critique of pure reason

advertisement
Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
Bacaan Filsafat
CRITIQUE OF PURE REASON
LAPORAN BACAAN PP 1-42
Binsar Pakpahan
Tujuan Kant menulis bukunya ini adalah untuk mengetahui apakah penalaran murni
memiliki batas, dan apakah dia bisa digunakan untuk mencapa pengetahuan yang paling
murni – dasar, tanpa menggunakan indra perasa atau dipengaruhi oleh objek yang
ditelitinya. Pertanyaan epistemologinya adalah apakah kita sudah mengetahui bahwa
sesuatu itu ada karena pengetahuan itu memang sudah ada dan diberikan kepada kita
atau melalui pengalaman. Sebagai seorang penganut paham metafisika, dia mau
memberikan argumennya bahwa kita bisa mengetahui pengetahuan berdasarkan
penalaran murni ini.
Bagian Pendahuluan
Kant memberi pendahuluan dengan pernyataan bahwa pengetahuan dimulai dari
pengalaman, namun tidak berarti bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman.
Pertanyaan Kant adalah apakah ada pengetahuan yang bebas dari pengalaman indra
manusia (1). Menurutnya, a priori adalah “is absolutely so of all experience, pure
knowledge.” Sedangkan a posteriori berasal dari pengamatan dan pengalaman, dan
berasal dari metode induksi. Kebenaran a priori dibagi dua, yaitu judgment a priori,
yaitu sebuah kebenaran apabila kita memiliki sebuah proposisi yang mengandung ide
kepentingan dalam konsepsinya; sementara itu absolut a priori adalah kebenaran yang
tidak datang dari proposisi apapun.
Kant berusaha membela pendapatnya ini dari Hume, yang memang beranggapan bahwa
semua pengetahuan berasal dari a posteriori. Argument Kant adalah bahwa ada
pengetahuan yang memang sudah ada a priori tanpa kita perlu mengamati untuk
mengetahui bahwa pengetahuan itu adalah benar.
Pertanyaan selanjutnya adalah, Bagaimana pengetahuan kita bisa sampai kepada
pengertian a priori ini, dan sejauh apa kebenaran yang dimilikinya (5)? Kant
menganggap bahwa pengetahuan a posteriori adalah keinginan manusia untuk merasa
nyaman dalam pengetahuan yang mereka bisa selidiki dan pahami. Manusia takut untuk
bertanya dan menjawab kontradiksi yang tidak bisa mereka buktikan secara empiris.
Menggunakan teori gua Plato, Kant mengungkapkan bahwa pengetahuan sesungguhnya
berada di luar indra perasa manusia yang terbatas. Semua pengetahuan kita sebenarnya
sudah ada tanpa harus melalui pengalaman, justru pengamatan hanya akan mendistorsi
atau menguatkan pengetahuan yang sudah kita miliki sebelumnya (6).
Kant kemudian membedakan antara penilaian analitis dan sintetis. Penilaian analitis
adalah mereka yang predikat dan subjeknya dihubungkan oleh identitas misalnya
“semua tubuh itu berat”; sementara ketika predikat dan subjek dihubungkan tanpa
identitas dia disebut sebagai penilaian sintetis, misalnya “semua tubuh akan
bertumbuh”. Penilaian sintetis bisa diperoleh tanpa pengamatan dan sudah ada secara a
priori.
Dengan pemahaman ini, Kant lebih jauh berargumen bahwa dalam semua ilmu sains,
pengetahuan a priori adalah prinsip dasar dalam menentukan langkah selanjutnya. Dia
menunjukkannya dalam bidang matematika, fisika, dan metafisika. Semua hasil
matematika adalah pengetahuan a priori, yang kemudian diamati dan dibuatkan
langkah menuju pengetahuan itu. Kant memberi dua contoh: misalnya “7+5 = 12”, dan
“garis lurus antara dua titik adalah jarak terpendek antara keduanya.” Kedua
pengetahuan ini kita ketahui tanpa menyelidikinya. Penelitian lebih lanjut hanya
membantu kita memastikan pengetahuan ini. Meskipun ada beberapa perhitungan
matematis yang muncul dari pengetahuan analitis, kita hanya bisa membuktikannya
melalui pengamatan sesudah kita menerima rumus tersebut secara a priori. Dalam
fisika, banyak rumus dan presuposisi yang diberikan berasal dari pengetahuan a priori,
dan demikian juga dalam metafisika.
