuk dalam suatu struktur nalar tertentu. Struktur nalar dimaksudkan sebagai cara kerja akal dalam bingkai suatu kerangka berpikir, yang berkembang dalam suatu masyarakat.5 Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan ilmu pengetahuan berhubungan sangat erat dengan alam pikiran manusia, dalam sebuah komunitas masyarakat di zaman tertentu. Dalam suasana kehidupan yang menganut kebebasan misalnya, kemajuan ilmu pengetahuan dapat tercapai dengan mudah. Tapi sebaliknya, dalam masyarakat yang terkungkung oleh misalnya tradisi, agama, atau kelompok, kemajuan ilmu pengetahuan akan sedikit terhambat.6 Pengkajian epistemologi kiranya akan tetap memiliki dampak 4 Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx: dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (Jakarta: Gramedia, 2005), h. 4 5 Di abad ke-20, Michel Foucault menyebut struktur berpikir yang berada dalam suatu masa dan lingkungan tertentu sebagai epistemé. Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy (London: Penguin Books Ltd., 2000), h. 174 6 Kita bisa merasakan misalnya, perbedaan yang amat jelas antara masa kegelapan dengan peralihan menuju zaman modern. Pada abad kegelapan orang-orang cenderung mengikat diri mereka dan berpikir menurut selera kelompok, ras, agama. Pada masa ini pula kegiatan intelektual seolah mati, karena segala sesuatu harus disesuaikan dengan tuntutan gereja. Tapi hal itu sangat 4 siginifikan, terutama dalam arus kemajuan ilmu pengetahuan hingga dewasa ini. Karena dengan pengkajian kembali epistemologi, kita akan menemukan beragam corak pemikiran yang dihasilkan umat manusia sebagai ekspresi kehidupan zamannya. Sistem epistemologi Kant sampai saat ini hadir sebagai salah satu kemajuan dalam wacana filsafat, tanpa memungkiri kritik-kritik yang dialamatkan pada beberapa kelemahannya. Berkat usahanyalah, sejumlah terobosan baru mulai bermunculan. Jika dipetakan, proyek filosofis Kant akan berpusat pada tiga persoalan mendasar: 1) Menjelaskan batas-batas pengetahuan manusia; 2) Memberikan ketentuan asas-asas moralitas; 3) Memberi kejelasan tentang batas-batas penilaian estetis. Bagian pertama dijabarkan Kant dalam buku, Kritik der Reinen Vernunft (terjemahan Inggris: Critique of Pure Reason). Bagian kedua dijelaskan dalam karya, Kritik der Praktischen Vernunft (terjemahan Inggris: Critique of Practical Reason). Bagian ketiga dijelaskan dalam karya, Kritik der Urteilkraft (terjemahan Inggris: Critique of Judgment). Lewat ketiga karya tersebut, Kant bertujuan untuk menguji kesahihan pengetahuan manusia. Pengujian kesahihan dilakukan dengan mengupayakan pencarian struktur-struktur a priori dalam diri subjek. Kant dikenal sebagai orang yang mampu membalik sudut pandang dalam tradisi pemikiran. Hal-hal yang dulu selalu diterima begitu saja, ternyata dijungkirbalikkan oleh Kant. Sistem epistemologi Kant berusaha merumuskan masalah, yang lebih menitikberatkan pada kondisi subjek. Subjek yang dimaksud adalah manusia sebagai individu yang sadar diri dalam kehidupannya di dunia saat ini. Kant mempertanyakan peran dan fungsi a priori dalam diri subjek, terkait berbeda ketika memasuki zaman renaissance berikut masa-masa setelahnya. F. Budi Hardiman, Filsafat Barat Modern, h. 3-13 5 proses terciptanya pengetahuan. Alih-alih mempersoalkan isi pengetahuan, Kant terlebih dahulu memeriksa fungsi dan mekanisme dalam diri subjek agar dapat terciptanya pengetahuan. Dengan kata lain, validitas pengetahuan menjadi permasalahan kemampuan manusia dalam mengolah informasi yang diterimanya. Pencarian asas-asas a priori ini merupakan sesuatu yang baru dalam tradisi filsafat Barat. Sebelum Kant, para filsuf cenderung tidak mempersoalkan permasalahan peranan subjek. Mereka menerima kemampuan subjek apa adanya. Mereka tidak memeriksa terkait peranan subjek ini. Ini dilema bagi Kant. Pada suatu titik tertentu, para filsuf menegaskan nilai-nilai keobjektifan. Namun, mereka tidak menjelaskan bagaimana kinerja struktur dalam diri tiap-tiap individu bisa menghasilkan pengetahuan objektif. Secara keseluruhan, Kant menelusuri jejakjejak subjektifitas ini untuk ditempatkan pada kedudukan yang sepantasnya. Di samping tentunya, klaim universalitas masih layak untuk dipertahankan. Jika dulu para filsuf menggeluti masalah tentang isi pengetahuan, maka proyek filosofis Kant lebih dicurahkan untuk menguji seberapa jauh data dalam pikiran manusia itu mungkin disebut sebagai pengetahuan. Pengujian-pengujian ini dilakukan Kant dengan suatu perangkat yang berasal dari dalam diri manusia. Dengan acuan pada kemampuan subjek, Kant menerima suatu kepastian adanya dua hal a priori: ruang dan waktu. Dua hal ini menggiring pada pemahaman bahwa data maupun informasi dari luar, yang diterima kemampuan manusia, pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari unsur subjektifitas tiap-tiap individu. Kant pada beberapa hal setuju dengan pandangan kaum empiris bahwa pengetahuan diperoleh dari luar diri manusia, lewat kemampuan inderanya. 6 Manusia bisa mempelajari sesuatu dari pengalamannya, yang tentunya melibatkan kemampuan indera. Tapi, dia berbeda dari beberapa pemikir sebelumnya yang meyakini keotentikan dan objektifitas data maupun informasi yang menjadi objek pemikiran. Kant justru menganggap bahwa itu semua tidaklah netral. Kedua fungsi a priori dalam diri subjek mengatur mekanisme penerimaan informasi dari luar. Oleh karena itu, beragam informasi yang diterima akan ditentukan batasbatasnya menurut kedua fungsi tersebut. Data yang diperoleh indera adalah sesuatu yang sudah terpengaruhi oleh unsur subjek, sehingga bukan penampakan utuh. Dengan begitu, benda-benda dalam dirinya sendiri, menurut Kant berada di luar jangkauan manusia. Wilayah ini masih bersifat rahasia, dan tidak dapat diketahui siapapun. Data yang sudah diperoleh indera lewat intuisi, akan disampaikan kepada fungsi a priori lain dalam diri subjek, yakni kemampuan untuk membentuk beragam putusan. Putusan ini berupaya menentukan variabel-variabel tertentu, serta menggolongkan data dalam beragam bentuk kategori dalam diri subjek. Dengan adanya kemampuan untuk membuat putusan, informasi yang diperoleh subjek dari kemampuan indera akan diteruskan ke dalam kategori yang menurut Kant berjumlah dua belas. Konsep dua belas kategori ini merupakan fungsi a priori, yang bekerja dalam tataran skema yang lebih luas dan rasional. Selanjutnya, data yang sudah melewati tahap pengolongan kategori, kemudian diangkat dan dilekatkan pada struktur lain. Struktur yang dimaksud adalah fungsi a priori yang terakhir dalam diri subjek. Fungsi ini adalah kemampuan intelek dalam menghasilkan proposisi-proposisi yang menyusun sebuah kesimpulan. Peran intelek ini berbeda dari fungsi-fungsi a priori lainnya, 7 yang masih berkutat dengan data maupun informasi yang diperoleh dari kemampuan indera. Peran intelek sama sekali lepas dari unsur-unsur a posteriori dan benar-benar a priori, karena fungsinya sekedar bersifat regulatif: mengatur proposisi-proposisi untuk menghasilkan argumentasi. Fungsi ini hanya akan menentukan batas-batas validitas tentang penyusunan kesimpulan. Inilah mengapa sistem Kant disebut transendental, karena dia melakukan penelitian atas kaidah murni a priori dalam diri subjek, sebagai batas penetapan validitas pengetahuan.7 Secara garis besar, peneguhan struktur subjek merupakan hal yang tidak terdapat pada pandangan kaum empiris, dan dalam detailnya begitu berbeda dari kalangan rasionalis. Kant menyetujui gagasan bahwa kemampuan indera dapat menambah pengetahuan. Akan tetapi, data yang didapatkan oleh indera akan bisa menjadi pengetahuan setelah melewati semacam pengujian dari dalam diri subjek. Kant sendiri tidak mengakui semua pengetahuan berasal dari indera. Ada pengetahuan tertentu yang berasal dari kemampuan a priori subjek an sich. Secara keseluruhan dalam sistem filsafatnya, Kant mengupayakan sintesis atas dua arus kecenderungan pemikiran yang berkembang pada masanya. Dua kecenderungan pemikiran yang dimaksud adalah rasionalisme dan empirisme. Kant berusaha menyajikan sisi kelebihan dari tiap aliran dan membuktikan klaim validitas keunggulan keduanya. Namun, dengan tanpa malu-malu Kant juga menunjukkan pelbagai kelemahan akut yang menyelimuti bentuk penalaran kedua sistem tersebut. 7 F. Budi Hardiman, Filsafat Barat Modern, h, 132 8 Dengan demikian, skripsi ini bertujuan untuk mengulas pemikiran Immanuel Kant dalam masalah epistemologi. Sebagai pemikir garda depan dalam bidang filsafat, khususnya di masa pencerahan, Kant sangat layak untuk kembali dibicarakan. Kiprah Kant cukup penting, mengingat dampak pemikirannya yang masih dapat dirasakan sampai saat ini. B. Perumusan Masalah Dengan paparan di atas, maka pokok masalah yang akan digali dalam penelitian ini adalah tentang persoalan paradigma pemikiran filosofis, yakni sistem epistemologi Immanuel Kant. Dengan demikian, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bagaimana Konsep Epistemologi Immanuel Kant? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian a) Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pemahaman atas sistem epistemologi Immanuel Kant, yang cukup berpengaruh dalam diskursus filsafat. Dengan penelitian ini diharapkan akan didapat kejelasan pemikiran Immanuel Kant, yang mampu menyintesakan dua arus kecenderungan epistemologi dalam sejarah filsafat Barat. b) Manfaat Penelitian Dengan penelitian ini, akan didapat suatu gambaran umum bagaimana sebenarnya struktur nalar yang berkembang pada masa pencerahan, khususnya dengan melihat pemikiran Immanuel Kant. 9 D. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat kepustakaan (library research) dengan menggunakan metode deskriptif dan analisis-kritis. karya filosofis Immanuel Kant dalam epistemologi—Critique of Pure Reason—menjadi referensi utama, disertai tulisan para komentator dan karya para filsuf sebelum Kant yang berbicara tentang epistemologi. Refensi tersebut digunakan untuk menemukan suatu gambaran umum tentang diskursus epistemologi dalam tradisi filsafat Barat. Metode deskriptif digunakan untuk menjelaskan kerangka acuan pemikiran Kant, dengan pemaparan ide dan gagasannya sesuai dengan tulisannya secara verbatim atau literer. Langkah ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana landasan awal, kerangka pikir Kant terkait sistem epistemologinya. Selain itu, metode ini akan dengan mudah menemukan gambaran setting sosial dan masyarakat tempat di mana Kant hidup, mengingat suatu pemikiran tidak bisa lepas begitu saja dari kontek historis masyarakatnya. Metode analisis-kritis digunakan untuk menempatkan posisi Kant dalam khazanah pemikiran Barat. Berkat pengaruhnya yang cukup besar, Kant justru menjadi sasaran kritik tiada habisnya. Tapi, di sisi lain dia pun dikagumi dan dikutip pendapatnya oleh para pemikir sepanjang masa. Dengan metode ini, diharapkan dapat seobjektif mungkin menempatkan Immanuel Kant secara proporsional, yang telah memberikan kontribusi berharga dalam diskursus filsafat pada umumnya. Teknik penulisan dalam penelitian ini mengikuti standar yang ditetapkan dalam buku, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi), yang diterbitkan CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 10 E. Sistematika Penulisan Mengacu pada metode penelitian di atas, pembahasan dalam penelitian ini disistematisasi sebagai berikut. Pembahasan bab satu diawali dengan menguraikan latar belakang seputar studi ini. Dijelaskan pula beberapa hal terkait perubahan zaman yang dipengaruhi oleh gerak pemikiran filsafat. Namun, begitu pula filsafat dipengaruhi oleh kondisi zamannya. Kemudian dilanjutkan dengan merumuskan masalah berkenaan dengan epistemologi Kant, menguraikan metode dilakukannya pengkajian dan memaparkan tujuan dilakukannya pengkajian ini. Bab dua menjelaskan latar belakang intelektual Immanuel Kant. Hal ini menyangkut kondisi masyarakat di mana Kant hidup, periodisasi pemikirannya, serta perkembangan dan karya-karyanya yang mempengaruhi banyak tokoh hingga saat ini. Bab tiga menjelaskan sejarah Epistemologi, yang tentunya tidak terlepas dari konteks filsafat Barat sejak masa Yunani kuno, kemudian langsung menjelaskan periode di masa modern di mana Kant hidup. Selanjutnya dipaparkan pula penjelasan tentang aliran rasionalisme dan empirisme yang berpengaruh pada suatu masa tertentu. Bab empat menjelaskan sistem epistemologi Immanuel Kant. Dimulai dari kritik yang dilancarkannya atas sistem-sistem yang ada, dalam upaya mengatasi rasionalisme maupun empirisme. Kemudian penjelasan akan diteruskan dengan paparan istilah-istilah teknis yang dibangun Kant. Di sini Kant memiliki rumusan khas prinsip-prinsip a priori semisal konsep ruang dan waktu sebagai tahap inderawi (Sinnlichkeit), hadirnya pengetahuan. Lalu dilanjutkan dengan 11 pembahasan tahap a priori lainnya, yakni tahap pemahaman (Verstand), dalam bentuk analitik transendental. Dalam tahap ini, Kant mengajukan konsep dua belas putusan, dua belas bentuk kategori, dan deduksi transendental. Kemudian pembahasan dilanjutkan mengenai tahap terakhir, yakni tahap akal budi (Vernunft), sebagai bentuk dialektika transendental. Tidak lupa juga diajukan paparan Kant, tentang sikapnya dalam menghadapi kesalahan berpikir yang ia rumuskan menjadi tiga: paralogisme, antinomi, dan ideal akal murni. Keseluruhan gagasan ini (secara radikal) tidak lebih dari upaya mempermasalahkan batas-batas validitas data, untuk bisa menjadi pengetahuan. Setelah itu, sebuah perbandingan kritis tentang hakekat pengetahuan dalam Islam—yang diwakili oleh al-Imâm alGhazâlî—dihadirkan sebagai penutup bab. Pembandingan antara al-Ghazâlî dan Kant dinilai penting, karena kedua tokoh ini memiliki kiprah yang cukup signifikan dalam sejarah dua peradaban yang berbeda: Islam dan Barat. Meskipun antara keduanya lebih banyak perbedaan, namun posisi mereka dalam hal kritik terhadap sistem-sistem epistemologi sama-sama penting. Dengan menelisik pandangan mereka terkait pengetahuan, akan didapat suatu struktur perbandingan alam pikiran keduanya yang mempengaruhi zamannya. Bab lima diisi dengan penutup, sekaligus saran-saran bagi penelitian selanjutnya terhadap pemikiran Kant. Dalam penelitian ini memang diakui, pemikiran Kant sebagai sumber wacana filsafat, belum seutuhnya dapat dibahas oleh penulis. Dengan begitu, pengkajian dan pembahasannya masih perlu dilakukan. 12 BAB II BIOGRAFI INTELEKTUAL IMMANUEL KANT A. Latar Belakang Sosial Satu abad setelah terjadinya revolusi saintifik di abad ke-17, berupa ditemukannya penemuan-penemuan penting dalam ilmu dan teknologi, muncul suatu gelombang baru dalam babak sejarah Eropa, yakni periode pencerahan.8 Fase ini merupakan arus yang berpengaruh cukup signifikan dalam gerak sejarah Eropa pada masa-masa berikutnya. Immanuel Kant merupakan figur yang cukup diperhitungkan pada masa ini. Dalam majalah Berlinische Monatsschrift, terbit Desember 1784, Kant sempat menuliskan maksud pencerahan yang terjadi di masanya sebagai berikut: “Enlightenment is man’s emergence from his self-imposed immaturity. Immaturity is the inability to use one’s understanding without guidance from another. This immaturity is self-imposed when its cause lies not in lack of understanding, but in lack of resolve and courage to use it without guidance from another. Sapere Aude! “have courage to use your own understanding!”—that is the motto of enlightenment. ”9 Pencerahan telah menjadi gejala sosial yang melanda masyarakat Eropa waktu itu. Mereka tersadar untuk mengejar kebahagiaan hidup, dengan keberanian bertindak menurut pertimbangan rasionya sendiri. Sapere Aude! adalah slogan bagi pencerahan. Pengejaran kepentingan diri sudah menjadi maklum bagi semua 8 Kata “pencerahan” dalam bahasa Jerman Aufklärung, Les Lumieres (bahasa Prancis), Enlightenment (bahasa Inggris), Ilustracion (bahasa Spanyol), Iluminismo (bahasa Itali), Enlightenment (bahasa Inggris). F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: Gramedia, 2007), h. 94 9 “Pencerahan adalah keluarnya manusia dari ketidakdewasaan akibat kesalahannya sendiri. Ketidakdewasaan adalah ketidakmampuan untuk menggunakan pemahamannya sendiri tanpa petunjuk dari pihak lain. Ketidakdewasaan ini adalah kesalahannya sendiri, ketika sebabnya bukan karena kurangnya pemahaman, melainkan karena kurangnya ketetapan hati dan keberanian untuk menggunakan akal tanpa petunjuk dari pihak lain. Sapere Aude! “beranilah menggunakan pemahamanmu sendiri!”—adalah motto bagi pencerahan.” Immanuel Kant, Perpetual Peace and Other Essays on Politics, History, and Morals, trans., Ted Humphrey (Indiana Polis: Hackett Publishing Company Inc., 1983), h. 41 13 orang, demi terwujudnya kebahagiaan. Kebahagiaan dapat diperoleh di dunia, tanpa perlu mempertimbangkan kehidupan setelah kematian, maupun ketakutan terhadap takhayul dan klaim keselamatan agama. Pandangan demikian mempertajam gagasan yang pernah dilontarkan di masa Renaissance, sekaligus mempertegas penolakan terhadap segala tatanan sosial abad pertengahan. Semakin lama, tanggungjawab pribadi dalam menggunakan rasio memainkan peranan cukup penting dalam kehidupan. Kesadaran ini menjadi arah baru yang menentukan sikap dan mentalitas zaman itu. Pada awalnya, gerakan pencerahan tidak berkembang begitu massif di beberapa wilayah. Gerakan pencerahan mulai lebih dahulu di Inggris dan Prancis. Kedua negara ini memainkan peranan penting, dibandingkan negara-negara lain, seperti Jerman. Hal itu tidaklah mengherankan, terutama berkat dukungan yang begitu intens dari pemerintah di dua negara tersebut dalam menggalakkan pengembangan ilmu pengetahuan. Sejak abad ke-17, di Prancis kalangan terpelajar mendapat hak istimewa lewat dukungan pemerintah, dengan didirikannya Académie des Sciences: sebuah komunitas yang memiliki perhatian pada upaya pengembangan ilmu pengetahuan. Jumlah peserta dalam forum ini terbatas sebanyak 16 orang. Lembaga ini menerbitkan jurnal Journal des Sçavans, sebagai media mempublikasikan penelitiannya. Keadaan yang hampir sama juga terjadi di Inggris. Dengan dukungan para bangsawan, didirikanlah Royal Society: sebuah komunitas yang aktif dalam pengembangan sains. Lembaga ini memiliki anggota yang tak terbatas,10 sehingga sedikit berbeda dengan lembaga di Prancis. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa tidak semua penguasa, raja dan pangeran di Eropa pada 10 Robin Briggs, The Scientific Revolution Revolution of the Seventeenth Century (San Francisco: Harper & Row Publishers, Inc., 1973), h. 67 14 saat itu memiliki perhatian sama terhadap pengembangan ilmu pengetahuan. Kedua wilayah tersebut hanya mewakili arus utama kemajuan ilmu yang berlangsung pada abad ke-17, dan berpengaruh terciptanya fase pencerahan pada abad ke-18. Berdasarkan letak geografisnya, terdapat sejumlah kecenderungan tertentu dan sedikit berbeda, yang menandai terjadinya pencerahan di beberapa wilayah. Pencerahan yang terjadi di Inggris ditandai dengan menyebarnya faham Deisme.11 Istilah ini mengacu pada suatu pandangan bahwa alam semesta berjalan dengan sendirinya, sesuai dengan kaidah hukum mekanis yang bisa diselidiki secara ketat dan objektif. Kedudukan Tuhan sebagai pencipta, tidak memiliki andil apapun dalam segala hal yang terjadi di alam semesta. Dunia terlepas dari campur tangan Tuhan setelah diciptakan. Pandangan deisme sama sekali tidak menghilangkan Tuhan, hanya pemahaman mereka tentang Tuhan diupayakan lebih rasional. Pemahaman ini merupakan imbas dari penemuan besar filsafat alam Newton tentang hukum-hukum fisika, serta terobosan baru filsafat empiris John Locke. Namun, beberapa tokoh pencerahan kemudian, melangkah lebih jauh dengan mengritik lembaga gereja, karena sikap agamawan tidak sejalan dengan penemuan-penemuan ilmiah. Gereja yang berfungsi sebagai sebuah pranata sosial, dalam pandangan pemikir pencerahan sama sekali tidak memberikan andil pada kebahagiaan manusia. Justru gereja yang selama ini melegitimasi kesengsaraan, karena tidak memberi kebebasan mempergunakan akal. Manusia akhirnya harus tunduk di bawah naungan iman dan otoritas keagamaan. Padahal manusia sebenarnya 11 F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, h. 99 15 memiliki kemampuan untuk bertindak bebas, termasuk menjelajahi alam. Alam beserta isinya, termasuk manusia, memiliki suatu kaidah hukum mekanis yang dapat diselidiki dan dipelajari. Prasangka akan kemisterian alam yang menakutkan, dipenuhi mitos-mitos dan takhayul, sebenarnya dapat disingkirkan. Alam beserta dengan segala yang dikandungnya, dapat ditaklukkan dengan seperangkat kaidah ilmiah. Gagasan kaum deisme, pada perkembangan selanjutnya tidak saja mengkritik gereja, tetapi kekristenan itu sendiri. Agama Kristen dipandang sebagai sumber malapetaka. Hal ini merupakan titik balik pemberontakan atas hegemoni kaum agamawan di era sebelumnya, yakni abad pertengahan. Para sarjana kemudian mulai meninggalkan adat-istiadat lama yang sering disuarakan kaum agamawan. Puncak titik balik ini bisa diartikan sebagai ucapan selamat tinggal pada agama, serta segala hal yang berhubungan dengannya. Otoritas iman agama diganti dengan pertimbangan rasional. Selain penentangan terhadap agama, pencerahan di Inggris juga ditandai dengan munculnya semangat individualisme. Dalam kehidupan bermasyarakat, jelas kelihatan adanya perubahan-perubahan ruang lingkup hubungan sosial. Hal ini bisa dilihat, misalnya pada pembagian pekerjaan berdasarkan pertimbangan rasional, pengakuan kepemilikan pribadi, kedaulatan hukum, keadilan, kesejahteraan dan sebagainya. Gagasan kemandirian individualisme dalam bidang ekonomi menyebar dan berpengaruh cukup signifikan.12 Upaya pengejaran kepentingan pribadi dan meninggalkan semangat kolektif, ras, golongan, dan 12 Adam Smith (1723-1790) memiliki diktum ekonomi yang sampai saat ini masih sering dikutip, “invisible hand”: tangan yang tidak kelihatan. Maksudnya bahwa setiap manusia dikendalikan oleh dorongan nafsu egoistis, yang berusaha mengejar kepentingannya sendiri. Tapi, pemenuhan kepentingan pribadi itu turut serta memainkan peranan pemenuhan kesejahteraan umum. Elmer Sprague, “Adam Smith,” in Paul Edwards, ed., The Encyclopedia of Philosophy, Vol. 7 (New York: Macmillan Publishing Co., Inc., and The Free Press, 1972), h. 463 16 agama, sebenarnya sudah muncul di masa Renaissance. Akan tetapi peneguhan yang lebih tegas, baru kelihatan di masa pencerahan. Sikap individualisme ini menjadi gejala umum di kalangan masyarakat saat itu. Apa yang terjadi di Inggris, nampaknya terjadi pula di Prancis. Dalam beberapa hal, pencerahan di Prancis nampaknya sedikit berbeda dan lebih ekstrem daripada di Inggris. Gagasan para pemikir pencerahan Prancis dipengaruhi oleh pandangan filsafat empiris Inggris, John Locke, dan hukum fisika Isaac Newton. 13 Sepakat dengan gagasan kedua tokoh tersebut, para pemikir Prancis lebih yakin menggunakan metode dalam pengembangan ilmu pengetahuan lewat observasi atas fenomena alam. Fakta-fakta yang berserakan menjadi sumber berharga untuk merumuskan kaidah-kaidah ilmiah. Hukum fisika Newton menjadi landasan utama bagi pandangan materialisme dan penolakan terhadap segala pemikiran metafisika atas alam dan manusia. Kejadian-kejadian alamiah, yang diyakini memuat seperangkat hukum kausalitas, dijadikan objek pengamatan dan penelitian. Dengan begitu, penalaran spekulatif-deduktif lewat ide-ide bawaan sama sekali ditinggalkan. Sikap demikian tentunya tidak bermaksud meminggirkan metode deduktif-matematis, dan hanya mengupayakan analisis pelbagai peristiwa. Dengan penelitian yang ketat atas pelbagai fakta-fakta partikular, selanjutnya akan dilakukan sintesis, guna didapat suatu kaidah umum berupa hukum atas fenomena alamiah. Sintesis yang diperoleh lewat observasi tersebut, kemudian dijadikan ketetapan standar sebagai kebenaran universal. Ideide pencerahan, pada gilirannya telah turut membantu menyiapkan pondasi terjadinya gerakan positivisme di Prancis satu abad kemudian. 13 Frederick Copleston, A History of Philosophy, vol. 6, Wolff to Kant (Wellwood: Burn & Oates, 1999), h. 3 17 Selain itu, para pemikir pencerahan Prancis kelihatan lebih berpikiran dekstruktif daripada konstruktif terkait masalah agama. Mereka sama sekali tidak mencoba menawarkan pandangan baru yang lebih rasional tentang permasalahan ini. Sejak semula, para pemikir pencerahan Prancis berupaya menolak agama dan segala “bualan” metafisika tradisional.14 Gereja menurut mereka tidak lebih merupakan perwujudan penindasan atas nilai-nilai kemanusiaan, dan musuh bagi kebebasan berpikir. Segala bentuk agama, baik Kristen, Yahudi, maupun agamaagama lainnya, merupakan produk dari kebodohan, ketakutan, dan sangat tidak sesuai dengan semangat kemajuan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, sudah selayaknya jika agama ditinggalkan, karena tidak membawa manfaat sama sekali. Puncak kebencian terhadap agama dapat disaksikan, misalnya peristiwa pelucutan gereja Notre Dame dari simbol-simbol keagamaan pada waktu terjadinya revolusi. Di samping itu, para pemikir pencerahan Prancis kerap menujukkan sikap bermusuhan terhadap sistem-sistem politik. Dalam tulisan-tulisannya, mereka menyerang habis-habisan bentuk penindasan atas nama negara. Bahkan raja Louis XVI, pemimpin negeri mereka sendiri, tak urung menjadi sasaran kritik. Pemerintahan Louis XVI di Prancis, menurut mereka adalah rezim otoriter yang kurang berpihak kepada rakyat. Kendati tidak semua tokoh sepakat tentang bentuk sistem politik ideal, tapi kritik-kritik mereka jelas menampakkan sikap bermusuhan dengan pemerintah Prancis. Gerakan pencerahan menunjukkan sikap ofensif terhadap segala bentuk tirani, dan menemukan momentumnya yang riil 14 Tokoh yang dikenal menjadi pelopor terjadinya pencerahan di Prancis adalah Pierre Bayle (1647-1706). Dia memiliki sebuah karya yang cukup terkenal, Dictionaire Historique et Critique, yang berisi berbagai rumusan ilmu pengetahuan pada masanya, serta penyerangan yang luar biasa terhadap agama. Dia juga berpendapat bahwa keyakinan terhadap Tuhan berada di luar batas akal, dan bahwa persoalan etika sudah selayaknya dipisahkan dari masalah agama dan sistem metafisika tradisional. Frederick Copleston, A History of Philosophy, h. 7-8 18 dalam terjadinya revolusi Prancis di tahun 1789.15 Revolusi Prancis yang mengusung slogan liberté, égalité, dan fraternité, merupakan sebuah perjuangan berdarah oleh rakyat dalam melawan ketidakadilan yang mereka alami. Karena sikapnya yang kritis terhadap negaranya sendiri, beberapa tokoh pencerahan mencari suaka di luar Prancis, misalnya ke Jerman. Gelombang pencerahan di Jerman tidak seperti yang terjadi di Prancis atau di Inggris. Di Jerman pencerahan berjalan lebih tenang dan damai. Pencerahan di Jerman ditandai dengan minat yang besar terhadap studi kemanusiaan dan kebudayaan. Banyak sastrawan besar yang bermunculan pada zaman ini, misalnya J.W. von Goethe, Johann Gottfried von Herder, dan Gotthold Ephraim Lessing. Begitu juga muncul tokoh pembaru estetika, Alexander Gottlieb Baumgarten. Di kawasan ini tidak ditemukan adanya peristiwa-peristiwa dramatis, misalnya penyerangan terhadap agama. Fenomena keagamaan di Prussia, tidak mendapat serangan begitu tajam dari para filsuf. Kendati demikian, mereka tetap menjaga jarak dari unsur-unsur relijius mainstream yang dikenal kaku dan membelenggu kebebasan akal. Selain itu, para pemikir pencerahan Jerman pada umumnya adalah guru besar di universitas. Hal ini merupakan kondisi yang sangat berbeda dengan status tokoh-tokoh pencerahan Inggris maupun Prancis. Keadaan di Jerman pada masa pencerahan, dapat dilihat dari kebijakan politik pada masa itu. Paruh pertama abad ke-18, di kawasan Jerman penyebaran kaum Puritan—sebuah gerakan keagamaan yang berasal dari gereja Kristen Protestan Jerman—menuai kesuksesan. Kesuksesan itu berkaitan dengan reformasi pemerintahan yang diterapkan Friedrich William I (1688-1740). Ia 15 Para filsuf Prancis sebenarnya tidak menghendaki terjadinya revolusi berdarah. Mereka hanya menghendaki penyebaran pengetahuan, agar terjadi reformasi sosial yang dapat merubah kondisi menjadi lebih baik. Frederick Copleston, A History of Philosophy, h. 58 19 meningkatkan kekuatan angkatan perang, kinerja birokrasi pemerintahan, perbaikan perekonomian dan pendidikan bagi masyarakat miskin. Reformasi yang dilakukannya banyak bermanfaat bagi kaum puritan, yang kebanyakan tergolong kelas bawah. Keluarga Immanuel Kant termasuk dalam kelompok ini. Kaum Puritan adalah sekelompok umat Kristen yang percaya pada independensi pembacaan Bible, dengan penekanan pada penghayatan pribadi. Kebanyakan dari mereka bukan termasuk kelas menengah ke atas. Puritanisme adalah gerakan evangelis. Kelompok ini lebih menekankan peranan hati daripada rasio, cenderung kepada nuansa mistik daripada intelektual dalam menjalani kehidupan beragama. Sumber penting ajaran mereka dapat dilacak dalam karya Philipp Jakob Spener, Pia Desideria (1675).16 Pada masa pemerintahan Friedrich William I, August Hermann Francke (1663-1727)—seorang tokoh puritan Jerman—mendirikan sejumlah sekolah dan tempat tinggal untuk para yatim piatu. Francke memiliki proyek pendidikan yang awalnya hanya berkisar di kota Halle, tapi kemudian menyebar ke wilayah lain. Raja mendukung apa yang dilakukan Francke. Di Königsberg, kota kelahiran Immanuel Kant, tokoh Puritan yang cukup populer adalah Theodor Gehr dan Johann Heinrich Lysius. Gehr mendirikan Collegium Pietatis di Königsberg, dan belakangan menjadi sekolah untuk kaum miskin. Beberapa tahun kemudian, sekolah itu mendapat perlindungan raja dan diresmikan menjadi Collegium Friedericianum di tahun 1703.17 Pada usia delapan sampai enam belas tahun, antara tahun 1732 sampai 1740, Kant melanjutkan sekolahnya di situ. Kecondongan raja kepada kaum Puritan sebenarnya tidak lebih dari sekedar 16 Manfred Kuehn, Kant: A Biography (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 17 Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 36 h. 35 20 tujuan politik, agar membantunya mendorong terjadinya reformasi. Raja berupaya membentuk pemerintahan yang absolut: sebuah sistem sentralistik di Berlin.18 Untuk memuluskan usahanya, raja memangkas kekuatan bangsawan pemilik tanah. Ia memudahkan akses pendidikan bagi anak-anak miskin, yang mengakibatkan mereka lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah. Dengan begitu, tenaga kerja yang diperlukan untuk menggarap tanah para bangsawan semakin berkurang. Pada akhirnya, keuntungan kalangan feodal pun menurun. Situasi ini sangat tidak menguntungkan para tuan tanah, yang kebetulan lebih dekat dengan Kristen Protestan non-Puritan. Perbaikan perekonomian dan pendidikan, membuat anak-anak dari keluarga miskin dapat mengenyam pendidikan dan memperoleh lapangan pekerjaan yang lebih baik dari orang tua mereka. Posisi pemilik tanah mulai merosot di mata publik. Mereka tidak hanya berhadapan dengan penguasa dan raja, tapi kelas masyarakat terdidik lainnya. Situasi demikian ternyata tidak sampai menimbulkan kejadian yang memilukan. Di Jerman tidak terjadi pemberontakan, pengusiran maupun peristiwa berdarah lainnya. Reformasi yang dilakukan oleh raja berjalan tenang dan damai, karena dukungan mayoritas masyarakat sipil. Kehidupan intelektual di Jerman abad ke-18 mendapat sokongan penuh pada masa pemerintahan Friedrich II atau Friedrich Agung (1712-1786). Ia menjadi raja Prussia menggantikan ayahnya, Friedrich William I, yang wafat di tahun 1740. Pada tahun yang sama, Kant mulai memasuki universitas Königsberg. Friedrich II adalah penguasa yang pro-pencerahan, dan menjadi pelindung bagi para pemikir Prancis yang dinilai subversif dan lari dari negerinya.19 18 19 Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 35 F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, h. 122 21 Gelombang pencerahan di Jerman dipengaruhi pemikiran Inggris dan Prancis. Tokoh yang pertama berjasa dalam menggerakkan pencerahan Jerman adalah Christian Thomasius (1655-1728). Ia adalah filsuf yang lebih menyukai sistem filsafat Prancis daripada Jerman. Baginya, filsafat tidak akan berarti apapun selama tidak berhubungan dengan dunia riil. Sistem metafisika yang dibangun para filsuf, sama sekali tidak berguna jika tidak memiliki kontribusi berharga bagi kehidupan manusia. Nilai guna filsafat terletak pada perannya sebagai instrumen kemajuan.20 Ia juga menyerang pandangan filsafat yang hanya menekankan pencarian kebenaran lewat jalur kontemplatif. Upaya yang benar dalam pengembangan ilmu pengetahuan adalah melalui observasi fenomena dan pengalaman yang didapat lewat kemampuan indera. Dari sini dapat dilihat bahwa Thomasius menyetujui empirisme. Tokoh kedua yang berperan cukup penting adalah Christian Wolff (16791754). Dukungan Wolff terhadap konsep, keselarasan yang ditetapkan sebelum terjadinya sesuatu (pre-establish harmony), tidak sejalan dengan Puritanisme tentang kehendak bebas.21 Sistem filsafat Wolff sangat berbeda dari Thomasius, karena penekanan pada metafisika. Perhatian utama Wolff dalam hal ini adalah filsafat praktis, dan dukungan penyebaran kebijaksanaan di antara manusia. 22 Dengan sistem yang dibangunnya, Wolff tetap mempercayai Tuhan. Dia yakin, dengan kemampuan rasionya, manusia dapat membuktikan keberadaan Tuhan. Wolff berupaya menemukan asas yang sah tentang Tuhan, berdasarkan rasio. Pengaruh Wolff cukup luas beredar di Jerman. Hal itu dirasakan saat Kant kuliah. Bahkan ketika Kant menjadi dosen di Universitas Königsberg, di antara buku 20 Frederick Copleston, A History of Philosophy, h. 101 Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 76 22 Frederick Copleston, A History of Philosophy, h. 106 21 22 yang menjadi acuan mengajarnya adalah karya Wolff.23 Situasi ini memberikan dampak tersendiri bagi pemikiran dan perjalanan karir Immanuel Kant. B. Periodisasi Perkembangan Intelektual dan Karya-Karyanya Immanuel Kant lahir pada 22 April 1724 di Königsberg, sebuah kota tempat berlabuhnya perdagangan internasional Prussia. Terletak di sebelah timur kerajaan Prussia, dekat dengan perbatasan Rusia, dan lebih dekat dengan Polandia daripada dengan Prussia Barat. Banyak bangunan institusi-institusi resmi didirikan di kota ini. Kota Königsberg24 berpenduduk sekitar 40.000 jiwa di tahun 1706, meningkat menjadi 50.000 jiwa di tahun 1770, dan terus meningkat menjadi 56.000 jiwa di tahun 1786.25 Kant terlahir dengan nama baptis “Emanuel”, dari pasangan Johann Georg Kant (1683-1746) dan Anna Regina Kant (1697-1737). Ia menjadi anak ke-4 dari sembilan bersaudara. Sebagai anak pembuat pelana kuda, kehidupan Kant sangat jauh dari kemewahan. Kant dibesarkan dalam suasana kehidupan yang dipenuhi dengan ketaatan Puritanisme. Kelak ia merasa sangat berhutang budi atas didikan ibunya, yang selalu mengajarkannya nilai-nilai kebaikan dan kejujuran. Ini bisa dilihat dalam cara berfilsafat Kant, khususnya dalam wacana etika yang sangat menekankan kesadaran terhadap kewajiban. Bagi Kant, dogma-dogma keagamaan sama sekali tidak bernilai, selama tidak memberikan pelayanan moral.26 23 Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 109 Kota Königsberg telah berubah nama menjadi Kaliningrad. Sekarang kota itu termasuk dalam wilayah Polandia. Paul Strathern, 90 Menit Bersama Kant, terj., Franz Kowa (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2001), h. 3 25 Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 56 26 Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 371 24 23 Setelah menyelesaikan sekolah menengahnya, Kant melanjutkan studi ke universitas kota Königsberg pada tahun 1740. Selama kuliah, Kant menjadi anggota masyarakat akademis (Akademischer Bürger), yang memungkinkannya terbebas dari beban biaya menggunakan inventaris kampus dan beberapa keuntungan lainnya.27 Minat awalnya selama kuliah adalah studi klasik, tapi Kant ternyata lebih terobsesi menggeluti filsafat berkat pengaruh Martin Knutzen (1713-1751) dan Johann Gottfried Teske (1704-1772). Meskipun demikian, mereka berdua hanyalah dosen biasa dan tidak ada hubungan khusus dengan Kant. Dalam catatan biografinya, Kant mengoreksi beberapa kesalahan penulisan yang sempat ia baca. Namun, tidak seluruh tulisan Ludwig Ernst Borowski (1740-1832)—salah satu murid pertama dan penulis biografi Kant—sempat dikoreksinya. Borrowski membuat kesalahan dengan menyebut Kant murid terbaik dan kebanggaan Knutzen. Martin Knutzen bukanlah dosen yang mempunyai kedekatan dengannya, bahkan tidak benar bahwa Kant diperkenankan meminjam buku-buku di perpustakaan pribadi sang dosen. Hal ini bisa disaksikan bahwa dalam catatan Martin Knutzen, Kant bukanlah salah seorang mahasiswa terbaiknya. Bahkan Kant tidak pernah disebut sebagai mahasiswanya. Murid favorit Knutzen adalah Friedrich Johann Buck (1722-1786). Kelak sepeninggal Knutzen, Buck menjadi dosen menduduki posisi yang ditinggalkannya. Mahasiswa lain yang lebih penting dari Kant adalah Johann Friedrich Weitenkampf (1726-1758). Bukti lain bahwa Kant bukan mahasiswa favorit Knutzen, yakni tidak disebutnya nama Kant sewaktu Knutzen berkirim surat dengan Euler.28 27 28 Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 61 Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 88-89 24 Selama kuliah, Kant bukanlah seorang mahasiswa yang menjadi idola bagi gadis-gadis Jerman.29 Secara fisik, penampilan Kant kurang menarik. Kulit pucat, dengan tinggi badannya 157 cm., sepanjang hayat menderita hypochondria, dadanya tipis, dan sering kesulitan pernafasan.30 Ia terbiasa berangkat kuliah mengenakan sebuah jaket kusam yang harganya kira-kira kurang dari satu pfennig—satuan terkecil mata uang Jerman. Namun, Kant sama sekali tidak mempedulikan hal itu. Baginya, belajar adalah lebih penting. Belajar adalah segalanya. Hal-hal yang dapat menghambat belajarnya, ia tinggalkan. Kant merasa bahwa selama kuliah, ia baru bisa bebas mempelajari banyak hal yang ia kehendaki, dibandingkan selama di sekolah lanjutan. Ketika duduk di tingkat akhir, Kant terbiasa menjadi tutor bagi beberapa orang mahasiswa yunior yang kesulitan dengan materi kuliah. Dengan bimbingan itu, ia biasa mendapatkan secangkir kopi dan roti putih gratis untuk makan siang. Pada masa Kant, kuliah filsafat di Universitas Königsberg cenderung mengikuti arah pemikiran Christian Wolff. Hal ini tanpa mengingkari beberapa dosen yang menyukai sistem Aristotelian, seperti Johann Adam Gregorovious (1681-1749). Pemikir seperti Descartes dan Locke adalah tokoh-tokoh yang lebih banyak diserang.31 Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Kant pada awalnya lebih diarahkan kepada sistem Wolffian, berkat dosen-dosennya. Tapi, terlalu gegabah kiranya menganggap Kant adalah tokoh Wolffian semasa muda. Sejak 29 Pada zaman Kant, kehidupan antara laki-laki dan perempuan Jerman terpisahkan secara gender. Itulah mengapa, ia seperti orang-orang di masanya, jarang bergaul dengan lawan jenis mereka. Kehidupan perempuan Jerman saat itu, diarahkan pada tiga hal: Kinder, Küche, und Kirche (anak-anak, dapur, dan gereja). Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 55 30 Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 151 31 Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 67 25 muda, Kant selalu menjaga jarak dari sistem manapun, dan berusaha independen dengan pemikirannya sendiri. Kant meninggalkan kuliahnya setelah Agustus 1748, karena ayahnya meninggal dunia tanpa meninggalkan banyak dukungan finansial. Sebelas tahun sebelumnya, ia telah kehilangan ibu yang dikasihinya. Kant terpaksa bekerja sebagai guru privat (Hofmeister) bagi ketiga putra pastor Andersch, di kota Judtschen.32 Kemudian ia menjadi guru bagi ketiga putra tertua von Hülsen, seorang ksatria Prussia. Selama menjadi guru, Kant menghaluskan sikap dan perilakunya ketika bergaul dengan keluarga kaya, serta tak lupa meningkatkan kemampuan akademisnya. Ia masih berkeinginan meneruskan kembali kuliahnya. Setelah enam tahun absen untuk menjadi guru, Kant kembali ke universitas dengan mengajukan disertasinya berjudul, “Succinct Meditations on Fire”, (Meditasi-meditasi Ringkas tentang Api).33 Pamannya, Richter, membayar biaya promosi doktornya. Untuk mengajar di universitas, Kant harus menerima “venia legendi”, dengan mempertahankan disertasi lain berjudul, “Principiorum Primorum Cognitionis Metaphysicae Nove Diludatio”, (Penjelasan Baru tentang Prisnsip-Prinsip Pertama Pengetahuan Metafisik). Kant akhirnya diperbolehkan mengajar materi-materi kuliah di universitas. Sebagai Privatdozent, ia tak dibayar dari kampus. Gajinya didapat dari mahasiswa yang menghadiri kuliahnya. Besarnya pendapatan, tergantung pada banyaknya peserta yang ikut kuliah. Pengaruh Kant cukup populer dalam atmosfer akademik Königsberg. Selama menjadi Privatdozent, kuliah-kuliahnya selalu dipenuhi mahasiswa, sehingga memicu kecemburuan sosial bagi dosen-dosen lainnya. Beberapa dari 32 33 Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 96 Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 100 26 mereka tidak menyukai Kant. 34 Untuk bisa bertahan hidup, Kant harus banyak mengajar. Selama semester musim dingin 1755-1756, ia mengajar logika, metafisika, matematika, dan fisika. Di semester musim panas, ia menambahkan dengan kuliah geografi, dan berikutnya ditambahkan dengan etika. Kant mengajar sebanyak enam belas sampai dua puluh empat jam seminggu. Buku acuan mengajarnya semisal, Metaphisica, Ethica, karya Baumgarten, Auszug aus der Vernunftlehre, karya Georg Friedrich Meier, keduanya merupakan pengikut Wolff. Ia juga menggunakan, Erste Gründe der Naturlehre, karya Johann Peter Eberhard. Dalam bidang matematika, Kant menggunakan karya-karya Wolff, Auszug aus den Anfangsgründen aller Mathematischen Wissenschaften, Ansfangsgründe aller Mathematischen Wissenschaften. Meskipun diharuskan mengajar berdasarkan buku-buku acuan, tapi ia tidak mengekor pada uraian yang diberikan buku tersebut. Kant hanya mengikuti urutan materi di dalamnya. Ia bahkan memberi tambahan terhadap beberapa hal dalam penjelasan yang tidak disebutkan di dalam buku, dan juga mengoreksi isinya. 35 Jika tidak setuju dengan isi buku tersebut, ia segera beralih pada pemahamannya sendiri. Ketika mengajar, Kant selalu menekankan bahwa apa yang ia ajarkan bukanlah filsafat, tapi bagaimana berfilsafat. Kant berkata: “The true method of instruction in philosophy is zetetic, as it was called by some of the ancients (derived from zetetin). It is searching, and it can become dogmatic, that is decided through a more developed reason only in some parts.”36 34 Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 107 Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 106; Lihat juga, Frederick Copleston, A History of Philosophy, h. 181 36 “Metode instruksi yang benar dalam filsafat adalah zetetic, sebagaimana disebut oleh tokoh-tokoh klasik (diturunkan dari kata zetetin). Hal itu adalah pencarian, dan bisa menjadi dogmatis, yang diputuskan melalui sebuah pengembangan penalaran hanya di dalam beberapa bagian-bagiannya.” Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 160 35 27 Periode pra-kritis Kant berakhir sejak 1769, memasuki tahun 1770. Dalam masa pra-kritis itu, pemikiran Kant terbagi menjadi dua: pertama, berlangsung sejak 1755-1762, dikenal sebagai periode rasionalis; kedua, antara tahun 17621769, dikategorikan sebagai periode empiris. Pembagian periode pra-kritis ini tidak dimaksudkan sebagai pemetaan secara radikal. Tapi, sebagai sebuah kecenderungan untuk lebih mudah memahami, meskipun sebenarnya tidak ada kesepakatan dari pada pengkaji dalam masalah ini.37 Jika orang berbicara tentang tiga kritik Kant, maka yang dituju adalah periode setelah tahun tersebut, yang disebut periode kritis. Sejak tahun 1770, Kant berusaha keras menghasilkan suatu pemikiran orisinilnya. Ia mencari sistem filsafat, yang terbebas dan mengatasi, baik rasionalisme maupun empirisme. Tapi, Kant bukan penganut eklektisisme. Selama sebelas tahun, Kant berupaya merumuskan pemikirannya. Ia menggugat pandangan Leibniz-Wolffian, dan semua sistem-sistem yang ada saat itu. Edisi pertama Kritik der reinen Vernunft, terbit tahun 1781. Sejak saat itu, karya-karya brilian Kant mulai bermunculan. Dengan tanpa malu-malu dalam karyanya, Prolegomena zu einer jeden künftigen Metaphysik, terbit 1783, Kant mengakui dirinya dibangunkan dari tidur filsafat dogmatik oleh David Hume: “I openly confess, the suggestion of David Hume was the very thing, which many years ago first interrupted my dogmatic slumber, and gave my investigation in the field of speculative philosophy quite a new direction. I was far from following him in the conclusion at which he arrived by regarding, not the whole of his problem, but a part, which by itself can give us no information. If we start from well-founded, but undeveloped, thought, which another has bequeathed to us, we may well hope by continued reflection to advance farther than acute man, to whom we owe the first spark of light.”38 37 Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 176-179 “Saya secara terus terang mengakui anjuran David Hume, yang selama beberapa tahun mengganggu tidur dogmatis saya dan memberi arah baru bagi penyelidikan saya dalam filsafat 38 28 Secara garis besar, karya-karya Kant adalah sebagai berikut: a. Kritik der Reinen Vernunft, merupakan karya filsafat yang membahas masalah epistemologi. Dalam karya ini Kant berupaya membongkar masalah-masalah yang tidak selesai seputar pengetahuan. Ia merumuskan sistem baru, dengan terlebih dahulu mengritik aliran rasionalisme dan empirisme. Karya ini terbit tahun 1781. b. Prolegomena zu einer jeden künftigen Metaphysik. Karya ini terbit 1783. Dengan tulisan ini, Kant bermaksud menjadikannya sebagai sebuah catatan singkat untuk bisa memahami pembahasan dalam Kritik der Reinen Vernunft. Karena penjelasan yang sulit, dengan gaya bahasa yang bertele-tele, karya tersebut dapat memudahkan para pembaca dalam memahami isi Kritik der Reinen Vernunft, yang kerap mengundang banyak keluhan. c. Was ist Aufklärung?. Esai ini diterbitkan Berlinische Monatschrift, tahun 1784, ditulis untuk menjawab seputar pertanyaan tentang pencerahan yang terjadi pada abad ke-18, di Eropa. d. Grundlegung zur Metaphysik der Sitten, sebuah paparan argumentatif tentang dasar-dasar hukum moral, yang terbit tahun 1785. e. Metaphysik Anfangsgründe der Naturwissenschaften. Sebagai pengajar fisika, Kant merasa perlu menjelaskan prinsip-prinsip kaidah ilmu spekulatif. Saya sama sekali tidak mengikutinya pada kesimpulan yang ia dapatkan berkenaan dengan keseluruhan masalahnya, tapi sebagian, yang tidak memberikan kita informasi. Jika kita memulai dari penemuan-berharga, tapi pemikiran yang tidak dikembangkan, yang satu lagi telah mewariskan kepada kita, kita mungkin berharap dengan baik berdasarkan refleksi berkelanjutan untuk mengembangkan lebih jauh dari seorang yang teliti, kepadanya kita berhutang percikan cahaya pertama.” Beryl Logan (ed.), Kant’s Prolegomena to Any Future Metaphysics in Focus (New York: Routledge, 1996), h. 33 29 pengetahuan alam yang ia pegang. Lewat karya inilah, ia menjelaskan hal itu. Tulisan ini terbit pada tahun 1786. f. Was heisst: Sich im Denken orientiren? Ulasan dalam karya ini berisi kontibusi Kant terkait persoalan paham panteisme yang melanda kalangan sarjana abad ke-18, diterbitkan dalam Berlinische Monatschrift, terbit bulan Oktober 1786. g. Kritik der Practischen Vernunft. Lewat karya ini Kant berusaha merumuskan bahwa kaidah moral tidak semata masalah agama dan hati, melainkan termasuk bagian urusan pemahaman rasional. Karya ini terbit tahun 1788. h. Kritik der Urteilkraft. Karya ini adalah kritik ketiga Kant, terbit tahun 1790, yang berisi pembahasan seputar penilaian nilai estetika. i. Über das Mißlingen aller philosophischen Versuche in der Theodicee, sebuah esai yang berisi paparan tentang masalah agama dalam batas-batas rasional, diterbitkan dalam Berlinische Monatschrift, September 1791. j. Das Ende aller Dinge, berisi kritik filsafat politik Kant terhadap situasi saat itu. Karya ini diterbitkan Berlinische Monatschrift, Juni 1794. k. Zum ewigen Frieden, sebuah esai yang menjelaskan tentang basis moral, melukiskan perkembangan sejarah dan politik, terbit 1795. l. Der Streit der Fakultäten. Esai ini ditulis Kant berkenaan dengan pengekangan pemerintah terhadap kebebasan menyuarakan pendapat tentang masalah agama. Esai ini terbit pada musim gugur 1798. m. Metaphysische Anfangsgründe der Rechtslehre dan Metaphysische Anfangsgründe der Tugendlehre, kedua esai ini berupa bagian karya 30 Metaphysik der Sitten, berisi penjelasan Kant tentang metafisika moral. Yang pertama berbicara tentang elemen-elemen dalam pembahasan metefisika moral yang seharusnya, sedangkan yang kedua menjelaskan tentang kebijaksanaan dalam moral. Keduanya terbit di tahun 1797. Selama masa hidupnya, Kant menghabiskan waktu dengan kegiatan yang cukup padat dan disiplin. Kegiatan hariannya dilakukan tetap, termasuk jadwal kunjungannya. Ia terbiasa tidur jam sepuluh malam, dan bangun sebelum jam lima pagi. Kemudian melakukan refleksi filosofis, mengajar, dan setiap jam setengah empat sore pergi berjalan-jalan. Kebiasaan jalan-jalan sore ini dimaksudkan sebagai cara mencari inspirasi baru bagi pengembangan pemikirannya. Baik ketika cuaca panas, maupun hujan, ia terbiasa melakukan itu. Konon karena kedisiplinannya ini, warga Königsberg mencocokkan jam mereka ketika melihat Kant berjalan-jalan. Mungkin sekali karena terlalu konsisten dan fokus pada pekerjaan, sehingga membuatnya menangguhkan diri untuk menikah.39 Antara tahun 1796-1804 adalah masa-masa terakhir bagi kehidupan Kant. Sejak 1797 ia sudah tidak bisa mengajar lagi, karena usia tua dan sakit. Pikirannya masih tajam, tapi secara fisik ia sangat lemah. Sejak tahun 1800, Kant mulai melupakan kejadian-kejadian yang baru saja dilakukannya, dan lupa apa yang harus dilakukan. Pada periode ini banyak bermunculan kisah-kisah menggelikan yang berkaitan dengan Kant, misalnya analisisnya tentang kematian kucingkucing karena sengatan listrik, orang negro Afrika yang sebenarnya berkulit putih, dan sebagainya. Pada tanggal 12 Februari 1804, Kant menghembuskan nafasnya 39 Kant sebenarnya sama seperti laki-laki pada umumnya, memiliki keinginan untuk berkeluarga. Namun, niat itu tidak bisa dilaksanakan. Setidaknya, ia pernah merencanakan hal itu dengan seorang janda cantik, dan pernah pula berkeinginan menikahi gadis dari pinggiran Westphalin. Namun, keduanya tidak terlaksana, karena Kant terlalu lama mengambil keputusan. Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 117 31 yang terakhir, dua bulan sebelum ulang tahunnya yang ke-80. Nisannya sekarang ada di kota Kaliningrad. Tapi, nisan itu sudah tidak berisi tulang-belulangnya lagi, akibat rusak dan dicuri ketika perang.40 Di nisan itu tertulis dua hal yang memenuhi pikirannya dengan kekaguman, penghormatan, dengan begitu sering dan terus-menerus orang-orang merefleksikannya. Pengakuan tentang hal yang paling membuatnya terkesan, seperti disebutkan dalam karyanya, Kritik der practischen Vernunt: “langit yang bertabur bintang di atas saya, dan hukum moral dalam diri saya”.41 40 F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, h. 132 Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, trans., Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), h. 133 41 32 BAB III EPISTEMOLOGI DALAM KAJIAN FILSAFAT BARAT A. Sejarah Epistemologi Epistemologi adalah salah satu kajian filsafat, yang berkaitan dengan pengetahuan. Secara sederhana, epistemologi berarti teori pengetahuan.42 Dilihat dari segi bahasa, epistemologi merupakan istilah yang berasal dari dua bahasa Yunani, έπιστήµη (dibaca epistēme), berarti pengetahuan, dan λόγος (dibaca logos), berarti ilmu.43 Dengan demikian, epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang pengetahuan. Penekanan epistemologi adalah pengetahuan manusia, sebagai makhluk berakal dan berperadaban. Kajian epistemologi mencakup pembahasan dan penelusuran wilayah pengetahuan secara rasional. Pembahasan dimaksudkan untuk membedah batas-batas pengetahuan, serta bagaimana suatu pengetahuan diperoleh. Sedangkan proses penelusuran pengetahuan diartikan sebagai upaya mencari akar permasalahan terkait ide, dan gagasan yang berhubungan dengannya, seperti indera, memori, persepsi, buktibukti, kepercayaan dan kepastian. Dengan demikian, kajian epistemologi berbeda dari kajian psikologi. Epistemologi merupakan sebuah penelusuran rasional, berkaitan dengan kemungkinan dan kepastian isi pengetahuan, menguji validitas, menentukan batas-batas, dan memberikan kritik berkaitan dengan ciri-ciri umum yang hakiki dari pengetahuan. Epistemologi juga menentukan aspek kesadaran manusia, ketika berinteraksi dengan lingkungan, alam sekitar, dan terlebih dengan diri pribadi manusia itu sendiri. Adapun psikologi adalah suatu cabang ilmu yang 42 Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy (London: Penguin Books Ltd., 2000), h. 174 43 http://en.wikipedia.org/wiki/Epistemology, artikel diakses pada 30 April 2010 33 mengkaji tentang penyelidikan atau teori fenomena mental.44 Kajian psikologi lebih menitikberatkan pada daya-daya kognisi manusia an sich. Titik tekan ini yang membedakan kajian epistemologi dari psikologi. Dalam kajian psikologi, proses kognisi menjadi inti pembahasan. Daya-daya kognitif manusia merupakan tema bahasan utama dalam perolehan dan pengolahan informasi untuk menghasilkan pengetahuan. Hal ini sangat berbeda dari epistemologi, sebagai kerangka kajian yang mendudukkan ilmu dalam batas-batasnya yang ketat dan tidak terbatas unsur kesadaran. Dalam waktu yang cukup lama, masalah epistemologi menduduki porsi signifikan dalam wacana filsafat Barat. Perdebatan sistem-sistem yang dimajukan para filsuf, sejak zaman klasik ribuan tahun silam, seolah tidak menemukan kepastian. Perdebatan itu kiranya menjadi ajang pertarungan ide dan gagasan yang menandai nuansa zamannya. Kendati menjadi masalah yang cukup menguras energi selama ribuan tahun, namun epistemologi bukanlah hal pertama yang dikaji dalam kajian filsafat Barat. Dalam sejarahnya, epistemologi tidak menjadi persoalan yang pertama kali diperbincangkan oleh bapak filsafat Barat. Thales (645-545 SM.) sebagai tokoh pertama filsafat dalam tradisi Barat, sama sekali tidak berbicara tentang masalah epistemologi. Fokus pemikiran Thales adalah tentang pokok penyusun alam semesta.45 Ia berusaha menemukan suatu realitas primordial,46 yang disebutnya αρχή (dibaca archē).47 Karena tidak meninggalkan sebuah karya, pemikiran Thales akhirnya hanya dapat dijumpai sebagai cuplikan dalam karya-karya para penulis yang hidup setelahnya. Perhatian 44 Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 458 W. Wildelband, History of Ancient Philosophy, trans., Herbert Ernest Cushman (New York: Dover Publication Inc., 1956), h. 37 46 Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 37 47 http://en.wikipedia.org/wiki/Archē, artikel diakses pada 01 Mei 2010 45 34 Thales bukanlah epistemologi, melainkan ontologi. Ontologi diartikan sebagai sebuah penalaran tentang yang ada. Konsep “ada” sebagai sebuah tema menjadi tren dalam perdebatan pemikiran filosofis berikutnya. Rumusan yang terkenal dari Thales yakni, “semua adalah air”. Perkataan Thales di atas cukup dikenal para sarjana pengkaji filsafat Barat, yang sebenarnya merupakan kutipan yang tidak utuh. Kalimat yang selengkapnya berbunyi, “semua adalah air, dan dunia penuh dengan dewa-dewa”.48 Thales berusaha memecahkan masalah tentang asas penyusun alam semesta, tapi tanpa meninggalkan kepercayaan tentang adanya dzat adikodrati. Thales beranggapan bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta terbentuk dari air. Air baginya adalah sumber kehidupan, dan sumber terciptanya alam semesta. Bumi menurutnya mengapung di atas air. Partikel-partikel air menjadi asal segala jenis makhluk hidup, serta menjadi unsur yang menyusun segala sesuatu.49 Beberapa muridnya, juga tidak menaruh minat untuk menggeluti masalah epistemologi. Di belakang hari, gagasan Thales tersebut bahkan dikritik dengan pandangan yang berbeda-beda. Perdebatan dalam ranah epistemologi tidak dimulai sebelum abad ke-5 SM. Meskipun sebelum abad ke-5 SM., telah ada rumusan dari dua tokoh: Parmenides dan Heraklitos, tapi penalaran mendalam terkait masalah ini belum terbentuk secara utuh. Kendati demikian, mereka memainkan peranan yang cukup signifikan dalam wacana filsafat di kemudian hari. Mereka kerap dianggap mewakili dua kecenderungan yang saling berlawanan. Parmenides (lahir 540 SM.) dikategorikan sebagai pioneer kelompok rasionalis, sedangkan Herakleitos (54048 Jerome R. Ravert, Filsafat Ilmu: Sejarah dan Ruang Lingkup Pembahasan, terj. Saut Pasaribu. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 7 49 McKeon (ed.), Introduction to Aristotle (New York: Random House, Inc., 1947), h. 250 35 480 SM.), termasuk kelompok empiris. Dua arus inilah yang nantinya saling bersitegang dalam tradisi filsafat Barat selanjutnya. Parmenides menganggap pengetahuan manusia diperoleh dari kemampuan akal. Adapun Heraklitos menganggap pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Akan tetapi baik Parmenides ataupun Heraklitos, tidak meragukan apakah pengetahuan tentang realitas itu mungkin.50 Pengetahuan bagi mereka merupakan keniscayaan. Siapapun dianggap dapat memperoleh pengetahuan. Tidak ada upaya yang dilakukan oleh mereka untuk membuktikan apakah pengetahuan manusia itu terbatas atas realitas di luar dirinya, atau tidak. Kedua belah pihak tidak melakukan pengujian mendalam atas isi atau pun proses mendapatkan pengetahuan. Selama berabad-abad berikutnya, pemahaman tentang pengetahuan itu tetap terpelihara dan terjamin seutuhnya dalam pola pikir masyarakat Yunani. Sampai akhirnya di abad ke-5 SM., kemapanan pandangan itu diserang oleh kritikan tajam kaum Sofis. Kaum Sofis adalah kalangan terpelajar yang memulai penyebarluasan filsafat ke tengah-tengah masyarakat; keluar dari sekolah menuju pasar.51 Meraka adalah para guru, dan teladan berilmu. Seni berdebat adalah salah satu yang diajarkan Sofis, dan menjadi mata pelajaran favorit. Meskipun tidak memunculkan terobosan baru menyangkut pengembangan ilmu pengetahuan, kaum Sofis berjasa menyebarluaskan dan memelihara ide-ide besar dalam bidang saintifik yang sudah ada di Yunani. Mereka dianggap sebagai pembawa pertama dan terutama terjadinya pencerahan Yunani.52 Kaum Sofis mempelopori 50 D.W. Hamlyn, “Epistemology,” in Paul Edwards, ed., The Encyclopedia of Philosophy, vol., III (New York: Macmillan Publishing Co., Inc., and The Free Press, 1972), h. 9 51 W. Wildelband, History of Ancient Philosophy, h. 110 52 W. Wildelband, History of Ancient Philosophy, h, 111 36 perdebatan dan pengujian sejumlah tradisi yang sudah taken for granted oleh masyarakat. Mereka juga tak luput mempersoalkan hakikat pengetahuan manusia. Di kemudian hari, banyak orang yang merasa tertarik untuk mendapatkan pendidikan dan bimbingan dari mereka. Kaum muda banyak yang tertarik dengan ajaran Sofis. Fokus perhatian kaum Sofis adalah menjadikan masyarakat tersadar akan kegunaan ilmu pengetahuan. Mereka yang mendapat didikan Sofis bisa menjadi orator ulung, serta orang yang berbudaya. Hal ini sejalan dengan tugas utama mereka yakni, menghadirkan sains dan instruksi retorika dalam kehidupan publik.53 Kata Sofis sendiri dalam bahasa Yunani memiliki arti positif. Secara etimologis, Sofisme berasal dari kata Yunani σόφισµα (dibaca sophisma), dari kata σοφίζω (dibaca sophizo), berarti “saya bijaksana.” Kata σοφιστής (dibaca sophistēs) berarti orang yang melakukan kebijaksanaan, dan kata σοφός (dibaca sophόs) berarti orang bijak.54 Kaum Sofis di zaman Yunani kuno adalah sekelompok guru filsafat yang dikenal bijak. Kritik kaum Sofis dalam masalah pengetahuan, memainkan peranan cukup penting dalam wacana filsafat setelahnya. Saat ini kata Sofisme telah mengalami perubahan arti menjadi: argumentasi salah yang kelihatan valid,55 sebuah arti yang sangat berbeda dari makna asalnya Ajaran Sofis di belakang hari mendapat celaan dari masyarakat. Hal ini disebabkan pola pengajaran yang mereka terapkan. Pendekatan pengajaran yang dikembangkan Sofis, dibangun di atas kesadaran akan kebebasan dan demokrasi dalam kehidupan polis. Kekuatan retorika adalah kuncinya. Kecenderungan kebebasan yang mereka suarakan, akhirnya sampai pada titik ekstrem. Meraka 53 W. Wildelband, History of Ancient Philosophy, h. 113 http://en.wikipedia.org/wiki/Sophism, artikel diakses pada 01 Mei 2010 55 Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 530 54 37 alpa untuk memberikan sebuah batasan yang jelas, terkait dengan kebebasan. Apa yang mereka ajarkan akhirnya hanya berupa kemampuan berdebat tanpa arah dan tanpa tuntunan mencapai kehidupan yang bermartabat, kontras dengan gelar Sofis yang mereka sandang. Protagoras (481-411 SM.), tokoh Sofis yang paling berpengaruh misalnya, memiliki diktum yang terkenal: “manusia adalah ukuran segala-galanya”.56 Manusia dijadikan sebagai titik pangkal dan inti segala hal. Kebenaran dan kesalahan, baik dan buruk, dapat didefinisikan menurut kadar ukuran manusia. Namun, ia tidak memberikan kejelasan terkait apa yang dimaksud manusia dalam pemikirannya. Jika yang dikehendaki dari manusia adalah manusia secara umum, maka cakupannya menjadi sangat luas. Setiap orang akan memiliki sudut pandang berbeda dalam memahami arti manusia, sehingga ukuran manusia sebagai patokan segala-galanya akan berbeda satu sama lain. Pandangan semacam ini jelas menggiring pada relativisme.57 Implikasi yang sama berlaku dalam perdebatan tentang pengetahuan. Kaum Sofis tidak memberikan kaidah baku terkait masalah epistemologi, sehingga apa yang diajukan terjerumus ke dalam relativisme. Inilah batu sandungan kaum Sofis. Persoalan epistemologi yang menjadi perdebatan filosofis berkepanjangan, dipelopori oleh perdebatan ini. Perdebatan antara yang universal dan yang relatif. Salah satu contoh ekstrem terlihat misalnya dari Gorgias (483375 SM.), yang tidak mengakui bahwa manusia bisa mendapatkan pengetahuan. Ia beranggapan tiadanya realitas, dan jika pun ada, manusia sama sekali tidak 56 Plato menjelaskan pandangan Protagoras dalam dialog antara Socrates dan Theatetus. Irwin Edman, (ed.), The Works of Plato, trans., The Jowet Translation (New York: Simon and Schuster Inc., 1928), h. 494 57 Irwin Edman, (ed.), The Works of Plato, h. 495 38 mampu memahami realitas; jika pun bisa, maka manusia tidak bisa membicarakan pengetahuan tentang realitas itu.58 Namun, ia pun pada akhirnya tidak memberikan penyelesaian terkait persoalan ini. Sebagai akibat dari diktum terkenal Protagoras dan Grogias tersebut, sudah menjadi kebiasaan kaum Sofis adalah sikap mereka yang cenderung tidak konsisten dalam berpendapat. Hari ini mereka mengatakan bahwa “a” adalah baik, tapi esok ketika ditanya tentang “a”, jawaban yang diberikan akan berbeda. Seseorang akhirnya tidak bisa memegang perkataan dan pendirian Sofis, karena bagi mereka sesuatu dapat berubah sesuai dengan keadaan. Sebagaimana kondisi manusia, yang selalu mengalami perubahan sepanjang waktu. Kondisi fisik dan batin manusia yang berubah, turut pula mempengaruhi segalanya. Apa yang didapat hari ini, dapat menjadi baik, tapi dapat pula menjadi buruk di kemudian hari, tergantung bagaimana kondisi seseorang. Yang terpenting adalah cara dalam pembuktian. Argumentasi yang kuat, digunakan untuk meyakinkan orang dan memenangkan perdebatan. Karena sikap dan pendirian kaum Sofis di atas, masyarakat Yunani berangsur-angsur beralih memihak Socrates (470-399 SM.), dan para muridnya. Sebuah perjuangan yang melelahkan dengan harga yang teramat mahal—bahkan harus mengorbankan nyawa Socrates sendiri dengan meminum racun. Wacana epistemologi pada babak berikutnya dirumuskan lebih jelas oleh Plato (428-347 SM.)