Pertanyaan penting selanjutnya adalah, bagaimana pengetahuan sintetis secara a priori
adalah mungkin (12)? Di sini Kant mengkritik Hume yang menurutnya tidak pernah
sampai kepada ilmu yang murni. Menurut Hume, ilmu metafisika, di mana semua hal
memiliki akibat terhadap yang lain, adalah sebuah pemikiran yang tidak rasional.
Menurut Hume metafisika muncul dari nalar atau pemikiran yang berlebihan yang
muncul dari pengalaman namun diberi penjelasan seolah-olah dia berasal dari logika.
Untuk menjawab Hume, Kant mengajukan pertanyaan lain,
- Apakah yang disebut dengan ilmu matematika murni itu ada?
- Apakah yang disebut dengan ilmu alam murni itu ada?(13)
Ilmu yang murni hanya ada karena mereka telah ada. Karena itu kita hanya bisa
memiliki suatu hal yang murni karena mereka telah diberikan kepada kita, dan kita
kemudian mengujinya melalui pengalaman. Jadi, alih-alih pengalaman yang
membangun pengetahuan yang murni, pengetahuan murni yang sudah ada itulah yang
kita uji melalui pengalaman. Pengetahuan ini kita sebut dengan metafisika.
Kritik atas penalaran murni berdiri sebagai pemurni akal dan penuntun logika menuju
sebuah pengetahuan yang lebih baik lagi. Kritik atas alasan murni berdiri sebagai
filsafat transenden yang tidak berdiri sebagai sebuah dogma melainkan sebuah
pemurni, kritik terhadap pengetahuan.
Sebelum kita melangkah lebih jauh, berikut adalah beberapa istilah yang Kant gunakan
yang akan dipakainya berulang-ulang dalam bab selanjutnya yang penting untuk kita
catat. Pure reason, atau (akal budi) penalaran murni adalah ketika kita mengetahui
sesuatu betul-betul secara a priori. Sementara itu yang dimaksud dengan transenden
adalah pengetahuan yang diperoleh tanpa keterikatan dengan objek, dan hal ini hanya
bisa kita ketahui melalui pengetahuan a priori. Karena itu filsafat transendental adalah
sistem yang menganut pengertian di atas. Sensibilitas adalah cara kita mengenali objek,
dan pengertian adalah bagaimana kita bisa memahami objek tersebut. (15)
Bagi Kant, tujuan dari sistem dari penalaran murni adalah untuk membangun filsafat
transendental. Filsafat transendental adalah ide akan sebuah ilmu, di mana kritik atas
penalaran murni harus menggambarkan seluruh rencananya dari prinsip-prinsip, yang
memberi garansi akan kesahihan dan kestabilan semua bagian yang memasuki sistem
berpikirnya. Filsafat ini adalah sistem dari semua prinsip penalaran murni, dan Critique
of Pure Reason bertugas untuk mengujinya.
To the Critique of Pure Reason, therefore, belongs all that constitutes transcendental philosophy;
and it is the complete idea of transcendental philosophy, but still not the science itself; because it
only proceeds so far with the analysis as is necessary to the power of judging completely of our
syntethical knowledge a priori (17).
Estetika Transendental
Estetika transendental adalah ilmu dari prinsip sensibilitas (menerima representasi
melalui cara di luar indra perasa yang membuat kita terpengaruh oleh sang objek)
secara a priori. Untuk menuju estetika murni ini, maka kita harus melepaskan semua
indra perasa kita, sehingga kita bisa menemukan intuisi murni tanpa dipengaruhi oleh
fenomena objek yang kita teliti. Hanya dengan cara inilah kita bisa menemukan
pengetahuan a priori yang murni. Menurut Kant, ada dua bentuk dari hasil indra kita,
namun bisa bebas dari mereka, dan bisa kita ketahui secara a priori, yaitu ruang dan
waktu.