—murid Socrates yang paling setia. Plato-lah orang yang pertama kali mengajukan pertanyaan mendasar tentang epistemologi: “apa yang bisa kita ketahui?”59 Pertanyaan sederhana ini menandai babak baru diskursus filosofis. Di kemudian hari, pertanyaan akan jauh lebih kompleks dan rumit. Munculnya 58 D.W. Hamlyn, “Epistemology,” h. 9 Robert Ackermann, Theories of Knowledge: A Critical Introduction (New York: McGraw-Hill Company, 1965), h. 14 59 39 beragam gagasan dan ide bermuara untuk memecahkan kerumitan seputar pertanyaan tentang di manakah pengetahuan itu benar-benar dapat diperoleh, dan sebanyak apa pengetahuan bisa kita pikirkan? Apakah indera menyediakan pengetahuan? Bisakah akal memberikan pengetahuan? Apa hubungan antara pengetahuan dan kepercayaan yang benar? Sederetan pertanyaan inilah yang dibahas Plato dan para filsuf dalam diskursus filosofis di masa-masa berikutnya. Paparan epistemologi dalam pembahasan selanjutnya, lebih diarahkan kepada masa tertentu sejak perumusan awalnya, dan langsung dilarikan ke zaman modern. Periodisasi ini dipilih, mengingat akar sejarah kemunculannya sangat diperlukan guna memetakan perkembangannya dari awal, dan zaman di saat perdebatan itu begitu ramai ketika Immanuel Kant hidup. Tidak dijelaskannya perdebatan epistemologis di zaman pertengahan, karena perhatian pemikir pada masa itu yang kurang memberi ruang pada pengembangan filsafat secara mandiri. Sebagaimana disebutkan Bertrand Russel, filsafat pada masa itu berada di bawah kendali agama Kristen. Filsafat digunakan untuk membentengi peran agama, sebagai alat penalaran yang memperkokoh iman.60 Kebanyakan pemikir modern kerapkali mengritik hal itu, karena reduksi filsafat sebagai kajian dogmatis tidak membawa kebaikan sama sekali. Selain itu, alasan filsafat abad pertengahan tidak dibahas, mengingat dampaknya tidak terlalu signifikan bagi ulasan epistemologi Immanuel Kant. Sistem filsafat Kant, tidak menggali sumbernya dari filsafat abad pertengahan. Tapi, jelas memiliki akar yang kuat dari semangat kebangkitan Eropa pada masa modern. 60 Bertrand Russel, History of Western Philosophy and Its Connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present Day (London: George Allen and Unwin Ltd., 1961), h. 303-306 40 B. Rasionalisme Istilah rasionalisme berasal dari bahasa Latin ratio, bermakna akal. 61 Dalam diskursus filsafat, rasionalisme merujuk pada suatu kecenderungan para filsuf yang lebih menitikberatkan kemampuan akal sebagai kemampuan dalam menggapai pengetahuan. Akal dijadikan sumber utama dalam memperoleh pengetahuan. Sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya, Parmenides sempat menyinggung pandangan semacam ini. Namun, gagasan yang paling jelas dan luas baru bisa dilacak di zaman klasik pada pemikiran Plato. Plato menganggap bahwa pengetahuan yang diperoleh manusia bersumber dari dunia ide. Alam ide merupakan sumber segala sesuatu. Ia bersifat abadi, kekal, dan tak dapat diubah. Alam ide bersifat transenden. Segala sesuatu yang ada di alam semesta, merupakan perwujudan dari alam ide. Pengetahuan yang dihasilkan manusia, pada dasarnya merupakan penyingkapan atas apa yang ada di alam ide. Dunia ide adalah alam abadi, tempat segala sesuatu berasal. Ia menjadi prototype sesuatu di dunia. Jika a disebut “rumah” misalnya, maka sebenarnya konsep “rumah” sudah terdapat di dunia ide. Yang nampak di dunia adalah bayang-bayang atas konsep rumah yang abadi di alam ide. Pengetahuan bersifat universal. Ini berbeda dari keyakinan semata. Bagi Plato, pengetahuan berbeda dari keyakinan yang benar. Mungkin suatu pengetahuan terdiri dari keyakinan yang benar. Tapi keyakinan itu harus disertai dasar-dasar (logos),62 meskipun dalam prakteknya baik pengetahuan maupun keyakinan yang benar mengandung unsur kebaikan. Plato juga kurang memberikan penilaian positif pada indera. 61 Bernard Williams, “Rationalism,” in Paul Edwards, ed., The Encyclopedia of Philosophy, vol., VII (New York: Macmillan Publishing Co., Inc., and The Free Press, 1972), h. 69 62 D.W. Hamlyn, “Epistemology,” h. 12 41 Bagi Plato, hasil pencerapan indera hanyalah objek dari opini.63 Opini tidak dapat dianggap sebagai pengetahuan valid serta universal. Opini tidaklah netral, dan karenanya perlu dilakukan pengujian. Pengujian dilakukan dengan kontemplasi mendalam. Hasil kontemplasi merupakan bentuk pencitraan atas apa yang ada di dunia ide. Untuk dapat mengetahui hakekat sesuatu, maka orang perlu mengembangkan kemampuan penalarannya. Hal-hal yang dipikirkan manusia, sebenarnya sudah terlebih dahulu diketahui jiwa. Sesuatu yang inderawi mampu mengingatkan jiwa atas apa yang pernah diketahui, dan yang tidak diketahui oleh pengalaman: hakikat benda-benda. Manusia yang sudah terbebaskan dari unsur inderawi, mampu memahami hakekat segala sesuatu. Plato mencontohkan hal ini dengan kisah para tawanan yang berada di dalam gua, membelakangi api, menghadap ke dinding. Para tawanan mengira realitas yang sebenarnya adalah apa yang ditangkap oleh indera. Mereka pikir dunia adalah sejauh yang bisa dicerap indera; mereka tertipu dengan informasi inderawi. Padahal, dunia yang sebenarnya berada di luar ruang tahanan. Dunia yang sangat luas, tak terjangkau oleh indera. Plato mengisahkan bahwa seorang tawanan berhasil kabur. Ia keluar, dan menemukan kelapangan dunia. Ia kaget. Ia sadar bahwa dunia yang sebenarnya tidak seperti yang diyakini kawankawannya dalam tahanan. Karena tergerak kata hatinya, ia pun kembali untuk menyadarkan mereka. Tapi di saat kembali dan menceritakan kebenaran, ia malah dibenci. Mereka tak mempercayai apa yang dikatakannya. Akhirnya ia pergi keluar seorang diri.64 Begitulah kisah orang yang berusaha memberikan penjelasan tentang hakekat kebenaran. Ia akan menghadapi pelbagai macam 63 64 D.W. Hamlyn, “Epistemology”, h. 10 Bertrand Russel, History of Western Philosophy, h. 141 42 rintangan, misalnya masyarakat yang tidak mampu berpikir sejauh pengalaman mereka. Mereka selalu mencela ketika dikabarkan kebenaran. Di abad Modern, rasionalisme menemukan sentuhan baru dalam pemikiran René Descartes (1596-1650). Bapak filsafat Modern ini menjadi pelopor rasionalisme dalam perdebatan epistemologi. Bahkan, pengaruhnya masih dirasakan sampai zaman Kant pada abad ke-18. Kelak kritik-kritik Kant terhadap rasionalisme antara lain ditujukan untuk menjawab gagasan yang diajukan olehnya.65 Sistem epistemologi Descartes dimulai dengan sikap keragu-raguan. Pandangan semacam ini merupakan upaya sungguh-sungguh mencari akar yang kuat dan pasti sebagai fondasi bagi ilmu pengetahuan. Sistem Descartes disebut keraguan metodis (la doute methodique).66 Keraguan metodis adalah meragukan segala hal, termasuk prinsip-prinsip matematika, Tuhan bahkan mencakup eksistensi manusia. Pribadi manusia sebagai makhluk hidup, mungkin sekali tidak nyata. Mungkin kehidupan yang dialami saat ini hanya mimpi. Mungkin manusia tertipu, misalnya oleh setan yang sangat jahat.67 Tidak ada yang bisa menjamin bahwa apa yang dialami bebas dari tipu muslihat. Keraguan Descartes pada titik ini tidak diarahkan menjadi sikap skeptis terhadap realitas. Keraguan tersebut merupakan sesuatu yang berasal dari dalam manusia itu sendiri, dan tidak berasal dari luar. Keraguan ini menemukan legitimasinya dalam kerja pikiran manusia yang sadar. Kesadaran adalah hal pokok yang mendasari filsafat Barat pada masa ini. Kesadaran dibentuk dalam skema berpikir. Pikiran manusia diupayakan menemukan suatu asas yang pasti 65 Norman F. Cantor and Peter L. Klein (ed.), Seventeenth-Century Rationalism: Bacon and Descartes (Waltham: Blaisdell Publishing Company, 1969), h. 20 66 F. Budi Hardiman, Filsafat Barat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: Gramedia, 2007), h. 38 67 Norman F. Cantor and Peter L. Klein (ed.), Seventeenth-Century Rationalism, h. 120 43 dan memiliki legitimasi ilmiah yang kokoh. Apa yang disadari adalah kenyataan yang sebenarnya. Kesangsian adalah hal yang paling mungkin dialami manusia yang sadar diri. Keraguan adalah hal yang paling tidak mungkin diragukan, bahkan oleh orang yang paling ragu sekalipun. Keraguan itu dirumuskannya dalam kalimat, “cogito ergo sum: saya berpikir, maka saya ada”. Dalam karyanya, Discours de la Methode, Descartes berkata: “Thus, as our senses deceive us at times, I was ready to suppose that nothing was at all the way our senses represented them to be. As there are men who make mistakes in reasoning even on the simplest topics in geometry, I judge that I was as liable to error as any other, and rejected as false all the reasoning which I had previously accepted as valid demonstration. Finally, as the same percepts which we have when awake may come to us when asleep without their being true, I decided to suppose that nothing that had ever entered my mind was more real than the illusions of my dreams. But I soon noticed that while I thus wished to think everything false, it was necessarily true that I who thought so was something. Since this truth, “I think, therefore I am”, was so firm and assured that all the most extravagant suppositions of the skeptics were unable to shake it, I judged that I could safely accept it as the first principle of the philosophy I was seeking”.68 Descartes beranggapan bahwa manusia memiliki sebuah perangkat ide dalam dirinya. Dari ide ini kelak muncul sejumlah pengetahuan. Ide tersebut berjumlah tiga: ide bawaan (innate), ide yang didapat dari luar (adventitious), dan ide yang diciptakan (factitious).69 Ide bawaan berfungsi membentuk seperangkat 68 “Jadi, karena indera menipu kita, saya telah mengira-ngira bahwa tak ada yang dihadirkan sebagaimana adanya oleh indera. Sebagaimana orang-orang membuat kesalahankesalahan dalam penalaran bahkan tentang topik-topik paling sederhana dalam geometri, saya memutuskan bahwa saya kemungkinan besar salah seperti yang lain dan menolak semua penalaran palsu yang saya terima sebelumnya sebagai demonstrasi valid. Akhirnya, hal-hal yang dicerap ketika kita sadar, mungkin hadir kepada kita sama seperti ketika kita tidur. Saya memutuskan untuk mengira-ngira bahwa tak ada yang memasuki pikiran saya lebih daripada ilusi mimpi-mimpi saya. Namun, saya segera melihat bahwa ketika saya bermaksud memikirkan segalanya salah, hal itu cukup benar bahwa saya yang berpikir adalah sesuatu yang ada. Karena kebenaran ini, “saya berpikir, maka saya ada,” sangat kokoh dan terjamin bahwa orang yang paling luarbiasa skeptis pun tak mampu menggoyahkannya. Saya menilai bahwa saya dapat menerima hal ini secara aman sebagai prinsip filsafat pertama yang saya cari.” René Descartes, Discourse on Method and Meditations, trans., Laurence J. Lafleur (Indianapolis: Bobbs-Merrill Educational Publishing, 1982), h. 24 69 F. Cantor and Peter L. Klein (ed.), Seventeenth-Century Rationalism, h. 130 44 aturan dalam mendapatkan kepastian, kebenaran, yang berdasarkan asas-asas a priori dalam diri subjek. Ide kedua merupakan bentuk kesadaran atas benda-benda yang ada di luar diri subjek, semisal merasakan cuaca, mendengar kegaduhan, melihat gambaran sesuatu, dan sebagainya. Ide ketiga adalah pemikiran yang dihasilkan subjek. Dari ide yang dipaparkan di atas, Descartes melanjutkan suatu pembagian tentang substansi. Substansi tersebut terdiri dari Tuhan, pikiran, dan materi.70 Ketiga hal tersebut adalah klasifikasi tentang ide-ide bawaan, dan merupakan substansi-substansi berbeda. Pikiran manusia diketahui sebagai wujud substansi yang pasti dan melekat pada diri manusia sejak lahir. Materi dalam bentuk tubuh manusia juga tidak dapat disangsikan keberadaannya, maka pendirian tentang keberadaannya tidak dapat diragukan. Sedangkan ide Tuhan disebutnya pula bagian dari ide bawaan, karena ide Tuhan juga tak terbantahkan. Tuhan adalah titik tolak untuk mencapai kebenaran. Model pembagian seperti ini ditentang keras oleh tokoh rasionalis lain, misalnya Baruch de Spinoza (1632-1677). Spinoza menawarkan monisme71 yang mengatasi sistem Descartes. Ia mengajukan satu prinsip tunggal, substansi. Substansi menjadi sumber segalanya. Ide tentang Tuhan, materi, dan pikiran tidak lain adalah satu substansi. Mustahil bahwa terdapat ketiga substansi yang berbeda-beda, karena segala sesuatunya berada dalam kuasa Tuhan. Dengan begitu, semuanya adalah satu substansi. Tuhan tak jauh berbeda dari substansi tunggal, begitu pula alam materi. Tuhan yang menguasai alam, tidaklah berbeda dari alam yang dikuasainya. Oleh karena 70 Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy (Redland: American Book Company, 1951), h. 115 71 Monisme diartikan sebagai pandangan yang meyakini adanya kesatuan tunggal, dan menolak dualisme maupun pluralitas. Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 362 45 itu, yang ada adalah kesatuan dari substansi. Tuhan tidak lain dari alam, alam tidak lain dari Tuhan. Spinoza menyebutnya, Deus sive Natura (Tuhan atau alam).72 Tidak ada perbedaan yang jelas antara Tuhan dan alam. Kedua hal itu hanya mewakili dua persfektif yang berbeda dalam melihat substansi tersebut. Dengan ini Spinoza menggugat kemapanan pandangan agamawan ortodoks, dan mengajukan konsep panteisme. Dari kritikan panteismenya, Spinoza memiliki pandangan berbeda tentang epistemologi. Pengetahuan manusia menurutnya memiliki tiga tahap. Pertama tahap inderawi, tahap akal budi, dan tahap intuisi. Tahap inderawi memainkan peranan sebagai penghasil beragam opini. Opini membentuk seperangkat pandangan yang dihasilkan dari kemampuan inderawi. Namun, opini tidak bisa dijadikan pegangan. Untuk itulah dibutuhkan kemampuan akal budi untuk menentukan batas-batas sebuah informasi bisa dianggap sebagai pengetahuan. Dengan daya akal budi, manusia dapat memilah apa yang dirasa sesuai dengan penalaran rasionya. Rasio memainkan peran cukup signifikan sebagai pembentuk arah yang benar, terutama karena rasio membentuk fondasi bagi kaidah matematis; melalui akal manusia dapat mencapai pemahaman tentang keniscayaan dunia. Setelah itu, taraf intuisi memberikan jaminan terhadap hasil penalaran yang sudah mencapai tahap kepastian. Dalam taraf intuisi tidak ada kesalahan yang kerap kali terjadi dalam penalaran. Taraf intuisi bersifat seketika, dan melalui ini manusia mampu memahami keberadaan Tuhan. Namun, tahap intuisi ini jarang dikenakan pada seperangkat pengetahuan. Spinoza menjelaskan bahwa sangat sedikit sekali aspek-aspek dalam kehidupan yang bisa diketahui melalui tahap 72 F. Budi Hardiman, Filsafat Barat Modern, h. 48 46 yang terakhir ini. 73 Motif Spinoza sama seperti Descartes, mencoba menawarkan fondasi kokoh dalam pengembangan pengetahuan. Kedua pemikiran rasionalis di atas mendapat serangan dari Gottfried Wilhelm von Leibniz (1646-1716). Leibniz menyempurnakan kedua sistem sebelumnya. Bagi Leibniz, konsep tiga substansi yang digagas Descartes, maupun kesatuan subtansi adalah kurang tepat. Yang terdapat di alam sebenarnya adalah banyak substansi. Substansi-substansi itu tak terhingga, sebagai penyusun segala sesuatu. Substansi di sini merupakan suatu kekuatan primitif, yang tidak dapat diukur seperti halnya benda-benda fisik. Leibniz menyebutnya Monad. Monad adalah substansi sederhana, yang menjadi penyusun segala sesuatu. Setiap benda memiliki Monad. Ketika terjadi sesuatu, maka Monad benda-bendalah yang berinteraksi satu sama lain. Monad tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, namun keberadaannya dapat dipahami secara rasional. Dalam karyanya, La Monadologie, Leibniz berkata : “Further, there is no way of explaining how a Monad can be altered in quality or internally changed by any other created thing; since it is impossible to change the place of anything in it or to conceive in it any internal motion which could be produced, directed, increased or diminished therein, although all this is possible in the case of coumpounds, in which there are changes among the parts. The Monads have no windows, through which anything could come in or go out. Accidents cannot separate themselves from substances nor go about outside of them, as the sensible species of the Scholastics used to do. Thus neither substance nor accident can come into a Monad from outside.”74 73 Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy., h. 140 “Lebih jauh, tak ada cara menjelaskan bagaimana sebuah Monad dapat diubah dalam kualitas atau secara internal diubah oleh suatu benda lainnya yang diciptakan; karena tidak mungkin mengubah tempat sesuatu dalam Monad atau menerima dalam Monad gerakan internal yang bisa dihasilkan, diarahkan, ditingkatkan atau dikurangi di dalamnya, meskipun semua ini mungkin dalam kasus campuran, di mana terjadi perubahan di tiap-tiap bagiannya. Monad-monad tidak memiliki jendela, yang melaluinya sesuatu dapat datang atau pergi. Sifat-sifat tidak dapat memisahkan diri dari substansi-substansi, tidak juga keluar dari mereka, seperti konsep `spesies yang diketahui secara inderawi`, yang digunakan kalangan Skolastik. Jadi, tidak substansi maupun sifat, bisa datang dari luar masuk ke dalam Monad.” Leibniz, The Monadology and Other Philosophical Writings, trans., Robert Latta (Oxford: Oxford University Press, 1968), h. 219-220 74 47 Leibniz mengajukan rumusan baru dalam masalah epistemologi. Bagi Leibniz, konsep pengetahuan terbagi menjadi dua: pengetahuan tentang kebenaran abadi, dan pengetahuan tentang kebenaran yang tergantung observasi indera (based on sense observation).75 Meskipun melakukan pembagian pengetahuan, kunci pemikiran Leibniz adalah deduksi rasional, dan bukan observasi empiris. Pengetahuan model pertama memberikan kejelasan proposisi yang dibentuk dari prinsip-prinsip kepastian, dan kontradiksi. Dua hal itu dapat langsung diketahui dengan hanya melihat putusan yang membentuk suatu pernyataan. Koherensi antar kalimat dengan kalimat menjadi tolok ukur benar tidaknya suatu pernyataan. Kebenaran dihasilkan dengan menelusuri kesesuaian premis-premis dalam susunan kalimat, dengan suatu pembuktian-diri (selfevident). Pengetahuan yang termasuk kategori pertama misalnya ilmu logika dan matematika. Dalam logika dan matematika, segala kebenaran tidak didapatkan dari hasil penelusuran di luar prinsip-prinsipnya. Tidak perlu mencari kesesuaian antara teori dengan fakta. Yang dicari dalam menentukan benar tidaknya suatu kesimpulan adalah dengan memeriksa susunan argumentasi, yang membuktikan suatu rumusan ilmiah. Hasil akhir rumusan itu terlepas dari observasi atas fakta alamiah. Dengan begitu, pengetahuan ini tidak memberikan masukan apapun atas fenomena alamiah, tapi hanya bisa diterapkan secara sementara pada batas-batas eksistensial.76 Sedangkan pengetahuan model kedua, didapatkan dengan meneliti dan menelusuri sejumlah fakta. Kebenaran pengetahuan ini diperoleh melalui observasi inderawi. Dengan begitu, pengetahuan model kedua ini sangat berbeda 75 76 Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy, h. 156 Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy, h. 155 48 dari yang pertama. Analisis fakta-fakta sangat diperlukan guna menghasilkan kebenaran. Pengetahuan ini tidak hanya didapat dengan susunan proposisi pembuktian diri, meskipun dituntun dengan suatu kaidah rasional. Leibniz sependapat dengan para rasionalis pada umumnya, tentang ide-ide bawaan. Tapi, baginya kemampuan indera bukan sama sekali tidak memiliki andil dalam membentuk pengetahuan. Kemampuan indera bisa menyampaikan hal-hal partikular, dan spesifik. Namun, indera menghadirkan penglihatan sekilas yang suram tentang kebenaran intelektual. Sebaliknya rasio, lebih menjamin kejelasan dan keselarasan. Bagi Leibniz, kebenaran tidak didapat melalui penelusuran dari ketiadaan. Secara potensial, kebenaran telah tertanam dalam diri manusia. Kerja pikiran adalah sebuah proses penyelidikan, yang sebenarnya merupakan aktualisasi kapasitas sifat dasar manusia.77 Dari uraian di atas, pemikir kalangan rasionalis telah menanamkan pengaruhnya secara signifikan terhadap proses berpikir induktif. Penalaran semacam ini dimulai dari hal khusus, untuk kemudian dikembangkan kepada halhal yang bersifat umum. Model pemikiran seperti ini sangat menentukan dalam pengembangan matematika. Namun, kerangka rasionalisme juga mencakup bidang ilmu-ilmu lainnya, semisal teologi. Teologi sebagai sebuah keyakinan, dijelaskan dalam kerangka berpikir rasional. Para agamawan berusaha meneguhkan kebenaran agama mereka dengan pembuktian kepastian matematis. Dengan begitu, mereka yakin dapat mensejajarkan agama dengan ilmu pengtahuan lainnya. Kelak cara berpikir semacam ini ditentang oleh Kant. Kant sama sekali tidak menganggap teologi menemukan klaim kebenarannya, untuk 77 Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy, h. 156 49 dianggap sejajar dengan ilmu pengetahuan, dengan cara seperti itu. Tapi, Kant lebih jauh menempatkan agama berada di luar bingkai ilmu pengetahuan. C. Empirisme Empirisme berasal dari bahasa Yunani, έµπειρία (dibaca: empeiria), diterjemahkan Latin menjadi experientia, yang darinya diturunkan kata dalam bahasa Inggris experience (pengalaman).78 Dalam kajian filsafat, empirisme adalah sebuah aliran filsafat yang meyakini bahwa pengetahuan manusia diperoleh dari pengalaman. Pengalaman memainkan peranan penting dalam proses terciptanya pemahaman; munculnya pengetahuan didapat dari hasil observasi inderawi; kebenaran didapat dari analisis dan penelusuran fakta-fakta. Di zaman klasik, pandangan semacam ini dijelaskan secara sistematis dalam pemikiran Aristoteles (384-322 SM). Kendati telah menjadi murid Plato selama 20 tahun, landasan berpikir Aristoteles sangat berbeda dari gurunya. Filsuf kelahiran Stagira ini memiliki pandangan yang justru sangat bertolak belakang dari Plato.79 Aristoteles lebih meminati bidang biologi ketimbang matematika. Arsitoteles sama sekali tidak terpengaruh—bahkan mengkritik—pemikiran Plato. Bagi Aristoteles, gagasan Plato dengan alam ide yang transenden adalah sebuah kekeliruan. Konsep alam ide hanyalah sebuah “omong kosong”. Tidak ada pembuktian memadai tentang hal itu. Kekeliruan Plato sama persis dengan kekeliruan para pemikir sebelumnya. 78 D.W. Hamlyn, “Empiricism,” in Paul Edwards, ed., The Encyclopedia of Philosophy, vol., II (New York: Macmillan Publishing Co., Inc., and The Free Press, 1972), h. 498 79 Secara umum karya Aristoteles terbagi menjadi tiga kategori: 1) fragmen-fragmen yang tidak selesai. Karya-karya ini dihasilkan selama belajar di Akademia Plato; 2) Tulisan kompilasi, merupakan kaya-karya saintifik ilmiahnya; 3) Karya-karya didaktik yang ditujukan untuk pengajaran di Lyceum. Dalam kategori pertama, tulisan Aristoteles sangat bernuansa Platonisme, berbentuk dialog. W. Wildelband, History of Ancient Philosophy, h. 238-244 50 Aristoteles menganggap bahwa pengetahuan bersifat universal,80 sama halnya dengan kebenaran dan kesalahan. Pengetahuan manusia sama sekali tidak berhubungan dengan sesuatu yang transenden. Ia dapat diperoleh siapa saja, tanpa memandang status, dan lepas dari unsur-unsur adikodrati. Bagi Aristoteles, pengetahun dirumuskan dalam suatu keputusan yang berkaitan dengan penangkapan hubungan esensial. Mengetahui tentang sesuatu berarti mengetahui sesuatu dapat dimasukkan dalam genus, dan secara lebih spesifik dalam spesies tertentu, serta hal esensial darinya.81 Hal yang esensial ini adalah sebuah tata tertib (order), yang menjadikannya berbeda dari sesuatu yang bukan pengetahuan. Genus dan spesies merupakan istilah yang digunakan Aristoteles, guna merujuk seperangkat dalam tata tertib tersebut. Pengetahuan ilmiah meniscayakan adanya hubungan sebab akibat antara suatu keadaan, dengan keadaan lainnya. Aristoteles membagi sebab dalam penyelidikan ilmiah menjadi empat: 1) bentuk yang dapat didefinisikan; 2) bagian yang mengharuskan adanya sebab akibat (bisa diartikan juga sebagai sebab material); 3) sebab efisien; 4) tujuan.82 Keempat sebab ini menjadi dasar kokoh suatu kaidah pengetahuan ilmiah, dalam berbagai macam disiplin keilmuan. Bagi Aristoteles, pengetahuan diperoleh lewat daya tangkap jiwa terhadap bentuk benda-benda partikular. Jiwa itu sendiri bukanlah sebuah entitas spiritual. Tapi, sebuah subtansi dalam pengertian yang berkesesuian dengan formula definitif esensi sesuatu.83 Jiwa adalah ke-apa-an yang paling esensial dari sesuatu. Setiap makhluk bernyawa memiliki jiwa. Jiwa mengatur seperangkat aturan 80 McKeon (ed.), Introduction to Aristotle, h. 70 D.W. Hamlyn, “Epistemology,” h. 13 82 McKeon (ed.), Introduction to Aristotle, h. 88 83 McKeon (ed.), Introduction to Aristotle, h. 172 81 51 fakultas yang dimiliki tubuh, misalnya mata. Penglihatan adalah jiwanya, atau esensi mata, sedangkan wujud mata adalah materi. Mata berkesesuaian dengan formula yang mengaturnya. Jika tanpa jiwa, maka mata tidak dapat melihat. Tanpa jiwa, mata hanya menjadi sebuah nama, tanpa kemampuan daya lihat.84 Tubuh memiliki organ-organ indera yang cukup beragam, tidak hanya penglihatan. Dengan kemampuan indera, jiwa dapat memperoleh tangkapan partikular atas bentuk beragam macam benda. Jiwa tidak mungkin berpikir tanpa sebuah gambaran atau imajinasi.85 Aristoteles menjelaskan bahwa proses munculnya imajinasi ibarat udara yang membatasi pergerakan pupil mata, dalam suatu cara tertentu dalam penglihatan. Setelah itu pupil mentransmisikan hasil modifikasi tersebut pada jiwa, di mana tujuan utamanya adalah mendapatkan suatu makna tertentu. Hal yang hampir sama berlaku pada kemampuan indera lainnya, dengan perangkatnya masing-masing. Kemampuan indera adalah sebuah aksi potensial organ tubuh. Organ ini bekerja dengan aturan yang ada dalam tubuh manusia. Setiap indera memiliki objek dan kemampuannya sendiri. Indera tidak dapat diberlakukan layaknya sebuah alat yang tidak memiliki perangkat dan objek yang jelas. Setiap indera memiliki fungsi tertentu, dengan objek yang berbeda-beda dan pasti. Indera penglihatan memiliki kemampuan khusus untuk dapat memperoleh pencerapan terhadap objek warna, ukuran dan bentuk. Telinga memiliki kemampuan khusus yang berkaitan dengan suara, dan begitu seterusnya setiap indera memiliki kemampuan tersendiri dan objek yang berbeda. Namun, terdapat beberapa indera 84 85 McKeon (ed.), Introduction to Aristotle, h. 173 McKeon (ed.), Introduction to Aristotle, h. 223 52 yang memiliki objek bersama,86 misalnya indera peraba dan indera penglihatan dapat memperoleh pengertian tentang bentuk dan ukuran. Ada kesamaan atas kemampuan dan objek dari beberapa indera. Hal itu alamiah. Itu semua menandakan bahwa setiap indera saling berkaitan satu sama lain. Semua perangkat indera dapat berkerja bersama. Malahan Aristoteles menegaskan ketika sebuah indera bekerja dalam batas-batasnya sendiri, dengan seperangkat aturan yang terpisah dari yang lain, maka pada titik ini akan rentan terjadinya kesalahan. Setiap susunan pengetahuan didapatkan lewat kombinasi antar kemampuan beragam indera yang ada dalam tubuh manusia. Tentunya dengan ketentuan status indera tertentu yang lebih dominan, dari yang lainnya. Untuk menghasilkan bentuk pengetahuan yang pasti, hasil pencerapan indera tersebut kemudian dipadukan dengan putusan dalam pikiran. Eksistensi manusia berbeda dari binatang, dalam hal penguasaan seni dan penalaran.87 Penalaran merupakan sesuatu yang sudah menjadi keutamanaan manusia. Pengetahuan membutuhkan pemahaman utuh, dan dapat dipertanggungjawabkan. Keselarasan antara kerja pikiran dengan fakta-fakta sangat diperlukan. Dengan begitu, kemungkinan kesalahan indera dalam mendapatkan informasi, dapat dihindari. Pikiran memberikan putusan atas apa yang diperoleh oleh indera terhadap beragam bentuk objek. Aristoteles mengaitkan hubungan antara indera dan pikiran. Ia membagi pikiran dalam dua bentuk: pikiran pasif dan pikiran aktif. Pikiran pasif bekerja dalam batas-batas tertentu yang memungkinkannya bekerja dalam tatanan potensialitas. Dalam hal ini, pikiran hanya dapat merasakan suatu unsur tertentu yang dipahami, bukan sebagai entitas yang dapat dipisahkan, 86 87 McKeon (ed.), Introduction to Aristotle, h. 188 McKeon (ed.), Introduction to Aristotle, h. 324-325 53 misalnya tentang wujud air. Pikiran pasif tidak mampu membedakan antara potensi air, dengan air yang sudah diaktualkan zatnya. Sedangkan pikiran aktif, bekerja dalam batas-batas yang memungkinkan suatu pemahaman utuh tentang objek. Pikiran dalam hal ini tidak tercampur, dan dapat dipisahkan, berada dalam batas-batas aktivitas esensial alamiahnya.88 Informasi tentang entitas objek didapat dari inderawi, yang bekerja dengan fungsi-fungsinya dalam batas-batas penerimaan. Informasi lalu dirumuskan dalam skema pembagian yang jelas, antara yang potensial dan aktual. Pengetahuan aktual identik dengan objeknya. Dalam hal individual, pengetahuan potensial lebih dulu ada secara waktu dari pengetahuan aktual. Namun, pengetahuan aktual bersifat universal, dan dalam ruang lingkup alam semesta, sama sekali tidak yang lebih dulu atau pun terkemudian secara waktu. Pikiran bebas dari unsur waktu. Pikiran menampakkan sesuatu apa adanya, dan tidak lebih. Ia terus-menerus bekerja, dan tanpanya tak ada yang bisa dipikirkan. 89 Tokoh empirisme yang berpengaruh cukup signifikan di abad modern adalah John Locke (1632-1704). Locke tidak setuju dengan pandangan rasionalis, misalnya tentang ide-ide bawaan dan daya inderawi yang kurang diperhatikan. Bagi Locke, pikiran manusia ketika dilahirkan adalah dalam keadaan kosong, tabula rasa. Ide bawaan mengandung sejumlah persoalan, semisal perbedaan antara si cerdas dan si idiot yang keduanya sejak lahir memiliki kesempatan sama dalam menggapai pengetahuan.90 Pengetahuan manusia berkembang seiring 88 McKeon (ed.), Introduction to Aristotle, h. 220 McKeon (ed.), Introduction to Aristotle, h. 221 90 John Locke, An Essay Concerning Human Understanding in Focus, Garry Fuller, etc., ed., (London: Routledge, 2000), h. 50 89 54 dengan interaksi dan pendidikan yang diraih.91 Menurutnya, pikiran manusia ketika lahir semacam kertas putih, kosong. Pikiran mendapat pengetahuan setelah manusia mulai menggunakan inderanya. Locke menulis: “The senses at first let in particular ides, and furnish the yet empty cabinet: and the mind by degree growing familiar with some of them, they are lodged in memory, and names got to them. Afterward the mind proceeding farther, abstracts them, and by degree learns the use of general names.”92 Locke memandang bahwa ruang adalah hasil penyusunan ide-ide abstrak dari penginderaan yang sangat rumit, bersifat partikular, yang kemudian menjadi sebuah bentuk kompleks. Ide dengan begitu di bentuk dalam ruang yang berasal dari faktor eksternal. Menurut Locke, manusia mendapat ide lewat sensasi dan refleksi. Dengan sensasi manusia bisa mengetahui hal-hal semacam warna, suara, cuaca, dan sebagainya. Melalui refleksi, manusia dapat menjadi sadar terhadap keadaan internalnya, semisal keinginan, keraguan, pemikiran, dan seterusnya. 93 Kedua hal itu menjalankan fungsi bersama membentuk pengetahuan; kombinasi kedua unsur tersebut dapat menghasil pemahaman mendalam. Melalui penyatuan itu, manusia dapat menerima ide-ide kesatuan, keteraturan, kesakitan, dan lainlain. Hal itu semuanya dibentuk dalam suatu susunan kerja pikiran. Pikiran bekerja dalam hal menerima dan mengolah informasi apa adanya. Hasil kerja pikiran disebut ide. Apa yang diterima pikiran, tetap tidak sama dengan sesuatu yang sebenarnya. Hasil pencerapan indera, menjadi sumber utama dalam proses pengetahuan. Ide dalam pandangan Locke, terbagi menjadi dua: ide 91 John Locke, An Essay Concerning Human Understanding in Focus, h. 59-60 “Pertama, indera mengambil ide-ide tertentu, dan memenuhi susunan kosong: dan pikiran meningkat sesuai derajatnya mengenali ide-ide tersebut, yang di tempatkan dalam memori, dan menamai mereka. Pada kelanjutannya, pikiran berlanjut mengabstraksikan mereka, dan dengan (sesuai peningkatan) derajat mempelajari kegunaan nama-nama umum tersebut.” John Locke, An Essay Concerning Human Understanding in Focus, h. 51 93 John Locke, An Essay Concerning Human Understanding in Focus, h. 67-68 92 55 sederhana dan ide kompleks.94 Ide sederhana adalah infromasi yang dihasilkan pencerapan inderawi, atas fakta-fakta partikular. Data partikular ini kemudian menjadi sumber bagi suatu skema yang lebih luas, yakni ide kompleks. Ide kompleks berasal dari sejumlah kumpulan ide-ide partikular yang diangkat menjadi skala luas,95 misalnya fakta-fakta tertentu tentang manusia. Manusia terdiri dari kelompok-kelompok, dan tipe yang berbeda-beda. Ada tipe kurus, gemuk, tinggi dan pendek. Ini disebut fakta-fakta partikular. Dari data itu kemudian dirumuskan suatu benang merah, yang menggambarkan konsep manusia secara umum. Hasil terakhir ini disebut ide kompleks. Dalam kinerja untuk menghasilkan ide, pikiran didorong oleh suatu kekuatan tersembunyi yang bersifat metafisik. Kekuatan ini disebut dengan kualitas.96 Locke membagi antara kualitas primer dan kualitas sekunder. Kualitas primer merupakan sesuatu yang melekat pada objek, tidak bisa dipisahkan dan diubah. Ia membentuk seperangkat aturan yang mengarahkan bagaimana objek dapat ditangkap subjek. Kualitas primer adalah asas objek, misalnya gerakan, perluasan, durasi waktu, dan kepadatan. Adapun kualitas sekunder adalah unsurunsur subjektif, yang tidak memiliki realitas metafisik. Ia tidak terdapat di dalam objek. Kualitas sekunder adalah kekuatan yang muncul dalam diri manusia berupa berbagai macam sensasi, yang dihasilkan oleh kualitas primer.97 Ia bersifat relatif, misalnya warna, suara, rasa, dan sebagainya. Lewat kualitas sekunder, nyala api dapat menghasilkan sensasi panas dan membakar. Sensasi ini muncul dalam diri 94 John Locke, An Essay Concerning Human Understanding in Focus, h. 71 John Locke, An Essay Concerning Human Understanding in Focus, h. 76 96 Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy, h. 185 97 John Locke, An Essay Concerning Human Understanding in Focus, h. 144 95 56 manusia. Sensasi api tersebut dihasilkan dari kualitas primer yang berada dalam api, yang kemudian diterima oleh subjek. Pembagian Locke atas ide dan kualitas, tidak bisa diterima oleh George Berkeley (1685-1753)—salah satu tokoh empiris. Bagi Berkeley, ide dan pengalaman adalah sama. Tak ada perbedaan antara persepsi, kualitas, ide, dan pengalaman. Objek-objek disebut ada, karena keberadaannya yang bisa dipersepsi indera. Segala bentuk hal-hal metafisik, pada dasarnya tidak berwujud, karena tidak bisa diketahui lewat indera. Terkenal diktum dari Berkeley: Esse est percipi (to be is to be perceived).98 Maksud kalimat tersebut adalah sesuatu ada wujudnya karena dapat diterima indera; objek-objek di luar manusia dianggap ada selama dapat diterima indera. Objek-objek tersebut merupakan substansi material, yang diterima keberadaannya berkat persepsi indera. Sehingga jika persepsi itu tidak ada, maka objek material tidak ada sama sekali. Kesadaran subjek dalam mempersepsi, menentukan batas-batas keberadaan benda-benda. Putusan rasional tentang suatu objek, ditentukan berdasarkan pengetahuan atas objek tersebut. Dengan begitu, dunia tidak lebih dari kesan-kesan. Namun, Berkeley menghadapi sejumlah persoalan khususnya menyangkut mekanisme kerja indera, dan ketergantungan terhadapnya. Oleh karena itu, ia kemudian memberi jalan keluar dengan mengemukakan adanya pikiran atau roh tak terbatas, yang diidentifikasi sebagai Tuhan. Tuhan tidak saja diartikan sebagai pencipta segala sesautu. Bagi Berkeley, Tuhan yang membuat manusia memiliki indera dan mampu mempergunakan inderanya.99 98 99 Robert Ackermann, Theories of Knowledge, h. 149 Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 66 57 Pandangan Berkeley di atas diradikalkan oleh tokoh empiris lainnya, David Hume (1711-1776). Gaya pemikiran Hume menggambarkan sikap skeptik. Ia sepakat dengan kedua tokoh empiris Inggris terkait tidak adanya ide-ide bawaan. Namun, Hume mengarahkan kritik terhadap kecenderungan yang masih menyelimuti pandangan empiris pada umumnya, semisal masalah substansi, istilah-istilah metafisika, dan kausalitas. Mengenai masalah susbtansi yang masih diyakini Locke, Hume memandangnya tidak lebih dari sekedar persepsi. Konsep substansi yang diketahui manusia, sebenarnya hanyalah persepsi atas benda-benda material. Yang mampu diketahui pikiran hanyalah persepsi-persepsi tersebut,100 dan tidak lebih. Objek di luar kesadaran manusia tidak termasuk yang dipikirkan. Di samping itu, menurut Hume tidak ada hubungan yang jelas antara persepsi dengan objek-objek yang diindera. Bukti-bukti keterkaitan antara objek dengan persepsi subjek tidak bisa ditemukan secara jelas. Yang kemudian dijelaskan Hume adalah bagaimana sebenarnya mekanisme kerja pikiran dalam menghasilkan keberadaan konsep-konsep substansi. Bagi Hume, pemahaman tentang substansi didapat ketika terjadi interaksi dengan benda-benda, misalnya bola billiard berbentuk bulat, merah, dan padat. Dari situ pikiran menangkap kesatuan konsep tentang bola tersebut. Pada dasarnya keberadaan substansi bola itu sebatas ada dalam pikiran. Persepsi yang dialami subjek bersifat khayali. Substansi adalah kumpulan persepsi atas benda. Begitu pula misalnya dengan kesadaan manusia. Ke-aku-an dipahami sebagai faktor penunjang keberadaan manusia yang sadar. Kesadaran ini pada gilirannya bermasalah. Kesadaran hanya dialami ketika keadaan tertentu, yakni saat persepsi- 100 Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy, h. 218 58 persepsi bekerja. Kesadaran hanya keadaan sementara. Ketika tidur, atau setelah meninggal, orang tidak lagi menyadari keberadaannya, karena persepsi-persepsi menghilang.101 Hume memandang bahwa kesadaran manusia pun termasuk kumpulan dari persepsi, a bundle of perceptions.102 Serangan keras Hume berikutnya adalah tentang kausalitas. Hume menolak adanya ketetapan standar hukum ini. Baginya mustahil dijelaskan secara empiris saling ketergantungan suatu kejadian terhadap kejadian lain. Pemahaman sebab-akibat pada dasarnya berasal dari kesan-kesan inderawi.103 Suatu peristiwa yang terjadi diiringi peristiwa lainnya, tidak bisa langsung disimpulkan ketetapan hukum universal. Yang justru terjadi adalah keberurutan peristiwa, misalnya api membakar kertas. Pada peristiwa itu tidak bisa disimpulkan terdapat hukum bahwa api membakar kertas yang niscaya. Hal itu hanya berada dalam batas kemungkinan. Peristiwa terbakarnya kertas ketika bersentuhan dengan api, tidak bisa dijadikan standar adanya kausalitas yang pasti. 101 David Hume, A Treatise of Human Nature (Middlesex: Penguin Book, 1985), h. 300 Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy, h. 220 103 David Hume, A Treatise of Human Nature, h. 131 102 59 BAB IV KONSEP TRANSENDENTALISME A. Kritik atas Rasionalisme dan Empirisme Sistem epistemologis Immanuel Kant berupaya mengatasi persoalan yang ditinggalkan dan tidak terselesaikan dari kedua kutub, baik rasionalisme maupun empirisme. Ia berhasil memadukan unsur dari keduanya, menjadi sebuah sistem yang lebih kuat. Dalam beberapa hal, sebagian kalangan menilainya hanya sebagai eklektisis: orang yang hanya mengadopsi “sisa-sisa” pemikiran, kemudian meramunya kembali dengan sedikit tambahan, sehingga terlihat lebih bagus. Namun, pendapat itu kurang tepat. Kant menghasilkan pemikirannya dalam proyek filosofis yang disebutnya “filsafat kritis”, yang menandai arah baru upaya pencarian sistem epistemologi yang lebih jelas dan kokoh.104 Kritik dalam pemikiran Kant, dipahami sebagai sebuah cara berfilsafat yang dipertentangkan dengan dogmatisme. Kalangan dogmatis adalah para filsuf yang sudah mengandaikan begitu saja kemampuan rasio dalam mengolah pengetahuan. Sedangkan kritisisme merupakan sebuah terobosan dalam filsafat yang mempertanyakan fungsi rasio, atau syarat-syarat kemungkinan (die Bedigung der Möglichkeit) pengetahuan.105 Selain membahas sistem filsafatnya, Kant terlebih juga menguji sampai di mana batas-batas yang jelas dari akal, guna menghasilkan pengetahuan. Ia tidak begitu saja menerima kemampuan akal. Tapi, mencoba mendudukkannya lebih proporsional. Dengan begitu, sistem filsafat Kant berbeda dari sistem manapun. 104 Georges Dicker, Kant’s Theory of Knowledge: An Analytical Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2004), h. 3 105 F. Budi Hardiman, Filsafat Barat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: Gramedia, 2007), h. 133 60 Dalam beberapa hal, Kant sependapat dengan kaum rasionalis. Tapi, tidak seutuhnya menolak pandangan kaum empiris. Kant sepakat misalnya dengan pengalaman yang memberi isi pada pengetahuan. Tidak diragukan bahwa pengalaman adalah sumber pengetahuan. Namun, tidak semua unsur pengetahuan muncul dari pengalaman.106 Kant juga mendukung aspek a priori dari subjek. Kedudukan Kant dengan kaum rasionalis adalah menegaskan batas-batas a priori pengetahuan. Kant menolak pandangan kaum rasionalis, yang meyakini adanya pengetahuan bawaan: Tuhan, keabadian jiwa, dan kebebasan.107 Baginya, klaim atas hal tersebut tidak bisa dibuktikan. Pengetahuan membutuhkan bukti dan fakta, sehingga tidak hanya konsep abstrak. Pengetahuan berkaitan dengan data empiris yang bisa diuji. Pengetahuan ilmiah tidak bersifat subjektif, atau eksklusif, sehingga dapat diamati dengan kaidah tertentu oleh siapa pun. Namun, Kant tidak menolak ketiga konsep metafisis tersebut. Secara alamiah, manusia memiliki kecenderungan meyakini sesuatu yang abstrak. Halhal yang abstrak contohnya sangat banyak. Semisal klaim-klaim moralitas, berguna untuk memberikan arah bagi kehidupan. Bisa jadi bagi sebagian orang, moralitas menuntun orang mendapatkan kebahagiaan. Metafisika sendiri menurut Kant disebut “natural predisposition” (kecenderungan alamiah).108 Kant tidak menolak adanya konsep metafisis apapun. Tapi, ia menempatkannya dalam bingkai di luar pengetahuan. Metafisika tidak bisa dikategorikan sebagai pengetahuan. Bagi Kant, pengetahuan hanya meluas berdasarkan pengalaman yang diraih. Sedangkan metafisika, berkaitan dengan sesuatu di luar hal fisik. 106 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans., Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), h. 127 107 Georges Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 4 108 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 147 61 Dalam posisi ini, kedudukan Kant lebih condong dengan kaum empiris. Kaum empiris menganggap bahwa pengetahuan bisa didapat hanya lewat pengalaman. Akan tetapi, Kant menolak prinsip utama kaum empiris bahwa pengetahuan hanya berasal dari persepsi inderawi atau dari kesadaran introspektif. Baginya, manusia memiliki unsur a priori yang bisa membentuk pemahaman, untuk menghasilkan pengetahuan. Kant lebih jauh mempertahankan pengetahuan dalam taraf “commonsense” sehari-hari.109 Dari sini dapat dikatakan bahwa serangan tajam Hume terhadap pengetahuan dalam taraf “commonsense”,110 diangkat kembali oleh Kant. Konsep-konsep a priori tersebut bisa menghasilkan pengetahuan, hanya jika diterapkan dalam pengalaman aktual. Konsep-konsep tersebut tidak menghasilkan pengetahuan metafisis, dan sama sekali lepas dari unsur-unsur abstrak. Dengan kata lain, konsep sebab akibat misalnya, tidak bisa diberlakukan untuk pengujian atas keberadaan Tuhan. Tuhan adalah konsep abstrak, yang mengacu pada sesuatu yang transenden. Tuhan berada di luar batas pengalaman, sehingga tidak bisa diselidiki dengan perangkat a priori tersebut. Menurut beberapa komentatornya, proyek epistemologis Kant dapat diringkas dalam upaya menjawab pertanyaan: Bagaimana putusan sintetik a priori itu mungkin?111 Kant menegaskan pernyataannya sebagai berikut: “One has already gained a great deal if one can bring a multitude of investigations under the formula of a single problem. For one thereby not only lightens one’s own task, by determining it precisely, but also the 109 Georges Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 4 Istilah commonsense sebagai pemahaman yang berasal dari pikiran sehat sehari-hari yang sudah menjadi kebiasaan, misalnya keniscayaan kausalitas. Hal itu yang mendapat serangan Hume. Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy (London: Penguin Books Ltd., 2000), h. 256 111 Salah seorang pengkaji Kant, P.F. Strawson, memiliki pandangan berbeda dari beberapa komentator lainnya. Ia tidak mereduksi proyek epistemologis Kant pada upaya menjawab putusan sintetik a priori, melainkan pada pertanyaan: Apa yang bisa kita ketahui tentang struktur pengalaman yang bisa dipahami oleh kita sendiri? Georges Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 45 110 62 judgment of anyone else who wants to examine whether we have satisfied our plan or not. The real problem of pure reason is now contained in the question: How are synthetic judgments a priori possible?”112 Para filsuf sebelum Kant, baik kalangan rasionalis, maupun empiris, membantah kemungkinan adanya putusan sintetik a priori. Kalangan rasionalis menganggapnya tidak mungkin. Sebaliknya, kalangan empiris menganggap hal itu sebagai tidak bisa dipahami.113 Secara garis besar, kalangan rasionalis dan empiris setuju terdapat putusan analitik a priori, dan sintetik a posteriori. Putusan analitik diartikan sebagai putusan yang kebenaran dari putusan itu didapatkan dari analisis kata-kata yang menyusun putusan tersebut. Putusan semacam ini hanya berkaitan dengan kegunaan linguistik, dan atau menjelaskan konsep komponen yang sebenarnya sudah berada di dalam subjek. Putusan ini tidak memberi nilai tambah apa-apa terhadap realitas di luar subjek. Dengan kata lain, predikat dalam putusan itu sudah berada dalam subjeknya. Putusan semacam ini disebut juga putusan klarifikasi.114 Kant mencontohkan putusan ini dalam kalimat, “tubuh meluas” (memiliki bentuk dan ukuran). Dalam kalimat ini, kebenaran infomasi sudah didapat dalam subjeknya, dan bahkan tidak memerlukan observasi. Pasalnya, setiap tubuh sudah menjadi keniscayaan memiliki ukuran dan bentuk. Bahkan jika misalnya tidak ada tubuh sama sekali, putusan tersebut bisa diterima.115 Oleh karena itu, putusan analitik bersifat a priori. 112 “Seseorang sudah mendapatkan kemajuan besar, jika ia bisa membawa keragaman penyelidikan di bawah formula dalam sebuah masalah. Karena dengan begitu, ia tidak hanya mencerahkan tugasnya sendiri, dengan menentukannya secara tepat, tapi juga putusan dari orang lain yang menginginkan untuk menguji apakah ia telah memuaskan rencana kita atau tidak. Problem yang sebenarnya dari akal murni, sekarang terdapat dalam pertanyaan berikut: Bagaimana putusan sintetik a priori itu mungkin?” Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 146 113 Georges Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 16 114 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 141 115 Georges Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 13 63 Sedangkan putusan sintetik adalah sejenis putusan yang predikatnya mampu menambah sesuatu kebenaran baru pada subjek. Putusan semacam ini disebut juga putusan amplifikasi.116 Dalam putusan ini, predikat tidak berada dalam subjeknya. Contohnya dalam kalimat, “semua tubuh berat” (memiliki berat). Predikat putusan tersebut, berisi informasi baru yang sebelumnya tidak terdapat di dalam subjek. Konsep berat, berhubungan dengan sesuatu di luar subjek. Selain itu, putusan ini mencakup pula semua putusan yang berkaitan dengan pengalaman. Karena berisi informasi baru, maka realitas empiris ikut menentukan kebenaran putusan tersebut. Hal ini mengindikasikan, jika kalimat, “semua tubuh berat”, dinyatakan dalam ruang yang tidak ada daya gravitasi, maka putusan tersebut dapat dianggap tidak benar.117 Selanjutnya, antara kaum rasionalis dan empiris sepakat tidak adanya putusan analitik a posteriori. Putusan analitik berkaitan dengan analisis konsep komponen subjek, sehingga tidak menambah informasi baru. Putusan analitik pada gilirannya selalu a priori. Sedangkan a posteriori merujuk pada pembuktian kebenaran dengan menambah informasi baru di luar subjek, serta dikaitkan dengan kenyataan empiris. Istilah a priori dan a posteriori merupakan dua bentuk penalaran berbeda, yang sudah dimulai sejak masa Aristoteles.118 Kant sepakat dengan kaum rasionalis dan empiris mengenai ketiga putusan di atas. Namun, ia menolak bahwa putusan sintetik a priori tidak mungkin. Kant mencontohkan misalnya penalaran matematika, perhitungan 7+5 = 12. Jumlah 12 adalah hasil penalaran yang tidak diperoleh dari analisis angka 7 dan 5. Jumlah 12 adalah informasi baru. Selain itu, proposisi matematis selalu bersifat a priori, 116 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 141 Georges Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 13 118 Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 33 117 64 karena mereka membawa keniscayaan dalam dirinya, yang tidak didapat dari aspek empiris.119 Proposisi aritmatika selalu sintetis. Oleh karena itu, selain analisis atas konsep, Kant mengatakan bahwa jumlah 12 tersebut diperoleh dengan bantuan intuisi. Selain matematika, contoh lain misalnya, dalam penalaran pengetahuan alam (Physica). Prinsip-prinsip fisika dalam dirinya berbentuk putusan sintetik a priori. Misalnya, proposisi “semua perubahan dalam dunia fisik tidak merubah kuantitas materi”, atau “semua hubungan efek yang bergerak dan efek yang berlawanan selalu sama”. Kedua proposisi tersebut, menurut Kant adalah putusan sintetik a priori. Pada proposisi pertama, konsep “berubah” tidak diperoleh dari analisis atas konsep materi. Materi dapat dikenali dengan kehadirannya di dalam ruang, sehingga perubahan berarti menambahkan sesuatu di luar subjek. Begitu pula konsep “sama” dalam proposisi kedua, tidak diperoleh atas analisis semata, tetapi, melampaui batas konsep yang dituju. Dengan begitu, kedua proposisi tersebut adalah hasil sintesis. Selain itu, konsep berubah pada proposisi pertama dan konsep sama dalam proposisi kedua, tidak diperoleh melalui penginderaan secara langsung. Tapi, sudah merupakan hasil pemikiran. Dengan demikian, berlaku a priori.120 Contoh lainnya adalah metafisika. Misalnya putusan, “dunia diciptakan oleh Tuhan”, “manusia memiliki jiwa”, atau “di dunia ini terdapat kebebasan”. Bagi Kant, konsep tentang Tuhan, keabadian jiwa, kebebasan, dan sebagainya adalah sesuatu yang tidak bisa dibuktikan lewat pengalaman, karena abstrak. Kant menyerang kaum rasionalis yang menyangkal ketidakmungkinan putusan hal 119 120 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 144 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 145 65 semacam itu, berdasarkan pertimbangan analitik. Ia juga sekaligus membantah kalangan empiris, yang menentang ketidakmungkinannya dari sisi a posteriori. Tapi, ketiga konsep: Tuhan, jiwa, dan kebebasan, merupakan informasi yang tidak diperoleh dari pengalaman, dan mampu memberi informasi baru sehingga berupa sintesis, atau lengkapnya berbentuk sintetik a priori.121 Di sini perlu dipahami bahwa a priori dalam pengertian Kant bukan berarti sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan bukti-bukti empiris. Konsep dalam matematika atau pun dalam ilmu alam, kendati a priori namun selalu bisa diwujudkan dalam realitas empiris. Yang dimaksud a priori di sini adalah dapat diketahui secara independen atau tidak tergantung pada pengalaman. Namun, bukan berarti lepas sama sekali dari pengalaman. Mungkin seseorang mengetahui konsep dalam ilmu alam, atau perhitungan bahwa 2+6 = 8 dari membacanya di dalam buku, atau mungkin seseorang tahu dan paham pernyataan dalam kaidah tertentu yang memerlukan pembelajaran, sehingga mencakup proses yang melibatkan pengalaman. Oleh karena itu, maksud pengetahuan independen dari pengalaman adalah bisa diketahui tanpa pengalaman, kecuali untuk pengalaman yang diperlukan untuk mempelajari istilah-istilah penyusun konsep tertentu.122 B. Konsep Ruang dan Waktu Kant menegaskan pentingnya kedudukan pengalaman, sebagai sebuah cara agar konsep-konsep a priori bisa diwujudkan dalam dunia nyata. Bagi Kant, pemikiran membutuhkan konsep, sekaligus sesuatu agar konsep itu bisa diterapkan. Kant berkata bahwa pemikiran tanpa isi adalah kosong, dan intuisi 121 122 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 146 George Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 7-8 66 tanpa konsep adalah buta.123 Misalnya, seseorang berpikir tentang rumah. Rumah dalam pikiran orang tersebut adalah sebuah konsep. Agar konsep bisa diketahui, dan dipahami, harus mampu diwujudkan dalam tataran empiris. Sesuatu bisa dinyatakan dalam tataran empiris, ketika seseorang sadar akan kehidupannya. Kesadaran tersebut berhubungan dengan objek di dalam pengalaman. Menurut Kant, kesadaran diperoleh dari pengalaman, dan tidak ada kesadaran yang mendahului pengalaman. Bahkan dengan pengalaman kesadaran dimulai.124 Kesadaran itu selalu terarah kepada objek. Untuk dapat menangkap realitas, dibutuhkan kemampuan sensibilitas. Daya sensibiltas ini mengumpulkan sejumlah data dari luar, yang dengannya seseorang mampu mendapatkan informasi, guna dipikirkan untuk mendapatkan pemahaman. Bagi Kant, sensibilitas adalah kapasitas (penerimaan) untuk mencapai representasi atas objekobjek melalui suatu cara tertentu. Fungsi sensibiltas hanya menangkap dan tidak memberi penilaian atas penampakkan. Kant menjelaskan bagaimana sebuah objek dapat diketahui subjek. Para filsuf sebelumnya berpendapat bahwa setiap bentuk penampakkan objek merupakan suatu cara di mana subjek yang mengamati objek. Subjek dengan susunan kesadaran tertentu, mendatangi objek untuk memperoleh pemahaman atas objek. Dalam pandangan Kant, yang terjadi adalah sebaliknya. Justru objek yang menampakkan dirinya kepada subjek. Subjek sebagai pengamat, menangkap adanya representasi dari objek. Pandangan ini dianggapnya sebagai sebuah terobosan baru dalam filsafat. Ia menyamakannya dengan revolusi Copernicus dalam ilmu alam. Kant berkata: 123 124 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 193-194 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 136 67 “Hence let us once try whether we do not get farther with the problems of metaphysics by assuming that the object must conform to our cognition, which would agree better with the requested possibility of an a priori cognition of them, which is to establish something about objects before they are given to us. This would be just like the first thoughts of Copernicus, who, when he did not make a good progress in the explanation of the celestial motions if he assumed that the entire celestial host revolves around the observer, tried to see if he might not have greater success if he made the observer revolve and left the stars at rest. Now in metaphysics we can try in a similar way regarding the intuition of objects. If intuition has to conform to the constitution of objects, then I do not see how we can know anything of them a priori; but if the object (as an object of the senses) conforms to the constitution of our faculty of intuition, then I can very well represent this possibility to myself.”125 Daya sensibilitas merupakan kemampuan subjektif setiap individu. Efek dari objek atas kapasitas representasi yang dipengaruhi objek, oleh Kant disebut sensasi (sensation). Sedangkan intuisi yang berhubungan dengan objek melalui sensasi disebut empiris (empirical), dan objek-objek intuisi empiris yang sudah ditentukan batas-batasnya disebut penampakkan (appearance).126 Dalam proses hadirnya penampakkan, menurut Kant, terdapat dua bentuk fungsi murni intuisi sebagai prinsip kesadaran a priori: ruang dan waktu.127 Dua hal ini dijelaskan sebagai bagian dari estetika transendental. Dengan ini, posisi Kant cukup jelas. Ia menolak rasionalisme yang mengutamakan aspek a priori, sekaligus tidak 125 “Oleh karena itu, mari kita upayakan apakah kita tidak melangkah lebih jauh dengan problem metafisik dengan mengasumsikan bahwa objek harus menyesuaikan dengan kesadaran kita, yang lebih baik dengan kemungkinan sebuah kesadaran a priori tentang mereka, yang harus menyusun sesuatu tentang objek sebelum mereka hadir kepada kita. Ini akan menjadi seperti pemikiran pertama Kopernikus, ketika ia tidak membuat kemajuan dalam pergerakan benda-benda langit, jika ia mengasumsikan semua benda-benda langit berevolusi mengitari pengamat (manusia di bumi), berusaha melihat apakah ia tidak memiliki keberhasilan besar jika membuat pengamat berevolusi dan membiarkan bintang-bintang tetap diam. Sekarang, dalam metafisik kita bisa mengusahakan hal yang sama berkenaan dengan intuisi objek. Jika intuisi harus berkesesuaian dengan susunan objek, saya tidak mengerti bagaimana mengetahui mereka secara a priori; tapi jika objek (sebagai objek inderawi) menyesuaikan dengan susunan fakultas intuisi kita, maka saya bisa dengan sangat baik menghadirkan kemungkinan ini kepada diri saya sendiri. ” Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 110 126 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 155, 172 127 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 174 68 sependapat dengan empirisme yang memutlakkan pengalaman. Bagi Kant, kedua hal itu akan saling berpengaruh dalam terbentuknya pengetahuan. Ruang bukan konsep empiris. Tapi, tempat segala bentuk penginderaan ditentukan batas-batas keluasannya. Dalam ruang, objek dapat dihubungkan satu dengan lainnya, dalam penampakkan dan bukan dalam benda pada dirinya. Ruang tidak bersifat diskursif. Tapi, intuisi murni a priori, yang menjadi dasar semua intuisi luar. Jika tidak ada ruang, maka tidak ada yang bisa hadir kepada subjek.128 Sama seperti ruang, waktu bukan konsep empiris yang didapat dari pengalaman. Waktu adalah kondisi formal a priori penampakkan secara umum. Secara tegas Kant menyatakan bahwa waktu adalah sesuatu yang riil, yakni sebuah bentuk riil dari intuisi terdalam.129 Waktu mendasari kemungkinan prinsip hubungan apodiktik waktu, atau aksioma secara umum. Dengan waktu, aktualisasi setiap penampakkan menjadi mungkin. Waktu hanya satu, tidak simultan, tetapi beruntut. Waktu tidak bisa menentukan batas penampakkan luar, atau bentuk dan posisi. Tapi, hanya menyajikan hubungan representasi keadaan terdalam.130 Hubungan antara ruang dan waktu adalah sebagai berikut. Waktu adalah kondisi a priori semua penampakkan secara umum. Waktu menentukan kondisi terdalam, yang menengahi kondisi terdalam dengan penampakkan luar. Sedangkan ruang, sebagai fungsi murni a priori intuisi luar, terbatas sebagai sebuah kondisi murni dengan intuisi luar. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa setiap penampakan luar berada di dalam ruang dan ditentukan secara a priori batas-batasnya oleh ruang. Dalam kaitan ini, semua penampakkan secara umum, yakni semua objek indera dalam keadaan terdalam berada di dalam waktu, dan Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 175 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 182 130 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 180 128 129 69 secara tepatnya berhubungan dengan waktu.131 Penegasan Kant tentang ruang dan waktu merupakan upaya mengukuhkan validitas objektif semua objek penampakkan. Kant tidak sependapat dengan Newton yang menganggap ruang dan waktu itu riil dan absolut. Bagi Newton, ruang dan waktu dianggap riil karena berada di dunia nyata dan terlepas dari pikiran manapun, kecuali pikiran Tuhan. Disebut absolut, karena ruang dan waktu ada secara independen dan melekat pada diri subjek. Andaikata tidak ada hal-hal empiris pun, maka keduanya tetap ada. Kant juga tidak sependapat dengan Leibniz yang berpendapat bahwa ruang dan waktu keduanya adalah ideal dan relatif. Bagi Leibniz, ruang dan waktu hanya berkaitan dengan penampakan monad, sehingga bersifat ideal dan tidak riil. Namun, Leibniz tidak beranggapan bahwa ruang dan waktu tidak nyata. Ia hanya menganggap hal itu relatif.132 Contoh yang biasa ia berikan adalah fenomena pelangi. Bagi Leibniz, munculnya pelangi merupakan sebuah fenomena yang tidak bisa dikatakan riil. Hal itu hanya penampakan monad yang bersifat ideal, karena berkaitan secara relatif dengan sudut pandang tiap-tiap individu. Menurut Kant, ruang dan waktu secara empiris riil dan secara transendental ideal. 133 Disebut riil, karena ruang dan waktu berkaitan dengan penampakan objek-objek luar. Meskipun kedudukan penampakan tersebut sudah berupa sintesis antara unsur a posteriori dan a priori, namun penampakan adalah hal yang nyata dan bukan ilusi. Dengan penampakan itu, subjek mendapat informasi yang akan diteruskan ke dalam struktur a priori lain dalam dirinya. 131 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 181 Georges Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 28 133 Frederick Copleston, A History of Philosophy, vol. 6, Wolff to Kant (Wellwood: Burn & Oates, 1999), h. 241 132 70 Disebut ideal, karena keduanya berada dalam tatanan a priori subjek. Ruang dan waktu memberi validitas dan menentukan batas-batas tertentu sejumlah data yang didapat dari luar. Salah seorang komentator Kant, H.J. Paton, menggambarkan kedua hal itu seperti kaca mata biru yang dikenakan pada setiap orang.134 Dengan kaca mata itu, apa pun yang dilihat subjek, akan terlihat dan disesuaikan dengan kondisi kaca mata yang berwarna biru. Dengan demikian, penampakan sudah merupakan sebuah sintesis atas unsur-unsur a posteriori dan a priori. Menurut Kant, pandangan bahwa ruang dan waktu adalah absolut, tidak bisa dibenarkan. Ia menjelaskan: “Those, however, who assert the absolute reality of space and time, whether they assume it to be subsisting or only inhering, must themselves come into conflict with the principles of experience. For if they decide in favor of the first (which is generally the position of the mathematical investigators of nature), then they must assume two eternal and infinite self-subsisting non-entities (space and time), which exist (yet without there being anything real) only in order to comprehend everything real within themselves. If they adopt the second position (as do some metaphysicians of nature), and hold space and time to be relation of appearance (next to or successive to one another) that are abstracted from experience though confusedly represented in this abstraction, then they must dispute the validity or at least the apodictic certainty of a priori mathematical doctrines in regard to real things (e.g. in space), since this certainty does not occur a posteriori, and on this view the a priori concepts of space and time are only creatures of imagination, the origin of which must really be sought in experience, out of whose abstracted relations imagination has made something that, to be sure, contains what is general in them but that cannot occur without the restrictions that nature has attached to them.”135 134 Georges Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 30 “Mereka, bagaimana pun, yang menetapkan realitas absolut tentang ruang dan waktu, apakah mereka mengasumsikannya untuk menjadi ketetapan atau hanya sesuatu yang melekat, menyebabkan mereka jatuh dalam konflik dengan prinsip-prinsip pengalaman. Karena jika mereka memutuskan memilih yang pertama (yang secara umum posisi penyelidik alam matematika), maka mereka harus mengasumsikan dua non-entitas yang mempertahankan diri, tak terbatas dan abadi (ruang dan waktu), yang ada (namun tanpa sesuatu yang riil) hanya agar meliputi segala yang riil dalam diri mereka sendiri. Namun, jika mereka mengadopsi pilihan kedua (sebagaimana yang dilakukan metafisikus alam), dan menganggap ruang dan waktu menjadi hubungan dari penampakan (berikut rangkaian dari satu ke yang lain) yang diabtraksikan dari pengalaman, malahan dihadirkan secara membingungkan dalam abstraksi ini, maka mereka harus membantah validitas atau setidaknya kepastian apodiktik dari doktrin-doktrin a priori matematika yang menyesuaikan dengan hal-hal yang riil (misalnya di dalam ruang), karena kepastian ini tidak terjadi secara aposteriori, dan dalam pandangan ini, konsep-konsep a priori ruang dan waktu 135 71 Penilaian absolut tentang ruang dan waktu tidak memberi penjelasan yang memadai, karena hanya menimbulkan sejumlah kebingungan menyangkut prinsipprinsip pengalaman. Dengan alasan ini pula, Kant menentang pendapat idealisme dogmatik. Misalnya, pandangan Berkeley tentang objek dalam ruang yang hanya besifat imajinasi dan keberadaannya sangat ditentukan struktur subjek. Kant dengan sangat tegas mengatakan bahwa realitas yang ditangkap subjek adalah nyata, bukan ilusi, dan dapat menambah informasi kepada subjek menyangkut realitas terluar. Penolakan Kant terhadap Berkeley seperti penolakannya terhadap anggapan ruang dan waktu adalah relatif. Argumentasi yang diajukannya semisal dalam perhitungan geometri. Kant mencontohkan misalnya perhitungan, “garis lurus adalah jarak terpendek antara dua titik”.136 Geometri adalah ilmu yang menentukan sifat-sifat ruang secara sintetik dan a priori. Dalam perhitungan di atas, predikat “jarak terpendek antara dua titik”, tidak diperoleh dari data inderawi, melainkan a priori. Tidak juga predikat itu berisi di dalam subjeknya; tidak didapat dari analisis atas subjek. Tapi, predikat tersebut mampu memberikan informasi baru atas subjeknya, sehingga bersifat sintetik. Oleh karena itu, tidak benar bahwa perhitungan geometri didapat dari pandangan relatif. Tapi, berdasarkan pemikiran objektif tiap-tiap individu. Dengan demikian Kant mampu menghadirkan bukti kokoh bahwa ruang begitu ideal, dalam arti ia tidak didapat dari objek empiris, dan hanya diperoleh melalui intuisi subjek.137 hanya bentuk-bentuk majinasi. Asal usul tentangnya harus dicari dalam pengalaman, keluar dari imajinasi hubungan yang diabstrasikan membuat sesuatu, yakin, berisi apa yang umum dalam mereka. Tapi, itu tidak bisa terjadi tanpa pembatasan yang secara alamiah telah melekat kepada mereka. ” Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 184 136 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 145 137 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 176 72 Dengan ruang dan waktu, Kant menganggap segala sesuatu yang diperoleh daya sensibiltas dari luar, sudah ditentukan batas-batasnya oleh kedua fungsi a priori tersebut. Dengan begitu, penampakan menjadi sesuatu yang sudah tidak murni benda pada dirinya. Kant menganggap penampakkan hanya sebuah fenomena, bukan noumena. Fenomena berarti penampakkan, sejauh yang bisa ditangkap subjek.138 Noumena adalah wujud benda pada dirinya sendiri.139 Fenomena berbeda dari noumena. Wujud benda pada dirinya sendiri adalah sesuatu yang masih bersifat misteri, dan berada di luar jangkauan manusia. Selanjutnya, setelah penampakan objek berada dalam ruang lingkup a priori tersebut, ada hal lain yang harus dipenuhi sebelum bisa menghasilkan pengetahuan. Kant menyebutnya dengan istilah kategori sebagai turunan dari putusan-putusan. C. Konsep Dua Belas Kategori sebagai Turunan (Derivation) Dua Belas Jenis Putusan Menurut para pengkajinya, sistem filsafat Kant disebut juga filsafat transendental.140 Transendental di sini diartikan sebagai sistem, yang menghendaki upaya pencarian a priori dalam menjelaskan proses terjadinya pengetahuan. Unsur-unsur a priori tersebut menandai sebuah penelusuran menyeluruh terkait hakikat subjek atas pengetahuan yang diperolehnya. Pada tahap ini, Kant menggunakan kata Verstand atau pemahaman—sebagai tahap kedua yang harus dilalui untuk munculnya pengetahuan setelah tahap indera (Sinnlichkeit). 138 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 360 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 362 140 F. Budi Hardiman, Filsafat Barat Modern, h. I32 139 73 Kant memberikan batas yang jelas tentang kedudukan kesadaran a priori subjek atas kehidupannya. Kesadaran a priori itu disebut transendental, karena lepas dari objek empiris. Namun, tidak setiap kesadaran a priori disebut transendental. Hanya kesadaran yang memberikan arah bagaimana representasi, baik intuisi atau konsep, dapat diterapkan secara keseluruhan a priori. Bukan ruang, waktu, atau penentuan-penentuan geometri yang disebut representasi transendental. Melainkan hanya kesadaran terhadap representasi-representasi halhal tersebut, yang hakikat asal-usulnya tidak diperoleh dari pengalaman, dan kemungkinan mereka dapat dihubungkan secara a priori terhadap objek-objek empiris. Oleh karena itu, objek-objek sensibiltas yang berada di dalam ruang maupun waktu, tidak bisa disebut transendental, melainkan empiris. Tapi, fungsi ruang dan waktu yang memberi batas terhadap objek-objek tersebut, disebut transendental. Singkat kata, yang membedakan antara yang transendental dan yang empiris berkaitan dengan kritik kesadaran, dan tidak berkaitan dengan hubungan mereka dengan objek-objeknya.141 Dari sini dengan jelas bahwa filsafat transendental Kant, mengupas aspek-aspek a priori subjek secara lebih tajam dan dalam. Bagi Kant, hal terpenting bagi munculnya kesadaran terletak pada: Pertama, penerimaan representasi objek-objek. Kedua, fakultas yang bekerja memahami sebuah objek melalui representasi tersebut. Melalui yang pertama, segala objek hadir dan diterima oleh daya sensibilitas. Melalui yang kedua, segala representasi itu dipikirkan dalam skala luas hubungan-hubungannya yang disesuaikan dengan pikiran. Intuisi dan konsep adalah dua hal yang menyusun 141 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 196 74 elemen-elemen terciptanya kesadaran. Objek-objek yang berada dalam representasi, disebut empiris jika masih tercampur dengan sensasi. Sedangkan jika sensasi sudah disisihkan dari representasi, maka disebut murni. Hal terakhir ini disebut materi kesadaran.142 Untuk terciptanya kesadaran, tidak saja membutuhkan intuisi, tapi juga adanya konsep. Intuisi murni hanya berisi bentukbentuk sesuatu yang diintuisikan. Sedangkan konsep murni adalah bentuk pemikiran dari objek secara umum. Kedua hal ini bersifat a priori. Fakultas yang bekerja untuk pemikiran objek intuisi adalah pemahaman. Bagi Kant, jika tidak ada sensibilitas, maka tak ada objek yang bisa hadir. Sebaliknya, tanpa pemahaman, tidak ada objek yang bisa dipikirkan. Kedua hal tersebut tidak bisa disamakan, dengan fungsinya masing-masing yang tetap dan tidak berubah. Pemahaman tidak bisa mengintuisi sesuatu, dan indera tidak bisa memikirkan objek-objek yang diperolehnya. Hanya melalui perpaduan keduanya, kesadaran bisa muncul.143 Lebih jauh Kant menganggap bahwa fungsi a priori kedua hal tersebut begitu jelas, tapi perlu kehati-hatian agar tidak bercampur satu sama lain. Ia menganalogikan kedua hal tersebut dengan pengetahuan tentang aturan sensibiltas secara umum, yakni estetika, dan pengetahuan tentang aturanaturan pemahaman secara umum, yakni logika. Perhatian Kant selanjutnya berkaitan dengan logika kesadaran subjek. Logika kesadaran subjek merupakan proses pemikiran dalam mengolah data untuk menghasilkan pengetahuan. Jika kita mengikuti penjelasan Kant secara menyeluruh, akan didapati bahwa ia membagi logika menjadi tiga bentuk: logika umum, logika sebagai kegunaan khusus dari pemahaman, dan logika transendental. Yang pertama 142 143 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 193 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 194 75 disebut logika dasar. Pengetahuan ini berisi aturan-aturan pemikiran secara absolut, tanpa memperhatikan perbedaan perhatian tentang objeknya. Logika umum bisa berbentuk logika murni dan terapan. Melalui yang pertama, kondisi empiris diuji oleh pemahaman, dari hal-hal seperti pengaruh inderawi, imajinasi, hukum memori, kebiasaan, kecenderungan, dan sebagainya. Logika murni berkaitan dengan prinsip-prinsip a priori yang diberlakukan secara ketat, dan menjadi canon (hukum) pemahaman serta nalar.144 Namun, perhatiannya hanya tertuju pada formalitas kegunaan mereka dengan data empiris atau transendental. Logika umum disebut terapan, jika diarahkan pada seperangkat aturan atas kegunaan kondisi empiris subjektif seseorang. Logika ini memiliki seperangkat prinsip empiris, meskipun perhatiannya menyangkut kegunaan pemahaman tanpa memperhatikan perbedaan objeknya. Singkat kata, logika ini bukan canon pemahaman, bukan juga organon bagi suatu pengetahuan, melainkan hanya berupa chatartic (pembersih)145 pemahaman umum.146 Logika yang kedua disebut juga organon, atau logika sebagai alat bagi sebuah pengetahuan. Logika ini berisi aturan pemikiran, terkait kebenaran mengenai objek perhatiannya. Dengan logika ini, pengetahuan seseorang bisa mengalami peningkatan: menemukan terobosan berharga untuk kesempurnaan dalam penyelidikan dan pengembangan ilmu. Perhatian Kant kemudian lebih tertuju pada bentuk logika yang terakhir, yakni logika transendental, sebagai bagian tertinggi dari logika kesadaran. 144 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 194 Kata cathartic merujuk pada kalimat catharsis yang pernah digunakan Aristoteles mengenai efek emosional yang dihasilkan alunan musik dalam upacara keagamaan. Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 89-90 146 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 194-195 145 76 Logika transendental menjadi arah bagi penjelasan kenapa munculnya konsep a priori dalam diri subjek. Logika transendental adalah pengetahuan yang menentukan asal-usul, wilayah, dan validitas objektif kesadaran. Logika transendental hanya berurusan dengan hukum-hukum pemahaman dan akal, sejauh kedua hal ini berkaitan dengan objek-objek secara a priori. Logika transendental tidak seperti halnya logika umum, atau tipe logika kedua yang berfungsi sebagai alat. Logika transendental berhubungan, baik dengan hal empiris maupun kesadaran akal dengan tanpa perbedaan,147 serta bukan menjadi alat semata. Secara keseluruhan, logika transendental terbagi menjadi dua: analitik transendental dan dialektik transendental. Analitik transendental merupakan bagian dari logika transendental yang menguraikan elemen-elemen kesadaran murni pemahaman dan prinsip-prinsip, yang tanpanya tak ada objek yang bisa dipikirkan.148 Objek dalam hal ini sudah terlepas dari unsur luar dan berada dalam wilayah a priori. Kant membandingkan logika transendental ini dengan estetika transendental. Yang pertama berurusan dengan upaya memisahkan pemahaman dari unsur-unsur luar, dan yang kedua mengisolasi data inderawi dalam ruang dan waktu dari sensibilitas. Kegunaan analitik transendental adalah menemukan suatu hukum dan prinsip murni, mengenai kesadaran subjek atas pemahaman yang telah diisolasi dari aspek empirisnya. Dengan begitu, pemahaman akan menemukan legitimasi keabsahan informasi mengenai hubungan antara objeknya secara a priori. Adapun dialektik transendental berkaitan dengan kritik dialektik ilusi pemahaman. Di sini kritik diarahkan kepada pemahaman dan akal, yang kerap kali 147 148 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 196-197 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 199 77 mendasarkan perkiraan pada ilusi. Kritik ini bertujuan agar pemahaman lepas dari pengaruh cara berpikir yang keliru, dengan menemukan kesalahan perkiraan yang didapat tanpa penelusuran memadai terkait klaim kebenarannya. Kritik diakhiri pada titik kulminasinya, guna mencapai prinsip-prinsip transendental yang memberi penilaian dan mengevaluasi pemahaman murni, menuntun pemahaman melawan tipu muslihat yang menyesatkan.149 Dialektika transendental adalah proses terakhir setelah analitik transendental. Pada tahap ini, semua yang sudah dimurnikan pada wilayah analitik, disatukan guna mencapai kesatuan menyeluruh. Dalam analitik transendetal, analisis ditujukan pada kesadaran murni a priori ke dalam elemen-elemen kesadaran pemahaman murni. Kant menjelaskan beberapa poin terkait analisis tersebut sebagai berikut: 1) konsep-konsep yang digunakan bersifat murni dan tidak empiris; 2) konsep tersebut bukan berasal dari intuisi, ataupun sensibilitas, melainkan pemikiran dan pemahaman; 3) merupakan konsep elementer dan bisa secara jelas dibedakan dari turunannya, atau dari percampurannya; 4) skema konsep tersebut bersifat sempurna dan secara keseluruhan menghabiskan keseluruhan pemahaman murni. 150 Dari kejelasan konsep ini, pemahaman murni tidak saja memisahkan dirinya dari sesuatu yang empiris, tapi bahkan dari sensibilitas. Melalui konsep murni, akan didapatkan keseluruhan kesadaran pemahaman. Pembahasan berikutnya akan menguraikan seputar konsep pemahaman murni, dan setelahnya dijelaskan prinsip-prinsip yang mengatur konsep tersebut. Antara konsep pemahaman murni dan prinsip-prinsipnya harus ada hubungan yang memadai. Hubungan itu berjalan timbal-balik, dan menandai 149 150 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 200 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 201 78 kejelasan antara kesempurnaan keseluruhannya secara a priori. Bagi Kant, munculnya kesadaran diperoleh lewat pemahaman tentang sesuatu yang sudah terbentuk dalam konsep-konsep. Munculnya konsep tersebut, terjadi setelah adanya penelusuran secara mendalam terkait beragam hal. Dengan begitu, kesadaran diperoleh melalui diskursif, bukan intuitif.151 Ia hadir diupayakan dengan kemampuan akal, bukan seketika dari luar. Setiap konsep dalam pemahaman bekerja dengan fungsinya masingmasing. Melalui fungsi tersebut, pemahaman bekerja di bawah kesatuan aksi terhadap representasi yang berbeda-beda di bawah satu kesamaan (a common one).152 Konsep-konsep tersebut berjalan sebagai pemikiran yang spontan, dan seketika. Perbedaannya dengan intuisi, yakni intuisi bekerja dalam tahap penerimaan kesan-kesan dari luar secara seketika. Sedangkan konsep, merupakan pemikiran secara langsung terhadap data yang sudah diserap indera. Pemikiran membuat putusan terhadap data yang sudah didapat dari luar. Selain itu, yang membedakan intuisi dari konsep a priori, yakni intuisi hanya berhubungan dengan objek yang diintuisikan. Adapun konsep, selain berhubungan dengan objek yang dipikirkan, juga berhubungan dengan sejumlah representasi yang lain dalam konsep-konsep yang beragam. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya penghubung antara konsep dengan objek-objek representasi tersebut. Kesadaran terhadap objek, tidak serta merta datang secara langsung, tapi diupayakan lewat pemikiran, berupa putusan. Putusan menengahi antara konsep dan objek representasi. Menurut Kant, dalam setiap putusan terdapat konsep yang berkaitan dengan banyak hal, termasuk yang hadir tanpa diupayakan (given). Misalnya 151 152 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 205 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 205 79 putusan, “semua tubuh bisa dibagi”. Menurut Kant, konsep bisa dibagi berhubungan dengan konsep-konsep yang lain, misalnya dengan tubuh, bentuk, berat, atau penampakan—sesuatu yang hadir tanpa diupayakan. Objek dalam putusan tersebut, dihadirkan melalui konsep dalam keterbagian. Semua putusan pada dasarnya sama seperti itu. Contoh lain seperti konsep, “kuda”. Untuk bisa mengerti tentang kuda, contoh empiris bisa dengan mudah dihadirkan, yakni berupa bentuk fisik dari kuda, dan penjelasan bahwa kuda adalah hewan herbivora. Namun, fakta empiris saja tidak cukup. Putusan mengarahkan sejumlah penyelidikan abstrak, yang mengikat setiap jenis hewan yang menyerupai konsep kuda. Dalam hal ini, diperlukan penyelidikan secara logis, bahwa jika A adalah B, dan B adalah C, maka A adalah C. Penjelasan silogistik semacam ini, menurut Kant tidak didapatkan dari fakta empiris, melainkan murni a priori.153 Putusan apapun selalu merupakan fungsi-fungsi kesatuan di antara representasi, yang memungkinkan adanya representasi hal yang lebih luas atas hal-hal yang bersifat partikular. Karena kesadaran terhadap objek dimediasi oleh putusan, sehingga bisa dikatakan bahwa pemahaman adalah fakultas untuk memutuskan (faculty for judging).154 Dengan demikian, segala bentuk pemikiran pada dasarnya tidak bisa lepas dari putusan-putusan. Putusan berada dalam skala rasional, yang bekerja dalam memberikan informasi terkait objek yang hadir melalui intuisi. Menurut Kant, jika kita mengabstraksikan isi semua putusan secara umum, dan sampai pada bentuk pemahaman 153 154 murni, akan ditemukan bahwa Georges Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 52 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 205 fungsi pemikiran dapat 80 dikelompokkan ke dalam empat jenis putusan. Tiap jenis putusan membawahi tiga keadaan (moment). Daftar putusan tersebut dijelaskan berikut ini155: 1. Putusan Kuantitas Universal Partikular Singular 2. Putusan Kualitas Affirmative Negative Ketidakterbatasan (infinite) 3. Putusan Relasi Kategoris Hipotetis Disjunktif 4. Putusan Modalitas Problematis Penegasan (Assertotic) Keniscayaan (Apodictic) Putusan yang pertama adalah kuantitas. Putusan ini berkaitan dengan jumlah sesuatu. Sudah diketahui secara umum bahwa bilangan sesuatu berhubungan dengan sifat keumuman, kekhususan, atau kesatuan. Kant menyebut yang pertama putusan universal. Yang kedua disebut partikular. Yang ketiga disebut singular. Ketiganya saling berkaitan, dan menentukan jumlah sesuatu sebagai tujuannya. Contoh putusan universal semisal, “semua makhluk hidup pasti mati”. Dalam putusan ini, subjek makhluk mencakup segala sesuatu yang bernyawa, tanpa pengecualian. Hal ini dapat dipahami secara sederhana. Tapi, perlu diperhatikan bahwa tiap-tiap putusan tidak bekerja sendiri-sendiri, melainkan bersamaan dengan putusan-putusan lainnya.156 Misalnya dalam contoh di atas, “semua makhluk hidup pasti mati”. Proposisi ini tidak saja merupakan 155 156 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 206 Paul Guyer, Kant (New York: Routledge, 2007), h. 73 81 contoh putusan universal, tapi juga mengandung maksud putusan affirmatif, kategorikal, dan apodiktif. Selanjutnya adalah putusan partikular. Misalnya jika bentuk subjek dalam contoh di atas diubah menjadi, “manusia pasti mati”. Maksud dalam kalimat ini hanya berlaku pada jenis makhluk hidup yang disebut manusia, sehingga mengecualikan makhluk lainnya. Putusan jenis ini disebut partikular, karena bersifat khusus. Selain itu, juga berisi maksud putusan affirmatif, kategoris, dan apodiktif. Kemudian, ketika subjek putusan itu diubah menjadi nama pribadi seperti, “Budi pasti mati”, maka predikat dalam putusan ini hanya mencakup sosok tertentu. Kalimat ini termasuk dalam putusan singular, affrimatif, kategoris, dan apodiktif. Bagian kedua adalah putusan kualitas. Putusan ini memiliki tiga bentuk.157 Yang pertama adalah affirmatif, atau pengakuan. Pengakuan dimaksud pencakupan terhadap sesuatu. Misalnya putusan, “jiwa adalah elemen bagi makhluk hidup”. Dalam putusan ini, predikatnya memberi pengakuan tentang suatu hal, yakni makhluk hidup. Putusan ini dikategorikan affirmatif, karena mengandung makna penyetujuan. Selain itu, juga mengandung maksud putusan singular, kategoris, dan apodiktif. Namun, jika contoh tersebut diubah dalam bentuk penolakan menjadi, “jiwa bukan elemen bagi makhluk hidup”, maka menjadi contoh putusan negatif, singular, kategoris, dan problematik. Tapi, Kant tidak berhenti dalam wilayah ini. Baginya, jika suatu kalimat ditarik lebih jauh, maka dapat diketahui bahwa maknanya berada dalam bentuk yang lebih luas tak terbatas. Misalnya dikatakan, 157 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 207-208 82 “itu bukan makhluk hidup”. Kalimat ini mencakup segala hal yang bukan makhluk hidup, dan tidak terbatas (infinite). Kalimat tersebut, juga berisi maksud putusan singular, kategoris, dan apodiktif. Sejak awal, Kant menyadari adanya hubungan yang mengikat antara berbagai proposisi. Hubungan tersebut juga turut menandai kejelasan makna. Hal ini disebutnya putusan relasi. Kant membaginya menjadi: kategoris, hipotetis, dan disjunktif. 158 Yang pertama adalah putusan yang terdiri dari subjek dan predikat. Dua komponen ini membentuk sebuah putusan, tanpa disertai unsur lain dari luar. Contohnya seperti kalimat yang sudah disebutkan di atas, “manusia pasti mati”. Putusan ini dibentuk dalam susunan subjek-predikat, dalam bentuk satu proposisi, serta dapat memberi makna tanpa mengaitkan unsur-unsur lain dari luar. Selain itu, juga berisi makna putusan singular, affirmatif, dan apodiktik. Yang kedua adalah putusan yang dibentuk oleh dua proposisi. Jika yang ada hanya satu, maka tidak bisa memberi makna secara sempurna. Artinya, keniscayaan hubungan kedua proposisi, menjadi unsur luar yang harus ada agar terbentuknya keseluruhan makna. Misalnya putusan, “air mendidih, karena dipanaskan sampai 100 derajat celcius”. Putusan ini terdiri dari dua proposisi, yang bermakna secara sempurna dengan susunan dua proposisi. Meskipun demikian, tiap-tiap proposisi sudah mengandung putusan sendiri, yakni singular, dan problematis. Yang ketiga adalah putusan yang dibentuk dari banyak proposisi. Misalnya putusan, “dunia ada, apakah melalui kesempatan buta, atau melalui keniscayaan terdalam, atau karena sebab abadi”. Susunan kalimat ini secara keseluruhan termasuk putusan disjunktif. Artinya, jika dunia terwujud tidak 158 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 208-209 83 menurut proposisi pertama, atau menurut proposisi kedua, atau ketiga, tidak ada kejelasan. Dalam putusan itu, tidak ada kontradiksi, sehingga termasuk jenis putusan disjunktif tidak sempurna. Ketiga proposisi tersebut menempati putusanputusan tertentu, yakni yang pertama singular, affrimatif, dan apodiktif; yang kedua dan seterusnya adalah bentuk putusan singular, affirmatif, dan problematis. Bagian yang terakhir, yakni putusan modalitas, tidak memberikan penjelasan tentang isi dari putusan. Putusan modalitas hanya berkenaan dengan masalah nilai copula159 (pengikat), dalam hubungan dengan pemikiran secara umum.160 Kant mengakui bahwa putusan modalitas tidak selalu dinyatakan dalam ungkapan linguistik secara eksplisit.161 Putusan ini terbagi menjadi tiga: problematik, assertotik, dan apodiktik. Misalnya dapat dilihat dalam kalimat, “jika ada keadilan sejati, maka iblis jahat harus dihukum”. Dalam putusan ini, informasi yang dijelaskan berisi suatu maksud yang dikaitkan dengan kondisi subjek. Dalam putusan problematis, analisis diarahkan pada kemungkinan dan ketidakmungkinan informasi. Perlu ditegaskan di sini bahwa semua putusan modalitas selalu arbitrary. Artinya, memberi ruang terjadinya kemungkinan pemahaman menurut selera tertentu dari subjek. Putusan ini hanya berkesesuaian dengan sikap subjek, daripada isi putusan itu sendiri.162 Sehingga munculnya pemahaman berbeda, tetap bisa diterima. Dalam hal ini, kemungkinan terciptanya keadilan sejati sehingga iblis jahat bisa dihukum, atau justru sebaliknya tidak ada keadilan sejati, menjadi wilayah persoalan bagaimana sikap subjek ketika menyatakan putusan. 159 Copula adalah ekspresi dalam kalimat, yang mengikat antara subjek dengan predikat. Tapi, jika predikat sudah melekat dengan subjeknya, maka copula tidak dibutuhkan lagi. Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 113 160 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 209 161 Paul Guyer, Kant (New York: Routledge, 2007), h. 74; Lihat juga, A.C. Ewing, A Short Commentary on Kant’s Critique of Pure Reason (Chicago: Chicago University Press, 1984), h. 142 162 Georges Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 57 84 Kemungkinan apapun bisa terjadi, sejauh dipahami dalam ruang lingkup subjek. Meskipun demikian, masing-masing dari dua proposisi tersebut, merupakan bentuk putusan tersendiri. Yang pertama adalah singular, affirmatif, dan problematik. Sedangkan bagian kedua adalah putusan singular, affirmatif, dan assertotik. Putusan modalitas kedua, yakni assertotik, berhubungan dengan informasi penegasan atau pun fakta aktual.163 Misalnya dicontohkan berikut, “Immanuel Kant lahir di Königsberg”. Putusan ini membatasi informasi yang berisi fakta dalam kenyataan. Selain itu, kalimat ini juga termasuk putusan singular, dan affirmatif. Sedangkan bagian ketiga, yakni apodiktik, adalah putusan yang berisi keniscayaan. Misalnya dalam kalimat, “manusia pasti mati”. Putusan ini berkaitan dengan informasi yang bersifat niscaya bahwa manusia pasti mati. Kendati putusan modalitas terkait dengan kehendak subjek, isi putusan apodiktif diarahkan untuk menjelaskan sesuatu yang bersifat niscaya berdasarkan pada pertimbangan rasional. Selain itu berisi apodiktif, kalimat tersebut juga berisi putusan partikular, affirmatif, dan kategorikal. Dengan ketiga bentuk putusan modalitas, proses pemikiran dapat dijelaskan dalam bentuk problematis, kepastian, dan keniscayaan. Ketiganya berada dalam bentuk pemikiran rasional secara umum.164 Kesemua putusan yang memiliki fungsi a priori tersebut, bekerja dalam upaya menjembatani antara objek dan kesadaran. Tanpa itu, kesadaran terhadap data yang sudah ditempatkan dalam ruang dan waktu tidak bisa muncul. Dalam kerjanya, putusan mengarahkan sejumlah representasi objek dari ruang dan waktu 163 164 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 209 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 210 85 dalam satu kesadaran. Keragaman objek diolah dan ditempatkan ke dalam skala yang lebih sederhana. Fungsi ini menimbulkan sebuah sintesis, antara pelbagai bentuk objek. Sintesis tersebut bersifat murni. 