Ada beberapa pengertian yang diberikan oleh Kant mengenai ruang. Konsep ruang
datang kepada kita dengan sendirinya tanpa bantuan indra peraba dan pengalaman.
Argumen yang dibangun Kant adalah bahwa ruang selalu ada, dan hanya ada satu untuk
semua orang meskipun bentuknya bisa berubah. Kita semua ada dalam ruang yang
sama yang jumlahnya tak terbatas. Ruang adalah intuisi murni dan bisa berdiri pada
dirinya sendiri meskipun tidak memiliki ukuran atau definisi empiris.
Geometri, atau ilmu ukur ruang dalam matematika, adalah ilmu yang membantu
kita mengukur ruang. Namun bagaimana ilmu ini bisa kita teliti tanpa lebih dulu
memiliki sejenis paham mengenai ruang? Kita tidak akan bisa mengukur ruang, dan
mengetahui bahwa ukuran yang kita pakai adalah benar, tanpa pengertian lebih dulu
bahwa ruang itu ada. Pemahaman kita akan ruang tidak dipengaruhi oleh fenomena
dari indra peraba kita, dan ruang akan tetap ada meskipun indra peraba kita tidak ada
lagi. Tanpa ruang, kita tidak akan ada, dan kita sepertinya sudah memiliki ide ini. Semua
sensor yang kita miliki tidak membuat kita menjadi tahu tentang apa ruang itu, namun
hanya memperjelasnya.
Demikian juga dengan konsep kita tentang waktu. Waktu bukanlah konsep empiris yang
berhubungan dengan semua indra peraba kita. Waktu, yang juga tak terhingga seperti
ruang, hanya bisa kita ketahui secara a priori. Kant berpendapat bahwa kita semua
terikat di waktu yang sama. Semua pengetahuan melalui penelitian dan pengalaman
terhadap objek membantu kita untuk memberi makna terhadap waktu. Sesuatu yang
tidak terikat pada ruang tertentu tetap masih harus terbatas pada waktu. Tanpa
pemikiran kita, waktu akan tetap ada dan mengatur kita.
Waktu dan ruang mengikat kita dan semua pengetahuan empiris kita. Wkedua hal ini
adalah bentuk paling murni, dan tidak ada lagi di luar kedua hal ini. Pengertian kita
tentang ruang dan waktu datang kepada kita secara a priori tanpa bantuan pengalaman.
Pengalaman hanya menguatkan pengetahuan yang sudah ada itu. Karena itu, ruang dan
waktu adalah kenyataan transenden yang paling murni. Tugas pengetahuan empiris
adalah untuk memberi kita makna akan ruang dan waktu yang kita diami. Jika ruang
dan waktu adalah ciptaan pikiran kita melalui pengalaman, maka seharusnya kita bisa
berimajinasi mengenai apa yang ada di balik mereka. Kita tidak bisa memikirkannya
kalau kita dibatasi oleh pikiran empiris kita. Kant berpendapat bahwa estetika
trasenden hanya memiliki ruang dan waktu sebagai konsep yang melampaui indra
peraba kita yang membuktikan bahwa pengetahuan a priori itu melampaui
pengetahuan empiris manusia. Lebih jauh, Kant bahkan mengatakan bahwa
pengetahuan empiris pun sebenarnya bukan pengetahuan murni, karena dia adalah
fenomena yang datang dari indra peraba kita. Dengan indra, kita hanya bisa mengetahui
sebatas yang kita lihat dan yang ada, padahal pengetahuan itu lebih dari sekedar apa
yang ada pada sensor peraba kita. Peran dari nalar murni adalah untuk mengetahui
batasan ini dan juga batasan pada dirinya sendiri.