165 Sintesis murni tersebut mengumpulkan elemen-elemen dasar kesadaran, dan menyatukan mereka dalam bentuk-bentuk tertentu. Bentuk tersebut adalah hal pertama yang menandai asal-usul munculnya kesadaran. Kesadaran dibentuk atas dasar informasi menyeluruh yang diperoleh dari penyelidikan terhadap objek. Sintesis murni atas objek kemudian menghasilkan konsep-konsep pemahaman murni. Konsep-konsep pemahaman murni ini adalah hasil terjadinya sintesis murni.166 Di dalam konsep-konsep murni, secara analitis segala jenis representasi yang berbeda disatukan. Logika transendental mengarahkan sintesis murni representasi di bawah satu konsep pemahaman. Ketika konsep pemahaman sudah didapatkan, hal pertama yang hadir secara a priori bagi kesadaran atas semua objek adalah keragaman intuisi murni. Setelah itu, muncul sintesis keragaman, yang diperoleh melalui imajinasi. Namun, kedua hal itu belum bisa menghasilkan kesadaran secara utuh. Dibutuhkan hal lain agar kesadaran bisa muncul, yakni konsep yang memberikan kesatuan sintesis murni, yang terdiri hanya dalam representasi kesatuan sintetis.167 Kant menjelaskan bahwa konsep murni pemahaman diterapkan pada objek intuisi secara umum dan bersifat a priori.168 Kant menyebut konsep-konsep murni pemahaman sebagai kategori. Berikut bagan keseluruhan kategori tersebut: 165 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 210 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 211 167 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 211 168 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 212 166 86 1. Kategori Kuantitas Kesatuan (Unity) Pluralitas (Plurality) Totalitas (Totality) 2. Kategori Kualitas Realitas Negasi Limitasi 3. Kategori Relasi Substansi dan Aksidensi (Substantia et Accident) Kausalitas dan Ketergantungan Komunitas 4. Kategori Modalitas Kemungkinan-Kemustahilan Eksistensi-Non-Eksistensi Keniscayaan-Kontingensi Meskipun istilah kategori sudah digunakan Aristoteles, pengertian dan jumlah kategori menurut Kant, berbeda sama sekali. Kategori dalam pengertian Kant diartikan sebagai elemen dalam semua pengetahuan, dan berjumlah dua belas. Sedangkan Aristoteles mengartikan kategori sebagai kind of predication (sejenis predikat), atau kind of being (sejenis wujud), dan berjumlah sepuluh buah, yakni: substansi, kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, posisi, kepemilikan, aktivitas, dan kepasifan.169 Kant mengakui bahwa Aristoteles sudah membuka jalan penyelidikan luar biasa dalam masalah ini. Namun, karena tidak memiliki prinsip secara menyeluruh, Aristoteles hanya mengumpulkan dan mendatanya secara tidak sempurna. Penjelasannya masih mengandung sejumlah celah, karena tidak mencakup keseluruhan konsepkonsep pemahaman murni. Bagi Kant, semua kategori adalah konsep-konsep leluhur pemahaman murni (ancestral concepts of pure understanding) yang memiliki sejumlah konsep turunan (derivative concepts), sebagai kesempurnaan 169 Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 89 87 sistem filsafat transendental. Bisa dikatakan bahwa kategori tersebut adalah predicables170 pemahaman murni.171 Kedua belas kategori dalam penjelasan Kant, dikelompokkan menjadi empat tema utama, bekerja dalam tatanan rasional, dan merupakan turunan (derivation) dari empat jenis putusan. Sehingga dalam penjelasan fungsinya masing-masing, tidak bisa mengesampingkan bagaimana sebuah putusan bekerja. Kategori merupakan konsep pemahaman murni, yang diterapkan pada semua elemen objek. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kategori tersebut, dalam skala ketat, memberi legitimasi pertimbangan rasional yang terlepas dari unsur a posteriori. Menurut Kant, segala pertimbangan subjek terhadap penampakkan objek selalu berkesuaian dengan kategori-kategori tersebut. Kant berkata: “Categories are concepts that describe laws a priori to appearances, thus to nature as the sum total of all appearances (nature materialiter spectata)…” Ia melanjutkan, “…thus on the categories, all possible perceptions, hence everything that can ever reach empirical counsciousness, i.e., all appearances of nature, as far as their combination is concerned, stand under the categories, on which nature (considered merely as nature in general) depends, as the original ground of its necessary lawfulness (as natura formaliter spectata)”172 170 Istilah umum dalam logika yang menunjuk pada predikat. Penggunaannya sudah digunakan sejak Aristoteles dalam lima bentuk: horos, idiom, genos, diaphora, symbebēkos. Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 442-443 171 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 213 172 “Kategori-kategori adalah konsep-konsep yang menggambarkan hukum a priori terhadap penampakkan, demikian pula terhadap alam sebagai jumlah total semua penampakkan (nature materialiter spectata)…” Ia melanjutkan, “…jadi, pada kategori, semua persepsi yang mungkin, karena segala hal yang bisa mencapai kesadaran empiris, yakni semua penampakkan alam sejauh perhatian kombinasi mereka, berdiri di bawah kategori-kategori, di mana alam (dipertimbangkan hanya sebagai alam secara umum) bergantung, sebagai dasar yang asli bagi keabsahan hukum yang mungkin (sebagai natura formaliter spectata)”. Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 263 88 Kategori-kategori itu ditempatkan dan diterapkan dalam memahami keberadaan objek, dengan menggambarkan hukum a priori terhadap penampakkan, sekaligus terhadap alam sebagai jumlah total penampakkan. Kategori-kategori tersebut bekerja bersama-sama. Sehingga dalam satu proposisi diketemukan beberapa bentuk kategori. Berikut ini penjelasan satu persatu kedua belas kategori tersebut. C.1. Kuantitas Kategori kuantitas bekerja di bawah turunan putusan kuantitas. Kategori kuantitas disebut Kant, Aksioma Intuisi (Axioms of Intuition).173 Kategori kuantitas terdiri dari: kesatuan, pluralitas atau kejamakan, dan totalitas. Hubungan antara kategori dan putusannya dijelaskan dalam contoh berikut. Kategori kuantitas-kesatuan misalnya, “semua binatang adalah makhluk hidup”. Ungkapan ini, mengindikasikan sebuah kesatuan semua binatang. Banyaknya binatang dipahami dalam kesatuan yang tidak dibatasi, tidak beberapa, tapi semua. Meskipun demikian, kalimat tersebut juga berisi kategori realitas, substansiaksidensi, dan eksistensi-non-eksistensi. Jadi, tidak hanya kategori kesatuan. Contoh itu digunakan hanya untuk mempermudah pemahaman. Kategori kesatuan merupakan turunan putusan universal, dan berbeda dari bentuk pluralitas. Bentuk pluralitas dapat dilihat misalnya dalam kalimat, “sebagian batu adalah marmer”. Dari kalimat tersebut, yang muncul bukanlah kesatuan, tapi kejamakan. Makna pluralitas hanya mencakup sebagian dari sesuatu hal, dan tidak melingkupi keseluruhan. Oleh karena itu, objek hanya berkenaan dengan maksud tertentu. Selain kategori pluralitas, kalimat itu juga berisi kategori realitas, 173 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 286 89 substansi-aksidensi, dan eksistensi-non-eksistensi. Ketiganya ada bersamaan. Kategori pluralitas adalah turunan dari putusan partikular, yang mengarahkan maksudnya pada objek-objek tertentu saja. Bagian yang ketiga adalah totalitas (totality). Misalnya kalimat, “batu ini adalah batu apung”. Kategori totalitas menunjukkan makna pada suatu objek khusus, yang meliputi keseluruhan aspeknya. Yang dimaksud dengan kalimat, “batu ini”, adalah tertuju pada batu tertentu, dan meliputi keseluruhan dari aspek batu tersebut. Tidak hanya mencakup sisi atau ujung tertentu dari batu. Tapi, menyeluruh meliputi bagian terluar, dan terdalam, serta elemen-elemen penting yang menjadi penyusunnya. Selain mengandung kategori totalitas, contoh tersebut juga berisi kategori realitas, substansi-aksidensi dan eksistensi-non-eksistensi. Kategori totalitas adalah turunan dari putusan singular, yang mengarahkan maksudnya pada satu objek khusus. Menurut Kant, penjelasan ketiga kategori tersebut berikut maksud yang dituju didapatkan secara a priori, dan lepas dari unsur a posteriori. C.2. Kualitas Kategori kualitas diturunkan dari putusan kualitas, dan disebut Antisipasi Persepsi (Anticipation of Perception).174 Kategori ini terdiri dari: realitas, negasi, dan limitasi. Misalnya dikatakan, “ini meja“. Kalimat tersebut mengarahkan maksud pada sesuatu yang disebut meja. Sebuah penjelasan atas benda yang menjadi objek, dengan mengakui keberadaannya. Hal tersebut menggambarkan sebuah realitas yang dijelaskan sebagai meja. Realitas meja diakui sebagai objek. Selain kategori realitas, kalimat tersebut juga berisi kategori totalitas, dan kategori 174 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 290 90 eksistensi-non-eksistensi. Kategori realitas adalah turunan dari putusan Affirmatif . Maksud dalam kategori realitas, terlihat sangat bertentangan dengan makna dalam kategori negasi. Kategori negasi misalnya dicontohkan berikut, “ini bukan meja”. Kalimat tersebut menunjukan pada penyangkalan (negation). Dalam arti, menyangkal keberadaan meja sebagai realitas. Penyangkalan ini berarti menunjukkan maksud negatif bahwa objek itu bukan meja. Objek yang dituju tidak diakui sebagai meja. Selain itu, kalimat tersebut juga berisi kategori totalitas, dan eksistensi-noneksistensi. Kategori negasi adalah turunan dari putusan negatif. Jika dalam bentuk pernyataan negatif “ini bukan meja” meniscayakan adanya kekosongan realitas meja, maka dalam kategori limitasi, perinciannya akan lebih luas. Misalnya dicontohkan berikut, “itu kawasan non-manusia”. Kalimat tersebut, meskipun memberikan penjelasan tentang selain manusia, juga membatasi objek yang disebut manusia. Jadi, yang dimaksud, “non-manusia”, adalah objek yang bukan manusia. Objek-objek selain manusia jumlahnya sangat banyak, mungkin tidak terbatas. Tapi, justru hal tersebut merupakan pembatasan pada manusia. Memasukkan sesuatu selain manusia, secara tidak langsung telah membatasi objek-objek yang termasuk jenis manusia. Selain berisi kategori limitasi, contoh tersebut juga mengandung kategori totalitas, dan eksistensi-noneksistensi. C.3. Relasi Kategori relasi merupakan turunan dari putusan relasi. Kant menyebutnya, Analogi Pengalaman (Analogies of Experience).175 Kategori relasi terdiri dari 175 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 295 91 substansi-aksidensi, sebab-akibat, dan komunitas. Contoh kategori substansiaksidensi dapat dilihat seperti dalam kalimat, “batu itu hitam”. Kata batu menunjukkan sebuah benda (substansi), dan hitam menunjukkan warna (aksidensi). Pola hubungan ini sangat erat, karena warna sebagai aksiden, melekat pada substansi dan tidak dapat berdiri dengan sendirinya. Begitu pula benda yang diwarnai, merupakan jenis tersendiri yang membedakannya dengan benda-benda lain, dari jenisnya yang sama. Kalimat tersebut menunjukkan makna suatu kekhususan objek tertentu. Di samping itu, juga mengandung kategori realitas, totalitas, dan eksistensi-non-eksistensi. Kategori substansi-aksidensi adalah turunan dari putusan kategoris. Bagian kedua adalah kategori kausalitas. Contohnya seperti dalam kalimat, “jalanan basah, karena hujan turun”. Pernyataan tersebut menunjukkan adanya pola hubungan sebab-akibat. Kategori kausalitas diturunkan dari putusan hipotetis. Dalam kategori ini, informasi menyeluruh ditopang oleh susunan dua proposisi yang satu sama lain sudah menghasilkan makna. Kedua proposisi itu saling melengkapi untuk membentuk kebenaran yang utuh dalam pola hubungan sebab akibat. Selain berupa kategori kausalitas, contoh tersebut juga berisi kategori totalitas, realitas—yakni realitas jalan dan hujan—dan kategori keniscayaan-kemustahilan. Karena sejak awal sudah memiliki makna, tiap-tiap proposisi dalam contoh tersebut, jika dipisahkan memiliki perincian sendirisendiri. Proposisi pertama berisi kategori totalitas, realitas, substansi-aksidensi dan kemungkinan-kemustahilan. Proposisi kedua berisi kategori totalitas, realitas, dan kemungkinan-kemustahilan. 92 Dengan menetapkan kategori kausalitas, Kant membantah kritik Hume atas kepastian hukum sebab-akibat. Menurut Hume, kaidah kausalitas adalah fakta empiris, yang berasal dari kondisi mental subjektif dan tidak bisa dipastikan. Sebaliknya bagi Kant, kausalitas adalah ketetapan logis yang bersifat a priori, karena tidak didapat dari pengalaman, melainkan dari konsep pemahaman murni. Hukum kausalitas bersifat tetap, dan dapat dibuktikan kebenarannya, sehingga berlaku objektif. Jenis kategori ketiga adalah komunitas. Misalnya dicontohkan dalam pernyataan, “jalanan menjadi basah, karena turun hujan, atau truk pengangkut air meneteskan muatannya di jalanan”. Dalam kalimat tersebut, terdapat sebuah informasi yang tidak menjelaskan kepastian mengenai sebab terjadinya sesuatu. Apakah sumber terjadinya jalanan basah didapat dari proposisi pertama atau yang kedua, hanya bersifat kemungkinan. Jika diperinci, tiap-tiap proposisinya mengandung beberapa kategori. Proposisi pertama berisi kategori totalitas, realitas, substansi-aksidensi, dan kemungkinan-kemustahilan. Proposisi kedua berisi kategori totalitas, realitas, dan kemungkinan-kemustahilan. Proposisi ketiga berisi kategori totalitas, realitas, dan kemungkinan-kemustahilan. Namun, secara keseluruhan, ketiga proposisi tersebut membentuk kategori komunitas. Kategori komunitas adalah turunan dari putusan disjunktif. C.4. Modalitas Kategori modalitas diturunkan dari putusan modalitas. Kant menyebutnya, Postulat Pemikiran Empiris secara Umum (Postulates of Empirical Thinking in General).176 Kategori modalitas terdiri dari: kemungkinan-ketidakmungkinan, 176 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 321 93 eksistensi-non-eksistensi, dan keniscayaan-kemustahilan. Sama seperti putusan modalitas, kategori modalitas tidak memberi apa-apa pada isi putusan. Tapi, prinsip-prinsipnya sekedar menjelaskan hubungan kemungkinan, aktualitas, dan keniscayaan dalam penerapan empiris.177 Tidak ada contoh khusus mengenai kategori ini. Namun, untuk lebih jelasnya bisa dicontohkan seperti proposisi, “pengusaha itu untung besar”. Kalimat ini berisi kategori kemungkinankemusthilan, berupa informasi yang menjelaskan kemungkinan sekaligus ketidakmungkinan terjadinya suatu hal. Dari sudut pandang tertentu, informasi itu tidak bisa dianggap aktual atau niscaya, kecuali dengan standar penerapannya secara empiris. Selain itu, kalimat tersebut juga berisi kategori totalitas, dan realitas. Kategori kemungkinan-kemustahilan turunan dari putusan problematis. Kategori modalitas kedua, yakni eksistensi-non-eksistensi, contohnya seperti, “Aritoteles adalah orang Stageira”. Kalimat ini berisi kategori eksistensinon-eksistensi, yakni suatu informasi yang berisi fakta atau kenyataan. Informasi tersebut memiliki sejumlah bukti yang tidak bisa disangkal kebenarannya, termasuk dari sudut pandang manapun. Selain itu, kalimat tersebut juga berisi kategori totalitas, dan realitas. Kategori eksistensi-non-eksistensi adalah turunan dari putusan assertotik atau penegasan. Bagian kategori modalitas ketiga adalah keniscayaan-kontingensi. Misalnya dalam kalimat, “deforestation berdampak buruk pada kelangsungan kehidupan di bumi”. Keseluruhan kalimat ini berisi kategori keniscayaankontingensi, yakni kejadian yang bersifat niscaya dan bergantung. Informasi bahwa deforestation dapat berdampak buruk pada kelangsungan hidup di bumi 177 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 322 94 bisa dibuktikan secara ilmiah, dan bergantung pada sikap manusia itu sendiri. Selain itu, kalimat tersebut berisi kategori totalitas, dan realitas. Kategori keniscayaan-kontingensi diturunkan dari putusan apodiktik. Pada dasarnya, keseluruhan dua belas kategori yang sudah dijelaskan di atas, dapat dikelompokkan menjadi dua. Yang pertama adalah kategori matematis, yakni kategori kuantitas dan kualitas. Sedangkan yang kedua disebut kategori dinamik, yakni kategori relasi dan modalitas. Kategori matematik berhubungan dengan objek-objek intuisi. Sedangkan kategori dinamik memainkan peranan dalam mengarahkan eksistensi objek-objek tersebut satu sama lain, atau terhadap pemahaman.178 D. Deduksi Transendental Sub-bab deduksi transendental dalam Critique of Pure Reason, berisi argumentasi yang menguatkan prinsip dua belas kategori.179 Kant menyatakan bahwa fungsi a priori, semisal dua belas kategori memiliki validitas objektif yang tidak terbantahkan.180 Keduabelas kategori tersebut pada dasarnya dapat disimpulkan menjadi lima, sebagai basis pemikiran: keluasan, realitas, subjek, dasar, dan keseluruhan.181 Kategori tersebut menghasilkan pengetahuan a priori, yakni pengetahuan yang berisi komponen a priori atas beragam objek, ketika menampakkan dirinya kepada subjek. Oleh karena itu, tugas dari kategori tidak 178 179 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 215 Sebastian Gardner, Kant and the Critique of Pure Reason (London: Routledge, 2003), h.130 180 Georges Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 84 Paul Guyer, “The Transcendental Deduction of Categories,” in Paul Guyer, ed., The Cambridge Companion to Kant (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), h. 131 181 95 lain adalah menghasilkan pengetahuan a priori tentang struktur dasar pengalaman manusia.182 Menurut George Dicker—salah satu komentator Kant—fokus utama subbab tersebut ingin menegaskan dua konsep: substansi dan sebab-akibat.183 Subbab tersebut adalah cara untuk menunjukkan bahwa pengalaman harus bisa dikonseptualisasikan dalam bingkai substansi, agar segala perubahannya bisa dijelaskan oleh hukum sebab-akibat. Dari paparannya, Kant menyimpulkan konsep dasar pemahaman sebagai kategori sintesis, menjadi tiga: konsep substansi, kausalitas, dan komposisi atau keseluruhan. Kant menyimpulkan bahwa konsep transendental pengalaman mencakup dalam tiga hal: sesuatu sebagai substansi, setiap kondisi dunia sebagai sebuah akibat, dan semua penampakkan membuat satu keseluruhan.184 Di dalamnya, ia mengritik pandangan Hume atas subjektivisme dan ketidakmungkinan adanya hukum kausalitas. Bagi Kant, pengalaman adalah hal yang mungkin, dan pengetahuan selalu berkenaan dengan pengalaman. Agar bisa diamati secara utuh, pengalaman harus dikonseptualisasikan sebagai objek-objek yang tetap (enduring objects). Pengalaman harus memiliki sejumlah atribut yang memungkinkan subjek mengamatinya. Di sini Kant menawarkan rumusan bahwa pengalaman harus bisa diamati, dan diidentifikasi sebagai sesuatu yang bersifat tetap dengan ciri yang tidak pernah berubah-ubah. Terlebih struktur pengalaman yang bermacam-macam dalam suatu keadaan tertentu, harus bisa dijelaskan dalam skala rasional, yang secara signifikan 182 George Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 85 George Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 85 184 Paul Guyer, “The Transcendental Deduction”, h. 135 183 96 memiliki pengaruh pada kebiasaan dan atau pengulangan-pengulangan.185 Sejumlah penyelidikan mengenai objek pengalaman bisa terus dilakukan. Mungkin hasilnya akan berbeda-beda, karena selalu terjadi perubahan. Tapi, objek yang diamati, pada dirinya, bersifat tetap. Hal ini sebagaimana rumusan Kant tentang substansi. Menurut Kant, setiap substansi bersifat tetap, kekal (permanent). Dengan tegas, ia mengatakan bahwa semua penampakkan berisi sesuatu permanen (the permanent) sebagaimana sebuah objek pada dirinya, dan perubahan (the transitory) hanya sebagai penentuannya, yang merupakan cara bagaimana sebuah objek berada.186 Substansi objek pada dirinya adalah tetap. Perubahan yang nampak terjadi pada objek sebenarnya hanya atribut yang dikenakan padanya. Semua penampakkan berisi sesuatu yang tetap (substansi), dan segala perubahan berada pada wilayah penentuan hukum.187 Jadi, yang berubah adalah sifat objek, bukan substansi pada dirinya. Kant masih mengikuti pengertian substansi dalam istilah klasik, yakni Aristoteles. Substansi adalah sesuatu yang bisa menjadi subjek, tapi tidak bisa menjadi predikat.188 Dengan kata lain, substansi bagi Kant adalah pembawa sifat (a property-bearer), yang tidak bisa menjadi sifat. 189 Perubahan pada sifat substansi terjadi terus-menerus. Perubahan tersebut berada di dalam waktu, yang meliputi objek pada dirinya, bukan waktu dalam pengertian a priori subjek. Perubahan pada sifat, bisa menyebabkan objek menjadi bentuk yang lain dari asalnya, atau hanya merubah segelintir saja dari sifatnya. Tapi, menurut Kant, 185 George Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 144 George Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 145 187 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 299 188 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 334 189 George Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 151 186 97 apapun yang terjadi, perubahan itu tidak akan pernah merusak tatanan kesatuan waktu.190 Waktu berjalan tetap, seiring dengan kesadaran manusia atas pengalamannya. Dengan pengalaman, manusia menjadi sadar. Kesadaran selalu berhubungan dengan objek. Bagi Kant, kesadaran tidak hanya tertuju pada satu objek, melainkan banyak objek.191 Kesadaran seseorang selalu terarah kepada objek-objek yang dihadapinya. Kesadaran atas beragam objek tersebut, berada di bawah kendali kesadaran diri yang sama, yakni pribadi yang menyadari. Misalnya, seseorang sadar telah melihat beberapa pohon A, B, C, D, dan seterusnya. Kesadaran orang tersebut atas pohon A, berbeda dari kesadarannya atas pohon B, C, D, dan seterusnya. Tapi, kesadaran itu tetap berada di bawah kendali kesadaran diri yang sama. Orang yang sadar tersebut tahu bahwa dirinya telah melihat pohon A, B, C, D, dan seterusnya, dan tidak mungkin menyangkalnya. Jadi, kesadaran atas beragam objek adalah hal yang mungkin. Kant menyebut hal ini dengan istilah, “ synthetic unity of consciousness”.192 Kesadaran atas beragam hal dapat disatukan di bawah satu kendali, karena diatur oleh suatu hukum universal yang tidak sewenang-wenang (non-arbitrary). Hukum tersebut mengatur dan menghubungkan tiap-tiap objek satu sama lain dengan konsep-konsep a priori. Dengan begitu, kesadaran individu atas data inderawi tidak semata bersifat subjektif. Tapi, objektif, karena disusun berdasarkan perangkat hukum yang tetap dan disesuaikan dengan konsep a priori dalam diri subjek.193 Misalnya orang melihat kursi. Ia pertama melihat bagian 190 George Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 162 George Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 91 192 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 249 193 George Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h.103 191 98 tempat duduk atasnya dengan bagian depan penyangga punggung. Kemudian melihat kaki kursi, lalu mengalihkan perhatian ke bagian belakang penyangga. Kesadaran atas bagian kursi itu berbeda-beda, khususnya antara depan, dan belakang. Tapi, keseluruhan informasi tersebut bisa disatukan di bawah satu kendali kesadaran diri, karena diatur dan dihubungkan oleh hukum tetap, tak sewenang-wenang (non-arbitrary). Adanya hukum tersebut bisa diketahui dengan mengamati setiap kejadian, yang membawa implikasi pada struktur perubahan objek, dan bisa diamati oleh siapa saja yang ingin mengetahuinya. Lebih jauh Kant mengatakan, agar kesadaran atas beragam objek itu mungkin terjadi, subjek harus menganggap semua penampakkan objek berasal dari diri mereka sendiri. Jadi, segala representasi harus bisa dipahami berasal dari diri subjek (self-ascribable).194 Dengan kata lain, Kant menekankan pentingnya kesadaran pribadi bahwa segala representasi yang beragam berasal dari dirinya. Kesadaran tersebut selalu berkesesuaian dengan waktu. Tidak ada kesadaran yang bersifat tetap, abadi, dan lepas dari temporalitas. Kesadaran terhadap pengalaman yang berurutan adalah mungkin di dalam waktu-waktu berbeda. Dengan begitu, kesadaran dapat dijelaskan kaitannya dengan penyatuan beragam penampakkan objek secara umum.195 Namun, untuk terciptanya kesadaran melalui waktu, dibutuhkan adanya memori.196 Memori menyimpan sejumlah informasi seputar pengalaman yang dialami seseorang. Dengannya, segala pengalaman yang diraih bisa dipahami dan dipikirkan kembali di saat-saat yang berbeda. Di dalam memori tersebut, segala 194 George Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 130 Gilles Deleuze, Kant’s Critical Philosophy, trans., Hugh Tomlinson and Barbara Habberjam (London: The Athlone Press, 1995), h. 15 196 George Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 106 195 99 bentuk pengalaman hadir dan saling memiliki keterkaitan. Semua kemungkinan yang dialami kemudian mengalami sintesis. Kant membagi sintesis tersebut menjadi tiga bentuk: pertama, sintesis penangkapan dalam intuisi (synthesis apprehension in intuition); kedua, sintesis reproduksi di dalam imajinasi; ketiga, sintesis pengenalan dalam sebuah konsep. Ketiganya merupakan aspek yang terjadi dalam satu proses, bukan rangkaian tahapan berjenjang yang harus dilewati. Ketiga sintesis tersebut ada bersama, ketika seseorang sadar atas sesuatu hal. Sintesis pertama adalah suatu kondisi di mana intuisi menangkap segala macam penampakkan objek, dan kemudian menempatkannya di bawah satu representasi.197 Terjadinya sintesis pada tahap ini berkesesuaian dengan fungsi a priori ruang dan waktu, yang menentukan batasbatas tertentu dari penampakkan objek. Objek yang bermacam-macam tersebut hadir di dalam intuisi secara berurutan. Sintesis kedua adalah reproduksi sejumlah data yang sudah didapat secara berurutan pada masa lalu, untuk diingat dan dipikirkan pada saat ini. Data lama yang ada di dalam pikiran dihadirkan kembali sebagai bahan pemikiran. Dari sini dapat diketahui bahwa sintesis kedua mengaitkan sejumlah objek yang hadir secara berurutan dalam kurun waktu tertentu, dalam hubungan yang sudah ditentukan pula dalam masa lalu. Sintesis ini memungkinkan hadirnya objek sebagai gambaran di dalam pikiran. 198 Sintesis ketiga adalah keadaan dimana seseorang sadar bahwa ketika menghadirkan data lama dalam pikirannya, data tersebut sama seperti bentuknya semula. Karena jika tidak demikian, maka data tersebut kemungkinan besar akan 197 198 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 229 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 229-230 100 berubah. Perubahan itu bisa menjadikan data tersebut tidak berguna; tidak valid sebagai sumber informasi. Sintesis ini merupakan penjelasan Kant, dalam upaya menjawab keraguan tentang berubah-ubahnya gambaran objek dalam pikiran.199 Objek yang berada dalam pikiran, merupakan landasan munculnya konsep. Aktivitas mental dalam mengolah data, selalu bekerja dengan aturan yang nonarbitrary. Aturan tersebut adalah hukum yang mengatur hubungan setiap representasi satu sama lain. Hukum yang mengatur bersifat tetap, sehingga bisa menerapkan konsep-konsep a priori terhadap beragam data. Meskipun diatur oleh hukum tetap, Kant menganggap bahwa representasi di dalam waktu selalu bersitegang dengan subjektivitas individu. Di sini, ia menawarkan dua macam cara dalam memandang waktu. Yang pertama, waktu sebagaimana dipahami dari sudut pandang subjek. Waktu di sini sangat terkait erat dengan keberadaan subjek dalam memandang objek. Bisa diartikan jika waktu dalam pengertian ini sangat subjektif. Yang kedua adalah waktu dalam kaitannya dengan keberadaan objek. Waktu ini yang menyelimuti objek, dan lepas sama sekali dari unsur subjek. Kant tidak bermaksud menyalahi pendapatnya pada estetika transendental bahwa waktu itu satu dan hadir secara beruntut. Pada dasarnya, waktu tidak bisa diterima indera (perceived), karena ia bukan objek. Pembagian atas waktu dinilai sebagai upaya menjelaskan sudut pandang antara sisi objek dengan subjek. Secara ontologis, keberadaan waktu bersifat a priori, tetap satu dan tidak terbagi. Namun, pembagian itu ditujukan untuk mempermudah penjelasan. Oleh karena itu, secara epistemologis pembagian waktu dapat dimungkinkan. Waktu dari sudut pandang 199 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 230-231 101 subjek adalah sesuatu yang hadir begitu saja (given) pada diri subjek. Sedangkan waktu dari sudut pandang objek adalah kesesuaian objek dengan aturan a priori. Dalam analisisnya mengenai aturan a priori, Kant sangat mengutamakan kedudukan kausalitas. Ia menentang keras pandangan Hume bahwa kausalitas hanya berupa aktivitas mental yang bersifat subjektif, karena hanya didapat dari kesan-kesan inderawi.200 Namun, sebenarnya terdapat suatu persamaan pendapat antara Hume dan Kant mengenai masalah ini. Meskipun menentang Hume, Kant sepakat mengenai ketentuan hukum kausalitas yang tidak hanya dalam hubungan konseptual, atau tataran kebenaran kata-kata. Dalam penjelasan mengenai kategori kausalitas, Kant dengan tegas mengatakan bahwa pemahaman kausalitas tidak diperoleh dari analisis fakta semata, tapi sudah merupakan sintesis. Selain itu, Kant sepakat dengan Hume bahwa kausalitas tidak bisa ditunjukkan dengan menerapkan konsep umum seperti eksistensi, kejadian, permulaan eksistensi, dan sebagainya. Tapi, kausalitas dapat dibuktikan kebenarannya dengan argumen transendental—argumen yang bersifat a priori, dan tidak berhubungan secara langsung dengan pengalaman empiris. Kritik Hume atas kausalitas, sebenarnya diarahkan pada pemikiran bahwa setiap kejadian pasti memiliki sebab. Sebaliknya, Kant meringkas pernyataannya bahwa bukti hukum kausalitas hanya bisa diterapkan pada peristiwa yang bisa nampak (observable events)201 pada indera. Dengan begitu, setiap kejadian di luar batasbatas pengalaman tidak bisa dikatakan memiliki kaitan dengan kausalitas. Penjelasan tentang kausalitas dimulai dari penelusuran kaidah berikut. Misalnya, objek kejadian A menyebabkan kejadian B, karena dalam kasus yang 200 201 David Hume, A Treatise of Human Nature, h. 131 George Dicker, Kant’s Theory of Knowledge, h. 163 102 diteliti, peristiwa A selalu diikuti peristiwa B. Informasi tersebut berdasarkan fakta yang diperoleh pengalaman. Namun, Kant mempermasalahkan jika kausalitas hanya diperoleh dengan analisis atas fakta-fakta, terutama menyangkut cara subjek menerima kejadian dalam tempo berurutan, dan perbedaannya dengan ketetapan yang tidak berubah. Ia mempertanyakan bagaimana seseorang bisa mengetahui kejadian A, diikuti kejadian B, kemudian menyebabkan munculnya C, di dalam durasi waktu tertentu secara berurutan, padahal waktu sendiri tidak bisa dicerap indera. Selain itu, ia mempertanyakan pula kedudukan benda pada dirinya sendiri, yang tidak bisa diketahui subjek. Di sini, Kant mempermasalahkan cara memandang suatu peristiwa yang terkait dengan kausalitas. Kant menguraikan kerumitan di atas dengan paparan sebagai berikut. Terjadinya peristiwa A diikuti peristiwa B, kemudian memunculkan C, dalam waktu tertentu dan dapat dilakukan berulang-ulang, menandai adanya sebuah hukum yang tetap. Hukum tersebut bekerja pada setiap peristiwa yang nampak pada subjek, dalam waktu objektif. Waktu objektif yang dituju Kant adalah waktu yang meliputi keberadaan objek, sekaligus subjek. Namun, karena subjek memiliki struktur kesadaran a priori dalam dirinya, sehingga ada keterbatasan kemampuan subjek dalam menangkap objek. Yang dapat ditangkap subjek justru hanya penampakkannya saja, dan bukan objek pada dirinya. Terlebih karena Kant mengkonseptualisasikan pengalaman sebagai substansi, maka yang diterima subjek adalah sifat-sifat objek dan bukan pengalaman sebagai substansi yang permanen. Sampai di sini, Kant menganggap bahwa subjek bisa menerapkan kaidah a priori, untuk bisa menghasilkan sintesis atas segala hal yang bisa menampakkan diri kepada subjek. Sintesis itu bersifat a priori, karena lepas dari 103 unsur-unsur a posteriori. Rangkaian peristiwa tersebut adalah gambaran singkat proses yang harus dilewati suatu peristiwa, untuk mencapai keadaan tertentu. Meskipun sistemnya disebut transendental, Kant dengan menunjukkan penolakan atas idealisme—suatu teori yang menurut Kant mendeklarasikan bahwa eksistensi objek dalam ruang di luar diri manusia, diragukan dan tidak mampu dibuktikan, atau palsu dan tidak mungkin. Idealisme dibagi Kant menjadi dua: pertama, idealisme problematik; kedua, idealisme dogmatik.202 Yang pertama diwakili oleh Descartes, dengan ketetapan hanya satu kepastian empiris, yakni, “aku berpikir”. Kelompok kedua diwakili Berkeley, yang menganggap segala sesuatu di dalam ruang hanyalah imajinasi, dan baik ruang maupun objek-objek di dalamnya tidak terpisahkan dalam dirinya. Idealisme dogmatik sudah dikaji dalam pembahasan sebelumnya mengenai ruang dan waktu. Berikutnya, kritik dialamatkan pada idealisme problematik. Kelompok idealisme problematik menganggap sumber utama pengetahuan tentang objek fisik menyangkut kausalitas, hanya didasarkan pada kesadaran subjektif. Menurut Kant, kesadaran selalu berhubungan dengan sesuatu di luar. Objek luar memiliki kaitan mendalam, dan bisa dijelaskan kedudukannya secara objektif. Misalnya, kesadaran tentang masa lalu, yang bisa hadir kembali sekarang. Kesadaran tersebut merujuk pada sesuatu yang dialami. Objek kesadaran tetap berbeda dari subjek. Meskipun Kant mengajukan bahwa ruang dan waktu bersifat a apriori, tetapi objek di luar diri subjek tetap dianggap nyata. Kant tidak meragukan sama sekali realitas di luar subjek. 