Kesimpulan dan Komentar
Kant berhasil menunjukkan perbedaan antara a priori dan a posteriori dan
mempertahankan pentingnya pengetahuan a priori. Di bab awal ini Kant memberikan
garis besar mengenai apa yang dia mau tulis dalam bukunya. Satu hal yang penting
untuk dicatat dalam membaca Kant lebih lanjut adalah bahwa Critique of Pure Reason
bukanlah kritik terhadap penalaran murni, melainkan untuk memperlihatkan bahwa
nalar murni adalah pengetahuan tertinggi yang bisa kita peroleh a priori. Critique of
Pure Reason juga menunjukkan bahwa nalar juga memiliki batasan, dan tugas
pengetahuan empiris adalah membuktikan dan menjelaskan pengetahuan kita itu agar
dia tidak jatuh menjadi dogma semata. Pada saat yang sama Kant menjelaskan batasan
dunia empiris dan juga batasan dunia metafisika.
Kant berhasil membedakan pengetahuan sintetis dan a priori dari analitis dan a
posteriori. Dia memberi 4 definisi yang berbeda. Karena hanya kebenaran a priori yang
bersifat universal, seperti dalam ruang dan waktu, maka kebenaran sejati pastilah a
priori. Pengertian semacam ini memberi argumen terhadap kebenaran a priori. Karena
keterbatasan indra kita, maka tugas pengetahuan empiris adalah menjelaskan
keterbatasan metafisika kita. Kedua hal ini sebenarnya saling terkait.
Menurut saya, Kant sebenarnya tidak pernah ingin menolak pengetahuan yang kita
peroleh melalui pengamatan empiris, dia hanya ingin menunjukkan bahwa
pengetahuan empiris saja tidak cukup untuk sampai kepada pengetahuan murni.
Kenyataan adalah gabungan dari kedua pengetahuan a priori dan a posteriori, antara
sintetis dan analitis.
Kant sebenarnya sudah sangat maju dalam pemikirannya, bahwa menurutnya, pikiran
kita tidak hanya menerima objek yang ada di sekitar kita, tetapi pikiran kita justru aktif
memberi makna terhadapnya. Pengertian yang sesungguhnya dari suatu objek bisa
terdistorsi oleh indra perasa kita sehingga kita tidak akan bisa sampai kepada
pengertian yang sesungguhnya melalui pengamatan saja. Pengetahuan empiris adalah
seperti pelengkap ke dalam dunia pengetahuan a priori yang sudah lebih dulu ada.
Melalui analisisnya, Kant berhasil menunjukkan bahwa prinsip dasar dalam matematika
justru berasal dari pengetahuan a priori. Namun pengetahuan a priori ini tidak bisa
murni kita terima seperti yang kita harapkan. Instrumen perasa dan nalar kita yang
terbatas membuat kita membutuhkan keduanya penguji pengetahuan a priori dan
analitis.
Ada yang mengkritik Kant dengan mengatakan bahwa Kant tidak pernah menjelaskan
matematika dari sisi empiris. Ketika Kant menjelaskan matematika dari nalar, maka dia
akan menemukannya secara a priori, sementara matematika adalah pengetahuan yang
membutuhkan pembenaran secara analitis, tanpanya kita tidak tahu apakah
pengetahuan a priori itu benar atau tidak.
Salah satu kritik yang hendak saya ajukan adalah prinsip Kant yang memandang ruang
dan waktu sebagai tak terhingga dan hanya satu. Berbagai teori baru dalam dunia fisika
sepertinya menunjukkan bahwa di balik ruang yang kita tempati sekarang, ada ruang
lain yang juga berjalan pada waktu bersamaan. Teori ini tetap masih harus dibuktikan.
Ada juga teori lain yang berargumen bahwa pada waktu yang sama, ada waktu lain yang
berjalan beriringan, dan ada jumlah waktu yang tak terbatas yang berjalan beriringan
tanpa memengaruhi satu dengan yang lain. Hal ini juga masih harus terus diuji melalui
penemuan baru di bidang sains.
Download