202 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 326 104 E. Konsep Transendental Akal Bagian kedua dari logika transendental adalah dialektik transendental. Pada paparan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa analitik transendental berperan dalam menguji beragam penampakkan. Pada tahap ini, fungsi a priori subjek berupa putusan dan kategori merupakan cara subjek memahami penampakkan objek. Penampakkan tidak berkaitan dengan benar atau salah, sebagaimana intuisi bekerja dalam tahap penerimaan, karena intuisi tidak memberi penilaian. Penilaian benar atau salah berada pada tahap putusan.203 Kesalahan terjadi dalam hubungan pemahaman subjek atas objek yang dipikirkan. Namun, selama cara berpikir subjek sesuai dengan hukum-hukum pemahaman, maka kesalahan tidak akan terjadi. Hukum tersebut adalah aturan logika kesadaran subjek. Setelah semua penampakkan luar mendapat pengujian dan pemurnian pada tahap analitik transendental, lalu hasilnya masuk pada tahap terakhir: dialektik transendental. Pada tahap ini, semua jenis penampakkan yang sudah ditentukan batas-batasnya secara rasional, disatukan di bawah satu kendali hukum. Hukum tersebut menandai keseluruhan makna yang dihasilkan dari penelusuran menyeluruh atas penampakkan objek. Di sini, fungsi a priori subjek tidak lagi berhubungan secara langsung dengan realitas empiris. Tapi, hanya berkenaan dengan pemahaman. Transendental dialektik berupaya melindungi pemikiran dari ilusi putusan transendental.204 Dialektik transendental berperan memberi arah atas hasil terakhir pemikiran. Karena tidak berhubungan langsung dengan realitas empiris, tahap ini tidak menambah apapun pada isi pengetahuan. 203 204 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 384 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 386 105 Kant dengan jelas membedakan dua kata: Verstand dan Vernunft. Verstand digunakan untuk menunjukkan fakultas pemahaman, yang masih berhubungan dengan realitas empiris. Adapun Vernunft merujuk pada fakultas pemikiran, yang tidak berhubungan langsung dengan realitas empiris. Jadi, Vernunft berbeda dari Verstand.205 Vernunft adalah fakultas yang berfungsi mengatur (regulative) semua data hasil pemurnian tahap Verstand; semacam kemampuan dalam mengolah susunan argumentasi. Fakultas ini memproduksi sejumlah ide transendental, yang tidak bisa memperluas pengetahuan, tapi hanya berfungsi mengatur dan mengarahkan pemahaman. 206 Bagi Kant, proses singkat hadirnya pengetahuan adalah sebagai berikut: sejumlah objek muncul dan menampakkan diri pada subjek. Lalu penampakkan objek diolah dalam pemahaman (understanding). Kemudian berakhir pada pertimbangan akal yang membawahi kesatuan tertinggi pemikiran. Kant menilai bahwa kesatuan itu merupakan kegunaan logis dari akal, yang meliputi seperangkat aturan yang tidak diturunkan dari indera atau pun pemahaman.207 Kant mengatakan bahwa logika transendental yang pertama (the transcendental analytic) adalah 205 Kata Vernunft dalam bahasa Jerman diterjemahkan menjadi akal budi atau intelek, dan dibedakan dari Verstand (rasio). Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19 (Yogyakarta: Kanisius, 1997), h. 142; Di salah satu kamus, makna dua kata itu tidak dibedakan. Lih. Adolf Heuken, SJ., Deutsch-Indonesisches Wörterbuch: Kamus Jerman Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 565, 571; Namun, di kamus yang lain, Verstand berarti mind (pikiran), dan Vernunft bermakna reason, common sense (akal sehat). Lih. Veronika Schorr, dkk. (eds.), Collins Gem: German Dictionary (Glasgow: HarperCollins Publishers, 2003), h. 209, 211; Dua penerjemah Kritik der Reinen Vernunft, Paul Guyer dan Allen W. Wood, menerjemahkan Vernunft menjadi reason, dan Verstand menjadi understanding. Lih. Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans., Paul Guyer dan Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 2000) h. 764 206 Frederick Copleston, A History of Philosophy, vol. 6, Wolff to Kant (Wellwood: Burn & Oates, 1999), h. 278 207 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 387 106 proses pemahaman, yang ia sebut fakultas aturan-aturan. Adapun yang kedua (the transcendental dialectic) adalah tahap akal yang ia sebut fakultas prinsip-prinsip.208 Prinsip-prinsip tersebut adalah kesatuan menyeluruh dari kesadaran universal sebagai premis mayor yang berbentuk konsep sesuatu, disertai premis minor, dan kesimpulan menurut aturan silogisme.209 Kesadaran atas prinsip-prinsip merupakan kesadaran saat subjek menyadari hal partikular dalam universal melalui konsep. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemahaman adalah fakultas penyatuan penampakkan melalui aturan-aturan, sedangkan akal adalah fakultas penyatuan aturan pemahaman di bawah prinsip-prinsip. Namun, akal tidak pernah menerapkan prinsip tersebut pada pengalaman secara langsung. Tapi, hanya diterapkan pada pemahaman, dengan tujuan menghasilkan kesatuan a priori melalui konsep terhadap keragaman kesadaran dalam pemahaman. Kant menyebutnya sebagai kesatuan akal (the unity of reason).210 Secara umum, di setiap penalaran logis, kesimpulan bisa didapat melalui tiga rangkaian sederhana berikut: sebuah proposisi umum sebagai dasar, dan proposisi lain sebagai konklusi yang didapat dari proposisi sebelumnya, kemudian kesimpulan (inference) yang berkaitan dan sesuai dengan proposisi pertama. Yang membedakan antara kesimpulan pemahaman dengan kesimpulan akal adalah jika putusan yang disimpulkan ada pada proposisi pertama, maka konklusi dapat diturunkan tanpa menghadirkan representasi ketiga. Hal ini disebut kesimpulan langsung (immediate inference: consequentia immediata), atau kesimpulan pemahaman. 208 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 387 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 388 210 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 389 209 107 Namun, jika selain kesadaran sebagai dasar pemikiran, terdapat putusan lain yang mempengaruhi munculnya konklusi, maka kesimpulan (inference) yang dihasilkan disebut kesimpulan akal. Dalam susunan silogisme, kesimpulan terakhir didapat dari turunan putusan-putusan sebelumnya. Kesimpulan langsung (an immediate inference), disebut kesimpulan pemahaman (the inference of understanding). Kesimpulan itu diturunkan secara langsung, tanpa bantuan kesimpulan yang lain. Kesimpulan semacam itu mencakup hal-hal yang affirmatif universal ke affirmatif partikular, penyangkalan dari pertentangan, pertentangan, subcontrary, konversi (conversion), dan kontraposisi (contraprosition). Sedangkan kesimpulan yang menengahi pendapat dan menyimpulkan berbagai proposisi sebelumnya—terkadang muncul sebagai kesimpulan ketiga atau lebih—disebut kesimpulan akal.211 Misalnya, proposisi, “semua manusia adalah makhluk hidup (mortal),” sebagai premis mayor. Dalam putusan itu, terkandung makna, “beberapa manusia adalah makhluk hidup”, “beberapa makhluk hidup adalah manusia”, “ manusia adalah makhluk yang tidak abadi”, dan seterusnya. Dari situ kemudian dibuat susunan silogisme: “semua manusia adalah makhluk hidup”. Kemudian dari konsep umum bisa dibuat premis minor: “semua sarjana adalah manusia”. Sarjana adalah predikat yang melekat pada sebagian manusia yang berpendidikan. Selanjutnya, dapat dibuat kesimpulan, “semua sarjana adalah makhluk hidup”. Proposisi, “semua sarjana adalah makhluk hidup”, tidak didapat secara langsung dari kesimpulan pemahaman pada premis mayor. Tapi, diperoleh lewat premis minor. Dengan begitu, kesimpulan akal hanya bisa didapatkan melalui perantara adanya putusan langsung (an immediate judgment).212 211 212 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 736 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 390 108 Pada contoh tersebut, didapat adanya kesadaran hal partikular, yakni sarjana, dalam konsep universal, yakni makhluk hidup. Singkatnya, proses dalam setiap sillogisme213 dapat dijelaskan menjadi: pertama, proposisi pertama diletakkan sebagai premis mayor, melalui pemahaman yang menghimpun keragaman dalam sebuah konsep tertentu. Kedua, menghadirkan kesadaran tertentu di bawah kondisi aturan-aturan pemahaman, dan dijadikan premis minor melalui kekuatan putusan. Ketiga, menentukan kesadaran a priori yang menyeluruh mencakup prinsip pemahaman untuk mencapai kesimpulan (inference) partikular. Proses yang ketiga dihasilkan oleh fungsi a priori akal, dan tidak berhubungan secara langsung dengan objek empiris. Menurut Kant, akal murni (der reinen Vernunft) bukan hanya berisi konsep-konsep yang direfleksikan. Tapi, juga konsep-konsep yang disimpulkan. Ini dibedakan dari konsep pemahaman, yang merupakan hasil pemikiran a priori, tetapi tidak menyatukan atau menyimpulkan prinsip pemahaman. Konsep akal murni meliputi banyak putusan, seperti halnya konsep pemahaman yang berfungsi menghasilkan pemahaman atas segala penampakkan objek. Konsep akal memiliki validitas objektif. Kant menyebutnya konsep-konsep yang disimpulkan secara benar (conceptus ratiocinati). Namun, bisa juga menghasilkan kesimpulan yang salah atau sekedar ilusi. Kant menamakannya konsep yang mengelabui (conceptus ratiocinantes).214 Konsep akal murni berbeda dari pemahaman. Konsep pemahaman adalah susunan kategori. Adapun konsep akal murni adalah ide-ide transendental.215 Ide 213 Kant menyebut silogisme sebagai Vernunftschluß, yang secara bahasa berarti an inference reason. Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 390 214 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 394 215 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 395 109 menurut Kant adalah sesuatu yang merujuk pada konsep non-empiris, tidak dari pengalaman, melainkan dihasilkan rasio.216 Ide tersebut mengikat semua bentuk penalaran, dalam sebuah kesatuan. Namun, Kant menolak ide menurut Plato. Bagi Kant, Plato telah memperlakukan konsep ide sebagai sesuatu yang abstrak: semacam pola dasar (archetype) bagi segala sesuatu di dunia, yang tidak memiliki kaitan dengan realitas empiris, bahkan melewati batas-batas pemahaman—bagian terakhir ini yang sangat ditentang oleh Aristoteles. 217 Ide tersebut mengalir dari akal tertinggi, dan akal manusia bekerja dengan mengingat segala sesuatu yang sudah ada sebelumnya, sehingga tidak menemukan keaslian pemikirannya. Meskipun cukup abstrak, menurut Kant, Plato tetap berpegang bahwa hasil konkret ide berada pada tataran praktis (practical).218 Seperti ide kebebasan, kebaikan, termasuk kesadaran matematis, dapat diketahui dan dijelaskan dengan paparan pengalaman seseorang. Di sisi lain, Kant menolak pandangan Plato bahwa alam ide adalah bentuk yang sempurna, abadi, dan tidak berubah. Bagi Kant ide merupakan susunan pemikiran manusia. Tetapi, Plato tidak selalu salah. Kant sepakat dengannya terkait bukti-bukti ide yang tidak hanya berada dalam tataran akal manusia, melainkan sebagai sebab yang cukup jelas atas beragam aksi dan objeknya di alam.219 Dalam kehidupan sehari-hari, ide bisa menjadi sebab terjadinya interaksi antara manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam sekitarnya. Interaksi tersebut terjadi karena pemikiran yang menuntun manusia untuk bertindak. Pikiran sendiri dapat berisi 216 Thomas W. Wartenberg, “Reason and The Practice of Science”, in Paul Guyer, ed., The Cambridge Companion to Kant (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), h. 229 217 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 395 218 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 396 219 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 397 110 gambar-gambar atas fenomena alam. Namun, itu hanya sekedar gambar. Untuk bisa mengetahui bentuk riil objek, caranya dengan melihat bentuk aslinya di dunia, tempat manusia itu hidup, melalui sensibiltas. Cara ini tidak terlepas dari ketentuan hukum alam yang melingkupi kehidupan manusia, begitu pula susunan akal pikiran subjek sebagai pengamat. Bagi Kant, ide atau konsep akal (Jerman: der Vernunftbegriff)220 adalah konsep yang dibentuk oleh gagasan atau pemikiran, yang melewati kemungkinan pengalaman. Dengan begitu, bersifat murni a priori. Ide teoretis berlaku seperti konsep empiris, yakni sebagai penyatu,221 meskipun keduanya memiliki objek berbeda. Objek penyatuan yang dimaksud adalah pengetahuan empiris, yang sudah mengalami pengujian pada tahap rasio. Konsep yang membentuk ide, selama tidak berada dalam kerangka sensibilitas disebut notio. Kant tidak memungkiri bahwa sumber data pikiran berasal dari luar, dan tidak menolak bahwa akal memiliki sejumlah kecenderungan alamiah a priori, meskipun yang terakhir itu tidak digolongkan sebagai pengetahuan. Baginya, selama persepsi merujuk pada subjek sebagai sebuah modifikasi keadaan, maka disebut sensasi (sensatio). Jika persepsi tersebut lepas dari pandangan subjektifitas, atau objektif, maka disebut kesadaran (cognitio). Kesadaran dapat berbentuk hasil pencerapan intuisi, atau konsep (intuitus vel conceptus). Intuisi berkaitan dengan objek secara langsung, dan bersifat singular. Sedangkan konsep ditengahi oleh catatan yang berskala umum pada semua jenis penampakkan.222 Semua struktur dasar ini, akhirnya berperan dalam menghasilkan kesimpulan final pada tahap akal. 220 Immanuel Kant, Kritik der reinen Vernunft, nach der ersten und zweiten OriginalAusgabe herausgegeben von Raymund Schimdt (Felix Meiner Verlag: Hamburg, 1990), h. 354 221 Thomas W. Wartenberg, “Reason and The Practice of Science”, h. 230 222 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 398-399 111 Menurut Kant, kesimpulan akal tercapai karena universalitas kesadaran menurut konsep. Sifat universalitas tersebut berkesesuaian dengan susunan silogisme, yang membentuk putusan secara a priori di keseluruhan kondisinya.223 Universalitas yang dimaksud adalah jarak wilayah yang sempurna dalam suatu kondisi, ketika kesimpulan akhir silogisme diperoleh. Objek dalam kesimpulan tersebut sebelumnya sudah termasuk bagian premis mayor, di bawah kondisi yang lebih luas. Kant mencontohkan bahwa kalimat, “Caius adalah makhluk hidup”, didapatkan dari pengolahan pemahaman sebagai kesimpulan akal. Sebelumnya, pemahaman sudah mencoba menelusuri secara lebih detail dan luas, paparan yang berkenaan dengan objek yang dibicarakan, yakni Caius, dengan sesuatu yang lebih universal, maka didapatlah kata, “manusia”. Lalu dibuat susunan silogisme, “semua manusia adalah makhluk hidup”, “Caius adalah manusia”, maka “Caius adalah makhluk hidup”. Susunan silogisme tersebut adalah hasil kinerja fungsi a priori subjek, dalam mengolah sejumlah data guna menghasilkan kesimpulan. Dalam penalaran silogisme, premis mayor membuat gambaran umum dan menyeluruh atas objek yang berada dalam suatu kondisi. Setelah itu, baru kesimpulannya yang diarahkan berbentuk objek tertentu. Objek tersebut berupa hal partikular, yang dijelaskan secara menyeluruh dalam totalitas kondisinya. Konsep transendental akal tidak lain adalah menemukan totalitas kondisi atas sesuatu yang hadir dikondisikan (totality of conditions to a given conditioned thing).224 Kerja akal selanjutnya semakin memperbanyak kesatuan totalitas tersebut. Totalitas tersebut adalah konsep akal yang selaras dengan kinerja pemahaman melalui kategori-kategori. Penelusuran konsep akal tersebut bisa dijelaskan sebagai 223 224 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 399 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 400 112 penemuan pengetahuan yang terkondisikan (a conditioned knowledge),225 yang selalu terarah pada keadaan yang tidak dikondisikan (an unconditioned). Penelusuran itu dilakukan dalam tiga bentuk: Pertama, sintesis kategoris di dalam subjek; kedua, sintesis hipotesis dari sekumpulan rangkaian; ketiga, sintesis disjunktif dari bagian-bagian dalam sebuah sistem.226 Ketiga bentuk sintesis itu selaras dengan susunan kategori relasi: substansi, sebab akibat, dan komunitas. Kant tidak bermaksud menganggap bahwa pengetahuan yang tidak dikondisikan itu ada. Hal itu hanya sebagai cara menjelaskan bahwa akal selalu bekerja mencari sintesis atas segala macam pemahaman dalam bentuk kesimpulan tiga macam susunan: silogisme kategoris, silogisme hipotesis, dan silogisme disjunktif. 227 Sintesis atas apa yang tidak dikondisikan sebenarnya tidak pernah dianggap sebagai pengetahuan. Dengan tiga bentuk silogisme tersebut, Kant tidak bermaksud menjelaskan hal abstrak. Kendati tidak berhubungan secara langsung dengan objek, tetapi konsep akal berisi informasi yang berkenaan dengan realitas empiris. Rumusan ini terkait dengan kegunaan dasar-dasar kerangka teoretis sains. Terkadang rumusannya dianggap sebagai upaya untuk menyediakan fondasi metafisika bagi sains Newtonian.228 Menurut Kant, selama subjek menggunakan kekuatan pemahaman dan akalnya, maka akan banyak kesimpulan akal yang bermunculan. Hal tersebut 225 Sebenarnya Kant tidak menjelaskan secara eksplisit maksud a conditioned dan an unconditioned. Tapi, jika menelusuri secara detail, kita bisa mengasumsikan bahwa yang pertama adalah sesuatu yang memiliki kaitan dengan realitas empiris, kendati sudah dimurnikan. Sedangkan yang kedua merujuk pada sesuatu yang tidak memiliki dasar empiris. Bandingkan misalnya, Frederick Copleston, A History of Philosophy, h. 280 226 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 400 227 Frederick Copleston, A History of Philosophy, h. 281 228 Thomas W. Wartenberg, “Reason and The Practice of Science”, in Paul Guyer, ed., The Cambridge Companion to Kant (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), h. 228 113 menandai perwujudan pemahaman yang luas, menuju kepada totalitas yang semakin mengerucut. Misalnya pada penalaran, “semua manusia adalah makhluk hidup”, “semua sarjana adalah manusia”, maka “semua sarjana adalah makhluk hidup”. Susunan silogisme ini sebenarnya sudah merupakan totalisasi kesimpulan yang diperoleh akal. Premis mayor, “semua manusia adalah makhluk hidup”, merupakan kesimpulan dari silogisme yang mencakup objek yang lebih luas: “semua hewan adalah makhluk hidup”, “manusia adalah hewan,” maka, “semua manusia adalah makhluk hidup”. Dari sini dapat dipahami bahwa kesimpulan terakhir silogisme bisa dibentuk kembali menjadi premis mayor, yang mampu membawahi konsep-konsep secara lebih spesifik, dengan kapasitas yang sebelumnya diperoleh dari data yang lebih luas. Akal mampu membuat penyatuan menyeluruh atas beragam kesimpulan yang sudah diperoleh sebelumnya, guna mendapatkan kesimpulan baru. Penyatuan tersebut menurut Kant, dianggap absolut. Absolut ditujukan untuk menandai bahwa sesuatu adalah valid secara internal, dan juga valid dalam setiap hubungannya.229 Dengan kata lain, Kant bermaksud menunjukkan bahwa penyatuan beragam kesimpulan akal sebagai sesuatu yang tetap dan mungkin pada dirinya. Di sisi lain, setiap kesimpulan itu memiliki keterkaitan, sehingga bisa dihubungkan satu dengan yang lain. Oleh karena itu, konsep transendental akal selalu menuntun pada totalitas absolut dalam sintesis atas kondisi-kondisi objek. Totalitas absolut tersebut bukan konsep yang digunakan dalam pengalaman. Tapi, berhubungan hanya dengan pemahaman yang memberi dasar-dasar aturan pengalaman. Kant menyebut totalitas absolut sebagai kesatuan akal dalam penampakkan (the unity of reason in appearances), dan 229 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 401 114 dibedakan dengan bentuk-bentuk kategori sebagai kesatuan pemahaman (the unity of understanding).230 Selama terjadi penyatuan dalam penampakkan, akal juga berupaya menghadirkan sesuatu yang universal dalam setiap hubungan penampakkan, yang terkait dengan: 1) relasi terhadap subjek; 2) hubungan dengan objek-objeknya, baik sebagai penampakkan, atau objek dalam pemikiran secara umum. Kant mengatakan bahwa dua hal tersebut dapat diperinci dengan mempertimbangkan ide atas representasi, yang berkaitan dengan: 1) hubungannya dengan subjek; 2) hubungan dengan keragaman objek dalam penampakkan; 3) hubungan dengan semua hal secara umum.231 Dari ketiga pembagian di atas, akal membuat kesatuan sintetis atas segala representasi. Akal bahkan membuat kesatuan sintesis yang tidak dikondisikan. Kendati ujung dari sintetis ini adalah semacam klaim metafisik, Kant tetap mengakuinya sebagai bagian dari kerja akal. Bagi Kant, ketiga hal tersebut membawahi ide transendental dalam tiga perincian yang berisi kesatuan absolut yang tidak dikondisikan: 1) kesatuan absolut pemikiran subjek; 2) kesatuan absolut rangkaian kondisi penampakkan; 3) kesatuan absolut kondisi semua objek pemikiran secara umum.232 Yang pertama adalah objek psikologi. Akal menyediakan ruang bagi penjelajahan ide tentang jiwa rasional (psychologia rasionalis), dalam bentuk sintesis kesatuan yang tidak dikondisikan, yakni ego permanen yang dipahami sebagai substansi. Yang kedua adalah objek kosmologi. Di sini akal berperan mendukung sains transendental dunia atau kosmologi rasional (cosmologia rasionalis). Akal membuat sintesis atas keragaman objek, yang terarah 230 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 402 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 405 232 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 406 231 115 pada kesatuan kausalitas yang tidak dikondisikan, sehingga berupa kosmologi spekulatif. Yang ketiga adalah objek teologi, sebagai basis rasional penalaran teologi (theologia rasionalis). Pada bagian terakhir ini, akal mencari kesatuan yang tidak dikondisikan dalam bentuk wujud tertinggi atas segala kemungkinan yang bisa dipikirkan. Di sini konsep Tuhan hadir sebagai penyatu segala sesuatu. Namun, ketiga ide tersebut tidak ditunjang oleh pemahaman dengan objek dalam tatanan empiris. Ketiganya menjadi problem akal murni, karena tidak memiliki deduksi objektif atas penampakkan.233 Ketiganya hanya merupakan pengenalan subjektif setiap individu, atas dasar kemampuan alamiah akal.234 Hal seperti ini tidak bisa dihindari. Dengan ini Kant menjawab seseorang yang terpelajar sekalipun, bisa memiliki kecenderungan membuat totalisasi kesimpulan akal tanpa bukti empiris. Kant mengakui kecenderungan semacam ini. Kant mengakui banyak kemungkinan jalur yang ditempuh guna menghasilkan kesimpulan akal. Pada dasarnya, akal menyediakan dasar teoritis, baik bagi pemikiran ilmiah yang berbasis pada premis-premis yang tepat dan akurat sesuai fakta, sekaligus juga struktur pemikiran yang tidak berpijak pada pengalaman empiris. Keduanya diakui bersumber dari akal. Susunan silogisme terakhir, disebut Kant kesimpulan yang menyesatkan (sophistical). Ini dibedakan dari yang pertama, yang disebutnya kesimpulan rasional (rational inferences).235 F. Tiga Kecenderungan Akal Sejalan dengan fungsi akal yang bersifat regulatif, pada sisi lain akal juga memberi fondasi bagi sejumlah kecenderungan alamiah yang menghasilkan 233 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 406 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 407 235 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 409 234 116 kesimpulan, tetapi berada di luar pengetahuan. Kant membaginya menjadi tiga: paralogisme, antinomi, dan ideal akal murni.236 F.1. Paralogisme Paralogisme adalah bentuk penalaran, yang susunannya menyalahi kaidah silogisme, tanpa perlu melihat lebih jauh informasi yang dikandungnya apakah salah atau benar.237 Paralogisme hanya berisi sesuatu yang bersifat abstrak, tidak riil. Kant membagi kecenderungan ini menjadi empat: pertama, ide tentang substansi (substantiality); kedua, jiwa terdiri dari hal-hal sederhana (simplicity); ketiga, kesadaran identitas numerik tentang diri dalam waktu-waktu berbeda (personality); keempat, eksistensi yang hanya dianggap sebagai sebab menurut persepsi (ideality).238 Keempat hal tersebut adalah problem akal. Problem di sini diartikan sebagai kemustahilan membuktikan data empiris, berkaitan dengan kebenaran halhal tersebut. Pertama, substansi239 adalah sesuatu yang abstrak, dan tidak ada dalam realitas.240 Kedua, kendati pemikiran dapat dikaitkan dan dipisah dengan beragam hal, tetapi jiwa tidak bisa didistribusikan atau dibagi-bagi. Jiwa meliputi kedudukan subjek yang berpikir secara menyeluruh.241 Ketiga, identitas kesadaran dalam waktu-waktu berbeda hanyalah kondisi formal pemikiran, tidak menunjukkan identitas numerik subjek. Perubahan hanya terjadi berkenaan dengan kesadaran subjek dengan penampakkan objek, dan bukan subjek pada Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 410 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 411 238 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 413 239 Lewat karya-karyanya, proyek filosofis Kant berhasil mereduksi semua fakultas atau kapasitas jiwa menjadi tiga hal: fakultas untuk mengetahui, fakultas kesenangan dan kesakitan, dan fakultas keinginan (desire). Immanuel Kant, Critique of Judgment, trans., J.H. Bernard (Promoteus Books: New York, 2000), h. 14 240 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 417 241 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 419 236 237 117 dirinya yang ditentukan secara numerik.242 Keempat, kesadaran atas objek di luar secara langsung membuktikan bahwa sesuatu di luar subjek adalah nyata berada di dalam ruang.243 Kedudukannya yang terikat hukum sebab akibat adalah nyata, dan tidak hanya ketika menampakkan diri pada persepsi subjek. Di sini, Kant secara tegas menentang pandangan kaum idealis, yang tidak mengakui hukum sebab akibat pada realitas di luar subjek, selama tidak diketahui persepsi langsung melalui pengalaman. F.2. Antinomi Bagian kedua dari kecenderungan alamiah akal adalah antinomi. Penjelasannya berkaitan dengan ketiga konsep: Tuhan, jiwa, dan kebebasan. Bagi Kant, antinomi (antinomy)244 tidak berisi informasi yang bersumber dari data empiris. Kant mengajukan empat pasang antinomi, berupa tesis sekaligus antitesisnya. Tesis pertama berisi pernyataan bahwa dunia memiliki permulaan di dalam waktu dan terbatas secara ruang. Anti-tesisnya berupa penyangkalan dunia memiliki permulaan waktu, dan tidak terbatas secara ruang. Tesis kedua berupa pernyataan bahwa semua bentuk benda-benda yang tersusun, berasal dari subtansi sederhana. Anti-tesisnya adalah pendapat bahwa tidak ada substansi sederhana. Tesis ketiga berupa pernyataan bahwa segala sesuatu di alam semesta ditentukan oleh hukum, yang mengikat dan berlaku secara objektif. Anti-tesisnya adalah pendapat bahwa segala sesuatu memiliki kebebasan, tidak terikat hukum apapun. Tesis keempat berupa pernyataan bahwa terdapat realitas tertinggi (an absolutely necessary being) sebagai pengatur. Anti-tesisnya menyatakan bahwa tidak ada 242 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 423 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 429 244 Dalam logika Modern, istilah ini merujuk pada kesimpulan yang tidak mungkin. Tapi, disusun berdasarkan bukti (proposisi) yang benar. Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy (London: Penguin Books Ltd., 2000), h. 29 243 118 realitas tertinggi, baik di dalam maupun di luar dunia. Segala sesuatu ada dengan sendirinya, dan pada dasarnya saling bergantung satu sama lain. Dalam kesimpulan mengenai keempat antinomy di atas, Kant berpendapat bahwa semua tesis adalah pendapat milik kaum rasionalis dogmatik, sedangkan anti-tesisnya milik kaum empiris.245 Kant tidak sepakat dengan semua tesis, karena metafisika tidak bisa menjadi pengetahuan. Isi dari pengetahuan hanya bisa meluas berkenaan dengan pengalaman. Begitu pula ia tak sependapat dengan antitesisnya, karena dengan begitu telah mempersempit perspektif seseorang. Bagi Kant, akal manusia memiliki kecenderungan untuk berpikir bebas, bahkan keluar dari batas-batas pengalaman. Di sini, posisi Kant cukup jelas, yakni menjadikan persoalan di atas sebagai bukan bagian pengetahuan. F.3. Ideal Akal Murni Bagian terakhir dari kecenderungan alamiah akal adalah ideal akal murni. Bagian ini masih memiliki kaitan dengan dua bentuk kecenderungan sebelumnya. Kant menjelaskan bahwa ideal akal murni berupaya mencari asas-asas rasional atas problem wujud tertinggi (the highest being, ens summum), sebagai objek di dalam akal.246 Wujud tertinggi adalah Tuhan, sebagai penguasa alam semesta. Menurut Kant, selama ini terdapat tiga cara pembuktian mengenai Tuhan: pertama, bukti teologis (the phsyco-theological proof); kedua, bukti kosmologis (the cosmological proof); ketiga, bukti ontologis (the ontological proof).247 Tapi, kesemua pembuktian itu tidak menguatkan kebenaran adanya Tuhan. Tuhan tetap sesuatu yang abstrak, dan tidak bisa dianalisis. Tuhan tidak bisa dijadikan alasan 245 Frederick Copleston, A History of Philosophy, vol. 6, Wolff to Kant (Wellwood: Burn & Oates, 1999), h. 293 246 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 557 247 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, h. 563 119 adanya alam, beserta segala isinya. Hukum-hukum alam jelas menunjukkan arah yang harus diselidiki akal. Menempatkan kebesaran Tuhan sebagai sumber segala sebab adalah alasan malas (a lazy reason) untuk berpikir.248 Guna menghindari kekeliruan pemahaman terhadap beberapa persoalan di atas, Kant menjelaskan bahwa hal-hal metafisika selalu berhubungan dengan wilayah noumena. Noumena adalah benda pada dirinya, atau bisa diartikan sebagai objek kesadaran yang tidak diproduksi oleh pengalaman inderawi.249 Ini dikontraskan dengan fenomena. Siapa pun tidak bisa mengetahui noumena. Misalnya, ide tentang kebebasan. Kebebasan hanya berada di wilayah noumena, bukan sebagai fenomena. Segala fenomena di dunia dikendalikan oleh hukum yang mengatur dan bersifat niscaya, yakni hukum sebab akibat. Oleh karena itu, kedua wilayah tersebut sebaiknya tetap dipisahkan. Metafisika sebagai kecenderungan alamiah akal (natural disposition of reason), bisa dianggap aktual. Tapi, kedudukannya tetap hanya sebuah ilusi. Jika kita meneliti alam dengan berpegang pada metafisika, maka yang didapat adalah kesia-siaan. 250 Begitu pula misalnya, ide tentang Tuhan. Bagi Kant, ide tentang Tuhan sebenarnya berguna mengarahkan kehidupan manusia. Ia sendiri tidak diragukan sangat percaya adanya Tuhan, kebebasan, dan keabadian.251 Kendati demikian, Kant menegaskan bahwa persoalan agama sama sekali tidak memiliki kesadaran secara ilmiah pada diri subjek.252 Kepercayaan 248 Immanuel Kant, Religion and Rational Theology, trans., ed., Allen W. Wood and George Di Giovanni (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), h. 344 249 Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 391 250 Beryl Logan (ed.), Kant’s Prolegomena to Any Future Metaphysics in Focus (New York: Routledge, 1996), h. 122 251 A.C. Ewing, A Short Commentary on Kant’s Critique of Pure Reason (Chicago: Chicago University Press, 1984), h. 246 252 Allen W. Wood, “Rational Theology, Moral Faithful, and Religion”, in Paul Guyer, ed., The Cambridge Companion to Kant (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), h. 406 120 pada realitas absolut, memungkinkan seseorang mengikuti anjuran moralitas, untuk mencapai kebahagiaan hidup. Klaim-kalim moralitas agama, memiliki alur pemikirannya pada kepercayaan kepada Tuhan. Tuhan dipandang sebagai wujud paling sempurna (Ens perfectissimum), atau wujud paling nyata (Ens realissimum),253 sebagai pencipta alam semesta. Namun, Kant tetap yakin bahwa tidak ada bukti empiris yang meyakinkan mengenai hal-hal metafisika semacam itu.254 Kant menjelaskan lebih lanjut permasalahan moralitas dalam karyanya, Kritik der praktischen Vernunft.255 G. Tinjauan Pengetahuan Menurut al-Imâm al-Ghazâlî Paparan tentang al-Ghazâlî pada bagian ini, bertujuan menghadirkan sebuah pandangan dalam tradisi intelektual Islam. Al-Ghazâlî termasuk yang dikenal sebagai perumus epistemologi Islam.256 Meskipun antara pemikiran alGhazâlî dan Kant sangat berbeda, tapi yang dituju di sini adalah kritik dari keduanya terhadap hal-hal empiris sekaligus klaim rasionalis. Keduanya berhasil meruntuhkan dan membangun kembali rumusan dari dua bentuk kecenderungan penalaran tersebut. 253 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans., Paul Guyer dan Allen W. Wood, (Cambridge: Cambridge University Press, 2000) h. 570 254 A.C. Ewing, A Short Commentary on Kant’s Critique of Pure Reason, h. 198 255 Dalam karya ini, Kant berusaha menjelaskan bahwa klaim moralitas terkait erat dengan akal praktis. Yang menarik dari Kant adalah ia sangat mengutamakan aspek kewajiban sebagai basis kesadaran moral seseorang, yang bertumpu pada maxim-nya. Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, h. 40 256 Pemikiran brilian mengenainya dapat dilihat berkenaan dengan klasifikasi ilmu. Bagi al-Ghazâlî dan beberapa sarjana Islam lainnya, ilmu bersifat hierarkis; ada yang di atas dan ada yang di bawah. Namun, dalam rentang sejarah umat Islam, klasifikasi al-Ghazâlî adalah yang paling bertahan hingga sekarang. Osman Bakar, Hierarki Ilmu: Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu, terj. Purwanto (Bandung: Mizan, 1997), h. 235 121 Al-Ghazâlî menjelaskan bagaimana ia sampai pada keyakinan tentang kebenaran hakiki, melewati fase keragu-raguan. Ia menganggap daya inderawi tidak bisa memuaskan pencariannya tentang kebenaran hakiki. Hal ini karena keterbatasan fungsi inderawi dalam menggapai sesuatu. Ia jelaskan berikut ini: "ا! وا# $% إ & ا%() * وأاه ﺡ ا ؟ وه, أ ا ا ت..." "ك- / "ك وأﻥ/ف أﻥ2) 3 42 ة4ه6 وا7" ا- ﺙ, ( * ا آ-.) و,ك !"ا# ?آ. إ & ا%() و. ﺡ ا ف.) - &" ﺡ,ر= ذرة ذرة4" >& ا3 $ ,"9 2#د اE ه.ار4 & ا# رضC أآ ا/>& أﻥ3 ل4) 4(B د اC ا- ﺙ,(ر4 ار ا4 &# ا9ﺹ I E.) ,/ﻥH و$2 ا- ﺡآ/E. و,/.ﺡF G ا- ﺡآB# -. ا ت/ وأ 257 "./"2#ا4 I إ$ Kelemahan daya inderawi, merupakan alasan al-Ghazâlî tidak menerima secara penuh kebenaran informasi dari hasil tangkapannya. Kelemahan itu bisa berakibat fatal. Siapapun dapat keliru jika hanya berpegang pada aspek lahiriah pengalaman. Namun, tidak sampai di sini. Pada kelanjutannya, keragu-raguan alGhazâlî juga menyerang daya kognitif akal, dan segala bentuk pertimbangan rasional. Misalnya, menyerang cara berpikir ahli fiqh karena menggunakan konsep analogi, serta terhadap Mutakallimûn yang rasional, meskipun ia masih menganggap bahwa kalâm adalah ilmu yang luhur, karena mengupas hal-hal pokok dalam agama.258 Al-Ghazâlî juga menganggap bahwa rasio pada dirinya bermasalah. Kapasitasnya sebagai sumber pengetahuan memiliki sejumlah persoalan. Akal 257 “Darimana kepercayaan kepada indera (muncul), sedangkan yang paling kuat adalah indera penglihatan? Penglihatan melihat bayang-bayang, maka terlihat bayang-bayang itu diam tak bergerak. Mata memutuskan tiadanya gerakan. Kemudian dengan pengujian dan penyaksian sesaat, diketahui bahwa bayang-bayang itu bergerak, dengan pergerakan yang tidak langsung seketika. Tapi, berangsur-angsur, sehingga tiada waktu untuk diam. Mata melihat pada bintang, terlihat kecil seukuran dinar. Namun, bukti-bukti ilmu ukur menunjukkan bahwa ukuran bintang lebih besar dari bumi. Ini dan contoh-contoh semisalnya merupakan hasil penemuan fungsi inderawi. Hal itu ditolak dan diragukan oleh fungsi akal, sebagai kebohongan yang tidak ada jalan lain kecuali membantahnya.” Abû Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâlî, Majmû‘ Rasâ`il al-Imam al-Ghazâlî, al-Juz` 7, tahqîq oleh Ahmad Syamsuddîn (Bairût: Dâr Kutub al‘Ilmiyyah, 1409 H.,/ 1988 M.), h. 27- 28 258 Abû Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâlî, Majmû‘ Rasâ`il al-Imam alGhazâlî, al-Juz` 3 (Bairût: Dâr Kutub al-‘Ilmiyyah, 1414 H.,/ 1994 M.), h. 58 122 hampir sama seperti halnya kemampuan inderawi; tidak bisa secara total dijadikan pegangan kebenaran hakiki. Dalam bentuk penalaran rasional, kebenaran diperoleh dengan mengambil sejumlah bukti-bukti melalui premis-premis yang tersusun secara sistematis. Namun, kebenaran itu justru tidak bersifat final. Jika terdapat argumentasi dengan alur berpikir yang lebih kokoh, maka kebenaran itu tidak lagi dapat dipertahankan.259 Yang menarik, al-Ghazâlî membandingkan penalaran seseorang saat terjaga dengan keadaannya saat tertidur. Ia berkata: K>) &# K ﺵI ﺙ) وا"ارا وB 4"2) و,I أﺡا$H") و,& ا (م أرا# 4"2) "…أ )اك أنF) -# :$MN و$ أﺹK)ا4"2 وK)OH" P7 . - / أﻥ->2"# Q") - ﺙ,B# ا . ,B# T ا "& أﻥK" إ & ﺡ#UV W ه ﺡ$3 أوG K"% &# !4"2) Pن ﺝ. ﻥK"% ن.) ,K( & إK"% ( آK"% & إB"ن ﻥ.) ﺡK>3 أY) أن. $ ﺡﺹI تI ﺥK>2 T )هP أن ﺝT() اK>) \ذا وردت# !B ا#UV 260 ".B Al-Ghazâlî mengandaikan bahwa dalam keadaan mimpi, segala sesuatu terlihat begitu nyata. Segala sesuatu seolah hadir dan dapat dirasakan, termasuk kegiatan berpikir. Al-Ghazâlî mempertanyakan batas yang jelas antara daya rasional yang hadir pada saat terjaga dan ketika bermimpi. Ia menyimpulkan bahwa kedua keadaan itu tidak bisa dibuktikan jika berpijak pada posisi subjek. Oleh karena itu, diperlukan hal lain sebagai basis penguat kebenaran hakiki. Pada kelanjutannya, keragu-raguan al-Ghazâlî bahkan mendekati titik klimaks. Ia akhirnya menyerang hukum kausalitas. Serangan itu ia tujukan secara khusus kepada para filosof Muslim, seperti al-Fârâbî dan Ibn Sînâ. Al-Ghazâlî 259 Al-Ghazâlî, Majmû‘ Rasâ`il al-Imam al-Ghazâlî, al-Juz` 7, h. 28 “….adapun ketika jiwa melihatmu meyakini banyak hal di dalam tidur, membayangkan keadaan, dan menganggap semua itu tetap dan stabil, sehingga tidak ada keraguan mengenai keadaan di dalamnya, kemudian kamu terbangun, dan tahu bahwa semua khayalan dan anggapanmu tidak memiliki dasar serta kemampuan: dengan apa kamu meyakini ketika terbangun, baik melalui indera maupun akal bahwa hal itu adalah benar (haqq), dengan mengaitkannya pada keadaanmu di dalamnya? Padahal mungkin sekali keadaan sadarmu datang seketika, sama seperti keadaan ketika tidur. Dengan begitu, maka sadarmu dinilai tidur dengan mempertimbangkan pada keadaan tersebut. Maka ketika telah mengetahui keadaan itu, kamu yakin bahwa semua yang di bayangkan akal adalah khayalan dan tidak ada manfaat darinya.” Al-Ghazâlî, Majmû‘ Rasâ`il alImam al-Ghazâlî, al-Juz` 7, h. 28 260 123 menawarkan pembacaan berbeda atas hukum kausalitas. Baginya, selama ini proses yang terjadi adalah persepsi inderawi menangkap adanya suatu kejadian. Lalu secara tergesa-gesa, akal menjustifikasi bahwa terdapat keniscayaan sebabakibat (sababiyyah) di dalamnya. Al-Ghazâlî berkata: ] ﺵ$ آ$ ,ﻥ4(3 ورU G , 4"2 و, دة2 & ا# 4"2 "انV"ا * ( (^" / ﻥI و,ﺥCﺙت اV (^" ه4 إﺙت أﺡI و,اE ذاك هI و,ا ذاكE هG ,ﺥCم ا43 ه4م أﺡ43 ورةU I و,ﺥCه وﺝد ا4ورة وﺝد أﺡU G>#,ﺥCا وا ت,c6 >ع اN وا (ر و,ﺡ"اق و ء ا (رV وا,$آC واP6 وا,ب6 ا ي وا$ 261 "f ا....واء4 ء وﺵب ا6 وا, اeوﺝ Bagi al-Ghazâlî semua peristiwa alamiah, kejadian-kejadian di dunia fisik, tidak menunjukkan adanya kepastian kausalitas. Misalnya, kejadian terbakarnya kayu ketika bertemu api. Pada dasarnya, bukan karena api yang bisa membakar. Terbakarnya kayu ketika bertemu api, hanya sebuah fenomena alamiah. Hal itu tidak menunjukkan ketetapan hukum, karena api pada dirinya adalah benda mati (jamâd). Api tidak bisa berbuat apa-apa pada kayu. Al-Ghazâlî menanggap bahwa semua sebab kembali pada Allah.262 Dalam setiap kejadian, selalu terdapat penyebab utama (Allah), dan penyebab perantara yang menengahi rangkaian peristiwa alamiah. Kedua hal ini ada bersamaan. Tapi, sebab utama menjadi penentu dalam setiap peristiwa. Sebab utama berbeda dari sebab perantara. Oleh karena itu, sebab perantara semisal api, tidak memegang peranan primer. 261 “Pertalian antara sesuatu yang diyakini sebagai sebab, dan sesuatu yang diyakini sebagai musabab, bukan kepastian bagi saya. Bahkan, dari keduanya bukanlah ini sebab, dan itu musabab. Adapun ketetapan salah satunya, tidak mengindikasikan ketetapan yang lain. Begitu pula, ketiadaan salah satunya, tidak mengindikasikan ketiadaan yang lain. Maka tak ada kepastian, adanya salah satunya, menetapkan adanya yang lain. Begitu juga ketiadaan salah satunya, tidak memastikan ketiadaan yang lain. Misalnya, (munculnya) rasa segar dengan minum; kenyang dengan makan; terbakar dengan bertemu api; keluarnya cahaya dengan munculnya mathari; kematian dengan terputusnya leher; sehat dengan minum obat, dan sebagainya.” Abû Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah (Qâhirah: Dâr al-Ma‘ârif, 1392 H.,/ 1972 M.), h. 293 262 Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah, h. 240 124 Sebagai catatan pembanding, al-Ghazâlî menawarkan sistem epistemologi yang bertitik tolak pada pengalaman mistis. Bagi al-Ghazâlî, pengetahuan tertinggi adalah berupa penyingkapan (kasyf), atau dengan penyaksian misteri ilahi (musyâhadah). Ia berupa cahaya yang diturunkan Allah kepada manusia yang hatinya bersih. Pengetahun ini ia sebut ‘ilm ladunî (ilmu yang halus). Ilmu ini tidak didapat dari penjelajahan pemikiran, sehingga terbebas dari kesalahan. Objek di dalamnya menyangkut hal-hal lahiriah bersifat inderawi, maupun hasil refleksi pemikiran rasional. Kehalusan ilmu ini sangat menancap di dalam hati sanubari, sehingga tidak meninggalkan sedikit pun ruang keragu-raguan. Sehingga andaikata ada orang yang dapat mengatakan bahwa tiga lebih besar dari sepuluh, dengan segala argumentasi yang ia miliki, hal itu tidak akan menggoyahkan keyakinan bahwa sepuluh lebih besar daripada tiga. Yang tersisa di dalam pikiran tidak lebih dari perasaan takjub dengan kemampuan orang tersebut. Ia berkata: و ر إن,"!م إ ر#$)ي ' & ا$ ه! ا+,&&$ ا-"$ أن ا+$ 012" "...7$ ذ09:$ "$<; ا: و,-!ه$ وا5"6$ا Ia melanjutkan, "I أ+ أG&$9@?>= ﺏ$ اG ﺏ, :GHI +$ لI !" ,=>?@$ اA 0@ة أآ0$ أن اD#"E إذاF…" إ, +$ GMP -$ و,+:0 + < ﺏ7 أﺵ-$ ,, 7$ت ذ9 وﺵه,1"I > وM$ه)ا ا 263 ".? :#"E #& 7$ اT ,&"E رﺕ9I =&R& آA S:$ا Secara umum, al-Ghazâlî membedakan antara ‘ilm husûlî dengan ‘ilm hudûrî. Yang pertama merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan cara belajar, sedangkan yang kedua didapatkan dari kehadiran. Menurut al-Ghazâlî, 263 “Maka jelaslah bagi saya bahwa ilmu yakin adalah ilmu yang menyingkap objek yang diketahuinya (al-ma‘lûm), dengan penyingkapan yang tidak meninggalkan keraguan bersamanya, dan tidak memungkinkan terjadinya kesalahan dan prasangka di dalam hati…”, ia melanjutkan, “…Maka ketika saya tahu bahwa sepuluh lebih besar dari tiga, ketika ada orang yang berucap: tidak, tetapi tiga lebih besar dengan bukti kemampuan saya bisa mengubah tongkat menjadi ular dan mengembalikannya lagi, dan saya menyaksikan kejadian itu, maka saya tidak meragukan pengetahuan saya dengan sebab itu, dan tiada yang tersisa selain perasaan takjub dengan kemampuannya. Adapun keraguan dengan apa yang telah saya ketahui, maka hal itu tidak terjadi.” Al-Ghazâlî, Majmû‘ Rasâ`il al-Imam al-Ghazâlî, al-Juz` 7, h. 26 125 jenis pengetahuan yang terakhir terbagi dua macam: pertama, berupa wahyu dari Allah; kedua, berupa pelimpahan ilham. Proses yang pertama hanya berlaku kepada para Nabi. Mereka menerima ilmu itu tanpa perlu mengamati fakta atau mengembangkan penalaran. Tapi, sudah merupakan pemberian (given) dari Allah. Adapun proses yang kedua dapat berlaku pada manusia secara umum.264 Siapa pun bisa mendapatkannya, dengan catatan memiliki kapasitas tertentu menjalani kehidupan sebagai pribadi yang bertakwa. Dari paparan dalam karya-karyanya, dapat dikatakan bahwa sejak semula al-Ghazâlî tidak pernah meminggirkan penalaran rasional dan etika tasawuf.265 Peranan akal dan indera tetap dianggap penting sebagai basis penyelidikan ilmiah. Yang hendak ditentang al-Ghazâlî adalah klaim kemutlakan kedua fungsi tersebut sebagai sumber segala kebenaran. Untuk mendapatkan kepastian mutlak, tidak hanya dibutuhkan observasi atas fakta-fakta dan penalaran rasional, melainkan adanya petunjuk dari Allah sebagai pemilik segala kebenaran hakiki. Buku Tahâfut al-Falâsifah, sebenarnya adalah kritiknya terhadap dua filsuf Muslim—al-Farâbî dan Ibn Sînâ—yang dinilai sangat arogan, karena memutlakkan peranan rasio. Tapi, al-Ghazâlî sendiri tidak bermaksud mengritik filsafat sebagai ilmu. Jika yang dimaksud al-Ghazâlî adalah kerancuan filsafat, maka semestinya karya itu berjudul Tahâfut al-Falsafah (kerancuan filsafat), dan bukan Tahâfut al-Falâsifah (kerancuan para filsuf). Dengan tegas al-Ghazâlî sendiri berkata bahwa filsafat sangat diperlukan, semisal dalam pengembangan ilmu hitung (hisâb).266 264 Al-Ghazâlî, Majmû‘ Rasâ`il al-Imam al-Ghazâlî, al-Juz` 3, h. 6970 Seyyed H. Nasr dan O. Leaman (ed.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Buku Pertama (Bandung: Mizan, 1997), h. 331; lihat juga. M.M. Sharif, History of Muslim Philosophy, vol. I (New Delhi: Low Publication, 1995), h. 622-623 266 Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Ghazâlî, Mukhtasar Ihyâ` ‘Ulûmuddîn (Bairût : Dâr al-Fikr, 1993 M / 1414 H), h. 24 265 126 Al-Ghazâlî berhasil menjelaskan posisi yang tepat dalam pengkajian ilmu dari sudut pandang objeknya. Hal ini karena setiap ilmu memiliki objek penyelidikan yang berbeda-beda. Pembedaan tersebut adalah sebuah cara untuk mempermudah, dalam sistem yang berbentuk hierarkis. Misalnya, antara ilmuilmu keagamaan dan ilmu alam, sangat berbeda kaitannya dengan penyelidikan dan pembuktian masalah dalam kedua ilmu tersebut. Bagi al-Ghazâlî, ilmu agama berada di atas ilmu alam dan semua yang tidak berkaitan langsung dengan problem keagamaan. Oleh karena itu, tidak heran mengapa basis klasifikasi ilmu yang disusun al-Ghazâlî terbagi antara ilmu sebagai fard kifâyah dan fard ‘ain.267 Pembagian semacam itu hingga saat ini cukup diterima dalam tradisi intelektual Islam. 267 Osman Bakar, Hierarki Ilmu, h. 234 127 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Epistemologi Immanuel Kant merupakan sistem yang menyatukan, baik unsur a priori, maupun a posteriori. Namun, Kant selalu menegaskan bahwa pengetahuan harus memiliki pijakan pada tataran empiris. Dengan sistem tersebut, rumusan filosofis Kant berbeda dari para pendahulunya. Diawali dengan pembuktian bahwa putusan sintetik a priori adalah mungkin, Kant merambah lebih jauh dengan menunjukkan bahwa proposisi-proposisi pada setiap wacana pemikiran merupakan bentuk dari putusan sintetik a priori. Kant membuktikannya dalam tiga bidang: matematika, fisika, dan teologi—kendati yang terakhir tidak dianggap sebagai pengetahuan. Kant menolak segala bentuk klaim metafisika sebagai bagian dari pengetahuan, termasuk konsep Tuhan, jiwa dan sebagainya. Selain itu, Kant juga berhasil meruntuhkan klaim-klaim keliru dan berhasil mengubah konsepsi yang selama ini dianggap valid, yakni menjadikan manusia sebagai pengamat yang “diam”. Sebelum Kant, para filsuf menganggap subjek mendatangi objek. Bagi Kant, yang terjadi adalah sebaliknya: justru objek yang menampakkan diri kepada subjek. Hal ini bagi Kant, seperti revolusi Copernicus dalam ilmu alam, yakni mengubah sistem geosentris menjadi heliosentris. Di samping itu, alih-alih membicarakan isi pengetahuan, Kant terlebih dahulu meneliti struktur kapasitas subjek dalam menerima informasi. Kant mengajukan rumusan a priori subjek: konsep ruang dan waktu. Keduanya berada dan mengatur segala bentuk hasil penerimaan inderawi, posisi di mana objek menampakkan diri kepada subjek. Kant menyebut tahap ini sebagai tahap indera 128 (Sinnlichkeit). Selanjutnya hasil penampakkan itu masuk ke tahap kedua, yakni proses di mana data diolah dan dimurnikan dalam skala rasional. Pada tahap kedua, Kant menyebut adanya fungsi a priori lain, yakni putusan dan kategori. Keduanya disebut sebagai unsur a priori yang sangat berperan dalam proses berpikir. Proses ini disebut tahap analitik transendental, terkadang diartikan sebagai proses pengolahan data empiris menjadi pemahaman utuh. Kant menyebut tahap ini sebagai tahap pemahaman (Verstand). Pemahaman subjek atas objek, menandai kesadaran subjek sebagai pengamat. Kesadaran mengarahkan subjek untuk mengetahui realitas di luar dirinya. Setelah itu, data yang sudah dimurnikan pada tahap analitik masuk ke tahap terakhir, yakni dialektik transendental. Ini adalah tahap final, sebagai bagian dari proses munculnya pengetahuan. Kant menyebutnya tahap akal (Vernunft). Akal tidak berhubungan dengan data empiris secara langsung. Tapi, hanya mengarahkan pemahaman. Dengan begitu, pengetahuan merupakan perpaduan antara unsur a posteriori dan a priori. Meskipun melakukan kritik, Kant tidak lantas membuang hasil pemikiran tokoh-tokoh sebelumnya. Tapi, ia menambahkan hal baru. Misalnya, paparan tentang kategori. Rumusan kategori sudah dimulai Aristoteles di zaman Yunani Kuno. Kant mengubah dan menambahnya dengan argumentasi yang lebih kuat. Selain itu, Kant juga berhasil membuktikan kesalahan klaim rasionalisme dogmatik maupun empirisme radikal. Kant menjelaskan ketidakmungkinan sejumlah kesalahan pemikiran yang hanya berbasis akal tanpa pijakan empiris, sekaligus bantahan atas mereka yang menolak adanya pemikiran semacam itu. Kant menyimpulkannya menjadi tiga: paralogisme, antinomi, dan ideal akal 129 murni. Titik sentral penolakan Kant adalah ketidakmungkinan membuktikan hasil penalaran tersebut secara empiris. Namun, Kant tidak menolak bentuk pemikiran semacam itu memiliki dasar pada akal. Kant dengan tegas menyebut metafisika sebagai kecenderungan alamiah (natural predisposition). Sebagai solusinya, ia mengaitkan sejumlah persoalan metafisika dengan noumena—benda pada dirinya. Pengetahuan hanya berhubungan dengan fenomena, sedangkan noumena adalah wilayah metafisika yang misterius, karena di luar batas kemampuan manusia. Sampai sekarang, pemikiran Kant masih tetap menarik untuk dikaji. Menurut Franz Magnis-Suseno, figur Kant dalam wacana filsafat Barat masih mendapat sorotan tajam dalam lima ratus tahun terakhir. Paling tidak, satu abad sepeninggalnya pun sudah muncul aliran filsafat yang secara terus terang “mengikuti” Kant. Mereka disebut Neo-Kantian. Kelompok ini terbagi dua: aliran Baden dan aliran Marburg. Dalam diskursus filsafat Jerman kontemporer, Jürgen Habermas, termasuk sosok yang menemukan pijakan kritisnya pada pemikiran Kant. Hal ini mengindikasikan bahwa wacana dan perdebatan pemikiran Kant tidak lekang oleh waktu, dan tetap relevan, bahkan hingga saat ini. B. Saran-Saran Penulis menyadari hasil penelitian dalam skripsi ini masih memiliki sejumlah kekurangan. Oleh karena itu, untuk penelitian lanjutan disarankan halhal sebagai berikut: a) Meneliti secara lebih komprehensif kata-kata kunci dalam filsafat Immanuel Kant, terlebih istilah itu merupakan pokok dalam pemikiran seorang filsuf. 130 b) Menggunakan referensi berbahasa Jerman, guna menghindari kesalahan istilah. Jika tidak bisa, gunakan teks yang diterjemahkan oleh pihak yang memiliki otoritas di bidangnya. Jadikan keduanya sebagai perbandingan. c) Membaca paparan argumentasi Kant secara menyeluruh. Hal ini sangat penting, mengingat pembacaan yang serampangan dapat mengaburkan penjelasan poin-poin inti dalam satu masalah. Oleh karena itu, dibutuhkan kesabaran dan ketekunan luar biasa untuk mendapatkan pemahaman yang benar, runtut, jelas, agar tidak menyesatkan. d) Tidak mengikuti paparan para komentator secara keseluruhan, dan berusaha mengembangkan analisis sendiri atas penjelasan Immanuel Kant. 131 DAFTAR PUSTAKA Ackermann, Robert, Theories of Knowledge: A Critical Introduction, New York: McGraw-Hill Company, 1965 Al-Ghazâlî, Abû Hâmid Muhammad, Majmû‘ Rasâ`il al-Imam al-Ghazâlî, al-Juz` 3, Bairût: Dâr Kutub al-‘Ilmiyyah, 1414 H/ 1994 M --------------------, Majmû‘ Rasâ`il al-Imam al-Ghazâlî, al-Juz` 7, tahqîq oleh Ahmad Syamsuddîn, Bairût: Dâr Kutub al-‘Ilmiyyah, 1409 H/ 1988 M -------------------, Mukhtasar Ihyâ` ‘Ulûmuddîn, Bairût : Dâr al-Fikr, 1993 M / 1414 H -------------------, Tahâfut al-Falâsifah, Cairo: Dâr al-Ma‘arif, 1972 M/ 1392 H Bakar, Osman, Hierarki Ilmu: Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, terj., Purwanto, Bandung: Mizan, 1997 Briggs, Robin, The Scientific Revolution of the Seventeenth Century, San Francisco: Harper & Row Publishers, Inc., 1973 Cantor, Norman F., dan Peter L. Klein (ed.), Seventeenth-Century Rationalism: Bacon and Descartes, Waltham: Blaisdell Publishing Company, 1969 Copleston, Frederick, A History of Philosophy, vol. 6, Wolff to Kant, Wellwood: Burn & Oates, 1999 Deleuze, Gilles, Kant’s Critical Philosophy, trans., Hugh Tomlinson and Barbara Habberjam, London: The Athlone Press, 1995 Descartes, René, Discourse on Method and Meditations, trans., Laurence J. Lafleur, Indianapolis: Bobbs-Merrill Educational Publishing, 1982 Dicker, Georges, Kant’s Theory of Knowledge: An Analytical Introduction, Oxford: Oxford University Press, 2004 Edman, Irwin (ed.), The Works of Plato, trans., The Jowet Translation, New York: Simon and Schuster Inc., 1928 Ewing, A.C., A Short Commentary on Kant’s Critique of Pure Reason, Chicago: Chicago University Press, 1984 Gardner, Sebastian, Kant and the Critique of Pure Reason, London: Routledge, 2003 132 Guyer, Paul, Kant, New York: Routledge, 2007 ---------------, “The Transcendental Deduction of Categories,” in Paul Guyer, ed., The Cambridge Companion to Kant, Cambridge: Cambridge University Press, 2006 Hamlyn, D.W. , “Empiricism,” in Paul Edwards, ed., The Encyclopedia of Philosophy, vol., II, New York: Macmillan Publishing Co., Inc., and The Free Press, 1972 ----------------------, “Epistemology,” in Paul Edwards, ed., The Encyclopedia of Philosophy, vol., III, New York: Macmillan Publishing Co., Inc., and The Free Press, 1972 Hardiman, F. Budi, Filsafat Barat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia, 2007 Heuken, SJ., Adolf, Deutsch-Indonesisches Wörterbuch: Kamus Jerman Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006 Hume, David, A Treatise of Human Nature, London: Penguin Books, 1969 Kant, Immanuel, Critique of Judgment, trans., J.H. Bernard, Prometheus Books: New York, 2000 ---------------------, Critique of Practical Reason, trans., Mary Gregor, Cambridge: Cambridge University Press, 2001 ---------------------, Critique of Pure Reason, trans., Paul Guyer and Allen Wood, Cambridge: Cambridge University Press, 2000 --------------------, Kritik der reinen Vernunft, nach der ersten und zweiten Original-Ausgabe herausgegeben von Raymund Schimdt, Felix Meiner Verlag: Hamburg, 1990 ---------------------, Perpetual Peace and Other Essays on Politics, History, and Morals, trans., Ted Humphrey, Indiana Polis: Hackett Publishing Company Inc., 1983 ---------------------, Religion and Rational Theology, trans., ed., Allen W. Wood and George Di Giovanni, Cambridge: Cambridge University Press, 2005 Kuehn, Manfred, Kant: A Biography, Cambridge: Cambridge University Press, 2002 133 Leibniz, The Monadology and Other Philosophical Writings, trans., Robert Latta, Oxford: Oxford University Press, 1968 Locke, John, An Essay Concerning Human Understanding in Focus, Garry Fuller, etc., (ed.), London: Routledge, 2000 Logan, Beryl (ed.), Kant’s Prolegomena to Any Future Metaphysics, New York: Routledge, 1996 Magnis-Suseno, Franz, Pemikiran Karl Marx: dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: Gramedia, 2005 --------------------, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19, Yogyakarta: Kanisius, 1997 Mautner, Thomas (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy, London: Penguin Books Ltd., 2000 Mayer, Frederick, A History of Modern Philosophy, Redland: American Book Company, 1951 McKeon (ed.), Introduction to Aristotle, New York: Random House, Inc., 1947 Nasr, Seyyed H. dan O. Leaman (ed.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Buku Pertama, Bandung: Mizan, 1997 Ravert, Jerome R., Filsafat Ilmu: Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan, terj., Saut Pasaribu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004 Russel, Bertrand, History of Western Philosophy and Its Connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present Day, London: George Allen and Unwin Ltd., 1961 Schorr, Veronika, dkk. (eds.), Collins Gem: German Dictionary, Glasgow: HarperCollins Publishers, 2003 Sharif, M.M., History of Muslim Philosophy, vol. I, New Delhi: Low Publication, 1995 Strathern, Paul, 90 Menit Bersama Kant, terj., Franz Kowa, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2001 Wartenberg, Thomas W., “Reason and The Practice of Science”, in Paul Guyer, ed., The Cambridge Companion to Kant, Cambridge: Cambridge University Press, 2006 Wildelband, W., History of Ancient Philosophy, trans., Herbert Ernest Cushman, New York: Dover Publication Inc., 1956 134 Williams, Bernard, “Rationalism,” in Paul Edwards, ed., The Encyclopedia of Philosophy, vol., VII, New York: Macmillan Publishing Co., Inc., and The Free Press, 1972 Wood, Allen W., “Rational Theology, Moral Faithful, and Religion”, in Paul Guyer, ed., The Cambridge Companion to Kant, Cambridge: Cambridge University Press, 2006 http://en.wikipedia.org/wiki/Archē, artikel diakses pada 01 Mei 2010 http://en.wikipedia.org/wiki/Epistemology, artikel diakses pada 30 April 2010 http://en.wikipedia.org/wiki/Sophism, artikel diakses pada 01 Mei 2010 TABEL TRANSLITERASI Huruf Arab Huruf Latin Keterangan ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ع b t ts j h kh d dz r z s sy s d t z ‘ غ ف ق ك ل م ن و ء ي gh f q k l m n w h ` y tidak dilambangkan be te te dan es je h dengan garis bawah ka dan ha de de dan zet er zet es es dan ye es dengan garis di bawah de dengan garis di bawah te dengan garis di bawah zet dengan garis di bawah koma terbalik di atas, menghadap ke atas ge dan ha ef ki ka el em en we ha apostrof ye a i u ai au â î û fathah kasrah dammah a dan i a dan u a dengan topi di atas i dengan topi di atas u dengan topi di atas Vokal Dalam Bahasa Arab َ ِ ُ َ ي َو َ ا ِْ ي ُ ْو iv